Kitab Haji

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَرَضَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى الْحَجَّ عَلَى كُلِّ حُرٍّ بالغٍ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا بِدَلَالَةِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: الْحَجُّ فِي لِسَانِ الْعَرَبِ، فَفِيهِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ الْقَصْدُ، وَلِهَذَا سُمِّيَ الطَّرِيقُ مَحَجَّةً، لِأَنَّهُ يُوصِلُ إِلَى الْمَقْصِدِ. قَالَ الشاعر:
(يحج مأمومةً في قعرها لجفٌ … فَاسْتُ الطَّبِيبِ قَذَاهَا كَالْمَغَارِيدِ)
فَعَلَى هَذَا سُمِّيَ بِهِ النُّسُكُ لِأَنَّ الْبَيْتَ مَقْصُودٌ فِيهِ

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ الْعَوْدُ مَرَّةً بَعْدَ أُخْرَى، وَمِنْهُ قول الشاعر:
(وأشهد من عوفٍ حلولاً كَثِيرَةً … يَحُجُّونَ سَبَّ الزِّبْرِقَانِ الْمُعَصْفَرَا)

 Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Allah Tabaraka wa Ta‘ala telah mewajibkan ibadah haji atas setiap orang merdeka yang telah baligh dan mampu menuju ke sana, berdasarkan dalil dari al-Qur’an dan Sunnah.”

Al-Mawardi berkata: Haji dalam bahasa Arab memiliki dua pendapat:  Pertama: bahwa haji berarti tujuan (al-qaṣd), oleh karena itu jalan disebut maḥajjah karena mengantarkan kepada tujuan. Sebagaimana perkataan penyair:
 (Yaḥujju ma’mūmatan fī qa‘rihā lajfun… fasu ṭ-ṭabībi qadāhā kal-maghārīdi)
 (Mereka mendatangi bagian dalamnya yang tertutup… bagian belakang seorang tabib yang keras seperti nyanyian burung)
 Berdasarkan pengertian ini, dinamakanlah ibadah tersebut haji, karena Ka‘bah menjadi tujuan dalam ibadah ini.

Kedua: bahwa haji berarti mengulang kembali (al-‘aud marrah ba‘da ukhrā), sebagaimana perkataan penyair:
 (Wa ashhadu min ‘awfin ḥulūlan kathīratan… yaḥujjūna sabba az-zibraqāni al-mu‘aṣfarā)
 (Dan aku menyaksikan dari kabilah ‘Auf banyak kedatangan… mereka datang berulang kali mencaci Zibraqān yang berpakaian kuning)


يَعْنِي بِقَوْلِهِ: يحجون أي يكثرون التردد إليه لسودده فَسُمِّي بِهِ الْحَجُّ حَجًّا، لِأَنَّ الْحَاجَّ يَأْتِي إِلَيْهِ قَبْلَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ، ثُمَّ يَعُودُ إِلَيْهِ لِطَوَافِ الْإِقَامَةِ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ إِلَى مِنًى ثُمَّ يَعُودُ إِلَيْهِ لِطَوَافِ الصَّدْرِ فَيَتَكَرَّرُ الْعَوْدُ إِلَيْهِ مَرَّةً بَعْدَ أُخْرَى فَقِيلَ لَهُ حَجٌّ ثُمَّ اسْتَقَرَّ الْحَجُّ فِي الشَّرْعِ عَلَى قَصْدِ الْبَيْتِ الْحَرَامِ عَلَى أَوْصَافٍ نَذْكُرُهَا فِيمَا بَعْدُ، وَالْأَصْلُ فِي إِثْبَاتِ فَرْضِ الْحَجِّ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَأًَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ) {الحج: 27) فَخَاطَبَ اللَّهُ تَعَالَى بِذَلِكَ نَبِيَّهُ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَالَ إِبْرَاهِيمُ أَيْ رَبِّ فَأَيْنَ يَبْلُغُ نِدَائِي فَقَالَ لَهُ تَعَالَى عَلَيْكَ النِّدَاءُ وَعَلَيَّ الْبَلَاغُ، فَصَعِدَ إِبْرَاهِيمُ عَلَى الْمَقَامِ، وَقَالَ عِبَادَ اللَّهِ أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ، فَأَجَابَ مَنْ فِي أَصْلَابِ الرِّجَالِ، وَأَرْحَامِ النِّسَاءِ، لبيك أداعي رَبِّنَا لَبَّيْكَ فَيُقَالُ: إِنَّهُ لَا يَحُجُّ إِلَّا مَنْ أَجَابَ دَعْوَةَ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَرُوِيَ عن عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ كَانَ أَوَّلَ مَنْ أَجَابَ دَعْوَةَ إِبْرَاهِيمَ بِالْحَجِّ بِالتَّلْبِيَةِ أَهْلُ الْيَمَنِ، وَقَالَ تَعَالَى: {وَأَتِمّوا الحجَّ وَالعُمْرَةَ لِلهِ) {البقرة: 196) أي افعلوها عَلَى التَّمَامِ وَقَالَ تَعَالَى: {وَللهِ عَلَى النَّاسِ حَجُّ البَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً} (آل عمران: 97) الْآيَةَ وَفِي قَوْلِهِ: {وَمَنْ كَفَرَ) {آل عمران: 97) ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ:

yang dimaksud dengan firman-Nya: “yaḥujjūn” adalah mereka banyak datang ke sana karena kemuliaannya, maka dinamailah ibadah tersebut dengan ḥajj karena orang yang berhaji datang ke sana sebelum wukuf di ‘Arafah, lalu kembali ke sana untuk ṭawāf al-iqāmah, lalu pergi ke Mina, lalu kembali lagi untuk ṭawāf aṣ-ṣadr, sehingga berulang kali kembali ke sana, maka disebutlah sebagai ḥajj. Kemudian, ḥajj dalam syariat menjadi bermakna menyengaja Baitullāh al-Ḥarām dengan sifat-sifat tertentu yang akan kami sebutkan kemudian. Dalil pokok kewajiban haji adalah dari al-Kitab dan as-Sunnah. Allah Ta‘ālā berfirman: “Dan serukanlah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh” (QS al-Ḥajj: 27). Maka Allah Ta‘ālā memerintahkan Nabi-Nya Ibrāhīm AS dengan hal itu. Ibrāhīm berkata: “Wahai Tuhanku, sampai ke mana seruanku akan terdengar?” Maka Allah berfirman kepadanya: “Engkau yang menyeru, dan Aku yang menyampaikan.” Maka Ibrāhīm naik ke atas maqām, dan berkata: “Wahai hamba-hamba Allah, penuhilah seruan Allah.” Maka orang-orang yang masih berada dalam sulbi laki-laki dan rahim perempuan pun menjawab: “Labbaik adā‘iya rabbinā labbaik”. Maka dikatakan: tidak ada yang berhaji kecuali orang yang dahulu menjawab seruan Ibrāhīm AS. Diriwayatkan dari ‘Uṡmān bin ‘Affān RA bahwa ia berkata: orang yang pertama kali memenuhi seruan Ibrāhīm untuk berhaji dengan talbiyah adalah penduduk Yaman.

Allah Ta‘ālā juga berfirman: “Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah” (QS al-Baqarah: 196), maksudnya laksanakan dengan sempurna.

Dan firman-Nya: “Dan kewajiban manusia terhadap Allah ialah melaksanakan haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu menempuh jalannya” (QS Āli ‘Imrān: 97).

Adapun dalam firman-Nya: “Dan barang siapa kafir” (QS Āli ‘Imrān: 97), terdapat tiga penakwilan:


أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ عِكْرِمَةَ، وَمَنْ كَفَرَ مِنْ أَهْلِ الْمِلَلِ، {فَإنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ العَالَمِينَ} (آل عمران: 97) رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ {وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْر الإسْلاَمِ دِيناً فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ) {آل عمران: 85) قَالَتِ الْيَهُودُ: فَنَحْنُ الْمُسْلِمُونَ، فَقَالَ اللَّهِ تَعَالَى لِنَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَحَجُّهُمْ فَقَالَ لَهُمُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَحُجُّوا فَقَالَ لَمْ يُكْتَبْ عَلَيْنَا وَأَبَوْا أَنْ يَحُجُّوا قَالَ عِكْرِمَةُ، وَمَنْ كَفَرَ مِنْ أَهْلِ الْمِلَلِ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ قَالَ الشافعي: وما أشبه ما قال عكرمة عن مسلم عن سعيد بما قال.

salah satunya: yaitu pendapat ‘Ikrimah, tentang orang-orang yang kafir dari kalangan pemeluk agama-agama, firman Allah: “Sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak butuh) dari seluruh alam.” (QS Ali ‘Imran: 97). Diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari Ibn ‘Uyaynah dari Ibn Abī Najīḥ dari ‘Ikrimah, ia berkata: ketika turun firman Allah: “Barang siapa mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya.” (QS Ali ‘Imran: 85), orang-orang Yahudi berkata: “Kami ini orang-orang Muslim.” Maka Allah Ta‘ala berfirman kepada Nabi-Nya SAW, “Maka hajilah mereka.” Lalu Nabi SAW berkata kepada mereka, “Berhajilah kalian.” Maka mereka berkata, “(Haji) tidak diwajibkan atas kami.” Dan mereka enggan berhaji. ‘Ikrimah berkata: barang siapa yang kafir dari kalangan pemeluk agama-agama maka sesungguhnya Allah Mahakaya dari seluruh alam. Asy-Syafi‘i berkata: dan yang disampaikan ‘Ikrimah dari Muslim dari Sa‘īd mirip dengan apa yang ia katakan.


وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ مُجَاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: ومن كفر هو من إن حَجَّ لَمْ يَرَهُ بِرًّا وَإِنْ جَلَسَ لَمْ يَرَهُ مَأْثَمًا وَرَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مُسْلِمٍ عَنْ سَعِيدٍ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ.
وَالتَّأْوِيلُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ سَعِيدِ بْنِ سَالِمٍ، وَمَنْ كَفَرَ بِفَرْضِ الْحَجِّ، فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالِمَيْنِ، وَأَكَّدَ ذَلِكَ بِمَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خمسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ ” وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” صَلُّوا خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ طَيِّبَةً بِهَا نُفُوسُكُمْ وَحُجُّوا بَيْتَ رَبِّكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ ” وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَعِدَ الْمِنْبَرَ وَقَالَ ” إِنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَقَامَ رجلٌ فَقَالَ أَفِي كُلِّ عامٍ فَلَمْ يُجِبْهُ فَأَعَادَ ثَالِثَةً فَقَالَ لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَوْ وَجَبَتْ مَا قُمْتُمْ بِهَا، وَلَوْ تَرَكْتُمُوهَا لَكَفَرْتُمْ أَلَا وَادِعُونِي مَا وَادَعْتُكُمْ ” وَرَوَى أَبُو أُمَامَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَنْ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنَ الْحَجِّ حاجةٌ ظاهرةٌ أَوْ مرضٌ حابسٌ أَوْ سلطانٌ جَائِرٌ فَلْيَمُتْ إِنْ شَاءَ يَهُودِيًّا أَوْ نَصْرَانِيًّا قِيلَ: مَنْ يَرَهُ وَاجِبًا كَالْيَهُودِ وَالنَّصَارَى، وَقِيلَ بَلْ عَلَى سَبِيلِ التَّغْلِيظِ وَالزَّجْرِ، وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي مُحَمَّدٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: حُجُّوا قَبْلَ أَنْ لَا تَحِجُّوا قَالُوا: وَمَا شَأْنُ الْحَجِّ قَالَ: يَقْعُدُ أَعْرَابُهَا عَلَى أَدْنَابِ أَوْدِيَتِهَا فَلَا يَصِلُ إِلَى الْحَجِّ أحدٌ.

Dan takwilan kedua adalah pendapat Mujāhid dalam firman-Nya: “wa man kafara”, maksudnya adalah orang yang apabila berhaji tidak memandangnya sebagai kebajikan, dan apabila tidak berhaji tidak memandangnya sebagai dosa. Pendapat ini diriwayatkan oleh asy-Syāfi‘ī dari Muslim dari Sa‘īd dari Ibn Jurayj.

Dan takwilan ketiga adalah pendapat Sa‘īd bin Sālim, yaitu barang siapa mengingkari kewajiban haji, maka sungguh Allah Mahakaya dari seluruh alam. Hal ini dikuatkan dengan riwayat dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Islam dibangun atas lima: bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muḥammad adalah utusan Allah, menegakkan salat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullāh, dan puasa Ramadan.”

Dan diriwayatkan pula bahwa Nabi SAW bersabda: “Salatlah kalian lima waktu, puasalah bulan kalian, tunaikan zakat harta kalian dengan jiwa yang rela, dan berhajilah ke Bait Tuhan kalian, niscaya kalian masuk surga Tuhan kalian.”

Abū Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW naik mimbar dan bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian haji.” Maka seorang laki-laki berdiri dan bertanya, “Apakah setiap tahun?” Namun Nabi tidak menjawabnya. Ia mengulang pertanyaannya sampai tiga kali, lalu Nabi bersabda: “Seandainya aku katakan ‘ya’, niscaya akan menjadi wajib, dan seandainya menjadi wajib kalian tidak akan mampu melaksanakannya, dan jika kalian tinggalkan niscaya kalian kafir. Maka biarkan aku selama aku membiarkan kalian.”

Dan Abū Umāmah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang tidak terhalang dari berhaji oleh kebutuhan yang nyata, atau penyakit yang menghalangi, atau penguasa yang zalim, maka hendaklah ia mati jika ia mau sebagai Yahudi atau Nasrani.”

Ada yang mengatakan: maksudnya adalah orang yang tidak memandangnya wajib seperti halnya orang Yahudi dan Nasrani. Dan ada juga yang mengatakan: itu adalah dalam rangka ancaman yang keras dan peringatan yang tegas.

Muḥammad bin Abī Muḥammad meriwayatkan dari ayahnya dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Berhajilah kalian sebelum kalian tidak bisa berhaji.” Mereka bertanya: “Apa yang dimaksud tidak bisa berhaji?” Nabi bersabda: “Orang-orang Arab pedalaman akan duduk di mulut-mulut lembahnya, sehingga tak seorang pun bisa sampai ke tempat haji.”

فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْحَجِّ فَوُجُوبُهُ مُعْتَبَرٌ بِخَمْسَةِ شُرُوطٍ:
أَحَدُهَا: الْبُلُوغُ لِأَنَّ غَيْرَ الْبَالِغِ لَا حَجَّ عَلَيْهِ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثلاثٍ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَلِرِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَيُّمَا صَبِيٍّ حَجَّ بِهِ أَهْلُهُ قَبْلَ أَنْ يَبْلُغَ فَعَلَيْهِ الْحَجُّ إِذَا بَلَغَ “. فَلَوْ كَانَ الصَّبِيُّ مِنْ أَهْلِ الْحَجِّ لَسَقَطَتِ الْإِعَادَةُ عَنْهُ بَعْدَ بُلُوغِهِ.
وَالشَّرْطُ الثَّانِي: الْعَقْلُ لِأَنَّ الْمَجْنُونَ لَا حَجَّ عَلَيْهِ لِعَدَمِ تَكْلِيفِهِ، وَقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ ” وَذَكَرَ فِيهَا الْمَجْنُونَ حَتَّى يُفِيقَ قَالَ الشَّافِعِيُّ: فَإِنْ كَانَ يُجَنُّ، وَيُفِيقُ فَعَلَيْهِ الْحَجُّ، فَإِذَا حَجَّ مُفِيقًا أَجْزَأَ عَنْهُ.

PASAL
 Apabila telah tetap kewajiban haji, maka kewajibannya tergantung pada lima syarat:

Pertama: baligh, karena anak yang belum baligh tidak wajib haji, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Diangkat pena dari tiga (golongan), dari anak kecil sampai ia bermimpi (baligh)”, dan berdasarkan riwayat Ibn ‘Abbās bahwa Nabi SAW bersabda: “Siapa pun anak kecil yang dihajikan oleh keluarganya sebelum ia baligh, maka wajib atasnya haji ketika ia telah baligh.” Maka, seandainya anak kecil termasuk orang yang wajib haji, tentu tidak perlu mengulanginya setelah baligh.

Syarat kedua: berakal, karena orang gila tidak wajib haji disebabkan ia tidak termasuk mukallaf, dan berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Diangkat pena dari tiga (golongan)”, dan beliau menyebutkan di antaranya orang gila sampai ia sadar. Asy-Syafi‘i berkata: “Jika seseorang mengalami gangguan jiwa dan sesekali sadar, maka ia wajib haji, dan jika ia berhaji dalam keadaan sadar, maka hajinya mencukupi darinya.”


وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ: الْحُرِّيَّةُ، لِأَنَّ الْعَبْدَ لَا حَجَّ عَلَيْهِ لِرِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: أَيُّمَا عبدٍ حَجَّ قَبْلَ أَنْ يُعْتَقَ فَعَلَيْهِ الْحَجُّ إِذَا عُتِقَ.
وَالشَّرْطُ الرَّابِعُ: الْإِسْلَامُ لِأَنَّ الْكَافِرَ لَا حَجَّ عَلَيْهِ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أَيُّمَا أَعْرَابِيٍّ حَجَّ قَبْلَ أَنْ يُهَاجِرَ فَعَلَيْهِ الْحَجُّ إِذَا هَاجَرَ يَعْنِي بِالْهِجْرَةِ الْإِسْلَامَ.
وَالشَّرْطُ الْخَامِسُ: الِاسْتِطَاعَةُ وَهِيَ ضَرْبَانِ:
اسْتِطَاعَةُ مَكَانٍ.

Syarat ketiga: kemerdekaan, karena hamba sahaya tidak wajib haji. Berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās bahwa Nabi SAW bersabda: “Siapa saja hamba sahaya yang berhaji sebelum dimerdekakan, maka wajib atasnya haji ketika telah merdeka.”

Syarat keempat: Islam, karena orang kafir tidak wajib haji, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Siapa saja orang Arab dusun yang berhaji sebelum masuk Islam, maka wajib atasnya haji ketika ia masuk Islam.” Yang dimaksud dengan hijrah dalam hadis ini adalah masuk Islam.

Syarat kelima: kemampuan, dan kemampuan itu ada dua macam:
 kemampuan tempat.


وَاسْتِطَاعَةُ زَمَانٍ وَسَنُبَيِّنُهَا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً) {آل عمران: 97) وَلِعَدَمِ تَكْلِيفِ مَنْ لَا يَسْتَطِيعُ، فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْحَجِّ بِهَذِهِ الشُّرُوطِ الْخَمْسَةِ فَأَرْبَعَةٌ مِنْهَا شَرْطٌ فِي الْوُجُوبِ، وَالْإِجْزَاءِ جَمِيعًا، وَهِيَ الْبُلُوغُ وَالْعَقْلُ وَالْحُرِّيَّةُ وَالْإِسْلَامُ، فَإِنْ حَجَّ قَبْلَ كَمَالِهَا لَمْ يُجْزِهِ.
وَالشَّرْطُ الْخَامِسُ: هُوَ شَرْطٌ فِي الْوُجُوبِ دُونَ الْإِجْزَاءِ، فَإِنْ حج غير مستطيع أجزأ عنه.

dan kemampuan waktu, dan akan kami jelaskan nanti, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {(yaitu) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana} (QS Āli ‘Imrān: 97), dan karena tidak ada taklif bagi orang yang tidak mampu. Maka apabila telah tetap kewajiban haji dengan lima syarat ini, maka empat di antaranya merupakan syarat bagi kewajiban dan keabsahan sekaligus, yaitu: baligh, berakal, merdeka, dan Islam. Jika seseorang berhaji sebelum menyempurnakan keempat syarat ini, maka tidak mencukupi baginya.

Adapun syarat kelima adalah syarat untuk kewajiban, bukan untuk keabsahan. Maka jika seseorang berhaji tanpa kemampuan, hajinya tetap sah dan mencukupi darinya.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنْ حَجَّ مَرَّةً وَاحِدَةً فِي دَهْرِهِ فَلَيْسَ عليه غيرها “.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ فَرْضُ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ لَا يَجِبُ فِي الْعُمُرِ إِلَّا مَرَّةً وَاحِدَةً، وَلَا يَتَكَرَّرُ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً) {آل عمران 97) وَمَنْ حَجَّ مَرَّةً فَقَدِ امْتَثَلَ الْأَمْرَ، وَلِرِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ عَلَى الْمِنْبَرِ ” فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: أَفِي كُلِّ عَامٍ فَلَمْ يُجِبْهُ فَأَعَادَ ثَانِيَةً فَلَمْ يُجِبْهُ فَأَعَادَ ثَالِثَةً فَقَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ قُلْتُهَا لَوَجَبَتْ وَلَوْ وَجَبَتْ مَا قُمْتُمْ بِهَا، وَلَوْ تَرَكْتُمُوهَا لَكَفَرْتُمْ أَلَا فَوَادِعُونِي مَا وَادَعْتُكُمْ ” وَرَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ الْأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَحَجَّتُنَا هَذِهِ لِعَامِنَا أَمْ لِلْأَبَدِ؟ فَقَالَ لِلْأَبَدِ، وَرَوَى طَاوُسٌ أَنَّ سُرَاقَةَ بْنَ جَعْشَمٍ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْضِ لَنَا قضاء قومٌ كأنما ولدوا اليوم عمرتنا هَذِهِ لِعَامِنَا أَمْ لِلْأَبَدِ فَقَالَ: بَلْ لِلْأَبَدِ وَلِأَنَّ الْحَجَّ يَتَعَلَّقُ بِقَطْعِ مَسَافَةٍ وَالْتِزَامِ مَؤُونَةٍ وَفِي تَكْرَارِ وُجُوبِهِ مَشَقَّةٌ وَلِهَذَا الْمَعْنَى فَارَقَ سائر العبادات.

Masalah:

Imam asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Barang siapa telah berhaji sekali seumur hidupnya, maka tidak wajib atasnya haji selainnya.”

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa haji dan umrah yang wajib hanya diwajibkan sekali seumur hidup, dan tidak berulang seperti salat dan puasa, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Dan kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu menempuh jalannya” (QS Āli ‘Imrān: 97). Maka barang siapa telah berhaji sekali, berarti ia telah melaksanakan perintah tersebut.

Juga berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda di atas mimbar: “Allah telah mewajibkan atas kalian haji.” Maka seorang laki-laki berdiri dan bertanya: “Apakah setiap tahun?” Namun Nabi tidak menjawabnya. Ia mengulang pertanyaan untuk kedua kalinya, Nabi tetap tidak menjawab. Lalu ia mengulang untuk ketiga kalinya, maka Nabi bersabda: “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya aku katakan ‘ya’, niscaya menjadi wajib, dan jika diwajibkan kalian tidak akan mampu melaksanakannya, dan jika kalian meninggalkannya niscaya kalian menjadi kafir. Maka biarkan aku selama aku membiarkan kalian.”

Diriwayatkan pula dari Ibnu ‘Abbās bahwa al-Aqra‘ bin Ḥābis berkata: “Wahai Rasulullah, apakah haji kami ini untuk tahun ini saja atau untuk selamanya?” Maka Nabi menjawab: “Untuk selamanya.”

Dan diriwayatkan oleh Ṭāwūs bahwa Surāqah bin Ju‘shum berkata: “Wahai Rasulullah, buatkanlah keputusan bagi kami seperti keputusan bagi suatu kaum yang seakan-akan baru dilahirkan. Apakah umrah kami ini hanya untuk tahun ini saja atau untuk selamanya?” Maka beliau menjawab: “Bahkan untuk selamanya.”

Dan karena haji terkait dengan menempuh jarak yang jauh dan menanggung biaya, maka pengulangan kewajiban haji akan membawa kesulitan. Oleh sebab itu, haji berbeda dari ibadah-ibadah lain.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالِاسْتِطَاعَةُ وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ مُسْتَطِيعًا بِبَدَنِهِ وَاجِدًا مِنَ مَالِهِ مَا يُبَلِّغُهُ الْحَجَّ بِزَادٍ وراحلةٍ لِأَنَّهُ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الِاسْتِطَاعَةُ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” زَادٌ وَرَاحِلَةٌ ” وَالْوَجْهُ الْآخَرُ أَنْ يَكُونَ مَعْضُوبًا فِي بَدَنِهِ لَا يَقْدِرُ أَنْ يَثْبُتَ عَلَى مَرْكَبٍ بحالٍ وَهُوَ قادرٌ عَلَى مَنْ يُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَهُ أَنْ يَحُجَّ عَنْهُ بِطَاعَتِهِ لَهُ أَوْ مَنْ يَسْتَأْجِرُهُ فَيَكُونُ هَذَا مِمَّنْ لَزِمَهُ فرض الحج كما قدر ومعروف من لسان العرب أن يقول الرجل أنا مستطيع لأن أبني داري أو أخيط ثوبي يعني بالإجارة أو بمن يطيعني وروي عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً مَنْ خثعمٍ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ فِي الْحَجِّ عَلَى عِبَادِهِ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَمْسِكَ عَلَى رَاحِلَتِهِ فهل ترى أن أحج عنه؟ فقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” نعم ” فقالت يا رسول الله فهل ينفعه ذلك؟ فقال: ” نعم كما لو كان على أبيك دين فقضيته نفعه ” (قال الشافعي) فجعل النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قضاءها الحج عنه كقضائها الدين عنه فلا شيء أولى أن يجمع بينه مما جمع النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بينه وروي عن عطاء عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَبَّيْكَ عن شبرمة فقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إِنَ كُنْتَ حَجَجْتَ فَلَبِّ عَنْهُ وَإِلَّا فَاحْجُجْ ” وَرُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طالبٍ رَضِيَ اللَّهُ عنه أنه قال لشيخٍ كبيرٍ لم يحج إن شئت فجهز رجلاً يحج عنك “.

Masalah
 Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Kemampuan (istithā‘ah) ada dua bentuk:

Pertama, seseorang mampu dengan badannya dan memiliki harta yang cukup untuk menyampaikannya ke haji berupa bekal (zād) dan kendaraan (rāḥilah), karena telah disebutkan bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW: “Apakah kemampuan itu?” Maka Nabi SAW bersabda: “Bekal dan kendaraan.”

Bentuk kedua, seseorang yang lemah fisiknya, tidak sanggup untuk menetap di atas kendaraan dalam kondisi apa pun, namun ia mampu memerintah orang lain yang mau menaatinya agar berhaji untuknya, atau ia mampu menyewa orang untuk itu. Maka orang seperti ini termasuk yang terkena kewajiban haji karena ia memiliki kemampuan sesuai keadaannya.

Dan sudah dikenal dalam bahasa Arab bahwa seseorang berkata: “Aku mampu membangun rumahku” atau “menjahit bajuku” maksudnya dengan menyewa atau menyuruh orang lain.

Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās bahwa ada seorang perempuan dari Khath‘am berkata: “Wahai Rasulullah, kewajiban Allah atas hamba-Nya dalam ibadah haji telah datang, sedangkan ayahku adalah seorang lelaki tua renta yang tidak sanggup duduk di atas kendaraannya. Apakah engkau melihat aku boleh berhaji untuknya?” Maka Nabi SAW bersabda: “Ya.”
 Perempuan itu bertanya lagi: “Wahai Rasulullah, apakah itu bermanfaat untuk ayahku?” Nabi SAW menjawab: “Ya, sebagaimana jika ayahmu memiliki utang lalu engkau melunasinya, maka itu bermanfaat baginya.”
 (Asy-Syafi‘i berkata:) Maka Nabi SAW menjadikan pelunasan haji dari pihak anak seperti pelunasan utang, dan tidak ada yang lebih utama daripada menyatukan dua hal yang telah disatukan oleh Nabi SAW.

Juga diriwayatkan dari ‘Aṭā’, dari Rasulullah SAW bahwa beliau mendengar seorang lelaki berkata: “Labbaika ‘an Syubrumah (aku memenuhi panggilan haji atas nama Syubrumah),” maka Nabi SAW bersabda: “Jika engkau telah berhaji (untuk dirimu), maka berhajilah untuknya. Jika belum, maka berhajilah terlebih dahulu (untuk dirimu).”

Dan diriwayatkan dari ‘Alī bin Abī Ṭālib raḍiyallāhu ‘anhu bahwa beliau berkata kepada seorang lelaki tua yang belum berhaji: “Jika engkau mau, siapkanlah seseorang untuk berhaji atas namamu.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ أَوْجَبَ اللَّهُ تَعَالَى الْحَجَّ بِالِاسْتِطَاعَةِ، وَالِاسْتِطَاعَةُ تَنْقَسِمُ اثْنَيْ عَشَرَ قِسْمًا.
فَالْقِسْمُ الْأَوَّلُ مِنْهَا أَنْ يَكُونَ مُسْتَطِيعًا بِبَدَنِهِ وَمَالِهِ قَادِرًا عَلَى زَادٍ وَرَاحِلَةٍ وَاجِدًا لِنَفَقَتِهِ، وَنَفَقَةِ عِيَالِهِ فِي ذَهَابِهِ وَعَوْدِهِ مَعَ إِمْكَانِ الزَّمَانِ، وَانْقِطَاعِ الْمَوَانِعِ فَعَلَيْهِ الْحَجُّ إِجْمَاعًا، وَاعْتِبَارُ زَادِهِ وَرَاحِلَتِهِ عَلَى حَسَبِ حَالِهِ فِي قُوَّتِهِ وَضَعْفِهِ فَإِنِ اسْتَطَاعَ رُكُوبَ الرَّحْلِ وَالْقَتَبِ رَكِبَ، وَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ إِلَّا رُكُوبَ مَحْمَلٍ، أَوْ سَاقِطَةٍ كَانَ ذَلِكَ شَرْطًا فِي اسْتِطَاعَتِهِ.

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang telah disebutkan, bahwa Allah Ta‘ālā mewajibkan haji dengan syarat kemampuan (istithā‘ah), dan istithā‘ah terbagi menjadi dua belas macam.

Bagian pertama dari kemampuan adalah: seseorang mampu dengan badannya dan hartanya, sanggup menyediakan bekal dan kendaraan, memiliki nafkah untuk dirinya dan nafkah bagi keluarganya selama perjalanan pergi dan pulang, dengan waktu yang memungkinkan dan tanpa adanya halangan. Maka wajib atasnya haji secara ijmā‘.

Adapun pertimbangan tentang bekal dan kendaraan, disesuaikan dengan keadaannya, baik dalam hal kekuatan maupun kelemahannya. Jika ia mampu menaiki pelana biasa atau pelana unta, maka ia wajib menaikinya. Jika tidak mampu kecuali dengan tandu atau kendaraan khusus untuk orang lemah, maka hal tersebut menjadi syarat dalam kemampuan baginya.


فصل
: قال الشافعي.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُسْتَطِيعًا بِبَدَنِهِ قَادِرًا عَلَى الْمَشْيِ عَادِمًا لِلزَّادِ وَالرَّاحِلَةِ، فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْحَرَمِ، وَحَاضِرِيهِ الَّذِينَ بَيْنَهُمْ، وَبَيْنَ الْحَرَمِ دُونَ الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ، فَإِنْ وَجَدَ الزَّادَ، وَعَدِمَ الرَّاحِلَةَ، وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَجُّ، لِأَنَّهُ لَا مَشَقَّةَ تَلْحَقُهُ فِي مَشْيِ هَذِهِ الْمَسَافَةِ، فَصَارَ كَمَنْ سَمِعَ آذَانَ الْجُمُعَةِ يَلْزَمُهُ الْمَشْيُ إِلَيْهَا، وَإِنْ عَدِمَ الزَّادَ وَالرَّاحِلَةَ جَمِيعًا، فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ ذَا صَنْعَةٍ يَكْتَسِبُ بِهَا قَدْرَ كِفَايَتِهِ، وَكِفَايَةِ عِيَالِهِ، وَيَفْضُلُ لَهُ مَؤُونَةُ حَجِّهِ، فَعَلَيْهِ الْحَجُّ لِأَنَّهُ يَتَعَلَّقُ بِمَا فَضَلَ عَنِ الْكِفَايَةِ، وَقَدْ فَضَلَ.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يَكْتَسِبَ بِصَنْعَتِهِ قَدْرَ كِفَايَتِهِ، وَمَتَى اشْتَغَلَ بِالْحَجِّ أَضَرَّ بِعِيلَتِهِ فَلَا حَجَّ عَلَيْهِ، وَمَقَامُهُ عَلَى عِيَالِهِ أَولَى لقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” كَفَى الْمَرْءَ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ “.

PASAL
 Imam asy-Syāfi‘i berkata:

Golongan kedua adalah orang yang mampu dengan badannya, sanggup berjalan kaki, tetapi tidak memiliki bekal (zād) dan kendaraan (rāḥilah). Golongan ini terbagi dua:

Pertama, orang yang tinggal di wilayah ḥaram atau di sekitarnya yang jaraknya dari ḥaram kurang dari satu hari satu malam perjalanan. Jika ia memiliki bekal tetapi tidak memiliki kendaraan, maka wajib atasnya berhaji, karena tidak ada kesulitan yang menimpanya dengan berjalan sejauh jarak tersebut. Maka kedudukannya seperti orang yang mendengar azan Jumat, ia wajib berjalan menuju shalat Jumat.

Jika ia tidak memiliki bekal maupun kendaraan sekaligus, maka ia berada dalam dua keadaan:

Keadaan pertama: ia memiliki keahlian atau pekerjaan yang darinya ia dapat memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya, serta tersisa darinya biaya untuk haji, maka ia wajib haji karena kewajiban haji bergantung pada kelebihan dari kebutuhan pokok, dan ia memiliki kelebihan itu.

Keadaan kedua: ia tidak bisa memenuhi kebutuhan dirinya dari pekerjaannya, dan jika ia menyibukkan diri dengan haji maka akan memudaratkan keluarganya. Maka tidak wajib haji atasnya, dan tinggal bersama keluarganya lebih utama, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Cukuplah seseorang berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.”


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بَعِيدَ الدَّارِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْحَرَمِ مَسَافَةُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ وَأَكْثَرُ فَلَا حَجَّ عَلَيْهِ، وَهُوَ فِي الصَّحَابَةِ قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْعَبَّاسِ وَعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، وَفِي التَّابِعِينَ قَوْلُ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَفِي الْفُقَهَاءِ قَوْلُ أبي حنيفة وَالثَّوْرِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ وَقَالَ مَالِكٌ: عَلَيْهِ الْحَجُّ إِذَا كَانَ مُكْتَسِبًا إِمَّا بِصَنْعَةٍ، أَوْ مَسْأَلَةٍ، وَنَحْوِهِ عَنْ عِكْرِمَةَ وَابْنِ الزُّبَيْرِ تَعَلَّقَا، بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً) {الحج: 27) وَقُرِئَ رِجَّالًا مُشَدَّدًا أَيْ مُشَاةً، وَلَهُ يَأْتُوكَ مَعْنَاهُ لِيَأْتُوكَ رِجَالًا فَأَخْبَرَ بِإِيجَابِ الْحَجِّ عَلَى الْمُشَاةِ، وَالرُّكْبَانِ وَبِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ حَجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً) {آل عمران: 97) وَذَلِكَ عَلَى عُمُومِ الظَّاهِرِ فِي الِاسْتِطَاعَةِ، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ فَرْضٌ عَلَى الْأَبْدَانِ يَجِبُ عَلَى الْأَعْيَانِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ مِنْ شَرْطِ وُجُوبِهِ الْمَالُ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ، وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ حَجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً) {آل عمران: 97) وَفِيهَا دَلِيلَانِ.

dan jenis yang kedua: yaitu seseorang yang tinggal jauh, antara dia dan ḥaram terdapat jarak sehari semalam atau lebih, maka tidak wajib atasnya ḥajj. Ini adalah pendapat Ibn ‘Abbās dan ‘Umar bin al-Khaṭṭāb dari kalangan sahabat, serta pendapat Sa‘īd bin Jubayr dan al-Ḥasan al-Baṣrī dari kalangan tābi‘īn, dan dari kalangan fuqahā adalah pendapat Abū Ḥanīfah, ats-Tsaurī, Aḥmad, dan Isḥāq. Mālik berkata: wajib atasnya ḥajj jika ia memiliki penghasilan, baik dari pekerjaan, atau meminta, dan semisalnya. Pendapat ini juga diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Ibn az-Zubayr, mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘ālā: {dan serulah manusia untuk berhaji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki} (QS al-Ḥajj: 27). Dan dibaca rijjālan dengan tasydīd, yakni orang-orang yang berjalan kaki. Firman-Nya ya’tūka bermakna li-ya’tūka rijālan, yakni agar mereka datang kepadamu dengan berjalan kaki, maka ini menunjukkan diwajibkannya ḥajj atas orang-orang yang berjalan kaki dan berkendaraan. Dan juga dengan firman Allah Ta‘ālā: {Dan kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ḥajj ke Baitullah, bagi siapa yang mampu menempuh jalannya} (QS Āli ‘Imrān: 97). Ini berdasarkan keumuman lafaz zhāhir dalam ayat tentang kemampuan. Mereka berkata: karena ḥajj adalah kewajiban atas badan dan wajib ‘ain atas setiap individu, maka tidak semestinya menjadikan harta sebagai syarat wajibnya, sebagaimana shalat dan puasa. Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Dan kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ḥajj ke Baitullah, bagi siapa yang mampu menempuh jalannya} (QS Āli ‘Imrān: 97), dan dalam ayat ini terdapat dua dalil.


أَحَدُهُمَا: مِنْ جِهَةِ الِاسْتِنْبَاطِ.
وَالثَّانِي: مِنْ جِهَةِ الْبَيَانِ فَأَمَّا الِاسْتِنْبَاطُ فَهُوَ أَنَّ الْأَمْرَ بِالْعِبَادَةِ، إِذَا وَرَدَ مُطْلَقًا، كَانَتِ الْقُدْرَةُ عَلَى أَدَائِهَا شَرْطًا فِي وُجُوبِهَا، فَلَمَّا ضَمَّنَهَا اللَّهُ تَعَالَى بِالِاسْتِطَاعَةِ، قَدْ عَلَّمَنَا أَنَّ وُجُوبَهَا عَلَى غَيْرِ مُسْتَطِيعٍ، لَا يَجُوزُ دَلَّ عَلَى أَنَّ انْضِمَامَ ذَلِكَ لِفَائِدَةٍ، وَهُوَ الزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ، وَأَمَّا الْبَيَانُ، فَهُوَ مَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: لَمَّا نَزَلَ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ حَجُّ الْبَيْتِ) {آل عمران: 97) قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: مَا السَّبِيلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ: زادٌ وَرَاحِلَةٌ فَصَارَ هَذَا بَيَانًا مِنْهُ لِجُمْلَةِ الِاسْتِطَاعَةِ، فَإِنْ قِيلَ: إِنَّمَا سَأَلَ الرَّجُلُ عَنِ اسْتِطَاعَةِ نَفْسِهِ قِيلَ لَفْظَةُ السُّؤَالِ تَمْنَعُ مِنْ هَذَا التَّأْوِيلِ، لِأَنَّهُ قَالَ مَا الِاسْتِطَاعَةُ فَسَأَلَ بِالْأَلِفِ وَاللَّامِ، فَذَلِكَ إِشَارَةٌ إِلَى مَعْهُودٍ أَوْ مَذْكُورٍ وَالْمَذْكُورُ مَا فِي الْآيَةِ، وَالْمَعْهُودُ اسْتِطَاعَةُ كُلِّ النَّاسِ فَسَقَطَ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِالسُّؤَالِ اسْتِطَاعَةَ السَّائِلِ، وَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ وَابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” السَّبِيلُ الزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ ” فَكَانَ هَذَا بَيَانًا لِحُكْمِ الْآيَةِ مِنْ غَيْرِ سُؤَالٍ، وَرُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِنِ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: من وجد زاد وَرَاحِلَةً، وَأَمْكَنَهُ الْحَجُّ فَلَمْ يَفْعَلْ فَلْيَمُتْ إِنْ شَاءَ يَهُودِيًّا أَوْ نَصْرَانِيًّا فَلَمَّا عَلَّقَ الْوَعِيدَ بِالزَّادِ وَالرَّاحِلَةِ، عُلِمَ أَنَّهُ شَرْطٌ فِي الْوُجُوبِ وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَامَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ لَهُ مَا يُوجِبُ الْحَجَّ فَقَالَ: الزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ وَهَذَا نَصٌّ صَرِيحٌ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَتَعَلَّقُ بِقَطْعِ مَسَافَةٍ بَعِيدَةٍ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ شَرْطًا فِي وُجُوبِهَا كَالْجِهَادِ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: {يَأْتُوكَ رِجَالاً) {الحج: 97) فَقِرَاءَةٌ شَاذَّةٌ غَيْرُ مَشْهُورَةٍ، وَقِرَاءَةُ الْجَمَاعَةِ رِجَالًا، بِالتَّخْفِيفِ عَلَى أَنَّهُ يُحْمَلُ عَلَى أَهْلِ مَكَّةَ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الصَّلَاةِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَا يَتَعَلَّقُ بِقَطْعِ مَسَافَةٍ بَعِيدَةٍ.

Pertama: dari sisi istinbāṭ (penggalian hukum).
 Kedua: dari sisi bayan (penjelasan).

Adapun sisi istinbāṭ, maka perintah ibadah apabila datang secara mutlak, maka kemampuan untuk melaksanakannya menjadi syarat bagi kewajibannya. Maka ketika Allah Ta‘ala menyandingkannya dengan istithā‘ah (kemampuan), Dia mengajari kita bahwa kewajiban ibadah itu tidak berlaku atas orang yang tidak mampu. Hal ini menunjukkan bahwa penyandingan itu bertujuan memberikan faedah, yaitu: bekal (zād) dan kendaraan (rāḥilah).

Adapun sisi bayan, maka disebutkan dalam riwayat dari Ibn ‘Umar, bahwa ketika turun firman Allah Ta‘ala: {Dan bagi Allah atas manusia kewajiban berhaji ke Baitullah} (QS Āli ‘Imrān: 97), berdirilah seorang lelaki lalu berkata: “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud ‘sabil’ itu?” Maka Rasulullah SAW menjawab: “Bekal dan kendaraan.” Maka ini menjadi penjelasan dari beliau atas makna istithā‘ah secara global.

Jika ada yang berkata: “Lelaki itu hanya bertanya tentang kemampuan dirinya,” maka dijawab: redaksi pertanyaannya menolak penafsiran itu, karena ia bertanya dengan lafaz al-istithā‘ah yang memakai alif-lām, yang menunjukkan makna sesuatu yang telah dikenal atau disebut sebelumnya. Sedangkan yang disebut sebelumnya adalah ayat, dan yang dikenal adalah kemampuan seluruh manusia. Maka gugurlah anggapan bahwa yang dimaksud dalam pertanyaan adalah kemampuan pribadi si penanya.

Diriwayatkan pula dari ‘Ā’isyah dan Ibn Mas‘ūd raḍiyallāhu ‘anhumā bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Yang dimaksud dengan ‘sabil’ adalah bekal dan kendaraan.” Maka ini merupakan penjelasan atas hukum ayat tanpa pertanyaan. Dan diriwayatkan dari ‘Alī bin Abī Ṭālib ‘alayhis-salām bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa memiliki bekal dan kendaraan dan memungkinkan baginya untuk berhaji lalu ia tidak melaksanakannya, maka hendaklah ia mati jika ia mau sebagai Yahudi atau Nasrani.” Maka ketika ancaman itu dikaitkan dengan bekal dan kendaraan, diketahui bahwa keduanya merupakan syarat wajibnya haji.

Muhammad bin ‘Abbād bin Ja‘far meriwayatkan dari Ibn ‘Umar, ia berkata: Seorang lelaki berdiri di hadapan Nabi SAW lalu berkata kepadanya: “Apa yang mewajibkan haji?” Maka beliau menjawab: “Bekal dan kendaraan.” Ini adalah nash yang jelas.

Dan karena haji adalah ibadah yang berkaitan dengan menempuh perjalanan jauh, maka wajib menjadikan bekal dan kendaraan sebagai syarat dalam kewajibannya, sebagaimana dalam jihad.

Adapun jawaban atas firman Allah: {mereka datang kepadamu dengan berjalan kaki} (QS al-Ḥajj: 27), maka itu adalah qirā’ah syādzdzah yang tidak masyhur. Sedangkan qirā’ah yang dipegang jumhur (umat Islam) adalah rijālan dengan takhfīf (tanpa tasydīd), yang dibawa maknanya kepada penduduk Makkah.

Adapun qiyās (analogi) yang menyamakan haji dengan shalat, maka makna dalam shalat adalah bahwa ia tidak terkait dengan perjalanan jauh.


فَصْلٌ
: وَالِاسْتِطَاعَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ مُسْتَطِيعًا بِمَالِهِ مَعْضُوبًا فِي بَدَنِهِ لَا يَقْدِرُ أَنْ يَثْبُتَ عَلَى مَرْكَبٍ لِضَعْفِهِ وَزَمَانَتِهِ فَفَرْضُ الْحَجِّ عَلَيْهِ وَاجِبٌ، وَعَلَيْهِ أَنْ يَسْتَأْجِرَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ، إِذَا كَانَ فَرْضُهُ غَيْرَ مَرْجُوٍّ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَمِنَ التَّابِعِينَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الثَّوْرِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَقَالَ أبو حنيفة إِنْ قَدَرَ عَلَى الْحَجِّ قَبْلَ زَمَانَتِهِ لَزِمَهُ الْحَجُّ، وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهِ، وَقَالَ مَالِكٌ لَا حَجَّ عَلَيْهِ بِحَالٍ وَلَا يَجُوزُ، أَنْ يَسْتَأْجِرَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ فِي حَالِ حَيَاتِهِ، فَإِنْ أَوْصَى أَنْ يُحَجَّ عَنْهُ بَعْدَ وَفَاتِهِ جَازَ، وَاسْتَدَلَّ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَنْ لَيْسَ للإِنْسَانِ إلاَّ مَا سَعَى) {النجم: 39) وَفِعْلُ غَيْرِهِ لَيْسَ مِنْ سَعْيِهِ، وَبُقُولِهِ تَعَالَى: {وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ حَجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً) {آل عمران: 97) وَالْمَعْضُوبُ لَا يَسْتَطِيعُ السَّبِيلَ إِلَيْهِ، قَالَ: وَلِأَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ لَا تَصِحُّ النِّيَابَةُ فِيهَا مَعَ الْقُدْرَةِ لَا تَصِحُّ النِّيَابَةُ فِيهَا مَعَ الْعَجْزِ كَالصِّيَامِ وَالصَّلَاةِ وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلًا قَامَ عِنْدَ نُزُولِ قَوْله تَعَالَى: {وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ حَجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً) {آل عمران: 97) فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا السَّبِيلُ؟ فَقَالَ زادٌ وراحلةٌ فَصَارَ وُجُوبُ الْحَجِّ مُتَعَلِّقًا بِوُجُودِ الزَّادِ وَالرَّاحِلَةِ.

PASAL
 Kemampuan ketiga: yaitu seseorang yang memiliki kemampuan dari sisi hartanya, namun tubuhnya lemah dan tidak mampu menetap di atas kendaraan karena kelemahan dan penyakitnya. Maka kewajiban haji tetap wajib atasnya, dan ia wajib menyewa orang yang berhaji atas namanya, jika ia tidak diharapkan sembuh.

Pendapat ini dikatakan oleh sahabat ‘Alī bin Abī Ṭālib ‘alayhis-salām, dari kalangan tābi‘īn al-Ḥasan al-Baṣrī raḥimahullāh, dan dari para fuqahā’: ats-Tsaurī, Aḥmad, dan Isḥāq.

Adapun Abū Ḥanīfah berkata: “Jika ia pernah mampu berhaji sebelum mengalami kelemahan, maka wajib atasnya haji. Namun jika ia belum pernah mampu sebelumnya, maka tidak wajib.”

Mālik berkata: “Tidak ada kewajiban haji atasnya dalam keadaan apa pun, dan tidak sah baginya untuk menyewa orang yang berhaji atas namanya semasa hidupnya. Namun jika ia berwasiat agar dihajikan setelah wafatnya, maka hal itu boleh.”

Mālik berdalil dengan firman Allah Ta‘ala:
 {Dan bahwa manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya} (QS an-Najm: 39),
 dan perbuatan orang lain bukanlah dari usahanya.

Juga dengan firman Allah Ta‘ala:
 {Dan bagi Allah atas manusia kewajiban berhaji ke Baitullah bagi siapa yang mampu menempuhnya} (QS Āli ‘Imrān: 97),
 padahal orang yang lemah tidak mampu menempuh jalan ke sana.

Ia berkata: “Karena setiap ibadah yang tidak sah digantikan (diniyabatkan) oleh orang lain ketika mampu, maka tidak sah pula digantikan saat tidak mampu, seperti puasa dan shalat.”

Adapun dalil kami adalah riwayat dari Ibn ‘Umar, bahwa seorang lelaki berdiri ketika turun firman Allah Ta‘ala:
 {Dan bagi Allah atas manusia kewajiban berhaji ke Baitullah bagi siapa yang mampu menempuhnya} (QS Āli ‘Imrān: 97),
 lalu ia berkata: “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan ‘sabil’ (kemampuan)?” Maka Rasulullah SAW bersabda:
 “Bekal dan kendaraan.”
 Maka kewajiban haji itu tergantung pada adanya bekal dan kendaraan.


وَرَوَى سَلْمَانُ بْنُ يَسَارٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً مَنْ خَثْعَمٍ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ فِي الْحَجِّ عَلَى عِبَادِهِ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَمْسِكَ عَلَى الرَّاحِلَةِ فَهَلْ تَرَى أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ، قال: نعم قالت: أو ينفعه ذَاكَ، فَقَالَ أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِهِ أَكَانَ يَنْفَعُهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ قَالَ: فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ دَلِيلٌ عَلَى وُجُوبِ الْحَجِّ عَلَيْهِ، وَعَلَى جَوَازِ النِّيَابَةِ عَنْهُ وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ يَجِبُ بِإِفْسَادِهَا الْكَفَّارَةُ، فَوَجَبَ أَنْ يَجِبَ عَلَى الْمَعْضُوبِ كَالصِّيَامِ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى: {وَأَنْ لَيْسَ للإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى) {النجم: 39) فَقَدْ وَجَدَ مِنَ الْمَعْضُوبِ السَّعْيَ، وَهُوَ بَذْلُ الْمَالِ، وَالِاسْتِئْجَارُ، وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الصَّلَاةِ، فَالْمَعْنَى فِيهَا: أَنَّهَا لَا تَدْخُلُهَا النِّيَابَةُ بِحَالٍ.

Diriwayatkan oleh Salmān bin Yasār dari Ibn ‘Abbās bahwa seorang perempuan dari Khath‘am berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban Allah dalam ḥajj atas hamba-hamba-Nya telah datang kepada ayahku, sementara dia adalah seorang laki-laki tua renta yang tidak mampu bertahan di atas kendaraan. Apakah engkau melihat aku boleh berhaji untuknya?” Nabi SAW bersabda: “Ya.” Ia bertanya lagi: “Apakah hal itu bermanfaat baginya?” Beliau menjawab: “Bagaimana pendapatmu jika ayahmu memiliki utang lalu engkau melunasinya, apakah itu bermanfaat baginya?” Ia menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Maka utang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.”

Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa ḥajj tetap wajib atasnya, dan dibolehkan melaksanakan niyābah darinya. Karena ḥajj adalah ibadah yang mewajibkan kafārah jika dirusak, maka wajib atas orang yang ma‘ḍūb sebagaimana puasa. Adapun jawaban atas firman Allah Ta‘ālā: {dan bahwa manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya} (QS an-Najm: 39), maka sungguh orang yang ma‘ḍūb telah melakukan usaha, yaitu dengan mengeluarkan harta dan menyewa orang. Adapun qiyās terhadap shalat, maka maksudnya: shalat tidak menerima niyābah dalam kondisi apa pun.


فَصْلٌ
: وَالِاسْتِطَاعَةُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مُسْتَطِيعٍ بِمَالِهِ وَبَدَنِهِ لِفَقْرِهِ وَزَمَانَتِهِ لَكِنْ يَجِدُ مَنْ يَبْذُلُ لَهُ الطَّاعَةَ، وَيَنُوبُ عَنْهُ فِي الْحَجِّ فَهَذَا فِي حُكْمِ مَنْ قَبْلَهُ فِي وُجُوبِ الْحَجِّ عَلَيْهِ.

PASAL
 Kemampuan keempat: yaitu seseorang yang tidak mampu dengan hartanya maupun badannya karena fakir dan sakit yang menetap, namun ia menemukan orang yang bersedia secara suka rela untuk mentaatinya dan menggantikannya dalam menunaikan haji. Maka orang ini hukumnya seperti orang sebelumnya dalam hal wajibnya haji atasnya.


قَالَ مَالِكٌ وأبو حنيفة: لَا حَجَّ عَلَيْهِ تَعَلُّقًا بقوله، – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” السُّبِيلُ زادٌ وراحلةٌ ” وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ عَلَى الْبَدَنِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا تَلْزَمَ بِبَذْلِ طَاعَةِ الْغَيْرِ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ، وَلِأَنَّ الْعِبَادَةَ ضَرْبَانِ مِنْهَا مَا يَتَعَلَّقُ بِالْأَبْدَانِ، فَيَجِبُ بِالْقُدْرَةِ عَلَيْهَا بِالْبَدَنِ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَمِنْهَا مَا يَتَعَلَّقُ بِالْأَمْوَالِ، فَيُعْتَبَرُ فِي وُجُوبِهَا مِلْكُ الْمَالِ كَالزَّكَاةِ فَأَمَّا أَنْ تَجِبَ عِبَادَةٌ بِبَذْلِ الطَّاعَةِ فَغَيْرُ مَوْجُودٍ فِي الْأُصُولِ، وَدَلِيلُنَا مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ حَدِيثِ الْخَثْعَمِيَّةِ، وَوَجْهُ الدَّلَالَةِ مِنْهُ هُوَ أَنَّهَا بَذَلَتِ الطَّاعَةَ لِأَبِيهَا وَأَمَرَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِالْحَجِّ عَنْهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ جَرَى لِلْمَالِ ذِكْرٌ، عَلَى أَنَّ الْفَرْضَ، وَجَبَ بِبَذْلِ الطَّاعَةِ، لِأَنَّهُ السَّبَبُ الْمَنْقُولُ وَرَوَى عَمْرُو بْنُ أَوْسٍ عَنْ أَبِي رَزِينٍ أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِي شيخٌ كبيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلَا الْعُمْرَةَ وَلَا الظَّعْنَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حج عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ فَأَوْجَبَ عَلَيْهِ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ عَنْ أَبِيهِ، وَلَا يَلْزَمُهُ ذَلِكَ عَنْ أَبِيهِ إِلَّا بِبَذْلِ الطَّاعَةِ لَهُ، فَإِنْ قِيلَ: فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْأَبُ موسراُ فَلَزِمَهُ الْفَرْضُ بِيَسَارِهِ، لَا بِابْنِهِ قِيلَ الْفَرْضُ بِالْيَسَارِ، لَا يَتَوَجَّهُ إِلَى الِابْنِ وَإِنَّمَا يَتَوَجَّهُ إِلَى الْأَبِ وَرَوَى ابْنُ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ إِنَّ أُمِّي أَسْلَمَتْ وَهِيَ كبيرةٌ لَا تَسْتَمْسِكُ عَلَى الرَّاحِلَةِ فَأَمَرَهُ أَنْ يَحُجَّ عَنْهَا وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَزِمَهُ الْحَجُّ نَذْرًا جَازَ أَنْ يَلْزَمَهُ الْحَجُّ فَرْضًا كَالْمَعْضُوبِ الْمُوسِرِ، وَلِأَنَّهُ قَادِرٌ عَلَى فِعْلِ الْحَجِّ عَنْ نَفْسِهِ فَوَجَبَ، أَنْ يَلْزَمَهُ فَرْضُهُ كَالْقَادِرِ عَلَيْهِ بِنَفْسِهِ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” السَّبِيلُ زادٌ وراحلةٌ ” فَالْمُرَادُ بِهِ مَنِ اسْتَطَاعَ زَادًا وَرَاحِلَةً، وَهُوَ بِطَاعَةِ الْغَيْرِ لَهُ مُسْتَطِيعٌ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الصَّلَاةِ فَنَقُولُ بِمُوجَبِهِ لِأَنَّهُمْ قَالُوا فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ بِبَذْلِ الطَّاعَةِ، وَنَحْنُ نقول لا يلزمه بذل الطَّاعَةِ، وَإِنَّمَا يَلْزَمُهُ بِالِاسْتِطَاعَةِ، عَلَى أَنَّ الْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ مِمَّا لَا تَصِحُّ النِّيَابَةُ فِيهِ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ الْعِبَادَاتِ ضَرْبَانِ فَبَاطِلٌ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ لِأَنَّهَا مِنْ عِبَادَاتِ الْأَبْدَانِ، ثُمَّ تَجِبُ على الغير، وتبطل أيضاً بِالدِّيَةِ عَلَى الْعَاقِلَةِ.

Berkata Mālik dan Abū Ḥanīfah: tidak wajib ḥajj atasnya, dengan berdalil pada sabda Nabi SAW: “as-sabīl adalah bekal dan kendaraan,” dan karena ḥajj adalah ibadah yang terkait dengan badan, maka seharusnya tidak diwajibkan dengan pengorbanan ketaatan orang lain, sebagaimana shalat dan puasa. Juga karena ibadah itu terbagi dua: ada yang berkaitan dengan badan, maka kewajibannya bergantung pada kemampuan fisik, seperti shalat dan puasa; dan ada yang berkaitan dengan harta, maka kewajibannya bergantung pada kepemilikan harta, seperti zakat. Maka tidak ditemukan adanya ibadah yang wajib dengan pengorbanan ketaatan orang lain dalam pokok-pokok syariat.

Adapun dalil kami adalah apa yang telah kami sebutkan dari hadis perempuan Khath‘āmiyyah, dan sisi pendalilannya adalah bahwa dia menawarkan ketaatan kepada ayahnya, lalu Rasulullah SAW memerintahkannya untuk menghajikan ayahnya, tanpa ada penyebutan harta, yang menunjukkan bahwa kewajiban itu terjadi dengan pengorbanan ketaatan, karena itulah sebab yang disebutkan.

Diriwayatkan pula oleh ‘Amr bin Aws dari Abū Razīn bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku adalah seorang yang sangat tua, tidak mampu melaksanakan ḥajj, ‘umrah, dan bepergian.” Maka Nabi SAW bersabda: “Hajikanlah untuk ayahmu dan ‘umrahkanlah.” Maka Nabi SAW mewajibkan ḥajj dan ‘umrah atas ayahnya melalui dirinya, dan tidaklah itu diwajibkan kecuali dengan pengorbanan ketaatan darinya.

Jika dikatakan: bisa jadi ayahnya adalah orang yang mampu secara harta, maka kewajiban ḥajj itu disebabkan oleh kekayaannya, bukan karena anaknya — maka dijawab: kewajiban karena kekayaan itu tidak dibebankan kepada anaknya, melainkan kepada ayahnya sendiri.

Diriwayatkan pula oleh Ibn Sīrīn dari Abū Hurairah bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Sesungguhnya ibuku telah masuk Islam dalam keadaan tua renta dan tidak bisa duduk tegak di atas kendaraan.” Maka beliau memerintahkannya untuk menghajikannya.

Dan karena siapa saja yang diwajibkan atasnya ḥajj karena nadzar, maka boleh juga diwajibkan atasnya ḥajj fardhu, seperti orang ma‘ḍūb yang kaya. Dan karena dia mampu untuk melaksanakan ḥajj melalui perwakilan dari dirinya, maka wajib atasnya ḥajj, sebagaimana orang yang mampu melakukannya sendiri.

Adapun jawaban terhadap sabda Nabi SAW: “as-sabīl adalah bekal dan kendaraan,” maka maksudnya adalah siapa saja yang mampu memiliki bekal dan kendaraan — dan ini bisa diperoleh melalui ketaatan orang lain, sehingga dia dianggap mampu.

Adapun qiyās mereka terhadap shalat, maka kami terima konsekuensinya — karena mereka berkata: maka tidak wajib dengan pengorbanan ketaatan. Kami katakan: memang tidak wajib dengan pengorbanan ketaatan, melainkan wajib dengan kemampuan, sedangkan maknanya adalah bahwa shalat termasuk hal yang tidak sah dilakukan melalui niyābah (perwakilan).

Adapun perkataan mereka bahwa ibadah terbagi dua, maka itu tertolak oleh zakat fitri, karena ia termasuk ibadah badaniyyah, tetapi tetap wajib atas orang lain. Ini juga tertolak oleh kewajiban diyah atas ‘āqilah.


فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ الْحَجَّ لَهُ لَازِمٌ بِبَذْلِ الطَّاعَةِ، فَإِنَّ ذَلِكَ مُعْتَبَرٌ بِأَرْبَعِ شَرَائِطَ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الْبَاذِلُ مِنْ أَهْلِ الْحَجِّ فَيَجْمَعُ الْبُلُوغَ وَالْحُرِّيَّةَ وَالْإِسْلَامَ، لِأَنَّ مَنْ لَا يَصِحُّ مِنْهُ أَدَاءُ الْحَجِّ عَنْ نَفْسِهِ لَا تَصِحُّ النِّيَابَةُ فِيهِ عَنْ غَيْرِهِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَدْ أَدَّى فَرْضَ الْحَجِّ عَنْ نَفْسِهِ لِتَصِحَّ النِّيَابَةُ عَنْ غَيْرِهِ.

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa haji wajib atas seseorang karena adanya orang yang bersedia secara suka rela menunaikannya (bādzil al-ṭā‘ah), maka hal itu tergantung pada empat syarat:

Pertama: orang yang membadalkan harus termasuk orang yang sah melaksanakan haji, yakni mencakup syarat baligh, merdeka, dan muslim. Karena siapa pun yang tidak sah hajinya untuk dirinya sendiri, maka tidak sah pula ia mewakili orang lain dalam menunaikannya.

Kedua: ia harus sudah menunaikan haji fardunya untuk dirinya sendiri agar sah menggantikan orang lain.


وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ وَاجِدًا لِلزَّادِ وَالرَّاحِلَةِ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ ذَلِكَ مُعْتَبَرًا فِي الْمَبْذُولِ لَهُ كَانَ اعْتِبَارُهُ فِي الْبَاذِلِ أَوْلَى إِذْ لَيْسَ حَالُ الْبَاذِلِ أَوْكَدَ مِنَ الْتِزَامِ الْفَرْضِ مِنَ الْمَبْذُولِ لَهُ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ لَمْ يَعْتَبِرْ هَذَا الشَّرْطَ فِي بَلَدِهِ لِلطَّاعَةِ، وَإِنِ اعْتَبَرَهُ فِي فَرْضِ نَفْسِهِ، لِأَنَّ الْتِزَامَ الطَّاعَةِ بِاخْتِيَارِهِ، فَصَارَ كَحَجِّ النَّذْرِ، وَخَالَفَ بِهِمَا ابْتِدَاءً الْفَرْضَ.

dan yang ketiga: bahwa ia (orang yang membadalkan) memiliki bekal dan kendaraan. Karena apabila hal itu dipertimbangkan pada orang yang dibadalkan, maka mempertimbangkannya pada orang yang membadalkan lebih utama, sebab keadaan orang yang membadalkan tidak lebih kuat daripada kewajiban fardhu yang dibebankan kepada orang yang dibadalkan.

Sebagian dari kalangan kami tidak mensyaratkan hal ini (yakni bekal dan kendaraan) di negerinya bagi orang yang ingin menaati (dengan membadalkan), meskipun ia mensyaratkannya untuk kewajiban atas dirinya sendiri. Karena pengikatan diri dalam ketaatan itu atas pilihannya sendiri, maka keadaannya seperti ḥajj nadzar, dan keduanya berbeda dari fardhu asalnya sejak awal.


وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الْمَبْذُولُ لَهُ وَاثِقًا بِطَاعَةِ الْبَاذِلِ، عَالِمًا أَنَّهُ مَتَى أَمَرَهُ بِالْحَجِّ امْتَثَلَ أَمْرَهُ، لِأَنَّ قُدْرَةَ الْبَاذِلِ قَدْ أُقِيمَتْ مَقَامَ قُدْرَتِهِ فَافْتَقَرَ إِلَى الثِّقَةِ بِطَاعَتِهِ، فَأَمَّا إِنْ كَانَ ذَلِكَ عَرَضًا لَا يُوثَقُ بِهِ فَلَا يَلْزَمُ، فَإِذَا اجْتَمَعَتْ هَذِهِ الشَّرَائِطُ الْأَرْبَعَةُ نُظِرَ حِينَئِذٍ فِي الْبَاذِلِ فَإِنْ كَانَ مِنْ وَالِدَيْهِ أَبًا أَوْ أُمًّا أَوْ مَوْلُودٍ بِهِ ابْنًا أَوْ بِنْتًا فَقَدْ لَزِمَهُ الْفَرْضُ بِبَذْلِهِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ وَلَدٍ وَلَا وَالِدٍ فَفِي لُزُومِ الْفَرْضِ بِبَذْلِهِ وَجْهَانِ:

PASAL
 Syarat keempat: orang yang diberi badal harus merasa yakin terhadap ketaatan orang yang membadalkan, dan mengetahui bahwa kapan pun ia memerintahkannya untuk berhaji, ia akan melaksanakan perintahnya. Karena kemampuan orang yang membadalkan telah diposisikan sebagai pengganti kemampuan orang yang diwakili, maka dibutuhkan adanya kepercayaan terhadap ketaatannya.

Adapun jika itu hanya kebetulan semata yang tidak bisa dipercaya, maka tidak wajib (baginya haji).

Apabila telah terkumpul empat syarat ini, maka dilihat keadaan orang yang membadalkan:
 Jika ia berasal dari orang tuanya — ayah atau ibu — atau dari anaknya — anak laki-laki atau perempuan — maka wajiblah haji atasnya karena adanya badal dari mereka.

Namun jika orang yang membadalkan bukan anak atau orang tua, maka dalam hal wajibnya haji dengan adanya badal tersebut terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الصَّحِيحُ وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي ” الإملاء ” والمبسوط، أَنَّهُ كَالْوَلَدِ فِي لُزُومِ الْفَرْضِ بِبَذْلِ طَاعَتِهِ، لِكَوْنِهِ مُسْتَطِيعًا لِلْحَجِّ فِي الْحَالَيْنِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْفَرْضَ لَا يَلْزَمُ بِبَذْلِ غَيْرِ وَلَدِهِ لما يلحقه من. . فِي قَبُولِهِ، وَلِأَنَّ حُكْمَ الْوَالِدِ مُخَالِفٌ لِغَيْرِهِ فِي الْقِصَّاصِ وَحَدِّ الْقَذْفِ، وَالرُّجُوعِ فِي الْهِبَةِ مُخَالِفٌ غَيْرَهُ فِي بَذْلِ الطَّاعَةِ وَهَذَا الْقَوْلُ اعْتِذَارٌ وَتَقْرِيبٌ خَارِجٌ عَنْ مَعْنَى الْأَصْلِ.

Pertama: dan inilah yang ṣaḥīḥ serta telah ditegaskan oleh asy-Syāfi‘ī dalam al-Imlā’ dan al-Mabsūṭ, bahwa ia seperti anak dalam wajibnya fardhu dengan pengorbanan ketaatannya, karena ia dianggap mampu melaksanakan ḥajj dalam kedua keadaan.

Pendapat kedua: bahwa fardhu tidak wajib dengan pengorbanan selain anaknya, karena terdapat sesuatu yang memberatkannya dalam menerima hal itu, dan karena hukum orang tua berbeda dengan selainnya dalam hal qiṣāṣ, ḥadd qazaf, dan dalam penarikan kembali hibah, maka ia juga berbeda dari selainnya dalam pengorbanan ketaatan. Dan pendapat ini hanyalah alasan dan pendekatan yang keluar dari makna pokok asal masalah.


فَصْلٌ
: فَإِذَا كَمُلَتِ الشَّرَائِطُ الَّتِي يَلْزَمُ بِهَا فَرْضُ الْحَجِّ بِبَذْلِ الطَّاعَةِ، فَعَلَى الْمَبْذُولِ لَهُ الطَّاعَةُ أَنْ يَأْذَنَ لِلْبَاذِلِ أَنْ يَحُجَّ عَنْهُ، بِوُجُوبِ الْفَرْضِ عَلَيْهِ إِذَا أَذِنَ لَهُ، وَقَبِلَ الْبَاذِلُ إِذْنَهُ، فَقَدْ لَزِمَهُ أَنْ يَحُجَّ عَنْهُ مَتَى شَاءَ، وَلَيْسَ لَهُ الرُّجُوعُ بَعْدَ الْقَبُولِ، فَإِنْ قِيلَ: فَبَذْلُهُ لِلطَّاعَةِ وَقَبُولُهُ لِلْإِذْنِ جَارٍ مَجْرَى الْهِبَةِ قَبْلَ الْقَبْضِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مُخَيَّرًا فِي الرُّجُوعِ قَبْلَ الْإِحْرَامِ، قِيلَ: قَدْ ذَهَبَ إِلَى هَذَا بَعْضُ أَصْحَابِنَا الْبَصْرِيِّينَ، وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ لِأَنَّ بَذْلَهُ لِلطَّاعَةِ قَدْ أَلْزَمَ غَيْرَهُ فَرْضًا لَمْ يَكُنْ، وَفِي رُجُوعِهِ إِسْقَاطٌ لِلْفَرْضِ قَبْلَ أَدَائِهِ، وَلَا يَجُوزُ إِسْقَاطُ الْفَرْضِ بَعْدَ وُجُوبِهِ إِلَّا بِأَدَائِهِ، فَلِذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ بَعْدَ الْبَذْلِ وَالْقَبُولِ، وَلَيْسَتِ الْهِبَةُ مِنْ هَذَا السَّبِيلِ عَلَى أَنَّ قَبُولَهُ الْإِذْنَ بَعْدَ الْبَذْلِ يَجْرِي مَجْرَى الْهِبَةِ بَعْدَ الْقَبْضِ فَإِنْ قِيلَ: فَلَوْ بَذَلَ الْمَاءَ لِغَيْرِهِ فِي السَّفَرِ عِنْدَ عَدَمِهِ، لَمْ يَلْزَمْهُ إِقْبَاضُهُ وَجَازَ لَهُ الرُّجُوعُ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ قَدْ أَلْزَمَ غَيْرَهُ فَرْضًا بِبَذْلِهِ فَهَلَّا كَانَ فِي بَذْلِ الْحَجِّ كَذَلِكَ، قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا، مِنْ وَجْهَيْنِ:

PASAL
 Apabila telah sempurna seluruh syarat yang mewajibkan haji karena adanya orang yang bersedia menggantikan (bādzil al-ṭā‘ah), maka wajib atas orang yang diberi badal untuk memberi izin kepada orang yang membadalkan agar berhaji atas namanya. Dengan izin itu, haji menjadi wajib atas dirinya.

Apabila ia telah memberi izin dan si pembadalan menerima izin itu, maka telah wajib atasnya untuk berhaji atas nama orang tersebut kapan pun ia mau, dan ia tidak boleh menarik kembali niatnya setelah menerima (izin tersebut).

Jika ada yang mengatakan: “Bukankah pemberian izin ini seperti hibah sebelum diterima, maka seharusnya ia boleh menariknya kembali sebelum iḥrām?” Maka dijawab: sebagian dari kalangan kami, yaitu ulama Baṣrah, memang ada yang berpendapat demikian, namun pendapat itu tidak benar.

Sebab, pemberian izin ini telah menjadikan orang lain terbebani kewajiban (fardhu) yang sebelumnya tidak wajib atasnya. Maka jika ia menarik kembali (izin), berarti ia menggugurkan kewajiban tersebut sebelum dilaksanakan, dan tidak boleh menggugurkan kewajiban setelah ia wajib, kecuali dengan melaksanakannya. Karena itu, tidak sah menarik kembali setelah terjadi pemberian izin dan penerimaan izin.

Hibah tidak sama dalam kasus ini. Bahkan, penerimaan izin setelah adanya pemberian izin ini seperti hibah yang telah diterima (ba‘da al-qabḍ).

Jika ada yang bertanya: “Bagaimana bila seseorang memberikan air kepada orang lain dalam perjalanan ketika air sedang tidak tersedia? Bukankah ia tidak wajib memberikan air itu dan boleh menariknya kembali, meskipun dengan pemberiannya itu ia telah mewajibkan orang lain untuk berwudhu atau mandi, mengapa dalam haji tidak diperlakukan sama seperti itu?”

Maka dijawab: perbedaan antara keduanya dari dua sisi:


أَحَدُهُمَا: أَنَّ بَذْلَ الْمَاءِ لَيْسَ بِمُوجِبٍ لِفَرْضِ الطَّهَارَةِ، وَإِنَّمَا غَيَّرَ صِفَةَ الْأَدَاءِ وَبَذْلُ الْحَجِّ أَوْجَبَ فَرْضَهُ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَبْذُولَ لَهُ الْمَاءُ يَرْجِعُ إِلَى بذل يَقُومُ مَقَامَ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ، وَهُوَ التَّيَمُّمُ وَلَيْسَ لِلْحَجِّ بَدَلٌ يَرْجِعُ إِلَيْهِ الْمَبْذُولُ لَهُ، فَافْتَرَقَا مِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا فَعَلَى الْمَبْذُولِ لَهُ أَنْ يَأْذَنَ، وَعَلَى الْبَاذِلِ أَنْ يَحُجَّ فَإِنِ امْتَنَعَ الْمَبْذُولُ لَهُ مِنَ الْإِذْنِ، فَهَلْ يَقُومُ الْحَاكِمُ مَقَامَهُ فِي الْإِذْنِ لِلْبَاذِلِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pertama: bahwa memberikan air tidak mewajibkan fardhu ṭahārah, melainkan hanya mengubah sifat pelaksanaan, sedangkan memberikan (biaya) ḥajj mewajibkan fardhunya.

Kedua: bahwa orang yang diberi air bisa kembali kepada pengganti yang mengambil alih fungsi penggunaan air, yaitu tayammum, sedangkan dalam ḥajj tidak ada pengganti yang dapat dijadikan sandaran oleh orang yang dibadalkan. Maka keduanya berbeda dari dua sisi ini.

Jika hal ini telah ditetapkan, maka wajib bagi orang yang dibadalkan untuk memberi izin, dan bagi orang yang membadalkan untuk melaksanakan ḥajj. Jika orang yang dibadalkan menolak memberi izin, maka apakah hakim bisa menggantikannya dalam memberi izin kepada yang membadalkan? Terdapat dua pendapat dalam hal ini.


أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ يَقُومُ الْحَاكِمُ مَقَامَهُ، فَيَأْذَنُ لِلْبَاذِلِ فِي الْحَجِّ لِأَنَّ الْإِذْنَ قَدْ لَزِمَهُ وَمَتَى امْتَنَعَ مِنْ فِعْلِ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ، قَامَ الْحَاكِمُ مَقَامَهُ فِي اسْتِيفَاءِ مَا لَزِمَهُ كَالدَّيْنِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ إِنَّ إِذْنَ الْحَاكِمِ لَا يَقُومُ مَقَامَ إِذْنِهِ لِأَنَّ الْبَذْلَ كَانَ لِغَيْرِهِ، فَإِنْ أَذِنَ الْمَبْذُولُ لَهُ قَبْلَ وَفَاتِهِ انْتَقَلَ الْفَرْضُ عَنْهُمْ إِلَى الْبَاذِلِ، وَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ حَتَّى مَاتَ لَقِيَ اللَّهَ سُبْحَانَهُ، وَفَرْضُ الْحَجِّ وَاجِبٌ عَلَيْهِ، فَلَوْ حَجَّ الْبَاذِلُ بِغَيْرِ إِذَنِ الْمَبْذُولِ لَهُ كَانَتِ الْحَجَّةُوَاقِعَةً عَنْ نَفْسِهِ، لِأَنَّ الْحَجَّ عَلَى الْحَيِّ لَا يَصِحُّ بِغَيْرِ إِذْنِهِ، وَكَانَ فَرْضُ الْحَجِّ بَاقِيًا عَلَى الْمَبْذُولِ لَهُ.

Pertama: yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa hakim bertindak menggantikan posisinya, lalu mengizinkan orang yang membadalkan untuk berhaji. Karena izin itu telah menjadi kewajibannya, dan kapan pun ia menolak melakukan apa yang wajib atasnya, maka hakim berhak bertindak menggantikannya dalam menunaikan kewajiban tersebut, sebagaimana dalam kasus pelunasan utang.

Pendapat kedua: dan inilah yang ṣaḥīḥ — bahwa izin hakim tidak dapat menggantikan izin dari orang yang dibadalkan. Sebab, badal itu diberikan untuk orang tertentu (yakni orang yang dibadalkan).

Jika orang yang dibadalkan memberikan izin sebelum wafatnya, maka kewajiban haji berpindah darinya kepada orang yang membadalkan. Namun, jika ia belum sempat mengizinkan hingga meninggal, maka ia menghadap Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā dalam keadaan kewajiban haji masih melekat atasnya.

Maka jika si pembadalan berhaji tanpa izin dari orang yang dibadalkan, maka hajinya dianggap sebagai haji untuk dirinya sendiri, karena haji atas nama orang hidup tidak sah tanpa izin darinya. Dengan demikian, kewajiban haji tetap melekat atas orang yang dibadalkan.


فَصْلٌ
: وَالِاسْتِطَاعَةُ الْخَامِسَةُ: أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مُسْتَطِيعٍ بِمَالِهِ وَبَدَنِهِ وَفَقْرِهِ وَزَمَانَتِهِ لَكِنْ يَبْذُلُ مِنَ الْمَالِ قَدْرَ كِفَايَتِهِ، فَإِنْ قَبِلَ الْمَالَ لَزِمَهُ الْحَجُّ لِحُدُوثِ الِاسْتِطَاعَةِ، وَإِنْ لَمْ يَقْبَلْ نُظِرَ فِي الْبَاذِلِ لِلْمَالِ فَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ وَالِدٍ وَلَا وَلَدٍ لَمْ يَلْزَمْهُ قَبُولَ الْمَالِ، وَفَارَقَ قَبُولَ الطَّاعَةِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لُحُوقُ الْمِنَّةِ فِي قَبُولِ الْمَالِ وَعَدَمُهَا فِي قَبُولِ الطَّاعَةِ، لِأَنَّ فِي بَعْضِ الْعِبَادَاتِ مَا يَلْزَمُ الِاسْتِغْنَاءُ بِهِ فِيهَا بِالْغَيْرِ كَاسْتِعَارَةِ ثَوْبٍ وَتَعَرُّفِ الْقِبْلَةِ، وَلَيْسَ عِبَادَةً يَلْزَمُ الِاسْتِغْنَاءُ بِهِ فِيهَا بِمَالِ الْغَيْرِ.

PASAL
 Istithā‘ah yang kelima: yaitu seseorang yang tidak mampu dengan hartanya, tidak pula dengan badannya, karena fakir dan uzur fisik, namun ada orang yang memberikan harta sebesar kebutuhan perjalanannya. Maka jika ia menerima harta tersebut, wajib atasnya ḥajj karena telah terwujud istithā‘ah. Namun jika ia tidak menerimanya, maka dilihat dari siapa yang memberikan harta itu. Jika yang memberikannya bukan dari kalangan orang tua maupun anak, maka tidak wajib baginya menerima harta tersebut.

Hal ini berbeda dari menerima ketaatan (seperti dibadalkan ḥajj) dari dua sisi:

Pertama: karena adanya unsur minnah (rasa berhutang budi) dalam menerima harta, dan tidak ada dalam menerima ketaatan. Karena dalam sebagian ibadah terdapat bentuk istiġnā’ (bergantung kepada orang lain) yang dibolehkan, seperti meminjam pakaian (untuk shalat) atau bertanya arah kiblat, sedangkan tidak ada ibadah yang mewajibkan istiġnā’ dengan harta milik orang lain.


وَالثَّانِي: أن في قبول المال ومملكه إِيجَابَ سَبَبٍ يَلْزَمُهُ بِهِ الْفَرْضُ، وَهُوَ الْقَبُولُ وَرُبَّمَا حَدَثَتْ عَلَيْهِ حُقُوقٌ كَانَتْ سَاقِطَةً، فَيَلْزَمُهُ صَرْفُ الْمَالِ إِلَيْهَا مِنْ وُجُوبِ نَفَقَةٍ وَقَضَاءِ دَيْنٍ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ بَذْلُ الطَّاعَةِ لِأَنَّهُ إِذَا عَلِمَهُ طَايِعًا، فَقَدْ لَزِمَهُ الْفَرْضُ مِنْ غَيْرِ إِحْدَاثِ سَبَبٍ، وَلَا خَوْفِ مَا يَلْزَمُهُ صَرْفُ الطَّاعَةِ إِلَيْهِ، فَبَانَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَ الْبَاذِلُ وَالِدًا فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَصَحُّهُمَا: لَا يَلْزَمُهُ قَبُولُ الْمَالِ مِنْهُ لِمَا ذَكَرْنَاهُ.

 


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَلْزَمُهُ قَبُولُ الْمَالِ مِنْهُ لِأَنَّ الِابْنَ يُخَالِفُ غَيْرَهُ فِي بَابِ الْمِنَّةِ، فَأَمَّا إِنْ بَذَلَ لَهُ الْمَالَ صَارَ فَرْضًا فِي ذِمَّتِهِ، فَلَا يَخْتَلِفُ الْمَذْهَبُ أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ قَبُولُهُ، وَلَا حَجَّ عَلَيْهِ لِمَا يَتَعَلَّقُ مِنَ الدَّيْنِ بِذِمَّتِهِ، وَالْمَرْوِيُّ عَنْ طَارِقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى أَنَّهُ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا وَجَدَ مَنْ يَسْتَقْرِضُ مِنْهُ أَيَلْزَمُهُ الْحَجُّ فَقَالَ: ” لَا “.

Kedua: bahwa dalam menerima harta dan memilikinya terdapat pengaruh yang menyebabkan munculnya kewajiban haji — yaitu penerimaan itu sendiri — dan bisa saja muncul hak-hak lain atas harta itu yang sebelumnya tidak wajib, sehingga ia wajib mengalokasikan harta itu untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut, seperti nafkah yang wajib atau pelunasan utang.

Adapun bādzl al-ṭā‘ah (penyediaan pengganti haji), tidak demikian. Karena jika seseorang mengetahui bahwa yang akan membadalkannya itu taat, maka kewajiban haji telah melekat padanya tanpa ada sebab baru dan tanpa kekhawatiran bahwa ketaatan itu akan disalurkan kepada hal lain. Maka jelaslah perbedaan antara keduanya.

Dan apabila orang yang membadalkan adalah ayah, maka terdapat dua pendapat:

Yang paling ṣaḥīḥ: tidak wajib atas anak menerima harta dari ayahnya — karena alasan yang telah dijelaskan di atas.


فَصْلٌ
: وَالِاسْتِطَاعَةُ السَّادِسَةُ: أَنْ يَكُونَ مُسْتَطِيعًا بِبَدَنِهِ قَادِرًا عَلَى نَفَقَةِ ذَهَابِهِ دُونَ عَوْدِهِ، فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ أَهْلٌ بِبَلَدِهِ، أَوْ لَا أَهْلَ لَهُ فَإِنْ كَانَ لَهُ أَهْلٌ بِبَلَدِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ الْحَجُّ حَتَّى يَجِدَ نَفَقَةَ ذَهَابِهِ وَعَوْدِهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنَ انْقِطَاعِ أَهْلِهِ، وَتَضْيِيعِهِمْ وَمُقَاسَاةِ الْوَحْشَةِ فِي الْبُعْدِ عنهم ولقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَهْلٌ بِبَلَدِهِ وَقَدْ وَجَدَ نَفَقَةَ ذَهَابِهِ دُونَ عَوْدِهِ، فَفِي وُجُوبِ الْحَجِّ عَلَيْهِ وَجْهَانِ:

PASAL
 Istithā‘ah yang keenam: yaitu seseorang yang mampu dengan badannya dan memiliki biaya untuk pergi (ḥajj), namun tidak memiliki biaya untuk pulang. Maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

Pertama, ia memiliki keluarga di negerinya; atau
 Kedua, ia tidak memiliki keluarga di negerinya.

Jika ia memiliki keluarga di negerinya, maka tidak wajib atasnya ḥajj hingga ia memiliki biaya untuk pergi dan pulang. Sebab dalam kondisi itu terdapat unsur terputusnya hubungan dengan keluarganya, menyia-nyiakan mereka, dan membuat mereka menghadapi kesepian karena jauhnya dia dari mereka. Dan karena sabda Nabi SAW: “Cukuplah seseorang itu berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.”

Namun, jika ia tidak memiliki keluarga di negerinya dan ia telah memiliki biaya untuk pergi tanpa biaya untuk pulang, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat mengenai wajib tidaknya ḥajj atasnya.


أَحَدُهُمَا: قَدْ وَجَبَ الْحَجُّ عَلَيْهِ لِأَنَّ مُقَامَهُ بِمَكَّةَ كَمُقَامِهِ بِبَلَدِهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَهْلٌ.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ ظَاهِرُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْحَجَّ غَيْرُ وَاجِبٍ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ قَدْ يَسْتَوْحِشُ بِغُرْبَتِهِ، وَمُفَارَقَةِ وَطَنِهِ كَمَا يَسْتَوْحِشُ بِمُفَارَقَةِ أَهْلِهِ.

Pertama: haji telah wajib atasnya, karena keberadaannya di Makkah sama seperti ia tinggal di negerinya sendiri apabila ia tidak memiliki keluarga, maka tidak ada uzur baginya.

Pendapat kedua: dan inilah yang tampak dari pendapat asy-Syāfi‘ī, bahwa haji tidak wajib atasnya, karena bisa jadi ia merasa asing karena keterasingannya dan perpisahannya dari tanah airnya, sebagaimana seseorang merasa asing karena berpisah dari keluarganya.


فَصْلٌ
: وَالِاسْتِطَاعَةُ السَّابِعَةُ: أَنْ يَكُونَ مُسْتَطِيعًا بِمَالِهِ وَبَدَنِهِ فِي ذَهَابِهِ وَعَوْدِهِ، لَكِنَّهُ عَادِمٌ لِنَفَقَةِ عِيَالِهِ فَلَا حَجَّ عَلَيْهِ لِرِوَايَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ ” فَكَانَ الْمُقَامُ عَلَى الْعِيَالِ وَالْإِنْفَاقُ عَلَيْهِمْ أَوْلَى مِنَ الْحَجِّ.

PASAL
 Istithā‘ah yang ketujuh: yaitu seseorang yang mampu dengan harta dan badannya untuk perjalanan pergi dan pulang ḥajj, namun ia tidak memiliki nafkah untuk keluarganya. Maka tidak wajib atasnya ḥajj, berdasarkan riwayat dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Cukuplah seseorang itu berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” Maka menetap bersama keluarga dan menafkahi mereka lebih utama daripada melaksanakan ḥajj.


فَصْلٌ
: وَالِاسْتِطَاعَةُ الثَّامِنَةُ: أَنْ يَكُونَ مُسْتَطِيعًا بِمَالِهِ وَبَدَنِهِ، لَكِنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ قَدْ أَحَاطَ بِمَا فِي يَدِهِ، فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الدَّيْنُ حَالًّا فَلَا يَلْزَمُهُ الْحَجُّ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مَوْصُوفٍ بِالِاسْتِطَاعَةِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُؤَجَّلًا، فَإِنْ كَانَ مَحَلُّهُ قَبْلَ عَرَفَةَ لَمْ يَلْزَمْهُ الْحَجُّ أَيْضًا، كَمَا مَضَى، وَإِنْ كَانَ مَحَلُّهُ بِعَرَفَةَ فَفِي وُجُوبِ الْحَجِّ عَلَيْهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا حَجَّ عَلَيْهِ لِعَدَمِ الِاسْتِطَاعَةِ.
وَالثَّانِي: عَلَيْهِ الْحَجُّ، لِأَنَّ الدَّيْنَ الْمُؤَجَّلَ غَيْرُ مُسْتَحَقٍّ عَلَيْهِ قَبْلَ حُلُولِهِ.

PASAL
 Dan istithā‘ah yang kedelapan: yaitu mampu dengan hartanya dan badannya, tetapi ia memiliki utang yang telah menghabiskan seluruh yang ada di tangannya. Maka itu ada dua macam:

Pertama: jika utangnya jatuh tempo (ḥāl) maka tidak wajib haji baginya, karena ia tidak tergolong orang yang mampu.

Kedua: jika utangnya masih ditangguhkan (muʾajjal), maka jika jatuh temponya sebelum hari Arafah, maka tidak wajib pula baginya haji, sebagaimana yang telah disebutkan. Namun jika jatuh temponya bertepatan dengan hari Arafah, maka dalam hal kewajiban haji atasnya terdapat dua pendapat:

Pertama: tidak wajib haji atasnya karena tidak adanya kemampuan.
 Kedua: wajib haji atasnya, karena utang yang ditangguhkan tidaklah menjadi kewajiban baginya sebelum jatuh temponya.


فَصْلٌ
: وَالِاسْتِطَاعَةُ التَّاسِعَةُ: أَنْ يَكُونَ مُسْتَطِيعًا بِمَالِهِ وَبَدَنِهِ غَيْرَ أَنَّهُ تَاجِرٌ إِنَّ حَجَّ بِمَا فِي يَدَيْهِ، كَانَ قَدْرَ كِفَايَتِهِ فِي ذَهَابِهِ وَعَوْدِهِ وَلَمْ يَبْقَ لَهُ مَا يَتَّجِرُ بِهِ، وَلَيْسَ لَهُ مَعِيشَةٌ، وَلَا صَنْعَةٌ غَيْرَ التِّجَارَةِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَسَائِرِ أَصْحَابِهِ أَنَّ الْحَجَّ عَلَيْهِ وَاجِبٌ، لِأَنَّ الشَّرْطَ فِي وُجُوبِ الْحَجِّ زَادٌ وَرَاحِلَةٌ، وَنَفَقَةُ أَهْلِهِ فِي ذَهَابِهِ وَعَوْدِهِ وَلَا اعْتِبَارَ بِمَا بَعْدَهُ، وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ لَا حَجَّ عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ يَفْضُلَ مِنْ نَفَقَتِهِ قَدْرُ مَا يَتَّجِرُ بِهِ، خَوْفًا مِنْ فَقْرِهِ وَحَاجَتِهِ إِلَى الْمَسْأَلَةِ، وَفِي ذَلِكَ أَعْظَمُ مَشَقَّةٍ.

PASAL
 Istithā‘ah yang kesembilan: yaitu seseorang yang mampu dengan harta dan badannya, namun ia adalah seorang pedagang. Jika ia berhaji dengan harta yang ada padanya, maka harta itu hanya cukup untuk biaya pergi dan pulang, dan tidak tersisa lagi modal untuk berdagang, sementara ia tidak memiliki sumber penghidupan atau keahlian selain berdagang.

Maka mazhab asy-Syāfi‘ī dan seluruh sahabat beliau menyatakan bahwa ḥajj tetap wajib atasnya, karena syarat wajib ḥajj adalah bekal, kendaraan, serta nafkah untuk keluarganya selama pergi dan pulang, dan tidak diperhitungkan apa yang terjadi setelah itu.

Sedangkan Abū al-‘Abbās Ibn Surayj berkata: tidak wajib atasnya ḥajj kecuali jika masih tersisa dari biaya tersebut sejumlah yang dapat ia jadikan modal berdagang, karena dikhawatirkan ia jatuh miskin dan membutuhkan meminta-minta, dan hal itu merupakan kesulitan yang besar.


فَصْلٌ: وَالِاسْتِطَاعَةُ الْعَاشِرَةُ
: أَنْ يَكُونَ مُسْتَطِيعًا بِمَالِهِ وَبَدَنِهِ، لَكِنَّ الطَّرِيقَ مُخَوِّفٌ لَا يَقْدِرُ عَلَى سُلُوكِهِ، لِقِلَّةِ الْمَاءِ وَالْمَرْعَى، أَوْ خَوْفِ اللُّصُوصِ، فَلَا حَجَّ عَلَيْهِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ) {البقرة: 195) .


PASAL
 Dan istithā‘ah yang kesepuluh: yaitu mampu dengan hartanya dan badannya, tetapi jalan menuju ke sana menakutkan, sehingga ia tidak mampu menempuhnya karena sedikitnya air dan padang rumput, atau karena takut terhadap perampok. Maka tidak wajib haji atasnya, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (QS. al-Baqarah: 195).

فصل: والاستطاعة الحادية عشر
: أَنْ يَكُونَ بِمَالِهِ وَبَدَنِهِ، لَكِنَّ الْوَقْتَ يَقْصُرُ عَنْ إِدْرَاكِ الْحَجِّ لِبُعْدِ دَارِهِ وَدُنُوِّ زَمَانِهِ، فَلَا حَجَّ، عَلَيْهِ فِي عَامِهِ لِتَعَذُّرِ قُدْرَتِهِ، وَكَذَلِكَ لَوْ قَدَرَ عَلَى إِدْرَاكِ الْحَجِّ بِإِنْضَاءِ رَاحِلَتِهِ وَشِدَّةِ سَيْرِهِ، لَمْ يَلْزَمْهُ الْحَجُّ فِي عامه لعظم المشقة.

PASAL
 Istithā‘ah yang kesebelas: yaitu seseorang yang mampu dengan harta dan badannya, namun waktunya terlalu sempit untuk mengejar ḥajj karena jauhnya tempat tinggal dan dekatnya waktu pelaksanaan ḥajj, maka tidak wajib atasnya ḥajj pada tahun itu karena ketidakmampuan secara nyata.

Demikian pula, jika ia hanya bisa mengejar ḥajj dengan memaksa kendaraannya dan menempuh perjalanan dengan sangat cepat, maka tidak wajib atasnya ḥajj pada tahun itu karena besarnya kesulitan.


فصل: والاستطاعة الثانية عشر
: أَنْ يَكُونَ مُسْتَطِيعًا بِمَالِهِ، وَبَدَنِهِ لَكِنَّ فِي طَرِيقِهِ مَنْ يَطْلُبُ مِنْهُ مَالًا عَنْ نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ فَلَا حَجَّ عَلَيْهِ وَإِنْ قَدَرَ عَلَى بَذْلِ مَا طُلِبَ مِنْهُ قَلَّ أَوْ كَثُرَ، لِأَنَّهُ لَوْ لَزِمَهُ بَذْلُ الْقَلِيلِ لَلَزِمَهُ بَذْلُ الْكَثِيرِ حَتَّى يُؤَدِّيَ إِلَى مَا لَا حَدَّ لَهُ، وَلَمْ يَقُلْ بِذَلِكَ أَحَدٌ فَإِنْ قِيلَ: فَالْأَوْلَى دَفْعُ الْمَالِ إِلَيْهِمْ، وَالْحَجُّ مَعَهُمْ أَوِ الْكَفُّ عَنْ ذَلِكَ الْمُقَامِ، قُلْنَا: إِنْ كَانَ طَالِبُ الْمَالِ كَافِرًا فَالْأَوْلَى الْكَفُّ عَنْ دَفْعِ الْمَالِ إِلَيْهِ، وَالْقُعُودُ عَنِ الْحَجِّ، وَإِنْ كَانَ طَالِبُ الْمَالِ مُسْلِمًا، فَالْأَوْلَى دَفْعُ الْمَالِ إِلَيْهِ، وَالْخُرُوجُ مَعَهُ إِنْ كَانَ مَأْمُونًا، وَلَوْ قَدَرَ عَلَى قِتَالِهِ، وَأَنْ يَمْنَعَهُ عَنْ مَالِهِ وَنَفْسِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يُقَاتِلَهُ، لِأَنَّهُ لَوْ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ ثُمَّ حَصَرَهُ الْعَدُوُّ كَانَ لَهُ الْإِحْلَالُ مِنْ إِحْرَامِهِ، وَإِنْ قَدَرَ عَلَى قِتَالِهِ فَلِأَنْ لَا يَلْزَمَهُ ذَلِكَ قَبْلَ الْإِحْرَامِ أَوْلَى، فَهَذِهِ أَقْسَامُ الِاسْتِطَاعَةِ فِي الْحَجِّ، وَاللَّهُ الْمُوَفِّقُ.

PASAL
 Dan istithā‘ah yang kedua belas: yaitu seseorang mampu dengan hartanya dan badannya, tetapi di perjalanannya terdapat orang yang meminta harta darinya, baik atas dirinya atau hartanya, maka tidak wajib haji atasnya, meskipun ia mampu memberikan apa yang diminta darinya, sedikit atau banyak. Karena jika ia diwajibkan memberikan yang sedikit, niscaya ia pun diwajibkan memberikan yang banyak hingga mencapai batas yang tidak terbatas, dan tidak ada seorang pun yang berpendapat demikian.

Jika dikatakan: lebih utama memberikan harta kepada mereka dan berhaji bersama mereka, atau menahan diri dari keberangkatan tersebut, maka kami katakan: jika yang meminta harta adalah orang kafir, maka lebih utama menahan diri dari memberikan harta kepadanya dan tidak berangkat haji. Namun jika yang meminta harta adalah seorang muslim, maka lebih utama memberikan harta kepadanya dan berangkat haji bersamanya jika ia dapat dipercaya.

Dan jika seseorang mampu memeranginya serta mencegahnya dari harta dan dirinya, maka tidak wajib baginya untuk memeranginya, karena seandainya ia telah berihram haji lalu dihadang oleh musuh, maka ia boleh bertahallul dari ihramnya. Maka jika ia mampu memerangi musuh, lebih utama bahwa ia tidak diwajibkan melakukannya sebelum berihram.

Maka inilah pembagian-pembagian istithā‘ah dalam haji. Dan Allah-lah yang memberi taufik.


فَصْلٌ
: لَيْسَ لِمَنْ قَدَرَ عَلَى الْحَجِّ بِنَفْسِهِ أَنْ يَسْتَأْجِرَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ فِي حَيَاتِهِ فَإِنْ فَعَلَ لَمْ يُجْزِهِ، فَلَوْ أَنَّ مَرِيضًا تُرْجَى سَلَامَتُهُ، وَقَدْ لَزِمَهُ فَرْضُ الْحَجِّ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَسْتَأْجِرَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ، وَقَالَ أبو حنيفة لَهُ أَنْ يَسْتَأْجِرَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ، كَالْمَعْضُوبِ لِأَنَّهُ عَاجِزٌ عَنِ الْحَجِّ بِنَفْسِهِ، وَهَذَا غَلَطٌ لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ عَاجِزًا فِي الْحَالِ، فَهُوَ غَيْرُ مَأْيُوسٍ مِنْهُ فَصَارَ كَالْمَحْبُوسِ، وَفَارَقَ الْمَعْضُوبَ، لِأَنَّهُ مَأْيُوسٌ مِنْهُ وَإِنِ اسْتَأْجَرَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ نُظِرَ فِي حَالِهِ، فَإِنْ صَحَّ مِنْ مَرَضِهِ لَمْ يُجْزِهِ عَنْ فَرْضِهِ، وَإِنْ مَاتَ فِي مَرَضِهِ نُظِرَ فِي مَوْتِهِ، فَإِنْ كَانَ قَبْلَ أَنْ يَحُجَّ عَنْهُ، فَقَدْ أَجْزَأَهُ لِوُقُوعِ الْحَجِّ بَعْدَ مَوْتِهِ فِي زَمَانٍ تَصِحُّ فِيهِ النِّيَابَةُ عَنْهُ، وَإِنْ كَانَ مَوْتُهُ بَعْدَ أَنْ حَجَّ عَنْهُ، فَفِي إِجْزَائِهِ قولان:

PASAL
 Tidak boleh bagi orang yang mampu menunaikan haji sendiri untuk menyewa orang lain agar berhaji atas namanya semasa hidupnya. Jika ia melakukannya, maka tidak sah hajinya. Maka, jika ada orang sakit yang diharapkan kesembuhannya, dan ia telah wajib haji, maka tidak boleh baginya menyewa orang lain untuk berhaji atas namanya. Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa ia boleh menyewa orang yang berhaji atas namanya seperti al-ma‘ḍūb, karena ia tidak mampu berhaji sendiri.

Ini adalah kekeliruan, karena meskipun ia tidak mampu dalam kondisi sekarang, namun belum putus harapan darinya, sehingga keadaannya seperti orang yang dipenjara. Ia berbeda dengan al-ma‘ḍūb, karena tidak ada harapan lagi padanya.

Jika ia menyewa orang yang berhaji atas namanya, maka dilihat kondisinya. Jika ia sembuh dari sakitnya, maka tidak sah haji yang dilakukan atas namanya untuk menunaikan kewajiban hajinya. Namun jika ia wafat dalam sakitnya, maka dilihat lagi waktu wafatnya:

Jika wafatnya sebelum orang yang disewa berhaji atas namanya, maka hajinya sah, karena pelaksanaan haji itu terjadi setelah wafatnya dalam waktu yang sah dilakukan niyābah atas namanya. Dan jika wafatnya setelah orang yang disewa berhaji atas namanya, maka dalam keabsahannya terdapat dua pendapat.


أصحهما: لا يجزي اعتباراً بالابتداء.
والقول الثاني: يجزي اعْتِبَارًا بِالِانْتِهَاءِ، وَلَوْ كَانَ مَرِيضًا لَا تُرْجَى سلامته ولا برؤه لكونه زمناً أو معضوياً، جَازَ لَهُ أَنْ يَسْتَأْجِرَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ فِي حَيَاتِهِ لِوُجُودِ الْإِيَاسِ مِنْ بُرْئِهِ، فَإِنِ اسْتَأْجَرَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ ثُمَّ مَاتَ فِي مَرَضِهِ ذَلِكَ قَبْلَ بُرْئِهِ أَجْزَأَهُ ذَلِكَ قَوْلًا وَاحِدًا، وَإِنْ صَحَّ مِنْ مَرَضِهِ، وَصَارَ إِلَى حَالَةٍ يَقْدِرُ فِيهَا عَلَى الْحَجِّ بِنَفْسِهِ نُظِرَ، فَإِنْ حَجَّ عَنْهُ بَعْدَ صِحَّتِهِ لَمْ يُجْزِهِ وَإِنْ حَجَّ عَنْهُ قَبْلَ صِحَّتِهِ، فَالصَّحِيحُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَمَا نَصَّ عَلَيْهِ أَنَّ مَا مَضَى لَا يُجْزِيهِ، وَفَرْضُ الْحَجِّ بَاقٍ عَلَيْهِ لِفَقْدِ مَا بِهِ مِنَ الْإِيَاسِ، وَفِيهِ قَوْلٌ آخَرُ أَنَّهُ يُجْزِيهِ وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ.

yang lebih sahih: tidak mencukupi dengan mempertimbangkan kondisi awal.
 Pendapat kedua: mencukupi dengan mempertimbangkan kondisi akhir, dan seandainya ia adalah orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhan atau pemulihannya karena uzur menahun atau lemah secara permanen (ma‘ḍūb), maka boleh baginya menyewa orang yang berhaji atas namanya semasa hidupnya karena telah adanya keputusasaan dari sembuhnya. Jika ia menyewa orang untuk berhaji atas namanya, lalu ia wafat dalam kondisi sakit tersebut sebelum sembuh, maka hal itu mencukupi menurut satu pendapat. Namun, jika ia sembuh dari sakitnya dan berada dalam keadaan yang memungkinkan untuk berhaji sendiri, maka perlu diteliti: jika ibadah haji dilakukan atas namanya setelah ia sembuh, maka tidak mencukupi; dan jika dilakukan sebelum kesembuhannya, maka pendapat yang sahih dalam mazhab al-Syafi‘i dan yang dinyatakan oleh beliau adalah bahwa yang telah berlalu tidak mencukupi, dan kewajiban haji tetap berlaku atasnya karena hilangnya sebab keputusasaan dari sembuhnya. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa hal itu mencukupi, namun itu tidak sahih.

فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْأَعْمَى إِذَا قَدَرَ عَلَى الزَّادِ وَالرَّاحِلَةِ، وَوَجَدَ مَنْ يَقُودُهُ فَعَلَيْهِ الْحَجُّ بِنَفْسِهِ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَسْتَأْجِرَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَلْزَمُهُ فَرْضُ الْحَجِّ بِنَفْسِهِ، فَإِنِ اسْتَأْجَرَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ جَازَ قَالَ لِأَنَّ الْحَجَّ عِبَادَةٌ تَعَلَّقَتْ بِقَطْعِ مَسَافَةٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَلْزَمَ الْأَعْمَى كَالْمُجَاهِدِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْعَمَى لَيْسَ فِيهِ أَكْثَرُ مِنْ فَقْدِ الْهِدَايَةِ بِالطَّرِيقِ، وَمَوَاضِعِ النُّسُكِ وَالْجَهْلُ بِذَلِكَ لَا يُسْقِطُ، وُجُوبَ الْقَصْدِ كَالْبَصِيرِ يَسْتَوِي حُكْمُ الْعَالَمِ بِهِ، وَالْجَاهِلِ إِذَا وَجَدَ دَلِيلًا فَكَذَلِكَ الْأَعْمَى وَلِأَنَّهُ فَقَدَ حَاسَّتُهُ فَلَمْ يَسْقُطْ بِهَا فَرْضُ الْحَجِّ بِنَفْسِهِ، كَالصَّمَمِ فَلَوْ كَانَ مَقْطُوعَ الْيَدَيْنِ أَوِ الرِّجْلَيْنِ مُسْتَطِيعًا أَنْ يَثْبُتَ عَلَى الرَّاحِلَةِ مِنْ غَيْرِ مَشَقَّةٍ، وَوَجَدَ قَائِدًا أَوْ مُعِينًا لَزِمَهُ أَنْ يَحُجَّ بِنَفْسِهِ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَسْتَأْجِرَ غَيْرَهُ، وَعِنْدَ أبي حنيفة أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ كَالْأَعْمَى، وَالْخِلَافُ فِيهِمَا واحد.

PASAL
 Adapun orang buta, jika ia mampu menyediakan bekal dan kendaraan, serta menemukan orang yang dapat menuntunnya, maka wajib atasnya untuk berhaji sendiri, dan tidak boleh menyewa orang lain untuk berhaji atas namanya.

Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa tidak wajib atasnya menunaikan haji sendiri. Jika ia menyewa orang yang berhaji atas namanya, maka itu boleh. Ia berkata: karena haji adalah ibadah yang bergantung pada menempuh jarak, maka tidak wajib atas orang buta sebagaimana tidak wajib atas mujahid.

Ini adalah kesalahan, karena kebutaan tidak lebih dari sekadar kehilangan kemampuan melihat jalan dan tempat-tempat manasik, dan kebodohan terhadap hal itu tidak menggugurkan kewajiban melaksanakan maksud perjalanan, sebagaimana orang celik—baik yang mengetahui maupun yang tidak mengetahui—jika mendapatkan penunjuk jalan, maka demikian pula orang buta.

Dan karena ia hanya kehilangan salah satu inderanya, maka tidak gugur kewajiban haji dengan dirinya, sebagaimana orang tuli. Maka, jika seseorang terpotong kedua tangan atau kakinya namun mampu tetap berada di atas kendaraan tanpa kesulitan, serta menemukan penuntun atau pembantu, maka wajib baginya berhaji sendiri dan tidak boleh menyewa orang lain.

Sedangkan menurut Abū Ḥanīfah, tidak wajib atasnya sebagaimana orang buta, dan perbedaan pendapat dalam dua kasus ini adalah satu.

قال الشافعي: رحمه الله تعالى: ” وَإِذَا اسْتَطَاعَ الرَّجُلُ فَأَمْكَنَهُ مَسِيرُ النَّاسِ مِنْ بَلَدِهِ فَقَدْ لَزِمَهُ الْحَجُّ فَإِنْ مَاتَ قُضِيَ عَنْهُ وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْهُ لِبُعْدِ دَارِهِ وَدُنُوِّ الْحَجِّ مِنْهُ وَلَمْ يَعِشْ حَتَّى يُمْكِنَهُ مِنْ قَابِلٍ لَمْ يَلْزَمْهُ “.

PASAL TENTANG KEMAMPUAN BERHAJI DAN BAHWA IA TERMASUK DARI MODAL POKOK

Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Apabila seseorang mampu lalu memungkinkan baginya perjalanan sebagaimana perjalanan manusia dari negerinya, maka wajib atasnya haji. Jika ia meninggal dunia, maka haji dilakukan untuknya. Namun jika tidak memungkinkan karena jauhnya tempat tinggal dan dekatnya waktu haji, lalu ia tidak hidup sampai memungkinkan baginya berhaji pada tahun berikutnya, maka tidak wajib atasnya haji.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، قَدْ ذَكَرْنَا الشَّرَائِطَ فِي وُجُوبِ الْحَجِّ، فَأَمَّا الشَّرْطُ فِي اسْتِقْرَارِ الْفَرْضِ، فَهُوَ أَنْ يُمْكِنَهُ بَعْدَ وُجُوبِ الْحَجِّ عَلَيْهِ الْمَسِيرُ مِنْ بَلَدِهِ عَلَى عَادَةِ النَّاسِ فِي سَيْرِهِمْ، فَيُوَافِي الْحَجَّ فِي عَامِهِ فَإِذَا مَضَتْ عَلَيْهِ مُدَّةٌ مِثْلُ هَذِهِ الْمُدَّةِ بَعْدَ وُجُوبِ الْحَجِّ عَلَيْهِ، فَقَدِ اسْتَقَرَّ الْفَرْضُ فِي ذِمَّتِهِ لِإِمْكَانِ الْأَدَاءِ، فَإِنْ مات قيل أَنْ يَحُجَّ لَزِمَهُ الْقَضَاءُ فِي مَالِهِ، وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْهُ الْمَسِيرُ فِي عَامِهِ لِبُعْدِ دَارِهِ، ودنوا الْحَجِّ مِنْهُ أَوْ أَمْكَنَهُ بِمُفَارَقَةِ عَادَةِ النَّاسِ فِي سَيْرِهِمْ، فَفَرْضُ الْحَجِّ غَيْرُ مُسْتَقِرٍّ فِي ذِمَّتِهِ، لِتَعَذُّرِ الْأَدَاءِ فَإِنْ مَاتَ فِي عَامِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ الْقَضَاءُ، مِثَالُ ذَلِكَ الصَّلَاةُ تَجِبُ بِدُخُولِ الْوَقْتِ، وَيَسْتَقِرُّ فَرْضُهَا بِإِمْكَانِ الْأَدَاءِ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ، فَقَدْ وَجَبَتْ صَلَاةُ الظُّهْرِ، فَإِذَا مَرَّ مِنَ الْوَقْتِ قَدْرُ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ فَقَدِ اسْتَقَرَّ الْفَرْضُ فَلَوْ جُنَّ أَوْ أُغْمِيَ عَلَيْهِ قَبْلَ زَمَانِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ سَقَطَ عَنْهُ فَرْضُ الصَّلَاةِ، وَلَوْ جُنَّ أَوْ أُغْمِيَ عَلَيْهِ بَعْدَ زَمَانِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ، وَجَبَ عَلَيْهِ قَضَاءُ الصَّلَاةِ كَذَلِكَ فِي الْحَجِّ إِنْ مَاتَ قَبْلَ إِمْكَانِ الْأَدَاءِ، فَلَا قَضَاءَ وَإِنْ مَاتَ بَعْدَ إِمْكَانِ الْأَدَاءِ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ.

Berkata al-Māwardī: Dan ini adalah pendapat yang benar. Kami telah menyebutkan syarat-syarat wajibnya haji. Adapun syarat bagi istikrār (tetapnya) kewajiban, maka itu adalah: jika memungkinkan baginya setelah haji menjadi wajib atasnya untuk melakukan perjalanan dari negerinya menurut kebiasaan manusia dalam perjalanan mereka, lalu ia mendapati musim haji pada tahun itu.

Maka, apabila telah berlalu atasnya waktu yang semisal waktu tersebut setelah haji menjadi wajib atasnya, maka kewajiban itu telah tetap dalam tanggungannya karena adanya kemungkinan untuk menunaikannya. Jika ia meninggal dunia sebelum berhaji, maka wajib ditunaikan penggantinya dari hartanya.

Namun jika tidak memungkinkan baginya untuk melakukan perjalanan pada tahun itu karena jauhnya tempat tinggalnya, dan dekatnya waktu haji, atau hanya memungkinkan dengan keluar dari kebiasaan manusia dalam perjalanan mereka, maka kewajiban haji belum tetap dalam tanggungannya karena tidak memungkinkan untuk dilaksanakan. Maka jika ia meninggal pada tahun itu, tidak wajib ditunaikan penggantiannya.

Contohnya seperti salat: salat menjadi wajib dengan masuknya waktu, dan kewajiban itu menjadi tetap dengan adanya kemungkinan untuk melaksanakannya. Jika matahari telah tergelincir, maka salat ẓuhr telah wajib. Jika telah berlalu dari waktu itu sejumlah empat rakaat, maka kewajiban itu telah tetap. Maka jika seseorang gila atau pingsan sebelum lewatnya waktu empat rakaat, gugurlah kewajiban salat darinya. Dan jika ia gila atau pingsan setelah lewatnya waktu empat rakaat, maka wajib baginya mengganti salat tersebut.

Demikian pula dalam haji: jika seseorang meninggal sebelum adanya kemungkinan untuk melaksanakannya, maka tidak wajib ditunaikan penggantiannya. Namun jika ia meninggal setelah adanya kemungkinan untuk melaksanakannya, maka wajib ditunaikan penggantiannya.


وَقَالَ أَبُو يَحْيَى الْبَلْخِيُّ، لَيْسَ إِمْكَانُ الْأَدَاءِ شَرْطًا فِي اسْتِقْرَارِ الْفَرْضِ فِي الصَّلَاةِ وَالْحَجِّ، فَإِنْ مَاتَ بَعْدَ وُجُوبِ الْحَجِّ وَقَبْلَ إِمْكَانِ الْأَدَاءِ أَوْ جُنَّ بَعْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ، وَقَبْلَ زَمَانِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ لَزِمَهُ الْقَضَاءُ فِيهِمَا جَمِيعًا وَلَيْسَ هَذَا بِصَوَابٍ، لِمَا ذَكَرْنَاهُ فِي كِتَابِ الصَّلَاةِ.

Dan Abu Yahya al-Balkhī berkata: “Kemampuan untuk menunaikan bukanlah syarat dalam penetapan kewajiban pada salat dan haji. Maka jika seseorang meninggal setelah kewajiban haji berlaku atasnya namun sebelum mampu menunaikannya, atau ia gila setelah tergelincir matahari dan sebelum waktu empat rakaat, maka wajib baginya qadha’ pada keduanya.” Namun ini tidak benar, sebagaimana telah kami sebutkan dalam Kitāb al-Ṣalāh.

فَصْلٌ
: فَإِذَا اسْتَقَرَّ فَرْضُ الْحَجِّ فِي ذِمَّتِهِ، وَمَاتَ قَبْلَ أَدَائِهِ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ بِمَوْتِهِ، وَوَجَبَ أَنْ يُقْضَى عَنْهُ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ وَصَّى بِهِ أَمْ لَا وَكَذَلِكَ الدَّيْنُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ، كَانَ الْوَارِثُ بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءَ قَضَاهُ عَنْهُ، وَإِنْ شَاءَ لَمْ يَقْضِهِ، وَقَالَ مَالِكٌ وأبو حنيفة قَدْ سَقَطَ الْفَرْضُ بِمَوْتِهِ وَصَّى بِهِ أَمْ لَا، فَإِنْ وَصَّى بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ كَانَ تَطَوُّعًا فِي ثَلَاثَةٍ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ حَجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً) {آل عمران: 97) وَالْمَيِّتُ غَيْرُ مُكَلَّفٍ بِفَرْضٍ وَلَا مُسْتَطِيعٍ لِحَجٍّ، قَالُوا: وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ عَلَى الْبَدَنِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ بِالْمَوْتِ كَالصَّلَاةِ، قَالُوا: وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَعَلَّقَتْ بِقَطْعِ مَسَافَةٍ فَوَجَبَ أَنْ تَسْقُطَ بِالْمَوْتِ كَالْجِهَادِ، وَهَذَا خَطَأٌ وَدَلِيلُنَا حَدِيثُ الْخَثْعَمِيَّةِ، وَقَوْلُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى، فَشَبَّهَ الْحَجَّ بِالدَّيْنِ الَّذِي لَا يَسْقُطُ بِالْمَوْتِ، فَوَجَبَ أَنْ يَتَسَاوَيَا فِي الْحُكْمِ وَرَوَى عَطَاءُ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: مَنْ حَجَّ عَنْ وَالِدَيْهِ وَلَمْ يحجا أجزأه عنهما ونشرت أرواحهما وكتبت عِنْدَ اللَّهِ بَرًّا وَلِأَنَّهُ حَقٌّ تَدْخُلُهُ النِّيَابَةُ اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ فِي حَالِ حَيَاتِهِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْقُطَ عَنْهُ بِالْمَوْتِ كَالدُّيُونِ مَعَ مَا رُوِيَ أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ” إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا حَجٌّ فَقَالَ لَهَا: ” حُجِّي عَنْهَا ” فَأَمَرَهَا بِالْحَجِّ عَنْهَا وَلَمْ يَسْأَلْهَا أَوْصَتْ لَهَا أَمْ لَا؟ وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ ذَكَرَ مِنْهَا حَجٌّ يُقْضَى فأما الآية فلا دليل فيهما لِأَنَّ التَّكْلِيفَ وَالِاسْتِطَاعَةَ إِنَّمَا لَزِمَاهُ فِي حَالِ حياته وما على الصلاة فبعيد لأنهما لا تسقط بالموت إنما تصح النيابة فيهما فكذلك لم يؤمر لقضائها وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْجِهَادِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّ النِّيَابَةَ لَا تَصِحُّ فِي حَالِ الْحَيَاةِ، كَذَلِكَ بعد الوفاة.

PASAL
 Apabila kewajiban haji telah tetap dalam tanggungan seseorang, lalu ia meninggal dunia sebelum menunaikannya, maka kewajiban itu tidak gugur karena kematiannya, dan wajib dihajikan dari harta pokok peninggalannya, baik ia mewasiatkan atau tidak. Demikian pula halnya dengan utang; jika ia tidak meninggalkan harta, maka ahli waris diberi pilihan, jika mau, ia boleh menggantikan hajinya, dan jika tidak, maka tidak wajib baginya.

Mālik dan Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa kewajiban itu gugur dengan kematian, baik ia mewasiatkannya atau tidak. Maka jika ia mewasiatkannya, pelaksanaannya setelah wafatnya dihukumi sebagai amal taṭawwu‘ dalam tiga hal, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Wa lillāhi ‘ala an-nāsi ḥijj al-bayti man isṭaṭā‘a ilayhi sabīlā} (QS Āli ‘Imrān: 97), dan orang yang telah meninggal tidak lagi terbebani taklif kewajiban dan tidak mampu melaksanakan haji.

Mereka mengatakan: karena haji adalah ibadah badan, maka wajib gugur dengan kematian seperti salat. Mereka juga mengatakan: karena haji adalah ibadah yang berkaitan dengan menempuh perjalanan, maka wajib gugur dengan kematian seperti jihad.

Ini adalah kesalahan. Dalil kami adalah hadits al-Khath‘amiyyah dan sabda Rasulullah SAW: “Fa-daynullāh aḥaqq an yuqdā” (Utang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan), maka Nabi SAW menyamakan haji dengan utang yang tidak gugur dengan kematian, maka wajib disamakan pula hukumnya.

Dan telah meriwayatkan ‘Aṭā’ bin Abī Rabāḥ dari Zayd bin Arqam dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Barang siapa berhaji untuk kedua orang tuanya, padahal keduanya belum berhaji, maka hajinya mencukupi dari keduanya, dan ruh mereka diluaskan, dan dicatat di sisi Allah sebagai anak yang berbakti.”

Dan karena haji adalah hak yang memungkinkan dikerjakan dengan niyābah, dan telah tetap atasnya semasa hidupnya, maka wajib tidak gugur dengan kematian seperti halnya utang.

Sebagaimana juga diriwayatkan bahwa seorang wanita berkata, “Wahai Rasulullah, ibuku telah wafat dan belum berhaji.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Hajikanlah dia.” Beliau memerintahkannya untuk menghajikan ibunya dan tidak bertanya apakah ibunya berwasiat atau tidak.

Diriwayatkan pula dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara,” dan beliau menyebutkan di antaranya haji yang dikerjakan sebagai pengganti.

Adapun ayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil karena taklif dan kemampuan hanya berlaku semasa hidup.

Adapun salat, maka perumpamaannya jauh, karena salat tidak gugur dengan kematian, hanya saja tidak diperintahkan untuk menggantinya.

Sedangkan qiyās mereka terhadap jihad tidak sah, karena sebabnya adalah: tidak sah melakukan niyābah dalam jihad semasa hidup, maka demikian pula setelah wafat.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا النِّيَابَةُ فِي حَجِّ التَّطَوُّعِ، فَلَا تَجُوزُ مِنْ غَيْرِ وَصِيَّةٍ، وَإِنْ وَصَّى بِهَا فَعَلَى قَوْلَيْنِ أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لِأَنَّ الْأَصْلَ في أعمال الأبدان أن النيابة فيها لَا تَجُوزُ وَإِنَّمَا جَازَ فِي حَجَّةِ الْإِسْلَامِ ولأجل الضَّرُورَةِ وَتَعَذُّرِ أَدَاءِ الْفَرْضِ، وَهَذَا غَيْرُ مَوْجُودٍ فِي التَّطَوُّعِ.

PASAL
 Adapun perwakilan dalam haji tathawwu‘, maka tidak boleh dilakukan tanpa wasiat. Dan jika ia berwasiat untuk itu, maka terdapat dua pendapat:
 Pertama: tidak boleh, karena asal dalam amalan-amalan badan adalah tidak boleh ada perwakilan di dalamnya. Diperbolehkan hanya dalam ḥajjat al-Islām karena adanya kebutuhan dan ketidakmampuan menunaikan kewajiban, dan hal ini tidak terdapat dalam haji tathawwu‘.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَجُوزُ لِأَنَّ كُلَّمَا صَحَّتِ النِّيَابَةُ فِي فَرْضِهِ صَحَّتِ النِّيَابَةُ فِي نَفْلِهِ أَصْلُهُ: الصَّدَقَاتُ، وَعَكْسُهُ الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ، فَإِذَا قُلْنَا بِجَوَازِ النِّيَابَةِ فِيهِ وَقَعَ الْحَجُّ عَنِ الْمَحْجُوجِ عَنْهُ، وَاسْتَحَقَّ الْأَجِيرُ الْأُجْرَةَ الْمُسَمَّاةَ وَإِذَا قُلْنَا: إِنَّ النِّيَابَةَ فِيهِ غَيْرُ جَائِزَةٍ، وَقَعَ الْحَجُّ عَنِ الْأَجِيرِ، وَهَلْ لَهُ الْأُجْرَةُ الْمُسَمَّاةُ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا أُجْرَةَ لَهُ لِوُقُوعِ الْحَجِّ عَنْ نَفْسِهِ فَصَارَ، كَمَا لَوِ اسْتُؤْجِرَ وَعَلَيْهِ حَجَّةُ الْإِسْلَامِ لَزِمَهُ رَدُّ الْأُجْرَةِ لِوُقُوعِ الْحَجِّ عَنْ نَفْسِهِ.

Pendapat kedua: Boleh, karena setiap kewajiban yang sah dilakukan dengan niyābah, maka sah pula dilakukan niyābah dalam bentuk nafl-nya. Dasarnya adalah sedekah, dan kebalikannya adalah salat dan puasa.

Maka apabila kita berpendapat bolehnya niyābah dalam haji nafl, maka hajinya dihitung untuk orang yang dihajikan, dan orang yang disewa berhak atas upah yang telah disepakati.

Namun jika kita berpendapat bahwa niyābah dalam haji nafl tidak boleh, maka hajinya dihitung untuk orang yang mengerjakannya (yakni si ajīr).

Lalu, apakah ajīr berhak atas upah yang disepakati atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

Pertama: Tidak berhak atas upah, karena hajinya jatuh untuk dirinya sendiri. Maka hal ini seperti orang yang disewa untuk berhaji padahal ia sendiri belum menunaikan ḥajjat al-islām, maka ia wajib mengembalikan upah karena hajinya jatuh untuk dirinya sendiri.


وَالْقَوْلِ الثَّانِي: لَهُ الْأُجْرَةُ لِأَنَّهُ أَتْلَفَ عَمَلَهُ بِأَدَائِهِ عَلَى وَجْهِ الْعِوَضِ، فَصَارَ كَمَنِ اسْتُؤْجِرَ لِحُمُولَةٍ فَحَمَلَهَا، ثُمَّ بَانَ أَنَّ الْمُسْتَأْجِرَ أَعْطَاهُ حُمُولَةَ غَيْرِهِ، فَالْأُجْرَةُ لَهُ مُسْتَحَقَّةٌ، وَفَارَقَ أَنْ لَوْ كَانَ عَلَيْهِ حَجَّةُ الْإِسْلَامِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ انْتِقَالَ الْحَجِّ إِلَى نَفْسِهِ كَانَ مِنْ جِهَتِهِ لَا مِنْ جِهَةِ غَيْرِهِ.

وَالثَّانِي: أَنَّ عَمَلَهُ فِي ذَلِكَ لَمْ يَتْلَفْ لِأَنَّهُ قَدْ أُسْقِطَ بِذَلِكَ عَلَيْهِ، فَبِهَذَيْنِ الْفَرْقَيْنِ اختلفا في رد الأجرة.

Dan pendapat kedua: berhak menerima upah, karena ia telah menghabiskan amalnya dengan melakukannya dalam bentuk pengganti, maka kedudukannya seperti orang yang disewa untuk mengangkat barang, lalu ternyata barang itu milik orang lain yang diberikan oleh penyewa, maka upah tetap menjadi haknya.

Hal ini berbeda dengan kasus jika yang mengerjakan masih berkewajiban menunaikan ḥajjat al-Islām, dari dua sisi:
 Pertama: berpindahnya kewajiban haji kepada dirinya berasal dari dirinya sendiri, bukan dari pihak lain.
 Kedua: amalnya dalam hal itu tidak sia-sia karena dengan itu kewajiban telah gugur darinya.

Maka karena dua perbedaan inilah, mereka berselisih dalam hal pengembalian upah.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن كان عام جذب، أَوْ عطشٍ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى مَا لَا بُدَّ لَهُ مِنْهُ، أَوْ كَانَ خَوْفَ عَدُوٍّ، وَأَشْبَهُ أَنْ يَكُونَ غَيْرَ وَاجِدٍ لِلسَّبِيلِ، لَمْ يَلْزَمْهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ أَمَّا قَوْلُهُ: عَامَ جَدْبٍ يُرِيدُ بِهِ أَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: قِلَّةُ الْعُشْبِ فِي الطَّرِيقِ، وَالْكَلَأِ.

Masalah
 Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika pada tahun itu terjadi kekeringan, atau kehausan, dan ia tidak mampu mendapatkan sesuatu yang tidak bisa tidak harus ia penuhi, atau ada rasa takut terhadap musuh, maka yang lebih menyerupai keadaan itu adalah ia dianggap tidak memiliki kemampuan untuk menempuh jalan, maka tidak wajib baginya (haji).”

Al-Māwardī berkata: Dan ini adalah pendapat yang benar.

Adapun ucapannya “‘ām jadb” (tahun kekeringan), yang dimaksud adalah dua hal:
 Pertama: Sedikitnya rerumputan dan pakan di sepanjang jalan.


وَالثَّانِي: عَدَمُ الْمِيرَةِ، وَالزَّادِ أَوْ وُجُودُهُ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِ مِثْلِهِ، فِي وَقْتِهِ فِي الْمَكَانِ الَّذِي جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ أَنْ يَتَزَوَّدُوا مِنْهُ، لِأَنَّ الْوَاجِدَ لِلشَّيْءِ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِ مِثْلِهِ، فِي حُكْمِ الْعَادِمِ لَهُ كَالْمُسَافِرِ يَتَيَمَّمُ إِذَا عَدِمَ الْمَاءَ فَإِذَا وَجَدَهُ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِهِ تَيَمَّمَ أَيْضًا، وَأَمَّا قَوْلُهُ أَوْ عَطَشٍ يُرِيدُ بِهِ عَدِمَ الْمَاءَ فِي طَرِيقِهِ، أَوْ وُجُودَهُ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِهِ وَأَمَّا قَوْلُهُ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى مَا لَا بُدَّ لَهُ مِنْهُ يُرِيدُ الزَّادَ وَالرَّاحِلَةَ وَمَا لَا يُسْتَغْنَى عَنْهُ مِنْ قِرْبَةٍ، أَوْ مَحْمَلٍ أَوْ زَامِلَةٍ، وَالْحُكْمُ فِي عَدَمِهِ كَالْحُكْمِ فِي عَدَمِ الزَّادِ وَالرَّاحِلَةِ، وَأَمَّا قَوْلُهُ: أَوْ كَانَ خَوْفَ عَدُوٍّ يُرِيدُ مَانِعًا مِنَ الْحَجِّ، إِمَّا بِطَلَبِ مَالٍ، أَوْ نَفْسٍ، وَيَكُونُ ذَلِكَ عَامًّا فَأَمَّا إِنْ طَلَبَ وَاحِدًا بِعَيْنِهِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ عُذْرًا فِي إِسْقَاطِ الْحَجِّ عَنْهُ، وَكَانَ كَالْمَرِيضِ لِإِمْكَانِ فِعْلِ الْحَجِّ عَنْهُ، فَإِذَا كَانَ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ هَذِهِ الْأَعْذَارِ، أَوْ كَانَ شَيْءٌ مِنْهَا سَقَطَ فَرْضُ الْحَجِّ لِأَجْلِهَا وَبِاللَّهِ التوفيق.

Dan yang kedua: tidak adanya bekal dan perbekalan, atau adanya keduanya namun dengan harga yang lebih mahal dari harga semisalnya pada waktunya di tempat yang biasa digunakan orang-orang untuk mengambil bekal, karena orang yang mendapatkan sesuatu dengan harga lebih mahal dari harga semisalnya dihukumi seperti orang yang tidak memilikinya, sebagaimana musafir yang bertayammum jika tidak mendapatkan air, maka apabila ia menemukannya dengan harga lebih mahal dari harga sewajarnya, ia tetap bertayammum.

Adapun ucapannya: “atau karena kehausan,” maksudnya adalah tidak adanya air di perjalanannya, atau ada air namun dengan harga lebih mahal dari semestinya.
 Adapun ucapannya: “dan tidak mampu mendapatkan sesuatu yang mesti dimilikinya,” maksudnya adalah bekal, kendaraan, dan apa pun yang tidak bisa ditinggalkan seperti kantong air, tandu, atau alat angkut. Hukum tentang tidak adanya alat-alat tersebut sama dengan hukum tidak adanya bekal dan kendaraan.

Adapun ucapannya: “atau karena takut terhadap musuh,” maksudnya adalah adanya penghalang dari haji, baik berupa ancaman terhadap harta atau jiwa, dan hal itu bersifat umum. Adapun jika yang dimaksud hanya seseorang tertentu secara khusus, maka hal itu bukan udzur yang menggugurkan kewajiban haji darinya, dan ia seperti orang sakit karena masih memungkinkan orang lain menghajikannya.

Maka jika terdapat hal-hal yang telah kami sebutkan dari berbagai udzur ini, atau salah satunya, maka gugurlah kewajiban haji karena sebab-sebab tersebut. Dan hanya kepada Allah-lah segala taufik.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَمْ يَبْنِ عَلَى أنْ أُوجِبَ عَلَيْهِ رُكُوبَ الْبَحْرِ لِلْحَجِّ إِذَا قَدَرَ عَلَيْهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا أَهْلُ الْبَرِّ إِذَا تَعَذَّرَ عَلَيْهِمْ رُكُوبُ الْبَرِّ لِخَوْفٍ فِيهِ، أَوْ مَانَعٍ وَأَمْكَنَهُمْ رُكُوبُ الْبَحْرِ، فَلَيْسَ عَلَيْهِمْ رُكُوبُهُ، وَفَرْضُ الْحَجِّ سَاقِطٌ عَنْهُمْ مَا كَانَتْ هَذِهِ حَالُهُمْ لِمَا يَعْتَرِضُهُمْ في البحر من عظيم الخوف، ومن قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الْبَحْرُ نارٌ فِي نارٍ ” وَأَمَّا سُكَّانُ الْبَحْرِ وَمَنْ لَا طَرِيقَ لَهُ فِي الْبَرِّ، فَرُكُوبُ الْبَحْرِ يَلْزَمُهُمْ فِي الْحَجِّ إِذَا أَمْكَنَهُمْ سُلُوكُهُ، وَكَانَ غَالِبُهُ السَّلَامَةَ فَإِذَا اعْتَرَضَهُمُ الْخَوْفُ فَهُمْ كَأَهْلِ الْبَرِّ إِذَا خَافُوا، هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَمَنْصُوصُهُ، فَلَا مَعْنَى لِمَا تَأَوَّلَهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا أَنَّ ذَلِكَ فِي الْأَنْهَارِ وَالْبِحَارِ الصِّغَارِ، بَلْ لَا فَرْقَ بَيْنَ صِغَارِ الْبَحْرِ وَكِبَارِهَا وَاللَّهُ تعالى أعلم بالصواب.

Masalah
 Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Aku tidak berpendapat wajib atas seseorang untuk menempuh laut guna menunaikan haji jika ia mampu menyeberanginya.”

Al-Māwardī berkata: Adapun penduduk darat, jika mereka tidak memungkinkan menempuh jalur darat karena adanya rasa takut atau penghalang, dan memungkinkan bagi mereka menempuh jalur laut, maka tidak wajib atas mereka menempuh laut. Kewajiban haji gugur dari mereka selama mereka dalam kondisi demikian, karena apa yang mereka hadapi di laut dari rasa takut yang besar, dan berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Laut itu api di atas api.”

Adapun penduduk pesisir atau orang yang tidak memiliki jalur darat sama sekali, maka wajib atas mereka menempuh laut untuk haji apabila memungkinkan baginya menempuhnya dan kebanyakannya adalah keselamatan. Namun jika muncul rasa takut, maka mereka seperti penduduk daratan yang merasa takut.

Inilah mazhab al-Syāfi‘ī dan nash beliau, maka tidak ada makna bagi penakwilan sebagian sahabat kami bahwa yang dimaksud adalah sungai dan laut kecil. Bahkan tidak ada perbedaan antara laut kecil dan laut besar.

Wallāhu Ta‘ālā a‘lam biṣ-ṣawāb.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَرُوِيَ عَنْ عطاءٍ وطاوسٍ أَنَّهُمَا قَالَا الْحَجَّةُ الْوَاجِبَةُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ، وَهُوَ الْقِيَاسُ “.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا مَاتَ، وَعَلَيْهِ حَجَّةُ الْإِسْلَامِ لَمْ تَسْقُطْ عَنْهُ بِمَوْتِهِ لِمَا دَلَّلَنَا عَلَيْهِ، وَوَجَبَ قَضَاؤُهَا عَنْهُ، وَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يُوصِيَ بِإِخْرَاجِهَا.

Masalah
 Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Diriwayatkan dari ‘Aṭā’ dan Ṭāwūs bahwa keduanya berkata: haji yang wajib diambil dari modal pokok, dan itulah yang sesuai dengan qiyās.”
 Al-Māwardī berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan, yaitu apabila seseorang wafat dan atasnya masih ada ḥajjat al-Islām, maka tidak gugur darinya karena wafat, sebagaimana telah kami jelaskan dalilnya, dan wajib dihajikan untuknya. Keadaannya ada dua:

Pertama: ia berwasiat agar haji tersebut ditunaikan dari hartanya.


وَالثَّانِي: أَنْ لَا يُوصِيَ فَإِنْ لَمْ يُوصِ بِإِخْرَاجِهَا وَجَبَ أَنْ يُخْرَجَ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ لَا يَخْتَلِفُ فِيهِ الْمَذْهَبُ وَكَذَلِكَ الزَّكَاةُ قِيَاسًا عَلَى الدُّيُونِ للآدميين ولقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فدين الله أحق أن يقضى ” فأما النُّذُورُ وَالْكَفَّارَاتُ وَمَا وَجَبَ عَلَيْهِ بِاخْتِيَارِهِ، فَفِيهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: يُخْرَجُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ، وَهُوَ الصَّحِيحُ قِيَاسًا عَلَى الْحَجِّ وَالزَّكَاةِ، وَدُيُونِ الْآدَمِيِّينَ.

Yang kedua: Tidak berwasiat. Maka jika ia tidak berwasiat untuk mengeluarkan (biaya hajinya), wajib dikeluarkan dari harta pokok (ra’s al-māl)-nya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab.

Demikian pula zakat, dikiaskan dengan utang kepada sesama manusia, dan berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Fa-daynullāh aḥaqq an yuqdā” (Maka utang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan).

Adapun nazar, kaffārah, dan kewajiban yang timbul karena pilihannya sendiri, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

Pertama: Dikeluarkan dari harta pokok, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena dikiaskan dengan haji, zakat, dan utang kepada sesama manusia.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يُخْرَجُ مِنَ الثُّلُثِ لِأَنَّ ذَلِكَ لَزِمَهُ بِاخْتِيَارِهِ، فَكَانَ أَضْعَفَ حَالًا مِمَّنْ وَجَبَ عَلَيْهِ ابْتِدَاءً بِالشَّرْعِ وَالْقَوْلُ الْأَوَّلُ أَصَحُّ، لِأَنَّ هذا منكسر بالدين، فإذ تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَاهُ، وَمَاتَ وَعَلَيْهِ دُيُونُ الْآدَمِيِّينَ، وَحَجَّةُ الْإِسْلَامِ فَإِنِ اتَّسَعَ مَالُهُ لِقَضَاءِ الْجَمِيعِ فَذَاكَ، فَإِنْ ضَاقَ عَنْهَا فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ:

Dan pendapat kedua: dikeluarkan dari sepertiga harta, karena hal itu menjadi kewajibannya berdasarkan pilihannya sendiri, maka kedudukannya lebih lemah daripada orang yang wajib atasnya secara langsung melalui syariat.

Dan pendapat pertama lebih ṣaḥīḥ, karena kewajiban ini bisa dikalahkan oleh utang.

Apabila telah tetap apa yang kami sebutkan, lalu ia wafat dalam keadaan memiliki utang kepada sesama manusia dan juga memiliki kewajiban ḥajjat al-Islām, maka:

  • jika hartanya cukup untuk melunasi semuanya, maka itu yang diutamakan.
  • namun jika hartanya tidak mencukupi, maka terdapat tiga pendapat:


أَحَدُهَا: تُقَدَّمُ حَجَّةُ الْإِسْلَامِ عَلَى دُيُونِ الْآدَمِيِّينَ، لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى “.
وَالثَّانِي: تُقَدَّمُ دُيُونُ الْآدَمِيِّينَ لِتَعَلُّقِهَا بِخَصْمٍ حَاضِرٍ، وَقَدْ رَوَى سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلَيَّ حَجَّةُ الْإِسْلَامِ وَعَلَيَّ دَيْنٌ قَالَ اقْضِ دَيْنَكَ.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يُقَسَّمَ بِالْحِصَصِ.

Pertama: Hajjat al-Islām didahulukan atas utang kepada sesama manusia, berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Fa-daynullāh aḥaqq an yuqdā” (Maka utang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan).

Kedua: Utang kepada sesama manusia didahulukan karena berkaitan dengan pihak yang hadir (yakni pihak yang dirugikan secara langsung). Dan telah meriwayatkan Sa‘īd al-Maqburī dari Abū Hurayrah bahwa seorang laki-laki datang dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku memiliki kewajiban hajjat al-islām dan aku juga memiliki utang.” Maka Nabi SAW bersabda: “Bayarlah utangmu.”

Ketiga: Dibagi menurut bagian masing-masing (bi ’l-ḥiṣaṣ).


فَصْلٌ
: فَإِنْ أَوْصَى بِإِخْرَاجِهَا بَعْدَ مَوْتِهِ، فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يُوصِيَ بِإِخْرَاجِهَا مِنْ رَأْسِ مَالِهِ.
وَالثَّانِي: مِنْ ثُلُثِهِ.
وَالثَّالِثُ: تُطْلَقُ الْوَصِيَّةُ، فَإِنْ وَصَّى بِإِخْرَاجِهَا من رأس ماله، وكان وَصِيَّتُهُ أَفَادَتِ الْإِذْكَارَ وَالتَّأْكِيدَ، وَإِنْ وَصَّى بِإِخْرَاجِهَا مِنْ ثُلُثِهِ أُخْرِجَتْ مِنْ ثُلُثِ مَالِهِ، وَكَأَنَّهُ قَدْ وَفَّرَ عَلَى وَرَثَتِهِ فَإِنْ ضَاقَ الثُّلُثُ عَنْهَا وَجَبَ إِتْمَامُهَا مِنْ رَأْسِ الْمَالِ، وَإِنْ أَطْلَقَ الْوَصِيَّةَ بِهَا فَلَمْ يَجْعَلْهَا فِي ثُلُثِهِ، وَلَا مِنْ رَأْسِ مَالِهِ فَلَهُ حَالَانِ:

PASAL
 Jika seseorang berwasiat untuk mengeluarkannya setelah kematiannya, maka terdapat tiga keadaan:

Pertama: berwasiat agar dikeluarkan dari seluruh hartanya (ra’s māl).
 Kedua: dari sepertiga hartanya.
 Ketiga: wasiatnya bersifat mutlak.

Jika ia berwasiat agar dikeluarkan dari seluruh hartanya, maka wasiat tersebut memberikan faedah berupa penegasan dan penguatan.

Jika ia berwasiat agar dikeluarkan dari sepertiga hartanya, maka dikeluarkan dari sepertiga hartanya, seakan-akan ia telah meringankan bagi ahli warisnya. Jika sepertiga harta tersebut tidak mencukupi, maka wajib disempurnakan dari seluruh hartanya.

Jika ia mewasiatkannya secara mutlak tanpa menyebutkan dari sepertiga harta atau dari seluruh hartanya, maka ada dua keadaan:


أَحَدُهُمَا: أَنْ يُوصِيَ مَعَهَا بِمَا يَكُونُ فِي الثُّلُثِ مِثْلَ عِتْقٍ، أَوْ صَدَقَةٍ، فَقَدْ ذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَعَامَّةُ أَصْحَابِهِ إِلَى أَنَّ الْحَجَّةَ فِي رَأْسِ مَالِهِ، وَقَدْ قَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هريرة تكون فِي ثُلُثِهِ، لِأَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَهَا، وَبَيْنَ مَا هُوَ فِي الثُّلُثِ فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُ قَصَدَ أَنْ تَكُونَ الْحَجَّةُ فِي الثُّلُثِ، وَهَذَا غَلَطٌ لِأَنَّ الْجَمْعَ بَيْنَ شَيْئَيْنِ لَا يُوجِبُ اشْتِرَاكَهُمَا فِي الْحُكْمِ.

salah satu dari keduanya: yaitu berwasiat bersamaan dengan itu (haji) dengan sesuatu yang termasuk sepertiga, seperti memerdekakan budak atau sedekah, maka Imam al-Syafi‘i dan mayoritas para sahabatnya berpendapat bahwa hajinya diambil dari seluruh hartanya. Dan Abū ‘Alī bin Abī Hurairah berpendapat bahwa haji itu dari sepertiga hartanya, karena ia menggabungkan antara haji dan sesuatu yang termasuk sepertiga, maka itu menunjukkan bahwa ia bermaksud agar haji termasuk dalam sepertiga. Ini adalah kesalahan, karena menggabungkan dua hal tidaklah mengharuskan keduanya memiliki hukum yang sama.


وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُوصِيَ بِإِخْرَاجِهَا مُفْرَدَةً، وَلَا يُوصِيَ مَعَهَا بِشَيْءٍ سِوَاهَا فَمَذْهَبُ سَائِرِ أَصْحَابِنَا، وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ مَعَهُمْ أَنَّهَا مِنْ رَأْسِ مَالِهِ، وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا تَكُونُ فِي الثُّلُثِ لِأَنَّهُ لَوْ أَرَادَ إِخْرَاجَهَا مِنْ رَأْسِ مَالِهِ، لَأَمْسَكَ عَنِ الْوَصِيَّةِ بِهَا وَهَذَا أَضْعَفُ مِنْ قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ بِهَا لَا تَدُلُّ عَلَى إِخْرَاجِهَا مِنَ الثُّلُثِ، وَإِنَّمَا الْمَقْصُودُ بِهِ إِذْكَارُ وَرَثَتِهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan keadaan kedua: yaitu jika ia berwasiat untuk mengeluarkannya secara tersendiri, dan tidak berwasiat dengan sesuatu pun selainnya, maka menurut mazhab seluruh sahabat kami — termasuk Abū ‘Alī bin Abī Hurairah — bahwa ia dikeluarkan dari ra’s māl-nya.

Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa itu termasuk dalam sepertiga harta, karena jika ia bermaksud untuk mengeluarkannya dari ra’s māl-nya, tentu ia akan menahan diri dari berwasiat tentangnya. Namun pendapat ini lebih lemah daripada pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, karena wasiat tentangnya tidak menunjukkan bahwa ia dikeluarkan dari sepertiga harta, melainkan maksudnya adalah untuk mengingatkan ahli warisnya. Wallāhu a‘lam.


مَسْأَلَةٌ
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ويستأجر عَنْهُ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ بِأَقَلَّ مَا يُؤَجِّرُ مِنْ مِيقَاتِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا جَوَازَ الْإِجَارَةِ فِي الْحَجِّ وَسَنَدُلُّ عَلَيْهِ فِي بَابِهِ، وَنَذْكُرُ خِلَافَ أبي حنيفة وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ الْأَفْعَالَ الَّتِي تُفْعَلُ عَنِ الْغَيْرِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: مَا يَجُوزُ أَنْ يَتَطَوَّعَ بِهِ عَنِ الْغَيْرِ، وَيَعُودُ ثَوَابُهُ إِلَيْهِ فَلَا يَخْتَلِفُ الْمَذْهَبُ فِي جَوَازِ فِعْلِهِ بِإِجَارَةٍ لَازِمَةٍ، وَجَعَالَةٍ وَمَعُونَةٍ كَالْحَجِّ وَتَعْلِيمِ الْقُرْآنِ، وَبِنَاءِ الْقَنَاطِرِ، وَكَتْبِ الْمَصَاحِفِ.

MASALAH
 : Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Dan disewa orang untuk menggantikan hajinya dan ‘umrahnya dengan upah paling sedikit dari miqat-nya.”
 Al-Māwardī berkata: Kami telah menyebutkan bolehnya penyewaan dalam haji dan akan menunjukkan dalilnya pada babnya, serta menyebutkan pendapat berbeda dari Abū Ḥanīfah.
 Dan seluruh pembahasan ini adalah bahwa amal-amal yang dilakukan atas nama orang lain terbagi menjadi tiga jenis:

Pertama: Apa yang boleh dilakukan sebagai tathawwu‘ atas nama orang lain, dan pahalanya kembali kepada orang tersebut. Maka tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab mengenai bolehnya dilakukan dengan sewa yang mengikat, atau imbalan bantuan, seperti haji, mengajarkan Al-Qur’an, membangun jembatan (qanāṭir), dan menyalin mushaf.


وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَطَوَّعَ بِهِ الْغَيْرُ عَنِ الْغَيْرِ، فَإِنْ فُعِلَ عَادَ ثَوَابُهُ إِلَى الْفَاعِلِ، فَلَا يَجُوزُ فِعْلُهُ بِإِجَارَةٍ، وَلَا جَعَالَةٍ كَالطَّهَارَةِ وَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَطَوَّعَ بِهِ عَنِ الْغَيْرِ لَكِنْ إِنْ فَعَلَ عَنِ الْغَيْرِ عَادَ إِلَيْهِ نَفْعُهُ، فَلَا يَجُوزُ فِعْلُهُ بِإِجَارَةٍ لَازِمَةٍ، وَيَجُوزُ فِعْلُهُ بِرِزْقٍ وَجَعَالَةٍ كَالْجِهَادِ، وَالْأَذَانِ وَالْقَضَاءِ وَالْإِمَامَةِ.

Bagian kedua: yaitu ibadah yang tidak boleh dilakukan secara tathawwu‘ (sukarela) oleh seseorang untuk orang lain. Jika tetap dilakukan, maka pahala kembali kepada pelakunya. Maka tidak boleh dilakukan dengan upah sewa (ijārah) atau imbalan tertentu (ja‘ālah), seperti ṭahārah, ṣalāh, dan ṣiyām.

Bagian ketiga: yaitu ibadah yang tidak boleh dilakukan secara tathawwu‘ untuk orang lain, namun jika dilakukan atas nama orang lain maka manfaatnya tetap kembali kepada orang itu. Maka tidak boleh dilakukan dengan ijārah yang mengikat, tetapi boleh dilakukan dengan pemberian rizq (tunjangan) atau ja‘ālah (imbalan atas hasil), seperti jihād, adhān, qaḍā’ (menjadi hakim), dan imāmah (menjadi imam).


فَصْلٌ
: وَإِذَا وَجَبَ الْحَجُّ فِي مال اسْتُؤْجِرَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ مِنْ مِيقَاتِ بَلَدِهِ بِأُجْرَةِ مِثْلِهِ، وَهُوَ الْقَدْرُ الَّذِي يَخْرُجُ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ فَأَمَّا الزِّيَادَةُ عَلَى هَذَا فَلَا تَجُوزُ إِلَّا بِوَصِيَّةٍ فِي الثُّلُثِ، لِأَنَّ أَوَّلَ أَفْعَالِ الْحَجِّ مِنَ الْمِيقَاتِ، وَمَا قَبْلَهُ مَسَافَةٌ يُتَوَصَّلُ بِهَا إِلَيْهِ، كَمَا يُتَوَصَّلُ إِلَى الطَّهَارَةِ بطل بالماء وَإِلَى الصَّلَاةِ، بِالِاجْتِهَادِ فِي الْقِبْلَةِ وَالْوَقْتِ، وَلَيْسَ ذلك من أفعال الطهارة والصلاة.

PASAL
 : Apabila haji telah wajib dari harta, maka disewa orang untuk berhaji atas namanya dari miqat negeri asalnya dengan upah sepadan, dan itu adalah kadar yang dikeluarkan dari seluruh hartanya. Adapun kelebihan dari hal itu, maka tidak boleh kecuali dengan wasiat dalam sepertiga harta, karena awal perbuatan haji dimulai dari miqat, dan apa yang sebelumnya hanyalah jarak tempuh untuk sampai ke miqat, sebagaimana seseorang menempuh jalan menuju ṭahārah dengan mencari air dan menuju salat dengan ijtihad arah kiblat dan waktu, sedangkan itu semua bukan termasuk perbuatan ṭahārah dan salat.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَحُجُّ عَنْهُ إِلَّا مَنْ قَدْ أَدَّى الْفَرْضَ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ يَكُنْ حَجَّ فَهِيَ عَنْهُ وَلَا أُجْرَةَ لَهُ وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا يُلَبِّي عَنْ فُلَانٍ فَقَالَ لَهُ ” إِنَ كُنْتَ حَجَجْتَ فَلَبِّ عَنْهُ وَإِلَّا فاحجج عن نفسك ” وعن ابن عباس أنه سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ:” لبيك عن شبرمة ” فقال: ويحك! ” ومن شبرمة؟ ” فأخبره فقال ” احجج عن نفسك ثم حج عن شبرمة “.

Masalah
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Tidak boleh seseorang berhaji atas nama orang lain kecuali yang telah menunaikan haji fardu sekali. Jika ia belum berhaji, maka haji itu menjadi atas nama dirinya sendiri dan tidak berhak mendapatkan upah.”

Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau mendengar seseorang bertalbiyah atas nama Fulan, maka beliau bersabda kepadanya: “Jika engkau telah berhaji, maka bertalbiyahlah untuknya. Jika belum, berhajilah untuk dirimu sendiri.”

Dan dari Ibn ‘Abbās bahwa ia mendengar seseorang berkata: “Labbaik ‘an Syubrumah,” maka ia berkata: “Celakalah engkau! Siapa Syubrumah itu?” Maka orang itu pun memberitahunya, lalu ia berkata: “Berhajilah untuk dirimu sendiri, kemudian berhajilah untuk Syubrumah.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لَيْسَ لِمَنْ لَمْ يُؤَدِّ فَرْضَ الْحَجِّ عَنْ نَفْسِهِ أَنْ يَحُجَّ عَنْ غَيْرِهِ سَوَاءٌ أَمْكَنَهُ الْحَجُّ أَمْ لَا. وَبِهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ وَقَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ: يَجُوزُ أَنْ يَحُجَّ عَنْ غَيْرِهِ وَإِنْ لَمْ يَحُجَّ عَنْ نَفْسِهِ، وَقَالَ الثَّوْرِيُّ إِنْ أَمْكَنَهُ أَنْ يَحُجَّ عَنْ نَفْسِهِ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَحُجَّ عَنْ غَيْرِهِ، وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْهُ جَازَ، وَاسْتَدَلُّوا بِحَدِيثِ الْخَثْعَمِيَّةِ قَالَتْ: إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ فِي الْحَجِّ عَلَى عِبَادِهِ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا، فَهَلْ تَرَى أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ وَفِيهِ دَلِيلَانِ:

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang telah dikatakan, bahwa tidak boleh bagi orang yang belum menunaikan fardu haji untuk dirinya sendiri, untuk berhaji atas nama orang lain, baik dia mampu berhaji maupun tidak. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Ibnu ‘Abbās dan al-Auzā‘ī, dan merupakan pendapat Aḥmad dan Isḥāq.

Sedangkan Abū Ḥanīfah dan Mālik berpendapat: Boleh seseorang berhaji atas nama orang lain meskipun ia belum berhaji untuk dirinya sendiri. Dan al-Thawrī berkata: Jika ia mampu berhaji untuk dirinya sendiri, maka tidak boleh ia berhaji untuk orang lain, tetapi jika ia tidak mampu maka diperbolehkan.

Mereka berdalil dengan hadis al-Khath‘amiyyah yang berkata: “Sesungguhnya kewajiban Allah dalam haji atas hamba-hamba-Nya telah mencapai ayahku dalam keadaan tua renta. Apakah engkau melihat aku boleh berhaji atas namanya?” Nabi SAW menjawab: “Ya.”

Dalam hadis ini terdapat dua dalil:


أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمْ يَشْتَرِطْ، تَقَدُّمَ حَجِّهَا عَنْ نَفْسِهَا.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ شَبَّهَ قَضَاءَ الْحَجِّ بِقَضَاءِ الدَّيْنِ وَبِرِوَايَةِ طَاوُسٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَمِعَ رَجُلًا يُلَبِّي عَنْ نُبَيْشَةَ فَقَالَ: حُجَّ عَنْ نبيشةٍ ثُمَّ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ وَهَذَا نَصٌّ وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَدْخُلُهَا النِّيَابَةُ فَجَازَ أَنْ يَفْعَلَهَا عَنْ غَيْرِهِ، وَإِنْ كَانَ عَلَيْهَا مِثْلُهَا كَالزَّكَاةِ. وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَمِعَ رَجُلًا يُلَبِّي عَنْ شبرمةٍِ فَقَالَ لَهُ: أَحَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ: لَا قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ.

Pertama: bahwa ia tidak mensyaratkan didahulukannya haji atas nama dirinya sendiri.

Kedua: bahwa ia menyamakan qaḍā’ al-ḥajj (haji pengganti) dengan pelunasan utang, dan berdasarkan riwayat Ṭāwūs dari Ibn ‘Abbās bahwa Rasulullah SAW mendengar seseorang bertalbiyah atas nama Nubaishah, maka beliau bersabda: “Hajilah untuk Nubaishah, kemudian hajilah untuk dirimu sendiri.” Ini adalah naṣṣ.

Dan karena ia termasuk ibadah yang boleh dilakukan secara perwakilan (niyābah), maka boleh dilakukan atas nama orang lain meskipun ia sendiri belum menunaikannya, seperti zakat.

Dalil kami adalah riwayat Abū az-Zubair dari Jābir bahwa Rasulullah SAW mendengar seseorang bertalbiyah atas nama Syubrumah, maka beliau bersabda kepadanya: “Apakah engkau telah berhaji untuk dirimu sendiri?” Ia menjawab: “Belum.” Maka beliau bersabda: “Berhajilah untuk dirimu sendiri, kemudian berhajilah untuk Syubrumah.”


وَرَوَى عَطَاءٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَمِعَ رَجُلًا يُلَبِّي عَنْ شبرمةٍ فَقَالَ: إِنْ كُنْتَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ فَلَبِّ عَنْهُ وَإِلَّا فَلَبِّ عَنْ نَفْسِكَ.
فَأَمَرَهُ أَنْ يُقَدِّمَ حَجَّ نَفْسِهِ عَلَى حَجِّ غَيْرِهِ.
فَإِنْ قِيلَ: فَهَذَا الْخَبَرُ يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ قَدِ انْعَقَدَ إِحْرَامُهُ بِالْحَجِّ عَنْ غَيْرِهِ، ثُمَّ أَمَرَهُ بِنَقْلِهِ إِلَى نَفْسِهِ، وَهَذَا خِلَافُ قَوْلِكُمْ لِأَنَّكُمْ تَزْعُمُونَ أَنَّ الْإِحْرَامَ قَدِ انْعَقَدَ عَنْهُ لَا عَنْ غَيْرِهِ.

Dan telah meriwayatkan ‘Aṭā’ dari Ibnu ‘Abbās bahwa Rasulullah SAW mendengar seorang lelaki bertalbiyah atas nama Syubrumah, maka beliau bersabda: “Jika engkau telah berhaji untuk dirimu sendiri, maka bertalbiyahlah atas namanya, dan jika belum, maka bertalbiyahlah untuk dirimu sendiri.”

Maka beliau memerintahkannya untuk mendahulukan haji untuk dirinya sendiri sebelum berhaji untuk orang lain.

Jika dikatakan: Hadis ini menunjukkan bahwa iḥrām-nya telah terlanjur dilaksanakan atas nama orang lain, kemudian beliau memerintahkannya untuk memindahkannya kepada dirinya sendiri — dan ini bertentangan dengan pendapat kalian, karena kalian menyatakan bahwa iḥrām itu telah sah atas dirinya, bukan atas nama orang lain.


قِيلَ إِنَّمَا أَمَرَهُ أَنْ يَنْقُلَ التَّلْبِيَةَ لَا الْإِحْرَامَ، بِدَلِيلِ قَوْلِهِ: إِنْ كُنْتَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ فَلَبِّ عَنْهُ وَإِلَّا فَلَبِّ عَنْ نَفْسِكَ.
فَإِنْ قِيلَ: فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَهُ بِفَسْخِ مَا انْعَقَدَ مِنَ الْإِحْرَامِ عَنْ غَيْرِهِ، وَتَجْدِيدِ الْإِحْرَامِ عَنْ نَفْسِهِ لِأَنَّهُ وَقْتٌ كَانَ الْفَسْخُ جَائِزًا فِيهِ، أَلَا تَرَى أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَسَخَ الْحَجَّ عَلَى أَصْحَابِهِ، وَنَقَلَهُمْ إِلَى الْعُمْرَةِ قِيلَ: هَذَا غَلَطٌ، لِأَنَّ الْفَسْخَ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَلَا يَجُوزُ بَعْدَهُ وَكَانَ السَّبَبُ فِي فَسْخِ الْحَجِّ إِلَى الْعُمْرَةِ عَلَى مَا ذُكِرَ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْتَقِدُونَ أَنَّ فِعْلَ الْعُمْرَةِ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ لَا يَجُوزُ حَتَّى كَانُوا يَقُولُونَ: إِذَا برأ الدبر وعفي الْأَثَرُ وَانْسَلَخَ صَفَرٌ حَلَّتِ الْعُمْرَةُ لِمَنِ اعْتَمَرَ، وَيَدُلُّ عَلَى مَا قُلْنَا: أَنَّ الْإِحْرَامَ فِعْلٌ مِنْ أَفْعَالِ الْحَجِّ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجُوزَ لَهُ أَنْ يَفْعَلَهُ عَنْ غَيْرِهِ قَبْلَ أَنْ يَفْعَلَهُ عَنْ نَفْسِهِ.

Dikatakan bahwa Nabi SAW hanya memerintahkan orang itu untuk memindahkan talbiyah-nya, bukan iḥrām-nya, dengan dalil sabdanya: “Jika engkau telah berhaji untuk dirimu sendiri, maka bertalbiyahlah untuknya; jika belum, maka bertalbiyahlah untuk dirimu sendiri.”

Jika dikatakan: mungkinkah Nabi SAW memerintahkannya untuk membatalkan iḥrām yang telah terikat atas nama orang lain, lalu memperbarui iḥrām atas nama dirinya sendiri, karena saat itu merupakan waktu di mana pembatalan iḥrām masih diperbolehkan? Bukankah engkau melihat bahwa Nabi SAW telah membatalkan haji para sahabatnya dan menggantinya dengan ‘umrah?

Dijawab: Ini adalah kesalahan, karena pembatalan iḥrām hanya berlaku pada masa Nabi SAW, dan tidak boleh setelahnya. Dan sebab pembatalan haji kepada ‘umrah, sebagaimana disebutkan, adalah karena mereka dahulu meyakini bahwa pelaksanaan ‘umrah di bulan-bulan haji tidak diperbolehkan, sampai-sampai mereka berkata: “Jika luka bekas pelana telah sembuh, dan jejak perjalanan telah hilang, serta bulan Ṣafar telah berlalu, barulah ‘umrah menjadi halal bagi orang yang i‘tamara.”

Dan yang menunjukkan kebenaran pendapat kami adalah bahwa iḥrām merupakan bagian dari amal-amal haji, maka wajib tidak melakukannya atas nama orang lain sebelum melakukannya atas nama dirinya sendiri.


أَصْلُهُ: إِذَا كَانَ عَلَيْهِ طَوَافُ الزِّيَارَةِ وَطَوَافٌ عَنْ غَيْرِهِ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَتَعَلَّقُ بِقَطْعِ مَسَافَةٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُؤَدِّيَهَا عَنْ غَيْرِهِ، مَعَ وُجُوبِ فَرْضِهَا عَلَيْهِ كَالْجِهَادِ فَأَمَّا حَدِيثُ الْخَثْعَمِيَّةِ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ مَا رُوِيَ أَنَّهَا سَأَلَتْهُ، وَقَدْ رَفَعَ مِنْ مُزْدَلِفَةَ إِلَى مِنًى فَكَانَ الظَّاهِرُ مِنْ حَالِهَا، أَنَّهَا قَدْ أَدَّتْ فَرْضَ الْحَجِّ عَنْ نَفْسِهَا سِيَّمَا وَقَدْ شَاهَدَهَا فِي الْمَوَاقِفِ مَعَ النَّاسِ وَعَلَى أَنَّهَا قَصَدَتْ بِالسُّؤَالِ بِعَرَفَةَ وُجُوبَ الْحَجِّ عَلَى أَبِيهَا، وَلَمْ تَقْصِدْ بِهِ صِفَةَ الْحَجِّ وَكَيْفِيَّةَ النِّيَابَةِ فِيهِ وَأَمَّا حَدِيثُ نُبَيْشَةَ فَرِوَايَةُ الْحَسَنِ بْنِ عُمَارَةَ وَهُوَ مَتْرُوكُ الْحَدِيثِ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَيْسَرَةَ عَنْ طَاوُسٍ، وَقَدْ رُوِيَ بِإِسْنَادِهِ أَنَّهُ قَالَ: حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ نُبَيْشَةَ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الزَّكَاةِ فَالْمَعْنَى فِيهِ: جَوَازُ النِّيَابَةِ فِيهِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى أَدَائِهِ، وَالْحَجُّ لَا يَصِحُّ فِيهِ النِّيَابَةُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ.

Asalnya: jika seseorang masih memiliki tanggungan ṭawāf az-ziyārah dan juga ṭawāf atas nama orang lain, dan karena haji adalah ibadah yang berkaitan dengan menempuh jarak perjalanan, maka tidak sah dilakukan atas nama orang lain selama kewajiban haji masih ada atas dirinya, sebagaimana jihad.

Adapun hadis al-Khath‘amiyyah, jawabannya adalah sebagaimana riwayat bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW ketika beliau telah berangkat dari Muzdalifah menuju Mina, maka yang tampak dari keadaannya adalah bahwa ia telah menunaikan fardu haji untuk dirinya sendiri — khususnya karena beliau melihatnya hadir bersama orang-orang di tempat-tempat manasik.

Selain itu, maksud pertanyaannya di ‘Arafah adalah tentang kewajiban haji atas ayahnya, bukan tentang sifat haji atau tata cara perwakilannya.

Adapun hadis Nubaysyah, maka ia diriwayatkan oleh al-Ḥasan bin ‘Umārah — seorang yang ditinggalkan hadisnya — dari ‘Abd al-Malik bin Maysarah dari Ṭāwūs, dan telah diriwayatkan dengan sanadnya bahwa Nabi SAW bersabda: “Hajikanlah untuk dirimu sendiri, kemudian hajikanlah untuk Nubaysyah.”

Adapun qiyās mereka terhadap zakat, maka maksudnya adalah bahwa zakat boleh diwakilkan meskipun mampu melaksanakannya sendiri, sedangkan haji tidak sah diwakilkan jika seseorang masih mampu melakukannya sendiri.


فَصْلٌ
: فَإِذَا صَحَّ مَا ذَكَرْنَاهُ فَمَنْ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ عَنْ غَيْرِهِ، قَبْلَ أَدَاءِ فَرْضِ الْحَجِّ عَنْ نَفْسِهِ لَمْ يَبْطُلْ إِحْرَامُهُ بِخِلَافِ قَوْلِ دَاوُدَ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” اجْعَلْهَا عَنْ نَفْسِكَ ” وَلِأَنَّ الْإِحْرَامَ لَا يَبْطُلُ إِلَى مَا تَقْتَضِيهِ الْحَالُ كَمَا قُلْنَا فِيمَنْ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ قَبْلَ أَشْهُرِهِ يَصِيرُ عُمْرَةً، وَلَوْ كَانَتِ الْحَجَّةُ عَنْ نَفْسِهِ لَزِمَهُ رَدُّ الْأُجْرَةِ عَلَى الْمُسْتَأْجِرِ، لِأَنَّهُ عَاوَضَهُ عَلَى عَمَلٍ لَمْ يحصل له.

PASAL
 Apabila telah sah apa yang telah kami sebutkan, maka barangsiapa beriḥrām untuk haji atas nama orang lain sebelum menunaikan haji fardu atas nama dirinya sendiri, maka iḥrām-nya tidak batal — berbeda dengan pendapat Dāwūd — karena sabda Nabi SAW: “Jadikanlah (haji itu) untuk dirimu sendiri.”

Dan karena iḥrām tidaklah batal, melainkan mengikuti keadaan sebagaimana yang kami sebutkan pada orang yang beriḥrām haji sebelum bulan-bulan haji, maka iḥrām-nya berubah menjadi ‘umrah.

Dan jika ternyata hajinya menjadi atas nama dirinya sendiri, maka ia wajib mengembalikan upah kepada pihak yang menyewanya, karena ia telah menerima imbalan atas suatu amal yang tidak ia kerjakan untuk penyewa tersebut.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَكَذَلِكَ لَوْ أَحْرَمَ مُتَطَوِّعًا وَعَلَيْهِ حَجٌّ كَانَ فَرْضَهُ أَوْ عُمْرَةٌ كَانَتْ فَرْضَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَبْنِيَّةٌ عَلَى الَّتِي قَبْلَهَا، وَالْخِلَافُ فِيهَا مَعَ أبي حنيفة وَاحِدٌ فَإِذَا أَحْرَمَ تَطَوُّعًا وَعَلَيْهِ حَجَّةُ الْإِسْلَامِ كَانَتْ عَنْ فَرْضِهِ وَعِنْدَ أبي حنيفة تَكُونُ تَطَوُّعًا بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ، وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا جَعَلَ إِحْرَامَهُ عَلَى الْغَيْرِ إِحْرَامًا عَنْ نَفْسِهِ، لِأَنَّهُ كَانَ الْأَوْلَى بِحَالِهِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ إِحْرَامُهُ عَنِ التَّطَوُّعِ، إِحْرَامًا عَنِ الْفَرْضِ، لأنه الْأَوْلَى بِحَالِهِ، وَلِأَنَّ الْإِحْرَامَ رُكْنٌ مِنْ أَرْكَانِ الْحَجِّ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَصِحَّ أَنْ لَا يتطوع به، وعليه فرض كَمَنْ طَافَ يَنْوِي الْوَدَاعَ وَعَلَيْهِ طَوَافُ الزِّيَارَةِ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ يَجِبُ فِي إِفْسَادِهَا الْكَفَّارَةُ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَصِحَّ نَفْلُهَا مِمَّنْ يَصِحُّ مِنْهُ فَرْضُهَا، كَالصَّوْمِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ.

Masalah
 : Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Demikian pula jika seseorang beriḥrām untuk haji atau ‘umrah sunnah, padahal masih memiliki kewajiban haji atau ‘umrah fardu, maka itu dihitung sebagai fardu.”

Al-Māwardī berkata: Masalah ini dibangun di atas masalah sebelumnya, dan perbedaan pendapat dalam hal ini dengan Abū Ḥanīfah adalah sama. Maka jika seseorang beriḥrām untuk haji sunnah sementara masih memiliki kewajiban Haji Islam, maka itu terhitung sebagai pelaksanaan fardunya.

Menurut Abū Ḥanīfah, itu tetap dianggap sebagai sunnah, berdasarkan pada prinsip mazhabnya. Dan ini tidak benar, karena Rasulullah SAW ketika menetapkan iḥrām seseorang atas nama orang lain sebagai iḥrām untuk dirinya sendiri — karena lebih tepat dengan keadaannya — maka seharusnya iḥrām atas nama sunnah juga dihitung sebagai iḥrām atas nama fardu, karena lebih tepat dengan keadaannya.

Selain itu, karena iḥrām adalah rukun dari rukun-rukun haji, maka tidak sah seseorang bertata cara iḥrām untuk sunnah sedangkan ia masih memiliki kewajiban fardu — seperti orang yang bertawaf dengan niat wadā‘ sementara masih memiliki tanggungan ṭawāf az-ziyārah.

Dan karena ini adalah ibadah yang jika rusak wajib membayar kaffārah, maka tidak sah dilakukan sebagai ibadah sunnah dari orang yang masih wajib atasnya ibadah tersebut, seperti puasa di bulan Ramadan.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْعُمْرَةُ فَكَالْحَجِّ سَوَاءٌ لَيْسَ لِمَنْ لَمْ يَعْتَمِرْ عَنْ نَفْسِهِ أَنْ يَعْتَمِرَ عَنْ غَيْرِهِ، فَإِنِ اعْتَمَرَ عَنْ غَيْرِهِ كَانَتْ عَنْ نَفْسِهِ، وَلَزِمَهُ رَدُّ الْأُجْرَةِ فَلَوْ حَجَّ عَنْ نَفْسِهِ، وَلَمْ يَعْتَمِرْ جَازَ أَنْ يَحُجَّ عَنْ غَيْرِهِ وَكَذَلِكَ لَوِ اعْتَمَرَ عَنْ نَفْسِهِ، وَلَمْ يَحُجَّ جَازَ أَنْ يَعْتَمِرَ عَنْ غَيْرِهِ فَلَوْ حَجَّ عَنْ نَفْسِهِ وَلَمْ يَعْتَمِرْ فَقَرَنَ بَيْنَ الْحَجِّ، وَالْعُمْرَةِ عَنْ غَيْرِهِ كَانَ الْجَمِيعُ عَنْ نَفْسِهِ، لِأَنَّ القِران كَالنُّسُكِ الْوَاحِدِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَقَعَ بَعْضُهُ عَنْهُ وَبَعْضُهُ عَنْ غَيْرِهِ وَاللَّهُ تَعَالَى أعلم بالصواب.

PASAL
 Adapun ‘umrah, maka hukumnya sama dengan haji: tidak boleh bagi seseorang yang belum melakukan ‘umrah untuk dirinya sendiri, melakukan ‘umrah atas nama orang lain. Jika ia melakukan ‘umrah atas nama orang lain, maka dihitung sebagai ‘umrah untuk dirinya sendiri, dan ia wajib mengembalikan upah.

Jika ia telah berhaji untuk dirinya sendiri namun belum ber-‘umrah, maka boleh baginya berhaji atas nama orang lain.

Demikian pula jika ia telah ber-‘umrah untuk dirinya sendiri namun belum berhaji, maka boleh baginya ber-‘umrah atas nama orang lain.

Namun jika ia telah berhaji untuk dirinya sendiri dan belum ber-‘umrah, lalu menggabungkan haji dan ‘umrah (secara qirān) atas nama orang lain, maka seluruhnya dihitung untuk dirinya sendiri.

Karena qirān adalah satu nusk (ibadah manasik), maka tidak sah jika sebagian manasik dilakukan atas nama dirinya dan sebagian lainnya atas nama orang lain.

Wallāhu Ta‘ālā a‘lam biṣ-ṣawāb.

قال الشافعي رضي الله عنه: ” أُنْزِلَتْ فَرِيضَةُ الْحَجِّ بَعْدَ الْهِجْرَةِ وَأَمَّرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَبَا بَكْرٍ عَلَى الْحَجِّ وَتَخَلَّفَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِالْمَدِينَةِ بَعْدَ مُنْصَرَفِهِ مِنْ تَبُوكَ لَا مُحَارِبًا ولا مشغولاً بشيء وتخلف أكثر المسلمين قادرين على الحج وَأَزْوَاجُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ولو كان كمن ترك الصلاة حتى يخرج وقتها مَا تَرْكُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الفرض ولا ترك المتخلفون عنه ولم يحج – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بعد فرض الحج إلا حجة الإسلام وهي حجة الوداع وَرُوِيَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أقام بالمدينة تسع سنين ولم يحج ثم حج (قال الشافعي) فوقت الحج ما بين أن يجب عليه إلى أن يموت “.

BAB PENJELASAN WAKTU KEWAJIBAN HAJI DAN BAHWA IA BERSIFAT TANGGUH (TARĀKHĪ)
 Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Kewajiban haji diturunkan setelah hijrah, dan Rasulullah SAW memerintahkan Abū Bakar untuk memimpin ibadah haji, sementara beliau SAW tetap tinggal di Madinah setelah pulang dari Tabūk, tidak dalam keadaan berperang dan tidak pula sibuk dengan suatu urusan. Sebagian besar kaum Muslimin yang mampu juga tidak berangkat haji, termasuk istri-istri Rasulullah SAW.

Seandainya haji seperti salat yang ditinggalkan sampai keluar waktunya, niscaya Rasulullah SAW tidak akan meninggalkan kewajiban itu, dan tidak pula orang-orang yang tertinggal dari haji. Rasulullah SAW pun tidak berhaji setelah diwajibkan haji kecuali Haji Islam, yaitu Haji Wada‘.

Diriwayatkan dari Jābir bin ‘Abdillah bahwa Nabi SAW menetap di Madinah selama sembilan tahun dan tidak berhaji, kemudian beliau berhaji.”
 (Al-Syafi‘i berkata:) “Maka waktu pelaksanaan haji adalah sejak haji wajib atas seseorang hingga ia meninggal dunia.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
كُلُّ مَنْ لَزِمَهُ فَرْضُ الْحَجِّ فَالْأَوْلَى بِهِ تَقْدِيمُهُ وَيَجُوزُ لَهُ تَأْخِيرُهُ، وَفِعْلُهُ مَتَى شَاءَ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ جَابِرٌ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَأَنَسٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَمِنَ التَّابِعِينَ عَطَاءٌ وَطَاوُسٌ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الْأَوْزَاعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ وَقَالَ مَالِكٌ وَالْمُزَنِيُّ، وأبو يوسف فَرْضُ الْحَجِّ عَلَى الْفَوْرِ لَا يَجُوزُ تَأْخِيرُهُ لِمَنْ قَدَرَ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ لأبى حنيفة فِيهِ نَصٌّ، وَمِنْ أَصْحَابِهِ مَنْ قَالَ: هُوَ قِيَاسُ مَذْهَبِهِ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: تَعَجَّلُوا الْحَجَّ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ مَا يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ وَبِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَجِّلُوا الْحَجَّ قَبْلَ أَنْ يَمْرَضَ الصَّحِيحُ وَيَضِلَّ الضال وبقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” حُجُّوا قَبْلَ أَنْ لَا تَحُجُّوا ” فَأَمَرَ بِالْمُبَادَرَةِ، وَبِرِوَايَةِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: مَنْ وَجَدَ زَادًا وَرَاحِلَةً تُبَلِّغُهُ الْبَيْتَ فَلَمْ يَحُجَّ فَلَا عَلَيْهِ أَنْ يَمُوتَ يَهُودِيًّا أَوْ نَصْرَانِيًّا ” وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ لَهَا وَقْتٌ مَعْلُومٌ، لَا تُفْعَلُ فِي السَّنَةِ إِلَّا مَرَّةً، فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ عَلَى الْفَوْرِ كَالصِّيَامِ قَالَ: وَلِأَنَّهُ لَوْ مَاتَ قَبْلَ أَدَاءِ الْحَجِّ مَاتَ آثِمًا، فَلَوْلَا أَنَّهُ عَلَى الْفَوْرِ لَمْ يَأْثَمْ بِتَأْخِيرِهِ وَدَلِيلُنَا، هُوَ أَنَّ فَرِيضَةَ الْحَجِّ نَزَلَتْ سَنَةَ سِتٍّ مِنَ الْهِجْرَةِ، وَتَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَأَزْوَاجُهُ وَأَصْحَابُهُ قَادِرِينَ إِلَى سَنَةِ عَشْرٍ ثُمَّ حَجُّوا، فَإِنْ قِيلَ فَرِيضَةُ الْحَجِّ نَزَلَتْ سَنَةَ عَشْرٍ لِأَنَّ قَوْله تَعَالَى: {وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ البَيْتِ منِ اسْتَطاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً) {آل عمران: 97) نَزَلَتْ سَنَةَ تِسْعٍ، وَقِيلَ سَنَةَ عَشْرٍ فَبَادَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِلَى الْحَجِّ مِنْ غَيْرِ تَأْخِيرٍ قِيلَ: الدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّ فَرِيضَةَ الْحَجِّ نَزَلَتْ سَنَةَ سِتٍّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَحْرَمَ فِيهَا بِالْعُمْرَةِ، وَهِيَ عَامُ الْحُدَيْبِيَةِ فَأُحْصِرَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَأَتِّمُوا الحَجَّ والْعُمْرَةَ للهِ فَإنْ أحصْرِتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الهَدْيِ) {البقرة: 196) فَإِنْ قِيلَ: فَإِنَّمَا أَمَرَهُمُ اللَّهُ بِإِتْمَامِ الْحَجِّ، ولم يأمرهم أن يبتدوا حَجًّا قِيلَ: فَقَدْ يُرَادُ بِالْإِتْمَامِ الْبِنَاءُ تَارَةً وَالِابْتِدَاءُ تَارَةً عَلَى أَنَّهُمْ فِي عَامِ الْحُدَيْبِيَةِ كَانُوا قَدْ أَحْرَمُوا بِعُمْرَةٍ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُؤْمَرَ بِإِتْمَامِ الْعِبَادَةِ مَنْ لَمْ يَدْخُلْ فِيهَا فَعُلِمَ أَنَّهُ أَرَادَ إِنْشَاءَهَا، وَابْتِدَاءَهَا.

PASAL

Al-Māwardī berkata: “Ini adalah pendapat yang benar.”

Setiap orang yang telah wajib atasnya fardhu haji, maka yang utama baginya adalah mendahulukannya, dan boleh baginya menundanya serta melakukannya kapan saja ia mau. Pendapat ini dikatakan oleh Jābir, Ibn ‘Abbās, dan Anas RA dari kalangan sahabat; dan dari kalangan tābi‘īn: ‘Athā’ dan Ṭāwūs; serta dari kalangan fuqahā’: al-Awzā‘ī dan ats-Tsaurī.

Adapun Mālik, al-Muzanī, dan Abū Yūsuf berpendapat bahwa fardhu haji harus segera ditunaikan dan tidak boleh ditunda bagi orang yang telah mampu. Tidak ada nash dari Abū Ḥanīfah dalam hal ini, namun sebagian pengikutnya berkata: ini adalah qiyās atas mazhab beliau, dengan istidlāl dari riwayat Sa‘īd bin Jubayr dari Ibn ‘Abbās dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Bersegeralah menunaikan haji, karena salah seorang dari kalian tidak tahu apa yang akan menghalanginya.” Dan dengan sabda beliau SAW: “Segeralah berhaji sebelum orang sehat jatuh sakit, orang yang mendapat petunjuk menjadi sesat,” dan sabda beliau SAW: “Berhajilah sebelum kalian tidak bisa berhaji.” Maka ini adalah perintah untuk bersegera.

Dan dengan riwayat ‘Alī bin Abī Ṭālib RA dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Barang siapa memiliki bekal dan kendaraan yang dapat mengantarkannya ke Baitullāh lalu tidak berhaji, maka tidak mengapa baginya mati sebagai Yahudi atau Nasrani.” Karena haji adalah ibadah yang memiliki waktu tertentu, tidak dilakukan kecuali sekali dalam setahun, maka wajib dilakukan segera sebagaimana puasa.

Ia berkata: Seandainya seseorang mati sebelum menunaikan haji, maka ia mati dalam keadaan berdosa. Kalau bukan karena wajib dilakukan segera, niscaya ia tidak berdosa karena menundanya.

Adapun dalil kami adalah bahwa kewajiban haji diturunkan pada tahun keenam hijriyah, namun Rasulullah SAW tidak berhaji, begitu pula istri-istri beliau dan para sahabat padahal mereka mampu, hingga tahun kesepuluh, lalu mereka berhaji.

Jika dikatakan bahwa kewajiban haji turun pada tahun kesepuluh, karena firman Allah Ta‘ālā:

“Dan kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan haji ke Baitullāh bagi siapa yang mampu menempuh perjalanan kepadanya” (QS Āli ‘Imrān: 97),

maka ayat ini turun pada tahun kesembilan, dan ada yang mengatakan tahun kesepuluh. Dan Rasulullah SAW langsung menunaikan haji tanpa menundanya.

Maka dijawab: dalil bahwa kewajiban haji turun pada tahun keenam adalah bahwa Rasulullah SAW beriḥrām pada tahun itu untuk ‘umrah, yaitu tahun al-Ḥudaibiyyah, lalu beliau dihalangi (dari masuk Makkah), maka Allah Ta‘ālā menurunkan:

“Sempurnakanlah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kalian terhalang, maka sembelihlah hewan yang mudah diperoleh…” (QS al-Baqarah: 196).

Jika dikatakan: “Sesungguhnya Allah hanya memerintahkan untuk menyempurnakan haji, dan tidak memerintahkan untuk memulainya”, maka dijawab: yang dimaksud dengan itmam terkadang adalah menyempurnakan yang telah dimulai, dan terkadang maksudnya adalah memulai dan membangunnya dari awal. Karena pada tahun al-Ḥudaibiyyah mereka telah beriḥrām untuk ‘umrah, dan tidak mungkin seseorang diperintahkan untuk menyempurnakan ibadah yang belum dimasukinya, maka diketahui bahwa maksudnya adalah memulai dan mengerjakannya dari awal.


وَرُوِيَ أَنَّ ضمام بن ثعلة، وَفَدَ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَنَةَ خَمْسٍ مِنَ الْهِجْرَةِ، وَسَأَلَهُ عَنْ أَشْيَاءَ فَكَانَ مِمَّا سَأَلَهُ أَنْ قَالَ: اللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تَحُجَّ هَذَا الْبَيْتَ؟ قَالَ: نَعَمْ فَدَلَّ مَا ذَكَرْنَاهُ عَلَى أَنَّ فَرِيضَةَ الْحَجِّ نَزَلَتْ قَبْلَ سَنَةَ عَشْرٍ، وَلَا يُنْكِرُ نُزُولُ قَوْله تَعَالَى: {وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ البَيْتِ) {آل عمران: 97) سنة تسع، أو عشر عَلَى وَجْهِ تَأْكِيدِ الْوُجُوبِ، فَإِنْ قِيلَ: فَرْضُ الْحَجِّ إِنَّمَا اسْتَقَرَّ سَنَةَ عَشْرٍ بَعْدَ أَنْ تَقَدَّمَ وُجُوبُهُ سَنَةَ سِتٍّ بِدَلِيلِ مَا رُوِيَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ فِي حَجِّهِ سَنَةَ عشرٍ: أَلَا إِنَّ الزمان قد استدار كهيئة يوم خلق الله السموات وَالْأَرْضَ قِيلَ: فِي مُرَادِهِ بِهَذَا الْقَوْلِ تَأْوِيلَانِ:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ أَرَادَ حُصُولَ الْحَجِّ فِي ذِي الْحِجَّةِ، لِأَنَّهُمْ رُبَّمَا كَانُوا قَدَّمُوهُ إِلَى ذِي الْقَعْدَةِ، وَرُبَّمَا أَخَّرُوهُ إِلَى الْمُحَرَّمِ.

Dan diriwayatkan bahwa Ḍimām bin Tha‘labah datang menghadap Nabi SAW pada tahun kelima dari hijrah, dan ia bertanya kepada beliau tentang beberapa hal. Di antara yang ia tanyakan adalah: “Apakah Allah memerintahkan engkau untuk berhaji ke Baitullah ini?” Beliau menjawab: “Ya.”

Maka hal yang kami sebutkan menunjukkan bahwa kewajiban haji telah diturunkan sebelum tahun kesepuluh. Tidaklah mustahil bahwa turunnya firman Allah Ta‘ālā: {Wa lillāhi ‘ala an-nāsi ḥijjul-baiti} (QS Āli ‘Imrān: 97) pada tahun kesembilan atau kesepuluh, sebagai bentuk penegasan atas kewajibannya.

Jika dikatakan: Sesungguhnya kewajiban haji baru benar-benar ditetapkan pada tahun kesepuluh, setelah sebelumnya diwajibkan pada tahun keenam, berdasarkan riwayat dari Anas bahwa Rasulullah SAW bersabda dalam hajinya pada tahun kesepuluh: “Ketahuilah, sesungguhnya waktu (bulan dan tahun) telah kembali sebagaimana keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi.”

Maka dikatakan: Maksud dari sabda beliau ini memiliki dua penakwilan:

Pertama: Bahwa beliau bermaksud bahwa pelaksanaan haji saat itu kembali bertepatan dengan bulan Dzulhijjah, karena dahulu mereka kadang memajukannya ke bulan Dzulqa‘dah dan kadang mengakhirkannya hingga bulan Muḥarram.


وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي: أَنَّهُ أَرَادَ تَحْرِيمَ الْقِتَالِ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ عَادَ تَحْرِيمُهُ إِلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ، بَعْدَ أَنْ كَانَ مُبَاحًا، فَإِنْ قِيلَ: إِنَّمَا أَخَّرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْحَجَّ إِلَى سَنَةِ عَشْرٍ، لِاشْتِغَالِهِ بِالْحَرْبِ، وَخَوْفِهِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ، قِيلَ: مَا نُقِلَ إِلَيْنَا مِنْ سِيرَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَدْفَعُ هَذَا التَّأْوِيلَ، وَذَاكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أُحْصِرَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ فِي سَنَةِ سِتٍّ فَأَحَلَّ ثُمَّ صَالَحَ أَهْلَ مَكَّةَ، عَلَى أَنْ يَقْضِيَ الْعُمْرَةَ سَنَةَ سَبْعٍ وَيُقِيمَ بِمَكَّةَ ثَلَاثًا فَقَضَاهَا سَنَةَ تِسْعٍ، وَلِهَذَا سُمِّيَتْ عُمْرَةَ الْقَضِيَّةِ ثُمَّ فَتَحَ مَكَّةَ سَنَةَ ثَمَانٍ، فَصَارَتْ دَارَ الْإِسْلَامِ، وَأَمَرَ عَتَّابَ بْنَ أُسَيْدٍ فَحَجَّ فِيهَا بِالنَّاسِ، ثُمَّ بَعَثَ أَبَا بَكْرٍ سَنَةَ تِسْعٍ فَحَجَّ بِالنَّاسِ وَتَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، غَيْرَ مَشْغُولٍ بحربٍ وَلَا خَايِفٍ مِنْ عَدُوٍّ، ثُمَّ أَنْفَذَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ بَعْدَ نُفُوذِ أَبِي بَكْرٍ، يَأْمُرُهُ بِقِرَاءَةِ سُورَةِ بَرَاءَةٌ، فَإِنْ كَانَ مَعْذُورًا فَلِمَ أَنْفَذَهُ؟ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَعْذُورٍ فَلِمَ أَخَّرَهُ؟ وَلَوْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَمْنُوعًا مِنَ الْحَجِّ، لَكَانَ مَمْنُوعًا مِنَ الْعُمْرَةِ سَنَةَ سَبْعٍ، وَلَوْ كَانَ خَائِفًا عَلَى أَصْحَابِهِ لَمَا أَنْفَذَهُمْ مَعَ أَبِي بَكْرٍ سَنَةَ تِسْعٍ فَسَقَطَ مَا قَالُوهُ، فَإِنْ قِيلَ: إِنَّمَا تَأَخَّرَ لِيَتَكَامَلَ الْمُسْلِمُونَ فَيُبَيِّنَ الْحَجَّ لِجَمِيعِهِمْ، وَهَذَا مَعْنًى يَخْتَصُّ بِهِ دُونَ غَيْرِهِ، قِيلَ: هَذَا ظَنٌّ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ تَأَخَّرَ لِلْأَمْرَيْنِ جَمِيعًا، لِيُبَيِّنَ جَوَازَ التَّأْخِيرِ، وَلِيُبَيِّنَ لَهُمْ نُسُكَهُمْ، وَيُؤَيِّدُ مَا ذَكَرْنَاهُ، مَا رُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: من أراد الحج فليتعجل فعلته بِالْإِرَادَةِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ أَخَّرَ الْحَجَّ عَنْ وَقْتِ الْإِمْكَانِ، ثُمَّ فَعَلَهُ فِيمَا بَعْدُ لَمْ يُسَمَّ قَاضِيًا، وَلَا نُسِبَ إِلَى التَّفْرِيطِ فَعُلِمَ أَنَّ وَقْتَهُ مُوَسَّعٌ، وَأَنَّ تَأْخِيرَهُ جَايِزٌ أَلَا تَرَى أَنَّ الصَّوْمَ لَمَّا كَانَ وَقْتُهُ مُضَيَّقًا سُمِّيَ مَنْ أَخَّرَ فِعْلَهُ قَاضِيًا، وَإِنْ شِئْتَ حَرَّرَتْ هَذَا الْمَعْنَى عَلَيْهِ فَقُلْتَ: لِأَنَّهُ أُتِيَ بِالْحَجِّ فِي وَقْتٍ لَمْ يَزُلْ عَنْهُ اسْمُ الْأَدَاءِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ وَقْتًا لَهُ أَصْلُهُ إِذَا حَجَّ عُقَيْبَ الْإِمْكَانِ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ وُسِّعَ وَقْتُ افْتِتَاحِهَا فَوَجَبَ أَنْ يُوَسَّعَ وَقْتُ أَدَائِهَا كَالصَّلَاةِ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: عَجِّلُوا الْحَجَّ قَبْلَ أَنْ يَمْرَضَ الصَّحِيحُ قِيلَ: قَدْ بَيَّنَ الْمَعْنَى الَّذِي لِأَجْلِهِ أَمَرَ بِالتَّعْجِيلِ، وَهُوَ الِاحْتِيَاطُ خَوْفَ الْمَرَضِ، وَكَذَا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ ” حُجُّوا قَبْلَ أَنْ لَا تَحُجُّوا فَأَمَّا حَدِيثُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ، فَإِنَّمَا وَرَدَ فِيمَنْ مَاتَ قَبْلَ فِعْلِهِ، وَنَحْنُ نَأْمُرُ بِفِعْلِهِ قَبْلَ الْمَوْتِ فَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الصَّوْمِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ: أَنَّهُ يُسَمَّى قَاضِيًا بِتَأْخِيرِهِ.

Dan tafsir yang kedua: bahwa yang dimaksud adalah pengharaman kembali perang di bulan-bulan haram, setelah sebelumnya diperbolehkan.

Jika dikatakan: “Sesungguhnya Rasulullah SAW menunda haji hingga tahun kesepuluh karena sibuk berperang dan khawatir terhadap kaum Muslimin dari kaum musyrikin”, maka dijawab: apa yang diriwayatkan kepada kami dari sīrah Rasulullah SAW membantah penafsiran ini. Sebab, Rasulullah SAW telah terhalang untuk umrah pada tahun al-Ḥudaibiyyah (tahun keenam), lalu beliau bertahallul, kemudian berdamai dengan penduduk Makkah dengan kesepakatan bahwa beliau akan meng-qadha ‘umrah pada tahun ketujuh dan tinggal di Makkah selama tiga hari. Maka beliau pun meng-qadha-nya pada tahun kesembilan — oleh karena itu dinamakan ‘umrat al-qaḍā’.

Lalu beliau menaklukkan Makkah pada tahun kedelapan, dan Makkah pun menjadi wilayah Islam. Beliau mengangkat ‘Attāb bin Usayd untuk memimpin haji pada tahun itu. Kemudian mengutus Abū Bakr pada tahun kesembilan untuk memimpin haji bersama kaum Muslimin, sedangkan Rasulullah SAW tetap tinggal (tidak berhaji), padahal beliau tidak sedang sibuk dengan peperangan dan tidak pula takut terhadap musuh. Lalu beliau mengutus ‘Alī bin Abī Ṭālib setelah keberangkatan Abū Bakr untuk membacakan Surah Barā’ah.

Maka, jika beliau memiliki uzur, mengapa beliau mengutusnya? Dan jika beliau tidak memiliki uzur, mengapa beliau menunda hajinya? Seandainya Rasulullah SAW memang terhalangi dari haji, niscaya beliau juga terhalangi dari umrah pada tahun ketujuh. Dan seandainya beliau khawatir terhadap para sahabatnya, niscaya beliau tidak akan mengutus mereka bersama Abū Bakr pada tahun kesembilan. Maka gugurlah alasan yang mereka sampaikan.

Jika dikatakan: “Sesungguhnya beliau menunda agar kaum Muslimin telah berkumpul sempurna, agar beliau menjelaskan manasik haji kepada mereka semua. Dan ini adalah makna khusus bagi beliau,” maka dijawab: ini hanyalah dugaan. Bisa jadi beliau menunda haji karena dua alasan sekaligus: untuk menjelaskan bolehnya menunda, dan sekaligus untuk menjelaskan manasik kepada mereka.

Yang menguatkan hal ini adalah riwayat bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa ingin haji, hendaklah ia menyegerakannya,” dan beliau mengaitkannya dengan keinginan. Seandainya seseorang menunda haji padahal sudah mampu, lalu ia menunaikannya di kemudian hari, ia tidak disebut qāḍin (orang yang meng-qadha), dan tidak pula dianggap lalai. Maka diketahui bahwa waktunya bersifat luas, dan penundaan itu diperbolehkan.

Tidakkah engkau lihat bahwa puasa — karena waktu pelaksanaannya sempit — orang yang menundanya disebut qāḍin? Dan jika engkau mau, engkau bisa menegaskan makna ini dengan mengatakan: karena haji dilaksanakan pada waktu yang belum hilang nama ada’-nya (pelaksanaan), maka waktunya adalah waktu pelaksanaan, selama ia berhaji segera setelah mampu. Dan karena ia adalah ibadah yang waktu permulaannya diluaskan, maka wajib pula waktu pelaksanaannya juga diluaskan — sebagaimana shalat.

Adapun jawaban terhadap sabda Rasulullah SAW: “Segeralah berhaji sebelum orang sehat jatuh sakit,” maka dijawab: beliau telah menjelaskan makna perintah menyegerakan tersebut, yaitu demi kehati-hatian karena khawatir terkena penyakit. Begitu pula jawaban atas sabda beliau: “Berhajilah sebelum kalian tidak bisa berhaji.”

Adapun hadis ‘Alī bin Abī Ṭālib RA, sesungguhnya hadis itu berlaku bagi orang yang meninggal dunia sebelum menunaikannya. Sedangkan kami memerintahkan untuk menunaikannya sebelum meninggal dunia.

Adapun qiyās mereka terhadap puasa, maka jawabannya: karena dalam puasa orang yang menundanya disebut qāḍin (karena waktunya sempit).


وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّهُ لَوْ مَاتَ قَبْلَ أَدَائِهِ مَاتَ آثِمًا عَاصِيًا قُلْنَا: مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ نَسَبَهُ إِلَى الْمَعْصِيَةِ، كَمَا يُنْسَبُ تَارِكُ الصَّلَاةِ عَنْ أَوَّلِ وَقْتِهَا حَتَّى يَعْرِضَ لَهُ عَجْزٌ أَوْ مَوْتٌ إِلَى التَّفْرِيطِ لَا إِلَى الْمَعْصِيَةِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ نَسَبَهُ إِلَى الْمَعْصِيَةِ وَقَالَ: إِنَّمَا أُبِيحَ لَهُ التَّأْخِيرُ مَا أَمِنَ الْفَوَاتَ، كَمَا أُبِيحَ لِلرَّجُلِ ضَرْبُ امْرَأَتِهِ عَلَى شُرُوطِ السَّلَامَةِ، فَإِنْ أَدَّى إِلَى التَّلَفِ عُلِمَ أَنَّهُ خَرَجَ عَنْ حَدِّ الْإِبَاحَةِ، وَإِذَا قُلْنَا: إِنَّهُ مُفْرِطٌ عَاصٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: مُفْرِطٌ مِنْ أَوَّلِ وَقْتِ إِمْكَانِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ مُفْرِطٌ مِنْ آخِرِ وَقْتِ إِمْكَانِهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun pernyataan mereka: bahwa jika seseorang meninggal sebelum menunaikan haji maka ia mati dalam keadaan berdosa dan maksiat — kami katakan: sebagian dari kalangan sahabat kami menyandarkan hal itu kepada ma‘ṣiyah, sebagaimana orang yang meninggalkan salat dari awal waktunya hingga muncul uzur seperti tidak mampu atau meninggal, maka ia dinisbatkan kepada kelalaian (tafrīṭ), bukan kepada maksiat.

Dan sebagian dari sahabat kami menisbatkannya kepada ma‘ṣiyah, dan berkata: Sesungguhnya diperbolehkan baginya menunda selama masih merasa aman dari kehilangan (kesempatan), sebagaimana seseorang diizinkan memukul istrinya dengan syarat tidak membahayakan. Maka jika perbuatannya menyebabkan kerusakan, maka diketahui bahwa ia telah keluar dari batas kebolehan.

Dan apabila kami katakan bahwa ia mufarriṭ dan berdosa, maka ada dua pendapat:
 Pertama: Ia dianggap lalai sejak awal waktu kemampuannya.
 Kedua: Ia dianggap lalai sejak akhir waktu kemampuannya.
 Wallāhu a‘lam.

قال الشافعي رضي الله عنه: ” قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ {الحَجُّ أشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ} (البقرة: 197) الْآيَةَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَأَشْهُرُ الْحَجِّ شَوَّالٌ وذو القعدة مِنْ ذِي الْحِجَّةِ وَهُوَ يَوْمُ عَرَفَةَ فَمَنْ لَمْ يُدْرِكْهُ إِلَى الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ فقد فاته الحج وروي أن جابر بن عبد الله سئل أيهل بالحج قبل أشهر الحج؟ قال لا وعن عطاءٍ أنه قيل له أرأيت رجلاً مهلاً بالحج في رمضان ما كنت قائلاً له؟ قال: أقول له اجعلها عمرة وعن عكرمة قال لا ينبغي لأحدٍ أن يحرم بالحج إلا في أشهر الحج من أجل قول اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ {الحَجُّ أشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ} (البقرة: 197) “. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ أَشْهُرُ الْحَجِّ الَّتِي ذَكَرَهَا اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ، بِقَوْلِهِ سُبْحَانَهُ {الحَجُّ أشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ) {البقرة: 197) شَوَّالٌ وَذُو الْقَعْدَةِ، وَعَشْرُ لَيَالٍ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ.

PASAL: Penjelasan tentang waktu haji dan umrah

Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Allah Jalla wa ‘Azz berfirman: {Al-ḥajju asyhurun ma‘lūmāt} (QS al-Baqarah: 197).” (Al-Syafi‘i berkata): “Bulan-bulan haji adalah Syawwāl, Dzulqa‘dah, dan dari bulan Dzulḥijjah hingga hari ‘Arafah. Maka barang siapa tidak mendapatkan (wukuf) sampai fajar hari nahr (tanggal 10 Dzulḥijjah), sungguh telah luput hajinya.”

Diriwayatkan bahwa Jābir bin ‘Abdillāh ditanya: “Apakah boleh beriḥrām untuk haji sebelum bulan-bulan haji?” Ia menjawab: “Tidak.”

Dan dari ‘Aṭā’ bahwa ia ditanya: “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang beriḥrām untuk haji di bulan Ramaḍān?” Ia menjawab: “Aku akan katakan kepadanya: ‘Jadikanlah itu sebagai ‘umrah.’”

Dan dari ‘Ikrimah, ia berkata: “Tidak sepantasnya seseorang beriḥrām untuk haji kecuali pada bulan-bulan haji, karena firman Allah Jalla wa ‘Azz: {Al-ḥajju asyhurun ma‘lūmāt} (QS al-Baqarah: 197).”

Al-Māwardī berkata: “Sebagaimana yang telah dikatakan — bulan-bulan haji yang disebutkan Allah Ta‘ālā dalam Kitab-Nya melalui firman-Nya {Al-ḥajju asyhurun ma‘lūmāt} (QS al-Baqarah: 197) — adalah: Syawwāl, Dzulqa‘dah, dan sepuluh malam dari Dzulḥijjah sampai terbit fajar hari nahr.”


وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ وَجَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَابْنُ الزُّبَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ.
وَمِنَ التَّابِعِينَ الْحَسَنُ وَابْنُ سِيرِينَ وَالشَّعْبِيُّ.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الثَّوْرِيُّ وَأَبُو ثَوْرٍ.
وَقَالَ أبو حنيفة: شُهُورُ الْحَجِّ شَوَّالٌ وَذُو الْقَعْدَةِ إِلَى آخِرِ يَوْمِ النَّحْرِ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ.

Dan pendapat ini juga dikatakan oleh para sahabat: ʿAbdullāh bin Masʿūd, Jābir bin ʿAbdillāh, dan Ibnu al-Zubayr RA.
 Dan dari kalangan tābiʿīn: al-Ḥasan, Ibnu Sīrīn, dan al-Syaʿbī.
 Dan dari kalangan fuqahā’: al-Thawrī dan Abū Thawr.

Adapun Abū Ḥanīfah berpendapat: Bulan-bulan haji adalah Syawwāl, Dzulqaʿdah, sampai akhir hari nahr dari bulan Dzulḥijjah.


وَقَالَ مَالِكٌ: شَوَّالٌ وَذُو الْقَعْدَةِ، وَذُو الْحِجَّةِ، فَجَعَلَهَا ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ كُمَّلًا وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ، وَمِنَ التَّابِعِينَ طَاوُسٌ فَأَمَّا أبو حنيفة فَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّ يَوْمَ النَّحْرِ مِنْ أَشْهُرِ الْحَجِّ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {الحَجُّ أشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الحَجِّ) {البقرة: 197) فَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ حَرُمَ عليه الوطء في أشهر الحج، ووطء الحج فِي يَوْمِ النَّحْرِ حَرَامٌ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ مِنْ أَشْهُرِ الْحَجِّ، وَلِأَنَّ كُلَّ لَيْلَةٍ كَانَتْ مِنْ شُهُورِ الْحَجِّ، كَانَ يَوْمُهَا مِنْ شُهُورِ الْحَجِّ كَاللَّيْلَةِ الْأُولَى، وَأَمَّا مَالِكٌ فَإِنَّهُ اسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّ شُهُورَ الْحَجِّ ثَلَاثَةٌ كَامِلَةٌ، بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {الحَجُّ أشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ) {البقرة: 197) وَالْأَشْهَرُ عِبَارَةٌ عَنِ الْجَمْعِ، وَأَقَلُّ مَا يَتَنَاوَلُهُ الْجَمْعُ الْمُطْلَقُ ثَلَاثَةٌ وَلِأَنَّ كُلَّ شَهْرٍ، كَانَ أَوَّلُهُ مِنْ شُهُورِ الْحَجِّ، كَانَ آخِرُهُ مِنْ شُهُورِ الْحَجِّ كَالْأَوَّلِ، وَالثَّانِي وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {الحَجُّ أشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ) {البقرة: 197) الآية وَفِيهَا دَلِيلَانِ.

Imam Mālik berkata: “(Bulan-bulan haji adalah) Syawwāl, Dzulqa‘dah, dan Dzulḥijjah.” Maka beliau menjadikannya tiga bulan penuh. Pendapat ini juga dikatakan oleh ‘Umar RA dari kalangan sahabat, dan Ṭāwūs dari kalangan tābi‘īn.

Adapun Abū Ḥanīfah berdalil bahwa hari nahr termasuk bulan-bulan haji berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:

{Al-ḥajju asyhurun ma‘lūmāt, fa-man faraḍa fīhinna al-ḥajja fa-lā rafatsa wa-lā fusūqa wa-lā jidāla fī al-ḥajj} (QS al-Baqarah: 197)

Yakni, Allah mengabarkan bahwa siapa yang beriḥrām untuk haji maka diharamkan baginya berjima‘ dalam bulan-bulan haji, dan berjima‘ dalam haji di hari nahr adalah haram, maka hal ini menunjukkan bahwa hari nahr termasuk bulan-bulan haji. Dan karena setiap malam yang termasuk dalam bulan-bulan haji, maka siangnya juga termasuk dalam bulan-bulan haji, seperti malam pertama.

Adapun Mālik, ia berdalil bahwa bulan-bulan haji adalah tiga bulan sempurna dengan firman Allah Ta‘ālā:

{Al-ḥajju asyhurun ma‘lūmāt} (QS al-Baqarah: 197)

Kata asyhur (bulan-bulan) adalah bentuk jamak, dan jumlah minimal dari jamak secara mutlak adalah tiga. Dan karena setiap bulan yang permulaannya termasuk bulan-bulan haji, maka akhirnya juga termasuk bulan-bulan haji, sebagaimana awal dan pertengahan bulan.

Adapun dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā:

{Al-ḥajju asyhurun ma‘lūmāt} (QS al-Baqarah: 197)

dan dalam ayat ini terdapat dua dalil.


أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ خَصَّ أَشْهُرَ الْحَجِّ بِالذِّكْرِ لِاخْتِصَاصِهِمَا بِمَعْنًى، وَهُوَ عِنْدُنَا جَوَازُ الْإِحْرَامِ فِيهَا بِالْحَجِّ وَعِنْدَهُمُ اسْتِحْبَابُ الْإِحْرَامِ فِيهَا بِالْحَجِّ، وَأَجْمَعْنَا عَلَى أَنَّ يَوْمَ النَّحْرِ مُخَالِفٌ لِمَا قَبْلَهُ، لِأَنَّ عِنْدَنَا أَنَّ الْإِحْرَامَ فِيهِ بِالْحَجِّ لَا يَجُوزُ، وَعِنْدَهُمْ لَا يُسْتَحَبُّ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ وَمَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَيَّامِ الْحَجِّ.

Pertama: Bahwa Allah menyebutkan bulan-bulan haji secara khusus karena adanya kekhususan makna pada bulan-bulan tersebut, yaitu menurut kami (mazhab Syafi‘i) bolehnya beriḥrām haji di dalamnya, sedangkan menurut mereka (Ḥanafiyyah) adalah disunnahkannya beriḥrām haji di bulan-bulan itu.

Dan kami semua sepakat bahwa hari nahr berbeda dengan hari-hari sebelumnya, karena menurut kami beriḥrām haji pada hari nahr tidak diperbolehkan, sedangkan menurut mereka tidak disunnahkan. Maka hal itu menunjukkan bahwa hari nahr dan setelahnya bukan termasuk bulan-bulan haji.


وَالدَّلَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنَّ أَشْهُرَ الْحَجِّ زَمَانٌ لِإِدْرَاكِ الْحَجِّ، وَآخِرُ زَمَانِ الْإِدْرَاكِ طُلُوعُ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” مَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ لَيْلَةَ النَّحْرِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ ” فَعُلِمَ أَنَّ يَوْمَ النَّحْرِ وَمَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَشْهُرِ الْحَجِّ، وَلِأَنَّ كُلَّ زَمَانٍ لَوِ اعْتَمَرَ فِيهِ الْمُتَمَتِّعُ لَمْ يَلْزَمْهُ الدَّمُ بِوَجْهٍ، فَلَيْسَ مِنْ أَشْهُرِ الْحَجِّ أَصْلُهُ رَمَضَانُ، لِأَنَّهُ لَوِ اعْتَمَرَ فِي رَمَضَانَ لَمْ يَلْزَمْهُ الدَّمُ، وَلَوِ اعْتَمَرَ فِي شَوَّالٍ قَبْلَ يَوْمِ النَّحْرِ لَزِمَهُ الدَّمُ بِوَجْهٍ، وَلَوِ اعْتَمَرَ فِي يَوْمِ النَّحْرِ وَمَا بَعْدَهُ لَمْ يَلْزَمْهُ الدَّمُ، فَعُلِمَ أَنَّهُ مِنْ غَيْرِ أَشْهُرِ الْحَجِّ، وَيَدُلُّ عَلَى أبي حنيفة أَنَّهُ يَوْمٌ سُنَّ فِيهِ الرَّمْيُ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ مِنْ أَشْهُرِ الْحَجِّ كَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ، فَأَمَّا مَا اسْتَدَلَّ بِهِ أبو حنيفة مِنْ تَحْرِيمِ الْوَطْءِ فَهُوَ مِنَ النَّحْرِ، قُلْنَا: قَدْ يُمْكِنُ إِبَاحَةُ الْوَطْءِ فِيهِ، وَهِيَ أَنْ يُعَجِّلَ الرَّمْي، وَطَوَافَ الزِّيَارَةِ فَيَسْتَبِيحَ فِيهِ الْوَطْءَ وَأَمَّا مَا اسْتَدَلَّ بِهِ مَالِكٌ مِنْ قَوْله تَعَالَى: {الحَجُّ أشْهُرٌ) {البقرة: 197) وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ أَقَلُّ الْجَمْعِ قُلْنَا: إِنَّمَا أَرَادَ أَفْعَالَ الْحَجِّ فِي أَشْهَرٍ مَعْلُومَاتٍ، لِأَنَّ الْحَجَّ لَا يَكُونُ زَمَانًا وَإِنَّمَا تَقَعُ أَفْعَالُهُ فِي الزَّمَانِ، وَإِذَا وَقَعَ الْفِعْلُ فِي بَعْضِ الشَّهْرِ كَانَ وَاقِعًا فِي الشَّهْرِ، عَلَى أَنَّ مُطْلَقَ الْجَمْعِ قَدْ يَقَعُ عَلَى اثْنَيْنِ وَبَعْضِ ثَالِثٍ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَالمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ) {البقرة: 228) وَالْمُرَادُ بِهِ قُرْآنُ، وَبَعْضُ ثَالِثٍ فَسَقَطَ مَا قَالُوهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan dalalah yang kedua: bahwa bulan-bulan haji adalah waktu untuk meraih (ibadah) haji, dan akhir dari waktu meraih haji adalah terbit fajar pada hari nahr, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Barang siapa yang mendapati ‘Arafah pada malam nahr, maka sungguh ia telah mendapatkan haji”, maka diketahui bahwa hari nahr dan hari-hari setelahnya bukan termasuk bulan-bulan haji.

Karena setiap waktu, jika seorang yang tamattu‘ melakukan ‘umrah padanya maka tidak wajib baginya dam dengan cara apapun, maka waktu itu bukan dari bulan-bulan haji. Asal waktu itu adalah Ramadhan, karena jika ia melakukan ‘umrah di bulan Ramadhan, maka tidak wajib dam. Namun jika ia melakukan ‘umrah di bulan Syawwal sebelum hari nahr, maka wajib baginya dam dalam satu sisi. Jika ia melakukan ‘umrah pada hari nahr dan setelahnya, maka tidak wajib dam. Maka jelaslah bahwa waktu tersebut bukan dari bulan-bulan haji.

Dan dalil atas pendapat Abu Hanifah bahwa hari itu adalah hari yang disunnahkan padanya ramy (melempar jumrah), maka seharusnya hari itu tidak termasuk bulan-bulan haji sebagaimana hari-hari tasyriq. Adapun dalil yang digunakan Abu Hanifah berupa larangan berjima‘, maka itu dimulai dari hari nahr. Kami katakan: bisa saja dibolehkan jima‘ padanya, yaitu dengan cara menyegerakan ramy dan ṭawāf al-ziyārah, maka ia boleh melakukan jima‘ di hari itu.

Adapun dalil yang digunakan oleh Malik dari firman Allah Ta‘ala: {al-ḥajju asyhurun ma‘lūmāt} (al-Baqarah: 197), dan bahwa yang dimaksud adalah jumlah jamak paling sedikit (tiga), kami jawab: yang dimaksud adalah bahwa amalan-amalan haji dilakukan pada bulan-bulan yang diketahui. Karena haji itu bukanlah zaman (waktu), tetapi amalan-amalan haji terjadi dalam waktu. Jika suatu amalan terjadi pada sebagian dari suatu bulan, maka dianggap terjadi dalam bulan itu.

Lagi pula, bentuk jamak yang mutlak bisa berlaku untuk dua dan sebagian dari yang ketiga. Allah Ta‘ala berfirman: {wa al-muṭallaqātu yatarabbaṣna bi-anfusihinna tsalāṡata qurū’} (al-Baqarah: 228), yang dimaksud adalah dua qur’ dan sebagian dari yang ketiga. Maka batallah apa yang mereka katakan. Dan Allah lebih mengetahui.

مَسْأَلَةٌ
: قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” فَلَا يَجُوزُ لأحدٍ أَنْ يَحُجَّ قَبْلَ أَشْهُرِ الْحَجِّ فَإِنْ فَعَلَ فَإِنَهَا تَكُونُ عُمْرَةً كرجلٍ دَخَلَ فِي صَلَاةٍ قَبْلَ وَقْتِهَا فَإِنَّهَا تَكُونُ نَافِلَةً “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لَا يَجُوزُ الْإِحْرَامُ بِالْحَجِّ قَبْلَ أَشْهُرِهِ فَإِنْ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ انْعَقَدَ إِحْرَامُهُ عُمْرَةً.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ وَابْنُ مَسْعُودٍ وَجَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وابن عباس.

وَمِنَ التَّابِعِينَ طَاوُسٌ وَمُجَاهِدٌ وَعَطَاءٌ.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الْأَوْزَاعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ.

Masalah
 : Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Maka tidak boleh seseorang berhaji sebelum bulan-bulan haji. Jika ia melakukannya, maka itu menjadi ‘umrah — seperti seseorang yang masuk ke dalam salat sebelum waktunya, maka salatnya menjadi salat sunnah.”

Al-Māwardī berkata: Dan ini adalah pendapat yang sahih — tidak boleh beriḥrām untuk haji sebelum masuk bulan-bulan haji. Jika seseorang beriḥrām untuk haji (sebelumnya), maka iḥrām-nya berubah menjadi iḥrām untuk ‘umrah.

Pendapat ini juga dikatakan oleh para sahabat: ʿUmar, Ibnu Masʿūd, Jābir bin ʿAbdillāh, dan Ibnu ʿAbbās RA.
 Dan dari kalangan tābiʿīn: Ṭāwūs, Mujāhid, dan ‘Aṭā’.
 Dan dari kalangan fuqahā’: al-Auzā‘ī, Aḥmad, dan Isḥāq.


وَقَالَ مَالِكٌ وأبو حنيفة وَالثَّوْرِيُّ: يَنْعَقِدُ إِحْرَامُهُ بِالْحَجِّ قَبْلَ أَشْهَرِهِ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ) (البقرة: 189) فَأَخْبَرَ أَنَّ الْأَهِلَّةَ كُلَّهَا وَقْتٌ لِلْحَجِّ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَدْخُلُ فِيهَا النِّيَابَةُ، وَتَجِبُ فِي إِفْسَادِهَا الْكَفَّارَةُ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَخْتَصَّ بِزَمَانٍ كَالْعُمْرَةِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ الْحَجَّ يَخْتَصُّ بِزَمَانٍ وَمَكَانٍ، فَالزَّمَانُ هُوَ أَشْهُرُ الْحَجِّ وَالْمَكَانُ هُوَ الْمِيقَاتُ فَلَمَّا جَازَ تَقْدِيمُهُ عَلَى الْمَكَانِ، جَازِ تَقْدِيمُهُ عَلَى الزَّمَانِ وَعَكْسُ هَذَا الْوُقُوفُ بِعَرَفَةَ، لَمَّا لَمْ يَجُزْ تَقْدِيمُهُ عَلَى زَمَانِهِ لَمْ يَجُزْ تَقْدِيمُهُ عَلَى مَكَانِهِ قَالُوا: وَلِأَنَّ الْإِحْرَامَ بِالْحَجِّ قَدْ يَصِحُّ فِي زَمَانٍ لَا يُمْكِنُهُ إِيقَاعُ أَفْعَالِ الْحَجِّ فِيهِ، وَهُوَ شَوَّالٌ فَعُلِمَ أَنَّهُ لَا يَخْتَصُّ بِزَمَانٍ، وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {الحَجُّ أشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ) {البقرة: 197) وَفِي ذَلِكَ دَلِيلَانِ:

Dan Malik, Abu Hanifah, dan ats-Tsauri berkata: Ihram haji dapat terlaksana sebelum bulan-bulan haji, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Mereka bertanya kepadamu tentang hilal, katakanlah: itu adalah penentu waktu bagi manusia dan (ibadah) haji} (al-Baqarah: 189), maka ayat ini menunjukkan bahwa seluruh hilal adalah waktu untuk haji.

Dan karena haji adalah ibadah yang boleh dilakukan secara perwakilan (niyābah) dan wajib membayar kafārah bila dirusak, maka tidak boleh dikhususkan pada satu waktu, seperti halnya ‘umrah. Mereka berkata: karena haji itu khusus dalam hal waktu dan tempat. Waktu adalah bulan-bulan haji, dan tempat adalah mīqāt. Maka sebagaimana boleh mendahulukan (ihram) dari tempatnya, maka boleh pula mendahulukan dari waktunya. Kebalikannya adalah wuqūf di ‘Arafah: ketika tidak boleh mendahuluinya dari waktunya, maka tidak boleh pula mendahuluinya dari tempatnya.

Mereka berkata: karena ihram haji bisa saja sah pada waktu yang belum memungkinkan untuk melaksanakan amalan-amalan haji, yaitu bulan Syawwal, maka dipahami bahwa ihram haji tidak terbatas pada waktu tertentu.

Adapun dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {al-ḥajju asyhurun ma‘lūmāt} (al-Baqarah: 197), dan dari ayat ini terdapat dua dalil:


أَحَدُهُمَا: أَنَّ قَوْلَهُ {الحَجُّ أشْهُرٌ) {البقرة: 197) يُرِيدُ وَقْتَ الْحَجِّ فَجَعَلَ وَقْتَ الْحَجِّ أَشْهُرًا فَلَوِ انْعَقَدَ الْإِحْرَامُ فِي غَيْرِهَا، لَمْ تَكُنِ الْأَشْهُرُ وَقْتًا لَهُ، وَإِنَّمَا تَكُونُ فِي بَعْضِ وَقْتِهِ.
وَالدَّلَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنَّهُ لَمَّا جَعَلَ وَقْتَ الْحَجِّ أَشْهُرًا مَعْلُومَاتٍ وَإِنْ كَانَ الْحَجُّ الْإِحْرَامُ، وَالْوُقُوفُ، وَالطَّوَافُ وَالسَّعْيُ وَكَانَ الطَّوَافُ وَالسَّعْيُ لَا يَخْتَصُّ بِهَا، بَلْ يَصِحُّ فِيهَا وَفِي غَيْرِهَا وَلَمْ يَكُنِ الْوُقُوفُ فِي جَمِيعِهَا حَصَلَ الِاخْتِصَاصُ لَهَا، بِالْإِحْرَامِ فَكَأَنَّهُ قَالَ: الْإِحْرَامُ بِالْحَجِّ فِي أَشْهَرٍ مَعْلُومَاتٍ، فَإِنْ قَالُوا: لَيْسَ الْإِحْرَامُ عِنْدَنَا مِنَ الْحَجِّ قُلْنَا هُوَ عِنْدَنَا مِنَ الحج، فَإِنْ قَالُوا: إِنَّمَا جُعِلَ وَقْتُ اسْتِحْبَابِ الْإِحْرَامِ أشهر إلا وَقْتَ انْعِقَادِهِ، وَجَوَازِهِ قِيلَ: يَفْسُدُ عَلَيْكُمْ بِيَوْمِ النَّحْرِ لِأَنَّهُ عِنْدَكُمْ مِنْ أَشْهُرِ الْحَجِّ، وَلَا يُسْتَحَبُّ الْإِحْرَامُ فِيهِ وَمِنَ الدَّلَالَةِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا أَنَّ الْإِحْرَامَ رُكْنٌ مِنْ أَرْكَانِ الْحَجِّ فَوَجَبَ أَنْ يَخْتَصَّ بِوَقْتٍ، وَلَا يَجُوزُ تَقْدِيمُهُ عَلَيْهِ.

Pertama: Bahwa firman Allah Ta‘ālā {al-ḥajju ashhurun} (QS al-Baqarah: 197), maksudnya adalah waktu haji. Maka Allah menjadikan waktu haji sebagai bulan-bulan tertentu. Jika iḥrām dilakukan di luar bulan-bulan itu, maka bulan-bulan tersebut bukan lagi menjadi waktu haji secara keseluruhan, tetapi hanya menjadi sebagian dari waktunya saja — dan ini tidak sesuai dengan makna ayat.

Dalil kedua: Bahwa ketika Allah menjadikan waktu haji sebagai “bulan-bulan yang diketahui” (asyhur ma‘lūmāt), padahal ibadah haji terdiri dari iḥrām, wukuf, ṭawāf, dan sa‘i, dan ṭawāf serta sa‘i tidak terbatas pada bulan-bulan haji — sah dilakukan di dalam maupun di luar bulan-bulan itu — dan wukuf pun tidak mencakup seluruh bulan-bulan haji, maka satu-satunya bagian ibadah yang benar-benar khas dilakukan dalam seluruh bulan itu adalah iḥrām. Maka seakan-akan firman Allah tersebut bermakna: “Iḥrām haji dilakukan dalam bulan-bulan yang telah diketahui.”

Jika mereka berkata: “Menurut kami iḥrām bukan bagian dari haji,” maka kami jawab: “Menurut kami iḥrām adalah bagian dari haji.”

Jika mereka berkata: “Yang dimaksud dengan bulan-bulan itu hanyalah waktu disunnahkannya iḥrām, bukan waktu sahnya atau teranggapnya iḥrām,” maka kami jawab: “Pemahaman kalian rusak karena kalian menganggap hari nahr termasuk bulan-bulan haji, padahal menurut kalian tidak disunnahkan beriḥrām di dalamnya.”

Di antara dalil atas apa yang kami sebutkan adalah bahwa iḥrām adalah rukun dari rukun-rukun haji. Maka wajib bagi iḥrām itu memiliki waktu khusus, dan tidak boleh didahulukan dari waktu tersebut.


أَصْلُهُ: الْوُقُوفُ بِعَرَفَةَ وَلِأَنَّ كُلَّ وَقْتٍ لَا يَصِحُّ اسْتِدَامَةُ الْعِبَادَةِ فِيهِ لَا يَصِحُّ ابْتِدَاءُ تِلْكَ الْعِبَادَةِ فِيهِ.
أَصْلُهُ: الْجُمُعَةُ إِذَا صَارَ كُلُّ شَيْءٍ مِثْلَيْهِ، لَمَّا لَمْ يَصِحَّ اسْتِدَامَةُ الْجُمُعَةِ فِيهِ لَمْ يَصِحَّ الْإِحْرَامُ بِهَا فِيهِ، وَلِأَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ اخْتُصَّ بَعْضُ أَفْعَالِهَا بِزَمَانٍ مَخْصُوصٍ اخْتُصَّ الْإِحْرَامُ بِهَا بِزَمَانٍ مَخْصُوصٍ كَالصَّوْمِ، وَعَكْسُهُ الْعُمْرَةُ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ مُؤَقَّتَةٌ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْإِحْرَامُ بِهَا مُؤَقَّتًا كَالصَّلَاةِ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى: {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَهِلَةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ للنَّاسِ وَالحَجِّ) {البقرة: 189) فَالْجَوَابُ عَنْهَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Asalnya adalah: wuqūf di ‘Arafah. Dan karena setiap waktu yang tidak sah untuk melanjutkan ibadah di dalamnya, maka tidak sah untuk memulai ibadah tersebut padanya.

Asalnya adalah: jum‘at — jika segala sesuatu memiliki dua waktu (awal dan akhir) — ketika tidak sah melanjutkan shalat jum‘at di luar waktunya, maka tidak sah pula memulai iḥrām untuknya di luar waktunya.

Dan karena setiap ibadah yang sebagian amalannya dikhususkan dengan waktu tertentu, maka iḥrām untuknya pun harus dikhususkan pada waktu tertentu, seperti puasa. Kebalikannya adalah ‘umrah.

Dan karena haji adalah ibadah yang ditentukan waktunya, maka iḥrām untuknya pun harus ditentukan waktunya, sebagaimana shalat.

Adapun jawaban terhadap firman Allah Ta‘ala: {Mereka bertanya kepadamu tentang hilal, katakanlah: itu adalah penentu waktu bagi manusia dan (ibadah) haji} (al-Baqarah: 189), maka jawabannya dari dua sisi: …

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمُرَادَ بِالْحَجِّ هُوَ الْإِحْرَامُ بِهِ لَا جَمِيعُ أَفْعَالِهِ، وَلَيْسَ الْإِحْرَامُ عِنْدَهُمْ مِنَ الْحَجِّ فَسَقَطَ اسْتِدْلَالُهُمْ بِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَطْلَقَ الْأَهِلَّةَ وَلَمْ يُبَيِّنْهَا، ثُمَّ بَيَّنَهَا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {الحَجُّ أشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ) {البقرة: 197) فِي هَذِهِ الْآيَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِمَا أَطْلَقَ مِنَ الْأَهِلَّةِ مَا فَسَّرَهُ فِي الْآيَةِ الْأُخْرَى وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْعُمْرَةِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَا يَخْتَصُّ بَعْضَ أَفْعَالِهَا بِوَقْتٍ مَخْصُوصٍ، فَلِذَلِكَ لَمَّ يَخْتَصَّ الْإِحْرَامَ لَهَا بِوَقْتٍ مَخْصُوصٍ، فَخَالَفَ الْحَجَّ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ لَمَّا جَازَ تَقْدِيمُهُ عَلَى الْمَكَانِ كَذَلِكَ عَلَى الزَّمَانِ قُلْنَا: إِنَّمَا جَازَ تَقْدِيمُهُ عَلَى الْمَكَانِ، وَهُوَ الْمِيقَاتُ لِأَنَّ مُجَاوَزَتَهُ لَا تَجُوزُ وَلَمَّا كَانَتْ مُجَاوَزَةُ الزَّمَانِ تَجُوزُ كَانَ التَّقْدِيمُ عَلَيْهِ لَا يَجُوزُ، وَلَوْ جَازَ التَّقْدِيمُ عَلَيْهِ كَمَا جَازَ مُجَاوَزَتُهُ لَمْ يَكُنْ لِلْحَدِّ فَائِدَةٌ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهُ لَمَّا انْعَقَدَ الْإِحْرَامُ فِي وَقْتٍ لَا يَجُوزُ فِيهِ فِعْلُ الْحَجِّ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَخْتَصُّ بِزَمَانٍ، وَأَيُّ أَصْلٍ دَلَّكُمْ عَلَى هَذَا، ثُمَّ هُوَ بَاطِلٌ بِالصَّلَاةِ يَصِحُّ الْإِحْرَامْ بِهَا عُقَيْبَ الزَّوَالِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ وَقْتَ الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ.

salah satunya: bahwa yang dimaksud dengan haji adalah ihram untuknya, bukan seluruh rangkaian amalnya, dan ihram menurut mereka bukan bagian dari haji, maka batallah istidlal mereka dengannya.
 dan yang kedua: bahwa Allah Ta‘ala menyebut secara umum tentang hilal dan belum menjelaskannya, lalu dijelaskan dengan firman-Nya Ta‘ala: “al-ḥajju asyhurun ma‘lūmāt” (al-Baqarah: 197) dalam ayat ini, maka wajiblah bahwa yang dimaksud dari keumuman tentang hilal adalah apa yang telah dijelaskan dalam ayat yang lain.

Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap ‘umrah, maka maksudnya bahwa ‘umrah tidaklah ditentukan sebagian amalnya dengan waktu tertentu, maka sebab itu tidak ditentukan ihram untuknya dengan waktu tertentu, maka berbeda dengan haji dari sisi ini.
 Adapun ucapan mereka bahwa sebagaimana boleh mendahulukan ihram dari tempat (miqāt), maka demikian pula boleh didahulukan dari waktu, maka kami jawab: sesungguhnya boleh mendahulukannya dari tempat (miqāt) karena tidak boleh melewatinya, dan ketika melewati waktu diperbolehkan, maka mendahuluinya tidak diperbolehkan.

Seandainya boleh mendahuluinya sebagaimana boleh melewatinya, maka tidak ada faedah bagi batasan waktu itu.
 Adapun ucapan mereka bahwa ketika ihram terjadi dalam waktu yang tidak boleh dilakukan amalan haji padanya menunjukkan bahwa haji tidak terbatas pada waktu, maka kami jawab: dalil apa yang menunjukkan hal itu kepada kalian? Bahkan itu batal dengan contoh shalat; sah berniat shalat setelah tergelincir matahari, meskipun belum masuk waktu rukuk dan sujud.


فَصْلٌ
: فَإِذَا صَحَّ أَنَّ الْإِحْرَامَ بِالْحَجِّ فِي غَيْرِ أَشْهُرِهِ، لَا يَجُوزُ فَإِذَا أَحْرَمَ بِالْحَجِّ لَمْ يَبْطُلْ إِحْرَامُهُ، وَانْعَقَدَ عُمْرَةً.
وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ يَبْطُلُ إِحْرَامُهُ بِبُطْلَانِ مَا قَصَدَهُ، وَبِمَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ قَالَ بِهِ جَابِرٌ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَابْنُ عُمَرَ وَابْنُ مَسْعُودٍ وَعَطَاءٌ فَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ رواية ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سُئِلَ عَمَّنْ يُحْرِمُ بِالْحَجِّ قَبْلَ أَشْهُرِ الْحَجِّ فَقَالَ يُهِلُّ بِالْعُمْرَةِ وَلِأَنَّهُ جَمَعَ فِي قَصْدِهِ بَيْنَ الْإِحْرَامِ وَالْحَجِّ، فَإِذَا أَبْطَلَ الشَّرْعُ حَجَّهُ لَمْ يَبْطُلْ إِحْرَامُهُ، وَوَجَبَ صَرْفُهُ إِلَى مَا اقْتَضَاهُ الْوَقْتُ، وَهُوَ الْعُمْرَةُ كَمَنْ أَحْرَمَ بِصَلَاةِ الظُّهْرِ قَبْلَ زَوَالِ الشَّمْسِ لَمَّا لَمْ تَصِحَّ مِنْهُ فَرْضًا لِمُنَافَاةِ الْوَقْتِ صَحَّتْ نَفْلًا.

PASAL:
 Apabila telah sah bahwa iḥrām haji tidak boleh dilakukan di luar bulan-bulan haji, maka jika seseorang beriḥrām untuk haji (di luar bulan-bulannya), ihramnya tidak batal, tetapi dianggap sebagai ‘umrah.

Dawud bin ‘Ali berkata: iḥrām-nya batal karena batalnya maksud yang ia niatkan.

Pendapat yang kami pilih ini juga dipegang oleh Jabir, Ibn ‘Abbas, Ibn ‘Umar, Ibn Mas‘ud, dan ‘Aṭā’.

Dalil yang menunjukkan sahnya riwayat Ibn ‘Abbas adalah bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang beriḥrām untuk haji sebelum bulan-bulan haji, maka beliau bersabda: “Ia niatkan sebagai ‘umrah.”

Karena ia telah menggabungkan dalam niatnya antara iḥrām dan haji, maka ketika syariat membatalkan hajinya, tidak serta merta membatalkan iḥrām-nya, dan wajib dialihkan kepada ibadah yang sesuai dengan waktu tersebut, yaitu ‘umrah — sebagaimana seseorang yang beriḥrām untuk shalat ẓuhr sebelum matahari tergelincir, ketika shalat ẓuhr tidak sah karena waktunya belum masuk, maka shalatnya sah sebagai shalat nāfilah.


مَسْأَلَةٌ
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَوَقْتُ الْعُمْرَةِ مَتَى شَاءَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَبِهِ قَالَ سَائِرُ الْفُقَهَاءِ وَحُكِيَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ: أَنَّهُ مَنَعَ مِنَ الْعُمْرَةِ فِي يَوْمِ النَّحْرِ، وَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَخْتَصَّ بَعْضَ أَفْعَالِ الْعُمْرَةِ بِزَمَانٍ لَمْ يَخْتَصَّ الْإِحْرَامَ لَهَا بِزَمَانٍ كَالطَّوَافِ لَهَا وَالسَّعْيِ.

MASALAH
 Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Waktu ‘umrah adalah kapan saja ia menghendaki.”
 Al-Māwardī berkata: Ini benar, dan pendapat ini juga dikatakan oleh seluruh fuqaha.
 Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa ia melarang pelaksanaan ‘umrah pada hari nahar dan hari-hari tasyriq, dan ini adalah kesalahan, berdasarkan sabda Nabi SAW: “‘Umrah ke ‘umrah adalah kafarah terhadap dosa di antara keduanya.”

Dan karena ketika sebagian amal ‘umrah tidak ditentukan waktunya, maka ihram untuknya pun tidak ditentukan waktunya, sebagaimana ṭawāf dan sa‘i untuknya.


فَصْلٌ
: فَإِذَا صَحَّ أَنَّ جَمِيعَ السَّنَةِ وَقْتٌ لِلْعُمْرَةِ، فَإِنْ كَانَ غَيْرَ حَاجٍّ أَحْرَمَ بِهَا مَتَى شَاءَ،قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَاسْتُحِبَّ لَهُ الِاشْتِغَالُ بِالْحَجِّ فِي أَشْهُرِهِ لِأَنَّ الْحَجَّ أَفْضَلُ مِنَ الْعُمْرَةِ، وَإِنْ كَانَ حَاجًّا، وَلَمْ يُرِدْ إِدْخَالَ الْعُمْرَةِ عَلَى الْحَجِّ، فَلَيْسَ لَهُ الْإِحْرَامُ بِهَا قَبْلَ إِحْلَالِهِ وَرَمْيِهِ، فَيُمْنَعُ مِنْهَا فِي يَوْمِ النَّحْرِ، وَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ لِأَنَّهَا مِنْ بَقَايَا حَجِّهِ، وَإِنْ أَحَلَّ إِلَّا أَنْ يَتَعَجَّلَ النَّفَرَ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي فَيَجُوزُ لَهُ الْإِحْرَامُ بِهَا فِي الْيَوْمِ الثَّالِثِ لسقوط الرمي عنه.

PASAL:
 Apabila telah sah bahwa seluruh tahun adalah waktu untuk ‘umrah, maka jika seseorang bukan haji, ia boleh beriḥrām untuk ‘umrah kapan saja ia kehendaki.

Imam al-Syafi‘i berkata: disunnahkan baginya untuk menyibukkan diri dengan haji pada bulan-bulan haji, karena haji lebih utama daripada ‘umrah.

Jika ia sedang menunaikan haji dan tidak bermaksud menggabungkan ‘umrah ke dalam haji (sebagai tamattu‘), maka ia tidak boleh beriḥrām untuk ‘umrah sebelum ia iḥlāl (bertahallul) dan melempar (ramy), maka ia dilarang dari ‘umrah pada hari nahr dan hari-hari tasyriq, karena itu semua termasuk sisa dari rangkaian haji.

Namun jika ia telah iḥlāl, kecuali apabila ia menyegerakan nafar pada hari kedua (yaitu tanggal 12 Dzulhijjah), maka boleh baginya beriḥrām untuk ‘umrah pada hari ketiga (tanggal 13 Dzulhijjah), karena kewajiban ramy telah gugur darinya.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنْ قَالَ لَا يَعْتَمِرُ فِي السَّنَةِ إِلَّا مَرَّةً خَالَفَ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأَنَّهُ أَعَمَرَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فِي شهرٍ واحدٍ مَرَّتَيْنِ، وَخَالَفَ فِعْلَ عَائِشَةَ نَفْسِهَا، وعلي وابن عمر وأنس “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
يَجُوزُ أَنْ يَعْتَمِرَ فِي السَّنَةِ مِرَارًا، وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ.
قَالَ بِهِ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ، وَعَلَيٌّ، وَابْنُ عُمَرَ، وَعَائِشَةُ، وَأَنَسٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ.
وَمِنَ التَّابِعِينَ عِكْرِمَةُ وَعَطَاءٌ وَطَاوُسٌ.

MASALAH
 Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Barang siapa mengatakan bahwa tidak boleh melakukan ‘umrah dalam setahun kecuali sekali, maka ia telah menyelisihi sunnah Rasulullah SAW, karena beliau telah menyuruh ‘Āisyah ra untuk melakukan ‘umrah dua kali dalam satu bulan, dan hal itu juga menyelisihi perbuatan ‘Āisyah sendiri, dan perbuatan ‘Alī, Ibn ‘Umar, dan Anas.”

Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan beliau; boleh melakukan ‘umrah berulang kali dalam satu tahun, dan ini adalah pendapat jumhur.
 Dari kalangan sahabat, pendapat ini dikatakan oleh ‘Umar, ‘Alī, Ibn ‘Umar, ‘Āisyah, dan Anas ra.
 Dan dari kalangan tābi‘īn: ‘Ikrimah, ‘Aṭā’, dan Ṭāwūs.


وَقَالَ مَالِكٌ وَالنَّخَعِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَابْنُ سِيرِينَ وَالْمُزَنِيُّ: لَا تَجُوزُ الْعُمْرَةُ فِي السَّنَةِ إِلَّا مَرَّةً كَالْحَجِّ لِاقْتِرَانِهِمَا فِي الْأَمْرِ، وَهَذَا خَطَأٌ، وَدَلِيلُنَا مَا رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اعْتَمَرَ فِي سنةٍ مَرَّتَيْنِ فِي شَوَّالٍ وَذِي الْقَعْدَةِ، وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ أَعْمَرَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فِي سنةٍ مَرَّتَيْنِ لِأَنَّهَا أَحْرَمَتْ بِالْعُمْرَةِ فَلِمَا دَخَلَتْ مَكَّةَ حَاضَتْ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ارْفُضِي عُمْرَتَكِ وَأَهِلِّي بِالْحَجِّ أَيِ ارْفُضِي عَمَلَ عُمْرَتِكِ فَلَمَّا فَرَغَتْ مِنَ الْقِرَانِ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ: كُلُّ نِسَائِكَ يَنْصَرِفْنَ بِنُسُكَيْنِ وَأَنَا بِنُسُكٍ واحدٍ فَأَمَرَ أَخَاهَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ أَنْ يُعْمِرَهَا مِنَ التَّنْعِيمِ فَحَصَلَ لَهَا عُمْرَتَانِ وَرَوَى أَبُو صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جزاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ والعمرتان تُكَفِّرُ مَا بَيْنَهُمَا وَرُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّهُ اعْتَمَرَ فِي شَهْرٍ وَاحِدٍ أَرْبَعَ عُمَرٍ وَحُكِيَ نَحْوُ ذَلِكَ عَنِ ابْنِ عُمَرَوَأَنَسٍ وَعَائِشَةَ وَقِيلَ: سُمِّيَتْ عُمْرَةً لِجَوَازِهَا فِي الْعُمُرِ كُلِّهِ وَسُمَّوا عُمَّارَ الْبَيْتِ لِمُدَوَامَتِهِمُ الِاعْتِمَارَ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ جَمِيعُ السَّنَةِ وَقْتًا لِلْعُمْرَةِ، دَلَّ عَلَى تَكْرَارِهَا، وَجَوَازِ فِعْلِهَا مِرَارًا كَالنَّوَافِلِ في الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ، وَبِهَذَا الْمَعْنَى فَارَقَ الْحَجَّ لِأَنَّ الْحَجَّ وَقْتٌ يَفُوتُ الْحَجُّ بِفَوَاتِهِ، وَهُوَ عَرَفَةُ فَافْتَرَقَا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ.

Malik, al-Nakha‘i, Sa‘id bin Jubair, Ibn Sirin, dan al-Muzani berkata: ‘Umrah dalam setahun tidak boleh dilakukan kecuali satu kali, seperti halnya haji, karena keduanya disebutkan secara bersamaan dalam perintah.

Namun ini adalah kesalahan.

Dalil kami adalah riwayat dari ‘Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW pernah melakukan ‘umrah dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan Syawwal dan Dzulqa‘dah.

Dan diriwayatkan dari beliau SAW bahwa beliau memerintahkan ‘Aisyah RA untuk melakukan ‘umrah dua kali dalam setahun, karena ia beriḥrām ‘umrah, namun ketika memasuki Makkah ia sedang haid, maka Nabi SAW bersabda kepadanya: “Batalkanlah ‘umrahmu dan niatkanlah haji.” Maksudnya: batalkan amal ‘umrah-mu.

Setelah ia menyelesaikan qirān-nya, ia berkata: “Wahai Rasulullah, semua istrimu pulang dengan dua ibadah, sedangkan aku hanya satu.” Maka Nabi SAW memerintahkan saudaranya, ‘Abdurrahman, untuk membawanya ke Tan‘im untuk beriḥrām ‘umrah, sehingga ia mendapatkan dua ‘umrah.

Abu Shalih meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga, dan dua ‘umrah menghapus dosa di antara keduanya.”

Dan diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Ṭālib RA bahwa ia melakukan ‘umrah empat kali dalam satu bulan, dan disebutkan hal serupa dari Ibn ‘Umar, Anas, dan ‘Aisyah.

Dikatakan: dinamakan ‘umrah karena boleh dilakukan sepanjang ‘umur (umur hidup), dan orang-orang yang sering melakukan ‘umrah disebut ‘ummār al-bayt karena mereka terus-menerus melakukan ‘umrah.

Dan karena seluruh tahun adalah waktu untuk ‘umrah, maka ini menunjukkan kebolehannya dilakukan berulang kali, dan boleh melakukannya berkali-kali sebagaimana nawāfil dalam shalat dan puasa.

Dengan makna ini, maka ‘umrah berbeda dengan haji, karena haji memiliki waktu tertentu, dan jika terlewat maka gugurlah (kesempatan) hajinya, yaitu waktu ‘Arafah, sehingga keduanya berbeda dari sisi ini.

قال الشافعي رضي الله عنه: ” قَالَ اللَّهُ جَلَّ ذِكْرُهُ {وَأَتِّمُوا الحَجَّ والْعُمْرَةِ للهِ} (البقرة: 196) فَقَرَنَ الْعُمْرَةَ بِهِ وَأَشْبَهُ بِظَاهِرِ القرآن أن تكون العمرة واجبة واعتمر النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قبل الحج ومع ذلك قول ابن عباس والذي نفسي بيده إنها لقرينتها في كتاب الله {وأَتِمُّوا الحَجَّ والْعُمْرَةَ للهِ} وعَنْ عَطاء قال ليس أحد من خلق الله إلا وعليه حجة وعمرة واجبتان (قال) وقال غيره من مكيينا وسن رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في قران العمرة مع الحج هدياً ولو كانت نافلةً أشبه أن لا تقرن مع الحج وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” دخلت العمرة في الحج إلى يوم القيامة ” وروي أن في الكتاب الَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لعمرو بن حزم أن العمرة هي الحج الأصغر “.

BAB PENJELASAN BAHWA ‘UMRAH ITU WAJIB SEPERTI HAJI
 Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Allah Jalla Dzikruhu berfirman: {wa atimmū al-ḥajja wa al-‘umrata lillāh} (al-Baqarah: 196), maka Allah menyandingkan ‘umrah dengan haji. Dan zhahir al-Qur’an menunjukkan bahwa ‘umrah itu wajib. Nabi SAW melakukan ‘umrah sebelum haji. Demikian pula perkataan Ibn ‘Abbās: Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya ‘umrah itu adalah pasangannya dalam Kitab Allah: {wa atimmū al-ḥajja wa al-‘umrata lillāh}.”

Dari ‘Aṭā’: ia berkata, “Tidak ada seorang pun dari makhluk Allah melainkan atasnya wajib haji dan ‘umrah.”
 Dan ia juga berkata: orang selainnya dari kalangan penduduk Makkah juga berpendapat demikian.
 Rasulullah SAW juga mensyariatkan adanya hadyu dalam qirān antara ‘umrah dan haji, dan kalau seandainya ‘umrah itu nāfilah, niscaya tidak disandingkan dengan haji.

Rasulullah SAW bersabda: “Telah masuk ‘umrah ke dalam haji sampai hari kiamat.”
 Dan diriwayatkan bahwa dalam kitab yang ditulis Rasulullah SAW untuk ‘Amr bin Ḥazm disebutkan: “Sesungguhnya ‘umrah adalah haji kecil.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْعُمْرَةُ فِي كَلَامِهِمْ فَفِيهَا قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا الْقَصْدُ، وَكُلُّ قَاصِدٍ لِشَيْءٍ فَهُوَ مُعْتَمِرٌ قَالَ الْعَجَّاجُ:
(لَقَدْ سَمَا ابْنُ مَعْمَرٍ حِينَ اعْتَمَرْ … مَغْزًا بَعِيدًا مِنْ بَعِيدٍ وَصَبَرْ)
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: هِيَ الزِّيَارَةُ وَقَالَ أَعْشَى باهلة:
(وجَاشت النفس لما جاء فَلُّهُمُ … وَرَاكِبٌ جَاءَ مِنْ تَثْلِيثِ مُعْتَمِرًا)

Al-Māwardī berkata: Adapun makna ‘umrah dalam ucapan mereka (orang Arab), maka ada dua pendapat:

Pertama: bahwa ‘umrah bermakna qashd (maksud atau tujuan), maka setiap orang yang memiliki tujuan terhadap sesuatu disebut mu‘tamir.

Sebagaimana perkataan al-‘Ajjāj:
 “Sungguh Ibn Ma‘mar telah menjulang tinggi ketika ia beri‘tikad (i‘timar) —
 menuju medan yang jauh dari tempat yang jauh, dan ia bersabar.”

Kedua: ‘umrah adalah ziyarah (kunjungan).

Sebagaimana dikatakan oleh al-A‘syā al-Bāhilī:
 “Dan jiwa bergelora ketika pasukan mereka datang —
 dan seorang penunggang datang dari Tathlīth sebagai seorang mu‘tamir (yang berkunjung).”


يَعْنِي: زَائِرًا هَكَذَا قَالَ الْأَصْمَعِيُّ، لَكِنَّ الْعُمْرَةَ فِي الشَّرْعِ تَشْتَمِلُ عَلَى إِحْرَامٍ، وَطَوَافٍ، وَسَعْيٍ، وَحِلَاقٍ.
وَاخْتَلَفَ النَّاسُ فِي وُجُوبِهَا فَالْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَالْمُعَوَّلِ عَلَيْهِ أَنَّهَا وَاجِبَةٌ كَالْحَجِّ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ وَجَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ.
وَمِنَ التَّابِعِينَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَأَحْمَدُ وإسحاق.

Yaitu: zā’ir (orang yang berkunjung), demikian dikatakan oleh al-Aṣma‘ī. Akan tetapi, ‘umrah dalam syariat mencakup iḥrām, ṭawāf, sa‘i, dan ḥalāq.

Manusia berbeda pendapat tentang kewajibannya. Pendapat masyhur dalam mazhab al-Syafi‘i dan yang dijadikan pegangan adalah bahwa ‘umrah itu wajib seperti haji.

Pendapat ini dikatakan oleh para sahabat: ‘Abdullāh bin ‘Umar, ‘Abdullāh bin ‘Abbās, dan Jābir bin ‘Abdillāh.
 Dari kalangan tābi‘īn: Sa‘īd bin Jubair dan Sa‘īd bin al-Musayyab.
 Dari kalangan fuqahā’: Sufyān ats-Tsaurī, Aḥmad, dan Isḥāq.

وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ: وَأَحْكَامُ الْقُرْآنِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ.
وَمِنَ التَّابِعِينَ عَامِرُ الشَّعْبِيُّ.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ، وأبو حنيفة، فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ خَرَّجَهُ قَوْلًا ثَانِيًا، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ إِنَّمَا ذَكَرَهُ حِكَايَةً عَنْ مَذْهَبِ غَيْرِهِ.

Dan dalam pendapat qadīm-nya (Imam al-Syafi‘i) beliau berkata: hukum-hukum al-Qur’an menunjukkan bahwa ‘umrah adalah sunnah muakkadah.

Pendapat ini juga dipegang oleh sahabat ‘Abdullah bin Mas‘ud, dan dari kalangan tābi‘īn oleh ‘Āmir al-Sya‘bī, serta dari kalangan fuqahā oleh Mālik dan Abu Ḥanīfah.

Sebagian dari kalangan mazhab kami mengeluarkan ini sebagai pendapat kedua.

Dan sebagian dari mereka berkata bahwa beliau (al-Syafi‘i) hanya menyebutkannya sebagai riwayat dari mazhab selainnya.


وَاسْتَدَلَّ مَنْ قَالَ إِنَّهَا سُنَّةٌ بِمَا رَوَى الْحَجَّاجُ بْنُ أَرْطَأَةَ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سُئِلَ عَنِ الْعُمْرَةِ أَوَاجِبَةٌ فَقَالَ لَا وَأَنْ تَعْتَمِرَ خَيْرٌ لَكَ وَبِمَا رَوَى مُعَاوِيَةُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ أَبِي صَالِحٍ الْحَنَفِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: الْحَجُّ جهادٌ وَالْعُمْرَةُ تَطَوُعٌ وَبِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دخلت العمرة في الحج إلى يوم القيامة.

Dan orang-orang yang berpendapat bahwa ‘umrah itu sunnah berdalil dengan riwayat dari al-Ḥajjāj bin Arṭā’ah dari Abū az-Zubayr dari Jābir, bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang ‘umrah, apakah wajib? Maka beliau menjawab: “Tidak. Tetapi jika engkau ber‘umrah, itu lebih baik bagimu.”

Juga dengan riwayat dari Mu‘āwiyah bin Isḥāq dari Abū Ṣāliḥ al-Ḥanafī bahwa Nabi SAW bersabda: “Haji adalah jihad, sedangkan ‘umrah adalah tathawwu‘ (sunnah).”

Dan juga dengan sabda beliau SAW: “‘Umrah telah masuk dalam haji sampai hari kiamat.”


قَالُوا: وَلِأَنَّهُ نُسُكٌ يُفْعَلُ عَلَى وَجْهِ التَّتَبُّعِ لَيْسَ لَهُ وَقْتٌ مُعَيَّنٌ كَالصَّلَاةِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ وَاجِبًا كَطَوَافِ اللُّزُومِ، وَلِأَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ كَانَتْ وَاجِبَةً بِأَصْلِ الشَّرْعِ كَانَ لَهَا وَقْتٌ مُعَيَّنٌ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالْحَجِّ، فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ لِلْعُمْرَةِ وَقْتٌ مُعَيَّنٌ عُلِمَ أَنَّهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ بِأَصْلِ الشَّرْعِ كَالِاعْتِكَافِ قَالُوا: وَلِأَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ اخْتُصَّتْ بِزَمَانٍ كَانَ جِنْسُهَا نَفْلٌ يَتَكَرَّرُ، فِي غَيْرِ وَقْتِهَا كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ مِنْ جِنْسِ الْحَجِّ نَفْلٌ يَتَكَرَّرُ فِي غَيْرِ وَقْتِهِ، دَلَّ عَلَى أَنَّ الْعُمْرَةَ نَفْلُ الْحَجِّ لِتَكَرُّرِهَا فِي غَيْرِ وَقْتِهِ.

Mereka berkata: karena ‘umrah adalah nusuk yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa waktu tertentu, seperti shalat, maka tidak seharusnya ia menjadi wajib, sebagaimana ṭawāf al-luzūm.

Dan karena setiap ibadah yang diwajibkan oleh syariat pada asalnya memiliki waktu tertentu, seperti shalat, puasa, dan haji — maka ketika ‘umrah tidak memiliki waktu yang ditentukan, diketahui bahwa ia bukanlah ibadah yang wajib secara asal syariat, sebagaimana i‘tikāf.

Mereka juga berkata: karena setiap ibadah yang memiliki waktu tertentu, jenis ibadah itu menjadi nafilah yang bisa diulang-ulang di luar waktunya, seperti shalat dan puasa. Maka ketika tidak ada nafilah dari jenis haji yang bisa diulang-ulang di luar waktunya, hal itu menunjukkan bahwa ‘umrah adalah nafilah dari haji, karena ‘umrah bisa diulang-ulang di luar waktu haji.


وَالدَّلَالَةُ عَلَى وجوبها قوله تعالى: {فَأَتِمّوا الحَجَّ وَالعُمْرَةَ للهِ) {البقرة: 196) وفيه قرأتان:
إِحْدَاهُمَا: قَرَأَ بِهَا ابْنُ مَسْعُودٍ وَابْنُ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما تَعَالَى: {وَأَتِمُّوا الحَجَّ وَالعُمْرَةَ للهِ) {البقرة: 196) وَالْقِرَاءَةُ الشَّاذَّةُ إِذَا صَحَّتْ جَرَتْ مَجْرَى خَبَرِ الْوَاحِدِ فِي وُجُوبِ الْعَمَلِ بِهِ.
وَالثَّانِيَةُ: قِرَاءَةُ الْجَمَاعَةِ {وَأَتِمُّوا الحَجَّ وَالعُمْرَةَ للهِ) {البقرة: 196) وَالدَّلَالَةُ فِيهَا من وجهين:

Dan dalil atas wajibnya ‘umrah adalah firman Allah Ta‘ala: {fa-atimmū al-ḥajja wa al-‘umrata lillāh} (al-Baqarah: 196). Dalam ayat ini terdapat dua qirā’ah:

Pertama: dibaca oleh Ibn Mas‘ūd dan Ibn ‘Abbās ra: {wa-atimmū al-ḥajja wa al-‘umrata lillāh} (al-Baqarah: 196). Dan qirā’ah syādzdzah jika sah, maka hukumnya seperti khabar wāḥid dalam kewajiban untuk diamalkan.

Kedua: qirā’ah al-jamā‘ah: {wa-atimmū al-ḥajja wa al-‘umrata lillāh} (al-Baqarah: 196). Dan dalalah pada qirā’ah ini ditinjau dari dua sisi:

أحدهما: أن إتمامها أَنْ يُفْعَلَا عَلَى التَّمَامِ كَمَا قَالَ تَعَالَى {وَإذِ ابْتَلَى إبْرَاهِيمَ رَبّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمهُنَّ) {البقرة: 124) أَيْ فَعَلَهُنَّ تَامَّاتٍ وَرُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُمَا قَالَا: إِتْمَامُهُمَا أَنْ تُحْرِمَ بِهِمَا مِنْ دُوَيْرَةِ أَهْلِكَ أَنَّهُ أُمِرَ بِالْإِتْمَامِ، وَحَقِيقَةُ الْبِنَاءِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ إِتْمَامُ الْعُمْرَةِ وَاجِبًا وَإِتْمَامُهَا لَا يُتَوَصَّلُ إِلَيْهِ إِلَّا بِابْتِدَاءِ الدُّخُولِ فِيهَا، وَمَا لَا يُتَوَصَّلُ إِلَى الْوَاجِبِ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ، كَاسْتِقَاءِ الْمَاءِ لِلطَّهَارَةِ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنَ السُّنَّةِ مَا رَوَى يَحْيَى بْنُ يَعْمُرَ عَنِ ابن عُمَرَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِسْلَامُ فَقَالَ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رسول اللَّهِ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ شَهْرَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ، وَتَعْتَمِرَ وَتَغْتَسِلَ مِنَ الْجَنَابَةِ، وَتُتِمُّ الْوُضُوءَ قَالَ: فَإِذَا فَعَلْتُ هَذَا فَأَنَا مُسْلِمٌ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: صَدَقْتَ فَجَعَلَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْعُمْرَةَ مِنَ الْإِسْلَامِ، وَقَرَنَهَا بِالْوَاجِبَاتِ وَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّهَا قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعَلَى النَّسَاءِ جهادٌ، فَقَالَ عَلَيْهِنَّ جهادٌ، لَا قِتَالَ فِيهِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ فَرِيضَتَانِ لَا يَضُرُّكَ بِأَيِّهِمَا بَدَأْتَ وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَفْتَقِرُ إِلَى الطَّوَافِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنْ جِنْسِهَا مَا هُوَ وَاجِبٌ بِأَصْلِ الشَّرْعِ كَالْحَجِّ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَجِبُ فِي إِفْسَادِهَا الْكَفَّارَةُ فَوَجَبَ أَنْ تَتَنَوَّعَ فَرْضًا وَنَفْلًا كَالصَّوْمِ، وَالْحَجِّ.

Salah satunya: bahwa penyempurnaan keduanya adalah dilakukan secara sempurna sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {wa idz ibtalā Ibrāhīma rabbuhu bikalimātin fa-atammahunna} (al-Baqarah: 124), yaitu beliau melaksanakannya dengan sempurna. Diriwayatkan dari ‘Ali dan ‘Umar RA bahwa keduanya berkata: penyempurnaan haji dan ‘umrah adalah dengan berihram untuk keduanya dari duwayrah keluargamu, karena ia diperintahkan untuk menyempurnakan, dan hakikat menyempurnakan adalah melanjutkan dari apa yang telah dimulai, maka hal itu menunjukkan bahwa menyempurnakan ‘umrah adalah wajib, dan penyempurnaannya tidak dapat dilakukan kecuali dengan memulai masuk ke dalamnya, dan sesuatu yang tidak dapat menyampaikan kepada yang wajib kecuali dengannya maka hukumnya wajib, seperti menimba air untuk ṭahārah.

Dan dalil dari sunnah adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Yaḥyā bin Ya‘mur dari Ibnu ‘Umar, dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA, bahwa ada seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? Beliau menjawab: “Engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muḥammad adalah utusan Allah, menegakkan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramaḍān, berhaji ke Baitullah, ber‘umrah, mandi dari janābah, dan menyempurnakan wuḍū’.” Ia berkata: “Jika aku lakukan itu semua, apakah aku seorang Muslim?” Beliau menjawab: “Ya.” Ia berkata: “Engkau benar.” Maka Nabi SAW menjadikan ‘umrah sebagai bagian dari Islam dan menyandingkannya dengan kewajiban-kewajiban lainnya.

Diriwayatkan dari ‘Āisyah RA bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah perempuan juga wajib berjihad?” Beliau bersabda: “Atas mereka ada jihad yang tidak ada perangnya, yaitu haji dan ‘umrah.” Dan diriwayatkan dari Ibnu Sīrīn dari Zayd bin Thābit bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Haji dan ‘umrah adalah dua kewajiban, tidak mengapa dengan mana saja yang engkau dahulukan.”

Karena ‘umrah adalah ibadah yang mensyaratkan ṭawāf, maka wajib di dalamnya ada bagian yang hukumnya wajib secara asal syariat seperti haji. Dan karena ‘umrah adalah ibadah yang mewajibkan kaffārah bila dirusak, maka ia harus terbagi menjadi fardhu dan nafl sebagaimana puasa dan haji.


فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ الْحَجَّاجِ بْنِ أَرْطَأَةَ فَلَا يَجُوزُ الِاحْتِجَاجُ بِهِ، لِأَنَّهُ ضَعِيفٌ رُوِيَ عَمَّنْ سَمِعَ وَعَمَّنْ لَمْ يَسْمَعْ عَلَى أَنَّهُ إِنْ صَحَّ، حُمِلَ عَلَى سَائِلٍ سَأَلَ عَنْ عُمْرَةٍ ثَانِيَةٍ، وَأَمَّا قَوْلُهُ: الْحَجُّ جهادٌ وَالْعُمْرَةُ تَطَوُّعٌ فَحَدِيثٌ مُرْسَلٌ لِأَنَّ أَبَا صَالِحٍ الْحَنَفِيَّ تَابِعِيٌّ عَلَى أَنَّهُ شَبَّهَ الْحَجَّ بِالْجِهَادِ لِعِظَمِ مَشَقَّتِهِ وَثَوَابِهِ، وَالْعُمْرَةَ بِالتَّطَوُّعِ لِقِلَّةِ مَشَقَّتِهَا، وَإِنَّ ثَوَابَ الْحَجِّ أَكْثَرُ مِنْ ثَوَابِهَا، وَكَذَا الْجَوَابُ عَمَّا رُوِيَ، أَنَّهُ قَالَ: مَنْ حَجَّ فَكَأَنَّمَا صَلَّى الْفَرِيضَةَ وَمَنِ اعْتَمَرَ فَكَأَنَّمَا صَلَّى النَّافِلَةَ فَجَعَلَ الْعُمْرَةَ كَالنَّافِلَةِ فِي قِلَّةِ عَمَلِهَا، وَثَوَابِهَا، وَالْحَجَّ، كَالْفَرِيضَةِ فِي كَثْرَةِ عَمَلِهِ وَثَوَابِهِ، وَأَمَّا قَوْلُهُ: ” دَخَلَتِ الْعُمْرَةُ فِي الْحَجَّ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ” فَلَيْسَ الْمُرَادُ بِهِ سُقُوطُ وُجُوبِهَا بِوُجُوبِ الْحَجِّ، وَإِنَّمَا أَرَادَ أَنَّ الْعُمْرَةَ دَخَلَتْ فِي وَقْتِ الْحَجِّ، وَأَشْهُرِهِ، لِأَنَّ الْقَوْمَ كَانُوا لَا يَرَوْنَ الْعُمْرَةَ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ، أَوْ يَكُونُ الْمُرَادُ بِهِ أَنَّ أَفْعَالَ الْعُمْرَةِ، دَخَلَتْ فِي أَفْعَالِ الْحَجِّ فِي الْقِرَانِ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الطَّوَافِ فَلَيْسَ طواف القدوم، ونسك بِذَاتِهِ، وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ جُمْلَةِ نُسُكٍ كَمَا أَنَّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ لَيْسَ بِصَلَاةٍ، وَإِنَّمَا هُوَ من جُمْلَةِ الصَّلَاةِ وَقَوْلُهُمْ يُفْعَلُ عَلَى وَجْهِ التَّبَعِ فَغَيْرُ مُسَلَّمٍ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي طَوَافِ الْقُدُومِ جَوَازُ الْخُرُوجِ مِنْهُ قَبْلَ تَمَامِهِ، وَإِنَّ الْكَفَّارَةَ لا تجب في إفساده، وإما قولهم أن لَمَّا لَمْ يَكُنْ لَهَا وَقْتٌ مُعَيَّنٌ، دَلَّ عَلَى أَنَّهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ، فَيَبْطُلُ عَلَى أَصْلِهِمْ بِصَلَاةِ الْوِتْرِ ثُمَّ بِالزَّكَوَاتِ عَلَى أَنَّهُ قِيَاسُ الْعَكْسِ، وَلَا نَقُولُ بِهِ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ لِلْحَجِّ نَفْلٌ مِنْ جِنْسِهِ يَتَكَرَّرُ فِي غَيْرِ وَقْتِهِ، اقْتَضَى أَنْ تَكُونَ العمرة نفله والجواب: أن يقال إثماً كَانَ لِلصَّلَاةِ نَفْلٌ يَتَكَرَّرُ فِي وَقْتِهَا لِأَنَّ فرضها يفعل في وَقْتِهَا، وَغَيْرُ وَقْتِ الْحَجِّ لَمَّا لَمْ يَكُنْ وَقْتًا لِفَرْضِ الْحَجِّ، لَمْ يَكُنْ لِلْحَجِّ نَفْلٌ يُفْعَلُ فِي غَيْرِ وَقْتِهِ، فَسَقَطَ مَا قَالُوهُ.

Adapun jawaban terhadap hadis al-Ḥajjāj bin Arṭa’ah, maka tidak boleh berhujah dengannya karena ia lemah, diriwayatkan dari orang yang mendengar dan dari orang yang tidak mendengar. Kalaupun sahih, maka ditakwil atas seorang penanya yang bertanya tentang umrah kedua. Adapun perkataannya: al-ḥajju jihādun wa al-‘umratu taṭawwu‘un adalah hadis mursal, karena Abū Ṣāliḥ al-Ḥanafī adalah seorang tābi‘ī. Ia hanya menyerupakan haji dengan jihād karena besarnya kesulitan dan pahala, dan umrah dengan taṭawwu‘ karena sedikitnya kesulitan. Dan sungguh pahala haji lebih besar daripada pahalanya.

Demikian juga jawaban atas riwayat bahwa beliau berkata: “Barangsiapa berhaji, maka seakan-akan ia mengerjakan salat fardu. Dan barangsiapa berumrah, maka seakan-akan ia mengerjakan salat sunah.” Maka dijadikan umrah seperti salat sunah dalam sedikitnya amal dan pahala, sedangkan haji seperti salat fardu dalam banyaknya amal dan pahala.

Adapun sabda beliau: “Dakhulat al-‘umratu fī al-ḥajj ilā yawm al-qiyāmah”, maka yang dimaksud bukanlah gugurnya kewajiban umrah karena wajibnya haji, tetapi yang dimaksud adalah bahwa umrah masuk ke dalam waktu haji dan bulan-bulannya. Karena kaum tersebut dahulu tidak memandang bolehnya umrah di bulan-bulan haji. Atau yang dimaksud adalah bahwa amalan-amalan umrah telah masuk ke dalam amalan-amalan haji dalam qirān antara haji dan umrah.

Adapun qiyas mereka atas ṭawāf, maka ṭawāf qudūm bukanlah nusuk tersendiri, melainkan bagian dari nusuk, sebagaimana rukuk dan sujud bukanlah salat, tetapi bagian dari salat. Dan perkataan mereka bahwa itu dilakukan secara mengikuti, tidak bisa diterima. Lalu makna ṭawāf qudūm adalah boleh keluar darinya sebelum selesai, dan tidak wajib kafarat bila dirusak.

Adapun perkataan mereka bahwa karena tidak ada waktu tertentu bagi umrah, maka itu menunjukkan ia tidak wajib, maka itu batal menurut dasar mereka sendiri mengenai salat witir, lalu juga mengenai zakat-zakat. Ini termasuk qiyās al-‘aks, dan kami tidak berpegang dengannya.

Adapun perkataan mereka bahwa ketika haji tidak memiliki bentuk sunah dari jenisnya yang dilakukan berulang di luar waktunya, maka itu menunjukkan bahwa umrah adalah sunah, maka jawabannya adalah: bisa saja salat memiliki bentuk sunah yang berulang dalam waktunya karena fardunya dilakukan dalam waktunya. Adapun di luar waktu haji, karena bukan waktu haji fardu, maka tidak ada haji sunah yang dilakukan di luar waktunya, maka batal apa yang mereka katakan.

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُجْزِيهِ أَنْ يَقْرِنَ الْعُمْرَةَ مَعَ الْحَجِّ وَيُهْرِيقَ دماً، والقارن أَخَفُّ حَالًا مِنَ الْمُتَمَتِّعِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
وَالْقِرَانُ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ جَائِزٌ لِمَا رُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ أَصْحَابَهُ بِذَلِكَ، وَقَالَ: الْقَارِنُ يَكْفِيهِ طوافٌ واحدٌ وَسَعْيٌ واحدٌ لِمَا رُوِيَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: لَبَّيْكَ بِحِجَّةٍ وَعُمْرَةٍ مَعًا.

BAB APA YANG MEMENUHI SYARAT DARI ‘UMRAH JIKA DIGABUNGKAN DENGAN IBADAH LAIN

Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Cukup baginya untuk menggabungkan ‘umrah dengan haji (qirān) dan menyembelih hewan, dan orang yang qārin (menggabungkan) keadaannya lebih ringan dibandingkan dengan mutamatti‘.”

Al-Māwardī berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan: menggabungkan antara haji dan ‘umrah (qirān) hukumnya boleh, berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah SAW memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan hal itu, dan beliau bersabda: “Bagi qārin cukup satu ṭawāf dan satu sa‘i,” berdasarkan riwayat dari Anas bin Mālik bahwa Rasulullah SAW bersabda: Labbaika bi-ḥijjah wa ‘umrah ma‘an (Aku memenuhi panggilan-Mu untuk haji dan ‘umrah sekaligus).


وَرَوِيَّ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: قَرَنَتْ بِإِذْنِ رَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأَنَّهَا كَانَتْ مُحْرِمَةً بعمرةٍ فَحَاضَتْ فَأَمَرَهَا أَنْ تُهِلَّ بِالْحَجِّ وَقَالَ: افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ يَعْنِي فِي حَالِ حَيْضِهَا فَلَمَّا طَهُرَتْ وَطَافَتْ قَالَ لَهَا طَوَافُكِ يَكْفِيكِ لِحَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ لِلصُّبَيِّ بْنِ مَعْبَدٍ حِينَ قَرَنَ، وَقَدْ أَنْكَرَ عليه زيد ابن صُوحَانَ وَسَلْمَانُ بْنُ رَبِيعَةَ هُدِيتَ لِسُنَّةِ نَبِيِّكَ محمد – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ نَهَى عَنِ الْقِرَانِ بَيْنَ التَّمْرَتَيْنِ وَفِيهِ تأويلان:

Dan diriwayatkan bahwa ‘Aisyah RA melakukan qirān dengan izin Rasulullah SAW, karena ia sedang berihram untuk ‘umrah, lalu mengalami haid. Maka beliau memerintahkannya untuk berihram haji, dan bersabda: “Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang haji, kecuali jangan thawaf di Baitullah,” yakni dalam keadaan haid. Ketika ia telah suci dan melakukan thawaf, beliau bersabda kepadanya: “Thawaf-mu mencukupimu untuk hajimu dan ‘umrah-mu.”

Dan diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab RA bahwa ia berkata kepada Shubay bin Ma‘bad ketika melakukan qirān, padahal telah diingkari oleh Zaid bin Shūḥān dan Salmān bin Rabī‘ah: “Engkau telah mendapat petunjuk kepada sunnah nabimu Muhammad SAW.”

Jika dikatakan: Telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau melarang qirān antara dua buah kurma — maka dalam hal ini terdapat dua penakwilan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ نَهَى عَنْ ذَلِكَ أَدَبًا.
وَالثَّانِي: لِتَمَيُّزِ التَّمْرِ وَعِزَّتِهِ.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ نَهَى عَنِ الْقِرَانِ فِي الصَّلَاةِ وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ فَسَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنْ مَعْنَاهُ، فَذَكَرَ نَحْوًا مِنْ بِضْعَةِ عَشَرَ وَجْهًا، مِنْهَا أن يدخل بَيْنَ الْإِحْرَامِ وَالتَّوَجُّهِ، أَوْ يُوَاصِلَ بَيْنَ التَّوَجُّهِ وَالْقِرَاءَةِ، أَوْ بَيْنَ الْقِرَاءَةِ وَالتَّكْبِيرِ إِلَى أَنْ ذَكَرَ الْقِرَانَ بَيْنَ التَّسْلِيمَتَيْنِ.

Salah satunya: bahwa larangan itu bersifat adab (etika).

Dan yang kedua: karena untuk membedakan kurma dan karena kelangkaannya.

Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau melarang qirān (menggabungkan) dalam salat. Aḥmad bin Ḥanbal berkata: “Lalu aku bertanya kepada al-Syāfi‘i tentang maknanya, maka beliau menyebutkan sekitar belasan wajah (penjelasan), di antaranya: menggabungkan antara iḥrām dan niat menghadap, atau menyambung langsung antara niat menghadap dan bacaan, atau antara bacaan dan takbir, hingga beliau menyebutkan menggabungkan antara dua taslīm.”


فَصْلٌ
: فَإِذَا صَحَّ جَوَازُ الْقِرَانِ، فَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:
فَالضَّرْبُ الْأَوَّلُ: أَنْ يُحْرِمَ بِهِمَا معاًُ فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ، فَهَذَا قَارِنٌ حَقِيقَةً لُغَةً وَشَرْعًا.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُحْرِمَ بِالْعُمْرَةِ أَوَّلًا ثُمَّ يُدْخِلَ عَلَيْهَا حَجًّا فَإِنْ كَانَ قَبْلَ أَخْذِهِ فِي الطَّوَافِ جَازَ، وَدَلِيلُ جَوَازِهِ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ، وَإِنْ كَانَ بَعْدَ أَخْذِهِ فِي الطَّوَافِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ قَدْ أَتَى بِمُعْظَمِ عُمْرَتِهِ وَشَرَعَ فِي التَّحَلُّلِ مِنْهَا، فَلَوْ وَقَفَ عِنْدَ الْحَجَرِ لِيَأْخُذَ فِي الطَّوَافِ فَأَحْرَمَ بِالْحَجِّ، قَبْلَ أَنْ يَشْرَعَ فِيهِ جَازَ، وَكَانَ قَارِنًا وَلَوِ اسْتَلَمَ الْحَجَرَ وَخَطَا خُطْوَةً أَوْ خُطْوَتَيْنِ ثُمَّ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ لَمْ يَجْزِهِ لِأَخْذِهِ مِنَ الطَّوَافِ وَلَوِ اسْتَلَمَ الْحَجَرَ وَلَمْ يَمْشِ حَتَّى أَحْرَمَ بِالْحَجِّ، فَفِي جَوَازِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: يُجْزِيهِ لِأَنَّ الِاسْتِلَامَ مُقَدِّمَةُ الطَّوَافِ.

PASAL
 Apabila telah sah kebolehan qirān, maka bentuknya ada tiga macam:

Macam pertama: berihram untuk keduanya sekaligus dalam satu waktu. Ini adalah qārin secara hakiki, baik secara bahasa maupun syariat.

Macam kedua: berihram untuk ‘umrah terlebih dahulu kemudian memasukkan niat haji ke dalamnya. Jika dilakukan sebelum ia memulai ṭawāf, maka hal itu diperbolehkan. Dalil bolehnya adalah hadis ‘Āisyah yang telah kami sebutkan. Namun jika dilakukan setelah memulai ṭawāf, maka tidak diperbolehkan, karena ia telah melakukan sebagian besar ‘umrah-nya dan telah mulai masuk ke tahapan taḥallul darinya.

Jika seseorang berhenti di sisi ḥajar untuk memulai ṭawāf, lalu ia berihram haji sebelum memulai ṭawāf, maka hal itu diperbolehkan dan ia dianggap qārin. Tetapi jika ia telah istilām (menyentuh ḥajar) dan melangkah satu atau dua langkah kemudian berihram haji, maka tidak sah, karena ia telah memulai ṭawāf.

Namun jika ia telah istilām kepada ḥajar dan belum berjalan lalu berihram haji, maka dalam kebolehannya ada dua pendapat:

Yang pertama: sah, karena istilām merupakan permulaan ṭawāf.


وَالثَّانِي: لَا يُجْزِيهِ لِأَنَّ ذَلِكَ أُولَى أَبْعَاضِهِ، وَلَكِنْ لَوِ اسْتَلَمَ غَيْرَ مُرِيدٍ لِلطَّوَافِ ثُمَّ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ أَجْزَأَهُ لَا يُخْتَلَفُ، وَلَوْ شَكَّ هَلْ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ قَبْلَ الطَّوَافِ أَوْ بَعْدَهُ، قَالَ أَصْحَابُنَا أَجْزَأَهُ قَالُوا: لِأَنَّ الْأَصْلَ جَوَازُ إِدْخَالِ الْعُمْرَةِ عَلَى الْحَجِّ عَلَى أَلَّا يَتَعَيَّنَ بِمَنْعٍ فَصَارَ كَمَنْ أَحْرَمَ وَتَزَوَّجَ، وَلَمْ يَدْرِ هَلْ كَانَ تَزْوِيجُهُ قَبْلَ إِحْرَامِهِ أَوْ بَعْدَهُ، قَالَ الشَّافِعِيُّ أَجْزَأَهُ.

Dan yang kedua: tidak mencukupi karena itu merupakan permulaan sebagian dari ṭawāf-nya. Namun jika ia menyentuh (istilām) tanpa bermaksud melakukan ṭawāf, lalu berihram haji, maka itu mencukupi menurut kesepakatan.

Dan jika ia ragu apakah ia telah berihram haji sebelum ṭawāf atau sesudahnya, para sahabat kami berkata: itu mencukupi. Mereka berkata: karena hukum asalnya adalah bolehnya memasukkan ‘umrah ke dalam haji, selama tidak ditentukan larangan yang mencegahnya. Maka hal itu seperti orang yang berihram lalu menikah, dan ia tidak tahu apakah akad nikahnya terjadi sebelum atau sesudah iḥrām, maka menurut pendapat al-Syāfi‘i, itu tetap sah.


فصل: والضرب الثاني
: أي يَبْتَدِئَ الْإِحْرَامَ بِالْحَجِّ ثُمَّ يُدْخِلُ عَلَى حَجِّهِ عُمْرَةً قَالَ فَإِنْ كَانَ بَعْدَ وُقُوفِهِ بِعَرَفَةَ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ قَدْ أَتَى بِمُعْظَمِ أَفْعَالِ الْحَجِّ، وَإِنْ كَانَ قَبْلَ وُقُوفِهِ بِعَرَفَةَ فَفِيهِ قَوْلَانِ، قَالَ فِي الْقَدِيمِ: يَجُوزُ لِأَنَّهُمَا عِبَادَتَانِ يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا، فَجَازَ إِدْخَالُ إِحْدَيْهِمَا عَلَى الْأُخْرَى أَصْلُهُ إِدْخَالُ الْحَجِّ عَلَى الْعُمْرَةِ، وَقَالَ فِي الْجَدِيدِ: لَا يَجُوزُ لِأَنَّ الْعُمْرَةَ أَضْعَفُ مِنَ الْحَجِّ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُزَاحِمَ مَا هُوَ أَقْوَى مِنْهَا بِالدُّخُولِ عَلَيْهَا، وَجَازَ لِلْحَجِّ مُزَاحَمَتُهَا لِأَنَّهُ أَقْوَى مِنْهَا أَلَا تَرَى أَنَّ الْفِرَاشَ بِالنِّكَاحِ أَقْوَى مِنَ الْفِرَاشِ بِمِلْكِ الْيَمِينِ، فَلَوْ وَطِئَ أَمَةً بِمِلْكِ الْيَمِينِ، ثُمَّ تَزَوَّجَ عليها أختها ثبت نكاحها، وحرم عليه وطؤ الْأَمَةِ، لِأَنَّ أَقْوَى الْفِرَاشَيْنِ زَاحَمَ أَضْعَفَهُمَا، وَإِنْ تَقَدَّمَ النِّكَاحُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ الْوَطْءُ بِالْمِلْكِ، لِأَنَّهُ أَضْعَفُ الْفِرَاشَيْنِ زَاحَمَ أَقْوَاهُمَا، فَلَوْ أَدْخَلَ الْعُمْرَةَ عَلَى حَجِّهِ، وَهُوَ وَاقِفٌ بِعَرَفَةَ لَمْ يَجُزْ قَوْلًا وَاحِدًا، وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ بَعْدَ أَنْ مربِعَرَفَةَ وَهُوَ لَا يَعْرِفُهَا لَمْ يَجُزْ، وَلَكِنْ لَوْ أَدْخَلَ الْعُمْرَةَ عَلَى حَجِّهِ فِي زَمَانِ عَرَفَةَ قَبْلَ أَنْ يَقِفَ بِهَا كَانَ عَلَى الْقَوْلَيْنِ.

PASAL: Macam kedua
 Yaitu seseorang memulai iḥrām dengan haji, kemudian memasukkan ‘umrah ke dalam hajinya.

Jika hal itu dilakukan setelah wuqūf di ‘Arafah, maka tidak diperbolehkan, karena ia telah melaksanakan sebagian besar amalan haji.

Namun jika dilakukan sebelum wuqūf di ‘Arafah, maka terdapat dua pendapat:

Ia berkata dalam qaul qadīm: boleh, karena keduanya adalah dua ibadah yang boleh digabungkan, maka diperbolehkan memasukkan salah satunya ke dalam yang lain. Dalil asalnya adalah diperbolehkannya memasukkan haji ke dalam ‘umrah.

Ia berkata dalam qaul jadīd: tidak boleh, karena ‘umrah lebih lemah daripada haji, maka tidak sah jika ‘umrah menggeser dan masuk ke dalam yang lebih kuat darinya. Adapun haji, boleh menggeser ‘umrah karena ia lebih kuat darinya.

Tidakkah engkau melihat bahwa hak atas ranjang karena pernikahan lebih kuat daripada hak atas ranjang karena kepemilikan budak? Maka apabila seseorang menyetubuhi seorang budak perempuan miliknya, kemudian ia menikahi saudari budak tersebut, maka pernikahannya tetap sah dan haram baginya menyetubuhi budak itu lagi, karena ranjang yang lebih kuat telah menggeser yang lebih lemah.

Namun jika pernikahan telah ada lebih dahulu, maka haram baginya menyetubuhi budak itu karena yang lebih lemah telah menggeser yang lebih kuat.

Maka, jika seseorang memasukkan ‘umrah ke dalam hajinya saat ia sedang wuqūf di ‘Arafah, maka tidak sah menurut satu pendapat. Begitu juga jika ia telah melewati ‘Arafah dan tidak mengenalnya (tidak sadar bahwa ia telah wuqūf), maka tidak diperbolehkan.

Namun jika ia memasukkan ‘umrah ke dalam hajinya pada hari ‘Arafah sebelum ia wuqūf, maka berlaku dua pendapat yang telah disebutkan.


فَصْلٌ
: وَإِذَا أَحْرَمَ بِالْعُمْرَةِ ثُمَّ أَفْسَدَهَا بِوَطْءٍ، وَأَدْخَلَ عَلَيْهَا حَجًّا فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لِأَنَّ الْأَصْلَ فِيهِمَا الْإِفْرَادُ ثُمَّ وَرَدَتِ الرُّخْصَةُ فِي إِدْخَالِ الْحَجِّ عَلَى عُمْرَةٍ سَلِيمَةٍ، فَكَانَ الثَّانِي عَلَى حُكْمِ أَصْلِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ لِأَنَّ الْعُمْرَةَ الْفَاسِدَةَ فِي حُكْمِ غَيْرِ الْفَاسِدَةِ فِي وُجُوبِ الْإِتْمَامِ، كَذَلِكَ فِي جَوَازِ القِران فَعَلَى هَذَا يَلْزَمُهُ قَضَاءُ الْعُمْرَةِ، وَفِي قَضَاءِ الْحَجِّ وَجْهَانِ:

PASAL
 Apabila seseorang berihram dengan ‘umrah kemudian merusaknya dengan jima‘, lalu memasukkan haji atasnya, maka ada dua wajah:

Pertama: tidak boleh, karena asalnya dalam keduanya adalah ifrād, kemudian datang rukhshah pada memasukkan haji atas ‘umrah yang sah, maka yang kedua kembali kepada hukum asalnya.

Wajah kedua: boleh, karena ‘umrah yang rusak dalam hukum sama dengan yang tidak rusak dalam kewajiban menyempurnakan, demikian pula dalam bolehnya qirān. Maka atas hal ini wajib baginya mengqadha ‘umrah, dan dalam mengqadha haji ada dua wajah.


أَحَدُهُمَا: لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ لِسَلَامَةِ الْحَجِّ مِنَ الْوَطْءِ.
وَالثَّانِي: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ لِأَنَّ الشَّرْعَ قَدْ قَرَنَ إِدْخَالَ الْحَجِّ عَلَى الْعُمْرَةِ كَالْإِحْرَامِ بِهِمَا، فَصَارَ كَالْوَاطِئِ فِيهِمَا.

Salah satunya: tidak ada qadhā’ atasnya karena hajinya selamat dari jima‘.
 Dan yang kedua: wajib atasnya qadhā’ karena syara‘ telah menyamakan antara memasukkan haji ke atas umrah dengan berihram untuk keduanya, maka ia seperti orang yang berjima‘ pada keduanya.

فَصْلٌ
: فَإِذَا قَرَنَ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا، فَعَلَيْهِ دَمٌ بِقِرَانِهِ، وَقَالَ الشَّعْبِيُّ عَلَيْهِ بَدَنَةٌ، وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ دَاوُدَ لَا دَمَ عَلَيْهِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمَا مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: الْقَارِنُ عَلَيْهِ شَاةٌ وَرَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ذَبَحَ عَنْ جَمِيعِ نِسَائِهِ بَقَرَةً وَنَحْنُ قارناتٌ فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ: وَالْقَارِنُ (أَخَفُّ حَالًا مِنَ الْمُتَمَتِّعِ) فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا تَأْوِيلَانِ:

PASAL
 Apabila seseorang melakukan qirān antara haji dan ‘umrah sebagaimana telah kami sebutkan, maka wajib atasnya dam karena qirān-nya. Al-Sya‘bī berkata: wajib atasnya seekor unta, sedangkan Muhammad bin Dāwud berkata: tidak ada dam atasnya.

Dalil atas keduanya adalah riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Orang yang qārin wajib atasnya seekor kambing.” Dan ‘Āisyah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW menyembelih seekor sapi untuk semua istri-istrinya sedangkan kami dalam keadaan qārināt.

Adapun perkataan al-Syāfi‘ī: bahwa orang yang qārin lebih ringan keadaannya daripada orang yang mutamatti‘, maka dalam hal ini ada dua ta’wil menurut para sahabat kami.


أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَصَدَ بِهِ الرَّدَّ عَلَى مَنْ أَوْجَبَ عَلَى الْقَارِنِ بَدَنَةً، لِأَنَّ الْمُتَمَتِّعَ مَعَ إِخْلَالِهِ بِأَحَدِ النُّسُكَيْنِ وَتَمَتُّعِهِ بَيْنَ الْإِحْرَامَيْنِ، لَا تَلْزَمُهُ بَدَنَةٌ فَالْقَارِنُ مَعَ اسْتِدَامَةِ إِحْرَامِهِ أَوْلَى أَنْ لَا تَلْزَمَهُ بَدَنَةٌ، وَعَلَى هَذَا نَصَّ فِي الْقَدِيمِ.
وَالثَّانِي: وَبِهِ صَرَّحَ فِي الْجَدِيدِ أَنَّهُ قَصَدَ بِهِ الرَّدَّ عَلَى مَنْ أَسْقَطَ الدَّمَ عَنِ الْقَارِنِ لِأَنَّ الْمُتَمَتِّعَ وَإِنْ أَخَلَّ بِأَحَدِ الْإِحْرَامَيْنِ، فَقَدْ أَتَى بِعَمَلَيْنِ كَامِلَيْنِ فِي زَمَانَيْنِ ثُمَّ عَلَيْهِ دَمٌ، فَالْقَارِنُ مَعَ إِخْلَالِهِ بِأَحَدِ الْعَمَلَيْنِ أَوْلَى بإيجاب الدم عليه.

Salah satunya: bahwa ia bermaksud membantah orang yang mewajibkan badanah atas qārin, karena orang yang mutamatti‘ meskipun ia mengurangi salah satu dari dua nusuk dan menikmati di antara dua ihram, tidak wajib atasnya badanah. Maka qārin dengan terus-menerus dalam ihramnya lebih utama untuk tidak diwajibkan badanah. Dan atas dasar ini ia menashkan dalam qaul qadīm.

Dan yang kedua: dan dengan ini ia menegaskan dalam qaul jadīd, bahwa ia bermaksud membantah orang yang menggugurkan dam dari qārin, karena orang yang mutamatti‘ meskipun ia mengurangi salah satu dari dua ihram, ia telah melakukan dua amal yang sempurna dalam dua waktu, kemudian wajib atasnya dam. Maka qārin dengan mengurangi salah satu dari dua amal lebih utama diwajibkan dam atasnya.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن اعتمد قبل الحج ثم أقام بمكة حتى ينشيء الْحَجَّ أَنْشَأَهُ مِنْ مَكَّةَ لَا مِنَ الْمِيقَاتِ وَلَوْ أَفْرَدَ الْحَجَّ وَأَرَادَ الْعُمْرَةَ بَعْدَ الْحَجِّ خَرَجَ مِنَ الْحَرَمِ ثُمَّ أَهَلَّ مِنْ أَيْنَ شَاءَ فَسَقَطَ عَنْهُ بِإِحْرَامِهِ بِالْحَجِّ مِنَ الْمِيقَاتِ وأحرم من أقرب الْمَوَاضِعِ مِنْ مِيقَاتِهَا وَلَا مِيقَاتَ لَهَا دُونَ الْحِلِّ كَمَا يَسْقُطُ مِيقَاتُ الْحَجِّ إِذَا قَدَّمَ الْعُمْرَةَ قَبْلَهُ لِدُخُولِ أَحَدِهِمَا فِي الْآخَرِ “.

Masalah
 Al-Syāfi‘ī RA berkata: “Apabila seseorang beri‘tikāf sebelum haji kemudian ia tetap tinggal di Makkah hingga memulai haji, maka ia memulainya dari Makkah, bukan dari miqāt. Dan jika ia melakukan ifrād al-hajj lalu ingin melakukan ‘umrah setelah haji, maka ia keluar dari ḥaram kemudian berihram dari mana saja ia kehendaki. Maka gugurlah darinya kewajiban berihram dari miqāt dengan ihram haji-nya, dan ia berihram dari tempat terdekat dengan miqāt untuk ‘umrah, dan tidak ada miqāt baginya kecuali dari luar ḥill, sebagaimana gugurnya miqāt haji apabila ia mendahulukan ‘umrah sebelum haji, karena masuknya salah satunya ke dalam yang lain.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ كُلُّ مَنْ مَرَّ بِمِيقَاتِ بَلَدِهِ حَجًّا أَوْ عُمْرَةً، أَوْ قِرَانًا فَعَلَيْهِ الْإِحْرَامُ مِنْ مِيقَاتِهِ لِمَا رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَهٍ حَدَّ الْمَوَاقِيتَ وَقَالَ هَذِهِ الْمَوَاقِيتُ لِأَهْلِهَا وَلِكُلِّ آتٍ أَتَى عَلَيْهَا مِنْ غَيْرِ أَهْلِهَا ممن أَرَادَ حَجًّا أَوْ عُمْرَةً فَإِذَا أَحْرَمَ بِالْعُمْرَةِ مِنَ الْمِيقَاتِ وَأَحَلَّ مِنْهَا وَأَرَادَ الْإِحْرَامَ بِالْحَجِّ أَحْرَمَ بِهِ مِنْ مَكَّةَ لِمَا رُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حِينَ فَتَحَ الْحَجَّ عَلَى أَصْحَابِهِ وَأَمَرَهُمْ بِالْعُمْرَةِ قَالَ عِنْدَ فَرَاغِهِمْ مِنْهَا: مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيُهِلَّ قَالَ جَابِرٌ فَأَحْرَمْنَا بِالْحَجِّ مِنْ بَطْحَاءِ مَكَّةَ، وَهَذَا هُوَ التَّمَتُّعُ فَأَمَّا إِذَا أَحْرَمَ بِالْحَجِّ مِنَ الْمِيقَاتِ وَأَحَلَّ مِنْهُ وَأَرَادَ الْإِحْرَامَ بِالْعُمْرَةِ، أَحْرَمَ بِهَا مِنَ الْحِلِّ لِمَا رُوِيَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَمَّا أَرَادَتِ الْإِحْرَامَ بِالْعُمْرَةِ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أخاها عبد الرحمن أن يعمرها من التنعيم فِي الْحِلِّ، وَهَذَا هُوَ الْإِفْرَادُ.

Al-Māwardī berkata: demikianlah sebagaimana ia katakan, setiap orang yang melewati miqāt negerinya untuk haji, atau umrah, atau qirān, maka wajib atasnya ihram dari miqātnya, berdasarkan riwayat dari Rasulullah SAW bahwa beliau menetapkan batas-batas miqāt dan bersabda: “Ini adalah miqāt bagi penduduknya dan bagi setiap orang yang datang melewatinya bukan dari penduduknya, yang ingin haji atau umrah.”

Maka apabila ia berihram umrah dari miqāt lalu bertahallul darinya dan ingin berihram haji, maka ia berihram haji dari Makkah, berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah SAW ketika membuka (pilihan) haji bagi para sahabatnya dan memerintahkan mereka untuk umrah, beliau bersabda setelah mereka selesai darinya: “Siapa yang ingin haji hendaklah berihram.” Jābir berkata: maka kami berihram haji dari Baṭhā’ Makkah, dan inilah tamattu‘.

Adapun apabila ia berihram haji dari miqāt lalu bertahallul darinya dan ingin berihram umrah, maka ia berihram umrah dari ḥill, berdasarkan riwayat bahwa ‘Āisyah RA ketika ingin berihram umrah, Rasulullah SAW memerintahkan saudaranya, ‘Abdurraḥmān, untuk membawanya berihram dari Tan‘īm yang berada di ḥill, dan inilah ifrād.


وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ مَنْ أَحْرَمَ بِأَحَدِهِمَا مِنْ مِيقَاتِ بَلَدِهِ، وَأَرَادَ الْإِحْرَامَ بِالْآخَرِ فَحُكْمُهُ حُكْمُ أَهْلِ مَكَّةَ إِنْ أَرَادَ الْحَجَّ أَحْرَمَ بِهِ مِنْ مَكَّةَ، وَإِنْ أَرَادَ الْعُمْرَةَ أَحْرَمَ بِهَا مِنَ الْحِلِّ.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ كُلَّ نُسُكٍ فِيهِمَا يَفْتَقِرُ إِلَى أَنْ يُجْمَعَ فِيهِ بَيْنَ حِلٍّ وَحَرَمٍ، لِأَنَّهُ مُخَاطَبٌ فِيهِمَا بِقَصْدِ الْبَيْتِ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَإذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ) {البقرة: 125) أَيْ: مَرْجِعًا قَالَ وَرَقَةُ بْنُ نَوْفَلٍ:
(مثابٌ لِأَفْتَاءِ القبائل كلها … تخب إِلَيْهَا الْيَعْمَلَاتُ الزَّوَامِلُ)

Dan keseluruhan dari itu adalah bahwa siapa yang berihram dengan salah satunya dari miqāt negerinya, lalu ia ingin berihram dengan yang lainnya, maka hukumnya seperti hukum penduduk Makkah: jika ia ingin haji maka ia berihram dari Makkah, dan jika ia ingin ‘umrah maka ia berihram dari ḥill.

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa setiap nusuk dari keduanya membutuhkan penggabungan antara ḥill dan ḥaram, karena ia dituntut dalam keduanya untuk menuju Baitullah, sebagaimana firman Allah Ta‘ālā: {Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan Baitullah tempat kembali bagi manusia} (al-Baqarah: 125), yaitu tempat rujukan. Waraqah bin Nawfal berkata:

(Matsābun li-afṭā’i al-qabā’ili kullihā … tukhabb ilayhā al-ya‘malātu az-zawāmilu)


وَكُلُّ الْحَرَمِ مَنْسُوبٌ إِلَى الْبَيْتِ، فَافْتَقَرَ إِلَى الْقَصْدِ إِلَيْهِ مِنَ الْحِلِّ فَإِنْ أَرَادَ الْحَجَّ أَحْرَمَ بِهِ مِنْ مَكَّةَ، أَوِ الْحَرَمِ لِأَنَّهُ قَدْ خَرَجَ مِنْهُ إِلَى الحل ضرورة للوقوف بعرفة، وعرفة حل لأحرم، وَإِذَا أَرَادَ الْعُمْرَةَ أَحْرَمَ بِهَا مِنَ الْحِلِّ، لِأَنَّ جَمِيعَ أَفْعَالِهَا فِي الْحَرَمِ وَهُوَ الطَّوَافُ، وَالسَّعْيُ وَالْحَلْقُ، فَلَوْ جَازَ لَهُ الْإِحْرَامُ بِهَا مِنَ الْحَرَمِ لَمْ يَكُنْ قَاصِدًا مِنْ حِلٍّ إلى حرم.

Dan seluruh tanah ḥaram dinisbatkan kepada Baitullah, maka diperlukan adanya tujuan menuju kepadanya dari ḥill. Maka jika ia ingin haji, ia berihram dari Makkah atau dari dalam ḥaram, karena ia pasti akan keluar darinya menuju ḥill untuk wuqūf di ‘Arafah, dan ‘Arafah itu ḥill, maka ia berihram.

Dan apabila ia ingin umrah, ia berihram dari ḥill, karena seluruh amalannya berada di dalam ḥaram, yaitu thawaf, sa‘i, dan tahallul (cukur rambut). Maka seandainya boleh baginya berihram umrah dari dalam ḥaram, niscaya tidaklah ia menuju dari ḥill ke ḥaram.

فَصْلٌ
: فَإِذَا أَحْرَمَ الْمُتَمَتِّعُ بِالْحَجِّ مِنْ غَيْرِ مَكَّةَ، فَإِنْ عَادَ مُحْرِمًا إِلَى مَكَّةَ، ثُمَّ تَوَجَّهُ إِلَى عَرَفَةَ أَجْزَأَهُ، وَإِنَّ تَوَجَّهَ مِنْ فَوْرِهِ إِلَى عَرَفَةَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَعُودَ إِلَى مَكَّةَ، فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ أَحْرَمَ مِنَ الْحَرَمِ.
وَالثَّانِي: مِنْ مِيقَاتِ بَلَدِهِ.

PASAL
 Apabila mutamatti‘ berihram dengan haji dari selain Makkah, maka jika ia kembali dalam keadaan berihram ke Makkah kemudian menuju ke ‘Arafah, itu sudah mencukupi. Tetapi jika ia langsung menuju ke ‘Arafah tanpa kembali ke Makkah, maka baginya ada tiga keadaan:

Pertama: ia berihram dari dalam ḥaram.
 Kedua: dari miqāt negerinya.


وَالثَّالِثُ: مِنْ حِلٍّ بَيْنَ الْحَرَمِ وَالْمِيقَاتِ فَإِنْ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ مِنْ مِيقَاتِ بَلَدِهِ فَلَا دَمَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ قَدْ عَادَ إِلَى حُكْمِ الْأَصْلِ لِأَنَّ إِحْرَامَهُ مِنْ مَكَّةَ رُخْصَةٌ، وَإِنْ أَحْرَمَ مِنَ الْحَرَمِ خَارِجَ مَكَّةَ كَانَ كَمَنْ أَحْرَمَ مِنْ مَكَّةَ، لِأَنَّ حُكْمَ جَمِيعِ الْحَرَمِ وَاحِدٌ، وَإِنِ اخْتَلَفَتْ بِقَاعُهُ وَإِنْ أَحْرَمَ مِنَ الْحِلِّ الَّذِي بَيْنَ الْمِيقَاتِ، وَالْحَرَمِ كَانَ عَلَيْهِ دَمٌ لِأَنَّ لَهُ أَحَدُ مِيقَاتَيْنِ فَمِيقَاتُ بَلَدِهِ لِلْأَصْلِ وَمَكَّةُ رُخْصَةٌ فَإِذَا عَدَلَ عَنْهَا صَارَ مُحْرِمًا مِنْ غَيْرِ مِيقَاتٍ، فَلَزِمَهُ الدَّمُ هَذَا أَصَحُّ مَا قِيلَ فِي ذَلِكَ، وَقَدْ خَرَجَ قَوْلٌ آخَرُ إِنَّهُ لَا دَمَ عَلَيْهِ لِأَنَّ حُكْمَ الْكُلِّ وَاحِدٌ.

Dan yang ketiga: dari ḥill yang berada di antara ḥaram dan miqāt. Maka jika ia berihram haji dari miqāt negerinya, tidak ada dam atasnya, karena ia telah kembali kepada hukum asal, sebab ihramnya dari Makkah itu hanya rukhshah.

Dan jika ia berihram dari ḥaram di luar Makkah, maka hukumnya seperti orang yang berihram dari Makkah, karena hukum seluruh ḥaram itu satu meskipun tanahnya berbeda-beda.

Dan jika ia berihram dari ḥill yang berada di antara miqāt dan ḥaram, maka wajib atasnya dam, karena ia memiliki salah satu dari dua miqāt: miqāt negerinya sebagai asal dan Makkah sebagai rukhshah. Maka ketika ia berpaling darinya, jadilah ia berihram bukan dari miqāt, sehingga wajiblah atasnya dam. Inilah pendapat yang paling sahih dalam hal ini.

Dan ada pendapat lain yang mengatakan: tidak ada dam atasnya, karena hukum seluruhnya adalah satu.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْمُفْرِدُ إِذَا أَحْرَمَ بِالْعُمْرَةِ مِنَ الْحَرَمِ، فَقَدِ انْعَقَدَ إِحْرَامُهُ وَعَلَيْهِ الْخُرُوجُ إِلَى الْحِلِّ ثُمَّ الرُّجُوعُ إِلَى الطَّوَافِ، وَالسَّعْيِ فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ أَجْزَأَهُ، وَلَا دَمَ عَلَيْهِ وَقَدْ زَادَ خَيْرًا بِتَعْجِيلِ الْإِحْرَامِ مِنَ الْحَرَمِ، وَإِنْ لَمْ يَخْرُجْ إِلَى الْحِلِّ حَتَّى طَافَ، وَسَعَى وَحَلَقَ، فَعَلَى قَوْلَيْنِ نَصَّ عَلَيْهِمَا الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ.

PASAL
 Adapun mufrid apabila ia berihram dengan ‘umrah dari dalam ḥaram, maka sungguh telah sah ihramnya dan wajib atasnya keluar ke ḥill kemudian kembali untuk thawaf dan sa‘i. Jika ia melakukan demikian maka itu sudah mencukupi baginya, dan tidak ada dam atasnya, bahkan ia menambah kebaikan dengan menyegerakan ihram dari dalam ḥaram.

Namun jika ia tidak keluar ke ḥill hingga ia thawaf, sa‘i, dan mencukur rambut, maka ada dua pendapat yang dinashkan oleh al-Syāfi‘ī dalam al-Umm.


أَحَدُهُمَا: يُجْزِئُهُ وَقَدْ تَحَلَّلَ مِنْ عُمْرَتِهِ، وَعَلَيْهِ دَمٌ لِتَرْكِ الْمِيقَاتِ، وَإِنَّمَا أَجْزَأَهُ وَإِنْ لَمْ يَخْرُجْ إِلَى الْحِلِّ لِأَنَّ الْحِلِّ مِيقَاتٌ، وَتَرْكُ الْمِيقَاتِ لَا يُوجِبُ بُطَلَانَ الْأَعْمَالِ، وَإِنَّمَا يُوجِبُ الدَّمَ، فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ لَا يَكُونُ الْجَمْعُ بَيْنَ الْحِلِّ وَالْحَرَمِ شَرْطًا فِي صِحَّةِ الْأَفْعَالِ.

Salah satunya: mencukupi baginya dan ia telah bertahallul dari umrahnya, tetapi wajib atasnya dam karena meninggalkan miqāt. Dan sesungguhnya hal itu mencukupi meskipun ia tidak keluar ke ḥill, karena ḥill adalah miqāt, dan meninggalkan miqāt tidaklah menyebabkan batalnya amalan, hanya saja mewajibkan dam. Maka atas dasar qaul ini, tidaklah penggabungan antara ḥill dan ḥaram menjadi syarat dalam sahnya amalan.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يُجْزِئُهُ طَوَافُهُ وَسَعْيُهُ وَعَلَيْهِ دَمٌ لِحِلَاقِهِ، وَإِنْ كَانَ قَدْ وَطِئَ فَسَدَتْ عُمْرَتُهُ، وَلَزِمَهُ الْمُضِيُّ فِي فَسَادِهَا وَالْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ إِنْ كَانَ عَالِمًا بِبَقَاءِ إِحْرَامِهِ، فَإِنْ كَانَ جَاهِلًا بِهِ فَفِي فَسَادِ عُمْرَتِهِ بِوَطْئِهِ، قَوْلَانِ كَالنَّاسِي، وَعَلَيْهِ الْخُرُوجُ إِلَى الْحِلِّ وَالرُّجُوعُ إِلَى الطَّوَافِ، وَالسَّعْيُ وَالْحَلْقُ، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّ الْعُمْرَةَ لَا بُدَّ لَهَا مَنْ حِلٍّ، فَإِذَا طَافَ قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَ الْحِلَّ صَارَ فِي مَعْنَى مَنْ طَافَ فِي الْحَجِّ، قَبْلَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ فلا يجزيه عن طواف الفرض

Pendapat kedua: thawaf dan sa‘inya tidak mencukupi, dan wajib atasnya dam karena mencukur rambut. Jika ia telah melakukan jima‘ maka rusaklah ‘umrah-nya, dan wajib baginya untuk meneruskan ‘umrah yang rusak itu, lalu mengqadha dan membayar kaffārah apabila ia mengetahui masih dalam keadaan ihram. Jika ia tidak mengetahui, maka dalam rusaknya ‘umrah dengan jima‘ ada dua pendapat, seperti halnya orang yang lupa.

Dan wajib atasnya keluar ke ḥill kemudian kembali untuk thawaf, sa‘i, dan mencukur rambut. Hal itu karena ‘umrah harus ada bagian dari ḥill, maka apabila ia thawaf sebelum sampai ke ḥill keadaannya seperti orang yang thawaf dalam haji sebelum wuquf di ‘Arafah, sehingga tidak mencukupi sebagai thawaf fardhu.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وأحب إلي أن تعتمر مِنَ الْجِعْرَانَةِ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اعْتَمَرَ مِنْهَا فَإِنْ أَخْطَأَهُ ذَلِكَ فَمِنَ التَّنْعِيمِ لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَعَمَرَ عَائِشَةَ مِنْهَا وَهِيَ أَقْرَبُ الْحِلِّ إِلَى الْبَيْتِ فَإِنْ أَخْطَأَهُ ذَلِكَ فَمِنَ الْحُدَيْبِيَةِ لِأَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَلَّى بِهَا وَأَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ بعمرةٍ مِنْهَا “.

Masalah: Imam al-Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Dan yang lebih aku sukai adalah berumrah dari Ji‘rānah, karena Nabi SAW pernah berumrah darinya. Jika luput darinya, maka dari Tan‘īm, karena Nabi SAW pernah memberangkatkan ‘Āisyah berumrah darinya, dan itu adalah ḥill yang paling dekat dengan Baitullah. Jika luput darinya, maka dari Ḥudaibiyah, karena Nabi SAW pernah shalat di sana dan ingin masuk dengan umrah darinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ:
الْحِلُّ كُلُّهُ مِيقَاتُ الْعُمْرَةِ لِأَهْلِ مَكَّةَ، وَإِنَّمَا الِاخْتِيَارُ فِي الشَّرْعِ مَا نَذْكُرُهُ فَأُولَى ذَلِكَ الْإِحْرَامُ بِهَا مِنَ الْجِعْرَانَةِ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حِينَ فَتَحَ مَكَّةَ سَنَةَ ثَمَانٍ خَرَجَ إِلَى هَوَازِنَ وَلَمَّا أَرَادَ الْعَوْدَةَ إِلَى مَكَّةَ أَحْرَمَ مِنَ الْجِعْرَانَةِ. وَهِيَ أَبْعَدُ مَوَاقِيتِ الْعُمْرَةِ ثُمَّ يَلِيهَا فِي الْفَضْلِ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَعْمَرَ عَائِشَةَ مِنْهَا ثُمَّ يَلِي ذَلِكَ فِي الْفَضْلِ الْحُدَيْبِيَةُ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حُصِرَ بِالْحُدَيْبِيَةِ سَنَةَ سِتٍّ فَصَلَّى بِهَا وَأَرَادَ الدُّخُولَ لِعُمْرَتِهِ مِنْهَا، فَصَدَّهُ الْمُشْرِكُونَ فَهَذَا الْكَلَامُ فِي الْفَضْلِ وَالِاخْتِيَارِ، وَمِنْ أَيْنَ أَحْرَمَ مِنَ الحلي جَازَ لِأَنَّ الَّذِي عَلَيْهِ أَنْ يَجْمَعَ فِي إِحْرَامِهِ بَيْنَ حِلٍّ وَحَرَمٍ.

Al-Māwardī berkata: Dan itu sebagaimana yang dikatakan, bahwa seluruh ḥill adalah miqāt ‘umrah bagi penduduk Makkah. Adapun yang dipilih dalam syariat adalah sebagaimana kami sebutkan: yang paling utama adalah berihram darinya dari Ji‘rānah, karena Nabi SAW ketika menaklukkan Makkah pada tahun kedelapan keluar menuju Hawāzin, lalu ketika hendak kembali ke Makkah beliau berihram dari Ji‘rānah, dan ia adalah yang paling jauh dari miqāt-miqat ‘umrah.

Kemudian yang utama setelahnya adalah dari Tan‘īm, karena Nabi SAW membuat ‘Āisyah berihram ‘umrah darinya. Setelah itu yang lebih utama adalah Ḥudaibiyyah, karena Rasulullah SAW pada tahun keenam terhalang di Ḥudaibiyyah, lalu beliau shalat di sana dan hendak masuk untuk ‘umrah darinya, tetapi dihalangi orang-orang musyrik.

Maka perkataan ini dalam masalah keutamaan dan pilihan, adapun dari mana pun ia berihram dari wilayah ḥill, maka sah, karena yang diwajibkan baginya hanyalah menggabungkan dalam ihramnya antara ḥill dan ḥaram.


فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ: اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَبْلَ الْجِعْرَانَةِ عُمْرَةَ الْقَضِيَّةِ، فَكَانَ مُتَطَوِّعًا بِعُمْرَةِ الْجِعْرَانَةِ، فَعَلَى مَذْهَبِهِ اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، عُمْرَتَيْنِ عُمْرَةَ الْقَضِيَّةِ سَنَةَ سَبْعٍ وَعُمْرَةَ الْجِعْرَانَةِ سنة ثمان عام الفتح، والثالث: مُخْتَلَفٌ فِيهَا إِنْ قِيلَ إِنَّهُ كَانَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ قَارِنًا حَصَلَتْ لَهُ ثَلَاثُ عُمَرٍ، وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ كَانَ مُفْرِدًا فَلَهُ عُمْرَتَانِ.

PASAL: Imam al-Syafi‘i berkata: Rasulullah SAW sebelum Ji‘rānah telah berumrah ‘Umrat al-Qaḍiyyah, maka beliau berumrah dari Ji‘rānah sebagai sunnah (tathawwu‘). Maka menurut mazhabnya, Rasulullah SAW telah berumrah dua kali: ‘Umrat al-Qaḍiyyah pada tahun tujuh, dan ‘Umrat Ji‘rānah pada tahun delapan, tahun al-Fatḥ.

Adapun yang ketiga masih diperselisihkan: jika dikatakan bahwa beliau dalam Ḥajjat al-Wadā‘ adalah qārin, maka beliau memperoleh tiga kali umrah. Dan jika dikatakan bahwa beliau mufrid, maka beliau memiliki dua umrah.

قال الشافعي رضي الله عنه فِي مُخْتَصَرِ الْحَجِّ: ” وَأَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ يُفْرِدَ لِأَنَّ الثَّابِتَ عِنْدَنَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَفْرَدَ وَقَالَ فِي كِتَابِ اخْتِلَافِ الْأَحَادِيثِ إِنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ لما سقت الهدي ولجعلتها عمرة ” (قال الشافعي) ومن قال إنه أفرد الحج يشبه أن يقول قاله على ما يعرف من أهل العلم الذي أدرك وفد رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّ أَحَدًا لَا يَكُونُ مُقِيمًا عَلَى حَجٍّ إلا وقد ابتدأ إحرامه بحج وأحسب عروة حين حدث أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أحرم بحج ذهب إلى أنه سمع عائشة تقول يفعل في حجه على هذا المعنى وقال فيما اختلفت فيه الأحاديث عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في مخرجه لَيْسَ شَيْءٌ مِنَ الِاخْتِلَافِ أَيْسَرَ مِنْ هَذَا وإن كان الغلط فيه قبيحاً من جهة أنه مباح لأن الكتاب ثم السنة ثم ما لا أعلم فيه خلافاً يدل على أن التمتع بالعمرة إلى الحج وإفراد الحج والقران واسعٌ كله وثبت أنه خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ينتظر القضاء فنزل عليه القضاء وهو فيما بين الصفا والمروة وأمر أصحابه أن من كان منهم أهل ولم يكن معه هدي أن يجعلها عمرة وقال ” لَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ لَمَا سقت الهدي ولجعلتها عمرة ” (فإن قال قائلٌ) فمن أين أثبت حديث عائشة وجابر وابن عمر وطاوس دون حديث من قال قرن؟ (قيل) لتقدم صحبة جابر النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وحسن سياقه لِابْتِدَاءِ الْحَدِيثِ وَآخِرِهِ وَلِرِوَايَةِ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَفَضْلِ حِفْظِهَا عَنْهُ وَقُرْبِ ابْنِ عُمَرَ مِنْهُ ولأن من وصف انتظار النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – القضاء إذ لم يحج من المدينة بعد نزول فرض الحج طلب الاختيار فيما وسع الله من الحج والعمرة يشبه أن يكون أحفظ لأنه قد أتى في المتلاعنين فانتظر القضاء كذلك حفظ عنه في الحج ينتظر القضاء (قال المزني) إن ثبت حديث أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قرن حتى يكون معارضاً للأحاديث سواه فأصل قول الشافعي أن العمرة فرض وأداء الفرضين في وقت الحج أفضل من أداء فرضٍ واحدٍ لأن من كثر عمله لله كان أكثر في ثواب اللَّهُ “.

BAB PENJELASAN TENTANG MEMISAHKAN HAJI DARI UMRAH DAN LAINNYA
 Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata dalam Mukhtaṣar al-Ḥajj: “Yang aku sukai adalah ifrād (memisahkan) karena yang tetap menurut kami adalah bahwa Nabi SAW melakukan ifrād. Dan beliau berkata dalam Kitāb Ikhtilāf al-Aḥādīts: Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Sekiranya aku kembali mengulang urusanku, niscaya aku tidak akan membawa hadyu dan aku akan menjadikannya sebagai umrah.” (Imam Syafi‘i berkata): Barang siapa yang berkata bahwa beliau melakukan ifrād, maka hal itu menyerupai pendapat bahwa beliau mengatakannya berdasarkan apa yang diketahui dari kalangan ahli ilmu yang sempat menemui utusan-utusan Rasulullah SAW bahwa tidak ada seorang pun yang menetap dalam haji kecuali dia memulai ihramnya dengan haji. Dan aku menduga bahwa ketika ‘Urwah menyampaikan bahwa Rasulullah SAW berihram untuk haji, ia beranggapan bahwa ia mendengar ‘Āisyah berkata bahwa beliau melakukan haji dengan maksud seperti itu.

Dan beliau berkata dalam perkara yang terjadi ikhtilaf dalam hadis-hadis dari Rasulullah SAW dalam hal keberangkatan beliau: “Tidak ada perbedaan yang lebih mudah dari ini, meskipun kesalahan di dalamnya buruk karena (haji dan umrah) hukumnya mubah, karena al-Kitāb, lalu as-Sunnah, lalu sesuatu yang aku tidak mengetahui ada khilaf di dalamnya, menunjukkan bahwa tamattu‘ dengan umrah ke haji, ifrād haji, dan qirān adalah semuanya luas (boleh).” Dan telah tetap bahwa Rasulullah SAW keluar menunggu ketetapan hukum, lalu turunlah hukum tersebut kepada beliau saat berada di antara ṣafā dan marwah, maka beliau memerintahkan kepada para sahabatnya bahwa siapa saja di antara mereka yang telah berihram dan tidak membawa hadyu, maka hendaklah ia menjadikannya sebagai umrah. Dan beliau bersabda: “Sekiranya aku kembali mengulang urusanku, niscaya aku tidak akan membawa hadyu dan aku akan menjadikannya sebagai umrah.”

(Jika ada yang berkata): Lantas bagaimana bisa ditetapkan hadis ‘Āisyah, Jābir, Ibn ‘Umar, dan Ṭāwūs dibandingkan dengan hadis orang-orang yang berkata bahwa beliau melakukan qirān?

(Dijawab): Karena sahabat Jābir mendahului dalam menyertai Nabi SAW dan bagus uraiannya terhadap permulaan hadis dan akhirnya, dan karena riwayat ‘Āisyah dari Nabi SAW, serta keutamaannya dalam menghafal darinya, dan kedekatan Ibn ‘Umar dengannya. Dan karena orang yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW menunggu ketetapan hukum—karena beliau belum haji dari Madinah setelah turun kewajiban haji—maka hal itu menunjukkan bahwa beliau sedang mencari pilihan dalam perkara yang Allah beri keluasan antara haji dan umrah, maka ini menyerupai orang yang lebih kuat hafalannya, karena telah disebutkan juga tentang kasus orang yang mulā‘anah, lalu beliau menunggu ketetapan hukum, maka begitu pula dalam perkara haji, beliau menunggu hukum.

(Imam al-Muzani berkata): Jika memang sahih hadis Anas dari Nabi SAW bahwa beliau melakukan qirān sampai derajat yang bisa menyaingi hadis-hadis selainnya, maka asal pendapat Imam Syafi‘i adalah bahwa umrah itu wajib, dan melaksanakan dua kewajiban dalam waktu haji itu lebih utama daripada melaksanakan satu kewajiban saja, karena siapa yang memperbanyak amal untuk Allah, maka pahalanya pun lebih banyak di sisi Allah.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

لَا اخْتِلَافَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي جَوَازِ الْإِفْرَادِ وَالتَّمَتُّعِ وَالْقِرَانِ، وَإِنَّمَا اخْتَلَفُوا فِي الْأَفْضَلِ مِنْ ذَلِكَ وَالْأَوْلَى، فَلِلشَّافِعِيِّ فِي ذَلِكَ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْإِفْرَادَ أَفْضَلُ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ.

berkata al-Māwardī: Dan ini sebagaimana yang dikatakannya.
 Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para fuqahā’ tentang bolehnya ifrād, tamattu‘, dan qirān, namun mereka berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama dan lebih afdhal di antara ketiganya. Maka, menurut al-Syāfi‘ī dalam hal ini terdapat dua pendapat:
 Pertama: bahwa ifrād lebih utama, dan ini juga pendapat Mālik.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ التَّمَتُّعَ أَفْضَلُ وَبِهِ قَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَأَصْحَابُ الْآثَارِ، وَهُمَا أَفْضَلُ مِنَ الْقِرَانِ وَقَالَ أبو حنيفة وَالْمُزَنِيُّ: الْقِرَانُ أَفْضَلُ مِنْهَا تَعَلُّقًا بِرِوَايَةِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَأَنَسٍ وَعِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَرَنَ بَيْنَ الْحَجِّ، وَقَالَ أَنَسٌ وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: لَبَّيْكَ بِحَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ، وَبِمَا رُوِيَ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَأَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ أَحْرَمَا بِالْيَمَنِ، وَقَالَ إِهْلَالًا كِإِهْلَالِ رَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قَالَ: سُقْتُ الْهَدْيَ وَقَرَنْتُ وَرَوَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال وهو بالعقيرة: أَتَانِي آتٍ مِنْ رَبِّي هَذِهِ اللَّيْلَةَ فَقَالَ: صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي رَكْعَتَيْنِ وَقُلْ عمرةٌ فِي حجةٍ قَالُوا: فَإِذَا ثَبَتَ عَنْهُ أَنَّهُ قَرَنَ وَهُوَ لَا يَخْتَارُ لِنَفْسِهِ إِلَّا أَفْضَلَ الْأَعْمَالِ دَلَّ عَلَى أَنَّ الْقِرَانَ أَفْضَلُ مِنَ التَّمَتُّعِ وَالْإِفْرَادِ قَالُوا: وَقَدْ رَوَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَنَّهُ قَالَ لِلصُّبَيِّ بْنِ مَعْبَدٍ وَقَدْ قَرَنَ: هُدِيتَ لِسُّنَّةِ نَبِيِّكَ قَالُوا: وَلِأَنَّ فِي القران تعجيل العملين، والإتيان بهما من أَشْرَفِ الزَّمَانَيْنِ فَكَانَ أَوْلَى مِنْ إِفْرَادِهِمَا فِي زَمَانَيْنِ أَحَدُهُمَا أَشْرَفُ مِنَ الْآخَرِ قَالُوا: وَلِأَنَّ في القران زيادة، وهو دوم نُسُكٍ لَا جُبْرَانٌ وَنَقْصٌ لِأَمْرَيْنِ.

Dan pendapat kedua: bahwa tamattu‘ lebih utama. Pendapat ini dikemukakan oleh Aḥmad, Isḥāq, dan para ahli ātsār, dan keduanya (tamattu‘ dan ifrād) lebih utama daripada qirān.

Adapun Abū Ḥanīfah dan al-Muzanī berpendapat bahwa qirān lebih utama daripada keduanya, berdasarkan riwayat dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb, Anas, dan ‘Imrān bin Ḥuṣain bahwa Rasulullah SAW melakukan qirān antara haji dan umrah. Anas berkata: Aku mendengarnya bersabda: “Labbaika bi-ḥajjatin wa ‘umrah.”

Juga karena riwayat bahwa ‘Alī bin Abī Ṭālib ‘alayhis salām dan Abū Mūsā al-Asy‘arī berihram dari Yaman, dan keduanya mengatakan bahwa ihrām mereka sebagaimana ihrām Rasulullah SAW, dan beliau bersabda: “Aku membawa hadyu dan aku melakukan qirān.”

Dan diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb bahwa Nabi SAW bersabda di al-‘Aqīrah: “Telah datang kepadaku seseorang dari Rabb-ku malam ini, lalu ia berkata: Shalatlah di lembah ini dua rakaat dan katakan: Umrah dalam haji.”

Mereka berkata: Maka apabila telah sah bahwa beliau melakukan qirān, padahal beliau tidak memilih untuk dirinya kecuali amal yang paling utama, maka hal itu menunjukkan bahwa qirān lebih utama daripada tamattu‘ dan ifrād.

Mereka berkata: Dan telah diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb bahwa beliau berkata kepada aṣ-Ṣubay bin Ma‘bad, sedangkan ia melakukan qirān: “Engkau telah mendapatkan petunjuk kepada sunnah Nabimu.”

Mereka berkata: Karena dalam qirān terdapat penyegerakan dua ibadah dan pelaksanaannya dalam dua waktu yang paling mulia, maka hal itu lebih utama daripada memisahkan keduanya pada dua waktu, yang salah satunya lebih mulia dari yang lain.

Mereka berkata: Karena dalam qirān terdapat tambahan, yaitu terus menerusnya melakukan nusuk, tanpa ada pengganti dan tanpa kekurangan dari dua perkara.


أَحَدُهُمَا: جَوَازُ أَكْلِهِ مِنْهُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا) {الحج: 36) وَلَوْ كَانَ دَمُ جُبْرَانٍ لَمَنَعَ مِنْ أَكْلِهِ لِجَزَاءِ الصَّيْدِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ مَا دَخَلَهُ الدَّمُ عَلَى وَجْهِ الْجُبْرَانِ فَهُوَ مَمْنُوعٌ مِنَ الدُّخُولِ فِيهِ إِلَّا بِعُذْرٍ كَالْحَلْقِ وَاللِّبَاسِ، فَلَمَّا جَازَ لَهُ الْقِرَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ عُلِّقَ عَلَى أَنَّ الدَّمَ الْمُتَعَلِّقَ بِهِ دَمُ نُسُكٍ.

pertama: bolehnya memakan sebagian darinya, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Maka apabila telah roboh (mati) binatang kurban itu, makanlah sebagian darinya} (QS al-Ḥajj: 36). Andaikata darah itu termasuk darah jubrān, tentu dilarang memakannya seperti pada denda perburuan.

kedua: bahwa apa yang mengandung darah karena alasan jubrān, maka tidak boleh dimasuki (dimakan) kecuali dengan uzur, seperti (denda karena) mencukur rambut dan mengenakan pakaian. Maka ketika dibolehkan baginya melakukan qirān tanpa uzur, hal itu menunjukkan bahwa darah yang berkaitan dengannya adalah darah nusuk.


فَصْلٌ
: وَاسْتَدَلَّ مَنْ قَالَ التَّمَتُّعُ أَفَضَلُ بِمَا رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، وَسَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَمَتَّعَ بِالْحَجِّ وَبِمَا رُوِيَ عَنْ حَفْصَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا بَالُ النَّاسِ قَدْ حَلُّوا مِنْ عُمْرَتِهِمْ وَلَمْ تَحِلَّ مِنْ عُمْرَتِكَ فَقَالَ: إِنِّي قَلَّدْتُ هَدْيِي وَلَبَّدْتُ رَأْسِي فَلَا أُحِلُّ حَتَّى أَنْحَرَ فَلَمَّا سَأَلْتُهُ عَنْ سَبَبِ بَقَائِهِ عَلَى عُمْرَتِهِ أَخْبَرَهَا عَنِ السَّبَبِ الَّذِي لَمْ يَتَحَلَّلْ لِأَجْلِهِ، وَبِمَا رُوِيَ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: لَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الْهَدْيَ وَلَجَعَلْتُهَا عُمْرَةً فَتَأَسَّفَ عَلَى فَوَاتِ الْعُمْرَةِ، وَهُوَ لَا يَتَأَسَّفُ إِلَّا عَلَى فَوَاتِ الْأَفْضَلِ وَهَذَا يُعَضِّدُ مَا تَقَدَّمَ.

PASAL
 Dan orang yang berpendapat bahwa tamattu‘ lebih utama berdalil dengan riwayat dari ‘Alī bin Abī Ṭālib, ‘Abdullāh bin ‘Abbās, dan Sa‘d bin Abī Waqqāṣ bahwa Rasulullah SAW melakukan tamattu‘ dalam haji.

Juga dengan riwayat dari Ḥafṣah raḍiyallāhu ‘anhā bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah, mengapa orang-orang telah bertahallul dari umrah mereka sementara engkau belum bertahallul dari umrahmu?” Maka beliau bersabda: “Aku telah menggiring hadyu dan telah mengikat rambutku, maka aku tidak akan bertahallul hingga aku menyembelih (hadyu).”

Maka ketika Ḥafṣah bertanya kepada beliau tentang sebab beliau tetap berada dalam keadaan umrah, beliau menjelaskan sebab yang membuatnya belum bertahallul.

Dan dengan riwayat dari Jābir bahwa Nabi SAW bersabda: “Seandainya aku kembali mengulang urusanku, niscaya aku tidak akan menggiring hadyu dan aku akan menjadikannya sebagai umrah.” Maka beliau menyesali karena tidak mendapatkan umrah, dan beliau tidak menyesali sesuatu kecuali karena kehilangan yang lebih utama. Dan ini menguatkan keterangan yang telah lalu.


فَصْلٌ
: وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّ الْإِفْرَادَ أَفْضَلُ مَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ وَابْنِ عُمَرَ وَجَابِرٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَفْرَدَ الْحَجَّ.
وَرُوِيَ عَنْ جَابِرٍ، وَهُوَ صَاحِبُ الْمَنَاسِكِ وَأَحْسَنُ الْجَمَاعَةِ سِيَاقًا لَهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَحْرَمَ سَنَةَ تِسْعٍ إِحْرَامًا مَوْقُوفًا لَا بحجٍ وَلَا بعمرةٍ فَلَمَّا بَلَغَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَقَفَ يَنْتَظِرُ الْقَضَاءَ، ثُمَّ أَهَلَّ بِالْحَجِّ وَرَوَى زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ ابْنَ عُمَرَ عَنْ إِهْلَالِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فقال أقرن الْحَجَّ فَأَتَاهُ فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ فَسَأَلَهُ عَنْ إِهْلَالِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدْ أَنْبَأْنَاكَ بِهِ فِي الْعَامِ الْأَوَّلِ فَقَالَ الرَّجُلُ: إِنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ أَتَانَا فَقَالَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَرَنَ فَقَالَ إِنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ كَانَ يحج عَلَى النِّسَاءِ وَهُنَّ مُكَشَّفَاتِ الرُّؤُوسِ مِنْ صِغَرِهِ وَأَنَا تَحْتَ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَمَسُّنِي لُعَابُهَا وَكُنْتُ اسْمَعُهُ يَقُولُ لَبَّيْكَ بِحَجٍّ وَرَوَى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اسْتَعْمَلَ عَتَّابَ بْنَ أَسِيدٍ عَلَى الْحَجِّ سَنَةَ ثَمَانٍ فَأَفْرَدَ الْحَجَّ ثُمَّ اسْتَعْمَلَ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَنَةَ تِسْعٍ فَأَفْرَدَ الْحَجَّ ثُمَّ حَجَّ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَاسْتَخْلَفَ أَبُو بَكْرٍ عُمَرَ عَلَى الْحَجِّ سَنَةَ إِحْدَى عَشْرَةَ فَأَفْرَدَ الْحَجَّ، ثُمَّ اسْتَخْلَفَهُ سَنَةَ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ فَأَفْرَدَ الْحَجَّ ثُمَّ تُوُفِّيَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَاسْتُخْلِفَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَبَعَثَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ سَنَةَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ، فَأَفْرَدَ الْحَجَّ ثُمَّ حَجَّ عُمَرُ فَأَفْرَدَ الْحَجَّ فِي تِسْعِ حِجَجٍ، ثُمَّ تُوُفِّيَ عُمَرُ، وَاسْتُخْلِفَ عُثْمَانُ، فَأَفْرَدَ الْحَجَّ فَثَبَتَ بِهَذِهِ الرِّوَايَةِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ أَفْرَدُوا الْحَجَّ، وَلِأَنَّ الْمُفْرِدَ يَأْتِي بِعَمَلِ الْعِبَادَتَيْنِ عَلَى كَمَالِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُخِلَّ بِشَيْءٍ مِنْهَا، فَكَانَ أَوْلَى مِنَ الْقَارِنِ الَّذِي قَدْ أَدْخَلَ إِحْدَى الْعِبَادَتَيْنِ فِي الْأُخْرَى، وَاقْتَصَرَ عَلَى عَمَلِ إِحْدَيْهِمَا وَلِأَنَّ إيقاع العشرة فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ رُخْصَةٌ، وَإِيقَاعُهَا فِي غَيْرِ أَشْهُرِ الْحَجِّ عَزِيمَةٌ لِأَنَّهُمْ كَانُوا فِي أَوَّلِ الْإِسْلَامِ يَمْتَنِعُونَ مِنَ الْعُمْرَةِ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ، حَتَّى أَرْخَصَ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَالْأَخْذُ بِالْعَزِيمَةِ أُولَى مِنَ الرُّخْصَةِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي وَقْتِ إِحْدَيْهِمَا رُخْصَةً، كَانَ فِعْلُ كُلِّ وَاحِدَةٍ منهما، في وقتها أفضل من الحج بَيْنَهُمَا فِي وَقْتِ إِحْدَيْهِمَا وَلِأَنَّ التَّمَتُّعَ وَالْقِرَانَ يَجِبُ فِيهِمَا دَمٌ، وَالدِّمَاءُ الْوَاجِبَةُ فِي الْحَجِّ إِنَّمَا تَجِبُ عَلَى طَرِيقِ الْجُبْرَانِ لِلنَّقْصِ، لأنها تجب لترك مأموراً بِهِ وَلِارْتِكَابِ مَحْظُورٍ، وَلَيْسَ فِي الْحَجِّ دَمٌ يَجِبُ لِغَيْرِ هَذَيْنِ الْمَعْنَيَيْنِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ أَتَى بِالْحَجِّ أَوَّلًا، ثُمَّ بِالْعُمْرَةِ آخِرًا، وَلَمْ يَلْزَمْهُ دَمٌ لَعَدَمِ النَّقْصَ فَإِذَا قَرَنَ بَيْنَهُمَا أَوْ أَتَى بِالْعُمْرَةِ فِي وَقْتِ الْحَجِّ، ثُمَّ حَجَّ لَزِمَهُ دَمٌ وَلَوْ عَادَ الْمُتَمَتِّعُ إِلَى مِيقَاتِ بَلَدِهِ، سَقَطَ عَنْهُ الدَّمُ، فَعَلِمْتَ أَنَّ ذَلِكَ لِأَجْلِ تَرْكِ الْمِيقَاتِ، وَالنَّقْصُ الْحَاصِلُ مِنْ جِهَةِ الْجَمْعِ وَالتَّمَتُّعِ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ مَنْ رَوَى أَنَّهُ قَرَنَ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

PASAL
 Dalil bahwa ifrād lebih utama adalah riwayat dari ‘Āisyah, Ibn ‘Umar, Jābir, dan Ibn ‘Abbās RA, bahwa Rasulullah SAW melakukan ifrād dalam haji.

Diriwayatkan pula dari Jābir—ia adalah sahabat yang meriwayatkan manāsik dan yang paling baik dalam meriwayatkannya—bahwa Rasulullah SAW pada tahun kesembilan berihram dengan ihram yang ditangguhkan, tidak dengan niat haji dan tidak pula dengan umrah. Ketika sampai di antara ṣafā dan marwah, beliau berhenti menunggu keputusan wahyu, lalu bertalbiyah untuk haji.

Zayd bin Aslam meriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Ibn ‘Umar tentang niat ihram Rasulullah SAW, maka ia menjawab: “Beliau melakukan qirān dalam haji.” Kemudian orang itu datang lagi pada tahun berikutnya dan bertanya kepadanya tentang niat ihram Rasulullah SAW. Maka Ibn ‘Umar berkata: “Bukankah aku telah memberitahumu tahun lalu?” Orang itu menjawab: “Anas bin Mālik datang kepada kami dan berkata bahwa Rasulullah SAW melakukan qirān.” Maka Ibn ‘Umar berkata: “Sesungguhnya Anas bin Mālik dahulu berhaji bersama perempuan-perempuan yang tidak menutupi kepala karena masih kecil, sedangkan aku berada di bawah unta Rasulullah SAW yang air liurnya menyentuhku, dan aku mendengar beliau mengucapkan: labbaika bi-ḥajj.”

Nāfi‘ meriwayatkan dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah SAW mengangkat ‘Attāb bin Asīd sebagai amir haji pada tahun kedelapan, maka ia melakukan ifrād dalam haji. Lalu Nabi SAW mengangkat Abū Bakr RA pada tahun kesembilan, maka ia juga melakukan ifrād. Kemudian Nabi SAW berhaji, lalu Abu Bakr menggantikan beliau (untuk amir haji) pada tahun kesebelas, maka ia melakukan ifrād, kemudian menggantikannya lagi pada tahun kedua belas, lalu melakukan ifrād juga. Kemudian Abū Bakr wafat dan digantikan oleh ‘Umar RA, lalu ia mengirim ‘Abd al-Raḥmān bin ‘Awf pada tahun ketiga belas, dan ia pun melakukan ifrād, lalu ‘Umar berhaji dan melakukan ifrād dalam sembilan kali haji, kemudian ia wafat dan digantikan oleh ‘Uthmān, maka ia pun melakukan ifrād. Maka dengan riwayat ini tetaplah bahwa Rasulullah SAW, Abū Bakr, ‘Umar, ‘Uthmān, dan ‘Abd al-Raḥmān bin ‘Awf RA semuanya melakukan ifrād dalam haji.

Juga karena orang yang melakukan ifrād melaksanakan dua ibadah secara sempurna tanpa mengurangi salah satunya, maka itu lebih utama daripada orang yang melakukan qirān yang mencampurkan salah satu ibadah ke dalam ibadah yang lain dan hanya mencukupkan diri dengan amalan salah satunya saja.

Juga karena pelaksanaan ‘umrah di bulan-bulan haji adalah rukhṣah, sedangkan pelaksanaannya di luar bulan haji adalah ‘azīmah, karena pada awal Islam mereka enggan melakukan ‘umrah pada bulan-bulan haji hingga Rasulullah SAW memberikan keringanan di dalamnya. Dan mengambil ‘azīmah lebih utama daripada rukhṣah. Tidakkah engkau lihat bahwa menjamak dua salat pada waktu salah satunya itu rukhṣah, sedangkan mengerjakan masing-masing pada waktunya lebih utama daripada menggabungkannya?

Dan juga karena dalam tamattu‘ dan qirān diwajibkan menyembelih darah, sementara darah yang wajib dalam haji itu hanya diwajibkan dalam bentuk jubrān karena kekurangan, yakni karena meninggalkan hal yang diperintahkan atau karena melakukan larangan. Tidak ada darah dalam haji yang diwajibkan kecuali karena dua sebab ini. Bukankah jika seseorang mendahulukan haji, lalu melakukan ‘umrah setelahnya, maka tidak wajib baginya darah karena tidak ada kekurangan? Maka jika ia menggabungkan keduanya atau mendahulukan ‘umrah pada waktu haji lalu berhaji, maka wajib baginya darah. Dan seandainya orang yang tamattu‘ kembali ke miqāt negerinya, gugurlah kewajiban darah darinya. Maka diketahuilah bahwa itu karena meninggalkan miqāt dan kekurangan yang terjadi dari sisi penggabungan dan tamattu‘.

Adapun jawaban terhadap hadis yang meriwayatkan bahwa beliau melakukan qirān adalah dari dua sisi:


أَحَدُهُمَا: أَنَّ رِوَايَةَ عَائِشَةَ وَجَابِرٍ وَابْنِ عُمَرَ أُولَى لِتَقَدُّمِ صِحَّةِ حَدِيثِ جَابِرٍ، وَحُسْنِ مَسَاقِهِ لِابْتِدَاءِ الْحَدِيثِ، وَآخِرِهِ وَلِرِوَايَةِ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَفَضْلِ حِفْظِهَا عَنْهُ وَقُرْبِ ابْنِ عُمَرَ مِنْهُ.

Pertama: bahwa riwayat ‘Āisyah, Jābir, dan Ibn ‘Umar lebih utama karena hadis Jābir telah sahih lebih dahulu, dan bagus uraiannya dari permulaan hingga akhir hadis, serta karena riwayat ‘Āisyah dari Nabi SAW, keutamaannya dalam menghafal dari beliau, dan kedekatan Ibn ‘Umar dengannya.


وَالثَّانِي: أَنَّ مَعَ مَا رُوِّينَا مِنْ فِعْلِهِ قَوْلًا يَرُدُّ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ، وَهُوَ قَوْلُهُ لَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ فَكَانَ أُولَى مِنْ فِعْلٍ مُجَرَّدٍ، وَقَدِ اخْتُلِفَ فِي نَقْلِهِ، وَأَمَّا الِاسْتِعْمَالُ فَمَنْ رَوَى أَنَّهُ قَرَنَ أَرَادَ أَنَّهُ أَتَى بِالْعُمْرَةِ عُقَيْبَ الْحَجِّ، وَصَارَ كَالْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ الَّتِي يَفْعَلُ إِحْدَيْهِمَا عُقَيْبَ الْأُخْرَى، وَمَنْ رَوَى أَنَّهُ أَهَلَّ بِالْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَيَعْنِي أَنَّهُ أَهَّلَ بِالْحَجِّ فِي وَقْتٍ وَبِالْعُمْرَةِ فِي آخَرَ، فَأَدْرَجَ الرَّاوِي، وَأَضَافَ ذَلِكَ إِلَى وَقْتٍ وَاحِدٍ، كَمَا رُوِيَ أَنَّهُ نَهَى عَنِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَتَيْنِ، وَإِنَّمَا نَهَى عَنِ اسْتِقْبَالِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ حَيْثُ كَانَ قِبْلَةً، وَعَنِ اسْتِقْبَالِ الْكَعْبَةِ حِينَ صَارَتْ قِبْلَةً وَأَمَّا حَدِيثُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، فَقَدْ رَوَى عَنْهُ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ خُزَيْمَةَ خِلَافَ هَذَا، وَهُوَ أَنَّهُ قَالَ: بِمَاذَا أَهْلَلْتَ قَالَ أَهْلَلْتُ بِالْحَجِّ وَرُوِيَ أَنَّهُ قَالَ أَفْرَدْتُ فَتَعَارَضَتِ الرِّوَايَتَانِ، وَسَقَطَتَا وَأَمَّا قَوْلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِلصُّبَيِّ بْنِ مَعْبَدٍ هُدِيتَ لِسُنَّةِ نَبِيِّكَ، فَإِنَّمَا أَرَادَ بِهِ جَوَازَهُ فِي السُّنَّةِ لِمَا رُوِيَ أَنَّ زَيْدَ بْنَ صُوحَانَ وَسَلْمَانَ بْنَ رَبِيعَةَ أَنْكَرَا عَلَى الصُّبَيِّ بْنِ مَعْبَدٍ الْقِرَانَ وَقَالَا لَهَذَا أَضَلُّ مِنْ بَعِيرِ أَهْلِهِ فَأَرَادَ عُمَرُ بِمَقَالَتِهِ إِنْكَارَهُمَا وَأَعْلَمَهُمَا أَنَّهُ هُدًى لَا ضَلَالٌ وَأَمَّا قَوْلُهُمْ أَنَّهُ يَتَعَجَّلُ بِقِرَانِهِ فِعْلَ عَمَلَيْنِ، فِي أَشْرَفِ الزَّمَانَيْنِ فَغَلَطٌ، لِأَنَّ فِعْلَ كُلِّ عِبَادَةٍ فِي وَقْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ جَمْعِهَا مَعَ غَيْرِهَا كَالْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ وَلَيْسَ وَقْتُ الْحَجِّ زَمَانًا شَرِيفًا لِلْعُمْرَةِ، وَإِنَّمَا هُوَ شَرِيفٌ لِلْحَجِّ وَفِعْلُ الْعُمْرَةِ فِيهِ رُخْصَةٌ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ فِيهِ زِيَادَةً فَقَدْ أَنْبَأْنَاهُمْ أَنَّ الدَّمَ لِجُبْرَانِ نقص، ولا نسلم لهم جوازاً كله بِحَالٍ وَقَدْ وَافَقُوا فِي الْمَكِّيِّ، إِذَا قَرَنَ أَنَّ عَلَيْهِ دَمًا، وَلَا يَجُوزُ لَهُ الْأَكْلُ مِنْهُ، وَأَنَّهُ دَمُ نَقْصٍ لَا نُسُكٍ، وَكَذَلِكَ غير المكي وأما ما رَوَى أَنَّهُ تَمَتَّعَ، فَإِنَّمَا أَرَادَ بِهِ تَمَتَّعَ بَيْنَ الْإِحْرَامَيْنِ، وَأَمَّا حَدِيثُ حَفْصَةَ وَقَوْلُهَا مَا بَالُهُمْ حَلُّوا، وَلَمْ تَحِلَّ مِنْ عُمْرَتِكَ فَمَعْنَاهُ لَمْ تُحِلَّ مِنْ إِحْرَامِكَ فَأَخْبَرَهَا، أَنَّهُ لَيْسَ بِمُعْتَمِرٍ كَأَصْحَابِهِ، وَذَكَرَ لَهَا السَّبَبَ فَقَالَ لَبَّدْتُ رَأْسِي، وَقَلَّدْتُ هَدْيِي لَا أُحِلُّ حَتَّى أَنْحَرَ يَعْنِي: حَتَّى يَحِلَّ الْحَجُّ، لِأَنَّ الْقَضَاءَ نَزَلَ عَلَيْهِ أَنْ يَجْعَلَ مَنْ كَانَ مَعَهُ هَدْيٌ إِحْرَامَهُ حَجًّا، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ هَدْيٌ يَجْعَلُ إِحْرَامَهُ عُمْرَةً، وَأَمَّا حَدِيثُ جَابِرٍ، وَقَوْلُهُ لَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الْهَدْيَ، وَلَجَعَلْتُهَا عُمْرَةً فَلَيْسَ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ التَّمَتُّعَ أَفْضَلُ، وَلَا أَنَّهُ خَفِيَ عَلَيْهِ الْأَفْضَلُ، وَإِنَّمَا خَرَجَ ذَلِكَ عَلَى سَبَبٍ وَذَلِكَ أَنَّهُ لَمَّا أَخْبَرَهُمْ بِفَسْخِ حَجِّهِمْ إِلَى الْعُمْرَةِ، وَالتَّحَلُّلِ مِنْهَا شَقَّ عَلَيْهِمْ، وَاسْتَعْظَمُوهُ لِأَمْرَيْنِ:

PASAL
 Pendapat kedua: bahwa bersama apa yang telah kami riwayatkan dari perbuatan beliau, terdapat perkataan yang bertentangan dengan apa yang kami pegangi, yaitu sabda beliau: “Seandainya aku kembali ke permulaanku, niscaya aku tidak akan membawa hadyu dan menjadikannya sebagai ‘umrah”, maka ini lebih kuat daripada semata-mata perbuatan. Namun, telah terjadi perbedaan riwayat dalam hal ini.

Adapun penggunaan istilah qirān, maka orang yang meriwayatkan bahwa beliau melakukan qirān maksudnya adalah bahwa beliau melakukan ‘umrah setelah haji, sehingga menjadi seperti menjamak dua salat dengan mengerjakan salah satunya setelah yang lain. Dan orang yang meriwayatkan bahwa beliau berihram dengan haji dan ‘umrah, maksudnya adalah bahwa beliau berihram dengan haji pada satu waktu dan dengan ‘umrah pada waktu lain, namun si perawi menyatukannya dan menyandarkannya pada satu waktu, sebagaimana riwayat bahwa beliau melarang menghadap dua kiblat, padahal sebenarnya beliau melarang menghadap Baitul Maqdis ketika masih menjadi kiblat, dan melarang menghadap Ka‘bah setelah ia menjadi kiblat.

Adapun hadis dari ‘Alī bin Abī Ṭālib, maka Muhammad bin Isḥāq bin Khuzaymah meriwayatkan darinya kebalikannya, yaitu bahwa beliau berkata: “Dengan apa engkau berihram?”, ia menjawab: “Aku berihram dengan haji.” Dan diriwayatkan pula bahwa ia berkata: “Aku melakukan ifrād,” maka dua riwayat itu saling bertentangan dan gugur.

Adapun perkataan ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA kepada al-Ṣubay bin Ma‘bad: “Engkau telah diberi petunjuk kepada sunnah nabimu,” maka maksudnya adalah bolehnya hal itu dalam sunnah. Sebab diriwayatkan bahwa Zayd bin Ṣūḥān dan Salmān bin Rabī‘ah mengingkari al-Ṣubay bin Ma‘bad yang melakukan qirān, dan berkata: “Orang ini lebih sesat dari unta keluarganya.” Maka maksud ‘Umar dengan perkataannya itu adalah mengingkari ucapan mereka dan menjelaskan bahwa itu adalah petunjuk, bukan kesesatan.

Adapun perkataan mereka bahwa dalam qirān terdapat keutamaan karena menggabungkan dua amalan pada waktu yang paling mulia, maka itu keliru, karena mengerjakan tiap ibadah pada waktunya lebih utama daripada menggabungkannya dengan ibadah lain, sebagaimana menjamak dua salat. Dan waktu haji bukanlah waktu yang mulia untuk ‘umrah, tetapi khusus mulia untuk haji, sedangkan pelaksanaan ‘umrah di dalamnya adalah rukhṣah.

Adapun perkataan mereka bahwa qirān mengandung tambahan (amal), maka kami telah menjelaskan bahwa darah yang wajib di dalamnya adalah karena jubrān atas kekurangan, dan kami tidak menerima bahwa semuanya boleh dalam setiap keadaan. Bahkan mereka pun sepakat bahwa jika orang Makkah melakukan qirān, maka wajib atasnya menyembelih, dan tidak boleh memakan dagingnya, karena itu darah kekurangan, bukan darah nusuk, demikian pula bagi selain orang Makkah.

Adapun riwayat yang menyatakan bahwa beliau melakukan tamattu‘, maka yang dimaksud adalah tamattu‘ antara dua ihram. Adapun hadis Ḥafṣah dan ucapannya: “Mengapa mereka telah bertahallul, sementara engkau belum bertahallul dari ‘umrahmu?” Maka maksudnya adalah: “Engkau belum bertahallul dari ihrammu.” Maka beliau menjawab: “Aku bukanlah orang yang melakukan ‘umrah seperti mereka, karena aku telah mencat rambutku dan menggiring hadyu-ku, maka aku tidak akan bertahallul sampai aku menyembelih,” yakni sampai selesai haji. Karena ketetapan turun kepada beliau agar orang yang menggiring hadyu menjadikan ihramnya untuk haji, dan yang tidak menggiring hadyu menjadikan ihramnya untuk ‘umrah.

Adapun hadis Jābir dan sabda beliau: “Seandainya aku kembali ke awal perkaraku, niscaya aku tidak akan menggiring hadyu dan menjadikannya ‘umrah,” maka itu bukan dalil bahwa tamattu‘ lebih utama, dan bukan pula bahwa beliau tidak mengetahui mana yang lebih utama. Tetapi sabda itu muncul karena suatu sebab, yaitu ketika beliau menyuruh mereka untuk memutuskan hajinya menjadi ‘umrah dan bertahallul darinya, hal itu berat bagi mereka dan mereka menganggapnya besar karena dua hal:


أَحَدُهُمَا: أَنَّهُمْ رَأَوْهُ مُقِيمًا عَلَى إِحْرَامِهِ لَمْ يَتَحَلَّلْ مِنْهُ فَظَنُّوا أَنَّهُ أَرَادَ بِهِمُ التَّخْفِيفَ وَالتَّسْهِيلَ فَتَوَقَّفُوا عَنِ الْمُبَادَرَةِ عَنْهُ فِي الْأَغْلَظِ دُونَ الْأَخَفِّ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُمْ كَانُوا يَسْتَعْظِمُونَ الْعُمْرَةَ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ، وَيَرَوْنَ ذَلِكَ مِنْ أَعْظَمَ الْكَبَائِرِ فَلَمَّا دَعَاهُمْ إِلَى التَّحَلُّلِ بِعَمَلِ عُمْرَةٍ عَظُمَ عَلَيْهِمْ، وَقَالُوا: كَيْفَ نعدوا إلى من وَمَذَاكِيرُنَا تَقْطُرُ مَنِيًّا يَعْنُونَ بِهِ اسْتِبَاحَةَ النِّسَاءِ بَيْنَ الْإِحْرَامَيْنِ، فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إما على طريق الزجر لهم، أو التطيب لِنُفُوسِهِمْ مَا قَالَهُ بِمَعْنَى إِنِّي لَوْ عَلِمْتُ أَنَّكُمْ تَخْتَلِفُونَ عَلَيَّ أَوْ تَتَوَقَّفُونَ لَمَا سُقْتُ الْهَدْيَ الَّذِي قَدْ مَنَعَنِي مِنَ التَّحَلُّلِ وَلَجَعَلْتُهَا عُمْرَةً حَتَّى أَكُونَ مِثْلَكُمْ، فَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ يَمْنَعُهُ سَوْقُ الْهَدْيِ مِنَ التَّحَلُّلِ بِالْعُمْرَةِ وَهَذَا غَيْرُ مَانِعٍ بَلْ نَحْرُ الْهَدَايَا، إِذَا وَصَلَتْ إِلَى الْحَرَمِ جَائِزٌ قِيلَ لَهُ: فِيهِ ثَلَاثَةُ مَعَانٍ:

Pertama: bahwa mereka melihat beliau tetap berada dalam keadaan ihram dan tidak bertahallul darinya, maka mereka mengira bahwa beliau hanya menghendaki keringanan dan kemudahan bagi mereka, sehingga mereka pun menahan diri untuk tidak segera melaksanakan (perintah beliau) dalam perkara yang lebih berat, namun mendahulukan yang lebih ringan.

Kedua: bahwa mereka memandang umrah di bulan-bulan haji sebagai hal yang besar (berat) dan menganggapnya sebagai salah satu dosa besar. Maka ketika beliau menyeru mereka untuk bertahallul dengan melakukan amalan umrah, hal itu terasa berat bagi mereka, dan mereka berkata: “Bagaimana mungkin kami kembali (bertemu istri) sedangkan kemaluan kami masih meneteskan mani?”—maksud mereka adalah kebolehan berhubungan dengan perempuan antara dua ihram.

Maka Rasulullah SAW bersabda—baik sebagai teguran terhadap mereka atau untuk menenangkan jiwa mereka—ucapan beliau yang maksudnya: “Seandainya aku mengetahui bahwa kalian akan berselisih denganku atau akan ragu-ragu, niscaya aku tidak akan menggiring hadyu yang telah menghalangiku dari bertahallul, dan aku akan menjadikannya sebagai umrah agar aku sama seperti kalian.”

Jika dikatakan: “Bagaimana mungkin menggiring hadyu menghalanginya dari bertahallul dari umrah, padahal hal itu bukanlah penghalang, bahkan penyembelihan hadyu ketika telah sampai di Tanah Haram diperbolehkan?”

Dijawab: Dalam hal ini terdapat tiga makna:


أَحَدُهَا: أَنَّهُ لَمَّا أَمَرَ أَصْحَابَهُ بِفَسْخِ حَجِّهِمْ إِلَى الْعُمْرَةِ شَقَّ عَلَيْهِمْ، وَكَانَ أَكْثَرُهُمْ لَا هَدْيَ مَعَهُ بَلْ رُوِيَ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِيهِمْ مَنْ سَاقَ هَدْيًا إِلَّا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَطَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ فَجَعَلَ سَوْقَ الْهَدْيِ عَلَمًا فِي جَوَازِ الْبَقَاءِ عَلَى الْحَجِّ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ كَانَ قَدْ أَوْجَبَ عَلَى نَفْسِهِ سَوْقَ هَدْيِهِ إِلَى مَحَلِّهِ بِالْحَجِّ، وَأَنَّهُ لَا يَنْحَرُهَا إِلَى يَوْمِ النَّحْرِ عِنْدَ التَّحَلُّلِ، فَلِذَلِكَ مَا امْتَنَعَ.

Pertama: ketika Rasulullah SAW memerintahkan para sahabatnya untuk memutus (menjadikan) haji mereka sebagai ‘umrah, hal itu terasa berat bagi mereka, karena kebanyakan dari mereka tidak menggiring hadyu. Bahkan diriwayatkan bahwa tidak ada di antara mereka yang menggiring hadyu kecuali Rasulullah SAW dan Ṭalḥah bin ‘Ubaydillāh. Maka beliau menjadikan menggiring hadyu sebagai tanda bolehnya tetap dalam haji (tidak memutusnya menjadi ‘umrah).

Kedua: bahwa beliau telah mewajibkan atas dirinya untuk menggiring hadyu menuju tempatnya dalam keadaan iḥrām haji, dan bahwa beliau tidak akan menyembelihnya kecuali pada hari naḥr saat bertahallul. Maka karena itulah beliau tidak memutus hajinya.


وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ لَمْ يَأْمَنْ إِنْ نَحَرَ هَدْيَهُ بِمَكَّةَ عِنْدَ إِحْلَالِهِ، مِنْ عُمْرَتِهِ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ أَنْ يَصِيرَ الْمَوْضِعُ سُنَّةً لِنَحْرِ الْهَدْيِ، وَمَعْدِنًا لِلْأَنْجَاسِ فَيَضِيقُ عَلَى أَهْلِ مَكَّةَ وَيَسْتَضِرُّوا فَإِنْ نَحَرَ هَدْيَهُ إِلَى إِحْلَالِهِ بِحَجِّهِ مِنْ مِنًى، وَأَيُّ هَذِهِ الْمَعَانِي كَانَ فَقَدْ زَالَ الْيَوْمَ حُكْمُهُ.

ketiga: bahwa beliau tidak merasa aman jika menyembelih hady-nya di Makkah ketika tahallul dari umrah-nya antara Shafa dan Marwah, lalu tempat itu dijadikan sebagai sunnah untuk menyembelih hady dan menjadi tempat najis-najis, sehingga menyempit bagi penduduk Makkah dan mereka terkena dampaknya. Maka beliau menyembelih hady-nya ketika tahallul dari haji-nya di Mina. Dan makna apa pun dari hal-hal tersebut, maka hukumnya hari ini telah tiada.

فَصْلٌ
: فَإِذَا صَحَّ مَا ذَكَرْنَا مِنْ تَفْضِيلِ الْإِفْرَادِ عَلَى الْقِرَانِ، وَعَلَى التمتع في أحد القولين، فإنما أراد الحج إذا أَعْقَبَهُ بِفِعْلِ الْعُمْرَةِ فِي عَامِهِ، فَأَمَّا وَهُوَ يُرِيدُ تَأْخِيرَ الْعُمْرَةِ عَنْ عَامِ حَجِّهِ فَالتَّمَتُّعُ والقران أولى، لما يجوزه مِنْ فَضْلِ الْمُبَادَرَةِ، وَالتَّعْجِيلِ وَإِنَّ تَأْخِيرَ الْعُمْرَةِ عَنِ الْحَجِّ مَكْرُوهٌ رَوَى عَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أن رسوله الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجَ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ.

PASAL
 Apabila telah sah apa yang kami sebutkan tentang keutamaan ifrād atas qirān, dan atas tamattu‘ menurut salah satu dari dua pendapat, maka yang dimaksud adalah haji yang disusul dengan pelaksanaan ‘umrah pada tahun yang sama. Adapun jika seseorang bermaksud menunda ‘umrah setelah tahun hajinya, maka tamattu‘ dan qirān lebih utama, karena di dalamnya terdapat keutamaan bersegera dan menyegerakan ibadah.

Sesungguhnya menunda ‘umrah setelah haji hukumnya makruh. Diriwayatkan oleh ‘Āmir bin Rabī‘ah dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Lakukanlah haji dan ‘umrah secara berkesinambungan, karena keduanya menghilangkan kefakiran dan dosa sebagaimana api penghembus (tungku) menghilangkan kotoran besi.”


فَصْلٌ
: فَأَمَّا مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِيمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْأَحَادِيثِ فِي حَجِّهِ لَيْسَ شَيْءٌ مِنَ الِاخْتِلَافِ، أَيْسَرَ مِنْ هَذَا يَعْنِي: إِنْ كَانَ ذَلِكَ جَائِزًا، وَلَيْسَ فِيهِ تَغْيِيرُ حُكْمٍ، وَلَا إِسْقَاطُ فَرْضٍ لِأَنَّ الْإِفْرَادَ وَالتَّمَتُّعَ وَالْقِرَانَ مُبَاحٌ، ثُمَّ قَالَ: وَإِنْ كَانَ الْغَلَطُ فِيهِ قَبِيحًا يَحْتَمِلُ أَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ أَرَادَ بِذَلِكَ الرِّوَايَةَ لِأَنَّهَا حُجَّةٌ وَاحِدَةٌ، فَإِذَا اخْتَلَفُوا فِي نَقْلِهَا دَلَّ عَلَى تَقْصِيرِهِمْ.

PASAL
 Adapun maksud perkataan al-Syafi‘i tentang hadits-hadits yang diperselisihkan dalam haji-nya: “Tidak ada satu pun dari perbedaan itu yang lebih mudah dari ini,” maksudnya: jika hal itu boleh, dan tidak mengubah hukum, serta tidak menggugurkan kewajiban, karena ifrād, tamattu‘, dan qirān itu mubah. Kemudian beliau berkata: dan jika kesalahan dalam hal ini itu buruk, maka hal itu mengandung dua kemungkinan:

pertama: bahwa yang dimaksud adalah periwayatan, karena ia adalah hujjah satu-satunya. Maka jika mereka berbeda dalam meriwayatkannya, hal itu menunjukkan kelalaian mereka.


وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَرَادَ الْإِنْكَارَ عَلَى مَنْ لَا مَعْرِفَةَ لَهُ بِالْأَخْبَارِ، وَتَرْتِيبَ مَا اخْتَلَفَتِ الرِّوَايَةُ فِيهِ، وَأَنَّهَا غَيْرُ مُتَضَادَّةٍ عَلَى نَحْوِ مَا بَيَّنَاهُ ثُمَّ قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَمَنْ قَالَ أَفْرَدَ الْحَجَّ يُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ قَالَهُ فِيمَا يَعْرِفُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ الَّذِينَ أَدْرَكَ دُونَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّ أَحَدًا لَا يَكُونُ مُقِيمًا عَلَى حَجٍّ إِلَّا وَقَدِ ابْتَدَأَ إِحْرَامَهُ بِحَجٍّ، وَهَذَا يَحْتَمِلُ أَمْرَيْنِ:

kedua: bahwa beliau bermaksud mengingkari orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang hadis-hadis, dan tentang susunan riwayat-riwayat yang tampak berbeda, padahal sesungguhnya tidak saling bertentangan, sebagaimana telah kami jelaskan.

Kemudian al-Syāfi‘ī berkata: “Barang siapa yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW melakukan ifrād dalam haji, boleh jadi ia mengatakannya berdasarkan apa yang ia ketahui dari para ahli ilmu yang ia jumpai, bukan langsung dari Rasulullah SAW, bahwa tidak ada seorang pun yang tetap dalam keadaan berihram haji kecuali ia telah memulai ihramnya dengan niat haji.”

Dan hal ini mengandung dua kemungkinan:…


أَحَدُهُمَا: أَنَّ ذَلِكَ حُجَّةٌ لِقَوْلِهِ: إِنَّ التَّمَتُعَ أَفْضَلُ وَأَخَذَ يَتَأَوَّلُ رِوَايَةَ مَنْ نَقَلَ الْإِفْرَادَ عَلَى مَعْنَى أَنَّهُ حَكَى مَا شَاهَدَ مِنْ حَجِّهِ، وَلَمْ يَعْلَمْ مَا تَقَدَّمَ مِنْ عُمْرَتِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ ذَلِكَ حُجَّةٌ لِفَضْلِ الْإِفْرَادِ، وَالْجَمْعِ بَيْنَ الْأَخْبَارِ الْمُطْلَقَةِ وَحَمْلِهَا عَلَى رِوَايَةِ جَابِرٍ لِتَفْسِيرِهِ وَإِخْبَارِهِ عَنْ إِفْرَادِهِ وَالسَّبَبِ فِيهِ.

pertama: bahwa hal itu adalah hujjah atas perkataannya bahwa tamattu‘ lebih utama, dan ia menakwil riwayat orang yang meriwayatkan ifrād dengan makna bahwa ia hanya menceritakan apa yang ia saksikan dari haji-nya, dan tidak mengetahui apa yang telah didahului oleh umrah-nya.

kedua: bahwa hal itu adalah hujjah atas keutamaan ifrād, dan untuk mengompromikan antara berita-berita yang bersifat mutlak, lalu dibawa kepada riwayat Jābir karena penjelasannya dan kabarnya tentang ifrād-nya serta sebabnya.

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَإِذَا أَهَلَّ بِالْحَجِّ فِي شوالٍ، أَوْ ذِي الْقَعْدَةِ أَوْ ذِي الْحِجَّةِ صَارَ مُتَمَتِّعًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ التَّمَتُّعِ ضَرْبَانِ ضَرْبٌ يَجِبُ فِيهِ الدَّمُ وَضَرْبٌ لَا دَمَ فِيهِ، فَأَمَّا الضَّرْبُ الَّذِي يَجِبُ فِيهِ الدَّمُ فَيَحْتَاجُ إِلَى أَرْبَعَةِ شَرَائِطَ مُتَّفَقٍ عَلَيْهَا، وَشَرْطٍ مُخْتَلَفٍ فِيهِ.

BĀB PUASA ORANG YANG MELAKUKAN TAMATTU‘ DARI ‘UMRAH KE HAJI

Berkata al-Syāfi‘ī raḥimahullāh:
 “Barang siapa yang melakukan tamattu‘ dengan ‘umrah ke haji, maka apabila ia berihram untuk haji pada bulan Syawwāl, atau Dzulqa‘dah, atau Dzulḥijjah, maka ia menjadi mutamatti‘.”

Berkata al-Māwardī:
 Dan keseluruhan bentuk tamattu‘ itu ada dua macam:
 Macam yang mewajibkan darah, dan macam yang tidak mewajibkan darah.

Adapun macam yang mewajibkan darah, maka terdapat empat syarat yang disepakati, dan satu syarat yang diperselisihkan.


فَالشَّرْطُ الْأَوَّلُ: أَنْ يَأْتِيَ بِالْعُمْرَةِ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ.
وَالشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ فِي سَنَتِهِ.
وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ: أَنْ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ مِنْ مَكَّةَ، وَلَا يَرْجِعَ إِلَى مِيقَاتِ بَلَدِهِ.
وَالشَّرْطُ الرَّابِعُ: أَنْ لَا يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْحَرَمِ، وَلَا مِنْ حَاضِرِهِ، والشرط المختلف فيه نية التمتع فيه وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَيْسَتْ شَرْطًا فِي وُجُوبِ الدَّمِ.

syarat pertama: melaksanakan umrah pada bulan-bulan haji.
 syarat kedua: berihram untuk haji pada tahun yang sama.
 syarat ketiga: berihram untuk haji dari Makkah, dan tidak kembali ke miqat negerinya.
 syarat keempat: bukan termasuk penduduk Haram, dan bukan pula orang yang tinggal di sekitarnya.
 Adapun syarat yang diperselisihkan adalah niat tamattu‘, dalam hal ini terdapat dua pendapat:

pertama: bukan merupakan syarat wajibnya dam.


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا شَرْطٌ خَامِسٌ، لَا يُجِبِ الدَّمُ إِلَّا بِهِ لِأَنَّ التَّمَتُّعَ هُوَ الْجَمْعُ بَيْنَ نُسُكَيْنِ، فِي وَقْتِ أَحَدِهِمَا وَالْجَمْعُ بَيْنَ الْعِبَادَتَيْنِ فِي وَقْتِ إِحْدَيْهِمَا يَفْتَقِرُ إِلَى نِيَّةِ الْجَمْعِ كَالْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فَعَلَى هَذَا فِي زَمَانِ النِّيَّةِ وَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي زَمَانِ نِيَّةِ الْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ، أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ: يَحْتَاجُ أَنْ يَنْوِيَ التَّمَتُّعَ عِنْدَ الْإِحْرَامِ بِالْعُمْرَةِ.
وَالثَّانِي: يَحْتَاجُ أَنْ يَنْوِيَ مَا بَيْنَ إِحْرَامِهِ بِالْعُمْرَةِ إِلَى إِحْلَالِهِ مِنْهَا.

Pendapat kedua: bahwa ia merupakan syarat kelima, yang mana darah tidak diwajibkan kecuali dengannya. Karena tamattu‘ adalah menggabungkan dua nusuk dalam waktu salah satunya, dan penggabungan dua ibadah dalam waktu salah satunya memerlukan niat penggabungan, sebagaimana menjamak dua salat.

Maka berdasarkan ini, dalam hal waktu niat terdapat dua pendapat yang diturunkan dari perbedaan pendapat al-Syāfi‘ī tentang waktu niat dalam menjamak salat:

Pendapat pertama: wajib berniat tamattu‘ saat berihram untuk ‘umrah.
 Pendapat kedua: wajib berniat antara ihram ‘umrah sampai tahallul darinya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الضَّرْبُ الَّذِي لَا دَمَ فِيهِ، فَهُوَ أَنْ يُخِلَّ بِأَحَدِ هَذِهِ الشُّرُوطِ فَلَا يَلْزَمُهُ دَمٌ، فَإِنْ أَحْرَمَ بِالْعُمْرَةِ قَبْلَ أَشْهُرِ الْحَجِّ لَمْ يَلْزَمْهُ دَمٌ لِإِحْلَالِهِ بِالْحَجِّ، فَلَوْ أَحْرَمَ بِالْعُمْرَةِ قَبْلَ أَشْهُرِ الْحَجِّ، ثُمَّ طَافَ سَعَى فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ، كَأَنَّهُ أَحْرَمَ بِهَا فِي رَمَضَانَ، وَطَافَ لَهَا وَسَعَى فِي شَوَّالٍ، فَفِي وُجُوبِ الدَّمِ قَوْلَانِ:

PASAL
 Adapun jenis yang tidak dikenai dam, yaitu jika seseorang meninggalkan salah satu dari syarat-syarat tersebut, maka tidak wajib atasnya dam. Jika ia berihram umrah sebelum bulan-bulan haji, maka tidak wajib atasnya dam karena ia telah bertahallul sebelum haji. Maka jika ia berihram umrah sebelum bulan-bulan haji, lalu melakukan ṭawāf dan sa‘i pada bulan-bulan haji—misalnya ia berihram di bulan Ramadhan, kemudian melakukan ṭawāf dan sa‘i pada bulan Syawwal—maka dalam kewajiban dam terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: لَا دَمَ عَلَيْهِ، وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ، لِأَنَّ الْإِحْرَامَ أَحَدُ أَرْكَانِ الْعُمْرَةِ فَصَارَ كَمَا لَوْ طَافَ قَبْلَ شَوَّالٍ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عَلَيْهِ دَمٌ، وَهُوَ قَوْلُ طَاوُسٍ لِأَنَّهُ قَدْ أَتَى بِمُعْظَمِ أَفْعَالِ الْعُمْرَةِ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ، فَصَارَ كَمَا لَوِ اسْتَأْنَفَهَا فِيهِ، وَلَوِ اعْتَمَرَ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ ثُمَّ عَادَ إِلَى مِيقَاتِ بَلَدِهِ فَأَحْرَمُ بِالْحَجِّ مِنْهُ سَقَطَ عَنْهُ الدَّمُ، وَلَكِنْ لَوْ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ مِنْ مَكَّةَ ثُمَّ عَادَ إِلَى مِيقَاتِ بَلَدِهِ مُحْرِمًا فَفِي سُقُوطِ الدم عنه، قولان:

Pertama: tidak wajib atasnya darah, dan ini adalah pendapat Aḥmad dan Isḥāq, karena ihram adalah salah satu rukun ‘umrah, maka keadaannya seperti orang yang thawaf sebelum bulan Syawwāl.

Pendapat kedua: wajib atasnya darah, dan ini adalah pendapat Ṭāwūs, karena ia telah melaksanakan sebagian besar amalan ‘umrah di bulan-bulan haji, maka keadaannya seperti orang yang memulai ‘umrah di dalamnya.

Jika seseorang melakukan ‘umrah di bulan-bulan haji, kemudian kembali ke miqāt negerinya lalu berihram untuk haji dari sana, maka gugurlah kewajiban darah darinya. Namun jika ia berihram untuk haji dari Makkah lalu kembali ke miqāt negerinya dalam keadaan sudah berihram, maka dalam hal gugurnya darah darinya terdapat dua pendapat.


أحدهما: قد سقط عند الدَّمُ، كَمَا لَوِ ابْتَدَأَ إِحْرَامَهُ مِنَ الْمِيقَاتِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يَسْقُطُ عَنْهُ لِأَنَّ وُجُوبَهُ قَدِ اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ بِإِحْرَامِهِ مِنْ مَكَّةَ، وَقَالَ أبو حنيفة لَا يَسْقُطُ عَنْهُ الدَّمُ إِذَا رَجَعَ إِلَى مِيقَاتِ بَلَدِهِ، فَأَحْرَمُ مِنْهُ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى بَلَدِهِ لِأَنَّهُ قَبْلَ رُجُوعِهِ إِلَى بَلَدِهِ عَلَى حُكْمِ سَفَرِهِ، فَكَانَ عَلَى حُكْمِ حَجِّهِ، وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ مَحَلَّ إِحْرَامِهِ مَا بَيْنَ بَلَدِهِ وَمِيقَاتِهِ، فَلَمَّا سَقَطَ عَنْهُ الدَّمُ بِرُجُوعِهِ إِلَى بَلَدِهِ، وَهُوَ أَوَّلُ مِيقَاتِهِ سَقَطَ عَنْهُ بِرُجُوعِهِ، إِلَى آخِرِ مِيقَاتِهِ لِاسْتِوَاءِ حُكْمِ جَمِيعِهِ، وَفِيهِ الْفِصَالُ.

pertama: dam gugur darinya, sebagaimana jika ia memulai iḥrām-nya dari miqat.
 pendapat kedua: tidak gugur darinya, karena kewajiban dam telah tetap atasnya dengan iḥrām-nya dari Makkah. Dan Abu Ḥanīfah berkata: dam tidak gugur darinya jika ia kembali ke miqat negerinya lalu berihram darinya, sampai ia kembali ke negerinya; karena sebelum ia kembali ke negerinya, ia masih dalam hukum safarnya, maka ia masih dalam hukum hajinya.

Adapun dalil kami adalah bahwa tempat iḥrām-nya adalah antara negerinya dan miqat-nya. Maka ketika dam gugur darinya dengan kembali ke negerinya—yang merupakan miqat pertamanya—maka dam pun gugur dengan kembali ke akhir miqatnya, karena kesamaan hukum semuanya. Dan dalam hal ini terdapat rincian.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا أَهْلُ مَكَّةَ وَالْحَرَمِ وَحَاضِرِيهِ وَهُوَ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْحَرَمِ مَسَافَةٌ لَا تُقْصَرُ فِي مِثْلِهَا الصَّلَاةُ، فَلَا دَمَ عَلَيْهِمْ فِي التَّمَتُّعِ وَالْقِرَانِ مَعًا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ: وَلَا يُكْرَهُ لَهُمْ ذَلِكَ، وَقَالَ أبو حنيفة يُكْرَهُ لَهُمُ التَّمَتُّعُ والقِران، فَإِنْ فَعَلُوا فَعَلَيْهِمْ دَمٌ كَغَيْرِهِمْ، وَاسْتَدَلَّ عَلَى كَرَاهَةِ ذَلِكَ لَهُمْ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أهْلُهُ حَاضِرِي المَسْجِدِ الْحَرَامِ) {البقرة: 196) فَاسْتَثْنَى حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فِي إِبَاحَةِ التَّمَتُّعِ، وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَمَنْ تَمَتَعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ) {البقرة: 196) وَهَذَا شَرْطٌ ثُمَّ قَالَ: {فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الهَدْيِ} (البقرة: 196) وَهَذَا جَزَاءٌ ثُمَّ قَالَ: {ذَلِكَ لِمْنْ لَمْ يَكُنْ أهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ) (البقرة: 196) وَهَذَا اسْتِثْنَاءٌ يَرْجِعُ إِلَى الدَّمِ الَّذِي هُوَ الْخَبَرُ لَا إِلَى الشَّرْطِ كَقَوْلِهِ: مَنْ دَخَلَ الدَّارَ فَأَعْطِهِ دِرْهَمًا إِلَّا أن يكون مكياً تقديره فلا تعطيه شيئاً، ولأن قوله: فمن تمتع بالعمرة إخبار وقوله: فما استيسر من الهدي حُكْمٌ، وَقَوْلُهُ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حاضري المسجد الحرام اسْتِثْنَاءٌ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَرْجِعَ الِاسْتِثْنَاءُ إِلَى مُجَرَّدِ الْخَبَرِ، لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ أَنْ يَقُولَ: فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، فَعُلِمَ أَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ رَاجِعٌ إِلَى الْحُكْمِ، وَهُوَ الدَّمُ فَصَارَ تقدير الآية: فمنع تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَلَا دَمَ عَلَيْهِ، وَلِأَنَّ كُلَّ نُسُكٍ جَازَ لِأَهْلِ الْآفَاقِ جَازَ لِأَهْلِ مَكَّةَ كَالْإِفْرَادِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ جَازَ لَهُ الْإِفْرَادُ جَازَ لَهُ التَّمَتُّعُ وَالْقِرَانُ كَأَهْلِ الْآفَاقِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا لَا يُكْرَهُ لِغَيْرِ أَهْلِ مَكَّةَ لَا يُكْرَهُ لِأَهْلِ مَكَّةَ كَسَائِرِ الْعِبَادَاتِ.

PASAL
 Adapun penduduk Makkah, penduduk ḥaram, dan orang-orang yang tinggal di sekitarnya—yaitu yang antara mereka dan ḥaram tidak sampai sejauh jarak yang memperbolehkan qaṣar dalam salat—maka tidak ada kewajiban dam atas mereka dalam tamattu‘ dan qirān sekaligus. Hal ini dinyatakan oleh asy-Syāfi‘i, dan hal tersebut tidaklah makruh bagi mereka.

Adapun Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa tamattu‘ dan qirān makruh bagi mereka. Maka jika mereka melakukannya, wajib atas mereka dam sebagaimana selain mereka. Ia berdalil atas kemakruhan tersebut dengan firman Allah Ta‘ālā: “Yang demikian itu bagi orang yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjidil Haram” (al-Baqarah: 196), maka menurutnya ini adalah pengecualian bagi penduduk Masjidil Haram dalam kebolehan tamattu‘.

Namun ini adalah kekeliruan, karena firman Allah Ta‘ālā: “Maka barangsiapa yang bertamattu‘ dengan ‘umrah hingga haji…” (al-Baqarah: 196), ini adalah syarat. Kemudian Allah berfirman: “Maka (wajiblah baginya) menyembelih hadyu yang mudah didapat” (al-Baqarah: 196), ini adalah hukum. Lalu Allah berfirman: “Yang demikian itu bagi orang yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjidil Haram” (al-Baqarah: 196), ini adalah pengecualian yang kembali kepada dam yang merupakan khabar, bukan kepada syarat.

Sebagaimana dalam ucapan: “Barangsiapa masuk rumah maka berilah ia satu dirham kecuali jika ia orang Makkah,” maka maksudnya: jangan beri ia apa-apa. Karena firman-Nya: “Barangsiapa bertamattu‘…” adalah berita, firman-Nya: “Maka sembelihlah hadyu…” adalah hukum, dan firman-Nya: “Yang demikian itu…” adalah pengecualian. Tidak boleh pengecualian itu kembali kepada sekadar berita, karena tidak sah jika dikatakan: “Barangsiapa bertamattu‘ kecuali jika dia dari penduduk Masjidil Haram.”

Maka diketahui bahwa pengecualian itu kembali kepada hukum, yaitu dam. Sehingga makna ayat adalah: Barangsiapa yang bertamattu‘ dengan ‘umrah hingga haji maka wajib baginya menyembelih hadyu yang mudah didapat kecuali jika dia dari penduduk Masjidil Haram maka tidak ada dam atasnya.

Karena setiap nusuk yang dibolehkan bagi penduduk luar daerah (āfāq) juga dibolehkan bagi penduduk Makkah, seperti ifrād. Dan karena siapa saja yang boleh ifrād, maka ia juga boleh tamattu‘ dan qirān, sebagaimana penduduk āfāq. Dan karena segala sesuatu yang tidak makruh bagi selain penduduk Makkah, maka tidak makruh pula bagi penduduk Makkah, sebagaimana ibadah-ibadah yang lain.

فَصْلٌ
: فَإِذَا صَحَّ أَنَّ أَهْلَ مَكَّةَ وَحَاضِرِيهَا لَا دَمَ عَلَيْهِمْ فِي تَمَتُّعِهِمْ وَقِرَانِهِمْ، فَكَذَلِكَ مَنْ دَخَلَهَا لَا يُرِيدُ حَجًّا وَلَا عُمْرَةً ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَتَمَتَّعَ أَوْ يَقْرِنَ فَلَا دَمَ عَلَيْهِ، وَلَكِنْ لَوْ مَرَّ بِمِيقَاتِ بَلَدِهِ يُرِيدُ حَجًّا أَوْ عُمْرَةً فَلَمْ يُحْرِمْ مِنْ مِيقَاتِهِ حَتَّى دَخَلَ مَكَّةَ، فَعَلَيْهِ إِذَا أَرَادَ الْإِحْرَامَ بِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى مِيقَاتِ بَلَدِهِ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ: فَإِنْ عَادَ إِلَى مِيقَاتِ بَلَدِهِ، فَعَلَيْهِ دَمٌ لِتَمَتُّعِهِ فَلَوْ أَحْرَمَ مِنَ الْحِلِّ، وَلَمْ يَعُدْ إِلَى مِيقَاتِ بَلَدِهِ كَانَ عَلَيْهِ دَمٌ لِمُجَاوَزَةِ الْمِيقَاتِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي مَوْضِعِ إِحْرَامِهِ، فَإِنْ كَانَ بَيْنَهُ وبين الحرم مسافة تقصر في مثلهما الصَّلَاةُ فَلَا دَمَ عَلَيْهِ لِتَمَتُّعِهِ إِنْ تَمَتَّعَ أَوْ لِقِرَانٍ إِنْ قَرَنَ وَإِنْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْحَرَمِ مَسَافَةٌ لَا تُقْصَرُ فِي مِثْلِهَا الصَّلَاةُ، فَلَا دَمَ عَلَيْهِ لِتَمَتُّعِهِ، وَلَا لِقِرَانِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ كَحَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ.

PASAL
 Jika telah sah bahwa penduduk Makkah dan orang-orang yang tinggal di sekitarnya tidak wajib dam dalam tamattu‘ dan qirān mereka, maka demikian pula orang yang masuk ke Makkah tanpa berniat haji atau umrah, kemudian ia ingin melakukan tamattu‘ atau qirān, maka tidak ada dam atasnya.

Namun, jika ia melewati miqat negerinya dengan niat haji atau umrah, lalu tidak berihram dari miqat tersebut hingga masuk ke Makkah, maka apabila ia ingin berihram haji atau umrah, wajib baginya untuk kembali ke miqat negerinya. Ini dinyatakan oleh al-Syafi‘i.

Jika ia kembali ke miqat negerinya, maka wajib dam atasnya karena ia melakukan tamattu‘. Tetapi jika ia berihram dari daerah ḥill dan tidak kembali ke miqat negerinya, maka wajib atasnya dam karena melewati miqat.

Kemudian dilihat tempat ia berihram, jika antara tempat itu dan ḥaram terdapat jarak yang pada umumnya membolehkan qashar shalat, maka tidak wajib dam atasnya karena tamattu‘ jika ia bertamattu‘, atau karena qirān jika ia melakukan qirān.

Dan jika antara tempat itu dan ḥaram terdapat jarak yang tidak membolehkan qashar shalat, maka tidak wajib dam atasnya karena tamattu‘ ataupun qirān, karena ia telah menjadi seperti orang yang tinggal di sekitar Masjidil Haram.


مَسْأَلَةٌ
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنَّ لَهُ أَنْ يَصُومَ حِينَ يَدْخُلَ فِي الْحَجِّ، وَهُوَ قَوْلُ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ: إِذَا كَمُلَتْ شُرُوطُ التَّمَتُّعِ الْمُوجِبَةُ لِلدَّمِ فَلَهُ حَالَانِ. حَالُ يَسَارٍ وحال إِعْسَارٍ: فَإِنْ كَانَ مُوسِرًا فَعَلَيْهِ دَمُ شَاةٍ تَجِبُ عَلَيْهِ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنَ الْعُمْرَةِ، وَعِنْدَ إِحْرَامِهِ بِالْحَجِّ، فَإِذَا أَحْرَمَ بِالْحَجِّ لَزِمَهُ الدَّمُ لِأَنَّ الشَّرَائِطَ الْمُوجِبَةَ لِلدَّمِ لَا تُوجَدُ إِلَّا بَعْدَ إِهْلَالِهِ بِالْحَجِّ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ بِالدَّمِ فَلَهُ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: حَالُ اخْتِيَارٍ وَهُوَ أَنْ يَأْتِيَ بِهِ يَوْمَ النَّحْرِ.
وَالثَّانِي: حَالُ جَوَازٍ وَهُوَ أَنْ يَأْتِيَ بِهِ بَعْدَ إِحْرَامِهِ بِالْحَجِّ، وَقَبْلَ يَوْمِ النَّحْرِ فَعِنْدَنَا يُجْزِيهِ.

MASALAH
 Imam asy-Syāfi‘i raḥimahullāh berkata: “Sesungguhnya ia boleh berpuasa ketika masuk ke dalam ḥajj,” dan ini adalah pendapat ‘Amr bin Dīnār.

Al-Māwardī berkata: dan memang sebagaimana yang dikatakan, yaitu apabila telah terpenuhi syarat-syarat tamattu‘ yang mewajibkan dam, maka ada dua keadaan: keadaan mampu dan keadaan tidak mampu.

Apabila ia mampu, maka wajib atasnya dam berupa seekor kambing, dan itu wajib setelah ia menyelesaikan ‘umrah dan ketika ia beriḥrām untuk ḥajj. Maka ketika ia beriḥrām untuk ḥajj, wajib atasnya dam, karena syarat-syarat yang mewajibkan dam tidaklah sempurna kecuali setelah ia mulai beriḥrām untuk ḥajj. Maka apabila ia ingin menyembelih dam, maka ada empat keadaan:

Pertama: keadaan yang utama, yaitu menyembelih pada hari naḥr.

Kedua: keadaan yang dibolehkan, yaitu menyembelih setelah beriḥrām untuk ḥajj dan sebelum hari naḥr, maka menurut kami itu mencukupi.


وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يُجْزِيهِ إِلَّا فِي يَوْمِ النَّحْرِ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ تَحْلِقُوا رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الهَدْي مَحِلَّهُ) {البقرة: 196) وَمَحِلُّ الْهَدْيِ يَوْمُ النَّحْرِ، وَلِأَنَّهُ إِرَاقَةُ دَمِ هَدْيٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجُوزَ قَبْلَ يَوْمِ النَّحْرِ قِيَاسًا عَلَى هَدْيِ الْبُلُوغِ وَالْأَضَاحِي، وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {فَمَنْ تَمَتَّع بِالعُمْرَةِ إِلَى الحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ) {البقرة: 196) فَعَلِمْنَا أَنَّ الْهَدْيَ يَلْزَمُهُ أَوْ يَجُوزُ لَهُ إِذَا تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ، وَفِي أَيِّهِمَا كَانَ دَلِيلٌ عَلَى مَا قُلْنَاهُ، وَلِأَنَّهُ جُبْرَانٌ لِلتَّمَتُّعِ فَجَازَ أَنْ يُؤْتَى بِهِ قَبْلَ يَوْمِ النَّحْرِ، أَصْلُهُ الصَّوْمُ وَلِأَنَّهُ دَمُ كَفَّارَةٍ فَجَازَ، أَنْ يُؤْتَى بِهِ بَعْدَ وجوبه، وقيل يَوْمِ النَّحْرِ قِيَاسًا عَلَى كَفَّارَةِ الْأَذَى، وَجَزَاءِ الصَّيْدِ فَأَمَّا قَوْله تَعَالَى: {حَتَّى يَبْلُغَ الهَدْيُ مَحَلَّهُ} فَالْمُرَادُ بِالْمَحِلِّ الدَّمُ لَا يَوْمُ النَّحْرِ، بِدَلِيلِ قَوْله تَعَالَى: {ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى البَيْتِ العَتِيقِ} وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى هَدْيِ التَّطَوُّعِ، وَالْأَضَاحِيِّ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَا بَدَلَ فِيهِ.

Abu Ḥanīfah berkata: tidak sah kecuali pada hari nahr, dengan berpegang pada firman Allah Ta‘ālā: “Dan janganlah kamu mencukur kepalamu sebelum hewan kurban sampai di tempat penyembelihannya” (al-Baqarah: 196). Dan tempat penyembelihannya adalah hari nahr. Karena hal itu adalah penumpahan darah hady, maka tidak boleh dilakukan sebelum hari nahr, diqiyaskan dengan hady bulūgh dan udhḥiyah.

Adapun dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: “Barangsiapa yang bertamattu‘ dengan umrah ke haji, maka hendaklah ia menyembelih hady yang mudah didapat” (al-Baqarah: 196), maka kami mengetahui bahwa hady itu wajib atasnya atau boleh baginya jika ia bertamattu‘ dari umrah ke haji. Dan dalam keduanya terdapat dalil atas apa yang kami katakan.

Karena hady tersebut adalah pengganti (tebusan) dari tamattu‘, maka boleh dilaksanakan sebelum hari nahr. Asalnya adalah puasa. Dan karena ia adalah darah kafārah, maka boleh dilakukan setelah wajibnya. Ada pula yang berkata: pada hari nahr, diqiyaskan dengan kafārah karena gangguan (adzā) dan balasan atas buruan.

Adapun firman Allah Ta‘ālā: “hingga hady sampai ke tempat penyembelihannya”, yang dimaksud dengan maḥill adalah darah, bukan hari nahr, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “kemudian tempat akhirnya di Baitul ‘Atīq”.

Adapun qiyās-nya terhadap hady taṭawwu‘ dan udhḥiyah, maka maknanya adalah karena keduanya tidak mengandung pengganti (badal).

 

فَصْلٌ: وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ
: أَنْ يَأْتِيَ بِهِ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنَ الْعُمْرَةِ، وَقَبْلَ إِحْرَامِهِ بِالْحَجِّ فَفِيهِ قَوْلَانِ:
أَصَحُّهُمَا: وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْإِمْلَاءِ يُجْزِئُهُ لِأَنَّ حُقُوقَ الْمَالِ إِذَا تَعَلَّقَتْ بِشَيْئَيْنِ جَازَ تَقْدِيمُهُمَا إِذَا وُجِدَ أَحَدُ الشَّيْئَيْنِ كَالزَّكْوَاتِ وَالْكَفَّارَاتِ وَكَذَلِكَ دَمُ التَّمَتُّعِ وَيَجِبُ بِأَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ، وَبِكَمَالِ الْعُمْرَةِ قَدْ وَجَبَ مِنْهَا شَيْئَانِ وَهُوَ كَوْنُهُ غَيْرَ حَاضِرٍ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَقَبْلَ الْعُمْرَةِ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ فَجَازَ تَقْدِيمُ الدَّمِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يُجْزِئُهُ قِيَاسًا عَلَى الصَّوْمِ، نَقَلَهُ ابْنُ خَيْرَانَ عَنِ التَّمَتُّعِ.
وَالْحَالَةُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَأْتِيَ بِهِ قَبْلَ فَرَاغِهِ مِنَ الْعُمْرَةِ، فَلَا يَخْتَلِفُ الْمَذْهَبُ أَنَّهُ لَا يُجْزِئُهُ بِحَالٍ البقاء أَكْثَرِ أَسْبَابِهِ.

PASAL
 Keadaan ketiga: menyembelih dam setelah selesai dari ‘umrah dan sebelum beriḥrām untuk ḥajj. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat yang lebih ṣaḥīḥ—dan telah ditegaskan dalam al-Imlā’—bahwa hal itu mencukupi, karena hak-hak harta apabila berkaitan dengan dua perkara, boleh didahulukan jika salah satu dari keduanya sudah ada, seperti dalam zakat dan kafārat. Demikian pula dam tamattu‘—ia menjadi wajib karena empat perkara—dan dengan sempurnanya ‘umrah telah terpenuhi dua di antaranya, yaitu: ia bukan termasuk penduduk Masjidil Ḥarām, dan ia melakukan ‘umrah dalam bulan-bulan haji, maka boleh baginya mendahulukan penyembelihan dam.

Pendapat kedua: tidak mencukupi, di-qiyās-kan dengan puasa; ini dinukil oleh Ibn Khayrān dari permasalahan tamattu‘.

Keadaan keempat: menyembelih dam sebelum menyelesaikan ‘umrah. Maka tidak ada khilaf dalam mazhab bahwa itu sama sekali tidak mencukupi, karena sebagian besar sebab-sebabnya belum ada.


فَصْلٌ
: وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا فَفَرْضُهُ الصِّيَامُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيامٌ ثَلاَثَةِ أيَّامٍ فِي الحَجِّ وَسَبْعَةٌ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشْرَةٌ كَامِلَةٌ) {البقرة: 196) وَاعْتِبَارُ يَسَارِهِ، وَإِعْسَارِهِ بِمَكَّةَ لَا بِبَلَدِهِ، وَخَالَفَ كَفَّارَةَ الْحِنْثِ الَّتِي لَا يَنْتَقِلُ فِيهَا إِلَى الصَّوْمِ، إِذَا كَانَ لَهُ مَالٌ وَإِنْ بَعُدَ مِنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

PASAL
 Jika seseorang dalam keadaan tidak mampu (mu‘sir), maka kewajibannya adalah berpuasa, sebagaimana firman Allah Ta‘ālā: “Barangsiapa yang tidak mendapatkan (hewan hady), maka berpuasalah tiga hari dalam haji dan tujuh hari ketika kalian telah kembali; itulah sepuluh hari yang sempurna” (al-Baqarah: 196).

Penilaian mampu atau tidaknya dilakukan di Makkah, bukan di negerinya. Ini berbeda dengan kafārah sumpah, yang tidak boleh berpindah kepada puasa selama ia masih memiliki harta, meskipun hartanya jauh darinya. Perbedaan antara keduanya dari dua sisi:


أَحَدُهُمَا: اخْتِصَاصُ الْهَدْيِ بِمَكَانٍ مَخْصُوصٍ.
وَالثَّانِي: اخْتِصَاصُ بَدَلِهِ، وَهُوَ الصَّوْمُ بِزَمَانٍ مَخْصُوصٍ، فَإِذَا أَرَادَ الصِّيَامَ فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَصُومَ بَعْدَ إِحْرَامِهِ بِالْحَجِّ فَيُجْزِيهِ ذَلِكَ بِإِجْمَاعٍ عَلَى مَا نَصِفُهُ وَنَذْكُرُهُ.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَصُومَ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنَ الْعُمْرَةِ وَقَبْلَ إِحْرَامِهِ بِالْحَجِّ، فَلَا يُجْزِئُهُ بِحَالٍ.

Salah satunya: kekhususan hady dengan tempat tertentu.
 Dan yang kedua: kekhususan penggantinya, yaitu puasa, dengan waktu tertentu.

Maka apabila ia ingin berpuasa, maka ada tiga keadaan:

Pertama: berpuasa setelah beriḥrām untuk ḥajj, maka hal itu mencukupi menurut ijmak, sebagaimana akan kami jelaskan dan sebutkan.

Keadaan kedua: berpuasa setelah selesai dari ‘umrah dan sebelum beriḥrām untuk ḥajj, maka dalam keadaan apa pun tidak mencukupi.


وَقَالَ أبو حنيفة يُجْزِيهِ وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أيَّامٍ فِي الحَجِّ} (البقرة: 196) وَلِأَنَّهُ صَوْمٌ وَاجِبٌ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجُوزَ فِعْلُهُ قَبْلَ وُجُوبِهِ قِيَاسًا عَلَى صَوْمِ رَمَضَانَ، وَالْعَجَبُ مِنْ أبي حنيفة يَمْنَعُ مِنَ الْهَدْيِ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ مَعَ تَعَلُّقِهِ بِالْمَالِ، وَيُجِيزُ الصِّيَامَ مَعَ كَوْنِهِ مِنْ أَعْمَالِ الْأَبْدَانِ، وَهَذَا خُرُوجٌ عَنْ أُصُولِ الشَّرْعِ فِي الْعِبَادَاتِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالْأَبْدَانِ وَالْأَمْوَالِ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ فِي الشَّرْعِ بَدَلٌ يَجِبُ فِي وَقْتٍ لَا يَجُوزُ فِيهِ مُبْدَلُهُ، فَكَانَ فِي ذَلِكَ خِلَافُ أُصُولِ الشَّرْعِ مِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ.
وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَصُومَ قَبْلَ فَرَاغِهِ مِنَ الْعُمْرَةِ، فَلَا خِلَافَ أَنَّهُ لَا يُجْزِيهِ الصَّوْمُ بحال.

Abu Ḥanīfah berkata: sah puasanya. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ālā: “Maka berpuasalah tiga hari dalam haji” (al-Baqarah: 196). Dan karena itu adalah puasa yang wajib, maka tidak boleh dilakukan sebelum kewajibannya ditetapkan, diqiyaskan dengan puasa Ramadhan.

Sungguh mengherankan dari Abu Ḥanīfah, ia melarang penyembelihan hady dalam keadaan seperti ini padahal itu terkait dengan harta, namun ia membolehkan puasa padahal itu termasuk amal badan. Ini bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat dalam ibadah yang berkaitan dengan badan dan harta.

Padahal tidak ada dalam syariat satu pun badal (pengganti) yang wajib dilakukan pada waktu yang tidak boleh dilakukan mubdal-nya (yang digantikan). Maka dalam hal ini terdapat penyimpangan dari kaidah-kaidah syariat dari dua sisi tersebut.

Adapun keadaan ketiga: yaitu jika ia berpuasa sebelum menyelesaikan umrah-nya, maka tidak ada khilaf bahwa puasanya dalam keadaan tersebut tidak sah sama sekali.

مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَعَلَيْهِ أَنْ لَا يَخْرُجَ مِنَ الْحَجِّ حَتَّى يَصُومَ إِذَا لَمْ يَجِدْ هَدْيًا وَأَنْ يَكُونَ آخِرُ مَالِهِ مِنَ الْأَيَّامِ الثَّلَاثَةِ فِي آخِرِ صِيَامِهِ يَوْمَ عَرَفَةَ لِأَنَهُ يَخْرُجُ بَعْدَ عَرَفَةَ مِنَ الْحَجِّ وَيَكُونَ فِي يَوْمٍ لَا صَوْمَ فِيهِ يَوْمَ النَّحْرِ وَلَا يُصَامُ فِيهِ وَلَا أَيَّامِ مِنًى لِنَهْيِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْهَا وَأَنَّ مَنْ طَافَ فِيهَا فَقَدْ حَلَّ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ أَقُولَ هَذَا فِي حَجٍّ وَهُوَ خَارِجٌ مِنْهُ وَقَدْ كُنْتُ أَرَاهُ وَقَدْ يَكُونُ مَنْ قَالَ يَصُومُ أَيَّامَ مِنًى ذَهَبَ عَنْهُ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عنها (قال المزني) قوله هذا قياسٌ لأنه لا خلاف فِي أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سوى في نهيه عنها وعن يوم النحر فإذا لم يجز صيام يوم النحر لنهي النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عنه فكذلك أَيَّامِ مِنًى لِنَهْيِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عنها “.

MASALAH
 Imam asy-Syāfi‘i raḥimahullāh berkata: “Wajib atasnya untuk tidak keluar dari ḥajj hingga ia berpuasa apabila tidak menemukan hady, dan hendaknya akhir dari tiga hari puasanya adalah hari ‘Arafah. Karena setelah ‘Arafah ia keluar dari ḥajj, dan pada hari tersebut (yaitu hari naḥr) tidak ada puasa, dan tidak boleh berpuasa pada hari itu serta pada hari-hari Minā, karena larangan dari Nabi SAW terhadapnya. Dan barangsiapa yang melakukan ṭawāf pada hari-hari tersebut maka ia telah bertahallul, dan tidak sah bagiku untuk mengatakan bahwa ini termasuk dalam ḥajj padahal ia telah keluar darinya. Aku dahulu melihat hal itu, dan bisa jadi orang yang berpendapat boleh berpuasa pada hari-hari Minā telah luput darinya larangan dari Rasulullah SAW atas hari-hari tersebut.”

(Qalal-Muzanī:) Ucapan ini adalah qiyās, karena tidak ada khilaf bahwa Nabi SAW menyamakan dalam larangan beliau antara hari-hari Minā dan hari naḥr. Maka apabila tidak sah berpuasa pada hari naḥr karena larangan Nabi SAW, maka demikian pula hari-hari Minā, karena larangan Nabi SAW terhadapnya.


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا اعْتَمَرَ الْمُتَمَتِّعُ بِالْهَدْيِ فَفَرْضُهُ الصَّوْمُ، فَيَصُومُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَزَمَانُهَا مِنْ بَعْدِ إِحْرَامِهِ بِالْحَجِّ إِلَى قَبْلِ يَوْمِ النَّحْرِ لِرِوَايَةِ عَبْدِ الْغَفَّارِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا لَمْ يَجِدِ الْمُتَمَتِّعُ هَدْيًا فَلْيَصُمْ ثَلَاثَةَ أيامٍ قَبْلَ النَّحْرِ فَإِنْ لَمْ يَصُمْ قَبْلَ النَّحْرِ فَلْيَصُمْ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ أَيَّامَ مِنًى وَيُسْتَحَبُّ لَهُ الْإِحْرَامُ بِالْحَجِّ فِي الْيَوْمِ الْخَامِسِ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ لِيَصُومَ السَّادِسَ وَالسَّابِعَ وَالثَّامِنَ وَيَكُونَ يَوْمَ عَرَفَةَ مُفْطِرًا لِأَنَّ فِطْرَهُ أَفْضَلُ الحاج مِنْ صَوْمِهِ. رُوِيَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ أَنَّهُ قَالَ: لَقِيتُ ابْنَ عَبَّاسٍ بِعَرَفَةَ، وَهُوَ يَأْكُلُ الرُّمَّانَ فَقَالَ: ادْنُ فَكُلْ لَعَلَّكَ صَايِمٌ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يَصُمْ هَذَا الْيَوْمَ وَلِأَنَّ فِطْرَهُ أَقْوَى لَهُ عَلَى الدُّعَاءِ، وَرَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” أَفْضَلُ الدُّعَاءِ دعاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ ” فَإِنْ أَحْرَمَ يَوْمَ السَّادِسِ وَصَامَ السَّابِعَ وَالثَّامِنَ وَالتَّاسِعَ جَازَ، وَلَكِنْ لَوْ أَحْرَمَ يَوْمَ السَّابِعِ، وَصَامَ السَّابِعَ وَالثَّامِنَ وَالتَّاسِعَ لَمْ يَجُزْ إِلَّا أَنْ يَكُونَ إِحْرَامُهُ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنَ الْيَوْمِ السَّابِعِ، فَيُجْزِئُهُ لِأَنَّ صِيَامَهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ إِحْرَامِهِ.

Al-Māwardī berkata: dan ini sebagaimana yang beliau katakan: apabila orang yang tamattu‘ tidak mendapatkan hady, maka kewajibannya adalah puasa. Ia berpuasa tiga hari dalam haji sebagaimana firman Allah Subḥānahu, dan waktu puasanya dimulai setelah ia berihram untuk haji hingga sebelum hari nahr, berdasarkan riwayat ‘Abdul-Ghaffār bin al-Qāsim dari al-Zuhrī dari ‘Urwah dari ‘Āisyah, bahwa Nabi SAW bersabda:

“Apabila orang yang tamattu‘ tidak mendapatkan hady, maka hendaklah ia berpuasa tiga hari sebelum hari nahr. Jika ia tidak berpuasa sebelum hari nahr, maka hendaklah ia berpuasa pada hari-hari tasyrik, yaitu hari-hari di Mina.”

Disunnahkan baginya untuk berihram haji pada hari kelima Dzulhijjah agar ia dapat berpuasa pada hari keenam, ketujuh, dan kedelapan, dan agar ia tidak berpuasa pada hari ‘Arafah karena berbuka lebih utama bagi jamaah haji daripada berpuasa.

Diriwayatkan dari Sa‘īd bin Jubair bahwa ia berkata: aku bertemu Ibnu ‘Abbās di ‘Arafah sedang memakan buah delima. Lalu ia berkata: “Mendekatlah dan makanlah, barangkali engkau sedang berpuasa. Sungguh Rasulullah SAW tidak berpuasa pada hari ini.” Karena berbuka lebih menguatkannya dalam berdoa, dan Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari ‘Arafah.”

Jika seseorang berihram pada hari keenam dan berpuasa pada hari ketujuh, kedelapan, dan kesembilan, maka sah. Namun jika ia berihram pada hari ketujuh dan berpuasa pada hari ketujuh, kedelapan, dan kesembilan, maka tidak sah, kecuali jika ia berihram sebelum terbit fajar pada hari ketujuh, maka itu sah, karena puasanya tidak boleh dilakukan sebelum ia berihram.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا صَوْمُ يَوْمِ النَّحْرِ فَحَرَامٌ عَلَى الْمُتَمَتِّعِ، وَغَيْرِهِ لِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ صَوْمِهِ يَوْمَ النَّحْرِ، فَأَمَّا أَيَّامُ مِنًى الثَّلَاثَةُ، فَفِي جَوَازِ صَوْمِهَا لِلْمُتَمَتِّعِ قَوْلَانِ: قَالَ فِي الْقَدِيمِ يَجُوزُ لِلْمُتَمَتِّعِ صَوْمُهَا، وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَرَبِيعَةَ وَعَائِشَةَ وَابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى:

PASAL
 Adapun puasa pada hari naḥr, maka haram hukumnya bagi mutamatti‘ maupun selainnya, karena larangan Rasulullah SAW untuk berpuasa pada hari naḥr.

Adapun tiga hari Minā, maka dalam kebolehan berpuasa padanya bagi mutamatti‘ terdapat dua pendapat:
 Dalam qaul qadīm, beliau (asy-Syāfi‘i) berpendapat bahwa mutamatti‘ boleh berpuasa pada hari-hari tersebut. Ini juga merupakan pendapat Mālik, Rabī‘ah, ‘Ā’isyah, dan Ibnu ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhum, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:

{فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أيَّامٍ فِي الحَجِّ) {البقرة: 196) نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ يَوْمَ التَّرْوِيَةِ، فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَصْحَابَهُ بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أيامٍ فِي الْحَجِّ وَلَمْ يَبْقَ مِنْهَا إِلَّا يَوْمُ عَرَفَةَ فَعَلِمَ أَنَّهُمْ صَامُوا بَقِيَّةَ الثَّلَاثَةِ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ، لِأَنَّهَا مَحَلٌّ لِبَعْضِ أَفْعَالِ الْحَجِّ، وَلِرِوَايَةِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَرْخَصَ لِلْمُتَمَتِّعِ إِذَا لَمْ يَجِدِ الْهَدْيَ، أَنْ يَصُومَ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ وَلِحَدِيثِ عَائِشَةَ الْمُقَدَّمِ ذِكْرُهُ، ثُمَّ رَجَعَ عَنْ ذَلِكَ فِي الْجَدِيدِ، وَمَنَعَ مِنْ صِيَامِهِ لِلْمُتَمَتِّعِ، وَغَيْرِهِ لِرِوَايَةِ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ أُمِّهِ قَالَتْ: بَيْنَمَا نَحْنُ بِمِنًى إِذَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَلَى جَمَلٍ لَهُ يُنَادِي، وَيَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: إِنَّهَا أَيَّامُ طعمٍ وشربٍ فَلَا يَصُومُهَا أحدٌ وَلِرِوَايَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ بَعْدَ الْأَضْحَى فَقَدَّمَ لَنَا طَعَامًا فَقُلْتُ: أَنَا صَائِمٌ فَقَالَ كُلْ وَأَفْطِرْ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَانَا عَنْ صِيَامِهَا وَأَمَرَنَا بِإِفْطَارِهَا، وَلِأَنَّهُ زَمَانٌ لَا يَصِحُّ فِيهِ صَوْمُ النَّفْلِ، فَلَا يَصِحُّ فِيهِ صَوْمُ التَّمَتُّعِ كَزَمَانِ رَمَضَانَ، وَلِأَنَّهُ زَمَانٌ سُنَّ فِيهِ الرَّمْيُ، فَلَمْ يَجُزْ صَوْمُهُ كَيَوْمِ النَّحْرِ فَأَمَّا الْآيَةُ فَالْمُرَادُ بِهَا بَيَانُ الْحُكْمِ فِي الْمُسْتَقْبَلِ، وَأَمَّا حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ فَرَوَاهُ يَحْيَى بْنُ سَلَامٍ وَهُوَ ضَعِيفٌ، وَأَمَّا حَدِيثُ عَائِشَةَ فَرَوَاهُ عَبْدُ الْغَفَّارِ وَهُوَ ضَعِيفٌ.

Ayat {faṣiyāmu ṯalāṯati ayyāmin fī al-ḥajj} (al-Baqarah: 196) diturunkan pada hari tarwiyah, maka Rasulullah SAW memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa tiga hari dalam haji, sementara yang tersisa hanyalah hari ‘Arafah, sehingga diketahui bahwa mereka menyempurnakan sisa tiga hari tersebut pada ayyam al-tasyrīq, karena hari-hari itu adalah tempat bagi sebagian amalan haji.

Juga berdasarkan riwayat al-Zuhrī dari Sālim dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW memberikan keringanan bagi orang yang tamattu‘ apabila tidak mendapatkan hady, untuk berpuasa pada ayyam al-tasyrīq. Dan berdasarkan hadis ‘Āisyah yang telah disebutkan sebelumnya.

Namun kemudian beliau rujuk dari pendapat tersebut dalam pendapat jadīd dan melarang puasa tamattu‘ maupun yang lainnya pada hari-hari itu, karena riwayat ‘Amr bin Sulaym dari ibunya, ia berkata: ketika kami berada di Mina, tiba-tiba ‘Alī bin Abī Ṭālib RA datang menaiki unta sambil berseru: “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Hari-hari ini adalah hari makan dan minum, maka janganlah ada yang berpuasa pada hari-hari ini.”

Dan juga berdasarkan riwayat ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ, ia berkata: kami masuk menemui ‘Amr bin al-‘Āṣ setelah hari naḥr, lalu ia menghidangkan makanan kepada kami. Aku berkata: “Aku sedang berpuasa.” Maka ia berkata: “Makanlah dan berbukalah, karena Rasulullah SAW telah melarang kami berpuasa pada hari-hari itu dan memerintahkan kami untuk berbuka.”

Karena hari-hari tersebut adalah waktu yang tidak sah untuk puasa nafl, maka tidak sah pula puasa tamattu‘ padanya, sebagaimana bulan Ramadhan (tidak sah selain puasa Ramadhan). Dan karena hari-hari tersebut adalah waktu disyariatkannya melempar (ramy), maka tidak diperbolehkan berpuasa padanya, seperti hari naḥr.

Adapun ayat tersebut, maka maksudnya adalah penjelasan hukum untuk masa yang akan datang.

Adapun hadis Ibnu ‘Umar, diriwayatkan oleh Yaḥyā bin Sallām dan ia adalah perawi yang lemah. Dan hadis ‘Āisyah diriwayatkan oleh ‘Abdul-Ghaffār, dan ia juga lemah.


فَصْلٌ
: فَإِذَا لَمْ يَصُمِ الثَّلَاثَةَ فِي أَيَّامِ الْحَجِّ حَتَّى خَرَجَتْ أَيَّامُ الْحَجِّ قَضَاهَا فِيمَا بَعْدُ.
وَقَالَ أبو حنيفة: إِذَا خَرَجَتْ أَيَّامُ الْحَجِّ قَبْلَ صِيَامِهِ لَزِمَهُ الدَّمُ وَلَمْ يُجْزِهِ الصَّوْمُ، وَقَدْ كَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ يَغْلَطُ فَيُخَرِّجُهُ قَوْلًا ثَانِيًا لِلشَّافِعِيِّ وَلَا يَدُّلُ مِنْ نَصِّ قَوْلِ أبي حنيفة بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أيَّامٍ فِي الحَجِّ) {البقرة: 196) فَإِذَا لَمْ يَأْتِ بِهَا فِي الْحَجِّ، وَأَتَى بِهَا فِيمَا بَعْدُ صَارَ قَاضِيًا، وَالْقَضَاءُ لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِدَلِيلٍ، وَقِيَاسًا عَلَى الْجُمُعَةِ الَّتِي لَا يَثْبُتُ قَضَاؤُهَا، بعد فوات وقتها لتعلق فعلها بزمان، ويجزيه مخصوص قِيَاسًا أَنَّهُ بَدَلٌ مُوَقَّتٌ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ فَوَاتُ وَقْتِهِ مُوجِبًا لِلْعَوْدِ إِلَى مُبْدَلِهِ كَالْجُمُعَةِ وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الْمُتَمَتِّعِ إِذَا لَمْ يَجِدِ الْهَدْيَ وَلَمْ يَصُمْ حَتَّى فَاتَتْهُ أَيَّامُ الْعَشْرِ أَنْ يَصُومَ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ مَكَانَهَا، وَلِأَنَّهُ صَوْمٌ مَخْصُوصٌ بِزَمَانٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَفُوتَ بِفَوَاتِ وَقْتِهِ أَصْلُهُ صَوْمُ رَمَضَانَ، وَلِأَنَّهُ صَوْمٌ وَاجِبٌ فَجَازَ أَنْ يُؤْتَى بِهِ بَعْدَ وَقْتِهِ.

PASAL
 Apabila seseorang tidak berpuasa tiga hari dalam ayyām al-ḥajj hingga hari-hari haji itu berlalu, maka ia menggantinya setelahnya.

Abū Ḥanīfah berkata: Jika hari-hari haji berlalu sebelum ia berpuasa, maka wajib atasnya dam dan puasa tidak lagi mencukupi. Abū Isḥāq al-Marwazī pernah keliru dan mengeluarkan pendapat ini sebagai pendapat kedua dari asy-Syāfi‘i, padahal tidak ada yang menunjukkan dari nash asy-Syāfi‘i akan hal itu.

Adapun dalil Abū Ḥanīfah adalah firman Allah Ta‘ālā: “Maka (wajiblah atasnya) puasa tiga hari dalam haji…” (al-Baqarah: 196), maka jika ia tidak berpuasa dalam haji dan melakukannya setelahnya, berarti ia qadhā’, sedangkan qadhā’ tidak ditetapkan kecuali dengan dalil.

Ia meng-qiyās-kannya dengan salat Jum‘at yang tidak ada qadhā’-nya setelah keluar waktunya, karena pelaksanaannya terikat dengan waktu tertentu dan penggantinya juga khusus. Maka, karena puasa ini adalah pengganti yang dibatasi waktu, maka jika waktunya terlewat, wajib kembali ke pengganti asalnya, sebagaimana salat Jum‘at.

Adapun dalil kami (pendapat mazhab asy-Syāfi‘i) adalah riwayat az-Zuhrī dari Sālim bin ‘Abdillāh dari ayahnya, ia berkata: “Rasulullah SAW memberikan keringanan bagi orang yang melakukan tamattu‘, apabila tidak menemukan hady, dan belum berpuasa hingga lewat darinya ayyām al-‘ashr, untuk berpuasa pada ayyām at-tashrīq sebagai gantinya.”

Dan karena puasa ini adalah puasa yang ditentukan dengan waktu, maka tidak gugur dengan lewatnya waktu. Asalnya adalah puasa Ramaḍān. Dan karena ini adalah puasa yang wajib, maka boleh dikerjakan setelah waktunya.

أَصْلُهُ: صَوْمُ كَفَّارَةِ الظِّهَارِ وَقْتُهُ قَبْلَ الْمَسِيسِ؟ فَإِنْ أَتَى بِهِ بَعْدَ الْمَسِيسِ، أَجْزَأَهُ وَلِأَنَّ الصَّوْمَ فِي الْأُصُولِ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:
فَقِسْمٌ يَخْتَصُّ بِزَمَانٍ مُعَيَّنٍ كَصَوْمِ رَمَضَانَ.
وَقِسْمٌ يُؤْتَى بِهِ قَبْلَ وُجُودِ شَرْطٍ كَصَوْمِ كَفَّارَةِ الظِّهَارِ يُفْعَلُ قَبْلَ الْمَسِيسِ.
وَقِسْمٌ مُطْلَقٌ كَصَوْمِ الْكَفَّارَاتِ وَكُلُّ ذَلِكَ يُؤْتَى بِهِ فِي وَقْتِهِ وَغَيْرِ وَقْتِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ صَوْمُ التَّمَتُّعِ لَاحِقًا بِأَحَدِهَا فِي جَوَازِ الْإِتْيَانِ بِهِ فِي وَقْتِهِ وَغَيْرِ وَقْتِهِ، فَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ إِثْبَاتَ الْقَضَاءِ يَفْتَقِرُ إِلَى دَلِيلٍ فَفِيهِ خِلَافٌ بَيْنِ أَصْحَابِنَا، فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ يَجِبُ بِالْأَمْرِ الْمُتَقَدِّمِ فَعَلَى هَذَا سَقَطَ السُّؤَالُ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: يَفْتَقِرُ إِلَى دَلَالَةٍ مُسْتَأْنَفَةٍ، وَقَدْ دَلَّتْ عَلَيْهِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْجُمُعَةِ فَيَبْطُلُ بِالصَّلَوَاتِ، وَقَضَاءِ رَمَضَانَ، فَإِذَا قِيلَ: إِذَا جَوَّزْتُمْ لَهُ قَضَاءَ الصَّوْمِ هَلْ تُوجِبُونَ عَلَيْهِ كَفَّارَةً بِتَأْخِيرِهِ، كَمَا تَلْزَمُهُ الْكَفَّارَةُ فِي تَأْخِيرِ قَضَاءِ رَمَضَانَ، قُلْنَا: لَا تجب عليه الكفارة، وَإِنْ أَخَّرَهُ لِأَنَّهُ جُبْرَانٌ فِي نَفْسِهِ فَلَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى جُبْرَانٍ، وَمِنْ هَذَا الْوَجْهِ خَالَفَ قضاء رمضان.

Asalnya adalah puasa kafārah untuk ẓihār, waktunya adalah sebelum terjadi mubāsyarah (hubungan suami istri). Maka jika ia melakukannya setelah mubāsyarah, tetap sah.

Karena puasa dalam kaidah pokok terbagi menjadi tiga jenis:

  • jenis yang khusus pada waktu tertentu, seperti puasa Ramadhan,
  • jenis yang dilakukan sebelum adanya syarat, seperti puasa kafārah ẓihār yang dilakukan sebelum mubāsyarah,
  • dan jenis yang mutlak, seperti puasa-puasa kafārah lain.

Maka semua itu boleh dilakukan pada waktunya maupun di luar waktunya. Maka puasa tamattu‘ semestinya mengikuti salah satu dari jenis-jenis tersebut dalam kebolehan dilakukan pada waktunya dan di luar waktunya.

Adapun perkataan mereka bahwa penetapan qaḍā’ membutuhkan dalil, maka dalam hal ini terdapat khilaf di antara para sahabat kami. Sebagian mereka berkata: qaḍā’ wajib dengan perintah terdahulu, maka berdasarkan ini gugurlah pertanyaan.

Sebagian lain berkata: butuh dalil baru yang berdiri sendiri, dan dalil tersebut telah ada.

Adapun qiyās mereka dengan shalat Jumat maka batal dengan shalat-shalat lainnya dan qaḍā’ Ramadhan.

Maka jika dikatakan: “Jika kalian membolehkan qaḍā’ puasa itu, apakah kalian mewajibkan kafārah atasnya karena menunda, sebagaimana diwajibkan kafārah karena menunda qaḍā’ Ramadhan?”

Kami katakan: tidak wajib atasnya kafārah, meskipun ia menunda, karena itu sendiri adalah jubrān (tebusan), maka tidak butuh lagi kepada jubrān yang lain. Dari sisi inilah ia berbeda dengan qaḍā’ Ramadhan.


فصل
: فإذا أَحْرَمَ بِالْحَجِّ مُعْسِرًا ثُمَّ أَيْسَرَ قَبْلَ دُخُولِهِ فِي الصَّوْمِ، فَفِيهِ قَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ، فِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ هَلْ يُرَاعَى بِهَا حَالُ الْوُجُوبِ أَوْ حَالُ الْأَدَاءِ، فَإِنْ قِيلَ: الْمُرَاعَى بِهَا حَالَ الْوُجُوبِ أَجْزَأَهُ الصَّوْمُ، وَإِنْ قِيلَ: الْمُرَاعَى بِهَا حَالَ الْأَدَاءِ لَمْ يُجْزِهِ إِلَّا الدَّمُ وَكَذَلِكَ لَوْ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ مُوسِرًا، ثُمَّ أَعْسَرَ قَبْلَ الْإِتْيَانِ بِالدَّمِ فَفِيهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجْزِيهِ إِلَّا الدَّمُ اعْتِبَارًا بِحَالِ الْوُجُوبِ.

PASAL
 Apabila seseorang beriḥrām untuk ḥajj dalam keadaan tidak mampu (mu‘sir), lalu menjadi mampu (maysir) sebelum ia mulai berpuasa, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang dibangun atas perbedaan dua pendapat mengenai kafārah—apakah yang dijadikan acuan adalah keadaan saat kewajiban itu ditetapkan (ḥāl al-wujūb) atau saat pelaksanaan (ḥāl al-adā’).

Jika dikatakan bahwa yang dijadikan acuan adalah keadaan saat kewajiban itu ditetapkan, maka puasanya mencukupi.
 Namun jika dikatakan bahwa yang dijadikan acuan adalah keadaan saat pelaksanaan, maka tidak mencukupi kecuali dengan dam.

Demikian pula jika ia beriḥrām untuk ḥajj dalam keadaan mampu, lalu menjadi tidak mampu sebelum menyembelih dam, maka juga terdapat dua pendapat:

Pertama: tidak mencukupi kecuali dengan dam, berdasarkan keadaan saat kewajiban ditetapkan.


وَالثَّانِي: يُجْزِيهِ الصَّوْمُ اعْتِبَارًا بِحَالِ الْأَدَاءِ وَفِي الْكَفَّارَةِ قَوْلٌ ثَالِثٌ: أَنَّهُ يَعْتَبِرُ بِهَا أَغْلَظَ الْأَحْوَالِ فَكَذَلِكَ فِي التَّمَتُّعِ، فَأَمَّا إِنْ شَرَعَ فِي الصَّوْمِ ثُمَّ أَيْسَرَ فَلَهُ إِتْمَامُ صومه، ويجزيه وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ أَيْسَرَ فِي صَوْمِ الثلاثة رجع إلىالهدي، وَإِنْ أَيْسَرَ فِي صَوْمِ السَّبْعَةِ مَضَى فِي صَوْمِهِ، وَأَجْزَأَهُ وَأَصْلُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ الْمُتَيَمِّمُ إِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فِي صَلَاةٍ، وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ فِيهَا ثُمَّ نَدُلُّ عَلَى هَذِهِ الْمَسْأَلَةٌ أَنَّهُ مُتَمَتِّعٌ تَلَبَّسَ بِالصَّوْمِ عِنْدَ عَدَمِ الْهَدْيِ، فَوَجَبَ إِذَا وَجَدَ الْهَدْيَ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ الرُّجُوعُ إِلَيْهِ أَصْلُهُ إِذَا وَجَدَهُ فِي السَّبْعَةِ.

dan yang kedua: sah puasanya dengan mempertimbangkan keadaan saat pelaksanaan.

Dalam masalah kafārah terdapat pendapat ketiga: bahwa yang dijadikan ukuran adalah keadaan yang paling berat, maka demikian pula dalam tamattu‘.

Adapun jika ia telah mulai berpuasa, kemudian ia menjadi mampu (yasar), maka ia boleh menyempurnakan puasanya, dan puasanya sah.

Abu Ḥanīfah berkata: jika ia menjadi mampu saat sedang puasa tiga hari (yang pertama), maka ia kembali kepada kewajiban menyembelih hady; namun jika ia menjadi mampu saat puasa tujuh hari (yang kedua), maka ia lanjutkan puasanya dan sah.

Asal masalah ini adalah seperti orang yang bertayamum, lalu mendapati air di tengah shalat—dan pembahasan tentang hal ini telah disebutkan sebelumnya.

Kemudian kami tunjukkan tentang masalah ini, bahwa seorang tamattu‘ yang telah memulai puasa karena tidak mendapatkan hady, maka apabila ia mendapatkan hady setelah itu, tidak wajib baginya kembali kepadanya (hady). Asalnya: jika ia mendapatkannya saat puasa tujuh hari.


مَسْأَلَةٌ
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَصُومُ السَّبْعَةَ إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ عَلَى الْمُتَمَتِّعِ إِذَا كَانَ مُعْسِرًا صِيَامُ عَشَرَةِ أَيَّامٍ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَصِيَامُ ثَلاَثََةِ أيَّامٍ فِي الحَجِّ وَسَبْعَةٍ إذَا رَجَعْتُمْ) {البقرة: 196) وَذَكَرْنَا وَقْتَ صِيَامِ الثَّلَاثَةِ، فَأَمَّا وَقْتُ صِيَامِ السَّبْعَةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِيهِ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ نَصُّهُ هَاهُنَا وَفِي ” الْأُمِّ ” أَنَّهُ يَصُومُهَا إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ وَاسْتَقَرَّ فِي بَلَدِهِ.

MASALAH
 Imam asy-Syāfi‘i raḥimahullāh berkata: “Ia (orang yang tamattu‘) berpuasa tujuh hari apabila telah kembali kepada keluarganya.”

Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa bagi mutamatti‘ yang tidak mampu wajib berpuasa sepuluh hari, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “(Maka wajib baginya) puasa tiga hari dalam haji dan tujuh hari apabila kamu telah kembali.” (al-Baqarah: 196).

Dan telah kami sebutkan waktu puasa tiga hari tersebut. Adapun waktu puasa tujuh hari, maka terdapat dua pendapat dari asy-Syāfi‘i:

Pertama: dan ini adalah nash beliau di sini dan dalam al-Umm, bahwa ia berpuasa tujuh hari tersebut setelah kembali kepada keluarganya dan telah menetap di negerinya.

 

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ وَابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَمِنَ التَّابِعِينَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ نَصُّهُ فِي الْإِمْلَاءِ أَنَّهُ يَصُومُهَا إِذَا رَجَعَ مِنْ حَجِّهِ بَعْدَ كَمَالِ مَنَاسِكِهِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ لِاحْتِمَالِ كَلَامِهِ فَذَهَبَ أَصْحَابُنَا الْبَصْرِيُّونَ إِلَى أَنَّ مَذْهَبَهُ فِي ” الْإِمْلَاءِ ” أَنْ يَصُومَهَا إِذَا أَخَذَ فِي الْخُرُوجِ مِنْ مَكَّةَ رَاجِعًا إِلَى بَلَدِهِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَصُومَ بِمَكَّةَ قَبْلَ خُرُوجِهِ وَذَهَبَ الْبَغْدَادِيُّونَ إِلَى أَنَّ مَذْهَبَهُ فِي الْإِمْلَاءِ أَنْ يَصُومَهَا إِذَا رَجَعَ إِلَى مَكَّةَ، بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنْ مَنَاسِكِهِ، وَرَمْيِهِ سَوَاءٌ أَقَامَ بِمَكَّةَ أَوْ خَرَجَ مِنْهَا.

Dan pendapat ini dipegang oleh para sahabat: ‘Umar dan Ibn ‘Umar RA, serta dari kalangan tābi‘īn: Sa‘īd bin Jubayr dan Sa‘īd bin al-Musayyab.
 Dan dari kalangan fuqahā’: Sufyān al-Tsaurī, Aḥmad, dan Isḥāq.

Pendapat kedua — dan ini adalah nash-nya dalam kitab al-Imlā’ — bahwa ia berpuasa tujuh hari ketika telah kembali dari hajinya, setelah menyelesaikan semua manasiknya.

Para sahabat kami berbeda pendapat tentang hal ini karena adanya kemungkinan dalam pernyataannya. Maka para sahabat kami dari Bashrah berpendapat bahwa mazhab beliau dalam al-Imlā’ adalah: ia berpuasa tujuh hari ketika mulai keluar dari Makkah untuk kembali ke negerinya, dan tidak boleh berpuasa di Makkah sebelum keluar darinya.

Sedangkan sahabat-sahabat kami dari Baghdad berpendapat bahwa mazhab beliau dalam al-Imlā’ adalah: ia berpuasa tujuh hari ketika ia telah kembali ke Makkah, setelah menyelesaikan manasiknya dan melempar jumrah, baik ia tetap tinggal di Makkah maupun sudah keluar darinya.


وَبِهِ قَالَ مِنَ الصحاب ابْنُ عَبَّاسٍ.
وَمِنَ التَّابِعِينَ الْحَسَنُ وَعَطَاءٌ.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ، وأبو حنيفة اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أيَّامٍ فِي الحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ) {البقرة: 196) أَيْ: رَجَعْتُمْ عَنْ أَفْعَالِ الْحَجِّ؛ لِأَنَّهُ الْمَذْكُورُ فِي الْآيَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِالرُّجُوعِ رُجُوعًا عَنِ الْحَجِّ أَيْ: عَنْ أَفْعَالِهِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ الرُّجُوعُ إِلَى الْأَهْلِ وَالْوَطَنِ شَرْطًا فِي جَوَازِ هَذَا الصَّوْمِ لَوَجَبَ إِذَا نَوَى الْمُقَامَ بِمَكَّةَ، أَنْ لَا يُجْزِئَهُ الصِّيَامُ بِهَا، وَفِي إِجْمَاعِهِمْ عَلَى جَوَازِ صِيَامِهِ فِيهَا، إِذَا نَوَى الْمُقَامَ بِهَا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الرُّجُوعَ إِلَى الْأَهْلِ لَيْسَ بِشَرْطٍ، وَلِأَنَّ صَوْمَ الْمُتَمَتِّعِ إِمَّا أَنْ يَجِبَ عَلَى طَرِيقِ الْجُبْرَانِ، وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَوْ عَلَى طَرِيقِ النُّسُكِ وَهُوَ مَذْهَبُ أبي حنيفة، قَالُوا: وَأَيُّهُمَا كَانَ فَالْوَاجِبُ، أَنْ يُؤْتَى بِهِ عَلَى قَوْلِكُمْ قَبْلَ السَّلَامِ، وَعَلَى قَوْلِنَا عُقَيْبَ السَّلَامِ فَهَذَا وَجْهُ قَوْلِهِ فِي ” الْإِمْلَاءِ “.

Dan pendapat ini pula dipegang oleh Ibn ‘Abbās dari kalangan sahabat.
 Dari kalangan tābi‘īn: al-Ḥasan dan ‘Aṭā’.
 Dari kalangan fuqahā’: Mālik dan Abū Ḥanīfah.

Mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘ālā: {Puasa tiga hari dalam haji dan tujuh ketika kamu telah kembali} (al-Baqarah: 196), yaitu: kembali dari amalan-amalan haji, karena itulah yang disebut dalam ayat, maka wajib dimaknai bahwa yang dimaksud dengan rucū‘ (kembali) adalah kembali dari ḥajj, yakni dari amalannya.

Dan karena apabila makna rucū‘ adalah kembali kepada keluarga dan tanah air, sebagai syarat bolehnya puasa tersebut, maka seharusnya apabila seseorang berniat menetap di Makkah, tidak sah baginya berpuasa di sana. Padahal telah terjadi ijmak atas kebolehan puasa tersebut di Makkah jika ia berniat menetap di dalamnya—ini menunjukkan bahwa kembali kepada keluarga bukanlah syarat.

Dan karena puasa mutamatti‘ itu—baik diwajibkan sebagai bentuk jabr (penutup kekurangan), sebagaimana mazhab asy-Syāfi‘i, atau sebagai bentuk nusuk, sebagaimana mazhab Abū Ḥanīfah—maka menurut kalian (yang menyatakan sebagai jabr), wajib dikerjakan sebelum salam (yaitu sebelum keluar dari ḥajj), dan menurut kami (yang menyatakannya sebagai nusuk), dikerjakan setelah salam (yakni setelah selesai ḥajj).

Maka inilah sisi pendapat beliau dalam al-Imlā’.


وَحُجَّةُ مَالِكٍ وأبي حنيفة أَنْ يَصُومَهَا إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ وَاسْتَقَرَّ بِبَلَدِهِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى ذَلِكَ قَوْله تَعَالَى: {فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أيَّامٍ فِي الحَجِّ وَسَبْعَةٍ إذَ رَجَعْتُمْ) {البقرة: 196) فَلَا يَخْلُوَ إِمَّا أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِالرُّجُوعِ مَا ذَكَرُوا مِنَ الرُّجُوعِ عَنْ أَفْعَالِ الْحَجِّ الْمَذْكُورِ فِي الْآيَةِ، أَوْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِهِ الرُّجُوعُ إِلَى الْمَوْضِعِ الَّذِي خَرَجَ مِنْهُ فَبَطَلَ، أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِهِ الرُّجُوعُ عَنْ أَفْعَالِ الْحَجِّ لِأَنَّ الْمُرَادَ بِالْحَجِّ وَقْتٌ الْحَجِّ، دُونَ أَفْعَالِهِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أيَّامٍ فِي الحَجِّ) {البقرة: 196) وَالصَّوْمُ إِنَّمَا يَكُونُ فِي وَقْتِ الْحَجِّ، لَا فِي أَفْعَالِهِ فَثَبَتَ أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الرُّجُوعُ، إِلَى مَوْضِعِهِ الَّذِي خَرَجَ مِنْهُ وَرَوَى مُجَاهِدٌ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: لَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الْهَدْيَ وَلَجَعَلْتُهَا عُمْرَةً فَمَنْ سَاقَ الْهَدْيَ فَلْيَدْعُ وَمَنْ لَمْ يَسُقِ الْهَدْيَ فَلْيَصُمْ ثَلَاثَةَ أيامٍ فِي الْحَجِّ وسبعةٍ إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ، وَهَذَا نَصٌّ، وَلِأَنَّ الرُّجُوعَ إِذَا أُطْلِقَ فِيمَنْ خَرَجَ عَنْ أَهْلِهِ اقْتَضَى رُجُوعًا إِلَيْهِمْ لِأَنَّ الرُّجُوعَ فِي الْحَقِيقَةِ رُجُوعٌ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي خَرَجَ مِنْهُ أَلَا تَرَاهُمْ يَقُولُونَ خَرَجَ زَيْدٌ ثُمَّ رَجَعَ فَيُرِيدُونَ بِهِ الرُّجُوعَ إِلَى الْمَوْضِعِ الَّذِي كَانَ مِنْهُ ابْتَدَأَ الخروج، ولأن الغالب في أَمْرِ الْحَاجِّ أَنَّهُمْ يُنْشِئُونَ السَّفَرَ عِنْدَ الْفَرَاغِ وَقَدْ سَامَحَ اللَّهُ الْمُسَافِرَ بِالْإِفْطَارِ فِي الصَّوْمِ الَّذِي وَجَبَ فَرْضُهُ عَلَيْهِ، فَكَيْفَ يَجُوزُ أَنْ يَبْتَدِئَ إِيجَابَ فَرْضٍ عَلَيْهِ فِي الْوَقْتِ الَّذِي سَامَحَهُ فِي تَرْكِ مَا فَرَضَ عَلَيْهِ، فَأَمَّا إِذَا نَوَى الْإِقَامَةَ قَائِمًا، وَجَازَ أَنْ يَصُومَ بِهَا لِأَنَّهَا صَارَتْ لَهُ وَطَنًا كَالْعَائِدِ إِلَى وَطَنِهِ، أَلَا تَرَاهُ قَبْلَ نِيَّةِ مُقَامِهِ يَجُوزُ أَنْ يَقْصُرَ وَيُفْطِرَ، وَلَا يَجُوزَ ذَلِكَ لَهُ بَعْدَ نِيَّةِ مُقَامِهِ كَالْمُسْتَوْطِنِ.

Dan hujjah Mālik dan Abū Ḥanīfah adalah bahwa ia boleh berpuasa (tujuh hari) apabila telah kembali kepada keluarganya dan menetap di negerinya. Dan dalil atas hal itu adalah firman Allah Ta‘ālā: “Maka (wajib) puasa tiga hari dalam haji dan tujuh hari apabila kalian telah kembali” (al-Baqarah: 196). Maka tidak lepas (kemungkinan makna) “kembali” itu, apakah maksudnya adalah kembali dari amalan-amalan haji yang disebutkan dalam ayat, atau maksudnya adalah kembali ke tempat asal yang ditinggalkannya. Maka batallah (makna pertama), karena yang dimaksud dengan “dalam haji” adalah waktu haji, bukan amalan-amalannya, karena firman Allah Ta‘ālā: “Maka (wajib) puasa tiga hari dalam haji”, dan puasa itu hanya bisa dilakukan dalam waktu haji, bukan dalam amalan-amalannya. Maka tetaplah bahwa yang dimaksud dengan “kembali” adalah kembali ke tempat asal yang ditinggalkannya.

Dan telah meriwayatkan Mujāhid dari ‘Aṭā’ dari Jābir bahwa Nabi SAW bersabda: “Seandainya aku mengulang dari awal apa yang telah aku lakukan, niscaya aku tidak akan menggiring hady, dan niscaya aku akan menjadikannya sebagai ‘umrah. Maka siapa yang menggiring hady, hendaklah ia tetap, dan siapa yang tidak menggiring hady, maka hendaklah ia berpuasa tiga hari dalam haji dan tujuh hari apabila kembali kepada keluarganya.” Dan ini adalah nash.

Dan karena kata “kembali” apabila disebutkan tanpa keterangan dalam konteks seseorang yang bepergian dari keluarganya, maka yang dimaksud adalah kembali kepada mereka, karena hakikat “kembali” adalah kembali ke tempat asal yang ia keluar darinya. Tidakkah engkau lihat bahwa mereka berkata: “Zaid telah keluar, kemudian kembali,” dan yang mereka maksud adalah kembali ke tempat yang ia tinggalkan ketika pertama kali keluar.

Dan karena yang umum dalam keadaan para jamaah haji adalah bahwa mereka memulai perjalanan (pulang) setelah menyelesaikan manāsik, dan Allah telah memberi keringanan kepada musafir untuk berbuka puasa, padahal puasa itu wajib. Maka bagaimana mungkin dibolehkan untuk mewajibkan puasa atasnya di waktu yang Allah telah beri keringanan untuk meninggalkan kewajiban itu?

Adapun jika seseorang telah berniat untuk tinggal menetap, maka boleh ia berpuasa di situ, karena tempat itu telah menjadi wathan (kampung halamannya), sebagaimana orang yang kembali ke tanah airnya. Tidakkah engkau lihat bahwa sebelum niat tinggal itu, ia boleh mengqashar dan berbuka, dan hal itu tidak lagi diperbolehkan baginya setelah ia berniat tinggal, sebagaimana halnya orang yang menetap.


فَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهُ جُبْرَانٌ كَسُجُودِ السَّهْوِ قِيلَ: إِنَّمَا يَلْزَمُ تَعْجِيلُ الْجُبْرَانِ فِي أَثْنَاءِ الْعِبَادَةِ، أَوْ عُقَيْبَهَا إِذَا فَاتَ الْجُبْرَانُ بِتَأْخِيرِهِ كَسُجُودِ السَّهْوِ فَأَمَّا لَمْ يَكُنْ فِي تَأْخِيرِهِ تَفْوِيتُهُ فَصَوْمُ التَّمَتُّعِ لَا يَفُوتُ بِتَأْخِيرِهِ فَلَمْ يَلْزَمْ تَعْجِيلُهُ.

Adapun pernyataan mereka bahwa puasa itu adalah jabrān seperti sujud sahwi, maka dijawab: Sesungguhnya kewajiban menyegerakan jabrān hanya berlaku apabila masih dalam rangkaian ibadah, atau segera setelahnya, apabila keterlambatan menyebabkan hilangnya jabrān tersebut, sebagaimana sujud sahwi.

Adapun jika keterlambatan tidak menyebabkan gugurnya jabrān, maka puasa tamattu‘ tidaklah gugur karena ditunda, maka tidak wajib pula untuk disegerakan.


فَصْلٌ
: فَإِذَا وَضَحَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ، فَإِنْ قُلْنَا: يَصُومُهَا إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ، فَيَنْبَغِي أَنْ يَصُومَهَا عَقِيبَ رجوعه، فإن أخر صيامها كان مسيئاً فأجزأه وَلَوْ صَامَهَا قَبْلَ رُجُوعِهِ إِمَّا بِمَكَّةَ أَوْ فِي طَرِيقِهِ لَمْ يُجْزِهِ لِأَنَّ أَعْمَالَ الْأَبْدَانِ إِذَا قُدِّمَتْ قَبْلَ وَقْتِهَا لَمْ تَجُزْ وَإِنْ فُعِلَتْ بَعْدَ وَقْتِهَا أَجْزَأَتْ كَالصَّلَاةِ لَا تُجْزِئُ إِذَا قُدِّمَتْ عَلَى وَقْتِهَا وَتُجْزِئُ إِذَا فُعِلَتْ بَعْدَ وَقْتِهَا وَإِنْ قُلْنَا بِقَوْلِهِ فِي الْإِمْلَاءِ إِنَّهُ يَصُومُهَا إِذَا خَرَجَ مِنْ مَكَّةَ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنْ حَجِّهِ فَإِنْ قُلْنَا بِمَذْهَبِ أَصْحَابِنَا الْبَصْرِيِّينَ، إِنَّهُ يَصُومُهَا إِذَا خَرَجَ مِنْ مَكَّةَ رَاجِعًا إِلَى بَلَدِهِ فَصَامَهَا قَبْلَ خُرُوجِهِ مِنْ مَكَّةَ لَمْ يُجْزِهِ وَلَوْ أَخَّرَ صِيَامَهَا بَعْدَ خُرُوجِهِ حَتَّى رَجَعَ إِلَى بَلَدِهِ كَانَ مُسِيئًا وَأَجْزَأَهُ.

PASAL
 Maka apabila telah jelas penjelasan dua pendapat, apabila kita mengatakan: ia berpuasa (tujuh hari) ketika telah kembali kepada keluarganya, maka seharusnya ia berpuasa segera setelah kembalinya itu. Jika ia menunda puasanya, maka ia telah berbuat buruk, namun puasanya tetap sah. Dan jika ia berpuasa sebelum kembali—baik di Makkah maupun dalam perjalanannya—maka tidak sah, karena amalan badan apabila dilakukan sebelum waktunya, tidak sah; dan apabila dilakukan setelah waktunya, maka sah, seperti salat—tidak sah jika dilakukan sebelum waktunya, dan sah jika dilakukan setelah waktunya.

Dan jika kita berpegang pada pendapatnya dalam al-Imlā’ bahwa ia berpuasa ketika keluar dari Makkah setelah selesai hajinya, maka apabila kita mengikuti mazhab para sahabat kami dari Bashrah, bahwa ia berpuasa ketika keluar dari Makkah dalam perjalanan pulang ke negerinya, lalu ia berpuasa sebelum keluar dari Makkah, maka tidak sah. Dan jika ia menunda puasanya setelah keluar (dari Makkah) hingga ia tiba kembali di negerinya, maka ia telah berbuat buruk, namun puasanya tetap sah.


وَإِنْ قُلْنَا بِمَذْهَبِ أَصْحَابِنَا الْبَغْدَادِيِّينَ، إِنَّهُ يَصُومُهَا إِذَا فَرَغَ مِنْ أَعْمَالِ حَجِّهِ، فَإِنْ صَامَ قَبْلَ فَرَاغِهِ مِنْ حَجِّهِ، أَوْ قَبْلَ فَرَاغِهِ مِنْ جَمِيعِ رَمْيِهِ لَمْ يُجْزِهِ، فَإِنْ صَامَ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنْ حَجِّهِ وَهُوَ بِمَكَّةَ أَوْ فِي طَرِيقِهِ أَجْزَأَهُ.

Dan jika kita mengikuti mazhab para sahabat kami dari kalangan ulama Bagdad, bahwa ia berpuasa tujuh hari itu setelah selesai dari amalan ḥajj-nya, maka jika ia berpuasa sebelum selesai dari ḥajj-nya, atau sebelum selesai dari seluruh lontaran jumrah, maka tidak mencukupi.

Namun jika ia berpuasa setelah selesai dari ḥajj-nya, baik ia masih berada di Makkah ataupun dalam perjalanannya (pulang), maka puasanya sah dan mencukupi.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا مُتَابَعَةُ صِيَامِ الْأَيَّامِ الثَّلَاثَةِ فِي الْحَجِّ، وَالسَّبْعَةِ الْأَيَّامِ إذا رجع، فمستحبة، وهو وُجُوبِهَا وَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي وُجُوبِ التَّتَابُعِ فِي صَوْمِ كَفَّارَةِ الْيَمِينِ:
أَحَدُهُمَا: واجبة، فعلى هذا القول وإن فَرَّقَ صِيَامَهَا لَمْ يُجْزِهِ.
وَالثَّانِي: مُسْتَحَبَّةٌ، فَعَلَى هَذَا إِنْ فَرَّقَ صِيَامَهَا أَجْزَأَهُ.

PASAL
 Adapun menyambung (berturut-turut) puasa tiga hari dalam haji dan tujuh hari setelah kembali, maka hukumnya sunnah. Adapun kewajibannya, terdapat dua pendapat yang ditarjihkan dari perbedaan dua pendapat Imam Syāfi‘i tentang wajibnya berturut-turut dalam puasa kafārat yamin:

Pertama: wajib, maka menurut pendapat ini, jika ia memisahkan (tidak berturut-turut) puasanya, maka tidak sah.

Kedua: sunnah, maka menurut pendapat ini, jika ia memisahkan puasanya, maka sah.

فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِنْ لَمْ يَصُمِ الثَّلَاثَةَ الْأَيَّامِ فِي الْحَجِّ، وَلَا السَّبْعَةَ الْأَيَّامِ حِينَ رَجَعَ حَتَّى اسْتَقَرَّ بِبَلَدِهِ وَاسْتَوْطَنَ، فَعَلَيْهِ صِيَامُ عَشَرَةِ أَيَّامٍ، وَهُوَ مَأْمُورٌ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَ صِيَامِ الثَّلَاثَةِ، وَبَيْنَ صِيَامِ السَّبْعَةِ، وَفِي وُجُوبِ التَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ التَّفْرِقَةَ بَيْنَهُمَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ، لِأَنَّ وُجُوبَ التَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا كَانَ فِي الْأَدَاءِ بِجِهَةِ الزَّمَانِ، وَمَا كَانَ مُسْتَحَقًّا فِي الْأَدَاءِ بِجِهَةِ الزَّمَانِ بَطَلَ اسْتِحْقَاقُهُ فِي الْقَضَاءِ لِفَوَاتِ الزَّمَانِ،كَمَا أَنَّ تَتَابُعَ رَمَضَانَ مُسْتَحَقٌّ فِي الْأَدَاءِ لِتَتَابُعِ الزَّمَانِ، غَيْرُ مُسْتَحَقٍّ فِي الْقَضَاءِ لِفَوَاتِ الزَّمَانِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ تَابَعَ صِيَامَ الثَّلَاثَةِ وَصِيَامَ السَّبْعَةِ أَجْزَأَهُ.

PASAL
 Adapun jika seseorang tidak berpuasa tiga hari dalam ḥajj, dan tidak pula tujuh hari ketika telah kembali, hingga ia menetap di negerinya dan benar-benar tinggal di sana, maka wajib atasnya puasa sepuluh hari penuh.

Ia diperintahkan untuk memisahkan antara puasa tiga hari dan tujuh hari. Namun, dalam kewajiban memisahkan keduanya terdapat dua pendapat:

Pertama: bahwa pemisahan antara keduanya tidak wajib, karena kewajiban memisahkan itu hanya berlaku saat pelaksanaan (adā’) disebabkan oleh perbedaan waktu. Maka apa yang menjadi kewajiban saat pelaksanaan karena waktu tertentu, gugur kewajiban itu dalam qadhā’ karena waktu telah berlalu.

Sebagaimana puasa berturut-turut dalam Ramaḍān adalah wajib ketika pelaksanaan karena berturut-turutnya hari, tetapi tidak wajib dalam qadhā’ karena waktu itu telah berlalu.

Maka menurut pendapat ini, jika ia menggabungkan puasa tiga hari dan tujuh hari secara berurutan, maka itu mencukupi.


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ ظَاهِرُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، أَنَّ التَّفْرِقَةَ بَيْنَهُمَا وَاجِبَةٌ، لِأَنَّ وُجُوبَ التَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا كَانَ فِي الْأَدَاءِ مِنْ جِهَةِ الْفِعْلِ لَا مِنْ جِهَةِ الزَّمَانِ لِأَنَّهُ قَالَ: {فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أيَّامٍ فِي الحَجِّ وَسَبْعَةٍ إذَا رَجِعْتُمْ) {البقرة: 195) فَجَعَلَ السَّبْعَةَ بَعْدَ الرُّجُوعِ، وَالرُّجُوعُ فِعْلٌ، لِأَنَّهُ إِمَّا أَنْ يُرَادَ بِهِ الرُّجُوعُ عَنِ الْحَجِّ، أَوِ الرُّجُوعُ إِلَى الْوَطَنِ، وَمَا كَانَ مُسْتَحَقًّا فِي الْأَدَاءِ مِنْ جِهَةِ الْفِعْلِ، لَمْ يَبْطُلِ اسْتِحْقَاقُهُ فِي الْقَضَاءِ، وَإِنْ مَضَى ذَلِكَ الْفِعْلُ، كَمَا أَنَّ تَتَابُعَ صَوْمِ الظِّهَارِ، وَمُسْتَحَقٌّ مِنْ جِهَةِ الْفِعْلِ، فَلَمْ يَبْطُلِ اسْتِحْقَاقُ تَتَابُعِهِ بِمُضِيِّ ذَلِكَ الْفِعْلِ، فَعَلَى هَذَا فِي قَدْرِ التَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا وَجْهَانِ:

PASAL
 Pendapat yang kedua—dan inilah yang tampak sebagai mazhab Syafi‘i—bahwa memisahkan antara keduanya (puasa tiga hari dan tujuh hari) adalah wajib. Karena kewajiban memisahkan antara keduanya berkaitan dengan pelaksanaan dari sisi perbuatan, bukan dari sisi waktu. Sebab Allah berfirman: “Maka (wajib) puasa tiga hari dalam haji dan tujuh hari apabila kalian telah kembali” (al-Baqarah: 196), maka Allah menjadikan (puasa) tujuh hari itu setelah kembali, dan kembali adalah suatu perbuatan. Karena maknanya tidak lepas dari kembali dari (amalan) haji atau kembali ke tanah air.

Dan sesuatu yang wajib dilakukan dari sisi perbuatan tidak gugur kewajibannya dalam qadhā’, meskipun perbuatan itu telah berlalu. Sebagaimana tattābu‘ (berurutan) dalam puasa ẓihār adalah sesuatu yang wajib dari sisi perbuatan, maka tidak gugur kewajiban untuk berturut-turut hanya karena perbuatan itu (yakni momen yang mensyaratkan urutan) telah berlalu.

Maka berdasarkan hal ini, dalam hal kadar pemisahan antara keduanya terdapat dua pendapat:


أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ، يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا بِأَقَلِّ مَا تَكُونُ بِهِ التَّفْرِقَةُ، وَذَلِكَ يَوْمٌ وَاحِدٌ؛ لِأَنَّ التَّفْرِقَةَ فِي الصَّوْمِ ضِدَّ الْمُتَابَعَةِ، فَلَمَّا بَطَلَتِ الْمُتَابَعَةُ بِإِفْطَارِ يَوْمٍ ثَبَتَتِ التَّفْرِقَةُ بِإِفْطَارِ يَوْمٍ وَاحِدٍ.

Pendapat pertama: yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, bahwa harus dipisahkan antara keduanya (puasa tiga dan tujuh hari) dengan pemisahan minimal, yaitu satu hari.

Karena pemisahan dalam puasa adalah lawan dari mutāba‘ah (berurutan), maka ketika mutāba‘ah batal dengan berbuka satu hari, berarti pemisahan telah sah dengan berbuka satu hari pula.


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، وَكَثِيرٍ مِنْ أَصْحَابِنَا، إنَّ قَدْرَ التَّفْرِقَةِ فِي الْقَضَاءِ مُعْتَبَرٌ بِحَالِهِ فِي الْأَدَاءِ؛ لأنه لما وجبت الفرقة فِي الْقَضَاءِ لِثُبُوتِهَا فِي الْأَدَاءِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ قَدْرُ التَّفْرِقَةِ فِي الْقَضَاءِ قِدْرَ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ التَّفْرِقَةِ وَلَا يُعْتَبَرُ فِي القضاء قدر ما يقع عليه اسم التفرقة، كَمَا لَمْ يُعْتَبَرْ فِي الْأَدَاءِ (قَدْرُ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ التَّفْرِقَةِ، فَعَلَى هَذَا الْأَدَاءِ أَصْلَانِ، فِي كُلِّ أَصْلٍ مِنْهُمَا قَوْلَانِ) :

PASAL
 Pendapat yang kedua—dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī dan banyak dari sahabat-sahabat kami—bahwa kadar pemisahan dalam qadhā’ mengikuti keadaannya ketika pelaksanaan (adā’); karena ketika pemisahan diwajibkan dalam qadhā’ berdasarkan adanya kewajiban pemisahan dalam adā’, maka wajib pula bahwa kadar pemisahan dalam qadhā’ adalah kadar yang masih layak disebut sebagai pemisahan.

Dan tidak disyaratkan dalam qadhā’ kadar tertentu untuk disebut sebagai pemisahan, sebagaimana tidak disyaratkan pula dalam adā’ kadar tertentu untuk disebut pemisahan. Maka atas dasar ini, pelaksanaan (adā’) memiliki dua dasar, dan pada masing-masing dasar terdapat dua pendapat.


أَحَدُ الْأَصْلَيْنِ جَوَازُ صِيَامِ الثَّلَاثَةِ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ وَفِي ذَلِكَ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ يَجُوزُ.
وَالثَّانِي: وَهُوَ الْجَدِيدُ لَا يَجُوزُ.
وَالْأَصْلُ الثَّانِي: صِيَامُ السَّبْعَةِ هَلْ يَجُوزُ إِذَا فَرَغَ مِنْ حَجِّهِ؟ أَوْ إِذَا رَجَعَ إِلَى بَلَدِهِ؟ فِي ذَلِكَ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْإِمْلَاءِ: إِذَا رَجَعَ مِنْ حَجِّهِ.

Salah satu dari dua pokok permasalahan adalah kebolehan puasa tiga hari pada ayyām at-tashrīq, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: yaitu pendapat beliau dalam qaul qadīm, bahwa itu boleh.
 Kedua: yaitu pendapat jadīd, bahwa itu tidak boleh.

Pokok permasalahan kedua: apakah puasa tujuh hari boleh dilaksanakan setelah selesai dari ḥajj? Atau setelah kembali ke negerinya? Dalam hal ini juga terdapat dua pendapat:

Pertama: yaitu pendapat beliau dalam al-Imlā’, bahwa boleh dilaksanakan setelah kembali dari ḥajj.


وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ، إِذَا رَجَعَ إِلَى بَلَدِهِ، فَإِذَا ثَبَتَ هَذَانِ الْأَصْلَانِ، كَانَ قَدْرُ التَّفْرِقَةِ مَبْنِيًّا عَلَيْهِمَا، فَتَكُونُ فِيهِمَا أَرْبَعَةُ أَقَاوِيلَ:
أَحَدُهَا: يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا بِيَوْمٍ، إِذَا قِيلَ: إِنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَصُومَ الثَّلَاثَةَ فِي أَيَّامِ مِنًى، وَيَصُومَ السَّبْعَةَ إِذَا فَرَغَ مِنْ حَجِّهِ، لِيَقَعَ بِهَذَا الْيَوْمِ التَّفْرِقَةُ بَيْنَ الصَّوْمَيْنِ.

PASAL
 Dan pendapat yang kedua—yaitu pendapatnya dalam al-Jadīd—adalah bahwa (tujuh hari) itu dimulai apabila telah kembali ke negerinya. Maka apabila dua dasar ini telah ditetapkan, maka kadar pemisahan antara kedua puasa itu dibangun di atas keduanya, dan darinya muncul empat pendapat:

Pertama: dipisah antara keduanya dengan satu hari, apabila dikatakan bahwa boleh berpuasa tiga hari pada hari-hari Minā, dan berpuasa tujuh hari setelah selesai dari haji. Maka dengan adanya satu hari ini terjadi pemisahan antara dua puasa tersebut.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا بِأَرْبَعَةِ أَيَّامٍ، إِذَا قِيلَ: إِنَّ صِيَامَ مِنًى لَا يَجُوزُ وَإِنَّ صِيَامَ السَّبْعَةِ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنَ الْحَجِّ، فَتَكُونُ التَّفْرِقَةُ بِيَوْمِ النَّحْرِ، وَأَيَّامِ مِنًى الثَّلَاثَةِ. وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا بِيَوْمٍ، وَقَدْرُ مَسَافَةِ الطَّرِيقِ إِذَا قِيلَ إِنَّ صِيَامَ أَيَّامِ مِنًى يَجُوزُ وَصِيَامُ السَّبْعَةِ بَعْدَ الرُّجُوعِ إِلَى الْوَطَنِ. وَالْقَوْلُ الرَّابِعُ: يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا بِالْأَرْبَعَةِ أَيَّامٍ وَقَدْرِ مَسَافَةِ الطَّرِيقِ إِذَا قِيلَ الَّذِي لَا يَصُومُ أَيَّامَ مِنًى، وَلَا يَصُومُ السَّبْعَةَ إِلَّا بَعْدَ رُجُوعِهِ إِلَى بَلَدِهِ.

Pendapat kedua: harus dipisahkan antara keduanya dengan empat hari, jika dikatakan bahwa puasa pada ayyām Minā tidak boleh, dan bahwa puasa tujuh hari hanya dilakukan setelah selesai dari ḥajj. Maka pemisahan terjadi dengan hari naḥr dan tiga hari Minā.

Pendapat ketiga: dipisahkan antara keduanya dengan satu hari dan jarak tempuh perjalanan, jika dikatakan bahwa puasa pada ayyām Minā boleh, dan bahwa puasa tujuh hari hanya dilakukan setelah kembali ke tanah air.

Pendapat keempat: dipisahkan antara keduanya dengan empat hari dan jarak tempuh perjalanan, jika dikatakan bahwa seseorang tidak boleh berpuasa pada ayyām Minā, dan tidak boleh puasa tujuh hari kecuali setelah kembali ke negerinya.


فَصْلٌ
: إِذَا ثَبَتَ أَنَّ التَّفْرِقَةَ بَيْنَهُمَا بِمَا ذَكَرْنَا وَاجِبَةٌ، فَتَابَعَ بَيْنَ صِيَامِهَا وَوَصَلَ السَّبْعَةَ بِالثَّلَاثَةِ، أَجْزَأَهُ مِنْ ذَلِكَ صِيَامُ الثَّلَاثَةِ، فَأَمَّا صِيَامُ السَّبْعَةِ فَلَا يُجْزِئُهُ؛ لِأَنَّ فِيهَا مَا اسْتَحَقَّ فِطْرَهُ عَنْهَا، وَالْحُكْمُ فِيهَا أَنْ يُسْقِطَ مِنْهَا قَدْرَ مَا يَسْتَحِقُّ مِنَ التَّفْرِقَةِ، عَلَى الْأَقَاوِيلِ الْمَاضِيَةِ، فَإِنْ لَمْ يَبْقَ مِنَ السَّبْعَةِ شَيْءٌ لَمْ يُحْسَبْ لَهُ شَيْءٌ مِنْهَا، وَوَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يَسْتَأْنِفَ صِيَامَ سَبْعَةِ أَيَّامٍ بَعْدَ أَنْ يَكْمُلَ زَمَانُ التَّفْرِقَةِ، وَإِنْ بقي منها شيء أما ستة أيام إذا قيل: إن الواجب أن يفرق بَيْنَهَا بِيَوْمٍ أَوْ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، إِذَا قِيلَ: إن الواجب أن يفرق بينها بِأَرْبَعَةِ أَيَّامٍ فَطَرَ فِي حَالِهِ، فَإِنْ كَانَ لم يفطر احتسب له مَا بَقِيَ مِنَ السَّبْعَةِ بَعْدَ التَّفْرِقَةِ، وَوَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يُتَمِّمَ صِيَامَ مَا بَقِيَ مِنَ السَّبْعَةِ، وَإِنْ كَانَ قَدْ أَفْطَرَ، فَهَلْ يُحْتَسَبُ لَهُ بِصِيَامِ مَا بَقِيَ مِنَ السَّبْعَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي وُجُوبِ الْمُتَابَعَةِ مِنْ صِيَامِهَا:

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa pemisahan antara puasa tiga hari dan tujuh hari sebagaimana yang telah kami sebutkan itu wajib, lalu seseorang menyambung puasa keduanya dan menggabungkan puasa tujuh hari langsung setelah tiga hari, maka dari itu hanya sah puasa tiga harinya saja.

Adapun puasa tujuh harinya tidak mencukupi, karena dalam puasa tersebut terdapat hari-hari yang semestinya ia berbuka untuk memenuhi kewajiban pemisahan. Maka hukum dalam hal ini adalah: ia harus menggugurkan dari tujuh hari itu sejumlah hari yang seharusnya ia gunakan untuk pemisahan, sesuai dengan pendapat-pendapat yang telah disebutkan sebelumnya.

Jika tidak tersisa satu haripun dari tujuh hari itu, maka tidak dihitung baginya sedikit pun darinya, dan wajib atasnya untuk mengulang puasa tujuh hari setelah sempurna masa pemisahan.

Namun jika masih tersisa dari tujuh hari itu—misalnya enam hari—jika pendapat yang diikuti mewajibkan pemisahan satu hari, atau tersisa empat hari jika pendapat yang diikuti mewajibkan pemisahan tiga hari, atau tidak tersisa apa-apa jika mewajibkan pemisahan empat hari, maka ia berbuka terlebih dahulu.

Jika ia belum berbuka, maka sisa dari tujuh hari itu setelah masa pemisahan dihitung baginya, dan ia wajib menyempurnakan sisa hari dari tujuh hari itu.

Namun jika ia telah berbuka, maka apakah sisa dari tujuh hari itu tetap dihitung atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua wajah, yang dibangun atas perbedaan dua wajah dalam kewajiban mutāba‘ah (berurutan) dalam puasa tujuh hari itu.


أَحَدُهُمَا: يُحْتَسَبُ لَهُ مَا بَقِيَ مِنْهَا، إِذَا قِيلَ: إِنَّ الْمُتَابَعَةَ غَيْرُ وَاجِبَةٍ، وَيَتِمُّ صِيَامُ السَّبْعَةِ وَيُجْزِئُهُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُحْتَسَبُ لَهُ بِمَا بَقِيَ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْمُتَابَعَةَ وَاجِبَةٌ وَعَلَيْهِ أَنْ يَسْتَأْنِفَ صِيَامَ السَّبْعَةِ، وَهَذَا الْكَلَامُ فِي السَّبْعَةِ، فَأَمَّا الثَّلَاثَةُ: فَتُجْزِئُهُ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَسَائِرِ أَصْحَابِهِ، إِلَّا أَبَا سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيَّ فَإِنَّهُ قَالَ: إِنْ نَوَى التَّتَابُعَ بَعْدَ صِيَامِ الثَّلَاثَةِ أَجْزَأَتْهُ الثَّلَاثَةُ؛ لِقَوْلِ الشَّافِعِيِّ، وَيَكُونُ الْكَلَامُ فِي السَّبْعَةِ عَلَى مَا مَضَى، وَإِنَّ نَوَى التَّتَابُعَ فِي صِيَامِ الثَّلَاثَةِ وَعِنْدَ دُخُولِهِ فِيهَا، لَمْ تُجْزِهِ الثَّلَاثَةُ وَلَا السَّبْعَةُ، وَلَزِمَهُ اسْتِئْنَافُ الْجَمِيعِ، وَيَكُونُ فَسَادُ نِيَّتِهِ قَادِحًا فِي صَوْمِهِ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ غَلَطٌ فَاحِشٌ؛ لِأَمْرَيْنِ:

PASAL
 Salah satu dari dua pendapat: dihitung baginya (puasa) yang tersisa dari tujuh hari itu, apabila dikatakan bahwa berturut-turut (mutāba‘ah) tidak wajib. Maka ia menyempurnakan puasa tujuh harinya dan itu mencukupinya.

Dan pendapat kedua: tidak dihitung (puasa) yang tersisa baginya apabila dikatakan bahwa mutāba‘ah adalah wajib, maka ia wajib mengulangi (dari awal) puasa tujuh hari.

Dan pembahasan ini berkaitan dengan puasa tujuh hari. Adapun puasa tiga hari, maka itu mencukupi menurut mazhab al-Syāfi‘i dan seluruh sahabatnya, kecuali Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī. Ia berkata: Jika ia berniat mutāba‘ah setelah menyelesaikan puasa tiga hari, maka tiga hari itu sah baginya, karena perkataan al-Syāfi‘i, dan pembahasan tentang tujuh harinya sesuai yang telah disebutkan.

Namun jika ia berniat mutāba‘ah (berturut-turut) sejak awal puasa tiga hari, dan saat ia masuk ke dalamnya (tiga hari tersebut), maka tiga harinya tidak sah, begitu pula tujuh harinya, dan ia wajib mengulangi seluruhnya. Dan rusaknya niatnya dianggap membatalkan puasanya.

Dan ini yang dikatakannya adalah kesalahan besar karena dua hal:


أَحَدُهُمَا: أَنَّ تَفْرِيقَ الصَّوْمِ وَمُتَابَعَتَهُ إِنَّمَا يَكُونُ بِالْفِعْلِ لَا بِالنِّيَّةِ، فَلَوْ فَرَّقَ صِيَامَهُ وَلَمْ يَنْوِ كَانَ مُفَرَّقًا، وَلَوْ تَابَعَ وَلَمْ يَنْوِ كَانَ مُتَابِعًا، وَإِذَا لَمْ تَكُنِ النِّيَّةُ شَرْطًا فِي صِحَّةِ التَّفْرِقَةِ، لَمْ تَكُنْ نِيَّةُ الْمُتَابَعَةِ قَادِحَةٌ فِي صِحَّةِ الصَّوْمِ مَعَ وُجُودِ التَّفْرِقَةِ.

Salah satu dari dua pendapat adalah bahwa pemisahan (tafrīq) dan keterurutan (mutāba‘ah) dalam puasa ditentukan oleh perbuatan, bukan oleh niat.

Maka jika seseorang memisahkan puasanya (dengan berbuka di antara dua kelompok puasa) tanpa niat memisahkan, tetap dihukumi sebagai terpisah. Dan jika ia berpuasa secara berturut-turut tanpa niat keterurutan, tetap dihukumi berturut-turut.

Maka ketika niat tidak disyaratkan dalam sahnya pemisahan, maka niat untuk mutāba‘ah (keterurutan) tidak merusak keabsahan puasa jika secara praktik sudah terjadi pemisahan.


وَالثَّانِي: أَنَّ طُرُوءَ الْفَسَادِ عَلَى صَوْمِ بَعْضِ الْأَيَّامِ، لَا يَقْتَضِي فَسَادَ الصَّوْمِ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْأَيَّامِ، فَصَوْمُ رَمَضَانَ، إِذَا أَفْطَرَ فِي بَعْضِهِ، لِأَنَّ لِكُلِّ يَوْمٍ حُكْمُ نَفْسِهِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ، لَمْ يَكُنْ فَسَادُ صَوْمِ السَّبْعَةِ قَادِحًا فِي صِحَّةِ صَوْمِ الثلاثة.

PASAL
 Dan alasan yang kedua: bahwa rusaknya puasa pada sebagian hari tidak mengharuskan rusaknya puasa pada hari yang lainnya, karena setiap hari memiliki hukum tersendiri. Maka puasa Ramadhan, apabila seseorang berbuka pada sebagian harinya, tidak membatalkan puasa hari-hari yang lain. Dan apabila demikian, maka rusaknya puasa tujuh hari tidak merusak keabsahan puasa tiga hari.

 

فَإِنْ قِيلَ: فِي الْأَيَّامِ الَّتِي أَسْقَطْتُمُوهَا مِنْ صَوْمِهِ لِأَجْلِ التَّفْرِيقِ، لَمْ يَكُنْ فِيهَا مُفْطِرًا وَكَيْفَ يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ بَيْنَ الصَّوْمَيْنِ مُفَرَّقًا؟
قِيلَ الْوَاجِبُ هُوَ التَّفْرِقَةُ بَيْنَ الصَّوْمَيْنِ لَا الْفِطْرُ بَيْنَهُمَا، فَإِذَا فَرَّقَ بَيْنَهُمَا أَجْزَأَهُ، سَوَاءٌ كَانَ فِي زَمَانِ التَّفْرِقَةِ صَائِمًا أَوْ مُفْطِرًا أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ كَانَ مُؤَدِّيًا لِهَذَا الصَّوْمِ فِي زَمَانِهِ فَصَامَ الثَّلَاثَةَ فِي الْحَجِّ وَأَرَادَ أَنْ يَصُومَ السَّبْعَةَ إِذَا رَجَعَ إِلَى بَلَدِهِ، فَصَامَ فِي طَرِيقِهِ فَرْضًا أَوْ تَطَوُّعًا. حَتَّى وَصَلَ إِلَى بَلَدِهِ، ثُمَّ عَقَّبَهُ بِصَوْمِ السَّبْعَةِ عَنْ تَمَتُّعِهِ أَجْزَأَهُ، وَإِذَا كَانَ ذَلِكَ مُجْزِئًا فِي الْأَدَاءِ كَانَ مُجْزِئًا فِي الْقَضَاءِ.

Jika dikatakan: “Pada hari-hari yang kalian gugurkan dari puasanya karena alasan pemisahan, ia sebenarnya tidak berbuka. Maka bagaimana bisa sah dianggap telah ada pemisahan antara dua puasa tersebut?”

Maka dijawab: yang diwajibkan adalah pemisahan antara dua jenis puasa, bukan berbuka di antara keduanya. Maka apabila ia telah memisahkan antara keduanya, maka itu mencukupi, baik ia berpuasa pada masa pemisahan tersebut maupun tidak.

Tidakkah engkau melihat, bahwa jika seseorang menunaikan puasa ini tepat pada waktunya—ia berpuasa tiga hari dalam ḥajj, lalu hendak berpuasa tujuh hari setelah kembali ke negerinya, lalu ia berpuasa di perjalanan (baik puasa fardhu maupun sunnah) hingga sampai di negerinya, kemudian melanjutkan dengan puasa tujuh hari karena tamattu‘-nya, maka itu sah dan mencukupi.

Maka jika hal tersebut sah dalam adā’ (pelaksanaan pada waktunya), maka juga sah dalam qadhā’ (penggantian setelah waktunya).


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ لَمْ يَصُمْ حَتَى مَاتَ تَصَدَّقَ عَمَّا أَمْكَنَهُ فَلَمْ يَصُمْهُ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا مِنْ حنطةٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْمُتَمَتِّعَ إِذَا مَاتَ قَبْلَ تَكْفِيرِهِ فَلَمْ يَخْلُ حَالُ مَوْتِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الْفَرَاغِ مِنْ أَرْكَانِ الْحَجِّ، أَوْ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْهَا، فَإِنْ كَانَ مَوْتُهُ قَبْلَ فَرَاغِهِ مِنْ أَرْكَانِ الْحَجِّ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

MASALAH:
 Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika ia tidak berpuasa hingga meninggal, maka disedekahkan atas nama hari-hari yang mampu ia puasai namun belum ia tunaikan, satu mud gandum untuk setiap harinya.”

Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa al-mutamatti‘ apabila meninggal sebelum menunaikan kewajiban kaffarah, maka keadaannya ketika wafat tidak lepas dari salah satu dari dua perkara:

Pertama, meninggal sebelum menyelesaikan rukun-rukun haji, atau
 kedua, setelah menyelesaikannya.

Jika ia meninggal sebelum menyelesaikan rukun-rukun haji, maka keadaannya terbagi dua:


أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُوسِرًا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُعْسِرًا، فَإِنْ مَاتَ مُعْسِرًا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ مِنْ دَمٍ وَلَا صَوْمٍ، أَمَّا الدَّمُ فَلِأَنَّهُ لَمْ يَلْزَمْهُ، وَأَمَّا الصَّوْمُ فَلِأَنَّهُ لَمْ يُمْكِنْهُ، وَإِنْ مَاتَ مُوسِرًا فَفِي وُجُوبِ الدَّمِ عَلَيْهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا دَمَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الدَّمَ إِنَّمَا وَجَبَ لِتَمَتُّعِهِ بِالْحَجِّ، وَإِذَا مَاتَ قَبْلَ كَمَالِ أَرْكَانِهِ لَمْ يَكْتَمِلْ لَهُ الْحَجُّ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الدَّمُ الْمُتَعَلِّقُ بِهِ غَيْرَ وَاجِبٍ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ، أَنَّ الدَّمَ وَاجِبٌ، وَهُوَ فِي مَالِهِ لَازِمٌ؛ لِأَنَّ الدَّمَ إِنَّمَا وَجَبَ بِدُخُولِهِ فِي الْحَجِّ، وَالدَّمُ إِذَا وَجَبَ فِي الْحَجِّ لَمْ يَسْقُطْ بِمَوْتِهِ قَبْلَ كَمَالِ الْحَجِّ كَدَمِ الوطئ وكفارة الأداء.

Salah satunya: bila ia dalam keadaan musr (mampu).
 Dan yang kedua: bila ia dalam keadaan mu‘sir (tidak mampu). Jika ia mati dalam keadaan mu‘sir maka tidak ada sesuatu atasnya, baik berupa dam maupun puasa. Adapun dam, karena itu tidak wajib baginya. Dan adapun puasa, karena ia tidak mampu melakukannya.

Jika ia mati dalam keadaan musr, maka dalam kewajiban dam atasnya ada dua pendapat:
 Pertama: tidak ada dam atasnya, karena dam itu hanya wajib sebab ia bertamattu‘ dengan haji, dan bila ia mati sebelum sempurna rukun-rukunnya maka hajinya tidak sempurna, maka haruslah dam yang terkait dengannya tidak wajib.
 Dan pendapat yang kedua, dan ini yang lebih sahih, bahwa dam itu wajib, dan wajib dari harta peninggalannya, karena dam itu hanya wajib dengan masuknya ia ke dalam haji. Dan bila dam sudah wajib dalam haji maka tidak gugur dengan kematiannya sebelum sempurnanya haji, sebagaimana dam karena jima‘ dan kafarat al-adā’.


فَصْلٌ
: وَإِنْ مَاتَ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ أَرْكَانِ الْحَجِّ، فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُوسِرًا يُكَفِّرُ بِالدَّمِ، فَالدَّمُ فِي مَالِهِ وَاجِبٌ، قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّ وُجُوبَ الدَّمِ قَدِ اسْتَقَرَّ بِكَمَالِ الْحَجِّ وَمَا اسْتَقَرَّ وُجُوبُهُ مِنْ حُقُوقِ الْأَمْوَالِ لَمْ يَسْقُطْ بِالْمَوْتِ كَالدُّيُونِ وَالزَّكَوَاتِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُعْسِرًا، يُكَفِّرُ بِالصَّوْمِ، فَهَذَا عَلَى ضربين:

PASAL:
 Dan jika ia mati setelah selesai dari rukun-rukun haji, maka terbagi menjadi dua bagian:

Pertama: jika ia seorang yang mūsir yang menunaikan kafārat dengan darah, maka darah itu wajib diambil dari hartanya, dengan satu pendapat; karena kewajiban darah telah tetap dengan sempurnanya haji, dan apa yang sudah tetap kewajibannya dari hak-hak harta tidak gugur dengan kematian, seperti utang-utang dan zakat-zakat.

Dan bagian yang kedua: jika ia seorang yang mu‘sir yang menunaikan kafārat dengan puasa, maka ini terbagi menjadi dua bagian:

 

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَوْتُهُ قَبْلَ دُخُولِ زَمَانِ الصَّوْمِ، كَأَنَّهُ مَاتَ قَبْلَ رُجُوعِهِ إِلَى وَطَنِهِ، عَلَى قَوْلِهِ الْجَدِيدِ، أَوْ قَبْلَ خُرُوجِهِ مِنْ مَكَّةَ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ فَفِيهِمَا قَوْلَانِ حَكَاهُمَا الرَّبِيعُ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الدَّمَ دَيْنٌ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ بِتَمَتُّعِهِ قَدْ وَجَبَتِ الْكَفَّارَةُ، وَبِمَوْتِهِ قَبْلَ زَمَانِ الصَّوْمِ بِطَلَ أَنْ يَكُونَ الصَّوْمُ وَاجِبًا عَلَيْهِ فِي الْكَفَّارَةِ، فَثَبَتَ أَنَّ الدَّمَ هُوَ الَّذِي وَجَبَ عَلَيْهِ، فَيُقْضَى عَنْهُ الدَّمُ بَعْدَ مَوْتِهِ مِنْ بَيْعِ عَرُوضِهِ الَّتِي لَمْ يَكُنْ يَلْزَمُهُ بَيْعُهَا فِي حَيَاتِهِ.

Salah satunya: bahwa kematiannya terjadi sebelum masuk waktu puasa, seperti ia mati sebelum kembali ke negerinya menurut qaul jadīd, atau sebelum keluar dari Makkah menurut qaulnya dalam qadīm. Maka dalam keduanya ada dua pendapat yang dinukil oleh ar-Rabi‘:

Pertama: bahwa dam adalah utang atasnya, karena dengan ia bertamattu‘ telah wajib kafarat. Dan dengan kematiannya sebelum masuk waktu puasa batal untuk menjadi puasa itu wajib atasnya dalam kafarat, maka tetaplah bahwa dam itulah yang wajib atasnya. Maka ditunaikanlah dam itu setelah kematiannya dari hasil penjualan barang-barangnya yang pada waktu hidupnya tidak wajib ia jual.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ أَصَحُّ: لَا شَيْءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الدَّمَ بِاعْتِبَارِهِ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ، وَالصَّوْمُ بِمَوْتِهِ قَبْلَ دُخُولِ وَقْتِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَلْزَمَهُ بعد موته لَمْ يَكُنْ لَازِمًا لَهُ فِي حَيَاتِهِ.

Dan pendapat yang kedua, dan inilah yang lebih aṣaḥḥ: tidak ada kewajiban apa pun atasnya; karena darah pada pertimbangannya tidak wajib atasnya, sedangkan puasa dengan sebab kematiannya sebelum masuk waktunya tidaklah wajib, maka tidak boleh menjadi wajib atasnya setelah kematiannya sesuatu yang tidak wajib baginya ketika hidupnya.


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَوْتُهُ بَعْدَ دُخُولِهِ زَمَانَ الصَّوْمِ، كَأَنْ مَاتَ بَعْدَ رُجُوعِهِ إِلَى وَطَنِهِ، فَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ الدَّمُ، لَا يَخْتَلِفُ؛ لِأَنَّ وُجُوبَ الصَّوْمِ قَدِ اسْتَقَرَّ بِدُخُولِهِ زَمَانَهُ، وَالدَّمُ لَمْ يَجِبْ لِتَعَذُّرِ إِمْكَانِهِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَجِبْ أَنْ يُصَامَ عَنْهُ، لِأَنَّهُ النِّيَابَةُ في الصوم، لا تصح، لَكِنْ يُنْظَرُ فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ إِمْكَانِ الصَّوْمِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، كَمَا لَوْ كَانَ عَلَيْهِ أَيَّامٌ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَاتَ قَبْلَ إِمْكَانِ صِيَامِهَا، وَإِنْ مَاتَ بَعْدَ إِمْكَانِ الصِّيَامِ، فَالْوَاجِبُ عَلَيْهِ بَدَلًا عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ مِنْ حِنْطَةٍ كَمَا لَوْ كَانَ عَلَيْهِ أَيَّامٌ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَاتَ بَعْدَ إِمْكَانِ قَضَائِهَا، وَلِرِوَايَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ أَطْعَمَ عَنْهُ وَلِيُّهُ عَنْ كُلِّ يومٍ مُدًّا “، فَلَوْ مَاتَ وَقَدْ أَمْكَنَهُ صِيَامُ بَعْضِهَا دُونَ بَعْضٍ، لَزِمَ عَمَّا أَمْكَنَ صِيَامُهُ مُدٌّ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ، وَلَمْ يَلْزَمْهُ عَمَّا لَمْ يَكُنْ صِيَامُهُ شَيْءٌ، فَإِذَا وَجَبَتْ هَذِهِ الْأَمْدَادُ بَدَلًا عَمَّا قَدَرَ عَلَيْهِ مِنَ الصِّيَامِ، فَفِيهَا قَوْلَانِ:

Dan bagian yang kedua: bahwa kematiannya setelah masuk waktu puasa, seperti ia mati setelah kembali ke negerinya. Maka tidak wajib atasnya dam, tidak ada khilaf, karena kewajiban puasa telah tetap dengan masuknya waktunya, sedangkan dam tidak wajib karena terhalangnya kemampuan melakukannya. Dan apabila demikian, tidak wajib dipuasakan darinya, karena niyabah dalam puasa tidak sah.

Namun diperhatikan: jika ia mati sebelum adanya kemampuan untuk berpuasa, maka tidak ada sesuatu atasnya, sebagaimana bila ia mempunyai tanggungan hari-hari dari Ramadhan lalu ia mati sebelum mungkin mengqadhanya. Dan bila ia mati setelah adanya kemampuan berpuasa, maka yang wajib atasnya sebagai ganti dari tiap hari adalah satu mudd gandum, sebagaimana bila ia mempunyai tanggungan hari-hari dari Ramadhan lalu ia mati setelah mungkin mengqadhanya. Dan berdasarkan riwayat Abdullah bin ‘Umar dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Barang siapa mati sedang atasnya kewajiban puasa, maka walinya memberi makan sebagai ganti darinya untuk tiap hari satu mudd.”

Maka jika ia mati dalam keadaan telah mungkin berpuasa sebagian hari-hari tersebut namun tidak sebagian yang lain, wajib untuk tiap hari yang mungkin ia puasakan satu mudd, dan tidak wajib untuk yang tidak mungkin ia puasakan sesuatu pun. Maka apabila wajiblah amdad ini sebagai ganti dari apa yang ia mampu lakukan dari puasa, maka dalam hal ini ada dua pendapat:


أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْوَاجِبَ أَنْ يُفَرَّقَ فِي مَسَاكِينِ الْحَرَمِ، فَإِنْ فُرِّقَ فِي مَسَاكِينِ غَيْرِ الْحَرَمِ لَمْ يُجْزِهِ، لِأَنَّهُ مَالٌ، وَجَبَ بِالْإِحْرَامِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَحِقَّهُ أَهْلُ الْحَرَمِ كَالدَّمِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْأَوْلَى أَنْ يُفَرَّقَ فِي مَسَاكِينِ الْحَرَمِ، فَإِنْ فُرِّقَ فِي غَيْرِهِمْ جَازَ، لِأَنَّ الْإِطْعَامَ بَدَلٌ مِنَ الصَّوْمِ الَّذِي لَا يَخْتَصُّ بِالْحَرَمِ دُونَ غَيْرِهِ.

Pertama: bahwa yang wajib adalah dibagikan kepada fakir miskin ḥaram, maka jika dibagikan kepada fakir miskin selain ḥaram tidak mencukupi; karena itu adalah harta yang wajib sebab iḥrām, maka wajiblah ia menjadi hak bagi penduduk ḥaram sebagaimana darah.

Pendapat yang kedua: bahwa yang lebih utama adalah dibagikan kepada fakir miskin ḥaram, maka jika dibagikan kepada selain mereka, sah; karena memberi makan itu adalah pengganti dari puasa yang tidak dikhususkan pada ḥaram tanpa selainnya.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ لَمْ يَمُتْ وَدَخَلَ فِي الصَّوْمِ ثُمَّ وَجَدَ الْهَدْيَ، فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْهَدْيُ، وَإِنْ أَهْدَى فَحَسَنٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُ إِذَا تَمَتَّعَ وَهُوَ مُعْسِرٌ فَيَدْخُلُ فِي الصَّوْمِ ثُمَّ أَيْسَرَ أَنَّهُ يَمْضِي فِي صَوْمِهِ وَيُجْزِئُهُ، وَسَوَاءٌ كان يساره في صَوْمِ الثَّلَاثَةِ، أَوْ فِي صَوْمِ السَّبْعَةِ، وَذَكَرْنَا خِلَافَ أبي حنيفة وَهَلِ الْمُرَاعَى بِإِيسَارِهِ حَالُ الْوُجُوبِ أَوْ حَالُ الْأَدَاءِ؟ فَأَغْنَى عَنْ إِعَادَتِهِ.

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika ia tidak mati dan telah masuk dalam (kewajiban) puasa, kemudian ia mendapatkan hady, maka tidak ada hady atasnya. Dan jika ia tetap ber-hady maka itu baik.”

Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa jika ia bertamattu‘ dalam keadaan mu‘sir, lalu ia masuk dalam (kewajiban) puasa kemudian ia menjadi mampu (yasar), maka ia tetap melanjutkan puasanya dan itu sudah mencukupi. Sama saja, baik kemampuannya itu terjadi ketika sedang puasa tiga hari atau sedang puasa tujuh hari. Dan telah kami sebutkan perbedaan pendapat dengan Abu Hanifah tentang apakah yang diperhitungkan dalam yasar-nya itu adalah saat wajibnya atau saat pelaksanaan? Maka tidak perlu diulang lagi.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَحَاضِرُو الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الَّذِينَ لَا مُتْعَةَ عَلَيْهِمْ مَنْ كَانَ أَهْلُهُ دُونَ لَيْلَتَيْنِ وَهُوَ حينئذٍ أَقْرَبُ الْمَوَاقِيتِ وَمَنْ سَافَرَ إِلَيْهِ صَلَى صلاة الْحَضَرِ وَمِنْهُ يَرْجِعُ مَنْ لَمْ يَكُنْ آخِرُ عَهْدِهِ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ حَتَّى يَطُوفَ فَإِنْ جَاوَزَ ذَلِكَ إِلَى أَنْ يَصِيرَ مُسَافِرًا أَجْزَأَهُ دَمٌ “.

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Dan ḥāḍirū al-masjid al-ḥarām yang tidak ada mut‘ah atas mereka adalah orang yang keluarganya berada dalam jarak kurang dari dua malam, dan itu adalah saat itu miqāt terdekat. Dan barang siapa safar menuju ke sana, maka ia salat dengan salat orang yang mukim. Dan dari situ pula kembali orang yang tidak menjadikan akhir perjumpaannya dengan ṭawāf di Baitullah hingga ia ṭawāf. Maka jika ia melewati itu hingga menjadi seorang musafir, maka mencukupi baginya seekor darah.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ أَهْلَ الْحَرَمِ وَحَاضِرِيهِ لَا دَمَ عَلَيْهِمْ فِي مُتَعِهِمْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ) {البقرة: 196) فَاسْتَثْنَى أَهْلَ الْحَرَمِ وَحَاضِرِيهِ فِي سُقُوطِ الدَّمِ عَنْهُمْ إِذَا تَمَتَّعُوا، وَهُمْ كَغَيْرِهِمْ فِي أَخْذِ التَّمَتُّعِ لَهُمْ، وَقَالَ أبو حنيفة: إِنَّمَا اسْتَثْنَاهُمْ فِي أَنَّهُ يُكْرَهُ لَهُمْ إِذَا تَمَتَّعُوا، وَهُمْ كَغَيْرِهِمْ فِي وُجُوبِ الدَّمِ عَلَيْهِمْ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَ أبي حنيفة، وَإِنَّمَا الْمُرَادُ بِهَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مَعْرِفَةُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، فَلِلْعُلَمَاءِ فِيهِمْ أَرْبَعَةِ مَذَاهِبَ:

Dikatakan oleh al-Māwardī: Telah kami sebutkan bahwa ahl al-ḥaram dan orang-orang yang tinggal di sekitarnya tidak wajib membayar dam atas tamattu‘ mereka, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Demikian itu bagi orang yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjidil Ḥarām” (QS al-Baqarah: 196). Maka ayat ini mengecualikan ahl al-ḥaram dan orang-orang di sekitarnya dari kewajiban dam jika mereka melakukan tamattu‘, dan mereka seperti selain mereka dalam hal kebolehan mengambil tamattu‘.

Adapun Abū Ḥanīfah berpendapat: Yang dikecualikan oleh ayat itu adalah dalam hal makruh bagi mereka jika mereka melakukan tamattu‘, dan mereka seperti selain mereka dalam kewajiban membayar dam. Telah dijelaskan pembahasan bersama Abū Ḥanīfah.

Yang dimaksud dalam masalah ini adalah mengetahui siapa yang termasuk ḥāḍirī al-Masjid al-Ḥarām, maka para ulama memiliki empat pendapat tentang hal ini:


أَحَدُهَا وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ: أَنَّ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ مَنْ كَانَ مِنْ جَوَانِبِ الْحَرَمِ عَلَى مَسَافَةٍ لَا يُقْصَرُ فِي مِثْلِهَا الصَّلَاةُ، وَقَدْرُهُ ثَمَانِيَةٌ وَأَرْبَعُونَ مِيلًا، وَهُوَ بِسَيْرِ النَّقَلِ وَدَبِيبِ الْقَدَمِ مَسَافَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، وَبِهِ قَالَ عَطَاءٌ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي وَهُوَ مَذْهَبُ أبي حنيفة: أَنَّهُمْ مَنْ كَانَ بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَوَاقِيتِ، وَبِهِ قَالَ مَكْحُولٌ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ وَهُوَ مَذْهَبُ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّهُمْ أَهْلُ الْحَرَمِ، وَبِهِ قَالَ مُجَاهِدٌ.

Pertama, dan itulah mazhab al-Syafi‘i: bahwa ḥāḍirī al-masjid al-ḥarām adalah siapa saja yang berada di sekitar ḥaram pada jarak yang tidak boleh diqashar salat padanya, dan ukurannya adalah 48 mil, yaitu dengan perjalanan kendaraan dan langkah kaki sejauh perjalanan sehari semalam. Demikian pula pendapat ‘Aṭā’.

Mazhab yang kedua, dan itulah mazhab Abū Ḥanīfah: bahwa mereka adalah orang-orang yang berada di antara Mekah dan miqāt, dan demikian pula pendapat Makḥūl.

Mazhab yang ketiga, dan itulah mazhab Ibn ‘Abbās: bahwa mereka adalah penduduk ḥaram, dan demikian pula pendapat Mujāhid.


وَالْمَذْهَبُ الرَّابِعُ وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ: إِنَّهُمْ أَهْلُ مَكَّةَ وَذِي طُوًى اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: {ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أهْلُهُ حَاضِرِي المَسْجِدِ الحَرَامِ) {البقرة: 196) وَحَاضِرُو الشَّيْءِ مَنْ كَانُوا مُجَاوِرِينَ لَهُ وَقَرِيبًا مِنْهُ، دُونَ مَنْ كَانَ مُنْقَطِعًا عَنْهُ وَبَعِيدًا مِنْهُ، قَالَ: وَلِأَنَّ مِيقَاتَ أَهْلِ مَكَّةَ مِنْهَا، وَمِيقَاتُ مَنْ كَانَ مِنْهَا عَلَى دُونَ الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ مِنْ مَوْضِعِهِمْ، وَلَوْ أَحْرَمُوا مِنْ مَكَّةَ كَانَ دَمُ قِرَانِ الْمِيقَاتِ وَاجِبًا عَلَيْهِمْ، فَلَوْ كَانُوا مِنْ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَأَهْلِ مَكَّةَ فِي سُقُوطِ التَّمَتُّعِ عَنْهُمْ، لَوَجَبَ أَنْ يَكُونُوا كَأَهْلِ مَكَّةَ فِي سُقُوطِ دَمِ الْمِيقَاتِ عَنْهُمْ، فَلَمَّا لَمْ يَكُونُوا مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ فِي الْمِيقَاتِ، لَمْ يَكُونُوا كَأَهْلِ مَكَّةَ فِي التَّمَتُّعِ، فَهَذَانِ دَلِيلَا مَالِكٍ، وَابْنِ عَبَّاسٍ؛ لِأَنَّ مَذْهَبَيْهِمَا يَتَدَاخَلَانِ، وَاسْتَدَلَّ أبو حنيفة بِأَنْ قَالَ: الْمِيقَاتُ محل النسك، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ أَهْلُهُ مِنْ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الحرام، كأهل منى وعرفات.

Dan mazhab keempat, yaitu mazhab Mālik: sesungguhnya mereka adalah penduduk Makkah dan Dzi Ṭuwā, dengan berdalil bahwa Allah Ta‘ālā berfirman: “Demikian itu bagi orang yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjidil Ḥarām” (QS al-Baqarah: 196). Adapun yang dimaksud dengan ḥāḍirū suatu tempat adalah orang-orang yang bertetangga dengannya dan dekat darinya, bukan orang-orang yang terputus dan jauh darinya. Ia berkata: dan karena mīqāt penduduk Makkah adalah dari Makkah itu sendiri, dan mīqāt orang yang berasal dari Makkah adalah dari tempat tinggal mereka selama tidak melebihi perjalanan sehari semalam. Seandainya mereka beriḥrām dari Makkah, maka dam karena qirān dari selain mīqāt wajib atas mereka. Maka, jika mereka termasuk dari kalangan ḥāḍirī Masjidil Ḥarām seperti halnya penduduk Makkah dalam gugurnya dam tamattu‘ dari mereka, niscaya mereka juga harus seperti penduduk Makkah dalam gugurnya dam karena meninggalkan mīqāt dari mereka. Maka, ketika mereka tidak dihukumi seperti penduduk Makkah dalam masalah mīqāt, maka mereka juga tidak dihukumi seperti penduduk Makkah dalam masalah tamattu‘. Maka dua inilah dalil Mālik dan Ibn ‘Abbās; karena kedua mazhab mereka saling berkaitan. Sedangkan Abū Ḥanīfah berdalil dengan mengatakan: mīqāt adalah tempat pelaksanaan nusuk, maka wajiblah penduduknya termasuk dari kalangan ḥāḍirī Masjidil Ḥarām, sebagaimana penduduk Minā dan ‘Arafāt.


قال: وَلِأَنَّ الْمَوَاقِيتَ جُعِلَتْ حَدًّا بَيْنَ مَا قَرُبَ مِنَ الْحَرَمِ، وَبَيْنَ مَا بَعُدَ عَنْهُ، فَوَجَبَ أَنْ يُحْكَمَ لِمَنْ فِيهِ وَدُونَهُ بِأَنَّهُ مِنْ حَاضِرِيهِ، وَلِمَنْ وَرَاءَهُ بِأَنَّهُ مِنْ غَيْرِ حَاضِرِيهِ.

Dia berkata: Karena muwāqīt dijadikan sebagai batas antara daerah yang dekat dengan ḥaram dan yang jauh darinya, maka wajib dihukumi bahwa orang yang berada di dalam batas tersebut dan sebelum batas itu termasuk ḥāḍirīh (orang yang hadir di sekitar Masjid al-Ḥarām), dan orang yang berada di luar batas tersebut termasuk selain ḥāḍirīh.

فَصْلٌ
: وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ: قَوْله تَعَالَى: {ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أهْلُهُ حَاضِرِي المَسْجِدِ الحَرَامِ) {البقرة: 196) . وَالْمُرَادُ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ: الْحَرَمُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {سُبْحَانَ الّذِي أسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ المَسْجِدِ الْحَرَامِ) {الإسراء: 1) يَعْنِي: الْحَرَمَ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ حِينَ أُسْرِيَ بِهِ فِي الْمَسْجِدِ، وَإِنَّمَا كَانَ فِي مَنْزِلِ خَدِيجَةَ، وَقَالَ تَعَالَى: {هُمُ الّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوكُمْ عَنِ المَسْجِدِ الحَرَامِ) {الفتح: 25) يعني: الحرم. وقال تعالى: {فَلاَ يَقْرَبُوا المَسْجِدَ الحَرَامِ) {التوبة: 28) وَكُلُّ مَوْضِعٍ ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْحَرَامِ فَإِنَّهُ أَرَادَ بِهِ الْحَرَمَ عَلَى مَا دَلَّلْنَا إِلَّا فِي قَوْله تَعَالَى: {فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ المَسْجِدِ الْحَرَامِ) {البقرة: 144) إِنَّهُ أَرَادَ بِهِ الْكَعْبَةَ، وَإِذَا ثَبَتَ بِمَا دَلَّلْنَا أَنَّ الْمُرَادَ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ: الْحَرَمُ، فَحَاضِرُو الْحَرَمِ غَيْرُ مَنْ في الحرم قال الله تعالى: {وَسْئَلْهُمْ عَنِ القَرْيَةِ الّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ البَحْرِ) {الأعراف: 163) قال أهل التفسير: هي ” أبلة ” وَمَعْلُومٌ أَنَّهَا لَيْسَتْ فِي الْبَحْرِ، وَإِنَّمَا هِيَ مُقَارِبَةٌ لِلْبَحْرِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُمْ غَيْرُ أَهْلِ الْحَرَمِ، بَطُلَ قَوْلُ مَالِكٍ وَمَنْ قَارَبَ قَوْلَهُ وَانْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى أبي حنيفة، فَيُقَالُ لَهُ: حَاضِرُو الْحَرَمِ مَنْ كَانَ قَرِيبًا مِنْهُ دُونَ مَنْ كَانَ بَعِيدًا، كَمَا يُقَالُ: كُنْتُ بِحَضْرَةِ فُلَانٍ، أَيْ قَرِيبًا مِنْهُ، وَهَذِهِ حَضْرَةُ الْمَلِكِ لِلْبَلَدِ الَّذِي مُتَوَلِّيهِ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ الْبِلَادِ إِلَيْهِ، فَإِنْ كَانَ كَذَلِكَ فَاعْتِبَارُ الْقُرْبِ بِمَا لَا تُقْصَرُ فِيهِ الصَّلَاةُ أَوْلَى مِنَ اعْتِبَارِهِ بِالْمِيقَاتِ؛ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَنْ فِيهِ فِي حُكْمِ الْمُقِيمِ بِمَكَّةَ، بِدَلِيلِ أَنَّهُ لَا يَسْتَبِيحُ رُخَصَ السَّفَرِ، فَكَانُوا بِالْقُرْبِ أَوْلَى مِنْ أَهْلِ الْمِيقَاتِ الَّذِينَ قَدْ يَسْتَبِيحُونَ رُخَصَ السَّفَرِ كَالْأَبَاعِدِ.

PASAL
 Dalil atas benarnya pendapat yang dianut oleh asy-Syāfi‘ī adalah firman Allah Ta‘ālā: “Demikian itu bagi orang yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjidil Ḥarām” (QS al-Baqarah: 196). Yang dimaksud dengan masjidil ḥarām adalah seluruh wilayah ḥaram. Allah Ta‘ālā berfirman: “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Ḥarām” (QS al-Isrā’: 1), maksudnya adalah: wilayah ḥaram, karena ketika beliau SAW diperjalankan (di-isrā’-kan), beliau tidak sedang berada di dalam masjid, tetapi di rumah Khadījah. Allah Ta‘ālā juga berfirman: “Merekalah orang-orang yang kafir dan menghalangimu dari Masjidil Ḥarām” (QS al-Fatḥ: 25), maksudnya adalah: wilayah ḥaram. Dan firman-Nya: “Janganlah mereka mendekati Masjidil Ḥarām” (QS at-Tawbah: 28), maksudnya pun adalah: wilayah ḥaram.

Setiap tempat dalam al-Qur’an yang menyebut “al-ḥarām”, maka yang dimaksud adalah wilayah ḥaram, seperti yang telah kami tunjukkan, kecuali dalam firman Allah: “Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Ḥarām” (QS al-Baqarah: 144), maka yang dimaksud di sini adalah Ka‘bah. Jika telah tetap berdasarkan penjelasan kami bahwa yang dimaksud dengan Masjidil Ḥarām adalah wilayah ḥaram, maka ḥāḍirū al-ḥaram (orang yang hadir di ḥaram) bukan berarti orang yang berada di dalam wilayah ḥaram.

Allah Ta‘ālā berfirman: “Tanyakanlah kepada mereka tentang negeri yang berada di hadapan laut” (QS al-A‘rāf: 163), para ahli tafsir mengatakan bahwa itu adalah “Abillah”, dan jelas bahwa ia tidak berada di laut, tetapi berdekatan dengannya. Jika telah pasti bahwa mereka bukan termasuk penduduk wilayah ḥaram, maka batallah pendapat Mālik dan orang-orang yang sepemahaman dengannya, lalu pembahasan berpindah kepada Abū Ḥanīfah. Maka dikatakan kepadanya: ḥāḍirū al-ḥaram adalah mereka yang dekat dengannya, bukan yang jauh, sebagaimana dikatakan: “Aku berada di hadapan si Fulan,” artinya: dekat dengannya. Dan disebut juga “ḥaḍratul malik” (hadapan raja) untuk negeri yang dikuasainya karena merupakan negeri yang paling dekat dengannya.

Jika demikian halnya, maka ukuran kedekatan yang paling tepat adalah yang tidak diperbolehkan melakukan qaṣar salat di dalamnya, dibandingkan dengan ukuran berdasarkan mīqāt, karena dua hal:

Pertama, bahwa orang yang berada dalam batas tersebut dihukumi sebagai orang yang bermukim di Makkah, dengan dalil bahwa ia tidak berhak mendapatkan rukhsah perjalanan. Maka, kedekatan ini lebih layak daripada ukuran mīqāt, yang bisa saja penghuninya mendapatkan rukhsah seperti orang-orang yang jauh.


وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْجِهَاتِ، وَالْأَمْكِنَةِ، وَمَوَاقِيتِ الْبِلَادِ مُخْتَلِفَةٌ، فَمِيقَاتُ الْمَشْرِقِ ذَاتُ عِرْقٍ، وَهِيَ عَلَى مَسَافَةِ يَوْمٍ، وَمِيقَاتُ الْمَدِينَةِ ذُو الْحُلَيْفَةِ، وَهِيَ عَلَى مَسِيرَةِ عَشَرَةِ أَيَّامٍ، فَيُؤَدِّي إِلَى أَنَّ مَنْ كَانَ فَوْقَ ذَاتِ عِرْقٍ بِذِرَاعٍ فَهُوَ بَعِيدٌ مِنَ الْحَرَمِ، وَلَيْسَ مِنْ حَاضِرِيهِ، وَبَيْنَهُمَا مَسَافَةُ يَوْمٍ، وَمَنْ كَانَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ فَهُوَ قَرِيبٌ مِنَ الْحَرَمِ وَمِنْ جُمْلَةِ حَاضِرِيهِ، وَبَيْنَهُمَا عَشَرَةُ أَيَّامٍ، وَهَذَا بَعِيدٌ فِي الْمَعْقُولِ فَاسِدٌ فِي الْعِبْرَةِ.

Dan pendapat kedua: Bahwa hal ini tidak berbeda karena perbedaan arah, tempat, dan muwāqīt negeri-negeri itu berbeda-beda. Maka mīqāt penduduk timur adalah Dhātu ‘Irq, dan jaraknya adalah satu hari perjalanan, sedangkan mīqāt penduduk Madinah adalah Dzul-Ḥulaifah, dan jaraknya sepuluh hari perjalanan. Maka hal ini mengakibatkan bahwa orang yang berada sedikit di atas Dhātu ‘Irq sejauh satu hasta dianggap jauh dari ḥaram dan bukan termasuk ḥāḍirīh, padahal jaraknya hanya satu hari, sedangkan orang yang berada di Dzul-Ḥulaifah dianggap dekat dari ḥaram dan termasuk ḥāḍirīh, padahal jaraknya sepuluh hari perjalanan. Ini adalah hal yang jauh dari akal dan rusak menurut pertimbangan logika.


وَيَدُلُّ عَلَى مَالِكٍ مِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ أَنْ يُقَالَ: كُلٌّ مَنْ لَمْ يَسْتَبِحْ رُخَصَ السَّفَرِ فَهُوَ مِنْ حَاضِرِي الْحَرَمِ، وَكَأَهْلِ ذِي طُوًى.
فَأَمَّا أبو حنيفة، فَالْخِلَافُ مَعَهُ يَتَقَرَّرُ فِي مَوْضِعَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: مَنْ كَانَ فَوْقَ الْمِيقَاتِ عَلَى مَسَافَةٍ لَا تُقْصَرُ فِي مِثْلِهَا الصَّلَاةُ، فَعِنْدَهُ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْ حَاضِرِي الحرم، وعندنا أنه مِنْ حَاضِرِيهِ.

Dan yang menunjukkan pendapat Mālik melalui jalan qiyās adalah dengan dikatakan: setiap orang yang tidak dibolehkan mengambil rukhsah safar, maka ia termasuk ḥāḍirī al-ḥaram, seperti halnya penduduk Dzi Ṭuwā.

Adapun Abū Ḥanīfah, maka perbedaan pendapat dengannya berada pada dua tempat:

Pertama, orang yang berada di atas mīqāt pada jarak yang dalam ukuran tersebut tidak diperbolehkan melakukan qaṣar salat, maka menurut Abū Ḥanīfah, ia bukan termasuk ḥāḍirī al-ḥaram, sedangkan menurut kami, ia termasuk ḥāḍirī al-ḥaram.


وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ مِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ، أَنَّ مَنِ اسْتَبَاحَ رُخَصَ السَّفَرِ لَمْ يَكُنْ مِنْ حَاضِرِي الْحَرَمِ، كَمَنْ جَاوَزَ الْمِيقَاتَ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا اسْتَدَلَّ بِهِ مَالِكٌ مِنْ الْآيَةِ، فَقَدْ مَضَى فِي الِاسْتِدْلَالِ بِهَا عَلَيْهِ.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا ذَكَرَهُ مِنْ وُجُوبِ دَمِ الْفَوَاتِ مُخَالَفَةً لِأَهْلِ الْحَرَمِ؛ وَهُوَ أَنَّ الْحَرَمَ مِيقَاتٌ لِأَهْلِهِ دُونَ غَيْرِهِمْ، وَلَيْسَ مَنْ كَانَ حَاضِرِي الْحَرَمِ مِنْ أَهْلِ الْحَرَمِ، فَلَمْ يَجُزْ لهم الإحرام من المحرم، فَلَزِمَهُمُ الدَّمُ لِإِخْلَالِهِمْ بِالْإِحْرَامِ مِنْ مِيقَاتِهِمْ، وَأَمَّا قِيَاسُ أبي حنيفة عَلَى مِنًى وَعَرَفَاتٍ، فَالْمَعْنَى فِيهِمَا أَنَّهُمَا عَلَى مَسَافَةٍ لَا تُقْصَرُ فِي مثلها الصلاة.

Dan petunjuk atas hal ini dari sisi qiyās adalah: bahwa siapa pun yang dibolehkan mengambil rukhṣah safar, maka ia bukan termasuk ḥāḍirī al-ḥaram, seperti orang yang melampaui mīqāt.

Adapun jawaban atas dalil yang digunakan oleh Mālik dari ayat (QS al-Baqarah: 196), telah dijelaskan dalam pembahasan istidlāl atasnya.

Adapun jawaban atas apa yang ia sebutkan tentang wajibnya dam fawāt sebagai bentuk penyelisihan terhadap ahl al-ḥaram, maka sesungguhnya ḥaram adalah mīqāt bagi penduduknya, bukan bagi selain mereka. Dan tidaklah setiap orang yang ḥāḍirī al-ḥaram itu termasuk ahl al-ḥaram, sehingga tidak boleh bagi mereka beriḥrām dari dalam ḥaram, maka wajib atas mereka membayar dam karena mereka telah melalaikan beriḥrām dari mīqāt mereka.

Adapun qiyās Abū Ḥanīfah terhadap (wilayah) Minā dan ‘Arafāt, maka maksud dari keduanya adalah bahwa keduanya berada pada jarak yang tidak diperbolehkan untuk menqashar shalat di dalamnya.


وأما قوله ” إنما جُعِلَتْ حَدًّا بَيْنَ الْقَرِيبِ وَالْبَعِيدِ “، فَغَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّهَا جُعِلَتْ حَدًّا لِلْإِحْرَامِ، وَلَمْ تُجْعَلْ حَدًّا لِلْقُرْبِ وَالْبُعْدِ، وَلَوْ جُعِلَتْ حَدًّا لِلْقُرْبِ وَالْبُعْدِ لَاسْتَوَتِ الْمَوَاقِيتُ كُلُّهَا فِي الْقُرْبِ وَالْبُعْدِ.

Adapun perkataannya: “Sesungguhnya muwāqīt dijadikan sebagai batas antara yang dekat dan yang jauh,” maka itu tidaklah benar; karena muwāqīt itu dijadikan sebagai batas untuk iḥrām, dan bukan dijadikan sebagai batas kedekatan atau kejauhan. Seandainya ia dijadikan sebagai batas antara yang dekat dan yang jauh, niscaya seluruh muwāqīt itu akan sama dalam hal jarak dekat dan jauhnya.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ حَاضِرِي الْحَرَمِ مَنْ كَانَ عَلَى مَسَافَةٍ لَا تُقْصَرُ فِي مِثْلِهَا الصَّلَاةُ، فَكُلُّ مَنْ تَمَتَّعَ مِنْ أَهْلِ الْحَرَمَ أَوْ حَاضِرِيهِ، فَلَا دَمَ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْحَرَمِ وَحَاضِرِيهِ فَعَلَيْهِ إِذَا تَمَتَّعَ أَوْ قَرَنَ دَمٌ، لِتَمَتُّعِهِ أَوْ قِرَانِهِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ تَمَّ بِهِ سُقُوطُ أَحَدِ الْمِيقَاتَيْنِ، لِأَنَّهُ يُحْرِمُ بِالْحَجِّ مِنَ الْحَرَمِ، وَقَدْ كَانَ يَلْزَمُهُ أَنْ يُحْرِمَ بِهِ مِنْ مِيقَاتِ بَلَدِهِ، فَلَوْ أَنَّ رَجُلًا تَمَتَّعَ وَلَهُ وَطَنَانِ، أَحَدُهُمَا بِالْحَرَمِ أَوْ حَاضِرِيهِ، وَالثَّانِي بِغَيْرِهِ، اعْتُبِرَ أَكْثَرُ مُقَامِهِ، فَإِنْ كَانَ أَكْثَرُ مُقَامِهِ بِالْحَرَمِ فَهُوَ فِي حُكْمِ أَهْلِهِ وَلَا دَمَ عَلَيْهِ فِي تَمَتُّعِهِ، وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ مُقَامِهِ بِغَيْرِ الْحَرَمِ وَحَاضِرِيهِ وَجَبَ تَغْلِيبُ حُكْمِهِ وَلَزِمَهُ الدَّمُ؛ لِتَمَتُّعِهِ، وَإِنِ اسْتَوَى مُقَامُهُ فِيهِمَا اعْتُبِرَ حَالُ مَآلِهِ، فَإِنْ كَانَ فِي أَحَدِهِمَا: أَوْ كَانَ فِيهِمَا، أَوْ فِي أَحَدِهِمَا أَكْثَرُ، غَلَبَ حُكْمُ الْوَطَنِ الَّذِي فِيهِ جَمِيعُ مَآلِهِ أَوْ أَكْثَرُهُ، فَإِنِ اسْتَوَى مَآلُهُ فِي الْوَطَنَيْنِ اعْتُبِرَتْ نِيَّتُهُ فِي العود إلى أحد الوطنين، وغلب حكمه، فإن استوى مآله من الْوَطَنَيْنِ قَالَ أَصْحَابُنَا: غَلَبَ حُكْمُ الْبَلَدِ الَّذِي خَرَجَ بِهِ.

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa ḥāḍirī al-ḥaram adalah orang yang berada pada jarak yang tidak boleh di-qaṣar salat padanya, maka setiap orang yang melakukan tamattu‘ dari penduduk ḥaram atau dari ḥāḍirī-nya, maka tidak ada dam atasnya. Namun jika ia bukan dari penduduk ḥaram dan bukan pula dari ḥāḍirī-nya, maka wajib atasnya dam jika ia melakukan tamattu‘ atau qirān, karena tamattu‘-nya atau qirān-nya; sebab dengan itu gugurlah salah satu dari dua mīqāt, karena ia beriḥrām untuk ḥajj dari dalam wilayah ḥaram, padahal seharusnya ia beriḥrām dari mīqāt negerinya.

Seandainya ada seseorang yang melakukan tamattu‘ dan ia memiliki dua tempat tinggal: salah satunya di dalam ḥaram atau di antara ḥāḍirī-nya, dan yang satunya di luar ḥaram dan ḥāḍirī-nya, maka yang dijadikan acuan adalah tempat tinggal yang lebih dominan. Jika kebanyakan tinggalnya di dalam ḥaram, maka ia dihukumi sebagai penduduknya, dan tidak ada dam atasnya karena tamattu‘-nya. Namun jika kebanyakan tinggalnya di luar ḥaram dan ḥāḍirī-nya, maka wajib menguatkan hukum tersebut dan dam menjadi wajib atasnya karena tamattu‘-nya.

Jika dua tempat tinggalnya seimbang, maka dilihat keadaan akhirnya; jika akhirnya berada di salah satunya, atau berada di keduanya, atau di salah satunya lebih dominan, maka yang diunggulkan adalah hukum tempat tinggal yang menjadi keseluruhan atau kebanyakan tempat akhirnya. Jika tempat akhir tinggalnya juga seimbang di antara dua tempat tersebut, maka dilihat niatnya untuk kembali ke salah satunya, dan hukum tempat yang diniatkan untuk kembali itulah yang diunggulkan. Jika tempat akhirnya seimbang di antara keduanya, maka para sahabat kami berkata: yang diunggulkan adalah hukum negeri yang ia keluar darinya.


فَصْلٌ
: فَلَوْ أَنَّ عِرَاقِيًّا دَخَلَ مَكَّةَ وَنَوَى الْمُقَامَ بِهَا، ثُمَّ اسْتَأْنَفَ التَّمَتُّعَ بَعْدَ مُقَامِهِ، لَمْ يَلْزَمْهُ دَمٌ، لِأَنَّهُ تَمَتَّعَ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ، وَلَوْ أَنَّ مَكِّيًّا دَخَلَ الْعِرَاقَ وَنَوَى بِهَا الْمُقَامَ ثُمَّ تَمَتَّعَ لَزِمَهُ الدَّمُ لِتَمَتُّعِهِ؛ لِأَنَّهُ تَمَتَّعَ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ، وَلَكِنْ لَوْ تَمَتَّعَ الْعِرَاقِيُّ، ثُمَّ نَوَى الْمُقَامَ بِمَكَّةَ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ دَمُ التمتع (فوجوبه عَلَيْهِ قَبْلَ مُقَامِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْإِمْلَاءِ: فَلَوْ تَمَتَّعَ الْعِرَاقِيُّ. فَحِينَ فَرَغَ مِنْ عُمْرَتِهِ نَوَى الْمُقَامَ بِمَكَّةَ قَبْلَ الْإِحْرَامِ بِالْحَجِّ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ دَمُ التَّمَتُّعِ) وَهَذَا صَحِيحٌ؛ لِأَنَّهُ لَا يَصِيرُ مُقِيمًا لِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ، إِلَّا أَنْ يَقْتَرِنَ بِهَا فِعْلُ الْإِقَامَةِ، وَهُوَ لَا يَقْدِرُ عَلَى فِعْلِ الْإِقَامَةِ قَبْلَ حَجِّهِ لِمَا يَجِبُ عَلَيْهِ مِنَ الْخُرُوجِ إِلَى مِنًى وَعَرَفَاتٍ، فَكَانَ يُعَدُّ فِي حُكْمِ الْمُسَافِرِ وَلَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ دم التمتع.

PASAL
 Seandainya seorang Irak masuk ke Makkah dan berniat menetap di sana, lalu ia memulai tamattu‘ setelah menetap, maka tidak wajib atasnya dam, karena ia melakukan tamattu‘ dalam keadaan sebagai penduduk Makkah.

Dan seandainya seorang penduduk Makkah masuk ke Irak dan berniat tinggal di sana, lalu ia melakukan tamattu‘, maka wajib atasnya dam karena ia melakukan tamattu‘ dalam keadaan sebagai penduduk Irak.

Namun jika orang Irak melakukan tamattu‘, lalu setelah itu baru berniat menetap di Makkah, maka dam tamattu‘ tidak gugur darinya, karena kewajiban dam itu telah tetap atasnya sebelum ia menetap.

Al-Syāfi‘ī berkata dalam al-Imlā’: “Jika seorang Irak telah melakukan tamattu‘, lalu setelah selesai dari ‘umrah-nya ia berniat tinggal di Makkah sebelum beriḥrām ḥaji, maka tidak gugur darinya dam tamattu‘.”

Dan ini benar, karena seseorang tidak dianggap sebagai penduduk tetap hanya dengan niat semata, kecuali jika niat tersebut disertai dengan perbuatan tinggal (sebenarnya), dan ia tidak mampu melakukan perbuatan tinggal sebelum ḥaji, karena ia wajib keluar ke Minā dan ‘Arafāt. Maka ia tetap dihukumi sebagai musafir dan dam tamattu‘ tidak gugur darinya.


فَصْلٌ
: فَإِذَا فَرَغَ الْمُتَمَتِّعُ مِنْ عُمْرَتِهِ وَأَحَلَّ مِنْهَا، فَهُوَ حَلَالٌ كَغَيْرِهِ، وَلَهُ أَنْ يَتَطَيَّبَ وَيَسْتَمْتِعَ بِالنِّسَاءِ، مَا لَمْ يُحْرِمْ بِالْحَجِّ، سَوَاءٌ سَاقَ هَدْيًا أَوْ لَمْ يَسُقْ.

PASAL
 Apabila seorang yang melakukan tamattu‘ telah selesai dari ‘umrah-nya dan telah bertahallul darinya, maka ia menjadi halal sebagaimana orang lain, dan ia boleh memakai wewangian serta menikmati hubungan dengan perempuan, selama ia belum beriḥrām untuk ḥajj, baik ia menggiring hadyu ataupun tidak.

 

وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ لَمْ يَسُقْ هَدْيًا جَازَ، وَإِنْ سَاقَ هَدْيًا لَمْ يَجُزِ احْتِجَاجًا مِمَّا رُوِيَ عَنْ حَفْصَةَ: أَنَّهَا قَالَتْ: ” يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا بَالُ النَّاسِ حَلُّوا مِنْ عُمْرَتِهِمْ وَلَمْ تَحِلَّ مِنْ عُمْرَتِكَ قَالَ: ” لِأَنِّي لبدت رأسي فقلدت الْهَدْيَ، وَلَا أُحِلُّ حَتَّى انْحَرَ ” فَأَخْبَرَ أَنَّ سَوْقَ الْهَدْيِ مَنَعَهُ مِنَ التَّحَلُّلِ مِنْ عُمْرَتِهِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ مَانِعٌ لَهُ وَلِغَيْرِهِ. وَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في حجة الوداع، فأحرمنا بعمرة، فقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ كَانَ مَعَهُ هَدْيٌ فَلْيُهِلَّ بِالْحَجِّ، ثُمَّ لَا يُحِلُّ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُمَا جَمِيعًا “.

Berkata Abū Ḥanīfah: Jika seseorang tidak menggiring hady, maka boleh (tamattu‘), dan jika ia menggiring hady, maka tidak boleh, dengan berdalil pada riwayat dari Ḥafṣah bahwa ia berkata:

“Wahai Rasulullah, mengapa orang-orang telah bertahallul dari ‘umrah mereka, sedangkan engkau belum bertahallul dari ‘umrah-mu?” Maka beliau bersabda:

“Karena aku telah melumuri kepalaku (dengan minyak) dan telah mengalungkan hady, dan aku tidak akan bertahallul sampai aku menyembelihnya.”

Maka beliau mengabarkan bahwa penggiringan hady mencegahnya dari bertahallul dari ‘umrah-nya, maka ini menunjukkan bahwa hady itu menjadi penghalang baginya dan juga bagi selainnya.

Dan diriwayatkan dari ‘Ā’isyah bahwa ia berkata:

Kami keluar bersama Nabi SAW dalam ḥajjat al-wadā‘, lalu kami beriḥrām untuk ‘umrah, maka Nabi SAW bersabda:

“Barang siapa yang bersamanya hady, maka hendaklah ia beriḥrām untuk ḥaji, lalu janganlah ia bertahallul sampai selesai dari keduanya sekaligus.”


وِالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ رِوَايَةُ مَالِكٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ، فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْحَجِّ، وَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْعُمْرَةِ، وَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ، فَأَمَّا الَّذِينَ أَهَلُّوا بِالْعُمْرَةِ، فَطَافُوا وَسَعَوْا بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَأَحَلُّوا، فَأُخْبِرْتُ أَنَّ مَنْ أَهَلَّ بِالْعُمْرَةِ أَحَلَّ مِنْهَا، وَقَدْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ سَاقَ هَدْيًا فَدَلَّ عَلَى أَنَّ سَوْقَ الْهَدْيِ غَيْرُ مَانِعٍ مِنَ الْإِحْلَالِ، وَلِأَنَّهُ مُتَمَتِّعٌ أَكْمَلَ أَفْعَالَ عُمْرَتِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَجُوزَ لَهُ التَّحَلُّلُ مِنْهَا كَمَنْ لَمْ يَسُقِ الْهَدْيَ، ولأن كل من كَانَ وَقْتًا لِلْإِحْلَالِ لِمَنْ لَا هَدْيَ مَعَهُ، كَانَ وَقْتًا لِإِحْلَالِ مَنْ مَعَهُ الْهَدْيُ، كَالْمُفْرِدِ وَالْقَارِنِ، يُحِلُّ إِذَا كَانَ مَعَهُ هَدْيٌ، فِي الْوَقْتِ الَّذِي يَحِلُّ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ هَدْيٌ، كَذَلِكَ الْمُتَمَتِّعُ، وَلِأَنَّهُ سُمِّيَ مُتَمَتِّعًا لِتَمَتُّعِهِ بَيْنَ الْإِحْرَامَيْنِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُمْنَعَ مِنْهُ، لِأَنَّ الِاسْمَ يَزُولُ عَنْهُ.

PASAL
 Dalil atas benarnya pendapat kami adalah riwayat Mālik dari az-Zuhrī, dari ‘Urwah, dari ‘Ā’isyah, bahwa ia berkata: Kami keluar bersama Rasulullah SAW dalam ḥajj Wada‘. Maka di antara kami ada yang beriḥrām untuk ḥajj, di antara kami ada yang beriḥrām untuk ‘umrah, dan di antara kami ada yang beriḥrām untuk ḥajj dan ‘umrah. Adapun mereka yang beriḥrām untuk ‘umrah, maka mereka thawaf dan sa‘i antara Shafā dan Marwah, lalu mereka bertahallul. Maka aku diberi tahu bahwa orang yang beriḥrām untuk ‘umrah, maka ia bertahallul darinya, dan sebagian dari mereka ada yang menggiring hadyu.

Maka hal ini menunjukkan bahwa menggiring hadyu tidak mencegah seseorang dari iḥlāl (bertahallul). Dan karena ia adalah seorang mutamatti‘ yang telah menyempurnakan seluruh amalan ‘umrah-nya, maka wajib baginya untuk boleh bertahallul darinya sebagaimana orang yang tidak menggiring hadyu. Dan karena setiap waktu yang menjadi waktu iḥlāl bagi orang yang tidak membawa hadyu, maka juga menjadi waktu iḥlāl bagi orang yang membawa hadyu, seperti mufrid dan qārin, yang keduanya bertahallul jika bersama mereka hadyu pada waktu yang sama di mana mereka juga bertahallul jika tanpa hadyu. Demikian pula halnya dengan mutamatti‘.

Dan karena ia dinamakan mutamatti‘ karena mendapatkan kenikmatan antara dua iḥrām, maka tidak boleh dilarang darinya, karena nama tersebut akan hilang darinya.


فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ حَفْصَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُمْ لَا يُثْبِتُونَهُ، لِأَنَّهُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ كَانَ مُتَمَتِّعًا، وَهُمْ يَرَوْنَ أَنَّهُ كَانَ قَارِنًا، وَنَحْنُ نَرَى أَنَّهُ كَانَ مُفْرِدًا، فَلَمْ يَصِحَّ لَنَا وَلَهُمُ الِاحْتِجَاجُ بِهِ، لِاعْتِقَادِنَا خِلَافَهُ.

Adapun jawaban terhadap hadis Ḥafṣah RA adalah dari dua sisi:

Pertama: Bahwa mereka (para penentang) tidak menetapkannya, karena hadis itu menunjukkan bahwa Nabi SAW melakukan tamattu‘, padahal mereka berpendapat bahwa beliau melakukan qirān, sedangkan kami berpendapat bahwa beliau melakukan ifrād. Maka tidak sah bagi kami maupun bagi mereka untuk berdalil dengannya, karena masing-masing meyakini kebalikannya.


وَالْجَوَابُ الثَّانِي: تَسْلِيمُ الْحَدِيثِ لَهُمْ، وَتَرْكُ مَنْعِهِمْ مِنْهُ، وَتَأَوُّلُهُ عَلَى مَا يَصِحُّ فَيَقُولُ: إِنَّ مَعْنَى قَوْلِ حَفْصَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: مَا بَالُ النَّاسِ قَدْ حَلُّوا مِنْ عُمْرَتِهِمْ وَلَمْ تَحِلَّ مِنْ عُمْرَتِكَ، أَيْ مَا بَالُ النَّاسِ حَلُّوا مِنْ حَجِّهِمْ بِعَمَلِ عُمْرَتِهِمْ وَلَمْ تَحِلَّ أَنْتَ مِنْ حَجِّكَ بِعَمَلِ عُمْرَةٍ، لَا أَنَّهُمْ كَانُوا أَحْرَمُوا مَعَهُ ابْتِدَاءً بِعُمْرَةٍ أَحَلُّوا مِنْهَا دُونَهُ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ قَدْ أَحْرَمَ هُوَ وَأَصْحَابُهُ بِالْحَجِّ عَلَى مَا رَوَيْنَا مِنْ قَبْلُ، ثُمَّ أَمَرَ مَنْ لَا هَدْيَ مَعَهُ أَنْ يَفْسَخَ حَجَّهُ إِلَى عُمْرَةٍ، وَمَنْ مَعَهُ هَدْيٌ أَنْ يُقِيمَ عَلَى حَجِّهِ، وَقِيلَ: بَلْ كَانَ إِحْرَامُهُ وَإِحْرَامُهُمْ مَوْقُوفًا، فَأَمَرَ مَنْ لَا هَدْيَ مَعَهُ أَنْ يَصْرِفَ إِحْرَامَهُ إِلَى عُمْرَةٍ، وَمَنْ مَعَهُ هَدْيٌ أَنْ يصرفه إلى الحج، فلما رأت حفصة أَنَّهُمْ قَدْ أَحَلُّوا مِنْ إِحْرَامِهِمْ بِعَمَلِ عُمْرَةٍ، وَهُوَ باقٍ عَلَى إِحْرَامِهِ لَمْ يَتَحَلَّلْ بِعَمَلِ عُمْرَةٍ، سَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَنِّي لَبَّدْتُ رَأْسِي وَقَلَّدْتُ الْهَدْيَ فَلَا أُحِلُّ حَتَّى أَنْحَرَ ” فَأَخْبَرَهَا عَنِ السَّبَبِ الَّذِي مَنَعَهُ مِنَ التَّحَلُّلِ بِعَمَلِ عُمْرَةٍ، فَلَمْ يَكُنْ فِيهِ لأبي حنيفة دَلَالَةٌ.

Dan jawaban kedua: menerima hadis itu untuk mereka, tidak melarang mereka darinya, dan menakwilkannya pada makna yang sahih. Maka dikatakan: sesungguhnya maksud ucapan Ḥafṣah RA: “Mengapa orang-orang telah bertahallul dari ‘umrah mereka sedangkan engkau belum bertahallul dari ‘umrahmu?”, yakni: mengapa orang-orang telah bertahallul dari haji mereka dengan amalan ‘umrah mereka, sedangkan engkau belum bertahallul dari hajimu dengan amalan ‘umrah? Bukan bahwa mereka telah berihram bersamanya sejak awal dengan ‘umrah lalu mereka bertahallul darinya sedangkan ia tidak, karena Rasulullah SAW telah berihram bersama para sahabatnya dengan haji sebagaimana telah kami riwayatkan sebelumnya. Lalu beliau memerintahkan siapa saja yang tidak membawa hady agar mengganti haji-nya menjadi ‘umrah, dan siapa yang membawa hady agar tetap pada haji-nya. Ada pula yang mengatakan: bahkan ihram beliau dan mereka ditangguhkan, lalu beliau memerintahkan siapa yang tidak membawa hady agar mengalihkan ihramnya menjadi ‘umrah, dan siapa yang membawa hady agar mengalihkannya menjadi haji. Maka ketika Ḥafṣah melihat bahwa mereka telah bertahallul dari ihram mereka dengan amalan ‘umrah, sedangkan beliau masih tetap dalam ihramnya dan belum bertahallul dengan amalan ‘umrah, ia pun menanyakannya kepada beliau. Maka beliau SAW bersabda: “Sesungguhnya aku telah menyemir rambutku dan menggantungkan hady, maka aku tidak bertahallul hingga aku menyembelihnya.” Maka beliau memberitahunya tentang sebab yang menghalangi beliau dari bertahallul dengan amalan ‘umrah. Maka di dalamnya tidak ada dalil bagi Abu Ḥanīfah.

وَأَمَّا حَدِيثُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَالْمَرْوِيُّ عَنْهَا خِلَافُهُ، عَلَى أَنَّهُ لَا حُجَّةَ فِيهِ أَيْضًا؛ لِأَنَّ قَوْلَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ومن كان معه هدي فليهل بالحج “. إنما هو أمر منه عليه السلام لمن كان أحرم بالعمرة أن يهل بِالْحَجِّ فَيَصِيرُ قَارِنًا، ثُمَّ أَمَرَهُ أَنْ لَا يحل حتى يفرغ منها جَمِيعًا، وَكَذَا نَقُولُ فِي الْقَارِنِ: إِنَّهُ لَا يُحِلَّ حَتَّى يَفْرُغَ مِنَ النُّسُكَيْنِ جَمِيعًا.

Adapun hadis ‘Ā’isyah RA, maka riwayat darinya justru bertentangan (dengan apa yang dijadikan dalil), di samping itu tidak terdapat hujjah di dalamnya juga. Karena sabda Nabi SAW: “Barang siapa yang bersamanya hady, maka hendaklah ia beriḥrām untuk ḥaji,” hanyalah merupakan perintah dari beliau SAW kepada orang yang telah beriḥrām dengan ‘umrah agar beriḥrām pula untuk ḥaji, sehingga ia menjadi qārin (melakukan qirān), kemudian beliau memerintahkannya agar tidak bertahallul sampai selesai dari kedua manāsik tersebut sekaligus.

Dan demikian pula kami katakan dalam kasus qārin: sesungguhnya ia tidak bertahallul sampai ia selesai dari kedua manāsik tersebut secara bersamaan.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا فَسْخُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْحَجَّ عَلَى أَصْحَابِهِ، وَأَمْرُهُ لَهُمْ أَنْ يُحِلُّوا بالعمرة فالذي يومئ (إليه) الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فَسْخًا، وَإِنَّمَا أَحْرَمَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَصْحَابُهُ إِحْرَامًا مَوْقُوفًا ثُمَّ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَنْ لَا هَدْيَ مَعَهُ مِنَ الصَّحَابَةِ أَنْ يَصْرِفَ إِحْرَامَهُ إِلَى عُمْرَةٍ، وَمَنْ مَعَهُ هَدْيٌ أَنْ يَصْرِفَ إِحْرَامَهُ إِلَى الْحَجِّ، وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ طَاوُسٍ، وَقَالَ غَيْرُ الشَّافِعِيِّ: إِنَّهُ كَانَ فَسْخًا وَإِنَّهُمْ كَانُوا قَدْ أَحْرَمُوا بِالْحَجِّ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَنْ لَا هَدْيَ مَعَهُ أَنْ يَفْسَخَ حَجَّهُ ويتحلل بعمل عمرة، الرواية بِهَذَا أَشْهَرُ، وَقَدْ رَوَى أَبُو نَضْرَةَ ذَلِكَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ عَلَى مَا أَوْمَأَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ، جَازَ فِعْلُ مِثْلِهِ فِي وَقْتِنَا هَذَا؛ لِأَنَّ الْإِحْرَامَ الْمَوْقُوفَ جَائِزٌ، وَإِنْ كَانَ عَلَى مَا قَالَهُ غَيْرُ الشَّافِعِيِّ: مِنْ فَسْخِ الْحَجِّ إِلَى الْعُمْرَةِ لَمْ يجز (فسخ الحج لنا خاصة، ولا لمن بعدنا، فقال: بل لكم خاصة) فعل مثله في وقتنا هنا، لِمَا رَوَى بِلَالُ بْنُ الْحَارِثِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: ” قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَسْخُ الْحَجِّ لَنَا خَاصَّةً أَوْ لَنَا وَلِمَنْ بَعْدَنَا فَقَالَ: بَلْ لَكُمْ خَاصَّةً. وَرُوِيَ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أنه قال: إنما كان ذلك الرهط الَّذِينَ كَانُوا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.

PASAL
 Adapun mengenai penukaran ḥaji yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap para sahabatnya, dan perintah beliau kepada mereka agar bertahallul dengan ‘umrah, maka yang ditunjukkan oleh al-Syāfi‘ī dalam Kitāb al-Umm adalah bahwa hal itu bukanlah penukaran (faskh), melainkan Rasulullah SAW dan para sahabat beriḥrām dengan iḥrām muwaqqaf (iḥrām yang ditangguhkan statusnya), kemudian Rasulullah SAW memerintahkan siapa pun dari sahabat yang tidak membawa hady agar mengalihkan iḥrām-nya menjadi untuk ‘umrah, dan siapa pun yang membawa hady agar mengalihkan iḥrām-nya menjadi untuk ḥaji. Dan hal ini diriwayatkan dari Ṭāwūs.

Adapun selain al-Syāfi‘ī berpendapat bahwa hal itu adalah faskh (penukaran ḥaji menjadi ‘umrah), dan bahwa para sahabat telah beriḥrām untuk ḥaji, kemudian Rasulullah SAW memerintahkan siapa pun yang tidak membawa hady agar menukar ḥaji-nya dan bertahallul dengan amal ‘umrah. Riwayat dengan versi ini lebih masyhur, dan telah diriwayatkan oleh Abū Naḍrah dari Abū Sa‘īd al-Khudrī.

Jika hal itu sebagaimana yang ditunjukkan oleh al-Syāfi‘ī, maka boleh melakukan hal semisal di zaman kita ini, karena iḥrām muwaqqaf adalah sesuatu yang boleh.

Namun jika hal itu sebagaimana yang dikatakan oleh selain al-Syāfi‘ī, yaitu berupa penukaran ḥaji menjadi ‘umrah, maka tidak boleh dilakukan faskh ḥaji oleh kita secara khusus, dan tidak pula oleh orang setelah kita, karena terdapat riwayat dari Bilāl bin al-Ḥārith dari ayahnya, ia berkata:

“Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah faskh ḥaji itu khusus untuk kami atau untuk kami dan orang setelah kami?” Maka beliau bersabda: “Bahkan itu khusus untuk kalian.”

Dan diriwayatkan dari Abū Dharr bahwa ia berkata: Sesungguhnya hal itu hanya berlaku bagi rombongan yang bersama Rasulullah SAW saja.

قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” مِيقَاتُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مِنْ ذِي الحليفة وأهل الشام ومصر والمغرب وَغَيْرِهَا مِنَ الْجُحْفَةِ وَأَهْلِ تِهَامَةِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمُ وَأَهْلِ نَجْدِ الْيَمَنِ قَرْنُ وَأَهْلِ الْمَشْرِقِ ذَاتُ عِرْقٍ وَلَوْ أَهَلُّوا مِنَ الْعَقِيقِ كَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْمِيقَاتُ فِي لِسَانِهِمْ فَهُوَ الْحَدُّ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ) {البقرة: 189) يَعْنِي أَنَّهَا حَدٌّ لِإِحْلَالِ دُيُونِهِمْ، وَأَوْقَاتِ حَجِّهِمْ وَعِبَادَاتِهِمْ فَمَوَاقِيتُ الْحَجِّ خَمْسَةٌ:

PASAL MĪQĀT HAJI

Imam al-Syafi‘i berkata: “Mīqāt penduduk Madinah adalah Dzul-Ḥulaifah, dan penduduk Syam, Mesir, Maghrib dan lainnya dari al-Juḥfah; penduduk Tihāmah Yaman adalah Yalamlam; penduduk Najd Yaman adalah Qarn; dan penduduk wilayah timur adalah Dzātu ‘Irq; dan seandainya mereka berihram dari al-‘Aqīq, itu lebih aku sukai.”

Al-Māwardī berkata: Adapun mīqāt dalam bahasa mereka adalah batas. Allah Ta‘ala berfirman: {Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal, katakanlah: itu adalah mīqāt-mīqāt bagi manusia dan (ibadah) haji} (al-Baqarah: 189), maksudnya ialah bahwa itu merupakan batas untuk waktu-waktu pelunasan utang mereka, waktu-waktu haji mereka dan ibadah-ibadah mereka. Maka mīqāt-mīqāt haji itu ada lima:


أَحَدُهَا: ذُو الْحُلَيْفَةِ؛ وَهُوَ مِيقَاتُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ.
وَالثَّانِي: الْجُحْفَةُ وَهُوَ مِيقَاتُ أَهْلِ الشَّامِ وَمِصْرَ وَالْمَغْرِبِ.
وَالثَّالِثُ: يَلَمْلَمُ، وَقِيلَ: الْمُسَلَّمُ، وَهُوَ مِيقَاتُ أَهْلِ تِهَامَةَ وَالْيَمَنِ.
وَالرَّابِعُ: قَرْنُ وَهُوَ مِيقَاتُ أَهْلِ نَجْدٍ.

Pertama: Dzul-Ḥulaifah, yaitu mīqāt bagi penduduk Madinah.
 Kedua: Al-Juḥfah, yaitu mīqāt bagi penduduk Syam, Mesir, dan Maghrib.
 Ketiga: Yalamlam — dan ada yang mengatakan al-Musallam — yaitu mīqāt bagi penduduk Tihāmah dan Yaman.
 Keempat: Qarn, yaitu mīqāt bagi penduduk Najd.


وَالْخَامِسُ: ذَاتُ عِرْقٍ وَهُوَ مِيقَاتُ أَهْلِ الْعِرَاقِ وَالْمَشْرِقِ، فَهَذِهِ خَمْسَةُ مَوَاقِيتَ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَرْبَعَةٍ مِنْهَا مُقَدَّرَةٍ بِنَصِّ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهِيَ ذُو الْحُلَيْفَةِ وَالْجُحْفَةُ وَيَلَمْلَمُ وَقَرْنُ، لِرِوَايَةِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” يُهِلُّ أَهْلُ الْمَدِينَةِ مِنْ ذِي الْحُلَيْفَةِ وَأَهْلُ الشَّامِ مِنَ الْجُحْفَةِ وَأَهْلُ نَجْدٍ مِنْ قَرْنَ “. هَذِهِ الثَّلَاثَةُ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَأُخْبِرْتُ أَنَّهُ قَالَ: ” وَيُهِلُّ أَهْلُ الْيَمَنِ مِنْ يَلَمْلَمَ “. وَرَوَى طَاوُسٌ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: وَقَّتَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَلِأَهْلِ الشَّامِ الْجُحْفَةَ، وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ، وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمُ (فَهُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ لِمَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ) فَمَنْ كَانَ دُونَهُنَّ فَمِنْ حَيْثُ يَبْدَأُ ” فَأَمَّا الْمِيقَاتُ الْخَامِسُ: وَهُوَ ذَاتُ عِرْقٍ، فَهُوَ مِيقَاتُ أَهْلِ الْعِرَاقِ وَالْمَشْرِقِ، وَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِيهِ: هَلْ ثَبَتَ مُقَدَّرًا بِنَصِّ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَوْ قِيَاسًا بِاجْتِهَادِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ؟ فَحُكِيَ عَنِ ابْنِ سِيرِينَ وَطَاوُسٍ أَنَّ ذَاتَ عِرْقٍ مُؤَقَّتَةٌ بِاجْتِهَادٍ لَا بِنَصٍّ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَمَا أَرَاهُ إِلَّا كَمَا قَالَ طَاوُسٌ.

Dan kelima: Dhātu ‘Irq, yaitu mīqāt bagi penduduk Irak dan wilayah timur. Maka ini adalah lima muwāqīt (batas waktu/tempat iḥrām), yang empat di antaranya disepakati oleh kaum muslimin sebagai mīqāt yang ditetapkan berdasarkan nash dari Rasulullah SAW, yaitu: Dzul-Ḥulaifah, al-Juḥfah, Yalamlam, dan Qarn, berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Umar bahwa Nabi SAW bersabda:

“Penduduk Madinah beriḥrām dari Dzul-Ḥulaifah, penduduk Syam dari al-Juḥfah, dan penduduk Najd dari Qarn. Tiga ini aku dengar langsung dari Rasulullah SAW, dan aku diberi tahu bahwa beliau bersabda: dan penduduk Yaman beriḥrām dari Yalamlam.”

Dan Ṭāwūs meriwayatkan dari Ibn ‘Abbās bahwa ia berkata:

“Rasulullah SAW menetapkan Dzul-Ḥulaifah sebagai mīqāt bagi penduduk Madinah, al-Juḥfah bagi penduduk Syam, Qarn bagi penduduk Najd, dan Yalamlam bagi penduduk Yaman.”

(“Tempat-tempat itu adalah bagi mereka dan bagi siapa saja yang melewatinya, bukan dari penduduk aslinya, bagi orang yang ingin menunaikan haji dan ‘umrah. Maka barang siapa yang berada di dalam batas tersebut, maka beriḥrāmlah dari tempat ia mulai.”)

Adapun mīqāt yang kelima yaitu Dhātu ‘Irq, maka itu adalah mīqāt bagi penduduk Irak dan wilayah timur. Para ulama berbeda pendapat tentangnya: apakah ia ditetapkan secara pasti berdasarkan nash dari Rasulullah SAW ataukah melalui qiyās hasil ijtihad para sahabat RA?

Diriwayatkan dari Ibn Sīrīn dan Ṭāwūs bahwa Dhātu ‘Irq ditetapkan melalui ijtihad, bukan dengan nash.

Al-Syāfi‘ī berkata: “Aku tidak melihatnya kecuali sebagaimana dikatakan oleh Ṭāwūs.”


وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ وَعَطَاءٍ أَنَّهَا مُؤَقَّتَةٌ بِنَصٍّ كَغَيْرِهَا مِنَ الْمَوَاقِيتِ، فَمَنْ ذَهَبَ إِلَى أَنَّ ذَاتَ عِرْقٍ غَيْرُ مَنْصُوصٍ عَلَيْهَا، اسْتَدَلَّ بِرِوَايَةِ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قِيلَ لَهُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يُؤَقِّتْ لِأَهْلِ الْمَشْرِقِ سُنَنًا، فَقَالَ: انْظُرُوا مَا حَالُ طَرِيقِهِمْ، قَالُوا: قَرَنُ، قَالَ: اجْعَلُوا مِيقَاتَهُمْ ذَاتَ عِرْقٍ. قَالُوا: وَلِأَنَّ أَهْلَ الْعِرَاقِ وَالْمَشْرِقِ كَانُوا كُفَّارًا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فَكَيْفَ يَصِحُّ أَنْ يَنُصَّ عَلَى مِيقَاتِهِمْ وَهُمْ عَلَى كُفْرِهِمْ؟

Dan telah dinukil dari Ibnu Juraij dan ‘Aṭā’ bahwa mīqāt-mīqāt tersebut ditentukan dengan nash sebagaimana selainnya dari mīqāt-mīqāt lain. Maka barang siapa yang berpendapat bahwa Dzātu ‘Irq bukan termasuk yang dinashkan, berdalil dengan riwayat Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar, bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA pernah dikatakan kepadanya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW tidak menetapkan mīqāt bagi penduduk wilayah timur secara khusus.” Maka ia berkata: “Lihatlah bagaimana keadaan jalan mereka.” Mereka menjawab: “(Mereka melalui) Qarn.” Ia berkata: “Jadikanlah mīqāt mereka Dzātu ‘Irq.” Mereka juga mengatakan: “Karena penduduk ‘Irāq dan wilayah timur saat masa Rasulullah SAW masih dalam keadaan kafir, maka bagaimana mungkin beliau menetapkan mīqāt mereka sementara mereka masih dalam kekafiran?”


وَمَنْ ذَهَبَ إِلَى أَنَّ ذَاتَ عِرْقٍ مَنْصُوصٌ عَلَيْهَا، اسْتَدَلَّ عَلَى مَا رَوَى ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرٍ ” أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَشْرِقِ ذَاتَ عرقٍ “. وَرَوَى ابْنُ لَهِيعَةٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ ” أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَّتَ لِأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عرقٍ “. وَرَوَى هِلَالُ بْنُ زَيْدِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَنَسٍ ” أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَّتَ لِأَهْلِ الْبَصْرَةِ ذَاتَ عرقٍ “. وَهَذَا أَصَحُّ الْمَذْهَبَيْنِ لِهَذِهِ النُّصُوصِ الثَّابِتَةِ، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الشَّافِعِيُّ لَمْ تَبْلُغْهُ هَذِهِ الْأَخْبَارُ، فَأَمَّا حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ فَغَيْرُ ثَابِتٍ عَنْهُ، وَأَمَّا مَا ذَكَرَهُ مِنْ كُفْرِ أَهْلِ الْعِرَاقِ وَالْمَشْرِقِ، فَقَدْ كَانَ أَهْلُ الْمَغْرِبِ أَيْضًا كُفَّارًا، وَكَانَ بِالشَّامِ قَيْصَرُ، وَبِمِصْرَ الْمُقَوْقِسُ، وَنَصَّ عَلَى مِيقَاتِهِمْ مَعَ كُفْرِهِمْ، فَكَذَلِكَ أَهْلُ الْعِرَاقِ وَالْمَشْرِقِ، وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَطْلَعَهُ عَلَى إِسْلَامِهِمْ أَلَا تَرَى مَا رُوي عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” زُوِيَتْ لِيَ الْأَرْضُ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا، وَسَيَبْلُغُ مُلْكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا “. وَقَالَ لِعَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ: ” يُوشِكُ أَنْ تَخْرُجَ الظَّعِينَةُ مِنَ الْحِيرَةِ تَؤُمُّ الْبَيْتَ لَا جِوَارَ مَعَهَا لَا تَخَافُ إِلَّا اللَّهَ تَعَالَى “. عَلَى أَنَّهُ قَدْ كَانَ بِمُشْرِقِ مَكَّةَ مِمَّا يَلِي أَرْضَ نَجْدٍ خَلْقٌ مِنَ الْعَرَبِ قَدْ أَسْلَمُوا مِنْ بَنِي عَامِرٍ وَبَنِي سُلَيْمٍ وَغَيْرِهِمْ فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ وَقَّتَهُ لَهُمْ.

Dan siapa yang berpendapat bahwa Dzātu ‘Irq adalah (mīqāt) yang ditentukan berdasarkan nash, ia berdalil dengan riwayat dari Ibn Juraij dari ‘Aṭā’ dari Jābir: “Bahwa Nabi SAW menentukan Dzātu ‘Irq sebagai mīqāt bagi penduduk timur.” Dan diriwayatkan oleh Ibn Lahi‘ah dari Abū az-Zubair dari Jābir: “Bahwa Rasulullah SAW menentukan Dzātu ‘Irq sebagai mīqāt bagi penduduk ‘Irāq.” Dan diriwayatkan oleh Hilāl bin Zayd bin Yasār dari Anas: “Bahwa Nabi SAW menentukan Dzātu ‘Irq sebagai mīqāt bagi penduduk Baṣrah.” Dan ini adalah mazhab yang lebih sahih dari dua mazhab tersebut karena nash-nash ini adalah nash yang tsabit. Dan bisa jadi asy-Syāfi‘ī belum sampai kepadanya kabar-kabar ini.

Adapun hadis Ibn ‘Umar maka tidak tsabit darinya. Dan adapun apa yang disebutkan tentang kekafiran penduduk ‘Irāq dan timur, maka penduduk barat juga dahulu adalah orang-orang kafir, di Syām ada Kaisar, di Miṣr ada al-Muqawqis, dan Nabi tetap menetapkan mīqāt mereka meskipun mereka kafir, maka begitu pula penduduk ‘Irāq dan timur.

Dan karena Allah Ta‘ālā telah memperlihatkan kepada Nabi keislaman mereka, tidakkah engkau lihat apa yang diriwayatkan dari beliau SAW bahwa beliau bersabda: “Bumi dilipatkan untukku, lalu aku melihat bagian timur dan baratnya. Maka kerajaan umatku akan mencapai apa yang telah dilipatkan untukku dari bumi itu.” Dan Nabi berkata kepada ‘Adī bin Ḥātim: “Hampir saja seorang wanita berpergian dari al-Ḥīrah menuju Ka‘bah tanpa ada pengawal bersamanya, ia tidak takut kecuali kepada Allah Ta‘ālā.”

Padahal di wilayah timur Makkah yang berbatasan dengan Najd telah ada sekelompok kaum Arab dari Banū ‘Āmir, Banū Sulaym, dan lainnya yang telah masuk Islam. Maka boleh jadi Nabi telah menetapkan mīqāt itu untuk mereka.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ ذَاتَ عِرْقٍ مِيقَاتُ أَهْلِ الْعِرَاقِ وَالْمَشْرِقِ، فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَوْ أَحْرَمُوا مِنَ الْعَقِيقِ كَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ؛ وَالْعَقِيقُ هُوَ الْمَوْضِعُ الَّذِي عَنْ يَسَارِ الذَّاهِبِ مِنْ نَاحِيَةِ الْعِرَاقِ إِلَى مَكَّةَ مِمَّا يَلِي قَرْنَ مِنْ وَرَاءِ الْمَقَابِرِ وَسَيْلِ الْوَادِي عِنْدَ النَّخَلَاتِ الْمُفْتَرِقَةِ؛ وَقَدْ قال قَوْمٌ: إِنَّ حَدَّ الْعَقِيقِ مَا بَيْنَ بَرِيدِ النقرة إلى العرمة وَعِرْقٍ هُوَ الْجَبَلُ الْمُشْرِفُ عَلَى الْعَقِيقِ، وَهَذِهِ الْقَرْيَةُ الْمُحْدَثَةُ بِهَا، أَحْدَثَهَا طَلْحَةُ بْنُ عَبْدِ الرحمن بن أبي بكر الصديق فِي عَهْدِ هِشَامِ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ، حِينَ أَقْطَعَهُ إِيَّاهَا، وَإِنَّمَا اسْتَحَبَّ الشَّافِعِيُّ الْإِحْرَامَ مِنَ الْعَقِيقِ لِأَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ يَرْوِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَشْرِقِ الْعَقِيقَ، وَرَوَى الشَّافِعِيُّ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ رَأَى رَجُلًا يُرِيدُ أَنْ يُحْرِمَ مِنْ ذَاتِ عِرْقٍ فَيَأْخُذُ بِيَدِهِ حَتَّى خَرَجَ مِنَ الْبُيُوتِ، وَقَطَعَ بِهِ الْوَادِيَ وَأَتَى بِهِ الْمَقَابِرَ، وَقَالَ: هَذِهِ ذَاتُ عِرْقٍ الْأُولَى، فَأَحْرِمْ مِنْهَا يَا ابْنَ أَخِي وَرُوِيَ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ قَالَ: أَخَذَ بِيَدِي أَبُو هُرَيْرَةَ فَأَخْرَجَنِي إِلَى هَذَا الْمَوْضِعِ، وَقَالَ: مِنْ ها هنا فَأَحْرِمُ. فَلِذَلِكَ مَا اسْتَحَبَّ الْإِحْرَامَ مِنَ الْعَقِيقِ لِيَكُونَ مُحْتَاطًا، وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ ذَاتَ عِرْقٍ أَثْبَتُ فِي الرِّوَايَةِ مِنَ الْعَقِيقِ مَعَ مَا اقْتَرَنَ بِهَا مِنَ الْعَمَلِ الْجَارِي فِي السَّلَفِ وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ أَهْلِ كُلِّ عَصْرٍ.

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa Dzātu ‘Irq adalah mīqāt bagi penduduk Irak dan wilayah timur, maka Imam Syafi‘i berkata: “Sekiranya mereka berihram dari al-‘Aqīq, maka itu lebih aku sukai”; dan al-‘Aqīq adalah tempat yang berada di sebelah kiri orang yang berjalan dari arah Irak menuju Makkah, dari sisi Qarn, di balik kuburan dan aliran lembah, dekat pohon-pohon kurma yang terpencar.

Sebagian ulama berkata: Batas al-‘Aqīq adalah antara daerah Barīd an-Naqrah hingga al-‘Armah, dan ‘Irq adalah gunung yang menjulang di atas al-‘Aqīq, serta desa baru yang dibangun di situ, yang dibangun oleh Ṭalḥah bin ‘Abd ar-Raḥmān bin Abī Bakr aṣ-Ṣiddīq pada masa kekuasaan Hisyām bin ‘Abd al-Malik, ketika beliau memberikannya sebagai tanah pemberian.

Adapun sebab Imam Syafi‘i menganjurkan berihram dari al-‘Aqīq adalah karena Ibn ‘Abbās meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW menetapkan al-‘Aqīq sebagai mīqāt bagi penduduk wilayah timur. Dan Imam Syafi‘i meriwayatkan bahwa Sa‘īd bin Jubayr melihat seorang laki-laki hendak berihram dari Dzātu ‘Irq, lalu ia menggandeng tangannya sampai keluar dari perkampungan, menyeberangi lembah, dan membawanya ke kuburan, lalu berkata: “Inilah Dzātu ‘Irq yang pertama, maka ihramlah dari sini wahai anak saudaraku.”

Dan diriwayatkan bahwa Sa‘īd bin Jubayr berkata: “Abu Hurairah menggandeng tanganku dan membawaku ke tempat ini, lalu berkata: ‘Dari sinilah aku berihram.'”

Oleh karena itu disunnahkan berihram dari al-‘Aqīq sebagai bentuk kehati-hatian, namun tidak wajib; karena Dzātu ‘Irq lebih kuat dalam riwayat daripada al-‘Aqīq, disertai dengan amalan yang terus-menerus dilakukan oleh para salaf dan orang-orang sesudah mereka di setiap masa.


فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ: إِذَا كَانَ الْمِيقَاتُ فِي مَوْضِعٍ أَوْ قَرْيَةٍ فَخَرِبَ وَأَحْدَثَ النَّاسُ بَعْدَهُ قَرْيَةً، فَالْمِيقَاتُ مِنَ الْمَوْضِعِ الْأَوَّلِ الَّذِي خَرِبَ، لَا الْمَوْضِعِ الْمُحْدَثِ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَإِذَا كَانَ الْمِيقَاتُ قَرْيَةً أَهَلَّ مِنْ أَقْصَاهُمَا مِمَّا يَلِي بَلْدَهِ الَّذِي هُوَ أَبْعَدُ مِنَ الْحَرَمِ، وَأَقَلُّ مَا عَلَيْهِ فِيهِ أَنْ يُهِلَّ مِنَ الْقَرْيَةِ وَلَا يَخْرُجُ مِنْ بُيُوتِهَا، أَوْ مِنَ الْوَادِي أَوْ مِنَ الْجَبَلِ إِلَّا مُحْرِمًا، وَهَذَا صَحِيحٌ، وَإِنَّمَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ مِنْ أَقْصَاهَا لِيَكُونَ فِي جَمِيعِ مِيقَاتِهِ مُحْرِمًا، وَيَجُوزُ أَنْ يُحْرِمَ مِنْ أَدْنَاهَا؛ لِأَنَّ حُكْمَ جَمِيعِ الْمِيقَاتِ وَاحِدٌ.

PASAL
 Asy-Syāfi‘ī berkata: Jika suatu mīqāt berada di suatu tempat atau desa, lalu tempat itu rusak dan orang-orang setelahnya membangun desa yang baru, maka mīqāt tetap dari tempat yang pertama yang telah rusak, bukan dari tempat yang baru.

Asy-Syāfi‘ī berkata: Jika mīqāt itu berupa sebuah desa, maka seseorang berihram dari bagian terujung desa tersebut yang menghadap ke negerinya, yaitu arah yang paling jauh dari ḥaram. Dan batas paling minimalnya adalah ia berihram dari dalam desa itu tanpa keluar dari rumah-rumahnya, atau dari lembah atau dari gunung kecuali dalam keadaan sudah berihram. Dan ini adalah pendapat yang benar.

Ia bermaksud agar berihram dari bagian terjauh desa tersebut supaya seluruh wilayah mīqāt-nya telah ia lalui dalam keadaan berihram. Namun boleh juga ia berihram dari bagian terdalamnya, karena hukum seluruh wilayah mīqāt itu adalah satu.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ تَحْدِيدُ الْمَوَاقِيتِ بِمَا ذَكَرْنَا، فَلَا يَجُوزُ مُجَاوَزَتُهَا بِالْإِحْرَامِ، وَيَجُوزُ التَّقَدُّمُ عَلَيْهَا بِالْإِحْرَامِ، وَفِي الْأُولَى قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْإِمْلَاءِ أَنَّ الْأَوْلَى أَنْ يُحْرِمَ الرَّجُلُ مِنْ دُوَيْرَةِ أَهْلِهِ بَعْدَ أَخْذِهِ فِي السَّيْرِ، فَأَمَّا قَبْلَ أَخْذِهِ فَلَا، وَبِهِ قَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَتِمُّوا الحَجَّ وَالعُمْرَةَ للهِ) {البقرة: 196) وَقَدْ قَالَ عُمَرُ وَعَلِيٌّ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمَا: إِتْمَامُهُمَا أَنْ تُحْرِمَ بِهِمَا مِنْ دُوَيْرَةِ أَهْلِكَ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَالْإِتْمَامُ أَفْضَلُ، وَرَوَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: مَنْ أَحْرَمَ مِنَ الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى غُفِرَ لَهُ، وَرُوِيَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ أَحْرَمَ مِنْ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، وَرُوِيَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ أَحْرَمَ مِنَ الشَّامِ، وَرُوِيَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ كُرَيْزٍ أَحْرَمَ مِنْ هَرَاةِ خُرَاسَانَ فِي زَمَنِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَلَمْ يُرْوَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ إِنْكَارُ ذَلِكَ عَلَيْهِ، وَعَدُّوهُ مِنْ فَضَائِلِهِ، مَعَ أَنَّهُ كَانَ وَالِيًا تُحْصَى آثَارُهُ، وَتُعَدُّ هَفَوَاتُهُ؛ وَلِأَنَّ الْإِحْرَامَ نُسُكٌ، وَقَطْعُ الْمَسَافَةِ طَاعَةٌ، فَكَانَ فِعْلُهُ أَوْلَى مِنْ تَرْكِهِ.

PASAL
 Apabila telah tetap penetapan mīqāt-mīqāt sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka tidak boleh melewatinya tanpa berihram, tetapi boleh mendahuluinya dengan berihram. Dalam hal mendahului ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama — yaitu pendapat Imam Syafi‘i dalam al-Imlā’ — menyatakan bahwa yang utama adalah seseorang berihram dari lingkungan tempat tinggalnya setelah memulai perjalanan. Adapun sebelum memulai perjalanan, maka tidak disunnahkan. Pendapat ini juga dikatakan oleh Aḥmad dan Isḥāq, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {wa-atimmū al-ḥajja wa-al-‘umrata lillāh} (QS al-Baqarah: 196), dan berdasarkan ucapan ‘Umar dan ‘Alī RA: “Menyempurnakan keduanya adalah dengan berihram dari lingkungan keluargamu.”

Imam Syafi‘i berkata: al-itmām (penyempurnaan) itu lebih utama. Ummu Salamah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa berihram dari al-Masjid al-Aqṣā, diampuni dosanya.”

Diriwayatkan bahwa ‘Abdullāh bin ‘Umar berihram dari Bayt al-Maqdis, dan diriwayatkan bahwa ‘Abdullāh bin ‘Abbās berihram dari Syam, serta diriwayatkan bahwa ‘Abdullāh bin ‘Āmir bin Kurayz berihram dari Harāt Khurāsān pada masa kekuasaan ‘Utsmān bin ‘Affān RA. Dan tidak ada satu pun dari para sahabat yang mengingkari hal itu darinya, bahkan mereka menganggapnya sebagai keutamaannya. Padahal ia adalah seorang gubernur yang setiap jejaknya dicatat dan setiap kekeliruannya dihitung.

Dan karena iḥrām adalah ibadah, dan menempuh jarak perjalanan adalah ketaatan, maka mengerjakannya lebih utama daripada meninggalkannya.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ الْإِحْرَامَ مِنَ الْمِيقَاتِ أَوْلَى؛ وَبِهِ قَالَ مِنَ التَّابِعِينَ عَطَاءٌ، وَالْحَسَنُ.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَجَّ مَرَّةً وَاعْتَمَرَ ثَلَاثًا، فَأَحْرَمَ فِي جَمِيعِهَا مِنَ الْمِيقَاتِ، وَلَمْ يُحْرِمْ فِي شَيْءٍ مِنْهَا قَبْلَ الْمِيقَاتِ، وَلَوْ كَانَ الْإِحْرَامُ قَبْلَ الْمِيقَاتِ أَفْضَلَ، وَهُوَ لَا يَعْدِلُ عَنِ الْأَفْضَلِ لِاخْتِيَارِهِ لنفسه ولفعله ولو مرة ينبه النَّاسَ عَلَى فَضْلِهِ، وَرُوِيَ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ أَنَّهُ أَحْرَمَ مِنَ الْبَصْرَةِ، فَأَنْكَرَ عَلَيْهِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، وَأَغْلَظَ لَهُ، وَقَالَ: يُحَدِّثُ أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَحْرَمَ مِنْ مِصْرٍ مِنَ الْأَمْصَارِ، وَلِأَنَّ تَرْكَ الْإِحْرَامِ قَبْلَ الْمِيقَاتِ مُبَاحٌ، وَفِعْلَ الْمُحْرِمِ، مَا نُهِيَ عَنْهُ مِنَ الطِّيبِ، وَاللِّبَاسِ، وَإِتْيَانِ النِّسَاءِ مَعْصِيَةٌ، وَهُوَ إِذَا أَحْرَمَ لَمْ يَأْمَنْ مُوَاقَعَةَ المعصية باللباس والجماع المقتضي إِلَى الْإِفْسَادِ، فَكَانَ تَرْكُ مَا هُوَ مُبَاحٌ مِنَ الْإِحْرَامِ لِأَجْلِ مَا هُوَ مَعْصِيَةٌ مِنَ اللِّبَاسِ وَالْجِمَاعِ أَوْلَى وَمِنَ الْغَرَرِ أَبْعَدُ.

Pendapat kedua: sesungguhnya berihram dari mīqāt itu lebih utama. Pendapat ini dikatakan oleh kalangan tābi‘īn seperti ‘Aṭā’ dan al-Ḥasan, dan dari kalangan fuqahā’ adalah Mālik bin Anas.

Karena Rasulullah SAW berhaji sekali dan melakukan umrah tiga kali, beliau berihram dalam semuanya dari mīqāt, dan tidak pernah berihram dalam satu pun darinya sebelum mīqāt. Seandainya berihram sebelum mīqāt itu lebih utama, niscaya beliau tidak akan meninggalkan yang lebih utama untuk dirinya, bahkan walau hanya sekali, beliau pasti akan menunjukkan kepada manusia keutamaannya.

Diriwayatkan bahwa ‘Imrān bin Ḥuṣayn pernah berihram dari Baṣrah, maka ‘Umar bin al-Khaṭṭāb mengingkari perbuatannya dan mencelanya dengan keras. ‘Umar berkata: “Ada yang mengatakan bahwa salah seorang sahabat Rasulullah SAW berihram dari salah satu negeri (yang jauh).”

Dan karena meninggalkan ihram sebelum mīqāt itu hukumnya boleh, sedangkan orang yang berihram terkena larangan dari wewangian, pakaian, dan mendatangi istri—yang semua itu termasuk maksiat—maka jika seseorang telah berihram, ia tidak aman dari terjerumus dalam maksiat tersebut, seperti berpakaian dan berhubungan badan yang dapat menyebabkan batalnya (iḥrām).

Maka meninggalkan sesuatu yang mubah berupa ihram sebelum mīqāt, demi menghindari apa yang merupakan maksiat seperti pakaian dan hubungan badan, adalah lebih utama dan lebih jauh dari risiko.


مَسْأَلَةٌ
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” والمواقيت لِأَهْلِهَا، وَلِكُلِّ مَنْ يَمُرُّ بِهَا مِمَّنْ أَرَادَ حَجًّا أَوْ عُمْرَةً، وَأَيُّهُمْ مَرَّ بِمِيقَاتِ غَيْرِهِ، ولم يأت من بلده، كان ميقاته ذَلِكَ الْبَلَدِ الَّذِي مَرَّ بِهِ “.

MASALAH
 Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Mawāqīt itu berlaku bagi penduduk aslinya, dan bagi setiap orang yang melewatinya dari kalangan siapa saja yang hendak menunaikan haji atau umrah. Maka siapa pun di antara mereka yang melewati mīqāt selain mīqāt-nya sendiri, dan ia tidak datang dari negerinya, maka mīqāt-nya adalah negeri yang ia lewati itu.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، أَمَّا قَوْلُهُ وَهَذِهِ الْمَوَاقِيتُ لِأَهْلِهَا، أَيْ لِسُكَّانِهَا وَالْمُقِيمِينَ بِهَا، كَأَهْلِ ذَاتِ عِرْقٍ، وقوله: ” ولكل من يمر بِهَا يُرِيدُ مَنْ كَانَ وَرَاءَ الْمِيقَاتِ كَأَهْلِ الْعِرَاقِ إِذَا مَرُّوا بِذَاتِ عِرْقٍ “، وَقَوْلُهُ: ” مِمَّنْ أَرَادَ حَجًّا أَوْ عُمْرَةً ” يُرِيدُ أَنَّ مِيقَاتَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ لِأَهْلِ الْمَوَاقِيتِ وَاحِدٌ، وَهَذِهِ جُمْلَةٌ لَيْسَ يُعرف فِيهَا مُخَالِفٌ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهَا رِوَايَةُ طَاوُسٌ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ، الْخَبَرَ، إِلَى أَنْ قَالَ: ” هَذِهِ الْمَوَاقِيتُ لِأَهْلِهَا وَلَكُلِّ مَنْ أَتَى عَلَيْهَا مِمَّنْ أَرَادَ حَجًّا أَوْ عُمْرَةً، وَمَنْ كَانَ دُونَ هَذِهِ الْمَوَاقِيتِ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ حَتَّى يَأْتِيَ عَلَى أَهْلِ مَكَّةَ “. وَقَدْ رَوَى الشَّافِعِيُّ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ طَاوُسٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مُرْسَلًا.

Al-Māwardī berkata: Dan ini adalah pendapat yang benar. Adapun sabdanya: “Dan tempat-tempat mīqāt ini adalah bagi penduduknya,” maksudnya adalah bagi para penduduk tetap dan orang-orang yang tinggal di sana, seperti penduduk Dzātu ‘Irq.

Dan sabdanya: “Dan bagi setiap orang yang melewatinya,” maksudnya adalah bagi orang-orang yang berada di belakang mīqāt itu, seperti penduduk ‘Irāq apabila mereka melewati Dzātu ‘Irq.

Dan sabdanya: “Yaitu siapa saja yang ingin haji atau umrah,” maksudnya adalah bahwa mīqāt haji dan umrah bagi penduduk mīqāt-mīqāt itu adalah satu. Dan ini merupakan kesimpulan yang tidak diketahui adanya orang yang menyelisihinya.

Dalilnya adalah riwayat Ṭāwūs dari Ibn ‘Abbās, bahwa Nabi SAW menentukan mīqāt bagi penduduk Madinah di Dzul Ḥulaifah, lalu dalam hadis itu disebutkan: “Tempat-tempat mīqāt ini adalah untuk penduduknya dan siapa saja yang melewatinya, bagi siapa yang ingin haji atau umrah. Dan siapa yang berada dalam batas antara mīqāt dan Makkah, maka ia berihram dari tempat ia memulai perjalanan, hingga penduduk Makkah.”

Dan asy-Syāfi‘ī telah meriwayatkan hadis ini dari Ṭāwūs dari Nabi SAW secara mursal.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا قَوْلُهُ: وَأَيُّهُمْ مَرَّ بِمِيقَاتِ غَيْرِهِ وَلَمْ يَأْتِ مِنْ بَلَدِهِ، كَانَ مِيقَاتُهُ مِيقَاتَ ذَلِكَ الْبَلَدِ الَّذِي مَرَّ بِهِ، يُرِيدُ أَنَّ الْعِرَاقِيَّ إِذَا عَرَّجَ فِي طَرِيقِهِ حَتَّى مر (بذي الحليفة صَارَ فِي حُكْمِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، وَلَزِمَهُ الْإِحْرَامُ من ذي الحليفة، والمدني إِذَا عَرَّجَ فِي طَرِيقِهِ حَتَّى مَرَّ) بذات عرق صار في حكم أهل العراق وَلَزِمَهُ الْإِحْرَامُ مِنْ ذَاتِ عِرْقٍ، وَقَوْلُهُ ” وَلَمْ يَأْتِ مِنْ بَلَدِهِ ” لَيْسَ بِشَرْطٍ فِي الْمَسْأَلَةِ، كَمَا وَهِمَ فِيهِ الْمُزَنِيُّ، فَجَعَلَهُ شَرْطًا، بَلْ حُكْمُهُ إِنْ أَتَى مِنْ بَلَدِهِ أَوْ لَمْ يَأْتِ مِنْهُ إِذَا مَرَّ بِمِيقَاتِ غَيْرِهِ سَوَاءٌ فِي أَنَّهُ يَصِيرُ مِيقَاتًا لَهُ، لِأَنَّنَا نُجْرِي الْمَوَاقِيتَ مَجْرَى الْقِبَلِ وَإِنَّ كُلَّ مَنْ حَصَلَ فَيَ قِبْلَةِ قَوْمٍ، اسْتَقْبَلَهَا وَصَلَّى إِلَيْهَا، كَالْمَشْرِقِيِّ إِذَا حَصَّلَ بِالْمَغْرِبِ أَوِ الْمَغْرِبِيِّ إِذَا حَصَّلَ بِالْمَشْرِقِ.

PASAL
 Adapun ucapannya: “Siapa pun di antara mereka yang melewati mīqāt selain mīqāt-nya sendiri dan tidak datang dari negerinya, maka mīqāt-nya adalah negeri yang ia lewati,” maksudnya adalah bahwa orang Irak, apabila membelok dari jalurnya hingga melewati Dzū al-Ḥulaifah, maka ia berada dalam hukum penduduk Madinah, dan wajib atasnya berihram dari Dzū al-Ḥulaifah. Demikian pula penduduk Madinah, apabila membelok dari jalurnya hingga melewati Dzātu ‘Irq, maka ia berada dalam hukum penduduk Irak, dan wajib atasnya berihram dari Dzātu ‘Irq.

Adapun ucapannya “dan tidak datang dari negerinya,” bukanlah syarat dalam masalah ini, sebagaimana disangka oleh al-Muzanī, yang menganggapnya sebagai syarat. Bahkan hukumnya adalah, baik ia datang dari negerinya atau tidak, apabila ia melewati mīqāt selain mīqāt-nya sendiri, maka kedudukan mīqāt tersebut sama (yakni menjadi mīqāt-nya juga). Karena kami memposisikan mīqāt seperti arah kiblat: setiap orang yang berada di arah kiblat suatu kaum, maka ia wajib menghadap ke arahnya dan shalat ke arahnya — seperti orang timur yang berada di barat atau orang barat yang berada di timur.


فَصْلٌ
: فَلَوْ أَنَّ رَجُلًا مَرَّ بِمِيقَاتِ بَلَدِهِ وَلَمْ يُحْرِمْ مِنْهُ، وَأَحْرَمَ مِنْ مِيقَاتِ غَيْرِ بَلَدِهِ، نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ الْمِيقَاتُ الَّذِي أَحْرَمَ مِنْهُ مِثْلَ مِيقَاتِ بَلَدِهِ أَوْ أَبْعَدَ مِنْهُ، كَالْعِرَاقِيِّ إِذَا مَرَّ بِذَاتِ عِرْقٍ فَلَمْ يُحْرِمْ بِهَا، حَتَّى عَرَّجَ عَلَى ذِي الْحُلَيْفَةِ، فَأَحْرَمَ مِنْهَا أَجْزَأَهُ، وَلَا دَمَ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ الْمِيقَاتُ الَّذِي أَحْرَمَ مِنْهُ أَقْرَبَ، وَمِيقَاتُ بَلَدِهِ أَبْعَدَ مِنْهُ، كَالْمَدَنِيِّ إِذَا مَرَّ بِذِي الْحُلَيْفَةِ، فَلَمْ يُحْرِمْ مِنْهَا حَتَّى عَرَّجَ عَلَى ذَاتِ عِرْقٍ، فَأَحْرَمَ مِنْهَا، فَعَلَيْهِ دَمٌ، كَمَنْ أَحْرَمَ بَعْدَ مِيقَاتِهِ إِلَى أَنْ يَعُودَ إِلَى مِيقَاتِ بَلَدِهِ مُحْرِمًا، فَسَقَطَ عَنْهُ الدَّمُ.

PASAL
 Jika seseorang melewati mīqāt negerinya namun tidak berihram darinya, lalu ia berihram dari mīqāt negeri lain, maka hal ini dilihat terlebih dahulu:

Jika mīqāt tempat ia berihram itu sama jauhnya dengan mīqāt negerinya, atau bahkan lebih jauh, seperti orang ‘Irāq yang melewati Dzātu ‘Irq namun tidak berihram darinya hingga ia menuju Dzul Ḥulaifah, lalu berihram dari sana, maka ihramnya sah dan tidak ada dam atasnya.

Namun jika mīqāt tempat ia berihram itu lebih dekat, sedangkan mīqāt negerinya lebih jauh, seperti orang Madinah yang melewati Dzul Ḥulaifah lalu tidak berihram darinya hingga ia menuju Dzātu ‘Irq dan baru berihram di sana, maka ia wajib membayar dam.

Kecuali jika ia kembali ke mīqāt negerinya dan berihram dari sana, maka gugurlah kewajiban dam darinya.


مَسْأَلَةٌ
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالْمَوَاقِيتُ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ وَالْقِرَانِ سَوَاءٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَقَدْ ذَكَرْنَاهُ، وَدَلَّلْنَا عَلَيْهِ بقوله: ” فَمَنْ أَرَادَ حَجًّا أَوْ عُمْرَةً ” وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَرَجَ فِي أَصْحَابِهِ عَامَ حَجِّهِ وَكَانُوا زُهَاءَ مِائَةٍ وَعِشْرِينَ أَلْفًا فَأَحْرَمَ جَمِيعُهُمْ مِنْ ذِي الحليفة، وفيهم حاج ومعتمر.

MASALAH
 Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Mawāqīt dalam haji, umrah, dan qirān itu sama.”
 Al-Māwardī berkata: Ini benar, dan telah kami sebutkan serta kami dalilkan dengan firman-Nya: “fa-man arāda ḥajjan aw ‘umrah” (maka barang siapa yang hendak melakukan haji atau umrah), dan karena Rasulullah SAW keluar bersama para sahabatnya pada tahun haji beliau — yang jumlah mereka sekitar seratus dua puluh ribu orang — maka semuanya berihram dari Dzū al-Ḥulaifah, padahal di antara mereka ada yang berhaji dan ada yang berumrah.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ومن سلك برّاً أو بحراً توخى حَتَّى يُهِلَّ مِنْ حَذْوِ الْمَوَاقِيتِ أَوْ مِنْ وَرَائِهَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. إِذَا سَلَكَ الرَّجُلُ طَرِيقًا لَا مِيقَاتَ لَهُ مِنْ بَرٍّ أو بحر، فعليه أن يتوخى فِي الْمِيقَاتِ، وَيَجْتَهِدَ حَتَّى يُحْرِمَ بِإِزَائِهِ أَوْ من ورائه، كما يتوخى في جهة القبلة، وكما يتوخى النَّاسُ فِي ذَاتِ عِرْقٍ، عَلَى مَا رُوِّينَا عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَإِنْ سَلَكَ مِنْ مِيقَاتَيْنِ فَلَهُمَا حَالَانِ:

Masalah
 Asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Siapa yang menempuh perjalanan darat atau laut, maka hendaknya ia mengusahakan untuk berihram sejajar dengan mīqāt atau dari belakangnya.”

Al-Māwardī berkata: Dan ini adalah pendapat yang benar. Jika seseorang menempuh jalan yang tidak memiliki mīqāt, baik dari darat maupun laut, maka wajib baginya untuk mengusahakan arah letak mīqāt, dan berijtihad agar berihram sejajar dengannya atau dari arah belakangnya. Seperti halnya seseorang berusaha menghadap arah kiblat, dan sebagaimana orang-orang berusaha menentukan letak Dzātu ‘Irq, sebagaimana yang kami riwayatkan dari ‘Umar RA.

Jika seseorang menempuh jalur antara dua mīqāt, maka ada dua keadaan:


أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ أحدهما أقرب إليه من الآخر، فهذا يتوخى فِي الَّذِي هُوَ أَقْرَبُ إِلَيْهِ دُونَ الْآخَرِ، سَوَاءٌ كَانَ أَبْعَدَ مِنَ الْحَرَمِ أَوْ أَقْرَبَ؛ لِأَنَّ حُكْمَ الْمِيقَاتَيْنِ سَوَاءٌ، وَقَدِ اخْتَصَّ هَذَا بِالْقُرْبِ مِنْهُ، فَكَانَ أَوْلَى مِمَّا هُوَ أَبْعَدُ مِنْهُ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فِي الْقُرْبِ إِلَيْهِ عَلَى سَوَاءٍ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Salah satu dari keduanya adalah: apabila salah satu mīqāt lebih dekat kepadanya daripada yang lain, maka ia mengambil yang lebih dekat kepadanya dan tidak yang lainnya, baik yang lebih dekat itu lebih jauh dari ḥaram maupun lebih dekat, karena hukum kedua mīqāt itu sama, dan yang ini secara khusus lebih dekat kepadanya, maka lebih utama daripada yang lebih jauh darinya.

Dan yang kedua: apabila keduanya sama jaraknya (sama-sama dekat) kepadanya, maka ini terbagi menjadi dua bentuk:


أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَا إِلَى الْحَرَمِ أَيْضًا وَعَلَى سَوَاءٍ، فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَقَدِ اسْتَوَتْ حَالُهُمَا فِي الْقُرْبِ إِلَيْهِ وَإِلَى الْحَرَمِ، فَلَيْسَ أَحَدُهُمَا أَوْلَى مِنَ الآخر، فيكون فيهما بالخيار، ويتوخى فِي أَيِّهِمَا شَاءَ حَتَّى يُحْرِمَ بِإِزَائِهِ أَوْ من ورائه.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَا إِلَيْهِ سَوَاءً، وَأَحَدُهُمَا أبعد من الحرم ففيه لأصحابنا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَتَوَخَّى فِي الَّذِي هُوَ أَبْعَدُ مِنَ الْحَرَمِ لِمَا فِيهِ مِنَ الِاحْتِيَاطِ وَكَثْرَةِ الْعَمَلِ.

Yang pertama: apabila kedua mīqāt itu sejajar menuju arah ḥaram dan sama-sama memiliki jarak yang setara, maka keduanya memiliki kedudukan yang sama dalam hal kedekatan menuju ḥaram. Maka tidak ada yang lebih utama dari yang lain. Dalam hal ini, seseorang diberi pilihan, ia boleh memilih salah satu di antaranya dan berusaha menentukan arah mana yang sejajar dengannya atau dari belakangnya, lalu berihram dari situ.

Golongan kedua: apabila keduanya sejajar menuju orang yang hendak berihram, namun salah satunya lebih jauh dari ḥaram, maka dalam hal ini menurut para ulama mazhab kami terdapat dua pendapat:

Pertama: bahwa ia harus mengusahakan arah mīqāt yang lebih jauh dari ḥaram, karena hal itu lebih hati-hati dan mengandung keutamaan berupa amal yang lebih banyak.


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ، وَبِهِ قال جمهور أصحابنا: إنه مخير فيهما يتوخى فِي أَيِّهِمَا يَشَاءُ، لِأَنَّ حُكْمَ الْمِيقَاتَيْنِ وَاحِدٌ، وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا أَبْعَدُ مِنَ الْآخَرِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حُكْمُ اجْتِهَادِهِ فِيهِمَا وَاحِدًا، وَإِنْ كان أحدهما أبعد، والله أعلم.

Dan pendapat kedua — inilah yang benar, dan dipegang oleh mayoritas para sahabat kami — adalah bahwa ia diberi pilihan di antara keduanya, boleh memilih dari mīqāt mana saja yang ia kehendaki. Karena hukum kedua mīqāt itu sama, meskipun salah satunya lebih jauh daripada yang lain, maka wajiblah bahwa hukum ijtihad dalam memilih di antara keduanya juga sama, meskipun salah satunya lebih jauh. Wallāhu a‘lam.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَتَى عَلَى مِيقَاتٍ لَا يُرِيدُ حَجًّا وَلَا عُمْرَةً، فَجَاوَزَهُ ثُمَّ بَدَا لَهُ أَنْ يُحْرِمَ، أَحْرَمَ مِنْهُ، وَذَلِكَ مِيقَاتُهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: هَذَا صَحِيحٌ، وَجُمْلَةُ ذَلِكَ، أَنَّ مَنْ مَرَّ ميقات بَلَدِهِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يُرِيدَ الْإِحْرَامَ بِنُسُكٍ مِنْ حَجٍّ أَوْ عمرة.
وَالثَّانِي: أَنْ لَا يُرِيدَ الْإِحْرَامَ بِنُسُكٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ دُخُولَ مَكَّةَ.

Masalah
 Asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang melewati mīqāt dalam keadaan tidak berniat haji atau umrah, lalu setelah melewatinya ia baru berniat untuk berihram, maka ia berihram dari tempat itu, dan itu menjadi mīqāt-nya.”

Al-Māwardī berkata: Ini adalah pendapat yang benar. Keseluruhan masalah ini adalah bahwa siapa saja yang melewati mīqāt negerinya, maka keadaannya tidak lepas dari tiga macam:

Pertama: ia bermaksud untuk berihram dengan suatu nusuk, baik haji maupun umrah.

Kedua: ia tidak bermaksud berihram dengan nusuk, tetapi ia ingin masuk ke kota Makkah.


وَالثَّالِثُ: أَنْ لَا يُرِيدَ الْإِحْرَامَ بِنُسُكٍ وَلَا يُرِيدُ دُخُولَ مَكَّةَ فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يُرِيدَ الْإِحْرَامَ بِنُسُكٍ مِنْ حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ، فَوَاجِبٌ عَلَيْهِ أَنْ يُحْرِمَ بِهِ مِنْ مِيقَاتِ بَلَدِهِ، وَهُوَ قَوْلُ الْجَمَاعَةِ إِلَّا الْحَسَنَ الْبَصَرِيَّ، وَإِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيَّ، فَإِنَّهُمَا قَالَا: الْإِحْرَامُ مِنَ الْمِيقَاتِ مُسْتَحَبٌّ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ، وَمَنْ تَرَكَهُ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَهَذَا مَذْهَبٌ شَاذٌّ وَاضِحُ الْفَسَادِ، يَبْطُلُ بِمَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ مِنْ أَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَفِعْلِهِ؛ لِأَنَّ الْإِحْرَامَ رُكْنٌ لَا يَصِحُّ الْحَجُّ إِلَّا بِهِ، وَأَرْكَانُ الْحَجِّ مُقَدَّرَةٌ بِالشَّرْعِ، وَالشَّرْعُ قَدْ وَرَدَ بِتَقْدِيرِ الْإِحْرَامِ فِي الْمِيقَاتِ، فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِهِ لِتَقْدِيرِ الْإِحْرَامِ بِهِ.

Dan yang ketiga: yaitu orang yang tidak berniat berihram dengan nusuk (ibadah) dan tidak pula berniat masuk Makkah.

Adapun bagian pertama — yaitu seseorang yang berniat berihram untuk nusuk haji atau umrah — maka wajib baginya berihram dari mīqāt negeri tempat tinggalnya. Ini adalah pendapat jumhur ulama, kecuali al-Ḥasan al-Baṣrī dan Ibrāhīm an-Nakha‘ī. Keduanya berpendapat bahwa berihram dari mīqāt adalah sunnah dan tidak wajib, sehingga barang siapa meninggalkannya maka tidak ada kewajiban apa-apa atasnya. Ini adalah pendapat yang syādz (ganjil) dan jelas rusaknya, serta batal dengan dalil-dalil yang telah disebutkan sebelumnya, baik dari perintah maupun perbuatan Rasulullah SAW.

Karena iḥrām adalah rukun yang tidak sah haji kecuali dengannya, sedangkan rukun-rukun haji ditentukan oleh syariat, dan syariat telah menetapkan bahwa iḥrām itu ditentukan pada mīqāt, maka hal itu menunjukkan wajibnya iḥrām dari mīqāt, karena adanya ketetapan syariat untuk berihram dari sana.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْإِحْرَامَ مِنَ الْمِيقَاتِ وَاجِبٌ، فَعَلَيْهِ إِذَا جَاوَزَهُ غَيْرَ مُحْرِمٍ أَنْ يَعُودَ إِلَيْهِ فيحرم منه، فإن عاد إليه، فابتداء إِحْرَامَهُ مِنْهُ أَجْزَأَهُ، وَلَا دَمَ عَلَيْهِ بِإِجْمَاعٍ، وَإِنْ أَحْرَمَ بَعْدَهُ وَلَمْ يَبْدَأْ بِالْإِحْرَامِ مِنْهُ، فَإِحْرَامُهُ مُنْعَقِدٌ، وَحَجُّهُ تَامٌّ عَلَى قَوْلِ الْفُقَهَاءِ، وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ: لَا إِحْرَامَ لَهُ وَلَا حَجَّ، إِلْحَاقًا بِإِحْرَامِ الصَّلَاةِ إِذَا وَقَعَ فَاسِدًا لَمْ تَنْعَقِدْ بِهِ الصَّلَاةُ، وَهَذَا غَلَطٌ، وَكَفَى بِإِلْحَاقِهِ بِالصَّلَاةِ حُجَّةً، وَذَلِكَ أَنَّ الْإِحْرَامَ بِالْحَجِّ يَنْعَقِدُ لِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ، كَمَا أَنَّ الصَّلَاةَ تَنْعَقِدُ بِالتَّكْبِيرِ مَعَ النِّيَّةِ، وَالْمِيقَاتُ فِي الْحَجِّ كَالْوَقْتِ لِلصَّلَاةِ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ أَحْرَمَ بِالصَّلَاةِ بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِهَا لَمْ يَبْطُلْ إِحْرَامُهُ، فَكَذَلِكَ إِذَا أَحْرَمَ بِالْحَجِّ بَعْدَ مُجَاوَزَةِ مِيقَاتِهِ لَمْ يَبْطُلْ إِحْرَامُهُ.

 

فصل
” فإذا ثبت أن إحرامه ينعقد، فَإِنْ مَضَى فِي حَجِّهِ وَلَمْ يَعُدْ إِلَى مِيقَاتِهِ، فَعَلَيْهِ دَمٌ لِمُجَاوَزَةِ مِيقَاتِهِ وَهُوَ إِجْمَاعُ الْفُقَهَاءِ سِوَى مَنْ تَقَدَّمَ خِلَافُهُ وَإِنْ عَادَ إِلَى مِيقَاتِهِ قَبْلَ التَّلَبُّسِ بِشَيْءٍ مِنْ أَفْعَالِ حَجِّهِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِيهِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:

PASAL
 Jika telah ditetapkan bahwa berihram dari mīqāt adalah wajib, maka apabila seseorang melewatinya tanpa berihram, wajib baginya untuk kembali ke mīqāt tersebut lalu berihram darinya. Jika ia kembali ke mīqāt lalu memulai ihram dari sana, maka ihramnya sah dan tidak ada dam atasnya menurut ijma‘.

Namun jika ia berihram setelah melewati mīqāt dan tidak memulai ihram dari sana, maka ihramnya tetap sah dan hajinya tetap sempurna menurut pendapat para fuqahā’.

Sedangkan Sa‘īd bin Jubayr berpendapat: “Tidak ada ihram dan tidak ada haji baginya,” dengan menganalogikan kepada ihram shalat; jika dimulai dengan cara yang rusak maka tidak sah shalatnya. Namun ini adalah kekeliruan.

Cukuplah analogi dengan shalat sebagai bantahan atas pendapat tersebut. Sesungguhnya ihram haji sah hanya dengan niat, sebagaimana shalat dimulai dengan takbir yang disertai niat. Dan mīqāt dalam haji itu seperti waktu dalam shalat.

Lalu telah tetap bahwa jika seseorang memulai shalat setelah waktu telah lewat, maka tidak batal ihramnya (maksudnya: niatnya untuk shalat tetap sah, meski waktunya lewat), maka begitu pula jika seseorang berihram haji setelah melewati mīqāt-nya, maka ihramnya tidak batal.


أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، أَنَّهُ لَا دَمَ عَلَيْهِ. وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْعِبَارَةِ عَنْهُ، فقال بعضهم: قد كان واجب عَلَيْهِ الدَّمُ لِمُجَاوَزَتِهِ، وَيَسْقُطُ عَنْهُ بِعَوْدِهِ. وَقَالَ آخَرُونَ: لَمْ يَكُنْ قَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ فَيَسْقُطُ، وَإِنَّمَا يَجِبُ بِفَوَاتِ الْعَوْدِ، وَهَذَا أَصَحُّ، وَبِمَذْهَبِنَا قَالَ أبو يوسف ومحمد: وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي أَنَّ عَلَيْهِ دَمًا سَوَاءٌ عَادَ أَوْ لَمْ يَعُدْ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وزفر. وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ؛ أَنَّهُ إِنْ عَادَ إِلَى مِيقَاتِهِ مُلَبِّيًا، فَلَا دَمَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ عَادَ وَلَمْ يُلَبِّ فَعَلَيْهِ دَمٌ، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة، وَالْكَلَامُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مَعَ مَالِكٍ وزفر، فَأَمَّا أبو حنيفة فَالْكَلَامُ مَعَهُ فِي وُجُوبِ التَّلْبِيَةِ، وَلَهُ مَوْضِعٌ، فَمِنْ حُجَّةِ مَالِكٍ، مَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ تَرَكَ نُسُكًا فَعَلَيْهِ دَمٌ “، وَهَذَا تَارِكُ نُسُكٍ، فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ دَمٌ.

Salah satunya — dan ini adalah mazhab asy-Syāfi‘ī — bahwa tidak ada dam atasnya. Para sahabat kami berbeda pendapat dalam mengungkapkan maksud dari pendapat ini. Sebagian dari mereka berkata: dam itu awalnya wajib atasnya karena ia telah melewati mīqāt, namun kewajiban itu gugur dengan ia kembali (ke mīqāt).

Sebagian yang lain berkata: belum wajib atasnya dam, sehingga tidak disebut gugur. Dam itu hanya menjadi wajib jika ia tidak kembali ke mīqāt, dan pendapat ini lebih kuat.

Pendapat ini juga merupakan mazhab Abū Yūsuf dan Muḥammad.

Adapun mazhab kedua: bahwa ia tetap wajib membayar dam, baik ia kembali ke mīqāt maupun tidak. Ini adalah pendapat Mālik dan Zafar.

Mazhab ketiga: bahwa jika ia kembali ke mīqāt dalam keadaan bertalbiyah (yaitu sudah masuk dalam ihram), maka tidak ada dam atasnya. Tetapi jika ia kembali dan belum bertalbiyah (belum berniat ihram), maka wajib atasnya dam. Ini adalah pendapat Abū Ḥanīfah.

Adapun pembahasan dalam masalah ini bersama Mālik dan Zafar. Adapun dengan Abū Ḥanīfah, maka pembahasannya berada dalam kewajiban talbiyah, dan itu memiliki tempat tersendiri.

Di antara dalil Mālik adalah riwayat dari Ibn ‘Abbās, bahwa Nabi SAW bersabda: “Siapa yang meninggalkan suatu nusuk, maka wajib atasnya dam.” Maka orang ini dianggap telah meninggalkan nusuk, sehingga wajib baginya dam.


قَالَ: وَلِأَنَّهُ دَمٌ وَجَبَ لِمُجَاوَزَةِ الْمِيقَاتِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْقُطَ بِالْعُودِ إِلَى الْمِيقَاتِ، كَالْعَوْدِ بَعْدَ الطَّوَافِ.
قَالَ: وَلِأَنَّ دَمَ مُجَاوَزَةِ الْمِيقَاتِ كَدَمِ الطِّيبِ وَاللِّبَاسِ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ دَمَ الطِّيبِ لَا يَسْقُطُ لِغَسْلِهِ، وَدَمَ اللِّبَاسِ لَا يَسْقُطُ لِخَلْعِهِ، فَكَذَلِكَ دَمُ الْمِيقَاتِ لَا يَسْقُطُ بِعُودِهِ.

Ia berkata: Karena dam itu wajib disebabkan melewati mīqāt, maka tidak boleh gugur hanya karena kembali ke mīqāt, sebagaimana orang yang kembali setelah melakukan ṭawāf (juga tidak menggugurkan kewajiban dam).

Ia juga berkata: Karena dam karena melewati mīqāt serupa dengan dam karena memakai minyak wangi atau pakaian. Telah tetap bahwa dam karena minyak wangi tidak gugur hanya dengan membasuhnya, dan dam karena pakaian tidak gugur hanya dengan melepaskannya. Maka demikian pula dam karena melewati mīqāt tidak gugur hanya karena ia kembali ke sana.


قَالَ: وَلِأَنَّ وُجُوبَ الدَّمِ بِمُجَاوَزَةِ الْمِيقَاتِ جُبْرَانٌ كَسُجُودِ السَّهْوِ فِي الصَّلَاةِ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ تَرَكَ التَّشَهُّدَ الْأَوَّلَ فَلَزِمَهُ سُجُودُ السَّهْوِ ثُمَّ عَادَ إِلَيْهِ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ السَّهْوُ، فَكَذَلِكَ إِذَا جَاوَزَ الْمِيقَاتَ فَلَزِمَهُ الدَّمُ ثُمَّ عَادَ إِلَيْهِ، لَمْ يَسْقُطْ عِنْدَ الدَّمِ، وَلِأَنَّ ضَمَانَ الْوَدِيعَةِ يَجِبُ بِالتَّعَدِّي فِيهَا، كَمَا أَنَّ دَمَ الْمِيقَاتِ يَجِبُ بِمُجَاوَزَتِهِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ كُفَّ عَنِ التَّعَدِّي لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الضَّمَانُ، فَكَذَلِكَ إِذَا عَادَ إِلَى الْمِيقَاتِ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الدَّمُ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنْ لَا دَمَ عَلَيْهِ هُوَ أَنَّ الْمَأْخُوذَ عَلَيْهِ حُصُولُهُ بِالْمِيقَاتِ مُحْرِمًا، وَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِ الْإِحْرَامُ مِنْ ميقاته مبتدأ، بِدَلِيلِ أَنَّهُ لَوْ أَحْرَمَ مِنْ دُوَيْرَةِ أَهْلِهِ أَجْزَأَهُ وَقَدْ حَصَلَ مِنْهُ مَا أُخِذَ عَلَيْهِ، فَنَقُولُ: لِأَنَّهُ حَصَلَ مُحْرَمًا فِي مِيقَاتِهِ قَبْلَ التَّلَبُّسِ بِشَيْءٍ مِنْ أَفْعَالِ حَجِّهِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ دَمٌ لِأَجْلِهِ، قِيَاسًا عَلَيْهِ إِذَا ابْتَدَأَ إِحْرَامَهُ مِنْ دُوَيْرَةِ أَهْلِهِ، وَلِأَنَّ دَمَ مُجَاوَزَةِ الْمِيقَاتِ، إِنَّمَا وَجَبَ لِأَجْلِ التَّفْرِقَةِ بِتَرْكِ الْإِحْرَامِ مِنَ الْمِيقَاتِ، وَأَنَّهُ أَحَلَّ بِقَطْعِ مَسَافَةٍ كَانَ يَلْزَمُهُ قَطْعُهَا بِالْإِحْرَامِ، وَهُوَ إِذَا أَحْرَمَ دُونَ الْمِيقَاتِ ثُمَّ عَادَ إِلَيْهِ مُحْرِمًا، لَمْ يَكُنْ بِتَرْكِ الْإِحْرَامِ مُتَرَفِّهًا، بَلْ زَادَ نَفْسَهُ مَشَقَّةً، وَصَارَ كَمَنْ أَحْرَمَ مِنْ دُوَيْرَةِ أَهْلِهِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ الدَّمُ، لِعَدَمِ مُوجِبِهِ، ولأن من يجاوز الْمِيقَاتَ، ثُمَّ عَادَ إِلَيْهِ مُحلاً فَأَحْرَمَ مِنْهُ مُبْتَدِئًا، لَمْ يَلْزَمْهُ عَلَيْهِ الدَّمُ وِفَاقًا فَلِأَنْ لَا يَلْزَمَ الدَّمُ مَنْ عَادَ إِلَيْهِ محرماً فأحرم منه مبتدئاً لم يلزمه الدم مُحْرِمًا أَوْلَى، لِأَنَّهُ أَكْثَرُ عَمَلًا، وَلِأَنَّ الدَّمَ يَتَعَلَّقُ بِمُجَاوَزَةِ الْمِيقَاتِ، كَمَا يَتَعَلَّقُ بِالدَّفْعِ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ عَرَفَاتٍ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ عَادَ إِلَى عَرَفَةَ لَيْلًا سَقَطَ عَنْهُ الدَّمُ، فَكَذَلِكَ يَجِبُ إِذَا عَادَ إِلَى الْمِيقَاتِ مُحْرِمًا أَنْ يَسْقُطَ عَنْهُ الدَّمُ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: ” مَنْ تَرَكَ نُسُكًا فَعَلَيْهِ دَمٌ “، فَهُوَ مَوْقُوفٌ عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، وَلَوْ صَحَّ مُسْنَدًا لَمْ يَكُنْ دَلِيلًا، لِأَنَّهُ مَا تَرَكَ نُسُكًا، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى مَنْ عَادَ بَعْدَ الطَّوَافِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ عَادَ بَعْدَ فَوَاتِ الْوَقْتِ، فَلَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الدَّمُ كَمَنْ عَادَ إِلَى عَرَفَةَ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ، وَهُوَ إِذَا عَادَ بَعْدَ الطَّوَافِ، فَقَدْ عَادَ قَبْلَ فَوَاتِ الْوَقْتِ، فَلِذَلِكَ سَقَطَ عَنْهُ الدَّمُ كَمَنْ عَادَ إِلَى عَرَفَةَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ، وَأَمَّا اعْتِبَارُهُمْ ذَلِكَ بِدَمِ الطِّيبِ وَاللِّبَاسِ، فَغَيْرُ صَحِيحٍ. لِأَنَّ التَّرَفُّهُ بِاللِّبَاسِ مَوْجُودٌ وَإِنْ خَلَعَهُ وَالِاسْتِمْتَاعُ بِالطِّيبِ حَاصِلٌ وَإِنْ غَسَلَهُ فَالْتَزَمَهُ بالعود إلى الميقات، غير موجود فلذلك يسقط عَنْهُ الدَّمُ وَأَمَّا سُجُودُ السَّهْوِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ يَلْزَمُ فِي الزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ، فَلِذَلِكَ لَمْ يَسْقُطُ بِالْعَوْدِ، وَدَمُ الْمِيقَاتِ لَا يَجِبُ بِالزِّيَادَةِ، فَلِذَلِكَ سَقَطَ بِالْعَوْدِ، وَأَمَّا الْوَدِيعَةُ، إِذَا تَعَدَّى فِيهَا فَنَحْنُ وَمَالِكٌ مُجْمِعُونَ عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ الْوَدِيعَةِ وَالْمِيقَاتِ، لِأَنَّ مَالِكًا يَقُولُ يَسْقُطُ ضَمَانُ الْوَدِيعَةِ بِالْكَفِّ عَنِ التَّعَدِّي، وَلَا يَسْقُطُ الدَّمُ بِالْعَودِ إِلَى الْمِيقَاتِ، وَنَحْنُ نَقُولُ: لَا يَسْقُطُ ضَمَانُ الْوَدِيعَةِ بِالْكَفِّ عَنِ التَّعَدِّي، وَيَسْقَطُ الدَّمُ بِالْعَوْدِ إِلَى الْمِيقَاتِ، فَلَمْ يَسْلَمْ لَهُ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا عَلَى أَنَّ الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا أَنَّ ضَمَانَ الْوَدِيعَةِ وَجَبَ لِآدَمِيٍّ، وَدَمُ الْمِيقَاتِ وَجَبَ لِلَّهِ تعالى وفرق في الشرع بين إبداء مَا وَجَبَ لِلْآدَمِيِّينَ وَبَيْنَ إِبْرَاءِ مَا وَجَبَ لِلَّهِ تَعَالَى. أَلَا تَرَى أَنَّ الْغَاصِبَ إِذَا تَنَاوَلَ مَالَ غَيْرِهِ ثُمَّ أَرْسلَهُ لَمْ يَبْرَأْ مِنْ ضَمَانِهِ، وَالْمُحْرِمُ إِذَا أَمْسَكَ صَيْدًا ثُمَّ أَرْسَلَهُ بَرِئَ مِنْ ضَمَانِهِ.

D ia berkata: Karena kewajiban dam karena melewati mīqāt adalah bentuk jabrān sebagaimana sujūd as-sahw dalam salat. Telah ditetapkan bahwa apabila seseorang meninggalkan tasyahhud pertama lalu wajib baginya sujūd as-sahw, kemudian dia kembali melakukannya, maka sujūd as-sahw tidak gugur darinya. Maka demikian pula, apabila seseorang melewati mīqāt lalu wajib baginya dam, kemudian dia kembali ke mīqāt, maka dam tidak gugur darinya.

Dan karena jaminan terhadap barang titipan (wadī‘ah) menjadi wajib sebab adanya pelanggaran terhadapnya, sebagaimana dam karena mīqāt menjadi wajib sebab melewatinya. Dan telah ditetapkan bahwa jika seseorang berhenti dari pelanggaran terhadap wadī‘ah, jaminan tersebut tidak gugur darinya. Maka demikian pula, apabila ia kembali ke mīqāt, dam tidak gugur darinya.

Dalil bahwa tidak ada dam atasnya adalah bahwa yang dituntut darinya adalah agar ia berada di mīqāt dalam keadaan muḥrim, dan tidak disyaratkan agar ia memulai iḥrām dari mīqāt-nya. Buktinya, jika seseorang beriḥrām dari rumahnya (duwayrah ahlih), maka itu sudah mencukupi, dan telah terwujud dari dirinya apa yang dituntut darinya.

Maka kami katakan: karena ia telah berada di mīqāt dalam keadaan muḥrim sebelum memulai sedikit pun dari amalan-amalan haji, maka tidak wajib atasnya dam karena hal itu. Ini diqiyaskan dengan orang yang memulai iḥrām dari rumahnya.

Dan karena dam melewati mīqāt itu wajib sebab adanya kelalaian berupa meninggalkan iḥrām dari mīqāt, serta karena ia telah menyengaja melewati jarak yang seharusnya ia tempuh dalam keadaan beriḥrām. Adapun jika ia beriḥrām sebelum mīqāt, kemudian ia kembali ke mīqāt dalam keadaan muḥrim, maka tidak bisa dikatakan bahwa ia telah bersenang-senang dengan meninggalkan iḥrām, bahkan ia justru menambah beban bagi dirinya, dan menjadi seperti orang yang beriḥrām dari rumahnya. Maka wajib tidak ada dam baginya karena tidak adanya sebab yang mewajibkan.

Dan karena orang yang melewati mīqāt, lalu kembali ke sana dalam keadaan muḥill lalu memulai iḥrām darinya, maka tidak wajib atasnya dam menurut kesepakatan. Maka orang yang kembali dalam keadaan muḥrim dan memulai iḥrām dari sana tentu lebih utama tidak dikenai dam, karena lebih banyak amalnya.

Dan karena dam berkaitan dengan melewati mīqāt, sebagaimana dam berkaitan dengan keluar dari Arafah sebelum terbenamnya matahari. Dan telah ditetapkan bahwa jika seseorang kembali ke Arafah di malam hari, dam gugur darinya. Maka demikian pula, jika seseorang kembali ke mīqāt dalam keadaan muḥrim, maka wajib baginya dam gugur.

Adapun jawaban terhadap perkataannya: “Siapa yang meninggalkan nusuk, maka wajib atasnya dam”, maka itu adalah riwayat mauqūf dari Ibn ‘Abbās. Dan sekalipun musnad maka tidak bisa dijadikan dalil, karena ia tidak meninggalkan nusuk.

Adapun qiyās mereka dengan orang yang kembali setelah ṭawāf, maka maksudnya adalah bahwa ia kembali setelah waktu habis, maka tidak gugur darinya dam, seperti orang yang kembali ke Arafah setelah terbit fajar hari naḥr. Namun jika ia kembali setelah ṭawāf masih dalam waktu, maka gugurlah dam darinya, seperti orang yang kembali ke Arafah sebelum terbit fajar.

Adapun analogi mereka dengan dam karena memakai wangi-wangian dan pakaian, maka itu tidak tepat. Karena kesenangan dengan pakaian tetap ada meskipun sudah dilepas, dan kenikmatan dari wangi-wangian tetap ada meskipun telah dicuci. Maka tidak sama dengan kembali ke mīqāt, sebab tidak ada lagi kenikmatan padanya. Maka dari itu dam gugur darinya.

Adapun sujūd as-sahw, sebabnya adalah karena penambahan atau pengurangan, maka tidak gugur dengan kembali. Sedangkan dam mīqāt tidak wajib karena penambahan, maka dari itu gugur dengan kembali.

Adapun wadī‘ah, jika seseorang melanggar terhadapnya, maka kami dan Mālik sepakat bahwa ada perbedaan antara wadī‘ah dan mīqāt. Karena Mālik mengatakan bahwa jaminan wadī‘ah gugur jika seseorang berhenti dari pelanggaran, dan dam tidak gugur dengan kembali ke mīqāt. Sementara kami mengatakan bahwa jaminan wadī‘ah tidak gugur hanya dengan berhenti dari pelanggaran, tetapi dam gugur dengan kembali ke mīqāt. Maka tidak sah penggabungan antara keduanya.

Adapun perbedaan antara keduanya adalah bahwa jaminan wadī‘ah wajib kepada sesama manusia, sementara dam mīqāt wajib karena Allah SWT. Dan dalam syariat ada perbedaan antara menunaikan kewajiban terhadap sesama manusia dan menggugurkan kewajiban kepada Allah SWT.

Tidakkah engkau lihat bahwa seseorang yang merampas harta orang lain, lalu mengembalikannya, ia tidak lepas dari tanggungan, sedangkan orang yang beriḥrām lalu menangkap binatang buruan, kemudian ia melepaskannya, maka ia bebas dari tanggungan.


فَصْلٌ فِي دُخُولِ مكة بغير حج أو عمرة
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يُرِيدَ دُخُولَ مَكَّةَ لَا لَحْجٍ وَلَا لِعُمْرَةٍ، فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ، فِيمَنْ أَرَادَ دُخُولَ الْحَرَمِ، هَلْ يَجُوزُ أَنْ يُدْخُلَهُ حَلَالًا بِغَيْرِ نُسُكٍ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ بِأَنْ يُدْخُلَهُ بِغَيْرِ نُسُكٍ، فَعَلَى هَذَا لَا يَلْزَمُ الْإِحْرَامُ مِنَ الْمِيقَاتِ.

PASAL TENTANG MASUK MAKKAH TANPA HAJI ATAU UMRAH
 Adapun bagian kedua, yaitu seseorang yang ingin masuk Makkah bukan untuk haji dan bukan pula untuk umrah, maka terdapat perbedaan pendapat Imam Syafi‘i mengenai orang yang ingin masuk wilayah ḥaram: apakah boleh ia memasukinya dalam keadaan tidak berihram dan tanpa nusuk? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: Boleh memasukinya tanpa nusuk. Maka berdasarkan pendapat ini, tidak wajib baginya iḥrām dari mīqāt.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ أَنْ يُدْخُلَهُ إِلَّا مُحْرِمًا بِنُسُكٍ إِمَّا لِحَجٍّ أَوْ لِعُمْرَةٍ، فَعَلَى هَذَا يَلْزَمُ الْإِحْرَامُ مِنَ الْمِيقَاتِ، فَإِنْ جَاوَزَهُ غَيْرَ مُحْرِمٍ، نُظِرَ فِي حَالِهِ، فَإِنْ دَخَلَ مَكَّةَ غَيْرَ مُحْرِمٍ لَمْ يَلْزَمْهُ الدَّمُ لِمُجَاوَزَةِ الْمِيقَاتِ، لِأَنَّ الدَّمَ إِنَّمَا يُجْبَرُ بِهِ نَقْصُ النُّسُكِ، وَلَا يَجِبُ بَدَلًا مِنْ تَرْكِ النُّسُكِ، وَإِنْ أَحْرَمَ بَعْدَ مُجَاوَزَةِ الْمِيقَاتِ، نُظِرَ، فَإِنْ عاد إلى الميقات محرماً سقط عنده الدَّمُ، وَإِنْ لَمْ يَعُدْ إِلَيْهِ مُحْرِمًا، وَجَبَ عَلَيْهِ الدَّمُ لِمُجَاوَزَةِ الْمِيقَاتِ.

Dan pendapat kedua: Tidak boleh memasukinya kecuali dalam keadaan muḥrim dengan nusuk, baik untuk haji maupun untuk umrah. Maka berdasarkan pendapat ini, wajib iḥrām dari mīqāt. Jika ia melewatinya tanpa beriḥrām, maka dilihat keadaannya: jika ia masuk ke Makkah dalam keadaan tidak muḥrim, maka tidak wajib atasnya dam karena melewati mīqāt, karena dam itu hanya sebagai penutup kekurangan dalam nusuk, dan tidak wajib sebagai ganti dari meninggalkan nusuk.

Namun jika ia beriḥrām setelah melewati mīqāt, maka dilihat: jika ia kembali ke mīqāt dalam keadaan muḥrim, gugurlah dam darinya. Tetapi jika ia tidak kembali ke sana dalam keadaan muḥrim, maka wajib atasnya dam karena melewati mīqāt.

فَصْلٌ: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ
: وَهُوَ أَنْ لَا يُرِيدَ دُخُولَ مَكَّةَ، وَلَا شَيْءَ مِنَ الْحَرَمِ، فَلَا حُكْمَ لِاجْتِيَازِهِ بِالْمِيقَاتِ، وَهُوَ كَسَائِرِ الْمَنَازِلِ، لَا يَلْزَمُهُ الْإِحْرَامُ مِنْهُ، فَإِنْ جَاوَزَهُ، ثُمَّ أَرَادَ الْإِحْرَامَ بِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ، أَحْرَمَ مِنْ مَوْضِعِهِ الَّذِي حَدَثَتْ إِرَادَتُهُ فِيهِ، وَلَمْ يَلْزَمْهُ الْعَوْدُ إِلَى مِيقَاتِ بَلَدِهِ، وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: عَلَيْهِ الْعُودُ إِلَى مِيقَاتِ بَلَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَعُدْ فَعَلَيْهِ دَمٌ، كَمَنْ مَرَّ مُرِيدًا لِمِيقَاتِ بَلَدِهِ، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ الْعَوْدَ إِلَى الْمِيقَاتِ إِنَّمَا يَجِبُ عَلَيْهِ مَنْ لَزِمَهُ الْإِحْرَامُ مِنَ الْمِيقَاتِ، وَهَذَا لَمْ يَكُنِ الْإِحْرَامُ مِنَ الْمِيقَاتِ وَاجِبًا عَلَيْهِ، فَلَمْ يَكُنِ الْعَوْدُ واجباً عليه.

PASAL: ADAPUN BAGIAN KETIGA
 Yaitu seseorang yang tidak berniat masuk Makkah, dan tidak pula ke wilayah ḥaram, maka tidak ada hukum atasnya karena melewati mīqāt. Ia seperti melewati tempat-tempat lainnya; tidak wajib atasnya berihram dari mīqāt tersebut.

Apabila ia telah melewatinya, lalu setelah itu ia berniat untuk berihram haji atau umrah, maka ia berihram dari tempat di mana niat itu muncul, dan tidak wajib kembali ke mīqāt negeri asalnya.

Imam Aḥmad bin Ḥanbal berpendapat: wajib kembali ke mīqāt asalnya, dan jika tidak kembali maka wajib baginya dam, seperti orang yang melewati mīqāt dengan niat dari awal.

Namun pendapat ini tidak benar, karena kewajiban kembali ke mīqāt hanya berlaku bagi orang yang wajib berihram dari mīqāt. Sedangkan orang ini, pada awalnya tidak wajib berihram dari mīqāt, maka tidak wajib pula baginya untuk kembali.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنْ كَانَ أَهْلُهُ دُونَ الْمِيقَاتِ، فَمِيقَاتُهُ مِنْ حَيْثُ يُحْرِمُ مِنْ أَهْلِهِ لَا يُجَاوِزُهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: هَذَا صَحِيحٌ، مَنْ كَانَ أَهْلُهُ وَمَسْكَنُهُ بين الميقات ومكة كأهل جدة ووج وَعُسْفَانَ، وَالطَّائِفِ، فَمِيقَاتُهُ مِنْ بَلَدِهِ وَدُوَيْرَةِ أَهْلِهِ فِي حَجِّهِ أَوْ عُمْرَتِهِ وَلَا يَلْزَمُ أَنْ يُحْرِمَ مِنَ الْمِيقَاتِ الَّذِي وَرَاءَهُ لِرِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ كَانَ أَهْلُهُ دُونَ الْمِيقَاتِ، أَهَلَّ مِنْ حَيْثُ يُنْشِئُ ” يَعْنِي مِنْ حَيْثُ يَبْتَدِئُ السَّفَرَ، وَرُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُمَا قَالَا: فِي ” قَوْله تَعَالَى: {وَأَتِمُّوا الحَجَّ وَالعُمْرَةَ لِلهِ) {البقرة: 196) . إِنَّ إِتْمَامَهُمَا أَنْ تُحْرِمَ بِهَا مِنْ دُوَيْرَةِ أَهْلِكَ، وَلِأَنَّ الْمَوَاقِيتَ قُدِّرَتْ لِمَنْ كَانَ وَرَاءَهَا، وَلَمْ تُقَدَّرْ لِمَنْ كَانَ دُونَهَا. أَلَا تَرَى أَنَّ أَهْلَ مَكَّةَ لَا يَلْزَمُهُمُ الْخُرُوجُ إِلَى الْمِيقَاتِ وَكَذَا مَنْ كَانَ أَقْرَبَ إِلَى مَكَّةَ مِنَ الْمِيقَاتِ. فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَإِنْ كَانَ مَنْزِلُهُ فِي قَرْيَةٍ فَهِيَ مِيقَاتُهُ، وَالْمُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يُحْرِمَ مِنْ أبعد طرفيها إِلَى الْحَرَمِ، وَأَقَلُّ مَا عَلَيْهِ أَنْ يُحْرِمَ من أقرب طرفيها إِلَى الْحَرَمِ، وَإِنْ كَانَ مُنْزِلُهُ فِي خِيَامٍ، فَالْمُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يُحْرِمَ مِنْ أَبْعَدِ طَرَفَيِ الْخِيَامِ إِلَى الْحَرَمِ، وَأَقَلُّ مَا عَلَيْهِ أَنْ يحرم من أقرب طرفيها إِلَى الْحَرَمِ وَإِنْ كَانَ مَنْزِلُهُ مُنْفَرِدًا، فَمِنْهُ يُحْرِمُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَتَقَدَّمُ عَلَيْهِ وَلَا يَتَأَخَّرُ عَنْهُ، فَإِنْ جَاوَزَ هَؤُلَاءِ غَيْرَ مُحْرِمِينَ كَانُوا كَمَنْ جَاوَزَ الْمِيقَاتَ مِنْ أَهْلِهِ غَيْرَ مُحْرِمٍ فَعَلَيْهِمْ دَمٌ إِلَّا أَنْ يَعُودُوا مُحْرِمِينَ قَبْلَ الطَّوَافِ، فَلَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ فَأَمَّا مَنْ كَانَ مَسْكَنُهُ فِي طَرَفٍ مِنْ أَطْرَافِ الْحَرَمِ، فَهُمْ كَأَهْلِ مَكَّةَ لِمِيقَاتِهِمْ فِي الْحَجِّ مِنْ مَوْضِعِهِمْ، وَفِي الْعُمْرَةِ مِنْ أَقْرَبِ الْحِلِّ إِلَيْهِمْ.

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Barang siapa keluarganya tinggal di dalam batas mīqāt, maka mīqāt-nya adalah dari tempat ia beriḥrām dari keluarganya, dan ia tidak boleh melewatinya.”

Al-Māwardī berkata: Ini adalah pendapat yang benar. Barang siapa keluarganya dan tempat tinggalnya berada di antara mīqāt dan Makkah—seperti penduduk Jeddah, Wujj, ‘Usfān, dan Ṭā’if—maka mīqāt-nya adalah dari negerinya dan dari rumah tinggal keluarganya, baik dalam haji maupun umrah. Ia tidak wajib beriḥrām dari mīqāt yang lebih jauh dari tempat tinggalnya.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Abbās bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang tempat tinggalnya berada di dalam mīqāt, maka ia beriḥrām dari tempat ia memulai perjalanannya,” yakni dari tempat ia memulai safarnya.

Diriwayatkan dari ‘Alī dan ‘Umar RA bahwa keduanya berkata tentang firman Allah Ta‘ālā: {wa atimmū al-ḥajja wa al-‘umrata lillāh} (QS al-Baqarah: 196): “Sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah,” maksud penyempurnaannya adalah dengan cara beriḥrām dari tempat tinggal keluargamu.

Karena mīqāt-mīqāt itu ditentukan untuk orang-orang yang berada di luar batasnya, bukan bagi yang berada di dalam batasnya. Tidakkah engkau melihat bahwa penduduk Makkah tidak diwajibkan keluar ke mīqāt, begitu pula siapa pun yang tempat tinggalnya lebih dekat ke Makkah daripada mīqāt.

Jika hal ini telah ditetapkan, maka jika tempat tinggal seseorang berada di sebuah desa, maka desanya itu adalah mīqāt-nya. Dianjurkan baginya untuk beriḥrām dari bagian desa yang paling jauh menuju ḥaram, dan minimal yang wajib atasnya adalah beriḥrām dari bagian desa yang paling dekat ke arah ḥaram.

Jika tempat tinggalnya berupa tenda-tenda, maka dianjurkan baginya untuk beriḥrām dari bagian tenda yang paling jauh menuju ḥaram, dan minimal yang wajib adalah dari sisi tenda yang paling dekat ke arah ḥaram.

Jika tempat tinggalnya berdiri sendiri (tidak bersama kampung atau tenda), maka dari tempat itulah ia beriḥrām, karena tidak ada tempat lain yang lebih mendahuluinya atau sesudahnya.

Jika orang-orang ini melewati tempat tinggal mereka tanpa beriḥrām, maka mereka seperti orang yang melewati mīqāt dari rumahnya tanpa beriḥrām, sehingga wajib atas mereka dam, kecuali mereka kembali dalam keadaan muḥrim sebelum melakukan ṭawāf, maka tidak wajib atas mereka dam.

Adapun orang yang tempat tinggalnya berada di salah satu sisi dari batas ḥaram, maka mereka seperti penduduk Makkah; mīqāt mereka dalam haji adalah dari tempat tinggal mereka, dan dalam umrah adalah dari bagian ḥill yang paling dekat dengan mereka.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا مَنْ كَانَ مَسْكَنُهُ بَيْنَ مِيقَاتَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَمَامَهُ، وَالْآخَرُ وَرَاءَهُ، كَأَهْلِ الْأَبْوَاءِ وَالْعَرَجِ وَالسُقْيَا، وَالرَّوْحَاءِ وَبَدْرٍ وَالصَّفْرَاءِ فَمَعْلُومٌ أَنَّ مَسْكَنَهُمْ بَيْنَ ذِي الْحُلَيْفَةِ وَالْجُحْفَةِ، وَهُمَا مِيقَاتَانِ، فَذُو الْحُلَيْفَةِ ورائهم، وَالْجُحْفَةُ أَمَامَهُمْ، فَيَنْظُرَ فِي حَالِهِمْ، فَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ فِي جَادَّةِ الْمَغْرِبِ وَالشَّامِ الَّذِينَ هُمْ عَلَى طَرِيقِ الْجُحْفَةِ، كَأَهْلِ بَدْرٍ وَالصَّفْرَاءِ، فَمِيقَاتُهُمْ مِنَ الْجُحْفَةِ الَّتِي هِيَ أَمَامَهُمْ، لِأَنَّ الْجُحْفَةَ لَمَّا كَانَتْ مِيقَاتًا لِأَهْلِ الْمَغْرِبِ وَالشَّامِ الَّذِينَ هُمْ أَبْعَدُ دَارًا مِنْهُمْ، فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ مِيقَاتًا لَهُمْ، وَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ فِي جَادَّةِ الْمَدِينَةِ، وَعَلَى طَرِيقِ ذِي الْحُلَيْفَةِ، كَأَهْلِ الْأَبْوَاءِ وَالْعَرَجِ، فَمِيقَاتُهُمْ مِنْ مَوْضِعِهِمُ اعْتِبَارًا بِذِي الْحُلَيْفَةِ، لِكَوْنِهِمْ عَلَى جَادَّتْهَا، وَانْفِصَالِهِمْ عَنِ الْجَحْفَةِ يُبْعِدُهُمْ عَنْهَا، وَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ بَيْنَ الْجَادَّتَيْنِ كَأَهْلِ بَنِي حَرْبٍ، فَإِنْ كَانُوا إِلَى جَادَّةِ الْمَدِينَةِ أَقْرَبَ، أَحْرَمُوا مِنْ مَوْضِعِهِمْ، وَإِنْ كَانُوا إِلَى جَادَّةِ الشَّامَ أَقْرَبَ، أَحْرَمُوا مِنَ الْجُحْفَةِ، وَلَيْسَ الِاعْتِبَارُ بِالْقُرْبِ مِنَ الْمِيقَاتَيْنِ، وَإِنَّمَا الِاعْتِبَارُ بِالْقُرْبِ مِنَ الْجَادَّتَيْنِ، وَإِنْ كَانُوا بَيْنَ الْجَادَّتَيْنِ عَلَى سَوَاءٍ، وَلَمْ تَكُنْ إِحْدَى الْجَادَّتَيْنِ أَقَرِبَ إِلَيْهِمْ مِنَ الْأُخْرَى، فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

PASAL
 Adapun orang yang tempat tinggalnya berada di antara dua mīqāt:
 salah satunya di depannya dan yang lainnya di belakangnya — seperti penduduk al-Abwā’, al-‘Arj, as-Suqyā, ar-Rawḥā’, Badr, dan aṣ-Ṣafrā’, maka diketahui bahwa tempat tinggal mereka berada di antara Dzū al-Ḥulaifah dan al-Juḥfah, yang keduanya adalah mīqāt. Dzū al-Ḥulaifah berada di belakang mereka, dan al-Juḥfah di depan mereka. Maka dilihat keadaan masing-masing dari mereka.

Barang siapa di antara mereka berada di jalur penduduk Maghrib dan Syam, yaitu yang berada di jalan menuju al-Juḥfah, seperti penduduk Badr dan aṣ-Ṣafrā’, maka mīqāt mereka adalah dari al-Juḥfah yang berada di depan mereka. Karena al-Juḥfah telah ditetapkan sebagai mīqāt bagi penduduk Maghrib dan Syam yang negeri mereka lebih jauh daripada mereka, maka lebih utama jika menjadi mīqāt bagi mereka.

Adapun barang siapa di antara mereka yang berada di jalur penduduk Madinah dan di jalan menuju Dzū al-Ḥulaifah, seperti penduduk al-Abwā’ dan al-‘Arj, maka mīqāt mereka adalah dari tempat tinggal mereka, mengikuti Dzū al-Ḥulaifah, karena mereka berada di jalurnya. Sementara keterpisahan mereka dari al-Juḥfah menjauhkan mereka darinya.

Sedangkan barang siapa dari mereka yang berada di antara dua jalur tersebut, seperti penduduk Banī Ḥarb, maka jika mereka lebih dekat ke jalur Madinah, maka mereka berihram dari tempat mereka; dan jika lebih dekat ke jalur Syam, maka mereka berihram dari al-Juḥfah.

Dan ukuran pertimbangannya bukan berdasarkan kedekatan jarak ke dua mīqāt, tetapi berdasarkan kedekatan kepada dua jalur (perjalanan) tersebut.

Jika mereka berada di antara dua jalur itu secara seimbang, dan tidak ada salah satu jalur yang lebih dekat kepada mereka daripada yang lain, maka ada dua wajah (pendapat)…


أَحَدُهُمَا: أَنَّهُمْ يُحْرِمُونَ مِنْ مَوْضِعِهِمْ، كَمَنْ هُوَ إِلَى جَادَّةِ الْمَدِينَةِ أَقْرَبُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الِاحْتِيَاطِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُمْ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الْإِحْرَامِ مِنْ مَوْضِعِهِمْ، وَبَيْنَ الْإِحْرَامِ مِنَ الْجُحْفَةِ؛ لِأَنَّ تَسَاوِيَ الْحَالَيْنِ يُوجِبُ تساوي الحكمين.

Pertama: Mereka beriḥrām dari tempat mereka berada, seperti orang yang lebih dekat ke arah jalan Madinah, dengan mengedepankan hukum kehati-hatian.

Pendapat kedua: Mereka diberi pilihan antara beriḥrām dari tempat mereka berada atau dari al-Juḥfah, karena kesamaan dua keadaan mengharuskan kesamaan dua hukum.


فصل
: قال الشافعي: ” وروي عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ أَهَلَّ مِنَ الْفَرْعِ وَهَذَا عِنْدَنَا أَنَهٍ مَرَّ بِمِيقَاتِهِ لَا يُرِيدُ إِحْرَامًا ثُمَّ بَدَا لَهُ فَأَهَّلَ مَنْهُ أَوْ جَاءَ إِلَى الْفَرْعِ مِنْ مَكَةَ أَوْ غَيْرِهَا ثُمَّ بَدَأَ فَأَهَلَّ مِنْهُ، وَرُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُهِلُّ حَتَّى تَنْبَعِثَ بِهِ رَاحِلَتُهْ “.

PASAL
 Imam Syafi‘i berkata: “Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar bahwa ia memulai ihrām dari al-Far‘.”

Menurut kami, itu terjadi karena ia pernah melewati mīqāt-nya tanpa niat untuk berihram, lalu muncul niat setelah itu sehingga ia memulai ihrām dari al-Far‘. Atau ia datang ke al-Far‘ dari Makkah atau dari tempat lain, kemudian memulai niat dan ihrām dari sana.

Dan telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau tidak memulai ihrām kecuali setelah untanya mulai bergerak membawanya.


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِنَّمَا ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ هَذَا سُؤَالًا عَلَى نَفْسِهِ، لِمَنْ زَعَمَ أَنَّ الْإِحْرَامَ مِنَ الْمِيقَاتِ غَيْرُ وَاجِبٍ، وَهُوَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ ابْنَ عُمَرَ وَهُوَ رَاوِي الْمَوَاقِيتِ مَرَّ بِذِي الْحَلِيفَةِ مِيقَاتِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، فَلَمْ يُحْرِمْ مِنْهَا وَأَحْرَمَ بَعْدَهَا مِنَ الْفَرْعِ فَأَجَابَ عَنْ ذَلِكَ بِجَوَابَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَرَّ بِذِي الْحُلَيْفَةِ غَيْرَ مُرِيدٍ لِدُخُولِهِ مَكَّةَ، فَلَمَّا حَصَّلَ فِي ضَيْعَتِهِ بِالْفَرْعِ حَدَثَتْ لَهُ إِرَادَةٌ لِدُخُولِ مَكَّةَ، وَأَحْرَمَ مِنْ مَوْضِعِهِ بِالْعُمْرَةِ.

Al-Māwardī berkata: Sesungguhnya al-Syāfi‘ī menyebutkan hal ini sebagai bentuk pertanyaan terhadap dirinya sendiri, ditujukan kepada orang yang mengira bahwa iḥrām dari mīqāt itu tidak wajib—yakni al-Ḥasan al-Baṣrī dan Ibrāhīm al-Nakha‘ī—berdasarkan istidlāl bahwa Ibn ‘Umar, yang merupakan perawi mīqāt-mīqāt, pernah melewati Dhū al-Ḥulaifah (yaitu mīqāt penduduk Madinah), namun ia tidak beriḥrām dari sana, melainkan beriḥrām setelahnya dari al-Far‘.

Maka beliau menjawab hal itu dengan dua jawaban:

Pertama: Bahwa Ibn ‘Umar melewati Dhū al-Ḥulaifah bukan dengan maksud untuk masuk ke Makkah, lalu ketika ia telah sampai di ladangnya di al-Far‘, timbul keinginan baginya untuk masuk ke Makkah, maka ia pun beriḥrām dari tempatnya dengan niat umrah.


وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّهُ كَانَ جَائِيًا مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ، فَلَمَّا حَصَّلَ بِالْفَرْعِ بَدَا لَهُ مِنْ دُخُولِ الْمَدِينَةِ، وَأَرَادَ الْعَوْدَ إِلَى مَكَّةَ فَأَحْرَمَ مِنْ مَوْضِعِهِ بِالْعُمْرَةِ، وَقَدْ نَقَلَ هَذَا بَعْضُ الرُّوَاةِ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ جَاءَ مِنْ مَكَّةَ مُتَوَجِّهًا إِلَى الْمَدِينَةِ، فَلَمَّا صَارَ بِالْفَرْعِ بَلَغَهُ أَمْرُ الْمَدِينَةِ وَمَا فِيهَا مِنَ الْفِتْنَةِ وأمر الحرم، وما كان من مسلم بين عقبه المزي مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، فَرَجَعَ إِلَى مَكَّةَ، فَأَحْرَمَ من موضعه بالعمرة.

Jawaban kedua: Bahwa Ibn ‘Umar ketika itu datang dari Makkah menuju Madinah, lalu ketika sampai di al-Far‘, ia berubah pikiran untuk tidak memasuki Madinah, dan ingin kembali ke Makkah, maka ia pun berihram umrah dari tempat tersebut.

Sebagian perawi telah menukilkan hal ini, bahwa Ibn ‘Umar datang dari Makkah menuju Madinah, lalu ketika sampai di al-Far‘, sampai kepadanya kabar tentang kondisi Madinah, tentang fitnah yang terjadi di sana, dan perkara seputar ḥaram, serta apa yang terjadi pada Muslim bin ‘Uqbah al-Muzanī dari penduduk Madinah, maka ia pun kembali ke Makkah, dan berihram dari tempat itu untuk umrah.

 

مسألة
: قال الشافعي: ” وَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ الْإِحْرَامَ اغْتَسَلَ لِإِحْرَامِهِ مِنْ مِيقَاتِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، يُسْتَحَبُّ لِمَنْ أَرَادَ الْإِحْرَامَ لِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ، أَنْ يَغْتَسِلَ مِنْ مِيقَاتِهِ، لِرِوَايَةِ جَابِرِ بْنِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” اغْتَسَلَ لِإِهْلَالِهِ “. وَرَوَى جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: ” لَمَّا صِرْنَا بِذِي الْحُلَيْفَةِ نَفِسَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ بِمُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أن تغتسل لِلْإِهْلَالِ “. وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ الرَّجُلُ، وَالْمَرْأَةُ، وَالطَّاهِرُ وَالْحَائِضُ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ أَسْمَاءَ بِالْغُسْلِ وَهِيَ نُفَسَاءُ، وَلَيْسَ الْغُسْلُ فَرْضًا يَأْثَمُ بِتَرْكِهِ، وَإِنَّمَا هُوَ اسْتِحْبَابٌ وَاخْتِيَارٌ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَمَا تَرَكْتُ الْغُسْلَ لِلْإِهْلَالِ قَطُّ وَلَقَدْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ لَهُ مَرِيضًا فِي السَّفَرِ، وَإِنِّي أَخَافُ ضَرَرَ الْمَاءِ وَمَا صَحِبْتُ أَحَدًا أَقْتَدِي بِهِ فَرَأَيْتُهُ تَرَكَهُ وَلَا رَأَيْتُ أَحَدًا عَدَا بِهِ أَنْ رَآهُ اخْتِيَارًا.

BAB IHRAM DAN TALBIYAH
 Masalah
 Imam Syafi‘i berkata: “Apabila seseorang ingin berihram, maka ia mandi untuk ihramnya dari mīqāt-nya.”

Al-Māwardī berkata: Ini benar. Disunnahkan bagi siapa saja yang hendak berihram untuk haji atau umrah agar mandi dari mīqāt-nya, berdasarkan riwayat dari Jābir bin Zayd bin Tsābit dari ayahnya, bahwa Nabi SAW “mandi untuk iḥlāl-nya (memulai ihram).”

Dan diriwayatkan dari Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya RA dari Jābir, ia berkata: “Ketika kami sampai di Dzū al-Ḥulaifah, Asmā’ binti ‘Umays melahirkan Muḥammad bin Abī Bakr, maka Nabi SAW memerintahkannya untuk mandi guna iḥlāl (memulai ihram).”

Hal ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan, baik yang suci maupun yang haid, karena Rasulullah SAW memerintahkan Asmā’ mandi padahal ia dalam keadaan nifas.

Mandi ini bukanlah kewajiban yang jika ditinggalkan menimbulkan dosa, melainkan sesuatu yang dianjurkan dan merupakan pilihan.

Imam Syafi‘i berkata: “Aku tidak pernah meninggalkan mandi untuk iḥlāl sama sekali. Aku bahkan pernah mandi untuknya dalam keadaan sakit saat safar, padahal aku khawatir air membahayakanku. Dan aku tidak pernah menemani seorang pun yang aku ikuti, melainkan aku melihat ia tidak pernah meninggalkannya, dan aku tidak pernah melihat seorang pun meninggalkannya karena menganggapnya sebagai pilihan.”


فَإِنْ تَعَذَّرَ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ اخْتَرْنَا لَهُ أَنْ يَتَيَمَّمَ، فَإِنْ تَرَكَ ذَلِكَ كُلَّهُ فَلَا حَرَجَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ تَرَكَ اخْتِيَارًا لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ فِعْلُهُ، فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا، فَالْغُسْلُ مُسْتَحَبٌّ فِي الْحَجِّ فِي سَبْعَةِ مَوَاضِعَ، الْغُسْلُ لِلْإِحْرَامِ، وَالْغُسْلُ لِدُخُولِ مَكَّةَ، وَالْغُسْلُ لِوُقُوفِ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ، وَالْغُسْلِ لِلْوُقُوفِ بِمُزْدَلِفَةَ، وَالْغُسْلِ لِرَمْيِ الْجِمَارِ فِي أَيَّامِ مِنًى الثَّلَاثَةِ، وَلَا يَغْتَسِلُ لِرَمْيِ يَوْمِ النَّحْرِ؛ لِأَنَّهُ رَمَى أَيَّامَ مِنًى، لَا يَفْعَلُ إِلَّا بَعْدَ الزَّوَالِ فِي وَقْتِ اشْتِدَادِ الْحَرِّ وَانْصِبَابِ الْعَرَقِ، فَكَانَ فِي الْغُسْلِ تَنْظِيفٌ لَهُ، وَجَمْرَةُ يَوْمِ النَّحْرِ، تُفْعَلْ بَعْدَ نِصْفِ اللَّيْلِ، وَقَبْلَ الزَّوَالِ، فِي وَقْتٍ لَا يُتَأَذَّى بِحَرِّهِ، فَلَمْ يُؤْمَرْ بِالْغُسْلِ لَهُ.

Jika ia tidak mampu berwudu, maka kami memilihkan baginya untuk bertayammum. Jika ia meninggalkan semua itu, maka tidak ada dosa atasnya, karena ia meninggalkannya secara sukarela terhadap sesuatu yang tidak wajib ia lakukan. Maka apabila hal ini telah tetap, mandi disunnahkan dalam ibadah haji pada tujuh tempat: mandi untuk ihram, mandi untuk masuk Makkah, mandi untuk wuquf pada malam ‘Arafah, mandi untuk wuquf di Muzdalifah, mandi untuk melempar jumrah pada tiga hari di Mina. Tidak disunnahkan mandi untuk melempar pada hari nahr, karena lempar jumrah pada hari-hari Mina tidak dilakukan kecuali setelah tergelincir matahari, yaitu pada waktu terik dan banyak keringat, maka mandi bermanfaat untuk membersihkan badan. Adapun jumrah hari nahr dilakukan setelah pertengahan malam dan sebelum tergelincir matahari, pada waktu yang tidak menyakitkan karena panas, maka tidak diperintahkan mandi untuk itu.


قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَاسْتُحِبَّ الْغُسْلُ مِنْ هَذَا عِنْدَ تَغْيِيرِ الْبَدَنِ بِالْعَرَقِ وَغَيْرِهِ تَنْظِيفًا لِلْبَدَنِ، وَزَادَ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ الْغُسْلَ لِزِيَارَةِ الْبَيْتِ وحلق الشعر ولكواف الصدر، فجعل الغسل مستحباً على القديم على عَشَرَةِ مَوَاضِعَ.

Imam Syafi‘i berkata: Disunnahkan mandi dalam hal ini (sebelum ihram) ketika tubuh mengalami perubahan karena keringat dan lainnya, sebagai bentuk pembersihan badan.

Imam Syafi‘i menambahkan dalam pendapat qadīm-nya, disunnahkan juga mandi untuk ziarah ke Baitullah, mencukur rambut, dan kawāf aṣ-ṣadr (ṭawāf perpisahan), sehingga beliau menjadikan mandi sebagai sesuatu yang disunnahkan dalam pendapat qadīm-nya pada sepuluh keadaan.


فَصْلٌ
: وَيُخْتَارُ لِمَنْ أَرَادَ الْإِحْرَامَ أَنْ يَتَأَهَّبَ لِحَلْقِ شَعْرِهِ، وَتَنْظِيفِ جَسَدِهِ، لِرِوَايَةِ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَهُمْ أَنْ يَتَأَهَّبُوا لِلْإِحْرَامِ بِحَلْقِ الْعَانَةِ وَنَتْفِ الإبط، وقص الشارب، والأظافر، وغسل رؤوسهم. وَرَوَتْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ غَسَلَ رَأْسَهُ بأشنانٍ وخطمى “.

PASAL
 Disunnahkan bagi orang yang hendak berihram untuk bersiap-siap dengan mencukur rambutnya dan membersihkan badannya, berdasarkan riwayat dari Jābir bin ‘Abdillāh bahwa Rasulullah SAW memerintahkan mereka agar bersiap-siap untuk ihram dengan mencukur ‘ānah, mencabut bulu ketiak, memotong kumis dan kuku, serta mencuci kepala mereka.

Dan diriwayatkan dari ‘Ā’isyah RA, ia berkata: “Adalah Rasulullah SAW apabila hendak berihram, beliau mencuci kepalanya dengan usnān dan khaṭmī.”


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَتَجَرَّدَ وَلَبِسَ إِزَارًا وَرِدَاءً أَبْيَضَيْنِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: هَذَا صَحِيحٌ، إِذَا اغْتَسَلَ لِإِحْرَامِهِ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَجَنَّبَ لِبَاسَ مَا أَلِفَهُ مِنَ الثِّيَابِ الْمَخِيطَةِ، لِرِوَايَةِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا نَادَى فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: مَا الَّذِي يَتَجَنَّبُهُ الْمُحْرِمُ مِنَ الثِّيَابِ؟ فَقَالَ: ” لَا يَلْبَسُ السَّرَاوِيلَ، وَلَا الْقَمِيصَ وَلَا الْبُرْنُسَ، وَلَا الْعِمَامَةَ وَلَا الْخُفَّيْنِ وَلَا ثَوْبًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ أَوْ ورسٌ “. فَإِذَا نَزَعَ ثِيَابَهُ الْمَعْهُودَةَ، واغتسل لبس إِزَارًا وَرِدَاءً، وَنَعْلَيْنِ، لِرِوَايَةِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لِيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِي إزارٍ ورداءٍ وَنَعْلَيْنِ ” وَيُخْتَارُ أَنْ يَكُونَا جَدِيدَيْنِ اقْتِدَاءً بِفِعْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَنْ يَكُونَا أَبْيَضَيْنِ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” خَيْرُ ثِيَابِكُمُ الْبِيضُ، فَلْيَلْبَسُهَا أَحْيَاؤُكُمْ، وَلْيُكَفَّنْ فِيهَا مَوْتَاكُمْ “، فَإِنْ عَدَلَ عَنِ الْبَيَاضِ إِلَى الْمَصْبُوغِ، فما صبغ عزلاً قَبْلَ نَسْجِهِ، كَعُصُبِ الْيَمَنِ وَالْأَبْرَادِ وَالْحِبَرَةِ، لِأَنَّهُ بِالرِّجَالِ أَشْبَهُ، فَإِنْ لَبِسَ مَا صُبِغَ بَعْدَ نَسْجِهِ، كَانَ عَادِلًا عَنِ الِاخْتِيَارِ وَأَجْزَأَهُ وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَحْرَمَ فِي ثَوْبٍ مُعَصْفَرٍ، وَأَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَعْفَرٍ أَحْرَمَ فِي ثَوْبَيْنِ مُضَرَّجَيْنِ وَأَنَّ عَقِيلَ بْنَ أَبِي طَالِبٍ أَحْرَمَ فِي رِدَائَيْنِ فَإِنْ أَحْرَمَ جُنُبًا وَلَبِسَ ثَوْبًا نَجِسًا كَانَ بِذَلِكَ مُسِيئًا، وَكَانَ إِحْرَامُهُ مُنْعَقِدًا؛ لِأَنَّ الْإِحْرَامَ بِالْحَجِّ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى طَهَارَةٍ مِنْ حَدَثٍ أو نجس.

Masalah
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Kemudian ia bertelanjang dan mengenakan izār dan ridā’ yang berwarna putih.”
 Al-Māwardī berkata: Ini benar, yaitu apabila seseorang mandi untuk ihramnya, maka ia wajib menghindari pakaian yang biasa ia kenakan berupa pakaian berjahit, berdasarkan riwayat dari az-Zuhrī dari Sālim dari ayahnya bahwa ada seorang laki-laki berseru kepada Rasulullah SAW dan berkata: Wahai Rasulullah, pakaian apa yang harus dijauhi oleh orang yang berihram? Maka beliau bersabda: “Janganlah memakai celana panjang, baju gamis, burnus, imamah, sepatu tertutup, dan pakaian yang terkena za‘farān atau wars.”

Maka ketika ia melepas pakaian biasanya dan mandi, ia mengenakan izār, ridā’, dan dua sandal, berdasarkan riwayat dari az-Zuhrī dari Sālim dari ayahnya bahwa Nabi SAW bersabda: “Hendaklah salah seorang kalian berihram dengan izār, ridā’, dan dua sandal.”

Dan disunnahkan agar izār dan ridā’ tersebut baru sebagai bentuk meneladani perbuatan Nabi SAW, dan berwarna putih, berdasarkan sabda beliau SAW: “Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang berwarna putih, maka kenakanlah oleh yang masih hidup di antara kalian dan kafanilah orang yang mati di antara kalian dengannya.”

Jika ia memilih selain warna putih kepada pakaian yang berwarna, maka jika pewarnaannya dilakukan sebelum ditenun, seperti ‘uṣub al-Yaman, abrād, dan ḥibrah, maka hal itu lebih menyerupai pakaian laki-laki. Namun jika ia mengenakan pakaian yang dicelup setelah ditenun, maka ia telah menyelisihi yang lebih utama, namun ihramnya tetap sah.

Telah diriwayatkan bahwa Ibn ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhumā berihram dengan pakaian yang dicelup dengan ‘uṣfūr, dan bahwa ‘Abdullāh bin Ja‘far berihram dengan dua pakaian yang memerah, dan ‘Aqīl bin Abī Ṭālib berihram dengan dua ridā’.

Jika seseorang berihram dalam keadaan junub atau mengenakan pakaian najis, maka ia telah berbuat buruk dengannya, namun ihramnya tetap sah, karena ihram haji tidak mensyaratkan suci dari hadats maupun najis.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَتَطَيَّبُ لِإِحْرَامِهِ إِنْ أَحَبَّ قَبْلَ أَنْ يُحْرِمَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، أَنْ يَتَطَيَّبَ لِإِحْرَامِهِ بِمَا لَا يَبْقَى أَثَرُهُ، كَالْبَخُورِ وَمَاءِ الْوَرْدِ فَجَائِزٌ، وَهُوَ ظَاهِرُ قَوْلِ الْجَمَاعَةِ، فَأَمَّا أَنْ يَتَطَيَّبَ لِإِحْرَامِهِ بِمَا يَبْقَى أَثَرُهُ بَعْدَ إِحْرَامِهِ، كَالْمِسْكِ وَالْغَالِيَةِ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ جَائِزٌ وَلَيْسَ محرم وَلَا مَكْرُوهٌ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ، وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ، وَعَائِشَةُ، وَمِنَ التَّابِعِينَ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، وَالْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَخَارِجَةُ بْنُ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ أبو حنيفة وأبو يوسف.

Masalah
 Imam al-Syāfi‘ī RA berkata: “Boleh memakai wewangian untuk ihramnya jika ia menghendaki, sebelum berihram.”

Al-Māwardī berkata: Ini benar, yaitu boleh memakai wewangian untuk ihramnya dengan sesuatu yang tidak meninggalkan bekas, seperti bukhūr dan air mawar—maka hal itu diperbolehkan, dan ini merupakan pendapat lahiriah dari jumhur.

Adapun memakai wewangian untuk ihramnya dengan sesuatu yang bekasnya masih tersisa setelah ihram, seperti misk dan ghāliyah, maka mazhab al-Syāfi‘ī menyatakan bahwa hal itu boleh dan tidak haram serta tidak makruh.

Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat: Sa‘d bin Abī Waqqāṣ, ‘Abdullāh bin ‘Abbās, al-Ḥasan bin ‘Alī, ‘Abdullāh bin al-Zubair, dan ‘Ā’isyah.

Dari kalangan tābi‘īn: ‘Urwah bin al-Zubair, al-Qāsim bin Muḥammad, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz, dan Khārijah bin Zaid bin Thābit.

Dari kalangan fuqahā’: Abū Ḥanīfah dan Abū Yūsuf.

وقال مال: يُمْنَعُ مِنَ الطِّيبِ، فَإِنْ تَطَيَّبَ أُمِرَ بِغَسْلِهِ، فَإِنْ لَمْ يَغْسِلْهُ حَتَّى أَحْرَمَ وَالطِّيبُ عَلَيْهِ لَمْ يُقْبَلْ وَبِتَحْرِيمِهِ فِي الصَّحَابَةِ قَالَ عَمْرُ وابْنُ عُمَرَ، وَفِي التَّابِعِينَ الْحَسَنُ، وَابْنُ سِيرِينَ، وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ، وَعَطَاءٌ، وَفِي الْفُقَهَاءِ محمد بن الحسن، اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الْمُحْرِمِ فَقَالَ: ” أَشْعَثُ أَغْبَرُ ” فَإِذَا كَانَتْ هَذِهِ صِفَةُ الْمُحْرِمِ وَجَبَ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنَ الطِّيبِ؛ لِأَنَّهُ يُزِيلُ هَذِهِ الصِّفَةَ؛ وَرُوِيَ أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ: ” يَا رَسُولَ اللَّهِ أَحْرَمْتُ وَعَلَيَّ جُبَّةٌ مُضَمَّخَةٌ بِالْخَلُوقِ، فَقَالَ: انْزَعِ الْجُبَّةَ، وَاغْسِلِ الصُّفْرَةَ “.

Dan Mālik berkata: Seorang yang berihram dilarang memakai wewangian. Jika ia memakai wewangian, maka ia diperintahkan untuk membasuhnya. Jika ia tidak membasuhnya hingga masuk ihram sementara wewangian masih melekat padanya, maka ihramnya tidak diterima. Tentang keharaman (memakai wewangian saat ihram) ini juga dikatakan oleh para sahabat seperti ‘Amr dan Ibn ‘Umar, dan dari kalangan tābi‘īn seperti al-Ḥasan, Ibn Sīrīn, Sa‘īd bin Jubayr, dan ‘Aṭā’, serta dari kalangan fuqahā’ seperti Muḥammad bin al-Ḥasan, sebagai bentuk istidlāl dari riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau ditanya tentang keadaan orang yang berihram, maka beliau bersabda: “(Orang yang berihram itu) kusut dan berdebu.” Maka jika ini adalah sifat orang yang berihram, wajiblah ia menahan diri dari memakai wewangian karena hal itu menghilangkan sifat tersebut.

Dan diriwayatkan bahwa seorang Arab badui berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah berihram sedangkan aku mengenakan jubbah yang dilumuri khalūq.” Maka beliau bersabda: “Lepaskan jubbah-mu, dan cucilah warna kuning itu.”

فَكَانَ أَمْرُهُ بِغَسْلِهِ دَلِيلًا عَلَى تَحْرِيمِ اسْتَدَامَتْهُ. وَرُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ رَأَى مُعَاوِيَةَ مُحْرِمًا، وَعَلَيْهِ طِيبٌ فَأَنْكَرَ عَلَيْهِ، وَقَالَ: مَنْ طَيَّبَكَ، فَقَالَ: أَمُّ حَبِيبَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَ: عَزَمْتُ عَلَيْكَ لَتَرْجِعَنَّ إِلَيْهَا لِتَغْسِلَهُ عَنْكَ كَمَا طَيَّبَتْكَ. وَرَوَى بِشْرُ بْنُ يَسَارٍ قَالَ: لَمَّا أحرمنا، وجد عمر ريح طيب، فَقَالَ: مِمَّنْ هَذَا الرِّيحُ؟ فَقَالَ الْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ: مِنِّي يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، فَقَالَ: قَدْ عَلِمْتُ أَنَّ امْرَأَتَكَ عَطَّرَتْكَ أَوْ عَطَّارَةٌ، إِنَّمَا الْحَاجُّ الْأَذْفَرُ الْأَغْبَرُ، وَلِأَنَّهُ مَعْنًى يَتْرَفَّهُ بِهِ الْمُحْرِمُ، فَوَجَبَ إِذَا مَنَعَ الْإِحْرَامُ مِنَ ابْتِدَائِهِ، أَنْ يَمْنَعَ مِنَ اسْتِدَامَتِهِ، كَاللِّبَاسِ وَلِأَنَّ الْمُحْرِمَ إِنَّمَا يُمْنَعُ مِنَ الطِّيبِ؛ لِأَنَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجِمَاعِ، وَهَذَا مَوْجُودٌ فِي اسْتِدَامَتِهِ كَوُجُودِهِ فِي ابْتِدَائِهِ، وِالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ، رِوَايَةُ القاسم بن محمد عن عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: طَيَّبْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِإِحْرَامِهِ قَبْلَ أَنْ يُحْرِمَ وَلِحَلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ وَرَوَى عُرْوَةُ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: طَيَّبْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِيَدَيَّ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ لِلْحِلِّ وَالْإِحْرَامِ.

Maka perintah Nabi untuk mencuci wewangian itu menunjukkan haramnya mempertahankan wewangian tersebut setelah ihram.

Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA melihat Mu‘āwiyah dalam keadaan berihram sementara di tubuhnya masih ada wewangian, lalu ia mengingkarinya dan berkata: “Siapa yang memakaikan wewangian padamu?” Ia menjawab: “Ummu Ḥabībah RA.” Maka ‘Umar berkata: “Aku minta dengan sungguh agar engkau kembali kepadanya untuk mencucinya dari tubuhmu sebagaimana ia telah memakaikannya padamu.”

Bisyir bin Yasār meriwayatkan bahwa ketika mereka berihram, ‘Umar mencium bau harum, lalu berkata: “Dari siapa bau ini?” al-Barā’ bin ‘Āzib menjawab: “Dariku, wahai Amīr al-Mu’minīn.” Maka ‘Umar berkata: “Aku tahu pasti bahwa istrimu atau seorang penjual parfumlah yang telah memakaikannya padamu. Sesungguhnya seorang haji itu adalah yang dekil dan berdebu.”

Karena wewangian merupakan bentuk kenikmatan bagi orang yang berihram, maka wajib hukumnya jika ihram melarang dari memulai (memakai) wewangian, juga melarang dari mempertahankannya, sebagaimana larangan terhadap pakaian.

Juga karena orang yang berihram dilarang dari memakai wewangian sebab bisa mengundang syahwat untuk berjima‘, dan hal ini sama-sama ada baik pada permulaan maupun pada keberlanjutan (mempertahankan) wewangian tersebut.

Dalil yang menunjukkan benarnya pendapat kami adalah riwayat al-Qāsim bin Muḥammad dari ‘Ā’isyah, bahwa ia berkata: “Aku memakaikan wewangian kepada Rasulullah SAW untuk ihram beliau sebelum beliau berihram dan untuk halalnya beliau sebelum beliau ṭawāf di Baitullāh.”

Dan diriwayatkan dari ‘Urwah dari ‘Ā’isyah RA bahwa ia berkata: “Aku memakaikan wewangian kepada Rasulullah SAW dengan tanganku sendiri pada haji Wada‘ untuk kehalalan dan ihramnya.”


وَرَوَتْ عَائِشَةُ بِنْتُ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ: كُنَّا إِذَا سَافَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إلى مكة يضمخ جباهنا بالمسك، فكنا إذا عرقنا سال عَلَى وُجُوهِنَا، وَرَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَنْظُرُ إِلَيْنَا وَنَحْنُ مُحْرِمَاتٌ، فَلَا يَنْهَانَا.

Dan ‘Āisyah binti Ṭalḥah meriwayatkan dari ‘Āisyah Ummul Mu’minīn, ia berkata: “Kami apabila bepergian bersama Rasulullah SAW menuju Makkah, beliau membaluri dahi kami dengan misk (kasturi). Maka ketika kami berkeringat, (kasturi) itu mengalir di wajah-wajah kami, sementara Rasulullah SAW melihat kepada kami dalam keadaan kami sedang berihram, namun beliau tidak melarang kami.”


وَرَوَى الْأَسْوَدُ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: رَأَيْتُ وَبِيصَ الطِّيبِ فِي مَفَارِقَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بعد ثلاث من إحرامه ولأنه معنى يراد للبقاء والاستدامة، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَمْنَعَ الْإِحْرَامُ مَنَ اسْتَدَامَتْهُ كالنكاح.

Dan al-Aswad meriwayatkan dari ‘Ā’isyah bahwa ia berkata: “Aku melihat kilauan bekas wewangian di belahan rambut Rasulullah SAW tiga hari setelah beliau berihram.”

Dan karena wewangian adalah sesuatu yang memang dimaksudkan untuk bertahan dan terus-menerus, maka tidak sepantasnya ihram melarang mempertahankannya—sebagaimana tidak melarang nikāḥ.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَلَى قَوْلِهِ: ” الْمُحْرِمُ أَشْعَثُ أَغْبَرُ ” فَهُوَ أَنَّ تَطَيُّبَهُ قَبْلَ إِحْرَامِهِ لَا يُخْرِجُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ عَلَى أَنَّ الشَّعَثَ إِنَّمَا يَزُولُ بِالْغُسْلِ وَالتَّنْظِيفِ. وَالْمُحْرِمُ غَيْرُ مَمْنُوعٍ مِنْهُ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْمُؤْمِنُ نَظِيفٌ “.

Adapun jawaban terhadap sabda beliau: “Orang yang berihram itu kusut dan berdebu,” maka maksudnya adalah bahwa memakai wewangian sebelum ihram tidaklah mengeluarkan seseorang dari sifat kusut dan berdebu itu. Karena kekusutan itu hanya hilang dengan mandi dan membersihkan diri, sedangkan hal itu tidak dilarang bagi orang yang berihram, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Seorang mukmin itu bersih.”


وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ الْأَعْرَابِيِّ، فالأمر إنما كان ينزع اللِّبَاسِ وَغَسْلَ أَثَرِ التَّزَعْفُرِ عَنْهُ، وَذَلِكَ غَيْرُ مُبَاحٌ. لِرِوَايَةِ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، نَهَى الرِّجَالَ عَنِ التَّزَعْفُرِ “. وَلَيْسَ فِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى الْمَنْعِ مِنَ التَّطَيُّبِ، أَلَا تَرَاهُ لَمْ يَأْمُرْهُ بِغَسْلِ الطِّيبِ عَنْ جَسَدِهِ.

Adapun jawaban terhadap hadis tentang orang A‘rābī, maka perintah dalam hadis itu hanyalah untuk melepaskan pakaian dan mencuci bekas za‘farān dari tubuhnya, karena hal itu memang tidak diperbolehkan.

Berdasarkan riwayat dari Anas bahwa Nabi SAW melarang laki-laki memakai za‘farān.

Dan tidak terdapat dalam hadis tersebut dalil larangan memakai wewangian, tidakkah engkau lihat bahwa beliau tidak memerintahkan orang itu untuk mencuci wewangian dari tubuhnya?


وَأَمَّا حَدِيثُ عُمَرَ وَإِنْكَارُهُ عَلَى مُعَاوِيَةَ وَالْبَرَاءِ، فَإِنَّمَا ذَلِكَ عَلَى طَرِيقِ النَّدْبِ، أَلَا تَرَاهُ قَالَ حِينَ رَاجَعَهُ مُعَاوِيَةُ قَالَ: قَدْ عَلِمْتُ أَنَّهُ يَجُوزُ وَإِنَّمَا أَنْتُمْ صَحَابَةٌ وَقُدْوَةٌ، فَخَشِيتُ أَنْ يَرَاكُمُ الْجَاهِلُ فَيَقْتَدِيَ بِكُمْ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ أَنَّ طِيبَكُمْ قَبْلَ الْإِحْرَامِ أَوْ بَعْدَهُ عَلَى أَنَّ عُمَرَ صَحَابِيٌّ، وَقَدْ خَالَفَهُ غَيْرُهُ. حَتَّى رَوَى الْحَسَنُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: رَأَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ وَإِنَّ عَلَى رَأْسِهِ، مِثْلَ الرُّبِّ مِنَ الْغَالِيَةِ؛ فَلَمْ يَكُنْ إِنْكَارُ عُمَرَ مَعَ خِلَافِ غَيْرِهِ مِنَ الصَّحَابَةِ حُجَّةً.

Adapun hadis dari ‘Umar dan pengingkarannya terhadap Mu‘āwiyah dan al-Barā’, maka itu hanyalah dalam bentuk anjuran (bukan larangan). Tidakkah engkau melihat bahwa ketika Mu‘āwiyah membalasnya, ia berkata: “Aku tahu bahwa hal itu boleh. Hanya saja kalian adalah para sahabat dan teladan, maka aku khawatir ada orang awam yang melihat kalian lalu menirunya, padahal ia tidak tahu apakah wewangian itu dipakai sebelum ihram atau sesudahnya.”

Selain itu, ‘Umar adalah seorang sahabat, dan telah ada sahabat lain yang berbeda pendapat dengannya. Bahkan al-Ḥasan bin Zayd meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata: “Aku melihat Ibn ‘Abbās dan di atas kepalanya ada seperti rubb dari ghāliyah (sejenis wewangian kental).” Maka pengingkaran ‘Umar, dengan adanya perbedaan pendapat dari sahabat lain, tidak bisa dijadikan hujjah.


وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى اللِّبَاسِ؛ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَا يُسْتَعْمَلُ عَلَى وَجْهِ الْإِتْلَافِ، وَإِنَّمَا يُلْبَسُ لِيُنْزَعَ، فَكَانَتِ الِاسْتِدَامَةُ فِيهِ كَالِابْتِدَاءِ. وَالطِّيبُ يُسْتَعْمَلُ لِلْإِتْلَافِ فَلَمْ تَكُنِ الِاسْتِدَامَةُ كَالِابْتِدَاءِ. وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجِمَاعِ، فَوَجَبَ أَنْ يَمْنَعَ الْإِحْرَامُ مَنَ اسْتِدَامَتِهِ. فَبَاطِلٌ بِالنِّكَاحِ، لِأَنَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجِمَاعِ، وَلَا يَمْنَعُ الْإِحْرَامُ مِنَ اسْتِدَامَتِهُ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ غَيْرُ مَكْرُوهٍ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مُسْتَحَبٌّ، اقْتِدَاءً بِفِعْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.
وَالثَّانِي: وَهُوَ أَشْبَهُ بِمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، أَنَّهُ مُبَاحٌ لِأَنَّهُ فَعَلَهُ، وَلَمْ يَأْمُرْ بِهِ.

Adapun qiyās mereka terhadap (larangan memakai) pakaian, maka illat-nya adalah bahwa pakaian tidak dipakai untuk dihilangkan, melainkan dipakai untuk dilepas, maka mempertahankan pakaian sama hukumnya dengan memulai memakainya.

Sedangkan wewangian dipakai untuk dihilangkan (melalui pemakaian), maka mempertahankannya tidak sama dengan memulai (memakainya).

Adapun ucapan mereka bahwa wewangian mengundang kepada jima‘, maka ihram wajib melarang mempertahankan (wewangian), maka ini adalah batil jika diqiyaskan dengan nikāḥ, karena nikāḥ juga mengundang kepada jima‘, namun ihram tidak melarang mempertahankan nikāḥ.

Maka jika telah tetap bahwa mempertahankan wewangian tidak makruh, maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua wajah:

Pertama: Disunnahkan, meneladani perbuatan Nabi SAW.
 Kedua: Dan ini lebih sesuai dengan mazhab al-Syāfi‘ī, yaitu hukumnya mubah, karena beliau melakukannya namun tidak memerintahkannya.


مَسْأَلَةٌ
: قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ يَرْكَبُ فَإِذَا تَوَجَّهَتْ بِهِ رَاحِلَتُهُ لَبَّى “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ يستحب أن يحرم الرجل عقيب صلاة، فإنه كان وقت صلاة مفروضة، صلى (الفرض وإن لم يكن وَقْتُ صَلَاةٍ مَفْرُوضَةٍ، صَلَّى) رَكْعَتَيْنِ. لِرِوَايَةِ جَابِرٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ ” النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَتَى ذَا الْحُلَيْفَةِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ ببطحائها ثم ركب “.

Masalah
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Kemudian ia shalat dua rakaat, lalu menaiki kendaraan, maka ketika kendaraannya mulai mengarah (ke tujuan), ia bertalbiyah.”

Al-Māwardī berkata: Ini benar. Disunnahkan seseorang untuk berihram setelah shalat. Jika bertepatan dengan waktu shalat fardu, maka ia shalat fardu. Jika tidak bertepatan dengan waktu shalat fardu, maka ia shalat dua rakaat.

Berdasarkan riwayat dari Jābir dan Ibn ‘Abbās bahwa “Nabi SAW datang ke Dzul-Ḥulaifah, lalu beliau shalat dua rakaat setelah ‘Ashar di tanah lapangnya, kemudian beliau menaiki kendaraan.”

فَصْلٌ
: فَأَمَّا وَقْتُ الْإِهْلَالِ بِالتَّلْبِيَةِ فِي الِاخْتِيَارِ، فَهُوَ أَنْ تَنْبَعِثَ بِهِ رَاحِلَتُهُ، إِنْ كَانَ رَاكِبًا، أَوْ يَتَوَجَّهُ فِي السَّيْرِ إِنْ كَانَ مَاشِيًا.
وَقَالَ أبو حنيفة يُمْهَلُ إِذَا صَلَّى وَنَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ، اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنِّي لِأَعْجَبِ مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي إِهْلَالِهِ، فَبَعْضُهُمْ يَقُولُ: إِنَّهُ أَهَّلَ فِي مَحَلَّتِهِ، وَبَعْضُهُمْ يَقُولُ: إِنَّهُ أَهَلَّ حِينَ انْبَعَثَتْ بِهِ رَاحِلَتُهُ، وَبَعْضُهُمْ يَقُولُ: أَهَّلَ حِينَ أَشْرَفَ عَلَى الْبَيْدَاءِ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: أَنَا أَعْلَمُ النَّاسِ بِهَذَا آتِي رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ أَوْجَبَ فِي محلته، فلما انبعثت به راحلته أهل، فلما أشرف على البيداء أَهَلَّ. وَكَانَ النَّاسُ يَأْتُونَهُ أَرْسَالًا، فَأَدْرَكَهُ قَوْمٌ فَقَالُوا: أَهَلَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي مَحَلَّتِهِ أَهَلَّ حِينَ انْبَعَثَتْ بِهِ رَاحِلَتُهُ، أَهَلَّ حِينَ أَشْرَفَ عَلَى الْبَيْدَاءِ “. وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ، أَوْلَى، وَهُوَ نَصُّهُ فِي الْجَدِيدِ، وَالْإِمْلَاءُ رِوَايَةُ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يُهِلُّ إِلَّا حِينَ تَنْبَعِثُ بِهِ رَاحِلَتُهُ. فَنَفَى وَأَثْبَتَ، وَالنَّفْيُ مَعَ الْإِثْبَاتِ لَا الْإِثْبَاتُ الْمُجَرَّدُ، بَلْ هُوَ أَوْكَدُ، وَهَذَا إِخْبَارٌ عَنْ دَوَامِ فعله وروى سعد بن أبي وقاص قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إذا أخذ في طريق الفرع أهل حين تنبعث به راحلته و … في طريق إحرامه حين أشرف على البيداء. وهو إخبار عن فِعْلِهِ.

PASAL
 Adapun waktu ihrām dengan talbiyah yang paling utama, maka ialah ketika tunggangannya mulai bergerak, jika ia sedang berkendara; atau ketika ia mulai berjalan, jika ia berjalan kaki.

Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa ia boleh menunda sampai selesai salat. Ini juga dinyatakan oleh al-Syāfi‘ī dalam pendapat qadīm-nya, berdasarkan riwayat Sa‘īd bin Jubair, ia berkata:
 Aku berkata kepada Ibn ‘Abbās: “Aku merasa heran dengan perbedaan pendapat para sahabat Nabi SAW tentang ihrām-nya. Sebagian mereka mengatakan: Beliau berihram di tempat tinggalnya. Sebagian lain mengatakan: Beliau berihram ketika tunggangannya mulai bergerak. Dan sebagian lagi mengatakan: Beliau berihram ketika sampai di al-Baydā’.”

Maka Ibn ‘Abbās berkata: “Aku adalah orang yang paling tahu tentang hal itu. Rasulullah SAW sampai di Dzul-Ḥulaifah, lalu salat dua rakaat, kemudian beliau awjaba (menentukan niat) di tempat tinggalnya. Ketika tunggangannya mulai bergerak, beliau bertalbiyah. Ketika sampai di al-Baydā’, beliau juga bertalbiyah. Dan orang-orang datang kepada beliau secara bergelombang, lalu sebagian mereka mendapatkan beliau dalam keadaan sudah berihram di tempat tinggalnya, sebagian melihat beliau berihram saat tunggangannya bergerak, dan sebagian lagi melihat beliau berihram ketika sampai di al-Baydā’.”

Yang menjadi dalil bahwa pendapat al-Syāfi‘ī lebih utama—dan ini juga pendapat beliau dalam jadīd-nya dan dalam al-Imlā’—adalah riwayat dari Ibn ‘Umar yang berkata: “Rasulullah SAW tidaklah memulai ihrām kecuali saat tunggangannya mulai bergerak.”

Beliau menafikan dan menetapkan sekaligus. Penafian yang disertai penetapan lebih kuat dari penetapan tunggal, dan ini adalah pemberitaan tentang kebiasaan beliau.

Diriwayatkan pula dari Sa‘d bin Abī Waqqāṣ, ia berkata: “Adalah Rasulullah SAW, apabila mengambil jalur al-Far‘, beliau mulai ihrām ketika tunggangannya bergerak; dan apabila beliau mengambil jalur iḥrām melalui al-Baydā’, maka beliau berihram ketika sampai di al-Baydā’.” Dan ini adalah pemberitaan tentang perbuatan beliau.

وَرَوَى أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ ” أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: إِذَا تَوَجَّهْتُمْ إِلَى مِنًى، فَأَهِلُّوا بِالْحَجِّ “. فَدَلَّ مَا رَوَيْنَا مِنْ فِعْلِهِ وَقَوْلِهِ، عَلَى أَنَّ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ أَوْلَى. وَلَمْ يَكُنْ خَبَرُ ابْنِ عَبَّاسٍ مُعَارِضًا لِهَذِهِ الْأَخْبَارِ، لِأَنَّهَا أَكْثَرُ رُوَاةً، وَلِأَنَّهَا تَشْتَمِلُ عَلَى قَوْلٍ وَفِعْلٍ. وَابْنُ عَبَّاسٍ نَقَلَ فِعْلًا مُجَرَّدًا وَلِأَنَّهُمَا أخبار عن دوام فعل وَابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ فِعْلٍ مَرَّةً، عَلَى أَنَّ خَبَرَ ابْنِ عَبَّاسٍ يُحْمَلُ عَلَى الْجَوَازِ، لِأَنَّ مُجَرَّدَ الْفِعْلِ يَدُلُّ عَلَيْهِ، وَأَخْبَارُنَا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ، لِأَنَّ الْأَمْرَ وَدَوَامَ الْفِعْلِ يَدُلُّ عَلَيْهِ.

Diriwayatkan oleh Abū az-Zubayr dari Jābir: “Bahwa Nabi SAW bersabda: ‘Jika kalian telah mengarah menuju Mina, maka niatkanlah (iḥrām) haji.’”

Maka perbuatan dan perkataan Nabi SAW yang kami riwayatkan menunjukkan bahwa pendapat yang dikemukakan oleh al-Syafi‘i lebih utama. Dan riwayat Ibn ‘Abbās tidak bertentangan dengan riwayat-riwayat ini, karena riwayat-riwayat tersebut lebih banyak perawinya, dan mencakup perkataan serta perbuatan.

Sedangkan Ibn ‘Abbās hanya meriwayatkan perbuatan semata, dan itu pun hanya satu kali kejadian, sedangkan dua riwayat sebelumnya adalah tentang kebiasaan (yang terus-menerus dilakukan). Selain itu, riwayat Ibn ‘Abbās dapat dibawa kepada makna kebolehan, karena perbuatan semata menunjukkan kebolehan, sedangkan riwayat kami menunjukkan anjuran (disunnahkan), karena adanya perintah dan kontinuitas perbuatan yang menunjukkan hal itu.


مَسْأَلَةٌ
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَكْفِيهِ أَنْ يَنْوِيَ حَجًّا أَوْ عُمْرَةً عِنْدَ دخوله فيه وَرُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أمر بالغسل وتطيب لإحرامه وتطيب ابن عباس وسعد بن أبي وقاص “.

Masalah
 Imam al-Syāfi‘ī RA berkata: “Cukuplah baginya berniat haji atau ‘umrah saat ia memasukinya (ihram).”

Dan diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan mandi dan memakai wewangian untuk ihramnya, dan bahwa Ibn ‘Abbās serta Sa‘d bin Abī Waqqāṣ juga memakai wewangian.


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: الْإِحْرَامُ يَنْعَقِدُ لِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَنْعَقِدُ الْإِحْرَامُ بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ حَتَّى يُضَمَّ إِلَيْهِ أَحَدُ شَيْئَيْنِ، إِمَّا التَّلْبِيَةُ، أَوْ سَوْقُ الْهَدْيِ. فَإِنْ سَاقَ الْهَدْيَ انْعَقَدَ إِحْرَامُهُ، وَإِنْ لَمْ يُلَبِّ وَلَمْ يَسُقِ الْهَدْيَ لَمْ يَنْعَقِدْ إِحْرَامُهُ، إِلَّا أَنْ يُلَبِّيَ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيُهِلَّ “. وَهَذَا أَمْرٌ وبرواية جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لَهُمْ: ” إِذَا تَوَجَّهْتُمْ إِلَى مِنًى فَأَهِلُّوا “. وَحَقِيقَةُ الْإِهْلَالِ، إِظْهَارُ الْحَالَةِ بِالتَّلْبِيَةِ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ يَتَعَلَّقُ بِإِفْسَادِهَا الْكَفَّارَةُ، فَوَجَبَ أَلَّا يَصِحَّ الدُّخُولُ فِيهَا بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ، كَالصَّلَاةِ، لَا يُدْخَلُ فِيهَا بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ حَتَّى يُضَمَّ إِلَيْهَا دُخُولُ الْوَقْتِ، ولأنها عِبَادَةٌ شُرِعَ فِي انْتِهَائِهَا ذِكْرٌ، فَاقْتَضَى أَنْ يَجِبَ فِي ابْتِدَائِهَا ذِكْرٌ كَالصَّلَاةِ.

Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan (al-Syāfi‘i), bahwa ihram itu menjadi sah hanya dengan niat semata.

Adapun Abū Ḥanīfah berkata: Ihram tidak sah hanya dengan niat, sampai digabungkan dengan salah satu dari dua hal: yaitu talbiyah atau menggiring hady (hewan kurban). Maka jika ia menggiring hady, ihramnya sah meskipun tidak bertalbiyah. Namun jika ia tidak bertalbiyah dan tidak menggiring hady, maka ihramnya tidak sah, kecuali bila ia bertalbiyah.

Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Āisyah bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang ingin haji, hendaklah ia ihram.” Ini adalah perintah.
 Dan berdasarkan riwayat Jābir bahwa Nabi SAW bersabda kepada mereka: “Jika kalian telah mengarah ke Mina, maka ihram-lah.”

Dan hakikat iḥlāl adalah menampakkan keadaan ihram dengan bertalbiyah.

Selain itu, karena ihram adalah ibadah yang bila dirusak mewajibkan kaffārah, maka tidak sah memasukinya hanya dengan niat, seperti halnya shalat — tidak sah memasukinya hanya dengan niat hingga ditambahkan masuknya waktu.

Dan karena ihram adalah ibadah yang disyariatkan padanya dzikir di akhir, maka konsekuensinya disyariatkan pula dzikir di awalnya, seperti halnya shalat.


وَالدَّلَالَةِ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ، وَرِوَايَةُ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّهُ قَالَ: ” خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَا يَنْوِي إِلَّا الْحَجَّ فَلَمَّا دَنَوْنَا مِنْ مَكَّةَ قَالَ: مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ هَدْيٌ فَلْيَجْعَلْهَا عُمْرَةً “. فَأَخْبَرَ أَنَّهُمْ أَحْرَمُوا بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ دُونَ التَّلْبِيَةِ، وَمَعْلُومٌ بِرِوَايَةِ جَابِرٍ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِيهِمْ مَنْ سَاقَ الْهَدْيَ إِلَّا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَطَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ. فَثَبُتَ أَنَّ الْإِحْرَامَ يَنْعَقِدُ بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ، وَإِنْ لَمْ يُضَمَّ إِلَيْهِ سَوْقُ الْهَدْيِ، وَلَا التَّلْبِيَةُ، وَرَوَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَرْبُوعٍ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ – يَعْنِي فِي الْحَجِّ – فَقَالَ: ” الْعَجُّ وَالثَّجُّ “. فَالْعَجُّ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالتَّلْبِيَةِ، وَالثَّجُّ إِرَاقَةُ دَمِ الْهَدْيِ. فَأَخْرَجَهُمَا مَخْرَجَ الْفَضْلِ، وَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فِي الْحُكْمِ، وَمِنْ حُكْمِ الْإِرَاقَةِ أَنَّهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ وَلِأَنَّ انْعِقَادَ الْإِحْرَامِ لَا يَقِفُ عَلَيْهَا فَكَذَلِكَ التَّلْبِيَةُ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ يَصِحُّ الْخُرُوجُ مِنْهَا بِغَيْرِ ذِكْرٍ، فَوَجَبَ أَنْ يَصِحَّ الدُّخُولُ فِيهَا بِغَيْرِ ذِكْرٍ كَالصَّوْمِ، وَلِأَنَّ الْإِحْرَامَ رُكْنٌ مِنْ أَرْكَانِ الْحَجِّ، فَوَجَبَ أَلَّا يَكُونَ الذِّكْرُ فِيهِ شَرْطًا، كَالْوُقُوفِ وَالطَّوَافِ.

Dan dalil atas benarnya pendapat kami adalah riwayat dari Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya dari Jābir, bahwa ia berkata:
 “Kami keluar bersama Rasulullah SAW, dan beliau tidak berniat kecuali haji. Maka ketika kami mendekati Makkah, beliau bersabda: ‘Barang siapa yang tidak membawa hady, maka hendaklah ia menjadikannya sebagai ‘umrah.’”

Maka ini menunjukkan bahwa mereka telah berihram hanya dengan niat saja tanpa talbiyah. Dan diketahui dari riwayat Jābir bahwa tidak ada seorang pun dari mereka yang membawa hady kecuali Nabi SAW dan Ṭalḥah bin ‘Ubaidillāh. Maka tetaplah bahwa ihram sah hanya dengan niat, meskipun tidak disertai membawa hady atau talbiyah.

Dan ‘Abd al-Raḥmān bin Yarbū‘ meriwayatkan dari Abū Bakr al-Ṣiddīq RA, ia berkata:
 Aku berkata, “Wahai Rasulullah, amalan manakah yang paling utama (dalam haji)?” Beliau menjawab: “Al-‘ajj dan al-thajj.”

Al-‘ajj adalah mengeraskan suara dalam talbiyah, dan al-thajj adalah mengalirkan darah hady. Maka beliau menjadikan keduanya sebagai amalan utama, dan menyamakan keduanya dalam kedudukan hukum.

Padahal hukum irāqat al-dam tidak wajib, dan karena keabsahan ihram tidak tergantung padanya, maka demikian pula talbiyah.

Dan karena ihram adalah ibadah yang sah untuk keluar darinya tanpa zikir, maka wajib pula sah masuk ke dalamnya tanpa zikir, sebagaimana puasa.

Dan karena ihram adalah rukun dari rukun-rukun haji, maka wajib bahwa zikir tidak menjadi syarat padanya—sebagaimana wuqūf dan ṭawāf.


فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرَيْنِ، فَهُوَ أَنَّ الْإِهْلَالَ عِبَارَةٌ عَنِ الْإِحْرَامِ لَا عَنِ التَّلْبِيَةِ أَلَا تَرَى إِلَى قَوْلِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: إِهْلَالٌ كَإِهْلَالِ رَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، أَيْ إِحْرَامٌ كَإِحْرَامِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -. وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الصَّوْمِ، فَمُوجِبُهُ أَنْ يَكُونَ دَاخِلًا فِيهِ بِالنِّيَّةِ وَالْوَقْتِ، وَكَذَا يَقُولُ فِي الْإِحْرَامِ: إِنَّهُ يَكُونُ دَاخِلًا فِيهِ بِالنِّيَّةِ وَالْوَقْتِ.

Adapun jawaban terhadap kedua hadis tersebut adalah bahwa iḥlāl merupakan ungkapan dari iḥrām, bukan dari talbiyah. Tidakkah engkau melihat ucapan ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhu: “Iḥlāl seperti iḥlāl Rasulullah SAW,” maksudnya adalah iḥrām seperti iḥrām Rasulullah SAW.

Adapun qiyās mereka terhadap puasa, maka konsekuensinya adalah bahwa puasa masuk dengan niat dan waktu. Maka demikian pula dikatakan dalam iḥrām: sesungguhnya iḥrām itu menjadi sah dengan niat dan waktu.


وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الصَّلَاةِ فَالْمَعْنَى فِيهِ، أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَصِحُّ خُرُوجُهُ مِنْهَا إِلَّا بِذِكْرٍ وَاجِبٍ، لَمْ يَصِحَّ دُخُولُهُ فِيهَا إِلَّا بِذِكْرٍ وَاجِبٍ، وَلَمَّا لَمْ يَفْتَقِرْ خُرُوجُهُ مِنَ الْحَجِّ إِلَى ذِكْرٍ وَاجِبٍ لَمْ يَفْتَقِرْ دُخُولُهُ فِيهِ إِلَى ذِكْرٍ وَاجِبٍ.

Adapun qiyās mereka terhadap salat, maka illat-nya adalah: karena tidak sah keluar dari salat kecuali dengan zikir yang wajib, maka tidak sah pula masuk ke dalamnya kecuali dengan zikir yang wajib.

Sedangkan karena keluar dari haji tidak memerlukan zikir yang wajib, maka masuk ke dalamnya pun tidak memerlukan zikir yang wajib.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْإِحْرَامَ يَنْعَقِدُ بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ، فَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقُولَ عِنْدَ إِحْرَامِهِ: اللَّهُمَّ أَحْرَمَ لَكَ شَعْرِي وَبَشَرِي وَعَظْمِي وَدَمِيَ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ؛ وَقَدْ رُوِيَ ذَلِكَ عَنِ السَّلَفِ رَحِمَهُمُ الله.

 

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa ihram sah hanya dengan niat semata, maka disunnahkan seseorang mengucapkan saat memulai ihramnya:

“Allāhumma aḥramtu laka sya‘rī wa basyarī wa ‘aẓmī wa damī lillāhi rabbil-‘ālamīn lā syarīka lah.”

(Ya Allah, aku ihram untuk-Mu dengan rambutku, kulitku, tulangku, dan darahku, karena Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya.)

Dan sungguh telah diriwayatkan hal itu dari kalangan salaf raḥimahumullāh.

 

مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ لَبَّى بِحَجٍّ وَهُوَ يُرِيدُ عُمْرَةً، فَهِيَ عمرةٌ، وَإِنَ لَبَّى بعمرةٍ وَهُوَ يُرِيدُ حَجًّا فَهُوَ حَجٌّ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ دَلَّلْنَا عَلَى أَنَّ الْمُعَوَّلَ فِي إِحْرَامِهِ عَلَى نِيَّتِهِ دُونَ تَلْبِيَتِهِ فَإِذَا نَوَى حَجًّا وَلَبَّى بِعُمْرَةٍ كَانَ حَجًّا، وَلَوْ نَوَى عُمْرَةً وَلَبَّى بِحَجٍّ كَانَتْ عُمْرَةً، وَلَوْ نَوَى أَحَدَهُمَا، وَلَبَّى بِهِمَا انْعَقَدَ مَا نَوَى، وَهُوَ قَوْلُ كَافَّةِ الْفُقَهَاءِ، إِلَّا دَاوُدَ فَإِنَّهُ شَذَّ بِمَذْهَبِهِ، وَقَالَ: الْمُعَوَّلُ عَلَى لَفْظِهِ دُونَ نِيَّتِهِ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى “. فَلِأَنَّ الْمُعَوَّلَ فِي الْإِحْرَامِ عَلَى النِّيَّةِ دُونَ اللَّفْظِ، بِدَلِيلِ أَنَّهُ لَوْ تَلَفَّظَ وَلَمْ يَنْوِ لَمْ يَكُنْ مُحْرِمًا، وَلَوْ نَوَى وَلَمْ يتلفظ كان محرماً، فوجب، إذا اختلفت بنيته ولفظه أن يحكم بنيته دون لفظ.

Masalah
 Imam al-Syāfi‘ī RA berkata: “Jika seseorang bertalbiyah dengan niat haji padahal ia menghendaki ‘umrah, maka itu adalah ‘umrah. Dan jika ia bertalbiyah dengan ‘umrah padahal ia menghendaki haji, maka itu adalah haji.”

Al-Māwardī berkata: Kami telah menjelaskan bahwa yang menjadi sandaran dalam ihram adalah niatnya, bukan talbiyah-nya.

Maka jika ia berniat haji dan bertalbiyah dengan ‘umrah, maka itu dihukumi sebagai haji. Dan jika ia berniat ‘umrah dan bertalbiyah dengan haji, maka itu dihukumi sebagai ‘umrah.

Dan jika ia berniat salah satunya, lalu bertalbiyah dengan keduanya, maka yang sah adalah sesuai dengan niatnya.

Ini adalah pendapat seluruh fuqahā’, kecuali Dāwūd (al-Ẓāhirī) yang menyelisihi dengan mazhabnya, ia berkata: Yang dijadikan dasar adalah lafaz (talbiyah)-nya, bukan niatnya.

Ini adalah kekeliruan, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Innamā al-a‘mālu bi al-niyyāt, wa innamā likulli imri’in mā nawā” — “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang hanya mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan.”

Karena itu, yang dijadikan sandaran dalam ihram adalah niat, bukan lafaz.

Dalilnya: jika seseorang mengucapkan lafaz (talbiyah) tanpa niat, maka ia belum berihram; tetapi jika ia berniat meskipun tidak melafazkan, maka ia telah berihram.

Maka wajib, jika terjadi perbedaan antara niat dan lafaznya, maka yang dihukumi adalah niatnya, bukan lafaznya.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ لِمْ يُرِدْ حَجًّا وَلَا عُمْرَةً فَلَيْسَ بِشَيْءٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. لِأَنَّ الْإِحْرَامَ يَنْعَقِدُ بِالنِّيَّةِ فَإِذَا لَمْ يَنْوِ حَجًّا وَلَا عُمْرَةً وَلَا إِحْرَامًا لَمْ يَكُنْ مُحْرِمًا لِفَقْدِ ما انعقد به الإحرام وهو النية، وحتى عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ كَرِهَ التَّلْبِيَةَ لِلْإِحْلَالِ؛ لِأَنَّهُ مِنْ شَعَائِرِ الْإِحْرَامِ، كَرَمْيِ الْجِمَارِ، وَلَمْ يَكْرَهِ الشَّافِعِيُّ ذَلِكَ، لِأَنَّهَا تَشْتَمِلُ عَلَى حَمْدِ اللَّهِ تَعَالَى وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَضِقْ عَلَى أَحَدٍ أَنْ يَقُولَهُ رُوِيَ أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ لَقِيَ رُكْبَانًا لِسَالِحِينَ مُحْرِمِينَ فَلَبَّوْا فَلَبَّى ابْنُ مَسْعُودٍ وهو داخل الكوفة.

Masalah
 Imam al-Syāfi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang tidak berniat haji maupun umrah, maka (ihramnya) tidak dianggap apa-apa.”

Al-Māwardī berkata: Ini benar, karena ihram menjadi sah dengan niat. Maka apabila ia tidak meniatkan haji, umrah, atau ihram, maka ia tidak dianggap sebagai orang yang berihram, karena hilang syarat sahnya ihram, yaitu niat.

Bahkan dari Mālik diriwayatkan bahwa ia memakruhkan talbiyah tanpa maksud ihram, karena talbiyah termasuk syiar ihram, seperti melempar jumrah. Namun al-Syāfi‘i tidak memakruhkannya, karena talbiyah mengandung pujian kepada Allah Ta‘ālā dan sanjungan kepada-Nya, maka tidaklah sempit bagi siapa pun untuk mengucapkannya.

Diriwayatkan bahwa Ibn Mas‘ūd pernah menjumpai rombongan orang-orang saleh yang sedang berihram, lalu mereka bertalbiyah, maka Ibn Mas‘ūd pun bertalbiyah bersama mereka padahal ia masih berada di dalam Kufah.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ لَبَّى يُرِيدُ الْإِحْرَامَ وَلَمْ يَنْوِ حَجًّا وَلَا عُمْرَةً فَلَهُ الْخَيَارُ أَيُّهُمَا شَاءَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِلْإِحْرَامِ حَالَانِ، حَالُ تَقْيِيدٍ وَحَالُ إِطْلَاقٍ.
فَأَمَّا الْمُقَيَّدُ فَهُوَ أَنْ يَنْوِيَ الْإِحْرَامَ بِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ أَوْ بِهِمَا جَمِيعًا، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَنْصَرِفَ عَمَّا أَحْرَمَ بِهِ، وَلَا أَنْ يُبَدِّلَ نُسُكًا بِغَيْرِهِ.

Masalah
 Imam al-Syāfi‘ī RA berkata: “Jika seseorang bertalbiyah dengan maksud untuk berihram, namun tidak berniat haji maupun ‘umrah, maka ia bebas memilih salah satu dari keduanya yang ia kehendaki.”

Al-Māwardī berkata: Ini benar. Ihram memiliki dua keadaan: keadaan taqyīd (terikat) dan keadaan iṭlāq (umum).

Adapun yang muqayyad (terikat), yaitu ketika seseorang berniat ihram dengan haji, atau dengan ‘umrah, atau dengan keduanya sekaligus, maka tidak boleh ia berpaling dari apa yang telah diniatkannya dalam ihram, dan tidak boleh mengganti satu nusuk dengan yang lain.


وَأَمَّا الْمُطْلَقُ فهو أن ينوي إحراماً موقوفاً لا يقيده بِحَجٍّ وَلَا بِعُمْرَةٍ، ثُمَّ يَصْرِفُهُ فِيمَا بَعْدُ فِيمَا شَاءَ بِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ، فَهَذَا جَائِزٌ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى جَوَازِهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَرَجَ وَأَصْحَابُهُ مُهِلِّينَ يَنْتَظِرُونَ الْقَضَاءَ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فَأَمَرَ مَنْ لَا هَدْيَ مَعَهُ أَنْ يَجْعَلْ إِحْرَامَهُ عُمْرَةً، وَمَنْ مَعَهُ هَدْيٌ أَنْ يَجْعَلَهُ حَجًّا، وَلَبَّى عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَأَبُو موسى الأشعري رضي الله عنهما باليمين وَقَالَا عِنْدَ تَلْبِيَتِهِمَا: إِهْلَالٌ كَإِهْلَالِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَمَرَهُمَا بِالْمُقَامِ عَلَى إِحْرَامِهِمَا وَرَوَى عَطَاءٌ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَدِمَ عَلِيٌّ من سقايته فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِمَ أَهْلَلْتَ يَا عَلِيُّ؟ قَالَ: بِمَا أَهَلَّ به النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: فَاهْدِ وَامْكُثْ حَرَامًا كَمَا أَنْتَ قَالَ: فَأَهْدَى لَهُ عَلِيٌّ هَدْيًا، فَدَلَّ هَذَا عَلَى جَوَازِ الْإِحْرَامِ الْمَوْقُوفِ، وَلِأَنَّ مَنْ أَحْرَمَ عَنْ غَيْرِهِ ولم يكن قد حرم عَنْ نَفْسِهِ فَإِنَّ إِحْرَامَهُ يَصِيرُ عَنْ نَفْسِهِ وَلَوْ أَحْرَمَ تَطَوُّعًا، أَوْ نَذْرًا، وَعَلَيْهِ حَجَّةُ الْإِسْلَامِ، كَانَتْ عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ، فَثَبَتَ أَنَّ الْإِحْرَامَ يَنْعَقِدُ بِاعْتِقَادِهِ، وَإِنْ لَمْ يُقَيِّدْهُ بِنُسُكٍ، لِأَنَّهُ قَدْ يَنْوِي مَا لَا يَحْصُلُ لَهُ، وَمِنْ هَذَا الْوَجْهِ خَالَفَ الصَّلَاةَ.

Adapun yang mutlak adalah seseorang berniat ihram yang digantungkan tanpa mengikatnya dengan haji maupun dengan ‘umrah, kemudian setelah itu ia menyalurkannya kepada yang ia kehendaki, baik haji maupun ‘umrah. Maka hal ini boleh.

Dalil atas bolehnya adalah bahwa Rasulullah SAW keluar bersama para sahabat dalam keadaan muhillīn menunggu keputusan Nabi SAW. Lalu beliau memerintahkan orang yang tidak membawa hady untuk menjadikan ihramnya sebagai ‘umrah, dan orang yang membawa hady untuk menjadikannya sebagai haji.

Dan ‘Ali bin Abī Ṭālib serta Abū Mūsā al-Asy‘arī RA bertalbiyah dengan sumpah seraya berkata ketika bertalbiyah: “Ihlāl seperti ihlāl Rasulullah SAW.” Maka Nabi SAW memerintahkan keduanya untuk tetap di atas ihram mereka.

Dan ‘Aṭā’ meriwayatkan dari Jābir bin ‘Abdillāh, ia berkata: “‘Ali datang dari siqāyah-nya, lalu Nabi SAW bersabda kepadanya: ‘Dengan apa engkau berihram wahai ‘Ali?’ Ia menjawab: ‘Dengan apa yang di-ihlāl-kan Nabi SAW.’ Maka beliau bersabda: ‘Berhady-lah dan tetaplah dalam keadaan haram sebagaimana engkau.’ Maka ‘Ali pun menyembelih hady untuk beliau.”

Hal ini menunjukkan bolehnya ihram yang digantungkan. Karena barang siapa berihram atas nama orang lain, padahal ia belum berihram untuk dirinya sendiri, maka ihramnya menjadi untuk dirinya sendiri. Walaupun ia berihram dengan niat taṭawwu‘ atau nadzar, sedang ia masih memiliki kewajiban haji Islam, maka ihramnya menjadi haji Islam.

Maka tetaplah bahwa ihram itu sah hanya dengan tekad (keyakinan), walaupun ia tidak mengikatnya dengan suatu nusuk, karena terkadang ia berniat sesuatu yang tidak tercapai baginya. Dari sisi ini ihram berbeda dengan shalat.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الْإِحْرَامِ الْمَوْقُوفِ، فَهُوَ جَائِزٌ فِي شُهُورِ الْحَجِّ فِي الزَّمَانِ الَّذِي يَكُونُ مُخَيَّرًا فِيهِ مِنْ نُسُكَيِ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ، لِيَصْرِفَ إِحْرَامَهُ الْمَوْقُوفَ إِلَى مَا يَشَاءُ مِنْ حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ، فَأَمَّا فِي غَيْرِ شُهُورِ الْحَجِّ فَلَا يَصِحُّ الْإِحْرَامُ الْمَوْقُوفُ، لِأَنَّهُ زَمَانٌ لَا يَصْلُحُ لِغَيْرِ الْعُمْرَةِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ الْإِحْرَامُ مَوْقُوفًا عَلَى غَيْرِ الْعُمْرَةِ، وَيَصِيرُ الْإِحْرَامُ الْمَوْقُوفُ مُنْعَقِدًا بِالْعُمْرَةِ، وَإِذَا صَحَّ الْإِحْرَامُ الْمَوْقُوفُ فِي شَهْرِ الْحَجِّ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا، هَلِ الْأَوْلَى أَنْ يَكُونَ إِحْرَامُهُ مَوْقُوفًا، لِيَصْرِفَهُ فِيمَا بَعْدُ إِلَى مَا شَاءَ مِنْ حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ؟ أَوْ يَكُونُ مُعَيَّنًا بِنُسُكٍ مِنْ حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ؟ عَلَى مَذْهَبَيْنِ:

PASAL:
 Apabila telah tetap bolehnya iḥrām yang digantungkan, maka ia boleh dilakukan pada bulan-bulan haji, yaitu pada waktu di mana seseorang diberi pilihan antara dua nusuk haji dan umrah, agar ia mengarahkan iḥrām yang digantungkan itu kepada apa yang ia kehendaki, baik haji maupun umrah. Adapun di luar bulan-bulan haji maka tidak sah iḥrām yang digantungkan, karena itu adalah waktu yang tidak layak untuk selain umrah, maka tidak boleh iḥrām digantungkan pada selain umrah, dan iḥrām yang digantungkan itu menjadi teranggap untuk umrah.

Dan apabila sah iḥrām yang digantungkan pada bulan haji, maka para sahabat kami berselisih pendapat: apakah yang lebih utama iḥrām-nya digantungkan, agar ia arahkan setelah itu kepada apa yang ia kehendaki, haji atau umrah? Ataukah lebih utama ditentukan dengan salah satu nusuk, baik haji maupun umrah? Dalam hal ini ada dua mazhab.


أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَوْقُوفَ أَوْلَى، لِأَنَّهُ فِعْلُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَصْحَابِهِ، وَلِأَنَّهُ أَحْرَى أَنْ يَقْدِرَ عَلَى صَرْفِهِ إِلَى مَا يَخَافُ فَوْتَهُ فِي حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ، لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ الْوَقْتُ وَاسِعًا، أَمْكَنَهُ تَقْدِيمُ الْعُمْرَةِ وَإِدْرَاكُ الْحَجِّ وَإِنْ كَانَ ضَيِّقًا قدم الحج، لأن لا يَفُوتَهُ ثُمَّ أَحْرَمَ بِالْعُمْرَةِ.

Salah satunya: bahwa iḥrām yang digantungkan lebih utama, karena itu adalah perbuatan Rasulullah SAW dan para sahabatnya, dan karena dengan demikian lebih memungkinkan baginya untuk mengarahkan iḥrām itu kepada yang ia khawatirkan akan terluput, baik haji maupun umrah. Sebab jika waktunya luas, ia bisa mendahulukan umrah dan tetap mendapatkan haji, dan jika waktunya sempit, ia mendahulukan haji agar tidak terluput, kemudian ia berihram untuk umrah.


الْمَذْهَبُ الثَّانِي: أَنَّ الْإِحْرَامَ الْمُعَيَّنَ أَوْلَى، وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْجَامِعِ الْكَبِيرِ، لِرِوَايَةِ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: أَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بالمدينة لسبع سِنِينَ لَمْ يَحُجَّ ثُمَّ أَذَّنَ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ فَانْطَلَقَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَانْطَلَقْنَا لَا نَعْرِفُ إِلَّا الْحَجَّ لَهُ خَرَجْنَا ورسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَ أَظْهُرِنَا يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ وَهُوَ يَفْعَلُ مَا أُمِرَ بِهِ، فَقَدِمْنَا مَكَّةَ، فَلَمَّا طَافَ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِالْبَيْتِ، وَالصَّفَا، وَالْمَرْوَةِ قَالَ: ” مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ هَدْيٌ فَلْيَجْعَلْهَا عُمْرَةً، فَلَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الْهَدْيَ وَلَجَعَلْتُهَا عُمْرَةً “. فَدَلَّ عَلَى أَنَّ إِحْرَامَهُمْ كَانَ مَعْنِيًّا بِالْحَجِّ، وَلِأَنَّهُ إِذَا عَيَّنَهُ بِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ كَانَ مَاضِيًا فِي نُسُكِهِ وَإِنْ لَمْ يُعَيِّنْهُ كان منظراً لَهُ، وَالدَّاخِلُ فِي نُسُكِهِ أَوْلَى مِنَ الْمُنْتَظِرِ لَهُ، فَلَوْ نَوَى إِحْرَامًا مَوْقُوفًا لَزِمَهُ أَنْ يَصْرِفَهُ إِلَى حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ، فَلَوْ طَافَ وَسَعَى قَبْلَ أَنْ يَصْرِفَهُ إِلَى حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ، لَمْ يُجْزِهِ عَنْ حَجٍّ وَلَا عُمْرَةٍ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ دَاخِلًا فِي أَحَدِهِمَا.

Mazhab kedua: bahwa ihram yang ditentukan lebih utama. Hal ini telah ditegaskan oleh al-Syafi‘i dalam al-Jāmi‘ al-Kabīr, berdasarkan riwayat dari Jābir bin ‘Abdillāh, ia berkata:

“Rasulullah SAW tinggal di Madinah selama tujuh tahun tidak berhaji, kemudian beliau menyerukan kepada manusia untuk berhaji. Maka berangkatlah Rasulullah SAW dan kami pun berangkat, kami tidak mengetahui selain haji, beliau keluar bersama kami, sedang al-Qur’an turun kepadanya, dan beliau mengerjakan apa yang diperintahkan kepadanya. Lalu kami tiba di Makkah, ketika Rasulullah SAW thawaf di Baitullah, Ṣafā dan Marwah, beliau bersabda: Barangsiapa yang tidak membawa hady, maka jadikanlah hajinya sebagai ‘umrah. Seandainya aku tahu sebelumnya seperti apa yang aku ketahui sekarang, niscaya aku tidak akan menggiring hady dan akan menjadikannya ‘umrah.”

Maka ini menunjukkan bahwa ihram mereka telah ditentukan untuk haji. Karena jika ia menentukannya untuk haji atau ‘umrah, maka ia sedang menjalani nusuk-nya. Tetapi jika ia tidak menentukannya, maka ia hanya menunggu. Sedangkan orang yang sudah masuk dalam nusuk lebih utama daripada orang yang hanya menunggunya.

Maka jika seseorang berniat ihram yang digantungkan, wajib baginya menyalurkannya kepada haji atau ‘umrah. Jika ia melakukan thawaf dan sa‘i sebelum menyalurkannya kepada haji atau ‘umrah, maka tidak mencukupi baginya dari haji maupun ‘umrah, karena ia belum masuk dalam salah satunya.


فَصْلٌ
: فَإِذَا أَحْرَمَ إِحْرَامًا مُعَيَّنًا لِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ، أَوْ أَحْرَمَ مَوْقُوفًا، ثُمَّ صَرَفَهُ إِلَى حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ، فَهَلْ يُسْتَحَبُّ لَهُ إِظْهَارُ مَا أحرم فِي تَلْبِيَتِهِ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأَوْلَى إِظْهَارُهُ فِي تَلْبِيَتِهِ، فَيَقُولُ: لَبَّيْكَ بِحَجٍّ، إِنْ كَانَ مُفْرِدًا، أَوْ بِعُمْرَةٍ إِنْ كَانَ مُعْتَمِرًا، أَوْ بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ إِنْ كَانَ قَارِنَا، لِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَتَانِي آتٍ فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ، فَقَالَ: قُلْ لَبَّيْكَ بِحَجٍّ وبعمرةٍ ” وَرَوَى ابْنُ سِيرِينَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” لَبَّيْكَ حَجًّا حَقًّا تَعَبُّدًا وَرِقًّا “.

PASAL:
 Apabila seseorang telah berihram dengan iḥrām tertentu untuk haji atau umrah, atau ia berihram secara digantungkan lalu mengarahkannya kepada haji atau umrah, maka apakah disunnahkan baginya menampakkan apa yang ia niatkan dalam talbiyahnya? Dalam hal ini ada dua pendapat:

Salah satunya: bahwa yang lebih utama adalah menampakkannya dalam talbiyah, maka ia mengucapkan: labbayka bi-ḥajjin jika ia sedang ifrād, atau bi-‘umrah jika ia berumrah, atau bi-ḥajjin wa-‘umrah jika ia qirān. Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Ataku seorang utusan di lembah yang diberkahi ini, lalu berkata: ucapkanlah: labbayka bi-ḥajjin wa-‘umrah.”

Dan diriwayatkan oleh Ibn Sīrīn dari Anas, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

“Labbayka ḥajjan ḥaqqan ta‘abbudan wa riqqan.”


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ الْأَوْلَى الْإِمْسَاكُ عَنْ ذِكْرِهِ، لِرِوَايَةِ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: ” مَا سَمَّى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي تَلْبِيَتِهِ قَطُّ لَا حَجًّا وَلَا عُمْرَةً “. وَرَوَى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قِيلَ لَهُ أَيُسَمِّي أَحَدُنَا حَجًّا أَوْ عُمْرَةً؟ فَقَالَ: أتنبؤن إِلَيْهِ بِمَا فِي قُلُوبِكُمْ إِنَّمَا هِيَ نِيَّةُ أحدكم “.

Pendapat kedua: yang lebih utama adalah menahan diri dari menyebutkannya.

Berdasarkan riwayat Jābir bin ‘Abdillāh, ia berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah menyebut dalam talbiyahnya, tidak haji dan tidak pula ‘umrah.”

Dan diriwayatkan oleh Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar, bahwa ada yang bertanya kepadanya: “Apakah salah seorang dari kami menyebutkan haji atau ‘umrah?” Ia menjawab: “Apakah kalian akan memberitahukan kepadanya apa yang ada di hati kalian? Sesungguhnya itu hanyalah niat salah seorang dari kalian.”


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنَّ لَبَّى بِأَحَدِهِمَا فَنَسِيَهُ، فَهُوَ قَارِنٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: هَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا أَحْرَمَ بِأَحَدِ نسكين، ثم نسيه فلم يدر أبعمرة كَانَ إِحْرَامُهُ أَمْ بِحَجٍّ؟ فَالصَّحِيحُ فِي مَذْهَبِهِ وَالْمَشْهُورُ مِنْ قَوْلِهِ، وَمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي أَكْثَرِ كُتُبِهِ أَنَّهُ يَكُونُ قَارِنًا، وَلَا يَجُوزُ لَهُ التَّحَرِّي. وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ فِي بَابِ وجه الإهلال ومن لبى يَنْوِي شَيْئًا، فَنَسِيَ مَا نَوَى، فَأَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ يَقْرِنَ؛ لِأَنَّ الْقِرَانَ بَاقٍ عَلَى مَا نَوَى، وَإِنْ تَحَرَّى رَجَوْتُ أَنْ يُجَزِّئَهُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَاسْتَحَبَّ لَهُ أَنْ يَقْرِنَ، وَجَوَّزَ لَهُ أَنْ يَتَحَرَّى فَخَرَّجَهُ أَصْحَابُنَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika ia bertalbiyah untuk salah satunya lalu lupa, maka ia menjadi qārin.”

Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan. Jika seseorang berihram untuk salah satu dari dua nusuk, lalu ia lupa apakah iḥrām-nya untuk umrah atau haji, maka pendapat yang sahih dalam mazhabnya, yang masyhur dari ucapannya, dan yang beliau tetapkan dalam kebanyakan kitabnya adalah bahwa ia menjadi qārin, dan tidak boleh baginya bertaharrī (memperkirakan).

Dan beliau berkata dalam qaul qadīm pada bab wajh al-ihlāl wa man labbā yanwī shay’an, lalu ia lupa apa yang diniatkannya: “Aku lebih suka ia menjadikannya qirān, karena qirān itu tetap berlaku sesuai dengan apa yang ia niatkan. Namun jika ia bertaharrī, aku berharap itu mencukupinya insyaAllah.” Maka beliau menyunahkan baginya qirān, dan membolehkannya bertaharrī. Lalu para sahabat kami mengeluarkan hal ini atas dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ: يَجُوزُ أَنْ يَتَحَرَّى فِيهِمَا وَيَجْتَهِدَ، كَمَا يَجُوزُ أَنْ يَتَحَرَّى فِي الْإِنَائَيْنِ، وَيَجْتَهِدَ فِي الْقِبْلَةِ عِنْدَ اشْتِبَاهِ الْجِهَتَيْنِ، وَفِي الصَّوْمِ عِنْدَ اشْتِبَاهِ الزَّمَانَيْنِ.

Salah satunya: yaitu pendapat beliau dalam qaul qadīm, bahwa boleh bertaharrī (berusaha mencari kebenaran) pada keduanya dan berijtihad, sebagaimana boleh bertaharrī pada dua bejana, dan berijtihad dalam menentukan kiblat ketika dua arah serupa, serta dalam puasa ketika dua waktu serupa.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَارِنًا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَحَرَّى؛ لِأَنَّ التَّحَرِّيَ إِنَّمَا يَجُوزُ عِنْدَ اشْتِبَاهِ مَا لَيْسَ مِنْ فِعْلِهِ، كَالْإِنَائَيْنِ وَالْجِهَتَيْنِ، فَأَمَّا عِنْدَ الِاشْتِبَاهِ فِي فِعْلِهِ فَالتَّحَرِّي غَيْرُ جَائِزٍ فِيهِ، وَإِنَّمَا يَرْجِعُ فِيهِ إِلَى الْعِلْمِ وَيَبْنِي فيه على اليقين كما لو اشتبه عليه أداء صلاة وأعداد ركعات عمل فِيهِ عَلَى الْيَقِينِ، وَلَمْ يَجُزِ الِاجْتِهَادُ، فَكَذَا الْإِحْرَامُ، لَمَّا كَانَ مِنْ فِعْلِهِ وَجَبَ أَنْ يعمل فيه على اليقين، فينوي القرن وَلَا يُسَوَّغُ لَهُ الِاجْتِهَادُ؛ لِأَنَّ الِاجْتِهَادَ وَالتَّحَرِّيَ إِنَّمَا يَجُوزُ فِيمَا عَلَيْهِ، دَلَالَةٌ تَدُلُّ عَلَى صِحَّتِهِ، كَجِهَاتِ الْقِبْلَةِ وَالْأَوَانِي؛ لِأَنَّ عَلَى الْقِبْلَةِ دَلَائِلَ، وَعَلَى تَنْجِيسِ الْأَوَانِي دَلَائِلَ يُمْكِنُ الرُّجُوعُ إِلَيْهَا، وَالِاسْتِدْلَالُ بِهَا، فَجَازَ الِاجْتِهَادُ فِيهَا، وَلَيْسَ عَلَى النُّسُكِ الَّذِي أَحْرَمَ بِهِ دَلَالَةٌ، يُعْمَلُ عَلَيْهَا، وَلَا أَمَارَةَ يُرْجَعُ إِلَيْهَا فَلَمْ يَجُزْ لَهُ الِاجْتِهَادُ، وَلَزِمَهُ الْأَخْذُ بِالْيَقِينِ، وَأَمَّا إِذَا شَكَّ، هَلْ كَانَ قَارِنًا أَوْ مُفْرِدًا أَوْ مُعْتَمِرًا؟ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا، فَعَلَى قَوْلِ الْبَصْرِيِّينَ: يَكُونُ قَارِنًا وَلَا يَجُوزُ لَهُ التَّحَرِّي، قَوْلًا وَاحِدًا، وَعَلَى قَوْلِ الْبَغْدَادِيِّينَ، يَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ كَمَا مَضَى، وَكَلَامُ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ مُحْتَمَلٌ.

Pendapat yang kedua: bahwa ia menjadi qārin dan tidak boleh bertaharrī. Sebab taharrī itu hanya boleh dilakukan ketika terjadi syubhat pada sesuatu yang bukan berasal dari perbuatannya, seperti dua bejana atau dua arah kiblat. Adapun jika syubhat itu terjadi dalam perbuatannya sendiri, maka taharrī tidak boleh dilakukan, melainkan ia harus kembali kepada ilmu dan membangun atas keyakinan. Sebagaimana bila ia ragu dalam pelaksanaan shalat atau bilangan rakaat, maka ia wajib beramal dengan keyakinan dan tidak boleh berijtihad. Demikian pula dalam iḥrām, karena itu adalah dari perbuatannya, maka wajib beramal dengan keyakinan, sehingga ia berniat qirān dan tidak dibenarkan baginya berijtihad.

Sebab ijtihad dan taharrī itu hanya boleh pada sesuatu yang terdapat dalil yang menunjukkan kebenarannya, seperti arah kiblat atau najisnya bejana, karena pada arah kiblat terdapat tanda-tanda, dan pada kenajisan bejana ada indikasi yang bisa dirujuk serta dijadikan sandaran. Maka ijtihad dalam hal itu boleh dilakukan. Adapun pada nusuk yang ia berihram dengannya, tidak ada dalil yang bisa dijadikan pegangan, dan tidak ada tanda yang dapat dirujuk. Maka tidak boleh baginya berijtihad, dan wajib baginya mengambil berdasarkan keyakinan.

Adapun jika ia ragu apakah ia qārin atau mufrid atau mu‘tamir, maka ulama kami berbeda pendapat. Menurut pendapat ulama Bashrah: ia menjadi qārin dan tidak boleh bertaharrī, satu pendapat saja. Sedangkan menurut ulama Baghdad: ada dua pendapat sebagaimana telah lalu. Dan ucapan al-Syafi‘i dalam qaul qadīm masih bersifat ihtimāl.

فَصْلٌ
: وَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ، فَإِذَا قُلْنَا بِجَوَازِ التَّحَرِّي، عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ يَتَحَرَّى فِي إِحْرَامِهِ، فَإِنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ، أَنَّهَ كان يحج مضى فيه وأجزأه وإن غلب على ظنه إن كَانَ بِعُمْرَةٍ مَضَى فِيهَا وَأَجْزَأَتْهُ، وَإِنِ اسْتَوَى الْأَمْرَانِ عِنْدَهُ وَلَمْ يَغْلِبْ أَحَدُهُمَا، اعْتَقَدَ الْقِرَانَ حِينَئِذٍ.

PASAL:

Apabila telah ditetapkan arahnya dua pendapat, maka jika kita berpendapat bolehnya taḥarrī menurut qaul qadīm beliau, maka ia boleh bertaharrī dalam ihramnya. Jika yang lebih kuat dalam sangkaannya bahwa ia sedang berhaji, maka ia terus melanjutkannya sebagai haji dan itu mencukupinya. Jika yang lebih kuat dalam sangkaannya bahwa ia sedang ber‘umrah, maka ia melanjutkannya sebagai ‘umrah dan itu mencukupinya. Namun jika kedua perkara itu sama baginya dan tidak ada yang lebih kuat, maka ketika itu ia berkeyakinan sebagai qirān.


وَإِذَا قُلْنَا: إِنَّ التَّحَرِّيَ لَا يَجُوزُ، عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَعْتَقِدَ الْقِرَانَ، وَيَنْوِيَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ؛ لِأَنَّ إِحْرَامَهُ قَدْ كَانَ بِأَحَدِهِمَا، فَلَا يَصِيرُ قَارِنًا إِلَّا أَنْ يَنْوِيَهُمَا، فَإِنْ نَوَى الْقِرَانَ، انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى الأجزاء، فَنَقُولُ: أَمَّا الْحَجُّ، فَإِنَّهُ يُجْزِئُهُ وَيَسْقُطُ عَنْهُ فَرْضُهُ، لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ إِحْرَامُهُ بِحَجٍّ، فَقَدْ أَدَّاهُ، وَلَا يَضُرُّهُ إِدْخَالُ الْعُمْرَةِ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ بِعُمْرَةٍ فَقَدْ أَدْخَلَ عَلَيْهَا حَجًّا وَإِدْخَالُ الْحَجِّ عَلَى الْعُمْرَةِ جَائِزٌ، فَلِذَلِكَ أَجْزَأَهُ، وَإِنْ كان قارناً فهو أحد نسكيه، فأما العمرة فإجزائها يَتَرَتَّبُ، عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي جَوَازِ إِدْخَالِ الْعُمْرَةِ عَلَى الْحَجِّ فَأَحَدُ قَوْلَيْهِ يَجُوزُ إدخالها عَلَى الْحَجِّ، فَعَلَى هَذَا تُجْزِئُهُ الْعُمْرَةُ وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا يَجُوزُ إِدْخَالُهَا عَلَى الْحَجِّ فَعَلَى هذا هل تجزئه الْعُمْرَةُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Dan apabila kita katakan bahwa taharrī tidak boleh menurut qaul jadīd, maka wajib baginya meyakini qirān dan berniat haji serta umrah. Sebab iḥrām-nya telah terjadi untuk salah satunya, dan ia tidak menjadi qārin kecuali dengan meniatkan keduanya. Jika ia meniatkan qirān, maka pembahasan berpindah kepada keabsahan ibadahnya.

Kami katakan: Adapun hajinya, maka itu mencukupinya dan gugurlah kewajiban hajinya. Karena jika iḥrām-nya memang untuk haji, berarti ia telah menunaikannya, dan tidak membahayakan baginya memasukkan umrah atasnya. Jika iḥrām-nya untuk umrah, maka ia telah memasukkan haji atas umrah, dan memasukkan haji atas umrah itu boleh. Karena itu, hajinya mencukupi. Dan jika ia memang qārin, maka itu adalah salah satu dari dua nusuk-nya.

Adapun umrah, maka keabsahannya bergantung pada perbedaan pendapat Imam al-Syafi‘i mengenai bolehnya memasukkan umrah atas haji. Salah satu dari dua pendapat beliau: boleh memasukkannya atas haji, maka dengan ini umrahnya mencukupi. Pendapat yang kedua: tidak boleh memasukkannya atas haji, maka berdasarkan itu, apakah umrah mencukupi atau tidak? Ada dua wajah (pendapat).


أَحَدُهُمَا: لَا تُجْزِئُهُ، لِأَنَّهَا قَدْ تَتَرَدَّدُ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ قَدْ أَدْخَلَ عَلَيْهَا حَجًّا فَيُجْزِئُ، أَوْ أَدْخَلَهَا على الحج فلا تجزئ.
والوجه الثاني: تجزئه، لِأَنَّ إِدْخَالَ الْعُمْرَةِ عَلَى الْحَجِّ، لَا يَجُوزُ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ لِزَوَالِ الْإِشْكَالِ وَارْتِفَاعِ الضَّرُورَةِ، فَأَمَّا مَعَ حُدُوثِ الْإِشْكَالِ وَحُصُولِ الضَّرُورَةِ فَجَائِزٌ.

Salah satunya: tidak mencukupinya, karena hal itu masih berputar antara kemungkinan bahwa ia telah memasukkan haji ke dalam ‘umrah sehingga mencukupi, atau memasukkan ‘umrah ke dalam haji sehingga tidak mencukupi.

Pendapat kedua: mencukupinya, karena memasukkan ‘umrah ke dalam haji tidak boleh menurut salah satu dari dua pendapat, sebab hilangnya kesamaran dan terangkatnya keadaan darurat. Adapun ketika terjadi kesamaran dan adanya keadaan darurat, maka hal itu boleh.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا وُجُوبُ الدَّمِ عَلَيْهِ، فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ مَعًا يُجْزِئَانِهِ عَنْ فَرْضِهِ، فَعَلَيْهِ دَمٌ لِقِرَانِهِ، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْحَجَّ يُجْزِئُ وَإِنَّ الْعُمْرَةَ لَا تُجْزِئُ، فَفِي وُجُوبِ الدَّمِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا دَمَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْعُمْرَةَ إِذَا لَمْ تُجْزِهِ فَالْقِرَانُ لَا يُحْكَمُ بِهِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ دَمٌ لِأَجْلِهِ.

PASAL:
 Adapun tentang kewajiban dam atasnya: jika kita katakan bahwa haji dan umrah sekaligus mencukupinya dari kewajiban, maka wajib atasnya dam karena qirān-nya. Dan jika kita katakan bahwa haji mencukupi namun umrah tidak mencukupi, maka dalam kewajiban dam atasnya ada dua wajah:

Salah satunya: tidak ada dam atasnya; karena apabila umrah itu tidak mencukupi, maka qirān tidak dihukumi berlaku, sehingga tidak wajib baginya dam karenanya.


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ، عَلَيْهِ دَمٌ، لِأَنَّنَا لَمْ نُسْقِطْ فَرْضَ الْعُمْرَةِ عَنْ ذِمَّتِهِ احْتِيَاطًا لِلْفَرْضِ، وَإِنْ جَازَ أَنْ يَكُونَ فَرْضُهَا قد يسقط، فَكَذَا يَجِبُ أَنْ يَلْزَمَ الدَّمُ احْتِيَاطًا وَإِنْ جاز أن يكون لم يجب، فكذا حُكْمُ شَكِّهِ إِذَا كَانَ قَبْلَ إِحْرَامِهِ وَقَبْلَ الْأَخْذِ فِي نُسُكِهِ.

Wajah yang kedua, dan inilah yang sahih: wajib atasnya dam. Karena kita tidak menggugurkan kewajiban umrah dari tanggungannya sebagai bentuk ihtiyāṭ (kehati-hatian) terhadap kewajiban, meskipun boleh jadi kewajiban umrah itu telah gugur. Maka demikian pula wajib atasnya dam sebagai ihtiyāṭ, meskipun boleh jadi tidak wajib. Demikian juga hukum syaknya apabila terjadi sebelum iḥrām-nya dan sebelum ia mulai melaksanakan nusuk.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا طَرَأَ عَلَيْهِ الشَّكُّ بَعْدَ وُقُوفِهِ بِعَرَفَةَ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَمْضِيَ فِي أَفْعَالِ الْحَجِّ، فَيَطُوفَ وَيَسْعَى، وَيَحْلِقَ، ويرمي، وقد حل من إحرامه بيقين لا تبيانه بِأَفْعَالِ النُّسُكَيْنِ، كَمَالًا، وَلَا يَسْقُطُ عَنْهُ فَرْضُ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ بِحَالٍ؛ لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ حَاجًّا، فَقَدْ أَدْخَلَ الْعُمْرَةَ عَلَيْهَا بَعْدَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ، فَلَمْ تُجْزِهِ الْعُمْرَةُ وَإِنْ كَانَ مُعْتَمِرًا فَقَدْ أَدْخَلَ الْحَجَّ بَعْدَ فَوَاتِ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ فَلَمْ يُجْزِهِ الْحَجُّ، وَكَذَا لَوْ طَرَأَ عَلَيْهِ الشَّكُّ بَعْدَ طَوَافِهِ وَسَعْيِهِ، أَتَى مَا بَقِيَ مِنْ أَفْعَالِ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ وَلَمْ يُجْزِهِ عَنْ حَجٍّ وَلَا عُمْرَةٍ.

PASAL:

Adapun apabila timbul padanya keraguan setelah wuquf di ‘Arafah, maka ia wajib melanjutkan amalan-amalan haji: thawaf, sa‘i, mencukur, melempar, sehingga ia keluar dari ihramnya dengan yakin, namun tanpa penjelasan apakah dengan amalan dua nusuk itu sempurna. Dan tidak gugur darinya kewajiban haji dan ‘umrah dalam keadaan apa pun.

Karena jika ia adalah haji, maka ia telah memasukkan ‘umrah ke dalamnya setelah wuquf di ‘Arafah, sehingga tidak mencukupinya ‘umrah. Dan jika ia adalah ‘umrah, maka ia telah memasukkan haji setelah luput wuquf di ‘Arafah, sehingga tidak mencukupinya haji.

Demikian pula jika timbul keraguan setelah thawaf dan sa‘inya, maka ia tetap melaksanakan sisa amalan haji dan ‘umrah, tetapi tidak mencukupinya dari haji maupun ‘umrah.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا قَالَ: إِحْرَامًا كَإِحْرَامِ زَيْدٍ، فَهُوَ جَائِزٌ وَمُحْرِمٌ بِمَا أَحْرَمَ بِهِ زَيْدٌ مِنْ حج أو عمرة أو قران، لأن عليّاً بْنَ أَبِي طَالِبٍ، وَأَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَحْرَمَا بِالْيَمَنِ، وَقَالَا: إِهْلَالًا كَإِهْلَالِ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -. وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مُحْرِمًا بِالْحَجِّ، لِأَنَّهُ كَانَ قَدْ سَاقَ هَدْيًا، فَأَمَرَ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنْ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ؛ لأنه قد كان سَاقَ هَدْيًا، وَأَمَرَ أَبَا مُوسَى أَنْ يُحْرِمَ بَعُمْرَةٍ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ قَدْ سَاقَ هَدْيًا، فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا، فَلَا يَخْلُو حَالُ زَيْدٍ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُحْرِمًا، أَوْ حَلَالًا. وَإِنْ كَانَ زَيْدٌ حَلَالًا، قِيلَ بهذا الْمُحْرِمِ: لَكَ أَنْ تَصْرِفَ إِحْرَامَكَ إِلَى مَا شِئْتَ مِنْ حَجٍّ، أَوْ عُمْرَةٍ، أَوْ قِرَانٍ.
فَإِنْ قِيلَ: فَإِذَا كَانَ زَيْدٌ حَلَالًا، فَهَلَّا كَانَ هَذَا حَلَالًا؛ لِأَنَّهُ مِثْلُهُ، وَقَدْ جَعَلَ عَلَى نَفْسِهِ مِثْلَ مَا جَعَلَ زَيْدٌ عَلَى نَفْسِهِ.

PASAL:

Adapun jika seseorang berkata: “Aku berihram seperti ihram Zaid,” maka hal itu boleh, dan ia masuk dalam ihram sesuai dengan apa yang Zaid niatkan, baik haji, atau ‘umrah, atau qirān. Karena ‘Ali bin Abī Ṭālib dan Abū Mūsā al-Asy‘arī RA berihram dari Yaman, lalu keduanya berkata: “Ihlāl seperti ihlāl Rasulullah SAW.”

Dan Rasulullah SAW ketika itu berihram dengan haji karena beliau telah menggiring hady, maka beliau memerintahkan ‘Ali untuk berihram haji karena ia juga telah menggiring hady. Dan beliau memerintahkan Abū Mūsā untuk berihram ‘umrah karena ia tidak menggiring hady.

Jika hal ini sudah tetap, maka keadaan Zaid tidak lepas dari dua hal: ia dalam keadaan muḥrim atau dalam keadaan halal. Jika Zaid dalam keadaan halal, maka dikatakan kepada orang yang berihram: “Engkau boleh menyalurkan ihrammu kepada apa yang engkau kehendaki, baik haji, atau ‘umrah, atau qirān.”

Jika dikatakan: “Kalau begitu, jika Zaid dalam keadaan halal, seharusnya orang ini pun halal, karena ia sama dengannya, dan ia telah menjadikan atas dirinya sama dengan apa yang Zaid jadikan atas dirinya.”


قِيلَ هَذَا، قَدْ عَقَدَ إِحْرَامَ نَفْسِهِ، وَلَمْ يُقَلْ أَنَا مُحْرِمٌ إِنْ كَانَ زَيْدٌ مُحْرِمًا، وَإِنَّمَا جَعَلَ صِفَةَ إِحْرَامِهِ كَصِفَةِ إِحْرَامِ زَيْدٍ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ زَيْدٌ مُحْرِمًا لَمْ يَكُنْ إِحْرَامُ هَذَا مَوْصُوفًا، وَكَانَ مَوْقُوفًا، وَوَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يَصْرِفَهُ إِلَى مَا شَاءَ مِنْ حَجٍّ، أَوْ عُمْرَةٍ، أَوْ قِرَانٍ، وَإِنْ كَانَ زَيْدٌ مُحْرِمًا، فَلَا يَخْلُو حَالُ هَذَا الْمُحْرِمِ، كَإِحْرَامِهِ مِنْ إِحْرَامَيْنِ، وَإِمَّا أَنْ يَعْلَمَ بِمَاذَا أَحْرَمَ زَيْدٌ أَوْ لَا يَعْلَمَ، فَإِنْ عَلِمَ بِمَاذَا أَحْرَمَ زَيْدٌ أَحْرَمَ بِمِثْلِهِ، فَإِنْ كَانَ زَيْدٌ حَاجًّا، أَحْرَمَ بِالْحَجِّ، وَإِنْ كَانَ مُعْتَمِرًا أَحْرَمَ بِعُمْرَةٍ، وَإِنْ كَانَ قَارِنًا قَرَنَ وَالْعِلْمُ بِإِحْرَامِهِ قَدْ يَكُونُ بِإِخْبَارِهِ وَقَوْلِهِ، إِذْ لَا سَبِيلَ إِلَى الْوُصُولِ إِلَيْهِ إِلَّا مِنْ جِهَتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ، بِمَاذَا أَحْرَمَ زَيْدٌ، لِأَنَّ زَيْدًا قَدْ مَاتَ، أَوْ غَابَ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَنْوِيَ الْقِرَانَ. نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْجَدِيدِ وَالْقَدِيمِ، لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ زَيْدٌ قَارِنًا، وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ إِذَا شَكَّ فِي إِحْرَامِ نَفْسِهِ، هَلْ كَانَ قَارِنًا أَوْ مُفْرِدًا؟ يَكُونُ قَارِنًا، قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ قَدْ قَرَنَ، كَمَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ زَيْدٌ قَدْ قَرَنَ، فَلَا فَرْقَ بَيْنَهُمَا.

Dikatakan: orang ini telah mengikat ihramnya sendiri, dan ia tidak berkata: “Aku muḥrim jika Zaid muḥrim.” Akan tetapi ia hanya menjadikan sifat ihramnya seperti sifat ihram Zaid. Maka jika Zaid tidak dalam keadaan muḥrim, maka ihram orang ini tidak memiliki sifat, sehingga menjadi mauqūf, dan ia wajib menyalurkannya kepada apa yang ia kehendaki, baik haji, atau ‘umrah, atau qirān.

Jika Zaid dalam keadaan muḥrim, maka ihram orang ini tidak lepas dari dua keadaan: apakah ia mengetahui dengan apa Zaid berihram, atau ia tidak mengetahuinya.

Jika ia mengetahui dengan apa Zaid berihram, maka ia berihram sebagaimana Zaid. Jika Zaid berhaji, maka ia pun berihram haji. Jika Zaid ber‘umrah, maka ia pun berihram ‘umrah. Jika Zaid qārin, maka ia pun qārin. Dan pengetahuan tentang ihram Zaid bisa dengan pemberitahuan dan perkataannya, karena tidak ada jalan untuk mengetahuinya kecuali dari sisinya.

Jika ia tidak mengetahui dengan apa Zaid berihram, karena Zaid telah wafat atau pergi, maka ia wajib berniat qirān. Hal ini telah ditegaskan oleh al-Syāfi‘ī dalam qaul jadīd dan qadīm, karena mungkin saja Zaid seorang qārin.

Dan ini menunjukkan bahwa jika seseorang ragu terhadap ihramnya sendiri, apakah ia seorang qārin atau mufrid, maka hukumnya ia dianggap sebagai qārin menurut satu pendapat saja. Karena boleh jadi ia telah melakukan qirān, sebagaimana mungkin juga Zaid melakukan qirān, sehingga tidak ada perbedaan antara keduanya.


وَلَوْ قَالَ: إِحْرَامِي كَإِحْرَامِ زَيْدٍ وَعَمْرٍو، فَكَانَ أَحَدُهُمَا مُحْرِمًا بِحَجٍّ، وَالْآخَرُ بِعُمْرَةٍ كَانَ هَذَا قَارِنًا، وَلَوْ كَانَ أَحَدُهُمَا قَارِنًا وَالْآخَرُ حَاجًّا أَوْ مُعْتَمِرًا كَانَ قَارِنًا وَلَوْ كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُحْرِمًا بِحَجٍّ كَانَ حَاجًّا لَا غَيْرَ، وَلَوْ كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُحْرِمًا بِعُمْرَةٍ كَانَ هذا معتمر، كَمَنْ أَحْرَمَ بِحَجَّتَيْنِ أَوْ عُمْرَتَيْنِ لَمْ يَلْزَمْهُ إلا واحدة.

Dan seandainya ia berkata: “Iḥrām-ku seperti iḥrām Zaid dan ‘Amr,” lalu salah satunya berihram dengan haji dan yang lainnya dengan umrah, maka ia menjadi qārin. Dan jika salah satunya qārin dan yang lain sedang berhaji atau berumrah, maka ia pun menjadi qārin.

Jika keduanya berihram dengan haji, maka ia hanya menjadi haji saja, tidak selain itu. Dan jika keduanya berihram dengan umrah, maka ia menjadi mu‘tamir. Sebagaimana orang yang berihram dengan dua haji atau dua umrah, maka tidak wajib atasnya kecuali satu saja.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ويرفع صوته بالتلبية لقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أتاني جبريل عليه السلام فأمرني أَنْ آمُرَ أَصْحَابِي أَوْ مَنْ مَعِي أَنْ يرفعوا أصواتهم بِالتَّلْبِيَةِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا التَّلْبِيَةُ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِيمَا هِيَ مَأْخُوذَةٌ مِنْهُ عَلَى خَمْسَةِ أَقَاوِيلَ:
أَحَدُهَا: أَنَّهَا مَأْخُوذَةٌ مِنْ قَوْلِهِمْ، ألب فلان بالمكان ولب إِذَا أَقَامَ فِيهِ، وَمَعْنَى لَبَّيْكَ، أَيْ أَنَا مُقِيمٌ عِنْدَ طَاعَتِكَ، وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:

Masalah:

Al-Syafi‘i RA berkata: “Dan hendaklah ia mengeraskan suaranya dalam bertalbiyah, berdasarkan sabda Nabi SAW: ‘Telah datang kepadaku Jibril AS lalu ia memerintahkanku agar aku memerintahkan sahabat-sahabatku atau orang yang bersamaku untuk mengeraskan suara mereka dalam talbiyah.’”

Al-Māwardī berkata: Adapun talbiyah, para ulama berbeda pendapat dari mana kata itu diambil, ada lima pendapat:

Pertama: bahwa ia diambil dari ucapan mereka alabba fulānun pada suatu tempat dan labba apabila ia menetap di situ. Maka makna labbayka adalah: aku menetap dalam ketaatan kepada-Mu. Dan darinya perkataan penyair:


(مَحَلُّ الفخر أنت به ملب … مَا تَزُولُ وَلَا تَرِيمُ)
وَقَالَ آخَرُ:
(لَبِّ بأرض ما تخطاها الغنم)
وهذا قول الخيل وَثَعْلَبٍ.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا مَأْخُوذَةٌ مِنَ الْإِجَابَةِ، وَمَعْنَاهَا: إِجَابَتِي لَكَ، وَمِنْهُ قَوْلُ أُمَيَّةَ بْنِ أَبِي الصَّلْتِ:
(لَبَّيْكُمَا لَبَّيْكُمَا هَأَنَا ذَا لَدَيْكُمَا)
وَهَذَا قَوْلُ الْفَرَّاءِ:

“(Maḥallu al-fakhri anta bihi malbun … mā tazūlu wa lā tarīmu)”
 Dan seorang penyair lain berkata:
 “(Labbī bi-arḍin mā takhṭāhā al-ghanam)”

Ini adalah pendapat al-Khalīl dan al-Ṯa‘lab.

Pendapat yang kedua: bahwa lafazh labbayka diambil dari makna jawaban, dan maksudnya: “jawabanku untuk-Mu.” Dari hal itu perkataan Umayyah bin Abī al-Ṣalt:
 “(Labbaykumā labbaykumā hā anā dhā ladaikumā)”

Dan ini adalah pendapat al-Farrā’.


وَالثَّالِثُ: أَنَّهَا مَأْخُوذَةٌ مِنَ اللَّبِّ، واللباب الذي يكون خالص الشي، وَمَعْنَاهَا: الْإِخْلَاصُ أَيْ أَخْلَصْتُ لَكَ الطَّاعَةَ.
وَالرَّابِعُ: أَنَّهَا مَأْخُوذَةٌ مِنْ لُبِّ الْعَقْلِ، مِنْ قَوْلِهِمْ: رَجُلٌ لِبَيْتٍ، وَيَكُونُ مَعْنَاهَا: أَيْ مُنْصَرِفٌ إِلَيْكَ وَقَلْبِي مُقْبِلٌ عَلَيْكَ.

Ketiga: bahwa ia diambil dari kata lubb, yaitu inti yang merupakan bagian paling murni dari sesuatu. Maka maknanya adalah keikhlasan, yakni: aku mengikhlaskan ketaatan hanya untuk-Mu.

Keempat: bahwa ia diambil dari lubb al-‘aql (inti akal), dari ucapan mereka: rajulun lubayyit (seorang yang berakal murni). Maka maknanya adalah: aku menuju kepada-Mu dan hatiku tertuju kepada-Mu.


وَالْخَامِسُ: أَنَّهَا مَأْخُوذَةٌ مِنَ الْمَحَبَّةِ، مِنْ قَوْلِهِمُ: امْرَأَةٌ لَبَّةٌ، إِذَا كَانَتْ لِوَلَدِهَا مُحِبَّةً، وَيَكُونُ مَعْنَاهَا: مَحَبَّتِي لَكَ وَمِنْهُ قول الشاعر:
(وكنتم كأم لبةٍ ظعن ابْنُهَا … إِلَيْهَا فَمَا دَرَّتْ عَلَيْهِ بِسَاعِدِ)
وَالتَّلْبِيَةُ سُنَّةٌ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ، وَرَوَى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَنَّهُ قَالَ: الْحُجَّاجُ، وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللَّهِ، وَالَّذِي نَفْسُ أَبِي الْقَاسِمِ بِيَدِهِ، مَا أَهَلَّ مُهِلٌّ، وَلَا كَبَّرَ مُكَبِّرٌ عَلَى شرفٍ مِنَ الْأَشْرَافِ إِلَّا أَهَلَّ مَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَكَبَّرَ تَكْبِيرَهُ حَتَى يَنْقَطِعَ بِهِمْ مُنْقَطَعُ التُّرَابِ ” وَرَوَى خَلَّادُ بْنُ السَّائِبِ عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي الْآنَ فَقَالَ: قُلْ لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، فَإِنَّهُ مِنْ شِعَارِ الْحَجِّ “.

Yang kelima: bahwa lafazh labbayka diambil dari makna cinta, dari ucapan mereka: imra’ah labbah jika seorang wanita sangat mencintai anaknya. Maka maknanya adalah: “cintaku untuk-Mu.” Dan dari hal itu perkataan penyair:

(Wa kuntum ka-ummil-labbatin ẓa‘na ibnuhā … ilaihā fa mā darrat ‘alaihi bi-sā‘id)

“Dan kalian seperti seorang ibu penuh cinta yang anaknya pergi meninggalkannya … lalu ia tidak lagi menyusuinya dengan tangannya.”

Dan talbiyah adalah sunnah dalam haji dan umrah. Diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi SAW:

“Bahwa beliau bersabda: Para haji dan para ‘umrah adalah tamu-tamu Allah. Demi Dzat yang jiwa Abul-Qāsim berada dalam genggaman-Nya, tidaklah seorang yang bertalbiyah bertalbiyah dan tidak pula seorang yang bertakbir bertakbir di atas dataran tinggi dari dataran-dataran, kecuali bertalbiyah apa yang ada di hadapannya dan bertakbir dengan takbirnya, hingga terputuslah oleh mereka batas debu.”

Dan diriwayatkan dari Khallād bin Sā’ib, dari Zaid bin Khālid, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Jibrīl mendatangiku saat ini, lalu berkata: Ucapkanlah: labbayk Allāhumma labbayk, karena itu adalah syi‘ar haji.”


وَحُكِيَ عَنْ أَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ التَّلْبِيَةَ فِي أَثْنَاءِ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ وَاجِبَةٌ وَزَعَمَا أَنَّهُمَا وَجَدَا لِلشَّافِعِيِّ نَصًّا يَدُلُّ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ يُعْرَفُ لِلشَّافِعِيِّ فِي كتبه نص يدل عليه.

Dan dinukil dari Abū ‘Alī bin Khairān dan Abū ‘Alī bin Abī Hurairah bahwa talbiyah di tengah-tengah haji dan ‘umrah hukumnya wajib. Keduanya mengira telah menemukan nash dari al-Syāfi‘ī yang menunjukkan hal itu, namun tidak dikenal dalam kitab-kitab al-Syāfi‘ī adanya nash yang menunjukkan demikian.


فَصْلٌ
: وَيُسْتَحَبُّ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالتَّلْبِيَةِ، لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَتَانِي جِبْرِيلُ وَأَمَرَنِي أَنْ آمُرَ أَصْحَابِي أَوْ من معي أن يرفعوا أصواتهم بالتلبية “. قال أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ – يَعْنِي فِي الْحَجِّ – فَقَالَ: الْعَجُّ وَالثَّجُّ وَرَوَى عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، كَانُوا يَبْلُغُونَ الرَّوْحَاءَ حَتَّى تُبَحَّ حُلُوقُهُمْ مِنَ التلبية.

PASAL:
 Disunnahkan mengeraskan suara dalam talbiyah, berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

“Telah datang kepadaku Jibrīl dan ia memerintahkanku agar aku memerintahkan para sahabatku atau orang-orang yang bersamaku untuk mengeraskan suara mereka dalam talbiyah.”

Abū Bakr al-Ṣiddīq berkata: “Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling utama — yakni dalam haji?” Beliau bersabda: “Al-‘ajju wa al-thajju (mengeraskan suara dalam talbiyah dan menumpahkan darah hadyu).”

Dan diriwayatkan dari ‘Abd al-‘Azīz bin Abī Ḥāzim, dari ayahnya, bahwa para sahabat Nabi SAW apabila mereka sampai di al-Rauḥā’, maka suara mereka serak karena talbiyah.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُلَبِّي الْمُحْرِمُ قَائِمًا وَقَاعِدًا وَرَاكِبًا وَنَازِلًا وَجُنُبًا وَمُتَطَهِّرًا وَعَلَى كُلِ حَالٍ رَافِعًا صَوْتَهُ فِي جميع مساجد الجماعات وفي كل موضعٍ وكان السلف يستحبون التلبية عند اضطمام الرفاق وعند الإشراف والهبوط وخلف الصلوات وفي استقبال الليل والنهار وبالأسحار ونحبه على كل حال “.

Masalah:

Al-Syafi‘i RA berkata: “Orang yang berihram bertalbiyah dalam keadaan berdiri, duduk, berkendara, turun, berjunub, suci, dan dalam setiap keadaan, dengan mengeraskan suaranya di semua masjid jamaah dan di setiap tempat. Dan para salaf menyukai talbiyah ketika rombongan mulai berkumpul, ketika naik ke tempat tinggi dan turun ke lembah, setelah shalat-shalat, ketika menyambut malam dan siang, serta pada waktu sahur. Dan kami menyukainya dalam setiap keadaan.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، يُسْتَحَبُّ لِلْمُحْرِمِ أَنْ يُلَبِّيَ فِي جَمِيعِ أَحْوَالِهِ، قَائِمًا، وَقَاعِدًا، وَرَاكِبًا، وَنَازِلًا، وَجُنُبًا، وَمُتَطَهِّرًا، وَعِنْدَ اضْطِمَامِ الرِّفَاقِ، وَعِنْدَ الْإِشْرَافِ، وَالْهُبُوطِ، وَبِالْأَسْحَارِ، وَخَلْفَ الصَّلَوَاتِ، وَفِي اسْتِقْبَالِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ؛ لِأَنَّهُ فِعْلُ السَّلَفِ. وَقَدْ رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ” أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَذْكُرُ اللَّهَ فِي كُلِ أَحْيَانِهِ “.

Al-Māwardī berkata: Dan ini benar. Disunnahkan bagi orang yang berihram untuk bertalbiyah dalam semua keadaannya: berdiri, duduk, berkendaraan, turun, dalam keadaan junub, dalam keadaan suci, ketika berkumpul bersama rombongan, saat berada di tempat tinggi, ketika menurun, pada waktu sahur, setelah shalat, dan ketika memasuki malam serta siang. Karena itu adalah perbuatan salaf.

Dan telah diriwayatkan dari ‘Ā’isyah RA: “Bahwa Nabi SAW senantiasa berdzikir kepada Allah dalam segala keadaan beliau.”


فَأَمَّا التَّلْبِيَةُ فِي مَسَاجِدِ الْجَمَاعَاتِ، فَلَا يَخْتَلِفُ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ، أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِهَا فِي ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مِنْهَا مَسْنُونٌ:
أَحَدُهُمَا: الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ.
وَالثَّانِي: الْمُصَلَّى بِعَرَفَةَ وَهُوَ مَسْجِدُ إِبْرَاهِيمَ.

Adapun talbiyah di masjid-masjid jamaah, maka tidak ada perbedaan dalam mazhab al-Syāfi‘ī, baik dalam qaul qadīm maupun jadīd, bahwa mengeraskan suara dengan talbiyah di tiga masjid termasuk sunnah:

Pertama: Masjid al-Ḥarām.
 Kedua: tempat shalat di ‘Arafah, yaitu Masjid Ibrāhīm.


وَالثَّالِثُ: مَسْجِدُ الْخَيْفِ بِمِنًى، فَهَذِهِ الْمَسَاجِدُ الثَّلَاثَةُ قَدْ جَرَتِ الْعَادَةُ أَنْ يَرْفَعَ النَّاسُ أصواتهم بالتلبية فيها، فأما ما عادها مِنْ مَسَاجِدِ الْجَمَاعَاتِ، فَإِنَّ الشَّافِعِيَّ كَرِهَ فِي القديم رَفْعَ الصَّوْتِ بِالتَّلْبِيَةِ فِيهَا؛ لِأَنَّهُ يُؤْذِي بِهِ الْمُصَلِّينَ وَالْمُرَابِطِينَ، ثُمَّ رَجَعَ عَنْ هَذَا فِي الْجَدِيدِ، وَاسْتَحَبَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِهَا فِي كُلِّ مَسْجِدٍ؛ لِأَنَّهُ ذِكْرٌ لِلَّهِ تَعَالَى فَكَانَتِ الْمَسَاجِدُ أَوْلَى الْبِقَاعِ بِهِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّمَا بُنِيَتِ الْمَسَاجِدُ لِذِكْرِ اللَّهِ وَالصَّلَاةِ “. وَرُوِيَ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ كَانَ يُوقِظُ النَّاسَ فِي الْمَسْجِدِ، وَيَقُولُ: لَبُّوا فَإِنِّي سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ: ” التَّلْبِيَةُ زِينَةُ الْحَجِّ “.

Yang ketiga: Masjid al-Khayf di Mina. Tiga masjid ini telah menjadi kebiasaan orang-orang untuk mengeraskan suara dengan talbiyah di dalamnya.

Adapun selainnya dari masjid-masjid jamaah, maka Imam al-Syafi‘i dalam qaul qadīm memakruhkan mengeraskan suara dengan talbiyah di dalamnya, karena bisa mengganggu orang-orang yang sedang shalat dan yang sedang beribadah. Kemudian beliau rujuk dari pendapat ini dalam qaul jadīd, dan beliau menyunnahkan mengeraskan suara dengan talbiyah di setiap masjid. Karena talbiyah adalah dzikir kepada Allah Ta‘ala, dan masjid adalah tempat yang paling utama untuk dzikir, berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya masjid itu dibangun untuk dzikir kepada Allah dan shalat.”

Dan diriwayatkan bahwa Sa‘īd bin Jubair biasa membangunkan orang-orang di masjid, lalu berkata: “Bertalbiyahlah kalian, karena aku mendengar Ibn ‘Abbās berkata: ‘Talbiyah adalah perhiasan haji.’”


فَأَمَّا التَّلْبِيَةُ في أدبار الصلوات المفروضات مستحبة، وَكَذَا النَّوَافِلُ بِخِلَافِ مَا قُلْنَا فِي تَكْبِيرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ، فَأَمَّا التَّلْبِيَةُ فِي الطَّوَافِ، فَقَدْ كَرِهَهَا الشَّافِعِيُّ فِي الْإِمْلَاءِ لِلْأَثَرِ مِنَ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: لَا يُلَبِّي حَوَالَيِ الْبَيْتِ، إلا عطاء والسائب وروي عن سفيان بن عيينة، أنه قال: ما رأيت أحداً يلبي طائفاً حول الْبَيْتِ، إِلَّا عَطَاءٌ وَالسَّائِبُ وَلِأَنَّ فِي الطَّوَافِ أذكار مَسْنُونَةٌ إِنْ لَبَّى فِيهَا تَرَكَهَا.

Adapun talbiyah setelah shalat-shalat fardhu hukumnya mustahabb, demikian pula setelah shalat sunnah, berbeda dengan apa yang kami katakan tentang takbir pada hari-hari tasyriq.

Adapun talbiyah di dalam thawaf, maka al-Syafi‘i memakruhkannya dalam al-Imlā’, karena adanya atsar dari Ibnu ‘Umar bahwa ia berkata: “Tidak bertalbiyah di sekitar Ka‘bah.” Kecuali ‘Aṭā’ dan al-Sā’ib.

Dan diriwayatkan dari Sufyān bin ‘Uyainah, ia berkata: “Aku tidak melihat seorang pun bertalbiyah ketika thawaf di sekitar Ka‘bah, kecuali ‘Aṭā’ dan al-Sā’ib.”

Dan sebabnya, karena dalam thawaf terdapat dzikir-dzikir yang disunnahkan, jika ia bertalbiyah di dalamnya, maka ia meninggalkan dzikir-dzikir tersebut.


فَإِنْ قِيلَ: مَا الْأَصْلُ فِي التَّلْبِيَةِ؟ قِيلَ: الِاقْتِدَاءُ بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَإِجَابَةُ دَعْوَةِ إِبْرَاهِيمَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حين قال الله تعالى له: {وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعلَى كُلِّ ضَامِرٍ} (الحج: 27) . فَأَجَابَهُ مَنْ فِي أَصْلَابِ الرِّجَالِ وَأَرْحَامِ النِّسَاءِ: لَبَّيْكَ دَاعِيَ رَبِّنَا لَبَّيْكَ، قَالَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ: فَكَانَ أَوَّلُ مَنْ أَجَابَ إِبْرَاهِيمَ حِينَ أَذَّنَ فِي الْحَجِّ بِالتَّلْبِيَةِ، أَهْلُ الْيَمَنِ فَكَانَ هَذَا أَصْلُهَا، ثُمَّ جَرَى الناس عليها، ووردت السنة بها.

Jika dikatakan: Apa asal mula talbiyah? Maka dijawab: mengikuti Rasulullah SAW, dan sebagai jawaban terhadap seruan Ibrahim SAW ketika Allah Ta‘ala berfirman kepadanya: {Dan serukanlah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan dengan mengendarai unta yang kurus} (al-Ḥajj: 27). Maka orang-orang yang masih berada di sulbi laki-laki dan rahim perempuan menjawab: Labbaika dā‘iya rabbana labbaik.

‘Utsmān bin ‘Affān berkata: Maka orang pertama yang menjawab Ibrahim ketika ia menyeru untuk haji dengan talbiyah adalah penduduk Yaman. Maka itulah asal mula talbiyah, kemudian manusia terus melakukannya, dan sunnah pun datang dengannya.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالتَّلْبِيَةُ أَنْ يَقُولَ ” لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ ” لِأَنَّهَا تَلْبِيَةُ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ولا يضيق أن يزيد عليه وأختار أَنْ يُفْرِدَ تَلْبِيَةَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لا يقصر عنها ولا يجاوزها إلا أن يرى شيئاً يعجبه فيقول: ” لبيك إن العيش عيش الآخرة ” فإنه لا يروى عنه من وجه يثبت أنه زاد غير هذا فَإِذَا فَرَغَ مِنَ التَّلْبِيَةِ صَلَّى عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَسَأَلَ اللَّهَ رِضَاهُ وَالْجَنَّةَ وَاسْتَعَاذَ بِرَحْمَتِهِ مِنَ النار فإنه يروى عن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – “.

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Talbiyah adalah membaca: labbaika allāhumma labbaik, labbaika lā syarīka laka labbaik, innal-ḥamda wan-ni‘mata laka wal-mulk, lā syarīka lak, karena itu adalah talbiyah Rasulullah SAW. Tidak mengapa jika seseorang menambahinya, tetapi aku memilih agar talbiyah Rasulullah SAW itu diucapkan sendiri, tidak dikurangi darinya dan tidak dilebihi, kecuali jika ia melihat sesuatu yang mengagumkannya, lalu ia berkata: labbaik inna al-‘aisha ‘aishu al-ākhirah, sebab tidak ada riwayat yang sahih dari beliau bahwa beliau menambah selain itu.

Apabila seseorang selesai dari talbiyah, hendaknya ia bershalawat kepada Nabi SAW, memohon keridaan Allah dan surga, serta meminta perlindungan dengan rahmat-Nya dari neraka. Karena hal itu diriwayatkan dari Nabi SAW.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا لَفْظُ التَّلْبِيَةِ وَصِفَتُهَا، وَمَا رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِيهَا فَهُوَ مَا حَكَاهُ الشَّافِعِيُّ، وَقَدْ رَوَاهُ ابْنُ عُمَرَ، وَجَابِرٌ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ، وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَعَائِشَةُ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ فَبَعْضُهُمْ رَوَى: ” لَبَّيْكَ أَنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ ” بِفَتْحِ الْأَلْفِ مِنْ أَنَّ – عَلَى مَعْنَى – لِأَنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ، وَبَعْضُهُمْ رَوَى بِكَسْرِ الْأَلْفِ عَلَى الِابْتِدَاءِ وَالِاسْتِئْنَافِ، وَيُخْتَارُ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى تَلْبِيَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَلَا يُقَصِّرَ عَنْهَا، وَلَا يُجَاوِزُهَا، لِمَا رُوِيَ أَنَّ سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ سَمِعَ بَعْضَ بَنِي أَخِيهِ يَقُولُ: لَبَّيْكَ يَا ذَا الْمَعَارِجِ، فَقَالَ سَعْدٌ: إِنَّهُ لَذُو الْمَعَارِجِ، وَمَا هَكَذَا كما نُلَبِّي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -. وَقَدْ رُوِيَ عَنِ الصَّحَابَةِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ فِي التَّلْبِيَةِ زِيَادَاتٌ، فَرَوَى نَافِعٌ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَزِيدُ فِيهَا: لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، والخير بيديك، لبيك والرغبة وإليك وَالْعَمَلُ.

Al-Māwardī berkata: Adapun lafaz talbiyah dan sifatnya, serta apa yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW di dalamnya, maka itu sebagaimana yang dinukil oleh al-Syāfi‘ī. Dan telah meriwayatkannya Ibn ‘Umar, Jābir, ‘Abd al-Raḥmān bin ‘Auf, Ibn ‘Abbās, ‘Ā’isyah, dan Abū Hurairah.

Sebagian mereka meriwayatkan: Labbaika anna al-ḥamda wa al-ni‘mata laka dengan membuka hamzah pada kata anna, dengan makna: karena sesungguhnya segala puji dan nikmat itu milik-Mu. Dan sebagian meriwayatkannya dengan kasrah hamzah (inna) sebagai permulaan dan istinaf.

Dan dipilih agar mencukupkan diri dengan talbiyah Rasulullah SAW, tidak menguranginya, dan tidak melampauinya. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Sa‘d bin Abī Waqqāṣ mendengar sebagian keponakannya berkata: Labbaika yā dhal-ma‘ārij. Maka Sa‘d berkata: Sesungguhnya Allah benar-benar Dzu al-Ma‘ārij, tetapi bukan demikianlah kita bertalbiyah pada masa Rasulullah SAW.

Dan sungguh telah diriwayatkan dari para sahabat raḍiyallāhu ‘anhum dalam talbiyah adanya tambahan. Nafi‘ meriwayatkan bahwa Ibn ‘Umar menambahinya: Labbaika labbaika wa sa‘daika, wa al-khairu biyadaika, labbaika wa al-raghbatu ilaika wa al-‘amalu.


وَرَوَى الْمِسْوِرُ بْنُ مَخْرَمَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ كَانَ إِذَا بَلَغَ إِلَى قَوْلِهِ: وَالْمُلْكُ لَا شَرِيكَ لَكَ، قَالَ: لَبَّيْكَ مَرْهُوبًا وَمَرْغُوبًا إِلَيْكَ لَبَّيْكَ ذَا النَّعْمَاءِ وَالْفَضْلِ الْحَسَنِ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَا ضُيِّقَ عَلَى أَحَدٍ فِي مِثْلِ مَا قَالَ ابْنُ عُمَرَ، وَلَا غَيْرُهُ مِنْ تَعْظِيمِ اللَّهِ تَعَالَى وَدُعَائِهِ مَعَ التَّلْبِيَةِ، غَيْرَ أَنَّ الِاخْتِيَارَ عِنْدِي أَنْ يُفْرِدَ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَا يُقَصِّرُ عَنْهُ وَلَا يُجَاوِزُهُ، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي التَّلْبِيَةِ الَّتِي ذَكَرْنَا زِيَادَاتٌ. فَرَوَى الْأَعْرَجُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: ” كَانَ مِنْ تَلْبِيَةِ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَبَّيْكَ إِلَهَ الْحَقِّ لَبَّيْكَ “. وَرَوَى ابْنُ سِيرِينَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: ” سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يلبي ” لبيك حجاً حقاً تعبداً ورقاً “. فيستحب أَنْ يُفْرِدَ تَلْبِيَةَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -. فَإِنْ زَادَ عَلَيْهَا، زَادَ مَا رُوِيَ عَنِ الصَّحَابَةِ، لَا يُجَاوِزُهُ، وَقَدْ حُكِيَ عَنْ بَعْضِ صُلَحَاءِ السَّلَفِ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي التَّلْبِيَةِ: لَبَّيْكَ أَنْتَ مَلِيكُ مَنْ مَلَكَ مَا خَافَ عَبْدٌ أَمَّلَكَ. فَهَذَا وَإِنْ كَانَ حَسَنًا، فَلَيْسَ بِمَسْنُونٍ عَنِ الرَّسُولِ، وَلَا مَأْثُورٍ عَنِ الصَّحَابَةِ، فَإِنْ رَأَى شَيْئًا يُعْجِبُهُ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا، قَالَ فِي تَلْبِيَتِهِ: لَبَّيْكَ إِنَّ الْعَيْشَ عَيْشُ الْآخِرَةِ. فَقَدْ رَوَاهُ ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، واختلف أهل اللغة في معنى لقولهم: سَعْدَيْكَ، عَلَى وَجْهَيْنِ:

Diriwayatkan dari al-Miswar bin Makhramah dari ‘Umar bin al-Khaththab ra., bahwa beliau apabila sampai pada ucapan wal-mulku lā syarīka lak, beliau berkata: labbaika marhūban wa marghūban ilaika labbaik, dzā an-na‘mā’i wal-fadhli al-ḥasan.

Imam al-Syafi‘i berkata: “Tidaklah menyempitkan bagi seseorang untuk membaca seperti yang dibaca oleh Ibnu ‘Umar, ataupun selainnya berupa pengagungan kepada Allah Ta‘ala dan doa kepada-Nya bersama talbiyah. Hanya saja, pilihanku adalah agar talbiyah Rasulullah SAW diucapkan tersendiri, tidak dikurangi dan tidak dilebihi. Dan telah diriwayatkan dari Nabi SAW tentang talbiyah yang kami sebutkan itu adanya tambahan-tambahan.

Diriwayatkan al-A‘raj dari Abu Hurairah, ia berkata: ‘Termasuk dari talbiyah Rasulullah SAW adalah: labbaika ilāha al-ḥaqq labbaik.’

Dan diriwayatkan Ibnu Sīrīn dari Anas, ia berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah SAW bertalbiyah: labbaika ḥajjan ḥaqqan, ta‘abbudan wa riqqan.’

Maka dianjurkan agar seseorang mengucapkan talbiyah Rasulullah SAW tersendiri. Jika ia menambahinya, hendaklah ia menambah apa yang diriwayatkan dari para sahabat, dan tidak melewati batas itu.

Telah dikisahkan dari sebagian orang saleh terdahulu, bahwa ia berkata dalam talbiyahnya: labbaika anta malīku man malak, mā khāfa ‘abdun ammalak. Maka ucapan ini meskipun baik, tetapi tidak disunnahkan dari Rasulullah dan tidak pula diwariskan dari para sahabat.

Apabila seseorang melihat sesuatu yang mengagumkannya dari perkara dunia, maka dalam talbiyahnya ia berkata: labbaik inna al-‘aisha ‘aishu al-ākhirah, sebagaimana telah diriwayatkan Ibnu ‘Abbās dari Rasulullah SAW.

Dan para ahli bahasa berbeda pendapat tentang makna ucapan mereka sa‘daika menjadi dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: مَعْنَاهُ: أَيْ مَعَكَ أَسْعَدُ بِكَ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَأْخُوذٌ مِنَ الْمُسَاعَدَةِ، وَاخْتُلِفَ أَيْضًا فِي لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، هَلْ هُوَ عَلَى مَعْنَى التَّلْبِيَةِ، أَوِ الْإِفْرَادِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا مُوَحَّدَةٌ عَلَى هَذَا اللَّفْظِ، وَهُوَ قَوْلُ الْخَلِيلِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا عَلَى التَّثْنِيَةِ، وَلَيْسَ لَهَا وَاحِدٌ، وَهَذَا قَوْلُ خَلْفٍ الْأَحْمَرِ.

Salah satunya: maknanya ialah, bersamamu aku berbahagia denganmu.

Dan yang kedua: bahwa ia diambil dari kata musā‘adah (membantu).

Juga diperselisihkan tentang lafaz labbaika dan sa‘daika, apakah ia bermakna talbiyah, atau bermakna ifrād? Ada dua pendapat:

Pertama: bahwa keduanya adalah bentuk mufrad dengan lafaz ini, dan ini adalah pendapat al-Khalīl.

Kedua: bahwa keduanya berbentuk tatsniyah, dan tidak ada bentuk mufradnya, dan ini adalah pendapat Khalaf al-Aḥmar.


فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ: إِذَا لَبَّى، فَاسْتَحَبَّ أَنْ يُلَبِّيَ ثَلَاثًا فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَأْوِيلِهِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُكَرِّرَ قَوْلَ: لَبَّيْكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ.
وَالثَّانِي: أَنْ يُكَرِّرَ قَوْلَهُ: لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ.
وَالثَّالِثُ: يُكَرِّرُ جَمِيعَ التَّلْبِيَةِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ.

PASAL:
 Imam al-Syafi‘i dalam al-Umm berkata: “Apabila seseorang bertalbiyah, maka disunnahkan baginya untuk bertalbiyah sebanyak tiga kali.”

Lalu para sahabat kami berbeda pendapat dalam menakwil hal ini ke dalam tiga pendapat:

Pertama: mengulang ucapan labbaik sebanyak tiga kali.

Kedua: mengulang ucapan labbaika allāhumma labbaik sebanyak tiga kali.

Ketiga: mengulang seluruh bacaan talbiyah sebanyak tiga kali.


فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ: فَإِذَا فَرَغَ مِنَ التَّلْبِيَةِ صَلَّى عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، ويسأل اللَّهَ رِضَاهُ وَالْجَنَّةَ وَاسْتَعَاذَ بِرَحْمَتِهِ مِنَ النَّارِ. أَمَّا الصَّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فَمُسْتَحَبَّةٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ) {الشرح: 4) قِيلَ فِي التَّفْسِيرِ: لَا أُذْكَرُ إِلَّا وَتُذْكَرُ مَعِي، وَلِأَنَّ كُلَّ مَوْضِعٍ كَانَ ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى وَاجِبًا فِيهِ، كَانَتِ الصَّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَاجِبَةً فِيهِ كَالصَّلَاةِ، وَكُلُّ مَوْضِعٍ كَانَ ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى مُسْتَحَبًّا فِيهِ، كَانَ ذِكْرُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مُسْتَحَبًّا فِيهِ، كَالْأَذَانِ، وَأَمَّا الِاسْتِعَاذَةُ مِنَ النَّارِ وَالِاسْتِغْفَارُ فَلِرِوَايَةِ خُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ: ” كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِذَا فَرَغَ مِنْ تَلْبِيَتِهِ فِي حَجٍّ أَوْ عمرةٍ، سَأَلَ اللَّهَ تَعَالَى رِضْوَانَهُ وَالْجَنَّةَ، وَاسْتَعَاذَ برحمته من النار “.

PASAL:

Al-Syāfi‘ī berkata: Apabila selesai dari talbiyah, maka hendaknya bershalawat atas Nabi SAW, memohon kepada Allah keridaan-Nya dan surga, serta berlindung dengan rahmat-Nya dari neraka.

Adapun shalawat atas Nabi SAW, hukumnya mustahabb, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (namamu)} (al-Syarḥ: 4). Dikatakan dalam tafsir: “Aku tidak disebut kecuali engkau juga disebut bersamaku.” Dan karena setiap tempat yang di dalamnya zikir kepada Allah Ta‘ala wajib, maka shalawat atas Nabi SAW juga wajib di situ, seperti dalam shalat. Dan setiap tempat yang di dalamnya zikir kepada Allah Ta‘ala mustahabb, maka zikir atas Nabi SAW juga mustahabb di situ, seperti adzan.

Adapun berlindung dari neraka dan istighfar, maka berdasarkan riwayat dari Khuzaymah bin Ṯābit, ia berkata: “Adalah Nabi SAW apabila selesai dari talbiyah dalam haji atau umrah, beliau memohon kepada Allah Ta‘ala keridaan-Nya dan surga, serta berlindung dengan rahmat-Nya dari neraka.”


مَسْأَلَةٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَالْمَرْأَةُ فِي ذَلِكَ كَالرَّجُلِ إِلَّا مَا أُمِرَتْ بِهِ مِنَ السِّتْرِ وَأَسْتَرُ لَهَا أَنْ تَخْفِضَ صَوْتَهَا بِالتَّلْبِيَةِ وَإِنَّ لَهَا أَنْ تَلْبِسَ الْقَمِيصَ وَالْقَبَاءَ والدرع والسراويل والخمار والخفين والقفازين وإحرامها في وجهها فلا تخمره وتسدل عليه الثوب وتجافيه عنه ولا تمسه وتخمر رأسها فإن خمرت وجهها عامدة افتدت وأحب إليّ أن تختضب للإحرام قبل أن تحرم وروي عن عبد الله بن عبيد وعبد الله بن دينار قال من السنة أن تمسح المرأة بيدها شيئاً من الحناء ولا تحرم وهي غفل وأحب لها أن تطوف ليلاً ولا رمل عليها ولكن تطوف على هينتها “.

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Perempuan dalam hal itu sama dengan laki-laki, kecuali apa yang diperintahkan kepadanya berupa penutup aurat. Yang lebih menutup baginya adalah merendahkan suaranya ketika bertalbiyah. Dan boleh baginya memakai qamīṣ, qabā’, dir‘, sarāwīl, khimār, khuffain, dan qufāzain. Ihramnya ada pada wajahnya, maka ia tidak boleh menutupinya dengan khimār, tetapi ia menjulurkan kain ke wajahnya dan menjauhkannya darinya, tidak menyentuhinya. Ia wajib menutup kepalanya. Jika ia menutup wajahnya dengan sengaja, maka ia wajib membayar fidyah.

Aku lebih menyukai jika ia berhias dengan ḥinnā’ (pacar) sebelum berihram. Dan diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin ‘Ubaid dan ‘Abdullāh bin Dīnār, keduanya berkata: ‘Termasuk sunnah adalah seorang perempuan mengusap dengan tangannya sesuatu dari ḥinnā’, dan tidak berihram dalam keadaan lalai (tanpa berhias).’

Aku juga lebih suka baginya thawaf pada malam hari, dan tidak ada raml atasnya, tetapi ia thawaf dengan tenang.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا أَرْكَانُ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ وَمَنَاسِكُهِمَا، فَالْمَرْأَةْ وَالرَّجُلُ فِيهِمَا سَوَاءٌ، وَإِنَّمَا يَخْتَلِفَانِ فِي شَيْءٍ مِنْ هَيْئَاتِ الْأَرْكَانِ الْأَرْبَعَةِ، الْإِحْرَامِ، وَالْوُقُوفِ، وَالطَّوَافِ، وَالسَّعْيِ، فَأَمَّا هَيْئَاتُ الْإِحْرَامِ، فَالْمَرْأَةُ فِيهَا مُخَالِفَةٌ لِلرَّجُلِ فِي خَمْسَةِ أَشْيَاءَ:
أَحَدُهَا: أَنَّ الْمَرْأَةَ، مَأْمُورَةٌ بِلُبْسِ الثِّيَابِ الْمَخِيطَةِ، كَالْقَمِيصِ، وَالْقَبَاءِ، وَالسَّرَاوِيلِ، وَالْخُفَّيْنِ، وَلُبْسِ مَا هُوَ أَسْتَرُ لَهَا؛ لِأَنَّ عَلَيْهَا سَتْرَ جَمِيعِ بَدَنِهَا، إِلَّا وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا، وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهَا، وَالرَّجُلُ مَنْهِيٌّ عَنْ لُبْسِ ذَلِكَ مَأْمُورٌ بِالْفِدْيَةِ فِيهِ.

Al-Māwardī berkata: Adapun rukun-rukun haji dan ‘umrah serta manāsiknya, maka perempuan dan laki-laki sama di dalamnya. Hanya saja mereka berbeda dalam sebagian hal dari bentuk empat rukun: iḥrām, wuqūf, ṭawāf, dan sa‘ī.

Adapun bentuk iḥrām, maka perempuan berbeda dengan laki-laki dalam lima perkara:

Pertama: bahwa perempuan diperintahkan memakai pakaian yang berjahit, seperti qamīṣ, qabā’, sarāwīl, dan khuffayn, serta memakai apa yang lebih menutupinya, karena ia wajib menutup seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, dan tidak ada fidyah atasnya. Sedangkan laki-laki dilarang memakai itu semua dan wajib fidyah bila melakukannya.


وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَرْأَةَ مَأْمُورَةٌ، بِخَفْضِ صَوْتِهَا بِالتَّلْبِيَةِ، وَالرَّجُلِ مَأْمُورٌ بِرَفْعِ صَوْتِهِ بِالتَّلْبِيَةِ، لِأَنَّ صَوْتَ الْمَرْأَةِ يَفْتِنُ سَامِعَهُ , وَرُبَّمَا كَانَ أَفْتَنَ مِنَ النَّظَرِ، قَالَ الشاعر:

(يَا قَوْمُ أُذْنِي لِبَعْضِ الْحَيِّ عَاشِقَةٌ … وَالْأُذُنُ تَعْشَقُ قَبْلَ الْعَيْنِ أَحْيَانًا)

Dan pendapat yang kedua: bahwa perempuan diperintahkan untuk merendahkan suaranya ketika bertalbiyah, sedangkan laki-laki diperintahkan untuk meninggikan suaranya ketika bertalbiyah. Sebab suara perempuan dapat menimbulkan fitnah bagi orang yang mendengarnya, bahkan terkadang lebih menimbulkan fitnah daripada pandangan.

Sebagaimana perkataan penyair:

Yā qaumu udznī liba‘ḍi al-ḥayyi ‘āsyiqatun … wal-udznū ta‘syaqu qabla al-‘aini aḥyānan

(Wahai kaumku, telingaku jatuh cinta kepada sebagian orang … dan telinga itu terkadang jatuh cinta sebelum mata).


وَالثَّالِثُ: أَنَّ حُرْمَ الْمَرْأَةِ فِي وَجْهِهَا فَلَا تُغَطِّيهِ، كَمَا كَانَ حُرْمُ الرَّجُلِ فِي رَأْسِهِ فَلَا يُغَطِّيهِ، لِرِوَايَةِ مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ ” أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نهى أن تنتقب المرأة وهي محرمة وتلبس الْقُفَّازَيْنِ “. وَرَوَى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ مَوْقُوفًا، وَبَعْضُهُمْ يَرْوِيهِ مُسْنَدًا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِحْرَامُ الْمَرْأَةِ فِي وَجْهِهَا فَلَا تُغَطِّيهِ “.

Ketiga: bahwa kehormatan (ḥurm) perempuan berada pada wajahnya, maka ia tidak boleh menutupinya, sebagaimana kehormatan laki-laki berada pada kepalanya, maka ia tidak boleh menutupinya.

Hal ini berdasarkan riwayat Mūsā bin ‘Uqbah dari Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar: “Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang perempuan yang sedang iḥrām memakai niqāb dan mengenakan kedua quffāz (sarung tangan).”

Dan Nāfi‘ meriwayatkan dari Ibn ‘Umar secara mauqūf, sementara sebagian meriwayatkannya secara musnad, bahwa Nabi SAW bersabda: “Iḥrām perempuan adalah pada wajahnya, maka janganlah ia menutupinya.”


فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ عَلَى الْمَرْأَةِ كَشْفَ وَجْهِهَا فِي الْإِحْرَامِ، فَلَيْسَ لَهَا أَنْ تُغَطِّيَ شَيْئًا مِنْهُ، إِلَّا مَا اسْتَعْلَى مِنَ الْجَبْهَةِ وَاتَّصَلَ بقصاص الشعر الذي لا يمكن للمرأة سَتْرُ رَأْسِهَا بِالْقِنَاعِ، إِلَّا بِشَدِّهِ؛ لِأَنَّ مَا لَمْ يُمْكِنْ سَتْرُ الْعَوْرَةِ إِلَّا بِهِ فَهُوَ كَالْعَوْرَةِ فِي وُجُوبِ سَتْرِهِ، فَإِنْ سَتَرَتْ سِوَى ذَلِكَ مِنْ وَجْهِهَا، بِمَا يَمَاسُّ الْبَشَرَةَ، فَعَلَيْهَا الْفِدْيَةُ، قَلِيلًا كَانَ أَوْ كَثِيرًا، وَلَوْ غَطَّتْهُ بِكَفَّيْهَا، لَمْ تَفْتَدِ، كَالرَّجُلِ يَفْتَدِي إِذَا غَطَّى رَأْسَهُ، وَلَا يَفْتَدِي، إِذَا غَطَّاهُ بِكَفَّيْهِ، فَإِنْ أَسْدَلَتْ عَلَى وَجْهِهَا ثَوْبًا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَمَاسَّ الْبَشَرَةَ، جَازَ ذَلِكَ أَنْ تَأْخُذَ ثَوْبًا فَتَشُدَّهُ عِنْدَ قُصَاصِ الشَّعْرِ، كَالْكَوْرِ، وَتُسْدِلُ عَلَيْهِ الثَّوْبَ وَتُمْسِكُهُ بِيَدَيْهَا حَتَّى لَا يَمَاسَّ وَجْهَهَا، فإنما جَازَ ذَلِكَ، لِمَا رَوَى مُجَاهِدٌ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِذَا أَقْبَلَ الرَّاكِبُ يَأْمُرُنَا أَنْ نُسْدِلَ عَلَى وجوهنا سدلاً ” وَلِأَنَّ لِلْمُحْرِمِ أَنْ يُظَلِّلَ فَوْقَ رَأْسِهِ وَيُغَطِّيَهُ، كَذَلِكَ الْمُحْرِمَةُ فِي وَجْهِهَا.

Maka apabila telah tetap bahwa perempuan wajib menyingkap wajahnya dalam keadaan ihram, maka ia tidak boleh menutup sedikit pun dari wajahnya, kecuali bagian atas dahi yang bersambung dengan qaṣāṣ al-sya‘r, karena tidak mungkin seorang perempuan menutup kepalanya dengan qinā‘ kecuali dengan mengikatnya. Dan sesuatu yang tidak mungkin menutup aurat kecuali dengannya, maka hukumnya seperti aurat dalam kewajiban menutupinya.

Jika ia menutup selain bagian itu dari wajahnya dengan sesuatu yang menyentuh kulit, maka wajib atasnya fidyah, baik sedikit maupun banyak. Bahkan seandainya ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, maka ia tidak wajib fidyah. Sebagaimana laki-laki wajib fidyah bila menutup kepalanya, tetapi tidak wajib bila menutupnya dengan kedua telapak tangannya.

Apabila perempuan menjulurkan kain ke wajahnya tanpa menyentuh kulit, maka hal itu diperbolehkan. Yaitu dengan mengambil kain lalu mengikatkannya di dekat qaṣāṣ al-sya‘r seperti kawr, kemudian menjulurkan kain itu ke wajahnya dan menahannya dengan kedua tangannya agar tidak menyentuh wajahnya. Hal itu diperbolehkan, karena riwayat dari Mujāhid dari ‘Āisyah ra. bahwa ia berkata: “Rasulullah SAW apabila datang seorang pengendara, beliau memerintahkan kami untuk menjulurkan kain ke wajah kami sebagai tabir.”

Dan karena seorang laki-laki yang berihram boleh bernaung di atas kepalanya tanpa menutupinya, maka demikian pula perempuan yang berihram boleh melindungi wajahnya dengan cara serupa.


وَالرَّابِعُ: لُبْسُ الْقُفَّازَيْنِ فِي كَفَّيْهَا، فِيهِ قَوْلَانِ مَنْصُوصَانِ:
أَحَدُهُمَا: قَالَهُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ فَلَهَا لَبْسُهُمَا، وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهَا فِيهَا وَبِهِ قَالَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ، وأبو حنيفة؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا جَعَلَ حُرْمَ الْمَرْأَةِ فِي وَجْهِهَا، دَلَّ على انتقائه عَنْ سَائِرِ بَدَنِهَا.

Keempat: memakai quffāzayn (sarung tangan) pada kedua telapak tangannya, di dalamnya terdapat dua pendapat yang manṣūṣ:

Pertama: yang beliau sebutkan di tempat ini, bahwa perempuan boleh memakainya dan tidak ada fidyah atasnya. Pendapat ini dikatakan juga oleh Sa‘d bin Abī Waqqāṣ dan Abū Ḥanīfah. Karena ketika Rasulullah SAW menjadikan kehormatan (ḥurm) perempuan ada pada wajahnya, hal itu menunjukkan gugurnya larangan dari seluruh anggota tubuh lainnya.


وَلِأَنَّهُ شَخْصٌ مُحْرِمٌ، فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ حُرْمُهُ بِمَوْضِعٍ وَاحِدٍ مِنْ بَدَنِهِ كَالرَّجُلِ، وَلِأَنَّ الْإِحْرَامَ لَوْ مَنَعَ مِنْ تَغْطِيَةِ كَفَّيْهَا بِالْقُفَّازَيْنِ، لَمَنَعَ مِنْ تَغْطِيَتِهَا بِالْكُمَّيْنِ، كَالْوَجْهِ الَّذِي لَا يَحْرُمُ بِتَغْطِيَتِهِ بِشَيْءٍ دُونَ شَيْءٍ، فَلَمَّا جَازَ تَغْطِيَةُ كَفَّيْهَا بِالْكُمَّيْنِ، جَازَ بِالْقُفَّازَيْنِ.

Dan karena ia adalah seorang yang sedang berihram, maka wajib hukum ihram itu berkaitan dengan satu bagian tubuhnya sebagaimana laki-laki. Dan seandainya ihram itu melarang menutup kedua telapak tangannya dengan quffāzain, tentu ia juga akan melarang menutupnya dengan lengan baju (kummaiin). Sama halnya dengan wajah, yang tidak diharamkan menutupinya dengan sesuatu tanpa sesuatu yang lain.

Maka ketika dibolehkan menutup kedua telapak tangannya dengan lengan baju, berarti dibolehkan pula menutupnya dengan quffāzain.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ وَالْأُمِّ: لَيْسَ لَهَا لُبْسُهُمَا، فَإِنْ لَبِسَتْهُمَا أَوْ أَحَدَهُمَا فَعَلَيْهَا الْفِدْيَةُ، وَبِهِ قَالَتْ عَائِشَةُ: وَابْنُ عُمَرَ لِرِوَايَةِ ابْنِ عُمَرَ ” أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نهى أن تنتقب المرأة وهي محرمة وتلبس الْقُفَّازَيْنِ “. وَلِأَنَّ مَا لَيْسَ بِعَوْرَةٍ مِنَ الْحُرَّةِ، يَقْتَضِي أَنْ يَتَعَلَّقَ الْإِحْرَامُ بِهِ كَالْوَجْهِ؛ لِأَنَّ الرجل لما يتعلق حُكْمُ الْإِحْرَامِ بِرَأْسِهِ فِي وُجُوبِ كَشْفِهِ تَعَلَّقَ بِسَائِرِ بَدَنِهِ فِي الْمَنْعِ مِنْ لُبْسِ الْمَخِيطِ فِيهِ، مَعَ جَوَازِ تَغْطِيَتِهِ كَذَلِكَ الْمَرْأَةُ لَمَّا تَعَلَّقَ حُكْمُ الْإِحْرَامِ بِوَجْهِهَا فِي وُجُوبِ كَشَفِهِ وَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ حُكْمُهُ بِمَوْضِعٍ مِنْ بَدَنِهَا فِي الْمَنْعِ مِنْ لُبْسِ الْمَخِيطِ فِيهِ مَعَ جَوَازِ تَغْطِيَتِهِ.

Pendapat kedua: dinyatakan oleh al-Syāfi‘ī dalam qaul qadīm dan dalam al-Umm: perempuan tidak boleh memakai keduanya (quffāzayn), maka jika ia memakainya atau salah satunya, wajib atasnya fidyah.

Pendapat ini dikatakan juga oleh ‘Ā’isyah dan Ibn ‘Umar, berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Umar: “Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang perempuan yang sedang iḥrām memakai niqāb dan memakai quffāzayn.”

Dan karena sesuatu yang bukan aurat dari tubuh perempuan merdeka, menuntut agar hukum iḥrām terkait dengannya sebagaimana wajah. Karena ketika laki-laki hukum iḥrām terkait dengan kepalanya dengan wajib menyingkapnya, maka hukumnya juga terkait dengan seluruh tubuhnya dalam larangan memakai pakaian berjahit padanya, meskipun boleh menutupinya. Demikian pula perempuan, ketika hukum iḥrām terkait dengan wajahnya dengan wajib menyingkapnya, maka wajib pula terkait dengan sebagian tubuhnya dalam larangan memakai pakaian berjahit padanya, meskipun boleh menutupinya.


وَالْخَامِسُ: أَنَّ مِنَ الْمُسْتَحَبِّ لَهَا أن تختضب لإحرامها بالحناء، ولا يكون عسفاً لرواية موسى بن عبيدة عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ فَلْتُلَطِّخْ بَدَنَهَا بِالْحِنَّاءِ “. وَلِمَا رُوِيَ أَنَّ امْرَأَةً أَخْرَجَتْ يَدَهَا لِتُبَايِعَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فَرَآهَا بَيْضَاءَ، فَقَالَ: هَذه كَفُّ سبعٍ أَيْنَ الْحِنَّاءُ؟ “. وَلِأَنَّ فِيهِ مُبَايَنَةً لِلرِّجَالِ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّهُ لَعَنَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ. فَأَمَّا الْخِضَابُ فِي حَالِ إِحْرَامِهَا، فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: كَرِهْتُ ذَلِكَ لَهَا، وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهَا فِيهِ، وَإِنْ خَالَفَ أبو حنيفة فِيهِ، عَلَى مَا سَيَأْتِي الْكَلَامُ مَعَهُ. ثُمَّ يُنْظَرُ فَإِنْ طَلَتْ يَدَهَا بِالْحِنَّاءِ مِنْ غَيْرِ أَنْ تَلُفَّ عَلَيْهَا الْخِرَقَ، فَلَا شَيْءَ عَلَيْهَا، وَإِنْ لَفَّتْ عَلَيْهَا الْخِرَقَ وَشَدَّتْهَا بِالْعَصَائِبِ، فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ لُبْسَ الْقُفَّازَيْنِ جَائِزٌ، فَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهَا، وَإِنْ قُلْنَا: إِنْ لُبْسَ الْقُفَّازَيْنِ غَيْرُ جَائِزٍ، وَأَنَّ الْفِدْيَةَ فِي لُبْسِهِمَا وَاجِبَةٌ، فَهَلْ عَلَيْهَا الْفِدْيَةُ فِي الْخِرَقِ وَالْعَصَائِبِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهَا الْفِدْيَةُ تَشَبُّهًا بِالْقُفَّازَيْنِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا فِدْيَةَ عَلَيْهَا تَشَبُّهًا بِالْكُمَّيْنِ.

Dan yang kelima: bahwa termasuk yang disunnahkan bagi perempuan adalah berhias dengan ḥinnā’ untuk ihramnya, dan itu bukanlah perbuatan yang dipaksakan, berdasarkan riwayat dari Mūsā bin ‘Ubaidah dari ‘Abdullāh bin Dīnār dari Ibnu ‘Umar dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Perempuan yang berihram hendaklah melumuri badannya dengan ḥinnā’.” Dan karena diriwayatkan bahwa ada seorang perempuan mengeluarkan tangannya untuk berbaiat kepada Rasulullah SAW, lalu beliau melihat tangannya putih, maka beliau bersabda: “Ini tangan serigala, di mana ḥinnā’?” Dan karena di dalamnya terdapat perbedaan dengan laki-laki, padahal telah diriwayatkan darinya SAW bahwa beliau melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki.

Adapun berhias dengan ḥinnā’ dalam keadaan ihram, al-Syāfi‘ī berkata: “Aku memakruhkannya bagi perempuan, dan tidak ada fidyah atasnya dalam hal itu.” Dan Abū Ḥanīfah berbeda pendapat dalam masalah ini, sebagaimana akan datang penjelasannya.

Kemudian dilihat, jika ia melumuri tangannya dengan ḥinnā’ tanpa membalutkan kain di atasnya, maka tidak ada sesuatu pun atasnya. Namun jika ia membalutkan kain di atasnya dan mengikatnya dengan lilitan, maka apabila kita katakan memakai quffāzayn (sarung tangan) itu boleh, maka tidak ada fidyah atasnya. Tetapi jika kita katakan memakai quffāzayn tidak boleh dan fidyah dalam memakainya wajib, maka apakah atasnya fidyah dalam balutan kain dan lilitan itu? Ada dua wajah:

Pertama: ia wajib membayar fidyah karena menyerupai quffāzayn.
 Kedua: tidak ada fidyah atasnya karena menyerupai dua lengan baju (kum).


فَصْلٌ: مَا تُخَالِفُ فِيهِ الْمَرْأَةُ الرجل في الوقوف
فَأَمَّا مَا تُخَالِفُهُ فِيهِ مِنْ هَيْئَاتِ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ، فَثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ:
أَحَدُهَا: أَنَّ الرَّجُلَ يُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يَقِفَ بِعَرَفَةَ رَاكِبًا، وَالْمَرْأَةُ نَازِلَةٌ عَلَى الْأَرْضِ، لِأَنَّهُ أَصْوَنُ لَهَا وَأَسْتَرُ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَرْأَةَ يُخْتَارُ لَهَا أَنْ تَكُونَ بِعَرَفَةَ جَالِسَةً وَالرَّجُلِ قَائِمًا.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ الْمَرْأَةَ يُخْتَارُ لَهَا أَنْ تَكُونَ فِي حَاشِيَةِ الْمَوْقِفِ وَأَطْرَافِ عَرَفَةَ، وَالرَّجُلَ عِنْدَ الصَّخَرَاتِ السُّودِ.
PASAL: Perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam wuqūf

Adapun hal-hal yang perempuan berbeda dengan laki-laki dalam bentuk wuqūf di ‘Arafah, ada tiga perkara:

Pertama: laki-laki disunnahkan baginya untuk wuqūf di ‘Arafah dengan berkendaraan, sedangkan perempuan dalam keadaan turun di tanah, karena itu lebih menjaga dirinya dan lebih menutupinya.

Kedua: perempuan dipilihkan untuk wuqūf di ‘Arafah dalam keadaan duduk, sedangkan laki-laki dalam keadaan berdiri.

Ketiga: perempuan dipilihkan untuk berada di pinggiran tempat wuqūf dan tepi ‘Arafah, sedangkan laki-laki di dekat batu-batu hitam.

 

فَصْلٌ: مَا تخالف فيه المرأة الرجل في الطواف
فَأَمَّا مَا تُخَالِفُهُ فِي هَيْئَاتِ الطَّوَافِ فَثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ:
أَحَدُهَا: أَنَّ الرَّجُلَ مَأْمُورٌ بِالِاضْطِبَاعِ فِيهِ، وَالرَّمَلِ، وَالْمَرْأَةُ مَنْهِيَّةٌ عَنْ ذَلِكَ، بَلْ تَمْشِي على هيئتها وستر جَمِيعِ بَدَنِهَا.

PASAL: Perkara yang berbeda antara perempuan dengan laki-laki dalam thawaf

Adapun hal-hal yang berbeda dalam tata cara thawaf ada tiga:

Pertama: laki-laki diperintahkan melakukan iḍṭibā‘ di dalamnya dan ramal, sedangkan perempuan dilarang melakukannya, bahkan ia berjalan dengan keadaan biasanya dan menutup seluruh tubuhnya.


وَالثَّانِي: أَنَّ الْمُسْتَحَبَّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَطُوفَ لَيْلًا، لِأَنَّهُ أَسْتَرُ لَهَا، وَالرَّجُلُ يَطُوفُ ليلاً ونهاراً.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ الْمَرْأَةَ يُسْتَحَبُّ لَهَا أَنْ لَا تدنوا مِنَ الْبَيْتِ فِي الطَّوَافِ، وَتَطُوفُ فِي حَاشِيَةِ الناس، والرجل بخلافها.

Kedua: yang mustahabb bagi perempuan adalah melakukan ṭawāf pada malam hari, karena itu lebih menutupinya. Sedangkan laki-laki melakukan ṭawāf siang maupun malam.

Ketiga: yang mustahabb bagi perempuan adalah tidak mendekat ke Ka‘bah ketika ṭawāf, tetapi ia ṭawāf di pinggiran kerumunan manusia. Sedangkan laki-laki kebalikannya.

فصل: ما تخالفه في السعي
وَأَمَّا مَا تُخَالِفُهُ فِيهِ مِنْ هَيْئَاتِ السَّعْيِ فثلاثة أشياء:
أحدها: أَنَّ الْمَرْأَةَ تُمْنَعُ مِنَ السَّعْيِ رَاكِبَةً، وَالرَّجُلُ لَا يُمْنَعُ مِنْهُ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَرْأَةَ تُمْنَعُ مِنْ صُعُودِ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ مِنْ غَيْرِ سَعْيٍ، والرجل يأمر بِهِ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ الْمَرْأَةَ تَمْشِي بَيْنَ الصَّفَا والمروة من غير سعي والرجل بِالسَّعْيِ الشَّدِيدِ بَيْنَ الْعَلَمَيْنِ.

PASAL: Hal-hal yang wanita berbeda dengan laki-laki dalam sai’

Adapun hal-hal yang wanita berbeda dengannya dalam tata cara sai’ ada tiga perkara:

Pertama: Bahwa wanita dilarang sai’ dengan berkendara, sedangkan laki-laki tidak dilarang melakukannya.

Kedua: Bahwa wanita dilarang naik ke Shafa dan Marwah tanpa ada keperluan sai’, sedangkan laki-laki diperintahkan melakukannya.

Ketiga: Bahwa wanita berjalan biasa antara Shafa dan Marwah tanpa berlari, sedangkan laki-laki melakukan sai’ dengan lari cepat di antara dua tanda hijau.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا مَا تُخَالِفُهُ فِيهِ مِنْ هَيْئَاتِ الْمَنَاسِكِ فَثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ:
أَحَدُهَا: أَنَّ الرَّجُلَ مَأْمُورٌ بِرَفْعِ يَدَيْهِ فِي رَمْيِ الْجِمَارِ وَالْمَرْأَةُ لَا تُؤْمَرُ بِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الرَّجُلَ مَأْمُورٌ أَنْ يَتَوَلَّى ذَبِيحَةَ نُسُكِهِ، وَالْمَرْأَةُ لَا تُؤْمَرُ بِذَلِكَ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ حَلْقَ الرَّجُلِ أَفْضَلُ مِنْ تَقْصِيرِهِ، وَتَقْصِيرُ الْمَرْأَةِ أَفْضَلُ، وَحِلَاقُهَا مَكْرُوهٌ. وَمَا سِوَى مَا ذَكَرْنَاهُ فَالرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ فِيهِ سَوَاءٌ.

PASAL
 Adapun hal-hal yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam tata cara manasik ada tiga perkara:

Pertama: Laki-laki diperintahkan mengangkat kedua tangan ketika melempar jamarāt, sedangkan perempuan tidak diperintahkan melakukannya.

Kedua: Laki-laki diperintahkan menyembelih sendiri hewan nusuk-nya, sedangkan perempuan tidak diperintahkan melakukannya.

Ketiga: Mencukur rambut lebih utama bagi laki-laki daripada memendekkannya, sedangkan bagi perempuan lebih utama memendekkan rambut, dan mencukurnya makruh.

Selain dari apa yang telah disebutkan, laki-laki dan perempuan sama saja dalam pelaksanaan manasik.

مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ قَمِيصًا وَلَا عِمَامَةً وَلَا برنساً ولا خفين إلا أن يَجِدَ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا لَبِسَ سَرَاوِيلَ لِأَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كُلِّهِ “.

BAB: Larangan bagi muḥrim dari memakai wewangian dan pakaian tertentu

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Dan muḥrim tidak boleh memakai qamīṣ (baju berjahit), tidak pula ‘imāmah (sorban), tidak pula burnus (mantel berkerudung), dan tidak pula khuffayn (sepatu tertutup), kecuali jika tidak menemukan na‘layn (sandal), maka hendaklah ia memakai khuffayn dan hendaklah ia memotong keduanya di bawah mata kaki. Dan jika tidak menemukan izār (kain sarung), maka ia boleh memakai sirwāl (celana), karena perintah Rasulullah SAW secara keseluruhan.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالْأَصْلُ فِي هَذَا أَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا أَرَادَ الْإِحْرَامَ خَالَفَ مَعْهُودَهُ فِي لُبْسِهِ فَسُئِلَ عَمَّا يَلْبَسُهُ الْمُحْرِمُ، فَرَوَى الزُّهْرِيُّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَمَّا يَلْبَسُهُ الْمُحْرِمُ فَقَالَ: ” لَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ الْقَمِيصَ، وَلَا السَّرَاوِيلَ، وَلَا الْعِمَامَةَ، وَلَا الْبُرْنُسَ، وَلَا الْخُفَّيْنِ، إِلَّا أَنْ لَا يَجِدَ النَّعْلَيْنِ، فَمَنْ لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ، فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ وَيَقْطَعْهُمَا، حَتَى يَكُونَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ “. وَرَوَى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ يَلْبَسَ الْمُحْرِمُ الْقَمِيصَ، وَالْأَقْبِيَةَ، وَالْخُفَّيْنِ، وَالسَّرَاوِيلَاتِ، أَوْ يَلْبَسُ ثَوْبًا فِيهِ وَرَسٌ، أَوْ زَعْفَرَانٌ “.

Berkata al-Māwardī: Hukum asal dalam hal ini adalah bahwa Nabi SAW ketika hendak berihram, beliau menyelisihi kebiasaan pakaiannya, lalu beliau ditanya mengenai apa yang boleh dikenakan oleh orang yang sedang berihram. Maka az-Zuhrī meriwayatkan dari Sālim dari ayahnya, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW tentang apa yang boleh dikenakan oleh orang yang berihram. Maka beliau bersabda:

“Orang yang berihram tidak boleh mengenakan qamīṣ (baju berjahit), tidak sirwāl (celana), tidak ‘imāmah (sorban), tidak burnus (mantel berpenutup kepala), dan tidak khuffayn (sepatu kulit), kecuali jika tidak mendapatkan dua sandal. Maka siapa yang tidak mendapatkan dua sandal, hendaklah memakai dua khuf lalu memotongnya hingga berada di bawah mata kaki.”

Dan Nāfi‘ meriwayatkan dari Ibn ‘Umar, ia berkata: Rasulullah SAW melarang orang yang berihram mengenakan qamīṣ, aqbiyaḥ (pakaian sejenis jubah), dua khuf, sirwālāt, atau mengenakan pakaian yang terkena minyak wārās atau za‘farān.


فإن قيل: فلما سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَمَّا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ؟ فَأَجَابَ بِمَا لَا يَلْبَسُ، وَذَلِكَ لَا يَكُونُ جَوَابًا لِسُؤَالِهِمْ.
قِيلَ: عَنْهُ جَوَابَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ السَّائِلَ أَخْطَأَ فِي سُؤَالِهِ لِأَنَّ أَصْلَ اللِّبَاسِ عَلَى الْإِبَاحَةِ وَإِنَّمَا كَانَ يَنْبَغِي أَنْ يَسْأَلَهُ عَمَّا لَا يَلْبَسُ؛ لِأَنَّ الْحَظْرَ طَارِئٌ، فَأَجَابَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عما كان ينبغي أن يسئل عَنْهُ لِيُعْلِمَهُ أَنَّهُ قَدْ أَخْطَأَ فِي سُؤَالِهِ، ويخبره حُكْمَ مَا جَهِلَهُ.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّ مَا يجوز له لبسه أكثر فما حُظِرَ عَلَيْهِ، وَفِي ذِكْرِ جَمِيعِهِ إِطَالَةٌ، فَذَكَرَ مَا حُظِرَ عَلَيْهِ، لِيُسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى إِبَاحَةِ مَا سِوَاهُ.

Jika dikatakan: Mengapa ketika Rasulullah SAW ditanya tentang apa yang boleh dipakai oleh muḥrim, beliau justru menjawab dengan menyebutkan apa yang tidak boleh dipakai? Padahal itu bukanlah jawaban atas pertanyaan mereka.

Dijawab: Ada dua jawaban atas hal ini:

Pertama: Bahwa si penanya telah keliru dalam pertanyaannya, karena hukum asal pakaian adalah boleh, dan yang seharusnya ditanyakan adalah tentang apa yang tidak boleh dipakai, karena larangan itu bersifat insidental. Maka Rasulullah SAW menjawabnya dengan apa yang seharusnya ditanyakan, untuk memberitahunya bahwa ia keliru dalam bertanya, dan sekaligus mengajarinya hukum atas perkara yang ia tidak ketahui.

Jawaban kedua: Bahwa pakaian yang boleh dipakai itu lebih banyak daripada yang dilarang, dan jika disebutkan seluruhnya akan menjadi panjang. Maka beliau hanya menyebutkan yang dilarang, agar dapat dipahami bahwa selain itu hukumnya boleh.


فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا، فَقَدْ نَصَّ عَلَى الْقَمِيصِ وَالْقَبَاءِ وَنَبَّهَ عَلَى الْجُبَّةِ، وَالدُّرَّاعَةِ، وَنَصَّ عَلَى السَّرَاوِيلِ، وَنَبَّهَ عَلَى التُّبَّانِ، وَنَصَّ عَلَى الْبُرْنُسِ، وَنَبَّهَ عَلَى الْعِمَامَةِ، وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَلْبَسَ فِي رَأْسِهِ مَخِيطًا، وَلَا غَيْرَهُ مِنْ عِمَامَةٍ، أَوْ مِنْدِيلٍ، وَلَا ثَوْبٍ، وَلَا رِدَاءٍ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَلْبَسَ فِي بَدَنِهِ مَا يلْبَسُ مَخِيطًا، كَالْقَمِيصِ، والجبة، والقباء، والصدرة، وَالسَّرَاوِيلِ، وَالتُّبَّانِ، وَيَجُوزُ أَنْ يَلْبَسَ فِي بَدَنِهِ ما يلبس غير مخيط، كالمئذر وَالرِّدَاءِ وَالْإِزَارِ وَالْكِسَاءِ لِأَنَّ الْمَخِيطَ يَحْفَظُ نَفْسَهُ فَمُنِعَ مِنْهُ، وَغَيْرُ الْمَخِيطِ لَا يَحْفَظُ نَفْسَهُ فَلَمْ يُمْنَعْ مِنْهُ.

Apabila hal ini telah ditetapkan, maka telah disebut secara tegas larangan memakai qamīṣ dan qabā’, serta ditunjukkan juga larangan memakai jubbah dan durrā‘ah. Disebut pula larangan atas sirwāl, dan ditunjukkan pula larangan atas tubbān. Disebut juga larangan atas burnus, dan ditunjukkan pula larangan atas ‘imāmah.

Kesimpulannya adalah: tidak boleh mengenakan sesuatu yang berjahit di kepala, baik berupa ‘imāmah, saputangan, kain, maupun ridā’. Dan tidak boleh mengenakan pada badan pakaian yang biasa dikenakan dalam keadaan dijahit, seperti qamīṣ, jubbah, qabā’, ṣudrah, sirwāl, dan tubbān.

Namun diperbolehkan mengenakan pada badan pakaian yang tidak dijahit, seperti mi’zār, ridā’, izār, dan kisā’, karena pakaian yang dijahit dapat melekat dan menyesuaikan dengan tubuh, maka dilarang darinya. Sedangkan pakaian yang tidak dijahit tidak melekat dan menyesuaikan dengan tubuh, maka tidak dilarang darinya.


فَإِنْ قِيلَ فَلِمَ يُمْنَعُ مِنْ لُبْسِ مَا يَحْفَظُ نَفْسَهُ مِنَ الْمَخِيطِ وَلِمَ يُمْنَعَ مِنْ لَبِسَ مَا لَا يَحْفَظُ نَفْسَهُ مِنْ غَيْرِ الْمَخِيطِ.
قِيلَ: لِأَنَّ مَا لَا يَحْفَظُ نَفْسَهُ يَبْعَثُهُ عَلَى مُرَاعَاتِهِ، فَيَتَذَكَّرُ بِذَلِكَ مَا هُوَ عَلَيْهِ مِنْ إِحْرَامِهِ، فَيَتَجَنَّبُ مَا أُمِرَ بِاجْتِنَابِهِ، فَعَلَى هَذَا لَوِ ارْتَدَى بِالْقَمِيصِ، وَاتَّزَرَ بِالسَّرَاوِيلِ، جَازَ؛ لِأَنَّهُ لَا يَحْفَظُ نَفْسَهُ، وَكَذَا الطَّيْلَسَانُ، لَهُ أَنْ يَلْبَسَهُ مَا لَمْ يَزِرَّهُ، لِأَنَّهُ لَا يَحْفَظُ نَفْسَهُ، فَإِنْ زَرَّهُ عَلَيْهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَلْبَسَهُ لِأَنَّهُ يَحْفَظُ نَفْسَهُ.

Jika dikatakan: Mengapa muḥrim dilarang memakai pakaian berjahit yang menjaga tubuh, sedangkan tidak dilarang memakai pakaian yang tidak menjaga tubuh dari selain pakaian berjahit?

Dijawab: Karena pakaian yang tidak menjaga tubuh akan mendorongnya untuk selalu memperhatikan dan menjaga diri, sehingga ia akan terus mengingat bahwa dirinya sedang dalam keadaan iḥrām, lalu ia menjauhi segala hal yang diperintahkan untuk dijauhi. Atas dasar ini, seandainya seseorang memakai qamīṣ sebagai selendang, dan memakai sirwāl sebagai kain sarung, maka hal itu diperbolehkan karena tidak menjaga tubuh. Demikian pula ṭaylasān, boleh dipakai selama tidak dikancingkan, karena tidak menjaga tubuh. Namun jika dikancingkan, maka tidak boleh dipakai karena sudah menjaga tubuh.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْقَبَاءُ، فَلَا يَجُوزُ أن يلبسه، فإن لبسه، وأدخل يَدَيْهِ فِي كُمَّيْهِ، فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ. فَإِنْ أَسْدَلَهُ عَلَى كَتِفَيْهِ، وَلَمْ يُدْخِلْ يَدَيْهِ فِي كُمَّيْهِ، نُظِرَ فِيهِ. فَإِنْ كَانَ مِنْ أَقْبِيَةِ خُرَاسَانَ، قَصِيرَةِ الذَّيْلِ ضَيِّقَةِ الْأَكْمَامِ، فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ؛ لِأَنَّهُ يُلْبَسُ هَكَذَا. وَإِنْ كَانَ مِنْ أَقْبِيَةِ الْعِرَاقِ، طَوِيلَةِ الذَّيْلِ وَاسِعَةِ الْأَكْمَامِ، فَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يُتَحَفَّظُ بِهَذَا اللُّبْسِ، وَلَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ.

PASAL
 Adapun qabā’, maka tidak boleh dikenakan. Jika ia memakainya dan memasukkan kedua tangannya ke dalam kedua lengannya, maka wajib membayar fidyah. Namun jika ia menjulurkannya di atas kedua pundaknya tanpa memasukkan tangannya ke dalam lengan baju, maka hal itu dilihat lebih lanjut.

Jika qabā’ tersebut berasal dari jenis aqbiyah Khurasan, yang pendek bagian bawahnya dan sempit lengannya, maka wajib fidyah, karena memang dikenakan dengan cara seperti itu.

Namun jika dari jenis aqbiyah Irak, yang panjang bagian bawahnya dan lebar lengannya, maka tidak wajib fidyah, karena cara pemakaian seperti itu tidak untuk menjaga tubuh, dan bukan kebiasaan umum memakainya demikian.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا لُبْسُ الْخُفَّيْنِ فَغَيْرُ جَائِزٍ مَعَ وُجُودِ النَّعْلَيْنِ، وَإِنْ أَجَازَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ، لِنَصِّ الْخَبَرِ فَإِذَا عَدِمَ النَّعْلَيْنِ، جَازَ أَنْ يَلْبَسَ الْخُفَّيْنِ إِذَا قَطَعَهُمَا مِنْ دُونِ الْكَعْبَيْنِ، فَإِنْ لَمْ يَقْطَعْهُمَا، لَمْ يَجُزْ، وَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ إِنْ لَبِسَهُمَا، وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ، وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: يَجُوزُ أَنْ يَلْبَسَهُمَا غَيْرَ مَقْطُوعَيْنِ، عِنْدَ عَدَمِ النَّعْلَيْنِ، وَبِهِ قَالَ مِنَ التَّابِعِينَ عَطَاءُ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ، وَسَعِيدُ بْنُ سَالِمٍ الْقَدَّاحُ، اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ أَبِي الشَّعْثَاءِ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَخْطُبُ، وَهُوَ يَقُولُ: ” مَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا، فليلبس سراويل، ومن لم يجد نعلين، فليلبس الْخُفَّيْنِ “. وَالدَّلَالَةُ عَلَى مَا قُلْنَا. رِوَايَةُ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ. وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ “. فَكَانَ هَذَا أَوْلَى مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ لِزِيَادَتِهِ، فَأَمَّا إِنْ لَبِسَهُمَا مَقْطُوعَيْنِ مَعَ وُجُودِ النَّعْلَيْنِ، أَوْ لَبِسَ شمشكينَ مَعَ وُجُودِ النَّعْلَيْنِ، فَهَلْ عَلَيْهِ الْفِدْيَةُ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

PASAL
 Adapun memakai khuffayn (sepatu tertutup) maka tidak diperbolehkan jika na‘layn (sandal) masih ada, meskipun ‘Abd al-Raḥmān bin ‘Auf membolehkannya, karena adanya nash hadits. Jika na‘layn tidak ada, maka boleh memakai khuffayn apabila dipotong bagian bawahnya hingga di bawah mata kaki. Jika tidak dipotong, maka tidak boleh, dan bila tetap memakainya maka wajib membayar fidyah. Ini adalah pendapat jumhur.

Aḥmad bin Ḥanbal berpendapat: Boleh memakai khuffayn meskipun tidak dipotong jika tidak mendapatkan na‘layn. Demikian pula pendapat dari kalangan tābi‘īn seperti ‘Aṭā’ bin Abī Rabāḥ dan Sa‘īd bin Sālim al-Qaddāḥ, berdasarkan riwayat Abū al-Sha‘thā’ Jābir bin Zayd dari Ibn ‘Abbās, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW berkhutbah, beliau bersabda: “Barang siapa yang tidak mendapatkan izār (kain sarung), hendaklah ia memakai sirwāl (celana), dan barang siapa yang tidak mendapatkan na‘layn, maka hendaklah ia memakai khuffayn.”

Dalil yang menguatkan pendapat kami adalah riwayat Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang tidak mendapatkan na‘layn, maka hendaklah ia memakai khuffayn, dan hendaklah ia memotong keduanya di bawah mata kaki.” Maka hadits ini lebih utama daripada hadits Ibn ‘Abbās karena adanya tambahan.

Adapun jika seseorang memakai khuffayn yang sudah dipotong padahal na‘layn masih tersedia, atau ia memakai sepatu tertutup (shamshakīn) padahal na‘layn masih ada, maka apakah ia wajib membayar fidyah atau tidak? Maka terdapat dua wajah (pendapat) dalam hal ini.


أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ. لِأَنَّهُ إنما أمر بقطعهما عند عدم النعلين، ليصير فِي مَعْنَى النَّعْلَيْنِ، فَلَا يُتَرَفَّهُ بِالْمَسْحِ عَلَيْهِمَا، وَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ فِيهِمَا مَعَ النَّعْلَيْنِ وَعَدَمِهِمَا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ – وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ -: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَلْبَسَهُمَا مَقْطُوعَيْنِ، إِلَّا عِنْدَ عَدَمِ النَّعْلَيْنِ، فَأَمَّا مَعَ وُجُودِهِمَا فَلَا، وَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ إِنْ لَبِسَهُمَا، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَبَاحَ لُبْسَهُمَا مَقْطُوعَيْنِ، بِشَرْطِ أَنْ يَكُونَ عَادِمًا لِلنَّعْلَيْنِ، فَإِذَا لَمْ يُوجَدِ الشَّرْطُ لَمْ تُوجَدِ الْإِبَاحَةُ.
Pertama: Boleh. Karena perintah untuk memotong keduanya (dua khuf) saat tidak adanya dua sandal adalah agar keduanya menjadi seperti dua sandal, sehingga tidak dinikmati dengan mengusap di atasnya. Dan makna ini tetap ada, baik ketika ada sandal maupun tidak.

Pendapat kedua—dan inilah yang ṣaḥīḥ, serta telah ditegaskan oleh asy-Syāfi‘ī dalam al-Umm—bahwa tidak boleh mengenakan dua khuf yang telah dipotong, kecuali ketika tidak menemukan dua sandal. Adapun jika sandal ada, maka tidak boleh, dan wajib membayar fidyah jika mengenakannya. Karena Rasulullah SAW hanya membolehkan mengenakan dua khuf yang telah dipotong dengan syarat tidak adanya dua sandal. Maka apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak ada kebolehan.

 

فَصْلٌ
: فَأَمَّا السَّرَاوِيلُ فَلَا يَجُوزُ لُبْسُهُ مع وجود الإزار فإن لبست مَعَ وُجُودِ الْإِزَارِ افْتَدَى، وَإِنْ عَدِمَ الْإِزَارَ، جَازَ أَنْ يَلْبَسَ السَّرَاوِيلَ، وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ.
وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يَجُوزُ أَنْ يَلْبَسَ السَّرَاوِيلَ؛ لَا مَعَ وُجُودِ الْإِزَارِ، وَلَا مَعَ عَدَمِهِ، فَإِنْ لَبِسَهُ افْتَدَى.

PASAL
 Adapun sirwāl (celana), maka tidak boleh dipakai ketika izār (kain sarung) masih ada. Jika dipakai padahal izār masih ada, maka wajib membayar fidyah. Namun jika izār tidak tersedia, maka boleh memakai sirwāl, dan tidak ada fidyah atasnya.

Imam Mālik berpendapat: Tidak boleh memakai sirwāl, baik ketika izār tersedia maupun tidak. Jika tetap memakainya, maka wajib membayar fidyah.


وَقَالَ أبو حنيفة يَجُوزُ أَنْ يَلْبَسَ السَّرَاوِيلَ مَعَ عَدَمِ الْإِزَارِ، وَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ مَعَ إِبَاحَتِهِ عِنْدَهُ، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ مَا لذمته الفدية يلبسه غَيْرُ مَعْذُورٍ، لَزِمَتْهُ الْفِدْيَةُ بِلُبْسِهِ وَإِنْ كَانَ مَعْذُورًا كَالْقَمِيصِ، وَلِأَنَّ مَنْ لَزِمَتْهُ الْفِدْيَةُ بِلُبْسِ الْقَمِيصِ، لَزِمَتْهُ الْفِدْيَةُ بِلُبْسِ السَّرَاوِيلِ، كَغَيْرِ الْمَعْذُورِ؛ لِأَنَّ أُصُولَ الْحَجِّ مَوْضُوعَةٌ عَلَى التَّسْوِيَةِ بَيْنَ الْمَعْذُورِ، وَغَيْرِ الْمَعْذُورِ، فَمَا يُوجِبُ الْفِدْيَةَ، كَالْحَلْقِ، وَقَتْلِ الصَّيْدِ، كَذَلِكَ هُنَا.

Dan Abū Ḥanīfah berkata: Boleh mengenakan sirwāl apabila tidak ada izār, dan tetap wajib membayar fidyah meskipun menurutnya hal itu dibolehkan. Ia berdalil bahwa sesuatu yang dikenakan oleh orang yang tidak dalam keadaan uzur tetap mewajibkan fidyah, maka bila dikenakan oleh orang yang uzur pun tetap mewajibkan fidyah, seperti qamīṣ. Dan karena siapa yang dikenakan fidyah karena memakai qamīṣ, maka juga dikenakan fidyah karena memakai sirwāl, meskipun sedang dalam keadaan uzur. Sebab pokok-pokok manasik haji dibangun atas asas penyamaan antara orang yang uzur dan yang tidak uzur. Maka apa pun yang mewajibkan fidyah, seperti mencukur rambut dan membunuh buruan, maka hukumnya juga berlaku dalam hal ini.


وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَكَرْنَا رِوَايَةُ أَبِي الشَّعْثَاءِ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَخْطُبُ وَهُوَ يَقُولُ: ” مَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فليلبس سراويل، ومن لم يجد نعلين فليلبس خُفَّيْنِ “. فَنَصُّ الْخَبَرِ دَلِيلٌ عَلَى مَالِكٍ فِي جَوَازِ لُبْسِهِ، وَفِيهِ دَلِيلَانِ عَلَى أبي حنيفة فِي سُقُوطِ الْفِدْيَةِ فِي لُبْسِهِ.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ جَعَلَ السَّرَاوِيلَ مَعَ عَدَمِ الْإِزَارِ، فِي حُكْمِ الْمُبَاحَاتِ مِنَ الْمَلْبُوسَاتِ الَّتِي أَضْرَبَ عَنِ النَّهْيِ عَنْهَا، وَلَمْ يُوجِبِ الْفِدْيَةَ فِي لُبْسِهَا.

Dan dalil atas kebenaran apa yang kami sebutkan adalah riwayat Abū al-Sha‘thā’ Jābir bin Zayd dari Ibn ‘Abbās, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW berkhutbah, dan beliau bersabda: “Barang siapa yang tidak mendapatkan izār, maka hendaklah ia memakai sirwāl, dan barang siapa yang tidak mendapatkan na‘layn, maka hendaklah ia memakai khuffayn.”

Maka nash hadits ini adalah dalil bagi pendapat Mālik dalam membolehkan memakainya, dan dalam hadits ini juga terdapat dua dalil bagi pendapat Abū Ḥanīfah dalam gugurnya fidyah atas pemakaian sirwāl.

Pertama: Bahwa Nabi SAW menjadikan sirwāl dalam keadaan tidak ditemukannya izār sebagai termasuk dalam kategori pakaian yang dibolehkan, yang beliau tidak melarangnya, dan beliau juga tidak mewajibkan fidyah atas pemakaiannya.


وَالثَّانِي: أَنَّهُ جَعَلَهُ بَدَلًا مِنَ الْإِزَارِ عِنْدَ عَدَمِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي حُكْمِ مُبْدَلِهِ، وَلِأَنَّهُ لُبْسٌ أُبِيحَ بِالشَّرْعِ لَفْظًا، فَوَجَبَ أَنْ لَا تَلْزَمُ فِيهِ الْفِدْيَةُ، كَالْإِزَارِ، وَلِأَنَّهُ لُبْسٌ لَا يُمْكِنُ سَتْرُ الْعَوْرَةِ إِلَّا بِهِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَ فِيهِ الْفِدْيَةُ، كَالْقَمِيصِ لِلْمَرْأَةِ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى لُبْسِ الْقَمِيصِ، وَاسْتِشْهَادِهِمْ بِالْأُصُولِ، فَالْجَوَابُ عَنْهَا وَاحِدٌ، وَهُوَ أَنَّ لُبْسَ السَّرَاوِيلِ أُبِيحَ لِسَتْرِ الْعَوْرَةِ، وَذَلِكَ لِأَجْلِ الْغَيْرِ، وَلُبْسُ الْقَمِيصِ، وَحَلْقُ الشَّعْرِ، وَإِنْ أُبِيحَ لَهُ إِذَا اضْطُرَّ إِلَيْهِ لِأَجْلِ نَفْسِهِ، وَالْأُصُولُ فِي الْحَجِّ، مَوْضُوعَةٌ عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ مَا أُبِيحَ لِمَعْنًى فِيهِ وَبَيْنَ مَا أُبِيحَ لِمَعْنَى غَيْرِهِ، ألا ترى أن المحرم لم اضْطُرَّ إِلَى أَكْلِ الصَّيْدِ لِمَجَاعَةٍ نَالَتْهُ فَقَتَلَهُ افْتَدَى، وَإِنْ كَانَ مُبَاحًا لَهُ؛ لِأَنَّهُ اسْتَبَاحَهُ لِأَجْلِ نَفْسِهِ، وَلَوْ صَالَ عَلَيْهِ الصَّيْدُ فَخَافَهُ عَلَى نَفْسِهِ فَقَتَلَهُ لَمْ يَفْتَدِ؛ لِأَنَّهُ اسْتَبَاحَ قَتْلَهُ لِأَجْلِ الصَّيْدِ.

Yang kedua: Bahwa sirwāl dijadikan sebagai pengganti izār ketika izār tidak ada, maka wajib hukumnya disamakan dengan hukum benda yang digantikannya. Dan karena itu adalah pakaian yang dibolehkan secara lafazh oleh syariat, maka tidak wajib fidyah atasnya, sebagaimana izār. Dan karena itu adalah pakaian yang tidak mungkin menutup aurat kecuali dengannya, maka tidak wajib fidyah atasnya, sebagaimana qamīṣ bagi perempuan.

Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap pakaian qamīṣ, dan dalil mereka dengan dasar-dasar umum (uṣūl), maka jawabannya satu: bahwa pemakaian sirwāl dibolehkan untuk menutup aurat, dan itu demi kepentingan orang lain, sedangkan pemakaian qamīṣ dan mencukur rambut meskipun dibolehkan ketika darurat, itu adalah demi kepentingan diri sendiri.

Padahal dasar-dasar hukum dalam ibadah haji dibangun di atas perbedaan antara sesuatu yang dibolehkan karena alasan eksternal (bagi orang lain), dan sesuatu yang dibolehkan karena alasan internal (bagi diri sendiri).

Tidakkah engkau melihat bahwa seorang yang sedang berihram, bila terpaksa memakan daging buruan karena kelaparan lalu ia membunuhnya, maka ia wajib membayar fidyah, meskipun perbuatan itu dibolehkan, karena ia menikmatinya demi kepentingan dirinya sendiri. Namun jika buruan itu menyerangnya dan ia khawatir atas keselamatannya lalu ia membunuhnya, maka ia tidak dikenai fidyah, karena ia membunuhnya demi menjaga diri dari buruan tersebut.


ثُمَّ فَرَّقَ بَيْنَ الْقَمِيصِ وَالسَّرَاوِيلِ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ، وَهُوَ أَنَّ السَّرَاوِيلَ إِذَا اتَّزَرَ بِهِ ضَاقَ عَنْ سَتْرِ عَوْرَتِهِ، فَاضْطُرَّ إِلَى لُبْسِهِ لِيَسْتُرَ عَوْرَتَهُ وَالْقَمِيصُ إِنِ اتَّزَرَ بِهِ اتَّسَعَ لِسَتْرِ جَمِيعِ عَوْرَتِهِ فَلَمْ يضطر إلى لبسه لستر عَوْرَتَهُ. وَالْقَمِيصُ إِنِ اتَّزَرَ بِهِ اتَّسَعَ لِسَتْرِ جَمِيعِ عَوْرَتِهِ فَلَمْ يُضْطَرَّ إِلَى لُبْسِهِ لِسَتْرِ عورته.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى غَيْرِ الْمَعْذُورِ، فَغَيْرُ صَحِيحٍ، لأن المعذور ليس مباحاً، فلم يلزمه الفدية، وغير المعذور ليس مَحْظُورًا فَلَزِمَتْهُ الْفِدْيَةُ.

Kemudian, beliau membedakan antara qamīṣ dan sirwāl dari sisi yang lain, yaitu bahwa sirwāl, apabila dipakai sebagai izār (kain sarung), tidak cukup untuk menutupi seluruh ‘awrah-nya, sehingga seseorang terpaksa memakainya untuk menutupi ‘awrah-nya. Adapun qamīṣ, jika dipakai sebagai izār, maka cukup lebar untuk menutupi seluruh ‘awrah-nya, sehingga tidak ada keterpaksaan untuk memakainya demi menutup ‘awrah-nya.

Adapun qiyās (analogi) mereka terhadap orang yang tidak memiliki uzur, maka tidaklah sah, karena orang yang memiliki uzur tidak sedang dalam kondisi mubāḥ (bebas berbuat), maka tidak dikenakan fidyah atasnya. Sedangkan orang yang tidak memiliki uzur, berada dalam kondisi terlarang, maka dikenakan fidyah atasnya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْمِئْزَرُ إِذَا عَقَدَهُ عَلَى وَسَطِهِ فَلَا بَأْسَ بِهِ، لِأَنَّهُ لَا يَثْبُتُ إِلَّا مَعْقُودًا وَلَكِنْ لَا يَجُوزُ أن يأتزر ذَيْلَيْنِ، ثُمَّ يَعْقِدَ الذَّيْلَيْنِ مِنْ وَرَائِهِ، لِأَنَّهُ يَصِيرُ كَالسَّرَاوِيلِ، فَإِنْ فَعَلَ افْتَدَى، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَا يَعْقِدُ رِدَاءَهُ عَلَيْهِ، وَلَكِنْ يَغْرِزُ طَرَفَيْ رِدَائِهِ إِنْ شَاءَ فِي إِزَارِهِ، وَإِنْ شَاءَ فِي سَرَاوِيلِهِ، إِذَا كَانَ الرِّدَاءُ مَنْشُورًا، فَإِنْ خَالَفَ مَا وَصَفَ الشَّافِعِيُّ، وَعَقَدَ رِدَاءَهُ مِنْ وَرَائِهِ افْتَدَى؛ لِأَنَّ الْإِزَارَ يَثْبُتُ غَيْرَ مَعْقُودٍ، فَإِذَا عُقِدَ صار كالقميص يحفظ نفسه.

PASAL
 Adapun mi’zār, jika diikatkan pada pinggangnya maka tidak mengapa, karena mi’zār tidak akan melekat kecuali dengan diikat. Akan tetapi, tidak boleh seseorang memakai dua ujung mi’zār kemudian mengikat kedua ujungnya dari belakang, karena hal itu menjadikannya seperti sirwāl. Maka jika ia melakukannya, wajib membayar fidyah. Hal ini telah ditegaskan oleh asy-Syāfi‘ī dalam al-Umm.

Asy-Syāfi‘ī berkata: Tidak boleh mengikat ridā’-nya pada tubuhnya, namun ia boleh menyelipkan kedua ujung ridā’-nya, jika ia mau, ke dalam izār-nya, dan jika mau ke dalam sirwāl-nya, selama ridā’ itu dalam keadaan terbentang. Namun jika menyelisihi ketentuan yang dijelaskan oleh asy-Syāfi‘ī lalu ia mengikat ridā’-nya dari belakang, maka wajib fidyah, karena izār dapat melekat tanpa harus diikat, dan jika diikat maka menjadi seperti qamīṣ yang melekat erat pada tubuh.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَلْبَسُ ثَوْبًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ، وَلَا وَرَسٌ، وَلَا شَيْءٌ مِنَ الطِّيبِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَصْلُ هَذَا، ” رِوَايَةُ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى الْمُحْرِمَ أَنْ يَلْبَسَ ثَوْبًا فِيهِ ورسٌ أَوْ زَعْفَرَانٌ ” فَنَصَّ عَلَى الْوَرَسِ وَالزَّعْفَرَانِ، وَنَبَّهَ عَلَى الْكَافُورِ وَالْمِسْكِ وَمَا فِي مَعْنَاهُمَا مِنَ الطِّيبِ، لِأَنَّهُ إِذَا مَنَعَ مِنْ أَدْوَنِ الطِّيبِ، فَأَعْلَاهُ بِالْمَنْعِ أَوْلَى، وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ كُلَّ طِيبٍ مُنِعَ مِنْهُ الْمُحْرِمُ، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَلْبَسَ ثَوْبًا قَدْ صُبِغَ بِهِ أَوْ مَسَّهُ شَيْءٌ مِنَ الطِّيبِ، كَالْوَرَسِ، وَالزَّعْفَرَانِ، وَالْمَاوَرْدِ وَالْغَالِيَةِ، وَالْكَافُورِ، وَالْمِسْكِ، وَالْعَنْبَرِ، وَالرَّيْحَانِ الْفَارِسِيِّ، إِذَا قِيلَ: إِنَّ فِيهِ الْفِدْيَةَ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، وَكُلُّ مَا لَمْ يُمْنَعِ الْمُحْرِمُ مِنْ شَمِّهِ؛ وَاسْتِعْمَالِهِ، جَازَ أَنْ يَلْبَسَ ثَوْبًا قَدْ صُبِغَ بِهِ، كالشيح والعيصوم، والأترج، والعنبران، لِأَنَّ هَذِهِ كُلَّهَا وَإِنْ كَانَتْ ذَكِيَّةَ الرِّيحِ، فَلَيْسَتْ طِيبًا تَجِبُ بِشَمِّهَا الْفِدْيَةُ، وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يُمْنَعُ الْمُحْرِمُ مِنْ لُبْسِ الثَّوْبِ الْمُطَيَّبِ، وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ إِنْ لَبِسَهُ، اسْتِدْلَالًا بأنه لم يستعمل غير الطيب في بلده، وَإِنَّمَا وَصَلَتْ إِلَيْهِ رَائِحَتُهُ، فَأَشْبَهَ جُلُوسَهُ فِي الْعَطَّارِينَ، وَدَلِيلُنَا مَعَ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ الْمُقَدَّمِ، أَنَّهُ نَوْعٌ يُطَيَّبُ بِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَفْتَدِيَ بِهِ الْمُحْرِمُ، كَاسْتِعْمَالِهِ فِي جَسَدِهِ، وَخَالَفَ جُلُوسَهُ فِي الْعَطَّارِينَ؛ لِأَنَّهُ لَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ التطيب، فلم يتعلق عليه حكمه.

Masalah
 Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Tidak boleh memakai pakaian yang terkena za‘farān, tidak pula waras, dan tidak pula sesuatu pun dari wewangian.”

Al-Māwardī berkata: Dasarnya adalah riwāyah dari Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah SAW melarang orang yang sedang beriḥrām memakai pakaian yang mengandung waras atau za‘farān. Maka beliau menyebutkan secara tegas waras dan za‘farān, dan memberi isyarat terhadap kāfūr, misk, dan segala sesuatu yang semakna dengannya dari jenis wewangian. Karena jika yang tingkat wewangiannya lebih rendah saja dilarang, maka yang lebih tinggi tentu lebih layak untuk dilarang.

Kesimpulannya: setiap wewangian yang dilarang bagi orang yang beriḥrām, maka tidak boleh ia memakai pakaian yang dicelup dengan wewangian itu atau terkena olehnya, seperti waras, za‘farān, māward, ghāliyah, kāfūr, misk, ‘anbar, dan raihān fārisī, jika dikatakan bahwa itu dikenai fidyah menurut salah satu dari dua pendapat.

Dan setiap sesuatu yang tidak dilarang bagi muḥrim untuk mencium atau menggunakannya, maka boleh dipakai pakaian yang dicelup dengannya, seperti syīḥ, ‘aīṣūm, utruj, dan ‘anbarān, karena semua ini meskipun beraroma harum, namun bukanlah wewangian yang mewajibkan fidyah jika dicium.

Abū Ḥanīfah berkata: Tidak dilarang bagi muḥrim memakai pakaian yang diberi wewangian, dan tidak ada fidyah atasnya jika ia memakainya. Pendalilannya adalah bahwa ia tidak menggunakan selain wewangian itu di negerinya, dan hanya aroma wewangiannya saja yang sampai kepadanya. Maka ini menyerupai duduknya seseorang di tempat penjual parfum.

Dalil kami — selain ḥadīts Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan — adalah bahwa itu termasuk jenis yang digunakan untuk berwewangian, maka wajib bagi muḥrim membayar fidyah karenanya sebagaimana jika digunakan di tubuhnya. Ini berbeda dengan duduk di toko penjual parfum, karena itu tidak bisa disebut dengan istilah “berwewangian”, maka hukumnya tidak berkaitan dengannya.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا، وَكَانَ الثَّوْبُ مَصْبُوغًا بِطِيبٍ قَدْ أَثَّرَ فِيهِ، فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ تَظْهَرَ فِيهِ رَائِحَةُ الطِّيبِ وَلَوْنُهُ.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَظْهَرَ فِيهِ رَائِحَةُ الطِّيبِ دُونَ لَوْنِهِ.

PASAL
 Apabila hal ini telah ditetapkan, dan pakaian itu telah diberi pewarna dari ṭīb (wewangian) yang meninggalkan bekas padanya, maka terdapat tiga keadaan:

Pertama: Terlihat pada pakaian tersebut aroma ṭīb dan warnanya.

Kedua: Terlihat padanya aroma ṭīb saja tanpa warnanya.


وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَظْهَرَ فِيهِ لَوْنُ الطِّيبِ دُونَ رَائِحَتِهِ، فَإِنْ ظَهَرَ فِيهِ الْأَمْرَانِ مَعًا؛ اللَّوْنُ وَالرَّائِحَةُ، مُنِعَ مِنْهُ الْمُحْرِمُ، رَجُلًا كَانَ أَوِ امْرَأَةً، فَإِنْ لَبِسَهُ الْمُحْرِمُ فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ، فَإِنْ غَسَلَهُ حَتَّى زَالَ لَوْنُ الطِّيبِ وَرَائِحَتُهُ، جَازَ أَنْ يَلْبَسَهُ، وَإِنْ صَبَغَهُ بِسَوَادٍ أَوْ غَيْرِهِ، حَتَّى زَالَ لَوْنُهُ وَرَائِحَتُهُ، نُظِرَ فِيهِ، فَإِنْ ثَارَتْ لَهُ رَائِحَةٌ بِرَشِّ الْمَاءِ عَلَيْهِ، لَمْ يَجُزْ لَهُ لُبْسُهُ، وَفِيهِ الْفِدْيَةُ، وَإِنْ لَمْ تَبِنْ له رائحة برشٍ عَلَيْهِ، جَازَ لَهُ لُبْسُهُ، وَلَا فِدْيَةَ فِيهِ وَإِنْ ظَهَرَ بِالصَّبْغِ رَائِحَةُ الطِّيبِ دُونَ لَوْنِهِ، مُنِعَ الْمُحْرِمُ مِنْ لُبْسِهِ، وَوَجَبَ فِيهِ الْفِدْيَةُ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ الطِّيبِ رَائِحَتُهُ. وَإِنْ ظَهَرَ بِالصَّبْغِ لَوْنُهُ دُونَ رَائِحَتِهِ جَازَ لُبْسُهُ، وَلَا فِدْيَةَ فِيهِ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُ مَفْقُودٌ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَوْ صُبِغَ ثَوْبٌ بِوَرْسٍ أَوْ زَعْفَرَانٍ، فَذَهَبَ رِيحُ الْوَرْسِ وَالزَّعْفَرَانِ لِطُولِ لُبْسٍ أَوْ غَيْرِهِ، فَإِنْ كَانَ إِذَا أَصَابَهُ الْمَاءُ حَرَّكَ رِيحَهُ وَإِنْ قَلَّ، لَمْ يَلْبَسْهُ الْمُحْرِمُ، وَإِنْ لَمْ يُحَرِّكْ رِيحَهُ، فَإِنْ غُسِلَ كَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ، وَإِنْ لَمْ يُغْسَلْ رَجَوْتُ أَنْ يَسَعَهُ لُبْسُهُ؛ لِأَنَّ الصَّبْغَ لَيْسَ بِنَجَسٍ وَلَا أُرِيدُ بِالْغَسْلِ ذَهَابَ الرِّيحِ، فَإِذَا ذَهَبَ بِغَيْرِ غَسْلٍ رَجَوْتُ أَنْ يُجْزِئَ.

PASAL
 dan keadaan ketiga: tampak pada pakaian tersebut warna ṭīb tanpa baunya. Apabila tampak keduanya sekaligus, yaitu warna dan baunya, maka muḥrim—baik laki-laki maupun perempuan—dilarang memakainya. Jika muḥrim memakainya, maka wajib membayar fidyah. Apabila ia mencucinya hingga hilang warna dan bau ṭīb-nya, maka boleh dipakai. Jika ia mewarnainya dengan warna hitam atau selainnya hingga hilang warna dan baunya, maka diperiksa: apabila keluar bau darinya ketika disiram air, maka tidak boleh dipakai dan wajib fidyah. Namun jika tidak tampak bau darinya saat disiram, maka boleh dipakai dan tidak ada fidyah. Apabila dengan pewarnaan itu muncul bau ṭīb tanpa warna, maka muḥrim dilarang memakainya dan wajib fidyah, karena yang dimaksud dari ṭīb adalah baunya. Dan jika dengan pewarnaan itu hanya tampak warnanya tanpa baunya, maka boleh dipakai dan tidak ada fidyah, karena yang dimaksud darinya telah tiada.

Imam al-Syafi‘i berkata: “Seandainya kain dicelup dengan wars atau za‘farān, lalu bau wars dan za‘farān itu hilang karena lama dipakai atau sebab lain, maka apabila ketika terkena air baunya tercium kembali walau sedikit, maka muḥrim tidak boleh memakainya. Jika air tidak menghidupkan kembali baunya, maka jika dicuci itu lebih aku sukai. Dan jika tidak dicuci, aku berharap tetap boleh dipakai, karena pewarna bukan najis, dan aku tidak bermaksud mencuci untuk menghilangkan bau. Maka apabila bau itu hilang tanpa dicuci, aku berharap itu mencukupi.”


فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا، وَلَبِسَ الْمُحْرِمُ ثَوْبًا مُطَيَّبًا، فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ سَوَاءٌ أَفْضَى بِجِلْدِهِ إِلَيْهِ أَمْ لَا لِأَنَّهُ لَا لُبْسَ لَهُ، فَأَمَّا إِنِ افْتَرَشَهُ وَنَامَ عَلَيْهِ، فَإِنْ أَفْضَى بِجِلْدِهِ إِلَيْهِ افْتَدَى؛ لِأَنَّهُ مُتَطَيِّبٌ، وَإِنْ لَمْ يُفْضِ بِجِلْدِهِ إِلَيْهِ، فَكَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ ثَوْبِهِ فَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِلَابِسٍ وَلَا مُتَطَيِّبٍ، وَإِنَّمَا هُوَ لِلطِّيبِ مُجَاوِرٌ، وَلَكِنْ إِنْ كَانَ الثَّوْبُ الَّذِي بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ يَشِفُّ، كَرِهنَا ذَلِكَ لَهُ، وَإِنْ كَانَ لَا يَشِفُّ لَمْ يُكْرَهْ لَهُ، وَهَذَا نَصُّ الشَّافِعِيِّ. وَجُمْلَتُهُ أَنْ تَكُونَ هَيْئَةُ الْمُحْرِمِ مُخَالِفَةً لِهَيْئَةِ الْمَحَلِّ. رُوِيَ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَأَى قَوْمًا في الْحَجِّ لَهُمْ هَيْئَةٌ أَنْكَرَهَا فَقَالَ: هَؤُلَاءِ الدَّاجُّ فَأَيْنَ الْحَاجُّ؟ وَفِي الْحَاجِّ وَالدَّاجِّ وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا:
أحدهما: أن الحاج إذا أقبلوا، والداج إلى رَجَعُوا، وَهَذَا قَوْلُ مَيْسَرَةَ بْنِ عُبَيْدٍ.

PASAL
 Apabila hal ini telah ditetapkan, lalu seorang muḥrim mengenakan pakaian yang diberi wewangian, maka atasnya fidyah, baik wewangian tersebut menyentuh kulitnya secara langsung maupun tidak, karena hal itu tergolong labas (memakai pakaian).
 Adapun jika ia membentangkannya dan tidur di atasnya, maka jika kulitnya bersentuhan langsung dengan pakaian tersebut, ia wajib membayar fidyah, karena pakaian itu mengandung wewangian. Namun, jika tidak menyentuh langsung—ada sesuatu antara kulitnya dan pakaian tersebut—maka tidak ada fidyah atasnya, karena ia tidak termasuk mengenakan dan tidak pula memakai wewangian, melainkan hanya berdekatan dengannya.

Namun, jika kain yang berada di antara dirinya dan pakaian tersebut tipis (tembus pandang), maka kami makruhkan perbuatan itu baginya. Jika kain tersebut tidak tembus pandang, maka tidak dimakruhkan. Ini adalah nash dari asy-Syafi‘i.

Keseluruhannya adalah bahwa penampilan seorang muḥrim harus berbeda dari penampilan orang yang tidak sedang beriḥrām. Diriwayatkan bahwa Ibn ʿUmar melihat sekelompok orang ketika haji dengan penampilan yang diingkarinya, lalu ia berkata: “Mereka ini adalah orang-orang yang datang untuk dagang, lalu di mana orang-orang yang datang untuk haji?”

Tentang istilah ḥājj dan dājj, terdapat dua pendapat:
 Pertama: bahwa orang yang berhaji adalah mereka yang datang menghadap (menuju Makkah), sedangkan dājj adalah mereka yang pulang kembali. Ini adalah pendapat Maysarah ibn ʿUbayd.


وَالثَّانِي: أن الحاج الْقَاصِدُونَ الْحَجَّ مِنْ أَصْحَابِ الشَّأْنِ، وَالدَّاجَّ الْأَتْبَاعُ، مِنْ تَاجِرٍ ومكارٍ وَقَالَ ثَعْلَبٌ: هُمُ الْحَاجُّ وَالدَّاجُّ وَالزَّاجُّ فَالْحَاجُّ أَصْحَابُ الشَّأْنِ وَالدَّاجُّ الْأَتْبَاعُ وَالزَّاجُّ الْمُرَاؤُونَ قَالَ بَعْضُ الشُّعَرَاءِ:
(عِصَابَةٌ إِنْ حَجَّ مُوسَى حَجُّوا … وَإِنْ أَقَامَ بِالْعِرَاقِ دَجُّوا)
(مَا هَكَذَا كَانَ يَكُونُ الْحَجُّ)
يَعْنِي مُوسَى بْنَ عِيسَى الْهَاشِمِيَّ.

dan kedua: bahwa ḥājj adalah orang-orang yang memang berniat menunaikan haji dari kalangan pemilik tujuan (kesungguhan), sedangkan dājj adalah para pengikut, seperti pedagang dan pelayan.

Ts̱aʿlab berkata: mereka terbagi menjadi ḥājj, dājj, dan zājj.
 Adapun ḥājj adalah para pemilik tujuan (kesungguhan),
 dājj adalah para pengikut,
 dan zājj adalah orang-orang yang riya’.

Sebagian penyair berkata:
 (ʿiṣābatun in ḥajja Mūsā ḥajjū … wa in aqāma bil-ʿIrāq dajjū)
 (mā hakadhā kāna yakūnu al-ḥajj)

Artinya: “Sekelompok orang, jika Mūsā berhaji, mereka pun berhaji; dan jika ia tinggal di Irak, mereka pun tinggal. Bukan seperti itulah seharusnya haji itu.”

Yang dimaksud dengan Mūsā dalam bait syair tersebut adalah Mūsā ibn ʿĪsā al-Hāsyimī.


فَصْلٌ
: إِذَا لَبِسَ الْحَلَالُ ثَوْبًا مُطَيَّبًا، ثُمَّ أَحْرَمَ فِيهِ وَاسْتَدَامَ لُبْسُهُ جاز، ولم تجب عليه الفدية؛ لِأَنَّهُ لَوْ تَطَيَّبَ وَهُوَ حَلَالٌ، ثُمَّ أَحْرَمَ وَاسْتَدَامَ الطِّيبُ، جَازَ وَإِنْ لَمْ يَغْسِلْهُ، فَكَذَلِكَ الثَّوْبُ، وَلَكِنْ لَوْ أَحْرَمَ فِي ثَوْبٍ مُطَيَّبٍ، ثُمَّ نَزَعَهُ وَأَعَادَ لُبْسَهُ فِي حَالِ إِحْرَامِهِ افْتَدَى؛ لِأَنَّهُ كَالْمُبْتَدِئِ لِاسْتِعْمَالِ الطِّيبِ بَعْدَ إِحْرَامِهِ.

 

PASAL
 Apabila seseorang yang masih ḥalāl (belum beriḥrām) memakai pakaian yang diberi ṭīb, lalu beriḥrām dalam keadaan memakainya dan tetap melanjutkan pemakaiannya, maka itu diperbolehkan dan tidak wajib fidyah. Karena seandainya ia memakai ṭīb saat masih ḥalāl, lalu beriḥrām dan bekas ṭīb-nya masih ada, maka hal itu diperbolehkan meskipun tidak ia cuci. Maka demikian pula hukum pakaian.

Namun, jika ia beriḥrām dengan pakaian yang diberi ṭīb, lalu ia lepaskan, kemudian memakainya kembali dalam keadaan beriḥrām, maka ia wajib membayar fidyah; karena hal itu seperti memulai memakai ṭīb setelah beriḥrām.

 

مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يُغَطِّي رَأْسَهُ، وَلَهُ أَنْ يُغَطِّيَ وَجْهَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: فَعَلَيْهِ كَشْفُ رَأْسِهِ إِجْمَاعًا، وَلَيْسَ عَلَيْهِ كَشْفُ وَجْهِهِ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ، وَهُوَ فِي الصَّحَابَةِ قَوْلُ عُثْمَانَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ، وَسَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، وَجَابِرٍ، وَابْنِ الزُّبَيْرِ، وَقَالَ مَالِكٌ: وَيُحْكَى عَنْ أبي حنيفة أَنَّ عَلَى الْمُحْرِمِ كَشْفَ وَجْهِهِ، كَمَا عَلَيْهِ كَشْفُ رَأْسِهِ، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عُمَرَ تَعَلُّقًا بِرِوَايَةِ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ فِي مُحْرِمٍ خَرَّ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَوُقِصَ فَمَاتَ: ” لَا تُخْمِرُوا رَأْسَهُ، وَلَا وَجْهَهُ “. وَلِأَنَّهُ شَخْصٌ مُحْرِمٌ، فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ كَشْفُ وَجْهِهِ، كَالْمَرْأَةِ، وِالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ، رِوَايَةُ أَبِي الشَّعْثَاءِ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: في محرم خر من راحلته، فوقصته فَمَاتَ: ” لَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ، وَخَمِّرُوا وَجْهَهُ “. وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ، لِأَنَّهُ مَرْوِيٌّ عَمَّنْ ذَكَرْنَا مِنْهُمْ، وَلَيْسَ يُعْرَفُ لَهُمْ مُخَالِفٌ، وَمَا حُكِيَ عَنِ ابن عمر، فليس مخالفاً لَهُمْ؛ لِأَنَّ عِنْدَهُ أَنَّ مَا فَوْقَ الذَّقْنِ مِنَ الرَّأْسِ فَهُوَ إِنَّمَا أَوْجَبَ كَشْفَهُ لِوُجُوبِ كَشْفِ الرَّأْسِ؛ وَلِأَنَّهُ شَخْصٌ مُحْرِمٌ، فَوَجَبَ أَنْ لا يلزمه كشفه عُضْوَيْنِ كَالْمَرْأَةِ.

dan kedua: bahwa ḥājj adalah orang-orang yang memang berniat menunaikan haji dari kalangan pemilik tujuan (kesungguhan), sedangkan dājj adalah para pengikut, seperti pedagang dan pelayan.

Ts̱aʿlab berkata: mereka terbagi menjadi ḥājj, dājj, dan zājj.
 Adapun ḥājj adalah para pemilik tujuan (kesungguhan),
 dājj adalah para pengikut,
 dan zājj adalah orang-orang yang riya’.

Sebagian penyair berkata:
 (ʿiṣābatun in ḥajja Mūsā ḥajjū … wa in aqāma bil-ʿIrāq dajjū)
 (mā hakadhā kāna yakūnu al-ḥajj)

Artinya: “Sekelompok orang, jika Mūsā berhaji, mereka pun berhaji; dan jika ia tinggal di Irak, mereka pun tinggal. Bukan seperti itulah seharusnya haji itu.”

Yang dimaksud dengan Mūsā dalam bait syair tersebut adalah Mūsā ibn ʿĪsā al-Hāsyimī.


فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْخَبَرِ، فَخَبَرُنَا أَوْلَى لِزِيَادَتِهِ، ثُمَّ يَكُونُ مُسْتَعْمَلًا فِي كَشْفِ مَا لَا يُمْكِنُ كَشْفُ الرَّأْسِ إِلَّا بِهِ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمَرْأَةِ، فَالْمَعْنَى فِيهَا: أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجِبْ عَلَيْهَا كَشْفُ غَيْرِ الْوَجْهِ، وَجَبَ عَلَيْهَا كَشْفُ الْوَجْهِ. وَالرَّجُلُ لَمَّا وَجَبَ عَلَيْهِ كَشْفُ غَيْرِ الْوَجْهِ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ كَشْفُ الْوَجْهِ.

Adapun dalil mereka dengan khabar, maka khabar kami lebih utama karena mengandung tambahan, kemudian (penutup kepala tersebut) digunakan untuk membuka sesuatu yang tidak mungkin terbuka kepalanya kecuali dengannya.

Adapun qiyās mereka terhadap perempuan, maka maksud dalam kasus perempuan adalah: ketika tidak wajib baginya menyingkap selain wajah, maka wajib baginya menyingkap wajah. Sedangkan laki-laki, ketika wajib baginya menyingkap selain wajah, maka tidak wajib baginya menyingkap wajah.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ عَلَيْهِ كَشْفَ رَأْسِهِ دُونَ وَجْهِهِ، فَإِنْ غَطَّى رَأْسَهُ أَوْ شَيْئًا مِنْهُ، وَإِنْ قَلَّ بِمَخِيطٍ، وَغَيْرِ مَخِيطٍ، فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ، وَلَكِنْ لَوْ غَطَّى رَأْسَهُ بِكَفِّهِ، لَمْ يَفْتَدِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ مُغَطِّيًا لِرَأْسِهِ بِنَفْسِهِ، وَلَوْ غَطَّى رَأْسَهُ بِكَفِّ غَيْرِهِ، كَانَ فِي وُجُوبِ الْفِدْيَةِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ مَا تَجِبُ بِهِ الْفِدْيَةُ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ مَا يَكُونُ لِنَفْسِهِ أَوْ لِغَيْرِهِ، كَالثَّوْبِ، فَلَمَّا لَمْ تَجِبِ الْفِدْيَةُ فِي تَغْطِيَتِهِ بِكَفِّ نَفْسِهِ، فَكَذَلِكَ لَا تَجِبُ فِي تَغْطِيَتِهِ بِكَفِّ غَيْرِهِ.

PASAL
 Apabila telah ditetapkan bahwa wajib baginya menyingkap kepalanya dan bukan wajahnya, maka jika ia menutupi kepalanya atau sebagian darinya—meskipun sedikit—dengan sesuatu yang berjahit atau tidak berjahit, maka wajib atasnya fidyah.

Akan tetapi, jika ia menutupi kepalanya dengan telapak tangannya sendiri, maka ia tidak terkena kewajiban fidyah, karena itu tidak dianggap sebagai menutupi kepala dengan dirinya sendiri.

Namun, jika kepalanya ditutupi oleh telapak tangan orang lain, maka dalam hal wajibnya fidyah atasnya terdapat dua pendapat:

Pertama: tidak ada fidyah atasnya; karena segala hal yang mewajibkan fidyah, tidak ada perbedaan antara dilakukan oleh dirinya sendiri atau oleh orang lain, seperti halnya kain. Maka, ketika tidak wajib fidyah jika menutup dengan telapak tangannya sendiri, maka begitu pula tidak wajib jika ditutupi dengan telapak tangan orang lain.


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: عَلَيْهِ الْفِدْيَةُ، لِأَنَّ كَفَّهُ بَعْضٌ مِنْ أَبْعَاضِهِ، وَلَيْسَ كَفُّ غَيْرِهِ بَعْضًا مِنْ أَبْعَاضِهِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ سَجَدَ عَلَى كَفِّ نَفْسِهِ لَمْ يَجُزْ، وَلَوْ سَجَدَ عَلَى كَفِّ غَيْرِهِ جَازَ، فَافْتَرَقَ حكمهما.

Dan pendapat kedua: wajib atasnya membayar fidyah, karena telapak tangannya adalah bagian dari anggota tubuhnya, sedangkan telapak tangan orang lain bukan bagian dari tubuhnya. Tidakkah engkau melihat bahwa jika ia sujud di atas telapak tangannya sendiri, tidak sah, sedangkan jika ia sujud di atas telapak tangan orang lain, sah? Maka hukum keduanya berbeda.

فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا حَمَلَ عَلَى رَأْسِهِ مِكْتَلًا، أَوْ زِنْبِيلًا، فَإِنْ قَصَدَ بِهِ تَغْطِيَةَ رَأْسِهِ، فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ، وَإِنْ لَمْ يَقْصِدْ ذَلِكَ، فَفِي وُجُوبِ الْفِدْيَةِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ الْفِدْيَةُ مَعَ قَصْدٍ وَقَدْ حَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنِ الشَّافِعِيِّ، لأن ما أوجب الفدية التَّغْطِيَةُ، أَوْجَبَ الْفِدْيَةَ، وَإِنْ لَمْ يَقْصِدْ بِهِ التَّغْطِيَةَ كَالْمَوْتِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا فِدْيَةَ فِيهِ، لِأَنَّ وُجُوبَ الْفِدْيَةِ فِي تَغْطِيَةِ الرَّأْسِ، لِأَجْلِ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ الرَّفَاهِيَةِ بِهِ، وَحَامِلُ الْمِكْتَلِ لَا يَتَرَفُّهُ بِتَغْطِيَةِ رَأْسِهِ بِهِ، فَلَمْ يلزمه الفدية لأجله.

PASAL
 Adapun jika seseorang membawa di atas kepalanya keranjang atau bakul, maka jika ia bermaksud untuk menutupi kepalanya dengannya, maka wajib atasnya fidyah. Namun, jika ia tidak bermaksud demikian, maka dalam kewajiban fidyah terdapat dua pendapat:

Pertama: wajib atasnya fidyah meskipun tanpa maksud menutup, dan ini diriwayatkan oleh Ibn al-Mundzir dari asy-Syafi‘i, karena yang mewajibkan fidyah adalah penutupan kepala itu sendiri. Maka penutupan itu mewajibkan fidyah meskipun tidak dimaksudkan untuk menutupi, sebagaimana kematian (yang menimbulkan konsekuensi tanpa niat).

Kedua: tidak ada fidyah, karena kewajiban fidyah dalam menutupi kepala adalah disebabkan adanya rasa nyaman (rafāhah) yang diperoleh dari penutupan tersebut. Sedangkan orang yang membawa keranjang tidak mendapatkan kenyamanan dengan menutupi kepalanya dengannya, maka tidak wajib baginya fidyah karenanya.


فَصْلٌ
: إِذَا كَانَ الْمُحْرِمُ مُصَدَّعًا، فَشَدَّ رَأْسَهُ بِعِصَابَةٍ، فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ؛ لِأَنَّهُ قَدْ سَتَرَ بِهَا رَأْسَهُ، فَأَمَّا إِنْ كَانَ فِي رَأْسِهِ جُرْحٌ فَوَضَعَ فِيهِ دَوَاءً، فَإِنْ شَدَّهُ بِخِرْقَةٍ، أَوْ وَضَعَ عَلَيْهِ قِرْطَاسًا، فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ، وَإِنْ لَمْ يَسْتُرْهُ بِشَيْءٍ، اعْتُبِرَ حَالُهُ، فَإِنْ كَانَ بِحَيْثُ يَمْنَعُ مِنْ مُشَاهَدَةِ الرَّأْسِ، فَفِيهِ الْفِدْيَةُ؛ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَالَ: وَإِذَا خَضَّبَ الْمُحْرِمُ رَأْسَهُ بِالْحِنَّاءِ، فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ، وَإِنْ كَانَ رَقِيقًا لَا يَمْنَعُ مِنْ مُشَاهَدَةِ الرَّأْسِ، فَلَا فِدْيَةَ فِيهِ؛ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَالَ: وَإِذَا غَسَلَ الْمُحْرِمُ رَأْسَهُ بِالْخِطْمِيِّ، وَالسِّدْرِ فَلَا فدية عليه.

PASAL
 Apabila muḥrim mengalami sakit kepala, lalu ia membalut kepalanya dengan kain perban, maka wajib atasnya fidyah—sebagaimana dinyatakan oleh asy-Syāfi‘ī dalam al-Umm—karena ia telah menutupi kepalanya dengan perban tersebut.

Namun, jika di kepalanya terdapat luka, lalu ia mengoleskan obat padanya, kemudian membalutnya dengan kain atau menutupinya dengan kertas, maka wajib atasnya fidyah.

Jika ia tidak menutupnya dengan sesuatu, maka dilihat keadaannya: jika keadaan luka tersebut menghalangi terlihatnya kepala, maka wajib fidyah; karena asy-Syāfi‘ī berkata: “Jika muḥrim membaluri kepalanya dengan ḥinnā’, maka wajib atasnya fidyah.”

Tetapi jika obat tersebut tipis dan tidak menghalangi terlihatnya kepala, maka tidak ada fidyah atasnya; karena asy-Syāfi‘ī berkata: “Jika muḥrim mencuci kepalanya dengan khiṭmī atau sidr, maka tidak ada fidyah atasnya.”


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنِ احْتَاجَ إِلَى تَغْطِيَةِ رَأْسِهِ وَلُبْسِ ثَوْبٍ مَخِيطٍ وَخُفَّيْنِ فَفَعَلَ ذَلِكَ مِنْ شِدَّةِ بردٍ أَوْ حَرٍّ إِنْ فَعَلَ ذَلِكَ كُلَّهُ فِي مَكَانِهِ كَانَتْ عَلَيْهِ فِدْيَةٌ وَاحَدَةٌ وَإِنْ فَرَّقَ ذَلِكَ شَيْئًا بَعْدَ شَيْءٍ كَانَ عَلَيْهِ لِكُلِّ لبسةٍ فديةٍ “.

Masalah
 Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
 “Jika seseorang membutuhkan untuk menutupi kepalanya, mengenakan pakaian berjahit, dan memakai dua khuf, lalu ia melakukannya karena cuaca sangat dingin atau sangat panas—maka jika ia melakukan semuanya sekaligus di satu tempat, maka atasnya satu fidyah saja. Namun, jika ia melakukannya secara terpisah, satu per satu, maka atas setiap pemakaian dikenakan satu fidyah.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي أَنَّ الْمُحْرِمَ مَمْنُوعٌ مِنْ لُبْسِ الثِّيَابِ الْمَخِيطَةِ، وَالْخُفَّيْنِ، وَتَغْطِيَةِ الرَّأْسِ، وَاسْتِعْمَالِ الطِّيبِ، فَإِنْ فَعَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ، فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ، مَعْذُورًا كَانَ أَوْ غَيْرَ مَعْذُورٍ، لَكِنَّهُ إِنْ كَانَ غَيْرَ مَعْذُورٍ فَقَدْ أَقْدَمَ عَلَى مَحْظُورٍ وَهُوَ بِذَلِكَ مَأْثُومٌ، وَإِنْ كَانَ مَعْذُورًا كَانَ مَا فعله مباحاً، ولم يكن يفعله دائماً لقوله تعالى: {مَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ) {الحج: 78) وَعَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ فِي الْحَالَيْنِ، لِإِيجَابِ اللَّهِ تَعَالَى الْفِدْيَةَ عَلَى الْمَرِيضِ، إِذَا حَلَقَ شَعْرَهُ مَعْذُورًا، وَالْجَزَاءَ عَلَى قَاتِلِ الصَّيْدِ وَإِنْ كَانَ فِي قَتْلِهِ مَعْذُورًا وَإِذَا كَانَ هَذَا ثَابِتًا، لَمْ تَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أن يَتَكَرَّرَ مِنْهُ فِعْلُ مَا يُوجِبُ الْفِدْيَةَ، أَوْ لَا يَتَكَرَّرُ، فَإِنْ لَمْ يَتَكَرَّرْ مِنْهُ الْفِعْلُ، فَعَلَيْهِ فِدْيَةٌ وَاحِدَةٌ، وَإِنْ تَكَرَّرَ مِنْهُ الْفِعْلُ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Telah dijelaskan sebelumnya bahwa muḥrim dilarang memakai pakaian yang berjahit, dua khuf, menutupi kepala, dan menggunakan ṭīb. Maka jika ia melakukan salah satu dari hal-hal tersebut, wajib atasnya fidyah—baik ia memiliki uzur ataupun tidak.

Namun jika ia tidak beruzur, berarti ia telah berani melakukan sesuatu yang terlarang, dan ia berdosa karenanya. Adapun jika ia melakukannya karena beruzur, maka perbuatannya itu dibolehkan dan tidak termasuk pelanggaran yang terus-menerus, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Allah tidak menjadikan kesempitan atas kalian dalam agama” (QS. al-Ḥajj: 78).

Dan kafārah tetap wajib atasnya dalam kedua keadaan tersebut, karena Allah Ta‘ālā mewajibkan fidyah atas orang sakit yang mencukur rambutnya dalam keadaan beruzur, serta mewajibkan jazā’ (denda) atas orang yang membunuh hewan buruan meskipun ia memiliki uzur dalam pembunuhan itu.

Apabila hal ini telah ditetapkan, maka tidak lepas dari dua keadaan:
 pertama, ia mengulangi perbuatan yang mewajibkan fidyah;
 kedua, ia tidak mengulanginya.

Jika ia tidak mengulanginya, maka hanya wajib satu fidyah. Namun jika ia mengulanginya, maka terbagi dalam dua bentuk:


أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ فِي جِنْسٍ وَاحِدٍ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فِي أَجْنَاسٍ مُخْتَلِفَةٍ، فَإِنْ كَانَتْ أَجْنَاسًا مُخْتَلِفَةً كَاللِّبَاسِ، وَالطِّيبِ، وَحَلْقِ الشَّعْرِ، وَتَقْلِيمِ الظُّفْرِ، فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ كُلُّهُ إِتْلَافًا، كَأَنَّهُ حَلَقَ شَعْرَهُ، وَقَلَّمَ ظُفْرَهُ، وَقَتَلَ صَيْدًا، فَعَلَيْهِ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ ذَلِكَ فِدْيَةٌ، سَوَاءٌ فَعَلَ ذَلِكَ متوالياً، أو متفرقاً، كفر عن الأول، ولم يكفر.

Pertama: bahwa (pelanggaran-pelanggaran itu) termasuk dalam satu jenis.
 Kedua: bahwa ia terdiri dari berbagai jenis yang berbeda.

Jika pelanggarannya dari berbagai jenis yang berbeda, seperti berpakaian, memakai wewangian, mencukur rambut, dan memotong kuku, maka terdapat tiga keadaan:

Pertama: bahwa semuanya termasuk perbuatan yang bersifat merusak (itlāf), seperti mencukur rambut, memotong kuku, dan membunuh binatang buruan. Maka atas setiap satu dari perbuatan tersebut wajib fidyah, baik dilakukan secara berurutan ataupun terpisah. Jika ia sudah menunaikan kafarat untuk yang pertama, namun belum menunaikannya untuk yang lainnya, maka ia tetap wajib menunaikan kafarat untuk masing-masing yang belum dibayar.

 

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ كُلُّهُ اسْتِمْتَاعًا، كَأَنَّهُ لُبْسٌ، وَتَطَيُّبٌ. فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَمَنْصُوصُهُ، أَنَّ عَلَيْهِ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ ذَلِكَ فِدْيَةً، لِأَنَّهُمَا جِنْسَانِ قَالَ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ: عَلَيْهِ فِدْيَةٌ وَاحِدَةٌ، لذا فَعَلَهُ فِي مَقَامٍ وَاحِدٍ؛ لِأَنَّهُ اسْتِمْتَاعٌ، فَكَانَ جِنْسًا وَاحِدًا، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ مَا كَانَ إِتْلَافًا، فَفِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُ كَفَّارَةٌ، وَإِنْ كَانَ الْإِتْلَافُ جِنْسًا وَاحِدًا، فَكَذَا الِاسْتِمْتَاعُ.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ بَعْضُهُ إِتْلَافًا، وَبَعْضُهُ اسْتِمْتَاعًا كَأَنَّهُ حَلَقَ، وَتَطَيَّبَ، فَعَلَيْهِ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ ذَلِكَ فِدْيَةٌ لَا يَخْتَلِفُ.

Dan bentuk kedua: seluruhnya termasuk bentuk istimtā‘, seperti memakai pakaian dan menggunakan ṭīb. Maka menurut mazhab asy-Syāfi‘ī dan nash beliau, wajib atasnya satu fidyah untuk masing-masing dari keduanya, karena keduanya merupakan dua jenis yang berbeda.

Ibn Abī Hurairah berpendapat: cukup satu fidyah jika dilakukan dalam satu waktu, karena semuanya termasuk istimtā‘ sehingga dianggap satu jenis. Namun pendapat ini keliru; sebab sesuatu yang termasuk itlāf (merusak), maka pada masing-masing perbuatan dikenakan kafārah, sekalipun jenis itlāf-nya sama. Maka demikian pula istimtā‘, masing-masing perbuatan dikenakan fidyah.

Dan bentuk ketiga: sebagian merupakan itlāf dan sebagian lagi istimtā‘, seperti mencukur rambut dan memakai ṭīb, maka wajib atas masing-masing darinya satu fidyah—tanpa ada perbedaan pendapat.


فَصْلٌ
: إِنْ كَانَ مَا تَكَرَّرَ مِنَ الْفِعْلِ، جِنْسًا وَاحِدًا، كَأَنَّهُ لَبِسَ ثُمَّ لَبِسَ، أَوْ تَطَيَّبَ، ثُمَّ تَطَيَّبَ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُتَوَالِيًا فِي مَقَامٍ وَاحِدٍ، كَأَنَّهُ لَبِسَ قَمِيصًا، ثُمَّ سَرَاوِيلَ، ثُمَّ عِمَامَةً، فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ، فَعَلَيْهِ فِدْيَةٌ وَاحِدَةٌ؛ لِأَنَّ الْفِعْلَ إِذَا كَانَ مُتَّصِلًا مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ، كَانَ فِعْلًا وَاحِدًا، وَإِنْ تَكَرَّرَ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ قَالَ: وَاللَّهِ لَا أَكَلْتُ الْيَوْمَ إِلَّا مَرَّةً، فَابْتَدَأَ بِالْأَكْلِ، ثُمَّ اسْتَدْامَهُ إِلَى آخِرِ الْيَوْمِ لَمْ يَحْنَثْ سِوَى قَطْعِ ذَلِكَ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ أَوْ فِي أَوْقَاتٍ شَتَّى؛ لِأَنَّ الْكَفَّارَةَ تَجِبُ بِاللِّبَاسِ، لَا بِالْخَلْعِ.

PASAL
 Jika perbuatan yang diulang itu berasal dari satu jenis, seperti seseorang memakai pakaian lalu memakai lagi, atau memakai ṭīb lalu memakai lagi, maka hal ini terbagi menjadi dua bentuk:

Pertama: dilakukan secara berurutan dalam satu waktu dan tempat, seperti ia memakai qamīṣ, lalu sarāwīl, lalu ‘imāmah dalam satu waktu. Maka dalam hal ini, wajib atasnya satu fidyah saja; karena perbuatan yang dilakukan secara bersambung dari jenis yang sama, meskipun berulang, tetap dianggap satu perbuatan.

Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang berkata: “Demi Allah, aku tidak akan makan hari ini kecuali sekali,” lalu ia mulai makan dan terus makan sampai akhir hari, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah, selama makan itu dilakukan dalam satu waktu tanpa terputus, berbeda jika terputus atau dilakukan dalam waktu yang berbeda-beda.

Karena kafārah diwajibkan karena pemakaian, bukan karena pelepasan pakaian.


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ مُتَفَرِّقًا فِي أَزْمَانٍ شَتَّى، كَأَنَّهُ لَبِسَ قَمِيصًا، ثُمَّ صَبَرَ زَمَانًا طَوِيلًا، أَوْ فِي يَوْمٍ غَيْرِهِ، ثُمَّ لَبِسَ سَرَاوِيلَ، ثُمَّ لَبِسَ بَعْدَهُ بِزَمَانٍ طَوِيلٍ عِمَامَةً، ثُمَّ لَبِسَ بَعْدَ ذَلِكَ خُفَّيْنِ، فَإِنْ لَبِسَ الثَّانِيَ بَعْدَ أَنْ كَفَّرَ عَنِ الْأَوَّلِ، فَعَلَيْهِ كَفَّارَةٌ ثَانِيَةٌ، لَا يَخْتَلِفُ، وَكَذَلِكَ فِي اللُّبْسِ الثَّالِثِ، وَالرَّابِعِ، وَإِنْ لَبِسَ الثَّانِيَ قَبْلَ أَنْ يُكَفِّرَ عَنِ الْأَوَّلِ، ثُمَّ كَذَلِكَ فِي الثَّالِثِ، وَالرَّابِعِ، فَهَلْ عَلَيْهِ فِي جَمِيعِ ذَلِكَ كَفَارَّةٌ وَاحِدَةٌ، أَوْ فِي كُلِّ لُبْسَةٍ مِنْ ذَلِكَ كَفَّارَةٌ عَلَى قَوْلَيْنِ مَنْصُوصَيْنِ:

Jenis kedua: apabila perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan secara terpisah dalam waktu-waktu yang berbeda, seperti seseorang mengenakan qamīṣ, lalu ia diam dalam waktu yang lama, atau di hari lain, kemudian mengenakan sarāwīl, lalu setelah beberapa waktu mengenakan ʿimāmah, kemudian setelah itu mengenakan dua khuf; maka jika ia mengenakan pakaian kedua setelah menunaikan kafārah untuk yang pertama, maka wajib atasnya kafārah kedua tanpa ada perbedaan pendapat, demikian pula untuk pemakaian ketiga dan keempat.

Namun, jika ia mengenakan pakaian kedua sebelum menunaikan kafārah untuk yang pertama, lalu demikian pula untuk ketiga dan keempat, maka apakah atas semua itu cukup satu kafārah saja, ataukah untuk setiap pemakaian wajib satu kafārah—terdapat dua pendapat yang dinyatakan secara manṣūṣ.


أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ: عَلَيْهِ لِكُلِّ ذَلِكَ كَفَارَّةٌ وَاحِدَةٌ؛ لِأَنَّ الْكَفَّارَاتِ كَالْحُدُودِ. لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْحُدُودُ كَفَّارَاتٌ لِأَهْلِهَا “، ثُمَّ يُثْبِتُ أَنَّ الْحُدُودَ تَتَدَاخَلُ، وَإِنْ كَانَ الْفِعْلُ فِي أَوْقَاتٍ، فَكَذَا الكفارة تجب أَنْ تَتَدَاخَلَ، وَإِنْ كَانَ الْفِعْلُ فِي أَوْقَاتٍ وَلِأَنَّهُ جِنْسُ اسْتِمْتَاعٍ، فَوَجَبَ أَنْ يَتَدَاخَلَ كَمَا لَوْ كَانَ مُتَوَالِيًا.

Pertama, yaitu pendapat asy-Syāfi‘ī dalam qaul qadīm: bahwa atas semua perbuatan itu hanya wajib satu kafārah saja. Karena kafārah itu seperti ḥudūd, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Ḥudūd adalah penebus dosa bagi pelakunya.”

Lalu ditegaskan bahwa ḥudūd bisa saling masuk (bertumpuk) satu sama lain meskipun perbuatannya terjadi di waktu yang berbeda-beda. Maka demikian pula kafārah, wajib dianggap saling masuk meskipun dilakukan di waktu berbeda-beda.

Dan karena perbuatan itu merupakan satu jenis istimtā‘, maka wajib disatukan sebagaimana jika dilakukan secara berurutan (tanpa jeda).


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ في الجديد: وأن عَلَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْ ذَلِكَ كَفَّارَةٌ؛ لِأَنَّهَا أَفْعَالٌ، لَوْ كَفَّرَ عَمَّا قَبْلَهَا لَزِمَهُ التَّكْفِيرُ عَنْهَا، فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ التَّكْفِيرُ عَنْهَا، وَإِنْ لَمْ يُكَفِّرْ عَمَّا قَبْلَهَا، كَالْأَجْنَاسِ الْمُخْتَلِفَةِ، وَلِأَنَّهَا أَفْعَالٌ، لَوْ كَانَتْ أَجْنَاسًا لَزِمَهُ التَّكْفِيرُ عَنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهَا، فَوَجَبَ لَمَّا كَانَتْ جِنْسًا وَاحِدًا أَنْ يَلْزَمَهُ التَّكْفِيرُ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهَا كَمَا لَوْ كَفَّرَ عَمَّا قَبْلَهَا.

Dan pendapat kedua—yang dinyatakan oleh asy-Syāfi‘ī dalam qaul jadīd—adalah bahwa atas setiap satu dari perbuatan tersebut wajib satu kafārah.

Sebab, itu adalah perbuatan-perbuatan yang, seandainya ia telah menunaikan kafārah untuk yang sebelumnya, niscaya ia tetap wajib menunaikan kafārah untuk yang setelahnya. Maka wajib pula menunaikan kafārah untuk masing-masing, meskipun ia belum menunaikan kafārah untuk yang sebelumnya, sebagaimana (yang berlaku) pada jenis-jenis pelanggaran yang berbeda.

Dan karena itu semua adalah perbuatan-perbuatan yang, jika berbeda jenisnya, pasti wajib satu kafārah untuk masing-masing, maka ketika itu semua termasuk dalam satu jenis, tetaplah wajib satu kafārah untuk masing-masing sebagaimana jika ia telah menunaikan kafārah untuk sebelumnya.

فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ، فَإِنْ قُلْنَا بِقَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ: إِنَّ عَلَيْهِ لِكُلِّ لُبْسَةٍ فِدْيَةً، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ تَتَّفِقَ أَسْبَابُ اللُّبْسِ، أو تختلف.

وَإِنْ قُلْنَا بِقَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ: إِنَّ عَلَيْهِ لِجَمِيعِ ذَلِكَ فِدْيَةً وَاحِدَةً، فَعَلَى هَذَا. لَا يخلوا حَالُ هَذِهِ الْأَفْعَالِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ تَتَّفِقَ أَسْبَابُهَا، أَوْ تَخْتَلِفَ، فَإِنِ اتَّفَقَتْ أَسْبَابُهَا كَأَنْ لَبِسَ هَذِهِ اللُّبْسَاتِ كُلَّهَا لِأَجْلِ الْبَرْدِ، أَوْ لِأَجْلِ الْحَرِّ، فَتَكُونُ عَلَيْهِ فِدْيَةٌ وَاحِدَةٌ، وَإِنِ اخْتَلَفَتْ أَسْبَابُهَا، فَلَبِسَ قَمِيصًا لِأَجْلِ الْحَرِّ وَعِمَامَةً، لِجِرَاحَةٍ بِرَأْسِهِ، وَخُفَّيْنِ لِأَجْلِ الْحَفَاءِ، فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ فِدْيَةٌ وَاحِدَةٌ لِجَمِيعِهَا كَالْأَسْبَابِ الْمُتَّفِقَةِ.
وَالثَّانِي: عَلَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ فِدْيَةٌ؛ لِأَنَّ اخْتِلَافَ الْأَسْبَابِ كَاخْتِلَافِ الْأَجْنَاسِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

PASAL
 Apabila telah dijelaskan arah dua pendapat tersebut, maka:

Jika kita mengikuti qaul jadīd dari Imam asy-Syāfi‘ī, bahwa atas setiap pemakaian pakaian dikenakan satu fidyah, maka tidak ada perbedaan antara sebab-sebab pemakaian itu sama ataupun berbeda.

Namun jika kita mengikuti qaul qadīm-nya, bahwa atas semua pemakaian itu hanya dikenakan satu fidyah, maka dalam hal ini keadaan perbuatan-perbuatan tersebut tidak lepas dari dua keadaan: bisa jadi sebab-sebabnya sama, atau bisa jadi sebab-sebabnya berbeda.

Apabila sebab-sebabnya sama, seperti semua pakaian itu dikenakan karena dingin, atau karena panas, maka hanya dikenakan satu fidyah.
 Namun, jika sebab-sebabnya berbeda—misalnya ia mengenakan qamīṣ karena panas, ʿimāmah karena luka di kepala, dan dua khuf karena kakinya telanjang (ḥafā’)—maka terdapat dua pendapat:

Pertama: hanya dikenakan satu fidyah untuk semuanya, sebagaimana jika sebab-sebabnya sama.
 Kedua: dikenakan satu fidyah untuk masing-masing, karena perbedaan sebab seperti halnya perbedaan jenis.

Wallāhu a‘lam.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنِ احْتَاجَ إِلَى حَلْقِ رَأْسِهِ فَحَلَقَهُ فَعَلَيْهِ فِدْيَةٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْمُحْرِمُ فَمَمْنُوعٌ مِنْ حلق رأسه لقوله تعالى: {وَلاَ تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ) {البقرة: 196) . فَإِنْ قِيلَ: لما مَنَعَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْمُحْرِمَ مِنْ حَلْقِ رَأْسِهِ؟
قِيلَ لِمَصْلَحَةٍ عَلِمَهَا، وَإِنْ لَمْ يُعْقَلْ مَعْنَاهَا، ويجوز أن يكون ليتذكر بِطُولِ شَعْرِهِ، وَشَعَثِ بَدَنِهِ، مَا هُوَ عَلَيْهِ من إحرامه، فيمنع من الوطئ وَدَوَاعِيهِ.

Masalah
 Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang membutuhkan untuk mencukur kepalanya lalu ia mencukurnya, maka wajib atasnya fidyah.”

Al-Māwardī berkata: Adapun muḥrim, maka ia dilarang mencukur kepalanya, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Dan janganlah kalian mencukur kepala kalian hingga hewan kurban sampai pada tempat penyembelihannya} (al-Baqarah: 196).

Jika ditanyakan: Mengapa Allah Subḥānahū melarang muḥrim mencukur kepalanya?
 Maka dijawab: Karena ada maslahat yang diketahui oleh-Nya, meskipun tidak dapat dipahami maknanya oleh akal. Dan boleh jadi hikmahnya adalah agar ia senantiasa ingat dengan rambutnya yang panjang dan tubuhnya yang kusut terhadap keadaan beriḥrām yang sedang ia jalani, sehingga itu mencegahnya dari jima‘ dan hal-hal yang mengarah kepadanya.


وَقِيلَ: إِنَّمَا نَهَى عَنْ حَلْقِهِ؛ لِأَنَّهُ يَكُونُ مُحْرِمًا بِشَعْرِهِ، وَلِذَلِكَ يَقُولُ عِنْدَ إِحْرَامِهِ أَحْرَمَ لَكَ شَعْرِي، وَبَشَرِي، وَلَحْمِي، وَعَظْمِي، وَدَمِي.
فَإِنْ قِيلَ: مَا الْأَوْلَى لِلرَّجُلِ إِذَا أَرَادَ الْإِحْرَامَ أَنْ يَحْلِقَ شَعْرَهُ أَوْ يُلَبِّدَهُ وَلَا يَمَسَّهُ.
قِيلَ: يَجُوزُ أَنْ يَحْلِقَهُ، وَالْأَوْلَى أَنْ يُلَبِّدَهُ وَلَا يَمَسَّهُ وَيَعْقِصَهُ كَمَا فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي حَجِّهِ، وَإِنْ حَلَقَ قَبْلَ إِحْرَامِهِ، وَلَمْ يُلَبِّدْ، كَانَ لَهُ إِذَا حَلَّ أَنْ يَحْلِقَ أَوْ يُقَصِّرَ، وَإِنْ لَبَّدَهُ وَعَقَصَهُ، فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Dikatakan: Sesungguhnya larangan mencukur rambut itu karena seseorang berada dalam keadaan iḥrām dengan rambutnya. Oleh sebab itu, saat beriḥrām, ia mengucapkan: “Aku beriḥrām untuk-Mu dengan rambutku, kulitku, dagingku, tulangku, dan darahku.”

Jika ditanyakan: manakah yang lebih utama bagi laki-laki ketika hendak beriḥrām—apakah mencukur rambutnya atau membiarkannya tanpa disentuh dan melumurkannya (talbīd)?

Jawabnya: Boleh baginya mencukurnya, namun yang lebih utama adalah ia melumuri (yulabbiduhu), tidak menyentuhnya, dan mengikatnya (yaʿqishuhu) sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam hajinya.

Jika ia mencukur rambutnya sebelum beriḥrām dan tidak melumurkannya, maka ketika selesai beriḥrām, ia boleh mencukur atau memendekkannya. Namun jika ia telah melumuri dan mengikatnya, maka terdapat dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ: عَلَيْهِ أَنْ يَحْلِقَ، وَلَا يُقَصِّرَ، وَذَلِكَ فَائِدَةُ التَّلْبِيدِ، وَالْإِطَالَةِ.
وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ – وَهُوَ الصَّحِيحُ – أَنَّهُ إِنْ شَاءَ حَلَقَ، وَإِنْ شَاءَ قَصَّرَ، لعموم قوله تعالى: {مُحَلِّقِينَ رُؤُوسَكُمْ وَمُقَصِرِينَ) {الفتح: 27) .

Salah satunya: yaitu pendapat beliau dalam qaul qadīm, bahwa wajib mencukur rambut (ḥalq) dan tidak boleh memendekkannya (taqṣīr). Inilah faedah dari perbuatan talbīd dan memanjangkan rambut.

Yang kedua: yaitu pendapat beliau dalam qaul jadīd—dan inilah yang ṣaḥīḥ—bahwa jika ia mau, boleh mencukur; dan jika ia mau, boleh memendekkan rambutnya. Karena keumuman firman Allah Ta‘ālā: {dalam keadaan kamu mencukur rambut kepala kamu dan memendekkannya} (al-Fatḥ: 27).


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنْ لَيْسَ لِلْمُحْرِمِ حَلْقُ رَأْسِهِ، فَإِنْ أَرَادَ حَلْقَهُ لِغَيْرِ عُذْرٍ أَثِمَ، وَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ، وَإِنْ أَرَادَ حَلْقَهُ لِعُذْرٍ، لَمْ يَأْثَمْ، وَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ) {البقرة: 196) وَأَمَّا الْأَذَى، فَهُوَ الْقَمْلُ، وَأَمَّا الْمَرَضُ فَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:

أَحَدُهُمَا: الْبُثُورُ. وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ.

PASAL
 Maka apabila telah tetap bahwa muḥrim tidak boleh mencukur rambut kepalanya, maka jika ia ingin mencukurnya tanpa uzur, ia berdosa dan wajib membayar fidyah. Dan jika ia ingin mencukurnya karena uzur, maka ia tidak berdosa, tetapi tetap wajib membayar fidyah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka siapa di antara kamu sakit atau ada gangguan di kepalanya, maka (wajib atasnya membayar) fidyah” (QS al-Baqarah: 196).

Adapun gangguan (al-adzā), maka itu adalah kutu. Dan adapun penyakit (al-maraḍ), maka padanya terdapat dua tafsiran:
 Pertama: bisul, dan ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbās.


وَالثَّانِي: الصُّدَاعُ. وَهُوَ قَوْلُ عَطَاءٍ، فَأَوْجَبَ الْفِدْيَةَ عَلَى الْمَعْذُورِ، لِيَدُلَّ أَنَّ غَيْرَ الْمَعْذُورِ بِالْفِدْيَةِ أَوْلَى. وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ قَالَ: نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فَيَ ذَلِكَ ” أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَرَّ فِي عَامِ الْحُدَيْبِيَةِ، وَأَنَا أَرْقُدُ تَحْتَ بدنةٍ لِي، وَالْقَمْلُ يَتَهَافَتْ عَلَيَّ، فَقَالَ: يَا كَعْبُ أَيُؤْذِيكَ هَوَامُّ رَأْسِكَ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: احْلِقْ ثُمَّ انْسُكْ نَسِيكَةً، أَوْ أَطْعِمْ ثَلَاثَةَ أصُعٍ سِتَّةً مِنَ الْمَسَاكِينِ، أَوْ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ “. فَكَانَ هَذَا الْحَدِيثُ مُعَاضِدًا لِلْآيَةِ فِي جَوَازِ الْحَلْقِ وَوُجُوبِ الْفِدْيَةِ وَمُفَسِّرًا لِمَا فِيهَا مِنْ إِجْمَالِ الْفِدْيَةِ فَإِنْ حَلَقَ مِرَارًا، كَانَ كَمَا لَوْ لَبِسَ مِرَارًا أَوْ تَطَيَّبَ مِرَارًا فيكون على ما مضى.

Yang kedua: ṣudā‘ (sakit kepala). Ini adalah pendapat ‘Aṭā’, yang mewajibkan fidyah atas orang yang beruzur, sebagai penegasan bahwa orang yang tidak beruzur lebih utama untuk dikenai fidyah.

Diriwayatkan dari ‘Abdurraḥmān bin Abī Lailā dari Ka‘b bin ‘Ujrah, ia berkata: Ayat ini turun berkenaan dengan hal itu. “Rasulullah SAW melewati aku pada tahun Ḥudaibiyyah, sementara aku sedang berbaring di bawah untaku, dan kutu-kutu berjatuhan dari kepalaku. Beliau bersabda: ‘Wahai Ka‘b, apakah serangga di kepalamu menyakitimu?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Maka beliau bersabda: ‘Cukurlah rambutmu, lalu berqurbanlah dengan satu sembelihan, atau berilah makan enam orang miskin sebanyak tiga ṣa‘, atau berpuasalah tiga hari.’”

Hadis ini menguatkan ayat dalam bolehnya mencukur rambut dan wajibnya fidyah, serta menjadi penjelas dari kandungan ayat yang bersifat global dalam hal fidyah.

Maka jika seseorang mencukur rambutnya berkali-kali, hukumnya seperti orang yang memakai pakaian berkali-kali atau memakai ṭīb berkali-kali, yaitu kembali kepada penjelasan yang telah lalu.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ تَطَيَّبَ نَاسِيًا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَإِنْ تطيب عامداً فعليه الفدية والفرق في المتطيب بين الجاهل والعالم أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أمر الأعرابي وقد أحرم وعليه خلوق بنزع الجبة وغسل الصفرة ولم يأمره في الخبر بفديةٍ (قال المزني) في هذا دليل أن ليس عليه فدية إذا لم يكن في الخبر وهكذا روي فِي الْحَدِيثِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في الصائم يقع على امرأته فقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أعتق وافعل ” ولم يذكر أن عليه القضاء وأجمعوا أن عليه القضاء “.

Masalah
 Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang memakai ṭīb karena lupa, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Namun jika ia sengaja memakai ṭīb, maka wajib atasnya fidyah. Perbedaan antara orang yang memakai ṭīb dalam keadaan tidak tahu dan yang tahu adalah bahwa Nabi SAW memerintahkan seorang A‘rābī yang beriḥrām sementara di tubuhnya masih ada khulūq agar melepas jubba-nya dan mencuci bekas warna kuning tersebut, namun dalam hadis tersebut beliau tidak memerintahkannya untuk membayar fidyah.”

Al-Muzanī berkata: Dalam hal ini terdapat dalil bahwa tidak ada fidyah jika memang tidak disebutkan dalam hadis.

Dan seperti itulah pula yang diriwayatkan dalam hadis dari Nabi SAW tentang orang yang berpuasa lalu berjima‘ dengan istrinya, maka Nabi SAW bersabda: “Merdekakan (budak) dan lakukanlah,” namun beliau tidak menyebutkan kewajiban qaḍā’. Padahal telah menjadi ijma‘ bahwa wajib atasnya qaḍā’.


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ إِذَا فَعَلَ الْمُحْرِمُ مَا نُهِيَ عَنْهُ، فَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:
أَحَدُهَا: مَا اسْتَوَى حُكْمُ عَامِدِهِ وَنَاسِيهِ فِي وُجُوبِ الْفِدْيَةِ فِيهِ.
وَالثَّانِي: مَا اخْتَلَفَ حُكْمُ عَامِدِهِ وَنَاسِيهِ.
وَالثَّالِثُ: مَا اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِيهِ.

Berkata al-Māwardī: Dan sebagaimana yang dikatakan, apabila seorang muḥrim melakukan sesuatu yang dilarang baginya, maka hal itu terbagi menjadi tiga macam:

Pertama: Perbuatan yang hukum pelaku sengaja dan pelaku lupa sama dalam hal wajibnya fidyah.

Kedua: Perbuatan yang berbeda hukum antara pelaku sengaja dan pelaku lupa.

Ketiga: Perbuatan yang dalamnya terdapat perbedaan pendapat dari al-Syāfi‘i.


فَأَمَّا الضَّرْبُ الْأَوَّلُ الَّذِي يَسْتَوِي حُكْمُ الْعَامِدِ فِيهِ وَالنَّاسِي: فَهُوَ مَا كَانَ إِتْلَافًا كَحَلْقِ الشَّعْرِ، وَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ، وَقَتْلِ الصَّيْدِ. وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي الَّذِي يَخْتَلِفُ فِيهِ حُكْمُ الْعَامِدِ وَالنَّاسِي: فَهُوَ مَا كَانَ اسْتِمْتَاعًا سِوَى الْوَطْءِ، كَالطِّيبِ، وَاللِّبَاسِ، وَتَغْطِيَةِ الرَّأْسِ. فَإِنْ كَانَ عَامِدًا، فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ، وَإِنْ كَانَ نَاسِيًا فَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ، وَكَذَا لَوْ كَانَ ذَاكِرًا لِلْإِحْرَامِ، جَاهِلًا بِالتَّحْرِيمِ، فَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ.

Adapun jenis pertama yang hukum antara orang yang sengaja dan orang yang lupa itu sama, ialah perbuatan yang bersifat itlāf (merusak), seperti mencukur rambut, memotong kuku, dan membunuh hewan buruan.

Adapun jenis kedua, yaitu yang hukum orang yang sengaja dan orang yang lupa berbeda, adalah perbuatan istimtā‘ selain jima‘, seperti memakai ṭīb, mengenakan pakaian, dan menutupi kepala.

Jika dilakukan dengan sengaja, maka wajib fidyah atasnya. Namun jika dilakukan karena lupa, maka tidak ada fidyah. Demikian pula jika ia ingat bahwa dirinya sedang beriḥrām namun tidak tahu bahwa perbuatan tersebut terlarang, maka tidak ada fidyah atasnya.


وَقَالَ أبو حنيفة، وَمَالِكٌ، وَالْمُزَنِيُّ: النَّاسِي كَالْعَامِدِ، وَالْجَاهِلُ بِالتَّحْرِيمِ كالعالم، في وجوب الفدية عليه، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ اسْتِمْتَاعٌ تَجِبُ الْفِدْيَةُ بِعَمْدِهِ فَوَجَبَ أَنْ تَجِبَ بِسَهْوِهِ كَالْوَطْءِ وَلِأَنَّهُ مَعْنًى يَمْنَعُ مِنَ الْإِحْرَامِ؛ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ حُكْمُ عَمْدِهِ وسهوه، كالحلق، وَالتَّقْلِيمِ؛ وَلِأَنَّ النِّسْيَانَ عُذْرٌ، وَالْعُذْرُ إِنَّمَا يُبِيحُ الْفِعْلَ وَلَا يُسْقِطُ الْفِدْيَةَ، كَالْمَعْذُورِ فِي الطِّيبِ، وَاللِّبَاسِ، إِذَا اضْطُرَّ إِلَيْهِ.

Berkata Abū Ḥanīfah, Mālik, dan al-Muzanī: Orang yang lupa (melanggar larangan ihram) hukumnya seperti orang yang sengaja, dan orang yang tidak tahu keharaman seperti orang yang tahu, dalam hal wajibnya fidyah atasnya.

Dalilnya: karena ia adalah bentuk kenikmatan yang menyebabkan wajibnya fidyah bila dilakukan dengan sengaja, maka wajib pula fidyah bila dilakukan karena lupa, seperti dalam perkara hubungan badan. Dan karena ia adalah suatu hal yang menghalangi dari iḥrām, maka wajib disamakan hukum antara sengaja dan lupanya, seperti mencukur rambut dan memotong kuku. Dan karena lupa itu adalah uzur, dan uzur itu hanya membolehkan perbuatan tetapi tidak menggugurkan fidyah, sebagaimana orang yang beruzur dalam (memakai) wewangian dan pakaian apabila ia terpaksa menggunakannya.


وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ قَوْله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” عُفِيَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ “. وَرَوَى عَطَاءُ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: ” رَأَى رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رجلاً بالجعرانة، وعليه جبة متضمخ بِالْخَلُوقِ، وَهُوَ تَصْفَرُّ لِحْيَتِهِ وَرَأْسُهُ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ: إِنِّي أَحْرَمْتُ بعمرةٍ، وَأَنَا كَمَا تَرَى فَقَالَ: اغْسِلِ الصُّفْرَةَ، وَانْزَعْ عَنْكَ الْجُبَّةَ، وَمَا كُنْتَ صَانِعًا فِي حَجِّكَ، فَاصْنَعْ فِي عُمْرَتِكَ “. فَلَمَّا أَمَرَهُ بِنَزْعِ الْجُبَّةِ، وَغَسْلِ الصُّفْرَةِ، وَسَكَتَ عَنِ الْفِدْيَةِ، دَلَّ عَلَى أَنَّ سُكُوتَهُ عَنْهَا، سُكُوتُ إِسْقَاطٍ، لَا سُكُوتَ اكْتِفَاءٍ؛ لِأَنَّهُ بَيَّنَ لَهُ حُكْمَ فِعْلٍ هُوَ بِهِ جَاهِلٌ.

Dan dalil atas kebenaran pendapat yang kami pegangi adalah sabda Nabi SAW:
 “Diampuni dari umatku kesalahan, kelupaan, dan apa yang mereka dipaksa atasnya.”

Dan ‘Aṭā’ meriwayatkan dari Ṣafwān bin Ya‘là bin Umayyah, dari ayahnya, ia berkata:
 “Rasulullah SAW melihat seorang laki-laki di Ji‘irānah, sedang mengenakan jubba yang dilumuri khulūq, dan jenggot serta kepalanya tampak menguning. Laki-laki itu berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku beriḥrām untuk ‘umrah, dan aku dalam keadaan seperti yang engkau lihat.’ Maka Nabi SAW bersabda: ‘Cucilah warna kuning itu, dan lepaskan jubba-mu. Apa yang biasa engkau lakukan dalam hajimu, lakukan pula dalam ‘umrahmu.’”

Maka ketika Nabi SAW memerintahkannya untuk mencuci warna kuning dan melepas jubba, namun diam dari menyebut fidyah, itu menunjukkan bahwa diam beliau adalah bentuk pengguguran (kewajiban fidyah), bukan bentuk pembiaran atau cukup tanpa menyebutkan. Karena beliau telah menjelaskan hukum suatu perbuatan yang pelakunya dalam keadaan jahil (tidak tahu hukumnya).


فَإِنْ قِيلَ: إِنَّمَا كَانَ هَذَا قَبْلَ تَحْرِيمِ الطِّيبِ، وَاللِّبَاسِ؛ لِأَنَّ الْأَعْرَابِيَّ حِينَ سَأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ وَقَفَ يَنْتَظِرُ الْقَضَاءَ، حَتَّى نَزَلَ عَلَيْهِ الْوَحْيُ، فَدَعَاهُ وَقَالَ لَهُ: اغْسِلِ الصُّفْرَةَ، وَانْزَعِ الجبة.
وقيل: هذا التأويل غير صحيح؛ لأنه النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَهُ بِنَزْعِ الْجُبَّةِ وَغَسْلِ الصُّفْرَةِ، وَفِعْلُ ذَلِكَ غَيْرُ وَاجِبٍ قَبْلَ نُزُولِ التَّحْرِيمِ، عَلَى أَنَّ إِنْكَارَهُ ذَلِكَ مِنْ نَفْسِهِ، وَاخْتِيَارَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَسُؤَالَهُ عَنْ حُكْمِهِ، وَمَا رُوِيَ مِنْ إِسْرَارِ الصحابة به، دليل على تقديم تَحَرُّمِهِ.

Maka jika dikatakan: Sesungguhnya kejadian itu terjadi sebelum haramnya memakai wewangian dan pakaian, karena orang Arab Badui ketika bertanya kepada Nabi SAW tentang hal itu, ia berdiri menunggu keputusan hingga wahyu turun kepada beliau, lalu beliau memanggilnya dan berkata: “Basuhlah warna kuning itu, dan lepaskanlah jubbah-mu.”

Maka dikatakan: Tafsiran ini tidak benar; karena Nabi SAW memerintahkannya untuk melepaskan jubbah dan membasuh warna kuning tersebut, dan melakukan hal itu tidaklah wajib sebelum turunnya larangan. Terlebih lagi bahwa pengingkarannya terhadap hal itu dari dirinya sendiri, pilihan Nabi SAW, pertanyaannya tentang hukumnya, dan riwayat bahwa para sahabat merahasiakan hal tersebut, semua itu merupakan dalil bahwa pengharamannya telah lebih dahulu berlaku.


فَإِنْ قِيلَ: – وَهُوَ سُؤَالُ الْمُزَنِيِّ -: لَيْسَ سكوت النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنِ الْفِدْيَةِ دَلِيَلًا عَلَى أَنَّهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ، كَمَا لَمْ يَكُنْ سُكُوتُهُ عَنْ إِيجَابِ الْقَضَاءِ عَلَى الْوَاطِئِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، دَلِيلًا عَلَى أَنَّ الْقَضَاءَ غَيْرُ وَاجِبٍ.
قِيلَ: لَوْ تَرَكْنَا سكوت النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى إِيجَابِ الْقَضَاءِ عَلَى الْوَاطِئِ دَلَّ عَلَى أَنَّ الْقَضَاءَ غَيْرُ وَاجِبٍ كَالْفِدْيَةِ هَا هُنَا، وَلَكِنْ ثَبَتَ بِالدَّلِيلِ إِيجَابُ الْقَضَاءِ عَلَيْهِ، مِنْ قَوْله تَعَالَى: {فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أيَّامٍ أُخَر) {البقرة: 184) عَلَى أَنَّهُ قَدْ رُوِيَ فِي بَعْضِ الْأَخْبَارِ أَنَّهُ قَالَ لِلْوَاطِئِ: ” وَاقْضِ يَوْمًا مَكَانَهُ “. وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَجِبُ فِي إِفْسَادِهَا الْكَفَّارَةُ، فَوَجَبَ أَنْ يُفَرَّقَ فِيهَا بَيْنَ عَمْدِ الِاسْتِمْتَاعِ، وَسَهْوِهِ، كَالْأَكْلِ، وَالْوَطْءِ فِي رَمَضَانَ، فَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْوَاطِئِ فِي الْحَجِّ نَاسِيًا قُلْنَا: فِيهِ قَوْلَانِ:

Jika dikatakan —dan ini adalah pertanyaan al-Muzanī—:
 “Diamnya Nabi SAW dari kewajiban fidyah bukanlah dalil bahwa fidyah tidak wajib, sebagaimana diam beliau dari menyebut kewajiban qaḍā’ atas orang yang berjima‘ di bulan Ramaḍān bukanlah dalil bahwa qaḍā’ tidak wajib,”

Maka kami menjawab:
 Seandainya tidak ada dalil lain, maka diamnya Nabi SAW dari menyebut kewajiban qaḍā’ atas pelaku jima‘ di siang Ramaḍān menunjukkan bahwa qaḍā’ tidak wajib, sebagaimana halnya fidyah dalam kasus ini (yaitu orang yang memakai ṭīb karena tidak tahu).

Namun telah tetap kewajiban qaḍā’ dengan dalil lain, yaitu firman Allah Ta‘ālā:
 {Barang siapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan, maka hendaklah ia mengganti pada hari-hari yang lain} (al-Baqarah: 184).

Dan juga karena diriwayatkan dalam sebagian hadis bahwa Nabi SAW berkata kepada orang yang berjima‘ di bulan Ramaḍān:
 “Dan gantilah satu hari sebagai pengganti harimu itu.”

Dan karena puasa adalah ibadah yang jika dirusak mewajibkan kafārah, maka harus dibedakan antara istimtā‘ yang dilakukan dengan sengaja dan yang dilakukan karena lupa, seperti halnya makan atau berjima‘ di siang hari Ramaḍān.

Adapun qiyās mereka dengan orang yang berjima‘ saat berhaji karena lupa, maka kami katakan: dalam hal itu ada dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: لَا شَيْءَ عَلَيْهِ فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ سُؤَالُهُمْ.
وَالثَّانِي: عَلَيْهِ الْفِدْيَةُ. فَعَلَى هَذَا الْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْإِتْلَافِ؛ لِأَنَّ وَطْءَ الْمَجْنُونَ، كَوَطْءِ الْعَاقِلِ فِي لُزُومِ الْمَهْرِ، وَالطِّيبُ اسْتِمْتَاعٌ مَحْضٌ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْحَلْقِ وَالتَّقْلِيمِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ: أَنَّهُ إِتْلَافٌ. وَحُكْمُ الْإِتْلَافِ أَغْلَظُ مِنْ حكم الاستمتاع، فاستوى حكم، عَمْدِهِ وَسَهْوِهِ؛ لِغِلَظِ حُكْمِهِ، وَفَرَّقَ بَيْنَ عَمْدِ الاستمتاع وسهوه؛ لحقة حكمه.

Pertama: tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Maka berdasarkan pendapat ini, gugurlah pertanyaan mereka (para sahabat).
 Kedua: wajib atasnya membayar fidyah. Maka menurut makna ini, hukumnya seperti tindakan perusakan (itlāf); karena jima‘ yang dilakukan oleh orang gila sama seperti jima‘ yang dilakukan oleh orang berakal dalam hal wajibnya mahar, dan wewangian adalah bentuk kenikmatan murni (istimtā‘ maḥḍ).

Adapun qiyās mereka terhadap (larangan) mencukur rambut dan memotong kuku, maka maknanya adalah bahwa itu termasuk perusakan (itlāf), dan hukum perusakan itu lebih berat daripada hukum kenikmatan, maka disamakan hukum antara sengaja dan lupa karena beratnya hukum tersebut. Sedangkan antara kenikmatan yang disengaja dan yang dilakukan karena lupa dibedakan hukumnya, karena ringan konsekuensinya.

وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ النَّاسِيَ مَعْذُورٌ، وَالْعُذْرُ لَا يُسْقِطُ الْفِدْيَةَ كَالْمُضْطَرِّ.
قِيلَ: هَذَا غَلَطٌ؛ لِأَنَّ الشَّرْعَ قَدْ فَرَّقَ بَيْنَ عُذْرِ النَّاسِي وَعُذْرِ الْمُضْطَرِّ. أَلَا تَرَى أَنَّ الْآكِلَ فِي الصَّوْمِ ناسياً، معذور ولا قضاء عليه، الآكل فِي الصَّوْمِ مُضْطَرًّا فِي الصَّوْمِ مَعْذُورٌ وَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ.
وَأَمَّا الضَّرْبُ الَّذِي اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِيهِ، فَهُوَ الْوَطْءُ، وَسَيَأْتِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ.

Adapun ucapan mereka: “Sesungguhnya orang yang lupa itu memiliki uzur, dan uzur tidak menggugurkan fidyah, sebagaimana orang yang terpaksa.”

Maka dijawab: Ini adalah kesalahan. Karena syariat telah membedakan antara uzur orang yang lupa dan uzur orang yang terpaksa.

Tidakkah engkau melihat bahwa orang yang makan dalam keadaan lupa saat berpuasa adalah orang yang memiliki uzur, dan tidak ada qaḍā’ atasnya? Sedangkan orang yang makan karena terpaksa saat berpuasa, meskipun beruzur, tetap wajib atasnya qaḍā’.

Adapun jenis perbuatan yang pendapat asy-Syāfi‘ī berbeda padanya adalah jima‘, dan insya Allah akan dijelaskan kemudian.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ النَّاسِيَ فِي الطِّيبِ واللباس لا فدية فيه وَأَنَّ الْعَامِدَ عَلَيْهِ الْفِدْيَةُ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ قَلِيلِ الزَّمَانِ وَكَثِيرِهِ فِي وُجُوبِ الْفِدْيَةِ فِيهِ. وقال أبو حنيفة: اسْتَدَامَ اللِّبَاسَ جَمِيعَ النَّهَارِ فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ وَإِنْ لم يسند به جَمِيعَ النَّهَارِ فَلَا فِدْيَةَ وَقَالَ أبو يوسف إن استدامه إن نِصْفَ النَّهَارِ فَأَكْثَرَ، فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ، وَإِلَّا فَلَا فدية. وهذا خطأ؛ لأن كُلَّمَا وَجَبَتِ الْفِدْيَةُ بِاسْتِدَامَتِهِ فِي النَّهَارِ كُلِّهِ، وَجَبَتِ الْفِدْيَةُ بِوِجُودِهِ فِي بَعْضِهِ كَالطِّيبِ. وَلِأَنَّ مَا حَرَّمَهُ الْإِحْرَامُ مِنَ الْأَفْعَالِ، لَمْ تَتَقَدِرْ فِدْيَتُهُ بِالزَّمَانِ، قِيَاسًا عَلَى سَائِرِ الْمَحْظُورَاتِ، وَلِأَنَّ مَا حُرِّمَ مِنْ جِهَةِ الِاسْتِمْتَاعِ، اسْتَوَى حُكْمُ قَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ، كَالْوَطْءِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَوَى حُكْمُ قَلِيلِ اللِّبَاسِ وَكَثِيرِهِ فِي وُجُوبِ الْفِدْيَةِ فِيهِ، وَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ حُكْمُ كَثِيرِ الزَّمَانِ وَقَلِيلِهِ فِي وُجُوبِ الْفِدْيَةِ فِيهِ، لِأَنَّ كَثِيرَ اللِّبَاسِ فِي الزَّمَانِ الْقَلِيلِ كَقَلِيلِ اللِّبَاسِ فِي الزَّمَانِ الْكَثِيرِ.

PASAL
 Maka apabila telah tetap bahwa orang yang lupa dalam (menggunakan) wewangian dan pakaian tidak wajib membayar fidyah, dan bahwa orang yang sengaja wajib atasnya fidyah, maka tidak ada perbedaan antara waktu yang singkat maupun lama dalam kewajiban fidyah atasnya.

Abū Ḥanīfah berkata: Jika ia terus-menerus memakai pakaian sepanjang siang, maka wajib atasnya fidyah. Namun jika tidak memakainya sepanjang siang, maka tidak ada fidyah.
 Abū Yūsuf berkata: Jika ia memakainya setengah hari atau lebih, maka wajib fidyah; jika tidak, maka tidak ada fidyah.

Dan ini adalah kekeliruan; karena setiap kali wajib fidyah sebab memakainya sepanjang siang, maka wajib pula fidyah karena memakainya pada sebagian siang, sebagaimana pada (penggunaan) wewangian. Dan karena apa yang diharamkan oleh iḥrām dari perbuatan-perbuatan tidak ditentukan fidyah-nya dengan waktu, berdasarkan qiyās atas larangan-larangan yang lain. Dan karena apa yang diharamkan dari sisi kenikmatan, maka hukum sedikit dan banyaknya sama, seperti dalam hal jima‘. Dan karena ketika telah disamakan hukum sedikit dan banyaknya pakaian dalam kewajiban fidyah, maka wajib pula disamakan antara banyak dan sedikitnya waktu dalam kewajiban fidyah, karena banyaknya pakaian dalam waktu yang sedikit itu seperti sedikitnya pakaian dalam waktu yang banyak.


فَصْلٌ
: فَإِذَا لَبِسَ الْمُحْرِمُ، أَوْ تَطَيَّبَ نَاسِيًا، ثُمَّ ذَكَرَ بَادَرَ إِلَى إِزَالَتِهِ عَنْ نَفْسِهِ، فَإِنْ أَزَالَهُ حِينَ ذَكَرَ. فَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يُزِلْهُ فِي الْحَالِ، حَتَّى تَطَاوُلَ الزَّمَانُ، فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يُمْكِنَهُ إِزَالَتُهُ، فَلَا يَفْعَلُ. فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ، لِأَنَّ بَعْدَ الذِّكْرِ كَالْمُبْتَدِئِ. فَإِنْ قِيلَ: أَلَيْسَ لَوْ تَطَيَّبَ قَبْلَ الْإِحْرَامِ، وَاسْتَدَامَهُ فِي حَالِ الْإِحْرَامِ، لَمْ تَلْزَمْهُ الْفِدْيَةُ، فَهَلَّا قُلْتُمْ: إِذَا تَطَيَّبَ نَاسِيًا بَعْدَ الْإِحْرَامِ ثُمَّ اسْتَدَامَهُ فِي حَالِ الْإِحْرَامِ، أن لا فدية عليه.
قلنا: لأن الطيب قَبْلَ الْإِحْرَامِ مُبَاحٌ مَعَ النِّسْيَانِ، فَلِذَلِكَ لَزِمَتْهُ الْفِدْيَةُ مَعَ الِاسْتِدَامَةِ.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يُمْكِنَهُ إِزَالَةُ الطِّيبِ وَاللِّبَاسِ عَنْ نَفْسِهِ، لِزَمَانَةٍ بِهِ، وَلَيْسَ يَجِدُ مَنْ يُزِيلُهُ عَنْهُ، فَلَا فدية عليه، ما كان هكذا؛ لأن أسوأ من الناسي.

PASAL
 Apabila seorang muḥrim memakai pakaian atau menggunakan ṭīb karena lupa, lalu ia ingat, maka ia segera bersegera menghilangkannya dari dirinya. Jika ia menghilangkannya saat ia ingat, maka tidak ada fidyah atasnya.

Namun jika ia tidak langsung menghilangkannya, hingga waktu berlalu lama, maka ada dua keadaan:

Pertama: Ia mampu menghilangkannya, tetapi tidak melakukannya. Maka wajib atasnya fidyah, karena setelah ingat, keadaannya seperti orang yang memulai (perbuatan dari awal).

Jika dikatakan: Bukankah jika seseorang memakai ṭīb sebelum beriḥrām, lalu terus memakainya dalam keadaan beriḥrām, tidak wajib fidyah atasnya? Maka mengapa kalian tidak mengatakan: jika seseorang memakai ṭīb karena lupa setelah beriḥrām, lalu tetap memakainya dalam keadaan beriḥrām, maka tidak ada fidyah atasnya?

Maka kami jawab: Karena ṭīb sebelum beriḥrām itu mubah, sedangkan setelah beriḥrām, meskipun karena lupa, maka ketika terus-menerus memakainya wajib atasnya fidyah.

Kedua: Ia tidak mampu menghilangkan ṭīb atau pakaian dari dirinya karena penyakit atau kelemahan, dan tidak menemukan orang yang dapat menghilangkannya untuknya, maka tidak ada fidyah atasnya selama keadaannya demikian; karena hal ini lebih ringan keadaannya daripada orang yang lupa.


فَصْلٌ
: فَإِذَا أَرَادَ الْمُحْرِمُ إِزَالَةَ مَا عَلَى جَسَدِهِ مِنَ الطِّيبِ، فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يُمْكِنَهُ إِزَالَتُهُ بِغَيْرِ الْمَاءِ مِنَ الْمَائِعَاتِ الطَّاهِرَاتِ، كَالْخَلِّ أَوِ الْيَابِسَاتِ كَالتُّرَابِ، وَالْحَشِيشِ. فَإِنْ كَانَ كَذَلِكَ فَهُوَ مُخَيَّرٌ فِي إِزَالَتِهِ بَيْنَ الْمَاءِ وَغَيْرِهِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِنَجِسٍ، وَإِنَّمَا الْمَقْصُودُ مِنْهُ، إِزَالَةُ رَائِحَتِهِ فَعَلَى أَيِّ وَجْهٍ أَزَالَهُ أَجْزَأَهُ، وَالْأَوْلَى أَنْ يُزِيلَهُ بِالْمَاءِ.

PASAL
 Apabila seorang muḥrim ingin menghilangkan wewangian yang ada di tubuhnya, maka ia memiliki dua keadaan:

Pertama: Ia mampu menghilangkannya tanpa menggunakan air, dengan cairan-cairan yang suci seperti cuka, atau benda-benda kering seperti debu dan rumput. Maka jika keadaannya demikian, ia diberi pilihan untuk menghilangkannya dengan air atau dengan selainnya; karena wewangian itu bukan najis, dan yang dimaksud hanyalah menghilangkan baunya. Maka dengan cara apa pun ia menghilangkannya, itu sudah mencukupi. Namun yang lebih utama adalah menghilangkannya dengan air.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يُمْكِنَ إِزَالَتُهُ إِلَّا بِالْمَاءِ؛ لِتَعَذُّرِ غَيْرِهِ مِمَّا يُمْكِنُ إِزَالَتُهُ بِهِ، فَعَلَيْهِ إِزَالَتُهُ بِالْمَاءِ، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَتَوَلَّى إِزَالَةَ ذلك عنه غيره؛ لأن لا يَمَسَّ الطِّيبَ بِيَدِهِ، فَإِنْ تَوَلَّاهُ بِنَفْسِهِ جَازَ؛ لِأَنَّهُ إِنَّمَا يَمَسُّهُ لِلتَّرْكِ لَا لِلِاسْتِعْمَالِ.

Keadaan kedua: Yaitu ketika tidak memungkinkan menghilangkan ṭīb kecuali dengan air, karena tidak tersedia cara lain yang bisa digunakan untuk menghilangkannya. Maka wajib atasnya menghilangkannya dengan air.

Dan disunnahkan agar orang lain yang menghilangkannya darinya, agar ia tidak menyentuh ṭīb dengan tangannya.

Namun jika ia menghilangkannya sendiri, maka hal itu diperbolehkan; karena ia menyentuh ṭīb untuk menghilangkannya, bukan untuk menggunakannya.


فَصْلٌ
: فَلَوْ وَجَدَ مِنَ الْمَاءِ مَا يَكْفِيهِ لِإِزَالَةِ الطِّيبِ عَنْ جَسَدِهِ، أَوِ الْوُضُوءِ مِنْ حَدَثِهِ، قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ نَصًّا: أَزَالَ بِهِ الطِّيبَ، وَتَيَمَّمَ لِلْحَدَثِ، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ؛ لِأَنَّ لِلْوُضُوءِ بِالْمَاءِ بَدَلًا يُرْجَعُ إِلَيْهِ عِنْدَ عَدَمِهِ وَهُوَ التَّيَمُّمُ، وَلَيْسَ لِإِزَالَةِ الطِّيبِ بَدَلٌ. فَعَلَى هَذَا يُسْتَحَبُّ أَنْ يَبْدَأَ بِاسْتِعْمَالِ الْمَاءِ فِي إِزَالَةِ الطِّيبِ، ثُمَّ يَتَيَمَّمُ، لِيَكُونَ تَيَمُّمُهُ بَعْدَ عَدَمِ الْمَاءِ. فَإِنْ قَدَّمَ التَّيَمُّمَ قَبْلَ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ فِي إِزَالَةِ الطِّيبِ جَازَ؛ لِأَنَّ مَا مَعَهُ مِنَ الْمَاءِ لَا يَلْزَمُهُ اسْتِعْمَالُهُ فِي حدثه، فَجَازَ أَنْ يَتَيَمَّمَ مَعَ وُجُودِهِ، كَالَّذِي مَعَهُ الماء وهو محتاج إلى شربه.

PASAL
 Maka jika ia mendapatkan air yang cukup untuk menghilangkan ṭīb dari tubuhnya atau untuk berwudu dari hadatsnya, al-Syafi‘i berkata secara naṣṣ dalam al-Umm: ia menghilangkan ṭīb dengan air tersebut, lalu bertayammum untuk hadatsnya. Hal itu karena wudu dengan air memiliki pengganti yang bisa dijadikan rujukan ketika tidak ada air, yaitu tayammum, sedangkan menghilangkan ṭīb tidak memiliki pengganti. Maka berdasarkan hal ini, disunahkan memulai dengan menggunakan air untuk menghilangkan ṭīb, lalu bertayammum, agar tayammumnya dilakukan setelah tidak ada air. Namun jika ia mendahulukan tayammum sebelum menggunakan air untuk menghilangkan ṭīb, maka itu dibolehkan, karena air yang ada padanya tidak wajib digunakan untuk menghilangkan hadatsnya, sehingga boleh baginya bertayammum meskipun air ada, seperti orang yang memiliki air tetapi membutuhkannya untuk minum.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَا شَمَّ مِنْ نَبَاتِ الْأَرْضِ مِمَّا لَا يُتَّخَذُ طِيبًا، أَوْ أَكَلَ تُفَّاحًا، أَوْ أُتْرُجًّا، أَوْ دَهَنَ جَسَدَهُ بِغَيْرِ طِيبٍ فَلَا فِدْيَةَ عليه “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ النَّبَاتِ الذَّكِيِّ ثَلَاثَةُ أَضْرُبٍ:
أَحَدُهَا: مَا كَانَ طِيبًا وَيُتَّخَذُ بَعْدَ يُبْسِهِ طِيبًا، مِثْلَ الزَّعْفَرَانِ، وَالْوَرْسِ، وَالْكَافُورِ، وَالْعُودِ، وَالْوَرْدِ، وَالْيَاسَمِينِ، وَالنَّرْجِسِ، وَالْخَيْرِيِّ، وَالزَّنْبَقِ، وَالْكَاذِيِّ، فَهَذَا كُلُّ طِيبٍ مَتَى اسْتَعْمَلَهُ الْمُحْرِمُ بِشَمٍّ، أَوْ غَيْرِهِ فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ.

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Apa yang dicium dari tumbuhan bumi yang tidak dijadikan sebagai ṭīb, atau memakan apel, atau utrujj, atau mengolesi tubuhnya dengan selain ṭīb, maka tidak ada fidyah atasnya.”

Al-Māwardī berkata: Seluruh tumbuhan yang harum terbagi menjadi tiga jenis:
 Pertama: apa yang merupakan ṭīb dan dijadikan sebagai ṭīb setelah kering, seperti za‘farān, wars, kāfūr, ‘ūd, ward, yāsamīn, narjis, khairiyy, zanbaq, dan kādī, maka semua ini adalah ṭīb, kapan pun dipakai oleh orang yang beriḥrām, baik dengan mencium atau cara lain, maka atasnya fidyah.


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا لَيْسَ بِطِيبٍ، وَلَا يُتَّخَذُ طِيبًا وَإِنْ كَانَ طَيِّبَ الرِّيحِ وَهُوَ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ:
أَحَدُهَا: مَا يُعَدُّ مَأْكُولًا كَالتُّفَّاحِ، وَالنَّارِنْجِ، وَاللَّيْمُونِ، وَالْمَصْطَلْكِيِّ، والدَّارَصِينِيِّ، وَالزَّنْجَبِيلِ.
وَالنَّوْعُ الثَّانِي: مَا كَانَ يُعَدُّ مَعْلُومًا أَوْ حَطَبًا، مِثْلَ الشِّيحِ، وَالْقَيْصُومِ وَالْإِذْخِرِ.
وَالنَّوْعُ الثَّالِثُ: مَا يُعَدُّ لِزَهْرَتِهِ وَحُسْنِ مَنْظَرِهِ، لَا لِرَائِحَتِهِ كَالْبَهَارِ، والأدريون وَالْخَزَّامِيِّ، وَالشَّقَائِقِ، وَالْمَنْثُورِ سِوَى الْخِيرِيِّ، وَكَذَلِكَ وَرْدُ الْأُتْرُجِّ، وَالنَّارِنْجِ، وَالتُّفَّاحِ، وَالْمِشْمِشِ، هَذَا كُلُّهُ وَمَا فِي مَعْنَاهُ لَيْسَ بِطِيبٍ، فَإِنْ شَمَّهُ أَوْ أَكَلَهُ أَوْ دقَّهُ وَلَطَّخَ بِهِ جَسَدَهُ فَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِطِيبٍ.

Dan jenis kedua: sesuatu yang bukan ṭīb dan tidak dijadikan ṭīb, meskipun harum baunya, dan itu terbagi menjadi tiga macam:

Pertama: yang dianggap sebagai makanan, seperti apel, nārinj, lemon, maṣṭakī, dārṣīnī, dan jahe.

Kedua: yang dianggap sebagai tanaman obat atau kayu bakar, seperti syīḥ, qayṣūm, dan iżkhir.

Ketiga: yang digunakan karena bunganya dan keindahan tampilannya, bukan karena baunya, seperti bahār, adrīwān, khazzāmī, syaqā’iq, dan manṡūr selain khayrī, demikian juga bunga utruj, nārinj, apel, dan aprikot. Semua ini dan yang semakna dengannya bukan termasuk ṭīb, maka jika ia mencium baunya, memakannya, menumbuknya, atau mengoleskannya ke tubuhnya, tidak ada fidyah atasnya karena itu bukan ṭīb.


وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: مَا كَانَ طِيبًا. لَكِنْ لَا يُتَّخَذُ بَعْدَ يبسه طيباً، مثل الريحان، والمرزنجوش، والشاهين، وَالْحَمَاحِمِ، فَهَذَا كُلُّهُ يُتَّخَذُ لِلشَّمِّ، لَكِنْ لَا يتخذ بعد يبسه طيباً، ولا يريد بِهِ دَهْنٌ فَفِيهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لِلْمُحْرِمِ اسْتِعْمَالُهُ وَلَا فِدْيَةَ فِيهِ، وَهُوَ قَوْلُهُ فِي بَعْضِ الْقَدِيمِ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُثْمَانُ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، لِمَا رُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سُئِلَ عَنِ الْمُحْرِمِ يَدْخُلُ الْبُسْتَانَ، وَيَشُمُّ الرَّيْحَانَ فَأَجَازَ ذَلِكَ “. قَالَ الشَّافِعِيُّ: إِلَّا أَنَّ فِي إِسْنَادِهِ ضَعْفًا. وَلِأَنَّهُ نَبْتٌ لَا يُتَّخَذُ طِيبًا، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَفْتَدِيَ لِأَجْلِهِ الْمُحْرِمُ، كَالشِّيحِ، وَالْقَيْصُومِ.

Dan jenis ketiga: apa yang merupakan ṭīb, tetapi tidak dijadikan sebagai ṭīb setelah kering, seperti raihān, marzanjūsy, syāhīn, dan ḥamāḥim, maka semua ini digunakan untuk dicium, tetapi tidak dijadikan sebagai ṭīb setelah kering, dan tidak dimaksudkan sebagai minyak oles. Maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: boleh bagi orang yang beriḥrām menggunakannya dan tidak ada fidyah atasnya, dan ini adalah pendapatnya dalam sebagian pendapat lama, dan dikatakan pula oleh sebagian sahabat, yaitu ‘Utsmān dan ‘Abdullāh bin ‘Abbās RA, berdasarkan riwayat dari ‘Utsmān bin ‘Affān bahwa Nabi SAW pernah ditanya tentang orang yang beriḥrām masuk kebun dan mencium raihān, lalu beliau membolehkannya.”

Al-Syāfi‘ī berkata: “Akan tetapi dalam sanadnya terdapat kelemahan.” Dan karena ia adalah tumbuhan yang tidak dijadikan sebagai ṭīb, maka wajiblah bahwa orang yang beriḥrām tidak dikenakan fidyah karenanya, sebagaimana syīḥ dan qaiṣūm.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْإِمْلَاءِ وَالْأُمِّ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلْمُحْرِمِ اسْتِعْمَالُهُ وَعَلَيْهِ الفدية وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ جَابِرٌ وَابْنُ عُمَرَ؛ لِأَنَّهُ نَبْتٌ يُشَمُّ طِيبًا، فَوَجَبَ أَنْ يَفْتَدِيَ لِأَجْلِهِ الْمُحْرِمُ، كَالْوَرْدِ.

Dan pendapat kedua: dinyatakan oleh al-Syafi‘i dalam al-Imlā’ dan al-Umm bahwa tidak boleh bagi muhrim menggunakan hal tersebut dan wajib atasnya fidyah. Pendapat ini juga dikatakan oleh para sahabat, yaitu Jābir dan Ibnu ‘Umar; karena itu adalah tumbuhan yang dicium sebagai ṭīb, maka wajib atas muhrim membayar fidyah karenanya, sebagaimana bunga mawar.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْبَنَفْسَجُ. فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ: لَيْسَ بِطِيبٍ، وَإِنَّمَا يريب لِلْمَنْفَعَةِ لَا لِلطِّيبِ. فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: إِنَّهُ لَيْسَ بِطِيبٍ عَلَى ظَاهِرِ نَصِّهِ؛ لِأَنَّهُ يُسْتَعْمَلُ لِلْمَنْفَعَةِ وَالتَّدَاوِي.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ طِيبٌ كَالْوَرْدِ؛ لِأَنَّ لَهُ دَهْنًا طَيِّبًا، وتأولوا قول الشافعي على تأويلات:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى الْبَنَفْسَجِ الْمُرَبَّى إِذَا ذَهَبَتْ رَائِحَتُهُ.

PASAL:
 Adapun banafsaj (bunga violet), maka al-Syafi‘i berkata dalam al-Umm: “Ia bukan ṭīb, dan sesungguhnya digunakan untuk kemanfaatan, bukan untuk ṭīb.” Maka para sahabat kami berbeda pendapat mengenainya dalam tiga wajah:

Pertama: bahwa ia bukan ṭīb berdasarkan zahir nash-nya; karena digunakan untuk kemanfaatan dan pengobatan.
 Kedua: bahwa ia adalah ṭīb seperti ward; karena ia memiliki minyak yang harum, dan mereka menakwilkan perkataan al-Syafi‘i dengan beberapa takwilan:
 Pertama dari takwilan itu: bahwa maksudnya adalah banafsaj yang diawetkan ketika baunya telah hilang.


وَالثَّانِي: مَحْمُولٌ عَلَى الْبَنَفْسَجِ الْبَرِّيِّ.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ كَالرَّيْحَانِ فَيَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ، فَأَمَّا النَّيْلَوْفَرُ فَهُوَ كَالْبَنَفْسَجِ؛ لِأَنَّهُ فِي مَعَنَاهُ فَأَمَّا الْحُلَيْحَتِينُ الْمُرَبَّى بِالْوَرْدِ، فَإِنَّهُ يُنْظَرُ فَإِنْ كَانَتْ رَائِحَةُ الْوَرْدِ ظَاهِرَةً فِيهِ، مُنِعَ مِنْهُ الْمُحْرِمُ، وَلَزِمَتْهُ الْفِدْيَةُ فِيهِ، وَإِنْ كَانَتْ رَائِحَتُهُ مُسْتَهْلَكَةً فِيهِ، لَمْ يُمْنَعْ وَلَا فِدْيَةَ فِيهِ.

Dan yang kedua: ditakwilkan pada banafsaj liar.
 Dan pendapat ketiga: ia seperti raihān, maka terdapat dua pendapat padanya. Adapun naylūfar maka hukumnya seperti banafsaj, karena ia sejenis dengannya. Adapun ḥulayḥatayn yang diramu dengan mawar, maka diperinci: jika aroma mawarnya tampak jelas padanya, maka muhrim dilarang menggunakannya dan wajib atasnya fidyah. Namun jika aromanya telah hilang dan tidak tampak lagi, maka tidak dilarang dan tidak ada fidyah atasnya.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ دَهَنَ رَأْسَهُ أَوْ لِحْيَتَهُ بِدُهْنٍ غَيْرِ طيبٍ فعليه الفدية لأنه موضع الدهن وترجيل الشعر (قال المزني) ويدهن المحرم الشجاج في مواضع ليس فيها شعر من الرأس ولا فدية (قال المزني) والقياس عندي أنه يجوز له الزيت بكل حالٍ يدهن به المحرم الشعر بغير طيب ولو كان فيه طيب ما أكله “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: الدُّهْنُ ضَرْبَانِ: طِيبٌ، وَغَيْرُ طِيبٍ، فأما الطيب فالأدهان المريبة، بِكُلِّ طِيبٍ مُنِعَ مِنْهُ الْمُحْرِمُ، كَدُهْنِ الْوَرْدِ، وَالزَّنْبَقِ، وَالْبَانِ، وَالْخَيْرِيِّ.

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika seseorang mengolesi kepala atau jenggotnya dengan minyak yang bukan ṭīb, maka atasnya fidyah, karena itu adalah tempat peminyakan dan merapikan rambut.”
 (Al-Muzanī berkata): “Dan orang yang beriḥrām boleh mengolesi luka di bagian kepala yang tidak tumbuh rambut, dan tidak ada fidyah.”
 (Al-Muzanī berkata): “Dan qiyās menurutku adalah bahwa boleh baginya memakai minyak zaitun dalam segala keadaan untuk mengolesi rambut, selama tidak bercampur ṭīb, dan jika bercampur ṭīb yang biasa dimakan, maka tidak mengapa.”

Al-Māwardī berkata: Minyak ada dua jenis: ṭīb dan bukan ṭīb.
 Adapun ṭīb adalah segala minyak yang dicampur dengan ṭīb yang dilarang atas orang yang beriḥrām, seperti minyak ward, zanbaq, bān, dan khairiyy.


وَأَمَّا الَّذِي لَيْسَ بِطِيبٍ كالزيت، والشيرج، والسمن، والزبد والخروع، والآسي. فَأَمَّا دُهْنُ الْبَنَفْسَجِ، وَالرَّيْحَانِ، فَهُوَ عَلَى اخْتِلَافِ الْمَذْهَبِ فِي مَنْعِ الْمُحْرِمِ مِنْهُ.
فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ طِيبٌ يُمْنَعُ مِنْهُ الْمُحْرِمُ، كَانَ دُهْنُهُ كَذَلِكَ.
وَإِنْ قُلْنَا: لَيْسَ بِطِيبٍ، لَا يُمْنَعُ مِنْهُ الْمُحْرِمُ، كَانَ دُهْنُهُ كَذَلِكَ، فَأَمَّا دُهْنُ الْأُتْرُجِّ: فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:

Adapun sesuatu yang bukan ṭīb seperti minyak zaitun, syīrīj, samin, mentega, minyak jarak, dan āsī, maka tidak termasuk ṭīb. Adapun minyak banafsaj dan raihān, maka hukumnya mengikuti perbedaan pendapat dalam mazhab tentang larangan muhrim dari keduanya.

Jika kita mengatakan bahwa itu adalah ṭīb yang dilarang atas muhrim, maka minyaknya pun demikian.
 Dan jika kita mengatakan bahwa itu bukan ṭīb yang tidak dilarang atas muhrim, maka minyaknya pun demikian.
 Adapun minyak utruj, maka di kalangan para sahabat kami terdapat dua pendapat:


أَحَدُهُمَا: لَيْسَ بِطِيبٍ؛ لِأَنَّ الْأُتْرُجَّ لَيْسَ بِطِيبٍ، وَلَا الْمُحْرِمُ مَمْنُوعٌ مِنْهُ، وَإِنَّمَا هُوَ مَأْكُولٌ.

وَالثَّانِي: هُوَ طِيبٌ، وَإِنْ كَانَ أَصْلُهُ مَأْكُولًا؛ لأن قشره يرتابه كالدهن، كَالْوَرْدِ.

Pertama: bukan ṭīb, karena utruj bukan ṭīb dan muhrim tidak dilarang darinya, sebab ia hanyalah makanan.
 Kedua: ia adalah ṭīb, meskipun asalnya makanan, karena kulitnya memiliki aroma yang digunakan seperti minyak, sebagaimana bunga mawar.


فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا. فَالْمُحْرِمُ مَمْنُوعٌ مِنَ اسْتِعْمَالِ الدُّهْنِ الطِّيبِ فِي شَعْرِهِ وَجَسَدِهِ، فَإِنِ اسْتَعْمَلَ شَيْئًا مِنْهُ فِي شَعْرِهِ، أَوْ جَسَدِهِ، فَالْفِدْيَةُ عَلَيْهِ وَاجِبَةٌ؛ لِأَنَّهُ مُتَطَيِّبٌ، وَأَمَّا الدُّهْنُ غَيْرُ الطِّيبِ. فَإِنْ رَجَّلَ بِهِ شَعْرَهُ، أَوْ لِحْيَتَهُ، جَازَ وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ. وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ، مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَنَّهُ نَهَى الْمُحْرِمَ عَنْ تَرْجِيلِ شَعْرِهِ “. وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” المحرم أَشْعَثُ أَغْبَرُ “. وَالتَّرْجِيلُ مَا مَنَعَ مِنْ ذَلِكَ.
وَقَالَ مَالِكٌ، وأبو حنيفة: إِنِ اسْتَعْمَلَ الدُّهْنَ فِي جَسَدِهِ، لَمْ يَجُزْ، وَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ رِوَايَةُ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ ” أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أدهن بزيتٍ غير مطيب وهو محرم “.

PASAL:
 Apabila hal ini telah ditetapkan, maka orang yang beriḥrām dilarang menggunakan minyak yang ṭīb pada rambut dan tubuhnya. Jika ia menggunakannya pada rambut atau tubuhnya, maka fidyah wajib atasnya, karena ia telah memakai ṭīb.

Adapun minyak yang bukan ṭīb, jika ia merapikan rambut atau jenggotnya dengannya, maka itu diperbolehkan dan tidak ada fidyah atasnya. Dalil atas hal ini adalah riwayat dari Nabi SAW: “Sesungguhnya beliau melarang orang yang beriḥrām dari merapikan rambutnya.” Dan beliau SAW bersabda: “Orang yang beriḥrām itu kusut dan berdebu.” Larangan terhadap tarjīl (merapikan rambut) menunjukkan hal tersebut.

Mālik dan Abū Ḥanīfah berkata: Jika seseorang menggunakan minyak pada tubuhnya, maka itu tidak diperbolehkan dan fidyah wajib atasnya.
 Dalil atas kebolehan penggunaan minyak yang tidak ṭīb adalah riwayat Sa‘īd bin Jubair dari Ibn ‘Umar: “Bahwa Rasulullah SAW memakai minyak zaitun yang tidak diberi ṭīb, sementara beliau sedang beriḥrām.”


وقال أبو عبيد: غير مطيب أَيْ: غَيْرُ مُطَيَّبٍ فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَلَا بَأْسَ أَنْ يَسْتَعْمِلَ الْمُحْرِمُ الدُّهْنَ، إِذَا لَمْ يَكُنْ طِيبًا، فِي جَسَدِهِ دُونَ شَعْرِ رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ، فَلَوْ دَهَنَ رَأَسَهُ وَكَانَ مَحْلُوقَ الشَّعْرِ، لَمْ يَجُزْ، وَلَزِمَتْهُ الْفِدْيَةُ؛ لِأَنَّ فِي تَدْهِينِ رَأْسِهِ وَإِنْ كَانَ مَحْلُوقًا تَحْسِينَ الشَّعْرِ إِذَا ثَبَتَ فَصَارَ مُرَجَّلًا لَهُ، وَلَكِنْ لَوْ كَانَ أَصْلَعَ الرَّأْسِ، جَازَ أَنْ يَدْهُنَهُ، وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ، كَمَا يَجُوزُ لِلْأَمْرَدِ أَنْ يَدْهُنَ بَشَرَةَ وَجْهِهِ الَّتِي لَا شَعْرَ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ مُرَجَّلًا وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ فِي رَأْسِهِ شِجَاجٌ قَدْ ذَهَبَ الشَّعْرُ عَنْ مَوْضِعِهَا، جَازَ أَنْ يَسْتَعْمِلَ فِيهَا دُهْنًا، إِذَا لَمْ يَكُنْ طِيبًا، وَلَا يَفْتَدِي.

Abū ‘Ubaid berkata: Ghair muṭayyab maksudnya adalah: yang tidak diberi ṭīb.

Maka apabila hal ini telah ditetapkan, tidak mengapa orang yang beriḥrām menggunakan minyak, jika tidak mengandung ṭīb, pada tubuhnya selain rambut kepala dan jenggotnya.

Jika ia mengoleskan minyak pada kepalanya padahal rambutnya telah dicukur, maka tidak diperbolehkan dan ia wajib membayar fidyah; karena mengolesi kepala, meskipun telah dicukur, tetap termasuk bentuk memperindah rambut, sehingga dihukumi seperti murajjāl.

Namun, jika ia botak (tidak memiliki rambut sama sekali), maka boleh mengolesi kepalanya dan tidak ada fidyah atasnya, sebagaimana orang yang amrad (tidak tumbuh rambut di wajahnya) boleh mengolesi kulit wajahnya yang tidak ditumbuhi rambut; karena itu tidak dianggap sebagai tarjīl.

Demikian pula jika pada kepalanya terdapat luka yang menyebabkan rambut di bagian itu rontok, maka boleh mengoleskan minyak padanya selama tidak mengandung ṭīb, dan ia tidak dikenai fidyah.


فَصْلٌ
: إِذَا طَلَى الْمُحْرِمُ شَعْرَ رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ بِاللَّبَنِ، جَازَ، وَلَا فِدْيَةَ عليه، وَإِنْ كَانَ السَّمْنُ مُسْتَخْرَجًا مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بدهن، ولا يحصل به ترجيل الشعر، الشَّحْمَ وَالشَّمْعَ إِذَا أُذِيبَا كَالدُّهْنِ، يُمْنَعُ الْمُحْرِمُ من ترجيل الشعر بهما.

PASAL
 Jika muhrim mengoleskan rambut kepala dan jenggotnya dengan susu, maka itu dibolehkan dan tidak ada fidyah atasnya, meskipun samin diekstrak darinya; karena susu bukan minyak dan tidak menyebabkan rambut tertata rapi. Adapun lemak dan lilin jika dilelehkan, maka hukumnya seperti minyak—muhrim dilarang merapikan rambut dengannya.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَا أَكَلَ مِنْ خبيصٍ فِيهِ زَعْفَرَانٌ، فَصَبَغَ اللِّسَانَ، فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ وَإِنْ كَانَ مُسْتَهْلَكًا، فَلَا فِدْيَةَ فِيهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. إِذَا أَكَلَ الْمُحْرِمُ خَبِيصًا، أَوْ غَيْرَهُ مِنَ الْحَلْوَاءِ وَالطَّبِيخِ، وَفِيهِ زَعْفَرَانٌ، أَوْ غَيْرُهُ مِنَ الطِّيبِ، فَإِنْ لَمْ يَظْهَرْ فِيهِ طَعْمُهُ وَلَا لَوْنُهُ وَلَا رَائِحَتُهُ فَلَا فِدْيَةَ فِيهِ لِأَنَّ الطِّيبَ مُسْتَهْلَكٌ فِيهِ وَإِنْ ظَهَرَ بِأَحَدِ أَوْصَافِهِ، نَظَرْتَ، فَإِنْ ظَهَرَتْ فِيهِ رَائِحَةٌ، فَفِيهِ الْفِدْيَةُ؛ لِأَنَّ رَائِحَةَ الطِّيبِ هِيَ الْمَقْصُودَةُ، وَإِنْ ظَهَرَ فِيهِ طَعْمٌ فَفِيهِ الْفِدْيَةُ أَيْضًا؛ لِأَنَّ طَعْمَهُ فِي الْمَأْكُولِ مَقْصُودٌ، وَإِنْ ظَهَرَ فِيهِ لَوْنُهُ لَا غَيْرَ. فَنَصَّ الشَّافِعِيُّ هَا هُنَا، وَفِي مُخْتَصَرِ الْحَجِّ، أَنَّ فِيهِ الْفِدْيَةَ. فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ، وَأَبُو الطَّيِّبِ بْنُ سَلَمَةَ، يُخَرِّجَانِ الْمَسْأَلَةَ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Barang siapa memakan khabīṣ yang di dalamnya terdapat za‘farān, lalu mewarnai lidahnya, maka wajib atasnya fidyah. Tetapi jika za‘farān-nya sudah mustahlak, maka tidak ada fidyah atasnya.”

Al-Māwardī berkata: Ini benar. Jika seorang muḥrim memakan khabīṣ, atau selainnya dari jenis manisan dan masakan, yang mengandung za‘farān atau selainnya dari jenis wewangian, maka jika tidak tampak padanya rasa, warna, atau baunya, maka tidak ada fidyah, karena wewangiannya telah mustahlak (hilang pengaruhnya). Namun, jika muncul salah satu dari sifat-sifat tersebut, maka diperhatikan:
 Jika yang muncul adalah baunya, maka wajib fidyah, karena bau dari wewangian adalah hal yang dituju (utama). Jika yang muncul adalah rasanya, maka juga wajib fidyah, karena rasa dalam makanan adalah hal yang dituju.
 Jika yang muncul hanyalah warnanya saja, maka Imam al-Syafi‘i telah menegaskan di sini dan dalam Mukhtaṣar al-Ḥajj, bahwa wajib fidyah.

Para sahabat kami berbeda pendapat, dan Abū al-‘Abbās Ibn Surayj serta Abū al-Ṭayyib Ibn Salamah mengeluarkan masalah ini pada dua pendapat:


أَحَدُهُمَا: فِيهِ الْفِدْيَةُ؛ لِأَنَّ لَوْنَ الزَّعْفَرَانِ مَقْصُودٌ كَطَعْمِهِ، وَلِأَنَّ بَقَاءَ لَوْنِهِ دَلِيلٌ عَلَى بَقَاءِ رَائِحَتِهِ، وَإِنْ خفي.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا فِدْيَةَ فِيهِ، وَهُوَ الصَّحِيحُ. وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ جَابِرٌ، وَابْنُ عُمَرَ، وَمِنَ التَّابِعِينَ عَطَاءٌ، وَطَاوُسٌ، وَمُجَاهِدٌ؛ لِأَنَّ رَائِحَةَ الطِّيبِ مَقْصُودَةٌ دُونَ لَوْنِهِ، أَلَا تَرَى أَنَّ الْعُصْفُرَ أَشْهَرُ لَوْنًا مِنْهُ وَلَا فِدْيَةَ فِيهِ، وَلِأَنَّ رَائِحَةَ الطِّيبِ لَوْ زَالَتْ مِنَ الثَّوْبِ، وَبَقِيَ لَوْنُهُ لَمْ تَجِبْ فِيهِ الْفِدْيَةُ، فَكَذَلِكَ الطَّعَامُ الْمَأْكُولُ، إِذَا بَقِيَ فِيهِ لَوْنُ الطِّيبِ لَمْ تَجِبِ الْفِدْيَةُ، وَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ يَمْنَعُ مِنْ تَخْرِيجِهَا عَلَى قَوْلَيْنِ، وَيَحْمِلُ اخْتِلَافَ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ، فَالْمَوْضِعُ الَّذِي أَوْجَبَ الْفِدْيَةَ، إِذَا بَقِيَ مَعَ لَوْنِ الطِّيبِ، إِمَّا رِيحُهُ، أَوْ طَعْمُهُ، وَالْمَوْضِعُ الَّذِي أَسْقَطَ الْفِدْيَةَ إِذَا لَمْ يَبْقَ غَيْرُ لَوْنِهِ، وَسَوَاءٌ مَا مَسَّهُ النَّارُ أَوْ غَيْرُهُ.

Pertama: wajib fidyah, karena warna za‘farān itu dimaksudkan sebagaimana rasanya, dan karena tetapnya warna menunjukkan tetapnya aroma meskipun samar.

Pendapat kedua: tidak ada fidyah, dan inilah yang ṣaḥīḥ. Pendapat ini juga dikatakan oleh para sahabat seperti Jābir dan Ibnu ‘Umar, serta para tābi‘īn seperti ‘Aṭā’, Ṭāwūs, dan Mujāhid; karena yang dimaksud dari ṭīb adalah aromanya, bukan warnanya. Tidakkah engkau melihat bahwa ‘uṣfur lebih kuat warnanya dari za‘farān namun tidak dikenakan fidyah? Dan karena aroma ṭīb jika telah hilang dari pakaian, dan yang tersisa hanya warnanya, maka tidak wajib fidyah atasnya, demikian pula makanan yang dimakan, jika tersisa padanya warna ṭīb, tidak wajib fidyah.

Abū Isḥāq al-Marwazī melarang menjadikannya dua pendapat, dan menganggap perbedaan pendapat al-Syāfi‘ī berasal dari perbedaan dua keadaan: tempat yang mewajibkan fidyah adalah ketika masih tersisa bersama warna ṭīb itu aromanya atau rasanya, sedangkan tempat yang menggugurkan fidyah adalah ketika tidak tersisa selain warnanya saja, baik terkena api ataupun tidak.


فَصْلٌ
: إِذَا أَكَلَ الْمُحْرِمُ طِيبًا، افْتَدَى، إِلَّا أَنْ يَكُونَ عوداً فلا يفتدي بأكله؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ مُتَطَيِّبًا بِهِ، إِلَّا أَنْ يتخير بِهِ وَمَا سِوَاهُ مِنَ الطِّيبِ يَكُونُ مُتَطَيِّبًا به بملاقاة بشره وكذلك لو استعاط الطِّيبَ، أَوِ احْتَقَنَ بِهِ، أَوِ اقْتَصَرَ عَلَى شَمِّهِ، افْتَدَى.

PASAL
 Jika muhrim memakan ṭīb, maka ia wajib membayar fidyah, kecuali jika yang dimakan adalah kayu ‘ūd, maka tidak wajib fidyah karena tidak dianggap memakai ṭīb dengannya, kecuali jika ia menjadikannya pilihan untuk bertabarruk. Adapun selainnya dari jenis ṭīb, maka jika menyentuh kulitnya, ia telah dianggap memakai ṭīb. Demikian pula jika ia menghirup ṭīb melalui hidung, atau memasukannya melalui dubur, atau hanya sekadar mencium aromanya, maka ia wajib membayar fidyah.


وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَفْتَدِي بِشَمِّ الطِّيبِ، حَتَّى يَسْتَعْمِلَ فِي جَسَدِهِ، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الِاقْتِصَارَ عَلَى شَمِّ الرَّائِحَةِ لَا يُوجِبُ الْفِدْيَةَ، كَمَا لَوْ شَمَّهَا مِنَ الْعَطَّارِينَ.
وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ الِاسْتِمْتَاعَ بِالطِّيبِ، يَكُونُ تَارَةً بِالشَّمِّ، وتارة بالاستعمال في البشرة ثم شمه فَكَانَ بِالْفِدْيَةِ أَوْلَى، وَلَيْسَ شَمُّهَا مِنْ غَيْرِهِ اسْتِمْتَاعًا كَامِلًا، وَلَا يُسَمَّى بِهِ مُتَطَيِّبًا فَافْتَرَقَا.

Abu Ḥanīfah berkata: tidak wajib fidyah hanya karena mencium ṭīb, kecuali jika digunakan pada tubuh, dengan dalil bahwa sekadar mencium aroma tidak mewajibkan fidyah, seperti jika seseorang menciumnya dari para penjual parfum.

Adapun dalil kami: bahwa menikmati ṭīb terkadang dengan cara menciumnya, dan terkadang dengan menggunakannya pada kulit lalu mencium aromanya, maka yang terakhir ini lebih layak dikenai fidyah. Adapun mencium aroma tanpa selain itu bukanlah bentuk kenikmatan yang sempurna dan tidak disebut sebagai orang yang memakai ṭīb, maka keduanya berbeda.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالْعُصْفُرُ لَيْسَ مِنَ الطِّيبِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: الْعُصْفُرُ لَيْسَ مِنَ الطِّيبِ، وَلَا في حكم الطيب، وإن ليس الْمُحْرِمُ أَوِ الْمُحْرِمَةُ ثَوْبًا مُعَصْفَرًا جَازَ، وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِمَا.
وَقَالَ أبو حنيفة: الْعُصْفُرُ لَيْسَ مِنَ الطِّيبِ، وَلَكِنَّ حُكْمَهُ حُكْمُ الطِّيبِ، فَلَا يَجُوزُ لِلْمُحْرِمِ وَلَا الْمُحْرِمَةِ لُبْسُ الْمُعَصْفَرِ، سَوَاءٌ كَانَ يُنْفَضُ أَوْ لَمْ يُنْفَضْ، فَإِنْ لَبِسَ الْمُحْرِمُ أَوِ الْمُحْرِمَةُ مُعَصْفَرًا، فَإِنْ كَانَ يُنْفَضُ فَعَلَيْهِمَا الْفِدْيَةُ، وَإِنْ كَانَ لَا يُنْفَضُ، فَلَا فدية عليهما، استدلالاً بأن المعصفر لَوْنًا وَرَائِحَةً، كَالزَّعْفَرَانِ.

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “‘Uṣfur bukan termasuk ṭīb (wewangian).”

Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan. ‘Uṣfur bukan termasuk ṭīb, dan tidak pula dalam hukum ṭīb. Maka jika seorang muḥrim laki-laki atau perempuan memakai pakaian yang diwarnai dengan ‘uṣfur, maka itu diperbolehkan, dan tidak ada fidyah atas keduanya.

Adapun Abū Ḥanīfah berkata: ‘Uṣfur memang bukan dari jenis ṭīb, tetapi hukumnya seperti ṭīb. Maka tidak diperbolehkan bagi muḥrim laki-laki maupun perempuan untuk memakai pakaian yang berwarna mu‘aṣfar, baik yang bisa dikibaskan maupun tidak. Jika seorang muḥrim memakai pakaian mu‘aṣfar, maka bila warnanya bisa dikibaskan (lepas), wajib atas keduanya fidyah; tetapi jika tidak bisa dikibaskan, maka tidak ada fidyah atas keduanya. Ia berdalil bahwa pakaian mu‘aṣfar dalam hal warna dan bau serupa dengan za‘farān.


وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةٍ مَا ذكرنا: رِوَايَةُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نهى النساء في إحرامهم عن القفازين النقاب، وَيَلْبَسْنَ مَا شِئْنَ مِنْ أَلْوَانِ الثِّيَابِ مِنْ معصفرٍ وَخَزٍّ وَحُلِيٍّ وَرَوَى أَبُو جَعْفَرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ: ” أَبْصَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ ثَوْبَيْنِ مُضَرَّجَيْنِ وَهُوَ مُحْرِمٌ. فَقَالَ: ” مَا هَذِهِ الثِّيَابُ؟ فَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: مَا إِخَالُ أَحَدًا يُعَلِّمُنَا السُّنَّةَ فَسَكَتَ عُمَرُ “. وَرُوِيَ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ: مَاذَا تَلْبَسُ الْمُحْرِمَةُ مِنَ الثِّيَابِ؟ قَالَتْ عَائِشَةُ: كَلُبْسِ مُعَصْفَرِهَا، وَحَرِيرِهَا، وَحُلِيِّهَا “. فَعَلِيٌّ إِنَّمَا أَشَارَ إِلَى سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وعائشة إنما أَقَرَّتْ بِمَا شَاهَدَتْ مِنْ إِقْرَارِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -. وَلِأَنَّهُ مَصْنُوعٌ بِمَا لَا يُتَّخَذُ طِيبًا، فَوَجَبَ أَنْ لَا يُمْنَعَ مِنْهُ الْمُحْرِمُ، كَالْمَصْنُوعِ بِالْحُمْرَةِ وَالصُّفْرَةِ، وَلِأَنَّهُ مُعَصْفَرٌ، فَوَجَبَ أَلَا يُلْزَمَ بِلُبْسِهِ الفدية، قياساً على ما لا ينقص وأما جمعهم بين المعصفر والمزعفر، فغيره صَحِيحٌ؛ لِأَنَّ الزَّعْفَرَانَ طِيبٌ فِي الْغَالِبِ، وَالْعُصْفُرَ لَيْسَ بِطِيبٍ.

Dan dalil atas benarnya apa yang kami sebutkan adalah riwayat Muḥammad bin Abī Isḥāq dari Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi SAW melarang para wanita dalam keadaan ihram memakai sarung tangan dan cadar, namun mereka boleh mengenakan pakaian berwarna apa pun yang mereka kehendaki dari mu‘aṣfar, khazz, dan perhiasan.

Dan Abū Ja‘far meriwayatkan dari Muḥammad bin ‘Alī bahwa ia berkata: “Umar bin al-Khaṭṭāb RA melihat pada ‘Abdullāh bin Ja‘far dua pakaian berwarna merah tua sedangkan ia sedang berihram. Maka Umar berkata: ‘Apa ini pakaian?’ Lalu ‘Alī bin Abī Ṭālib berkata: ‘Aku kira tidak ada seorang pun yang akan mengajari kami sunnah.’ Maka Umar pun diam.”

Dan diriwayatkan dari al-Qāsim bin Muḥammad bahwa ia bertanya kepada ‘Ā’isyah: “Apa yang boleh dipakai wanita yang sedang ihram dari pakaian?” ‘Ā’isyah menjawab: “Seperti pakaian mu‘aṣfar-nya, sutranya, dan perhiasannya.”

Maka ‘Alī hanya menunjuk kepada Sunnah Rasulullah SAW, dan ‘Ā’isyah hanya menetapkan berdasarkan apa yang ia saksikan dari persetujuan Rasulullah SAW. Dan karena pakaian itu dibuat dari bahan yang tidak dijadikan ṭīb, maka tidak boleh dilarang bagi muḥrim, sebagaimana pakaian yang dibuat dengan pewarna merah atau kuning, dan karena ia adalah mu‘aṣfar, maka tidak wajib membayar fidyah karena memakainya, dengan qiyās terhadap sesuatu yang tidak mengurangi manāsik.

Adapun penggabungan mereka antara mu‘aṣfar dan muz‘affar, maka itu tidak tepat, karena za‘farān adalah ṭīb pada umumnya, sedangkan ‘uṣfur bukan ṭīb.


فَصْلٌ
: وَهَكَذَا إِذَا اخْتَضَبَ الْمُحْرِمُ، والمحرمة بالحناء، لم يفتد واحد منهما وَقَالَ أبو حنيفة: عَلَيْهِمَا الْفِدْيَةُ. اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ مُسْتَلَذُّ الرَّائِحَةِ، فَأَشْبَهَ الْوَرْسَ. وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ عِكْرِمَةَ أَنَّ عَائِشَةَ وَأَزْوَاجَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كُنَّ يَخْتَضِبْنَ بِالْحِنَّاءِ، وَهُنَّ حُرُمٌ. وَهَذَا نَصٌّ لأنهن لا بفعلته إِلَّا عَنْ تَوْقِيفٍ، وَلِأَنَّ مَقْصُودَهُ اللَّوْنُ دُونَ الرَّائِحَةِ، فَأَشْبَهَ سَائِرَ الْأَلْوَانِ. وَاسْتِدْلَالُ أبي حنيفة بِاسْتِلْذَاذِ رَائِحَتِهِ، مُنْتَقَضٌ بِالتُّفَّاحِ وَالْأُتْرُجِّ.

PASAL:
 Demikian pula, apabila seorang muḥrim, baik laki-laki maupun perempuan, memakai ḥinā’, maka tidak wajib atas keduanya fidyah.

Abū Ḥanīfah berkata: Wajib atas keduanya fidyah, dengan alasan bahwa ḥinā’ memiliki aroma yang menyenangkan, maka ia serupa dengan wars.

Dalil kami adalah riwayat dari ‘Ikrimah bahwa ‘Āisyah dan istri-istri Nabi SAW biasa memakai ḥinā’ saat mereka dalam keadaan iḥrām. Ini adalah naṣṣ, karena mereka tidak melakukan sesuatu kecuali berdasarkan tuntunan, dan karena yang dimaksud dari ḥinā’ adalah warnanya, bukan baunya, maka ia serupa dengan warna-warna lainnya.

Adapun dalil Abū Ḥanīfah yang berdasar pada keharuman aromanya, tertolak oleh (contoh) buah tuffāḥ (apel) dan utrujj (jeruk), yang juga harum tetapi tidak termasuk ṭīb.


مَسْأَلَةٌ
: قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ مَسَّ طِيبًا يَابِسًا لَا يَبْقَى لَهُ أَثَرٌ، وَإِنْ بَقِيَ لَهُ ريحٌ، فَلَا فِدْيَةَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا مَسَّ الْمُحْرِمُ طِيبًا يَابِسًا بِيَدِهِ عَامِدًا فَإِنْ لَمْ يَبْقَ لَهُ أَثَرٌ، وَلَا رَائِحَةٌ، فَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ، وَإِنْ بَقِيَ لَهُ أَثَرٌ وَرَائِحَةٌ، فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ وَكَذَلِكَ لَوْ بَقِيَ أَثَرُهُ دُونَ رَائِحَةٍ فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ. فَأَمَّا إِذَا بَقِيَتْ رَائِحَتُهُ دُونَ أَثَرِهِ، فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ هَا هُنَا: لَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ. وَنَقْلَهُ الْمُزَنِيُّ مِنْ كِتَابِ الْأَوْسَطِ.

MASALAH
 Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika muḥrim menyentuh ṭīb yang kering dan tidak tersisa bekasnya, meskipun masih tersisa aromanya, maka tidak ada fidyah.”

Al-Māwardī berkata: Dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ. Jika muḥrim menyentuh ṭīb kering dengan tangannya secara sengaja, lalu tidak tersisa bekas dan tidak juga aromanya, maka tidak ada fidyah atasnya. Namun jika tersisa bekas dan aroma, maka wajib atasnya fidyah. Demikian pula jika tersisa bekasnya saja tanpa aromanya, maka wajib atasnya fidyah. Adapun jika hanya tersisa aromanya tanpa bekas, maka al-Syāfi‘ī berkata dalam bagian ini: tidak ada fidyah atasnya. Dan ini dinukil oleh al-Muzanī dalam Kitāb al-Awsaṭ.


وَقَالَ فِي الْأُمِّ: فَإِنْ مَسَّ طِيبًا يَابِسًا لَا يَبْقَى لَهُ أَثَرٌ فِي يَدِهِ، وَلَا رَائِحَةٌ، كرهة وَلَمْ أَرَ عَلَيْهِ الْفِدْيَةَ. فَظَاهِرُ ذَلِكَ: أَنَّهُ إِذَا بَقِيَتِ الرَّائِحَةُ، فَفِيهِ الْفِدْيَةُ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا. فَكَانَ أَكْثَرُهُمْ يُخَرِّجُونَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ الْفِدْيَةُ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ الرَّائِحَةُ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الرَّائِحَةَ عَنْ مُجَاوَرَةٍ، وَكَانَ بَعْضُهُمْ يَقُولُ: لَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ فِي الرَّائِحَةِ قَوْلًا وَاحِدًا عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ، لِأَنَّ مَا قاله في الأم محتمل.

Dan Imam al-Syafi‘i berkata dalam al-Umm: “Jika ia menyentuh ṭīb yang kering, yang tidak meninggalkan bekas pada tangannya dan tidak pula baunya, maka aku membencinya, namun aku tidak melihat adanya kewajiban fidyah atasnya.”

Zahir dari pernyataan tersebut menunjukkan bahwa jika baunya masih tersisa, maka wajib fidyah.

Para sahabat kami berbeda pendapat:
 Mayoritas mereka mengeluarkan masalah ini pada dua pendapat:
 Pertama: Wajib fidyah atasnya, karena yang menjadi tujuan dari ṭīb adalah baunya.
 Kedua: Tidak ada fidyah atasnya, karena bau tersebut hanya berasal dari pergaulan (mujāwarah), bukan pemakaian langsung.

Sebagian mereka berkata: Tidak ada fidyah atasnya karena baunya, menurut satu pendapat saja, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam al-Syafi‘i dalam bagian ini, sebab apa yang beliau ucapkan dalam al-Umm masih mengandung kemungkinan (ta’wil).


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَهُ أَنْ يَجْلِسَ عِنْدَ الْعَطَّارِ، وَيَشْتَرِيَ الطِّيبَ مَا لَمْ يَمَسَّهُ بِشَيْءٍ مِنْ جَسَدِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. لَا بَأْسَ أَنْ يَجْلِسَ الْمُحْرِمُ عِنْدَ الْعَطَّارِ، أَوْ يَشْتَرِيَ الطِّيبَ وَيَبِيعَهُ، لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنَ اسْتِعْمَالِهِ، وَلَيْسَ بِمَمْنُوعٍ مِنْ تَمَلُّكِهِ، فَلَوْ وَصَلَتْ رَائِحَةُ الطِّيبِ إِلَى أنفه لم يفتد، ما لم يسمه شَيْءٌ مِنْ جَسَدِهِ، لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ مُتَطَيِّبًا.

Masalah
 Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Dan boleh baginya duduk di dekat penjual parfum, dan membeli ṭīb selama tidak menyentuhnya dengan bagian tubuhnya.”

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan. Tidak mengapa bagi muḥrim duduk di dekat penjual parfum, atau membeli dan menjual ṭīb, karena ia dilarang menggunakannya, namun tidak dilarang memilikinya. Maka jika aroma ṭīb sampai ke hidungnya, ia tidak wajib membayar fidyah, selama tidak menyentuhnya dengan bagian tubuhnya, karena hal itu tidak disebut sebagai memakai ṭīb.

فصل
: ولو شد المحرم طيباً فِي خِرْقَةٍ، فَأَمْسَكَهُ بِيَدِهِ، لَمْ يَفْتَدِ، وَلَوْ شَمَّهُ فِي الْخِرْقَةِ. كَانَ فِي وُجُوبِ الْفِدْيَةِ عليه وجهان:

أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ الْفِدْيَةُ، لِاسْتِمْتَاعِهِ بِرَائِحَتِهِ، وَإِنَّ عَادَةَ كَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ جَارِيَةٌ بِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ لَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهَا رَائِحَةٌ مُجَاوِرَةٌ مِنْ غَيْرِ مُبَاشَرَةٍ، فَصَارَ كشم الرائحة من دكان العطار.

PASAL:
 Jika seorang muḥrim mengikatkan ṭīb (wewangian) dalam sehelai kain, lalu memegangnya dengan tangannya, maka ia tidak wajib membayar fidyah.

Dan jika ia mencium bau ṭīb itu dari dalam kain, maka dalam kewajiban fidyah atasnya terdapat dua pendapat:
 Pertama: Wajib fidyah, karena ia menikmati baunya, dan hal ini merupakan kebiasaan banyak orang.
 Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh Imam al-Syafi‘i: Tidak ada fidyah atasnya, karena bau tersebut berasal dari kedekatan (mujāwarah) tanpa sentuhan langsung (mubāsharah), sehingga serupa dengan mencium bau dari toko penjual minyak wangi.


فصل
: قال الشافعي: إذا وطأ الطيب بقدمه فعلق بها، فعليه الفدية؛ لأنها صار مستعملاً للطيب في بدنه. فلو وطأ الطِّيبَ بِنَعْلِهِ عَامِدًا، حَتَّى عَلِقَ بِهَا، فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ أَيْضًا.
فَإِنْ قِيلَ: إِذَا عَلِقَ الطِّيبُ بِنَعْلِهِ صَارَ حَامِلًا لِلطِّيبِ، وَالْمُحْرِمُ إِذَا حَمَلَ الطِّيبَ لَمْ يَفْتَدِ.

PASAL
 Al-Syāfi‘ī berkata: Jika seseorang menginjak ṭīb dengan telapak kakinya lalu menempel padanya, maka wajib atasnya fidyah, karena itu berarti ia telah menggunakan ṭīb pada badannya. Maka jika ia menginjak ṭīb dengan sandalnya secara sengaja hingga menempel padanya, maka wajib pula atasnya fidyah.

Jika dikatakan: “Jika ṭīb menempel pada sandalnya, berarti ia hanya membawanya, padahal seorang muḥrim jika membawa ṭīb tidak wajib membayar fidyah?”


قِيلِ: إِنَّمَا لَزِمَتْهُ الْفِدْيَةُ، إِذَا عَلِقَ الطِّيبُ بِنَعْلِهِ لِأَنَّهُ لَابِسٌ لَهَا، فَإِذَا عَلِقَ بِهَا الطِّيبُ، صَارَ لَابِسًا لِمُطَيَّبٍ، فَلَزِمَهُ الْفِدْيَةُ، كَمَا لَوْ لَبِسَ قَمِيصًا مُطَيَّبًا، وَإِذَا كَانَ حَامِلًا لِلطِّيبِ، لَمْ يَكُنْ لَابِسًا لطيب فلم يفتد.

Dikatakan: Sesungguhnya fidyah itu wajib atasnya apabila ṭīb (wewangian) melekat pada sandalnya, karena ia termasuk mengenakannya (lābisun), maka apabila ṭīb itu melekat padanya, ia menjadi seperti orang yang mengenakan sesuatu yang diberi ṭīb, sehingga wajib atasnya fidyah—sebagaimana jika ia mengenakan qamīṣ yang diberi ṭīb.

Namun apabila ia hanya membawa ṭīb, maka ia tidak termasuk orang yang mengenakan ṭīb, sehingga tidak wajib fidyah atasnya.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَجْلِسُ عِنْدَ الْكَعْبَةِ وَهِيَ تُجْمَرُ وَإِنْ مَسَّهَا وَلَا يَعْلَمُ أَنَّهَا رَطْبَةٌ فَعَلِقَ بِيَدِهِ طِيبٌ غَسَلَهُ فَإِنْ تَعَمَّدَ ذَلِكَ افْتَدَى “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَمَّا جُلُوسُهُ عِنْدَ الْكَعْبَةِ وَهِيَ تُجْمَرُ فَمُبَاحٌ، كَجُلُوسِهِ عِنْدَ الْعَطَّارِ، وَحُضُورِهِ بَيْعَ الطِّيبِ، فَأَمَّا إِذَا مَسَّ خَلُوقَ الْكَعْبَةِ؛ وَكَانَ رَطْبًا، أَوْ مَسَّ طِيبًا، رَطْبًا فَعَلِقَ بِيَدِهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Masalah
 Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Boleh duduk di dekat Ka‘bah ketika sedang dibakar dukhān (dibakar wewangian), dan jika ia menyentuhnya tanpa mengetahui bahwa wewangian itu masih basah lalu ṭīb menempel di tangannya, maka ia mencucinya. Namun jika ia melakukannya dengan sengaja, maka wajib membayar fidyah.”

Al-Māwardī berkata: Adapun duduknya di dekat Ka‘bah saat sedang dibakar dukhān, maka itu dibolehkan, sebagaimana duduk di dekat penjual parfum dan menghadiri transaksi jual beli ṭīb. Adapun jika ia menyentuh khulūq Ka‘bah dan ternyata basah, atau menyentuh ṭīb yang masih basah sehingga menempel di tangannya, maka terdapat dua keadaan:


أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ نَاسِيًا لِإِحْرَامِهِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، سَوَاءٌ عَلِمَ أَنَّ الطِّيبَ رَطْبٌ أَوْ لا؛ لأن المتطيب ناسياً لَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ، وَيُبَادِرُ إِلَى إِزَالَةِ الطِّيبِ مِنْ يَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَتِمَّ لَهُ مَعَ قُدْرَتِهِ عَلَى إِزَالَتِهِ، افْتَدَى حِينَئِذٍ لِاسْتِدَامَتِهِ لَا لِمَسِّهِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عَالِمًا فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ الطِّيبَ رَطْبٌ فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ لِأَنَّهُ قَاصِدٌ إِلَى اسْتِعْمَالِ الطِّيبِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَظُنَّ أَنَّ الطِّيبَ يَابِسٌ، فَفِي وجوب الفدية عَلَيْهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ: عَلَيْهِ الْفِدْيَةُ لِأَنَّهُ قَاصِدٌ إِلَيْهِ، وَتَارِكٌ لِلتَّحَرُّزِ بِمَا هُوَ قَادِرٌ عَلَيْهِ.

Pertama: Jika seseorang lupa bahwa dirinya sedang dalam keadaan iḥrām, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya, baik ia mengetahui bahwa ṭīb tersebut basah maupun tidak; karena orang yang memakai ṭīb dalam keadaan lupa tidak wajib membayar fidyah. Namun, ia harus segera menghilangkan ṭīb dari tangannya. Jika ia tidak menyempurnakannya (penghilangan ṭīb) padahal mampu untuk melakukannya, maka saat itu ia wajib membayar fidyah karena melanjutkan pemakaian, bukan karena menyentuhnya.

Jenis kedua: Jika ia mengetahui (bahwa dirinya sedang muḥrim), maka ia memiliki dua keadaan:

Pertama: Ia tahu bahwa ṭīb tersebut basah, maka wajib atasnya fidyah karena ia sengaja menggunakan ṭīb.

Kedua: Ia mengira bahwa ṭīb tersebut kering, maka dalam hal kewajiban fidyah atasnya terdapat dua pendapat:

Salah satunya, dan ini adalah pendapat beliau dalam qaul qadīm: Wajib atasnya fidyah, karena ia sengaja menggunakannya dan meninggalkan kehati-hatian yang sebenarnya mampu ia lakukan.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ – وَهُوَ الصَّحِيحُ – لَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَقْصِدْ إِلَى مَا تَجِبُ فِيهِ الْفِدْيَةُ، وَلَا إِلَى مَا لَا يَجُوزُ لَهُ لِأَنَّ مَسَّ الطِّيبِ الْيَابِسِ جَائِزٌ لَهُ فَصَارَ كَالنَّاسِي والله أعلم.

Dan pendapat kedua—yaitu pendapatnya dalam qaul jadīd dan inilah yang ṣaḥīḥ—tidak ada fidyah atasnya; karena ia tidak bermaksud kepada sesuatu yang mewajibkan fidyah, dan tidak pula kepada sesuatu yang diharamkan baginya, sebab menyentuh ṭīb yang kering adalah dibolehkan baginya, maka keadaannya seperti orang yang lupa. Wallāhu a‘lam.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ حَلَقَ وَتَطَيَّبَ عَامِدًا، فَعَلَيْهِ فِدْيَتَانِ “.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْحِلَاقَ إِتْلَافٌ، يَسْتَوِي حُكْمُ الْعَامِدِ وَالنَّاسِي فِي إِيجَابِ الْفِدْيَةِ فِيهِ، وَالطِّيبُ، اسْتِمْتَاعٌ، يَخْتَلِفُ حُكْمُ الْعَامِدِ وَالنَّاسِي فِي إِيجَابِ الْفِدْيَةِ فِيهِ، فَإِذَا حَلَقَ الْمُحْرِمُ وَتَطَيَّبَ فَلَهُ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang bercukur dan memakai ṭīb dengan sengaja, maka wajib atasnya dua fidyah.”

Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa ḥalaq (mencukur rambut) adalah bentuk itlāf (merusak atau menghilangkan sesuatu), maka hukum orang yang sengaja maupun yang lupa dalam hal ini sama, yaitu wajib fidyah. Adapun ṭīb adalah bentuk istimtā‘ (kenikmatan), maka hukum orang yang sengaja dan yang lupa berbeda dalam kewajiban fidyahnya.

Maka, jika seorang muḥrim mencukur rambut dan memakai ṭīb, maka terdapat empat keadaan:


أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ عَامِدًا، فِيهِمَا جَمِيعًا، فَعَلَيْهِ فِدْيَتَانِ؛ لِأَنَّهُمَا جِنْسَانِ لَا يَتَدَخَّلَانِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ نَاسِيًا، فِيهِمَا جَمِيعًا، فَعَلَيْهِ فِدْيَةٌ وَاحِدَةٌ فِي الْحَلْقِ، دُونَ التَّطَيُّبِ.
الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ عَامِدًا فِي الطِّيبِ، نَاسِيًا فِي الْحَلْقِ، فَعَلَيْهِ فِدْيَتَانِ؛ لِأَنَّ عَمْدَهُ فِي الطِّيبِ، يُوجِبُ الْفِدْيَةَ، وَنِسْيَانُهُ فِي الْحَلْقِ لَا يُسْقِطُ الْفِدْيَةَ.
وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ عَامِدًا فِي الْحَلْقِ، نَاسِيًا فِي الطِّيبِ، فَعَلَيْهِ فِدْيَةٌ واحدة؛ لأن نسيانه في الطيب يسقط للفدية.

Pertama: jika ia sengaja dalam keduanya, maka wajib atasnya dua fidyah; karena keduanya adalah dua jenis yang berbeda dan tidak saling masuk satu sama lain.

Kedua: jika ia lupa dalam keduanya, maka wajib atasnya satu fidyah hanya karena mencukur, tidak karena memakai ṭīb.

Ketiga: jika ia sengaja memakai ṭīb dan lupa dalam mencukur, maka wajib atasnya dua fidyah; karena kesengajaan dalam ṭīb mewajibkan fidyah, dan kelupaan dalam mencukur tidak menggugurkan fidyah.

Keempat: jika ia sengaja mencukur dan lupa dalam memakai ṭīb, maka wajib atasnya satu fidyah saja; karena lupa dalam ṭīb menggugurkan kewajiban fidyah.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ حَلَقَ شَعْرَةً فَعَلَيْهِ مُدٌّ وَإِنْ حَلَقَ شَعْرَتَيْنِ فَمُدَّانِ وَإِنْ حَلَقَ ثَلَاثَ شَعَرَاتٍ فَدَمٌ وَإِنْ كَانَتْ مُتَفَرِّقَةً فَفِي كُلِّ شعرةٍ مُدٌّ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي أَنَّ الْمُحْرِمَ مَمْنُوعٌ مِنْ حَلْقِ رَأْسِهِ إِجْمَاعًا. فَإِنْ حَلَقَ جَمِيعَ رَأْسِهِ، فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ بِنَصِّ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَإِنْ حَلَقَ بَعْضَ رَأْسِهِ، فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ، فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي قَدْرِ مَا يُوجِبُ الْفِدْيَةَ، وَيَقَعُ بِهِ التَّحَلُّلُ، وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الدَّمَ يَجِبُ فِي حَلْقِ ثَلَاثِ شَعَرَاتٍ فَصَاعِدًا، وبه يقع التَّحَلُّلُ.
Masalah:
 Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang mencukur satu helai rambut, maka wajib baginya satu mudd. Jika mencukur dua helai, maka dua mudd. Jika mencukur tiga helai rambut, maka wajib baginya dam. Dan jika rambut yang dicukur itu terpencar, maka untuk setiap helai satu mudd.”

Al-Māwardī berkata: Telah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang muḥrim dilarang mencukur rambut kepalanya secara ijma‘. Maka jika ia mencukur seluruh rambut kepalanya, maka wajib baginya fidyah berdasarkan nash dari al-Qur’an dan Sunnah.

Jika ia mencukur sebagian rambut kepalanya, maka juga wajib atasnya fidyah. Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai kadar minimal yang mewajibkan fidyah dan menyebabkan taḥallul.

Mazhab al-Syafi‘i menetapkan bahwa dam wajib jika mencukur tiga helai rambut atau lebih, dan dengan itu pula terjadi taḥallul.

 

وَقَالَ أبو حنيفة: يَجِبُ الدَّمُ فِي حَلْقِ رُبْعِ الرَّأْسِ، وَلَا يَجِبُ فِيمَا دُونَهُ، وَبِهِ يَقَعُ التَّحَلُّلُ، وَلَا يَقَعُ فِيمَا دُونَهُ.
وَقَالَ أبو يوسف: يَجِبُ الدَّمُ فِي حَلْقِ نِصْفِ الرَّأْسِ، وَلَا يَجِبُ فِيمَا دُونَهُ، وَبِهِ يَقَعُ التَّحَلُّلُ، وَلَا يَقَعُ فِيمَا دُونَهُ.

Abu Ḥanīfah berkata: Wajib dam (fidyah) jika mencukur seperempat kepala, dan tidak wajib jika kurang dari itu. Dengan mencukur seperempat kepala tersebut, tahallul terjadi, dan tidak terjadi tahallul jika kurang dari itu.

Abu Yūsuf berkata: Wajib dam jika mencukur setengah kepala, dan tidak wajib jika kurang dari itu. Dengan mencukur setengah kepala tersebut, tahallul terjadi, dan tidak terjadi tahallul jika kurang dari itu.


وَالدَّلَالَةُ عَلَى وُجُوبِ الدَّمِ بِحَلْقِ ثَلَاثَةِ شَعَرَاتٍ. قَوْله تَعَالَى: {فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ بِِه أَذًى مِنْ رأَسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ) {البقرة: 196) تَقْدِيرُهُ فَحَلَقَ شَعْرَ رَأْسِهِ، فَفِدْيَةٌ؛ لِأَنَّ الرَّأْسَ لَا يُحْلَقُ، وَإِنَّمَا يُحْلَقُ الشَّعْرُ فَإِذَا حَلَقَ مِنْ رَأْسِهِ مَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ جَمْعٍ مُطْلَقٍ، كَانَ حَالِقًا لِرَأْسِهِ وَثَلَاثُ شَعَرَاتٍ يَنْطَلِقُ عَلَيْهَا اسْمُ الْجَمْعِ؛ فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ وُجُوبُ الدَّمِ وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّ التَّحَلُّلَ يَقَعُ بحلق ثلاث شعرات، أو بقصرها. قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِذَا رَمَيْتُمْ وَحَلَقْتُمْ فَقَدْ حَلَّ لَكُمْ كُلُّ شيءٍ “. وَالِاسْتِدْلَالُ مِنْ هَذَا الْخَبَرِ، كَالِاسْتِدْلَالِ مِنَ الْآيَةِ، وَلِأَنَّهُ مُحْرِمٌ حَلَقَ مِنْ رَأْسِهِ مَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ الْجَمْعِ الْمُطْلَقِ؛ فَوَجَبَ أَنْ يَجِبَ بِهِ الدَّمُ، وَيَقَعَ بِهِ التَّحَلُّلُ كَالرُّبُعِ.

Dan dalil atas wajibnya dam karena mencukur tiga helai rambut: firman Allah Ta‘ala, “Maka barang siapa di antara kamu sakit atau ada gangguan di kepalanya, maka fidyah berupa puasa…” (QS. al-Baqarah: 196). Takdir (makna tersembunyinya) adalah: lalu ia mencukur rambut kepalanya, maka wajib fidyah, karena kepala tidaklah dicukur, melainkan yang dicukur adalah rambut. Maka apabila seseorang mencukur dari kepalanya sesuatu yang berlaku atasnya nama jama‘ (plural) secara mutlak, maka ia dianggap telah mencukur kepalanya. Dan tiga helai rambut berlaku atasnya nama jama‘, maka wajib baginya dikenai kewajiban dam.

Dan dalil bahwa tahallul terjadi dengan mencukur tiga helai rambut atau dengan memotong pendeknya adalah sabda Nabi SAW: “Apabila kalian telah melempar dan mencukur, maka telah halal bagi kalian segala sesuatu.” Pengambilan dalil dari hadis ini sebagaimana pengambilan dalil dari ayat, dan karena dia seorang muhrim yang telah mencukur dari kepalanya sesuatu yang berlaku atasnya nama jama‘ mutlak, maka wajib dikenai dam karenanya dan tahallul terjadi dengannya, sebagaimana (cukup dengan) seperempat.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِنْ حَلَقَ مِنْ شَعْرِ رَأْسِهِ أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثِ شَعَرَاتٍ، فَهُوَ مَضْمُونٌ عَلَيْهِ بالفدية، وَقَالَ مُجَاهِدٌ: هُوَ غَيْرُ مَضْمُونٍ عَلَيْهِ وَبِهِ قال مالك في إحدى الروايتين عنه وقال: هَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ كُلَّ جُمْلَةٍ كَانَ مَمْنُوعٌ مِنْ إِتْلَافِهَا، كَانَ مَمْنُوعًا مِنْ إِتْلَافِ أَبْعَاضِهَا، كالصيد، إذا ثَبَتَ أَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنْهُ ثَبَتَ وُجُوبُ الْفِدْيَةِ فِيهِ، وَإِذَا كَانَتِ الْفِدْيَةُ فِيهِ وَاجِبَةً، فَفِيهَا ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

PASAL
 Adapun jika seseorang mencukur rambut kepalanya kurang dari tiga helai, maka ia wajib membayar fidyah. Mujāhid berkata: tidak wajib fidyah atasnya. Ini juga salah satu riwayat dari Mālik, namun beliau berkata: “Ini adalah pendapat yang keliru,” karena setiap keseluruhan yang dilarang untuk dirusak, maka bagian-bagiannya pun dilarang untuk dirusak, sebagaimana halnya buruan; apabila telah tetap larangan darinya, maka tetap pula kewajiban fidyah padanya.

Dan apabila fidyah wajib atas hal itu, maka terdapat tiga pendapat tentang bentuk fidyahnya:


أَحَدُهَا: رِوَايَةُ الْحُمَيْدِيِّ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ عَلَيْهِ فِي الشَّعْرَةِ الْوَاحِدَةِ ثُلُثَ دَمٍ، وَفِي الشَّعْرَتَيْنِ ثُلُثَيْ دَمٍ، وَفِي الثَّلَاثِ دَمًا، وَاخْتَارَهُ الْمَرْوَزِيُّ؛ لِأَنَّ كُلَّ جُمْلَةٍ وَجَبَ فِيهَا دَمٌ فَفِي أَبْعَاضِهَا أَبْعَاضُ ذَلِكَ الدَّمِ كَالصَّيْدِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: مُخَرَّجٌ مِنَ الْأُمِّ، فِيمَنْ تَرَكَ حصاة، أن عليه فيها دِرْهَمًا، فَكَذَلِكَ عَلَيْهِ فِي الشَّعْرَةِ الْوَاحِدَةِ دِرْهَمٌ، وَفِي الشَّعْرَتَيْنِ دِرْهَمَانِ، وَفِي الثَّلَاثَةِ الْمُجْتَمِعَةِ دَمٌ. وَبِهِ قَالَ عَطَاءٌ؛ لِأَنَّهُ أَيْسَرُ عَلَى الْمُكَفِّرِ وَأَنْفَعُ لِلْآخِذِ.

Pertama: riwayat al-Ḥumaidī dari al-Syāfi‘ī bahwa bagi satu helai rambut wajib sepertiga darah (ṡulṡu dam), untuk dua helai rambut wajib dua pertiga darah (ṡulṡā dam), dan untuk tiga helai rambut wajib satu dam penuh. Pendapat ini dipilih oleh al-Marwazī; karena setiap keseluruhan yang mewajibkan dam, maka pada bagian-bagiannya juga berlaku bagian dari dam tersebut, sebagaimana hukum dalam buruan.

Pendapat kedua: dikeluarkan dari al-Umm, yaitu tentang orang yang meninggalkan satu kerikil (dalam lempar jumrah), maka atasnya satu dirham; demikian pula atas satu helai rambut wajib satu dirham, dua helai rambut dua dirham, dan tiga helai rambut yang bersambung wajib satu dam. Pendapat ini dikatakan oleh ‘Aṭā’, karena lebih ringan bagi orang yang menunaikan kifarat dan lebih bermanfaat bagi penerima.


وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: وَهُوَ الصَّحِيحُ. نَصَّ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ وَالْبُوَيْطِيُّ، وَعَلَيْهِ يَقُولُ سَائِرُ أَصْحَابِهِ: أَنَّ عَلَيْهِ فِي الشَّعْرَةِ الْوَاحِدَةِ مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ، وَفِي الشَّعْرَتَيْنِ مُدَّيْنِ، وَفِي الثَّلَاثَةِ الْمُجْتَمِعَةِ دَمًا، لِأَنَّ فِي تَبْعِيضِ الدَّمِ مَشَقَّةً تَلْحَقُ الدَّافِعَ، وَضَرَرًا يَلْحَقُ الْآخِذَ، فَوَجَبَ أَنْ يَعْدِلَ إِلَى غَيْرِهِ مِنْ جِنْسٍ، يَجِبُ فِي الْكَفَّارَاتِ، وَهُوَ الْإِطْعَامُ وَأَقَلُّ الْإِطْعَامِ فِي الشَّرْعِ مُدٌّ، فَأَوْجَبَاهُ. فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ لَوْ حَلَقَ ثَلَاثَ شَعَرَاتٍ فِي ثَلَاثَةِ أَوْقَاتٍ فَفِيهَا وَجْهَانِ:

Dan pendapat ketiga—dan inilah yang ṣaḥīḥ—telah dinyatakan oleh Imam al-Syāfi‘ī dalam bagian ini dan oleh al-Buwayṭī, serta dianut oleh seluruh sahabat beliau: bahwa atas (orang yang mencukur) satu helai rambut, wajib satu mudd gandum; atas dua helai rambut, dua mudd; dan atas tiga helai rambut yang dicukur sekaligus, wajib dam, karena dalam membagi dam terdapat kesulitan bagi yang membayarnya dan kerugian bagi yang menerimanya. Maka wajib beralih kepada jenis lain dari jenis kafārat, yaitu makanan, dan kadar minimal makanan dalam syariat adalah satu mudd, maka keduanya mewajibkannya.

Berdasarkan pendapat ini, jika seseorang mencukur tiga helai rambut dalam tiga waktu yang berbeda, maka ada dua wajah (pendapat) dalam hal ini:


أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ أَمْدَادٍ، اعْتِبَارًا بِالْآحَادِ.
الثَّانِي: عَلَيْهِ دَمٌ اعْتِبَارًا بِالْجُمْلَةِ، وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي اللِّبَاسِ إِذَا تَكَرَّرَ، هَلْ يَتَدَاخَلُ حُكْمُهُ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ لَوْ حَلَقَ أَرْبَعَ شَعَرَاتٍ فِي أَرْبَعَةِ أَوْقَاتٍ؟ فَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ، عَلَيْهِ أَرْبَعَةُ أَمْدَادٍ، إِذَا رُوعِيَ حُكْمُ الِانْفِرَادِ.
وَالثَّانِي: عَلَيْهِ دَمٌ إِذَا رُوعِيَ حُكْمُ الِاجْتِمَاعِ وَكَذَلِكَ فِيمَا زَادَ.

Pertama: wajib atasnya tiga mudd, dengan mempertimbangkan tiap helai secara terpisah (al-āḥād).

Kedua: wajib atasnya satu dam, dengan mempertimbangkan keseluruhan (al-jumlah). Dua pendapat ini merupakan hasil istinbāṭ dari perbedaan dua pendapat al-Syāfi‘ī tentang pakaian jika dikenakan berulang—apakah hukumnya saling masuk satu sama lain atau tidak.

Berdasarkan dua pendekatan ini, jika seseorang mencukur empat helai rambut dalam empat waktu berbeda, maka menurut salah satu pendapat: wajib atasnya empat mudd, apabila dipertimbangkan secara terpisah.
 Sedangkan menurut pendapat kedua: wajib atasnya satu dam, apabila dipertimbangkan sebagai satu kesatuan. Dan demikian pula untuk jumlah yang melebihi itu.

فَصْلٌ: حُكْمُ شعر اللحية وسائر الجسد
فَأَمَّا شَعْرُ اللِّحْيَةِ، وَسَائِرِ الْجَسَدِ، فَحُكْمُهُ حُكْمُ شَعْرِ الرَّأْسِ فِي الْمَنْعِ مِنْهُ، وَوُجُوبِ الْفِدْيَةِ فِيهِ، إِذَا لَمْ يَتَعَلَّقِ الْإِحْلَالُ بِهِ وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ، وَأَهْلُ الظَّاهِرِ: لَا فِدْيَةَ فِيهِ وَهُوَ إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ مَالِكٍ، تَعَلُّقًا بقوله تعالى: {وَلاَ تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الهَدْيَ مَحِلَّهُ) {البقرة: 196) فَخَصَّ شَعْرَ رَأْسِهِ بِالْمَنْعِ، فَوَجَبَ أَنْ يُخْتَصَّ بِالْفِدْيَةِ؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا تَعَلَّقَ الْإِحْلَالُ بِشَعْرِ الرَّأْسِ دُونَ غَيْرِهِ، وَجَبَ أَنْ تُخْتَصَّ الْفِدْيَةُ بِشَعْرِ الرَّأْسِ دُونَ غَيْرِهِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يَمَسُّ الْمُحْرِمُ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ بَشَرِهِ شَيْئًا ” وَلِأَنَّ شَعْرَ الرَّأْسِ يَتَعَلَّقُ بِحَلْقِهِ تَرْفِيهٌ، وَشَعْرُ الْجَسَدِ يَتَعَلَّقُ بِحَلْقِهِ تَرْفِيهٌ وَتَنْظِيفٌ، فَكَانَ بِوُجُوبِ الْفِدْيَةِ أَوْلَى.

PASAL: Hukum rambut jenggot dan seluruh tubuh

Adapun rambut jenggot dan seluruh tubuh, hukumnya sama dengan rambut kepala dalam hal larangan mencukurnya dan kewajiban fidyah atasnya, apabila tidak berkaitan dengan iḥlāl.

Dāwud bin ‘Alī dan para pengikut ẓāhirī berkata: tidak ada fidyah atasnya. Ini juga salah satu dari dua riwayat dari Mālik, dengan alasan firman Allah Ta‘ala: {dan janganlah kamu mencukur kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya} (QS. al-Baqarah: 196), maka ayat tersebut mengkhususkan rambut kepala dalam larangan, sehingga wajib pula pengkhususan dalam fidyah. Dan karena iḥlāl hanya terkait dengan rambut kepala, tidak dengan selainnya, maka wajib pula pengkhususan fidyah pada rambut kepala.

Namun dalil atas kebenaran pendapat kami adalah riwayat dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Seorang muhrim tidak boleh menyentuh sedikit pun dari rambutnya dan tidak pula dari kulitnya.” Dan karena mencukur rambut kepala berkaitan dengan kenyamanan, maka mencukur rambut tubuh pun berkaitan dengan kenyamanan dan kebersihan, maka lebih utama dikenai kewajiban fidyah.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَإِنَّمَا نَصَّ عَلَى شَعْرِ الرَّأْسِ؛ لِيُنَبِّهَ بِهِ عَلَى شَعْرِ الْجَسَدِ؛ لِوُجُودِ مَعْنَى الرَّأْسِ فِيهِ وَزِيَادَةٍ.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّهُ لَمَّا اخْتُصَّ شَعْرُ الرَّأْسِ بِالْإِحْلَالِ، وَجَبَ أَنْ يُخْتَصَّ بِالْفِدْيَةِ.
قُلْنَا: الْإِحْلَالُ نُسُكٌ مَأْمُورٌ بِهِ، وَالْحَلْقُ كَغَيْرِهِ حَظْرٌ يَأْثَمُ بِهِ، ثُمَّ إِنَّمَا لَزِمَتْهُ الْفِدْيَةُ فِيهِ؛ لِأَجْلِ التَّرْفِيهِ، فَاسْتَوَى شَعْرُ الرَّأْسِ وَالْجَسَدِ فِي التَّرْفِيهِ بِحَلْقِهِ فَاسْتَوَيَا فِي الْفِدْيَةِ، وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي الْإِحْلَالِ.

Adapun jawaban atas (dalil) dari ayat, maka sesungguhnya yang disebut secara naṣṣ adalah rambut kepala, sebagai isyarat kepada rambut tubuh, karena makna (larangan) yang ada pada kepala juga terdapat pada seluruh tubuh, bahkan lebih.

Adapun ucapan mereka: “Karena rambut kepala dikhususkan dalam (tanda) tahallul, maka seharusnya ia juga dikhususkan dalam (kewajiban) fidyah,”
 maka kami jawab: Iḥlāl (tahallul) adalah bagian dari nusuk yang diperintahkan, sedangkan mencukur rambut (selain pada waktunya) seperti larangan lainnya yang menyebabkan dosa. Dan sesungguhnya fidyah diwajibkan karena alasan mendapatkan kenyamanan (tarfīh), maka rambut kepala dan tubuh sama-sama memberikan kenyamanan bila dicukur, sehingga keduanya sama dalam kewajiban fidyah, meskipun berbeda dalam hal tahallul.


فَصْلٌ
: إِذَا ثَبَتَ أَنَّ حُكْمَ شَعْرِ الْجَسَدِ، كَحُكْمِ شَعْرِ الرَّأْسِ فِي وُجُوبِ الْفِدْيَةِ فِيهِ، فَسَوَاءٌ أَخَذَهُ حَلْقًا، أَوْ نَتْفًا، أَوْ قَصًّا. قَالَ الشَّافِعِيُّ نَصًّا: فَلَوْ حَلَقَ شَعْرَ رَأْسِهِ وَجَسَدِهِ دفعة واحدة فذهب الشَّافِعِيُّ عَلَيْهِ فِدْيَةٌ وَاحِدَةٌ، نَصَّ عَلَيْهِ.

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa hukum rambut tubuh sama dengan hukum rambut kepala dalam kewajiban fidyah, maka sama saja apakah ia menghilangkannya dengan cara mencukur, mencabut, atau memotong.

Al-Syāfi‘ī secara naṣṣ menyatakan: Jika seseorang mencukur rambut kepala dan tubuhnya sekaligus dalam satu waktu, maka menurut al-Syāfi‘ī hanya wajib satu fidyah—dan ini telah dinyatakannya secara naṣṣ.


وَقَالَ أَبُو الْقَاسِمِ الْأَنْمَاطِيُّ: عَلَيْهِ فِدْيَتَانِ، إِحْدَاهُمَا لِشَعْرِ رَأْسِهِ، وَالْأُخْرَى لِشَعْرِ جَسَدِهِ؛ لِأَنَّ شَعْرَ الرَّأْسِ مُخَالِفٌ لِشَعْرِ الْجَسَدِ، لِتَعَلُّقِ الْإِحْلَالِ بِهِ، وَإِذَا اخْتَلَفَا، لَمْ يَتَدَاخَلَا كَالْجِنْسَيْنِ مِنْ حَلْقٍ وَتَقْلِيمٍ وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ الْحَلْقَ كُلَّهُ جِنْسٌ وَاحِدٌ، وَإِنِ اخْتَلَفَتْ أَحْكَامُهُ، كَاللِّبَاسِ الَّذِي هُوَ جِنْسٌ، وَإِنِ اخْتَلَفَتْ أَحْكَامُهُ، فَلَوْ لَبِسَ قَمِيصًا، وَعِمَامَةً، وَخُفَّيْنِ فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ، لَزِمَتْهُ فِدْيَةٌ وَاحِدَةٌ، وَإِنْ كَانَ حُكْمُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ، مُخَالِفًا لِحُكْمِ صَاحِبِهِ، كَذَلِكَ شَعْرُ الرَّأْسِ وَالْجَسَدِ، جِنْسٌ وَاحِدٌ، وَإِنِ اخْتَلَفَ حُكْمُهُمَا، فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَ فِيهِمَا فِدْيَةٌ وَاحِدَةٌ، وَهَذَا انْفِصَالٌ عَمَّا اسْتَدَلَّ بِهِ.

Abū al-Qāsim al-Anmāṭī berkata: Wajib atasnya dua fidyah—satu karena mencukur rambut kepala, dan satu lagi karena mencukur rambut tubuh—karena rambut kepala berbeda dengan rambut tubuh disebabkan kaitannya dengan iḥlāl, dan jika keduanya berbeda maka tidak saling masuk satu sama lain, sebagaimana dua jenis pelanggaran: mencukur dan memotong kuku.

Namun ini adalah pendapat yang keliru; karena mencukur, seluruhnya merupakan satu jenis (jins wāḥid), meskipun hukum-hukumnya berbeda, sebagaimana pakaian yang juga satu jenis, walaupun hukum tiap-tiap bagiannya berbeda. Maka jika seseorang memakai qamīṣ, ‘imāmah, dan khuffayn dalam satu waktu, maka cukup satu fidyah saja, meskipun hukum masing-masingnya berbeda. Demikian pula rambut kepala dan tubuh termasuk satu jenis, meskipun hukumnya berbeda, maka wajib atas keduanya satu fidyah saja.

Inilah jawaban terhadap dalil yang dijadikan sandaran oleh pihak yang mewajibkan dua fidyah.


فَصْلٌ
: وَإِذَا قَطَعَ نِصْفَ شَعْرَةٍ مِنْ رَأْسِهِ، أَوْ جَسَدِهِ فَفِيهَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: عليه من الفدية كقسط أَخَذَهُ مِنَ الشَّعْرَةِ، فَيَكُونُ عَلَيْهِ نِصْفُ مُدٍّ عَلَى أَصَحِّ الْأَقَاوِيلِ، فَرْقًا بَيْنَ الْجُمْلَةِ وَالْأَبْعَاضِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: عَلَيْهِ مُدٌّ كَامِلٌ، لِأَنَّ الْإِحْلَالَ يَقَعُ، لِنَقْصِ بَعْضِ الشَّعْرِ، وَإِنْ لَمْ يَسْتَأْصِلْهُ كَمَا يَقَعُ بِحَلْقِهِ إِذَا اسْتَأْصَلَهُ، فَوَجَبَ أَنْ تَلْزَمَ الْفِدْيَةُ الْكَامِلَةُ بِقَطْعِ بَعْضِهِ، وَإِنْ لَمْ يَسْتَأْصِلْهُ كَمَا يَلْزَمُ بِحَلْقِهِ، إِذَا اسْتَأْصَلَهُ وَالْأَوَّلُ أصح.

PASAL
 Apabila seseorang memotong setengah helai rambut dari kepalanya atau tubuhnya, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: Wajib baginya fidyah sesuai kadar bagian rambut yang diambil, maka dikenakan setengah mudd, menurut pendapat yang paling ṣaḥīḥ, sebagai pembedaan antara keseluruhan dan sebagian.

Kedua: Wajib baginya satu mudd penuh, karena iḥlāl dapat terjadi dengan berkurangnya sebagian rambut, meskipun tidak tercabut seluruhnya, sebagaimana iḥlāl terjadi dengan mencukurnya jika dicabut sampai habis. Maka wajib pula fidyah penuh atas pemotongan sebagian rambut, meskipun tidak sampai tercabut semuanya, sebagaimana wajib atas pencukuran yang menghabisinya.

Dan pendapat pertama adalah yang lebih ṣaḥīḥ.


فصل
: إذا نبت فِي غَيْرِ الْمُحْرِمِ شَعْرٌ، فَتَأَذَّى بِهِ وَاضْطُرَّ إِلَى قَلْعِهِ فَلَهُ قَلْعُهُ، وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ، لِأَنَّ قَلْعَهُ لِمَعْنًى فِي الشَّعْرِ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَلْزَمَهُ الْفِدْيَةُ، كَمَا لَوْ صَالَ عَلَيْهِ صَيْدٌ فَقَتَلَهُ، لَمْ يَلْزَمْهُ الْجَزَاءُ وَكَذَلِكَ لَوْ طَالَ شَعْرُ رأسه أو حاجبيه، فاسترسل على عينيه وَمَنَعَهُ النَّظَرَ، قَالَ أَصْحَابُنَا: قَطَعَهُ وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ، فَأَمَّا إِذَا اضْطُرَّ إِلَى حَلْقِهِ لِأَجْلِ الْهَوَامِّ الْحَاصِلَةِ فِيهِ، أَوْ لِحَمْيِ رَأْسِهِ بِهِ، فَلَهُ حَلْقُهُ وَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ، لِأَنَّهُ حَلَقَهُ لِمَعْنًى فِي غَيْرِ الشَّعْرِ، وَهُوَ الْهَوَامُّ وَشِدَّةُ الْحَرِّ، فَلَزِمَتْهُ الْفِدْيَةُ. كَمَا لَوِ اضْطُرَّ إِلَى قَتْلِ الصيد أكله، وَقَدْ ” أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَعْبًا بِالْفِدْيَةِ مَعَ ضَرُورَتِهِ إِلَى الْحَلْقِ “.

PASAL
 Jika tumbuh rambut pada selain tempat muḥrim (misalnya wajah atau badan), lalu ia merasa terganggu karenanya dan terpaksa mencabutnya, maka ia boleh mencabutnya dan tidak ada fidyah atasnya. Hal ini dinyatakan secara naṣṣ oleh al-Syāfi‘ī dalam al-Umm, karena ia mencabutnya karena ada alasan pada rambut itu sendiri, maka tidak wajib fidyah, sebagaimana jika ada buruan yang menyerang lalu ia membunuhnya, maka tidak wajib denda.

Demikian pula jika rambut kepala atau alisnya tumbuh panjang hingga menjulur ke matanya dan menghalangi penglihatannya, para sahabat kami berkata: ia boleh memotongnya dan tidak ada fidyah atasnya.

Adapun jika ia terpaksa mencukur rambut karena ada kutu yang bersarang di rambutnya, atau untuk menjaga kepala dari panas, maka ia boleh mencukurnya, tetapi wajib atasnya fidyah; karena ia mencukurnya karena alasan di luar rambut, yaitu karena kutu atau sengatan panas yang kuat, maka wajib atasnya fidyah. Sebagaimana jika seseorang terpaksa membunuh buruan untuk dimakan, tetap wajib denda.

Dan sungguh Rasulullah SAW telah memerintahkan Ka‘b membayar fidyah meskipun ia dalam keadaan darurat untuk mencukur.

 

فَصْلٌ
: إِذَا قَطَعَ الْمُحْرِمُ عُضْوًا مِنْ بَدَنِهِ وَعَلَيْهِ شَعْرٌ، أَوْ كَشَطَ جِلْدَةً مِنْ بَدَنِهِ وَعَلَيْهَا شَعْرٌ، فَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ؛ لِأَنَّ فِدْيَةَ الشَّعْرِ وَجَبَتْ؛ لِأَجْلِ التَّرْفِيهِ بِهِ وَهَذَا غَيْرُ مُتَرَفَّهٍ بِذَلِكَ، وَإِنَّمَا هُوَ مُسْتَضَرٌّ بِهِ، وَلِأَنَّ الشَّعْرَ تَابِعٌ، وَالْعُضْوَ مَتْبُوعٌ، فَلَمَّا لَمْ تَجِبِ الْفِدْيَةُ فِي الْمَتْبُوعِ فَأَوْلَى أَنْ لَا تَجِبَ فِي التَّابِعِ.

PASAL
 Apabila seorang muḥrim memotong anggota tubuh dari badannya yang terdapat rambut padanya, atau mengelupaskan kulit dari tubuhnya yang terdapat rambut padanya, maka tidak wajib fidyah atasnya—dan ini dinyatakan secara naṣṣ oleh al-Syāfi‘ī.

Karena fidyah rambut diwajibkan disebabkan adanya unsur kenyamanan (tarfīh) dengan rambut tersebut, sedangkan dalam kasus ini tidak ada unsur kenyamanan, justru terdapat mudarat. Dan karena rambut adalah sesuatu yang mengikuti (tābi‘), sedangkan anggota tubuh adalah yang diikuti (matbū‘), maka ketika tidak wajib fidyah atas yang diikuti, maka lebih utama lagi untuk tidak diwajibkan atas yang mengikuti.


فَإِنْ قِيلَ: فَإِذَا وَجَبَتِ الْفِدْيَةُ فِي أَخْذِ الشَّعْرِ مُنْفَرِدًا، فَأَوْلَى أَنْ تَجِبَ فِي أَخْذِهِ مَعَ غَيْرِهِ.
قِيلَ: لَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّ حُكْمَ الِانْفِرَادِ فِي الشَّيْءِ، مُخَالِفٌ لِحُكْمِ تَبَعِهِ لِغَيْرِهِ، أَلَا تَرَى أَنَّ امْرَأَةً لَوْ حَرَّمَتْ زَوْجَةَ رَجُلٍ بِرَضَاعٍ، لَزِمَهَا الْمَهْرُ، وَلَوْ قَتَلَتْهَا لَمْ يَجِبْ عَلَيْهَا الْمَهْرُ، وَإِنْ كَانَ فِي الْقَتْلِ تَحْرِيمٌ وَإِتْلَافٌ.

Jika dikatakan: “Jika fidyah wajib karena mencukur rambut secara terpisah, maka lebih utama lagi wajib ketika mencukurnya bersama dengan selainnya,”

maka dijawab: Itu tidak benar; karena hukum suatu hal ketika dilakukan secara mandiri berbeda dengan hukumnya ketika menjadi ikutan dari selainnya. Tidakkah engkau melihat bahwa seorang perempuan, jika mengharamkan istri seorang laki-laki melalui penyusuan, maka ia wajib membayar mahar (karena menyebabkan perceraian); namun jika ia membunuhnya, tidak wajib atasnya mahar—padahal dalam pembunuhan itu terdapat unsur pengharaman dan perusakan?


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَكَذَلِكَ الْأَظْفَارُ، وَالْعَمْدُ فِيهَا وَالْخَطَأُ سَوَاءٌ “.
قَالَ الماوردي: أما الأظفار فحكمها حكم الشعر، يمنع الْمُحْرِمُ مِنْهَا، وَيَلْزَمُهُ الْفِدْيَةُ لِتَقْلِيمِهَا؛ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الْمُحْرِمُ أَشَعْثُ أَغَبَرُ ” وَتَقْلِيمُهَا مَا يُزِيلُ الشَّعَثَ، ويحدث الترفيه، ولأنه نام يتخلف يَتَرَفَّهُ الْمُحْرِمُ بِإِزَالَتِهِ، فَوَجَبَ أَنْ تَلْزَمَهُ الْفِدْيَةُ فِيهِ كَالشَّعْرِ، فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْفِدْيَةِ فِيهِ، فَحُكْمُهُ حُكْمُ الشَّعْرِ، وَإِنْ قَلَّمَ أَظْفَارَهُ، فَعَلَيْهِ دَمٌ كَمَا لَوْ حَلَقَ جَمِيعَ شَعْرِهِ، وَلَوْ قَلَّمَ ثَلَاثَةَ أَظَافِرَ فَصَاعِدًا فِي مَقَامٍ فَعَلَيْهِ دَمٌ سَوَاءٌ كَانَتْ مِنْ يَدِهِ أَوْ رِجْلِهِ مِنْ عُضْوٍ وَاحِدٍ أَوْ عُضْوَيْنِ.

Masalah
 Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Demikian pula kuku, sengaja ataupun tidak sengaja (mengguntingnya) hukumnya sama.”

Al-Māwardī berkata: Adapun kuku, maka hukumnya sama dengan rambut. Muḥrim dilarang mengguntingnya dan wajib atasnya fidyah karena memotongnya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Muḥrim itu kusut dan berdebu,” sedangkan memotong kuku adalah tindakan yang menghilangkan kekusutan dan menimbulkan kenyamanan. Karena kuku adalah bagian tubuh yang tumbuh dan kenyamanan diperoleh muḥrim dari menghilangkannya, maka wajib dikenai fidyah sebagaimana halnya rambut.

Apabila telah tetap kewajiban fidyah atasnya, maka hukumnya seperti rambut. Jika ia memotong seluruh kukunya, maka atasnya dam, sebagaimana jika ia mencukur seluruh rambutnya. Dan jika ia memotong tiga kuku atau lebih dalam satu waktu, maka wajib atasnya dam—baik itu dari tangan, kaki, dari satu anggota tubuh atau dua.


وَقَالَ أبو حنيفة: لا يلزمه الْفِدْيَةُ الْكَامِلَةُ، وَهِيَ الدَّمُ، إِلَّا لِتَقْلِيمِ خَمْسَةِ أَظَافِرَ مِنْ عُضْوٍ وَاحِدٍ، فَإِنْ قَلَّمَ أَقَلَّ مِنْ خَمْسَةِ أَظَافِرَ مِنْ عُضْوٍ وَاحِدٍ، أَوْ قَلَّمَ خَمْسَةَ أَظَافِرَ مِنْ عُضْوَيْنِ، لَمْ يَلْزَمْهُ دَمٌ وَاخْتَلَفَتِ الرِّوَايَةُ عَنْهُ، فَمَا دُونَ الدَّمِ، هَلْ يَلْزَمُهُ أَمْ لَا؟ فَفِيهِ رِوَايَتَانِ قَالَ: لِأَنَّ الْفِدْيَةَ الْكَامِلَةَ لَا تَلْزَمُهُ، إِلَّا بِتَرْفِيهٍ كَامِلٍ. وَكَمَالُ التَّرْفِيهِ بِتَقْلِيمِ خَمْسَةِ أَظْفَارٍ.

Abu Ḥanīfah berkata: Tidak wajib atasnya fidyah yang sempurna, yaitu menyembelih satu ekor kambing, kecuali jika ia memotong lima kuku dari satu anggota tubuh. Maka jika ia memotong kurang dari lima kuku dari satu anggota, atau memotong lima kuku dari dua anggota tubuh yang berbeda, maka tidak wajib atasnya dam (sembelihan).

Adapun selain fidyah sempurna, apakah tetap wajib atau tidak, maka terdapat dua riwayat darinya. Ia berkata: Karena fidyah yang sempurna tidak diwajibkan kecuali jika kenyamanan (yang dilarang) diperoleh secara sempurna. Dan kesempurnaan kenyamanan itu terjadi dengan memotong lima kuku.


وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ لَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّهُ إِمَّا أَنْ يَعْتَبِرَ كَمَالَ التَّرْفِيهِ، وَذَلِكَ لَا يَكُونُ إِلَّا بِتَقْلِيمِ جَمِيعِ الْأَظَافِرِ، وَهُوَ لَا يَعْتَبِرُهُ، أَوْ ما يقع عليه اسم جميع مطلق وهو مقولنا ثُمَّ نَقُولُ: لِأَنَّهُ قَلَّمَ مِنْ أَظَافِرِهِ مَا يَقَعُ عَلَى اسْمِ الْجَمْعِ الْمُطْلَقِ، فَوَجَبَ أَنْ تَلْزَمَهُ الْفِدْيَةُ الْكَامِلَةُ، كَالْخَمْسَةِ مِنْ يَدٍ وَاحِدَةٍ، فَإِنْ قَلَّمَ ظُفْرًا وَاحِدًا، كَانَ كَمَا لَوْ حَلَقَ شَعْرَةً، فَيَكُونُ فِيمَا يَلْزَمُهُ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

Dan apa yang dikatakannya itu tidaklah ṣaḥīḥ; karena jika yang dianggap adalah sempurnanya kenyamanan, maka hal itu tidak akan terjadi kecuali dengan memotong seluruh kuku, dan itu tidak dianggap olehnya. Atau yang dianggap adalah apa yang berlaku atasnya nama jama‘ (semua) secara mutlak—dan inilah pendapat kami—maka kami katakan: karena ia telah memotong dari kukunya sesuatu yang berlaku atasnya nama jama‘ mutlak, maka wajib baginya fidyah yang sempurna, seperti memotong lima kuku dari satu tangan.

Jika ia memotong satu kuku, maka hukumnya seperti mencukur satu helai rambut, dan dalam hal ini ada tiga pendapat mengenai kewajiban yang dikenakan:


أَحَدُهَا: ثُلُثُ دَمٍ.
وَالثَّانِي: دِرْهَمٌ.

وَالثَّالِثُ: مُدٌّ، فَإِنْ قَلَّمَ ثَلَاثَةَ أَظَافِرَ فِي مَقَامٍ، ثُمَّ قَلَّمَ بَعْدَهَا ثَلَاثَةَ أَظَافِرَ أُخَرَ، فِي مَقَامٍ آخَرَ، فَعَلَيْهِ دَمَانِ؛ لِأَنَّ هَذَا إِتْلَافٌ لَا يَتَدَاخَلُ بِحَالٍ، فَلَوِ انْكَسَرَ ظُفْرُهُ وتعلق وكان تأذى به، وكان لَهُ قَلْعُهُ، وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ كَالشَّعْرَةِ إِذَا نَبَتَتْ فِي عَيْنِهِ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَالْعَمْدُ، وَالْخَطَأُ فِيهِمَا سَوَاءٌ، وَإِنَّمَا اسْتَوَى حُكْمُ الْعَامِدِ وَالْخَاطِئِ؛ لِأَنَّهُ إِتْلَافٌ فَشَابَهَ قَتْلَ الصَّيْدِ، وَقَدْ مَضَى ذلك، والله أعلم.

Salah satu pendapat: sepertiga dam.
 Yang kedua: satu dirham.
 Yang ketiga: satu mudd.

Maka jika seseorang memotong tiga kuku di satu tempat, lalu setelah itu memotong tiga kuku lainnya di tempat lain, maka wajib atasnya dua dam; karena ini merupakan bentuk perusakan (itlāf) yang tidak bisa saling masuk satu sama lain dalam keadaan apa pun.

Jika kukunya patah dan tergantung serta ia merasa sakit karenanya, maka boleh baginya mencabutnya dan tidak ada fidyah atasnya—sebagaimana rambut yang tumbuh di matanya.

Al-Syāfi‘ī berkata: “Baik sengaja maupun tidak, keduanya sama hukumnya dalam masalah ini.” Hukum antara orang yang sengaja dan yang keliru disamakan, karena ia merupakan bentuk perusakan (itlāf), maka disamakan dengan membunuh buruan, dan ini telah dijelaskan sebelumnya. Wallāhu a‘lam.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَحْلِقُ الْمُحْرِمُ شَعْرَ الْمَحَلِّ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، لَا يُمْنَعُ الْمُحْرِمُ مِنْ حَلْقِ شَعْرِ الْمَحَلِّ، وَلَا مِنْ تَقْلِيمِ أَظَافِرِهِ، فَإِنْ حَلَقَ شَعْرَهُ، أَوْ قَلَّمَ ظُفْرَهُ فَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ، سَوَاءٌ فَعَلَهُ بِأَمْرِهِ، أَوْ غَيْرِ أَمْرِهِ. وَقَالَ أبو حنيفة: الْمُحْرِمُ مَمْنُوعٌ مِنْ حَلْقِ شَعْرِ الْمَحَلِّ، وَتَقْلِيمِ أَظَافِرِهِ، كَمَا هُوَ مَمْنُوعٌ مِنْ ذَلِكَ فِي نَفْسِهِ، فَإِنْ فَعَلَ فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ. اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ كُلَّ مَا أَوْجَبَ عَلَى الْمُحْرِمِ الْفِدْيَةَ بِفِعْلِهِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ، أَوْجَبَ الْفِدْيَةَ بِفِعْلِهِ فِي حَقِّ غَيْرِهِ، كَالصَّيْدِ لِأَنَّهُ يَلْزَمُ الْجَزَاءُ فِي قَتْلِهِ، إِذَا كَانَ لِغَيْرِهِ، كَمَا يَلْزَمُهُ فِي قَتْلِهِ، إِذَا كَانَ لِنَفْسِهِ.

Masalah
 Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Muḥrim boleh mencukur rambut orang yang berada di tempat (al-maḥall).”

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan—bahwa muḥrim tidak dilarang mencukur rambut orang lain (yang tidak beriḥrām), dan juga tidak dilarang memotong kuku orang lain. Maka jika ia mencukur rambut orang lain, atau memotong kukunya, maka tidak ada fidyah atasnya—baik ia melakukannya atas perintah orang tersebut atau tidak.

Abū Ḥanīfah berpendapat: Muḥrim dilarang mencukur rambut orang lain (yang tidak beriḥrām), dan juga dilarang memotong kukunya, sebagaimana ia dilarang melakukannya pada dirinya sendiri. Jika ia melakukannya, maka atasnya fidyah, dengan dalil bahwa setiap perbuatan yang mewajibkan fidyah atas muḥrim jika dilakukan terhadap dirinya sendiri, maka juga mewajibkan fidyah jika dilakukan terhadap orang lain, sebagaimana dalam masalah berburu; sebab muḥrim wajib membayar jazā’ atas membunuh binatang buruan untuk orang lain, sebagaimana ia wajib jika membunuhnya untuk dirinya sendiri.


قَالُوا: وَلِأَنَّهُ مُحْرِمٌ حَلَقَ شَعْرَ آدَمِيٍّ، فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ الْفِدْيَةُ، كَمَا لَوْ حَلَقَ شَعْرَ نَفْسِهِ.
قَالُوا: وَلِأَنَّ هَذَا أَلْزَمُ لَكُمْ، لِأَنَّكُمْ مَنَعْتُمُ الْمُحْرِمَ تَزْوِيجَ نَفْسِهِ وَمِنْ تَزْوِيجِ غَيْرِهِ، فَلَزِمَكُمْ أَنْ تَمْنَعُوهُ مِنْ حَلْقِ شَعْرِهِ وَمِنْ حَلْقِ شَعْرِ غَيْرِهِ وَالدَّلَالَةُ عَلَى مَا قُلْنَا قوله تعالى: {وَلاَ تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ) {البقرة: 196) وَهَذَا خِطَابُ الْمُحْرِمِينَ، بِدَلِيلِ أَنَّ الْحَلْقَ جَائِزٌ لِلْمُحِلِّينِ، وَإِذَا لَمْ يَكُنِ الْمُحِلُّ مَمْنُوعًا لَمْ يُوجَبْ فِي شَعْرِهِ الْفِدْيَةُ سَوَاءٌ حَلَقَهُ مُحْرِمٌ أَوْ مُحِلٌّ، كَمَا أَنَّ الْمُحْرِمَ لَمَّا كَانَ مَمْنُوعًا، وَجَبَ فِي شَعْرِهِ الْفِدْيَةُ، سَوَاءٌ حَلَقَهُ مُحِلٌّ أَوْ مُحْرِمٌ.

Mereka berkata: Karena seorang muḥrim mencukur rambut seorang manusia (muḥrim lain), maka wajib atasnya fidyah, sebagaimana jika ia mencukur rambut dirinya sendiri.

Mereka juga berkata: Dan ini lebih mengikat bagi kalian (yang tidak mewajibkan fidyah), karena kalian melarang muḥrim untuk menikahkan dirinya sendiri dan menikahkan orang lain, maka sudah seharusnya kalian juga melarangnya dari mencukur rambutnya sendiri dan rambut orang lain.

Adapun dalil atas apa yang kami katakan adalah firman Allah Ta‘ālā: {wa lā taḥliqū ru’ūsakum} (QS. al-Baqarah: 196), dan ini adalah seruan kepada para muḥrim, berdasarkan bukti bahwa mencukur itu dibolehkan bagi orang yang telah bertahallul (muḥillīn). Dan jika orang yang telah halal tidak dilarang, maka tidak wajib fidyah atas rambutnya, baik yang mencukurnya itu muḥrim atau muḥill. Sebagaimana muḥrim, ketika ia yang dilarang, maka wajib fidyah atas rambutnya, baik yang mencukurnya adalah muḥrim ataupun muḥill.


وَهَذَا الِاسْتِدْلَالُ لَوْ أُفْرِدَ عَنِ الْآيَةِ، صَحَّ الِاحْتِجَاجُ بِهِ، وَقَدْ يَتَحَرَّرُ قِيَاسًا، فَيُقَالُ: لِأَنَّهُ شَعْرُ مُحِلٍّ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ فِيهِ بِحَلْقِهِ الْفِدْيَةُ، كَمَا لَوْ حَلَقَهُ مُحِلٌّ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا لَوْ فَعَلَهُ الْمُحْرِمُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ، لَزِمَتْهُ الْفِدْيَةُ؛ لِأَجْلِ التَّرْفِيهِ بِهِ، فَإِذَا فَعَلَهُ بِالْمُحِلِّ لَمْ يَلْزَمْهُ الْفِدْيَةُ، كَمَا لَوْ أَلْبَسَهُ أَوْ طَيَّبَهُ، وَلِأَنَّهُ شَعْرٌ لَا يَتَعَلَّقُ بِمَحَلِّهِ حُرْمَةُ الْإِحْرَامِ، فَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِهِ حُرْمَةُ الْإِحْرَامِ، كَالْبَهَائِمِ.

Dan istidlāl (pengambilan dalil) ini—seandainya dipisahkan dari ayat—maka sah dijadikan hujah, bahkan bisa diperkuat secara qiyās, yaitu dengan dikatakan: karena itu adalah rambut orang yang tidak beriḥrām (muḥill), maka tidak wajib fidyah atas pencukurannya, sebagaimana jika dicukur oleh orang yang juga tidak beriḥrām.

Dan karena setiap perbuatan yang jika dilakukan muḥrim atas dirinya mewajibkan fidyah disebabkan adanya unsur kenyamanan (tarfīh), maka jika dilakukan terhadap orang yang tidak beriḥrām tidak mewajibkan fidyah, sebagaimana jika muḥrim memakaikan pakaian atau wewangian kepada orang lain.

Dan karena itu adalah rambut yang tidak berkaitan dengan larangan iḥrām pada tempatnya, maka tidak pula terkait padanya larangan iḥrām, sebagaimana halnya dengan hewan.


وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى قَتْلِ الصَّيْدِ، فَمُنْتَقَضٌ بِالطِّيبِ وَاللِّبَاسِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الصَّيْدِ، أَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ له حُرْمَةُ الْإِحْرَامِ بِنَفْسِهِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ قَدْ يلزمه الحلال الجزاء في قتله. وأما قياسهم عَلَى الْمُحْرِمِ إِذَا حَلَقَ شَعْرَ نَفْسِهِ، فَغَيْرُ صحيح؛ لأنه إِنْ قَالُوا: لِأَنَّهُ مُحْرِمٌ لَمْ يُؤَثِّرْ فِي الْأَصْلِ لِأَنَّ الْمُحْرِمَ تَجِبُ فِي شَعْرِهِ الْفِدْيَةُ سَوَاءٌ حَلَقَهُ مُحِلٍّ أَوْ مُحْرِمٌ، وَإِنْ لَمْ يَقُولُوا لِأَنَّهُ مُحْرِمٌ انْتَقَضَ بِشَعْرِ الْمُحِلِّ إِذَا حَلَقَهُ مُحِلٌّ عَلَى أَنَّ الْمَعْنَى فِي شَعْرِ الْمُحْرِمِ إِنْ ثَبَتَ لَهُ حُرْمَةُ الْإِحْرَامِ، فَوَجَبَتِ الْفِدْيَةُ بِحَلْقِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ شَعْرُ الْمُحِلِّ، وَأَمَّا مَا أَلْزَمُوهُ مِنَ النِّكَاحِ فَغَيْرُ لَازِمٍ؛ لِأَنَّ النِّكَاحَ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِوِلَايَةٍ وَالْإِحْرَامَ يَمْنَعُ مِنَ الْوِلَايَةِ فَبَطَلَ النِّكَاحُ، وَالشَّعْرُ وَجَبَتْ فِيهِ الْفِدْيَةُ، لِتَرَفُّهِ الْمُحْرِمِ بِهِ، وَالْحَالِقُ الْمُحْرِمُ لَا يَتْرَفَّهُ بِهِ فَلَمْ يَلْزَمْهُ الْفِدْيَةُ.

Adapun qiyās mereka dengan membunuh buruan, maka tidak sah (muntaqaḍ) karena tidak sesuai, sebab berbeda dengan ṭīb dan pakaian. Lagi pula, makna dalam kasus buruan adalah bahwa buruan itu sendiri memiliki kehormatan dalam keadaan ihram, tidakkah engkau melihat bahwa orang yang telah halal (muḥill) pun tetap wajib membayar denda jika membunuhnya?

Adapun qiyās mereka dengan muḥrim yang mencukur rambut dirinya sendiri, maka tidak tepat; karena jika mereka berkata: “karena dia muḥrim,” maka ini tidak berpengaruh dalam pokok permasalahan. Sebab fidyah itu wajib atas rambut muḥrim, baik yang mencukurnya itu orang yang halal (muḥill) atau muḥrim.

Dan jika mereka tidak mengatakan karena dia muḥrim, maka qiyās itu rusak dengan rambut orang yang telah halal; karena jika orang halal mencukur rambut orang halal lainnya, maka tidak wajib apa pun. Maka makna dalam rambut muḥrim—jika kita terima bahwa rambutnya memiliki kehormatan dalam keadaan ihram—maka mencukurnya mewajibkan fidyah. Dan rambut orang yang halal tidak memiliki kedudukan demikian.

Adapun analogi yang mereka gunakan dengan pernikahan, maka itu tidak relevan; karena pernikahan tidak sah kecuali dengan wilāyah, dan ihram menghalangi adanya wilāyah, sehingga akad nikah menjadi batal. Adapun rambut, fidyah diwajibkan padanya karena kenyamanan (tarfīh) yang diperoleh oleh muḥrim melalui mencukurnya, sedangkan muḥrim yang mencukur rambut orang lain tidak memperoleh kenyamanan tersebut, maka tidak wajib fidyah atasnya.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَيْسَ لِلْمُحِلِّ أَنْ يَحْلِقَ شَعْرَ الْمُحْرِمِ فَإِنْ فَعَلَ بِأَمْرِ الْمُحْرِمِ فَالْفِدْيَةُ عَلَى الْمُحْرِمِ وَإِنْ فَعَلَ بِغَيْرِ أَمْرِهِ مُكْرَهًا كَانَ أَوْ نَائِمًا رجع على الحلال بفديةٍ وتصدق بِهَا فَإِنْ لَمْ يَصِلْ أَلَيْهِ فَلَا فِدْيَةَ عليه (قَالَ الْمُزَنِيُّ) وَأَصَبْتُ فِي سَمَاعِي مِنْهُ ثُمَّ خط عليه أن يفتدي ويرجع بالفدية على المحل وهذا أشبه بمعناه عندي.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا شَعْرُ الْمُحْرِمِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَحْلِقَهُ حَلَالٌ وَلَا مُحْرِمٌ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الهَدْيُ مَحِلَّهُ) {البقرة: 196) فَمَنَعَ الْمُحْرِمَ مِنْ حَلْقِ شَعْرِهِ، وَأَرَادَ بِذَلِكَ مَنْعَهُ وَمَنْعَ غَيْرِهِ، لِأَنَّ الْعَادَةَ جَارِيَةٌ أَنْ يَتَوَلَّى غَيْرُهُ حَلْقَ شَعْرِهِ، فَوَرَدَ الْمَنْعُ عَلَى حَسْمِ الْعَادَةِ فِيهِ، لِأَنَّ حُرْمَةَ الْإِحْرَامِ تَعَلَّقَتْ بِعَيْنِ الشَّعْرِ، فَاسْتَوَى فِي الْمَنْعِ مِنْهُ الْمُحِلُّ وَالْمُحْرِمُ، كَالصَّيْدِ فِي الْمُحْرِمِ. فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا، وَحَلَقَ مَحَلَّ شَعْرِ الْمُحْرِمِ، فَلَهُ حَالَانِ:

Masalah
 Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Tidak halal bagi orang yang tidak beriḥrām (muḥill) mencukur rambut muḥrim. Jika ia melakukannya atas perintah muḥrim, maka fidyah ditanggung oleh muḥrim. Dan jika ia melakukannya tanpa perintah—baik dalam keadaan muḥrim dipaksa atau sedang tidur—maka orang muḥill tersebut menanggung fidyah dan menyedekahkannya. Jika muḥrim tidak bisa menjangkaunya (muḥill), maka tidak ada fidyah atasnya.”
 Al-Muzanī berkata: “Dan aku mendengar langsung hal itu darinya, kemudian beliau mencoret pendapat sebelumnya dan menetapkan bahwa muḥrim tetap menunaikan fidyah, lalu menuntut ganti dari orang muḥill, dan itu lebih sesuai dengan makna ucapannya menurutku.”

Al-Māwardī berkata: Adapun rambut muḥrim, maka tidak boleh dicukur oleh orang ḥalāl (muḥill) maupun muḥrim, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {dan janganlah kalian mencukur kepala kalian sampai hadyu sampai ke tempatnya} (QS. al-Baqarah: 196). Maka Allah melarang muḥrim mencukur rambutnya, dan maksud larangan itu mencakup dirinya maupun orang lain. Karena kebiasaan yang berlaku adalah bahwa yang mencukur adalah orang lain, maka larangan ditujukan untuk memutus kebiasaan tersebut.

Karena larangan iḥrām terkait langsung dengan objek rambut itu sendiri, maka larangan berlaku sama atas orang muḥill maupun muḥrim, sebagaimana hukum berburu bagi muḥrim.

Apabila hal ini telah ditetapkan, lalu orang muḥill mencukur rambut muḥrim, maka terdapat dua keadaan:


أَحَدُهُمَا: أَنْ يَحْلِقَهُ بِأَمْرِ الْمُحْرِمِ.
الثَّانِي: بِغَيْرِ أَمْرِهِ، فَإِنْ حَلَقَهُ بِأَمْرِ الْمُحْرِمِ، فَالْفِدْيَةُ وَاجِبَةٌ عَلَى الْمُحْرِمِ؛ لِأَنَّ حَلْقَ شَعْرِهِ إِذَا كَانَ عَنْ أَمْرِهِ، فَهُوَ مَنْسُوبٌ إِلَى فِعْلِهِ، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ أَمْرِهِ، فله حالان:
أحدهما: أن يكون قادراً على منعه.
الثاني: أَنْ يَكُونَ غَيْرَ قَادِرٍ عَلَى مَنْعِهِ، فَإِنْ لم يكن قادراً على منعه، إما لكونه نَائِمًا أَوْ مَكْرُوهًا، فَالْفِدْيَةُ وَاجِبَةٌ عَلَى الْحَالِقِ قَوْلًا وَاحِدًا، وَلِأَنَّ الْمُحْرِمَ لَا صُنْعَ لَهُ فِي حَلْقِ رَأْسِهِ، فَلَمْ تَلْزَمْهُ الْفِدْيَةُ بِهَا، فَإِنْ أَعْسَرَ بِهَا الْحَالِقُ الْمُحِلُّ، أَوْ غَابَ، فَهَلْ يَتَحَمَّلُهَا الْمُحْرِمُ عَنْهُ لِيَرْجِعَ بِهَا عَلَيْهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Pertama: jika mencukurnya atas perintah muḥrim.
 Kedua: tanpa perintahnya.

Jika mencukurnya atas perintah muḥrim, maka fidyah wajib atas muḥrim, karena mencukur rambutnya jika dilakukan atas perintahnya, maka dihukumi sebagai perbuatannya sendiri.

Namun jika dilakukan tanpa perintahnya, maka ada dua keadaan:

Keadaan pertama: ia mampu mencegahnya.
 Keadaan kedua: ia tidak mampu mencegahnya.

Jika ia tidak mampu mencegahnya, baik karena sedang tidur atau dalam keadaan dipaksa (makrūh), maka fidyah wajib atas orang yang mencukur (yakni orang yang mencukur rambut muḥrim) menurut satu pendapat. Karena muḥrim tidak memiliki andil dalam perbuatan mencukur rambutnya, maka tidak wajib atasnya fidyah.

Jika pencukur (yang berstatus muḥill) tidak mampu membayar fidyah, atau ia tidak diketahui keberadaannya, maka apakah muḥrim menanggungnya lalu menagih kembali darinya, atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: لَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَتَحَمَّلَهَا، لِأَنَّهُ شَعْرٌ زَالَ عَنْهُ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ، فَلَمْ يَلْزَمُهُ ضَمَانُ فِدْيَتِهِ، كَمَا لَوْ تَمَعَّطَ عَنْهُ بِمَرَضٍ، أَوِ احْتِرَاقٍ بِنَارٍ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ فِي ذِمَّةِ الْحَالِقِ الْمُحِلِّ، وَهَذَا أَصَحُّ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عَلَيْهِ أَنْ يَتَحَمَّلَهَا، ثُمَّ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَيْهِ لِأَنَّهُ شَعْرٌ أُزِيلَ عَنْهُ بِوَجْهٍ هُوَ مُضْطَرٌّ فِيهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ ضَمَانُ فِدْيَتِهِ عَلَيْهِ، كَمَا لَوِ اضْطُرَّ إِلَى حَلْقِهِ لِهَوَامَّ فِي رَأْسِهِ قَالَ الْمُزَنِيُّ: ” وَأَصَبْتُ فِي سَمَاعِي مِنْهُ، ثُمَّ خط عليه ” يعني أن الشافعي رجع على هَذَا الْقَوْلِ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ الْمُزَنِيُّ لَيْسَ بِشَيْءٍ؛ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَدْ نَصَّ عَلَيْهِ فِي مُخْتَصَرِ الْحَجِّ الْكَبِيرِ، وَلَمْ يَخُطَّ عَلَيْهِ، فَهَذَا شَرْحُ الْمَذْهَبِ، وَهُوَ أَصَحُّ طَرِيقَيْ أَصْحَابِنَا وَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ يُخْرِجُ الْقَوْلَيْنِ فِي أَصْلِ الْوُجُوبِ:

Pertama: Tidak wajib atas muḥrim menanggung fidyah-nya, karena rambut itu hilang darinya tanpa pilihannya, maka tidak wajib ia menanggung ganti rugi atasnya, sebagaimana jika rambut itu rontok karena penyakit atau terbakar api. Maka dalam hal ini, fidyah menjadi tanggungan si pencukur, yaitu orang muḥill, dan ini adalah pendapat yang paling ṣaḥīḥ.

Pendapat kedua: Wajib atas muḥrim menanggung fidyah, lalu ia berhak menuntut ganti kepada pencukur, karena rambut itu dihilangkan dari dirinya dengan cara yang ia berada dalam keadaan terpaksa padanya, maka wajib atasnya membayar fidyah, sebagaimana jika ia terpaksa mencukurnya karena adanya kutu di kepalanya.

Al-Muzanī berkata: “Dan aku mendengarnya langsung darinya, kemudian ia mencoretnya,” yakni bahwa Imam al-Syāfi‘ī telah rujuk dari pendapat ini.

Namun, pernyataan al-Muzanī itu tidak dapat dijadikan pegangan, karena Imam al-Syāfi‘ī telah menegaskan pendapat tersebut dalam Mukhtaṣar al-Ḥajj al-Kabīr, dan beliau tidak mencoretnya. Maka inilah penjelasan mazhab, dan ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang paling ṣaḥīḥ menurut sahabat-sahabat kami.

Abū Isḥāq al-Marwazī membawakan dua pendapat tersebut dalam pokok kewajiban (asal wujūb).


أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا وَجَبَتْ عَلَى الْحَالِقِ الْمُحِلِّ، وَلَا يَلْزَمُ الْمُحْرِمَ تَحَمُّلُهَا.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهَا وَجَبَتْ عَلَى الْمُحْرِمِ ثُمَّ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَى الْحَالِقِ، وَجَعَلَ ذَلِكَ مَبْنِيًّا عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي شَعْرِ المحرم، وهي يَجْرِي عِنْدَهُ مَجْرَى الْوَدِيعَةِ فِي يَدِهِ فَلَا يَلْزَمُهُ الضَّمَانُ إِلَّا بِالتَّعَدِّي؟ أَوْ مَجْرَى الْعَارِيَةِ فَيَلْزَمُهُ الضَّمَانُ بِكُلِّ حَالٍ؟ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ؛ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَأَكْثَرِ أَصْحَابِنَا.

Pertama: bahwa fidyah itu wajib atas pencukur yang muḥill, dan tidak wajib bagi muḥrim untuk menanggungnya.

Pendapat kedua: bahwa fidyah itu wajib atas muḥrim, kemudian ia boleh menagih kembali kepada pencukur. Masalah ini dibangun atas perbedaan dua pendapat al-Syāfi‘ī mengenai hukum rambut muḥrim: apakah rambut itu di tangannya seperti wadī‘ah (titipan), sehingga tidak wajib mengganti kecuali jika ada pelanggaran? Ataukah seperti ‘āriyah (pinjaman pakai), sehingga wajib mengganti dalam segala keadaan?

Pendapat pertama lebih ṣaḥīḥ, dan inilah yang dikatakan oleh Abū ‘Alī bin Abī Hurayrah serta mayoritas ulama dari kalangan sahabat kami.


فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ شَرْحُ الْمَذْهَبِ وَتَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ، انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى التَّفْرِيعِ عَلَيْهِمَا فِي صِفَةِ الْكَفَّارَةِ، وَكَيْفِيَّةِ التَّرَاجُعِ، فَنَبْدَأُ أَوَّلًا بِالْحَالِقِ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَفْتَدِيَ، فَهُوَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ الدَّمِ، أَوِ الْإِطْعَامِ، فَأَمَّا الصِّيَامُ فَهُوَ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَصَحُّهُمَا: يُجْزِئُهُ؛ لِأَنَّ الْوُجُوبَ مُسْتَقَرٌّ عَلَيْهِ فَكَانَ مُخَيَّرًا فِيهِ.

PASAL
 Apabila penjelasan mazhab dan pendalilan atas dua pendapat telah dijelaskan, maka pembahasan berlanjut kepada cabang-cabang hukumnya (tafrī‘) pada kedua pendapat tersebut dalam hal bentuk kafārat dan cara saling menuntut ganti.

Maka kita mulai terlebih dahulu dari pihak pencukur (al-ḥāliq). Apabila ia ingin menunaikan fidyah, maka ia diberi pilihan antara menyembelih dam atau memberi makan.

Adapun puasa, maka ada dua wajah (pendapat):

Pendapat yang lebih ṣaḥīḥ: puasa mencukupi, karena kewajiban fidyah telah menetap atasnya, maka ia diberi pilihan dalam bentuk pelaksanaannya.


وَالثَّانِي: لَا يُجْزِئُهُ، مُخَرَّجٌ مِنَ الْقَوْلِ الَّذِي يَزْعُمُ أَنَّهُ لَوْ أَعْسَرَ بها تحملها الْمُحْرِمُ عَنْهُ، فَأَمَّا الْمُحْرِمُ، إِذَا أَوْجَبْنَا عَلَيْهِ تَحَمُّلَ الْفِدْيَةِ عِنْدَ إِعْسَارِ الْحَالِقِ، أَوْ غَيْبَتِهِ، فَهُوَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ الدَّمِ، وَالْإِطْعَامِ، فَأَمَّا الصِّيَامُ، فَإِنَّهُ لَا يُجْزِئُهُ؛ لِأَنَّهُ يَتَحَمَّلُ عَنْ غَيْرِهِ، وَأَعْمَالُ الْأَبْدَانِ لَا يَجُوزُ تَحَمُّلُهَا عَنِ الْغَيْرِ، بأن افْتَدَى بِالدَّمِ، أَوِ الْإِطْعَامِ، ثُمَّ أَيْسَرَ الْحَالِقُ بَعْدَ إِعْسَارِهِ، أَوْ قَدِمَ بَعْدَ غَيْبَتِهِ، نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ افْتَدَى بِأَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ ثَمَنًا، فَلَهُ الرُّجُوعُ عَلَى الْحَالِقِ؛ لِأَنَّهُ تَحَمَّلَ عَنْهُ، وَإِنْ كَانَ قَدِ افْتَدَى بِأَكْثَرِ الْأَمْرَيْنِ ثَمَنًا، فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: tidak mencukupi (fidyah yang dilakukan muḥrim), dan ini diturunkan dari pendapat yang menyatakan bahwa jika pencukur tidak mampu (membayar fidyah), maka muḥrim menanggungnya.

Adapun muḥrim, apabila kita mewajibkan kepadanya untuk menanggung fidyah ketika pencukur tidak mampu membayar atau sedang tidak ada (ghaib), maka ia diberi pilihan antara menyembelih dam atau memberi makan. Adapun puasa, maka tidak mencukupi baginya; karena ia sedang menanggung kewajiban orang lain, dan amal badan (a‘māl al-abdān) tidak sah dilakukan atas nama orang lain.

Maka jika ia (muḥrim) membayar fidyah dengan dam atau makanan, lalu pencukur menjadi mampu setelah sebelumnya tidak mampu, atau ia datang setelah sempat ghaib, maka diperiksa:
 – Jika fidyah yang telah dibayarkan oleh muḥrim adalah yang lebih murah dari dua opsi yang ada, maka ia boleh menagih kembali kepada pencukur; karena ia telah menanggungnya.
 – Namun jika fidyah yang dibayarkan lebih mahal dari dua opsi, maka terdapat dua pendapat:


أَحَدُهُمَا: لَا رُجُوعَ لَهُ بِشَيْءٍ؛ لِأَنَّهُ غَارِمٌ عَنْ غَيْرِهِ، فَلَمْ يَكُنْ لَهُ فِي إِسْقَاطِ الْحَقِّ شَيْءٌ يَقْدِرُ عَلَى إِسْقَاطِهِ بِدُونِهِ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ صَارَ كَالْمُتَطَوِّعِ بِهِ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَرْجِعُ عَلَيْهِ بِأَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ ثَمَنًا؛ لِأَنَّهُ الْقَدْرُ الْوَاجِبُ، وَالزِّيَادَةُ تَطَوُّعٌ؛ فَسَقَطَ رُجُوعُهُ بِالتَّطَوُّعِ، وَلَمْ يَسْقُطْ رُجُوعُهُ بِالْوَاجِبِ.

Pertama: Tidak ada hak bagi pencukur (muḥill) untuk menuntut ganti apa pun, karena ia adalah penanggung beban (ghārim) untuk orang lain. Maka ia tidak memiliki hak dalam gugurnya kewajiban (fidyah) yang bisa ia gugurkan tanpa keterlibatan pihak yang bersangkutan. Dan ketika ia tidak memiliki itu, maka ia seperti orang yang bersedekah secara sukarela.

Pendapat kedua: Ia boleh menuntut ganti dari muḥrim sebesar nilai yang paling rendah dari dua pilihan kafārat, karena itu adalah kadar yang wajib. Sedangkan kelebihan dari kadar tersebut adalah sedekah sukarela, maka gugurlah hak tuntut atas bagian yang sukarela, dan tetaplah hak tuntut atas bagian yang wajib.


فَصْلٌ
: وَإِنْ كَانَ قَادِرًا عَلَى مَنْعِهِ، وَصُورَةُ ذَلِكَ أَنْ يَأْتِيَ الْحَلَالُ إِلَى الْمُحْرِمِ، فَيَحْلِقُ رَأْسَهُ، وَالْمُحْرِمُ سَاكِتٌ يَنْظُرُ إِلَيْهِ، وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى مَنْعِهِ، فَيَكُفُّ عَنْهُ، فَهَلْ يَكُونُ سُكُوتُهُ رِضًى بِالْحَلْقِ؟ يَجْرِي مَجْرَى إِذْنِهِ فِيهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ سُكُوتَهُ رِضًى يَجْرِي مَجْرَى إِذْنِهِ، فَتَكُونُ الْفِدْيَةُ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ السُّكُوتَ قَدْ جُعِلَ فِي الشَّرْعِ رِضًا يَقُومُ مَقَامَ الْإِذْنِ فِي الْبِكْرِ.

PASAL
 Jika muḥrim mampu mencegahnya—contohnya: seorang yang ḥalāl datang kepada muḥrim lalu mencukur kepalanya, sedangkan muḥrim diam melihatnya dan mampu mencegahnya namun tidak melakukannya—maka apakah diamnya itu dianggap sebagai keridhaan terhadap pencukuran, dan dihukumi seperti izinnya atau tidak? Maka ada dua pendapat:

Pertama: diamnya dianggap sebagai keridhaan dan setara dengan izin, maka fidyah wajib atasnya; karena diam dalam syariat telah dijadikan sebagai bentuk keridhaan yang setara dengan izin, sebagaimana dalam kasus gadis (yang diam dianggap ridha dalam pernikahan).


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ سُكُوتَهُ لَيْسَ بِرِضًى، وَلَا يَقُومُ مَقَامَ الْإِذْنِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ جُنِيَ عَلَى مَالِهِ وَهُوَ سَاكِتٌ، لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ رِضًى مِنْهُ يَجْرِي مَجْرَى إِذْنِهِ، لِمَنْعِهِ مِنْ مُطَالَبَةِ الْجَانِي يَقُومُ مَقَامَهُ، كَذَلِكَ هنا، فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الْجِنَايَةُ عَلَى الْحَالِقِ عَلَى مَا مَضَى.

Dan pendapat yang kedua: bahwa diamnya bukanlah suatu keridaan, dan tidak bisa menggantikan posisi izin; karena jika ada orang yang melakukan kejahatan terhadap hartanya sementara ia diam, maka diamnya itu tidak dianggap sebagai keridaan darinya yang dapat berlaku sebagai izin, sebab diamnya tidak menghalangi haknya untuk menuntut pelaku kejahatan itu. Maka demikian pula dalam masalah ini, berdasarkan hal tersebut, maka kejahatan dibebankan kepada orang yang mencukur, sebagaimana yang telah lalu.


فَصْلٌ
: فَلَوْ أَمَرَ حَلَالٌ حَلَالًا أَنْ يَحْلِقَ شَعْرَ مُحْرِمٍ، كَانَتِ الْفِدْيَةُ عَلَى الْآمِرِ دُونَ الْحَالِقِ؛ لِأَنَّ الْحَلْقَ مَنْسُوبٌ إِلَى الآمر، وإنما الحالق كالآلة، أَلَا تَرَى أَنَّ الْمُحْرِمَ لَوْ كَانَ هُوَ الْآمِرَ، كَانَتِ الْفِدْيَةُ عَلَيْهِ دُونَ الْحَالِقِ، فَكَذَا إِذَا كَانَ الْآمِرُ أَجْنَبِيًّا.

PASAL
 Maka seandainya seorang yang ḥalāl memerintahkan seorang ḥalāl (lain) untuk mencukur rambut seorang muḥrim, maka fidyah ditanggung oleh orang yang memerintahkan, bukan oleh pencukur; karena pencukuran itu disandarkan kepada yang memerintah, sementara si pencukur hanyalah seperti alat. Tidakkah engkau lihat bahwa jika yang memerintahkan adalah muḥrim itu sendiri, maka fidyah ditanggung olehnya, bukan oleh pencukur? Maka demikian pula jika yang memerintah adalah orang lain (asing).

فَإِنْ قِيلَ: فَلَوْ أَمَرَهُ بِقَتْلِ صَيْدٍ، كَانَ الْجَزَاءُ عَلَى الْقَاتِلِ دُونَ الْآمِرِ، فَهَلْ كَانَ الْحَالِقُ مِثْلَهُ. قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ قَتْلَ الصَّيْدِ اسْتِهْلَاكٌ لَا يَعُودُ عَلَى الْآمِرِ بِهِ نَفْعٌ، فَاخْتُصَّ الْقَاتِلُ الْمُتْلِفُ بِوُجُوبِ الْجَزَاءِ دُونَ الْآمِرِ، وَالْحَلْقُ اسْتِمْتَاعٌ يَعُودُ نَفْعُهُ عَلَى الْآمِرِ، فاختص بوجوب الفدية دون الحالق.

Maka jika dikatakan: “Bagaimana jika seseorang memerintah orang lain untuk membunuh binatang buruan, maka kewajiban denda (jazā’) ditanggung oleh si pembunuh, bukan oleh si pemberi perintah. Apakah pencukur (rambut muḥrim) itu sama seperti pembunuh tersebut?” Maka dijawab: perbedaan antara keduanya adalah bahwa membunuh binatang buruan merupakan bentuk penghilangan yang tidak kembali manfaatnya kepada orang yang memerintah, maka khusus pembunuh yang merusak itulah yang wajib menanggung denda, bukan pemberi perintah. Sedangkan mencukur adalah bentuk pemanfaatan yang manfaatnya kembali kepada si pemberi perintah, maka khusus dia yang wajib menanggung fidyah, bukan pencukur.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا بَأْسَ بِالْكُحْلِ، مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ طيب، فإن كان فيه طيب افتدى “.
أَمَّا الْكُحْلُ فَضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ فِيهِ طِيبٌ، فَلَا يَجُوزُ لِلْمُحْرِمِ الِاكْتِحَالُ بِهِ؛ لِأَجْلِ طِيبِهِ، فَإِنِ اكْتَحَلَ بِهِ افْتَدَى.

Masalah
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Tidak mengapa memakai kuḥl, selama tidak mengandung wewangian. Jika mengandung wewangian, maka wajib fidyah.”

Adapun kuḥl itu ada dua macam:
 Pertama: yang mengandung wewangian, maka tidak boleh bagi muḥrim memakai kuḥl tersebut karena wewangiannya. Jika ia memakainya, maka wajib fidyah.


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ فِيهِ طِيبٌ، فَإِنْ لَمْ يكن فيه زينة كالتوتيا وَالْأَنْزَرُوتِ، كَانَ لِلْمُحْرِمِ الِاكْتِحَالُ بِهِ إِجْمَاعًا، وَإِنْ كَانَ فِيهِ زِينَةٌ وَتَحْسِينٌ، كَالصَّبْرِ وَالْإِثْمِدِ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَأَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ: أَنَّ الْمُحْرِمَ غَيْرُ مَمْنُوعٍ مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ تَرْكُهُ أَفْضَلَ لَهُ، وَخَاصَّةً الْمَرْأَةَ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ لِحَاجَةٍ وَلَيْسَ بِمَكْرُوهٍ عَلَى كُلِّ حَالٍ.
وَحُكِيَ عَنْ عَطَاءٍ وَمُجَاهِدٍ: أَنَّ الْمُحْرِمَ مَمْنُوعٌ مِنْهُ؛ لِأَنَّ الْإِحْرَامَ عِبَادَةٌ تَمْنَعُ مِنَ الطِّيبِ، فَوَجَبَ أَنْ يُمْنَعَ مِنَ الْكُحْلِ، كَالْعِدَّةِ.

Dan jenis yang kedua: yaitu celak yang tidak mengandung wewangian. Jika tidak terdapat unsur perhiasan di dalamnya, seperti tūtiyā dan anzarūt, maka boleh bagi orang yang sedang ihram untuk bercelak dengannya menurut ijmak. Namun jika mengandung unsur perhiasan dan memperindah, seperti ṣabr dan itsmid, maka mazhab al-Syafi‘i dan mayoritas fuqaha berpendapat bahwa orang yang sedang ihram tidak dilarang menggunakannya, meskipun meninggalkannya lebih utama baginya, terutama bagi wanita, kecuali jika ada kebutuhan, maka tidak makruh dalam segala keadaan.

Dan dinukil dari ‘Aṭā’ dan Mujāhid bahwa orang yang sedang ihram dilarang menggunakannya; karena ihram adalah bentuk ibadah yang melarang wewangian, maka wajib pula melarang penggunaan celak, sebagaimana wanita yang sedang menjalani masa ‘iddah.


وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ: مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ مَعْمَرٍ قَالَ: اشْتَكَيْتُ عَيْنِي وَأَنَا مُحْرِمٌ فَسَأَلْتُ أَبَانَ بْنَ عُثْمَانَ، فَقَالَ: اضْمِدْهُمَا بِالصَّبْرِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُخْبِرُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِذَلِكَ وَرُوِيَ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَمِدَتْ عَيْنُهُ وَهُوَ مُحْرِمٌ، فَأَمَرَ أَنْ يُقَطَّرَ الصَّبْرُ فِي عَيْنِهِ إِقْطَارًا وَلِأَنَّ الْكُحْلَ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ زينة، أو دواءاً وَالْمُحْرِمُ غَيْرُ مَمْنُوعٍ مِنْهُمَا، فَأَمَّا مَا ذَكَرُوهُ مِنَ الْعِدَّةِ فَإِنَّمَا مَنَعَتْ مِنَ الْكُحْلِ؛ لِأَنَّهَا تَمْنَعُ مِنَ الزِّينَةِ، وَالْإِحْرَامُ لَا يَمْنَعُ مِنْهَا.

Dan dalil atas benarnya pendapat kami: adalah riwayat dari ‘Umar bin ‘Ubaidillah bin Ma‘mar, ia berkata: “Mataku sakit padahal aku sedang dalam keadaan iḥrām, lalu aku bertanya kepada Abān bin ‘Utsmān, maka ia berkata: ‘Kompreslah kedua matamu dengan ṣabr (sejenis tanaman obat), karena aku mendengar ‘Utsmān RA mengabarkan dari Rasulullah SAW tentang hal itu.’”
 Juga diriwayatkan bahwa mata Ibnu ‘Umar sakit (meradang) sedang ia dalam keadaan muḥrim, lalu ia memerintahkan agar ṣabr diteteskan ke matanya dengan cara diteteskan.

Dan karena kuḥl, bisa jadi termasuk perhiasan, atau obat. Sementara muḥrim tidak dilarang dari keduanya. Adapun yang mereka sebutkan tentang wanita iddah, sesungguhnya ia dilarang memakai kuḥl karena larangan berhias, sedangkan iḥrām tidak melarang berhias.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولا بأس بالاغتسال ودخول الحمام اغتسل رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وهو محرم ودخل ابن عباس حمام الجحفة فقال ما يعبأ الله بأوساخكم شيئاً “.

Masalah
 : Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Tidak mengapa mandi dan masuk kamar mandi umum. Rasulullah SAW pernah mandi dalam keadaan berihram, dan Ibnu ‘Abbās pernah masuk kamar mandi di al-Juḥfah, lalu berkata: ‘Allah tidak peduli dengan kotoran-kotoran kalian sedikit pun.’”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا اغْتِسَالُ الْمُحْرِمِ بِالْمَاءِ وَالِانْغِمَاسُ فِيهِ، فَجَائِزٌ، وَلَا يُعْرَفُ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ خِلَافٌ فِيهِ، لِرِوَايَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حُنَيْنٍ، أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ وَالْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ، اخْتَلَفَا بِالْأَبْوَاءِ فِي غَسْلِ الْمُحْرِمِ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: يَغْسِلُ رَأْسَهُ وَقَالَ الْمِسْوَرُ لَا يَغْسِلُ رَأْسَهُ قَالَ: فَبَعَثَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ إِلَى أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ؛ لِأَسْأَلَهُ عَنِ اغْتِسَالِ الْمُحْرِمِ، فَأَتَيْتُهُ وَهُوَ يَغْتَسِلُ مِنَ الْقَرْنَيْنِ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَرَدَّ عَلَيَّ، وَقَالَ: مَنْ أَنْتَ؟ فَقُلْتُ: عَبْدُ اللَّهِ بَعَثَنِي ابن عباس، أتيت إِلَيْكَ لِأَسْأَلَكَ عَنِ اغْتِسَالِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهُوَ مُحْرِمٌ، قَالَ: ” فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَى ثَوْبٍ مستتراً به فطأطأ حتى بدا رأسه ثم أقبل بهما وَقَالَ لِمَنْ كَانَ يَصُبُّ عَلَيْهِ اصْبُبْ فَصَبَّ عَلَيْهِ فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ ثُمَّ أَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ، وَقَالَ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَنَعَ وَهُوَ مُحْرِمٌ ” وَرَوَى يَعْلَى بْنُ أُمَيَّةَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ اغتسل إلى بعيره وَأَنَا أَسْتُرُهُ بِثَوْبٍ، فَقَالَ: اصْبُبْ عَلَى رَأْسِي؟ فَقُلْتُ: أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ أَعْلَمُ فَقَالَ: وَاللَّهِ مَا يَزِيدُ الْمَاءُ الشَّعْرَ إِلَّا شَعَثًا فَسَمَّى اللَّهَ، ث م أَفَاضَ عَلَى رَأْسِهِ رَوَى عِكْرِمَةُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: رُبَّمَا قَالَ لِي عُمَرُ: تَعَالَ أُبَاقِيكَ فِي الْمَاءِ، أَيُّنَا أَطْوَلُ نَفَسًا، وَنَحْنُ مُحْرِمُونَ فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ اغْتِسَالِ الْمُحْرِمِ، فَلَهُ غَسْلُ جَسَدِهِ، وَدَلْكُهُ، فَأَمَّا رَأْسُهُ، فَيَفِيضُ عَلَيْهِ الماء، ولا يدلكه، لأن لا يسقط شيء من شعر رأسه ولحيه، إِلَّا أَنْ يَكُونَ جُنُبًا، فَيَغْسِلُهُ بِبُطُونِ أَنَامِلِهِ بِرِفْقٍ، وَلَا يَحُكُّهُ بِأَظَافِرِهِ، فَإِنْ حَكَّهُ فَسَقَطَ شَيْءٌ مِنْ شَعْرِهِ، فَالِاحْتِيَاطُ أَنْ يَفْتَدِيَهُ وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ يَسْتَيْقِنَ أَنَّهُ قَطَعَهُ أو نتفه بفعله فيفتدي واجباً.

Al-Māwardī berkata:
 Adapun mandi muḥrim dengan air dan berendam di dalamnya, maka hukumnya boleh, dan tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang hal ini. Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Abdullāh bin Ḥunayn, bahwa Ibnu ‘Abbās dan al-Miswar bin Makhramah berselisih pendapat di al-Abwā’ mengenai hukum mandi bagi muḥrim. Ibnu ‘Abbās berkata: “Boleh membasuh kepalanya,” sedangkan al-Miswar berkata: “Tidak boleh membasuh kepalanya.” Maka Ibnu ‘Abbās mengutusku kepada Abū Ayyūb al-Anṣārī untuk menanyakan tentang mandi muḥrim. Lalu aku mendatanginya, dan ia sedang mandi di tempat bernama al-Qarnayn. Aku memberi salam kepadanya, lalu ia menjawab salamku dan berkata: “Siapa kamu?” Aku menjawab: “Aku ‘Abdullāh, Ibnu ‘Abbās mengutusku kepadamu, aku datang untuk menanyakan tentang mandi Rasulullah SAW dalam keadaan iḥrām.” Maka ia meletakkan tangannya di atas kain yang menutupi tubuhnya lalu menunduk hingga tampak kepalanya, kemudian ia mengarahkan kepalanya kepada orang yang menuangkan air dan berkata: “Tuangkanlah!” Maka orang itu menuangkan air kepadanya, lalu ia meletakkan tangannya di atas kepala, kemudian ia mengusap ke depan dan ke belakang, dan berkata: “Beginilah aku melihat Rasulullah SAW mandi dalam keadaan muḥrim.”

Juga diriwayatkan dari Ya‘lā bin Umayyah bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA mandi di sisi untanya, sementara aku menutupinya dengan kain. Lalu ia berkata: “Tuangkanlah air ke atas kepalaku.” Maka aku berkata: “Engkau adalah Amīrul-Mu’minīn, engkau lebih tahu.” Maka ia berkata: “Demi Allah, air itu hanya membuat rambut semakin kusut.” Lalu ia membaca basmalah, kemudian menuangkan air ke atas kepalanya.

‘Ikramah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata: “Terkadang ‘Umar berkata kepadaku: ‘Mari kita berlomba tahan napas di dalam air, siapa yang lebih lama,’ sedangkan kami dalam keadaan muḥrim.”

Maka apabila telah tetap bolehnya mandi bagi muḥrim, maka boleh baginya membasuh tubuh dan menggosoknya. Adapun kepala, maka cukup dengan mengalirkan air di atasnya dan tidak menggosoknya, agar tidak ada rambut kepala atau jenggot yang rontok, kecuali jika ia dalam keadaan junub, maka ia mencuci kepala dengan bagian dalam jari-jarinya secara lembut dan tidak menggaruknya dengan kuku. Jika ia menggaruk dan ada rambut yang rontok, maka langkah kehati-hatian adalah membayar fidyah, dan tidak wajib atasnya kecuali ia yakin bahwa ia telah memotong atau mencabut rambut dengan perbuatannya sendiri, maka wajib membayar fidyah.

فَصْلٌ
: فَأَمَّا دُخُولُهُ الْحَمَّامَ، وَإِزَالَةُ الْوَسَخِ عَنْ نَفْسِهِ، فَجَائِزٌ نَصًّا، وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ أَزَالَ الْوَسَخَ عَنْ نَفْسِهِ فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْمُحْرِمُ أَشْعَثُ أَغْبَرُ “.
وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ دَخَلَ حَمَّامَ الْجُحْفَةِ مُحْرِمًا وَقَالَ: مَا يَعْبَأُ اللَّهُ بِأَوْسَاخِكُمْ شَيْئًا. قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَيْسَ فِي الْوَسَخِ نُسُكٌ وَلَا أَمَرَ نُهِيَ عَنْهُ وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” الْمُؤْمِنُ نَظِيفٌ ” وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: نعم البيت يُنَقِّي الدَّرَنَ وَيُذَكِّرُ النَّارَ.

PASAL
 Adapun masuk ke hammām dan membersihkan kotoran dari tubuhnya, maka itu boleh secara nash. Mālik berkata: Jika ia menghilangkan kotoran dari tubuhnya, maka atasnya fidyah, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Orang yang sedang iḥrām itu kusut dan berdebu.”

Dalil kami adalah riwayat dari Ibnu ‘Abbās bahwa ia masuk ke hammām al-Juḥfah dalam keadaan beriḥrām, lalu berkata: “Allah tidak peduli dengan kotoran-kotoran kalian sedikit pun.”

Asy-Syāfi‘i berkata: Tidak ada nusuk dalam kotoran, dan tidak ada perintah atau larangan mengenainya. Telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Seorang mukmin itu bersih.” Dan diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA bahwa ia berkata: “Sebaik-baiknya rumah adalah yang menghilangkan kotoran dan mengingatkan akan neraka.”


فَصْلٌ
: فَأَمَّا غَسْلُ رَأْسِهِ بِالْخِطْمِيِّ وَالسِّدْرِ، فَغَيْرُ مُخْتَارٍ لَهُ فَإِنْ فَعَلَهُ فَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ وَقَالَ أبو حنيفة إِنْ غَسَلَ رَأْسَهُ بِالْخِطْمِيِّ، فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ وَهَذَا خَطَأٌ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي مُحْرِمٍ وَقَصَتْ بِهِ رَاحِلَتُهُ: ” اغْسِلُوهُ بماءٍ وسدرٍ، فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا ” فَأَمَرَ بِغَسْلِ رَأْسِهِ بِالسِّدْرِ، وَأَخْبَرَ بِنَقَاءِ إِحْرَامِهِ، وَالسِّدْرُ وَالْخِطْمِيُّ سَوَاءٌ فَدَلَّ عَلَى سُقُوطِ الْفِدْيَةِ فِيهِ.

PASAL
 Adapun mencuci kepala dengan khithmī dan sidr, maka hal itu tidak dianjurkan baginya. Namun jika ia melakukannya, maka tidak ada fidyah atasnya.

Abu Ḥanīfah berpendapat: Jika ia mencuci kepalanya dengan khithmī, maka wajib atasnya fidyah.

Pendapat ini keliru, karena sabda Nabi SAW mengenai seorang muḥrim yang terjatuh dari tunggangannya:
 “Mandikanlah ia dengan air dan sidr, karena ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah.”

Nabi SAW memerintahkan untuk mencuci kepalanya dengan sidr, serta mengabarkan bahwa ihramnya tetap sah.

Padahal sidr dan khithmī adalah sama, maka hal itu menunjukkan gugurnya kewajiban fidyah dalam hal ini.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا بَأْسَ أَنْ يَقْطَعَ الْعِرْقَ وَيَحْتَجِمَ مَا لَمْ يَقْطَعْ شَعْرًا وَاحْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – محرماً “.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَحُكِيَ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ مَنَعَ الْمُحْرِمَ مِنَ الْحِجَامَةِ؛ لِأَنَّهُ يَقْطَعُ الشَّعْرَ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَمِنَ التَّابِعِينَ الْحَسَنُ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى جَوَازِ الْحِجَامَةِ، رِوَايَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – احْتَجَمَ بِالْقَاحَةِ وَهُوَ صَائِمٌ، مُحْرِمٌ بِالْقَرَنِ. وَرَوَى حميد عَنْ أَنَسٍ ” أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – احْتَجَمَ بِلَحْيِ جملٍ وَهُوَ مُحْرِمٌ فِي وَسَطِ رَأْسِهِ ” وَرَوَى جَابِرٍ ” أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – احْتَجَمَ مِنْ وَنًى كَانِ بِهِ “. وَكَذَلِكَ لَا بَأْسَ أَنْ يَفْتَصِدَ وَيَبُطَّ جُرْحًا؛ لِأَنَّ الْفِصَادَ شرطة من شرطان الْحِجَامَةِ. فَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ الْحِجَامَةَ تَقْطَعُ الشَّعْرَ.
قُلْنَا: إِنْ قَطَعَ الشَّعْرِ، فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ.

Masalah
 Asy-Syāfi‘i raḥimahullāh berkata: “Tidak mengapa memotong urat dan berbekam selama tidak memotong rambut. Rasulullah SAW pernah berbekam dalam keadaan beriḥrām.”

Al-Māwardī berkata: Diriwayatkan dari Mālik bahwa ia melarang orang yang beriḥrām melakukan ḥijāmah karena dapat memotong rambut. Pendapat ini juga diriwayatkan dari sebagian sahabat seperti Ibnu ‘Umar RA, dan dari kalangan tābi‘īn seperti al-Ḥasan.

Adapun dalil bolehnya ḥijāmah adalah riwayat dari Ibnu ‘Abbās bahwa Nabi SAW berbekam di al-Qāḥah dalam keadaan puasa dan beriḥrām dengan qirān. Dan Ḥumayd meriwayatkan dari Anas: “Sesungguhnya Nabi SAW berbekam di pangkal leher unta dalam keadaan beriḥrām, di tengah kepalanya.” Dan Jabir meriwayatkan: “Bahwa Nabi SAW berbekam karena mengalami lemah badan (wana) yang menimpanya.”

Begitu pula tidak mengapa melakukan faṣd (pengeluaran darah dari pembuluh) atau membedah luka, karena faṣd adalah salah satu bentuk dari dua metode ḥijāmah.

Adapun perkataan mereka bahwa ḥijāmah itu memotong rambut, maka kami katakan: Jika benar-benar memotong rambut, maka wajib atasnya fidyah.


مَسْأَلَةٌ
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكَحُ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نهى عن ذلك وقال فإن نكح أو أنكح فالنكاح فاسد “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي نِكَاحِ الْمُحْرِمِ وَإِنْكَاحِهِ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ نِكَاحَهُ وَإِنْكَاحَهُ بَاطِلٌ.

MASALAH
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Muḥrim tidak boleh menikah dan tidak boleh menikahkan, karena Nabi SAW melarang hal tersebut dan bersabda: ‘Jika ia menikah atau menikahkan, maka nikahnya batal.’”

Al-Māwardī berkata: Para ulama berbeda pendapat tentang pernikahan muḥrim dan menikahkan orang lain saat dalam keadaan ihram. Mazhab al-Syafi‘i berpendapat bahwa pernikahannya maupun menikahkan orang lain adalah batal.


وَقَالَ أبو حنيفة وَصَاحِبَاهُ: جَائِزٌ اسْتِدْلَالًا، بِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {فَانْكِحُواْ مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ) {النساء: 3) وقوله {وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ) {النساء: 24) وبرواية عكرمة عن أبو عَبَّاسٍ: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَكَحَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ محرمٌ. وَلِأَنَّهُ قَوْلٌ يُسْتَبَاحُ بِهِ الْبُضْعُ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يُمْنَعَ مِنْهُ الْإِحْرَامُ كَالرَّجْعَةِ، وَلِأَنَّهُ عَقْدٌ يُمْلَكُ بِهِ الْبُضْعُ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَمْنَعَ مِنَ الْإِحْرَامِ، كَشِرَاءِ الإماء ولأنه مَنَعَ الْإِحْرَامُ مِنَ ابْتِدَاءِ النِّكَاحِ، مُنِعَ مِنَ اسْتَدَامَتِهِ كَاللِّبَاسِ، فَلَمَّا جَازَ اسْتَدَامَتُهُ، جَازَ ابْتِدَاؤُهُ. وَلِأَنَّ مَا مُنِعَ مِنْهُ الْإِحْرَامُ، تَعَلَّقَتْ بِهِ الْفِدْيَةُ، كَسَائِرِ النَّوَاهِي، فَلَمَّا لَمْ تَجِبِ الْفِدْيَةُ فِيهِ لَمْ يُمْنَعِ الْإِحْرَامُ مِنْهُ.

Abu Ḥanīfah dan dua sahabatnya berkata: Nikah itu boleh (bagi orang beriḥrām), dengan berdalil pada keumuman firman Allah Ta‘ālā: “Maka nikahilah wanita-wanita yang baik bagi kalian” (QS. al-Nisā’: 3) dan firman-Nya: “Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian itu” (QS. al-Nisā’: 24), serta berdasarkan riwayat ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbās bahwa Nabi SAW menikahi Maimūnah dalam keadaan beriḥrām.

Karena nikah adalah ucapan yang menghalalkan kemaluan, maka tidak sepatutnya dihalangi oleh iḥrām, sebagaimana rujū‘ (kembali kepada istri dalam masa idah). Dan karena ia adalah akad yang memberikan kepemilikan terhadap kemaluan, maka tidak semestinya dilarang oleh iḥrām, sebagaimana membeli budak perempuan.

Dan karena iḥrām hanya melarang ibtidā’ nikah (memulai akad nikah), maka semestinya juga melarang istidāmah-nya (melanjutkan atau meneruskannya) sebagaimana larangan terhadap memakai pakaian. Namun ketika istidāmah nikah dibolehkan, maka demikian pula ibtidā’-nya boleh.

Dan karena segala hal yang dilarang oleh iḥrām, jika dilakukan maka dikenakan fidyah, seperti larangan-larangan lainnya, maka ketika nikah tidak mewajibkan fidyah, berarti iḥrām tidak melarangnya.


وِالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ رِوَايَةُ الشَّافِعِيِّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ نُبَيْهِ بْنِ وَهْبٍ أن عبد اللَّهِ أَرَادَ تَزْوِيجَ ابْنَتِهِ طَلْحَةَ بِنْتِ بْنِ جُبَيْرٍ، فَبَعَثَ إِلَى أَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ وَكَانَ أَمِيرَ الْحَاجِّ وَكَانَا مُحْرِمَيْنِ فَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهِ أَبَانٌ وَقَالَ: سَمِعْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنكح “.
فَإِنْ قِيلَ: نُبَيْهُ بْنُ وَهْبٍ ضَعِيفٌ قِيلَ: قَدْ رَوَى عَنْهُ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، وَأَيُّوبُ السِّخْتِيَانِيُّ، وَحَسْبُكَ بِهِمَا، ثُمَّ رَوَى عَنْهُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، وَيَحْيَى بْنُ مَعِينٍ، مِنْ بَعْدِهِمَا عَلَى أَنَّ الْقِصَّةَ مَشْهُورَةٌ، قَدْ حَكَاهَا عَنْ أَبَانٍ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَغَيْرُهُ.

Dan dalil atas kebenaran pendapat kami adalah riwayat al-Syafi‘i dari Mālik, dari Nāfi‘, dari Nubayh bin Wahb, bahwa ‘Abdullāh ingin menikahkan putrinya Ṭalḥah binti ‘Ubayr, lalu ia mengirim utusan kepada Abān bin ‘Utsmān—yang saat itu adalah amīr al-ḥajj—sedangkan keduanya dalam keadaan beriḥrām. Maka Abān mengingkari hal itu dan berkata: Aku mendengar ‘Utsmān bin ‘Affān berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Muḥrim tidak boleh menikah dan tidak boleh menikahkan.”

Jika dikatakan: Nubayh bin Wahb adalah perawi yang lemah. Maka dijawab: Ia telah diriwayatkan oleh Mālik bin Anas dan Ayyūb as-Sikhtiyānī, dan cukuplah dengan keduanya sebagai hujah. Kemudian setelah keduanya, ia juga diriwayatkan oleh Aḥmad bin Ḥanbal dan Yaḥyā bin Ma‘īn.

Lagipula kisah ini masyhur, telah dinukil dari Abān oleh Sa‘īd bin al-Musayyab dan yang lainnya.

 

فَإِنْ قِيلَ: يُحْمَلُ نَهْيُهُ عَلَى الْوَطْءِ دُونَ الْعَقْدِ.
قِيلَ: غَيْرُ صَحِيحٍ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ أَبَانَ بْنَ عُثْمَانَ وَمَنْ حَضَرَهُ قَدْ عَقِلُوا مَعْنَاهُ، وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْعَقْدُ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَالَ: ” لَا يَنكح وَلَا يُنكح ” فَلَمْ يَصِحَّ حَمْلُهُ عَلَى الْوَطْءِ؛ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ لَا يُوَطِئُ غَيْرَهُ، عَلَى أَنَّهُ لَوْ جَازَ مَا قَالُوا، لَكَانَ حَمْلُهُ عَلَى الْعَقْدِ أَوْلَى مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ أَعَمُّ لِأَنَّهُ يَتَنَاوَلُ الْأَمْرَيْنِ.

Maka jika dikatakan: Larangan itu dibawa pada larangan jima‘ (bersetubuh), bukan pada akad nikah.
 Dijawab: Itu tidak benar dari dua sisi:

Pertama: Bahwa Abān bin ‘Utsmān dan orang-orang yang hadir bersamanya telah memahami maksud dari larangan tersebut, dan bahwa yang dimaksud adalah akad nikah.

Kedua: Karena Nabi SAW bersabda: “Lā yankihu wa lā yunkaḥ” (jangan menikah dan jangan menikahkan), maka tidak sah dibawa pada makna jima‘, sebab seseorang tidak dapat menjima‘kan orang lain. Dan seandainya boleh menakwil seperti yang mereka katakan, maka membawanya kepada makna akad nikah lebih utama dari dua sisi:

Pertama: Karena lebih umum, sebab mencakup kedua hal, yaitu akad dan jima‘.


الثَّانِي: أَنَّهُ يُعْلَمُ بِهِ حُكْمٌ فَيُسْتَفَادُ، لِأَنَّ تَحْرِيمَ الْوَطْءِ مُسْتَفَادٌ مِنْ قَوْله تَعَالَى: {فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ) {البقرة: 197) وَرَوَى عكرمة سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ امْرَأَةٌ تَتَزَوَّجُ وَهِيَ خَارِجَةُ مَكَّةَ: يَعْنِي أَنَّهَا أَحْرَمَتْ وَخَرَجَتْ إِلَى مِنًى فقال: ” لا يعقل فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نهى عنه وهنا نَصٌّ فِي الْعَقْدِ وَرَوَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يَتَزَوَّجُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُزَوَّجُ “. وَهَذَا نَصٌّ أَيْضًا، وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعٌ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وعلي، وابن عمر، وزيد بن زياد، وَلَيْسَ يُعْرَفُ لَهُمْ مِنَ الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ، وَلِأَنَّهُ مَعْنًى يَثْبُتُ بِهِ الْفِرَاشُ، فَوَجَبَ أَنْ يُمْنَعَ مِنْهُ الْإِحْرَامُ، كَالْوَطْءِ، وَلِأَنَّهُ مَعْنًى يَثْبُتُ بِهِ تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ، فَوَجَبَ أَنْ يُمْنَعَ مِنْهُ الْإِحْرَامُ، كَالْوَطْءِ، وَلَا يُنْتَقَضُ بِالرَّضَاعِ، وَلِأَنَّهُ يَثْبُتُ تَحْرِيمُ النَّسَبِ دُونَ الْمُصَاهَرَةِ، وَلِأَنَّ الْإِحْرَامَ مَعْنًى يَمْنَعُ مِنَ الْوَطْءِ وَدَوَاعِيهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَمْنَعَ مِنَ النِّكَاحِ، كَالْعِدَّةِ، وَلِأَنَّ النِّكَاحَ مِنْ دَوَاعِي الْجِمَاعِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْإِحْرَامُ مَانِعًا مِنْهُ، كَالطِّيبِ، وَلِأَنَّهُ عَقْدُ نِكَاحٍ عَلَى مَنْ لَا يَسْتَبِيحُ الِاسْتِمْتَاعَ بِهَا مَعَ الْقُدْرَةِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بَاطِلًا كَذَاتِ الْمُحْرِمِ وَالْمُرْتَدِّ.

kedua: bahwa dari hal ini dapat diketahui suatu hukum yang dapat dimanfaatkan, karena pengharaman jima‘ diambil dari firman Allah Ta‘ālā: “Maka barang siapa yang menetapkan dalam dirinya untuk berhaji di bulan-bulan itu, maka janganlah ia rafats (berkata atau berbuat mesum)” (QS al-Baqarah: 197).

Dan diriwayatkan dari ‘Ikrimah bahwa ia berkata: Aku bertanya kepada Ibn ‘Umar tentang seorang perempuan yang menikah sedangkan ia sedang keluar dari Mekah—maksudnya ia telah beriḥrām dan keluar menuju Mina—maka Ibn ‘Umar menjawab: “Itu tidak masuk akal, karena Rasulullah SAW telah melarangnya.”

Dan di sini terdapat nash dalam masalah akad nikah.

Juga diriwayatkan dari Anas bin Mālik bahwa Nabi SAW bersabda: “Muḥrim tidak boleh menikah dan tidak boleh menikahkan.” Ini juga merupakan nash.

Dan karena ini merupakan ijmā‘ dari para sahabat raḍiyallāhu ‘anhum. Diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Utsmān, ‘Alī, Ibn ‘Umar, Zayd bin Ziyād, dan tidak diketahui adanya sahabat yang menyelisihi mereka.

Juga karena nikah merupakan sebab yang menetapkan keberadaan hubungan tempat tidur (hak suami istri), maka wajib bagi ihram untuk mencegahnya, sebagaimana jima‘.

Dan karena nikah menetapkan keharaman muṣāharah, maka wajib bagi ihram untuk mencegahnya, sebagaimana jima‘.

Dan tidak dapat ditentang dengan perumpamaan raḍā‘ (susuan), karena ia menetapkan keharaman nasab tanpa muṣāharah.

Dan karena ihram adalah keadaan yang mencegah dari jima‘ dan segala pendorongnya, maka wajib ia juga mencegah dari nikah, sebagaimana masa ‘iddah.

Dan karena nikah adalah salah satu pendorong jima‘, maka wajib bagi ihram untuk menjadi penghalang darinya, sebagaimana ṭīb (wewangian).

Dan karena ia adalah akad nikah terhadap seseorang yang tidak halal untuk dinikmati padahal mampu, maka wajib hukumnya batal, sebagaimana menikahi wanita mahram dan wanita murtad.


فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِعُمُومِ الْآيَتَيْنِ، فَمَخْصُوصٌ بِمَا ذَكَرْنَا، وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِحَدِيثِ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَكَحَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ ” فَفِيهِ جَوَابَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الطِّيِّبِ بْنِ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مخصوص بجواز النكاح في الإحرام لما كَانَ مَخْصُوصًا بِغَيْرِهِ فِي الْمَنَاكِحِ.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَغَيْرَهُ فِي النِّكَاحِ فِي الْإِحْرَامِ سَوَاءٌ، لَكِنَّ خَبَرَ ابْنِ عَبَّاسٍ واهٍ؛ لِأَنَّهُ مِنْ طَرِيقِ عِكْرِمَةَ وَهُوَ ضَعِيفٌ، وَقَدْ رُوِيَ مِنْ ثَلَاثِ طُرُقٍ، أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نكح ميمونة وهو حلال.

Adapun dalil mereka dengan keumuman dua ayat, maka itu telah dikhususkan dengan apa yang telah kami sebutkan.

Dan adapun dalil mereka dengan hadis ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbās bahwa Nabi SAW menikahi Maimūnah dalam keadaan beriḥrām, maka terdapat dua jawaban:

Pertama: Yaitu pendapat Abū Ṭayyib Ibn Salamah bahwa Nabi SAW dikhususkan dengan kebolehan menikah dalam keadaan beriḥrām, sebagaimana beliau dikhususkan dalam perkara pernikahan lainnya.

Jawaban kedua: Bahwa Nabi SAW dan selain beliau sama saja dalam hukum menikah saat beriḥrām, namun riwayat Ibnu ‘Abbās itu lemah; karena berasal dari jalur ‘Ikrimah, dan ia adalah perawi yang lemah. Bahkan telah diriwayatkan dari tiga jalur bahwa Nabi SAW menikahi Maimūnah dalam keadaan halal (tidak beriḥrām).

فأحدهما: مَا رَوَاهُ أَيُّوبُ عَنْ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ قَالَ: كُتِبَ إِلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وميمون يومئذ على الجزيرة إذ سأل يَزِيدَ بْنَ الْأَصَمِّ، وَكَانَ ابْنَ أُخْتِ مَيْمُونَةَ كَيْفَ تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَيْمُونَةَ بِنْتَ الْحَارِثِ، فَقَالَ تَزَوَّجَهَا حَلَالًا وَبَنَى بِهَا بِسَرِفَ حَلَالًا وَمَاتَتْ بِسَرِفَ فَهُوَ ذَاكَ قَبْرُهَا بِسَرِفَ تَحْتَ السَّقِيفَةِ أَوْ تَحْتَ الْعَقَبَةِ “.

Salah satu dalilnya: adalah riwayat dari Ayyūb dari Maymūn bin Mihrān, ia berkata: Telah ditulis surat kepada ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz—dan saat itu Maymūn menjadi pejabat di al-Jazīrah—ketika ia bertanya kepada Yazīd bin al-Aṣamm, yang merupakan keponakan Maimūnah, tentang bagaimana Rasulullah SAW menikahi Maimūnah binti al-Ḥārith.

Maka ia (Yazīd) menjawab:
 “Beliau menikahinya dalam keadaan halal, dan menggaulinya di Sarif dalam keadaan halal. Ia wafat di Sarif, dan inilah kuburannya di Sarif, di bawah saqīfah atau di bawah ‘aqabah.”


وَالطَّرِيقُ الثَّانِي: مَا رَوَاهُ سُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْفَذَ أَبَا رَافِعٍ وَرَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ، وَقِيلَ جَعْفَرَ بْنَ أَبِي طَالِبٍ وَهُوَ بِالْمَدِينَةِ إِلَى مَيْمُونَةَ فَتَزَوَّجَهَا، وَكَانَتْ جَعَلَتْ أَمْرَهَا إِلَى الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَهُوَ زَوْجُ أُخْتِهَا أُمِّ الْفَضْلِ، فَزَوَّجَهَا، ثُمَّ إِنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَرَجَ مُعْتَمِرًا فِي ذِي الْقَعْدَةِ سَنَةَ سَبْعَ عشرة العصيبة، فَأَخَذَهَا بِمَكَّةَ وَبَنَى بِهَا بسرفٍ.

Dan jalur kedua: Ialah riwayat dari Sulaimān bin Yasār bahwa Nabi SAW mengutus Abū Rāfi‘ dan seorang laki-laki dari kalangan Anṣār —dan ada yang mengatakan: Ja‘far bin Abī Ṭālib— ketika beliau masih berada di Madinah, kepada Maimūnah, lalu beliau menikahinya. Saat itu Maimūnah telah menyerahkan urusannya kepada al-‘Abbās bin ‘Abd al-Muṭṭalib, suami dari saudari Maimūnah yaitu Umm al-Faḍl, maka al-‘Abbās pun menikahkannya (dengan Nabi SAW).

Kemudian Nabi SAW keluar untuk melaksanakan ‘umrah pada bulan Ẓū al-Qa‘dah tahun ketujuh dari Hijrah, lalu beliau menemuinya di Makkah dan menggaulinya di Sarif.


وَالطَّرِيقُ الثَّالِثُ: مَا رَوَى مَيْمُونُ بْنُ مِهْرَانَ قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا إِلَى عَطَاءِ بْنِ أَبِي رباحٍ، فَسَمِعْتُهُ يخبر رجلاً أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خطب وَهُوَ حرامٌ وَمَلَكَهَا وَهُوَ حرامٌ. فَلَمَّا تَصَدَّعَ من عنده وحوله، حَدَّثَهُ حَدِيثَ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ قَالَ: فَانْطَلِقْ بِنَا إِلَى صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ، فَانْطَلَقْنَا حَتَّى دَخَلْنَا عَلَيْهَا فَإِذَا عَجُوزٌ كَبِيرٌ، فَسَأَلَهَا عَطَاءٌ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَتْ: خَطَبَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وهو حلالٌ ونكحها وَهُوَ حلالٌ وَدَخَلَ بِهَا وَهُوَ حَلَالٌ.

Jalur ketiga: adalah riwayat dari Maymūn bin Mihrān, ia berkata: Aku sedang duduk bersama ‘Aṭā’ bin Abī Rabāḥ, lalu aku mendengarnya mengabarkan kepada seorang laki-laki bahwa Nabi SAW melamar (Maimūnah) dalam keadaan beriḥrām, dan menikahinya serta menguasainya (akad) dalam keadaan beriḥrām.

Namun setelah orang-orang bubar dari sekelilingnya, ia menceritakan kepadanya hadis Yazīd bin al-Aṣamm. Lalu ia berkata: “Mari kita pergi menemui Ṣafiyyah bint Shaybah.” Maka kami pun pergi hingga masuk ke tempatnya.

Ternyata ia adalah seorang perempuan tua. Lalu ‘Aṭā’ menanyainya tentang hal tersebut. Maka Ṣafiyyah berkata:
 “Rasulullah SAW melamarnya dalam keadaan halal, menikahinya dalam keadaan halal, dan menggaulinya dalam keadaan halal.”


فَكَانَتْ هَذِهِ الْأَحَادِيثُ أَوْلَى مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ لِأَنَّ يَزِيدَ بْنَ الْأَصَمِّ ابْنُ أُخْتِهَا، وَسُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ عَتِيقُهَا، وَابْنُ عَبَّاسٍ إِذْ ذَاكَ طِفْلٌ لَا يَضْبُطُ مَا شَاهَدَ، وَلَا يَعِي مَا سَمِعَ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَاتَ وَلِابْنِ عَبَّاسٍ تِسْعُ سِنِينَ، وَكَانَ تَزْوِيجُ ميمونة قبل موته بثلاثة سِنِينَ، عَلَى أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ يَرَى أن من قل هديه وأشعر صَارَ مُحْرِمًا فَيَجُوزُ أَنْ تَكُونَ بِرِوَايَتِهِ أَنَّهُ نَكَحَهَا وَهُوَ مُحْرِمٌ بَعْدَ تَقْلِيدِ هَدْيِهِ وَإِشْعَارِهِ، وَقِيلَ عَقَدَ الْإِحْرَامَ عَلَى نَفْسِهِ.

Maka hadis-hadis ini lebih utama daripada hadis Ibnu ‘Abbās, karena Yazīd bin al-Aṣamm adalah keponakannya (Maimūnah), dan Sulaimān bin Yasār adalah bekas budaknya, sedangkan Ibnu ‘Abbās ketika itu masih anak kecil yang belum mampu mengingat dengan baik apa yang ia saksikan dan belum memahami apa yang ia dengar. Sebab, Rasulullah SAW wafat ketika Ibnu ‘Abbās berumur sembilan tahun, sementara pernikahan Nabi dengan Maimūnah terjadi tiga tahun sebelum wafatnya.

Selain itu, Ibnu ‘Abbās berpendapat bahwa siapa yang membawa hewan hadyu dan menandainya, maka ia sudah menjadi muḥrim. Maka boleh jadi maksud dari riwayat beliau bahwa Nabi SAW menikahi Maimūnah dalam keadaan beriḥrām adalah setelah beliau menandai dan menggantungkan kalung pada hewan hadyu-nya, dan ada pula yang mengatakan: beliau sudah berniat iḥrām untuk dirinya.


وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الرَّجْعَةِ، فَلَا يَصِحُّ عَلَى أَصْلِهِمْ، لِأَنَّهُمْ قَالُوا: اسْتِبَاحَةُ بُضْعٍ، وَالرَّجْعَةُ غَيْرُ مُحَرَّمَةٍ عِنْدَهُمْ عَلَى أَنَّ الرَّجْعَةَ أَخَفُّ حَالًا مِنِ ابْتِدَاءِ الْعَقْدِ؛ لِأَنَّهُ اسْتِصْلَاحُ خَلَلٍ فِي الْعَقْدِ، أَلَا تَرَاهُ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى وَلِيٍّ وَلَا إِلَى إِيجَابٍ وَقَبُولٍ وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى شِرَاءِ الْإِمَاءِ، فَلَيْسَ الْمَقْصُودُ مِنْهُ الِاسْتِمْتَاعَ، وإنما المقصود منه التِّجَارَةُ وَطَلَبُ الرِّبْحِ أَوِ الِاسْتِخْدَامُ فَلِذَلِكَ جَازَ شِرَاءُ مَنْ لَا يَحِلُّ لَهُ مِنْ أَخَوَاتِهِ وَعَمَّاتِهِ، فَلِذَلِكَ لَمْ يُمْنَعْ مِنْهُ الْإِحْرَامُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَمْنَعُ مِنْ مَقْصُودِهِ وَعَقْدُ النِّكَاحِ مَقْصُودُهُ الِاسْتِمْتَاعُ فَمَنَعَ مِنْهُ الْإِحْرَامُ لِأَنَّهُ يَمْنَعُ مِنْ مقصوده، وأما قولهم: إنما منع الإحرام من ابتدائه منع من استدامته، فَبَاطِلٌ بِالطِّيبِ؛ لِأَنَّ الْإِحْرَامَ يَمْنَعُ مِنَ ابْتِدَائِهِ وَلَا يَمْنَعُ عِنْدَنَا وَعِنْدَ أبي حنيفة مِنِ استدامته.

Adapun qiyās mereka terhadap rujū‘ (mengembalikan istri dalam masa iddah), maka tidak sah menurut prinsip mereka sendiri, karena mereka mengatakan bahwa itu adalah bentuk istibāḥah buḍ‘ (pembolehan hubungan suami-istri), padahal rujū‘ tidak diharamkan menurut mereka.

Lagi pula rujū‘ itu lebih ringan keadaannya dibanding akad baru, karena ia merupakan bentuk perbaikan atas cacat dalam akad yang sudah ada. Tidakkah engkau lihat bahwa rujū‘ tidak membutuhkan wali dan tidak pula ijab dan qabul?

Adapun qiyās mereka terhadap pembelian budak perempuan, maka itu tidak tepat, karena tujuan dari pembelian tersebut bukanlah untuk istimta‘ (bersenang-senang), melainkan untuk perdagangan dan mencari keuntungan, atau untuk dijadikan pelayan.

Oleh karena itu dibolehkan membeli budak perempuan yang haram dinikahi seperti saudari dan bibinya, dan karena itu pula tidak dilarang dalam keadaan beriḥrām, karena tidak bertentangan dengan tujuan utamanya.

Adapun akad nikah, tujuannya adalah istimta‘, maka ihram melarangnya karena bertentangan dengan tujuan tersebut.

Sedangkan ucapan mereka bahwa: “Karena ihram melarang dari memulai (nikah), maka ia juga melarang dari melanjutkannya”, adalah batil, karena tidak berlaku dalam kasus ṭīb (wewangian); sebab ihram melarang dari memulainya, tetapi tidak melarang dari melanjutkannya menurut kami dan menurut Abū Ḥanīfah.


وأما قولهم: إنما مَنَعَ مِنْهُ الْإِحْرَامُ تُعَلَّقُ بِهِ الْفِدْيَةُ، فَبَاطِلٌ بِالصَّيْدِ؛ لِأَنَّهُ يَمْنَعُ مِنْ قَتْلِهِ وَمِنْ تَمَلُّكِهِ وَلَوْ تَمَلَّكَهُ لَمْ يَفْتَدِ عَلَى أَنَّ الْفِدْيَةَ إِنَّمَا تَجِبُ فِي الْحَجِّ، إِمَّا بِإِتْلَافٍ أَوْ تَرْفِيهٍ، وَالنِّكَاحُ لَيْسَ بِثَابِتٍ، فَيَحْصُلُ فِيهِ إِتْلَافٌ أَوْ تَرْفِيهٌ.

Adapun pernyataan mereka bahwa sesuatu yang dilarang karena iḥrām akan dikenakan fidyah, maka itu batil — karena adanya perbandingan dengan berburu (ṣayd); sebab iḥrām melarang membunuh dan memiliki hewan buruan, dan seandainya seseorang memilikinya, maka ia tidak terkena fidyah.

Selain itu, fidyah dalam haji hanya diwajibkan karena adanya itlāf (perusakan) atau tarfīh (kenikmatan), sedangkan akad nikah tidak mengandung unsur tetapnya sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai itlāf atau kenikmatan. Maka, tidak ada dasar untuk menetapkan fidyah padanya.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ نِكَاحَ الْمُحْرِمِ لَا يَصِحُّ، فَسَوَاءٌ كَانَ الزَّوْجُ مُحْرِمًا، أَوِ الزَّوْجَةُ، أَوِ الْوَلِيُّ، فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ مِنْ غَيْرِ طَلَاقٍ. وَقَالَ مَالِكٌ: هُوَ فَاسِدٌ يُفْسَخُ بِطَلْقَةٍ. وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ الطَّلَاقَ حُكْمٌ يَخْتَصُّ بِالنِّكَاحِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَقَعَ فِي النِّكَاحِ الْفَاسِدِ، كَالظِّهَارِ وَاللِّعَانِ، وَلِأَنَّهُ لَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ النِّكَاحُ صَحِيحًا، فَلَا مَعْنَى لِإِجْبَارِهِ عَلَى الطَّلَاقِ، أَوْ فَاسِدًا فَلَا مَعْنَى فِيهِ لِلطَّلَاقِ.

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa nikah muḥrim tidak sah, maka sama saja apakah yang beriḥrām adalah suami, istri, atau wali, maka pernikahan tersebut batal tanpa membutuhkan talak.

Mālik berpendapat: Nikah tersebut fasid dan harus dibatalkan dengan satu kali talak.

Pendapat ini keliru, karena talak adalah hukum yang khusus berlaku pada pernikahan yang sah, maka tidak seharusnya terjadi pada pernikahan yang fasid, sebagaimana ẓihār dan li‘ān.

Lagipula, pernikahan itu tidak lepas dari dua kemungkinan:

  • Jika sah, maka tidak ada makna untuk memaksanya melakukan talak;
  • Jika fasid, maka tidak ada tempat bagi talak dalam pernikahan tersebut.


فَصْلٌ
: إِذَا وَكَّلَ الرَّجُلُ الْمُحْرِمُ حَلَالًا، فَزَوَّجَهُ فِي حَالِ إِحْرَامِهِ، كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا؛ لِأَنَّ وَكِيلَهُ نَائِبٌ عَنْهُ، وَهُوَ لِأَجْلِ إِحْرَامِهِ لَا يَصِحُّ نِكَاحُهُ، فَكَذَلِكَ وَكِيلُهُ. وَكَذَا لَوْ وَكَّلَ الْحَلَالُ مُحْرِمًا، فَزَوَّجَهُ فِي حَالِ إِحْرَامِهِ، كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا، لِأَنَّهُ قَدْ أَقَامَ وَكِيلَهُ مَقَامَ نَفْسِهِ. وَكَذَا لَوْ كَانَتِ الْوِكَالَةُ مِنْ جِهَةِ الْوَلِيِّ، وَكَانَ الْوَلِيُّ أَوْ وَكِيلُهُ محرماً، كان النكاح باطلاً.

PASAL
 Jika seorang laki-laki yang sedang beriḥrām mewakilkan kepada orang yang halal, lalu orang tersebut menikahkannya saat ia dalam keadaan iḥrām, maka akad nikah itu batal; karena wakilnya bertindak atas nama dirinya, dan karena orang yang sedang beriḥrām tidak sah akad nikahnya, maka demikian pula wakilnya.

Begitu pula jika orang yang halal mewakilkan kepada orang yang sedang beriḥrām, lalu orang yang beriḥrām itu menikahkannya saat iḥrām, maka nikahnya batal, karena ia telah menempatkan wakilnya sebagai pengganti dirinya.

Demikian juga jika perwalian berasal dari pihak wali, dan wali atau wakilnya dalam keadaan beriḥrām, maka nikahnya batal.


فصل
: إذا كَانَ شَاهِدُ النِّكَاحِ مُحْرِمًا، كَانَ النِّكَاحُ جَائِزًا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ النِّكَاحُ غَيْرُ جَائِزٍ. ” وَرُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكَحُ وَلَا يَشْهَدُ “. قَالَ: وَلِأَنَّهُ شَرْطٌ فِي النِّكَاحِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مُحْرِمًا كَالْوَلِيِّ، وَهَذَا غَلَطٌ، أَمَّا الْخَبَرُ فَغَيْرُ ثَابِتٍ فِي الشُّهُودِ وَأَمَّا الْوَلِيُّ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الشَّاهِدِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

PASAL
 Apabila saksi dalam akad nikah adalah seorang muḥrim, maka nikah tersebut tetap sah. Hal ini ditegaskan oleh al-Syāfi‘ī dalam al-Umm.

Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berpendapat bahwa nikah tersebut tidak sah, dan diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Muḥrim tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak boleh menjadi saksi.”

Ia (al-Iṣṭakhrī) juga beralasan: karena saksi adalah syarat dalam nikah, maka tidak boleh ia beriḥrām sebagaimana halnya wali.

Namun ini adalah kesalahan.

Adapun hadis tersebut, maka tidak sah dijadikan hujah mengenai larangan menjadi saksi.

Sedangkan perbedaan antara wali dan saksi ditinjau dari dua sisi:


أَحَدُهُمَا: الْوَلِيُّ يَتَعَيَّنُ فِي النِّكَاحِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مُحْرِمًا كَالزَّوْجِ وَالشَّاهِدُ لَا يَتَعَيَّنُ فِي النِّكَاحِ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ مُحْرِمًا كَالْخَاطِبِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْوَلِيَّ لَهُ فِعْلٌ فِي النِّكَاحِ كَالزَّوْجِ، وَالشَّاهِدُ لَا فِعْلَ لَهُ كَالْخَاطِبِ.

Pertama: Wali adalah pihak yang ditentukan (keharusannya) dalam akad nikah, maka tidak boleh ia dalam keadaan beriḥrām, sebagaimana suami. Sedangkan saksi tidak ditentukan keberadaannya secara pribadi dalam akad nikah, maka boleh ia dalam keadaan beriḥrām, sebagaimana orang yang meminang.

Kedua: Wali memiliki peran aktif dalam pelaksanaan akad nikah seperti halnya suami, sedangkan saksi tidak memiliki peran dalam pelaksanaan akad, sebagaimana orang yang meminang.


فَصْلٌ
: فَلَوْ وَكَّلَ الْمُحْرِمُ حَلَالًا فِي التَّزْوِيجِ، فَزَوَّجَهُ الْوَكِيلُ بَعْدَ إِحْلَالِهِ، قَالَ الشَّافِعِيُّ نَصًّا فِي الْأُمِّ: صَحَّ النِّكَاحُ؛ لِأَنَّهُ تَوَلَّى عَقْدَهُ وَكِيلٌ حَلَالٌ لِمُوَكِّلٍ حَلَالٍ. وَإِنَّمَا كَانَ الْمُوَكِّلُ مُحْرِمًا حَالَ الْإِذْنِ، وَالِاعْتِبَارُ بِحَالِ الْعَقْدِ لَا حَالِ الْإِذْنِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَ إِذْنِ الْمُحْرِمِ فِي التَّزْوِيجِ، فَيُزَوَّجُ بَعْدَ إِحْلَالِهِ، فَيَجُوزُ، وَبَيْنَ إِذْنِ الصَّبِيِّ فِي التَّزْوِيجِ، فَيُزَوَّجُ بَعْدَ بُلُوغِهِ، فَلَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّ الصَّبِيَّ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ الْإِذْنِ، وَالْمُحْرِمُ هُوَ مِنْ أَهْلِ الْإِذْنِ.

PASAL
 Maka jika seorang muḥrim mewakilkan kepada seorang ḥalāl dalam pernikahan, lalu si wakil menikahkannya setelah dia (muḥrim) iḥlāl, al-Syafi‘i berkata secara tegas dalam al-Umm: nikahnya sah; karena yang melakukan akad adalah wakil yang ḥalāl bagi orang yang mewakilkan yang juga ḥalāl. Adapun orang yang mewakilkan adalah muḥrim saat memberi izin, dan yang menjadi patokan adalah keadaan saat akad, bukan saat pemberian izin. Perbedaan antara izin dari muḥrim dalam pernikahan yang dilangsungkan setelah dia iḥlāl, maka hukumnya boleh; dengan izin dari anak kecil dalam pernikahan yang dilangsungkan setelah dia baligh, maka tidak boleh; karena anak kecil bukan termasuk ahli dalam memberi izin, sedangkan muḥrim termasuk ahli dalam memberi izin.


فَصْلٌ
: إِذَا كَانَ الْإِمَامُ أَوْ قَاضِي الْبَلَدِ مُحْرِمًا، فَهَلْ لَهُ أَنْ يُزَوِّجَ فِي حَالِ إِحْرَامِهِ بِوِلَايَتِهِ الْحُكْمَ، عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ لِأَصْحَابِنَا:
أَحَدُهَا: لَا يَجُوزُ كَالْوَالِي الْخَاصِّ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكَحُ “.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يجوز لهما ذلك، كَمَا يَجُوزُ لَهُمَا بِوِلَايَةِ الْحُكْمِ تَزْوِيجُ الْكَافِرَةِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلْوَلِيِّ الْخَاصِّ ذَلِكَ.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ يَجُوزُ لِلْإِمَامِ، وَلَا يَجُوزُ لِلْقَاضِي؛ لِأَنَّ وِلَايَةَ الْإِمَامِ أَعَمُّ، وَجَمِيعَ الْقُضَاةِ خلفاؤه، وفي منعه عن ذَلِكَ ذَرِيعَةٌ إِلَى مَنْعِ سَائِرِ خُلَفَائِهِ.

PASAL
 Apabila imam (pemimpin tertinggi) atau qāḍī (hakim negeri) sedang dalam keadaan beriḥrām, maka apakah boleh baginya menikahkan orang lain dalam keadaan iḥrām berdasarkan kewenangannya sebagai penguasa? Maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat dari kalangan sahabat-sahabat kami:

Pendapat pertama: Tidak boleh, sebagaimana wali khusus, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Orang yang beriḥrām tidak boleh menikah dan tidak boleh menikahkan.”

Pendapat kedua: Boleh bagi keduanya (imam dan qāḍī) melakukan akad nikah berdasarkan kewenangan pemerintahan, sebagaimana dibolehkannya bagi mereka menikahkan perempuan kafir, meskipun hal itu tidak boleh bagi wali khusus.

Pendapat ketiga: Boleh bagi imam, tetapi tidak boleh bagi qāḍī; karena kewenangan imam lebih umum, sedangkan semua qāḍī adalah wakil-wakilnya. Maka jika qāḍī dilarang melakukan hal tersebut, hal itu dapat menjadi sarana untuk melarang seluruh wakilnya (dalam hal yang lebih luas).


فَصْلٌ
: إِذَا كَانَ الْمُحْرِمُ خَاطِبًا فِي النِّكَاحِ جَازَ، وَإِنْ لَمْ يُسْتَحَبَّ لَهُ ذَلِكَ، وَيُكْرَهُ لِلْمُحِلِّ أَنْ يَخْطُبَ مُحْرِمَةً لِيَتَزَوَّجَهَا بَعْدَ إِحْلَالِهَا، كَمَا يُكْرَهُ لَهُ خِطْبَةُ الْمُعْتَدَّةِ لِتَزْوِيجِهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا، وَلَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ خِطْبَةُ الْمُحْرِمَةِ، كَمَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ خِطْبَةُ الْمُعْتَدَّةِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ إِحْلَالَ الْمُحْرِمَةِ مِنْ فِعْلِهَا يُمْكِنُهَا تَعْجِيلُهُ، وَالْعِدَّةُ لَيْسَ مِنْ فِعْلِهَا، فَرُبَّمَا عَلَيْهَا شِدَّةُ الْمَيْلِ إِلَيْهِ عَلَى الْإِخْبَارِ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ قَبْلَ الْأَجَلِ لتتعجل تَزْوِيجَهُ.

PASAL
 Apabila seorang muḥrim menjadi pelamar dalam pernikahan, maka hukumnya boleh, meskipun tidak disunnahkan baginya melakukan itu. Dan makruh bagi seorang muḥill meminang wanita muḥrimah untuk menikahinya setelah iḥlāl-nya, sebagaimana dimakruhkan baginya meminang wanita yang sedang dalam masa ‘iddah untuk menikahinya setelah masa ‘iddah-nya selesai. Namun tidak haram baginya meminang wanita muḥrimah, sebagaimana haram baginya meminang wanita dalam ‘iddah.
 Perbedaan antara keduanya adalah: iḥlāl wanita muḥrimah adalah dari perbuatannya sendiri, sehingga ia bisa mempercepatnya; sedangkan ‘iddah bukan dari perbuatannya sendiri, sehingga mungkin saja karena rasa kecenderungan yang kuat kepadanya, ia akan mengabarkan bahwa masa ‘iddah-nya telah selesai sebelum waktunya agar dapat segera dinikahi olehnya.


فَصْلٌ
: إِذَا تَزَوَّجَ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ ثُمَّ اخْتَلَفَا، فَقَالَ أَحَدُهُمَا عَقَدْنَا النِّكَاحَ، وَأَحَدُنَا مُحْرِمٌ، وَقَالَ الْآخَرُ عَقَدْنَاهُ وَنَحْنُ حَلَالَانِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ مَنِ ادَّعَى عَقْدَهُ وَهُمَا حَلَالَانِ مَعَ يَمِينِهِ؛ لِأَنَّ النِّكَاحَ قَدْ ظَهَرَ صَحِيحًا، وَحُدُوثُ الْإِحْرَامِ مُجَوَّزٌ، ثُمَّ يُنْظَرُ فِي مُدَّعِي الْإِحْرَامِ، فَإِنْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ مُدَّعِيَةً، فَالنِّكَاحُ ثَابِتٌ وَهُمَا عَلَى الزوجية، وإن كان الزوج مدعيه، حَرُمَتْ عَلَيْهِ بِإِقْرَارِهِ، لِأَنَّهُ يَمْلِكُ النَّسْخَ، وَهُوَ مقربه، لَكِنَّ عَلَيْهِ الْمَهْرَ، إِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ فَنِصْفُهُ، وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَجَمِيعُهُ.

PASAL
 Apabila seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan, kemudian keduanya berselisih pendapat; salah satu dari keduanya berkata: “Kami akad nikah dalam keadaan salah satu dari kami beriḥrām”, sedangkan yang lain berkata: “Kami akad nikah dalam keadaan kami berdua halal”, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan orang yang mengaku bahwa akad dilakukan saat keduanya halal, dengan disertai sumpah; karena akad nikah telah tampak secara zhahir dalam keadaan sah, dan kemungkinan terjadinya iḥrām adalah sesuatu yang bisa saja terjadi (namun tidak tampak secara pasti).

Kemudian dilihat siapa yang mengaku sedang beriḥrām. Jika yang mengaku adalah pihak istri, maka nikah tetap sah dan keduanya tetap dalam status suami istri.

Namun jika yang mengaku adalah suami, maka perempuan itu menjadi haram baginya berdasarkan pengakuannya sendiri; karena dia memiliki wewenang untuk membatalkan (akad) dan dia sendiri yang mengakuinya. Namun tetap wajib atasnya membayar mahar: jika sebelum jima‘ maka setengahnya, dan jika sesudah jima‘ maka seluruhnya.


مَسْأَلَةٌ
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا بَأْسَ أَنْ يُرَاجِعَ امْرَأَتَهُ إِذَا طَلَّقَهَا تطليقة، مَا لَمْ تَنْقَضِ الْعِدَّةُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: هَذَا كَمَا قَالَ يَجُوزُ لِلْمُحْرِمِ أَنْ يُرَاجِعَ زَوْجَتَهُ، وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّهُ اسْتِبَاحَةُ بُضْعٍ مَقْصُودٍ فِي عَيْنِهِ كَالنِّكَاحِ، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ الرَّجْعَةَ لَيْسَتْ عَقْدًا ابْتِدَاءً، وَإِنَّمَا هِيَ اسْتِصْلَاحُ خَلَلٍ فِيهِ، وَرَفْعُ تَحْرِيمٍ طَرَأَ عَلَيْهِ، يَرْتَفِعُ بِالرَّجْعَةِ مَعَ حُصُولِ الْعَقْدِ، كَمَا أَنَّ الظِّهَارَ وَالْعَوْدَةَ، قَدْ أَوْقَعَا فِي الزَّوْجِيَّةِ تَحْرِيمًا يَرْفَعُهُ التَّكْفِيرُ، وَلَمْ يَكُنِ الْمُحْرِمُ الْمُظَاهِرُ مَمْنُوعًا مِنَ التَّكْفِيرِ الَّذِي يَرْتَفِعُ بِهِ مَا طَرَأَ عَلَى الْعَقْدِ مِنَ التَّحْرِيمِ، فَأَمَّا النِّكَاحُ، فَمُفَارِقٌ لَهُ؛ لِأَنَّهُ ابْتِدَاءُ عَقْدٍ مُفْتَقِرٍ إلى ولي، وشهود، ورضا، وبذل، وَقَبُولٍ وَالرَّجْعَةُ لَا تَفْتَقِرُ إِلَى شَيْءٍ مِنْ ذلك.

Masalah
 Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Tidak mengapa seorang suami merujuk istrinya jika ia menceraikannya satu kali, selama belum habis masa ‘iddah-nya.”

Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan (oleh al-Syafi‘i), yakni boleh bagi muḥrim untuk merujuk istrinya. Sedangkan Aḥmad bin Ḥanbal berpendapat: tidak boleh, karena rujū‘ adalah bentuk istibāḥah buḍ‘in (memperbolehkan kemaluan) yang dituju secara langsung, sebagaimana akad nikah.

Namun ini tidak benar; karena rujū‘ bukanlah akad baru dari awal, tetapi merupakan perbaikan terhadap kerusakan dalam akad (nikah) yang sudah ada, dan pengangkatan keharaman yang datang kemudian, yang bisa diangkat dengan rujū‘ selama akadnya masih berlaku.

Sebagaimana ẓihār dan ‘awdah (kembali) yang menimbulkan keharaman dalam pernikahan, namun dapat diangkat dengan kafārah, dan muḥrim yang melakukan ẓihār tidak dilarang dari membayar kafārah yang dapat menghilangkan keharaman yang timbul pada akad.

Adapun akad nikah berbeda dengan itu; karena ia merupakan permulaan akad yang membutuhkan wali, saksi, kerelaan, mahar, dan ijab kabul, sedangkan rujū‘ tidak membutuhkan semua itu.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَلْبَسُ الْمُحْرِمُ الْمِنْطَقَةَ لِلنَّفَقَةِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لُبْسُ الْمِنْطَقَةِ لِلْمُحْرِمِ جَائِزٌ احْتَاجَ إِلَى لُبْسِهَا، أَوْ لَمْ يَحْتَجْ، وَكَذَلِكَ لَوْ شَدَّ فِي وَسَطِهِ حَبْلًا، أَوِ احْتَزَمَ بِعِمَامَةٍ. وقال مالك: لا يجوز ذلك إلا في حجة مَاسَّةٍ احْتِجَاجًا بِرِوَايَةِ ابْنِ جُرَيْجٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَأَى رَجُلًا مُحْتَزِمًا بِحَبْلٍ أَبْرَقَ فَقَالَ: انْزَعِ الْحَبْلَ مَرَّتَيْنِ وَالدَّلَالَةُ عَلَى جَوَازِهِ: مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَهٍ كَانَ يَحْتَزِمُ لِإِحْرَامِهِ. وَرُوِيَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنِ الْمُحْرِمِ هَلْ يَشُدُّ الْهِمْيَانَ عَلَى وَسَطِهِ؟ فَقَالَتْ: نَعَمْ وَيَسْتَوْثِقُ مِنْ نَفَقَتِهِ. وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ مِثْلُهُ. وَلَيْسَ يُعْرَفُ لَهُمْ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ، فَكَانَ إِجْمَاعًا، وَلِأَنَّ مَا مُنِعَ الْمُحْرِمُ مِنْ لِبَاسِهِ، وَجَبَتِ الْفِدْيَةُ فِيهِ، فَمَا لَمْ تَجِبِ الْفِدْيَةُ فِيهِ، لَمْ يَكُنْ مَمْنُوعًا مِنْهُ، وَأَمَّا الْخَبَرُ فَمُرْسَلٌ، وَإِنْ صَحَّ كان محمولاً على الاستحباب.

Masalah
 Asy-Syāfi‘i raḥimahullāh berkata: “Orang yang beriḥrām boleh memakai minṭaqah (ikat pinggang) untuk membawa bekal nafkahnya.”

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan — memakai minṭaqah bagi orang yang beriḥrām hukumnya boleh, baik ia membutuhkannya atau tidak. Demikian pula jika ia mengikatkan tali di pinggangnya, atau mengikatkan ‘imāmah di sana.

Mālik berkata: Hal itu tidak boleh kecuali dalam haji yang mendesak, dengan berdalil pada riwayat dari Ibnu Juraij bahwa Nabi SAW melihat seseorang mengikat pinggangnya dengan tali yang belang-belang, lalu beliau bersabda: “Lepaskan tali itu!” — sebanyak dua kali.

Adapun dalil bolehnya adalah riwayat dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA bahwa beliau dahulu mengikat pinggangnya saat beriḥrām.

Dan diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada ‘Ā’isyah RA tentang orang yang beriḥrām, “Apakah boleh mengikatkan ḥimyān (kantong kecil ikat pinggang) di pinggangnya?” Maka ia menjawab: “Ya, dan hendaknya ia memastikan bekalnya aman.” Riwayat serupa juga datang dari Ibnu ‘Abbās.

Dan tidak diketahui adanya sahabat yang menyelisihi hal ini, maka ini menjadi ijmā‘.

Juga karena setiap pakaian yang dilarang atas orang beriḥrām, maka dikenakan fidyah jika memakainya. Maka sesuatu yang tidak mewajibkan fidyah, berarti tidak dilarang.

Adapun hadis yang dijadikan dalil oleh pihak yang melarang, maka itu mursal, dan jika pun sahih, maka dibawa pada makna anjuran (bukan kewajiban).


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَسْتَظِلُّ الْمُحْرِمُ فِي الْمَحْمَلِ، وَنَازِلًا فِي الْأَرْضِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، يَجُوزُ لِلْمُحْرِمِ أَنْ يَسْتَظِلَّ سَائِرًا وَنَازِلًا، وَقَالَ مَالِكٌ يَجُوزُ لِلْمُحْرِمِ أَنْ يَسْتَظِلَّ نَازِلًا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَظِلَّ سَائِرًا، لِمَا رُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَأَى رَجُلًا يَطْلُبُ الْفَيَافِيَ وَالظِّلَّ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَضْحِ لِمَنْ أَحْرَمْتَ لَهُ أَيِ اخْرُجْ إِلَى الشَّمْسِ لِأَنَّ الضِّحَّ الشَّمْسُ، وِالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ رِوَايَةُ يَحْيَى بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ أُمِّ الْحُصَيْنِ قَالَتْ: حَجَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَجَّةَ الْوَدَاعِ فَرَأَيْتُ أُسَامَةَ وَبِلَالًا أَحَدُهُمَا آخِذٌ بِخِطَامِ نَاقَةِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَالْآخَرُ يَسْتُرُهُ مِنَ الْحَرِّ حَتَى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنَ الْأَنْصَارِ من الْحُمْسِ مِنْ قُرَيْشٍ أَنَّهُمْ كَانُوا يُشَدِّدُونَ فِي ذَلِكَ أَوَّلَ الْإِسْلَامِ، حَتَّى كَانُوا إِذَا أرَادُوا دخول دار أتوا الْجِدَارَ وَلَمْ يَدْخُلُوا الْبَابَ، وَيَرَوْنَ ذَلِكَ عِبَادَةً وَبِرًّا فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلَيْسَ البِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظهُورِهَا وَلَكِنَّ البِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا البُيُوتَ مِنْ أبْوَابِهَا} (البقرة: 189) فَكَانَتِ الْإِبَاحَةُ فِي ذَلِكَ عَامَّةً، لِأَنَّ الْمُسْلِمِينَ قَدِيمًا فِي الْعَصْرِ الْأَوَّلِ وَفِيمَا يَلِيهِ مِنَ الْأَعْصَارِ لَمْ يَزَالُوا يُحْرِمُونَ وَهُمْ فِي الْعَمَّارِيَّاتِ وَالْقِبَابِ، لَا يَتَنَاكَرُونَ ذَلِكَ وَلَا يُنْكَرُ عَلَيْهِمْ، فَثَبَتَ أنه إجماع أهل الأعصار، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا جَازَ أَنْ يَسْتَظِلَّ بِهِ الْمُحْرِمُ نَازِلًا جَازَ أَنْ يَسْتَظِلَّ بِهِ سَائِرًا كَالْيَدَيْنِ، فَأَمَّا قَوْلُهُ: ” أَضْحِ لِمَنْ أَحْرَمْتَ لَهُ “، فَفِيهِ جَوَابَانِ:

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Seorang yang berihram boleh bernaung di dalam tandu, baik dalam keadaan berjalan maupun berhenti di tanah.”
 Al-Māwardī berkata: Dan ini benar; seorang yang berihram boleh bernaung baik ketika sedang berjalan maupun ketika berhenti. Sedangkan Mālik berkata: seorang yang berihram boleh bernaung ketika berhenti, dan tidak boleh bernaung ketika berjalan, berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah SAW melihat seorang lelaki mencari-cari padang luas dan tempat yang teduh, lalu Nabi SAW bersabda kepadanya: “Berjemurlah untuk (ibadah) orang yang engkau berihram kepadanya,” yakni: keluarlah ke bawah sinar matahari, karena “adh-dhih” adalah sinar matahari.

Dalil atas benarnya pendapat kami adalah riwayat dari Yaḥyā bin al-Ḥuṣain dari Ummu al-Ḥuṣain, ia berkata: Aku berhaji bersama Rasulullah SAW pada haji wada‘, lalu aku melihat Usāmah dan Bilāl, salah satunya memegang tali kekang unta Nabi SAW dan yang lainnya menaunginya dari panas matahari sampai beliau melempar jamarah ‘aqabah.
 Dan telah diriwayatkan dari sekelompok kaum Anṣār dan dari al-Ḥums dari Quraisy bahwa mereka dulu bersikap keras dalam hal ini pada awal Islam, sampai-sampai ketika mereka hendak masuk rumah, mereka mendatangi dinding dan tidak masuk dari pintu, dan mereka menganggap itu sebagai bentuk ibadah dan kebajikan. Maka Allah Ta‘ālā menurunkan firman-Nya:
 “Dan bukanlah kebajikan dengan mendatangi rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan adalah orang yang bertakwa, dan datangilah rumah dari pintunya” (al-Baqarah: 189).

Maka keharusan untuk bernaung itu bersifat umum, karena kaum Muslimin sejak dahulu di masa awal dan masa-masa sesudahnya senantiasa berihram di dalam ‘amāriyyāt dan qibāb (tenda), dan tidak ada yang mengingkari hal itu dari mereka, maka hal itu tetap berlaku sebagai ijmak kaum Muslimin dari masa ke masa.

Dan karena setiap hal yang boleh dijadikan naungan bagi orang berihram dalam keadaan berhenti, maka boleh pula dijadikan naungan ketika sedang berjalan, seperti tangan.

Adapun sabda Nabi SAW: “Berjemurlah untuk (ibadah) orang yang engkau berihram kepadanya”, maka terdapat dua jawaban terhadapnya:


أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ نَهَاهُ عَنْ تَغْطِيَةِ رَأْسِهِ، وَلَمْ يَنْهَهُ عَنِ الِاسْتِظْلَالِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ ذَلِكَ مَحْمُولٌ عَلَى طَرِيقِ الِاسْتِحْبَابِ، لِمَا رُوِيَ أنه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ضُرِبَتْ لَهُ قُبَّةٌ بِبَطْنِ نمرةٍ فَدَخَلَهَا وَاسْتَظَلَّ، وَرُوِيَ أَنَّهُ لَمَّا وَافَى عَرَفَةَ أَقَامَ فِي لحف الجبل قَدْ ظُلِّلَ عَلَى رَأْسِهِ بثوبٍ مِنَ الشَّمْسِ إِلَى أَنْ زَالَتِ الشَّمْسُ وَحَانَتِ الصَّلَاةُ، فَدَلَّ على نَهْيَهُ عَلَى طَرِيقِ الِاسْتِحْبَابِ لَا عَلَى طَرِيقِ التَّحْرِيمِ.
فَإِنْ قِيلَ: فَالنَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِنَّمَا فَعَلَ ذَلِكَ نَازِلًا.
قِيلَ: وَنَهْيُهُ إِنَّمَا كان لمحرم نازل.

Pertama: Bahwa Nabi SAW melarang menutupi kepala, namun tidak melarang istidzlāl (berteduh).

Kedua: Larangan tersebut dibawa pada makna anjuran (bukan larangan haram), karena diriwayatkan bahwa Nabi SAW dipasang sebuah kubah di Baṭn Namirah, lalu beliau masuk ke dalamnya dan berteduh di sana. Dan diriwayatkan bahwa ketika beliau sampai di ‘Arafah, beliau tinggal di lereng gunung, dan saat itu kepala beliau dinaungi dengan kain dari panas matahari hingga matahari tergelincir dan waktu salat tiba.

Maka hal itu menunjukkan bahwa larangan beliau adalah dalam konteks anjuran, bukan dalam konteks pengharaman.

Jika dikatakan: Nabi SAW melakukan hal itu dalam keadaan tidak sedang berjalan (berhenti).

Maka dijawab: Larangan beliau pun ditujukan kepada orang beriḥrām yang sedang berhenti.


فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَا بَأْسَ لِلْمُحْرِمِ وَالْمُحْرِمَةِ أَنْ يَنْظُرَا فِي الْمِرْآةِ لِحَاجَةٍ وَغَيْرِ حَاجَةٍ، وحكي عن عطاء الخراساني أنه كره ذلك لِحَاجَةٍ وَغَيْرِ حَاجَةٍ وَحُكِيَ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ كره ذلك إلا لحاجة، والدلالة عليهما: مَا رُوِيَ ” أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كان ينظر في المرآة وهو محرم ” والله أعلم بالصواب.

PASAL
 Imam al-Syafi‘i berkata: Tidak mengapa bagi laki-laki dan perempuan yang sedang berihram untuk bercermin, baik karena kebutuhan maupun tanpa kebutuhan.

Diriwayatkan dari ‘Aṭā’ al-Khurāsānī bahwa ia memakruhkan hal tersebut baik karena kebutuhan maupun tanpa kebutuhan. Dan diriwayatkan dari Mālik bahwa ia memakruhkan hal itu kecuali karena kebutuhan.

Dalil yang mendukung keduanya adalah riwayat bahwa Rasulullah SAW pernah bercermin dalam keadaan berihram.

Dan Allah-lah yang lebih mengetahui kebenaran.

 

مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأُحِبُّ لِلْمُحْرِمِ أَنْ يَغْتَسِلَ مِنْ ذِي طُوًى لِدُخُولِ مَكَّةَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ مِنَ السُّنَّةِ لِمَنْ أَرَادَ دُخُولَ مَكَّةَ لِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ، أَنْ يَغْتَسِلَ لِدُخُولِهَا مِنْ بَيْنِ ذِي طُوًى، إِذَا كَانَ طَرِيقُهُ عَلَيْهَا. لِرِوَايَةِ عَائِشَةَ ” أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا أَرَادَ دُخُولَ مَكَّةَ اغْتَسَلَ بِذِي طُوًى “. وَلِأَنَّهُ يَدْخُلُ إِلَى مَجْمَعِ النَّاسِ لِأَدَاءِ عِبَادَتِهِمْ، واستحب لَهُ الْغُسْلَ كَالْجُمُعَةِ وَالْعِيدَيْنِ، فَإِنْ كَانَ طَرِيقُهُ عَلَى غَيْرِ ذِي طُوًى، اغْتَسَلَ مِنْ حَيْثُ وَرَدَ مِنْ طَرِيقِهِ لِدُخُولِ مَكَّةَ، لِأَنَّ الْغَرَضَ الِاغْتِسَالُ لَا الْبُقْعَةُ، وَقَدْ كَانَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ يَغْتَسِلُ لِدُخوِلِ مَكَّةَ مِنْ بِئْرِ مَيْمُونٍ؛ لِأَنَّ طَرِيقَهُ كَانَ عَلَيْهَا، وَإِنَّمَا اسْتَحَبَّ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ ذَوِي طُوًى، اتِّبَاعًا لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِمَنْ سَلَكَ طَرِيقَهُ، وَقِيلَ: سُمِّيَتْ ذِي طُوًى، لِبِئْرٍ بِهَا كَانَتْ مَطْوِيَّةً بِالْحِجَارَةِ، وَلَمْ يَكُنْ هُنَاكَ غَيْرُهَا، فَنُسِبَ الْوَادِي إِلَيْهَا، فَأَمَّا مَنْ خَرَجَ مِنْ مَكَّةَ لِيُحْرِمَ بِعُمْرَةٍ، فَاغْتَسَلَ لِإِحْرَامِهِ، ثُمَّ أَرَادَ دُخُولَ مَكَّةَ، نُظِرَ، فَإِنْ أَحْرَمَ مِنْ مَوْضِعٍ بَعِيدٍ عَنْ مَكَّةَ كَالْجِعْرَانَةِ وَالْحُدَيْبِيَةِ، فَنَخْتَارُ أَنْ يَغْتَسِلَ ثَانِيَةً لِدُخُولِهِ مَكَّةَ، كَمَا قُلْنَا فِي الدَّاخِلِ إِلَيْهَا مِنْ غَيْرِهَا، وَإِنْ أَحْرَمَ مِنْ مَوْضِعٍ يَقْرُبُ مِنْ مَكَّةَ كَالتَّنْعِيمِ أَوْ أَدْنَى الْحِلِّ، لَمْ يَغْتَسِلْ ثَانِيَةً؛ لِأَنَّ الْغُسْلَ إِنَّمَا يُرَادُ لِلتَّنْظِيفِ وَإِزَالَةِ الْوَسَخِ عِنْدَ دُخُولِهِ، وَهُوَ بَاقٍ فِي النَّظَافَةِ بِغُسْلِهِ الْمُتَقَدِّمِ، مَعَ قُرْبِ الزَّمَانَيْنِ وَدُنُوِّ الْمَسَافَةِ.

BAB MASUK MAKKAH

Masalah:

Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Aku menyukai bagi orang yang beriḥrām untuk mandi dari Dzu Ṭuwā ketika hendak masuk Makkah.”

Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan, termasuk sunah bagi orang yang hendak masuk Makkah untuk haji atau ‘umrah, yaitu mandi untuk masuk Makkah dari daerah Dzu Ṭuwā, jika jalannya melewati tempat itu. Berdasarkan riwayat dari ‘Āisyah, “Bahwa Nabi SAW ketika hendak masuk Makkah, beliau mandi di Dzu Ṭuwā.” Dan karena dia akan memasuki tempat berkumpulnya manusia untuk menunaikan ibadah mereka, maka disunahkan baginya untuk mandi seperti halnya mandi Jumat dan dua hari raya.

Jika jalannya bukan melewati Dzu Ṭuwā, maka dia mandi dari tempat mana saja yang dia lewati untuk masuk Makkah, karena maksud dari mandi adalah kebersihan, bukan tempatnya. Umar bin Abdul ‘Azīz biasa mandi untuk masuk Makkah dari Bi’r Maymūn karena jalannya melewati tempat itu. Adapun al-Syafi‘i menyunahkan mandi dari Dzu Ṭuwā dalam rangka mengikuti Nabi SAW bagi orang yang menempuh jalannya.

Dikatakan bahwa Dzu Ṭuwā dinamakan demikian karena terdapat sebuah sumur di sana yang dibangun dengan batu (maṭwiyyah bi al-ḥijārah), dan tidak ada sumur lain di sana, maka lembah itu dinisbatkan kepadanya.

Adapun orang yang keluar dari Makkah untuk beriḥrām ‘umrah, lalu dia mandi untuk iḥrāmnya, kemudian hendak masuk kembali ke Makkah, maka dilihat dulu: jika ia beriḥrām dari tempat yang jauh dari Makkah seperti Ji‘irānah atau Ḥudaibiyyah, maka kami memilih agar ia mandi lagi ketika hendak masuk Makkah, sebagaimana yang kami katakan terhadap orang yang masuk ke Makkah dari luar. Namun jika ia beriḥrām dari tempat yang dekat dengan Makkah seperti Tan‘īm atau daerah Aqnā al-Ḥill, maka ia tidak perlu mandi lagi, karena mandi itu dimaksudkan untuk kebersihan dan menghilangkan kotoran ketika hendak masuk, dan ia masih dalam keadaan bersih dari mandi sebelumnya, disebabkan waktu yang masih berdekatan dan jarak yang dekat.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْحَائِضُ، فَهِيَ كَالطَّاهِرِ، مَأْمُورَةٌ بِالْغُسْلِ لِدُخُولِ مَكَّةَ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أمر أسماء بالغسل وكانت نفساء، وقال: الحائض تفعل ما يفعل الحاج غير أنها لا تطوف بِالْبَيْتِ.
فَإِنْ قِيلَ: فَأَسْمَاءُ إِنَّمَا أَمَرَهَا بِالْغُسْلِ لِلْإِحْرَامِ.
قِيلَ: مَنْ أُمِرَ بِالْغُسْلِ لِلْإِحْرَامِ، أُمِرَ بِالْغُسْلِ لِدُخُولِ مَكَّةَ كَالطَّاهِرِ، وَلِأَنَّهُ غُسْلٌ قُصِدَ بِهِ تَنْظِيفُ الْجَسَدِ، لَا رَفْعُ الْحَدَثِ، فَاسْتَوَى فِيهِ الْحَائِضُ وَالطَّاهِرُ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْغُسْلَ لدخول مَكَّةَ مَسْنُونٌ، فَإِنْ تَعَذَّرَ الْغُسْلُ، فَالْوُضُوءُ، وَإِنْ تَعَذَّرَ الْوُضُوءُ، فَالتَّيَمُّمُ، وَإِنْ تُرِكَ ذَلِكَ كُلُّهُ مَعَ إِعْوَازِهِ أَوْ وُجُودِهِ، أَجْزَأَهُ وَلَا شَيْءَ عليه؛ لأنه ليس بواجب.

PASAL
 Adapun perempuan haid, maka hukumnya seperti perempuan suci; ia diperintahkan untuk mandi ketika hendak memasuki Mekah. Karena Rasulullah SAW memerintahkan Asmā’ untuk mandi padahal ia dalam keadaan nifas, dan beliau bersabda: “Perempuan haid melakukan apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji, kecuali bahwa ia tidak tawaf di Ka‘bah.”

Jika dikatakan: “Sesungguhnya Asmā’ hanya diperintahkan mandi untuk ihram,”
 maka dijawab: Barang siapa diperintahkan mandi untuk ihram, maka diperintahkan pula untuk mandi ketika masuk Mekah, sebagaimana orang suci.

Dan karena mandi ini bertujuan untuk membersihkan badan, bukan untuk menghilangkan ḥadats, maka dalam hal ini perempuan haid dan perempuan suci sama.

Apabila telah tetap bahwa mandi untuk masuk Mekah adalah sunah, maka jika tidak memungkinkan untuk mandi, maka berwudu; dan jika tidak memungkinkan wudu, maka bertayamum; dan jika semuanya ditinggalkan karena tidak ada atau karena ada tetapi ditinggalkan, maka itu mencukupi dan tidak ada kewajiban atasnya, karena mandi itu bukan wajib.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ويدخل من ثنية كداء وتغتسل المرأة الحائض لِأَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أسماء بذلك وقوله عليه السلام للحائض ” افعلي ما يفعل الحاج غير أنك لا تطوفي بالبيت “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِنَّمَا اسْتَحَبَّ الشَّافِعِيُّ الدُّخُولَ مِنْهَا لِمَنْ كَانَ طَرِيقُهُ عَلَيْهَا، لِرِوَايَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا جَاءَ ذَا طُوًى، بَاتَ حَتَّى صَلَّى الصُّبْحَ، ثُمَّ اغْتَسَلَ وَدَخَلَ مِنْ أَعْلَى مَكَّةَ مِنْ كَدَاءٍ، وَخَرَجَ حِينَ خَرَجَ مِنْ أَسْفَلِ مَكَّةَ مِنْ كَدَاءٍ وَرَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دَخَلَ مَكَّةَ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ مِنْ ثَنِيَّةِ، كداءٍ فَلِذَلِكَ مَا اسْتَحْبَبْنَا لَهُ تَأَسِّيًا بِرَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ يَدْخُلَ مِنْ ثَنِيَّةِ كَدَاءٍ الْعُلْيَا، وَيَخْرُجَ مِنْ ثَنِيَّةِ كَدَاءٍ السُّفْلَى، وَكَذَا يُسْتَحَبُّ لِمَنْ خَرَجَ إِلَى الْعُمْرَةِ أَنْ يَعْلُوَ ثَنِيَّةَ كَدَاءٍ، وفيدخل مِنَ الْمَعْلَاةِ، وَقَدْ جَرَتِ الْعَادَةُ الْيَوْمَ بِدُخُولِ الْمُعْتَمِرِينَ مِنْ جِهَةِ الْمَنْقَلَةِ مِنْ بَابِ إِبْرَاهِيمَ، ومن أين دخل أَجَزْأَهُ وَإِنْ تَرَكَ الْأَفْضَلَ وَالْأَوْلَى.

Masalah
 Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Dan masuk dari Tsaniyyah Kādā’, dan perempuan haid mandi karena perintah Rasulullah SAW kepada Asmā’ tentang hal itu, serta sabda beliau kepada perempuan haid: ‘Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji, kecuali bahwa engkau tidak tawaf di Baitullah’.”

Al-Māwardī berkata: Sesungguhnya Imam al-Syafi‘i menganjurkan masuk dari arah tersebut bagi siapa saja yang jalurnya melewatinya, berdasarkan riwayat dari ‘Abdullāh bin Rāfi‘ dari ayahnya, dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah SAW ketika tiba di Dzū Ṭuwā, bermalam di sana hingga salat subuh, lalu mandi dan masuk dari atas Mekah melalui Tsaniyyah Kādā’, dan keluar dari Mekah melalui bawah Kādā’.

Dan telah diriwayatkan oleh ‘Ā’isyah ra bahwa Nabi SAW masuk ke Mekah dalam haji dan umrah melalui Tsaniyyah Kādā’, karena itu kami menganjurkan agar ia mengikuti teladan Rasulullah SAW dengan masuk dari Tsaniyyah Kādā’ bagian atas, dan keluar dari Tsaniyyah Kādā’ bagian bawah.

Demikian pula disunahkan bagi orang yang keluar untuk umrah agar naik ke Tsaniyyah Kādā’ dan masuk dari arah Ma‘lāh.

Adapun kebiasaan saat ini, para pelaku umrah masuk dari arah al-Manqalah melalui Bāb Ibrāhīm, dan dari arah mana pun ia masuk maka itu mencukupi, meskipun ia meninggalkan yang lebih utama dan lebih afdal.


فَصْلٌ
: اسْتَحَبَّ قَوْمٌ دُخُولَ مَكَّةَ لَيْلًا، وَهُوَ قَوْلُ عَائِشَةَ، وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دَخَلَهَا لَمَّا اعْتَمَرَ مِنَ الْجِعْرَانَةِ لَيْلًا، وَاسْتَحَبَّ آخَرُونَ أَنْ يَدْخُلَهَا نَهَارًا، حُكِيَ ذَلِكَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ، وَإِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ، وَإِسْحَاقَ بْنِ رَاهَوَيْهِ، لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دَخَلَهَا فِي عُمْرَةِ الْقَضَاءِ نَهَارًا وَفِي عَامِ الْفَتْحِ نَهَارًا وَفِي حَجَّةِ سَنَةِ عَشْرٍ نَهَارًا، وَكِلَاهُمَا عِنْدَنَا سَوَاءٌ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَعَلَهُمَا، وَاخْتَارَ قَوْمٌ أَنْ يَدْخُلَهَا رَاكِبًا؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دَخَلَهَا رَاكِبًا، وَاخْتَارَ آخَرُونَ أَنْ يَدْخُلَهَا مَاشِيًا حَافِيًا لِقَوْلِهِ تَعَالَى لِمُوسَى: {فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوىً) {طه: 12) . وَرُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَقَدْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ سَبْعُونَ نَبِيًّا، كُلُّهُمْ خَلَعُوا نِعَالَهُمْ مِنْ ذِي طُوًى تَعْظِيمًا لِلْحَرَمِ ” وَكِلَاهُمَا مُبَاحٌ، وَالْمَشْيُ أَفْضَلُ.

PASAL

Sebagian ulama menganjurkan masuk Makkah pada malam hari. Ini adalah pendapat ‘Āisyah, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz, dan Sa‘īd bin Jubayr, karena Nabi SAW masuk Makkah pada malam hari ketika melaksanakan ‘umrah dari Ji‘irānah.

Sebagian lain menganjurkan untuk masuk pada siang hari. Ini diriwayatkan dari Ibn ‘Umar, Ibrāhīm al-Nakha‘ī, dan Isḥāq bin Rāhawayh, karena Nabi SAW masuk Makkah pada siang hari ketika melaksanakan ‘umrah qaḍā’, dan juga pada tahun penaklukan Makkah, serta pada haji tahun sepuluh Hijriyah.

Keduanya menurut kami sama saja, karena Nabi SAW melakukan keduanya.

Sebagian ulama memilih untuk masuk Makkah dalam keadaan berkendara, karena Rasulullah SAW masuk dalam keadaan berkendara.

Sebagian lain memilih masuk dalam keadaan berjalan kaki dan tanpa alas kaki, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā kepada Mūsā: {Lepaskanlah kedua terompahmu, sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, Ṭuwā} (Ṭāhā: 12).

Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Sungguh telah berhaji ke Baitullah ini tujuh puluh nabi, semuanya melepaskan sandal mereka dari Dzu Ṭuwā sebagai bentuk pengagungan terhadap tanah ḥaram.”

Keduanya diperbolehkan, namun berjalan kaki lebih utama.


فَصْلٌ
: يُسْتَحَبُّ لِمَنْ دَخَلَ مَكَّةَ، أَنْ يَدْخُلَهَا بِخُشُوعِ قلب، وخضوع جسد، دَاعِيًا بِالْمَعُونَةِ وَالتَّيْسِيرِ، وَقَدْ رَوَى ابْنُ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ إِذَا دَخَلَ مَكَّةَ يَقُولُ: ” اللَّهُمَّ لَا تجعل منايانا بها حين ندخلها إِلَى أَنْ نَخْرُجَ مِنْهَا “. وَيَكُونُ مِنْ دُعَائِهِ، ما رَوَاهُ جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَقُولُ عِنْدَ دُخُولِهِ: ” اللَّهُمَّ هَذَا الْبَلَدُ بَلَدُكَ وَالْبَيْتُ بَيْتُكَ جِئْتُ أَطْلُبُ رَحْمَتَكَ، وَأَلُمُّ طَاعَتَكَ، مُتَّبِعًا لِأَمْرِكَ، رَاضِيًا بِقَدَرِكَ، مُسَلِّمًا لِأَمْرِكَ، أَسْأَلُكَ مَسْأَلَةَ الْمُضْطَرِّ إِلَيْكَ، الْمُشْفِقِ مِنْ عَذَابِكَ خَائِفًا لِعُقُوبَتِكَ، أَنْ تَسْتَقْبِلَنِي بِعَفْوِكَ، وَأَنْ تَتَجَاوَزَ عَنِّي بِرَحْمَتِكَ، وَأَنْ تُدْخِلَنِي جَنَّتَكَ “. وَأَيُّ شَيْءٍ قال ما لم يكن هجراً جاز، قد رَوَى ثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دَخَلَ فِي عُمْرَةِ الْقَضَاءِ وَابْنُ رَوَاحَةَ يَمْشِي بين يديه ويقول:

PASAL
 Disunahkan bagi siapa yang masuk ke Mekah agar memasukinya dengan kekhusyukan hati dan ketundukan jasad, sambil berdoa memohon pertolongan dan kemudahan.

Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah SAW apabila masuk ke Mekah, beliau berdoa: “Ya Allah, jangan jadikan kematian kami di sana saat kami memasukinya, hingga kami keluar darinya.”

Dan termasuk doa beliau juga adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi SAW ketika masuk ke Mekah berdoa:
 “Ya Allah, negeri ini adalah negeri-Mu, dan rumah ini adalah rumah-Mu. Aku datang untuk mencari rahmat-Mu, dan menyambung ketaatan kepada-Mu, mengikuti perintah-Mu, ridha terhadap ketetapan-Mu, dan berserah diri kepada perintah-Mu. Aku memohon kepada-Mu permohonan orang yang sangat membutuhkan kepada-Mu, yang takut terhadap azab-Mu, cemas terhadap hukuman-Mu, agar Engkau menyambutku dengan ampunan-Mu, dan mengampuniku dengan rahmat-Mu, serta memasukkanku ke dalam surga-Mu.”

Apa pun doa yang dibaca selama tidak berisi kebatilan (hijr), maka diperbolehkan.

Telah diriwayatkan oleh Ṯābit dari Anas bahwa Nabi SAW memasuki Mekah dalam ‘umrah qaḍā’, dan Ibnu Rawāḥah berjalan di depan beliau sambil berkata: …


(خَلُّوا بَنِي الْكُفَارِ عَنْ سَبِيلِهِ … الْيَوْمَ نَضْرِبُكُمْ عَلَى تَنْزِيلِهِ)
(ضَرْبًا يُزِيلُ الْهَامَ عَنْ مَقِيلِهِ … وَيُذْهِلُ الْخَلِيلَ عَنْ خَلِيلِهِ)
فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: أَبَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي حَرَمِ اللَّهِ تَعَالَى تَقُولُ الشِّعْرَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” خل عنه يا عمر فإنه أسرع فيكم مِنْ نَضْحِ النَّبْلِ “.

“Biarkanlah anak-anak orang kafir menjauh dari jalannya … Hari ini kami hantam kalian demi al-Qur’an yang diturunkannya.
 Pukulan yang memisahkan kepala dari tempatnya … dan membuat seorang kekasih lupa pada kekasihnya.”

Maka ‘Umar berkata kepadanya, “Apakah di hadapan Rasulullah SAW dan di dalam ḥaram Allah Ta‘ālā engkau membacakan syair?!”

Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Biarkan dia, wahai ‘Umar. Sesungguhnya dia lebih cepat membakar semangat kalian daripada semburan anak panah.”


فَصْلٌ
: فَأَمَّا مَكَّةُ، فَقَدْ ذَكَرَهَا اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ بِاسْمَيْنِ: مَكَّةُ وَبَكَّةُ فَقَالَ فِي سُورَةِ آلِ عِمْرَانَ: {إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكاً) {آل عمران: 96) وَقَالَ تَعَالَى فِي سُورَةِ الْفَتْحِ: {وَهُوَ الذِي كَفَّ أيْدِيهُمْ عَنْكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ بِبَطْنِ مَكَّةَ مِنْ بَعْدِ أَنْ أظْفَرَكُمْ عَلَيْهِمْ) {الفتح: 23) فَاخْتَلَفَ النَّاسُ فِي ذَلِكَ فَقَالَ قَوْمٌ: هُمَا لُغَتَانِ، وَالْمُسَمَّى وَاحِدٌ؛ لِأَنَّ الْعَرَبَ تُبْدِلُ الْمِيمَ بِالْبَاءِ، فَيَقُولُونَ ضَرْبٌ لَازِبٌ وَلَازِمٌ، لِقُرْبِ الْمَخْرَجَيْنِ. وَقَالَ آخَرُونَ بَلْ هُمَا اسْمَانِ، وَالْمُسَمَّى بِهِمَا شَيْئَانِ، وَمَنْ قَالَ بِهَذَا اخْتَلَفُوا، فِي الْمُسَمَّى بِهِمَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

PASAL
 Adapun Mekah, maka Allah Ta‘ālā telah menyebutnya dalam kitab-Nya dengan dua nama: Makkah dan Bakkah.

Allah Ta‘ālā berfirman dalam Surah Āli ‘Imrān:
 {Sesungguhnya rumah pertama yang dibangun untuk manusia adalah yang di Bakkah yang diberkahi} (QS Āli ‘Imrān: 96),

dan Allah Ta‘ālā juga berfirman dalam Surah al-Fatḥ:
 {Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari kalian dan tangan kalian dari mereka di perut Mekah setelah Dia memenangkan kalian atas mereka} (QS al-Fatḥ: 24).

Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini.
 Sebagian berpendapat: Keduanya adalah dua bahasa dan menunjuk pada satu tempat, karena orang Arab mengganti huruf mīm dengan bā’, seperti dalam kata ḍarb lāzib dan lāzim, karena dekatnya makhraj kedua huruf tersebut.

Pendapat lain mengatakan: Bahkan keduanya adalah dua nama untuk dua tempat yang berbeda. Dan di antara yang berpendapat demikian pun berbeda pendapat tentang tempat mana yang dimaksud dengan masing-masing nama, dengan dua pendapat:


أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَكَّةَ اسْمُ الْبَلَدِ، وَبَكَّةَ اسْمُ الْبَيْتِ وَهَذَا قَوْلُ إِبْرَاهِيمَ وَيَحْيَى.
وَالثَّانِي: أَنَّ مَكَّةَ الْحَرَمُ كُلُّهُ، وَبَكَّةَ الْمَسْجِدُ كُلُّهُ وَهَذَا قَوْلُ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، فَأَمَّا مَكَّةُ مَأْخُوذَةٌ مِنْ قَوْلِهِمْ تَمَكَّكْتُ الْمُخَّ تَمَكُّكًا إِذَا اسْتَخْرَجْتُهُ، وَأَنْشَدَ بَعْضُ الرُّجَّازِ فِي تَلْبِيَتِهِ:
(يَا مَكَّةَ الْفَاجِرِ مُكِّي مَكَّا … ولا تمكي مذحجاً وَعَكَّا)

Salah satunya: bahwa Makkah adalah nama bagi kota, dan Bakkah adalah nama bagi Baytullah. Ini adalah pendapat Ibrāhīm dan Yaḥyā.

Yang kedua: bahwa Makkah adalah seluruh wilayah ḥaram, sedangkan Bakkah adalah seluruh area masjid. Ini adalah pendapat Zayd bin Aslam.

Adapun kata Makkah diambil dari ucapan mereka tamakkaktu al-mukh tamakkukan jika seseorang mengeluarkan sumsum (dari tulangnya).

Seorang penyair rajaz melantunkan dalam talbiyahnya:

Wahai Makkah si fajir, sedotlah sedotan yang keras … dan janganlah engkau menyedot orang-orang Madḥij dan ‘Akkā!


مَكَّةُ الْفَاجِرِ يَعْنِي بِمَكَّةَ الْعَاجِزَ عَنْهَا، وَيُخْرِجُهُ مِنْهَا، وَأَمَّا بَكَّةُ فَقَدْ قَالَ الْأَصْمَعِيُّ: سُمِّيَتْ بِذَلِكَ؛ لِأَنَّ النَّاسَ يَبُكُّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، أَيْ يَدْفَعُ، وَأَنْشَدَ:
(إِذَا الشَّرِيبُ أَخَذَتْهُ أَكَّهْ … فحله حتى يبك بكه)

Makkah al-fājir maksudnya adalah orang fajir (durhaka) yang tidak mampu menguasainya, dan akan dikeluarkan darinya.

Adapun Bakkah, maka al-Aṣma‘ī berkata: Dinamai demikian karena manusia yabukku sebagian mereka kepada sebagian yang lain, yakni saling mendorong.

Dan ia mengutip bait syair:
 “Idzā asy-syarību akhadzat-hu akkahu, faḥillahu ḥattā yabukka bakkahu”
 (Jika si peminum dilanda rasa sakit, maka lepaskan dia hingga ia mendorong bakkah-nya).


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِذَا رَأَى الْبَيْتَ قَالَ: اللَّهُمَّ زِدْ هَذَا البيت تَشْرِيفًا وَتَعْظِيمًا، وَمَهَابَةً، وَتَكْرِيمًا، وَزِدْ مِنْ عِظَمِهِ وشرفه، ممن حجه أو اعتمره تشريفاً، وتعظيماً ومهابة، وتكريماً وتقول اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا بالسلام “.

Masalah

Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Apabila melihat Ka‘bah, hendaknya ia mengucapkan: ‘Allāhumma zid hādzā al-bayt tashrīfan wa ta‘ẓīman, wa mahābatan wa takrīman, wa zid min ‘iẓamihi wa sharafihi mimman hajjahu awi‘tamara tashrīfan wa ta‘ẓīman wa mahābatan wa takrīman.’

Dan ia mengucapkan: ‘Allāhumma anta al-salām wa minka al-salām faḥayyinā rabbana bi al-salām.’”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا دَخَلَ الْمُحْرِمُ إِلَى مَكَّةَ، فَرَأَى الْبَيْتَ قَبْلَ وُصُولِهِ إِلَيْهِ، فَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقُولَ مَا حَكَاهُ الشَّافِعِيُّ، فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ بَعْدَهُ: ” اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلَامِ ” فَقَدْ قَالَهَا سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ، وَحَكَاهُ عَنْ عُمَرَ، ثُمَّ يُصَلِّي بَعْدَ ذَلِكَ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -. قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَمَا قَالَ مِنْ حَسَنٍ أَجْزَأَهُ، ويستحب أن يرفع يديه عند دعاه إِذَا رَأَى الْبَيْتَ، وَحُكِيَ عَنْ جَابِرٍ أَنَّهُ كَرِهَ رَفْعَ الْيَدَيْنِ عِنْدَ رُؤْيَةِ الْبَيْتِ، وَقَالَ: ما أعرف ذلك إلا لليهود، وقد سَافَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَلَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ. وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ رِوَايَةُ مِقْسَمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” تُرْفَعُ الْأَيْدِي فِي الصَّلَاةِ وَإِذَا رَأَيْتَ الْبَيْتَ، وَعَلَى الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، وَعَشِيَّةَ عَرَفَةَ، وَبِجَمْعٍ، وَعِنْدَ الْجَمْرَتَيْنِ، وَعَلَى الْبَيْتِ. وَرَوَى حَبِيبٌ عَنْ طَاوُسٍ قَالَ: لَمَّا رَأَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَفَعَ يَدَيْهِ فَوَقَعَ زِمَامُ نَاقَتِهِ، فَأَخَذَهُ بِشِمَالِهِ ورفع يده اليمنى.

Al-Māwardī berkata:
 Apabila orang yang berihram memasuki Mekah dan melihat Ka‘bah sebelum sampai kepadanya, maka disunahkan untuk mengucapkan sebagaimana yang dinukil oleh Imam al-Syafi‘i.

Telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW mengucapkan setelah itu:
 “Allāhumma anta as-salām wa minka as-salām faḥayyinā rabbanā bis-salām”
 “Ya Allah, Engkaulah as-Salām dan dari-Mu datangnya keselamatan, maka hidupkanlah kami, wahai Rabb kami, dengan keselamatan.”

Doa ini diucapkan oleh Sa‘īd bin al-Musayyab dan dinukil dari ‘Umar.

Setelah itu, ia membaca ṣalawāt atas Nabi SAW.

Imam al-Syafi‘i berkata: Apa pun doa yang baik yang ia ucapkan, maka itu mencukupi.

Dan disunahkan mengangkat tangan ketika berdoa saat melihat Ka‘bah.

Disebutkan dari Jābir bahwa ia memakruhkan mengangkat tangan ketika melihat Ka‘bah, dan berkata: “Aku tidak mengetahui hal itu kecuali dari kebiasaan Yahudi. Kami pernah bepergian bersama Rasulullah SAW dan beliau tidak melakukan hal itu.”

Namun, dalil yang mendukung bolehnya adalah riwayat dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbās bahwa Nabi SAW bersabda:
 “Tangan diangkat dalam salat, ketika melihat Ka‘bah, di Shafā dan Marwah, pada sore hari di ‘Arafah, di Muzdalifah, di dekat dua jumrah, dan di atas Ka‘bah.”

Dan diriwayatkan oleh Ḥabīb dari Ṭāwūs, ia berkata:
 Ketika Nabi SAW melihat Ka‘bah, beliau mengangkat kedua tangannya, lalu tali kekang untanya terjatuh, maka beliau mengambilnya dengan tangan kiri dan mengangkat tangan kanan.


قال الشافعي: إِذَا دَخَلَ مَكَّةَ لَمْ يَبْدَأْ بِشَيْءٍ قَبْلَ دُخُولِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَيَخْتَارُ أَنْ يَكُونَ دُخُولُهُ مِنَ الْبَابِ الْأَعْظَمِ الَّذِي يَلِي الْمَعْلَاةَ وَالرَّدْمَ، وَهُوَ بَابُ بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ، الَّذِي يُعْرَفُ الْيَوْمَ بِبَنِي شَيْبَةَ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ تِلْكَ الْجِهَةِ قَصَدَ، وَلِأَنَّهُ يَكُونُ مُحَاذِيًا لوجه الكعبة، وبابها والمنبر، وَالْمَقَامِ وَالرُّكْنِ، وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: {وَأْتُواْ البُيُوتَ مِنْ أبْوَابِهَا} (البقرة: 189) . وَلِأَنَّ كُلَّ مَقْصُودٍ فَسَبِيلُهُ أَنْ يُؤْتَى مِنْ قِبَلِ وَجْهِهِ، لَا مِنْ ظَهْرِهِ، وَلِيَكُونَ مِنْ قَوْلِهِ عِنْدَ دُخُولِهِ، مَا رَوَاهُ أَبُو حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَلْيَقُلِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ ” وَرَوَى الْأَوْزَاعِيُّ قَالَ: لَمَّا دَخَلَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ قَالَ: اللَّهُمَّ إِنَّكَ قُلْتَ فِي كِتَابِكَ: وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا اللَّهُمَّ فَاجْعَلْ أَمَانَنَا عِنْدَكَ، وَأَنْ تَكْفِيَنَا مُؤْنَةَ الدُّنْيَا، وَكُلَّ هَوْلٍ دُونَ الْجَنَّةِ. فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ لَمْ يَبْدَأْ بَشَيْءٍ غَيْرِ الطَّوَافِ، فَيَطُوفُ بِالْبَيْتِ سَبْعًا. لِرِوَايَةِ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: ” دَخَلْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَالَ ارْتِفَاعِ الضُّحَى، فَلَمَّا أَتَى بَابَ الْمَسْجِدِ، أَنَاخَ رَاحِلَتَهُ، ثُمَّ دَخَلَ الْمَسْجِدَ، فَبَدَأَ بِالْحَجَرِ فَاسْتَلَمَهُ، وَفَاضَتْ عَيْنَاهُ مِنَ الْبُكَاءِ، ثُمَّ رَمَلَ حَتَّى انْتَهَى إِلَى الرُّكْنِ الْآخَرِ فَاسْتَلَمَهُ وَرَمَلَ ثَلَاثًا وَمَشَى أَرْبَعًا، فَلَمَّا فَرَغَ قَبْلَ الْحَجَرِ وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَيْهِ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ “. وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ: كَانَ أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِذَا قَدِمَ مَكَّةَ، الطَّوَافَ بِالْبَيْتِ. وَلِأَنَّ طَوَافَ الْقُدُومِ تَحِيَّةُ الْبَيْتِ، كَمَا أَنَّ الرَّكْعَتَيْنِ تَحِيَّةُ الْمَسْجِدِ، ثُمَّ كَانَ قَاصِدُ الْمَسْجِدِ مَأْمُورًا بِتَحِيَّتِهِ، فَكَذَلِكَ قَاصِدُ الْبَيْتِ مَأْمُورٌ بِتَحِيَّتِهِ.

Masalah

Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika telah masuk Makkah, maka jangan mendahulukan apa pun sebelum masuk Masjidil Haram. Ia dianjurkan untuk masuk melalui pintu terbesar yang mengarah ke al-Ma‘lāt dan al-Radm, yaitu Bāb Banī ‘Abd Syams, yang hari ini dikenal dengan Bāb Banī Syaibah; karena Rasulullah SAW masuk dari arah itu. Selain itu, pintu tersebut berhadapan langsung dengan wajah Ka‘bah, pintunya, mimbar, maqām, dan rukun.”

Allah Ta‘ālā berfirman: {Datangilah rumah-rumah dari pintunya} (al-Baqarah: 189). Dan karena setiap tujuan seyogianya didatangi dari arah depannya, bukan dari belakangnya.

Disunahkan untuk mengucapkan ketika masuk masjid, sebagaimana diriwayatkan dari Abū Ḥumayd al-Sā‘idī, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, hendaknya bershalawat kepada Nabi SAW dan mengucapkan: Allāhumma innī as’aluka min faḍlik.”

Dan al-Awzā‘ī meriwayatkan bahwa ketika ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz masuk Masjidil Haram, ia berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau berfirman dalam Kitab-Mu: ‘Dan barang siapa yang memasukinya, maka ia aman.’ Ya Allah, jadikanlah keamanan kami dari sisi-Mu, dan lindungilah kami dari beban dunia dan dari segala kengerian selain surga.”

Maka apabila ia masuk ke masjid, tidak memulai dengan apa pun selain ṭawāf. Ia melakukan ṭawāf di sekitar Ka‘bah sebanyak tujuh kali.

Berdasarkan riwayat dari Jābir bin ‘Abd Allāh, ia berkata: “Aku masuk bersama Rasulullah SAW pada waktu naiknya matahari (duḥā). Ketika beliau sampai di pintu masjid, beliau menambatkan untanya, lalu masuk ke masjid, memulai dari Ḥajar (Aswad), lalu menyentuhnya, dan mengalir air matanya karena menangis. Lalu beliau berlari-lari kecil hingga sampai ke rukun yang lain, menyentuhnya, dan berlari-lari kecil tiga putaran dan berjalan empat putaran. Ketika selesai ṭawāf sebelum sampai ke Ḥajar, beliau meletakkan kedua tangannya di atasnya, lalu mengusapkan kedua tangannya ke wajahnya.”

Dan diriwayatkan dari ‘Abd Allāh bin ‘Umar, ia berkata: “Amalan yang paling dicintai Nabi SAW ketika masuk Makkah adalah ṭawāf di sekitar Ka‘bah.”

Karena ṭawāf qudūm adalah penghormatan kepada Ka‘bah, sebagaimana dua rakaat adalah penghormatan kepada masjid. Maka orang yang menuju masjid diperintahkan untuk memberi penghormatan kepadanya, demikian pula orang yang menuju Ka‘bah, diperintahkan untuk memberi penghormatan kepadanya.

 

فَإِنْ قِيلَ هَلَّا كَانَتْ تَحِيَّةُ الْبَيْتِ صَلَاةَ رَكْعَتَيْنِ كَسَائِرِ الْمَسَاجِدِ.
قِيلَ: لَمَّا كَانَ الْبَيْتُ أَفْضَلَ مِنْ سَائِرِ الْمَسَاجِدِ، وَجَبَ أَنْ تَكُونَ تَحِيَّتُهُ أَفْضَلَ مِنْ تَحِيَّةِ سَائِرِ الْمَسَاجِدِ، وَالطَّوَافُ أَفْضَلُ مِنَ الصَّلَاةِ، لِرِوَايَةِ عَطَاءٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” يُنْزِلُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَى هَذَا الْبَيْتِ فِي كُلِّ يَوْمٍ عِشْرِينَ وَمِائَةَ رَحْمَةٍ، سِتُّونَ مِنْهَا لِلطَّائِفِينَ، وَأَرْبَعُونَ لِلْمُصَلِّينَ، وَعِشْرُونَ لِلنَّاظِرِينَ فَيَجْعَلُ لِلطَّائِفِ أَكْثَرَ مِنْ أَجْرِ الْمُصَلِّي “. فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الطَّوَافَ أَفْضَلُ مِنَ الصَّلَاةِ. وَرَوَى أَبُو الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَكْرَمُ سُكَّانِ أَهْلِ السَّمَاءِ عَلَى اللَّهِ، الَّذِينَ يَطُوفُونَ حَوْلَ عَرْشِهِ، وَأَكْرَمُ سُكَّانِ أَهْلِ الْأَرْضِ، الَّذِينَ يَطُوفُونَ حَوْلَ بَيْتِهِ “. وَرَوَى الْحَسَنُ قَالَ: سَمِعْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَوْ أَنَّ الْمَلَائِكَةَ صَافَحَتْ أَحَدًا، لَصَافَحَتِ الْغَازِيَ، وَالطَّوَافُ بِالْبَيْتِ خَوْضٌ فِي الرَّحْمَةِ، وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَيُبَاهِيَ بِالطَّائِفِينَ الْمَلَائِكَةَ “. وَهَذَا الطَّوَافُ سُمِّيَ طَوَافَ الْقُدُومِ، وَطَوَافَ الْوُرُودِ، وَطَوَافَ التَّحِيَّةِ، وَلَيْسَ بِنُسُكٍ، فَإِنْ تَرَكَهُ تَارِكٌ، فَحَجُّهُ يُجْزِئُ، وَلَا دَمَ عَلَيْهِ. قَالَ أَبُو ثَوْرٍ: هُوَ نسك، لحجة المحرم، وَعَلَى تَارِكِهِ دَمٌ. قَالَ مَالِكٌ: إِنْ تَرَكَهُ مُرْهَقًا، أَيْ مُسْتَعْجَلًا، فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَإِنْ تَرَكَهُ مُطِيقًا، فَعَلَيْهِ دَمٌ. وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ هَذَا الطَّوَافَ تَحِيَّةُ الْبَيْتِ، وَلَيْسَ بِنُسُكٍ يَتَعَلَّقُ بالحج، ألا ترى أنه لو ضاق بِهِمُ الْوَقْتَ، فَتَوَجَّهُوا إِلَى عَرَفَةَ، يَسْقُطُ عَنْهُمْ، وَلَوْ كَانَ نُسُكًا، لَزِمَهُمْ أَنْ يَقْضُوا إِذَا عَادُوا، أَوْ يَفْتَدُوا بِدَمٍ، فَثَبَتَ أَنَّهُ لَيْسَ بنسك.

Jika dikatakan:
 Mengapa tahiyyat al-bayt (penghormatan kepada Ka‘bah) tidak berupa salat dua rakaat seperti di masjid-masjid lainnya?

Maka dijawab:
 Karena Ka‘bah lebih utama daripada seluruh masjid lainnya, maka sudah seharusnya penghormatannya lebih utama daripada penghormatan masjid-masjid lainnya. Dan ṭawāf (mengelilingi Ka‘bah) lebih utama daripada salat, berdasarkan riwayat dari ‘Aṭā’ dari Ibnu ‘Abbās bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Allah Ta‘ālā menurunkan setiap hari 120 rahmat atas rumah ini: 60 untuk orang yang bertawaf, 40 untuk orang yang salat, dan 20 untuk orang yang hanya memandang. Maka Allah menjadikan bagi orang yang bertawaf keutamaan lebih besar dari orang yang salat.”

Hal ini menunjukkan bahwa ṭawāf lebih utama daripada salat.

Dan diriwayatkan oleh Abū az-Zinād dari al-A‘raj dari Abū Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda:
 “Makhluk langit yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang bertawaf di sekitar ‘Arsy-Nya, dan makhluk bumi yang paling mulia adalah mereka yang bertawaf di sekitar rumah-Nya.”

Dan al-Ḥasan meriwayatkan bahwa ia berkata: Aku mendengar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
 “Seandainya para malaikat berjabat tangan dengan seseorang, niscaya mereka akan berjabat tangan dengan para mujahid dan orang yang bertawaf di Ka‘bah, karena tawaf itu adalah menyelam dalam lautan rahmat. Dan sungguh Allah Ta‘ālā membanggakan para pelaku tawaf di hadapan para malaikat.”

Tawaf ini disebut ṭawāf al-qudūm (tawaf kedatangan), ṭawāf al-wurūd (tawaf masuk), dan ṭawāf at-taḥiyyah (tawaf penghormatan), dan ia bukanlah bagian dari nusuk (rangkaian ibadah haji atau umrah). Maka jika seseorang meninggalkannya, hajinya tetap sah dan tidak ada dam atasnya.

Abū Ṯawr berkata: Itu adalah nusuk bagi orang yang berihram haji, dan orang yang meninggalkannya wajib membayar dam.

Mālik berkata: Jika ia meninggalkannya karena terdesak waktu (terburu-buru), maka tidak ada kewajiban atasnya. Tapi jika ia meninggalkannya padahal mampu, maka wajib atasnya dam.

Namun ini adalah kesalahan, karena tawaf ini adalah tahiyyat al-bayt, bukan nusuk yang berkaitan langsung dengan haji.

Tidakkah engkau melihat bahwa jika waktu menjadi sempit bagi mereka lalu mereka langsung menuju ‘Arafah, maka kewajiban tawaf ini gugur dari mereka. Dan seandainya tawaf ini termasuk nusuk, maka mereka wajib mengqadha-nya ketika kembali, atau membayar dam. Maka tetaplah bahwa tawaf ini bukan termasuk nusuk.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُفْتَتَحُ الطَّوَافُ بِالِاسْتِلَامِ، فَيُقَبَّلُ الرُّكْنُ الْأَسْوَدُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا أَرَادَ الطَّوَافَ، فَيَجِبُ أَنْ يَبْتَدِئَ بِالْحَجَرِ الْأَسْوَدِ، وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَدَأَ بِهِ، ثُمَّ يَصْنَعُ خَمْسَةَ أَشْيَاءَ:
أَحَدُهَا: أَنْ يُحَاذِيَهُ بِيَدَيْهِ لِرِوَايَةِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا دَخَلَ الْمَسْجِدَ، اسْتَقْبَلَ الْحَجَرَ فَإِنْ حَاذَى جَمِيعَ الْحَجَرِ بِجَمِيعِ بَدَنِهِ كَانَ أَوْلَى، وَإِنْ حاذى بعض الحجر بجميع بدنه، أجزأه، لأن لَمَّا كَانَ الْمُسْتَقْبِلُ لِبَعْضِ الْكَعْبَةِ بِجَمِيعِ بَدَنِهِ كَالْمُسْتَقْبِلِ لِجَمِيعِ الْكَعْبَةِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْمُحَاذِي لِبَعْضِ الْحَجَرِ بِجَمِيعِ بَدَنِهِ، كَالْمُحَاذِي لِجَمِيعِ الْحَجَرِ، وَإِنْ حَاذَى جَمِيعَ الْحَجَرِ بِبَعْضِ بَدَنِهِ، أَوْ حَاذَى بَعْضَ الْحَجَرِ بِبَعْضِ بَدَنِهِ، فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Masalah

Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Ṭawāf dimulai dengan istilām, maka rukun Aswad dicium.”

Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan—apabila hendak ṭawāf, maka wajib memulai dari Ḥajar Aswad, karena Rasulullah SAW memulainya dari situ.

Kemudian dilakukan lima hal:

Pertama: Menghadapinya dengan kedua tangan, berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Umar bahwa Nabi SAW ketika masuk masjid, menghadap ke Ḥajar.

Jika ia menghadap seluruh bagian Ḥajar dengan seluruh badannya, itu lebih utama. Dan jika ia hanya menghadap sebagian dari Ḥajar dengan seluruh badannya, maka itu mencukupi, karena orang yang menghadap sebagian Ka‘bah dengan seluruh badannya dianggap seperti menghadap seluruh Ka‘bah, maka demikian pula orang yang menghadap sebagian Ḥajar dengan seluruh badannya dianggap seperti menghadap seluruh Ḥajar.

Namun jika ia menghadap seluruh Ḥajar dengan sebagian badannya, atau hanya menghadap sebagian Ḥajar dengan sebagian badannya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ: يُجْزِئُهُ، لِأَنَّ مَا تَعَلَّقَ بِالْبَدَنِ، فَحُكْمُ الْبَعْضِ مِنْهُ حُكْمُ الجميع، كالجلد. وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ: لَا يُجْزِئُهُ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْمُسْتَقْبِلُ لِلْكَعْبَةِ بِبَعْضِ بَدَنِهِ فِي حُكْمِ غَيْرِ الْمُسْتَقْبِلِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ المحاذي الحجر بِبَعْضِ بَدَنِهِ، فِي حُكْمِ غَيْرِ الْمُحَاذِي، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يُحَاذِيَهُ بِجَمِيعِ بَدَنِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ لَمْسُهُ مَعَ أَوَّلِ الْحَجَرِ، ثم يجوره طَائِفًا، وَلَيْسَ اسْتِقْبَالُهُ شَرْطًا، وَإِنَّمَا مُحَاذَاتُهُ شَرْطٌ.

Pertama: Yaitu pendapatnya dalam qaul qadīm: cukup (sah), karena apa yang berkaitan dengan badan, maka hukum sebagian darinya sama dengan hukum keseluruhannya, seperti kulit.

Pendapat kedua: Dikatakan dalam qaul jadīd: tidak mencukupi (tidak sah); karena sebagaimana orang yang menghadap Ka‘bah hanya dengan sebagian badannya tidak dianggap sebagai orang yang menghadap (dengan benar), maka demikian pula orang yang hanya memposisikan sebagian badannya sejajar dengan Ḥajar, maka ia dianggap bukan sebagai orang yang benar-benar memposisikan diri sejajar.

Maka jika telah tetap bahwa ia wajib memposisikan diri sejajar dengan Ḥajar dengan seluruh badannya, maka wajib juga menyentuhnya dimulai dari awal batu Ḥajar, lalu melewatinya dalam keadaan ṭawāf.

Adapun menghadap secara langsung bukanlah syarat, yang menjadi syarat adalah sejajar dengannya.


فَصْلٌ
: وَالثَّانِي: أَنْ يَسْتَلِمَهُ بِيَدِهِ لِرِوَايَةِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اسْتَلَمَهُ. وَرَوَى سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” لَيُبْعَثَنَّ هَذَا الرُّكْنُ وَلَهُ لسانٌ، وَعَيْنَانِ تَنْظُرَانِ، يَشْهَدُ عَلَى مَنِ اسْتَلَمَهُ بحقٍ ” وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْحَجَرُ يَمِينُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ يُصَافِحُ بِهَا عِبَادَهُ “. وَرَوَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْحَجَرُ يَمِينُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ فَمَنْ مَسَحَهُ، فَقَدْ بَايَعَ اللَّهَ “. وَأَمَّا اسْتِلَامُ الْحَجَرِ، فَهُوَ افْتِعَالٌ فِي التَّقْدِيرِ مَأْخُوذٌ مِنَ السَّلَامِ وَهِيَ الْحِجَارَةُ، وَأَحَدُهَا سَالِمَةٌ تَقُولُ: اسْتَلَمْتُ الْحَجَرَ إِذَا لَمَسْتُهُ مِنَ السَّلَامِ قَالَ ذُو الرُّمَّةِ:
(تَدَاعَيْنَ بِاسْمِ الشَّيْبِ فِي مُتَثَلِّمٍ … جَوَانِبُهُ مِنْ بصرةٍ وَسَلَامِ)
فَالسَّلَامُ الْحِجَارَةُ السُّودُ، وَالْبَصْرَةُ الْحِجَارَةُ الْبِيضُ، وَبِهِ سُمِّيَتِ الْبَصْرَةُ لِمَا فِي أَرْضِهَا مِنْ عدوق الحجارة البيض.

PASAL
 Yang kedua: menyentuh ḥajar aswad dengan tangan, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi SAW menyentuhnya (isti‘lām).

Diriwayatkan oleh Sa‘īd bin Jubayr dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
 “Sungguh akan dibangkitkan rukun ini (ḥajar aswad) dalam keadaan memiliki lisan dan dua mata yang melihat, ia akan bersaksi atas siapa saja yang menyentuhnya dengan benar.”

Diriwayatkan oleh Muḥammad bin al-Munkadir dari Jābir bin ‘Abdillāh, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
 “Ḥajar itu adalah tangan kanan Allah di bumi, dengannya Dia berjabat tangan dengan hamba-hamba-Nya.”

Diriwayatkan dari Anas bin Mālik, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
 “Ḥajar adalah tangan kanan Allah di bumi. Barang siapa mengusapnya, maka sungguh ia telah berbaiat kepada Allah.”

Adapun kata istilām al-ḥajar (menyentuh batu) secara bentuk adalah ifti‘āl, berasal dari kata salām (bersentuhan/damai), dan salām dalam bahasa Arab juga bisa bermakna batu.

Salah satu bentuknya disebut sālimah, dan engkau mengatakan istalamtul-ḥajar jika engkau menyentuhnya, yakni dari kata salām.

Dikatakan oleh Dhū ar-Rummah dalam syairnya:
 “Tadā‘ayna bismi asy-syaib fī mutathallim … jawānibuhū min Buṣrah wa Salām”
 (Mereka saling memanggil dengan sebutan uban, di atas batu yang retak … sisi-sisinya dari Buṣrah dan Salām)

Maka salām adalah batu-batu berwarna hitam, sedangkan Buṣrah adalah batu-batu berwarna putih.

Dan dari situlah kota Buṣrah dinamai, karena di tanahnya terdapat banyak batu putih.


فصل
: الثالث: أَنْ يُقَبِّلَهُ بِفِيهِ، وَكَرِهَ مَالِكٌ تَقْبِيلَهُ وَقَالَ: يَسْتَلِمُهُ، ثُمَّ يُقَبِّلُ يَدَهُ اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ أَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ طَافَ فِي حِجَّةِ الْوَدَاعِ على بعير، فاستلم الركن بمحجنه وقبل طَرَفَ مِحْجَنِهِ وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ مُحَمَّدِ بْنِ عَوْفٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: ” اسْتَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْحَجَرَ، فَاسْتَلَمَهُ فِي وَضْعِ شَفَتَيْهِ عَلَيْهِ يَبْكِي طَوِيلًا، فَالْتَفَتَ فَإِذَا هُوَ بِعُمَرَ يَبْكِي، فَقَالَ: هَا هُنَا تُسْكَبُ الْعَبَرَاتُ. وَرَوَى ابْنُ شِهَابٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَبَّلَ الْحَجَرِ وَقَالَ: وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ “. فَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: أَمَا إِنَّهُ يَنْفَعُ وَيَضُرُّ، سَمِعْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَمَّا أَخَذَ الْعَهْدَ عَلَى آدَمَ وَذُرِّيَّتِهِ، أَوْدَعَهُ فِي رِقٍّ وَفِي هَذَا الْحَجَرِ، فَهُوَ يَشْهَدُ لِمَنْ وَافَاهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَقَالَ عُمَرُ: لَا أَحْيَانِي اللَّهُ لِمُعْضِلَةٍ لَا يَكُونُ لَهَا ابْنُ أَبِي طَالِبٍ حياً “. قال الشافعي: ويقبل الحجر بلا تصويت وَلَا تَطْنِينٍ هَكَذَا السُّنَّةُ فِيهِ.

PASAL

Ketiga: Hendaknya mencium Ḥajar Aswad dengan mulutnya.

Mālik memakruhkan mencium Ḥajar Aswad dan berkata: cukup menyentuhnya, lalu mencium tangannya, berdalil dengan riwayat bahwa Nabi SAW ṭawāf dalam ḥajjat al-wadā‘ di atas unta, lalu menyentuh rukun dengan tongkatnya, dan mencium ujung tongkatnya.

Dalil kami adalah riwayat Muḥammad bin ‘Awf dari Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar, ia berkata: “Rasulullah SAW menghadap Ḥajar Aswad, lalu menyentuhnya dan meletakkan kedua bibir beliau padanya sambil menangis lama. Lalu beliau menoleh, dan ternyata ‘Umar juga menangis. Maka beliau bersabda: ‘Di sinilah air mata ditumpahkan.’”

Dan Ibn Syihāb meriwayatkan bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA mencium Ḥajar Aswad dan berkata: “Demi Allah, sungguh aku tahu bahwa engkau hanyalah sebuah batu, tidak bisa memberi mudarat dan tidak pula manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah SAW menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”

Lalu ‘Alī bin Abī Ṭālib berkata: “Ketahuilah, ia memberi manfaat dan mudarat. Aku mendengar Nabi SAW bersabda: ‘Sesungguhnya Allah Tabāraka wa Ta‘ālā ketika mengambil perjanjian dari Ādam dan anak keturunannya, Dia menyimpannya dalam sebuah lembaran dan di dalam batu ini. Maka ia akan menjadi saksi bagi siapa saja yang menemuinya pada hari kiamat.’”

Lalu ‘Umar berkata: “Semoga Allah tidak membiarkan aku hidup dalam keadaan menghadapi persoalan besar yang tidak ada Ibnu Abī Ṭālib dalam keadaan hidup bersamaku.”

Al-Syāfi‘ī berkata: “Dan hendaknya mencium Ḥajar tanpa suara keras dan tanpa dengungan (gumaman); demikianlah sunah dalam hal ini.”

فَصْلٌ
: وَالرَّابِعُ: أَنْ يَسْجُدَ عَلَيْهِ إِنْ أَمْكَنَهُ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: لِأَنَّ فِيهِ تَقْبِيلًا، وَزِيَادَةَ سُجُودٍ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. وَقَالَ مَالِكٌ: السُّجُودُ عَلَيْهِ بِدْعَةٌ، وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ: رَأَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ قَدِمَ مَكَّةَ مسبداً رأسه، فقبل الْحَجَرَ، ثُمَّ سَجَدَ عَلَيْهِ ثَلَاثًا، وَذَلِكَ يَوْمَ التَّرْوِيَةِ قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: التَّسْبِيدُ، تَرْكُ التَّدَهُّنِ والغسل.

PASAL
 dan yang keempat: sujud di atasnya jika memungkinkan.

Al-Syafi‘i berkata: karena di dalamnya terdapat tindakan mencium dan tambahan bentuk sujud kepada Allah ‘azza wa jalla.

Mālik berkata: sujud di atasnya adalah bid‘ah.

Dalil kami adalah riwayat Muḥammad bin ‘Abbād bin Ja‘far, ia berkata: aku melihat Ibn ‘Abbās datang ke Makkah dengan rambut tidak disisir dan tidak berminyak (musbidan), lalu mencium al-ḥajar, kemudian sujud di atasnya tiga kali, dan itu terjadi pada hari al-tarwiyah.

Abū ‘Ubaid berkata: al-tasbīd adalah meninggalkan peminyakan dan mandi.


فَصْلٌ
: وَالْخَامِسُ: أَنْ يَقُولَ عِنْدَ اسْتِلَامِهِ ” بِسْمِ اللَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ إِيمَانًا بِكَ، وَتَصْدِيقًا لِكِتَابِكَ، وَوَفَاءً بَعَهْدِكَ، وَاتِّبَاعًا لِسُنَّةِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فَقَدْ رُوِيَ ذَلِكَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَهُوَ الْمُخْتَارُ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ، وَقَدْ رَوَى سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ عِنْدَ اسْتِلَامِ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ: بِسْمِ اللَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى مَا هَدَانَا، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، آمَنْتُ بِاللَّهِ وَكَفَرْتُ بِالطَّاغُوتِ وَبِاللَّاتِ وَالْعُزَّى وَمَا ادُّعِيَ دُونَ اللَّهِ إِنَّ ولي اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ “. وَمَا قَالَ مِنْ ذِكْرٍ اللَّهِ وَتَعْظِيمِهِ فَحَسَنٌ، فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ هَذِهِ الْأُمُورِ الْخَمْسَةِ، فَجَمِيعُهَا سُنَّةٌ غَيْرُ وَاجِبَةٍ، إِلَّا مُحَاذَاةَ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ لَا غَيْرَ، فَإِنْ كَانَتْ زَحْمَةٌ لَا يَقْدِرُ مَعَهَا عَلَى الِاسْتِلَامِ وَالتَّقْبِيلِ إِلَّا بِزِحَامِ النَّاسِ، نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ إِنْ صَبَرَ يَسِيرًا خَفَّ الزِّحَامُ، وَأَمْكَنَهُ الِاسْتِلَامُ صَبَرَ، وَإِنْ عَلِمَ أَنَّ الزِّحَامَ لَا يَخِفُّ، تَرَكَ الِاسْتِلَامَ وَلَمْ يُزْحِمِ النَّاسَ وَأَشَارَ إِلَيْهِ رَافِعًا لِيَدِهِ ثُمَّ يُقَبِّلُهَا. وَحُكِيَ عَنْ طَائِفَةٍ، أَنَّ الزِّحَامَ عَلَيْهِ أَفْضَلُ. فَرُوِيَ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: كُنَّا نُزَاحِمُ ابْنَ عُمَرَ عَلَى الرُّكْنِ، وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ لَوْ زَاحَمَ الْإِبِلَ لَزَحَمَهَا. وَرُوِيَ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ يَحْيَى بْنِ طَلْحَةَ، قَالَ: سَأَلْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ عَنِ استلام الركن فقال: استلمه يابن أَخِي وَزَاحِمْ عَلَيْهِ، فَإِنِّي رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يُزَاحِمُ عَلَيْهِ حَتَّى يُدْمَى.

PASAL
 kelima: yaitu membaca saat menyentuh hajar aswad: “Bismillāh, Allāhu akbar, Allāhumma īmānan bika, wataṣdīqan likitābik, wafa’an bi‘ahdika, wattibā‘an lisunnati nabiyyika Muḥammad SAW.” Hal ini telah diriwayatkan dari Nabi SAW, dan itulah yang dipilih oleh asy-Syāfi‘ī. Sa‘īd bin al-Musayyab meriwayatkan bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA membaca saat menyentuh hajar aswad: “Bismillāh, Allāhu akbar, wal-ḥamdu lillāh ‘alā mā hadānā, lā ilāha illallāh waḥdahū lā syarīka lah, āmantu billāh, wa kafartu biṭ-ṭāghūt, wal-lāta wal-‘uzzā, wa mā addu‘iya dūnallāh, inna waliyyallāh allażī nazzala al-kitāb wa huwa yatawallā aṣ-ṣāliḥīn.”

Zikir dan pengagungan kepada Allah apa pun yang diucapkan juga baik.

Jika telah tetap apa yang kami sebut dari lima hal ini, maka semuanya adalah sunnah, tidak wajib, kecuali menghadapkan diri ke hajar aswad, hanya itu yang wajib.

Jika terjadi keramaian yang membuatnya tidak mampu menyentuh dan mencium kecuali dengan berdesakan, maka dilihat: jika dengan bersabar sejenak keramaian akan reda dan ia dapat menyentuhnya, maka hendaklah ia bersabar; dan jika ia mengetahui bahwa keramaian tidak akan reda, maka hendaklah ia meninggalkan penyentuhan dan tidak mendesak orang-orang, dan cukup memberi isyarat dengan tangannya lalu menciumnya.

Diriwayatkan dari sekelompok ulama bahwa berdesakan untuk itu lebih utama. Diriwayatkan dari Sālim bin ‘Abdillāh, ia berkata: “Kami biasa berdesakan dengan Ibn ‘Umar di rukun, dan sesungguhnya ‘Abdullāh seandainya harus berdesakan dengan unta pun ia akan melakukannya.”

Diriwayatkan dari Ṭalḥah bin Yaḥyā bin Ṭalḥah, ia berkata: “Aku bertanya kepada al-Qāsim bin Muḥammad tentang menyentuh rukun,” maka ia berkata: “Sentuhlah, wahai anak saudaraku, dan berdesak-desakanlah padanya, karena aku melihat Ibn ‘Umar berdesak-desakan padanya hingga berdarah.”


وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّ الزِّحَامَ مَكْرُوهٌ، رِوَايَةُ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّكَ رَجُلٌ قَوِيٌّ لَا تُؤْذِي الضَّعِيفَ، فَإِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَسْتَلِمَ الْحَجَرَ، فَإِنْ كَانَ خَالِيًا فاستلمه، وإلا فَاسْتَقْبِلْهُ وَكَبِّرْ “. وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: لَا تُزَاحِمْ عَلَى الْحَجَرِ لَا تُؤْذِي وَلَا يُؤْذَى، لَوَدِدْتُ أَنَّ الَّذِي زَاحَمَ عَلَى الحجر نجا منه كفافاً.

Dan dalil bahwa berdesak-desakan itu makruh adalah riwayat Sa‘īd bin al-Musayyab dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Engkau adalah seorang laki-laki yang kuat, jangan menyakiti yang lemah. Jika engkau ingin menyentuh al-ḥajar, maka jika ia kosong, sentuhlah. Jika tidak, maka hadapilah dan bertakbirlah.”

Dan diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās bahwa ia berkata: “Janganlah berdesak-desakan untuk menyentuh al-ḥajar, jangan menyakiti dan jangan disakiti. Sungguh aku ingin orang yang berdesak-desakan untuk menyentuh al-ḥajar bisa selamat darinya tanpa membawa dosa maupun pahala.”


فَصْلٌ
: أَمَّا النِّسَاءُ فَلَا يُخْتَارُ لَهُنَّ الِاسْتِلَامُ وَلَا التَّقْبِيلُ، إِذَا حَاذَيْنَ الْحَجَرَ، أَشَرْنَ إِلَيْهِ. قَدْ رَوَى عَطَاءٌ ” أَنَّ امْرَأَةً طَافَتْ مَعَ عَائِشَةَ فَلَمَّا جَاءَتِ الرُّكْنَ قَالَتِ الْمَرْأَةُ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَلَا تَسْتَلِمِينَ فَقَالَتْ عَائِشَةُ وَمَا لِلنِّسَاءِ وَاسْتِلَامِ الرُّكْنِ امْضِ عَنْكِ، وَأَنْكَرَتْ عَائِشَةُ ذَلِكَ عَلَى مَوْلَاةٍ لَهَا. فَإِنْ أَرَادَتِ الْمَرْأَةُ تَقْبِيلَ الْحَجَرِ، فَعَلَتْ ذَلِكَ فِي اللَّيْلِ عِنْدَ خلو الطواف.

 

PASAL
 Adapun perempuan, maka tidak dianjurkan bagi mereka untuk menyentuh maupun mencium hajar aswad. Jika mereka sejajar dengannya, cukup memberi isyarat saja.

Telah diriwayatkan dari ‘Aṭā’: “Ada seorang perempuan thawaf bersama ‘Ā’isyah, lalu ketika sampai di rukun, perempuan itu berkata: ‘Wahai Umm al-Mu’minīn, tidakkah engkau akan menyentuhnya?’ Maka ‘Ā’isyah menjawab: ‘Apa urusannya perempuan dengan menyentuh rukun? Pergilah dariku!’” Dan ‘Ā’isyah mengingkari hal itu pada seorang budak perempuannya.

Jika perempuan ingin mencium hajar aswad, maka ia boleh melakukannya pada malam hari saat thawaf sepi.

 

مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ويستلم اليماني بيده ويقبلها ولا يقبله لأني لم أعلم رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قبل إلا الحجر الأسود واستلم اليماني وأنه لم يعرج على شيءٍ دون الطواف “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي الرُّكْنِ الْيَمَانِيُّ، وَهُوَ الرَّابِعُ مِنَ الرُّكْنِ الْأَسْوَدِ، فَمِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَسْتَلِمَهُ بِيَدِهِ، وَيُقَبِّلَ يَدَهُ، وَلَا يُقَبِّلَهُ.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَيْسَ مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَسْتَلِمَهُ وَلَا أَنْ يُقَبِّلَ يَدَهُ إِذَا اسْتَلَمَهُ، بَلْ يَمُرُّ بِهِ. وَقَالَ مَالِكٌ: يَسْتَلِمُهُ، وَلَا يُقَبِّلُ يَدَهُ، وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَمْ أَمُرَّ بِالرُّكْنِ إِلَّا وَعِنْدَهُ مَلَكٌ يَقُولُ يَا مُحَمَّدُ اسْتَلِمْ “.

Masalah
 Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Disunnahkan menyentuh al-rukn al-yamānī dengan tangan dan mencium tangan tersebut, namun tidak mencium rukn al-yamānī itu sendiri, karena aku tidak mengetahui adanya riwayat dari Rasulullah SAW bahwa beliau mencium selain al-ḥajar al-aswad, dan beliau menyentuh al-rukn al-yamānī, serta tidak menyimpang dari apa pun selain ṭawāf.”

Al-Māwardī berkata: Telah dijelaskan sebelumnya tentang al-rukn al-yamānī, yaitu sudut keempat dari al-ḥajar al-aswad. Maka termasuk sunnah adalah menyentuhnya dengan tangan dan mencium tangan tersebut, tetapi tidak mencium sudutnya langsung.

Abū Ḥanīfah berkata: Bukan termasuk sunnah untuk menyentuhnya, dan juga tidak mencium tangan jika menyentuhnya, tetapi cukup melewatinya.

Mālik berkata: Disentuh, tetapi tidak mencium tangan.

Dalil kami adalah riwayat dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Aku tidak melewati al-rukn melainkan ada malaikat di sisinya yang berkata: Wahai Muḥammad, sentuhlah.”


وَرَوَى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: كَانَ يَسْتَلِمُ الرُّكْنَ الْيَمَانِيَّ وَالْأَسْوَدَ فِي كُلِّ طوافٍ، ولا يستسلم الْآخَرَيْنِ اللَّذَيْنِ مِمَّا يَلِي الْحَجَرَ.
وَرَوَى عَطَاءٌ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَا مَرَرْتُ بِهَذَا الرُّكْنِ إِلَّا وَجِبْرِيلُ قَائِمٌ عِنْدَهُ يَسْتَغْفِرُ لِمَنِ اسْتَلَمَهُ بِحَقٍّ “. وَرَوَى مُجَاهِدٌ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَسْتَلِمُ الرُّكْنَ الْيَمَانِيَّ وَيَضَعُ خَدَّهُ عَلَيْهِ.

Telah meriwayatkan Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah SAW biasa menyentuh rukun yamānī dan hajar aswad pada setiap ṭawāf, dan tidak menyentuh dua rukun lainnya yang berada di sisi hajar aswad.

Dan telah meriwayatkan ‘Aṭā’, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah aku melewati rukun ini kecuali Jibrīl sedang berdiri di sisinya memohonkan ampun bagi orang yang menyentuhnya dengan benar.”

Dan telah meriwayatkan Mujāhid, ia berkata: “Rasulullah SAW biasa menyentuh rukun yamānī, dan meletakkan pipinya padanya.”


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الرُّكْنَانِ الْآخَرَانِ اللَّذَانِ بَيْنَ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ، وَهُمَا الْعِرَاقِيُّ وَالشَّامِيُّ فَلَيْسَ مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَسْتَلِمَهَا بَلْ يَمُرُّ بِهِمَا. وَحُكِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ: أَنَّهُ كَانَ يَسْتَلِمُ الْأَرْكَانَ كُلَّهَا، وَقَالَ لَا يَنْبَغِي لِبَيْتِ اللَّهِ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ مِنْهُ مَهْجُورًا؛ وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنْ لَيْسَ ذَلِكَ مِنْهُ، مَا رَوَاهُ نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَسْتَلِمُ إِلَّا هَذَيْنِ الرُّكْنَيْنِ، يَعْنِي الْيَمَانِيَّ وَالْحَجَرَ، فَمَا تَرَكْتُهُمَا مُنْذُ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي شِدَّةٍ وَلَا رَخَاءٍ وَلِأَنَّ الرُّكْنَ الْأَسْوَدَ وَالْيَمَانِيَّ بُنِيَا عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ، فَاخْتُصَّا بِالِاسْتِلَامِ، وليس ذلك كَذَلِكَ الْعِرَاقِيِّ وَالشَّامِيِّ. وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَيْسَ تَرْكُ اسْتِلَامِهَا دَلِيلًا عَلَى أَنَّ مِنْهُمَا مَهْجُورًا، وَكَيْفَ يهجر ما يطاف به لو كَانَ تَرْكُ اسْتِلَامِهَا مَهْجُورًا هِجْرَانًا لَهُمَا، كَانَ تَرْكُ اسْتِلَامِ مَا بَيْنَ الْأَرْكَانِ هِجْرَانًا لَهَا، فَأَمَّا تَقْبِيلُ الْيَمَانِيِّ، فَلَمْ تَرِدْ بِهِ السُّنَّةُ، فَإِنْ قِيلَ لَمَّا اسْتَوَيَا فِي الِاسْتِلَامِ، فَهَلَّا اسْتَوَيَا فِي التَّقْبِيلِ.

PASAL
 Adapun dua sudut lainnya yang terletak antara al-ḥajar al-aswad, yaitu sudut ‘Irāq dan Syām, maka tidak termasuk sunnah untuk menyentuh keduanya, tetapi cukup melewatinya.

Disebutkan dari ‘Abdullāh bin al-Zubayr bahwa ia menyentuh seluruh sudut Ka‘bah, dan ia berkata: “Tidak layak bagi Baytullāh ada satu pun bagiannya yang ditinggalkan.”

Namun dalil bahwa hal tersebut bukan bagian dari sunnah adalah riwayat Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar, ia berkata: “Aku tidak melihat Rasulullah SAW menyentuh kecuali dua sudut ini — yaitu al-rukn al-yamānī dan al-ḥajar al-aswad — maka aku tidak pernah meninggalkan keduanya sejak aku melihat Rasulullah SAW, baik dalam keadaan sulit maupun lapang.”

Karena al-rukn al-aswad dan al-yamānī dibangun di atas fondasi Ibrāhīm, maka keduanya memiliki keutamaan khusus untuk disentuh. Adapun sudut ‘Irāq dan Syām, tidak demikian.

Al-Syafi‘i berkata: Tidak menyentuh kedua sudut itu bukanlah dalil bahwa keduanya dianggap ditinggalkan. Bagaimana bisa dikatakan ditinggalkan padahal keduanya termasuk bagian dari ṭawāf? Andaikan tidak menyentuh kedua sudut itu dianggap sebagai pengabaian, maka bagian-bagian Ka‘bah yang berada di antara sudut-sudut pun seharusnya dianggap diabaikan juga.

Adapun mencium al-rukn al-yamānī, tidak ada sunnah yang menunjukkan hal tersebut.

Jika ada yang berkata: “Karena keduanya sama-sama disunnahkan untuk disentuh, kenapa tidak sama pula dalam hal dicium?”


قِيلَ: السُّنَّةُ فَرَّقَتْ بَيْنَهُمَا بتقبيل النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأَحَدِهِمَا عَلَى أَنَّ الرُّكْنَ الْأَسْوَدَ أَشْرَفُ، لِأَنَّ ابْتِدَاءَ الطَّوَافِ مِنْهُ، وَلِأَنَّ الْحَجَرَ الْأَسْوَدَ فِيهِ، وَقَدْ رَوَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ: أشهد بالله ثَلَاثًا أَنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” إِنَّ الْحَجَرَ وَالْمَقَامَ يَاقُوتَتَانِ مِنْ يَوَاقِيتِ الْجَنَّةِ طَمَسَ اللَّهُ نُورَهُمَا وَلَوْلَا ذَلِكَ لَأَضَاءَ نُورُهُمَا مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ “. وَرَوَى الْحَسَنُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: الرُّكْنُ الْأَسْوَدُ نُورٌ مِنْ أَنْوَارِ الْجَنَّةِ وَمَا مِنْ أحدٍ يَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا اسْتُجِيبَ لَهُ.

Dikatakan: sunnah membedakan antara keduanya dengan cara Nabi SAW mencium salah satunya, yaitu bahwa rukun aswad lebih mulia, karena permulaan ṭawāf dimulai darinya, dan karena ḥajar aswad berada padanya.

Telah meriwayatkan ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ, ia berkata: “Aku bersaksi demi Allah tiga kali bahwa aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya ḥajar dan maqām adalah dua batu yāqūt dari yāqūt surga, Allah telah menghapus cahaya keduanya, dan seandainya tidak, niscaya cahaya keduanya akan menerangi antara timur dan barat.’”

Dan al-Ḥasan meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Rukun Aswad adalah cahaya dari cahaya-cahaya surga, dan tidaklah seseorang berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla padanya kecuali doanya dikabulkan.”


فَصْلٌ
: وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُكَبِّرَ إِذَا اسْتَلَمَ الرُّكْنَ الْيَمَانِيَّ وَيَدْعُوَ عِنْدَهُ، فَقَدْ رَوَى سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: عَلَى الرُّكْنِ الْيَمَانِيِّ مَلَكَانِ مُوَكَّلَانِ يُؤَمِّنَانِ عَلَى دُعَاءِ مَنْ يَمُرُّ بِهِ، وَعَلَى الْأَسْوَدِ مَا لَا يُحْصَى، وَيُخْتَارُ أَنْ يَكُونَ مِنْ دُعَائِهِ مَا رَوَى سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ إِذَا مَرَّ بِالرُّكْنِ الْيَمَانِيِّ قَالَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ وَالذُّلِّ وَمَوَاقِفِ الْخِزْيِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حسنة. وقنا عَذَابَ النَّارِ. فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ: أَقُولُ هَذَا وَإِنْ كُنْتُ مُسْرِعًا؟ فَقَالَ: نَعَمْ وَإِنْ كُنْتَ أَسْرَعَ مِنْ بَرْقِ الْخُلَّبِ وَمَا دعي بِهِ مِنْ شَيْءٍ فحسنٌ، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَدْعُوَ بَيْنَ الْحَجَرِ وَالرُّكْنِ، فَقَدْ رَوَى الْحَسَنُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَا بَيْنَ الرُّكْنِ الْيَمَانِيِّ وَالرُّكْنِ الْأَسْوَدِ روضةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ ” وَلْيَكُنْ مِنْ دُعَائِهِ مَا رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ السَّائِبِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ بَيْنَ الْحَجَرِ وَالرُّكْنِ: ” رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حسنة وقنا عذاب النار “.

PASAL
 Disunnahkan bertakbir ketika menyentuh rukn yamānī dan berdoa di dekatnya. Karena telah diriwayatkan dari Sālim, dari ayahnya, dari Abdullah bin ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Pada rukn yamānī terdapat dua malaikat yang ditugaskan untuk mengaminkan doa siapa pun yang melewatinya, sedangkan pada al-aswad (Hajar Aswad) terdapat sesuatu yang tidak terhingga.”

Dan dipilih dari doanya apa yang diriwayatkan oleh Sa‘īd bin al-Musayyab bahwa Nabi SAW apabila melewati rukn yamānī membaca:
 “Allāhumma innī a‘ūdzu bika mina al-kufri wa al-faqri wa al-dzulli wa mawāqifi al-khizy fī al-dunyā wa al-ākhirah. Rabbanā ātinā fī al-dunyā ḥasanah wa fī al-ākhirati ḥasanah wa qinā ‘ażāba al-nār.”

Lalu seorang lelaki bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah aku boleh mengucapkan doa ini meskipun aku sedang berjalan cepat?” Nabi menjawab, “Ya, sekalipun engkau lebih cepat dari kilat al-khulab. Dan apa pun doa yang dipanjatkan di situ, maka itu baik.”

Disunnahkan pula berdoa di antara ḥajar (Hajar Aswad) dan rukn (rukn yamānī), karena telah diriwayatkan dari al-Ḥasan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Antara rukn yamānī dan rukn aswad adalah taman dari taman-taman surga.”

Dan hendaknya termasuk doanya adalah apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin as-Sā’ib, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda di antara ḥajar dan rukn:
 “Rabbanā ātinā fī al-dunyā ḥasanah wa fī al-ākhirati ḥasanah wa qinā ‘ażāba al-nār.”


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَبْتَدِئُ بِشَيْءٍ غَيْرَ الطَّوَافِ إِلَّا أَنْ يجد الإمام في المكتوبة أو يخاف فوت فرض أو ركعتي الفجر (قال) ويقول عند ابتدائه الطواف والاستلام ” باسم اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُمَّ إِيمَانًا بِكَ وَتَصْدِيقًا بكتابك وَوَفَاءً بَعَهْدِكَ وَاتِّبَاعًا لِسُنَّةِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – “.

Masalah
 Imam asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Dan tidak memulai dengan sesuatu apa pun selain ṭawāf, kecuali jika mendapati imam sedang melaksanakan ṣalat fardhu berjamaah, atau khawatir luput dari kewajiban, atau dua rakaat fajar.”

(Beliau berkata): “Dan hendaklah ia mengucapkan saat memulai ṭawāf dan menyentuh hajar aswad:
 Bismillāh, Allāhu akbar, Allāhumma īmānan bika, wataṣdīqan bikitābik, wafa’an bi‘ahdik, wattibā‘an lisunnati nabiyyika Muḥammad SAW.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَنْ دَخَلَ مَكَّةَ لَمْ يُعَرِّجْ عَلَى شَيْءٍ حَتَّى يَطُوفَ بِالْبَيْتِ سَبْعًا، إِلَّا فِي ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: لِعُذْرٍ قَدْ أَرْهَقَهُ.
وَالثَّانِي: لِحُضُورِ مَا هُوَ أَوْلَى مِنْهُ.
وَالثَّالِثُ: لِعِبَادَةٍ يُخَافُ فَوْتُهَا.

Qāl al-Māwardī: Telah kami sebutkan bahwa siapa saja yang masuk Makkah, maka ia tidak singgah pada sesuatu pun sebelum ṭawāf mengelilingi Ka‘bah sebanyak tujuh kali, kecuali dalam tiga keadaan:

Pertama: karena adanya uzur yang sangat memberatkannya.
 Kedua: karena menghadiri sesuatu yang lebih utama darinya.
 Ketiga: karena ada ibadah yang dikhawatirkan akan luput.

فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْعُذْرُ: فَهُوَ أَنْ يَكُونَ مَرِيضًا، أَوْ عِنْدَهُ مَرِيضٌ، أَوْ يَحْتَاجُ إِلَى ارْتِيَادِ مَسْكَنٍ، أَوْ إِحْرَازِ رَجُلٍ فَهَذَا مَعْذُورٌ بِتَأْخِيرِ الطَّوَافِ، فَإِذَا دَخَلَ مَكَّةَ لَمْ يَقْصِدِ الْمَسْجِدَ إِلَّا بَعْدَ زَوَالِ عُذْرِهِ؛ لِأَنَّ قَصْدَ الْمَسْجِدِ إِنَّمَا يُرَادُ لِلطَّوَافِ، فَإِذَا عُذِرَ بِتَأْخِيرِ الطَّوَافِ عُذِرَ بِتَأْخِيرِ الدُّخُولِ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَإِذَا زَالَ عُذْرُهُ قَصَدَ الْبَيْتَ فَطَافَ بِهِ سَبْعًا.

PASAL
 Adapun ‘udzur adalah seperti sedang sakit, atau memiliki orang sakit yang bersamanya, atau membutuhkan untuk mencari tempat tinggal, atau menjaga seorang laki-laki, maka orang seperti ini diberi uzur untuk menunda ṭawāf. Maka apabila ia masuk Makkah, ia tidak menuju masjid kecuali setelah hilangnya ‘udzur-nya, karena tujuan menuju masjid adalah untuk ṭawāf. Maka apabila diberi uzur untuk menunda ṭawāf, ia juga diberi uzur untuk menunda masuk ke masjid. Apabila ‘udzur-nya telah hilang, ia menuju ke Baitullah lalu bertawaf sebanyak tujuh kali.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا حُضُورُ مَا هُوَ أَوْلَى مِنْهُ، فَهُوَ أَنْ يَجِدَ النَّاسَ فِي صَلَاةِ جَمَاعَةٍ وَقَدْ دَخَلَ الْمَسْجِدَ، فَيَبْدَأُ بِصَلَاةِ الْجَمَاعَةِ قَبْلَ الطَّوَافِ؛ لِأَنَّ صَلَاةَ الْجَمَاعَةِ فَضِيلَةٌ حَاضِرَةٌ، وَالطَّوَافُ شَيْءٌ لَا يَفُوتُ، عَلَى أَنَّهُ لَوْ هَمَّ بِالطَّوَافِ مَنَعَهُ السَّيْرُ بِهِ، وَكَذَا لَوْ دَخَلَ وَقَدْ أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، لَمْ يَطُفْ، وَصَلَّى مَعَهُمْ، فَإِنْ دَخَلَ وَقَدْ أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُونَ لِلصَّلَاةِ، فَإِنْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ زَمَانٌ يَسِيرٌ لَا يَتَّسِعُ لِلطَّوَافِ، كَأَذَانِ الْمَغْرِبِ، لَمْ يَطُفْ، لَكِنْ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ، ثُمَّ يُصَلِّي الْجَمَاعَةَ، ثُمَّ يَطُوفُ، وَإِنْ كَانَ مَا بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ مُتَّسَعًا لِلطَّوَافِ، لَمْ يَنْتَظِرِ الصَّلَاةَ وطاف فإن أقيمت للصلاة قَبْلَ إِتْمَامِ الطَّوَافِ فَيَخْتَارُ أَنْ يَقْطَعَهُ عَلَى وِتْرٍ مِنْ ثَلَاثٍ، أَوْ خَمْسٍ، وَلَا يَقْطَعُهُ عَلَى شَفْعٍ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ “. فَإِنْ قَطَعَهُ على شفع جاز، ويخرج من الطوفة عِنْدَ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ، لِيَكُونَ قَدْ أَكْمَلَهَا، فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلَاةِ، عَادَ فَبَنَى عَلَى طَوَافِهِ وَتَمَّمَ، فَإِنْ خَرَجَ مِنَ الطَّوَافِ قَبْلَ أَنْ يَنْتَهِيَ إِلَى الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ فَقَدْ خَرَجَ قَبْلَ إِتْمَامِ الطَّوْفَةِ، فَإِذَا عَادَ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنَ الصَّلَاةِ ابْتَدَأَ مِنْ حَيْثُ قَطَعَ، وَاسْتَظْهَرَ لِيُتَمِّمَ الطَّوْفَةَ الَّتِي قَطَعَهَا، ثُمَّ يَبْنِي عَلَيْهَا تَمَامَ سَبْعٍ.

PASAL
 Adapun menghadiri sesuatu yang lebih utama darinya, yaitu ketika seseorang masuk masjid dan mendapati orang-orang sedang melaksanakan ṣalat berjamaah, maka ia memulai dengan ṣalat berjamaah sebelum ṭawāf. Karena ṣalat berjamaah adalah fadhilah yang sedang hadir (tidak bisa diulang), sedangkan ṭawāf adalah sesuatu yang tidak akan terluput.

Bahkan seandainya ia hendak ṭawāf, niscaya pergerakan jamaah akan menghalanginya. Demikian pula jika ia masuk dan ṣalat telah didirikan, maka ia tidak melakukan ṭawāf, melainkan langsung ṣalat bersama mereka.

Jika ia masuk saat muadzin telah mengumandangkan adzan, dan antara adzan dan iqamah hanya waktu yang singkat yang tidak cukup untuk ṭawāf — seperti adzan Maghrib — maka ia tidak ṭawāf, tetapi disunnahkan untuk melakukan dua rakaat taḥiyyat al-masjid, lalu ikut ṣalat berjamaah, kemudian ṭawāf setelahnya.

Namun jika waktu antara adzan dan iqamah cukup untuk ṭawāf, maka ia tidak perlu menunggu ṣalat dan langsung ṭawāf. Jika iqamah dikumandangkan sebelum ia menyempurnakan ṭawāf, maka ia disunnahkan memutus ṭawāf pada bilangan ganjil seperti tiga atau lima putaran, dan tidak memutuskannya pada bilangan genap, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya Allah itu ganjil, dan menyukai yang ganjil.”

Jika ia tetap memutuskannya pada bilangan genap, hukumnya boleh. Dan ia keluar dari ṭawāf pada saat berada di ḥajar aswad, agar sempurna satu putaran. Setelah selesai ṣalat, ia kembali dan melanjutkan ṭawāfnya hingga selesai.

Namun jika ia keluar dari ṭawāf sebelum sampai ke ḥajar aswad, berarti ia keluar sebelum menyempurnakan satu putaran. Maka ketika ia kembali setelah selesai ṣalat, ia memulai dari tempat terakhir ia memutus ṭawāf, lalu melengkapi putaran yang terputus tersebut, kemudian melanjutkan sisanya hingga genap tujuh putaran.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا مَا يَخَافُ فَوْتَهُ مِنْ عِبَادَاتِهِ، فَمِثْلُ صَلَاةِ الْفَرْضِ إِذَا ضَاقَ وَقْتُهَا أَوْ صَلَاةِ وِتْرٍ أَوْ رَكْعَتِي فَجْرٍ أَوَ صَلَاةِ فَرْضٍ كَانَ قَدْ نَسِيَهَا ثُمَّ ذَكَرَهَا، فَإِنَّهُ يُقَدِّمُ هَذَا كُلَّهُ عَلَى الطَّوَافِ، فَإِذَا فَعَلَهُ طَافَ بَعْدَهُ، لِأَنَّ هَذَا مِمَّا يُخَافُ فَوْتُهُ، وَالطَّوَافُ لَا يَفُوتُ.
فَإِنْ قِيلَ: إِذَا كَانَ هَذَا الطَّوَافُ تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ كَالرَّكْعَتَيْنِ، فَهَلَّا اسْتُغْنِيَ بِصَلَاةِ الْفَرْضِ عَنْهُ كَمَا يُسْتَغَنَى عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ.

PASAL
 Adapun ibadah yang dikhawatirkan akan luput, seperti shalat fardhu apabila waktunya telah sempit, atau shalat witir, atau dua rakaat fajar, atau shalat fardhu yang pernah dilupakan lalu teringat kembali, maka semua itu didahulukan dari ṭawāf. Setelah itu barulah ia melakukan ṭawāf, karena ibadah-ibadah ini termasuk yang dikhawatirkan luput, sedangkan ṭawāf tidak akan luput.

Jika ada yang berkata: “Jika ṭawāf ini termasuk taḥiyyat al-masjid seperti dua rakaat, maka mengapa tidak cukup dengan shalat fardhu sebagaimana shalat fardhu mencukupi dari dua rakaat taḥiyyat?”


قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الصَّلَاةَ جِنْسٌ فَنَابَ بَعْضُهَا مَنَابَ بَعْضٍ، وَلَيْسَ الطَّوَافُ مِنْ جِنْسِهَا.
وَالثَّانِي: أَنَّ صَلَاةَ الْفَرْضِ فِي الْمَسْجِدِ تَنُوبُ عَنْ تَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ، وَالطَّوَافُ تَحِيَّةٌ لِلْبَيْتِ، وَلَيْسَ بِتَحِيَّةٍ لِلْمَسْجِدِ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَالرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ فِي ذَلِكَ سَوَاءٌ، يَعْنِي فِي الْأَمْرِ بِطَوَافِ الْقُدُومِ، إِلَّا امْرَأَةً كَانَ لَهَا شَبَابٌ وَمَنْظَرٌ، فَالْوَاجِبُ لِتِلْكَ أَنْ تُؤَخِّرَ الطَّوَافَ إِلَى اللَّيْلِ لِيَسْتُرَ اللَّيْلُ مِنْهَا.

Dikatakan: Perbedaan antara keduanya dari dua sisi:

Pertama: bahwa salat adalah satu jenis ibadah, sehingga sebagian salat menggantikan sebagian yang lain, sedangkan ṭawāf bukan dari jenis itu.

Kedua: bahwa salat fardhu di masjid menggantikan taḥiyyat al-masjid, sedangkan ṭawāf adalah taḥiyyah untuk Ka‘bah, bukan sebagai taḥiyyah untuk masjid.

Berkata al-Syafi‘i: Laki-laki dan perempuan dalam hal ini sama, yaitu dalam perintah untuk melakukan ṭawāf qudūm, kecuali perempuan yang masih muda dan memiliki penampilan menarik, maka wajib baginya untuk menunda ṭawāf hingga malam hari agar malam dapat menutup dirinya.


مَسْأَلَةٌ
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَضْطَبِعُ لِلطَّوَافِ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اضطبع حين طاف ثم عمر (قال) وَالِاضْطِبَاعُ أَنْ يَشْتَمِلَ بِرِدَائِهِ عَلَى مَنْكِبِهِ الْأَيْسَرِ وَمِنْ تَحْتِ مَنْكِبِهِ الْأَيْمَنِ فَيَكُونُ مَنْكِبُهُ الْأَيْمَنُ مَكْشُوفًا حَتَّى يُكْمِلَ سَعْيَهُ “.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَسُمِّيَ اضْطِبَاعًا؛ لِأَنَّهُ يَكْشِفُ إِحْدَى ضَبْعَيْهِ، وَضَبْعَاهُ مَنْكِبَاهُ، وَهُوَ سِنَّةٌ فِي الطَّوَافِ وَالسَّعْيِ. وَقَالَ مَالِكٌ: لَيْسَ بِسُنَّةٍ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِنَّمَا فَعَلَهُ وَأَمَرَ بِهِ فِي عُمْرَةِ الْقَضَاءِ، حِينَ قَالَتْ قُرَيْشٌ: أَمَا تَرَوْنَ إِلَى أَصْحَابِ محمد، قد وعكتهم حتى يَثْرِبَ فَقَالَ لِأَصْحَابِهِ: ارْمُلُوا وَاضْطَبِعُوا. كَفِعْلِ أَهْلِ النَّشَاطِ وَالْجَلَدِ لِيَغِيظَ قُرَيْشًا. قَالَ: وَهَذَا سَبَبٌ قَدْ زَالَ، فَيَجِبُ أَنْ يَزُولَ حُكْمُهُ.

MASALAH
 Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Dan disunnahkan iḍṭibā‘ ketika ṭawāf, karena Nabi SAW melakukan iḍṭibā‘ saat bertawaf lalu bersa‘i.” (Beliau berkata): “Iḍṭibā‘ adalah mengenakan ridā’-nya dengan menyampirkannya di atas bahu kiri dan dari bawah bahu kanan, sehingga bahu kanan terbuka hingga ia menyelesaikan sa‘i-nya.”

Al-Māwardī berkata: Dinamakan iḍṭibā‘ karena menyingkap salah satu dari dua ḍab‘-nya (ḍab‘ adalah kedua bahu). Dan ini adalah sunnah dalam ṭawāf dan sa‘i.

Imam Mālik berkata: Itu bukan sunnah, karena Rasulullah SAW hanya melakukannya dan memerintahkannya dalam ‘umrah al-qaḍā’, ketika Quraisy berkata: “Tidakkah kalian lihat para sahabat Muhammad? Mereka telah dilemahkan oleh demam Yatsrib.” Maka Nabi SAW bersabda kepada para sahabatnya: “Berlarilah kecil (ramalū) dan lakukan iḍṭibā‘ seperti perbuatan orang-orang yang kuat dan bertenaga, agar membuat Quraisy jengkel.”

Ia berkata: Dan sebab ini telah hilang, maka hukum yang berdiri atas sebab tersebut juga semestinya hilang.


وَدَلِيلُنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اضْطَبَعَ بِرِدَائِهِ حِينَ طَافَ، وَقَالَ: ” خُذُوا عَنِّي منساككم “. وَرَوَى ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ استلم الركن لسعي، ثم قال: لمن نبرئ الْآنَ مَنَاكِبَنَا وَمَنْ نُرَائِي وَقَدْ أَظْهَرَ اللَّهُ الْإِسْلَامَ؟ لَأَسْعَيَنَّ كَمَا سَعَى. قَالَ الشَّافِعِيُّ: رَمَلَ مُضْطَبِعًا، فَقَدْ أَخْبَرَ بِسُنَّتِهِ، ثُمَّ فَعَلَ مِثْلَ فِعْلِهِ مَعَ زَوَالِ سَبَبِهِ، وَأَكْثَرُ مَنَاسِكِ الْحَجِّ، كَانَتْ لِأَسْبَابٍ زَالَتْ وَهِيَ بَاقِيَةٌ، فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا، فَالِاضْطِبَاعُ وَالرَّمَلُ مَسْنُونٌ فِي الطَّوَافِ الَّذِي يَتَعَقَّبُهُ سَعْيٌ، وَأَمَّا إِذَا لَمْ يُرِدِ السَّعْيُ بَعْدَهُ، فَلَا يَضْطَبِعُ لَهُ، وَلَا يَرْمُلُ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يَضْطَبِعْ فِي طَوَافِ الْوَدَاعِ وَلَمْ يَرْمُلْ، وَإِذَا أَرَادَ السَّعْيَ فَاضْطَبَعَ، ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيِ الطَّوَافِ غَطَّى مَنْكِبَيْهِ، فَإِذَا سَلَّمَ مِنَ الطَّوَافِ، وَكَشَفَ مَنْكِبَهُ الْأَيْمَنَ لِلِاضْطِبَاعِ، فَلَوْ تَرَكَ الِاضْطِبَاعَ فِي بَعْضِ الطَّوَافِ، اضْطَبَعَ فِيمَا بَقِيَ مِنْهُ، وَلَوْ تَرَكَهُ فِي جَمِيعِ الطَّوَافِ اضْطَبَعَ فِي السَّعْيِ وَلَوْ تَرَكَهُ فِي الطَّوَافِ وَالسَّعْيِ، فَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ وَلَا إِعَادَةَ.

Dan dalil kami adalah bahwa Rasulullah SAW melakukan iḍṭibā‘ dengan ridā’-nya ketika melakukan ṭawāf, dan beliau bersabda: “Ambillah dariku manasik kalian.”

Dan Ibn Abī Mulaykah meriwayatkan bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA menyentuh rukn untuk sa‘i, kemudian berkata: “Untuk siapa kita membuka bahu-bahu kita sekarang? Siapa yang sedang kita pameri, padahal Allah telah menampakkan Islam?” Lalu ia berkata: “Aku akan sa‘i sebagaimana Nabi telah sa‘i.”

Imam al-Syafi‘i berkata: “‘Umar ramal dalam keadaan muḍṭabi‘, maka ia telah menyampaikan sunnahnya, lalu ia mengamalkannya kembali meskipun sebabnya telah hilang. Dan kebanyakan manāsik al-ḥajj itu memang memiliki sebab-sebab yang sudah hilang, namun hukumnya tetap berlaku.”

Maka jika hal ini telah tetap, maka iḍṭibā‘ dan ramal adalah sunnah dalam ṭawāf yang setelahnya disambung dengan sa‘i.

Adapun apabila tidak berniat melakukan sa‘i setelahnya, maka tidak disunnahkan iḍṭibā‘ dan tidak pula ramal, karena Rasulullah SAW tidak iḍṭibā‘ dan tidak ramal dalam ṭawāf al-wadā‘.

Apabila seseorang ingin melakukan sa‘i, maka ia melakukan iḍṭibā‘, lalu apabila ia hendak melaksanakan dua rakaat ṭawāf, ia menutup kedua bahunya. Maka setelah ia salam dari shalat ṭawāf, ia membuka kembali bahu kanannya untuk iḍṭibā‘.

Jika ia meninggalkan iḍṭibā‘ pada sebagian putaran ṭawāf, maka ia tetap iḍṭibā‘ pada sisanya. Dan jika ia meninggalkannya pada seluruh ṭawāf, maka ia iḍṭibā‘ saat sa‘i. Dan jika ia meninggalkannya dalam ṭawāf maupun sa‘i, maka tidak ada fidyah dan tidak wajib mengulangi.


مَسْأَلَةٌ
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالِاسْتِلَامُ فِي كُلِّ وِتْرٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ فِي كُلِّ شفعٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الِاسْتِلَامُ فَمُسْتَحَبٌّ فِي جَمِيعِ الطَّوَافِ فَإِنْ تَعَذَّرَ عَلَيْهِ الِاسْتِلَامُ فِي كُلِّ طَوْفَةٍ فَالِاسْتِلَامُ فِي كُلِّ وِتْرٍ أَحَبُّ إِلَيْنَا مِنْهُ فِي كُلِّ شَفْعٍ لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ ” وَلِأَنَّهُ يَصِيرُ مُسْتَلِمًا فِي افْتِتَاحِهِ وَخَاتِمَتِهِ، وَلِأَنَّهُ يَكُونُ أَكْبَرَ عَدَدًا، وَلَا يَكُونُ مَا تَرَكَهُ مِنَ الِاسْتِلَامِ قادحاً في طوافه. قَدْ رَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ: يَا أَبَا مُحَمَّدٍ كَيْفَ فَعَلْتَ فِي اسْتِلَامِ الرُّكْنِ؟ فَقَالَ: كُلُّ ذَلِكَ قَدْ فَعَلْتُ، اسْتَلَمْتُ الرُّكْنَ وَتَرَكْتُ فقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أصبت “.

Masalah

Berkata al-Syafi‘i raḥimahullāh: “Istilām pada setiap bilangan ganjil lebih aku sukai daripada pada setiap bilangan genap.”

Berkata al-Māwardī: Adapun istilām disunnahkan dalam seluruh putaran ṭawāf. Jika ia tidak mampu melakukan istilām pada setiap putaran, maka istilām pada setiap bilangan ganjil lebih kami sukai daripada pada setiap bilangan genap, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya Allah itu ganjil dan menyukai bilangan ganjil.” Dan karena dengan begitu ia melakukan istilām pada awal dan akhir ṭawāf, serta karena jumlahnya menjadi lebih banyak. Dan apa yang ia tinggalkan dari istilām tidak merusak ṭawāf-nya.

Telah meriwayatkan Hisyām bin ‘Urwah dari ayahnya, bahwa Nabi SAW berkata kepada ‘Abd al-Raḥmān bin ‘Awf: “Wahai Abā Muḥammad, bagaimana engkau lakukan dalam istilām rukn?” Ia menjawab: “Aku telah melakukannya semuanya, aku melakukan istilām pada rukn dan aku juga meninggalkannya.” Maka Nabi SAW bersabda: “Engkau benar.”


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ويرمل ثلاثاً ويمشي أربعاً ويبتدئ الطواف من الحجر الأسود ويرمل ثلاثاً لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رمل من الحجر الأسود حتى انتهى إليه ثلاثاً والرمل هو الخبب لا شدة السعي والدنو من البيت أحب إليّ “.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الرَّمَلُ فَهُوَ الْخَبَبُ، فَوْقَ الْمَشْيِ وَدُونَ السَّعْيِ، فَإِذَا أَرَادَ الطَّوَافَ، فَمِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَرْمُلَ فِي ثَلَاثَةِ أَطْوَافٍ لَا يَفْصِلُ بَيْنَهَا بِوُقُوفٍ، إِلَّا أَنْ يَقِفَ عَلَى اسْتِلَامِ الرُّكْنَيْنِ، وَيَمْشِيَ فِي أَرْبَعَةِ أَطْوَافٍ. وَالدَّلَالَةُ عَلَى هَذَا رِوَايَةُ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَمَلَ مِنْ سَبْعَةٍ ثَلَاثَةَ أَطْوَافٍ خَبَبًا لَيْسَ بَيْنَهُنَّ مَشْيٌ، ثُمَّ كَذَا أَبُو بَكْرٍ عَامَ حَجِّهِ إِذْ بَعَثَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، ثُمَّ عُمَرُ وَعُثْمَانُ وَالْخُلَفَاءُ كَانُوا يَسْعَوْنَ، كَذَلِكَ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِيمَ الرَّمَلَاتُ، وَلَا أَرَى أحداً أرانيه؟ وَمَعَ هَذَا فَمَا نَدَعُ شَيْئًا كُنَّا نَفْعَلُهُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -. ثُمَّ الرَّمَلُ وَالِاضْطِبَاعُ قَرِيبَانِ يُفْعَلَانِ فِي الطَّوَافِ الَّذِي يَعْقُبُهُ السَّعْيُ، فَإِنْ تَرَكَ الرَّمَلَ لِعِلَّةٍ بِهِ اضْطَبَعَ، وَإِنْ تَرَكَ الِاضْطِبَاعَ لِجُرْحٍ بِهِ رَمَلَ، وَإِنْ تَرَكَهُمَا فِي طَوَافِ الْقُدُومِ عَامِدًا أَوْ نَاسِيًا أَجْزَأَهُ طَوَافُهُ وَسَعْيُهُ، وَلَا دَمَ عليه؛ لأنه هبة، والاضطباع والرمل في الحج، والعمرة، والقران، وقيل: عَرَفَةُ وَبَعْدَهَا، سَوَاءٌ فَأَمَّا الطَّوَافُ الَّذِي لَا يُسْعَى بَعْدَهُ، فَإِنَّهُ يَمْشِي فِيهِ عَلَى هَيْئَةِ، مَنْ سَعَى وَرَمَلَ. وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: أَسْعَدُ النَّاسِ بِهَذَا الطَّوَافِ قُرَيْشٌ، وَأَهْلُ مَكَّةَ، وَذَلِكَ أَنَّهُمْ أَلْيَنُ النَّاسِ فِيهِ مَنَاكِبَ وَأَنَّهُمْ يَمْشُونَ التُّؤَدَةَ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَالدُّنُوُّ مِنَ الْبَيْتِ أَحَبُّ إِلَيَّ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ أَقْرَبَ أَصْحَابِهِ إِلَى الْبَيْتِ وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالطَّوَافِ الْبَيْتُ، فَإِذَا كَانَ أَقْرَبَ إِلَى الْمَقْصُودِ كان أولى.

Masalah
 Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Dan ramal dalam tiga putaran, lalu berjalan biasa empat putaran. Ia memulai ṭawāf dari ḥajar aswad, dan ramal tiga putaran, karena Nabi SAW melakukan ramal dari ḥajar aswad hingga kembali kepadanya selama tiga putaran. Dan ramal adalah khabab (jalan cepat), bukan lari cepat. Mendekat ke Baitullah lebih aku sukai.”

Al-Māwardī berkata: Adapun ramal adalah khabab, lebih cepat dari berjalan biasa dan lebih lambat dari sa‘i. Maka apabila seseorang hendak melakukan ṭawāf, termasuk sunnah baginya untuk ramal dalam tiga putaran tanpa diselingi berhenti, kecuali jika ia berhenti untuk menyentuh dua rukn, dan berjalan biasa dalam empat putaran.

Dalilnya adalah riwayat Ibn Juraij dari ‘Aṭā’ bahwa Rasulullah SAW melakukan ramal dalam tiga dari tujuh putaran secara khabab tanpa diselingi jalan biasa. Begitu pula dilakukan oleh Abū Bakar saat haji yang diutus oleh Rasulullah SAW, lalu dilakukan juga oleh ‘Umar, ‘Utsmān, dan para khalifah sesudahnya.

Diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb ra. bahwa beliau berkata: “Untuk apa kita melakukan ramal hari ini? Siapa yang ingin kita tunjukkan padanya? Namun demikian, kami tidak akan meninggalkan apa pun yang dulu kami lakukan di masa Rasulullah SAW.”

Kemudian, ramal dan iḍṭibā‘ adalah dua hal yang berdekatan, dilakukan dalam ṭawāf yang setelahnya disambung dengan sa‘i. Jika ia meninggalkan ramal karena ada penyakit padanya, maka ia tetap iḍṭibā‘; dan jika ia meninggalkan iḍṭibā‘ karena luka, maka ia tetap ramal; dan jika ia meninggalkan keduanya dalam ṭawāf qudūm, baik sengaja maupun lupa, maka ṭawāf dan sa‘i-nya tetap sah, dan tidak ada dam baginya karena ini adalah sunnah.

Iḍṭibā‘ dan ramal berlaku baik dalam haji, umrah, maupun qirān — dan ada yang mengatakan: ‘Arafah dan setelahnya, semuanya sama hukumnya.

Adapun ṭawāf yang tidak disambung dengan sa‘i, maka dilakukan dengan berjalan biasa sebagaimana orang yang sa‘i dan ramal.

Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās bahwa ia berkata: “Orang yang paling cocok dengan ṭawāf ini adalah Quraisy dan penduduk Makkah, karena mereka adalah orang-orang yang paling lentur bahunya dan mereka berjalan dengan tenang.”

Al-Syafi‘i berkata: “Mendekat ke Baitullah lebih aku sukai, karena Rasulullah SAW adalah yang paling dekat dengan Baitullah di antara para sahabatnya. Dan karena tujuan ṭawāf adalah Baitullah, maka jika seseorang lebih dekat dengan tujuan, itu lebih utama.”


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن لم يمكنه الرمل فكان إذا وَقَفَ وَجَدَ فُرْجَةً وَقَفَ ثُمَّ رَمَلَ فَإِنْ لم يمكنه أحببت أن يصير حاشية في الطَّوَافِ إِلَّا أَنْ يَمْنَعَهُ كَثْرَةُ النِّسَاءِ فَيَتَحَرَّكُ حَرَكَةَ مَشْيِهِ مُتَقَارِبًا وَلَا أُحِبُّ أَنْ يَثِبَ مِنَ الْأَرْضِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الرَّمَلَ مَسْنُونٌ، وَالدُّنُوُّ مِنَ الْبَيْتِ مُسْتَحَبٌّ، فَإِذَا أَمْكَنَهُ الرَّمَلُ وَالدُّنُوُّ مِنَ الْبَيْتِ فَعَلَهُمَا مَعًا، وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْهُ الرَّمَلُ مَعَ دُنُوِّهِ مِنَ الْبَيْتِ فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ إِنْ وَقَفَ يَسِيرًا وَجَدَ فُرْجَةً وَأَمْكَنَهُ الرَّمَلُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَسْتَضِرَّ بِوُقُوفِهِ الطَّوَافُ، فَالْأَوْلَى أَنْ يَقِفَ وَلَا يَثِبَ مِنَ الْأَرْضِ فِي وُقُوفِهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ أَحَدٌ يُقْتَدَى بِهِ.

Masalah
 Berkata al-Syafi‘i raḥimahullāh: “Jika tidak memungkinkan baginya untuk ramal, lalu saat berhenti ia menemukan celah, maka ia berhenti lalu ramal. Jika tidak memungkinkan juga, maka aku menyukai agar ia berada di pinggiran dalam ṭawāf, kecuali jika banyaknya perempuan menghalanginya, maka ia berjalan dengan gerakan yang mendekati gerakan ramal, dan aku tidak menyukai ia meloncat dari tanah.”

Berkata al-Māwardī: Telah kami sebutkan bahwa ramal adalah sunnah, dan mendekat ke Ka‘bah adalah sesuatu yang dianjurkan. Maka jika memungkinkan baginya untuk melakukan ramal dan mendekat ke Ka‘bah, maka hendaknya ia menggabungkan keduanya. Namun jika tidak memungkinkan ramal bersamaan dengan mendekat, maka ada dua keadaan:

Pertama: jika ia mengetahui bahwa dengan berdiri sejenak ia akan mendapatkan celah dan bisa melakukan ramal tanpa mengganggu jalannya ṭawāf, maka yang utama adalah ia berdiri, dan tidak meloncat dari tanah saat berdiri, karena tidak ada seorang pun yang dijadikan teladan yang melakukannya.


وَالثَّانِي: أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ إِنْ وَقَفَ لَمْ يَجِدْ فُرْجَةً أَوْ عَلِمَ أَنَّهُ يَجِدُ فُرْجَةً لَكِنْ إِنْ وَقَفَ اسْتَضَرَّ بِوُقُوفِهِ الطَّوَافُ، فَهَذَا يَبْعُدُ مِنَ الْبَيْتِ، وَيَصِيرُ فِي حَاشِيَةِ الطَّوَافِ لِيَرْمُلَ، لِأَنَّ الرَّمَلَ أَوْكَدُ مِنَ الدُّنُوِّ مِنَ الْبَيْتِ وَإِنَّمَا كَانَ الرَّمَلُ أَوْكَدَ لِأَنَّهُ سُنَّةٌ وَالدُّنُوَّ فَضِيلَةٌ وَالسُّنَّةُ أَوْكَدُ مِنَ الْفَضِيلَةِ، وَلِأَنَّ الرمل من هيئاته الطَّوَافِ الْمَقْصُودَةِ وَلَيْسَ الدُّنُوُّ مِنَ الْبَيْتِ مِنْ هيئته، فَإِنْ عَلِمَ أَنَّهُ إِنْ صَارَ إِلَى حَاشِيَةِ الطَّوَافِ مَنَعَهُ كَثْرَةُ النِّسَاءِ فَهَذَا يَدْنُو مِنَ الْبَيْتِ وَيُدْرِكُ الرَّمَلَ لِتَعَذُّرِهِ لِأَنَّ مُخَالَطَةَ النِّسَاءِ مكروهة.

Yang kedua: Jika seseorang mengetahui bahwa apabila ia berhenti, ia tidak akan mendapatkan celah, atau ia tahu bahwa ia akan mendapat celah namun bila ia berhenti maka ṭawāf akan terganggu karena pemberhentiannya, maka dalam keadaan ini ia menjauh dari Baitullah dan bergeser ke pinggir lintasan ṭawāf agar dapat melakukan ramal. Sebab ramal lebih ditekankan daripada mendekat ke Baitullah.

Ramal lebih ditekankan karena ia merupakan sunnah, sedangkan mendekat ke Baitullah adalah fadhilah; dan sunnah lebih ditekankan daripada fadhilah. Selain itu, ramal adalah bagian dari bentuk ṭawāf yang menjadi tujuan, sedangkan mendekat ke Baitullah bukan bagian dari bentuk ṭawāf.

Jika ia mengetahui bahwa apabila ia pergi ke pinggir lintasan ṭawāf maka ia akan terhalangi karena banyaknya perempuan, maka dalam kondisi ini ia mendekat ke Baitullah dan tidak ramal, karena ramal menjadi terhalang dan bercampur dengan perempuan adalah sesuatu yang makruh.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن ترك الرمل في الثلاثة لم يقض في الأربع وإن ترك الاضطباع والرمل والاستلام فقد أساء ولا شيء عليه “.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الرَّمَلَ مَسْنُونٌ فِي ثَلَاثَةِ أَطْوَافِ الْأُولَى، وَالْمَشْيَ مَسْنُونٌ فِي الْأَرْبَعَةِ الْبَاقِيَةِ، فَإِنْ تَرَكَ الرَّمَلَ فِي الطَّوْفَةِ الْأُولَى، أَتَى بِهِ فِي الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ، وَإِنْ تَرَكَهُ فِي الْأُولَى وَالثَّانِيَةِ، أَتَى بِهِ فِي الثالثة وإن تركه في الثالثة كُلِّهَا، لَمْ يَقْضِهِ فِي الْأَرْبَعِ لِأَمْرَيْنِ:

Masalah
 Berkata al-Syafi‘i raḥimahullāh: “Jika ia meninggalkan ramal pada tiga putaran pertama, maka tidak perlu menggantinya pada empat putaran berikutnya. Dan jika ia meninggalkan iḍṭibā‘, ramal, dan istilām, maka ia telah berbuat buruk, namun tidak ada kewajiban apa pun atasnya.”

Berkata al-Māwardī: Telah kami sebutkan bahwa ramal adalah sunnah pada tiga putaran pertama, dan berjalan biasa (masyī) adalah sunnah pada empat putaran sisanya. Maka jika ia meninggalkan ramal pada putaran pertama, ia boleh melakukannya pada putaran kedua dan ketiga. Jika ia meninggalkannya pada putaran pertama dan kedua, ia boleh melakukannya pada putaran ketiga. Namun jika ia meninggalkannya seluruhnya pada tiga putaran pertama, maka ia tidak menggantinya pada empat putaran sisanya karena dua alasan:


أَحَدُهُمَا: أَنَّ الرَّمَلَ هَيْئَةٌ، وَالْهَيْئَاتُ لَا تُقْضَى فِي غَيْرِ مَحَلِّهَا، كَمَا لَوْ تَرَكَ رَفْعَ الْيَدَيْنِ فِي الرُّكُوعِ، لَمْ يَقْضِهِ فِي السُّجُودِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الرَّمَلَ وَإِنْ كَانَ مَسْنُونًا فِي الثَّلَاثِ، فَالْمَشْيُ مَسْنُونٌ فِي الْأَرْبَعِ فَإِذَا قَضَاهُ فِي الْأَرْبَعِ، تَرَكَ الْمَشْيَ الْمَسْنُونَ فِيهَا بِرَمَلٍ مَسْنُونٍ فِي غَيْرِهَا، فَيَكُونُ تَارِكًا للسُّنَّتَيْنِ مَعًا.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَوْ تَرَكَ الرَّمَلَ، وَالِاضْطِبَاعَ، وَالِاسْتِلَامَ، فَقَدْ أَسَاءَ، وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ كُلَّ هَذِهِ هَيْئَاتٌ، وَالْهَيْئَاتُ لَا تُجْبَرُ وَلِأَنَّهُ لَوْ تَرَكَ طَوَافَ الْقُدُومِ، لَمْ يَلْزَمْهُ جُبْرَانٌ فَإِذَا تَرَكَ هيأته، أولى أن لا يلزمه جبران.

Salah satu alasan: bahwa ramal adalah bagian dari hai’ah (bentuk atau gerakan ibadah), sedangkan hai’ah-hai’ah tidak dapat diganti di tempat lain, sebagaimana jika seseorang meninggalkan mengangkat tangan saat rukuk, maka tidak disyariatkan untuk menggantinya saat sujud.

Yang kedua: bahwa meskipun ramal disunnahkan pada tiga putaran pertama, maka berjalan biasa disunnahkan pada empat putaran berikutnya. Maka jika seseorang mengganti yang tiga dengan ramal pada putaran yang empat, berarti ia meninggalkan sunnah berjalan biasa yang disyariatkan pada empat putaran, demi ramal yang hanya disyariatkan pada tiga putaran. Dengan demikian, ia telah meninggalkan dua sunnah sekaligus.

Imam al-Syafi‘i berkata: “Seandainya seseorang meninggalkan ramal, iḍṭibā‘, dan istilām, maka ia telah berbuat buruk, namun tidak ada kewajiban apa pun atasnya, karena semua itu adalah bagian dari hai’ah, sedangkan hai’ah tidak wajib diganti (dengan fidyah). Dan karena seandainya seseorang meninggalkan ṭawāf qudūm, ia tidak dikenai kewajiban fidyah, maka apabila ia hanya meninggalkan bentuk-bentuk ṭawāf-nya, lebih utama lagi bahwa ia tidak dikenai kewajiban pengganti apa pun.”


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وكلما حاذى الحجر الأسود كَبَّرَ وَقَالَ فِي رَمَلِهِ ” اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا مَبْرُورًا وَذَنْبًا مَغْفُورًا وَسَعْيًا مَشْكُورًا ” وَيَقُولُ فِي سعيه ” اللهم اغفر وارحم واعف عما تعلم إنك أنت الأعز الأكرم اللهم آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وقنا عذاب النار ويدعو فِيمَا بَيْنَ ذَلِكَ بِمَا أَحَبَّ مِنْ دِينٍ ودنيا “.

Masalah
 Berkata al-Syafi‘i raḥimahullāh: “Setiap kali sejajar dengan ḥajar aswad, hendaknya ia bertakbir. Dan dalam ramal-nya ia mengucapkan: Allāhumma ij‘alhu ḥajjan mabrūran wa dzanban maghfūran wa sa‘yan masykūran. Dan dalam sa‘y-nya ia mengucapkan: Allāhummaghfir warḥam, wa‘fu ‘ammā ta‘lam, innaka anta al-a‘azzu al-akram. Allāhumma ātinā fī al-dunyā ḥasanah wa fī al-ākhirati ḥasanah, wa qinā ‘ażāba al-nār. Dan ia boleh berdoa di antara itu dengan apa saja yang ia sukai dari urusan agama dan dunia.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا تَكْبِيرُهُ عِنْدَ مُحَاذَاةِ الْحَجَرِ فَمُسْتَحَبٌّ فِي كُلِّ طَوْفَةٍ كَمَا كَانَ مُسْتَحَبًّا فِي الطَّوْفَةِ الْأُولَى، وَلَيْسَ كَالِاسْتِلَامِ، الَّذِي إِنْ تَعَذَّرَ عَلَيْهِ فِي كُلِّ طَوْفَةٍ، اسْتَلَمَ فِي كُلِّ وِتْرٍ، لِأَنَّ التَّكْبِيرَ لَا يَتَعَذَّرُ عَلَيْهِ، فَأَمَّا الدُّعَاءُ فِي الرَّمَلِ، فَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقُولَ: اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا مَبْرُورًا، وَذَنْبًا مَغْفُورًا وَسَعْيًا مَشْكُورًا، وَيَقُولُ فِي الْأَرْبَعَةِ الْبَاقِيَةِ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاعْفُ عَمَّا تَعْلَمُ وَأَنْتَ الْأَعَزُّ الْأَكْرَمُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. حَكَاهُ الْمُزَنِيُّ فِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ. وَيَكُونُ مِنْ دُعَائِهِ فِي طَوَافِهِ، مَا رُوِيَ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى التَّيْمِيِّ أَنَّ خَدِيجَةَ بِنْتَ خُوَيْلِدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا أَقُولُ إِذَا طُفْتَ الْبَيْتَ؟ فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” قُولِي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي خَطَايَايَ وَعَثَرَاتِي وَإِسْرَافِي فِي أَمْرِي وَاخْلُفْنِي فِي أَهْلِي فَإِنْ لَمْ تَخْلُفْنِي تُهْلِكُنِي ” وَرُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كُنْتُ فِي الطَّوَافِ فَلَقِيَنِي شَابٌّ نَظِيفُ الثَّوْبِ حَسَنُ الْوَجْهِ فَقَالَ: يَا عَلِيُّ أَلَا أُعَلِّمُكَ دُعَاءً تَدْعُو بِهِ قُلْتُ: بَلَى. قَالَ: قُلْ ” يَا مَنْ لَا يَشْغَلُهُ سمعٌ عَنْ سمعٍ يَا مَنْ لَا يَغلِطُهُ السَّائلُونَ يَا مَنْ لَا يَتَبَرَّمُ بِإِلْحَاحِ الْمُلِحِّينَ أَسْأَلُكَ يَدَ عَفْوِكَ وَحَلَاوَةَ رَحْمَتِكَ ” قَالَ عَلِيٌّ: فَقُلْتُهَا ثُمَّ أَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِهَا فَقَالَ: ” يَا عَلِيُّ ذَاكَ الْخَضِرُ “. فَإِذَا دَعَا بِمَا ذَكَرْنَا دَعَا بَعْدَهُ بِمَا شَاءَ مِنْ دِينٍ وَدُنْيَا.

Al-Māwardī berkata: Adapun takbir ketika sejajar dengan ḥajar aswad, maka disunnahkan dalam setiap putaran ṭawāf, sebagaimana ia disunnahkan pada putaran pertama. Hal ini berbeda dengan istilām, yang jika sulit dilakukan pada setiap putaran, maka dilakukan pada setiap putaran ganjil saja, karena takbir tidak ada halangan untuk dilakukan.

Adapun doa ketika ramal, maka disunnahkan membaca:
 “Allāhumma aj‘alhu ḥajjan mabrūran, wa dzanban maghfūran, wa sa‘yan masykūran.”

Dan pada empat putaran sisanya:
 “Allāhumma ighfir lī warḥamnī, wa‘fu ‘ammā ta‘lam, wa anta al-a‘azzu al-akram. Rabbanā ātinā fī al-dunyā ḥasanah wa fī al-ākhirati ḥasanah, waqinā ‘ażāba al-nār.”

Hal ini dinukil oleh al-Muzanī dalam al-Jāmi‘ al-Kabīr.

Dan termasuk doa dalam ṭawāf-nya adalah apa yang diriwayatkan dari ‘Abd al-A‘lā at-Taymī bahwa Khadījah binti Khuwaylid RA berkata:
 “Wahai Rasulullah SAW, apa yang aku ucapkan jika aku bertawaf di Baitullah?”
 Maka Nabi SAW bersabda:
 “Ucapkanlah: Allāhumma ighfir lī khaṭāyāya, wa ‘atharātī, wa isrāfī fī amrī, wakhlufnī fī ahliy, fa in lam takhlufnī tuhliknī.”

Dan diriwayatkan dari ‘Alī bin Abī Ṭālib RA bahwa ia berkata:
 “Aku sedang bertawaf, lalu aku bertemu dengan seorang pemuda yang bersih pakaiannya dan bagus wajahnya. Ia berkata: ‘Wahai ‘Alī, maukah aku ajarkan kepadamu doa yang engkau panjatkan?’
 Aku menjawab: ‘Ya, tentu.’
 Ia berkata:
 ‘Ucapkanlah: Yā man lā yusyghiluhu sam‘un ‘an sam‘, yā man lā yughlituhus-sā’ilūn, yā man lā yatabarrramu bi-ilḥāḥi al-muliḥḥīn, as’aluka yada ‘afwika wa ḥalāwata raḥmatika.’

‘Alī berkata: “Lalu aku mengucapkannya, kemudian aku memberitahukan kepada Rasulullah SAW tentang hal itu, dan beliau bersabda:
 ‘Wahai ‘Alī, itu adalah al-Khaḍir.’”

Maka apabila seseorang telah berdoa dengan doa-doa yang kami sebutkan ini, hendaknya ia lanjutkan dengan doa apa pun yang ia kehendaki, baik tentang urusan agama maupun dunia.

فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْقِرَاءَةُ فِي الطَّوَافِ فَمُسْتَحَبَّةٌ، وَحُكِيَ عِنْ مَالِكٍ أَنَّهُ كَرِهَهَا، وَبِهِ قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ. وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا يَقْرَأُ فِي الطَّوَافِ فَصَكَّ فِي صَدْرِهِ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى اسْتِحْبَابِهِ وَعَدَمِ كَرَاهَتِهِ، أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الطَّوَافُ صلاةٌ “. ثُمَّ كَانَتِ الْقِرَاءَةُ وَاجِبَةً فِي الصَّلَاةِ، فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ مُسْتَحَبَّةً فِي الطَّوَافِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهَا مُسْتَحَبَّةٌ، فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَأُحِبُّ الْقِرَاءَةَ فِي الطَّوَافِ، وَهُوَ أَفْضَلُ مَا تَكَلَّمَ بِهِ الْمَرْءُ.
فَإِنْ قِيلَ: أَيُّهُمَا أَفْضَلُ فِي الطَّوَافِ.

PASAL
 Adapun membaca (al-Qur’an) dalam ṭawāf hukumnya disunnahkan. Diriwayatkan dari Mālik bahwa ia memakruhkannya, demikian pula pendapat al-Ḥasan al-Baṣrī dan ‘Urwah bin al-Zubayr. Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar bahwa ia pernah mendengar seseorang membaca dalam ṭawāf, maka ia menepuk dadanya.

Adapun dalil disunnahkannya dan tidak makruhnya membaca (al-Qur’an) adalah sabda Nabi SAW: “Ṭawāf adalah salat.” Sedangkan bacaan dalam salat hukumnya wajib, maka bacaan (al-Qur’an) dalam ṭawāf pun sepatutnya disunnahkan.

Apabila telah tetap bahwa bacaan dalam ṭawāf adalah sunnah, maka al-Syafi‘i berkata: “Aku menyukai membaca (al-Qur’an) dalam ṭawāf, dan itu adalah ucapan terbaik yang diucapkan seseorang.”

Jika dikatakan: Manakah yang lebih utama dalam ṭawāf?


قِيلَ: أَمَّا الدُّعَاءُ الْمَسْنُونُ فِيهِ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِيهِ اقْتِدَاءً بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلِرِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” ما من شَيْءٌ أَكْرَمُ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الدُّعَاءِ “. وَرَوَى الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَالسَّعْيُ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ لِإِقَامَةِ دَيْنِ اللَّهِ تَعَالَى ” وَذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى إِنَّمَا هُوَ مَا تَضَمَّنَ الدُّعَاءَ مِنْ تَعْظِيمِهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ. وَلِأَنَّ ذِكْرَ الدُّعَاءِ الْمَسْنُونِ فِي الصَّلَاةِ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ، أَفْضَلُ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ، كَذَلِكَ الطَّوَافُ، فَأَمَّا الدُّعَاءُ بِغَيْرِ مَا سُنَّ فِيهِ فَالْقِرَاءَةُ أَفْضَلُ مِنْهُ، لِأَنَّهَا أَفْضَلُ مَا تكلم به المرء.

Dikatakan: Adapun doa yang disunnahkan dalam ṭawāf, maka ia lebih utama daripada membaca (al-Qur’an) di dalamnya, sebagai bentuk mengikuti Rasulullah SAW, dan berdasarkan riwayat Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
 “Tidak ada sesuatu pun yang lebih mulia di sisi Allah ‘azza wa jalla daripada doa.”

Dan diriwayatkan oleh al-Qāsim bin Muḥammad dari ‘Ā’isyah RA bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
 “Sesungguhnya ṭawāf di Baitullah, sa‘i antara Shafā dan Marwah, serta melempar jumrah, disyariatkan untuk menegakkan agama Allah Ta‘ālā.”

Dan dzikir kepada Allah Ta‘ālā sejatinya adalah apa yang terkandung dalam doa berupa pengagungan dan pujian kepada-Nya.

Dan karena doa yang disunnahkan dalam shalat — pada rukuk dan sujud — lebih utama daripada membaca (al-Qur’an) pada rukuk dan sujud, maka demikian pula halnya dengan ṭawāf.

Adapun jika berdoa dengan selain doa yang disunnahkan dalam ṭawāf, maka membaca (al-Qur’an) lebih utama daripadanya, karena bacaan al-Qur’an adalah ucapan terbaik yang bisa diucapkan seseorang.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْكَلَامُ فِي الطَّوَافِ فَمُبَاحٌ؛ لِرِوَايَةِ طَاوُسٌ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلَاةٌ إِلَّا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَحَلَّ فِيهِ النُّطْقَ فَمَنْ نَطَقَ فَلَا يَنْطِقْ فِيهِ إِلَّا بِخَيْرٍ “. وَرَوَى ابْنُ جُرَيْجٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا الْتَقَيْتُمْ فِي الطَّوَافِ فَتَسَاءَلُوا “. وَرَوَى الْأَوْزَاعِيُّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَهُوَ مَعَهُ فِي الطَّوَافِ كَمْ تَعُدُّ، ثُمَّ قَالَ: تَدْرِي لِمَ سَأَلْتُكَ؟ لِتَحْفَظَهُ إِلَّا أَنَّنَا نَسْتَحِبُّ إِقْلَالَ الْكَلَامِ “. قَالَ الشَّافِعِيُّ: إِنِّي أَسْتَحِبُّ إِقْلَالَ الْكَلَامِ فِي الصَّحْرَاءِ وَالْمَنَازِلِ إِلَّا بِذِكْرِ اللَّهِ، فَكَيْفَ بِقُرْبِ بَيْتِ اللَّهِ مَعَ رَجَاءِ عَظِيمِ الثَّوَابِ فِيهِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى.

PASAL
 Adapun berbicara dalam ṭawāf hukumnya mubah; berdasarkan riwayat Ṭāwūs dari Ibn ‘Abbās bahwa Nabi SAW bersabda: “Ṭawāf di sekitar Ka‘bah itu adalah salat, kecuali bahwa Allah Ta‘ālā telah membolehkan berbicara di dalamnya. Maka siapa yang berbicara, janganlah berbicara kecuali dengan kebaikan.”

Dan Ibn Juraij meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Jika kalian saling bertemu dalam ṭawāf, maka saling bertanyalah.”

Dan al-Awzā‘ī meriwayatkan bahwa Nabi SAW berkata kepada ‘Abd al-Raḥmān bin ‘Awf, yang saat itu bersamanya dalam ṭawāf: “Berapa kau hitung (putaran)? Lalu beliau bersabda: Tahukah engkau mengapa aku bertanya kepadamu? Agar engkau mengingatnya.” Namun, kami menyukai untuk mengurangi pembicaraan.

Berkata al-Syafi‘i: “Aku menyukai sedikit berbicara di padang sahara dan tempat tinggal kecuali dalam zikir kepada Allah; maka bagaimana lagi ketika berada dekat Baitullāh dengan harapan pahala besar dari Allah Ta‘ālā.”


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِنْشَادُ الشِّعْرِ وَالرَّجَزُ فِي الطَّوَافِ، فَجَائِزٌ إِذَا كَانَ مُبَاحًا؛ وَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي زِيَادٍ عَنْ مُجَاهِدٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَهُوَ مُتَّكِئٌ عَلَى أَبِي أَحْمَدَ بْنِ جَحْشٍ وَأَبُو أَحْمَدَ يَقُولُ:
(يَا حبذا مكة من وادي)
(أرضي بها أهلي وغوادي)
(أَرْضٌ بِهَا أَمْشِي بِلَا هَادِي)

PASAL
 Adapun melantunkan syair dan rajaz ketika ṭawāf, maka hukumnya boleh jika isinya mubah (tidak mengandung maksiat). Telah diriwayatkan oleh ‘Abdullāh bin Abī Ziyād dari Mujāhid bahwa Nabi SAW bertawaf di Baitullah dengan bersandar pada Abū Aḥmad bin Jaḥsy, sementara Abū Aḥmad melantunkan:

“Yā ḥubbadzā Makkata min wādin”
 (Alangkah indahnya Makkah dari sebuah lembah)

“Arḍī bihā ahliy wa ghawādī”
 (Aku ridha di sana tinggal keluargaku dan para pengunjungku)

“Arḍun bihā amsyī bilā hādī”
 (Tanah di mana aku berjalan tanpa penunjuk jalan)

 

قَالَ فَجَعَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَأَنَّهُ يَعْجَبُ مِنْ قَوْلِهِ: ” بِهَا أَمْشِي بِلَا هَادِي “. وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ السَّائِبِ عَنْ أُمِّهِ قَالَتْ: طُفْتُ مَعَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَذَكَرُوا حَسَّانَ بْنَ ثَابِتٍ فِي الطَّوَافِ فَسَبُّوهُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لَا تَفْعَلُوا أَلَيْسَ هُوَ الَّذِي يَقُولُ:
(هَجَوْتَ مُحَمَّدًا فَأَجَبْتُ عَنْهُ … وَعِنْدَ اللَّهِ فِي ذَاكَ الْجِزَاءُ)
(فَإِنَّ أَبِي وَوَالِدَهُ وَعِرْضِي … لِعِرْضِ محمدٍ مِنْكُمْ وِقَاءُ)

Lalu Nabi SAW tampak seolah-olah kagum dengan ucapannya: “Dengannya aku berjalan tanpa penunjuk jalan.”

Dan diriwayatkan oleh Muḥammad bin al-Sā’ib dari ibunya, ia berkata: Aku thawaf bersama ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā, lalu mereka menyebut nama Ḥassān bin Ṯābit saat ṭawāf, lalu mereka mencelanya. Maka ‘Ā’isyah berkata: “Jangan lakukan itu. Bukankah dia yang mengatakan:

(Engkau mencela Muḥammad, lalu aku membelanya … dan pada Allah-lah balasan atas hal itu)
 (Sesungguhnya ayahku, kakeknya, dan kehormatanku … menjadi pelindung kehormatan Muḥammad dari kalian)”


فَقِيلَ لَهَا: أَلَيْسَ هُوَ الَّذِي قَالَ مَا قَالَ فِي الْإِفْكِ فقالت عائشة: أَلَيْسَ قَدْ تَابَ ثُمَّ قَالَتْ عَائِشَةُ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهَا: وَإِنِّي لِأَرْجُوَ لَهُ. وَرَوَى سَعِيدُ بْنُ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: رَأَى ابْنُ عُمَرَ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ حَامِلًا أُمَّهُ عَلَى عُنُقِهِ وَهُوَ يَقُولُ:
(أَحْمِلُهَا مَا حَمَلَتْنِي أَكْثَرُ … إِنِّي لَهَا مَطِيَّةٌ لَا أَذْعَرُ)
وَهُوَ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ بن عمر أترى أني جزيتها قَالَ: لَا وَاللَّهِ وَلَا بِزِقْوَةٍ وَاحِدَةٍ. إِلَّا أَنَّنَا نَسْتَحِبُّ تَرْكَ إِنْشَادِ الشِّعْرِ وَإِنْ كَانَ مُبَاحًا وَالْكَلَامُ أَيْسَرُ مِنْهُ.

Lalu dikatakan kepada ‘Ā’isyah: “Bukankah dia (orang itu) yang telah mengatakan apa yang ia katakan dalam peristiwa ifk?” Maka ‘Ā’isyah menjawab: “Bukankah ia telah bertobat?” Kemudian ‘Ā’isyah ra. berkata: “Dan sungguh aku berharap kebaikan untuknya.”

Dan diriwayatkan oleh Sa‘īd bin Abī Burdah dari ayahnya, ia berkata:
 Ibnu ‘Umar melihat seorang lelaki dari Yaman membawa ibunya di atas pundaknya sambil bertawaf mengelilingi Baitullah, dan ia melantunkan:

(Aḥmiluhā mā ḥamaltanī aktsar … innī lahā maṭiyyatun lā adz‘aru)
 (Aku membawanya sebagaimana ia pernah membawaku, bahkan lebih. Aku adalah tunggangannya yang tidak takut)

Kemudian orang itu berkata: “Wahai ‘Abdullāh bin ‘Umar, menurutmu apakah aku sudah membalas jasanya?”
 Ibnu ‘Umar menjawab: “Tidak, demi Allah! Bahkan tidak setimpal dengan satu erangan kesakitan saat melahirkannya.”

Namun demikian, kami tetap menganjurkan untuk meninggalkan pembacaan syair meskipun isinya mubah, karena berbicara biasa saja lebih ringan daripada syair.


وَرَوَى إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي أَوْفَى إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَيَرْتَجِزُ:
(يَا حَبَّذَا مَكَّةُ مِنْ وَادِي)
(أَرْضٌ بِهَا أَمْشِي بِلَا هَادِي)
فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” قل الله أكبر الله أكبر “.

Diriwayatkan oleh Ibrāhīm bin Abī ‘Awfā bahwa Abū Bakar raḍiyallāhu ‘anhu pernah thawaf mengelilingi Ka‘bah sambil bersyair:

(Yā ḥabbadzā Makkatu min wādin)
 (Arḍun bihā amshī bilā hādī)
 “Alangkah indahnya Mekah sebagai lembah; negeri yang di dalamnya aku berjalan tanpa penunjuk jalan.”

Maka Nabi SAW bersabda:
 “Ucapkanlah: Allāhu akbar, Allāhu akbar.”


فصل
: فأما الأكل والشرب في الطواف بمكروه، وَالشُّرْبُ أَخَفُّ حَالًا، قَدْ رَوَى الشَّعْبِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَشْرَبُ مَاءً فِي الطَّوَافِ. وَيَكْرَهُ أَنْ يَبْصُقَ فِي الطَّوَافِ، أَوْ يَتَنَخَّمَ، أَوْ يَغْتَابَ، أَوْ يشتم، ولا يفسد طوافه شيء من ذلك، وإن أثم.

PASAL
 Adapun makan dan minum saat ṭawāf, hukumnya makruh. Minum lebih ringan tingkat kemakruhannya. Telah diriwayatkan oleh asy-Sya‘bī dari Ibnu ‘Abbās bahwa ia berkata: “Aku melihat Rasulullah SAW minum air saat ṭawāf.”

Dimakruhkan juga meludah dalam ṭawāf, atau mengeluarkan dahak, atau ghibah, atau mencela orang lain. Namun tidak ada satu pun dari hal-hal tersebut yang membatalkan ṭawāf, meskipun pelakunya berdosa.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يُجْزِئُ الطَّوَافُ إِلَّا بِمَا تُجْزِئُ بِهِ الصَّلَاةُ مِنَ الطَّهَارَةِ مِنَ الْحَدَثِ وَغَسْلِ النَّجَسِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: الطَّهَارَةُ فِي الطَّوَافِ وَاجِبَةٌ، وَهِيَ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ طَهَارَةِ الْأَحْدَاثِ وَإِزَالَةِ الْأَنْجَاسِ، فَإِنْ طَافَ مُحْدِثًا أَوْ نَجِسًا، لَمْ يُجْزِهِ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ. وَقَالَ أَبُو حنيفة: طَهَارَةُ الْحَدَثِ وَإِزَالَةُ النَّجَسِ وَاجِبَةٌ فِي الطَّوَافِ، وَلَيْسَتْ شَرْطًا فِي صِحَّتِهِ، فَإِنْ طَافَ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا أَوْ نَجِسًا فَإِنْ كَانَ بِمَكَّةَ أَعَادَ طَوَافَهُ، وَإِنْ رَجَعَ إِلَى بَلَدِهِ أَجْزَأَ عَنْ فَرْضِهِ، وَلَزِمَهُ دَمٌ لِجُبْرَانِهِ، وَرُبَّمَا ارْتَابَ أَصْحَابُهُ أَنَّ الطِّهَارَةَ لَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ، لِيُسَوَّغَ لَهُمُ الِاسْتِدْلَالُ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلْيَطَوَّفُوا بِالْبَيْتِ العَتِيقِ) {الحج: 29) وَاسْمُ الطَّوَافِ يَتَنَاوَلُهُ وَإِنْ كَانَ مُحْدِثًا، فَوَجَبَ أَنْ يَتَنَاوَلَ الِاسْمَ لَهُ مُحْرِمًا، وَلِأَنَّهُ رُكْنٌ مِنْ أَرْكَانِ الْحَجِّ، فَوَجَبَ أَنْ لَا تَكُونَ الطَّهَارَةُ مِنْ شَرْطِهِ، كَالسَّعْيِ وَالْوُقُوفِ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ لَيْسَ تَرْكُ الكلام شرطاً فيها، فوجب أن تَكُونَ الطَّهَارَةُ شَرْطًا فِيهَا كَالصَّوْمِ طَرْدًا، وَالصَّلَاةِ عَكْسًا، وَلِأَنَّ لِلْحَجِّ أَرْكَانًا وَمَنَاسِكَ، وَلَيْسَتِ الطَّهَارَةُ وَاجِبَةً فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الطَّوَافُ لَاحِقًا بِأَحَدِهِمَا.

Masalah
 Berkata al-Syafi‘i raḥimahullāh: “Ṭawāf tidak sah kecuali dengan apa yang menjadikan salat sah, yaitu suci dari ḥadaṡ dan mencuci najis.”

Berkata al-Māwardī: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, bahwa ṭahārah dalam ṭawāf adalah wajib, dan merupakan syarat sahnya ṭawāf, baik dalam hal bersuci dari ḥadaṡ maupun menghilangkan najis. Maka jika seseorang ṭawāf dalam keadaan berḥadaṡ atau bernajis, maka tidak sah ṭawāf-nya. Demikian juga pendapat Mālik dan mayoritas fuqahā’.

Sedangkan Abū Ḥanīfah berkata: Bersuci dari ḥadaṡ dan menghilangkan najis adalah wajib dalam ṭawāf, namun bukan syarat sahnya. Maka jika seseorang ṭawāf dalam keadaan berḥadaṡ, junub, atau najis, jika ia masih berada di Mekah maka ia wajib mengulang ṭawāf-nya. Namun jika ia telah pulang ke negerinya, maka ṭawāf-nya sah untuk menggugurkan fardhu, tetapi ia wajib menyembelih dam sebagai penebus. Sebagian pengikutnya bahkan meragukan apakah ṭahārah itu wajib, agar mereka bisa berdalil dengan firman Allah Ta‘ālā: {Wa l-yāṭṭawwafū bi al-bayti al-‘atīq} (QS. al-Ḥajj: 29), dan karena nama ṭawāf tetap berlaku walaupun dalam keadaan berḥadaṡ, maka semestinya hukum ṭawāf mencakup orang yang dalam keadaan ihram.

Juga karena ṭawāf adalah rukun dari rukun-rukun ḥajj, maka semestinya tidak dijadikan ṭahārah sebagai syaratnya, sebagaimana sa‘y dan wuqūf. Dan karena ia adalah ibadah yang tidak disyaratkan meninggalkan pembicaraan di dalamnya, maka semestinya ṭahārah menjadi syaratnya seperti puasa secara analogi sejalan, dan bukan seperti salat secara analogi terbalik.

Juga karena ḥajj memiliki rukun dan manasik, dan tidak ada satu pun di antara keduanya yang mewajibkan ṭahārah, maka semestinya ṭawāf termasuk mengikuti keduanya.


وِالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ: رِوَايَةُ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَطُوفَ تَوَضَّأَ ثُمَّ طَافَ. وَفِعْلُهُ فِي الْحَجِّ بَيَانٌ تُؤْخَذُ مِنْهُ الْمَنَاسِكُ والأركان، لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ ” وَرَوَى طَاوُسٌ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلَاةٌ إِلَّا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَحَلَّ فِيهِ النُّطْقَ فَمَنْ نَطَقَ فلا ينطق إلا بالخير “. وَالدَّلَالَةُ فِيهِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ سَمَّى الطَّوَافَ صَلَاةً، وَهُوَ لَا يَضَعُ الْأَسْمَاءَ اللُّغَوِيَّةَ، وَإِنَّمَا يُكْسِبُهَا أَحْكَامًا شَرْعِيَّةً، وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهَا فِي الشَّرْعِ صَلَاةٌ، لَمْ تَجُزْ إِلَّا بِطَهَارَةٍ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا صَلَاةَ إِلَّا بِطَهُورٍ “.

Dan dalil atas kebenaran pendapat kami adalah riwayat dari ‘Ā’isyah bahwa Nabi SAW ketika hendak melakukan ṭawāf, beliau berwudu terlebih dahulu, lalu ṭawāf. Dan perbuatan beliau dalam haji merupakan penjelasan dari manasik yang diambil darinya, berdasarkan sabdanya SAW:
 “Ambillah manasik kalian dariku.”

Dan diriwayatkan oleh Ṭāwūs dari Ibnu ‘Abbās bahwa Nabi SAW bersabda:
 “Ṭawāf di Baitullah adalah shalat, hanya saja Allah Ta‘ālā menghalalkan di dalamnya ucapan, maka siapa yang berbicara, janganlah ia berbicara kecuali dengan kebaikan.”

Dan dalil dalam hal ini ditinjau dari dua sisi:

Pertama: Beliau menyebut ṭawāf sebagai shalat, dan beliau tidak menetapkan suatu nama menurut bahasa, melainkan memberikan kepada nama itu hukum-hukum syar‘i. Dan jika telah tetap secara syar‘i bahwa ṭawāf adalah shalat, maka tidak boleh dilakukan kecuali dengan bersuci, berdasarkan sabdanya SAW:
 “Tidak ada shalat tanpa bersuci.”


وَالثَّانِي: أَنَّهُ جَعَلَ الطَّوَافَ صَلَاةً، وَاسْتَثْنَى مِنْ أَحْكَامِهَا الْكَلَامَ، فَلَوْ كَانَ الطَّوَافُ صَلَاةً فِي مَعْنًى دُونَ مَعْنًى لَمْ يَكُنْ لِلِاسْتِثْنَاءِ حُكْمٌ وَاحِدٌ مِنْ جُمْلَةِ أَحْكَامِهَا مَعْنًى، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَجِبُ فِيهَا الطَّهَارَةُ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْقُطَ فَرْضُهَا بِغَيْرِ طَهَارَةٍ، كَالصَّلَاةِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَا يَصِحُّ مِنْهُ فِعْلُ الصَّلَاةِ، لَا يَصِحُّ مِنْهُ فِعْلُ الطَّوَافِ، كَالْمُحْدِثِ إِذَا كَانَ مُقِيمًا بِمَكَّةَ، وَلِأَنَّهُ طَهَارَةٌ وَاجِبَةٌ، فَوَجَبَ أَنْ لَا تُجْبَرَ بِدَمٍ، كَالطَّهَارَةِ لِلصَّلَاةِ، فَأَمَّا الْآيَةُ فَلَا يَصِحُّ الِاسْتِدْلَالُ بِهَا؛ لِأَنَّ الطَّوَافَ بِغَيْرِ طَهَارَةٍ مَكْرُوهٌ، وَالْأَمْرُ لَا يجوز أن يَتَنَاوَلُ الْمَكْرُوهَ، عَلَى أَنَّهَا مُجْمَلَةٌ أُخِذُ بَيَانُهَا من فعله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَهُوَ لَمْ يَطُفْ إِلَّا بِطَهَارَةٍ وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى السَّعْيِ وَالْوُقُوفِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّ الطَّهَارَةَ لَمَّا لَمْ تَكُنْ وَاجِبَةً فِي السَّعْيِ وَالْوُقُوفِ، لَمْ تَكُنْ شَرْطًا فِي صِحَّةِ السَّعْيِ وَالْوُقُوفِ، وَلَمَّا كَانَتِ الطَّهَارَةُ وَاجِبَةً فِي الطَّوَافِ، كَانَتْ شَرْطًا فِي صِحَّةِ الطَّوَافِ، وَبِمِثْلِهِ يَكُونُ الْجَوَابُ مِنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الصِّيَامِ فِي الطَّرْدِ.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ الطَّوَافَ لَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ لَاحِقًا بِالْأَرْكَانِ أَوْ بِالْمَنَاسِكِ.
قُلْنَا: لَيْسَ بِلَاحِقٍ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا، لِأَنَّ الطَّهَارَةَ تَجِبُ لَهُ وَلَا تَجِبُ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا.

Dan yang kedua: Bahwa Nabi SAW menjadikan ṭawāf seperti salat, lalu mengecualikan darinya hukum berbicara. Maka seandainya ṭawāf disamakan dengan salat hanya dalam sebagian makna tanpa sebagian lainnya, tentu pengecualian satu hukum dari sekian banyak hukum salat tidak bermakna.

Dan karena ṭawāf adalah ibadah yang diwajibkan ṭahārah di dalamnya, maka wajib pula bahwa fardhunya tidak gugur tanpa ṭahārah, sebagaimana salat.

Dan setiap orang yang tidak sah salat darinya, maka tidak sah pula ṭawāf darinya, seperti orang yang berḥadaṡ jika dia mukim di Mekah.

Dan karena ṭahārah itu wajib, maka tidak boleh diganti dengan dam, sebagaimana ṭahārah dalam salat.

Adapun ayat (QS. al-Ḥajj: 29): {Wa l-yāṭṭawwafū bi al-bayti al-‘atīq}, maka tidak sah dijadikan dalil, karena ṭawāf tanpa ṭahārah adalah makruh, sedangkan perintah tidak bisa mencakup sesuatu yang makruh.

Selain itu, ayat tersebut bersifat mujmal (global), dan penjelasannya diambil dari perbuatan Nabi SAW, dan beliau tidak pernah ṭawāf kecuali dalam keadaan suci.

Adapun qiyās mereka terhadap sa‘y dan wuqūf, maka jawabannya adalah: ketika ṭahārah tidak diwajibkan pada sa‘y dan wuqūf, maka ia tidak menjadi syarat sahnya keduanya. Namun ketika ṭahārah diwajibkan pada ṭawāf, maka ia menjadi syarat sahnya ṭawāf. Dan dengan cara yang sama pula dijawab analogi mereka dengan puasa secara analogi sejalan (ṭard).

Adapun ucapan mereka: Bahwa ṭawāf tidak lepas dari menjadi bagian dari arkān atau manāsik (ritual-ritual pelengkap),

Kami jawab: Ṭawāf bukan bagian dari keduanya, karena ṭahārah diwajibkan dalam ṭawāf, sedangkan tidak diwajibkan dalam keduanya (arkān dan manāsik).


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الطَّوَافَ لَا يَصِحُّ بِغَيْرِ طَهَارَةٍ، فَطَافَ بِغَيْرِ طَهَارَةٍ، كَانَ طَوَافُهُ غَيْرَ مُجْزِئٍ، كَمَنْ لَمْ يَطُفْ. فَلَوْ أَحْرَمَ بِالْعُمْرَةِ مِنَ الْمِيقَاتِ، وَفَرَغَ مِنْ أَعْمَالِهَا، وَتَحَلَّلَ مِنْهَا، ثُمَّ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ وَفَرَغَ مِنْ أَعْمَالِهِ وَتَحَلَّلَ مِنْهُ، ثُمَّ ذَكَرْنَا أَنَّهُ طَافَ أَحَدُ الطَّوَّافِينَ بِغَيْرِ طَهَارَةٍ، وَقَدْ أُشْكِلَ عَلَيْهِ فَلَيْسَ يَعْلَمُ هَلْ هُوَ طَوَافُ الْعُمْرَةِ، أَوْ طَوَافُ الْحَجِّ؟ فَعَلَيْهِ أَنْ يَطُوفَ وَيَسْعَى، وَعَلَيْهِ دَمُ شَاةٍ، وَقَدْ أَجْزَأَهُ عَنِ الْحَجِّ. وَالْعُمْرَةِ. وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ، لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مُحْدِثًا فِي طَوَافِ الْعُمْرَةِ، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مُحْدِثًا فِي طَوَافِ الْحَجِّ فَإِنْ كَانَ مُحْدِثًا فِي طَوَافِ الْعُمْرَةِ لَمْ يُعْتَدَّ بِطَوَافِهِ فِيهَا وَلَا بِسَعْيهِ، وَعَلَيْهِ دَمٌ لِحِلَاقِهِ وَقَدْ صَارَ قَارِنًا لِإِدْخَالِهِ الْحَجَّ عَلَى الْعُمْرَةِ قَبْلَ تَحَلُّلِهِ مِنْهَا وَعَلَيْهِ دَمٌ لِلْقِرَانِ، وَطَوَافُهُ فِي الْحَجِّ يُجْزِئُهُ عَنْهُمَا جَمِيعًا، لِأَنَّ الْقَارِنَ يُجْزِئُهُ طَوَافٌ وَاحِدٌ وَسَعْيٌ وَاحِدٌ، فَعَلَى هَذَا التَّنْزِيلِ يَلْزَمُهُ دَمَانِ:

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa ṭawāf tidak sah tanpa ṭahārah, lalu seseorang melakukan ṭawāf tanpa ṭahārah, maka ṭawāf-nya tidak mencukupi, seperti halnya orang yang tidak ṭawāf sama sekali.

Jika seseorang beriḥrām untuk ‘umrah dari mīqāt, kemudian menyelesaikan seluruh amalan ‘umrah dan bertahallul darinya, lalu ia beriḥrām untuk ḥajj dan menyelesaikan amalan ḥajj-nya serta bertahallul darinya, kemudian baru disadari bahwa ia telah melakukan salah satu dari dua ṭawāf tersebut tanpa ṭahārah, namun ia tidak tahu apakah itu ṭawāf ‘umrah atau ṭawāf ḥajj, maka wajib baginya untuk ṭawāf dan sa‘i ulang, serta menyembelih satu ekor kambing. Dan itu mencukupi untuk ḥajj dan ‘umrah-nya.

Hal ini karena bisa jadi ia dalam keadaan hadats saat ṭawāf ‘umrah, dan bisa juga saat ṭawāf ḥajj. Jika ia dalam keadaan hadats ketika ṭawāf ‘umrah, maka ṭawāf dan sa‘i-nya tidak sah, dan ia wajib menyembelih dam karena bertahallul padahal belum sah ‘umrah-nya, serta ia telah menjadi qārin karena memasukkan niat ḥajj ke dalam ‘umrah sebelum bertahallul darinya — dan karena menjadi qārin, maka wajib atasnya satu dam untuk qirān.

Adapun ṭawāf-nya dalam ḥajj, itu mencukupi untuk keduanya (ḥajj dan ‘umrah), karena qārin cukup dengan satu ṭawāf dan satu sa‘i. Maka berdasarkan perincian ini, wajib atasnya dua dam.

أَحَدُهُمَا: لِأَجْلِ الْحِلَاقِ.
وَالثَّانِي: لِأَجْلِ الْقِرَانِ، وَلَا يَلْزَمُهُ طَوَافٌ وَلَا سَعْيٌ، وَقَدْ أَجْزَأَهُ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ. وَإِنْ كَانَ مُحْدِثًا فِي طَوَافِ الْحَجِّ دُونَ الْعُمْرَةِ، فَقَدْ أَكْمَلَ الْعُمْرَةَ، ثُمَّ أَحْرَمَ بَعْدَهَا بِالْحَجِّ فَصَارَ مُتَمَتِّعًا، فَعَلَيْهِ دَمُ التَّمَتُّعِ، وَقَدْ طَافَ وَسَعَى عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ، فَلَا يُعْتَدُّ بِطَوَافِهِ وَسَعْيِهِ، وَعَلَيْهِ أَنْ يَطُوفَ وَيَسْعَى، فَعَلَى هَذَا التَّنْزِيلِ، يَلْزَمُهُ دَمٌ؛ لِتَمَتُّعِهُ بِطَوَافٍ وَسَعْيٍ، وَيُجْزِئُهُ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ، فَعَلَى هَذَيْنِ التَّنْزِيلَيْنِ، يَلْزَمُهُ طَوَافٌ وَسَعْيٌ، لِيُصْبِحَ أَدَاؤُهُ لِفَرْضِ النُّسُكَيْنِ يَقِينًا، وَقَدْ أَجْزَأَهُ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ جَمِيعًا، وَعَلَيْهِ دَمٌ وَاحِدٌ يَقِينًا، لِأَنَّهُ لَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ قَارِنًا أَوْ مُتَمَتِّعًا، وَأَيُّهُمَا كَانَ، فَقَدْ لَزِمَهُ دَمٌ، فَأَمَّا دَمُ الْحِلَاقِ، فَلَا يَلْزَمُهُ، لِأَنَّهُ مَشْكُوكٌ فِي وُجُوبِهِ، فَإِنْ قِيلَ قَدْ أَوْجَبْتُمْ عَلَيْهِ الطَّوَافَ وَالسَّعْيَ مَعَ الشَّكِّ فِي وُجُوبِهِ، فَمَا الْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ دَمِ الْحِلَاقِ؟
قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الطَّوَافَ وَالسَّعْيَ مِنْ أَرْكَانِ الْحَجِّ، وَمَا شَكَّ فِي فِعْلِهِ مِنْ أَرْكَانِ حَجِّهِ، لَزِمَهُ الْإِتْيَانُ بِهِ، كَمَنْ شَكَّ فِي رُكْنٍ مِنْ أَرْكَانِ صَلَاتِهِ، لَزِمَهُ الْإِتْيَانُ بِهِ، وَدَمُ الْحِلَاقِ لَيْسَ مِنَ الْحَجِّ، وَمَنْ شك في لزوم بما لَيْسَ مِنْ حَجِّهِ، لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ كَمَنْ شَكَّ فِي صَلَاتِهِ، هَلْ تَكَلَّمَ أَمْ لَا، لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ سُجُودُ السَّهْوِ.

Salah satu dari keduanya: adalah karena mencukur rambut (ḥalaq),
 dan yang kedua: adalah karena qirān. Maka tidak wajib atasnya ṭawāf dan sa‘i lagi, dan ḥajj serta ‘umrah-nya telah mencukupi.

Namun, jika ia dalam keadaan hadats saat ṭawāf ḥajj (bukan ṭawāf ‘umrah), maka berarti ia telah menyempurnakan ‘umrah, kemudian beriḥrām setelahnya untuk ḥajj, sehingga ia menjadi mutamatti‘, maka wajib atasnya dam tamattu‘.

Dan karena ia telah melakukan ṭawāf dan sa‘i dalam keadaan tidak suci, maka tidak dihitung ṭawāf dan sa‘i-nya. Ia wajib mengulang ṭawāf dan sa‘i. Maka berdasarkan rincian ini, wajib atasnya satu dam karena ia telah tamattu‘ dengan ṭawāf dan sa‘i. Hajj dan ‘umrah-nya tetap mencukupi.

Berdasarkan dua kemungkinan tersebut (baik qirān maupun tamattu‘), maka ia wajib mengulang ṭawāf dan sa‘i agar pelaksanaan kedua rukun manasik tersebut menjadi pasti, dan ḥajj serta ‘umrah-nya sah seluruhnya. Dan atasnya satu dam secara yakin, karena ia tidak lepas dari salah satu dari dua status: qārin atau mutamatti‘. Dan siapa pun di antara keduanya, maka wajib baginya dam.

Adapun dam karena mencukur (ḥalaq), maka tidak wajib atasnya, karena status kewajibannya masih syak.

Jika ada yang berkata: “Mengapa kalian mewajibkan ṭawāf dan sa‘i padanya padahal hal itu juga masih diragukan?” Maka jawabannya:

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa ṭawāf dan sa‘i termasuk rukun ḥajj, dan siapa yang ragu telah melakukan rukun ḥajj, maka wajib atasnya untuk melakukannya, sebagaimana orang yang ragu dalam rukun salat, maka ia wajib mengulanginya.

Sedangkan dam karena ḥalaq bukan bagian dari ḥajj, maka siapa yang ragu akan kewajibannya atas sesuatu yang bukan bagian dari ḥajj-nya, tidak wajib baginya melakukannya, sebagaimana orang yang ragu dalam salatnya apakah ia berbicara atau tidak, maka tidak wajib atasnya sujud sahwi.


فَصْلٌ
: فَإِنْ أَحْرَمَ بِالْعُمْرَةِ، وَتَحَلَّلَ مِنْهَا، ثُمَّ وَطِئَ بَعْدَهَا، ثُمَّ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ وَتَحَلَّلَ مِنْهُ، ثُمَّ تَيَقَّنَ أَنَّهُ كَانَ مُحْدِثًا فِي أَحَدِ طَوَافَيْهِ، إِمَّا فِي الْعُمْرَةِ أَوْ فِي الْحَجِّ، فَعَلَيْهِ طَوَافٌ وَسَعْيٌ، وَهَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ دَمٌ مَعَ الطَّوَافِ وَالسَّعْيِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ. وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ، لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مُحْدِثًا فِي طَوَافِ الْعُمْرَةِ، فَلَمْ يُعْتَدَّ بِطَوَافِهِ وَسَعْيِهِ فيها، ولزمه دم لحلقه، لأنه حلق لم يَتَحَلَّلُ بِهِ، ثُمَّ وَطِئَ وَهُوَ بَاقٍ عَلَى إِحْرَامِهِ بِالْعُمْرَةِ، فَأَفْسَدَ عُمْرَتَهُ وَلَزِمَهُ قَضَاؤُهَا. وَبَدَنَةٌ، لِإِفْسَادِهَا، ثُمَّ أَحْرَمَ بَعْدَ ذَلِكَ بِالْحَجِّ وَطَافَ وَسَعَى فِيهِ.
وَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا، فِيمَنْ أَدْخَلَ حَجًّا عَلَى عُمْرَةٍ فَأَفْسَدَهَا. هَلْ يَصِيرُ قَارِنًا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

PASAL
 Jika seseorang beriḥrām untuk ‘umrah, lalu ia bertahallul darinya, kemudian ia melakukan hubungan suami istri setelahnya, lalu ia beriḥrām untuk ḥajj dan bertahallul darinya, kemudian ia yakin bahwa ia berada dalam keadaan ḥadaṡ pada salah satu dari dua ṭawāf-nya —baik pada ṭawāf ‘umrah atau ṭawāf ḥajj— maka wajib atasnya mengulangi ṭawāf dan sa‘y.

Apakah wajib atasnya dam bersama ṭawāf dan sa‘y tersebut atau tidak, ada dua pendapat.

Dan hal ini dikatakan demikian karena bisa jadi ia berada dalam keadaan ḥadaṡ ketika ṭawāf ‘umrah, sehingga ṭawāf dan sa‘y-nya dalam ‘umrah tidak sah. Maka wajib atasnya dam karena ia mencukur rambut tanpa bertahallul yang sah, lalu ia melakukan hubungan suami istri dalam keadaan masih berada dalam iḥrām ‘umrah, sehingga rusaklah ‘umrah-nya dan wajib menggantinya serta menyembelih badnah karena merusaknya.

Kemudian ia beriḥrām lagi dengan ḥajj, lalu melakukan ṭawāf dan sa‘y di dalamnya.

Para sahabat kami berselisih pendapat mengenai orang yang memasukkan ḥajj ke dalam ‘umrah, lalu merusaknya — apakah ia menjadi qārin atau tidak? Ada dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: لَا يَكُونُ قَارِنًا، وَيَكُونُ إِحْرَامُهُ بِالْحَجِّ بَاطِلًا، لَكِنْ يَكُونُ طَوَافُهُ وَسَعْيُهُ فِي الْحَجِّ، نَائِبًا عَنْ طَوَافِهِ وسعيه في العمرة، وقد يتحلل مِنْهَا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَكُونُ قَارِنًا، فَعَلَى هَذَا طَوَافُهُ وَسَعْيُهُ فِي الْحَجِّ، يُجْزِئُهُ عَنِ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ، وَيَلْزَمُهُ قَضَاءُ الْعُمْرَةِ، وَهَلْ يَلْزَمُهُ قَضَاءُ الْحَجِّ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ فَعَلَى هَذَا التَّنْزِيلِ، قَدْ لَزِمَهُ قَضَاءُ الْعُمْرَةِ وَقَضَاءُ الْحَجِّ، على أحد الوجهين، وبدنة للوطئ، وَدَمٌ لِلْحَلْقِ، وَدَمٌ لِلْقِرَانِ، عَلَى أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ، فَهَذَا حُكْمُهُ إِنْ كَانَ مُحْدِثًا فِي طَوَافِهِ لِلْعُمْرَةِ، وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مُحْدِثًا فِي طَوَافِ الْحَجِّ، فَعَلَى هَذَا قَدْ سَلِمَتِ الْعُمْرَةُ، وَخَرَجَ مِنْهَا خُرُوجًا صَحِيحًا، وَوَطِئَ قَبْلَ إِحْرَامِهِ بِالْحَجِّ، فَلَمْ يَكُنْ لِوَطْئِهِ فِي الْحَجِّ تَأْثِيرٌ، ثُمَّ طَافَ فِي الْحَجِّ مُحْدِثًا، فَلَمْ يُعْتَدَّ بِطَوَافِهِ وَسَعْيِهِ، فَعَلَى هَذَا التَّنْزِيلِ، يَصِيرُ مُتَمَتِّعًا، فَعَلَيْهِ أَنْ يَطُوفَ وَيَسْعَى، وَعَلَيْهِ دَمٌ لِتَمَتُّعِهِ، فَعَلَى هَذَا التَّنْزِيلِ، يَجِبُ عَلَيْهِ طَوَافٌ وَسَعْيٌ، لِيَكُونَ مُتَحَلِّلًا مِنْ إِحْرَامِهِ بِيَقِينٍ، وَهَلْ عَلَيْهِ دَمٌ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ: إِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ يَصِيرُ قَارِنًا بِإِدْخَالِ الْحَجِّ عَلَى عُمْرَةٍ فَاسِدَةٍ، فَعَلَيْهِ دَمٌ، لأنه يتردد بين أن يكون قارناً فيلزمه دم وبين أَنْ يَكُونَ مُتَمَتِّعًا فَيَلْزَمُهُ دَمٌ، فَكَانَ وُجُوبُ الدَّمِ عَلَيْهِ يَقِينًا عَلَى هَذَا الْوَجْهِ.
وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ لَا يَكُونُ قَارِنًا بِإِدْخَالِ الْحَجِّ عَلَى عُمْرَةٍ فَاسِدَةٍ، فَلَا دَمَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ تَرَدَّدَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ مُتَمَتِّعًا فَيَلْزَمُهُ دَمٌ وَبَيْنَ أَنْ يَكُونَ مُعْتَمِرًا فَلَا يَلْزَمُهُ دَمٌ؛ لِأَنَّ الدَّمَ لَا يَجِبُ بِالشَّكِّ، فَأَمَّا قَضَاءُ الحج والعمرة ووجوب كفارة الوطئ فَلَا يَجِبُ بِحَالٍ لِأَنَّهُ قَدْ يَتَرَدَّدُ بَيْنَ أن تجب وبين أن لا تجب وَبِالشَّكِّ فَلَا تَجِبُ فَأَمَّا إِجْزَاءُ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ عَنْ فَرْضِ الْإِسْلَامِ، فَالْعُمْرَةُ لَا تُجْزِئُ عَنْ عُمْرَةِ الْإِسْلَامِ؛ لِأَنَّهَا قَدْ تَتَرَدَّدُ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ عَارِيَةً عَنِ الْفَسَادِ، فَتُجْزِئُ، وَبَيْنَ أَنْ تَكُونَ فَاسِدَةً، فَلَا تُجْزِئُ، وَفَرْضُ الْعُمْرَةِ مَعَ الشَّكِّ لَا يَسْقُطُ، وَأَمَّا الْحَجُّ، فَفِي إِجْزَائِهِ عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ وَجْهَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ هَلْ يَكُونُ قَارِنًا أَمْ لَا؟ ثُمَّ عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ، إِذَا صَارَ قَارِنًا. هَلْ يَلْزَمُهُ قَضَاءُ الْحَجِّ أَمْ لَا؟ فَإِنْ قُلْنَا: لَا يَكُونُ قَارِنًا، لَمْ يُجْزِهِ فَرْضُ الْحَجِّ؛ لأنه قد تردد بَيْنَ أَنْ يَكُونَ قَدْ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ أَمْ لا، وإن يَكُونُ قَارِنًا. فَإْنْ قُلْنَا: إِنَّ مَنْ أَدْخَلَ الْحَجَّ عَلَى عُمْرَةٍ فَاسِدَةٍ، لَزِمَهُ قَضَاءُ الْعُمْرَةِ وَالْحَجِّ لَزِمَهُ حَجَّةُ الْإِسْلَامِ، لِأَنَّهُ قَدْ يَتَرَدَّدُ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ قَدْ حَجَّ حَجًّا صَحِيحًا، وَبَيْنَ أَنْ يَكُونَ قَدْ حَجَّ حَجًّا فَاسِدًا، فَلِذَلِكَ لَمْ يَجُزْ. وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ مَنْ أَدْخَلَ الْحَجَّ عَلَى عُمْرَةٍ فَاسِدَةٍ لَمْ يَلْزَمْهُ قَضَاءُ الْحَجِّ، فَقَدْ أَجْزَأَهُ ذَلِكَ عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَتَرَدَّدُ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ قَارِنًا فَيَصِحُّ حَجُّهُ، وَبَيْنَ أَنْ يَكُونَ مُتَمَتِّعًا فَقَدْ صَحَّ حَجُّهُ، فَيَكُونُ فَرْضُ الْحَجِّ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ سَاقِطٌ بِيَقِينٍ، فَهَذَا الْكَلَامُ فِي وجوب الطهارة وما يتفرع عليه.

salah satunya: tidak menjadi qārin, dan ihram hajinya batal. Tetapi tawaf dan sa‘i hajinya menjadi pengganti tawaf dan sa‘i untuk umrahnya, dan ia dapat bertahallul darinya.

pendapat kedua: ia menjadi qārin. Maka dalam hal ini tawaf dan sa‘i hajinya mencukupi untuk haji dan umrah sekaligus, dan wajib baginya mengganti umrah. Apakah ia juga wajib mengganti haji atau tidak? Ada dua pendapat. Maka menurut rincian ini, wajib baginya mengganti umrah dan mengganti haji menurut salah satu pendapat, serta satu ekor unta karena jima‘, satu dam karena mencukur, dan satu dam karena qirān menurut salah satu pendapat.

Ini adalah hukumnya jika ia berhadas saat tawaf untuk umrah, dan mungkin juga ia berhadas saat tawaf haji. Maka menurut rincian ini, umrahnya sah dan ia telah keluar darinya dengan sah, serta ia telah melakukan jima‘ sebelum ihram haji, maka tidak ada pengaruh bagi jima‘ tersebut terhadap haji. Lalu ia tawaf dalam haji dalam keadaan berhadas, maka tawaf dan sa‘inya tidak dianggap. Maka menurut rincian ini, ia menjadi mutamatti‘, dan wajib baginya melakukan tawaf dan sa‘i serta dam karena tamattu‘.

Menurut rincian ini, ia wajib melakukan tawaf dan sa‘i agar ia benar-benar keluar dari ihramnya dengan yakin. Apakah wajib dam atau tidak? Ada dua pendapat:

Jika dikatakan bahwa ia menjadi qārin karena memasukkan haji ke dalam umrah yang rusak, maka wajib baginya dam, karena ia berada di antara dua kemungkinan: menjadi qārin maka wajib dam, atau menjadi mutamatti‘ maka wajib juga dam, sehingga kewajiban dam baginya menjadi pasti dalam pendapat ini.

Dan jika dikatakan bahwa ia tidak menjadi qārin dengan memasukkan haji ke dalam umrah yang rusak, maka tidak ada dam atasnya; karena ia berada dalam keraguan antara menjadi mutamatti‘ (wajib dam) atau hanya mu‘tamir (tidak wajib dam), dan dam tidak wajib karena keraguan.

Adapun penggantian haji dan umrah serta kewajiban kafarat karena jima‘, maka tidak wajib dalam keadaan ragu; karena hal itu bisa jadi wajib atau tidak, dan karena masih ragu maka tidak wajib.

Adapun tentang sahnya haji dan umrah tersebut sebagai pengganti dari haji dan umrah Islam, maka umrah tersebut tidak mencukupi untuk umrah Islam; karena ia masih berada antara sah dan rusak, maka jika sah mencukupi, dan jika rusak tidak mencukupi. Dan kewajiban umrah tidak gugur karena keraguan.

Adapun haji, maka dalam hal mencukupinya untuk haji Islam terdapat dua pendapat, yang dibangun atas perbedaan dua pendapat sebelumnya: apakah ia menjadi qārin atau tidak. Lalu atas dua pendapat itu, jika ia menjadi qārin, apakah wajib baginya mengganti haji atau tidak?

Jika kita katakan: ia tidak menjadi qārin, maka hajinya tidak mencukupi sebagai haji Islam; karena masih ragu apakah ia telah berihram haji atau tidak.

Dan jika kita katakan: bahwa siapa yang memasukkan haji ke dalam umrah yang rusak wajib mengganti haji dan umrah, maka ia belum melaksanakan haji Islam; karena masih ragu antara haji yang sah atau rusak, sehingga tidak mencukupi.

Namun jika kita katakan: bahwa siapa yang memasukkan haji ke dalam umrah yang rusak tidak wajib mengganti haji, maka hajinya mencukupi untuk haji Islam; karena masih ragu antara menjadi qārin maka hajinya sah, atau menjadi mutamatti‘ maka hajinya sah, maka kewajiban haji dalam hal ini gugur dengan pasti.

Inilah pembahasan tentang wajibnya bersuci dan hukum-hukum yang bercabang darinya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا سَتْرُ الْعَوْرَةِ، فَوَاجِبٌ فِي الطَّوَافِ وشرط في صحته، لا يصح أداؤه؛ لأنه كَالطَّهَارَةِ، وَقَدْ كَانَ النَّاسُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ عُرَاةً، وَيَرَوْنَ ذَلِكَ أَفْضَلَ، لِيَكُونُوا كَمَا خُلِقُوا، فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ مِنْهُمْ تَشُدُّ عَلَى فَرْجِهَا سُيُورًا حَتَّى قَالَتِ الْعَامِرِيَّةُ:
(الْيَوْمَ يَبْدُو بَعْضُهُ أَوْ كُلُّهُ … فَمَا بَدَا مِنْهُ فَلَا أُحِلُّهُ)
(كَمْ مِنْ لَبِيبٍ عَقْلُهُ يُضِلُّهُ … وناظرٍ يَنْظُرُ فِيمَا يُحِلُّهُ)

PASAL
 Adapun menutup aurat, maka hukumnya wajib dalam ṭawāf dan merupakan syarat sahnya. Ṭawāf tidak sah tanpa menutup aurat, karena hukumnya seperti ṭahārah.

Dahulu pada masa jahiliah, orang-orang thawaf di Ka‘bah dalam keadaan telanjang, dan mereka menganggap hal itu lebih utama, karena ingin tampak sebagaimana mereka diciptakan. Maka seorang perempuan dari mereka mengikatkan tali pada kemaluannya, hingga perempuan dari kabilah ‘Āmiriyyah berkata:

(Al-yawma yabdū ba‘ḍuhu aw kulluhu … fa-mā badā minhu fa-lā uḥilluh)
 (Kam min labībin ‘aqluhu yuḍilluhu … wa nāẓirin yanẓuru fīmā yuḥilluh)

_”Hari ini sebagian atau seluruhnya tampak … maka apa yang tampak darinya tidak kuhalalkan.”
 “Betapa banyak orang cerdas akalnya menyesatkannya … dan mata yang memandang pada apa yang dihalalkannya.”


فَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ ذَلِكَ: وَجَعَلَهُ صَلَاةً وَأَمَرَ بِسَتْرِ الْعَوْرَةِ فِيهِ فَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ: ” كُنْتُ مَعَ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَيْثُ بَعَثَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَرَاةَ إِلَى أَهْلِ مَكَّةَ قَالَ فَأَمَرَنَا رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ يُنَادِيَ أَنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا مُؤْمِنٌ، وَأَنْ لَا يَحُجَّ بَعْدَ هَذَا الْعَامِ مُشْرِكٌ، وَلَا يَطُوفُ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ، فَنَادَيْتُ حَتَّى بح صوتي “.

Maka Rasulullah SAW melarang hal itu, menjadikannya sebagai salat, dan memerintahkan menutup ‘awrah di dalamnya.

Abu Hurairah meriwayatkan: “Aku bersama Ali RA ketika Rasulullah SAW mengutusnya ke Sarāh untuk menemui penduduk Makkah.” Ia berkata: “Maka Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk menyerukan bahwa tidak akan masuk surga kecuali orang yang beriman, dan bahwa setelah tahun ini tidak boleh lagi orang musyrik berhaji, dan tidak boleh tawaf di Baitullah dalam keadaan telanjang.” Maka aku pun menyeru hingga suaraku serak.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ أَحْدَثَ تَوَضَّأَ وَابْتَدَأَ فَإِنْ بَنَى عَلَى طَوَافِهِ أَجْزَأَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الطَّوَافَ لَا يُجْزِئُ إِلَّا بِطَهَارَةٍ مِنْ حَدَثٍ وَنَجَسٍ، فَإِنْ أَحْدَثَ فِي طَوَافِهِ، أَوْ حَصَلَتْ عَلَى بَدَنِهِ أَوْ ثَوْبِهِ نَجَاسَةٌ، لَمْ يُجْزِهِ الْبِنَاءُ، وَعَلَيْهِ أَنْ يَخْرُجَ مِنْ طَوَافِهِ وَيَتَطَهَّرَ.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: فَإِنْ حَصَلَتْ فِي نَعْلِهِ نَجَاسَةٌ وَهُوَ فِي الطَّوَافِ خَلَعَهَا، فَإِنْ لَمْ يَخْلَعْهَا وَمَضَى فِي طَوَافِهِ لَمْ يُجْزِهِ؛ لِأَنَّ اسْتِدَامَةَ الطَّهَارَةِ وَاجِبَةٌ فِي جَمِيعِهِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ عَلَيْهِ الْخُرُوجَ مِنْ طَوَافِهِ لِلطَّهَارَةِ، فَخَرَجَ وَتَطَهَّرَ ثُمَّ عَادَ. فَإِنْ كَانَ الزَّمَانُ قَرِيبًا بَنَى عَلَى الْمَاضِي مِنْ طَوَافِهِ وَأَجْزَأَهُ، لِأَنَّهُ يَسِيرُ التَّفْرِيقِ فِي الطَّوَافِ مُبَاحٌ، لِإِجْمَاعِهِمْ عَلَى إِبَاحَةِ جُلُوسِهِ لِلِاسْتِرَاحَةِ. وَإِنْ كَانَ الزَّمَانُ بَعِيدًا، فَفِي جَوَازِ الْبِنَاءِ قَوْلَانِ:

Masalah
 Berkata al-Syafi‘i raḥimahullāh: “Jika seseorang berḥadaṡ, maka ia berwudu dan memulai kembali ṭawāf, namun jika ia menyambung dari ṭawāf-nya, itu pun mencukupi.”

Berkata al-Māwardī: Telah kami sebutkan bahwa ṭawāf tidak sah kecuali dalam keadaan suci dari ḥadaṡ dan najis. Maka jika seseorang berḥadaṡ di tengah ṭawāf, atau terkena najis di tubuh atau pakaiannya, maka tidak sah baginya untuk menyambung ṭawāf-nya. Ia wajib keluar dari ṭawāf, lalu bersuci kembali.

Berkata al-Syafi‘i: Jika najis itu mengenai sandal orang tersebut saat ṭawāf, maka hendaknya ia mencopotnya. Jika tidak mencopotnya dan tetap melanjutkan ṭawāf-nya, maka ṭawāf-nya tidak sah. Karena menjaga kesucian secara terus-menerus adalah kewajiban dalam keseluruhan ṭawāf.

Jika telah tetap bahwa ia wajib keluar dari ṭawāf untuk bersuci, lalu ia keluar dan bersuci, kemudian kembali, maka:

  • Jika jeda waktunya sebentar, maka ia boleh menyambung dari ṭawāf sebelumnya dan itu sah, karena sedikitnya jeda dalam ṭawāf diperbolehkan, berdasarkan ijma‘ atas bolehnya duduk sejenak untuk istirahat.
  • Namun jika waktunya cukup lama, maka terdapat dua pendapat mengenai boleh tidaknya menyambung kembali ṭawāf dari sebelumnya.


أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ: يَسْتَأْنِفُ وَلَا يَبْنِي؛ لِأَنَّهَا عِبَادَةٌ مِنْ شَرْطِ صِحَّتِهَا الطَّهَارَةُ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنْ شرط صحتها الموالا كَالصَّلَاةِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ: يَبْنِي وَلَا يَسْتَأْنِفُ؛ لِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَصِحُّ مَعَ التَّفْرِيقِ الْيَسِيرِ، فَوَجَبَ أَنْ يَصِحَّ مَعَ التَّفْرِيقِ الْكَثِيرِ، كسائر أفعال الحج طرداً والصلاة عسكاً، وَسَوَاءٌ كَانَ الْحَدَثُ مِنْهُ سَهْوًا أَوْ عَمْدًا.
فإن قُلْنَا: يَسْتَأْنِفُ أَلْغَى مَا مَضَى وَابْتَدَأَ بِهِ مُسْتَأْنِفًا.
وَإِذَا قُلْنَا: يَبْنِي، نُظِرَ. فَإِنْ كَانَ خُرُوجُهُ مِنَ الطَّوَافِ عِنْدَ إِكْمَالِهِ طَوْفَتَهُ عِنْدَ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ، عَادَ فَابْتَدَأَ بِالطَّوْفَةِ الَّتِي تَلِيهَا مِنَ الْحَجَرِ. وَإِنْ كَانَ قَدْ خَرَجَ فِي بَعْضِ طَوْفَتِهِ قَبْلَ
انْتِهَائِهِ إِلَى الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ، فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

pertama: yaitu pendapatnya dalam qaul qadīm: wajib mengulang dari awal dan tidak boleh melanjutkan; karena tawaf adalah ibadah yang syarat sahnya adalah ṭahārah, maka wajib juga disyaratkan muwālah (berkesinambungan) dalam pelaksanaannya, seperti salat.

pendapat kedua: ia nyatakan dalam qaul jadīd: boleh melanjutkan dan tidak wajib mengulang dari awal; karena tawaf adalah ibadah yang sah meski ada sedikit jeda, maka mestinya juga sah dengan jeda yang banyak, seperti berbagai amal ibadah haji lainnya secara analogi, dan tidak seperti salat yang kebalikannya. Dan ini berlaku baik hadas itu terjadi karena lupa maupun disengaja.

Jika kita katakan: wajib mengulang dari awal (yasta’nifu), maka yang telah dilakukan sebelumnya menjadi gugur, dan ia mulai dari awal lagi.

Namun jika kita katakan: boleh melanjutkan (yabnī), maka dilihat: jika ia keluar dari tawafnya setelah menyempurnakan satu putaran saat sampai ke ḥajar aswad, maka ketika kembali ia memulai dari putaran berikutnya dari ḥajar aswad.

Dan jika ia keluar di tengah-tengah satu putaran sebelum sampai ke ḥajar aswad, maka dalam hal ini ada dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: يَسْتَأْنِفُهَا مِنْ أَوَّلِهَا وَلَا يَبْنِي عَلَى مَا مَضَى مِنْهَا؛ لِأَنَّ التَّفْرِيقَ بَيْنَ أَعْدَادِ الْأَطْوَافِ جَائِزٌ؛ لِأَنَّ لِكُلِّ طَوْفَةٍ حُكْمَ نَفْسِهَا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الطَّوْفَةُ الْوَاحِدَةُ، لَا يَسْتَوِي حُكْمُ جَمِيعِهَا، فَجَازَ أَنْ يَبْنِيَ عَلَى أَعْدَادِهَا. وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَبْنِيَ عَلَى أَبْعَاضِ آحَادِهَا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ. يَبْنِي عَلَى مَا مَضَى مِنْهَا؛ لِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَوَى حُكْمُ التَّفْرِيقِ الْيَسِيرِ فِي الطَّوْفَةِ الْوَاحِدَةِ وَالْأَطْوَافِ، وَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ حُكْمُ التَّفْرِيقِ الْكَثِيرِ فِي الطَّوْفَةِ الْوَاحِدَةِ وَالْأَطْوَافِ، وَكَذَلِكَ حُكْمُ الْخَارِجِ مِنْ طَوَافِهِ لِحَاجَةٍ، كَحُكْمِ الْخَارِجِ مِنْ طَوَافِهِ لِحَدَثٍ فَإِذَا أَعَادَ لِيَبْنِيَ كَانَ عَلَى مَا مَضَى.

Pertama: Ia harus mengulangi ṭawāf dari awal dan tidak boleh menyambung dari yang telah lewat. Karena pemisahan antara bilangan putaran ṭawāf (yakni antara satu putaran dengan putaran yang lain) diperbolehkan, sebab setiap putaran memiliki hukum tersendiri. Adapun satu putaran itu sendiri, tidak berlaku hukum yang sama pada seluruh bagiannya, maka tidak boleh menyambung pada sebagian dari satu putaran.

Pendapat kedua, dan ini yang paling kuat: Ia boleh menyambung dari yang telah berlalu. Karena ketika hukum pemisahan yang ringan dibolehkan —baik dalam satu putaran maupun antar putaran— maka wajib pula dibolehkan hukum pemisahan yang panjang, baik dalam satu putaran maupun antar putaran.

Demikian pula hukum orang yang keluar dari ṭawāf-nya karena keperluan adalah seperti orang yang keluar dari ṭawāf-nya karena ḥadaṡ. Maka jika ia kembali untuk menyambung, maka penyambungannya sah atas dasar apa yang telah lalu.

 

فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ وَلَوْ طَافَ وَهُوَ يَعْقِلُ ثُمَّ أُغْمِيَ عَلَيْهِ قَبْلَ إِكْمَالِ الطَّوَافِ ثُمَّ أَفَاقَ بَعْدَ ذَلِكَ ابْتَدَأَ الْوُضُوءَ وَالطَّوَافَ قَرِيبًا كَانَ ذَلِكَ أَوْ بَعِيدًا فَجَعَلَ الْإِغْمَاءَ قَطْعًا لِلطَّوَافِ فَأَوْجَبَ عَلَيْهِ الِاسْتِئْنَافَ فِي الْقُرْبِ وَالْبُعْدِ، وَفَرَّقَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْحَدَثِ وَإِنْ كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَانِعًا مِنَ الطَّوَافِ لِزَوَالِ تَكْلِيفِهِ بِالْإِغْمَاءِ فَزَالَ بِهِ حُكْمُ الْبِنَاءِ وَبَقِيَ تَكْلِيفُهُ مَعَ الْحَدَثِ فَيَبْقَى مَعَهُ حُكْمُ البناء.

PASAL
 Imam al-Syafi‘i berkata dalam al-Umm: “Seandainya seseorang bertawaf dalam keadaan sadar, lalu ia pingsan sebelum menyempurnakan tawaf, kemudian ia siuman setelah itu, maka ia wajib memulai wudhu dan tawaf dari awal, baik waktunya dekat maupun lama.”

Dengan demikian, beliau menjadikan pingsan sebagai pemutus tawaf, dan mewajibkan pengulangan (tawaf) dalam keadaan dekat maupun jauh (dari pingsan).

Beliau membedakan antara pingsan dan hadas, meskipun keduanya merupakan penghalang dari tawaf. Karena pingsan menghilangkan taklif (beban hukum), maka hukum binā’ (melanjutkan tawaf sebelumnya) pun gugur.

Sedangkan hadas tidak menghilangkan taklif, maka hukum binā’ tetap berlaku bersamanya.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ طَافَ فَسَلَكَ الْحَجَرَ أَوْ عَلَى جِدَارِ الْحَجَرِ أَوْ عَلَى شَاذَرْوَانِ الْكَعْبَةِ لَمْ يُعْتَدَّ بِهِ فِي الطَّوَافِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ حَالِ الطَّائِفِ بِالْبَيْتِ أَنَّ لَهُ أَرْبَعَةَ أَحْوَالٍ مِنْهَا حالتان مجزئتان وحالتان غير مجزئتين فأما الحالتين المجزئتان فأحدهما حَالَةُ كَمَالٍ وَالثَّانِيَةُ حَالَةُ إِجْزَاءٍ. فَأَمَّا حَالَةُ الْكَمَالِ: فَهُوَ أَنْ يَطُوفَ خَارِجَ الْبَيْتِ مِنْ وَرَاءِ الْحَجَرِ دُونَ زَمْزَمَ وَالْحَطِيمِ، فَهَذَا كَمَالُ أَحْوَالِ الطَّوَافِ فِيهِ طَافَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَمَنْ يَقْتَدِي بِهِ مِنَ السَّلَفِ بَعْدَهُ وَأَمَّا حَالَةُ الْإِجْزَاءِ فَهُوَ أَنْ يَطُوفَ بِالْمَسْجِدِ وَرَاءَ زَمْزَمَ وَسِقَايَةِ الْعَبَّاسِ وَدُونَ الْجِدَارِ فَهَذَا طَوَافٌ مُجْزِئٌ وَإِنْ كَانَ الْأَوَّلُ أَكْمَلَ مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ حَائِلٌ، وَهَكَذَا لَوْ طاف على سطح المسجد الحرام أجزأه؛ لأنه معلوم أَنَّ سَقْفَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الْيَوْمَ دُونَ سَقْفِ الْكَعْبَةِ فَكَانَ طَائِفًا بِالْبَيْتِ.
فَإِنْ قِيلَ لَوِ اسْتَقْبَلَهَا فِي الصَّلَاةِ عَلَى مَا هُوَ أَعْلَى مِنْهَا كَانَ مُسْتَقْبِلًا لِجِهَةِ بِنَائِهَا فَأَجْزَأَهُ، وَالْمَقْصُودُ فِي الصَّلَاةِ تَعْيِينُ بِنَائِهَا، فَإِذَا عَلَا عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ طَائِفًا بِنَفْسِ بِنَائِهَا فَلَمْ يُجْزِهِ.

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang tawaf lalu melewati ḥijr atau di atas dinding ḥijr atau di atas syādzarwān Ka‘bah, maka tawafnya tidak dihitung.”

Al-Māwardī berkata: Keadaan orang yang bertawaf di sekitar Ka‘bah terbagi menjadi empat keadaan, dua di antaranya sah (mujzi’) dan dua tidak sah (ghair mujzi’).
 Adapun dua keadaan yang sah, yang pertama adalah keadaan sempurna, dan yang kedua adalah keadaan mencukupi.

Keadaan sempurna adalah apabila seseorang bertawaf di luar bangunan Ka‘bah, dari belakang ḥijr tanpa melewati antara Zamzam dan ḥaṭīm. Inilah bentuk tawaf paling sempurna; Nabi SAW bertawaf seperti ini, demikian pula para salaf setelah beliau yang meneladaninya.

Adapun keadaan mencukupi (sah namun tidak sempurna), yaitu bertawaf di dalam masjid (al-ḥaram), di belakang Zamzam dan tempat minum keluarga al-‘Abbās, dan tidak melewati dinding luar Ka‘bah. Ini adalah tawaf yang sah walaupun bentuk pertama lebih sempurna, karena dalam bentuk ini tidak ada penghalang antara dia dan bangunan Ka‘bah.

Demikian pula, jika bertawaf di atas atap Masjid al-Ḥarām maka tawafnya sah, karena diketahui bahwa atap Masjid al-Ḥarām sekarang lebih rendah dari atap Ka‘bah, maka ia tetap dianggap bertawaf mengelilingi Ka‘bah.

Jika dikatakan: “Kalau seseorang shalat menghadap Ka‘bah dari tempat yang lebih tinggi dari Ka‘bah, maka ia dianggap telah menghadap arah bangunannya dan shalatnya sah; padahal dalam tawaf jika dia berada lebih tinggi dari Ka‘bah tidak sah tawafnya, karena tidak dianggap mengelilingi bangunannya,” maka jawabannya: Tujuan dalam shalat adalah penetapan arah bangunan, sedangkan dalam tawaf, seseorang harus mengelilingi bangunannya secara langsung. Maka jika dia berada lebih tinggi dari bangunan Ka‘bah, ia tidak sedang bertawaf mengelilingi bangunan Ka‘bah secara langsung, sehingga tidak dianggap sah.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْحَالَتَانِ اللَّتَانِ لَا تُجْزِئَانِ فَإِحْدَاهُمَا لَا تُجْزِئُ لِلْمُجَاوَزَةِ، وَالثَّانِيَةُ لَا تُجْزِئُ لِلتَّقْصِيرِ، فأما ما لا تجزئ للمجاورة فَهُوَ أَنْ يَطُوفَ خَارِجَ الْمَسْجِدِ فِي الْوَادِي مِنْ وَرَاءِ الْجِدَارِ، فَهَذَا لَا يُجْزِئُ؛ لِأَنَّ هذا غير طوائف بالبيت، وإنما هو طائف بالمسجد ولو أجزأه هَذَا أَجْزَأَهُ طَوَافُهُ حَوْلَ مَكَّةَ، مَا لَا يُجْزِئُ لِلنَّقْصِ فَفِي أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَطُوفَ دَاخِلَ الْبَيْتِ فَلَا يُجْزِئُهُ؛ لِأَنَّهُ مَأْمُورٌ بِالطَّوَافِ بِالْبَيْتِ وَهَذَا غَيْرُ طَائِفٍ بِهِ، وَإِنَّمَا هُوَ طَائِفٌ فِيهِ.

PASAL
 Adapun dua keadaan yang tidak sah (tidak mencukupi), maka yang pertama tidak mencukupi karena melewati batas, dan yang kedua tidak mencukupi karena kekurangan.

Adapun yang tidak mencukupi karena melewati batas adalah apabila ia bertawaf di luar masjid, di lembah, di balik tembok, maka ini tidak sah; karena ini bukanlah bertawaf di sekitar Ka‘bah, melainkan bertawaf di sekitar masjid. Seandainya ini mencukupi, niscaya mencukupi pula bertawaf di sekitar seluruh Makkah.

Adapun yang tidak mencukupi karena kekurangan, maka terdapat empat keadaan:

Pertama: bertawaf di dalam Ka‘bah, maka tidak mencukupi; karena ia diperintahkan untuk bertawaf di sekitar Ka‘bah, sedangkan ini bukan bertawaf di sekitarnya, melainkan bertawaf di dalamnya.


وَالثَّانِي: أَنْ يَطُوفَ عَلَى ظَهْرِ الْبَيْتِ فَلَا يُجْزِئُهُ؛ لِأَنَّهُ طَائِفٌ وَلَيْسَ بِطَائِفٍ بِالْبَيْتِ.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَطُوفَ خَارِجَ الْبَيْتِ عَلَى شَاذَرْوَانِهِ فَلَا يُجْزِئُهُ؛ لِأَنَّ شَاذَرْوَانَ الْبَيْتِ هُوَ أَسَاسُهُ، ثُمَّ يَقْتَصِرُ بِالْبِنَاءِ عَلَى بَعْضِهِ، فَالطَّائِفُ عَلَيْهِ لَمْ يَطُفْ بِجَمِيعِ الْبَيْتِ وَإِنَّمَا طَافَ بِبَعْضِهِ.
وَالرَّابِعُ: أَنْ يَطُوفَ خَارِجَ الْبَيْتِ وَفِي الْحِجْرِ فَلَا يُجْزِئُهُ.

dan kedua: bertawaf di atas atap Ka‘bah, maka tidak mencukupi; karena ia memang bertawaf, tetapi bukan bertawaf di sekitar Ka‘bah.

dan ketiga: bertawaf di luar Ka‘bah namun di atas syādzarwān-nya, maka tidak mencukupi; karena syādzarwān adalah bagian dari fondasi Ka‘bah, sementara bangunan Ka‘bah hanya mencakup sebagian dari fondasi tersebut, maka orang yang bertawaf di atasnya berarti tidak bertawaf mengelilingi seluruh Ka‘bah, melainkan hanya mengelilingi sebagiannya.

dan keempat: bertawaf di luar Ka‘bah namun masuk ke dalam ḥijr (Hijr Isma‘il), maka tidak mencukupi.


وَقَالَ أبو حنيفة: يُجْزِئُهُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلْيَطَوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعِتيقِ) {الحج: 29) وَهَذَا طَائِفٌ بِهِ وَإِنْ كَانَ الْحِجْرُ مِنْ ورائه لِأَنَّ الْحِجْرَ مِنَ الْبَيْتِ وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّهُ مِنَ الْبَيْتِ مَا رَوَى عَلْقَمَةُ بْنُ أَبِي عَلْقَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: كُنْتُ أُحِبُّ أَنْ أَدْخُلَ الْبَيْتَ فَأُصَلِّيَ فِيهِ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِيَدِي وَأَدْخَلَنِي فِي الْحِجْرِ وَقَالَ صَلِّي فِي الْحِجْرِ إِذَا أَرَدْتِ دُخُولَ الْبَيْتِ، فَإِنَّمَا هُوَ قِطْعَةٌ مِنَ الْبَيْتِ وَلَكِنَّ قَوْمَكِ اقْتَصَرُوا حِينَ بَنَوُا الْكَعْبَةَ فَأَخْرَجُوهُ مِنَ الْبَيْتِ.

Dan Abū Ḥanīfah berkata: Tawafnya sah berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Dan hendaklah mereka tawaf di sekeliling Baitullah yang tua itu” (QS al-Ḥajj: 29), dan orang ini telah bertawaf mengelilinginya walaupun ḥijr berada di belakangnya, karena ḥijr adalah bagian dari Baitullah.

Dalil bahwa ḥijr termasuk dari bangunan Ka‘bah adalah riwayat dari ‘Alqamah bin Abī ‘Alqamah dari ayahnya dari ‘Ā’isyah RA, bahwa ia berkata:
 “Aku dulu ingin masuk ke dalam Ka‘bah lalu shalat di dalamnya, maka Rasulullah SAW memegang tanganku dan memasukkanku ke dalam ḥijr, lalu bersabda: ‘Shalatlah di ḥijr jika engkau ingin masuk ke dalam Ka‘bah, karena ia adalah bagian dari Ka‘bah, hanya saja kaummu ketika membangun Ka‘bah mereka mengurangi dan mengeluarkannya dari bangunan Ka‘bah’.”


وَرَوَى مَرْثَدُ بْنُ شُرَحْبِيلَ قَالَ حَضَرْتُ ابْنَ الزُّبَيْرِ وَقَدْ أدخل على عائشة سبعين رجلاً من كبار قريش وأشرافهم وخيارهم فأخبرتهم أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لَوْلَا حَدَثَانِ قَوْمِكِ بِالشِّرْكِ لَبَنَيْتُ الْبَيْتَ على قواعد إبراهيم وهل تدرين لما قَصَّرُوا عَنْ قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ قَالَتْ: لَا، قَالَ: قَصُرَتْ بِهِمُ النَّفَقَةُ.
وَرَوَى الْوَلِيدُ بْنُ عَطَاءٍ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ الْمَخْزُومِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّ قَوْمَكِ استَقْصَرُوا عَنْ بُنْيَانِ الْبَيْتِ وَلَوْلَا حدثانهم بالكفر لَأَعَدْتُ فِيهِ مَا تَرَكُوا مِنْهُ وَلَجَعَلْتُ لَهُ بَابَيْنِ مَوْضُوعَيْنِ فِي الْأَرْضِ شَرْقِيًّا وَغَرْبِيًّا فَإِنْ بدا لقومك أن ينوه فَهَلُمَّ لِأُرِيَكِ مَا تَرَكُوا مِنْهُ قَالَتْ: فَأَرَاهَا قَرِيبًا مِنْ تِسْعَةِ أَذْرُعٍ.

Marṡad bin Syarahbīl meriwayatkan: Aku menghadiri Ibnu al-Zubair, dan saat itu ia telah menghadirkan kepada ‘Ā’isyah tujuh puluh orang dari tokoh-tokoh Quraisy, para pembesar, dan orang-orang pilihan mereka. Lalu ‘Ā’isyah memberitahu mereka bahwa Rasulullah SAW bersabda:
 “Seandainya bukan karena kaummu baru saja meninggalkan kemusyrikan, niscaya aku akan membangun kembali Ka‘bah di atas pondasi Ibrāhīm.”

Kemudian beliau (SAW) bersabda: “Tahukah engkau mengapa mereka membangun Ka‘bah tidak sampai ke pondasi Ibrāhīm?”
 ‘Ā’isyah menjawab: “Tidak.”
 Beliau bersabda: “Karena mereka kekurangan biaya.”

Dan al-Walīd bin ‘Aṭā’ meriwayatkan dari al-Ḥāriṯ bin ‘Abdillāh bin Abī Rabī‘ah al-Makhzūmī, ia berkata: Aku mendengar ‘Ā’isyah RA berkata:
 Rasulullah SAW bersabda:
 “Sesungguhnya kaummu telah mengurangi bangunan Ka‘bah. Seandainya bukan karena mereka baru saja masuk Islam dari kekufuran, niscaya aku akan mengembalikan bagian yang mereka tinggalkan dari bangunannya, dan sungguh aku akan menjadikan dua pintu untuknya yang diletakkan di atas tanah: satu di sebelah timur dan satu di sebelah barat. Maka jika kaummu menginginkan pembangunan ulang, mari aku tunjukkan padamu bagian yang telah mereka tinggalkan.”

‘Ā’isyah berkata: Lalu beliau menunjukkan kepadanya bagian itu, sekitar sembilan hasta.


فَثَبَتَ بِهَذِهِ الْأَخْبَارِ أَنَّهُ مِنَ الْبَيْتِ وَقَدْ كَانَ ابْنُ الزُّبَيْرِ فِي أَيَّامِهِ هَدَمَهُ وَابْتَنَاهُ عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ، وَجَعَلَ لَهُ بَابَيْنِ شَرْقِيًّا وَغَرْبِيًّا كَمَا ذَكَرَتْ عَائِشَةُ فَهَدَمَ الْحَجَّاجُ زِيَادَةَ ابْنِ الزُّبَيْرِ الَّتِي اسْتَوْظَفَ بِهَا الْقَوَاعِدَ فَهَمَّ بَعْضُ الْوُلَاةِ بِإِعَادَتِهِ، وَقِيلَ عَلَى مَا كَانَ الْمَهْدِيُّ مِنْ بَنِي الْعَبَّاسِ فَكَرِهَ ذَلِكَ بَعْضُ مَنْ أَشَارَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: أَخَافُ أَنْ لَا يَأْتِيَ وَالٍ لَا أُحِبُّ أَنْ يُرَى فِي الْبَيْتِ أَثَرٌ يُنْسَبُ إِلَيْهِ، وَالْبَيْتُ أَجَلُّ مِنْ أَنْ يُطْمَعَ فِيهِ، وَقَدْ أَقَرَّهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثُمَّ َخُلَفَاؤُهُ بَعْدَهُ، فَإِذَا ثَبَتَ بِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْأَخْبَارِ وَحَكَيْنَا مِنْ فِعْلِ ابْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ الْحِجْرَ مِنَ الْبَيْتِ لَمْ يُجْزِهِ الطَّوَافُ فِيهِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلْيَطَّوَفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ) {الحج: 29) وَإِذَا طَافَ فِي الْحِجْرِ كَانَ طَائِفًا بِالْبَيْتِ الْجَدِيدِ وَلَمْ يَكُنْ طَائِفًا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ فَلَمْ يجزه؛ لأنه طاف ببعضه.

Maka tetaplah dengan berita-berita ini bahwa ḥijr termasuk dari al-bayt, dan sungguh Ibnuz-Zubair pada masa pemerintahannya telah merobohkan Ka‘bah lalu membangunnya di atas fondasi Ibrahim, serta membuatkan baginya dua pintu, satu di sebelah timur dan satu di sebelah barat sebagaimana disebutkan oleh ‘Āisyah. Kemudian al-Ḥajjāj merobohkan bagian tambahan yang dibangun oleh Ibnuz-Zubair, yaitu tambahan yang menyambung kepada fondasi tersebut. Lalu sebagian para gubernur ingin mengembalikannya (ke bentuk fondasi Ibrahim), dan dikatakan bahwa yang ingin mengembalikannya adalah al-Mahdī dari Bani al-‘Abbās. Maka sebagian dari orang yang memberi pendapat kepadanya tidak menyukai hal itu, lalu ia berkata: “Aku khawatir kelak datang seorang penguasa yang tidak aku sukai akan tampak pada al-bayt bekas yang dinisbatkan kepadanya. Padahal al-bayt itu lebih mulia dari diperebutkan (untuk ambisi politik),” dan sesungguhnya telah diakui bentuknya oleh Rasulullah SAW dan para khalifah setelah beliau. Maka apabila telah tetap dengan apa yang kami sebutkan dari berita-berita dan kami ceritakan dari perbuatan Ibnuz-Zubair bahwa al-ḥijr termasuk dari al-bayt, maka tidak sah ṭawāf di dalamnya, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Hendaklah mereka bertawaf di sekitar al-bayt yang tua (al-‘atīq)” (QS al-Ḥajj: 29). Dan apabila seseorang bertawaf di dalam al-ḥijr, maka ia dianggap bertawaf di al-bayt yang baru, dan bukan bertawaf di al-bayt al-‘atīq, maka tidaklah mencukupi, karena ia hanya bertawaf pada sebagian al-bayt saja.

مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ نَكَّسَ الطَّوَافَ لَمْ يُجْزِهِ بِحَالٍ (قَالَ المزني) الشاذروان تأزير البيت خارجاً عنه وأحسبه على أساس البيت لأنه لو كان مبايناً لأساس البيت لأجزأه الطواف عليه “.

Masalah
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
 “Jika seseorang membalik urutan tawaf (tidak dari kanan Ka‘bah), maka tidak sah dalam keadaan apa pun.”

(Al-Muzanī berkata): Syādzarwān adalah semacam pelipit pada Ka‘bah yang berada di luarnya, dan aku menduganya termasuk dari fondasi Ka‘bah. Karena jika syādzarwān itu terpisah dari fondasi Ka‘bah, niscaya tawaf di atasnya dianggap sah.


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الطَّوَافُ الْمَشْرُوعُ فَهُوَ أَنْ يَجْعَلَ الْحَجَرَ عَنْ يَسَارِهِ وَيَمْضِيَ فِي الطَّوَافِ عَلَى يَمِينِهِ، فَإِنْ نَكَّسَ الطَّوَافَ فَجَعَلَ الْحَجَرَ عَنْ يَمِينِهِ وَمَضَى عَلَى يَسَارِهِ لَمْ يُجْزِهِ بِحَالٍ، وَكَانَ فِي حُكْمِ مَنْ لَمْ يَطُفْ، سَوَاءٌ أَقَامَ بِمَكَّةَ أَوْ خَرَجَ عَنْهَا، وَقَالَ أبو حنيفة: تَنْكِيسُ الطَّوَافِ لَا يَجُوزُ، فَإِنْ نَكَّسَهُ أَعَادَ إِنْ كَانَ مُقِيمًا بِمَكَّةَ، وَجَبَرَهُ بِدَمٍ إِنْ كَانَ قَدْ خَرَجَ مِنْ مَكَّةَ، وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ تَنْكِيسُ الطَّوَافِ يُجْزِئُ وَلَا دَمَ فِيهِ، تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلْيَطَّوَفُوا بِالبَيْتِ الْعَتِيقِ) {الحج: 29) وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حين طاف جعل الحجر على يساره وقضى عَلَى يَمِينِهِ، وَكَانَ ذَلِكَ بَيَانًا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلْيَطَوَّفُوا بِالْبَيْت الْعَتِيقِ) {الحج: 29) مَعَ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ ” وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَفْتَقِرُ إِلَى البيت فوجب أن يكون التنكيس مانعاً مِنْ صِحَّتِهَا كَالصَّلَاةِ؛ وَلِأَنَّهَا طَوَافٌ مُنَكَّسٌ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُجْزِئَ فَاعِلَهُ كَالْمُقِيمِ بِمَكَّةَ، فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِالْآيَةِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ التَّنْكِيسَ مَكْرُوهٌ وَالْأَمْرُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَنَاوَلَ الْمَكْرُوهَ.

Al-Mawardi berkata: Adapun ṭawāf yang disyariatkan adalah dengan menjadikan al-ḥajar di sebelah kirinya dan berjalan ṭawāf ke arah kanannya. Maka jika ia membalik arah ṭawāf, lalu menjadikan al-ḥajar di sebelah kanannya dan berjalan ke arah kirinya, maka tidak sah ṭawāfnya dalam keadaan apa pun, dan ia dihukumi seperti orang yang belum ṭawāf, baik ia masih berada di Makkah maupun telah keluar darinya.

Abu Ḥanīfah berkata: Ṭawāf terbalik tidak diperbolehkan. Jika ia melakukannya, maka wajib mengulang jika masih di Makkah, dan menggantinya dengan dam jika telah keluar dari Makkah.

Dāwud bin ‘Alī berkata: Ṭawāf terbalik tetap sah dan tidak ada dam padanya, dengan bersandar kepada firman Allah Ta‘ālā: “Wa l-yāṭṭawwafū bi-l-bayti-l-‘atīq” (QS. al-Ḥajj: 29).

Dan dalil yang menunjukkan kebenaran pendapat kami adalah riwayat dari Nabi SAW saat ṭawāf, beliau menjadikan al-ḥajar di sebelah kirinya dan berjalan ke arah kanannya. Hal itu merupakan penjelasan dari firman Allah Ta‘ālā: “Wa l-yāṭṭawwafū bi-l-bayti-l-‘atīq” (QS. al-Ḥajj: 29), sejalan dengan sabda beliau SAW: “Khudhū ‘annī manāsikakum”.

Dan karena ṭawāf adalah ibadah yang bergantung kepada al-bayt, maka wajib bahwa membalik arah menjadi penghalang bagi keabsahannya sebagaimana salat. Dan karena ia adalah ṭawāf yang dibalik arah, maka wajib bahwa pelakunya tidak sah ṭawāfnya sebagaimana orang yang mukim di Makkah.

Adapun istidlal Dāwud dengan ayat tersebut tidaklah benar, karena membalik arah adalah hal yang makruh, sedangkan perintah tidak mungkin mencakup perkara yang makruh.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا أَعْدَادُ الطَّوَافِ فَسَبْعٌ لَا يَجُوزُ الِاقْتِصَارُ عَلَى أَقَلَّ مِنْهَا، وَقَدْ رَوَى مَعْقِلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” السَّعْيُ وَالطَّوَافُ تَوٌّ ” وَفِي تَأْوِيلِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ السَّعْيَ وَالطَّوَافَ سَبْعَةُ أَشْوَاطٍ وتر غَيْرِ شَفَعٍ وَالتَّوُّ الْوِتْرُ.
وَالثَّانِي: مَعْنَاهُ أَنَّ الطَّوَافَ وَالسَّعْيَ وَالرَّمْيَ فِي الْحَجِّ وَاحِدٌ لَا يُثَنَّى فِي الْقِرَانِ وَهُوَ فِيهِ كَالْإِفْرَادِ، وَإِنْ رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ قَبْلَ إِتْمَامِ طَوَافِهِ كَانَ عَلَى إِحْرَامِهِ وَلَزِمَهُ الْعَوْدُ لِإِتْمَامِ طَوَافِهِ، وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ طَافَ أَقَلَّ مِنْ أَرْبَعَةِ أَطْوَافٍ لَمْ يُجْزِهِ، وَإِنْ طَافَ أَرْبَعَةَ أَطْوَافٍ فَإِنْ كَانَ مُقِيمًا بِمَكَّةَ لَمْ يَجُزْ، وَإِنْ رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ أَجْزَأَهُ وَعَلَيْهِ دَمٌ؛ تَعَلُّقًا بِظَاهِرِ قَوْله تَعَالَى: {وَلْيَطَوَّفُوا بِالْبَيْتِ العَتِيقِ) {الحج: 29) وبأن معظم الشي يَقُومُ مَقَامَ جَمِيعِ الشَّيْءِ، كَمَا لَوْ أَدْرَكَ الْإِمَامَ رَاكِعًا كَانَ كَمَا لَوْ أَدْرَكَهُ قَائِمًا.

PASAL
 Adapun jumlah ṭawāf adalah tujuh putaran, tidak boleh kurang dari itu. Telah meriwayatkan Ma‘qil bin ‘Abdillāh dari Abū az-Zubair dari Jābir dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
 “As-sa‘y dan ṭawāf itu ganjil.”

Dan dalam penafsirannya ada dua pendapat:
 Pertama: bahwa sa‘y dan ṭawāf terdiri dari tujuh putaran, yaitu bilangan ganjil bukan genap, dan at-taww berarti al-witr (bilangan ganjil).
 Kedua: maknanya bahwa ṭawāf, sa‘y, dan ramy dalam haji itu masing-masing hanya dilakukan sekali dan tidak diulang dalam haji qirān, dan ia dalam hal ini seperti ifrād.

Dan jika seseorang kembali ke keluarganya sebelum menyempurnakan ṭawāf-nya, maka ia tetap dalam keadaan iḥrām, dan wajib kembali untuk menyempurnakan ṭawāf-nya.

Abū Ḥanīfah berkata: Jika ia bertawaf kurang dari empat putaran, maka tidak sah. Dan jika ia bertawaf empat putaran, maka jika ia adalah penduduk Makkah, maka tidak sah. Namun jika ia telah kembali ke keluarganya, maka sah ṭawāf-nya, tetapi wajib membayar dam, berdasarkan zahir firman Allah Ta‘ālā:
 “Dan hendaklah mereka bertawaf di sekitar al-bayt al-‘atīq.” (QS. al-Ḥajj: 29)

Dan karena mayoritas suatu perkara dapat menggantikan keseluruhan perkara itu, sebagaimana jika seseorang mendapati imam sedang rukuk, maka ia dianggap mendapat rakaat tersebut seperti orang yang mendapati imam dalam keadaan berdiri.


وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ جَابِرٍ وَابْنُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَمَلَ ثَلَاثًا وَمَشَى أَرْبَعًا وَهَذَا الْفِعْلُ مِنْهُ إِمَّا أَنْ يَكُونَ بَيَانًا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلْيَطَوَّفُوا بِالبَيْتِ الْعَتِيقِ} واستئناف نُسُكٍ يُؤْخَذُ مِنْ فِعْلِهِ، وَأَيُّهُمَا كَانَ فَهُوَ وَاجِبٌ، وَلِأَنَّهُ طَوَافٌ لَمْ يَكْمُلْ عَدَدُهُ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَقَعَ بِهِ التَّحَلُّلُ، كَالْمُقِيمِ بِمَكَّةَ لَمْ يُجْزِهِ بِدَمٍ، فَوَجَبَ إِذَا تَرَكَهُ غَيْرُ الْمُقِيمِ بِمَكَّةَ أَنْ لَا يُجْزِئَهُ بِدَمٍ قِيَاسًا عَلَيْهِ إِذَا طَافَ ثَلَاثًا وَتَرَكَ أَرْبَعًا.

Dan dalil kami adalah riwayat dari Jābir dan Ibn ‘Umar bahwa Nabi SAW melakukan ramal pada tiga putaran dan berjalan biasa pada empat putaran. Perbuatan beliau ini, bisa jadi merupakan penjelas dari firman Allah Ta‘ālā: “Wa l-yāṭṭawwafū bi-l-bayti-l-‘atīq”, atau merupakan pembukaan nusuk yang diambil dari perbuatan beliau. Dan mana pun dari keduanya, maka hukumnya wajib.

Dan karena ia merupakan ṭawāf yang belum sempurna hitungannya, maka wajib bahwa tidak dapat dijadikan sebab untuk taḥallul, sebagaimana orang yang mukim di Makkah, tidak mencukupi baginya dengan dam, maka wajib bila meninggalkannya bukan oleh orang yang mukim di Makkah, maka tidak mencukupi baginya dengan dam, dengan qiyās atas orang yang ṭawāf tiga putaran dan meninggalkan empat putaran.


فَأَمَّا الْآيَةُ فَلَا دَلَالَةَ لَهُمْ فِيهَا؛ لِأَنَّنَا وَإِيَّاهُمْ نَعْدِلُ عَنْ ظَاهِرِهَا.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ مُعْظَمَ الشَّيْءِ يَقُومُ مَقَامَ الشَّيْءِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّهُ ينقص بِسَائِرِ الْعِبَادَاتِ مِنْ أَعْدَادِ الرَّكَعَاتِ وَغَيْرِهَا، عَلَى أَنَّهُ إِذَا أَدْرَكَ الْإِمَامَ رَاكِعًا فَقَدْ يَحْمِلُ عَنْهُ مَا فَاتَهُ فَلِذَلِكَ مَا اعْتَدَّ بِهِ وليس كذلك الطواف.

Adapun ayat tersebut, maka tidak ada dalil bagi mereka di dalamnya; karena baik kami maupun mereka sama-sama tidak berpegang pada zahirnya.

Adapun perkataan mereka bahwa mayoritas suatu perkara dapat menggantikan seluruh perkara, maka itu tidak benar; karena hal itu tidak berlaku pada seluruh ibadah, seperti bilangan rakaat dan lainnya.

Lagipula, jika seseorang mendapati imam dalam keadaan rukuk, bisa jadi imam menanggung baginya apa yang luput darinya, maka karena itulah ia dianggap mendapatkan (rakaat tersebut). Adapun ṭawāf, tidaklah demikian keadaannya.


فَصْلٌ
: طَوَافُ الْمَاشِي أَوْلَى وَأَفْضَلُ مِنْ طَوَافِ الرَّاكِبِ وَهَذَا مِمَّا لَا يُعْرَفُ خِلَافٌ فِيهِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – طاف في عمرة كله مَاشِيًا، وَطَافَ فِي حَجِّهِ طَوَافَ الْقُدُومِ مَاشِيًا، وَإِنَّمَا طَافَ مَرَّةً فِي عُمْرَةٍ طَوَافَ الْإِفَاضَةِ رَاكِبًا وَلِأَنَّهُ يُؤْذِي النَّاسَ بِزِحَامِ مَرْكُوبِهِ وَلَا يُؤْمَنُ تَنْجِيسُ الْمَسْجِدِ بِإِرْسَالِ بَوْلِهِ، فَإِنْ طَافَ رَاكِبًا أَجْزَأَهُ مَعْذُورًا كَانَ أَوْ غَيْرَ مَعْذُورٍ، وَلَا دَمَ عَلَيْهِ بِحَالٍ، وَقَالَ أبو حنيفة: يُجْزِئُهُ الطَّوَافُ وَعَلَيْهِ دَمٌ إِنْ كَانَ غَيْرَ مَعْذُورٍ، وَلِأَنَّ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ رُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – طَافَ رَاكِبًا مِنْ شَكْوَى.

PASAL
 Ṭawāf dengan berjalan kaki lebih utama dan lebih afdhal daripada ṭawāf dengan berkendaraan, dan hal ini tidak diketahui adanya khilaf padanya; karena Nabi SAW melakukan ṭawāf dalam seluruh umrahnya dengan berjalan kaki, dan beliau ṭawāf qudūm dalam haji juga dengan berjalan kaki. Adapun ṭawāf yang beliau lakukan dengan berkendaraan hanyalah sekali dalam umrah, yaitu ṭawāf ifāḍah.

Dan karena orang yang ṭawāf dengan berkendaraan dapat menyakiti orang lain karena sempitnya ruang karena kendaraannya, dan dikhawatirkan mengotori masjid karena kencing yang dikeluarkan hewan tunggangannya.

Maka jika ia ṭawāf dengan berkendaraan, maka hal itu tetap sah, baik ia memiliki uzur maupun tidak, dan tidak ada dam atasnya dalam keadaan apa pun.

Abu Ḥanīfah berkata: Ṭawāfnya sah, tetapi wajib atasnya dam jika ia tidak memiliki uzur.

Karena dari Sa‘īd bin Jubair diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW melakukan ṭawāf dengan berkendaraan karena sakit.

رَوَى عُرْوَةُ عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَتْ شَكَوْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنِّي أَشْتَكِي فَقَالَ: طُوفِي مِنْ وَرَاءِ النَّاسِ وَأَنْتِ رَاكِبَةٌ قَالَتْ فَطُفْتُ وَرَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حِينَئِذٍ يُصَلِّي إِلَى جَنْبِ الْبَيْتِ وَهُوَ يَقْرَأُ: {وَالطُّورِ وِكِتَابٍ مَسْطُورٍ} (الطور: 1) قَالَ: فَإِذَا طَافَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَاكِبًا لِشَكْوَى وَأَذِنَ لِأُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنْ تَطُوفَ رَاكِبَةً لِشَكْوَى دَلَّ ذَلِكَ عَلَى حَظْرِ الطَّوَافِ رَاكِبًا مِنْ غَيْرِ شَكْوَى، وَمَنْ فَعَلَ فِي الْحَجِّ مَحْظُورًا لَزِمَهُ الْجُبْرَانُ.

Diriwayatkan dari ‘Urwah, dari Zainab binti Abī Salamah, dari Ummu Salamah istri Nabi SAW, ia berkata: Aku mengadu kepada Rasulullah SAW bahwa aku sedang sakit. Maka beliau bersabda: “Ṭawāflah dari belakang orang-orang dan engkau dalam keadaan berkendaraan.” Ummu Salamah berkata: Maka aku ṭawāf, sementara Rasulullah SAW pada saat itu sedang salat di sisi Ka‘bah dan beliau membaca: {Waṭ-ṭūr wa-kitābin masṭūr} (QS. at-Ṭūr: 1).

Maka, ketika Rasulullah SAW ṭawāf dalam keadaan berkendaraan karena sakit, dan beliau mengizinkan Ummu Salamah RA untuk ṭawāf berkendaraan karena sakit, hal itu menunjukkan bahwa ṭawāf dalam keadaan berkendaraan tanpa adanya uzur sakit adalah terlarang. Dan siapa yang melakukan sesuatu yang terlarang dalam ibadah haji, maka wajib baginya jubrān (tebusan/dam).


وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ غَيْرُ صَحِيحٍ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّهُ طَافَ بِغَيْرِ شَكْوَى رِوَايَةُ سُفْيَانَ عَنْ أبي طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أمر أصحابه أن يتجزوا بالإفاضة وأفاض بنسائه لَيْلًا فَطَافَ عَلَى رَاحِلَتِهِ يَسْتَلِمُ الرُّكْنَ بِمِحْجَنِهِ أَحْسَبُهُ قَالَ وَيُقَبِّلُ طَرَفَ الْمِحْجَنِ وَرُوِيَ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِنَّمَا رَكِبَ لِيَرَاهُ النَّاسُ، وَفِي هَذَا دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَرْكَبْ مِنْ شَكْوَى.

Dan apa yang dikatakan itu tidaklah benar.
 Dalil bahwa beliau ṭawāf bukan karena sakit adalah riwayat Sufyān dari Abū Ṭāwūs dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW memerintahkan para sahabatnya agar bersegera melakukan ifāḍah, dan beliau melakukan ifāḍah bersama istri-istrinya pada malam hari, lalu beliau ṭawāf di atas tunggangannya seraya menyentuh rukn dengan tongkat bermata kait (miḥjan), — aku kira dia berkata — dan beliau mencium ujung miḥjan tersebut.

Dan diriwayatkan dari Jābir bahwa Nabi SAW naik kendaraan agar dapat dilihat oleh orang-orang. Dan dalam hal ini terdapat dalil bahwa beliau tidak naik kendaraan karena sakit.


قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَا أَعْلَمُهُ فِي تِلْكَ الْحَجَّةِ اشْتَكَى، وَلِأَنَّهُ رُكْنٌ لَوْ أَدَّاهُ مَاشِيًا لَمْ يَجْبُرْهُ بِدَمٍ، فَوَجَبَ إِذَا أَدَّاهُ رَاكِبًا أَنْ لَا يُجْبِرَهُ بِدَمٍ كَالْوُقُوفِ وَغَيْرِهِ، وَلِأَنَّهُ طَافَ رَاكِبًا فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ لِجُبْرَانِهِ دَمٌ كَالْمَرِيضِ، فَأَمَّا مَا اسْتَدَلَّ بِهِ فَغَيْرُ دالٍ لَهُ، لِأَنَّهُ يَقْتَضِي أَنْ لَا يَجُوزَ طَوَافُ الرَّاكِبِ لِغَيْرِ عُذْرٍ، وَقَدْ أَجْمَعْنَا عَلَى جَوَازِ طَوَافِهِ، وَإِنَّمَا اخْتَلَفْنَا فِي وُجُوبِ الدَّمِ لِجُبْرَانِهِ، وَلَيْسَ فِي ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَيْهِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ ذَلِكَ مُجْزِئٌ، وَلَا دَمَ فِيهِ فَهُوَ مَكْرُوهٌ لِغَيْرِ الْمَعْذُورِ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِنَّمَا فَعَلَ ذَلِكَ مَرَّةً وَاحِدَةً؛ لِأَنَّهُ أَحَبَّ أن يشرف للناس ليسألوه وليس لأحد فِي هَذَا الْمَوْضِعِ مِثْلُهُ.

Imam al-Syafi‘i berkata: “Aku tidak mengetahui bahwa beliau (Nabi SAW) dalam haji tersebut sedang sakit. Dan karena ṭawāf adalah rukun yang jika seseorang melakukannya dengan berjalan kaki, tidak wajib baginya dam, maka wajib pula bahwa jika ia melakukannya dengan berkendaraan, tidak wajib atasnya dam, sebagaimana halnya dengan wuqūf dan selainnya. Dan karena beliau SAW bertawaf dengan berkendaraan, maka wajib pula tidak dikenakan dam sebagai jubrān (tebusan), sebagaimana orang yang sakit.

Adapun dalil yang dijadikan hujjah, maka itu tidak menunjukkan kewajiban dam; karena kandungannya hanya menunjukkan bahwa tidak boleh ṭawāf dengan berkendaraan tanpa uzur, sedangkan kita telah sepakat bahwa ṭawāf dalam keadaan berkendaraan itu boleh. Yang menjadi perselisihan hanyalah dalam kewajiban dam sebagai jubrān, dan tidak ada dalil atas kewajiban tersebut.

Maka apabila telah tetap bahwa ṭawāf seperti itu sah dan tidak ada dam padanya, maka ia hukumnya makruh bagi yang tidak memiliki uzur. Karena Nabi SAW tidak melakukannya kecuali satu kali, itu pun karena beliau ingin tampak (terlihat) oleh manusia agar mereka dapat bertanya kepadanya. Dan tidak ada seorang pun yang memiliki keutamaan seperti beliau dalam hal ini.”


فَكَذَا لَوْ طَافَ مَحْمُولًا عَلَى أَكْتَافِ الرِّجَالِ لِغَيْرِ عُذْرٍ وَكَرِهْنَاهُ، فَإِنْ كَانَ مَعْذُورًا بِمَانِعٍ مِنْ مَرَضٍ أَوْ زَمَانَةٍ فَالْأَوْلَى أَنْ يَطُوْفَ مَحْمُولًا وَلَا يَطُوفَ رَاكِبًا، فَإِنْ طَافَ رَاكِبًا كَانَ أَيْسَرَ حَالًا مِنْ رُكُوبِ غَيْرِ الْمَعْذُورِ وَرُكُوبُ الْإِبِلِ أَيْسَرُ حَالًا مِنْ رُكُوبِ الْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ، فَإِنْ طَافَ مَحْمُولًا وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُحْرِمٌ عَلَيْهِ طَوَافٌ قَدْ نَوَاهُ عَنْ نَفْسِهِ فَفِيهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الطَّوَافُ عَنِ الْحَامِلِ دُونَ الْمَحْمُولِ، لِأَنَّهُ أَصْلٌ وَالْمَحْمُولُ تَبَعٌ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَكُونُ الطَّوَافُ عَنِ الْمَحْمُولِ دُونَ الْحَامِلِ؛ لِأَنَّ الْحَامِلَ قد صرف عمله إلى معونة المحصول.

Maka demikian pula jika seseorang ṭawāf dalam keadaan dipanggul di atas pundak-pundak manusia tanpa uzur, kami memakruhkannya. Namun jika ia memiliki uzur karena sakit atau uzur fisik permanen, maka yang lebih utama baginya adalah ṭawāf dalam keadaan dipanggul dan tidak ṭawāf dengan berkendaraan. Apabila ia ṭawāf dengan berkendaraan, maka hal itu lebih ringan daripada orang yang tidak beruzur yang ṭawāf dengan berkendaraan. Dan menaiki unta lebih ringan keadaannya daripada menaiki bighal (bagal) dan keledai.

Jika ia ṭawāf dalam keadaan dipanggul, sedangkan setiap orang dari mereka adalah muḥrim, dan masing-masing meniatkan ṭawāf untuk dirinya sendiri, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: ṭawāf itu untuk si pemanggul, bukan untuk yang dipanggul, karena pemanggul adalah pokok, sedangkan yang dipanggul adalah pengikut.

Kedua: ṭawāf itu untuk yang dipanggul, bukan untuk pemanggul, karena si pemanggul telah mengarahkan amalnya untuk membantu yang dipanggul.


وَقَالَ أبو حنيفة: يَكُونُ الطَّوَافُ عَنِ الْحَامِلِ وَالْمَحْمُولِ جَمِيعًا؛ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ لَوْ حَمَلَهُ بِعَرَفَةَ أَجْزَأَهُمَا عَنْ وُقُوفِهِمَا فَكَذَلِكَ فِي الطَّوَافِ يُجْزِئُهُمَا عن طوافهما.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ طَوَافَ الْحَامِلِ وَالْمَحْمُولِ فِعْلٌ وَاحِدٌ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُؤَدَّى بِالْفِعْلِ الْوَاحِدِ فَرْضُ طَوَافَيْنِ فَوَجَبَ اسْتِحْقَاقُ فِعْلَيْنِ وَخَالَفَ الْوُقُوفَ بِعَرَفَةَ؛ لِأَنَّ الْوُقُوفَ لُبْثٌ لَا يَتَضَمَّنُ فِعْلًا وَكَذَلِكَ لَوْ وَقَفَ نَائِمًا أَجْزَأَهُ، وَالطَّوَافُ فِعْلٌ مُسْتَحَقٌّ وَهُوَ مِنْ أَحَدِهِمَا فَلَمْ يُجْزِ عَنْهُمَا، ثُمَّ إِذَا طَافَ رَاكِبًا أَوْ مَحْمُولًا فَإِنَّهُ يَضْطَبِعُ، فَأَمَّا الرَّمَلُ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Abū Ḥanīfah berkata: Ṭawāf itu mencukupi bagi orang yang membawa (al-ḥāmil) dan yang dibawa (al-maḥmūl) sekaligus; dengan berdalil bahwa jika seseorang membawa orang lain di padang ‘Arafah, maka hal itu mencukupi keduanya dalam hal wuqūf, maka begitu pula dalam ṭawāf, hal itu mencukupi keduanya dari ṭawāf-nya.

Adapun dalil kami adalah bahwa ṭawāf antara yang membawa dan yang dibawa merupakan satu perbuatan yang sama, maka tidak sah bila satu perbuatan digunakan untuk menunaikan dua kewajiban ṭawāf sekaligus; maka wajib adanya dua perbuatan yang terpisah. Ini berbeda dengan wuqūf di ‘Arafah, karena wuqūf itu hanyalah berupa diam di tempat yang tidak mengandung suatu perbuatan (fisik), bahkan jika seseorang berdiri dalam keadaan tidur pun, maka itu sah.

Sedangkan ṭawāf adalah perbuatan yang wajib dilakukan secara langsung dan hanya berasal dari salah satu dari keduanya, maka tidak cukup untuk menggantikan keduanya.

Kemudian, jika seseorang ṭawāf dalam keadaan berkendaraan atau dibawa (misal dipapah atau digendong), maka ia tetap disunnahkan untuk iḍṭibā‘. Adapun raml (berjalan cepat dalam tiga putaran pertama), maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ لَا رَمَلَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ مَسْنُونٌ فِي الْمَاشِي لِيُسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى نَشَاطِهِ وَصِحَّتِهِ وَهَذَا مَعْدُومٌ فِي الْمَحْمُولِ وَالرَّاكِبِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ يَرْمُلُ بِهِ إِنْ كَانَ مَحْمُولًا وَيُخَبِّبُ بِيَدَيْهِ إِنْ كَانَ رَاكِبًا؛ لِأَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ مَسْنُونًا فِي طَوَافِ الْمَاشِي كَانَ مَسْنُونًا فِي طَوَافِ الْمَحْمُولِ وَالرَّاكِبِ كَالِاضْطِبَاعِ.

Pertama: Yaitu pendapat beliau dalam qaul qadīm, bahwa tidak disunnahkan ramal (berjalan cepat dengan langkah kecil) bagi orang yang dipanggul; karena ramal disunnahkan bagi pejalan kaki untuk menunjukkan semangat dan kesehatannya, sedangkan hal ini tidak ada pada orang yang dipanggul maupun yang berkendaraan.

Pendapat kedua: Yaitu pendapat beliau dalam qaul jadīd, bahwa tetap disunnahkan ramal bagi orang yang dipanggul, dan disunnahkan menggerakkan kedua tangan (yukhabbib) bagi orang yang berkendaraan; karena setiap hal yang disunnahkan dalam ṭawāf pejalan kaki, juga disunnahkan dalam ṭawāf orang yang dipanggul dan yang berkendaraan, sebagaimana iḍṭibā‘ (menyingkap bahu kanan).


فَصْلٌ
: رَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ مُجَاهِدٍ أَنَّهُ كَرِهَ أَنْ يَقُولَ شَوْطٌ وَدَوْرٌ لِلطَّوَافِ وَلَكِنْ يَقُولُ طَوْفٌ قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَأَكْرَهُ مِنْ ذَلِكَ مَا كَرِهَ مُجَاهِدٌ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: {وَلْيَطَوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ) {الحج: 29) وَحَكَى الشَّافِعِيُّ عَنْ قَوْمٍ أَنَّهُمْ كَرِهُوا أَنْ يُعَدَّ فِي الطَّوَافِ وَهُوَ عِنْدَهُ غَيْرُ مَكْرُوهٍ، وَقَدْ رَوَى الْأَوْزَاعِيُّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ وَهُوَ مَعَهُ فِي الطَّوَافِ، كَمْ تَعُدُّ: ثُمَّ قَالَ تَدْرِي لِمَ سَأَلْتُكَ لتحفظه.

PASAL
 Imam al-Syāfi‘ī meriwayatkan dari Mujāhid bahwa ia membenci penggunaan istilah syawṭ dan dawr untuk menyebut putaran dalam ṭawāf, dan menyarankan agar dikatakan ṭawf.

Imam al-Syāfi‘ī berkata: “Aku juga membenci istilah yang dibenci oleh Mujāhid tersebut, karena Allah Ta‘ālā berfirman: {Wa l-yāṭṭawwafū bi-l-bayt al-‘atīq} (QS al-Ḥajj: 29).”

Dan al-Syāfi‘ī meriwayatkan dari sekelompok orang bahwa mereka membenci menghitung putaran dalam ṭawāf, namun menurut beliau hal itu tidak makruh.

Telah meriwayatkan al-Awzā‘ī bahwa Nabi SAW bersabda kepada ‘Abdur-Raḥmān yang sedang ṭawāf bersamanya:
 “Berapa engkau menghitung?”
 Lalu beliau bersabda: “Tahukah engkau mengapa aku bertanya padamu? Agar engkau mengingatnya.”


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِذَا فَرَغَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَلْفَ الْمَقَامِ فَيَقْرَأُ فِي الْأُولَى بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَفِي الثَّانِيَةِ بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أحدٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا أَكْمَلَ الطَّائِفُ طَوَافَهُ سَبْعًا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَلْفَ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ، يَقُولُ فِيهِمَا بِمَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ؛ لِرِوَايَةِ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – طَافَ بِالْبَيْتِ سَبْعًا، وَصَلَّى عِنْدَ الْمَقَامِ رَكْعَتَيْنِ وَقَرَأَ: {وَاتَّخذُوا مِنْ مَقَامِ إبْرَاهِيمَ مُصَلَّى} (البقرة: 125) وَقَدْ عَلَّقَ الشَّافِعِيُّ الْقَوْلَ فِي هَاتَيْنِ الرَّكْعَتَيْنِ فَخَرَّجَهُمَا أَصْحَابُنَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Masalah:
 Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:
 “Jika telah selesai (ṭawāf), maka salat dua rakaat di belakang maqām, pada rakaat pertama membaca Umm al-Qur’ān dan Qul yā ayyuhā al-kāfirūn, dan pada rakaat kedua membaca Umm al-Qur’ān dan Qul huwallāhu aḥad.”

Al-Māwardī berkata:
 Dan ini sebagaimana yang dikatakan (oleh al-Syāfi‘ī), yaitu apabila seseorang telah menyempurnakan ṭawāfnya sebanyak tujuh putaran, maka ia salat dua rakaat di belakang Maqām Ibrāhīm, dan membaca pada keduanya sebagaimana yang disebutkan oleh al-Syāfi‘ī. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya (Muḥammad al-Bāqir) dari Jābir bahwa Nabi SAW ṭawāf di al-Bayt sebanyak tujuh putaran, lalu salat dua rakaat di dekat maqām, dan membaca firman Allah Ta‘ālā:
 “Wattakhidhū min maqāmi Ibrāhīma muṣallā” (QS. al-Baqarah: 125).

Dan al-Syāfi‘ī telah menggantungkan pendapatnya tentang dua rakaat ini, maka para sahabat kami mengeluarkan dua pendapat mengenainya:


أَحَدُهُمَا: إِنَّهُمَا وَاجِبَتَانِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَاتَّخذُوا مِنْ مَقَامِ إبْرَاهِيمَ مُصَلَّى} (البقرة: 125) يَعْنِي صَلَاةً، وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَعَلَهُمَا، وَفِعْلُهُ إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ بَيَانًا أَوِ ابْتِدَاءَ شَرْعٍ، وَأَيُّهُمَا كَانَ دَلَّ عَلَى الْوُجُوبِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهُمَا مُسْتَحَبَّانِ؛ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِلْأَعْرَابِيِّ حِينَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ: لَا. إِلَّا أَنْ تَتَطَوَّعَ فَجَعَلَ مَا سِوَى الْخَمْسِ تَطَوُّعًا.
وَرَوَى ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” مَنْ طَافَ أُسْبُوعًا وَصَلَى رَكْعَتَيْنِ كَانَ لَهُ كَعِدْلِ رقبةٍ ” وَأَخْرَجَهُ مُخْرَجَ الْفَضْلِ وَجَعَلَ لَهُ ثَوَابَهُ مَحْدُودًا فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ تَطَوُّعٌ؛ لِأَنَّ الْوَاجِبَ غَيْرُ مَحْدُودِ الثَّوَابِ.

Pertama: bahwa keduanya (salat dua rakaat setelah ṭawāf) adalah wajib, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Dan jadikanlah sebagian Maqām Ibrāhīm sebagai tempat salat} (QS al-Baqarah: 125), yakni sebagai tempat salat. Dan karena Rasulullah SAW melakukannya, sedangkan perbuatan beliau, jika bukan sebagai penjelasan syariat maka sebagai permulaan syariat baru, dan keduanya menunjukkan kewajiban.

Pendapat kedua: bahwa keduanya adalah mustaḥab, berdasarkan sabda Nabi SAW kepada seorang Arab badui ketika ia bertanya: “Apakah ada kewajiban atasku selain dari ini (salat lima waktu)?” Maka beliau menjawab: “Tidak, kecuali jika engkau menambah dengan salat sunnah.” Maka beliau menjadikan selain salat lima waktu sebagai taṭawwu‘ (sunnah).

Dan telah meriwayatkan Ibn ‘Umar, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
 “Barang siapa yang bertawaf tujuh putaran dan salat dua rakaat, maka baginya pahala seperti membebaskan seorang budak.”

Dan beliau menyampaikannya dalam bentuk anjuran dan menyebutkan pahala tertentu baginya, yang menunjukkan bahwa ia adalah sunnah, karena ibadah wajib tidak disebutkan pahala yang terbatas.

فَإِذَا قُلْنَا إِنَّ ذَلِكَ مُسْتَحَبٌّ فَصَلَّاهُمَا جَالِسًا مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْقِيَامِ أَجْزَأَ كَسَائِرِ السُّنَنِ وَالنَّوَافِلِ، وَإِذَا قُلْنَا إِنَّ ذَلِكَ وَاجِبٌ فَإِنْ صَلَّاهُمَا جَالِسًا مَعَ الْعَجْزِ عَنِ الْقِيَامِ أَجْزَأَهُ، وَإِنْ كَانَ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْقِيَامِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يُجْزِئُهُ لِرِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – طَافَ رَاكِبًا ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى خَلْفَ الْمَقَامِ فَلَوْ جَازَ فِعْلُهُمَا جَالِسًا لَأَجْزَأَهُ فِعْلُهُمَا رَاكِبًا، فَلَمَّا نَزَلَ وَصَلَّاهُمَا عَلَى الْأَرْضِ دَلَّ عَلَى أَنَّ فَرْضَهَا الْقِيَامُ كَسَائِرِ الصَّلَوَاتِ الْوَاجِبَاتِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُجْزِئُهُ؛ لِأَنَّهُمَا مِنْ أَحْكَامِ الطَّوَافِ وَتَبَعِهِ فَلَمَّا جَازَ أَنْ يَطُوفَ رَاكِبًا وَمَحْمُولًا مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْمَشْيِ جَازَ أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيِ الطَّوَافِ قَاعِدًا مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْقِيَامِ، وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ طَوَافُ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ وَطَوَافُ الْقُدُومِ وَالزِّيَارَةِ وَالْوَدَاعِ كُلُّ ذَلِكَ مَأْمُورٌ بِهِ فِي كل طواف.

Maka apabila kami mengatakan bahwa hal itu mustahabb, lalu ia salat dua rakaat tersebut dalam keadaan duduk padahal mampu berdiri, maka tetap sah sebagaimana salat-salat sunnah dan nawāfil lainnya. Namun apabila kami mengatakan bahwa dua rakaat itu wājib, maka jika ia salat dalam keadaan duduk karena tidak mampu berdiri, maka sah. Tetapi jika ia melakukannya dalam keadaan mampu berdiri, maka ada dua pendapat:

Pertama: Tidak sah; berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Abbās bahwa Nabi SAW ṭawāf dalam keadaan berkendaraan, lalu beliau turun dan salat di belakang maqām. Maka seandainya boleh melaksanakannya sambil duduk, tentu mencukupi dilakukan sambil berkendaraan. Maka ketika beliau turun dan salat di atas tanah, hal itu menunjukkan bahwa berdiri adalah wajib dalam salat ini sebagaimana dalam salat-salat wajib lainnya.

Kedua: Sah; karena dua rakaat tersebut termasuk hukum-hukum ṭawāf dan merupakan pengikutnya. Maka sebagaimana diperbolehkan ṭawāf dengan berkendaraan atau dipanggul padahal mampu berjalan, demikian pula diperbolehkan salat dua rakaat ṭawāf dengan duduk padahal mampu berdiri.

Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara ṭawāf ḥajj, ṭawāf ‘umrah, ṭawāf qudūm, ziyārah, maupun wada‘, semuanya dianjurkan untuk disertai dengan salat dua rakaat setelah ṭawāf.


فصل
: ويختار أن يدعو عقيبهما بِمَا رَوَى جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عمدا إِلَى مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ فَصَلَّى خَلْفَهُ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ: ” اللَّهُمَّ بَلَدُكَ وَمَسْجِدُكَ الْحَرَامُ وَبَيْتُكَ الْحَرَامُ، أَنَا عَبْدُكَ ابْنُ عَبْدِكَ ابْنُ أَمَتِكَ، أَتَيْتُكَ بِذُنُوبٍ كَثِيرَةٍ، وَخَطَايَا جَمَّةٍ، وَأَعْمَالٍ سيئةٍ، وَهَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنَ النَّارِ، فَاغْفِرْ لِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ دَعَوْتُ عِبَادَكَ إِلَى بَيْتِكَ الْحَرَامِ وَقَدْ جِئْتُ طَالِبًا رَحْمَتَكَ مُتَّبِعًا مَرْضَاتَكَ وَأَنْتَ مَنَنْتَ عَلَيَّ بِذَلِكَ فَاغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “.

PASAL
 Disunnahkan untuk berdoa setelah keduanya (dua rakaat salat ṭawāf) dengan doa yang diriwayatkan dari Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya dari Jābir, bahwa Nabi SAW menuju Maqām Ibrāhīm, lalu salat dua rakaat di belakangnya, kemudian beliau berdoa:

“Ya Allah, (ini adalah) negerimu, masjid-Mu yang suci, dan rumah-Mu yang mulia. Aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu, anak dari hamba perempuan-Mu. Aku datang kepada-Mu membawa banyak dosa, kesalahan yang sangat banyak, dan amal-amal yang buruk. Ini adalah tempat orang yang berlindung kepada-Mu dari neraka. Maka ampunilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah menyeru hamba-hamba-Mu menuju rumah-Mu yang mulia, dan aku telah datang memohon rahmat-Mu, mengikuti keridaan-Mu, dan Engkaulah yang telah menganugerahkan hal itu kepadaku. Maka ampunilah aku dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”


فَصْلٌ
: فَإِنْ تَرَكَ رَكْعَتَيِ الطَّوَافِ عَامِدًا أَوْ نَاسِيًا: فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُمَا مُسْتَحَبَّتَانِ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا دَمَ، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُمَا وَاجَبَتَانِ قَضَاهُمَا فِي الْحَرَمِ وَغَيْرِهِ وَلَا دَمَ عَلَيْهِ.
وَقَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ: إِنْ قَضَاهُمَا فِي غَيْرِ الْحَرَمِ لَمْ يُجْزِهِ.
وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ قَضَاهُمَا فِي غَيْرِ مَوْضِعِهِمَا فَعَلَيْهِ دَمٌ، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ لَمَّا طَافَ بِالْبَيْتِ نَظَرَ، وَإِذَا بِالشَّمْسِ لَمْ يَتِمَّ طُلُوعُهَا، فَرَكِبَ حَتَّى أَنَاخَ بِذِي طُوًى فَصَلَّاهُمَا هُنَاكَ، وَلِأَنَّ رَكْعَتَيِ الطَّوَافِ لَيْسَتَا بِأَوْكَدَ مِنْ سَائِرِ المفروضات فلما لم يختص شيء منه الْفَرَائِضَ بِمَوْضِعٍ فَرَكْعَتَا طَوَافٍ أَوْلَى أَنْ لَا يختص بموضع.

PASAL
 Jika seseorang meninggalkan dua rakaat ṭawāf secara sengaja ataupun karena lupa: maka apabila kita mengatakan bahwa keduanya mustaḥabbah, maka tidak ada qaḍā’ atasnya dan tidak ada dam. Tetapi jika kita mengatakan bahwa keduanya wājibah, maka ia wajib mengqadha keduanya, baik di dalam ḥaram maupun di luar ḥaram, dan tidak ada dam atasnya.

Sufyān ats-Tsaurī berkata: Jika ia mengqadha keduanya di luar ḥaram, maka tidak sah.

Mālik berkata: Jika ia mengqadha keduanya bukan di tempatnya, maka wajib atasnya dam.

Namun pendapat ini tidak benar; berdasarkan riwayat dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA, bahwa ketika ia ṭawāf di al-Bayt, ia memandang ke arah matahari dan ternyata belum terbit sepenuhnya, maka ia menaiki kendaraan sampai ia berhenti di Dzi Ṭuwā, lalu ia salat dua rakaat di sana.

Dan karena dua rakaat ṭawāf tidak lebih ditekankan (tidak lebih kuat kedudukannya) dibanding salat-salat fardu lainnya. Maka ketika tidak ada satu pun salat fardu yang disyaratkan harus dilakukan di tempat tertentu, maka dua rakaat ṭawāf lebih utama untuk tidak diikat dengan tempat tertentu.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ثُمَّ يَعُودُ إِلَى الْحَجَرِ فَيَسْتَلِمُهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا فَرَغَ مِنْ رَكْعَتَيِ الطَّوَافِ عَادَ إِلَى الْحَجَرِ فَاسْتَلَمَهُ، فَقَدْ رُوِيَ ذَلِكَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، ويستحب أن يأتي المتلزم فَيَدْعُوَ عِنْدَهُ. فَقَدْ رَوَى أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَا بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْمَقَامِ مُلْتَزَمٌ مَنْ دَعَا مِنْ ذِي حَاجَةٍ أَوْ ذِي كربةٍ أَوْ ذِي غَمٍ فُرِّجَ عَنْهُ بِإِذْنِ اللَّهِ ” وَيُخْتَارُ أَنْ يَلْصِقَ صَدْرَهُ، وَوَجْهَهُ بِالْمُلْتَزَمِ حِينَ يَدْعُو، فَقَدْ رَوَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ: ” رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَلْصِقُ صَدْرَهُ وَوَجْهَهُ بِالْمُلْتَزَمِ ” وَهُوَ مَا بَيْنَ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ وَالْبَابِ فِي وَجْهِ الْكَعْبَةِ وَلْيَكُنْ مِنْ دُعَائِهِ مَا رَوَاهُ سُلَيْمَانُ بْنُ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ سَرِيرَتِي وَعَلَانِيَتِي فَاقْبَلْ مَعْذِرَتِي، وتعلم حاجتي فأعطني سؤلي وَتَعْلَمُ مَا عِنْدِي فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي أَسْأَلُكَ إِيمَانًا يُبَاشِرُ قَلْبِي وَيَقِينًا صَادِقًا حَتَّى أَعْلَمَ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَنِي إِلَّا مَا كَتَبْتَهُ عَلَيَّ ورضى لِقَضَائِكَ لِي ” وَرَوَى سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَدْعُوَ فِي الْمُلْتَزَمِ بَيْنَ الْحِجْرِ وَالْبَابِ رَبِّي اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي، وَمَتِّعْنِي بِمَا رَزَقْتَنِي، وَبَارِكْ لِي وَاخْلُفْ عَلَيَّ كُلَّ عاقبةٍ بخيرٍ.

Masalah
 Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Kemudian ia kembali ke ḥajar (Hajar Aswad) lalu mengusapnya.”

Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan (oleh Imam al-Syāfi‘ī), yaitu apabila telah selesai dari dua rakaat ṭawāf, maka kembali ke Hajar Aswad dan mengusapnya. Hal ini telah diriwayatkan dari Nabi SAW.

Disunnahkan juga untuk mendatangi al-multazam dan berdoa di sana. Telah meriwayatkan Ayyūb dari ‘Ikrimah dari Ibn ‘Abbās bahwa Rasulullah SAW bersabda:
 “Apa yang berada antara rukn (Hajar Aswad) dan Maqām adalah multazam. Barang siapa berdoa di situ dalam keadaan memiliki hajat, kesusahan, atau kesempitan, maka akan diberi kelapangan dengan izin Allah.”

Disunnahkan juga agar menempelkan dada dan wajahnya ke multazam saat berdoa. Telah meriwayatkan ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ, ia berkata:
 “Aku melihat Rasulullah SAW menempelkan dadanya dan wajahnya ke multazam.”

Multazam adalah bagian antara Hajar Aswad dan pintu Ka‘bah di sisi depan Ka‘bah.

Disunnahkan agar termasuk dalam doanya adalah apa yang diriwayatkan oleh Sulaimān bin Buraydah dari ayahnya dari Rasulullah SAW:
 “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui rahasiaku dan keadaanku yang tampak, maka terimalah udzurku. Engkau mengetahui kebutuhanku, maka kabulkanlah permohonanku. Dan Engkau mengetahui apa yang ada padaku, maka ampunilah dosa-dosaku. Aku memohon kepada-Mu keimanan yang meresap ke dalam hatiku, dan keyakinan yang benar sehingga aku tahu bahwa tidak akan menimpaku kecuali apa yang telah Engkau tetapkan atasku, dan keridhaan terhadap keputusan-Mu bagiku.”

Dan telah meriwayatkan Sa‘īd bin Jubayr bahwa disunnahkan untuk berdoa di multazam antara ḥijr dan pintu Ka‘bah:
 “Ya Tuhanku, ampunilah dosa-dosaku, berilah aku manfaat dari rezeki yang Engkau anugerahkan kepadaku, berkahilah aku, dan gantilah setiap akibat dari urusanku dengan kebaikan.”


فَصْلٌ
: وَيُخْتَارُ أَنْ يَدْخُلَ الْحِجْرَ وَيَدْعُوَ تَحْتَ الْمِيزَابِ فَقَدْ رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: مَا أحدٌ يَدْعُو عِنْدَ الْمِيزَابِ إِلَّا اسْتُجِيبَ لَهُ. وَرُوِيَ عَنِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ أَنَّهُ قَالَ أَقْبَلَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ لِأَصْحَابِهِ أَلَا تَسْأَلُونِي مِنْ أَيْنَ جِئْتُ؟ قَالُوا: وَمِنْ أَيْنَ جِئْتَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ؟ قَالَ: مَا زِلْتُ قَائِمًا عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ، وَكَانَ قَائِمًا تَحْتَ الْمِيزَابِ يَدْعُو اللَّهَ عِنْدَهُ، وَقَدْ رَوَى جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَقُولُ إِذَا حَاذَى مِيزَابَ الْكَعْبَةِ وَهُوَ في الطواف اللهم إن أَسْأَلُكَ الرَّاحَةَ عِنْدَ الْمَوْتِ وَالْعَفْوَ عِنْدَ الْحِسَابِ.

 


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ثُمَّ يَخْرُجُ مِنْ بَابِ الصَّفَا فَيَرْقَى عَلَيْهَا فَيُكَبِّرُ وَيُهَلِّلُ وَيَدْعُو اللَّهَ فِيمَا بَيْنَ ذَلِكَ بِمَا أَحَبَّ مِنْ دِينٍ وَدُنْيَا ثُمَّ يَنْزِلُ فيمشي حَتَّى إِذَا كَانَ دُونَ الْمِيلِ الْأَخْضَرِ الْمُعَلَّقِ فِي رُكْنِ الْمَسْجِدِ بنحوٍ مَنْ سِتَّةِ أَذْرُعٍ سَعَى سَعْيًا شَدِيدًا حَتَّى يُحَاذِيَ الْمِيلَيْنِ الْأَخْضَرَيْنِ الذين بِفِنَاءِ الْمَسْجِدِ وَدَارَ الْعَبَّاسِ ثُمَّ يَمْشِي حَتَّى يرقى على المروة فيصنع عليها كما صنع على الصفا حتى يتم سبعاً يبدأ بالصفا ويختم بالمروة “.

PASAL
 Disunnahkan untuk masuk ke dalam ḥijr dan berdoa di bawah mīzāb (talang Ka‘bah), karena telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:
 “Tidak ada seorang pun yang berdoa di bawah mīzāb melainkan doanya dikabulkan.”

Dan diriwayatkan dari al-Ḥasan al-Baṣrī bahwa ia berkata:
 ‘Utsmān bin ‘Affān RA datang suatu hari dan berkata kepada para sahabatnya,
 “Tidakkah kalian bertanya dari mana aku datang?”
 Mereka menjawab, “Dari mana engkau datang, wahai Amīr al-Mu’minīn?”
 Ia menjawab, “Aku tidak henti-hentinya berdiri di pintu surga,” dan beliau saat itu sedang berdiri di bawah mīzāb sambil berdoa kepada Allah di sana.

Dan telah diriwayatkan oleh Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya, bahwa Nabi SAW apabila sejajar dengan mīzāb Ka‘bah saat ṭawāf, beliau berdoa:
 “Allāhumma innī as’aluka ar-rāḥata ‘inda al-mawt wa al-‘afwa ‘inda al-ḥisāb.”
 (“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kenyamanan saat kematian dan ampunan saat hisab.”)


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا السَّعْيُ سَبْعًا بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فَرُكْنٌ وَاجِبٌ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنْ تَرَكَ مِنْهُ سَعْيًا وَاحِدًا أَوْ ذِرَاعًا مِنْ سَعْيٍ وَاحِدٍ كَانَ عَلَى إِحْرَامِهِ وَإِنْ عَادَ إِلَى بَلَدِهِ حَتَّى يَعُودَ فَيَأْتِيَ بِهِ، وَهُوَ فِي الصَّحَابَةِ قَوْلُ عَائِشَةَ وَابْنِ عُمَرَ وَجَابِرٍ، وَفِي الْفُقَهَاءِ قَوْلُ مَالِكٍ وَأَحْمَدَ.

Al-Māwardī berkata: Adapun sa‘i tujuh kali antara ṣafā dan marwah adalah rukun yang wajib dalam haji dan ‘umrah. Maka jika ia meninggalkan satu kali sa‘i atau satu dzirā‘ dari satu kali sa‘i, ia tetap berada dalam ihramnya sekalipun telah kembali ke negerinya sampai ia kembali dan melaksanakannya. Dan ini, di kalangan sahabat, adalah pendapat ‘Āisyah, Ibn ‘Umar, dan Jābir; sedangkan di kalangan fuqahā’ adalah pendapat Mālik dan Aḥmad.


وَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ وَابْنُ عَبَّاسٍ: السَّعْيُ لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَقَالَ أبو حنيفة هُوَ وَاجِبٌ لَكِنْ يَنُوبُ عَنْهُ الدَّمُ وَتَحَقُّقُ مَذْهَبِهِ أَنَّهُ غَيْرُ وَاجِبٍ وَاسْتَدَلُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {إنَّ الصَفَا وَالمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرَ اللهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أنْ يَطَّوَفَ بِهِمَا} (البقرة: 158) فَأَخْبَرَ بِرَفْعِ الْحَرَجِ وَالْجَنَاحِ عَمَّنْ يَطُوفُ بِهِمَا، وَذَلِكَ مُسْتَعْمَلٌ فِيمَا كَانَ مُبَاحًا وَلَمْ يَكُنْ وَاجِبًا كَمَا قَالَ تَعَالَى: {فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحُ أنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاَةِ} (النساء: 101) فَكَانَ الْقَصْرُ مُبَاحًا وَلَمْ يَكُنْ وَاجِبًا، وَلِأَنَّ ابن مسعود وأبياً وابن عباس يقرؤون ” فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَطَّوَّفَ بِهِمَا ” وَهَذِهِ قِرَاءَةُ ثَلَاثَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ فَوَجَبَ رَفْعُ الجناح عَنْ تَارِكِ السَّعْيِ، وَذَلِكَ أَوْكَدُ مِنْ خَبَرِ الْوَاحِدِ، فَكَانَ الْعَمَلُ بِهَا وَاجِبًا قَالُوا: وَلِأَنَّ السَّعْيَ تَبَعٌ لِلطَّوَافِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ إِلَّا بَعْدَهُ، وَمَا كَانَ تَبَعًا لِرُكْنٍ مِنْ أَرْكَانِ الْحَجِّ لَمْ يَكُنْ رُكْنًا فِي الْحَجِّ، كَالْمَبِيتِ بِمُزْدَلِفَةَ لَمَّا كَانَ تَبَعًا لِلْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ لَمْ يكن ركناً في الحج وكالمبيت بِعَرَفَةَ.

Dan Ibn Mas‘ūd, Ubay bin Ka‘b, serta Ibn ‘Abbās berkata: Sa‘y bukanlah suatu kewajiban.
 Abu Ḥanīfah berkata: Sa‘y itu wajib, tetapi dapat diganti dengan dam.
 Namun, pendalaman terhadap mazhab beliau menunjukkan bahwa sa‘y itu sebenarnya bukan wajib.

Mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘ālā:
 {Inna aṣ-ṣafā wa al-marwata min sha‘ā’irillāh, fa man ḥajja al-bayta awi‘tamara fa lā junāḥa ‘alayhi an yaṭṭawwafa bihimā} (QS. al-Baqarah: 158),
 yakni Allah mengabarkan dihilangkannya keberatan dan dosa dari orang yang melakukan ṭawāf di antara keduanya, dan lafaz semacam ini biasa digunakan untuk sesuatu yang mubāḥ dan bukan wājib, sebagaimana firman-Nya Ta‘ālā:
 {fa laysa ‘alaykum junāḥun an taqṣurū mina aṣ-ṣalāti} (QS. an-Nisā’: 101),
 maka qaṣar (salat) dibolehkan dan bukan suatu kewajiban.

Dan karena Ibn Mas‘ūd, Ubay, dan Ibn ‘Abbās membaca ayat tersebut dengan:
 “fa lā junāḥa ‘alayhi an lā yaṭṭawwafa bihimā”,
 yang merupakan bacaan tiga orang sahabat, maka wajiblah menghilangkan junāḥ (dosa) dari orang yang meninggalkan sa‘y, dan hal ini lebih kuat daripada khabar wāḥid, maka beramal dengannya menjadi wajib.

Mereka berkata: Dan karena sa‘y adalah tabi‘ (pengikut) dari ṭawāf, karena tidak boleh dilakukan kecuali setelah ṭawāf.
 Dan sesuatu yang menjadi tabi‘ dari rukun ḥajj tidaklah menjadi rukun itu sendiri, sebagaimana mabīt di Muzdalifah; karena ia merupakan tabi‘ dari wuqūf di ‘Arafah, maka ia bukan rukun dalam ḥajj, begitu pula mabīt di ‘Arafah.


قَالُوا وَلِأَنَّهُ رُكْنٌ يَتَكَرَّرُ لَيْسَ مِنْ شَرْطِهِ الْمَسْجِدُ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ رُكْنًا كَرَمْيِ الْجِمَارِ.
وِالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ رِوَايَةُ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ عَنْ جَدَّتِهَا حَبِيبَةَ قَالَتْ دَخَلْتُ مَعَ نِسْوَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ دَارَ آلِ أبي حسين نَنْظُرُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهُوَ يَسْعَى بَيْنَ الصَفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَأَيْتُهُ يَسْعَى وَإِنَّ مِئْزَرَهُ لَتَدُورُ مِنْ شِدَّةِ السَّعْيِ حَتَى أني لا أرى رُكْبَتَيْهِ وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: اسْعَوْا فَإِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْيَ.

Mereka berkata: Karena sa‘i adalah rukun yang berulang dan tidak disyaratkan harus dilakukan di masjid, maka wajiblah bahwa ia bukan rukun seperti melempar jumrah.

Dan dalil atas sahihnya pendapat kami adalah riwayat ‘Aṭā’ bin Abī Rabāḥ dari Ṣafiyyah bint Syaibah dari neneknya, Ḥabībah, ia berkata: Aku masuk bersama sekelompok perempuan dari Quraisy ke rumah keluarga Abī Ḥusain untuk melihat Rasulullah SAW yang sedang melakukan sa‘i antara ṣafā dan marwah, dan aku melihat beliau sedang sa‘i, dan sungguh kain sarung beliau berputar karena kerasnya sa‘i, sampai-sampai aku bisa melihat kedua lutut beliau. Dan aku mendengar beliau bersabda: “Lakukanlah sa‘i, karena sungguh Allah telah mewajibkan atas kalian sa‘i.”


فَدَلَّ هَذَا الْحَدِيثُ عَلَى وُجُوبِ السَّعْيِ وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لِعُمَرَ ” وَاللَّهِ مَا أَتَمَّ اللَّهُ حَجَّ مَنْ لَمْ يَسْعَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: {إنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ) {البقرة: 158) وَعَائِشَةُ لَا تُقْسِمُ عَلَى ذَلِكَ وَتَقْطَعُ بِهِ إِلَّا أَنَّ مَعْنَى الْآيَةِ غَيْرُ مُحْتَمَلٍ وَالتَّأْوِيلُ فِيهَا غَيْرُ سَائِغٍ، وَلِأَنَّ شَعَائِرَ اللَّهِ تَعَالَى وَاجِبَةٌ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {لاَ تُحِلُّوا شَعَائِر اللهِ) {المائدة: 2) وَلِأَنَّهُ مَشَيُ نُسُكٍ يَتَنَوَّعُ نَوْعَيْنِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ رُكْنًا كَالطَّوَافِ.

Maka hadis ini menunjukkan wajibnya sa‘i, dan Hisyām bin ‘Urwah meriwayatkan dari ayahnya dari ‘Āisyah, bahwa ia berkata kepada ‘Umar: “Demi Allah, tidak sempurna haji seseorang yang tidak sa‘i antara Shafā dan Marwah, karena Allah Ta‘ālā berfirman: {Sesungguhnya Shafā dan Marwah termasuk syi‘ar-syi‘ar Allah} (al-Baqarah: 158). Dan ‘Āisyah tidak bersumpah atas hal itu dan memastikan secara tegas kecuali karena makna ayat tersebut tidak mengandung kemungkinan lain dan tak mungkin dita’wilkan. Dan karena syi‘ar-syi‘ar Allah Ta‘ālā adalah perkara yang wajib, Allah Ta‘ālā berfirman: {Janganlah kalian melanggar syi‘ar-syi‘ar Allah} (al-Mā’idah: 2). Dan karena ia merupakan perjalanan dalam rangka nusuk yang memiliki dua bentuk, maka wajib menjadi rukun seperti ṭawāf.


وَمَعْنَى قَوْلِنَا: يَتَنَوَّعُ هُوَ أَنْ يَكُونَ فِي بَعْضِهِ مَاشِيًا وَفِي بَعْضِهِ سَاعِيًا، وَلِأَنَّهُ نُسُكٌ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ رُكْنًا مِنْ شَرَائِطِهَا كَالْإِحْرَامِ، وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ الْحَلْقُ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِنُسُكٍ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: أَنَّ ظَاهِرَ الْآيَةِ مَتْرُوكٌ؛ لِأَنَّهُ يَقْتَضِي رَفْعَ الْجَنَاحِ عَنْ تَرْكِ السَّعْيِ وَبِالْإِجْمَاعِ أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَسْعَ كَانَ حَرَجًا آثِمًا فَلَمْ يَصِحَّ الِاحْتِجَاجُ بِظَاهِرِهَا.

Dan makna perkataan kami “yatanawwa‘” adalah bahwa dalam sebagian sa‘i ia berjalan, dan dalam sebagian lainnya ia berlari kecil (sa‘y). Dan karena sa‘i adalah bagian dari nusuk dalam haji dan ‘umrah, maka wajiblah ia menjadi rukun dari syarat-syaratnya, seperti iḥrām. Dan tidak termasuk di dalamnya ḥalq (mencukur rambut), karena ḥalq bukanlah nusuk menurut salah satu dari dua pendapat.

Adapun jawaban terhadap ayat (al-Baqarah: 158) maka ada tiga sisi:

Pertama: Bahwa zahir ayat ditinggalkan, karena ia mengandung pengertian bahwa tidak ada keberatan atas meninggalkan sa‘i, padahal berdasarkan ijmak, apabila seseorang tidak melakukan sa‘i maka ia berdosa dan terkena haraj, maka tidak sah menjadikan zahir ayat sebagai hujjah.


وَالثَّانِي: أَنَّ مَا يَقْتَضِيهِ ظَاهِرُ الْآيَةِ مِنَ السَّعْيِ مُبَاحٌ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ، وَهُوَ السَّعْيُ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَالْوَاجِبُ إِنَّمَا هُوَ السَّعْيُ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، وَذَاكَ أَنَّ قُرَيْشًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ كَانَ لَهَا عَلَى الصَّفَا صَنَمٌ اسْمُهُ أَسَافُ وَعَلَى الْمَرْوَةِ صَنَمٌ اسْمُهُ نَائِلَةُ، وَلِذَلِكَ ذَكَرَ اسْمَ الصَّفَا بِإِسَافَ، لِأَنَّ اسْمَهُ مُذَكَّرٌ وَأُنِّثَتِ الْمَرْوَةُ لِأَنَّ اسْمَهَا مُؤَنَّثٌ، فَكَانُوا يَطُوفُونَ حَوْلَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ تَقَرُّبًا إِلَى الصَّنَمَيْنِ، فَكَرِهَ الْمُسْلِمُونَ الطَّوَافَ بِهِمَا، فَأَبَاحَ اللَّهُ تَعَالَى ذَلِكَ، لِزَوَالِ سَبَبِهِ وَإِنَّهُ وَإِنْ شَابَهَ أَفْعَالَ الْجَاهِلِيَّةِ فَإِنَّهُ مُخَالِفٌ لَهَا لِأَنَّ هَذَا لِلَّهِ وَذَلِكَ لِغَيْرِ اللَّهِ.

dan kedua: bahwa makna lahiriah ayat tersebut menunjukkan bahwa sa‘i itu mubah dan bukan wajib, yaitu sa‘i di Shafā dan Marwah. Adapun yang wajib adalah sa‘i antara Shafā dan Marwah. Hal itu karena pada masa jahiliah, kaum Quraisy memiliki berhala di atas Shafā yang bernama Asāf, dan di atas Marwah berhala yang bernama Nā’ilah. Oleh karena itu, Allah menyebut Shafā dengan bentuk mudzakkar karena nama Asāf mudzakkar, dan Marwah dalam bentuk mu’annats karena nama Nā’ilah mu’annats. Mereka bertawaf mengelilingi Shafā dan Marwah sebagai bentuk pendekatan kepada dua berhala tersebut. Maka kaum Muslimin membenci bertawaf di antara keduanya. Maka Allah Ta‘ālā membolehkannya, karena sebab kebencian itu telah hilang. Dan meskipun secara lahiriah serupa dengan perbuatan jahiliah, tetapi hakikatnya berbeda, karena ini untuk Allah, sedangkan yang itu untuk selain Allah.


وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ: وَهُوَ جَوَابُ الزُّبَيْرِيِّ هُوَ أَنَّ قَوْله تَعَالَى: {إنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ فَمَنْ حَجَّ البَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا) {البقرة: 158) وَهَذَا كَلَامٌ تَامٌّ أَيْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ فِي تَقْدِيمِ الْحَجِّ عَلَى الْعُمْرَةِ، أَوِ الْعُمْرَةِ عَلَى الْحَجِّ؛ لِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْرَهُونَ الْعُمْرَةَ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ ثُمَّ قَالَ: عَلَيْهِ أَنْ يَطُوفَ بِهِمَا، وَهَذَا كَلَامٌ مُسْتَأْنَفٌ أَيْ مَنْ حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ فَعَلَيْهِ أَنْ يَطُوفَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، وَأَمَّا قِرَاءَةُ الثَّلَاثَةِ ” فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَطَّوَّفَ بِهِمَا ” فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنْ لَا صِلَةَ فِي الْكَلَامِ إِذَا تَقَدَّمَهَا حُجَّةٌ كَمَا قال تعالى: {مَا مَنَعَكَ أَنْ لاَ تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ) {الأعراف: 12) مَعْنَاهُ مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ وَكَمَا قَالَ الشَّاعِرُ:

Dan jawaban yang ketiga—yaitu jawaban az-Zubairi—adalah bahwa firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya ṣafā dan marwah termasuk dari syi‘ar-syi‘ar Allah, maka barang siapa yang berhaji ke Baitullah atau ber‘umrah maka tidak ada dosa baginya untuk bertawaf di antara keduanya} (al-Baqarah: 158), ini adalah kalimat sempurna, yaitu: “tidak ada dosa baginya” dalam mendahulukan haji atas ‘umrah atau ‘umrah atas haji. Karena mereka dahulu membenci ‘umrah di bulan-bulan haji.

Kemudian firman-Nya: “‘alaihi an yattawaffa bihimā” (wajib atasnya untuk bertawaf di antara keduanya) adalah kalimat baru yang dimulai dari awal. Yakni, barang siapa yang berhaji atau ber‘umrah, maka wajib atasnya bertawaf antara ṣafā dan marwah.

Adapun qirā’ah dari tiga orang (qāri’) yang membaca: “fa lā junāḥa ‘alayhi an lā yattawwafa bihimā” (maka tidak ada dosa baginya untuk tidak bertawaf di antara keduanya), maka jawabannya adalah: tidak ada pengaruh pada kalimat tersebut apabila telah ada hujah sebelumnya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Apa yang menghalangimu untuk tidak sujud ketika Aku perintahkan kepadamu?} (al-A‘rāf: 12), maknanya adalah: “Apa yang menghalangimu untuk sujud ketika Aku perintahkan kepadamu?” Dan sebagaimana perkataan penyair:


(مَا كَانَ يَرْضَى رَسُولُ اللَّهِ فِعْلَهُمْ … وَالطَّيِّبَانِ أَبُو بكرٍ وَلَا عُمَرُ)
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزْ إِلَّا بَعْدَ الطَّوَافِ كَانَ تَبَعًا لِلطَّوَافِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ رُكْنًا كَالطَّوَافِ. قُلْنَا: هَذِهِ عِبْرَةٌ فَاسِدَةٌ وَحُجَّةٌ بَاطِلَةٌ؛ لِأَنَّ الطَّوَافَ لَا يَجُوزُ إِلَّا بَعْدَ الْوُقُوفِ وَهُوَ رُكْنٌ كَالْوُقُوفِ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الرَّمْيِ فَالْمَعْنَى فِي الرَّمْيِ أَنَّهُ تَابِعٌ لِلْوُقُوفِ بِدَلِيلِ سُقُوطِهِ عَمَّنْ فَاتَهُ الْوُقُوفُ وَالسَّعْيُ لَيْسَ بِتَابِعٍ لِلْوُقُوفِ بِدَلِيلِ وُجُوبِهِ عَلَى مَنْ فَاتَهُ الْوُقُوفُ فَلَمَّا كَانَ الرَّمْيُ تَابِعًا لَمْ يَكُنْ رُكْنًا، وَلَمَّا لَمْ يَكُنِ السَّعْيُ تَابِعًا كَانَ رُكْنًا.

(Tidaklah Rasulullah SAW meridai perbuatan mereka … dan dua orang yang baik, yaitu Abū Bakar dan ‘Umar, juga tidak meridainya)

Adapun perkataan mereka: karena sa‘i tidak boleh dilakukan kecuali setelah ṭawāf, maka sa‘i adalah ikutan dari ṭawāf, sehingga tidak boleh menjadi rukun sebagaimana ṭawāf, maka kami katakan: ini adalah analogi yang rusak dan hujah yang batil; karena ṭawāf sendiri tidak boleh dilakukan kecuali setelah wuqūf, dan ia tetap merupakan rukun sebagaimana wuqūf.

Adapun qiyās mereka dengan ramy, maka alasannya pada ramy adalah karena ia merupakan pengikut dari wuqūf, dengan dalil gugurnya ramy dari orang yang luput dari wuqūf. Sedangkan sa‘i bukanlah pengikut dari wuqūf, dengan dalil wajibnya sa‘i atas orang yang luput dari wuqūf. Maka ketika ramy adalah pengikut, ia tidak menjadi rukun, dan ketika sa‘i bukan pengikut, maka ia menjadi rukun


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ السَّعْيِ فَمِنْ شَرْطِ صِحَّتِهِ أَنْ يَتَقَدَّمَهُ الطَّوَافُ، وَهُوَ إِجْمَاعٌ لَيْسَ يُعْرَفُ فِيهِ خِلَافٌ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يَسْعَ قَطُّ إِلَّا عَقِيبَ طَوَافٍ، وَقَدْ طَافَ وَلَمْ يَسْعَ بَعْدَهُ، وَلَوْ جَازَ السَّعْيُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَقَدَّمَهُ طَوَافٌ لَفَعَلَهُ وَلَوْ مَرَّةً لِيَدُلَّ بِهِ عَلَى الْجَوَازِ، وَلِأَنَّ الطَّوَافَ بِالْبَيْتِ نُسُكٌ لَا يَقَعُ إِلَّا لِلَّهِ عَزَّ وجل فجاز فعله متفرداً، وَالسَّعْيُ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ قَدْ يُفْعَلُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِغَيْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أن يسعى بَيْنَهُمَا فِي حَاجَةٍ عَارِضَةٍ أَوْ أَمْرٍ سَانِحٍ فَافْتَقَرَ إِلَى طَوَافٍ يَتَقَدَّمُهُ لِيَمْتَازَ عَمَّا لِغَيْرِ اللَّهِ وَيَكُونَ خَالِصًا فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ مِنْ شَرْطِ صِحَّتِهِ تَقَدُّمَ الطَّوَافِ عَلَيْهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي جَوَازِ التَّرَاخِي بَيْنَهُمَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa sa‘i itu wajib, maka di antara syarat sahnya adalah didahului oleh ṭawāf, dan ini merupakan ijmak yang tidak diketahui adanya khilaf di kalangan para fuqaha. Karena Rasulullah SAW tidak pernah melakukan sa‘i kecuali setelah ṭawāf, dan beliau pernah melakukan ṭawāf tanpa melakukan sa‘i setelahnya. Seandainya sa‘i boleh dilakukan tanpa didahului oleh ṭawāf, tentu beliau akan melakukannya sekali saja untuk menunjukkan kebolehan tersebut.

Dan karena ṭawāf di Baitullah adalah nusuk yang tidak dilakukan kecuali karena Allah ‘azza wa jalla, maka boleh dilakukan secara tersendiri. Sedangkan sa‘i antara ṣafā dan marwah bisa dilakukan karena Allah ‘azza wa jalla dan juga bisa karena selain-Nya, seperti seseorang yang berjalan di antara keduanya karena keperluan tertentu atau urusan mendesak. Maka ia memerlukan ṭawāf yang mendahuluinya agar sa‘i itu bisa dibedakan dari yang dilakukan untuk selain Allah dan menjadi ikhlas semata-mata karena-Nya.

Maka apabila telah tetap bahwa di antara syarat sahnya adalah didahului oleh ṭawāf, para sahabat kami (ulama mazhab) berbeda pendapat tentang boleh tidaknya ada jeda (terlambat) antara keduanya menjadi dua pendapat:


أحدهما: وهو قول أصحابنا البغداديين أَنَّ التَّرَاخِيَ بَيْنَهُمَا يَجُوزُ، فَإِنْ سَعَى بَعْدَ طَوَافِهِ بِيَوْمٍ أَوْ شَهْرٍ أَجْزَأَ؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا رُكْنٌ، وَالْمُوَالَاةُ بَيْنَ أَرْكَانِ الْحَجِّ لَا تَجِبُ كَالْوُقُوفِ وَالطَّوَافِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قول أصحابنا البصريين أَنَّ التَّرَاخِيَ الْبَعِيدَ بَيْنَهُمَا غَيْرُ جَائِزٍ، وَأَنَّ فِعْلَ السَّعْيِ عَلَى الْفَوْرِ شَرْطٌ فِي صِحَّتِهِ، وَإِنْ بَعُدَ مَا بَيْنَهُمَا لَمْ يُجْزِهِ؛ لِأَنَّ السَّعْيَ لَمَّا افْتَقَرَ إِلَى تَقَدُّمِ الطَّوَافِ عَلَيْهِ لِيَمْتَازَ عَمَّا لِغَيْرِ اللَّهِ تَعَالَى افْتَقَرَ إِلَى فِعْلِهِ عَلَى الْفَوْرِ لِيَقَعَ بِهِ الِامْتِيَازُ عَمَّا لِغَيْرِ اللَّهِ تَعَالَى؛ لِأَنَّ الِامْتِيَازَ يُوجَدُ بِفِعْلِهِ عَلَى الْفَوْرِ وَلَا يُوجَدُ بِفِعْلِهِ عَلَى التَّرَاخِي، فَأَمَّا الطَّهَارَةُ مِنَ الْحَدَثِ وَالنَّجَسِ وَسَتْرِ العورة فليست شرطاً في السعي فإن كَانَتْ شَرْطًا فِي الطَّوَافِ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال لعائشة: ” افعلي ما يفعل الحاج غير أنك لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ، فَخَصَّ الطَّوَافَ بِالنَّهْيِ فَعُلِمَ أَنَّ السَّعْيَ غَيْرُ دَاخِلٍ فِي النَّهْيِ لَكِنَّ الْأَوْلَى أَنْ يَكُونَ طَاهِرَ الْأَعْضَاءِ مِنَ الْحَدَثِ وَالنَّجِسِ.

Pertama: yaitu pendapat para sahabat kami dari kalangan ulama Baghdad, bahwa jeda (tarākhī) antara ṭawāf dan sa‘i itu boleh. Jika seseorang melakukan sa‘i sehari atau sebulan setelah ṭawāf-nya, maka tetap sah; karena masing-masing dari keduanya adalah rukun, dan tidak disyaratkan muwaālah (berurutan langsung) antara rukun-rukun haji, sebagaimana antara wuqūf dan ṭawāf.

Pendapat kedua: yaitu pendapat sahabat-sahabat kami dari kalangan ulama Bashrah, bahwa jeda yang jauh antara keduanya tidak boleh, dan melakukan sa‘i secara langsung setelah ṭawāf adalah syarat sah-nya. Jika jaraknya terlalu jauh, maka tidak sah; karena ketika sa‘i disyaratkan harus didahului oleh ṭawāf agar berbeda dari apa yang dilakukan untuk selain Allah Ta‘ālā, maka disyaratkan pula dilakukannya secara langsung setelahnya agar perbedaan itu nyata dari perbuatan untuk selain Allah Ta‘ālā. Sebab perbedaan itu terwujud dengan pelaksanaan langsung, dan tidak terwujud dengan pelaksanaan yang ditunda.

Adapun bersuci dari ḥadas dan najis serta menutup aurat, maka itu bukan syarat untuk sa‘i, meskipun merupakan syarat untuk ṭawāf. Karena Rasulullah SAW bersabda kepada ‘Āisyah: “Lakukanlah sebagaimana dilakukan oleh orang yang berhaji, hanya saja engkau tidak boleh ṭawāf di Ka‘bah.” Maka beliau secara khusus melarang ṭawāf, sehingga diketahui bahwa sa‘i tidak termasuk dalam larangan tersebut. Namun yang lebih utama adalah bahwa anggota tubuhnya dalam keadaan suci dari ḥadas dan najis.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ تَقَدُّمَ الطَّوَافِ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ السَّعْيِ فَفَرَغَ مِنْ طَوَافِهِ وَعَادَ إِلَى اسْتِلَامِ الْحَجَرِ بَعْدَ صِلَاتِهِ خَرَجَ مِنْ بَابِ الصَّفَا؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَرَجَ إِلَى سَعْيِهِ مِنْهُ، وَلِأَنَّهُ أَقْصَدُ لَهُ، وَأَقْرَبُ عَلَيْهِ، ثُمَّ يَبْدَأُ بِالصَّفَا؛ لِرِوَايَةِ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا فَرَغَ مِنَ الطَّوَافِ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَلْفَ الْمَقَامِ، ثُمَّ عَادَ إِلَى الْحَجَرِ فَاسْتَلَمَهُ وَخَرَجَ مِنْ بَابِ الصَّفَا وَقَالَ إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ من شعائر الله فنبدأ بما بدأ الله به ” وروي أنه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” ابدأوا بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ ” ثُمَّ رَقِيَ عَلَى الصَّفَا. فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْبِدَايَةِ بِالصَّفَا فَيُخْتَارُ أن ترقى عَلَيْهِ كَمَا فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَيَنْتَهِي إِلَى مَوْضِعِ بِدَايَتِهِ بِالْبَيْتِ، ثُمَّ يَسْتَقْبِلُ الْبَيْتَ فَيُكَبِّرُ وَيَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ وَاللَّهِ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ صَدَقَ اللَّهُ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ. هَذَا مَرْوِيٌّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثُمَّ يَدْعُو بَعْدَهُ وَيُلَبِّي، إِنْ كَانَ حَاجًّا ثُمَّ يَقُولُ ذَلِكَ ثَانِيَةً وَيَدْعُو بَعْدَهُ بِمَا بَدَا لَهُ مِنْ دِينٍ وَدُنْيَا، ثُمَّ يَقُولُ ذَلِكَ ثَالِثَةً وَيَدْعُو بَعْدَهُ بِمَا سَنَحَ مِنْ دِينٍ وَدُنْيَا، وَيُخْتَارُ أَنْ يَكُونَ مِنْ دُعَائِهِ مَا رَوَى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَدْعُو بِهَؤُلَاءِ الدَعْوَاتِ عَلَى الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ: اللهم اعصمني بعينك وَطَوَاعِيَتِكَ وَطَوَاعِيَةِ رَسُولِكَ اللَّهُمَّ جَنِّبْنِي حُدُودَكَ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِمَّنْ يُحِبُّكَ وَيُحِبُّ مَلَائِكَتَكَ وَرُسُلَكَ وَعِبَادَكَ الصَالِحِينَ، اللَّهُمَّ حَبِّبْنِي إِلَيْكَ وَإِلَى مَلَائِكَتِكَ وَرُسُلِكَ وَعِبَادِكَ الصَّالِحِينَ اللَّهُمَّ آتِنِي مِنْ خَيْرِ مَا تُؤْتِي عِبَادَكَ الصَّالِحِينَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ اللَّهُمَّ يَسِّرْنِي لِلْيُسْرَى وَجَنِّبْنِي الْعُسْرَى وَاغْفِرْ لِي مِنَ الْآخِرَةِ وَالْأُولَى، اللَّهُمَّ أَوْزِعْنِي أَنْ أُوفِيَ بِعَهْدِكَ الَّذِي عَاهَدْتَنِي عَلَيْهِ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنْ أَئِمَّةِ الْمُتَّقِينَ وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَعِيمِ، وَاغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ.

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa ṭawāf yang mendahului adalah syarat sah sa‘i, maka setelah selesai dari ṭawāf-nya dan kembali ke ḥajar setelah salatnya, ia keluar melalui pintu ṣafā. Karena Rasulullah SAW keluar menuju sa‘i-nya dari pintu tersebut, dan karena itu lebih lurus dan lebih dekat baginya.

Kemudian ia memulai dari ṣafā, berdasarkan riwayat Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya dari Jābir bahwa Nabi SAW, ketika telah selesai dari ṭawāf, salat dua rakaat di belakang maqām, lalu kembali ke ḥajar dan menyentuhnya, lalu keluar dari pintu ṣafā, dan beliau bersabda:
 “Sesungguhnya ṣafā dan marwah termasuk dari syi‘ar-syi‘ar Allah, maka kita mulai dengan apa yang Allah mulaikan dengannya.”
 Dan diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Mulailah dengan apa yang Allah mulaikan dengannya,” kemudian beliau naik ke atas ṣafā.

Apabila telah tetap bahwa memulai dari ṣafā adalah wajib, maka disunnahkan untuk naik ke atasnya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW, dan berhenti pada tempat permulaan dari arah Baitullah, lalu menghadap ke Ka‘bah, kemudian bertakbir dan mengucapkan:

“Allāhu akbar, Allāhu akbar, Allāhu akbar, wa lillāhil-ḥamd, Allāhu akbar ‘alā mā hadānā. Lā ilāha illallāh waḥdahū lā syarīka lah. Lahul-mulku wa lahul-ḥamdu yuḥyī wa yumītu biyadihil-khayru wa huwa ‘alā kulli syay’in qadīr. Lā ilāha illallāh ṣadaqallāhu wa‘dah, wa naṣara ‘abdah, wa hazamal-aḥzāba waḥdah. Lā ilāha illallāh wa lā na‘budu illā iyyāh mukhliṣīna lahud-dīn wa law karihal-kāfirūn.”

Ini diriwayatkan dari Nabi SAW, kemudian ia berdoa setelah itu dan bertalbiyah jika ia sedang haji. Lalu ia mengulanginya kedua kalinya, kemudian berdoa lagi dengan apa pun yang terlintas dari urusan agama dan dunia. Kemudian ia mengucapkannya ketiga kalinya dan berdoa lagi dengan apa yang terlintas dari urusan agama dan dunia.

Disunnahkan dalam doanya membaca apa yang diriwayatkan Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau berdoa dengan doa-doa berikut di atas ṣafā dan marwah:

“Allāhumma‘iṣimnī bi‘aynika wa ṭawā‘iyyatika wa ṭawā‘iyyati rasūlika. Allāhumma jannibnī ḥudūdaka. Allāhummaj‘alnī mimman yuḥibbuka wa yuḥibbu malā’ikataka wa rusulaka wa ‘ibādakaṣ-ṣāliḥīn. Allāhumma ḥabbibnī ilayka wa ilā malā’ikatika wa rusulika wa ‘ibādikaṣ-ṣāliḥīn. Allāhumma ātinī min khayri mā tu’tī ‘ibādakaṣ-ṣāliḥīn fī ad-dunyā wal-ākhirah. Allāhumma yassirnī lil-yusrā wa jannibnī al-‘usrā, waghfir lī mina al-ākhirati wal-ūlā. Allāhumma awzi‘nī an ūfiyya bi‘ahdika alladzī ‘āhadtanī ‘alayh. Allāhummaj‘alnī min a’immatil-muttaqīn, waj‘alnī min warathati jannatin-na‘īm, waghfir lī khaṭī’atī yawma ad-dīn.”


فَصْلٌ
: ثُمَّ يَنْزِلُ مِنَ الصَّفَا فَيَمْشِي إِلَى الْمَرْوَةِ، حَتَّى إِذَا كَانَ دُونَ الْمِيلِ الْأَخْضَرِ الْمُعَلَّقِ فِي رُكْنِ الْمَسْجِدِ بِنَحْوِ مَنْ سِتَّةِ أَذْرُعٍ سَعَى سَعْيًا شَدِيدًا، حَتَّى يُحَاذِيَ الْمِيلَيْنِ الْأَخْضَرَيْنِ اللَّذَيْنِ بِفِنَاءِ الْمَسْجِدِ وَدَارَ الْعَبَّاسِ، ثُمَّ يَمْشِي حَتَّى يَرْقَى عَلَى الْمَرْوَةِ حَتَّى يَبْدُوَ لَهُ الْبَيْتُ إِنْ بَدَا لَهُ، ثُمَّ يَصْنَعُ عَلَيْهَا مِثْلَ مَا صَنَعَ عَلَى الصَّفَا مِنْ قَوْلٍ وَفِعْلٍ، وَقَدْ حصل له سَعْيٌ وَاحِدٌ وَلَيْسَ الصُّعُودُ عَلَى الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَاجِبًا وَإِنَّمَا الْوَاجِبُ أَنْ يَسْتَوْفِيَ مَا بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، وَقَالَ أَبُو حَفْصِ بْنُ الْوَكِيلِ الصُّعُودُ عَلَيْهِمَا وَاجِبٌ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُهُ أَنْ يَسْتَوْفِيَ الصُّعُودَ بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالصُّعُودِ عَلَيْهِمَا كَمَا لا يمكنه استيفاء غسل الوجه إلا بغسل شَيْءٍ مِنْ غَيْرِ الْوَجْهِ، وَلَا يَسْتُرُ الْعَوْرَةَ إِلَّا بِسَتْرِ مَا لَيْسَ بِعَوْرَةٍ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ يُخَالِفُ إِجْمَاعَ قَوْلِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَنَصَّ الْمَذْهَبِ، فَأَمَّا إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ فَمَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: أَخْبَرَنِي مَنْ رَأَى عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُومُ فِي فَرْضٍ فِي أَسْفَلِ الصَّفَا وَلَا يَظْهَرُ عَلَيْهِ، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ أَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ فَثَبَتَ أَنَّهُ إِجْمَاعٌ.

PASAL
 Kemudian ia turun dari Shafā lalu berjalan menuju Marwah, hingga ketika sampai sekitar enam hasta sebelum mīl hijau yang tergantung di sudut masjid, ia berlari kecil dengan lari yang kuat (sa‘y syadīd) hingga sejajar dengan dua mīl hijau yang berada di pelataran masjid dan dekat Dār al-‘Abbās, kemudian berjalan hingga naik ke atas Marwah sampai Ka‘bah tampak olehnya jika memang tampak, lalu ia melakukan di atas Marwah seperti yang ia lakukan di Shafā berupa ucapan dan perbuatan. Maka itu terhitung satu putaran sa‘i.

Dan menaiki Shafā dan Marwah tidaklah wajib. Yang wajib hanyalah menyempurnakan jarak antara Shafā dan Marwah.

Abū Ḥafṣ bin al-Wakīl berpendapat bahwa naik ke atas keduanya itu wajib, karena tidak mungkin menyempurnakan jarak antara keduanya kecuali dengan menaiki keduanya, sebagaimana tidak mungkin menyempurnakan basuhan wajah kecuali dengan membasuh sedikit dari bagian luar wajah, dan tidak bisa menutup aurat kecuali dengan menutup sebagian yang bukan aurat.

Namun pendapat ini bertentangan dengan ijmak sahabat dan nash mazhab. Adapun ijmak sahabat adalah sebagaimana diriwayatkan oleh al-Syāfi‘ī dari Sufyān dari Ibn Abī Najīḥ dari ayahnya, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku orang yang melihat ‘Utsmān bin ‘Affān RA berdiri pada posisi wajib di bagian bawah Shafā dan tidak naik ke atasnya, dan tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang mengingkari hal tersebut. Maka hal itu ditetapkan sebagai ijmak.


فَأَمَّا قَوْلُهُ: إِنَّهُ لَا يمكنه استيفاء ما بينهما إلا بالصعود عليهما فَغَلَطٌ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يُمْكِنُهُ أَنْ يُلْصِقَ عَقِبَهُ بِالصَّفَا ثُمَّ يَسْعَى فَإِذَا انْتَهَى إِلَى الْمَرْوَةِ أَلْصَقَ أَصَابِعَ قَدَمَيْهِ بِالْمَرْوَةِ فَيَسْتَوْفِي مَا بَيْنَهُمَا وَإِنْ لَمْ يَصْعَدْ عَلَيْهِمَا.

Adapun perkataannya bahwa tidak mungkin menyempurnakan jarak antara keduanya kecuali dengan naik ke atas keduanya, maka itu keliru. Karena bisa saja ia menempelkan tumitnya pada ṣafā lalu melakukan sa‘i, kemudian ketika sampai di marwah ia menempelkan ujung jari-jari kakinya pada marwah, maka ia telah menyempurnakan jarak antara keduanya meskipun ia tidak naik ke atas keduanya.


فَصْلٌ
: ثُمَّ يَنْزِلُ مِنَ الْمَرْوَةِ فَيَمْشِي إِلَى الصَّفَا حَتَّى يَنْتَهِيَ إِلَى الْمِيلَيْنِ الْأَخْضَرَيْنِ اللَّذَيْنِ قَطَعَ عِنْدَهُمَا السَّعْيَ حِينَ أَقْبَلَ مِنَ الصَّفَا، فَيَسْعَى سَعْيًا شَدِيدًا حَتَّى يَنْتَهِيَ إِلَى وَرَاءِ الْمِيلِ الْأَخْضَرِ بِنَحْوٍ مِنْ سِتَّةِ أَذْرُعٍ، وَهُوَ الْمَكَانُ الَّذِي بَدَأَ بِالسَّعْيِ مِنْهُ حِينَ أَقْبَلَ مِنَ الصَّفَا، فَيَقْطَعُ السَّعْيَ مِنْهُ وَيَمْشِي حَتَّى يَنْتَهِيَ إِلَى الصَّفَا، وَيُخْتَارُ أَنْ يَقُولَ فِي سَعْيِهِ الشَّدِيدِ بَيْنَ الْمِيلَيْنِ ” رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَتَجَاوَزْ عَمَّا تَعْلَمْ إِنَكَ أَنْتَ الْأَعَزُ الْأَكْرَمُ تَعْلَمُ مَا لَا نَعْلَمُ ” فَقَدْ رُوِيَ ذَلِكَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فَإِذَا انْتَهَى إِلَى الصَّفَا رَقِيَ عَلَيْهِ وَصَنَعَ مِثْلَ مَا صَنَعَ مِنْ قَبْلُ، وَقَدْ حَصَلَ لَهُ سَعْيَانِ: السَّعْيُ الْأَوَّلُ مِنَ الصَّفَا إِلَى الْمَرْوَةِ، وَالسَّعْيُ الثَّانِي مِنَ الْمَرْوَةِ إِلَى الصَّفَا؛ لِأَنَّ الذَّهَابَ سَعْيٌ وَالْعَوْدَ سَعْيٌ، هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَسَائِرِ الْفُقَهَاءِ وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ أَنَّ سَعْيَهُ مِنَ الصَّفَا إِلَى الْمَرْوَةِ وَعَوْدَهُ مِنَ الْمَرْوَةِ إِلَى الصَّفَا سَعْيٌ وَاحِدٌ فَيَكُونُ أَوَّلُ سَعْيِهِ مِنَ الصَّفَا وَانْتِهَاؤُهُ إِلَيْهِ فَيَفْعَلُ هَذَا سَبْعًا يَبْدَأُ بِالصَّفَا وَيَخْتِمُ بِالصَّفَا، وَبِهِ قَالَ مِنْ أَصْحَابِنَا أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ وَأَبُو بَكْرٍ الصَّيْرَفِيُّ لِأَنَّ الطَّوَافَ لَمَّا كَانَ ابْتِدَاؤُهُ مِنَ الْحَجَرِ وَانْتِهَاؤُهُ إِلَيْهِ وَكَانَ ابْتِدَاءُ السَّعْيِ مِنَ الصَّفَا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ انْتِهَاؤُهُ إِلَيْهِ وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ خَطَأٌ قَبِيحٌ؛ لِأَنَّ السَّعْيَ أَمْرٌ مُسْتَفِيضٌ فِي الشَّرْعِ يَنْقُلُهُ الْخَاصَّةُ وَالْعَامَّةُ خَلَفٌ عَنْ سَلَفٍ لَيْسَ بَيْنَهُمْ فِيهِ تَنَازُعٌ أَنَّهُمْ يَبْدَؤُونَ بِالصَّفَا وَيَخْتِمُونَ بِالْمَرْوَةِ فَكَانَ ذَلِكَ إِجْمَاعًا مِنْهُمْ كَإِجْمَاعٍ عَلَى أَنَّ الظُّهْرَ أَرْبَعٌ وَالْعَصْرَ أَرْبَعٌ.

PASAL
 Kemudian ia turun dari Marwah, lalu berjalan menuju Shafā sampai tiba di dua mīl hijau tempat ia memulai lari ketika datang dari Shafā, maka ia berlari dengan lari yang kuat hingga melewati mīl hijau sekitar enam hasta, yaitu tempat ia memulai sa‘i ketika datang dari Shafā, maka ia menyudahi lari dari situ lalu berjalan hingga sampai ke Shafā.

Disunnahkan untuk mengucapkan dalam lari cepatnya di antara dua mīl hijau:
 “Rabbi ighfir warḥam watajāwaz ‘ammā ta‘lam, innaka anta al-a‘azzu al-akram, ta‘lamu mā lā na‘lam.”
 (Duhai Rabb, ampunilah, rahmatilah, dan maafkanlah apa yang Engkau ketahui, sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Maha Pemurah, Engkau mengetahui apa yang kami tidak ketahui).
 Hal ini telah diriwayatkan dari Nabi SAW.

Jika ia telah sampai ke Shafā, maka ia naik ke atasnya dan melakukan seperti apa yang telah ia lakukan sebelumnya. Maka baginya telah didapatkan dua putaran sa‘i:

  • Sa‘i pertama dari Shafā ke Marwah,


  • Sa‘i kedua dari Marwah ke Shafā,


karena pergi adalah sa‘i, dan kembali juga sa‘i. Inilah mazhab al-Syāfi‘ī dan seluruh fuqahā’.

Diriwayatkan dari Ibn Jurayj bahwa sa‘i-nya dari Shafā ke Marwah dan kembalinya dari Marwah ke Shafā dihitung sebagai satu sa‘i, sehingga awal sa‘i-nya dimulai dari Shafā dan diakhirinya di Shafā, dan ia melakukannya sebanyak tujuh kali—dimulai dari Shafā dan diakhiri di Shafā.

Pendapat ini diikuti oleh sebagian sahabat kami seperti Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī dan Abū Bakr aṣ-Ṣayrafī. Mereka berdalil bahwa sebagaimana ṭawāf dimulai dari Ḥajar dan diakhiri di situ pula, maka sa‘i yang dimulai dari Shafā semestinya diakhiri di Shafā pula.

Namun pendapat ini adalah kesalahan yang buruk, karena sa‘i adalah perkara yang masyhur dalam syariat, dinukil secara mutawatir dari generasi ke generasi, baik dari kalangan khusus maupun umum, tanpa ada perselisihan di antara mereka bahwa sa‘i dimulai dari Shafā dan diakhiri di Marwah. Maka hal ini merupakan ijmak dari mereka, sebagaimana ijmak bahwa salat ẓuḥr empat rakaat dan salat ‘aṣr empat rakaat.


وَأَمَّا مَا اسْتَشْهَدُوا بِهِ مِنَ الطَّوَافِ فَهُوَ حُجَّةٌ عَلَيْهِمْ؛ لِأَنَّ الْوَاجِبَ فِي الطَّوَافِ اسْتِيفَاءُ جَمِيعِ الْبَيْتِ فِي كُلِّ طَوْفَةٍ وَذَلِكَ مِنَ الْحَجَرِ فَأَوْجَبْنَاهُ عَلَيْهِ، وَالْوَاجِبُ فِي السَّعْيِ اسْتِيفَاءُ جَمِيعِ الْمَسْعَى وَذَلِكَ مِنَ الصَّفَا إِلَى الْمَرْوَةِ فَأَوْجَبْنَاهُ عَلَيْهِ.

Adapun dalil yang mereka jadikan sebagai sandaran dari ṭawāf, maka justru itu adalah hujjah atas mereka. Karena yang wajib dalam ṭawāf adalah menyempurnakan seluruh keliling Ka‘bah dalam setiap putaran, dan itu dimulai dari ḥajar (Aswad), maka kami mewajibkan hal itu atasnya. Dan yang wajib dalam sa‘i adalah menyempurnakan seluruh mas‘ā, yaitu dari ṣafā hingga marwah, maka kami juga mewajibkan hal itu atasnya.

 

فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ السَّعْيُ الْوَاحِدُ هُوَ مِنَ الصفا إلى المروة وأو الرُّجُوعُ مِنَ الْمَرْوَةِ إِلَى الصَّفَا سَعْيٌ ثَانٍ فَعَلَيْهِ إِكْمَالُ سَعْيِهِ سَبْعًا، يَبْدَأُ فِي الْأَوَّلِ مِنَ الصَّفَا إِلَى الْمَرْوَةِ وَفِي الثَّانِي مِنَ الْمَرْوَةِ إِلَى الصَّفَا، وَفِي الثَّالِثِ مِنَ الصَّفَا إِلَى الْمَرْوَةِ، وَفِي الرَّابِعِ مِنَ الْمَرْوَةِ إِلَى الصَّفَا، وَفِي الْخَامِسِ مِنَ الصَّفَا إِلَى الْمَرْوَةِ، وَفِي السَّادِسِ مِنَ الْمَرْوَةِ إِلَى الصَّفَا وَفِي السَّابِعِ مِنَ الصَّفَا إِلَى الْمَرْوَةِ فَيَكُونُ مُبْتَدِئًا فِي الْأَوَّلِ مِنَ الصَّفَا وَخَاتِمًا فِي السَّابِعِ بِالْمَرْوَةِ، فَإِنْ خَالَفَ فَنَكَسَ سَعْيَهُ فَبَدَأَ فِي الْأَوَّلِ بِالْمَرْوَةِ وَخَتَمَ فِي السَّابِعِ بِالصَّفَا لَمْ يُجْزِهِ السَّعْيُ الْأَوَّلُ؛ لِأَنَّهُ بَدَأَ فِيهِ بِالْمَرْوَةِ وَجَعَلَ الثَّانِيَ أَوَّلًا لِأَنَّهُ بَدَأَ فِيهِ بِالصَّفَا وَاحْتَسَبَ بِمَا يَلِيهِ لِأَنَّهُ عَلَى التَّرْتِيبِ فَيَحْصُلُ لَهُ سِتَّةٌ وَيَبْقَى عَلَيْهِ السَّابِعُ فَيَبْدَأُ فِيهِ بِالصَّفَا وَيَخْتِمُ بِالْمَرْوَةِ وَقَدْ أَكْمَلَ سَعْيَهُ وَأَجْزَأَهُ.

PASAL
 Apabila telah ditetapkan bahwa satu kali sa‘i adalah dari ṣafā ke marwah, dan kembali dari marwah ke ṣafā adalah sa‘i kedua, maka wajib baginya menyempurnakan sa‘i-nya sebanyak tujuh kali. Dimulai pada yang pertama dari ṣafā ke marwah, yang kedua dari marwah ke ṣafā, yang ketiga dari ṣafā ke marwah, yang keempat dari marwah ke ṣafā, yang kelima dari ṣafā ke marwah, yang keenam dari marwah ke ṣafā, dan yang ketujuh dari ṣafā ke marwah. Maka ia memulai pada yang pertama dari ṣafā dan mengakhiri yang ketujuh di marwah.

Jika ia menyelisihi dan membalik urutan sa‘i-nya, lalu memulai yang pertama dari marwah dan mengakhirinya yang ketujuh di ṣafā, maka sa‘i yang pertama tidak sah karena ia memulainya dari marwah, dan ia menjadikan yang kedua sebagai permulaan karena dimulai dari ṣafā, dan ia menghitung apa yang setelahnya karena itu sesuai urutan, sehingga terhitung enam kali dan tersisa atasnya yang ketujuh. Maka ia memulai yang ketujuh dari ṣafā dan mengakhirinya di marwah, dan ia pun telah menyempurnakan sa‘i-nya dan sa‘i-nya sah.


وَقَالَ أبو حنيفة: إِذَا نَكَسَ سَعْيَهُ لَمْ يُجْزِهِ وَعِنْدَهُ أَنَّ السَّعْيَ لَيْسَ بِرُكْنٍ، وَلَوْ نَكَسَ الطَّوَافَ أَجْزَأَهُ وَهُوَ رُكْنٌ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ غَيْرُ صَحِيحٍ فِي الطَّوَافِ وَالسَّعْيِ، أَمَّا الطَّوَافُ فَلَا يُجْزِئُهُ إِذَا نَكَسَهُ لِمَا مَضَى، وَأَمَّا السَّعْيُ فَيُجْزِئُهُ لِزَوَالِ التَّنْكِيسِ وَحُصُولِ التَّرْتِيبِ بما بينهما.

Abu Ḥanīfah berkata: Jika seseorang membalik urutan sa‘i-nya, maka tidak sah, padahal menurutnya sa‘i bukan rukun. Namun jika ia membalik urutan ṭawāf, maka sah, padahal ṭawāf adalah rukun. Dan apa yang dikatakannya ini tidaklah sah, baik dalam ṭawāf maupun sa‘i.

Adapun ṭawāf, maka tidak sah jika dibalik urutannya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Adapun sa‘i, maka sah dilakukan meskipun urutannya sempat terbalik, karena hilangnya bentuk tanḳīs dan tercapainya tertib (urutan) dengan apa yang terjadi di antara awal dan akhir sa‘i-nya.


فَصْلٌ
: وَكَذَا الْحُكْمُ فِيمَا نَسِيَهُ مِنَ السَّبْعَةِ فَلَوْ نَسِيَ السَّعْيَ السَّابِعَ احْتُسِبَ لَهُ بِالسِّتَّةِ وَأَتَى بِالسَّابِعِ مِنَ الصَّفَا وَخَتَمَ بِالْمَرْوَةِ وَلَوْ نَسِيَ السَّعْيَ السَّادِسَ وَسَعَى السَّابِعَ احْتُسِبَ بِخَمْسَةٍ وَلَمْ يُحْتَسَبْ بِالسَّابِعِ لِأَنَّ التَّرْتِيبَ فِي السَّعْيِ وَاجِبٌ فَلَمْ يُحْتَسَبْ بِالسَّابِعِ الَّذِي يَبْدَأُ مِنْهُ بِالصَّفَا وَيَخْتِمُ بِالْمَرْوَةِ إِلَّا أَنْ يَتَقَدَّمَهُ السَّادِسُ الَّذِي يَبْدَأُ مِنْهُ بِالْمَرْوَةِ وَيَخْتِمُ بِالصَّفَا، فَلَمَّا نَسِيَ السَّادِسَ لَمْ يَحْصُلِ التَّرْتِيبُ فِي السَّابِعِ وَلَزِمَهُ أَنْ يَسْعَى السَّعْيَ السَّادِسَ يَبْدَأُ فِيهِ بالمروة ويختم بالصفا، وبسعي السَّابِعِ يَبْدَأُ فِيهِ بِالصَّفَا وَيَخْتِمُ بِالْمَرْوَةِ، فَلَوْ نَسِيَ الْخَامِسَ لَمْ يَعْتَدَّ بِالسَّادِسِ، وَجَعَلَ السَّابِعَ خَامِسًا وَأَكْمَلَ ذَلِكَ سَبْعًا.

PASAL
 Demikian pula hukum bagi jumlah putaran yang dilupakan dari tujuh kali sa‘i. Maka jika ia lupa sa‘i yang ketujuh, maka enam putaran sebelumnya tetap dihitung baginya, dan ia cukup menambah putaran ketujuh dari ṣafā dan menutupnya di marwah.

Namun jika ia lupa putaran keenam dan langsung melakukan yang ketujuh, maka hanya dihitung lima putaran, dan yang ketujuh tidak dihitung. Karena urutan dalam sa‘i adalah wajib, maka tidak dihitung putaran ketujuh yang dimulai dari ṣafā dan ditutup di marwah, kecuali jika didahului oleh putaran keenam yang dimulai dari marwah dan ditutup di ṣafā. Maka ketika ia lupa putaran keenam, tidaklah diperoleh urutan pada putaran ketujuh.

Ia wajib mengulangi putaran keenam yang dimulai dari marwah dan ditutup di ṣafā, lalu dilanjutkan dengan putaran ketujuh yang dimulai dari ṣafā dan ditutup di marwah.

Maka jika ia lupa putaran kelima, maka putaran keenam tidak dihitung, dan ia jadikan putaran ketujuh sebagai putaran kelima, lalu ia sempurnakan sa‘i-nya menjadi tujuh putaran.


فَصْلٌ
: وَكَذَا الْحُكْمُ إِذَا تَرَكَ شَيْئًا مِنَ السَّعْيِ لَمْ يَسْتَوْفِهِ فِي سَعْيِهِ، فَلَوْ تَرَكَ ذِرَاعًا مِنَ السَّعْيِ لم يسر فيه فِي سَعْيِهِ، فَلَوْ تَرَكَ ذِرَاعًا مِنَ السَّعْيِ السابع فهذا على ثلاثة أقاويل:
أحدهما: أَنْ يَكُونَ مِنْ آخِرِهِ مِنْ نَاحِيَةِ الْمَرْوَةِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مِنْ أَوَّلِهِ مِنْ نَاحِيَةِ الصَّفَا.

PASAL
 Demikian pula hukum apabila seseorang meninggalkan sebagian dari sa‘i dan tidak menyempurnakannya dalam sa‘i-nya. Jika ia meninggalkan satu hasta dari sa‘i, tidak berjalan padanya dalam sa‘i-nya, maka jika yang ditinggalkan itu satu hasta dari sa‘i ketujuh, maka hal ini memiliki tiga pendapat:
 Pertama: bahwa yang ditinggalkan itu dari bagian akhirnya, dari arah marwah.
 Kedua: bahwa yang ditinggalkan itu dari bagian awalnya, dari arah ṣafā.


وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ مِنْ وَسَطِهِ، فَإِنْ كَانَ مِنْ آخِرِهِ عَادَ فَأَتَى بِهِ وَأَجْزَأَهُ، فَإِنْ رَجَعَ إِلَى بَلَدِهِ قَبْلَ الْإِتْيَانِ بِهِ كَانَ عَلَى إِحْرَامِهِ. وَإِنْ كَانَ مِنْ أَوَّلِهِ عَادَ فَأَتَى بِالسَّعْيِ كُلِّهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يُحْتَسَبُ بِآخِرِهِ إِلَّا بَعْدَ حُصُولِ أَوَّلِهِ، وَيَكُونُ كَمَنْ تَرَكَ آيَةً مِنَ الْفَاتِحَةِ فَيَلْزَمُهُ اسْتِئْنَافُهَا، وَإِنْ كَانَ مَا تَرَكَهُ مِنْ وَسَطِ الْمَسْعَى احْتَسَبَ مَا تَقَدَّمَ وَأَتَى بِمَا تَرَكَهُ وَأَعَادَ مَا بَعْدَهُ، فَلَوْ تَرَكَ ذِرَاعًا مِنَ السَّعْيِ السَّادِسِ لَمْ يُحْتَسَبْ بِالسَّابِعِ؛ لِأَنَّهُ فَعَلَهُ قَبْلَ كَمَالِ السَّادِسِ وَكَانَ الْحُكْمُ فِي السَّادِسِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا، فَلَوْ سَعَى ثُمَّ تَيَقَّنَ أَنَّهُ تَرَكَ شَيْئًا مِنْ طَوَافِهِ لَمْ يُكْمِلْهُ عَادَ فَأَتَمَّ طَوَافَهُ وَأَعَادَ سَعْيَهُ لِأَنَّ السَّعْيَ لَا يَصِحُّ إِلَّا بَعْدَ إِكْمَالِ الطَّوَافِ فَلَوْ فَرَّقَ سَعْيَهُ فَسَعَى سَبْعًا فِي سَبْعَةِ أَوْقَاتٍ، فَإِنْ كَانَ تَفَرُّقًا قَرِيبًا أَجْزَأَهُ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا فَإِنْ قِيلَ بِجَوَازِهِ فِي الطَّوَافِ فَفِي السَّعْيِ أَجْوَزُ، وَإِنْ قِيلَ فِي الطَّوَافِ لَا يَجُوزُ فَفِي جَوَازِهِ فِي السَّعْيِ وَجْهَانِ:

PASAL
 Ketiga: Jika yang tertinggal dari sa‘i itu bagian tengahnya, maka jika yang tertinggal adalah bagian akhirnya, ia kembali untuk melakukannya, dan itu mencukupi. Namun jika ia sudah kembali ke negerinya sebelum melakukannya, maka ia masih dalam keadaan iḥrām.

Jika yang tertinggal adalah bagian awalnya, maka ia wajib kembali dan mengulangi seluruh sa‘i, karena bagian akhirnya tidak dihitung kecuali setelah bagian awalnya lengkap. Hal ini seperti orang yang meninggalkan satu ayat dari al-Fātiḥah, maka ia wajib mengulanginya dari awal.

Dan jika yang tertinggal adalah bagian tengah dari mas‘ā, maka apa yang telah dilakukannya sebelumnya tetap dihitung, dan ia wajib menyempurnakan yang tertinggal, lalu mengulang bagian setelahnya. Maka seandainya ia meninggalkan sejengkal dari sa‘i keenam, maka sa‘i ketujuh tidak dihitung, karena dilakukan sebelum sempurnanya putaran keenam. Dan hukum pada putaran keenam adalah sebagaimana yang telah disebutkan.

Jika ia telah melakukan sa‘i, kemudian ia yakin bahwa ia meninggalkan sebagian dari ṭawāf-nya dan belum menyempurnakannya, maka ia wajib kembali untuk menyempurnakan ṭawāf-nya dan mengulangi sa‘i-nya, karena sa‘i tidak sah kecuali setelah ṭawāf sempurna.

Jika ia memisah sa‘i-nya, misalnya melakukan tujuh putaran dalam tujuh waktu yang berbeda, maka:
 – Jika pemisahan itu waktunya berdekatan, maka itu sah.
 – Jika pemisahannya lama, maka jika dikatakan boleh dalam ṭawāf, maka dalam sa‘i lebih boleh lagi.
 – Namun jika dikatakan ṭawāf tidak boleh dipisah lama, maka dalam sa‘i terdapat dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ مِنْ أَصْحَابِنَا لَا يَجُوزُ كَالطَّوَافِ.
وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْبَغْدَادِيِّينَ يَجُوزُ؛ لِأَنَّ السَّعْيَ أَخَفُّ حَالًا مِنَ الطَّوَافِ لِجَوَازِهِ بِغَيْرِ طَهَارَةٍ، فَلَوْ سَعَى رَاكِبًا أَوْ مَحْمُولًا أَجْزَأَهُ، وَإِنْ كَانَ سَعْيُهُ مَاشِيًا أَحَبَّ إِلَيْنَا وَرُكُوبُهُ فِي السَّعْيِ أيسر من ركوبه في الطواف.

Pertama: yaitu pendapat ashḥāb kami dari kalangan Baṣriyyīn, tidak boleh sebagaimana ṭawāf.
 Kedua: yaitu pendapat Baghdādiyyīn, boleh; karena sa‘i lebih ringan kedudukannya daripada ṭawāf, sebab sah dilakukan tanpa ṭahārah. Maka jika ia melakukan sa‘i dengan berkendara atau digendong, maka itu sah. Namun jika sa‘i-nya dilakukan dengan berjalan kaki, itu lebih kami sukai. Dan berkendara dalam sa‘i lebih ringan dibandingkan berkendara dalam ṭawāf.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ مُعْتَمِرًا وَكَانَ مَعَهُ هَدْيٌ نَحَرَ وَحَلَقَ أَوْ قَصَّرَ وَالْحَلْقُ أَفْضَلُ وَقَدْ فَرَغَ مِنَ الْعُمْرَةِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْعُمْرَةُ فَهِيَ الإحرام والطواف والسعي والحلاق رُكْنٌ وَالطَّوَافُ رُكْنٌ وَالسَّعْيُ رُكْنٌ وَفِي الْحِلَاقِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: نُسُكٌ يُتَحَلَّلُ بِهِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لَتَدْخُلُنَّ الْبَيْتَ الحَرَامِ إنْ شَاءَ اللهُ آمِنينَ مُحَلِّقِينَ رُؤُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ) {الفتح: 27) فَوَصَفَ نُسَكَهُمْ بِالْحِلَاقِ أَوِ التَّقْصِيرِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ نُسُكٌ، وَرَوَى أَبُو بَكْرِ بن حزم عن عمر عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا رَمَيْتُمْ وَحَلَقْتُمْ فَقَدْ حَلَّ لَكُمُ الطِّيبُ وَاللِّبَاسُ وَكُلُّ شَيْءٍ إِلَّا النَسَاءَ ” وَلِأَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دَعَا لِلْمُحَلِّقِينَ ثَلَاثًا وَلِلْمُقَصِّرِينَ مَرَّةً، فَلَمَّا مَيَّزَهُ عَنِ الطِّيبِ وَاللِّبَاسِ فِي الدُّعَاءِ لِفَاعِلِهِ وَالتَّنْبِيهِ عَلَى فَضِيلَتِهِ وَجَعَلَ ثَوَابَ الْحَالِقِ أَكْثَرَ مِنْ ثواب المقصر على أَنَّهُ مُخَالِفٌ لِسَائِرِ الْمُبَاحَاتِ بَعْدَ الْحَظْرِ فَثَبَتَ أَنَّهُ نُسُكٌ وَهَذَا أَشْبَهُ بِالظَّاهِرِ.

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i RA berkata:
 “Jika seseorang sedang berumrah dan ia membawa hady, maka ia menyembelihnya, lalu mencukur atau memendekkan rambutnya, dan mencukur itu lebih utama, maka sungguh ia telah menyelesaikan ‘umrah-nya.”

Al-Māwardī berkata:
 Adapun ‘umrah, maka ia adalah iḥrām, ṭawāf, sa‘i, dan ḥalaq. Iḥrām adalah rukun, ṭawāf adalah rukun, sa‘i adalah rukun. Dan dalam ḥalaq terdapat dua pendapat:

Pertama: Ia adalah nusuk (ibadah) yang dengannya seseorang bertahallul, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:
 “…Sungguh kalian akan masuk ke Bait al-Ḥarām—insya Allah—dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kalian dan memendekkannya…”

Ayat ini menyifati nusuk mereka dengan ḥalaq atau taqṣīr, maka ini menunjukkan bahwa hal itu adalah nusuk.

Dan Abū Bakr bin Ḥazm meriwayatkan dari ‘Umar dari ‘Ā’isyah dari Nabi SAW, beliau bersabda:
 “Jika kalian telah melempar (jumrah) dan mencukur (rambut kalian), maka telah halal bagi kalian wewangian, pakaian, dan segala sesuatu kecuali wanita.”

Dan karena Nabi SAW mendoakan orang-orang yang mencukur rambut tiga kali, sedangkan untuk yang memendekkan hanya sekali. Maka, ketika beliau membedakannya dalam doa dari wewangian dan pakaian, serta menunjukkan keutamaannya, dan menjadikan pahala mencukur lebih besar dari memendekkan, maka ini menunjukkan bahwa ḥalaq itu berbeda dari hal-hal yang sekadar dibolehkan setelah larangan. Maka tetaplah bahwa ḥalaq itu adalah nusuk, dan inilah yang lebih sesuai dengan ẓāhir.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ إِبَاحَةٌ بَعْدَ حَظْرٍ وَهُوَ أَقْيَسُ، لِقَوْلِهِ تعالى: {وَلاَ تَحْلِقُوا رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الهَدْيُ مَحِلَّهُ) {البقرة: 196) فَحَظَرَ الْحَلْقَ وَجَعَلَ لِحَظْرِهِ غَايَةً وَهُوَ التَّحَلُّلُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ نُسُكًا يَقَعُ بِهِ التَّحَلُّلُ، وَلِأَنَّ الْأَمْرَ الْوَارِدَ بَعْدَ الْحَظْرِ يَقْتَضِي الْإِبَاحَةَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَإذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا) {المائدة: 2) فَكَذَا الْأَمْرُ بالحق بَعْدَ تَقَدُّمِ حَظْرِهِ يَقْتَضِي الْإِبَاحَةَ، وَلِأَنَّ كُلَّ شَيْءٍ لَوْ فَعَلَهُ فِي غَيْرِ وَقْتِهِ لَزِمَتْهُ الْفِدْيَةُ لَمْ يَكُنْ فِعْلُهُ فِي وَقْتِهِ نُسُكًا كَالطِّيبِ وَاللِّبَاسِ وَتَقْلِيمِ الْأَظَافِرِ، وَيَنْعَكِسُ بِالرَّمْيِ وَالطَّوَافِ وَالسَّعْيِ مِنْ حَيْثُ كَانَ نُسُكًا فِي وَقْتِهِ لَمْ تَجِبْ فِيهِ الْفِدْيَةُ بِتَقَدُّمِهِ قَبْلَ وَقْتِهِ فَلَمَّا كَانَ الْحَلْقُ مُوجِبًا لِلْفِدْيَةِ قَبْلَ وَقْتِهِ ثَبَتَ أَنَّهُ لَيْسَ بِنُسُكٍ فِي وَقْتِهِ.

Dan pendapat kedua: bahwa (mencukur rambut) adalah kebolehan setelah larangan, dan ini yang paling sesuai dengan qiyās, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Dan janganlah kalian mencukur kepala kalian sampai hadyu sampai pada tempat sembelihannya” (al-Baqarah: 196), maka Allah melarang mencukur dan menjadikan larangan itu memiliki batas akhir, yaitu taḥallul, maka tidak boleh mencukur menjadi suatu nusuk (ibadah) yang dengan melakukannya seseorang menjadi taḥallul.

Dan karena perintah yang datang setelah larangan menunjukkan kebolehan, sebagaimana firman Allah Ta‘ālā: “Apabila kalian telah bertahallul maka berburu lah” (al-Mā’idah: 2), maka demikian pula perintah untuk mencukur setelah adanya larangan menunjukkan kebolehan.

Dan karena setiap perkara yang jika dilakukan di luar waktunya mewajibkan fidyah, maka perbuatannya pada waktunya bukanlah nusuk, seperti memakai ṭīb, pakaian, memotong kuku. Berbanding terbalik dengan melempar jumrah, ṭawāf, dan sa‘i, yang merupakan nusuk pada waktunya dan tidak mewajibkan fidyah jika dilakukan sebelum waktunya.

Maka ketika mencukur mewajibkan fidyah jika dilakukan sebelum waktunya, hal itu menunjukkan bahwa mencukur bukanlah nusuk pada waktunya.


فَصْلٌ
: فإذا ثبت توجيه الْقَوْلَيْنِ فِي الْحَلْقِ فَالْإِحْلَالُ مِنَ الْعُمْرَةِ مَبْنِيٌّ عَلَيْهِمَا، فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْحَلْقَ نُسُكٌ يُتَحَلَّلُ به فإذا طَافَ وَسَعَى كَانَ عَلَى إِحْرَامِهِ حَتَّى يَحْلِقَ أو يقصر.

وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ إِبَاحَةٌ بَعْدَ حَظْرٍ فَقَدْ حَلَّ مِنَ الْعُمْرَةِ بِإِكْمَالِ السَّعْيِ وَإِنْ لَمْ يَحْلِقْ وَلَمْ يُقَصِّرْ، وَعَلَى كِلَا الْقَوْلَيْنِ إِنْ كَانَ مَعَهُ هَدْيٌ فَالْمُسْتَحَبُّ وَالسُّنَّةُ أَنْ يَنْحَرَهُ قبل حلقه لقوله تعالى: {وَلاَ تَحْلِقُوا رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الهَدْيُ مَحِلَّهُ) {البقرة: 196) وَمَوْضِعُ النَّحْرِ عِنْدَ إِحْلَالِهِ وَإِحْلَالُهُ مِنَ الْعُمْرَةِ يَكُونُ عِنْدَ الْمَرْوَةِ فَهُنَاكَ يَنْحَرُ وَإِنْ نَحَرَ مِنْ فِجَاجِ مَكَّةَ أَوِ الْحَرَمِ أَجْزَأَهُ، ثُمَّ يَحْلِقُ أَوْ يقصر وكلاهما جائز، لقوله تعالى: {مُحَلِّقِينَ رُؤُوسَكُمْ وَمُقَصِرِينَ} (الفتح: 27) لَكِنَّ الْحَلْقَ لِلرِّجَالِ أَفْضَلُ مِنَ التَّقْصِيرِ لِأَنِّ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُحَلِّقِينَ ” قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالْمُقَصِّرِينَ قَالَ: ” اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُحَلِّقِينَ ” قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالْمُقَصِّرِينَ فَقَالَ فِي الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ وَالْمُقَصِّرِينَ، لِأَنَّ الْحَلْقَ أَعَمُّ مِنَ التَّقْصِيرِ فَكَانَ أَكْثَرَ ثَوَابًا، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ التَّقْصِيرَ جَائِزٌ وَالْحَلْقَ أَفْضَلُ مِنْهُ فَإِنَّمَا ذَلِكَ فِيمَنْ لَمْ يُلَبِّدْ رَأْسَهُ وَلَا عَقَصَهُ وَأَمَّا إِنْ كَانَ لَبَّدَ رَأْسَهُ وَعَقَصَهُ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

PASAL
 Apabila telah ditetapkan pendalilan dua pendapat dalam masalah ḥalq (mencukur rambut), maka iḥlāl dari ‘umrah dibangun di atas keduanya. Jika kita mengatakan bahwa ḥalq adalah nusuk yang dengan itu seseorang bertahallul, maka apabila seseorang telah ṭawāf dan sa‘i, ia tetap berada dalam keadaan iḥrām sampai ia mencukur atau memendekkan rambutnya.

Dan jika kita mengatakan bahwa ḥalq hanyalah kebolehan setelah larangan, maka ia telah bertahallul dari ‘umrah dengan menyempurnakan sa‘i-nya, meskipun ia belum mencukur atau memendekkan rambutnya.

Dan menurut kedua pendapat tersebut, jika bersamanya ada hadyu, maka yang mustaḥab dan yang sesuai sunah adalah menyembelih hadyu-nya sebelum mencukur rambutnya, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Dan janganlah kalian mencukur kepala kalian sampai hadyu sampai pada tempat sembelihannya” (al-Baqarah: 196).

Tempat penyembelihan adalah pada saat iḥlāl-nya, dan iḥlāl-nya dari ‘umrah terjadi di marwah, maka di sanalah ia menyembelih. Jika ia menyembelih di lembah-lembah Makkah atau di dalam tanah haram, maka itu sah.

Kemudian ia mencukur atau memendekkan rambut, dan keduanya boleh, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Dalam keadaan kamu mencukur rambut kepalamu dan memendekkannya” (al-Fatḥ: 27). Namun mencukur bagi laki-laki lebih utama daripada memendekkan, karena Nabi SAW bersabda: “Ya Allah, ampunilah orang-orang yang mencukur (rambutnya).”
 Dikatakan: “Wahai Rasulullah, dan juga orang-orang yang memendekkan?”
 Beliau bersabda: “Ya Allah, ampunilah orang-orang yang mencukur (rambutnya).”
 Dikatakan lagi: “Wahai Rasulullah, dan juga orang-orang yang memendekkan?”
 Maka pada yang ketiga atau keempat kalinya, beliau bersabda: “Dan orang-orang yang memendekkan.”

Karena mencukur lebih umum daripada memendekkan, maka ia lebih banyak pahalanya.

Apabila telah ditetapkan bahwa memendekkan itu sah dan mencukur lebih utama darinya, maka hal itu bagi orang yang tidak menebalkan (menempelkan) rambut kepalanya dan tidak mengikatnya.

Adapun jika ia menebalkan rambutnya dan mengikatnya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:


أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ لَا يُجْزِئُهُ إِلَّا الْحَلْقُ، لِرِوَايَةِ فُلَيْحٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ لَبَّدَ رَأْسَهُ فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَلْقُ “.
وَالثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ التَّقْصِيرَ يُجْزِئُهُ وَإِنْ كَانَ الْحَلْقُ أَفْضَلَ له لقوله تعالى: {مُحَلِّقِينَ رُؤُوسَكُمْ وَمُقَصِرِينَ) {الفتح: 27) .

pertama: yaitu pendapatnya dalam qaul qadīm, bahwa tidak mencukupi kecuali dengan ḥalq, berdasarkan riwayat Fulaiḥ dari Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang melumuri kepalanya, maka wajib atasnya ḥalq.”

dan kedua: yaitu yang ṣaḥīḥ, dan ini yang ia katakan dalam qaul jadīd, bahwa taqṣīr mencukupi walaupun ḥalq lebih utama baginya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {dalam keadaan mencukur rambut kalian dan memendekkannya} (QS. al-Fatḥ: 27).


فَصْلٌ
فَإِذَا أَرَادَ حَلْقَ رَأْسِهِ بَدَأَ بِشِقِّهِ الْأَيْمَنِ وَإِنْ كَانَ عَلَى يَسَارِ الْحَالِقِ، وَقَالَ أبو حنيفة: يَبْدَأُ بِشِقِّهِ الْأَيْسَرِ، لِأَنَّهُ عَلَى يَمِينِ الْحَالِقِ فَاعْتَبَرَ الْبِدَايَةَ بِيَمِينِ الْحَالِقِ دُونَ الْمَحْلُوقِ، وَاعْتَبَرَ الشَّافِعِيُّ الْبِدَايَةَ بِيَمِينِ الْمَحْلُوقِ دُونَ الْحَالِقِ وَهَذَا أَوْلَى؛ لِرِوَايَةِ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: لَمَّا رَمَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْجَمْرَةَ وَفَرَغَ مِنْ نُسُكِهِ نَاوَلَ الْحَالِقَ شِقَّهُ الْأَيْمَنَ فَحَلَقَهُ فَأَعْطَاهُ أَبَا طَلْحَةَ، ثُمَّ أَعْطَاهُ الشِّقَّ الْأَيْسَرَ فَحَلَقَهُ ثُمَّ قَالَ: اقْسِمْهُ بَيْنَ النَّاسِ، وَرُوِيَ أَنَّ الَذِي حَلَقَ شَعْرَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَعْمَرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نَضْلَةَ، وَلِأَنَّ اعْتِبَارَ يَمِينِ صَاحِبِ النُّسُكِ أَوْلَى مِنِ اعْتِبَارِ الْحَالِقِ؛ لِأَنَّ النُّسُكَ فِي رَأْسِهِ دُونَ رَأْسِ الحالق فإذا ثبت هذا ففي الحلق أربع سنن:

PASAL
 Apabila seseorang ingin mencukur kepalanya, maka ia memulai dari sisi kanan kepalanya, meskipun sisi tersebut berada di sebelah kiri tukang cukur.

Abu Ḥanīfah berpendapat: memulai dari sisi kiri kepala, karena sisi tersebut berada di sebelah kanan tukang cukur. Maka ia mempertimbangkan permulaan berdasarkan sisi kanan tukang cukur, bukan orang yang dicukur.

Sedangkan asy-Syāfi‘ī mempertimbangkan permulaan berdasarkan sisi kanan orang yang dicukur, bukan tukang cukur. Dan pendapat ini lebih utama, karena riwayat dari Ibnu Sīrīn dari Anas, ia berkata:
 “Ketika Rasulullah SAW melempar jamrah dan selesai dari nusuk-nya, beliau memberikan sisi kanan kepalanya kepada tukang cukur, lalu ia mencukurnya, dan beliau memberikannya kepada Abū Ṭalḥah. Kemudian beliau memberikan sisi kiri kepalanya, lalu mencukurnya. Lalu beliau berkata: ‘Bagikanlah kepada manusia.'”

Diriwayatkan bahwa orang yang mencukur rambut Rasulullah SAW adalah Ma‘mar bin ‘Abdillāh bin Naḍlah.

Karena mempertimbangkan sisi kanan pemilik nusuk lebih utama daripada mempertimbangkan sisi kanan tukang cukur, sebab nusuk itu berada di kepala orang yang sedang melakukannya, bukan di kepala tukang cukur.

Apabila hal ini telah ditetapkan, maka dalam mencukur ada empat sunah:


أحدها: أن يستقبل القبلة.
والثانية: أن يبدأ بِشِقِّهِ الْأَيْمَنِ.
وَالثَّالِثَةُ: أَنْ يُكَبِّرَ عِنْدَ فَرَاغِهِ.
وَالرَّابِعَةُ: أَنْ يَدْفِنَ شَعْرَهُ.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَيَبْلُغُ الْحَلْقُ إِلَى الْعَظْمَيْنِ لِأَنَّهُمَا مُنْتَهَى نَبَاتِ الشَّعْرِ، لِيَكُونَ مُسْتَوْعِبًا لِجَمِيعِ رَأْسِهِ، فَلَوْ طَلَى رَأْسَهُ بِالنَّوْرَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَعْرُهُ أَوْ نَتَفَهُ أَجْزَأَهُ، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ إِزَالَةُ الشَّعْرِ.

Pertama: menghadap kiblat.
 Kedua: memulai dari sisi kanan kepalanya.
 Ketiga: bertakbir ketika selesai mencukur.
 Keempat: mengubur rambutnya.

Asy-Syāfi‘ī berkata: batas mencukur adalah hingga kedua tulang (bagian belakang kepala), karena keduanya merupakan akhir tumbuhnya rambut, agar mencukur mencakup seluruh kepala.

Jika ia melumuri kepalanya dengan nūrāh (zat penghilang rambut) hingga rambutnya rontok, atau ia mencabutnya, maka hal itu sah, dan ini dinyatakan oleh asy-Syāfi‘ī, karena yang dimaksud adalah menghilangkan rambut.


فَصْلٌ
: فَلَوْ كَانَ أَصْلَعَ أَوْ مَحْلُوقَ الرَّأْسِ وَلَيْسَ عَلَى رَأْسِهِ شَعْرٌ وَلَا زَغَبٌ فَالْمُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يُمِرَّ الْمُوسَى عَلَى رَأْسِهِ وَلَا يجب عليه.

وَقَالَ أبو حنيفة إِمْرَارُ الْمُوسَى عَلَى رَأْسِهِ واجب عليه؛ لقوله تعالى: {مُحَلِّقِينَ رُؤُوسَكُمْ وَمُقَصِرِينَ) {الفتح: 27) فَعَلَّقَ الْحَلْقَ بِالرَّأْسِ فَلَمْ يُسْقِطْهُ ذَهَابُ الشَّعْرِ، وَهَذَا غَلَطٌ لِأَمْرَيْنِ:

PASAL
 Maka jika seseorang botak atau sudah dicukur kepalanya dan di kepalanya tidak ada rambut dan tidak ada bulu halus, maka yang mustaḥab baginya adalah mengusap kepalanya dengan pisau cukur (mūsā), dan itu tidak wajib atasnya.
 Abu Ḥanīfah berkata: mengusap kepala dengan mūsā adalah wajib atasnya; karena firman Allah Ta‘ala: {dalam keadaan mencukur rambut kalian dan memendekkannya} (QS. al-Fatḥ: 27), maka Allah menggantungkan perintah ḥalq pada kepala, dan tidak gugur dengan hilangnya rambut.
 Dan ini adalah kesalahan karena dua hal:


أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْحُكْمَ مُتَعَلِّقٌ بِالشَّعْرِ دُونَ الرَّأْسِ بِدَلِيلِ أَنَّهُ لَوْ كَانَ عَلَى رَأْسِهِ شَعْرٌ فَأَمَرَّ الْمُوسَى عَلَى رَأْسِهِ مِنْ غَيْرِ حَلْقِ الشَّعْرِ لَمْ يُجْزِهِ، وَلَوْ أَزَالَ الشَّعْرَ مِنْ غَيْرِ إِمْرَارِ الْمُوسَى عَلَى رَأْسِهِ أَجْزَأَهُ، وَإِذَا كَانَ حُكْمُ الْحَلْقِ مُتَعَلِّقًا بِالشَّعْرِ سَقَطَ الْحُكْمُ بِزَوَالِ الشَّعْرِ، كَالْأَقْطَعِ الذِّرَاعِ يَسْقُطُ عَنْهُ الْغَسْلُ لِزَوَالِ الْعُضْوِ الَّذِي تَعَلَّقَ بِهِ الْغَسْلُ.
وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَنَّهُ فَرْضٌ يَتَعَلَّقُ بِجُزْءٍ مِنْ بَدَنِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ عَدَمُ الْجُزْءِ مُسْقِطًا لِفَرْضِهِ كَأَعْضَاءِ الْوُضُوءِ.

Pertama: bahwa hukum ḥalq (mencukur) berkaitan dengan rambut, bukan dengan kepala. Dalilnya: jika di kepalanya terdapat rambut lalu ia mengusapkan pisau cukur ke kepalanya tanpa mencukur rambutnya, maka tidak sah. Namun jika ia menghilangkan rambut tanpa mengusapkan pisau cukur ke kepalanya, maka itu sah.

Dan jika hukum ḥalq itu berkaitan dengan rambut, maka gugurlah kewajiban tersebut dengan hilangnya rambut, seperti orang yang terpotong tangannya, gugur darinya kewajiban membasuh (dalam wudhu) karena hilangnya anggota tubuh yang menjadi tempat berlakunya kewajiban basuhan.

Penjelasan ini secara qiyās (analogi) adalah bahwa ia merupakan fardhu yang berkaitan dengan suatu anggota tubuh, maka jika anggota tersebut tidak ada, gugurlah kewajiban fardhunya, sebagaimana anggota wudhu.


وَالثَّانِي: أَنَّ حُكْمَ الْحَلْقِ يَتَعَلَّقُ بِوُجُودِ الِاسْمِ، وَلَا يُسَمَّى حَالِقًا بِإِمْرَارِ الْمُوسَى عَلَى رَأْسِهِ مِنْ غَيْرِ حَلْقِ الشَّعْرِ، بِدَلِيلِ أَنَّهُ لَوْ حلق لَا يَحْلِقُ رَأْسَهُ فَأَمَرَّ الْمُوسَى عَلَى رَأْسِهِ لَمْ يَحْنَثْ، وَإِذَا انْتَفَى عَنْهُ اسْمُ الْحَلْقِ انْتَفَى عَنْهُ حُكْمُ الْحَلْقِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ ذَلِكَ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ فَيُسْتَحَبُّ لَهُ وَإِنْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ، لَكِنْ إِنْ كَانَ شَعْرٌ خفي أو زغب غير طاهر أَزَالَهُ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ شَعْرِ لِحْيَتِهِ وَشَارِبِهِ، وَإِنْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ، كَمَا يُسْتَحَبُّ لِلْأَقْطَعِ الْيَدِ مِنَ الْمِرْفَقِ أَنْ يَمَسَّ مَوْضِعَهُ بالماء، وإن لم يجب عليه ليكون خلقاً مِمَّا فَاتَ، وَمَنَعَ ابْنُ دَاوُدَ مِنْ ذَلِكَ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ بِإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ رِوَايَةُ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ الْحَالِقَ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ لِحْيَتِهِ طُولًا وَعَرْضًا، فَلَوْ كَانَ عَلَى رَأْسِهِ شَعْرَةٌ وَاحِدَةٌ أَوْ زَغَبُهُ طَاهِرٌ لَزِمَهُ حَلْقُهُ كَمَا لَوْ كَانَ شَعْرُهُ بَاقِيًا.

dan kedua: bahwa hukum ḥalq bergantung pada adanya nama (penyebutan), dan tidak disebut sebagai orang yang mencukur hanya dengan mengusap kepala dengan mūsā tanpa mencukur rambut. Dalilnya adalah: seandainya seseorang bersumpah tidak akan mencukur kepalanya, lalu ia hanya mengusap kepalanya dengan mūsā, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Maka, jika penyebutan ḥalq tidak berlaku padanya, maka hukum ḥalq juga tidak berlaku padanya.

Maka, jika telah tetap bahwa hal itu tidak wajib atasnya, maka disunnahkan baginya walaupun tidak wajib. Namun, jika terdapat rambut yang tersembunyi atau bulu halus yang suci, maka hendaknya ia mencukurnya. Dan disunnahkan baginya untuk mengambil dari rambut jenggot dan kumisnya, walaupun itu tidak wajib, sebagaimana disunnahkan bagi orang yang buntung tangannya dari siku ke bawah untuk menyentuhkan air pada bekas tangannya, meskipun itu tidak wajib, agar menjadi pengganti dari yang tidak ada.

Ibnu Dāwūd melarang hal tersebut karena Nabi SAW memerintahkan untuk memelihara jenggot. Dan dalil akan bolehnya adalah riwayat Ibnu ‘Umar bahwa Nabi SAW memerintahkan orang yang mencukur agar mengambil dari jenggotnya bagian panjang dan lebarnya. Maka, seandainya di kepalanya hanya ada satu helai rambut atau bulu halus yang suci, maka wajib mencukurnya sebagaimana jika rambutnya masih utuh.


فَصْلٌ
: وَإِنْ لَمْ يَحْلِقْ وَأَرَادَ التَّقْصِيرَ أَخَذَ مِنْ شِعْرِهِ مِمَّا عَلَا المشط وكيف ما أَخَذَهُ بِمِقْرَاضٍ أَوْ غَيْرِهِ أَوْ قَطَعَهُ بِيَدِهِ أَوْ قَرَضَهُ بِسِنِّهِ أَجْزَأَهُ، فَلَوْ كَانَ شَعْرُهُ مُسْتَرْسِلًا عَنْ حَدِّ الرَّأْسِ أَجْزَأَهُ التَّقْصِيرُ مِنْ أطرافه وإن لم يحاذي بَشَرَةَ الرَّأْسِ وَلَا يُجْزِئُهُ أَنْ يَمْسَحَ عَلَيْهِ في الوضوء إلا أن يحاذي بشرة الرَّأْسِ، وَهَذَا مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ جَمَعَ بَيْنَ التَّقْصِيرِ وَالْمَسْحِ فَقَالَ: لَا يُجْزِئُ إِلَّا بِتَقْصِيرِ مَا لَمْ يَخْرُجْ عَنْ حَدِّ الرَّأْسِ، كَمَا لَا يُجْزِئُ إِلَّا مَسْحُ مَا لَمْ يَخْرُجْ عَنْ حَدِّ الرَّأْسِ.

PASAL
 Jika ia tidak mencukur dan ingin memendekkan rambut (taqṣīr), maka ia mengambil rambut dari bagian atas yang dijangkau oleh sisir. Bagaimanapun cara ia mengambilnya—dengan gunting, alat lainnya, memotong dengan tangan, atau menggigit dengan giginya—semuanya sah.

Jika rambutnya terurai melebihi batas kepala, maka sah memendekkan dari ujung-ujungnya, meskipun tidak sejajar dengan kulit kepala.

Namun, hal itu tidak cukup untuk membasuh kepala dalam wudhu kecuali jika sejajar dengan kulit kepala. Ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh asy-Syāfi‘ī.

Sebagian dari ashḥāb kami menggabungkan antara taqṣīr dan membasuh (dalam wudhu), dan berkata: tidak sah kecuali jika memendekkan rambut yang masih berada dalam batas kepala, sebagaimana tidak sah membasuh (dalam wudhu) kecuali pada rambut yang tidak keluar dari batas kepala.


وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا وَاضِحٌ، وَهُوَ أَنَّ فَرْضَ الْمَسْحِ مُتَعَلِّقٌ بِالرَّأْسِ فَلَمْ يُجْزِ فِيمَا خَرَجَ عَنْ حَدِّ الرَّأْسِ، لِأَنَّهُ لَيْسَ بِرَأْسٍ، وَحُكْمُ الْحَلْقِ مُتَعَلِّقٌ بِشَعْرِ الرَّأْسِ فَجَازَ فِيمَا خَرَجَ عَنْ حَدِّ الرَّأْسِ؛ لِأَنَّهُ مِنْ شَعْرِ الرَّأْسِ، وَأَقَلُّ مَا يُجْزِئُهُ فِي الْحَلْقِ وَالتَّقْصِيرِ أَنْ يَحْلِقَ أَوْ يُقَصِّرَ ثَلَاثَ شَعَرَاتٍ فَصَاعِدًا، فَأَمَّا دُونَ الثَّلَاثِ فَلَا يُجْزِئُهُ لِأَنَّ اسْمَ الْجَمْعِ الْمُطْلَقِ لَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ.

Dan perbedaan antara keduanya jelas, yaitu bahwa kewajiban mengusap (masḥ) berkaitan dengan kepala, maka tidak sah jika dilakukan pada selain batas kepala karena itu bukan bagian dari kepala. Adapun hukum mencukur (ḥalq) berkaitan dengan rambut kepala, maka boleh dilakukan pada rambut yang keluar dari batas kepala, karena itu termasuk rambut kepala.

Dan kadar minimal yang mencukupi dalam ḥalq atau taqṣīr adalah mencukur atau memendekkan tiga helai rambut atau lebih. Adapun kurang dari tiga, maka tidak mencukupi, karena nama jamak secara mutlak tidak berlaku padanya.


فَصْلٌ
: فَإِذَا حَلَقَ الْمُعْتَمِرُ بَعْدَ طَوَافِهِ وَسَعْيِهِ أَوْ قَصَّرَ فَقَدْ حَلَّ مِنْ إِحْرَامِهِ وَإِنْ أَرَادَ الْحَجَّ فِي عَامِهِ، وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ سَاقَ هَدْيًا وَأَرَادَ الْحَجَّ فِي عَامِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَحَلَّلَ وَكَانَ بَاقِيًا عَلَى إِحْرَامِهِ حَتَّى يُكْمِلَ الْحَجَّ وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ مَعَهُ فِيهِ فلم يحتج إلى إعادته.

PASAL
 Apabila seorang yang sedang ‘umrah telah mencukur atau memendekkan rambutnya setelah ṭawāf dan sa‘i, maka ia telah bertahallul dari iḥrām-nya, meskipun ia ingin melaksanakan ḥajj pada tahun yang sama.

Abu Ḥanīfah berpendapat: jika ia membawa hadyu dan berniat melaksanakan ḥajj pada tahun yang sama, maka tidak boleh ia bertahallul, dan ia tetap dalam iḥrām-nya hingga menyempurnakan ḥajj.

Dan pembahasan dengannya telah disebutkan sebelumnya, maka tidak perlu diulang kembali.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَقْطَعُ الْمُعْتَمِرُ التَلْبِيَةَ حَتَّى يَفْتَتِحَ الطَوَافَ مُسْتَلِمًا أَوْ غَيْرَ مستلمٍ وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ السُّنَّةُ فِي الْمُعْتَمِرِ أَنْ يَكُونَ عَلَى تَلْبِيَتِهِ حَتَّى يَفْتَتِحَ الطَّوَافَ فَإِذَا افْتَتَحَهُ قَطَعَ التَّلْبِيَةَ، وَقَالَ مَالِكٌ إِنْ كَانَ مُحْرِمًا مِنْ مِيقَاتِ بَلَدِهِ قَطَعَ إِذَا دَخَلَ أَرْضَ الْحَرَمِ، وَإِنْ كَانَ مُحْرِمًا مِنْ أَدْنَى الْحِلِّ كَالتَّنْعِيمِ قَطَعَ التَّلْبِيَةَ عِنْدَ بُيُوتِ مَكَّةَ؛ تَعَلُّقًا بِرِوَايَةِ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقْطَعُ التَّلْبِيَةَ إِذَا دَخَلَ الْحَرَمَ.

Masalah
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Seorang yang berumrah tidak memutus talbiyah hingga ia memulai ṭawāf, baik dengan menyentuh ḥajar aswad atau tidak, dan ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbās.”

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, sunnah bagi orang yang berumrah adalah terus bertalbiyah hingga memulai ṭawāf. Jika ia telah memulai ṭawāf, maka ia memutus talbiyah.

Mālik berkata: Jika ia beriḥrām dari mīqāt negerinya, maka ia memutus talbiyah saat masuk tanah ḥaram. Dan jika ia beriḥrām dari Adnā al-Ḥill seperti Tan‘īm, maka ia memutus talbiyah ketika sampai di perkampungan Mekah, berdasarkan riwayat Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa ia memutus talbiyah saat masuk wilayah ḥaram.


وَالدَّلَالَةُ عَلَى مَا قُلْنَا مَا رَوَى ابْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ عَطَاءٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” يُلَبِّي الْمُعْتَمِرُ حَتَّى يَسْتَلِمَ الْحَجَرَ ” وَرَوَى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اعْتَمَرَ ثَلَاثَ عُمَرٍ، كُلُّ ذَلِكَ يُلَبِّي حَتَّى يَسْتَلِمَ الْحَجَرَ، وَلِأَنَّ التَّلْبِيَةَ لِأَجْلِ الْإِحْرَامِ، فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَدِيمَهَا إِلَى أَنْ يَشْرَعَ فِي التَّحَلُّلِ من الإحرام وذلك بالمشروع فِي الطَّوَافِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ عَلَى تَلْبِيَتِهِ حتى يستلم الحجر للطواف.

Dan dalil atas apa yang kami katakan adalah riwayat dari Ibnu Abī Lailā dari ‘Aṭā’ dari Ibnu ‘Abbās dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Orang yang sedang ‘umrah bertalbiyah hingga menyentuh ḥajar aswad.”

Dan diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi SAW melakukan tiga kali ‘umrah, dan dalam semua itu beliau bertalbiyah hingga menyentuh ḥajar aswad.

Dan karena talbiyah itu dilakukan karena iḥrām, maka wajib untuk terus melakukannya sampai ia memulai tahallul dari iḥrām, dan hal itu terjadi dengan perkara yang disyariatkan dalam ṭawāf. Maka wajib baginya untuk tetap dalam talbiyah-nya hingga menyentuh ḥajar aswad untuk ṭawāf.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وليس على النساء حلقٌ ولكن يقصرن “.
وَهَذَا كَمَا قَالَ، السُّنَّةُ فِي النِّسَاءِ التَّقْصِيرُ، وَالْحَلْقُ لَهُنَّ مَكْرُوهٌ؛ لِرِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَيْسَ عَلَى النِّسَاءِ حَلْقٌ إِنَمَا عَلَى النَسَاءِ تَقْصِيرٌ “، وَلِأَنَّ الْحَلْقَ فِيهِنَّ مُثْلَةٌ، وَنُهِيَ عَنِ الْمُثْلَةِ؛ فَإِذَا أَرَادَتِ التَّقْصِيرَ قَالَ الشَّافِعِيُّ: أَخَذَتْ مِنْ شَعْرِهَا قَدْرَ أُنْمُلَةٍ، وَتَعُمُّ جَوَانِبَ رَأْسِهَا كُلَّهَا، وَلَا تَقْطَعُ ذَوَائِبَهَا لِأَنَّ ذَلِكَ يَشِينُهَا وَلَكِنْ تَسُلُّ الذَّوَائِبَ وَتَأْخُذُ مِنْ تَحْتِهِ قُصَاصَهُ وَمِنَ الْمَوْضِعِ الَّذِي لَا يُبَيَّنُ فَتْحُهُ، فلو حلقت أساءت وأجزأها.

Masalah
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Tidak wajib bagi perempuan ḥalq, tetapi mereka cukup memendekkan rambut.”

Dan ini sebagaimana yang beliau katakan; sunnah bagi perempuan adalah taqṣīr, sedangkan ḥalq bagi mereka adalah makruh, karena riwayat Ibnu ‘Abbās bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak wajib bagi perempuan untuk mencukur, sesungguhnya bagi perempuan adalah memendekkan (rambut).”

Dan karena ḥalq pada perempuan termasuk muthlah (merusak bentuk), dan muthlah itu dilarang. Maka, ketika seorang perempuan hendak melakukan taqṣīr, al-Syafi‘i berkata: ia mengambil dari rambutnya sepanjang unmulah (ujung ruas jari), dan mencakup seluruh sisi kepalanya, dan ia tidak boleh memotong ḍawā’ib (rambut yang dikepang) karena itu merusak keindahannya, tetapi ia melepaskan kepangan tersebut dan mengambil potongan dari bawahnya, dari tempat yang tidak tampak terbukanya.

Maka, jika ia mencukur rambutnya, ia telah berbuat buruk, namun tetap sah (menyempurnakan umrah/hajinya).


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ حَاجًّا أَوْ قَارِنًا أَجْزَأَهُ طَوَافٌ واحدٌ لِحَجِّهِ وَعُمْرَتِهِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لعائشة وكانت قارناً: ” طَوَافُكِ يَكْفِيكِ لِحَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الْقَارِنُ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فِي إِحْرَامِهِ كَالْمُفْرِدِ يُجْزِئُهُ لَهَا طَوَافٌ وَاحِدٌ وَسَعْيٌ وَاحِدٌ وَهُوَ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ وَقَوْلُ الْأَكْثَرِينَ مِنَ التَّابِعِينَ وَالْفُقَهَاءِ، وَقَالَ أبو حنيفة وَالثَّوْرِيُّ: عَلَيْهِ طَوَافَانِ وَسَعْيَانِ؛ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالعُمْرَةَ للهِ} (البقرة: 196) فَكَانَ الْأَمْرُ بِإِتْمَامِهِمَا يُوجِبُ الْإِتْيَانَ بِأَفْعَالِهِمَا، وَرَوَى عِمْرَانُ بْنُ الْحُصَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ جَمَعَ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَعَلَيْهِ طَوَافَانِ ” وَرَوَى عُمَارَةُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ حججت مع إبراهيم بن محمد ابن الْحَنَفِيَّةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَطَافَ طَوَافَيْنِ، وَقَالَ حججت مع محمد ابن الْحَنَفِيَّةِ فَطَافَ طَوَافَيْنِ وَقَالَ حَجَجْتُ مَعَ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَطَافَ طَوَافَيْنِ وَقَالَ حَجَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فطاف طوافين.

Masalah
 Asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:
 “Jika seseorang melaksanakan ḥajj atau qirān, maka satu kali ṭawāf mencukupi untuk ḥajj-nya dan ‘umrah-nya, berdasarkan sabda Nabi SAW kepada ‘Āisyah, yang saat itu sedang melaksanakan qirān: ‘Ṭawāf-mu mencukupimu untuk ḥajj-mu dan ‘umrah-mu.’”

Al-Māwardī berkata:
 Demikian sebagaimana yang dikatakan. Seorang yang melakukan qirān antara ḥajj dan ‘umrah dengan satu iḥrām, seperti halnya mufrid (yang hanya ḥajj), cukup baginya satu kali ṭawāf dan satu kali sa‘i, dan ini merupakan ijmak para sahabat serta pendapat mayoritas dari kalangan tābi‘īn dan para fuqahā’.

Adapun Abū Ḥanīfah dan ats-Tsaurī berpendapat: wajib baginya dua kali ṭawāf dan dua kali sa‘i, dengan dalil firman Allah Ta‘ālā:
 “Dan sempurnakanlah ḥajj dan ‘umrah karena Allah” (al-Baqarah: 196),
 maka perintah untuk menyempurnakannya mengharuskan pelaksanaan semua amalan dari keduanya.

Dan diriwayatkan dari ‘Imrān bin Ḥuṣayn bahwa Nabi SAW bersabda:
 “Barang siapa menggabungkan antara ḥajj dan ‘umrah, maka wajib baginya dua kali ṭawāf.”

Dan diriwayatkan dari ‘Umārah bin ‘Abdir Raḥmān, ia berkata:
 “Aku berhaji bersama Ibrāhīm bin Muḥammad bin al-Ḥanafiyyah raḍiyallāhu ‘anhum, maka beliau melakukan dua kali ṭawāf.
 Aku juga berhaji bersama Muḥammad bin al-Ḥanafiyyah, maka beliau pun melakukan dua kali ṭawāf.
 Dan aku berhaji bersama ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhu, maka beliau pun melakukan dua kali ṭawāf.
 Dan aku berhaji bersama Nabi SAW, lalu beliau pun melakukan dua kali ṭawāf.”

 

قَالَ: وَلِأَنَّهُمَا نُسُكَانِ فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ طَوَافَانِ، كَمَا لَوْ أَفْرَدَهُمَا.
قَالَ: وَلِأَنَّ الْعِبَادَتَيْنِ إِنَّمَا يتداخلا إِذَا اتَّفَقَتَا فِي الْأَفْعَالِ وَالْأَحْكَامِ كَالْحُدُودِ وَغَيْرِهَا، فَأَمَّا إِذَا اخْتَلَفَتَا فِي الْأَفْعَالِ أَوِ الْأَحْكَامِ لم يتداخلا، وَالْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ مُخْتَلِفَانِ فِي الْأَفْعَالِ وَالْأَحْكَامِ فَاخْتِلَافُهُمَا فِي الْأَفْعَالِ أَنَّ فِي الْحَجِّ وُقُوفًا وَرَمْيًا لَيْسَ فِي الْعُمْرَةِ، وَاخْتِلَافُهُمَا فِي الْأَحْكَامِ أَنَّ للحج إحلالين وللعمرة واحد، وَالْحَلْقُ فِي الْحَجِّ مُتَقَدِّمٌ عَلَى الطَّوَافِ وَالسَّعْيِ وَفِي الْعُمْرَةِ مُتَأَخِّرٌ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَدَاخَلَا.

Ia berkata: Karena keduanya adalah dua nusuk (ritual ibadah), maka wajib atasnya dua ṭawāf, sebagaimana jika keduanya dilakukan secara terpisah.

Ia berkata: Dan karena dua ibadah hanya boleh saling masuk (digabung pelaksanaannya) jika keduanya sama dalam amal perbuatan dan hukum-hukumnya, seperti dalam perkara ḥudūd dan selainnya. Adapun jika keduanya berbeda dalam amal atau hukum, maka tidak boleh digabungkan.

Haji dan ‘umrah berbeda dalam amal dan hukum. Perbedaan keduanya dalam amal adalah bahwa dalam haji terdapat wuqūf dan ramy yang tidak ada dalam ‘umrah. Dan perbedaan keduanya dalam hukum adalah bahwa haji memiliki dua tahallul, sedangkan ‘umrah hanya satu. Dan ḥalq dalam haji dilakukan sebelum ṭawāf dan sa‘i, sedangkan dalam ‘umrah dilakukan setelahnya. Maka tidak sah bila keduanya digabungkan (tadākhul).


وِالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ رِوَايَةُ عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ جَمَعَ حَجًّا إِلَى عمرةٍ فَلْيَطُفْ لَهُمَا طَوَافًا وَاحِدًا ” وَرَوَى ابْنُ أَبِي نَجِيحٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِعَائِشَةَ: ” طَوَافُكِ بِالْبَيْتِ وَسَعْيُكِ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ يُجْزِئُكِ لِحَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ ” وَرَوَى جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” السَّعْيُ وَالطَّوَافُ تَوٌّ “. وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ أَحَدَ تَأْوِيلِهِ أَنَّهُمَا فِي الْإِفْرَادِ وَالْقِرَانِ وَاحِدٌ لَا يُنَافِي الْقِرَانَ وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ رَوَتْ عَائِشَةُ رِضَى اللَّهُ عَنْهَا وجابر أنهما قالا كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْحَجِّ وَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْعُمْرَةِ وَمِنَا مَنْ قَرَنَ فَأَمَّا الَّذِينَ قَرَنُوا فَطَافُوا طَوَافًا وَاحِدًا وَسَعَوْا سَعْيًا وَاحِدًا وَكَانَ طَاوُسٌ يَحْلِفُ بِاللَّهِ أَنَّهُ مَا أحدٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَرَنَ فَطَافَ طَوَافَيْنِ، فَثَبَتَ أَنَّهُ إِجْمَاعٌ، وَلِأَنَّهُ نُسُكٌ، يُكْتَفَى فِيهِ بِحِلَاقٍ وَاحِدٍ فَوَجَبَ أَنْ يُكْتَفَى فِيهِ بِطَوَافٍ وَاحِدٍ كَالْإِفْرَادِ، وَلِأَنَّهُ فِعْلٌ يَقَعُ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ النُّسُكَيْنِ فَوَجَبَ أَنْ يُكْتَفَى بِالْفِعْلِ الْوَاحِدِ مِنْهُ مَعَ اجْتِمَاعِ النُّسُكَيْنِ كَالْحِلَاقِ.

Dan dalil atas kebenaran pendapat yang kami pegang adalah riwayat dari ‘Ubaydullāh dari Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi SAW bersabda:
 “Barang siapa menggabungkan ḥajj dengan ‘umrah, maka cukup baginya satu ṭawāf untuk keduanya.”

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abī Najīḥ dari ‘Aṭā’ dari ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā bahwa Nabi SAW berkata kepada ‘Āisyah:
 “Ṭawāf-mu di Baitullāh dan sa‘i-mu antara ṣafā dan marwah mencukupimu untuk ḥajj-mu dan ‘umrah-mu.”

Dan diriwayatkan dari Jābir bin ‘Abdillāh bahwa Nabi SAW bersabda:
 “Sa‘i dan ṭawāf adalah satu.”

Dan telah kami sebutkan bahwa salah satu penafsiran dari hadits tersebut adalah bahwa keduanya dalam ifrād dan qirān cukup dilakukan satu kali, dan ini tidak bertentangan dengan qirān.

Karena hal ini merupakan ijmak para sahabat raḍiyallāhu ‘anhum, sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Āisyah dan Jābir, bahwa mereka berkata:
 “Kami bersama Rasulullah SAW dalam ḥajjat al-wadā‘, di antara kami ada yang beriḥrām untuk ḥajj, ada yang beriḥrām untuk ‘umrah, dan ada yang qirān. Adapun yang qirān, mereka hanya melakukan satu kali ṭawāf dan satu kali sa‘i.”

Dan Ṭāwūs bersumpah demi Allah:
 “Tidak seorang pun dari sahabat Rasulullah SAW yang melakukan qirān, lalu melakukan dua kali ṭawāf.”

Maka hal itu telah tetap sebagai ijmak.

Dan karena nusuk ini mencukupkan dengan satu kali ḥalq (cukur), maka wajib pula dicukupkan dengan satu kali ṭawāf, sebagaimana dalam ifrād.

Dan karena ia merupakan amalan yang berlaku dalam masing-masing dari dua nusuk, maka wajib dicukupkan dengan satu kali amalan jika kedua nusuk itu digabungkan, sebagaimana ḥalq.


فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِالْآيَةِ فَإِتْمَامُهَا عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ أَنْ يُحْرِمَ بِهِمَا مِنْ دَوَيْرَةِ أَهْلِهِ.
وَأَمَّا حَدِيثُ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ فَمَحْمُولٌ عَلَى الْمُتَمَتِّعِ الَّذِي قَدْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا بِإِحْرَامَيْنِ.
وَأَمَّا حَدِيثُ عَلِيٍّ فَغَيْرُ ثَابِتٍ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ مُفْرِدًا وَلَمْ يَكُنْ قَارِنًا، وَقَدْ تَقَدَّمَتِ الدَّلَالَةُ عَلَيْهِ وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى مَنْ أَفْرَدَهُمَا، فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ يَفْتَقِرُ إِلَى حِلَاقَيْنِ فَكَذَلِكَ مَا افْتَقَرَ إِلَى طَوَافَيْنِ وَلَمَّا كَانَ عَلَى الْقَارِنِ حَلِاقٌ وَاحِدٌ كَانَ عَلَيْهِ طَوَافٌ وَاحِدٌ.

Adapun dalil mereka dengan ayat, maka penyempurnaannya adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Umar dan ‘Alī, yaitu beriḥrām untuk keduanya (haji dan ‘umrah) dari rumahnya.

Adapun ḥadīts ‘Imrān bin Ḥuṣain, maka itu ditakwilkan atas orang yang mutamatti‘, yaitu orang yang menggabungkan keduanya dengan dua iḥrām.

Adapun ḥadīts ‘Alī, maka tidak tsabit; karena Rasulullah SAW beriḥrām ifrād dan bukan qirān, dan dalil atas hal itu telah disebutkan sebelumnya.

Adapun qiyās mereka atas orang yang mengerjakan keduanya secara terpisah, maka maksudnya adalah bahwa dalam hal itu diperlukan dua kali ḥalq, maka demikian pula semestinya memerlukan dua kali ṭawāf.

Namun, karena pada orang yang qārin hanya ada satu ḥalq, maka cukup baginya satu ṭawāf.


وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ اخْتِلَافَ الْعِبَادَتَيْنِ يَمْنَعُ مِنْ تَدَاخُلِهِمَا، وَإِنَّمَا يَتَدَاخَلُ مَا اتَّفَقَا.
قِيلَ: صَحِيحٌ إِنَّمَا يَتَدَاخَلُ مِنْهُمَا مَا اتَّفَقَ دُونَ مَا اخْتَلَفَ وَهُوَ الطَّوَافُ وَالسَّعْيُ الْمُوَافِقُ لِلطَّوَافِ وَالسَّعْيِ دُونَ مَا اخْتَلَفَ مِنَ الْوُقُوفِ وَالرَّمْيِ.
فَإِنْ قِيلَ: فَإِنَّهُمَا وَإِنِ اتَّفَقَا فِي الْفِعْلِ فَهُمَا مُخْتَلِفَانِ فِي الْحُكْمِ.

قِيلَ: اخْتِلَافُ الْحُكْمِ لَا يَمْنَعُ مِنَ التَّدَاخُلِ أَلَا تَرَى أَنَّ بَقَاءَ الْغُسْلِ مِنَ الْحَيْضِ مُخَالِفٌ لِبَقَاءِ الْغُسْلِ مِنَ الْجَنَابَةِ فِي الْحُكْمِ ثُمَّ إِذَا اجْتَمَعَا تَدَاخَلَا لِاتِّفَاقِهِمَا فِي الْفِعْلِ وإن اختلفا في الحكم.

Adapun pernyataan mereka bahwa perbedaan dua ibadah menghalangi keduanya untuk saling masuk (tergabung), dan bahwa yang bisa saling masuk hanyalah dua ibadah yang serupa saja—
 Maka dijawab: benar, bahwa yang dapat saling masuk hanyalah yang serupa, bukan yang berbeda. Dan ṭawāf serta sa‘i dalam ḥajj dan ‘umrah adalah serupa, sehingga keduanya bisa saling masuk. Berbeda halnya dengan wuqūf (di ‘Arafah) dan ramy (jumrah), yang tidak serupa sehingga tidak bisa saling masuk.

Jika dikatakan: meskipun keduanya sama dalam bentuk amalan, namun keduanya berbeda dalam hukum—
 Maka dijawab: perbedaan hukum tidak menghalangi keduanya untuk saling masuk. Bukankah engkau melihat bahwa mandi karena ḥaiḍ berbeda hukumnya dengan mandi karena janābah, namun jika keduanya berkumpul maka cukup dengan satu mandi, karena keduanya serupa dalam perbuatan meskipun berbeda dalam hukum.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” غَيْرَ أَنَّ عَلَى الْقَارِنِ الْهَدْيَ لِقِرَانِهِ وَيُقِيمُ عَلَى إِحْرَامِهِ حَتَى يُتَمِّمَ حَجَّهُ مَعَ إِمَامِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ مَنْ قَرَنَ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ دَمٌ لِقِرَانِهِ، وَقَدْ دَلَّلْنَا عَلَيْهِ مِنْ قَبْلُ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَيُقِيمُ عَلَى إِحْرَامِهِ حَتَّى يُتِمَّ حَجَّهُ مَعَ إِمَامِهِ يَعْنِي أَنَّهُ مُخَالِفٌ لِلْمُتَمَتِّعِ الَّذِي تَحَلَّلَ بَيْنَ حَجِّهِ وَعُمْرَتِهِ وَأَنَّ الْقَارِنَ يُقِيمُ عَلَى إحرامه حتى ينحل مِنْ حَجِّهِ فَيَكُونُ إِحْلَالُهُ مِنْهُمَا إِحْلَالًا وَاحِدًا، كَمَا كَانَ إِحْرَامُهُ بِهِمَا إِحْرَامًا وَاحِدًا، وَقَدْ رَوَى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ أَهَلَّ بِالْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ كَفَاهُ طوافٌ واحدٌ ” ثُمَّ لَا يُحِلُّ حَتَّى يُحِلَّ مِنْهُمَا وَقَوْلُ الشَّافِعِيِّ حَتَّى يُتِمَّ حَجَّهُ مَعَ إِمَامِهِ عَلَى طَرِيقِ الِاسْتِحْبَابِ، وَإِلَّا فَلَوْ تَحَلَّلَ قَبْلَ إِمَامِهِ فَطَافَ وَرَمَى وَسَعَى أَجْزَأَهُ.

Masalah
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Hanya saja wajib atas orang yang qārin menyembelih hadyu karena qirān-nya, dan ia tetap dalam keadaan iḥrām hingga menyempurnakan hajinya bersama imamnya.”

Al-Māwardī berkata: Dan ini adalah benar, barang siapa menggabungkan antara haji dan ‘umrah, maka wajib atasnya menyembelih dam karena qirān-nya, dan kami telah menunjukkan hal itu sebelumnya.

Al-Syafi‘i berkata: dan ia tetap dalam keadaan iḥrām hingga menyelesaikan hajinya bersama imamnya — maksudnya bahwa ia berbeda dengan mutamatti‘ yang telah bertahallul di antara haji dan ‘umrahnya, sedangkan qārin tetap dalam keadaan iḥrām hingga selesai dari hajinya, maka tahallulnya dari keduanya adalah satu tahallul, sebagaimana iḥrām-nya untuk keduanya adalah satu iḥrām.

Dan telah meriwayatkan Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa beriḥrām dengan haji dan ‘umrah sekaligus, maka cukup baginya satu ṭawāf, kemudian ia tidak boleh bertahallul hingga bertahallul dari keduanya.”

Dan perkataan al-Syafi‘i “hingga ia menyempurnakan hajinya bersama imamnya” adalah dalam konteks mustahab. Adapun jika ia bertahallul sebelum imamnya, lalu melakukan ṭawāf, melempar jumrah, dan sa‘i, maka tetap sah baginya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِنْ وَقَفَ الْقَارِنُ بِعَرَفَةَ قَبْلَ طَوَافِهِ وَسَعْيِهِ كَانَ عَلَى قِرَانِهِ، وَلَمْ يَكُنْ رَافِضًا لِعُمْرَتِهِ وَقَالَ أبو حنيفة: يَصِيرُ رَافِضًا لِعُمْرَتِهِ وَيَكُونُ مُفْرِدًا اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال لعائشة ” ارفضي عمترك وَانْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي ثُمَّ أَهِلِّي بِالْحَجِّ ” فَأَمَرَهَا بِذَلِكَ لَمَّا تَعَذَّرَ عَلَيْهَا الطَّوَافُ وَالسَّعْيُ وَدَلِيلُنَا أَنَّ الْوُقُوفَ رُكْنٌ مِنَ الْحَجِّ فَلَمْ يُوجِبْ رَفْضَ الْعُمْرَةِ كَالْإِحْرَامِ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ لَا تَبْطُلُ بفعل محظور فوجب أن لا تبطل بفعل نسك منها كَالْحَجِّ. فَأَمَّا الْخَبَرُ فَإِنَّمَا أَمَرَهَا فِيهِ بِالْكَفِّ عَنْ أَفْعَالِ الْعُمْرَةِ لِدُخُولِهَا فِي الْحَجِّ وَلِذَلِكَ قَالَ لَهَا طَوَافُكِ بِالْبَيْتِ وَسَعْيُكِ بَيْنَ الصَّفَا والمروة يجزئك لحجك وعمرتك.

PASAL
 Adapun jika orang yang qārin (yang menggabungkan ḥajj dan ‘umrah) melakukan wuqūf di ‘Arafah sebelum melakukan ṭawāf dan sa‘i, maka ia tetap berada dalam keadaan qirān, dan tidak dianggap meninggalkan ‘umrah-nya.

Abū Ḥanīfah berpendapat: ia menjadi orang yang meninggalkan ‘umrah-nya (rāfiḍ), dan berubah menjadi mufrid (yang hanya melaksanakan ḥajj), dengan dalil riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau berkata kepada ‘Āisyah:
 “Tinggalkanlah ‘umrah-mu, uraikan rambutmu dan bersisirlah, lalu niatkan ḥajj,”
 dan beliau memerintahkannya demikian karena ‘Āisyah tidak bisa melaksanakan ṭawāf dan sa‘i.

Adapun dalil kami: wuqūf adalah rukun dari ḥajj, namun tidak menyebabkan ‘umrah menjadi gugur, sebagaimana iḥrām tidak menyebabkan gugurnya ‘umrah.

Dan karena ‘umrah adalah ibadah yang tidak batal karena melakukan hal-hal yang dilarang, maka ia juga tidak batal karena melakukan salah satu amalan nusuk seperti ḥajj.

Adapun hadits tersebut, sesungguhnya Nabi hanya memerintahkannya untuk meninggalkan amalan-amalan ‘umrah karena ‘Āisyah telah masuk dalam ḥajj, dan karena itu Nabi SAW bersabda kepadanya:
 “Ṭawāf-mu di Ka‘bah dan sa‘i-mu antara ṣafā dan marwah mencukupimu untuk ḥajj-mu dan ‘umrah-mu.”


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَخْطُبُ الْإِمَامُ يَوْمَ السَّابِعِ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ بَعْدَ الظُّهْرِ بِمَكَّةَ وَيَأْمُرُهُمْ بِالْغُدُوِّ إِلَى مِنًى ليوافوا الظهر بمنى فيصلي بهم الْإِمَامُ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَعِشَاءَ الْآخِرَةَ وَالصُّبْحَ مِنَ الْغَدِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ خُطَبُ الْحَجِّ الَّتِي ثَبَتَتْ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه فعلها أربع:
فالأولى: فِي الْيَوْمِ السَّابِعِ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ بِمَكَّةَ بَعْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ.
وَالثَّانِيَةُ: يَوْمَ التَّاسِعِ بِعَرَفَةَ بَعْدَ الزَّوَالِ وَقَبْلَ صَلَاةِ الظُّهْرِ.
وَالثَّالِثَةُ: يَوْمَ النحر بمنى بعد صلاة الظهر.

Masalah
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Dan imam berkhutbah pada hari ketujuh dari Dzulḥijjah setelah zhuhur di Mekah, dan memerintahkan mereka untuk berangkat pagi menuju Mina agar mereka mendapati waktu zhuhur di Mina, lalu imam menunaikan salat bersama mereka: zhuhur, ‘ashar, maghrib, ‘isya’ akhir, dan subuh keesokan harinya.”

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan. Khutbah-khutbah haji yang telah ditetapkan dari Nabi SAW bahwa beliau melakukannya ada empat:

Pertama: pada hari ketujuh dari Dzulḥijjah di Mekah setelah salat zhuhur.
 Kedua: pada hari kesembilan di ‘Arafah setelah tergelincir matahari dan sebelum salat zhuhur.
 Ketiga: pada hari nahr di Mina setelah salat zhuhur.


وَالرَّابِعَةُ: يَوْمَ النَّفْرِ الْأَوَّلِ وَهُوَ الثَّانِيَ عَشَرَ بِمِنًى بَعْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ فَيَكُونُ جَمِيعُهَا بَعْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ إِلَّا خُطْبَةَ عَرَفَةَ فَإِنَّهَا بَعْدَ الزَّوَالِ وَقَبْلَ الظُّهْرِ، فَأَمَّا الْخُطْبَةُ الْأُولَى فَقَدْ روى مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَخْطُبُ قَبْلَ التَّرْوِيَةِ بِيَوْمٍ بَعْدَ الظُّهْرِ وَيُعَلِّمُ النَّاسَ الْمَنَاسِكَ فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا وَكَانَ يَوْمُ السَّابِعِ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ خَطَبَ الْإِمَامُ النَّاسَ بَعْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ فَإِنْ كَانَ مُحْرِمًا افْتَتَحَ خُطْبَتَهُ بِالتَّلْبِيَةِ وَإِنْ كَانَ حَلَالًا افْتَتَحَهَا بِالتَّكْبِيرِ وَيُسْتَحَبُّ إِنْ كَانَ الْإِمَامُ مُقِيمًا بِمَكَّةَ أَوْ مِنْ أَهْلِهَا أَنْ يُحْرِمَ وَيَصْعَدَ الْمِنْبَرَ مُحْرِمًا، وَيُخْبِرَهُمْ أَنَّهُ يَخْرُجُ بِهِمْ مِنَ الْغَدِ إِلَى مِنًى لِيَتَأَهَّبُوا لِذَلِكَ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: فَإِنْ كَانَ عَالِمًا فَقِيهًا أَحْبَبْتُ أَنْ يَقُولَ لَهُمْ: هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُجِيبَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فقيهاً لم يتعرض لذلك لأن لا يُسْأَلَ عَنْ شَيْءٍ فَلَا يَكُونُ عِنْدَهُ مَعْرِفَتُهُ فَيَكُونُ فِيهِ شَيْنٌ وَقَبَاحَةٌ وَلَا يَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَكُونَ إِلَّا بِمَنْزِلَةِ مَنْ إِذَا سُئِلَ أَجَابَ ثُمَّ يَكُونُ بِمَكَّةَ بَاقِي يَوْمِهِ وَلَيْلِهِ فَإِنْ وَافَقَ يَوْمُ السَّابِعِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بَدَأَ فَخَطَبَ لِلْجُمْعَةِ وَصَلَّاهَا ثُمَّ رَقِيَ الْمِنْبَرَ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَخَطَبَ لِلْحَجِّ فَلَوْ تَرَكَهَا الْإِمَامُ كَانَ تَارِكًا لِلسُّنَّةِ وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ.

PASAL
 Yang keempat adalah pada hari nafr pertama, yaitu tanggal dua belas di Mina setelah salat ẓuhr, maka seluruh khutbah dilakukan setelah salat ẓuhr kecuali khutbah ‘Arafah, karena khutbah ‘Arafah dilakukan setelah zawāl (matahari tergelincir) dan sebelum salat ẓuhr.

Adapun khutbah yang pertama, telah diriwayatkan oleh Mūsā bin ‘Uqbah dari Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi SAW berkhutbah sehari sebelum tarfiyah (yaitu tanggal tujuh Dzulhijjah) setelah salat ẓuhr dan mengajarkan kepada manusia manasik.

Maka apabila hal ini telah ditetapkan, dan itu adalah hari ketujuh dari Dzulhijjah, hendaklah imam berkhutbah kepada manusia setelah salat ẓuhr. Jika ia sedang dalam keadaan iḥrām, maka ia membuka khutbahnya dengan talbiyah; dan jika ia dalam keadaan halal (tidak beriḥrām), maka ia membukanya dengan takbīr.

Disunahkan, jika imam adalah penduduk Makkah atau tinggal di sana, untuk beriḥrām dan naik mimbar dalam keadaan beriḥrām, dan memberi tahu mereka bahwa ia akan keluar bersama mereka besok menuju Mina, agar mereka bersiap-siap.

Asy-Syāfi‘ī berkata:
 Jika imam adalah seorang yang berilmu dan faqih, aku menyukai agar ia berkata kepada mereka: “Apakah ada yang ingin bertanya?” maka aku akan menjawabnya. Namun jika ia bukan seorang faqih, maka jangan membuka ruang pertanyaan, agar tidak ditanya sesuatu yang tidak ia ketahui, sehingga akan menimbulkan celaan dan keburukan.

Dan tidak pantas seorang imam kecuali dalam kedudukan orang yang bila ditanya mampu menjawab.

Kemudian ia tinggal di Makkah sisa hari itu dan malamnya.

Jika hari ketujuh bertepatan dengan hari Jum‘at, maka hendaklah ia mulai dengan khutbah Jum‘at dan melaksanakan salat Jum‘at. Lalu ia naik mimbar setelah salat, dan menyampaikan khutbah ḥajj.

Jika imam meninggalkan khutbah tersebut, maka ia dianggap telah meninggalkan sunah, dan tidak ada fidyah atasnya.


فَصْلٌ
: فَإِذَا كَانَ مِنَ الْغَدِ وَهُوَ يَوْمُ التَّرْوِيَةِ الثَّامِنُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ أَحْرَمَ إِنْ لَمْ يَكُنْ أَحْرَمَ مِنْ قَبْلُ، وَأَحْرَمَ النَّاسُ مَعَهُ أَوْ مَنْ بَقِيَ مِنْهُمْ غَيْرَ مُحْرِمٍ وَيُخْتَارُ أَنْ يَكُونَ إِحْرَامُهُ بَعْدَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ سَبْعًا تَوْدِيعًا لَهُ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ خَرَجَ إِلَى مِنًى وَلَمْ يُصَلِّ الظُّهْرَ بِمَكَّةَ وَإِنْ خَرَجَ قَبْلَ الزَّوَالِ جَازَ فَإِذَا حَصَلَ بِمِنًى صَلَّى بِهَا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ وَالصُّبْحَ مِنَ الْغَدِ وَهُوَ يَوْمُ عَرَفَةَ لِرِوَايَةِ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَلَّى يَوْمَ التَّرْوِيَةِ بِمِنًى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ وَالصُّبْحَ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ تَكُونَ صَلَاتُهُ مِنْ مِنًى فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ عِنْدَ الْأَحْجَارِ الَّتِي بَيْنَ يَدَيِ الْمَنَارَةِ فَإِنَّهُ مُصَلَّى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَيُقَالُ لَهُ مَسْجِدُ ” الْعَيْشُومَةِ ” وَذَلِكَ أَنْ فِيهِ عيشومة خضراء في الجدب والخصب بَيْنَ حَجَرَيْنِ مِنَ الْقِبْلَةِ وَتِلْكَ الْعَيْشُومَةُ قَدِيمَةٌ لَمْ تَزَلْ هُنَاكَ وَإِنَّمَا اخْتَرْنَا ذَلِكَ اتِّبَاعًا لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلِرِوَايَةِ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” قَدْ صَلَّى فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ سَبْعُونَ نَبِيًّا فِيهِمْ مُوسَى وَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ عَلَيْهِ عَبَاءَتَانِ قِطْرِيَّتَانِ وَهُوَ مُحْرِمٌ عَلَى بَعِيرٍ مَخْطُومٍ بِخِطَامٍ من ليف، وله ضفيرتان ” ويختار عليه أَنْ يَنْزِلَ الْخَيْفَ الْأَيْمَنَ مِنْ مِنًى بَيْنَ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَدْ رَوَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إذا كنت بين الأخشبين من منى – ونفح بيد نحو الْمَشْرِقِ – فَإِنَّ هُنَاكَ وَادِيًا يُقَالُ لَهُ وَادِي السُّرَى بِهِ سَبْعُونَ نَبِيًّا ” فَإِنْ تَرَكَ الْإِمَامُ الصَّلَاةَ بِمِنًى وَالْمَبِيتَ بِهَا فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِتَرْكِهِ جُبْرَانٌ مِنْ دَمٍ وَلَا غَيْرِهِ وَكَذَلِكَ لَوْ تَرَكَ وَدَاعَ الْبَيْتِ بِهَذَا الطَّوَافِ فَلَا دَمَ عَلَيْهِ وَلَا جُبْرَانَ لِأَنَّهُ بِخُرُوجِهِ غَيْرُ مُفَارِقٍ لِلْبَيْتِ وَإِنَّمَا خَرَجَ لِيَعُودَ إليه واختلف الناس لم يسمى الثَّامِنُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ التَّرْوِيَةَ فَقَالَ قَوْمٌ: لِأَنَّ النَّاسَ يَرْتَوُونَ فِيهِ مِنَ الْمَاءِ مِنْ بِئْرِ زَمْزَمَ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِعَرَفَةَ وَلَا منى ماء. وقال آخرون لأنه الْيَوْمَ الَّذِي رَأَى فِيهِ آدَمُ عَلَيْهِ السَّلَامُ حَوَّاءَ. وَقَالَ آخَرُونَ لِأَنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَرَى فِيهِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَوَّلَ الْمَنَاسِكِ والله بذلك أعلم.

PASAL
 Apabila tiba hari berikutnya, yaitu yaum at-tarwiyah, tanggal delapan Dzulhijjah, maka ia berihram jika belum berihram sebelumnya. Orang-orang pun berihram bersamanya, atau siapa saja yang belum berihram di antara mereka. Disunnahkan agar ihram dilakukan setelah thawaf mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali sebagai perpisahan, lalu salat dua rakaat.

Ketika matahari telah tergelincir, ia keluar menuju Mina dan tidak salat zuhur di Makkah. Jika ia keluar sebelum tergelincir matahari, hal itu tetap diperbolehkan. Ketika telah sampai di Mina, ia salat zuhur, asar, magrib, isya, dan subuh pada keesokan harinya, yaitu hari ‘Arafah, berdasarkan riwayat Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya dari Jābir bahwa Nabi SAW salat pada hari at-tarwiyah di Mina: zuhur, asar, magrib, isya, dan subuh, kemudian tinggal di sana hingga matahari terbit.

Disunnahkan agar salat dilakukan di Mina, di Masjid al-Khayf, dekat batu-batu yang berada di depan menara, karena di sanalah tempat salat Rasulullah SAW. Masjid itu juga disebut “Masjid al-‘Aisyūmah”, karena di tempat tersebut terdapat pohon ‘aisyūmah yang hijau, baik pada masa kekeringan maupun masa subur, di antara dua batu dari arah kiblat. Pohon ‘aisyūmah tersebut adalah pohon tua yang senantiasa ada di sana. Tempat itu dipilih karena mengikuti Rasulullah SAW, dan berdasarkan riwayat ‘Aṭā’ bin as-Sā’ib dari Sa‘īd bin Jubair dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
 “Telah salat di Masjid al-Khayf tujuh puluh nabi, di antaranya Mūsā. Aku seakan-akan melihatnya mengenakan dua kain qiṭrīyah (bergaris), sedang berihram di atas unta yang dikekang dengan tali dari serat kurma, dan beliau memiliki dua kepangan rambut.”

Disunnahkan untuk turun (bermalam) di sisi kanan lembah Mina, antara dua bukit al-Akhsyabayn. Telah diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
 “Jika engkau berada di antara dua bukit al-Akhsyabayn di Mina”—lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya ke arah timur—”maka di sana ada sebuah lembah yang disebut Wādī as-Surā yang pernah dilalui oleh tujuh puluh nabi.”

Jika imam meninggalkan salat di Mina dan tidak bermalam di sana pada malam itu, maka tidak dikenakan kewajiban menunaikan dam (denda), dan tidak pula kewajiban lainnya. Begitu pula, jika ia meninggalkan thawaf perpisahan pada waktu itu, maka tidak dikenakan dam dan tidak pula kewajiban lainnya, karena dengan keluarnya ia dari Makkah, ia tidak bermaksud untuk meninggalkan Ka’bah, tetapi akan kembali kepadanya.

Para ulama berselisih pendapat tentang asal-usul penamaan hari kedelapan Dzulhijjah sebagai at-tarwiyah. Sebagian mengatakan: karena pada hari itu orang-orang mengisi air dari sumur Zamzam, sebab di ‘Arafah dan Mina tidak ada air. Sebagian lain mengatakan: karena hari itu adalah hari ketika Nabi Ādam AS melihat Ḥawwā’. Yang lain lagi mengatakan: karena pada hari itu Jibrīl AS memperlihatkan kepada Ibrāhīm AS manāsik haji untuk pertama kalinya. Dan Allah-lah yang lebih mengetahui.

 

مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ثُمَّ يَغْدُو إِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ إِلَى عَرَفَةَ وَهُوَ عَلَى تَلْبِيَتِهِ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ صَعِدَ الْإِمَامُ فَجَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَخَطَبَ الْخُطْبَةَ الْأُولَى فَإِذَا جَلَسَ أَخَذَ الْمُؤَذِّنُونَ فِي الْأَذَانِ وَأَخَذَ هو في الكلام وخفف الكلام الآخر حتى ينزل بِقَدْرِ فَرَاغِ الْمُؤَذِّنِ مِنَ الْأَذَانِ وَيُقِيمُ الْمُؤَذِّنُ وَيُصَلِّي الظُّهْرَ ثُمَّ يُقِيمُ فَيُصَلِّي الْعَصْرَ وَلَا يَجْهَرُ بِالْقِرَاءَةِ “.

Masalah
 Imam asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:
 “Kemudian ia berangkat ketika matahari telah terbit menuju ‘Arafah, dalam keadaan tetap bertalbiyah. Ketika matahari telah tergelincir, imam naik ke atas mimbar dan duduk, lalu menyampaikan khuṭbah yang pertama. Ketika ia duduk (di antara dua khuṭbah), para muadzin mulai mengumandangkan azan, dan ia pun mulai berbicara kembali, namun meringankan isi khuṭbah yang kedua hingga ia turun seiring dengan selesainya azan para muadzin. Kemudian muadzin mengiqamahkan salat, lalu ia salat zuhur, kemudian iqamah lagi dan salat asar, dan tidak menjaharkan bacaan.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا فَرَغَ الْإِمَامُ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ بِمِنًى فِي يوم عرفة وهو اليوم التاسع من ذِي الْحِجَّةِ غَدَا الْإِمَامُ وَمَنْ مَعَهُ بِمِنًى إِلَى عَرَفَةَ بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَدِ اخْتَلَفَتِ الرِّوَايَةُ فِي غُدُوِّ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ مِنًى إِلَى عَرَفَةَ فَرَوَى بَعْضُهُمْ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَرَوَى بَعْضُهُمْ بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَاخْتَارَ الشَّافِعِيُّ بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ؛ لِأَنَّهُ أَكْثَرُ رِوَايَةً وَقد رُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ غَدَا إِلَى مِنًى بَعْدَ مَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ عَلَى ثَبِيرٍ وَقَدْ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ رِوَايَةُ مَنْ رَوَى أَنَّهُ غَدا قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ أَخْبَرَ عَنْ حَالِ عَرَفَةَ وَتَأَهُّبِهِ وَشَدِّ رَحْلِهِ وَمَنْ رَوَى بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ أَخْبَرَ عَنْ حَالِ سَيْرِهِ.

Qāl al-Māwardī: Ini benar, yaitu apabila imam telah selesai salat subuh di Mina pada hari ‘Arafah, yaitu hari kesembilan dari Dzulhijjah, maka imam dan orang-orang yang bersamanya berangkat dari Mina menuju ‘Arafah setelah terbit matahari.

Telah terjadi perbedaan riwayat tentang waktu keberangkatan Rasulullah SAW dari Mina ke ‘Arafah. Sebagian meriwayatkan sebelum terbit matahari, dan sebagian lagi meriwayatkan setelah terbit matahari. Imam asy-Syāfi‘ī memilih setelah terbit matahari karena riwayat ini lebih banyak.

Telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau berangkat ke Mina setelah matahari terbit di atas bukit Ṯabīr. Mungkin saja riwayat yang menyatakan bahwa beliau berangkat sebelum terbit matahari, bermaksud menceritakan keadaan persiapan dan pengepakan barang-barang beliau. Sedangkan yang meriwayatkan keberangkatan setelah matahari terbit, menceritakan tentang waktu perjalanan sebenarnya.


قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَأَخْتَارُ أَنْ يَسْلُكَ الطَّرِيقَ الَّتِي سَلَكَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في غدوه إلى عرفة وهي مِنْ مُزْدَلِفَةَ فِي أَصْلِ الْمَأْزِمَيْنِ عَلَى يَمِينِ الذَّاهِبِ إِلَى عَرَفَةَ يُقَالُ لَهُ طَرِيقُ ضَبٍّ وَيَكُونُ الْإِمَامُ وَالنَّاسُ عَلَى تَلْبِيَتِهِمْ ثُمَّ يَنْزِلُ بِنَمِرَةَ حَيْثُ نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَبْلَ عَرَفَةَ وَهُوَ مَنْزِلُ الْخُلَفَاءِ الْيَوْمَ وَهُوَ إِلَى الصَّخْرَةِ السَّاقِطَةِ بِأَصْلِ الْجَبَلِ عَلَى يَمِينِ الذَّاهِبِ إِلَى عَرَفَةَ فَهُنَاكَ نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأُلْقِيَ لَهُ عَلَى الصَّخْرَةِ ثَوْبٌ اسْتَظَلَّ بِهِ مِنْ حَرِّ الشَّمْسِ.

Asy-Syāfi‘ī berkata:
 “Aku memilih agar seseorang menempuh jalan yang ditempuh oleh Rasulullah SAW ketika beliau berangkat pagi menuju ‘Arafah, yaitu dari Muzdalifah melalui dasar al-Ma’zimayn, berada di sebelah kanan orang yang berjalan menuju ‘Arafah. Jalan itu disebut Ṭarīq Ḍabb.

Kemudian imam dan orang-orang tetap dalam keadaan bertalbiyah, lalu turun di Namirah, yaitu tempat Rasulullah SAW turun sebelum ‘Arafah. Tempat itu sekarang menjadi tempat turun para khalifah, dan berada dekat batu besar yang terletak di dasar gunung, di sebelah kanan orang yang menuju ke ‘Arafah.

Di sanalah Rasulullah SAW turun, dan dibentangkan untuk beliau sehelai kain di atas batu tersebut untuk berteduh dari panasnya matahari.”


فَصْلٌ
: فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ تَوَجَّهَ إِلَى الْمُصَلَّى وَهُوَ مَسْجِدُ إِبْرَاهِيمَ فَخَطَبَ خُطْبَتَيْنِ قَبْلَ الصَّلَاةِ يَبْتَدِئُهُمَا بِالتَّلْبِيَةِ وَهَذِهِ الْخُطْبَةُ وَاجِبَةٌ بِفِعْلِهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ كَالْجُمُعَةِ وَهِيَ الْخُطْبَةُ الثَّانِيَةُ فِي خُطَبِ الْحَجِّ وَيَكُونُ عَلَى مِنْبَرٍ إن وجد أَوْ عَلَى نَشْرٍ مِنَ الْأَرْضِ أَوْ عَلَى ظَهْرِ بَعِيرٍ وَقَدْ رَوَى شَهْرُ بْنُ حَوْشَبٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ غُنَيْمٍ عَنْ عَمْرِو بن خارجة قَالَ: شَهِدْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَدْ خَطَبْنَا عَلَى رَاحِلَتِهِ بِعَرَفَةَ وَإِنَهَا لَتَقْصَعُ بحرها. قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ الْقَصْعُ ضَمُّكَ الشَّيْءَ عَلَى الشي حَتَّى تَقْتُلَهُ أَوْ تُهَشِّمَهُ كَأَنَّهُ أَرَادَ بِقَصْعِ الحر شِدَّةَ الْمَضْغِ وَضَمَّ بَعْضِ الْأَسْنَانِ عَلَى بَعْضٍ والجزة ما تجتزه الْإِبِلُ فَتُخْرِجُهُ مِنْ أَجْوَافِهَا لِتَمْضُغَهُ ثُمَّ تَرُدَّهُ فِي أَكْرَاشِهَا وَقَدْ سَاقَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَجَّ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَمَا فَعَلَهُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ وَحَكَى خُطْبَتَهُ فَرَوَى جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ فَقُلْتُ أَخْبِرْنِي عَنْ حَجِّ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَتَى عَرَفَةَ فَنَزَلَ بِهَا حَتَى إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ أَمَرَ بِالْقَصْوَى فَرُحِّلَتْ لَهُ فَرَكِبَ حَتَى أَتَى بَطْنَ الْوَادِي فَخَطَبَ النَّاسَ وَقَالَ: إِنَّ دمائكم وَأَمْوَالَكُمْ حرامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا أَلَا إِنَّ كُلَّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ تَحْتَ قَدَمِي وَإِنَّ أَوَّلَ دمٍ أَضَعُهُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ دِمَاؤُنَا دَمُ رَبِيعَةَ بْنِ الْحَارِثِ كَانَ مُسْتَرْضَعًا في بني سعدٍ فَقَتَلَتْهُ هُذَيْلٌ وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُهُ رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ اتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَإِنَّ لَكُمْ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مبرحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَ بِالْمَعْرُوفِ وقد تركت فيكم ما إن تضلوا بعده إن اعتصمتم كتاب الله وأنتم مسؤولون عَنِّي فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟ فَقَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَنَصَحْتَ وَأَدَّيْتَ فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيُنَكِّسُهَا إِلَى الْأَرْضِ اللَّهُمَّ اشهد ثلاث مراتٍ.

PASAL
 Apabila matahari telah tergelincir, maka imam menuju ke tempat salat, yaitu Masjid Ibrāhīm. Di sana ia menyampaikan dua khuṭbah sebelum salat, yang dimulai dengan talbiyah. Khuṭbah ini wajib dilakukan sebelum salat seperti khuṭbah Jumat, dan merupakan khuṭbah kedua dari rangkaian khuṭbah-khuṭbah haji.

Disunnahkan agar khuṭbah disampaikan dari atas mimbar jika tersedia, atau dari tempat yang tinggi di atas tanah, atau di atas punggung unta.

Telah diriwayatkan oleh Syahr bin Ḥawsyab dari ‘Abd ar-Raḥmān bin Ghunaym dari ‘Amr bin Khārijah, ia berkata:
 “Aku menyaksikan Rasulullah SAW menyampaikan khuṭbah kepada kami di atas untanya di ‘Arafah, dan unta itu mengeluarkan suara keras karena beratnya tekanan.”
 Abū ‘Ubayd menjelaskan bahwa al-qaṣ‘ adalah tindakan menghimpit atau menekan sesuatu hingga menghancurkannya atau mematahkannya, dan yang dimaksud adalah tekanan kunyahan yang kuat dan rapatnya gigi atas dan bawah. Sedangkan al-jizzah adalah makanan yang dikeluarkan unta dari perutnya untuk dikunyah kembali lalu dikembalikan ke dalam perutnya.

Jābir bin ‘Abdillāh telah meriwayatkan tata cara haji Rasulullah SAW dan apa yang dilakukan beliau di tempat ini, serta meriwayatkan isi khuṭbah-nya.

Ja‘far bin Muḥammad meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata:
 _”Aku menemui Jābir bin ‘Abdillāh dan berkata: ‘Kabarkan kepadaku tentang haji Rasulullah SAW.’ Maka ia berkata: ‘Rasulullah SAW mendatangi ‘Arafah dan tinggal di sana. Ketika matahari telah tergelincir, beliau memerintahkan agar unta al-Qaṣwā’ disiapkan, lalu beliau menaikinya hingga sampai ke tengah lembah, kemudian beliau berkhutbah kepada manusia dan bersabda:

Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram atas kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini. Ketahuilah, segala perkara jahiliah berada di bawah telapak kakiku. Dan sesungguhnya darah pertama yang aku gugurkan dari perkara jahiliah adalah darah kami sendiri, yaitu darah Rabī‘ah bin al-Ḥārith yang disusui di Banū Sa‘d lalu dibunuh oleh suku Hudhail.

Riba jahiliah juga telah dihapus, dan riba pertama yang aku gugurkan adalah riba ‘Abbās bin ‘Abd al-Muṭṭalib—semuanya dihapus.

Bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan perempuan, karena kalian mengambil mereka dengan amanat Allah, dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kalian berhak melarang siapa pun yang kalian benci untuk menginjak tempat tidur kalian. Jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Dan mereka memiliki hak atas kalian untuk mendapatkan nafkah dan pakaian dengan cara yang ma‘rūf.

Sungguh aku tinggalkan pada kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya, kalian tidak akan tersesat setelahku, yaitu Kitābullāh. Kalian akan ditanya tentang aku, maka apa yang akan kalian katakan?’_

Mereka menjawab: ‘Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan (risalah), menasihati, dan menunaikan (amanah).’

Maka beliau mengangkat jari telunjuknya ke langit dan menunjukkannya ke bumi seraya berkata:
 ‘Allāhumma isyhad (Ya Allah, saksikanlah),’
 sebanyak tiga kali.”_


فَصْلٌ
: وَمِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَبْتَدِئَ بِالْخُطْبَةِ قَبْلَ الْأَذَانِ وَيُؤَخِّرَهَا وَيُعَرِّفَ النَّاسَ مَا يَحْتَاجُونَ إِلَيْهِ مِنْ مَنَاسِكِهِمْ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَأَقَلُّ مَا عَلَيْهِ أَنْ يُعَلِّمَهُمْ مَا يَلْزَمُهُمْ مِنْ هَذِهِ الْخُطْبَةِ إِلَى الْخُطْبَةِ الثَّالِثَةِ فَإِنْ كَانَ فَقِيهًا فَقَالَ هَلْ مِنْ سَائِلٍ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَقِيهًا لَمْ يَتَعَرَّضْ لِلسُّؤَالِ، ثُمَّ يَجْلِسُ لِلِاسْتِرَاحَةِ، ثُمَّ يَقُومُ إِلَى الْخُطْبَةِ الثَّانِيَةِ وَيَأْخُذُ الْمُؤَذِّنُونَ فِي الْأَذَانِ لِيَكُونَ فَرَاغُهُمْ مِنَ الْأَذَانِ مَعَ فَرَاغِهِ مِنْ خُطْبَتِهِ، وَقَالَ أبو حنيفة: يُؤَذِّنُ الْمُؤَذِّنُونَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ لِتَكُوْنَ خُطْبَتُهُ بَعْدَ الْأَذَانِ كَالْجُمُعَةِ.

PASAL
 Termasuk sunah adalah memulai dengan khutbah sebelum azan dan mengakhirkan azan, serta menjelaskan kepada manusia hal-hal yang mereka butuhkan dari manasik mereka.

Asy-Syāfi‘ī berkata:
 Minimal yang wajib atasnya adalah mengajarkan kepada mereka hal-hal yang mereka perlukan sejak khutbah ini sampai khutbah ketiga.

Jika imam adalah seorang faqīh, maka ia boleh berkata: “Apakah ada yang ingin bertanya?” Namun jika ia bukan faqīh, maka jangan membuka ruang pertanyaan.

Kemudian ia duduk sejenak untuk istirahat, lalu berdiri menyampaikan khutbah kedua, dan para muadzin mulai mengumandangkan azan agar selesainya azan mereka bertepatan dengan selesainya khutbahnya.

Abū Ḥanīfah berkata:
 Muadzin mengumandangkan azan sebelum khutbah, agar khutbah itu setelah azan, seperti halnya khutbah Jum‘at.


وِالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ رِوَايَةُ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَتَى بَطْنَ الْوَادِي فَخَطَبَ ثُمَّ وَقَفَ قَلِيلًا ثم خطب وأمر بلالاً فأذان وَأَقَامَ فَإِذَا أَذَّنَ أَقَامَ وَصَلَى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ وَصَلَّى الْعَصْرَ جَامِعًا بَيْنَهُمَا فَيُصَلِّيهِمَا بأذانٍ وَإِقَامَتَيْنِ.
وَقَالَ مَالِكٌ: يُؤَذِّنُ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا وَيُقِيمُ.
وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: يُقِيمُ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا وَلَا يُؤَذِّنُ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمَا رِوَايَةُ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِعَرَفَةَ بأذانٍ وَإِقَامَتَيْنِ.

Dan dalil atas kebenaran pendapat yang kami anut adalah riwayat Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya dari Jābir bin ‘Abdillāh bahwa Nabi SAW mendatangi lembah (baṭn al-wādī), lalu menyampaikan khuṭbah, kemudian berhenti sejenak, lalu berkhutbah kembali, dan memerintahkan Bilāl untuk mengumandangkan azan dan iqamah. Ketika Bilāl mengumandangkan azan, ia kemudian mengiqamahkan dan Nabi salat zuhur. Lalu ia iqamah lagi dan salat asar dengan menjamak keduanya. Maka dua salat itu dikerjakan dengan satu azan dan dua iqamah.

Imam Mālik berkata: “Dikumandangkan azan untuk masing-masing dari keduanya, dan iqamah juga untuk masing-masing.”

Imam Aḥmad bin Ḥanbal berkata: “Cukup iqamah untuk masing-masing dari keduanya, tanpa azan.”

Dalil bagi keduanya adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi SAW menjamak antara zuhur dan asar di ‘Arafah dengan satu azan dan dua iqamah.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْقَصْرُ وَالْإِتْمَامُ فَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ مُسَافِرًا قَصَرَ الصَّلَاةَ فَصَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ وَقَصَرَ مَنْ خَلْفَهُ مِنَ الْمُسَافِرِينَ وَأَتَمَّ الْمُقِيمُونَ أَرْبَعًا وَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ أَوْ مُقِيمًا بِهَا أَتَمَّ الصَّلَاةَ أَرْبَعًا. وأتم من خلفه من المسافرين والمقيمين أَرْبَعًا وَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ وَقَالَ مَالِكٌ يَقْصُرُ وَإِنْ كَانَ مُقِيمًا وَيَقْصُرُ مَنْ خَلْفَهُ مِنَ الْمُسَافِرِينَ وَالْمُقِيمِينَ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَصَرَ بِعَرَفَةَ وَلَمْ يَأْمُرْ مَنْ كَانَ مَعَهُ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ بِالْإِتْمَامِ.
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: يَا أَهْلَ مَكَّةَ لَا تَقْصُرُوا فِي أَقَلَّ مِنْ أَرْبَعَةِ بردٍ وَذَلِكَ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفَانَ وَالَطَائِفِ فَكَانَ فِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ أَمَرَ أَهْلَ مَكَةَ بِالْإِتْمَامِ.

PASAL
 Adapun tentang qaṣr (meringkas salat) dan itmām (menyempurnakan salat), maka jika imam adalah seorang musafir, ia melakukan qaṣr salat, yakni salat ẓuhr dua rakaat dan ‘aṣr dua rakaat. Maka orang-orang di belakangnya yang juga musafir ikut qaṣr, sementara orang-orang yang muqīm (bermukim) menyempurnakan salat menjadi empat rakaat.

Namun jika imam adalah penduduk Makkah atau sedang muqīm di dalamnya, maka ia menyempurnakan salat empat rakaat. Dan siapa pun yang salat di belakangnya, baik musafir maupun muqīm, maka mereka semua menyempurnakan salat menjadi empat rakaat.

Apabila imam adalah penduduk Makkah, maka Mālik berkata: ia boleh melakukan qaṣr meskipun ia muqīm, dan orang-orang di belakangnya dari kalangan musafir maupun muqīm juga boleh qaṣr. Dalilnya adalah bahwa Rasulullah SAW melakukan qaṣr di ‘Arafah dan tidak memerintahkan penduduk Makkah yang bersamanya untuk menyempurnakan salat.

Namun dalil kami adalah riwayat dari Ibnu ‘Abbās, bahwa Nabi SAW bersabda:
 “Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian melakukan qaṣr dalam perjalanan kurang dari empat barid (sekitar 88 km), yaitu jarak dari Makkah ke ‘Usfān dan Ṭā’if.”

Maka ini menjadi dalil bahwa Nabi SAW memerintahkan penduduk Makkah untuk menyempurnakan salat.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فَهُوَ مَسْنُونٌ هُنَاكَ لِلْمُقِيمِ وَالْمُسَافِرِ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إنما جمعها هناك ليفضل له الدعاء بالوقوف فَلِذَلِكَ لَمْ يَقَعِ الْفَرْقُ بَيْنَ الْمُسَافِرِ وَالْمُقِيمِ وَخَالَفَ الْقَصْرَ فَإِذَا أَجْمَعَ الْإِمَامُ وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْوِيَ الْجَمْعَ عِنْدَ افْتِتَاحِ الْأُولَى فَأَمَّا الَّذِينَ خَلْفَهُ مِنَ الْمَأْمُومِينَ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَصَحُّهُمَا: عَلَيْهِمْ أَنْ يَنْوُوا الْجَمْعَ وَيُوصِيَ النَّاسُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِهَا وَيُخْبِرُ مَنْ عَلِمَ مَنْ جَهِلَ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَصِحَّ جَمْعُ الْإِمَامِ إِلَّا بِنِيَّةِ الْجَمْعِ لَمْ يَصِحَّ جَمْعُ الْمَأْمُومِينَ إِلَّا بِنِيَّةِ الْجَمْعِ كَالْجَمْعِ بِغَيْرِ عَرَفَةَ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُمْ إِنْ جَمَعُوا مِنْ غَيْرِ نِيَّةِ الْجَمْعِ أَجْزَأَهُمْ لِاخْتِصَاصِ الْمَوْضِعِ لِجَوَازِ الْجَمْعِ وَلِحُوقِ الْمَشَقَّةِ فِي إِعْلَامِ الْكُلِّ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَمَعَ هُنَاكَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنَادِيَ فِيهِمْ بِالْجَمْعِ وَلَا أَخْبَرَهُمْ بِهِ.

PASAL
 Adapun jama‘ antara dua salat (zuhur dan asar) di tempat itu (‘Arafah), maka hukumnya adalah sunnah baik bagi orang yang menetap maupun bagi musafir. Karena Rasulullah SAW melakukan jama‘ di sana untuk memberikan keleluasaan dalam berdoa saat wuqūf, maka sebab itulah tidak dibedakan antara musafir dan orang yang tinggal. Hal ini berbeda dengan qaṣr.

Apabila imam hendak menjama‘, maka wajib baginya untuk meniatkan jama‘ ketika membuka salat pertama.

Adapun para makmum yang berada di belakang imam, terdapat dua pendapat:

Pendapat yang paling kuat: mereka juga wajib meniatkan jama‘, dan hendaknya sebagian orang saling mewasiatkan hal itu serta memberi tahu orang yang belum tahu, karena sebagaimana salat jama‘ imam tidak sah tanpa niat jama‘, demikian pula salat jama‘ para makmum tidak sah tanpa niat jama‘, sebagaimana halnya jama‘ di tempat selain ‘Arafah.

Pendapat kedua: jika mereka menjama‘ tanpa niat jama‘, tetap sah salat mereka, karena keistimewaan tempat itu membolehkan jama‘, dan karena adanya kesulitan untuk menginformasikan kepada seluruh jamaah. Sebab Rasulullah SAW menjama‘ di sana tanpa mengumumkan jama‘ kepada mereka dan tanpa memberitahukan hal itu secara langsung.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا مَنْ جَاءَ وَقَدْ فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْإِمَامِ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ صَلَاتَيِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ إِذَا كَانَ مُسَافِرًا سَوَاءٌ صَلَّى فِي جَمَاعَةٍ أَوْ فرادى وقال أبو حنيفة لا تجمع الصَّلَاةَ إِلَّا مَعَ الْإِمَامِ كَالْجُمُعَةِ.
وَدَلِيلُنَا أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا إِذَا فَاتَهُ الْجَمْعُ مَعَ الْإِمَامِ وَلَيْسَ لَهُ مُخَالِفٌ فَكَانَ إِجْمَاعًا، وَلِأَنَّ كُلَّ جَمْعٍ جَازَ مَعَ الْإِمَامِ جَازَ انْفِرَادُهُ بِهِ كَالْجَمْعِ بِمُزْدَلِفَةَ فَإِذَا صَحَّ لَهُ الْجَمْعُ فَلَا يَجُوزُ لَهُ الْجَمْعُ إِلَّا بِنِيَّةٍ فَيَجْمَعُ نَاوِيًا إِنْ كَانَ مسافراً أن يقصر إِنْ شَاءَ وَيُتِمُّ الصَّلَاةَ إِنْ كَانَ مُقِيمًا، وَهَلْ يَجُوْزُ لَهُ الْجَمْعُ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِي جَوَازِ الْجَمْعِ فِي السَّفَرِ الْقَصِيرِ.

PASAL
 Adapun orang yang datang dan telah luput dari salat bersama imam, maka boleh baginya menjamak antara salat ẓuhr dan ‘aṣr apabila ia sedang dalam perjalanan, baik ia salat secara berjamaah maupun sendirian.

Abū Ḥanīfah berkata: tidak boleh menjamak salat kecuali bersama imam, seperti halnya salat Jumat.

Adapun dalil kami adalah bahwa ‘Abdullāh bin ‘Umar menjamak antara keduanya apabila ia luput dari berjamaah bersama imam, dan tidak ada seorang pun yang menyelisihinya, maka itu menjadi ijmak.

Dan karena setiap jam‘ (penggabungan salat) yang boleh dilakukan bersama imam, maka boleh juga dilakukan sendirian, sebagaimana jam‘ di Muzdalifah.

Apabila telah sah baginya menjamak, maka tidak boleh menjamak kecuali dengan niat. Maka ia menjamak dengan berniat.

Jika ia musafir, maka boleh ia qaṣr bila menghendaki, dan boleh menyempurnakan jika ia muqīm.

Adapun apakah boleh baginya menjamak? Maka dalam hal ini terdapat dua pendapat, yang dibangun di atas perbedaan pendapat asy-Syāfi‘ī tentang bolehnya menjamak dalam safar yang pendek.


فَصْلٌ
: وَيُسِرُّ بِالْقِرَاءَةِ فِيهِمَا جَمِيعًا، وَلَا يَجْهَرُ.
وَقَالَ أبو حنيفة: يَجْهَرُ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ كَالْجُمُعَةِ لِتَقَدُّمِ الْخُطْبَةِ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ كُلَّ مَنْ نَقَلَ حَجَّ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَوَى أَنَّهُ أَسَرَّ بِالْقِرَاءَةِ، وَبِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَلَاةُ النَّهَارِ عَجْمَاءُ إِلَّا الْجُمُعَةَ وَالْعِيدَيْنِ.
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَيْسَ بِعَرَفَةَ وَلَا مِنًى وَلَا مُزْدَلِفَةَ جُمْعَةٌ وَلَا صَلَاةُ عِيدٍ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ فِي حَجَّتِهِ فِي عَرَفَةَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَلَمْ يُصَلِّ الْجُمُعَةَ وَفِيهِ نَزَلَ قَوْله تَعَالَى: {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ الإسْلاَمَ دِيناً) {المائدة: 3) فَرُوِيَ أَنَّ بَعْضَ أَحْبَارِ الْيَهُودِ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ لَوْ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَيْنَا لَكَانَ لَنَا يَوْمَ عِيدٍ، فَقَالَ لَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ: قَدْ كَانَتْ وَاللَّهِ فِي عِيدَيْنِ اثْنَيْنِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَوْمَ عَرَفَةَ فَلَوْ تَرَكَ الْإِمَامُ الْخُطْبَةَ يَوْمَ عَرَفَةَ وَالصَّلَاةَ فِي مَسْجِدِ إِبْرَاهِيمَ كَانَ مُسِيئًا لِمُخَالَفَةِ السُّنَّةِ وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ وَلَا فِدْيَةَ.

PASAL
 Dan ia membaca dengan pelan pada keduanya, tidak mengeraskan bacaan.

Abu Ḥanīfah berpendapat: dibaca dengan keras pada keduanya seperti salat Jumat karena didahului oleh khuṭbah. Ini adalah kesalahan, karena seluruh orang yang meriwayatkan haji Rasulullah SAW meriwayatkan bahwa beliau membaca dengan pelan, dan berdasarkan sabda beliau SAW: “Salat di siang hari itu pelan (tidak dikeraskan), kecuali salat Jumat dan dua salat ‘ied.”

Imam al-Syāfi‘i berkata: “Di ‘Arafah, Mina, dan Muzdalifah tidak ada salat Jumat dan tidak ada salat ‘ied, karena Nabi SAW dalam hajinya berada di ‘Arafah pada hari Jumat, namun beliau tidak menunaikan salat Jumat, dan pada hari itu turun firman Allah Ta‘ālā: ‘Pada hari ini Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan Aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian’ (QS al-Mā’idah: 3).”

Diriwayatkan bahwa sebagian pendeta Yahudi berkata kepada Ibn ‘Abbās: “Andai ayat ini turun kepada kami, pasti kami jadikan hari itu sebagai hari raya.” Maka Ibn ‘Abbās berkata kepadanya: “Sungguh demi Allah, ia telah turun pada dua hari raya: hari Jumat dan hari ‘Arafah.”

Maka jika imam meninggalkan khuṭbah pada hari ‘Arafah dan salat di Masjid Ibrāhīm, maka ia telah berbuat buruk karena menyelisihi sunnah, tetapi tidak ada kewajiban mengulangi dan tidak pula fidyah atasnya.


مَسْأَلَةٌ
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ثُمَّ يَرْكَبُ فَيَرُوحُ إِلَى الْمَوْقِفِ عِنْدَ الصَّخَرَاتِ ثُمَّ يَسْتَقْبِلُ الْقِبْلَةَ بِالدُّعَاءِ وَحَيْثُمَا وَقَفَ النَّاسُ من عرفة أجزأهم لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال ” هذا موقف وكل عرفة موقفٌ ” (قال) حدثنا إبراهيم قال حدثنا الربيع قال سمعت الشافعي يقول: ” عرفة كل سهلٍ وجبلٍ أقبل على الموقف فيما بين التلعةِ التي تفضي إلى طريق نعمان وإلى حصين وما أقبل من كبكب ” وأحب للحاج ترك صوم عرفة لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لم يصمه وأرى أنه أقوى للمفطر على الدعاء وأفضل الدعاء يوم عرفة “.

Masalah
 Asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:
 “Kemudian ia menaiki kendaraannya dan pergi menuju tempat wuqūf di dekat batu-batu besar, lalu menghadap kiblat untuk berdoa.

Dan di manapun orang-orang berhenti (berwuqūf) di ‘Arafah, maka itu mencukupi mereka, karena Nabi SAW bersabda: ‘Ini adalah tempat wuqūf, dan seluruh ‘Arafah adalah tempat wuqūf.’”

Ia (asy-Syāfi‘ī) berkata:
 Telah menceritakan kepada kami Ibrāhīm, ia berkata: telah menceritakan kepada kami ar-Rabī‘, ia berkata: aku mendengar asy-Syāfi‘ī berkata:
 “‘Arafah mencakup seluruh tanah datar dan bukit yang menghadap ke tempat wuqūf, yaitu di antara bukit kecil yang menuju ke jalan Nu‘mān hingga ke Ḥuṣayn dan seluruh arah dari bukit Kabkab.”

Dan aku menyukai bagi orang yang berhaji untuk tidak berpuasa pada hari ‘Arafah, karena Nabi SAW tidak berpuasa pada hari itu, dan menurutku berbuka lebih kuat bagi yang ingin berdoa, sedangkan doa terbaik adalah pada hari ‘Arafah.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْوُقُوفُ بِعَرَفَةَ فَرُكْنٌ مِنْ أَرْكَانِ الْحَجِّ وَاجِبٌ لَا نَعْرِفُ فِيهِ خِلَافًا بَيْنَ الْعُلَمَاءِ؛ لِرِوَايَةِ بُكَيْرِ بْنِ عَطَاءٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْمَرَ الدِّيلِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” الْحَجُّ عَرَفَاتٌ فَمَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ فَقَدْ أدرك الحج أيام منى ثلاثةٍ فمن تعجل في يومين فلا إثم عليه ومن تأخر فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ” فَإِذَا ثَبَتَ ذَلِكَ فَالْكَلَامُ بَعْدَهُ فِي فَصْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: مَوْضِعُ الْوُقُوفِ.
وَالثَّانِي: زَمَانُ الْوُقُوفِ.

Al-Māwardī berkata:
 Adapun wuqūf di ‘Arafah, maka itu adalah rukun dari rukun-rukun haji dan suatu kewajiban yang tidak kami ketahui adanya perbedaan di antara para ulama, berdasarkan riwayat dari Bukayr bin ‘Aṭā’ dari ‘Abdur-Raḥmān bin Ya‘mar ad-Dīlī, ia berkata:
 “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
 ‘Haji itu adalah ‘Arafah. Barang siapa yang mendapatkan (berwuqūf di) ‘Arafah, maka sungguh ia telah mendapatkan haji. Hari-hari Mina adalah tiga. Maka barang siapa yang menyegerakan (nafr) dalam dua hari, tidak ada dosa atasnya, dan barang siapa yang mengakhirkan, juga tidak ada dosa atasnya.’”

Apabila hal ini telah ditetapkan, maka pembahasan setelahnya terbagi dalam dua bagian:
 Pertama: tempat wuqūf.
 Kedua: waktu wuqūf.


فَأَمَّا مَوْضِعُ الْوُقُوفِ فَهُوَ عَرَفَةُ، وعرفة ما جاوز وادي عرفة الَّذِي فِيهِ الْمَسْجِدُ، وَلَيْسَ الْمَسْجِدُ وَلَا وَادِي عرفة من عرفة إلى الجبال القابلة عَلَى عَرَفَةَ كُلِّهَا مِمَّا يَلِي حَوَائِطَ بَنِي عَامِرٍ وَطَرِيقَ الْحِصْنِ فَإِذَا جَاوَزْتَ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنْ عَرَفَةَ وَهَذَا حَدُّ الشَّافِعِيِّ وَهُوَ بِهِ أَعْرَفُ، فَإِذَا فَرَغَ الْإِمَامُ مِنَ الصَّلَاةِ تَوَجَّهَ مِنْ مَسْجِدِ إِبْرَاهِيمَ إِلَى عَرَفَةَ وَقَدْ حَكَى سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ تُسَمَّى الخمس وَكَانُوا لَا يَخْرُجُونَ مِنَ الْحَرَمِ يَوْمَ عَرَفَةَ وَيَقِفُونَ بِنَمِرَةَ دُونَ عَرَفَةَ فِي الْحَرَمِ، وَيَقُولُونَ لَسْنَا كَسَائِرِ النَّاسِ نَحْنُ أَهْلُ اللَّهِ فَلَا نَخْرُجُ مِنْ حَرَمِ اللَّهِ، وَكَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَا يَقِفُ مَعَ قُرَيْشٍ فِي الْحَرَمِ، وَيَخْرُجُ مَعَ النَّاسِ إِلَى عَرَفَةَ، فَرَوَى عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: ذَهَبْتُ أَطْلُبُ بَعِيرًا إِلَى عَرَفَةَ ضَلَّ مِنِّي حَتَّى أَتَيْتُ عَرَفَةَ فَإِذَا النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَاقِفٌ مَعَ النَّاسِ بِعَرَفَةَ فَقُلْتُ هَذَا مِنَ الْحُمْسِ فَمَا لَهُ خَرَجَ مِنَ الْحَرَمِ فَلَمَّا حج النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَجَّةَ الْوَدَاعِ ضَرَبُوا قُبَّتَهُ بِنَمِرَةَ عَلَى رَسْمِ قُرَيْشٍ فَجَاءَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَنَزَلَ هُنَاكَ إِلَى أَنْ زَالَتِ الشَّمْسُ ثُمَّ خَرَجَ وَمَضَى إِلَى عَرَفَةَ مَسْجِدِ إِبْرَاهِيمَ فَصَلَّى هُنَاكَ ثُمَّ رَاحَ إِلَى عرفاتٍ فَقُلِعَتْ قُبَّتُهُ وَرُفِعَتْ إِلَى الْمَوْقِفِ وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي ذَلِكَ: {ثُمَّ أَفِيضُواْ مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ) {البقرة: 199) أو ارْجِعُوا مِنْ حَيْثُ رَجَعَ النَّاسُ وَفِي النَّاسِ هَاهُنَا قَوْلَانِ:

Adapun tempat wuquf adalah ‘Arafah, dan ‘Arafah itu adalah bagian yang melewati Wadi ‘Arafah yang di dalamnya terdapat masjid, sedangkan masjid dan Wadi ‘Arafah bukan termasuk ‘Arafah, hingga ke gunung-gunung yang menghadap ke seluruh ‘Arafah pada sisi kebun-kebun milik Bani ‘Āmir dan jalan menuju benteng. Maka apabila engkau melewati batas tersebut, maka itu bukan termasuk dari ‘Arafah. Inilah batas menurut pendapat as-Syāfi‘ī, dan beliau lebih mengetahuinya. Maka apabila imam selesai salat, ia berangkat dari Masjid Ibrāhīm menuju ‘Arafah.

Sufyān bin ‘Uyainah meriwayatkan bahwa Quraisy dahulu disebut al-ḥums, dan mereka tidak keluar dari wilayah ḥaram pada hari ‘Arafah, dan mereka berwuquf di Namirah yang masih dalam wilayah ḥaram, dan mereka berkata: “Kami tidak seperti manusia lainnya, kami adalah ahli Allah, maka kami tidak keluar dari ḥaram Allah.” Dan Nabi SAW tidak berwuquf bersama Quraisy di ḥaram, akan tetapi keluar bersama manusia menuju ‘Arafah.

‘Amr bin Dīnār meriwayatkan dari Muḥammad bin Jubayr bin Muṭ‘im dari ayahnya, ia berkata: Aku pergi mencari unta ke ‘Arafah yang hilang dariku, hingga aku datang ke ‘Arafah dan ternyata Nabi SAW sedang berwuquf bersama manusia di ‘Arafah. Maka aku berkata: “Ini dari al-ḥums, mengapa ia keluar dari ḥaram?” Maka ketika Nabi SAW melaksanakan ḥajjatu al-wadā‘, mereka mendirikan kemah beliau di Namirah mengikuti kebiasaan Quraisy. Lalu Nabi SAW datang dan singgah di sana hingga matahari tergelincir, kemudian beliau keluar dan menuju ke ‘Arafah, ke Masjid Ibrāhīm, lalu salat di sana, kemudian berangkat menuju ‘Arafāt. Maka kemah beliau dibongkar dan dipindahkan ke tempat wuquf.

Lalu Allah Ta‘ālā menurunkan ayat dalam hal itu: yaitu: “Kemudian kembalilah dari tempat orang-orang banyak kembali.(QS. al-Baqarah: 199)” Dan tentang makna al-nās (orang-orang) di sini terdapat dua pendapat:


أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ إِبْرَاهِيمُ لِأَنَّهُ كَانَ يَقِفُ بِعَرَفَةَ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَيْثُ وَقَفَ بِهَا وَفِي تَسْمِيَةِ قُرَيْشٍ بِالْحُمْسِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: لِأَنَّهُمْ تَحَمَّسُوا فِي دِينِهِمْ أَيْ تَشَدَّدُوا وَمِنْهُ قَوْلُ الْعَجَّاجِ:
(وَكَمْ قَطَعْنَا مِنْ قِفَافٍ حُمْسٍ)
أَيْ شِدَادٍ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُمْ سُمُّوا حمس بالكعبة، لأنها حمساً حَجَرُهَا أَبْيَضُ يَضْرِبُ إِلَى السَّوَادِ.

Pertama: bahwa yang dimaksud adalah Ibrāhīm, karena beliau dahulu berwuqūf di ‘Arafah.
 Kedua: bahwa yang dimaksud adalah Rasulullah SAW, karena beliau telah berwuqūf di sana.

Adapun penamaan Quraisy dengan al-Ḥums, maka terdapat dua pendapat:
 Pertama: karena mereka taḥammusū (bersikap keras dan ketat) dalam agama mereka, yaitu bersikap tegas. Dari makna inilah syair al-‘Ajjāj:
 “Wa kam qaṭa‘nā min qifāfin ḥums”
 (Maksudnya: betapa banyak kami lewati dari tempat-tempat yang keras) — maksudnya tempat-tempat yang berat/keras.

Kedua: bahwa mereka dinamai Ḥums karena Ka‘bah, karena Ka‘bah disebut ḥums, yaitu karena batu-batunya berwarna putih yang cenderung kehitaman.

 

وَرَوَى جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: سِرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَتَّى قَدِمْنَا عَرَفَةَ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” هذه عرفة وكلها موقف إلا وادي عرفة ” وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صَفْوَانَ عَنْ خَالٍ لَهُ قَالَ: كُنَّا فِي مَوْقِفٍ لَنَا بِعَرَفَةَ فأتانا ابن مربع الأنصاري قال: أنا رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِلَيْكُمْ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَقِفُوا عَلَى مَشَاعِرِكُمْ هَذِهِ فَإِنَّكُمْ عَلَى إِرْثٍ مِنْ إِرْثِ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ عَرَفَةَ هِيَ الْمُوْقِفُ فَالَّذِي يُخْتَارُ مِنْ ذَلِكَ أَنْ يَقْصِدَ نَحْوَ الْجَبَلِ الَّذِي يُقَالُ لَهُ جَبَلُ الدُّعَاءِ، وَهُوَ مَوْقِفُ الْأَنْبِيَاءِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَالْمَوْقِفُ الَّذِي وَقَفَ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – هو بين الأجبل الثلاثة وموقفه على الثالث هو الطواف الذي عِنْدَ السِّنِّ الَّذِي خَلْفَهُ مَقَامُ الْإِمَامِ وَقَفَ عَلَى ضَرْبَيْنِ مِنَ الثَّالِثِ وَجَعَلَ بَطْنَ نَاقَتِهِ إِلَى الصَّخَرَاتِ وَجَعَلَ جَبَلَ الْمُشَاةِ بَيْنَ يَدَيْهِ فَهَذَا أَحَبُّ الْمَوَاقِفِ إِلَيْنَا أَنْ يَقِفَ فِيهِ الْإِمَامُ وَمَنْ مَعَهُ مِنَ النَّاسِ.

Diriwayatkan dari Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya, dari Jābir bin ‘Abdillāh, ia berkata:
 “Kami berjalan bersama Rasulullah SAW hingga kami tiba di ‘Arafah, lalu Nabi SAW bersabda:
 ‘Ini adalah ‘Arafah, dan seluruh tempat ini adalah tempat wuqūf kecuali Wādī ‘Arafah.’”

Dan diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Ṣafwān dari salah satu pamannya, ia berkata:
 “Kami berada di tempat wuqūf kami di ‘Arafah, lalu datang kepada kami Ibnu Murabba‘ al-Anṣārī dan berkata: Aku adalah utusan dari Rasulullah SAW kepada kalian. Beliau memerintahkan kalian agar berwuqūf di tempat-tempat suci kalian ini. Sungguh kalian berada di atas warisan dari warisan ayah kalian Ibrāhīm.”

Maka apabila telah tetap bahwa ‘Arafah adalah tempat wuqūf, maka tempat yang paling diutamakan dari semua itu adalah menghadap ke arah gunung yang disebut Jabal ad-Du‘ā’, yaitu tempat wuqūf para nabi ‘alaihimussalām.

Adapun tempat wuqūf Rasulullah SAW adalah di antara tiga bukit, dan posisi beliau berada di bukit yang ketiga, yaitu tempat melingkar di sisi as-sinn (batu landai), yang di belakangnya adalah maqām al-imām. Beliau berdiri di sisi kiri dari bukit ketiga, dan perut untanya diarahkan ke batu-batu besar, serta menjadikan Jabal al-Musyāt di hadapannya.

Maka inilah tempat wuqūf yang paling kami sukai untuk imam dan orang-orang bersamanya agar berwuqūf di situ.


قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَحَيْثُ وَقَفَ النَّاسُ مِنْ عَرَفَةَ فِي جَوَانِبِهَا وَنَوَاحِيهَا وَمَضَارِبِهَا وَجِبَالِهَا وَسُهُولِهَا وَبَطْنِهَا وَأَوْدِيَتِهَا وَسُوقِهَا المعروف بِذِي الْمَجَازِ أَجْزَأَ إِذَا وَقَفَ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يَعْرِفُهُ الْعَرَبُ بِعَرَفَةَ فَأَمَّا إِذَا وَقَفَ بِغَيْرِ عَرَفَةَ مِنْ وَرَائِهَا أَوْ دُونَهَا فِي عرفة عامداً أَوْ نَاسِيًا أَوْ جَاهِلًا بِهَا لَمْ تُجْزِهِ وَقَالَ مَالِكٌ يُجْزِئُهُ وَعَلَيْهِ دَمٌ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الْحَجُّ عَرَفَةُ فَمَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ وَمَنْ فَاتَهُ عَرَفَةَ فَقَدْ فَاتَهُ الْحَجُّ “.

Berkata asy-Syāfi‘ī: Di mana saja seseorang berwuquf di ‘Arafah—di seluruh sisinya, penjuru-penjurunya, perkemahannya, gunung-gunungnya, tanah datarnya, lembah-lembahnya, dan pasarnya yang dikenal dengan nama Dhū al-Majāz—maka itu sah selama ia berwuquf di tempat yang dikenal oleh orang Arab sebagai bagian dari ‘Arafah. Adapun jika ia berwuquf di luar ‘Arafah, baik di belakangnya atau di depannya namun bukan termasuk ‘Arafah, baik sengaja, lupa, maupun tidak mengetahui bahwa itu bukan ‘Arafah, maka wuqufnya tidak sah.

Sedangkan Mālik berpendapat bahwa wuqufnya sah dan ia wajib menunaikan dam, dan ini adalah pendapat yang keliru; karena sabda Nabi SAW: “Al-ḥajju ‘Arafah, fa-man adraka ‘Arafah faqad adraka al-ḥajja, wa-man fātahu ‘Arafah faqad fātahu al-ḥajj” — “Haji adalah ‘Arafah, siapa yang mendapati ‘Arafah maka ia mendapatkan haji, dan siapa yang luput dari ‘Arafah maka luput pula hajinya.”


فَصْلٌ
: فَأَمَّا زَمَانُ الْوُقُوفِ فَهُوَ مِنْ بَعْدِ زَوَالِ الشَّمْسِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ.
وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: هُوَ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ، وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِمَا تَقَدَّمَ مِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَلِمَا رُوِيَ أَنَّ الْحَجَّاجَ بْنَ يُوسُفَ أَقَامَ بِمَكَّةَ بَعْدَ قَتْلِ ابْنِ الزُّبَيْرِ لِيَحُجَّ بِالنَّاسِ فَكَتَبَ إِلَيْهِ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مَرْوَانَ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فِيمَا يَأْمُرُ بِهِ مِنْ سُنَنِ الْحَجِّ قَالَ فَلَمَّا زَالَتِ الشَّمْسُ رَكِبَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ حماراً له جاء على مضرب الحجج وَقَالَ أَيْنُ هَذَا فَخَرَجَ الْحَجَّاجُ وَعَلَيْهِ ثوبٌ معصفرٌ فقال مالك يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَقَالَ إِنْ أَرَدْتَ السُّنَّةَ فَالرَّوَاحُ فَأَشَارَ بِذَلِكَ إِلَى مَا جَاءَتْ بِهِ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَعَمِلَ عَلَيْهِ خُلَفَاؤُهُ الرَّاشِدُونَ بَعْدَهُ فَعُلِمَ أَنَّ مَا قَبْلَ الزَّوَالِ لَمْ تَأْتِ بِهِ السُّنَّةُ وَلَا شَرَعَهُ الرَّسُولُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.

PASAL
 Adapun waktu wuqūf di ‘Arafah adalah mulai setelah tergelincirnya matahari (zawāl) pada hari ‘Arafah hingga terbit fajar pada hari Nāḥar (tanggal 10 Dzulhijjah).

Aḥmad bin Ḥanbal berpendapat: waktu wuqūf adalah dari terbit fajar hari ‘Arafah hingga terbit fajar hari Nāḥar. Namun pendapat ini tidak benar, berdasarkan hadis Jābir dari Nabi SAW, dan juga karena riwayat yang menyebutkan bahwa al-Ḥajjāj bin Yūsuf pernah tinggal di Makkah setelah membunuh Ibnuz-Zubayr untuk memimpin pelaksanaan haji.

Maka ‘Abdul-Malik bin Marwān menulis surat kepadanya agar ia merujuk kepada ‘Abdullāh bin ‘Umar tentang apa yang harus dilakukan dari sunah-sunah haji.

Diceritakan bahwa ketika matahari tergelincir, ‘Abdullāh bin ‘Umar menaiki keledai miliknya lalu mendatangi tempat para jemaah haji berkumpul. Ia berkata: “Di mana orang ini (al-Ḥajjāj)?”

Lalu keluarlah al-Ḥajjāj dan ia mengenakan pakaian yang dicelup warna mu‘aṣfar (warna merah kekuningan).

Mālik (bin Anas) berkata: “Wahai Abā ‘Abdir-Raḥmān!” Maka Ibnu ‘Umar menjawab:
 “Jika engkau menginginkan sunah, maka mulailah berangkat (wuqūf) setelah zawāl.”

Dengan itu, Ibnu ‘Umar mengisyaratkan kepada sunah yang datang dari Rasulullah SAW dan yang diamalkan oleh para khulafā’ rāsyidūn setelah beliau.

Maka dengan ini diketahui bahwa wuqūf sebelum zawāl tidak bersumber dari sunah, dan tidak disyariatkan oleh Rasulullah SAW.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ وَقْتَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ مِنْ زَوَالِ الشَّمْسِ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ فَمَتَى حَصَلَ بِهَا فِي هَذَا الزَّمَانِ مُقِيمًا أَوْ مُخْتَارًا نَائِمًا أَوْ مُسْتَيْقِظًا عَالِمًا أَوْ غَيْرَ عَالِمٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ فَقَدْ حَصَلَ لَهُ الْوُقُوفُ بِعَرَفَةَ وَأَدْرَكَ بِهِ الْحَجَّ.
وَقَالَ مَالِكٌ: إِدْرَاكُ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ يُعْتَبَرُ بِاللَّيْلِ دُونَ النَّهَارِ فَإِنْ وَقَفَ بِهَا لَيْلًا وَنَهَارًا أَجْزَأَهُ وُقُوفُ اللَّيْلِ وَكَانَ وُقُوفُ النَّهَارِ تَبَعًا وَإِنْ وَقَفَ بِهَا لَيْلًا أَجْزَأَهُ وَإِنْ وَقَفَ بِهَا نَهَارًا لَمْ يُجْزِهِ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ لَيْلًا فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ وَمَنْ فَاتَهُ عَرَفَةُ لَيْلًا فَقَدْ فَاتَهُ الْحَجُّ “.

PASAL
 Apabila telah ditetapkan bahwa waktu wuquf di ‘Arafah adalah sejak tergelincirnya matahari hingga terbit fajar, maka kapan saja seseorang berada di sana dalam rentang waktu tersebut—baik dalam keadaan menetap atau memilih, tidur atau terjaga, tahu atau tidak tahu, pada malam atau siang hari—maka ia telah melaksanakan wuquf di ‘Arafah dan telah mendapatkan (kesempatan) haji.

Mālik berkata: Waktu wuquf di ‘Arafah yang sah hanyalah malam hari, bukan siangnya. Maka jika seseorang wuquf siang dan malam, yang dianggap sah adalah wuquf malamnya, sedangkan wuquf siangnya hanyalah pelengkap. Jika ia hanya wuquf di malam hari, maka sah; namun jika hanya wuquf di siang hari, maka tidak sah.

Ia berdalil dengan riwayat dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi SAW bersabda: “Man adraka ‘Arafata laylan faqad adraka al-ḥajja, wa man fātahu ‘Arafatu laylan faqad fātahu al-ḥajju” — “Barang siapa mendapati ‘Arafah pada malam hari, maka ia mendapatkan haji; dan barang siapa luput dari ‘Arafah pada malam hari, maka ia telah luput dari haji.”


وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا قُلْنَا رِوَايَةُ عَامِرٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ مُضَرِّسٍ أَنَّهُ حَجَّ فلم يدرك الناس إلا ليلاً فجمع فَانْطَلَقَ إِلَى عَرَفَاتٍ فَأَفَاضَ مِنْهَا ثُمَّ رَجَعَ إلى جمع فَأَتَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فقال: أكلت مطيتي وأتعبت نفسي فَهَلْ لِي مَنْ حَجٍّ؟ فَقَالَ: مَنْ صَلَّى مَعَنَا صَلَاةَ الْغَدَاةِ بجمعٍ وَوَقَفَ مَعَنَا حَتَى يَفِيضَ وَقَدْ أَفَاضَ مِنْ عرفاتٍ قَبْلَ ذَلِكَ لَيْلًا كَانَ أَوْ نَهَارًا فَقَدْ قَضَى تَفَثَهُ وَتَمَّ حَجُّهُ وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَصَدَ الْمَوْقِفَ نَهَارًا وَانْصَرَفَ مِنْهُ لَيْلًا فَجَعَلَ النَّهَارَ وَقْتًا لِلْوُقُوفِ، وَجَعَلَ اللَّيْلَ وَقْتًا لِتَرْكِ الْوُقُوفِ، فَعُلِمَ أَنَّ النَّهَارَ مَقْصُودٌ، وَاللَّيْلَ تَبَعٌ.

Dan dalil atas kebenaran apa yang kami katakan adalah riwayat dari ‘Āmir dari ‘Urwah bin Muḍarris, bahwa ia berhaji namun tidak sempat menemui orang-orang kecuali pada malam hari. Ia pun mengumpulkan (niat dan amalan), lalu pergi ke ‘Arafāt, kemudian kembali dari sana dan menuju Jam‘ (Muzdalifah), lalu datang kepada Rasulullah SAW dan berkata:

“Tunggangan ku telah lelah dan aku pun kepayahan. Apakah aku masih mendapatkan (pahala) haji?”

Maka Rasulullah SAW bersabda:
 “Barang siapa yang salat subuh bersama kami di Jam‘ dan berwuqūf bersama kami hingga kami berangkat, sedangkan ia telah berwuqūf sebelumnya di ‘Arafah — baik pada malam atau siang hari — maka sungguh ia telah menyempurnakan tafaṯ‑nya dan sempurnalah hajinya.”

Dan karena Nabi SAW sengaja mendatangi tempat wuqūf pada siang hari dan meninggalkannya pada malam hari, maka hal itu menunjukkan bahwa siang hari adalah waktu utama untuk wuqūf, sedangkan malam hanyalah waktu pelengkap (tabi‘).

Dengan demikian, diketahui bahwa siang hari adalah yang dimaksud (maqṣūd), sedangkan malam adalah pengikut (tabi‘) dari waktu tersebut.


فَأَمَّا حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ فَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى إِدْرَاكِ اللَّيْلِ وَتَنْبِيهٌ عَلَى إِدْرَاكِ النَّهَارِ، وَلِأَنَّ حُكْمَ آخِرِ الْوَقْتِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِثْلَ أَوَّلِهِ أَوْ أَضْعَفَ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَقْوَى مِنْهُ فَلَمَّا جَعَلَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مُدْرَكًا بِآخِرِهِ وَهُوَ اللَّيْلُ كَانَ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ مُدْرَكًا بِأَوَّلِهِ وَهُوَ النَّهَارُ.
فَإِنْ قِيلَ: فَهَذَا يَصِحُّ فِي قَوْلِهِ ” مَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ لَيْلًا فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ ” فَأَمَّا فِي قَوْلِهِ ” وَمَنْ فَاتَهُ عَرَفَةُ لَيْلًا فَقَدْ فَاتَهُ الْحَجُّ ” فلا، قيل يكون دليل أول الكلام تنبيهة يَصْرِفُ ظَاهِرَ آخِرِهِ إِلَى دَلِيلِ أَوَّلِهِ.

Adapun hadis Ibnu ‘Umar, di dalamnya terdapat dalil bahwa wuquf malam hari sudah mencukupi, dan juga mengandung isyarat bahwa wuquf siang hari pun mencukupi. Karena hukum bagian akhir dari waktu (wuquf) itu—yakni malam hari—tidak mungkin lebih kuat daripada bagian awalnya, melainkan bisa setara atau lebih lemah. Maka ketika Nabi SAW menjadikan wuquf pada akhir waktu (malam hari) sebagai bentuk mendapatkan haji, maka lebih utama lagi bahwa wuquf pada awal waktu (siang hari) juga dianggap mendapatkan haji.

Jika dikatakan: hal ini benar untuk sabda beliau “Barang siapa mendapati ‘Arafah pada malam hari maka ia mendapatkan haji”, tetapi bagaimana dengan sabdanya “Barang siapa luput dari ‘Arafah pada malam hari maka ia telah luput dari haji”—maka dijawab: makna pada awal ucapan dapat menjadi petunjuk yang memalingkan makna zahir pada akhir ucapannya kepada makna yang sesuai dengan dalil pada awal ucapan tersebut.

فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ تَحْدِيدِ الْمَوْقِفِ وَزَمَانِ الْوُقُوفِ وَالْقَدْرِ الَّذِي يَحْصُلُ بِهِ إِدْرَاكُ الْوُقُوفِ فَيُخْتَارُ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ فِي وُقُوفِهِ لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” خَيْرُ الْمَجَالِسِ مَا اسْتُقْبِلَ بِهِ الْقِبْلَةُ ” وَاقْتِدَاءً بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي وُقُوفِهِ، وَيَجُوزُ أَنْ يَقِفَ رَاكِبًا وَنَازِلًا وَوُقُوفُهُ رَاكِبًا أَفْضَلُ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي القديم؛ وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَفَ رَاكِبًا، وَلِأَنَّهُ إِذَا رَكِبَ كَانَ أَقْوَى لَهُ عَلَى الدُّعَاءِ، وَيَكُونُ مُفْطِرًا لِهَذَا الْمَعْنَى، وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَفَ بِعَرَفَةَ مُفْطِرًا، وَيُكْثِرُ مِنَ الدُّعَاءِ؛ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَفْضَلُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ ” وَيَكُونُ مِنْ دُعَائِهِ مَا رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُبَيْدَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ كَانَ أَكْثَرُ دُعَائِهِ عَشِيَةَ عَرَفَةَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَفِي قَلْبِي نُورًا اللَّهُمَّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَسَاوِسِ الصَّدْرِ وَمِنْ سَيِّئَاتِ الْأُمُورِ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا يَلِجُ فِي اللَّيْلِ وَشَرِّ مَا يَلِجُ فِي النَّهَارِ وَمِنْ شَرِّ مَا تَهُبُّ بِهِ الرِّيَاحُ، وَشَرِّ بَوَائِقِ الدَّهْرِ ” وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ قِرَاءَةِ سُورَةِ الْحَشْرِ فَقَدْ رُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَيَجْتَهِدُ فِي الدُّعَاءِ لِأَنَّهُ أَعْظَمُ الْأَيَّامِ الَّتِي تُرْجَى فِيهَا الْإِجَابَةُ، وَرَوَى ابْنُ الْمُسَيِّبِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ أَنْ يَعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَدَدًا مِنَ النَارِ مِنْ يَوْمِ عرفة ” ويختار للمواقف بِعَرَفَةَ أَنْ يَبْرُزَ لِلشَّمْسِ وَيُظْهِرَ نَفْسَهُ لَهَا فَقَدْ رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَأَى يَوْمَ عَرَفَةَ رَجُلًا يَطْلُبُ الْفَيَافِيَ فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَضْحِ لِمَنْ أَحْرَمْتَ لَهُ ” أَيِ اخْرُجْ إِلَى الشَّمْسِ، لِأَنَّ الشَّمْسَ تسمى الضحى واختلف الناس لما سيمت عَرَفَةَ فَقَالَ قَوْمٌ لِتَعَارُفِ آدَمَ وَحَوَّاءَ فِيهِ وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَهْبَطَ آدَمَ بِأَرْضِ الْهِنْدِ وَحَوَّاءَ بِأَرْضِ جُدَّةَ فَتَعَارَفَا بِالْمَوْقِفِ وَقِيلَ: لأن جبريل – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَرَّفَ فِيهِ إِبْرَاهِيمَ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْه مَنَاسِكَهُ.

PASAL
 Apabila telah tetap apa yang kami sebutkan mengenai penetapan tempat wuqūf, waktu wuqūf, dan kadar minimal yang dengannya sah pelaksanaan wuqūf, maka dianjurkan untuk menghadap qiblat saat wuqūf, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Sebaik-baik majelis adalah yang di dalamnya menghadap qiblat” dan dalam rangka meneladani Rasulullah SAW dalam wuqūf beliau.

Boleh melaksanakan wuqūf dalam keadaan berkendara maupun turun (berdiri), dan wuqūf sambil berkendara lebih utama, sebagaimana dinyatakan oleh asy-Syāfi‘ī dalam qaul qadīm, karena Rasulullah SAW wuqūf dalam keadaan berkendara, dan karena dalam keadaan berkendara seseorang lebih kuat untuk berdoa. Dan hendaknya ia berbuka puasa karena alasan ini, serta karena Rasulullah SAW wuqūf di ‘Arafah dalam keadaan tidak berpuasa dan memperbanyak doa, berdasarkan sabdanya SAW: “Doa yang paling utama adalah doa pada hari ‘Arafah.”

Di antara doa beliau SAW adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullāh ibn ‘Ubaidah dari ‘Alī ibn Abī Ṭālib, dari Nabi SAW, bahwa doa beliau yang paling banyak dibaca pada sore hari ‘Arafah adalah:
 “Lā ilāha illallāh waḥdahū lā syarīka lah, lahul-mulku walahul-ḥamdu wa huwa ‘alā kulli syai’in qadīr. Allāhumma ij‘al fī sam‘ī nūran wa fī baṣarī nūran wa fī qalbī nūran. Allāhumma isyraḥ lī ṣadrī wa yassir lī amrī. Allāhumma innī a‘ūdzu bika min wasāwisiṣ-ṣadr, wa min sayyi’āti al-umūr, wa min ‘adzābil-qabr. Allāhumma innī a‘ūdzu bika min syarri mā yaliju fī al-lail, wa syarri mā yaliju fī an-nahār, wa min syarri mā tahubbu bihir-rīāḥ, wa syarri bawā’iqid-dahr.”

Dan disunnahkan untuk memperbanyak membaca Sūrat al-Ḥasyr, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Alī RA. Hendaknya bersungguh-sungguh dalam berdoa karena hari ini adalah hari yang paling agung dalam hal harapan untuk dikabulkan doa. Ibn al-Musayyib meriwayatkan dari ‘Ā’isyah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada hari yang lebih banyak Allah membebaskan hamba dari neraka dibanding hari ‘Arafah.”

Dan dianjurkan bagi orang yang wuqūf di ‘Arafah untuk menampakkan diri kepada matahari dan keluar ke tempat terbuka, karena telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW pada hari ‘Arafah melihat seseorang berlindung ke padang pasir, lalu beliau SAW bersabda: “Berjemurlah untuk Zat yang engkau beri iḥrām karena-Nya,” yaitu: keluarlah ke bawah matahari. Karena matahari dinamakan ḍuḥā’.

Mengenai penamaan ‘Arafah, para ulama berbeda pendapat:
 Sebagian berpendapat karena di sanalah Ādam dan Ḥawwā’ saling mengenal kembali. Allah menurunkan Ādam di tanah India dan Ḥawwā’ di tanah Jeddah, lalu mereka saling bertemu dan mengenal di tempat wuqūf.
 Ada pula yang mengatakan: karena Jibrīl SAW memperkenalkan kepada Ibrāhīm AS manāsik haji di tempat tersebut.


وَقِيلَ سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِلْجِبَالِ الَّتِي فِيهَا، وَوُقُوفِ النَّاسِ عَلَيْهَا وَالْجِبَالُ هِيَ الْأَعْرَافُ وَمِنْهُ قَوْله تعالى: {وَعَلَى الأَعْرَافِ رِجَالٌ) {الأعراف: 46) .
قيل سُورٌ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ، وَمِنْهُ قِيلَ عُرْفُ الدِّيكِ وَعُرْفُ الدَّابَّةِ لِنُتُوِّهِ وَعُلُوِّهِ وَكُلُّ نَاتٍ فَهُوَ عُرْفٌ، وَقَالَ الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ: سُمِّيَتْ عَرَفَاتٍ لِأَنَّ النَّاسَ يَعْتَرِفُونَ فِيهَا بِذُنُوبِهِمْ فَحِينَئِذٍ يغفر لهم.

Dan dikatakan: dinamakan demikian karena gunung-gunung yang ada di dalamnya dan tempat manusia berwuquf di atasnya, sementara gunung-gunung itu disebut al-a‘rāf; sebagaimana firman Allah Ta‘ālā: {wa ‘alā al-a‘rāfi rijāl} (QS. al-A‘rāf: 46).

Dikatakan pula bahwa al-a‘rāf adalah dinding pembatas antara surga dan neraka. Dan dari akar kata ini juga berasal kata ‘urf ayam jantan (‘urf ad-dīk) dan ‘urf pada hewan tunggangan, karena tonjolan dan ketinggiannya. Setiap bagian yang menonjol disebut ‘urf.

Al-Qāsim bin Muḥammad berkata: dinamakan ‘Arafāt karena manusia mengakui (ya‘tarifūn) dosa-dosa mereka di tempat itu, lalu pada saat itulah mereka diampuni.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ دَفَعَ الْإِمَامُ وَعَلَيْهِ الْوَقَارُ وَالسَّكِينَةُ فَإِنْ وَجَدَ فُرْجَةً أَسْرَعَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ السُّنَّةُ لِلْإِمَامِ وَمَنْ مَعَهُ بِعَرَفَةَ أَنْ يُقِيمُوا بِهَا حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ ثُمَّ يَدْفَعُوا مِنْهَا بَعْدَ الْغُرُوبِ اقْتِدَاءً بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلِرِوَايَةِ مُحَمَّدِ بْنِ قَيْسٍ عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ قَالَ: خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهُوَ بِعَرَفَاتٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ هَذَا يَوْمُ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ كَانُوا يَدْفَعُونَ فِي هَذَا الْيَوْمِ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ إِذَا كَانَتِ الشَّمْسُ فِي رُؤُوْسِ الْجِبَالِ كَأَنَّهَا عَمَائِمُ الرِّجَالِ فِي وُجُوِهِهِمْ وَإِنَّا نَدْفَعُ بَعْدَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ، فَإِنْ دَفَعَ مِنْ عَرَفَةَ إِلَى مُزْدَلِفَةَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ فَحَجُّهُ مُجْزِئٌ وَعَلَيْهِ دَمٌ وَفِيهِ قَوْلَانِ:

Masalah:
 Asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:
 “Apabila matahari telah terbenam, maka imam berangkat (dari ‘Arafah) dengan penuh wibawa dan ketenangan. Jika ia mendapati celah (di antara jamaah), maka ia mempercepat (langkahnya).”

Al-Māwardī berkata:
 Ini benar, sunnah bagi imam dan orang-orang yang bersamanya di ‘Arafah adalah tinggal di sana hingga matahari terbenam, kemudian berangkat dari sana setelah terbenamnya matahari, mengikuti teladan Rasulullah SAW dan berdasarkan riwayat Muḥammad ibn Qays dari al-Miswar ibn Makhramah, ia berkata:
 “Rasulullah SAW berkhutbah kepada kami di ‘Arafāt, beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, lalu bersabda: ‘Amma ba‘du, sesungguhnya ini adalah hari al-ḥajj al-akbar. Dahulu mereka (kaum musyrik) berangkat pada hari ini sebelum matahari terbenam, ketika matahari masih di atas puncak gunung, seakan-akan seperti sorban-sorban kaum lelaki di wajah mereka. Adapun kami, maka kami berangkat setelah matahari terbenam.'”

Maka, apabila seseorang berangkat dari ‘Arafah menuju Muzdalifah sebelum matahari terbenam, hajinya tetap sah (mujzi’), tetapi ia wajib membayar dam. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ إِنَّهُ وَاجِبٌ لِمَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَوْقُوفًا عَلَيْهِ وَمُسْنَدًا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ تَرَكَ نُسُكًا فَعَلَيْهِ دَمٌ ” وَالْوُقُوفُ بعرفة إلى غروب الشمس نسك فوجب أن يَجِبُ فِيهِ دَمٌ وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَنَّ الدَّفْعَ مِنْ عَرَفَةَ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ كما سن الإحرام من مِنَ الْمِيقَاتِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الدَّمَ عَلَى مُجَاوِزِ الْمِيقَاتِ وَاجِبٌ فَكَذَا الدَّمُ عَلَى الدَّافِعِ مِنْ عَرَفَةَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ وَاجِبٌ.

Pertama: yaitu pendapatnya dalam qaul qadīm maupun qaul jadīd bahwa hal itu wajib, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās RA secara mawqūf dan marfū‘, bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa meninggalkan suatu nusuk, maka wajib atasnya dam.”

Sementara wuquf di ‘Arafah hingga terbenam matahari adalah bagian dari nusuk, maka wajib baginya dam jika meninggalkannya.

Dan karena Nabi SAW telah menetapkan sunnah untuk meninggalkan ‘Arafah setelah matahari terbenam, sebagaimana beliau menetapkan sunnah ihram dari mīqāt, dan telah ditetapkan bahwa dam itu wajib atas orang yang melewati mīqāt (tanpa ihram), maka demikian pula dam itu wajib atas orang yang meninggalkan ‘Arafah sebelum matahari terbenam.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْأُمِّ وَالْإِمْلَاءِ أَنَّ الدَّمَ اسْتِحْبَابٌ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِعُرْوَةَ بْنِ مُضَرِّسٍ وَقَدْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ لَيْلًا ” مَنْ أَفَاضَ مِنْ عَرَفَاتٍ لَيْلًا كَانَ أَوْ نَهَارًا فَقَدْ قَضَى تَفَثَهُ وَتَمَّ حَجُّهُ ” وَلَمْ يَأْمُرْهُ بِدَمٍ فَدَلَّ أَنَّهُ لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَلِأَنَّ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَقْتٌ لِإِدْرَاكِ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ وَقَفَ بِهَا لَيْلًا دُونَ النَّهَارِ لَمْ يَلْزَمْهُ دَمٌ كَذَلِكَ إِذَا وَقَفَ بِهَا نَهَارًا دُونَ اللَّيْلِ لَمْ يَلْزَمْهُ دَمٌ.

Dan pendapat kedua, yaitu pendapatnya dalam al-Umm dan al-Imlā’, bahwa dam hukumnya istihbāb (dianjurkan) dan bukan wajib.

Karena sabda Nabi SAW kepada ‘Urwah ibn Muḍarris yang telah wuqūf di ‘Arafah pada malam hari:
 “Barang siapa yang melakukan ifāḍah dari ‘Arafāt pada malam hari atau siang hari, maka sungguh ia telah menunaikan tahallul dan hajinya sempurna.”

Dan Nabi SAW tidak memerintahkannya untuk menyembelih dam, yang menunjukkan bahwa dam itu tidak wajib.

Juga karena malam dan siang adalah waktu yang sah untuk melaksanakan wuqūf di ‘Arafah. Maka jika telah tetap bahwa seseorang yang hanya wuqūf pada malam hari tanpa siang hari tidak wajib atasnya dam, maka demikian pula jika ia wuqūf hanya pada siang hari tanpa malam hari, tidak wajib pula atasnya dam.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ عَلَيْهِ الدَّمَ إِمَّا وَاجِبًا أَوِ اسْتِحْبَابًا فَإِنْ عَادَ إِلَى عَرَفَةَ لَيْلًا قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ سَقَطَ عَنْهُ الدَّمُ سَوَاءٌ كَانَ عَوْدُهُ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ أَوْ بعده.

وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ عَادَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ وَثَبَتَ بِهَا إِلَى أَنْ غَرَبَتِ الشَّمْسُ سَقَطَ عَنْهُ الدَّمُ، وَإِنْ عَادَ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الدَّمُ لِأَنَّ الدَّمَ إذا وجب لسبب لم يَسْقُطُ وُجُوبُهُ بِزَوَالِ ذَلِكَ السَّبَبِ كَاللَّابِسِ قَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الدَّمُ بِلِبَاسِهِ وَلَا يَسْقُطُ عَنْهُ بِنَزْعِهِ، وَالْمُتَطَيِّبِ لَزِمَهُ الدَّمُ بِاسْتِعْمَالِهِ وَلَا يَسْقُطُ عَنْهُ بِغَسْلِهِ وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ وَقَفَ بِهَا لَيْلًا دُونَ النَّهَارِ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ دَمٌ، فَوَجَبَ إِذَا وَقَفَ بِهَا لَيْلًا وَنَهَارًا أَوْلَى أَنْ لَا يَجِبَ عَلَيْهِ دَمٌ، وَمَا ذَكَرَهُ غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ الدَّمَ إِنَّمَا لَزِمَهُ بِفَوَاتِ الْعَوْدِ لَا بِالدَّفْعِ قَبْلَ الْغُرُوبِ.

PASAL
 Apabila telah ditetapkan bahwa atasnya wajib dam, baik secara wajib maupun anjuran (mustaḥabb), maka jika ia kembali ke ‘Arafah pada malam hari sebelum terbit fajar, gugurlah darinya dam tersebut—baik ia kembali sebelum matahari terbenam maupun sesudahnya.

Abū Ḥanīfah berkata: Jika ia kembali sebelum matahari terbenam dan tetap di sana hingga matahari terbenam, maka gugurlah darinya dam. Namun jika ia kembali setelah matahari terbenam, maka dam tidak gugur darinya, karena jika dam telah diwajibkan karena suatu sebab, maka tidak gugur kewajibannya dengan hilangnya sebab tersebut—seperti orang yang memakai pakaian (muḥrim) telah wajib atasnya dam karena pakaiannya, dan tidak gugur hanya dengan melepasnya; dan orang yang memakai minyak wangi juga wajib dam karena pemakaiannya, dan tidak gugur hanya dengan mencucinya.

Namun pendapat ini tidak benar. Karena telah ditetapkan bahwa jika seseorang hanya berwuquf pada malam hari tanpa siang hari, maka tidak wajib atasnya dam. Maka jika ia berwuquf pada malam dan siang hari, maka lebih utama lagi tidak wajib dam atasnya.

Apa yang disebutkan oleh Abū Ḥanīfah tidaklah benar; karena dam itu menjadi wajib disebabkan karena ia tidak kembali (‘aud) ke ‘Arafah, bukan semata-mata karena ia keluar (daf‘) sebelum matahari terbenam.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا صِفَةُ سَيْرِهِ، إِلَى مُزْدَلِفَةَ فَهُوَ الْمَشْيُ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ مِنْ غَيْرِ عَجَلَةٍ وَلَا سَعْيٍ فَقَدْ رَوَى سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا دَفَعَ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ سَمِعَ وَرَاءَهُ زَجْرًا شَدِيدًا مِنَ الْأَعْرَابِ فَالْتَفَتَ إِلَيْهِمْ وَقَالَ: ” السَّكِينَةَ فَإِنَّ الِبِرَّ لَيْسَ بِالْإِيضَاعِ ” وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَشَيَّةَ عَرَفَةَ عَنْ دَفْعِ وَجِيفِ الْخَيْلِ وَإِيضَاعِ الْإِبِلِ قَالَ وَلَكِنِ اتَّقُوا اللَّهَ وَسِيرُوا سَيْرًا جَمِيلًا وَلَا تُوْطِؤُوا ضَعِيفًا وَلَا تُوْطِؤُوا مُسْلِمًا وَاقْتَصِرُوا فِي السَّيْرِ وَكَانَ يَكُفُّ عَنْ نَاقَتِهِ حَتَّى يَبْلُغَ رَأْسُهَا مُقَدَّمَ الرَّحْلِ، وَهُوَ يَقُولُ: ” يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بَالدِّعَةِ ” وَرَوَى جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَفَاضَ وَعَلَيْهِ السِّكِينَةُ وَالْوَقَارُ فَكَانَ يَسِيرُ الْعَنَقَ حَتَّى إِذَا وَجَدَ فُرْجَةً نَصَّ الْعَنَقُ سَيْرُ الْجَمَاعَةِ وَالرِّفَاقِ قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ وَالنَّصُّ هُوَ التَّحْرِيكُ حَتَّى يَسْتَخْرِجَ مِنَ الدَّابَّةِ أَقْصَى سَيْرِهَا وَيُخْتَارُ أَنْ يَسْلُكَ طَرِيقَ الْمَأْزِمَيْنِ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَلَكَ فِي ذَهَابِهِ إِلَى عَرَفَاتٍ طَرِيقَ ضَبٍّ وَرَجَعَ مِنْ عَرَفَاتٍ إِلَى مُزْدَلِفَةَ فِي طَرِيقِ الْمَأْزِمَيْنِ، وَأَيَّ طَرِيقٍ سَلَكَ فَلَا بَأْسَ بِهِ، وَلَيْسَ فِي الْمَسْلَكِ نُسُكٌ، وَلَكِنَّنَا نَخْتَارُ التَّأَسِّيَ برسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – والله أعلم.

PASAL
 Adapun tata cara berjalan menuju Muzdalifah adalah dengan berjalan penuh ketenangan dan kewibawaan, tanpa tergesa-gesa dan tanpa berlari.

Telah meriwayatkan Sa‘īd ibn Jubayr dari Ibn ‘Umar bahwa Nabi SAW ketika berangkat pada sore hari ‘Arafah, beliau mendengar di belakangnya suara cambukan keras dari para Arab Badui, maka beliau menoleh kepada mereka dan bersabda:
 “Tenanglah, karena kebaikan bukanlah dengan berlari cepat.”

Dan diriwayatkan bahwa Nabi SAW melarang pada malam ‘Arafah untuk berkendara dengan kuda yang berlari cepat atau unta yang dipacu dengan keras. Beliau bersabda:
 “Akan tetapi, bertakwalah kalian kepada Allah, dan berjalanlah dengan tenang, janganlah menginjak orang yang lemah dan jangan menginjak seorang Muslim. Cukupkanlah dengan langkah yang sedang.”

Beliau menahan tunggangannya sampai kepalanya sejajar dengan bagian depan pelana sambil bersabda:
 “Wahai manusia, tenanglah kalian.”

Jābir ibn ‘Abdillāh meriwayatkan bahwa Nabi SAW melakukan ifāḍah (berangkat dari ‘Arafah) dalam keadaan tenang dan penuh wibawa. Beliau berjalan dengan ‘anaq hingga ketika menemukan celah, beliau nashṣa (mempercepat sedikit).

‘Anaq adalah cara berjalan jamaah dan rombongan secara tenang.
 Abū ‘Ubayd berkata: Nashṣ adalah mempercepat laju sampai hewan tunggangan mengeluarkan kemampuan maksimal kecepatannya.

Dianjurkan untuk menempuh jalan al-Ma’zamayn, karena Nabi SAW menempuh jalan Ḍabb saat pergi ke ‘Arafāt, dan kembali dari ‘Arafāt ke Muzdalifah melalui jalan al-Ma’zamayn.

Namun jalan mana pun yang ditempuh tidak mengapa, karena tidak ada unsur nusuk dalam pemilihan jalan, tetapi yang kami pilih adalah meneladani Rasulullah SAW.

Wallāhu a‘lam.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِذَا أَتَى الْمَزْدَلِفَةَ جَمَعَ مَعَ الْإِمَامِ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِإِقَامَتَيْنِ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صلاهما بها ولم يناد في واحدةٍ منهما إلا بإقامة ولا يسبح بينهما ولا على إثر واحدةٍ مِنْهُمَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ نَزَلَ بِهَا وَحُدُودُ مُزْدَلِفَةَ مِنْ حيث يقضي من مأزمين عرفة وليس المأزمين مِنْهَا إِلَى أَنْ يَأْتِيَ إِلَى قُرْبِ مُحَسِّرٍ وَلَيْسَ الْقَرْنُ مِنْهَا، وَهَكَذَا يَمِينًا وَشِمَالًا مِنْ تِلْكَ الْمَوَاطِنِ وَالْقَوَابِلِ وَالظَّوَاهِرِ وَالشِّعَابِ وَالسِّحَاءِ وَالْوَادِي كُلِّهِ وَفِي تَسْمِيَتِهَا مُزْدَلِفَةَ قَوْلَانِ:

Masalah:
 asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Apabila seseorang telah sampai di Muzdalifah, maka ia menjamak salat Magrib dan Isya bersama imam dengan dua iqāmah. Karena Nabi SAW melaksanakan kedua salat tersebut di sana dan tidak dikumandangkan adzān untuk keduanya, kecuali iqāmah. Dan tidak melakukan tasbīḥ (salat sunnah) di antara keduanya, dan tidak pula setelah salah satunya.”

al-Māwardī berkata: Dan demikianlah sebagaimana yang dikatakan. Apabila telah sampai di Muzdalifah, maka ia turun di sana. Batas wilayah Muzdalifah dimulai dari arah orang-orang yang datang dari Ma’zamayn (‘Arafah), dan Ma’zamayn tidak termasuk bagian dari Muzdalifah, hingga mendekati Muḥassir, dan Qarn juga tidak termasuk bagian darinya.

Demikian pula ke arah kanan dan kiri dari tempat-tempat tersebut, termasuk dataran tinggi dan lembah-lembah, celah-celah pegunungan, tempat-tempat luas dan lembah keseluruhan.

Tentang penamaan tempat ini sebagai Muzdalifah, terdapat dua pendapat:


أَحَدُهُمَا: إِنَّهُمْ يَقْرَبُونَ فِيهَا مِنْ مِنًى وَالِازْدِلَافُ التَّقْرِيبُ وَمِنْهُ قَوْله تَعَالَى: {وَأُزْلِفَتْ الجَنَّةُ لِلْمُتَّقين) {الشعراء: 90) أَيْ قَرُبَتْ.
وَالثَّانِي: إِنَّ النَّاسَ يَجْتَمِعُونَ بِهَا، وَالِاجْتِمَاعُ الِازْدِلَافُ وَمِنْهُ قَوْله تَعَالَى: {وَأَزْلَفْنَا ثَمَّ الآخَرِينَ) {الشعراء: 64) أَيْ جَمَعْنَاهُمْ، وَلِذَلِكَ قِيلَ لِمُزْدَلِفَةَ جَمْعٌ فَإِذَا نَزَلَ بِمُزْدَلِفَةَ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَخَّرَ صَلَاةَ الْمَغْرِبِ حَتَى جَمَعَهَا مَعَ عِشَاءِ الْآخِرَةِ بِمُزْدَلِفَةَ كَمَا قَدَّمَ الْعَصْرَ بِعَرَفَةَ حِينَ صَلَّاهَا مَعَ الظُّهْرِ لِيَتَّصِلَ لَهُ الدُّعَاءُ، وَقَدْ رَوَى أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ لَمَّا أَفَاضَ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – من عرفة وأتى المزدلفة قَلَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ: الصَّلَاةُ، فَقَالَ: ” الصَّلَاةُ أمامك ” فسار حتى جاء إلى صخرة فِي بَطْنِ الْمَأْزَمِ بَيْنَ الْجَبَلَيْنِ فِي مَضِيقِ المأزمين فأناخ رحالته وَبَالَ مَنْ وَرَاءِ الصَخْرَةِ وَجِئْتُهُ بِإِدَاوَةِ ماءٍ فَتَوَضَّأَ وُضُوءًا غَيْرَ كَامِلٍ ثُمَّ قَامَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ الصَّلَاةُ فَقَالَ: ” الصَّلَاةُ أَمَامَكَ إِلَى أَنْ نَزَلَ جَمْعًا ” وَفِي قَوْلِهِ وُضُوءًا غَيْرَ كَامِلٍ تَأْوِيلَانِ:

salah satunya: bahwa mereka mendekat ke sana dari Mina, dan al-izdilāf artinya mendekat. Di antaranya firman Allah Ta‘ala: “wa-uzlifat al-jannatu lil-muttaqīn” (asy-Syu‘arā’: 90), artinya: didekatkan.

dan yang kedua: bahwa manusia berkumpul di sana, dan al-ijtimā‘ adalah al-izdilāf, sebagaimana firman-Nya Ta‘ala: “wa-azlafnā tsam al-ākharīn” (asy-Syu‘arā’: 64), artinya: Kami kumpulkan mereka. Oleh karena itu dinamakan Muzdalifah sebagai Jam‘ (tempat berkumpul).

Maka apabila seseorang singgah di Muzdalifah, ia menggabungkan salat Magrib dan Isya, karena Rasulullah SAW mengakhirkan salat Magrib hingga menggabungkannya dengan Isya akhir di Muzdalifah, sebagaimana beliau menggabungkan salat Asar dengan Zuhur di Arafah agar bisa menyambung dengan doa.

Telah meriwayatkan Usamah bin Zaid, ia berkata: Ketika Rasulullah SAW berangkat dari Arafah dan datang ke Muzdalifah, aku berkata: Wahai Rasulullah, salat! Maka beliau menjawab: “Salat di hadapanmu.” Lalu beliau terus berjalan hingga tiba di batu besar di lembah al-Ma‘zam, antara dua gunung di tempat sempit al-Ma‘zamayn, lalu beliau menambatkan untanya dan buang air kecil di belakang batu tersebut, lalu aku membawakannya idāwah berisi air, kemudian beliau berwudu dengan wudu yang tidak sempurna.

Lalu beliau berdiri, aku berkata: Wahai Rasulullah, salat! Maka beliau menjawab: “Salat di hadapanmu,” hingga beliau turun di Jam‘ (Muzdalifah).

Adapun dalam sabdanya “berwudu dengan wudu yang tidak sempurna”, terdapat dua penakwilan:


أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ تَرَكَ تَكْرَارَهُ ثَلَاثًا.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ تَرَكَ مَسْنُونَاتِهِ مِنَ الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ وَتَخْلِيلِ الْأَصَابِعِ، فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ مُسَافِرًا قَصَرَ وَجَمَعَ وَإِنْ كَانَ مَكِّيًّا مُقِيمًا أَتَمَّ وَجَمَعَ كَمَا قُلْنَا بِعَرَفَةَ فَإِذَا أَرَادَ الْجَمْعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ قَالَ أبو حنيفة يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا بِإِقَامَةٍ وَاحِدَةٍ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَلَّى الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِالْمُزْدَلِفَةِ بِإِقَامَةٍ.

pertama: bahwa ia meninggalkan pengulangan sebanyak tiga kali.
 kedua: bahwa ia meninggalkan sunah-sunahnya berupa madlmadlah, istinśyāq, dan menyela-nyela jari. Maka jika hal ini telah ditetapkan, maka jika imamnya seorang musafir, ia melakukan qaṣar dan jamak. Dan jika ia penduduk Makkah yang bermukim, ia menyempurnakan dan menjamak seperti yang kami sebutkan di ‘Arafah. Maka jika ia ingin menjamak antara keduanya, Abu Ḥanīfah berkata: ia menjamak antara keduanya dengan satu iqāmah saja, berdasarkan riwayat dari ‘Abdullāh bin Yazīd dari Abū Ayyūb bahwa Nabi SAW salat Magrib dan Isya di Muzdalifah dengan satu iqāmah.


وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ أَنَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا بِأَذَانٍ وَإِقَامَتَيْنِ لِرِوَايَةِ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِمُزْدَلِفَةَ بِأَذَانٍ وَإِقَامَتَيْنِ، وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا وَاضْطَجَعَ فَبَاتَ بِهَا إِلَى أَنْ طَلَعَ الْفَجْرُ.
وَمَذْهَبُهُ فِي الْجَدِيدِ أَنَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا بِإِقَامَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ أَذَانٍ لِرِوَايَةِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِإِقَامَتَيْنِ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا سَجْدَةً، وَكِلَا الْخَبَرَيْنِ حُجَّةٌ عَلَى أبي حنيفة.

dan mazhab asy-Syāfi‘ī dalam pendapat qadīm adalah bahwa ia menggabungkan keduanya dengan satu azan dan dua iqamah, berdasarkan riwayat dari Jābir bahwa Nabi SAW menggabungkan salat Magrib dan Isya di Muzdalifah dengan satu azan dan dua iqamah, dan beliau tidak melakukan salat sunnah di antara keduanya, lalu beliau berbaring dan bermalam di sana hingga terbit fajar.

Sedangkan pendapat jadīd-nya adalah bahwa ia menggabungkan keduanya dengan dua iqamah tanpa azan, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi SAW menggabungkan salat Magrib dan Isya dengan dua iqamah dan tidak salat sunnah satu rakaat pun di antara keduanya.

Dan kedua hadis tersebut menjadi hujah atas Abū Ḥanīfah.


وَرِوَايَةُ أَبِي أَيُّوبَ أَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَهُمَا بِإِقَامَةٍ يَعْنِي لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا لِيُعْلَمَ أَنَّهُ لَمْ يُؤَذِّنْ لَهُمَا فَلَوْ صَلَّاهُمَا قَبْلَ مُزْدَلِفَةَ جَامِعًا بَيْنَهُمَا أَوْ مُفْرِدًا لَهُمَا أَجْزَأَتَاهُ، وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا فِدْيَةَ وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا قَبْلَ مُزْدَلِفَةَ لَمْ يُجْزِهِ، وَهُوَ قَوْلُ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ الْجَمْعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ مَسْنُونٌ بِعَرَفَةَ، كَمَا أَنَّ الْجَمْعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعَشَاءِ مَسْنُونٌ بِمُزْدَلِفَةَ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ تَرْكَ الْجَمْعِ بِعَرَفَةَ لَا يَمْنَعُ الْإِجْزَاءَ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَرْكُ الْجَمْعِ بِمُزْدَلِفَةَ لَا يَمْنَعُ الْإِجْزَاءَ وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُمَا صَلَاتَانِ سُنَّ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا فِي إِحْدَاهُمَا فَوَجَبَ أَنْ لَا يَمْنَعَ جَوَازُهُمَا تَرْكَ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا بِمَكَانِهِمَا كَالْجَمْعِ بِعَرَفَةَ، وَلِأَنَّ مَا كَانَ وَقْتًا لِصَلَاةِ الْفَرْضِ فِي غَيْرِ النُّسُكِ كَانَ وَقْتًا لَهَا فِي النُّسُكِ قِيَاسًا عَلَى سَائِرِ الْأَوْقَاتِ.

dan riwayat dari Abū Ayyūb bahwa beliau menjamak antara keduanya dengan satu iqāmah, maksudnya untuk masing-masing dari keduanya, agar diketahui bahwa beliau tidak mengumandangkan adzan untuk keduanya. Maka jika seseorang menunaikan keduanya sebelum tiba di Muzdalifah, baik dengan menjamak atau secara terpisah, keduanya tetap sah dan tidak ada qaḍāʼ atasnya serta tidak ada fidyah.

Abū Ḥanīfah berpendapat: jika ia menjamak keduanya sebelum Muzdalifah, maka tidak sah. Ini adalah pendapat Jābir bin ‘Abdillāh. Pendapat ini tidak benar, karena menjamak antara ẓuhr dan ‘aṣr disunahkan di ‘Arafah sebagaimana menjamak antara magrib dan ‘isyā disunahkan di Muzdalifah. Lalu telah tetap bahwa meninggalkan jamak di ‘Arafah tidak menggugurkan kesahannya, maka wajib pula bahwa meninggalkan jamak di Muzdalifah tidak menggugurkan kesahannya.

Penjelasan rincinya dengan qiyās: bahwa keduanya adalah dua salat yang disunahkan untuk dijamak, maka wajib bahwa keabsahan keduanya tidak gugur dengan meninggalkan jamak di tempat tersebut, sebagaimana jamak di ‘Arafah. Dan karena sesuatu yang merupakan waktu salat fardu di luar nusuk, juga menjadi waktu salat tersebut dalam nusuk, berdasarkan qiyās terhadap seluruh waktu lainnya.


فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ: ” وَلَا يُسَبِّحُ بَيْنَهُمَا ” يُرِيدُ أَنْ لَا يَتَنَفَّلَ بين صلاتي الجمع، لأن التنفل بَيْنَهُمَا يَقْطَعُ الْجَمْعَ وَلَا فِي إِثْرِ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا أَيْ لَا يَتَنَفَّلُ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَلَا بَعْدَ الْعَشَاءِ، لِأَنَّهُ مَأْمُورٌ بِالتَّأَهُّبِ لِمَنَاسِكِهِ.

Adapun perkataan asy-Syāfi‘ī: “dan tidak melakukan tasbīḥ di antara keduanya”, maksudnya adalah tidak melakukan salat sunnah di antara dua salat yang dijamak, karena melakukan salat sunnah di antara keduanya memutuskan keabsahan jam‘. Dan tidak pula setelah salah satunya, yakni tidak melakukan salat sunnah sebelum Magrib maupun setelah Isya, karena ia diperintahkan untuk bersiap-siap melaksanakan manasiknya.

 

مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَبِيتُ بِهَا فَإِنْ لَمْ يَبِتْ بِهَا فَعَلَيْهِ دَمُ شاةٍ وَإِنْ خَرَجَ مِنْهَا بَعْدَ نِصْفِ الليل فلا فدية عليه قال ابن عباس كنت فيمن قدم النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مع ضعفة أهله يعني من مزدلفة إلى منى “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْمَبِيتُ بِمُزْدَلِفَةَ فَنُسُكٌ وَلَيْسَ بِرُكْنٍ، وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ وَحُكِيَ عَنْ خَمْسَةٍ مِنَ التَّابِعِينَ أَنَّهُ رُكْنٌ فِي الْحَجِّ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِهِ مِنْهُمُ الْحَسَنُ وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ وَعَامِرٌ الشَّعْبِيُّ وَالْأَسْوَدُ وَعَلْقَمَةُ وَبِهِ قَالَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ الشَّافِعِيُّ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَإذَا أفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللهَ عِنْدَ المَشْعَرِ الحََرَامِ) {البقرة: 198) وَبِهَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” مَنْ وَقَفَ بِجَمْعٍ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ وَمَنْ فَاتَهُ فَقَدْ فَاتَهُ الْحَجُّ “.

Masalah: Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Dan bermalam di sana, maka jika tidak bermalam di sana wajib atasnya dam seekor kambing. Jika ia keluar darinya setelah lewat pertengahan malam maka tidak ada fidyah atasnya. Ibnu ‘Abbas berkata: Aku termasuk orang yang didahulukan Nabi SAW bersama orang-orang lemah dari keluarganya, yakni dari Muzdalifah ke Mina.”

Al-Māwardī berkata: Adapun bermalam di Muzdalifah adalah nusuk dan bukan rukun. Ini adalah pendapat mayoritas. Diriwayatkan dari lima orang tabi‘in bahwa ia merupakan rukun dalam haji yang tidak sempurna kecuali dengannya, yaitu al-Hasan, Ibrāhīm al-Nakha‘ī, ‘Āmir al-Sya‘bī, al-Aswad, dan ‘Alqamah. Dan dengan itu pula berpendapat Abū ‘Abd al-Raḥmān al-Syāfi‘ī, berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Maka apabila kamu bertolak dari ‘Arafāt, berdzikirlah kepada Allah di al-masy‘ar al-ḥarām} (al-Baqarah: 198). Dan dengan hal ini pula diriwayatkan dari Nabi SAW: “Barangsiapa wuqūf di Jam‘ maka sungguh ia mendapatkan haji, dan barangsiapa luput darinya maka sungguh hajinya luput.”


وَالدَّلَالَةُ عَلَى مَا قُلْنَا رِوَايَةُ بُكَيْرِ بْنِ عَطَاءٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْمَرَ الدِّيلِيِّ، قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” الْحَجُّ عَرَفَاتٌ فَمَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ ” وَلِأَنَّهُ مَبِيتٌ تَضَمَّنَ مِنْ صَبِيحَةِ الرَّمْيِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ نُسُكًا وَلَا يَكُونُ رُكْنًا كَلَيَالِي مِنًى، وَلِأَنَّ زَمَانَ الْمَبِيتِ بِمُزْدَلِفَةَ هُوَ زَمَانُ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ فَلَوْ كَانَ الْمَبِيتُ بِهَا رُكْنًا لَاخْتَصَّتْ بِزَمَانٍ مُسْتَثْنًى لَا يُشَارِكُ زَمَانَ الْوُقُوفِ.
فَأَمَّا الْآيَةُ فَلَا حُجَّةَ فِيهَا؛ لِأَنَّهَا تَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ الذِّكْرِ دُونَ الْمَبِيتِ وَهُوَ غَيْرُ وَاجِبٍ بِالْإِجْمَاعِ.
وَأَمَّا الْخَبَرُ فَغَيْرُ صَحِيحٍ ثُمَّ هُوَ مَحْمُولٌ عَلَى فَوَاتِ فَضِيلَةِ الْحَجِّ.

Dan dalil atas apa yang kami katakan adalah riwayat Bukair bin ‘Athā’ dari ‘Abdurraḥmān bin Ya‘mar ad-Dīlī, ia berkata: Aku mendengar Nabi SAW bersabda: “al-ḥajju ‘Arafāt, fa-man adraka ‘Arafata faqad adraka al-ḥajja” — “Haji adalah ‘Arafah, siapa yang mendapatkan (berwukuf di) ‘Arafah maka ia telah mendapatkan haji.”

Dan karena mabit di sana (Muzdalifah) mencakup waktu pagi hari untuk melempar jumrah, maka wajiblah ia sebagai nusuk (ibadah haji), tetapi tidak menjadi rukun, sebagaimana malam-malam di Mina.

Dan karena waktu mabit di Muzdalifah itu adalah waktu yang sama dengan waktu wuqūf di ‘Arafah, maka jika mabit di sana adalah rukun, tentu ia akan memiliki waktu tersendiri yang tidak bersamaan dengan waktu wuqūf.

Adapun ayat (yang dijadikan dalil oleh sebagian) maka tidak bisa dijadikan hujah; karena ayat itu menunjukkan wajibnya dzikr (zikir) bukan wajibnya mabit, dan zikir itu sendiri bukan kewajiban berdasarkan ijma‘.

Adapun hadis (yang dijadikan dalil bahwa mabit di Muzdalifah adalah rukun) maka tidak sahih, dan seandainya sahih, maka itu ditakwilkan sebagai kehilangan keutamaan haji, bukan kehilangan keabsahannya.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْمَبِيتَ بِهَا نُسُكٌ فَإِنْ بَاتَ بِهَا وَخَرَجَ مِنْهَا بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ أَجْزَأَهُ وَإِنْ خَرَجَ مِنْهَا قَبْلَ الْفَجْرِ وَبَعْدَ نِصْفِ اللَّيْلِ أَجْزَأَهُ وَلَا دَمَ عَلَيْهِ.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يُجْزِئُهُ وَعَلَيْهِ دَمٌ، لِرِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ تَرَكَ نُسُكًا فَعَلَيْهِ دَمٌ “.
وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ: كُنْتُ فِيمَنْ قَدَّمَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مع ضَعَفَةِ أَهْلِهِ مِنْ مُزْدَلِفَةَ إِلَى مِنًى بِلَيْلٍ وَأَمَرَ أُمَّ سَلَمَةَ أَنْ تُعَجِّلَ الْإِفَاضَةَ. وَمَعْلُومٌ أَنَّ خُرُوجَهَا مِنْ مُزْدَلِفَةَ قَبْلَ الْفَجْرِ، وَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: كَانَتْ سَوْدَةُ امْرَأَةً بَطِيئَةً فَاسْتَأْذَنَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ تُفِيضَ مِنَ الْمُزْدَلِفَةِ بليلٍ فَأَذِنَ لَهَا، وَهَذَا نَصٌّ وَلَيْسَ فِي الْخَبَرِ دَلِيلٌ لِأَنَّهُ قَدْ أَدَّى النُّسُكَ.

PASAL
 Maka apabila telah tetap bahwa mabit di sana (Muzdalifah) adalah nusuk, maka jika seseorang bermalam di sana lalu keluar darinya setelah terbit fajar, itu sudah mencukupi. Dan jika ia keluar sebelum fajar tetapi setelah pertengahan malam, maka itu pun mencukupi dan tidak ada kewajiban dam atasnya.

Adapun Abū Ḥanīfah berpendapat: itu tidak mencukupi dan wajib dam atasnya, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās bahwa Nabi SAW bersabda: “man taraka nusukan fa‘alayhi damun” — “Barang siapa meninggalkan suatu nusuk, maka atasnya dam.”

Dalil kami adalah riwayat bahwa Ibnu ‘Abbās berkata: Aku termasuk orang yang didahulukan oleh Rasulullah SAW bersama orang-orang lemah dari keluarganya dari Muzdalifah ke Mina pada malam hari, dan beliau memerintahkan Ummu Salamah agar mempercepat ifāḍah-nya. Padahal telah diketahui bahwa keluarnya Ummu Salamah dari Muzdalifah adalah sebelum fajar.

Dan diriwayatkan dari ‘Āisyah RA bahwa ia berkata: “Sawdah adalah wanita yang lamban (bergeraknya), maka ia meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk ifāḍah dari Muzdalifah pada malam hari, lalu beliau mengizinkannya.” Dan ini adalah nash yang jelas.

Sedangkan dalam hadis (yang dipakai Abū Ḥanīfah), tidak ada dalil, karena orang tersebut telah menunaikan nusuk-nya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِنْ خَرَجَ مِنْهَا قَبْلَ نِصْفِ اللَّيْلِ، نُظِرَ فَإِنْ عَادَ إِلَيْهَا بَعْدَ نِصْفِ اللَّيْلِ وَقَبْلَ الْفَجْرِ أَجْزَأَهُ وَكَانَ كَالْعَائِدِ إِلَى عَرَفَةَ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ، وَإِنْ خَرَجَ مِنْهَا قَبْلَ نِصْفِ اللَّيْلِ وَلَمْ يَعُدْ إِلَيْهَا كَانَ كَمَنْ لَمْ يَبِتْ بِهَا وَعَلَيْهِ دَمٌ؛ وَلَوْ دَفَعَ مِنْ عَرَفَةَ لَيْلًا وَحَصَلَ بِمُزْدَلِفَةَ بَعْدَ نِصْفِ اللَّيْلِ فَعَلَيْهِ دَمٌ لِأَنَّهُ لَمْ يَبِتْ بِهَا إِلَّا أَقَلَّ اللَّيْلِ فَصَارَ كَالْخَارِجِ مِنْهَا قَبْلَ نِصْفِ اللَّيْلِ فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا وَتَرَكَ الْمَبِيتَ بِهَا أَوْ خَرَجَ مِنْهَا قَبْلَ نِصْفِ اللَّيْلِ فَعَلَيْهِ دَمٌ وَفِيهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَاجِبٌ وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ.

PASAL
 Adapun jika seseorang keluar dari Muzdalifah sebelum pertengahan malam, maka dilihat: jika ia kembali ke sana setelah pertengahan malam dan sebelum fajar, maka hal itu mencukupi baginya, dan hukumnya seperti orang yang kembali ke ‘Arafah setelah terbenam matahari. Namun, jika ia keluar dari sana sebelum pertengahan malam dan tidak kembali lagi, maka ia seperti orang yang tidak bermalam di sana, dan wajib atasnya dam.

Jika ia berangkat dari ‘Arafah pada malam hari dan sampai di Muzdalifah setelah pertengahan malam, maka wajib atasnya dam karena ia tidak bermalam di sana kecuali kurang dari separuh malam, maka kedudukannya seperti orang yang keluar dari sana sebelum pertengahan malam.

Jika hal ini telah ditetapkan, maka barang siapa meninggalkan bermalam di sana atau keluar darinya sebelum pertengahan malam, maka wajib atasnya dam. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: hukumnya wajib, dan ini adalah pendapat Imam al-Syafi‘i dalam qaul qadīm dan qaul jadīd-nya.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: اسْتِحْبَابٌ وَهُوَ قَوْلُهُ فِي ” الْأُمِّ ” وَ ” الْإِمْلَاءِ ” وَالْحُكْمُ فِي هَذَا كَالْحُكْمِ فِي دَمِ الدَّفْعِ عن عَرَفَةَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ؛ لِأَنَّ أَرْبَعَةَ دِمَاءٍ اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِيهَا مِنْهَا هَذَانِ.
وَالثَّالِثُ: دَمُ الْمَبِيتِ لَيَالِيَ مِنًى.
وَالرَّابِعُ: دَمُ طَوَافِ الْوَدَاعِ، فَنَّصَ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ أَنَّ الدَّمَ فِيهَا وَاجِبٌ، وَنَصَّ فِي ” الْأُمِّ ” وَ ” الْإِمْلَاءِ ” أَنَّ الدَّمَ فِيهَا اسْتِحْبَابٌ.
فَأَمَّا حُدُودُ مُزْدَلِفَةَ فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ وَادِيَ مُحَسِّرٍ لَيْسَ مِنْهَا، فَإِنْ بَاتَ لَمْ يُجْزِهِ، وَقَدْ رَوَى جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْمُزْدَلِفَةُ كُلُّهَا موقفٌ إِلَّا بَطْنَ محسرٍ “.

Dan pendapat kedua: istihbāb (anjuran), dan inilah yang dinyatakannya dalam al-Umm dan al-Imlā’, dan hukum dalam hal ini seperti hukum dam karena berangkat dari ‘Arafah sebelum matahari terbenam, karena ada empat jenis dam yang dalam hal ini pendapatnya berbeda, di antaranya dua ini.

Yang ketiga: dam karena tidak mabit di malam-malam Mina.
 Yang keempat: dam karena meninggalkan ṭawāf wada‘.

Ia menegaskan dalam pendapat qadīm dan jadīd bahwa dam dalam kasus tersebut adalah wajib, dan menegaskan dalam al-Umm dan al-Imlā’ bahwa dam dalam kasus tersebut hanya istihbāb (anjuran).

Adapun batas-batas Muzdalifah, maka telah kami sebutkan bahwa Wādī Muḥassir tidak termasuk bagian darinya. Maka jika seseorang bermalam di situ, itu tidak mencukupi.

Dan telah meriwayatkan Jābir bin ‘Abdillāh bahwa Nabi SAW bersabda: “al-Muzdalifah kulluhā mawqifun illā baṭna Muḥassir” — “Muzdalifah seluruhnya adalah tempat wuqūf, kecuali lembah Muḥassir.”


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَأْخُذُ مِنْهَا الْحَصَى لِلرَّمْيِ يَكُوْنُ قَدْرَ حَصَى الخذف لأن بقدرها رمى النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ يُخْتَارُ لِمَنْ بَاتَ بِمُزْدَلِفَةَ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا سَبْعَ حَصَيَاتٍ لِجَمْرَةِ الْعَقَبَةِ وَلَا يَزِيدُ عَلَيْهَا، وَاخْتَارَ آخَرُونَ أَنْ يَأْخُذَهَا مِنَ الْمَأْزِمَيْنِ وَمَا ذَكَرْنَاهُ أَوْلَى؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أخذ حصى الجمرة من مزدلفة ونختار أَنْ يَلْتَقِطَهَا وَلَا يَكْسِرَهَا، وَاخْتَارَ آخَرُونَ أَنْ يَكْسِرَهَا وَمَا ذَكَرْنَا أَوْلَى؛ لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْتَقِطُوا وَلَا تُنَبِّهُوا النُّوَّامَ ” وَنَخْتَارُ أَنْ يَغْسِلَهَا، وَكَرِهَ آخَرُونَ غَسْلَهَا وَمَا ذَكَرْنَا أَوْلَى؛ لِمَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا كَانَتْ تَغْسِلُ جِمَارَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فَأَمَّا قَدْرُ الْحَصَى الْجِمَارِ وَهُوَ مِثْلُ حَصَى الْخَذْفِ وَهُوَ دُونَ الْأُنْمُلَةِ طُولًا وَعَرْضًا بِقَدْرِ الْبَاقِلَّاءِ، وَيُكْرَهُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهَا وَالنُّقْصَانُ مِنْهَا؛ لِمَا رَوَى أَبُو الْعَالِيَةِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ يَقُولُ: حَدَّثَنِي الْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – غَدَاةَ يَوْمِ النَّحْرِ: ” هَاتِ فَالْقِطْ لِي حَصًى فَلَقَطْتُ لَهُ حَصَيَاتٍ مِثْلَ حَصَى الْخَذَفِ فَوَضَعْتُهُنَ في يده فقال: بأمثال هؤلاء وإياكم الغلو فَإِنَّمَا أُهْلِكَ مَنْ كَاْنَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّينِ “. وَرَوَى حَرْمَلَةُ بْنُ عَمْرٍو قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” ارْمُوا الْجَمْرَةَ بِمِثْلِ حَصَى الْخَذْفِ ” وَمِنْ أَيْنَ أَخَذَ الْجِمَارَ وَبِأَيِّ قَدَرٍ رَمَى أَجْزَأَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ ثَلَاثَةِ مَوَاضِعَ:

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Dan hendaknya ia mengambil batu dari Muzdalifah untuk melempar, ukurannya seukuran batu kerikil kecil (ḥaṣā al-khadzf), karena dengan ukuran itu Nabi SAW melempar.”

Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan. Dianjurkan bagi orang yang bermalam di Muzdalifah untuk mengambil dari sana tujuh butir batu untuk jamrah al-‘aqabah, dan tidak menambah jumlah itu.

Sebagian ulama lain memilih agar diambil dari daerah al-Ma’zamayn, namun pendapat yang kami sebutkan lebih utama, karena Rasulullah SAW mengambil batu jamrah dari Muzdalifah. Kami memilih agar batu itu dipungut, tidak dipecahkan. Sebagian ulama lain memilih memecah batu, namun pendapat kami lebih utama, karena Nabi SAW bersabda: “Pungutlah dan jangan bangunkan orang yang sedang tidur.”

Kami memilih agar batu itu dicuci. Sebagian ulama lain memakruhkan mencucinya, namun pendapat kami lebih utama, karena diriwayatkan dari ‘Ā’isyah ra bahwa beliau biasa mencuci batu jamrah Rasulullah SAW.

Adapun ukuran batu jamrah adalah seperti ḥaṣā al-khadzf (kerikil kecil yang digunakan untuk melempar), ukurannya kurang dari ruas jari, panjang dan lebarnya seukuran kacang bāqillā’ (kacang fava). Dimakruhkan menambah atau menguranginya, berdasarkan riwayat dari Abū al-‘Āliyah dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata:

“Al-Faḍl bin ‘Abbās menceritakan kepadaku, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepadaku pada pagi hari yaum al-naḥr: ‘Bawakan untukku, pungutkan batu.’ Maka aku pungutkan untuk beliau batu-batu seukuran ḥaṣā al-khadzf, lalu aku letakkan di tangan beliau. Maka beliau bersabda: ‘Dengan batu seperti ini. Jauhilah sikap berlebihan, karena sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena berlebihan dalam agama.’”

Dan dari Harmalah bin ‘Amr, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Lemparlah jamrah dengan batu seukuran ḥaṣā al-khadzf.”

Dari tempat manapun ia mengambil batu, dan dengan ukuran apapun ia melempar, maka cukup baginya mengambil dari tiga tempat:


أَحَدُهَا: حَصَى الْمَسْجِدِ؛ لِأَنَّهُ مِنْ جُمْلَتِهِ، وَقَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْحَصَى لَيُسَبِّحُ فِي الْمَسْجِدِ.

والثاني: الحصى نجس، لِأَنَّ الرَّمْيَ عِبَادَةٌ فَيُكْرَهُ أَدَاؤُهَا بِنَجِسٍ.
وَالثَّالِثُ: مَا رُمِيَ بِهِ مَرَّةً، لِأَنَّهُ غَيْرُ مُتَقَبَّلٍ وَرَوَى ابْنُ أَبَى سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ الْجِمَارُ الَّتِي نَرْمِي بِهَا كُلَّ عامٍ فَيَنْحَسِبُ أَنَّهَا تَنْقُصُ. قال: إنها مَا تُقُبِّلَ مِنْهَا يُرْفَعُ وَلَوْلَا ذَلِكَ لَرَأَيْتَهَا مثل الجبال.

Salah satunya: kerikil dari masjid, karena ia termasuk bagian dari masjid, dan telah datang dalam hadis bahwa kerikil itu bertasbih di dalam masjid.

Yang kedua: kerikil najis, karena ramy (melempar jumrah) adalah ibadah, maka makruh melakukannya dengan benda najis.

Yang ketiga: kerikil yang pernah digunakan untuk melempar sebelumnya, karena ia tidak diterima. Dan telah meriwayatkan Ibnu Abī Sa‘īd dari ayahnya, ia berkata: Kami berkata, “Wahai Rasulullah, kerikil-kerikil yang kita gunakan untuk melempar ini setiap tahun, seolah-olah tidak berkurang.” Beliau bersabda: “Yang diterima darinya akan diangkat, dan kalau tidak demikian, niscaya kalian akan melihatnya seperti gunung-gunung.”


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمِنْ حَيْثُ أَخَذَ أَجْزَأَ إِذَا وَقَعَ عَلَيْهِ اسْمُ حَجَرٍ مرمرٍ أَوْ برامٍ أَوْ كذانٍ أَوْ فهرٍ فَإِنْ كَانَ كَحْلًا أَوْ زَرْنِيخًا أَوْ مَا أَشْبَهَهُ لَمْ يُجْزِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: رَمْيُ الْجِمَارِ لَا يَجُوزُ إِلَّا بِمَا انْطَلَقَ عَلَيْهِ اسْمُ الْحَجَرِ وَإِنْ تَنَوَّعَ رِخْوًا كَانَ أَوْ صُلْبًا، فَأَمَّا مَا لَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ الْحَجَرِ مِنَ الْآجُرِّ، والطين، والجص والنورة والقوارى، وَالْكُحْلِ، وَالزَّرْنِيخِ، وَالْفِضَّةِ، وَالذَّهَبِ، وَالنُّحَاسِ وَالرَّصَاصِ، وَاللُّؤْلُؤِ وَالْمِلْحِ، فَلَا يَجُوزُ رَمْيُ الْجِمَارِ بِهِ.
وَقَالَ أبو حنيفة: يَجُوزُ بِكُلِّ مَا كَانَ مِنْ جِنْسِ الْأَرْضِ، وَلَا يَجُوزُ بِمَا يَنْطَبِعُ مِنَ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ وَالصُّفْرِ وَالنُّحَاسِ.

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Dari mana pun ia mengambil, maka mencukupi apabila benda itu dinamai batu, seperti marmer, barām, kidzān, atau fahr. Namun jika berupa kāḥil (sejenis serbuk hitam), zarnīkh (arsenik), atau yang semisalnya, maka tidak mencukupi.”

Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan. Melempar jamrah tidak sah kecuali dengan sesuatu yang disebut batu, meskipun jenisnya berbeda, baik yang lunak maupun yang keras.

Adapun sesuatu yang tidak dinamai batu seperti ājurr (batu bata), ṭīn (tanah liat), jaṣṣ (plester), nūrah (kapur), qawārī (pecahan tembikar), kāḥil, zarnīkh, perak, emas, tembaga, timbal, mutiara, dan garam, maka tidak sah melempar jamrah dengannya.

Abū Ḥanīfah berpendapat: Sah melempar dengan segala sesuatu yang berasal dari jenis tanah, dan tidak sah dengan benda-benda yang bisa ditempa seperti perak, emas, kuningan, dan tembaga.


وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ: يَجُوزُ بِكُلِّ شَيْءٍ حَتَّى بِالْعُصْفُورِ الْمَيِّتِ اسْتِدْلَالًا بِعُمُومِ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فإذا رميتم وحلقتم فقد حل لكم كل شَيْءٍ ” وَبِمَا رُوِيَ أَنَّ سُكَيْنَةَ بِنْتَ الْحُسَيْنِ ” رَمَتْ سِتَّ حصياتٍ فَأَعْوَزَتْهَا السَّابِعَةُ فَرَمَتْ بِخَاتَمِهَا ” وَدَلِيلُنَا: مَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَضَعَ حَصَى الْجِمَارِ فِي يَدِهِ وَقَالَ: ” بِأَمْثَالِ هَؤُلَاءِ فَارْمُوا ” فَعُلِمَ أَنَّ مَا لَمْ يَكُنْ لَهُ مِثْلًا لَا يُجْزِئُ الرَّمْيُ بِهِ، وَمِثْلُ الْحَصَى حَصًى، وَلَيْسَ غَيْرُ الْحَصَى مِثْلًا لِلْحَصَى.

Dan Dāwūd bin ‘Alī berkata: Boleh melempar dengan apa saja, bahkan dengan burung pipit yang mati, dengan berdalil pada keumuman sabda Nabi SAW: “Fa-idzā ramtum wa-ḥalaqtum faqad ḥalla lakum kullu shay’” — “Jika kalian telah melempar dan mencukur, maka telah halal bagi kalian segala sesuatu,” serta riwayat bahwa Sukainah binti al-Ḥusain melempar enam batu kerikil, lalu ia tidak mendapatkan yang ketujuh, maka ia melempar dengan cincinnya.

Adapun dalil kami: adalah riwayat bahwa Nabi SAW meletakkan batu-batu kerikil jumrah di tangannya lalu bersabda: “Dengan batu-batu seperti ini kalian melempar.” Maka diketahui bahwa apa yang tidak serupa dengan itu tidak sah digunakan untuk melempar, dan yang serupa dengan kerikil hanyalah kerikil, sedangkan selain kerikil bukanlah yang sejenis dengannya.


وَرَوَى أَبُو مَعْبَدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ الْفَضْلِ بْنِ الْعَبَّاسِ قَالَ أَفَاضَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَهَبَطَ فِي بَطْنِ مُحَسِّرٍ، وَقَالَ: ” أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِحَصَى الْخَذْفِ ” وَهَذَا أَمْرٌ بِالْحَصَى وَلِأَنَّهُ رَمَى بِغَيْرِ حَجَرٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُجْزِئُ، كَالثِّيَابِ.
فَأَمَّا قَوْلُهُ ” إِذَا رَمَيْتُمْ وَحَلَقْتُمْ ” فَالْمَقْصُودُ بِهِ مَا يَقَعُ بِهِ التَّحَلُّلُ لَا مَا يجوز الرمي به.
وأما حدث سُكَيْنَةَ فَقَدْ قِيلَ: إِنَّهَا رَمَتْ خَاتَمَهَا إِلَى سَائِلٍ كَانَ هُنَاكَ وَلَوْ صَحَّ أَنَّهَا رَمَتْ به بدلاً من الحصى السَّابِعَةِ فَالْمَقْصُودُ مِنْهُ فَصُّهُ وَكَانَ حَجَرًا وَفَصَّةُ الخاتم تبعاً.

Diriwayatkan dari Abū Ma‘bad dari Ibnu ‘Abbās dari al-Faḍl bin ‘Abbās, ia berkata: Nabi SAW bertolak lalu turun di lembah Muḥassir, dan bersabda: “Wahai manusia, gunakanlah batu seukuran ḥaṣā al-khadzf.” Ini merupakan perintah untuk memakai batu.

Karena itu, barang siapa melempar dengan selain batu, maka tidak mencukupi, sebagaimana halnya tidak sah melempar dengan pakaian.

Adapun sabda beliau: “Apabila kalian telah melempar dan mencukur (rambut),” maka maksudnya adalah pelemparan yang sah yang menyebabkan tahallul, bukan sekadar sah secara umum.

Adapun peristiwa Sukaīnah, maka telah dikatakan bahwa ia melemparkan cincinnya kepada seorang peminta-minta yang ada di sana. Jika benar bahwa ia melemparkannya sebagai pengganti batu yang ketujuh, maka yang dimaksud dari cincin itu adalah batu permatanya, dan permata pada cincin itu mengikuti hukumnya (karena terbuat dari batu).


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ رَمَى بِمَا قَدْ رُمِيَ بِهِ مَرَّةً كَرِهْتُهُ وَأَجْزَأَ عَنْهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّنَا نَكْرَهُ لَهُ الرَّمْيَ بِمَا قَدْ رَمَى بِهِ لِمَا رُوِّينَاهُ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: الْحَجَرُ قربان فما يقبل رُفِعَ وَمَا لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ تُرِكَ ” فَإِنْ رمى أَجْزَأَهُ، سَوَاءٌ كَانَ قَدْ رَمَى بِهِ أَوْ رَمَى بِهِ غَيْرُهُ وَقَالَ طَاوُسٌ: إِنْ رَمَى بِمَا قَدْ رُمِيَ بِهِ مَرَّةً لَمْ يَجُزْ سَوَاءٌ رَمَى بِهِ هُوَ، أَوْ رَمَى غَيْرُهُ بِهِ كَالْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ وَقَالَ أَبُو إِبْرَاهِيمَ الْمُزَنِيُّ: إِنْ رَمَى بِهِ غَيْرُهُ أَجْزَأَهُ وَإِنْ رَمَى بِهِ هُوَ لَمْ يُجْزِهِ، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٌ، لِأَنَّ رَمْيَهُ بِهِ لَمْ يَسْلُبْهُ اسْمَ الْحَجَرِ الْمُطْلَقِ فَلَمْ يَكُنْ أَدَاءُ الْعِبَادَةِ بِهِ مَانِعًا مِنْ أَدَائِهَا ثَانِيَةً بِهِ كَالْكُسْوَةِ، وَالْإِطْعَامِ فِي الْكَفَّارَاتِ فَإِنْ قِيلَ مَا الْفَرْقُ بَيْنَ هَذَا حَيْثُ أَجَزْتُمُ الرَّمْيَ بِهِ ثَانِيَةً وَبَيْنَ الْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ حَيْثُ مَنَعْتُمُ اسْتِعْمَالَهُ ثَانِيَةً.
قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Masalah:
 Asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang melempar dengan batu yang telah digunakan untuk melempar sebelumnya, maka aku memakruhkannya, namun itu tetap mencukupi darinya (sah).”

Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa kami memakruhkan seseorang melempar dengan batu yang telah digunakan untuk melempar, berdasarkan riwayat dari Nabi SAW. Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās bahwa ia berkata: “Batu itu adalah kurban, maka apa yang diterima darinya akan diangkat, dan apa yang tidak diterima darinya akan ditinggalkan.”

Namun jika seseorang tetap melempar dengan batu tersebut, maka itu mencukupi baginya, baik dia sendiri yang telah melempar sebelumnya atau orang lain yang telah melempar dengannya.

Ṭāwūs berkata: “Jika seseorang melempar dengan batu yang sudah pernah dipakai untuk melempar, maka tidak sah, baik dia sendiri yang menggunakannya atau orang lain, sebagaimana air musta‘mal.”

Abū Ibrāhīm al-Muzanī berkata: “Jika yang melempar sebelumnya adalah orang lain, maka sah; tapi jika dia sendiri yang menggunakannya lagi, maka tidak sah.”

Dan ini tidaklah benar, karena melemparnya tidak menghilangkan dari batu itu nama ḥajar (batu) secara mutlak, maka penggunaan batu itu untuk ibadah tidak menghalangi untuk digunakan kembali dalam ibadah yang sama, sebagaimana kiswah (pakaian) dan iṭ‘ām (pemberian makan) dalam kafārat.

Jika ditanyakan: Apa perbedaan antara hal ini, yang kalian membolehkan untuk digunakan kedua kalinya dalam ramy, dan air musta‘mal yang kalian larang penggunaannya kembali?

Dijawab: Perbedaan antara keduanya dari dua sisi:


أَحَدُهُمَا: أَنَّ اسْتِعْمَالَ الْمَاءِ قَدْ سَلَبَهُ اسْمَ الْمَاءِ الْمُطْلَقِ فَلَمْ يَجُزِ اسْتِعْمَالُهُ وَالرَّمْيُ بِالْأَحْجَارِ لَمْ يَسْلُبْهَا اسْمَ الْأَحْجَارِ فَجَازَ الرَّمْيُ بِهَا.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَاءَ يُسْتَعْمَلُ عَلَى وَجْهِ الْإِتْلَافِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسْتَعْمَلَ ثانية كالعتق في الكفارات.

Pertama: Penggunaan air telah menghilangkan darinya nama “air muthlaq”, sehingga tidak boleh lagi digunakan (untuk bersuci). Sedangkan melempar dengan batu tidak menghilangkan dari batu itu nama “batu”, maka boleh digunakan untuk melempar.

Kedua: Air digunakan dengan cara yang menghabiskan (menghilangkan manfaatnya), sehingga tidak boleh digunakan kembali, sebagaimana halnya budak yang telah dimerdekakan dalam kafarat tidak boleh dijadikan kafarat kedua kalinya.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو رمى فوقعت حَصَاةٌ عَلَى محملٍ ثُمَّ اسْتَنَّتْ فَوَقَعَتْ فِي مَوْضِعِ الْحَصَى أَجْزَأَهُ وَإِنْ وَقَعَتْ فِي ثَوْبِ رَجُلٍ فَنَفَضَهَا لَمْ يُجْزِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ عَلَى رَامِي الْجِمَارِ حُصُولَ الْحَصَى فِي الْجِمَارِ بِرَمْيِهِ، فَإِذَا رَمَى الْجَمْرَةَ بِحَصَاةٍ فَوَقَعَتْ عَلَى مَحْمَلٍ، أَوْ حَمْلٍ ثُمَّ اسْتَنَّتْ فَوَقَعَتْ فِي الْجَمْرَةِ أَجْزَأَهُ، لِأَنَّهَا وَقَعَتْ فِيهِ بِرَمْيِهِ، فَإِنْ قِيلَ فَالسَّهْمُ الْمُزْدَلِفُ إِذَا وَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ ازْدَلَفَ فَأَصَابَ الْهَدَفَ لَمْ يُعْتَدَّ بِهِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، فَهَلَّا كَانَ رَمْيُ الْجِمَارِ مِثْلَهُ؟ قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْمَقْصُودَ فِي الرَّمْيِ حَذْفُ الرَّامِي وَجَوْدَةُ رَمْيِهِ، فَإِذَا أَصَابَ الْأَرْضَ ثُمَّ ازْدَلَفَ إِلَى الْهَدَفِ أَنْبَأَ ذَلِكَ عَلَى سُوءِ رَمْيِهِ فَلَمْ يُعْتَدَّ بِهِ، وَالْمَقْصُودُ فِي رَمْيِ الْجِمَارِ حُصُولُ الْحَصَى فِي الْجَمْرَةِ بِفِعْلِهِ فَكَانَ مَا أَصَابَ الْأَرْضَ ثُمَّ ازْدَلَفَ بِنَفْسِهِ مُعْتَدًّا بِهِ لِحُصُولِهِ بِفِعْلِهِ، فَأَمَّا إِذَا رَمَى بِحَصَاةٍ فَأَصَابَ ثَوْبَ رَجُلٍ فَنَفَضَهَا فَوَقَعَتْ فِي الْجَمْرَةِ لَمْ يُجْزِهِ؛ لِأَنَّ الْفِعْلَ الثَّانِيَ قَاطِعٌ لِلْأَوَّلِ، فَصَارَ الرَّمْيُ مَنْسُوبًا إليه، فلو رمى بها فأصاب عُنُقَ بَعِيرٍ فَحَرَّكَهُ ثُمَّ وَقَعَتْ فِي الْجَمْرَةِ فلم يعمل هَلْ وَقَعَتْ بِالرَّمْيِ الْأَوَّلِ أَوْ بِتَحْرِيكِ الْبَعِيرِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Masalah:
 Asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang melempar, lalu batu itu jatuh di atas tandu (mahmal), kemudian bergulir dan jatuh ke tempat kerikil (jumrah), maka itu mencukupi. Namun jika jatuh ke pakaian seseorang lalu orang itu menggoyangkannya dan kerikil itu jatuh ke tempat jumrah, maka tidak mencukupi.”

Al-Māwardī berkata: Dasar dari masalah ini adalah bahwa yang wajib atas orang yang melempar jumrah adalah sampainya kerikil ke tempat jumrah melalui lemparannya. Maka jika seseorang melempar jumrah dengan kerikil, lalu kerikil itu jatuh di atas tandu atau barang bawaan, lalu bergulir dan jatuh ke dalam jumrah, maka itu mencukupi, karena ia sampai ke sana dengan lemparannya.

Jika dikatakan: Anak panah yang terpental — bila jatuh ke tanah lalu meluncur dan mengenai sasaran — tidak dianggap sah menurut salah satu dari dua pendapat. Mengapa tidak dipersamakan dengan lempar jumrah ini?

Dijawab: Perbedaannya adalah bahwa dalam memanah, yang menjadi tujuan adalah lemparan si pemanah dan ketepatan tembakannya. Maka jika anak panah menyentuh tanah terlebih dahulu lalu meluncur ke target, hal itu menunjukkan buruknya lemparan, maka tidak dianggap sah.

Sedangkan dalam lempar jumrah, yang menjadi tujuan adalah sampainya batu ke tempat jumrah dengan perbuatannya. Maka jika batu itu menyentuh tanah lalu meluncur sendiri ke tempat jumrah, hal itu tetap dianggap sah karena terjadi melalui perbuatannya.

Adapun jika ia melempar batu lalu batu itu mengenai pakaian seseorang, kemudian orang itu menggoyangkannya hingga batu jatuh ke tempat jumrah, maka tidak mencukupi, karena tindakan kedua itu memutuskan kaitan dengan tindakan pertama. Maka lemparan itu dinisbatkan kepada orang kedua.

Jika ia melempar lalu mengenai leher unta, kemudian unta itu bergerak dan batu itu jatuh ke tempat jumrah, maka tidak diketahui apakah batu itu sampai karena lemparan pertama atau karena gerakan unta — maka ada dua wajah (pendapat) dalam hal ini.


أَحَدُهُمَا: لَا يُجْزِئُهُ؛ لِأَنَّهُ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ بِفِعْلِ الرَّامِي فَيُجْزِئُ؛ وَبَيْنَ أن يكون بِتَحْرِيكِ الْبَعِيرِ فَلَا يُجْزِئُ، وَبِالشَّكِّ لَا يَسْقُطُ مَا فِي ذِمَّتِهِ مِنَ الرَّمْيِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُجْزِئُهُ؛ لِأَنَّ وُجُودَ الْفِعْلِ الْأَوَّلِ مُتَحَقِّقٌ، وَحُدُوثَ الْفِعْلِ الثَّانِي بِتَحْرِيكِ الْبَعِيرِ مَشْكُوكٌ فِيهِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْقُطَ حُكْمُ فِعْلٍ مُتَحَقِّقٍ بِفِعْلٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ.

Pertama: Tidak mencukupi, karena keadaan tersebut masih samar antara dua kemungkinan: bisa jadi batu itu dilempar oleh perbuatan pelempar, maka mencukupi; dan bisa jadi karena gerakan unta, maka tidak mencukupi. Dengan adanya keraguan, tidak gugur kewajiban lempar yang masih tersisa di tanggungannya.

Pendapat kedua: Mencukupi, karena adanya perbuatan pertama (yakni pelemparan) itu yakin terjadi, sedangkan terjadinya pelemparan karena gerakan unta itu masih diragukan. Maka tidak boleh hukum atas perbuatan yang telah terbukti gugur karena perbuatan lain yang masih diragukan.


فَصْلٌ
: إِذَا رَمَى بِحَصَاةٍ فوقعت دون الجمرة ثم ازدلفت بحموتها فَوَقَعَتْ فِي الْجَمْرَةِ أَجْزَأَهُ؛ لِأَنَّ حُصُولَهَا فِي الْجَمْرَةِ بِفِعْلِهِ، وَلَوْ أَطَارَتْهَا الرِّيحُ فَأَلْقَتْهَا فِي الْجَمْرَةِ لَمْ يُجْزِهِ؛ لِأَنَّ حُصُولَهَا فِيهِ بِغَيْرِ فِعْلِهِ، وَلَوْ رَمَى فَجَاوَزَ الْجَمْرَةَ وَسَقَطَ وَرَاءَهَا لَمْ يُجْزِهِ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ حُصُولُ الْحَصَى فِي الْجَمْرَةِ بِرَمْيِهِ، فَلَوْ وَقَعَتْ فَوْقَ الْجَمْرَةِ ثُمَّ انْحَدَرَتْ بِنَفْسِهَا وَانْقَلَبَتْ حَتَّى حَصَلَتْ فِي الْجَمْرَةِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

PASAL
 Jika seseorang melempar batu lalu batu itu jatuh di depan jumrah kemudian bergulir dengan hempasan lemparannya hingga jatuh ke dalam jumrah, maka itu mencukupi; karena sampainya batu ke dalam jumrah terjadi melalui perbuatannya.

Namun jika batu itu diterbangkan oleh angin lalu dijatuhkan ke dalam jumrah, maka itu tidak mencukupi; karena sampainya batu ke dalamnya bukan karena perbuatannya.

Jika ia melempar lalu batu itu melampaui jumrah dan jatuh di belakangnya, maka itu tidak mencukupi; karena yang dimaksud adalah sampainya batu ke dalam jumrah dengan lemparannya.

Jika batu itu jatuh di atas jumrah, lalu meluncur sendiri dan terguling hingga sampai ke dalam jumrah, maka ada dua wajah (pendapat) dalam hal ini.


أَحَدُهُمَا: يُجْزِئُهُ، لِأَنَّ انْحِدَارَهَا عَنْ فِعْلِهِ، فَكَانَ حُصُولُهَا فِيهِ مَنْسُوبًا إِلَى رَمْيِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُجْزِئُهُ، لِأَنَّ انْحِدَارَهَا مِنْ عُلُوٍّ لَيْسَ مِنْ حَمْوَةِ رَمْيِهِ وَلَا فِعْلِهِ، وَإِنَّمَا هُوَ كَإِطَارَةِ رِيحٍ أَوْ حَمْلٍ، قِيلَ: وَلَوْ وَقَعَتْ دُونَ الْجَمْرَةِ ثُمَّ تَدَحْرَجَتْ وَانْحَدَرَتْ بِنَفْسِهَا حَتَّى وَقَعَتْ فِي الْجَمْرَةِ كَانَ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ. فَلَوْ رَمَى حَصَاةً دُونَ الْجَمْرَةِ، فَانْدَفَعَتِ الثَّانِيَةُ وَوَقَعَتْ فِي الْجَمْرَةِ وَاسْتَقَرَّتِ الْأُولَى دُونَ الْجَمْرَةِ لَمْ يُجْزِهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَرْمِ الثَّانِيَةَ فَتُحْسَبُ بِهَا وَلَا وَصَلَتِ الْأُوْلَى إِلَى الْجَمْرَةِ فَيُعْتَدُّ بِهَا، فَلَوْ رَمَى حَصَاةً فَلَمْ يَعْلَمْ هَلْ وَقَعَتْ فِي الْجَمْرَةِ فَيَعْتَدُّ بِهَا أَوْ فِي غَيْرِهَا مُجَاوِزَةً أَوْ مُقَصِّرَةً فَلَا يَعْتَدُّ بِهَا فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Pertama: Dinyatakan mencukupi, karena meluncurnya batu itu berasal dari perbuatannya, maka masuknya batu ke dalam jamrah dinisbahkan kepada lemparannya.

Pendapat kedua: Tidak mencukupi, karena meluncurnya batu dari tempat yang tinggi tidak berasal dari kekuatan lemparan atau perbuatannya, tetapi seperti ditiup angin atau terbawa oleh beban.

Dikatakan: Jika batu itu jatuh di luar jamrah, lalu bergulir dengan sendirinya hingga masuk ke dalam jamrah, maka hukumnya mengikuti dua pendapat tersebut.

Maka jika ia melempar batu pertama yang jatuh sebelum jamrah, kemudian batu kedua menyusul dan jatuh ke dalam jamrah, sementara batu pertama tetap di luar jamrah, maka tidak mencukupi. Karena ia tidak melempar batu kedua agar bisa dihitung darinya, dan batu pertama tidak sampai ke jamrah sehingga tidak bisa dianggap sah.

Jika ia melempar batu lalu tidak mengetahui apakah batu itu jatuh ke dalam jamrah atau tidak—mungkin terlalu jauh atau terlalu pendek—maka dalam hal ini ada dua pendapat: apakah dihitung atau tidak.


أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ لَا يُجْزِئُهُ وَهُوَ الصَّحِيحُ، لِأَنَّهُ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ جَوَازَيْنِ فَلَمْ يَسْقُطْ بِالشَّكِّ مَا لَزِمَهُ بِالْيَقِينِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: حَكَاهُ عَنْهُ الزَّعْفَرَانِيُّ فِي الْقَدِيمِ: إِنَّهُ يُجْزِئُهُ؛ لِأَنَّ الظَّاهِرَ حُصُولُ الرَّمْيِ فِي الْجَمْرَةِ، وَلَعَلَّهُ قال ذلك في القديم أنه حكاه عَنْ غَيْرِهِ.

Salah satunya: yaitu pendapatnya dalam al-jadīd, bahwa itu tidak mencukupi, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena ia berada dalam keadaan ragu antara dua kemungkinan, maka tidak gugur kewajiban yang ditetapkan dengan yakin hanya karena keraguan.

Dan pendapat kedua: dinukil darinya oleh az-Zu‘farānī dalam al-qadīm, bahwa itu mencukupi, karena tampaknya batu telah sampai ke dalam jumrah, dan boleh jadi ia mengatakan demikian dalam al-qadīm sebagai riwayat dari selainnya.


فَصْلٌ
: إِذَا رَمَى الْحَصَاةَ وَكَانَ فِي الْجَمْرَةِ مَحْمَلٌ فَوَقَعَتْ فِيهِ أَوْ مَتَاعٌ فَوَقَعَتْ عَلَيْهِ لَمْ يُجْزِهِ حَتَّى يَقَعَ فِي مَكَانِ الْحَصَى، لِأَنَّ الْمَكَانَ مَقْصُودٌ بِالرَّمْيِ، وَلَوْ وقعت في الجمرة وأطارته الرِّيحُ أَجْزَأَهُ؛ لِاسْتِقْرَارِهَا بِالرَّمْيِ، وَإِنْ خَرَجَتْ بِغَيْرِهِ كما لو أخذها بعد رمية أخرى فَرَمَى بِهَا، فَلَوْ وَقَعَتْ فِي الْجَمْرَةِ ثُمَّ ازْدَلَفَتْ بِحَمْوَتِهَا حَتَّى سَقَطَتْ وَرَاءَ الْجَمْرَةِ أَجْزَأَهُ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ وُقُوعُهَا فِي الْجَمْرَةِ بِرَمْيِهِ دُونَ اسْتِقْرَارِهَا فِيهِ، أَلَا تَرَى لَوْ وَقَعَتْ فِي الْجَمْرَةِ فَأَطَارَتْهَا الرِّيحُ أَجْزَأَتْهُ.

PASAL
 Apabila seseorang melempar batu dan di tempat jamrah terdapat maḥmal (tandu) lalu batu itu jatuh di atasnya, atau ada barang lalu batu itu jatuh di atasnya, maka tidak mencukupi sampai batu itu jatuh di tempat kerikil (maḥall al-ḥaṣā), karena tempat itu adalah yang dimaksud dari pelemparan.

Namun jika batu itu jatuh di jamrah, lalu diterbangkan angin, maka mencukupi; karena ia telah sempat berada di tempat itu karena lemparan. Jika batu itu keluar dari tempat itu bukan karena lemparan (misalnya diambil kembali setelah lemparan lain lalu dilemparkan lagi), maka tidak mencukupi.

Jika batu itu jatuh di jamrah lalu meluncur karena kekuatan lemparannya sampai jatuh di belakang jamrah, maka dalam salah satu dari dua pendapat hal itu mencukupi, karena yang dimaksud adalah jatuhnya batu ke dalam jamrah dengan lemparannya, bukan menetapnya di sana.

Tidakkah engkau melihat bahwa jika batu itu jatuh di jamrah lalu diterbangkan angin, tetap dihukumi sah?


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُجْزِئُهُ؛ لِأَنَّهَا اسْتَقَرَّتْ بِانْتِهَاءِ الرَّمْيِ خَارِجَ الْجَمْرَةِ، فَلَوْ أَخَذَ الْحَصَى بِيَدِهِ ولم يرمه ولكن مشير إِلَى الْجَمْرَةِ فَوَضَعَهَا فِيهَا وَضْعًا لَمْ يُجْزِهِ، وَكَذَا لَوْ دَفَعَ الْحَصَاةَ بِرِجْلِهِ وَكَسَحَهُ حَتَّى حَصَلَ فِي مَوْضِعِهِ لَمْ يُجْزِهِ؛ لِأَنَّ عَلَيْهِ رَمْيَ الْحَصَى فِيهِ؛ وَكَذَا لَوْ رَمَاهُ عَنْ قوس لم يجزه.

Wajah kedua: Tidak mencukupi, karena batu itu telah berhenti (menetap) di luar jumrah setelah lemparan berakhir. Maka jika seseorang mengambil batu dengan tangannya dan tidak melemparkannya, tetapi hanya mengarahkannya ke jumrah lalu meletakkannya di dalamnya, maka itu tidak mencukupi.

Demikian pula, jika ia mendorong batu dengan kakinya atau menyapunya hingga sampai ke tempatnya (jumrah), maka itu tidak mencukupi; karena kewajibannya adalah melempar batu ke dalamnya.

Demikian juga, jika ia melemparnya menggunakan busur panah, maka tidak mencukupi.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِذَا أَصْبَحَ صَلَى الصُّبْحَ فِي أُوَلِ وَقْتِهَا ثُمَّ يَقِفُ عَلَى قزحٍ حَتَّى يُسْفِرَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ ثُمَّ يَدْفَعُ إِلَى مِنًى فَإِذَا صَارَ فِي بَطْنِ مُحَسِّرٍ حَرَّكَ دَابَّتَهُ قَدْرَ رَمْيَةِ حجرٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا بَاتَ الْإِمَامُ وَالنَّاسُ مَعَهُ بِمُزْدَلِفَةَ صَلَّى الصُّبْحَ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا مَعَ طُلُوعِ الْفَجْرِ الثَّانِي، فَقَدْ رُوِيَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: ” مَا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَلَاةً قَبْلَ وَقْتِهَا، إِلَّا صَلَاةَ الصُبْحِ بِجَمْعٍ ” يَعْنِي قَبْلَ وَقْتِهَا الَّذِي كَانَ يُصَلِّيهَا فِيهِ من قبل؛

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Apabila telah masuk waktu pagi, maka ia salat subuh di awal waktunya, lalu berdiri di atas Quzah hingga terang sebelum matahari terbit, kemudian ia berangkat menuju Mina. Ketika sampai di lembah Muḥassir, ia percepat laju tunggangannya sekira jarak lemparan batu.”

Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan. Jika imam dan orang-orang bersamanya bermalam di Muzdalifah, maka mereka salat subuh di awal waktunya, yaitu saat terbit fajr tsānī. Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd, ia berkata: “Tidak ada satu salat pun yang Rasulullah SAW laksanakan sebelum waktunya kecuali salat subuh di Jam‘,” maksudnya: sebelum waktu yang biasa beliau laksanakan sebelumnya.

 

لِأَنَّهُ صَلَّاهَا قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ، ثُمَّ يَرْكَبُ بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ حَتَّى يَأْتِيَ قُزَحَ فَيَقِفَ فِيهِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ، وَيَدْعُو سِرًّا كَمَا دَعَا بِعَرَفَةَ، وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ لِلدُّعَاءِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللهَ عِنْدَ المَشْعَرِ الحَرَامِ) {البقرة: 198) فَقِيلَ إِنَّ قُزَحَ هُوَ الْمَشْعَرُ وَقِيلَ: إِنَّهُ الْجَبَلُ الَّذِي فِي ذَيْلِهِ الْمَشْعَرُ وَالْمَشْعَرُ الْمَعْلَمُ، وَالْمَشَاعِرُ الْمَعَالِمُ، وَمِنْهُ قَوْله تَعَالَى: {لاَ تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللهَ) {المائدة: 2) أَيْ: مَعَالِمَ اللَّهِ، وَلَيْسَ ذَلِكَ بِنُسُكٍ وَلَا دَمَ عَلَى تَارِكِهِ، ثُمَّ لَا يَزَالُ وَاقِفًا عِنْدَ الْمَشْعَرِ إِلَى أَنْ يُسَفِرَ الصُّبْحُ، فَإِذَا أَسْفَرَ وَرَأَتِ الْإِبِلُ مَوَاقِعَ أَخْفَافِهَا دَفَعَ إِلَى مِنًى قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ، اقْتِدَاءً بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَاتِّبَاعًا لِأَمْرِهِ، وَرَوَى ابْنُ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِّيَةِ يَدْفَعُونَ مِنْ عَرَفَةَ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ، وَمِنَ الْمُزْدَلِفَةِ بَعْدَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَيَقُولُونَ أَشْرِقْ ثَبِيرُ كَيْمَا نُغِيْرُ فَأَخَّرَ اللَّهُ هَذِهِ وَقَدَّمَ هَذِهِ ” يَعْنِي: قَدَّمَ الْمُزْدَلِفَةَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ، وَأَخَّرَ عَرَفَةَ إِلَى أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ.

Karena ia telah salat (Magrib dan Isya) sebelum terbit fajar, kemudian ia menaiki kendaraan setelah salat Subuh hingga tiba di Quzah, lalu ia berhenti di sana menghadap kiblat dan berdoa dengan lirih sebagaimana ia berdoa di ‘Arafah, dan mengangkat kedua tangannya dalam doa.

Allah Ta‘ala berfirman: {Fa-idzā afaḍtum min ‘Arafātin fa-dzkurullāha ‘indal-masy‘aril-ḥarām} (al-Baqarah: 198), maka dikatakan bahwa Quzah adalah al-Masy‘ar al-Ḥarām, dan dikatakan pula bahwa ia adalah gunung yang di kaki gunungnya terdapat al-Masy‘ar, dan al-Masy‘ar adalah penanda (tempat suci), sedangkan al-masyā‘ir adalah penanda-penanda, sebagaimana firman-Nya Ta‘ala: {Lā tuḥillū sha‘ā’ira Allāh} (al-Mā’idah: 2), artinya: tanda-tanda Allah.

Amalan ini bukan termasuk nusuk (ritual utama haji), dan tidak ada dam atas orang yang meninggalkannya.

Kemudian ia terus berada di al-Masy‘ar sampai fajar mulai terang. Apabila pagi mulai terang dan unta telah bisa melihat bekas tapak kakinya sendiri, maka ia berangkat menuju Mina sebelum terbit matahari, mengikuti Rasulullah SAW dan menaati perintah beliau.

Ibnu Ṭāwūs meriwayatkan dari ayahnya bahwa Nabi SAW bersabda:
 “Dahulu orang-orang jahiliah berangkat dari ‘Arafah sebelum matahari terbenam, dan dari Muzdalifah setelah matahari terbit, seraya berkata: ‘Wahai Tsabīr, terbitlah agar kami dapat menyerbu!’ Maka Allah menunda keberangkatan dari ‘Arafah hingga matahari terbenam dan memajukan keberangkatan dari Muzdalifah sebelum matahari terbit.”

Maksudnya: Allah memajukan keberangkatan dari Muzdalifah sebelum terbit matahari dan menunda wuqūf di ‘Arafah hingga matahari terbenam.


وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ قَيْسٍ عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ قَالَ: خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهُوَ بِعَرَفَاتٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ: وَكَانُوا يَدْفَعُونَ مَنَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ بَعْدَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ إِذَا كَانَتْ عَلَى رُؤُوسِ الْجَبَلِ كَأَنَّهَا عَمَائِمُ الرِّجَالِ عَلَى رُؤُوْسِهَا، وَإِنَّا نَدْفَعُ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ، يُخَالِفُ هَدْيُنَا هَدْيَ أَهْلِ الْأَوْثَانِ وَالشِّرْكِ “، فَإِنْ دَفَعَ مِنْهَا بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ كَانَ مُخَالِفًا لِلسُّنَّةِ وَلَا دَمَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ لَيْسَ بِنُسُكٍ.

Diriwayatkan dari Muḥammad bin Qays, dari al-Miswar bin Makhramah, ia berkata: Rasulullah SAW berkhotbah kepada kami ketika beliau berada di ‘Arafah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, lalu bersabda: “Dahulu mereka (kaum musyrikin) bertolak dari al-Masy‘ar al-Ḥarām setelah terbit matahari, saat matahari berada di atas puncak gunung seperti sorban di atas kepala laki-laki. Adapun kami, kami bertolak sebelum matahari terbit. Hidayah kami berbeda dengan hidayah para penyembah berhala dan kemusyrikan.”

Maka, jika seseorang bertolak dari Muzdalifah setelah terbit matahari, maka ia telah menyelisihi sunah, namun tidak ada dam atasnya, karena hal itu bukan nusuk.


فَصْلٌ
: ثُمَّ تَوَجَّهَ إِلَى مِنًى وَعَلَيْهِ السَّكِينَةُ وَالْوَقَارُ كَسَيْرِهِ مِنْ عَرَفَاتٍ، حَتَّى إِذَا صَارَ مِنْ بَطْنِ مُحَسِّرٍ حَرَّكَ دَابَّتَهُ قَدْرَ رَمْيِهِ بِحَجَرٍ؛ لِرِوَايَةِ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرٍ وعبد اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ذَكَرَ اللَّهَ تَعَالَى عَلَى الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَأَفَاضَ عليه السكينة فلما بلغ وادي محسراً أَوْضَعَ. قَالَ أَبُو عُبَيْدِ اللَّهِ: وَالْإِيضَاعُ سَيْرُ الإبل إذا سارت للخبب، يقال له الإبضاع قَالَ الشَّاعِرُ:
(إِذَا أُعْطِيتُ رَاحِلَةً وَرَحْلًا … وَلَمْ أوضع فقام على ناعي)

PASAL
 Kemudian beliau menuju ke Mina dengan penuh ketenangan dan wibawa, sebagaimana perjalanannya dari Arafah, hingga ketika telah berada di bathn Muhassir, beliau mempercepat hewan tunggangannya seukuran lemparan batu; berdasarkan riwayat dari Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya dari Jābir dan ‘Abdullāh bahwa Nabi SAW berdzikir kepada Allah Ta‘ālā di al-Masy‘ar al-Ḥarām, dan Allah mencurahkan ketenangan kepadanya. Maka ketika beliau sampai di Wādī Muḥassir, beliau mempercepat lajunya (awḍa‘a).

Abū ‘Ubaydillāh berkata: al-iīḍā‘ adalah lajunya unta ketika berlari kecil (al-khabb), dan dalam bahasa Arab disebut al-ibḍā‘.

Penyair berkata:
 Idzā u‘ṭītu rāḥilatan wa raḥlan … wa lam awḍa‘ faqāma ‘alā nā‘ī
 “Apabila aku telah diberi kendaraan dan pelana … namun aku tidak mempercepatnya, maka bangkitlah penyeru kematianku.”


فَلَمَّا أَوْضَعَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي بَطْنِ مُحَسِّرٍ احْتَمَلَ أَنْ يَكُونَ لِسِعَةِ الْمَكَانِ وَهُبُوطِ الرَّاحِلَةِ، وَاحْتَمَلَ أَنْ يَكُونَ نَدْبًا، فَأَمَّا مَا رُوِيَ عَنِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ أَوْضَعُوا بِمَثَابَةِ نَدْبٍ فَرَوَى حُصَيْنُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ حَرَّكَ دَابَّتَهُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ حَتَّى إِنَّ فَخْذَهُ لَتَكْدَمُ بِالْقَتْبِ.
وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يحرك في محسرٍ وَيَقُولُ:
(إِلَيْكَ تَعْدُو قَلِقًا وَضِينُهَا … مُخَالِفًا دِينَ النَّصَارَى دِينُهَا)

Maka ketika Nabi SAW mempercepat laju tunggangannya di lembah Muḥassir, hal itu mungkin disebabkan karena luasnya tempat tersebut dan arah turunnya hewan tunggangan, dan bisa jadi pula itu adalah anjuran (sunah).

Adapun yang diriwayatkan dari para sahabat ra bahwa mereka mempercepat laju (tunggangan) di tempat itu sebagai bentuk anjuran (bukan kewajiban), maka telah diriwayatkan dari Ḥuṣain bin al-Ḥuwairith bahwa Abū Bakr mempercepat laju hewan tunggangannya di tempat ini hingga pahanya membentur pelana.

Dan diriwayatkan dari Hisyām bin ‘Urwah, dari ayahnya, bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb ra biasa mempercepat laju tunggangannya di lembah Muḥassir, sambil mengucapkan:

(Ilayka ta‘dū qaliqan waḍīnu-hā … mukhālifan dīna al-naṣārā dīnu-hā)
 (Padamu ia berlari tergesa-gesa, tunggangannya … agamanya menyelisihi agama kaum Nasrani)


وَرَوَى أَبُو الْعَالِيَةِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ أَوْضَعَ فِي وَادِي مُحَسِّرٍ وَهُوَ يَقُولُ:
(إِلَيْكَ تَعْدُو قَلِقًا وَضِينُهَا … مُخَالِفًا دين النصارى دينها)
(معرضاً في بطنها جنينها)

Diriwayatkan dari Abū al-‘Āliyah dari Ibnu ‘Umar bahwa ia mempercepat laju tunggangannya di lembah Muḥassir, sambil mengucapkan:

(Ilayka ta‘dū qaliqan waḍīnu-hā … mukhālifan dīna al-naṣārā dīnu-hā)
 (Ma‘riḍan fī baṭni-hā janīnu-hā)

(Padamu ia berlari tergesa-gesa, tunggangannya … agamanya menyelisihi agama kaum Nasrani)
 (Sementara di perutnya ada janinnya yang sedang dibawa)


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِذَا أَتَى مِنًى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ مِنْ بطن الوادي سبع حصياتٍ ويرفع يديه كلما رمى حتى بياض إبطه ما تحت منكبيه وَيُكَبِّرُ مَعَ كُلِ حصاةٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا حُدُودُ مِنًى فَقَدْ ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ أَنَّهَا مَا بَيْنَ وَادِي مُحَسِّرٍ – (وَلَيْسَ مُحَسِّرٌ مِنْهَا) – إِلَى الْعَقَبَةِ الَّتِي عِنْدَهَا الْجَمْرَةُ الدُّنْيَا إِلَى مَكَّةَ، وَهِيَ الْعَقَبَةُ الَّتِي بَايَعَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عِنْدَهَا الْأَنْصَارَ قَبْلَ الْهِجْرَةِ، وَلَيْسَ مَا وَرَاءَ العقبة منها، وسواء سهولها وَجَبَلُهَا، وَعَامِرُهَا وَخَرَابُهَا.

Masalah:
 Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Apabila telah sampai di Mina, maka ia melempar Jamrat al-‘Aqabah dari tengah lembah dengan tujuh batu kerikil, dan ia mengangkat kedua tangannya setiap kali melempar hingga tampak putih ketiaknya yang berada di bawah kedua lengannya, dan bertakbir pada setiap lemparan.”

Al-Māwardī berkata: Adapun batas-batas Mina, maka al-Syāfi‘ī telah menyebutkan bahwa batasnya adalah antara Wādī Muḥassir —(dan Muḥassir tidak termasuk bagian darinya)— hingga ke ‘Aqabah tempat Jamrah Dunyā mengarah ke Makkah. ‘Aqabah inilah tempat Rasulullah SAW menerima bai‘at dari kaum Anṣār sebelum hijrah. Adapun wilayah setelah ‘Aqabah, maka itu bukan bagian dari Mina, baik berupa datarannya maupun pegunungannya, wilayah yang dihuni maupun yang telah rusak.


فَأَمَّا جِبَالُهَا الْمُحِيطَةُ بِجَنْبَاتِهَا فَمَا أَقْبَلَ مِنْهَا عَلَى مِنًى فَهُوَ مِنْهَا، فَأَمَّا مَا أَدْبَرَ مِنَ الْجِبَالِ فَلَيْسَ مِنْهَا، وفي تسميتها منى ثلاث تَأْوِيلَاتٍ:
أَحَدُهَا: أَنَّهَا سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِمَا يُمْنَى فِيهَا مِنْ دِمَاءِ الْهَدْيِ أَيِ: يُرَاقُ، وَلِذَلِكَ سُمِّيَ مَاءُ الطُّهْرِ مَنِيًّا أَيْ: يُرَاقُ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى) {القيامة: 37) .
وَالثَّانِي: أَنَّهَا سُمِّيَتْ بِذَلِكَ: لِأَنَّ الله تعالى منى فِيهَا عَلَى إِبْرَاهِيمَ بِأَنْ فَدَى ابْنَهُ بِكَبْشٍ وَاسْتَنْقَذَهُ مِنَ الذَّبْحِ.

Adapun gunung-gunung yang mengelilingi sisi-sisinya (yakni Mina), maka bagian yang menghadap ke Mina termasuk bagian darinya. Adapun bagian belakang dari gunung-gunung tersebut, maka tidak termasuk Mina.

Tentang penamaan Minā, terdapat tiga penafsiran:

Pertama: Dinamai demikian karena darah hewan hady ditumpahkan di sana, yakni disembelih dan ditumpahkan darahnya. Oleh karena itu, air kesucian disebut maniyy karena ia ditumpahkan. Allah Ta‘ala berfirman: “A lam yaku nuṭfatan min maniyyin yumnā” (QS al-Qiyāmah: 37) — Bukankah ia dahulu setetes mani yang ditumpahkan?

Kedua: Dinamai demikian karena Allah Ta‘ala manna (menganugerahkan) kepada Nabi Ibrāhīm di tempat itu dengan menebus anaknya dengan seekor domba, dan menyelamatkannya dari penyembelihan.


الثَّالِثُ: أَنَّهَا سُمِّيَتْ بِذَلِكَ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى مَنَّ فِيهَا عَلَى عِبَادِهِ بِالْمَغْفِرَةِ، وَلِهَذَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا دَخَلَهَا قَالَ: ” اللَّهُمَّ وَهَذِهِ مِنًى الَّتِي مَنَنْتَ بِهَا عَلَيْنَا فَبَارِكِ اللَّهُمَّ لَنَا فِي رَوَاحِنَا وَغُدُوِّنَا ” فَإِذَا أَتَى مِنًى قَالَ هَذَا وَابْتَدَأَ بِرَمْيِ جَمْرَةِ الْعَقَبَةِ، وَهِيَ آخِرُ الْجَمَرَاتِ لِلذَّاهِبِ مِنْ مِنًى إِلَى مَكَّةَ، وَهِيَ أَضْيَقُهُنَّ فيرميها بسبع حصيات، وذلك أو مناسكه الواجبة بِمِنًى يَوْمَ النَّحْرِ؛ لِرِوَايَةِ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا أَتَى الْجَمْرَةَ الَتِي عِنْدَ الشَجَرَةِ رَمَى سَبْعَ حَصَيَاتٍ مَنَ الْوَادِي يُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حَصَاةٍ وَيُخْتَارُ أَنْ يَرْمِيَهَا رَاكِبًا لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَمَى وَهُوَ عَلَى نَاقَتِهِ الْعَضْبَاءِ ” وَيَكُونُ مَوْقِفُهُ إِذَا رَمَى فِي بَطْنِ الْوَادِي؛ لِرِوَايَةِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ: رَأَيْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ مِنْ بَطْنِ الْوَادِي ثُمَّ قال: هذا والذي لا إله غير مَقَامُ الَّذِي أُنْزِلَتْ عَلَيْهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ.

Ketiga: Sesungguhnya dinamakan demikian karena Allah Ta‘ālā telah menganugerahkan ampunan kepada hamba-hamba-Nya di tempat itu. Oleh karena itu, diriwayatkan bahwa Nabi SAW ketika memasukinya berkata:
 “Allāhumma, dan ini adalah Mina yang telah Engkau anugerahkan kepada kami, maka berkahilah ya Allah perjalanan kami di waktu sore dan pagi.”

Maka apabila telah sampai di Mina, ia membaca doa ini dan memulai dengan melempar Jamrah al-‘Aqabah, yaitu jamrah terakhir bagi orang yang datang dari Mina menuju Makkah. Jamrah ini adalah yang paling sempit di antara ketiganya. Maka ia melemparnya dengan tujuh batu kerikil, dan ini termasuk manasik yang wajib di Mina pada hari an-Naḥr, berdasarkan riwayat dari Jābir bahwa Nabi SAW ketika sampai di jamrah yang berada di dekat pohon, beliau melemparnya dengan tujuh batu dari arah lembah dan bertakbir setiap kali melempar.

Dianjurkan melempar dalam keadaan berkendara, karena diriwayatkan bahwa Nabi SAW melemparnya dalam keadaan di atas unta al-‘aḍbā’.

Tempat berdiri saat melempar adalah di tengah lembah, berdasarkan riwayat dari ‘Abd al-Raḥmān bin Yazīd, ia berkata: “Aku melihat Ibn Mas‘ūd melempar Jamrah al-‘Aqabah dari tengah lembah, kemudian ia berkata: Demi Dzat yang tidak ada sesembahan selain-Nya, inilah tempat berdiri orang yang kepadanya diturunkan Surah al-Baqarah.”


قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَا يُمْكِنُهُ غَيْرُ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهَا عَلَى أَكَمَةٍ فَلَا يُتَمَكَّنُ مِنْ رَمْيِهَا إِلَّا كَذَلِكَ، فَإِنْ رَمَى الْجَمْرَةَ مِنْ فَوْقِهَا وَلَمْ يَرْمِهَا مِنْ بَطْنِ الْوَادِي أَجْزَأَهُ، لِمَا رَوَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حِينَ انْتَهَى إِلَى جَمْرَةِ الْعَقَبَةِ لِيَرْمِيَهَا وَرَأَى زِحَامَ النَاسَ صَعِدَ فَرَمَاهَا مِنْ فَوْقِهَا قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَيَرْفَعُ يَدَهُ مَعَ الرَّمْيِ حَتَّى يُرَى مَا تحت إبطه.

Imam al-Syafi‘i berkata: Dan tidak mungkin dilakukan kecuali demikian, karena jamrah itu berada di atas sebuah bukit kecil (akamat), sehingga tidak memungkinkan untuk melemparnya kecuali dengan cara seperti itu.

Maka jika seseorang melempar jamrah dari atasnya, tidak dari lembah di bawahnya, maka itu mencukupi, berdasarkan riwayat dari ‘Abdur Raḥmān bin al-Aswad dari ayahnya, ia berkata: Aku melihat ‘Umar bin al-Khaṭṭāb ra ketika sampai di jamrah al-‘aqabah untuk melemparnya, dan melihat keramaian manusia, maka beliau naik dan melempar dari atasnya.

Imam al-Syafi‘i berkata: Dan disunnahkan untuk mengangkat tangannya saat melempar hingga terlihat bagian bawah ketiaknya.


فصل
: ويكون عَلَى تَلْبِيَةٍ بِمِنًى قَبْلَ أَنْ يَرْمِيَ جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ، فَإِذَا ابْتَدَأَ بِرَمْيِهَا قَطَعَ التَّلْبِيَةَ.
وَقَالَ مَالِكٌ: يَقْطَعُ التَّلْبِيَةَ عِنْدَ دُخُولِ مِنًى قَبْلَ التَّوَجُّهِ إِلَى عَرَفَةَ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ رِوَايَةُ عَطَاءٍ عَنْ عَبَّاسٍ عَنِ الْفَضْلِ بْنِ الْعَبَّاسِ أَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة وَكَانَ الْفَضْلُ أَعْرَفَ النَّاسِ بِحَالِهِ فِي هَذَا المكان، لأنه مكان رديف النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ مُزْدَلِفَةَ إِلَى مِنًى، وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَرْدَفَ فِي حَجَّتِهِ ثَلَاثَةَ نفرٍ، فَأَرْدَفَ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ مِنْ عَرَفَةَ إِلَى مُزْدَلِفَةَ وَأَرْدَفَ الْفَضْلَ بْنَ الْعَبَّاسِ مِنَ الْمُزْدَلِفَةِ إِلَى مِنًى، وَأَرْدَفَ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ مِنْ مِنًى إِلَى مَكَّةَ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يَسْتَدِيمُ التَّلْبِيَةَ حَتَّى يَرْمِيَ جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ، فَإِذَا ابْتَدَأَهَا قَطَعَ التَّلْبِيَةَ مَعَ أَوَّلِ حَصَاةٍ، وَكَبَّرَ مَعَ كُلِّ حَصَاةٍ؛ لِرِوَايَةِ الْأَحْوَصِ عَنْ أُمِّهِ قَالَتْ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَرْمِي جَمْرَةَ الْعَقْبَةِ مَنْ بَطْنِ الْوَادِي وَهُوَ رَاكِبٌ يُكَبِّرُ مَعَ كُلِ حَصَاةٍ وَرَجُلٌ مِنْ خَلْفِهِ يَسْتُرُهُ، فَسَأَلْتُ عَنِ الرَّجُلِ فَقَالُوا الْفَضْلُ بْنُ الْعَبَّاسِ وَازْدَحَمَ النَّاسُ عَلَيْهِ، فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ لَا يَقْتُلْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَإِذَا رَمَيْتُمُ الْجَمْرَةَ فَارْمُوا بِمِثْلِ حَصَى الْخَذَفِ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَيُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حَصَاةٍ وَيَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ فَإِنْ قَطَعَ التَّلْبِيَةَ وَكَبَّرَ قَبْلَ رَمْيِ الْجَمْرَةِ، أَوِ اسْتَدَامَ التَّلْبِيَةَ وَلَمْ يُكَبِّرْ إِلَى أَنْ فَرَغَ مِنْ رَمْيِ الْجَمْرَةِ كَانَ مُخَالِفًا للسنة، ولا فدية عليه.

PASAL
 Dan tetap dalam keadaan bertalbiyah di Mina sebelum melempar Jamrah al-‘Aqabah. Maka apabila mulai melemparnya, ia memutuskan talbiyah.

Mālik berkata: Talbiyah diputus ketika masuk Mina sebelum menuju ‘Arafah.

Dalil atas pendapat pertama adalah riwayat ‘Aṭā’ dari al-‘Abbās dari al-Faḍl bin al-‘Abbās bahwa Nabi SAW terus-menerus bertalbiyah hingga melempar Jamrah al-‘Aqabah, dan al-Faḍl adalah orang yang paling mengetahui keadaan Nabi SAW di tempat ini, karena dialah yang dibonceng Nabi SAW dari Muzdalifah ke Mina.

Diriwayatkan bahwa Nabi SAW dalam hajinya membonceng tiga orang:

  • Usāmah bin Zayd dari ‘Arafah ke Muzdalifah,
  • al-Faḍl bin al-‘Abbās dari Muzdalifah ke Mina,
  • Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān dari Mina ke Makkah.

Jika telah tetap bahwa beliau terus bertalbiyah sampai melempar Jamrah al-‘Aqabah, maka ketika memulai melempar, ia memutuskan talbiyah pada lemparan pertama, dan bertakbir pada setiap lemparan; berdasarkan riwayat al-Aḥwaṣ dari ibunya, ia berkata:
 “Aku melihat Rasulullah SAW melempar Jamrah al-‘Aqabah dari tengah lembah dalam keadaan berkendara, beliau bertakbir setiap kali melempar, dan ada seorang lelaki di belakangnya menutupi beliau.”
 Lalu aku bertanya siapa lelaki itu, maka mereka menjawab: al-Faḍl bin al-‘Abbās. Orang-orang berdesakan terhadap beliau, lalu beliau bersabda:
 “Wahai manusia, janganlah sebagian kalian membunuh sebagian yang lain. Jika kalian melempar jamrah, maka lemparlah dengan batu sebesar biji kerikil.”

Al-Syāfi‘ī berkata: Ia bertakbir setiap kali melempar dan mengucapkan:
 “Allāhu akbar, Allāhu akbar, Allāhu akbar, lā ilāha illā Allāh, wa-Allāhu akbar, Allāhu akbar wa lillāhi al-ḥamd.”

Jika seseorang memutus talbiyah dan bertakbir sebelum melempar jamrah, atau terus bertalbiyah dan tidak bertakbir hingga selesai melempar, maka ia telah menyelisihi sunnah, namun tidak ada fidyah atasnya.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن رمى قبل الفجر بعد نصف الليل أجزأ عَنْهُ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ أُمَّ سَلَمَةَ أَنْ تُعَجِّلَ الْإِفَاضَةَ وَتَوَافِيَ صَلَاةَ الصُّبْحِ بِمَكَّةَ وَكَانَ يَوْمَهَا فَأَحَبَّ أَنْ يوافيه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلَا يُمْكِنُ أَنْ تَكُونَ رَمَتْ إِلَّا قَبْلَ الْفَجْرِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الرَّمْيُ الْوَاجِبُ فِي يَوْمِ النَّحْرِ، فَهُوَ رَمْيُ جَمْرَةِ الْعَقَبَةِ وَحْدَهَا دُونَ غَيْرِهَا مِنَ الْجَمَرَاتِ، وَوَقْتُ رَمْيِهَا فِي الِاخْتِيَارِ مِنْ طُلُوعِ الشَّمْسِ إِلَى زَوَالِهَا؛ لِرِوَايَةِ أبي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَمَى الْجَمْرَةَ الْأُولَى ضُحًى فَأَمَّا وَقْتُ رَمْيِهَا فِي الْجَوَازِ، فَمِنْ بَعْدِ نِصْفِ اللَّيْلِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ، فَإِنْ رَمَى الْجَمْرَةَ قَبْلَ نِصْفِ اللَّيْلِ لَمْ يُجْزِهِ، وَإِنْ رَمَى بَعْدَ نِصْفِ اللَّيْلِ وَقَبْلَ الْفَجْرِ أَجْزَأَهُ.

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Jika seseorang melempar jamrah sebelum fajar, yakni setelah pertengahan malam, maka itu mencukupi baginya. Karena Nabi SAW memerintahkan Ummu Salamah untuk menyegerakan ifāḍah dan agar ia bisa salat subuh di Mekah, padahal itu adalah hari (nahr)-nya, dan beliau SAW ingin agar ia menemuinya. Maka tidak mungkin Ummu Salamah melempar kecuali sebelum fajar.”

Al-Māwardī berkata:
 Adapun ramy yang wajib pada yaum al-naḥr adalah melempar jamrah al-‘aqabah saja, tidak termasuk jamrah-jamrah lainnya.

Waktu ikhtiyār (waktu utama) untuk melemparnya adalah dari terbit matahari sampai tergelincir matahari, berdasarkan riwayat Abū al-Zubair dari Jābir bahwa Nabi SAW melempar jamrah pertama pada waktu dhuha.

Adapun waktu jawāz-nya (bolehnya), maka dari setelah pertengahan malam hingga terbenam matahari. Jika seseorang melempar jamrah sebelum pertengahan malam, maka tidak mencukupi. Namun jika ia melempar setelah pertengahan malam dan sebelum fajar, maka itu mencukupi.


وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ رَمَى قَبْلَ الْفَجْرِ لَمْ يُجْزِهِ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ.
وَقَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ رَمَى قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ لَمْ يُجْزِهِ، وَبِهِ قَالَ طَاوُسٌ وَالنَّخَعِيُّ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَمَى ضُحًى وَقَالَ: ” خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ ” وَبِرِوَايَةِ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: ” أتانا النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ونحن بجمرةٍ أغيلمة بني عبد المطلب وحملنا على حمراتنا فَلَطَّخَ أَفْخَاذَنَا وَقَالَ أَنْ لَا تَرْمُوا إِلَّا بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ ” قَوْلُهُ لَطَّخَ أَفْخَاذَنَا: أَيْ ضَرَبَ أَفْخَاذَنَا كَذَا فَسَرَّهُ أَبُو عُبَيْدٍ رَحِمَهُ اللَّهُ، وَاسَتَدَلَ أبو حنيفة وَمَنْ مَعَهُ بِأَنْ قَالُوا حُكْمُ مَا بَعْدَ نِصْفِ اللَّيْلِ كَحُكْمِ مَا قَبْلَهُ؛ لِكَوْنِهِ وَقْتًا لِلْمَبِيتِ بِمُزْدَلِفَةَ، فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ حُكْمُهَا فِي الْمَنْعِ مَعَ رَمْيِ جَمْرَةِ الْعَقَبَةِ، وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا إِنْ رَمَى بِلَيْلٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُجْزِئَ، كَمَا قَبْلَ نِصْفِ اللَّيْلِ قَالُوا: وَلِأَنَّ الرَّمْيَ يَجِبُ فِي يَوْمِ النَّحْرِ وَأَيَّامِ مِنًى، فَلَمَّا لَمْ يُجْزِ رَمْيُ أَيَّامِ مِنًى قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ لَمْ يُجْزِ رَمْيُ يَوْمِ النَّحْرِ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ.

Dan Abū Ḥanīfah berkata: “Jika melempar sebelum fajar, maka tidak sah.” Pendapat ini juga dikatakan oleh Mālik, Aḥmad, dan Isḥāq.

Dan Sufyān ats-Tsaurī berkata: “Jika melempar sebelum terbit matahari, maka tidak sah.” Pendapat ini juga dikatakan oleh Ṭāwūs dan an-Nakha‘ī, dengan berdalil bahwa Nabi SAW melempar di waktu ḍuḥā dan beliau bersabda: “Ambillah manasik kalian dariku.” Dan berdasarkan riwayat Sa‘īd bin Jubayr dari Ibn ‘Abbās, ia berkata: “Nabi SAW mendatangi kami di Jamrah, saat itu kami adalah anak-anak kecil dari Bani ‘Abd al-Muṭṭalib dan kami dibawa dengan keledai-keledai merah kami, lalu beliau memukul paha kami dan bersabda: ‘Janganlah kalian melempar kecuali setelah terbit matahari.’”

Perkataan “beliau memukul paha kami” maksudnya adalah beliau memukul paha mereka; demikian ditafsirkan oleh Abū ‘Ubayd raḥimahullāh.

Dan Abū Ḥanīfah serta yang bersamanya berdalil bahwa hukum setelah pertengahan malam sama seperti sebelumnya, karena itu merupakan waktu untuk bermalam di Muzdalifah, maka wajib hukumnya disamakan dalam hal larangan melempar Jamrah ‘Aqabah. Penjelasan ini berdasarkan qiyās: jika melempar di malam hari maka tidak sah, sebagaimana sebelum pertengahan malam. Mereka juga berkata: Karena melempar wajib dilakukan pada hari naḥr dan hari-hari Mina, maka ketika melempar pada hari-hari Mina tidak sah sebelum terbit fajar, maka demikian pula melempar pada hari naḥr tidak sah sebelum terbit fajar.


وتحرير ذلك قياساً أن رَمَى قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُجْزِئَ كَأَيَّامِ مِنًى، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ قَدْ يَتَعَلَّقُ بِيَوْمِ النَّحْرِ شَيْئَانِ رَمْيٌ وَذَبْحٌ فَلَمَّا لَمْ يجز بتقديم الذَّبْحِ قَبْلَ الْفَجْرِ لَمْ يَجُزْ تَقْدِيمُ الرَّمْيِ قَبْلَ الْفَجْرِ.
وَدَلِيلُنَا: رِوَايَةُ هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ” أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أُمَّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَيْلَةَ الَنَّحْرِ فَرَمَتْ قَبْلَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَفَاضَتْ “.

Dan perincian masalah ini secara qiyās adalah: jika seseorang melempar sebelum terbit fajar, maka seharusnya tidak mencukupi, sebagaimana hari-hari Mina (yakni pada tanggal 11, 12, dan 13).

Mereka (yang tidak membolehkan) berkata: Karena pada yaum al-naḥr terdapat dua ibadah yang berkaitan, yaitu ramy dan dzabḥ (penyembelihan). Maka, sebagaimana tidak sah menyembelih sebelum fajar, demikian pula tidak sah melempar sebelum fajar.

Namun dalil kami: Riwayat dari Hisyām bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Ā’isyah ra, ia berkata:
 “Rasulullah SAW mengutus Ummu Salamah ra pada malam naḥr, lalu ia melempar sebelum fajar kemudian melaksanakan ifāḍah.”


وَرَوَى الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: وَدِدْتُ أَنِّي كُنْتُ اسْتَأْذَنْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَمَا اسْتَأْذَنَتْهُ سَوْدَةُ أَنْ تَأْتِيَ مِنًى بليلٍ، ورمت قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَ النَاسُ، فَأَذِنَ لَهَا، وَكَانَتِ امرأة ثقيلة بطيئة “.
وروى ابن جريج عَنْ عَبْدِ اللَّهِ مَوْلَى أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ قَالَ: دَخَلْنَا مَعَ أَسْمَاءَ مِنْ جَمْعٍ لَمَّا غَابَ الْقَمَرُ وَأَتَيْنَا مِنًى وَرَمَيْنَا وَصَلَّتِ الصُبْحَ فِي دَارِهَا فَقُلْتُ يَا هَنْتَاهُ رَمَيْنَا قَبْلَ الْفَجْرِ، فَقَالَتْ: هَكَذَا كُنَّا نَفْعَلُ أَيَّامَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَلِأَنَّ مَا بَعْدَ نِصْفِ اللَّيْلِ مِنْ تَوَابِعِ النَّهَارِ الْمُسْتَقْبَلِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حُكْمُهُ فِي الرَّمْيِ حُكْمَ النَّهَارِ الْمُسْتَقْبَلِ وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ رَمْيٌ بَعْدَ نِصْفِ اللَّيْلِ فَوَجَبَ أَنْ يُجْزِئَهُ، كَالرَّمْيِ بَعْدَ الْفَجْرِ.

Diriwayatkan dari al-Qāsim bin Muḥammad dari ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā, ia berkata: “Aku ingin andai aku pernah meminta izin kepada Rasulullah SAW sebagaimana Saudah meminta izin kepadanya untuk datang ke Mina pada malam hari, dan ia melempar sebelum orang-orang datang, maka beliau mengizinkannya, dan ia adalah seorang perempuan yang berat dan lamban.”

Dan Ibn Jurayj meriwayatkan dari ‘Abdullāh mawlā Asmā’ bint Abī Bakr, ia berkata: “Kami datang bersama Asmā’ dari Jam‘ ketika bulan telah tenggelam, lalu kami datang ke Mina dan melempar, dan ia salat Subuh di rumahnya. Maka aku berkata, ‘Wahai Hantāh! Kita telah melempar sebelum fajar,’ lalu ia berkata: ‘Begitulah yang biasa kami lakukan pada masa Rasulullah SAW.’”

Dan karena waktu setelah pertengahan malam termasuk rangkaian dari siang yang akan datang, maka wajib hukumnya disamakan dalam hal hukum melempar dengan siang hari yang akan datang. Penjelasannya secara qiyās: bahwa itu adalah pelemparan setelah pertengahan malam, maka wajib dianggap sah sebagaimana pelemparan setelah fajar.

 

وَالْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَرَمْيِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِذَا عَارَضَتْهُ أَخْبَارُنَا كَانَ مَحْمُولًا عَلَى الِاخْتِيَارِ.
وأما قياسهم على ما قبل نصل اللَّيْلِ فَالْمَعْنَى فِي النِّصْفِ الْأَوَّلِ أَنَّهُ مِنْ تَوَابِعِ الْيَوْمِ الْمَاضِي، فَلِذَلِكَ لَمْ يُجْزِهِ وَالنِّصْفُ الثَّانِي مِنْ تَوَابِعِ الْيَوْمِ الْمُسْتَقْبَلِ فَلِذَلِكَ أَجْزَأَهُ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الرَّمْيِ فِي أَيَّامِ مِنًى فَغَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّهُمَا مُفْتَرِقَانِ فِي الْحُكْمِ، لِإِجْمَاعِهِمْ عَلَى أَنَّ وَقْتَ الرَّمْيِ فِي أَيَّامِ مِنًى مُخَالِفٌ لِلرَّمْيِ فِي يَوْمِ النَّحْرِ؛ لِأَنَّ الرَّمْيَ فِي أَيَّامِ مِنًى لَا يَجُوزُ قَبْلَ الزَّوَالِ، وَيَجُوزُ فِي يَوْمِ النَّحْرِ قَبْلَ الزَّوَالِ، فَلِذَلِكَ جَازَ فِي يَوْمِ النَّحْرِ قَبْلَ الْفَجْرِ، وَإِنْ لَمْ يَجُزْ فِي أَيَّامِ مِنًى قَبْلَ الْفَجْرِ.

Jawaban atas hadis Ibnu ‘Abbās dan riwayat bahwa Nabi SAW melempar adalah: apabila bertentangan dengan riwayat-riwayat kami, maka hal itu dibawa kepada makna ikhtiyār (waktu utama).

Adapun qiyās mereka terhadap waktu sebelum pertengahan malam, maka maknanya adalah bahwa separuh malam yang pertama merupakan bagian dari hari sebelumnya, maka sebab itu tidak mencukupi; sedangkan separuh malam yang kedua merupakan bagian dari hari yang akan datang, maka oleh sebab itu mencukupi.

Adapun qiyās mereka terhadap ramy pada hari-hari Mina, maka tidaklah sah, karena keduanya berbeda dalam hukum. Karena telah menjadi ijma‘ bahwa waktu ramy pada hari-hari Mina berbeda dengan ramy pada yaum al-naḥr. Sebab ramy pada hari-hari Mina tidak boleh dilakukan sebelum tergelincir matahari (zawal), sedangkan ramy pada yaum al-naḥr boleh dilakukan sebelum tergelincir matahari.

Oleh karena itu, sah ramy pada yaum al-naḥr sebelum fajar, meskipun tidak sah pada hari-hari Mina sebelum fajar.

مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ثُمَ يَنْحَرُ الْهَدْيَ إِنْ كَانَ مَعَهُ ثُمَّ يحلق أو يقصر ويأكل من لحم هديه “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا نَحْرُ الْهَدْيِ فِي يَوْمِ النَّحْرِ فَمِنْ أَفْضَلِ الْقُرَبِ؛ لِرِوَايَةِ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ مِنْ عملٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ دمٍ، وإنه ليأتي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا، وَإِنَّ الدَّمَ يقع في اللَّهِ تَعَالَى بمكانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا ” فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَيَوْمُ النَّحْرِ يَخْتَصُّ بِأَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ: الرَّمْيُ، وَالنَّحْرُ، وَالْحَلْقُ، وَالطَّوَافُ، وَتَرْتِيبُ ذَلِكَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا سُنَّةٌ، فَيَبْدَأُ بِالرَّمْيِ ثُمَّ بِالنَّحْرِ ثُمَّ بِالْحَلْقِ ثُمَّ بِالطَّوَافِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {ثُمَّ لَيَقْضُواْ تَفَثَهُمْ} (الحج: 29) يعني: الرمي. {وَلْيُوفُوا نُذُرَهُمْ} يَعْنِي: نَحَرَ الْهَدْيِ، وَقَالَ تَعَالَى: {وَلاَ تَحْلِقُوا حَتَّى يَبْلُغَ الهَدْيُ مَحِلَّهُ} وَأَمَرَ بِالْحَلْقِ بَعْدَ نَحْرِ الْهَدْيِ وَقَالَ تَعَالَى: {وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ) {الحج: 29) وَرَوَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ وَذَبَحَ وَدَعَا بِالْحَالِقِ فَنَاوَلَهُ شِقَّهُ الْأَيْمَنَ فَحَلَقَهُ فَأَعْطَاهُ أَبَا طَلْحَةَ ثُمَّ أَعْطَاهُ شِقَّهُ الْأَيْسَرَ فَحَلَقَهُ ثُمَّ قَالَ اقْسِمْهُ بَيْنَ النَّاسِ.

Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Kemudian menyembelih hadyu jika ia membawanya, lalu mencukur atau memendekkan rambut, dan memakan dari daging hadyu-nya.”

Al-Māwardī berkata: Adapun menyembelih hadyu pada hari Nahr termasuk amalan yang paling utama; berdasarkan riwayat dari Hisyām bin ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada amal anak Adam pada hari Nahr yang lebih dicintai oleh Allah daripada menumpahkan darah (sembelihan), dan sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kukunya, dan sesungguhnya darah itu jatuh di sisi Allah sebelum jatuh ke bumi, maka relakanlah dengannya.”

Jika hal ini telah tetap, maka hari Nahr dikhususkan dengan empat perkara: lempar jumrah, penyembelihan, cukur rambut, dan thawaf. Dan urutan dalam hal tersebut sebagaimana yang telah kami sebutkan adalah sunnah. Maka dimulai dengan melempar jumrah, kemudian menyembelih, lalu mencukur rambut, lalu thawaf.

Allah Ta‘ālā berfirman: “Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka” (al-Ḥajj: 29) maksudnya: melempar jumrah. “dan menunaikan nadzar-nadzar mereka” maksudnya: menyembelih hadyu. Dan Allah Ta‘ālā berfirman: “Dan janganlah kalian mencukur (rambut) sebelum hewan kurban sampai ke tempat penyembelihannya”, dan ini merupakan perintah untuk mencukur setelah menyembelih hadyu.

Dan Allah Ta‘ālā berfirman: “dan hendaklah mereka thawaf di Baitullāh yang tua itu” (al-Ḥajj: 29).

Dan telah diriwayatkan dari Anas bin Mālik bahwa Nabi SAW melempar Jumrah ‘Aqabah, lalu menyembelih, lalu memanggil tukang cukur, kemudian beliau memberikan sisi kanan kepalanya dan mencukurnya, lalu beliau memberikannya kepada Abū Ṭalḥah, kemudian beliau memberikan sisi kiri kepalanya dan mencukurnya, lalu beliau bersabda: “Bagikanlah kepada orang-orang.”


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ تَرْتِيبَ ذَلِكَ سُنَّةٌ فَخَالَفَ التَّرْتِيبَ فَأَخَّرَ مُقَدَّمًا، أَوْ قَدَّمَ مُؤَخَّرًا نَظَرَ، فَإِنْ قَدَّمَ الطَّوَافَ عَلَى الرَّمْيِ وَالنَّحْرِ وَالْحِلَاقِ أَجْزَأَهُ وَلَا دَمَ عَلَيْهِ، وَإِنْ قَدَّمَ الْحَلْقَ عَلَى النَّحْرِ أَجْزَأَهُ أَيْضًا وَلَا دَمَ عَلَيْهِ.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يُجْزِئُهُ وَعَلَيْهِ دَمٌ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ تَحْلِقُوا رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الهَدْيَ مَحِلَّهُ) {البقرة: 196) وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَفَ بِمِنًى لِيَسْأَلَهُ النَاسُ فَأَتَاهُ رجلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ حَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ ذَبَحْتُ، فَقَالَ: اذْبَحْ وَلَا حَرَجَ وَأَتَاهُ آخَرُ وَقَالَ: ذَبَحْتُ قَبْلَ أَنْ رَمَيْتُ فَقَالَ: ارْمِ وَلَا حَرَجَ قَالَ عَبْدُ الله بن عمرو: ما سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَوْمَئِذٍ عَنْ شَيْءٍ قُدِّمَ أَوْ أُخِّرَ إِلَّا قَالَ: ” افْعَلْ وَلَا حَرَجَ عَلَيْكَ ” وَلِأَنَّهُ ذَبْحٌ يَجُوزُ أَنْ يَتَعَقَّبَهُ الْحَلْقُ، فَجَازَ أَنْ يَتَقَدَّمَهُ الْحَلْقُ قِيَاسًا عَلَى دَمِ الطِّيبِ وَاللِّبَاسِ، فَأَمَّا قوله تعالى: {وَلاَ تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ) {البقرة: 196) فَمَحْمُولٌ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ وَقَدْ قَالَ بَعْضُ النَّاسِ إِنَّ الْمُرَادَ بِالْمَحَلِّ الْحَرَمُ دُونَ الْإِحْرَامِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى البَيْتِ العَتِيقِ) {الحج: 33) فَأَمَّا إِنْ قَدَّمَ الْحَلْقَ عَلَى الرَّمْيِ: فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْحَلْقَ نُسُكٌ يُتَحَلَّلُ بِهِ أَجْزَأَهُ وَلَا دَمَ عَلَيْهِ، وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ إِبَاحَةٌ بَعْدَ حَظْرٍ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

PASAL
 Maka apabila telah tetap bahwa urutan tersebut adalah sunah, lalu seseorang menyelisihi urutan itu dengan mengakhirkan yang seharusnya didahulukan, atau mendahulukan yang seharusnya diakhirkan, maka dilihat keadaannya. Jika ia mendahulukan ṭawāf atas melempar, menyembelih, dan mencukur, maka itu mencukupi dan tidak ada kewajiban dam atasnya. Jika ia mendahulukan cukur atas menyembelih, itu pun mencukupi dan tidak ada kewajiban dam atasnya.

Abu Ḥanīfah berkata: Tidak mencukupi dan wajib atasnya dam, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Dan janganlah kamu mencukur kepalamu sebelum hewan kurban sampai pada tempat penyembelihannya.” (al-Baqarah: 196).

Dalil kami adalah riwayat dari ʿAbdullāh bin ʿAmr bin al-ʿĀṣ bahwa Nabi SAW berhenti di Mina untuk ditanyai oleh manusia, lalu datang seorang lelaki dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah mencukur sebelum menyembelih.” Maka beliau bersabda: “Sembelihlah dan tidak ada dosa.” Lalu datang orang lain dan berkata: “Aku telah menyembelih sebelum melempar.” Maka beliau bersabda: “Lemparlah dan tidak ada dosa.” ʿAbdullāh bin ʿAmr berkata: Tidaklah Rasulullah SAW ditanya pada hari itu tentang sesuatu yang didahulukan atau diakhirkan, kecuali beliau bersabda: “Lakukanlah dan tidak ada dosa atasmu.”

Karena menyembelih itu boleh diikuti oleh cukur, maka boleh juga cukur mendahuluinya, qiyās atas dam karena memakai wangi-wangian dan pakaian.

Adapun firman Allah Ta‘ālā: “Dan janganlah kamu mencukur kepalamu sebelum hewan kurban sampai pada tempat penyembelihannya.” (al-Baqarah: 196), maka ini ditakwilkan sebagai anjuran. Sebagian ulama berkata bahwa yang dimaksud dengan maḥill adalah kawasan ḥaram, bukan bebas dari iḥrām, berdasarkan firman-Nya Ta‘ālā: “Kemudian tempat penyembelihannya adalah di sekitar Baitul ‘Atīq.” (al-Ḥajj: 33).

Adapun jika ia mendahulukan cukur atas lempar, maka:

  • jika dikatakan bahwa cukur adalah nusuk yang dengannya seseorang bertahallul, maka itu mencukupi dan tidak ada dam atasnya;
  • dan jika dikatakan bahwa itu hanya sebatas kebolehan setelah adanya larangan, maka ada dua pendapat:…


أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الْبَغْدَادِيِّينَ: عَلَيْهِ الْفِدْيَةُ؟ لِحَلْقِهِ قَبْلَ يَوْمِ النَّحْرِ.
الثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ أَكْثَرِ الْبَصْرِيِّينَ: لَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ؛ لِمَا قَدَّمْنَا مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، وَلِمَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَخَّرْتُ الرَّمْيَ حَتَّى جَنَّ اللَّيْلُ فَقَالَ: ارْمِ لَا حَرَجَ فَبَيَّنَ بِذَلِكَ جَوَازَ تَقْدِيمِ الْحَلْقِ عَلَى الرَّمْيِ.

Pertama: yaitu mazhab para ulama Baghdād — wajib atasnya fidyah karena mencukur sebelum hari Nahr.

Kedua: yaitu mazhab mayoritas ulama Baṣrah — tidak ada fidyah atasnya; berdasarkan hadits ‘Abdullāh bin ‘Amr yang telah kami sampaikan, dan juga riwayat dari Ibn ‘Abbās bahwa seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, aku mengakhirkan lempar jumrah hingga malam tiba.” Maka beliau bersabda: “Lemparlah, tidak mengapa.” Dengan ini beliau menjelaskan bolehnya mencukur sebelum melempar jumrah.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَأْكُلُ مِنْ لَحْمِ هَدْيِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: الْهَدْيُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:
ضَرْبٌ وَجَبَ بِالْإِحْرَامِ.
وَضَرْبٌ وَجَبَ بِالنَّذْرِ.
وَضَرْبٌ تَطَوَّعَ بِهِ، فَأَمَّا إِنْ كَانَ وَاجِبًا بِالْإِحْرَامِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ بِحَالٍ، وَقَالَ أبو حنيفة: يَجُوزُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ جَمِيعِهِ إِلَّا مِنْ دَمِ الْقِرَانِ وَجَزَاءِ الصَّيْدِ.

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Dan ia makan dari daging hadyu-nya.”

Al-Māwardī berkata: Hadyu itu terbagi menjadi tiga jenis:

  • jenis yang diwajibkan karena iḥrām,
  • jenis yang diwajibkan karena nadzar,
  • dan jenis yang dilakukan sebagai bentuk taṭawwu‘ (sukarela).

Adapun jika hadyu itu wajib karena iḥrām, maka tidak boleh memakannya dalam keadaan apa pun.

Abu Ḥanīfah berkata: Boleh memakan dari seluruh jenis hadyu, kecuali dam karena qirān dan jaza’ aṣ-ṣayd (tebusan karena membunuh binatang buruan).


وَقَالَ مَالِكٌ: يَأْكُلُ مِنْ جَمِيعِهِ إلا من جزاء الصيد، والكلام عليهما يَأْتِي، وَأَمَّا التَّطَوُّعُ فَلَهُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَكُلُواْ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِير) {الحج: 28) وقال: {وَالقَانِعَ وَالْمُعْتَر) {الحج: 36) وَأَمَّا النَّذْرُ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ دَمٌ وَاجِبٌ كَسَائِرِ الدِّمَاءِ الْوَاجِبَةِ بِالْإِحْرَامِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَكَثِيرٍ مِنْ أَصْحَابِنَا: يَجُوزُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ لِأَنَّهُ مُتَطَوِّعٌ بِإِيجَابِهِ عَلَى نَفْسِهِ، وَكَانَ إِلْحَاقُهُ بِالتَّطَوُّعِ أَوْلَى مِنْ إِلْحَاقِهِ بِالْجُبْرَانِ وَالنَّذْرِ.

Imam Mālik berkata: Boleh memakan dari seluruh jenis sembelihan kecuali dari jazā’ aṣ-ṣayd (denda karena membunuh hewan buruan), dan pembahasan tentang keduanya akan datang. Adapun ṭathawwu‘ (sembelihan sunnah), maka boleh baginya memakan darinya; karena firman Allah Ta‘ālā: “Maka makanlah darinya dan beri makanlah orang yang sengsara lagi fakir” (al-Ḥajj: 28), dan firman-Nya: “(Berilah makan) kepada orang yang qāni‘ dan orang yang mu‘tar” (al-Ḥajj: 36).

Adapun sembelihan karena nadzar, maka ada dua pendapat:

Pertama: Tidak boleh memakan darinya; karena ia termasuk darah yang wajib seperti seluruh darah wajib akibat ihram.

Kedua: Dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī dan banyak dari kalangan sahabat kami: Boleh memakan darinya karena ia adalah bentuk ṭathawwu‘ dalam mewajibkan atas dirinya sendiri, maka lebih layak disamakan dengan ṭathawwu‘ daripada disamakan dengan jubrān dan nadzar murni.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ أَكْلِهِ مِنَ التَّطَوُّعِ فَلَهُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ، وَعَلَيْهِ أَنْ يُطْعِمَ الْفُقَرَاءَ مِنْهُ فَيَكُونُ أَكْلُهُ مُبَاحًا وَإِطْعَامُ الْفُقَرَاءِ وَاجِبًا، فَإِنْ أَطْعَمَ جَمِيعَهُ الْفُقَرَاءَ جَازَ، وَإِنْ أَكَلَ جَمِيعَهُ لَمْ يَجُزْ.
وَقَالَ ابْنُ سُرَيْجٍ: إِطْعَامُ الْفُقَرَاءِ مُبَاحٌ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ، فَإِنْ أَكَلَ جَمِيعَهُ جَازَ كَمَا لو أطعم جميعه، وقال أبو حفص، الْوَكِيلُ أَكْلُهُ مِنْهُ وَاجِبٌ، فَإِنْ طَعِمَ جَمِيعَهُ لَمْ يَجُزْ كَمَا لَوْ أَكَلَ جَمِيعَهُ، فَجَعَلَ أَبُو الْعَبَّاسِ الْأَكْلَ وَالْإِطْعَامَ مُبَاحَيْنِ، وَجَعَلَ أَبُو حَفْصِ بْنُ الْوَكِيلِ الْأَكْلَ وَالْإِطْعَامَ وَاجِبَيْنِ. وَكِلَاهُمَا غَيْرُ مُصِيبٍ، وَالصَّحِيحُ: أَنَّ الْأَكْلَ مُبَاحٌ وَالْإِطْعَامَ وَاجِبٌ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ فِي الْهَدْيِ أَنَّهُ قُرْبَةٌ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى؛ وَلِذَلِكَ سُمِّيَ قراباً، وَالْقُرْبَةُ فِي إِطْعَامِ الْفُقَرَاءِ لَا فِي أَكْلِهِ، وَلَمَّا قَالَ تَعَالَى: {فَكُلُوا مِنْهَا وأَطْعِمُوا) {الحج: 28) كَانَ الْأَمْرُ بِالْأَكْلِ مُبَاحًا؛ لِأَنَّهُ بَعْدَ حَظْرٍ، وَكَانَ الْأَمْرُ بِالْإِطْعَامِ وَاجِبًا؛ لِأَنَّهُ مَقْصُودُ الْهَدْيِ.

PASAL
 Maka apabila telah tetap kebolehan makan dari hadyu yang bersifat taṭawwu‘, maka boleh baginya memakannya. Namun ia wajib memberi makan fakir miskin dari hadyu itu. Maka memakannya adalah mubah, sedangkan memberi makan fakir miskin adalah wajib. Jika ia memberikan seluruhnya kepada fakir miskin, maka itu boleh. Namun jika ia memakan seluruhnya, maka itu tidak boleh.

Ibnu Surayj berkata: Memberi makan fakir miskin itu mubah, tidak wajib. Maka jika ia memakan seluruhnya, itu boleh, sebagaimana jika ia memberikan seluruhnya.
 Abū Ḥafṣ al-Wakīl berkata: Memakan hadyu itu wajib. Maka jika ia memakan seluruhnya, tidak boleh, sebagaimana kalau ia memakan seluruhnya tanpa memberi.

Abu al-‘Abbās menjadikan makan dan memberi makan sebagai perkara yang mubah.
 Sementara Abū Ḥafṣ bin al-Wakīl menjadikan makan dan memberi makan sebagai perkara yang wajib.
 Keduanya tidak benar.

Pendapat yang sahih adalah: makan itu mubah dan memberi makan itu wajib, karena tujuan dari hadyu adalah bentuk qurbah kepada Allah Ta‘ālā. Karena itu ia disebut qurbān. Sedangkan qurbah itu terletak pada memberi makan fakir miskin, bukan pada makan sendiri.

Ketika Allah Ta‘ālā berfirman: “Makanlah darinya dan berilah makan.” (al-Ḥajj: 28), maka perintah makan menunjukkan kebolehan karena datang setelah larangan, sedangkan perintah memberi makan menunjukkan kewajiban karena itu adalah tujuan utama dari hadyu.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَفِي قَدْرِ مَا يُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يَأْكُلَ وَيَتَصَدَّقَ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ: يَأْكُلُ، وَيَدَّخِرُ الثُّلُثَ، وَيُهْدِي الثُّلُثَ، وَيَتَصَدَّقُ بِالثُّلُثِ، وَهُوَ مَذْهَبُ ابْنِ مَسْعُودٍ وَقَدْ رُوِيَ ذَلِكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ الْمُسْتَحَبَّ أَنْ يَأْكُلَ النِّصْفَ وَيَتَصَدَّقَ بِالنِّصْفِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا البَائِسَ الفَقِيرَ) {الحج: 28) فَكَانَ ظَاهِرُهُ التَّسْوِيَةَ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ. فَأَمَّا الْجَائِزُ مِنْ ذَلِكَ فَمَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ الْأَكْلِ وَالصَّدَقَةِ، فَإِنْ تَصَدَّقَ بِجَمِيعِهَا إِلَّا رِطْلًا أَكَلَهُ أَجْزَأَهُ، وَإِنْ أَكَلَ جَمِيعَهَا إِلَّا رِطْلًا تَصَدَّقَ بِهِ أَجْزَأَهُ، فَلَوْ تَصَدَّقَ بِجَمِيعِهَا وَلَمْ يَأْكُلْ مِنْهَا شَيْئًا أَجْزَأَهُ؛ لِأَنَّ الْأَكْلَ مُبَاحٌ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ. وَلَوْ أَكَلَ جَمِيعَهَا وَلَمْ يَتَصَدَّقْ بِشَيْءٍ مِنْهَا لَمْ يُجْزِئْهُ وَكَانَ ضامناً، وفي قدرها يَضْمَنُهُ وَجْهَانِ:

PASAL
 : Jika hal ini telah ditetapkan, maka dalam hal kadar yang disunnahkan untuk dimakan dan disedekahkan, terdapat dua pendapat:

Pertama: dan ini adalah pendapatnya dalam qaul qadīm — ia makan sepertiga, menyimpan sepertiga, dan menghadiahkan sepertiga. Ini adalah mazhab Ibn Mas‘ūd, dan telah diriwayatkan demikian dari Rasulullah SAW.

Pendapat kedua: yang disunnahkan adalah memakan separuh dan menyedekahkan separuh; berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Maka makanlah darinya dan beri makanlah orang yang miskin lagi fakir” (al-Ḥajj: 28), maka secara lahir menunjukkan kesetaraan antara dua hal tersebut (makan dan memberi makan).

Adapun yang boleh dari hal tersebut adalah apa yang masih bisa disebut sebagai “makan” dan “sedekah”. Maka jika ia menyedekahkan seluruhnya kecuali satu riṭl yang ia makan, maka itu mencukupi. Dan jika ia memakan seluruhnya kecuali satu riṭl yang ia sedekahkan, maka itu juga mencukupi. Maka jika ia menyedekahkan semuanya dan tidak memakan sedikit pun darinya, itu mencukupi; karena makan adalah sesuatu yang mubāḥ dan bukan wājib.

Namun jika ia memakan semuanya dan tidak menyedekahkan sedikit pun darinya, maka itu tidak mencukupi dan ia wajib mengganti. Dalam hal berapa besar yang harus diganti, terdapat dua wajah pendapat:

 


أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَضْمَنُ مِنْهَا قَدْرَ الْجَائِزِ وَهُوَ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ الِاسْمُ؛ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ لَهُ فِعْلُ ذَلِكَ قَبْلَ التَّفْوِيتِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ إِلَّا ضَمَانُ ذَلِكَ الْقَدْرِ بَعْدَ التَّفْوِيتِ. وَالْوَجْهُ الثانِي: أَنَّهُ يَضْمَنُ مِنْهَا قَدْرَ الِاسْتِحْبَابِ وَهُوَ النِّصْفُ، أَوِ الثُّلُثُ عَلَى اخْتِلَافِ الْقَوْلَيْنِ لِتَقْدِيرِهِ نَصًّا بِالسُّنَّةِ وَاسْتِوَاءِ حكمها في ظاهر الآية، والأول أقيس والله أعلم.

Salah satu dari keduanya: bahwa ia wajib menanggung bagian yang boleh dimakan, yaitu kadar yang secara bahasa masih disebut hadyu, karena sebelumnya ia memiliki pilihan untuk melakukan hal tersebut sebelum terlewatkan waktunya. Maka wajib baginya menanggung kadar itu saja setelah terlewat.

Pendapat yang kedua: bahwa ia wajib menanggung kadar yang dianjurkan (untuk dibagikan), yaitu setengah atau sepertiga, sesuai perbedaan dua pendapat, karena telah disebutkan secara nash dalam sunah dan karena hukumnya sama secara lahiriah dalam ayat.

Pendapat yang pertama lebih sesuai dengan qiyās, dan Allah-lah yang lebih mengetahui.


فصل
: ويتسحب أَنْ يَتَوَلَّى الرَّجُلُ نَحْرَ هَدْيِهِ بِنَفْسِهِ لِمَا رُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَاقَ فِي حَجِّهِ مِائَةَ بدنةٍ فَكَانَ سُهَيْلُ بن عمر يُقَدِّمُ الْبُدْنَ بَيْنَ يَدِهِ حَتَّى نَحَرَ مِنْهَا بِيَدِهِ سِتَّةً وَسِتِّينَ بَدَنَةً، وَأَمَرَ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَنَحَرَ الْبَاقِيَ، فَإِنْ ضَعُفَ الْمُهْدِي عَنْ نَحْرِ هَدْيِهِ بِنَفْسِهِ اسْتَنَابَ غَيْرَهُ؛ لِأَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اسْتَنَابَ عَلِيًّا فِي نَحْرِ مَا بَقِيَ، وَيَحْضُرُ نَحْرَهُ لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِبَعْضِ نِسَائِهِ: ” احْضُرِي نَسِيكَتَكِ فَإِنَّهُ يُغْفَرُ لَكِ عِنْدَ أَوَّلِ قَطْرَةٍ “.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَأُحِبُّ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ كَبِدِ هَدْيِهِ إِنْ كَانَ تَطَوُّعًا قَبْلَ أَنْ يَمْضِيَ إِلَى الطَّوَافِ وَالْإِفَاضَةِ؛ لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أمر عليا بذلك.

PASAL
 : Disunnahkan agar seseorang menyembelih hadyu-nya sendiri, karena telah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW membawa seratus unta pada hajinya, lalu Suhail bin ‘Amr menghadapkan unta-unta tersebut di hadapan beliau hingga beliau menyembelih dengan tangannya sendiri enam puluh enam ekor unta, dan beliau memerintahkan ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhu untuk menyembelih sisanya.

Jika orang yang berihdā’ tidak mampu menyembelih hadyu-nya sendiri, maka boleh mewakilkan kepada orang lain; karena Nabi SAW mewakilkan ‘Alī untuk menyembelih sisanya.

Disunnahkan pula ia hadir menyaksikan penyembelihannya, karena diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda kepada sebagian istrinya: “Hadirilah sembelihanmu, karena sesungguhnya akan diampuni bagimu pada tetesan darah yang pertama.”

Imam al-Syafi‘i berkata: “Aku menyukai ia memakan dari hati hadyu-nya jika itu sembelihan ṭathawwu‘, sebelum ia pergi menuju thawaf dan ifāḍah; karena telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW memerintahkan ‘Alī untuk melakukan hal itu.”


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَقَدْ حَلَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا النِّسَاءَ فقط “.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ فِي الْحَجِّ إِحْلَالَيْنِ يَسْتَبِيحُ بِالْأَوَّلِ مِنْهُمَا بَعْضَ مَحْظُورَاتِ الْإِحْرَامِ وَيَسْتَبِيحُ بِالثَّانِي جَمِيعَهَا، وَفِي الْعُمْرَةِ إِحْلَالٌ وَاحِدٌ يَسْتَبِيحُ بِهِ جَمِيعَ مَحْظُورَاتِ الْإِحْرَامِ لِأَنَّ الْعُمْرَةَ أَخَفُّ حَالًا مِنَ الْحَجِّ، وَأَقَلُّ عَمَلًا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ أَنَّ الْحَاجَّ يَفْعَلُ يَوْمَ النَّحْرِ أَرْبَعَةَ أَشْيَاءَ: الرَّمْيُ، وَالنَّحْرُ، وَالْحَلْقُ، وَالطَّوَافُ فَنَبْدَأُ بِبَيَانِ أَحْكَامِهَا، ثُمَّ نَبْنِي عَلَيْهِ حُكْمَ الْإِحْلَالَيْنِ، فَالرَّمْيُ نُسُكٌ يُتَحَلَّلُ بِهِ وَلَا يَخْتَلِفُ، وَنَحْرُ الْهَدْيِ لَيْسَ بِنُسُكٍ لَا يَخْتَلِفُ بِهِ، وَالطَّوَافُ بِالْبَيْتِ نُسُكٌ يَتَحَلَّلُ بِهِ لَا يَخْتَلِفُ، وَفِي الْحَلْقِ قَوْلَانِ مَضَيَا:

Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Dan sungguh ia telah halal dari segala sesuatu kecuali dari perempuan saja.”

Al-Māwardī berkata: Kesimpulan dari hal ini adalah bahwa dalam haji terdapat dua iḥlāl, dengan yang pertama di antaranya seseorang boleh melakukan sebagian dari larangan ihram, dan dengan yang kedua boleh melakukan seluruh larangan ihram. Sedangkan dalam umrah hanya terdapat satu iḥlāl yang dengannya diperbolehkan seluruh larangan ihram, karena umrah lebih ringan keadaannya dibanding haji, dan lebih sedikit amalannya.

Apabila demikian keadaannya, maka telah dijelaskan sebelumnya bahwa orang yang berhaji melakukan empat hal pada hari an-naḥr: melempar jumrah, menyembelih hewan, mencukur rambut, dan thawaf. Maka kami akan memulai dengan penjelasan hukum-hukum dari keempatnya, lalu membangun hukum dua iḥlāl berdasarkan hal tersebut.

Melempar jumrah adalah nusuk yang dengannya diperoleh taḥallul, dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Menyembelih hewan hady bukanlah nusuk dan tidak menyebabkan taḥallul, juga tidak diperselisihkan. Thawaf di Ka‘bah adalah nusuk yang menyebabkan taḥallul, juga tidak diperselisihkan. Sedangkan dalam hal mencukur rambut terdapat dua pendapat yang telah disebutkan.


أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ نُسُكٌ يُتَحَلَّلُ بِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ إِبَاحَةٌ بَعْدَ حَظْرٍ، وَقَدْ ذَكَرْنَا تَوْجِيهَ الْقَوْلَيْنِ، فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى إِبَانَةِ الْإِحْلَالَيْنِ وَذَلِكَ مَبْنِيٌّ عَلَى مَا تَقَدَّمَ، فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْحَلْقَ لَيْسَ بِنُسُكٍ وَإِنَّمَا هُوَ إِبَاحَةٌ بَعْدَ حَظْرٍ فَالْإِحْلَالُ الثَّانِي يَكُونُ بِشَيْئَيْنِ: الرَّمْيِ، وَالطَّوَافِ، فَإِنْ كَانَ قَدْ سَعَى قَبْلَ عَرَفَةَ لَمْ يَلْزَمْهُ السَّعْيُ بَعْدَ هَذَا الطَّوَافِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ سَعَى بَعْدَ عَرَفَةَ لَزِمَهُ السعي مع هذا وَلَمْ يَحِلَّ قَبْلَ السَّعْيِ، فَإِذَا فَعَلَ السَّعْيَ والطواف فقد حل إحلال الثَّانِي، وَيَكُونُ إِحْلَالُهُ بِالْأَوَّلِ بِأَحَدِهِمَا إِمَّا بِالرَّمْيِ وَحْدَهُ أَوْ بِالطَّوَافِ وَحْدَهُ عَلَى حَسَبِ مَا تَقَدَّمَ وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْحَلْقَ نُسُكٌ يُتَحَلَّلُ به فالإحلال الثاني أن يكون بثلاث أَشْيَاءَ، بِالرَّمْيِ وَالْحَلْقِ وَالطَّوَافِ فَإِذَا فَعَلَهَا فَقَدْ حَلَّ إِحْلَالَهُ الثَّانِي وَيَكُونُ إِحْلَالُهُ الْأَوَّلُ بِشَيْئَيْنِ مِنْهَا إِمَّا بِالرَّمْيِ وَالْحَلْقِ أَوْ بِالْحَلْقِ وَالطَّوَافِ، أو بالرمي والطواف.

Pertama: bahwa ḥalq (cukur rambut) adalah nusuk yang dengannya seseorang bertahallul.

Kedua: bahwa ia hanyalah kebolehan setelah adanya larangan, dan kami telah menyebutkan penjelasan bagi dua pendapat tersebut.

Jika hal ini telah ditetapkan, maka pembahasan berpindah kepada penjelasan dua bentuk tahallul (al-iḥlālayn), dan itu dibangun di atas pendapat yang telah disebutkan. Maka:

Jika kita mengatakan bahwa ḥalq bukanlah nusuk, melainkan sekadar kebolehan setelah larangan, maka tahallul kedua terjadi dengan dua hal: melempar (ramy) dan thawaf. Jika ia telah melakukan sa‘i sebelum ‘Arafah, maka ia tidak wajib sa‘i lagi setelah thawaf ini. Namun jika belum melakukan sa‘i setelah ‘Arafah, maka ia wajib melakukan sa‘i bersama thawaf ini, dan ia belum bertahallul sebelum melakukan sa‘i.

Jika ia telah melakukan sa‘i dan thawaf, maka ia telah bertahallul tahallul kedua.

Adapun tahallul pertama terjadi dengan salah satu dari keduanya, yaitu hanya dengan ramy atau hanya dengan ṭawāf, sesuai dengan apa yang telah dijelaskan sebelumnya.

Namun jika kita mengatakan bahwa ḥalq adalah nusuk yang dengannya seseorang bertahallul, maka tahallul kedua terjadi dengan tiga hal: ramy, ḥalq, dan ṭawāf. Jika ia telah melakukannya semua, maka ia telah bertahallul tahallul kedua.

Adapun tahallul pertamanya terjadi dengan dua dari tiga hal tersebut, yaitu: ramy dan ḥalq, atau ḥalq dan ṭawāf, atau ramy dan ṭawāf.


فصل
: فإذ وَضَحَ حُكْمُ الْإِحْلَالِ الْأَوَّلِ وَالْإِحْلَالِ الثَّانِي انْتُقِلَ الْكَلَامُ إِلَى مَا يُسْتَبَاحُ بِالْإِحْلَالِ الْأَوَّلِ وَالْإِحْلَالِ الثَّانِي.
وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ مَحْظُورَاتِ الْإِحْرَامِ عَشَرَةُ أَشْيَاءَ الطِّيبُ، وَاللِّبَاسُ، وَالْحَلْقُ، وَالتَّقْلِيمُ وَالتَّرْجِيلُ، وَوَطْءُ النِّسَاءِ وَمُبَاشَرَتُهُنَّ، وَعَقْدُ النِّكَاحِ، وَقَتْلُ الصَّيْدِ، وَتَغْطِيَةُ ما يَتَعَلَّقُ بِهِ الْإِحْرَامُ مِنْ رَأْسِ الرَّجُلِ وَوَجْهِ الْمَرْأَةِ فَإِذَا أَحَلَّ إِحْلَالَهُ الثَّانِي اسْتَبَاحَ جَمِيعَ ذَلِكَ فَأَمَّا إِذَا أَحَلَّ إِحْلَالَهُ الْأَوَّلَ فَإِنَّهُ يستبيح منها خمسة أشياء قولاً واحداً وهو اللِّبَاسُ وَالْحَلْقُ وَالتَّقْلِيمُ وَالتَّرْجِيلُ وَتَغْطِيَةُ مَا تَعَلَّقَ بِهِ الْإِحْرَامُ وَيَسْتَدِيمُ حَظْرُ شَيْئَيْنِ مِنْهَا قَوْلًا واحداً هما الْوَطْءُ وَالْمُبَاشَرَةُ لِرِوَايَةِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” فَإِذَا رَمَيْتُمْ وَحَلَقْتُمْ فَقَدْ حَلَّ لَكُمْ كُلُ شَيْءٍ إِلَّا النِّسَاءَ ” فَأَمَّا الثَّلَاثَةُ الْبَاقِيَةُ وَهِيَ الطِّيبُ، وَالنِّكَاحُ، وَقَتْلُ الصَّيْدِ فَفِيهَا قَوْلَانِ:

PASAL
 : Maka apabila telah jelas hukum iḥlāl pertama dan iḥlāl kedua, pembahasan berpindah kepada hal-hal yang menjadi boleh dengan iḥlāl pertama dan iḥlāl kedua.

Secara keseluruhan, larangan-larangan ihram berjumlah sepuluh perkara: memakai ṭīb (wewangian), berpakaian, mencukur rambut, memotong kuku, menyisir rambut, bersetubuh dengan wanita dan menyentuh mereka, akad nikah, membunuh hewan buruan, dan menutup bagian yang terkait dengan ihram: yaitu kepala laki-laki dan wajah perempuan.

Apabila seseorang telah melakukan iḥlāl yang kedua, maka seluruh hal tersebut menjadi boleh baginya.

Adapun jika baru melakukan iḥlāl yang pertama, maka ia boleh melakukan lima perkara berdasarkan satu pendapat, yaitu: berpakaian, mencukur rambut, memotong kuku, menyisir rambut, dan menutup bagian tubuh yang terkait dengan ihram.

Dan tetap haram dua perkara darinya berdasarkan satu pendapat, yaitu: bersetubuh dan menyentuh wanita, berdasarkan riwayat dari ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā bahwa Nabi SAW bersabda:
 “Apabila kalian telah melempar dan mencukur, maka telah halal bagi kalian segala sesuatu kecuali wanita.”

Adapun tiga hal yang tersisa, yaitu: memakai ṭīb, akad nikah, dan membunuh hewan buruan — maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا مُسْتَدَامَةُ الْحَظْرِ كَالْوَطْءِ وَالْمُبَاشَرَةِ قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّهَا مُبَاحَةٌ كَالْحَلْقِ وَاللِّبَاسِ لقوله عليه السلام: ” فإذا رميتم وحلقتم حَلَّ كُلُّ شَيْءٍ إِلَّا النِّسَاءَ ” وَقَدْ قِيلَ إِنَّ الطِّيبَ مُبَاحٌ قَوْلًا وَاحِدًا عَلَى الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ وَأَنَّ مَا قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ حَكَاهُ عن مالك.

Pertama: Bahwa memakai wewangian tetap termasuk dalam larangan ihram secara terus-menerus sebagaimana jima‘ dan mubāsyarah (bersentuhan dengan syahwat); ini merupakan pendapat dalam qaul qadīm.

Pendapat kedua: Dinaskan dalam qaul jadīd dan inilah yang shahih, bahwa memakai wewangian itu boleh sebagaimana mencukur rambut dan memakai pakaian, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Apabila kalian telah melempar jumrah dan mencukur rambut, maka halal segala sesuatu kecuali perempuan.”

Dan telah dikatakan bahwa memakai wewangian itu boleh menurut satu pendapat, baik dalam qaul qadīm maupun jadīd, dan bahwa apa yang dikatakan dalam qaul qadīm hanyalah menukil dari Mālik.

فَصْلٌ
: قَدْ ذَكَرْنَا مَا يَقَعُ بِهِ الْإِحْلَالُ الْأَوَّلُ وَمَا يَقَعُ بِهِ الْإِحْلَالُ الثَّانِي، وَمَا يَسْتَبِيحُهُ بِالْإِحْلَالِ الْأَوَّلِ، وَمَا يَسْتَبِيحُهُ بِالْإِحْلَالِ الثَّانِي، وَإِذَا كَانَ هَذَا ثَابِتًا مُقَرَّرًا لَمْ يَقَعِ التَّحَلُّلُ بِدُخُولِ زَمَانِ التَّحَلُّلِ حَتَّى يَفْعَلَ مَا يَقَعُ بِهِ التَّحَلُّلُ.
وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ يَحِلُّ بِدُخُولِ الزَّمَانِ دُونَ الْفِعْلِ فَإِذَا مَرَّ عَلَيْهِ بَعْدَ نِصْفِ اللَّيْلِ مِنْ لَيْلَةِ النَّحْرِ بِزَمَانٍ حَلَقَ وَرَمَى فَقَدْ حَلَّ إِحْلَالَهُ الْأَوَّلَ، وَإِنْ لَمْ يَرْمِ وَلَمْ يَحْلِقْ، اسْتِدْلَالًا بِشَيْئَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْحَجَّ وَالصَّوْمَ عِبَادَتَانِ مُتَشَابِهَتَانِ لِتَعَلُّقِ الْكَفَّارَةِ بِهِمَا ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ يَتَحَلَّلُ مِنْ صَوْمِهِ بِدُخُولِ زَمَانِ الْفِطْرِ وَإِنْ لَمْ يُفْطِرْ، كَذَلِكَ يَجِبُ أَنْ يَتَحَلَّلَ مِنْ حَجِّهِ بِدُخُولِ زَمَانِ الرَّمْيِ وَإِنْ لَمْ يَرْمِ.

PASAL
 : Telah kami sebutkan hal-hal yang menyebabkan iḥlāl pertama dan hal-hal yang menyebabkan iḥlāl kedua, serta apa saja yang menjadi boleh dengan iḥlāl pertama dan apa yang menjadi boleh dengan iḥlāl kedua. Maka apabila hal ini telah ditetapkan dan dipastikan, maka seseorang tidak menjadi bertahallul hanya dengan masuknya waktu tahallul, hingga ia melaksanakan apa yang menyebabkan terjadinya tahallul.

Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berpendapat: Seseorang menjadi halal (bertahallul) hanya dengan masuknya waktu, tanpa perlu perbuatan. Maka jika telah lewat waktu setelah tengah malam malam Nahr, lalu ia mencukur dan melempar, maka ia telah bertahallul iḥlāl pertama, meskipun ia belum melempar dan belum mencukur, dengan berdalil kepada dua hal:

Pertama: Bahwa haji dan puasa adalah dua ibadah yang serupa karena keduanya berkaitan dengan kewajiban kafārah, dan telah tetap bahwa seseorang bertahallul dari puasanya dengan masuknya waktu fithr meskipun ia belum berbuka, maka demikian pula seharusnya ia bertahallul dari hajinya dengan masuknya waktu melempar meskipun belum melempar.


وَالثَّانِي: أَنَّهُ لما تحلل من إحرامه بسنوات زَمَانِ الرَّمْيِ وَإِنْ لَمْ يَرْمِ وَذَلِكَ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ تَحَلَّلَ مِنْ إِحْرَامِهِ بِدُخُولِ زَمَانِ الرَّمْيِ وَإِنْ لَمْ يَرْمِ وذلك دخول نصف الليل من في لَيْلَةِ النَّحْرِ، وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فإذا رميتم وحلقتم فقد حل لكم كل شَيْءٍ إِلَّا النِّسَاءَ ” فَجَعَلَ ذَلِكَ شَرْطًا فِي وُقُوعِ التَّحَلُّلِ وَلِأَنَّ لِلْحَجِّ إِحْلَالَيْنِ أَوَّلٌ وَثَانٍ فَلَمَّا لَمْ يَتَحَلَّلْ إِحْلَالَهُ الثَّانِيَ بِدُخُولِ وَقْتِهِ، كَانَ فِي الْإِحْلَالِ الْأَوَّلِ الَّذِي هُوَ أَقْوَى حَالَ إِحْرَامِهِ أَوْلَى أَنْ لَا يَتَحَلَّلَ بِدُخُولِ وَقْتِهِ، فَأَمَّا جَمْعُهُ بَيْنَ هَذَا وَبَيْنَ الْفِطْرِ مِنَ الصَّوْمِ فَفَاسِدٌ مِنَ الْوَجْهِ الَّذِي جَمْعُهُ صَحِيحٌ مِنَ الْوَجْهِ الَّذِي نَذْكُرُهُ؛ لِأَنَّهُ فِي الصَّوْمِ يَكُونُ مُفْطِرًا، لِخُرُوجِ زَمَانِهِ وَكَذَا فِي الرَّمْيِ يَكُونُ مُحِلًّا؛ لِفَوَاتِ زَمَانِهِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مُحِلًّا بِدُخُولِ زَمَانِهِ كَمَا لَمْ يَكُنْ فِي الصَّوْمِ مُفْطِرًا بِدُخُولِ زَمَانِهِ.

Kedua: Bahwa seseorang menjadi halal dari ihramnya dengan masuknya waktu melempar jumrah, meskipun ia belum melempar, yaitu setelah terbenamnya matahari pada hari an-naḥr; atau ada juga yang mengatakan: dengan masuknya pertengahan malam dari malam hari an-naḥr — maka ia dianggap telah tahallul dari ihramnya hanya karena masuknya waktu melempar, walaupun belum melakukannya. Ini adalah pendapat yang keliru, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Apabila kalian telah melempar dan mencukur, maka halal bagi kalian segala sesuatu kecuali perempuan.” Maka beliau menjadikan hal itu sebagai syarat terjadinya taḥallul.

Dan karena dalam haji terdapat dua iḥlāl, yaitu pertama dan kedua, maka jika seseorang tidak dianggap melakukan taḥallul kedua hanya dengan masuknya waktunya, maka dalam taḥallul pertama—yang lebih kuat dan masih dalam keadaan ihram—lebih utama lagi untuk tidak dianggap taḥallul hanya dengan masuk waktunya.

Adapun penggabungan antara pendapat ini dengan kasus berbuka puasa adalah keliru dari satu sisi, meskipun tampak benar dari sisi yang akan kami jelaskan; karena dalam puasa seseorang dianggap berbuka dengan keluarnya waktunya (yaitu dengan terbenamnya matahari), begitu juga dalam melempar, seseorang dianggap halal karena telah lewat waktunya. Namun tidak sah dikatakan bahwa seseorang menjadi halal hanya karena masuknya waktu melempar, sebagaimana tidak sah dikatakan bahwa seseorang menjadi berbuka hanya karena masuknya waktu puasa.


وَأَمَّا قَوْلُهُ: لَوْ كَانَ مُتَحَلِّلًا بِفَوَاتِ زَمَانِهِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُتَحَلِّلًا بِدُخُولِ زَمَانِهِ، فَلَيْسَ بَيْنَهُمَا مَعَنًى جَامِعٌ، ثُمَّ هُوَ بِالصَّوْمِ فَاسِدٌ؛ لِأَنَّهُ يَكُونُ خَارِجًا مِنْهُ بِفَوَاتِ زَمَانِهِ، وَلَا يَكُونُ داخلاً فيه بدخول زمانه.

Adapun perkataannya: “Seandainya seseorang bertahallul karena lewatnya waktu (tahallul), maka semestinya ia juga bertahallul dengan masuknya waktu (tahallul),” — maka tidak terdapat makna yang menyatukan keduanya.

Kemudian analoginya dengan puasa adalah analogi yang rusak; karena seseorang keluar dari puasa dengan lewatnya waktunya, namun tidak masuk ke dalamnya hanya dengan masuk waktunya.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَقْطَعُ التَّلْبِيَةَ حَتَى يَرْمِيَ الْجَمْرَةَ بِأَوَّلِ حصاةٍ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يَزَلْ يُلَبِّي حَتَّى رَمَى الْجَمْرَةَ وَعُمَرُ وابن عباس وعطاء وطاوس ومجاهد لم يزالوا يلبون حتى رموا الجمرة “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْحَاجَّ يُلَبِّي مِنْ حِينِ تَنْبَعِثُ بِهِ رَاحِلَتُهُ بَعْدَ إِحْرَامِهِ إِلَى أَنْ يَرْمِيَ أَوَّلَ حَصَاةٍ مِنْ جَمْرَةِ الْعَقَبَةِ فِي يَوْمِ النَّحْرِ، فَحِينَئِذٍ يَقْطَعُ التَّلْبِيَةَ وَيَأْخُذُ فِي التَّكْبِيرِ.

Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Dan tidak memutus talbiyah hingga melempar jumrah dengan kerikil yang pertama, karena Nabi SAW terus bertalbiyah hingga melempar jumrah, dan begitu pula ‘Umar, Ibn ‘Abbās, ‘Aṭā’, Ṭāwūs, dan Mujāhid; mereka terus bertalbiyah hingga melempar jumrah.”

Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa orang yang berhaji bertalbiyah sejak untanya bergerak setelah berihram sampai ia melempar kerikil yang pertama dari Jamrah al-‘Aqabah pada hari an-naḥr. Saat itulah ia memutus talbiyah dan mulai bertakbir.

 


وَقَالَ مَالِكٌ: يَقْطَعُ التَّلْبِيَةَ إِذَا حَصَلَ بِمِنًى، وَأَخَذَ فِي التَّوَجُّهِ مِنْهَا إِلَى عَرَفَةَ، وَدَلِيلُنَا عَلَيْهِ بِحَدِيثِ الْفَضْلِ بْنِ الْعَبَّاسِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة؛ ولأنه قبل رَمْيِهِ عَلَى جُمْلَةِ إِحْرَامِهِ لَمْ يَتَحَلَّلْ مِنْ شَيْءٍ مِنْهُ وَإِذَا أَخَذَ فِي الرَّمْيِ كَانَ آخِذًا فِي التَّحَلُّلِ مِنْهُ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ قَطْعُهُ لِتَلْبِيَةِ إِحْرَامِهِ عِنْدَ أَخْذِهِ فِي التَّحَلُّلِ من إحرامه.

Imam Mālik berkata: Seseorang memutus talbiyah ketika telah berada di Mina dan mulai menuju dari sana ke ‘Arafah.

Dalil kami atas hal itu adalah hadits al-Faḍl bin al-‘Abbās, bahwa Nabi SAW senantiasa bertalbiyah hingga melempar Jumrah ‘Aqabah.

Karena sebelum melempar, ia masih berada dalam keseluruhan keadaan ihram dan belum bertahallul dari sedikit pun darinya. Namun ketika ia mulai melempar, berarti ia telah mulai masuk ke dalam proses taḥallul dari ihram, maka wajib baginya untuk memutus talbiyah ihramnya saat ia mulai masuk dalam taḥallul dari ihramnya.

مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَتَطَيَّبُ لِحِلِّهِ إِنْ شَاءَ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بالبيت لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تطيب لحله قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا التطيب بَعْدَ الْإِحْلَالِ الثَّانِي فَمُبَاحٌ، وَقِيلَ الْإِحْلَالُ الْأَوَّلُ فمحظور، فأما بعد الأول وقيل الثَّانِي فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ: أَنَّهُ مُبَاحٌ، لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فإذا رميتم وحلقتم فقد حل لكم كل شَيْءٍ إِلَّا النِّسَاءَ “، وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ: لَا يَجُوزُ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ؛ لِأَنَّهُ مِنْ دَوَاعِي الْجِمَاعِ كَالْمُبَاشَرَةِ، فَكَانَ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا يُخَرِّجُونَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْهُمْ مَنْ قَالَ: مَذْهَبُهُ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ: جَوَازُهُ قَوْلًا وَاحِدًا، وَمَا ذَكَرَهُ فِي الْقَدِيمِ حَكَاهُ عَنْ مَالِكٍ؛ لِمَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: طَيَّبْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِإِحْرَامِهِ قَبْلَ أَنْ يُحْرِمَ، وَلِحَلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ وَهَذَا نَصٌّ، وَلِأَنَّ الطِّيبَ أَخَفُّ حالاً من اللباس؛ لأن استدامة الطيب بعد الإحلال جَائِزٌ، وَاسْتِدَامَةُ اللِّبَاسِ بَعْدَ الْإِحْرَامِ غَيْرُ جَائِزٍ، فَلَمَّا اسْتَبَاحَ أَغْلَظَ الْأَمْرَيْنِ حَالًا كَانَ اسْتِبَاحَتُهُ أخفهما أولى.

Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Dan seseorang boleh memakai wewangian karena taḥallul-nya jika ia menghendaki, sebelum ia thawaf di Ka‘bah, karena Rasulullah SAW memakai wewangian untuk taḥallul-nya sebelum beliau thawaf di Ka‘bah.”

Al-Māwardī berkata: Adapun memakai wewangian setelah iḥlāl kedua maka hukumnya boleh. Dan ada yang mengatakan bahwa setelah iḥlāl pertama hukumnya masih terlarang. Namun pendapat yang benar menurut mazhab al-Syafi‘i dalam qaul jadīd adalah bahwa hal itu boleh, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Apabila kalian telah melempar dan mencukur, maka halal bagi kalian segala sesuatu kecuali perempuan.”

Adapun dalam qaul qadīm, beliau mengatakan bahwa hal itu tidak boleh, dan itu adalah mazhab Mālik, karena wewangian termasuk perkara yang membangkitkan syahwat seperti mubāsyarah. Maka kebanyakan sahabat kami mengeluarkan dua pendapat dalam masalah ini:

Sebagian dari mereka mengatakan bahwa mazhab al-Syafi‘i dalam qadīm dan jadīd adalah bolehnya memakai wewangian secara qaul wāḥid, dan bahwa apa yang disebutkan dalam qaul qadīm hanyalah sebagai nukilan dari Mālik. Karena telah diriwayatkan dari ‘Āisyah raḍiyallāh ‘anhā bahwa ia berkata: “Aku memakaikan wewangian kepada Rasulullah SAW untuk ihramnya sebelum beliau berihram, dan untuk taḥallul-nya sebelum beliau thawaf di Ka‘bah.” Ini adalah nash yang jelas.

Selain itu, memakai wewangian lebih ringan keadaannya dibanding mengenakan pakaian, karena melanjutkan pemakaian wewangian setelah taḥallul itu boleh, sedangkan melanjutkan pemakaian pakaian setelah ihram itu tidak boleh. Maka ketika perkara yang lebih berat boleh dilakukan, maka perkara yang lebih ringan tentu lebih layak untuk diperbolehkan.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَخْطُبُ الْإِمَامُ بَعْدَ الظُّهْرِ يَوْمَ النَّحْرِ وَيُعَلِّمُ النَّاسَ الرَّمْيَ وَالنَّحْرَ وَالتَّعْجِيلَ لِمَنْ أَرَادَهُ فِي يومين بعد النحر “.
قال الماوردي: فقد ذَكَرْنَا أَنَّ خُطَبَ الْحَجِّ أَرْبَعٌ، مَضَى مِنْهَا خُطْبَتَانِ وَهَذِهِ الثَّالِثَةُ وَهِيَ يَوْمَ النَّحْرِ بَعْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ، فَيُعَلِّمُ النَّاسَ مَا يَحْتَاجُونَ إِلَيْهِ فِي يَوْمِهِمْ، وَمَا بَقِيَ عَلَيْهِمْ مِنْ مَنَاسِكِهِمْ، وَقَالَ أبو حنيفة: هَذِهِ الْخُطْبَةُ غَيْرُ مَسْنُونَةٍ فَلَا يَخْطُبُهَا؛ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لا جمعة ولا تشريق إلا في مصر جَامِعٍ “، وَلَيْسَتْ مِنًى مِصْرًا، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَخْطُبَ بِيَوْمِ النَّحْرِ فِيهَا، وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ وَالْهِرْمَاسِ بْنِ زِيَادٍ الْبَاهِلِيِّ أَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَطَبَ يَوْمَ النَّحْرِ بَعْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ عَلَى نَاقَتِهِ الْقَصْوَى وَقَالَ: مَا يَوْمُكُمْ هَذَا؟ قَالُوا يَوْمُ النَّحْرِ الْأَكْبَرِ. وَرَوَى أَبُو أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ قَالَ: سَمِعْتُ خُطْبَةَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِمَنًى يَوْمَ النَّحْرِ، وَهَذَا نَصٌّ، وَلِأَنَّهُ يَوْمٌ شُرِعَ فِيهِ رُكْنٌ مِنْ أَرْكَانِ الْحَجِّ وَهُوَ طواف، فَوَجَبَ أَنْ تُشْرَعَ فِيهِ الْخُطْبَةُ قِيَاسًا عَلَى يَوْمِ عَرَفَةَ؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا سُنَّتِ الْخُطْبَةُ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ كَانَ يَوْمُ النَّحْرِ بِذَلِكَ أَوْلَى لِأَمْرَيْنِ:

Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
 “Imam berkhutbah setelah Zhuhur pada hari Nahr dan mengajarkan kepada manusia tentang (tata cara) melempar jumrah, menyembelih, dan tentang ta‘jīl (menyegerakan keluar dari Mina) bagi siapa yang menginginkannya pada dua hari setelah Nahr.”

Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa khutbah-khutbah dalam ibadah haji itu ada empat, dan dua di antaranya telah berlalu, dan ini adalah khutbah yang ketiga, yaitu pada hari Nahr setelah salat Zhuhur. Maka dalam khutbah ini imam mengajarkan kepada manusia hal-hal yang mereka butuhkan pada hari itu, serta amalan manasik yang masih tersisa atas mereka.

Adapun Abū Ḥanīfah berpendapat: Khutbah ini tidak disunnahkan, maka tidak disyariatkan untuk berkhutbah pada hari Nahr; karena sabda Nabi SAW: “Tidak ada Jum‘at dan tidak ada hari Tasyrīq kecuali di negeri yang terdapat masjid jami‘.” Dan Mina bukanlah miṣr (kota), maka tidak boleh berkhutbah pada hari Nahr di sana.

Dalil kami adalah riwayat dari Abū Umāmah al-Bāhilī dan al-Hirmās bin Ziyād al-Bāhilī bahwa Nabi SAW berkhutbah pada hari Nahr setelah salat Zhuhur di atas unta Qaṣwā’-nya dan bersabda:
 “Hari apakah ini?” Mereka menjawab, “Hari Nahr yang Akbar.”

Dan diriwayatkan oleh Abū Umāmah al-Bāhilī, ia berkata: “Aku mendengar khutbah Rasulullah SAW di Mina pada hari Nahr.” Ini merupakan nash yang jelas.

Karena hari itu telah disyariatkan padanya salah satu rukun dari rukun-rukun haji, yaitu thawaf, maka wajib disyariatkan pula padanya khutbah, sebagai qiyās atas hari ‘Arafah.

Dan karena ketika disunnahkannya khutbah pada hari ‘Arafah, maka hari Nahr lebih utama lagi untuk disyariatkan khutbah, karena dua alasan:


أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَوْمُ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ.
وَالثَّانِي: لِأَنَّهَا مَسْنُونَةٌ فِي غَيْرِ الْحَجِّ.
فَأَمَّا قَوْلُهُ: لَا جُمْعَةَ وَلَا تَشْرِيقَ فَلَيْسَتْ هَذِهِ خُطْبَةَ عِيدٍ وَإِنَّمَا هِيَ خُطْبَةُ حَجٍّ فَجَازَتْ فِي غير مصر.

Pertama: Karena itu adalah hari al-ḥajj al-akbar.

Kedua: Karena khutbah tersebut disunnahkan meskipun di luar haji.

Adapun ucapannya: “Tidak ada Jum‘at dan tidak pula Tashrīq,” maka ini bukanlah khutbah ‘Id, melainkan khutbah haji, sehingga boleh dilakukan di selain wilayah kota besar (miṣr).

مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنْ حَلَقَ قَبْلَ أَنْ يَذْبَحَ أَوْ نَحَرَ قَبْلَ أَنْ يَرْمِيَ أَوْ قَدَّمَ الْإِفَاضَةَ عَلَى الرَّمْيِ أَوْ قَدَّمَ نُسَكًا قَبْلَ نسكٍ مِمَّا يُفْعَلُ يَوْمَ النَحْرِ فَلَا حَرَجَ وَلَا فِدْيَةَ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ما سئل يومئذٍ عَنْ شَيْءٍ قُدِّمَ أَوْ أُخِّرَ إِلَّا قال ” افعل ولا حرج “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ، وَذَكَرْنَا أَنَّ مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَبْدَأَ فِي يَوْمِ النحر بِالرَّمْيِ ثُمَّ بِالنَّحْرِ ثُمَّ بِالْحَلْقِ ثُمَّ بِالطَّوَافِ لترتيب النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي حَجِّهِ، فَإِنْ قَدَّمَ بَعْضَ ذَلِكَ عَلَى بَعْضٍ أَجْزَأَهُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ قَبْلُ.

Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
 “Barang siapa mencukur sebelum menyembelih, atau menyembelih sebelum melempar, atau mendahulukan ifāḍah sebelum melempar, atau mendahulukan satu nusuk atas nusuk lainnya dari amalan-amalan yang dilakukan pada hari Nahr, maka tidak ada dosa dan tidak ada fidyah baginya.”

Beliau berdalil dengan sabda Nabi SAW: “Tidaklah beliau ditanya pada hari itu tentang sesuatu yang didahulukan atau diakhirkan, kecuali beliau bersabda: ‘Lakukanlah, dan tidak ada dosa.’”

Al-Māwardī berkata: Masalah ini telah disebutkan sebelumnya, dan kami telah menyebutkan bahwa termasuk sunnah pada hari Nahr adalah memulai dengan melempar, lalu menyembelih, lalu mencukur, lalu thawaf — berdasarkan urutan yang dilakukan oleh Nabi SAW dalam hajinya.

Namun jika seseorang mendahulukan sebagian dari amalan tersebut atas sebagian yang lain, maka hal itu tetap sah sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَطُوفُ بِالْبَيْتِ طَوَافَ الْفَرْضِ وَهِيَ الْإِفَاضَةُ وَقَدْ حَلَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ النَسَاءِ وَغَيْرِهِنَّ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُ يَفْعَلُ يَوْمَ النَّحْرِ أَرْبَعَةَ أَشْيَاءَ: ثَلَاثَةٌ مِنْهَا بِمِنًى وَهِيَ الرَّمْيُ وَالنَّحْرُ وَالْحِلَاقُ، وَالرَّابِعَةُ بِمَكَّةَ وَهِيَ الطَّوَافُ، وَيُسَمَّى طَوَافَ الْإِفَاضَةِ، أَيِ الْإِفَاضَةِ مِنْ عَرَفَاتٍ، وَيُسَمَّى طَوَافَ الصَّدْرِ يَعْنِي حِينَ يَصْدُرُ النَّاسُ مِنْ مِنًى، وَيُسَمَّى طَوَافَ الزِّيَارَةِ لِزِيَارَتِهِمُ الْبَيْتَ بَعْدَ فِرَاقِهِمْ لَهُ، وَيُسَمَّى طَوَافَ الْفَرْضِ؛ لِأَنَّهُ رُكْنٌ مَفْرُوضٌ لَا يَتِمُّ الْحَجُّ إِلَّا بِهِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى وُجُوبِهِ قَوْله تَعَالَى: {ثُمَّ لِيَقْضُواْ تَفَثَهُمْ وَلْيُوْفُواْ نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ) {الحج: 29) ، وَلِرِوَايَةِ جَابِرٍ وَابْنُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا رَمَى الْجَمْرَةَ بِمِنًى وَذَبَحَ أَفَاضَ إِلَى مَكَّةَ وَطَافَ وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ما طَافَ طَوَافَ الْإِفَاضَةِ طَلَبَ الْخُلْوَةَ مَعَ صَفِيَّةَ فَقِيلَ: إِنَهَا حَائِضٌ، فَقَالَ: عَقْرَى حَلْقَي أَلَا حَبَسَتْنَا فَلَوْلَا أَنَّهُ رُكْنٌ لَا يَجُوزُ تَرْكُهُ لَمْ تَكُنْ حَابِسَةً لَهُ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ رُكْنٌ وَاجِبٌ فَأَوَّلُ زَمَانِ فِعْلِهِ بَعْدَ نِصْفِ اللَّيْلِ مِنْ لَيْلَةِ النَّحْرِ؛ لِأَنَّهُ أَوَّلُ نَهَارِ التَّحَلُّلِ، وَوَقْتُهُ فِي الِاخْتِيَارِ قَبْلَ زَوَالِ الشَّمْسِ من يوم لنحر، فَإِذَا طَافَ وَسَعَى نَظَرَ، فَإِنْ كَانَ قَدْ سَعَى قَبْلَ عَرَفَةَ فَقَدْ حَلَّ مِنْ إِحْرَامِهِ وَاسْتَبَاحَ جَمِيعَ مَا حُظِرَ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يكن سعي قبل عرفة سعي بعده وكان على إحرامه، ولا يَتَحَلَّلُ مِنْهُ الْإِحْلَالَ الثَّانِيَ حَتَّى يَسْعَى سَبْعًا بَعْدَ طَوَافِهِ ثُمَّ يَتَحَلَّلُ حِينَئِذٍ وَلَا يَبْقَى عَلَيْهِ مِنْ حَجِّهِ إِلَّا رَمْيُ أَيَّامِ مِنًى، وَالْمَبِيتُ بِهَا، فَإِنْ أَخَّرَ الطَّوَافَ عَنْ يَوْمِ النَّحْرِ فَقَدْ أَسَاءَ إِذَا كَانَ تَأْخِيرُهُ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ، وَعَلَيْهِ أَنْ يَطُوفَ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَوْ بَعْدَهَا، فَإِنْ لَمْ يَطُفْ حَتَّى عَادَ إِلَى بَلَدِهِ كَانَ عَلَى إِحْرَامِهِ حَتَّى يعود فيطوف، فإذا طاف قد حَلَّ، وَلَا دَمَ عَلَيْهِ فِي تَأْخِيرِهِ، فَإِنْ كَانَ قَدْ طَافَ طَوَافَ الْوَدَاعِ كَانَ عَنْ فَرْضِهِ، وَتَحَلَّلَ بِهِ مِنْ إِحْرَامِهِ وَأَجْزَأَهُ، لِأَنَّ أَرْكَانَ الْحَجِّ إِذَا تَطَوَّعَ بِهَا وَكَانَ عَلَيْهِ فَرْضٌ مِنْ جِنْسِهَا انْصَرَفَتْ إِلَى مَفْرُوضِهَا وَعَلَيْهِ دَمُ طَوَافِ الْوَدَاعِ.

Masalah: Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Dan ia bertawaf di Baitullah dengan tawaf fardhu, yaitu ifadhah, dan telah halal baginya dari segala sesuatu, baik perempuan maupun selainnya.”

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa ia melakukan pada hari nahr empat hal: tiga di antaranya di Mina, yaitu melempar, menyembelih, dan mencukur, sedangkan yang keempat di Makkah, yaitu tawaf. Ia dinamakan tawaf al-ifadhah, yaitu karena ifadhah dari Arafat, dan dinamakan tawaf al-shadr, yakni ketika orang-orang berangkat dari Mina, dan dinamakan tawaf al-ziyarah karena mereka menziarahi Baitullah setelah berpisah darinya, dan dinamakan tawaf al-fardh karena ia rukun yang difardhukan, tidak sempurna haji kecuali dengannya.

Dalil atas kewajibannya adalah firman Allah Ta‘ala: {ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ} (QS. al-Hajj: 29), dan riwayat dari Jabir serta Ibn ‘Umar bahwa Nabi SAW ketika melempar jumrah di Mina dan menyembelih, beliau berifadhah ke Makkah dan bertawaf. Dan diriwayatkan bahwa Nabi SAW ketika hendak melakukan tawaf al-ifadhah bermaksud berduaan dengan Shafiyyah, lalu dikatakan: “Sesungguhnya ia sedang haid.” Maka beliau bersabda: “‘Aqra halqa, bukankah ia menahan kita. Kalau bukan karena ia rukun yang tidak boleh ditinggalkan, niscaya ia tidak menahan beliau.”

Maka apabila telah tetap bahwa ia rukun yang wajib, maka awal waktu pelaksanaannya adalah setelah pertengahan malam dari malam nahr, karena itu adalah awal siang tahallul. Dan waktunya dalam pilihan adalah sebelum zawal matahari dari hari nahr. Jika ia sudah tawaf lalu sa‘i, maka dilihat: bila ia sudah melakukan sa‘i sebelum Arafah, maka ia telah halal dari ihramnya dan boleh baginya semua yang sebelumnya diharamkan. Dan bila ia belum melakukan sa‘i sebelum Arafah, maka ia melakukan sa‘i setelahnya, dan ia masih dalam keadaan ihram, tidak bertahallul tahallul kedua hingga ia sa‘i tujuh kali setelah tawafnya, lalu ketika itu ia bertahallul, dan yang tersisa dari hajinya hanyalah lempar pada hari-hari Mina dan bermalam di sana.

Jika ia mengakhirkan tawaf dari hari nahr, maka ia telah berbuat buruk bila tanpa udzur, dan wajib baginya bertawaf pada hari-hari tasyriq atau setelahnya. Jika ia belum bertawaf hingga kembali ke negerinya, maka ia tetap dalam ihram sampai ia kembali lalu bertawaf. Jika ia sudah bertawaf, maka ia telah halal, dan tidak ada dam atasnya karena pengakhiran itu. Jika ia telah melakukan tawaf al-wada‘, maka itu mencukupi dari fardhunya, dan ia bertahallul dengannya dari ihramnya dan mencukupi baginya, karena rukun-rukun haji apabila dilakukan secara tathawwu‘ sementara masih ada fardhu dari jenisnya, maka ia terhitung kepada fardhunya. Hanya saja atasnya dam tawaf al-wada‘.


وَقَالَ أبو حنيفة: إِذَا أَخَّرَ طَوَافَ الزِّيَارَةِ عَنْ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ فَعَلَيْهِ دَمٌ؛ لِتَأْخِيرِهِ، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ وَقْتَهُ الْمَسْنُونَ يَوْمُ النَّحْرِ، ثُمَّ لَا يَلْزَمُهُ الدَّمُ بِتَأْخِيرِهِ إِلَى أَيَّامِ التَّشْرِيقِ، لِأَنَّهُ فِي كِلَا الْوَقْتَيْنِ مُسْقِطٌ لِغَرَضِ الطَّوَافِ بِفِعْلِهِ، وَلِأَنَّهُ رُكْنٌ أَخَّرَهُ عَنْ وَقْتِهِ الْمُخْتَارِ إِلَى وَقْتٍ يَسْقُطُ عَنْهُ الْفَرْضُ بِفِعْلِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ دَمٌ بِتَأْخِيرِهِ قِيَاسًا عَلَى تَأْخِيرِ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ من زمان النهار إلى زمان الليل.

Imam Abū Ḥanīfah berkata: Jika seseorang mengakhirkan ṭawāf az-ziyārah dari hari-hari tasyriq, maka wajib atasnya dam karena keterlambatannya.

Namun ini tidak benar; karena waktu masnūn (yang disunnahkan) untuk ṭawāf tersebut adalah hari Nahr, dan tidak wajib atasnya dam hanya karena mengakhirkannya hingga hari-hari tasyriq, karena pada kedua waktu tersebut ṭawāf tetap sah dan menggugurkan kewajiban dengan pelaksanaannya.

Dan karena ṭawāf itu merupakan rukun yang diakhirkan dari waktu yang utama ke waktu yang masih mencukupi untuk pelaksanaan kewajiban, maka tidak wajib dam atas keterlambatan tersebut, berbeda dengan analogi yang diberikan terhadap keterlambatan wuqūf di ‘Arafah dari waktu siang ke waktu malam.


مسألة: وَيُسْتَحَبُّ لَهُ إِذَا فَرَغَ مِنْ طَوَافِهِ أَنْ يَشْرَبَ مِنْ سِقَايَةِ الْعَبَّاسِ تَأَسِّيًا بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِرِوَايَةِ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَتَى سِقَايَةَ الْعَبَّاسِ بَعْدَ إِفَاضَةٍ فَشَرِبَ مِنْ شَرَابِهَا وَكَانَ طَاوُسٌ يَقُولُ: شَرِبَ ذَلِكَ بَعْدَ الِإِفَاضَةِ مَنْ تَمَامِ الْحَّجِ.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: فَإِنَّ تَرْكَهُ تَارِكٌ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ تَرَكَ مَحْبُوبًا لَا فَرْضًا، ثُمَّ يَدْخُلُ إِلَى زَمْزَمَ فَيَشْرَبُ مِنْهَا ثَلَاثَ جُرَعٍ وَيَغْسِلُ صَدْرَهُ وَوَجْهَهُ وَيَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ لِمَا رُوِيَ فِيهَا مِنَ الْأَخْبَارِ وَنُقِلَ مِنَ الْآثَارِ فَرَوَى أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” مَاءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ “.

Masalah:
 Disunnahkan baginya, setelah selesai melaksanakan thawaf, untuk meminum dari siqāyah (tempat air minum) milik al-‘Abbās, sebagai bentuk meneladani Rasulullah SAW — berdasarkan riwayat Ṭāwūs dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW datang ke siqāyah milik al-‘Abbās setelah ifāḍah, lalu beliau meminum dari airnya. Dan Ṭāwūs biasa berkata: “Beliau meminumnya setelah ifāḍah sebagai bagian dari penyempurnaan haji.”

Imam al-Syafi‘i berkata: Maka jika seseorang meninggalkannya, tidak mengapa baginya, karena ia meninggalkan sesuatu yang dicintai (dianjurkan), bukan yang diwajibkan.

Setelah itu, ia masuk ke tempat air Zamzam, lalu meminum darinya tiga tegukan, membasuh dadanya dan wajahnya, serta menyiramkannya ke atas kepalanya — berdasarkan riwayat-riwayat dan atsar-atsar yang sampai kepada kita tentang keutamaan air tersebut.

Diriwayatkan oleh Abū az-Zubayr dari Jābir bahwa Rasulullah SAW bersabda:
 “Mā’ Zamzam itu tergantung pada niat saat meminumnya.”


قَالَ مُجَاهِدٌ: مَعْنَاهُ أَنَّهُ إِنْ شَرِبْتَهُ تُرِيدُ بِهِ الشِّفَاءَ شفاك الله، وإن شربته للظماء أَرْقَاكَ اللَّهُ، وَإِنْ شَرِبْتَهُ لِجُوعٍ أَشْبَعَكَ اللَّهُ وهي هزمة جبريل والهزمة العمرة بِالْعَقِبِ فِي الْأَرْضِ.
وَرَوَى حُمَيْدُ بْنُ هِلَالٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: مَا كَانَ لَنَا طَعَامٌ إِلَّا مَاءَ زَمْزَمَ فَسَمِنْتُ حَتَّى تَكَسَّرَتْ عُكَنُ بَطْنِي، وَمَا وَجَدْتُ عَلَى كَبِدِي سَخُفَةَ جوعٍ، فَقَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ إِنَهَا طَعَامُ طُعْمٍ، وَشِفَاءُ سُقْمٍ “.

Mujāhid berkata: Maknanya adalah — jika engkau meminumnya dengan niat meminta kesembuhan, maka Allah akan menyembuhkanmu; jika engkau meminumnya karena kehausan, maka Allah akan menghilangkan dahagamu; dan jika engkau meminumnya karena lapar, maka Allah akan memberimu kenyang. Air itu adalah bekas hentakan Jibrīl, dan hentakan itu berupa hentakan tumit di tanah.

Dan diriwayatkan oleh Ḥumayd bin Hilāl dari Abū Dharr, ia berkata: “Kami tidak memiliki makanan selain air Zamzam, maka aku menjadi gemuk sampai lipatan perutku berjatuhan, dan aku tidak merasakan sedikit pun lapar di hatiku.” Maka Rasulullah SAW bersabda:
 “Sesungguhnya ia diberkahi. Sesungguhnya ia adalah makanan yang mengenyangkan, dan obat bagi penyakit.”


وَرَوَى خَالِدُ بْنُ كَيْسَانَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْمُتَضَلِّعُ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ بَرَاءَةٌ مَنَ النِّفَاقِ ” وَرُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ أَنَّهُ قَالَ: ” خَيْرُ بِئْرٍ فِي الْأَرْضِ بِئْرُ زَمْزَمَ وَشَرُّ بِئْرٍ مِنَ الْأَرْضِ بِئْرٌ بِحَضْرَمَوْتَ ” فَقَالَ: ” إِنَّ فِيهَا أَرْوَاحَ الْكَافِرِينَ “.
وَرَوَى عَطَاءٌ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: صَلُّوا فِي مُصَلَّى الْأَخْيَارِ، وَاشْرَبُوا شَرَابَ الْأَبْرَارِ، قِيلَ: وَمَا مُصَلَى الْأَخْيَارِ، فَقَالَ: تَحْتَ الْمِيزَابِ، قِيلَ: وَمَا شَرَابُ الْأَبْرَارِ، قَالَ: زَمْزَمَ، وَيُخْتَارُ إِذَا شَرِبَ مِنْهَا أَنْ يَقُولَ مَا رَوَاهُ ابْنُ جُرَيْجٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: إِذَا شَرِبْتَ مَاءَ زَمْزَمَ فَاسْتَقْبِلِ الْبَيْتَ، وَقُلِ اللَّهُمَّ إني أسألك علماً نافاً وَرِزْقًا وَاسِعًا وَشِفَاءً مِنْ كُلِّ دَاءٍ.

Diriwayatkan dari Khālid bin Kaysān dari Ibn ‘Abbās, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang mutadhalli‘ dari air Zamzam adalah terbebas dari kemunafikan.”

Dan diriwayatkan dari ‘Alī bahwa ia berkata: “Sebaik-baik sumur di bumi adalah sumur Zamzam, dan seburuk-buruk sumur dari bumi adalah sumur di Ḥaḍramaut.” Ia berkata: “Sesungguhnya di dalamnya terdapat ruh-ruh orang kafir.”

Dan ‘Aṭā’ meriwayatkan dari Ibn ‘Abbās, ia berkata: “Salatlah di tempat salat orang-orang pilihan, dan minumlah minuman orang-orang baik.” Dikatakan: “Apa itu tempat salat orang-orang pilihan?” Ia menjawab: “Di bawah mizāb.” Dikatakan: “Apa itu minuman orang-orang baik?” Ia menjawab: “Zamzam.”

Dan dianjurkan ketika meminumnya untuk mengucapkan sebagaimana yang diriwayatkan Ibn Juraij dari Ibn ‘Abbās, ia berkata: “Jika engkau meminum air Zamzam, maka hadapkanlah ke arah Ka‘bah, dan ucapkanlah: Allāhumma innī as’aluka ‘ilman nāfi‘an, wa rizqan wāsi‘an, wa shifā’an min kulli dā’in.”


مَسْأَلَةٌ: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ثَمَّ يَرْمِي أَيَّامَ مِنًى الثَّلَاثَةَ فِي كُلِّ يَوْمٍ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ الْجَمْرَةَ الْأَوْلَى بِسَبْعِ حصياتٍ وَالثَّانِيَةَ بسبعٍ وَالثَّالِثَةَ بسبعٍ “.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيمَا يَفْعَلُهُ الْحَاجُّ يَوْمَ النَّحْرِ وَإِنَّ آخَرَ مَا يَفْعَلُهُ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَقَدْ حَلَّ إِحْلَالَهُ الثَّانِيَ مِنْ حَجِّهِ إِلَى الرَّمْيِ فِي أَيَّامِ مِنًى الثَّلَاثَةِ وَالْمَبِيتِ بِهَا فَيَرْمِي فِي أَيَّامِ مِنًى الثَّلَاثَةِ وَهِيَ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ فِي كُلِّ يَوْمٍ إِحْدَى وَعِشْرِينَ حَصَاةً فِي الْجَمَرَاتِ الثَّلَاثَةِ فِي كُلِّ جَمْرَةٍ سَبْعُ حَصَيَاتٍ فَإِنَّ ذَلِكَ نُسُكٌ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ وَاجِبٌ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ هِيَ الْحَادِيَ عشر والثاني عشر والثالث عشر في تَسْمِيَتِهَا بِذَلِكَ تَأْوِيلَانِ:

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
 “Kemudian ia melempar pada hari-hari Mina yang tiga, pada setiap harinya — setelah matahari tergelincir — (ia melempar) jumrah pertama dengan tujuh kerikil, lalu yang kedua dengan tujuh, dan yang ketiga juga dengan tujuh.”

Al-Māwardī berkata: Telah dijelaskan sebelumnya apa saja yang dilakukan oleh jamaah haji pada hari Nahr, dan sesungguhnya amalan terakhir yang dilakukan adalah ṭawāf di Baitullah, dan ia telah menyempurnakan iḥlāl keduanya dari haji, lalu kembali kepada lempar jumrah pada tiga hari di Mina serta bermalam di sana.

Maka ia melempar pada tiga hari Mina, yaitu hari-hari tasyriq, setiap hari dengan dua puluh satu kerikil pada tiga jumrah — pada setiap jumrah tujuh kerikil. Maka hal ini adalah bagian dari nusuk pada hari-hari tasyriq yang hukumnya wājib.

Adapun hari-hari tasyriq adalah tanggal sebelas, dua belas, dan tiga belas Dzulhijjah.

Dan penamaan hari-hari ini sebagai tasyriq memiliki dua tafsiran:


أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِإِشْرَاقِهَا نَهَارًا بِنُورِ الشَّمْسِ وَإِشْرَاقِهَا لَيْلًا بِنُورِ الْقَمَرِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّ النَّاسَ يُشَرِّقُونَ اللَّحْمَ فِيهَا فِي الشَّمْسِ. قَالَ الْأَخْطَلُ:
(وبالهدايا إِذَا احْمَرَّتْ مَدَارِعُهَا … فِي يَوْمِ ذَبْحٍ وَتَشْرِيقٍ وَتَنْحَارِ)
وَقَدْ سُمِّيَ الْيَوْمُ الْأَوَّلُ مِنْهَا وَهُوَ الْحَادِيَ عَشَرَ يَوْمَ الْقَرِّ وَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ قُرْطٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ أَفْضَلُ الْأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ. قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: هُوَ الْغَدُ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ وَإِنَّمَا سُمِّيَ يَوْمَ الْقَرِّ؛ لِأَنَّ أَهْلَ الْمَوْسِمِ يَوْمَ التَّرْوِيَةِ وَيَوْمَ عَرَفَةَ وَيَوْمَ النَّحْرِ فِي تَعَبٍ مِنَ الْحَجِّ فَإِذَا كَانَ الْغَدُ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ قَرُّوا بِمِنًى فَلِهَذَا سُمِّيَ يَوْمَ الْقَرِّ وَيُسَمَّى الْيَوْمُ الثَّانِي مِنْ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ يَوْمَ النقر الْأَوَّلِ وَيُسَمَّى الْيَوْمُ الثَّالِثُ يَوْمَ الْخَلَاءِ لِأَنَّ منى تخلوا فِيهِ مِنْ أَهْلِهَا.

Pertama: dinamakan demikian karena ia bersinar di siang hari dengan cahaya matahari, dan bersinar di malam hari dengan cahaya bulan.

Kedua: dinamakan demikian karena manusia meng-tashrīq daging padanya di bawah sinar matahari. Al-Akhtal berkata:
 (wabial-hadāyā idzā iḥmarrat madāri‘uhā… fī yaumi dzabḥin wa tashrīqin wa tanḥārin)

Hari pertama dari hari-hari tersebut, yaitu tanggal sebelas, dinamakan Yawm al-Qarr. Diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Qurṭ bahwa Nabi SAW bersabda: “Hari yang paling utama di sisi Allah Ta‘ala adalah hari nahr, kemudian hari qarr.”

Abū ‘Ubayd berkata: Itu adalah hari esok dari hari nahr. Ia dinamakan Yawm al-Qarr karena para jamaah haji pada hari tarwiyah, hari ‘Arafah, dan hari nahr berada dalam kelelahan ibadah haji. Maka ketika esoknya dari hari nahr mereka tinggal menetap di Mina, maka dinamakan Yawm al-Qarr.

Hari kedua dari hari-hari tashrīq dinamakan Yawm al-Naqr al-Awwal, dan hari ketiga dinamakan Yawm al-Khalā’, karena Mina menjadi kosong dari para penghuninya pada hari itu.

فَصْلٌ
: فَإِذَا فَرَغَ يَوْمَ النَّحْرِ مِنْ طَوَافِهِ عَادَ إِلَى مِنًى فَبَاتَ بِهَا فَإِذَا كَانَ مِنَ الْغَدِ وَهُوَ يَوْمُ الْقَرِّ أَوَّلُ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ رَمَى مِنَ الْجَمَرَاتِ الثَّلَاثِ بِإِحْدَى وَعِشْرِينَ حَصَاةً فِي كُلِّ جَمْرَةٍ مِنْهَا بِسَبْعٍ، وَوَقْتُ الرَّمْيِ فِي هَذِهِ الْأَيَّامِ الثَّلَاثَةِ بَعْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ فَإِنْ رَمَى قَبْلَهُ لَمْ يُجْزِهِ.
وَقَالَ طَاوُسٌ وَعِكْرِمَةُ يَجُوزُ أَنْ يَرْمِيَ قَبْلَ الزَّوَالِ كَيَوْمِ النَّحْرِ.

PASAL
 Apabila telah selesai dari ṭawāf pada hari nāḥr, maka kembali ke Mina dan bermalam di sana. Ketika tiba keesokan harinya, yaitu yaum al-qarr yang merupakan hari pertama dari hari-hari tasyriq, maka ia melempar tiga jamrah sebanyak dua puluh satu kerikil, masing-masing jamrah dilempar dengan tujuh kerikil. Waktu melempar pada tiga hari ini adalah setelah tergelincirnya matahari. Jika ia melempar sebelum tergelincir matahari, maka tidak sah.

Ṭāwūs dan ‘Ikrimah berpendapat: Boleh melempar sebelum tergelincirnya matahari seperti pada hari nāḥr.


وَقَالَ أبو حنيفة لَا يُجْزِئُهُ فِي الْيَوْمَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ إِلَّا بَعْدَ الزَّوَالِ وَيُجْزِئُهُ فِي الْيَوْمِ الثَّالِثِ قَبْلَ الزَّوَالِ اسْتِحْبَابًا لَا قِيَاسًا وَدَلِيلُنَا مَا رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ بِمِنًى لَيَالِيَ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ فَكَانَ يَرْمِي بَعْدَ الزَّوَالِ فِي كُلِّ جَمْرَةِ سَبْعَ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حَصَاةٍ وَيَقِفُ بَعْدَ الْجَمْرَةِ الْأُولَى وَالثَّانِيَةِ طَوِيلًا وَيَدْعُو وَيَتَضَرَّعُ وَيَرْمِي الثَّالِثَةَ وَلَا يَقِفُ وَرَوَى أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَمَى جَمْرَةَ يَوْمِ النَّحْرِ ضُحًى وَسَائِرُ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ بَعْدَ مَا زَالَتِ الشَّمْسُ.

Dan Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak sah (melempar jumrah) pada dua hari pertama kecuali setelah tergelincir matahari, dan sah pada hari ketiga sebelum tergelincir matahari sebagai anjuran, bukan sebagai qiyās.” Dalil kami adalah riwayat dari ‘Āisyah RA bahwa Nabi SAW berada di Mina pada malam-malam ayyām at-tasyrīq, maka beliau melempar setelah tergelincir matahari, pada setiap jumrah tujuh batu kerikil, bertakbir pada setiap lemparan, dan berhenti setelah jumrah pertama dan kedua dengan lama, berdoa dan merendahkan diri, dan beliau melempar jumrah ketiga tanpa berhenti.

Dan Abū az-Zubayr meriwayatkan dari Jābir bahwa Nabi SAW melempar jumrah pada hari an-naḥr di waktu duha, dan pada seluruh hari at-tasyrīq setelah tergelincir matahari.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ وَقْتَ الرَّمْيِ بَعْدَ الزَّوَالِ وَأَنَّ مَا قَبْلَهُ لَا يُجْزِئُهُ فَتَرْتِيبُ الْجَمَرَاتِ وَاجِبٌ يَبْدَأُ بِالْجَمْرَةِ الْأُولَى الَّتِي عَلَى مُزْدَلِفَةَ وَمَسْجِدِ الْخَيْفِ وَهِيَ الْقُصْوَى مِنْ مَكَّةَ ثُمَّ الَّتِي تليها وهي الوسطى ثم جمرة العقبة هي الدُّنْيَا إِلَى مَكَّةَ وَحُكِيَ عَنْ عَطَاءٍ وَالْحَسَنِ أَنَّ تَرْتِيبَ الْجَمَرَاتِ لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَبِأَيِّهِمَا بَدَأَ أَجْزَأَهُ وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة.

والدلالة عليهم حديث عائشة المتقدم، وَلِأَنَّهُ نُسُكٌ يَتَكَرَّرُ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ ابْتِدَاؤُهُ مُعَيَّنًا كَالطَّوَافِ.

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa waktu melempar adalah setelah tergelincirnya matahari dan bahwa melempar sebelumnya tidak sah, maka tertib dalam melempar jamrah adalah wajib. Dimulai dengan jamrah pertama yang berada dekat Muzdalifah dan Masjid al-Khaif — yakni jamrah yang paling jauh dari Makkah — kemudian yang setelahnya, yaitu jamrah tengah, lalu jamrah ‘aqabah, yaitu jamrah yang paling dekat dengan Makkah.

Diriwayatkan dari ‘Aṭā’ dan al-Ḥasan bahwa tertib dalam melempar jamrah tidaklah wajib, dan dengan memulai dari yang mana pun, tetap sah, dan ini pula pendapat Abū Ḥanīfah.

Dalil atas pendapat yang mewajibkan tertib adalah hadis ‘Ā’isyah yang telah disebutkan sebelumnya, dan karena melempar jamrah adalah nusuk yang berulang, maka wajib untuk memulainya secara tertentu sebagaimana ṭawāf.


فَأَمَّا صِفَةُ الرَّمْيِ فَهُوَ أَنْ يَبْدَأَ بِالْجَمْرَةِ الْأُولَى، فَيَعْلُوهَا عُلُوًّا وَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ وَيُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حَصَاةٍ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ حتى يرى مَا تَحْتَ إِبِطَيْهِ ثُمَّ يَتَقَدَّمُ عَلَيْهَا فَيَجْعَلُهَا في قفاه ويقف في الموضع الَّذِي لَا يَنَالُهُ مَا تَطَايَرَ مِنَ الْحَصَى ثُمَّ يَقِفُ مُسْتَقْبِلًا لِلْقِبْلَةِ وَيَدْعُو اللَّهَ تَعَالَى بِقَدْرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ هَكَذَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: ” أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَعَلَ ” ثُمَّ يَأْتِي بِالْجَمْرَةِ الْوُسْطَى وَهِيَ الثَّانِيَةُ فيعلوها علواً يرميها بسبع حصيات ويضع كَمَا صَنَعَ فِي الْجَمْرَةِ الْأُولَى، ثُمَّ يَأْتِي جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ وَهِيَ الثَّالِثَةُ فَيَرْمِيهَا مِنْ بَطْنِ الْوَادِي بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ وَلَا يَعْلُوهَا كَمَا فِي الجمرتين قبلها لأنها على أكمه لَا يُمْكِنُهُ غَيْرُ ذَلِكَ.

Adapun tata cara melempar jumrah adalah memulai dengan jumrah yang pertama. Maka ia menaikinya hingga agak tinggi, lalu melemparnya dengan tujuh batu kerikil, bertakbir pada setiap lemparan, dan mengangkat kedua tangannya hingga terlihat bagian bawah kedua ketiaknya. Kemudian ia maju hingga menjadikannya di belakangnya dan berdiri di tempat yang tidak terkena percikan batu yang beterbangan, lalu berdiri menghadap kiblat dan berdoa kepada Allah Ta‘ālā sepanjang bacaan surah al-Baqarah — demikianlah yang diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās bahwa Nabi SAW melakukan hal tersebut.

Kemudian ia mendatangi jumrah tengah, yaitu jumrah kedua, lalu menaikinya dan melemparnya dengan tujuh batu kerikil, serta melakukan sebagaimana yang dilakukan pada jumrah pertama. Lalu ia mendatangi jumrah al-‘Aqabah, yaitu yang ketiga, lalu melemparnya dari bagian lembah dengan tujuh batu kerikil dan tidak menaikinya seperti dua jumrah sebelumnya, karena letaknya berada di puncak bukit yang tidak memungkinkan untuk selain itu.


وَقَالَ مَالِكٌ يَرْمِي الْجَمَرَاتِ كُلَّهَا مِنْ أَسْفَلِهَا وَمَا ذَكَرْنَاهُ أَوْلَى لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَعَلَهُ ثُمَّ السَّلَفُ بَعْدَهُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ بَعْدَ رَمْيِ جَمْرَةِ الْعَقَبَةِ وَلَا يَصْنَعُ عِنْدَهَا كَمَا صَنَعَ عِنْدَ الْجَمْرَتَيْنِ مِنْ قَبْلُ، ثُمَّ يُصَلِّي الظُّهْرَ بَعْدَ رَمْيِهِ فَإِنْ رَمَى بَعْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ أَجْزَأَهُ وَكَذَا لَوْ تَرَكَ الذِّكْرَ وَالدُّعَاءَ لَمْ يَفْتَدِ ثُمَّ يَرْمِي فِي الْيَوْمِ الثَّانِي وَالثَّالِثِ كَذَلِكَ فِي الْجَمَرَاتِ الثَّلَاثِ وَاخْتَلَفَ النَّاسُ فِي تَسْمِيَتِهَا جَمْرَةً فَقَالَ قَوْمٌ إِنَّمَا سُمِّيَتْ جَمْرَةً لِاجْتِمَاعِ النَّاسِ بِهَا وَمِنْهُ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ نَهَى عَنِ التَّجْمِيرِ يَعْنِي: اجْتِمَاعَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فِي الْغَرَوَاتِ وَقَالَ آخَرُونَ: سُمِّيَتْ بِذَلِكَ؛ لِأَنَّ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، لَمَّا عَرَضَ لَهُ إِبْلِيسُ هُنَاكَ فَحَصَّهُ جَمَرَ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ أَيْ: أَسْرَعَ وَالْإِجْمَارُ الْإِسْرَاعُ.
وَقَالَ آخَرُونَ: سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّهَا تَجْمُرُ بِالْحَصَى وَالْعَرَبُ تُسَمِّي الْحَصَى الصغار جماراً.

PASAL
 Mālik berkata: Melempar seluruh jamrah dilakukan dari bagian bawahnya. Dan pendapat yang telah kami sebutkan lebih utama, karena Rasulullah SAW melakukannya, kemudian para salaf setelah beliau.

Setelah melempar jamrah ‘aqabah, maka ia beranjak pergi dan tidak melakukan sebagaimana yang dilakukan pada dua jamrah sebelumnya — yaitu berdiam, berzikir, dan berdoa.

Kemudian ia salat ẓuhr setelah melempar. Jika ia melempar setelah salat ẓuhr, tetap sah. Demikian pula jika ia meninggalkan zikir dan doa, maka tidak wajib membayar fidyah.

Kemudian ia melempar pada hari kedua dan ketiga dengan cara yang sama pada tiga jamrah.

Orang-orang berbeda pendapat dalam penamaan jamrah. Sebagian mereka berkata: Dinamakan jamrah karena orang-orang berkumpul di sana. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau melarang at-tajmīr, maksudnya: bercampurnya laki-laki dan perempuan di waktu malam.

Sebagian lain berkata: Dinamakan demikian karena Ibrāhīm AS, ketika digoda oleh Iblis di tempat itu, maka ia melemparnya dengan cepat (jamara) dari hadapannya, yakni: ia mempercepat lemparannya, dan al-ijmār berarti mempercepat.

Yang lain lagi berkata: Dinamakan jamrah karena ia dilempari dengan batu-batu kecil, dan bangsa Arab menyebut batu kecil dengan jumār.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ رَمَى بِحَصَاتَيْنِ أَوْ ثلاثٍ فِي مرةٍ واحدةٍ فهن كواحدةٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الْمَقْصُودُ مِنْ رَمْيِ الْجِمَارِ شَيْئَانِ أَعْدَادُ الْحَصَى وَأَعْدَادُ الرَّمْيِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَرْمِيَ بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ فِي سَبْعِ مَرَّاتٍ فَإِنْ رَمَى بِهِنَّ دَفْعَةً وَاحِدَةً قَامَ مَقَامَ حَصَاةٍ وَاحِدَةٍ وَلَمْ يُجْزِهِ عَنِ السَّبْعِ.
وَقَالَ أبو حنيفة: الِاعْتِبَارُ بِأَعْدَادِ الْحَصَى فَإِنْ رَمَى بِالسَّبْعِ دَفْعَةً وَاحِدَةً أَجْزَأَهُ وَقَالَ عَطَاءٌ: الْمَقْصُودُ أَعْدَادُ التَّكْبِيرِ وَالْحَصَى دُونَ الرَّمْيِ فَإِذَا رَمَى بِالسَّبْعِ دَفْعَةً أَجْزَأَهُ إِذَا كَبَّرَ سَبْعًا وَإِنْ لَمْ يُكَبِّرْ سَبْعًا لَمْ يُجْزِهِ.

Masalah: Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang melempar dua atau tiga kerikil dalam satu lemparan, maka hukumnya seperti satu kerikil saja.”

Al-Mawardi berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan (oleh Imam al-Syafi‘i), karena tujuan dari melempar jumrah ada dua: jumlah kerikil dan jumlah lemparan. Maka wajib baginya untuk melempar tujuh kerikil dalam tujuh kali lemparan. Jika ia melemparkan semuanya sekaligus dalam satu kali lemparan, maka itu dianggap satu kerikil saja dan tidak mencukupi dari tujuh.

Abu Hanifah berkata: Yang diperhitungkan adalah jumlah kerikil. Jika seseorang melempar tujuh kerikil sekaligus dalam satu kali lemparan, maka itu mencukupi.

‘Aṭā’ berkata: Yang dimaksud adalah jumlah takbir dan jumlah kerikil, bukan jumlah lemparan. Maka jika seseorang melempar tujuh kerikil sekaligus dan mengucapkan takbir tujuh kali, itu mencukupi. Jika tidak bertakbir tujuh kali, maka tidak mencukupi.


والدلالة عَلَيْهَا رِوَايَةُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَرْمِي فِي كُلِّ جمرةٍ بِسَبْعِ حصياتٍ يُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حصاةٍ ” وَكَانَ تَكْبِيرُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَعَ كُلِّ حَصَاةٍ دَلِيلًا عَلَى أَنَّهُ رَمَى حَصَاةً بَعْدَ حَصَاةٍ فَبَطَلَ بِهَذَا قَوْلُ أبي حنيفة وَعَطَاءٍ، فَإِنْ قِيلَ الرَّمْيُ كَالْحَدِّ فِي اعْتِبَارِ الْعَدَدِ ثُمَّ لَوْ ضُرِبَ بِمِائَةِ سَوْطٍ دَفْعَةً وَاحِدَةً كَانَ كَضَرْبِهِ مِائَةَ سَوْطٍ فَيَجِبُ أَنْ يَكُونَ رَمْيُهُ بِالسَّبْعِ فِي دَفْعَةٍ وَاحِدَةٍ كرميه سبع حَصَيَاتٍ قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْحَدَّ عِبَادَةٌ وجبت على المحدود. قد وصل إلى بدنه ضرب مائة فكان وصول مائة سوط دفعة واحدة كوصول الصوت الْوَاحِدِ مِائَةَ دَفْعَةٍ، لِأَنَّهُ قَدْ وَصَلَ إِلَى بَدَنِهِ ضَرْبُ مِائَةٍ وَالرَّمْيُ عِبَادَةٌ عَلَى الرَّامِي وَلَيْسَ رَمْيُهُ بِالسَّبْعِ دَفْعَةً وَاحِدَةً كَرَمْيِهِ بِسَبْعِ دَفْعَاتٍ، لِأَنَّهُ لَمْ يُوجَدْ مِنْهُ سَبْعُ رَمْيَاتٍ.

Dalil atas hal ini adalah riwayat dari ‘Ā’isyah RA bahwa Nabi SAW melempar pada setiap jamrah dengan tujuh kerikil, dan beliau bertakbir pada setiap lemparan.

Takbir Nabi SAW pada setiap kerikil menunjukkan bahwa beliau melempar satu per satu, maka dengan ini batallah pendapat Abū Ḥanīfah dan ‘Aṭā’.

Jika dikatakan: Melempar itu seperti ḥadd dalam hal memperhatikan jumlah. Andaikan seseorang dipukul seratus cambukan sekaligus, maka hal itu dianggap seperti memukulnya seratus kali — maka seharusnya melempar tujuh kerikil sekaligus sama seperti melempar tujuh kali.

Dijawab: Perbedaannya adalah bahwa ḥadd adalah ibadah yang wajib atas orang yang dikenai hukuman, dan apabila telah sampai ke tubuhnya seratus pukulan, baik sekaligus atau terpisah, maka telah terpenuhi kewajiban pukulan seratus, karena telah sampai ke tubuhnya seratus kali pukulan.

Sedangkan ramy adalah ibadah yang wajib atas orang yang melempar. Dan melempar tujuh kerikil sekaligus tidak sama dengan melempar tujuh kali, karena tidak terjadi darinya tujuh lemparan.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ أَعْدَادَ الرَّمْيِ مَقْصُودٌ وَأَنَّ تَرْتِيبَ الْجَمَرَاتِ وَاجِبٌ فَرَمَى فِي الْجَمْرَةِ الْأُولَى بِالسَّبْعِ دَفْعَةً وَاحِدَةً وَرَمَى فِي الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ حَصَاةً بَعْدَ حَصَاةٍ كَانَ رَمْيُهُ بِالسَّبْعِ فِي الْجَمْرَةِ الْأُولَى كَرَمْيِهِ بِحَصَاةٍ وَاحِدَةٍ فَيُكْمِلُ رَمْيَ الْأُولَى بِسِتِّ حَصَيَاتٍ لِيُكْمِلَ سَبْعًا وَيَسْتَأْنِفَ رَمْيَ الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ لِيَكُونَ مُرَتَّبًا وَلَوْ رَمَى في الأولى سبع مرات وَرَمَى فِي الثَّانِيَةِ مَرَّةً وَاحِدَةً بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ اعْتَدَّ بِرَمْيِ الْجَمْرَةِ الْأُولَى وَبِحَصَاةٍ مِنَ الثَّانِيَةِ وَكَمَّلَهَا سَبْعًا بِسِتِّ رَمْيَاتٍ وَاسْتَأْنَفَ رَمْيَ الثَّالِثَةِ وَلَوْ رَمَى فِي الْأُولَى سَبْعَ مَرَّاتٍ وَفِي الثَّانِيَةِ سَبْعَ مَرَّاتٍ وَفِي الثَّالِثَةِ مَرَّةً وَاحِدَةً بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ اعْتَدَّ بِالْأُولَى وَالثَّانِيَةِ وَحَصَاةٍ مِنَ الثَّالِثَةِ وَكَمَّلَهَا سَبْعًا بِسِتِّ رَمْيَاتٍ فَلَوْ عَلِمَ أَنَّهُ قَدْ رَمَى فِي أَحَدِ الْجَمَرَاتِ بِالسَّبْعِ دَفْعَةً وَلَيْسَ يُعَرِّفُهَا حَسَبَهَا الْأُولَى تَغْلِيظًا وَكَمَّلَ رَمْيَهَا وَاسْتَأْنَفَ الثَّانِيَةَ وَالثَّالِثَةَ وَعَادَ فَرَمَى حَصَاةً مِنْ تِلْكَ الْجَمْرَةِ لِيُكْمِلَ سَبْعًا وَاسْتَأْنَفَ مَا يليها.

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa jumlah lemparan itu adalah sesuatu yang dimaksud, dan bahwa tertib (urutan) jumrah adalah wajib, maka jika seseorang melempar jumrah pertama dengan tujuh kerikil sekaligus dalam satu kali lemparan, lalu melempar jumrah kedua dan ketiga dengan satu per satu kerikil, maka lemparannya yang tujuh sekaligus pada jumrah pertama dihitung seperti satu kerikil saja. Maka ia harus menyempurnakan lemparan jumrah pertama dengan enam kerikil lagi agar genap tujuh, dan memulai ulang lemparan pada jumrah kedua dan ketiga agar tertib.

Dan jika ia melempar pada jumrah pertama dengan tujuh kali lemparan, lalu melempar pada jumrah kedua sekali saja dengan tujuh kerikil sekaligus, maka ia cukup menghitung lemparan pada jumrah pertama, dan satu kerikil saja dari jumrah kedua, lalu ia menyempurnakan jumrah kedua menjadi tujuh dengan enam lemparan lagi, dan memulai ulang lemparan jumrah ketiga.

Jika ia melempar pada jumrah pertama tujuh kali, dan pada jumrah kedua juga tujuh kali, kemudian pada jumrah ketiga sekali saja dengan tujuh kerikil sekaligus, maka ia cukup menghitung lemparan pada jumrah pertama dan kedua, serta satu kerikil dari jumrah ketiga, dan menyempurnakan jumrah ketiga dengan enam lemparan lagi.

Jika ia mengetahui bahwa ia telah melempar salah satu jumrah dengan tujuh kerikil sekaligus, tetapi ia tidak mengetahui jumrah mana yang dimaksud, maka ia anggap saja itu adalah jumrah pertama sebagai bentuk taghliyzh (kehati-hatian), lalu ia menyempurnakan lemparan jumrah tersebut dan mengulang lemparan untuk jumrah kedua dan ketiga. Dan ia kembali melempar satu kerikil dari jumrah yang telah dilempar tujuh sekaligus itu agar menjadi tujuh kali, lalu mengulang lemparan untuk yang sesudahnya.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ نَسِيَ مِنَ الْيَوْمِ الْأُوَلِ شَيْئًا مِنَ الرَّمْيِ رَمَاهُ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي وَمَا نَسِيَهُ فِي الثَّانِي رَمَاهُ فِي الثَالِثِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ مَا تَرَكَهُ مِنْ رَمْيِ أَيَّامِ مِنًى ثُمَّ ذَكَرَهُ مِنْ بَعْدُ لَمْ يحل حَالُهُ فِيهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ تنقضي أيام منى أو لا تنقضي فإذا انْقَضَتْ أَيَّامُ مِنًى لَمْ يَقْضِ رَمْيَ مَا تَرَكَهُ لَا يَخْتَلِفُ وَوَجَبَتْ عَلَيْهِ الْفِدْيَةُ سَوَاءٌ تركه عامداً أو ناسياً، لأن المناسك الموقتة لَا تُقْضَى بَعْدَ فَوَاتِ أَوْقَاتِهَا كَتَرْكِ الْمَبِيتِ بِمُزْدَلِفَةَ وَلَيَالِي مِنًى لَا تُقْضَى بَعْدَ فَوَاتِهَا وَإِنْ لَمْ يَنْقَضِ أَيَّامُ مِنًى كَأَنَّهُ تَرَكَ الْيَوْمَ الْأَوَّلَ وَالثَّانِيَ وَهُوَ بَعْدُ فِي الْيَوْمِ الثَّالِثِ فَهَلْ يَقْضِي فِي الْيَوْمِ الثَّالِثِ مَا تَرَكَ مِنْ رَمْيِ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ وَالثَّانِي؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Masalah:
 Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:
 “Jika ia lupa melempar sebagian ramy pada hari pertama, maka ia boleh melemparnya pada hari kedua. Dan apa yang ia lupakan pada hari kedua, maka ia boleh melemparnya pada hari ketiga.”

Al-Māwardī berkata:
 Keseluruhan permasalahan ini adalah bahwa apa saja yang ditinggalkan dari lemparan pada hari-hari Mina, lalu ia ingat setelahnya, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

Pertama, hari-hari Mina telah berlalu.
 Kedua, belum berlalu.

Apabila hari-hari Mina telah berlalu, maka ia tidak bisa meng-qadha (mengganti) lemparan yang ditinggalkannya, tanpa ada perbedaan pendapat. Maka wajib baginya membayar fidyah, baik ia meninggalkannya dengan sengaja maupun karena lupa. Sebab manāsik yang terikat waktu tidak bisa di-qadha setelah lewat waktunya, sebagaimana mabit di Muzdalifah dan malam-malam di Mina tidak bisa di-qadha setelah lewat waktunya.

Namun jika hari-hari Mina belum berlalu — misalnya ia meninggalkan lemparan hari pertama dan kedua, dan kini berada pada hari ketiga — maka apakah ia boleh meng-qadha lemparan hari pertama dan kedua pada hari ketiga? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ وَأَحَدُ قَوْلَيْهِ فِي الْإِمْلَاءِ إِنَّهُ يَقْضِي فِي الْيَوْمِ الثَّالِثِ مَا تَرَكَ مِنْ رَمْيِ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ.
وَالثَّانِي: وَتَكُونُ أَيَّامُ مِنًى كُلُّهَا زَمَانًا لِلرَّمْيِ لَا يَفُوتُ الرَّمْيُ فِيهَا إِلَّا بِخُرُوجِ جَمِيعِهَا، لِأَنَّ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَخَّصَ لِرُعَاةِ الْإِبِلِ وَأَهَّلِ سِقَايَةِ الْعَبَّاسِ أَنْ يَدَعُوا رَمْيَ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ وَيَقْضُوهُ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي، فَعُلِمَ أَنَّ حُكْمَ جَمِيعِهَا وَاحِدٌ وَأَنَّهَا زَمَانٌ لِلرَّمْيِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ جَمِيعُ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ وَقْتًا لِنَحْرِ الْأَضَاحِيِّ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ جَمِيعُهَا وَقْتًا لِرَمْيِ الْجِمَارِ وَهُوَ الْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ أَحَدُ قَوْلَيْهِ فِي الْإِمْلَاءِ لَا يَقْضِي وَيَكُونُ لِكُلِّ يَوْمٍ حُكْمُ نَفْسِهِ بِفَوْتِ الرَّمْيِ فِيهِ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْهُ.

Pertama: Ini adalah pendapatnya dalam qaul qadīm dan qaul jadīd, serta salah satu dari dua pendapatnya dalam kitab al-Imlā’, bahwa seseorang boleh mengqadha lemparan yang ditinggalkan pada hari pertama, pada hari ketiga.

Kedua: Bahwa seluruh hari-hari Mina adalah waktu untuk melempar, dan lemparan tidak dianggap luput kecuali dengan berlalunya seluruh hari-hari tersebut. Karena Nabi SAW memberi keringanan kepada para penggembala unta dan para petugas penyedia air dari keluarga al-‘Abbās untuk meninggalkan lemparan hari pertama dan menggantinya pada hari kedua. Maka diketahui bahwa hukum seluruh hari-hari itu satu, dan semuanya adalah waktu untuk melempar. Dan karena semua hari-hari tasyriq adalah waktu untuk menyembelih kurban, maka wajib bahwa semuanya juga merupakan waktu untuk melempar jumrah.

Dan ini adalah pendapat kedua, yakni salah satu dari dua pendapatnya dalam al-Imlā’, bahwa tidak boleh mengqadha (setelah lewat hari-harinya), dan bahwa setiap hari memiliki hukum tersendiri, sehingga lemparan dianggap luput dengan terbenamnya matahari hari itu.


وَوَجْهُ هَذَا الْقَوْلِ أَنَّ الرَّمْيَ فِي أَيَّامِ مِنًى مُؤَقَّتٌ فَلَوْ كَانَ جَمِيعُهَا وَقْتًا لِرَمْيِ الْأَيَّامِ كُلِّهَا لَجَازَ لَهُ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ أَنْ يَرْمِيَ عَنْ جَمِيعِ الْأَيَّامِ لِأَنَّهُ وَقْتٌ لَهَا وَلَمَّا لَمْ يَكُنِ الْيَوْمُ الْأَوَّلُ وَقْتًا لِرَمْيِ جَمِيعِهَا إِجْمَاعًا لَمْ يَكُنِ الْيَوْمُ الْأَخِيرُ وَقْتًا لِرَمْيِ جَمِيعِهَا حُجَّاجًا وَلَيْسَ تَرْكُ ذَلِكَ عَامِدًا أَوْ نَاسِيًا، فَأَمَّا يَوْمُ النَّحْرِ إِذَا تَرَكَ الرَّمْيَ فِيهِ حَتَّى دَخَلَتْ أَيَّامُ مِنًى فَإِنْ قِيلَ إِنَّ لِكُلِّ يَوْمٍ مِنْ أَيَّامِ مِنًى حُكْمُ نَفْسِهِ وَأَنَّ مَا تَرَكَ مِنَ الرَّمْيِ فِيهِ لَا يَقْضِيهِ فِي غَدِهِ كَانَ يَوْمُ النَّحْرِ أَوْلَى أَنْ يَخْتَصَّ بِحُكْمِ نَفْسِهِ وَلَا يَقْضِيَ مَا تَرَكَ مِنْ رَمْيِهِ فِي غَدِهِ وَيَكُونُ وَقْتُهُ مُحَدَّدًا بِغُرُوبِ الشَّمْسِ فِيهِ وَإِنْ قِيلَ إِنَّ أَيَّامَ مِنًى كُلَّهَا زَمَانُ الرَّمْيِ وَأَنَّ مَا تُرِكَ مِنَ الرَّمْيِ مِنْهَا قَضَاهُ فيما بقي منها، وكان فِي رَمْيِ يَوْمِ النَّحْرِ وَجْهَانِ:

Dan alasan pendapat ini adalah bahwa ramy pada hari-hari Mina adalah ibadah yang ditentukan waktunya. Maka, seandainya seluruh hari-hari Mina merupakan waktu untuk seluruh lemparan secara keseluruhan, tentu dibolehkan baginya untuk melempar seluruh jamrah hari-hari itu pada hari pertama, karena itu adalah waktu pelaksanaan ramy.

Namun, karena hari pertama tidak menjadi waktu untuk melempar seluruh jamrah hari-hari Mina menurut ijmak, maka demikian pula hari terakhir tidak menjadi waktu untuk melempar seluruh jamrah hari-hari itu, baik karena sengaja maupun lupa.

Adapun jika seseorang meninggalkan lemparan pada hari nāḥr hingga masuk hari-hari Mina, maka:

Jika dikatakan bahwa setiap hari dari hari-hari Mina memiliki hukum tersendiri, dan bahwa apa yang ditinggalkan dari ramy pada hari itu tidak dapat di-qadha pada hari berikutnya — baik hari itu hari nāḥr maupun selainnya — maka hari nāḥr lebih utama untuk memiliki hukum tersendiri, sehingga apa yang ditinggalkan dari ramy-nya tidak bisa di-qadha pada hari setelahnya, dan waktunya terbatas sampai matahari terbenam di hari itu.

Namun jika dikatakan bahwa seluruh hari-hari Mina adalah waktu untuk ramy, dan bahwa ramy yang ditinggalkan pada suatu hari dapat di-qadha pada sisa harinya, maka dalam hal melempar pada hari nāḥr terdapat dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: يَقْضِي فِي أَيَّامِ مِنًى وَيَكُونُ حُكْمُ الْأَيَّامِ الْأَرْبَعَةِ واحد، لِأَنَّ حُكْمَ الرَّمْيِ وَاحِدٌ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّ رَمْيَ يَوْمَ النَّحْرِ لَا يُقْضَى فِي أَيَّامِ مِنًى وَإِنِ اسْتَوَى حُكْمُ أَيَّامِ مِنًى لِأَنَّ حُكْمَ الرَّمْيِ فِي يَوْمِ النَّحْرِ مُخَالِفٌ لِحُكْمِ الرَّمْيِ فِي أَيَّامِ مِنًى فِي عَدَدِهِ وَوَقْتِهِ وَحُكْمِهِ وَرَمِيُ أَيَّامِ مِنًى مُتَّفِقٌ فِي عَدَدِهِ وَحُكْمِهِ وَوَقْتِهِ، فَإِذَا قُلْنَا إِنَّهُ يَقْضِي مَا تَرَكَ مِنَ الرَّمْيِ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ فَلَهُ ذَلِكَ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التشريق ويرتب عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ إن شاء الله تعالى.

Pertama: Boleh mengqadha (mengganti) lemparan pada hari-hari Mina, dan hukum keempat hari itu (hari nahar dan tiga hari tasyriq) adalah satu, karena hukum lemparannya satu.

Wajah kedua: Lemparan pada hari nahar tidak boleh diqadha pada hari-hari Mina, meskipun hukum hari-hari Mina adalah sama, karena hukum lemparan pada hari nahar berbeda dengan hukum lemparan pada hari-hari Mina, baik dari segi jumlahnya, waktunya, maupun hukumnya. Sedangkan lemparan pada hari-hari Mina seragam dalam jumlah, hukum, dan waktunya.

Maka jika kita mengatakan bahwa boleh mengqadha lemparan yang ditinggalkan pada hari-hari tasyriq, maka hal itu boleh dilakukan sampai terbenamnya matahari pada hari terakhir dari hari-hari tasyriq, dengan tetap menjaga urutan sebagaimana akan kami sebutkan insya Allah Ta‘ala.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا بَأْسَ إِذَا رَمَى الرُّعَاءُ الْجَمْرَةَ يَوْمَ النَّحْرِ أَنْ يَصْدُرُوا وَيَدَعُوا الْمَبِيتَ بِمِنًى فِي لَيْلَتِهِمْ وَيَدَعُوا الرَّمْيَ مِنَ الْغَدِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ ثُمَّ يَأْتُوا مِنْ بَعْدِ الْغِدِ وَهُوَ يَوْمُ النَّفْرِ الْأَوَّلِ فَيَرْمُونَ لِلْيَوْمِ الْمَاضِي ثُمَّ يعودوا فَيَسْتَأْنِفُوا يَوْمَهُمْ ذَلِكَ “.

Masalah:
 Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:

“Tidak mengapa apabila para penggembala melempar jamrah pada hari nāḥr, lalu mereka berangkat dan meninggalkan mabit di Mina pada malam harinya, serta meninggalkan ramy keesokan harinya dari hari nāḥr, kemudian mereka datang setelah hari itu — yaitu pada hari nafr pertama — lalu mereka melempar untuk hari sebelumnya, kemudian kembali dan memulai kegiatan hari itu.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ يَجُوزُ لِرُعَاةِ الْإِبِلِ وَأَهْلِ سِقَايَةِ الْعَبَّاسِ إِذَا رَجَمُوا جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ يَوْمَ النَّحْرِ أَنْ يَدَعُوا الْمَبِيتَ بِمِنًى لَيَالِيَ مِنًى وَيَتْرُكُوا رَمْيَ الْغَدِ وَهُوَ الْحَادِيَ عَشَرَ ثُمَّ يَقْضُونَهُ فِي الثاني عشر فإذا لَمْ يَقْضُوهُ فِي الثَّانِيَ عَشَرَ عَادُوا فِي الثالث عشر وهو آخر الأيام فيرموا فِيهِ عَنْ جَمِيعِ الْأَيَّامِ وَهَذَا مَخْصُوصٌ فِي الرُّعَاةِ وَأَهْلِ السِّقَايَةِ فَأَمَّا الرُّعَاةُ فَالدَّلَالَةُ عَلَى جَوَازِ ذَلِكَ لَهُمْ رِوَايَةُ عَاصِمِ بْنِ عَدِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَرْخَصَ لِلرُّعَاةِ أَنْ يَتَعَاقَبُوا فَيَرْمُوا يَوْمَ النَحْرِ ثُمَّ يَدَعُوا يَوْمًا وليلةٍ ثُمَّ يَرْمُوا مَنِ الْغَدِ. وَقَوْلُهُ: يَتَعَاقَبُوا: أَيْ يَرْمُوا يَوْمًا وَيَدَعُوا يَوْمًا وَلِأَنَّ عَلَى الرُّعَاةِ رَعْيَ الْإِبِلِ وَحِفْظَهَا لِتَشَاغُلِ النَّاسِ بِنُسُكِهِمْ عَنْهَا وَلَا يُمْكِنْهُمُ الْجَمْعُ بَيْنَ رَعْيِهَا وَبَيْنَ الرَّمْيِ وَالْمَبِيتِ بِمِنًى فَيَجُوزُ لَهُمْ تَرْكُهُ لِأَجْلِ الْعُذْرِ.

Al-Mawardi berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa boleh bagi para penggembala unta dan para petugas penyedia air dari keluarga al-‘Abbās, jika mereka telah melempar Jamrah al-‘Aqabah pada hari nahar, untuk tidak bermalam di Mina pada malam-malam hari Mina, dan meninggalkan lemparan pada hari berikutnya, yaitu tanggal sebelas, lalu mereka menggantinya pada tanggal dua belas. Jika mereka tidak menggantinya pada tanggal dua belas, maka mereka kembali pada tanggal tiga belas — yaitu hari terakhir — lalu mereka melempar pada hari itu untuk mengganti seluruh hari yang mereka tinggalkan.

Dan ini dikhususkan bagi para penggembala dan petugas penyedia air.

Adapun dalil tentang bolehnya hal itu bagi para penggembala adalah riwayat dari ‘Āṣim bin ‘Adiyy bahwa Nabi SAW memberi keringanan kepada para penggembala untuk bergiliran: mereka melempar pada hari nahar, lalu meninggalkan satu hari dan malam, kemudian melempar pada hari berikutnya.

Perkataan beliau “yata‘āqabū” maksudnya adalah mereka melempar satu hari dan meninggalkan satu hari.

Dan karena para penggembala bertanggung jawab untuk menggembala dan menjaga unta, sementara manusia sibuk dengan nusuk mereka sehingga tidak bisa mengurusi unta-unta itu, maka tidak memungkinkan bagi para penggembala untuk menggabungkan antara menggembala dan melempar serta bermalam di Mina. Oleh karena itu, boleh bagi mereka untuk meninggalkannya karena adanya uzur.

وَأَمَّا أَهْلُ السِّقَايَةِ فَالدَّلَالَةُ عَلَى جَوَازِ ذَلِكَ لَهُمْ رِوَايَةُ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَخَّصَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنْ يَبِيتَ بِمَكَّةَ لَيَالِيَ مِنًى مِنْ أَجْلِ سِقَايَتِهِ وَلِأَنَّ أَهْلَ السِّقَايَةِ مُتَشَاغِلُونَ بِإِصْلَاحِ الشَّرَابِ وَإِسْقَاءِ الْمَاءِ لِيَرْتَوِيَ النَّاسُ مِنْهُ وَيَرْتَقِفُوا بِهِ فَكَانَتِ الْحَاجَةُ دَاعِيَةً إِلَى تَأْخِيرِهِمْ فَرَخَّصَ ذَلِكَ لَهُمْ.

Adapun ahli siqāyah, maka dalil atas bolehnya hal itu bagi mereka adalah riwayat dari Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi SAW memberikan rukhṣah (keringanan) kepada al-‘Abbās bin ‘Abd al-Muṭṭalib ‘alayhis-salām untuk bermalam di Makkah pada malam-malam Mina karena tugasnya dalam siqāyah (menyediakan air minum bagi jamaah haji).

Dan karena para petugas siqāyah disibukkan dengan mengatur air minum dan menyediakannya agar orang-orang dapat minum dan mengambilnya untuk kebutuhan mereka, maka kebutuhan yang mendesak menuntut penundaan mabit mereka di Mina, sehingga diberikan keringanan bagi mereka.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا غَيْرُ الرُّعَاةِ وَأَهْلُ السِّقَايَةِ مِنْ أَصْحَابِ الْأَعْذَارِ كَالْمَرِيضِ الَّذِي تَلْحَقُهُ الْمَشَقَّةُ الْغَالِبَةُ فِي الْمَبِيتِ بِمِنًى وَالْمُقِيمُ بِمَكَّةَ عَلَى حِفْظِ مَالِهِ خَوْفًا عَلَيْهِ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَعْذَارِ فَفِيهِمْ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَنْصُوصٌ لِلشَّافِعِيِّ فِي مُخْتَصَرِ الْحَجِّ أَنَّهُمْ كَالرُّعَاةِ وَأَهْلُ السِّقَايَةِ يَجُوزُ لَهُمْ تَرْكُ الْمَبِيتِ بِمِنًى وَتَأْخِيرُ الرَّمْيِ وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِمْ لِاسْتِوَائِهِمْ وَأَهْلِ السِّقَايَةِ فِي التَّأْخِيرِ بِالْعُذْرِ.

PASAL
 Adapun selain para penggembala dan petugas penyedia air, dari kalangan orang-orang yang memiliki uzur seperti orang sakit yang mengalami kesulitan berat untuk bermalam di Mina, atau orang yang tinggal di Makkah untuk menjaga hartanya karena khawatir akan kehilangan, dan uzur-uzur lainnya semacam itu, maka terdapat dua pendapat tentang mereka:

Pertama: Ini adalah pendapat yang dinukil secara manṣūṣ dari Imam al-Syafi‘i dalam Mukhtaṣar al-Ḥajj, bahwa mereka seperti para penggembala dan petugas penyedia air; diperbolehkan bagi mereka untuk meninggalkan bermalam di Mina dan menunda lemparan, dan tidak ada fidyah atas mereka, karena mereka setara dengan para petugas penyedia air dalam hal penundaan disebabkan adanya uzur.


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ أَصْحَابِنَا إِنَّ الرُّعَاةَ وَأَهْلَ السِّقَايَةِ مَخْصُوصُونَ بِذَلِكَ دُونَ غَيْرِهِمْ مِنْ أَصْحَابِ الْأَعْذَارِ لِتَخْصِيصِهِمْ بِالرُّخْصَةِ وَمَا يَعُودُ بِتَأْخِيرِهِمْ مِنَ الرِّفْقِ وَالْمَعُونَةِ فَبَايَنُوا غَيْرَهُمْ مِنْ أَصْحَابِ الْأَعْذَارِ.

Wajah (pendapat) kedua — dan ini adalah pendapat sebagian dari sahabat kami — menyatakan bahwa para penggembala dan petugas siqāyah adalah kelompok yang dikhususkan dengan keringanan tersebut, tidak termasuk selain mereka dari kalangan orang-orang yang memiliki uzur.

Hal itu karena adanya pengkhususan keringanan kepada mereka, serta manfaat yang kembali dari penundaan mereka berupa kemudahan dan bantuan bagi jamaah, maka kedudukan mereka berbeda dari selain mereka yang juga memiliki uzur.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثبت لِلرُّعَاةِ وَأَهِلِ السِّقَايَةِ أَنْ يَصْدُرُوا يَوْمَ النَّحْرِ بَعْدَ الرَّمْيِ وَيَدَعُوا الْمَبِيتَ بِمِنًى فَإِنْ لَمْ يَصْدُرُوا مِنْهَا نَهَارًا حَتَّى غَرَبَتِ الشَّمْسُ وَجَبَ عَلَى الرُّعَاةِ الْمَبِيتُ بِهَا وَكَانَ لِأَهْلِ السِّقَايَةِ أَنْ يَصْدُرُوا وَيَدَعُوا الْمَبِيتَ بِهَا؛ لِأَنَّ عُذْرَ الرُّعَاةِ رَعْيُ الْإِبِلِ وَالرَّعْيُ يَكُونُ نَهَارًا وَلَا يَكُونُ لَيْلًا فَلَمْ يَجُزْ لَهُمْ تَرْكُ الْمَبِيتِ بِهَا بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ لِزَوَالِ عُذْرِهِمْ وَأَهْلُ السِّقَايَةِ عُذْرُهُمْ إِصْلَاحُ الشَّرَابِ وَاسْتِقَاءُ الْمَاءِ وَذَلِكَ يَكُونُ لَيْلًا وَنَهَارًا فَجَازَ لَهُمْ تَرْكُ الْمَبِيتِ بِهَا بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ لِوُجُودِ عُذْرِهِمْ.

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa para penggembala dan petugas penyedia air boleh meninggalkan Mina pada hari nahar setelah melempar, dan tidak bermalam di Mina, maka jika mereka tidak keluar dari Mina pada siang hari hingga matahari terbenam, maka wajib bagi para penggembala untuk bermalam di sana, dan tetap dibolehkan bagi petugas penyedia air untuk keluar dan tidak bermalam di Mina.

Hal ini karena uzur para penggembala adalah menggembala unta, dan penggembalaan itu terjadi pada siang hari, bukan pada malam hari. Maka tidak dibolehkan bagi mereka meninggalkan mabit setelah terbenam matahari, karena uzurnya telah hilang.

Adapun petugas penyedia air, uzur mereka adalah memperbaiki tempat minum dan mengambil air, dan hal itu terjadi pada malam dan siang hari, maka dibolehkan bagi mereka meninggalkan mabit setelah terbenam matahari karena uzur mereka masih ada.


مَسْأَلَةٌ: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ويخطب الْإِمَامُ بَعْدَ الظُّهْرِ يَوْمَ الثَّالِثِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ وَهُوَ النَّفْرُ الْأَوَّلُ فَيُوَدِّعُ الْحَاجَّ وَيُعْلِمُهُمْ أَنَّ مَنْ أَرَادَ التَّعْجِيلَ فَذَلِكَ لَهُ وَيَأْمُرُهُمْ أَنْ يَخْتِمُوا حَجَّهُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَطَاعَتِهِ وَاتِّبَاعِ أَمْرِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ خُطَبَ الْحَجِّ أَرْبَعٌ فَالْخُطْبَةُ الْأُولَى فِي الْيَوْمِ السَّابِعِ بَعْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ بِمَكَّةَ وَالْخُطْبَةُ الثَّانِيَةُ فِي الْيَوْمِ التَّاسِعِ بَعْدَ الزَّوَالِ وَقَبْلَ صَلَاةِ الظُّهْرِ بِعَرَفَةَ وَالْخُطْبَةُ الثَّالِثَةُ فِي الْيَوْمِ الْعَاشِرِ بَعْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ بِمِنًى وَالْخُطْبَةُ الرَّابِعَةُ وهي هذه الْخُطْبَةُ يَخْطُبُهَا فِي الْيَوْمِ الثَّانِيَ عَشَرَ بَعْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ بِمِنًى وَهُوَ يَوْمُ النَّفْرِ الْأَوَّلِ، وَقَالَ أبو حنيفة لَيْسَتْ هَذِهِ الْخُطْبَةُ سُّنَّةً وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ خَطَبَ يَوْمَ النَّفْرِ الْأَوَّلِ بَعْدَ الظُّهْرِ بمنى فإذا خطب عليهم أعلمهم أن يؤمهم هَذَا يَوْمُ النَّفْرِ الْأَوَّلِ فَمَنْ نَفَرَ مِنْهُ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ سَقَطَ عَنْهُ رَمْيُ الْغَدِ وَمَنْ أَقَامَ حَتَّى غَرَبَتِ الشَّمْسُ لَزِمَهُ رَمْيُ الْغَدِ وَالْمَبِيتُ بِمِنًى وَيَأْمُرُهُمْ أَنْ يَخْتِمُوا حَجَّتَهُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَطَاعَتِهِ وَأَنْ يَكُونُوا بَعْدَ الْحَجِّ خَيْرًا مِنْهُ قَبْلَهُ فَقَدْ رَوَى أَبُو حَاتِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ فَرَجَعَ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ “.

MASALAH: Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Imam berkhotbah setelah zuhur pada hari ketiga dari hari nahr, dan itu adalah nafr yang pertama. Maka ia berpamitan kepada para haji dan memberi tahu mereka bahwa siapa yang ingin menyegerakan, maka itu boleh baginya. Dan ia memerintahkan mereka agar menutup ibadah haji mereka dengan takwa kepada Allah ‘azza wa jalla, ketaatan kepada-Nya, dan mengikuti perintah-Nya.”

Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa khotbah haji itu ada empat:
 Khotbah pertama pada hari ketujuh setelah salat zuhur di Makkah,
 Khotbah kedua pada hari kesembilan setelah tergelincir matahari dan sebelum salat zuhur di ‘Arafah,
 Khotbah ketiga pada hari kesepuluh setelah salat zuhur di Mina,
 Dan khotbah keempat, yaitu khotbah ini, disampaikan pada hari kedua belas setelah salat zuhur di Mina, yaitu hari nafr pertama.

Abu Hanifah berkata: Khotbah ini bukanlah sunnah.
 Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau berkhutbah pada hari nafr pertama setelah zuhur di Mina. Ketika beliau berkhutbah kepada mereka, beliau memberitahu bahwa: “Hari ini adalah hari nafr pertama. Barang siapa yang meninggalkan Mina sebelum matahari terbenam, maka gugurlah darinya kewajiban melempar (jamrah) esok hari. Dan barang siapa yang menetap hingga matahari terbenam, maka wajib baginya melempar esok hari dan bermalam di Mina.”

Dan beliau memerintahkan mereka agar menutup ibadah haji mereka dengan takwa kepada Allah, ketaatan kepada-Nya, dan agar mereka menjadi lebih baik setelah haji daripada sebelumnya.

Telah diriwayatkan oleh Abu Ḥātim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
 “Barang siapa yang berhaji, lalu tidak berkata keji dan tidak berbuat kefasikan, maka ia pulang dalam keadaan seperti hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya.”


وَرَوَى جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جزاءُ إِلَّا الْجَنَّةُ قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا بِرُّ الْحَجِّ قَالَ: طِيبُ الْكَلَامِ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ “.
وَرُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مِنْ عَلَامَةِ الْحَجِّ الْمَبْرُورِ أَنْ يَكُونَ الْمَرْءُ بَعْدَ حَجِّهِ خَيْرًا مِنْهُ قَبْلَهُ “، فَإِنْ أَرَادَ الْإِمَامُ أَنْ يَنْفِرَ فِي النَّفْرِ الْأَوَّلِ وَعَجَّلَ الْخُطْبَةَ قَبْلَ الزَّوَالِ لِيَتَعَجَّلَ النَّفْرَ جاز وإن أراد أن ينفر في النفر الثَّانِي خَطَبَ وَأَقَامَ وَقَدْ تُسَمَّى هَذِهِ الْخُطْبَةُ خُطْبَةَ الْوَدَاعِ لِأَنَّهَا آخِرُ الْخُطَبِ وَأَنَّهُ رُبَّمَا نَفَرَ بَعْدَهَا فِي النَّفْرِ الْأَوَّلِ فَكَانَ مُوَدِّعًا بِهَا وَلَوْ تَرَكَهَا فَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ.

Diriwayatkan dari Jābir bin ‘Abdillāh bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga.” Ia (Jābir) berkata: Dikatakan, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan birr al-ḥajj (kebaikan haji)?” Beliau menjawab: “Perkataan yang baik dan memberi makan.”

Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Di antara tanda haji mabrur adalah seseorang menjadi lebih baik setelah hajinya dibanding sebelumnya.”

Jika imam (pemimpin jamaah) ingin melakukan nafr awal dan mempercepat khutbah sebelum zawāl agar bisa bersegera melakukan nafr, maka hal itu diperbolehkan. Dan jika ia ingin melakukan nafr pada nafr tsānī, maka ia berkhutbah dan tetap tinggal.

Khutbah ini kadang disebut khutbah al-wadā‘, karena ia adalah khutbah terakhir, dan karena kadang seseorang melakukan nafr awal setelahnya sehingga ia berpamitan dengannya. Namun, jika ia meninggalkannya, maka tidak ada fidyah atasnya.


مَسْأَلَةٌ: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَمَنْ لَمْ يَتَعَجَّلْ حَتَّى يُمْسِيَ رَمَى مَنِ الْغَدِ فَإِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ انْقَضَتْ أَيَّامُ مِنًى “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْمَبِيتَ بِمِنًى فِي لَيَالِي التَّشْرِيقِ سُنَّةٌ وَالرَّمْيُ فِي الْأَيَّامِ الثَّلَاثَةِ نُسُكٌ وَالنَّفْرُ مِنْ مِنًى نَفْرَانِ فَالنَّفْرُ الأولى فِي الْيَوْمِ الثَّانِيَ عَشَرَ وَالنَّفْرُ الثَّانِي فِي الْيَوْمِ الثَّالِثَ عَشَرَ فَإِنْ نَفَرَ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ كَانَ جَائِزًا وَسَقَطَ عَنْهُ الْمَبِيتُ بِمِنًى فِي لَيْلَتِهِ وَسَقَطَ عَنْهُ رَمْيُ الْجِمَارِ مِنْ غَدِهِ.

MASALAH: Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Barang siapa yang tidak menyegerakan hingga memasuki waktu malam, maka ia melempar pada esok harinya. Jika matahari telah terbenam, maka berakhirlah hari-hari Mina.”

Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa bermalam di Mina pada malam-malam tasyriq adalah sunnah, dan melempar pada tiga hari itu adalah nusuk. Nafr dari Mina ada dua: nafr pertama pada hari kedua belas, dan nafr kedua pada hari ketiga belas. Maka jika seseorang nafr pada hari pertama, itu diperbolehkan, dan gugurlah darinya kewajiban bermalam di Mina pada malam itu, serta gugur pula kewajiban melempar jamrah pada esok harinya.


وَأَصْلُ ذَلِكَ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَإِجْمَاعُ الْأُمَّةِ قال تَعَالَى: {وَاذْكُرُوا اللهَ فِي أيَّامٍ مَعْدُودات) {البقرة: 203) يَعْنِي: أَيَّامَ مِنًى {فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلاَ إثْمَ عَلَيْهِ لِمَنْ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللهَ) {البقرة: 203) .
وَرَوَى بُكَيْرُ بْنُ عَطَاءٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْمَرَ الدِّيلِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” الْحَجُّ عَرَفَاتٌ فَمَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ فَقَدْ أدرك الحج، أيام منى ثلاثةٌ فمن تعجل في يومين فلا إثم عليه ومن تأخر فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ “.

Dasar dari hal ini adalah al-Kitāb, as-Sunnah, dan ijmā‘ umat.

Allah Ta‘ālā berfirman:
 {Dan ingatlah Allah pada hari-hari yang telah ditentukan} (al-Baqarah: 203),
 yang dimaksud adalah hari-hari Mina.

{Barang siapa yang menyegerakan (berangkat dari Mina) dalam dua hari, maka tidak ada dosa baginya, dan barang siapa yang mengakhirkannya, maka tidak ada dosa baginya bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah} (al-Baqarah: 203).

Diriwayatkan dari Bukayr bin ‘Aṭā’, dari ‘Abdur-Raḥmān bin Ya‘mar ad-Dīlī, ia berkata: Aku mendengar Nabi SAW bersabda:
 “Haji adalah (wuqūf di) ‘Arafah. Barang siapa yang mendapatkan ‘Arafah, maka ia telah mendapatkan haji. Hari-hari Mina itu tiga. Maka barang siapa yang menyegerakan dalam dua hari, tidak ada dosa baginya, dan barang siapa yang mengakhirkannya, maka tidak ada dosa baginya.”


فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ التَّعْجِيلِ فِي النَّفْرِ الْأَوَّلِ فَالْمُقَامُ إِلَى النَّفْرِ الثَّانِي أَفْضَلُ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يَتَعَجَّلْ وَأَقَامَ إِلَى النَّفْرِ الثَّانِي فَكَانَ الِاقْتِدَاءُ بِفِعْلِهِ أَوْلَى، وَلِأَنَّ التَّعْجِيلَ رُخْصَةٌ وَالْمُقَامَ كَمَالٌ، وَلِأَنَّ التَّعْجِيلَ قَدْ تَرَفَّهَ بِتَرْكِ بَعْضِ الأعمال والمقيم لم يتركه.
فأما الأيام فَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَتَعَجَّلَ بَلْ يُقِيمُ إِلَى النَّفْرِ الْأَخِيرِ لِيُقِيمَ النَّاسُ مَعَهُ وَيَقْتَدُوا بِهِ فإن تعجل فلا إثم عليه؛ لأنها فِي الْإِبَاحَةِ كَغَيْرِهِ.

Maka apabila telah tetap kebolehan menyegerakan pada nafr pertama, maka tinggal hingga nafr kedua itu lebih utama, karena Nabi SAW tidak menyegerakan, melainkan beliau tinggal hingga nafr kedua, maka mengikuti perbuatan beliau lebih utama. Juga karena menyegerakan adalah rukhshah, sedangkan tinggal adalah penyempurnaan. Dan karena menyegerakan berarti bersantai dengan meninggalkan sebagian amalan, sedangkan yang tinggal tidak meninggalkannya.

Adapun bagi para pemimpin (imam), maka sebaiknya tidak menyegerakan, melainkan tetap tinggal hingga nafr terakhir agar orang-orang tinggal bersamanya dan mengikuti dirinya. Namun jika ia menyegerakan, maka tidak ada dosa baginya; karena hal itu dalam hal kebolehan sama seperti selainnya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا وَقْتُ النَّفْرِ الْأَوَّلِ فَمِنْ بَعْدِ رَمْيِهِ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي إِلَى قَبْلِ غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْهُ وَالْأَوْلَى إِذَا رَمَى بَعْدَ الزَّوَالِ أَنْ يَنْفِرَ قَبْلَ صَلَاةِ الظُّهْرِ فَهِيَ السُّنَّةُ وَيَرْمِي رَاكِبًا لِأَنَّهُ يَصِلُ رميه بِالنَّفْرِ كَمَا يَرْمِي رَاكِبًا يَوْمَ النَّحْرِ لِأَنَّهُ يَصِلُ رَمْيَهُ بِالْإِفَاضَةِ بِالطَّوَافِ وَيَرْمِي فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ نَازِلًا لِأَنَّهُ مُقِيمٌ بِمِنًى وَكَيْفَ رَمَى أَجْزَأَهُ وَأَيُّ وَقْتٍ نَفَرَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ أَجْزَأَهُ وَسَقَطَ عَنْهُ رَمْيُ الْغَدِ وَيَكُونُ قَدْ رمى تسعة وَأَرْبَعِينَ حَصَاةً سَبْعَةً فِي جَمْرَةِ الْعَقَبَةِ يَوْمَ النَّحْرِ وَإِحْدَى وَعِشْرِينَ فِي الْجَمَرَاتِ الثَّلَاثِ، يَوْمَ الْحَادِيَ عَشَرَ وَإِحْدَى وَعِشْرِينَ فِي الْجَمَرَاتِ الثَّلَاثِ يَوْمَ الثَّانِيَ عَشَرَ وَذَلِكَ أَقَلُّ مَا يَرْمِيهِ الْحَاجُّ فَإِنْ كَانَ مَعَهُ حَصَى الْجِمَارِ فِي الْيَوْمِ الثَّالِثِ فَإِنْ شَاءَ أَلْقَاهُ وَإِنْ شَاءَ دَفَنَهُ فَلَيْسَ فِي دَفْنِهِ نُسُكٌ وَلَا فِي إِلْقَائِهِ كَرَاهَةٌ، فَإِنْ لَمْ يَتَعَجَّلِ النَّفْرَ حَتَّى غَرَبَتِ الشَّمْسُ لَزِمَهُ الْمَبِيتُ بِمِنًى وَالرَّمْيُ مِنَ الْغَدِ فِي الْجَمَرَاتِ الثَّلَاثِ بِإِحْدَى وَعِشْرِينَ حَصَاةً لِيُكْمِلَ رَمْيَهُ سَبْعِينَ حَصَاةً وَذَلِكَ أَكْثَرُ مَا يَرْمِيهِ الْحَاجُّ وَحُكِيَ عَنْ عَطَاءٍ: أَنَّ لَهُ أَنْ يَتَعَجَّلَ النَّفْرَ مَا لَمْ يَطْلُعِ الْفَجْرُ فِي الْيَوْمِ الثَّالِثِ وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة: لِأَنَّ اللَّيْلَ يَتْبَعُ مَا قَبْلَهُ فِي الْحَجِّ كَلَيْلَةِ عَرَفَةَ وَلَا يَتْبَعُ مَا بَعْدَهَا مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

PASAL

Adapun waktu nafr pertama adalah setelah melempar jumrah pada hari kedua sampai sebelum matahari terbenam pada hari itu. Yang utama, jika ia melempar setelah tergelincir matahari, adalah ia nafr sebelum salat zuhur, maka itulah sunnah. Dan ia melempar dalam keadaan berkendara karena ia menyambungkan antara lemparan dengan nafr, sebagaimana ia melempar dalam keadaan berkendara pada hari nahr karena ia menyambungkan antara lemparan dengan ifadlah dengan ṭawaf. Dan ia melempar pada hari pertama dalam keadaan berjalan kaki karena ia sedang tinggal di Mina.

Bagaimanapun caranya ia melempar, maka hal itu sah, dan waktu kapan pun ia nafr sebelum matahari terbenam, maka hal itu sah dan gugurlah kewajiban melempar keesokan harinya. Maka ia telah melempar sebanyak empat puluh sembilan batu: tujuh pada Jumrah ‘Aqabah pada hari nahr, dua puluh satu pada tiga jumrah pada hari kesebelas, dan dua puluh satu pada tiga jumrah pada hari kedua belas. Itulah jumlah lemparan paling sedikit yang dilakukan oleh jamaah haji.

Jika ia masih membawa batu untuk jumrah hari ketiga, maka jika ia menghendaki, ia boleh melemparkannya, dan jika menghendaki, ia boleh menguburnya. Tidak ada ibadah dalam menguburkannya dan tidak ada makruh dalam melemparkannya.

Jika ia tidak menyegerakan nafr hingga matahari telah terbenam, maka wajib baginya bermalam di Mina dan melempar keesokan harinya pada tiga jumrah dengan dua puluh satu batu, agar sempurna jumlah lemparannya menjadi tujuh puluh batu. Itulah jumlah terbanyak yang dilempar oleh jamaah haji.

Dan dinukil dari ‘Aṭā’: bahwa ia boleh menyegerakan nafr selama belum terbit fajar pada hari ketiga. Pendapat ini pula yang dikatakan oleh Abū Ḥanīfah, karena malam itu mengikuti waktu sebelumnya dalam ibadah haji, seperti malam ‘Arafah, dan tidak mengikuti waktu sesudahnya yaitu hari nahr. Ini adalah kesalahan dari dua sisi:


أَحَدُهُمَا: أَنَّ التَّعْجِيلَ يَتَعَلَّقُ بِالْيَوْمِ وَخُرُوجُ الْيَوْمِ مُعْتَبَرٌ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْحُكْمُ الْمُعَلَّقُ عَلَيْهِ مُعْتَبَرًا بِغُرُوبِ الشَّمْسِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ النَّفْرَ نَفْرَانِ فَلَمَّا ثَبَتَ أَنَّ مَا بَعْدَ النَّفْرِ الثَّانِي مِنَ اللَّيْلِ لَيْسَ بِتَابِعٍ لَهُ ثَبَتَ أَنَّ مَا بَعْدَ النَّفْرِ الْأَوَّلِ مِنَ اللَّيْلِ لَيْسَ بِتَابِعٍ لَهُ وَمَا ذَكَرَهُ مِنْ لَيْلَةِ عَرَفَةَ فَلَيْسَتْ تَبَعًا وَإِنَّمَا هِيَ وَيَوْمُ عَرَفَةَ فيه سَوَاءٌ فِي الْحُكْمِ.

Pertama: Bahwa penyegeraan (ta‘jīl) berkaitan dengan hari, dan keluarnya hari dihitung dengan terbenamnya matahari. Maka wajiblah bahwa hukum yang bergantung padanya juga dihitung dengan terbenamnya matahari.

Kedua: Bahwa nafr itu ada dua. Maka ketika telah tetap bahwa malam setelah nafr kedua tidak termasuk bagian darinya, maka tetap pula bahwa malam setelah nafr pertama juga tidak termasuk bagian darinya. Adapun malam ‘Arafah yang disebutkan, maka ia bukan termasuk pengikut, melainkan ia dan siang hari ‘Arafah sama dalam hukum.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ وَقْتَ التَّعْجِيلِ مَا لَمْ تَغْرُبِ الشَّمْسُ فَلَوْ رَكِبَ بِمِنًى وَسَارَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ فَلَمْ يَخْرُجْ مِنْ حُدُودِ مِنًى حَتَّى غَرَبَتِ الشَّمْسُ لَزِمَهُ الْمَبِيتُ بِهَا وَالرَّمْيُ فِي الْغَدِ، لِأَنَّ النَّفْرَ مِنْهَا لَا يَسْتَقِرُّ إِلَّا بِمُفَارَقَتِهَا، فَلَوْ فَارَقَهَا قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ ثُمَّ عَادَ إِلَيْهَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَقَدِ اسْتَقَرَّ حُكْمُ النَّفْرِ وَسَقَطَ عَنْهُ رَمْيُ الْغَدِ سَوَاءٌ عَادَ لَيْلًا أَوْ نَهَارًا لِحَاجَةٍ أَوْ لِغَيْرِ حَاجَةٍ فَلَوْ فَارَقَهَا مُتَعَجِّلًا لِلنَّفْرِ مِنْهَا ثُمَّ تَيَقَّنَ أَنَّهُ تَرَكَ رَمْيَ يَوْمِهِ أَوْ شَيْئًا مِنْهُ فَلَا يَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

PASAL

Apabila telah tetap bahwa waktu menyegerakan nafr adalah selama matahari belum terbenam, maka jika seseorang berkendara di Mina dan berangkat sebelum matahari terbenam, tetapi belum keluar dari batas Mina hingga matahari terbenam, maka wajib baginya bermalam di sana dan melempar pada keesokan harinya. Karena nafr dari Mina tidak dianggap sah kecuali dengan benar-benar keluar darinya.

Maka jika ia telah keluar dari Mina sebelum matahari terbenam, lalu kembali lagi ke sana pada malam atau siang hari, maka telah tetap baginya hukum nafr, dan gugurlah kewajiban melempar keesokan harinya, baik ia kembali malam hari maupun siang hari, karena ada kebutuhan atau tanpa kebutuhan.

Maka jika ia telah meninggalkan Mina dengan menyegerakan nafr darinya, lalu ia yakin bahwa ia telah meninggalkan lemparan pada harinya atau sebagian darinya, maka hal ini tidak lepas dari tiga keadaan:


أَحَدُهَا: أَنْ يَذْكُرَ ذَلِكَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ وَيُدْرِكَ رَمْيَ الْجِمَارِ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ فَيَلْزَمُهُ الْعَوْدُ إِلَى مِنًى وَرَمْيُ مَا تَرَكَ مِنَ الْحَصَى لِوُجُوبِ الرَّمْيِ وَبَقَاءِ الْوَقْتِ ثُمَّ يَنْفِرُ مِنْهَا إِنْ لَمْ تَغْرُبِ الشَّمْسُ وَهُوَ بِهَا فَإِنْ غَرَبَتْ وَهُوَ بِهَا لَزِمَهُ الْمَبِيتُ بِهَا وَالرَّمْيُ مِنَ الْغَدِ.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَذْكُرَهُ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنَ الْيَوْمِ الثَّالِثِ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْعَوْدُ إِلَى مِنًى لِفَوَاتِ وَقْتِهِ وَقَدِ اسْتَقَرَّتِ الْفِدْيَةُ فِي ذِمَّتِهِ.

Pertama: Jika ia teringat (belum melempar) sebelum matahari terbenam, dan ia masih dapat melempar jamrah sebelum matahari terbenam, maka wajib baginya kembali ke Mina dan melempar kerikil yang ia tinggalkan, karena lemparan itu wajib dan waktunya masih ada. Lalu ia boleh nafr darinya (dari Mina) selama matahari belum terbenam dan ia masih berada di sana. Namun jika matahari telah terbenam sementara ia masih berada di Mina, maka wajib baginya bermalam di Mina dan melempar pada keesokan harinya.

Keadaan kedua: Jika ia teringat setelah matahari terbenam dari hari ketiga, maka tidak wajib baginya kembali ke Mina karena waktunya telah lewat, dan fidyah telah tetap menjadi tanggungan atas dirinya.


وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَذْكُرَهُ فِي الْيَوْمِ الثَّالِثِ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْهُ فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ لِكُلِّ يَوْمٍ حُكْمَ نَفْسِهِ لَزِمَهُ الْفِدْيَةُ وَلَمْ يُعِدِ الرَّمْيَ لِخُرُوجِ وَقْتِهِ وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ أَيَّامَ مِنًى كُلَّهَا زَمَانٌ لِلرَّمْيِ وَأَنَّ حُكْمَ الْجَمِيعِ وَاحِدٌ لَزِمَهُ الْعَوْدُ إِلَى مِنًى لِرَمْيِ مَا تَرَكَ لِبَقَاءِ وَقْتِهِ فَإِنْ لَمْ يَعُدْ فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ.

Dan keadaan yang ketiga: yaitu jika ia mengingatnya pada hari ketiga sebelum matahari terbenam dari hari itu. Maka jika kita mengatakan bahwa setiap hari memiliki hukum tersendiri, maka wajib baginya membayar fidyah dan tidak mengulang lemparan karena waktunya telah habis.

Namun jika kita mengatakan bahwa seluruh hari-hari Mina adalah satu waktu untuk ramy, dan bahwa hukumnya satu, maka wajib baginya kembali ke Mina untuk melempar apa yang ia tinggalkan karena waktu ramy masih ada. Jika ia tidak kembali, maka wajib atasnya fidyah.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا نُزُولُ الْمُحَصَّبِ بَعْدَ النَّفْرِ مِنْ مِنًى فَلَيْسَ بِنُسُكٍ وَلَا سُنَّةٍ وَإِنَّمَا هُوَ مَنْزِلُ اسْتِرَاحَةٍ. وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ وأبي حنيفة وَجَمَاعَةٍ مِنَ السَّلَفِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَحْصِبُونَ وَيَقُولُونَ إِنَّ التَّحَصُّبَ سُنَّةٌ وَهُوَ أَنْ يَأْتِيَ الْمُحَصَّبَ بَعْدَ الزَّوَالِ إِذَا فَرَغَ مِنْ رَمْيِ الْجِمَارِ فَيُقِيمُ هُنَاكَ حَتَّى يُصَلِّيَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وعشاء الآخر ثُمَّ يَنْصَرِفُ مِنَ الْمُحَصَّبِ إِلَى مَكَّةَ أَوْ حيث شاء استدلالاً برواية قَتَادَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ وَرَقَدَ رَقْدَةً بِالْمُحَصَّبِ ثُمَّ رَكِبَ إِلَى الْبَيْتِ فَطَافَ بِهِ سَبْعًا وَبِرِوَايَةِ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” التَّحْصِيبُ سُنَّةٌ “.

PASAL
 Adapun singgah di al-Muḥaṣṣab setelah nafr dari Mina, maka itu bukan termasuk nusuk dan bukan pula sunnah, melainkan hanyalah tempat untuk beristirahat.

Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar, Abū Ḥanīfah, dan sekelompok salaf, bahwa mereka biasa berdiam di al-Muḥaṣṣab dan berkata bahwa taḥṣīb adalah sunnah, yaitu seseorang mendatangi al-Muḥaṣṣab setelah tergelincir matahari ketika telah selesai dari melempar jamrah, lalu ia tinggal di sana hingga ia salat zuhur, ‘ashar, maghrib, dan ‘isya’ yang terakhir, kemudian ia berangkat dari al-Muḥaṣṣab menuju Makkah atau ke mana pun ia mau.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Qatādah bahwa Nabi SAW salat zuhur, ‘ashar, maghrib, dan ‘isya’ serta tidur sejenak di al-Muḥaṣṣab, kemudian beliau menaiki kendaraan menuju Ka‘bah dan bertawaf mengelilinginya sebanyak tujuh putaran.

Juga berdasarkan riwayat Muḥammad bin Isḥāq dari Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “At-taḥṣīb adalah sunnah.”


وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِسُنَّةٍ لرواية أَبِي الزُّبَيْرِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: مَا الْإِنَاخَةُ بِالْمُحَصَّبِ سُنَّةٌ. إِنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – انتظر عائشة حتى تأتي وابن عباس اخْتِصَاصِهِ بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَحَجِّهِ مَعَهُ أَعْرَفُ بِبَاطِنِ حَالِهِ مِنْ غَيْرِهِ وَرَوَى سُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ عَنْ أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: أَنَا ضَرَبْتُ قُبَّةً لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلَمْ يَأْمُرْنِي بِالْمُحَصَّبِ فَجَاءَ فَنَزَلَ وَكَانَ أَبُو رَافِعٍ عَلَى ثِقْلِهِ فَأَمَّا حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ فَلَيْسَ بِثَابِتٍ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَلَيْسَ فِيهِ سُنَّةٌ ثَابِتَةٌ فَيَحُضُّ عَلَيْهِ وَيَأْمُرُ بِهِ وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُ لِمَا حَكَيْنَا عَنِ السَّلَفِ وَالْمُحَصَّبُ وَهُوَ خيف بني كنانة وحده من الحجون ذهاباً وهو ما بين الجبل الذي عند المقبرة إلى الجبل الذي يقابله مصعداً في الشق الأيسر، وَلَيْسَتِ الْمَقْبَرَةُ مِنَ الْمُحَصَّبِ إِلَى حَائِطٍ حَرَمًا إِلَى الْجَبَلِ الَّذِي يَلْتَوِي عَلَى شِعْبِ الْجُودِ، وسمي المحصب لأنه حصى جمرة العقبة تسيل إليه وقيل سمي بذلك لأنه موضع كثير الحصاء والحصباء.

Dan dalil bahwa hal itu bukan sunnah adalah riwayat Abūz-Zubair dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata: “Menetap di al-Muḥaṣṣab bukanlah sunnah. Sesungguhnya Nabi SAW menunggu ‘Āisyah hingga ia datang.” Dan Ibnu ‘Abbās karena kedekatannya dengan Rasulullah SAW dan hajinya bersama beliau, lebih mengetahui keadaan batin beliau dibanding selainnya.

Dan diriwayatkan oleh Sulaimān bin Yasār dari Abū Rāfi‘, maula Rasulullah SAW, ia berkata: “Akulah yang mendirikan tenda untuk Rasulullah SAW, dan beliau tidak memerintahkanku untuk mendirikannya di al-Muḥaṣṣab. Lalu beliau datang dan singgah.” Dan Abū Rāfi‘ adalah orang yang mengurus barang bawaan beliau.

Adapun hadis Ibnu ‘Umar maka tidak sahih. Asy-Syāfi‘ī berkata: “Tidak ada padanya sunnah yang tetap sehingga dianjurkan dan diperintahkan, dan tidak pula dilarang darinya, karena apa yang kami kisahkan dari salaf.”

Dan al-Muḥaṣṣab adalah Khīf Banī Kinānah, yaitu bagian yang paling bawah dari al-Ḥujūn, yang membentang dari antara gunung yang berada di dekat kuburan sampai gunung yang berada di seberangnya ke arah atas di sisi kiri. Dan kuburan itu tidak termasuk dalam al-Muḥaṣṣab hingga dinding ḥaram ke arah gunung yang melingkari Syi‘b al-Jūd.

Disebut al-Muḥaṣṣab karena kerikil dari Jumrah ‘Aqabah mengalir ke sana. Dan ada pula yang mengatakan, dinamakan demikian karena tempat itu banyak kerikil kecil dan batu-batu kecil (ḥaṣāʾ dan ḥaṣbāʾ).


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْبَيْعُ وَالشِّرَاءُ فِي الْحَجِّ بِعَرَفَةَ ومنى فَجَائِزٌ مُبَاحٌ وَرُوِيَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانَتْ عُكَاظُ وَمِجَنَّةُ وَذُو الْمَجَازِ، أَسْوَاقَنَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَلَمَّا كَانَ الْإِسْلَامُ كَأَنَّهُمْ كَرِهُوا أَنْ يَتَّجِرُوا فِي الْحَجِّ فَسَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلاً مِنْ رَبِّكُمْ) {البقرة: 198) فِي مَوَاسِمِ الْحَجِّ.

PASAL
 Adapun jual beli dalam haji di ‘Arafah dan Mina, maka hukumnya boleh dan mubah.

Diriwayatkan dari ‘Amr bin Dīnār dari Ibn ‘Abbās, ia berkata: Dahulu ‘Ukāẓ, Mijannah, dan Dhū al-Majāz adalah pasar-pasar kami di masa jahiliah. Lalu ketika datang Islam, seakan-akan mereka tidak suka berdagang di musim haji. Maka mereka pun bertanya kepada Rasulullah SAW, lalu Allah Ta‘ālā menurunkan firman-Nya:

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu.” (QS. al-Baqarah: 198), yakni dalam musim-musim haji.


وَرُوِيَ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ وَابْنَ الزُّبَيْرِ كَانَا يَقْرَآنِ كَذَلِكَ فَأَمَّا الْخُرُوجُ إِلَى الْحَجِّ بِلَا زَادٍ وَإِظْهَارُ التَّوَكُّلِ وَالِاعْتِمَادِ عَلَى مَسْأَلَةِ الناس فمكروه فروي عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: كَانَ أَهْلُ الْيَمَنِ يَحُجُّونَ وَلَا يَتَزَوَّدُونَ وَيَقُولُونَ نَحْنُ الْمُتَوَكِّلُونَ إِلَى مَكَّةَ فَيَسْأَلُونَ النَاسَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {تَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى) {البقرة: 198) .

Dan diriwayatkan bahwa Ibn ‘Abbās dan Ibn az-Zubair membaca (ayat) demikian pula.

Adapun keluar untuk menunaikan haji tanpa bekal dan menampakkan sikap tawakkal dengan bergantung kepada meminta-minta kepada manusia, maka hal itu makruh.

Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās bahwa ia berkata: Dahulu penduduk Yaman berhaji tanpa membawa bekal, dan mereka berkata, “Kami adalah orang-orang yang bertawakkal.” Lalu mereka datang ke Makkah dan meminta-minta kepada manusia. Maka Allah Ta‘ālā menurunkan firman-Nya:
 “Berbekallah kalian, karena sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. al-Baqarah: 198).


مَسْأَلَةٌ: قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” فإن تدارك عليه رميان في أيام منى ابْتَدَأَ الْأَوَّلَ حَتَى يُكْمِلَ ثُمَّ عَادَ فَابْتَدَأَ الْآخَرَ وَلَمْ يُجْزِهِ أَنْ يَرْمِيَ بِأَرْبَعَ عَشَرَةَ حصاةٍ فِي مقامٍ واحدٍ “.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا تَدَارَكَ عَلَيْهِ رَمْيُ يَوْمَيْنِ كَالرُّعَاةِ وَأَهْلِ السِّقَايَةِ إِذَا تَرَكُوا رَمْيَ الْحَادِيَ عَشَرَ وَأَرَادُوا الرَّمْيَ فِي الثَّانِيَ عَشَرَ وَكَمَنَ تَرَكَ الرَّمْيَ عَامِدًا أَوْ نَاسِيًا فِي الْحَادِيَ عَشَرَ وَجَوَّزْنَا لَهُ الْقَضَاءَ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ فِي الثَّانِيَ عَشَرَ أَوْ تَدَارَكَ عَلَيْهِ رَمْيُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ وَذَلِكَ أَنْ يَتْرُكَ رَمْيَ الْحَادِيَ عَشَرَ وَالثَّانِيَ عَشَرَ وَيُرِيدُ الْقَضَاءَ فِي الثَّالِثَ عَشَرَ فَيَنْبَغِي لَهُ أَنْ يُرَتِّبَ فَيَبْدَأَ بِرَمْيِ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ ثُمَّ يَرْمِي الْيَوْمَ الثَّانِيَ ثُمَّ يَرْمِي الْيَوْمَ الثَّالِثَ لِيَكُونَ مُرَتَّبًا كَرَمْيِهِ فِي أَيَّامِهِ وَفِي هَذَا التَّرْتِيبِ قَوْلَانِ:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ وَالْأُمِّ: إِنَّهُ وَاجِبٌ.

Masalah:
 Imam asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika dua hari lemparan terlewatkan atasnya pada hari-hari Mina, maka ia mulai dengan hari pertama hingga sempurna, kemudian kembali dan memulai hari berikutnya, dan tidak sah baginya melempar empat belas batu dalam satu waktu.”

Al-Māwardī berkata: “Hal ini sebagaimana yang dikatakan, yaitu apabila dua hari lemparan terlewatkan atasnya, seperti para penggembala dan petugas penyedia air yang meninggalkan lemparan hari kesebelas dan ingin melempar pada hari kedua belas, atau seperti orang yang dengan sengaja atau lupa meninggalkan lemparan pada hari kesebelas lalu kita membolehkan qadha menurut salah satu dari dua pendapat pada hari kedua belas, atau jika tiga hari lemparan terlewatkan atasnya, yaitu ia meninggalkan lemparan hari kesebelas dan kedua belas, lalu ingin mengqadha-nya pada hari ketiga belas — maka seyogianya ia menyusun urutan: ia mulai dengan lemparan hari pertama, lalu hari kedua, lalu hari ketiga, agar susunannya seperti saat ia melempar di hari-harinya.”

Tentang keharusan susunan ini terdapat dua pendapat:
 Pertama, yaitu pendapatnya dalam qaul qadīm dan dalam al-Umm: bahwa itu wajib.


وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْإِمْلَاءِ إِنَّهُ مُسْتَحَبٌّ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ؛ وَهَذَانِ الْقَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ إِذَا رَمَى عَنِ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي هَلْ يَكُونُ أَدَاءً أَوْ قَضَاءً فَأَحَدُ قَوْلَيْهِ يَكُونُ أَدَاءً فَعَلَى هَذَا التَّرْتِيبُ وَاجِبٌ كَصَلَاتَيِ الْجَمْعِ لَمَّا كَانَتَا إذا وجب الترتيب، وَالثَّانِي: فِيهِمَا يَكُونُ قَضَاءً فَعَلَى هَذَا التَّرْتِيبُ مُسْتَحَبٌّ وَغَيْرُ وَاجِبٍ كَالصَّلَوَاتِ الْفَوَائِتِ لَمَّا كَانَتْ قَضَاءً لَمْ يَجِبِ التَّرْتِيبُ فِيهَا فَإِذَا قُلْنَا إِنَّ التَّرْتِيبَ غَيْرُ وَاجِبٍ وَهُوَ أَظْهَرُ الْقَوْلَيْنِ عِنْدِي لِأَنَّ التَّرْتِيبَ إِنَّمَا يَجِبُ فِي أَحَدِ مَوْضِعَيْنِ إِمَّا بَيْنَ أَشْيَاءَ مُخْتَلِفَةٍ كَالْجِمَارِ الثَّلَاثِ وَكَالْأَعْضَاءِ فِي الطَّهَارَةِ وَرَمْيُ الْيَوْمَيْنِ غَيْرُ مُخْتَلِفٍ؛ لِأَنَّ رَمْيَ الْأَوَّلِ كَرَمْيِ الْيَوْمِ الثَّانِي وَيَكُونُ وَاجِبًا فِيمَا يَجِبُ تَعْيِينُ النِّيَّةِ فِيهِ فَيَصِيرُ كَالْمُخْتَلِفِ بِاخْتِلَافِ النِّيَّةِ فِيهِ وَتَعْيِينُ النِّيَّةِ فِي رَمْيِ الْجِمَارِ غَيْرُ وَاجِبٍ، لِأَنَّ أَفْعَالَ الْحَجِّ لَا يَفْتَقِرُ كُلُّ فِعْلٍ مِنْهَا إِلَى نِيَّةٍ بَلْ إِذَا وَجَبَ الْفِعْلُ عَلَى الصِّفَةِ الْوَاجِبَةِ أَجْزَأَهُ عَنِ الْفَرْضِ فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ إِذَا ابتدأه فَرَمَى عَنِ الْيَوْمِ الثَّانِي ثُمَّ عَنِ الْيَوْمِ الأول أجزأه عنها جَمِيعًا وَإِذَا قُلْنَا إِنَّ التَّرْتِيبَ وَاجِبٌ فَخَالَفَ فَرَمَى عَنِ الْيَوْمِ الثَّانِي ثُمَّ عَنِ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ لَمْ يُجْزِهِ الرَّمْيُ عَنِ الْيَوْمِ الثَّانِي لِمُخَالَفَةِ التَّرْتِيبِ وَهَلْ يُجْزِئُهُ عَنِ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

dan kedua: yaitu pendapatnya dalam al-Imlā’ bahwa hal itu mustahabb dan bukan wājib; dan dua pendapat ini dibangun di atas perbedaan dua pendapatnya tentang orang yang melempar jumrah untuk hari pertama pada hari kedua, apakah dihitung sebagai adā’ atau *qadhā’? Salah satu dari dua pendapatnya mengatakan bahwa itu adā’, maka berdasarkan ini urutan menjadi wājib sebagaimana dua salat yang dijamak, ketika diwajibkan urutan di antara keduanya. Dan yang kedua: bahwa itu qadhā’, maka berdasarkan ini urutan hukumnya mustahabb dan bukan wājib, seperti salat-salat yang tertinggal, ketika dihukumi qadhā’ maka urutan tidak menjadi wājib.

Maka apabila kita katakan bahwa urutan itu tidak wājib — dan inilah pendapat yang lebih kuat menurutku — karena urutan itu hanya wājib dalam dua keadaan: pertama, antara hal-hal yang berbeda seperti tiga jumrah dan seperti anggota-anggota wudhu; dan lemparan hari pertama dan hari kedua tidaklah berbeda, karena lemparan hari pertama sama seperti lemparan hari kedua. Dan (urutan) menjadi wājib dalam hal-hal yang disyaratkan ta‘yīn an-niyyah padanya, maka ia menjadi seperti perkara yang berbeda karena perbedaan niat, dan ta‘yīn an-niyyah dalam lemparan jumrah tidak wājib, karena amalan-amalan haji tidak disyaratkan setiap perbuatannya disertai niat, bahkan apabila perbuatan itu dilakukan sesuai dengan sifat yang wājib, maka itu mencukupi dari kewajiban.

Maka berdasarkan pendapat ini, jika ia memulai lalu melempar untuk hari kedua, kemudian untuk hari pertama, maka sah keduanya. Dan jika kita katakan bahwa urutan itu wājib, lalu ia menyelisihi (urutan) dengan melempar untuk hari kedua kemudian untuk hari pertama, maka tidak sah lemparan hari kedua karena menyelisihi urutan. Adapun apakah sah untuk hari pertama, maka terdapat dua wajah (pendapat).


أَحَدُهُمَا: وَبِهِ قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ لَا يُجْزِئُهُ، لِأَنَّهُ وَضَعَ قَصْدَهُ فِي غَيْرِ مَوْضِعِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ رَمْيَ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ يُجْزِئُهُ وَهُوَ الصَّحِيحُ وَلَا أَعْرِفُ لِلْأَوَّلِ وَجْهًا؛ لِأَنَّ الْقَصْدَ فِيهِ صَحِيحٌ وَلَيْسَ وُجُودُ مَا قَبْلَهُ مِنَ الرَّمْيِ الَّذِي لَا يُعْتَدُّ بِهِ قَادِحًا فِي صِحَّتِهِ، كَمَا لَوْ رَمَى عابثاً، ولأن ترتيب الأيام في هَذَا الْقَوْلِ وَاجِبٌ كَمَا أَنَّ تَرْتِيبَ الْجَمَرَاتِ وَاجِبٌ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ نَكَسَ رَمْيَ الْجِمَارِ اعْتَدَّ لَهُ بِالْجَمْرَةِ الْأُولَى وَكَذَلِكَ إِذَا نَكَسَ رَمْيَ الْأَيَّامِ وَجَبَ أَنْ يُعْتَدَّ لَهُ بِالْيَوْمِ الْأَوَّلِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

salah satu dari keduanya: dan ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa itu tidak mencukupi, karena ia menempatkan niatnya bukan pada tempatnya.

wajah kedua: bahwa lemparan hari pertama mencukupi, dan inilah yang ṣaḥīḥ, dan aku tidak mengetahui alasan bagi pendapat pertama; karena niat dalam hal itu sudah benar, dan keberadaan lemparan sebelumnya yang tidak dianggap tidak merusak keabsahannya, sebagaimana jika ia melempar secara main-main. Dan karena tertib hari-hari dalam pendapat ini adalah wajib, sebagaimana tertib jumrah juga wajib, kemudian telah tetap bahwa jika seseorang membalik urutan lemparan jumrah maka dihitung baginya jumrah pertama, begitu pula jika ia membalik urutan hari-hari, maka wajib dihitung baginya hari pertama. Dan Allah lebih mengetahui.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا رَمَى فِي الْجَمْرَةِ الْأُولَى بِأَرْبَعَ عَشْرَةَ حَصَاةً فهذا على ضربين:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَرْمِيَ بِهَا عَنْ يَوْمٍ وَاحِدٍ لِجَمْرَتَيْنِ كَأَنَّهُ رَمَى فِيهَا بِسَبْعٍ ثُمَّ رَمَى فِيهَا بِسَبْعٍ عَنِ الْجَمْرَةِ الْوُسْطَى مِنْ رَمْيِ يَوْمِهِ فَهَذَا يُجْزِئُهُ فِي ذَلِكَ السَّبْعُ عَنِ الْجَمْرَةِ الْأُولَى؛ وَلَا يُجْزِئُهُ السَّبْعُ عَنِ الْجَمْرَةِ الْوُسْطَى لِرَمْيِهَا فِي غَيْرِ مَحَلِّهَا.

PASAL
 Adapun jika ia melempar di jumrah pertama dengan empat belas batu kerikil, maka hal ini ada dua bentuk:

Pertama: yaitu ia melempar dengan empat belas batu itu untuk dua jumrah dalam satu hari, seakan-akan ia melemparkan tujuh untuk jumrah tersebut, kemudian melemparkan tujuh lagi untuk jumrah wusthā pada hari itu juga, maka tujuh yang pertama mencukupi untuk jumrah pertama; dan tujuh yang kedua tidak mencukupi untuk jumrah wusthā karena dilemparkan tidak pada tempatnya.

 

والضرب الثاني: أن يرمي بها لِجَمْرَةٍ وَاحِدَةٍ عَنْ يَوْمَيْنِ كَأَنَّهُ رَمَى فِيهَا بِسَبْعٍ عَنْ أَمْسِهِ ثُمَّ بِسَبْعٍ عَنْ يَوْمِهِ فَهَذَا يُجْزِئُهُ السَّبْعُ الَّتِي رَمَاهَا عَنْ أَمْسِهِ وَهَلْ يُجْزِئُهُ السَّبْعُ الَّتِي رَمَاهَا عَنْ يَوْمِهِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ فِي وُجُوبِ التَّرْتِيبِ وَإِنْ قِيلَ إِنَّ تَرْتِيبَ رَمْيِ الْيَوْمَيْنِ وَاجِبٌ لَمْ يُجْزِهِ عَنِ الْيَوْمِ الثَّانِي وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ غَيْرُ وَاجِبٍ أَجْزَأَهُ عَنِ الْيَوْمِ الثَّانِي لِأَنَّهُ لَمَّا أَجْزَأَهُ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ تَقْدِيمُ هَذِهِ الْجَمْرَةِ عَلَى جِمَارِ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ كُلِّهَا كَانَ تَقْدِيمُهَا عَلَى بَعْضِ جِمَارِ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ أَوْلَى.

dan jenis kedua: yaitu seseorang melempar satu jumrah dengan tujuh batu untuk dua hari, seakan-akan ia melemparinya dengan tujuh batu untuk hari kemarinnya, kemudian tujuh batu untuk harinya saat itu. Maka tujuh batu yang dilemparkan untuk hari kemarin mencukupi baginya. Adapun apakah tujuh batu yang dilemparkan untuk hari itu mencukupi, tergantung pada dua pendapat tentang wajibnya tertib. Jika dikatakan bahwa tertib lemparan dua hari adalah wajib, maka tidak mencukupi untuk hari kedua. Dan jika dikatakan bahwa tertib itu tidak wajib, maka mencukupi baginya untuk hari kedua. Karena, menurut pendapat ini, ketika mendahulukan jumrah ini atas seluruh jumrah hari pertama dianggap sah, maka mendahulukannya atas sebagian jumrah hari pertama lebih utama lagi.


مَسْأَلَةٌ: قال الشافعي رضي الله عنه: ” إن أَخَّرَ ذَلِكَ حَتَى تَنْقَضِيَ أَيَّامُ الرَّمْيِ وَتَرَكَ حَصَاةً فَعَلَيْهِ مُدُّ طَعَامٍ بِمُدِّ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لمسكين فإن كانت حصاتان فمدان لمسكينين وإن كانت ثَلَاثَ حصياتٍ فدمٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا مَا تَرَكَهُ مِنْ رَمْيِ الْجِمَارِ حَتَّى خَرَجَتْ أَيَّامُ مِنًى وَخُرُوجُهَا بِغُرُوبِ الشَّمْسِ مِنَ الْيَوْمِ الثَّالِثِ فَإِنَّهُ لَا يَقْضِيهِ لَا يَخْتَلِفُ وَقَدْ دَلَّلْنَا عليه من قَبْلَ ذَلِكَ وَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ وَإِنْ كَانَ الَّذِي تَرَكَهُ حَصَاةً وَاحِدَةً وَهُوَ أَنْ يَتْرُكَ ذَلِكَ مِنَ الْجَمْرَةِ الْأَخِيرَةِ فِي الْيَوْمِ الْأَخِيرِ فَفِيمَا يَلْزَمُهُ مِنَ الْفِدْيَةِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ كَالشَّعْرَةِ الْوَاحِدَةِ إِذَا حَلَقَهَا الْمُحْرِمُ.

Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang mengakhirkan hal itu hingga hari-hari melempar berakhir, lalu ia meninggalkan satu batu kerikil, maka atasnya wajib memberi satu mudd makanan menurut takaran mudd Nabi SAW untuk satu orang miskin. Jika yang ditinggalkan dua batu, maka dua mudd untuk dua orang miskin. Dan jika tiga batu kerikil, maka wajib menyembelih dam.”

Al-Māwardī berkata: Adapun apa yang ia tinggalkan dari lempar jumrah hingga keluar hari-hari Mina — dan berakhirnya hari-hari Mina adalah dengan tenggelamnya matahari hari ketiga — maka tidak ada qadhā’-nya, tidak ada perbedaan dalam hal ini, dan kami telah menjelaskannya sebelumnya. Maka atasnya wajib membayar fidyah, meskipun yang ditinggalkan hanyalah satu batu, yaitu jika ia meninggalkan satu batu dari jumrah terakhir pada hari terakhir. Maka dalam hal kewajiban fidyah atasnya terdapat tiga pendapat, sebagaimana halnya satu helai rambut jika dicukur oleh seorang yang berihram.


أَحَدُهَا: وَهُوَ الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ عَلَيْهِ مُدٌّ وَاحِدٌ.
وَالثَّانِي: عَلَيْهِ دِرْهَمٌ.
وَالثَّالِثُ: وَحَكَاهُ الْحُمَيْدِيُّ عَلَيْهِ ثلاث شَاةٍ وَقَدْ ذَكَرْنَا تَوْجِيهَ هَذِهِ الْأَقَاوِيلِ فِي حَلْقِ الشَّعْرَةِ الْوَاحِدَةِ فَإِنْ تَرَكَ حَصَاتَيْنِ فَأَحَدُ الْأَقَاوِيلِ عَلَيْهِ مُدَّانِ.
وَالثَّانِي: عَلَيْهِ دِرْهَمَانِ.
وَالثَّالِثُ: عَلَيْهِ ثُلُثُ شَاةٍ وَإِنْ تَرَكَ ثَلَاثَ حَصَيَاتٍ فَأَكْثَرَ فَعَلَيْهِ دَمٌ كَمَا لَوْ حَلَقَ ثَلَاثَ شَعْرَاتٍ فَصَاعِدًا وَكَذَا لَوْ تَرَكَ رَمْيَ الْيَوْمِ كُلِّهِ فَعَلَيْهِ دَمٌ كَمَا لَوْ حَلَقَ شَعْرَ رَأْسِهِ كُلَّهُ فَأَمَّا إِذَا تَرَكَ رَمْيَ الْأَيَّامِ الثَّلَاثَةِ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

pertama: dan inilah yang dinyatakan secara naṣṣ dalam tempat ini, wajib baginya satu mudd.

kedua: wajib baginya satu dirham.

ketiga: dan ini dinukil oleh al-Ḥumaidī, wajib baginya tiga ekor kambing. Dan kami telah menyebutkan penjelasan bagi pendapat-pendapat ini dalam hal mencukur satu helai rambut.

Jika ia meninggalkan dua batu kerikil, maka:

— pendapat pertama: wajib baginya dua mudd,
 — pendapat kedua: dua dirham,
 — pendapat ketiga: sepertiga kambing.

Dan jika ia meninggalkan tiga batu kerikil atau lebih, maka wajib baginya dam, sebagaimana bila ia mencukur tiga helai rambut atau lebih.

Demikian pula jika ia meninggalkan lemparan untuk satu hari penuh, maka wajib baginya dam, sebagaimana jika ia mencukur seluruh rambut kepalanya.

Adapun jika ia meninggalkan lemparan pada tiga hari, maka ada dua pendapat:


أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَلَيْهِ دَمًا وَاحِدًا وَهَذَا عَلَى قَوْلِ الَّذِي يَقُولُ إِنَّ أَيَّامَ مِنًى كَالْيَوْمِ الْوَاحِدِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ عليه ثلاث دماء وهذا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَقُولُ إِنَّ لِكُلِّ يَوْمٍ حُكْمَ نَفْسِهِ فَلَوْ تَرَكَ رَمْيَ يَوْمِ النَّحْرِ وأيام منى الثلاثة ففيه ثلاث مَذَاهِبَ.
أَحَدُهَا: أَنَّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ دِمَاءٍ إِذَا قِيلَ إِنَّ لِكُلِّ يَوْمٍ حُكْمَ نَفْسِهِ.
وَالثَّانِي: عَلَيْهِ دَمٌ وَاحِدٌ إِذَا قِيلَ إِنَّ يَوْمَ النَّحْرِ وَأَيَّامَ مِنًى كَالْيَوْمِ الْوَاحِدِ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ عَلَيْهِ دَمَيْنِ إِذَا قِيلَ إِنَّ يَوْمَ النَّحْرِ لَهُ حُكْمُ نَفْسِهِ وَأَيَّامُ مِنًى كَالْيَوْمِ الْوَاحِدِ.

Pertama: bahwa atasnya wajib satu ekor dam, dan ini menurut pendapat yang mengatakan bahwa hari-hari Mina hukumnya seperti satu hari saja.

Pendapat kedua: bahwa atasnya wajib tiga ekor dam, dan ini berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa setiap hari memiliki hukum tersendiri. Maka jika seseorang meninggalkan lemparan pada hari nahr dan tiga hari Mina, maka terdapat tiga mazhab:

Pertama: bahwa atasnya wajib empat ekor dam, jika dikatakan bahwa setiap hari memiliki hukum tersendiri.

Kedua: bahwa atasnya cukup satu ekor dam, jika dikatakan bahwa hari nahr dan hari-hari Mina hukumnya seperti satu hari.

Ketiga: bahwa atasnya wajib dua ekor dam, jika dikatakan bahwa hari nahr memiliki hukum tersendiri, sedangkan hari-hari Mina hukumnya seperti satu hari.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْمَرِيضُ الْعَاجِزُ عَنِ الرَّمْيِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ وَاجِبٌ لِمَنْ لَمْ يُمْكِنْهُ الرَّمْيُ بِنَفْسِهِ لِمَرَضٍ بِهِ أَنْ يُنَاوِلَ الْحَصَى لِمَنْ يَرْمِي عَنْهُ لِيَكُونَ لَهُ فِعْلُ الرَّمْيِ فَإِنْ لَمْ يُنَاوِلْهُ حَتَّى رَمَى عَنْهُ أَجْزَأَهُ وَإِنَّمَا أَجْزَأَهُ أَنْ يَرْمِيَ عَنْهُ غَيْرُهُ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَتِ النِّيَابَةُ عَنْهُ فِي أَصْلِ الْحَجِّ فَجَوَازُهَا فِي أَبْعَاضِهِ أَوْلَى فَإِنْ رَمَى عَنْهُ ثُمَّ صَحَّ مِنْ مَرَضِهِ بَعْدَ أَيَّامِ مِنًى أَجْزَأَهُ الرَّمْيُ وَإِنْ صَحَّ فِي أَيَّامِ مِنًى وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يَرْمِيَ مَا بَقِيَ مِنَ الرَّمْيِ وَيُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يُعِيدَ مَا رُمِيَ عَنْهُ لِيَكُونَ مُبَاشِرًا لَهُ فِي وَقْتِهِ وَلَا يَجِبَ عَلَيْهِ لِسُقُوطِ الرَّمْيِ عَنْهُ بِفِعْلِ غَيْرِهِ.

PASAL
 Adapun orang sakit yang tidak mampu melempar jumrah, maka Imam al-Syafi‘i dalam pendapat qadīm-nya mengatakan: wajib bagi orang yang tidak memungkinkan baginya untuk melempar sendiri karena sakit, agar menyerahkan batu kerikil kepada orang yang melempar untuknya, supaya perbuatan lemparan itu dinisbahkan kepadanya. Jika ia tidak menyerahkannya sampai orang lain melemparkan untuknya, maka itu tetap mencukupi.

Dan lemparan oleh orang lain mencukupi karena ketika diperbolehkan wakil dalam pokok ibadah haji, maka memperbolehkannya dalam sebagian dari ibadah haji lebih utama lagi.

Jika ada yang melemparkan untuknya, lalu ia sembuh dari sakitnya setelah hari-hari Mina, maka lemparan itu sudah mencukupi. Namun jika ia sembuh di tengah-tengah hari-hari Mina, maka wajib baginya untuk melempar sendiri apa yang masih tersisa dari lemparan, dan disunnahkan baginya untuk mengulangi lemparan yang telah dilakukan atas namanya, agar ia sendiri yang melakukannya pada waktunya. Meskipun demikian, tidak wajib baginya karena kewajiban lemparan telah gugur darinya dengan perbuatan orang lain.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْمُغْمَى عَلَيْهِ فَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ فِي الرَّمْيِ عَنْهُ قَبْلَ إِغْمَائِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَرْمِيَ عَنْهُ لِأَنَّهُ حَيٌّ وَالنِّيَابَةُ فِي أَفْعَالِ الْحَجِّ عَنِ الْحَيِّ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَإِنْ أَذِنَ فِي إِغْمَائِهِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ لَا حُكْمَ لَهُ لِأَنَّهُ وَإِنْ أَذِنَ قَبْلَ إِغْمَائِهِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ حِينَ أَذِنَ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُطِيقًا لِلرَّمْيِ أَوْ عَاجِزًا عَنْهُ فَإِنْ كَانَ حِينَئِذٍ مُطِيقًا لِلرَّمْيِ لَمْ يُجْزِ الرَّمْيُ عَنْهُ لِأَنَّ الْمُطِيقَ لَا تَصِحُّ النِّيَابَةُ عَنْهُ فَلَمْ يَصِحَّ الْإِذْنُ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ حينئذٍ عَاجِزًا عَنِ الرَّمْيِ بِهُجُومِ الْمَرَضِ قَبْلَ تَمَكُّنِ الْإِغْمَاءِ أَجْزَأَ الرَّمْيُ عَنْهُ لِفِعْلِهِ عَنْ إِذْنِ مَنْ يَصِحُّ الْإِذْنُ مِنْهُ.

PASAL
 Adapun orang yang pingsan, jika ia tidak memberi izin untuk melempar jumrah atas namanya sebelum pingsan, maka tidak sah melempar atas namanya, karena ia masih hidup dan perwakilan dalam amalan-amalan haji atas orang yang hidup tidak sah kecuali dengan izinnya. Jika ia memberi izin ketika dalam keadaan pingsan, maka tidak sah karena tidak ada hukum bagi izinnya (dalam kondisi itu). Dan jika ia memberi izin sebelum pingsan, maka keadaannya saat memberi izin itu tidak lepas dari dua hal:

Pertama, ia dalam keadaan mampu melempar;
 atau kedua, ia tidak mampu melempar.

Jika saat itu ia mampu melempar, maka tidak sah lemparan atas namanya karena orang yang mampu tidak sah dilakukan perwakilan untuknya, sehingga izinnya tidak sah. Dan jika saat itu ia tidak mampu melempar karena serangan sakit sebelum terjadinya pingsan, maka sah lemparan atas namanya, karena dilakukan dengan izin dari orang yang sah izinnya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْمَحْبُوسُ بِحَقٍّ أَوْ غَيْرِ حَقٍّ إِذَا أَذِنَ فِي الرَّمْيِ عَنْهُ أَجْزَأَهُ إِذَا رُمِيَ عَنْهُ لِأَنَّهُ عَاجِزٌ عَنِ الرَّمْيِ كَالْمَرِيضِ فَإِنْ قِيلَ هَلَّا مَنَعْتُمْ مِنَ الرَّمْيِ عَنِ الْمَحْبُوسِ كَمَا مَنَعْتُمْ مِنَ الحج عن المريض المرجو برءه. قِيلَ لِأَنَّ لِلرَّمْيِ وَقْتًا يَفُوتُ بِتَأْخِيرِهِ وَلَيْسَ لِلْحَجِّ وَقْتٌ يَفُوتُ بِتَأْخِيرِهِ.

PASAL
 Adapun orang yang dipenjara, baik dengan hak maupun tanpa hak, maka jika ia mengizinkan untuk dilakukan lemparan atas namanya, maka lemparan itu mencukupi baginya jika memang telah dilemparkan untuknya, karena ia tidak mampu melakukan lemparan sebagaimana orang sakit.

Jika dikatakan: mengapa kalian tidak melarang lemparan atas nama orang yang dipenjara sebagaimana kalian melarang haji bagi orang sakit yang masih diharapkan kesembuhannya?

Maka dijawab: karena lempar jumrah memiliki waktu yang akan habis bila ditunda, sedangkan haji tidak memiliki waktu yang akan terluput karena penundaan.


فَصْلٌ
: وَيُخْتَارُ أَنْ يُرْمَى عَنِ الْمَرِيضِ وَالْعَاجِزِ مَنْ قَدْ رَمَى عَنْ نَفْسِهِ كَمَا يَحُجُّ عَنِ الْعَاجِزِينَ مَنْ حَجَّ عَنْ نَفْسِهِ فَإِنْ رَمَى عَنْهُ مَنْ لَمْ يَرْمِ عَنْ نَفْسِهِ فَإِنْ رَمَى عَنِ الْمَرِيضِ أَوَّلًا ثُمَّ عَنْ نَفْسِهِ أَجْزَأَهُ رَمْيُهُ عَنْ نَفْسِهِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي أَيِّ الرَّمْيَيْنِ أَجْزَأَهُ عَنْ نَفْسِهِ هَلْ هُوَ الرَّمْيُ الْأَوَّلُ الَّذِي رَمَاهُ عَنِ الْمَرِيضِ أَوْ هُوَ الرَّمْيُ الثاني الذي رماه عن نفسه فَأَحَدُ مَذْهَبَيْ أَصْحَابِنَا إِنَّهُ الرَّمْيُ الثَّانِي لِوُجُودِ الْقَصْدِ فِيهِ.

PASAL
 Disunnahkan agar yang melempar atas nama orang sakit dan orang yang tidak mampu adalah orang yang telah melempar untuk dirinya sendiri, sebagaimana orang yang telah berhaji untuk dirinya boleh menghajikan orang yang tidak mampu. Maka jika seseorang melempar atas nama orang sakit padahal ia belum melempar untuk dirinya, kemudian ia melempar untuk dirinya setelah itu, maka lemparan untuk dirinya tetap sah.

Para sahabat kami berselisih pendapat mengenai lemparan mana yang dianggap sah untuk dirinya: apakah lemparan pertama yang ia lakukan atas nama orang sakit, ataukah lemparan kedua yang ia lakukan untuk dirinya sendiri? Salah satu dari dua mazhab sahabat kami mengatakan bahwa yang sah adalah lemparan yang kedua karena padanyalah terdapat niat yang ditujukan untuk dirinya sendiri.


وَالثَّانِي: إِنَّهُ الرَّمْيُ الْأَوَّلُ لِأَنَّ مَنْ كَانَ عَلَيْهِ نُسُكٌ فَفَعَلَهُ عَنْ غَيْرِهِ وَقَعَ عَنْ نَفْسِهِ كَالطَّوَافِ فَأَمَّا رَمْيُهُ عَنِ الْمَرِيضِ فَهَلْ يُجْزِئُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يُجْزِي عَنِ الْمَرِيضِ لِأَنَّنَا إِنْ جَعَلْنَا الرَّمْيَ الْأَوَّلَ عَنِ النَّائِبِ فَالثَّانِي لَمْ يَقْصِدْ بِهِ الْمَرِيضَ وَإِنْ جَعَلْنَا الثَّانِيَ عَنِ النَّائِبِ فَقَدْ وُجِدَ الْأَوَّلُ قَبْلَ رَمْيِهِ عَنْ نَفْسِهِ فَلَمْ يُجْزِهِ عَنِ الْمَرِيضِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إن رميه عن المريض يجزئ ولأن حُكْمَ الرَّمْيِ أَخَفُّ مِنْ سَائِرِ أَرْكَانِ الْحَجِّ فَجَازَ أَنْ يَفْعَلَهُ عَنِ الْمَرِيضِ قَبْلَ فِعْلِهِ عن نفسه.

dan yang kedua: bahwa itu adalah lemparan pertama, karena siapa yang memiliki nusuk lalu melakukannya untuk orang lain, maka berlaku untuk dirinya sendiri, seperti ṭawāf.

Adapun lemparannya untuk orang sakit, apakah mencukupi atau tidak? Maka terdapat dua wajah:

pertama: tidak mencukupi untuk orang sakit, karena jika kita menganggap lemparan pertama itu atas nama wakil, maka lemparan kedua tidak diniatkan untuk orang sakit. Dan jika kita anggap yang kedua itu atas nama wakil, maka telah terjadi lemparan pertama sebelum ia melempar untuk dirinya sendiri, sehingga tidak mencukupi untuk orang sakit.

dan wajah kedua: bahwa lemparannya untuk orang sakit mencukupi, karena hukum lemparan lebih ringan daripada rukun-rukun haji lainnya, maka diperbolehkan melakukannya untuk orang sakit sebelum ia melakukannya untuk dirinya sendiri.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن ترك الميت لَيْلَةً مِنْ لَيَالِي مِنًى فَعَلَيْهِ مُدٌّ وَإِنْ تَرَكَ لَيْلَتَيْنِ فَعَلَيْهِ مُدَّانِ وَإِنْ تَرَكَ ثَلَاثَ ليالٍ فَدَمٌ وَالَدَمُ شَاةٌ يَذْبَحُهَا لِمَسَاكِينِ الْحَرَمِ ولا رُخْصَةَ فِي تَرْكِ الْمَبِيتِ بِمِنًى إِلَّا لِرَعَاءِ الإبل وأهل سقاية العباس دون غيرهم ولا رخصة فيها إلا لمن ولي القيام عليها منهم وسواء من استعمل عليها منهم أو من غيرهم لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أرخص لأهل السقاية من أهل بيته أن يبيتوا بمكة ليالي منىً “.

Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang meninggalkan bermalam satu malam dari malam-malam Mina, maka atasnya wajib satu mudd. Jika ia meninggalkan dua malam, maka atasnya dua mudd. Jika ia meninggalkan tiga malam, maka atasnya dam, yaitu seekor kambing yang disembelih untuk para miskin di tanah haram.

Dan tidak ada rukhshah (keringanan) dalam meninggalkan bermalam di Mina kecuali bagi para penggembala unta dan petugas penyediaan air minum dari kalangan keluarga al-‘Abbās, tidak selain mereka. Dan tidak ada rukhshah kecuali bagi yang bertugas secara langsung dalam pelayanan tersebut, baik yang diangkat dari kalangan mereka sendiri ataupun dari selain mereka, karena Nabi SAW memberikan rukhshah kepada orang-orang yang bertugas menyediakan air minum dari keluarganya untuk bermalam di Makkah pada malam-malam Mina.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْمَبِيتُ بِمِنًى فِي لَيَالِي مِنًى فَسُنَّةٌ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَاتَ بِهَا وَأَرْخَصَ لِلرُّعَاةِ وَأَهْلِ السِّقَايَةِ فِي التأخر عنها فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَنْ لَمْ يُرَخِّصْ لَهُ فِي التَّأْخِيرِ مَحْظُورٌ عَلَيْهِ التَّأْخِيرُ عَنْهَا وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يَجُوزُ تَرْكُ الْمَبِيتِ بِمِنًى إِلَّا لِمَنْ أَرْخَصَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في ترك المبيت بها وهما طائفتان:
أحدهما: رُعَاةُ الْإِبِلِ، وَالطَّائِفَةُ الثَّانِيَةُ أَهْلُ سِقَايَةِ الْعَبَّاسِ قال الشافعي: دون غيرهم مِنَ السِّقَايَاتِ وَسَوَاءٌ مَنْ وَلِيَ الْقِيَامَ عَلَيْهَا مِنْهُمْ أَوْ مِنْ غَيْرِهِمْ.

berkata al-Māwardī: Adapun bermalam di Mina pada malam-malam Mina adalah sunah, karena Rasulullah SAW bermalam di sana dan memberi keringanan kepada para penggembala dan para petugas penyedia air minum untuk menunda (mabit), maka hal itu menunjukkan bahwa siapa yang tidak diberi keringanan untuk menunda, maka diharamkan baginya menunda dari mabit tersebut. Jika demikian, maka tidak boleh meninggalkan bermalam di Mina kecuali bagi orang yang telah diberi keringanan oleh Rasulullah SAW untuk tidak bermalam di sana, dan mereka ada dua golongan:

pertama: para penggembala unta,
 dan golongan kedua: para petugas penyedia air minum dari keluarga al-‘Abbās.

berkata asy-Syāfi‘ī: tidak berlaku bagi selain mereka dari petugas-petugas penyedia air minum, dan sama saja siapa pun yang mengurusi pekerjaan itu, apakah dari mereka atau dari selain mereka.


وَقَالَ مَالِكٌ: الرُّخْصَةُ لمن ولي عليها مِنْ بَنِي الْعَبَّاسِ دُونَ غَيْرِهِمْ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ الرُّخْصَةَ إِنَّمَا كَانَتْ لِاشْتِغَالِهِمْ بِإِصْلَاحِ الشَّرَابِ وَإِسْقَاءِ الْمَاءِ مَعُونَةً لِلْحَاجِّ وَإِرْفَاقِهِمْ لَهُ فَكَانَ غَيْرُهُمْ مِمَّنْ وَلِيَ ذَلِكَ فِي مَعْنَاهُمْ، فَأَمَّا أَصْحَابُ الْأَعْذَارِ مِنْ غَيْرِ هَؤُلَاءِ الطَّائِفَتَيْنِ كَالْخَائِفِ وَالْمَرِيضِ وَالْمُقِيمِ عَلَى حِفْظِ مَالِهِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا، فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَكُلُّ مَنْ جَازَ لَهُ تَرْكُ الْمَبِيتِ بِمِنًى مِمَّنْ ذَكَرْنَا جَازَ لَهُ تَرْكُ الرَّمْيِ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ مِنْ أَيَّامِ مِنًى فَإِذَا كَانَ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي أَتَى مِنًى عَنْ أَمْسِهِ ثُمَّ عَنْ يَوْمِهِ وَأَفَاضَ مِنْهَا فِي يَوْمِهِ مَعَ النَّفْرِ الْأَوَّلِ.

Imam Mālik berkata: Rukhshah (keringanan) itu hanya untuk orang yang memegang tugas tersebut dari kalangan Bani al-‘Abbās, tidak selain mereka. Dan ini adalah kesalahan; karena rukhshah itu diberikan karena kesibukan mereka dalam memperbaiki tempat minum dan menyediakan air sebagai bantuan bagi para jemaah haji serta bentuk kelembutan bagi mereka. Maka siapa pun selain mereka yang melaksanakan tugas itu, ia termasuk dalam makna yang sama dengan mereka.

Adapun orang-orang yang memiliki uzur dari selain dua kelompok tersebut — seperti orang yang takut (bahaya), orang sakit, atau orang yang tinggal untuk menjaga hartanya — maka terdapat dua wajah (pendapat) yang telah berlalu.

Jika hal ini telah ditetapkan, maka setiap orang yang boleh meninggalkan bermalam di Mina dari kalangan yang telah disebutkan, juga diperbolehkan baginya meninggalkan melempar pada hari pertama dari hari-hari Mina. Maka ketika datang di hari kedua, ia menuju Mina, lalu melempar untuk hari sebelumnya, kemudian untuk harinya, lalu berangkat dari Mina pada hari itu bersama orang-orang yang nafr awal.


فَأَمَّا غَيْرُ مَنْ ذَكَرْنَا مَنْ أَهْلِ الْأَعْذَارِ فَلَا يَجُوزُ لَهُمْ تَرْكُ الْمَبِيتِ بِهَا فِي الليلة الثالثة إن أفاضوا من النَّفْرِ الْأَوَّلِ فَأَمَّا مَنْ تَرَكَ الْمَبِيتَ فِي اللَّيْلَةِ الْأُولَى وَلَا فِي اللَّيْلَةِ الثَّانِيَةِ وَيَجُوزُ تَرْكُ الْمَبِيتِ بِهَا فِي اللَّيْلَةِ الْأُولَى وَبَاتَ فِي اللَّيْلَةِ الثَّانِيَةِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُفِيضَ فِي النَّفْرِ الْأَوَّلِ وَلَزِمَهُ أَنْ يَبِيتَ فِي اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ لِأَنَّ مَنْ بَاتَ فِي اللَّيْلَةِ الْأُولَى وَالثَّانِيَةِ جَازَ أَنْ يُفِيضَ فِي النَّفْرِ الْأَوَّلِ وَيَدَعَ الْمَبِيتَ فِي اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ لِأَنَّهُ قَدْ أَتَى بِأَكْثَرِ النُّسُكِ وَمُعْظَمِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فِي تَرْكِ الْأَقَلِّ وَمَنْ بَاتَ فِي اللَّيْلَةِ الثَّانِيَةِ دُونَ الْأُولَى فَقَدْ أَتَى بِأَقَلِّ النُّسُكِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فِي تَرْكِ الْأَكْثَرِ وَإِذَا بَاتَ أَكْثَرَ لَيْلِهِ بِمِنًى أَجْزَاهُ أَنْ يَخْرُجَ أَوَّلَ لَيْلِهِ أَوْ آخِرَهُ عَنْ مِنًى.

Adapun selain dari yang telah kami sebutkan, dari kalangan orang-orang yang memiliki uzur, maka tidak boleh bagi mereka meninggalkan mabit di Mina pada malam ketiga jika mereka telah melakukan ifāḍah pada nafr pertama.

Adapun orang yang tidak bermalam pada malam pertama dan tidak pula pada malam kedua, dan dia hanya bermalam pada malam kedua saja, maka tidak boleh baginya melakukan ifāḍah pada nafr pertama, dan wajib atasnya bermalam pada malam ketiga. Karena siapa yang telah bermalam pada malam pertama dan kedua, maka boleh baginya melakukan ifāḍah pada nafr pertama dan meninggalkan mabit pada malam ketiga, karena ia telah melaksanakan kebanyakan manasik dan bagian terbesarnya, maka diberi keringanan untuk meninggalkan yang lebih sedikit.

Dan siapa yang bermalam hanya pada malam kedua tanpa malam pertama, maka ia baru melaksanakan bagian yang lebih sedikit dari manasik, sehingga tidak boleh diberi keringanan untuk meninggalkan yang lebih banyak.

Dan apabila ia telah bermalam di sebagian besar malamnya di Mina, maka cukup baginya keluar dari Mina di awal malam atau di akhirnya.


قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَوْ شَغَلَهُ طَوَافُ الْإِفَاضَةِ حَتَّى يَكُونَ لَيْلُهُ أَوْ أَكْثَرُهُ بِمَكَّةَ لَمْ يكن عليه فدية من قبل إن كَانَ لَازِمًا لَهُ مِنْ عَمَلِ الْحَجِّ وَإِنَّهُ كَانَ لَهُ أَنْ يَعْمَلَهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ وَإِنَّهُ لَوْ كَانَ عَمَلُهُ تَطَوُّعًا اقْتِدَاءً قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ: وَاسْتُحِبَّ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَنْزِلَ بِمِنًى فِي الْخَيْفِ الْأَيْمَنِ مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ مَنْزِلُ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.

Imam al-Syafi‘i berkata: “Seandainya seseorang disibukkan oleh ṭawāf al-ifāḍah hingga malam harinya — atau sebagian besar malamnya — berada di Makkah, maka tidak wajib atasnya fidyah, karena (ṭawāf itu) merupakan bagian dari amal haji yang wajib atasnya, dan memang diperbolehkan baginya untuk melakukannya pada waktu tersebut. Seandainya yang ia kerjakan adalah amalan sunnah sebagai bentuk meneladani (Nabi), maka hukumnya lain.”

Imam al-Syafi‘i berkata dalam al-Qadīm: “Disunnahkan bagi seseorang untuk bermalam di Mina di sisi kanan al-Khaif, karena itulah tempat bermalam Rasulullah SAW.”


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْفِدْيَةُ فِي تَرْكِ الْمَبِيتِ فَإِنْ تَرَكَ لَيْلَةً فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَمَنْصُوصُهُ أَنَّ عَلَيْهِ مُدًّا مِنْ طَعَامٍ، وَفِيهَا قَوْلٌ ثَانٍ إِنَّ عَلَيْهِ دِرْهَمًا، وَفِيهَا قَوْلٌ ثَالِثٌ: إِنَّ عَلَيْهِ ثُلُثَ شَاةٍ كَمَا قُلْنَا فِي الشَّعْرَةِ وَالْحَصَاةِ فَإِنْ تَرَكَ لَيْلَتَيْنِ فَعَلَيْهِ مُدَّانِ.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: دِرْهَمَانِ.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: ثُلُثُ شَاةٍ فَإِنْ تَرَكَ ثَلَاثَ لَيَالٍ فَعَلَيْهِ دَمٌ لَا يَخْتَلِفُ الْمَذْهَبُ.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَا شَيْءَ عَلَيْهِ فِي تَرْكِ الْمَبِيتِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ مَبِيتٌ مَشْرُوعٌ بِمِنًى فَوَجَبَ أَنْ لَا يَتَعَلَّقَ بِهِ دَمٌ قِيَاسًا عَلَى لَيْلَةِ عَرَفَةَ.

PASAL
 Adapun fidyah karena meninggalkan mabit, maka jika seseorang meninggalkan satu malam, mazhab asy-Syāfi‘ī dan pendapat yang dinukil darinya menetapkan bahwa wajib atasnya satu mudd makanan. Ada pendapat kedua: wajib atasnya satu dirham. Dan pendapat ketiga: wajib atasnya sepertiga ekor kambing, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam kasus sehelai rambut dan satu kerikil.

Jika ia meninggalkan dua malam, maka:

– pendapat pertama: wajib dua mudd,
 – pendapat kedua: dua dirham,
 – pendapat ketiga: sepertiga kambing.

Jika ia meninggalkan tiga malam, maka wajib atasnya dam, dan tidak ada perbedaan dalam mazhab tentang hal ini.

Adapun Abū Ḥanīfah berkata: tidak ada kewajiban apa pun atas orang yang meninggalkan mabit, dengan berdalil bahwa mabit tersebut merupakan mabit yang disyariatkan di Mina, maka seharusnya tidak ada kewajiban dam padanya, berdasarkan qiyās terhadap malam ‘Arafah.


وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ نُسُكٌ مَشْرُوعٌ بَعْدَ التَّحَلُّلِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ وَاجِبًا يَتَعَلَّقُ بِتَرْكِهِ الدَّمُ قِيَاسًا عَلَى الرَّمْيِ، فَأَمَّا لَيْلَةُ عَرَفَةَ فَلَيْسَتْ نُسُكًا فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْفِدْيَةَ مَا ذَكَرْنَا فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ هَلْ ذَلِكَ وَاجِبٌ أَوْ مُسْتَحَبٌّ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ وَاجِبٌ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ فِي ” الأم ” و ” الإملاء ” أنه استحباب وهذا أحد الدماء الأربعة فقد ذكرنا وجه ذلك.

Dalil kami adalah bahwa bermalam di Mina merupakan nusuk yang disyariatkan setelah tahallul, maka wajib hukumnya dan meninggalkannya mewajibkan dam, dengan qiyās terhadap (hukum) melempar jumrah. Adapun malam Arafah, itu bukanlah nusuk.

Maka apabila telah ditetapkan bahwa fidyah adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan, sungguh telah terjadi perbedaan pendapat dari Imam al-Syafi‘i apakah hal itu wājib atau mustahabb, dengan dua pendapat:

Pertama: yaitu pendapatnya dalam al-Qadīm dan al-Jadīd, bahwa itu wājib.
 Pendapat kedua: yang dinyatakannya dalam al-Umm dan al-Imlā’, bahwa itu mustahabb. Dan ini termasuk salah satu dari empat jenis dam, dan kami telah menyebutkan alasan dari hal tersebut.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَفْعَلُ الصَّبِيُّ فِي كُلِّ أَمْرِهِ مَا يَفْعَلُ الْكَبِيرُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِحْرَامُ الصَّبِيِّ فَصَحِيحٌ فَإِنْ كَانَ مُرَاهِقًا صَحَّ إِحْرَامُهُ بِنَفْسِهِ وَإِنْ كان طفلاً أحرم عنه وليه وكان إحرامه لِلصَّبِيِّ شَرْعِيًّا وَإِنْ فَعَلَ الصَّبِيُّ مَا يُوجِبُ الْفِدْيَةَ لَزِمَتْهُ الْفِدْيَةُ وَقَالَ أبو حنيفة: إِحْرَامُ الصَّبِيِّ غَيْرُ مُنْعَقِدٍ وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ فِيمَا يَفْعَلُهُ مِنَ الْمَحْظُورَاتِ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ ” وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَمْ يُلْزَمِ الْحَجَّ بقوله لم يلزمه بفعله كالمجنون، ولأنها عبارة عَنِ الْبَدَنِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَنُوبَ الْكَبِيرُ فِيهَا عَنِ الصَّغِيرِ كَالصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ.

Masalah:
 Berkata asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh: “Anak kecil melakukan dalam seluruh amalnya sebagaimana yang dilakukan oleh orang dewasa.”

Berkata al-Māwardī: Adapun iḥrām anak kecil maka hukumnya sah. Jika ia sudah mendekati balig (murāhiq), maka sah iḥrām-nya atas inisiatif dirinya sendiri. Dan jika ia masih kecil (ṭifl), maka iḥrām-nya dilakukan oleh walinya, dan iḥrām tersebut bagi si anak dihukumi secara syar‘ī. Jika si anak melakukan sesuatu yang mewajibkan fidyah, maka fidyah tersebut wajib ditunaikan.

Adapun Abū Ḥanīfah berpendapat: iḥrām anak kecil tidak sah dan tidak ada fidyah atas apa yang ia lakukan dari hal-hal yang dilarang dalam keadaan iḥrām, dengan berdalil pada sabda Nabi SAW: “Pena diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil hingga ia balig,” dan karena siapa saja yang belum diwajibkan haji berdasarkan ucapannya, maka tidak diwajibkan pula berdasarkan perbuatannya, seperti orang gila. Dan karena haji merupakan bentuk ibadah fisik (‘ibārah ‘anil-badan), maka tidak boleh orang dewasa menggantikan anak kecil di dalamnya, sebagaimana halnya puasa dan salat.


وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ الشَّافِعِيِّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عُقْبَةَ عَنْ كُرَيْبٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَرَّ بامرأةٍ وَهِيَ فِي مِحَفَّتِهَا فَقِيلَ لَهَا: هَذَا رَسُولُ اللَّهِ فَأَخَذَتْ بَعَضُدِ صَبِيٍّ كَانَ مَعَهَا وَقَالَتْ: أَلِهَذَا حَجٌّ؟ قَالَ: ” نَعَمْ وَلَكِ أَجْرٌ “.

Dalil kami adalah riwayat Imam al-Syafi‘i dari Mālik, dari Ibrāhīm bin ‘Uqbah, dari Kurayb maula Ibnu ‘Abbās, dari Ibnu ‘Abbās bahwa Rasulullah SAW melewati seorang perempuan yang sedang berada di atas mihfah-nya, lalu dikatakan kepadanya: “Itu Rasulullah.” Maka ia mengambil lengan seorang anak kecil yang bersamanya dan berkata: “Apakah anak ini mendapatkan haji?” Beliau menjawab: “Ya, dan engkau mendapatkan pahala.”


وَرَوَى الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي ظَبْيَانَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَيُّمَا صَبِيٍّ حَجَّ ثُمَّ بَلَغَ فَعَلَيْهِ أَنْ يَحُجَّ حَجَّةَ الْإِسْلَامِ ” فَإِذَا ثَبَتَ لِلصَّبِيِّ حجاً فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حَجًّا شَرْعِيًّا وَرَوَى أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: ” حَجَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ وَمَعَنَا النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ فَلَبَّيْنَا عَنِ الصِّبْيَانِ وَرَمَيْنَا عَنْهُمْ ” وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ مُنِعَ مِمَّا يُمْنَعُ مِنْهُ الْمُحْرِمُ كَانَ مُحْرِمًا كَالْبَالِغِ إِذَا أَحْرَمَ عَاقِلًا ثُمَّ جُنَّ وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَجِبُ ابْتِدَاءً بِالشَّرْعِ عِنْدَ وُجُودِ مَالٍ فَوَجَبَ أَنْ يَنُوبَ الْوَلِيُّ فِيهَا عَنِ الصَّغِيرِ كَصَدَقَةِ الْفِطْرِ فَأَمَّا تَعَلُّقُهُمْ بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ “.

Diriwayatkan dari al-A‘masy, dari Abī Ẓabyān, dari Ibnu ‘Abbās, bahwa Nabi SAW bersabda: “Anak kecil mana pun yang berhaji, kemudian ia balig, maka wajib atasnya untuk berhaji haji Islam.” Maka jika telah tetap bahwa anak kecil telah melakukan haji, wajib hukumnya bahwa hajinya itu adalah haji yang sah secara syar‘i.

Dan Abū az-Zubair meriwayatkan dari Jābir, ia berkata: “Kami berhaji bersama Rasulullah SAW dan bersama kami ada para wanita dan anak-anak. Maka kami bertalbiyah atas nama anak-anak dan melempar (jumrah) atas nama mereka.”

Dan karena siapa saja yang dicegah dari hal-hal yang dilarang bagi orang yang beriḥrām, maka ia termasuk orang yang beriḥrām, sebagaimana orang yang balig yang beriḥrām dalam keadaan berakal, kemudian gila.

Dan karena haji adalah ibadah yang diwajibkan secara syar‘i pada awalnya ketika terdapat harta, maka wajib wali mewakili anak kecil di dalamnya, sebagaimana ṣadaqah al-fiṭr.

Adapun berdalil dengan sabda Nabi SAW: “Pena diangkat dari tiga (golongan)”, maka…

فَالْجَوَابُ: أَنَّ الْقَلَمَ عَنْهُ مَرْفُوعٌ لِأَنَّ الْحَجَّ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ وَإِنَّمَا يَصِحُّ مِنْهُ فَكَانَ الْقَلَمُ لَهُ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمَجْنُونِ بِعِلَّةٍ أَنَّهُ مِمَّنْ لَا يَلْزَمُهُ الْحَجُّ بِقَوْلِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمُهُ بِفِعْلِهِ بِمُوجِبِ هَذِهِ الْعِلَّةِ وَأَنَّ الْحَجَّ لَا يَلْزَمُهُ بِفِعْلِهِ كَمَا لَا يَلْزَمُهُ بِقَوْلِهِ وَإِنَّمَا يَلْزَمُهُ بِإِذْنِ وَلِيِّهِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْمَجْنُونِ أَنَّ إِفَاقَتَهُ مَرْجُوَّةٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْرِمَ عَنْهُ وَلِيُّهُ لِجَوَازِ أَنْ يُفِيقَ فَيُحْرِمَ بِنَفْسِهِ وَبُلُوغُ الطِّفْلِ غَيْرُ مَرْجُوٍّ إِلَّا في وقه فَجَازَ أَنْ يُحْرِمَ عَنْهُ وَلِيُّهُ إِذَا لَيْسَ يُرْجَى أَنْ يَبْلُغَ فِي هَذَا الْوَقْتِ فَيُحْرِمَ بِنَفْسِهِ هَذَا مَعَ مَا يَفْتَرِقَانِ فِيهِ مِنَ الْأَحْكَامِ فَيَجُوزُ إِذْنُ الصَّبِيِّ فِي دُخُولِ الدَّارِ وَقَبُولُ الْهَدِيَّةِ مِنْهُ إِذَا كَانَ رَسُولًا فِيهَا وَلَا يَجُوزُ ذَلِكَ مِنَ الْمَجْنُونِ.

Maka jawabannya: bahwa pena (taklif) telah terangkat darinya (anak kecil), karena haji tidak wajib atasnya, namun sah dilakukan olehnya. Maka “pena” itu (taklif) berlaku untuknya (jika ia dewasa), tetapi tidak berlaku atasnya (selama belum mukallaf).

Adapun qiyās mereka terhadap orang gila, dengan alasan bahwa ia termasuk orang yang tidak diwajibkan haji menurut ucapannya (pernyataan), maka semestinya tidak diwajibkan pula menurut perbuatannya berdasarkan alasan tersebut — bahwa haji tidak wajib atasnya melalui perbuatannya sebagaimana tidak wajib melalui ucapannya — dan bahwa kewajiban haji atasnya hanya terjadi melalui izin walinya.

Namun makna yang terdapat pada orang gila adalah bahwa kesembuhannya diharapkan setiap saat, maka tidak boleh walinya memulai iḥrām atas namanya karena memungkinkan ia sembuh dan bisa beriḥrām sendiri. Sementara balighnya anak kecil tidak bisa diharapkan terjadi kapan saja, kecuali pada waktu tertentu, maka boleh bagi walinya memulai iḥrām atas namanya karena tidak diharapkan ia baligh dalam waktu tersebut sehingga bisa beriḥrām sendiri.

Ini ditambah lagi dengan perbedaan hukum antara keduanya: diperbolehkan izin anak kecil dalam masuk rumah, dan sah menerima hadiah darinya jika ia menjadi utusan dalam hal itu, sedangkan hal itu tidak dibolehkan dari orang gila.


وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الصَّلَاةِ بِعِلَّةِ أَنَّهَا عِبَادَةٌ عَنِ الْبَدَنِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَنُوبَ الْكَبِيرُ فِيهَا عَنِ الصَّغِيرِ فَالْمَعْنَى فِي الصَّلَاةِ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ فِيهَا النِّيَابَةُ بِحَالٍ فَلِذَلِكَ لَمْ يَجُزْ لِلْوَلِيِّ أن يحرم بالصلاة من الطِّفْلِ وَلَمَّا كَانَ الْحَجُّ مِمَّا يَصِحُّ فِيهِ النِّيَابَةُ جَازَ لِلْوَلِيِّ أَنْ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ عَنِ الطِّفْلِ.

Adapun qiyās mereka terhadap salat dengan alasan bahwa salat adalah ibadah yang berasal dari badan, sehingga tidak boleh orang dewasa mewakili anak kecil di dalamnya — maka maknanya dalam salat adalah bahwa salat tidak sah diwakilkan dalam kondisi apa pun. Oleh karena itu, tidak boleh bagi wali untuk iḥrām salat atas nama anak kecil.

Namun karena haji termasuk ibadah yang sah untuk diwakilkan, maka boleh bagi wali untuk iḥrām haji atas nama anak kecil.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الصَّبِيَّ يَصِحُّ مِنْهُ الْحَجُّ وَيَكُونُ حَجًّا شَرْعِيًّا فَلَا يَصِحُّ حَجُّهُ إِلَّا بِإِذْنِ وَلِيِّهِ فَإِنْ كَانَ الصَّبِيُّ مُرَاهِقًا مُطِيقًا أَذِنَ لَهُ فِي الْإِحْرَامِ وَإِنْ كَانَ طِفْلًا لَا يُمَيِّزُ أَحْرَمَ عَنْهُ فَإِنْ أَحْرَمَ الصَّبِيُّ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهِ فَفِي إِحْرَامِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ ذَكَرَهُ فِي ” الزِّيَادَاتِ ” أَنَّ إِحْرَامَهُ مُنْعَقِدٌ وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهِ كَمَا يَنْعَقِدُ إِحْرَامُهُ بِالصَّلَاةِ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهِ.

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa haji anak kecil itu sah dan termasuk haji yang syar‘ī, maka hajinya tidak sah kecuali dengan izin walinya. Jika anak tersebut sudah murāhiq (mendekati baligh) dan mampu, maka walinya memberi izin kepadanya untuk beriḥrām. Dan jika ia masih kecil yang belum tamīz, maka walinya beriḥrām atas namanya.

Jika anak tersebut beriḥrām tanpa izin walinya, maka dalam iḥrām-nya terdapat dua wajah (pendapat):

Pertama: yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, yang disebutkan dalam az-Ziyādāt, bahwa iḥrām-nya tetap sah meskipun tanpa izin walinya, sebagaimana iḥrām-nya untuk salat juga sah tanpa izin wali.


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّ إِحْرَامَهُ غَيْرُ مُنْعَقِدٍ لِأَنَّ الْإِحْرَامَ بِالْحَجِّ يَتَضَمَّنُ إِنْفَاقَ الْمَالِ وَالتَّصَرُّفَ فِيهِ فَيَجْرِي مَجْرَى تَصَرُّفِهِ فِي مَالِهِ الَّذِي لَا يَصِحُّ إِلَّا بِإِذْنِ وَلِيِّهِ ومجرى سَائِرِ عُقُودِهِ الَّتِي لَا تَصِحُّ بِغَيْرِ إِذْنِ وليه وخالف الإحرام بالصلاة التي لا تتضمن اتفاق فَجَازَ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهِ.

Pendapat kedua — dan ini yang dikatakan oleh kebanyakan sahabat kami, serta merupakan pendapat yang ṣaḥīḥ — bahwa iḥrām anak kecil tidak sah (tidak mengikat), karena iḥrām haji mengandung unsur pengeluaran harta dan tindakan terhadap harta tersebut, sehingga ia sejalan dengan tindakan anak kecil dalam hartanya sendiri, yang tidak sah kecuali dengan izin walinya, serta sejalan dengan seluruh akad yang tidak sah tanpa izin walinya.

Berbeda halnya dengan iḥrām salat yang tidak mengandung pengeluaran harta, maka boleh dilakukan tanpa izin wali.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ إِحْرَامَهُ لَا يَصِحُّ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهِ فَالْأَوْلِيَاءُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: ذَوُو الْأَنْسَابِ.
وَالثَّانِي: أُمَنَاءُ الْحُكَّامِ.
وَالثَّالِثُ: أَوْصِيَاءُ الْأَبَاءِ، فَأَمَّا ذَوُو الْأَنْسَابِ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: مَنْ يَصِحُّ إِذْنُهُ.
وَالثَّانِي: مَنْ لَا يَصِحُّ إِذْنُهُ.

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa iḥrām anak tidak sah tanpa izin walinya, maka para wali terbagi menjadi tiga kelompok:

Pertama: para kerabat nasab.
 Kedua: para wali yang diangkat oleh hakim.
 Ketiga: para wasiat dari ayah.

Adapun para kerabat nasab, maka terbagi menjadi tiga bagian:

Pertama: orang yang sah izinnya.
 Kedua: orang yang tidak sah izinnya.


وَالثَّالِثُ: مَنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي صِحَّةِ إِذْنِهِ فَأَمَّا مَنْ يَصِحُّ إِذْنُهُ فَهُمُ الْآبَاءُ وَالْأَجْدَادُ مِنْ قِبَلِ الْآبَاءِ الَّذِينَ يَسْتَحِقُّونَ الْوِلَايَةَ عَلَيْهِ فِي مَالِهِ وَأَمَّا مَنْ لَا يَصِحُّ إِذْنُهُ فَهُمْ مَنْ لَا وِلَادَةَ فِيهِ وَلَا تَعْصِيبَ كَالْإِخْوَةِ لِلْأُمِّ وَالْأَعْمَامِ لِلْأُمِّ وَالْعَمَّاتِ مِنَ الْأَبِّ وَالْأُمِّ وَالْأَخْوَالِ وَالْخَالَاتِ مِنْ قِبَلِ الْأَبِ وَالْأُمِّ فَلَا يَصِحُّ إِذْنُهُمْ لَهُ فِي الْإِحْرَامِ وَإِنْ كَانَ لَهُمْ وِلَايَةٌ فِي الْحَضَانَةِ لَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا فِيهِ وَأَمَّا مَنِ اخْتَلَفَ مِنْ أَصْحَابِنَا فِي صِحَّةِ إِذْنِهِ فَهُمْ مَنْ عَدَا هَذَيْنِ الْفَرِيقَيْنِ وَلِأَصْحَابِنَا فِيهِمْ ثَلَاثَةُ مَذَاهِبَ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِهِمْ فِي مَعْنَى إِذْنِ الْأَبِّ وَالْجَدِّ فَأَحَدُ الْمَذَاهِبِ الثَّلَاثِ أَنَّ الْمَعْنَى فِي إِذْنِ الْأَبِ وَالْجَدِّ اسْتِحْقَاقُ الْوِلَايَةِ عَلَيْهِ فِي مَالِهِ فَعَلَى هَذَا لَا يَصِحُّ إِذْنُ الْجَدِّ من الأم ولا يصح إِذْنُ الْأَخِ وَالْعَمِّ لِأَنَّهُمْ لَا يَسْتَحِقُّونَ الْوِلَايَةَ عَلَيْهِ فِي مَالِهِ وَإِلَى هَذَا أَشَارَ صَاحِبُ كِتَابِ ” الْإِفْصَاحِ ” فَأَمَّا الْأُمُّ وَالْجَدُّ فَعَلَى الصَّحِيحِ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ لَا وِلَايَةَ لَهَا عَلَيْهِ بِنَفْسِهَا فَعَلَى هَذَا لَا يَصِحُّ إِذْنُهَا وَعَلَى قَوْلِ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ تَلِي عَلَيْهِ بِنَفْسِهَا فَعَلَى هَذَا يَصِحُّ إِذْنُهَا لَهُ وَقَدْ رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ ” أَنَّ امْرَأَةً أَخَذَتْ بِعَضُدِ صَبِيٍّ كَانَ مَعَهَا وَقَالَتْ: أَلِهَذَا حَجٌّ؟ فَقَالَ نَعَمْ وَلَكِ أجرٌ ” وَمَعْلُومٌ مِنْ قَوْلِهِ وَلَكِ أَجْرٌ أَنَّ ذَلِكَ لِإِذْنِهَا لَهُ وَبِإِنَابَتِهَا عَنْهُ وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: أَنَّ الْمَعْنَى فِي إِذْنِ الْأَبِ وَالْجَدِّ مَا فِيهِ مِنَ الْوِلَادَةِ وَالْعُصْبَةِ فَعَلَى هَذَا يَصِحُّ إِذْنُ سَائِرِ الْآبَاءِ وَالْأُمَّهَاتِ وَجَمِيعِ الْأَجْدَادِ وَالْجَدَّاتِ مِنْ قِبَلِ الْآبَاءِ وَالْأُمَّهَاتِ لِوُجُودِ الْوِلَادَةِ فِيهِمْ وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ طَافَ بَعَبْدِ اللَّهِ بِنِ الزُّبَيْرِ عَلَى يَدِهِ مَلْفُوفًا فِي خرقةٍ وَكَانَ ابْنَ ابْنَتِهِ أَسْمَاءَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَأَمَّا سائر العصبات من الإخوة وبنيهم والأعمام وبنيهم فَلَا يَصِحُّ إِذْنُهُمْ لِعَدَمِ الْوِلَادَةِ فِيهِمْ وَإِلَى هَذَا ذَهَبَ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا الْبَصْرِيِّينَ وَأَشَارَ إِلَيْهِ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ.

Dan pendapat ketiga:
 Ada perbedaan pendapat di antara para sahabat kami mengenai keabsahan izin dari pihak tertentu. Adapun mereka yang sah izinnya, maka mereka adalah para ayah dan kakek dari jalur ayah, yaitu mereka yang berhak menjadi wali atas harta anak kecil.

Adapun mereka yang tidak sah izinnya, yaitu mereka yang tidak memiliki hubungan nasab langsung dan tidak termasuk ahli waris karena sebab ‘aṣabah, seperti saudara seibu, paman dari ibu, bibi dari ayah dan ibu, serta paman dan bibi dari jalur ayah dan ibu. Maka tidak sah izin mereka untuk anak kecil dalam iḥrām, meskipun mereka memiliki hak perwalian dalam ḥaḍānah (pengasuhan), dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini di kalangan sahabat kami.

Adapun mereka yang diperselisihkan keabsahan izinnya, adalah mereka selain dua kelompok di atas. Dan para sahabat kami memiliki tiga mazhab mengenai hal ini, berdasarkan perbedaan mereka dalam memahami makna izin ayah dan kakek:

Mazhab pertama:
 Makna dari izin ayah dan kakek adalah karena mereka berhak menjadi wali dalam harta anak kecil. Maka berdasarkan hal ini, tidak sah izin dari kakek dari jalur ibu, dan tidak sah pula izin saudara laki-laki maupun paman, karena mereka tidak memiliki hak perwalian atas harta si anak. Inilah yang diisyaratkan oleh penulis kitab al-Ifṣāḥ.

Adapun ibu dan kakek dari pihak ibu, maka menurut pendapat yang ṣaḥīḥ dalam mazhab asy-Syāfi‘ī, mereka tidak memiliki hak perwalian atas anak dalam urusan dirinya, maka berdasarkan pendapat ini, tidak sah izin mereka.

Namun menurut pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, ibu memiliki hak perwalian atas diri anak, maka berdasarkan ini sah izin ibu untuk anak. Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās bahwa: “Seorang wanita mengambil lengan seorang anak yang bersamanya lalu bertanya: ‘Apakah anak ini mendapat haji?’ Maka beliau menjawab: ‘Ya, dan engkau mendapat pahala.’” Jelas dari sabda beliau “dan engkau mendapat pahala” bahwa itu karena si wanita memberikan izin dan melakukan niyābah (wakil) atas nama anak tersebut.

Mazhab kedua:
 Makna dari izin ayah dan kakek adalah adanya hubungan nasab (wilādah) dan ‘aṣabah. Maka berdasarkan ini, sah izin dari semua ayah dan ibu, serta semua kakek dan nenek dari jalur ayah dan ibu, karena adanya hubungan nasab dalam diri mereka. Telah diriwayatkan bahwa Abū Bakr aṣ-Ṣiddīq raḍiyallāh ‘anhu thawaf membawa ‘Abdullāh bin az-Zubair di atas tangannya, dalam keadaan dibungkus kain, dan ia adalah cucunya dari putrinya, Asmā’ raḍiyallāh ‘anhumā.

Adapun seluruh ‘aṣabah lainnya seperti saudara laki-laki dan keturunannya, paman dan keturunannya, maka tidak sah izin mereka karena tidak ada hubungan kelahiran (wilādah) di antara mereka. Dan ini adalah pendapat mayoritas sahabat kami dari kalangan Baṣrah, dan juga diisyaratkan oleh Abū Isḥāq al-Marwazī.


وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْمَعْنَى فِي إِذْنِ الْأَبِّ وَالْجَدِّ وُجُودَ التَّعْصِيبِ فِيهِمَا فَعَلَى هَذَا يَصِحُّ إِذْنُ سَائِرِ الْعَصَبَاتِ مِنَ الْإِخْوَةِ وَبَنِيهِمْ وَالْأَعْمَامِ وَبَنِيهِمْ وَلَا يَصِحُّ إِذْنُ الْأُمِّ وَالْجَدِّ لِلْأُمِّ لِعَدَمِ التَّعْصِيبِ وَإِلَى هَذَا ذَهَبَ كَثِيرٌ مِنْ أَصْحَابِنَا الْبَغْدَادِيِّينَ وَهَذَا الْكَلَامُ فِي ذَوِي الْأَنْسَابِ، فَأَمَّا أُمَنَاءُ الْحُكَّامِ فَلَا يَصِحُّ إِذْنُهُمْ لَهُ وَهُوَ إِجْمَاعُ عُلَمَاءِ أَصْحَابِنَا لِأَنَّ وِلَايَتَهُمْ تَخْتَصُّ بِمَالِهِ دُونَ بَدَنِهِ فَكَانُوا فِيمَا سِوَى الْمَالِ كَالْأَجَانِبِ فَلَمْ يَصِحَّ إِذْنُهُمْ فَأَمَّا أَوْصِيَاءُ الْآبَاءِ فَفِيهِمْ وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا:

Mazhab ketiga: bahwa makna dibolehkannya izin dari ayah dan kakek adalah karena adanya ta‘ṣīb (hak waris berdasarkan garis ayah) pada keduanya. Maka berdasarkan ini, sah izin dari seluruh para ‘aṣabah seperti saudara-saudara laki-laki, anak-anak mereka, para paman, dan anak-anak mereka. Dan tidak sah izin dari ibu maupun kakek dari pihak ibu, karena tidak memiliki ta‘ṣīb. Pendapat ini dianut oleh banyak dari sahabat kami kalangan ulama Bagdad.

Dan pembahasan ini berkaitan dengan para wali dari pihak nasab.

Adapun para wali dari kalangan umamā’ al-ḥukkām (pengelola harta yang ditunjuk hakim), maka tidak sah izin mereka baginya. Ini merupakan ijma‘ para ulama sahabat kami, karena wilayah mereka hanya khusus atas harta anak kecil, bukan atas tubuhnya. Maka dalam urusan selain harta, mereka seperti orang asing, dan tidak sah izin mereka.

Adapun para waṣī (pelaksana wasiat) dari ayah, maka terdapat dua wajah (pendapat) di kalangan sahabat kami.


أَحَدُهُمَا: يَصِحُّ إِذْنُهُمْ كَالْآبَاءِ لِنِيَابَتِهِمْ عَنْهُمْ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ أَنَّ إِذْنَهُمْ لَا يَصِحُّ كَأُمَنَاءِ الْحُكَّامِ، لِأَنَّ وِلَايَتَهُمْ لَيْسَتْ بِنُفُوسِهِمْ وَلِأَنَّهَا تَخْتَصُّ بأموالهم.

Pertama:
 Sah izin mereka sebagaimana para ayah, karena mereka bertindak sebagai wakil dari ayah-ayah tersebut.

Pendapat kedua — dan ini yang lebih ṣaḥīḥ:
 Bahwa izin mereka tidak sah, seperti halnya para pengelola yang ditunjuk oleh hakim (umanaa’ al-ḥukkām), karena kekuasaan (wilayah) mereka bukan berasal dari diri mereka sendiri, dan karena kewenangan mereka hanya khusus pada harta anak-anak.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَا عَجَزَ عَنْهُ الصَّبِيُّ مِنَ الطَّوَافِ وَالسَّعْيِ حُمِلَ وَفُعِلَ ذَلِكَ بِهِ وَجُعِلَ الْحَصَى فِي يَدِهِ لِيَرْمِيَ فَإِنْ عَجَزَ رُمِيَ عَنْهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ الصَّبِيَّ لَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يكون مُرَاهِقًا مُمَيِّزًا يَقْدِرُ عَلَى أَفْعَالِ الْحَجِّ أَوْ يَكُونَ طِفْلًا يَعْجَزُ عَنْ ذَلِكَ فَإِنْ كَانَ مُمَيِّزًا مُرَاهِقًا أَذِنَ لَهُ وَلِيُّهُ فِي ذَلِكَ فَإِنْ أَذِنَ لَهُ فَعَلَ الْحَجَّ بِنَفْسِهِ كَغَيْرِهِ مِنَ الْبَالِغِينَ وَإِنْ كَانَ طِفْلًا لَا يُمَيِّزُ فَأَفْعَالُ الْحَجِّ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ: ضَرْبٌ يَصِحُّ مِنَ الطِّفْلِ مِنْ غَيْرِ نِيَابَةٍ وَلَا مَعُونَةٍ لَهُ وَذَلِكَ الْوُقُوفُ بِعَرَفَةَ وَالْمَبِيتُ بِمُزْدَلِفَةَ، وَمِنًى وَضَرْبٌ لَا يَصِحُّ مِنْهُ إِلَّا بِنِيَابَةِ الْوَلِيِّ عَنْهُ وَذَلِكَ الْإِحْرَامُ، وَضَرْبٌ يَصِحُّ مِنْهُ لَكِنْ بِمَعُونَةِ الْوَلِيِّ لَهُ وَذَلِكَ الطَّوَافُ وَالسَّعْيُ وَرَمْيُ الْجِمَارِ وَسَنَذْكُرُهَا فِعْلًا فِعْلًا وَنُوَضِّحُ حُكْمَ كُلِّ فِعْلٍ مِنْهَا.
أَمَّا الْإِحْرَامُ فَوَلِيُّهُ يَنُوبُ عَنْهُ فِيهِ فَيُحْرِمُ عَنْهُ.

Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Apa yang tidak mampu dilakukan oleh seorang ṣabī dari ṭawāf dan sa‘i, maka ia digendong dan dilakukanlah hal itu bersamanya. Dan kerikil diletakkan di tangannya agar ia melempar, jika tidak mampu maka dilemparkan atas namanya.”

Al-Māwardī berkata: Keseluruhan dari hal ini adalah bahwa kondisi ṣabī tidak lepas dari dua keadaan: apakah ia seorang yang mendekati baligh dan bisa membedakan (mumayyiz) yang mampu melakukan amalan-amalan haji, atau ia seorang anak kecil yang tidak mampu melakukannya.

Jika ia seorang mumayyiz yang mendekati baligh, maka walinya memberi izin kepadanya untuk melakukan ibadah haji. Jika walinya telah mengizinkannya, maka ia melaksanakan ibadah haji sendiri sebagaimana orang-orang dewasa.

Dan jika ia seorang anak kecil yang belum bisa membedakan, maka amalan-amalan haji terbagi menjadi tiga macam:

  • Jenis yang sah dilakukan oleh anak tanpa perwakilan dan tanpa bantuan, yaitu wuqūf di ‘Arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina.
  • Jenis yang tidak sah kecuali dengan perwakilan dari wali atas namanya, yaitu ihram.
  • Jenis yang sah darinya tetapi dengan bantuan wali, yaitu ṭawāf, sa‘i, dan melempar jamrah. Dan kita akan menyebutkan satu per satu amalan tersebut dan menjelaskan hukum dari masing-masingnya.

Adapun ihram, maka walinyalah yang mewakili atas nama anak dalam hal itu, maka wali melakukan ihram atas namanya.


وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْوَلِيُّ مُحْرِمًا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَصِحُّ إِحْرَامُ الْوَلِيِّ عَنْهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ حَلَالًا فَإِنْ كَانَ مُحْرِمًا لَمْ يَصِحَّ إِحْرَامُهُ عَنْهُ لِأَنَّ مَنْ كَانَ فِي نُسُكٍ لَمْ يَصِحَّ أَنْ يَفْعَلَهُ عَنْ غَيْرِهِ وَهَذَا مَذْهَبُ الْبَصْرِيِّينَ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَصِحُّ إِحْرَامُ الْوَلِيِّ عَنْهُ وإن كان محرماً؛ لأن الولي لا يتحمل الإحرام عنه فَيَصِيرُ بِهِ مُحْرِمًا حَتَّى يُمْنَعَ مِنْ فِعْلِهِ عَنْهُ إِذَا كَانَ مُحْرِمًا وَإِنَّمَا يَعْقِدُ الْإِحْرَامَ عَنِ الصَّبِيِّ فَيَصِيرُ الصَّبِيُّ مُحْرِمًا فَجَازَ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ الْوَلِيُّ وَإِنْ كَانَ مُحْرِمًا، وَهَذَا مذهب البغداديين وعلى اختلاف الْوَجْهَيْنِ يَخْتَلِفُ كَيْفِيَّةُ إِحْرَامِهِ عَنْهُ فَعَلَى مَذْهَبِ الْبَصْرِيِّينَ يَقُولُ عِنْدَ الْإِحْرَامِ اللَّهُمَّ إِنِّي قَدْ أَحْرَمْتُ عَنِ ابْنِي وَعَلَى هَذَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مُوَاجِهٍ لِلصَّبِيِّ بِالْإِحْرَامِ وَلَا مُشَاهِدٍ لَهُ إِذَا كَانَ الصَّبِيُّ حَاضِرًا فِي الْمِيقَاتِ وَعَلَى مَذْهَبِ الْبَغْدَادِيِّينَ يَقُولُ عِنْدَ الْإِحْرَامِ اللَّهُمَّ إني قد أحرمت ببني وَعَلَى هَذَا لَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مُوَاجِهٍ لِلصَّبِيِّ بِالْإِحْرَامِ فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ صَارَ الصبي محرماً دون الولي قبليه ثَوْبَيْنِ وَيَأْخُذُهُ بِاجْتِيَابٍ مِنْهُ مَا مَنَعَ الْمُحْرِمُ وَأَمَّا الْوُقُوفُ بِعَرَفَةَ وَالْمَبِيتُ بِمُزْدَلِفَةَ وَمِنًى فَعَلَى وَلِيِّهِ أَنْ يُحْضِرَهُ لِيَشْهَدَهَا بِنَفْسِهِ، وَأَمَّا الرَّمْيُ فَإِنْ أَمْكَنَ وَضْعُ الْحَصَاةِ فِي كَفِّهِ وَرَمْيُهَا فِي الْجَمْرَةِ مِنْ يَدِهِ فَعَلَ وَإِنْ عَجَزَ الصَّبِيُّ عَنْ ذَلِكَ أَحْضَرَ الْجِمَارَ وَرَمَى الْوَلِيُّ عَنْهُ وَأَمَّا الطَّوَافُ وَالسَّعْيُ فَعَلَى وَلِيِّهِ أَنْ يَحْمِلَهُ فَيَطُوفَ بِهِ وَيَسْعَى وَعَلَيْهِ أَنْ يَتَوَضَّأَ لِلطَّوَافِ بِهِ وَيُوَضِّئَهُ فَإِنْ كَانَا غَيْرَ مُتَوَضِّئَيْنِ لَمْ يُجْزِهِ الطَّوَافُ وَإِنْ كَانَ الصَّبِيُّ مُتَوَضِّئًا وَالْوَلِيُّ مُحْدِثًا لَمِ يُجْزِهِ أَيْضًا، لِأَنَّ الطَّوَافَ بِمَعُونَةِ الْوَلِيِّ يَصِحُّ وَالطَّوَافُ لَا يَصِحُّ إِلَّا بطهارة وإن كان مُتَوَضِّئًا وَالصَّبِيُّ مُحْدِثًا فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

dan para sahabat kami berselisih pendapat apakah boleh wali dalam keadaan muḥrim atau tidak? Ada dua wajah:

pertama: tidak sah ihram wali atas nama anak kecuali jika ia dalam keadaan ḥalāl. Jika ia sedang muḥrim, maka tidak sah ihramnya atas nama anak, karena siapa pun yang sedang dalam nusuk tidak sah melakukannya atas nama orang lain. Ini adalah mazhab al-Baṣriyyīn.

kedua: sah ihram wali atas nama anak meskipun ia dalam keadaan muḥrim, karena wali tidak menanggung ihram itu atas nama anak sehingga menjadi muḥrim dengannya hingga ia dicegah melakukannya jika ia muḥrim. Sesungguhnya yang dilakukan wali adalah mengikatkan ihram atas nama sang anak, lalu anak tersebut menjadi muḥrim, maka boleh bagi wali melakukannya meskipun ia sedang muḥrim. Ini adalah mazhab al-Baghdādiyyīn.

Dan berdasarkan perbedaan dua wajah ini, berbeda pula tata cara ihramnya atas nama anak. Menurut mazhab al-Baṣriyyīn, saat ihram wali mengucapkan: “Allāhumma innī qad aḥramtu ‘an ibnī”, dan berdasarkan hal ini boleh baginya tidak menghadap anak saat ihram dan tidak menyaksikannya, jika anak itu hadir di miqāt.

Sedangkan menurut mazhab al-Baghdādiyyīn, ia mengucapkan: “Allāhumma innī qad aḥramtu bibnī”, dan berdasarkan hal ini tidak sah jika ia tidak menghadapkan ihram kepada anak. Jika ia telah melakukannya, maka anak itu menjadi muḥrim, bukan walinya.

Ia memakaikannya dua kain ihram dan menjaganya dari segala hal yang dilarang bagi orang muḥrim. Adapun wukuf di ‘Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, maka wali wajib membawanya agar ia menyaksikannya sendiri.

Adapun melempar, jika memungkinkan meletakkan kerikil di telapak tangannya lalu ia melempar ke jamrah dengan tangannya sendiri, maka ia lakukan. Jika anak tidak mampu, maka cukup dihadirkan ke jamrah dan wali melempar atas namanya.

Adapun ṭawāf dan sa‘i, maka wali wajib menggendongnya lalu ṭawāf dan sa‘i bersamanya. Wali wajib berwudu untuk ṭawāf atas nama anak, dan ia juga wajib menyucikan anak tersebut. Jika keduanya tidak dalam keadaan berwudu, maka tidak sah ṭawāfnya. Jika anak sudah berwudu dan walinya dalam keadaan berhadats, maka tetap tidak sah, karena ṭawāf dengan bantuan wali adalah sah, dan ṭawāf tidak sah kecuali dalam keadaan suci.

Jika walinya berwudu dan anak dalam keadaan berhadats, maka terdapat dua wajah:


أَحَدُهُمَا: لَا يُجْزِئُ لِأَنَّ الطَّوَافَ بِالصَّبِيِّ أَخَصُّ مِنْهُ بِالْوَلِيِّ فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ الْوَلِيُّ مُحْدِثًا فَأَوْلَى أَنْ لَا يَكُونَ الصَّبِيُّ مُحْدِثًا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُجْزِئُ لِأَنَّ الصَّبِيَّ إِذَا لَمْ يَكُنْ مُمَيِّزًا بِفِعْلِ الطَّهَارَةِ لَا يَصِحُّ مِنْهُ فَجَازَ أَنْ تَكُونَ طَهَارَةُ الْوَلِيِّ نَائِبَةً عَنْهُ كَمَا أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَصِحَّ مِنْهُ الْإِحْرَامُ صَحَّ إِحْرَامُ الْوَلِيِّ عَنْهُ، ثُمَّ عَلَى وَلِيِّهِ أَنْ يُصَلِّيَ عَنْهُ رَكْعَتَيِ الطَّوَافِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مَخْصُوصٌ؛ لِجَوَازِ النِّيَابَةِ تَبَعًا لِأَرْكَانِ الْحَجِّ، فَإِنْ أَرْكَبَهُ الْوَلِيُّ دَابَّةً فَكَانَتِ الدَّابَّةُ تَطُوفُ بِهِ لَمْ يَجُزْ حَتَّى يَكُونَ الْوَلِيُّ مَعَهُ سَائِقًا أو قَائِدًا؛ لِأَنَّ الصَّبِيَّ غَيْرُ مُمَيِّزٍ وَلَا قَاصِدٍ وَالدَّابَّةُ لَا تَصِحُّ مِنْهَا عِبَادَةٌ، ثُمَّ هَلْ عَلَى وَلِيِّهِ أَنْ يَرْمُلَ عَنْهُ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مَضَيَا.

Pendapat pertama: tidak mencukupi (tidak sah), karena ṭawāf dengan membawa anak kecil lebih khusus hubungannya dengan anak itu sendiri daripada walinya. Maka ketika tidak boleh bagi wali dalam keadaan berhadats (ṭawāf), maka lebih utama lagi anak kecil tidak boleh dalam keadaan berhadats.

Pendapat kedua: sah, karena jika anak kecil belum tamīz maka tidak sah darinya sendiri perbuatan ṭahārah, maka boleh ṭahārah wali menjadi pengganti darinya, sebagaimana ketika iḥrām tidak sah darinya, maka sah iḥrām wali atas namanya.

Kemudian, wali wajib salat dua rakaat ṭawāf atas nama anak itu, karena hal itu bersifat khusus dan diperbolehkan perwakilan di dalamnya secara mengikuti rukun-rukun haji.

Jika walinya menaikkannya ke atas hewan tunggangan lalu hewan itu ṭawāf membawanya, maka tidak sah, kecuali walinya ikut bersamanya, baik dengan menuntun atau menuntunnya dari belakang. Karena anak kecil yang belum tamīz tidak memiliki maksud dan niat, sedangkan hewan tunggangan tidak sah dilakukan ibadah olehnya.

Kemudian, apakah wali harus melakukan raml atas nama anak kecil? Maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang telah lalu.


فَصْلٌ
: فَإِنْ كَانَ عَلَى الْوَلِيِّ طَوَافٌ طَافَ عَنْ نَفْسِهِ أَوَّلًا، ثُمَّ طَافَ عَنِ الصَّبِيِّ، فَإِنْ طَافَ بِالصَّبِيِّ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ عَنْ نَفْسِهِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أربعة أقسام:
أحدهما: أن ينوي الطَّوَافُ عَنْ نَفْسِهِ دُونَ الصَّبِيِّ، فَهَذَا الطَّوَافُ يَكُونُ عَنْ نَفْسِهِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَطُوفَ بِالصَّبِيِّ لا يختلف؛ لأنه قد صادق نِيَّتُهُ مَا أُمِرَ بِهِ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَنْوِيَ الطَّوَافَ عَنِ الصَّبِيِّ دُونَ نَفْسِهِ فَفِيهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ عَنِ الْوَلِيِّ الْحَامِلِ دُونَ الصَّبِيِّ الْمَحْمُولِ، قَالَهُ فِي الْإِمْلَاءِ لِأَنَّ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ رُكْنٌ مِنْ أَرْكَانِ الْحَجِّ متطوع عَنْ نَفْسِهِ أَوْ عَنْ غَيْرِهِ انْصَرَفَ إِلَى واجبه كالحج.

PASAL
 Jika wali memiliki kewajiban ṭawāf, maka ia ṭawāf terlebih dahulu atas nama dirinya sendiri, kemudian ṭawāf atas nama ṣabī. Jika ia ṭawāf bersama ṣabī sebelum ṭawāf atas nama dirinya, maka keadaannya tidak lepas dari salah satu dari empat bagian:

Bagian pertama: ia meniatkan ṭawāf untuk dirinya sendiri, bukan untuk ṣabī. Maka ṭawāf itu sah atas nama dirinya, dan ia wajib ṭawāf lagi atas nama ṣabī. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, karena niatnya telah sesuai dengan apa yang diperintahkan.

Bagian kedua: ia meniatkan ṭawāf atas nama ṣabī saja, bukan atas nama dirinya. Maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: ṭawāf itu dihitung atas nama wali yang menggendong, bukan atas nama ṣabī yang digendong. Ini disebutkan dalam al-Imlā’, karena siapa pun yang memiliki kewajiban melaksanakan rukun dari rukun-rukun haji, baik secara sukarela atas nama dirinya atau atas nama orang lain, maka (amalan itu) kembali kepada kewajiban dirinya sendiri — sebagaimana dalam (kasus) haji.


والقول الثالث: أَنْ يَكُونَ عَنِ الصَّبِيِّ الْمَحْمُولِ دُونَ الصَّبِيِّ الْحَامِلِ، قَالَهُ فِي ” الْمُخْتَصَرِ الْكَبِيرِ ” وَحَكَاهُ أَبُو حَامِدٍ فِي ” جَامِعِهِ “؛ لِأَنَّ الْحَامِلَ كَالْآلَةِ لِلْمَحْمُولِ فَكَانَ ذَلِكَ وَاقِعًا عَنِ الْمَحْمُولِ دُونَ الْحَامِلِ.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَنْوِيَ الطَّوَافَ عَنْ نَفْسِهِ وعن الصبي المحمول فيجزئه عن طوافه، وهي يُجْزِئُ عَنِ الصَّبِيِّ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ تخريجاً من القولين.
والقسم الرابع: أن لا يكون لَهُ نِيَّةٌ فَيَنْصَرِفُ ذَلِكَ إِلَى طَوَافِ نَفْسِهِ لَا يَخْتَلِفُ؛ لِوُجُودِهِ عَلَى الصِّفَةِ الْوَاجِبَةِ عَلَيْهِ وَعَدَمِ الْقَصْدِ الْمُخَالِفِ لَهُ.

Pendapat ketiga: bahwa (ṭawāf) itu dihukumi untuk anak kecil yang dibawa (maḥmūl), bukan untuk anak kecil yang membawa (ḥāmil). Pendapat ini disebutkan dalam al-Mukhtaṣar al-Kabīr dan dinukil oleh Abū Ḥāmid dalam Jāmi‘-nya. Sebab, yang membawa itu seperti alat bagi yang dibawa, maka amalan itu dihukumi berlaku atas yang dibawa, bukan atas yang membawa.

Bagian ketiga: seseorang meniatkan ṭawāf untuk dirinya sendiri dan untuk anak kecil yang dibawanya. Maka itu mencukupi untuk ṭawāf dirinya. Adapun apakah mencukupi untuk anak kecil yang dibawanya atau tidak, maka terdapat dua wajah (pendapat) sebagai pecahan dari dua pendapat sebelumnya.

Bagian keempat: seseorang tidak meniatkan apa pun, maka dihukumi sebagai ṭawāf untuk dirinya sendiri — tidak ada perbedaan — karena dilakukan dengan sifat yang diwajibkan atasnya dan tidak adanya niat yang menyelisihinya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا مَؤُوْنَةُ حَجِّهِ وَمَؤُوْنَةُ سَفَرِهِ فَالْقَدْرُ الَّذِي كَانَ يَحْتَاجُ إلى إبقائه فِي حَضَرِهِ مِنْ قُوتِهِ وَكُسْوَتِهِ فَهُوَ فِي مَالِ الصَّبِيِّ دُونَ الْوَلِيِّ، وَالزِّيَادَةُ عَلَى نَفَقَةِ حَضَرِهِ مِنْ آلَةِ سَفَرِهِ وَأَجْرِ مَرْكَبِهِ، وَجَمِيعُ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي سَفَرِهِ مِمَّا كَانَ مُسْتَعِينًا عَنْهُ فِي حَضَرِهِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

PASAL
 Adapun biaya hajinya dan biaya perjalanannya, maka kadar yang ia butuhkan untuk tetap tinggal di tempat tinggalnya — berupa makanan dan pakaiannya — maka itu diambil dari harta ṣabī, bukan dari wali.

Adapun kelebihan dari nafkah tempat tinggalnya, seperti perlengkapan perjalanan, ongkos kendaraan, dan seluruh kebutuhan dalam safarnya yang tidak dibutuhkan saat ia berada di tempat tinggalnya, maka terdapat dua wajah:


أَحَدُهُمَا: فِي مَالِ الصَّبِيِّ أَيْضًا؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ مصلحته، كأجرة معلمه وموؤنة تَأْدِيبِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ ظَاهِرُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ: أَنَّ ذَلِكَ فِي مَالِ الْوَلِيِّ دُونَ الصَّبِيِّ؛ لِأَنَّ الْوَلِيَّ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَصْرِفَ مَالَ الصَّبِيِّ؛ إِلَّا فِيمَا كَانَ مُحْتَاجًا إِلَيْهِ، وَهُوَ غَيْرُ مُحْتَاجٍ إِلَى فِعْلِ الْحَجِّ فِي صِغَرِهِ؛ لِأَنَّ نَفْسَهُ تَبْعَثُ عَلَى فِعْلِهِ فِي كِبَرِهِ وَلَيْسَ كَالتَّعْلِيمِ الَّذِي إِنْ فَاتَهُ فِي صِغَرِهِ لَمْ يُدْرِكْهُ فِي كِبَرِهِ.

Pertama: (biaya haji anak kecil) diambil dari harta anak juga, karena hal itu termasuk kemaslahatannya, seperti upah guru yang mengajarinya dan biaya pendidikannya.

Pendapat kedua: dan inilah zahir mazhab Imam al-Syafi‘i, bahwa biaya tersebut berasal dari harta wali, bukan dari harta anak kecil. Karena wali tidak boleh membelanjakan harta anak kecuali untuk sesuatu yang dibutuhkan, sedangkan anak kecil tidak membutuhkan pelaksanaan haji di usia kecilnya. Sebab jiwanya akan mendorongnya untuk melaksanakannya di masa dewasanya. Hal ini tidak seperti pendidikan, yang apabila terlewatkan di masa kecil, tidak bisa lagi diraih di masa dewasa.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا حُكْمُ مَا فَعَلَهُ الصَّبِيُّ فِي حَجِّهِ مِنْ مَحْظُورَاتِ الإحرام الموجبة للفدية فعلى ثلاثة أضرب:
أحدهما: مَا اسْتَوَى حُكْمُ عَمْدِهِ وَسَهْوِهِ وَذَلِكَ الْحَلْقُ وَالتَّقْلِيمُ، وَقَتْلُ الصَّيْدِ فَإِذَا فَعَلَهُ الصَّبِيُّ فَالْفِدْيَةُ فِيهِ وَاجِبَةٌ، وَأَيْنَ تَجِبُ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

أَحَدُهُمَا: فِي مَالِ الصَّبِيِّ؛ لِأَنَّهُ مَالٌ وَجَبَ بِجِنَايَتِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَجِبَ فِي مَالِهِ كَمَا لَوِ اسْتَهْلَكَ مَالَ غَيْرِهِ.

PASAL
 Adapun hukum perbuatan ṣabī dalam hajinya berupa hal-hal yang dilarang dalam ihram yang mewajibkan fidyah, maka terbagi menjadi tiga macam:

Pertama: perkara yang sama hukumnya antara dilakukan dengan sengaja maupun karena lupa, yaitu mencukur rambut, memotong kuku, dan membunuh binatang buruan. Maka jika ṣabī melakukan hal ini, fidyahnya wajib. Lalu, kepada siapa kewajiban itu dibebankan? Dalam hal ini ada dua wajah:

Pertama: dibebankan pada harta ṣabī, karena itu adalah denda yang wajib karena pelanggarannya, maka wajib diambil dari hartanya, sebagaimana jika ia merusak harta orang lain.


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْفِدْيَةَ وَاجِبَةٌ فِي مَالِ الْوَلِيِّ، وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي ” الْإِمْلَاءِ ” لِأَنَّ الْوَلِيَّ هُوَ الذي ألزمه الحج بأنه لَهُ فَكَانَ ذَلِكَ مِنْ جِهَتِهِ وَمَنْسُوبًا إِلَى فِعْلِهِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا اخْتَلَفَ حُكْمُ عَمْدِهِ وَسَهْوِهِ، وَذَلِكَ الطِّيبُ وَاللِّبَاسُ فَإِنْ فَعَلَ الصَّبِيُّ ذَلِكَ نَاسِيًا فَلَا فِدْيَةَ فِيهِ كَالْبَالِغِ، وَإِنْ فَعَلَهُ عَامِدًا فَعَلَى قَوْلَيْنِ، مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي عَمْدِ الصَّبِيِّ هَلْ يَجْرِي مَجْرَى الْخَطَأِ أَوْ يَجْرِي مَجْرَى الْعَمْدِ مِنَ الْبَالِغِ الْعَاقِلِ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Wajah kedua: bahwa fidyah wajib dari harta wali. Hal ini telah ditegaskan oleh al-Syafi‘i dalam al-Imlā’, karena walilah yang mewajibkan haji atasnya, dan itu merupakan sebab dari pihak wali serta dinisbatkan kepada perbuatannya.

Macam kedua: perkara yang berbeda hukum antara dilakukan dengan sengaja dan karena lupa, yaitu memakai minyak wangi dan pakaian berjahit. Maka jika ṣabī melakukannya karena lupa, maka tidak ada fidyah sebagaimana orang dewasa. Namun jika ia melakukannya dengan sengaja, maka terdapat dua pendapat, yang dibangun di atas perbedaan pendapat al-Syafi‘i tentang perbuatan sengaja dari seorang ṣabī, apakah hukumnya seperti kesalahan (tidak sengaja) atau seperti kesengajaan dari orang dewasa yang berakal — dalam dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْخَطَأِ، فَعَلَى هَذَا لَا فِدْيَةَ فِيهِ كَالْبَالِغِ النَّاسِي.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهُ عَمْدٌ صَحِيحٌ، فَعَلَى هَذَا الْفِدْيَةُ وَاجِبَةٌ كَالْبَالِغِ الْعَامِدِ وَأَيْنَ تَجِبُ عَلَى الْوَجْهَيْنِ: وَلَكِنْ لَوْ طَيَّبَهُ الْوَلِيُّ كَانَتِ الْفِدْيَةُ فِي مَالِهِ دُونَ مَالِ الصَّبِيِّ وَجْهًا وَاحِدًا.
وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: مَا اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي عَمْدِهِ وَسَهْوِهِ وَهُوَ الْوَطْءُ إِنْ فَعَلَهُ الْبَالِغُ عَامِدًا أَفْسَدَ حَجَّهُ وَلَزِمَهُ الْكَفَّارَةُ، وَإِنْ فَعَلَهُ نَاسِيًا فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Pertama: bahwa perbuatan anak kecil itu dihukumi seperti kesalahan (khaṭa’), maka berdasarkan ini tidak ada fidyah atasnya, seperti orang dewasa yang lupa.

Pendapat kedua: bahwa itu adalah perbuatan sengaja yang sah (‘amd ṣaḥīḥ), maka berdasarkan ini fidyah wajib atasnya, seperti orang dewasa yang sengaja melakukannya. Dan di mana fidyah itu wajib menurut dua wajah tersebut? Namun jika yang mengenakan wewangian itu adalah wali, maka fidyahnya wajib diambil dari harta wali, bukan dari harta anak, menurut satu wajah (tanpa khilaf).

Jenis ketiga: perkara yang dalam hal sengaja dan lupanya terdapat perbedaan pendapat dari Imam al-Syafi‘i, yaitu wāṭi’ (bersetubuh). Jika dilakukan oleh orang dewasa dengan sengaja, maka hajinya rusak dan wajib membayar kaffārah. Dan jika dilakukan karena lupa, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: كَالْعَمْدِ فِي إِفْسَادِ الْحَجِّ وَلُزُومِ الْكَفَّارَةِ.
وَالثَّانِي: لَا حُكْمَ لَهُ، فَعَلَى هَذَا وَطْءُ الصَّبِيِّ نَاسِيًا كَوَطْءِ الْبَالِغِ عَلَى قَوْلَيْنِ: فَأَمَّا وَطْءُ الصَّبِيِّ عَامِدًا فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ عَمْدَهُ عَمْدٌ صَحِيحٌ فَقَدْ أَفْسَدَ حَجَّهُ وَلَزِمَهُ إِتْمَامُهُ، وَوَجَبَتِ الْكَفَّارَةُ وَأَيْنَ تَجِبُ عَلَى الْوَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: فِي مَالِ الصَّبِيِّ.
وَالثَّانِي: فِي مَالِ الْوَلِيِّ، وَإِنْ قُلْنَا إن عمده يجري مجرى الخطأ كَالْبَالِغِ النَّاسِي. هَلْ يَفْسَدُ حَجُّهُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: فَإِذَا حَكَمْنَا بِفَسَادِ حَجِّهِ فَهَلْ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مَنْصُوصَيْنِ:

Pertama: (bahwa) perbuatan lupa (berhubungan badan) dihukumi seperti perbuatan sengaja, yaitu merusak haji dan mewajibkan kaffārah.

Pendapat kedua: tidak ada hukum atas perbuatan tersebut, maka berdasarkan pendapat ini, hubungan badan anak kecil karena lupa, hukumnya seperti hubungan badan orang dewasa yang lupa, dengan dua pendapat.

Adapun jika anak kecil melakukan hubungan badan secara sengaja, maka jika kita katakan bahwa perbuatannya yang sengaja adalah ‘amd ṣaḥīḥ, maka ia telah merusak hajinya, wajib menyempurnakannya, dan wajib membayar kaffārah. Lalu, dari mana kaffārah itu diambil? Maka terdapat dua pendapat:

Pertama: dari harta anak kecil.
 Kedua: dari harta walinya.

Dan jika kita katakan bahwa perbuatan sengaja anak kecil diperlakukan seperti kesalahan, sebagaimana orang dewasa yang lupa — apakah hajinya rusak atau tidak? Maka terdapat dua pendapat.

Apabila kita memutuskan bahwa hajinya rusak, maka apakah wajib atasnya untuk qaḍā’? Dalam hal ini juga terdapat dua pendapat yang dinyatakan secara manṣūṣ (tegas) oleh Imam al-Syafi‘i.


أحدهما: لا قضاء عليه؛ لأنه إِيجَابَ الْقَضَاءِ تَكْلِيفٌ، وَالصَّبِيُّ غَيْرُ مُكَلَّفٍ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ؛ لِأَنَّ مَنْ لَزِمَهُ الْكَفَّارَةُ بِوَطْئِهِ لَزِمَهُ الْقَضَاءُ بِوَطْئِهِ كَالْبَالِغِ، فَعَلَى هَذَا إِذَا قِيلَ إِنَّ الْقَضَاءَ وَاجِبٌ عَلَيْهِ فَهَلْ يُجْزِئُهُ أَنْ يَقْضِيَهُ قَبْلَ بُلُوغِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ أَنْ يَقْضِيَهُ حَتَّى يَبْلُغَ؛ لِأَنَّ الْقَضَاءَ فَرْضٌ وَغَيْرُ الْبَالِغِ لَا يَصِحُّ مِنْهُ أَدَاءُ الْفَرْضِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ ظَاهِرُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَمَنْصُوصُهُ: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَقْضِيَهُ قَبْلَ بُلُوغِهِ؛

لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِذِمَّتِهِ فَرْضُ الْقَضَاءِ قَبْلَ بُلُوغِهِ وَلَمْ يَكُنِ الصِّغَرُ مَانِعًا مِنْ وُجُوبِهِ جَازَ أَنْ يَصِحَّ مِنْهُ فِعْلُ الْقَضَاءِ قَبْلَ بُلُوغِهِ، وَلَا يَكُونُ الصِّغَرُ مَانِعًا من جوازه.

Pertama: tidak wajib qaḍā’ atasnya, karena mewajibkan qaḍā’ adalah bentuk taklīf, sedangkan ṣabī bukanlah mukallaf.

Pendapat kedua: qaḍā’ wajib atasnya, karena siapa saja yang wajib membayar kafārah karena berjimak, maka ia juga wajib qaḍā’ karena berjimak, sebagaimana halnya orang dewasa.

Berdasarkan pendapat ini, jika dikatakan bahwa qaḍā’ itu wajib atasnya, maka apakah sah jika ia melakukannya sebelum baligh atau tidak? Maka ada dua wajah:

Pertama: tidak sah ia melakukannya hingga ia baligh, karena qaḍā’ adalah fardu, dan seorang yang belum baligh tidak sah melaksanakan fardu.

Wajah kedua: dan inilah yang tampak dari mazhab al-Syafi‘i dan merupakan pendapat eksplisit beliau: bahwa boleh melakukannya sebelum baligh, karena ketika sudah boleh terkait dalam tanggungannya kewajiban qaḍā’ sebelum baligh dan masa kecil tidak menjadi penghalang kewajibannya, maka sah pula baginya melakukan qaḍā’ sebelum baligh, dan masa kecil tidak menjadi penghalang keabsahannya.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وليس على الحاج بعد فراغه من الرمي أيام منى إلا وداع البيت فيودع الْبَيْتِ ثُمْ يَنْصَرِفُ إِلَى بَلَدِهِ وَالْوَدَاعُ الطَوَافُ بِالْبَيْتِ وَيَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَهُ فَإِنْ لَمْ يَطُفْ وَانْصَرَفَ فَعَلَيْهِ دَمٌ لِمَسَاكِينِ الْحَرَمِ “.

Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Tidak ada kewajiban atas orang yang berhaji setelah selesai dari melempar (jumrah) pada hari-hari Mina kecuali wada‘ al-bayt (perpisahan dengan Ka’bah), maka ia melakukan ṭawāf perpisahan di Baitullah, kemudian kembali ke negerinya. Wada‘ itu adalah ṭawāf di Baitullah, lalu ia salat dua rakaat setelahnya. Jika ia tidak ṭawāf dan langsung pulang, maka atasnya wajib dam, yang diberikan kepada para miskin di tanah haram.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا فَرَغَ الْحَاجُّ مِنْ رَمْيِهِ وَأَكْمَلَ جَمِيعَ حَجِّهِ فَإِنْ كَانَ مَكِّيًّا أَوْ كَانَ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ مَكَّةَ فَأَرَادَ الْمُقَامَ بِمَكَّةَ فَلَيْسَ عَلَيْهِ طَوَافُ الْوَدَاعِ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُفَارِقٍ وَلَا مُوَدَّعٍ لَا يَخْتَلِفُ فِيهِ المذهب، فأما إذا أراد الرجوع إِلَى بَلَدِهِ فَمِنَ السُّنَّةِ الْمَنْدُوبَةِ أَنْ يُوَدِّعَ الْبَيْتَ، لِرِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانَ النَّاسُ فِي الْمَوْسِمِ يَنْصَرِفُونَ فِي كُلِّ وَجْهٍ بَلَا وَدَاعٍ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ألا حتى يكون آخر عهده بِالْبَيْتِ ” وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ مِنْ سُنَّةِ الْقَادِمِ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ تَحِيَّةً وَتَسْلِيمًا، اقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مِنْ سُنَّةِ الْخَارِجِ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ تَحِيَّةً وَتَوْدِيعًا، وَإِذَا كَانَ هَذَا ثَانِيًا فَمِنْ سُنَّةِ الْعَائِدِ إِلَى بَلَدِهِ بَعْدَ فَرَاغِ حَجِّهِ أَنْ يُوَدِّعَ الْبَيْتَ بِالطَّوَافِ، سَوَاءٌ كَانَ بِمَكَّةَ أَوْ بِمِنًى؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَنَعَ مِنَ النَّفْرِ إِلَّا بَعْدَ وَدَاعِ الْبَيْتِ وَنَفْرِ الْحَجِيجِ مِنْ مِنًى، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ حَالَ مَنْ هُوَ بِمَكَّةَ وَمِنًى سَوَاءٌ فِي وَدَاعِ الْبَيْتِ لِأَنَّهُ مِنْ مَسْنُونَاتِ الْحَجِّ، فَإِذَا فَرَغَ مِنْ جَمِيعِ أَشْغَالِهِ بِمَكَّةَ وَلَمْ يَبْقَ لَهُ إِلَّا الْمَسِيرُ إِلَى بَلَدِهِ طَافَ بِالْبَيْتِ سَبْعًا، وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ فِي مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ، فَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا وَدَّعَ الْبَيْتَ قَامَ بَيْنَ الْبَابِ وَالْحَجَرِ وَمَدَّ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْبَابِ وَالْيُسْرَى إِلَى الْحَجَرِ وَقَالَ اللَّهُمَّ أَنَا عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ حَمَلَتْنِي دَابَّتُكَ وَسَيَّرَتْنِي فِي بَلَدِكَ حَتَى أَقْدَمَتْنِي حَرَمَكَ وَأَمْنَكَ وَقَدْ رَجَوْتُ بِحُسْنِ ظَنِّي فِيكَ أَنْ تَكُونَ قَدْ غَفَرْتَ لِي، فَإِنْ كُنْتَ قَدْ غَفَرْتَ فَازْدَدْ عَنِّي رِضًا وَقَدِّمْنِي إِلَيْكَ زُلْفًا، وَإِنْ كُنْتَ لَمْ تَغْفِرْ لِي فَمِنَ الْآنَ فَاغْفِرْ لِي قَبْلَ أَنْ تَنْأَى عَنْ بَيْتِكَ دَارِي فَهَذَا أَوَانُ انْصِرَافِي إِنْ أَذِنْتَ لِي غَيْرَ رَاغِبٍ عَنْكَ وَلَا عَنْ بَيْتِكَ وَلَا مُسْتَبْدِلٍ بِكَ وَلَا بِبَيْتِكَ، وَاحْفَظْنِي عَنْ يَمِينِي وَعَنْ شِمَالِي، وَمِنْ أَمَامِي وَمِنْ خلفي حتى تقدمني فَإِذَا أَقْدَمْتَنِي فَلَا يَحِلُّ لِي مِنِّي وَاكْفِنِي مُؤْنَتِي وَمُؤْنَةَ عِيَالِي أَوْ مُؤْنَةَ خَلْقِكَ أَجْمَعِينَ، فَأَنْتَ أَوْلَى بِذَلِكَ مِنِّي “. وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقُولَ ذَلِكَ وَيَنْصَرِفَ غَيْرَ مُعَرِّجٍ عَلَى شَيِءٍ حَتَّى يخرج من مكة، فإن أقام بَعْدَ وَدَاعِهِ مُتَشَاغِلًا بِأَمْرِهِ أَعَادَ الْوَدَاعَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ عملاًَ يَسِيرًا، كَتَوْدِيعِ صَدِيقٍ أَوْ جَمْعِ رَجُلٍ فَلَا يُعِيدُ الْوَدَاعَ. قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْإِمْلَاءِ وَإِنْ أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ بَعْدَ وَدَاعِهِ صَلَّاهَا وَلَمْ يُعِدِ الْوَدَاعَ.

PASAL
 Al-Māwardī berkata: Inilah sebagaimana yang dikatakan (oleh Imam al-Syafi‘i): apabila seorang haji telah selesai dari ramy dan menyempurnakan seluruh manasik hajinya, maka jika ia seorang penduduk Makkah atau bukan penduduk Makkah tetapi ingin menetap di Makkah, maka tidak wajib atasnya ṭawāf wada‘, karena ia bukan orang yang hendak berpisah (dari Makkah) dan bukan pula orang yang berpamitan — dan ini tidak diperselisihkan dalam mazhab.

Adapun jika ia hendak kembali ke negerinya, maka disunnahkan dan dianjurkan baginya untuk berpamitan kepada Ka‘bah, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata: “Dahulu orang-orang pada musim haji pergi meninggalkan Makkah ke segala penjuru tanpa berpamitan. Maka Nabi SAW bersabda: ‘Tidakkah hendaknya akhir dari pertemuan seseorang dengan Ka‘bah?'”

Karena disunnahkan bagi orang yang baru datang ke Makkah untuk ṭawāf sebagai bentuk penghormatan dan salam, maka hal ini menuntut agar disunnahkan pula bagi orang yang hendak keluar dari Makkah untuk ṭawāf sebagai bentuk penghormatan dan perpisahan.

Maka dari itu, disunnahkan bagi orang yang hendak kembali ke negerinya setelah menyelesaikan hajinya, untuk melakukan ṭawāf wada‘, baik ia berada di Makkah maupun di Mina; karena Rasulullah SAW melarang nafr (meninggalkan Makkah) kecuali setelah melakukan ṭawāf wada‘, dan para jamaah haji nafr dari Mina. Ini menunjukkan bahwa keadaan orang yang berada di Makkah dan di Mina sama saja dalam hal ṭawāf wada‘, karena itu termasuk sunah-sunah haji.

Maka apabila ia telah menyelesaikan seluruh urusannya di Makkah dan tidak tersisa kecuali hendak berangkat ke negerinya, maka ia melakukan ṭawāf di Ka‘bah sebanyak tujuh putaran, lalu shalat dua rakaat di Maqām Ibrāhīm.

Telah diriwayatkan dari ‘Abdullāh bahwa ia berkata: “Sesungguhnya seorang laki-laki apabila hendak berpamitan kepada Ka‘bah, ia berdiri di antara pintu dan ḥajar, lalu membentangkan tangan kanannya ke arah pintu dan tangan kirinya ke arah ḥajar, lalu berdoa:

Allāhumma anā ‘abduka wabnu ‘abdika, ḥamaltanī dābbatuka wasayyartanī fī baladika ḥattā aqdamtanī ḥaramaka wa amnaka, wa qad rajaoutu biḥusni ẓannī fika an takūna qad ghafarta lī. Fa-in kunta qad ghafarta fazdad ‘annī riḍā wa qaddimnī ilayka zulfa, wa in kunta lam taghfir lī fa-min al-ān faghfir lī qabla an tan’ā ‘an baytika dārī. Fā hādhā awānunṣirāfī in adhintalī ghayra rāghibin ‘anka wa lā ‘an baytika wa lā mustabdilin bika wa lā bibaytika. Waḥfaẓnī ‘an yamīnī wa ‘an shimālī, wa min amāmī wa min khalfī ḥattā tuqaddimanī, fa-idhā aqdamtanī fa-lā yaḥillu lī minnī, wakfinī mu’natī wa mu’nata ‘iyālī aw mu’nata khalqika ajma‘īn, fa-anta awlā bidzālika minnī.”

Dan disunnahkan untuk mengucapkan doa ini, lalu segera berangkat tanpa mampir atau menyibukkan diri dengan sesuatu apa pun hingga keluar dari Makkah.

Jika ia tinggal di Makkah setelah ṭawāf wada‘ karena kesibukan urusannya, maka ia wajib mengulang ṭawāf wada‘, kecuali jika itu pekerjaan ringan seperti berpamitan kepada sahabat atau mengumpulkan barang-barang, maka tidak perlu mengulangi ṭawāf wada‘.

Imam al-Syafi‘i berkata dalam al-Imlā’: Jika setelah ia ṭawāf wada‘ lalu iqamah shalat ditegakkan, maka ia ikut shalat dan tidak wajib mengulangi ṭawāf wada‘.


وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَلْزَمُهُ إِعَادَةُ الْوَدَاعِ إِذَا طَالَ مُقَامُهُ بَعْدَ طَوَافِ الْوَدَاعِ.
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ طَوَافٌ لِلصَّدْرِ وَالْوَدَاعِ، فَوَجَبَ إِذَا وُجِدَ قَبْلَ زَمَانِهِ وَزَالَ عَنْهُ اسْمُ مُوجِبِهِ أَنْ لَا يُجْزِئَهُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ طَوَافَ صَدْرٍ وَلَا وَدَاعٍ لِوُجُودِهِ قَبْلَ الصَّدْرِ وَالْوَدَاعِ.

Imam Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak wajib mengulang ṭawāf wada‘ jika ia tinggal lama di Makkah setelah melakukan ṭawāf wada‘.”

Dalil kami adalah bahwa ṭawāf tersebut adalah ṭawāf ṣadr dan wada‘, maka apabila dilakukan sebelum waktunya, dan hilang darinya nama (status) penyebabnya, maka tidak mencukupi (tidak sah), karena tidak bisa disebut sebagai ṭawāf ṣadr maupun wada‘, sebab dilakukan sebelum saat perpisahan dan keberangkatan.


فَصْلٌ
: فَإِنْ لَمْ يُوَدِّعِ الْبَيْتَ بِالطَّوَافِ حَتَّى عَادَ إِلَى بَلَدِهِ فَعَلَيْهِ دَمٌ وَفِيهِ قَوْلَانِ:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ: إِنَّهُ وَاجِبٌ؛ لِأَنَّ طَوَافَ الْوَدَاعِ نُسُكٌ، وَلِأَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِهِ، ” وَمَنْ تَرَكَ نُسُكًا فَعَلَيْهِ دَمٌ “.
وَالْقَوْلُ الثاني: نص عليه في الإملاء: هو اسْتِحْبَابٌ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ نُسُكًا وَاجِبًا لَا يَسْتَوِي فِيهِ حَالُ الْمَعْذُورِ وَغَيْرِ الْمَعْذُورِ وَالْمُقِيمِ بِمَكَّةَ وَغَيْرِ الْمُقِيمِ بِمَكَّةَ، فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ نُسُكًا لِلْمُقِيمِ، وَالْحَائِضُ يَلْزَمُهُمَا بِتَرْكِهِ دَمٌ لَمْ يَكُنْ نُسُكًا لِغَيْرِ الْمُقِيمِ وَالْحَائِضِ وَلَمْ يَلْزَمْ بِتَرْكِهِ دَمٌ، فَلَوْ نَفَرَ قَبْلَ طَوَافِ الْوَدَاعِ ثُمَّ ذَكَرَ بَعْدَ خُرُوجِهِ مِنْ مَكَّةَ نَظَرَ، فَإِنْ ذَكَرَهُ عَلَى مَسَافَةٍ لَا يُقْصَرُ فِي مِثْلِهَا الصَّلَاةُ وَذَلِكَ دُونَ الْيَوْمِ والليلة رجع وطاف طَوَافَ الْوَدَاعِ لِأَنَّهُ مِنْ حُكْمِ الْمُقِيمِ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أنه رد رجل لم يودع البيت من مَرٍّ، وَإِنْ ذَكَرَهُ عَلَى مَسَافَةٍ تُقْصَرُ فِي مثلها الصلاة وذلك يوم وليلة فظن لَمْ يَعُدْ؛ لِاسْتِقْرَارِ فِرَاقِهِ وَكَانَ عَلَيْهِ الدَّمُ وَاجِبًا عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ وَاسْتِحْبَابًا عَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي، فَلَوْ عَادَ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الدَّمُ لاستقراره عليه، وكان مبتدأ للدخول حرم إِذَا دَخَلَ وَيُوَدِّعُ إِذَا خَرَجَ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: وطواف الوداع لا رمل فيه ولا اضطباع، لِأَنَّهُ طَوَافٌ لَا يُحْتَاجُ بَعْدَهُ إِلَى شَيْءٍ، وَإِذَا خَرَجَ مُوَدِّعًا وَلَّى ظَهْرَهُ إِلَى الْكَعْبَةِ وَلَمْ يُرْجِعِ الْقَهْقَرَى كَمَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ عَوَامِّ الْمُتَنَسِّكِينَ، لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهِ سُّنَّةٌ مَرْوِيَّةٌ وَلَا أَثَرٌ مَحْكِيٌّ، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقُولَ عِنْدَ خُرُوجِهِ مِنْ مَكَّةَ مَا رَوَاهُ نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِذَا قَفَلَ مِنْ جَيْشٍ أَوْ حَجٍّ أَوْ عمرة فأرفأ عَلَى ثنيةٍ أَوَ فدفدٍ قَالَ آمِنُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ سَاجِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ، صَدَقَ اللَّهُ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ.

PASAL
 Jika seseorang tidak berpamitan kepada Ka‘bah dengan ṭawāf lalu kembali ke negerinya, maka ia wajib membayar dam. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: dan ini adalah pendapat al-Syafi‘i dalam qaul qadīm, bahwa ṭawāf wada‘ itu wājib, karena ṭawāf wada‘ adalah bagian dari nusuk, dan berdasarkan perintah Rasulullah SAW terhadapnya, serta sabda beliau: “Barang siapa yang meninggalkan satu nusuk, maka wajib atasnya dam.”

Kedua: dinyatakan oleh al-Syafi‘i dalam al-Imlā’, bahwa ṭawāf wada‘ adalah mustaḥabb, bukan wājib, karena jika ia termasuk nusuk yang wajib, tentu tidak akan disamakan antara kondisi orang yang punya uzur dan tidak, dan antara orang yang menetap di Makkah dan yang tidak menetap. Ketika tidak diwajibkan bagi orang yang menetap dan tidak diwajibkan bagi wanita haid, maka ia juga tidak termasuk nusuk bagi selain orang yang menetap dan wanita haid, dan tidak wajib dam karena meninggalkannya.

Jika seseorang nafar (keluar dari Makkah) sebelum ṭawāf wada‘ lalu mengingatnya setelah keluar dari Makkah, maka dilihat:

  • Jika ia mengingatnya dalam jarak yang tidak diperbolehkan qaṣr shalat — yaitu kurang dari perjalanan satu hari satu malam — maka ia kembali dan melakukan ṭawāf wada‘, karena masih termasuk hukum orang yang menetap. Telah diriwayatkan bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA pernah mengembalikan seseorang dari Marr karena belum melakukan ṭawāf wada‘.
  • Jika ia mengingatnya dalam jarak yang sudah diperbolehkan qaṣr — yakni sejauh perjalanan satu hari satu malam — maka ia tidak kembali, karena perpisahannya dengan Makkah sudah dianggap menetap. Maka wajib atasnya dam, menurut salah satu dari dua pendapat (jika dianggap wajib), atau mustaḥabb menurut pendapat kedua.


Jika ia kembali ke Makkah, maka dam tidak gugur darinya, karena kewajibannya sudah menetap. Dan itu dihukumi sebagai masuk baru ke ḥaram, maka ia masuk dan berpamitan saat keluar.

Al-Syafi‘i berkata: ṭawāf wada‘ tidak dilakukan dengan raml dan tidak dengan iḍṭibā‘, karena ini ṭawāf yang tidak ada ibadah lain setelahnya.

Jika ia keluar dalam keadaan berpamitan, maka ia membalikkan punggungnya ke arah Ka‘bah dan tidak berjalan mundur seperti yang dilakukan sebagian awam dari orang-orang yang beribadah, karena tidak ada sunah yang diriwayatkan dan tidak ada atsar yang disebutkan mengenai hal itu.

Disunnahkan baginya untuk mengucapkan doa saat keluar dari Makkah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar RA, bahwa Nabi SAW jika kembali dari peperangan, atau haji, atau ‘umrah, dan ketika sampai pada suatu tanjakan atau tempat tinggi, beliau mengucapkan:

“Āminūna tā’ibūna ‘ābidūna sājidūna li-Rabbinā ḥāmidūn, ṣadaqallāhu wa‘dah, wa naṣara ‘abdah, wa hazamal aḥzāba waḥdah.”


فَصْلٌ
: فَأَمَّا دُخُولُ الْبَيْتِ فَقَدْ رَوَى عَطَاءٌ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ دَخَلَ الْبَيْتَ دَخَلَ فِي حسنةٍ وَخَرَجَ مِنْ سيئةٍ وَخَرَجَ مَغْفُورًا لَهُ ” فَكَانَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ تَرْغِيبٌ فِي دُخُولِهِ وَحَثٌّ عَلَيْهِ، وَرَوَى ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَتْ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ عِنْدِي وَهُوَ قَرِيرُ الْعَيْنِ طَيِّبُ النَفْسِ ثُمَ رَجَعَ إِلَيَّ وَهُوَ حَزِينٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ خَرَجْتَ مِنْ عِنْدِي وَأَنْتَ كَذَا وَكَذَا.

PASAL
 Adapun masuk ke dalam Ka‘bah, telah meriwayatkan ‘Aṭā’ dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
 “Barang siapa yang masuk ke dalam Baitullah, ia masuk dalam kebaikan, keluar dari keburukan, dan keluar dalam keadaan telah diampuni.”

Maka dalam hadis ini terdapat anjuran untuk masuk ke dalamnya dan dorongan kuat untuk melakukannya.

Dan telah meriwayatkan Ibnu Abī Mulaykah dari ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā, ia berkata:
 “Rasulullah SAW keluar dari sisiku dalam keadaan senang dan bahagia. Lalu beliau kembali kepadaku dalam keadaan sedih. Maka aku pun bertanya: ‘Wahai Rasulullah, engkau keluar dari sisiku dalam keadaan seperti ini dan itu (bahagia)…’”


فَقَالَ: ” إِنِّي دَخَلْتُ الْكَعْبَةَ، وَوَدِدْتُ أَنِّي لم فعلت، إِنِّي أَخَافُ أَنْ أَكُونَ قَدْ أَتْعَبْتُ أُمَّتِي مِنْ بَعْدِي، فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ دُخُولَهُ غَيْرُ مَنْدُوبٍ إِلَيْهِ، فَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَدْخُلَهَا إلا تائب منيب قد أفلح عَنْ مَعَاصِيهِ وَأَخْلَصَ طَاعَتَهُ، فَقَدْ رَوَى عَبْدُ الله بن سليط عن عبد الله بن عُمَرَ قَالَ: مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِنَاسٍ مِنْ قُرَيْشٍ جُلُوسٍ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ فلما انتهى إليهم سلم عليهم ثُمَ قَالَ: اعْلَمُوا أَنَّهَا مَسْؤُولَةٌ عَمَّا يُفْعَلُ فِيهَا وَإِنَّ سَاكِنَهَا لَا يَسْفِكُ دَمًا وَلَا يمشي بالنميمة.

Lalu beliau bersabda: “Sungguh aku telah masuk ke dalam Ka‘bah, dan aku berharap seandainya aku tidak melakukannya. Aku khawatir hal itu akan memberatkan umatku setelahku.”

Hal ini menunjukkan bahwa masuk ke dalam Ka‘bah bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Maka sebaiknya seseorang tidak memasukinya kecuali ia benar-benar telah bertobat dan kembali kepada Allah, telah berhasil meninggalkan maksiat, dan mengikhlaskan ketaatannya.

Telah meriwayatkan ‘Abdullāh bin Sulaiṭ dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, ia berkata:

Rasulullah SAW melewati sekelompok orang Quraisy yang sedang duduk di bawah naungan Ka‘bah, lalu ketika sampai kepada mereka, beliau mengucapkan salam, kemudian bersabda:

“Ketahuilah, sesungguhnya Ka‘bah ini akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan di dalamnya. Dan sesungguhnya siapa pun yang tinggal di dalamnya tidak akan menumpahkan darah dan tidak akan menyebarkan namimah.”


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَيْسَ عَلَى الْحَائِضِ وداعٌ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَرْخَصَ لَهَا أَنْ تَنْفِرَ بِلَا وداعٍ “.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ بَعْدَ فَرَاغِهَا مِنَ الْحَجِّ فَلَهَا أَنْ تَنْفِرَ بِلَا وَدَاعِ الْبَيْتِ؛ لِرِوَايَةِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: مَا أَرَى صَفِيَّةَ إِلَّا حَابِسَتَنَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ولما، فَقُلْتُ لَهُ إِنَّهَا حَاضَتْ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أليس أنها قَدْ أَفَاضَتْ فَقُلْتُ بَلَى، فَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ: فلا حبس عليك. وروي أن زيد بن ثابت نحى ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ: أَنْتَ تُفْتِي أَنَّ الْحَائِضَ تَنْفِرُ بِلَا وَدَاعٍ، فَقَالَ لَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ: اسأل أَمَّ سُلَيْمٍ وَصَوَاحِبَاتِهَا فَسَأَلَهَا فَأَخْبَرَتْهُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَرْخَصَ لِلْحَائِضِ أَنْ تَنْفِرَ بِلَا وَدَاعٍ فَرَجَعَ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ وَهُوَ يَبْتَسِمُ وَقَالَ الْقَوْلُ ما قلت فإذا ثبت أن الحائض لا تَنْفِرَ بِلَا وَدَاعٍ فَلَا دَمَ عَلَيْهَا لِتَرْكِهِ؛ لأنها غير مأمورة، فإن طهرت بعد أن نفرت نظر إن طَهُرَتْ فِي بُيُوتِ مَكَّةَ لَزِمَهَا أَنْ تَرْجِعَ فَتُوَدِّعَ الْبَيْتَ بِالطَّوَافِ بَعْدَ أَنْ تَغْتَسِلَ؛ لِأَنَّهَا فِي حُكْمِ الْمُقِيمِ؛ لِوُجُوبِ إِتْمَامِ الصَّلَاةِ عَلَيْهَا، وَإِنْ طَهُرَتْ بَعْدَ مُجَاوَزَةِ بُيُوتِ مَكَّةَ فَلَيْسَ عَلَيْهَا الرُّجُوعُ وَإِنْ كَانَتْ فِي الْحَرَمِ، لِأَنَّهَا فِي حُكْمِ الْمُسَافِرِ لِجَوَازِ قَصْرِ الصَّلَاةِ لَهَا.

Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Tidak wajib bagi perempuan haid tawaf wada‘, karena Rasulullah SAW memberikan keringanan kepadanya untuk berangkat tanpa melakukan wada‘.”

Al-Māwardī berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, yaitu apabila seorang perempuan haid setelah selesai dari ibadah haji, maka dia boleh berangkat tanpa melakukan wada‘ al-bayt; berdasarkan riwayat dari ‘Abdurraḥmān bin al-Qāsim bin Muḥammad bin Abī Bakr dari ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā, ia berkata: “Aku menyangka Shafiyyah akan menahan kita,” maka Rasulullah SAW bertanya: “Kenapa?” Aku menjawab: “Dia haid.” Maka Nabi SAW bersabda: “Bukankah dia telah melakukan ifadah?” Aku menjawab: “Benar.” Maka beliau bersabda: “Kalau begitu tidak ada yang menahanmu.”

Diriwayatkan bahwa Zaid bin Tsābit pernah menyingkirkan Ibn ‘Abbās dan berkata: “Engkau memberi fatwa bahwa perempuan haid boleh berangkat tanpa melakukan wada‘?” Maka Ibn ‘Abbās menjawab: “Tanyakan kepada Umm Sulaym dan kawan-kawannya.” Maka dia bertanya kepadanya dan ia memberitahunya bahwa Nabi SAW memberikan keringanan bagi perempuan haid untuk berangkat tanpa wada‘, maka ia kembali kepada Ibn ‘Abbās dalam keadaan tersenyum dan berkata: “Pendapat yang benar adalah apa yang engkau katakan.”

Maka apabila telah tetap bahwa perempuan haid boleh berangkat tanpa wada‘, maka tidak ada kewajiban dam atasnya karena meninggalkannya; sebab ia tidak diperintahkan. Jika ia suci setelah berangkat, maka dilihat keadaannya: bila ia suci di rumah-rumah Makkah, maka wajib baginya kembali dan melakukan wada‘ dengan ṭawāf setelah mandi, karena ia dalam hukum orang yang bermukim; karena ia wajib menyempurnakan shalat. Namun jika ia suci setelah melewati rumah-rumah Makkah, maka tidak wajib baginya untuk kembali meskipun ia masih di dalam ḥaram, karena ia dalam hukum musafir karena diperbolehkannya mengqashar shalat baginya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا حَاضَتْ قَبْلَ طَوَافِ الْإِفَاضَةِ فَلَيْسَ لَهَا أَنْ تَنْفِرَ حَتَّى تَطُوفَ بَعْدَ الطُّهْرِ؛ لِحَدِيثِ صَفِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَلَيْسَ عَلَى الْجِمَالِ انْتِظَارُهَا حَتَّى تَطْهُرَ بِأَنْ تَنْفِرَ مَعَ النَّاسِ، وَلَهَا أَنْ تَرْكَبَ فِي مَوْضِعِ غَيْرِهَا.
وَقَالَ مَالِكٌ: عَلَى الْجِمَالِ أَنْ يُحْتَبَسَ لَهَا مُدَّةَ أَكْثَرِ الْحَيْضِ وَفَضْلَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قال: أجيران وَلَيْسَ بِأَجِيرَيْنِ امْرَأَةٌ صَحِبَتْ قَوْمًا فِي الْحَجِّ فَحَاضَتْ فَلَيْسَ لَهُمْ أَنْ يَنْفِرُوا حَتَّى تَطْهُرَ وَتَطُوفَ بِالْبَيْتِ، أَوْ تَأْذَنَ لَهُمْ، وَالرَّجُلُ إِذَا شَيَّعَ الْجِنَازَةَ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ حَتَّى يَدْفِنَ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ وَلِيُّهَا.

PASAL
 Adapun jika seorang wanita mengalami haid sebelum ṭawāf al-ifāḍah, maka tidak boleh baginya nafr (meninggalkan Makkah) sampai ia suci dan melakukan ṭawāf setelah suci, berdasarkan hadis tentang Ṣafiyyah RA.

Namun, rombongan kafilahnya tidak wajib menunggunya hingga ia suci agar bisa nafr bersama orang-orang; akan tetapi, ia boleh menunggangi kendaraan milik selain mereka.

Imam Mālik berkata: wajib bagi rombongan kafilah menunggunya selama masa maksimal haid ditambah tiga hari, dengan berdalil pada riwayat dari Abū Hurairah bahwa ia berkata:
 “Dua orang upahan, padahal keduanya bukan upahan: seorang wanita yang menyertai suatu kaum dalam ibadah haji lalu ia mengalami haid, maka tidak boleh bagi mereka untuk nafr sebelum ia suci dan ṭawāf di Ka‘bah, atau ia mengizinkan mereka; dan seorang laki-laki yang mengiringi jenazah, maka tidak boleh baginya kembali hingga jenazah dimakamkan atau diizinkan oleh walinya.”


وَالدَّلَالَةُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ رِوَايَةُ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا ضَرَرَ، وَلَا إِضْرَارَ مِنْ ضَارَّ أَضَرَّ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ ” وَفِي احْتِبَاسِ الْجِمَالِ إِضْرَارٌ بِهِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ حبسها مرض لم يلزمه انتظار برؤها، فَكَذَلِكَ إِذَا حَبَسَهَا حَيْضٌ لَمْ يَلْزَمْهُ انْتِظَارُ طُهْرِهَا، فَأَمَّا حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَدْ أَنْكَرَهُ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَقَالَ: لَيْسَ لَهُمْ عَلَيْنَا أَمْرُهُ، فَهَذَا آخِرُ مَا أُمِرَ بِفِعْلِهِ مِنْ مناسكه في حجه وعمرته.

Dan dalil atas apa yang kami katakan adalah riwayat ‘Amr bin Yaḥyā al-Māzinī dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh saling membahayakan. Siapa yang membahayakan, maka Allah akan membalasnya dengan bahaya, dan siapa yang mempersulit, maka Allah akan mempersulit atasnya.”

Dalam menahan unta (rombongan) terdapat unsur membahayakan terhadapnya. Dan karena jika penahanan itu disebabkan oleh sakit, maka tidak wajib menunggu hingga sembuh, maka demikian pula jika yang menahannya adalah haid, maka tidak wajib menunggu hingga suci.

Adapun hadis Abū Hurairah, maka telah diingkari oleh Zaid bin Tsābit, dan ia berkata: “Mereka tidak memiliki kewenangan atas kami dalam urusannya.” Maka ini adalah akhir dari amalan yang diperintahkan untuk dilaksanakan dari manasik haji dan umrahnya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا زِيَارَةُ قَبْرِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَمَأْمُورٌ بِهَا وَمَنْدُوبٌ إِلَيْهَا، رَوَى عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: مَنْ زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي وَحُكِيَ عَنِ الْعُتْبِيِّ أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَتَى أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَجَدْتُ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: {وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاؤوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّاباً رَحيماً) {النساء: 64) وَقَدْ جِئْتُكَ تَائِبًا مِنْ ذَنْبِي مُسْتَشْفِعًا بِكَ إِلَى رَبِّي وَأَنْشَأَ يَقُولُ:

PASAL
 Adapun ziarah ke makam Nabi SAW, maka hal itu diperintahkan dan disunnahkan. Diriwayatkan dari ‘Ubaydullāh dari Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Barang siapa yang menziarahi kuburanku, maka wajib baginya mendapatkan syafa’at dariku.”

Diriwayatkan dari al-‘Utbī bahwa ia berkata: Aku sedang berada di dekat makam Nabi SAW, lalu datanglah seorang Arab Badui dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku dapati Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan sekiranya mereka ketika menzalimi diri mereka datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang} (QS an-Nisā’: 64). Maka sungguh aku datang kepadamu dalam keadaan bertobat atas dosaku, memohon syafa’at melalui engkau kepada Rabbku.” Lalu ia mulai mengucapkan:


(يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ … فَطَابَ مِنْ طِيبِهِنَّ الْقَاعُ وَالْأَكَمُ)

(نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَاكِنُهُ … فِيهِ الْعَفَافُ وَفِيهِ الْجُودُ وَالْكَرَمُ)
قَالَ الْعُتْبِيُّ فَغَفَوْتُ غَفْوَةً فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: يَا عُتْبِيُّ الْحَقِ الْأَعْرَابِيَّ، وَأَخْبِرْهُ بِأَنَّ الله تعالى قد غفر له.

(Wahai sebaik-baik orang yang tulangnya dikuburkan di tanah ini … Maka tanah dan bukit menjadi harum karena keharuman tulangnya)
 (Jiwaku tebusan bagi kubur yang engkau tempati … Di dalamnya terdapat kesucian, kemurahan, dan kemuliaan)

Al-‘Utbī berkata: Lalu aku tertidur sejenak, dan aku melihat Rasulullah SAW dalam mimpiku, beliau bersabda: “Wahai ‘Utbī, temuilah orang Badui itu dan kabarkan kepadanya bahwa Allah Ta‘ālā telah mengampuninya.”


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا أَصَابَ الْمُحْرِمُ امْرَأَتَهُ الْمُحْرِمَةَ فَغَيَّبَ الْحَشَفَةَ مَا بَيْنَ أَنْ يُحْرِمَ إِلَى أَنْ يَرْمِيَ الْجَمْرَةَ فَقَدْ أَفْسَدَ حَجَّهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، الْمُحْرِمُ فَهُوَ مَمْنُوعٌ مِنَ الْوَطْءِ فِي إِحْرَامِهِ سَوَاءٌ كَانَ حَاجًّا أَوْ مُعْتَمِرًا أَوْ قَارِنًا؛ لِقَوْلِهِ سُبْحَانَهُ {فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الحَجِّ) {البقرة: 197) وَالرَّفَثُ الْجِمَاعُ، بِدَلِيلِ قَوْله تَعَالَى: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثَ إِلَى نَسَائِكُمْ) {البقرة: 187) وَلِأَنَّ الْإِحْرَامَ لَمَّا مَنَعَ مِنْ دَوَاعِي الْوَطْءِ كَالنِّكَاحِ وَالطِّيبِ كَانَ بِمَنْعِ الْوَطْءِ أَوْلَى.

Masalah: Imam asy-Syafi‘i RA berkata: “Apabila seorang muḥrim menyetubuhi istrinya yang juga muḥrimah dengan memasukkan ḥasyafah antara mulai beriḥrām hingga melempar jamrah, maka hajinya batal.”

Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan (oleh Imam asy-Syafi‘i), bahwa muḥrim dilarang bersetubuh selama dalam keadaan ihram, baik ia menunaikan haji, umrah, ataupun qirān; berdasarkan firman Allah SWT: {Barang siapa yang menetapkan dalam dirinya untuk berhaji pada bulan-bulan itu, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan dalam haji} (QS al-Baqarah: 197). Yang dimaksud dengan rafats adalah jima‘, sebagaimana ditunjukkan oleh firman-Nya: {Dihalalkan bagi kalian pada malam puasa berjima‘ dengan istri-istri kalian} (QS al-Baqarah: 187). Dan karena ihram melarang perkara-perkara yang menjadi pendahulu jima‘ seperti nikah dan memakai wewangian, maka melarang jima‘ secara langsung tentu lebih utama.


فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا فَالْمُحْرِمُ بِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ أَوْ قِرَانٍ مَمْنُوعٌ مِنَ الْوَطْءِ فِي قُبُلٍ أَوْ دُبُرٍ، مِنْ آدَمِيٍّ أَوْ بَهِيمَةٍ، فَأَمَّا الْمُحْرِمُ بِالْحَجِّ إِذَا وَطِئَ فِي إِحْرَامِهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ: عَامِدٌ وَنَاسِي، فَأَمَّا النَّاسِي فَسَيَأْتِي.
وَأَمَّا الْعَامِدُ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: فِي الْفَرْجِ.
وَالثَّانِي: دُونَ الْفَرْجِ، فَإِنْ كَانَ دُونَ الْفَرْجِ فَسَيَأْتِي، وَإِنْ كَانَ فِي الْفَرْجِ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أقسام:

Maka apabila hal ini telah tetap, maka orang yang berihram untuk haji atau umrah atau qirān dilarang melakukan persetubuhan baik pada qubul maupun dubur, baik dengan sesama manusia maupun dengan hewan.

Adapun orang yang berihram untuk haji lalu melakukan persetubuhan dalam keadaan ihram, maka ada dua keadaan: sengaja dan lupa. Adapun yang lupa akan dijelaskan kemudian.

Sedangkan yang sengaja, maka terbagi menjadi dua:

pertama: pada kemaluan,
 kedua: selain kemaluan.

Jika dilakukan selain pada kemaluan, maka akan dijelaskan kemudian. Dan jika pada kemaluan, maka terbagi menjadi tiga bagian:


فالقسم الأول: أن يطئ قَبْلَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ فَإِذَا وَطِئَ تَعَلَّقَ بِوَطْئِهِ أَرْبَعَةُ أَحْكَامٍ:
أَحَدُهَا: فَسَادُ الْحَجِّ.
وَالثَّانِي: وُجُوبُ الْإِتْمَامِ.
وَالثَّالِثُ: وُجُوبُ الْقَضَاءِ.
وَالرَّابِعُ: وُجُوبُ الْكَفَّارَةِ.
فَأَمَّا الْحُكْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ فَسَادُ الْحَجِّ فَهُوَ إِجْمَاعٌ لَيْسَ يُعْرَفُ فِيهِ خِلَافٌ، أَنَّهُ إِذَا وَطِئَ قَبْلَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ فَقَدْ أَفْسَدَ حَجَّهَ لِأَمْرَيْنِ:

Maka bagian pertama: yaitu apabila ia bersetubuh sebelum wuqūf di ‘Arafah. Maka apabila ia bersetubuh, maka dari persetubuhannya itu timbul empat hukum:

pertama: rusaknya haji,
 kedua: wajib menyempurnakan haji tersebut,
 ketiga: wajib mengganti (qadha),
 keempat: wajib membayar kafārah.

Adapun hukum yang pertama, yaitu rusaknya haji, maka ini merupakan ijma‘ — tidak diketahui adanya khilaf di dalamnya — bahwa apabila seseorang bersetubuh sebelum wuqūf di ‘Arafah, maka hajinya rusak, karena dua sebab:


أَحَدُهُمَا: مَا تَقَدَّمَ مِنْ نَهْيِهِ عَنْهُ وَالنَّهْيُ يَقْتَضِي فَسَادَ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ.
وَالثَّانِي: أَنَّ أُصُولَ الشَّرْعِ مُقَدَّرَةٌ وَأَنَّ الْعِبَادَةَ إِذَا حُرِّمَ فيها الوطء وغيره اختص الوطء بتغليط حكم بان بِهِ مَا حَرُمَ مَعَهُ أَلَا تَرَى أَنَّ الصَّوْمَ لَمَّا حَرَّمَ الْوَطْءَ وَغَيْرَهُ وَاسْتَوَى حُكْمُ الْجَمِيعِ فِي إِفْسَادِ الصَّوْمِ اخْتَصَّ الْوَطْءُ بِإِيجَابِ الْكَفَّارَةِ وَلَمَّا كَانَ الْوَطْءُ وَغَيْرُهُ مِنْ مَحْظُورَاتِ الْإِحْرَامِ سَوَاءٌ فِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ وَجَبَ أَنْ يُخْتَصَّ الْوَطْءُ بِإِفْسَادِ الْحَجِّ، فَيَكُونَ تَغْلِيظُ الْوَطْءِ فِي الصَّوْمِ اخْتِصَاصَهُ بِوُجُوبِ الْكَفَّارَةِ، وَتَغْلِيظُهُ فِي الْحَجِّ اخْتِصَاصَهُ بِوُجُوبِ الْقَضَاءِ.

Pertama: (Alasannya adalah) sebagaimana telah disebutkan sebelumnya berupa larangan terhadapnya, dan larangan menunjukkan rusaknya sesuatu yang dilarang.

Kedua: Bahwa pokok-pokok syariat telah ditetapkan, dan apabila dalam suatu ibadah diharamkan jima‘ dan yang lainnya, maka jima‘ memiliki hukum yang lebih berat, dengan konsekuensi yang tidak terdapat pada yang lainnya. Tidakkah engkau melihat bahwa puasa, ketika mengharamkan jima‘ dan selainnya, semua hal tersebut membatalkan puasa, namun jima‘ dikhususkan dengan kewajiban membayar kafārah? Maka, ketika jima‘ dan selainnya termasuk hal-hal yang dilarang dalam ihram, dan semuanya mewajibkan kafārah, maka seyogianya jima‘ dikhususkan dengan membatalkan haji. Maka, bentuk penguatan larangan jima‘ dalam puasa adalah dengan mengkhususkannya dengan kewajiban kafārah, dan bentuk penguatan larangannya dalam haji adalah dengan mengkhususkannya dengan kewajiban qaḍā’.

فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْحُكْمُ الثَّانِي وَهُوَ وُجُوبُ الْإِتْمَامِ: فَعَلَيْهِ بَعْدَ إِفْسَادِ حَجِّهِ أَنْ يُتَمِّمَهُ وَيَمْضِيَ فِي فَاسِدِهِ وَهُوَ قول جمهور الفقهاء.
وقال ربيعة وداوود: قَدْ خَرَجَ مِنْهُ بِالْفَسَادِ وَلَا يَلْزَمُهُ إِتْمَامُهُ، وَقَدْ حُكِيَ نَحْوُهُ عَنْ عَطَاءٍ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” كُلُّ عملٍ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “. وَالْحَجُّ الْفَاسِدُ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَرْدُودًا، وَلِأَنَّهُ لَمَّا خَرَجَ بِالْفَسَادِ مِنَ الْإِحْرَامِ مِنْ سَائِرِ الْعِبَادَاتِ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ خَارِجًا بِالْفَسَادِ مِنَ الْإِحْرَامِ.

PASAL: Adapun hukum kedua, yaitu kewajiban menyempurnakan, maka setelah merusak hajinya, ia wajib menyempurnakannya dan tetap melanjutkan dalam haji yang rusak tersebut. Ini adalah pendapat jumhur fuqahā’.

Rabī‘ah dan Dāwud berkata: Ia telah keluar darinya (kewajiban haji) karena rusaknya, dan tidak wajib menyempurnakannya. Riwayat serupa juga dinukil dari ‘Aṭā’, dengan dalil sabda Nabi SAW: “Setiap amal yang tidak didasari perintah kami, maka tertolak.” Dan haji yang rusak tidak didasari perintah beliau, maka wajib dianggap tertolak. Karena ia telah keluar dari ihram akibat rusak, sebagaimana dalam ibadah-ibadah lain seperti salat dan puasa, maka wajib pula dianggap keluar dari ihram karena rusaknya.


وَدَلِيلُنَا إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَهُوَ مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي مُوسَى أَنَّهُمْ قَالُوا: إِذَا أَفْسَدَ حَجَّهُ مَضَى فِي فَاسِدِهِ وَلَا مُخَالِفَ لَهُمْ وَلِأَنَّهُ سَبَبُ قَضَاءِ الْحَجِّ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَخْرُجَ بِهِ عَنِ الْحَجِّ كَالْفَوَاتِ، فَأَمَّا قَوْلُهُ ” كُلُّ عملٍ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ” فَالَّذِي لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُ صَاحِبِ الشَّرْعِ هُوَ الْوَطْءُ وَهُوَ مَرْدُودٌ فَأَمَّا الْحَجُّ فَعَلَيْهِ صَاحِبُ الشَّرْعِ وَمَا ذَكَرُوهُ مِنْ سَائِرِ الْعِبَادَاتِ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الْحَجِّ أَنَّهُ يَخْرُجُ مِنْهَا بِالْفَوَاتِ فَكَذَلِكَ خَرَجَ مِنْهَا بِالْفَسَادِ وَالْحَجُّ لَمَّا لَمْ يَخْرُجْ مِنْهُ بِالْفَوَاتِ لَمْ يَخْرُجْ مِنْهُ بِالْفَسَادِ.

Dalil kami adalah ijma‘ para sahabat raḍiyallāhu ‘anhum, yaitu sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Alī, Ibn ‘Abbās, Abū Hurairah, dan Abū Mūsā, bahwa mereka berkata: “Apabila seseorang merusak hajinya, maka ia tetap melanjutkan hajinya yang rusak itu.” Dan tidak ada yang menyelisihi mereka.

Dan karena persetubuhan tersebut adalah sebab diwajibkannya qadhā’ haji, maka wajib baginya untuk tidak keluar dari ibadah haji itu, sebagaimana orang yang terluput dari wuqūf (fawāt).

Adapun sabda Nabi SAW: “Setiap amal yang tidak sesuai dengan perintah kami maka ia tertolak,” maka yang tidak sesuai dengan perintah Nabi adalah perbuatan jima‘, dan itu memang tertolak. Adapun ibadah hajinya tetap sesuai dengan syariat.

Apa yang mereka sebutkan mengenai ibadah-ibadah lainnya, maka perbedaannya dengan haji adalah bahwa ibadah-ibadah itu bisa keluar (batal) karena fawāt, maka demikian pula bisa keluar darinya karena kerusakan (fasād).

Sedangkan haji, karena tidak bisa keluar darinya hanya karena fawāt, maka tidak bisa pula keluar darinya karena kerusakan.


فصل
: فأما الْحُكْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ وُجُوبُ الْقَضَاءِ وَلَيْسَ يُعْرَفُ فِيهِ خِلَافٌ، أَنَّ مَنْ أَفْسَدَ حَجَّهُ بِوَطْءٍ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ.
وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ مَا رُوِيَ أَنَّ رَجُلًا أَفْسَدَ حَجَّهُ فَسَأَلَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ يَقْضِي مِنْ قابلٍ ثُمَّ سَأَلَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ: يَقْضِي مِنْ قَابِلٍ ثُمَّ سَأَلَ ابْنَ عُمَرَ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالَا، فَقَالَ لَهُ السَّائِلُ: سَأَلْتُ عُمَرَ وَابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَا مِثْلَ مَا قُلْتَ فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: أَتُرَانِي أُخَالِفُ صَاحِبِي، وَلَيْسَ يُعْرَفُ لِهَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةِ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ، وَلِأَنَّ الْإِحْرَامَ بِالْحَجِّ يُوجِبُ إِتْمَامَهُ وَالْفَسَادُ يَمْنَعُ مِنْ إِجْزَائِهِ، فَإِنْ كَانَ الْحَجُّ فَرْضًا لَمْ يَسْقُطْ مِنَ الذِّمَّةِ، وَإِنْ كَانَ تَطَوُّعًا فَقَدْ صَارَ بِدُخُولِهِ فِيهِ فَرْضًا فَتَعَلَّقَ بِالذِّمَّةِ، وَإِذَا تَعَلَّقَ فَرْضُ الْحَجِّ بِذِمَّتِهِ وَلَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ بِإِفْسَادِهِ لَزِمَهُ الْقَضَاءُ.

PASAL
 Adapun hukum yang ketiga, yaitu wajibnya qadhā’, maka tidak diketahui adanya khilaf di dalamnya, bahwa siapa yang merusak hajinya dengan persetubuhan, maka wajib baginya untuk mengganti (qadhā’) haji tersebut.

Dalil atas hal itu adalah riwayat bahwa seorang laki-laki telah merusak hajinya, lalu ia bertanya kepada ‘Umar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu, maka beliau berkata: “Ia wajib mengganti hajinya pada tahun berikutnya.” Kemudian ia bertanya kepada Ibn ‘Abbās, maka beliau juga berkata: “Ia mengganti hajinya pada tahun berikutnya.” Lalu ia bertanya kepada Ibn ‘Umar, dan beliau berkata seperti keduanya. Maka si penanya berkata: “Aku telah bertanya kepada ‘Umar dan Ibn ‘Abbās, dan keduanya mengatakan seperti yang engkau katakan.” Maka Ibn ‘Umar menjawab: “Apakah engkau menyangka aku akan menyelisihi kedua sahabatku?”

Dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi tiga orang ini.

Karena ihram haji mewajibkan untuk menyempurnakannya, sedangkan kerusakan (fasād) menghalangi keabsahannya. Maka jika haji itu wajib, ia tidak gugur dari tanggungan; dan jika ia adalah haji sunnah, maka dengan masuk ke dalamnya ia telah menjadi wajib, sehingga menjadi tanggungan.

Maka ketika kewajiban haji telah menjadi tanggungan dan tidak gugur karena dirusaknya, maka wajib baginya untuk menggantinya (qadhā’).


فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْحُكْمُ الرَّابِعُ وَهُوَ وُجُوبُ الْكَفَّارَةِ: فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الْفُقَهَاءِ فِي قدرها بعد اتفاقهم على وجوبها، فذهب الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْكَفَّارَةَ بَدَنَةٌ.
وَقَالَ الْحَسَنُ: الْكَفَّارَةُ عِتْقُ رَقَبَةٍ كَالْوَطْءِ فِي الصَّوْمِ.
وَقَالَ أبو حنيفة: الْكَفَّارَةُ شَاةٌ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ السَّبَبَ الْوَاحِدَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَجِبَ بِهِ التَّغْلِيظُ مِنْ وَجْهَيْنِ، فَلَمَّا لَزِمَهُ الْقَضَاءُ تَغْلِيظًا وَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ الْبَدَنَةُ تَغْلِيظًا، وَلَزِمَهُ الشَّاةُ اعْتِبَارًا.

PASAL
 Adapun hukum yang keempat, yaitu wajibnya kafārah, maka para fuqahā’ sepakat atas kewajibannya, namun mereka berbeda pendapat mengenai kadar kafārah-nya:

Imam al-Syāfi‘ī berpendapat bahwa kafārah-nya adalah badnah (unta).

Al-Ḥasan berpendapat bahwa kafārah-nya adalah memerdekakan budak, sebagaimana dalam persetubuhan ketika puasa.

Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa kafārah-nya adalah seekor kambing, dengan alasan bahwa satu sebab tidak boleh mengharuskan dua bentuk pemberatan sekaligus. Maka ketika sudah diwajibkan qadhā’ sebagai bentuk pemberatan, tidak boleh lagi diwajibkan badnah sebagai pemberatan lainnya, sehingga yang diwajibkan adalah kambing sebagai bentuk perbandingan.

 

بِمَحْظُورَاتِ الْإِحْرَامِ، وَلِأَنَّ قَضَاءَ الْحَجِّ يَجِبُ بِشَيْئَيْنِ فوات، وفساد، فلما وجب بفوات الْقَضَاءِ وَالتَّكْفِيرِ بِشَاةٍ وَجَبَ أَنْ يَجِبَ بِالْفَسَادِ الْقَضَاءُ وَالتَّكْفِيرُ بِشَاةٍ.
وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ أَحَدُ سَبَبَيْ مَا يَجِبُ بِهِ الْقَضَاءُ فَوَجَبَ أَنْ يُوجِبَ التَّكْفِيرَ بِشَاةٍ كَالْفَوَاتِ.
وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِي هريرة وأبي موسى أَنَّ عَلَى الْوَاطِئِ فِي الْحَجِّ بَدَنَةً وَلَمْ يُفَرِّقُوا قَبْلَ عَرَفَةَ وَبَعْدَ عَرَفَةَ، وَلَيْسَ يُعْرَفُ لَهُمْ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ فَكَانَ إِجْمَاعًا، وَلِأَنَّ الْإِحْرَامَ قَبْلَ الْوُقُوفِ أَقْوَى مِنْهُ بَعْدَ الْوُقُوفِ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الْوَطْءَ يُوجِبُ الْبَدَنَةَ بَعْدَ الْوُقُوفِ اتِّفَاقًا فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ يُوجِبُ الْبَدَنَةَ قَبْلَ الْوُقُوفِ حُجَّاجًا.

Dalam perkara maḥẓūrāt al-iḥrām, dan karena qadhā’ haji diwajibkan karena dua hal: fawāt dan fasād. Maka sebagaimana qadhā’ diwajibkan karena fawāt beserta kafārah berupa seekor kambing, maka wajib pula bahwa qadhā’ karena fasād disertai kafārah seekor kambing.

Penjelasan secara qiyās: bahwa karena fasād adalah salah satu dari dua sebab yang mewajibkan qadhā’, maka ia juga harus mewajibkan kafārah dengan seekor kambing, sebagaimana fawāt.

Adapun dalil kami adalah riwayat dari ‘Umar, ‘Alī, Ibn ‘Abbās, Abū Hurairah, dan Abū Mūsā, bahwa bagi orang yang bersetubuh dalam haji wajib badnah, dan mereka tidak membedakan antara sebelum ‘Arafah atau sesudahnya. Dan tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihi mereka, maka ini merupakan ijma‘.

Dan karena ihram sebelum wuqūf lebih kuat daripada setelah wuqūf, sedangkan telah tetap bahwa persetubuhan setelah wuqūf mewajibkan badnah menurut kesepakatan, maka lebih utama lagi bahwa persetubuhan sebelum wuqūf mewajibkan badnah, apalagi ketika masih dalam keadaan berhaji.


وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ وطء عمد صادق إِحْرَامًا لَمْ يَتَحَلَّلْ شَيْئًا مِنْهُ فَوَجَبَ أَنْ تجب فيه بدنة كالوطء بعد الوقوف بعرفة، وَلِأَنَّ كُلَّ سَبَبٍ يُوْجِبُ الْفِدْيَةَ قَبْلَ الْوُقُوفِ وَبَعْدَهُ، فَالْفِدْيَةُ الْوَاجِبَةُ قَبْلَ الْوُقُوفِ كَالْفِدْيَةِ الْوَاجِبَةِ بَعْدَهُ قِيَاسًا عَلَى جَزَاءِ الصَّيْدِ وَفِدْيَةِ الْأَذَى، ولأن كل عبادة يجب الوطء فِيهَا الْكَفَّارَةُ مَعَ الْقَضَاءِ فَتِلْكَ الْكَفَّارَةُ هِيَ الْعُلْيَا كَالْوَطْءِ فِي رَمَضَانَ، فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ السَّبَبَ الْوَاحِدَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَجِبَ بِهِ التَّغْلِيظُ مِنْ وَجْهَيْنِ فَبَاطِلٌ بِالْوَطْءِ فِي الصَّوْمِ، عَلَى أَنَّ الْكَفَّارَةَ تَغْلِيظٌ وَقَدْ أَجْمَعْنَا عَلَى إِيجَابِهَا مَعَ الْقَضَاءِ وَإِنَّمَا الْخِلَافُ فِي قَدْرِهَا، وَأَمَّا جَمْعُهُ بَيْنَ الْفَسَادِ وَالْفَوَاتِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ؛ لأن الكفارة إنما تغلظ لِغِلَظِ الْفِعْلِ وَعِظَمِ الْإِثْمِ وَالْفَسَادُ بِالْوَطْءِ مَعْصِيَةٌ يعظم إِثْمِهَا وَقَدْ لَا يَكُونُ الْفَوَاتُ مَعْصِيَةً يَأْثَمُ بِهَا، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا فِي الْكَفَّارَةِ مَعَ افْتِرَاقِهِمَا فِي الْمَعْصِيَةِ فَهَذَا حُكْمُ. الْقَسَمِ الْأَوَّلِ فِي الْوَطْءِ قَبْلَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ وكذا حكمه لو كان في عرفة.

Dan penjelasan masalah ini secara qiyās adalah bahwa persetubuhan yang disengaja, dalam keadaan benar-benar sedang berihram dan belum tahallul sedikit pun darinya, maka wajib baginya badnah, sebagaimana halnya persetubuhan setelah wuqūf di ‘Arafah. Karena setiap sebab yang mewajibkan fidyah, baik sebelum maupun sesudah wuqūf, maka fidyah yang wajib sebelum wuqūf disamakan dengan fidyah yang wajib setelahnya, berdasarkan qiyās kepada jazā’ aṣ-ṣayd dan fidyah al-adzā. Dan karena setiap ibadah yang mewajibkan kafārah karena persetubuhan bersamaan dengan qadhā’, maka kafārah itu adalah kafārah yang paling berat, sebagaimana persetubuhan di bulan Ramadan.

Adapun dalil mereka bahwa satu sebab tidak boleh mewajibkan pemberatan dari dua sisi sekaligus, maka itu batil dengan alasan persetubuhan saat puasa. Karena kafārah itu sendiri adalah bentuk pemberatan, dan kita telah bersepakat atas kewajibannya bersama qadhā’, hanya saja perbedaan pendapat terjadi dalam kadar kafārahnya.

Adapun menggabungkan antara fasād dan fawāt adalah tidak sah, karena kafārah hanya menjadi berat karena beratnya perbuatan dan besarnya dosa, sementara fasād karena persetubuhan adalah kemaksiatan yang dosanya besar. Sedangkan fawāt belum tentu merupakan kemaksiatan yang menyebabkan pelakunya berdosa. Maka tidak boleh digabungkan antara keduanya dalam hal kafārah, padahal keduanya berbeda dalam sifat kemaksiatan.

Maka inilah hukum bagian pertama tentang persetubuhan sebelum wuqūf di ‘Arafah, dan demikian pula hukumnya jika persetubuhan itu terjadi di ‘Arafah.


وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَطَأَ بَعْدَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ وَقَبْلَ الْإِحْلَالِ الْأَوَّلِ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ كَالْوَطْءِ قَبْلَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ فِي وُجُوبِ الْأَحْكَامِ الْأَرْبَعَةِ، وَهِيَ فَسَادُ الْحَجِّ؛ وَوُجُوبُ الْإِتْمَامِ، وَلُزُومُ الْقَضَاءِ وَالْكَفَّارَةِ، وَهِيَ بَدَنَةٌ.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَفْسُدُ حَجُّهُ وَعَلَيْهِ بَدَنَةٌ فَوَافَقَ فِي الْبَدَنَةِ بَعْدَ الْوُقُوفِ وَإِنْ كَانَ مُخَالِفًا فِيهَا قَبْلَ الْوُقُوفِ وَخَالَفَ فِي فَسَادِ الْحَجِّ بَعْدَ الْوُقُوفِ وَإِنْ كَانَ مُوَافِقًا فِيهِ قَبْلَ الْوُقُوفِ اسْتِدْلَالًا بقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْحَجُّ عَرَفَةُ فَمَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ ” فَعَلَّقَ إِدْرَاكَ الْحَجِّ بِعَرَفَةَ، فَوَجَبَ أَنْ يَنْتَفِيَ وُرُودُ الْفَسَادِ بَعْدَ عَرَفَةَ؛ لِأَنَّ الْفَسَادَ يَمْنَعُ مِنْ إِدْرَاكِ الْحَجِّ، وَلِأَنَّهُ حَجٌّ لَا يَطْرَأُ عَلَيْهِ الْفَوَاتُ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَطْرَأُ عَلَيْهِ الْفَسَادُ كَالْوَطْءِ بَعْدَ التَّحَلُّلِ الْأَوَّلِ، وَلِأَنَّ قَضَاءُ الْحَجِّ يَجِبُ بِالْفَوَاتِ كَمَا يَجِبُ بِالْفَسَادِ، ثُمَّ تَقَرَّرَ أَنَّ الْفَوَاتَ يَسْقُطُ بِالْوُقُوفِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْفَسَادُ يَسْقُطُ بِالْوُقُوفِ.

Dan bagian kedua: yaitu apabila bersetubuh setelah wuqūf di ‘Arafah dan sebelum iḥlāl yang pertama, maka mazhab al-Syafi‘i berpendapat bahwa hukumnya seperti bersetubuh sebelum wuqūf di ‘Arafah dalam hal wajibnya empat hukum, yaitu rusaknya haji; wajib menyempurnakan; wajib qadhā’; dan kafārah berupa seekor unta (badnah).

Dan Abū Ḥanīfah berkata: hajinya tidak rusak, namun wajib atasnya seekor unta (badnah); maka ia sepakat dalam kewajiban badnah setelah wuqūf, meskipun berselisih dalam hal itu sebelum wuqūf, dan berselisih dalam rusaknya haji setelah wuqūf meskipun sepakat dalam hal itu sebelum wuqūf.

Dalilnya adalah sabda Nabi SAW: “Haji itu (intinya) adalah ‘Arafah. Maka barang siapa yang mendapati (wuqūf di) ‘Arafah, sungguh ia telah mendapatkan haji.” Maka Nabi menggantungkan keberhasilan ibadah haji dengan (wuqūf di) ‘Arafah, sehingga wajiblah bahwa tidak masuknya kerusakan setelah ‘Arafah; karena kerusakan itu mencegah dari keberhasilan haji. Dan karena ia adalah haji yang tidak dapat terkena fawāt, maka wajib pula bahwa ia tidak dapat terkena kerusakan, sebagaimana bersetubuh setelah taḥallul pertama. Dan karena qadhā’ haji diwajibkan karena fawāt sebagaimana diwajibkan karena fasād, dan telah tetap bahwa fawāt gugur dengan wuqūf, maka wajib pula bahwa fasād gugur dengan wuqūf.


وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قياساً أن أَحَدُ سَبَبَيْ مَا يَجِبُ بِهِ الْقَضَاءُ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ بِالْوُقُوفِ كَالْفَوَاتِ، وَلِأَنَّهُ بَعْدَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ هُوَ مَمْنُوعٌ مِنَ الْوَطْءِ لِأَجْلِ بَقَاءِ الرَّمْيِ يَقَعُ بِهِ التَّحَلُّلُ الْأَوَّلُ، فَلَمَّا كَانَ تَرْكُ الرَّمْيِ لَا يُفْسِدُ الْحَجَّ فَالْوَطْءُ الَّذِي مُنِعَ مِنْهُ لِأَجْلِ الرَّمْيِ أَوْلَى أَنْ لَا يُفْسِدَ الْحَجَّ.

Dan penjelasan masalah ini secara qiyās adalah bahwa hal tersebut merupakan salah satu dari dua sebab yang mewajibkan qadhā’, maka wajib gugur dengan wuqūf, sebagaimana fawāt. Dan karena setelah wuqūf di ‘Arafah, ia tetap dilarang bersetubuh karena masih tersisa kewajiban melempar (ramy) yang menjadi sebab tahallul pertama, maka ketika meninggalkan ramy tidak merusak haji, maka persetubuhan yang dilarang karena sebab ramy itu lebih utama untuk tidak merusak haji.


وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ) {البقرة: 197) فَنَهَى عَنِ الْجِمَاعِ فِيهِ، وَالنَّهْيُ يَقْتَضِي فَسَادَ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ، وَلِأَنَّهُ وَطْءُ عَمْدٍ صَادَفَ إِحْرَامًا لَمْ يَتَحَلَّلْ شَيْءٌ مِنْهُ فَوَجَبَ أَنْ يُفْسِدَهُ كَالْوَطْءِ قَبْلَ الْوُقُوفِ، وَلِأَنَّهُ عِبَادَةٌ تَجْمَعُ تَحْرِيمًا وَتَحْلِيلًا فَجَازَ أَنْ يَطْرَأَ الْفَسَادُ عَلَيْهَا إِلَى أَنْ يَقَعَ الْإِحْلَالُ مِنْهَا كَالصَّلَاةِ، فَإِنْ قِيلَ الْمَعْنَى فِي الصَّلَاةِ وُرُودُ الْفَسَادِ عَلَيْهَا مَعَ بَقَاءِ شَيْءٍ مِنْ إِحْرَامِهَا، وَالْحَجُّ لَا يَرِدُ عَلَيْهِ الْفَسَادُ بَعْدَ الْإِحْلَالِ الْأَوَّلِ وَإِنْ كَانَ بَاقِيًا فِي إِحْرَامِهِ، قِيلَ هُمَا فِي الْمَعْنَى سَوَاءٌ، وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهَا يَرِدُ عَلَيْهِ الْفَسَادُ قَبْلَ الْخُرُوجِ مِنْهُ وَبِالْإِحْلَالِ الْأَوَّلِ يَكُونُ خَارِجًا مِنَ الْحَجِّ قَالَ الشَّافِعِيُّ نَصًّا فِي الْقَدِيمِ، وَإِذَا تَحَلَّلَ التَّحَلُّلَ الْأَوَّلَ فَقَدْ أَكْمَلَ الْحَجَّ وَخَرَجَ مِنَ الْإِحْرَامِ، فَهُوَ يَطُوفُ وَيَسْعَى فِي غَيْرِ الْإِحْرَامِ، فَإِنْ قِيلَ فَلِمَ مَنَعْتُمُوهُ الْوَطْءَ إذا كان خارجاً من الإحرام قيل: لبقاء حُكْمُهُ كَالْحَائِضِ الَّتِي تُمْنَعُ مِنَ الْوَطْءِ بَعْدَ انْقِطَاعِ الْحَيْضِ وَقَبْلَ الْغُسْلِ لِبَقَاءِ حُكْمِهِ، وَلِأَنَّ الْوُقُوفَ بِعَرَفَةَ يُسْتَفَادُ الْأَمْنُ مِنْ فَوَاتِ الْحَجِّ والأمن من جواز الْعِبَادَةِ لَا يَمْنَعُ مِنْ وُرُودِ الْفَسَادِ عَلَيْهَا كَالْعُمْرَةِ، فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ فِي إِفْسَادِ الْحَجِّ حُكْمُ مَا قَبْلَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ وَمَا بَعْدَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ، وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ مُحْرِمٌ بِعِبَادَةٍ أُمِنَ فَوَاتُهَا فَجَازَ أَنْ يُفْسِدَهَا الْوَطْءُ مَا لَمْ يَتَحَلَّلْ مِنْهَا كَالْعُمْرَةِ، فَإِنْ قِيلَ الْمَعْنَى فِي الْعُمْرَةِ أَنَّهُ لَا يَخْشَى فَوَاتَهَا بِحَالٍ فَلِذَلِكَ جَازَ وُرُودُ الْفَسَادِ عَلَيْهَا قَبْلَ الْإِحْلَالِ، وَلَمَّا كَانَ الْحَجُّ مِمَّا يُخْشَى فَوَاتُهُ فِي حَالٍ جَازَ أَنْ لَا يَرِدَ عَلَيْهِ الْفَسَادُ قَبْلَ الْإِحْلَالِ قِيلَ هَذَا فَاسِدٌ بِالظُّهْرِ وَالْجُمُعَةِ قَدِ اسْتَوَيَا فِي وُرُودِ الْفَسَادِ عَلَيْهِمَا وإن كانت الجمعة فخاف فَوَاتَهَا وَالظُّهْرُ يَأْمَنُ فَوَاتَهَا، وَلِأَنَّهُ فَعَلَ حُرْمَةَ الْإِحْرَامِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ حُكْمُ قَبْلِ الْوُقُوفِ وَبَعْدِهِ قِيَاسًا عَلَى سَائِرِ الْمَحْظُورَاتِ.

Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Barang siapa yang menetapkan akan mengerjakan haji di dalamnya, maka tidak boleh rafats, tidak boleh berbuat fasik, dan tidak boleh berbantah-bantahan dalam (masa mengerjakan) haji} (QS al-Baqarah: 197). Maka Allah melarang bersetubuh di dalamnya, dan larangan meniscayakan rusaknya perkara yang dilarang. Dan karena ini adalah persetubuhan dengan sengaja yang terjadi dalam keadaan iḥrām yang belum dilakukan taḥallul sedikit pun darinya, maka wajiblah ia merusaknya, sebagaimana persetubuhan sebelum wuqūf.

Dan karena haji adalah ibadah yang mengandung unsur pengharaman dan penghalalan, maka boleh jadi kerusakan dapat terjadi padanya sampai terjadi iḥlāl darinya, sebagaimana salat. Maka jika dikatakan: “Makna dalam salat adalah bahwa kerusakan bisa masuk padanya selama masih tersisa sebagian dari iḥrām-nya, sedangkan haji tidak terkena kerusakan setelah iḥlāl pertama meskipun masih berada dalam iḥrām,” maka dijawab: keduanya sama dalam makna. Masing-masing dari keduanya terkena kerusakan sebelum keluar darinya, dan dengan iḥlāl pertama maka ia telah keluar dari haji.

Al-Syafi‘i menegaskan secara naṣṣ dalam pendapatnya yang qadīm: “Apabila telah melakukan taḥallul yang pertama maka sungguh ia telah menyempurnakan haji dan keluar dari iḥrām. Maka ia melakukan ṭawāf dan sa‘i bukan dalam keadaan iḥrām.”

Jika dikatakan: “Lantas mengapa kalian melarangnya bersetubuh jika ia telah keluar dari iḥrām?” Maka dijawab: karena hukum iḥrām-nya masih tersisa, sebagaimana wanita haid yang dilarang bersetubuh setelah haidnya berhenti namun sebelum mandi, karena hukum (haid)-nya masih ada. Dan karena wuqūf di ‘Arafah memberikan rasa aman dari fawāt haji, dan rasa aman dari gugurnya ibadah tidak mencegah kemungkinan adanya kerusakan padanya, sebagaimana dalam umrah.

Maka wajiblah disamakan hukum kerusakan haji antara sebelum wuqūf dan sesudahnya. Dan penjelasan qiyās-nya adalah: bahwa ia adalah orang yang sedang beriḥrām dalam ibadah yang telah aman dari fawāt, maka boleh jadi dirusakkan oleh persetubuhan selama belum melakukan taḥallul darinya, seperti dalam umrah.

Jika dikatakan: “Makna dalam umrah adalah bahwa ia tidak mungkin terkena fawāt dalam keadaan apapun, oleh karena itu mungkin masuk kerusakan padanya sebelum iḥlāl, sedangkan haji adalah ibadah yang bisa terkena fawāt dalam sebagian keadaan, maka boleh jadi tidak masuk kerusakan padanya sebelum iḥlāl,” maka dijawab: ini rusak, karena salat zuhur dan Jumat sama-sama bisa terkena kerusakan, padahal salat Jumat bisa terkena fawāt dan zuhur tidak dikhawatirkan fawāt.

Dan karena ia telah melanggar larangan iḥrām, maka wajib disamakan hukum antara sebelum wuqūf dan sesudahnya, dengan qiyās terhadap seluruh maḥẓūrāt al-iḥrām.


فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْحَجُّ عَرَفَةُ فَمَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الحج ” فهو اسْتِعْمَالَ ظَاهِرِهِ مُتَعَذَّرٌ لِأَنَّ بِإِدْرَاكِ عَرَفَةَ لَا يَكُونُ مُدْرِكًا لِلْحَجِّ الطَّوَافِ وَالسَّعْيِ، وَإِنَّمَا يَكُونُ مُدْرِكًا لِرُكْنٍ مِنْ أَرْكَانِ الْحَجِّ يَأْمَنُ بِهِ فَوَاتَ الْحَجِّ، وَذَلِكَ لَا يَمْنَعُ مِنْ وُرُودِ الْفَسَادِ اسْتِشْهَادًا بِمَا ذَكَرْنَاهُ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْوَطْءِ بَعْدَ التَّحَلُّلِ الْأَوَّلِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ: أَنَّهُ قَدْ تَحَلَّلَ مِنْ إِحْرَامِهِ بِمَا اسْتَبَاحَ مِنْ مَحْظُورَاتِهِ فَلِذَلِكَ لَحِقَهُ الْفَسَادُ بِوَطْئِهِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْفَوَاتِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ الْفَوَاتَ أَخَفُّ حَالًا مِنَ الْفَسَادِ؛ لِأَنَّ الْفَوَاتَ يَسْقُطُ بِإِدْرَاكِ بَعْضِ الشَّيْءِ وَالْفَسَادُ لَا يَسْقُطُ بِإِدْرَاكِ بَعْضِ الشَّيْءِ. أَلَا تَرَى أَنَّ مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْجُمُعَةِ فَقَدْ أَمِنَ فَوَاتَهَا وَلَا يَأْمَنُ فَسَادَهَا، فَكَذَلِكَ جَازَ أَنْ يَأْمَنَ بِالْوُقُوفِ فَوَاتَ الْحَجِّ وَلَا يَأْمَنَ فَسَادَهُ.

Adapun jawaban terhadap sabda Nabi SAW: “Al-ḥajju ‘Arafah, fa-man adraka ‘Arafah faqad adraka al-ḥajj” (Haji adalah ‘Arafah. Barang siapa yang mendapatkan ‘Arafah maka sungguh ia telah mendapatkan haji), maka mengambil makna zahirnya secara mutlak adalah mustahil, karena dengan mendapatkan ‘Arafah saja tidak berarti telah mendapatkan seluruh haji seperti ṭawāf dan sa‘i, melainkan ia hanya mendapatkan salah satu rukun dari rukun-rukun haji yang dengannya ia selamat dari fawāt haji. Dan hal itu tidak menafikan kemungkinan terjadinya fasād, sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya.

Adapun qiyās mereka terhadap persetubuhan setelah tahallul pertama, maka maknanya adalah bahwa ia telah bertahallul dari ihramnya dengan hal-hal yang telah ia perbolehkan dari perkara yang sebelumnya terlarang, maka sebab itu persetubuhannya dianggap merusak (fasād). Dan qiyās mereka terhadap fawāt adalah tidak sah, karena fawāt lebih ringan keadaannya dibandingkan fasād, sebab fawāt gugur dengan mendapatkan sebagian dari amalan, sedangkan fasād tidak gugur dengan mendapatkan sebagian dari amalan. Bukankah engkau melihat bahwa siapa yang mendapatkan satu rakaat dari salat Jumat, maka ia telah aman dari fawāt-nya, namun belum aman dari rusaknya (salatnya)? Maka demikian pula, seseorang bisa saja aman dari fawāt haji dengan wuqūf, namun tidak aman dari rusaknya haji tersebut.


وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ تَرْكَ الرَّمْيِ لَمَّا لَمْ يُفْسِدِ الْحَجَّ: فَالْوَطْءُ الَّذِي مُنِعَ مِنْهُ لِأَجْلِ الرَّمْيِ أَوْلَى أَنْ لَا يُفْسِدَ الْحَجَّ، قِيلَ لَيْسَ تَحْرِيمُ الْوَطْءِ لِأَجْلِ بَقَاءِ الرَّمْيِ وَإِنَّمَا هُوَ لِأَجْلِ بَقَاءِ الْإِحْرَامِ وَبَقَاءُ الْإِحْرَامِ يُؤْذِنُ بِفَسَادِ الْعِبَادَةِ كالصلاة، والصيام.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَطَأَ بَعْدَ إِحْلَالِهِ الْأَوَّلِ وَقَبْلَ الثَّانِي: فَحَجُّهُ صَحِيحٌ مُجْزِئٌ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ.

Adapun pernyataan mereka bahwa meninggalkan lempar jumrah tidak merusak haji, maka bersetubuh yang dilarang karena belum melempar jumrah lebih utama untuk tidak merusak haji — maka dijawab: pengharaman bersetubuh bukan karena belum melaksanakan lempar jumrah, melainkan karena masih dalam keadaan iḥrām, dan keberadaan dalam iḥrām menunjukkan kemungkinan rusaknya ibadah, seperti dalam salat dan puasa.

Dan bagian ketiga: yaitu bersetubuh setelah taḥallul pertama dan sebelum taḥallul kedua, maka hajinya sah dan mencukupi, serta tidak ada kewajiban qadhā’ atasnya.


وَقَالَ مَالِكٌ: قَدْ فَسَدَ بِوَطْئِهِ مَا بَقِيَ مِنْ حَجِّهِ وَعَلَيْهِ قَضَاءُ عُمْرَةٍ مِنَ التَّنْعِيمِ، لِأَنَّ الْبَاقِيَ مِنْ حَجِّهِ طَوَافٌ وَسَعْيٌ وَحِلَاقٌ وَذَلِكَ عُمْرَةٌ، فَلِذَلِكَ لَزِمَهُ قَضَاءُ عُمْرَةٍ.
وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ إِذَا وَطِئَ بَعْدَ التَحَلُّلِ وَرُوِيَ بَعْدَ الرَّمْيِ فَحَجُّهُ تَامٌّ وَعَلَيْهِ بَدَنَةٌ وَلَيْسَ يُعْرَفُ لَهُ مُخَالِفٌ، وَلِأَنَّهُ فِعْلٌ لَمْ يَفْسَدْ بِهِ الْإِحْرَامُ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ بِهِ تَجْدِيدُ إِحْرَامٍ، كَالِاسْتِمْتَاعِ دُونَ الْفَرْجِ وَسَائِرِ الْمُحْرِمَاتِ، وَلِأَنَّ الْأُصُولَ مَوْضُوعَةٌ عَلَى أَنَّ مَا أَفْسَدَ بَعْضَ العبادة أفسد جمعيها، وَمَا لَمْ يُفْسِدْ جَمِيعَهَا لَمْ يُفْسَدْ شَيْءٌ مِنْهَا، اسْتِشْهَادًا بِالصَّلَاةِ، وَالصِّيَامِ، فَلَمَّا كَانَ هَذَا الْوَطْءُ غَيْرَ مُفْسِدٍ لِمَا مَضَى وَجَبَ أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مُفْسِدٍ لِمَا بَقِيَ، وَلِأَنَّهُ لَوْ جَازَ أَنْ يَكُونَ الْوَطْءُ بَعْدَ الْإِحْلَالِ الْأَوَّلِ مُفْسِدًا لِبَاقِي الْحَجِّ دُونَ مَاضِيهِ لَجَازَ أَنْ يَكُونَ الْوَطْءُ بَعْدَ الْوُقُوفِ مُفْسِدًا لِبَاقِي الْحَجِّ دُونَ مَاضِيهِ فَلَمَّا كَانَ هَذَا فَاسِدًا بَعْدَ الْوُقُوفِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فَاسِدًا بَعْدَ الْإِحْلَالِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ حَجَّهُ صَحِيحٌ، وَأَنَّهُ لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ فَالْكَفَّارَةُ عَلَيْهِ وَاجِبَةٌ، وَفِيهَا وَجْهَانِ:

Dan Mālik berkata: “Sisa manasik hajinya rusak karena persetubuhannya, dan ia wajib mengqadhā’ umrah dari Tan‘īm, karena yang tersisa dari hajinya hanyalah ṭawāf, sa‘i, dan bercukur, dan itu adalah umrah, maka karena itu wajib atasnya qadhā’ umrah.”

Adapun dalil kami adalah riwayat dari Ibn ‘Abbās bahwa ia berkata: “Jika seseorang bersetubuh setelah taḥallul – dan ada riwayat: setelah ramy – maka hajinya tetap sah dan sempurna, namun atasnya badnah, dan tidak diketahui ada yang menyelisihinya.” Dan karena itu adalah perbuatan yang tidak merusak ihram, maka tidak wajib baginya memperbarui ihram, sebagaimana istimtā‘ selain farji dan larangan-larangan lainnya dalam ihram.

Dan karena prinsip umum dalam ibadah adalah: “Apa yang merusak sebagian ibadah, maka ia merusak seluruhnya. Dan apa yang tidak merusak keseluruhannya, maka ia tidak merusak sedikit pun darinya,” sebagaimana dalam salat dan puasa. Maka ketika persetubuhan ini tidak merusak bagian yang telah lalu, wajib pula bahwa ia tidak merusak bagian yang tersisa.

Dan karena jika boleh dikatakan bahwa persetubuhan setelah tahallul pertama merusak bagian sisa dari haji dan bukan bagian yang telah lalu, maka seharusnya juga boleh dikatakan bahwa persetubuhan setelah wuqūf merusak bagian sisa haji dan bukan yang telah lalu. Maka ketika ini dianggap merusak setelah wuqūf, seharusnya juga dianggap merusak setelah tahallul.

Maka apabila telah tetap bahwa hajinya sah, dan tidak ada qadhā’ atasnya, maka kafārah wajib baginya. Dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:


أَحَدُهُمَا: بَدَنَةٌ لِحَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَلِاخْتِصَاصِ الْوَطْءِ المحظور بما في ما سِوَاهُ فِي التَّكْفِيرِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: عَلَيْهِ شَاةٌ؛ لِأَنَّهُ وَطْءٌ لَا يُفْسِدُ الْإِحْرَامَ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُوجِبَ الْفِدْيَةَ كَالْوَطْءِ، دُونَ الْفَرْجِ، وَأَمَّا مَا يَقَعُ بِهِ الْإِحْلَالُ الْأَوَّلُ وَالْإِحْلَالُ الثَّانِي فَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ فِيهِ فَلَمْ يُحْتَجْ إِلَى إِعَادَتِهِ، فَأَمَّا إِذَا وَطِئَ بَعْدَ إِحْلَالِهِ الثَّانِي فَحَجُّهُ مُجْزِئٌ وَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ إِجْمَاعًا.

Salah satu pendapat: wajib badnah, berdasarkan hadis Ibn ‘Abbās dan karena khususnya persetubuhan yang merupakan maḥẓūr dibanding selainnya dalam hal kewajiban kafārah.

Pendapat kedua: wajib seekor kambing; karena itu adalah persetubuhan yang tidak merusak iḥrām, maka tidak wajib fidyah, seperti bersetubuh selain pada kemaluan.

Adapun pembahasan tentang apa yang menyebabkan terjadinya iḥlāl pertama dan kedua, telah dijelaskan sebelumnya sehingga tidak perlu diulang.

Adapun jika bersetubuh setelah iḥlāl kedua, maka hajinya sah dan mencukupi serta tidak ada kafārah atasnya menurut ijma‘.


فَصْلٌ
: فَأَمَا الْوَاطِئُ نَاسِيًا فَفِيهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ كَالْوَاطِئِ عَامِدًا فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى مِنْ إِفْسَادِ الْحَجِّ وَوُجُوبِ الْقَضَاءِ وَالْكَفَّارَةِ، وَوَجْهُهُ: أَنَّهُ سَبَبٌ يَجِبُ بِهِ الْقَضَاءُ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهِ الْعَمْدُ وَالْخَطَأُ كَالْفَوَاتِ.

PASAL
 Adapun orang yang bersetubuh karena lupa, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: Bahwa hukumnya seperti orang yang bersetubuh dengan sengaja, maka berlaku padanya hukum yang telah lalu berupa rusaknya haji, kewajiban qadhā’, dan kafārah. Alasannya adalah bahwa ia merupakan sebab yang mewajibkan qadhā’, maka wajib disamakan antara sengaja dan lupa di dalamnya, sebagaimana fawāt.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ وَهُوَ الصَّحِيحُ: لَا حُكْمَ لَهُ وَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ؛ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” عُفِيَ عَنْ أَمَتِي الْخَطَأُ وَالنَسْيَانُ “، وَلِأَنَّهُ وَطْءٌ يَجِبُ فِي عَمْدِهِ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ فَوَجَبَ أَنْ يَفْتَرِقَ حُكْمُ عَمْدِهِ وَسَهْوِهِ كَالْوَطْءِ فِي الصَّوْمِ وَلِأَنَّهُ اسْتِمْتَاعُ ناسٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ تَأْثِيرٌ كَالطِّيبِ، وَخَالَفَ الْفَوَاتَ، لِأَنَّهُ تَرْكٌ فاستوى حكم عمده وسهوه.

Pendapat kedua — dinyatakan dalam qaul jadīd dan itulah yang ṣaḥīḥ —: tidak ada hukuman atasnya dan tidak wajib kafārah, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Diampuni dari umatku kesalahan dan kelupaan.” Dan karena itu adalah persetubuhan yang dalam keadaan sengaja mewajibkan qadhā’ dan kafārah, maka wajib dibedakan antara hukum sengaja dan lupa, sebagaimana persetubuhan dalam puasa.

Dan karena itu adalah kenikmatan yang dilakukan dalam keadaan lupa, maka wajib tidak berpengaruh, seperti memakai wangi-wangian. Hal ini berbeda dengan fawāt, karena ia adalah bentuk meninggalkan (ibadah), sehingga disamakan hukum antara sengaja dan lupanya.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وسواء وطء مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ لِأَنَّهُ فسادٌ واحدٌ “.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى حُكْمُهُ فِي الْحَجِّ فإذا أفسد حجه وهو يحرم بِوَطْءٍ مُنِعَ أَنْ يَطَأَ ثَانِيًا لِأَنَّ حَجَّهَ وإن فسد محرمة الْإِحْرَامِ بَاقِيَةٌ لِوُجُوبِ الْإِتْمَامِ عَلَيْهِ؛ فَإِنْ وَطِئَ ثَانِيَةً فَلَيْسَ عَلَيْهِ إِلَّا قَضَاءٌ وَاحِدٌ؛ لِأَنَّ فَسَادَ الْإِحْرَامِ إِنَّمَا كَانَ بِالْوَطْءِ الْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي، فَأَمَّا وُجُوبُ الْكَفَّارَةِ بِالْوَطْءِ الثَّانِي فَلَا يَخْلُو حَالُهُ فِيهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ وَطْؤُهُ الثَّانِي بَعْدَ التَّكْفِيرِ عَنْ وَطْئِهِ الْأَوَّلِ فَعَلَيْهِ لِلْوَطْءِ الثَّانِي كَفَّارَةٌ لَا يختلف، لأن كلما فعله وابتدأ وجبت فيه فَإِذَا فَعَلَهُ ثَانِيَةً وَجَبَتْ بِهِ الْفِدْيَةُ كَالطِّيبِ وَاللِّبَاسِ وَقَتْلِ الصَّيْدِ، وَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْكَفَّارَةِ فَفِيهَا قَوْلَانِ:

Masalah: Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Sama saja, apakah bersetubuh sekali atau dua kali, karena itu merupakan kerusakan yang satu.”

Al-Māwardī berkata: Telah berlalu penjelasan hukumnya dalam haji. Maka apabila seseorang merusak hajinya saat ia beriḥrām dengan bersetubuh, maka ia dilarang untuk bersetubuh kedua kalinya, karena walaupun hajinya rusak, tetapi keharaman iḥrām tetap berlaku atasnya karena ia wajib menyempurnakan (manāsik). Maka apabila ia bersetubuh kedua kalinya, tidak ada kewajiban qadhā’ kecuali satu kali, karena kerusakan iḥrām itu hanya terjadi oleh persetubuhan yang pertama, bukan yang kedua.

Adapun kewajiban kafārah karena persetubuhan yang kedua, maka tidak lepas dari dua keadaan:

Pertama, jika persetubuhan kedua dilakukan setelah menunaikan kafārah atas persetubuhan yang pertama, maka atas persetubuhan kedua itu wajib kafārah, tanpa ada perbedaan pendapat, karena setiap perbuatan yang dimulai ulang mewajibkan fidyah, maka jika ia melakukannya lagi, wajib fidyah sebagaimana (dalam perkara) memakai ṭīb, pakaian, dan membunuh buruan.

Dan apabila telah tetap kewajiban kafārah, maka di dalamnya ada dua pendapat:


أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ بَدَنَةٌ لِأَنَّ كُلَّ فِعْلٍ تَتَكَرَّرُ الْفِدْيَةُ بِفِعْلِهِ فَفِدْيَةُ الْفِعْلِ الثَّانِي مِثْلُ فِدْيَةِ الْفِعْلِ الْأَوَّلِ كَالطِّيبِ وَاللِّبَاسِ وَقَتْلِ الصَّيْدِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ: عَلَيْهِ شَاةٌ، لِأَنَّهُ اسْتِمْتَاعٌ لَمْ يُفْسِدِ الْحَجَّ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُوجِبَ الْفِدْيَةَ كَالْوَطْءِ دُونَ الْفَرْجِ، وَلِأَنَّ حُرْمَةَ الْإِحْرَامِ بَعْدَ الْوَطْءِ الْأَوَّلِ أَخْفَضُ مِنْ حُرْمَتِهِ قَبْلِهِ لِوُرُودِ الْفَسَادِ عَلَيْهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْوَطْءُ الثَّانِي أَخْفَضَ مِنَ الْوَطْءِ الْأَوَّلِ لِضَعْفِهِ مِنْ تَأْثِيرِ الْوَطْءِ الْأَوَّلِ.

Pendapat pertama — yaitu pendapatnya dalam qaul qadīm —: wajib badnah, karena setiap perbuatan yang menyebabkan kewajiban fidyah bila diulangi, maka fidyah perbuatan yang kedua sama seperti fidyah perbuatan yang pertama, sebagaimana memakai wangi-wangian, pakaian, dan membunuh binatang buruan.

Pendapat kedua — yaitu pendapatnya dalam qaul jadīd —: wajib seekor kambing, karena itu adalah bentuk kenikmatan yang tidak merusak haji, maka tidak wajib fidyah, seperti persetubuhan selain pada kemaluan. Dan karena kehormatan iḥrām setelah persetubuhan pertama lebih ringan daripada sebelumnya, karena telah masuk kerusakan (pada hajinya), maka persetubuhan yang kedua hukumnya lebih ringan daripada yang pertama, karena kelemahannya disebabkan oleh dampak dari persetubuhan yang pertama.


فَصْلٌ
: وَإِنْ كَانَ الْوَطْءُ الثَّانِي قَبْلَ تَكْفِيرِهِ عَنِ الْوَطْءِ الْأَوَّلِ فَفِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ بِالْوَطْءِ الثَّانِي قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ بِالْوَطْءِ الثَّانِي، وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة وَاخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ؛ لِأَنَّ الْكَفَّارَةَ تَجْرِي مَجْرَى الْحَدِّ وَالْحُدُودُ إِذَا تَرَادَفَتْ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ تَدَاخَلَتْ، وَلِأَنَّ الْوَطْءَ فِي الْحَجِّ كَالْوَطْءِ فِي الصَّوْمِ فِي إِيجَابِ الْقَضَاءِ وَالْكَفَّارَةِ ثُمَّ كَانَ الْوَطْءُ الثَّانِي فِي الصَّوْمِ الْفَاسِدِ لَا يُوجِبُ الْكَفَّارَةَ فَكَذَلِكَ الْوَطْءُ الثَّانِي فِي الْحَجِّ الْفَاسِدِ؛ لَا يُوجِبُ الْكَفَّارَةَ.

PASAL
 Jika persetubuhan kedua terjadi sebelum ia menunaikan kafārah atas persetubuhan pertama, maka dalam kewajiban kafārah atas persetubuhan kedua terdapat dua pendapat:

Pertama: Tidak wajib atasnya kafārah karena persetubuhan kedua, dan ini adalah pendapat Abū Ḥanīfah dan pilihan al-Muzanī; karena kafārah berjalan seperti ḥadd, dan ḥudūd jika berulang dari jenis yang sama maka saling masuk satu sama lain. Dan karena persetubuhan dalam haji seperti persetubuhan dalam puasa dalam hal mewajibkan qaḍā’ dan kafārah, kemudian persetubuhan kedua dalam puasa yang rusak tidak mewajibkan kafārah, maka demikian pula persetubuhan kedua dalam haji yang rusak; tidak mewajibkan kafārah.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ؛ لِأَنَّهُ وَطْءُ عُمَدٍ صَادَفَ إِحْرَامًا لَمْ يَتَحَلَّلْ شَيْءٌ مِنْهُ فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ الْكَفَّارَةُ كَالْوَطْءِ الْأَوَّلِ، وَلِأَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ وَجَبَتْ بِالْوَطْءِ فِيهَا الْكَفَّارَةُ لَوْ كَفَّرَ عَمَّا قَبْلَهُ وَجَبَ فِيهِ الْكَفَّارَةُ، وَإِنْ لَمْ يُكَفِّرْ عَمَّا قَبْلَهُ كَالصَّوْمِ إِذَا وَطِئَ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ مِنْهُ فَلَمْ يُكَفِّرْ عَنْهُ حَتَّى وَطِئَ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي لَزِمَتْهُ كَفَارَّةٌ ثَانِيَةٌ كَذَلِكَ الْحَجُّ، فَأَمَّا الْحُدُودُ فَإِنَّمَا تَدَاخَلَتْ؛ لِأَنَّهَا عُقُوبَاتٌ لَا يَتَعَلَّقُ بِهَا حَقٌّ لِآدَمِيٍّ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْكَفَّارَاتُ، لِتَعَلُّقِ حَقِّ الْآدَمِيِّ بِهَا، وَأَمَّا صَوْمُ الْيَوْمِ الْوَاحِدِ فَإِنَّمَا لَمْ يَجِبْ بِالْوَطْءِ الثَّانِي فِيهِ كَفَّارَةٌ لِخُرُوجِهِ مِنْهُ بِالْفَسَادِ، وَالْحَجُّ لَا يَخْرُجُ مِنْهُ بِالْفَسَادِ، فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْكَفَّارَةِ فِيهِ عَلَى أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ فَفِي الْكَفَّارَةِ قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى:
أَحَدُهُمَا: ” بَدَنَةٌ ” عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ كَالْوَطْءِ الْأَوَّلِ.
وَالثَّانِي: شَاةٌ عَلَى قَوْلِهِ الْجَدِيدِ كَالِاسْتِمْتَاعِ.

Dan pendapat kedua: Wajib atasnya kafārah, dan inilah yang dikatakan dalam qaul jadīd; karena itu adalah jima‘ dengan sengaja yang terjadi dalam keadaan ihram, sementara belum ada sesuatu pun yang membolehkan dari ihramnya, maka wajiblah kafārah sebagaimana jima‘ pertama. Dan karena setiap ibadah yang diwajibkan kafārah sebab jima‘ di dalamnya, apabila ia telah menunaikan kafārah untuk yang sebelumnya maka wajib pula kafārah pada jima‘ setelahnya, dan apabila ia belum menunaikan kafārah untuk yang sebelumnya maka tetap wajib kafārah pada yang sesudahnya. Seperti orang yang berpuasa, apabila ia jima‘ pada hari pertama lalu belum menunaikan kafārah hingga jima‘ lagi pada hari kedua maka wajib atasnya kafārah kedua, demikian pula halnya dengan haji. Adapun ḥudūd maka ia saling masuk satu sama lain, karena ia merupakan hukuman-hukuman yang tidak terkait dengan hak manusia, sedangkan kafārah tidak demikian, karena ia terkait dengan hak manusia. Adapun puasa satu hari, maka tidak wajib kafārah dengan jima‘ kedua di dalamnya, karena seseorang keluar darinya dengan kerusakan. Sedangkan haji tidaklah seseorang keluar darinya dengan kerusakan. Maka apabila telah tetap kewajiban kafārah di dalamnya menurut pendapat yang paling sahih, maka dalam bentuk kafārah ada dua pendapat sebagaimana yang telah lalu:

Pertama: Badnah menurut qaul qadīm, sebagaimana pada jima‘ pertama.
 Kedua: Seekor kambing menurut qaul jadīd, sebagaimana dalam hal menikmati (istri tanpa jima‘).

 

مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَعَلَيْهِ الْهَدْيُ بَدَنَةٌ وَيَحُجُّ مِنْ قابلٍ بِامْرَأَتِهِ وَيُجْزِي عَنْهُمَا هديٌ واحدٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْوَطْءَ مُفْسِدٌ لِلْحَجِّ مُوجِبٌ لِلْقَضَاءِ والكفارة، وإذا كان لذلك فَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ تَشْتَمِلُ عَلَى ثَلَاثَةِ فُصُولٍ، فَالْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي إِيجَابِ الْقَضَاءِ عَلَيْهِمَا. وَالْفَصْلُ الثَّانِي في وجوب الكفرة عَنْهُمَا، وَالْفَصْلُ الثَّالِثُ فِي التَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا، فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي وُجُوبِ الْقَضَاءِ عَلَيْهَا، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْوَاطِئِ وَالْمَوْطُوءَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: إما أن يكون مُحْرِمَيْنِ مَعًا، أَوْ يَكُونَ الْوَاطِئُ مُحْرِمًا دُونَ الْمَوْطُوءَةِ أَوْ تَكُونَ الْمَوْطُوءَةُ مُحْرِمَةً دُونَ الْوَاطِئِ؛ فَإِنْ كَانَا مُحْرِمَيْنِ مَعًا فَقَدْ أَفْسَدَا حَجَّهُمَا، وَوَجَبَ الْقَضَاءُ عَلَيْهَا، وَهَلْ ذَلِكَ عَلَى الْفَوْرِ فِي عَامِهِمُ الْمُقْبِلِ أَوْ عَلَى التَّرَاخِي؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Wajib atasnya hady berupa badnah, dan ia melaksanakan haji pada tahun berikutnya bersama istrinya, dan satu hewan kurban mencukupi untuk keduanya.”

Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa persetubuhan itu merusak haji dan mewajibkan qaḍā’ serta kafārah. Maka berdasarkan hal tersebut, masalah ini mencakup tiga pasal:

Pasal pertama: tentang wajibnya qaḍā’ atas keduanya.
 Pasal kedua: tentang wajibnya kafārah atas keduanya.
 Pasal ketiga: tentang perpisahan antara keduanya.

Adapun pasal pertama tentang wajibnya qaḍā’ atasnya (istri), maka keadaan orang yang menyetubuhi (laki-laki) dan yang disetubuhi (perempuan) tidak lepas dari tiga keadaan:

Yaitu: keduanya sedang beriḥrām, atau laki-laki yang menyetubuhi sedang beriḥrām sedangkan perempuan tidak, atau perempuan sedang beriḥrām sedangkan laki-laki tidak.

Jika keduanya sama-sama sedang beriḥrām, maka mereka berdua telah merusak hajinya, dan qaḍā’ wajib atas perempuan.

Apakah hal itu wajib dilakukan segera pada tahun berikutnya atau boleh ditunda? Maka terdapat dua wajah (pendapat).


أَحَدُهُمَا: أَنَّ وُجُوبَ الْقَضَاءِ عَلَيْهِمَا عَلَى التَّرَاخِي لَا عَلَى الْفَوْرِ فَمَتَى شَاءَا كَانَ لهما أن يقضيا في عام واحد وعامين؛ لِأَنَّ الْقَضَاءَ لَيْسَ بِأَوْكَدَ مِنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ فَلَمَّا كَانَتْ حَجَّةُ الْإِسْلَامِ عَلَى التَّرَاخِي، فَالْقَضَاءُ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ عَلَى التَّرَاخِي، وَلِأَنَّ مِنَ الْعِبَادَاتِ الَّتِي يَضِيقُ وَقْتُهَا وَيَجِبُ فِعْلُهَا عَلَى الْفَوْرِ إِذَا فَاتَتْ كَانَ قَضَاؤُهَا عَلَى التَّرَاخِي كالصوم؛ فَالْحَجُّ الَّذِي نَجْعَلُهُ عَلَى التَّرَاخِي دُونَ الْفَوْرِ بِالْقَضَاءِ أَوَلَى أَنْ يَكُونَ عَلَى التَّرَاخِي دُونَ الفور.

Salah satunya: Bahwa wajib qadhā’ atas keduanya adalah dengan cara ditunda, bukan dengan segera. Maka kapan saja keduanya menghendaki, boleh bagi mereka berdua untuk mengqadhā’ dalam satu tahun atau dua tahun. Karena qadhā’ itu tidak lebih kuat kedudukannya dibanding ḥajjat al-islām. Maka ketika ḥajjat al-islām itu boleh dilakukan dengan cara ditunda, maka qadhā’ lebih utama untuk boleh dilakukan dengan cara ditunda. Dan karena di antara ibadah-ibadah yang waktunya sempit serta wajib dilakukan segera, apabila luput maka *qadhā’*nya boleh dilakukan dengan cara ditunda seperti puasa. Maka haji yang kami jadikan boleh ditunda (tidak segera), lebih utama pula *qadhā’*nya boleh ditunda, bukan segera.


والوجه الثاني: أن عليهما الْقَضَاءَ عَلَى الْفَوْرِ فِي الْعَامِ الْمُقْبِلِ وَهُوَ منصوص المذهب؛ لأن القضاء بِالدُّخُولِ فِيهِ فَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُهُ، فَقَضَاؤُهُ يَجِبُ أن يكون مثله فِي حُكْمِ الْأَدَاءِ ثُمَّ كَانَ الْحَجُّ الَّذِي قد ضاق وقته مطيقاً فَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُهُ، فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا لَمْ يَخْلُ حَالُ الْمَوْطُوءَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: إِمَّا أَنْ تَكُونَ أَجْنَبِيَّةً وُطِئَتْ بِشُبْهَةٍ أَوْ سِفَاحٍ، أَوْ أَمَةً وُطِئَتْ بِمِلْكِ الْيَمِينِ، أَوْ تَكُونَ زَوْجَةً وُطِئَتْ بِعَقْدِ النِّكَاحِ، فَإِنْ كَانَتْ أَجْنَبِيَّةً وُطِئَتْ بِشُبْهَةٍ أَوْ سِفَاحٍ فَمَؤُوْنَةُ الْحَجِّ فِي الْقَضَاءِ وَاجِبَةٌ فِي مَالِهَا دُونَ مَالِ الْوَاطِئِ؛ لِأَنَّ وَطْءَ الْأَجْنَبِيَّةِ غَيْرُ مُوجِبٍ لِتَحَمُّلِ الْمَؤُونَةِ كَالنَّفَقَةِ، وَإِنْ كَانَتْ أَمَةً وُطِئَتْ بِمِلْكِ يَمِينٍ فَمَؤُونَةُ الْقَضَاءِ وَاجِبَةٌ عَلَى السَّيِّدِ الْوَاطِئِ دُونَ الْأُمَّةِ الْمَوْطُوءَةِ لِأَنَّهَا لَا تَمْلِكُ مَا كَسَبَتْ، وَإِنْ كَانَتْ زَوْجَةً وُطِئَتْ بِعَقْدِ نِكَاحٍ فَفِي مَؤُونَةِ حَجِّهَا فِي الْقَضَاءِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: فِي مَالِ الزَّوْجَةِ الْمَوْطُوءَةِ لِأَنَّ الْقَضَاءَ مِنْ عِبَادَاتِ الْأَبْدَانِ وَمَا لَزِمَ الزَّوْجَةَ مِنْ عِبَادَاتِ الْأَبْدَانِ فَالنَّفَقَةُ الْمُتَعَلِّقَةُ بِهَا فِي مَالِ الزَّوْجَةِ لَا يَتَحَمَّلُهُ الزَّوْجُ عَنْهَا كَحَجَّةِ الْإِسْلَامِ.

Dan wajah (pendapat) kedua: Bahwa wajib atas keduanya untuk melakukan qaḍā’ dengan segera pada tahun berikutnya, dan inilah pendapat yang menjadi teks mazhab; karena qaḍā’ itu seperti masuk kembali ke dalam ibadah, maka tidak boleh ditunda. Maka qaḍā’-nya wajib seperti pelaksanaan pada waktunya. Kemudian haji yang waktunya telah sempit namun masih memungkinkan dilaksanakan tidak boleh ditunda.

Jika hal ini telah ditetapkan, maka keadaan perempuan yang disetubuhi tidak lepas dari tiga bagian:

Pertama: Ia adalah perempuan asing yang disetubuhi karena syubhat atau zina.
 Kedua: Ia adalah budak perempuan yang disetubuhi karena kepemilikan tangan kanan (milk al-yamīn).
 Ketiga: Ia adalah istri yang disetubuhi berdasarkan akad nikah.

Jika ia adalah perempuan asing yang disetubuhi karena syubhat atau zina, maka biaya haji dalam qaḍā’ wajib dari hartanya sendiri, bukan dari harta laki-laki yang menyetubuhinya; karena persetubuhan dengan perempuan asing tidak mewajibkan menanggung biaya, sebagaimana nafkah.

Jika ia adalah budak perempuan yang disetubuhi dengan kepemilikan tangan kanan, maka biaya qaḍā’-nya wajib atas tuan yang menyetubuhinya, bukan atas budak perempuan yang disetubuhi, karena budak tidak memiliki apa yang ia hasilkan.

Jika ia adalah istri yang disetubuhi berdasarkan akad nikah, maka dalam masalah biaya hajinya untuk qaḍā’ terdapat dua wajah (pendapat):

Pertama: dari harta istri yang disetubuhi, karena qaḍā’ termasuk ibadah badan, dan segala sesuatu yang wajib atas istri dari ibadah badan, maka nafkah yang berkaitan dengannya berasal dari harta istri, dan suami tidak menanggungnya darinya, seperti haji Islam.


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ ظَاهِرُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ: أَنَّ مَؤُونَةَ الْقَضَاءِ فِي مَالِ الزَّوْجِ لِلْوَاطِئِ؛ لِأَنَّ الْقَضَاءَ إِنَّمَا وَجَبَ بِالْوَطْءِ، وَحُقُوقُ الْأَمْوَالِ الْمُتَعَلِّقَةُ بِالْوَطْءِ يَخْتَصُّ بِتَحَمُّلِهَا الزَّوْجُ كَالْمَهْرِ وَالْكَفَّارَةِ، وَإِنْ كَانَ الْوَاطِئُ مُحْرِمًا دُونَ الْمَوْطُوءَةِ فَعَلَى الْوَاطِئِ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ دُونَ الْمَوْطُوءَةِ، وَإِنْ كَانَتِ الْمَوْطُوءَةُ مُحْرِمَةً دُونَ الْوَاطِئِ فَعَلَى الْمَوْطُوءَةِ الْقَضَاءُ دُونَ الْوَاطِئِ وَالْكَلَامُ فِي تَحَمُّلِ مَؤُونَةِ الْقَضَاءِ عَلَى مَا مَضَى.

Dan pendapat kedua, dan inilah yang tampak dari mazhab al-Syafi‘i: Bahwa biaya qadhā’ ditanggung dari harta suami yang menggauli; karena qadhā’ itu tidaklah wajib kecuali sebab jima‘, dan hak-hak harta yang terkait dengan jima‘ khusus ditanggung oleh suami, seperti mahar dan kafārah.

Apabila yang menggauli dalam keadaan ihram sementara yang digauli tidak, maka wajib qadhā’ dan kafārah atas pihak yang menggauli saja, tidak atas yang digauli.

Dan apabila yang digauli dalam keadaan ihram sementara yang menggauli tidak, maka wajib qadhā’ atas pihak yang digauli saja, tidak atas yang menggauli.

Adapun pembahasan tentang siapa yang menanggung biaya qadhā’ kembali kepada perincian yang telah lalu.

 

فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي فِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ عَنْهُمَا؛ فَإِنَّهُ يُنْظَرُ فَإِنْ كَانَ الْوَاطِئُ مُحْرِمًا دون الموطوءة ففيه كافرة وَاحِدَةٌ عَلَى الْوَاطِئِ دُونَ الْمَوْطُوءَةِ، وَإِنْ كَانَتِ الْمَوْطُوءَةُ مُحْرِمَةً دُونَ الْوَاطِئِ فَالْوَاجِبُ كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ، وَإِنْ كَانَ الْوَاطِئُ مِمَّنْ لَا يَتَحَمَّلُ عَنِ الْمَوْطُوءَةِ شَيْئًا لِكَوْنِهِ أَجْنَبِيًّا فَالْكَفَّارَةُ وَاجِبَةٌ فِي مَالِ الْمَوْطُوءَةِ، وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يَتَحَمَّلُ عَنْهَا لِكَوْنِهِ زَوْجًا أَوْ سَيِّدًا فَعَلَيْهِ تَحَمُّلُ ذَلِكَ عَنْهَا؛ لِأَنَّهُ مِنْ مُوجِبَاتِ الْوَطْءِ عَلَى مَا مَضَى مِنْ كَفَّارَةِ الْوَاطِئِ فِي الصَّوْمِ، وَإِنْ كَانَ الْوَاطِئُ وَالْمَوْطُوءَةُ مُحْرِمِينَ فَهَلْ تَجِبُ كَفَارَّةٌ وَاحِدَةٌ أَوْ كَفَّارَتَانِ عَلَى قَوْلَيْنِ:

PASAL
 Adapun pasal kedua tentang kewajiban kafārah atas keduanya: maka perlu dilihat keadaannya.

Jika yang menyetubuhi dalam keadaan beriḥrām sementara yang disetubuhi tidak beriḥrām, maka wajib satu kafārah atas laki-laki yang menyetubuhi, dan tidak wajib atas perempuan yang disetubuhi.

Jika yang disetubuhi yang beriḥrām sementara yang menyetubuhi tidak beriḥrām, maka yang wajib adalah satu kafārah.

Jika yang menyetubuhi adalah orang yang tidak menanggung apa pun dari perempuan yang disetubuhi karena ia orang asing, maka kafārah wajib dari harta perempuan yang disetubuhi.

Namun jika ia termasuk orang yang menanggungnya, karena ia suami atau tuan (pemilik budak), maka wajib atasnya menanggung kafārah tersebut untuknya; karena itu termasuk konsekuensi dari persetubuhan, sebagaimana kafārah bagi orang yang menyetubuhi dalam puasa.

Jika yang menyetubuhi dan yang disetubuhi sama-sama dalam keadaan beriḥrām, maka apakah wajib satu kafārah atau dua kafārah? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: كَفَّارَتَانِ، وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ.
وَالثَّانِي: كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ، وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ، وَقَدْ ذَكَرْنَا تَوْجِيهَ الْقَوْلَيْنِ فِي كِتَابِ الصِّيَامِ، فَإِذَا قُلْنَا بِقَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ إِنَّ عَلَيْهِمَا كَفَّارَتَيْنِ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَا أَجْنَبِيَّيْنِ فَعَلَى الْوَاطِئِ كَفَّارَةٌ، وَعَلَى الْمَوْطُوءَةِ كَفَّارَةٌ، وَلَا يَتَحَمَّلُ الْوَاطِئُ عَنِ الْمَوْطُوءَةِ الْكَفَّارَةَ لِكَوْنِهِ أَجْنَبِيًّا، وَإِنْ لَمْ يَكُونَا أَجْنَبِيَّيَنِ فَعَلَى الْوَاطِئِ أَنْ يَتَحَمَّلَ الْكَفَّارَتَيْنِ عَنْهُ وَعَنِ الْمَوْطُوءَةِ، فَإِذَا قُلْنَا بِقَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ عَلَيْهِ كَفَّارَةً وَاحِدَةً فَعَلَى هَذَا هَلْ وَجَبَتِ الْكَفَّارَةُ عَلَى الْوَاطِئِ وَحْدَهُ أَمْ عَلَيْهِمَا ثُمَّ تَحَمُّلُ الْوَاطِئِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Salah satunya: Wajib dua kafārah, dan inilah qaul qadīm.
 Dan yang kedua: Wajib satu kafārah, dan inilah qaul jadīd. Telah kami sebutkan alasan kedua pendapat ini dalam Kitab Puasa.

Maka apabila kita mengambil qaul qadīm bahwa wajib atas keduanya dua kafārah, maka dalam hal ini:
 – Jika keduanya adalah ajnabi, maka atas lelaki yang menggauli satu kafārah, dan atas perempuan yang digauli satu kafārah, dan lelaki tidak menanggung kafārah untuk perempuan karena statusnya ajnabi.
 – Jika keduanya bukan ajnabi, maka wajib atas lelaki menanggung dua kafārah, untuk dirinya dan untuk perempuan yang digauli.

Dan apabila kita mengambil qaul jadīd bahwa wajib satu kafārah, maka dalam hal ini: Apakah kafārah itu wajib atas lelaki saja, ataukah atas keduanya lalu ditanggung oleh lelaki? Maka ada dua wajah (pendapat).


أَحَدُهُمَا: وَجَبَتْ عَلَى الْوَاطِئِ وَحْدَهُ فَعَلَى هَذَا لَا شَيْءَ عَلَى الموطوءة سواء كانت زوجته أو أَجْنَبِيَّةً. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا وَجَبَتْ عَلَيْهِمَا؛ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَتِ الْمَوْطُوءَةُ زَوْجَتَهُ فَعَلَى الْوَاطِئِ كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ عَنْهُ وَعَنْهَا، وَإِنْ كَانَتِ الْمَوْطُوءَةُ أَجْنَبِيَّةً لَمْ يَتَحَمَّلِ الْوَاطِئُ عَنْهَا. وَوَجَبَتْ عَلَى الْوَاطِئِ كَفَّارَةٌ كَامِلَةٌ وَعَلَى الْمَوْطُوءَةِ، كَفَّارَةٌ كَامِلَةٌ؛ لِأَنَّ الْكَفَّارَةَ لَا يَجُوزُ تَبْعِيضُهَا، وَالْوَاطِئُ مِمَّنْ لَا يَتَحَمَّلُ عَنْهَا فَلِذَلِكَ وَجَبَ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا كَفَّارَةٌ كَامِلَةٌ.

Pertama: Kafārah hanya wajib atas laki-laki yang menyetubuhi saja. Maka menurut pendapat ini, tidak ada kewajiban apa pun atas perempuan yang disetubuhi, baik ia adalah istrinya maupun perempuan asing.

Wajah kedua: Kafārah wajib atas keduanya. Maka menurut pendapat ini, jika perempuan yang disetubuhi adalah istrinya, maka wajib atas laki-laki satu kafārah untuk dirinya dan untuk istrinya.

Namun jika perempuan yang disetubuhi adalah perempuan asing, maka laki-laki tidak menanggungnya; dan wajib atas laki-laki satu kafārah penuh, dan atas perempuan yang disetubuhi juga satu kafārah penuh; karena kafārah tidak boleh dipisah-pisah, dan laki-laki tersebut termasuk orang yang tidak menanggung kafārah atasnya (perempuan), maka karena itu wajib atas masing-masing dari keduanya satu kafārah penuh.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّالِثُ فِي التَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا: فَهُوَ أَنَّهُمَا إِذَا أَحْرَمَا بِالْقَضَاءِ وَبَلَغَا الْمَوْضِعَ الَّذِي وَطِئَهَا فِيهِ فُرِّقَ بَيْنَهُمَا، وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي سَائِرِ كُتُبِهِ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ وَالْإِمْلَاءِ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ. وَقَالَ أبو حنيفة: لَا أَعْرِفُ لِلِافْتِرَاقِ مَعْنًى؛ لِأَنَّهُ لَوْ وَطِئَهَا فِي الصَّوْمِ ثُمَّ دَخَلَ فِي الْقَضَاءِ لَمْ يُفَرَّقْ بَيْنَهُمَا وَلَمْ يُمْنَعَا مِنَ الِاجْتِمَاعِ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي وَطِئَهَا فِيهِ، كَذَلِكَ فِي قَضَاءِ الْحَجِّ.

PASAL
 Adapun pasal ketiga dalam hal memisahkan keduanya: yaitu apabila keduanya berihram untuk qadhā’ dan sampai di tempat di mana ia dahulu menggaulinya, maka dipisahkan antara keduanya. Hal ini telah ditegaskan oleh al-Syafi‘i dalam seluruh kitabnya, baik dalam qadīm, jadīd, maupun al-Imlā’, dan inilah juga pendapat Mālik.

Sedangkan Abū Ḥanīfah berkata: Aku tidak mengetahui adanya makna pemisahan; karena seandainya ia menggaulinya dalam puasa, kemudian masuk dalam qadhā’, tidaklah keduanya dipisahkan dan tidak dicegah untuk berkumpul di tempat di mana ia dahulu menggaulinya, maka demikian pula dalam qadhā’ haji.


وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ قَوْلُ ثَلَاثَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرَ وَعُثْمَانَ وَابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، وَلَيْسَ يُعْرَفُ لَهُمْ فِي الصحابة مخالفاً فكان إجماعاً؛ ولأنه بفراقهما يأمن عليهما الشَّهْوَةَ فِي وَطْئِهَا، وَلِيَكُونَ زَجْرًا لَهُ وَتَنَدُّمًا فِيمَا فَعَلَهُ، فَأَمَّا الصَّوْمُ فَمُخَالِفٌ لِلْحَجِّ، لِأَنَّ قَضَاءَ الْحَجِّ كَأَصْلِهِ فِي إِفْسَادِهِ بِالْوَطْءِ وَوُجُوبِ الْكَفَّارَةِ فِيهِ، وَقَضَاءُ الصَّوْمِ أَخَفُّ مِنْ أَصْلِهِ؛ لِأَنَّ الْكَفَّارَةَ فِي إِفْسَادِهِ بِالْوَطْءِ لَا تَجِبُ فِيهِ فَافْتَرَقَا؛ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ مَأْمُورٌ بِفِرَاقِهَا إِذَا بَلَغَا الْمَوْضِعَ الَّذِي وَطِئَهَا فِيهِ وَاعْتِزَالُهُمَا فِي السَّيْرِ وَالنُّزُولِ، فَهَلْ ذَلِكَ وَاجِبٌ أَوْ مُسْتَحَبٌّ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَاجِبٌ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الإجماع فيه.
والوجه الثاني: اجتناب الوطء مُسْتَحَبٌّ، وَهُوَ أَصَحُّ؛ لِأَنَّ الْوَاجِبَ اجْتِنَابُ الْوَطْءِ والافتراق احتياط.

Dan dalil kami adalah bahwa ini adalah pendapat tiga sahabat: ‘Umar, ‘Utsmān, dan Ibn ‘Abbās RA, dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi mereka, maka itu menjadi ijmā‘. Dan karena dengan perpisahan antara keduanya, akan lebih menjaga dari syahwat untuk menyetubuhinya, dan sebagai bentuk penjeraan serta penyesalan atas perbuatan yang telah dilakukan.

Adapun puasa berbeda dengan haji; karena qaḍā’ haji seperti haji aslinya dalam hal rusaknya karena persetubuhan dan wajibnya kafārah padanya. Sedangkan qaḍā’ puasa lebih ringan daripada puasa aslinya; karena kafārah atas rusaknya puasa karena persetubuhan tidak wajib padanya. Maka keduanya berbeda.

Jika telah tetap bahwa ia diperintahkan untuk berpisah darinya ketika telah sampai ke tempat di mana ia menyetubuhinya, dan hendaknya mereka berdua saling menjauh dalam perjalanan dan tempat menetap, maka apakah hal itu wajib atau dianjurkan? Dalam hal ini terdapat dua wajah:

Pertama: Wajib, dan ini adalah pendapat Mālik, karena apa yang telah kami sebutkan berupa ijmā‘ dalam hal ini.

Wajah kedua: Menjauhi persetubuhan adalah yang wajib, sedangkan berpisah hanyalah sesuatu yang dianjurkan, dan inilah yang lebih ṣaḥīḥ; karena yang wajib adalah menjauhi persetubuhan, sedangkan perpisahan adalah bentuk kehati-hatian.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَا تَلَذَّذَ مِنْهَا دُونَ الْجِمَاعِ فَشَاةٌ تُجْزِئُهُ فَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمُفْسِدُ بَدَنَةً فَبَقَرَةً فَإِنْ لم يجد فسبعاً من الغنم “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ وَطْءُ الْمُحْرِمِ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: فِي الْفَرْجِ، وَالْآخِرِ دُونَ الْفَرْجِ، فَإِنْ كَانَ دُونَ الْفَرْجِ لَمْ يَفْسَدِ الْحَجُّ، سَوَاءٌ أَنْزَلَ أَوْ لَمْ يُنْزِلْ، وَعَلَيْهِ ” شَاةٌ ” أَنْزَلَ أَوْ لَمْ يُنْزِلْ، وَكَذَلِكَ لَوْ قَبَّلَ أَوْ لَمَسَ بِشَهْوَةٍ فَعَلَيْهِ ” شَاةٌ ” وَحَجُّهُ مُجْزِئٌ.

Masalah: al-Syafi‘i RA berkata: “Apa saja kenikmatan darinya selain jima‘, maka seekor kambing mencukupinya. Jika orang yang merusak hajinya tidak mendapatkan badnah, maka sapi, dan jika tidak mendapatkan, maka tujuh ekor kambing.”

al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan. Jima‘ orang yang berihram ada dua macam:

Pertama: Pada farj.
 Kedua: Selain farj.

Jika selain farj, maka hajinya tidak rusak, baik ia keluar mani maupun tidak. Namun tetap wajib seekor kambing, baik ia keluar mani maupun tidak. Demikian pula jika ia mencium atau menyentuh dengan syahwat, maka wajib seekor kambing, dan hajinya sah.


وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ أَنْزَلَ فَسَدَ حَجُّهُ كَالْوَطْءِ فِي الْفَرْجِ وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ لَمْ يَفْسَدْ اسْتِدْلَالًا بِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الحَجِّ) {البقرة: 197) فَكَانَ الرَّفَثُ يَتَنَاوَلُ الْجِمَاعَ فَيَ الْفَرْجِ وَغَيْرِهِ، ثُمَّ كَانَ الْوَطْءُ فِي الْفَرْجِ مُفْسِدًا لِلْحَجِّ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْوَطْءُ دُونَ الْفَرْجِ مُفْسِدًا لِلْحَجِّ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ يُفْسِدُهَا الْوَطْءُ فِي الْفَرْجِ فَوَجَبَ أَنْ يُبْطِلَهَا الْإِنْزَالُ عَنِ الْمُبَاشَرَةِ دُونَ الْفَرْجِ كَالصَّوْمِ.

Mālik berkata: Jika seseorang mengeluarkan mani (ejakulasi), maka hajinya rusak seperti halnya persetubuhan di kemaluan. Namun jika tidak mengeluarkan, maka hajinya tidak rusak.

Ia berdalil dengan keumuman firman Allah Ta‘ālā: “Maka tidak boleh ada rafats, kefasiqan, dan perdebatan dalam haji” (QS al-Baqarah: 197), maka rafats mencakup jima‘ di kemaluan maupun selainnya.

Kemudian karena persetubuhan di kemaluan merusak haji, maka semestinya persetubuhan di luar kemaluan pun merusak haji.

Dan karena haji adalah ibadah yang bisa dirusak oleh persetubuhan di kemaluan, maka seharusnya ejakulasi karena sentuhan tanpa persetubuhan di kemaluan juga merusaknya, sebagaimana (hal itu juga merusak) puasa.


وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُمَا قَالَا إِذَا قَبَّلَ الْمُحْرِمُ امْرَأَتَهُ فَعَلَيْهِ شَاةٌ، وَلَمْ يُفَرِّقَا بَيْنَ وُجُودِ الْإِنْزَالِ وعدمه وليس يعرف لهما مُخَالِفٌ؛ وَلِأَنَّهُمَا مِمَّا لَا يَتَعَلَّقُ الْحَجُّ بِشَيْءٍ مِنْ جِنْسِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَفْسَدَ الْحَجُّ بِهِ كَالْمُبَاشِرَةِ بِغَيْرِ إِنْزَالٍ؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَوَى حُكْمُ الْوَطْءِ فِي الْفَرْجِ بَيْنَ الْإِنْزَالِ وَعَدَمِهِ فِي أَنَّهُ غَيْرُ مُفْسِدٍ لِلْحَجِّ، وَلِأَنَّ الْوَطْءَ فِي الْفَرْجِ أَغْلَظُ حُكْمًا مِنَ الْوَطْءِ دُونَ الْفَرْجِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَوِيَ حُكْمُهُمَا فِي إِفْسَادِ الْحَجِّ مَعَ اخْتِلَافِهِمَا وَتَبَايُنِهِمَا. فَأَمَّا الْآيَةُ فَتَقْتَضِي حَظْرَ الْجِمَاعِ، وَإِطْلَاقُ الْجِمَاعِ يَتَنَاوَلُ الْوَطْءَ في الفرج دون غيره، وأما قيامه عَلَى الصَّوْمِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ الصَّوْمَ أَضْعَفُ حَالًا مِنَ الْحَجِّ؛ لِأَنَّهُ يَبْطُلُ بِالْوَطْءِ وَغَيْرِ الْوَطْءِ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ، فَجَازَ أَنْ يَبْطُلَ بِالْوَطْءِ دُونَ الْفَرْجِ وَالْحَجُّ لَا يَبْطُلُ بِغَيْرِ الْوَطْءِ فَجَازَ أَنْ لَا يَبْطُلُ بِالْوَطْءِ دُونَ الْفَرْجِ.

Dan dalil kami adalah riwayat dari ‘Umar dan Ibn ‘Abbās, bahwa keduanya berkata: Apabila seorang yang berihram mencium istrinya maka atasnya seekor kambing, dan keduanya tidak membedakan antara ada keluarnya mani atau tidak. Dan tidak diketahui ada yang menyelisihi keduanya.

Dan karena hal itu termasuk perkara yang tidak ada hubungannya dengan haji dari jenisnya, maka wajib bahwa haji tidak rusak karenanya, sebagaimana mubāsyarah tanpa keluarnya mani.

Dan karena ketika hukum jima‘ di farj sama, baik keluar mani maupun tidak, yaitu sama-sama merusak haji, dan karena jima‘ di farj lebih berat hukumnya daripada jima‘ selain farj, maka tidak boleh hukumnya sama dalam merusak haji padahal keduanya berbeda dan jauh berbeda.

Adapun ayat, maka ia menunjukkan larangan jima‘, dan lafaz jima‘ itu berlaku pada jima‘ di farj, tidak pada selainnya.

Adapun qiyās dengan puasa maka tidak sah; karena puasa lebih lemah kedudukannya daripada haji. Sebab puasa batal dengan jima‘ maupun dengan selain jima‘ berupa makan dan minum, maka bolehlah ia batal dengan jima‘ selain farj. Sedangkan haji tidak batal dengan selain jima‘, maka bolehlah ia tidak batal dengan jima‘ selain farj.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْوَطْءُ فِي الْفَرْجِ فَضَرْبَانِ:
أحدهما: أن يكون في القبل فأما فَالْوَاطِئُ فِيهِ مُفْسِدٌ لِلْحَجِّ إِجْمَاعًا.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فِي غَيْرِ الْقُبُلِ وَهُوَ أَنْ يَطَأَ فِي الْمَوْضِعِ الْمَكْرُوهِ مِنَ الْمَرْأَةِ أَوْ يَتَلَوَّطَ، أَوْ يَأْتِيَ بَهِيمَةً فَحُكْمُ ذَلِكَ عِنْدَنَا حُكْمُ الْوَطْءِ فِي الْقُبُلِ فِي إِفْسَادِ الْحَجِّ وَوُجُوبِ الْقَضَاءِ وَالْكَفَّارَةِ عَلَى مَا مَضَى.

PASAL
 Adapun persetubuhan di kemaluan, maka ada dua macam:

Pertama: dilakukan di qubul (kemaluan depan). Maka pelaku persetubuhan tersebut merusak hajinya menurut ijma‘.

Kedua: dilakukan bukan di qubul, yaitu menyetubuhi di tempat yang makruh dari tubuh wanita, atau melakukan liwāṭ (hubungan sesama jenis), atau menyetubuhi hewan. Maka hukumnya menurut kami sama dengan hukum persetubuhan di qubul dalam hal merusak haji, wajibnya qaḍā’, dan wajibnya kafārah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.


وَقَالَ أبو حنيفة فِي هَذِهِ الثَّلَاثَةِ: إِنَّهَا لَا تُفْسِدُ الْحَجَّ، وَإِنَّمَا يَخْتَصُّ إِفْسَادُ الْحَجِّ بِالْوَطْءِ فِي الْقُبُلِ قَالَ أبو يوسف ومحمد فِي اللِّوَاطِ بِقَوْلِنَا وَفِي إِتْيَانِ الْبَهِيمَةِ يَقُولُ أبو حنيفة اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ جِمَاعٌ لَا يَثْبُتُ بِهِ الْإِحْصَانُ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَفْسُدَ بِهِ الْحَجُّ كَالْوَطْءِ دُونَ الْفَرْجِ.

Dan Abū Ḥanīfah berkata tentang tiga perkara ini: Sesungguhnya ia tidak merusak haji, dan sesungguhnya yang khusus merusak haji hanyalah jima‘ di qubul.

Adapun Abū Yūsuf dan Muḥammad, mereka berpendapat dalam masalah liwāṭ sesuai dengan pendapat kami, dan dalam masalah menyetubuhi binatang, Abū Ḥanīfah berkata: dengan alasan bahwa itu adalah jima‘ yang tidak menetapkan iḥṣān, maka wajib bahwa haji tidak rusak dengannya, sebagaimana jima‘ selain farj.


وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ ولاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الحَجِّ) {البقرة: 197) وَلِأَنَّهُ جِمَاعٌ يُوجِبُ الْغُسْلَ فَجَازَ أَنْ يُفْسِدَ الْحَجَّ كَالْوَطْءِ فِي الْقُبُلِ، وَلِأَنَّ الْوَطْءَ فِي الدُّبُرِ أَغْلَظُ مِنَ الْوَطْءِ فِي الْقُبُلِ لِتَحْرِيمِهِ عَلَى التَّأْبِيدِ، فَلَمَّا كَانَ أَخَفُّهُمَا مُفْسِدًا لِلْحَجِّ فَأَغْلَظُهُمَا أَنْ يَكُونَ مُفْسِدًا لِلْحَجِّ أَوْلَى، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْوَطْءِ دُونَ الْفَرْجِ بِعِلَّةِ أو وَطْءٌ لَا يَثْبُتُ بِهِ الْإِحْصَانُ فَفَاسِدٌ بِوَطْءِ الْإِمَاءِ يَفْسُدُ بِهِ الْحَجُّ وَلَا يَقَعُ بِهِ الإحصان، ثم المعنى في الوطء في الفرج وُجُوبُ الْغُسْلِ فِيهِ، وَالْوَطْءُ دُونَ الْفَرْجِ لَا يتعلق بوجوب الْغُسْلِ بِهِ، وَإِنَّمَا يَتَعَلَّقُ بِالْإِنْزَالِ إِنِ اقْتَرَنَ بِهِ.

Dalil kami adalah keumuman firman Allah Ta‘ālā:
 “Barang siapa yang telah menetapkan niat haji di dalamnya (bulan-bulan haji), maka tidak boleh rafats, kefasiqan, dan perdebatan dalam haji” (QS al-Baqarah: 197).

Dan karena ia adalah bentuk jima‘ yang mewajibkan mandi junub, maka layak untuk merusak haji, sebagaimana persetubuhan di qubul.

Dan karena persetubuhan di dubur lebih berat daripada persetubuhan di qubul, karena keharamannya bersifat abadi, maka ketika yang lebih ringan dari keduanya dapat merusak haji, maka yang lebih berat tentu lebih utama untuk merusak haji.

Adapun qiyās mereka terhadap persetubuhan selain di kemaluan, dengan ‘illat bahwa itu adalah persetubuhan yang tidak menetapkan status muḥṣan, maka itu adalah qiyās yang rusak; sebab persetubuhan dengan budak pun merusak haji, padahal tidak menjadikan pelakunya sebagai muḥṣan.

Lagi pula, ‘illat dalam persetubuhan di qubul adalah karena wajibnya mandi junub, sedangkan persetubuhan selain di qubul tidak mewajibkan mandi junub, kecuali jika disertai ejakulasi.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا قَبَّلَ الْمُحْرِمُ زَوْجَتَهُ عِنْدَ قُدُومِهِ مِنْ سَفَرِهِ، فَإِنْ قَصَدَ بِالْقُبْلَةِ تحية القادم لغير شهرة فَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ، وَإِنْ قَصَدَ بِهَا الشَّهْوَةَ فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ قَصْدٌ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَنْصَرِفُ ذَلِكَ إِلَى قُبْلَةِ التَّحِيَّةِ أَوْ إِلَى قُبْلَةِ الشَّهْوَةِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَنْصَرِفُ إِلَى قُبْلَةِ التَّحِيَّةِ اعْتِبَارًا بِظَاهِرِ الْحَالِ، فَعَلَى هَذَا لَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَنْصَرِفُ إِلَى قُبْلَةِ الشَّهْوَةِ اعْتِبَارًا بِمَوْضُوعِ الْقُبْلَةِ، فَعَلَى هَذَا عَلَيْهِ الْفِدْيَةُ.

PASAL
 Adapun apabila seorang yang berihram mencium istrinya ketika ia datang dari safarnya:
 – Jika ia maksud dengan ciuman itu sebagai penghormatan kedatangan, bukan karena syahwat, maka tidak ada fidyah atasnya.
 – Jika ia maksud dengan ciuman itu karena syahwat, maka wajib fidyah atasnya.
 – Jika ia tidak punya maksud tertentu, maka para sahabat kami berbeda pendapat: apakah itu dihukumi sebagai ciuman penghormatan atau sebagai ciuman syahwat? Ada dua wajah:

Pertama: Dihukumi sebagai ciuman penghormatan dengan mempertimbangkan zhahir keadaan, maka tidak ada fidyah atasnya.
 Kedua: Dihukumi sebagai ciuman syahwat dengan mempertimbangkan hakikat ciuman itu sendiri, maka wajib fidyah atasnya.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قُوِّمَتِ الْبَدَنَةُ دَارَهِمَ بِمَكَّةَ والدراهم طعاما فإن لم يجد صام عن كُلِّ مُدٍّ يَوْمًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ كَفَّارَةَ الْوَاطِئِ فِي إحرامه المفسد له بوطئه ” بدنة ” ودليلنا عَلَيْهِ وَإِذَا كَانَ ذَلِكَ ثَابِتًا فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمُفْسِدُ ” بَدَنَةً ” ” فَبَقَرَةً ” فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَسَبْعًا مِنَ الْغَنَمِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قَوَّمَ ” الْبَدَنَةَ ” دَرَاهِمَ بِمَكَّةَ وَالدَّرَاهِمَ طَعَامًا، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ صَامَ عَنْ كُلِّ مُدٍّ يَوْمًا فَجَعَلَ لِلْبَدَنَةِ أَرْبَعَةَ أَبِدَالٍ مُرَتَّبَةٍ، فَبَدَأَ بِالْبَدَنَةِ وَجَعَلَ الْبَقَرَةَ بَدَلًا مِنَ الْبَدَنَةِ، وَجَعَلَ السَّبْعَ مِنَ الْغَنَمِ بَدَلًا مِنَ الْبَقَرَةِ، وَجَعَلَ الطَّعَامَ بَدَلًا مِنَ الْغَنَمِ، وَجَعَلَ الصِّيَامَ بَدَلًا مِنَ الْإِطْعَامِ، فَلَمْ يَخْتَلِفْ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَسَائِرِ أَصْحَابِهِ أَنَّ الْبَدَنَةَ وَالْبَقَرَةَ وَالْغَنَمَ مُقَدَّمٌ عَلَى الْإِطْعَامِ وَالصِّيَامِ فِي التَّرْتِيبِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْبَدَنَةِ وَالْبَقَرَةِ وَالْغَنَمِ هَلْ هِيَ عَلَى التَّرْتِيبِ أَوْ عَلَى التَّخْيِيرِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Masalah: Imam Syafi‘i RA berkata:
 “Jika tidak mendapatkan (badnah), maka ditaksirlah harga badnah tersebut dalam dirham di Makkah, dan dirham itu dihitung dalam bentuk makanan. Jika tidak mendapatkan (juga), maka ia berpuasa satu hari untuk setiap mud.”

Al-Māwardī berkata:
 Ini sebagaimana yang dikatakan. Telah kami sebutkan bahwa kafārah bagi orang yang bersetubuh saat ihram yang merusak hajinya adalah badnah. Ini adalah dalil kami. Dan jika hal itu telah ditetapkan, maka Imam Syafi‘i mengatakan bahwa jika pelaku yang merusak ihramnya tidak mendapatkan badnah, maka sapi sebagai gantinya. Jika tidak mendapatkannya, maka tujuh ekor kambing. Jika tidak mendapatkannya, maka ditaksirlah harga badnah dalam bentuk dirham di Makkah, lalu dirham tersebut dihitung dalam bentuk makanan. Jika tidak mendapatkannya juga, maka ia berpuasa satu hari untuk setiap mud.

Maka, Imam Syafi‘i menjadikan bagi badnah empat pengganti yang berurutan: dimulai dengan badnah, lalu menjadikan sapi sebagai pengganti badnah, lalu tujuh ekor kambing sebagai pengganti sapi, lalu makanan sebagai pengganti kambing, dan puasa sebagai pengganti makanan.

Tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab Imam Syafi‘i dan seluruh murid-muridnya bahwa badnah, sapi, dan kambing didahulukan atas makanan dan puasa dalam urutan tersebut.

Namun, para sahabat kami berbeda pendapat mengenai urutan badnah, sapi, dan kambing, apakah itu wajib berurutan atau boleh dipilih, terdapat dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَنْصُوصٌ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أَنَّهَا عَلَى التَّرْتِيبِ وَبِهِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَيَبْدَأُ بِبَدَنَةٍ تَجُوزُ أُضْحِيَّةً فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَبَقَرَةٌ تَجُوزُ أُضْحِيَّةً، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَسَبْعًا مِنَ الْغَنَمِ تجوز أُضْحِيَةً وَلَا تُجْزِئُهُ الْبَقَرَةُ إِلَّا عِنْدَ عَدَمِ الْبَدَنَةِ، وَلَا تُجْزِئُهُ الْغَنَمُ إِلَّا عِنْدَ عَدَمِ الْبَقَرَةِ، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكِ، لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَتْ كَفَّارَةُ الْوَطْءِ كَأَغْلَظِ كَفَّارَاتِ الْحَجِّ تَقْدِيرًا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ كَأَغْلَظِهَا تَرْتِيبًا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا عَلَى التَّخْيِيرِ وَبِهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ، فَإِنْ أَخْرَجَ الْبَقَرَةَ مَعَ وُجُودِ الْبَدَنَةِ أَوْ أَخْرَجَ الْغَنَمَ مَعَ وُجُودِ الْبَقَرَةِ أَجْزَأَهُ، لِأَنَّ الْبَدَنَةَ فِي الْحَجِّ لَا تَجِبُ إِلَّا فِي قَتْلِ النَّعَامَةِ وَالْإِفْسَادِ فَلَمَّا وَجَبَتِ الْبَدَنَةُ فِي جَزَاءِ النَّعَامَةِ عَلَى وَجْهِ التَّخْيِيرِ اقْتَضَى أَنْ تَجِبَ فِي إِفْسَادِ الْحَجِّ عَلَى وَجْهِ التَّخْيِيرِ.

Salah satunya, dan inilah yang manṣūṣ dalam masalah ini: bahwa ia wajib secara berurutan. Dan inilah pendapat Ibn ‘Umar. Maka ia memulai dengan badnah yang sah sebagai udhiyyah. Jika tidak mendapatkannya, maka sapi yang sah sebagai udhiyyah. Jika tidak mendapatkannya, maka tujuh ekor kambing yang sah sebagai udhiyyah. Tidak mencukupi sapi kecuali bila tidak ada badnah, dan tidak mencukupi kambing kecuali bila tidak ada sapi. Hal itu karena ketika kafārah jima‘ dihukumi seperti yang paling berat di antara kafārah haji dalam kadar ketentuan, maka wajib pula ia dihukumi seperti yang paling berat di antaranya dalam urutan.

Wajah kedua: bahwa ia bersifat pilihan, dan inilah pendapat Ibn ‘Abbās. Maka jika ia mengeluarkan sapi padahal masih ada badnah, atau ia mengeluarkan kambing padahal masih ada sapi, maka itu sudah mencukupi. Karena badnah dalam haji tidak wajib kecuali pada membunuh burung unta (na‘āmah) dan pada merusak haji. Maka ketika badnah diwajibkan dalam kafārah burung unta dengan sifat pilihan, maka hal itu menunjukkan bahwa ia juga wajib dalam kafārah merusak haji dengan sifat pilihan.


فَصْلٌ
: فَإِنْ عَدِمَ الثَّلَاثَةَ عَدَلَ حِينَئِذٍ إِلَى الْإِطْعَامِ والصيام بقية أَحَدِ الثَّلَاثَةِ عَلَى وَجْهِ التَّعْدِيلِ فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الثَّلَاثَةَ وَجَبَتْ عَلَى وَجْهِ التَّخْيِيرِ قَوَّمَ أَيَّ الثَّلَاثَةِ شَاءَ وَإِنْ قُلْنَا وَجَبَتْ وُجُوبَ تَرْتِيبٍ وَهُوَ أَصَحُّ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، أَنَّهُ يُقَوِّمُ الْبَدَنَةَ.
وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ: يُقَوِّمُ السَّبْعَ مِنَ الْغَنَمِ؛ لِأَنَّهَا أَقْرَبُ الْوَاجِبَاتِ الْمَذْكُورَةِ، وَمَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ مِنْ تَقْوِيْمِ الْبَدَنَةِ أَصَحُّ؛ لِأَنَّ الْغَنَمَ فَرْعٌ لِلْبَدَنَةِ عِنْدَ وُجُودِهِمَا، فَإِذَا عدمها كَانَ اعْتِبَارُ الْأَصْلِ أَوْلَى مِنَ اعْتِبَارِ الْفَرْعِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يُقَوِّمُ الْبَدَنَةَ فَإِنَّهُ يُقَوِّمُ ذَلِكَ بِمَكَّةَ أَوْ بِمِنًى فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يَنْحَرُهَا فِيهِ؛ لِوُجُودِهَا دُونَ الْمَوْضِعِ الَّذِي وَجَبَتْ فِيهِ بِوَطْئِهِ، وَلَا يُرَاعِي بِقِيمَتِهَا حَالَ الرُّخْصِ وَالسِّعَةِ، وَلَا حَالَ الْغَلَاءِ وَالْقَحْطِ بَلْ يُرَاعِي غَالِبَ الْأَسْعَارِ فِي أَعَمِّ الْأَحْوَالِ فَيُقَوِّمُهَا فِيهِ بِالدَّرَاهِمِ، وَيَصْرِفُ الدَّرَاهِمَ فِي طَعَامٍ، وَلَا يَتَصَدَّقُ بِالدَّرَاهِمِ، فَإِنْ تَصَدَّقَ بِالدَّرَاهِمِ لَمْ تُجْزِئْهُ لِأَنَّ إِخْرَاجَ الدَّرَاهِمِ فِي الْكَفَّارَاتِ إِنَّمَا تَكُونُ قِيَمًا وَإِخْرَاجُ الْقِيَمِ فِي الْكَفَّارَاتِ لَا تُجْزِئُ، فَإِذَا صَرَفَ الدَّرَاهِمَ فِي الطَّعَامِ تَصَدَّقَ بِهِ عَلَى فُقَرَاءِ الْحَرَمِ وَفِيمَا يُعْطِي كُلَّ فَقِيرٍ وَجْهَانِ:

PASAL
 Jika tidak mendapatkan ketiga (yaitu badnah, sapi, dan tujuh ekor kambing), maka ia beralih saat itu juga kepada ith‘ām dan ṣiyām sebagai pengganti dari salah satu dari tiga itu dengan cara substitusi (ta‘dīl).

Jika kita katakan bahwa ketiga hewan itu diwajibkan dengan cara pilihan (takhyīr), maka ia menaksir harga salah satu dari ketiganya yang ia kehendaki. Namun jika kita katakan bahwa ketiganya diwajibkan dengan urutan (tartīb)—dan ini yang lebih ṣaḥīḥ menurut mazhab Syafi‘i—maka ia menaksir harga badnah.

Abū al-‘Abbās Ibn Surayj berkata: yang ditaksir adalah harga tujuh ekor kambing, karena itu adalah yang paling dekat dari kewajiban-kewajiban yang disebutkan. Namun pendapat Imam Syafi‘i bahwa yang ditaksir adalah badnah lebih ṣaḥīḥ, karena kambing adalah cabang (far‘) dari badnah jika keduanya ada, maka apabila keduanya tidak ada, maka mempertimbangkan asal (aṣl) lebih utama daripada mempertimbangkan cabang (far‘).

Apabila telah ditetapkan bahwa yang ditaksir adalah badnah, maka penaksirannya dilakukan di Makkah atau di Mina, yaitu di tempat penyembelihannya; karena di situlah ia tersedia, bukan di tempat terjadinya kewajiban akibat persetubuhan.

Penilaian harga badnah tidak memperhatikan kondisi murah atau lapang, juga tidak memperhatikan kondisi mahal atau paceklik. Tapi yang dipertimbangkan adalah harga rata-rata (ghālib al-as‘ār) dalam kebanyakan keadaan. Maka ia menaksirnya dengan dirham, lalu menyalurkan dirham itu dalam bentuk makanan, dan tidak boleh disedekahkan dalam bentuk dirham.

Jika ia menyedekahkan dalam bentuk dirham, maka tidak mencukupi, karena mengeluarkan dirham dalam kafārah hanya sah sebagai nilai taksiran (qīmah), sedangkan mengeluarkan qīmah dalam kafārah tidak mencukupi.

Apabila ia menyalurkan dirham tersebut dalam bentuk makanan, maka ia menyedekahkannya kepada para fakir miskin di Tanah Haram. Adapun dalam hal berapa yang diberikan kepada setiap fakir, terdapat dua wajah:


أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ غَيْرُ مُقَدَّرٍ، فَإِنْ أَعْطَاهُ أَقَلَّ مِنْ ” مُدٍّ ” أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ” مُدٍّ ” أَجْزَأَهُ كَاللَّحْمِ الَّذِي لَا يَتَقَدَّرُ بِشَيْءٍ وَيُجْزِئُ قَلِيلُهُ وَكَثِيرُهُ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَتَقَدَّرُ ” بِمُدٍّ ” فَإِنْ أَعْطَى فَقِيرًا أَكْثَرَ مِنْ ” مُدٍّ ” لَمْ يُحْتَسَبْ بِالزِّيَادَةِ عَلَى الْمُدِّ، وَإِنْ أَعْطَاهُ أَقَلَّ مِنْ ” مُدٍّ ” لَمْ يُحْتَسَبْ بِشَيْءٍ مِنْهُ إِلَّا أَنْ يُعْطِيَهُ تَمَامَ الْمُدِّ اعْتِبَارًا بِكَفَّارَةِ الظِّهَارِ وَالْوَطْءِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، فَإِنْ عَدَلَ عَنِ الْإِطْعَامِ إِلَى الصِّيَامِ صَامَ عَنْ كُلِّ مُدٍّ يَوْمًا، فَإِنْ كَانَ فِي الْأَمْدَادِ كَسْرٌ، صَامَ مَكَانَهُ يَوْمًا كَامِلًا؛ لِأَنَّ الْيَوْمَ لَا يَتَبَعَّضُ ثُمَّ هَلْ يَنْتَقِلُ عَنِ الْإِطْعَامِ إِلَى الصِّيَامِ عَلَى وَجْهِ التَّخْيِيرِ أَوِ التَّرْتِيبِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَنْتَقِلُ عَلَى وَجْهِ التَّخْيِيرِ فَإِنْ صَامَ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْإِطْعَامِ أَجْزَأَهُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ ينتقل على وجه الترتيب عند تمام الْإِطْعَامِ فَإِنْ صَامَ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْإِطْعَامِ لم يجزئه.

pertama: bahwa (kadar)nya tidak ditentukan, maka jika seseorang memberikan kurang dari mud atau lebih dari mud, tetap sah, sebagaimana daging yang tidak ditentukan ukurannya, sedikit atau banyak tetap mencukupi.

dan kedua: bahwa (kadar)nya ditentukan satu mud, maka jika seseorang memberikan kepada seorang fakir lebih dari satu mud, tidak dihitung kelebihannya dari mud, dan jika memberinya kurang dari satu mud, maka tidak dihitung sama sekali kecuali ia menyempurnakan satu mud, sebagaimana dalam kafārah ẓihār dan jima‘ di bulan Ramadan. Jika beralih dari memberi makan ke puasa, maka ia puasa sehari untuk setiap mud. Jika dalam jumlah mud terdapat pecahan, maka ia berpuasa satu hari penuh sebagai gantinya, karena hari tidak bisa dipotong. Kemudian apakah boleh berpindah dari memberi makan ke puasa secara pilihan ataukah harus secara berurutan, terdapat dua pendapat:

pertama: bahwa boleh berpindah secara pilihan, maka jika ia berpuasa padahal mampu memberi makan, puasanya mencukupi.

dan pendapat kedua: bahwa berpindah secara berurutan setelah sempurna memberi makan, maka jika ia berpuasa padahal mampu memberi makan, tidak mencukupi.

مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” هَكَذَا كُلُّ وَاجِبٍ عَلَيْهِ يَعْسُرُ بِهِ مَا لَمْ يَأْتِ فِيهِ نَصُّ خبرٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: الدِّمَاءُ الْوَاجِبَةُ فِي الْحَجِّ ضَرْبَانِ ضَرْبٌ نَصَّ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ فِي كِتَابِهِ، وَضَرْبٌ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ، فَأَمَّا الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فَأَرْبَعَةُ دِمَاءٍ دَمُ التَّمَتُّعِ وَدَمُ جَزَاءِ الصَّيْدِ وَدَمُ كَفَّارَةِ الْأَذَى وَدَمُ الْإِحْصَارِ فَهَذِهِ الدِّمَاءُ الْأَرْبَعَةُ مَنْصُوصٌ عَلَيْهَا وَهِيَ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: مَا نَصَّ عَلَيْهِ بَدَلَهُ.

Masalah: Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Demikian pula setiap kewajiban yang tidak mampu dilakukan, selama tidak ada nash khabar mengenainya.”

Al-Mawardi berkata: Darah-darah yang wajib dalam haji terbagi dua: satu jenis yang dinashkan oleh Allah Ta‘ala dalam kitab-Nya, dan satu lagi yang tidak dinashkan. Adapun yang dinashkan dalam Kitab Allah Ta‘ala maka ada empat darah: dam tamattu‘, dam sebagai ganti buruan, dam kafārah atas pelanggaran, dan dam iḥṣār. Maka empat darah ini dinashkan, dan terbagi dua:

Pertama: yang telah dinashkan penggantinya.


وَالثَّانِي: مَا لَمْ يَنُصَّ عَلَى بَدَلِهِ، فَأَمَّا الْمَنْصُوصُ عَلَى بَدَلِهِ فَثَلَاثَةُ دِمَاءٍ: دَمُ التَّمَتُّعِ، دَمُ جَزَاءِ الصَّيْدِ، وَدَمُ كَفَّارَةِ الْأَذَى، وَهِيَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: مَا جَعَلَ بَدَلَهُ تَرْتِيبًا وَتَقْدِيرًا مِنْ غَيْرِ تَعْدِيلٍ وَلَا تَخْيِيرٍ وَذَلِكَ دَمُ التَّمَتُّعِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أيَّامٍ فِي الحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ) {البقرة: 196) فَجَعَلَ الْبَدَلَ فِيهِ مُقَدَّرًا بِعَشَرَةِ أَيَّامٍ مِنْ غَيْرِ تَعْدِيلٍ مُرَتَّبًا عِنْدَ عَدَمِ الدَّمِ مِنْ غَيْرِ تَخْيِيرٍ.

dan kedua: (yaitu) yang tidak disebutkan pengganti secara nash. Adapun yang disebutkan secara nash penggantinya ada tiga macam darah: dam tamattu‘, dam sebagai balasan berburu, dan dam kafārah al-adzā, dan ini terbagi menjadi tiga bagian:

pertama: (yaitu) yang Allah jadikan penggantinya secara berurutan dan ditentukan kadarnya, tanpa penaksiran harga dan tanpa pilihan, yaitu dam tamattu‘. Allah Ta‘ālā berfirman: {fa-man tamatta‘a bil-‘umrati ilā al-ḥajji fa-mā istaysara min al-hadyi, fa-man lam yajid fa-ṣiyāmu ṡalāṡati ayyāmin fī al-ḥajji wa sab‘atin iżā raja‘tum} (al-Baqarah: 196). Maka Allah menjadikan pengganti dalam hal ini dengan sepuluh hari puasa yang ditentukan, sebagai pengganti darah, secara berurutan ketika tidak mendapatkan dam, tanpa pilihan.


وَالثَّانِي: مَا جَعَلَ بَدَلَهُ تَعْدِيلًا مَعَ التَّخْيِيرِ وَهُوَ جَزَاءُ الصَّيْدِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فَجَزَاءُ مِثْلُ مَا قُتِلَ مِنْ النَّعَمِ يَحْكُمُ بهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْياً بَالِغَ الكَعْبَةِ أوْ كَفَارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَاماً) {المائدة: 95) فَخَيَّرَ اللَّهُ تَعَالَى بَيْنَ الْمِثْلِ مِنَ النَّعَمِ أَوِ الْإِطْعَامِ بِالتَّعْدِيلِ، فَيُقَوِّمُ الْمِثْلَ دَرَاهِمَ وَيَصْرِفُ الدَّرَاهِمَ فِي طَعَامٍ يَتَصَدَّقُ بِهِ، أَوْ يَصُومُ عَنْ كُلِّ ” مُدٍّ ” يَوْمًا فَجَعَلَ الْبَدَلَ فِيهِ تَعْدِيلًا وَتَخْيِيرًا مِنْ غَيْرِ تَرْتِيبٍ.

dan kedua: (yaitu) yang Allah jadikan penggantinya dengan penaksiran harga disertai pilihan, yaitu jazā’ aṣ-ṣayd (balasan atas buruan). Allah Ta‘ālā berfirman: {fa-jazā’un miṡlu mā qutila min an-na‘ami yaḥkumu bihi żawā ‘adlin minkum hadyyan bāligha al-ka‘bah aw kaffāratun ṭa‘āmu masākīn aw ‘adlu żālika ṣiyāman} (al-Mā’idah: 95). Maka Allah memberi pilihan antara miṡl dari hewan ternak atau memberi makan (fakir miskin) dengan penaksiran. Maka ia menaksir nilai miṡl tersebut dengan dirham, lalu dirham itu dibelikan makanan untuk disedekahkan, atau ia berpuasa satu hari untuk setiap satu mud. Maka Allah jadikan penggantinya dalam bentuk penaksiran dan pilihan, tanpa keharusan urutan.


وَالثَّالِثُ: مَا جَعَلَ بَدَلَهُ تَخْيِيرًا وَتَقْدِيرًا مِنْ غَيْرِ تَعْدِيلٍ وَلَا تَرْتِيبٍ وَهُوَ كَفَّارَةُ الْأَذَى فِي حَلْقِ الشَّعْرِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أوْ صَدَقَةٍ أوْ نُسُكٍ) {البقرة: 196) فَخَيَّرَ اللَّهُ تَعَالَى بَيْنَ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ مِنْ غير أن ينص على مقدراها فَبَيَّنَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْمِقْدَارَ فِيهَا فَقَالَ لِكَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ: أَيُؤْذِيكَ هَوَامُّ رَأْسِكَ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: ” احْلِقْ وَانْسُكْ شَاةً أَوْ صُمْ ثَلَاثَةَ أيامٍ أَوْ أَطْعِمْ ثَلَاثَةَ آصُعٍ سِتَّةَ مَسَاكِينَ ” فَجَعَلَهُ مُخَيَّرًا بَيْنَ شاة أو صيام أو ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ أَوْ إِطْعَامِ سِتَّةِ مَسَاكِينَ مِنْ غَيْرِ تَرْتِيبٍ وَلَا تَعْدِيلٍ، فَهَذَا حُكْمُ الدِّمَاءِ الثَّلَاثَةِ الْمَنْصُوصِ عَلَى أَبْدَالِهَا، وَأَمَّا الدَّمُ الَّذِي لَمْ يَنُصَّ عَلَى بَدَلِهِ فَهُوَ دَمُ الْإِحْصَارِ قال الله تعالى: {فَإِذا أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنْ الهَدْيِ) {البقرة: 196) فَأَوْجَبَ عَلَيْهِ بِإِحْصَارِ الْعَدُوِّ هَدْيًا وَهُوَ ” شَاةٌ ” وَلَمْ يَنُصَّ عَلَى بَدَلِهِ، فَاخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ هَلْ لَهُ بَدَلٌ عِنْدَ عَدَمِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Dan ketiga: yang dijadikan penggantinya berupa pilihan dan taksiran tanpa ada penyesuaian dan tanpa urutan, yaitu kafārah pelanggaran karena mencukur rambut. Allah Ta‘ala berfirman: “Maka barangsiapa di antara kalian sakit atau ada gangguan di kepalanya, maka (wajib) fidyah berupa puasa atau sedekah atau menyembelih kurban.” (QS al-Baqarah: 196). Maka Allah Ta‘ala memberikan pilihan antara tiga hal tanpa menyebutkan ukurannya.

Kemudian Rasulullah SAW menjelaskan ukurannya. Beliau berkata kepada Ka‘b bin ‘Ujrah: “Apakah kutu di kepalamu menyakitimu?” Ia menjawab: “Ya.” Maka beliau bersabda: “Cukurlah, dan berkurbanlah dengan seekor kambing, atau berpuasalah tiga hari, atau berilah makan tiga ṣa‘ (porsi) makanan kepada enam orang miskin.” Maka beliau memberinya pilihan antara kambing, atau puasa tiga hari, atau memberi makan enam orang miskin, tanpa urutan dan tanpa penyesuaian.

Maka ini adalah hukum dari tiga dam yang dinashkan penggantinya.

Adapun dam yang tidak dinashkan penggantinya adalah dam iḥṣār. Allah Ta‘ala berfirman: “Jika kalian terhalang (untuk menyempurnakan haji), maka (sembelihlah) apa yang mudah dari hewan kurban.” (QS al-Baqarah: 196). Maka Allah mewajibkan dengan sebab iḥṣār oleh musuh seekor hady yaitu “kambing”, dan tidak menashkan penggantinya.

Maka Imam al-Syafi‘i berbeda pendapat: apakah ia memiliki pengganti ketika tidak mampu (menyembelih kambing) atau tidak? Ada dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: لَا بَدَلَ لَهُ وَيَكُونُ فِي ذِمَّتِهِ إِلَى أَنْ يَجِدَهُ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَهُ بَدَلٌ وَبَدَلُهُ الصِّيَامُ وَفِي قَدْرِهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:
أَحَدُهَا: صِيَامُ عَشَرَةِ أَيَّامٍ كَالتَّمَتُّعِ.

وَالثَّانِي: صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ كَفِدْيَةِ الْأَذَى.
وَالثَّالِثُ: صِيَامُ التَّعْدِيلِ فَيُقَوِّمُ الشَّاةَ دَرَاهِمَ وَالدَّرَاهِمَ طَعَامًا ويصوم عن كل مد يوماً كجزاء والصيد وَسَيَأْتِي الْكَلَامُ فِي تَوْجِيهِ ذَلِكَ وَحُكْمِ إِحْلَالِهِ قَبْلَ الْفِدْيَةِ فِي مَوْضِعِهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَهَذَا حُكْمُ الدِّمَاءِ الْمَنْصُوصِ عَلَيْهَا.

pertama: tidak ada pengganti baginya, dan tetap menjadi tanggungan sampai ia mendapatkannya.

dan pendapat kedua: ada penggantinya, dan penggantinya adalah puasa. Dalam kadarnya terdapat tiga pendapat:

pertama: puasa sepuluh hari seperti dalam tamattu‘,

kedua: puasa tiga hari seperti dalam fidyah al-adzā,

ketiga: puasa berdasarkan penaksiran, yaitu ia menaksir harga seekor kambing dengan dirham, lalu dirham tersebut dibelikan makanan, lalu ia berpuasa satu hari untuk setiap mud, seperti dalam jazā’ aṣ-ṣayd. Penjelasan tentang alasan pendapat ini dan hukum tahallul sebelum fidyah akan disebutkan pada tempatnya, insyā’ Allāh. Maka ini adalah hukum darah-darah yang disebutkan secara naṣ.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الدِّمَاءُ الَّتِي لَمْ يَنُصَّ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهَا فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: مَا وَجَبَ لِتَرْكِ نُسُكٍ.
وَالثَّانِي: مَا وَجَبَ لِأَجْلِ التَّرْفِيهِ.
وَالثَّالِثُ: مَا وَجَبَ لِأَجْلِ الْإِتْلَافِ فَأَمَّا مَا وَجَبَ لِتَرْكِ نُسُكٍ فَثَمَانِيَةُ دِمَاءٍ دَمُ الْقِرَانِ وَدَمُ الفوات ودم مجاوزة الميقات، ودم الدافع من عَرَفَةَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ وَدَمُ تَارِكِ الْمَبِيتِ بِمُزْدَلِفَةَ، وَدَمُ تَارِكِ رَمْيِ الْجِمَارِ، وَدَمُ تَارِكِ المبيت بمنى، ودم الصادر من مكة بلا وَدَاعٍ، فَهَذِهِ ثَمَانِيَةُ دِمَاءٍ تَجِبُ لِتَرْكِ نُسُكٍ مَأْمُورٍ بِهِ فَكَانَ حُكْمُهَا حُكْمَ دَمِ التَّمَتُّعِ الْمَنْصُوصِ عَلَيْهِ فِي الْبَدَلِ وَالتَّرْتِيبِ؛ لِأَنَّهُ دَمُ التَّمَتُّعِ وَجَبَ لِلتَّرْفِيهِ لِتَرْكِ أَحَدِ الْمِيقَاتَيْنِ، فَكَانَ مِثْلَهُ كُلُّ دَمٍ وَجَبَ فِي مَتْرُوكٍ، فَعَلَى هَذَا لَا يُجْزِئُهُ فِي هَذَا الثَّمَانِيَةِ إِلَّا دَمٌ مَا كَانَ قَادِرًا عَلَيْهِ، فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهِ صَامَ عَشَرَةَ أَيَّامٍ.

PASAL
 Adapun dam-dam yang tidak dinashkan oleh Allah Ta‘ala terbagi menjadi tiga macam:

Pertama: yang wajib karena meninggalkan nusuk.

Kedua: yang wajib karena tujuan memberi keringanan.

Ketiga: yang wajib karena sebab perusakan (itlāf).

Adapun yang wajib karena meninggalkan nusuk, maka ada delapan dam: dam qirān, dam fawāt, dam karena melewati mīqāt, dam karena keluar dari ‘Arafah sebelum matahari terbenam, dam karena meninggalkan bermalam di Muzdalifah, dam karena meninggalkan melempar jumrah, dam karena meninggalkan bermalam di Mina, dan dam bagi orang yang keluar dari Makkah tanpa wada‘.

Maka delapan dam ini wajib karena meninggalkan nusuk yang diperintahkan, sehingga hukumnya sama dengan dam tamattu‘ yang dinashkan dalam hal pengganti dan urutan, karena dam tamattu‘ wajib karena tujuan memberi keringanan dengan meninggalkan salah satu dari dua mīqāt, maka setiap dam yang wajib karena sesuatu yang ditinggalkan adalah seperti itu.

Berdasarkan hal ini, tidak mencukupi dalam delapan dam ini kecuali dam (hewan kurban) jika ia mampu. Maka jika tidak mampu, ia berpuasa selama sepuluh hari.


أَمَّا مَا وَجَبَ لِأَجْلِ التَّرْفِيهِ فَخَمْسَةُ دِمَاءٍ دَمُ تَقْلِيمِ الظُّفْرِ، وَدَمُ تَرْجِيلِ الشَّعْرِ، وَدَمُ الطِّيبِ، وَدَمُ اللِّبَاسِ، وَدَمُ تَغْطِيَةٍ يُعَلِّقُ بِهِ الْإِحْرَامَ مِنْ رَأْسِ الرَّجُلِ وَوَجْهِ الْمَرْأَةِ، فَهَذِهِ خَمْسَةُ دِمَاءٍ تجب لأجل الترفيه فكان حكمها حكم فدية الأذى في حلق الشعر في البدل والتخيير لاشتراك جميعها في التَّرْفِيهِ وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ: إِنَّ جَمِيعَ ذَلِكَ دَاخِلٌ فِي لَفْظِ الْآيَةِ فَيَكُونُ تَقْدِيرُ الْآيَةِ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا فَتَطَيَّبَ أَوْ لَبِسَ أَوْ أَخَذَ ظُفْرَهُ لِأَجْلِ مَرَضِهِ، أَوْ كَانَ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَحَلَقَهُ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ فِي هَذِهِ الْخَمْسَةِ مُخَيَّرًا بَيْنَ دَمِ شَاةٍ أَوْ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ أَوْ إِطْعَامِ ثَلَاثَةِ آصُعٍ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، إِمَّا بِنَصِّ الْآيَةِ أَوْ قِيَاسًا عَلَى الْمَنْصُوصِ فِي الْآيَةِ؛ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَالَ فِي الْإِمْلَاءِ إِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِدَاخِلٍ فِي لَفْظِ الْآيَةِ، وَأَمَّا ما وجب لأجل الإتلاف قدم قَطْعِ الشَّجَرَةِ مِنَ الْحَرَمِ، وَحُكْمُهُ حُكْمُ جَزَاءِ الصَّيْدِ فِي التَّعْدِيلِ وَالتَّخْيِيرِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الْإِتْلَافِ فَيَكُونُ مُخَيَّرًا بَيْنَ الدَّمِ أَوْ قِيمَةِ الدَّمِ طَعَامًا، أَوْ عَدْلِ الطَّعَامِ صِيَامًا فَأَمَّا دَمُ الْوَطْءِ فَضَرْبَانِ:

Adapun yang diwajibkan karena kenikmatan (tarfīh) maka ada lima dam: dam karena memotong kuku, dam karena menyisir rambut, dam karena memakai wewangian, dam karena memakai pakaian, dan dam karena menutup (bagian tubuh) yang berkaitan dengan ihram seperti kepala laki-laki dan wajah perempuan. Maka lima dam ini diwajibkan karena kenikmatan, sehingga hukumnya seperti fidyah al-adzā karena mencukur rambut, dalam hal pengganti dan pilihan, karena semuanya berkaitan dengan kenikmatan.

Dan telah dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī dalam al-Umm, bahwa semua hal itu termasuk dalam lafaz ayat. Maka penafsiran ayat menjadi: fa-man kāna minkum marīḍan fa-taṭayyaba aw labisa aw akhaża ẓufrahu li-ajli maraḍihi, aw kāna bihi adhan min ra’sihi faḥalaqahu fa-fidyatun min ṣiyāmin aw ṣadaqatin aw nusuk — maka dalam lima perkara ini, seseorang diberi pilihan antara menyembelih kambing, atau puasa tiga hari, atau memberi makan tiga sha‘ (setara) kepada enam orang miskin. Hal ini baik berdasarkan teks ayat maupun qiyās kepada yang disebutkan dalam ayat tersebut. Karena asy-Syāfi‘ī dalam al-Imlā’ mengatakan bahwa hal itu tidak termasuk dalam lafaz ayat.

Adapun yang diwajibkan karena perusakan (itlām), seperti menebang pohon di tanah haram, maka hukumnya seperti jazā’ aṣ-ṣayd dalam hal penaksiran dan pilihan, karena keduanya sama-sama termasuk kategori perusakan. Maka seseorang diberi pilihan antara menyembelih dam, atau menaksir harga dam dalam bentuk makanan, atau menukar makanan tersebut dengan puasa.

Adapun dam karena jima‘ terbagi menjadi dua:


أَحَدُهُمَا: دَمٌ لِفَسَادٍ وَقَدْ مَضَى حُكْمُهُ.
وَالثَّانِي: دَمُ اسْتِمْتَاعٍ وَهُوَ دَمَانِ:
أَحَدُهُمَا: مَا وَجَبَ بِالْوَطْءِ دُونَ الْفَرْجِ.
وَالثَّانِي: مَا وَجَبَ بِالْوَطْءِ فِي الْفَرْجِ بَعْدَ الْإِحْلَالِ الْأَوَّلِ فَأَمَّا مَا وَجَبَ بِالْوَطْءِ دُونَ الْفَرْجِ فَشَاةٌ وَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَجْرِي ذَلِكَ مَجْرَى التَّرْفِيهِ أَوْ مَجْرَى الْإِتْلَافِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pertama: dam karena kerusakan (fasād), dan hukumnya telah disebutkan sebelumnya.

Kedua: dam karena kenikmatan (istimtā‘), dan ini ada dua macam:

Pertama: yang wajib karena persetubuhan tanpa memasukkan ke farji.

Kedua: yang wajib karena persetubuhan di farji setelah iḥlāl pertama.

Adapun yang wajib karena persetubuhan tanpa ke farji, maka hukumannya adalah seekor kambing. Dan para sahabat kami berbeda pendapat: apakah hal ini tergolong dalam kategori tarfīh (keringanan) atau itlāf (perusakan)? Ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى التَّرْفِيهِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ كَفِدْيَةِ الْأَذِيَّةِ مُخَيَّرًا بَيْنَ دَمِ شَاةٍ أَوْ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ أَوْ إِطْعَامِ ثَلَاثَةِ آصُعٍ سِتَّةَ مَسَاكِينَ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْإِتْلَافِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ كَجَزَاءِ الصَّيْدِ فِي التَّعْدِيلِ وَالتَّخْيِيرِ، فَيَكُونُ مُخَيَّرًا بَيْنَ الشَّاةِ أَوْ قِيمَةِ الشَّاةِ طَعَامًا، أَوْ عَدْلِ الطَّعَامِ صِيَامًا، فَأَمَّا مَا وَجَبَ بِالْوَطْءِ فِي الْفَرْجِ بَعْدَ الْإِحْلَالِ الْأَوَّلِ فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ بَدَنَةٌ كَانَ حُكْمُهَا حُكْمَ الْبَدَنَةِ فِي الْإِفْسَادِ، وَإِنْ قُلْنَا شَاةٌ كَانَ حُكْمُهَا حُكْمَ الشَّاةِ فِي الِاسْتِمْتَاعِ فَهَذَا حُكْمٌ غَيْرُ الْمَنْصُوصِ عَلَيْهِ وَهُوَ أَصَحُّ مَا قِيلَ فِيهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

pertama: bahwa hal itu termasuk dalam kategori kenikmatan (tarfīh), maka hukumnya seperti fidyah al-adzā, yaitu diberi pilihan antara menyembelih kambing, atau puasa tiga hari, atau memberi makan tiga ṣa‘ kepada enam orang miskin.

dan pendapat kedua: bahwa hal itu termasuk dalam kategori perusakan (itlāf), maka hukumnya seperti jazā’ aṣ-ṣayd dalam hal penaksiran dan pilihan, yaitu diberi pilihan antara kambing, atau harga kambing dalam bentuk makanan, atau menukar makanan itu dengan puasa.

Adapun yang diwajibkan karena jima‘ di kemaluan setelah tahallul pertama, maka jika dikatakan bahwa hukumannya adalah badnah, maka hukumnya sama seperti badnah dalam kasus merusak (haji). Dan jika dikatakan bahwa hukumannya adalah kambing, maka hukumnya seperti kambing dalam perkara istimtā‘. Maka ini termasuk hukum yang tidak disebutkan secara naṣ, dan inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini. Wallāhu a‘lam.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا تَقْدِيمُ هَذِهِ الدِّمَاءِ قَبْلَ وُجُوبِهَا فَهِيَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: مَا وَجَبَ فِي الْإِحْرَامِ.
وَالثَّانِي: مَا وَجَبَ فِي غَيْرِ الْإِحْرَامِ، فَأَمَّا مَا وَجَبَ فِي غَيْرِ الْإِحْرَامِ فَدَمَانِ:
أَحَدُهُمَا: جَزَاءُ صَيْدِ الْحَرَمِ.

PASAL
 Adapun mendahulukan penyembelihan dam-dam ini sebelum kewajibannya, maka terbagi menjadi dua macam:

Pertama: dam yang wajib dalam keadaan iḥrām.

Kedua: dam yang wajib di luar keadaan iḥrām.

Adapun dam yang wajib di luar iḥrām, maka ada dua:

Pertama: dam sebagai ganti buruan di tanah haram.


الثَّانِي: جَزَاءُ شَجَرِ الْحَرَمِ وَلَا يَجُوزُ تَقْدِيمُ هَذَيْنِ الدَّمَيْنِ قَبْلَ وُجُوبِهَا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ لِوُجُوبِهَا سَبَبٌ مُتَقَدِّمٌ، وَأَمَّا مَا وَجَبَ فِي الْإِحْرَامِ فَلَا يَجُوزُ تَقْدِيمُهُ قَبْلَ الإحرام؛ لأنه سَبَبَ وُجُودِهِ غَيْرُ مَوْجُودٍ، فَأَمَّا بَعْدَ الْإِحْرَامِ فما وجب منها يترك نُسُكٍ كَدَمِ الْفَوَاتِ، وَدَمِ مُجَاوَزَةِ الْمِيقَاتِ، وَدَمِ الدافع من عرفة قبل غروب الشمس، ودم تَرْكِ الْمَبِيتِ بِمُزْدَلِفَةَ، وَدَمِ رَمْيِ الْجِمَارِ وَدَمِ تارك المبيت بمنى، ودم الصادر من مكة فلا وَدَاعٍ فَلَا يَجُوزُ تَقْدِيمُهُ قَبْلَ وُجُوبِهِ لِأَنَّ النُّسُكَ الَّذِي يَتَعَلَّقُ وُجُوبُ الدَّمِ بِهِ مَأْمُورٌ بِفِعْلِهِ بَعْدَ تَقْدِيمِ الدَّمِ، كَمَا كَانَ مَأْمُورًا بِفِعْلِهِ قَبْلَ تَقْدِيمِ الدَّمِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ الدَّمُ الَّذِي لَمْ يُؤْمَرْ بِهِ لِعَدَمِ وُجُوبِهِ بَدَلًا مِنَ النُّسُكِ الْمَأْمُورِ بِهِ مَعَ إِمْكَانِ فِعْلِهِ وَأَمَّا مَا وَجَبَ لِغَيْرِ نُسُكٍ فَضَرْبَانِ:

kedua: jazā’ karena merusak pohon di tanah haram, dan tidak boleh mendahulukan dua dam ini sebelum kewajibannya, karena tidak ada sebab terdahulu yang mewajibkannya.

Adapun dam yang diwajibkan karena ihram, maka tidak boleh didahulukan sebelum ihram, karena sebab kewajibannya belum ada.

Adapun setelah ihram, maka segala dam yang wajib karena meninggalkan nusuk, seperti dam karena fawāt, dam karena melewati mīqāt tanpa ihram, dam karena keluar dari ‘Arafah sebelum matahari terbenam, dam karena tidak bermalam di Muzdalifah, dam karena tidak melempar jumrah, dam karena tidak bermalam di Mina, dan dam bagi yang meninggalkan tawaf wada‘ — maka tidak boleh mendahulukannya sebelum menjadi wajib. Karena nusuk yang kewajiban dam-nya terkait dengannya diperintahkan untuk dikerjakan; maka tidak sah dam yang belum diperintahkan karena belum wajib untuk menjadi pengganti dari nusuk yang diperintahkan untuk dikerjakan, padahal masih mungkin dilakukan.

Adapun dam yang diwajibkan bukan karena nusuk, maka terbagi menjadi dua:


أَحَدُهُمَا: مَا لَا يَجُوزُ اسْتِبَاحَةُ مُوجِبِهِ بِحَالٍ وَذَلِكَ الْوَطْءُ فَلَا يَجُوزُ تَقْدِيمُهُ قَبْلَ وُجُوبِهِ.
وَالثَّانِي: مَا يَجُوزُ اسْتِبَاحَةُ مُوجِبِهِ بِحَالٍ وَهُوَ دَمُ الطِّيبِ وَاللِّبَاسِ، وَحَلْقِ الشَّعْرِ وَتَقْلِيمِ الظُّفْرِ وَجَزَاءِ الصَّيْدِ فَفِي جَوَازِ تَقْدِيمِهِ قَبْلَ وُجُوبِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ ظَاهِرُ قَوْلِهِ فِي الْأُمِّ وَالْإِمْلَاءِ أَنَّ ذَلِكَ يُجْزِئُ؛ لِأَنَّهُ حَقٌّ فِي مَالٍ يَتَعَلَّقُ وُجُوبُهُ بِشَيْئَيْنِ وَهَمَا الْإِحْرَامُ وَالْفِعْلُ، فَإِذَا وُجِدَ أَحَدُ سَبَبَيْهِ جَازَ إِخْرَاجُهُ قَبْلَ وُجُودِ السَّبَبِ الْآخَرِ كَالزَّكَاةِ وَكَفَّارَةِ الْيَمِينِ.

Pertama: sesuatu yang tidak boleh sama sekali dibolehkan penyebabnya dalam keadaan apa pun, yaitu persetubuhan. Maka tidak boleh mendahulukan damnya sebelum kewajibannya.

Kedua: sesuatu yang boleh dalam keadaan tertentu untuk dilakukan penyebabnya, yaitu dam karena memakai wangi-wangian, pakaian, mencukur rambut, memotong kuku, dan ganti buruan. Maka dalam kebolehan mendahulukan damnya sebelum wajibnya, terdapat dua pendapat:

Pertama: yang merupakan zahir dari pendapatnya dalam kitab al-Umm dan al-Imlā’, bahwa hal itu sah. Karena ia adalah hak dalam bentuk harta yang kewajibannya tergantung pada dua hal, yaitu iḥrām dan perbuatan. Maka jika salah satu sebab telah ada, boleh dikeluarkan sebelum sebab yang lain ada, sebagaimana zakat dan kafārah sumpah.


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يُجْزِئُ لِأَنَّ الْإِحْرَامَ وَإِنْ كَانَ أَحَدَ سَبَبَيْ وُجُوبِهِ فَلَيْسَ يُرَادُ لِوُجُوبِ الدَّمِ بِهِ وَإِنَّمَا يُرَادُ لِغَيْرِهِ، وَهُوَ إِذَا نَسَكَهُ فَلَمْ يَكُنْ وُجُودُهُ مُبِيحًا لِتَقْدِيمِ الدَّمِ قَبْلَ وُجُوبِهِ، كَمَا أَنَّ الْإِسْلَامَ شَرْطٌ فِي وُجُوبِ الزَّكَاةِ، ثُمَّ لَا يَجُوزُ تَقْدِيمُ الزَّكَاةِ مَعَ وُجُودِ الْإِسْلَامِ وَقَبْلَ وُجُودِ النِّصَابِ؛ لِأَنَّ الْإِسْلَامَ لَيْسَ يُرَادُ لِوُجُوبِ الزَّكَاةِ، وَجَازَ تَقْدِيمُ الزَّكَاةِ بَعْدَ وُجُودِ النِّصَابِ لِأَنَّهُ يُرَادُ لِوُجُوبِ الزَّكَاةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

dan pendapat kedua: bahwa tidak sah (mendahulukan dam), karena meskipun ihram adalah salah satu dari dua sebab kewajiban dam, namun ia tidak dimaksudkan sebagai sebab utama kewajiban dam, melainkan hanya pendahuluan untuk yang lainnya, yaitu pelaksanaan nusuk. Maka keberadaannya tidak membolehkan untuk mendahulukan dam sebelum kewajibannya, sebagaimana Islam adalah syarat wajibnya zakat, namun tidak boleh mendahulukan zakat hanya karena telah ada Islam, sementara niṣāb belum terpenuhi. Karena Islam tidak dimaksudkan sebagai sebab kewajiban zakat secara langsung. Dan dibolehkan mendahulukan zakat setelah adanya niṣāb, karena niṣāb itulah yang menjadi sebab langsung kewajiban zakat. Wallāhu a‘lam.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَكُونُ الطَّعَامُ وَالْهَدْيُ إِلَّا بِمَكَّةَ أَوْ مِنًى وَالصَوْمُ حَيْثُ شَاءَ لِأَنَّهُ لَا مَنْفَعَةَ لِأَهْلِ الْحَرَمِ فِي الصَّوْمِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ الْفِدْيَةَ الْوَاجِبَةَ فِي الْحَجِّ عَلَى ثلاثة أضرب:
أحدها: إما أَنْ يَكُونَ هَدْيًا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ طَعَامًا.

Masalah: Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Tidak boleh (menunaikan) ṭa‘ām dan hady kecuali di Makkah atau Mina, sedangkan puasa boleh di mana saja ia kehendaki, karena tidak ada manfaat bagi penduduk tanah haram dari puasa.”

Al-Mawardi berkata: Secara keseluruhan, fidyah yang wajib dalam haji terbagi menjadi tiga macam:

Pertama: berupa hady.

Kedua: berupa makanan.


وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ صِيَامًا، فَأَمَّا الْهَدَايَا مِنْ سَائِرِ الدِّمَاءِ الْوَاجِبَةِ فِي الْحَجِّ فَعَلَيْهِ إِيصَالُهَا إِلَى الْحَرَمِ وَنَحْرُهَا فِيهِ وَتَفْرِيقُهُ لَحْمَهَا عَلَى مَسَاكِينِهِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ) {الحج: 33) وقَوْله تَعَالَى: {هَدْياً بَالِغَ الكَعْبَةِ) {المائدة: 95) وَإِذَا كَانَ هَكَذَا لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ: إِمَّا أَنْ يَنْحَرَهَا فِي الْحَرَمِ وَيُفَرِّقَهَا فِي الْحَرَمِ، أَوْ يَنْحَرَهَا فِي الْحِلِّ وَيُفَرِّقَهَا فِي الْحِلِّ، أَوْ يَنْحَرَهَا فِي الحل ويفرقها في الحرم.

dan ketiga: berupa puasa. Adapun hadāyā dari selain darah-darah yang wajib dalam haji, maka wajib baginya menyampaikannya ke ḥaram, menyembelihnya di sana, dan membagikan dagingnya kepada orang-orang miskin di ḥaram, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “ṡumma maḥillu-hā ilā al-bayti al-‘atīq” (QS al-Ḥajj: 33), dan firman-Nya: “hadyan bāligha al-ka‘bah” (QS al-Mā’idah: 95). Jika demikian, maka tidak lepas keadaannya dari empat bagian: boleh jadi ia menyembelihnya di ḥaram dan membagikannya di ḥaram, atau menyembelihnya di ḥill dan membagikannya di ḥill, atau menyembelihnya di ḥill dan membagikannya di ḥaram.


والقسم الرابع: وهو أن ينحرها من الحل ويفرق لحمها من الْحَرَمِ. فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يَنْحَرَهَا فِي الْحَرَمِ وَيُفَرِّقَ لَحْمَهَا طَرِيًّا فِي الْحَرَمِ، فَهُوَ الْوَاجِبُ الْمُجْزِئُ إِجْمَاعًا وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَنْحَرَهَا مِنَ الْحَرَمِ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يَتَحَلَّلُ فِيهِ، فَإِنْ كَانَ مُعْتَمِرًا فَعِنْدَ الْمَرْوَةِ لِأَنَّهُ مَوْضِعُ تُحَلُّلِهِ وَإِنْ كَانَ حَاجًّا فَبِمِنًى؛ لِأَنَّهُ مَوْضِعُ تحلله، وأين نحر منه فِجَاجِ مَكَّةَ وَسَائِرِ الْحَرَمِ أَجْزَأَهُ لِأَنَّ حُرْمَةَ جَمِيعِهِ وَاحِدَةٌ، وَقَدْ رَوَى جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” عرفة كلها موقفٌ ومزدلفة كلها موقفٌ وَفِجَاجُ مَكَّةَ كُلُّهَا مَوْقِفٌ وَمَنْحَرٌ ” وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُخُصَّ بِهَا مَنْ كَانَ قَاطِنًا فِي الْحَرَمِ دُونَ مَا كَانَ طَارِئًا إِلَيْهِ لِأَنَّ الْقَاطِنَ فِيهِ أَوْكَدُ حُرْمَةً مِنَ الطَّارِئِ إِلَيْهِ، فَإِنْ فَرَّقَهَا عَلَى الطَّارِئِينَ إِلَيْهِ دُونَ الْقَاطِنِينَ أَجْزَأَهُ؛ لِأَنَّهُمْ قَدْ صَارُوا مِنْ أَهْلِ الْحَرَمِ بِدُخُولِهِمْ إِلَيْهِ، وَلَيْسَ لِمَا يُعْطِي كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ قَدْرٌ مَعْلُومٌ وَلَا عَدَدُ مَنْ يُعْطِيهِ مَعْلُومٌ، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَ أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ مَسَاكِينَ مَا كَانَ يَقْدِرُ عَلَيْهِمْ لِأَنَّهُمْ أَقَلُّ الْجَمْعِ الْمُطْلَقِ.

Dan bagian keempat: yaitu menyembelihnya di luar tanah haram (al-ḥill) dan membagikan dagingnya di tanah haram (al-ḥaram).

Adapun bagian pertama, yaitu menyembelihnya di tanah haram dan membagikan dagingnya dalam keadaan segar di tanah haram, maka itu yang wajib dan sah menurut ijma‘. Disunnahkan menyembelihnya di tanah haram pada tempat yang menjadi lokasi tahallul.

Jika dia mu‘tamir, maka di Marwah, karena itu tempat tahallulnya. Dan jika dia ḥājj, maka di Mina, karena itu tempat tahallulnya. Dan di mana pun ia menyembelih di lembah-lembah Makkah dan seluruh wilayah tanah haram, maka sah, karena kehormatan seluruhnya adalah satu kesatuan.

Telah diriwayatkan oleh Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya dari Jābir bahwa Nabi SAW bersabda: “‘Arafah seluruhnya adalah tempat wuqūf, Muzdalifah seluruhnya adalah tempat wuqūf, dan seluruh lembah-lembah Makkah adalah tempat wuqūf dan tempat menyembelih.”

Disunnahkan untuk mengkhususkan pembagian kepada penduduk tetap tanah haram, bukan kepada pendatang, karena penduduk tetap lebih kuat kehormatannya daripada pendatang.

Namun jika ia membagikannya kepada para pendatang ke tanah haram dan bukan kepada penduduk tetap, maka itu tetap sah, karena mereka telah menjadi bagian dari penduduk tanah haram dengan masuknya mereka ke dalamnya.

Dan tidak ada ukuran tertentu untuk apa yang diberikan kepada setiap orang, juga tidak ada jumlah tertentu orang yang harus diberi. Maka tidak boleh ia memberi kurang dari tiga orang miskin selama ia mampu, karena mereka adalah bilangan paling sedikit dari bentuk jam‘ mutlak.


وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَنْحَرَهَا فِي الْحِلِّ وَيُفَرِّقَهَا فِي الْحِلِّ، فَهَذَا غَيْرُ مُجْزِئٍ إِجْمَاعًا، إِلَّا دَمَ الْإِحْصَارِ فَإِنَّهُ يُجْزِئُهُ نَحْرُهُ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي أُحْصِرَ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ مَوْضِعُ تَحَلُّلِهِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ، فَأَمَّا غَيْرُ دَمِ الْإِحْصَارِ مِنْ سَائِرِ الدِّمَاءِ الْوَاجِبَةِ فَلَا تُجْزِئُ لِأَنَّهَا لَمْ تَبْلُغْ مَحِلَّهَا، وَلَا فرقت في مستحقيها.

Adapun bagian kedua: yaitu menyembelihnya di ḥill dan membagikannya di ḥill, maka hal ini tidak mencukupi menurut ijma‘, kecuali dam al-iḥṣār, karena penyembelihannya sah dilakukan di tempat di mana ia tertahan (muḥṣar), karena tempat itu adalah tempat tahallul-nya, sebagaimana akan disebutkan. Adapun selain dam al-iḥṣār dari darah-darah wajib lainnya, maka tidak mencukupi karena tidak sampai ke tempat yang semestinya (maḥill), dan tidak dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.

 

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَنْحَرَهَا فِي الْحَرَمِ وَيُفَرِّقَ لَحْمَهَا فِي الْحِلِّ، فَلَا يُجْزِئُهُ عِنْدَنَا سَوَاءٌ فَرَّقَهُ فِي الْحِلِّ عَلَى فُقَرَاءِ الْحَرَمِ أَوْ فُقَرَاءِ الْحِلِّ، وَعَلَيْهِ إِعَادَةُ الْهَدْيِ. وَقَالَ أبو حنيفة: يُجْزِئُهُ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {هَدْياً بَالِغَ الكَعْبَةِ) {المائدة: 95) فَكَانَ الظَّاهِرُ يَقْتَضِي إِبْلَاغَهُ الْكَعْبَةَ فَيُجْزِئُ وَهَذَا هَدْيٌ قَدْ بَلَغَ الْكَعْبَةَ فَوَجَبَ بِحَقِّ الظَّاهِرِ أَنْ يُجْزِئَ، وَلِأَنَّهُ جُبْرَانٌ لِنُسُكِهِ فَجَازَ الْإِتْيَانُ بِهِ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ كَالصَّوْمِ، وَلِأَنَّهُ مَوْضِعٌ يَجُوزُ فِيهِ صَوْمُهُ عَنْ نُسُكِهِ فَجَازَ فِيهِ تَفْرِيقُ هَدْيِهِ كَالْحَرَمِ.

Adapun bagian ketiga: yaitu menyembelih hady di tanah haram dan membagikan dagingnya di luar tanah haram (al-ḥill), maka tidak sah menurut kami, baik ia membagikannya di ḥill kepada fakir miskin penduduk ḥaram ataupun fakir miskin penduduk ḥill, dan ia wajib mengulangi penyembelihan hady.

Abu Ḥanīfah berkata: Itu sah, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: “Sebagai hadyu yang sampai ke Ka‘bah” (QS al-Mā’idah: 95). Maka zhahir ayat menuntut agar hady sampai ke Ka‘bah, sehingga sah. Dan ini adalah hady yang telah sampai ke Ka‘bah, maka wajib secara zhahir bahwa ia sah.

Dan karena ia merupakan penutup kekurangan nusuk-nya, maka boleh didatangkan di ḥill dan ḥaram seperti puasa.

Dan karena ḥill adalah tempat yang sah untuk berpuasa sebagai ganti nusuk-nya, maka sah pula di tempat itu membagikan hady-nya seperti di tanah haram.


وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {هَدْياً بَالِغَ الكَعْبَةِ) {المائدة: 95) وَالْمُرَادُ بِالْكَعْبَةِ الْحَرَمُ، فَلَمَّا حَضَّ اللَّهُ تَعَالَى بِإِيصَالِ الْهَدْيِ إِلَيْهِ لَمْ يَخْلُ أَنْ يَكُونَ مَخْصُوصًا بِالتَّفْرِقَةِ دُونَ الْإِرَاقَةِ، أَوْ بِالْإِرَاقَةِ دُونَ التَّفْرِقَةِ، أَوْ بِالْإِرَاقَةِ وَالتَّفْرِقَةِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مَخْصُوصًا بِالتَّفْرِقَةِ دُونَ الْإِرَاقَةِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ، وَإِنَّمَا يَكُونُ لَحْمًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مَخْصُوصًا بِالْإِرَاقَةِ دُونَ التَّفْرِقَةِ لِأَنَّهُ لَا يُفِيدُ إِلَّا تَنْجِيسَ الْحَرَمِ، وَتَنْجِيسُ الْحَرَمِ لَيْسَ بِقُرْبَةٍ، بَلْ صِيَانَةُ الْحَرَمِ عَنِ الْإِنْجَاسِ قُرْبَةٌ، فَثَبَتَ أَنَّهُ مَخْصُوصٌ بِالْإِرَاقَةِ وَالتَّفْرِقَةِ؛ لِمَا فِي نَفْعِ مَسَاكِينِ الْحَرَمِ مِنْ عِظَمِ الْقُرْبَةِ، وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَحَرَ هَدْيَهُ فِي الْحَرَمِ وَفَرَّقَ لَحْمَهُ عَلَى مَسَاكِينِهِ، وَقَالَ: ” خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ “، وَلِأَنَّ إِرَاقَةَ الهدي وتفريقه مقصود ثان مَعًا، أَمَّا الْإِرَاقَةُ فَهِيَ مَقْصُودَةٌ؛ لِأَنَّهُ لَوِ اشْتَرَى فِي الْحَرَمِ لَحْمًا وَفَرَّقَهُ لَمْ يُجْزِئْهُ، وَأَمَّا التَّفْرِقَةُ فَهِيَ مَقْصُودَةٌ لِأَنَّهُ لَوْ نَحَرَ هَدْيَهُ ثُمَّ اسْتَهْلَكَهُ لَمْ يُجْزِهِ، وَإِذَا كَانَتِ الْإِرَاقَةُ وَالتَّفْرِقَةُ مَقْصُودَتَيْنِ ثُمَّ لَمْ تَجُزِ الْإِرَاقَةُ إِلَّا فِي الْحَرَمِ وَجَبَ أَنْ لَا تَجُزِ التَّفْرِقَةُ إِلَّا فِي الْحَرَمِ.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: “hadyan bāligha al-ka‘bah” (QS al-Mā’idah: 95), dan yang dimaksud dengan ka‘bah adalah ḥaram. Ketika Allah Ta‘ālā memerintahkan agar hadyu disampaikan ke sana, maka hal itu tidak lepas dari tiga kemungkinan: dikhususkan untuk pembagian tanpa penyembelihan, atau untuk penyembelihan tanpa pembagian, atau untuk keduanya: penyembelihan dan pembagian.

Maka tidak boleh dipahami bahwa yang dimaksud hanya pembagian tanpa penyembelihan, karena itu tidak disebut hadyan bāligha al-ka‘bah, melainkan hanya disebut daging yang sampai ke ka‘bah. Dan tidak boleh pula dipahami hanya penyembelihan tanpa pembagian, karena hal itu hanya akan menajisi ḥaram, sementara menajisi ḥaram bukanlah bentuk qurbah, justru menjaga kesucian ḥaram dari najis adalah qurbah.

Maka tetaplah bahwa yang dimaksud adalah penyembelihan dan pembagian sekaligus, karena adanya manfaat besar bagi orang-orang miskin ḥaram merupakan bentuk qurbah yang agung. Dan karena Rasulullah SAW menyembelih hadyu-nya di ḥaram dan membagikan dagingnya kepada orang-orang miskin di sana, serta bersabda: “Ambillah dariku manasik kalian.”

Dan karena penyembelihan dan pembagian adalah dua hal yang sama-sama menjadi tujuan. Adapun penyembelihan adalah tujuan, karena jika seseorang membeli daging di ḥaram lalu membagikannya, maka itu tidak mencukupi. Sedangkan pembagian juga merupakan tujuan, karena jika seseorang menyembelih hadyu-nya lalu menghabiskannya sendiri, maka itu juga tidak mencukupi.

Dan apabila penyembelihan dan pembagian keduanya adalah tujuan, kemudian penyembelihan tidak sah kecuali di ḥaram, maka wajib pula bahwa pembagian tidak sah kecuali di ḥaram.


وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهُ أَحَدُ مَقْصُودَيِ الْهَدْيِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُجْزِئَ إِلَّا فِي الْحَرَمِ كَالْإِرَاقَةِ؛ وَلِأَنَّ الْأُصُولَ فِي الْحَجِّ مَوْضُوعَةٌ عَلَى أَنَّ كُلَّ نُسُكٍ اخْتَصَّ شَيْءٌ مِنْهُ بِالْحَرَمِ اخْتَصَّ جَمِيعُهُ بِالْحَرَمِ كَالطَّوَافِ وَالسَّعْيِ وَالرَّمْيِ، وَكُلُّ نُسُكٍ لَمْ يَخْتَصَّ شَيْءٌ مِنْهُ بِالْحَرَمِ لَمْ يَخْتَصَّ جَمِيعُهُ بِالْحَرَمِ كَالْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ، فَلَمَّا كَانَ شَيْءٌ مِنَ الْهَدْيِ مُخْتَصًّا بِالْحَرَمِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ جَمِيعُهُ مُخْتَصًّا بِالْحَرَمِ.

Dan penjelasan rincinya secara qiyās: bahwa pembagian daging adalah salah satu dari dua tujuan hady, maka wajib tidak sah kecuali di tanah haram, sebagaimana penyembelihannya.

Dan karena prinsip-prinsip dasar dalam ibadah haji dibangun atas dasar bahwa setiap nusuk yang ada bagian darinya yang dikhususkan untuk tanah haram, maka seluruhnya pun dikhususkan untuk tanah haram, seperti ṭawāf, sa‘i, dan ramy. Dan setiap nusuk yang tidak ada bagian darinya yang dikhususkan untuk tanah haram, maka seluruhnya tidak dikhususkan untuk tanah haram, seperti wuqūf di ‘Arafah.

Maka ketika ada bagian dari hady yang dikhususkan untuk tanah haram, wajiblah bahwa seluruhnya juga dikhususkan untuk tanah haram.


وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الصَّوْمِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَا يَخْتَصُّ شَيْءٌ مِنْ أَسْبَابِهِ بِالْحَرَمِ، فَلِذَلِكَ جَازَ فِي غَيْرِ الْحَرَمِ، وَلَمَّا اخْتَصَّ شَيْءٌ مِنَ الْهَدْيِ بِالْحَرَمِ اخْتَصَّ جَمِيعُهُ بِالْحَرَمِ.
أَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْحَرَمِ فَالْمَعْنَى فِي الْحَرَمِ أَنَّ الْإِرَاقَةَ فِيهِ تُجْزِئُ فَجَازَتِ التَّفْرِقَةُ فِيهِ وَالْحِلُّ لَمَّا لَمْ يَجُزِ الْإِرَاقَةُ فِيهِ لَمْ تَجُزِ التَّفْرِقَةُ فِيهِ.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: وَهُوَ أَنْ يَنْحَرَهَا فِي الْحِلِّ وَيُفَرِّقَ لَحْمَهَا فِي الْحَرَمِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يُجْزِئُ.

Adapun qiyās mereka terhadap puasa, maka maksudnya adalah bahwa tidak ada satu pun sebab puasa yang dikhususkan di ḥaram, maka karena itu boleh dilakukan di luar ḥaram. Sedangkan ketika sebagian dari hadyu itu dikhususkan di ḥaram, maka seluruhnya pun menjadi khusus di ḥaram.

Adapun qiyās mereka terhadap ḥaram, maka maksudnya adalah bahwa penyembelihan di dalamnya mencukupi, maka pembagiannya pun sah di dalamnya. Dan ḥill, ketika tidak sah penyembelihan di dalamnya, maka tidak sah pula pembagian di dalamnya.

Adapun bagian keempat: yaitu menyembelihnya di ḥill dan membagikan dagingnya di ḥaram, maka mazhab al-Syāfi‘ī adalah bahwa hal itu tidak mencukupi.


وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يُجْزِئُ التَّفْرِقَةُ فِي أَهْلِ الْحَرَمِ، وَهَذَا خَطَأٌ خَالَفَ بِهِ نَصَّ الْمَذْهَبِ وَمُقْتَضَى الْحِجَاجِ؛ لِرِوَايَةِ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” فِجَاجُ مَكَّةَ كُلُّهَا طُرُقٌ وَمَنْحَرٌ ” فَخَصَّ النَّحْرَ بِمَوْضِعٍ مَخْصُوصٍ، فَعُلِمَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ فِي غَيْرِهِ، وَلِأَنَّهُ أَحَدُ مَقْصُودَيِ الْهَدْيِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُجْزِئَ إِلَّا فِي الْحَرَمِ كَالتَّفْرِقَةِ، وَمَا ذَكَرُوهُ مِنْ حُصُولِ التَّفْرِقَةِ فِي أَهْلِ الْحَرَمِ فَفَاسِدٌ بِمَنِ اشْتَرَى لِحَمًا وَفَرَّقَهُ فِي أَهْلِ الْحَرَمِ، فَعَلِمَ أَنَّ الْإِرَاقَةَ مَقْصُودَةٌ مَعَ التَّفْرِقَةِ.

Dan sebagian sahabat kami berpendapat: sah membagikan (daging hady) kepada penduduk tanah haram, (meskipun penyembelihannya dilakukan di luar tanah haram). Ini adalah kesalahan yang menyelisihi nash mazhab dan konsekuensi dari hujjah-hujjahnya.

Karena riwayat dari Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya dari Jābir, bahwa Nabi SAW bersabda: “Seluruh lembah-lembah Makkah adalah jalan dan tempat menyembelih,” maka beliau mengkhususkan tempat penyembelihan pada tempat tertentu, dan dipahami bahwa tidak boleh di tempat selainnya.

Dan karena penyembelihan adalah salah satu dari dua tujuan hady, maka wajib tidak sah kecuali di tanah haram, sebagaimana pembagian dagingnya.

Adapun yang mereka sebutkan tentang terwujudnya pembagian kepada penduduk tanah haram (walaupun disembelih di luar tanah haram), maka itu batil — karena bisa saja seseorang membeli daging, lalu membagikannya di tanah haram. Maka dipahami bahwa penyembelihan (irāqah) adalah tujuan yang disandingkan dengan pembagian.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الطَّعَامُ فَالْحُكْمُ فِيهِ كَالْحُكْمِ فِي الْهَدْيِ لَا يُجْزِئُهُ إِلَّا فِي الْحَرَمِ، وَقَالَ أبو حنيفة: يُجْزِئُ فِي غَيْرِ الْحَرَمِ، وَالْكَلَامُ فِي الْمَسْأَلَتَيْنِ وَاحِدٌ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالطَّعَامُ الْوَاجِبُ فِي الْفِدْيَةِ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَنْصُوصًا عَلَى قَدْرِهِ وَعَدَدِ مُسْتَحِقِّيهِ وَذَلِكَ فِدْيَةُ الْأَذَى، وَهُوَ إِطْعَامُ ثَلَاثَةِ آصُعٍ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، لِكُلِّ مِسْكِينٍ مُدَّانِ، وَهُوَ أَعْلَى الْإِطْعَامِ الْمَنْصُوصِ عَلَيْهِ فِي الْكَفَّارَاتِ، وَقَدْ سَمَّاهَا الشَّافِعِيُّ فِي الْإِمْلَاءِ فِدْيَةَ تَعَبُّدٍ؛ لِأَنَّ الشَّرْعَ قَدْ تُعُبِّدَ بِقِدْرِ الطَّعَامِ وَأَعْدَادِ الْمَسَاكِينِ، فَإِذَا دَفَعَ أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ آصُعٍ إِلَى سِتَّةِ مَسَاكِينَ لَمْ يُجْزِهِ؛ لِنُقْصَانِ الْقَدْرِ، وَإِنْ دَفَعَ ثَلَاثَةَ آصُعٍ إِلَى أَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ مَسَاكِينَ لَمْ يُجْزِهِ، لِنُقْصَانِ الْعَدَدِ.

PASAL
 Adapun makanan, maka hukumnya seperti hukum hadyu: tidak mencukupi kecuali di ḥaram. Abū Ḥanīfah berkata: mencukupi meskipun di luar ḥaram, dan pembahasan dalam dua masalah ini adalah satu. Jika demikian, maka makanan yang wajib dalam fidyah terbagi dua:

Pertama: yang ditentukan kadar dan jumlah penerimanya secara nash, yaitu fidyah al-adzā, yaitu memberi makan tiga ṣā‘ kepada enam orang miskin, setiap orang miskin mendapat dua mudd. Ini merupakan bentuk pemberian makan tertinggi yang dinashkan dalam kafārah, dan al-Syāfi‘ī menyebutnya dalam al-Imlā’ sebagai fidyah ta‘abbud, karena syariat telah menentukan secara ibadah kadar makanan dan jumlah orang miskin. Maka jika seseorang memberikan kurang dari tiga ṣā‘ kepada enam orang miskin, tidak mencukupi karena kekurangan kadar. Dan jika memberikan tiga ṣā‘ kepada kurang dari enam orang miskin, tidak mencukupi karena kekurangan jumlah.


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ مَنْصُوصًا عَلَى قَدْرِهِ وَلَا عَلَى عَدَدِ مستحقه، وَذَلِكَ جَزَاءُ الصَّيْدِ وَمَا فِي مَعْنَاهُ مِنَ الكفارات التَّعْدِيلِ، وَقَدْ سَمَّاهُ الشَّافِعِيُّ فِي الْإِمْلَاءِ فِدْيَةَ بدل، كالأثمان تنخفض وترتفع؛ لأنه لا يَتَقَدَّرُ الطَّعَامُ فِيهَا إِلَّا بِتَقْوِيمِ الْهَدْيِ وَصَرْفِ ثَمَنِهِ فِي الطَّعَامِ، فَرُبَّمَا كَثُرَ الطَّعَامُ إِمَّا لِكَثْرَةِ قِيمَةِ الْهَدْيِ، أَوْ لِقِلَّةِ ثَمَنِ الطَّعَامِ، وَرُبَّمَا قَلَّ الطَّعَامُ إِمَّا لِقِلَّةِ قِيمَةِ الْهَدْيِ، أَوْ لِكَثْرَةِ ثَمَنِ الطَّعَامِ، ثُمَّ يَتَقَدَّرُ حِينَئِذٍ بذلك فيصير كالمقدر شرعاً، فأما أعداد مستحقه فَهَلْ مَخْصُوصٌ بِعَدَدٍ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ الْقَوْلَيْنِ فِيمَا يُدْفَعُ إِلَى كل مسكين.

Macam kedua: yaitu fidyah yang tidak dinashkan kadar (jumlah)nya dan tidak pula jumlah orang yang berhak menerimanya. Yaitu jazā’ aṣ-ṣayd dan hal-hal semisalnya dari kafārah yang bersifat ta‘dīl (penyesuaian). Imam al-Syafi‘i menyebutnya dalam al-Imlā’ sebagai fidyah badal, seperti harga barang yang naik dan turun; karena makanan di dalamnya tidak dapat ditentukan kecuali dengan menaksir harga hady lalu menukarkannya dengan makanan.

Maka terkadang jumlah makanannya banyak — karena mahalnya harga hady, atau murahnya harga makanan. Dan terkadang sedikit — karena murahnya harga hady, atau mahalnya harga makanan. Kemudian ditentukan kadarnya berdasarkan hal tersebut, sehingga menjadi seperti yang ditentukan secara syar‘i.

Adapun jumlah orang yang berhak menerimanya, apakah harus jumlah tertentu atau tidak? Maka terdapat dua pendapat, yang dibangun atas perbedaan dua qaul dalam perkara berapa yang wajib diberikan kepada setiap miskin.


فأما الْوَجْهَيْنِ: أَنَّهُ يُدْفَعُ إِلَى كُلِّ مِسْكِينٍ مُدٌّ، لَا تَجُوزُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهِ وَلَا النُّقْصَانُ مِنْهُ فَعَلَى هَذَا يَنْحَصِرُ عَدَدُهُمْ بِعَدَدِ الْأَمْدَادِ؛ فَإِنْ كَانَتِ الْأَمْدَادُ عَشَرَةً وَجَبَ دَفْعُهَا إِلَى عَشَرَةِ مَسَاكِينَ، لَا يَجُوزُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهِمْ وَلَا النُّقْصَانُ مِنْهُمْ، وَصَارُوا كَالْعَدَدِ الْمُقَدَّرِ شَرْعًا؛ فَلَوْ كَانَ فَوْقَ الْأَمْدَادِ كَسْرٌ وَجَبَ دَفْعُ الْكَسْرِ إِلَى مِسْكِينٍ آخَرَ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ كُلَّ مَا يدفع إلى كل مسكين غير مقدم كَلَحْمِ الْهَدْيِ، فَعَلَى هَذَا عَدَدُ الْمَسَاكِينِ غَيْرُ مَحْصُورٍ، وَلَكِنْ إِنْ كَانَ ذَلِكَ ثَلَاثَةَ أَمْدَادٍ فَصَاعِدًا لَمْ يَجُزْ دَفْعُهَا إِلَى أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ مَسَاكِينَ؛ لِأَنَّهُمْ أَقَلُّ الْجَمْعِ الْمُطْلَقِ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ مُدَّيْنِ لَمْ يَجُزْ دَفْعُهَا إِلَى أَقَلَّ مِنْ مِسْكِينٍ، وَيَجُوزُ دَفْعُهَا إِلَى مِسْكِينَيْنِ؛ لِأَنَّ أَقَلَّ مَا يُوَاسَى بِهِ كُلُّ مِسْكِينٍ مَدٌّ، فَإِنْ دَفَعَ ذَلِكَ إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاكِينَ أَجْزَأَ؛ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ مُدًّا وَاحِدًا جَازَ أَنْ يَصْرِفَهُ إِلَى مِسْكِينٍ وَاحِدٍ، فَإِنْ صَرَفَهُ إِلَى مِسْكِينَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةِ مَسَاكِينَ أَجْزَأَهُ، وَيُسْتَحَبُّ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ أَنْ لَا يَنْقُصَ الْمِسْكِينَ الْوَاحِدَ عَنْ مُدٍّ؛ لِأَنَّهُ أَقَلُّ مَا يُوَاسَى بِهِ، وَلَا يَزِيدُهُ عَلَى مُدَّيْنِ؛ لِأَنَّهُ أَكْثَرُ مَا يُوَاسَى بِهِ.

Adapun dua pendapat:

Pertama: bahwa setiap orang miskin diberi satu mudd, tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi darinya. Maka dengan dasar ini, jumlah mereka terbatas sesuai jumlah mudd. Jika jumlah mudd-nya sepuluh, maka wajib diberikan kepada sepuluh orang miskin; tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi dari jumlah itu. Maka mereka seperti jumlah yang telah ditetapkan secara syar‘i. Jika terdapat pecahan dari jumlah mudd yang lebih, maka wajib diberikan pecahan itu kepada seorang miskin lainnya.

Pendapat kedua: bahwa apa pun yang diberikan kepada setiap orang miskin tidak ditentukan kadarnya, seperti daging hadyu. Maka berdasarkan ini, jumlah orang miskin tidak terbatas. Namun, jika yang diberikan adalah tiga mudd atau lebih, maka tidak boleh diberikan kepada kurang dari tiga orang miskin, karena itu adalah jumlah minimal dari jama‘ secara mutlak. Jika jumlahnya dua mudd, maka tidak boleh diberikan kepada kurang dari satu orang miskin, dan boleh diberikan kepada dua orang miskin, karena minimal yang bisa digunakan untuk berbagi dengan satu orang miskin adalah satu mudd. Jika diberikan kepada tiga orang miskin, maka mencukupi. Jika hanya satu mudd, maka boleh diberikan kepada satu orang miskin; dan jika diberikan kepada dua atau tiga orang miskin juga mencukupi. Namun disunnahkan dalam pendapat ini agar tidak mengurangi jatah satu orang miskin dari satu mudd, karena itu adalah minimal sesuatu yang bisa digunakan untuk berbagi, dan tidak melebihkan dari dua mudd, karena itu adalah batas maksimal yang bisa digunakan untuk berbagi.

فَصْلٌ
: وَأَمَّا الصِّيَامُ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: مَا كَانَ مُعَيَّنَ الْمَكَانِ، وَذَلِكَ صَوْمُ التَّمَتُّعِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إذَا رَجَعْتُمْ) {البقرة: 196) فَيَصُومُهَا عَلَى مَا أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى، وَقَدْ تَقَدَّمَ بَيَانُ حُكْمِهِ فِي تَفْرِيقِهِ وَتَتَابُعِهِ.
الضَّرْبُ الثَّانِي: مَا كَانَ غَيْرَ مُعَيَّنِ الْمَكَانِ، وَهُوَ مَا سِوَى صَوْمِ التَّمَتُّعِ، فَهَذَا يُجْزِئُ فِي الْحَرَمِ وَغَيْرِ الْحَرَمِ، وَإِنْ كَانَ فِي الْحَرَمِ أَوْلَى لِشَرَفِ الْمَكَانِ وَقُرْبِ الزَّمَانِ وَإِنَّمَا أَجْزَأَهُ فِي غَيْرِ الْحَرَمِ وَإِنْ لَمْ يُجْزِهِ الْهَدْيُ إِلَّا فِي الْحَرَمِ؛ لِأَنَّ الصَّوْمَ لَا مَنْفَعَةَ فِيهِ لِأَهْلِ الْحَرَمِ فَجَازَ فِي غَيْرِ الْحَرَمِ، وَالْهَدْيُ نَفْعٌ لِأَهْلِ الْحَرَمِ فَلَمْ يَجُزْ إِلَّا فِي الْحَرَمِ، ثُمَّ هُوَ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: مَا كَانَ مُقَدَّرًا بِالشَّرْعِ وَهُوَ صَوْمُ كَفَّارَةِ التَّعَبُّدِ، فَلَا يَنْخَفِضُ وَلَا يَرْتَفِعُ.
وَالثَّانِي: مَا كَانَ غَيْرَ مُقَدَّرٍ بِالشَّرْعِ، وهو صوم كفارة البدل، فربما انخفض وربما ارْتَفَعَ، ثُمَّ هَلْ تَجِبُ مُتَابَعَتُهُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

PASAL
 Adapun puasa, maka terbagi menjadi dua macam:

Pertama: puasa yang ditentukan tempatnya, yaitu puasa tamattu‘. Allah Ta‘ala berfirman: “Maka berpuasalah tiga hari dalam haji dan tujuh hari ketika kalian telah kembali.” (QS al-Baqarah: 196). Maka ia wajib melakukannya sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Ta‘ala, dan telah dijelaskan sebelumnya hukum terkait memisahkannya dan menyambungkannya.

Macam kedua: puasa yang tidak ditentukan tempatnya, yaitu selain puasa tamattu‘. Maka puasa ini sah dilakukan di tanah haram maupun di luar tanah haram. Meskipun dilakukan di tanah haram lebih utama, karena kemuliaan tempat dan kedekatan waktu.

Dan puasa ini sah dilakukan di luar tanah haram, meskipun hady tidak sah kecuali di tanah haram, karena puasa tidak memberi manfaat bagi penduduk tanah haram, maka boleh dilakukan di luar tanah haram. Sedangkan hady mengandung manfaat bagi mereka, maka tidak sah kecuali di tanah haram.

Kemudian puasa ini terbagi menjadi dua:

Pertama: puasa yang ditentukan kadarnya oleh syariat, yaitu puasa kafārah ta‘abbud, maka tidak berkurang dan tidak bertambah.

Kedua: puasa yang tidak ditentukan kadarnya oleh syariat, yaitu puasa kafārah badal. Maka terkadang jumlahnya sedikit, dan terkadang banyak.

Kemudian, apakah wajib dilakukan secara berturut-turut atau tidak? Maka ada dua pendapat yang telah disebutkan. Dan Allah Maha Mengetahui.


مَسْأَلَةٌ: قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنْ وَطِئَ أَهْلَهُ بَعْدَ رَمْيِ الْجِمَارِ فَعَلَيْهِ بدنة ويتم حجه (قال المزني) قرأت عليه هذه المسألة قلت أنا إِنْ لَمْ تَكُنِ الْبَدَنَةُ إِجْمَاعًا أَوْ أَصْلًا فالقياس شاةٌ لأنها هديٌ عندي “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ، وَذَكَرْنَا أَنَّ الْوَاطِئَ فِي الْحَجِّ بَعْدَ الْإِحْلَالِ الْأَوَّلِ غَيْرُ مُفْسِدٍ لِلْحَجِّ، وَأَنَّ عَلَيْهِ الْكَفَّارَةَ، وَفِيهَا قولان:
أحدها: ” بَدَنَةٌ “.
وَالثَّانِي: ” شَاةٌ ” وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ، وَذَكَرْنَا كَيْفِيَّةَ الْإِحْلَالِ الْأَوَّلِ، وَأَنْ يَكُونَ بِرَمْيِ جَمْرَةِ الْعَقَبَةِ إِنْ قِيلَ إِنَّ الْحَلْقَ لَيْسَ بِنُسُكٍ، وَاسْتَوْفَيْنَا جَمِيعَ ذَلِكَ فَلَمْ يَحْتَجْ إِلَى إِعَادَةٍ.

Masalah: al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Barang siapa menyetubuhi istrinya setelah melempar jumrah, maka atasnya badnah dan hajinya tetap sah.”
 (al-Muzanī berkata): “Aku membacakan masalah ini kepadanya, lalu aku berkata: jika badnah itu bukan merupakan ijma‘ atau asal, maka secara qiyās menurutku cukup dengan seekor kambing, karena itu termasuk hadyu.”

al-Māwardī berkata: Masalah ini telah disebutkan sebelumnya, dan kami telah menjelaskan bahwa orang yang bersetubuh dalam haji setelah iḥlāl awwal tidak merusak hajinya, dan bahwa atasnya kafārah, dan dalam hal ini ada dua pendapat:

Pertama: badnah.
 Kedua: syāh (seekor kambing), dan ini yang dipilih oleh al-Muzanī.

Kami telah menjelaskan tentang tata cara iḥlāl awwal, bahwa itu terjadi dengan melempar jumrah ‘aqabah apabila dikatakan bahwa mencukur bukan bagian dari nusuk, dan semua itu telah kami jelaskan secara tuntas, maka tidak perlu diulangi kembali.


مَسْأَلَةٌ: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنْ أَفْسَدَ الْعُمْرَةَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ مِنَ الْمِيقَاتِ الذي ابتدأها منه فإن قيل فقد أمر النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عائشة أن تقضي العمرة من التنعيم فليس كما قال إنما كانت قارناً وكان عمرتها شيئاً استحسنته فأمرها النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بها لا أن عمرتها كانت قضاء لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لها ” طوافك يكفيك لحجك وعمرتك “.

Masalah: Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Barang siapa merusak ‘umrah, maka wajib atasnya mengqadhā’ dari mīqāt tempat ia memulainya.”

Jika ada yang berkata: Bukankah Nabi SAW memerintahkan ‘Āisyah untuk mengqadhā’ ‘umrah dari Tan‘īm?

Jawabannya: Tidak sebagaimana yang dikatakan. Sesungguhnya ia sedang melakukan qirān, dan ‘umrah-nya adalah sesuatu yang ia inginkan secara khusus. Maka Nabi SAW memerintahkannya melaksanakannya, bukan karena ‘umrah-nya itu adalah qadhā’, karena sabda Rasulullah SAW kepadanya: “Ṭawāfmu telah mencukupimu untuk hajimu dan ‘umrahmu.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْمُحْرِمَ مَمْنُوعٌ مِنَ الْوَطْءِ، سَوَاءٌ كَانَ حَاجًّا أَوْ مُعْتَمِرًا أَوْ قَارِنًا وَمَضَى الْكَلَامُ فِي الْحَجِّ، فَأَمَّا الْعُمْرَةُ فَإِنْ وَطِئَ فِيهَا بَعْدَ الْإِحْرَامِ بِهَا وَقَبْلَ الطَّوَافِ وَالسَّعْيِ، أَوْ بَعْدَ الطَّوَافِ وَقَبْلَ السعي، أو قبل كمال جَمِيعِ السَّعْيِ، فَقَدْ أَفْسَدَ عُمْرَتَهُ، وَإِنْ وَطِئَ بَعْدَ السَّعْيِ وَقَبْلَ الْحِلَاقِ فَعَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْحَلْقِ، فَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ نُسُكٌ يُتَحَلَّلُ بِهِ أَفَسَدَ عُمْرَتَهُ، وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ إِبَاحَةٌ بَعْدَ حَظْرٍ لَمْ يُفْسِدْ فَإِنْ أَفَسَدَ عُمْرَتَهُ لَزِمَهُ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ، وَهِيَ بَدَنَةٌ كَالْوَطْءِ فِي الْحَجِّ سَوَاءٌ، وَقَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ: يَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ دُونَ الْكَفَّارَةِ.

al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa orang yang sedang beriḥrām dilarang dari bersetubuh, baik ia sedang berhaji, berumrah, maupun qārin, dan pembahasan tentang haji telah berlalu.

Adapun umrah, maka jika seseorang bersetubuh di dalamnya setelah beriḥrām untuknya dan sebelum ṭawāf dan sa‘i, atau setelah ṭawāf namun sebelum sa‘i, atau sebelum sempurnanya seluruh sa‘i, maka sungguh ia telah merusak umrah-nya.

Dan jika ia bersetubuh setelah sa‘i namun sebelum ḥalaq, maka terdapat dua pendapat yang dibangun atas perbedaan pendapat tentang ḥalaq:
 Jika dikatakan bahwa ḥalaq adalah bagian dari nusuk yang dengannya seseorang bertahallul, maka ia telah merusak umrah-nya.
 Namun jika dikatakan bahwa ḥalaq hanyalah bentuk kebolehan setelah larangan, maka tidak merusak.

Jika ia merusak umrah-nya, maka wajib atasnya mengganti (qadhā’) dan membayar kafārah, yaitu badnah, sebagaimana hukum bersetubuh dalam haji.

Sebagian ulama berpendapat: ia wajib qadhā’ tanpa kafārah.


وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ الْعُمْرَةَ كَالْحَجِّ فِيمَا يَحِلُّ فِيهِ وَيَحْرُمُ، فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ كَالْحَجِّ فِي فَسَادِهِ بِالْوَطْءِ وَوُجُوبِ الْبَدَنَةِ.
وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهَا عِبَادَةٌ تَفْتَقِرُ إِلَى الطَّوَافِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْوَطْءُ فِيهَا مُوجِبًا لِلْقَضَاءِ وَالْبَدَنَةِ كَالْحَجِّ، فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَعَلَيْهِ أَنْ يَمْضِيَ فِي فَاسِدِهَا ثُمَّ يَقْضِيَهَا مِنْ حَيْثُ أَحْرَمَ بِهَا، وَكَذَا الْحَجُّ إِذَا أَفْسَدَهُ يَقْضِيهِ مِنْ حَيْثُ أَحْرَمَ بِهِ، فَإِنْ كَانَ قَدْ أَحْرَمَ بِهِ مِنْ بَلَدِهِ لَزِمَهُ أَنْ يُحْرِمَ بِالْقَضَاءِ مِنْ بَلَدِهِ، وَإِنْ كَانَ قَدْ أَحْرَمَ بِهِ مِنْ مِيقَاتِهِ أَحْرَمَ بِالْقَضَاءِ مِنْ مِيقَاتِهِ، وَإِنْ كَانَ قَدْ أَحْرَمَ بِالْعُمْرَةِ مِنْ أَدْنَى الْحِلِّ، وَبِالْحَجِّ مِنَ الْحَرَمِ، أَحْرَمَ فِي الْقَضَاءِ كَذَلِكَ.

Dalil kami: Sesungguhnya ‘umrah itu seperti ḥajj dalam hal-hal yang halal dan haram di dalamnya. Maka wajib hukumnya agar ia juga seperti ḥajj dalam hal rusaknya karena persetubuhan, dan wajibnya menyembelih badnah.

Dan penjelasan rincinya secara qiyās: Bahwa ‘umrah adalah ibadah yang membutuhkan ṭawāf, maka wajib bahwa persetubuhan di dalamnya mewajibkan qadhā’ dan badnah, sebagaimana dalam ḥajj.

Maka jika hal ini telah tetap, maka wajib baginya untuk menyempurnakan ‘umrah yang rusak itu, lalu mengqadhā’-nya dari tempat ia beriḥrām. Demikian pula halnya dengan ḥajj: jika ia merusaknya, maka ia harus mengqadhā’-nya dari tempat ia beriḥrām.

Jika ia beriḥrām dari negerinya, maka wajib baginya beriḥrām untuk qadhā’ dari negerinya. Jika ia beriḥrām dari mīqāt-nya, maka ia beriḥrām untuk qadhā’ dari mīqāt-nya. Dan jika ia beriḥrām untuk ‘umrah dari adnā al-ḥill, dan untuk ḥajj dari dalam ḥaram, maka ia beriḥrām untuk qadhā’ dari tempat yang sama.


وَقَالَ أبو حنيفة: عَلَيْهِ قَضَاءُ الْحَجِّ مِنْ مِيقَاتِهِ وَالْعُمْرَةِ مِنْ أَدْنَى الْحِلِّ وَإِنْ أَحْرَمَ بِهِمَا مِنْ بَلَدِهِ؛ تَعَلُّقًا بِمَا رُوِيَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَحْرَمَتْ بِالْعُمْرَةِ مِنَ الحديبة ثُمَّ رَفَضَتْهَا وَخَرَجَتْ مِنْهَا فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَخَاهَا أَنْ يُعْمِرَهَا مِنَ التَّنْعِيمِ وَرَفَضُ الْعُمْرَةِ كَالْإِفْسَادِ.

Abū Ḥanīfah berkata: Wajib atasnya mengganti haji dari mīqāt-nya dan umrah dari adnā al-ḥill, meskipun ia beriḥrām untuk keduanya dari negerinya; berdasarkan riwayat bahwa ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā beriḥrām untuk umrah dari Ḥudaybiyah, lalu ia membatalkannya dan keluar darinya, maka Rasulullah SAW memerintahkan saudaranya agar meng-umrah-kannya dari Tan‘īm. Dan pembatalan umrah itu seperti perusakan.


وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ الْقَضَاءَ إِنَّمَا هُوَ الإتيان بفعل ما لزم فَلَمَّا لَزِمَهُ فِي الْأَدَاءِ الْإِحْرَامُ مِنْ بَلَدِهِ بِالدُّخُولِ فِيهِ وَجَبَ أَنْ لَا يُلْزِمَهُ الْقَضَاءُ الْإِحْرَامَ مِنْ بَلَدِهِ بِالْإِفْسَادِ لَهُ، لِيَصِيرَ قَاضِيًا لِمَا كَانَ لَهُ مُؤَدِّيًا، فَأَمَّا حَدِيثُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَلَمْ تَرْفُضْ عُمْرَتَهَا وَلَمْ تَخْرُجْ مِنْهَا بَلْ كَانَتْ قَارِنَةً؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” طَوَافُكِ بِالْبَيْتِ وَسَعْيُكِ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ يُجْزِئُكِ لِحَجِّكِ وَعُمْرَتِكَ ” وَإِنَّمَا قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كل نسائك يتصرفن بِنُسُكَيْنِ وَأَنَا بِنُسُكٍ وَاحِدٍ، يَعْنِي: بِنُسُكَيْنِ مُنْفَرِدَيْنِ، وَأَنَا قَدْ ضَمَمْتُهَا فِي الْقِرَانِ، فَحِينَئِذٍ أَمَرَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَخَاهَا أَنْ يُحْرِمَ بِهَا مِنَ التَّنْعِيمِ، فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ لَهَا: ” ارْفُضِي عُمْرَتَكِ وَأَهِلِّي بِالْحَجِّ ” وقيل إِنَّمَا أَرَادَ بِقَوْلِهِ: ارْفُضِي عُمْرَتَكِ أَيْ عَمَلَ عُمْرَتِكِ، وَقَوْلِهِ: وَأَهِلِّي بِالْحَجِّ، أَيِ أَدْخِلِي الْحَجَّ عَلَى الْعُمْرَةِ حَتَّى صَارَتْ قَارِنَةً.

Dalil kami: Sesungguhnya qadhā’ itu hakikatnya adalah mengerjakan kembali apa yang telah menjadi kewajiban. Maka ketika pada pelaksanaan ḥajj atau ‘umrah sebelumnya ia wajib beriḥrām dari negerinya karena ia masuk ke dalam ibadah tersebut (secara sempurna), maka tidak wajib baginya dalam qadhā’ untuk beriḥrām dari negerinya hanya karena ibadah tersebut rusak, agar ia benar-benar menjadi orang yang mengqadhā’ atas sesuatu yang sebelumnya ia laksanakan.

Adapun ḥadīts ‘Āisyah RA, maka beliau tidak membatalkan ‘umrah-nya, dan tidak keluar darinya. Beliau sedang melakukan qirān, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Ṭawāfmu di Ka‘bah dan sa‘imu antara Shafa dan Marwah mencukupimu untuk hajimu dan ‘umrahmu.”

Dan sesungguhnya beliau berkata: “Wahai Rasulullah, semua istrimu melaksanakan dua nusuk, sedangkan aku hanya satu.” Maksudnya: mereka melaksanakan dua nusuk secara terpisah, sedangkan aku telah menggabungkannya dalam qirān. Maka pada saat itulah Nabi SAW memerintahkan saudaranya (‘Abdur-Raḥmān) agar memberangkatkannya beriḥrām dari Tan‘īm.

Jika ada yang berkata: Bukankah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda kepada ‘Āisyah: “Tinggalkan ‘umrahmu dan beriḥrāmlah untuk ḥajj,” maka dijawab: yang dimaksud dengan sabdanya “Tinggalkan ‘umrahmu” adalah: tinggalkan amal ‘umrah-mu, dan sabdanya “beriḥrāmlah untuk ḥajj” maksudnya adalah: masukkan niat ḥajj ke dalam ‘umrah-mu, sehingga beliau pun menjadi seorang yang melakukan qirān.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يُحْرِمَ فِي الْقَضَاءِ مِنْ بَلَدِهِ الَّذِي كَانَ قَدْ أَحْرَمَ مِنْهُ فِي الْأَدَاءِ فَلَمْ يُحْرِمْ مِنْهُ وَأَحْرَمَ مِنَ الْمِيقَاتِ، فَإِنْ عَادَ إِلَى بَلَدِهِ مُحْرِمًا قَبْلَ أَنْ يَأْخُذَ فِي نُسُكِهِ أَجْزَأَهُ وَلَا دَمَ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَعُدْ إِلَى بَلَدِهِ مُحْرِمًا وَمَضَى فِي الْقَضَاءِ كَانَ كَالْمُجَاوِزِ لِمِيقَاتِهِ فَيُجْزِئُهُ وَيَكُونُ عَلَيْهِ دَمٌ لِمُجَاوَزَتِهِ؛ فَلَوْ كَانَ قَدْ أَحْرَمَ فِي الْأَدَاءِ مِنَ الْبَصْرَةِ، وَأَحْرَمَ فِي الْقَضَاءِ مِنْ مِصْرَ، وَالْمَسَافَةُ مِنْهَا إِلَى الْحَرَمِ وَاحِدَةٌ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: يُجْزِئُهُ وَلَا دَمَ عَلَيْهِ لِأَنَّ مَسَافَةَ الْإِحْرَامِ فِي الْقَضَاءِ كَمَسَافَةِ الْإِحْرَامِ فِي الْأَدَاءِ، وَيَكُونُ اخْتِلَافُ الْجِهَتَيْنِ كَاخْتِلَافِ الطريقين.

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa wajib atasnya beriḥrām dalam qadhā’ dari negeri tempat ia beriḥrām saat adā’, lalu ia tidak beriḥrām dari sana dan beriḥrām dari mīqāt, maka:

Jika ia kembali ke negerinya dalam keadaan beriḥrām sebelum memulai nusuk-nya, maka itu mencukupi dan tidak ada dam atasnya.
 Namun jika ia tidak kembali ke negerinya dalam keadaan beriḥrām dan langsung melanjutkan qadhā’-nya, maka ia seperti orang yang melewati mīqāt-nya tanpa beriḥrām. Maka qadhā’-nya sah, tetapi wajib atasnya dam karena melewatinya.

Seandainya ia telah beriḥrām untuk adā’ dari Baṣrah, lalu untuk qadhā’ ia beriḥrām dari Miṣr, sedangkan jarak dari keduanya ke ḥaram adalah sama, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: mencukupi dan tidak ada dam atasnya, karena jarak beriḥrām dalam qadhā’ sama dengan jarak beriḥrām dalam adā’, dan perbedaan arah seperti perbedaan jalan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ عَلَيْهِ دَمًا؛ لِأَنَّ مِنْ شَرْطِ صِحَّةِ الْقَضَاءِ أَنْ يَكُونَ مُمَاثِلًا لِلْأَدَاءِ وَالْإِحْرَامُ مِنْ مِصْرَ وَإِنْ كَانَ مُسَاوِيًا لِمَسَافَةِ الْإِحْرَامِ مِنَ الْبَصْرَةِ فَهُوَ غَيْرُ الْإِحْرَامِ مِنَ الْبَصْرَةِ فَلَمْ يَقُمْ مَقَامَ الْإِحْرَامِ مِنَ الْبَصْرَةِ فِي إِسْقَاطِ الدَّمِ.

Pendapat kedua: wajib atasnya dam, karena di antara syarat sahnya qadhā’ adalah harus serupa dengan adā’, dan beriḥrām dari Miṣr meskipun jaraknya sama dengan beriḥrām dari Baṣrah, tetap bukan beriḥrām dari Baṣrah. Maka ia tidak menggantikan kedudukan beriḥrām dari Baṣrah dalam menggugurkan kewajiban dam.


فَصْلٌ
: فَلَوْ كَانَ فِي الأداء قد مر بميقات بلده مريد الحج فَلَمْ يُحْرِمْ مِنْهُ وَأَحْرَمَ بَعْدَهُ وَلَمْ يَعُدْ إِلَيْهِ، ثُمَّ أَفْسَدَ حَجَّهُ، فَعَلَيْهِ دَمٌ لِمُجَاوَزَتِهِ مِيقَاتَهُ، وَبَدَنَةٌ لِوَطْئِهِ وَالْقَضَاءُ فِي الْقَابِلِ مِنْ مِيقَاتِهِ دُونَ الْمَوْضِعِ الَّذِي كَانَ قَدْ أَحْرَمَ مِنْهُ، فَإِنْ أَحْرَمَ فِي الْقَضَاءِ مِنَ الْمَوْضِعِ الَّذِي كَانَ قَدْ أَحْرَمَ مِنْهُ فِي الْأَدَاءِ فَلَهُ حَالَتَانِ:

PASAL
 Maka seandainya dalam pelaksanaan haji ia telah melewati mīqāt negerinya dalam keadaan berniat haji, lalu ia tidak berihram darinya, tetapi berihram setelah melewatinya dan tidak kembali lagi ke mīqāt, kemudian ia merusak haji-nya, maka wajib atasnya seekor kambing karena melewati mīqāt-nya, dan badnah karena bersetubuh, dan ia wajib melakukan qadhā’ pada tahun berikutnya dari mīqāt-nya, bukan dari tempat yang dahulu ia berihram darinya. Maka jika ia berihram dalam qadhā’ dari tempat yang dahulu ia berihram darinya dalam pelaksanaan, maka baginya dua keadaan:


إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ مَرَّ بِمِيقَاتِهِ قَبْلَ الْإِحْرَامِ لِوُرُودِهِ مِنْ بَلَدِهِ فَيَلْزَمُهُ دَمٌ؛ لِأَنَّ مَنْ مَرَّ مِيقَاتَهُ مُرِيدًا لِنُسُكٍ فَعَلَيْهِ الْإِحْرَامُ مِنْهُ، فَإِذَا جَاوَزَهُ غَيْرَ مُحْرِمٍ لَزِمَهُ الدَّمُ بِمُجَاوَزَتِهِ.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يَكُونُ قَدْ مَرَّ بِمِيقَاتِهِ، لِأَنَّهُ كَانَ مُقِيمًا بِالْحَرَمِ فَخَرَجَ إِلَى الْمَوْضِعِ الَّذِي كَانَ قَدْ أَحْرَمَ مِنْهُ فِي الْأَدَاءِ فَأَحْرَمَ مِنْهُ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Pertama dari keduanya: bahwa ia telah melewati mīqāt-nya sebelum beriḥrām karena ia datang dari negerinya, maka wajib atasnya dam, karena siapa pun yang melewati mīqāt-nya dengan niat untuk melakukan nusuk, wajib atasnya beriḥrām dari situ. Maka jika ia melewatinya tanpa beriḥrām, wajib atasnya dam karena telah melewatinya.

Keadaan kedua: bahwa ia belum pernah melewati mīqāt-nya, karena ia adalah orang yang bermukim di ḥaram, lalu ia keluar ke tempat yang dahulu ia beriḥrām darinya saat adā’, lalu ia beriḥrām dari situ, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:


أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ الْمَوْضِعُ مِنَ الْحَرَمِ، فَيُجْزِئُهُ إِحْرَامُهُ مِنْهُ وَلَا دَمَ عليه إلا الإحرام من الميقات إنما يَلْزَمُ بِأَحَدِ وَجْهَيْنِ، إِمَّا بِالْحُصُولِ فِيهِ أَوْ قضاء الإحرام كان منه، وهما معدومان هاهنا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ الْمَوْضِعُ مِنَ الْحِلِّ، فَفِي وُجُوبِ الدَّمِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا دَمَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْقَضَاءَ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ مُمَاثِلًا لِلْأَدَاءِ وَقَدْ فَعَلَ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: عَلَيْهِ دَمٌ؛ لِأَنَّ لَهُ أَحَدَ مِيقَاتَيْنِ إِمَّا الْحَرَمُ أَوْ مِيقَاتُ بَلَدِهِ وَلَمْ يُحْرِمْ مِنْ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ دَمٌ.

Pertama: bahwa tempat tersebut termasuk wilayah ḥaram, maka mencukupi baginya berihram dari situ dan tidak ada kewajiban darah atasnya, karena kewajiban berihram dari mīqāt hanya berlaku dengan salah satu dari dua keadaan: yaitu jika ia masuk ke dalamnya, atau qadhā’ ihram dilakukan darinya; dan keduanya tidak terdapat di sini.

Kedua: bahwa tempat tersebut termasuk wilayah ḥill, maka dalam kewajiban darah terdapat dua pendapat:

Pertama: tidak ada darah atasnya, karena qadhā’ harus menyerupai adā’, dan ia telah melakukannya.

Dan pendapat kedua: wajib atasnya darah, karena ia memiliki dua mīqāt, yaitu ḥaram atau mīqāt negerinya, dan ia tidak berihram dari salah satu keduanya, maka wajib atasnya darah.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْقَارِنُ إِذَا أَفْسَدَ قِرَانَهُ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَكَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ لِوَطْئِهِ.
وَقَالَ أبو حنيفة: عَلَيْهِ لِوَطْئِهِ كَفَّارَتَانِ، بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ الْقَارِنَ يَطُوفُ طوافين، ويفتدي في قتل الصيد بجزائين، وَنَحْنُ نُبَيِّنُ ذَلِكَ عَلَى أَصْلِنَا أَنَّ الْقَارِنَ يَطُوفُ طَوَافًا وَاحِدًا، وَيُفْتَدَى فِي قَتْلِ الصَّيْدِ وَاحِدٌ بِجَزَاءٍ وَاحِدٍ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ عَلَيْهِ كَفَّارَةً وَاحِدَةً لِوَطْئِهِ فَعَلَيْهِ دَمٌ لِقِرَانِهِ، وَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ فِي الْعَامِ الْمُقْبِلِ، فَإِنْ قَضَى قَارِنًا أَجْزَأَهُ وَعَلَيْهِ دَمٌ لِقِرَانِهِ وَالْقَضَاءِ، وَإِنْ قَضَى حجاً مفرداً وعمرة مفردة.

PASAL
 Adapun qārin (orang yang menghimpun haji dan umrah sekaligus), apabila merusak qirān-nya, maka wajib atasnya qadhā’ dan satu kafārah karena persetubuhannya.

Abū Ḥanīfah berkata: Wajib atasnya dua kafārah karena persetubuhannya, berdasarkan pendapat pokoknya bahwa qārin melakukan dua ṭawāf dan membayar dua jazā’ ketika membunuh buruan.

Sedangkan kami menjelaskan hal itu berdasarkan pendapat kami, bahwa qārin cukup melakukan satu ṭawāf, dan dalam membunuh buruan cukup satu jazā’.

Maka apabila telah tetap bahwa wajib atasnya satu kafārah karena persetubuhannya, maka wajib pula atasnya dam karena qirān-nya, dan wajib atasnya qadhā’ pada tahun berikutnya.

Jika ia mengganti dengan menjadi qārin, maka itu mencukupi dan wajib atasnya dam karena qirān-nya dan karena qadhā’. Dan jika ia mengganti dengan haji mufrad dan umrah mufradah,


قال الشافعي: لم يَكُنْ ذَلِكَ لَهُ، قَالَ أَصْحَابُنَا يَعْنِي: لَمْ يَكُنْ لَهُ إِسْقَاطُ الدَّمِ عَنْ نَفْسِهِ بِالْإِفْرَادِ وَعَلَيْهِ دَمُ الْقِرَانِ وَإِنْ قَضَى مُفْرِدًا وَلَمْ يَرِدْ أَنَّ فَرْضَ الْقِرَانِ لَا يَسْقُطُ بِالْإِفْرَادِ وَإِنَّمَا دَمُ الْقِرَانِ لَا يَسْقُطُ عَنْهُ بِالْإِفْرَادِ، فَلَوْ أَحَلَّ الْقَارِنُ إِحْلَالَهُ الْأَوَّلَ بِالرَّمْيِ وَالْحَلْقِ ولم يطف ولم يسع حتى وطء لم يفسد قرانه، إن كان الواطئ فِي الْعُمْرَةِ الْمُفْرَدَةِ قَبْلَ الطَّوَافِ فَسَدَتْ عُمْرَتُهُ، وَإِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ الْقَارِنَ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ يَصِيرُ كَأَنَّ إِحْرَامَهُ بِالْحَجِّ دُونَ الْعُمْرَةِ، فَلَمَّا كَانَ الْمُحْرِمُ بِالْحَجِّ لَا يَفْسُدُ حَجُّهُ بِالْوَطْءِ قَبْلَ الطَّوَافِ وَالسَّعْيِ كَذَلِكَ الْقَارِنُ.

Berkata asy-Syāfi‘ī: “Hal itu tidak sah baginya.” Berkata para sahabat kami: maksudnya, tidak sah baginya untuk menggugurkan kewajiban darah dari dirinya dengan melakukan ifrād, dan wajib atasnya darah qirān meskipun ia melakukan qadhā’ dengan ifrād, karena tidak ada riwayat yang menunjukkan bahwa kewajiban qirān gugur dengan ifrād, melainkan yang tidak gugur adalah darah qirān-nya dengan ifrād.

Maka, seandainya seorang yang qārin melakukan iḥlāl pertama dengan melempar (ramī) dan mencukur (ḥalq) namun belum ṭawāf dan belum sa‘ī, kemudian ia bersetubuh, maka qirān-nya tidak rusak. Namun jika yang bersetubuh itu sedang melaksanakan ‘umrah secara mufradah sebelum ṭawāf, maka ‘umrah-nya rusak.

Hal itu terjadi karena seorang yang menggabungkan antara ḥajj dan ‘umrah (qārin) seakan-akan iḥrām-nya hanya untuk ḥajj saja, sehingga ketika seorang yang berihram untuk ḥajj tidak rusak ḥajj-nya karena bersetubuh sebelum ṭawāf dan sa‘ī, maka demikian pula halnya dengan seorang qārin.


فَصْلٌ
: إِذَا أَحْرَمَ الرَّجُلُ بِحَجَّةِ التَّطَوُّعِ وَأَفْسَدَهَا بِالْوَطْءِ لَزِمَهُ الْمُضِيُّ فِي فَسَادِهَا وَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ، فَإِنْ حَصَرَهُ الْعَدُوُّ فِيهَا جَازَ أَنْ يَتَحَلَّلَ مِنْهَا؛ لِأَنَّ لُزُومَ الْمُضِيِّ فِي الْفَاسِدِ لَيْسَ بِأَوْكَدَ مِنْ لُزُومِ الْمُضِيِّ فِي الصَّحِيحِ ثُمَّ لَوْ حَصَرَهُ الْعَدُوُّ فِي الْحَجِّ الصَّحِيحِ جَازَ أَنْ يَتَحَلَّلَ مِنْهُ كَذَلِكَ الْفَاسِدُ، فَإِنْ تَحَلَّلَ فَعَلَيْهِ القضاء لا بالإحصار ولكن بالفساد؛ لأن لَيْسَ تَحَلُّلُهُ بِالْإِحْصَارِ مِنَ الْحَجِّ الْفَاسِدِ بِأَكْثَرَ مِنْ إِتْمَامِ الْحَجِّ الْفَاسِدِ ثُمَّ لَوْ أَتَمَّ الْحَجَّ الْفَاسِدَ لَزِمَهُ الْقَضَاءُ، فَكَذَلِكَ إِذَا تَحَلَّلَ مِنْهُ بِالْإِحْصَارِ، فَإِذَا تَحَلَّلَ بِالْإِحْصَارِ ثُمَّ انْكَشَفَ الْعَدُوُّ وَكَانَ وَقْتُ الْحَجِّ فِي عَامِهِ ذَلِكَ مُمْكِنًا جَازَ أَنْ يُحْرِمَ فِيهِ بِالْقَضَاءِ، فَيَسْتَفِيدُ بِالْإِحْصَارِ فِي هَذَا الْعَامِ جَوَازَ الْقَضَاءِ فِيهِ.

PASAL
 Jika seseorang beriḥrām dengan haji taṭawwu‘ lalu ia merusaknya dengan bersetubuh, maka wajib atasnya untuk melanjutkan haji dalam keadaan rusak tersebut dan wajib atasnya qadhā’. Jika dalam keadaan itu ia terhalang oleh musuh, maka boleh baginya untuk bertahallul darinya; karena kewajiban melanjutkan haji yang rusak tidak lebih kuat daripada kewajiban melanjutkan haji yang sah.

Seandainya seseorang dihalangi oleh musuh dalam haji yang sah, maka boleh baginya untuk bertahallul darinya. Maka demikian pula dalam haji yang rusak. Jika ia bertahallul, maka wajib atasnya qadhā’, bukan karena iḥṣār, melainkan karena kerusakan (fasad); karena bertahallulnya dari haji yang rusak karena iḥṣār tidak lebih besar dari menyempurnakan haji yang rusak, dan seandainya ia menyempurnakan haji yang rusak, tetap wajib atasnya qadhā’, maka demikian pula jika ia bertahallul darinya karena iḥṣār.

Maka apabila ia bertahallul karena iḥṣār, kemudian musuh telah lenyap dan waktu haji tahun itu masih memungkinkan, maka boleh baginya untuk beriḥrām dengan qadhā’ pada tahun yang sama. Maka dengan sebab iḥṣār di tahun itu, ia memperoleh kebolehan mengganti qadhā’ di tahun itu juga.


فصل
: قال الشافعي في القديم من الزَّعْفَرَانِيِّ: وَإِذَا كَانَ عَلَيْهِ حَجَّةُ الْإِسْلَامِ فَأَحْرَمَ بِهَا ثُمَّ أَفْسَدَهَا فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ، فَإِنْ أَحْرَمَ بِالْقَضَاءِ ثُمَّ أَفْسَدَهُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ أَكْثَرُ مِنْ حَجَّةٍ وَاحِدَةٍ، وَلَوْ أَفْسَدَهَا مِائَةَ مَرَّةٍ؛ لِأَنَّ الْمَقْضِيَّ وَاحِدٌ فَلَمْ يَلْزَمْ فِي الْقَضَاءِ أَكْثَرُ مِنْ وَاحِدٍ.

PASAL
 Berkata asy-Syāfi‘ī dalam qaul qadīm riwayat az-Za‘farānī: “Apabila seseorang wajib atasnya ḥajjat al-islām, lalu ia berihram untuknya kemudian merusaknya, maka wajib atasnya qadhā’. Jika ia berihram untuk qadhā’ lalu ia rusak lagi, maka tidak wajib atasnya lebih dari satu kali haji, meskipun ia merusaknya seratus kali; karena yang di-qadhā’-kan itu satu, maka tidak wajib dalam qadhā’ lebih dari satu.”


فَصْلٌ
: إِذَا أَوْلَجَ الْمُحْرِمُ ذَكَرَهُ في فرع خُنْثًى مُشْكِلٍ لَمْ يَفْسَدْ إِحْرَامُهُ، سَوَاءٌ أَنْزَلَ أَوْ لَمْ يُنْزِلْ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْخُنْثَى رَجُلًا، فَيَكُونُ الْفَرْجُ مِنْهُ عُضْوًا زَائِدًا، وَالْمُحْرِمُ إِذَا أَوْلَجَ فِي غَيْرِ فَرْجٍ لَمْ يَفْسُدْ إِحْرَامُهُ كَالْمُسْتَمْتِعِ بِمَا دُونَ الْفَرْجِ، ثُمَّ يُنْظَرُ فَإِنْ أَنْزَلَ فَعَلَيْهِ أَنْ يَفْتَدِيَ بِشَاةٍ لِاسْتِمْتَاعِهِ بِالْإِنْزَالِ، كَالْمُحْرِمِ إِذَا اسْتَمْنَى بِكَفِّهِ، وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ فَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ وَلَا غُسْلَ؛ لِأَنَّ الْمُحْرِمَ إِذَا بَاشَرَ رَجُلًا لَمْ يفتدي، وَإِذَا أَوْلَجَ فِي غَيْرِ فَرْجٍ لَمْ يَغْتَسِلْ.

PASAL
 Jika seorang yang sedang beriḥrām memasukkan zakarnya ke dalam farji seorang khuntsā musykil, maka ihramnya tidak rusak, baik ia mengeluarkan mani maupun tidak; karena bisa jadi khuntsā itu adalah laki-laki, sehingga farjinya merupakan anggota tambahan. Dan seorang yang beriḥrām apabila melakukan ilāj (penetrasi) pada selain farji, maka ihramnya tidak rusak, sebagaimana orang yang menikmati selain farji.

Kemudian dilihat: jika ia mengeluarkan mani, maka wajib atasnya membayar fidyah berupa seekor kambing karena kenikmatan dengan sebab keluarnya mani, sebagaimana orang yang beriḥrām dan mengeluarkan mani dengan tangannya (masturbasi). Dan jika tidak mengeluarkan mani, maka tidak ada fidyah atasnya dan tidak pula mandi junub; karena seorang yang beriḥrām apabila bersentuhan dengan sesama laki-laki, ia tidak dikenai fidyah, dan jika melakukan ilāj pada selain farji, ia tidak wajib mandi.


فَصْلٌ
: إِذَا بَاشَرَ الْمُحْرِمُ زَوْجَتَهُ فَلَزِمَتْهُ شَاةٌ ثُمَّ وَطِئَهَا فِي الْفَرْجِ فَلَزِمَتْهُ الْبَدَنَةُ، فَهَلْ تَسْقُطُ الشَّاةُ الْوَاجِبَةُ عَلَيْهِ فِي الْمُبَاشَرَةِ بِمَا وجبت عليه في الواطئ مِنَ الْبَدَنَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي الْمُحْدِثِ إِذَا أَجْنَبَ هَلْ يَسْقُطُ حُكْمُ حَدَثِهِ لِحُدُوثِ الْجَنَابَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

PASAL
 Apabila seorang muḥrim menyentuh istrinya dengan syahwat, maka wajib atasnya seekor kambing. Kemudian ia menyetubuhinya di kemaluan, maka wajib atasnya badnah. Maka apakah gugur kewajiban kambing yang dikenakan atasnya karena mubāsyarah disebabkan badnah yang diwajibkan atasnya karena persetubuhan, atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua wajah, yang dibangun di atas perbedaan pendapat para sahabat kami tentang seseorang yang berhadats kecil lalu junub: apakah hukum hadats kecilnya gugur karena terjadinya junub, atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua wajah:


أَحَدُهُمَا: يَسْقُطُ حُكْمُ حَدَثِهِ بِالْجَنَابَةِ، لِطُرُوءِ مَا هُوَ أَغْلَظُ مِنْ جِنْسِهَا، كَالزَّانِي بِكْرًا لَا يُجْلَدُ حَتَّى يَزْنِيَ ثَيِّبًا، فَيَكُونُ الرَّجْمُ مُسْقِطًا لِلْجَلْدِ، فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الْبَدَنَةُ مُسْقِطَةً لِلدَمِ الْوَاجِبِ بِالْمُبَاشِرَةِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَسْقُطُ حُكْمُ حَدَثِهِ بِالْجَنَابَةِ، لِاسْتِقْرَارِ حُكْمِهِ قَبْلَ حُدُوثِ الْجَنَابَةِ، فَعَلَى هَذَا تَجِبُ عَلَيْهِ الْبَدَنَةُ بِالْوَطْءِ الْحَادِثِ وَالدَّمُ بِالْمُبَاشَرَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ.

Pertama dari keduanya: bahwa hukum ḥadaṡ karena janābah gugur, disebabkan munculnya perkara yang lebih berat dari jenisnya, seperti pezina yang berzina dengan gadis belum menikah tidak dijilid hingga ia berzina dengan wanita yang sudah menikah, maka hukum rajam menggugurkan hukuman jilid. Berdasarkan pendapat ini, badnah menggugurkan dam yang wajib karena mubāsyarah (bersentuhan tanpa jima‘).

Pendapat kedua: hukum ḥadaṡ karena janābah tidak gugur, karena hukum tersebut telah tetap sebelum terjadinya janābah. Maka menurut pendapat ini, wajib atasnya badnah karena jima‘ yang terjadi kemudian, dan wajib dam karena mubāsyarah yang terjadi sebelumnya.


فَصْلٌ
: إِذَا لَفَّ الْمُحْرِمُ ذَكَرَهُ فِي خِرْقَةٍ ثُمَّ أَوْلَجَهُ فِي فَرْجٍ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي إِفْسَادِ الْحَجِّ بِهِ وَوُجُوبِ الْغُسْلِ مِنْهُ عَلَى وجهين:

أَحَدُهُمَا: يُفْسِدُ الْحَجَّ وَيُوجِبُ الْغُسْلَ، لِوُلُوجِ ذَكَرِهِ فِي الْفَرْجِ كَالْمُبَاشِرِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يُفْسِدُ الْحَجَّ وَلَا يُوجِبُ الْغُسْلَ؛ لِأَنَّهُ ذَكَرَهُ لم يماس الفرج فكان الفرج كَغَيْرِ الْمُوْلَجِ وَكَانَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ مِنْ أَصْحَابِنَا الْبَصْرِيِّينَ يُفَرِّقُ فَيَقُولُ: إِنْ كَانَتِ الْخِرْقَةُ كَثِيفَةً لَمْ يَفْسُدْ بِهِ الْحَجُّ، وَلَمْ يَجِبْ بِهِ الْغُسْلُ وَإِنْ كَانَتْ رَقِيقَةً فَسَدَ بِهِ الْحَجُّ، وَوَجَبَ بِهِ الْغُسْلُ، لِحُصُولِ اللَّذَّةِ بِهَذِهِ وَعَدَمِهَا بتلك.

PASAL
 Apabila seorang muḥrim membalut zakarnya dengan kain, lalu memasukkannya ke dalam farji, maka para sahabat kami berbeda pendapat tentang batalnya haji dan wajibnya mandi junub karena hal itu, menjadi dua wajah:

Pertama: hajinya batal dan mandi junub wajib, karena zakarnya masuk ke dalam farji seperti halnya yang bersetubuh langsung.

Kedua: tidak membatalkan haji dan tidak mewajibkan mandi, karena zakarnya tidak bersentuhan langsung dengan farji, maka farji itu dianggap seperti selain yang dimasuki. Sebagian ulama muta’akhkhirīn dari sahabat kami kalangan Baṣriyyīn membedakan dengan mengatakan: jika kain itu tebal, maka hajinya tidak batal dan tidak wajib mandi, namun jika kain itu tipis, maka hajinya batal dan wajib mandi karena adanya kenikmatan pada yang tipis dan tidak ada pada yang tebal.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ قَبْلَ اْلَفَجْرِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ بِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” مَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ قَبْلَ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ النحر فقد أدرك الحج ” (قال) ومن فاته ذلك فاته الحج فآمره أن يحل بطوافٍ وسعيٍ وحلاقٍ (قال) وإن حل بعمل عمرةٍ فليس أن حجه صار عمرة وكيف يصير عمرةً وقد ابتدأه حجاً (قال المزني) إذا كان عمله عنده عمل حج لم يخرج منه إلى عمرةٍ فقياس قوله أن يأتي بباقي الحج وهو المبيت بمنىً والرمي بها مع الطواف والسعي وتأول قول عمر افعل ما يفعل المعتمر إنما أراد أن الطواف والسعي من عمل الحج لا أنها عمرةٌ “.

Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Barang siapa yang mendapatkan (wukuf di) ‘Arafah sebelum fajar pada hari Nahr, maka sungguh ia telah mendapatkan haji.” Dan ia berdalil atas hal itu dengan sabda Nabi SAW: “Barang siapa yang mendapatkan ‘Arafah sebelum fajar hari Nahr, maka sungguh ia telah mendapatkan haji.”

Ia (al-Syafi‘i) berkata: “Dan barang siapa yang luput dari hal itu, maka ia telah luput dari haji. Aku perintahkan ia untuk bertahallul dengan melakukan ṭawāf, sa‘i, dan bercukur.”

Ia berkata: “Jika ia bertahallul dengan amal ‘umrah, itu bukan berarti hajinya berubah menjadi ‘umrah. Bagaimana bisa menjadi ‘umrah, padahal ia telah memulai niatnya sebagai haji?”

Al-Muzanī berkata: “Jika amalnya menurutnya adalah amal haji, maka ia tidak keluar darinya menuju ‘umrah. Maka qiyās dari pendapatnya adalah bahwa ia tetap menyempurnakan sisa amal haji, yaitu bermalam di Mina, melempar jumrah di sana, bersama dengan ṭawāf dan sa‘i.”

Dan ia menakwilkan ucapan ‘Umar: “Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang ber‘umrah,” bahwa maksudnya adalah ṭawāf dan sa‘i termasuk amal haji, bukan berarti bahwa itu adalah ‘umrah.


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ دَلَّلْنَا عَلَى وُجُوبِ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ، وَذَكَرْنَا تَحْدِيدَ زَمَانِهِ، وَأَنَّهُ مِنْ زَوَالِ الشمس الْيَوْمِ التَّاسِعِ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ، فَمَنْ أَدْرَكَ الْوُقُوفَ بِعَرَفَةَ فِي هَذَا الزَّمَانِ سَاعَةً مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ، وَمَنْ فَاتَهُ الْوُقُوفَ بِعَرَفَةَ فِي هَذَا الزَّمَانِ فَقَدْ فَاتَهُ الْحَجُّ، وَتَعَلَّقَ بِالْقِرَانِ ثَلَاثَةُ أَحْكَامٍ:
أَحَدُهَا: إِتْمَامُ الْأَرْكَانِ.
وَالثَّانِي: وُجُوبُ الْقَضَاءِ.

Al-Māwardī berkata: Kami telah menjelaskan dalil wajibnya wuqūf di ‘Arafah, dan telah kami sebutkan batasan waktunya, yaitu dari tergelincir matahari pada hari kesembilan Dzulhijjah hingga terbit fajar pada hari nāḥar. Maka siapa yang mendapatkan wuqūf di ‘Arafah dalam rentang waktu tersebut, meskipun satu saat di malam atau siang harinya, sungguh ia telah mendapatkan haji. Dan siapa yang luput dari wuqūf di ‘Arafah dalam waktu tersebut, maka hajinya telah luput.

Dan berkaitan dengan qirān terdapat tiga hukum:

Pertama: menyempurnakan rukun-rukunnya.
 Kedua: wajib qadhā’.


وَالثَّالِثُ: وُجُوبُ الْفِدْيَةِ، فَأَمَّا الْحُكْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ إِتْمَامُ الْأَرْكَانِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَأْتِيَ بِعَمَلِ عُمْرَةٍ لِيَتَحَلَّلَ بِهِ مِنْ إِحْرَامِهِ، وَذَلِكَ طَوَافٌ وَسَعْيٌ وَحِلَاقٌ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَصِيرَ حَجُّهُ عُمْرَةً، وَيَسْقُطُ عَنْهُ الرَّمْيُ وَالْمَبِيتُ بِمُزْدَلِفَةَ وَمِنًى.
وَقَالَ الْمُزَنِيُّ: وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: عَلَيْهِ أَنْ يَأْتِيَ بِبَاقِي الْأَرْكَانِ وَالتَّوَابِعِ، وَلَا يَسْقُطُ عَنْهُ الرَّمْيُ وَالْمَبِيتُ بِمُزْدَلِفَةَ وَمِنًى.

Dan yang ketiga: wajib membayar fidyah.

Adapun hukum pertama, yaitu menyempurnakan rukun-rukun, maka ia wajib melakukan amal ‘umrah agar bisa bertahallul dari iḥrām-nya, yaitu ṭawāf, sa‘i, dan cukur, tanpa menjadikan hajinya berubah menjadi ‘umrah. Dan gugurlah darinya kewajiban melempar jumrah, bermalam di Muzdalifah, dan di Mina.

Al-Muzanī dan Aḥmad bin Ḥanbal berkata: Ia wajib menyempurnakan sisa rukun-rukun dan seluruh hal yang mengikutinya, dan tidak gugur darinya kewajiban melempar jumrah, bermalam di Muzdalifah dan Mina.


وَقَالَ الْمُزَنِيُّ: فَهُوَ الْقِيَاسُ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَقَالَ مَالِكٌ فِي إِحْدَى رِوَايَاتِهِ يَكُونُ بَاقِيًا عَلَى إِحْرَامِهِ حَتَّى يَقِفَ بِعَرَفَةَ فِي الْعَامِ الْمُقْبِلِ وَيُتِمَّ حَجَّهُ.
وَقَالَ أبو يوسف: يَنْقَلِبُ حَجُّهُ فَيَصِيرُ عُمْرَةً، فَإِذَا تَحَلَّلَ مِنْ إِحْرَامِهِ بِعَمَلِ الْعُمْرَةِ أَجْزَأَتْهُ عَنْ عُمْرَةِ الْإِسْلَامِ، وَبِهِ قَالَ عَطَاءٌ، وَاسْتَدَلَّ الْمُزَنِيُّ بِأَنْ قَالَ: الْعَجْزُ عن بعض الأركان يُوجِبُ سُقُوطَ غَيْرِهِ مِنَ السُّنَنِ وَالْهَيْئَاتِ، كَالْعَاجِزِ عَنْ رُكْنٍ مِنْ أَرْكَانِ الصَّلَاةِ، وَاسْتَدَلَّ بِأَنْ قَالَ: فَوَاتُ بَعْضِ الْأَرْكَانِ لَا يُبِيحُ التَّحَلُّلَ قَبْلَ كَمَالِ جَمِيعِ الْأَرْكَانِ، كَالْعَائِدِ إِلَى بَلَدِهِ قَبْلَ الطَّوَافِ لَا يَسْتَبِيحُ الْإِحْلَالَ مِنْ إِحْرَامِهِ قَبْلَ الطَّوَافِ وَكَذَا تَارِكُ الْوُقُوفِ لَا يَسْتَبِيحُ التَّحَلُّلَ مِنْ إِحْرَامِهِ قَبْلَ الْوُقُوفِ، وَاسْتَدَلَّ أبو يوسف بِأَنْ قَالَ الْإِحْرَامُ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِنُسُكٍ مِنَ الْمَنَاسِكِ لِيَخَلُصَ مِنَ الْأَشْخَاصِ، ثُمَّ يثبت جَوَازَ انْتِقَالِ الْإِحْرَامِ مِنْ شَخْصٍ إِلَى شَخْصٍ غَيْرِهِ، وَهُوَ أَنْ يُحْرِمَ الْمُعَافَى عَنْ غَيْرِهِ، ثُمَّ يُفْسِدُ إِحْرَامَهُ بِالْوَطْءِ فَيَنْتَقِلُ عَنْ غَيْرِهِ وَيَصِيرُ عَنْ نَفْسِهِ، كَذَلِكَ يَجُوزُ انْتِقَالُ الْإِحْرَامِ مَنْ نَسُكٍ إِلَى نُسُكٍ غَيْرِهِ.

Al-Muzanī berkata: Maka itulah qiyās menurut mazhab al-Syāfi‘ī.

Dan Mālik dalam salah satu riwayatnya berkata: Ia tetap berada dalam keadaan iḥrām hingga wuqūf di ‘Arafah pada tahun berikutnya dan menyempurnakan hajinya.

Abū Yūsuf berkata: Hajinya berubah menjadi ‘umrah, maka apabila ia bertahallul dari iḥrām-nya dengan amalan ‘umrah, maka hal itu mencukupi dari ‘umrah al-Islām, dan ini juga merupakan pendapat ‘Aṭā’.

Al-Muzanī berdalil dengan mengatakan: Ketidakmampuan melaksanakan sebagian rukun mewajibkan gugurnya selainnya dari sunnah dan bentuk hay’ah, seperti orang yang tidak mampu melaksanakan satu rukun dari rukun-rukun salat.

Dan ia berdalil dengan mengatakan: Kehilangan sebagian rukun tidak membolehkan tahallul sebelum sempurnanya seluruh rukun, seperti orang yang kembali ke negerinya sebelum ṭawāf tidak boleh bertahallul dari iḥrām-nya sebelum ṭawāf, begitu pula orang yang meninggalkan wuqūf tidak boleh bertahallul dari iḥrām-nya sebelum wuqūf.

Abū Yūsuf berdalil dengan mengatakan: Bahwa iḥrām tidak sah kecuali dengan satu nusuk dari manāsik agar ia terbebas dari sifat ashkhāṣ (keadaan umum manusia sebelum niat ibadah), lalu ditetapkan bolehnya perpindahan iḥrām dari satu orang ke orang lain, yaitu apabila orang yang sehat beriḥrām atas nama orang lain, lalu ia merusak iḥrām-nya dengan jima‘, maka iḥrām-nya berpindah dari orang lain menjadi atas nama dirinya sendiri. Maka demikian pula dibolehkan perpindahan iḥrām dari satu nusuk ke nusuk yang lain.


وَالدَّلَالَةُ عَلَى جَمِيعِهِمْ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ، وَهُوَ مَا رَوَى سُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ أَنَّ أَبَا أَيُّوبَ خَرَجَ حَاجًّا حَتَّى إِذَا كَانَ بِالْبَادِيَةِ مِنْ طَرِيقِ مَكَّةَ أَضَلَّ رَوَاحِلَهُ ثُمَّ أَنَّهُ قَدِمَ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَوْمَ النَّحْرِ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ: اصْنَعْ كَمَا يَصْنَعُ المعتمر، ثم قد حللت، فإذا أدركت الحج مَنْ قَابِلٍ فَاحْجُجْ وَأَهْدِ مَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ.
وَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ لِهَبَّارِ بْنِ الْأَسْوَدِ مِثْلَهُ، وَرَوَى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أنه قال: من فاته الحج فليطف، ويسعى، وليحلق، وليحج، من قابل وليهدي فِي حَجِّهِ.

Dan petunjuk atas seluruh pendapat tersebut adalah ijma‘ para sahabat. Yaitu sebagaimana diriwayatkan dari Sulaimān bin Yasār bahwa Abū Ayyūb pernah berangkat haji, lalu ketika berada di daerah pedalaman dalam perjalanan menuju Makkah, ia kehilangan hewan-hewan tunggangannya. Kemudian ia tiba di hadapan ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA pada hari Nahr dan menceritakan hal itu kepadanya. Maka ‘Umar berkata: “Lakukanlah sebagaimana yang dilakukan orang yang ber‘umrah, lalu engkau telah bertahallul. Jika engkau mendapatkan haji di tahun berikutnya, maka berhajilah dan bawalah hady yang mudah bagimu.”

Dan diriwayatkan darinya bahwa ia berkata kepada Habbār bin al-Aswad hal yang serupa. Dan Nāfi‘ meriwayatkan dari Ibn ‘Umar bahwa ia berkata: “Barang siapa yang luput dari haji, maka hendaklah ia ṭawāf, sa‘i, dan bercukur, lalu berhaji pada tahun berikutnya dan menyembelih hady dalam hajinya itu.”


وَرُوِيَ مِثْلُهُ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، وَلَيْسَ لِهَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةِ مِنَ الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ فكان إجماعاً، فبطل له قَوْلُ الْمُزَنِيِّ فِي إِيجَابِ الرَّمْيِ وَالْمَبِيتِ بِمُزْدَلِفَةَ وَمِنًى؛ لِأَنَّهُمْ لَمْ يُوجِبُوهُ، وَبَطَلَ بِهِ قَوْلُ مَالِكٍ حِينَ أَوْجَبَ عَلَيْهِ الْبَقَاءَ عَلَى إِحْرَامِهِ، لِأَنَّهُمْ أُمِرُوا بِالتَّحَلُّلِ وَأَوْجَبُوهُ، وَبَطَلَ بِهِ قَوْلُ أبي يوسف؛ لِأَنَّ عُمَرَ قَالَ اصْنَعْ مَا يصنع المعتمر، وقال ابن عمر فليطف ويسعى وَيَحْلِقْ، فَأَمَرَهُ أَنْ يَفْعَلَ مِثْلَ فِعْلِ الْمُعْتَمِرِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِمُعْتَمِرٍ؛ لِأَنَّ مِثْلَ الْعُمْرَةِ غَيْرُ الْعُمْرَةِ، ثُمَّ يَدُلُّ عَلَى الْمُزَنِيِّ أَنَّ الرَّمْيَ وَالْمَبِيتَ مِنْ تَوَابِعِ الْوُقُوفِ، بِدَلِيلِ سُقُوطِهِ فِي الْعُمْرَةِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهَا وُقُوفٌ وَمَنْ فَاتَهُ الْوُقُوفُ سَقَطَ عَنْهُ، فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ حُكْمُ تَوَابِعِهِ.

Dan diriwayatkan semisal itu dari Zayd bin Thābit, dan tidak ada sahabat yang menyelisihi ketiga orang ini, maka hal itu menjadi ijma‘. Maka gugurlah pendapat al-Muzanī dalam mewajibkan ramy dan mabit di Muzdalifah dan Mina, karena mereka (para sahabat) tidak mewajibkannya.

Dan gugurlah pula pendapat Mālik ketika ia mewajibkan tetap dalam keadaan iḥrām, karena mereka (para sahabat) memerintahkan untuk bertahallul dan mewajibkannya.

Dan gugurlah pendapat Abū Yūsuf, karena ‘Umar berkata: “Lakukanlah sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang ber‘umrah,” dan Ibn ‘Umar berkata: “Hendaklah ia ṭawāf, sa‘i, dan mencukur rambutnya.” Maka beliau memerintahkannya untuk melakukan seperti perbuatan orang yang ber‘umrah, dan ini menunjukkan bahwa ia bukanlah seorang mu‘tamir, karena sesuatu yang menyerupai ‘umrah itu bukan ‘umrah.

Kemudian hal ini juga menjadi dalil terhadap al-Muzanī bahwa ramy dan mabit merupakan hal-hal yang mengikuti wuqūf, dengan dalil bahwa keduanya gugur dalam ‘umrah, karena di dalamnya tidak terdapat wuqūf, dan siapa yang luput dari wuqūf, maka keduanya gugur darinya, maka wajiblah bahwa hukum hal-hal yang mengikuti wuqūf juga gugur.


وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ نُسُكٌ عَرِيَ عَنِ الْوُقُوفِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ فِيهِ الرَّمْيُ وَالْمَبِيتُ كَالْعُمْرَةِ، ثُمَّ يَدُلُّ عَلَى مَالِكٍ أَنَّ الْوُقُوفَ مُعْظَمُ الْحَجِّ؛ لِأَنَّ إِدْرَاكَ الْحَجِّ مُتَعَلِّقٌ بِإِدْرَاكِهِ وَفَوَاتَ الْحَجِّ مُقْرَنٌ بِفَوَاتِهِ، فَلَوْ كَانَ بِفَوَاتِ الْوُقُوفِ بَاقِيًا عَلَى إِحْرَامِهِ لَمْ يَكُنْ مَوْصُوفًا بِفَوَاتِ الْحَجِّ، وَفِي إِجْمَاعِهِمْ عَلَى فَوَاتِ الْحَجِّ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَتَحَلَّلُ مِنْ إِحْرَامِهِ بِالْحَجِّ، ثُمَّ يَدُلُّ عَلَى أبي يوسف أَنَّ النُّسُكَ نُسُكَانِ، حَجٌّ وَعُمْرَةٌ، فَلَمَّا لَمْ يَجُزِ انْتِقَالُ الْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ بِحَالٍ، لَمْ يَجُزِ انْتِقَالُ الْحَجِّ إِلَى الْعُمْرَةِ بِحَالٍ.

Dan penjelasan masalah ini secara qiyās adalah bahwa (orang tersebut) telah berada dalam keadaan nusuk (ritual haji) yang kosong dari wukuf, maka wajib gugur darinya kewajiban melempar jumrah dan bermalam sebagaimana dalam ‘umrah.

Kemudian, dalil bagi pendapat Mālik adalah bahwa wukuf merupakan bagian terpenting dari haji; karena sahnya mendapatkan haji tergantung pada tercapainya wukuf, dan luputnya haji pun bergantung pada luputnya wukuf. Maka seandainya seseorang yang luput dari wukuf masih tetap berada dalam status iḥrām, tentu ia tidak disebut sebagai orang yang kehilangan haji (fawāt al-ḥajj). Dan ijma‘ mereka atas terjadinya fawāt al-ḥajj adalah dalil bahwa ia bertahallul dari iḥrām hajinya.

Kemudian dalil untuk Abū Yūsuf adalah bahwa nusuk itu ada dua: haji dan ‘umrah. Maka ketika tidak sah perpindahan dari ‘umrah ke haji dalam kondisi apa pun, tidak sah pula perpindahan dari haji ke ‘umrah dalam kondisi apa pun.


وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنْ نَقُولَ: لِأَنَّهُ إِحْرَامٌ انْعَقَدَ بِنُسُكٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَنْتَقِلُ إِلَى غَيْرِهِ كَالْإِحْرَامِ بِالْعُمْرَةِ، فَأَمَّا مَا اسْتَدَلَّ بِهِ الْمُزَنِيُّ مِنَ الصَّلَاةِ فَإِمَّا لَمْ يَكُنْ عَجْزُهُ عَنْ بَعْضِ أَرْكَانِهَا مُسْقِطًا لِشَيْءٍ مِنْ سُنَنِهَا وهيأتها، لِأَنَّهُ يَنْتَقِلُ عَمَّا عَجَزَ عَنْهُ إِلَى بَدَلٍ يَقُومُ مَقَامَهُ، كَانَ مَا عَجَزَ عَنْهُ تَبَعًا لِبَدَلِهِ فَلَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْوُقُوفُ فِي الْحَجِّ؛ لِأَنَّهُ لَا بَدَلَ له، فسقط عنه توابعه بفواته، فأما مَا اسْتَدَلَّ بِهِ مَالِكٌ مِنِ اسْتِدَامَةِ إِحْرَامِهِ مَعَ بَقَاءِ الطَّوَافِ فَكَذَلِكَ مَعَ الْوُقُوفِ، فَإِنَّمَا كَانَ مُسْتَدِيمًا لِإِحْرَامِهِ مَعَ بَقَاءِ الطَّوَافِ، لِأَنَّهُ مُدْرِكٌ لِلْحَجِّ بِمَكَّةَ، فَعَلَ الطَّوَافَ مَتَى شَاءَ وَلَيْسَ كَذَلِكَ حَالُ الْوُقُوفِ لِفَوَاتِ الْحَجِّ بِهِ، وَأَنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْإِتْيَانِ بِهِ إِلَّا فِي وَقْتِهِ فَافْتَرَقَا، وَأَمَّا مَا اسْتَدَلَّ بِهِ أبو يوسف مِنْ أَنَّهُ لَمَّا جَازَ انْتِقَالُ الْإِحْرَامِ مِنْ شَهْرٍ إِلَى شَهْرٍ جَازَ انْتِقَالُهُ مَنْ نُسُكٍ إِلَى نُسُكٍ، قِيلَ إِنَّمَا جَازَ انْتِقَالُهُ مَنْ شَخْصٍ إِلَى شَخْصٍ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُعَيِّنِ الْإِحْرَامَ لِشَخْصٍ صَحَّ فَجَازَ أَنْ يَنْتَقِلَ فِي الْحُكْمِ مَنْ شَهْرٍ إِلَى شَهْرٍ، وَالْإِحْرَامُ لا به في تعيينه بِنُسُكٍ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْتَقِلَ بَعْدَ التَّعْيِينِ مَنْ نُسُكٍ إِلَى نُسُكٍ، فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ نَقَلْتُمُ الْإِحْرَامَ مَنْ نُسُكٍ إِلَى نُسُكٍ، وَهُوَ فِيمَنْ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ قَبْلَ أَشْهُرِهِ، قُلْتُمْ إِنَّ إِحْرَامَهُ بِالْحَجِّ قَدْ صَارَ عُمْرَةً لِوُقُوعِهِ فِي غَيْرِ أَشْهُرِ الْحَجِّ، قِيلَ إِنَّمَا مَنَعْنَا مِنِ انْتِقَالِ الْإِحْرَامِ الْمُنْعَقِدِ بِنُسُكٍ إِلَى نُسُكٍ آخَرَ، وَالْمُحْرِمُ بِالْحَجِّ فِي غَيْرِ أَشْهُرِهِ انْعَقَدَ إِحْرَامُهُ بِعُمْرَةٍ إِلَّا أَنَّهُ انْتَقَلَ بَعْدَ إِحْرَامِهِ بِالْحَجِّ إِلَى عُمْرَةٍ، فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَعَلَيْهِ أَنْ يَطُوفَ وَيَسْعَى وَيَحْلِقَ، فَإِنْ كَانَ مَعَهُ هَدْيٌ نَحَرَهُ قَبْلَ حِلَاقِهِ، فَإِنْ تَرَكَ الْحِلَاقَ فَهَلْ يَتَحَلَّلُ بِالطَّوَافِ وَالسَّعْيِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: إِنْ قِيلَ إِنَّ الْحَلْقَ نُسُكٌ كَانَ عَلَى إحرامه حتى يحلق ويقصر وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ إِبَاحَةٌ بَعْدَ حَظْرٍ فَقَدْ حَلَّ مِنْ إِحْرَامِهِ بِالطَّوَافِ وَالسَّعْيِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ قَدْ طَافَ وَسَعَى قَبْلَ فَوَاتِ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ أَجْزَأَهُ السَّعْيُ، وَلَزِمَهُ إِعَادَةُ الطَّوَافِ بَعْدَ الْفَوَاتِ؛ لِأَنَّ تَحَلُّلَهُ بَعْدَ الْفَوَاتِ لَا يَقَعُ إِلَّا بِهِ، فَأَمَّا السَّعْيُ فَمُجْزِئٌ، وَإِنَّمَا قال الشافعي هاهنا طَوَافٌ وَسَعْيٌ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ سَعَى قَبْلَ الْفَوَاتِ، وَقَدْ بَيَّنَ الشَّافِعِيُّ ذَلِكَ فِي كِتَابِ الْإِمْلَاءِ، فَلَوْ أَرَادَ اسْتِدَامَةَ إِحْرَامِهِ إِلَى الْعَامِ الثَّانِي لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّهُ يَصِيرُ مُحْرِمًا بِالْحَجِّ فِي غَيْرِ أَشْهُرِهِ، وَالْبَقَاءُ عَلَى الْإِحْرَامِ بِالْحَجِّ فِي غَيْرِ أَشْهُرِهِ كَابْتِدَاءِ الْإِحْرَامِ بِالْحَجِّ فِي غَيْرِ أَشْهُرِهِ.

Penjelasan secara qiyās dari hal ini adalah bahwa kita katakan: karena ia adalah iḥrām yang telah diikrarkan untuk satu nusuk, maka wajib untuk tidak berpindah kepada nusuk lainnya, sebagaimana iḥrām untuk ‘umrah tidak bisa dipindah ke yang lain.

Adapun dalil yang digunakan oleh al-Muzanī dari salat, maka ketidakmampuan melaksanakan sebagian rukunnya tidak menggugurkan satu pun dari sunnah dan bentuk hay’ah-nya, karena orang tersebut berpindah dari apa yang tidak mampu ia lakukan kepada pengganti yang menempati posisinya, maka apa yang ia tidak mampu lakukan dianggap sebagai bagian dari penggantinya, sehingga tidak gugur darinya. Ini berbeda dengan wuqūf dalam haji, karena ia tidak memiliki pengganti, maka gugurlah semua yang mengikutinya karena terluput darinya.

Adapun dalil yang digunakan oleh Mālik mengenai keberlangsungan iḥrām dengan masih adanya ṭawāf, maka tidaklah sama dengan wuqūf. Sebab keberlangsungan iḥrām dengan masih adanya ṭawāf adalah karena ia masih bisa meraih haji di Makkah; ia bisa melakukan ṭawāf kapan saja ia mau. Adapun wuqūf, maka tidak demikian keadaannya, karena hajinya batal disebabkan luputnya wuqūf, dan ia tidak mampu melakukannya kecuali pada waktunya, maka keduanya berbeda.

Adapun dalil yang digunakan oleh Abū Yūsuf bahwa jika dibolehkan berpindahnya iḥrām dari satu bulan ke bulan lainnya, maka boleh pula berpindahnya dari satu nusuk ke nusuk lain, maka dijawab: yang dibolehkan berpindahnya adalah dari satu orang ke orang lain karena belum adanya penetapan khusus iḥrām untuk seseorang, maka bolehlah berpindah dalam hukum dari satu bulan ke bulan lainnya. Adapun iḥrām telah ditetapkan penetapannya untuk satu nusuk, maka tidak boleh berpindah ke nusuk lain setelah penetapan itu.

Jika dikatakan: Bukankah kalian telah memindahkan iḥrām dari satu nusuk ke nusuk lain, yaitu pada orang yang beriḥrām dengan haji sebelum bulan-bulan haji, lalu kalian mengatakan bahwa iḥrām-nya menjadi ‘umrah karena terjadi di luar bulan haji?

Maka dijawab: Kami hanya melarang perpindahan iḥrām yang sudah ditetapkan untuk satu nusuk ke nusuk lain. Adapun orang yang beriḥrām untuk haji di luar bulan-bulannya, maka iḥrām-nya menjadi ‘umrah, karena ia sebenarnya telah beriḥrām dengan ‘umrah, meskipun dengan lafal haji.

Jika telah dipastikan demikian, maka wajib atasnya ṭawāf, sa‘i, dan mencukur. Jika ia membawa hady, maka ia menyembelihnya sebelum mencukur. Jika ia meninggalkan cukur, maka apakah ia boleh bertahallul hanya dengan ṭawāf dan sa‘i? Maka terdapat dua pendapat:

Jika dikatakan bahwa cukur adalah bagian dari nusuk, maka ia tetap dalam iḥrām sampai ia mencukur atau memotong rambut.
 Dan jika dikatakan bahwa cukur hanyalah bentuk kebolehan setelah sebelumnya terlarang, maka ia telah bertahallul dari iḥrām-nya dengan ṭawāf dan sa‘i.

Berdasarkan pendapat ini, jika ia telah melakukan ṭawāf dan sa‘i sebelum luputnya wuqūf di ‘Arafah, maka sa‘i-nya sah, dan wajib mengulangi ṭawāf setelah waktu wuqūf terlewat, karena tahallulnya setelah luputnya wuqūf tidak sah kecuali dengan ṭawāf, adapun sa‘i maka cukup.

Imam al-Syāfi‘ī menyebutkan ṭawāf dan sa‘i di sini bagi orang yang belum melakukan sa‘i sebelum luputnya wuqūf. Hal ini dijelaskan oleh al-Syāfi‘ī dalam kitab *al-Imlā’.

Jika seseorang ingin tetap dalam iḥrām-nya hingga tahun berikutnya, maka hal itu tidak diperbolehkan, karena ia akan menjadi orang yang beriḥrām untuk haji di luar bulan-bulannya. Dan tetap dalam keadaan iḥrām haji di luar bulan-bulannya sama seperti memulai iḥrām untuk haji di luar bulan-bulannya.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْحُكْمُ الثَّانِي وَهُوَ وُجُوبُ الْقَضَاءِ: فَهُوَ عِنْدَنَا وَاجِبٌ.
وَقَالَ مالك في أحد رِوَايَاتِهِ الْقَضَاءُ غَيْرُ وَاجِبٍ، وَبِهِ قَالَ عَطَاءٌ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمَا مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ إِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ، وَأَمْرِهِمْ بِالْقَضَاءِ، وَلِأَنَّ الْمَانِعَ مِنْ إِجْزَاءِ الْحَجِّ شَيْئَانِ: فَوَاتٌ وَفَسَادٌ، فَلَمَّا كَانَ الْفَسَادُ مُوجِبًا لِلْقَضَاءِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْفَوَاتُ مُوجِبًا لِلْقَضَاءِ، وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ أَحَدُ مَا يَعُمُّ الْإِجْزَاءَ فَوَجَبَ أَنْ يُوجِبَ الْقَضَاءَ كَالْفَسَادِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْقَضَاءَ عَلَيْهِ وَاجِبٌ فَعَلَيْهِ قَضَاءُ الْحَجِّ لَا غَيْرَ.

PASAL:
 Adapun hukum yang kedua, yaitu kewajiban qadhā’, maka menurut kami itu hukumnya wajib.

Mālik dalam salah satu riwayatnya berpendapat bahwa qadhā’ tidak wajib, dan demikian pula pendapat ‘Aṭā’.

Dalil atas (kewajiban) tersebut adalah sebagaimana telah kami sebutkan berupa ijma‘ para sahabat dan perintah mereka untuk melakukan qadhā’.

Dan karena penghalang sahnya haji ada dua: fawāt (luput) dan fasād (rusak). Maka ketika fasād mewajibkan qadhā’, fawāt pun wajib mewajibkan qadhā’.

Penjelasan hal itu secara qiyās adalah bahwa ia merupakan salah satu hal yang membatalkan kesahan (ijzā’), maka ia wajib mewajibkan qadhā’ sebagaimana fasād.

Maka apabila telah tetap bahwa qadhā’ itu wajib atasnya, maka ia wajib meng-qadhā’ haji, dan tidak selainnya.


وَقَالَ أبو حنيفة: عَلَيْهِ أن يقضي حجة وعمرة، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ أَمَرُوا بِقَضَاءِ الْحَجِّ وَلَمْ يَأْمُرُوا بِقَضَاءِ الْعُمْرَةِ، وَلِأَنَّ الْقَضَاءَ إِنَّمَا يَجِبُ فِيمَا اشْتَمَلَ عَلَيْهِ إِحْرَامُ الْأَدَاءِ، فَلَمَّا كَانَ فِي الْأَدَاءِ مُحْرِمًا بِالْحَجِّ دُونَ الْعُمْرَةِ وَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ قَضَاءُ الْحَجِّ دُونَ الْعُمْرَةِ، اسْتِشْهَادًا بِسَائِرِ الْأُصُولِ، وَلِأَنَّ حُكْمَ الْفَسَادِ أَغْلَظُ مِنْ حُكْمِ الْفَوَاتِ، فإذا لم يَلْزَمْهُ بِالْفَسَادِ إِلَّا قَضَاءُ مَا أَفْسَدَ مِنَ الْحَجِّ وَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ بِالْفَوَاتِ إِلَّا قَضَاءَ مَا فَاتَ مِنَ الْحَجِّ، وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ قَضَاءَ الْحَجِّ وَحْدَهُ وَاجِبٌ عَلَيْهِ فَهَلْ يَجِبُ عَلَى الْفَوْرِ فِي عَامِهِ الْمُقْبِلِ أَمْ عَلَى التَّرَاخِي؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَى التَّرَاخِي دُونَ الْفَوْرِ كَأَصْلِ الْحَجِّ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: عَلَى الْفَوْرِ فِي عَامِهِ الْمُقْبِلِ مِنْ غَيْرِ تَأْخِيرٍ وَهُوَ الصَّحِيحُ لِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ؛ لِأَنَّهُمْ قَالُوا وَلِيَحُجَّ مِنْ قَابِلٍ، فَلَوْ فَاتَهُ الْوُقُوفُ فِي الْقَضَاءِ كَانَ كَفَوَاتِهِ فِي الْأَوَّلِ.

Dan Abū Ḥanīfah berkata: Wajib baginya mengganti haji dan ‘umrah. Dalil atas pendapat ini adalah ijma‘ para sahabat RA bahwa mereka memerintahkan untuk mengganti haji, namun tidak memerintahkan mengganti ‘umrah. Dan karena qadhā’ itu hanya diwajibkan pada apa yang termasuk dalam iḥrām al-adā’, maka ketika dalam pelaksanaan ia hanya beriḥrām untuk haji tanpa ‘umrah, maka wajib baginya mengganti haji saja tanpa ‘umrah, sebagai bentuk istidlāl dengan kaidah-kaidah lainnya. Dan karena hukum fasād lebih berat daripada hukum fawāt, maka ketika dalam fasād hanya diwajibkan mengganti apa yang rusak dari haji, maka wajib pula bahwa dalam fawāt hanya diwajibkan mengganti apa yang luput dari haji.

Apabila telah tetap bahwa mengganti haji saja yang wajib atasnya, maka apakah wajib dilaksanakan segera pada tahun berikutnya atau boleh ditunda? Ada dua pendapat:

Pertama: boleh ditunda, tidak wajib segera, sebagaimana hukum asal kewajiban haji.

Kedua: wajib segera pada tahun berikutnya tanpa penundaan, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena merupakan ijma‘ para sahabat; sebab mereka berkata: “Hendaknya ia berhaji pada tahun berikutnya.” Maka seandainya ia luput dari wuqūf pada haji qadhā’, maka hukumnya seperti luputnya ia dari wuqūf pada haji pertama.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْحُكْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ الْكَفَّارَةُ فَهِيَ عِنْدنَا وَاجِبَةٌ وَهِيَ ” شَاةٌ “.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، وَقَوْلُهُمْ لِيُهْدِ مَا اسْتَيْسَرَ عَلَيْهِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعَ؛ لِأَنَّهُ سَبَبٌ يُوجِبُ الْقَضَاءَ فَوَجَبَ أَنْ يُوجِبَ الْكَفَّارَةَ كَالْفَسَادِ، فَإِذَا ثَبَتَ أن الكفارة واجبة فهي زَمَانِ وُجُوبِهَا وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا:

PASAL:
 Adapun hukum yang ketiga, yaitu kafārah, maka menurut kami hukumnya wajib, dan kafārah-nya adalah seekor kambing (syāh).

Abū Ḥanīfah berpendapat: Tidak ada kafārah atasnya.

Dalil atas kewajibannya adalah ijma‘ para sahabat RA dan ucapan mereka: “Hendaklah ia menyembelih hady yang mudah baginya, jika tidak mendapatkan maka berpuasa tiga hari dalam haji dan tujuh hari ketika telah kembali.”

Karena (fawāt) adalah sebab yang mewajibkan qadhā’, maka wajib pula bahwa ia mewajibkan kafārah, sebagaimana fasād.

Maka apabila telah tetap bahwa kafārah itu wajib, maka mengenai waktu wajibnya, terdapat dua pendapat di kalangan ulama kami:


أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا وَجَبَتْ بِالْفَوَاتِ فِي عَامِ الْفَوَاتِ وَهُوَ الصَّحِيحُ كَالْبَدَنَةِ فِي الْوَطْءِ، فَعَلَى هَذَا الْأَوْلَى أَنْ يَأْتِيَ بِهَا فِي عَامِ الْقَضَاءِ، فَإِنْ أَخْرَجَهَا فِي عَامِ الْفَوَاتِ أَجْزَأَ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَجِبُ بِالْفَوَاتِ فِي عَامِ الْقَضَاءِ، وَهُوَ ظَاهِرُ قَوْلِ الصَّحَابَةِ فَعَلَى هَذَا إِنْ أَخْرَجَهَا فِي عَامِ الفوات فهي الْإِجْزَاءِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُجْزِئُهُ لِوُجُودِ سَبَبِهَا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُجْزِئُهُ لِأَنَّهَا تَبَعٌ لِلْقَضَاءِ، فَإِذَا لَمْ يَصِحَّ الْقَضَاءُ فِي عَامِ الْفَوَاتِ لَمْ تَصِحَّ الْكَفَّارَةُ فِيهِ.

Salah satu pendapat: bahwa kafārah tersebut diwajibkan karena fawāt pada tahun fawāt, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, seperti badnah dalam kasus wathī’, maka berdasarkan ini, yang utama adalah menunaikannya pada tahun qadhā’, namun jika ia menunaikannya pada tahun fawāt, maka sudah mencukupi.

Pendapat kedua: bahwa kafārah tersebut diwajibkan karena fawāt pada tahun qadhā’, dan ini adalah zahir dari perkataan para sahabat. Maka berdasarkan ini, jika ia menunaikannya pada tahun fawāt, maka dalam hal keabsahan kafārah-nya terdapat dua wajah:

Pertama: mencukupi karena sebabnya telah ada.

Kedua: tidak mencukupi karena ia mengikuti qadhā’, maka jika qadhā’ tidak sah pada tahun fawāt, maka kafārah-nya pun tidak sah pada tahun itu.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْعُمْرَةُ فَإِنَّهَا لَا تَفُوتُ أَبَدًا؛ لِأَنَّهَا تَخْتَصُّ بِزَمَانٍ دُونَ زَمَانٍ، فَإِذَا أَحْرَمَ بِالْعُمْرَةِ كَانَ بَاقِيًا عَلَى إِحْرَامِهِ مَا لَمْ يُحْصَرْ حَتَّى يُكْمِلَهَا بِالطَّوَافِ وَالسَّعْيِ وَالْحِلَاقِ، فَأَمَّا الْقِرَانُ فَإِنَّهُ يَفُوتُ كفوات الحج، فَإِذَا أَحْرَمَ الرَّجُلُ قَارِنًا فَفَاتَهُ الْوُقُوفُ طَافَ وَسَعَى وَقَدْ حَلَّ وَعَلَيْهِ دَمَانِ، دَمٌ لِلْقِرَانِ وَدَمٌ لِلْفَوَاتِ، وَعَلَيْهِ قَضَاءُ الْحَجِّ، فَأَمَّا الْعُمْرَةُ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَقَدْ أَجْزَأَتْهُ عَنْ عُمْرَةِ الْإِسْلَامِ، لِأَنَّهَا لَا تَفُوتُ كفوات الحج فلم يلزمه قَضَاؤُهَا بِالْفَوَاتِ كَالْحَجِّ، وَقَدْ أَكْمَلَ أَفْعَالَهَا بِالطَّوَافِ وَالسَّعْيِ وَالْحَلْقِ فَسَقَطَ عَنْهُ الْفَرْضُ.

PASAL:
 Adapun ‘umrah, maka ia tidak pernah fawāt (luput) selamanya; karena ia tidak terikat dengan waktu tertentu sebagaimana haji. Maka apabila seseorang beriḥrām untuk ‘umrah, ia tetap berada dalam keadaan iḥrām hingga menyempurnakannya dengan ṭawāf, sa‘i, dan cukur, kecuali bila ia terhalangi (muḥṣar).

Adapun qirān, maka bisa terjadi fawāt sebagaimana haji. Maka apabila seseorang beriḥrām dalam keadaan qārin (menggabungkan haji dan ‘umrah), lalu ia luput dari wukuf, maka ia melakukan ṭawāf dan sa‘i, dan ia pun bertahallul, serta wajib atasnya dua dam: satu untuk qirān dan satu lagi untuk fawāt. Dan ia wajib meng-qadhā’ haji.

Adapun untuk ‘umrah, terdapat dua pendapat:
 Pendapat pertama: Tidak wajib qadhā’ atasnya, dan ‘umrah tersebut telah mencukupinya sebagai ‘umrah al-Islām; karena ‘umrah tidak mengalami fawāt sebagaimana haji, maka tidak wajib meng-qadhā’-nya karena fawāt sebagaimana haji. Dan ia telah menyempurnakan seluruh amalannya, yaitu ṭawāf, sa‘i, dan cukur, maka gugurlah kewajiban ‘umrah dari dirinya.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ: أَنَّ عَلَيْهِ قَضَاءَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ، لِأَنَّهُ لَمَّا قَرَنَ بَيْنَهُمَا كَانَتِ الْعُمْرَةُ تَبَعًا، فَلَمَّا أَوْجَبَتِ الْفَوَاتَ قَضَى الْحَجَّ الْمَتْبُوعَ كَانَ إِيجَابُ قَضَاءِ الْعُمْرَةِ التَّابِعَةِ أَوْلَى، فَعَلَى هَذَا إِنْ قَرَنَ فِي الْقَضَاءِ أَجْزَأَهُ الْقِرَانُ عَنْهُمَا، وإن أفردهما أجزأه ذلك عنهما وعليه ثَلَاثَةُ دِمَاءٍ دَمٌ لِقِرَانِهِ فِي الْأَدَاءِ وَدَمٌ لِلْفَوَاتِ وَدَمٌ لِقِرَانِهِ فِي الْقَضَاءِ سَوَاءٌ قَضَاهُ قارناً أو مفرداً.

Dan pendapat kedua —dan inilah yang ṣaḥīḥ— adalah bahwa wajib atasnya mengganti haji dan ‘umrah, karena ketika ia menggabungkan keduanya, maka ‘umrah menjadi pengikut (dari haji). Maka ketika fawāt mewajibkan qadhā’ atas haji yang menjadi yang diikuti, maka mewajibkan qadhā’ atas ‘umrah yang mengikuti lebih utama.

Berdasarkan hal ini, jika ia menggandengkan keduanya dalam qadhā’, maka qirān mencukupi untuk keduanya. Dan jika ia mengerjakan keduanya secara terpisah, maka itu juga mencukupi untuk keduanya, dan wajib atasnya tiga darah: satu darah karena qirān dalam pelaksanaan pertama, satu darah karena fawāt, dan satu darah karena qirān dalam pelaksanaan qadhā’, baik ia mengganti dengan cara qirān maupun ifrād.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَدْخُلُ مَكَةَ إِلَّا بِإِحْرَامٍ فِي حَجٍّ أَوْ عمرةٍ لِمُبَايَنَتِهَا جَمِيعَ الْبُلْدَانِ إِلَّا أَنَّ من أصحابنا من رخص للحطابين ومن يدخله لِمَنَافِعِ أَهْلِهِ أَوْ كَسْبِ نَفْسِهِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَلَعَلَّ حَطَّابِيهِمْ عَبِيدٌ وَمَنْ دَخَلَهَا بِغَيْرِ إِحْرَامٍ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لَيْسَ يَخْلُو حَالُ الدَّاخِلِ إِلَى مَكَّةَ لِغَيْرِ حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ مِنْ ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:

Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Tidak boleh masuk Makkah kecuali dengan iḥrām dalam haji atau ‘umrah, karena Makkah berbeda dari seluruh negeri lain. Kecuali sebagian sahabat kami memberi rukhṣah (keringanan) bagi para penebang kayu dan orang-orang yang masuk ke Makkah untuk kepentingan penduduknya atau mencari nafkah untuk dirinya sendiri.”

(Al-Syafi‘i berkata): “Bisa jadi para penebang kayunya adalah budak. Dan barang siapa masuk ke Makkah tanpa iḥrām, maka tidak ada qadhā’ atasnya.”

Al-Māwardī berkata: “Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan. Keadaan orang yang masuk ke Makkah bukan untuk haji atau ‘umrah tidak lepas dari tiga macam bentuk:”


أَحَدُهَا: أَنْ يَدْخُلَهَا مُقَاتِلًا إِمَّا قِتَالًا وَاجِبًا أَوْ مُبَاحًا مِنْ غَيْرِ قِتَالِ مَعْصِيَةٍ كَأَهْلِ الْبَغْيِ إِذَا لَجَؤُوا إِلَيْهَا فَأَرَادَ الْإِمَامُ قِتَالَهُمْ فَيَجُوزُ لِمَنْ دَخَلَهَا عَلَى هَذِهِ الْحَالَةِ مُقَاتِلًا أن يَدْخُلَهَا حَلَالًّا بِغَيْرِ إِحْرَامٍ لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دَخَلَ مَكَةَ عَامَ الْفَتْحِ سَنَةَ ثمانٍ حَلَالًا وَعَلَى رَأْسِهِ مِغْفَرٌ وَقَالَ أُحِلَّتْ لِي سَاعَةً، وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَلَا تَحِلُّ لأحدٍ بَعْدِي دَخَلْتُهَا وَعَلَى رَأْسِي مِغْفَرٌ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ ” وَلَا تَحِلُّ لأحدٍ بَعْدِي ” إِلَّا لِمَنْ كَانَ فِي مِثْلِ حَالِي لِأَنَّ الشَّرْعَ إِذَا ثَبَتَ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثبت لغيره أُمَّتِهِ إِلَّا أَنْ تَقُومَ الدَّلَالَةُ عَلَى تَخْصِيصِهِ وَلِأَنَّ فِي تَكْلِيفِ الْمُحَارِبِ الْإِحْرَامَ لِدُخُولِهَا مَعَ مَا هُوَ عَلَيْهِ مِنْ حَالِ الْقِتَالِ مَشَقَّةً غالية إِذْ لَا يَأْمَنُ رَجْعَةَ عَدُوِّهِ وَهُوَ بِإِحْرَامِهِ قَدْ تَجَرَّدَ فَلَا يُمْكِنُهُ الدَّفْعُ عَنْ نَفْسِهِ فَاسْتَبَاحَ لِأَجْلِ ذَلِكَ تَرْكَ الْإِحْرَامِ وَالدُّخُولَ إِلَيْهَا حَلَالًا.

Salah satu dari keadaan itu adalah masuk ke Makkah dalam keadaan berperang, baik untuk peperangan yang wajib maupun yang mubah, tanpa disertai peperangan maksiat, seperti memerangi ahl al-baghy ketika mereka berlindung ke Makkah, lalu imam ingin memerangi mereka. Maka boleh bagi siapa saja yang masuk ke Makkah dalam keadaan seperti ini —berperang— untuk masuk dalam keadaan ḥalāl tanpa beriḥrām, berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW masuk ke Makkah pada tahun penaklukan, tahun delapan Hijriah, dalam keadaan ḥalāl, dan di atas kepalanya terdapat pelindung kepala (mighfar), dan beliau bersabda: “Telah dihalalkan bagiku (Makkah) sesaat, dan tidak dihalalkan bagi siapa pun sebelumku, dan tidak akan dihalalkan bagi siapa pun sesudahku. Aku masuk ke sana dengan pelindung kepala di kepalaku.”

Para ahli ilmu berkata: maksud dari sabdanya “dan tidak dihalalkan bagi siapa pun sesudahku” adalah kecuali bagi siapa yang dalam keadaan seperti keadaanku. Karena jika suatu hukum syariat telah tetap berlaku bagi Rasulullah SAW, maka ia juga berlaku bagi umatnya, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan kekhususan bagi beliau.

Dan karena mewajibkan iḥrām atas orang yang sedang berperang untuk masuk ke Makkah, dengan keadaan yang ia alami berupa suasana peperangan, merupakan kesulitan yang berat, karena ia tidak merasa aman dari serangan balik musuhnya, sedangkan dalam keadaan beriḥrām ia telah menanggalkan senjata, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk mempertahankan diri. Maka oleh karena itu, diperbolehkan baginya meninggalkan iḥrām dan masuk ke Makkah dalam keadaan ḥalāl.


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَدْخُلَهَا لِمَنَافِعِ أَهْلِهَا أَوْ كَسْبِ نَفْسِهِ كَالَّذِينِ يُكْثِرُونَ الدُّخُولَ إِلَيْهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ كَالْحَطَّابِينَ وَالسَّاقِينَ وَالْجَلَّابِينَ وَأَصْحَابِ الْمَبَرَّةِ فَيَجُوزُ لِهَؤُلَاءِ دُخُولُ مَكَّةَ بِغَيْرِ إِحْرَامٍ، لِأَنَّهُ كَالْإِجْمَاعِ لِإِقْرَارِ السَّلَفِ لَهُمْ عَلَى ذَلِكَ، وَلِأَنَّ فِي أَمْرِهِمْ بِالْإِحْرَامِ مَعَ كَثْرَةِ دُخُولِهِمُ انقطاع عن مكاسبهم ومشقة غالية فِي تَجْدِيدِ الْإِحْرَامِ مَعَ تَرَادُفِ دُخُولِهِمْ فَعُذِرُوا بِتَرْكِ الْإِحْرَامِ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْإِمْلَاءِ أُرَخِّصُ لِلْحَطَّابِينَ أَنْ يَدْخُلُوا بِغَيْرِ إِحْرَامٍ إِذَا دَخَلُوا فِي السَّنَةِ مَرَّةً بِإِحْرَامٍ فَكَانَ أَمْرُهُمْ أَنْ يُحْرِمُوا فِي السَّنَةِ مَرَّةً لِأَنَّهُ لَا مَشَقَّةَ عَلَيْهِمْ فِي ذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا مِنْهُ عَلَى الإيجاب وإنما قاله استحباباً وفي معنى الخطابين مَنْ خَرَجَ مِنْ مَكَّةَ مُسَافِرًا ثُمَّ ذَكَرَ أَنَّهُ نَسِيَ شَيْئًا فَرَجَعَ لِأَخْذِهِ جَازَ أَنْ يَرْجِعَ مُحِلًّا، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْإِمْلَاءِ.

Golongan kedua: Yaitu orang yang masuk ke Makkah untuk kepentingan penduduknya atau mencari nafkah bagi dirinya sendiri, seperti orang-orang yang sering keluar-masuk setiap hari, seperti para penebang kayu, para pembawa air, para pedagang pembawa barang, dan orang-orang yang bekerja di lembaga-lembaga sosial.

Maka diperbolehkan bagi mereka masuk ke Makkah tanpa iḥrām, karena hal ini telah menjadi semacam ijma‘, dengan disetujuinya perbuatan mereka oleh para salaf. Dan karena apabila mereka diperintahkan untuk beriḥrām setiap kali masuk, padahal mereka sering masuk, maka hal itu akan mengakibatkan terputusnya mata pencaharian mereka dan timbulnya kesulitan besar dalam terus-menerus memperbarui iḥrām karena seringnya keluar-masuk. Maka mereka diberi uzur untuk tidak beriḥrām.

Al-Syafi‘i berkata dalam al-Imlā’: “Aku memberikan rukhṣah kepada para penebang kayu untuk masuk ke Makkah tanpa iḥrām apabila mereka sudah pernah masuk sekali dalam setahun dengan iḥrām.”

Maka perkara mereka adalah bahwa mereka beriḥrām setahun sekali, karena hal itu tidak memberatkan mereka. Dan ini bukan merupakan kewajiban dari beliau, namun hanya anjuran.

Dan yang termasuk dalam makna para penebang kayu adalah orang yang keluar dari Makkah untuk safar, lalu teringat bahwa ia lupa sesuatu, kemudian kembali untuk mengambilnya, maka diperbolehkan baginya untuk kembali dalam keadaan tidak beriḥrām. Hal ini ditegaskan oleh al-Syafi‘i dalam al-Imlā’.


وَالضَّرِبُ الثَّالِثُ: أَنْ يَدْخُلَ مَكَّةَ لِغَيْرِ هَذَيْنِ الْأَمْرَيْنِ إِمَّا مُتَوَطِّنًا أَوْ قَادِمًا إِلَى وَطَنٍ أَوْ تَاجِرًا أَوْ زَائِرًا فَهَلْ يَلْزَمُهُ الْإِحْرَامُ لِدُخُولِهَا بِنُسُكٍ مِنْ حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: قَالَهُ فِي الْإِمْلَاءِ أَنَّهُ اسْتِحْبَابٌ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِلْأَقْرَعِ بْنِ حَابِسٍ حِينَ قَالَ أَحَجَّتُنَا هَذِهِ لِعَامِنَا أَمْ لِلْأَبَدِ فَقَالَ: ” لَا بَلْ لِلْأَبَدِ ” فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَا سِوَى حَجَّةِ الْإِسْلَامِ وَعُمْرَتِهِ لَا يَلْزَمُ بِالشَّرْعِ لِمَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ دَخَلَهَا حَلَالًا بِغَيْرِ إِحْرَامٍ وَلِأَنَّهُ مِمَّنْ أُسْقِطَ فَرْضُ نسكه فجاز أن يدخلها حلال كَالْحَطَّابِينَ.

Jenis yang ketiga adalah: masuk ke Makkah bukan karena dua alasan sebelumnya, baik sebagai penduduk tetap, atau datang menuju tanah air, atau sebagai pedagang, atau sebagai orang yang berkunjung. Maka apakah wajib atasnya iḥrām untuk masuk ke sana dengan nusuk berupa haji atau ‘umrah, atau tidak? Ada dua pendapat:

Pertama: pendapat yang dinyatakan dalam kitab al-Imlā’, bahwa hal itu dianjurkan dan tidak wajib, dan ini adalah pendapat Mālik. Berdasarkan sabda Nabi SAW kepada al-Aqra‘ bin Ḥābis ketika ia bertanya: “Apakah haji kami ini hanya untuk tahun ini atau untuk selamanya?” Nabi SAW menjawab: “Tidak, bahkan untuk selamanya.” Maka ini menunjukkan bahwa selain ḥajjat al-islām dan ‘umrat al-islām, tidak diwajibkan secara syar‘i.

Juga berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Umar bahwa ia masuk ke Makkah dalam keadaan ḥalāl tanpa iḥrām. Dan karena ia termasuk orang yang telah gugur kewajiban nusuk-nya, maka boleh baginya masuk ke Makkah dalam keadaan ḥalāl, sebagaimana para penebang kayu.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ قَالَهُ فَيَ الْأُمِّ وَمُخْتَصَرِ الْحَجِّ أَنَّ الْإِحْرَامَ لِدُخُولِهَا وَاجِبٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لاَ تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللهِ وَلاَ الشَهْرَ الْحَرَامَ وَلاَ الهَدْيَ وَلاَ القَلائِدَ وَلاَ آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامِ) {المائدة: 2) يَعْنِي: قَاصِدِينَ فَمَنَعَ مِنَ الْعُدُولِ عَنْ قَصْدِ الْبَيْتِ لِمَنْ دَخَلَ الْحَرَمَ وَحَظَرَ تَحْلِيلَ ذَلِكَ بِتَرْكِهِ وَقَالَ تَعَالَى {وَإذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْناً} (البقرة: 125) . وَالْمَثَابَةُ وَالرُّجُوعُ إِلَيْهِ بِالنُّسُكِ قَالَ وَرَقَةُ بْنُ نَوْفَلٍ:
(مُثَابٌ لِأَفْنَاءِ الْقَبَائِلِ كُلِّهَا … تَخُبُّ إِلَيْهِ الْيَعْمُلَاتُ الذَوَامِلُ)

dan pendapat kedua – dan inilah yang ṣaḥīḥ – dikatakan oleh Imam al-Syāfi‘ī dalam al-Umm dan Mukhtaṣar al-Ḥajj, bahwa iḥrām untuk masuk ke Makkah adalah wajib, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Janganlah kalian melanggar syi‘ar-syi‘ar Allah, dan jangan (melanggar) bulan haram, dan jangan (mengganggu) hewan kurban dan kalung-kalungnya, dan jangan (pula) orang-orang yang menuju ke Baytullāh al-Ḥarām” (QS al-Mā’idah: 2), yakni orang-orang yang bermaksud menuju ke Baytullāh. Maka Allah melarang memalingkan tujuan dari menuju Baytullāh bagi siapa yang memasuki wilayah ḥaram, dan Dia mengharamkan mengabaikan tujuan tersebut dengan meninggalkannya.

Dan firman-Nya Ta‘ālā: “Dan (ingatlah) ketika Kami jadikan Baytullāh sebagai tempat kembali bagi manusia dan tempat yang aman” (QS al-Baqarah: 125).

al-Mathābah artinya tempat kembali kepada-Nya dengan nusuk.

Waraqah bin Nawfal berkata:

Mutsābun li-afnā’i al-qabā’ili kullihā … takhubbu ilayhi al-ya‘mulātu al-dhawāmilu
 (Tempat kembali bagi seluruh kabilah … dituju oleh unta-unta betina yang kuat dan terus berjalan)


وَرُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” إن أبي إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ فَلَا يَدْخُلْهَا أحدٌ إِلَّا محرماً ” وقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حِينَ دَخَلَهَا حَلَالًا: ” أُحِلَّتْ لِي سَاعَةً وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَلَا تَحِلُّ لأحدٍ بَعْدِي ” فَدَلَّ عَلَى اخْتِصَاصِهِ عَنْ غَيْرِهِ فِي الْإِحْلَالِ وَلِأَنَّهُ لَوْ نَذَرَ دُخُولَ مَكَّةَ أَوِ الْمَشْيَ إِلَى الْبَيْتِ لَزِمَهُ الْإِحْرَامُ لِدُخُولِهَا بِأَحَدِ النُّسُكَيْنِ فَلَوْ جَازَ دُخُولُهَا بِغَيْرِ إِحْرَامٍ لِأَحَدِ النُّسُكَيْنِ لَمْ يَلْزَمْهُ إِذَا نَذَرَ دُخُولَهَا أَنْ يُحْرِمَ بِأَحَدِ النُّسُكَيْنِ وَفِي إِجْمَاعِهِمْ عَلَى ذَلِكَ فِي النُّذُرِ دَلِيلٌ عَلَى وُجُوبِهِ فِي الدُّخُولِ، وَلِأَنَّ مَكَّةَ لَمَّا اخْتُصَّتْ بِالنُّسُكَيْنِ وَالْقِبْلَةِ تَشْرِيفًا لَهَا وَحُرِّمَ قَتْلُ صَيْدِهَا وَقَطْعُ شَجَرِهَا لِعِظَمِ حُرْمَتِهَا اخْتُصَّتْ بِالْإِحْرَامِ لِدُخُولِهَا مُبَايَنَةً لِغَيْرِهَا وَعَلَى كِلَا القولين يستوي حكم القادر إِلَيْهَا مِنْ دُونِ الْمَوَاقِيتِ أَوْ مِنْ وَرَائِهَا.

Dan telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya ayahku Ibrāhīm telah mengharamkan Makkah, maka tidak boleh seseorang memasukinya kecuali dalam keadaan beriḥrām.” Dan Nabi SAW bersabda ketika beliau memasukinya dalam keadaan ḥalāl: “Telah dihalalkan bagiku sesaat, dan tidak dihalalkan bagi siapa pun sebelumku, dan tidak akan dihalalkan bagi siapa pun sesudahku.” Maka ini menunjukkan kekhususan beliau dalam hal masuk ḥalāl, tidak berlaku bagi selain beliau.

Dan karena jika seseorang bernazar untuk masuk ke Makkah atau berjalan menuju Baitullāh, maka wajib baginya beriḥrām untuk masuk dengan salah satu dari dua nusuk. Maka seandainya boleh masuk ke sana tanpa iḥrām untuk salah satu dari dua nusuk, niscaya tidak akan wajib atasnya untuk beriḥrām ketika bernazar masuk ke sana. Dan adanya ijma‘ mereka atas kewajiban iḥrām dalam kasus nazar menunjukkan kewajiban iḥrām saat masuk ke Makkah secara umum.

Dan karena Makkah telah dikhususkan dengan dua nusuk (haji dan ‘umrah) serta sebagai kiblat, sebagai bentuk pemuliaan atasnya, dan diharamkan membunuh hewan buruannya serta memotong pohon-pohonnya karena agungnya kehormatannya, maka ia pun dikhususkan dengan kewajiban iḥrām untuk masuk ke dalamnya, berbeda dengan selainnya.

Dan menurut kedua pendapat tersebut, hukum orang yang mampu menuju ke Makkah —baik dari dalam batas mīqāt maupun dari luar— adalah sama.


وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ قَدِمَ مِنْ دُونِ الْمَوَاقِيتِ لَمْ يَلْزَمْهُ الْإِحْرَامُ وَإِنْ قَدِمَ مِنْ وَرَائِهَا لَزِمَهُ وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّ الْإِحْرَامَ تَحِيَّةٌ لتعظيم البقعة فاقتضى أَنْ يَسْتَوِيَ حُكْمُ الْقَادِمِ مِنْ دُونِ الْمِيقَاتِ وَوَرَائِهَا فِي وُجُوبِهَا وَاسْتِحْبَابِهَا.

Dan Abū Ḥanīfah berkata: Jika seseorang datang dari dalam batas mīqāt, maka tidak wajib atasnya iḥrām, namun jika ia datang dari luar mīqāt, maka wajib atasnya iḥrām. Pendapat ini tidaklah ṣaḥīḥ, karena iḥrām adalah bentuk penghormatan bagi kemuliaan tempat tersebut, maka hal itu menuntut agar hukum orang yang datang dari dalam mīqāt dan dari luar mīqāt sama dalam kewajiban atau anjuran iḥrām.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْإِحْرَامَ لِدُخُولِهَا وَاجِبٌ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ عِنْدَ دُخُولِهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَدْخُلَ فِي شُهُورِ الْحَجِّ أَوْ فِي غَيْرِ شُهُورِ الْحَجِّ. فَإِنْ دَخَلَ فِي شُهُورِ الْحَجِّ كَانَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَدْخُلَهَا مُحْرِمًا بِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ فَإِنْ أَحْرَمَ لِدُخُولِهَا إِحْرَامًا مَوْقُوفًا كَانَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَصْرِفَهُ إِلَى حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ وَإِنْ دَخَلَ فِي غَيْرِ شُهُورِ الْحَجِّ صَرَفَ إِحْرَامَهُ إِلَى عُمْرَةٍ وَلَمْ يَجُزْ صَرْفُ إِحْرَامِهِ إِلَى الْحَجِّ، لِأَنَّ غَيْرَ شُهُورِ الْحَجِّ لَا يَصِحُّ الْإِحْرَامُ فِيهِ بِالْحَجِّ وَإِنْ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ كَانَ عُمْرَةً وَتَحَلَّلَ بِالطَّوَافِ وَالسَّعْيِ والحلاق فلا أَحْرَمَ لِدُخُولِهَا فِي غَيْرِ أَشْهُرِ الْحَجِّ إِحْرَامًا مَوْقُوفًا وَدَخَلَهَا مُحْرِمًا وَلَمْ يَصْرِفْ إِحْرَامَهُ إِلَى الْعُمْرَةِ حَتَّى دَخَلَتْ شُهُورُ الْحِجِّ فَأَرَادَ أَنْ يَصْرِفَ إِحْرَامَهُ إِلَى الْحَجِّ لَمْ يَجُزْ، لِأَنَّ الْإِحْرَامَ مِنْ غَيْرِ أَشْهُرِ الْحَجِّ لَا يَقَعُ مَوْقُوفًا؛ لِأَنَّ اتِّفَاقَ الْإِحْرَامِ إِنَّمَا يَصِحُّ إِذَا جَازَ أَنْ يَتَرَدَّدَ بَيْنَ أَنْ يُصْرَفَ إِلَى حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ وَإِحْرَامُهُ فِي غَيْرِ أَشْهَرَ الْحَجِّ لَا يَنْصَرِفُ إِلَى الْحَجِّ وَإِنَّمَا يَنْصَرِفُ إِلَى عُمْرَةٍ وَلَوْ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ لَمْ يَكُنْ حَجًّا وَكَانَ عُمْرَةً فَكَذَا إِذَا أَحْرَمَ مَوْقُوفًا لَمْ يَكُنْ مَوْقُوفًا وَكَانَ عُمْرَةً.

PASAL
 Maka apabila telah tetap bahwa iḥrām untuk memasuki Makkah adalah wajib, maka keadaannya ketika memasuki Makkah tidak lepas dari salah satu dari dua hal:
 – masuk pada bulan-bulan ḥajj, atau
 – di luar bulan-bulan ḥajj.

Jika ia masuk pada bulan-bulan ḥajj, maka ia diberi pilihan antara masuk dalam keadaan beriḥrām untuk ḥajj atau ‘umrah. Jika ia beriḥrām untuk memasuki Makkah dengan iḥrām muwaqqaf (ditangguhkan tujuannya), maka ia diberi pilihan untuk memalingkannya kepada ḥajj atau ‘umrah.

Namun jika ia masuk di luar bulan-bulan ḥajj, maka iḥrām-nya dialihkan kepada ‘umrah, dan tidak sah mengalihkannya kepada ḥajj, karena di luar bulan-bulan ḥajj tidak sah beriḥrām untuk ḥajj. Jika ia beriḥrām untuk ḥajj, maka itu menjadi ‘umrah, dan ia bertahallul dengan ṭawāf, sa‘y, dan ḥalq.

Maka jika ia beriḥrām untuk memasuki Makkah di luar bulan-bulan ḥajj dengan iḥrām muwaqqaf, dan ia memasuki Makkah dalam keadaan beriḥrām, lalu ia tidak memalingkan iḥrām-nya kepada ‘umrah hingga datang bulan-bulan ḥajj, lalu ia ingin memalingkan iḥrām-nya kepada ḥajj, maka hal itu tidak sah. Sebab iḥrām yang dilakukan di luar bulan-bulan ḥajj tidak dianggap sebagai muwaqqaf (ditangguhkan), karena sahnya penangguhan iḥrām hanya terjadi jika memungkinkan untuk diarahkan kepada ḥajj atau ‘umrah. Sedangkan iḥrām yang dilakukan di luar bulan-bulan ḥajj tidak bisa diarahkan kepada ḥajj, melainkan hanya kepada ‘umrah.

Maka jika ia beriḥrām untuk ḥajj, itu tidak sah sebagai ḥajj, melainkan menjadi ‘umrah. Begitu pula jika ia beriḥrām dengan maksud ditangguhkan, maka itu tidak dianggap sebagai muwaqqaf, melainkan menjadi ‘umrah.


فَصْلٌ
: فَإِنْ دَخَلَ مَكَّةَ غَيْرَ مُحْرِمٍ بِنُسُكٍ فَقَدْ أَسَاءَ عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ وَعَصَى عَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا.
وَقَالَ أبو حنيفة: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَكِّيًّا فَلَا يَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْإِحْرَامُ بِأَحَدِ النُّسُكَيْنِ وَاجِبًا صَارَ أَحَدُ النُّسُكَيْنِ بِدُخُولِ مَكَّةَ وَاجِبًا وَمَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ نُسُكٌ مِنْ حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ فَلَمْ يَأْتِ بِهِ فَعَلَيْهِ قَضَاؤُهُ كَحَجَّةِ الْإِسْلَامِ وَالنَّذْرِ.

PASAL
 Jika seseorang masuk ke Makkah tanpa beriḥrām dengan salah satu nusuk, maka ia telah berbuat buruk menurut pendapat pertama, dan telah bermaksiat menurut pendapat kedua. Namun tidak ada qadhā’ atasnya menurut kedua pendapat tersebut.

Dan Abū Ḥanīfah berkata: Wajib atasnya qadhā’, kecuali jika ia adalah orang Makkah, maka tidak wajib atasnya qadhā’. Karena ketika iḥrām dengan salah satu dari dua nusuk itu wajib, maka menjadi wajib pula salah satu nusuk karena masuk ke Makkah. Dan siapa saja yang wajib atasnya suatu nusuk dari haji atau ‘umrah lalu ia tidak menunaikannya, maka wajib atasnya qadhā’, sebagaimana ḥajjat al-islām dan nusuk nadzar.


وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ أَنَّهُ دَخَلَ مَكَّةَ بِغَيْرِ نُسُكٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ قَضَاءُ نُسُكٍ كَالْمَكِّيِّ، وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ مَكِّيًّا لَمْ يَلْزَمْهُ الْقَضَاءُ فَوَجَبَ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَكِّيٍّ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ الْقَضَاءُ كالحطابين والسقايين وَلِأَنَّ الْقَضَاءَ غَيْرُ مُمْكِنٍ لِأَنَّهُ إِذَا أَرَادَ الدُّخُولَ ثَانِيَةً لِلْقَضَاءِ تَعَلَّقَ الْإِحْرَامُ بِالدُّخُولِ الثَّانِي كَتَعَلُّقِهِ بِالدُّخُولِ الْأَوَّلِ فَلَمْ يَخْلُصْ لَهُ حَالَةٌ يَصِحُّ فِيهَا الْقَضَاءُ إِلَّا وَمُتَعَلِّقٌ بِهَا فِعْلُ الْإِحْرَامِ فَامْتَنَعَ الْقَضَاءُ فَأَمَّا اعْتِبَارُهُمْ ذَلِكَ بِحَجَّةِ الْإِسْلَامِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Dan dalil atasnya adalah bahwa ia telah masuk ke Makkah tanpa nusuk, maka tidak wajib atasnya qadhā’ nusuk, sebagaimana halnya orang Makkah. Dan karena jika ia adalah orang Makkah, maka tidak wajib atasnya qadhā’, maka wajib pula bahwa jika ia bukan orang Makkah, tidak wajib atasnya qadhā’, seperti para penebang kayu dan penyedia air.

Dan karena qadhā’ tidak mungkin dilakukan, sebab jika ia ingin masuk untuk kedua kalinya guna menunaikan qadhā’, maka iḥrām akan kembali terkait dengan masuk yang kedua, sebagaimana iḥrām terikat pada masuk yang pertama. Maka tidak tersisa baginya keadaan yang sah untuk melaksanakan qadhā’, kecuali keadaan tersebut pun telah terkait dengan perbuatan iḥrām. Maka gugurlah kemungkinan qadhā’.

Adapun analogi mereka dengan ḥajjat al-islām, maka tidak sah dari dua sisi:


أَحَدُهُمَا: أَنَّ حَجَّةَ الْإِسْلَامِ لَا تُقْضَى لِأَنَّهُ فِي أَيِّ الزَّمَانِ فَعَلَهَا كَانَ مُؤَدِّيًا وَلَمْ يَكُنْ قَاضِيًا.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ وَإِنْ وَجَبَ الْقَضَاءُ بِالْفَسَادِ وَالْفَوَاتِ فلأن قَضَاؤُهُ مُمْكِنٌ؛ لِأَنَّ زَمَانَ الْقَضَاءِ لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مَا يُوجِبُ الْقَضَاءَ وَقَضَاءُ الدُّخُولِ يَتَعَلَّقُ به ما يتعلق بِابْتِدَاءِ الدُّخُولِ فَلَمْ يَصِحَّ الْقَضَاءُ فَإِذَا ثَبَتَ أَنْ لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْكَفَّارَةَ إِنَّمَا تَجِبُ جُبْرَانًا لِنَقْصٍ دَخَلَ عَلَى نُسُكٍ فَإِذَا لَمْ يَأْتِ بِالنُّسُكِ لَمْ يَلْزَمْهُ جُبْرَانُ مَا عُدِمَ أَصْلُهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.

Salah satunya: bahwa ḥajj al-Islām tidak perlu di-qadhā’, karena kapan pun ia melaksanakannya maka ia dianggap menunaikan, bukan mengganti (qāḍī).

Dan yang kedua: bahwa meskipun qadhā’ wajib dilakukan karena fasād dan fawāt, namun hal itu karena qadhā’-nya memungkinkan; sebab waktu qadhā’ tidak terkait dengan sebab yang mewajibkan qadhā’. Adapun qadhā’ masuk (ke Makkah) terkait dengan hal-hal yang terkait dengan permulaan masuk, maka tidak sah dilakukan qadhā’.

Maka apabila telah tetap bahwa tidak ada qadhā’ atasnya, maka tidak ada kafārah atasnya; karena kafārah itu hanya wajib sebagai penambal kekurangan yang terjadi pada suatu nusuk, maka jika tidak melaksanakan nusuk, tidak wajib baginya menambal sesuatu yang pokoknya saja tidak ada.

Dan Allah lebih mengetahui yang benar.

مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” أَخْبَرَنَا أنسٌ بْنُ عِيَاضٍ عَنْ مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: ” وَمَنْ لَمْ يُدْرِكْ عَرَفَةَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَقَدْ فَاتَهُ الْحَجُّ فَلْيَأْتِ الْبَيْتَ وَلْيَطُفْ بِهِ وَلْيَسْعَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ ثُمَّ لِيَحْلِقْ أَوْ يُقَصِّرْ إِنْ شَاءَ وَإِنْ كَانَ مَعَهُ هَدْيٌ فَلْيَنْحَرْهُ قَبْلَ أَنْ يَحْلِقَ وَيَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهِ فَإِذَا أَدْرَكَ الْحَجَّ قَابِلًا فَلْيَحْجُجْ وَلْيُهْدِ ” وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ لِأَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ وَقَدْ فَاتَهُ الْحَجُّ ” اصْنَعْ مَا يَصْنَعُ الْمُعْتَمِرُ ثُمَ قَدْ حَلَلْتَ فَإِذَا أَدْرَكْتَ الْحَجَّ قَابِلًا فاحجج وأهد ما استيسر من الهدي ” وقال عمر رضي الله عنه أيضاًَ لهبار بن الأسود مثل معنى ذلك وزاد ” فإن لم تجد هدياً فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أيامٍ فِي الْحَجِّ وسبعةٍ إِذَا رجعت ” (قال الشافعي) فبهذا كله نأخذ (قال) وفي حديث عمر دلالة أنه استعمل أبو أيوب عمل المعتمر لا إن إحرامه صار عمرة “.

BAB: Orang yang tidak mendapatkan (wukuf di) ‘Arafah

Masalah: Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:
 “Telah mengabarkan kepada kami Anas bin ‘Iyāḍ dari Mūsā bin ‘Uqbah dari Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa ia berkata: ‘Barang siapa yang tidak mendapatkan ‘Arafah sebelum fajar, maka sungguh hajinya telah luput. Maka hendaklah ia mendatangi Ka‘bah, lalu ṭawaf di sekitarnya, lalu sa‘i antara aṣ-Ṣafā dan al-Marwah, kemudian mencukur atau memendekkan rambutnya jika ia mau. Jika ia membawa hady, maka hendaklah ia menyembelihnya sebelum mencukur rambut, lalu kembali kepada keluarganya. Dan apabila ia mendapatkan musim haji pada tahun berikutnya, maka hendaklah ia berhaji dan menyembelih hady’.”

Dan diriwayatkan dari ‘Umar bahwa ia berkata kepada Abū Ayyūb al-Anṣārī yang telah luput dari (wukuf di) ḥajj:
 “Lakukanlah seperti yang dilakukan oleh orang yang ber‘umrah, lalu engkau telah bertahallul. Jika engkau mendapatkan musim haji tahun berikutnya, maka berhajilah dan sembelihlah hady yang mudah bagimu.”

Dan ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu juga berkata kepada Hubār bin al-Aswad semakna dengan itu, dan ia menambahkan:
 “Jika engkau tidak mendapatkan hady, maka puasalah tiga hari di waktu haji dan tujuh hari apabila engkau telah kembali.”

(Imam al-Syāfi‘ī berkata): Maka dengan semua ini kami mengambil pendapat tersebut.
 (Beliau berkata): Dalam hadis ‘Umar terdapat dalil bahwa Abū Ayyūb mengamalkan amalan orang yang ber‘umrah, bukan karena iḥrām-nya berubah menjadi ‘umrah.


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَذَكَرْنَا حُكْمَ فَوَاتِ الْحَجِّ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مِنَ الْأَحْكَامِ وَذَكَرْنَا الْخِلَافَ فِيهِ وَاسْتَوْفَيْنَا الحجاج عليه ولم يُحْتَجْ إِلَى إِعَادَتِهِ وَإِنَّمَا قَدَّمَ الشَّافِعِيُّ تَحْدِيدَ الْمَذْهَبِ وَأَفْرَدَ هَذَا الْبَابَ بِذِكْرِ الْحِجَاجِ وَقَدْ مضيا معاً وبالله التوفيق.

Qāl al-Māwardī: Telah lewat pembahasan dalam masalah ini, dan kami telah menyebutkan hukum fawāt al-ḥajj serta hukum-hukum yang berkaitan dengannya. Kami juga telah menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah ini dan telah merincikan dalil-dalil atasnya, sehingga tidak perlu untuk diulangi kembali. Imam al-Syāfi‘ī hanya mendahulukan penetapan mazhab, lalu mengkhususkan bab ini untuk menyebutkan argumentasi, dan keduanya telah berlalu bersama. Dan kepada Allah-lah taufik diberikan.

مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا بَلَغَ غُلَامٌ أَوْ أُعْتِقَ عَبْدٌ أَوْ أَسْلَمَ ذِمِّيٌّ وَقَدْ أَحْرَمُوا ثُمَّ وَافَوْا عَرَفَةَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ فَقَدْ أدركوا الحج وعليهم دم (قال) وفي مَوْضِعٍ آخَرَ إِنَّهُ لَا يَبِينُ لَهُ أَنَّ الْغُلَامَ وَالْعَبْدَ عَلَيْهِمَا فِي ذَلِكَ دَمٌ وَأَوْجَبَهُ عَلَى الْكَافِرِ لِأَنَّ إِحْرَامَهُ قَبْلَ عَرَفَةَ وَهُوَ كافر ليس بإحرام (قال المزني) فإذا لم يبن عنده أن على العبد والصبي دماً وهما مسلمان فالكافر أحق أن لا يكون عليه دم لأن إحرامه مع الكفر ليس بإحرام والإسلام يجب ما كان قبله وإنما وجب عليه الحج مع الإسلام بعرفاتٍ فكأنها منزلةٌ أو كرجل صار إلى عرفة ولا يريد حجاً ثم أحرم أو كمن جاوز الميقات لا يريد حجاً ثم أحرم فلا دم عليه وكذلك نقول “.

BĀB: Anak kecil yang baligh, budak yang merdeka, dan dzimmī yang masuk Islam, padahal mereka telah beriḥrām

Masalah: Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:
 “Apabila seorang anak kecil mencapai usia baligh, atau seorang budak dimerdekakan, atau seorang dzimmī masuk Islam, dan mereka telah beriḥrām sebelumnya, kemudian mereka mendapati wukuf di ‘Arafah sebelum terbit fajar pada hari naḥr, maka mereka telah mendapatkan haji, dan atas mereka dam.”

(Beliau berkata): “Dan di tempat lain, aku tidak mendapatkan kejelasan bahwa atas anak kecil dan budak itu wajib dam, sedangkan aku mewajibkan dam atas orang kafir karena iḥrām-nya sebelum ‘Arafah saat ia masih kafir, maka itu bukanlah iḥrām yang sah.”

(Al-Muzanī berkata): “Apabila tidak jelas baginya bahwa atas budak dan anak kecil ada kewajiban dam padahal keduanya adalah muslim, maka orang kafir lebih utama untuk tidak diwajibkan dam, karena iḥrām-nya dalam keadaan kafir bukanlah iḥrām yang sah. Dan Islam itu menghapus apa yang sebelumnya. Dan kewajiban hajinya baru muncul setelah masuk Islam dengan wukuf di ‘Arafah. Maka keadaannya seperti seseorang yang mendatangi ‘Arafah tanpa niat haji, lalu beriḥrām, atau seperti orang yang melewati mīqāt tanpa niat haji lalu baru beriḥrām setelahnya, maka tidak ada dam atasnya. Dan demikianlah yang kami katakan.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ تَشْتَمِلُ عَلَى صَبِيٍّ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ ثُمَّ بَلَغَ، وَعَبْدٍ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ ثم أعتق وكافراً أَحْرَمَ بِالْحَجِّ ثُمَّ أَسْلَمَ فَبَدَأَ بِالْكَلَامِ فِي الصَّبِيِّ وَالْعَبْدِ لِبِدَايَةِ الشَّافِعِيِّ بِهِمَا وَاشْتِرَاكِ حُكْمِهِمَا قَدْ ذَكَرْنَا فِيمَا تَقَدَّمَ أَنَّ الْحَجَّ يَصِحُّ مِنَ الصَّبِيِّ وَالْعَبْدِ وَذَكَرْنَا خِلَافَ أبي حنيفة في الصبي.

Qāl al-Māwardī: Masalah ini mencakup (tiga keadaan): seorang anak kecil yang beriḥrām untuk haji lalu ia baligh, seorang budak yang beriḥrām untuk haji lalu ia merdeka, dan orang kafir yang beriḥrām untuk haji lalu ia masuk Islam. Maka al-Māwardī memulai pembahasan dari anak kecil dan budak karena Imam al-Syāfi‘ī memulai dari keduanya, dan karena keduanya memiliki hukum yang serupa.

Telah kami sebutkan pada bagian sebelumnya bahwa haji sah dilakukan oleh anak kecil dan budak, dan telah kami sebutkan adanya perbedaan pendapat Abū Ḥanīfah dalam hal kesahihan haji anak kecil.


ودليلنا عليه فإذا ثبت صحة حجمهما فبلغ الصبي وأعتق العبد بعد حجمهما لَمْ تُجْزِهِمَا عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ وَكَانَ فَرْضُ الحج إذا وجب عليهما باقياً في ذمتهما لِرِوَايَةِ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَوْ حَجَّ الصَّبِيُّ عَشْرَ حِجَجٍ كَانَ عَلَيْهِ حَجَّةٌ بَعْدَ أَنْ يَكْبُرَ وَلَوْ حَجَّ الْعَبْدُ عَشْرَ حججٍ كَانَ عَلَيْهِ حَجَّةٌ بَعْدَ أَنْ يُعْتَقَ ” فَأَمَّا إِذَا بَلَغَ الصَّبِيُّ وَأُعْتِقَ الْعَبْدُ بَعْدَ الْإِحْرَامِ وَقَبْلَ الْإِحْلَالِ فَلِذَلِكَ ضَرْبَانِ
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْبُلُوغُ وَالْعِتْقُ قَبْلَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بَعْدَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ أَوْ فِي عَرَفَةَ فَهُمَا سَوَاءٌ وَالْحُكْمُ فِيهِمَا وَاحِدٌ فَيُجْزِئُهَا عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ وَيُسْقِطُ ذَلِكَ فَرْضَ الْحَجِّ عَنْهُمَا.

Dan dalil kami atas hal ini: apabila telah tetap sahnya haji keduanya, lalu anak kecil itu baligh dan budak itu dimerdekakan setelah melaksanakan hajinya, maka hal itu tidak mencukupi dari ḥajj al-Islām, dan kewajiban haji tetap ada dalam tanggungan mereka berdua, berdasarkan riwayat Abū az-Zubayr dari Jābir bahwa Nabi SAW bersabda:

“Seandainya seorang anak kecil berhaji sepuluh kali, maka tetap wajib atasnya satu haji setelah ia dewasa. Dan seandainya seorang budak berhaji sepuluh kali, maka tetap wajib atasnya satu haji setelah ia merdeka.”

Adapun apabila anak kecil itu baligh dan budak itu merdeka setelah beriḥrām dan sebelum bertahallul, maka dalam hal ini terdapat dua keadaan:

Pertama: baligh dan merdekanya terjadi sebelum wukuf di ‘Arafah.

Kedua: terjadi setelah wukuf di ‘Arafah.

Jika hal itu terjadi sebelum wukuf di ‘Arafah atau saat berada di ‘Arafah, maka keduanya sama saja, dan hukum keduanya pun satu: yaitu hajinya mencukupi dari ḥajj al-Islām, dan menggugurkan kewajiban haji dari mereka berdua.


وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يُجْزِئُهُمَا عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ وَيَكُونُ حَجُّ الصَّبِيِّ بَاطِلًا إِلَّا أَنْ يَسْتَأْنِفَ الْإِحْرَامَ بَعْدَ الْبُلُوغِ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ حَجَّ الصَّبِيِّ لَا يَصِحُّ وَيَكُونُ حَجُّ الْعَبْدِ تطوعاً بناء على أصله في أن مَنْ عَلَيْهِ فَرْضُ الْحَجِّ يَصِحُّ مِنْهُ التَّطَوُّعُ بِالْحَجِّ وَنَحْنُ نَبْنِي ذَلِكَ عَلَى أَصْلِنَا فِي أَنَّ الصَّبِيَّ يَصِحُّ مِنْهُ الْحَجُّ، وَأَنَّ مَنْ عَلَيْهِ فَرْضُ الْحَجِّ لَا يَصِحُّ مِنْهُ التَّطَوُّعُ بِالْحَجِّ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ عَلَى هَذَيْنِ الْأَصْلَيْنِ ثُمَّ مِنَ الْحِجَاجِ فِي غَيْرِ الْمَسْأَلَةِ أَنْ قَالَ كَيْفَ يُجْزِئُ الصَّبِيَّ وَالْعَبْدَ عَنْ فَرْضِهِمَا حَجٌّ ابْتِدَاءً تَطَوُّعًا وَلَيْسَ مِثْلُ مَنْ يُحْرِمُ بِالتَّطَوُّعِ وَعَلَيْهِ فَرْضٌ لِأَنَّ إِحْرَامَ مَنْ أَحْرَمَ بِالتَّطَوُّعِ وَعَلَيْهِ فَرْضٌ لَمْ يُعْقَدْ عَلَى تَطَوُّعٍ وَإِنَّمَا انْعَقَدَ عَلَى فَرْضٍ وَإِحْرَامُ هَذَيْنِ انْعَقَدَ عَلَى تَطَوُّعٍ فَلَا يَنْقَلِبُ إِلَى فَرْضٍ.

Dan Abū Ḥanīfah berkata: Haji keduanya (anak kecil dan budak) tidak mencukupi sebagai ḥajjat al-islām, dan haji anak kecil itu batal, kecuali jika ia memulai kembali iḥrām setelah baligh, berdasarkan pendapat dasarnya bahwa haji anak kecil tidak sah. Dan haji budak dihukumi sebagai haji sunnah, berdasarkan pendapat dasarnya bahwa siapa yang atasnya wajib haji, sah baginya untuk melakukan haji sunnah.

Adapun kami (para ulama Syafi‘iyyah) membangun hal ini atas dasar kami bahwa haji anak kecil itu sah, dan bahwa siapa yang atasnya wajib haji, maka tidak sah baginya menunaikan haji sunnah terlebih dahulu. Dan telah lewat pembahasan tentang kedua dasar ini.

Lalu termasuk bentuk argumentasi dalam masalah lain adalah ucapan mereka: “Bagaimana mungkin haji dari anak kecil dan budak mencukupi dari kewajiban mereka, padahal pada awalnya itu adalah haji sunnah? Ini tidak sama dengan orang yang beriḥrām dengan haji sunnah padahal ia masih memiliki kewajiban haji, karena iḥrām orang yang beriḥrām untuk haji sunnah sedangkan atasnya ada haji wajib, maka iḥrām-nya tidak teranggap sebagai sunnah, melainkan beralih menjadi fardhu. Sedangkan iḥrām dua orang ini (anak kecil dan budak) sejak awal terikat sebagai sunnah, maka tidak bisa beralih menjadi wajib.”


وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ حَدِيثُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْمَرَ الدِّيلِيِّ قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِعَرَفَةَ وَأَتَاهُ نَاسٌ مِنْ أَرْضِ نَجْدٍ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ الْحَجُّ؟ قَالَ: ” الْحَجُّ عَرَفَةُ فَمَنْ جَاءَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ لَيْلَةِ جَمْعٍ فَقَدْ تَمَّ حَجُّهُ “. فَكَانَ عَلَى عمومه ولأن وُقُوفُ مُكَلَّفٍ تَعَقَّبَ إِحْرَامًا صَادَفَ حُرِّيَّةً وَإِسْلَامًا فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ بِهِ الْفَرْضُ قِيَاسًا عَلَى مَنْ كَانَ بِهَذِهِ الْأَوْصَافِ فَابْتَدَأَ الْإِحْرَامَ بِالْحَجِّ.

Dan dalil atas hal itu adalah hadis ‘Abd ar-Raḥmān bin Ya‘mar ad-Dīlī. Ia berkata:
 “Aku mendatangi Rasulullah SAW di ‘Arafah, lalu datang sekelompok orang dari wilayah Najd. Mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana (tata cara) haji?’ Maka beliau bersabda: ‘Al-ḥajju ‘Arafah, barang siapa yang datang sebelum terbit fajar malam Jam‘ (Muzdalifah), maka hajinya telah sempurna.’”

Hadis ini berlaku secara umum.

Dan karena wukuf seorang yang mukallaf yang mengikuti iḥrām dan bertepatan dengan keadaan merdeka dan Islam, maka wajib baginya gugur kewajiban haji, dengan qiyās kepada orang yang memiliki sifat-sifat ini sejak awal lalu memulai iḥrām untuk ḥajj.


فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ إِنَّ إِحْرَامَ هَذَيْنِ قَدِ انْعَقَدَ تَطَوُّعًا فَلَمْ يَصِرْ فَرْضًا وَخَالَفَ مَنْ أَحْرَمَ بِالتَّطَوُّعِ وَعَلَيْهِ الْفَرْضُ، لِأَنَّهُ لَمْ يَنْعَقِدْ بِالتَّطَوُّعِ وَإِنَّمَا انْعَقَدَ بِالْفَرْضِ أَنْ يُقَالَ لَهُ لَا فَرْقَ بَيْنَهُمَا بِهِ لِمَا امْتَنَعَ بما تقدم من الحجاج أن يبتدأ بِالتَّطَوُّعِ وَعَلَيْهِ الْفَرْضُ وَقَدْ يَتَحَرَّرُ ذَلِكَ قِيَاسًا فَنَقُولُ كُلُّ مَنْ لَزِمَهُ فَرْضُ الْحَجِّ لَمْ يَصِحَّ مِنْهُ التَّطَوُّعُ بِالْحَجِّ كَالْمُبْتَدِئِ.

Adapun jawaban atas ucapan mereka bahwa iḥrām kedua orang ini (anak kecil dan budak) telah terikat sebagai haji sunnah maka tidak bisa menjadi fardhu, dan bahwa keduanya berbeda dengan orang yang beriḥrām untuk haji sunnah padahal masih memiliki kewajiban haji —karena orang tersebut iḥrām-nya tidak terikat sebagai sunnah, tetapi terikat sebagai fardhu— maka dijawab: tidak ada perbedaan antara keduanya dari sisi ini. Karena telah dibuktikan sebelumnya melalui dalil-dalil bahwa tidak boleh memulai haji sunnah bagi siapa yang masih memiliki kewajiban haji.

Dan hal ini dapat ditegaskan pula secara qiyās (analogi), yaitu dengan mengatakan: Setiap orang yang telah wajib atasnya haji fardhu, maka tidak sah baginya menunaikan haji sunnah, seperti orang yang baru pertama kali hendak berhaji.

فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ يُجْزِئُهُمَا عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ فَهَلْ عَلَيْهِمَا دَمٌ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِمَا دَمٌ، لِأَنَّ إِحْرَامَ الْفَرْضِ إِنَّمَا اعْتَدَّا بِهِ مِنَ الْوَقْتِ الَّذِي صَارَ فِيهِ مِنْ أَهْلِ الْفَرْضِ وَمَا مَضَى مِنْ إِحْرَامِهِمَا الْمُتَقَدِّمِ لَيْسَ بِفَرْضٍ فَكَانَ وَجُودُهُ كَعَدَمِهِ وَصَارَ كَمَنْ مَرَّ بِمِيقَاتِ بَلَدِهِ مُرِيدًا لِلْحَجِّ فَأَحْرَمَ بَعْدَهُ فَلَزِمَهُمَا لِأَجْلِ ذَلِكَ دَمٌ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّهُ لَا دَمَ عَلَيْهِمَا لِإِتْيَانِهِمَا بِالْإِحْرَامِ الصَّحِيحِ مِنَ الْمِيقَاتِ عَلَى حَسَبِ قُدْرَتِهِمَا كَمَا لَوْ تَقَدَّمَ بُلُوغُهُمَا وَحُرِّيَّتُهُمَا.

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa haji keduanya mencukupi dari ḥajj al-Islām, maka apakah atas keduanya wajib dam atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: Wajib atas keduanya dam, karena iḥrām wajib yang dianggap dari keduanya hanyalah sejak waktu ketika mereka menjadi termasuk ahl al-farḍ (yang sudah memenuhi syarat wajib haji), dan apa yang telah lalu dari iḥrām mereka sebelumnya tidak dianggap sebagai farḍ, maka keberadaannya seperti tidak ada. Keadaannya seperti seseorang yang melewati mīqāt negerinya dalam keadaan ingin berhaji, lalu beriḥrām setelahnya, maka wajib atasnya dam. Maka karena itu keduanya pun wajib dam.

Pendapat kedua: Dan inilah yang ṣaḥīḥ, bahwa tidak ada dam atas keduanya, karena mereka telah melaksanakan iḥrām yang sah dari mīqāt sesuai dengan kemampuan mereka, sebagaimana jika baligh dan merdekanya terjadi lebih dahulu.


فَصْلٌ
: وَإِنْ كَانَ الْبُلُوغُ وَالْحَرِيَّةُ بَعْدَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ زَمَانُ الْوُقُوفِ فَائِتًا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بَاقِيًا فَإِنْ كَانَ زَمَانُ الْوُقُوفِ فَائِتًا لِوُجُودِ الْبُلُوغِ وَالْحُرِّيَّةِ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ فَيَكُونُ حَجُّهُمَا تَطَوُّعًا وَلَا يُجْزِئُهُمَا عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ لِوُجُودِ مَا يَتَعَلَّقُ بِهِ إِدْرَاكُ الْحَجِّ وَهُوَ الْوُقُوفُ قَبْلَ وُجُوبِ الْحَجِّ فَإِنْ أَمْكَنَهُمَا الْحَجُّ فِي الْعَامِ الْمُقْبِلِ وَوُجِدَتْ شَرَائِطُ الْوُجُوبِ لَزِمَهُمَا فَرْضُ الْحَجِّ وَإِنْ عَدِمَا شَرَائِطَ الْوُجُوبِ لَمْ يَلْزَمْهُمَا فَرْضُ الْحَجِّ وَلَا دَمَ عَلَيْهِمَا فِي هَذَا الْحَجِّ لَا يَخْتَلِفُ لِأَنَّ حَجَّةَ الْإِسْلَامِ لَمْ تَسْقُطْ عَنْهُمَا فَإِنْ قِيلَ أَلَيْسَ لَوْ أَحْرَمَ الصَّبِيُّ بصلاة وقته ثم بلغ قبل الإسلام مِنْهَا أَجْزَأَتْهُ عَنْ فَرْضِهِ وَإِنْ كَانَ مَا بَقِيَ مِنْهَا أَقَلَّهَا فَهَلَّا كَانَ بُلُوغُ الصَّبِيِّ فِي الْحَجِّ يُسْقِطُ عَنْهُ الْفَرْضَ وَإِنْ كَانَ مَا بَقِيَ بَعْدَ الْبُلُوغِ أَقَلَّ؟ قِيلَ لِأَنَّ الصَّبِيَّ لَوْ بَلَغَ بَعْدَ فِعْلِ الصَّلَاةِ سَقَطَ عَنْهُ فَرْضُهَا فَكَذَلِكَ إِذَا بَلَغَ فِي الصَّلَاةِ وَقَدْ بَقِيَ مِنْهَا أَقَلُّهَا وَالصَّبِيُّ لَوْ بَلَغَ بَعْدَ فِعْلِ الْحَجِّ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ فَرْضُ الْحَجِّ فَاعْتَبَرَ أَنْ يَفْعَلَ بَعْدَ الْبُلُوغِ مَا يَقَعُ بِهِ إِدْرَاكُ الْحَجِّ وَإِنْ كَانَ زَمَانُ الْوُقُوفِ بَاقِيًا لِوُجُودِ الْبُلُوغِ وَالْحُرِّيَّةِ لَيْلَةَ النَّحْرِ فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ. إِمَّا أَنْ يَرْجِعَا بَعْدَ الْبُلُوغِ وَالْحُرِّيَّةِ إِلَى عَرَفَةَ أَوْ لَا يَرْجِعَا فَإِنْ رَجِعَا إِلَى عَرَفَةَ فَوَقَفَا بِهَا قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ أَجْزَأَهُمَا ذَلِكَ عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ وَيَسْقُطُ عَنْهُمَا فَرْضُ الْحَجِّ وَهَلْ عَلَيْهِمَا دَمٌ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: وَإِنْ لَمْ يَرْجِعَا إِلَى عَرَفَةَ حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ حَجَّهُمَا يَكُونُ تُطَوُّعًا وَلَا يُجْزِئُهَا عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ لِوُجُودِ الْوُقُوفِ قَبْلَ الْبُلُوغِ وَالْحُرِّيَّةِ فِي زَمَانٍ يَكْمُلُ فِيهِ إِدْرَاكُ الْحَجِّ.

PASAL
 Jika baligh dan merdeka terjadi setelah wuqūf di ‘Arafah, maka keadaannya terbagi menjadi dua:

Pertama: bahwa waktu wuqūf telah lewat.
 Kedua: bahwa waktunya masih tersisa.

Jika waktu wuqūf telah lewat karena baligh dan merdeka baru terjadi setelah terbit fajar hari naḥr, maka haji keduanya dihukumi sebagai haji ṭathawwu‘ (sunnah) dan tidak mencukupi untuk ḥajjat al-islām, karena bagian yang menjadi dasar keabsahan haji yaitu wuqūf telah dilakukan sebelum kewajiban haji berlaku atas mereka. Maka jika memungkinkan bagi mereka menunaikan haji pada tahun berikutnya dan syarat-syarat kewajiban telah terpenuhi, maka wajib atas mereka haji fardhu. Namun jika tidak terpenuhi syarat-syarat kewajiban, maka tidak wajib atas mereka haji fardhu.

Dan tidak ada dam atas mereka dalam haji tersebut, tanpa ada perbedaan pendapat, karena ḥajjat al-islām belum gugur dari mereka.

Jika ada yang bertanya: Bukankah seandainya seorang anak kecil beriḥrām untuk salat fardhu lalu ia baligh sebelum salam, salatnya sah sebagai salat wajib, meskipun yang tersisa hanya sebagian kecil dari salat tersebut? Maka mengapa balighnya anak kecil dalam haji tidak menggugurkan kewajiban haji, walaupun yang tersisa setelah baligh hanya sedikit?

Maka dijawab: karena anak kecil jika baligh setelah selesai melaksanakan salat, maka gugur kewajiban salatnya. Demikian pula jika ia baligh di tengah salat dan yang tersisa hanya sebagian kecil, maka itu mencukupi. Sedangkan anak kecil jika ia baligh setelah selesai melaksanakan haji, maka tidak gugur kewajiban hajinya. Maka harus dipastikan bahwa ia melakukan bagian dari haji setelah baligh yang mencakup keabsahan idrāk al-ḥajj.

Adapun jika waktu wuqūf masih tersisa karena baligh dan merdeka terjadi pada malam naḥr, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

Pertama: mereka kembali ke ‘Arafah setelah baligh dan merdeka.
 Kedua: mereka tidak kembali.

Jika mereka kembali ke ‘Arafah lalu wuqūf di sana sebelum terbit fajar, maka hal itu mencukupi dari ḥajjat al-islām, dan gugurlah kewajiban haji dari mereka. Apakah wajib atas mereka dam atau tidak? Ada dua pendapat.

Namun jika mereka tidak kembali ke ‘Arafah sampai terbit fajar, maka menurut mazhab al-Syāfi‘ī, haji mereka dihukumi sebagai haji ṭathawwu‘ dan tidak mencukupi sebagai ḥajjat al-islām, karena wuqūf mereka terjadi sebelum baligh dan merdeka dalam waktu yang sah untuk pelaksanaan idrāk al-ḥajj.


وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ قَدْ سَقَطَ عَنْهُمَا فَرْضُ الْحَجِّ لِوُجُودِ الْبُلُوغِ وَالْحُرِّيَّةِ فِي زَمَانِ الْوُقُوفِ كَمَا يَسْقُطُ عَنْهُمَا بِوُجُودِهِ قَبْلَ الْوُقُوفِ لِأَنَّ الوقوف بعد البلوغ والحرية يمكن أَلَا تَرَى أَنَّ الْبُلُوغَ وَالْحُرِّيَّةَ بَعْدَ الْإِحْرَامِ كَالْبُلُوغِ وَالْحُرِّيَّةِ قَبْلَ الْإِحْرَامِ، لِأَنَّ فِعْلَ الْإِحْرَامِ بَعْدَ الْبُلُوغِ وَالْحَرِيَّةِ مُمْكِنٌ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ إِدْرَاكَ الْحَجِّ وَفَوَاتَهُ يَتَعَلَّقُ بِفِعْلِ الْوُقُوفِ دُونَ زَمَانِ الْوُقُوفِ؛ لِأَنَّ مَنْ لَمْ يَقِفْ بِعَرَفَةَ بَعْدَ إِدْرَاكِ الزَّمَانِ كَانَ كَمَنْ لَمْ يقف لفوات الزمان وإذا كان لذلك كَانَ وُجُودُ الْبُلُوغِ وَالْحُرِّيَّةِ بَعْدَ الْوُقُوفِ فِي زَمَانِ الْوُقُوفِ كَوُجُودِهِ بَعْدَ الْوُقُوفِ وَبَعْدَ زَمَانِ الْوُقُوفِ فَأَمَّا الْإِحْرَامُ فَإِنَّمَا يُعَدُّ مِنْ فَرْضِهِ مِنْ حِينِ الْبُلُوغِ وَالْحُرِّيَّةِ دُونَ مَا تَقَدَّمَ قَبْلَ الْبُلُوغِ وَالْحُرِّيَّةِ فَعَلَى هَذَا لَوْ بَلَغَ قبل الوقوف بعرفة وكان قد سعى قبل بُلُوغِهِ مَعَ طَوَافِ الْقُدُومِ فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ عَلَيْهِ إِعَادَةُ السَّعْيِ بِعَرَفَةَ لِيَكُونَ السَّعْيُ مَوْجُودًا بَعْدَ بُلُوغِهِ وَلَا يُجْزِئُهُ سَعْيُهُ قَبْلَ بُلُوغِهِ فَإِنْ لَمْ يُعِدِ السَّعْيَ كَانَ تُحَلُّلُهُ صَحِيحًا وَكَانَ فَرْضُ الْحَجِّ عَلَيْهِ بَاقِيًا وَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ: لَا يَلْزَمُهُ إِعَادَةُ السَّعْيِ وَيُجْزِئُهُ عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ لِقُدْرَتِهِ عَلَيْهِ كَمَا لَا يَلْزَمُهُ إِعَادَةُ الْوُقُوفِ وَيُجْزِئُهُ عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ لِقُدْرَتِهِ عَلَيْهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

dan Abū al-‘Abbās Ibn Surayj berkata: Telah gugur dari keduanya kewajiban haji karena baligh dan merdeka terjadi pada waktu wuqūf, sebagaimana gugur dari keduanya jika baligh dan merdeka terjadi sebelum wuqūf, karena wuqūf setelah baligh dan merdeka adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Tidakkah engkau melihat bahwa baligh dan merdeka setelah iḥrām seperti halnya baligh dan merdeka sebelum iḥrām, karena pelaksanaan iḥrām setelah baligh dan merdeka itu memungkinkan? Namun pendapat ini tidak benar; karena tercapainya haji atau tidaknya bergantung pada pelaksanaan wuqūf, bukan pada waktu wuqūf. Karena barang siapa tidak wuqūf di ‘Arafah setelah mendapati waktunya, maka ia seperti orang yang tidak wuqūf karena luput dari waktunya. Jika demikian, maka keberadaan baligh dan merdeka setelah wuqūf di waktu wuqūf sama saja dengan keberadaannya setelah wuqūf dan setelah habis waktunya.

Adapun iḥrām, maka yang dihitung sebagai bagian dari fardu haji hanyalah yang dilakukan setelah baligh dan merdeka, bukan yang dilakukan sebelumnya. Berdasarkan hal ini, jika seseorang baligh sebelum wuqūf di ‘Arafah dan ia telah melakukan sa‘i sebelum baligh bersama ṭawāf qudūm, maka menurut mazhab al-Syāfi‘ī, ia wajib mengulangi sa‘i setelah wuqūf di ‘Arafah agar sa‘i-nya terjadi setelah baligh, dan sa‘i-nya sebelum baligh tidak mencukupi. Jika ia tidak mengulangi sa‘i, maka taḥallul-nya sah, namun kewajiban haji masih tetap ada atasnya.

Sedangkan menurut mazhab Abū al-‘Abbās Ibn Surayj: Ia tidak wajib mengulangi sa‘i, dan haji-nya dianggap mencukupi sebagai ḥajjat al-islām karena ia mampu melakukannya, sebagaimana ia tidak wajib mengulangi wuqūf dan tetap mencukupi sebagai ḥajjat al-islām karena kemampuannya atasnya. Wallāhu a‘lam.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْكَافِرُ إِذَا أَحْرَمَ بِالْحَجِّ ثُمَّ أَسْلَمَ فَإِحْرَامُهُ غَيْرُ مُنْعَقِدٍ وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ فِيمَا فَعَلَهُ مِنْ مَحْظُورَاتِ الْحَجِّ وَإِنَّمَا لَمْ يَصِحَّ إِحْرَامُهُ بِالْحَجِّ؛ لِأَنَّ الْحَجَّ مِنْ عِبَادَاتِ الْأَبْدَانِ وَعِبَادَاتُ الْأَبْدَانِ لَا تَصِحُّ مِنَ الْكَافِرِ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَإِذَا كَانَ ذَلِكَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ إِسْلَامِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ فِي زَمَانِ الْوُقُوفِ أَوْ بَعْدَ زَمَانِ الْوُقُوفِ فَإِنْ كَانَ بَعْدَ زَمَانِ الْوُقُوفِ لَمْ يَلْزَمْهُ فَرْضُ الْحَجِّ فِي عَامِهِ لِفَوَاتِ وَقْتِهِ قَبْلَ إِسْلَامِهِ وَلَزِمَهُ فَرْضُ الْعُمْرَةِ لِلْقُدْرَةِ عَلَى فِعْلِهَا وَلَهُ أَنْ يُؤَخِّرَهَا؛ لِأَنَّ فَرْضَهَا عَلَى التَّرَاخِي وَالتَّوْسِعَةِ فَإِنْ أَتَى بِالْعُمْرَةِ فِي وَقْتِهِ فَلَا دَمَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ حِينَ مَرَّ بِالْمِيقَاتِ لَمْ يَكُنْ مُرِيدًا لِلْعُمْرَةِ وَإِنْ كَانَ إِسْلَامُهُ قَبْلَ زَمَانِ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ أَوْ فِي زَمَانِ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ وَيُمْكِنُهُ إِدْرَاكُ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ فَرْضُ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فِي عَامِهِ وَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَأْتِيَ بِالْحَجِّ فِي عَامِهِ فَيَنْوِيَ الْإِحْرَامَ بِهِ فِي وَقْتِهِ وَيَقِفُ بِعَرَفَةَ وَبَيْنَ أَنْ يُؤَخِّرَهُ عَنْ عَامِهِ إِلَى عَامٍ غَيْرِهِ لِأَنَّ فَرْضَ الْحَجِّ عِنْدَنَا عَلَى التَّرَاخِي وَالتَّوْسِعَةِ فَإِنْ أَخَّرَهُ عَنْ عَامِهِ فَلَا دَمَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ مَرَّ بميقاته مريداً بالحج فِي غَيْرِ عِلْمِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ دَمٌ وَإِنَّمَا يَلْزَمُ مَنْ أَرَادَ الْإِحْرَامَ بِهِ فِي عَامِهِ فَهَذَا إِذَا أَرَادَ تَأْخِيرَ الْحَجِّ وَإِنْ أَرَادَ فِعْلَ الْحَجِّ فِي عَامِهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَسْتَأْنِفَ إِحْرَامًا بِالْحَجِّ جَدِيدًا؛ لِأَنَّ إِحْرَامَهُ الْأَوَّلَ غَيْرُ مُنْعَقِدٍ فَإِذَا اسْتَأْنَفَ الْإِحْرَامَ نَظَرَ فَإِنْ عَادَ إِلَى مِيقَاتِهِ قَبْلَ عَرَفَةَ فَلَا دَمَ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَعُدْ إِلَى مِيقَاتِهِ قَبْلَ عَرَفَةَ أَجْزَأَهُ حَجُّهُ وَعَلَيْهِ دَمٌ لِمُجَاوَزَةِ مِيقَاتِهِ قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّهُ قَدْ مَرَّ بِمِيقَاتِ بَلَدِهِ مُرِيدًا لِلْحَجِّ فِي عَامِهِ فَلَمْ يُحْرِمْ مِنْهُ إِحْرَامًا صَحِيحًا، وَهَذَا بِخِلَافِ الصَّبِيِّ وَالْعَبْدِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، لِأَنَّ إِحْرَامَهُمَا صَحِيحٌ.

PASAL
 Adapun orang kafir apabila beriḥrām untuk haji lalu masuk Islam, maka iḥrām-nya tidak sah dan tidak wajib atasnya fidyah atas apa yang telah ia lakukan dari maḥẓūrāt al-ḥajj. Sesungguhnya iḥrām hajinya tidak sah karena haji termasuk ibadah badaniyyah, dan ibadah badaniyyah tidak sah dari orang kafir sebagaimana shalat dan puasa.

Jika demikian keadaannya, maka saat ia masuk Islam tidak lepas dari dua kemungkinan:
 pertama, masuk Islam setelah waktu wuqūf;
 kedua, masuk Islam pada waktu wuqūf atau sebelumnya.

Jika masuk Islamnya setelah waktu wuqūf di ‘Arafah, maka tidak wajib atasnya haji pada tahun itu karena telah luput waktunya sebelum ia masuk Islam. Namun, ia wajib ‘umrah karena ia mampu melakukannya. Ia boleh menundanya karena kewajiban ‘umrah bersifat tarkhī (boleh ditunda) dan tawsi‘ah (fleksibel). Jika ia menunaikan ‘umrah pada waktunya, maka tidak ada dam atasnya karena ketika melewati mīqāt ia tidak berniat ‘umrah.

Jika masuk Islamnya sebelum waktu wuqūf di ‘Arafah atau saat waktu wuqūf dan ia memungkinkan untuk mendapatkan wuqūf di ‘Arafah, maka wajib atasnya haji dan ‘umrah pada tahun itu. Ia boleh memilih untuk melaksanakan haji pada tahun itu dengan niat iḥrām di waktunya dan wuqūf di ‘Arafah, atau menundanya ke tahun lain, karena menurut kami kewajiban haji itu bersifat tarkhī dan tawsi‘ah.

Jika ia menundanya dari tahun itu, maka tidak ada dam atasnya, karena ia telah melewati mīqāt-nya dalam keadaan belum mengetahui kewajiban haji dan tidak berniat iḥrām saat itu. Maka tidak wajib dam, karena dam hanya diwajibkan atas orang yang melewati mīqāt dengan niat iḥrām pada tahun itu.

Ini jika ia ingin menunda hajinya. Jika ia ingin melaksanakan haji pada tahun itu, maka ia harus memulai iḥrām baru untuk haji karena iḥrām yang pertama tidak sah. Apabila ia memulai iḥrām baru, maka diperhatikan: jika ia kembali ke mīqāt-nya sebelum wuqūf di ‘Arafah, maka tidak ada dam atasnya. Jika ia tidak kembali ke mīqāt-nya sebelum wuqūf di ‘Arafah, maka hajinya sah dan wajib atasnya dam karena melewati mīqāt-nya tanpa iḥrām, ini menurut satu pendapat, karena ia telah melewati mīqāt negerinya dengan niat haji pada tahun itu namun tidak beriḥrām darinya dengan iḥrām yang sah.

Ini berbeda dengan anak kecil dan budak dalam salah satu dari dua pendapat, karena iḥrām keduanya sah.


وَقَالَ الْمُزَنِيُّ: لَا دَمَ عَلَيْهِ وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة اسْتِدْلَالًا بِشَيْئَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: قَوْلُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْإِسْلَامُ يَجُبُّ مَا كَانَ قَبْلَهُ ” وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الدَّمَ وَجَبَ عَلَيْهِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ لَا قبله.
والثاني: أنه قَالَ إِذَا كَانَ الْإِحْرَامُ مِنَ الْمِيقَاتِ لَا يَصِحُّ مِنْهُ فَهُوَ كَمَنْ مَرَّ بِهِ غَيْرَ مريد للحج فلا يلزمه دم قبل هَذَا مُرِيدٌ لِلْحَجِّ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَالَ إِنَّهُ غَيْرُ مُرِيدٍ وَفِعْلُ الْإِحْرَامِ يَصِحُّ مِنْهُ، لِأَنَّهُ قَدْ تَقَدَّمَ عَلَى الْإِسْلَامِ فَلَمْ يَصِحَّ أَنْ يُقَالَ الْإِحْرَامُ لَا يَصِحُّ مِنْهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

dan al-Muzanī berkata: Tidak ada dam atasnya. Pendapat ini juga dikatakan oleh Abū Ḥanīfah, dengan berdalil pada dua hal:

Pertama: Sabda Rasulullah SAW: “al-Islām menghapus apa yang sebelumnya.” Jawaban atasnya adalah bahwa dam itu wajib atasnya setelah masuk Islam, bukan sebelumnya.

Kedua: Bahwa ia berkata, “Jika iḥrām dari mīqāt tidak sah darinya, maka ia seperti orang yang melewati mīqāt tanpa berniat haji, sehingga tidak wajib atasnya dam.” Padahal sebelumnya ia telah berniat haji, maka tidak boleh dikatakan bahwa ia tidak berniat, dan perbuatan iḥrām sah darinya karena telah didahului oleh Islam, maka tidak benar untuk dikatakan bahwa iḥrām-nya tidak sah darinya.

Wallāhu a‘lam.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْمُرْتَدُّ إِذَا أَحْرَمَ بِالْحَجِّ فِي حَالِ رِدَّتِهِ فَإِحْرَامُهُ بَاطِلٌ غَيْرُ مُنْعَقِدٍ؛ لِأَنَّ الرِّدَّةَ تَنَافِي الْعِبَادَاتِ فَلَمْ يَنْعَقِدِ الْإِحْرَامُ مَعَهَا كَالْكُفْرِ، فَأَمَّا إِذَا أَحْرَمَ بِالْحَجِّ وَهُوَ مُسْلِمٌ ثُمَّ ارْتَدَّ فِي أَثْنَاءِ إِحْرَامِهِ فَفِي بُطْلَانِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: قَدْ بَطَلَ حَجُّهُ بِحُدُوثِ الرِّدَّةِ فِيهِ كَمَا تَبْطُلُ الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ حَجَّهُ لَا يَبْطُلُ لِحُدُوثِ الرِّدَّةِ فِيهِ، فَإِنْ أَسْلَمَ بَنَى عَلَى حَجِّهِ وَأَجْزَأَهُ، لِأَنَّ الْحَجَّ لَمَّا لَمْ يَخْرُجْ مِنْهُ بِالْفَسَادِ لَمْ يَخْرُجْ فِيهِ بِالرِّدَّةِ فَأَمَّا إِذَا أَتَمَّ الْمُسْلِمُ حَجَّهُ ثُمَّ ارْتَدَّ لَمْ يَبْطُلْ حَجُّهُ الْمَاضِي وَلَمْ يَبْطُلْ عَمَلُهُ الْمُتَقَدِّمُ إِلَّا أَنْ يموت على الردة فإن عاد إلا الْإِسْلَامِ لَمْ يَلْزَمْهُ قَضَاءُ الْحَجِّ.

PASAL
 Adapun orang murtad, apabila ia beriḥrām untuk haji dalam keadaan riddah-nya, maka iḥrām-nya batal dan tidak sah, karena riddah bertentangan dengan ibadah, maka iḥrām tidak sah bersamaan dengannya, sebagaimana halnya kekufuran.

Adapun jika ia beriḥrām untuk haji dalam keadaan masih Muslim lalu ia murtad di tengah iḥrām-nya, maka terdapat dua pendapat tentang batal atau tidaknya hajinya:
 pendapat pertama: hajinya batal karena terjadinya riddah di tengah ibadah haji, sebagaimana shalat dan puasa batal karena riddah.
 pendapat kedua: hajinya tidak batal karena terjadinya riddah, maka jika ia kembali masuk Islam, ia dapat melanjutkan hajinya dan itu mencukupi (dari kewajiban hajinya), karena haji, jika tidak batal dengan sebab fasād, maka juga tidak batal karena riddah.

Adapun jika seorang Muslim telah menyelesaikan hajinya, lalu ia murtad, maka hajinya yang telah lalu tidak batal, dan amalnya yang telah dilakukan tidak batal, kecuali jika ia wafat dalam keadaan murtad. Maka jika ia kembali masuk Islam, tidak wajib atasnya mengqadhā’ hajinya.


وَقَالَ أبو حنيفة: قَدْ بَطَلَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ حَجِّهِ بِحُدُوثِ الرِّدَّةِ بَعْدَهُ؛ لِأَنَّ الرِّدَّةَ قَدْ أَحْبَطَتْ عَمَلَهُ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبِطَنَّ عَمَلُكَ) {الزمر: 65) وَبِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيِمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ) {المائدة: 5) فأحبط عَمَلُهُ فِي هَذَيْنِ الْآيَتَيْنِ بِنَفْسِ الْكُفْرِ دُونَ الْمَوْتِ عَلَيْهِ، وَبِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” الْإِسْلَامُ يَجُبُّ مَا كَانَ قَبْلَهُ ” فَكَانَ ظَاهِرُهُ يَقْتَضِي سُقُوطَ جَمِيعِ عَمَلِهِ، وَلِأَنَّهُ أَحْدَثُ إِسْلَامًا فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَأْنِفَ الْحَجَّ كَالْكَافِرِ الْأَصْلِيِّ، وَلِأَنَّهُ إِذَا مَاتَ مُرْتَدًّا فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ إِجْمَاعًا وَلَا يَخْلُو أَنْ يَحْبَطَ عَمَلُهُ بِالشِّرْكِ أَوْ بِالْمَوْتِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَحْبَطَ عَمَلُهُ بِالْمَوْتِ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ يَمُوتُ وَلَا يَحْبَطُ عَمَلُهُ فَثَبَتَ أَنَّهُ قَدْ أُحْبِطَ عَمَلُهُ بِالرِّدَّةِ.

dan Abū Ḥanīfah berkata: Telah batal amalan haji-nya yang telah lalu karena terjadinya riddah setelahnya; karena riddah telah menggugurkan amalnya, berdalil dengan firman Allah Ta‘ālā: {Sungguh jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan gugurlah amalmu} (az-Zumar: 65), dan firman-Nya: {Barang siapa yang kafir terhadap keimanan, maka sungguh gugurlah amalnya} (al-Mā’idah: 5).

Maka amalnya gugur dalam dua ayat ini karena kekufuran itu sendiri, bukan karena mati dalam kekufuran. Dan juga berdalil dengan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Islam menghapus apa yang sebelumnya.” Maka zahir hadits ini menunjukkan gugurnya seluruh amalnya.

Dan karena ia telah memperbarui keislaman, maka wajib baginya memulai haji dari awal seperti orang kafir asli. Dan karena jika ia mati dalam keadaan murtad, sungguh amalnya gugur menurut ijma‘. Maka tidak mungkin amalnya gugur karena kematian, karena seorang Muslim bisa mati dan amalnya tidak gugur. Maka tetaplah bahwa amalnya telah gugur karena riddah.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ) {البقرة: 275) وَهَذَا الْمُرْتَدُّ إِذَا أَسْلَمَ بَعْدَ رِدَّتِهِ فَقَدِ انْتَهَى بِمَوْعِظَةٍ مِنْ رَبِّهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ لَهُ مَا سَلَفَ مِنْ عَمَلِهِ وَقَالَ تَعَالَى: {وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولِئِكَ حَبِطَتْ أعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيا والآخِرَةِ) {البقرة: 217) وَهَذَا نَصٌّ فِي أَنْ حَبْطَ الْعَمَلِ لَا يَكُونُ بِنَفْسِ الرِّدَّةِ حَتَّى يَقْتَرِنَ بِالْمَوْتِ وَفِيهَا انفصال عن الاثنين، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَزِمَهُ حَجَّةُ الْإِسْلَامِ لَمْ تَلْزَمْهُ حَجَّةٌ أُخْرَى بِأَصْلِ الشَّرْعِ كَالْمُسْلِمِ غَيْرِ المرتد.
فأما الجواب عن الاثنين فَقَدْ مَضَى وَأَنَّهُمَا مَحْمُولَتَانِ عَلَى مَنْ مَاتَ مُرْتَدًّا.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: “Fa-man jā’ahu mau‘iẓah min rabbih fa-ntahā fa-lahū mā salaf” (al-Baqarah: 275),
 dan orang murtad apabila ia masuk Islam setelah murtadnya, maka ia termasuk orang yang berhenti karena peringatan dari Tuhannya, sehingga wajib bahwa ia tetap mendapatkan amal yang telah lalu.

Dan firman-Nya: “Wa man yartadid minkum ‘an dīnih fa-yamut wa huwa kāfir fa-ulā’ika ḥabiṭat a‘māluhum fī al-dunyā wa al-ākhirah” (al-Baqarah: 217),
 ini adalah nash bahwa gugurnya amal tidak terjadi hanya karena riddah, kecuali jika disertai dengan kematian. Maka di dalamnya terdapat pemisahan antara dua keadaan (yaitu antara yang mati dalam keadaan murtad dan yang kembali masuk Islam setelah riddah).

Dan karena setiap orang yang telah wajib atasnya haji Islam, maka tidak wajib atasnya haji lain menurut hukum asal syariat, sebagaimana Muslim yang tidak murtad.

Adapun jawaban atas dua ayat yang menunjukkan gugurnya amal, maka telah disebutkan sebelumnya, bahwa keduanya dibawa maknanya kepada orang yang wafat dalam keadaan murtad.


وَأَمَّا قَوْلُهُ: ” الْإِسْلَامُ يَجُبُّ مَا كَانَ قَبْلَهُ ” فَلَا دَلِيلَ فِيهِ لِأَنَّا قَدْ أَجْمَعْنَا أَنَّ الْإِسْلَامَ لَا يَجُبُّ مَا كَانَ قَبْلَهُ لِأَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّ عَمَلَهُ يَحْبَطُ بِالرِّدَّةِ، وَنَحْنُ نَقُولُ بِالرِّدَّةِ وَبِالْمَوْتِ وَمَا أَحَدٌ مِنَّا يَقُولُ إِنَّ عَمَلَهُ يَحْبَطُ بِالْإِسْلَامِ فَسَقَطَ الِاسْتِدْلَالُ بِهِ لِأَنَّ ظَاهِرَهُ مَتْرُوكٌ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْكَافِرِ الْأَصْلِيِّ فَالْمَعْنَى فِي الْكَافِرِ الْأَصْلِيِّ: أَنَّهُ لَمْ يُسْقِطْ حَجَّةَ الْإِسْلَامِ عَنْ نَفْسِهِ فَلِذَلِكَ لَزِمَهُ فِعْلُهَا وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمُرْتَدُّ.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ عَمَلَهُ إِمَّا أَنْ يَحْبَطَ بِالْمَوْتِ أَوْ بِالرِّدَّةِ.
قُلْنَا: لَا بَلْ عَمَلُهُ يَحْبَطُ بِهِمَا فَأَمَّا بأحدهما فلا والله أعلم.

Adapun sabda Nabi: “Islam menghapus apa yang sebelumnya”, maka tidak terdapat dalil di dalamnya. Karena kita telah bersepakat bahwa Islam tidak menghapus apa yang sebelumnya, sebab mereka (yakni pihak yang berpendapat demikian) mengatakan bahwa amal seseorang gugur karena riddah, dan kami mengatakan bahwa amal gugur karena riddah dan juga karena kematian dalam kekufuran. Dan tidak seorang pun dari kami yang mengatakan bahwa amal gugur karena Islam, maka gugurlah istidlāl (pengambilan dalil) dengan hadits tersebut, karena zahirnya telah ditinggalkan.

Adapun qiyās mereka terhadap orang kafir asli, maka makna pada orang kafir asli adalah: bahwa ia belum menggugurkan kewajiban ḥajjat al-islām dari dirinya, maka karena itu ia tetap wajib melaksanakannya. Dan tidak demikian halnya dengan orang murtad.

Adapun ucapan mereka bahwa amal seseorang pasti gugur entah karena mati atau karena riddah, kami katakan: Tidak, bahkan amalnya gugur karena keduanya. Adapun jika hanya salah satu dari keduanya, maka tidak. Wallāhu a‘lam.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَفْسَدَ الْعَبْدُ حَجَّهُ قَبْلَ عَرَفَةَ ثُمَّ أُعْتِقَ وَالْمُرَاهِقُ بِوَطْءٍ قَبْلَ عَرَفَةَ ثُمَّ احْتَلَمَ أثما ولم تجز عنهما من حجة الإسلام لأنه رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أن امرأةً رفعت إليه من محفتها صبيا فقالت يا رسول الله ألهذا أحج قال ” نعم ولك أجر ” (قال) وإذا جعل له حجاً فالحاج إذا جامع أفسد حجه (قال المزني) وكذلك في معناه عندي يعيد ويهدي “.

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
 “Seandainya seorang budak merusak hajinya sebelum wuqūf di ‘Arafah, kemudian ia dimerdekakan, dan seorang murāhiq (anak yang mendekati baligh) merusak hajinya karena jima‘ sebelum wuqūf di ‘Arafah, kemudian ia mimpi basah (iḥtilām), maka keduanya berdosa dan tidak mencukupi keduanya dari haji Islam. Karena telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa ada seorang wanita mengangkat seorang anak dari tandunya, lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah anak ini mendapatkan pahala haji?’ Nabi SAW bersabda: ‘Ya, dan engkau pun mendapatkan pahala.’”

(Imam al-Syafi‘i melanjutkan:)
 “Jika anak kecil itu dinilai telah berhaji, maka orang yang berhaji jika melakukan jima‘ maka rusak hajinya.”

Al-Muzanī berkata:
 “Begitu pula menurut pendapatku dalam kasus ini, wajib mengulang haji dan menyembelih hadyu.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا أَحْرَمَ الْعَبْدُ بِالْحَجِّ ثُمَّ وطء فِيهِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ كَالْحُرِّ قَدْ فَسَدَ حَجُّهُ وَلَزِمَهُ إِتْمَامُهُ وَقَضَاؤُهُ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ تَخْرِيجًا مِنْ أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ فِي الصَّبِيِّ؛ لِأَنَّ الْعَبْدَ مِمَّنْ لَا يَلْزَمُهُ فَرْضُ الْحَجِّ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ الْعَبْدَ مِمَّنْ يِلْزَمُهُ الْحَجُّ بِالدُّخُولِ فِيهِ وَإِنْ لَمْ يَلْزَمْهُ حَجَّةُ الْإِسْلَامِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْقَضَاءَ عَلَيْهِ وَاجِبٌ فَهَلْ يَقْضِي فِي حَالِ رِقِّهِ أَوْ بَعْدَ عِتْقِهِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Qāl al-Māwardī: Jika seorang budak beriḥrām untuk haji, lalu bersetubuh dalam haji tersebut, maka mazhab al-Syāfi‘ī adalah bahwa haji-nya rusak sebagaimana orang merdeka, dan ia wajib menyempurnakannya serta menggantinya (melakukan qaḍā’). Dan sebagian sahabat kami berkata: Tidak wajib atasnya qaḍā’, berdasarkan pengambilan dari salah satu dari dua pendapat dalam perkara anak kecil (ṣabī), karena budak termasuk orang yang tidak wajib atasnya ḥajjat al-islām. Ini adalah kesalahan, karena budak termasuk orang yang wajib melaksanakan haji ketika ia telah memasukinya, meskipun tidak wajib atasnya ḥajjat al-islām.

Maka apabila telah tetap bahwa qaḍā’ wajib atasnya, maka apakah ia menggantinya dalam keadaan masih sebagai budak, atau setelah merdeka? Terdapat dua wajah (pendapat) dalam hal ini.


أَحَدُهُمَا: بَعْدَ عِتْقِهِ فَإِنْ قَضَاهُ فِي حَالِ رِقِّهِ لَمْ يُجْزِهِ، لِأَنَّ الْقَضَاءَ فَرَضٌ وَالْعَبْدُ مِمَّنْ لَا يَصِحُّ مِنْهُ فَرْضُ الْحَجِّ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ يَجُوزُ أَنْ يَقْضِيَهُ فِي حَالِ رِقِّهِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنِ الرِّقُّ مَانِعًا مِنْ وُجُوبِ الْقَضَاءِ عَلَيْهِ لَمْ يَكُنْ مَانِعًا مِنْ إِسْقَاطِ فَرْضِ الْقَضَاءِ عَنْهُ فَعَلَى هَذَا إِنَّ كَانَ قَدْ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ الَّذِي أَفْسَدَهُ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُحْرِمَ بِحَجَّةِ الْقَضَاءِ إِلَّا بِإِذْنِ سَيِّدِهِ؛ لِأَنَّ الْقَضَاءَ إنما لزمه باختياره والسيد منع عبده مما وَجَبَ عَلَيْهِ بِاخْتِيَارِهِ كَمَا يَمْنَعُهُ مِنْ صَلَاةِ النَّذْرِ وَصِيَامِ النَّذْرِ فَإِنْ مَنَعَهُ مِنَ الْقَضَاءِ مدة رقه كان له إذا أعتقه فأما القضاء فلم يتناوله لأنه قد صار قضاء حِينَئِذٍ وَإِنْ كَانَ الْعَبْدُ قَدْ أَحْرَمَ بِالْحَجَّةِ الَّتِي أَفْسَدَهَا بِإِذْنِ سَيِّدِهِ فَهَلْ لِلسَّيِّدِ مَنْعُهُ مِنَ الْقَضَاءِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pertama:
 Jika budak itu menunaikan qadhā’ setelah ia dimerdekakan, maka sah qadhā’-nya. Namun jika ia menunaikannya saat masih dalam status budak, maka tidak sah baginya, karena qadhā’ itu adalah fardhu, sedangkan budak termasuk orang yang tidak sah darinya pelaksanaan fardhu haji.

Wajah kedua:
 Dan ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh Imam al-Syafi‘i: sah baginya menunaikan qadhā’ haji saat masih menjadi budak, karena ketika status budaknya tidak menghalangi kewajiban qadhā’ atasnya, maka status budak itu pun tidak menghalangi gugurnya fardhu qadhā’ darinya.

Berdasarkan hal ini:
 Jika ia telah beriḥrām untuk haji yang telah ia rusak tanpa izin tuannya, maka tidak boleh baginya beriḥrām untuk haji qadhā’ kecuali dengan izin tuannya. Karena qadhā’ tersebut menjadi wajib atasnya karena pilihannya sendiri, dan tuan berhak melarang budaknya dari ibadah yang wajib atasnya karena pilihan sendiri, sebagaimana tuan boleh melarang budaknya dari shalat dan puasa nadzar.

Jika tuannya melarangnya dari menunaikan qadhā’ selama masa perbudakannya, maka setelah dimerdekakan ia boleh menunaikan qadhā’, karena saat itu telah menjadi qadhā’.

Adapun jika budak tersebut telah beriḥrām untuk haji yang ia rusak dengan izin tuannya, maka apakah tuannya berhak melarangnya dari qadhā’ atau tidak? Maka ada dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: لَيْسَ لَهُ مَنْعُهُ، لِأَنَّ إِذْنَهُ بِالْحَجِّ إِذْنٌ بِهِ وَبِمُوجَبِهِ وَالْقَضَاءُ مِنْ مُوجَبِهِ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ مَنْعُهُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ مَنْعُهُ مِنْهُ وَلَيْسَ لَهُ الْقَضَاءُ إِلَّا بِإِذْنِهِ لِأَنَّ الْإِذْنَ الْأَوَّلَ إِنَّمَا يَتَنَاوَلُ الْحَجَّ الْأَوَّلَ وَمُوجِبُهُ الَّذِي لا يعرى منه فأما القضاء فَلَمْ يَتَنَاوَلْهُ، لِأَنَّهُ قَدْ يُعَرَّى مِنْهُ فَعَلَى هَذَا لَهُ أَنْ يَمْنَعَهُ مِنَ الْقَضَاءِ مُدَّةَ رِقِّهِ وَإِنْ مَكَّنَهُ مِنَ الْقَضَاءِ فِي رِقِّهِ فَقَضَاهُ سَقَطَ عَنْهُ الْقَضَاءُ وَلَمْ يُجْزِهِ عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ وَإِنْ مَنَعَهُ مِنَ الْقَضَاءِ حَتَّى أَعْتَقَ فَقَدْ لَزِمَهُ حَجَّتَانِ الْقَضَاءُ وَحَجَّةُ الْإِسْلَامِ، وَعَلَيْهِ أَنْ يُقَدِّمَ حَجَّةَ الْإِسْلَامِ عَلَى الْقَضَاءِ، لِأَنَّ حَجَّةَ الْإِسْلَامِ لَا يَجُوزُ أَنْ يُقَدِّمَ عَلَيْهَا غَيْرَهَا فَإِنْ قَدَّمَ الْقَضَاءَ عَلَى حَجَّةِ الْإِسْلَامِ انْصَرَفَ إِحْرَامُهُ إِلَى حَجَّةِ الْإِسْلَامِ دُونَ الْقَضَاءِ وَلَزِمَهُ أَنْ يُحْرِمَ فِيمَا بَعْدُ لِحَجَّةِ الْقَضَاءِ هَذَا إِنْ كَانَ الْعَبْدُ عَلَى رِقِّهِ إلى أن أحل من حجة الفساد والله أعلم.

Pertama: Tidak boleh bagi tuannya melarangnya, karena izinnya untuk haji adalah izin untuk haji itu beserta segala konsekuensinya, dan qaḍā’ termasuk konsekuensinya, maka tidak berhak baginya untuk melarangnya.

Wajah yang kedua: Tuannya berhak melarangnya dari qaḍā’, dan tidak boleh ia melakukan qaḍā’ kecuali dengan izinnya, karena izin yang pertama hanya mencakup haji pertama dan konsekuensinya yang tidak mungkin terlepas darinya. Adapun qaḍā’, maka tidak termasuk dalam cakupan izin tersebut, karena bisa saja ia terlepas darinya. Maka berdasarkan ini, tuannya boleh melarangnya dari qaḍā’ selama masa perbudakannya. Namun jika tuannya mengizinkannya untuk melakukan qaḍā’ dalam keadaan masih sebagai budak lalu ia melaksanakannya, maka gugurlah kewajiban qaḍā’-nya, tetapi tidak mencukupinya dari ḥajjat al-islām.

Dan jika tuannya melarangnya dari qaḍā’ hingga ia dimerdekakan, maka wajib atasnya dua haji: qaḍā’ dan ḥajjat al-islām, dan ia wajib mendahulukan ḥajjat al-islām atas qaḍā’, karena tidak boleh mendahulukan selainnya atas ḥajjat al-islām. Jika ia mendahulukan qaḍā’ atas ḥajjat al-islām, maka iḥrām-nya dianggap untuk ḥajjat al-islām, bukan untuk qaḍā’, dan ia wajib beriḥrām lagi setelah itu untuk haji qaḍā’. Ini jika budak tersebut tetap dalam status budaknya hingga ia taḥallul dari ḥaji fāsid. Wallāhu a‘lam.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا أُعْتَقَ فِي حَجَّةِ الْفَسَادِ وَوَجَبَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ فَإِنْ كَانَ الْحَجُّ الَّذِي أَفْسَدَهُ لَوْ عَرِيَ عَنِ الْفَسَادِ أَجْزَأَهُ عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ وَهُوَ أَنْ يُعْتَقَ قَبْلَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ فَقَضَاؤُهُ يُجْزِئُ عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ وَإِنْ كَانَ الَّذِي أَفْسَدَهُ لَوْ عَرِيَ عَنِ الْفَسَادِ لَمْ يُجْزِهِ عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ وَهُوَ أَنْ يُعْتَقَ بَعْدَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ فَقَضَاؤُهُ لَا يُجْزِئُهُ عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ وَكَذَا الْكَلَامُ فِي الْمُكَاتَبِ وَالْمُدَبَّرِ وَأُمِّ الْوَلَدِ وَمَنْ بَعْضُهُ حر فأما الصبي إذا وطء فِي حَجِّهِ فَقَدْ ذَكَرْنَا حُكْمَهُ مِنْ قَبْلُ مَا يُغْنِي عَنِ الْإِعَادَةِ فَإِنْ بَلَغَ فِي حجه الذي أفسده كان لعتق الْعَبْدِ فِي حَجِّهِ الَّذِي أَفْسَدَهُ فَإِنْ كَانَ بُلُوغُهُ قَبْلَ عَرَفَةَ أَجْزَأَهُ الْقَضَاءُ عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ، لِأَنَّ حَجَّهُ لَوْ عَرِيَ عَنِ الْفَسَادِ أَجْزَأَهُ عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ وَإِنْ كَانَ بُلُوغُهُ بَعْدَ عَرَفَةَ لَمْ يُجْزِهِ الْقَضَاءُ عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ؛ لِأَنَّ حَجَّهُ لَوْ عَرِيَ عَنِ الْفَسَادِ لم يجزئه عن حجة الإسلام.

PASAL
 Adapun jika seorang budak dimerdekakan dalam haji yang ia rusak (ḥajjat al-fasād) dan ia wajib menunaikan qadhā’, maka diperhatikan:

Jika haji yang ia rusak itu, andaikan tidak rusak, sudah mencukupi dari haji Islam — yakni jika ia dimerdekakan sebelum wuqūf di ‘Arafah — maka qadhā’-nya mencukupi dari haji Islam.

Namun jika haji yang ia rusak itu, andaikan tidak rusak pun tidak mencukupi dari haji Islam — yaitu apabila ia dimerdekakan setelah wuqūf di ‘Arafah — maka qadhā’-nya tidak mencukupi dari haji Islam.

Demikian pula hukum pada budak mukātib, mudabbir, umm al-walad, dan orang yang sebagian dirinya merdeka.

Adapun anak kecil yang melakukan jima‘ dalam hajinya, maka telah disebutkan sebelumnya hukumnya sehingga tidak perlu diulang.

Jika ia baligh dalam haji yang telah ia rusak, maka keadaannya seperti budak yang dimerdekakan dalam haji yang ia rusak.

Jika balighnya sebelum wuqūf di ‘Arafah, maka qadhā’-nya mencukupi dari haji Islam, karena hajinya jika tidak rusak akan mencukupi dari haji Islam.

Namun jika balighnya setelah wuqūf di ‘Arafah, maka qadhā’-nya tidak mencukupi dari haji Islam, karena hajinya — andaikan tidak rusak — pun tidak mencukupi dari haji Islam.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا أَحْرَمَ الْعَبْدُ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ أَحْبَبْتُ أَنْ يَدَعَهُ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَهُ حَبْسُهُ وفيه قولان: أحدهما تقوم الشاة دَرَاهِمَ وَالدَّرَاهِمَ طَعَامًا ثُمَّ يَصُومُ عَنْ كُلِّ مد يوماً ثم يحل والآخر لا شيء عليه حتى يعتق فيكون عليه شاةً (قال المزني) أولى بقوله وأشبه عندي بمذهبه أن يحل ولا يظلم مولاه بغيبته ومنع خدمته فإذا أعتق أهراق دماً في معناه “.

Masalah: al-Syāfi‘ī ra. berkata: “Jika seorang budak beriḥrām tanpa izin tuannya, maka aku lebih suka ia membatalkannya. Jika ia tidak melakukannya, maka tuannya berhak menahannya. Dalam hal ini ada dua pendapat:

Pendapat pertama: seekor kambing ditaksir dengan dirham, kemudian dirham tersebut dinilai dengan makanan, lalu ia berpuasa satu hari untuk setiap mudd, kemudian ia taḥallul.

Pendapat kedua: tidak ada kewajiban atasnya hingga ia merdeka, lalu saat itu wajib atasnya seekor kambing.”

(al-Muzanī berkata): “Yang lebih utama menurut perkataannya, dan lebih mirip dengan mazhabnya, adalah bahwa ia taḥallul dan tidak menzalimi tuannya dengan ketidakhadirannya dan dengan menghalangi pelayanannya. Maka jika ia telah merdeka, ia menyembelih darah (dam) sesuai maknanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لَيْسَ لِلْعَبْدِ أَنْ يُحْرِمَ بِحَجَّةٍ وَلَا عُمْرَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ سَيِّدِهِ، لِأَنَّ الْعَبْدَ مَمْلُوكُ التَّصَرُّفِ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ تَفْوِيتُ ذَلِكَ بِالْإِحْرَامِ فَإِنْ أَذِنَ لَهُ السَّيِّدُ فِي الْإِحْرَامِ جَازَ لَهُ أَنْ يُحْرِمَ ولم يلزمه أن يحرم، لِأَنَّهُ تَطَوُّعٌ لَا يَرْتَفِقُ السَّيِّدُ بِهِ فَلَمْ يُجْبِرِ الْعَبْدَ عَلَيْهِ وَغَلَطَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا فَقَالَ لِلسَّيِّدِ أَنْ يُجْبِرَ عَبْدَهُ عَلَى الْإِحْرَامِ وَعَلَى الْعَبْدِ امْتِثَالُ أَمْرِهِ فِيهِ، لِأَنَّ فَوَاتَ حَجِّهِ عَائِدٌ إِلَيْهِ فَجَازِ إِجْبَارُهُ عَلَيْهِ كَمَا يَجِبُ عَلَى غَيْرِهِ مِنَ الْأَعْمَالِ الَّتِي يَعُودُ عَلَيْهِ نَفْعُهَا وَهَذَا غَلَطٌ، لِأَنَّ الْحَجَّ عِبَادَةٌ لَا تَصِحُّ إِلَّا بِاعْتِقَادٍ فَإِذَا لَمْ تَجِبْ بِالشَّرْعِ لَمْ تَجِبْ بِإِجْبَارِ السَّيِّدِ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ الَّذِي لَا يَجُوزُ لِلسَّيِّدِ إِجْبَارُ عَبْدِهِ عَلَى التَّطَوُّعِ بِهِمَا وَإِنَّ عَادَ إِلَيْهِ فَوَاتُهُمَا فَإِنْ أَحْرَمَ بِإِذْنِهِ وَجَبَ عَلَيْهِ تَمْكِينُهُ مِنْهُ فَإِنْ أَذِنَ لَهُ بِالْعُمْرَةِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ، لِأَنَّهُ أَكْثَرُ عَمَلًا وَإِنْ أَذِنَ لَهُ بِالْحَجِّ جَازَ أَنْ يُحْرِمَ بِالْعُمْرَةِ، لِأَنَّهَا بَعْضُ أَعْمَالِ الْحَجِّ فَإِذَا أَحَلَّ مِنَ الْعُمْرَةِ لَمْ يَكُنْ لَهُ الْإِحْرَامُ بِالْحَجِّ إِلَّا بِإِذْنٍ مُسْتَأْنَفٍ فَأَمَّا إِذَا أَحْرَمَ الْعَبْدُ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ فَإِحْرَامُهُ صَحِيحٌ وَلِلسَّيِّدِ الْخِيَارُ بَيْنَ مَنْعِهِ أَوْ تَرْكِهِ.

Al-Māwardī berkata:
 Dan ini sebagaimana yang dikatakan: Tidak halal bagi seorang budak untuk beriḥrām haji maupun ‘umrah kecuali dengan izin tuannya. Karena budak itu milik dalam hal tindakan (taṣarruf), maka ia tidak berhak membatalkan kepemilikan tersebut dengan beriḥrām.

Jika tuan mengizinkannya untuk beriḥrām, maka ia boleh beriḥrām, namun tidak wajib atasnya beriḥrām, karena haji adalah ibadah ṭawāwu‘ (sunnah) yang tidak ada kemaslahatan duniawi bagi tuan padanya, maka tidak boleh tuan memaksanya.

Sebagian sahabat kami keliru, mereka berkata: “Tuan boleh memaksa budaknya untuk beriḥrām dan wajib bagi budak taat dalam hal itu, karena luputnya haji kembali kepada (kerugian) tuan, maka boleh memaksanya sebagaimana pekerjaan lain yang kembali manfaatnya kepada tuan.”

Ini adalah kekeliruan. Karena haji adalah ibadah yang tidak sah kecuali dengan niat dan keyakinan. Maka apabila tidak wajib menurut syariat, tidak menjadi wajib hanya karena dipaksa oleh tuan — seperti shalat dan puasa sunnah, yang tidak boleh bagi tuan memaksa budaknya untuk melakukannya meskipun luputnya ibadah itu merugikan tuan.

Jika budak telah beriḥrām dengan izin tuannya, maka wajib bagi tuan membiarkannya menyelesaikan hajinya.

Jika tuan mengizinkannya untuk beriḥrām ‘umrah, maka tidak boleh baginya beriḥrām haji, karena haji lebih banyak amalnya. Namun jika diizinkan haji, maka boleh baginya beriḥrām untuk ‘umrah, karena ‘umrah termasuk bagian dari amalan haji.

Jika ia telah ḥill dari ‘umrah, maka ia tidak boleh beriḥrām haji kecuali dengan izin baru dari tuannya.

Adapun jika budak beriḥrām tanpa izin tuannya, maka iḥrām-nya sah, dan tuan punya hak untuk memilih antara melarangnya atau membiarkannya.


وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ: إِحْرَامُهُ بِغَيْرِ إِذْنِ السَّيِّدِ بَاطِلٌ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” كُلُّ عملٍ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “، وَلِأَنَّ كُلَّ عَقْدٍ لَيْسَ لِلْعَبْدِ فِعْلُهُ إِلَّا بِإِذْنِ السَّيِّدِ فَهُوَ بَاطِلٌ إِذَا عَقَدَهُ بِغَيْرِ إِذْنِ السَّيِّدِ كَالْبَيْعِ، وَالنِّكَاحِ؛ وَلِأَنَّ الْعَبْدَ مَمْنُوعٌ مِنَ الْإِحْرَامِ إِلَّا بِإِذْنِ سَيِّدِهِ كَمَا أَنَّ الصَّبِيَّ مَمْنُوعٌ مِنَ الْإِحْرَامِ إِلَّا بِإِذْنِ وَلِيِّهِ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ إِحْرَامَ الصَّبِيِّ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهِ بَاطِلٌ لَا يَقِفُ عَلَى إِجَازَتِهِ فَكَذَلِكَ إِحْرَامُ الْعَبْدِ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ بَاطِلٌ لَا يَقِفُ عَلَى إِجَازَتِهِ.

dan Dāwud bin ‘Alī berkata: Iḥrām budak tanpa izin tuannya adalah batal, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Setiap amal yang tidak atas perintah kami maka tertolak,” dan karena setiap akad yang tidak boleh dilakukan oleh budak kecuali dengan izin tuannya maka hukumnya batal jika dilakukan tanpa izin tuannya, seperti akad jual beli dan nikah.

Dan karena budak dilarang melakukan iḥrām kecuali dengan izin tuannya, sebagaimana anak kecil (ṣabī) dilarang melakukan iḥrām kecuali dengan izin walinya. Kemudian telah tetap bahwa iḥrām anak kecil tanpa izin walinya adalah batal dan tidak sah meskipun disetujui kemudian, maka demikian pula iḥrām budak tanpa izin tuannya adalah batal dan tidak sah meskipun disetujui kemudian.


وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٍ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الحَجِّ) {البقرة: 197) فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي الْحُرِّ وَالْعَبْدِ، وَلِأَنَّ عِبَادَاتِ الْأَبْدَانِ لَا يَفْتَقِرُ انْعِقَادُهَا إِلَى إِذْنِ السَّيِّدِ فَإِنِ اسْتَحَقَّ الْمَنْعَ مِنْهَا كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ إِذَا دَخَلَ فِيهِ الْعَبْدُ تُطَوِّعَا بِغَيْرِ إِذْنِ السَّيِّدِ كَانَ مُنْعَقِدًا وَإِنْ كَانَ لِلسَّيِّدِ أَنْ يَمْنَعَهُ كَذَلِكَ الْحَجُّ بَلْ حَالُهُ أَوْكَدُ، وَلِأَنَّ الْإِحْرَامَ اعْتِقَادٌ بِالْقَلْبِ وَاعْتِقَادُ الْقَلْبِ لَا يَقِفُ عَلَى إِجَازَةِ سَيِّدِهِ كَالْإِسْلَامِ وَالْكُفْرِ فَكَذَلِكَ الْإِحْرَامُ.
فَأَمَّا الْخَبَرُ فَمَتْرُوكُ الدَّلَالَةِ.

Dalil atas hal ini adalah firman Allah Ta‘ālā:
 “Al-ḥajju asyhurun ma‘lūmāt, fa-man faraḍa fīhinna al-ḥajja fa-lā rafatsa wa-lā fusūqa wa-lā jidāla fī al-ḥajj” (al-Baqarah: 197),
 maka ayat ini bersifat umum, mencakup orang merdeka dan budak.

Dan karena ibadah badaniyyah tidak disyaratkan keabsahannya dengan izin tuan. Maka jika tuan berhak melarang ibadah tersebut — seperti shalat dan puasa — apabila budak telah memulainya secara sukarela tanpa izin tuan, maka ibadah itu tetap sah, meskipun tuan berhak melarangnya. Begitu pula haji — bahkan dalam hal ini kedudukannya lebih kuat.

Dan karena iḥrām adalah keyakinan dalam hati, sedangkan keyakinan hati tidak bergantung pada izin tuannya, sebagaimana Islam dan kekufuran. Maka demikian pula iḥrām.

Adapun hadis (yang menunjukkan selain itu) maka tidak dapat dijadikan dalil karena tidak sah penunjukkannya.


وَأَمَّا الْبَيْعُ وَالنِّكَاحُ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الْحَجِّ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ ذَلِكَ مِمَّا لَا يَقَعُ مَوْقُوفًا فَجَازَ أَنْ يَكُونَ بَاطِلًا بِغَيْرِ إِذْنِ السَّيِّدِ وَالْإِحْرَامُ يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا فَجَازَ أَنْ يَصِحَّ إِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِ السَّيِّدِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ النِّكَاحَ عَقْدٌ بِالْقَوْلِ وَالْفِعْلِ فَجَازَ أَنْ يَبْطُلَ بِغَيْرِ إِذْنِ السَّيِّدِ، لِأَنَّهُ يَمْلِكُ فِعْلَ عَبْدِهِ وَالْإِحْرَامُ اعْتِقَادٌ فَجَازَ أَنْ يَنْعَقِدَ بِغَيْرِ إِذْنِ السَّيِّدِ، لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ اعْتِقَادَ عَبْدِهِ وَأَمَّا الصَّبِيُّ فَفِي إِحْرَامِهِ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهِ وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا:

Adapun jual beli dan nikah, maka perbedaan antara keduanya dengan haji ditinjau dari dua sisi:

Pertama: Bahwa jual beli dan nikah termasuk perkara yang tidak dapat digantung (dalam hukum), maka boleh dianggap batal jika dilakukan tanpa izin tuan. Sedangkan iḥrām, sah untuk digantung (hukumnya), maka boleh dianggap sah meskipun dilakukan tanpa izin tuan.

Kedua: Bahwa nikah adalah akad yang terdiri dari ucapan dan perbuatan, maka boleh dibatalkan tanpa izin tuan karena tuan memiliki kendali atas perbuatan budaknya. Adapun iḥrām adalah keyakinan dalam hati, maka boleh terjadi tanpa izin tuan karena tuan tidak memiliki kendali atas keyakinan budaknya.

Adapun anak kecil (ṣabī), maka dalam perkara iḥrām tanpa izin walinya terdapat dua wajah (pendapat) menurut sahabat-sahabat kami.

 

أَحَدُهُمَا: يَصِحُّ فَعَلَى هَذَا بَطَلَ الِاعْتِرَاضُ بِهِ.
وَالثَّانِي: لَا يَصِحُّ فَعَلَى هَذَا الْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْعَبْدِ أَنَّ الْإِحْرَامَ اعْتِقَادٌ وَالْعَبْدُ مِنْ أَهْلِ الِاعْتِقَادِ فَصَحَّ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ وَالصَّبِيُّ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ الِاعْتِقَادِ فَلَمْ يَصِحَّ أَنْ يَكُونَ مُحْرِمًا إِلَّا بِاعْتِقَادِ وَلِيِّهِ.

Pertama: Sah. Maka berdasarkan pendapat ini, gugurlah bantahan dengan dalil tersebut.

Kedua: Tidak sah. Maka berdasarkan pendapat ini, perbedaan antara budak dan anak kecil adalah bahwa iḥrām merupakan suatu bentuk keyakinan (i‘tiqād), dan budak termasuk orang yang memiliki kemampuan untuk berkeyakinan, maka sah iḥrām-nya tanpa izin tuannya.

Adapun anak kecil, ia bukan termasuk orang yang mampu berkeyakinan, maka tidak sah baginya menjadi muḥrim kecuali dengan keyakinan wali-nya.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ إِحْرَامَهُ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ مُنْعَقِدٌ فَلِلسَّيِّدِ الْخِيَارُ بَيْنَ أَنْ يُمَكِّنَهُ مِنْ إِتْمَامِ حَجِّهِ وَهُوَ أَوْلَى بِهِ لِمَا يَعُودُ عَلَيْهِ مِنْ ثَوَابِ فِعْلِهِ وَبَيْنَ أَنْ يَمْنَعَهُ لِمَا وَجَبَ لَهُ مِنَ اسْتِحْقَاقِ تَصَرُّفِهِ فَإِنْ مَنَعَهُ صَارَ الْعَبْدُ كَالْمُحْصَرِ يَجِبُ عَلَيْهِ مَا يَجِبُ عَلَى الْمَحْصَرِ وَيَتَحَلَّلُ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أن يُمَلِّكَهُ السَّيِّدُ هَدْيًا أَوْ لَا يُمَلِّكَهُ فَإِنْ مَلَّكَهُ السَّيِّدُ هَدْيًا فَهَلْ يُجْزِئُهُ أَنْ يُكَفِّرَ بِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يُجْزِئُهُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ إِنَّ الْعَبْدَ يَمْلِكُ إِذَا مُلِّكَ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ عَلَى إِحْرَامِهِ وَلَا يُحِلُّ مِنْهُ حَتَّى يُهْدِيَ.

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa iḥrām-nya tanpa izin tuannya sah, maka tuan memiliki pilihan antara membiarkannya menyempurnakan hajinya — dan itu lebih utama baginya karena akan kembali kepadanya pahala amal perbuatannya — atau melarangnya karena ia berhak atas pemanfaatan diri hambanya. Jika tuan melarangnya, maka hamba itu menjadi seperti orang yang terhalang (maḥṣūr), dan wajib baginya apa yang wajib atas orang maḥṣūr, serta ia boleh bertahallul.

Jika demikian, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:
 Pertama, tuannya memberikan kepemilikan hewan hady kepadanya;
 Kedua, tuannya tidak memberikan kepemilikan.

Jika tuannya memberikan kepemilikan hewan hady, maka apakah sah baginya untuk menunaikan kafārah dengannya atau tidak? Ada dua pendapat:
 Pertama, sah baginya menurut pendapat lama (qadīm) bahwa seorang hamba bisa memiliki apabila diberi kepemilikan. Maka berdasarkan ini, ia tetap dalam iḥrām-nya dan tidak boleh bertahallul darinya sampai menyembelih hewan hady.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يُجْزِئُهُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ الْعَبْدَ لَا يَمْلِكُ إِذَا مُلِّكَ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ كَمَا لَوْ لَمْ يُمَلِّكْهُ السَّيِّدُ، وَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ هَلْ لِدَمِ الْإِحْصَارِ بَدَلٌ يَرْجِعُ إِلَيْهِ عِنْدَ عَدَمِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا بَدَلَ لَهُ وَيَكُونُ الدَّمُ فِي ذِمَّتِهِ وَهَلْ يَتَحَلَّلُ مِنْ إِحْرَامِهِ قَبْلَ إِرَاقَتِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَهُ بَدَلٌ وَهُوَ الصَّوْمُ وَفِي قَدْرِهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

Pendapat kedua: Tidak mencukupi menurut pendapat Imam al-Syāfi‘ī dalam qaul jadīd-nya, bahwa budak tidak memiliki kepemilikan meskipun ia diberi milik. Maka berdasarkan ini, statusnya seperti orang yang tidak diberi milik oleh tuannya.

Dan Imam al-Syāfi‘ī berbeda pendapat apakah untuk dam al-iḥṣār (sembelihan karena terhalang menunaikan manasik) ada pengganti yang dapat dijadikan rujukan ketika tidak ada dam atau tidak. Dalam hal ini ada dua pendapat:

Pertama: Tidak ada pengganti, dan dam itu tetap menjadi tanggungan. Lalu apakah ia boleh bertahallul dari iḥrām sebelum menyembelihnya atau tidak? Maka ada dua pendapat pula.

Kedua: Ada pengganti, yaitu puasa. Dan dalam jumlah puasanya terdapat tiga pendapat.


أَحَدُهَا: صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ كَفِدْيَةِ الْأَذَى.
وَالثَّانِي: صِيَامُ عَشَرَةِ أَيَّامٍ مِثْلُ فِدْيَةِ التَّمَتُّعِ.
وَالثَّالِثُ: تُقَوَّمُ الشَّاةُ دَرَاهِمَ وَالدَّرَاهِمُ طَعَامًا وَيَصُومُ عَنْ كُلِّ مُدٍّ يَوْمًا كَجَزَاءِ الصَّيْدِ وَعَلَى هَذَا هَلْ يَتَحَلَّلُ مِنْ إِحْرَامِهِ قَبْلَ صِيَامِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ كَمَا قُلْنَا فِي الْحُرِّ سَوَاءٌ وَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ يَقُولُ: يَجُوزُ أَنْ يَتَحَلَّلَ قَبْلَ الْقُدْرَةِ عَلَى الدَّمِ وَقَبْلَ الصَّوْمِ قَوْلًا وَاحِدًا بِخِلَافِ الْحُرِّ لِأَنَّهُ إِنَّمَا أُمِرَ بِالتَّحَلُّلِ لِدَفْعِ الضَّرَرِ عَنْ سَيِّدِهِ وَفِي الْبَقَاءِ عَلَى إِحْرَامِهِ أَعْظَمُ إِضْرَارًا بِهِ.

Salah satunya: Puasa tiga hari seperti fidyah al-adzā.

Yang kedua: Puasa sepuluh hari seperti fidyah at-tamattu‘.

Yang ketiga: Menaksir harga kambing dengan dirham, lalu dirham itu dihitung dalam bentuk makanan, dan ia berpuasa satu hari untuk setiap satu mudd, sebagaimana jazā’ aṣ-ṣayd (denda karena membunuh buruan).

Berdasarkan pendapat ini, apakah ia boleh taḥallul dari iḥrām-nya sebelum menyelesaikan puasa atau tidak? Maka terdapat dua pendapat, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam kasus orang merdeka; keduanya sama.

Abū Isḥāq al-Marwazī berkata:
 Boleh taḥallul sebelum mampu menyembelih dam dan sebelum puasa, menurut satu pendapat tanpa perselisihan — berbeda dengan orang merdeka — karena budak hanya diperintahkan taḥallul demi mencegah mudarat atas tuannya, dan terus menetap dalam iḥrām justru menimbulkan mudarat yang lebih besar bagi tuannya.


فَصْلٌ
: إِذَا أَذِنَ السَّيِّدُ لِعَبْدِهِ فِي الْإِحْرَامِ بحج أو عمرة ثم رجع السيد عَنْ إِذْنِهِ فَإِنْ رَجَعَ قَبْلَ إِحْرَامِهِ لَمْ يكن للعبد الإحرام بعد رجوع سيده، لأنه فَعَلَ الْإِحْرَامَ غَيْرَ مُلْزَمٍ لِشَيْءٍ مِنْ أَفْعَالِ حَجِّهِ وَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَمْنَعَ عَبْدَهُ مِنْ فِعْلِ مَا لَمْ يُلْزِمْهُ وَإِنْ رَجَعَ بَعْدَ إِحْرَامِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَهُ الرُّجُوعُ بَعْدَ الْإِحْرَامِ كَمَا لَهُ الرُّجُوعُ قَبْلَهُ وَيُجْبِرُهُ عَلَى الْإِحْلَالِ، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ الْعَبْدَ بِإِحْرَامِهِ عَنْ إِذْنِ سَيِّدِهِ قَدْ لَزِمَهُ إِتْمَامُ حَجِّهِ وَلَيْسَ لِلسَّيِّدِ مَنْعُ عَبْدِهِ مِنْ فِعْلِ مَا يُعَيَّنُ عَلَيْهِ مِنَ الْوَاجِبَاتِ كَالصَّلَوَاتِ الْمَفْرُوضَاتِ؛ وَلِأَنَّهُ عَقْدٌ لَازِمٌ عَقْدُهُ بِإِذْنِ سَيِّدِهِ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ فَسْخُهُ عَلَيْهِ كَالنِّكَاحِ، فَلَوْ رَجَعَ السَّيِّدُ عَنْ إِذْنِهِ قَبْلَ إِحْرَامِ الْعَبْدِ فَلَمْ يُعْلِمِ الْعَبْدَ بِرُجُوعِهِ حَتَّى أَحْرَمَ بِالْحَجِّ فَإِحْرَامُهُ مُنْعَقِدٌ وَهَلْ لِلسَّيِّدِ مَنْعُهُ مِنْهُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مُخَرَّجَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْوَكِيلِ إِذَا انْصَرَفَ فِي قِصَاصٍ أَوْ غَيْرِهِ بَعْدَ عَزْلِ مُوَكِّلِهِ وَقَبْلَ عِلْمِهِ هَلْ يَكُونُ تَصَرُّفًا بَاطِلًا وَعَمَلًا مَضْمُونًا أَمْ لَا؟ فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ إِنَّ وَكَالَتَهُ تَبْطُلُ بِرُجُوعِ الْمُوَكِّلِ وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْهُ الْوَكِيلُ وَيَكُونُ تَصَرُّفُهُ بَاطِلًا وَعَمَلُهُ مَضْمُونًا فَعَلَى هَذَا يَكُونُ إِحْرَامُ الْعَبْدِ بَعْدَ رُجُوعِ سَيِّدِهِ وَقَبْلَ عِلْمِهِ كَإِحْرَامِهِ بَعْدَ عِلْمِهِ فَيَكُونُ لِلسَّيِّدِ مَنْعُهُ.

PASAL
 Apabila tuan mengizinkan hambanya untuk beriḥrām haji atau ‘umrah, lalu ia menarik kembali izinnya, maka jika ia menarik kembali sebelum hamba itu beriḥrām, maka hamba tidak boleh beriḥrām setelah penarikan izin tuannya. Karena iḥrām itu belum mewajibkan suatu amal dari amalan haji, dan tuan berhak melarang hambanya dari melakukan sesuatu yang belum wajib atasnya.

Namun jika penarikan izin terjadi setelah hamba itu beriḥrām, maka tuan tidak berhak lagi melarangnya.

Abu Ḥanīfah berpendapat: tuan berhak menarik izin meskipun setelah iḥrām, sebagaimana ia boleh menarik izin sebelumnya, dan ia dapat memaksa hamba itu untuk bertahallul. Pendapat ini tidak benar, karena apabila seorang hamba sudah beriḥrām dengan izin tuannya, maka ia telah wajib menyempurnakan hajinya. Tuan tidak boleh melarang hambanya dari melaksanakan kewajiban yang telah ditentukan atasnya, seperti shalat-shalat fardu.

Dan karena iḥrām adalah akad yang mengikat yang dilakukan dengan izin tuannya, maka tuan tidak berhak membatalkannya, sebagaimana nikah.

Jika tuan menarik kembali izinnya sebelum hamba itu beriḥrām, namun hamba tidak mengetahui bahwa izin itu telah ditarik, lalu ia beriḥrām, maka iḥrām-nya tetap sah.

Apakah tuan berhak melarangnya dalam kondisi seperti ini atau tidak? Ada dua wajah yang diturunkan dari perbedaan pendapat Imam al-Syafi‘i mengenai wakil yang bertindak dalam perkara qiṣāṣ atau selainnya setelah diberhentikan oleh muwakkilnya, sebelum ia tahu bahwa ia telah diberhentikan — apakah tindakannya dianggap batal dan ia harus menanggung akibatnya, atau tidak?

Salah satu pendapat menyatakan bahwa kewakilannya batal dengan penarikan izin dari muwakkil, meskipun wakil tidak mengetahuinya, dan tindakannya dianggap batal serta perbuatannya ditanggung. Berdasarkan ini, maka iḥrām hamba setelah penarikan izin tuan dan sebelum ia mengetahuinya sama seperti iḥrām setelah mengetahuinya, maka tuan berhak melarangnya.


وَالثَّانِي: إِنَّ الْوَكَالَةَ لَا تَبْطُلُ إِلَّا بِرُجُوعِ الْمُوَكِّلِ وَعِلْمِ الْوَكِيلِ وَيَكُونُ تَصَرُّفُهُ قَبْلَ عِلْمِهِ مَاضِيًا وَعَمَلُهُ غَيْرَ مَضْمُونٍ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ إِحْرَامُ الْعَبْدِ بَعْدَ رُجُوعِ سَيِّدِهِ وَقَبْلَ عِلْمِهِ كَإِحْرَامِهِ قَبْلَ رُجُوعِهِ فَلَا يَكُونُ لِلسَّيِّدِ مَنْعُهُ.

Yang kedua: Sesungguhnya wakālah (perwakilan) tidak batal kecuali dengan penarikan kembali dari pihak muwakkil (yang memberi kuasa) dan telah sampainya pengetahuan itu kepada wakīl (yang diberi kuasa). Maka tindakan wakīl sebelum ia mengetahui penarikan tersebut tetap berlaku dan tindakannya tidak menjadi tanggungannya.

Berdasarkan hal ini, maka iḥrām budak setelah tuannya mencabut izinnya namun sebelum budak mengetahui pencabutan itu, hukumnya seperti iḥrām-nya sebelum pencabutan tersebut, sehingga tuan tidak berhak melarangnya.


فَصْلٌ
: إِذَا أَحْرَمَ الْعَبْدُ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ ثُمَّ إِنِ السَّيِّدُ أَذِنَ لَهُ فِي إِتْمَامِ حَجِّهِ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَمْنَعَهُ مِنْ إِتْمَامِهِ وَيَكُونُ كالمحرم بإذن. فَلَوْ أَذِنَ لَهُ فِي الْإِحْرَامِ بِحَجَّةٍ مُفْرَدَةٍ فَقَرَنَ فِي إِحْرَامِهِ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ كَانَ قِرَانًا صَحِيحًا وَلَمْ يَكُنْ لِلسَّيِّدِ مَنْعُهُ مِنْهُ، لِأَنَّ أَعْمَالَ الْقَارِنِ كَأَعْمَالِ الْمُفْرِدِ وَلَوْ أَذِنَ لَهُ أَنْ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ فِي ذِي الْحِجَّةِ فَأَحْرَمَ قَبْلَهُ فِي ذِي الْقَعْدَةِ كَانَ لِلسَّيِّدِ مَنْعُهُ، لِأَنَّهُ شَغَلَ نَفْسَهُ عَنْ تَصَرُّفِ سَيِّدِهِ فِي زَمَانٍ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ فِيهِ.

PASAL
 Apabila seorang hamba beriḥrām tanpa izin tuannya, kemudian tuan mengizinkannya untuk menyempurnakan hajinya, maka tuan tidak berhak melarangnya dari menyempurnakannya, dan ia menjadi seperti orang yang beriḥrām dengan izin.

Jika tuan mengizinkannya untuk beriḥrām dengan ḥajj mufradah, lalu ia menggabungkan dalam iḥrām-nya antara ḥajj dan ‘umrah, maka qirān-nya sah dan tuan tidak berhak melarangnya, karena amalan qārin sama seperti amalan mufrid.

Namun jika tuan mengizinkannya untuk beriḥrām haji pada bulan Dzulḥijjah, lalu ia beriḥrām sebelumnya di bulan Dzulqa‘dah, maka tuan berhak melarangnya, karena ia telah menyibukkan dirinya dari pengelolaan tuannya pada waktu yang belum diizinkan oleh tuannya.


فَصْلٌ
: إِذَا أَحْرَمَ الْعَبْدُ بِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ ثُمَّ بَاعَهُ السَّيِّدُ كَانَ بَيْعُهُ جَائِزًا بِخِلَافِ بَيْعِ الْمُؤَاجَرِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ؛ لِأَنَّ الْعَبْدَ الْمُؤَاجَرَ مَمْلُوكُ الْمَنْفَعَةِ وَعَلَيْهِ لِلْمُسْتَأْجِرِ يَدٌ حَائِلَةٌ فَلَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ وَالْعَبْدُ الْمُحْرِمُ غَيْرُ مَمْلُوكِ الْمَنْفَعَةِ وَلَا عَلَيْهِ يَدٌ حَائِلَةٌ فَجَازَ بَيْعُهُ قَوْلًا وَاحِدًا وَإِذَا كَانَ ثَابِتًا لَمْ يَخْلُ حَالُ الْعَبْدِ فِي إِحْرَامِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ بِإِذْنِ سَيِّدِهِ أَوْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَإِنْ كَانَ بِإِذْنِ سَيِّدِهِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْمُشْتَرِي مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَالِمًا بِإِحْرَامِهِ قَبْلَ الشِّرَاءِ أَوْ غَيْرَ عَالِمٍ فَإِنْ كَانَ عَالِمًا بِإِحْرَامِهِ فَلَا خِيَارَ لَهُ كَمَا لَوِ اشْتَرَى عَبْدًا مَعِيبًا وَهُوَ عَالِمٌ بِعَيْبِهِ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ عَالِمٍ بِإِحْرَامِهِ فَلَهُ الْخِيَارُ فِي إِمْضَاءِ الْبَيْعِ أَوْ فَسْخِهِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ لَمْ يَعْلَمْ بِإِحْرَامِهِ حَتَّى أَحَلَّ مِنْهُ فَفِي خِيَارِهِ وَجْهَانِ:

PASAL
 Apabila seorang budak beriḥrām untuk haji atau ‘umrah, kemudian tuannya menjualnya, maka jualnya sah. Berbeda dengan penjualan budak yang sedang disewakan menurut salah satu dari dua pendapat, karena budak yang disewakan adalah milik manfaatnya, dan si penyewa memiliki kekuasaan yang menghalangi, maka tidak sah menjualnya menurut salah satu dari dua pendapat. Adapun budak yang sedang beriḥrām tidak termasuk milik manfaat, dan tidak ada kekuasaan yang menghalangi atas dirinya, maka sah menjualnya menurut satu pendapat.

Jika hal ini telah ditetapkan, maka keadaan budak dalam iḥrām-nya tidak lepas dari dua hal:
 yaitu antara beriḥrām dengan izin tuannya atau tanpa izin. Jika ia beriḥrām dengan izin tuannya, maka keadaan pembeli tidak lepas dari dua hal:
 antara mengetahui iḥrām budak tersebut sebelum pembelian, atau tidak mengetahuinya.

Jika ia mengetahui bahwa budak tersebut sedang beriḥrām, maka tidak ada hak khiyār baginya, sebagaimana orang yang membeli budak cacat dalam keadaan mengetahui cacatnya.
 Namun jika ia tidak mengetahui bahwa budak tersebut sedang beriḥrām, maka ia memiliki hak khiyār untuk meneruskan atau membatalkan jual belinya. Maka dalam hal ini, jika ia baru mengetahui setelah budak tersebut bertahallul, terdapat dua wajah (pendapat)


أَحَدُهُمَا: لَا خِيَارَ لَهُ اعْتِبَارًا بِالْحَالِ.
وَالثَّانِي: لَهُ الْخِيَارُ اعْتِبَارًا بِمَا وَجَبَ، وَإِنْ كَانَ الْعَبْدُ قَدْ أَحْرَمَ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ فَلَا خِيَارَ لِلْمُشْتَرِي فِي فَسْخِ الْبَيْعِ لِقُدْرَتِهِ عَلَى دفع الضرر عن نفسه يمنع الْعَبْدِ مِنْ إِحْرَامِهِ ثُمَّ الْمُشْتَرِي بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُمَكِّنَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ وَإِنَّمَا كَانَ بِالْخِيَارِ وإن لم يكن إحرامه في ملكه لأن إحرام العبد لما كان عن غير إذن السيد كان إِحْرَامُهُ غَيْرَ مُسْتَقِرٍّ فَكَانَ لِمَالِكِ رِقِّهِ مَنْعُهُ مِنْهُ لِمَا فِيهِ مِنْ تَفْوِيتِ مَنْفَعَتِهِ وَإِبْطَالِ تَصَرُّفِهِ فَعَلَى هَذَا لَوْ مَكَّنَهُ الْبَائِعُ وَمَنْعَهُ الْمُشْتَرِي كَانَ مَنْعُ الْمُشْتَرِي أَوْلَى مِنْ تَمْكِينِ الْبَائِعِ لِوُجُودِ الْمَنْعِ مِنْ مَالِكٍ وَوُجُوبِ التَّمْكِينِ من غير مالك.

Pertama: Tidak ada pilihan (opsi) baginya, dengan mempertimbangkan keadaan saat itu.
 Kedua: Ia memiliki pilihan, dengan mempertimbangkan kewajiban yang muncul.

Jika hamba itu telah beriḥrām tanpa izin tuannya, maka pembeli tidak memiliki hak untuk membatalkan akad jual beli, karena ia mampu mencegah mudarat atas dirinya dengan cara melarang hamba tersebut beriḥrām.

Kemudian, pembeli memiliki pilihan antara membiarkannya atau melarangnya. Dan ia memiliki pilihan itu meskipun iḥrām hamba itu dilakukan sebelum kepemilikannya, karena iḥrām seorang hamba yang dilakukan tanpa izin tuannya adalah iḥrām yang tidak menetap, maka pemilik budaknya berhak melarangnya darinya karena dalam hal itu terdapat pembatalan atas manfaat dan pembatalan atas hak pengelolaan.

Berdasarkan hal ini, jika penjual membolehkannya tetapi pembeli melarangnya, maka larangan pembeli lebih utama daripada pembolehan penjual, karena larangan itu berasal dari pemilik, sedangkan pembolehan berasal dari selain pemilik.

مسألة: قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَلَوْ أَذِنَ لَهُ أَنْ يَتَمَتَّعَ فَأَعْطَاهُ دَمًا لِتَمَتُّعِهِ لَمْ يُجْزِ عَنْهُ إِلَّا الصَّوْمُ مَا كَانَ مَمْلُوكًا وَيُجْزِي أَنْ يُعْطِيَ عَنْهُ مَيْتًا كَمَا يُعْطِي عَنْ ميتٍ قَضَاءً لِأَنَّ النَبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ سَعْدًا أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ أُمِّهِ بَعْدَ مَوْتِهَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ الدِّمَاءِ الْوَاجِبَةِ عَنِ الْعَبْدِ فِي إِحْرَامِهِ ضَرْبَانِ:

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika tuan mengizinkannya untuk tamattu‘, lalu memberinya hewan dam karena tamattu‘-nya, maka tidak sah baginya kecuali puasa selama ia masih berstatus budak. Dan sah baginya menerima pemberian dam untuk orang yang telah meninggal dunia, sebagaimana sah memberikan dam bagi orang mati secara qadhā’, karena Nabi SAW memerintahkan Sa‘d untuk bersedekah atas nama ibunya setelah wafatnya.”

Al-Māwardī berkata:
 Seluruh dam yang wajib atas hamba karena iḥrām-nya terbagi menjadi dua jenis:


أَحَدُهُمَا: أَنْ تَجِبَ بِفِعْلِ الْعَبْدِ عَنْ غَيْرِ أَمْرِ السَّيِّدِ فَإِنْ كَانَ الْعَبْدُ مُعْسِرًا لَمْ يُمَلِّكْهُ السَّيِّدُ مَا يُكَفِّرُ بِهِ فَكَفَّارَتُهُ الصِّيَامُ وَإِنْ مَلَكَّهُ السَّيِّدُ مَا يُكَفِّرُ بِهِ فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ إِنَّ الْعَبْدَ يَمْلِكُ إِذَا مُلِّكَ وَيُكَفِّرُ بِالدَّمِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَصُومَ لِقُدْرَتِهِ وَمِلْكِهِ وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ الْعَبْدَ لَا يَمْلِكُ إِذَا مُلِّكَ فَلَا يُجْزِئُهُ أَنْ يُكَفِّرَ بِالدَّمِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُهُ وَعَلَيْهِ أَنْ يُكَفِّرَ بِالصَّوْمِ، لِأَنَّهُ فَرْضٌ فَعَلَى هَذَا لَوْ لَمْ يُكَفِّرْ بِالصَّوْمِ حَتَّى أُعْتِقَ فَإِنْ كَانَ بَعْدَ عِتْقِهِ مُوسِرًا فَعَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْكَفَّارَةِ هَلْ يُرَاعَى بِهَا حَالُ الْوُجُوبِ أَوْ حال الأداء؟ على القولين أَنَّ الْمُرَاعَى بِهَا حَالُ الْأَدَاءِ كَالصَّلَاةِ فَعَلَى هَذَا لَا يُجْزِئُهُ الصَّوْمُ وَعَلَيْهِ أَنْ يُكَفِّرَ بِالدَّمِ.

Pertama: Bahwa kewajiban kafārah ditetapkan karena perbuatan budak tanpa perintah tuannya. Maka jika budak tersebut dalam keadaan tidak mampu dan tuannya tidak memberikannya sesuatu untuk membayar kafārah, maka kafārah-nya adalah puasa.

Namun jika tuannya memberikannya sesuatu yang bisa digunakan untuk membayar kafārah, maka menurut pendapat dalam qaul qadīm, budak itu memiliki kepemilikan apabila diberi kepemilikan, dan ia harus membayar kafārah dengan menyembelih darah (hewan), dan tidak boleh berpuasa karena ia mampu dan memiliki harta.

Sedangkan menurut qaul jadīd, budak tidak memiliki kepemilikan meskipun telah diberikan kepemilikan, maka tidak sah ia membayar kafārah dengan menyembelih darah, karena ia tidak memilikinya, dan ia wajib membayar kafārah dengan puasa karena itu adalah kewajiban.

Berdasarkan ini, jika ia belum membayar kafārah dengan puasa hingga ia merdeka, maka jika setelah merdeka ia menjadi orang mampu, maka ada dua pendapat yang dibangun di atas perbedaan dua pendapat mengenai kafārah: apakah yang menjadi patokan adalah keadaan saat wajib atau keadaan saat pelaksanaan?

Menurut kedua pendapat tersebut, yang dijadikan patokan adalah keadaan saat pelaksanaan, sebagaimana salat. Maka berdasarkan itu, puasa tidak mencukupi dan ia wajib membayar kafārah dengan darah (hewan sembelihan).


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْمُرَاعَى بِهَا حَالُ الْوُجُوبِ كَالْحُدُودِ فَعَلَى هَذَا لَا يَلْزَمُهُ أَنْ يُكَفِّرَ بِالدَّمِ وَيُجْزِئُهُ أَنْ يُكَفِّرَ بِالصَّوْمِ فَإِنْ عَدَلَ إِلَى الدَّمِ عَنِ الصَّوْمِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: يُجْزِئُهُ؛ لِأَنَّ الدَّمَ أَغْلَظُ حَالًا مِنَ الصَّوْمِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُجْزِئُهُ إِلَّا الصَّوْمُ، لِأَنَّهُ فِي حَالِ رِقِّهِ لَمْ يَكُنْ يُجْزِئُهُ إِلَّا الصَّوْمُ وَكَذَلِكَ بَعْدَ عِتْقِهِ لَا يُجْزِئُهُ إِلَّا الصَّوْمُ.
وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَجِبَ بِفِعْلِ الْعَبْدِ عَنْ أَمْرِ السَّيِّدِ فَهَذَا على ضربين:
أحدهما: ما لا يستبح فِعْلُهُ وَإِنْ أَمَرَهُ السَّيِّدُ بِهِ كَالْوَطْءِ وَقَتْلِ الصَّيْدِ فَهَذَا يَكُونُ حُكْمُهُ كَحُكْمِ مَا فَعَلَهُ من غير أمر السيد، لأنه أَمْرَ السَّيِّدِ لَا يُبِيحُ مَا كَانَ مَحْظُورًا فَكَانَ وُجُودُ أَمْرِهِ كَعِدْمِهِ.

Pendapat kedua: yang dijadikan tolok ukur adalah keadaan saat kewajiban itu ditetapkan, sebagaimana dalam perkara ḥudūd. Maka berdasarkan hal ini, tidak wajib baginya membayar kafārah dengan dam, dan cukup baginya membayar kafārah dengan puasa.

Jika ia berpindah dari puasa kepada dam, maka terdapat dua wajah:
 Pertama: Sah baginya, karena dam lebih berat keadaannya dibandingkan puasa.
 Wajah kedua: Tidak sah kecuali dengan puasa, karena saat ia masih berstatus budak, tidak sah baginya kecuali puasa, maka begitu pula setelah ia merdeka, tidak sah kecuali puasa.

Adapun jenis kedua: yaitu dam yang wajib karena perbuatan hamba atas perintah tuannya, maka ini terbagi menjadi dua:
 Pertama: Perbuatan yang tidak halal dilakukan meskipun atas perintah tuan, seperti bersetubuh (wāṭi’) dan membunuh binatang buruan. Maka hukum perbuatan ini sama seperti jika dilakukan tanpa perintah tuan, karena perintah tuan tidak menjadikan perkara yang terlarang menjadi boleh. Maka keberadaan perintahnya dianggap seperti tidak ada.


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا يستبيح فِعْلُهُ بِأَمْرِ السَّيِّدِ كَالتَّمَتُّعِ وَالْقِرَانِ فَإِذَا تَمَتَّعَ وَقَرَنَ عَنْ أَمْرِهِ فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ الْعَبْدَ لَا يَمْلِكُ إِذَا مُلِّكَ يَكُونُ كَمَا لَوْ فَعَلَهُ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَكَفَّرَ بِالصَّوْمِ وَلَا يُجْزِئُهُ الدَّمُ وَلَا يَلْزَمُ السَّيِّدَ إِخْرَاجُ الدَّمِ عَنْهُ وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ إِنَّ الْعَبْدَ يَمْلِكُ إِذَا مُلِّكَ فَيُجْزِئُهُ الدَّمُ وَفِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ قَوْلَانِ نَصَّ عَلَيْهِمَا فِي الْقَدِيمِ.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا وَاجِبَةٌ عَلَى السَّيِّدِ بِأَمْرِهِ فَعَلَى هَذَا عَلَى السَّيِّدِ إِخْرَاجُ الدَّمِ عَنْهُ وَلَا يَلْزَمُهُ اسْتِئْذَانُ الْعَبْدِ فِيهِ.

Dan jenis yang kedua: adalah perbuatan yang boleh dilakukan dengan perintah tuannya, seperti tamattu‘ dan qirān. Maka apabila budak melakukan tamattu‘ atau qirān atas perintah tuannya, maka menurut qaul jadīd bahwa budak tidak memiliki kepemilikan meskipun telah diberikan kepemilikan, maka hukumnya seperti jika dilakukan tanpa izin tuannya, sehingga kafārah-nya dengan puasa, dan tidak mencukupi baginya menyembelih darah, serta tidak wajib atas tuan untuk mengeluarkan darah sebagai kafārah baginya.

Sedangkan menurut qaul qadīm bahwa budak memiliki kepemilikan jika diberi kepemilikan, maka mencukupi baginya kafārah dengan darah. Dan mengenai kewajiban kafārah, terdapat dua pendapat yang dinyatakan oleh imam dalam qaul qadīm:

Pertama: bahwa kafārah itu wajib atas tuan karena perintahnya. Maka berdasarkan pendapat ini, wajib atas tuan untuk mengeluarkan darah sebagai kafārah darinya, dan ia tidak perlu meminta izin dari budak untuk itu.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا وَاجِبَةٌ عَلَى الْعَبْدِ دُونَ السَّيِّدِ؛ لِأَنَّهَا وَجَبَتْ بِفِعْلِ الْعَبْدِ دُونَ فِعْلِ السَّيِّدِ فَعَلَى هَذَا إِنْ لَمْ يُمَلِّكْهُ السَّيِّدُ كَفَّرَ بِالصَّوْمِ كَالْمُعْسِرِ وَإِنْ مَلَّكَهُ السَّيِّدُ كَفَّرَ بِالدَّمِ كَالْمُوسِرِ فَلَوْ أَخْرَجَ السَّيِّدُ عَنْهُ الدَّمَ لَمْ يُجْزِهِ إِلَّا بِأَمْرِهِ وَإِنْ أَخْرَجَهُ بِغَيْرِ أَمْرِهِ لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّ مَا يَفْتَقِرُ إِلَى النِّيَّةِ لَا يَصِحُّ فِعْلُهُ عَنِ الْحَيِّ إِلَّا بِأَمْرِهِ.

Pendapat kedua: bahwa dam tersebut wajib atas hamba, bukan atas tuan, karena kewajiban itu timbul dari perbuatan hamba, bukan dari perbuatan tuan.

Berdasarkan ini, jika tuan tidak memberikan kepemilikan harta kepadanya, maka ia membayar kafārah dengan puasa sebagaimana orang yang tidak mampu (mu‘sir). Dan jika tuan memberikannya harta, maka ia membayar kafārah dengan dam sebagaimana orang yang mampu (mūsir).

Jika tuan mengeluarkan dam atas nama hamba, maka tidak sah kecuali dengan izinnya. Jika tuan mengeluarkannya tanpa izinnya, maka tidak sah; karena perkara yang memerlukan niat tidak sah dilakukan atas nama orang hidup kecuali dengan izinnya.


فَصْلٌ
: فَإِنْ مَاتَ الْعَبْدُ قَبْلَ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْ نَفْسِهِ بِالصَّوْمِ وَقَبْلَ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْهُ سَيِّدُهُ بِالدَّمِ فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْكَفَّارَةَ وَجَبَتْ عَلَى السَّيِّدِ فِيمَا أَمَرَهُ بِفِعْلِهِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ فَعَلَى السَّيِّدِ إِخْرَاجُهَا وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهَا وَجَبَتْ عَلَى الْعَبْدِ فِيمَا لَمْ يَأْمُرْهُ السَّيِّدُ أَوْ فِيمَا أَمَرَهُ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ لَمْ يَلْزَمِ السَّيِّدَ إِخْرَاجُهَا، لِأَنَّهَا لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ فَإِنْ تَطَوَّعَ السَّيِّدُ بِإِخْرَاجِهَا عَنْهُ أَجْزَأَ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّ الْعَبْدَ يَمْلِكُ إِذَا مُلِّكَ أَمْ لَا، لِأَنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِتَمْلِيكٍ لِلْعَبْدِ وَإِنَّمَا هُوَ إِسْقَاطُ فَرْضٍ لَزِمَهُ بِدَفْعِهِ إِلَى الْمَسَاكِينِ وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ سَعْدًا أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ أُمِّهِ فَإِنْ قِيلَ فَإِذَا جَوَّزْتُمْ تَكْفِيرَ السَّيِّدِ عَنْ عَبْدِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِتَمْلِيكٍ لَهُ وَإِنَّمَا هُوَ إِسْقَاطُ فَرْضٍ لَزِمَهُ بِدَفْعِهِ إِلَى الْمَسَاكِينِ فَهَلَّا جَوَّزْتُمْ تَكْفِيرَ السَّيِّدِ عَنْهُ فِي حَيَاتِهِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهِ تَمْلِيكٌ لَهُ وَإِنَّمَا هُوَ إِسْقَاطُ فَرْضٍ لَزِمَهُ بِدَفْعِهِ إِلَى الْمَسَاكِينِ.
قِيلَ: إِنَّمَا أَجْزَأَهُ تَكْفِيرُهُ عَنْهُ بَعْدَ مَوْتِهِ وَلَمْ يُجْزِهِ فِي حَيَاتِهِ، لِأَنَّهُ يَفْتَقِرُ إِلَى إِذْنِهِ فِي الْحَيَاةِ وَهُوَ مِمَّنْ لَا يَصْلُحُ مِنْهُ التَّكْفِيرُ بِالدَّمِ فَلَمْ يَصِحَّ مِنْهُ إِذْنُهُ فِيهِ وَلَا يَفْتَقِرُ إِلَى إِذْنِهِ بَعْدَ الْمَوْتِ فَصَحَّ التَّكْفِيرُ عَنْهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

PASAL
 Apabila budak wafat sebelum menunaikan kafārah dengan puasa, dan sebelum tuannya menunaikan kafārah baginya dengan darah (sembelihan), maka apabila kita katakan bahwa kafārah itu wajib atas tuan karena budak melakukan perbuatan atas perintahnya—menurut salah satu dari dua pendapat—maka wajib atas tuan untuk mengeluarkan kafārah-nya.

Namun apabila kita katakan bahwa kafārah itu wajib atas budak karena dilakukan tanpa perintah tuan, atau meskipun dilakukan atas perintah tuan namun menurut salah satu dari dua pendapat tidak wajib atas tuan, maka tuan tidak wajib mengeluarkannya, karena kafārah itu tidak wajib atasnya.

Namun jika tuan menunaikan kafārah secara suka rela atas budaknya, maka hal itu sah menurut kedua pendapat, baik dikatakan bahwa budak memiliki kepemilikan apabila diberi kepemilikan ataupun tidak, karena itu bukanlah pemberian harta kepada budak, melainkan pengguguran kewajiban yang melekat padanya dengan menyerahkannya kepada para miskin.

Telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW memerintahkan Sa‘d untuk bersedekah atas nama ibunya.

Jika dikatakan: “Apabila kalian membolehkan tuan menunaikan kafārah atas budaknya setelah kematiannya karena itu bukan pemberian harta kepadanya, tetapi pengguguran kewajiban dengan diserahkan kepada para miskin, mengapa kalian tidak membolehkannya ketika budak masih hidup, padahal itu juga bukan pemberian harta, hanya pengguguran kewajiban dengan disalurkan kepada para miskin?”

Dijawab: Sesungguhnya kafārah tuan atas budaknya sah setelah kematian budak, tetapi tidak sah saat budak masih hidup, karena pada saat hidup dibutuhkan izin dari budak, sedangkan budak bukanlah orang yang sah untuk menunaikan kafārah dengan darah, maka izinnya tidak sah, sedangkan setelah wafat tidak diperlukan izinnya, maka sah kafārah atasnya. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” من أهل بحجتين أو عمرتين معاً أو بحج ثُمَّ أَدْخَلَ عَلَيْهِ حَجًّا آخَرَ أَوْ بِعُمْرَتَيْنِ مَعًا أَوْ بعمرةٍ ثُمَّ أَدْخَلَ عَلَيْهَا أُخْرَى فَهُوَ حَجٌّ واحدٌ وَعُمْرَةٌ واحدةٌ وَلَا قَضَاءَ عليه ولا فدية (قال المزني) لا يخلو من أن يكون في حجتين أو حجةٍ فإذا أجمعوا أنه لا يعمل عمل حجتين في حالٍ ولا عمرتين في صومين في حالٍ دل على أنه لا معنى إلا لواحدةٍ منهما فبطلت الأخرى “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الْإِحْرَامُ بِحَجَّتَيْنِ لَا يَنْعَقِدُ وَكَذَلِكَ بِعُمْرَتَيْنِ فَإِذَا أَحْرَمَ بِحَجَّتَيْنِ أَوْ بِحَجَّةٍ ثُمَّ أَدْخَلَ عَلَيْهَا أُخْرَى كَانَ حَجًّا وَاحِدًا وَلَمْ يَلْزَمْهُ قَضَاءُ الْأُخْرَى، وَكَذَلِكَ لَوْ أَحْرَمَ بِعُمْرَتَيْنِ أَوْ بِعُمْرَةٍ ثُمَّ أَدْخَلَ عَلَيْهَا أُخْرَى كَانَتْ عُمْرَةً وَاحِدَةً وَلَمْ يَلْزَمْهُ قَضَاءُ الْأُخْرَى.

Bab: Apakah seseorang boleh beriḥrām untuk dua haji atau dua ‘umrah sekaligus dan hal-hal yang berkaitan dengannya
 Masalah: Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:
 “Barang siapa beriḥrām untuk dua haji atau dua ‘umrah sekaligus, atau beriḥrām untuk haji lalu memasukkan haji lain ke dalamnya, atau dua ‘umrah sekaligus, atau beriḥrām untuk satu ‘umrah lalu memasukkan yang lain ke dalamnya, maka itu hanya dihitung satu haji dan satu ‘umrah saja. Ia tidak wajib mengqadhā’ yang lain dan tidak ada fidyah.”

Al-Muzanī berkata:
 “Keadaan ini tidak lepas dari haji atau dua haji. Jika para ulama sepakat bahwa tidak ada amal dua haji yang dilakukan dalam satu waktu, dan tidak ada dua ‘umrah dalam satu waktu, maka hal itu menunjukkan bahwa yang dimaksud hanyalah satu saja, dan yang lainnya batal.”

Al-Māwardī berkata:
 Dan hal ini sebagaimana yang telah dikatakan: iḥrām untuk dua haji tidak sah, demikian pula untuk dua ‘umrah. Maka jika seseorang beriḥrām untuk dua haji atau satu haji lalu memasukkan haji lain ke dalamnya, maka yang sah hanyalah satu haji, dan ia tidak wajib mengqadhā’ yang lainnya. Demikian pula jika ia beriḥrām untuk dua ‘umrah atau satu ‘umrah lalu memasukkan ‘umrah lain ke dalamnya, maka itu hanya dianggap satu ‘umrah dan ia tidak wajib mengqadhā’ yang lainnya.


وَقَالَ أبو حنيفة: إِذَا أَحْرَمَ بِحَجَّتَيْنِ أَوْ عُمْرَتَيْنِ انْعَقَدَ إِحْرَامُهُ بِهِمَا جَمِيعًا فَإِذَا تَوَجَّهَ فِي السَّيْرِ رَفَضَ إِحْدَاهُمَا وَقَضَاهَا مِنْ قَابِلٍ وَعَلَيْهِ دَمٌ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَتِّمُوا الْحَجَّ وَالعُمْرَةَ للهِ) {البقرة: 196) فَأَوْجَبَ عَلَيْهِ إِتْمَامَ جِنْسِ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ وَلِأَنَّهُ إِحْرَامٌ تَضَمَّنَ تسكين فَجَازَ أَنْ يَنْعَقِدَ بِهِمَا جَمِيعًا كَالْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ طَرْدًا وَكَالصَّلَاتَيْنِ عَكْسًا وَلِأَنَّ الْحَجَّ يَلْزَمُ بِالدُّخُولِ فِيهِ كَمَا يَلْزَمُ بِالنَّذْرِ لَهُ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ نَذَرَ حَجَّتَيْنِ لَزِمَهُ أَنْ يَأْتِيَ بِهِمَا فَكَذَلِكَ إِذَا أَحْرَمَ بِهِمَا لَزِمَهُ أَنْ يَأْتِيَ بِهِمَا.

Abū Ḥanīfah berkata: Apabila seseorang beriḥrām untuk dua haji atau dua ‘umrah, maka iḥrām-nya sah untuk keduanya sekaligus. Maka apabila ia telah memulai perjalanan, ia memilih salah satunya untuk ditinggalkan (dilepas) dan menunaikannya di waktu mendatang, dan ia wajib menyembelih dam.

Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ālā: {Wa atimmū al-ḥajja wa al-‘umrata lillāh} (QS al-Baqarah: 196), maka ayat ini mewajibkan menyempurnakan jenis haji dan ‘umrah.

Karena iḥrām itu mencakup dua ibadah, maka boleh keduanya terikat dalam satu iḥrām, sebagaimana haji dan ‘umrah (digabung dalam qirān) secara sejalan, dan sebagaimana dua salat dalam satu niat secara kebalikan.

Dan karena haji menjadi wajib dengan masuk ke dalamnya (yakni dengan iḥrām), sebagaimana ia menjadi wajib karena nadzar.

Dan telah tetap bahwa apabila seseorang bernadzar dua haji, maka wajib baginya melaksanakan keduanya. Maka demikian pula apabila ia beriḥrām untuk keduanya, maka wajib atasnya untuk menunaikan keduanya.


وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ مَا رُوِيَ عَنِ الْأَقْرَعِ بْنِ حَابِسٍ أَنَّهُ قَالَ: ” أَحَجَّتُنَا هَذِهِ لِعَامِنَا أَمْ لِلْأَبَدِ فَقَالَ بَلْ لِلْأَبَدِ ” فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ وَلَمْ يَقُلْ إِلَّا أَنْ يُحْرِمَ بِحَجَّتَيْنِ، وَلِأَنَّهُمَا عِبَادَتَانِ لَا يُمْكِنُهُ الْمُضِيُّ فِي شَيْءٍ مِنْ أَفْعَالِهَا فَوَجَبَ أَنْ لَا يَنْعَقِدَ إِحْرَامُهُ بِهِمَا كَالصَّلَاتَيْنِ فَإِنْ قِيلَ الْمَعْنَى فِي الصَّلَاتَيْنِ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَنْعَقِدْ إِحْرَامُهُ بِإِحْدَاهُمَا لَمْ يَنْعَقِدْ بِهِمَا وَلَمَّا انْعَقَدَ إِحْرَامُهُ بِإِحْدَى الْحَجَّتَيْنِ انْعَقَدَ بِهِمَا قِيلَ الْمَعْنَى فِي الصَّلَاةِ مُخَالِفٌ لِلْمَعْنَى فِي الْحَجِّ لِأَنَّ تَعْيِينَ النِّيَّةِ فِي الصَّلَاةِ وَاجِبٌ فَإِذَا أَحْرَمَ بِصَلَاتَيْنِ لَمْ تَنْعَقِدْ إِحْدَاهُمَا لِأَنَّهُ لَمْ يُعَيِّنْهَا بِنِيَّتِهِ وَتَعْيِينُ النِّيَّةِ فِي الْحَجِّ غَيْرُ وَاجِبٍ فَإِذَا أَحْرَمَ بِهِمَا انْعَقَدَ إِحْرَامُهُ بِإِحْدَاهُمَا؛ لِأَنَّهُ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى تَعْيِينِهَا بِنِيَّتِهِ وَلِأَنَّهُمَا عِبَادَتَانِ لَا يَصِحُّ الْمُضِيُّ فِيهِمَا فَلَا يَصِحُّ الْإِحْرَامُ بِهِمَا كَالصَّلَاتَيْنِ وَلِأَنَّهُمَا عِبَادَتَانِ مَنَعَ الْوَقْتُ مِنَ اسْتَدَامَتِهِمَا فَوَجَبَ أَنْ يَمْنَعَ مِنَ ابْتِدَائِهِمَا كَالصَّوْمَيْنِ فِي يَوْمٍ واحد؛ ولأن الْإِحْرَامَ بِالنُّسُكِ يُوجِبُ انْعِقَادَ النُّسُكِ وَالْمُضِيَّ فِيهِ فَلَمَّا كَانَ الْإِحْرَامُ بِالْحَجَّتَيْنِ لَا يُوجِبُ الْمُضِيَّ فِيهَا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْإِحْرَامُ فِيهِمَا يُوجِبُ انْعِقَادَهُمَا.

Dalil atas hal tersebut adalah riwayat dari al-Aqra‘ bin Ḥābis bahwa ia berkata:
 “Apakah haji kita ini untuk tahun ini saja atau untuk selamanya?” Maka Nabi SAW bersabda: “Bahkan untuk selamanya.”

Ini menunjukkan keumuman (hukum) bahwa tidak disebutkan keabsahan beriḥrām untuk dua haji sekaligus.

Dan karena keduanya adalah dua bentuk ibadah yang tidak mungkin dapat dilaksanakan amal perbuatannya secara bersamaan, maka tidak sah iḥrām untuk keduanya, seperti halnya dua shalat.

Jika dikatakan: “Makna dalam dua shalat adalah bahwa ketika iḥrām salah satunya tidak sah, maka keduanya pun tidak sah. Sedangkan dalam dua haji, iḥrām untuk salah satunya sah, maka keduanya sah.”

Maka dijawab: Bahwa makna dalam shalat berbeda dengan makna dalam haji. Karena penentuan niat dalam shalat adalah wajib, sehingga apabila seseorang beriḥrām untuk dua shalat, tidak sah salah satunya karena tidak ditentukan dalam niatnya.

Sedangkan dalam haji, penentuan niat tidaklah wajib. Maka apabila ia beriḥrām untuk dua haji, sah iḥrām-nya untuk salah satunya karena tidak membutuhkan penentuan dalam niat.

Namun demikian, keduanya adalah dua bentuk ibadah yang tidak sah untuk dilaksanakan bersamaan, maka tidak sah pula iḥrām untuk keduanya, seperti halnya dua shalat.

Dan karena keduanya adalah dua ibadah yang terhalangi oleh waktu dari kelangsungan pelaksanaannya, maka tidak sah pula memulainya secara bersamaan, sebagaimana dua puasa dalam satu hari.

Dan karena iḥrām untuk nusuk mewajibkan pelaksanaan nusuk tersebut dan melanjutkannya, maka ketika iḥrām untuk dua haji tidak menyebabkan kewajiban untuk melanjutkan keduanya, maka iḥrām-nya tidak menyebabkan sahnya dua ibadah tersebut.


وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهُ أَحَدُ مُوجِبَيِ الْإِحْرَامِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَشْتَمِلَ عَلَى حَجَّتَيْنِ كَالْمُضِيِّ فِيهِمَا، وَلِأَنَّ الْإِحْرَامَ رُكْنٌ كَالطَّوَافِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الطَّوَافَ لَا يَصِحُّ عَنْ حَجَّتَيْنِ.
وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ أَنَّهُ رُكْنٌ مِنْ أَرْكَانِ الْحَجِّ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَصِحَّ عَنْ حَجَّتَيْنِ كَالطَّوَافِ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِعُمُومِ الْآيَةِ فَهُوَ أَنَّهَا تُوجِبُ إِتْمَامَ مَا انْعَقَدَ وَحَقِيقَةُ الْإِتْمَامِ الْبِنَاءُ عَلَى مَا مَضَى، وأبو حنيفة يَمْنَعُ مِنْهُ فَلَمْ يَكُنْ فِيهَا دَلَالَةٌ لِأَنَّ خِلَافَنَا فِي انْعِقَادِ مَا يَجِبُ عَلَيْهِ إِتْمَامُهُ.

Penjelasan hal ini secara qiyās adalah: bahwa iḥrām merupakan salah satu hal yang mewajibkan haji, maka tidak boleh mencakup dua haji, sebagaimana tidak boleh melanjutkan pelaksanaan dua haji sekaligus. Dan karena iḥrām adalah rukun sebagaimana ṭawāf, sedangkan telah ditetapkan bahwa ṭawāf tidak sah untuk dua haji.

Penjelasan lebih lanjut: bahwa iḥrām adalah salah satu rukun dari rukun-rukun haji, maka tidak sah dilakukan untuk dua haji, sebagaimana ṭawāf.

Adapun jawaban atas dalil mereka yang berdalil dengan keumuman ayat adalah bahwa ayat tersebut mewajibkan menyempurnakan apa yang telah sah (terjadi), sedangkan hakikat dari itmam (penyempurnaan) adalah membangun atas apa yang telah lalu. Sedangkan Abū Ḥanīfah sendiri melarang membangunnya atas hal itu, maka tidak ada dalil dalam ayat tersebut, karena perbedaan pendapat kami adalah pada keabsahan sesuatu yang dituntut untuk disempurnakan.


وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى النُّسُكَيْنِ الْمُخْتَلِفَيْنِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ يُمْكِنُهُ الْمُضِيُّ فِيهِمَا فَلِذَلِكَ انْعَقَدَ إِحْرَامُهُ بِهِمَا ولما كان النسكان المتفقان لم يمكن الْمُضِيُّ فِيهِمَا لَمْ يَصِحَّ إِحْرَامُهُ بِهِمَا وَأَمَّا جَمْعُهُ بَيْنَ الْإِحْرَامِ وَالنَّذْرِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ النَّذْرَ أَعَمُّ لَهُ وَمَا يَتَعَلَّقُ مِنَ الْفِعْلِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ نَذَرَ صَلَاتَيْنِ لَزِمَ الْإِتْيَانُ بِهِمَا، وَلَوْ أَحْرَمَ بِصَلَاتَيْنِ لَمْ يَلْزَمْهُ الْإِتْيَانُ بِهِمَا فَكَذَلِكَ الْحَجُّ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Adapun qiyās mereka terhadap dua nusuk yang berbeda jenis, maka maknanya adalah bahwa memungkinkan untuk melanjutkan (amalan) keduanya, maka karena itu sah iḥrām untuk keduanya.

Adapun dua nusuk yang sejenis, karena tidak memungkinkan untuk melanjutkan keduanya, maka tidak sah iḥrām untuk keduanya.

Adapun menggabungkan antara iḥrām dan nadzar, maka tidak benar, karena nadzar lebih umum cakupannya dan terkait dengan perbuatan. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang bernadzar dua shalat, maka ia wajib melakukannya; namun jika ia beriḥrām untuk dua shalat, tidak wajib atasnya melakukannya.

Demikian pula halnya dengan haji.

Dan Allah-lah yang lebih mengetahui kebenaran.

 

مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولا يجوز أن يستأجر الرجل مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ إِذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى مركبٍ لِضَعْفِهِ أَوْ كِبَرِهِ إِلَّا بِأَنْ يَقُولَ يُحْرِمُ عَنْهُ مِنْ مَوْضِعِ كَذَا وَكَذَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ النِّيَابَةَ فِي الْحَجِّ جَائِزَةٌ وَالِاسْتِئْجَارَ عَلَى الْحَجِّ جَائِزٌ.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَا تَصِحُّ النِّيَابَةُ فِي الْحَجِّ وَالِاسْتِئْجَارُ عَلَيْهِ فَإِنِ اسْتَأْجَرَ رَجُلٌ رَجُلًا لِيَحُجَّ عَنْهُ أَوْ عَنْ مَيِّتٍ وَقَعَتِ الْحَجَّةُ لِلْحَاجِّ وَكَانَ لِلْمَحْجُوجِ عَنْهُ ثَوَابٌ يَعْقُبُهُ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْحَجَّ مِنْ عِبَادَاتِ الْأَبْدَانِ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَصِحَّ النِّيَابَةُ فِيهِ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ فِعْلُهَا بِالدُّخُولِ فِيهَا فَوَجَبَ أَنْ لَا تَصِحَّ الْإِجَارَةُ عَلَيْهَا وَلَا النِّيَابَةُ فِيهَا كَالْجِهَادِ وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ رِوَايَةُ عَطَاءٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ فَقَالَ أَحَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ: لَا قَالَ: حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ فَأَذِنَ لَهُ فِي الْحَجِّ عَنْ شُبْرُمَةَ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الْحَجُّ وَاقِعًا عَنْهُ وَالْفَرْضُ سَاقِطًا بِهِ وَرُوِيَ عَنِ الْخَثْعَمِيَّةِ أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ فِي الْحَجِّ عَلَى عِبَادِهِ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَمْسِكَ عَلَى رَاحِلَتِهِ فَهَلْ تَرَى أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ فَقَالَ: نَعَمْ قَالَتْ أَيَنْفَعُهُ قَالَ: نَعَمْ أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِيهِ أَيَنْفَعُهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ: فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى، فَجَعَلَ قَضَاءَ الْحَجِّ عَنْهُ مسقط لفرضه كما أن قضاء الدين عنه مسقطاً لدينه، وقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأَبِي رَزِينٍ ” حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ ” وَلِأَنَّ كُلَّ عَمَلٍ جَازَ أَنْ يَتَطَوَّعَ بِهِ الْغَيْرُ عَنِ الْغَيْرِ جَازَ أَنْ تَصِحَّ فِيهِ النِّيَابَةُ ويصح وعليه عَقْدُ الْإِجَارَةِ كَبِنَاءِ الْمَسَاجِدِ وَكَتْبِ الْمَصَاحِفِ فَإِنْ قَالُوا لَا نُسَلِّمُ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَتَطَوَّعَ بِهِ الْغَيْرُ قُلْنَا يَعْنِي أَنَّهُ يُضِيفُ الْفِعْلَ إِلَيْهِ فَيَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ فُلَانٍ لِيَحْصُلَ لَهُ ثَوَابُ النَّفَقَةِ، وَلِأَنَّهُ مِنْ فُرُوضِ الْأَعْيَانِ يَجِبُ بِوُجُودِ الْمَالِ فَوَجَبَ أَنْ تَصِحَّ فِيهِ النِّيَابَةُ كَالزَّكَاةِ.

BAB IJARAH UNTUK HAJI DAN WASIAT UNTUKNYA

Masalah: Imam asy-Syafi‘i RA berkata: “Tidak boleh seseorang menyewa orang lain untuk menghajikan dirinya apabila ia tidak mampu naik kendaraan karena lemah atau sudah tua, kecuali dengan menyebutkan: ‘Hendaknya ia beriḥrām dari tempat ini dan itu.’”

Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa perwakilan dalam haji itu boleh, dan menyewa orang untuk berhaji juga boleh.

Abu Ḥanīfah berkata: Tidak sah perwakilan dalam haji dan tidak sah pula menyewa orang untuknya. Maka apabila seseorang menyewa orang lain untuk menghajikan dirinya atau menghajikan orang mati, maka hajinya jatuh untuk orang yang menghajikan, sedangkan bagi orang yang dihajikan hanya mendapat pahala susulan, dengan alasan bahwa haji adalah ibadah badan, maka wajib tidak sah dilakukan oleh wakil sebagaimana shalat dan puasa. Karena ia adalah ibadah yang mewajibkan pelaku untuk melakukannya secara langsung, maka tidak sah akad ijarah dan tidak sah pula perwakilan, sebagaimana jihad.

Dan dalilnya adalah riwayat dari ‘Aṭā’ dari Ibn ‘Abbās bahwa Nabi SAW mendengar seseorang berkata: “Labbaika ‘an Syubrumah”, lalu beliau bersabda: “Apakah engkau telah berhaji untuk dirimu sendiri?” Ia menjawab: “Belum.” Beliau bersabda: “Hajilah terlebih dahulu untuk dirimu, kemudian berhajilah untuk Syubrumah.” Maka Nabi mengizinkannya berhaji untuk Syubrumah, sehingga menunjukkan bahwa haji tersebut benar-benar jatuh untuk Syubrumah dan hajinya menjadi gugur darinya.

Dan diriwayatkan dari al-Khats‘amiyyah bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban Allah atas hamba-Nya dalam haji telah menyusul ayahku yang sudah sangat tua dan tidak mampu lagi duduk tegak di atas tunggangannya. Apakah engkau melihat boleh aku menghajikannya?” Beliau menjawab: “Ya.” Ia bertanya: “Apakah itu bermanfaat baginya?” Beliau menjawab: “Ya. Bagaimana menurutmu jika ayahmu memiliki utang lalu engkau melunasinya, apakah itu bermanfaat baginya?” Ia menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Maka utang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.” Maka beliau menjadikan pelunasan haji menggugurkan kewajiban, sebagaimana pelunasan utang menggugurkan utangnya.

Dan Nabi SAW bersabda kepada Abū Razīn: “Berhajilah untuk ayahmu dan lakukanlah ‘umrah.”

Dan karena setiap amal yang boleh dilakukan oleh orang lain secara taṭawwu‘ untuk orang lain, maka boleh adanya perwakilan dan sah akad ijarah atasnya, seperti membangun masjid dan menulis mushaf.

Jika mereka berkata: “Kami tidak mengakui bahwa boleh seseorang bertaṭawwu‘ atas nama orang lain,” maka kami katakan: Maksudnya ialah bahwa pelaku menisbahkan amal itu untuk orang lain, lalu ia berkata: “Labbaika ‘an fulān”, agar orang tersebut memperoleh pahala dari biaya yang ia keluarkan.

Dan karena haji termasuk fardu ‘ayn yang diwajibkan dengan adanya harta, maka wajib bahwa perwakilan di dalamnya sah, seperti zakat.


فَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ فَالْمَعْنَى فيه: أن الصلاة والصيام لا يتعلق وجوبها بِالْمَالِ فَلِذَلِكَ لَمْ تَصِحَّ فِيهِمَا النِّيَابَةُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْحَجُّ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْجِهَادِ فَالْمَعْنَى فِيهِ: أَنَّهُ لَيْسَ مِنْ فُرُوضِ الْأَعْيَانِ فَلِذَلِكَ لَمْ تَصِحَّ النِّيَابَةُ فِيهِ لِاسْتِوَاءِ النَّائِبِ وَالْمَنَابِ عَنْهُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْحَجُّ.

Adapun qiyās mereka terhadap shalat dan puasa, maka maknanya adalah bahwa shalat dan puasa tidak terkait kewajibannya dengan harta, karena itu tidak sah perwakilan (niyābah) dalam keduanya. Tidak demikian halnya dengan haji.

Adapun qiyās mereka terhadap jihad, maka maknanya adalah bahwa jihad bukan termasuk farḍu ‘ayn, karena itu tidak sah niyābah di dalamnya, disebabkan kesetaraan antara orang yang mewakilkan dan yang diwakilkan. Tidak demikian halnya dengan haji.

فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الِاسْتِئْجَارِ عَلَى الْحَجِّ فَعَقْدُ الْإِجَارَةِ فِيهِ لَازِمٌ كَسَائِرِ عُقُودِ الْإِجَارَاتِ وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ مُعَيَّنٍ، وَفِي الذِّمَّةِ.
فَأَمَّا الْمُعَيَّنُ فَقَوْلُهُ قَدِ اسْتَأْجَرْتُكَ لِلْحَجِّ عَنِّي بِمِائَةِ دِرْهَمٍ فَيَكُونُ عَقْدُ الْإِجَارَةِ عَلَيْهِ فِي عَيْنِهِ فَإِذَا حَجَّ غَيْرُهُ لَمْ يَجُزْ وَإِنْ مات بطلب الْإِجَارَةُ كَمَنِ اسْتَأْجَرَ بَعِيرًا بِعَيْنِهِ لِيَرْكَبَهُ فِي سفره لم يجز لمؤجره أن يبدله بغير وَيَبْطُلُ عَقْدُ الْإِجَارَةِ بِمَوْتِهِ.
وَأَمَّا الَّذِي فِي الذِّمَّةِ فَهُوَ أَنْ يَقُولَ: قَدِ اسْتَأْجَرْتُكَ لِتَحْصِيلِ حَجَّةٍ لِي بِمِائَةِ دِرْهَمٍ أَوْ يَقُولَ قَدِ اسْتَأْجَرْتُ مِنْكَ تَحْصِيلَ حَجَّةٍ لِي بِمِائَةِ دِرْهَمٍ فَيَكُونَ عَقْدُ الْإِجَارَةِ فِي ذِمَّتِهِ فَإِذَا حَجَّ غَيْرُهُ جَازَ وَإِنْ مَاتَ لَمْ تَبْطُلِ الْإِجَارَةُ كَمَنِ اسْتَأْجَرَ ظَهْرَ بَعِيرٍ فِي الذِّمَّةِ فَلِمُؤَجِّرِهِ أَنْ يُرْكِبَهُ أَيَّ بَعِيرٍ شَاءَ وَإِنْ مَاتَ الْبَعِيرُ فَعَلَيْهِ أَنْ يُبْدِلَهُ بِغَيْرِهِ وَلَا تَبْطُلُ الْإِجَارَةُ بِمَوْتِهِ.

PASAL

Apabila telah tetap kebolehan menyewa untuk haji, maka akad ijārah dalam hal ini bersifat mengikat sebagaimana seluruh akad-akad ijārah lainnya, dan ia terbagi menjadi dua jenis: mu‘ayyan (tertentu) dan fī al-dzimmah (di dalam tanggungan).

Adapun mu‘ayyan adalah seperti seseorang berkata: “Aku telah menyewamu untuk menghajikan diriku dengan seratus dirham.” Maka akad ijārah itu berlaku atas orang yang ditunjuk secara khusus. Jika orang lain yang berhaji, tidak boleh. Dan jika ia mati, maka batal permintaan ijārah-nya, seperti orang yang menyewa seekor unta tertentu untuk ditunggangi dalam safarnya, maka tidak boleh bagi pihak pemberi sewa untuk menggantinya dengan unta lain, dan batal akad ijārah-nya dengan kematiannya.

Adapun fī al-dzimmah ialah seperti seseorang berkata: “Aku telah menyewamu untuk melaksanakan hajiku dengan seratus dirham,” atau ia berkata: “Aku telah menyewa darimu pelaksanaan haji untukku dengan seratus dirham.” Maka akad ijārah berada dalam tanggungan. Jika orang lain yang berhaji, maka boleh. Dan jika ia mati, tidaklah batal akad ijārah-nya, seperti orang yang menyewa punggung unta dalam tanggungan, maka bagi pihak pemberi sewa boleh menaikkannya pada unta mana saja yang ia kehendaki. Dan jika unta itu mati, maka ia wajib menggantinya dengan yang lain dan tidak batal akad ijārah dengan kematiannya.


فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ عَقْدَ الْإِجَارَةِ عَلَى الْحَجِّ يَصِحُّ عَلَى هَذَيْنِ الضَّرْبَيْنِ كَغَيْرِهِ مِنْ عُقُودِ الْإِجَارَاتِ انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى بَيَانِ حُكْمِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَإِنْ كَانَ الْعَقْدُ مُعَيَّنًا فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَعْقِدَاهُ مُعَجَّلًا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَعْقِدَاهُ مُؤَجَّلًا.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَعْقِدَاهُ مُطْلَقًا فَإِنْ عَقَدَاهُ مُعَجَّلًا وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: قَدِ اسْتَأْجَرْتُكَ لِتَحُجَّ عَنِّي فِي هَذِهِ السَنَةِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

PASAL
 Apabila telah ditetapkan bahwa akad ijarah (sewa jasa) untuk haji itu sah dalam dua jenis tadi, sebagaimana sahnya berbagai akad ijarah lainnya, maka pembahasan berpindah kepada penjelasan hukum masing-masing jenis tersebut.

Jika akadnya bersifat mu‘ayyan (ditentukan), maka terdapat tiga bentuk:

Pertama: Keduanya mengadakan akad secara mu‘ajjal (langsung/tanpa penundaan).
 Kedua: Keduanya mengadakan akad secara mu’ajjal (ditangguhkan).
 Ketiga: Keduanya mengadakan akad secara muṭlaq (tanpa ketentuan waktu).

Jika akadnya dilakukan secara mu‘ajjal, yaitu dengan lafaz: “Aku menyewamu untuk berhaji dariku pada tahun ini”, maka ini terbagi menjadi dua bentuk:


أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَسِيرُ النَّاسِ مُمْكِنًا وَوَقْتُ مَسِيرِهِمْ مُتَأَتِّيًا وَذَلِكَ يَخْتَلِفُ عَلَى حَسَبِ اخْتِلَافِ الْبِلَادِ فِي الْقُرْبِ وَالْبُعْدِ، فَإِذَا كَانَ وَقْتُ مَسِيرِ النَّاسِ صَحَّ الْعَقْدُ سَوَاءٌ كَانَ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ أَوْ غَيْرِ أَشْهُرِ الْحَجِّ، لِأَنَّ مَنْ بِأَقْصَى بِلَادِ خُرَاسَانَ وَبِلَادِ التُّرْكِ لَا يُدْرِكُ الْحَجَّ إِذَا ابْتَدَأَ بِالسَّيْرِ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ حَتَّى يُقَدِّمَ السَّيْرَ قَبْلَ أَشْهُرِ الْحَجِّ فَإِذَا صَحَّ الْعَقْدُ وَأَخَّرَ الْمَسِيرَ يَوْمًا أَوْ أَيَّامًا جَازَ. وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَسِيرُ النَّاسِ غَيْرَ مُمْكِنٍ وَوَقْتُ خُرُوجِهِمْ غَيْرَ متأتٍ وَذَلِكَ قَدْ يَكُونُ لِأَحَدِ وَجْهَيْنِ إِمَّا لِقُرْبِ الزَّمَانِ وَضِيقِهِ عن إدراك الحج فيه كالعراقي الذي اسْتُؤْجِرَ فِي عَشْرِ النَّحْرِ إِمَّا لِسَعَةِ الزَّمَانِ وَبُعْدِهِ عَنْ خُرُوجِ النَّاسِ فِيهِ كَالْعِرَاقِيِّ إِذَا اسْتُؤْجِرَ قَبْلَ أَشْهُرِ الْحَجِّ فَعَقْدُ الْإِجَارَةِ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّ مَا اقْتَضَاهُ الْعَقْدُ مِنْ تَعْجِيلِ الْحَجِّ مُمْتَنِعٌ وَإِنْ عَقَدَاهُ مُؤَجَّلًا، وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: قَدِ اسْتَأْجَرْتُكَ لِتَحُجَّ عَنِّي فِي الْعَامِ الْمُقْبِلِ فَعَقْدُ الْإِجَارَةِ بَاطِلٌ، لِأَنَّ الْعُقُودَ عَلَى الْأَعْيَانِ بِشَرْطِ تَأْخِيرِ التَّسْلِيمِ بَاطِلٌ وَإِنْ عَقَدَاهُ مُطْلَقًا وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: قَدِ اسْتَأْجَرْتُكَ لِتَحُجَّ عَنِّي وَلَا يُقَيِّدَاهُ بِزَمَانٍ فَإِطْلَاقُهُ يَقْتَضِي التَّعْجِيلَ، لِأَنَّ الْأَجَلَ لَا يَلْزَمُ إِلَّا بِشَرْطٍ فَيَكُونَ كَمَا لَوْ شَرَطَا التَّعْجِيلَ فِي اعْتِبَارِ الْوَقْتِ عَلَى ما مضى.

pertama: bahwa perjalanan manusia memungkinkan dan waktu keberangkatan mereka dapat dilakukan, dan hal ini berbeda-beda tergantung perbedaan negeri dalam hal jarak dekat dan jauh. Maka apabila waktu keberangkatan manusia memungkinkan, sah akadnya, baik dilakukan pada bulan-bulan haji atau selain bulan-bulan haji. Karena orang yang berada di negeri paling ujung Khurasan dan negeri Turk tidak akan bisa mendapatkan haji apabila memulai perjalanan pada bulan-bulan haji, sehingga harus mendahulukan perjalanan sebelum masuk bulan-bulan haji. Maka apabila akad telah sah, kemudian ia menunda keberangkatan satu hari atau beberapa hari, maka hal itu boleh.

dan jenis yang kedua: bahwa perjalanan manusia tidak memungkinkan dan waktu keberangkatan mereka tidak dapat dilakukan. Hal itu bisa terjadi karena dua sebab: pertama, karena waktu yang terlalu dekat dan sempit sehingga tidak memungkinkan mendapatkan haji di dalamnya, seperti orang Irak yang disewa pada sepuluh hari Dzulhijjah; atau kedua, karena waktu yang terlalu luas dan jauh dari waktu keberangkatan manusia, seperti orang Irak yang disewa sebelum bulan-bulan haji. Maka akad ijārah tersebut batal karena tuntutan akad berupa percepatan pelaksanaan haji adalah sesuatu yang mustahil.

Dan jika keduanya mengadakan akad secara mu’ajjalan, yaitu dengan mengatakan: “Aku menyewamu untuk berhaji atas namaku pada tahun depan,” maka akad ijārah tersebut batal karena akad-akad terhadap sesuatu dengan syarat penundaan penyerahan adalah batal.

Dan jika keduanya mengadakan akad secara muṭlaq, yaitu dengan mengatakan: “Aku menyewamu untuk berhaji atas namaku,” tanpa menetapkan waktu, maka kemutlakan itu menuntut pelaksanaan secara segera, karena tempo (penundaan) tidak menjadi wajib kecuali dengan syarat. Maka hal itu sama saja dengan keduanya mensyaratkan pelaksanaan segera, dari segi pertimbangan waktu sebagaimana telah lalu.

 

فَصْلٌ: وَإِنْ كَانَ الْعَقْدُ فِي الذِّمَّةِ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ أَيْضًا:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَعْقِدَاهُ مُعَجَّلًا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَعْقِدَاهُ مُؤَجَّلًا.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَعْقِدَاهُ مُطْلَقًا فَإِنْ عَقَدَاهُ مُعَجَّلًا وَهُوَ أَنْ يَقُولَ قَدِ اسْتَأْجَرْتُ مِنْكَ تَحْصِيلَ حَجَّةٍ لِي فِي هَذَا الْعَامِ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ اعْتَبَرْتَ الْوَقْتَ فَإِنْ كَانَ الْمَسِيرُ فِيهِ مُمْكِنًا أَوْ كَانَ قَبْلَ وَقْتِ الْمَسِيرِ فَالْعَقْدُ فِيهِ جَائِزٌ وَإِنَّمَا جَازَ الْعَقْدُ فِي الذِّمَّةِ قَبْلَ وَقْتِ الْمَسِيرِ وَلَمْ يَجُزِ الْعَقْدُ الْمُعَيَّنُ قَبْلَ وَقْتِ الْمَسِيرِ، لِأَنَّ تَأْخِيرَ مَا فِي الذِّمَّةِ جَائِزٌ وَتَأْخِيرَ الْمُعَيَّنِ غَيْرُ جَائِزٍ وَإِنْ كَانَ الْمَسِيرُ غَيْرَ مُمْكِنٍ لِضِيقِ الْوَقْتِ مِنَ الْحَجِّ فَالْإِجَارَةُ فِيهِ بَاطِلَةٌ، لِأَنَّهُ عَقْدٌ عَلَى عَمَلٍ غَيْرِ مَقْدُورٍ عَلَيْهِ عِنْدَ مَحِلِّهِ وَإِنْ عَقَدَاهُ مُؤَجَّلًا وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: قَدِ اسْتَأْجَرْتُ مِنْكَ تَحْصِيلَ حَجَّةٍ لِي فِي الْعَامِ الْمُقْبِلِ فَالْإِجَارَةُ جَائِزَةٌ، لِأَنَّ مَا في الذمة يصح تأجيله كالمسلم وَإِنْ عَقَدَاهُ مُطْلَقًا وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: قَدِ اسْتَأْجَرْتُ مِنْكَ تَحْصِيلَ حَجَّةٍ لِي وَلَا يُقَيِّدُ ذَلِكَ بِزَمَانٍ فَإِطْلَاقُهُ يَقْتَضِي تَعْجِيلَهُ فَيَكُونُ كَمَا لَوْ عَقَدَاهُ مُعَجَّلًا عَلَى مَا مَضَى.

PASAL: Jika akadnya di dalam dzimmah maka terbagi menjadi tiga macam juga:

Pertama: mereka berakad secara mu‘ajjal.

Kedua: mereka berakad secara mu’ajjāl.

Ketiga: mereka berakad secara mutlak.

Jika mereka berakad secara mu‘ajjal, yaitu ia berkata: “Aku telah menyewa darimu untuk melaksanakan haji bagiku pada tahun ini dengan upah seratus dirham”, maka waktu diperhitungkan. Jika perjalanan pada waktu itu memungkinkan, atau akad terjadi sebelum waktu berangkat, maka akadnya sah. Sesungguhnya boleh akad di dalam dzimmah sebelum waktu berangkat, sedangkan akad mu‘ayyan sebelum waktu berangkat tidak boleh, karena penundaan sesuatu yang ada dalam dzimmah itu boleh, sementara penundaan yang mu‘ayyan tidak boleh. Jika perjalanan tidak memungkinkan karena sempitnya waktu dari haji, maka akad ijārah itu batal, karena ia adalah akad atas suatu amal yang tidak mampu dikerjakan pada tempatnya.

Jika mereka berakad secara mu’ajjāl, yaitu ia berkata: “Aku telah menyewa darimu untuk melaksanakan haji bagiku pada tahun depan”, maka akad ijārah itu sah, karena apa yang ada dalam dzimmah sah untuk ditangguhkan sebagaimana pada salam.

Jika mereka berakad secara mutlak, yaitu ia berkata: “Aku telah menyewa darimu untuk melaksanakan haji bagiku” tanpa membatasi dengan waktu tertentu, maka kemutlakan itu menuntut untuk disegerakan. Maka hukumnya sama seperti jika mereka berakad secara mu‘ajjal sebagaimana telah dijelaskan.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الِاسْتِئْجَارِ عَلَى الْحَجِّ مُعَيَّنًا وَفِي الذِّمَّةِ فَعَقْدُ الْإِجَارَةِ فِيهِ يَحْتَاجُ إِلَى تَعْيِينِ أَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ.
أَحَدُهَا: تَعْيِينُ النُّسُكِ.
وَالثَّانِي: تَعْيِينُ وَقْتِ النُّسُكِ.
وَالثَّالِثُ: تَعْيِينُ مِيقَاتِ النُّسُكِ.
وَالرَّابِعُ: تَعْيِينُ مَنْ يُؤَدَّى عَنْهُ النُّسُكُ.
فَأَمَّا تعيين النسك فهو شرط صِحَّةِ الْعَقْدِ، لِأَنَّهُ الْمَقْصُودُ بِالْعَقْدِ فَافْتُقِرَ إِلَى ذِكْرِهِ لِيُكُونَ الْعَمَلُ مَعْلُومًا فِي الْعَقْدِ أَنَّهُ اسْتَأْجَرَهُ لِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ أَوْ قِرَانٍ أَوْ تَمَتُّعٍ فَإِنْ لَمْ يَذْكُرْ ذَلِكَ بَطَلَ الْعَقْدُ لِلْجَهَالَةِ بِالْمَعْقُودِ عَلَيْهِ.

PASAL
 Maka apabila telah tetap bolehnya isti’jār untuk haji yang ditentukan maupun yang dalam tanggungan (dzimmah), maka akad ijārah di dalamnya membutuhkan penetapan atas empat hal:

pertama: penetapan nusuk,
 kedua: penetapan waktu pelaksanaan nusuk,
 ketiga: penetapan mīqāt untuk nusuk,
 keempat: penetapan orang yang akan ditunaikan nusuk atas namanya.

Adapun penetapan nusuk, maka itu adalah syarat sahnya akad, karena itulah tujuan dari akad, maka harus disebutkan agar amal perbuatan yang dilakukan diketahui secara jelas dalam akad bahwa ia menyewanya untuk haji, atau ‘umrah, atau qirān, atau tamattu‘. Jika hal itu tidak disebutkan, maka batal akadnya karena tidak diketahuinya objek akad.


وَأَمَّا تَعْيِينُ وَقْتِ النُّسُكِ فَهُوَ الْأَجَلُ فَإِنْ ذَكَرَهُ انْصَرَفَ الْعَقْدُ عَنِ الْحُلُولِ إِلَى التَّأْجِيلِ فَيَكُونُ حُكْمُهُ عَلَى مَا مَضَى.
وَأَمَّا تَعْيِينُ مِيقَاتِ النُّسُكِ فَلِتَنْتَفِيَ عَنِ الْعَقْدِ الْجَهَالَةُ وَيَصِيرَ الْعَمَلُ مَعْلُومًا فَإِنْ ذَكَرَ مَوْضِعَ الْإِحْرَامِ وَعَيَّنَهُ صَحَّ الْعَقْدُ وَإِنْ أَغْفَلَهُ وَلَمْ يُعَيِّنْهُ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا وَفِي ” الْأُمِّ ” الْإِجَارَةُ بَاطِلَةٌ، وَقَالَ فِي ” الْإِمْلَاءِ ” الْإِجَارَةُ جَائِزَةٌ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا عَلَى مَذْهَبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قول أبي إسحاق المرزوي وَأَكْثَرِ الْبَصْرِيِّينَ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّ الْإِجَارَةَ بَاطِلَةٌ، لِأَنَّ الْإِحْرَامَ بِالْحَجِّ قَدْ يَجُوزُ مِنَ الْمِيقَاتِ وَقَبْلَ الْمِيقَاتِ وَأَغْرَاضُ النَّاسِ فِيهِ مُخْتَلِفَةٌ وَالْعَمَلُ فِيهِ مُخْتَلِفٌ وَإِذَا اخْتَلَفَ الْعَمَلُ وَلَمْ يَكُنْ مَعْلُومًا كَانَتِ الْإِجَارَةُ عَلَيْهِ باطلة.

Adapun penentuan waktu nusuk maka itu adalah batas waktu (ajal). Jika disebutkan, maka akad berpindah dari segera (ḥulūl) kepada penangguhan (ta’jīl), sehingga hukumnya sama seperti yang telah lalu.

Adapun penentuan mīqāt nusuk adalah agar hilang dari akad unsur ketidaktahuan (jahl) dan pekerjaan menjadi jelas. Jika ia menyebutkan tempat iḥrām dan menentukannya, maka akad sah. Jika ia mengabaikannya dan tidak menentukannya, maka al-Syafi‘i berkata di sini dan dalam al-Umm: akad ijārah itu batal. Dan beliau berkata dalam al-Imlā’: akad ijārah itu sah. Maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam dua mazhab:

Pertama: yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī dan mayoritas ulama Basrah, bahwa masalah ini ada dua pendapat:

Pertama: bahwa ijārah batal, karena iḥrām haji boleh dilakukan dari mīqāt dan juga sebelum mīqāt, sedangkan tujuan orang-orang dalam hal itu berbeda-beda dan amalannya pun berbeda. Ketika amalan berbeda dan tidak diketahui secara jelas, maka ijārah atasnya batal.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ الْإِجَارَةَ جَائِزَةٌ، لِأَنَّ مَوْضِعَ الْإِحْرَامِ مُقَدَّرٌ بِالشَّرْعِ فَلَمْ يُحْتَجْ إِلَى تَقْدِيرِهِ بِالْعَقْدِ أَلَا تَرَى أَنَّ سَائِرَ أَرْكَانِ الْحَجِّ سِوَى الْإِحْرَامِ لَمَّا تَقَدَّرَتْ بِالشَّرْعِ اسْتُغْنِيَ عَنْ تَقْدِيرِهَا بِالْعَقْدِ فَكَذَا الْإِحْرَامُ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: أَنَّ الْمَسْأَلَةَ لَيْسَتْ عَلَى قَوْلَيْنِ وَإِنَّمَا هِيَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ وَمَنْ قَالَ بِهَذَا اخْتَلَفُوا فِي كَيْفِيَّةِ ذَلِكَ عَلَى مَذْهَبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَوْضِعَ الَّذِي أَوْجَبَ تَعْيِينَ الْإِحْرَامِ فِيهِ وَأَبْطَلَ الْإِجَارَةَ بِتَرْكِهِ إِذَا كَانَ الْمَحْجُوجُ عَنْهُ حَيًّا، لِأَنَّ لِلْحَيِّ غَرَضًا فِي الْإِحْرَامِ فَافْتُقِرَ إِلَى تَعْيِينِهِ وَالْمَوْضِعَ الَّذِي أَجَازَ فِيهِ الْإِجَارَةَ إِذَا كَانَ الْمَحْجُوجُ عَنْهُ مَيِّتًا لِفَقْدِ غَرَضِهِ.

Dan pendapat kedua: bahwa ijārah itu boleh, karena tempat iḥrām telah ditentukan oleh syariat, maka tidak perlu lagi ditentukan dalam akad. Tidakkah engkau melihat bahwa seluruh rukun haji selain iḥrām, ketika telah ditentukan oleh syariat, tidak perlu ditentukan lagi dalam akad? Maka demikian pula iḥrām.

Dan mazhab kedua: bahwa masalah ini bukan dua pendapat, melainkan tergantung pada dua keadaan yang berbeda. Dan orang yang berpendapat demikian berselisih dalam cara memahaminya menjadi dua mazhab:

pertama: bahwa tempat yang mewajibkan penetapan iḥrām di dalamnya dan membatalkan ijārah jika tidak ditetapkan adalah ketika orang yang dihajikan masih hidup, karena orang hidup memiliki kepentingan dalam iḥrām, maka diperlukan penetapan tempatnya.

Dan tempat yang membolehkan ijārah tanpa penetapan iḥrām adalah jika orang yang dihajikan telah wafat, karena tidak adanya lagi kepentingannya.


وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: أَنَّ اخْتِلَافَ الْحَالَيْنِ عَلَى غَيْرِ هَذَا الْوَجْهِ وَأَنَّ الْمَوْضِعَ الَّذِي أَبْطَلَ الْإِجَارَةَ فِيهِ إِذَا كَانَ لِبَلَدِهِ طَرِيقَانِ وَمِيقَاتَانِ مُخْتَلِفَانِ وَالْمَوْضِعَ الَّذِي أَجَازَ الْإِجَارَةَ فِيهِ إِذَا كَانَ لِبَلَدٍ طَرِيقٌ وَاحِدٌ وَمِيقَاتٌ وَاحِدٌ فَإِنْ قُلْنَا بِجَوَازِ الْإِجَارَةِ فالحج واقع على الْمَحْجُوجِ وَإِنْ قُلْنَا بِفَسَادِهِ فَوَاقِعٌ عَنْهُ أَيْضًا لِوُقُوعِهِ عَنْ إِذْنِهِ وَإِنْ فَسَدَ الْعَقْدُ فِي الْعِوَضِ لَكِنْ يَكُونُ لِلْأَجِيرِ أُجْرَةُ الْمِثْلِ دُونَ الْمُسَمَّى لِأَنَّ فَسَادَ الْعَقْدِ يَمْنَعُ مِنَ اسْتِحْقَاقِ الْمُسَمَّى وَأَمَّا تَعْيِينُ مَنْ يُؤَدِّي عَنِ النُّسُكِ فَهُوَ شَرْطٌ فِي إِجْزَاءِ الْحَجِّ دُونَ صِحَّةِ الْعَقْدِ فَإِنْ ذَكَرَهُ فِي الْعَقْدِ لَمْ يُفْتَقَرْ إِلَى ذِكْرِهِ فِيمَا بَعْدُ فَلَوْ أَمَرَهُ الْمُسْتَأْجِرُ أن ينقل الحج عن من أَمَرَهُ بِالْحَجِّ عَنْهُ إِلَى غَيْرِهِ لَزِمَ الْأَجِيرَ ذَلِكَ مَا لَمْ يُحْرِمْ عَنْهُ بِالْحَجِّ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي ذَلِكَ زِيَادَةُ عَمَلٍ عَلَيْهِ وَلَا تَفْوِيتُ غَرَضٍ لَهُ وَإِنْ أَحْرَمَ عَنْهُ لَمْ يَلْزَمْهُ بَلْ لَمْ يَجُزْ لَهُ، لِأَنَّ الْحَجَّ قَدْ تَعَيَّنَ عَنِ الْأَوَّلِ بِدُخُولِ الْأَخِيرِ فِيهِ نَاوِيًا عَنْهُ وَالْحَجُّ إِذَا تَعَيَّنَ عَنْ شَخْصٍ لَمْ يَجُزْ نَقْلُهُ إِلَى غَيْرِهِ وَإِنْ لَمْ يُذْكَرِ الْمَحْجُوجُ عَنْهُ فِي عَقْدِ الْإِجَارَةِ فَالْعَقْدُ صَحِيحٌ؛ لِأَنَّ الْعَمَلَ مَعْلُومٌ وَلَيْسَ لِلْأَجِيرِ أَنْ يحرم إلا بعد تعيين الْمَحْجُوجِ عَنْهُ لِيَصْرِفَ الْإِحْرَامَ إِلَيْهِ فَلَوْ أَحْرَمَ الْأَجِيرُ قَبْلَ تَعْيِينِ الْمَحْجُوجِ عَنْهُ إِحْرَامًا مَوْقُوفًا ليصرفه إلى المحجوج عنه إذا تعين فهذه عَلَى ضَرْبَيْنِ:

 


أَحَدُهُمَا: أَنْ يَفْعَلَ شَيْئًا مِنْ أَرْكَانِ الْحَجِّ قَبْلَ تَعْيِينِ الْمَحْجُوجِ عَنْهُ فَهَذَا غَيْرُ مُجْزِئٍ وَيَكُونُ الْحَجُّ وَاقِعًا عَنِ الْأَجِيرِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ جَازَ أَنْ يَكُونَ الْحَجُّ مَوْقُوفًا عَلَى تَعْيِينِ الْمَحْجُوجِ عَنْهُ بَعْدَ فِعْلِ شَيْءٍ مِنْ أَرْكَانِهِ لَجَازَ أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا عَلَى تَعْيِينِهِ بَعْدَ فِعْلِ جَمِيعِ أَرْكَانِهِ وَذَلِكَ غَيْرُ جائز فكذلك إِذَا فَعَلَ شَيْئًا مِنْ أَرْكَانِهِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَتَعَيَّنَ لَهُ الْمَحْجُوجُ عَنْهُ بَعْدَ الْإِحْرَامِ الْمَوْقُوفِ وَقَبْلَ فِعْلِ شَيْءٍ مِنَ الْأَرْكَانِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Mazhab yang ketiga: bahwa perbedaan dua keadaan itu bukan seperti wajah yang tadi, tetapi tempat yang membatalkan ijārah adalah apabila sebuah negeri memiliki dua jalan dan dua mīqāt yang berbeda, sedangkan tempat yang membolehkan ijārah adalah apabila sebuah negeri hanya memiliki satu jalan dan satu mīqāt.

Maka jika kita mengatakan ijārah itu sah, maka haji jatuh atas orang yang dihajikan. Dan jika kita mengatakan batal, maka haji itu juga jatuh darinya, karena dilakukan atas izinnya, meskipun akad rusak dalam hal imbalan. Namun bagi ajīr tetap berhak mendapat ujrah al-mithl bukan upah yang disepakati, karena rusaknya akad mencegah dari hak atas upah yang ditentukan.

Adapun penentuan siapa yang dihajikan, maka itu adalah syarat dalam keabsahan haji, bukan dalam sahnya akad. Jika disebutkan dalam akad, maka tidak perlu lagi disebutkan sesudahnya. Jika penyewa memerintahkan agar haji yang diniatkan untuk seseorang dipindahkan kepada orang lain, maka wajib bagi ajīr melakukannya selama ia belum berihram untuknya, karena itu tidak menambah pekerjaan baginya dan tidak pula menghilangkan tujuan penyewa.

Jika ia sudah berihram untuknya, maka ia tidak wajib bahkan tidak boleh memindahkannya, karena haji sudah ditentukan bagi yang pertama dengan masuknya yang terakhir ke dalamnya dengan niat untuknya. Dan apabila haji telah ditentukan atas seseorang, tidak boleh dipindahkan kepada selainnya.

Jika orang yang dihajikan tidak disebutkan dalam akad ijārah, maka akad sah, karena pekerjaan sudah jelas. Akan tetapi ajīr tidak boleh berihram kecuali setelah penentuan orang yang dihajikan, agar ia bisa memalingkan iḥrām kepadanya. Jika ajīr berihram sebelum penentuan orang yang dihajikan dengan iḥrām yang digantungkan untuk dipalingkan kepada orang yang dihajikan setelah ditentukan, maka ini terbagi menjadi dua macam:


أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّ الْإِحْرَامَ رُكْنٌ فَلَمْ يَجُزْ فِعْلُهُ قَبْلَ تَعْيِينِ الْمَحْجُوجِ عَنْهُ كَسَائِرِ الْأَرْكَانِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْحَجُّ وَاقِعًا عَنِ الْأَجِيرِ وَلَا أُجْرَةَ لَهُ.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ، لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَكُونَ الْإِحْرَامُ مَوْقُوفًا عَلَى تَعْيِينِ النسك جاز أن يكون موقوفاً على تعيين الْمَحْجُوجِ عَنْهُ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْحَجُّ وَاقِعًا عَنِ الْمَحْجُوجِ عَنْهُ إِذَا عَيَّنَهُ وَلِلْأَجِيرِ جَمِيعُ الأجرة.

pertama: tidak boleh, karena iḥrām adalah rukun, maka tidak boleh dilakukan sebelum penetapan siapa yang dihajikan, sebagaimana rukun-rukun lainnya. Maka berdasarkan ini, haji itu dianggap terjadi atas nama si pekerja (ajīr), dan ia tidak berhak mendapat upah.

dan pendapat kedua: bahwa hal itu boleh, karena sebagaimana iḥrām boleh ditangguhkan pada penetapan jenis nusuk, maka boleh pula ditangguhkan pada penetapan siapa yang dihajikan. Maka berdasarkan ini, haji itu dianggap terjadi atas nama orang yang dihajikan apabila ia telah ditetapkan, dan si pekerja berhak atas seluruh upahnya.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ وَقَّتَ لَهُ وَقْتًا فَأَحْرَمَ قَبْلَهُ فَقَدْ زاده وَإِنْ تَجَاوَزَهُ قَبْلَ أَنْ يُحْرِمَ فَرَجَعَ مُحْرِمًا أَجْزَأَهُ وَإِنْ لَمْ يَرْجِعْ فَعَلَيْهِ دمٌ مِنْ مَالِهِ وَيَرُدُّ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقَدْرِ مَا تَرَكَ وما وجب عليه من شيء يفعله فمن ماله دون مال المستأجر “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا حُكْمَ الْإِجَارَةِ عَلَى الْحَجِّ وَمَا يُحْتَاجُ إِلَى تَعْيِينِهِ فِي الْعَقْدِ فَإِذَا تَضَمَّنَ الْعَقْدُ تَعْيِينَ الْأَرْبَعَةِ الَّتِي ذَكَرْنَا فخالف الأجير فيها فخلافه إن تعين له ميقاتاً فيحرم من غيره، أو تعيين له نسكاً فيحرم بغيره، أو تعين له عاماً فيحرم بغيره أو تعين لَهُ شَخْصًا فَيُحْرِمُ عَنْ غَيْرِهِ فَيَبْدَأُ بِالْمِيقَاتِ وَإِنْ كَانَ تَقْدِيمُ غَيْرِهِ أَلْيَقَ، لِأَنَّهُ مُتَصَوِّرُ الْمَسْأَلَةِ فَإِذَا عُيِّنَ لَهُ مَوْضِعُ الْإِحْرَامِ لَمْ يَخْلُ حَالُ ذَلِكَ الْمَوْضِعِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ مِيقَاتِ الْبَلَدِ، أَوْ قَبْلَ مِيقَاتِ الْبَلَدِ، أَوْ بَعْدَ مِيقَاتِ الْبَلَدِ، فَإِنْ كَانَ مِنْ مِيقَاتِ الْبَلَدِ فَهُوَ الْمَوْضِعُ الَّذِي لَا تَجُوزُ مُجَاوَزَتُهُ وَلَا يَلْزَمُهُ تَقَدُّمُهُ وَعَلَى الْمُسْتَأْجِرِ أَنْ يُحْرِمَ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ قَبْلَ مِيقَاتِ الْبَلَدِ فَقَدْ لَزِمَ الْأَجِيرَ الْإِحْرَامُ مِنْهُ بِالْعَقْدِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ جَائِزًا بِالشَّرْعِ وَالْإِجَارَةُ صَحِيحَةٌ؛ لِأَنَّ الْعَمَلَ مَعْلُومٌ وَإِنْ أَحْرَمَ الْأَجِيرُ مِنْ مِيقَاتِ الْبَلَدِ كَانَ حَسَنًا وَبِالزِّيَادَةِ مُتَطَوِّعًا وَقَدْ سَقَطَ بِهَا عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ دَمًا وَإِنْ أَحْرَمَ بَعْدَ الْمِيقَاتِ مِنَ الْمَوْضِعِ الَّذِي أَمَرَهُ فَقَدْ فَعَلَ مَا لَزِمَهُ بِالْعَقْدِ دُونَ الشَّرْعِ وَعَلَى الْمُسْتَأْجِرِ دَمٌ لِمُجَاوَزَةِ الْمِيقَاتِ دُونَ الْأَجِيرِ لِأَنَّ الْأَجِيرَ قَدْ فَعَلَ مَا لَزِمَهُ بِالْعَقْدِ وَالْمُسْتَأْجِرُ تَارِكٌ لِمَا لَزِمَهُ بِالشَّرْعِ فَلِذَلِكَ وَجَبَ الدَّمُ عَلَى الْمُسْتَأْجِرِ دُونَ الْأَجِيرِ. فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ أَحْكَامِ هَذِهِ الْمَوَاضِعِ الثَّلَاثَةِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْأَجِيرِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Masalah: al-Syafi‘i RA berkata: “Jika ia telah menentukan untuknya suatu waktu lalu ajīr berihram sebelumnya, maka sungguh ia telah menambah. Jika ia melewati waktu itu sebelum berihram lalu kembali dalam keadaan berihram, maka mencukupi. Jika ia tidak kembali, maka atasnya dam dari hartanya sendiri, dan ia mengembalikan dari upah sesuai kadar yang ia tinggalkan. Dan setiap sesuatu yang wajib atasnya untuk dikerjakan, maka dari hartanya sendiri, bukan dari harta penyewa.”

al-Māwardī berkata: Kami telah menyebutkan hukum ijārah untuk haji dan apa yang dibutuhkan untuk ditentukan dalam akad. Maka jika akad itu mencakup penentuan empat hal yang telah kami sebutkan, lalu ajīr menyelisihinya, maka perselisihannya itu—jika ditentukan untuknya mīqāt lalu ia berihram dari selainnya, atau ditentukan untuknya nusuk lalu ia berihram dengan selainnya, atau ditentukan untuknya tahun lalu ia berihram di selainnya, atau ditentukan untuknya seseorang lalu ia berihram untuk selainnya—maka dimulai dengan pembahasan mīqāt, meskipun pembahasan selainnya lebih layak, karena ia adalah bentuk permasalahan yang bisa dibayangkan.

Jika ditentukan baginya tempat iḥrām, maka keadaan tempat itu tidak lepas dari tiga bagian:

Pertama: jika dari mīqāt negeri, maka itulah tempat yang tidak boleh dilampaui, dan tidak wajib atasnya mendahulukannya. Atas penyewa wajib berihram darinya.

Kedua: jika sebelum mīqāt negeri, maka wajib bagi ajīr berihram darinya karena akad, meskipun secara syar‘i tidak boleh. Namun akad tetap sah, karena amalannya sudah jelas. Jika ajīr berihram dari mīqāt negeri, maka itu baik, dan dengan tambahan itu ia menjadi taṭawwu‘, dan gugurlah dari penyewa dam.

Ketiga: jika setelah mīqāt negeri, dari tempat yang diperintahkan kepadanya, maka sungguh ia telah melakukan apa yang wajib atasnya karena akad, bukan karena syariat. Maka atas penyewa dam karena melampaui mīqāt, bukan atas ajīr. Karena ajīr telah melakukan apa yang wajib atasnya karena akad, sedangkan penyewa meninggalkan apa yang wajib atasnya karena syariat. Oleh sebab itu, wajib dam atas penyewa, bukan atas ajīr.

Maka apabila telah tetap hukum yang kami sebutkan dari tiga keadaan ini, maka keadaan ajīr tidak lepas dari tiga bagian:


أَحَدُهَا: أَنْ يُحْرِمَ مِنَ الْمَوْضِعِ الَّذِي أُمِرَ بِهِ فَقَدْ أَدَّى مَا وَجَبَ عَلَيْهِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يُحْرِمَ قَبْلَهُ فَقَدْ أَدَّى الْوَاجِبَ وتطوع بالزيادة.
والثالث: أن يحرم بعده فهذه عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَعُودَ مُحْرِمًا إِلَى الْمَوْضِعِ الَّذِي أُمِرَ بِالْإِحْرَامِ مِنْهُ فَهَذِهِ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ وَالْكَلَامُ فِيهَا يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وُجُوبُ الدَّمِ بِالْمُجَاوَزَةِ.
وَالثَّانِي: رَدُّ مَا قَابَلَ ذَلِكَ مِنَ الْأُجْرَةِ.

pertama: bahwa ia berihrām dari tempat yang diperintahkan untuk berihrām darinya, maka ia telah menunaikan apa yang wajib atasnya.
 kedua: bahwa ia berihrām sebelum tempat tersebut, maka ia telah menunaikan kewajiban dan berbuat tathawwu‘ dengan tambahan.
 ketiga: bahwa ia berihrām setelah melewati tempat tersebut, maka ini ada dua keadaan:

pertama dari keduanya: bahwa ia kembali dalam keadaan berihrām ke tempat yang diperintahkan untuk berihrām darinya, maka inilah permasalahan yang dibahas dalam kitab, dan pembahasan di dalamnya mencakup dua pasal:

pertama: wajibnya dam karena melampaui (mujāwazah) miqāt,
 kedua: pengembalian bagian upah yang sesuai dengan pelanggaran tersebut.


فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي وُجُوبِ الدَّمِ فَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى تَعْيِينِ الْمَوَاضِعِ الثَّلَاثَةِ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَأْمُرَهُ بِالْإِحْرَامِ قَبْلَ الْمِيقَاتِ فَيُحْرِمَ بَعْدَهُ كَأَنَّهُ أَمَرَهُ بِالْإِحْرَامِ مِنَ الْبَصْرَةِ فَلَمْ يُحْرِمْ مِنْهَا وَأَحْرَمَ بَعْدَهَا إِمَّا مِنْ مِيقَاتِ الْبَصْرَةِ أَوْ قَبْلَ مِيقَاتِ الْبَصْرَةِ أَوْ بَعْدَ مِيقَاتِ الْبَصْرَةِ فَكُلُّهُ سَوَاءٌ وَالْحَجُّ مُجْزِئٌ وَعَلَى الْأَجِيرِ دَمٌ لِتَرْكِهِ الْإِحْرَامَ مِنَ الْمَوْضِعِ الَّذِي أُمِرَ بِالْإِحْرَامِ مِنْهُ، فَإِذَا قِيلَ إِنَّمَا يَجِبُ الدَّمُ فِيمَنْ جَاوَزَ مِيقَاتَ الشَّرْعِ فَأَمَّا إِذَا لَمْ يُجَاوِزْ ميقات الشرع وإنما جاوز العقد المستحق ميقات بِالْإِجَارَةِ فَلَا يُوجِبُ دَمًا، قِيلَ: الدَّمُ قَدْ يَجِبُ لِمُجَاوَزَةِ مِيقَاتِ الشَّرْعِ وَغَيْرِهِ إِذَا كَانَ وَاجِبًا عَلَيْهِ أَلَا تَرَى أَنَّ مَنْ نَذَرَ الْإِحْرَامَ مِنَ الْبَصْرَةِ فَأَحْرَمَ بَعْدَهَا لَزِمَهُ دَمٌ لِمُجَاوَزَتِهَا؛ لِأَنَّهُ قَدْ أَوْجَبَ عَلَى نَفْسِهِ الْإِحْرَامَ مِنْهَا كَذَلِكَ الْأَجِيرُ قَدْ أَوْجَبَ عَلَى نَفْسِهِ بِعَقْدِ الْإِجَارَةِ الْإِحْرَامَ مِنَ الْمَوْضِعِ الَّذِي أُمِرَ بِالْإِحْرَامِ مِنْهُ فَإِذَا جَاوَزَهُ غَيْرَ مُحْرِمٍ لَزِمَهُ دَمٌ.

Adapun pasal pertama dalam kewajiban dam, maka ia dibangun di atas penentuan tiga tempat:

Pertama: jika penyewa memerintahkannya untuk berihram sebelum mīqāt, lalu ia berihram setelahnya. Misalnya, ia memerintahkannya berihram dari Bashrah, namun ia tidak berihram darinya, melainkan berihram setelahnya, baik dari mīqāt Bashrah, atau sebelum mīqāt Bashrah, atau setelah mīqāt Bashrah, maka semuanya sama. Hajinya tetap sah, namun atas ajīr dam, karena ia meninggalkan iḥrām dari tempat yang diperintahkan kepadanya untuk berihram.

Apabila ada yang berkata: “Sesungguhnya dam hanya wajib atas orang yang melewati mīqāt syar‘i. Adapun jika ia tidak melewati mīqāt syar‘i, melainkan hanya melewati mīqāt yang diwajibkan oleh akad ijārah, maka itu tidak mewajibkan dam.” Maka dijawab: dam itu bisa wajib karena melewati mīqāt syar‘i maupun selainnya, selama itu menjadi kewajiban atasnya. Tidakkah engkau melihat bahwa orang yang bernazar untuk berihram dari Bashrah, lalu berihram setelahnya, maka wajib atasnya dam karena melewatinya, sebab ia telah mewajibkan atas dirinya iḥrām dari sana. Demikian pula ajīr yang telah mewajibkan atas dirinya dengan akad ijārah untuk berihram dari tempat yang diperintahkan kepadanya. Maka ketika ia melewatinya tanpa berihram, wajiblah atasnya dam.


وَالثَّانِي: أَنْ يَأْمُرَهُ بِالْإِحْرَامِ مِنَ الْمِيقَاتِ فيحرم بعده فالحج مجزي وَعَلَى الْأَجِيرِ دَمٌ وَهَذَا أَوْلَى بِالْإِيجَابِ، لِأَنَّهُ جَاوَزَ الْمِيقَاتَ اللَّازِمَ بِالشَّرْعِ وَالْعَقْدِ مَعًا.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَأْمُرَهُ بِالْإِحْرَامِ بَعْدَ الْمِيقَاتِ فَيُحْرِمَ بَعْدَ ذلك الموضع كأنه أَمَرَهُ بِالْإِحْرَامِ بَعْدَ الْمِيقَاتِ بِفَرْسَخٍ فَأَحْرَمَ بَعْدَ الْمِيقَاتِ بِفَرْسَخَيْنِ فَالْوَاجِبُ فِي ذَلِكَ دَمَانِ دَمٌ عَلَى الْمُسْتَأْجِرِ لِمُجَاوَزَةِ مِيقَاتِ الشَّرْعِ وَدَمٌ عَلَى الْأَجِيرِ لِمُجَاوَزَةِ مِيقَاتِ الْعَقْدِ فَهَذَا الْكَلَامُ فِي وُجُوبِ الدَّمِ.

kedua: bahwa ia (orang yang menyewa) memerintahkannya untuk berihrām dari mīqāt, lalu ia berihrām setelah melewatinya, maka hajinya sah, namun atas si ajīr wajib dam, dan ini lebih utama untuk dikenakan kewajiban, karena ia telah melewati mīqāt yang ditetapkan oleh syariat dan oleh akad sekaligus.

ketiga: bahwa ia memerintahkannya untuk berihrām setelah mīqāt, lalu ia berihrām setelah tempat tersebut. Seakan-akan ia memerintahkannya untuk berihrām setelah mīqāt sejauh satu farsakh, namun ia berihrām setelah mīqāt sejauh dua farsakh, maka yang wajib dalam hal ini ada dua dam: satu dam atas pihak penyewa karena melewati mīqāt syar‘i, dan satu dam atas si ajīr karena melewati mīqāt yang ditentukan dalam akad.

Maka inilah pembahasan tentang wajibnya dam.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي فِي رَدِّ مَا قَابَلَ قَدْرَ الْمُجَاوَزَةِ مِنَ الْأُجْرَةِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا عَلَيْهِ دَمٌ وَعَلَيْهِ أَنْ يَرُدَّ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقَدْرِ مَا تَرَكَ وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ: عَلَيْهِ دَمٌ وَلَمْ يَذْكُرْ رَدَّ شَيْءٍ مِنَ الْأُجْرَةِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ بَعْضُهُمْ يُخَرِّجُ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ وَقَدْ أَشَارَ إِلَى ذَلِكَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ لَا يَرُدُّ شَيْئًا مِنَ الْأُجْرَةِ؛ لِأَنَّ مَا أَخَلَّ بِهِ مِنَ الْإِحْرَامِ قَدْ جَبَرَهُ بِدَمٍ وَكَانَ الدَّمُ بَدَلًا مِنْهُ فَلَمْ يَلْزَمْهُ بَدَلٌ ثَانٍ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ أَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يرد الْأُجْرَةِ بِقَدْرِ مَا تَرَكَ، لِأَنَّ الْأُجْرَةَ إِذَا كَانَتْ فِي مُقَابَلَةِ عَمَلٍ مَعْلُومٍ لَمْ يَسْتَحِقَّ جَمِيعَهَا إِلَّا بِجَمِيعِ الْعَمَلِ فَإِذَا تُرِكَ بَعْضُ العلم سَقَطَ مِنَ الْأُجْرَةِ مَا قَابَلَهُ كَسَائِرِ الْإِجَارَاتِ فأما الدم فإنما أوجبه الشرع عليها مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ لِلْمُسْتَأْجِرِ فِيهِ حَقٌّ فَلَمْ يَمْنَعْ ذَلِكَ مِنْ حَقِّ الْمُسْتَأْجِرِ.

PASAL: Adapun pasal kedua dalam mengembalikan bagian upah sesuai kadar yang terlewati, maka al-Syafi‘i berkata di sini: atasnya dam dan wajib mengembalikan dari upah sesuai kadar yang ditinggalkan. Dan beliau berkata dalam qaul qadīm: atasnya dam, namun tidak menyebutkan pengembalian sesuatu dari upah.

Maka para sahabat kami berbeda pendapat. Sebagian mereka mengeluarkan masalah ini atas dua pendapat, dan telah mengisyaratkan hal itu Abū Isḥāq al-Marwazī.

Salah satu dari dua pendapat: tidak wajib mengembalikan sesuatu dari upah, karena apa yang dikuranginya dari iḥrām sudah diganti dengan dam, dan dam itu menjadi pengganti darinya, sehingga tidak wajib pengganti yang kedua.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih: wajib baginya mengembalikan upah sesuai kadar yang ditinggalkan, karena upah itu jika sebagai imbalan dari pekerjaan yang jelas, tidak berhak atas seluruhnya kecuali dengan menunaikan seluruh pekerjaan. Jika sebagian pekerjaan ditinggalkan, gugur dari upah bagian yang sebanding dengannya, sebagaimana dalam akad ijārah lainnya.

Adapun dam, maka ia diwajibkan oleh syara‘ atasnya tanpa ada hak bagi penyewa di dalamnya, maka hal itu tidak menghalangi hak penyewa.


وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ: عَلَيْهِ أَنْ يَرُدَّ الْأُجْرَةَ بِقَدْرِ مَا تَرَكَ قَوْلًا وَاحِدًا وَلَيْسَ تَرْكُ ذِكْرِهِ فِي الْقَدِيمِ قَوْلًا ثَانِيًا فَإِنْ قِيلَ لَوْ تَطَيَّبَ الْأَجِيرُ فِي إِحْرَامِهِ أَوْ حَلَقَ وَكَانَ قَدْ أَدْخَلَ فِي إِحْرَامِهِ نَقْصًا وَعَلَيْهِ أَنْ يَجْبُرَهُ بِدَمٍ وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَرُدَّ مِنَ الْأُجْرَةِ شَيْئًا فَهَلَّا كَانَ تَارِكُ الْإِحْرَامِ إِذَا جَبَرَهُ بِدَمٍ لَمْ يَرُدَّ مِنَ الْأُجْرَةِ شَيْئًا.
قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الطِّيبَ وَالْحَلْقَ نَقْصٌ فِي ثَوَابِ الْحَجِّ دُونَ عَمَلِهِ وَقَدْ لَزِمَهُ الدَّمُ فَكَانَ جُبْرَانًا لِنَقْصِهِ وَلَمْ يَرُدَّ مِنَ الْأُجْرَةِ شَيْئًا لِكَمَالِ عَمَلِهِ وَنَقْصُ الْإِحْرَامِ نَقْصٌ فِي ثَوَابِ الْحَجِّ وَعَمَلِهِ فَلَزِمَهُ الدَّمُ جُبْرَانًا لِنَقْصِ الثَّوَابِ وَلَزِمَهُ أَنْ يَرُدَّ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقَدْرِ مَا تَرَكَ جُبْرَانًا لِنَقْصِ الْعَمَلِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يَرُدَّ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقَدْرِ مَا تَرَكَ فَفِي اعْتِبَارِهِ وَكَيْفِيَّتِهِ قَوْلَانِ:

Abū ‘Alī Ibn Abī Hurairah berkata: wajib baginya (si ajīr) untuk mengembalikan bagian upah sebesar kadar yang ia tinggalkan, dan ini adalah satu pendapat, bukan dua. Dan tidak disebutkannya hal ini dalam pendapat lama bukanlah berarti itu pendapat kedua.

Jika dikatakan: seandainya si ajīr memakai wewangian dalam keadaan beriḥrām, atau mencukur rambut, maka berarti ia telah memasukkan suatu kekurangan ke dalam iḥrām-nya, dan wajib atasnya menebusnya dengan dam, namun ia tidak diwajibkan mengembalikan sedikit pun dari upahnya. Maka mengapa orang yang meninggalkan iḥrām, jika ia telah menebusnya dengan dam, tidak juga boleh untuk tidak mengembalikan bagian dari upahnya?

Dijawab: perbedaannya adalah bahwa memakai wewangian dan mencukur rambut merupakan kekurangan dalam pahala haji, bukan pada amal (fisik) hajinya. Maka ketika dam telah diwajibkan atasnya, maka itu menjadi penebus atas kekurangan pahalanya, dan ia tidak wajib mengembalikan bagian dari upah karena amalnya sempurna.

Sedangkan kekurangan dalam iḥrām adalah kekurangan dalam pahala sekaligus dalam amal hajinya, maka wajib atasnya dam sebagai penebus kekurangan pahala, dan wajib pula baginya mengembalikan bagian dari upah sebesar yang ia tinggalkan sebagai penebus atas kekurangan amalnya.

Maka apabila telah tetap bahwa ia wajib mengembalikan bagian dari upah sebesar yang ia tinggalkan, maka dalam hal penetapan dan cara perhitungannya terdapat dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الجديد أنه يعتر بِقِسْطِ الْأُجْرَةِ مِنَ الْمَوْضِعِ الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ دُونَ الْبَلَدِ الَّذِي خَرَجَ مِنْهُ لِتَكُونَ الْأُجْرَةُ مُقَسَّطَةً عَلَى أَفْعَالِ الْحَجِّ دُونَ السَّفَرِ الْمُوَصِّلِ إليها.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عَلَيْهِ فِي ” الْإِمْلَاءِ ” إِنَّهُ يُعْتَبَرُ بِقِسْطِ الْأُجْرَةِ مِنْ بَلَدِهِ الَّذِي خَرَجَ مِنْهُ وَعَلَّلَ بِأَنْ قَالَ: لِأَنَّهُ اسْتُؤْجِرَ عَلَى عَمَلٍ وَسَفَرٍ فَلَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عَلَى التَّمَامِ.

Salah satunya: yaitu perkataannya dalam qaul jadīd bahwa perhitungan dilakukan dengan bagian upah dari tempat yang telah ditentukan, bukan dari negeri yang ia berangkat darinya. Sehingga upah itu diporsikan atas amalan-amalan haji, bukan atas perjalanan yang mengantarkan kepadanya.

Pendapat kedua: yaitu dalam al-Imlā’, bahwa perhitungannya dilakukan dengan bagian upah dari negeri yang ia berangkat darinya. Beliau beralasan: karena ia disewa untuk melakukan amal dan perjalanan, namun ia tidak melaksanakannya secara sempurna.


فَصْلٌ
: فأما ما تركه الْأَجِيرُ مِنْ أَفْعَالِ الْحَجِّ سِوَى الْإِحْرَامِ فَضَرْبَانِ: رُكْنٌ، وَنُسُكٌ فَإِنْ كَانَ رُكْنًا كَالطَّوَافِ وَالسَّعْيِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَأْتِيَ بِهِ، لِأَنَّهُ لَا يَتَحَلَّلُ مِنَ الْحَجِّ إِلَّا بِفِعْلِهِ وَلَهُ جَمِيعُ الْأُجْرَةِ؛ لأنه ليس بترك شَيْئًا مِنْ أَعْمَالِ الْحَجِّ وَإِنْ كَانَ نُسُكًا فضربان:
أحدهما: أن يكون تركه وجب الدم كالرمي فهذا متى تركه الأجير فعليه دَمٌ وَهَلْ يَرُدُّ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقِسْطِ ذَلِكَ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِيمِنْ أَحْرَمَ بَعْدَ الْمِيقَاتِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ يَرُدُّ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقِسْطِ ذَلِكَ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ عَلَى قَوْلَيْنِ
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ تَرْكُهُ غَيْرَ مُوجِبٍ لِدَمٍ كَطَوَافِ الْقُدُومِ فَهَذَا مَتَى تَرَكَهُ الْأَجِيرُ فَعَلَيْهِ أَنْ يَرُدَّ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقِسْطِهِ قَوْلًا وَاحِدًا لَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا فِيهِ، لِأَنَّهُ عُمِلَ فِي مُقَابَلَةِ عِوَضٍ لَمْ يَأْتِ بِهِ وَلَا بِبَدَلِهِ فَعَلَى هَذَا لَوْ تَرَكَ الْمَبِيتَ بِمُزْدَلِفَةَ وَمِنًى وَطَوَافَ الْوَدَاعِ فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ عَلَيْهِ دَمًا فَهَلْ يَرُدُّ بِقِسْطِهِ مِنَ الْأُجْرَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ فِي اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ لَا دَمَ عَلَيْهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَرُدَّ بِقِسْطِ ذَلِكَ مِنَ الْأُجْرَةِ قَوْلًا وَاحِدًا.

PASAL
 Adapun hal-hal yang ditinggalkan oleh ajīr dari amalan-amalan haji selain iḥrām, maka terbagi dua: rukun dan nusuk.

Jika yang ditinggalkan adalah rukun seperti ṭawāf dan sa‘y, maka wajib atasnya untuk melakukannya, karena ia tidak bisa bertahallul dari haji kecuali dengan melaksanakannya, dan ia berhak mendapatkan seluruh upahnya, karena ia tidak meninggalkan satu pun dari amal-amal haji.

Dan jika yang ditinggalkan adalah nusuk, maka terbagi dua:

pertama: bahwa meninggalkannya mewajibkan dam seperti ramy, maka apabila si ajīr meninggalkannya, maka wajib atasnya dam. Dan apakah ia harus mengembalikan bagian dari upahnya sepadan dengan bagian yang ia tinggalkan atau tidak? Maka hal itu kembali pada perbedaan pendapat para sahabat kami dalam kasus orang yang beriḥrām setelah mīqāt:
 – di antara mereka ada yang berkata bahwa wajib mengembalikan bagian dari upah sepadan dengan yang ia tinggalkan,
 – dan di antara mereka ada yang berkata: dalam hal ini ada dua pendapat.

kedua: bahwa meninggalkannya tidak mewajibkan dam, seperti ṭawāf al-qudūm, maka apabila si ajīr meninggalkannya, wajib atasnya mengembalikan bagian dari upahnya sepadan dengan yang ia tinggalkan — ini adalah satu pendapat, tidak ada perbedaan di antara para sahabat kami. Karena ia telah melakukan pekerjaan sebagai pengganti upah, namun tidak menunaikannya dan tidak pula menunaikan penggantinya.

Berdasarkan hal ini, jika ia meninggalkan mabīt di Muzdalifah dan Mina, serta ṭawāf al-wadā‘, maka jika kita katakan bahwa atasnya dam, maka apakah ia harus mengembalikan bagian dari upahnya sepadan dengan itu? Maka ada dua pendapat dalam hal ini, berdasarkan perbedaan pendapat para sahabat kami.

Namun jika kita katakan bahwa tidak ada dam atasnya, maka wajib atasnya mengembalikan bagian dari upahnya sepadan dengan yang ditinggalkan — ini adalah satu pendapat.


فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ: فِي ” الْأُمِّ ” وَلَوِ اسْتَأْجَرَهُ عَلَى أَنْ يُحْرِمَ عَنْهُ مِنَ الْيَمَنِ فَاعْتَمَرَ عَنْ نَفْسِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى مِيقَاتِ الْبَلَدِ الَّذِي اسْتُؤْجِرَ عَلَيْهِ فَأَهَلَّ بِالْحَجِّ عَنِ الْذِي اسْتَأْجَرَهُ لَمْ يُجْزِهِ إِلَّا أَنْ يَخْرُجَ إِلَى مِيقَاتِ الْمُسْتَأْجِرِ الَّذِي شَرَطَ أَنْ يُهِلَّ مِنْهُ وَهَذَا مُطَّرِدٌ عَلَى مَا قَرَّرْنَا فَإِنْ خَرَجَ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنَ الْعُمْرَةِ فَأَحْرَمَ بِالْحَجِّ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ مِنَ الْيَمَنِ فَقَدِ اسْتَحَقَّ جَمِيعَ الْأُجْرَةِ وَأَجْزَأَ الْحَجُّ عَنِ الْمَحْجُوجِ عَنْهُ؛ لِأَنَّهُ قَدْ عَمِلَ جَمِيعَ مَا اسْتُؤْجِرَ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَعُدْ إِلَى الْيَمَنِ وَأَحْرَمَ بِالْحَجِّ مِنْ مَكَّةَ فَقَدَ أَجْزَأَ ذَلِكَ الْمَحْجُوجَ عَنْهُ وَعَلَى الْأَجِيرِ دَمٌ لِتَرْكِهِ الْإِحْرَامَ مِنَ الْيَمَنِ وَهَلْ يَرُدُّ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقِسْطِ ذَلِكَ أَمْ لَا؟ عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ يَرُدُّ قَوْلًا وَاحِدًا وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ عَلَى قَوْلَيْنِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ لَهُ أُجْرَةُ المثل وليس بصحيح واعتبار الرجوع مسقط ذلك الْأُجْرَةِ الْمُسَمَّاةِ أَنْ يُقَالَ: بِكَمْ يُوجَدُ مَنْ يَحُجُّ وَيُحْرِمُ مِنَ الْيَمَنِ فَإِذَا قِيلَ بِعِشْرِينَ دِينَارًا قِيلَ فَبِكَمْ يُوجَدُ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ وَيُحْرِمُ مِنْ مَكَّةَ فَإِذَا قِيلَ بِخَمْسَةَ عَشَرَ دِينَارًا فَقَدْ عَلِمَ أَنَّ بَيْنَهُمَا الرُّبُعَ لِأَنَّ الْخَمْسَةَ مِنَ الْعِشْرِينَ رُبُعُهَا فَيَرْجِعُ مَا اسْتَأْجَرَ عَلَى الْأَجِيرِ بِرُبُعِ الْأُجْرَةِ الْمُسَمَّاةِ.

PASAL: al-Syafi‘i berkata dalam al-Umm: “Seandainya seseorang menyewa orang lain agar berihram haji untuknya dari Yaman, lalu orang yang disewa itu melakukan umrah untuk dirinya sendiri, kemudian keluar menuju mīqāt negeri yang ia disewa darinya, lalu ia bertalbiyah haji untuk orang yang menyewanya, maka hal itu tidak mencukupi kecuali ia keluar ke mīqāt penyewa yang disyaratkan agar ia berihram darinya. Hal ini sejalan dengan apa yang telah kami tetapkan.

Jika ia keluar setelah selesai umrahnya, lalu berihram haji dari Yaman untuk penyewa, maka ia berhak atas seluruh upah dan haji itu mencukupi bagi orang yang dihajikan; karena ia telah melakukan seluruh apa yang disewakan kepadanya.

Namun jika ia tidak kembali ke Yaman dan berihram haji dari Makkah, maka haji itu tetap mencukupi orang yang dihajikan, tetapi atas ajīr dam karena meninggalkan iḥrām dari Yaman. Adapun apakah ia harus mengembalikan bagian upah sesuai kadar yang ditinggalkan atau tidak, maka para sahabat kami berbeda pendapat: di antara mereka ada yang mengatakan wajib mengembalikan secara pasti, ada yang mengatakan atas dua pendapat, dan ada yang mengatakan baginya ujrah al-mithl. Tetapi yang terakhir ini tidak benar.

Perhitungan pengurangan dari upah yang ditentukan itu dilakukan dengan cara bertanya: “Berapa biaya untuk mendapatkan orang yang berhaji dan berihram dari Yaman?” Jika dikatakan dua puluh dinar, lalu ditanya: “Berapa biaya untuk mendapatkan orang yang berhaji untuknya dan berihram dari Makkah?” Jika dikatakan lima belas dinar, maka telah diketahui bahwa perbedaannya adalah seperempat, karena lima dari dua puluh adalah seperempatnya. Maka penyewa berhak menuntut kembali dari ajīr seperempat upah yang telah disepakati.


فَصْلٌ
: فَلَوِ اسْتَأْجَرَهُ لِيُحْرِمَ مِنْ مِيقَاتٍ بِعَيْنِهِ فَأَحْرَمَ مِنْ مِيقَاتِ غَيْرِهِ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ الْمِيقَاتُ الَّذِي أَحْرَمَ مِنْهُ أَبْعَدَ مِنَ الْمِيقَاتِ الَّذِي أُمِرَ بِهِ أَوْ مِثْلَهُ فَلَهُ الْأُجْرَةُ الْمُسَمَّاةُ وَلَا دَمَ عَلَيْهِ لِوُجُودِ الْعَمَلِ الْمُسْتَحَقِّ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ الْمِيقَاتُ الَّذِي أَحْرَمَ مِنْهُ أَقْرَبَ مِنَ الْمِيقَاتِ الَّذِي أُمِرَ بِهِ نَظَرَ فِيهِ فَإِنْ كَانَ قَدْ مَرَّ بِالْمِيقَاتِ الَّذِي أُمِرَ بِهِ فَلَمْ يُحْرِمْ مِنْهُ وَأَحْرَمَ مِنَ الْمِيقَاتِ الْآخَرِ فَعَلَيْهِ دَمٌ؛ لِأَنَّهُ قَدْ لَزِمَهُ الْإِحْرَامُ مِنَ الْمِيقَاتِ الْأَوَّلِ لِحُصُولِهِ فِيهِ شَرْعًا وَعَقْدًا وَهَلْ يرد من الأجرة بقسط ما بين الميقاتين على اختلاف أصحابنا فمنهم من قال يرد قَوْلًا وَاحِدًا وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ عَلَى قَوْلَيْنِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ مَرَّ بِالْمِيقَاتِ الَّذِي أُمِرَ بِهِ فَلَا دَمَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَحْصُلْ بِمَوْضِعٍ تَعَيَّنَ مِنْهُ الْإِحْرَامُ فَيَلْزَمُهُ دَمٌ بِتَرْكِهِ وَإِذَا لَمْ يَلْزَمْهُ دَمٌ فَعَلَيْهِ أَنْ يَرُدَّ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقِسْطِ مَا بَيْنَ الْمِيقَاتَيْنِ قَوْلًا وَاحِدًا فَهَذَا الْكَلَامُ فِيهِ إِذَا عُيِّنَ لَهُ الْإِحْرَامُ مِنْ مِيقَاتٍ فَأَحْرَمَ مِنْ غَيْرِهِ وَمَا يَتَعَلَّقُ عَلَى ذَلِكَ مِنْ فُرُوعِهِ وَأَحْكَامِهِ.

PASAL
 Maka seandainya seseorang menyewanya untuk beriḥrām dari suatu mīqāt tertentu, lalu ia beriḥrām dari mīqāt yang lain, maka diperhatikan:

Jika mīqāt tempat ia beriḥrām lebih jauh daripada mīqāt yang diperintahkan, atau sejajar dengannya, maka ia berhak mendapat upah yang telah disepakati, dan tidak ada dam atasnya, karena ia telah melakukan amal yang wajib atasnya.

Namun jika mīqāt tempat ia beriḥrām lebih dekat daripada mīqāt yang diperintahkan, maka diperhatikan:

– Jika ia telah melewati mīqāt yang diperintahkan namun tidak beriḥrām darinya dan beriḥrām dari mīqāt yang lain, maka wajib atasnya dam, karena ia telah wajib beriḥrām dari mīqāt pertama secara syar‘i dan berdasarkan akad. Dan apakah ia harus mengembalikan bagian dari upah sebesar selisih antara dua mīqāt? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di antara para sahabat kami:
 • sebagian mereka berkata: ia harus mengembalikan — satu pendapat,
 • sebagian lainnya berkata: dalam hal ini ada dua pendapat.

– Jika ia belum melewati mīqāt yang diperintahkan kepadanya, maka tidak ada dam atasnya, karena ia tidak berada pada tempat yang telah ditentukan sebagai lokasi wajib untuk beriḥrām sehingga ia wajib dam karena meninggalkannya.

Namun ketika ia tidak wajib dam, maka ia wajib mengembalikan bagian dari upah sebesar selisih antara dua mīqāt — ini adalah satu pendapat.

Maka inilah pembahasan mengenai apabila telah ditentukan baginya untuk beriḥrām dari suatu mīqāt, namun ia beriḥrām dari mīqāt yang lain, dan rincian cabang serta hukumnya yang terkait.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي مِنَ الْفُصُولِ الْأَرْبَعَةِ وَهُوَ أَنْ يُعَيِّنَ لَهُ الْإِحْرَامَ بِنُسُكٍ فَيُحْرِمَ بِغَيْرِهِ فَهَذَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يُعَيِّنَ لَهُ فَيَ الْعَقْدِ الْإِحْرَامَ بِحَجٍّ فَيُحْرِمَ بِغَيْرِهِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يُعَيِّنَ لَهُ الْإِحْرَامَ بِعُمْرَةٍ فَيُحْرِمَ بِغَيْرِهَا.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يُعَيِّنَ لَهُ الْإِحْرَامَ بِالْقِرَانِ فَيُحْرِمَ بِغَيْرِهِ.
وَالرَّابِعُ: أَنْ يُعَيِّنَ لَهُ الْإِحْرَامَ بِالتَّمَتُّعِ فَيُحْرِمَ بِغَيْرِهِ.

PASAL: Adapun pasal kedua dari empat pasal, yaitu jika penyewa menentukan kepadanya untuk berihram dengan suatu nusuk, lalu ia berihram dengan selainnya, maka hal itu terbagi menjadi empat bagian:

Pertama: ia menentukan dalam akad untuk berihram dengan haji, lalu ia berihram dengan selainnya.

Kedua: ia menentukan untuk berihram dengan ‘umrah, lalu ia berihram dengan selainnya.

Ketiga: ia menentukan untuk berihram dengan qirān, lalu ia berihram dengan selainnya.

Keempat: ia menentukan untuk berihram dengan tamattu‘, lalu ia berihram dengan selainnya.


فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يُعَيِّنَ لَهُ الْإِحْرَامَ بِحَجَّةٍ مُفْرَدَةٍ فَيُحْرِمَ بِغَيْرِهَا فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يُحْرِمَ بِعُمْرَةٍ.
وَالثَّانِي: أَنْ يُحْرِمَ قَارِنًا.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَتَمَتَّعَ.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ مِنْ هَذِهِ الْأَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ: وَهُوَ أَنْ يَسْتَأْجِرَهُ لِحَجَّةٍ مُفْرَدَةٍ فَيَعْتَمِرَ لِهَذِهِ الْعُمْرَةِ فَلَا يُسْقِطَ مَا لَزِمَهُ مِنَ الْحَجِّ ثُمَّ لَا يَخْلُو حال المحجوج عنه عن أَحَدِ أَمْرَيْنِ.

Adapun bagian pertama, yaitu bahwa seseorang menyewanya untuk beriḥrām dengan haji mufradah, lalu ia beriḥrām bukan dengannya, maka hal itu terbagi menjadi tiga bagian:

pertama: bahwa ia beriḥrām dengan ‘umrah,
 kedua: bahwa ia beriḥrām dengan qirān,
 ketiga: bahwa ia beriḥrām dengan tamattu‘.

Adapun bagian pertama dari tiga bagian ini, yaitu bahwa ia menyewanya untuk haji mufradah, lalu ia melakukan ‘umrah, maka ‘umrah ini tidak menggugurkan kewajiban haji yang telah diwajibkan atasnya. Setelah itu, keadaan orang yang dihajikan (al-maḥjūj ‘anhu) tidak lepas dari dua kemungkinan.


إِمَّا أَنْ يَكُونَ حَيًّا أَوْ مَيِّتًا فَإِنْ كَانَ حَيًّا كَانَتِ الْعُمْرَةُ وَاقِعَةً عَنِ الْأَجِيِرِ دُونَ الْمُسْتَأْجِرِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ فِي الْعُمْرَةِ وَالْحَيُّ لَا يَجُوزُ أَنْ يُعْتَمَرَ عَنْهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَإِنْ كَانَ مَيِّتًا لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ تَكُونَ عُمْرَةُ الْإِسْلَامِ وَاجِبَةً عَلَيْهِ أَوْ سَاقِطَةً عَنْهُ فَإِنْ كَانَتْ عُمْرَةُ الْإِسْلَامِ وَاجِبَةً عَلَيْهِ كَانَتِ الْعُمْرَةُ وَاقِعَةً عَنْهُ؛ لِأَنَّ الْأَجِيرَ قَدْ نَوَاهُ بِهَا وَالْمَيِّتُ يَجُوزُ أَدَاءُ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ عَنْهُ بِإِذْنٍ وَبِغَيْرِ إِذْنٍ وَيَكُونُ مُتَطَوِّعًا بِهَا وَلَا أُجْرَةَ لَهُ فِيهَا وَعَلَيْهِ أَنْ يَحُجَّ عَنْهُ بِعَقْدِ الْإِجَارَةِ وَإِنْ كَانَتْ عُمْرَةُ الْإِسْلَامِ غَيْرَ وَاجِبَةٍ عَلَى الْمَيِّتِ فَهَلْ تَكُونُ الْعُمْرَةُ وَاقِعَةً عَنِ الْأَجِيرِ أَوْ عَنِ الْمَيِّتِ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي جَوَازِ النِّيَابَةِ فِي حَجِّ التَّطَوُّعِ وَعُمْرَةِ التَّطَوُّعِ وَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ أَنَّ النِّيَابَةَ فِي تَطَوُّعِ ذَلِكَ لَا يَجُوزُ فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الْعُمْرَةُ وَاقِعَةً عَنِ الْأَجِيرِ دُونَ الْمَيِّتِ وَعَلَى الْأَجِيرِ أَنْ يَحُجَّ عَنِ الْمَيِّتِ بِعَقْدِ الْإِجَارَةِ.

Entah orang yang dihajikan itu masih hidup atau sudah meninggal.

Jika ia masih hidup, maka ‘umrah itu jatuh atas ajīr bukan atas penyewa, karena ia tidak memberi izin kepadanya dalam ‘umrah, dan orang hidup tidak boleh di-‘umrah-kan kecuali dengan izinnya.

Jika ia sudah meninggal, maka keadaannya tidak lepas dari dua hal: apakah ‘umrah Islam masih wajib atasnya, ataukah telah gugur darinya.

Jika ‘umrah Islam masih wajib atasnya, maka ‘umrah itu jatuh untuknya, karena ajīr telah meniatkannya untuknya, dan orang yang meninggal boleh dihajikan dan di-‘umrah-kan baik dengan izin maupun tanpa izin. Namun ia dianggap taṭawwu‘ darinya, dan tidak ada upah baginya dalam hal itu. Tetap wajib atas ajīr untuk menghajikannya berdasarkan akad ijārah.

Jika ‘umrah Islam tidak wajib atas mayit, maka apakah ‘umrah itu jatuh atas ajīr atau atas mayit? Dalam hal ini ada dua pendapat, yang dibangun atas perbedaan qaul al-Syafi‘i tentang bolehnya niyābah dalam haji taṭawwu‘ dan ‘umrah taṭawwu‘.

Salah satu qaul: niyābah dalam taṭawwu‘ tidak boleh. Atas dasar ini, maka ‘umrah itu jatuh atas ajīr bukan atas mayit, dan wajib atas ajīr untuk menghajikan mayit berdasarkan akad ijārah.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ النِّيَابَةَ فِي تَطَوُّعِ ذَلِكَ جَائِزَةٌ فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الْعُمْرَةُ وَاقِعَةً عَنِ الْمَيِّتِ دُونَ الْأَجِيرِ وَهُوَ مُتَطَوِّعٌ بِهَا لَا يَسْتَحِقُّ عَلَيْهَا أُجْرَةً وَعَلَيْهِ أَنْ يَحُجَّ عَنِ الْمَيِّتِ بعقد الإجارة.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَسْتَأْجِرَهُ لِحَجَّةٍ مُفْرَدَةٍ فَيَقْرِنَ عَنْهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْحَجُّ عَنْ حَيٍّ.

Dan pendapat kedua: bahwa perwakilan dalam tathawwu‘ (ibadah sunnah) seperti itu dibolehkan. Maka berdasarkan ini, ‘umrah tersebut dianggap dilaksanakan atas nama si mayit, bukan atas nama ajīr, dan ia telah melakukannya secara sukarela, maka ia tidak berhak mendapat upah atasnya, dan ia tetap wajib melaksanakan haji atas nama si mayit berdasarkan akad ijārah.

Dan bagian kedua: bahwa ia disewa untuk haji mufradah, lalu ia melakukan qirān atas nama si mayit, maka hal ini ada dua keadaan:

pertama: bahwa haji tersebut dilakukan atas nama orang yang masih hidup.


وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عَنْ مَيِّتٍ فَإِنْ كَانَ الْحَجُّ عَنْ حَيٍّ فَالْقِرَانُ وَاقِعٌ عَنِ الْأَجِيرِ دُونَ الْمُسْتَأْجِرِ الْحَيِّ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَنُوبَ عَنِ الْحَيِّ فِي الْعُمْرَةِ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَالْحَيُّ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ في العمرة فلم تقع عنه، إذا لَمْ تَقَعْ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ كَانَتْ وَاقِعَةً عَنِ الْأَجِيرِ وَإِذَا وَقَعَتِ الْعُمْرَةُ عَنِ الْأَجِيرِ كَانَ الْحَجُّ تَبَعًا لَهَا لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَقَعَ أَحَدُ نُسُكَيِ الْفَوَاتِ عَنْ شَخْصٍ وَالْآخَرُ عَنْ غَيْرِهِ وَإِنْ كَانَ الْحَجُّ عَنْ مَيِّتٍ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ فَرْضُ الْعُمْرَةِ بَاقِيًا عَلَيْهِ فَهَذَا يَكُونُ عَنِ الْمَيِّتِ فَيَقَعُ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ مَعًا عَنْهُ وَيَكُونُ الْأَجِيرُ مُتَطَوِّعًا بِالْعُمْرَةِ مُؤَدِّيًا لِلْحَجِّ فَيَسْقُطُ عَنْهُ الْحَجُّ الْمُسْتَحَقُّ عَلَيْهِ بِعَقْدِ الْإِجَارَةِ وَيَسْتَحِقُّ جَمِيعَ الْأُجْرَةِ وَقَدْ تَطَوَّعَ بِالْعُمْرَةِ فَلَا يَسْتَحِقُّ عَلَيْهَا أُجْرَةً وَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ دَمُ الْقِرَانِ فِي مَالِهِ، لِأَنَّهُ تَطَوَّعَ بِهِ.

Dan yang kedua: jika haji itu untuk mayit.

Jika haji itu untuk orang hidup, maka qirān itu jatuh atas ajīr bukan atas penyewa yang masih hidup, karena tidak boleh seseorang menggantikan orang hidup dalam ‘umrah kecuali dengan izinnya, sementara orang hidup itu tidak memberi izin dalam ‘umrah. Maka ‘umrah itu tidak jatuh atas penyewa, tetapi jatuh atas ajīr. Jika ‘umrah itu jatuh atas ajīr, maka hajinya menjadi ikutannya, karena tidak boleh salah satu dari dua nusuk qirān jatuh atas seseorang, sementara yang lainnya jatuh atas orang lain.

Jika haji itu untuk mayit, maka keadaannya terbagi dua:

Pertama: jika fardhu ‘umrah masih tersisa atasnya, maka ini jatuh untuk mayit. Maka haji dan ‘umrah bersama-sama jatuh untuknya. Ajīr menjadi taṭawwu‘ dalam ‘umrah dan pelaksana haji, sehingga gugurlah darinya kewajiban haji yang ditanggung dalam akad ijārah dan ia berhak atas seluruh upah. Adapun ‘umrah yang ia lakukan adalah taṭawwu‘, sehingga ia tidak berhak atas upahnya. Namun atasnya wajib dam qirān dari hartanya sendiri, karena ia melakukannya secara taṭawwu‘.


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فَرْضُ الْعُمْرَةِ قَدْ سَقَطَ عَنْهُ فَيَكُونُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ فِي جَوَازِ التَّطَوُّعِ بِذَلِكَ عَنِ الْمَيِّتِ:
أَحَدُهَا: أَنَّ الْعُمْرَةَ وَالْحَجَّ مَعًا يَكُونَانِ عَنِ الْمَيِّتِ وَقَدْ تَطَوَّعَ الْأَجِيرُ بِالْعُمْرَةِ فَلَا يَسْتَحِقُّ عَلَيْهَا عِوَضًا وَقَدْ سَقَطَ عَنْهُ الْحَجُّ وَاسْتَحَقَّ جَمِيعَ الْأُجْرَةِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ مَعًا يَقَعَانِ عَنِ الْأَجِيرِ؛ لِأَنَّ الْعُمْرَةَ لَا يَصِحُّ التَّطَوُّعُ بِهَا عَنِ الْمَيِّتِ فَوَقَعَتْ عَنِ الْأَجِيرِ وَالْحَجُّ فِي الْقِرَانِ لَا يَصِحُّ أَنْ يُفْرَدَ عَنِ الْعُمْرَةِ فَوَقَعَ عَنِ الْأَجِيرِ وَلَا يَسْتَحِقُّ عَلَى ذَلِكَ أُجْرَةً؛ لِأَنَّهُ عَمِلَ لِنَفْسِهِ وَيَكُونُ مَا اسْتَحَقَّ عَلَيْهِ مِنَ الْأُجْرَةِ بِعَقْدِ الْإِجَارَةِ بَاقِيًا عَلَيْهِ.

Dan keadaan yang kedua: bahwa kewajiban ‘umrah telah gugur darinya (si mayit), maka hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah kami sebutkan tentang bolehnya bertathawwu‘ dengan ‘umrah tersebut atas nama si mayit:

pertama: bahwa ‘umrah dan haji keduanya dilakukan atas nama si mayit, dan si ajīr telah bertathawwu‘ dengan ‘umrah, maka ia tidak berhak mendapat imbalan atasnya, dan ia telah menggugurkan kewajiban haji, sehingga ia berhak mendapatkan seluruh upah.

pendapat kedua: bahwa haji dan ‘umrah keduanya terjadi atas nama si ajīr, karena tidak sah bertathawwu‘ dengan ‘umrah atas nama mayit, maka ‘umrah itu jatuh atas nama ajīr, sedangkan haji dalam qirān tidak bisa dipisahkan dari ‘umrah, maka haji pun jatuh atas nama ajīr, dan ia tidak berhak mendapatkan upah apa pun, karena ia mengamalkannya untuk dirinya sendiri, dan upah yang wajib ia tunaikan berdasarkan akad ijārah tetap menjadi tanggungan atasnya.


فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” وَإِذَا أَسْتَأْجَرَهُ لِيَحُجَّ عَنْهُ فَقَرَنَ فَقَدْ زَادَهُ خَيْرًا وَاسْتَحَقَّ الْأُجْرَةَ الْمُسَمَّاةَ فَهُوَ مَحْمُولٌ عَلَى الْحَجِّ عَنِ الْمَيِّتِ دُونَ الْحَيِّ عَلَى مَا قَسَّمْنَا.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَسْتَأْجِرَهُ لِحَجَّةٍ مُفْرَدَةٍ فَتَمَتَّعَ فَمَعْلُومٌ أَنَّ الْعُمْرَةَ فِي التَّمَتُّعِ مُفْرَدَةٌ عَنِ الْحَجِّ فَيَكُونُ الْكَلَامُ فِي الْعُمْرَةِ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ مِنْ وُقُوعِهَا عَنِ الْأَجِيرِ أَوِ الْمُسْتَأْجِرِ فَإِنْ وَقَعَتْ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ كَانَ الْأَجِيرُ مُتَطَوِّعًا بِهَا فَأَمَّا الْحَجَّةُ فَهِيَ وَاقِعَةٌ عَنِ الْمَحْجُوجِ عَنْهُ حَيًّا كَانَ أَوْ مَيِّتًا دُونَ الْأَجِيرِ لِإِفْرَادِهَا عَنِ الْعُمْرَةِ إِلَّا أَنَّهُ اسْتُؤْجِرَ ليحرم بها من الميقات فأحرم بها عن مَكَّةَ فَيَكُونُ عَلَيْهِ دَمٌ لِمُجَاوَزَةِ الْمِيقَاتِ وَهَلْ يرد قسط مِنَ الْأُجْرَةِ قِسْطَ ذَلِكَ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا وَلَا دَمَ عَلَى الْأَجِيرِ فِي تَمَتُّعِهِ؛ لِأَنَّ دَمَ التَّمَتُّعِ إِنَّمَا يَجِبُ إِذَا وَقَعَ النُّسُكَانِ مَعًا عَنْ شَخْصٍ وَاحِدٍ فَأَمَّا إِذَا وَقَعَا عَنْ شَخْصَيْنِ فَلَا، إِلَّا أَنْ تَقَعَ الْعُمْرَةُ عَنِ الْمَحْجُوجِ عَنْهُ لِكَوْنِهِ مَيِّتًا فَيَجِبُ عَلَى الْأَجِيرِ دَمُ التَّمَتُّعِ لِوُقُوعِ النُّسُكَيْنِ عَنْ شَخْصٍ وَاحِدٍ فَيَكُونُ الْوَاجِبُ عَلَيْهِ دَمَيْنِ دَمُ الْمُتْعَةِ وَدَمُ مُجَاوَزَةِ الْمِيقَاتِ.

Adapun perkataan al-Syafi‘i dalam al-Umm: “Apabila seseorang menyewanya untuk menghajikan dirinya, lalu ajīr melakukan qirān, maka sungguh ia telah menambahkan kebaikan dan ia berhak atas upah yang ditentukan,” maka itu dibawa atas konteks haji untuk mayit, bukan untuk orang hidup, sebagaimana pembagian yang telah kita sebutkan.

Bagian yang ketiga: apabila seseorang menyewanya untuk melaksanakan haji mufradah, lalu ia melakukan tamattu‘. Maka sudah diketahui bahwa ‘umrah dalam tamattu‘ adalah terpisah dari haji. Maka pembicaraan tentang ‘umrah kembali kepada apa yang telah lalu pada bagian pertama, apakah ia jatuh atas ajīr atau atas penyewa.

Jika ia jatuh atas penyewa, maka ajīr dianggap bertatawwu‘ dengannya. Adapun hajinya, maka ia jatuh atas orang yang dihajikan, baik masih hidup maupun sudah meninggal, bukan atas ajīr, karena haji itu terpisah dari ‘umrah.

Kecuali jika ia disewa untuk berihram dari mīqāt, namun ia berihram dari Makkah. Maka atasnya dam karena melewati mīqāt. Dan apakah ia wajib mengembalikan bagian upah sesuai kadar itu atau tidak, maka kembali kepada perbedaan pendapat sahabat-sahabat kami yang telah disebutkan.

Dan tidak ada dam atas ajīr dalam tamattu‘, karena dam tamattu‘ hanya wajib bila kedua nusuk dilakukan untuk satu orang yang sama. Adapun bila keduanya jatuh atas dua orang yang berbeda, maka tidak wajib. Kecuali jika ‘umrah itu jatuh atas orang yang dihajikan karena ia mayit, maka wajib atas ajīr dam tamattu‘ karena kedua nusuk jatuh atas satu orang. Maka dalam keadaan ini wajib atasnya dua dam: dam mut‘ah dan dam melewati mīqāt.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي مِنَ الْأَقْسَامِ الْأَرْبَعَةِ وَهُوَ: أَنْ يُعَيِّنَ لَهُ الْإِحْرَامَ بِعُمْرَةٍ فَيُحْرِمَ بِغَيْرِهَا فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ أَيْضًا:
أَحَدُهَا: أَنْ يَسْتَأْجِرَهُ لِعُمْرَةٍ فَيُحْرِمَ بِحَجٍّ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ عَنْ حَيٍّ فَيَكُونَ الْحَجُّ وَاقِعًا عَنِ الْأَجِيرِ لِعَدَمِ إِذْنِ الْحَيِّ وَعَلَى الْأَجِيرِ أَنْ يُؤَدِّيَ مَا عَلَيْهِ مِنَ الْعُمْرَةِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عَنْ مَيِّتٍ فَيَكُونَ عَلَى مَا مَضَى فِي الْعُمْرَةِ مِنَ اعْتِبَارِ حَالِ الْمَيِّتِ فِي بَقَاءِ فَرْضِ الْحَجِّ عَلَيْهِ أَوْ سُقُوطِهِ عَنْهُ ثُمَّ عَلَى الْأَجِيرِ أَنْ يُؤَدِّيَ مَا عَلَيْهِ مِنَ الْعُمْرَةِ الْمُسْتَحَقَّةِ بِعَقْدِ الْإِجَارَةِ.

PASAL
 Adapun bagian kedua dari empat bagian, yaitu: bahwa seseorang menetapkan kepada si ajīr untuk beriḥrām dengan ‘umrah, lalu ia beriḥrām dengan selainnya, maka hal itu terbagi menjadi tiga bagian pula:

pertama: bahwa ia menyewanya untuk ‘umrah, lalu ia beriḥrām dengan haji. Maka ini terbagi menjadi dua keadaan:

– pertama dari keduanya: bahwa hal itu atas nama orang yang masih hidup, maka haji tersebut terjadi atas nama si ajīr, karena tidak adanya izin dari si hidup, dan wajib atas si ajīr untuk menunaikan ‘umrah yang menjadi tanggungannya.

– kedua: bahwa hal itu atas nama mayit, maka kembali pada pembahasan sebelumnya dalam masalah ‘umrah, dengan mempertimbangkan keadaan si mayit: apakah kewajiban haji masih tetap atasnya atau telah gugur. Setelah itu, wajib atas si ajīr untuk menunaikan ‘umrah yang menjadi kewajiban dalam akad ijārah.


وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَسْتَأْجِرَهُ لِعُمْرَةٍ فَيُحْرِمَ قَارِنًا بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ فَهَذَا يَكُونُ كَمَنِ اسْتُؤْجِرَ لِحَجَّةٍ مُفْرَدَةٍ فَأَحْرَمَ قَارِنًا لِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى مِنَ التَّقْسِيمِ وَالْجَوَابِ.
والجواب الثَّالِثُ: أَنْ يَسْتَأْجِرَهُ لِعُمْرَةٍ فَيَتَمَتَّعَ بِالْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَتَكُونَ الْعُمْرَةُ وَاقِعَةً عَنِ الْمَحْجُوجِ عَنْهُ حَيًّا كَانَ أَوْ مَيِّتًا لِانْفِرَادِهَا عَنِ الْحَجِّ وَلَهُ جَمِيعُ الْأُجْرَةِ لِأَنَّهُ قَدْ أَحْرَمَ بِهَا مِنَ الْمِيقَاتِ فَأَمَّا الْحَجُّ فَإِنْ كَانَ عَنْ حَيٍّ فَهُوَ وَاقِعٌ عَنِ الْأَجِيرِ دُونَ الْمُسْتَأْجِرِ الْحَيِّ لِعَدَمِ إِذْنِهِ وَإِنْ كَانَ عَنْ مَيِّتٍ فَعَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ اعْتِبَارِ حَالِهِ فِي بَقَاءِ فَرْضِ الْحَجِّ عَلَيْهِ أَوْ سُقُوطِهِ عَنْهُ فَإِنْ أَوْقَعْنَا الْحَجَّ عَنِ الْأَجِيرِ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ دَمُ التَّمَتُّعِ لِوُقُوعِ الْحَجِّ عَنْ شَخْصٍ وَالْعُمْرَةِ عَنْ غَيْرِهِ وَإِنْ أَوْقَعْنَا الْحَجَّ عَنِ الْمَيِّتِ فَعَلَى الْأَجِيرِ دَمُ التَّمَتُّعِ لِوُقُوعِ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ عَنْ شَخْصٍ وَاحِدٍ.

Bagian kedua: seseorang menyewanya untuk melaksanakan ‘umrah, lalu ia berihram dengan qirān haji dan ‘umrah. Maka hukumnya sama dengan orang yang disewa untuk haji mufradah lalu berihram dengan qirān haji dan ‘umrah, sehingga kembali kepada pembagian dan jawaban yang telah lalu.

Jawaban yang ketiga: seseorang menyewanya untuk melaksanakan ‘umrah, lalu ia melakukan tamattu‘ dengan haji dan ‘umrah. Maka ‘umrah itu jatuh atas orang yang dihajikan, baik masih hidup maupun sudah meninggal, karena ia terpisah dari haji. Ia berhak atas seluruh upah karena ia telah berihram dari mīqāt.

Adapun hajinya, jika itu untuk orang hidup, maka jatuh atas ajīr bukan atas penyewa yang masih hidup, karena tidak ada izinnya. Jika untuk mayit, maka kembali pada keadaan apakah kewajiban haji masih tersisa atasnya atau telah gugur darinya.

Jika hajinya jatuh atas ajīr, maka tidak wajib atasnya dam tamattu‘, karena hajinya jatuh atas satu orang dan ‘umrah atas orang lain. Tetapi jika hajinya jatuh atas mayit, maka wajib atas ajīr dam tamattu‘, karena haji dan ‘umrah jatuh atas satu orang yang sama.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ مِنَ الْأَقْسَامِ الْأَرْبَعَةِ وَهُوَ أَنْ يُعَيِّنَ لَهُ الْإِحْرَامَ بِالْقِرَانِ فَيُحْرِمَ بِغَيْرِهِ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَسْتَأْجِرَهُ لِيَقْرِنَ فَيُحْرِمَ بِحَجَّةٍ مُفْرَدَةٍ فَتَكُونَ الْحَجَّةُ وَاقِعَةً عَنِ الْمَحْجُوجِ عَنْهُ وَقَدْ وَفَّى أَحَدَ النُّسُكَيْنِ مُفْرِدًا وَهُوَ الْحَجُّ وَبَقِيَ عَلَيْهِ النُّسُكُ الثَّانِي وَهُوَ الْعُمْرَةُ ثُمَّ لَا تَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَأْتِيَ بِالْعُمْرَةِ مُفْرَدَةً أَوْ لَا يَأْتِيَ بِهَا فَلَهُ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقِسْطِ مَا يَحِلُّ مِنَ الْحَجِّ وَيَرُدُّ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقِسْطِ مَا بَقِيَ مِنَ الْعُمْرَةِ فَيُقَالُ: بِكَمْ يُوجَدُ مَنْ يُحْرِمُ بِالْقِرَانِ. فَيُقَالُ: بِعَشَرَةِ دَنَانِيرَ وَيُقَالُ: بِكَمْ يُوجَدُ مَنْ يُحْرِمُ بِحَجَّةٍ مُفْرَدَةٍ فَيُقَالُ: بِثَمَانِيَةِ دَنَانِيرَ فَيُرْجِعُ عَلَيْهِ مِنَ الْأُجْرَةِ بِخُمْسِهَا وَإِنْ أَتَى بِالْعُمْرَةِ مُفْرَدَةً سَقَطَتْ عَنْهُ ثُمَّ يَنْظُرُ فَإِنْ أَحْرَمَ بِهَا مِنَ الْمِيقَاتِ فَلَا دَمَ عَلَيْهِ وَقَدِ اسْتَحَقَّ جَمِيعَ الْأُجْرَةِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ أَتَى بِالنُّسُكَيْنِ مِنَ الْمِيقَاتِ مَعَ زِيَادَةِ الْعَمَلِ فِي إِفْرَادِهَا وَإِنْ أَحْرَمَ بِهَا مِنْ أَدْنَى الْحِلِّ فَقَدْ وَفَّى النُّسُكَ الثَّانِيَ أَيْضًا لَكِنْ قَدْ كَانَ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُحْرِمَ بِهَا مِنَ الْمِيقَاتِ فَأَحْرَمَ بِهَا مِنْ أَدْنَى الْحِلِّ فَيَلْزَمُهُ دَمٌ لِتَرْكِ الْإِحْرَامِ مِنَ الْمِيقَاتِ وَهَلْ يَرُدُّ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقِسْطِ مَا بَيْنَ الْمِيقَاتَيْنِ عَلَى اخْتِلَافٍ أَصْحَابُنَا.

PASAL:
 Adapun bagian ketiga dari empat bagian, yaitu apabila ia menetapkan iḥrām untuk qirān, namun dia beriḥrām bukan dengan qirān, maka terbagi menjadi tiga bagian:

Pertama: ia menyewanya untuk melakukan qirān, lalu ia beriḥrām dengan ḥajj mufradah (tersendiri), maka ḥajj itu berlaku untuk orang yang dihajikan, dan ia telah melaksanakan salah satu dari dua nusuk secara mufrad, yaitu ḥajj, dan masih tersisa satu nusuk lagi, yaitu ‘umrah.

Kemudian keadaannya tidak lepas dari salah satu dari dua kemungkinan:

  • apakah dia melaksanakan ‘umrah secara mufradah,
  • atau tidak melaksanakannya.

Jika ia tidak melaksanakannya, maka ia berhak atas upah sebesar bagian dari ḥajj, dan ia harus mengembalikan bagian upah untuk ‘umrah. Maka dikatakan: “Berapa biaya menyewa orang untuk melakukan qirān?” Dijawab: “Sepuluh dinar.”
 Lalu ditanyakan: “Berapa biaya menyewa orang untuk melakukan ḥajj mufradah?” Dijawab: “Delapan dinar.” Maka ia harus mengembalikan seperlimanya dari upah.

Jika ia melaksanakan ‘umrah secara mufradah, maka gugurlah tanggungannya. Kemudian dilihat: jika ia beriḥrām untuk ‘umrah dari mīqāt, maka tidak ada dam atasnya, dan ia berhak atas seluruh upah, karena ia telah melaksanakan dua nusuk dari mīqāt, dengan tambahan pekerjaan karena dilakukan secara terpisah (ifrād).

Namun jika ia beriḥrām untuk ‘umrah dari adnā al-ḥill, maka ia tetap telah menyempurnakan nusuk yang kedua, tetapi semestinya ia beriḥrām dari mīqāt. Karena ia beriḥrām dari adnā al-ḥill, maka ia wajib membayar dam karena meninggalkan iḥrām dari mīqāt.
 Adapun apakah ia harus mengembalikan bagian upah sebesar selisih antara dua mīqāt, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para sahabat kami.


وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَسْتَأْجِرَهُ لِيَقْرِنَ فَيُحْرِمَ بِعُمْرَةٍ مُفْرَدَةٍ فَتَكُونَ الْعُمْرَةُ وَاقِعَةً عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ وَقَدْ وَفَّى أَحَدَ النُّسُكَيْنِ مُفْرِدًا وَهُوَ الْعُمْرَةُ وَبَقِيَ النُّسُكُ الثَّانِي وَهُوَ الْحَجُّ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَأْتِيَ بِالْحَجِّ مُفْرِدًا أَوْ لَا يَأْتِيَ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَأْتِ بِهِ رَدَّ مِنَ الْأُجْرَةِ مَا قَابَلَهُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا وَإِنْ أَتَى بِهِ سَقَطَ عَنْهُ النُّسُكَانِ ثُمَّ اعْتَبَرَ مَوْضِعَ إِحْرَامِهِ بِالْحَجِّ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فِي الْعُمْرَةِ مِنْ قَبْلُ.

Bagian kedua: seseorang menyewanya untuk melakukan qirān, namun ia berihram dengan ‘umrah mufradah. Maka ‘umrah itu jatuh atas penyewa, dan ia telah menunaikan salah satu dari dua nusuk secara terpisah, yaitu ‘umrah, dan tersisa nusuk yang kedua yaitu haji.

Keadaannya tidak lepas dari dua hal:

Pertama: ia tidak melaksanakan haji. Maka wajib mengembalikan bagian upah yang sepadan dengannya sebagaimana telah disebutkan.

Kedua: ia melaksanakan haji mufrad. Maka gugurlah darinya dua nusuk itu. Kemudian tempat ia berihram untuk haji, dihukumi sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya tentang ‘umrah.


وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَسْتَأْجِرَهُ لِيَقْرِنَ فَتَمَتَّعَ فَقَدْ وَفَّى النُّسُكَيْنِ مَعًا لِأَنَّهُ قَدِ اسْتُؤْجِرَ عَلَى عَمَلِهَا قَارِنًا فَأَفْرَدَهُمَا فَأَجْزَأَ؛ لِأَنَّ الْفَرْضَ يَسْقُطُ بِإِفْرَادِهِمَا كَمَا يَسْقُطُ بِقِرَانِهَا إِلَّا أَنَّهُ اسْتُؤْجِرَ لِيُحْرِمَ بِهَا مِنَ الْمِيقَاتِ فَأَحْرَمَ بِالْعُمْرَةِ مِنَ الْمِيقَاتِ وَبِالْحَجِّ مِنْ مَكَّةَ فَكَانَ تَارِكًا لِلْإِحْرَامِ بِالْحَجِّ مِنَ الْمِيقَاتِ فَلَزِمَهُ دَمٌ لِتَرْكِهِ وَهَلْ يَرُدُّ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقَدْرِ ذَلِكَ؟ عَلَى اخْتِلَافٍ أَصْحَابُنَا وَلَزِمَهُ أَخْذُ دَمٍ آخَرَ لِتَمَتُّعِهِ، فَإِنْ قِيلَ فَدَمُ الْمُتْعَةِ إِنَّمَا وَجَبَ لِتَرْكِ الْإِحْرَامِ بِالْحَجِّ مِنَ الْمِيقَاتِ وَقَدْ أَوْجَبْتُمْ عَلَيْهِ لِأَجْلِهِ دَمًا فَلَمَّا أَوْجَبْتُمْ عليه دماً ثانياً قيل هما وَإِنْ وَجَبَا بِتَرْكِ الْإِحْرَامِ بِالْحَجِّ مِنَ الْمِيقَاتِ فَمَعْنَى وُجُوبِهَا مُخْتَلِفٌ؛ لِأَنَّ أَحَدَهُمَا وَاجِبٌ بِالْعَقْدِ والآخر واجب الشرع وإذا اختلف معناهما لمن يمتنع وُجُوبُهُمَا، فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الدَّمَيْنِ فَدَمُ الْمُجَاوَزَةِ وَاجِبٌ عَلَى الْأَجِيرِ وَفِي دَمِ الْمُتْعَةِ وَجْهَانِ:

Bagian yang ketiga: seseorang menyewanya untuk melakukan qirān, namun ia melakukannya dengan tamattu‘. Maka ia telah menunaikan dua nusuk sekaligus, karena ia disewa untuk menggabungkannya dengan qirān, tetapi ia memisahkannya, dan itu mencukupi. Sebab kewajiban gugur dengan memisahkannya sebagaimana gugur dengan menggabungkannya.

Hanya saja ia disewa untuk berihram dari mīqāt, tetapi ia berihram untuk ‘umrah dari mīqāt dan berihram untuk haji dari Makkah. Maka ia telah meninggalkan iḥrām haji dari mīqāt, sehingga wajib atasnya dam karena meninggalkannya.

Adapun apakah ia juga wajib mengembalikan bagian dari upah sesuai kadar itu, maka para sahabat kami berbeda pendapat.

Dan wajib pula atasnya dam lain karena ia melakukan tamattu‘. Jika ada yang berkata: “Dam mut‘ah itu hanya wajib karena meninggalkan iḥrām haji dari mīqāt, sementara kalian sudah mewajibkan atasnya dam karena hal itu, lalu mengapa kalian mewajibkan dam kedua?” Maka dijawab: meskipun keduanya wajib karena meninggalkan iḥrām haji dari mīqāt, tetapi makna kewajiban keduanya berbeda.

Salah satunya wajib karena akad, sedangkan yang lain wajib karena syariat. Dan bila makna keduanya berbeda, maka tidak terlarang keduanya sama-sama wajib.

Maka apabila telah tetap wajibnya dua dam, maka dam karena melewati mīqāt wajib atas ajīr. Adapun dam mut‘ah, maka di dalamnya ada dua pendapat:


أَحَدُهُمَا: عَلَى الْمُسْتَأْجِرِ بَدَلًا مِنْ دَمِ الْقِرَانِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ أَذِنَ لَهُ فِي فِعْلِ النُّسُكَيْنِ على وجه يوجب دماً وقد فعلها عَلَى وَجْهٍ يُوجِبُ دَمًا فَكَانَ الدَّمُ لَازِمًا لَهُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهُ وَاجِبٌ عَلَى الْأَجِيرِ؛ لِأَنَّهُ وَاجِبٌ بِالتَّمَتُّعِ دُونَ الْقِرَانِ وَهُوَ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ فِي التَّمَتُّعِ فَيَكُونُ مُلْتَزِمًا لِمُوجِبِهِ وَإِنَّمَا أَذِنَ لَهُ فِي الْقِرَانِ فَعَدَلَ عَنْهُ إِلَى التَّمَتُّعِ تَطَوُّعًا بِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَلْتَزِمَ الْأَجِيرُ مُوجَبَ تَطَوُّعِهِ.

Pertama: atas pihak penyewa sebagai pengganti dari dam qirān; karena ia telah mengizinkannya untuk melaksanakan dua nusuk dengan cara yang mewajibkan dam, dan dia pun telah melaksanakannya dengan cara yang juga mewajibkan dam, maka dam itu menjadi kewajiban atas penyewa.

Dan pendapat kedua: bahwa dam itu wajib atas orang yang disewa; karena dam itu wajib karena tamattu‘, bukan karena qirān, sedangkan ia tidak diizinkan melakukan tamattu‘, maka ia menjadi terikat dengan sebab kewajiban dam-nya. Ia hanya diberi izin untuk qirān, namun ia beralih darinya kepada tamattu‘ atas kemauan sendiri, maka wajib baginya untuk menanggung kewajiban dari amal sukarela yang ia lakukan.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ مِنَ الْأَقْسَامِ الْأَرْبَعَةِ وَهُوَ أَنْ يُعَيِّنَ لَهُ الْإِحْرَامَ بِالتَّمَتُّعِ فَيُحْرِمَ بِغَيْرِهِ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: أَحَدُهَا: أَنْ يَسْتَأْجِرَهُ لِيَتَمَتَّعَ بِحَجَّةٍ مُفْرَدَةٍ فَتَكُونَ الْحَجَّةُ وَاقِعَةً عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ وَقَدْ وَفَّى أَحَدَ النُّسُكَيْنِ وَهُوَ الْحَجُّ وَبَقِيَ النُّسُكُ الثَّانِي وَهُوَ الْعُمْرَةُ ثُمَّ لَهُ حَالَتَانِ:

PASAL:
 Adapun bagian keempat dari empat bagian, yaitu apabila ia menetapkan iḥrām untuk tamattu‘, lalu ia beriḥrām bukan dengan tamattu‘, maka terbagi menjadi tiga bagian:

Pertama: ia menyewanya untuk melakukan tamattu‘ dengan ḥajj mufradah, maka ḥajj itu berlaku untuk pihak penyewa, dan ia telah melaksanakan salah satu dari dua nusuk, yaitu ḥajj, dan masih tersisa satu nusuk lagi, yaitu ‘umrah.

Kemudian ada dua keadaan:


إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَأْتِيَ بِالْعُمْرَةِ بَعْدَ الْحَجِّ فَإِذَا أَتَى بِهَا سَقَطَ عنه النسك الثاني: ثم ينظر فإن أحرم بهذا مِنَ الْمِيقَاتِ فَقَدْ أَكْمَلَ النُّسُكَ وَاسْتَحَقَّ جَمِيعَ الْأُجْرَةِ وَقَدْ تَرَفَّهَ الْمُسْتَأْجِرُ بِإِسْقَاطِ دَمِ الْمُتْعَةِ وإن أحرم الثاني بِهَا مِنْ أَدْنَى الْحِلِّ فَقَدْ كَانَ يَلْزَمُهُ بِعَقْدِ الْإِجَارَةِ أَنْ يُحْرِمَ بِهَا مِنَ الْمِيقَاتِ فَتَرَكَ ذَلِكَ وَكَانَ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ مِنْ مَكَّةَ فَأَحْرَمَ بِهِ مِنَ الْمِيقَاتِ فكان مُتَطَوِّعًا بِذَلِكَ فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ دَمٌ فِيمَا ترك من الإحرام في العمرة وهي يَرُدُّ بِقِسْطِهِ مِنَ الْأُجْرَةِ عَلَى مَا مَضَى مِنَ اخْتِلَافٍ أَصْحَابُنَا.

salah satunya: yaitu melakukan ‘umrah setelah ḥajj, maka apabila ia telah melakukannya, gugurlah darinya nusuk yang kedua. Kemudian dilihat: jika ia berihram untuk ‘umrah ini dari mīqāt, maka sempurnalah nusuk-nya dan ia berhak atas seluruh upah, serta si penyewa telah memperoleh keringanan dengan gugurnya kewajiban dam tamattu‘. Namun jika ia berihram untuk ‘umrah yang kedua ini dari Adnā al-Ḥill, maka sesungguhnya berdasarkan akad ijārah, ia wajib berihram dari mīqāt, tetapi ia meninggalkannya. Padahal ia dibolehkan berihram untuk ḥajj dari Makkah, namun ia justru berihram dari mīqāt, sehingga ia menjadi orang yang ber-ṭawwa‘ dalam hal itu, maka wajib atasnya dam karena meninggalkan iḥrām untuk ‘umrah dari mīqāt. Dan ia wajib mengembalikan bagian upah sesuai bagiannya, menurut perbedaan pendapat di antara para sahabat kami.


وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يَأْتِيَ بِالْعُمْرَةِ فَيَبْقَى عَلَيْهِ النُّسُكُ الثَّانِي وَهُوَ الْعُمْرَةُ فَيَرُدَّ بِقِسْطِهَا مِنَ الْأُجْرَةِ فَإِنْ قِيلَ أَفَيَلْزَمُهُ أَنْ يُحْرِمَ بِالْعُمْرَةِ؟ قِيلَ عَلَيْهِ أَنْ يُحْرِمَ بِهَا لِأَنَّهُ اسْتُؤْجِرَ عَلَى عَمَلَيْنِ فَفَعَلَ أَحَدَهُمَا إِلَّا أَنَّهُ إِنْ كَانَ عَنْ مَيِّتٍ فَلَا خِيَارَ لِمُسْتَأْجِرِهِ وَإِنْ كَانَ عَنْ حَيٍّ كَانَ بِالْخِيَارِ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَسْتَأْجِرَهُ لِيَتَمَتَّعَ فيحرم بعمرة مفردة الْعُمْرَةُ وَاقِعَةٌ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ وَقَدْ وَفَّى الْأَجِيرُ أَحَدَ النُّسُكَيْنِ وَهُوَ الْعُمْرَةُ وَبَقِيَ عَلَيْهِ النُّسُكُ الثَّانِي وَهُوَ الْحَجُّ وَلَهُ حَالَتَانِ:
إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَأْتِيَ بِالْحَجِّ.

Dan keadaan kedua: yaitu ia tidak melaksanakan ‘umrah, maka masih tersisa atasnya satu nusuk lagi, yaitu ‘umrah, maka ia wajib mengembalikan bagian upah untuk ‘umrah.
 Jika dikatakan: “Apakah ia wajib beriḥrām untuk ‘umrah?”
 Dijawab: “Ia wajib beriḥrām untuknya, karena ia telah disewa untuk dua amal, namun baru melaksanakan salah satunya.”
 Akan tetapi, jika iḥrām itu atas nama orang yang sudah wafat, maka pihak penyewa tidak memiliki pilihan. Namun jika atas nama orang yang masih hidup, maka penyewa memiliki hak memilih.

Adapun bagian kedua: yaitu ia menyewanya untuk melakukan tamattu‘, namun ia beriḥrām dengan ‘umrah mufradah, maka ‘umrah itu berlaku untuk pihak penyewa, dan orang yang disewa telah melaksanakan salah satu dari dua nusuk, yaitu ‘umrah, dan masih tersisa satu nusuk lagi, yaitu ḥajj.

Dan dalam hal ini ada dua keadaan:
 Pertama: ia melaksanakan ḥajj.


وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَأْتِيَ بِهِ فَإِنْ أَتَى بِالْحَجِّ كَانَ عَلَى مَا مَضَى فِي إِتْيَانِهِ بِالْعُمْرَةِ فِي الْقِسْمِ الْأَوَّلِ.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَسْتَأْجِرَهُ لِيَتَمَتَّعَ فَيَقْرِنَ فَيَقَعَ نُسُكَا الْقِرَانِ جَمِيعًا مِنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ؛ لأنه استأجره عليها لِيَأْتِيَ بِأَحَدِهِمَا مِنَ الْمِيقَاتِ وَالْآخِرِ مِنْ مَكَّةَ فَأَتَى بِهَا جَمِيعًا مِنَ الْمِيقَاتِ إِلَّا أَنَّهُ اسْتُؤْجِرَ لِيُفْرِدَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ النُّسُكَيْنِ فَقَرَنَ بَيْنَهُمَا فَلَزِمَهُ دَمٌ لِأَجْلِ مَا تَرَكَ مِنَ الْعَمَلِ فِي إِفْرَادِهِمَا، لِأَنَّهُ إِذَا أَفْرَدَهُمَا لَزِمَهُ أن يطوف وَيَسْعَى سَعْيَيْنِ أَيُسْقِطُ ذَلِكَ أَمْ لَا؟ قِيلَ لَا يُسْقِطُ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ يُجْزِئُهُ أَحَدُهُمَا فَصَارَ مُتَطَوِّعًا بِالثَّانِي عَلَى أَنَّهُ قَدْ تَرَفَّهَ بسقوط أحد الإحرامين فكان عليها أن يجبر ذلك بدم وهي يَرُدُّ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقِسْطِهِ عَلَى اخْتِلَافٍ أَصْحَابُنَا وَعَلَيْهِ دَمٌ لِلْقِرَانِ يَجِبُ بِقِرَانِهِ دَمَانِ:

dan yang kedua: yaitu tidak melaksanakan ‘umrah. Maka jika ia melaksanakan ḥajj, hukumnya seperti yang telah lalu pada pelaksanaan ‘umrah dalam bagian pertama.

dan bagian yang ketiga: yaitu menyewanya untuk melakukan tamattu‘, lalu ia melakukan qirān, maka kedua nusuk qirān, yaitu ḥajj dan ‘umrah, menjadi atas nama si penyewa; karena ia telah menyewanya untuk melaksanakan salah satunya dari mīqāt dan yang lainnya dari Makkah, namun ia melaksanakannya semua dari mīqāt. Hanya saja, ia disewa untuk meng-ifrād-kan masing-masing dari dua nusuk, namun ia justru menggabungkannya, maka wajib atasnya dam karena meninggalkan pekerjaan meng-ifrād-kan keduanya. Sebab, jika ia meng-ifrād-kan keduanya, maka ia wajib ṭawāf dan sa‘i dua kali. Apakah hal ini gugur atau tidak? Dikatakan: tidak gugur, karena sesungguhnya salah satunya sudah mencukupi baginya, maka yang kedua menjadi ṭawwa‘ baginya. Dan sungguh ia telah memperoleh keringanan dengan gugurnya salah satu dari dua iḥrām, maka wajib atasnya untuk mengganti hal itu dengan dam. Dan ia mengembalikan bagian dari upah sesuai bagiannya, menurut perbedaan pendapat di antara para sahabat kami. Dan atasnya dam karena qirān, maka wajib atasnya karena qirān dua dam:


أَحَدُهُمَا: بِتَرْكِ الْعَمَلِ فِي إِفْرَادِهِمَا وَهُوَ وَاجِبٌ عَلَى الْأَجِيرِ.
وَالثَّانِي: بِالْفَوَاتِ وَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَى الْمُسْتَأْجِرِ بَدَلًا مِنْ دَمِ التَّمَتُّعِ.
وَالثَّانِي: عَلَى الأجير لتركه ما أذن فيه وتطوعه يفعل مَا لَمْ يُؤْذَنْ فِيهِ فَهَذَا الْكَلَامُ فِيهِ إِذَا عَيَّنَ لَهُ الْإِحْرَامَ بِنُسُكٍ فَأَحْرَمَ بِغَيْرِهِ وَمَا يَتَعَلَّقُ عَلَيْهِ مِنْ فُرُوعِهِ وَأَحْكَامِهِ.

Pertama: dengan meninggalkan amal dalam bentuk penggabungan keduanya (tamattu‘), maka dam itu wajib atas orang yang disewa.

Kedua: karena fawāt (kehabisan waktu), dan dalam hal ini ada dua pendapat:

  • Pertama: atas pihak penyewa sebagai pengganti dari dam tamattu‘.
  • Kedua: atas orang yang disewa, karena ia telah meninggalkan apa yang telah diizinkan, dan secara sukarela melakukan sesuatu yang tidak diizinkan.

Inilah pembahasan dalam hal apabila seseorang telah menetapkan iḥrām untuk satu nusuk, namun dia beriḥrām dengan selainnya, dan hukum-hukum serta cabang-cabang yang berkaitan dengannya.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّالِثُ مِنَ الْفُصُولِ الْأَرْبَعَةِ وَهُوَ أَنْ يُعَيِّنَ لَهُ الْإِحْرَامَ فِي عَامٍ فَيُحْرِمَ فِي غَيْرِهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يُعَجِّلَ مَا ثَبَتَ مُؤَجَّلًا وَهُوَ أَنْ يَسْتَأْجِرَهُ لِيَحُجَّ عَنْهُ فِي الْعَامِ الْمُقْبِلِ فَحَجَّ عَنْهُ فِي الْعَامِ الَّذِي هُوَ فِيهِ فَهَذَا الْحَجُّ مُجْزِئٌ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ وَلِلْأَجِيرِ جَمِيعُ الْأُجْرَةِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ أَدَّى جَمِيعَ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ وَلَا خِيَارَ لِلْمُسْتَأْجِرِ، لِأَنَّهُ قَدْ تَعَجَّلَ اسْتِحْقَاقَهُ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُؤَجِّلَ مَا ثَبَتَ مُعَجَّلًا وَهُوَ أَنْ يَسْتَأْجِرَهُ لِيَحُجَّ عَنْهُ فِي عَامِهِ فَلَا يَحُجَّ عَنْهُ فِي عَامِهِ وَيُؤَخِّرَهُ إِلَى عَامٍ غَيْرِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

PASAL
 Adapun pasal yang ketiga dari empat pasal, yaitu seseorang menetapkan iḥrām untuknya pada tahun tertentu, lalu ia berihram pada tahun yang lain, maka terbagi menjadi dua bentuk:

pertama: menyegerakan sesuatu yang ditetapkan untuk ditunda, yaitu menyewanya agar berhaji untuknya pada tahun depan, namun ia berhaji untuknya pada tahun ini. Maka haji ini sah mewakili si penyewa, dan si pekerja berhak atas seluruh upah, karena ia telah melaksanakan seluruh kewajiban yang dibebankan kepadanya, dan si penyewa tidak memiliki hak pilih (untuk membatalkan), karena haknya telah jatuh tempo lebih awal.

dan bentuk yang kedua: menunda sesuatu yang ditetapkan untuk disegerakan, yaitu menyewanya agar berhaji untuknya pada tahun ini, namun ia tidak berhaji untuknya pada tahun itu, melainkan menundanya ke tahun lain. Maka ini terbagi menjadi dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ عَقْدُ الْإِجَارَةِ مُعَيَّنًا فَتَبْطُلَ الْإِجَارَةُ بِتَأَخُّرِهِ، لِأَنَّ فَوَاتَهُ فِي الْعَامِ يُوجِبُ تَأْخِيرَهُ إِلَى الْعَامِ الْمُقْبِلِ وَالْعَقْدُ الْمُعَيَّنُ لَا يَجُوزُ تَأْخِيرُهُ فَبَطَلَ، فَعَلَى هَذَا لَوْ حَجَّ الْأَجِيرُ فِي الْعَامِ الْمُقْبِلِ كَانَ الْحَجُّ وَاقِعًا عَنْ نَفْسِهِ دُونَ مُسْتَأْجِرِهِ وَلَا أُجْرَةَ لَهُ؛ لِأَنَّ الْإِجَارَةَ بِفَوَاتِ الْوَقْتِ قَدْ بَطَلَتْ وَالْوَقْتَ الَّذِي حَجَّ فِيهِ غَيْرُ مَأْذُونٍ فِيهِ فَصَارَ مَا فَعَلَهُ الْأَجِيرُ مِنَ الْحَجِّ لَمْ يَتَنَاوَلْهُ عَقْدٌ وَلَا إِذْنٌ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عَقْدُ الْإِجَارَةِ فِي الذِّمَّةِ فَلَا يَبْطُلُ الْعَقْدُ بِتَأَخُّرِهِ؛ لِأَنَّ مَا فِي الذِّمَّةِ لَا يَبْطُلُ بِتَأَخُّرِهِ عَنْ مَحِلِّهِ كَ ” السَّلَمِ ” فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ لَا يَبْطُلُ فَلِلْمُسْتَأْجِرِ حَالَتَانِ:

Pertama: apabila akad ijārah-nya bersifat mu‘ayyan (ditentukan waktunya), maka batal akad ijārah-nya karena keterlambatannya. Karena jika ḥajj itu terlewat pada tahun tersebut, maka pelaksanaannya harus ditunda ke tahun berikutnya, sementara akad yang bersifat mu‘ayyan tidak boleh ditunda, maka batal akadnya.

Berdasarkan hal ini, jika orang yang disewa berhaji pada tahun berikutnya, maka ḥajj-nya berlaku untuk dirinya sendiri, bukan untuk pihak penyewa, dan ia tidak berhak mendapat upah. Sebab akad ijārah-nya telah batal karena waktu yang ditentukan telah lewat, dan waktu di mana ia berhaji bukanlah waktu yang diizinkan, sehingga apa yang dilakukan oleh orang yang disewa itu dari pelaksanaan ḥajj tidak tercakup dalam akad dan tidak pula dalam izin.

Jenis kedua: apabila akad ijārah dilakukan secara fī al-dzimmah (tidak ditentukan waktunya, tetapi menjadi kewajiban dalam tanggungan), maka akad tersebut tidak batal karena keterlambatan; karena sesuatu yang ada dalam tanggungan tidak batal hanya karena terlambat dari waktunya, sebagaimana dalam kasus salam.

Apabila telah ditetapkan bahwa akad tersebut tidak batal, maka penyewa memiliki dua keadaan:


إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَدِ اسْتَأْجَرَهُ لِيَحُجَّ عَنْهُ وَهُوَ حَيٌّ فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُقِيمَ عَلَى الْإِجَارَةِ إِلَى الْعَامِ الْمُقْبِلِ وَبَيْنَ أن يفسخ؛ لأنه قد يستفيد بفسخه الارتفاق بِالْأُجْرَةِ إِلَى الْعَامِ الْمُقْبِلِ.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ قَدِ اسْتَأْجَرَهُ لِيَحُجَّ عَنْ مَيِّتٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْمُسْتَأْجِرُ قَدْ تَطَوَّعَ بِذَلِكَ عَنِ الْمَيِّتِ مِنْ مَالِهِ دُونَ تَرِكَةِ الْمَيِّتِ فَلِلْمُسْتَأْجِرِ الْخِيَارُ بَيْنَ أَنْ يُقِيمَ عَلَى الْإِجَارَةِ إِلَى الْعَامِ الْمُقْبِلِ وَبَيْنَ أَنْ يَفْسَخَ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَرْتَفِقَ بِالْمَالِ إِلَى الْعَامِ الْمُقْبِلِ.

pertama: yaitu ia menyewanya untuk berhaji atas namanya sementara ia masih hidup. Maka dalam keadaan ini, si penyewa memiliki hak pilih antara tetap melanjutkan akad ijārah hingga tahun berikutnya atau membatalkannya; karena bisa jadi ia mendapatkan kemanfaatan dengan memanfaatkan upah tersebut hingga tahun depan.

dan keadaan yang kedua: yaitu ia menyewanya untuk berhaji atas nama orang yang telah wafat. Maka ini terbagi menjadi dua bentuk:

pertama: yaitu si penyewa melakukan itu sebagai bentuk ṭawwa‘ atas nama si mayit dari hartanya sendiri, bukan dari harta warisan si mayit. Maka si penyewa memiliki hak pilih antara tetap melanjutkan akad ijārah hingga tahun berikutnya atau membatalkannya; karena bisa jadi ia memperoleh kemanfaatan dari harta tersebut hingga tahun depan.


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَدِ اسْتَأْجَرَهُ مِنْ تَرِكَةِ الْمَيِّتِ فَلَيْسَ لَهُ فَسْخُ الْإِجَارَةِ وَعَلَيْهِ الصَّبْرُ إِلَى الْعَامِ الْمُقْبِلِ؛ لأنه ليس بقدر عَلَى اسْتِئْجَارِ مَنْ يَحُجُّ قَبْلَهُ وَلَا يَجُوزُ له الارتفاق بالمال إذا ارْتَجَعَهُ فَلَمْ يَكُنْ لِفَسْخِهِ مَعْنًى فَإِنْ خَافَ الْمُسْتَأْجِرُ فَلَيْسَ لِلْأَجِيرِ رَفْعُ أَمْرِهِ إِلَى الْحَاكِمِ لِيَتَوَلَّى فَسْخَ الْإِجَارَةِ لِحُكْمِهِ عَلَى حَسَبِ نَظَرِهِ وَاجْتِهَادِهِ فَعَلَى هَذَا لَوْ لَمْ يَعْلَمِ الْمُسْتَأْجِرُ حَالَ الْأَجِيرِ فِي تَأْخِيرِ الْحَجِّ حَتَّى يَحُجَّ في العام المقبل كان الحج واقع عَنِ الْمَحْجُوجِ عَنْهُ دُونَ الْأَجِيرِ وَاسْتَحَقَّ الْأَجِيرُ جَمِيعَ الْأُجْرَةِ الْمُسَمَّاةِ؛ لِأَنَّ الْإِجَارَةَ بِفَوَاتِ الْعَامِ الْمَاضِي لَمْ تَبْطُلْ فَكَانَ فِعْلُهُ مِنَ الْحَجِّ قَدْ تَنَاوَلَهُ عَقْدُ الْإِجَارَةِ فَاسْتَحَقَّ بِهِ جَمِيعَ الْأُجْرَةِ.
فَهَذَا الْكَلَامُ فِيهِ إِذَا عَيَّنَ لَهُ الْإِحْرَامَ فِي عَامٍ فَأَحْرَمَ فِي عَامٍ غَيْرِهِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مِنْ أَحْكَامِهِ.

Dan jenis kedua: yaitu apabila ia disewa dari harta peninggalan orang yang telah wafat, maka penyewa tidak memiliki hak untuk membatalkan akad ijārah, dan wajib bersabar hingga tahun berikutnya; karena ia tidak memiliki kemampuan untuk menyewa orang lain yang dapat berhaji sebelum orang yang disewa, dan tidak boleh baginya memanfaatkan harta tersebut apabila ia menarik kembali upahnya. Maka tidak ada makna untuk pembatalan ijārah.

Jika penyewa merasa khawatir, maka orang yang disewa tidak boleh mengangkat perkaranya kepada hakim untuk membatalkan ijārah, karena hal itu menjadi wewenang hakim sesuai pandangan dan ijtihadnya. Berdasarkan hal ini, jika penyewa tidak mengetahui keadaan orang yang disewa dalam keterlambatan ḥajj hingga ia berhaji pada tahun berikutnya, maka ḥajj itu berlaku atas nama orang yang dihajikan, bukan atas nama orang yang disewa, dan orang yang disewa berhak mendapatkan seluruh upah yang telah disepakati; karena ijārah tidak batal hanya karena terlewat tahun sebelumnya, maka pelaksanaan ḥajj yang ia lakukan tercakup dalam akad ijārah, dan ia berhak atas seluruh upahnya.

Inilah pembahasan tentang apabila seseorang menetapkan iḥrām pada satu tahun tertentu, lalu ia beriḥrām pada tahun lainnya, beserta hukum-hukum yang terkait dengannya.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْفَصْلُ الرَّابِعُ مِنَ الْفُصُولِ الْأَرْبَعَةِ وَهُوَ أَنْ يُعَيِّنَ لَهُ الْإِحْرَامَ عَنْ شَخْصٍ فَيُحْرِمَ عَنْ غَيْرِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَنْتَقِلَ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ إِلَى غَيْرِهِ بِالْعَقْدِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَنْتَقِلَ مِنْهُ إِلَى غَيْرِهِ بِالشَّرْعِ فَأَمَّا الضَّرْبُ الْأَوَّلُ وَهُوَ مَا انْتَقَلَ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ إِلَى غَيْرِهِ بِالْعَقْدِ وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

أَحَدُهُمَا: مَا انْتَقَلَ عَنْهُ بِالْعَقْدِ وَالْحُكْمِ جَمِيعًا وَهُوَ أَنْ يُحْرِمَ الْأَجِيرُ مُبْتَدِئًا عَنْ نَفْسِهِ أَوْ عَنْ أَجْنَبِيٍّ غَيْرِ مُسْتَأْجِرِهِ فَالْحَجُّ وَاقِعٌ عن الأجير أو عن من نَوَاهُ الْأَجِيرُ عَنْهُ دُونَ الْمُسْتَأْجِرِ وَيَكُونُ حَالُ الْأَجِيرِ فِي ذَلِكَ حَالَ مَنِ اسْتُؤْجِرَ لِيَحُجَّ فِي عَامٍ فَأَخَّرَهُ إِلَى غَيْرِهِ عَلَى مَا مَضَى.

PASAL
 Adapun pasal yang keempat dari empat pasal, yaitu seseorang menetapkan iḥrām untuknya atas nama seseorang, lalu ia berihram atas nama selainnya. Maka ini terbagi menjadi dua bentuk:

pertama: berpindah dari si penyewa kepada selainnya melalui akad.
 kedua: berpindah dari si penyewa kepada selainnya karena ketetapan syar‘i.

Adapun bentuk yang pertama, yaitu berpindah dari si penyewa kepada selainnya melalui akad, maka ini terbagi menjadi dua bentuk:

pertama: berpindah dari si penyewa melalui akad dan hukum sekaligus, yaitu ketika si ajīr memulai berihram atas nama dirinya sendiri atau atas nama orang lain yang bukan penyewanya. Maka haji itu berlaku atas nama si ajīr atau atas nama orang yang diniatkannya oleh si ajīr, bukan atas nama penyewanya. Dan keadaan si ajīr dalam hal ini seperti orang yang disewa untuk berhaji pada tahun tertentu lalu menundanya ke tahun lain, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا انْتَقَلَ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ إِلَى غَيْرِهِ بِالْعَقْدِ دُونَ الْحُكْمِ وَهُوَ أَنْ يُحْرِمَ الْأَجِيرُ مُبْتَدِئًا عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ ثُمَّ يَقْصِدُ صَرْفَ الْإِحْرَامِ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ إِلَى نَفْسِهِ أَوْ إِلَى أَجْنَبِيٍّ غَيْرِهِ فَالْحَجُّ وَاقِعٌ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ لِانْعِقَادِهِ عَنْهُ وَحْدَهُ.
الثَّانِي: غَيْرُ مُؤَثِّرٍ فِي انْتِقَالِهِ عَنْهُ لِأَنَّ الْحَجَّ إِذَا انْتَقَلَ عَنْ شَخْصٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْتَقِلَ بِالْقَصْدِ إِلَى غَيْرِهِ كَمَا إِذَا انْعَقَدَ الْإِحْرَامُ بِنُسُكٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْتَقِلَ إِلَى غَيْرِهِ إِذَا كَانَ الْحَجُّ وَاقِعًا عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ لِمَا ذَكَرْنَا فَهَلْ لِلْأَجِيرِ الْمُطَالَبَةُ بِالْأُجْرَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ ذَكَرَهُمَا فِي الْأُمِّ:

Jenis kedua: yaitu ketika berpindahnya (niat dan pelaksanaan) dari pihak penyewa kepada selainnya melalui akad, bukan semata-mata karena hukum. Yaitu apabila orang yang disewa memulai iḥrām-nya atas nama pihak penyewa, lalu ia berniat memalingkan iḥrām itu dari penyewa kepada dirinya sendiri atau kepada orang lain yang bukan penyewa. Maka ḥajj itu tetap berlaku atas nama penyewa, karena iḥrām-nya sejak awal telah dinisbahkan kepadanya secara mutlak.

Perbuatan berpaling itu tidak berpengaruh dalam memindahkannya dari penyewa; karena jika ḥajj telah dinisbahkan kepada seseorang, maka tidak sah dipindahkan kepada selainnya hanya dengan niat, sebagaimana apabila iḥrām telah dilakukan untuk satu nusuk, maka tidak boleh dialihkan kepada nusuk yang lain.

Jika ḥajj itu telah berlaku atas nama penyewa sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka apakah orang yang disewa berhak menuntut upah atau tidak?
 Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang disebutkan Imam al-Syafi‘i dalam kitab al-Umm:


أَحَدُهُمَا: لَا أُجْرَةَ لَهُ؛ لِأَنَّهُ أَتَى بِأَفْعَالِ الْحَجِّ عَنْ نَفْسِهِ دُونَ مُسْتَأْجِرِهِ وَإِنَّمَا انْصَرَفَ حُكْمًا إِلَى مُسْتَأْجِرِهِ، وَمَنْ عَمِلَ لِنَفْسِهِ فَصَرَفَهُ الْحُكْمُ إِلَى غَيْرِهِ لَمْ يَسْتَحِقَّ أُجْرَةَ عَمَلِهِ كَمَنْ عَمِلَ فِي مَعْدِنِ غَيْرِهِ بِإِذْنِهِ عَلَى أَنَّ مَا حَصَلَ بِعَمَلِهِ فَهُوَ هِبَةٌ لَهُ كَانَ جَمِيعُ مَا أَخَذَهُ بِعَمَلِهِ لِرَبِّ الْمَعْدِنِ دُونَهُ؛ لِأَنَّهَا هِبَةٌ مَجْهُولَةٌ وَلَا أُجْرَةَ لِلْعَامِلِ فِي عَمَلِهِ؛ لِأَنَّهُ عَمِلَ لِنَفْسِهِ كَذَلِكَ الْأَجِيرُ فِي الْحَجِّ.

Pertama: tidak ada upah baginya; karena ia telah melaksanakan amalan-amalan ḥajj untuk dirinya sendiri, bukan untuk pihak penyewa, meskipun hukum hasil ḥajj-nya diarahkan kepada pihak penyewa. Dan siapa pun yang bekerja untuk dirinya sendiri, lalu hukum hasil kerjanya diarahkan kepada orang lain, maka ia tidak berhak mendapat upah atas amalnya.

Seperti orang yang bekerja di tambang milik orang lain dengan izinnya, dengan syarat bahwa hasil dari kerjanya itu menjadi hibah untuknya—maka seluruh hasil dari kerja tersebut menjadi milik pemilik tambang, bukan milik pekerja; karena hibah tersebut tidak diketahui (tidak jelas), dan pekerja tidak berhak atas upah dari pekerjaannya itu, karena ia bekerja untuk dirinya sendiri.

Demikian pula halnya dengan orang yang disewa untuk ḥajj.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَهُ أُجْرَةٌ؛ لِأَنَّ الْمُسْتَأْجِرَ بَذَلَ الْأُجْرَةَ فِيمَا يَفْعَلُهُ عَنْهُ مِنْ أَعْمَالِ الْحَجِّ فَإِذَا حَصَلَ الْحَجُّ لَهُ لَزِمَهُ مِنَ الْعِوَضِ مَا بَذَلَهُ فَأَمَّا الْقَصْدُ فَلَمَّا لَمْ يُؤَثِّرُ فِي صَرْفِ الْحَجِّ لَمْ يُؤَثِّرْ فِي إِسْقَاطِ الْأُجْرَةِ.
وَأَمَّا الضرب الثاني: في الأصل وَهُوَ مَا انْتَقَلَ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ إِلَى غَيْرِهِ بالشرع دون العقد عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: مَا نَقَلَهُ الشَّرْعُ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ إِلَى غَيْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُعْتَدَّ بِهِ لِغَيْرِهِ وَذَلِكَ ضَرْبَانِ:

Pendapat kedua: ia (orang yang disewa) berhak mendapatkan upah; karena pihak penyewa telah memberikan upah untuk pekerjaan ḥajj yang dilakukan atas namanya. Maka ketika ḥajj itu benar-benar terjadi dan sah atas namanya, wajib baginya memberikan kompensasi atas apa yang telah ia serahkan.

Adapun niat, karena tidak berpengaruh dalam memindahkan pelaksanaan ḥajj, maka ia juga tidak berpengaruh dalam menggugurkan hak atas upah.

Adapun jenis kedua secara asal, yaitu berpindahnya pelaksanaan dari pihak penyewa kepada selainnya berdasarkan ketetapan syariat, bukan karena akad. Dan ini terbagi menjadi dua jenis:

Pertama: apa yang dipindahkan oleh syariat dari pihak penyewa kepada selainnya, namun tidak dianggap sebagai ḥajj atas nama selainnya. Dan ini terbagi lagi menjadi dua bagian:


أَحَدُهُمَا: مَا انْتَقَلَ بِالْفَسَادِ وَهُوَ أَنْ يَنْوِيَ الْإِحْرَامَ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ ثُمَّ يُفْسِدُهُ بِوَطْءٍ فَيَنْصَرِفَ الْإِحْرَامُ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ إِلَى الْأَجِيرِ شَرْعًا عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ.
وَالثَّانِي: مَا انْتَقَلَ بِالْفَوَاتِ وَهُوَ أَنْ يُحْرِمَ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ ثُمَّ يَفُوتَهُ الْحَجُّ بِفَوَاتِ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ إِمَّا لِخَطَأٍ فِي الْعَدَدِ أَوْ مَانِعٍ خَاصٍّ وينتقل الْإِحْرَامُ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ إِلَى الْأَجِيرِ شَرْعًا؛ لِأَنَّ الْعَقْدَ إِنَّمَا اقْتَضَى حَجًّا سَلِيمًا يَسْقُطُ بِهِ الْفَرْضُ فَإِذَا تَخَلَّلَهُ فَسَادٌ، أَوْ فَوَاتٌ لَمْ يَسْقُطِ الْفَرْضُ فَنَقَلَهُ الشَّرْعُ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ إِلَى الْأَجِيرِ وَعَلَى الْأَجِيرِ الْقَضَاءُ عَنْ نَفْسِهِ وَلَا أُجْرَةَ لَهُ.

pertama: yaitu berpindah karena fasād, yaitu ketika ia meniatkan iḥrām atas nama penyewa, lalu ia merusaknya dengan melakukan jima‘, maka iḥrām itu berpindah dari si penyewa kepada si ajīr secara syar‘i, sebagaimana akan disebutkan.

yang kedua: yaitu berpindah karena fawāt, yaitu ketika ia berihram atas nama penyewa lalu terlewat darinya pelaksanaan ḥajj karena tidak sempat melakukan wuqūf di ‘Arafah, baik karena salah hitung hari atau karena ada halangan tertentu, maka iḥrām berpindah dari si penyewa kepada si ajīr secara syar‘i; karena akad itu hanya mencakup pelaksanaan ḥajj yang sah yang dengannya gugur kewajiban, maka apabila terjadi kerusakan (fasād) atau terlewatnya waktu (fawāt), kewajiban tidak gugur, maka syariat memindahkannya dari si penyewa kepada si ajīr, dan wajib atas si ajīr untuk mengganti (qaḍā’) ḥajj itu atas nama dirinya sendiri, dan ia tidak berhak atas upah.


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا نَقَلَهُ الشَّرْعُ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ إِلَى غَيْرِهِ مَعَ الِاعْتِدَادِ بِهِ لِغَيْرِهِ وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

أَحَدُهُمَا: مَا نَقَلَهُ الشَّرْعُ بِالشَّكِّ الطَّارِئِ عَلَى الْإِحْرَامِ وَهُوَ أَنْ يُحْرِمَ الْأَجِيرُ ثُمَّ يَشُكَّ فَلَا يَعْلَمَ هَلْ أَحْرَمَ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ أَمْ عَنْ نَفْسِهِ أَوْ عَنْ أَجْنَبِيٍّ غَيْرِ مُسْتَأْجِرِهِ فَإِنَّ الْإِحْرَامَ يَنْصَرِفُ بِالشَّرْعِ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ إِلَى الْأَجِيرِ؛ لِأَنَّ الْعَقْدَ يَقْتَضِي إِحْرَامًا يُسْقِطُ الْفَرْضَ والشك لَا يَسْقُطُ الْفَرْضُ فَلِذَلِكَ مَا انْصَرَفَ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ إِلَى الْأَجِيرِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ تَيَقَّنَ الْأَجِيرُ بَعْدَ شَكِّهِ إِنْ كَانَ قَدْ أَحْرَمَ من مستأجره لم يخل حاله من أحل أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَتَيَقَّنَ ذَلِكَ بَعْدَ فِعْلِ شيء أَوْ قَبْلَ فِعْلِ شَيْءٍ مِنَ الْأَرْكَانِ فَإِنْ تَيَقَّنَ ذَلِكَ بَعْدَ فِعْلِ شَيْءٍ مِنَ الْأَرْكَانِ كَانَ الْحَجُّ وَاقِعًا عَنْهُ دُونَ الْمُسْتَأْجِرِ وَإِنْ تَيَقَّنَ ذَلِكَ قَبْلَ فِعْلِ شَيْءٍ مِنَ الْأَرْكَانِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jenis kedua: yaitu apa yang dipindahkan oleh syariat dari pihak penyewa kepada selainnya disertai dengan pengakuan (penghitungan) bahwa pelaksanaannya untuk selain penyewa. Ini terbagi menjadi dua:

Pertama: apa yang dipindahkan oleh syariat karena adanya keraguan yang muncul setelah iḥrām, yaitu bahwa orang yang disewa telah beriḥrām, lalu ia ragu dan tidak mengetahui apakah ia beriḥrām atas nama penyewa, atau atas nama dirinya sendiri, atau atas nama orang lain selain penyewa.

Maka iḥrām itu secara syar‘i berpindah dari penyewa kepada orang yang disewa, karena akad mengharuskan iḥrām yang dapat menggugurkan kewajiban, sedangkan keraguan tidak dapat menggugurkan kewajiban. Oleh karena itu, iḥrām itu berpindah dari penyewa kepada orang yang disewa.

Berdasarkan hal ini, apabila orang yang disewa yakin setelah keraguannya bahwa ia memang telah beriḥrām atas nama penyewanya, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

  • Jika ia yakin akan hal itu setelah melakukan salah satu dari rukun-rukun ḥajj, maka ḥajj itu berlaku atas dirinya sendiri, bukan atas penyewa.
  • Namun jika ia yakin sebelum melakukan salah satu dari rukun-rukun ḥajj, maka terdapat dua pendapat:


أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ وَلِلْأَجِيرِ جَمِيعُ الْأُجْرَةِ؛ لِأَنَّ حُدُوثَ الْيَقِينِ يَرْفَعُ حُكْمَ مَا تَقَدَّمَهُ مِنَ الشَّكِّ فَلَمْ يَكُنْ له تأثير ولا يعقبه فِعْلٌ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عَنِ الْأَجِيرِ وَلَا يَكُونَ حُدُوثُ الْيَقِينِ الرَّافِعِ لِلشَّكِّ نَاقِلًا لِلْإِحْرَامِ إِلَى الْمُسْتَأْجَرِ كَمَنْ أَحْرَمَ بِالصَّلَاةِ مُسَافِرًا ثُمَّ شَكَّ هَلْ نَوَى الْقَصْرَ أَوِ الْإِتْمَامَ لَزِمَهُ الْإِتْمَامُ فَلَوْ زَالَ الشَّكُّ وَتَيَقَّنَ أَنَّهُ نَوَى الْقَصْرَ لَمْ يَزُلْ حُكْمُ الْإِتْمَامِ كَذَلِكَ الْحَجُّ. وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا نَقَلَهُ الشَّرْعُ بِالتَّشْرِيكِ بَيْنَ الْمُسْتَأْجِرِ وَغَيْرِهِ وَهُوَ أَنْ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ أَوِ الْعُمْرَةِ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ وَعَنْ نَفْسِهِ فَإِنَّهُ يَكُونُ عَنْ نَفْسِهِ، لِأَنَّ النُّسُكَ الْوَاحِدَ لَا يَصِحُّ أَنْ يَقَعَ عَنْ شَخْصَيْنِ وَكَذَلِكَ لَوِ اسْتَأْجَرَهُ أَحَدُهُمَا لِحَجٍّ وَاسْتَأْجَرَهُ الْآخَرُ لِعُمْرَةٍ فَأَحْرَمَ قَارِنًا يَنْوِي بِالْحَجِّ أَحَدَهُمَا وَبِالْعُمْرَةِ الْآخَرَ لَمْ يُجْزِهِ ذَلِكَ عَنْ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَوَقَعَا مَعًا عَنْ نَفْسِهِ وَلَمْ يَسْتَحِقَّ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا شَيْئًا مِنَ الْأُجْرَةِ، لِأَنَّ حُكْمَ الْقِرَانِ حُكْمُ النُّسُكِ الْوَاحِدِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَقَعَ النُّسُكُ الْوَاحِدُ عَنْ شَخْصَيْنِ فَكَذَلِكَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَقَعَ الْقِرَانُ عَنْ شَخْصَيْنِ، فَلَوِ اسْتَأْجَرَهُ رَجُلٌ لِيَحُجَّ عَنْهُ فَأَحْرَمَ عَنْهُ بِحَجَّةٍ مُفْرَدَةٍ ثُمَّ أَدْخَلَ عَلَيْهَا لِنَفْسِهِ عُمْرَةً فَصَارَ قَارِنًا عَلَى أحد القولين أو أحرم من غيره بعمرة ثم أدخل عليه لِنَفْسِهِ حَجًّا قَارِنًا قَوْلًا وَاحِدًا فَإِنَّ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ يَقَعَانِ عَنْ نَفْسِهِ دُونَ مُسْتَأْجِرِهِ؛ لِأَنَّ مُدْخِلَ أَحَدِ النُّسُكَيْنِ عَلَى الْآخَرِ كَالْمُحْرِمِ بِهِمَا معاً والله أعلم.

pertama: yaitu bahwa nusuk itu atas nama penyewa, dan si ajīr berhak atas seluruh upah; karena munculnya keyakinan menghapus hukum keraguan sebelumnya, sehingga keraguan tersebut tidak berpengaruh dan tidak diikuti oleh amal apa pun.

wajah yang kedua: bahwa nusuk itu atas nama ajīr, dan munculnya keyakinan yang menghilangkan keraguan tidak memindahkan iḥrām kepada penyewa. Seperti orang yang memulai salat dalam keadaan safar lalu ragu apakah ia meniatkan qaṣr atau itmām, maka ia wajib menyempurnakan salatnya. Jika setelah itu keraguan hilang dan ia yakin bahwa ia telah meniatkan qaṣr, maka hukum itmām tidak gugur. Demikian pula dalam masalah ḥajj.

Adapun bentuk kedua: yaitu yang dipindahkan oleh syariat dengan bentuk penyertaan antara penyewa dan selainnya, yaitu seseorang berihram untuk ḥajj atau ‘umrah atas nama penyewa dan atas nama dirinya sendiri. Maka nusuk tersebut dianggap atas nama dirinya sendiri, karena satu nusuk tidak sah dilakukan atas nama dua orang. Begitu juga jika salah satu menyewanya untuk ḥajj dan yang lain untuk ‘umrah, lalu ia berihram qirān dengan meniatkan ḥajj untuk yang satu dan ‘umrah untuk yang lain, maka itu tidak mencukupi salah satu dari keduanya, dan keduanya jatuh atas nama dirinya sendiri, dan ia tidak berhak atas satu pun dari keduanya untuk menerima bagian upah; karena hukum qirān adalah hukum satu nusuk, dan tidak sah satu nusuk dilakukan atas nama dua orang. Maka begitu pula tidak sah qirān dilakukan atas nama dua orang.

Maka jika seseorang menyewanya untuk berhaji atas namanya, lalu ia berihram untuknya dengan ḥajj mufradah, kemudian ia menambahkan untuk dirinya ‘umrah, maka ia menjadi qārin menurut salah satu dari dua pendapat. Atau ia berihram sebelumnya dengan ‘umrah untuk orang lain, lalu ia menambahkan ḥajj untuk dirinya sendiri dan menjadi qārin menurut satu pendapat, maka sesungguhnya ḥajj dan ‘umrah itu jatuh atas nama dirinya, bukan atas nama penyewanya; karena orang yang memasukkan salah satu dari dua nusuk atas yang lainnya, sama seperti orang yang berihram dengan keduanya sekaligus. Dan Allah lebih mengetahui.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فإن أفسد حجه أفسد إجارته وعليه لِمَا أَفْسَدَ عَنْ نَفْسِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا أَفْسَدَ الْأَجِيرُ حَجَّهُ بِالْوَطْءِ. صَارَتِ الْحَجَّةُ عَلَى الْأَجِيرِ دُونَ مُسْتَأْجِرِهِ وَلَزِمَهُ إِتْمَامُهَا لِنَفْسِهِ وَإِنَّمَا صَارَتِ الْحَجَّةُ عَنْهُ وَإِنْ كَانَ قَدْ أَحْرَمَ بِهَا عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ؛ لِأَنَّ مُطْلَقَ إِذْنِهِ وَمَا يَقْتَضِيهِ مُوجَبُ عَقْدِهِ أَنْ يَحُجَّ عَنْهُ حَجًّا سَلِيمًا يَسْقُطُ بِهِ الْفَرْضُ فَإِذَا لَمْ يَفْعَلْ مَا يَقْتَضِيهِ مُطْلَقُ إِذْنِهِ صَارَ ذَلِكَ عَنْ نَفْسِهِ كَالْوَكِيلِ إِذَا وُكِّلَ فِي ابْتِيَاعِ شَيْءٍ فَخَالَفَ مُوَكِّلَهُ فِي الصِّفَةِ الَّتِي أَمَرَهُ صَارَ الشِّرَاءُ لِلْوَكِيلِ دُونَ الْمُوَكِّلِ كذلك الحج.

Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
 “Apabila ia merusak ḥajj-nya, maka rusak pula akad ijārah-nya, dan ia (orang yang disewa) wajib menanggung kerusakan itu atas dirinya sendiri.”

Al-Māwardī berkata:
 Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Syafi‘i—apabila orang yang disewa merusak ḥajj-nya karena bersetubuh, maka ḥajj tersebut menjadi tanggungannya sendiri, bukan atas penyewa, dan ia wajib menyempurnakannya untuk dirinya sendiri.

Dan ḥajj itu menjadi atas dirinya meskipun ia telah beriḥrām atas nama penyewa; karena izin mutlak dari penyewa dan konsekuensi dari akad ijārah itu adalah agar ia menunaikan ḥajj yang sah atas nama penyewa yang dapat menggugurkan kewajiban ḥajj. Maka ketika ia tidak melaksanakan sebagaimana yang dituntut oleh izin mutlak tersebut, ḥajj itu menjadi atas namanya sendiri.

Hal ini seperti seorang wakil yang diberi kuasa untuk membeli sesuatu, lalu ia menyelisihi pemberi kuasa dalam sifat (spesifikasi) yang diperintahkan, maka pembelian itu berlaku atas wakil, bukan atas pemberi kuasa—demikian pula dalam perkara ḥajj.

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنْ يَحُجَّ قَدِ انْتَقَلَ بِالْفَسَادِ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ إِلَى الْأَجِيرِ فَعَلَيْهِ الْمُضِيُّ فِي فساده، لأن فساد الْحَجِّ يُوجِبُ الْمُضِيَّ فِيهِ ثُمَّ عَلَيْهِ قَضَاءُ الْحَجِّ عَنْ نَفْسِهِ، لِأَنَّ قَضَاءَ فَاسِدِ الْحَجِّ وَاجِبٌ وَقَالَ أَبُو إِبْرَاهِيمَ الْمُزَنِيُّ فِي مَسَائِلِهِ الْمَنْثُورَةِ: لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُفْسِدْ حَجَّ نَفْسِهِ وَإِنَّمَا أَفْسَدَ حَجَّ غَيْرِهِ وَالْإِنْسَانُ لَا يَلْزَمُهُ قَضَاءُ حَجٍّ فَسَدَ عَلَى غَيْرِهِ وَهَذَا غَلَطٌ لِأَنَّا قَدْ دَلَّلْنَا عَلَى أَنَّ الْحَجَّ يَنْقَلِبُ بِالْفَسَادِ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ إِلَى الْأَجِيرِ وَإِذَا صَارَ الْحَجُّ عَنْهُ دُونَ مُسْتَأْجِرِهِ لَزِمَهُ قَضَاؤُهُ لِأَنَّهُ مَنْ أَفْسَدَ حَجَّهُ لَزِمَهُ الْقَضَاءُ.

Maka apabila telah dipastikan bahwa ḥajj telah berpindah karena fasād dari si penyewa kepada si ajīr, maka wajib atasnya untuk melanjutkan ḥajj yang telah rusak tersebut; karena fasād dalam ḥajj mewajibkan untuk tetap melanjutkannya. Kemudian, wajib atasnya untuk mengganti ḥajj tersebut atas nama dirinya sendiri, karena qaḍā’ atas ḥajj yang rusak adalah wajib.

Adapun Abū Ibrāhīm al-Muzanī dalam Masā’iluh al-Manthūrah berpendapat: tidak wajib atasnya mengganti; karena ia tidak merusak ḥajj dirinya sendiri, melainkan merusak ḥajj orang lain, dan seseorang tidak wajib mengganti ḥajj yang rusak atas nama orang lain. Pendapat ini adalah kesalahan, karena kami telah menjelaskan bahwa ḥajj berpindah dengan sebab fasād dari penyewa kepada si ajīr. Maka ketika ḥajj itu menjadi atas nama dirinya, bukan atas nama penyewanya, wajib atasnya untuk menggantinya; karena siapa yang merusak ḥajj-nya, wajib atasnya menggantinya.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ قَضَاءَ الْحَجِّ وَاجِبٌ عليه فلا يخلو حَالُ الْإِجَارَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ تكون معينة فِي الذِّمَّةِ فَإِنْ كَانَتْ مُعَيَّنَةً فَقَدْ بَطَلَتْ لِفَوَاتِ وَقْتِهَا وَإِنْ كَانَتْ فِي الذِّمَّةِ لَمْ تَبْطُلْ؛ لِأَنَّ الْعُقُودَ الْمُسْتَقِرَّةَ فِي الذِّمَمِ لَا تَبْطُلُ بِالتَّأْخِيرِ كَالسَّلَمِ فَإِنْ كَانَ الْحَجُّ عَنْ حَيٍّ كَانَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُقِيمَ عَلَى الْإِجَارَةِ وَبَيْنَ أَنْ يَفْسَخَ، فَإِنْ فَسَخَ كَانَ ذَلِكَ لَهُ وَعَلَى الْأَجِيرِ أَنْ يَحُجَّ قَضَاءً عَنْ نَفْسِهِ وَإِنْ أَقَامَ عَلَى الْإِجَارَةِ فَعَلَى الْأَجِيرِ أَنْ يُقَدِّمَ حَجَّ الْقَضَاءِ عَلَى حَجِّ الْإِجَارَةِ لِأَنَّ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَجُّ لَا يَجُوزُ أَنْ يُؤَدِّيَ عَنْ غَيْرِهِ الْحَجَّ فَإِنْ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ كَانَ وَاقِعًا عَنْ نَفْسِهِ وَحَجُّ الْإِجَارَةِ بَاقٍ فِي ذِمَّتِهِ؛ هَذَا إِنْ كَانَ الْحَجُّ عَنْ حَيٍّ فَأَمَّا إِنْ كَانَ الْحَجُّ عَنْ مَيِّتٍ فَعَلَى وَلِيِّهِ أَنْ يَفْسَخَ الْعَقْدَ وَيَسْتَرْجِعَ الْأُجْرَةَ لَيْسَتَأْجِرَ غَيْرَهُ فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ قُلْتُمْ إِنَّ الْأَجِيرَ لَوْ أَخَّرَ الْحَجَّ عَنِ الْمَيِّتِ فِي عَامِهِ لَمْ يَكُنْ لوليه فسخ الإجارة وأوجبتم هاهنا عَلَى وَلِيِّهِ أَنْ يَفْسَخَ الْإِجَارَةَ فَمَا الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا قُلْنَا الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْأَجِيرَ إِذَا أَخَّرَ الْحَجَّ عَنِ الْمَيِّتِ فِي عَامِهِ أَمْكَنَهُ أَنْ يَحُجَّ عَنِ الْمَيِّتِ فِي الْعَامِ الثَّانِي وَلَيْسَ حُكْمُ الْوَلِيِّ إِنْ فَسَخَ الْإِجَارَةَ أَنْ يَسْتَأْجِرَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ قَبْلَ ذَلِكَ فَلَمْ يكن لفسخه مع الْعَقْدِ مَعْنًى وَلَيْسَ كَذَلِكَ حَالُ الْأَجِيرِ إِذَا أَفْسَدَ حَجَّهُ؛ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُهُ أَنْ يَحُجَّ عَنِ الْمَيِّتِ فِي الْعَامِ الثَّانِي لِأَجْلِ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ مِنَ الْقَضَاءِ بِالْإِفْسَادِ وَيُمْكِنُ لِلْوَلِيِّ أَنْ يَسْتَأْجِرَ مَنْ يَحُجُّ عَنِ الْمَيِّتِ فِي الْعَامِ الثَّانِي وَإِذَا أَمْكَنَ تَقْدِيمُ الْحَجِّ عَنِ الْمَيِّتِ لَمْ يَجُزْ تَأْخِيرُهُ لِذَلِكَ مَا افْتَرَقَ حكمهما والله أعلم.

PASAL:
 Apabila telah tetap bahwa qaḍā’ ḥajj wajib atasnya (yakni orang yang disewa), maka keadaan akad ijārah tidak lepas dari salah satu dari dua kemungkinan:

  • Jika akad itu bersifat mu‘ayyanah (ditentukan waktunya), maka batal karena waktunya telah lewat.
  • Namun jika akad itu fī al-dzimmah (di dalam tanggungan), maka tidak batal; karena akad-akad yang sudah tetap dalam tanggungan tidak batal hanya karena keterlambatan, seperti halnya akad salam.

Apabila ḥajj itu atas nama orang hidup, maka ia (orang yang menyewa) memiliki pilihan antara tetap melanjutkan akad ijārah atau membatalkannya.
 Jika ia membatalkan, maka itu adalah haknya, dan orang yang disewa wajib berhaji qaḍā’ untuk dirinya sendiri.
 Namun jika ia tetap melanjutkan akad ijārah, maka orang yang disewa wajib mendahulukan ḥajj qaḍā’-nya atas ḥajj ijārah-nya; karena siapa yang wajib atasnya ḥajj, tidak boleh menunaikan ḥajj untuk orang lain.

Jika ia beriḥrām untuk ḥajj atas nama penyewa, maka ḥajj itu berlaku atas dirinya sendiri, dan ḥajj ijārah masih tetap menjadi tanggungannya.

Ini jika ḥajj itu atas nama orang hidup.
 Adapun jika ḥajj itu atas nama orang yang telah wafat, maka wajib atas wali si mayit untuk membatalkan akad dan menarik kembali upah agar ia dapat menyewa orang lain untuk menghajikan si mayit.

Jika dikatakan: “Bukankah kalian telah menyatakan bahwa jika orang yang disewa menunda ḥajj atas nama mayit di tahun tersebut, maka walinya tidak berhak membatalkan akad ijārah?”
 Dan sekarang kalian mewajibkan pembatalan akad atas wali, maka apa perbedaan antara keduanya?

Kami katakan: perbedaannya adalah, apabila orang yang disewa menunda ḥajj atas nama mayit di tahun tersebut, maka masih memungkinkan baginya untuk menghajikan si mayit di tahun berikutnya, dan wali si mayit tidak mungkin menyewa orang lain untuk menghajikan sebelum waktu itu, sehingga pembatalan akad pada saat itu tidak ada maknanya.

Namun tidak demikian halnya apabila orang yang disewa merusak ḥajj-nya; karena tidak mungkin baginya menghajikan si mayit di tahun berikutnya disebabkan kewajiban qaḍā’ atas dirinya karena kerusakan ḥajj tersebut.

Sedangkan wali si mayit bisa menyewa orang lain yang bisa menghajikan si mayit pada tahun berikutnya.
 Maka jika memungkinkan untuk mendahulukan ḥajj atas nama si mayit, tidak boleh ditunda.

Inilah perbedaan hukum antara keduanya.
 Wallāhu a‘lam.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو لَمْ يُفْسِدْ فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُتِمَّ الْحَجَّ فله بقدر عمله ولا يحرم عن رجلٍ إلا من قد حج مرة “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ مَنِ اسْتُؤْجِرَ لِيَحُجَّ عَنْ مَيِّتٍ فَمَاتَ لَمْ تَخْلُ حَالُ مَوْتِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: إِمَّا أَنْ يَمُوتَ قَبْلَ الْإِحْرَامِ أَوْ يَمُوتَ بَعْدَ كَمَالِ الْأَرْكَانِ، أَوْ يَمُوتَ بَعْدَ الْإِحْرَامِ وَقَبْلَ كمال الأركان.

Masalah
 Imam asy-Syafi‘i RA berkata: “Seandainya ia tidak merusak (haji), lalu wafat sebelum menyempurnakan haji, maka ia berhak atas upah sesuai kadar amalnya. Dan tidak boleh berihram untuk seseorang kecuali orang yang telah menunaikan haji sekali.”

Al-Mawardi berkata: Ini adalah pendapat yang benar. Rinciannya adalah bahwa orang yang disewa untuk menghajikan orang yang telah wafat, lalu ia sendiri wafat, maka keadaan wafatnya tidak lepas dari tiga bagian:
 yaitu wafat sebelum iḥrām,
 atau wafat setelah sempurna seluruh rukun,
 atau wafat setelah iḥrām namun sebelum sempurna seluruh rukun.


فأما القسم الأول: وهو أن يموت قبل الإحرام فعلى وجهين:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَمُوتَ قَبْلَ التَّوَجُّهِ فِي سَفَرِهِ وَقَبْلَ الْحُصُولِ بِمِيقَاتِهِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يستحق بسفره شيئاً عن الْأُجْرَةِ؛ لِأَنَّ قَطْعَ الْمَسَافَةِ إِنَّمَا يُرَادُ لِلْعَمَلِ فَإِذَا لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِ عَمَلٌ لَمْ يَسْتَحِقَّ عَلَيْهِ عِوَضًا أَلَا تَرَى أَنَّ مَنِ اسْتُؤْجِرَ لِبِنَاءِ حَائِطٍ فَجَمَعَ الْآلَةَ لِلْبِنَاءِ ثُمَّ لَمْ يَبْنِ لَمْ يَسْتَحِقَّ شَيْئًا مِنَ الْأُجْرَةِ لِعَدَمِ الْمَقْصُودِ بِالْعَقْدِ كَذَلِكَ الْإِجَارَةُ عَلَى الْحَجِّ، وَقَدْ خُرِّجَ قَوْلٌ آخَرُ إِنَّ لَهُ مِنَ الأجرة بقدر المسافة مخرج مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْأُجْرَةِ هَلْ تَتَقَسَّطُ عَلَى الْمَسَافَةِ وَالْعَمَلِ أَمْ لَا وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ الْمَسَافَةَ إِنَّمَا تَتَقَسَّطُ الْأُجْرَةُ عَلَيْهَا عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ إِذَا اقْتَرَنَ بِهَا الْعَمَلُ الْمَقْصُودُ فَأَمَّا إِذَا لَمْ يَقْتَرِنْ بِهَا الْعَمَلُ فَلَا تَتَقَسَّطُ عَلَيْهَا الْأُجْرَةُ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّ بِذَلِكَ شَيْئًا مِنَ الْأُجْرَةِ نُظِرَ فِي الْإِجَارَةِ فَإِنْ كَانَتْ مُعَيَّنَةً بَطَلَتْ وَإِنْ كَانَتْ فِي الذمة لم تبطل.

Adapun bagian pertama: yaitu apabila ia wafat sebelum iḥrām, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: apabila ia wafat sebelum memulai perjalanan dan sebelum sampai di mīqāt-nya, maka menurut mazhab al-Syāfi‘ī, ia tidak berhak atas sedikit pun dari upah, karena menempuh jarak perjalanan itu hanya dimaksudkan untuk pelaksanaan amal. Maka apabila perjalanan tersebut tidak disertai amal, tidak ada kompensasi yang berhak ia terima. Tidakkah engkau melihat bahwa seseorang yang disewa untuk membangun tembok, lalu ia hanya mengumpulkan peralatan bangunan tanpa membangunnya, maka ia tidak berhak sedikit pun dari upah karena tidak tercapainya tujuan dari akad tersebut? Demikian pula halnya dengan ijārah atas ibadah haji.

Namun, ada pendapat lain yang disimpulkan dari perbedaan dua pendapat al-Syāfi‘ī tentang upah: apakah upah dibagi secara proporsional antara jarak dan pekerjaan atau tidak? Menurut pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, ia berhak atas upah sesuai dengan jarak yang telah ditempuh. Tapi ini tidak sahih, karena jarak hanya dibagi secara proporsional dengan upah berdasarkan salah satu dari dua pendapat itu apabila disertai dengan amal yang menjadi tujuan. Adapun jika tidak disertai amal, maka upah tidak dibagi atas dasar jarak tersebut.

Apabila telah ditetapkan bahwa ia tidak berhak atas sedikit pun dari upah tersebut, maka dilihat keadaan akad ijārah-nya: apabila ijārah tersebut bersifat mu‘ayyan (ditentukan waktunya), maka batal; dan apabila dalam żimmah (tanggungan), maka tidak batal.


والوجه الثَّانِي: أَنْ يَمُوتَ بَعْدَ التَّوَجُّهِ فِي سَفَرِهِ وَبَعْدَ مُجَاوَزَةِ مِيقَاتِهِ وَقَبْلَ الْإِحْرَامِ بِنُسُكِهِ فَالْكَلَامُ فِي اسْتِحْقَاقِ الْأُجْرَةِ بِسَفَرِهِ عَلَى مَا مَضَى لَكِنْ قَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ وَجَبَ عَلَيْهِ لِمُجَاوَزَةِ الْمِيقَاتِ دَمٌ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: قَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ دَمٌ فِي مَالِهِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ جَاوَزَ الْمِيقَاتَ مُرِيدًا الْإِحْرَامَ كَالْحَيِّ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ لَا دَمَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ مُجَاوَزَةَ الْمِيقَاتِ إِنَّمَا يَجِبُ بِهَا الدَّمُ إِذَا تَعَقَّبَهَا الْإِحْرَامُ وَالْمَوْتُ قَاطِعٌ عَنِ الْإِحْرَامِ فَصَارَ كَمَنْ مَرَّ بِمِيقَاتِهِ مُرِيدًا الْحَجَّ فَلَمْ يُحْرِمْ فِي عَامِهِ وَلَا دَخَلَ مَكَّةَ بَعْدَ مُجَاوَزَتِهِ فَهَذَا الْكَلَامُ فِيمَا إِذَا مَاتَ قَبْلَ الْإِحْرَامِ.

Adapun pendapat kedua: yaitu apabila ia wafat setelah memulai perjalanan dan setelah melewati mīqāt-nya, namun sebelum iḥrām dengan nusuk-nya, maka pembahasan tentang haknya atas upah karena perjalanannya sama sebagaimana yang telah lalu. Namun para sahabat kami berbeda pendapat: apakah karena melewati mīqāt ia wajib menunaikan dam atau tidak? Terdapat dua pendapat:

Pertama: ia wajib menunaikan dam dari hartanya, karena ia telah melewati mīqāt dengan niat untuk iḥrām, seperti halnya orang yang masih hidup.

Dan pendapat kedua –dan inilah yang sahih–: tidak wajib atasnya dam, karena melewati mīqāt itu hanya mewajibkan dam apabila diikuti oleh iḥrām, sedangkan kematian merupakan penghalang dari iḥrām. Maka keadaannya seperti seseorang yang melewati mīqāt-nya dengan niat untuk berhaji, namun tidak iḥrām pada tahun itu dan tidak pula masuk Makkah setelah melewatinya.

Demikianlah pembahasan dalam hal apabila ia wafat sebelum iḥrām.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: فِي الْأَصْلِ وَهُوَ أَنْ يَمُوتَ بَعْدَ الْإِحْرَامِ وَبَعْدَ كَمَالِ الْأَرْكَانِ فَقَدْ سَقَطَ فَرْضُ الْحَجِّ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ وَاسْتَحَقَّ الْأَجِيرُ الْأُجْرَةَ لِإِتْيَانِهِ بِالْأَعْمَالِ الْمَقْصُودَةِ فَأَمَّا الْبَاقِي مِنْ مَنَاسِكِ الْحَجِّ كَالرَّمْيِ وَالْمَبِيتِ بِمِنًى وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ سُنَنِ الْحَجِّ فَضَرْبَانِ:

PASAL
 Adapun bagian kedua pada asalnya, yaitu apabila ia wafat setelah iḥrām dan setelah menyempurnakan seluruh rukun, maka gugurlah kewajiban haji dari pihak penyewa, dan berhaklah si pekerja (ajir) atas upahnya karena telah melaksanakan amalan-amalan yang menjadi maksud utama.

Adapun sisa dari manasik haji seperti melempar jumrah, mabit di Mina, dan selainnya dari sunnah-sunnah haji, maka terbagi menjadi dua bagian:


أَحَدُهُمَا: مَا لَمْ يَجِبْ بِتَرْكِهِ دَمٌ وَإِنْ كَانَ مَأْمُورًا بِهِ كَالْمَبِيتِ بِمُزْدَلِفَةَ وَمِنًى إِذَا جَعَلْنَا الدَّمَ فِيهِ مُسْتَحَبًّا فَهَذَا الْحَجُّ فِيهِ مُجْزِئٌ وَيَسْتَرْجِعُ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقِسْطِ مَا تَرَكَ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا يُوجِبُ دَمًا فَفِي مَالِ الْأَجِيرِ الدَّمُ الْوَاجِبُ فِي تَرْكِهِ ذَلِكَ وَهَلْ يَسْتَرْجِعُ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقِسْطِ هَذِهِ الْأَعْمَالِ الْبَاقِيَةِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي رَدِّ الْأُجْرَةِ بِتَرْكِ مَا أَوْجَبَ دَمًا فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ تُرَدُّ قَوْلًا وَاحِدًا وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ عَلَى قَوْلَيْنِ.

Pertama: apabila hal yang ditinggalkan tidak mewajibkan dam, meskipun ia diperintahkan untuk melakukannya, seperti mabit di Muzdalifah dan Mina apabila kita menganggap dam dalam hal itu hukumnya mustaḥabb, maka hajinya tetap sah, dan ia berhak menerima kembali bagian upah sesuai bagian amal yang ditinggalkannya.

Jenis kedua: apabila hal yang ditinggalkan mewajibkan dam, maka dam yang wajib karena hal itu menjadi tanggungan pihak ajīr. Adapun apakah ia harus mengembalikan bagian upah yang sesuai dengan amal-amal yang ditinggalkan tersebut, maka kembali kepada perbedaan pendapat di kalangan sahabat kami dalam hal pengembalian upah karena meninggalkan sesuatu yang mewajibkan dam. Di antara mereka ada yang mengatakan: harus dikembalikan secara qaulan wāḥidan (tanpa perbedaan pendapat). Dan sebagian mereka mengatakan: ada dua pendapat dalam hal ini.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَمُوتَ بَعْدَ الْإِحْرَامِ وَقَبْلَ كَمَالِ الْأَرْكَانِ كَأَنَّهُ أَحْرَمَ وَأَتَى بِبَعْضِ الْأَرْكَانِ وَبَقِيَ بَعْضُهَا ثُمَّ مَاتَ قَبْلَ إِكْمَالِهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ الْإِجَارَةُ معنية.
وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ فِي الذِّمَّةِ. فَأَمَّا الضَّرْبُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الْإِجَارَةُ مُعَيَّنَةً فَقَدْ بَطَلَتْ فِيمَا بَقِيَ مِنَ الْأَرْكَانِ فَأَمَّا الْمَاضِي مِنْهَا فَثَوَابُهُ لِلْمُسْتَأْجِرِ دُونَ الْأَجِيرِ لِأَنَّ الْمَوْتَ لَمْ يَنْقُلِ الْإِحْرَامَ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ إِلَى الْأَجِيرِ وهل يستحق الأجير من الأجرة يقسط مَا عَمِلَ مِنَ الْأَرْكَانِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

PASAL
 Adapun bagian ketiga, yaitu apabila ia wafat setelah iḥrām dan sebelum menyempurnakan seluruh rukun, seperti seseorang yang telah berihram dan menunaikan sebagian dari rukun, lalu tersisa sebagian lainnya, kemudian ia wafat sebelum menyempurnakannya, maka ini terbagi menjadi dua keadaan:

Pertama: bahwa akad ijārah bersifat tertentu.
 Kedua: bahwa ia berupa tanggungan dalam żimmah.

Adapun keadaan pertama, yaitu ijārah yang tertentu, maka akadnya batal untuk rukun-rukun yang tersisa. Adapun amalan yang telah lalu, maka pahalanya untuk penyewa (musta’jir), bukan untuk si pekerja (ajīr), karena kematian tidak memindahkan status iḥrām dari musta’jir kepada ajīr.

Lalu apakah ajīr berhak atas upah yang disesuaikan dengan bagian rukun yang telah ia kerjakan atau tidak? Maka terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِيِ الْقَدِيمِ لَا يَسْتَحِقُّ مِنَ الْأُجْرَةِ شَيْئًا وَوَجْهُ ذَلِكَ أَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْإِجَارَةِ إِسْقَاطُ الْفَرْضِ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ وَمَوْتُهُ قَبْلَ كمال الأركان غير مقسط لِلْفَرْضِ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ فَلَمْ يَسْتَحِقَّ الْأُجْرَةَ وَلَا شَيْئًا مِنْهَا لِعَدَمِ الْمَقْصُودِ بِهَا وَكَانَ كَمَنْ قَالَ لِغَيْرِهِ إِنْ جِئْتَنِي بِعَبْدِي الْآبِقِ فَلَكَ دِينَارٌ فَجَاءَ بِهِ بَعْضَ الْمَسَافَةِ ثُمَّ هَرَبَ أو مات لم يستحق من العرض شَيْئًا وَإِنْ عَمِلَ بَعْضَ الْعَمَلِ لِفَوَاتِ الْمَقْصُودِ وَهُوَ رَدُّ الْآبِقِ كَذَلِكَ مَوْتُ الْأَجِيرِ فِي الْحَجِّ قَبْلَ كَمَالِ أَرْكَانِ الْحَجِّ.

Pertama: dan ini adalah pendapatnya dalam qaul qadīm, bahwa ia tidak berhak atas sedikit pun dari upah. Alasannya adalah karena tujuan dari akad ijārah adalah menggugurkan kewajiban fardhu dari pihak musta’jir, sedangkan wafatnya ajīr sebelum sempurnanya rukun-rukun haji tidak menggugurkan kewajiban fardhu dari pihak musta’jir, maka ia tidak berhak atas upah dan tidak pula atas sebagian darinya karena tidak tercapainya tujuan dari akad tersebut.

Keadaannya seperti seseorang yang berkata kepada orang lain: “Jika engkau membawakan aku budakku yang melarikan diri, maka engkau mendapat satu dinar.” Lalu orang itu membawanya dalam sebagian perjalanan, kemudian budak itu melarikan diri atau meninggal. Maka ia tidak berhak atas bagian dari upah tersebut sedikit pun, meskipun telah mengerjakan sebagian pekerjaan, karena tujuan utamanya —yaitu mengembalikan budak yang lari— tidak tercapai. Demikian pula wafatnya ajīr dalam haji sebelum sempurnanya rukun-rukun haji.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهُ يَسْتَحِقُّ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقِسْطِ مَا عَمِلَ، لِأَنَّ الْأُجْرَةَ مُقَسَّطَةٌ عَلَى الْأَعْمَالِ الْمَقْصُودَةِ وَهِيَ أَرْكَانُ الْحَجِّ وَمَنَاسِكُهُ كَالْإِجَارَةِ عَلَى بِنَاءِ حَائِطٍ أَوْ خِيَاطَةِ ثَوْبٍ بِتَقْسِيطِ الْأُجْرَةِ فِيهِ عَلَى أَجْزَائِهِ فَلَوْ مَاتَ الْأَجِيرُ بَعْدَ عَمَلِ بَعْضِهِ اسْتَحَقَّ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقِسْطِهِ كَذَلِكَ الْإِجَارَةُ عَلَى الْحَجِّ وَلَا يُشْبِهُ ذَلِكَ الْجَعَالَةَ لِأَنَّ عَقْدَ الْإِجَارَةِ لَازِمٌ فَتَقَسَّطَتِ الْأُجْرَةُ عَلَى الْأَعْمَالِ وَالْجَعَالَةُ غَيْرُ لَازِمَةٍ فَاسْتَحَقَّ الْعِوَضَ فِيهَا بِعَمَلِ الْمَقْصُودِ وَلَمْ تَتَقَسَّطْ عَلَى الْأَعْمَالِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يَسْتَحِقُّ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقِسْطِ مَا عَمِلَ فَهَلْ تَكُونُ الْأُجْرَةُ مُقَسَّطَةً عَلَى الْمَسَافَةِ وَالْعَمَلِ أَمْ تَكُونُ مُقَسَّطَةً عَلَى الْعَمَلِ دُونَ الْمَسَافَةِ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Pendapat kedua—dan inilah yang ṣaḥīḥ, serta dinyatakan dalam pendapat jadīd—bahwa ajīr berhak atas upah yang sebanding dengan bagian pekerjaan yang telah ia laksanakan. Karena upah itu terbagi sesuai amalan-amalan yang menjadi tujuan, yaitu rukun-rukun haji dan manasiknya, sebagaimana akad ijārah untuk membangun tembok atau menjahit baju, yang mana upahnya dibagi atas bagian-bagian pekerjaan tersebut. Maka jika seorang ajīr wafat setelah menyelesaikan sebagian pekerjaan, ia berhak atas upah yang sepadan dengannya. Demikian pula halnya ijārah untuk haji.

Hal ini tidak serupa dengan ju‘ālah, karena akad ijārah adalah akad yang mengikat, sehingga upah terbagi atas pekerjaan. Sedangkan ju‘ālah bukan akad yang mengikat, maka kompensasi (ʿiwaḍ) hanya berhak didapat setelah menyelesaikan seluruh pekerjaan yang dimaksud, dan tidak terbagi atas bagian-bagian pekerjaan.

Maka, jika telah tetap bahwa ia berhak atas upah sesuai bagian pekerjaan yang telah ia lakukan, timbullah pertanyaan: apakah upah itu dibagi berdasarkan jarak perjalanan dan pekerjaan, atau hanya berdasarkan pekerjaan tanpa memperhitungkan jarak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: إِنَّهَا تُقَسَّطُ عَلَيْهِمَا فَيَكُونُ لَهُ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقَدْرِ سَفَرِهِ وَعَمَلِهِ، لِأَنَّ مَا لَا يُتَوَصَّلُ إِلَى الْمَقْصُودِ إِلَّا بِهِ فَهُوَ مَقْصُودٌ فِي نَفْسِهِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهَا تُقَسَّطُ عَلَى الْعَمَلِ دُونَ الْمَسَافَةِ فَيَكُونُ لَهُ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقِسْطِ عَمَلِهِ دُونَ سَفَرِهِ وَالْأَوَّلُ أَظْهَرُ عِنْدِي.
وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الْإِجَارَةُ فِي الذِّمَّةِ فَلَا تَبْطُلُ بِمَوْتِ الْأَجِيرِ لَكِنْ قَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ هَلْ يَجُوزُ لِغَيْرِهِ الْبِنَاءُ عَلَى عَمَلِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ يَجُوزُ لِغَيْرِهِ الْبِنَاءُ عَلَى عَمَلِهِ، وَوَجْهُ ذَلِكَ شَيْئَانِ:

Pertama: bahwa upah itu dibagi secara proporsional antara perjalanan dan amal, maka ia berhak atas bagian upah sesuai dengan perjalanan dan amal yang telah dilakukannya. Karena sesuatu yang tidak dapat ditempuh tujuan kecuali dengannya, maka ia pun termasuk tujuan itu sendiri.

Pendapat kedua: bahwa upah hanya dibagi berdasarkan amal, bukan perjalanan, sehingga ia hanya berhak atas bagian upah sesuai amal yang telah ia kerjakan, tidak termasuk perjalanan, dan pendapat pertama lebih kuat menurutku.

Adapun jenis kedua: yaitu apabila akad ijārah itu dalam bentuk żimmah, maka tidak batal dengan wafatnya ajīr. Namun, terdapat perbedaan pendapat dari al-Syāfi‘ī: apakah boleh orang lain melanjutkan pekerjaan berdasarkan apa yang telah dilakukan oleh ajīr tersebut atau tidak? Terdapat dua pendapat:

Pertama: dan ini adalah pendapatnya dalam qaul qadīm, bahwa boleh bagi orang lain untuk melanjutkan pekerjaan di atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh ajīr. Alasan dari pendapat ini ada dua:


أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَقْصُودَ إِكْمَالُ الْأَرْكَانِ لِيَسْقُطَ بِهَا الْفَرْضُ فَلَمْ يَفْتَرِقِ الْحَالُ بَيْنَ أَنْ يُكْمِلَهَا شَخْصٌ وَاحِدٌ أَوْ شَخْصَانِ.
وَالشَّيْءُ الثَّانِي: أَنَّ الْحَجَّ قَدْ يَكْمُلُ لِشَخْصَيْنِ أَلَا تَرَى أَنَّ حَجَّ الصَّبِيِّ قَدْ يَكْمُلُ لِشَخْصَيْنِ، لِأَنَّ وَلَيَّهُ يُحْرِمُ عَنْهُ ثُمَّ يَأْتِي الصَّبِيُّ بِبَاقِي الْأَرْكَانِ بِنَفْسِهِ كَذَلِكَ الْأَجِيرُ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهُ لَا يَجُوزُ لِغَيْرِهِ الْبِنَاءُ عَلَى عَمَلِهِ، وَوَجْهُ ذَلِكَ شَيْئَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْحَجَّ عِبَادَةٌ يَفْسُدُ أَوَّلُهَا بِفَسَادِ آخِرِهَا فَلَمْ يَجُزْ إِكْمَالُهَا بِشَخْصَيْنِ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ.

وَالشَّيْءُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَوْ جَازَ لِغَيْرِهِ الْبِنَاءُ عَلَى عَمَلِهِ مَيِّتًا لَجَازَ لِغَيْرِهِ الْبِنَاءُ عَلَى عَمَلِهِ حَيًّا فَلَمَّا لَمْ يَجُزِ الْبِنَاءُ عَلَى عَمَلِ الْأَجِيرِ إِذَا كَانَ حَيًّا لَمْ يَجُزِ الْبِنَاءُ عَلَى عَمَلِهِ إِذَا كَانَ مَيِّتًا.

Pendapat pertama: bahwa yang menjadi tujuan adalah penyempurnaan rukun-rukun agar gugur kewajiban haji, sehingga tidak ada perbedaan antara disempurnakannya oleh satu orang atau dua orang.

Hal kedua: bahwa haji bisa saja sempurna melalui dua orang. Tidakkah engkau melihat bahwa haji seorang anak kecil bisa sempurna dengan dua orang, karena walinya yang melakukan iḥrām atas namanya, kemudian si anak menyempurnakan rukun-rukun haji lainnya sendiri. Maka demikian pula dalam kasus ajīr.

Pendapat kedua: dinyatakan dalam pendapat jadīd, bahwa tidak boleh orang lain menyempurnakan (haji) atas dasar pekerjaan yang telah dilakukan ajīr. Dalilnya ada dua hal:

Pertama: bahwa haji adalah ibadah yang rusak bagian awalnya dengan kerusakan bagian akhirnya. Maka tidak boleh disempurnakan oleh dua orang, sebagaimana halnya salat dan puasa.

Kedua: bahwa seandainya boleh orang lain menyempurnakan atas pekerjaan seseorang yang telah wafat, niscaya juga boleh menyempurnakan atas pekerjaan orang yang masih hidup. Maka ketika tidak dibolehkan menyempurnakan atas pekerjaan ajīr yang masih hidup, maka tidak boleh pula menyempurnakan atas pekerjaan ajīr yang telah wafat.


فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَانِ الْقَوْلَانِ فَإِنْ قُلْنَا بِقَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهُ لَا يَجُوزُ لِغَيْرِهِ الْبِنَاءُ عَلَى عَمَلِهِ فَالْوَاجِبُ أَنْ يُسْتَأْجَرَ مِنْ تَرِكَتِهِ مَنْ يَسْتَأْنِفُ الْإِحْرَامَ بِالْحَجِّ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ وَعَلَى الْمُسْتَأْجِرِ الْأُجْرَةُ الْمُسَمَّاةُ لِوَرَثَةِ الْأَجِيرِ وَلَا شَيْءَ لِلْأَجِيرِ فِيمَا عَمِلَهُ بِنَفْسِهِ لِأَنَّهُ لَمْ يَقَعْ به اعتداد ولا يسقط بِهِ فَرْضٌ وَإِنْ قُلْنَا بِقَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ إِنَّهُ يَجُوزُ لِغَيْرِهِ الْبِنَاءُ عَلَى عَمَلِهِ نُظِرَ فَإِنْ مَاتَ الْأَجِيرُ قَبْلَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ اسْتُؤْجِرَ مَنْ يَسْتَأْنِفُ عَنْهُ الْإِحْرَامَ بِالْحَجِّ وَيَقِفُ بِعَرَفَةَ لِأَنَّ الْوُقُوفَ بِعَرَفَةَ لَا يُعْتَدُّ بِهِ إِلَّا بَعْدَ تَقَدُّمِ الْإِحْرَامِ عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَ الْأَجِيرُ قَدْ سَعَى قَبْلَ عَرَفَةَ لَمْ يُعِدِ النَّائِبُ عَنْهُ السَّعْيَ بَعْدَ عَرَفَةَ لِأَنَّهُ يَبْنِي عَلَى عَمَلِهِ وَيَأْتِي فِيهِ بِبَاقِيهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ سَعَى قَبْلَ عَرَفَةَ فَعَلَى النَّائِبِ عَنْهُ أَنْ يَسْعَى بَعْدَ عَرَفَةَ وَبَعْدَ الطَّوَافِ وَيَأْتِيَ بِبَاقِي الْمَنَاسِكِ مِنَ الرَّمْيِ وَالْمَبِيتِ وَإِنْ مَاتَ الْأَجِيرُ بَعْدَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ وَقَبْلَ الطَّوَافِ وَالسَّعْيِ أَحْرَمَ النَّائِبُ عَنْهُ وَأَتَى بِأَعْمَالِ الْعُمْرَةِ وَسَوَاءٌ كَانَ النَّائِبُ عَنْهُ وَارِثًا أَوْ أَجْنَبِيًّا مُسْتَأْجَرًا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ إِلَّا مُحِلًّا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ لِأَنَّ الْمُحْرِمَ لَا يَصِحُّ عَنْهُ الْإِحْرَامُ عن غيره فإن قبل فَكَيْفَ تَكُونُ نِيَّتُهُ فِي إِحْرَامِهِ قِيلَ لَا يجوز أن ينوي الإحرام بالحج لأن لا يَلْزَمُهُ الْإِتْيَانُ بِجَمِيعِ أَرْكَانِ الْحَجِّ وَمَنَاسِكِهِ وَلَا يَنْوِي الْإِحْرَامَ بِالْعُمْرَةِ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ مِنَ الْحَجِّ وَلَا يُجْزِئُ عَنْ شَيْءٍ مِنْ أَرْكَانِهِ وَلَكِنْ يَنْوِي الْإِحْرَامَ لِمَا بَقِيَ عَلَى الْأَجِيرِ مِنْ أَرْكَانِ الْحَجِّ لِأَنَّهُ يَقُومُ مَقَامَهُ فِي إِتْمَامِ بَاقِيهِ.

PASAL
 Apabila telah tetap dua pendapat ini, maka jika kita mengikuti pendapatnya dalam qaul jadīd bahwa tidak boleh bagi orang lain membangun di atas amal ajīr, maka wajib diambil dari harta peninggalannya untuk menyewa orang lain yang memulai iḥrām untuk haji atas nama musta’jir, dan musta’jir tetap wajib membayar upah yang telah disepakati kepada ahli waris ajīr, sedangkan ajīr tidak berhak atas apa pun dari pekerjaan yang telah dilakukannya sendiri, karena tidak dihitung dan tidak menggugurkan kewajiban fardhu apa pun.

Namun jika kita mengikuti pendapatnya dalam qaul qadīm bahwa boleh bagi orang lain membangun di atas amal ajīr, maka diperhatikan: jika ajīr wafat sebelum wuqūf di ‘Arafah, maka disewa orang lain untuk memulai iḥrām haji atas nama ajīr dan melakukan wuqūf di ‘Arafah, karena wuqūf di ‘Arafah tidak sah kecuali setelah didahului oleh iḥrām. Jika ajīr telah melaksanakan sa‘y sebelum ‘Arafah, maka pengganti tidak mengulang sa‘y setelah ‘Arafah, karena ia membangun di atas amal ajīr dan menyempurnakan sisanya. Jika belum melaksanakan sa‘y sebelum ‘Arafah, maka pengganti wajib melakukan sa‘y setelah ṭawāf dan setelah ‘Arafah, serta menyempurnakan seluruh manasik lainnya seperti ramy dan mabit.

Jika ajīr wafat setelah wuqūf di ‘Arafah namun sebelum ṭawāf dan sa‘y, maka pengganti melakukan iḥrām dan melaksanakan amalan-amalan ‘umrah.

Tidak ada bedanya apakah pengganti itu merupakan ahli waris atau orang asing yang disewa; namun tidak boleh kecuali dalam keadaan muḥill (tidak dalam iḥrām) — hal ini dinyatakan oleh al-Syāfi‘ī — karena orang yang sedang iḥrām tidak sah melakukan iḥrām untuk orang lain. Maka jika ia melakukannya, bagaimana niat iḥrām-nya?

Dikatakan: tidak boleh ia berniat iḥrām untuk haji secara keseluruhan, agar tidak terkena kewajiban untuk menunaikan seluruh rukun dan manasik haji. Dan ia juga tidak boleh berniat iḥrām untuk ‘umrah, karena ‘umrah bukan bagian dari haji dan tidak mencukupi salah satu rukunnya.

Namun, ia berniat iḥrām untuk menyempurnakan apa yang tersisa dari rukun-rukun haji yang menjadi tanggungan ajīr, karena ia berperan menggantikannya dalam menyempurnakan sisanya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا أَحْرَمَ الْأَجِيرُ بِالْحَجِّ ثُمَّ أُحْصِرَ بِعَدُوٍّ فَلَهُ أَنْ يَتَحَلَّلَ مِنْ إِحْرَامِهِ فَإِنْ فَاتَهُ الْوُقُوفُ وَأَمْكَنَهُ أَنْ يَتَحَلَّلَ بالطواف والسعي تحلل به وإن لم يكن التَّحَلُّلُ بِالطَّوَافِ وَالسَّعْيِ تَحَلَّلَ بِالْهَدْيِ وَالْحِلَاقِ وَمَا فَعَلَهُ بَعْدَ الْإِحْصَارِ لِتَحَلُّلِهِ مِنَ الطَّوَافِ وَالسَّعْيِ أَوِ النَّحْرِ وَالْحِلَاقِ لَمْ يَسْتَحِقَّ عَلَيْهِ شَيْئًا مِنَ الْأُجْرَةِ لِأَنَّهُ فَعَلَهُ لِتَحَلُّلِهِ لَا عَنْ مُسْتَأْجِرِهِ فَأَمَّا مَا فَعَلَهُ قَبْلَ الْإِحْصَارِ مِنْ أعمال الحج فهل يستحق بقسيطه مِنَ الْأُجْرَةِ بِقَدْرِهِ؟ وَهَلْ تَبْطُلُ الْإِجَارَةُ عَلَى مَا مَضَى فِي مَوْتِ الْأَجِيرِ سَوَاءٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

PASAL
 Adapun apabila seorang ajīr telah berihram untuk haji, kemudian tertahan (uḥṣira) karena musuh, maka ia boleh bertahallul dari iḥrām-nya. Jika ia luput dari wuqūf namun masih memungkinkan baginya untuk bertahallul dengan ṭawāf dan sa‘i, maka ia bertahallul dengannya. Dan jika tidak memungkinkan untuk bertahallul dengan ṭawāf dan sa‘i, maka ia bertahallul dengan menyembelih hady dan mencukur rambut.

Apa pun yang ia lakukan setelah tertahan (iḥṣār) berupa ṭawāf, sa‘i, penyembelihan, atau cukur, yang ia lakukan untuk keperluan taḥallul-nya sendiri, maka tidak ada yang ia berhak tuntut dari upah, karena ia melakukannya demi bertahallul, bukan untuk pihak penyewa (musta’jir).

Adapun amalan-amalan haji yang ia lakukan sebelum tertahan (iḥṣār), maka apakah ia berhak atas bagian dari upah sesuai kadar amal itu? Dan apakah akad ijārah menjadi batal atas amalan yang telah lewat seperti dalam kasus wafatnya ajīr?—semuanya ini kembali pada dua pendapat. Dan Allah lebih mengetahui.


فَصْلٌ
: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي الْإِجَارَةِ عَلَى الْحَجِّ فَأَمَّا الْجَعَالَةُ عَلَى الْحَجِّ فَجَائِزَةٌ كَالْإِجَارَةِ لِأَنَّ الْجَعَالَةَ أَوْسَعُ حُكْمًا مِنَ الْإِجَارَةِ لِجَوَازِهَا مِنْ غَيْرِ تَعْيِينِ الْعَامِلِ فِيهَا وَمَعَ الْجَهْلِ بِالْعَمَلِ الْمَقْصُودِ بِهَا لِأَنَّهُ لَوْ قَالَ مَنْ جَاءَنِي بِعَبْدِي الْآبِقِ فَلَهُ دِينَارٌ كَانَ ذَلِكَ جَائِزًا وَإِنَّ كَانَ مَكَانُ ذَلِكَ الْعَبْدِ مَجْهُولًا وَالْجَائِي بِهِ مَجْهُولًا وَلَا تَصِحُّ الْإِجَارَةُ عَلَى مِثْلِ هَذَا فَلَمَّا صَحَّتِ الْإِجَارَةُ عَلَى الْحَجِّ مَعَ ضِيقِ حُكْمِهَا فَالْجَعَالَةُ أَوْلَى أَنْ تَصِحَّ لِسَعَةِ حُكْمِهَا فَإِذَا صَحَّ هَذَا فَقَدَ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِيمَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ عَنْهُ فِي مسائله المنثورة ولو قال: أو مَنْ يَحُجُّ عَنِّي فَلَهُ مِائَةُ دِينَارٍ فَبَادَرَ رَجُلٌ فَحَجَّ عَنْهُ اسْتَحَقَّ الْمِائَةَ وَوَقَعَ الْحَجُّ عَنِ الْمَحْجُوجِ عَنْهُ وَقَالَ الْمُزَنِيُّ هَذَا غَلَطٌ يجب أن يكون لَهُ أُجْرَةُ الْمِثْلِ لِأَنَّ الْأَجِيرَ إِذَا لَمْ يُعَيَّنَ فَسَدَتِ الْإِجَارَةُ وَمَعَ فَسَادِ الْإِجَارَةِ لَا يَسْتَحِقُّ الْمُسَمَّى وَإِنَّمَا يَسْتَحِقُّ أُجْرَةَ الْمِثْلِ وَهَذَا غَلَطٌ مِنَ الْمُزَنِيِّ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ إِنَّمَا جَعَلَ لَهُ الْمِائَةَ لِأَنَّهَا جَعَالَةٌ وَلَيْسَتْ إِجَارَةً وَالْجَعَالَةُ تَصِحُّ مَعَ الْجَهْلِ بِالْعَامِلِ فِيهَا فَلَوْ قَالَ أَوَّلُ مَنْ يَحُجُّ عَنِّي فَلَهُ مَا شَاءَ فَهَذِهِ جَعَالَةٌ فَاسِدَةٌ لِلْجَهْلِ بِالْعِوَضِ فِيهَا فَإِنَّ حَجَّ عَنْهُ آخَرُ كَانَ الْحَجُّ وَاقِعًا عَلَى الْمَحْجُوجِ عَنْهُ وَكَانَ لَهُ أُجْرَةُ الْمِثْلِ لِأَنَّ الْعَمَلَ الْمَأْذُونَ فِيهِ بِالْجَعَالَةِ الْفَاسِدَةِ عَلَيْهِ أُجْرَةُ الْمِثْلِ كَالْمِثْلِ فِيهِ بِالْإِجَارَةِ الْفَاسِدَةِ.

PASAL
 Telah berlalu pembahasan mengenai ijārah untuk haji. Adapun ja‘ālah untuk haji, maka hukumnya boleh sebagaimana ijārah, karena ja‘ālah lebih luas hukumnya dibandingkan ijārah; karena boleh dilakukan tanpa menentukan siapa pelaksananya, dan meskipun tidak diketahui dengan jelas amal yang dimaksud di dalamnya. Sebab, jika seseorang berkata, “Siapa yang membawakan aku budakku yang kabur, maka ia mendapat satu dinar,” maka hal itu dibolehkan meskipun tempat budak itu tidak diketahui dan orang yang akan membawanya juga tidak diketahui. Sedangkan ijārah tidak sah atas perkara seperti itu.

Maka ketika ijārah atas haji sah padahal hukumnya sempit, maka ja‘ālah lebih layak untuk disahkan karena luasnya hukum yang dimilikinya. Apabila hal ini telah sah, maka al-Syāfi‘ī — sebagaimana dinukil oleh al-Muzanī dalam Masā’il yang berserakan — mengatakan: “Seandainya seseorang berkata, ‘Barang siapa yang berhaji untukku, maka ia mendapat seratus dinar,’ lalu seseorang segera menunaikan haji untuknya, maka ia berhak mendapatkan seratus dinar, dan hajinya sah mewakili orang yang dihajikan.”

Al-Muzanī mengatakan bahwa ini adalah kesalahan. Ia mengatakan: “Yang seharusnya ia dapatkan adalah ujrah al-mitsl (upah yang sesuai standar), karena seorang ajīr apabila tidak ditentukan, maka akad ijārah-nya rusak. Dan apabila akad ijārah rusak, maka ia tidak berhak atas nominal yang disebutkan, melainkan hanya berhak atas ujrah al-mitsl.”

Namun ini adalah kesalahan dari al-Muzanī, karena al-Syāfi‘ī menetapkan haknya atas seratus dinar itu karena ia menganggapnya sebagai ja‘ālah, bukan ijārah. Dan ja‘ālah sah meskipun pelaksananya tidak diketahui. Maka apabila seseorang berkata, “Orang pertama yang berhaji untukku, maka ia mendapat apa saja yang ia inginkan,” maka ini adalah ja‘ālah yang rusak karena tidak diketahui nilai kompensasinya. Jika kemudian orang lain berhaji untuknya, maka hajinya tetap sah atas nama orang yang dihajikan, dan ia berhak atas ujrah al-mitsl, karena pekerjaan yang diizinkan melalui ja‘ālah yang rusak itu tetap menghasilkan hak ujrah al-mitsl, sebagaimana halnya dalam akad ijārah yang rusak.


فَصْلٌ
: إِذَا قَالَ لِرَجُلٍ بِعَيْنِهِ حُجَّ عَنِّي وَلَكَ مِائَةٌ صَحَّ ذَلِكَ وَكَانَتْ جَعَالَةً مُعَيَّنَةً فَإِذَا حَجَّ عَنْهُ أَجْزَأَهُ وَاسْتَحَقَّ الْمِائَةَ فَلَوْ قَالَ قَدِ اسْتَأْجَرْتُكَ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ لِتَحُجَّ عَنِّي أَوْ تَعْتَمِرَ فَهَذِهِ إِجَارَةٌ فَاسِدَةٌ لِلْجَهْلِ بِالْعَمَلِ فَإِنْ حَجَّ الْأَجِيرُ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَهُ أُجْرَةُ الْمِثْلِ وَلَكِنْ لَوْ قَالَ حُجَّ عَنِّي أَوِ اعْتَمِرْ وَلَكَ مِائَةٌ كَانَتْ هَذِهِ جَعَالَةً صَحِيحَةً وَلَيْسَتْ إِجَارَةً وَإِنَّمَا صَحَّتْ هَذِهِ الْجَعَالَةُ وَلَمْ تَصِحَّ أَنْ لَوْ كَانَتْ إِجَارَةً لَأَنَّ الْجَهَالَةَ بالعمل لا يبطل الْجَعَالَةَ فَلِذَلِكَ صَحَّتْ وَالْجَهَالَةُ بِالْعَمَلِ تَبْطُلُ بِالْإِجَارَةِ فَلِذَلِكَ بَطَلَتْ فَلَوْ قَالَ حُجَّ عَنِّي بِنَفَقَتِكَ فَهَذِهِ جَعَالَةٌ فَاسِدَةٌ لِلْجَهْلِ بِالْعِوَضِ لِأَنَّ الْعِوَضَ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ مَعْلُومًا فِي الْجَعَالَةِ وَالْإِجَارَةِ وَإِنَّمَا يَخْتَلِفَانِ فِي الْعَمَلِ فَإِنْ حَجَّ كَانَ الْحَجُّ وَاقِعًا عَنِ الْمَحْجُوجِ عَنْهُ وَلَهُ أَجْرُ مِثْلِهِ.

PASAL
 Apabila seseorang berkata kepada orang tertentu, “Hajikan aku, dan bagimu seratus (dirham),” maka hal ini sah, dan ini adalah ju‘ālah yang ditentukan. Apabila orang itu menghajikannya, maka hajinya mencukupi dan ia berhak mendapatkan seratus dirham.

Namun jika ia berkata, “Aku menyewamu dengan seratus dirham untuk menghajikanku atau meng-‘umrahkanku,” maka ini adalah ijārah yang rusak karena ketidaktahuan terhadap pekerjaan. Maka jika ajīr melaksanakan haji atau ‘umrah, maka ia berhak mendapatkan ujrat al-miṡl (upah sepadan).

Akan tetapi, jika ia berkata, “Hajikan aku atau ‘umrahkan aku, dan bagimu seratus (dirham),” maka ini adalah ju‘ālah yang sah, bukan ijārah. Dan sahnya ju‘ālah ini—berbeda dengan ijārah—karena ketidaktahuan terhadap pekerjaan tidak membatalkan ju‘ālah, maka ia sah. Sedangkan ketidaktahuan terhadap pekerjaan membatalkan ijārah, maka ijārah-nya batal.

Dan jika ia berkata, “Hajikan aku dengan biaya dari hartamu sendiri,” maka ini adalah ju‘ālah yang rusak karena ketidaktahuan terhadap kompensasi, sebab kompensasi wajib diketahui dalam ju‘ālah maupun ijārah, dan perbedaan keduanya hanya dalam hal pekerjaan.

Maka jika orang itu tetap menghajikan, maka hajinya dianggap sah atas nama orang yang dihajikan, dan ia berhak atas ujrat al-miṡl.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْإِجَارَةُ عَلَى زِيَارَةِ قبر النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَبَاطِلَةٌ لِأَنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ مَضْبُوطٍ بِوَصْفٍ وَلَا يُقَدَّرُ بِشَرْعٍ فَأَمَّا الْجَعَالَةُ عَلَى زِيَارَةِ الْقَبْرِ فَإِنْ وَقَعَتِ الْجَعَالَةُ عَلَى نَفْسِ الْوُقُوفِ هُنَاكَ عِنْدَ الْقَبْرِ وَمُشَاهَدَتِهِ لَمْ تَصِحَّ أَيْضًا لِأَنَّ ذَلِكَ مِمَّا لَا تَصِحُّ فِيهِ النِّيَابَةُ عَنِ الْغَيْرِ وَإِنْ وَقَعَتِ الْجَعَالَةُ عَلَى الدُّعَاءِ عِنْدَ زيارة قبر النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَتِ الْجَعَالَةُ صَحِيحَةً لِأَنَّ الْجَهْلَ بِالدُّعَاءِ لَا يُبْطِلُهَا وَالدُّعَاءُ مِمَّا تَصِحُّ فِيهِ النِّيَابَةُ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” يَلْحَقُ الْمَيِّتَ مِنْ فِعْلِ غَيْرِهِ ثَلَاثٌ حَجٌّ يُؤَدَّى وَدَيْنٌ يُقْضَى وولدٌ صالحٌ يَدْعُو لَهُ “.

PASAL
 Adapun ijārah untuk ziarah ke makam Nabi SAW maka hukumnya batal, karena itu adalah amal yang tidak dapat ditentukan dengan sifat tertentu dan tidak pula ditakar dengan ketentuan syariat.

Adapun ja‘ālah untuk ziarah ke makam, jika ja‘ālah itu ditetapkan atas perbuatan berdiri di sana di sisi makam dan menyaksikannya, maka itu juga tidak sah, karena hal tersebut termasuk perkara yang tidak sah dilakukan dengan perwakilan dari orang lain.

Namun jika ja‘ālah itu ditetapkan atas perbuatan berdoa saat ziarah ke makam Nabi SAW, maka ja‘ālah tersebut sah, karena ketidaktahuan terhadap bentuk doa tidak membatalkannya, dan doa termasuk amal yang boleh diwakilkan, berdasarkan sabda Nabi SAW:

“Akan sampai kepada mayit dari amal orang lain tiga hal: haji yang ditunaikan, utang yang dilunasi, dan anak saleh yang mendoakannya.”


مسألة
: قال الشافعي: رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَوْصَى أَنْ يَحُجَّ عَنْهُ وارثٌ لَمْ يُسَمِّ شَيْئًا أُحِجَّ عَنْهُ بِأَقَلِّ مَا يُوجَدُ أَحَدٌ يَحُجُّ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَقْبَلْ أُحِجَّ عَنْهُ غَيْرَهُ وَلَوْ أَوْصَى لرجلٍ بِمِائَةِ دِينَارٍ يَحُجُّ بِهَا عَنْهُ فَمَا زَادَ عَلَى أَجْرِ مِثْلِهِ فَهُوَ وصيةٌ لَهُ فَإِنِ امْتَنَعَ لَمْ يَحُجَّ عَنْهُ أحدٌ إِلَّا بِأَقَلِّ مَا يُوجَدُ بِهِ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ “.

Masalah
 Imam asy-Syafi‘i RA berkata: “Seandainya seseorang berwasiat agar ahli warisnya menghajikannya dan tidak menyebutkan jumlah tertentu, maka hendaknya dihajikan atas namanya dengan biaya paling sedikit yang dapat ditemukan seseorang bersedia menghajikannya. Jika ahli waris itu tidak mau, maka dihajikan oleh selainnya.

Dan jika ia berwasiat kepada seseorang dengan seratus dinar agar menghajikannya, maka kelebihan dari ujrat al-miṡl (upah sepadan) adalah wasiat untuk orang tersebut. Namun jika orang itu menolak, maka tidak boleh ada yang menghajikannya kecuali dengan biaya paling sedikit yang dapat ditemukan seseorang bersedia menghajikannya.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا مَاتَ الرَّجُلُ وَعَلَيْهِ حَجَّةٌ وَاجِبَةٌ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُوصِيَ بِإِخْرَاجِهَا عَنْهُ أَوْ لَا يُوصِيَ فَإِنْ لَمْ يُوصِ بِإِخْرَاجِهَا عَنْهُ وَجَبَ عنه وَارِثِهِ أَنْ يَسْتَأْجِرَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ بِأَقَلِّ مَا يُوجَدُ مِنْ مِيقَاتِ بَلَدِهِ وَسَوَاءٌ حَجَّ عَنْهُ وَارِثٌ أَوْ غَيْرُ وَارِثٍ وَإِنْ أَوْصَى بِإِخْرَاجِهَا عَنْهُ فَعَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang telah disebutkan, yaitu apabila seseorang wafat dan atasnya masih ada kewajiban haji, maka keadaannya tidak lepas dari dua perkara:

  • Pertama, ia mewasiatkan agar hajinya ditunaikan untuknya, atau
  • Kedua, ia tidak mewasiatkan.

Jika ia tidak mewasiatkan agar hajinya ditunaikan untuknya, maka wajib atas ahli warisnya untuk menyewa seseorang yang berhaji untuknya dari harta peninggalannya, dimulai dari tempat termurah yang bisa didapati dari mīqāt negerinya. Sama saja apakah yang berhaji untuknya itu ahli waris atau bukan.

Namun jika ia mewasiatkan agar hajinya ditunaikan untuknya, maka keadaannya terbagi menjadi empat bagian:


أَحَدُهَا: أَنْ يُعَيِّنَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ وَيُعَيِّنَ الْقَدْرَ الَّذِي يَحُجُّ بِهِ عَنْهُ.
وَالثَّانِي: أَنْ لَا يُعَيِّنَهَا جَمِيعًا.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يُعَيِّنَ مَنْ يَحُجُّ دُونَ الْقَدْرِ.
وَالرَّابِعُ: أَنْ يُعَيِّنَ الْقَدْرَ دُونَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ.

Pertama: ia menetapkan siapa yang menghajikannya dan menetapkan jumlah biaya yang digunakan untuk haji atas namanya.
 Kedua: ia tidak menetapkan keduanya.
 Ketiga: ia menetapkan siapa yang menghajikannya, tetapi tidak menetapkan jumlah biayanya.
 Keempat: ia menetapkan jumlah biaya, tetapi tidak menetapkan siapa yang menghajikannya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يُعَيِّنَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ وَيُعَيِّنَ الْقَدْرَ الَّذِي يحج به عنه فهو أن يقول أحجوا عَنِّي زَيْدًا بِمِائَةِ دِينَارٍ وَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الْقَدْرُ الَّذِي وَصَّى بِهِ هُوَ أُجْرَةَ الْمِثْلِ فَهَذَا جَائِزٌ وَيَكُونُ من رأس ماله لأن الْقَدْرُ الْوَاجِبُ إِلَّا أَنْ يَجْعَلَهُ مِنْ ثُلُثِهِ فَيَكُونَ فِي الثُّلُثِ وَسَوَاءٌ وَصَّى بِذَلِكَ لِوَارِثٍ أَوْ غَيْرِ وَارِثٍ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ وَصِيَّةً يُمْنَعُ فيها الوارث وإنما هي معارضة في مقابلة عمل ليس فيهما مُحَابَاةٌ فَاسْتَوَى فِيهَا الْأَجْنَبِيُّ وَالْوَارِثُ.

PASAL
 Adapun bagian pertama: yaitu apabila ia menentukan siapa yang akan berhaji untuknya dan menentukan kadar biaya yang akan digunakan untuk haji tersebut. Misalnya ia berkata: “Hajikanlah untukku oleh Zayd dengan seratus dinar.” Maka ini terbagi menjadi tiga keadaan:

Pertama: apabila kadar yang diwasiatkan itu sesuai dengan ujrah al-mitsl (upah standar yang berlaku), maka ini diperbolehkan, dan biayanya diambil dari harta pokok (māl) si mayit karena itu merupakan kadar yang wajib, kecuali jika ia menyatakan bahwa itu diambil dari sepertiga hartanya, maka dilakukan dari sepertiga harta. Dan sama saja apakah ia mewasiatkan kepada ahli waris atau kepada orang lain yang bukan ahli waris, karena ini bukanlah wasiat yang mengandung pemberian istimewa kepada ahli waris yang terlarang, melainkan merupakan transaksi sebagai kompensasi atas suatu pekerjaan yang tidak mengandung unsur keberpihakan. Maka kedudukan orang asing dan ahli waris sama dalam hal ini.


وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْقَدْرُ الَّذِي وَصَّى بِهِ أَقَلَّ مِنْ أُجْرَةِ الْمِثْلِ فَإِنْ وَصَّى زَيْدًا أَنْ يَحُجَّ بِهِ لَمْ يَزِدْ عَلَى ذَلِكَ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ زَيْدٌ بِذَلِكَ وَجَبَ أَنْ يُتَمِّمَ لَهُ أُجْرَةَ الْمِثْلِ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ لِأَنَّهُ قَدْرٌ يَجِبُ إِخْرَاجُهُ مِنْهُ إِلَّا أَنْ يَجْعَلَهُ فِي الثُّلُثِ فَيَكُونَ فِي الثُّلُثِ وَسَوَاءٌ كَانَ زَيْدٌ وَارِثًا أَوْ أَجْنَبِيًّا.

Bagian kedua: yaitu apabila jumlah yang diwasiatkan lebih sedikit dari ujrat al-miṡl (upah sepadan). Maka jika ia mewasiatkan kepada Zaid untuk menghajikannya dengan jumlah tersebut dan tidak menambahkan lagi, lalu Zaid tidak ridha dengan jumlah itu, maka wajib disempurnakan baginya ujrat al-miṡl dari harta peninggalan (ra’s al-māl), karena itu adalah kadar yang wajib dikeluarkan darinya—kecuali jika ia menempatkannya dalam sepertiga (harta wasiat), maka tetap berada dalam sepertiga tersebut. Sama saja apakah Zaid itu ahli waris atau orang luar.


وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الْقَدْرُ الَّذِي وَصَّى بِهِ أَكْثَرَ مِنْ أجرة المثل كأن كانت أجرة المثل خمسون دِينَارًا وَقَدْ وَصَّى بِمِائَةِ دِينَارٍ فَقَدْرُ أُجْرَةِ الْمِثْلِ وَاجِبٌ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ وَالزِّيَادَةُ عَلَيْهِ وَصِيَّةٌ مِنْ ثُلُثِهِ إِلَّا أَنْ يَجْعَلَ جَمِيعَ ذَلِكَ مِنْ ثُلُثِهِ فَيَكُونَ فِي الثُّلُثِ ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُ زَيْدٍ الْمُعَيَّنِ بِالْحَجِّ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ وَارِثًا أَوْ أَجْنَبِيًّا فَإِنْ كَانَ وَارِثًا لَمْ يَسْتَحِقَّ الزِّيَادَةَ عَلَى أُجْرَةِ الْمِثْلِ لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ وَالْوَارِثُ لَا وصية له إلا أن يجيز ذلك الْوَرَثَةِ وَيُقَالَ لَهُ أَنْتَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ تَحُجَّ عَنْهُ بِأُجْرَةِ الْمِثْلِ دُونَ الزِّيَادَةِ وَبَيْنَ أن يتمتع فيستأجر عنه غيره مِنَ الْأَجَانِبِ بِأُجْرَةِ الْمِثْلِ دُونَ الزِّيَادَةِ وَإِنْ كَانَ أَجْنَبِيًّا اسْتَحَقَّ جَمِيعَ ذَلِكَ لِأَنَّ الزِّيَادَةَ عَلَى أُجْرَةِ الْمِثْلِ وَصِيَّةٌ وَالْوَصِيَّةُ تَصِحُّ لِلْأَجْنَبِيِّ إِذَا احْتَمَلَهَا الثُّلُثُ فَإِنَّ حَجَّ عَنْهُ اسْتَحَقَّ الْمِائَةَ كُلَّهَا وَإِنِ امْتَنَعَ أَنْ يَحُجَّ عَنْهُ اسْتُؤْجِرَ غَيْرُهُ بِأُجْرَةِ الْمِثْلِ وَرُدَّتِ الزِّيَادَةُ إِلَى التَّرِكَةِ فَإِنْ قَالَ زَيْدٌ أَعْطُونِي الزِّيَادَةَ عَلَى أُجْرَةِ الْمِثْلِ لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ لِي قِيلَ لَا يجوز لأنها وصية لك على صفة وهي أن تحج عن المبيت فَإِذَا لَمْ تُوجَدْ مِنْكَ الصِّفَةُ لَمْ تَسْتَحِقَّ الْوَصِيَّةَ كَمَنْ وَصَّى أَنْ يُبَاعَ عَبْدُهُ عَلَى زَيْدٍ بِمِائَةٍ وَيُتَصَدَّقَ عَنْهُ بِثَمَنِهِ وَالْعَبْدُ يُسَاوِي مِائَتَيْنِ فَقَالَ زَيْدٌ لَسْتُ أَبْتَاعُ الْعَبْدَ بِمِائَةٍ وَلَكِنْ بِيعُوهُ بِمِائَتَيْنِ وَأَعْطُونِي مِائَةً لَمْ يَجُزْ لِأَنَّ الْمِائَةَ إِنَّمَا هِيَ وَصِيَّةٌ لَهُ عَلَى وَجْهِ الْمُحَابَاةِ إِذَا ابْتَاعَ الْعَبْدَ فَإِذَا لَمْ يَبْتَعْهُ بَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ كَذَلِكَ الْحِجُّ فَلَوْ قَالَ زَيْدٌ أَنَا آخُذُ الْمِائَةَ وَأَسْتَأْجِرُ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ بِأُجْرَةِ الْمِثْلِ وَآخُذُ الزِّيَادَةَ لَمْ يَجُزْ أَيْضًا لِأَنَّهُ إِنَّمَا وَصَّى لَهُ بِالزِّيَادَةِ إِذَا حَجَّ بِنَفْسِهِ.

dan bagian ketiga: yaitu apabila jumlah yang diwasiatkan melebihi dari ujrah al-mitsli, seperti apabila ujrah al-mitsli adalah lima puluh dinar dan dia mewasiatkan seratus dinar, maka jumlah ujrah al-mitsli wajib diambil dari harta pokoknya, dan kelebihannya termasuk wasiat yang diambil dari sepertiga harta, kecuali jika ia menjadikan seluruh jumlah itu dari sepertiganya, maka semuanya masuk dalam sepertiga.

Kemudian keadaan Zaid yang ditunjuk untuk berhaji tidak lepas dari salah satu dari dua keadaan: apakah dia ahli waris atau orang luar. Jika dia ahli waris, maka ia tidak berhak mendapatkan kelebihan atas ujrah al-mitsli, karena itu adalah wasiat, dan tidak ada wasiat untuk ahli waris kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya. Maka dikatakan kepadanya: “Engkau bebas memilih antara berhaji untuknya dengan ujrah al-mitsli tanpa kelebihan, atau membatalkan dan mencarikan orang lain dari kalangan orang luar dengan ujrah al-mitsli tanpa kelebihan.”

Namun jika dia adalah orang luar, maka dia berhak menerima seluruh jumlah itu, karena kelebihan atas ujrah al-mitsli adalah wasiat, dan wasiat sah bagi orang luar jika masih mencukupi sepertiga. Maka jika ia berhaji untuknya, ia berhak mendapatkan seluruh seratus dinar itu. Tetapi jika ia menolak berhaji untuknya, maka dicari orang lain dengan ujrah al-mitsli dan kelebihannya dikembalikan ke harta warisan.

Jika Zaid berkata, “Berikan kepadaku kelebihan atas ujrah al-mitsli, karena itu adalah wasiat untukku,” maka dikatakan: “Tidak boleh, karena itu adalah wasiat dengan syarat, yaitu bahwa engkau berhaji menggantikan si mayit. Maka jika syarat itu tidak terpenuhi darimu, engkau tidak berhak atas wasiat itu,” seperti seseorang yang berwasiat agar budaknya dijual kepada Zaid seharga seratus dinar dan hasilnya disedekahkan atas nama si mayit, padahal budak itu sebenarnya bernilai dua ratus. Lalu Zaid berkata: “Aku tidak mau membeli budak itu seharga seratus, tapi juallah dia seharga dua ratus dan berikan aku seratusnya.” Maka itu tidak boleh, karena seratus itu adalah wasiat untuknya dalam bentuk kemurahan (diskon) jika ia membeli budak itu. Maka jika ia tidak membelinya, batallah wasiat tersebut. Demikian pula dalam hal haji.

Maka jika Zaid berkata: “Aku ambil saja seratus dinar itu dan aku akan menyewa orang lain untuk berhaji atas namanya dengan ujrah al-mitsli dan aku ambil kelebihannya,” maka itu pun tidak boleh, karena ia hanya diwasiati kelebihannya jika ia sendiri yang berhaji.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ لَا يُعَيِّنَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ وَلَا يُعَيِّنَ الْقَدْرَ الَّذِي يَحُجُّ بِهِ عَنْهُ فَهُوَ أَنْ يَقُولَ أَحِجُّوا عَنِّي رَجُلًا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُعَيِّنَهُ وَلَا يُعَيِّنَ عِوَضَهُ فَالْوَاجِبُ أَنْ يستأجر من يَحُجُّ عَنْهُ بِأَقَلِّ مَا يُوجَدُ أَنْ يُحَجَّ عَنْهُ وَيَكُونَ ذَلِكَ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ إِلَّا أَنْ يَجْعَلَهُ فِي ثُلُثِهِ وَهَلْ يُعْتَبَرُ أَقَلُّ مَا يُوجَدُ مِنْ مِيقَاتِهِ أَوْ مِنْ بَلَدِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ وَالْوَصَايَا تُعْتَبَرُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ أَقَلَّ مَا يُوجَدُ مِنْ بَلَدِهِ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ شَرْطًا فِي اسْتِطَاعَتِهِ فِي حَيَاتِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُعْتَبَرًا مِنْ رَأْسِ مَالِهِ بَعْدَ وَفَاتِهِ.

PASAL
 Adapun bagian kedua, yaitu apabila ia tidak menetapkan siapa yang menghajikannya dan tidak pula menetapkan jumlah biaya yang digunakan untuk menghajikannya—yakni ia berkata: “Hajikanlah aku oleh seseorang,” tanpa menyebutkan siapa orangnya dan tanpa menyebutkan kompensasinya—maka yang wajib dilakukan adalah menyewa seseorang untuk menghajikannya dengan biaya paling sedikit yang dapat ditemukan seseorang bersedia menghajikannya. Biaya tersebut diambil dari harta peninggalannya (ra’s māl), kecuali jika ia menempatkannya dalam sepertiga harta (ṡuluṡ), maka dilakukan dari sepertiga itu.

Lalu, apakah yang dimaksud dengan biaya paling sedikit itu dihitung dari mīqāt-nya atau dari negerinya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: yaitu pendapat dalam qaul qadīm, dan pendapat yang mengatakan bahwa wasiat itu dinilai dari harta pokok, maka yang diperhitungkan adalah biaya paling sedikit dari negerinya. Karena dahulu itu merupakan syarat dalam kemampuan (istithā‘ah)-nya ketika hidup, maka wajib pula diperhitungkan dari harta pokok setelah ia wafat.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْإِمْلَاءِ وَسَائِرِ كُتُبِهِ فِي الْجَدِيدِ أَنَّهُ يَعْتَبِرُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ أَقَلَّ مَا يُوجَدُ مِنْ مِيقَاتِ بَلَدِهِ لِأَنَّ الْفَرْضَ قَدْ يَسْقُطُ بِهِ فَكَانَ مَا سِوَاهُ تَطَوُّعًا وَلَا يَجُوزَ أَنْ يُخْرِجَ مِنْ مَالِ الْمَيِّتِ تَطَوُّعًا إِلَّا بِوَصِيَّتِهِ مِنَ الثُّلُثِ وَسَوَاءٌ حَجَّ بِذَلِكَ وَارِثٌ أَوْ غَيْرُ وَارِثٍ.

dan pendapat kedua: dinyatakan secara tegas dalam kitab al-Imlā’ dan seluruh kitabnya dalam pendapat al-jadīd, bahwa yang diperhitungkan dari harta pokok adalah paling sedikit yang ditemukan dari miqat negeri asalnya, karena ibadah fardhu bisa gugur dengannya, maka selain itu adalah ṭawwa‘ (sunnah), dan tidak boleh mengeluarkan dari harta mayit untuk ṭawwa‘ kecuali dengan wasiatnya dari sepertiga harta, baik yang berhaji dengan itu adalah ahli waris atau bukan ahli waris.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يُعَيِّنَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ وَلَا يُعَيِّنَ الْقَدْرَ الَّذِي يحج به عنه فهو أن يقول: أحجوا عَنِّي زَيْدًا فَيُعَيِّنَهُ وَلَا يُعَيِّنَ عِوَضَهُ فَالْوَاجِبُ لَهُ أُجْرَةُ الْمِثْلِ مِنْ بَلَدِهِ دُونَ مِيقَاتِ بَلَدِهِ قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّهُ إِذَا كَانَ زَيْدٌ فِي بَلَدِهِ وَقَدْ وَصَّى أَنْ يَحُجَّ عَنْهُ عَلِمَ بِإِطْلَاقِ الْوَصِيَّةِ أَنَّهُ يَحُجُّ عَنْهُ مِنْ بَلَدِهِ وَإِذَا كَانَ لَهُ أُجْرَةُ الْمِثْلِ مِنْ بَلَدِهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ لَهُ أُجْرَةُ مِثْلِهِ فِي نَفْسِهِ أَوْ أَقَلُّ مَا يُوجَدُ مِنْ أُجْرَةِ مِثْلِ غَيْرِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: له أجرة مثله من نظرائه الْفَضْلِ وَالْعِلْمِ لِأَنَّهُ لَمَّا تَمَيَّزَ بِتَبَعِيَّتِهِ عَنْ غيره وجب أَنْ يَتَمَيَّزَ بِأُجْرَةِ مِثْلِ نُظَرَائِهِ.

PASAL
 Adapun bagian ketiga, yaitu apabila ia menetapkan siapa yang menghajikannya namun tidak menetapkan jumlah biaya yang digunakan untuk menghajikannya—yakni ia berkata, “Hajikan aku oleh Zaid,” maka ia telah menetapkan orangnya namun tidak menetapkan kompensasinya—maka yang wajib diberikan kepada Zaid adalah ujrat al-miṡl (upah sepadan) dari negerinya, bukan dari mīqāt negerinya, menurut satu pendapat, karena apabila Zaid berada di negerinya dan orang yang berwasiat memintanya untuk menghajikannya, maka diketahui dari kemutlakan wasiat bahwa Zaid akan menghajikannya dari negerinya.

Apabila ia berhak atas ujrat al-miṡl dari negerinya, maka para sahabat kami berbeda pendapat: apakah yang dimaksud dengan ujrat al-miṡl itu adalah upah sepadan bagi dirinya sendiri, ataukah upah paling sedikit dari orang lain yang menghajikan?

Dua pendapat:

Pertama: bahwa ia berhak atas upah sepadan dari kalangan yang setara dengannya dalam keutamaan dan ilmu, karena ketika ia memiliki keistimewaan dengan keahlian dan pengikut, maka wajib pula ia dibedakan dengan upah sepadan dari kalangan yang sepadan dengannya.


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ مَنْصُوصٌ إِنَّ لَهُ أَقَلَّ مَا يُوجَدُ مِنْ أُجْرَةِ مِثْلِ غَيْرِهِ مِنَ النَّاسِ كُلِّهِمْ لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يُعَيِّنْهُ لَمْ يَسْتَحِقَّ إِلَّا أَقَلَّ مَا يُوجَدُ مَنْ يَحُجُّ بِهِ فَكَذَلِكَ إِذَا عَيَّنَهُ لِأَنَّهُ لَا يُسْتَفَادُ بِتَعْيِينِهِ قَدْرُ الْعِوَضِ وَإِنَّمَا يُسْتَفَادُ تَمْيِيزُ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَإِنَّهُ يَكُونُ الْقَدْرَ الَّذِي يَجِبُ إِخْرَاجُهُ لَوْ لَمْ يُعَيِّنْ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ وَمَا زَادَ عَلَى ذَلِكَ بِالتَّعْيِينِ فِي الثُّلُثِ فَلَوْ لَمْ يَقْبَلْ زَيْدٌ الْوَصِيَّةَ وَامْتَنَعَ مِنَ الْحَجِّ عَنْهُ اسْتُؤْجِرَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ بِأَقَلِّ مَا يُوجَدُ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ مِنَ النَّاسِ كُلِّهِمْ وَيَبْطُلُ حُكْمُ التَّعْيِينِ وَهَلْ يُعْتَبَرُ ذَلِكَ مِنْ بَلَدِهِ أَوْ مِيقَاتِ بَلَدِهِ عَلَى ما مضى من القولين وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

dan pendapat kedua: dan ini adalah pendapat yang dinyatakan secara tegas, bahwa yang berhak diterima olehnya adalah jumlah paling sedikit dari ujrah al-mitsli orang lain secara keseluruhan, karena jika ia tidak ditunjuk secara khusus, maka ia tidak berhak kecuali atas jumlah paling sedikit yang ada orang yang mau berhaji dengannya; maka demikian pula halnya jika ia ditunjuk, karena penunjukan itu tidak menetapkan besarnya imbalan, melainkan hanya menetapkan siapa yang berhaji untuknya.

Jika demikian, maka jumlah yang wajib dikeluarkan—jika ia tidak ditunjuk—diambil dari harta pokok, dan kelebihan atas itu karena penunjukan, diambil dari sepertiga harta. Maka jika Zaid tidak menerima wasiat dan menolak untuk berhaji atas namanya, maka disewa orang lain yang berhaji atas namanya dengan jumlah paling sedikit dari orang-orang yang bersedia berhaji, dan batal hukum penunjukan tersebut.

Dan apakah perhitungan itu berdasarkan negeri asalnya atau dari mīqāt negeri asalnya, mengikuti dua pendapat yang telah disebutkan. Dan Allah Maha Mengetahui.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: وَهُوَ أَنْ لَا يُعَيِّنَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ وَيُعَيِّنَ الْقَدْرَ الَّذِي يحج به عنه فهو أن يقول أحجوا عَنِّي رَجُلًا بِمِائَةِ دِينَارٍ فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْأَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ يُقَدِّرُ أُجْرَةَ الْمِثْلِ فَيَكُونَ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ إِلَّا أَنْ يَجْعَلَهَا فِي الثُّلُثِ وَيَسْتَأْجِرَ مَنْ يَحُجُّ بِهَا مِنْ وَارِثٍ أَوْ غَيْرِهِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ أَقَلَّ مِنْ أُجْرَةِ الْمِثْلِ فَالْوَاجِبُ أَنْ يُتِمَّ أُجْرَةَ الْمِثْلِ وَيَكُونَ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ وَيَسْتَأْجِرَ مَنْ يَحُجُّ بِهَا مِنْ وَارِثٍ أَوْ غَيْرِهِ.

PASAL
 Adapun bagian keempat, yaitu apabila ia tidak menetapkan siapa yang menghajikannya, namun menetapkan jumlah biaya yang digunakan untuk menghajikannya—yaitu ia berkata: “Hajikan aku oleh seseorang dengan seratus dinar”—maka kasus ini kembali kepada tiga bagian yang telah disebutkan sebelumnya:

Pertama: apabila jumlah itu sesuai dengan ujrat al-miṡl (upah sepadan), maka diambil dari harta pokok (ra’s al-māl), kecuali jika ia menempatkannya dalam sepertiga (ṡuluṡ). Maka disewa seseorang—baik ahli waris maupun orang lain—untuk menghajikannya dengan jumlah tersebut.

Kedua: apabila jumlah itu lebih sedikit dari ujrat al-miṡl, maka wajib disempurnakan hingga mencapai ujrat al-miṡl, dan diambil dari harta pokok, serta disewa seseorang—baik ahli waris maupun orang lain—untuk menghajikannya.


وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ أَكْثَرَ مِنْ أُجْرَةِ الْمِثْلِ فَتَكُونَ الزِّيَادَةُ عَلَى أُجْرَةِ الْمِثْلِ وَصِيَّةً فِي الثُّلْثِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَحُجَّ بِهَا وَارِثٌ لِأَنَّ فِيهَا وَصِيَّةً لَا تَصِحُّ لِوَارِثٍ فَلَوْ قَالَ الْوَارِثُ أَنَا أَحُجُّ عَنْهُ بِأُجْرَةِ الْمِثْلِ دُونَ الزِّيَادَةِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الثُّلُثُ لَا يَحْتَمِلُ شَيْئًا مِنَ الزِّيَادَةِ لِإِحَاطَةِ الدُّيُونِ بِالتَّرِكَةِ فَيَجُوزَ أَنْ يَحُجَّ عَنْهُ الْوَارِثُ لِبُطْلَانِ قَدْرِ الْوَصِيَّةِ وَاسْتِوَاءِ الْوَارِثِ وَغَيْرِهِ فِيمَا عَدَا الْوَصِيَّةِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الثُّلُثُ مُحْتَمِلًا لِلزِّيَادَةِ أَوْ بَعْضِهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

dan yang ketiga: yaitu apabila jumlah yang diwasiatkan lebih besar dari ujrah al-mitsli, maka kelebihan atas ujrah al-mitsli itu termasuk wasiat yang diambil dari sepertiga harta. Maka tidak boleh dilaksanakan oleh ahli waris, karena di dalamnya terdapat unsur wasiat yang tidak sah bagi ahli waris.

Jika ahli waris berkata, “Aku akan berhaji atas namanya dengan ujrah al-mitsli tanpa mengambil kelebihannya,” maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

pertama: apabila sepertiga harta tidak mencukupi untuk menanggung sedikit pun dari kelebihan itu karena seluruh harta dikelilingi oleh utang, maka boleh bagi ahli waris untuk berhaji atas namanya, karena batalnya bagian wasiat dan sama kedudukan antara ahli waris dan orang luar dalam hal selain wasiat.

dan keadaan kedua: apabila sepertiga harta masih mencukupi untuk menanggung seluruh atau sebagian dari kelebihan itu, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:


أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أن الْوَارِثَ يُجَابُ إِلَى ذَلِكَ فَيَحُجُّ عَنْهُ بِأُجْرَةِ الْمِثْلِ وَتَبْطُلُ الْوَصِيَّةُ بِالزِّيَادَةِ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْوَصِيَّةِ إِسْقَاطُ الْفَرْضِ بِالْمُسَمَّى فَإِذَا أُسْقِطَ بِبَعْضِ الْمُسَمَّى كَانَ أَوْلَى.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ عِنْدِي أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إِجَابَةُ الْوَارِثِ إِلَى ذَلِكَ وَيُسْتَأْجَرُ غَيْرُهُ بِجَمِيعِ الْمِائَةِ لِأَنَّ مَعَ الْحَجِّ وَصِيَّةً لَا تَصِحُّ لِلْوَارِثِ يَجِبُ صَرْفُهَا إِلَى غَيْرِهِ وَالْوَصَايَا إِذَا أَمْكَنَ نَفَاذُهَا لَمْ يَجُزْ إِبْطَالُهَا فَهَذَا الْكَلَامُ فِيمَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ حَجَّةٌ وَاجِبَةٌ إِمَّا حَجَّةُ الْإِسْلَامِ أَوْ حَجَّةُ نَذْرٍ أَوْ قَضَاءٍ.

Pertama: yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa ahli waris boleh melaksanakan haji tersebut dan mengambil ujrat al-miṡl (upah sepadan), sedangkan wasiat dengan jumlah kelebihan menjadi batal. Karena maksud dari wasiat itu adalah menggugurkan kewajiban haji dengan jumlah yang disebutkan. Maka jika kewajiban itu gugur dengan sebagian dari jumlah tersebut, maka itu lebih utama.

Pendapat kedua: dan inilah yang ṣaḥīḥ menurutku, bahwa tidak boleh memberikan haji itu kepada ahli waris, melainkan disewa orang lain dengan seluruh seratus dinar. Karena dalam pelaksanaan haji itu terkandung unsur wasiat, dan wasiat tidak sah untuk ahli waris, maka harus dialihkan kepada selainnya. Dan wasiat, apabila memungkinkan untuk dilaksanakan, tidak boleh dibatalkan.

Inilah pembahasan mengenai seseorang yang wafat dan masih ada kewajiban haji atasnya, baik haji Islam, haji nadzar, maupun haji qaḍā’.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا مَاتَ وَقَدْ أَدَّى فَرْضَ الْحَجِّ وَلَمْ يَكُنْ قَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَجُّ فَوَصَّى أَنْ يُحَجَّ عَنْهُ مُتَطَوِّعًا فَفِي صِحَّةِ وَصِيَّتِهِ وَجَوَازِهِ النِّيَابَةَ عَنْهُ فِي تَطَوُّعِهِ قَوْلَانِ مْنَصُوصَانِ نَصَّ عَلَيْهِمَا فِي الْأُمِّ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهَا وَصِيَّةٌ صَحِيحَةٌ وَالنِّيَابَةُ عَنْهُ فِي تَطَوُّعِهِ جَائِزَةٌ وَقَدْ مَضَى تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فِي أول الكتاب فإن قلنا ولم يجز النيابة عنه ببطلان الوصية سقط حكمها فِيهَا وَإِنْ قُلْنَا بِصِحَّةِ الْوَصِيَّةِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

PASAL
 Adapun apabila seseorang wafat dalam keadaan telah menunaikan haji fardhu dan tidak ada kewajiban haji lagi atasnya, lalu ia berwasiat agar dihajikan secara ṭathawwu‘ (sunnah), maka dalam hal keabsahan wasiat tersebut dan kebolehan adanya perwakilan untuknya dalam haji sunnah terdapat dua pendapat yang dinukil secara tegas, dan keduanya dinyatakan dalam al-Umm:

pertama: bahwa wasiat tersebut sah dan boleh mewakilinya dalam haji sunnah,
 dan dua pendapat ini telah dijelaskan sebelumnya di awal kitab.

Maka jika dikatakan bahwa tidak sah adanya perwakilan karena batalnya wasiat, maka gugurlah hukumnya.
 Namun jika dikatakan bahwa wasiat itu sah, maka keadaannya tidak lepas dari empat bagian:


أَحَدُهَا: أَنْ يُعَيِّنَ من يحج عنه ويعين القدر الذي يحج بِهِ فَيَقُولَ أَحِجُّوا عَنِّي زَيْدًا بِمِائَةِ دِينَارٍ فَلَا يَخْلُو حَالُ زَيْدٍ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ أَجْنَبِيًّا أَوْ وَارِثًا فَإِنْ كَانَ أَجْنَبِيًّا صَحَّتْ لَهُ الْوَصِيَّةُ وَكَانَ جَمِيعُ الوصية في الثلث لأنها تطوع فإن قيل الْوَصِيَّةَ حَجَّ عَنْهُ بِجَمِيعِ الْمِائَةِ أَوْ بِمَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ مِنَ الْمِائَةِ وَإِنْ رَدَّ الْوَصِيَّةَ بِالْحَجِّ وَلَمْ يَقْبَلْهَا فَفِي بُطْلَانِ الْوَصِيَّةِ وَجْهَانِ:

Pertama: yaitu apabila ia menetapkan siapa yang menghajikannya dan juga menetapkan jumlah biaya yang digunakan—misalnya ia berkata, “Hajikan aku oleh Zaid dengan seratus dinar”—maka keadaan Zaid tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia orang luar (ajnabī) ataukah ia ahli waris.

Jika Zaid adalah ajnabī, maka wasiat itu sah untuknya, dan seluruh wasiat tersebut dihitung dari sepertiga harta (ṡuluṡ), karena termasuk ibadah tathawwu‘ (sunnah).

Jika ditanyakan: “Apakah ia menghajikannya dengan seluruh seratus dinar, atau hanya sebesar yang ditanggung oleh sepertiga dari harta?”—maka jawabannya, jika ia menerima wasiat haji tersebut, maka dilaksanakan sesuai bagian sepertiga yang mampu menanggungnya dari seratus dinar.

Namun jika ia menolak wasiat tersebut dan tidak menerimanya, maka mengenai batal atau tidaknya wasiat itu terdapat dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: قَدْ بَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ إِذَا تَعَلَّقَتْ بِعَيْنٍ لَمْ يَجُزْ صَرْفُهَا إِلَى غَيْرِ تِلْكَ الْعَيْنِ كَمَا لَوْ أَوْصَى إِلَى رَجُلٍ بمائة فلم يقبلها لَمْ يَجُزْ صَرْفُهَا إِلَى غَيْرِهِ وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهَا لَا تَبْطُلُ لِأَنَّهَا فِي مُقَابَلَةِ عَمَلٍ يعاوض عليه فلم يكن تعينها فِي شَخْصٍ مَانِعًا مِنْ نَقْلِهَا إِلَى غَيْرِهِ عِنْدَ عَدَمِ قَبُولِهِ كَمَنْ وَصَّى بِبَيْعِ عَبْدِهِ عَلَى زَيْدٍ وَيُتَصَدَّقُ بِثَمَنِهِ فَامْتَنَعَ زَيْدٌ مِنَ ابْتِيَاعِهِ لَمْ تَبْطُلِ الْوَصِيَّةُ وَبِيعَ إِلَى غَيْرِهِ فَعَلَى هَذَا هَلْ تُصْرَفُ جَمِيعُ الْمِائَةِ فِي غَيْرِهِ أَوْ يَصْرَفُ أَقَلُّ مَا يُوجَدُ مَنْ يَحُجُّ بِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

pertama: bahwa wasiat tersebut batal, karena apabila wasiat berkaitan dengan sesuatu yang telah ditentukan (secara spesifik), maka tidak boleh dialihkan kepada selain yang ditentukan itu, sebagaimana jika seseorang berwasiat kepada seorang laki-laki dengan seratus dinar, lalu orang itu tidak menerimanya, maka tidak boleh dialihkan kepada selainnya.

dan pendapat kedua: bahwa wasiat tersebut tidak batal, karena ia sebagai imbalan atas suatu amal (pekerjaan) yang dapat diganti dengan imbalan, maka penunjukan kepada seseorang tidak menghalangi untuk dialihkan kepada selainnya ketika ia menolak, seperti seseorang yang berwasiat agar budaknya dijual kepada Zaid dan hasil penjualannya disedekahkan, lalu Zaid menolak untuk membelinya, maka wasiat tidak batal dan budak itu boleh dijual kepada selainnya.

Berdasarkan hal ini, apakah seluruh seratus dinar diberikan kepada orang selainnya ataukah hanya sebesar paling sedikit yang ditemukan orang yang bersedia berhaji dengannya, maka terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّهُ يُصْرَفُ إِلَى غَيْرِهِ أَقَلُّ مَا يُوجَدُ أَحَدٌ يَحُجُّ بِهِ وَتَبْطُلُ الزِّيَادَةُ وَتَعُودُ إِلَى التَّرِكَةِ لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ مُعَيَّنَةٌ لِشَخْصٍ لَمْ يَقْبَلْهَا كَمَنْ وَصَّى بِبَيْعِ عَبْدِهِ عَلَى زَيْدٍ بِمِائَةٍ وَهُوَ يُسَاوِي مِائَتَيْنِ عَلَى أَنْ يُتَصَدَّقَ بِثَمَنِهِ فَامْتَنَعَ زَيْدٌ مِنَ ابْتِيَاعِهِ بِيعَ عَلَى غَيْرِهِ بِالْمِائَتَيْنِ وَلَمْ يُبَعْ عَلَى غَيْرِهِ بِالْمِائَةِ لِأَنَّ الْمُحَابَاةَ قَدْ كَانَتْ وَصِيَّةً لِشَخْصٍ لَمْ يَقْبَلْهَا فَبَطَلُ حُكْمُهَا.

Pertama: dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, yaitu bahwa (wasiat tersebut) dialihkan kepada selain Zaid dengan biaya paling sedikit yang dapat ditemukan seseorang bersedia menghajikannya, dan kelebihan dari itu batal serta kembali kepada harta peninggalan.

Karena itu merupakan wasiat yang ditujukan secara khusus kepada seseorang, namun orang tersebut tidak menerimanya—seperti orang yang berwasiat agar hambanya dijual kepada Zaid dengan harga seratus, padahal nilainya dua ratus, dengan syarat hasil penjualannya disedekahkan. Jika Zaid menolak untuk membelinya, maka hamba itu dijual kepada orang lain dengan harga dua ratus dan tidak dijual kepada selain Zaid dengan harga seratus.

Sebab bentuk “pengistimewaan” tersebut merupakan wasiat yang ditujukan kepada orang tertentu yang tidak menerimanya, maka batal ketentuannya.


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يُصْرَفَ إِلَى غَيْرِهِ جَمِيعُ الْمِائَةِ وَكَانَ الْمَقْصُودُ مِنْهَا صَرْفُ جَمِيعِهَا فِي الْحَجِّ وَالتَّعْيِينُ يُسْتَفَادُ بِهِ تَقْدِيمُ الْمُسْتَحِقِّ وَالْأَوَّلُ أَقِيسُ وَبِنَصِّ الشَّافِعِيِّ أَشْبَهُ وَإِنْ كَانَ زَيْدٌ وَارِثًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَحُجَّ بِهَا لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ وَالْوَصِيَّةُ لَا تَصِحُّ لِوَارِثٍ فَعَلَى هَذَا فِي بُطْلَانِهَا وَجْهَانِ عَلَى مَا مَضَى.

dan pendapat kedua: bahwa seluruh seratus dinar itu boleh diberikan kepada selainnya, karena yang dimaksudkan dari jumlah itu adalah agar seluruhnya digunakan untuk haji, dan penunjukan orang tertentu hanya dimaksudkan untuk memberikan prioritas kepada pihak yang berhak.

Namun pendapat pertama lebih kuat secara qiyās dan lebih sesuai dengan nash Imam al-Syafi‘i.

Dan jika Zaid adalah seorang ahli waris, maka tidak boleh ia berhaji dengan harta tersebut karena ia adalah wasiat, dan wasiat tidak sah bagi ahli waris. Maka berdasarkan hal ini, tentang batalnya wasiat terdapat dua pendapat, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.


وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ لَا يُعَيِّنَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ وَلَا يُعَيِّنَ الْقَدْرَ الَّذِي يُحَجُّ بِهِ عَنْهُ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ أَحِجُّوا عَنِّي فَالْوَاجِبُ أَنْ يَسْتَأْجِرَ رَجُلًا يَحُجُّ عَنْهُ بِأَقَلِّ مَا يُوجَدُ أَحَدٌ يَحُجُّ بِهِ وَيَكُونَ ذَلِكَ فِي الثُّلُثِ أَيْضًا لِأَنَّهُ تَطَوُّعٌ لَيْسَ بِوَاجِبٍ فَإِنَّ حَجَّ بِذَلِكَ وَارِثٌ جَازَ فَإِنْ قِيلَ أَلَيْسَ مَا كَانَ مَحِلُّهُ فِي الثُّلُثِ وَصِيَّةً وَالْوَصِيَّةُ لَا تَصِحُّ لِوَارِثٍ فَهَلَّا مَنَعْتُمُوهُ مِنْ ذَلِكَ قِيلَ إِنَّمَا يُمْنَعُ مِنَ الْوَصِيَّةِ لَهُ وَلَيْسَ يُمْنَعُ مِنْ أَنْ يعارض عَلَى مَا يُنَفَّذُ فِي الْوَصَايَا أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ وَصَّى بِابْتِيَاعِ عَبْدٍ يُعْتَقُ عَنْهُ أَوْ طَعَامٍ يُتَصَدَّقُ بِهِ عَنْهُ جَازَ أَنْ يُبْتَاعَ ذَلِكَ مِنَ الْوَارِثِ بِثَمَنِ مِثْلِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ مَحِلُّهُ فِي الثُّلُثِ فَهُوَ لَيْسَ يَأْخُذُهُ وَصِيَّةً وَإِنَّمَا يَأْخُذُهُ مُعَاوَضَةً فَكَذَلِكَ فِي الْحَجِّ لِأَنَّهُ يَأْخُذُ أُجْرَةَ مِثْلِهِ عِوَضًا من عمله.

Bagian kedua: yaitu apabila ia tidak menetapkan siapa yang menghajikannya dan tidak pula menetapkan jumlah biaya yang digunakan—yaitu ia berkata, “Hajikanlah aku”—maka yang wajib dilakukan adalah menyewa seseorang untuk menghajikannya dengan biaya paling sedikit yang dapat ditemukan seseorang bersedia menghajikannya, dan ini juga dilakukan dari sepertiga harta (ṡuluṡ), karena ini termasuk ibadah tathawwu‘ (sunnah), bukan yang wajib.

Jika yang menghajikannya adalah seorang ahli waris, maka itu dibolehkan.

Apabila dikatakan, “Bukankah sesuatu yang tempat pelaksanaannya berada di sepertiga harta termasuk wasiat, sedangkan wasiat tidak sah bagi ahli waris? Maka mengapa kalian tidak melarangnya dari hal itu?”

Maka dijawab: larangan itu hanya berlaku apabila ia mengambilnya sebagai wasiat untuk dirinya, bukan apabila ia hanya menjadi pihak yang diberi kompensasi dalam pelaksanaan wasiat tersebut.

Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang berwasiat untuk membeli budak yang kemudian dimerdekakan atas namanya, atau makanan untuk disedekahkan atas namanya, maka boleh saja budak itu dibeli dari ahli waris dengan harga sepadan, karena meskipun tempat pelaksanaannya berada di sepertiga harta, namun ia (ahli waris) tidak mengambilnya sebagai wasiat, melainkan sebagai bentuk mu‘āwaḍah (pertukaran).

Demikian pula dalam hal haji, karena ia (ahli waris) mengambil ujrat al-miṡl (upah sepadan) sebagai kompensasi dari amalnya, bukan sebagai wasiat.


والقسم الثالث: أَنْ يُعَيِّنَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ وَلَا يُعَيِّنَ الْقَدْرَ الَّذِي يُحَجُّ بِهِ عَنْهُ وَهُوَ أَنَّهُ يقول: أحجوا عني زيد فَالْوَاجِبُ أَنْ يُدْفَعَ إِلَى زَيْدٍ أَقَلَّ مَا يُوجِبُ مَنْ يَحُجُّ بِهِ وَارِثًا كَانَ أَوْ غَيْرَ وَارِثٍ فَإِنِ امْتَنَعَ زَيْدٌ مِنْ قَبُولِ ذَلِكَ فَفِي بُطْلَانِ الْوَصِيَّةِ وَجْهَانِ.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ لَا يُعَيِّنَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ وَيُعَيِّنَ الْقَدْرَ الَّذِي يُحَجُّ بِهِ عَنْهُ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ أَحِجُّوا عَنِّي بِمِائَةِ دِينَارٍ فَتُصْرَفُ إِلَى غَيْرِ وَارِثٍ إِذَا كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ أُجْرَةِ الْمِثْلِ لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ فَإِنْ عُرِضَتْ عَلَى شَخْصٍ فَلَمْ يَقْبَلْهَا نُقِلَتْ إِلَى غَيْرِهِ لِأَنَّهَا غَيْرُ مُعَيَّنَةٍ فِي شَخْصٍ بِعَيْنِهِ.

dan bagian ketiga: yaitu apabila ia menentukan siapa yang berhaji untuknya tetapi tidak menentukan jumlah yang digunakan untuk menghajikannya, yaitu dengan berkata: “Hajikan aku, Zaid.” Maka yang wajib diberikan kepada Zaid adalah jumlah paling sedikit yang orang bersedia berhaji dengannya, baik ia adalah ahli waris ataupun bukan. Jika Zaid menolak untuk menerima hal tersebut, maka dalam batal atau tidaknya wasiat terdapat dua pendapat.

Dan bagian keempat: yaitu apabila ia tidak menentukan siapa yang berhaji untuknya, tetapi menentukan jumlah yang digunakan untuk menghajikannya, yaitu dengan berkata: “Hajikan aku dengan seratus dinar.” Maka jumlah itu diberikan kepada selain ahli waris jika jumlahnya melebihi ujrah al-mitsli, karena itu adalah wasiat. Jika ditawarkan kepada seseorang lalu ia tidak menerimanya, maka dialihkan kepada orang lain, karena ia tidak ditentukan secara khusus pada satu orang tertentu.


فَصْلٌ
: إِذَا قَالَ أَحِجُّوا عَنِّي مَنْ يَرْضَاهُ فُلَانٌ فَرَضِيَ فُلَانٌ إِنْسَانًا كَانَ كَمَا لَوْ عَيَّنَهُ الْمُوصِي فَإِنْ كَانَ فِي حَجٍّ وَاجِبٍ كَانَ كَالْمُعَيَّنِ فِي حَجٍّ وَاجِبٍ فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى وَإِنْ كَانَ فِي تَطَوُّعٍ كَانَ كَالْمُعَيَّنِ فِي حَجِّ التَّطَوُّعِ فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى.

PASAL
 Apabila seseorang berkata, “Hajikan aku oleh orang yang diridhai oleh Fulan,” lalu Fulan meridhai seseorang, maka hukumnya sama seperti wasiat yang secara langsung menetapkan orang tersebut oleh si pewasiat.

Jika itu adalah haji yang wajib, maka hukumnya seperti orang yang ditetapkan untuk melaksanakan haji wajib, dan berlaku ketentuan sebagaimana yang telah lalu.
 Dan jika itu adalah haji tathawwu‘ (sunnah), maka hukumnya seperti orang yang ditetapkan untuk melaksanakan haji tathawwu‘, dan berlaku pula sebagaimana yang telah lalu.


فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ وَلَوْ قَالَ أَوَّلُ وَاحِدٍ يَحُجُّ عَنِّي فَلَهُ مِائَةُ دِينَارٍ فَحَجَّ عَنْهُ غَيْرُ وَارِثٍ فَلَهُ مِائَةٌ وَإِنَّ حَجَّ عَنْهُ وَارِثٌ فَلَهُ أَقَلُّ مَا يُوجَدُ بِهِ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ وَمَا زَادَ عَلَى ذَلِكَ مَرْدُودٌ، لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ لِوَارِثٍ.

PASAL
 Imam al-Syafi‘i berkata dalam al-Umm: “Seandainya seseorang berkata: ‘Orang pertama yang berhaji atas namaku, maka baginya seratus dinar,’ lalu yang berhaji untuknya adalah orang luar (bukan ahli waris), maka ia berhak atas seratus dinar. Tetapi jika yang berhaji untuknya adalah ahli waris, maka ia hanya berhak atas jumlah paling sedikit yang dengannya orang bersedia berhaji, dan selebihnya dikembalikan, karena itu adalah wasiat kepada ahli waris.”


فَصْلٌ
: إِذَا قَالَ أَحِجُّوا عَنِّي حِجَجًا بِأَلْفِ دِينَارٍ فَيَنْبَغِي لِلْوَصِيِّ أَنْ يُخْرِجَ أَكْثَرَ مَا يُمْكِنُ أَنْ يَخْرُجَ بِأَلْفِ دِينَارٍ مِنَ الْحَجِّ مِنَ الميقات لأن إطلاق الحج بوصية وَأَقَلُّ مَا عَلَيْهِ أَنْ يُخْرِجَ بِهَا ثَلَاثَ حِجَجٍ إِذَا أَمْكَنَ.

PASAL
 Apabila seseorang berkata: “Hajikanlah aku beberapa kali haji dengan seribu dinar,” maka seyogianya bagi pelaksana wasiat (waṣī) mengeluarkan sebanyak mungkin jumlah haji yang dapat dilaksanakan dengan seribu dinar dari miqāt, karena pernyataan wasiat tersebut bersifat umum (iṭlāq) dalam haji.

Dan jumlah paling sedikit yang wajib ia keluarkan darinya adalah tiga kali haji, jika memungkinkan.


فَصْلٌ
: إِذَا مَاتَ وَعَلَيْهِ حَجَّةٌ وَاجِبَةٌ مِنْ نَذْرٍ أَوْ قَضَاءٍ فَاسْتُؤْجِرَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ تَطَوُّعًا فَأَحْرَمَ الْأَجِيرُ بِالتَّطَوُّعِ انْصَرَفَ إِحْرَامُهُ إِلَى الْحَجِّ الْوَاجِبِ دُونَ التَّطَوُّعِ لِأَنَّ حَجَّ الْأَجِيرِ عَنْهُ قَدْ أُقِيمَ مَقَامَ حَجِّهِ عَنْ نَفْسِهِ وَلَوْ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ عَنْ نَفْسِهِ تَطَوُّعًا وَعَلَيْهِ حَجٌّ وَاجِبٌ كَانَ عَنْ حَجِّهِ الْوَاجِبِ فَكَذَا إِحْرَامُ الْأَجِيرِ عَنْهُ فَلَوْ مات وعليه حجتان: أحدهما حَجَّةُ الْإِسْلَامِ وَالْأُخْرَى حَجَّةُ نَذْرٍ وَجَبَ أَنْ يَسْتَأْجِرَ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ حَجَّةَ الْإِسْلَامِ أَوَّلًا ثُمَّ حَجَّةَ النَّذْرِ فَإِنْ أَحْرَمَ الْأَجِيرُ عَنْهُ أَوَّلًا بِحَجَّةِ النَّذْرِ انْعَقَدَتْ عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُقَدَّمَ عَلَى حَجَّةِ الْإِسْلَامِ غَيْرُهَا فَلَوِ اسْتُؤْجِرَ رَجُلَانِ لِيَحُجَّا عَنْهُ فِي عَامٍ وَاحِدٍ أَحَدُهُمَا يُحْرِمُ لِحَجَّةِ الْإِسْلَامِ وَالْآخِرُ لِحَجَّةٍ النَّذْرِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

PASAL
 Apabila seseorang wafat dan masih memiliki kewajiban haji, baik karena nadzar maupun qadhā’, lalu disewa seseorang untuk menghajikannya secara ṭathawwu‘, kemudian si penyewa ihram dengan niat haji ṭathawwu‘, maka ihramnya itu dianggap sebagai haji wajib, bukan haji ṭathawwu‘, karena haji si penyewa itu telah menggantikan hajinya si mayit, sebagaimana jika seseorang ihram untuk dirinya sendiri dengan niat haji ṭathawwu‘, padahal masih memiliki haji wajib, maka yang berlaku adalah haji wajib. Maka demikian pula ihram penyewa atas nama si mayit.

Jika ia wafat dan memiliki dua kewajiban haji: salah satunya adalah haji Islam, dan yang lainnya adalah haji nadzar, maka wajib menyewa orang untuk menghajikannya haji Islam terlebih dahulu, kemudian haji nadzar. Jika si penyewa terlebih dahulu ihram untuk haji nadzar, maka ihram itu dianggap sebagai haji Islam, karena tidak boleh mendahulukan selain haji Islam atasnya.

Jika dua orang disewa untuk menghajikannya dalam tahun yang sama, yang satu ihram untuk haji Islam dan yang lainnya ihram untuk haji nadzar, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِأَنَّ حَجَّ الْأَجِيرِ يَقُومُ مَقَامَ حَجِّهِ عَنْ نَفْسِهِ وَهُوَ لَا يَقْدِرُ عَلَى حَجَّتَيْنِ فِي عَامٍ فَكَذَا لَا يَصِحُّ أَنْ يَحُجَّ عَنْهُ رَجُلَانِ فِي عَامٍ وَاحِدٍ.
وَالثَّانِي: أَنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ لِأَنَّهُ إِنَّمَا لَمْ تَصِحَّ مِنْهُ حَجَّتَانِ فِي عَامٍ وَاحِدٍ لِاسْتِحَالَةِ وُقُوعِهِمَا مِنْهُ وَالْأَجِيرَانِ قَدْ تَصِحُّ مِنْهُمَا حَجَّتَانِ فِي عَامٍ فَاخْتَلَفَا فَعَلَى هَذَا أَيُّ الْأَجِيرَيْنِ سَبَقَ بِالْإِحْرَامِ كَانَ إِحْرَامُهُ مُنْعَقِدًا لِحَجَّةِ الْإِسْلَامِ وَإِحْرَامُ الَّذِي بَعْدَهُ مُنْعَقِدًا لِحَجَّةِ النَّذْرِ فَإِنْ أَحْرَمَا مَعًا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَسْبِقَ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ احْتَمَلَ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُعْتَبَرُ أَسْبَقُهُمَا إِجَارَةً وَإِذْنًا فَيَنْعَقِدُ إِحْرَامُهُ بِحَجَّةِ الْإِسْلَامِ وَالَّذِي بَعْدَهُ بِحَجَّةِ النَّذْرِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَحْتَسِبُ لَهُ بِإِحْدَاهُمَا عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ لَا يُعَيِّنُهَا وَالْأُخْرَى عَنْ حَجَّةِ النَّذْرِ والله أعلم.

Pendapat pertama: tidak diperbolehkan, karena haji yang dilakukan oleh ajīr (orang yang disewa) menggantikan posisi haji yang dilakukan sendiri oleh orang yang dihajikan, sedangkan seseorang tidak mampu melaksanakan dua haji dalam satu tahun, maka demikian pula tidak sah jika dua orang menghajikannya dalam satu tahun.

Pendapat kedua: hal itu diperbolehkan, karena sebab tidak sahnya seseorang menghajikan dua kali dalam satu tahun adalah karena mustahil ia melakukannya sendiri. Sedangkan dua ajīr berbeda orang, maka memungkinkan mereka melakukan dua haji dalam satu tahun.

Berdasarkan pendapat kedua ini, jika dua ajīr itu menghajikan dalam tahun yang sama, maka siapa yang lebih dahulu melakukan iḥrām, maka iḥrām-nya teranggap untuk Haji Islam, dan yang setelahnya teranggap untuk Haji nadzar.

Namun jika keduanya melakukan iḥrām bersamaan dalam satu waktu tanpa ada yang mendahului, maka terdapat dua wajah:

Pertama: yang dianggap adalah siapa yang lebih dahulu dalam akad ijārah dan izin, maka iḥrām-nya dianggap untuk Haji Islam, sedangkan yang setelahnya untuk Haji nadzar.

Kedua: bahwa Allah Ta‘ālā menetapkan salah satunya sebagai Haji Islam tanpa ditentukan mana, dan yang satunya sebagai Haji nadzar.

Dan Allah lebih mengetahui.

مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَعَلَى مَنْ قَتَلَ الصَّيْدَ الْجَزَاءُ عَمْدًا كَانَ أَوْ خَطَأً وَالْكَفَارَةُ فِيهِمَا سواءٌ لِأَنَّ كُلًّا ممنوع بحرمةٍ وكان فيه الكفارة وقياس ما اختلفوا من كفارة قتل المؤمن عمداً على ما أجمعوا عليه من كفارة قتل الصيد عمداً (قال) والعامد أولى بالكفارة في القياس من المخطئ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: قَتْلُ الصَّيْدِ حَرَامٌ فِي الْحَرَمِ وَالْإِحْرَامِ وَهُوَ مَضْمُونٌ بِالْجَزَاءِ عَمْدًا كَانَ أَوْ خَطَأً. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {يَا أيُّهَا الّذِينَ آمَنُوا لَيَبْلُوَنَّكُمُ اللهُ بِشَيْءٍ مِنَ الصَّيْدِ تَنَالُهُ أَيْدِيكُمْ وَرِمَاحُكُمْ) {المائدة: 94) فَفِي قَوْلِهِ {لَيَبْلُوَنَّكُمْ} تَأْوِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: مَعْنَاهُ لَيَخْتَبِرَنَّكُمْ.

PASAL MEMBUNUH BURUAN OLEH ORANG YANG BER-IHRAM SECARA SENGAJA ATAU TIDAK SENGAJA
 Masalah: Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Barang siapa membunuh buruan, maka ia wajib membayar jaza’, baik ia melakukannya dengan sengaja maupun tidak sengaja. Kafārah atas keduanya sama, karena masing-masing dilarang karena kehormatan (ḥurmah) dan pada keduanya terdapat kewajiban kafārah. Dan qiyās dari perbedaan pendapat mengenai kafārah membunuh seorang mukmin dengan sengaja diukur dari kesepakatan mereka atas kafārah membunuh buruan dengan sengaja. (Beliau berkata:) Dan orang yang sengaja lebih utama untuk dikenai kafārah secara qiyās dibandingkan orang yang tidak sengaja.”

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: membunuh buruan haram di Tanah Haram dan saat berihram, dan hal itu diwajibkan jaza’ baik dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja. Allah Ta‘ālā berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, sungguh Allah akan menguji kalian dengan sesuatu dari buruan yang dapat dijangkau oleh tangan-tangan dan tombak-tombak kalian.” (QS. al-Mā’idah: 94) Maka dalam firman-Nya {لَيَبْلُوَنَّكُمْ} terdapat dua penakwilan:
 Pertama: Maknanya adalah sungguh Allah akan menguji kalian.


وَالثَّانِي: لَيُكَلِّفَنَكُمْ. وَفِي قَوْله تَعَالَى: {تَنَالُهُ أَيْدِيكُمْ وَرِمَاحُكُمْ} تأويلان:
أحدهما: ” تناله أيديكم ” البيض، ورماحكم: الصَّيْدُ وَهُوَ قَوْلُ مُجَاهِدٍ.
وَالثَّانِي: تَنَالُهُ أَيْدِيكُمْ صغار الصيد وما ضعف منه ورماحكم كِبَارُ الصَّيْدِ وَمَا قَوِيَ مِنْهُ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ وَالْآيَةُ تَحْتَمِلُ التَّأْوِيلَيْنِ مَعًا، ثُمَّ قَالَ تَعَالَى: {لِيَعْلَم اللهُ مَنْ يَخَافُهُ بِالغَيْبِ) {المائدة: 94) وفيه تأويلان:
أحدهما: أن معناه لتعلموا أنتم أن الله يعلم ما يَخَافُهُ بِالْغَيْبِ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنَّ أنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي العَذَابِ الْمُهِينِ) {سبأ: 14) . مَعْنَاهُ: تبينت الجن أن الأنس قد علموا أن الْجِنُّ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا في الْمُهِينِ.

dan yang kedua: sungguh Dia akan membebani kalian. Dan dalam firman-Nya Ta‘ālā: {tanāluhū aydīkum wa rimāḥukum} terdapat dua takwil:

Pertama: “tanāluhū aydīkum” (yang dapat dijangkau oleh tangan kalian) adalah hewan buruan yang lemah, dan “rimāḥukum” (tombak-tombak kalian) adalah hewan buruan yang kuat. Ini adalah pendapat Mujāhid.

Kedua: “tanāluhū aydīkum” adalah buruan kecil dan yang lemah, sedangkan “rimāḥukum” adalah buruan besar dan yang kuat. Ini adalah pendapat Ibn ‘Abbās. Dan ayat ini mengandung kemungkinan dua takwil tersebut sekaligus.

Kemudian Allah Ta‘ālā berfirman: {li-ya‘lama Allāhu man yakhāfuhū bil-ghayb} (al-Mā’idah: 94), dan di dalamnya terdapat dua takwil:

Pertama: maknanya adalah agar kalian mengetahui bahwa Allah mengetahui siapa yang takut kepada-Nya secara gaib, sebagaimana firman Allah Ta‘ālā: {fa lammā kharra tabayyanat al-jinn anna law kānū ya‘lamūna al-ghayb mā labithū fī al-‘adhāb al-muhīn} (Saba’: 14). Maknanya: para jin mengetahui bahwa manusia telah mengetahui bahwa kalau seandainya para jin mengetahui yang gaib, tentu mereka tidak akan berlama-lama dalam azab yang menghinakan.


وَالثَّانِي: أَنَّ مَعْنَاهُ إِلَّا لِيَعْلَمَ عِلْمَ مُشَاهِدَةٍ وَنَظَرٍ، فَهَذِهِ الْآيَةُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ الصيد حُكْمًا قَدِ ابْتُلِيَ بِهِ الْخَلْقُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُعْلَمَ مِنْهُ تَحْرِيمُ قَتْلِهِ عَلَى الْمُحْرِمِ وَلَا إِيجَابُ الْجَزَاءِ فِيهِ، ثُمَّ يُبَيِّنُ سُبْحَانَهُ تَحْرِيمَ قَتْلِهِ وَإِيجَابَ الْجَزَاءِ فِيهِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {يَا أيُّهَا الّذِينَ آَمَنُوا لاَ تَقْتُلُواْ الصَّيْدَ وَأنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّداً فَجَزَاءُ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ) {المائدة: 95) فَيُسْتَدَلُّ بِهَذِهِ الْآيَةِ عَلَى تَحْرِيمِ قَتْلِ الصَّيْدِ عَلَى الْمُحْرِمِ وَإِيجَابِ الْجَزَاءِ فِيهِ، وَدَلَّ عَلَى ذَلِكَ قَوْله تَعَالَى: {أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعاً لَكُمْ وِللسَّيَّارَةِ، وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُماً) {المائدة: 96) وَفِي قَوْله تَعَالَى: {وَطَعَامُهُ مَتَاعاً لَكُمْ} تَأْوِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ وَهُوَ مَا لَفِظَهُ الْبَحْرُ.

Dan kedua: bahwa maknanya ialah agar Dia mengetahui dengan ilmu penyaksian dan penglihatan. Maka ayat ini menunjukkan bahwa berburu secara hukum adalah ujian bagi makhluk, tanpa diketahui darinya pengharaman membunuhnya atas orang yang beriḥrām dan tanpa pula kewajiban jazā’ padanya. Kemudian Allah Subḥānahu menjelaskan pengharaman membunuhnya dan kewajiban jazā’ padanya dengan firman-Nya Ta‘ālā:

{Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan sedang kamu dalam keadaan iḥrām. Dan barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja maka (wajiblah atasnya membayar) jazā’ dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya} (al-Mā’idah: 95).

Maka dengan ayat ini dijadikan dalil atas pengharaman membunuh buruan bagi orang yang beriḥrām dan kewajiban jazā’ padanya. Dan ditunjukkan pula oleh firman-Nya Ta‘ālā:

{Dihalalkan bagi kalian buruan laut dan makanannya sebagai kesenangan bagi kalian dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan, dan diharamkan atas kalian buruan darat selama kalian dalam keadaan iḥrām} (al-Mā’idah: 96).

Dan dalam firman-Nya Ta‘ālā: {dan makanannya sebagai kesenangan bagi kalian} terdapat dua takwil:

Pertama: yaitu pendapat Ibn ‘Abbās, yakni apa yang dilemparkan oleh laut.

 

وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ مَا تُزُوِّدَ بِهِ مَمْلُوحًا وَفِيهِ تَأْوِيلٌ ثَالِثٌ حَكَاهُ الشَّافِعِيُّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – عَنْ بَعْضِ أَهْلِ التَّفْسِيرِ فِي كِتَابِ ” اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى ” ” أَنَّ طَعَامَهُ كُلُّ مَا فِيهِ ” وهذا أعم التأولين، فَكَانَتْ هَذِهِ الْآيَةُ دَالَّةً عَلَى تَحْرِيمِ قَتْلِ الصَّيْدِ دُونَ إِيجَابِ الْجَزَاءِ فِيهِ وَدَلَّ عَلَى تَحْرِيمِهِ مِنَ الْسُنَّةِ رِوَايَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي الصَّعْبُ بْنُ جَثَّامَةَ قَالَ: أَهْدَيْتُ لِرَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لحم حمارٍ وحشي وهو بالأبواء – أو بودان – فَرَدَّهُ عَلَيْهِ فَلَمَّا رَأَى الْكَرَاهَةَ فِي وَجْهِي قَالَ: ” إِنَهُ لَيْسَ مِنَّا رَدٌّ عَلَيْكَ وَلَكِنَّا حرمٌ “.

dan yang kedua: yakni pendapat Sa‘īd ibn al-Musayyab, yaitu apa yang dijadikan bekal dalam keadaan sudah diasinkan. Dan dalam hal ini terdapat takwil ketiga yang dinukil oleh al-Syāfi‘ī raḥimahullāh dari sebagian ahli tafsir dalam kitab Ikhtilāf Abī Ḥanīfah wa Ibn Abī Laylā, yaitu: “makanannya adalah segala sesuatu yang terdapat padanya [yakni hewan buruan]”. Dan ini adalah takwil yang paling umum.

Maka ayat ini menunjukkan haramnya membunuh hewan buruan, tanpa menunjukkan kewajiban membayar jazā’ atasnya.

Dan yang menunjukkan keharamannya dari sunnah adalah riwayat dari Ibn ‘Abbās, ia berkata: ṣa‘b ibn Jathāmah memberitahuku, ia berkata: aku menghadiahkan kepada Rasulullah SAW daging keledai liar ketika beliau sedang berada di al-Abwā’—atau di Waddān—maka beliau mengembalikannya kepadaku. Ketika melihat ada rasa tidak senang di wajahku, beliau bersabda: “Kami tidak mengembalikannya kepadamu karena berasal darimu, tetapi karena kami sedang dalam keadaan ḥaram.”


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ تَحْرِيمُ قَتْلِ الصَّيْدِ عَلَى الْمُحْرِمِ وَإِيجَابُ الْجَزَاءِ فِيهِ فَالْبَابُ يَشْتَمِلُ عَلَى ثَلَاثَةِ فُصُولٍ:
أَحَدُهَا: إِيجَابُ الْجَزَاءِ عَلَى الْعَامِدِ.
وَالثَّانِي: إِيجَابُ الْجَزَاءِ عَلَى الْخَاطِئِ.
وَالثَّالِثُ: إيجاب الجزاء على العائد.

PASAL
 Apabila telah tetap keharaman membunuh hewan buruan atas orang yang sedang iḥrām dan kewajiban membayar jazā’ atasnya, maka bab ini mencakup tiga pasal:

Pertama: kewajiban jazā’ atas orang yang sengaja.
 Kedua: kewajiban jazā’ atas orang yang tidak sengaja.
 Ketiga: kewajiban jazā’ atas orang yang mengulangi.


فَأَمَّا الْعَامِدُ مِنْ قَتْلِهِ وَهُوَ: أَنْ يَتَعَمَّدَ قَتْلَهُ مَعَ ذِكْرِهِ لِإِحْرَامِهِ فَالْجَزَاءُ عَلَيْهِ وَاجِبٌ، وَقَالَ مُجَاهِدٌ: لَا جَزَاءَ عَلَى الْعَامِدِ فِي قَتْلِهِ، وَإِنْ قَتَلَهُ ذَاكِرًا لِإِحْرَامِهِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ عَامِدًا مِنْ قَتْلِهِ نَاسِيًا لِإِحْرَامِهِ أَوْ خَاطِئًا فِي قَتْلِهِ ذَاكِرًا لِإِحْرَامِهِ أَوْ خَاطِئًا فِي قَتْلِهِ نَاسِيًا لِإِحْرَامِهِ، فَيَجِبُ عَلَيْهِ الْجَزَاءُ. فأما العامد فيها لا جزاء عليه قال: لأن الله توعده بِالْعُقُوبَةِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَمَنْ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ) {المائدة: 94) فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْمَعَ بَيْنَ الْوَعِيدِ بِالْعُقُوبَةِ وَبَيْنَ التَّكْفِيرِ بِالْجَزَاءِ وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمَِّداً فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ) {المائدة: 95) فَأَوْجَبَ الْجَزَاءَ عَلَى الْعَامِدِ، وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ عَامِدٍ فِي الْقَتْلِ ذَاكِرٍ لِلْإِحْرَامِ، وَبَيْنَ عَامِدٍ لِلْقَتْلِ، ناسٍ لِلْإِحْرَامِ، فَكَانَ الظَّاهِرُ يَقْتَضِي عُمُومَ الْأَحْوَالِ، وَلِأَنَّ الْكَفَّارَةَ تَتَغَلَّظُ بِأَعْظَمِ الْإِثْمَيْنِ وَتَخِفُّ بِأَدْوَنِهِمَا فَلَمَّا وَجَبَتْ بِالْخَطَأِ كَانَ وُجُوبُهَا بِالْعَمْدِ أَوْلَى وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهَا نَفْسٌ مَضْمُونَةٌ بِالتَّكْفِيرِ خَطَأً، فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ مَضْمُونَةً بالتكفير عمداً للآدمي، وَمَا ذَكَرَهُ مِنَ الْوَعِيدِ لَا يَمْنَعُ وُجُوبَ الكفارة للآدمي.

Adapun orang yang sengaja membunuhnya, yaitu: ia sengaja membunuhnya dalam keadaan ia ingat akan iḥrām-nya, maka wajib atasnya membayar jazā’. Mujāhid berkata: tidak ada jazā’ atas orang yang sengaja membunuhnya, meskipun ia membunuh dalam keadaan ingat akan iḥrām-nya, kecuali jika ia sengaja membunuh namun lupa iḥrām-nya, atau tidak sengaja membunuh dalam keadaan ingat akan iḥrām-nya, atau tidak sengaja membunuh dalam keadaan lupa iḥrām-nya, maka wajib atasnya jazā’.

Adapun orang yang sengaja (membunuh) maka tidak ada jazā’ atasnya—kata Mujāhid—karena Allah telah mengancamnya dengan siksaan melalui firman-Nya: {Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka baginya azab yang pedih} (QS. al-Māidah: 94). Maka tidak dibenarkan menggabungkan antara ancaman siksaan dengan kewajiban membayar jazā’.

Adapun dalil atas kewajiban jazā’ adalah firman Allah Ta‘ālā: {Dan barang siapa di antara kalian membunuhnya dengan sengaja, maka balasannya adalah hewan ternak yang sebanding dengan apa yang dibunuhnya} (QS. al-Māidah: 95). Maka Allah mewajibkan jazā’ atas orang yang sengaja (membunuh), dan tidak membedakan antara orang yang sengaja membunuh dalam keadaan ingat akan iḥrām-nya dan orang yang sengaja membunuh dalam keadaan lupa akan iḥrām-nya. Maka zhahir ayat menunjukkan cakupan umum untuk semua keadaan.

Dan karena kafārah itu lebih berat ketika dosanya lebih besar, dan lebih ringan ketika dosanya lebih ringan. Maka ketika ia diwajibkan karena kesalahan, maka lebih utama lagi diwajibkan karena kesengajaan.

Penjelasan berdasarkan qiyās: bahwa jiwa hewan buruan itu ditanggung (secara syariat) dengan kafārah jika dibunuh karena kesalahan, maka wajib juga ia ditanggung dengan kafārah jika dibunuh dengan sengaja terhadap hak manusia (li ’l-ādami). Dan ancaman siksa yang disebutkan tidak menghalangi kewajiban kafārah terhadap hak manusia.


فصل
: فأما الخاطي فِي قَتْلِهِ وَهُوَ: أَنْ يَقْتُلَهُ خَطَأً مَعَ ذِكْرِهِ لِإِحْرَامِهِ أَوْ نِسْيَانِهِ لِإِحْرَامِهِ فَسَوَاءٌ، وَالْجَزَاءُ عَلَيْهِ وَاجِبٌ، وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ الظَّاهِرِيُّ: لَا جَزَاءَ عَلَيْهِ وَهُوَ فِي الصَّحَابَةِ، قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَفِي التَّابِعَيْنِ قَوْلُ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ: {وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّداً فَجَزاءُ. .) {المائدة: 95) فشرط العمد في إيجاب الجزاء يدل على أنه الْخَاطِئَ لَيْسَ عَلَيْهِ جَزَاءٌ، وَبِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ ” فَوَجَبَ بِحَقِّ الظَّاهِرِ أَنْ يَرْتَفِعَ حُكْمُهُ وَلِأَنَّ كُلَّ فِعْلٍ يَجِبُ عَلَى الْمُحْرِمِ بِعَمْدِهِ الْكَفَّارَةُ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ بِخَطَئِهِ الْكَفَّارَةُ كَ ” الطِّيبِ وَاللِّبَاسِ ” وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّداً فَجَزاءٌ) {المائدة: 95) فَاحْتَمَلَ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ به معتمداً لِقَتْلِهِ نَاسِيًا لِإِحْرَامِهِ وَاحْتَمَلَ أَنْ يَكُونَ مُتَعَمِّدًا لِقَتْلِهِ ذَاكِرًا لِإِحْرَامِهِ فَإِذَا احْتَمَلَ الْأَمْرَيْنِ يُحْمَلُ عَلَيْهِمَا؛ لِأَنَّ ظَاهِرَ الْعُمُومِ يَتَنَاوَلُهَا، وَدَاوُدُ يُخْرِجُ مِنَ الْعُمُومِ أَحَدَهُمَا، وَرَوَى مُخَارِقٌ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ قَالَ: خَرَجْنَا مُهِلِّينَ بِالْحَجِّ فَرُحْنَا عَشِيَّةً فَبَدَا لَنَا ضَبٌّ فَابْتَدَرْنَاهُ وَنَسِينَا إِهْلَالَنَا فِي الْحَجِّ فَانْصَدَرَ إِلَيْهِ رجلٌ مِنَّا يُقَالُ لَهُ أَرْبَدُ فَقَتَلَهُ فَقُلْنَا مَا صَنَعْتُمُ أَلَسْنَا مُحْرِمِينَ، فَلَمَّا قَدِمْنَا مَكَّةَ صَارَ إِرْبَدُ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ احْكُمْ فَقَاْلَ: فَأَنْتَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ وَأَعْلَمُ مِنِّي قَالَ: إِنِّي لَمْ أَقُلْ لَكَ أَنْ تُزَكِّيَنِي وَلَكِنِ احْكُمْ قَالَ: فَإِنِّي أَحْكُمُ جِدْيًا قَدْ جَمَعَ الْمَاءَ وَالشَّجَرَ يَقُولُ قَدْ أَكَلَ وَشَرِبَ قَالَ: فَهُوَ كَمَا حَكَمْتَ فَمَوْضِعُ الدَّلَالَةِ مِنْ هَذَا اسْتِفَاضَةُ حُكْمِ الْجَزَاءِ فِي الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ بَيْنَ الصَّحَابَةِ، والتابعين مِنْ غَيْرِ شَكٍّ، أَوْ نِزَاعٍ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ إِجْمَاعٌ، أَوْ كَالْإِجْمَاعِ، وَلِأَنَّهَا نَفْسٌ مَضْمُونَةٌ بِالتَّكْفِيرِ عَمْدًا فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ مَضْمُونَةً بِالتَّكْفِيرِ خَطَأً كَالْآدَمِيِّ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ شَيْءٍ يَجِبُ الْغُرْمُ بِإِتْلَافِهِ فَالْعَمْدُ وَالْخَطَأُ فِيهِ سَوَاءٌ كَأَمْوَالِ الأدميين.

PASAL
 Adapun orang yang membunuh karena tidak sengaja (al-khāṭi’) ialah seseorang yang membunuh hewan buruan secara keliru, baik dalam keadaan ingat bahwa dirinya sedang iḥrām maupun dalam keadaan lupa, maka hukumnya sama: jazā’ tetap wajib atasnya.

Adapun Dāwud ibn ‘Alī aẓ-Ẓāhirī berpendapat bahwa tidak ada jazā’ atasnya. Ini juga merupakan pendapat Ibn ‘Abbās dari kalangan sahabat, dan Sa‘īd ibn Jubayr dari kalangan tābi‘īn, dengan berdalil pada firman Allah:

{wa man qatalahū minkum muta‘ammidan fa-jazā’} (al-Mā’idah: 95)

Yakni bahwa Allah mensyaratkan ‘amdan (sengaja) dalam kewajiban jazā’, yang menunjukkan bahwa bagi yang membunuh karena khāṭi’ (tidak sengaja), tidak wajib jazā’.

Juga berdalil dengan sabda Nabi SAW:

“Rufi‘a ‘an ummatī al-khaṭa’, wa an-nisyān, wa mā-stukrihū ‘alayh”
 “Kesalahan, lupa, dan keterpaksaan diangkat (dimaafkan) dari umatku.”

Maka menurut madzhab Ẓāhirī, hukum jazā’ tidak berlaku.

Mereka juga berdalil bahwa setiap perbuatan yang mengharuskan kafārah atas muḥrim karena sengaja, tidak mewajibkan kafārah apabila dilakukan karena keliru, seperti memakai ṭīb (wewangian) dan pakaian (libās). Dan ini juga didukung oleh firman Allah Ta‘ālā:

{wa man qatalahū minkum muta‘ammidan fa-jazā’} (al-Mā’idah: 95)

Yang mengandung kemungkinan bahwa maksudnya adalah orang yang sengaja membunuh namun lupa bahwa dirinya sedang muḥrim, atau maksudnya orang yang sengaja membunuh dan ingat bahwa dirinya muḥrim. Maka ketika dua makna ini mungkin, harus ditanggung keduanya, karena zahir lafaz umum mencakup keduanya. Namun Dāwud mengeluarkan salah satunya dari keumuman itu.

Diriwayatkan dari Mukhāriq, dari Ṭāriq ibn Shihāb, ia berkata:

Kami keluar dalam keadaan muḥrim untuk haji, lalu kami berjalan di sore hari dan terlihat oleh kami seekor ḍabb (biawak gurun), maka kami buru-buru mengejarnya, lalu kami lupa bahwa kami dalam keadaan beriḥrām. Kemudian salah satu dari kami bernama Arbad membunuhnya. Maka kami berkata, “Apa yang telah kalian perbuat? Bukankah kita sedang beriḥrām?” Ketika kami tiba di Makkah, Arbad mendatangi ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb RA dan menceritakan kejadian itu, lalu ‘Umar berkata kepadanya: “Buatlah keputusan hukum!”
 Ia menjawab, “Engkau adalah Amīrul Mu’minīn dan lebih tahu dariku.”
 ‘Umar berkata, “Aku tidak menyuruhmu untuk memujiku, tetapi berikanlah keputusan!”
 Maka Arbad berkata, “Aku memutuskan: seekor anak kambing yang telah cukup makan dan minum.”
 ‘Umar berkata, “Itu sebagaimana yang engkau putuskan.”

Tempat yang menunjukkan dalil dari kisah ini adalah bahwa telah tersebar keputusan kewajiban jazā’ baik dalam keadaan sengaja maupun tidak sengaja di kalangan para sahabat dan tābi‘īn tanpa adanya keraguan atau perselisihan, maka hal ini menunjukkan adanya ijma‘, atau yang mendekati ijma‘.

Dan karena hewan buruan itu adalah jiwa (nafs) yang dijamin dengan kafārah jika dibunuh secara sengaja, maka wajib pula dijamin dengan kafārah jika dibunuh secara tidak sengaja, sebagaimana halnya manusia.

Dan karena segala sesuatu yang wajib diganti jika dirusak, maka antara sengaja dan tidak sengaja hukumnya sama, seperti harta manusia.


فأما استدلالهم بالآية فقد جعلنها دَلِيلًا عَلَيْهِ وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْخَبَرِ فَمَحْمُولٌ عَلَى رَفْعِ الْإِثْمِ وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الطِّيبِ وَاللِّبَاسِ فَالْمَعْنَى فِي الطِّيبِ وَاللِّبَاسِ أَنَّهُ اسْتِمْتَاعٌ فَافْتَرَقَ حُكْمُ عَمْدِهِ وَسَهْوِهِ وَقَتْلُ الصَّيْدِ إِتْلَافٌ فَاسْتَوَى حكم عمده وسهوه.

Adapun dalil mereka dari ayat, maka justru kami telah menjadikannya sebagai dalil atas (kewajiban jazā’ bagi pelaku khāṭi’).

Sedangkan dalil mereka dari khabar (hadis: “Rufi‘a ‘an ummatī al-khaṭa’…”), maka maksudnya adalah penghapusan dosa, bukan penghapusan kewajiban jazā’.

Adapun qiyās mereka terhadap ṭīb (wewangian) dan libās (pakaian), maka sebab perbedaan dalam keduanya adalah karena keduanya merupakan bentuk kenikmatan (istimtā‘), sehingga hukum antara yang sengaja dan yang lupa dibedakan.

Sementara membunuh hewan buruan adalah bentuk perusakan (itlāf), maka hukum antara yang sengaja dan yang lupa adalah sama.


فصل
: وأما العائد فِي قَتْلِهِ وَهُوَ أَنْ يَقْتُلَ صَيْدًا فَيَفْدِيَهُ أَوَّلًا بِفِدْيَةٍ، ثُمَّ يَقْتُلَ صَيْدًا ثَانِيًا فَعَلَيْهِ جَزَاءٌ ثَانٍ.
وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ الظَّاهِرِيُّ: لَا جَزَاءَ عَلَيْهِ فِي الثَّانِي وَلَوْ عَادَ مِائَةَ مَرَّةٍ، وَإِنَّمَا يَجِبُ الْجَزَاءُ بِالْمَرَّةِ الْأَوْلَى وَهُوَ فِي الصَّحَابَةِ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَفِي التَّابِعَيْنِ قَوْلُ مُجَاهِدٍ وَشُرَيْحٍ وَالْحَسَنِ وَقَتَادَةَ وَالنَّخْعِيِّ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّداً فَجَزَاءُ} (المائدة: 95) فَعَلَّقَ وُجُوبَ الْجَزَاءِ عَلَى لَفْظِ ” مَنْ ” وَالْحُكْمُ إِذَا تَعَلَّقَ بِلَفْظِ ” مَنِ ” اقْتَضَى مَرَّةً وَاحِدَةً، وَلَمْ يَتَكَرَّرِ الْحُكْمُ بِتَكْرَارِ الْفِعْلِ كَقَوْلِهِمْ: مَنْ دَخَلَ دَارِي فَلَهُ دِرْهَمٌ، فَإِذَا دَخَلَهَا مَرَّةً وَاحِدَةً اسْتَحَقَّ دِرْهَمًا، وَلَوْ عَادَ فِي دُخُولِهَا لَمْ يَسْتَحِقَّ شَيْئًا، وَكَمَا لَوْ قَالَ لِنِسَائِهِ: مَنْ خَرَجَتْ مِنَ الدَّارِ فَهِيَ طَالِقٌ، فَخَرَجَتْ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ طُلِّقَتْ، وَلَوْ عَادَتْ فَخَرَجَتْ ثَانِيَةً لَمْ تُطَلَّقْ، كَذَلِكَ قَاتِلُ الصَّيْدِ إِذَا قَتَلَهُ مَرَّةً لَزِمَهُ الْجَزَاءُ وَلَوْ عَادَ لِقَتْلِهِ لَمْ يَكُنْ يَلْزَمُهُ الْجَزَاءُ. قَالُوا: وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ فِي سِيَاقِ الْآيَةِ {وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِم اللهُ مِنْهُ} فَأَخْبَرَ بِأَنَّ حُكْمَ الْعَائِدِ الِانْتِقَامُ مِنْهُ كَمَا أَخْبَرَ أَنَّ حُكْمَ الْمُبْتَدِئِ الْجَزَاءُ، فَدَلَّ عَلَى أَنْ لَا حُكْمَ لِلْعَائِدِ غَيْرُ الِانْتِقَامِ كَمَا أَنْ لَا حُكْمَ لِلْمُبْتَدِئِ غَيْرُ الْجَزَاءِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {لاَ تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّداً فَجَزَاءَ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ) {المائدة: 95) وَفِي هَذِهِ الآية دليلان:

PASAL

Adapun orang yang mengulangi membunuh buruan, yaitu: ia membunuh satu buruan lalu menebusnya terlebih dahulu dengan fidyah, kemudian ia membunuh buruan yang kedua, maka wajib atasnya jazā’ yang kedua.

Dāwud bin ‘Alī al-Ẓāhirī berkata: tidak ada jazā’ atasnya pada buruan yang kedua meskipun ia mengulanginya seratus kali. Sesungguhnya jazā’ hanya wajib pada kali yang pertama saja. Ini adalah pendapat Ibn ‘Abbās dari kalangan sahabat, dan dari kalangan tābi‘īn adalah pendapat Mujāhid, Syarīḥ, al-Ḥasan, Qatādah, dan al-Nakha‘ī. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘ālā: {Dan barang siapa di antara kalian membunuhnya dengan sengaja, maka balasannya…} (QS. al-Māidah: 95). Maka Allah menggantungkan kewajiban jazā’ pada lafal “man”. Dan apabila suatu hukum dikaitkan dengan lafal “man”, maka ia menunjukkan satu kali saja dan tidak berulang karena pengulangan perbuatan, seperti ucapan mereka: “Barang siapa masuk ke rumahku, maka ia mendapat satu dirham.” Jika ia masuk sekali, maka ia berhak atas satu dirham. Dan jika ia masuk lagi, maka ia tidak berhak atas apa pun.

Demikian pula jika seseorang berkata kepada istri-istrinya: “Barang siapa keluar dari rumah, maka ia tertalak.” Lalu salah seorang dari mereka keluar, maka ia tertalak. Jika ia kembali lalu keluar lagi, maka ia tidak tertalak. Begitu pula orang yang membunuh buruan, jika ia membunuh sekali maka wajib atasnya jazā’, dan jika ia kembali membunuh lagi maka tidak wajib atasnya jazā’.

Mereka berkata: Karena Allah Ta‘ālā berfirman dalam rangkaian ayat: {Dan barang siapa mengulanginya, maka Allah akan membalasnya}, maka Allah memberitakan bahwa hukum bagi orang yang mengulanginya adalah pembalasan dari Allah, sebagaimana Allah memberitakan bahwa hukum bagi pelaku pertama adalah jazā’. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada hukum lain bagi orang yang mengulangi selain pembalasan, sebagaimana tidak ada hukum lain bagi pelaku pertama selain jazā’.

Dan dalil atas hal itu adalah firman-Nya Ta‘ālā: {Janganlah kalian membunuh buruan dalam keadaan kalian beriḥrām. Barang siapa di antara kalian membunuhnya dengan sengaja, maka balasannya adalah hewan ternak sebanding dengan yang dibunuh} (QS. al-Māidah: 95). Dan dalam ayat ini terdapat dua dalil:

 

أَحَدُهُمَا: أَنَّ قَوْله تَعَالَى: {لاَ تَقْتُلُواْ الصَّيْدَ} إِشَارَةٌ إِلَى جِنْسِ الصَّيْدِ؛ لِأَنَّ الْأَلِفَ وَاللَّامَ يَدْخُلَانِ لِجِنْسٍ أَوْ مَعْهُودٍ، وَلَيْسَ فِي صَيْدٍ مَعْهُودٌ فَثَبَتَ دُخُولُهُمَا لِلْجِنْسِ، وَلَفْظُ الْجِنْسِ يَسْتَوْعِبُ جُمْلَتَهُ وَآحَادَهُ، ثُمَّ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّداً فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ) {المائدة: 95) فَكَانَ ذَلِكَ عَائِدًا إِلَى جُمْلَةِ الْجِنْسِ وَآحَادِهِ؛ لِأَنَّهُ عَطَفَ عَلَيْهِ بِهَا الْكِنَايَةَ، وَحُكْمُ الْعَطْفِ أَنْ يَعُودَ إِلَى مَا تَنَاوَلَهُ الْمَعْطُوفُ عَلَيْهِ.

Salah satu dalilnya: bahwa firman Allah Ta‘ālā {lā taqtulū aṣ-ṣayd} merupakan isyarat kepada jenis hewan buruan, karena alif-lām dalam kata aṣ-ṣayd digunakan untuk menunjukkan jenis atau sesuatu yang telah dikenal, dan dalam konteks ini tidak ada hewan buruan tertentu yang telah dikenal, maka tetaplah bahwa alif-lām di sini menunjukkan jenis.

Dan lafaz yang menunjukkan jenis mencakup seluruh keseluruhannya dan satuan-satuannya.

Kemudian Allah Ta‘ālā berfirman: {wa man qatalahū minkum muta‘ammidan fa-jazā’un mithlu mā qatal min an-na‘m} (al-Mā’idah: 95), maka itu kembali kepada seluruh jenis dan satuan-satuan hewan buruan tersebut, karena Allah menyambungkan dengan kata ganti yang merujuk kepadanya, dan hukum dari ‘aṭf (penyambungan) adalah bahwa ia kembali kepada semua yang dicakup oleh ma‘ṭūf ‘alayh-nya.


فَإِنْ قِيلَ فَقَوْلُهُ تَعَالَى: {وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّداً} يَعْنِي وَمَنْ قَتَلَ وَاحِدًا مِنَ الْجِنْسِ دُونَ جَمِيعِهِ، لِأَنَّهُ لَوْ أَرَادَ جَمِيعَ الْجِنْسِ لَكَانَتِ الْكِنَايَةُ عَائِدَةً إِلَيْهِ بِالْهَاءِ وَالْأَلِفِ فَيَقُولُ: وَمَنْ قَتَلَهَا مِنْكُمْ مُتَعَمَّدًا قِيلَ: إِنَّمَا تَرْجِعُ الْكِنَايَةُ بِالْهَاءِ وَالْأَلِفِ إِذَا عَادَتْ إِلَى اسْتِغْرَاقِ الْجِنْسِ مِنْ جِهَةِ اللَّفْظِ دُونَ الْمَعْنَى كَقَوْلِهِمْ صُيُودٌ فَأَمَّا إِذَا عَادَتْ إِلَى لَفْظٍ يَسْتَغْرِقُ الْجِنْسَ مِنْ جِهَةِ الْمَعْنَى دُونَ اللَّفْظِ فَإِنَّمَا تَعُودُ بِكِنَايَةِ التَّذْكِيرِ وَالتَّوْحِيدِ وَهِيَ الْهَاءُ دُونَ الْأَلِفِ كَقَوْلِهِمْ: مَنْ دَخَلَ الدَّارَ فَلَهُ دِرْهَمٌ، ” فَمَنْ ” وَإِنْ كَانَتْ تَتَنَاوَلُ الْجِنْسَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فقد عادت الكناية إليه في قولهم: فَلَهُ دِرْهَمٌ بِلَفْظِ التَّوْحِيدِ وَالتَّذْكِيرِ، لِأَنَّ اسْتِغْرَاقَ الْجِنْسِ مِنْ جِهَةِ الْمَعْنَى دُونَ اللَّفْظِ، كَذَلِكَ الصَّيْدُ إِنَّمَا عُلِمَ اسْتِغْرَاقُ جِنْسِهِ مِنْ جِهَةِ الْمَعْنَى وَهُوَ دُخُولُ الْأَلِفِ وَاللَّامِ دُونَ اللَّفْظِ فَجَازَ أَنْ تَعُودَ الْكِنَايَةُ بِالْهَاءِ دُونَ الْأَلِفِ وَالدَّلَالَةُ الثَّانِيَةُ مِنَ الْآيَةِ قَوْله تَعَالَى: {فَجَزَاءُ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ} فَأَوْجَبَ مِثْلَ مَا قَتَلَ فَإِذَا قَتَلَ صَيْدَيْنِ وَجَبَ عَلَيْهِ مِثْلُهُمَا، لِأَنَّ الْجَزَاءَ الْوَاحِدَ لَا يَكُونُ مِثْلًا لَهُمَا، وَلِأَنَّهَا نَفْسٌ مَضْمُونَةٌ بِالتَّكْفِيرِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَكْرَارُ الْقَتْلِ مُوجِبًا لِتَكْرَارِ التَّكْفِيرِ كَنُفُوسِ الْآدَمِيِّينَ، وَلِأَنَّهُ غُرْمُ مَالٍ يَجِبُ بِالْإِتْلَافِ فَوَجَبَ أَنْ يَتَكَرَّرَ الْغُرْمُ فِيهِ بِتَكَرُّرِ الْفِعْلِ مِنْهُ كَأَمْوَالِ الْآدَمِيِّينَ.

Jika dikatakan: Sesungguhnya firman Allah Ta‘ālā: {Dan barang siapa di antara kalian membunuhnya dengan sengaja} maksudnya adalah barang siapa membunuh satu dari jenis buruan, bukan seluruh jenisnya. Karena seandainya yang dimaksud adalah seluruh jenis buruan, tentu kata ganti (kināyah) akan kembali kepada ṣaid dengan menggunakan hā’ dan alif (kata ganti mufrad muannats), maka seharusnya disebut: “barang siapa membunuhnya (hunāka: هَا) dari kalian dengan sengaja”.

Maka dijawab: Sesungguhnya kata ganti hā’ dan alif hanya kembali kepada pengertian mencakup seluruh jenis (istighrāq al-jins) apabila mencakup dari sisi lafaz, bukan dari sisi makna. Contohnya seperti ucapan mereka “ṣuyūd” (hewan-hewan buruan).

Adapun apabila kata itu mencakup seluruh jenis dari sisi makna tanpa menyebut lafaz yang bersifat jama‘, maka cukup menggunakan kata ganti tadzkir dan tawḥīd, yaitu hā’ saja tanpa alif, sebagaimana ucapan mereka: “Barang siapa masuk rumah, maka lahu (فله) satu dirham.” Maka kata “man” meskipun mencakup laki-laki dan perempuan, kata gantinya tetap dalam bentuk mudzakkar dan tunggal, karena mencakup jenis hanya dari sisi makna, bukan dari sisi lafaz.

Demikian pula kata ṣaid (buruan), mencakup jenis buruan dari sisi makna karena adanya alif-lām (yang menunjukkan pengertian umum), bukan karena bentuk lafaznya. Maka dibolehkan kata ganti kembali padanya dengan hā’ (mudzakkar tunggal), bukan dengan hā’ alif (muannats).

Adapun dalil kedua dari ayat tersebut adalah firman Allah Ta‘ālā: {maka balasannya adalah hewan ternak sebanding dengan apa yang dibunuh}. Maka Allah mewajibkan yang semisal dengan apa yang dibunuh. Maka jika seseorang membunuh dua ekor buruan, maka wajib atasnya membayar semisal keduanya. Karena satu jazā’ tidak bisa dikatakan sebagai yang semisal bagi dua buruan sekaligus.

Dan karena buruan itu adalah “jiwa” yang dijamin dengan takfīr, maka pengulangan pembunuhan mewajibkan pengulangan takfīr, sebagaimana jiwa-jiwa manusia.

Dan karena hal ini adalah ghurm māl (kerugian harta) yang wajib ditanggung karena pengrusakan, maka ia wajib berulang seiring dengan pengulangan perbuatan, sebagaimana harta-harta milik manusia.


فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ مِنَ الْآيَةِ بِقَوْلِهِ: إِنَّ الْحُكْمَ الْمُعَلَّقَ بِمَا لَا يُوجِبُ تَكْرَارَهُ بِتَكْرَارِ الْفِعْلِ كَقَوْلِهِ: مَنْ دَخَلَ الدَّارَ فَلَهُ دِرْهَمٌ. فَالْجَوَابُ: أَنَّ الْحُكْمَ الْمُعَلَّقَ بِ ” مَنْ ” لَا يَتَكَرَّرُ بِتَكْرَارِ الْفِعْلِ إِذَا كَانَ الْفِعْلُ الثَّانِي وَاقِعًا فِي مَحَلِّ الْفِعْلِ الْأَوَّلِ فَأَمَّا إِذَا كَانَ الْفِعْلُ الثَّانِي وَاقِعًا فِي غَيْرِ مَحَلِّ الْفِعْلِ الْأَوَّلِ فَإِنَّ تَكْرَارَ الْفِعْلِ يُوجِبُ تَكْرَارَ الْحُكْمِ كَقَوْلِهِ ” مَنْ دَخَلَ دَارِي فَلَهُ دِرْهَمٌ ” فَإِذَا دَخَلَ دَارًا لَهُ استحق درهماً ولو دَخَلَ دَارًا لَهُ أُخْرَى اسْتَحَقَّ ثَانِيًا كَذَلِكَ الصَّيْدُ لَمَّا كَانَ الثَّانِي غَيْرَ الْأَوَّلِ وَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِالثَّانِي مِثْلَ مَا تَعَلَّقَ بِالْأَوَّلِ وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللهُ مِنْهُ} فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ مَعْنَاهُ وَمَنْ عَادَ فِي الْإِسْلَامِ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ بِالْجَزَاءِ؛ لِأَنَّ قَبْلَهُ قوله تعالى: {عَفَا اللهُ عَمَّا سَلَفَ} يَعْنِي: فِي الْجَاهِلِيَّةِ ثُمَّ قَالَ: ” وَمَنْ عَادَ ” يعني: في الإسلام ” فَيَنْتَقِمُ اللهُ مِنْهُ ” يَعْنِي: بِالْجَزَاءِ هَكَذَا فَسَّرَهُ عَطَاءٌ وَغَيْرُهُ، وَلَفْظُ الْآيَةِ لَا يَقْتَضِي غَيْرَهُ.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَا يُعَاقِبُهُ الْإِمَامُ فِيهِ، لِأَنَّ هَذَا ذَنْبٌ جُعِلَتْ عُقُوبَتُهُ فِدْيَةً إِلَّا أَنْ يَزْعُمَ أَنَّهُ يَأْتِي ذَلِكَ عَامِدًا مُسْتَخِفًّا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Adapun dalil yang mereka kemukakan dari ayat, dengan mengatakan bahwa hukum yang digantungkan pada sesuatu tidak mewajibkan pengulangan hukumnya karena pengulangan perbuatannya — seperti dalam ucapan: “Barang siapa masuk ke rumah, maka baginya satu dirham.” Maka jawabannya: bahwa hukum yang digantungkan pada kata “man” tidak berulang karena pengulangan perbuatan jika perbuatan kedua terjadi pada tempat yang sama dengan perbuatan pertama. Namun jika perbuatan kedua terjadi di tempat yang berbeda dengan yang pertama, maka pengulangan perbuatan mewajibkan pengulangan hukum. Seperti ucapan: “Barang siapa masuk ke rumahku, maka baginya satu dirham.” Maka jika ia masuk ke satu rumahnya, ia berhak mendapat satu dirham, dan jika ia masuk ke rumah lainnya, ia berhak mendapat lagi.

Demikian pula hewan buruan, ketika yang kedua berbeda dari yang pertama, maka wajib hukum pada yang kedua sebagaimana berlaku pada yang pertama.

Adapun dalil mereka dari firman Allah Ta‘ālā: {wa man ‘āda fa-yantaqimu Allāhu minhu}, maka jawabannya: maknanya adalah, “Barang siapa mengulangi (berburu) dalam Islam, maka Allah akan membalasnya dengan jazā’.” Karena sebelumnya disebutkan dalam firman-Nya: {‘afā Allāhu ‘ammā salaf}, yakni: di masa jahiliah. Kemudian Allah berfirman: “wa man ‘āda”, maksudnya: mengulangi di masa Islam, “fa-yantaqimullāhu minhu”, yakni: dengan jazā’. Demikianlah tafsir ‘Aṭā’ dan selainnya, dan lafaz ayat tidak menunjukkan selain makna itu.

Al-Syāfi‘ī berkata: “Dan imam tidak boleh menghukumnya (dengan hukuman ta‘zīr atau hudūd), karena ini adalah dosa yang ditetapkan hukumannya dengan fidyah, kecuali jika ia mengaku bahwa ia melakukannya dengan sengaja dan meremehkan (hukum syariat). Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui kebenaran.”

مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” قال الله جل وعز: {فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ) {قال الشافعي) وَالنَّعَمُ الْإِبِلُ وَالْبَقَرُ وَالْغَنَمُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا قَتَلَ الْمُحْرِمُ صَيْدًا لَهُ مِثْلٌ مِنَ النَّعَمِ فَعَلَيْهِ مِثْلُهُ مِنَ النَّعَمِ، وَالنَّعَمُ الْإِبِلُ وَالْبَقَرُ وَالْغَنَمُ فَيَلْزَمُهُ مِثْلُهُ فِي الشَّبَهِ وَالصُّورَةِ مِنْ غَيْرِ أَنْ تُعْتَبَرَ قِيمَةُ الصَّيْدِ.

BĀB JAZĀ’ AL-ṢAID
 Masalah: Al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Allah Jalla wa ‘Azza berfirman: {fa-jazā’un mithlu mā qatal min an-na‘m}. (Al-Syāfi‘ī berkata): an-na‘m adalah unta, sapi, dan kambing.”

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan. Apabila seorang muḥrim membunuh hewan buruan yang memiliki padanannya dari jenis an-na‘m, maka ia wajib mengganti dengan yang semisal dari an-na‘m. Dan an-na‘m adalah unta, sapi, dan kambing. Maka ia wajib mengganti dengan yang serupa dalam bentuk dan rupa, tanpa mempertimbangkan nilai (harga) dari hewan buruan tersebut.


وَقَالَ أبو حنيفة: تُعْتَبَرُ قِيمَةُ الصَّيْدِ، فَيُقَوَّمُ الصَّيْدُ دَرَاهِمَ، ثُمَّ تُصْرَفُ الدَّرَاهِمُ إِلَى النَّعَمِ لِيَشْتَرِيَ بِهَا مِنَ النَّعَمِ مَا يَجُوزُ أُضْحِيَةً، وَلَا اعْتِبَارَ بِمِثْلِ الصَّيْدِ مِنَ النَّعَمِ فِي الصُّورَةِ وَالشَّبَهِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّداً فَجَزَاءٌ مَثْلَ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ} (المائدة: 95) وَاسْتِدْلَالُهُمْ بِهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Abu Ḥanīfah berkata: yang menjadi acuan adalah nilai buruan, maka buruan itu dinilai dalam bentuk dirham, kemudian dirham tersebut dibelanjakan untuk membeli hewan ternak dari jenis yang sah untuk kurban. Tidak dijadikan acuan kemiripan antara buruan dengan hewan ternak dari sisi rupa dan keserupaan, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ālā: {Dan barang siapa di antara kalian membunuhnya dengan sengaja, maka balasannya adalah hewan ternak yang semisal dengan apa yang dibunuhnya} (QS. al-Māidah: 95).

Adapun istidlāl mereka terhadap ayat ini dilakukan dari tiga sisi:


أَحَدُهَا: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ فِي الْجَزَاءِ الْمِثْلَ مِنَ النَّعَمِ، وَالْمِثْلُ فِي الشَّرْعِ إِمَّا أَنْ يَتَنَاوَلَ الْمِثْلَ مِنَ الْجِنْسِ فِي الصُّورَةِ وَالشَّبَهِ، وَهَذَا قَدْ يَكُونُ مِثْلًا شَرْعًا وَلُغَةً، وَإِمَّا أَنْ يَتَنَاوَلَ الْقِيمَةَ فَيَكُونَ مِثْلًا شرعاً لا لغةً (ولا يتناول المثل من غير الجنس لا شرعاً ولا لُغَةً) .
وَإِذَا كَانَ الْمِثْلُ يَتَنَاوَلُ أَحَدَ هَذَيْنِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَا مُرَادَيْنِ وَبَطَلَ أَنْ يَكُونَ الْمِثْلُ مِنَ الْجِنْسِ مُرَادًا وَهُوَ أَنْ يَجِبَ فِي النَّعَامَةِ نعامةٌ وَمِنَ الْحِمَارِ حمارٌ ثبت أن المثل من طريق القيمة مراداً.

pertama: bahwa Allah Ta‘ālā mewajibkan dalam jazā’ (denda) berupa yang semisal dari binatang ternak. Dan yang dimaksud mitsl (yang semisal) dalam syariat ada dua kemungkinan: bisa mencakup yang semisal dari jenis yang sama dalam rupa dan bentuk, dan ini bisa disebut mitsl secara syar‘i dan secara bahasa; atau mencakup nilai (harga), maka itu disebut mitsl secara syar‘i, bukan secara bahasa (dan tidak mencakup yang bukan dari jenis yang sama baik secara syar‘i maupun bahasa).

Dan apabila mitsl mencakup salah satu dari keduanya, dan tidak boleh keduanya sekaligus dimaksud, serta gugur kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah mitsl dari jenis yang sama—yaitu dengan cara mewajibkan seekor unta betina untuk unta betina dan seekor keledai untuk keledai—maka tetaplah bahwa yang dimaksud dengan mitsl adalah dari sisi nilai.


وقوله تعالى: {مِنَ النَّعَمِ} يَعْنِي أَنَّهُ يُصْرَفُ قِيمَةُ الصَّيْدِ فِي النَّعَمِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: مِنَ الْاسْتِدْلَالِ بِالْآيَةِ أَنَّهُ قَالَ: {يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ} فَلَوْ كَانَ الْمُرَادُ بِهِ الْمِثْلَ فِي الصُّورَةِ وَالشَّبَهِ لَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى حُكْمِ عَدْلَيْنِ؛ لِأَنَّهُ يدرك بالمشاهدة والنظر الذي يستوي فيه العادل، وَالْفَاسِقُ، وَالْعَالِمُ، وَالْجَاهِلُ، فَثَبَتَ أَنَّ الْمُرَادَ بِذَلِكَ الْقِيمَةُ الَّتِي تَفْتَقِرُ إِلَى تَقْوِيمٍ وَاجْتِهَادٍ وَيُرْجَعُ فِيهَا إِلَى الْعُدُولِ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِهَا.

Dan firman-Nya Ta‘ālā: {min al-na‘am} (dari hewan ternak), maksudnya adalah bahwa nilai buruan itu disalurkan dalam bentuk hewan ternak.

Adapun sisi kedua dari istidlāl terhadap ayat tersebut adalah firman-Nya: {yang diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kalian}. Maka, seandainya yang dimaksud dengan mithl (yang semisal) adalah keserupaan dalam rupa dan bentuk, tentu tidak dibutuhkan keputusan dari dua orang yang adil. Karena hal tersebut dapat diketahui hanya dengan pengamatan dan penglihatan yang bisa dilakukan oleh orang adil maupun fasik, orang alim maupun jahil.

Maka, hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan mithl adalah nilai (qīmah) yang membutuhkan penilaian dan ijtihad, serta pengembalian keputusan kepada orang-orang adil dari kalangan yang ahli dalam menilainya.


وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: مِنَ الْاسْتِدْلَالِ بِهَا: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ الْمِثْلَ فِي جَزَاءِ الصَّيْدِ، وَهَذَا الْمِثْلُ فِي الْجَزَاءِ رَاجِعٌ إِلَى جَمِيعِ الصَّيْدِ، وَالْمِثْلُ فِي جَمِيعِهِ واحدٌ، فَلَمَّا كَانَ الْمُرَادُ بِالْمِثْلِ فِيمَا لَيْسَ لَهُ مِنَ النَّعَمِ مِثْلٌ الْقِيمَةَ دُونَ مَا كَانَ مِثْلًا فِي الشَّبَهِ والصورة إذ المراد بالمثل في جميع الصيد الْقِيمَةَ دُونَ مَا كَانَ مِثْلًا فِي الشَّبَهِ وَالصُّورَةِ وَلِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَذْكُرَ اللَّهُ تَعَالَى مِثْلًا وَاحِدًا لِجَمِيعِ الصَّيْدِ، فَيَجْعَلَ لِمِثْلِ بَعْضِهِ حُكْمًا وَلِمِثْلِ بَاقِيهِ حُكْمًا.

dan alasan ketiga dalam pengambilan dalil darinya: bahwa Allah Ta‘ālā mewajibkan mitsl dalam jazā’ (denda) atas pembunuhan buruan, dan mitsl ini dalam jazā’ berlaku untuk seluruh jenis buruan. Dan mitsl untuk semuanya adalah satu. Maka ketika yang dimaksud dengan mitsl pada buruan yang tidak memiliki padanan dari binatang ternak adalah nilai, bukan yang serupa dalam rupa dan bentuk—karena yang dimaksud dengan mitsl dalam seluruh buruan adalah nilai, bukan yang serupa dalam rupa dan bentuk—dan karena tidak boleh bagi Allah Ta‘ālā menyebut satu mitsl untuk seluruh buruan, lalu menjadikan untuk sebagian yang sepadan satu hukum dan untuk sebagian lainnya hukum yang berbeda.


وَرُبَّمَا جَوَّزُوا هَذَا الِاسْتِدْلَالَ قِيَاسًا فَقَالُوا: لِأَنَّهُ حَيَوَانٌ مَمْنُوعٌ مِنْ إِتْلَافِهِ بِحُرْمَةِ الْإِحْرَامِ فَوَجَبَ أَنْ يَجِبَ بِقَتْلِهِ قِيمَتُهُ قِيَاسًا عَلَى مَا لَا مِثْلَ لَهُ مِنَ الْعُصْفُورِ وَغَيْرِهِ.
قَالُوا: وَلِأَنَّهَا عَيْنٌ مضمونة فوجب؛ إذ لَمْ تُضْمَنْ بِالْمِثْلِ مِنْ جِنْسِهَا أَنْ تَكُونَ مَضْمُونَةً بِقِيمَتِهَا كَسَائِرِ الْأَمْوَالِ.

Dan terkadang mereka membolehkan istidlāl ini melalui qiyās, lalu mereka berkata: Karena buruan itu adalah hewan yang dilarang untuk dimusnahkan karena kehormatan iḥrām, maka wajib menjamin nilainya apabila dibunuh, berdasarkan qiyās terhadap hewan-hewan yang tidak memiliki padanan (mithl), seperti burung pipit dan selainnya.

Mereka juga berkata: Karena ia adalah barang berwujud (‘ayn) yang wajib dijamin, maka ketika tidak dijamin dengan sesuatu yang semisal dari jenisnya, maka ia harus dijamin dengan nilainya, sebagaimana barang-barang harta lainnya.


قَالُوا: وَلِأَنَّ إِيجَابَ مثله في الشبه والصوت يُفْضِي إِلَى أَنْ يَجِبَ فِي مُتْلَفٍ وَاحِدٍ بدلان مختلفان فليزم مَنْ قَتَلَ صَيْدًا مَمْلُوكًا قِيمَتُهُ لِمَالِكِهِ، وَهِيَ مِثْلٌ وَجَزَاؤُهُ بِالْمِثْلِ فِي الشَّبَهِ وَالصُّورَةِ، وَهِيَ مِثْلٌ فَيَخْتَلِفَ الْمِثْلَانِ فِي الْعَيْنِ الْوَاحِدَةِ؛ وَهَذَا فِي الْأُصُولِ مُمْتَنِعٌ؛ وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {فَجَزاءٌ مِثْلَ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ}
وَالِاسْتِدْلَالُ بِهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

mereka berkata: karena mewajibkan yang semisal dalam rupa dan suara akan mengakibatkan diwajibkannya dua pengganti yang berbeda atas satu barang yang sama yang rusak, maka akan diwajibkan atas orang yang membunuh buruan milik orang lain untuk membayar nilainya kepada pemiliknya—dan ini adalah mitsl (yang semisal)—dan juga diwajibkan mengganti dengan mitsl dalam rupa dan bentuk—dan ini juga mitsl—maka akan terdapat dua mitsl berbeda atas satu barang yang sama; dan ini secara uṣūl adalah hal yang mustahil. Dan dalil atas hal ini adalah firman Allah Ta‘ālā: “fa-jazā’un miṡlu mā qatala mina an-na‘am” (maka dendanya adalah yang semisal dengan apa yang dibunuh dari binatang ternak).

Dan pengambilan dalil dari ayat ini terdapat dalam tiga sisi:


أَحَدُهَا: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ الْمِثْلَ، وَإِطْلَاقُ الْمِثْلِ يَتَنَاوَلُ الْمِثْلَ فِي الصُّورَةِ وَالْجِنْسِ حَتَّى يَجِبَ فِي النَّعَامَةِ نعامةٌ، وَفِي الْغَزَالِ غَزَالٌ فَلَمَّا قَيَّدَ اللَّهُ تَعَالَى ذَلِكَ بِالْمِثْلِ مِنَ النَّعَمِ انْصَرَفَ الْمِثْلُ عَنِ الْجِنْسِ إِلَى الْمِثْلِ مِنَ النَّعَمِ بقي الْمِثْلُ فِي الشَّبَهِ وَالصُّورَةِ عَلَى مَا كَانَ يَقْتَضِيهِ ظَاهِرُ الْآيَةِ.

Pertama: Sesungguhnya Allah Ta‘ālā telah mewajibkan mithl (yang semisal), dan lafal mithl secara mutlak mencakup kemiripan dalam rupa dan jenis, sehingga wajib pada buruan unta betina (na‘āmah) diganti dengan unta betina, dan pada ghazāl diganti dengan ghazāl.

Namun ketika Allah Ta‘ālā membatasi hal itu dengan mithl dari hewan ternak (min al-na‘am), maka makna mithl berpindah dari pengertian jenis kepada mithl dari hewan ternak, dan tetaplah makna mithl dalam hal kemiripan dan rupa, sebagaimana ditunjukkan oleh zhahir ayat.


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: مِنَ الْاسْتِدْلَالِ بها أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ الْمِثْلَ مِنَ النَّعَمِ وَالْقِيمَةَ إِنْ كَانَتْ مِثْلًا فَهِيَ مِنَ الدَّرَاهِمِ؛ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْدَلَ عَمَّا نَصَّ اللَّهُ تعالى عليه من النعم إلى ما لا يَنُصَّ عَلَيْهِ مِنَ الدَّرَاهِمِ، وَلَمْ يَقُلْ: ” فجزاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ الدَّرَاهِمِ ” تَصَرَّفَ فِي النَّعَمِ فَيَصِحُّ لَهُمُ الْمَذْهَبُ.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: مِنَ الْاسْتِدْلَالِ بِهَا: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ {يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ) وَذَلِكَ كِنَايَةٌ تَرْجِعُ إِلَى مَا تَقَدَّمَ، وَلَيْسَ يَخْلُو أَنْ تَرْجِعَ إِلَى جَمِيعِ مَا تَقَدَّمَ أَوْ إِلَى أَقْرَبِ الْمَذْكُورِ مِنْهُ.

dan sisi kedua dalam pengambilan dalil darinya: bahwa Allah Ta‘ālā menjadikan mitsl dari binatang ternak, dan nilai—jika dianggap sebagai mitsl—maka ia dari dirham; maka tidak boleh berpaling dari apa yang telah dinashkan oleh Allah Ta‘ālā berupa binatang ternak kepada sesuatu yang tidak dinashkan berupa dirham. Dan Allah tidak berfirman: “fa-jazā’un miṡlu mā qatala mina ad-dirāhim”, padahal Dia menyebut an-na‘am (binatang ternak); maka barulah pendapat mereka sah jika pengganti dalam bentuk binatang ternak itu dialihkan ke selainnya.

Dan sisi ketiga dalam pengambilan dalil darinya: bahwa Allah Ta‘ālā berfirman: “yaḥkumu bihi żawā ‘adlin minkum” (diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kalian), dan itu adalah kināyah (kiasan) yang kembali kepada yang telah disebut sebelumnya, dan tidak lepas kemungkinan bahwa ia kembali kepada seluruh yang telah disebut sebelumnya atau kepada yang paling dekat disebut sebelumnya.


فَإِنْ رَجَعَتْ إِلَى جَمِيعِ مَا تَقَدَّمَ كَانَتْ رَاجِعَةً إِلَى الْمِثْلِ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عدلٍ، وَإِنْ رَجَعَتْ إِلَى أَقْرَبِ الْمَذْكُورِ كَانَتْ رَاجِعَةً إلى النعم، وأبو حنيفة: الْكِنَايَةُ فِي قَوْله تَعَالَى: {يَحْكُمْ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ} لَيْسَتْ رَاجِعَةً إِلَى جَمِيعِ مَا تَقَدَّمَ وَلَا إِلَى أَقْرَبِ الْمَذْكُورِ مِنْهُ، وَإِنَّمَا تَرْجِعُ إِلَى أَبْعَدِ الْمَذْكُورِ وَهُوَ الْمِثْلُ دُونَ النَّعَمِ؛ لِأَنَّ عِنْدَهُ أَنَّ ذَوَيْ عدلٍ إِنَّمَا يَحْكُمَانِ بِالْقِيمَةِ دُونَ النَّعَمِ.

Jika kata ganti (ḍamīr) pada firman Allah {yaḥkumu bihi dhawā ‘adlin minkum} dikembalikan kepada seluruh hal yang telah disebut sebelumnya, maka ia kembali kepada mithl dari hewan ternak yang diputuskan oleh dua orang yang adil. Dan jika dikembalikan kepada penyebutan yang paling dekat, maka ia kembali kepada hewan ternak (al-na‘am).

Adapun menurut Abū Ḥanīfah: kata ganti dalam firman Allah Ta‘ālā {yaḥkumu bihi dhawā ‘adlin minkum} tidak kembali kepada seluruh yang telah disebut sebelumnya, dan tidak pula kepada penyebutan yang paling dekat, melainkan kembali kepada yang lebih jauh, yaitu mithl (yang semisal), bukan kepada al-na‘am. Karena menurut beliau, dua orang yang adil itu memutuskan nilai (al-qīmah), bukan memutuskan jenis hewan ternak tertentu.


وَعِنْدَنَا أَنَّهُمَا يَحْكُمَانِ بِالْمِثْلِ مِنَ النَّعَمِ، وَمَا قُلْنَاهُ أَوْلَى بِالظَّاهِرِ وَأَحَقُّ بِالتِّبْيَانِ.
وَمِنَ الدَّلَالَةِ عَلَيْهِ حَدِيثُ جَابِرٍ أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الضَّبُعِ؛ أصيدٌ هُوَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قِيلَ: أَيُؤْكَلُ؟ قَالَ: نَعَمْ، قِيلَ: فِيهِ كبشٌ إِذَا أَصَابَهُ الْمُحْرِمُ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَقِيلَ: وَسَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -؟ قَالَ: نَعَمْ فَصَارَ كَأَنَّهُ رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” الضَّبُعُ صيدٌ يُؤْكَلُ، وَفِيهِ كبشٌ إذا أصابه المحرم وفي هَذَا الْخَبَرُ استدلالٌ مِنْ أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ:

dan menurut kami, keduanya (dua orang yang adil) memutuskan dengan mitsl dari binatang ternak, dan apa yang kami katakan lebih sesuai dengan lafaz lahiriah dan lebih layak untuk dijadikan penjelasan.

Dan termasuk dalil atas hal itu adalah hadis Jābir, bahwa ia ditanya tentang ḍabbu‘ (hyena): “Apakah ia termasuk buruan?” Ia menjawab: “Ya.” Ditanya lagi: “Apakah ia boleh dimakan?” Ia menjawab: “Ya.” Ditanya: “Apakah ada (denda) seekor domba jantan jika ia dibunuh oleh orang yang sedang beriḥrām?” Ia menjawab: “Ya.” Ditanya lagi: “Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah SAW?” Ia menjawab: “Ya.” Maka seakan-akan hadis ini diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “al-ḍabbu‘ adalah buruan yang boleh dimakan, dan atasnya (denda) seekor domba jantan jika dibunuh oleh orang yang beriḥrām.”

Dan dalam hadis ini terdapat pengambilan dalil dari empat sisi:


أَحَدُهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَوْجَبَ مِنَ الضَّبُعِ كَبْشًا، وأبو حنيفة يُوجِبُ الْقِيمَةَ وَلَا يُوجِبُ الْكَبْشَ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ جَعَلَ الْكَبْشَ بَدَلًا مُقَدَّرًا، وَالْقِيمَةُ لَا تَتَقَدَّرُ وَإِنَّمَا تَكُونُ اجْتِهَادًا.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ قَدَّرَهُ بِكَبْشٍ جَعَلَهُ كُلَّ مُوجِبِهِ؛ وَذَلِكَ يَمْنَعُ مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ وَالنُّقْصَانِ مِنْهُ.

Pertama: Bahwa Nabi SAW mewajibkan dari buruan ḍab‘ (hyena) satu ekor domba jantan (kabsy), sedangkan Abū Ḥanīfah mewajibkan nilai dan tidak mewajibkan domba jantan.

Kedua: Bahwa Nabi SAW menjadikan domba jantan sebagai pengganti yang ditetapkan ukurannya, sedangkan nilai (al-qīmah) tidak bisa ditetapkan secara pasti, melainkan bersifat ijtihādī.

Ketiga: Bahwa beliau menetapkannya dengan satu domba jantan, dan menjadikannya sebagai pengganti yang wajib bagi siapa pun yang memburunya; dan hal ini mencegah adanya penambahan atau pengurangan terhadapnya.


وَالرَّابِعُ: أَنَّهُ نَصَّ عَلَى الْكَبْشِ فِي جَزَاءِ الضَّبُعِ وَخَصَّهُ مِنْ بَيْنِ سَائِرِ الْحَيَوَانِ، فَعُلِمَ أَنَّهُ يَتَعَيَّنُ فِي جَزَاءِ الضَّبُعِ، وَأَنَّ الْقِيمَةَ لَا تَجِبُ إِذْ لَوْ وَجَبَتِ القيمة لجاز صرفها في الكبش وغيره وكما كَانَ لِلْكَبْشِ اخْتِصَاصٌ بِهِ.
وَمِنَ الدَّلَالَةِ عَلَيْهِ إجماع الصحابة رضي الله عنه وَهُوَ مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَعُثْمَانَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ عُمَرَ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَابْنِ الزُّبَيْرِ وَمُعَاوِيَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ حَكَمُوا فِي قَضَايَا مختلفةٍ فِي بلدانٍ شَتَّى، وأوقاتٍ متباينةٍ فِي الضَّبُعِ بكبشٍ، وَفِي النَّعَامَةِ ببدنةٍ، فَلَمَّا اتَفَقَتْ أَحْكَامُهُمْ فِي الْبُلْدَانِ الْمُخْتَلِفَةِ وَالْأَوْقَاتِ الْمُتَبَايِنَةِ دَلَّ عَلَى أَنَّ الْوَاجِبَ فِيهِ مِثْلُهُ مِنَ النَّعَمِ دُونَ قِيمَتِهِ؛ لِأَمْرَيْنِ:

keempat: bahwa disebutkan secara nash (tegas) kewajiban seekor kambing jantan dalam jazā’ atas ḍabbu‘, dan dikhususkan dari selain hewan lainnya, maka diketahui bahwa itu ditentukan secara khusus untuk jazā’ atas ḍabbu‘, dan bahwa nilai (harga) tidak wajib; sebab jika yang wajib adalah nilai, maka boleh dialihkan kepada kambing atau selainnya, sebagaimana kambing tidak akan memiliki kekhususan.

Dan termasuk dalil atas hal ini adalah ijmak para sahabat RA, yaitu riwayat dari ‘Umar, ‘Alī, ‘Uṡmān, Ibn ‘Abbās, Ibn ‘Umar, Zayd bin Ṯābit, ‘Abdurraḥmān bin ‘Auf, Ibn az-Zubayr, dan Mu‘āwiyah RA, bahwa mereka memutuskan dalam berbagai perkara di negeri-negeri yang berbeda dan waktu-waktu yang berlainan mengenai ḍabbu‘ dengan (denda) seekor kambing jantan, dan untuk burung unta dengan (denda) seekor unta betina.

Maka ketika putusan mereka bersesuaian dalam negeri-negeri yang berbeda dan waktu-waktu yang berlainan, hal itu menunjukkan bahwa yang wajib padanya adalah mitsl dari binatang ternak, bukan nilai (harga), karena dua hal:


أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقِيمَةَ قَدْ تَزِيدُ فِي بلدٍ، وَتَنْقُصُ فِي غَيْرِهِ، وَتَزِيدُ فِي وقتٍ وَتَنْقُصُ فِي غَيْرِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُمْ قَدْ حَكَمُوا فِيهِ بِأَكْثَرِ مِنْ قِيمَتِهِ؛ لِأَنَّهُمْ حَكَمُوا فِي النعامةٍ ببدنةٍ وَلَا تُسَاوِي بَدَنَةً، وَحَكَمُوا فِي الضَّبُعِ بكبشٍ وَهُوَ لَا يُسَاوِي كَبْشًا فَإِنْ قِيلَ فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ وَافَقَ قِيمَةُ الضَّبُعِ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ كَبْشًا، وَقِيمَةُ النعامة بدنةً.

Pertama: Bahwa nilai (al-qīmah) bisa bertambah di suatu negeri dan berkurang di negeri lain, juga bisa bertambah pada suatu waktu dan berkurang di waktu lain.

Kedua: Bahwa mereka telah memutuskan lebih dari nilai sebenarnya; karena mereka menetapkan untuk na‘āmah (unta betina liar) gantinya adalah seekor unta, padahal na‘āmah tidak sebanding nilainya dengan unta. Dan mereka menetapkan untuk ḍab‘ gantinya adalah seekor domba jantan, padahal ḍab‘ tidak sebanding dengan domba jantan.

Jika dikatakan: mungkin saja nilai ḍab‘ saat itu sama dengan seekor domba jantan, dan nilai na‘āmah sama dengan seekor unta pada waktu itu.

 

قِيلَ عَنْ هَذَا جَوَابَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَوْ جَازَ أَنْ يُوَافِقَ ذَلِكَ فِي وَقْتٍ لَجَازَ أَنْ يُخَالِفَهُ فِي غَيْرِهِ، وَقَدِ اتَّفَقَ حُكْمُهُمْ فِي كُلِّ وقتٍ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُمْ قَدْ أَوْجَبُوا فِي الْأَرْنَبِ عِنَاقًا وَفِي الْيَرْبُوعِ جَفْرَةً، وَعِنْدَ أبي حنيفة لا يجوز أن يصرف قِيمَةُ الصَّيْدِ فِي عناقٍ وَلَا جفرةٍ وَإِنَّمَا تصرف فيما يجوز أضحية وجب أن يتنوع حق الله تعالى إلى نَوْعَيْنِ: نَوْعٌ يُضْمَنُ بِالْمِثْلِ، ونوعٌ يُضْمَنُ بِالْقِيمَةِ.
فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُمْ حَكَمُوا بِالْمِثْلِ، وَلَمْ يَحْكُمُوا بِالْقِيمَةِ.

disebutkan dua jawaban atas hal ini:

pertama: seandainya dibolehkan bahwa (putusan) tersebut sesuai pada suatu waktu, niscaya boleh pula menyelisihinya pada waktu lain; padahal hukum mereka telah sepakat pada setiap waktu.

kedua: bahwa mereka telah mewajibkan dalam (kasus membunuh) arnab (kelinci liar) seekor ‘ināq (kambing betina muda), dan dalam yarbū‘ (sejenis tikus padang pasir) seekor jafrah (anak kambing betina), sementara menurut Abū Ḥanīfah, tidak boleh menyalurkan nilai hewan buruan dalam bentuk ‘ināq maupun jafrah, melainkan hanya dalam hewan yang sah dijadikan kurban; maka wajiblah bahwa hak Allah Ta‘ālā terbagi menjadi dua jenis: satu jenis dijamin dengan mitsl, dan jenis lain dijamin dengan nilai.

Maka hal ini menunjukkan bahwa mereka memutuskan dengan mitsl, dan tidak memutuskan dengan nilai.


وَمِنَ الدَّلَالَةِ عَلَيْهِ مِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى أَنَّهُ تَكْفِيرُ قَتْلٍ بحيوانٍ فَوَجَبَ أَلَّا تُعْتَبَرَ فِيهِ قِيمَةُ الْمَقْتُولِ مِنَ الْحَيَوَانِ قِيَاسًا عَلَى كَفَّارَةِ قَتْلِ الْآدَمِيِّينَ؛ وَلِأَنَّهُ تكفيرٌ بحيوانٍ وَجَبَ بحرمةِ الْإِحْرَامِ، فَوَجَبَ أَلَّا تُعْتَبَرَ فِيهِ الْقِيمَةُ كَكَفَّارَةِ الْأَذَى وَغَيْرِهَا مِنْ سَائِرِ الدِّمَاءِ؛ ولأن للحقوق الْمَضْمُونَةَ بِالْإِتْلَافِ حَقَّانِ: حَقٌّ لِلَّهِ تَعَالَى، وَحَقٌّ لِآدَمِيٍّ. فَلَمَّا كَانَ حَقُّ الْآدَمِيِّ يَتَنَوَّعُ نَوْعَيْنِ: نوعٌ يُضْمَنُ بِالْمِثْلِ، وَنَوْعٌ يُضْمَنُ بِالْقِيمَةِ، وَجَبَ أَنْ يَتَنَوَّعَ حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى نَوْعَيْنِ: نوعٌ يُضْمَنُ بِالْمِثْلِ، ونوعٌ يُضْمَنُ بِالْقِيمَةِ.

Dan di antara dalil dari sisi makna adalah bahwa ini merupakan kafārah atas pembunuhan terhadap hewan, maka tidak sepatutnya dijadikan nilai hewan yang dibunuh sebagai acuan, sebagaimana kafārah pembunuhan terhadap manusia tidak memperhitungkan nilai korban.

Dan karena ia adalah kafārah dengan hewan yang diwajibkan karena kehormatan iḥrām, maka tidak semestinya dijadikan ukuran berdasarkan nilai, sebagaimana kafārah atas pelanggaran lainnya seperti kafārah gangguan (adzā) dan selainnya dari jenis-jenis darah yang wajib (dima’).

Dan karena hak-hak yang dijamin akibat perusakan (al-ḥuqūq al-maḍmūnah bi ’l-itlāf) terbagi menjadi dua: hak Allah Ta‘ālā dan hak manusia. Maka ketika hak manusia terdiri dari dua jenis—jenis yang dijamin dengan mithl dan jenis yang dijamin dengan qīmah—maka wajib pula hak Allah Ta‘ālā terbagi menjadi dua: jenis yang dijamin dengan mithl dan jenis yang dijamin dengan qīmah.


وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ أَحَدُ جِنْسَيْ مَا يُضْمَنُ بِالْإِتْلَافِ فَوَجَبَ أَنْ يَتَنَوَّعَ ضَمَانُهُ نَوْعَيْنِ: مِثْلًا وَقِيمَةً كَحُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ.
الْجَوَابُ: أَمَّا اسْتِدْلَالُهُمُ الْأَوَّلُ مِنَ الآية وهو قولهم: إن المثل إما أن يَكُونُ فِي الصُّورَةِ وَالْجِنْسِ، أَوْ فِي الْقِيمَةِ.
فَالْجَوَابُ عَنْهُ: أَنَّ الْمِثْلَ إِذَا وَرَدَ مُطْلَقًا حُمِلَ عَلَى أَحَدِ هَذَيْنِ، فَأَمَّا إِذَا وَرَدَ مُقَيَّدًا فَإِنَّهُ يُحْمَلُ عَلَى تَقْيِيدِهِ، وَقَدْ قَيَّدَ اللَّهُ تَعَالَى ذَلِكَ بِالْمِثْلِ مِنَ النَّعَمِ فَوَجَبَ أَنْ يُحْمَلَ عَلَيْهِ.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمُ الثَّانِي مِنَ الْآيَةِ وَهُوَ قَوْلُهُمْ: إِنَّ الْمِثْلَ فِي الصُّورَةِ لا يفتقر إلى اجتهاد وعدلين؛ لِأَنَّهُ يُدْرَكُ بِالْمُشَاهَدَةِ، وَإِنَّمَا تَفْتَقِرُ إِلَى ذَلِكَ القيمة.

dan penjelasan hal ini secara qiyās adalah bahwa ia termasuk salah satu dari dua jenis sesuatu yang dijamin karena perusakan, maka wajib jaminannya terbagi menjadi dua jenis: dengan mitsl dan dengan nilai, sebagaimana hak-hak manusia.

Jawaban:

Adapun istidlāl mereka yang pertama dari ayat, yaitu perkataan mereka bahwa al-mitsl itu bisa berarti dalam rupa dan jenis, atau dalam nilai:

Maka jawabannya adalah: bahwa jika kata mitsl datang dalam bentuk mutlak, maka ia bisa ditafsirkan dengan salah satu dari dua itu. Adapun jika datang dalam bentuk muqayyad (terikat), maka wajib ditafsirkan sesuai batasan tersebut. Dan sungguh Allah Ta‘ālā telah membatasi hal itu dengan al-mitsl mina an-na‘am (yang semisal dari binatang ternak), maka wajib ditafsirkan sesuai dengan batasan itu.

Adapun istidlāl mereka yang kedua dari ayat, yaitu ucapan mereka: bahwa al-mitsl dalam rupa tidak membutuhkan ijtihād dan dua orang yang adil; karena dapat diketahui dengan penglihatan langsung, sedangkan yang membutuhkan ijtihad adalah nilai.


فالجواب: أن الاجتهاد في المثل والنعم أَخْفَى مِنَ الْاجْتِهَادِ فِي الْقِيمَةِ؛ لِأَنَّ الْقِيمَةَ قَدْ يَعْرِفُهَا سُوقَةُ النَّاسِ وَعَوَامُّهُمْ، وَالْمِثْلُ إِنَّمَا يَعْرِفُهُ خَوَاصُّهُمْ وَعُلَمَاؤُهُمْ؛ فَكَانَ بِاجْتِهَادِ عَدْلَيْنِ أَوْلَى.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمُ الثَّالِثُ مِنَ الْآيَةِ وَهُوَ قَوْلُهُمْ: إِنَّ الْجَزَاءَ بِالْمِثْلِ راجعٌ إِلَى جَمِيعِ الصَّيْدِ، فَلَمَّا أُرِيدَ بِبَعْضِهِ الْقِيمَةُ دُونَ الْمِثْلِ وَهُوَ مَا لَا مِثْلَ لَهُ، فَكَذَلِكَ مَا لَهُ مثل.

Maka jawabannya: Sesungguhnya ijtihad dalam menentukan mithl dan jenis hewan ternak lebih sulit dibandingkan dengan ijtihad dalam menentukan nilai (qīmah); karena nilai dapat diketahui oleh kalangan umum dan masyarakat awam, sedangkan mithl hanya bisa diketahui oleh kalangan khusus dan para ulama. Maka penetapannya melalui ijtihad dua orang yang adil lebih layak dan lebih utama.

Adapun istidlāl mereka yang ketiga dari ayat—yaitu ucapan mereka bahwa jazā’ dengan mithl berlaku atas seluruh buruan, maka ketika pada sebagian buruan dimaksudkan nilai dan bukan mithl (yaitu yang tidak memiliki padanan), maka demikian pula berlaku untuk yang memiliki padanan—jawabannya: tidaklah demikian.

فَالْجَوَابُ: أَنَّ الْآيَةَ إِنَّمَا تَنَاوَلَتْ مِنَ الصَّيْدِ مَا لَهُ مِثْلٌ مِنَ النَّعَمِ دُونَ مَا لَا مِثْلَ لَهُ، وَإِنَّمَا وَجَبَتِ الْقِيمَةُ فِيمَا لَا مِثْلَ لَهُ بِالِاسْتِدْلَالِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُنَّةِ وَالْآثَارِ، نَصَّ الشَّافِعِيُّ عَلَى ذَلِكَ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ “، فَلَمْ يَسْلَمِ الِاسْتِدْلَالُ، فَإِنْ حَرَّرُوهُ قِيَاسًا عَلَى الْعُصْفُورِ، فَالْمَعْنَى فِي الْعُصْفُورِ أَنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ مِنَ النَّعَمِ؛ فَلِذَلِكَ وَجَبَتْ فِيهِ الْقِيمَةُ، فَأَمَّا مَا لَهُ مِثْلٌ مِنَ النَّعَمِ فَالْوَاجِبُ فِيهِ الْمِثْلُ مِنَ النَّعَمِ دُونَ الْقِيمَةِ، كَمَا أَنَّ أَمْوَالَ الْآدَمِيِّينَ تَجِبُ بِإِتْلَافِ مَا لَهُ مِثْلُ مِثْلِهِ دُونَ قِيمَتِهِ، وَبِإِتْلَافِ مَا لَا مِثْلَ لَهُ الْقِيمَةُ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى أَمْوَالِ الْآدَمِيِّينَ فَبَاطِلٌ بِقَتْلِ الْحَدِّ خَطَأً؛ لِأَنَّهُ لَا يُضْمَنُ بِالْمِثْلِ لِسُقُوطِ الْقَوَدِ وَلَا بِالْقَيِّمَةِ لِوُجُوبِ الدِّيَةِ وَلَيْسَتِ الدِّيَةُ قِيمَةً لِكَوْنِهَا إِبِلًا ثُمَّ لَمْ يَسْلَمْ مِنْ هَذَا الْقَدْحِ وَلَمْ يصح الجميع بَيْنَهُمَا مِنَ الْوَجْهِ الَّذِي ذَكَرُوا؛ لِأَنَّ حَقَّ اللَّهِ تَعَالَى يُضْمَنُ بِالْمَالِ وَغَيْرِ الْمَالِ وَهُوَ الصِّيَامُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ حَقُّ الْآدَمِيِّينَ فَاخْتَلَفَا.

Maka jawabannya: bahwa ayat tersebut hanya mencakup dari buruan apa yang memiliki mitsl dari binatang ternak, bukan yang tidak memiliki padanannya. Dan sesungguhnya kewajiban membayar nilai (qīmah) hanya berlaku pada yang tidak memiliki mitsl, berdasarkan istidlāl dari al-Kitāb, as-Sunnah, dan atsar-atsar. Imam asy-Syāfi‘ī telah menegaskan hal itu dalam kitab al-Umm. Maka tidak sah istidlāl mereka itu. Jika mereka menegaskannya dengan qiyās terhadap burung ‘uṣfūr, maka alasan pada burung tersebut adalah karena ia tidak memiliki padanan dari binatang ternak; maka karena itulah diwajibkan padanya nilai. Adapun yang memiliki padanan dari binatang ternak, maka yang wajib padanya adalah mitsl dari binatang ternak, bukan nilai—sebagaimana harta milik manusia, jika yang rusak adalah barang yang memiliki padanan, maka diganti dengan padanannya, bukan dengan nilainya; dan jika yang rusak tidak memiliki padanan, maka diganti dengan nilainya.

Adapun qiyās mereka terhadap harta manusia, maka itu batal dengan contoh pembunuhan yang terkena ḥadd namun dilakukan secara keliru (khāṭi’); karena tidak dijamin dengan padanan sebab gugurnya qiṣāṣ, dan tidak pula dengan nilai karena diwajibkannya diyah, sementara diyah bukanlah nilai, sebab ia berupa unta. Maka tidak selamat qiyās itu dari kritik, dan tidak sah menggabungkan antara keduanya sebagaimana yang mereka sebutkan; karena hak Allah Ta‘ālā bisa dijamin dengan harta dan selain harta, yaitu puasa, sedangkan hak manusia tidak demikian, maka keduanya berbeda.


وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ إِيجَابَ بَدَلَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ فِي متلفٍ واحدٍ ممتنع في الأصول.
فالجواب: أَنَّ ذَلِكَ يَمْتَنِعُ فِي الْأُصُولِ إِذَا كَانَتْ جِهَةُ ضَمَانِهَا وَاحِدَةً، فَأَمَّا مَعَ اخْتِلَافِ جِهَةِ ضَمَانِهَا فَلَا يَمْتَنِعُ اخْتِلَافُ الْبَدَلِ فِيهِمَا كَالْقَتْلِ يُضْمَنُ بِبَدَلَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ الدِّيَةُ وَالْكَفَّارَةُ، عَلَى أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَمْتَنِعْ وُجُوبُ بَدَلَيْنِ فِي متلفٍ واحدٍ، وَإِنْ كَانَ فِيهِ مُخَالَفَةُ الْأُصُولِ لَمْ يَمْتَنِعْ أَنْ يَخْتَلِفَ الْبَدَلَانِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ مخالفة الأصول.

Adapun ucapan mereka: bahwa mewajibkan dua ganti (badal) yang berbeda untuk satu barang yang rusak (muta’allaf wāḥid) adalah hal yang tidak dibenarkan dalam kaidah-kaidah dasar (al-uṣūl)—

Maka jawabannya: hal itu memang terlarang dalam kaidah-kaidah dasar apabila sumber kewajiban jaminan (ḍamān)-nya berasal dari satu sisi. Adapun jika berbeda sisi jaminannya, maka tidak terlarang perbedaan badal di antara keduanya; sebagaimana dalam kasus pembunuhan, yang dijamin dengan dua ganti yang berbeda: yaitu diyah dan kafārah.

Lagipula, ketika telah terbukti bahwa tidak terlarang wajibnya dua badal atas satu barang yang rusak, meskipun hal itu menyelisihi kaidah dasar, maka tidak terlarang pula jika dua badal tersebut berbeda, sekalipun hal itu menyelisihi kaidah dasar (al-uṣūl).


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَا أُكِلَ مِنَ الصَّيْدِ صِنْفَانِ دوابٌ وطائرٌ فَمَا أَصَابَ الْمُحْرِمُ مِنَ الْدَوَابِّ نَظَرَ إِلَى أقرب الأشياء من المقتول شبها من النعم ففدى به وقد حكم عُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وغيرهم في بلدانٍ مختلفةٍ وأزمانٍ شتى بالمثل من النعم فحكم حاكمهم في النعامة ببدنةٍ وهي لا تسوي بدنةً وفي حمار الوحش ببقرةٍ وهو لا يسوي بقرةٌ وفي الضبع بكبشٍ وهو لا يسوي كبشاً وفي الغزال بعنزٍ وقد يكون أكثر من ثمنها أضعافاً ودونها ومثلها وفي الأرنب بعناقٍ وفي اليربوع بجفرةٍ وهما لا يساويان عناقاً ولا جفرةً فدل ذلك على أنهم نظروا إلى أقرب ما يقتل من الصيد شبهاً بالبدل من النعم لا بالقيمة ولو حكموا بالقيمة لاختلف لاختلاف الأسعار وتبيانها في الأزمان “.

Masalah:

Imam asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:
 “Dan hewan buruan yang dimakan terbagi dua jenis: hewan darat dan burung. Maka apa yang dibunuh oleh orang yang beriḥrām dari hewan darat, dilihat kepada hewan yang paling mirip dengan yang dibunuh dari binatang ternak, lalu ia menebusnya dengan yang semisal itu. Dan sungguh ‘Umar, ‘Uṡmān, ‘Alī, ‘Abdurraḥmān bin ‘Auf, Ibn ‘Umar, Ibn ‘Abbās RA, dan selain mereka telah menetapkan hukum di berbagai negeri dan masa yang berlainan dengan al-mitsl dari binatang ternak. Maka salah satu dari mereka menetapkan dalam kasus burung unta: (dendanya) unta betina—padahal nilainya tidak sebanding dengan seekor unta; dan dalam keledai liar: seekor sapi—padahal nilainya tidak sebanding dengan sapi; dan dalam ḍabbu‘: seekor kambing jantan—padahal tidak sebanding dengan kambing jantan; dan dalam kijang: seekor kambing betina—padahal kadang harganya berlipat dari harga kambing, atau kurang darinya, atau setara dengannya; dan dalam kelinci: seekor ‘ināq; dan dalam yarbū‘: seekor jafrah—padahal keduanya tidak sebanding dengan ‘ināq maupun jafrah. Maka hal itu menunjukkan bahwa mereka memperhatikan hewan yang paling mirip dari buruan dengan pengganti dari binatang ternak, bukan dengan nilai. Dan seandainya mereka memutuskan berdasarkan nilai, niscaya akan berbeda-beda karena perbedaan harga dan perinciannya dalam berbagai masa.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: الْحَيَوَانُ كُلُّهُ ضربان: إنسيٌّ ووحشيٌّ.
فأما الإنسي الأصلي فُحُكْمُ الْمُحْرِمِ فِيهِ كَحُكْمِ الْمُحِلِّ، وَأَمَّا الْوَحْشِيُّ فَضَرْبَانِ مأكولٌ، وَغَيْرُ مَأْكُولٍ.
فَأَمَّا غَيْرُ الْمَأْكُولِ فَيَأْتِي، وَأَمَّا الْمَأْكُولُ فَضَرْبَانِ: بريٌّ وبحريٌّ.
فَأَمَّا الْبَحْرِيُّ فَيَأْتِي وَأَمَّا الْبَرِّيُّ فَضَرْبَانِ: دَوَابُّ وطائرٌ:

فَأَمَّا الطَّائِرُ فَيَأْتِي، وَأَمَّا الدَّوَابُّ فَفِيهَا مِثْلُهَا مِنَ النَّعَمِ، وَهُوَ أَنْ يَنْظُرَ أَقْرَبَ الِأَشْيَاءِ مِنَ الْمَقْتُولِ شَبَهًا مِنَ النَّعَمِ فَيَفْتَدِي بِهِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَدْ تَقَدَّمَ لِلصَّحَابَةِ فِيهِ حُكْمٌ أَمْ لَا.

Qāl al-Māwardī: Dan ini sebagaimana yang beliau (al-Syāfi‘ī) katakan: bahwa seluruh hewan terbagi menjadi dua jenis: hewan jinak (insī) dan liar (waḥsyī).

Adapun hewan jinak yang asli, maka hukum bagi orang beriḥrām padanya sama seperti hukum bagi orang yang tidak beriḥrām.

Adapun hewan liar, maka terbagi menjadi dua: yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan.

Adapun yang tidak boleh dimakan, akan dijelaskan kemudian.

Sedangkan yang boleh dimakan, terbagi menjadi dua: hewan darat dan hewan laut.

Adapun hewan laut, juga akan dijelaskan kemudian.

Sedangkan hewan darat, terbagi menjadi dua: binatang berkaki empat dan burung.

Adapun burung, penjelasannya akan datang.

Sedangkan binatang berkaki empat, maka padanya terdapat mithl (yang semisal) dari hewan ternak (na‘am), yaitu dengan cara melihat hewan ternak yang paling mirip dengan hewan buruan yang dibunuh, kemudian ia membayar fidyah dengannya.

Apabila demikian keadaannya, maka tidak terlepas dari dua kemungkinan: apakah telah ada ketetapan hukum dari para sahabat mengenai hal itu, atau belum.


فَإِنْ تَقَدَّمَ حُكْمُ الصَّحَابَةِ فِيهِ بشيءٍ فَلَا اجْتِهَادَ لَنَا فِيهِ، وَحُكْمُ الصَّحَابَةِ مُقَدَّمٌ عَلَى قَوْلِنَا، وَقَالَ مالكٌ: لَا بُدَّ فِيهِ من اجتهاد فَقِيهَيْنِ، وَهَذَا غَلَطٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الله تعالى قال: {يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ} فَأَمَرَ بِالرُّجُوعِ فِيهِ إِلَى حُكْمِ ذَوَيْ عدلٍ. وَعَدَالَةُ الصَّحَابَةِ أَوْكَدُ مِنْ عَدَالَتِنَا؛ لِأَنَّهُمْ شَاهَدُوا الْوَحْيَ وَحَضَرُوا التَّنْزِيلَ وَالتَّأْوِيلَ، وَجَعَلَهُمْ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَالنُّجُومِ بِأَيِّهِمُ اقْتَدَيْنَا اهْتَدَيْنَا؛ فَكَانَ حُكْمُهُمْ أَوْلَى مِنْ حُكْمِنَا.

Maka jika telah terdahului oleh hukum para sahabat dalam suatu perkara, maka tidak ada ijtihad bagi kita di dalamnya, dan hukum para sahabat didahulukan atas pendapat kita. Malik berkata: “Harus ada ijtihad dari dua orang faqih.” Ini adalah kesalahan dari dua sisi:

Pertama: Bahwasanya Allah Ta‘ala berfirman: {Yahkumu bihī dhawā ‘adlin minkum} (hendaklah yang memutuskan adalah dua orang yang adil dari kalian), maka Dia memerintahkan untuk kembali kepada hukum dua orang yang adil. Dan keadilan para sahabat lebih kuat daripada keadilan kita; karena mereka menyaksikan wahyu dan hadir saat turunnya serta penafsirannya, dan Nabi SAW menjadikan mereka seperti bintang-bintang, dengan siapa pun dari mereka kita ikuti niscaya kita akan mendapat petunjuk; maka hukum mereka lebih utama daripada hukum kita.


وَالثَّانِي: أَنَّ الصَّحَابَةَ إِذَا حَكَمُوا بشيءٍ أَوْ حَكَمَ بَعْضُهُمْ بِهِ وَسَكَتَ بَاقُوهُمْ عَلَيْهِ صَارَ إِجْمَاعًا وَمَا انْعَقَدَ لِلْإِجْمَاعِ عَلَيْهِ فَلَا يَجُوزُ الِاجْتِهَادُ فِيهِ لِجَوَازِ أَنْ يُؤَدِّيَ الِاجْتِهَادُ إِلَى غَيْرِ مَا انْعَقَدَ عَلَيْهِ الْإِجْمَاعُ وَكَذَا حُكْمُ التَّابِعِينَ بَعْدَ الصَّحَابَةِ كَحُكْمِ الصَّحَابَةِ في وجوب اتباعه، ومنه الِاجْتِهَادِ فِيهِ.

kedua: bahwa para sahabat apabila mereka memutuskan suatu hukum, atau sebagian dari mereka memutuskan suatu hukum lalu yang lainnya diam atasnya, maka hal itu menjadi ijmā‘. Dan sesuatu yang telah terjadi ijmā‘ atasnya, maka tidak boleh dilakukan ijtihād di dalamnya, karena ijtihād bisa mengantarkan pada selain apa yang telah disepakati oleh ijmā‘. Demikian pula hukum para tābi‘īn setelah para sahabat adalah seperti hukum para sahabat dalam kewajiban mengikutinya dan tidak boleh berijtihad di dalamnya.


فَأَمَّا مَا لَمْ يَكُنْ لِلصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فِيهِ حُكْمٌ فَالْوَاجِبُ أَنْ يُرْجَعَ فِيهِ إِلَى اجْتِهَادِ فَقِيهَيْنِ عَدْلَيْنِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ} وَرُوِيَ أَنَّ قَبِيصَةَ بْنَ جَابِرٍ أَصَابَ ظَبْيًا وَهُوَ محرمٌ فَأَتَى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَشَاوَرَ عُمَرُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ فِي ذَلِكَ، فَقَالَ قَبِيصَةُ لِصَاحِبَيْهِ: وَاللَّهِ مَا عَلِمَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ حَتَى سَأَلَ غَيْرَهُ، وَأَحْسَبُنِي سَأَذْبَحُ نَاقَتِيِ فَسَمِعَ عُمَرُ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ ضرباً بالدرة، وقال: أتقتل الصيد محرماً وتغمض الْفُتْيَا، أَمَا سَمِعْتَ قَوْلَ اللَّهِ تَعَالَى: {يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ} فَهَذَا عُمَرُ وَهَذَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ ثُمَّ أَمَرَهُ بِذَبْحِ شاةٍ، مَعْنَى قَوْلِهِ: تَغْمُضُ الْفُتْيَا أَيْ: تَحْتَقِرُهَا وَتَتَهَاوَنُ بِهَا، يُقَالُ لِلرَّجُلِ إِذَا كَانَ مَطْعُونًا عَلَيْهِ فِي دِينٍ: إِنَّهُ لَمَغْمُوضٌ عَلَيْهِ.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَحْكُمَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ فَقِيهًا؛ لِأَنَّهُ حُكْمٌ فَلَمْ يجز إلا بحكم عدل يَجُوزُ حُكْمُهُ، فَإِنْ كَانَ قَاتِلُ الصَّيْدِ فَقِيهًا عَدْلًا جَازَ أَنْ يَكُونَ أَحَدَ الْعَدْلَيْنِ الْمُجْتَهِدَيْنِ، هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، وَمِنْهُ وَجْهٌ آخَرُ لِبَعْضِ أَصْحَابِهِ: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْقَاتِلُ أَحَدَ الْعَدْلَيْنِ الْمُجْتَهِدَيْنِ؛ لِأَنَّهُ اجْتِهَادٌ فِي بَدَلٍ مُتْلَفٍ فَلَمْ يَجُزِ الرُّجُوعُ فِيهِ إِلَى اجْتِهَادِ الْمُتْلِفِ كَحُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ الَّتِي تُرْجَعُ فِي إِتْلَافِهَا إِلَى اجْتِهَادِ مُقَوِّمَيْنِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْمُتْلِفُ أَحَدَهُمَا، كَذَلِكَ جَزَاءُ الصَّيْدِ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {يَحْكُمُ بِهِ ذَوا عَدْلٍ مِنْكُمْ) ، وَلِمَا رَوَيْنَا أَيْضًا عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ لَأَرْبَدَ وَقَدْ قَتَلَ صَيْدًا احْكُمْ، قَالَ: إِنِّي أحكم جَدْيًا قَدْ جَمَعَ الْمَاءَ وَالشَّجَرَ، قَالَ: فَهُوَ كَمَا حَكَمْتَ، فَأَمْضَى عُمَرُ الْحُكْمَ بِاجْتِهَادِهِ وَاجْتِهَادِ أَرْبَدَ، وَقَدْ كَانَ قَاتِلًا، وَلَيْسَ يُعْرَفُ لَهُ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ؛ فَكَانَ إِجْمَاعًا، وَلِأَنَّ الْجَزَاءَ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى، وَحُقُوقُ اللَّهِ تَعَالَى يَجُوزُ الرُّجُوعُ فِيهَا إِلَى اجْتِهَادِ مَنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ، كَالزَّكْوَاتِ وَالْكَفَّارَاتِ، وَخَالَفَتْ حُقُوقَ الْآدَمِيِّينَ.

Adapun perkara yang tidak terdapat hukum dari para sahabat dan tābi‘īn, maka wajib dikembalikan kepada ijtihād dua orang faqīh yang adil, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {yaḥkumu bihi żawā ‘adlin minkum}, dan telah diriwayatkan bahwa Qabīṣah bin Jābir membunuh kijang dalam keadaan beriḥrām, lalu mendatangi ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA, maka ‘Umar bermusyawarah dengan ‘Abdurraḥmān bin ‘Auf dalam hal itu. Maka Qabīṣah berkata kepada dua orang temannya: “Demi Allah, Amīr al-Mu’minīn tidak mengetahui (hukumnya) sampai ia bertanya kepada selainnya. Dan saya kira saya akan menyembelih unta betina saya.” Maka ‘Umar mendengarnya lalu mendekatinya dan memukulnya dengan durrāh, seraya berkata: “Kamu membunuh buruan dalam keadaan beriḥrām lalu meremehkan fatwa?! Tidakkah kamu mendengar firman Allah Ta‘ālā: {yaḥkumu bihi żawā ‘adlin minkum}? Maka ini adalah ‘Umar dan ini adalah ‘Abdurraḥmān.” Kemudian ‘Umar memerintahkannya untuk menyembelih seekor kambing.

Adapun makna ucapannya: taghmuḍ al-fatwā adalah: meremehkan dan menyepelekannya. Dikatakan kepada seseorang yang tercela dalam agamanya: “inna-hu lamaghmūḍun ‘alayh” (sungguh ia orang yang diragukan).

Imam al-Syāfi‘ī berkata: “Tidak boleh bagi siapa pun untuk menghukumi kecuali ia seorang faqīh, karena hal itu adalah hukum, maka tidak boleh kecuali oleh dua orang adil yang sah hukum keduanya. Jika pembunuh buruan tersebut adalah seorang faqīh yang adil, maka boleh ia menjadi salah satu dari dua orang ‘adl yang berijtihad.” Ini adalah mazhab al-Syāfi‘ī.

Dan ada pendapat lain dari sebagian sahabat beliau: bahwa tidak boleh si pembunuh menjadi salah satu dari dua orang yang berijtihad, karena ini adalah ijtihād dalam badal dari sesuatu yang telah dirusak (mutlaf), maka tidak boleh dikembalikan pada ijtihād pelaku perusakan, sebagaimana hak-hak manusia yang jika dirusak, dikembalikan pada penilaian dua orang ahli taksir, dan tidak boleh pelaku kerusakan menjadi salah satunya. Demikian pula halnya dalam jazā’ aṣ-ṣayd.

Namun ini adalah kekeliruan, karena keumuman firman Allah Ta‘ālā: {yaḥkumu bihi żawā ‘adlin minkum}, dan juga karena riwayat dari ‘Umar bahwa beliau berkata kepada Arbad yang telah membunuh buruan: “Putuskanlah hukumnya.” Maka Arbad berkata: “Aku memutuskan seekor anak kambing yang telah makan rumput dan minum air.” ‘Umar menjawab: “Itu sesuai dengan apa yang kamu putuskan.” Maka ‘Umar menetapkan hukum berdasarkan ijtihādnya dan ijtihād Arbad, padahal Arbad adalah pelaku pembunuhan, dan tidak diketahui adanya sahabat yang menyelisihinya; maka ini menjadi ijmā‘.

Dan karena jazā’ adalah termasuk hak-hak Allah Ta‘ālā, dan hak-hak Allah Ta‘ālā boleh dikembalikan kepada ijtihād orang yang memikul kewajiban tersebut, seperti zakat dan kafārat, yang berbeda dengan hak-hak manusia.


فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا، فَمَا حَكَمَتْ فِيهِ الصحابة، إن حَكَمُوا فِي النَّعَامَةِ بِبَدَنَةٍ حَكَمَ بِذَلِكَ عُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَمُعَاوِيَةُ وَابْنُ الزُّبَيْرِ، وَفِي الضَّبُعِ بكبشٍِ حَكَمَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، ثُمَّ حَكَمَ بِهِ بَعْدَهُ عُمَرُ، وَعَلِيٌّ، وجابرٌ، وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَرَوَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي عَمَّارٍ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الضَّبُعُ مِنَ الصيدِ “، وَجَعَلَ فِيهِ إِذَا أَصَابَهُ الْمُحْرِمُ كَبْشًا، وَفِي بَقَرَةِ الْوَحْشِ بَقَرَةً، حَكَمَ بِهَا مِنَ الصَّحَابَةِ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَمِنَ التَّابِعِينَ عطاءٌ، وَفِي الْإِبِلِ بَقَرَةٌ، حَكَمَ بِهَا ابْنُ عَبَّاسِ، وَفِي حِمَارِ الْوَحْشِ بَقَرَةٌ، حَكَمَ بِهَا عطاءٌ، وَفِي الْأَرْوَى بَقَرَةٌ، حَكَمَ بِهَا عطاءٌ، قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَرْوَى: دُونَ الْبَقَرَةِ الْمُسِنَّةِ وَفَوْقَ الْكَبْشِ، فَفِيهِ ذَكَرٌ أَوْ أُنْثَى، أَيَّ ذَلِكَ شَاءَ، وَفِي الثَّيْتَلِ بَقَرَةٌ، ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ وَلَمْ يَرْوِهِ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وفي الظبي تيس حكم به على الْيَرْبُوعِ جَفْرَةٌ، حَكَمَ بِهَا عُمَرُ وَابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَفِي الضَّبِّ جديٌ، حَكَمَ بِهِ عُمَرُ وَأَرْبَدُ وعطاءٌ، وَفِي الثَّعْلَبِ شَاةٌ، حَكَمَ بِهِ عطاءٌ، وَقَالَ شريحٍ: لَوْ كَانَ مَعِي حَاكِمٌ لَحَكَمْتُ فِي الثَّعْلَبِ بجديٍ، فَإِطْلَاقُ عطاءٍ مَحْمُولٌ عَلَى بَيَانِ شريحٍ، وَفِي الْوَبَرِ شَاةٌ، حَكَمَ بِهِ عطاءٌ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: فَإِنْ كَانَتِ الْعَرَبُ تَأْكُلُ الْوَبَرَ فَفِيهِ جفرةٌ، وَلَيْسَ بِأَكْثَرَ من جفرةٍ بدنا، وفي أم جبين بِحُمْلَانٍ مِنَ الْغَنَمِ، حَكَمَ بِهِ عُثْمَانُ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: يَعْنِي: حَمَلًا فَإِنْ كَانَتِ الْعَرَبُ تَأْكُلُهَا فَفِيهَا وَلَدُ شاةٍ. حملٌ أَوْ مِثْلُهُ مِنَ الْمَعْزِ مِمَّا لَا يَفُوتُهُ، فَهَذَا مَا حَكَمَ فِيهِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ مِنْ جَزَاءِ الصَّيْدِ.

PASAL
 Maka apabila telah tetap apa yang kami sebutkan, maka apa yang telah dihukumi oleh para sahabat dalam masalah shayd (buruan), jika mereka menghukumi pada unta unta nǝ‘āmah dengan badnah, maka yang menghukuminya adalah ‘Umar, ‘Utsmān, ‘Alī, ‘Abdurraḥmān, Zayd bin Thābit, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbās, Mu‘āwiyah, dan Ibnu Zubayr.

Dan dalam kasus ḍabbu‘ (hyena), dengan kibsy (domba jantan), maka telah dihukumi oleh Rasulullah SAW, lalu setelah beliau dihukumi pula oleh ‘Umar, ‘Alī, Jābir, dan Ibnu ‘Abbās. Dan ‘Abdurraḥmān bin Abī ‘Ammār meriwayatkan dari Jābir bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Ḍabbu‘ termasuk dari buruan,” dan beliau menetapkan bahwa jika mengenainya seorang muḥrim, maka wajib kibsy.

Dan dalam baqarah al-waḥsy (sapi liar) adalah baqarah (sapi), dihukumi oleh Ibnu ‘Abbās dari kalangan sahabat, dan dari kalangan tabi‘īn adalah ‘Aṭā’. Dan dalam ibil (unta) adalah baqarah, dihukumi oleh Ibnu ‘Abbās. Dan dalam ḥimār al-waḥsy (keledai liar) adalah baqarah, dihukumi oleh ‘Aṭā’. Dan dalam arwā (sejenis kambing gunung) adalah baqarah, dihukumi oleh ‘Aṭā’.

Asy-Syāfi‘ī berkata: Arwā itu lebih rendah dari baqarah musinnah (sapi dewasa) dan lebih tinggi dari kibsy, maka pada hewan itu boleh jantan atau betina, yang mana saja ia kehendaki.

Dan dalam tsaytal (sejenis rusa) adalah baqarah, disebutkan oleh asy-Syāfi‘ī dan tidak meriwayatkannya dari seorang pun dari kalangan sahabat dan tabi‘īn.

Dan dalam ẓaby (rusa) adalah tays (kambing jantan), dan pada yarbū‘ (gerbil atau sejenis tikus padang pasir) adalah jafrah (anak kambing betina), dihukumi oleh ‘Umar, Ibnu ‘Umar, dan Ibnu ‘Abbās.

Dan dalam ḍabb (biawak padang pasir) adalah jady (anak kambing jantan), dihukumi oleh ‘Umar, Arbad, dan ‘Aṭā’.

Dan dalam tsa‘lab (rubah) adalah syāh (kambing), dihukumi oleh ‘Aṭā’. Dan Syarīḥ berkata: “Seandainya aku bersama seorang hakim, niscaya aku akan menghukumi tsa‘lab dengan jady.” Maka pernyataan umum dari ‘Aṭā’ dibawa pada penjelasan Syarīḥ.

Dan dalam wabar (dassie) adalah syāh, dihukumi oleh ‘Aṭā’.

Asy-Syāfi‘ī berkata: Jika orang Arab memakan wabar, maka hukumannya adalah jafrah, dan tidak lebih dari jafrah satu badnah.

Dan dalam ummu jabīn (sejenis kijang kecil) adalah ḥumlān (anak kambing) dari jenis kambing, dihukumi oleh ‘Utsmān.

Asy-Syāfi‘ī berkata: Maksudnya adalah ḥamal (anak domba), jika orang Arab memakannya, maka hukumannya adalah anak kambing betina. Ḥamal atau semisalnya dari kambing yang tidak terlewatkan.

Inilah yang telah dihukumi oleh para sahabat dan tabi‘īn dari jazā’ aṣ-ṣayd.


قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَكُلٌّ دابةٍ مِنَ الْصَيْدِ الْمَأْكُولِ سَّمَيْنَاهَا فَفِدَاؤُهَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا، وَكُلُّ دَابَّةٍ مِنْ دَوَابِّ الصَّيْدِ الْمَأْكُولِ لَمْ نُسَمِّهَا فَقِيلَ: إِنَّهَا قياساً عَلَى مَا سَمَّيْنَا مِنْهَا، فَإِنِ اخْتَلَفَ اجْتِهَادِ عَدْلَيْنِ مِنَ الْفُقَهَاءِ لَمْ يُؤْخَذْ بِقَوْلٍ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَتَّى يَنْضَمَّ إِلَيْهِ قَوْلُ غَيْرِهِ فَيَصِيرَا اثنين، فيؤخذ حينئذٍ به، فلو حكم به عَدْلَانِ بِمِثْلٍ مِنَ النَّعَمِ، وَحَكَمَ فِيهِ عَدْلَانِ آخَرَانِ بِمِثْلٍ آخَرَ غَيْرِ الْمِثْلِ الَّذِي حَكَمَ بِهِ الْعَدْلَانِ الْأَوَّلَانِ فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:

Berkata al-Syāfi‘ī: “Setiap hewan dari buruan yang boleh dimakan yang telah kami sebutkan, maka fidyah-nya sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan. Dan setiap hewan dari jenis buruan yang boleh dimakan namun belum kami sebutkan, maka ditentukan secara qiyās terhadap apa yang telah kami sebutkan sebelumnya. Jika terdapat perbedaan ijtihād antara dua orang ‘adl dari kalangan fuqahā’, maka tidak diambil pendapat salah satu dari keduanya sampai ada pendapat orang ketiga yang bergabung dengan salah satunya hingga menjadi dua orang, barulah pendapat itu diambil.

Jika dua orang ‘adl menetapkan hukum dengan padanan dari jenis na‘m (hewan ternak), lalu dua orang ‘adl lainnya menetapkan hukum dengan padanan yang lain, bukan yang telah ditetapkan oleh dua ‘adl pertama, maka dalam hal ini terdapat dua wajah menurut para sahabat kami (ulama mazhab kami):”


أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مُخَيَّرٌ فِي الْأَخْذِ بِأَيِّهِمَا شَاءَ.
وَالثَّانِي: يَأْخُذُ بِأَغْلَظِهِمَا؛ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي اجْتِهَادِ الْفَقِيهَيْنِ إِذَا تَعَارَضَا، فَلَوْ حَكَمَ فِيهِ عَدْلَانِ بِالْمِثْلِ مِنَ النَّعَمِ، وَحَكَمَ فِيهِ عَدْلَانِ أَنْ لَا مِثْلَ لَهُ مِنَ النَّعَمِ، كَانَ حُكْمُ مَنْ حَكَمَ فِيهِ بِالْمِثْلِ أَوْلَى مِنْ حُكْمِ مَنْ حَكَمَ بِأَنْ لَيْسَ لَهُ مِثْلٌ، ولأن النفي لا يعارض الإثبات.

Pertama: Bahwa ia diberi pilihan untuk mengambil salah satu dari keduanya yang ia kehendaki.

Kedua: Ia mengambil yang paling berat di antara keduanya; berdasarkan perbedaan pendapat para sahabat kami tentang ijtihad dua orang faqīh apabila terjadi pertentangan antara keduanya. Maka, jika dua orang yang adil menghukumi bahwa padanya ada mitsl dari hewan ternak, dan dua orang yang adil lainnya menghukumi bahwa tidak ada mitsl dari hewan ternak, maka hukum orang yang menghukumi adanya mitsl lebih utama daripada hukum orang yang menghukumi bahwa tidak ada mitsl, karena penafian tidak bisa menandingi penetapan.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يُفْدِي إِلَّا مِنَ النَّعَمِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ} (المائدة: 95) فَعَلَّقَ الْمِثْلَ بِالنَّعَمِ فَانْتَفَى عَمَّا سِوَى النَّعَمِ، وَالنَّعَمُ: الْإِبِلُ وَالْبَقَرُ وَالْغَنَمُ، وَهِيَ الَّتِي تُذْبَحُ فِي الْأَضَاحِيِّ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةَُ الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ) {المائدة: 1) قَالَ الشَّافِعِيُّ: فَلَمْ أَعْلَمْ مُخَالِفًا أَنَّهُ غَيْرُ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالضَّأْنِ، وَهِيَ الْأَزْوَاجُ الثَّمَانِيَةُ الَّتِي قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهَا: {ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ منَ الضَّأنِ اثْنَيْنِ وَمِنَ المِعْزَ اثْنَيْنِ) {الأنعام: 143) ، ثُمَّ قَالَ تَعَالَى: {وَمِنَ الإبِلِ اثْنَيْنِ وَمِنَ البَقَرِ اثْنَيْنِ} (الأنعام: 144) ، فَهِيَ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ، فَإِذَا أَجْزَأَ الصَّيْدُ بِالْمِثْلِ مِنَ النَّعَمِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَدْفَعَهُ حَيًّا إِلَى الْفُقَرَاءِ حَتَّى يَنْحَرَهُ فِي الْحَرَمِ، سَوَاءٌ أَصَابَ الصَّيْدَ فِي حِلٍّ أَوْ حرمٍ، لِقَوْلِهِ تعالى: {هَدْياً بَالِغَ الكَعْبَةِ) ؛ فَإِنْ دَفَعَهُ إِلَيْهِمْ حَيًّا لَمْ يُجْزِهِ؛ لِأَنَّهُ متعبدٌ بِالْجَزَاءِ مِنَ النَّعَمِ وَإِرَاقَةِ دَمِهِ فِي الْحَرَمِ، فَإِذَا فَعَلَ أَحَدَهُمَا لَمْ يُجْزِهِ، ثُمَّ يَنْظُرُ فَإِنْ أَعْلَمَ الْفُقَرَاءَ أَنَّ مَا دَفَعَهُ إِلَيْهِمْ هُوَ جَزَاءُ الصَّيْدِ فَلَهُ اسْتِرْجَاعُهُ مِنْ أَيْدِيهِمْ، فَإِذَا اسْتَرْجَعَهُ وَنَحَرَهُ كَانَ مُخَيَّرًا بَيْنَ دَفْعِهِ إِلَيْهِمْ أَوْ إِلَى غَيْرِهِمْ، وَلَا يَلْزَمُهُ بِالدَّفْعِ الْأَوَّلِ أَنْ يَرُدَّهُ عَلَيْهِمْ بَعْدَ النَّحْرِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَقَعْ مَوْقِعَ الْإِجْزَاءِ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ حُكْمٌ، وَإِنْ لَمْ يُعْلِمْهُمْ أَنَّهُ هديٌ فَلَيْسَ لَهُ اسْتِرْجَاعُهُ إِلَّا أَنْ يُصَدِّقُوهُ وَالْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُهُمْ مَعَ أَيْمَانِهِمْ؛ لِأَنَّ ظَاهِرَ دَفْعِهِ إِلَيْهِمْ يُوجِبُ تَمْلِيكَهُمْ، فَإِذَا ذَبَحَ الْجَزَاءَ فِي الْحَرَمِ فَرَّقَ لَحْمَهُ طَرِيًّا عَلَى فُقَرَاءِ الْحَرَمِ، وَلَيْسَ بِمَا يُعْطَى كُلُّ فَقِيرٍ مِنْهُمْ قَدْرٌ مَحْدُودٌ بِالشَّرْعِ، وَأَقَلُّ مَا يُجْزِئُهُ أَنْ يُفَرِّقَهُ عَلَى ثلاثةٍ إِنْ كَانَ قَادِرًا عَلَيْهِمْ أَوْ عَلَى مَنْ قَدَرَ عَلَيْهِ مِنْهُمْ، وَلَوْ كَانَ وَاحِدًا فَلَوْ دَفَعَهُ إِلَى اثْنَيْنِ مَعَ قُدْرَتِهِ عَلَى الثَّالِثِ كَانَ ضَامِنًا لِذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ دَفَعَ وَاجِبًا عَلَيْهِ إِلَى غَيْرِ مُسْتَحِقِّهِ، وَفِي قَدْرِ ضمانه وجهان:
أحدهما: يضمن الثلاثة مُسَاوَاةً بَيْنَ جَمِيعِهِمْ فِيهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَضْمَنُ مِنْهُ أَقَلَّ مَا يُجْزِئُ أَنْ يُعْطِيَ أَحَدَهُمْ مِنْ غَيْرِ تَقْدِيرٍ بِالثُّلُثِ؛ لِأَنَّ الْمُسَاوَاةَ بَيْنَهُمْ في التفرقة لا تلزم.

Masalah:
 Imam al-Syāfi‘ī RA berkata: “Tidak boleh membayar fidyah kecuali dari na‘m (hewan ternak).”

Al-Māwardī berkata: Ini adalah pendapat yang benar, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {fa-jazā’un miṡlu mā qatala min an-na‘m} (al-Mā’idah: 95), maka Allah menggantungkan mithl (padanan) itu pada na‘m, sehingga gugurlah selain na‘m. Dan na‘m adalah unta, sapi, dan kambing, yaitu yang disembelih dalam kurban. Allah Ta‘ālā berfirman: {uḥillat lakum bahīmatu al-an‘ām illā mā yutlā ‘alaykum} (al-Mā’idah: 1).
 Imam al-Syāfi‘ī berkata: “Aku tidak mengetahui ada yang menyelisihi bahwa yang dimaksud adalah unta, sapi, kambing dan domba, yaitu pasangan delapan yang disebut Allah Ta‘ālā dalam firman-Nya:
 {ṡamāniyata azwāj, min aḍ-ḍa’nitsnayn wa min al-ma‘zitsnayn} (al-An‘ām: 143),
 kemudian Allah Ta‘ālā berfirman:
 {wa min al-ibili ithnayn wa min al-baqari ithnayn} (al-An‘ām: 144),
 maka inilah yang disebut bahīmat al-an‘ām.

Apabila padanan buruan itu berupa hewan dari jenis na‘m, maka tidak sah diberikan kepada fakir miskin dalam keadaan hidup, kecuali setelah disembelih di tanah ḥaram, baik buruan itu dibunuh di tanah halal ataupun tanah haram, karena firman Allah Ta‘ālā: {hadyan bāligha al-ka‘bah}.

Jika ia memberikannya dalam keadaan hidup, maka itu tidak sah, karena ia dibebani secara syar‘i untuk membayar ganti rugi dengan hewan na‘m dan menyembelihnya di tanah ḥaram. Jika hanya melakukan salah satunya saja, maka tidak mencukupi.

Kemudian, jika ia telah memberitahukan kepada fakir miskin bahwa hewan yang ia berikan kepada mereka itu adalah jazā’ aṣ-ṣayd, maka ia boleh mengambil kembali dari tangan mereka. Setelah ia ambil kembali dan menyembelihnya, ia diberi pilihan untuk memberikannya kembali kepada mereka atau kepada selain mereka. Ia tidak terikat untuk mengembalikan kepada orang yang sama seperti pemberian pertama, karena pemberian pertama tidak memenuhi syarat untuk sah sebagai jazā’, maka tidak memiliki hukum yang mengikat.

Namun jika ia tidak memberitahukan bahwa itu adalah hady, maka ia tidak boleh mengambil kembali kecuali jika mereka mau membenarkannya. Dalam hal ini, ucapan mereka yang dipegang dengan sumpah mereka, karena secara lahiriah, pemberian tersebut menunjukkan kepemilikan mereka.

Jika ia telah menyembelih jazā’ tersebut di tanah haram, maka ia wajib membagikan dagingnya dalam keadaan segar kepada fakir miskin di tanah haram. Tidak ada ketentuan jumlah tertentu yang wajib diberikan kepada setiap fakir secara syar‘i. Minimal yang mencukupi adalah membagikannya kepada tiga orang, jika ia mampu menjangkau mereka, atau kepada siapa saja yang bisa ia jangkau dari kalangan mereka. Jika yang ada hanya satu orang, maka sah.

Namun jika ia memberikan kepada dua orang saja padahal mampu memberikan kepada yang ketiga, maka ia wajib mengganti kekurangannya, karena ia telah memberikan kewajiban kepada yang bukan haknya.

Adapun kadar gantiannya, terdapat dua pendapat:

  • Pertama: ia wajib mengganti seluruh bagian tiga orang secara merata.
  • Kedua: ia wajib mengganti kadar minimal yang mencukupi untuk diberikan kepada satu orang, tanpa harus sepertiga, karena pemerataan dalam pembagian tidaklah wajib.

مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَفِي صِغَارِ أَوْلَادِهَا صِغَارُ أَوْلَادِ هَذِهِ “.
قَالَ الماوردي: وهذا لما قَالَ فَيَجِبُ فِي فَرْخِ النَّعَامَةِ فصيلٌ، وَفِي جحش حمار الوحش عجلٌ، فَيَخْتَلِفُ الْجَزَاءُ بِحَسَبِ اخْتِلَافِهِ فِي الصِّغَرِ وَالْكِبَرِ.

Masalah:
 Asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Dan pada anak-anak kecil dari hewan-hewan tersebut, adalah anak-anak kecil dari hewan-hewan pengganti ini pula.”

Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan, maka wajib pada anak burung unta adalah faṣīl (anak unta), dan pada anak keledai liar adalah ‘ijl (anak sapi), maka jazā’ (pengganti) berbeda sesuai dengan perbedaan antara yang kecil dan yang besar.


وَقَالَ مَالِكٌ: فِي الصِّغَارِ وَالْكِبَارِ جزاءٌ واحدٌ لَا يَخْتَلِفُ بِصِغَرِهِ وَكِبَرِهِ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمْ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْياُ بَالَغَ الكَعْبَةِ} ، فَجَعَلَ الْجَزَاءَ هَدْيًا، وَمُطْلَقُ الْهَدْيِ مَا يَجُوزُ فِي الضَّحَايَا، أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ: لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُهْدِيَ هَدْيًا لَمْ يُجْزِهِ إِلَّا مَا يجوزُ فِي الضَّحَايَا وَلِأَنَّ الصَّحَابَةَ حَكَمَتْ فِي النَّعَامَةِ ببدنةٍ، وَفِي الضَّبُعِ بكبشٍ، وَفِي الْغَزَالِ بعنزٍ، وَلَمْ يَسْأَلُوا عَنْ صِغَرِ الْمَقْتُولِ وَكِبَرِهِ، فَلَوْ كَانَ الْجَزَاءُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الصِّغَرِ والكبر لسألوا عن حاله، ولافتقروا إلى مشاهدته لِيُفَرِّقُوا بَيْنَ جَزَاءِ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ، فَلَمَّا أَمْسَكُوا عَنِ السُّؤَالِ، وَلَمْ يَفْتَقِرُوا إِلَى الْمُشَاهَدَةِ دَلَّ عَلَى اسْتِوَاءِ الْحُكْمِ فِي الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ حيوانٌ مخرجٌ بِاسْمِ التَّكْفِيرِ فَوَجَبَ أَلَّا يختلف باختلاف حال ما أتلف من صغر وكبر كَالرَّقَبَةِ فِي كَفَارَّةِ الْقَتْلِ لَا تَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ الْجَزَاءَ لَيْسَ يَخْلُو من أن يكون جارياً مجرى الكفارات. ومجرى الدِّيَاتِ، فَإِنْ جَرَى مَجْرَى الْكَفَّارَاتِ لَمْ يَخْتَلِفْ باختلاف الصغير والكبير عَلَى مَا بَيَّنَّاهُ، وَإِنْ جَرَى مَجْرَى الدِّيَاتِ، فَالدِّيَاتُ لَا تَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الصِّغَرِ وَالْكِبَرِ، عَلَى مَا ذَكَرْنَا، وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ) فَمِثْلُ الصَّغِيرِ صغيرٌ، وَلَيْسَ الْكَبِيرُ مِثْلًا لِلصَّغِيرِ، وَلِأَنَّ الصَّيْدَ قَدْ يَخْتَلِفُ فِي الصِّغَرِ وَالْكِبَرِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Dan Mālik berkata: “Dalam (kasus buruan) yang kecil maupun besar, jazā’-nya satu, tidak berbeda karena kecil atau besarnya.”
 Ia berdalil dengan firman Allah Ta‘ālā: {fa-jazā’un miṡlu mā qatala min an-na‘m, yaḥkumu bihi żawā ‘adlin minkum hadyyan bāligha al-ka‘bah}, maka Allah menjadikan jazā’ itu berupa hady, dan lafẓ hady secara mutlak adalah apa yang sah dalam kurban. Bukankah engkau melihat, bahwa jika seseorang berkata: “Wajib atasku untuk menyembelih hady,” maka tidak mencukupi kecuali yang sah untuk dijadikan kurban?

Dan karena para sahabat telah menetapkan hukum pada burung unta dengan badinah, pada dubuk dengan kambing jantan, dan pada kijang dengan kambing betina, dan mereka tidak bertanya tentang kecil atau besarnya hewan yang dibunuh. Seandainya jazā’ itu berbeda tergantung kecil atau besarnya, tentu mereka akan bertanya tentang keadaannya, dan tentu mereka memerlukan untuk menyaksikannya agar dapat membedakan antara jazā’ hewan kecil dan besar. Tatkala mereka tidak bertanya dan tidak membutuhkan penyaksian, maka hal itu menunjukkan bahwa hukumnya sama antara kecil dan besar.

Mereka berkata: “Karena ia adalah hewan yang dikeluarkan dengan nama takfīr (penebusan), maka wajib tidak dibedakan antara kecil dan besarnya yang dirusak, sebagaimana budak dalam kafārah pembunuhan, tidak dibedakan antara kecil dan besar.”

Mereka juga berkata: “Karena jazā’ itu tidak lepas dari dua kemungkinan: berjalan seperti kafārah atau seperti diyat. Jika ia seperti kafārah, maka tidak berbeda antara kecil dan besar, sebagaimana telah kami jelaskan. Dan jika seperti diyat, maka diyat tidak berbeda antara kecil dan besar, sebagaimana telah kami sebutkan.”

Dan dalil atas kebenaran pendapat kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {fa-jazā’un miṡlu mā qatala min an-na‘m}. Maka padanan dari yang kecil adalah yang kecil, dan yang besar bukanlah padanan bagi yang kecil.

Dan karena buruan itu dapat berbeda kecil dan besarnya dari dua sisi:


أَحَدُهُمَا: بِاخْتِلَافِ أَجْنَاسِهِ.
وَالثَّانِي: بِاخْتِلَافِ أَسْبَابِهِ.
فَلَمَّا كَانَ الصَّغِيرُ وَالْكَبِيرُ بِاخْتِلَافِ أَجْنَاسِهِ مُعْتَبَرًا حَتَى وَجَبَوَا فِي الضَّبُعِ كَبْشًا، وَفِي الْغَزَالِ عَنْزًا، وَفِي الْيَرْبُوعِ جَفْرَةً اعْتِبَارًا بِالْمِثْلِ فِي الْخِلْقَةِ وَإِنْ كَانَ كُلُّ ذَلِكَ صَيْدًا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الصِّغَرُ وَالْكِبَرُ بِاخْتِلَافِ أَسْبَابِهِ مُعْتَبَرًا فَلَا يَجِبْ فِي الصَّغِيرِ مَا يَجِبُ فِي الْكَبِيرِ اعْتِبَارًا بِالْمِثْلِ فِي الْخِلْقَةِ، وَإِنْ كَانَ جَمِيعُ ذَلِكَ صَيْدًا، وَلِأَنَّ جَزَاءَ الصَّيْدِ مُعْتَبَرٌ بِضَمَانِ الْأَمْوَالِ وَحُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ دُونَ الْكَفَّارَاتِ وَدِيَاتُ النُّفُوسِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تَجِبُ بِالْيَدِ وَبِالْجِنَايَةِ، وَالدِّيَاتُ وَالْكَفَّارَاتُ لَا تَجِبُ بِالْيَدِ وَإِنَّمَا تَجِبُ بِالْجِنَايَةِ.

Pertama: Dengan perbedaan jenis-jenisnya.

Kedua: Dengan perbedaan sebab-sebabnya.

Maka ketika perbedaan antara kecil dan besar itu dipertimbangkan karena perbedaan jenis, hingga diwajibkan pada ḍabbu‘ adalah kibsy, pada ghazāl adalah ‘anz, dan pada yarbū‘ adalah jafrah, dengan pertimbangan kesamaan dalam bentuk ciptaan, meskipun semuanya termasuk ṣayd (buruan), maka wajib pula bahwa perbedaan antara kecil dan besar karena perbedaan sebab juga dipertimbangkan, sehingga tidak wajib pada yang kecil apa yang wajib pada yang besar, dengan pertimbangan kemiripan dalam bentuk ciptaan, meskipun semuanya termasuk buruan.

Dan karena jazā’ aṣ-ṣayd itu dipertimbangkan sebagaimana jaminan harta dan hak-hak manusia, bukan seperti kafārat dan diyāt jiwa dari dua sisi:

Pertama: Bahwa ia wajib karena yad (menguasai secara fisik) dan karena tindak pelanggaran (jināyah), sedangkan diyāt dan kafārat tidak wajib karena yad, tetapi hanya wajib karena jināyah saja.


وَالثَّانِي: أَنَّ جَزَاءَ الصَّيْدِ إِنَّمَا وَجَبَ لِحُرْمَةٍ ثَبَتَتْ لَهُ بِغَيْرِهِ وَهُوَ الْحَرَمُ أَوِ الْإِحْرَامُ كَسَائِرِ الْأَمْوَالِ الَّتِي وَجَبَ ضمانها لحرمة المال والكفارات وديات النفوس إنما وجبت لحرمة النفوس دُونَ غَيْرِهَا، وَإِذَا كَانَ ضَمَانُ الْأَمْوَالِ مُعْتَبَرًا وَجَبَ أَنْ يَخْتَلِفَ بِالصِّغَرِ وَالْكِبَرِ كَسَائِرِ الْأَمْوَالِ، أَلَا تَرَى أَنَّ مَنْ أَتْلَفَ عَلَى آدَمِيٍّ عِجْلًا صَغِيرًا لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ مَا يَجِبُ عَلَى مَنْ أَتْلَفَ عَلَى آدَمِيٍّ ثَوْرًا كَبِيرًا.

kedua: bahwa jazā’ aṣ-ṣayd (denda buruan) itu diwajibkan karena adanya kehormatan yang ditetapkan baginya oleh selain dirinya, yaitu tanah ḥaram atau keadaan beriḥrām, sebagaimana harta-harta lain yang wajib diganti karena kehormatan harta tersebut. Adapun kafārah dan diyat jiwa diwajibkan karena kehormatan jiwa itu sendiri, bukan karena selainnya.

Dan apabila jaminan (ganti rugi) terhadap harta diperhitungkan, maka wajib dibedakan antara yang kecil dan yang besar, sebagaimana harta-harta lainnya. Bukankah engkau melihat bahwa siapa yang merusakkan anak sapi kecil milik seseorang tidak diwajibkan membayar seperti orang yang merusakkan sapi besar milik orang lain?


وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنْ نَقُولَ: لِأَنَّهُ ضمان مختلف بِاخْتِلَافِ الْأَجْنَاسِ فَوَجَبَ أَنْ يَخْتَلِفَ بِاخْتِلَافِ الْأَسْنَانِ كَسَائِرِ الْأَمْوَالِ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْآيَةِ، وَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ الْجَزَاءَ هَدْيًا، فَلِلشَّافِعِيِّ فِي الْهَدْيِ إِذَا أُطْلِقَ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَتَنَاوَلُ مَا يُطْلَقُ عَلَيْهِ الِاسْمُ وَلَوْ بَيْضَةً، نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ، فَعَلَى هَذَا الِاسْتِدْلَالُ بِهِ سَاقِطٌ.

Penjelasan hal ini secara qiyās adalah dengan mengatakan: Karena ia adalah jaminan yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan jenis, maka wajib pula berbeda-beda sesuai dengan perbedaan usia (tua-muda), sebagaimana dalam seluruh harta benda lainnya.

Adapun jawaban atas istidlāl mereka dengan ayat, yaitu bahwa Allah Ta‘ala menjadikan jazā’ itu sebagai hadyan, maka bagi asy-Syāfi‘ī dalam lafaz hady ketika disebut secara mutlak terdapat dua pendapat:

Pertama: Bahwa ia mencakup segala sesuatu yang dinamakan hady, meskipun hanya berupa sebutir telur. Ini dinyatakan dalam pendapat al-qadīm, maka atas dasar ini, istidlāl dengan ayat tersebut menjadi gugur.


وَالثَّانِي: يَقْتَضِي مَا يُجْزِئُ فِي الْأَضَاحِيِّ، وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ، فَعَلَى هَذَا إِنَّمَا يَقْتَضِي مَا يَجُوزُ فِي الْأَضَاحِيِّ إِذَا كَانَ لَفْظُ الْهَدْيِ مُطْلَقًا، وَالْهَدْيُ الْمَذْكُورُ فِي الْآيَةِ مُقَيَّدٌ بِالْمِثْلِ، فَحُمِلَ عَلَى تَقْيِيدِهِ دُونَ مَا يَقْتَضِيهِ إِطْلَاقُ لَفْظِهِ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حُكْمِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ عَنْ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ؛ فَلِأَنَّ مَفْهُومَ السُّؤَالِ يُغْنِي عَنِ الِاسْتِفْهَامِ؛ لِأَنَّ السَّائِلَ عَنْ جَزَاءِ النَّعَامَةِ يُفْهَمُ عَنْهُ أَنَّهُ لَمْ يُرِدْ فَرْخَ النَّعَامَةِ، وَكَذَا فِي سَائِرِ الصَّيْدِ؛ فَلِذَلِكَ لَمْ يَحْتَجْ إِلَى الْمَسْأَلَةِ.

kedua: yang dimaksud adalah apa yang mencukupi dalam kurban, dan ini adalah pendapat dalam qaul jadīd. Maka menurut ini, lafaz hady hanya menuntut apa yang sah dalam kurban jika lafaz hady itu datang secara mutlak. Adapun hady yang disebut dalam ayat, maka ia dibatasi dengan mithl (yang semisal), sehingga ditakwil dengan batasan tersebut, bukan dengan makna yang dituntut oleh kemutlakan lafaznya.

Adapun jawaban atas dalil dari praktik para sahabat RA yang menetapkan hukum tanpa bertanya tentang kecil atau besarnya hewan buruan, maka karena makna pertanyaan sudah mencakup hal tersebut, sehingga tidak perlu dijelaskan. Karena orang yang bertanya tentang jazā’ burung unta, dipahami bahwa yang dimaksud bukanlah anak burung unta. Begitu pula dalam seluruh jenis buruan lainnya; oleh karena itu mereka tidak perlu menanyakan secara khusus.


وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الرَّقَبَةِ فِي الْكَفَّارَاتِ فَالْمَعْنَى فِيهَا أَنَّهَا لَا تَجِبُ بِالْيَدِ وَإِنَّمَا تَجِبُ بِالْجِنَايَةِ، وَالْجَزَاءُ بِالْيَدِ وَالْجِنَايَةِ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّهُ لَا يَخْلُو أَنْ يَجْرِيَ مَجْرَى الْكَفَّارَاتِ أَوْ مَجْرَى الدِّيَاتِ، فَالْجَوَابُ أَنْ يُقَالَ: قَدْ يَخْلُو مِنْ هَذَيْنِ؛ لِأَنَّهُ يجري مجرى أموال الآدمين، عَلَى أَنَّهُمْ إِنْ رَدُّوهُ إِلَى الْكَفَّارَاتِ فَقَدْ ذَكَرْنَا الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا، وَإِنْ رَدُّوهُ إِلَى الدِّيَاتِ كَانَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الدِّيَاتِ لَمَّا لَمْ تَخْتَلِفْ بِاخْتِلَافِ الْأَجْنَاسِ وَالْأَنْوَاعِ حَتَّى كَانَتْ دِيَةُ الْعَرَبِيِّ كَدِيَةِ الْقِبْطِيِّ، وَدِيَةُ الشَّرِيفِ كَدِيَةِ الدَّنِيءِ، وَدِيَةُ الْأَسْوَدِ كَدِيَةِ الْأَبْيَضِ، لَمْ يَخْتَلِفْ بِاخْتِلَافِ الْأَسْنَانِ، وَلَمَّا كَانَ الْجَزَاءُ مُخْتَلِفًا بِاخْتِلَافِ الْأَجْنَاسِ، اختلف باختلاف الأسنان، والله أعلم.

Adapun qiyās mereka terhadap budak dalam kafārat, maka maknanya pada kafārat adalah bahwa ia tidak wajib karena yad (penguasaan), tetapi wajib karena jināyah (pelanggaran), sedangkan jazā’ wajib karena yad dan jināyah sekaligus.

Adapun ucapan mereka: “Sesungguhnya tidak lepas dari dua keadaan: apakah ia mengikuti hukum kafārat atau mengikuti hukum diyāt,” maka jawabannya adalah: bisa jadi ia tidak mengikuti keduanya, karena ia mengikuti hukum harta milik manusia.

Lagipula, jika mereka mengembalikannya kepada kafārat, maka telah kami sebutkan perbedaan antara keduanya. Dan jika mereka mengembalikannya kepada diyāt, maka perbedaannya adalah bahwa diyāt tidak berbeda-beda berdasarkan perbedaan jenis dan macam, sehingga diyah orang Arab sama dengan diyah orang Qibthi, diyah orang mulia sama dengan diyah orang rendahan, diyah orang hitam sama dengan diyah orang putih. Maka tidak ada perbedaan karena perbedaan usia (gigi atau umur).

Sedangkan jazā’ karena ia berbeda-beda berdasarkan perbedaan jenis, maka ia pun berbeda-beda berdasarkan perbedaan usia.

Wallāhu a‘lam.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا أَصَابَ صَيْدًا أَعْوَرَ أَوْ مَكْسُورًا فَدَاهُ بِمِثْلِهِ وَالصَّحِيحُ أَحَبُّ إِلَيَّ وَهُوَ قَوْلُ عطاءٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ ذَلِكَ: أَنَّ الْمِثْلِيَّةَ فِي جَزَاءِ الصَّيْدِ مُعْتَبَرَةٌ مِنَ الْوُجُوهِ كُلِّهَا، فَإِذَا قَتَلَ صَيْدًا أَعْوَرَ أَوْ أَعْرَجَ فَدَاهُ بِمِثْلِهِ مِنَ النَّعَمِ أَعْوَرَ أَوْ أَعْرَجَ، وَإِنْ كَانَ لَوْ فَدَاهُ بِالصَّحِيحِ كَانَ أَوْلَى لِكَمَالِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ يَجُوزُ بِمِثْلِهِ أَعْوَرَ أَوْ أَعْرَجَ، وَقَالَ بعض أصحابنا: لا يجوز أن يفديه بمعين مِثْلِهِ، وَعَلَيْهِ أَنْ يَفْدِيَهُ بِصَحِيحٍ، وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ هَذَا مَذْهَبَ مَالِكٍ؛ لِأَنَّهُ تَجْرِي عِنْدَهُ مَجْرَى الْكَفَّارَاتِ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ} (المائدة: 95) فَمِثْلُ الْأَعْوَرِ أعورٌ، وَلَيْسَ الصَّحِيحُ مِثْلًا لَهُ؛ وَلِأَنَّ النَّقْصَ قَدْ يَعْتَوِرُ الصَّيْدَ مِنْ وَجْهَيْنِ: نَقَصُ صغرٍ، وَنَقْصُ عَيْبٍ، فَلَمَّا كَانَ نَقْصُ الصِّغَرِ مُعْتَبَرًا فِي الْمِثْلِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ نَقْصُ الْعَيْبِ مُعْتَبَرًا فِي الْمِثْلِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ ذَلِكَ مُعْتَبَرٌ فِي الْمِثْلِ، فَإِنْ كَانَ الصَّيْدُ أَعْوَرَ الْيُمْنَى فَدَاهُ بِمِثْلِهِ مِنَ النَّعَمِ أَعْوَرِ الْيُمْنَى، فَإِنْ فَدَاهُ بِأَعْوَرِ الْيُسْرَى دُونَ الْيُمْنَى فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Masalah:
 Imam al-Syāfi‘ī RA berkata: “Jika seseorang membunuh buruan yang buta sebelah atau yang kakinya patah, maka ia menebusnya dengan yang semisal dari na‘m (hewan ternak). Namun yang sehat lebih aku sukai — dan ini adalah pendapat ‘Aṭā’.”

Al-Māwardī berkata:
 Kesimpulannya: bahwa mithliyyah (kesepadanan) dalam jazā’ aṣ-ṣayd diperhitungkan dari seluruh aspek. Maka jika ia membunuh buruan yang buta sebelah atau pincang, maka ia boleh menebusnya dengan hewan ternak yang semisal — yang juga buta sebelah atau pincang. Meskipun seandainya ia menebusnya dengan yang sehat, itu lebih utama karena lebih sempurna. Namun tetap sah menebus dengan yang semisal yang buta sebelah atau pincang.

Sebagian sahabat kami (ulama mazhab Syafi‘i) berkata: “Tidak sah menebusnya dengan yang semisal yang cacat secara spesifik, melainkan wajib menebusnya dengan yang sehat.” Dan ini mirip dengan mazhab Mālik, karena menurut beliau jazā’ aṣ-ṣayd diperlakukan seperti kafārah. Namun ini adalah kekeliruan, karena firman Allah Ta‘ālā: {fa-jazā’un miṡlu mā qatala min an-na‘m} (al-Mā’idah: 95), maka padanan dari yang buta adalah yang buta pula, dan yang sehat bukan padanan baginya.

Dan karena kekurangan bisa menimpa buruan dari dua sisi:

  • Kekurangan karena kecil, dan
  • Kekurangan karena cacat.

Maka ketika kekurangan karena kecil diperhitungkan dalam penentuan padanan, maka wajib pula memperhitungkan kekurangan karena cacat dalam penentuan padanan.

Jika hal itu telah ditetapkan sebagai bagian dari mithliyyah, maka apabila buruan itu buta sebelah kanan, maka ia harus menebusnya dengan hewan ternak yang juga buta sebelah kanan. Jika ia menebusnya dengan yang buta sebelah kiri, bukan sebelah kanan, maka ada dua pendapat (wajhān):


أَحَدُهُمَا: لَا يُجْزِئُهُ بِحَالٍ، وَيَكُونُ مُتَطَوِّعًا بِهِ؛ لِأَنَّ اخْتِلَافَ الْمَعِيبِ يَجْرِي مَجْرَى اخْتِلَافِ الْجِنْسِ؛ لِاعْتِبَارِهِ فِي الْمِثْلِ، فَلَمَّا ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْمِثْلُ مِنْ جِنْسٍ فَأَخْرَجَ مِنْ غَيْرِهِ لَمْ يُجْزِهِ كَذَلِكَ إِذَا وَجَبَ عَلَيْهِ الْمِثْلُ مَعِيبًا فَأَخْرَجَهُ بِعَيْبٍ غَيْرِهِ لَمْ يُجْزِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُجْزِئُهُ لِأَنَّ اخْتِلَافَ الْعَوَرِ لَيْسَ بِنَقْصٍ دَاخِلٍ عَلَى الْفُقَرَاءِ؛ لِأَنَّ قَدْرَ لَحْمِهِ إِذَا كَانَ أَعْوَرَ الْيُسْرَى كَقَدْرِ لَحْمِهِ إِذَا كَانَ أَعْوَرَ الْيُمْنَى، وَلَيْسَ كَذَلِكَ اخْتِلَافُ أَجْنَاسِهِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يدخل على الفقراء إضرار به.

Pertama: Tidak sah dalam keadaan apa pun, dan dianggap sebagai sedekah sunnah; karena perbedaan dalam cacat dianggap seperti perbedaan jenis, sebab hal itu diperhitungkan dalam menentukan mitsl. Maka, ketika telah tetap bahwa jika wajib atasnya mitsl dari satu jenis lalu ia mengeluarkan dari jenis lain, maka tidak sah; demikian pula jika wajib atasnya mitsl yang cacat dengan suatu cacat, lalu ia mengeluarkannya dengan cacat yang lain, maka tidak sah.

Dan pendapat kedua: Bahwa itu sah, karena perbedaan cacat sebelah mata tidak menyebabkan kekurangan yang merugikan orang-orang fakir; karena kadar dagingnya jika buta sebelah kiri sama dengan kadar dagingnya jika buta sebelah kanan, dan ini tidak seperti perbedaan jenis yang bisa mengakibatkan kerugian bagi para fakir.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” (قَالَ) وَيَفْدِي الذَّكَرَ بِالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخرٍ وَيَفْدِي بِالْإِنَاثِ أَحَبُّ إِلَيَّ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْوَاجِبُ فِي الْجَزَاءِ فَهُوَ أَنْ يَفْدِيَ الذَّكَرَ بِالذَّكَرِ، وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى اعْتِبَارًا بِالْمِثْلِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ} ، فَإِنْ فَدَى الذَّكَرَ بِالْأُنْثَى وَهُوَ أَنْ يَقْتُلَ صيداً ذكراً يفيده بِمِثْلِهِ مِنَ النَّعَمِ أُنْثَى فَيُجْزِئُهُ ذَلِكَ لَا يَخْتَلِفُ، وَلَكِنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا: هَلْ ذَلِكَ أَفْضَلُ أَمْ هُمَا سواءٌ بِأَنِ اعْتَبَرُوا حَالَ الْمُفْتَدِي فَإِنْ أَرَادَ تَقْوِيمَ الْأُنْثَى فِي الْجَزَاءِ دَرَاهِمَ، وَيَشْتَرِي بِالدَّرَاهِمِ طَعَامًا فَتَقْوِيمُ الْأُنْثَى أَفْضَلُ لَا يَخْتَلِفُ، لِأَنَّهَا أَكْثَرُ ثَمَنًا وَأَزْيَدُ فِي الطَّعَامِ أمداداً، وأزيد في الصيام أياماً، فلو لَمْ يُرِدْ تَقْوِيمَ الْأُنْثَى مِنَ الْمِثْلِ وَإِنَّمَا أَرَادَ ذَبْحَ الْأُنْثَى، فَهَلْ ذَلِكَ أَفْضَلُ وَأَوْلَى أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Masalah: Imam al-Syafi‘i RA berkata: “(Beliau berkata): dan ia menebus yang jantan dengan yang jantan dan yang betina dengan yang betina, dan beliau berkata pada tempat lain: dan menebus dengan yang betina lebih aku sukai.”

Al-Mawardi berkata: Adapun yang wajib dalam jazā’ adalah menebus yang jantan dengan yang jantan dan yang betina dengan yang betina, dengan mempertimbangkan keserupaan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Maka hukumannya adalah binatang ternak yang setara dengan hewan buruan yang dibunuhnya}. Maka jika ia menebus yang jantan dengan yang betina — yakni ia membunuh buruan jantan lalu menebusnya dengan yang semisal dari binatang ternak berupa betina — maka hal itu sah dan tidak ada khilaf.

Namun, para sahabat kami berbeda pendapat: apakah hal itu lebih utama ataukah keduanya sama saja? Yakni dengan mempertimbangkan keadaan orang yang menebus. Jika ia menghendaki untuk menaksir harga betina dalam jazā’ dengan dirham, lalu membeli makanan dengan dirham itu, maka penaksiran betina lebih utama, tidak ada khilaf, karena harganya lebih mahal dan mud-nya dalam makanan lebih banyak, dan hari puasanya juga lebih banyak.

Namun jika ia tidak menghendaki penaksiran betina dari mitsl, melainkan ingin menyembelih betina, apakah itu lebih utama dan lebih baik atau tidak? Maka ada dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا أَفْضَلُ؛ لِأَنَّهَا أَرْطَبُ لَحْمًا، وَبِهِ قَالَ أَبُو عَلِيِّ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا لَيْسَتْ بأفضل من الذكر من الذكر وإن أجزأت لأن لحمها قَدْ يَتَقَارَبَانِ، وَبِهِ قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ، فَأَمَّا إِذَا كَانَ الصَّيْدُ الْمَقْتُولُ أُنْثَى فَفَدَاهُ بِمِثْلِهِ مِنَ النَّعَمِ ذَكَرًا، فَفِي جَوَازِهِ وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا:
أَحَدُهُمَا: لَا يُجْزِئُهُ؛ لِأَنَّ الْأُنْثَى أَرْطَبُ لَحْمًا مِنَ الذَّكَرِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَفْدِيَ الْأُنْثَى بِالذَّكَرِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُجْزِئُهُ؛ لِأَنَّ الذَّكَرَ قَدْ يَكُونُ أَكْثَرَ لَحْمًا مِنَ الْأُنْثَى.

salah satu dari keduanya: bahwa yang betina lebih utama; karena dagingnya lebih empuk, dan ini adalah pendapat Abū ‘Alī Ibn Abī Hurairah.

Dan pendapat kedua: bahwa yang betina tidak lebih utama dari yang jantan meskipun sah (menjadi fidyah), karena dagingnya bisa jadi setara, dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī.

Adapun jika buruan yang dibunuh itu betina lalu ia menebusnya dengan yang semisal dari binatang ternak yang jantan, maka dalam kebolehannya terdapat dua wajah menurut kalangan kami:

pertama: tidak mencukupi; karena yang betina lebih empuk dagingnya daripada yang jantan, maka tidak boleh menebus yang betina dengan yang jantan.

Dan wajah kedua: mencukupi; karena bisa jadi yang jantan lebih banyak dagingnya daripada yang betina.


فَصْلٌ
: إِذَا قَتَلَ الْمُحْرِمُ صَيْدًا مَاخِضًا فَعَلَيْهِ مِثْلُهُ مِنَ النَّعَمِ مَاخِضًا؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَجَزَاءٌ مِِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ} وَلَا يَذْبَحُهَا، لَكِنْ يُقَوِّمُهَا وَيَشْتَرِي بِثَمَنِهَا طَعَامًا، قَالَ الشَّافِعِيُّ: لِأَنِّي لَوْ قُلْتُ أَذْبَحُ شَاةً مَاخِضًا كَانَتْ شَرًّا مِنْ شَاةٍ غَيْرِ مَاخِضٍ للمساكين، وإنما أَرَدْتُ الزِّيَادَةَ لَهُمْ، وَلَمْ أُرِدْ لَهُمْ مَا أُدْخِلُ بِهِ النَّقْصَ عَلَيْهِمْ، وَلَكِنْ تُقَوَّمُ الشَّاةُ الْمَاخِضُ فَتَكُونُ أَزْيَدَ ثَمَنًا، وَيُتَصَدَّقُ بِقِيمَتِهَا طَعَامًا فَيَكُونُ أَزْيَدَ أَمْدَادًا، وَإِنْ أَرَادَ الصِّيَامَ كَانَ أَزْيَدَ أَيَّامًا.

PASAL
 Apabila muḥrim membunuh hewan buruan yang sedang bunting (māḫiḍ), maka wajib atasnya menebus dengan yang semisal dari binatang ternak yang juga sedang bunting; berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {maka hukumannya adalah binatang ternak yang setara dengan hewan buruan yang dibunuhnya}. Namun, hewan tersebut tidak disembelih, melainkan dinilai harganya, lalu dibelikan makanan dengan nilainya.

Imam al-Syafi‘i berkata: “Karena jika aku mengatakan untuk menyembelih kambing yang sedang bunting, maka itu lebih buruk daripada kambing yang tidak sedang bunting bagi para miskin. Padahal aku bermaksud memberikan tambahan kepada mereka, bukan mengurangi hak mereka. Namun, kambing yang sedang bunting itu dinilai, karena harganya lebih mahal, lalu disedekahkan nilainya dalam bentuk makanan, maka itu akan lebih banyak mud, dan jika ia memilih puasa, maka hari puasanya pun lebih banyak.”


فَصْلٌ
: إِذَا ضَرَبَ الْمُحْرِمُ بَطْنَ بَقَرَةٍ وَحْشِيَّةٍ فَأَلْقَتْ مَا فِي بَطْنِهَا فَهَذَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ تَعِيشَ الْأُمُّ وَالْوَلَدُ جَمِيعًا فَقَدْ أَسَاءَ بِضَرْبِهِ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَحْدُثْ عَنْ ضَرْبِهِ إِتْلَافٌ يُضْمَنُ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَمُوتَ الْأُمُّ وَالْوَلَدُ جَمِيعًا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْوَلَدِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
إِمَّا أَنْ يَسْقُطَ حَيًّا أَوْ مَيِّتًا، فَإِنْ سَقَطَ حَيًّا ثُمَّ مَاتَ فَعَلَيْهِ أَنْ يفدي الأم بِبَقَرَةٍ كَبِيرَةٍ، وَيَفْدِيَ الْوَلَدَ بِعِجْلٍ صَغِيرٍ، وَإِنْ سَقَطَ مَيِّتًا فَعَلَيْهِ أَنْ يَفْدِيَ الْوَلَدَ الْمَيِّتَ بِمَا نَقَصَ مِنْ قِيمَةِ الْأُمِّ بِوَضْعِهِ، وَلَا يَفْدِيَهُ بِعِجْلٍ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْقُطْ حَيًّا، وَعَلَيْهِ أَنْ يَفْدِيَ الْأُمَّ بِبَقَرَةٍ.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَمُوتَ الْأُمُّ دُونَ الْوَلَدِ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَفْدِيَ الْأُمَّ بِبَقَرَةٍ، وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ فِي الْوَلَدِ؛ لِأَنَّهُ حيٌّ يَعِيشُ.

PASAL
 Apabila seorang muḥrim memukul perut sapi liar lalu sapi itu melahirkan anaknya, maka hal ini terbagi menjadi empat bagian:

pertama: jika induk dan anaknya sama-sama hidup, maka ia telah berbuat buruk dengan memukulnya, tetapi tidak ada kewajiban apa pun atasnya; karena tidak terjadi kerusakan yang wajib ditanggung akibat pukulannya.

Bagian kedua: jika induk dan anaknya sama-sama mati, maka keadaan anak tidak lepas dari dua kemungkinan:
 entah anak itu keluar dalam keadaan hidup lalu mati, atau keluar dalam keadaan mati.
 Jika anak itu keluar hidup lalu mati, maka wajib baginya menebus induknya dengan seekor sapi dewasa, dan menebus anaknya dengan anak sapi yang kecil.
 Dan jika anak itu keluar dalam keadaan mati, maka wajib baginya menebus anak yang mati dengan nilai yang berkurang dari induknya karena melahirkannya, dan tidak menebusnya dengan anak sapi; karena anak itu tidak keluar dalam keadaan hidup, dan wajib baginya menebus induknya dengan seekor sapi.

Bagian ketiga: jika induknya mati tanpa anaknya, maka wajib baginya menebus induknya dengan seekor sapi, dan tidak ada tanggungan atasnya terhadap anaknya; karena anak itu hidup dan bisa terus hidup.


وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَمُوتَ الْوَلَدُ دُونَ الْأُمِّ، فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ فِي الْأُمِّ، ثُمَّ يَنْظُرُ فِي الْوَلَدِ، فَإِنْ سَقَطَ حَيًّا ثُمَّ مَاتَ فَدَاهُ بِعِجْلٍ صَغِيرٍ، وَإِنْ سَقَطَ مَيِّتًا فَدَاهُ بِمَا نَقَصَ مِنْ قِيمَةِ الْأُمِّ بِوَضْعِهِ، وَهُوَ أَنْ يُقَوِّمَهَا حَامِلًا قَبْلَ الْوَضْعِ ثُمَّ حَائِلًا بَعْدَ الْوَضْعِ، ثُمَّ يَنْظُرُ مَا بَيْنَ الْقِيمَتَيْنِ، فَإِنْ كَانَ الْعُشْرَ فَهُوَ الْوَاجِبُ عَلَيْهِ، وَيَكُونُ الْكَلَامُ فِيهِ كَالْكَلَامِ فِي الصَّيْدِ إِذَا جَرَحَهُ جُرْحًا نَقَصَ بِهِ عُشْرُ قِيمَتِهِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ مِنْ بَعْدُ.

PASAL
 Bagian keempat: apabila anak (janin) mati, namun induknya tetap hidup, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya terkait induknya. Kemudian dilihat kondisi anak tersebut: apabila anak itu lahir dalam keadaan hidup lalu mati, maka wajib menebusnya dengan anak sapi kecil (‘ijl ṣaghīr). Dan jika anak itu lahir dalam keadaan mati, maka wajib menebusnya dengan nilai kekurangan dari induknya akibat melahirkan.

Yaitu dengan cara menaksir harga induk ketika sedang bunting sebelum melahirkan, lalu menaksirnya lagi dalam keadaan tidak bunting setelah melahirkan. Kemudian dilihat selisih antara dua nilai tersebut. Jika selisihnya adalah sepersepuluh, maka itulah yang wajib dibayar. Dan pembicaraan tentang hal ini seperti pembicaraan tentang hewan buruan apabila dilukai dengan luka yang mengurangi sepersepuluh dari nilainya, sebagaimana akan kami sebutkan setelah ini.


مَسْأَلَةٌ
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ جَرَحَ ظَبْيًا فَنَقَصَ مِنْ قِيمَتِهِ الْعُشْرُ فَعَلَيْهِ مِنْ ثَمَنِ شاةٍ وَكَذَلِكَ إِنْ كَانَ النقص أقل أو أكثر (قال المزني) عليه عشر الشَّاةِ أَوْلَى بِأَصْلِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي قَتْلِ الصَّيْدِ، فَأَمَّا إِذَا جَرَحَ الْمُحْرِمُ صَيْدًا، أَوْ قَطَعَ مِنْهُ عُضْوًا، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Masalah
 Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika seseorang melukai seekor kijang lalu berkurang nilainya sebesar sepersepuluh, maka atasnya (wajib membayar) sepersepuluh dari harga seekor kambing. Begitu pula jika pengurangannya kurang atau lebih dari itu.”
 (Al-Muzanī berkata:) “Wajib atasnya sepersepuluh kambing, karena itu lebih dekat kepada asalnya.”

Al-Māwardī berkata: Telah berlalu pembahasan tentang membunuh buruan. Adapun jika muḥrim melukai buruan atau memotong salah satu anggota tubuhnya, maka ini terbagi menjadi dua bentuk:


أَحَدُهُمَا: أَنْ تَسْرِيَ الْجِرَاحَةُ إِلَى نَفْسِهِ فَيَمُوتَ، فَيَلْزَمُهُ أَنْ يَفْدِيَهُ بِمِثْلِهِ مِنَ النَّعَمِ؛ لِأَنَّ السَّرَايَةَ تُضْمَنُ بِالتَّوْجِيهِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا تَسْرِيَ إِلَى نَفْسِهِ، بَلْ تَنْدَمِلَ وَالصَّيْدُ حيُّ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الصَّيْدُ غَيْرَ مُمْتَنِعٍ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَفْدِيَهُ بِجَزَاءٍ كَامِلٍ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا حَبَسَهُ عَنِ الِامْتِنَاعِ بِجِرَاحَتِهِ فَقَدْ جَعَلَهُ فِي حُكْمِ الْهَالِكِ.

Pertama: Jika luka tersebut menjalar hingga menyebabkan kematiannya, maka wajib menebusnya dengan yang semisal dari binatang ternak, karena sarāyah (penjalaran dampak luka) dijamin berdasarkan tindakan penyebab.

Jenis kedua: Jika luka tersebut tidak menjalar hingga menyebabkan kematian, melainkan sembuh dan hewan buruan itu tetap hidup, maka keadaan ini terbagi dua:

Pertama: Jika hewan buruan itu tidak mampu melarikan diri (tidak bisa menghindar), maka wajib menebusnya dengan jazā’ yang sempurna, karena dengan lukanya ia telah terhalangi dari kemampuan melarikan diri, sehingga statusnya dianggap seperti hewan yang telah binasa.


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الصَّيْدُ بَعْدَ انْدِمَالِ جِرَاحَتِهِ مُمْتَنِعًا، فَعَلَيْهِ ضَمَانُ مَا نَقَصَ بِجِرَاحَتِهِ، وَبِهِ قَالَ عَامَّةُ الْفُقَهَاءِ، وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ الظَّاهِرِيُّ: جُرْحُ الصَّيْدِ غَيْرُ مَضْمُونٍ، فَإِذَا جَرَحَ صَيْدًا، أَوْ قَطَعَ مِنْهُ عُضْوًا فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ يَقْتُلَهُ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ: {وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّداً فَجَزاءٌ مِثْلَ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ) {المائدة: 95) ، فَلَمَّا أَوْجَبَ الْجَزَاءَ فِي قَتْلِهِ انْتَفَى وُجُوبُ الْجَزَاءِ فِي غَيْرِ قَتْلِهِ، قَالَ: وَلِأَنَّ الْجَزَاءَ كَفَّارَةٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ) {المائدة: 95) ، وَالْكَفَّارَةُ إِنَّمَا تَجِبُ فِي النُّفُوسِ، وَلَا تَجِبُ فِي الْأَطْرَافِ وَالْأَبْعَاضِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ هُوَ قَوْله تَعَالَى: {وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ البَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُماً} (المائدة: 96) ، وَالصَّيْدُ هُوَ الْمَصِيدُ، فَحَرَّمَ اللَّهُ تَعَالَى أَفْعَالَنَا فِيهِ، وَإِذَا كَانَ الْجُرْحُ مُحَرَّمًا كَالْقَتْلِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَضْمُونًا كَالْقَتْلِ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ حَيَوَانٍ كَانَتْ نَفْسُهُ مَضْمُونَةً كَانَتْ أَطْرَافُهُ مَضْمُونَةً كَالْبَهَائِمِ، فَأَمَّا الْآيَةُ فَإِنَّهَا تَقْتَضِي إِيجَابَ الْجَزَاءِ الْكَامِلِ فِي الْقَتْلِ، وَلَا يَبْقَى وُجُوبُ الضَّمَانِ بِنَقْصِ الْجَزَاءِ فِيمَا سِوَى الْقَتْلِ، لَا مِنْ طَرِيقِ النُّطْقِ وَلَا مِنْ طَرِيقِ الِاسْتِدْلَالِ، وَأَمَّا قَوْلُهُ: إِنَّ الْجَزَاءَ كَفَّارَةٌ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى سَمَّاهَا بِاسْمِ الْكَفَّارَةِ، فَهِيَ إِنْ كَانَتْ مُسَمَّاةً بِالْكَفَّارَةِ فَذَاكَ فِي الْإِطْعَامِ دُونَ الْجَزَاءِ، وَهِيَ فِي مَعْنَى حُقُوقِ الْأَمْوَالِ.

dan jenis yang kedua: yaitu apabila buruan setelah luka yang dideritanya sembuh menjadi liar (sulit ditangkap kembali), maka wajib mengganti apa yang berkurang akibat lukanya. Inilah pendapat jumhur fuqaha.

Sedangkan Dāwud bin ʿAlī al-Ẓāhirī berkata: luka pada buruan tidak wajib diganti, sehingga jika seseorang melukai buruan atau memotong salah satu anggota tubuhnya, maka tidak ada kewajiban ganti rugi kecuali jika dia membunuhnya, berdasarkan firman Allah: “Dan barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka (wajib baginya) membayar fidyah dengan binatang ternak yang sebanding dengan buruan yang dibunuhnya,” (QS. al-Mā’idah: 95).

Maka ketika Allah mewajibkan jazā’ dalam kasus pembunuhan, maka hilang kewajiban jazā’ dalam selain pembunuhan.

Ia berkata: karena jazā’ adalah kafārah, sebagaimana firman-Nya Ta‘ālā: “atau sebagai kafārah memberi makan kepada orang-orang miskin,” (QS. al-Mā’idah: 95), dan kafārah itu hanya wajib untuk jiwa, tidak berlaku pada anggota tubuh atau bagian-bagiannya.

Adapun dalil atas kewajiban ganti rugi dalam kasus melukai adalah firman Allah Ta‘ālā: “Dan diharamkan atas kalian berburu binatang darat selama kalian dalam keadaan ihrām,” (QS. al-Mā’idah: 96), dan ṣayd adalah binatang yang diburu, maka Allah mengharamkan tindakan kita terhadapnya. Dan jika melukai itu termasuk yang diharamkan sebagaimana membunuh, maka wajib diganti sebagaimana membunuh.

Karena setiap hewan yang jiwanya wajib diganti, maka anggota tubuhnya pun wajib diganti, seperti hewan-hewan ternak.

Adapun ayat tersebut menunjukkan kewajiban ganti rugi secara sempurna dalam kasus pembunuhan, dan tidak tersisa kewajiban ganti rugi dengan kekurangan dalam ganti rugi pada selain pembunuhan, baik melalui lafaz eksplisit maupun melalui istidlāl.

Adapun perkataannya bahwa jazā’ adalah kafārah karena Allah menamakannya dengan sebutan kafārah, maka sebutan itu hanya pada bagian memberi makan saja, bukan pada jazā’, dan ia dalam makna kewajiban harta.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ جُرْحَ الصَّيْدِ وَقَطْعَ عُضْوٍ مِنْهُ مَضْمُونٌ كَضَمَانِ نَفْسِهِ وَجَبَ عَلَى جَارِحِ الصَّيْدِ أَنْ يُرَاعِيَ جُرْحَهُ، وَيَتَعَاهَدَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ فَإِذَا انْدَمَلَ الْجُرْحُ اسْتَقَرَّ الضَّمَانُ، فَيُقَوَّمُ الصَّيْدُ حينئذٍ وَهُوَ صَحِيحٌ لَا جُرْحَ بِهِ، فَإِذَا قِيلَ: قِيمَتُهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ قُوِّمَ وَهُوَ مَجْرُوحٌ قَدِ انْدَمَلَ جُرْحُهُ، فَإِذَا قِيلَ: تِسْعُونَ دِرْهَمًا عُلِمَ أَنَّهُ قَدْ نَقَصَ بِالْجِرَاحَةِ الْعُشْرَ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: فَيَكُونُ عَلَيْهِ عُشْرُ ثَمَنِ شَاةٍ؛ لِأَنَّ الصَّيْدَ ظَبْيٌ، لَوْ قَتَلَهُ لَافْتَدَاهُ بشاةٍ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا، فَكَانَ أبو إبراهيم المزني يقول: عليه عشرة شَاةٍ، فَأَوْجَبَ الْمِثْلَ فِي الْجِرَاحِ كَمَا أَوْجَبَ الْمِثْلَ فِي النَّفْسِ، وَسَاعَدَهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا عَلَى ذَلِكَ؛ لِأَنَّ كُلَّ جُمْلَةٍ كَانَتْ مَضْمُونَةً بِالْمِثْلِ كانت إحداها مَضْمُونَةً بِالْمِثْلِ، كَالطَّعَامِ الْمَغْصُوبِ إِذَا أَتْلَفَ جَمِيعَهُ ضَمِنَهُ بِمِثْلِهِ، وَلَوْ أَتْلَفَ قَفِيزًا مِنْهُ ضَمِنَهُ بِمِثْلِهِ، وَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَأَبُو عَلِيِّ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَسَائِرُ أَصْحَابِنَا يَحْمِلُونَ كَلَامَ الشَّافِعِيِّ عَلَى ظَاهِرِهِ، وَيُوجِبُونَ عَلَيْهِ عُشْرَ ثَمَنِ شَاةٍ لِأَمْرَيْنِ:

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa melukai hewan buruan dan memotong salah satu anggotanya wajib diganti seperti kewajiban mengganti hewan itu secara keseluruhan, maka wajib bagi orang yang melukai hewan buruan untuk memperhatikan lukanya, serta menjaga makanan dan minumannya. Jika lukanya telah sembuh, maka jaminan (dhamān) ditetapkan. Lalu hewan buruan tersebut dinilai (ditaksir) saat itu dalam keadaan sehat, tanpa luka.

Jika dikatakan: nilainya seratus dirham, lalu dinilai lagi dalam keadaan luka yang telah sembuh, dan dikatakan: sembilan puluh dirham, maka diketahui bahwa luka tersebut telah mengurangi nilainya sebesar sepersepuluh. Imam al-Syafi‘i berkata: maka wajib atasnya membayar sepersepuluh harga seekor kambing, karena hewan buruan tersebut adalah ẓaby (rusa), yang jika dibunuh maka wajib menebusnya dengan seekor kambing.

Para sahabat kami berbeda pendapat. Abū Ibrāhīm al-Muzanī berpendapat: wajib atasnya sepersepuluh dari ṣyāh (yakni: seekor kambing), maka ia mewajibkan yang semisal dalam kasus luka, sebagaimana diwajibkan yang semisal dalam kasus kematian. Sebagian sahabat kami menyetujui pendapatnya, karena setiap benda secara keseluruhan yang wajib diganti dengan mitsl, maka sebagian bagiannya pun wajib diganti dengan mitsl, sebagaimana makanan yang diguṣur (magtṣūb); jika seluruhnya dirusak maka wajib menggantinya dengan yang semisal, dan jika hanya satu qafīz darinya yang dirusak, maka wajib mengganti satu qafīz pula.

Adapun Abū Isḥāq al-Marwazī, Abū ‘Alī Ibn Abī Hurayrah, dan seluruh sahabat kami lainnya berpegang pada makna lahir dari ucapan Imam al-Syafi‘i, dan mewajibkan atasnya sepersepuluh dari harga seekor kambing karena dua alasan:


أَحَدُهُمَا: أَنَّ كُلَّ جُمْلَةٍ مَضْمُونَةٍ بِالْمِثْلِ كَانَ النَّقْصُ الدَّاخِلُ عَلَيْهَا بِالْجِنَايَةِ مَضْمُونًا بِالْأَرْشِ مِنَ الْقِيمَةِ دُونَ الْمِثْلِ كَالطَّعَامِ الْمَغْصُوبِ إِذَا بَلَّهُ بِالْمَاءِ، أَوْ قَلَاهُ بِالنَّارِ، ضَمِنَ أَرْشَ نَقْصٍ دُونَ الْمِثْلِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ فِي إِيجَابِ عُشْرِ شَاةٍ إِضْرَارًا بِهِ؛ لِأَنَّهُ يَحْتَاجُ إِلَى شُرَكَاءَ فِي الشَّاةِ لِيَكُونَ شَرِيكِهِمْ فِيهَا بالعشر، فهذا متعذر، وإلى أَنْ يَهْدِيَ شَاةً كَامِلَةً؛ لِيَصِلَ عُشْرُهَا إِلَى الْمَسَاكِينِ، وَفِي ذَلِكَ إِضْرَارٌ، فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَانِ الْمَذْهَبَانِ فَعَلَى مَذْهَبِ الْمُزَنِيِّ أَنْ يَكُونَ مُخَيَّرًا بَيْنَ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ بَيْنَ أَنْ يَهْدِيَ عُشْرَ شَاةٍ، أَوْ يُخْرِجَ قِيمَةَ الْعُشْرِ طَعَامًا، أَوْ يكفر بعدل الطَّعَامِ صِيَامًا، وَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَظَاهِرِ نَصِّهِ يَكُونُ مُخَيَّرًا بَيْنَ أَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ بَيْنَ عُشْرِ ثمن الشاة، وَبَيْنَ أَنْ يَهْدِيَ عُشْرَ شَاةٍ، وَبَيْنَ أَنْ يُخْرِجَ قِيمَةَ الْعُشْرِ طَعَامًا، وَبَيْنَ أَنْ يُكَفِّرَ عَدْلَ الطَّعَامِ صِيَامًا.

pertama: bahwa setiap benda yang dijamin dengan mithl (barang sejenis), jika mengalami kerusakan karena jinayah, maka yang wajib diganti adalah arsy (nilai kekurangan) dari qīmah (harga), bukan dengan mithl, seperti makanan yang dighasab lalu dibasahi dengan air, atau digoreng dengan api, maka wajib mengganti kekurangan nilainya, bukan dengan barang sejenis.

kedua: bahwa mewajibkan sepersepuluh ekor kambing adalah bentuk tindakan merugikan; karena ia membutuhkan teman untuk berbagi dalam seekor kambing agar menjadi sekutu mereka dalam sepersepuluhnya, dan hal ini sulit. Atau ia harus menyembelih seekor kambing yang utuh agar sepersepuluhnya sampai kepada para miskin, dan ini juga memudaratkannya.

Maka setelah ditetapkan dua mazhab ini, menurut mazhab al-Muzani, ia diberi pilihan antara tiga hal: antara menyembelih sepersepuluh kambing, atau mengeluarkan nilai sepersepuluhnya dalam bentuk makanan, atau menunaikan kafarat berupa puasa sepadan dengan jumlah makanan tersebut.

Dan menurut mazhab al-Syafi’i dan zhahir dari nash beliau, maka diberi pilihan antara empat hal: antara sepersepuluh harga kambing, atau menyembelih sepersepuluh kambing, atau mengeluarkan nilai sepersepuluhnya dalam bentuk makanan, atau menunaikan kafarat puasa sepadan dengan jumlah makanan tersebut.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا غَابَ الصَّيْدُ الْمَجْرُوحُ فَلَمْ يَعْلَمْ هَلْ مَاتَ مِنَ الْجُرْحِ أَوْ عَاشَ؟ فَالِاحْتِيَاطُ أَنْ يَفْدِيَهُ بِشَاةٍ كَامِلَةٍ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ قَدْ مَاتَ، وَالْوَاجِبُ عَلَيْهِ مَا بَيْنَ قِيمَتِهِ فَيُقَوَّمُ صَحِيحًا حِينَ جَرَحَهُ، وَمَجْرُوحًا حِينَ غَابَ عَنْهُ، ثُمَّ يَكُونُ بَيْنَ الْقِيمَتَيْنِ عَلَى مَا مَضَى.
وَقَالَ مَالِكٌ: إِذَا غَابَ مَجْرُوحًا فَعَلَيْهِ فِدْيَةٌ كَامِلَةٌ؛ لِأَنَّ جُرْحَهُ مُتَحَقِّقٌ وُجُودُهُ وَمَوْتُهُ مِنْ غَيْرِهِ، مَشْكُوكٌ فِيهِ، وَهَذَا غَلَطٌ؛ لِأَنَّ الْفِدْيَةَ بِالشَّكِّ لَا تَجِبُ، وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ حَيًّا فَلَا تَجِبُ، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَيِّتًا مِنْ غَيْرِ الْجُرْحِ فَلَا تَجِبُ، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَيِّتًا مِنَ الْجُرْحِ فَتَجِبُ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْكَمَ بِوُجُوبِهَا بِالشَّكِّ وَلَا يُحْكَمَ بِإِسْقَاطِهَا بِالْيَقِينِ؛ وَلِأَنَّ حُرْمَةَ الْآدَمِيِّ أَوْكَدُ مِنْ حُرْمَةِ الصَّيْدِ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ جَرَحَ آدَمِيًّا فَغَابَ عَنْهُ لَمْ تَلْزَمْهُ كَفَّارَةُ نَفْسِهِ، وَلَا كَمَالُ دِيَتِهِ، فَالصَّيْدُ الَّذِي هُوَ أَقَلُّ مِنْهُ حُرْمَةً أَوْلَى أَلَّا يَلْزَمَهُ بِجَرْحِهِ وَغَيْبَتِهِ كَمَالُ فِدْيَتِهِ.

PASAL
 Adapun apabila buruan yang terluka itu hilang sehingga tidak diketahui apakah ia mati karena luka atau tetap hidup, maka sikap kehati-hatian adalah menebusnya dengan satu ekor kambing yang utuh, karena bisa jadi ia telah mati.

Kewajiban yang dikenakan atasnya adalah antara dua nilai: buruan itu dinilai ketika masih sehat saat dilukainya, dan dinilai ketika dalam keadaan terluka saat ia menghilang, lalu diambil nilai tengah antara dua penilaian tersebut sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Imam Mālik berkata: jika buruan itu hilang dalam keadaan terluka, maka wajib atas pelaku membayar fidyah secara penuh, karena luka itu pasti ada, sedangkan kematiannya karena sebab lain adalah sesuatu yang masih diragukan.

Namun ini adalah kekeliruan, karena fidyah tidak wajib dengan dasar keraguan. Bisa jadi buruan itu masih hidup, maka tidak wajib membayar. Bisa jadi ia mati bukan karena luka, maka juga tidak wajib membayar. Bisa jadi ia mati karena luka, maka barulah wajib membayar. Maka tidak boleh menetapkan kewajiban fidyah berdasarkan keraguan, dan tidak boleh pula menetapkan gugurnya fidyah berdasarkan kepastian.

Karena kehormatan manusia lebih kuat daripada kehormatan buruan. Telah tetap bahwa jika seseorang melukai manusia lalu orang itu menghilang, maka ia tidak wajib membayar kafārah jiwa maupun diyat secara penuh. Maka buruan, yang kehormatannya lebih rendah dari manusia, tentu lebih utama untuk tidak wajib dibayar fidyahnya secara penuh hanya karena ia dilukai dan kemudian menghilang.


مَسْأَلَةٌ
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن قتل الصيد فإن شاء جزاه بِمِثْلِهِ وَإِنْ شَاءَ قَوَّمَ الْمِثْلَ دَرَاهِمَ ثُمَّ الدَّرَاهِمَ طَعَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ بِهِ وَإِنْ شَاءَ صَامَ عَنْ كُلِّ مُدٍّ يَوْمًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ جَزَاءُ الصَّيْدِ عَلَى التَّخْيِيرِ عند الشافعي رضي الله عنه وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ، وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ أَنَّهَا عَلَى التَّرْتِيبِ، فَلَا يَجُوزُ الطَّعَامُ إِلَّا بَعْدَ عَدَمِ الْهَدْيِ، وَلَا الصِّيَامُ إِلَّا بَعْدَ عَدَمِ الطَّعَامِ وَقَدْ حَكَاهُ أَبُو ثَوْرٍ عَنْ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ، وليس بمشهور عنه، بل نصه فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ وَالْإِمْلَاءِ أَنَّهَا عَلَى التَّخْيِيرِ وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَوْجَبَهَا عَلَى التَّرْتِيبِ بِأَنْ قَالَ: جَزَاءُ الصَّيْدِ كَفَّارَةُ نفسٍ محظورةٍ، وَكَفَّارَاتُ النُّفُوسِ مُرَتَّبَةٌ لَا تَخْيِيرَ فِيهَا كَالْكَفَّارَةِ فِي قَتْلِ الْآدَمِيِّ.

Masalah
 Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:
 “Apabila seseorang membunuh buruan, maka jika ia mau, ia menggantinya dengan semisalnya; dan jika ia mau, ia menaksir semisalnya dengan dirham, lalu menukarkan dirham itu dengan makanan, kemudian menyedekahkannya; dan jika ia mau, ia berpuasa satu hari untuk setiap mudd (makanan).”

Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan oleh al-Syāfi‘ī raḥimahullāh, bahwa jazā’ buruan itu bersifat pilihan menurut mazhab al-Syāfi‘ī raḥimahullāh, dan ini juga merupakan pendapat Abū Ḥanīfah dan Mālik.

Diriwayatkan dari Ibn ʿAbbās dan al-Ḥasan al-Baṣrī bahwa bentuk jazā’ ini harus berurutan: tidak boleh mengganti dengan makanan kecuali jika tidak mendapatkan hewan sembelihan (hady), dan tidak boleh berpuasa kecuali jika tidak mendapatkan makanan.

Pendapat ini dinukil oleh Abū Thawr dari al-Syāfi‘ī dalam qaul qadīm-nya, tetapi ini bukan pendapat masyhur dari beliau. Bahkan nash beliau dalam qaul qadīm, qaul jadīd, dan dalam al-Imlā’ menyatakan bahwa jazā’ itu bersifat pilihan.

Adapun mereka yang mewajibkan secara berurutan berdalil bahwa jazā’ buruan adalah kafārah atas pelanggaran terhadap yang terlarang, dan kafārah atas pelanggaran jiwa bersifat tertib (berurutan) tanpa ada pilihan, sebagaimana kafārah dalam pembunuhan manusia.


وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ} إلى قوله: {أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَاماً} ، وَمَوْضِعُ لَفْظَةِ ” أَوْ ” فِي اللُّغَةِ أَنَّهَا تَدْخُلُ فِي الْأَوَامِرِ لِلتَّخْيِيرِ، كَقَوْلِهِ: اضْرِبْ زَيْدًا أَوْ عَمْرًا وَفِي الْأَخْبَارِ لِلشَّكِّ كَقَوْلِهِ: رَأَيْتُ زَيْدًا أَوْ عُمْرًا، فَلَمَّا كَانَ الْخِطَابُ أَمْرًا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْمَأْمُورُ مُخَيَّرًا، وَلِأَنَّهُ إِتْلَافُ مَا هو ممنوع منه بحرمة الحرام فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بَدَلُهُ عَلَى التَّخْيِيرِ كَالْحَلْقِ وَفِدْيَةِ الْأَذَى، فَأَمَّا اعْتِبَارُهُمْ بِكَفَّارَةِ الْقَتْلِ فَاخْتِلَافُ الْأَمْرِ بِهِمَا يَمْنَعُ مِنَ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Dan dalil atas kebenaran pendapat kami adalah firman Allah Ta‘ala: {maka (wajib baginya) hadyu yang sebanding dengan hewan buruan yang dibunuhnya, dari binatang ternak} hingga firman-Nya: {atau yang sebanding dengan itu berupa puasa}.

Kedudukan lafaz “aw” dalam bahasa adalah bahwa ia digunakan dalam konteks perintah untuk menunjukkan pilihan, seperti dalam ucapan: “pukul Zaid atau ‘Amr”, dan dalam konteks berita untuk menunjukkan keraguan, seperti ucapan: “aku melihat Zaid atau ‘Amr”.

Maka ketika ayat ini berbentuk perintah, wajiblah bahwa orang yang diperintah diberi pilihan. Karena perintah ini berkaitan dengan pelanggaran terhadap sesuatu yang diharamkan, maka wajiblah bahwa pengganti atas pelanggaran itu bersifat pilihan, sebagaimana (kafarat) mencukur rambut dan fidyah atas gangguan.

Adapun qiyas mereka dengan kafarat pembunuhan, maka perbedaan antara kedua perintah tersebut mencegah untuk disamakan keduanya.

Dan Allah-lah yang lebih mengetahui mana yang benar.

فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ جَزَاءَ الصَّيْدِ عَلَى التَّخْيِيرِ فَقَاتِلُ الصَّيْدِ مُخَيَّرٌ بَيْنَ الْمِثْلِ مِنَ النَّعَمِ وَبَيْنَ الْإِطْعَامِ وَبَيْنَ الصَّيَامِ فَإِنِ اخْتَارَ الْمِثْلَ مِنَ النَّعَمِ فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ عَلَيْهِ مِثْلَهُ فِي الشَّبَهِ وَالصُّورَةِ مِنْ غَيْرِ تَقْوِيمٍ وَقَدْ مَضَى حُكْمُهُ، وَخِلَافُ أبي حنيفة فِيهِ وَإِنِ اخْتَارَ الْإِطْعَامَ فَإِنَّهُ يُقَوِّمُ الْمِثْلَ دَرَاهِمَ يَشْتَرِي بِالدَّرَاهِمِ طَعَامًا يَتَصَدَّقُ بِهِ، وَقَالَ مالكٌ: يُقَوِّمُ الصَّيْدَ دُونَ الْمِثْلِ مَعَ مُوَافَقَتِهِ عَلَى إِخْرَاجِ الْمِثْلِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْإِطْعَامَ إِنَّمَا وَجَبَ بِقَتْلِ الصَّيْدِ كَمَا أَنَّ الْمِثْلَ إِنَّمَا وَجَبَ بِقَتْلِ الصَّيْدِ، فَلَمَّا كَانَ الْمِثْلُ مُعْتَبَرًا بِالصَّيْدِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْإِطْعَامُ مُعْتَبَرًا بِالصَّيْدِ، وَلِأَنَّهُ إِذَا عَدَلَ عَنِ الْمِثْلِ إلى الإطعام فقد استوى حكم ماله مِثْلٌ وَمَا لَا مِثْلَ لَهُ فِي تَقْوِيمِ الصَّيْدِ، وَلِأَنَّ ضَمَانَ الصَّيْدِ ضَمَانُ مُتْلَفٍ وَسَائِرُ الْمُتْلَفَاتِ تُعْتَبَرُ فِيهَا قِيمَةُ الْمُتْلَفِ لَا قِيمَةُ مِثْلِهِ فَكَذَا الصَّيْدُ يَجِبُ أَنْ يُعْتَبَرَ فِيهِ قِيمَةُ الصَّيْدِ الْمُتْلَفِ لَا قِيمَةُ مِثْلِهِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {فَجَزَاءُ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْياً بَالِغَ الكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ) {المائدة: 95) وَفِي الْآيَةِ دَلِيلَانِ: أَحَدُهُمَا: قَوْله تَعَالَى: {فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ} فَرَفَعَ الْجَزَاءَ وَجَرَّ الْمِثْلَ عَلَى قِرَاءَةِ كَثِيرٍ مِنَ الْقُرَّاءِ فَأَوْجَبَ عَلَيْهِ بِظَاهِرِ هَذِهِ الْقِرَاءَةِ جَزَاءَ مِثْلِ الْمَقْتُولِ، وَلَمْ يُوجِبْ جَزَاءَ الْمَقْتُولِ، وَالدَّلَالَةُ الثَّانِيَةُ مِنْهَا قَوْله تَعَالَى: {أَوْ كَفَارَةٌ طَعَامُ مَسَاكينَ} يَعْنِي كَفَارَّةَ مَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ، وَقَدْ تَقَدَّمَ ذِكْرُ الصَّيْدِ وَالْمِثْلِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَرْجِعَ إِلَيْهَا جَمِيعًا، وَإِنَّمَا تَرْجِعُ الْكَفَّارَةُ إِلَى أَحَدِهِمَا، ورجوعهما إِلَى الْمِثْلِ دُونَ الصَّيْدِ أَوْلَى؛ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ الْمَذْكُورَيْنِ، وَلِأَنَّ الْإِطْعَامَ قَدْ يَتَقَدَّمُهُ الْمِثْلُ وَيَتَعَقَّبُهُ الصِّيَامُ، فَلَمَّا كَانَ مَا يَتَقَدَّمُهُ مِنَ الْمِثْلِ مُعْتَبَرًا بِمَا يَلِيهِ وَهُوَ الصَّيْدُ، وَمَا يَتَعَقَّبُهُ مِنَ الصِّيَامِ مُعْتَبَرًا بِمَا يَلِيهِ مِنَ الْإِطْعَامِ، وَيَجِبَ أَنْ يَكُونَ الْإِطْعَامُ مُعْتَبَرًا بِمَا يَلِيهِ وَهُوَ الْمِثْلُ، وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ مُخْرَجٌ فِي الْجَزَاءِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُعْتَبَرًا بِمَا يَلِيهِ فِي التِّلَاوَةِ كَالْمِثْلِ وَالصِّيَامِ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِأَنَّ الْمِثْلَ لَمَّا كَانَ مُعْتَبَرًا بِالصَّيْدِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْإِطْعَامُ مُعْتَبَرًا بِالصَّيْدِ؛ وَهُوَ أَنْ يُقَالَ: إِنَّمَا اعْتُبِرَ الْمِثْلُ بِالصَّيْدِ؛ لِأَنَّهُ يَلِيهِ فِي التِّلَاوَةِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْإِطْعَامُ مِثْلَهُ مُعْتَبَرًا بِمَا يَلِيهِ فِي التِّلَاوَةِ، وَقَدْ جَعَلْنَا ذَلِكَ دَلِيلًا.

PASAL
 Maka apabila telah tetap bahwa jazā’ atas perburuan adalah bersifat pilihan, maka pembunuh buruan diberi pilihan antara yang semisal dari binatang ternak, atau memberi makan, atau berpuasa. Jika ia memilih yang semisal dari binatang ternak, maka telah kami sebutkan bahwa wajib atasnya yang semisal dalam rupa dan bentuk tanpa taksiran harga, dan hukum ini telah dijelaskan sebelumnya, begitu pula perbedaan pendapat Abu Ḥanīfah dalam hal ini.

Jika ia memilih memberi makan, maka ia menaksir harga yang semisal itu dengan dirham, lalu membeli makanan dengan dirham tersebut, kemudian menyedekahkannya. Mālik berkata: ia menaksir harga buruan, bukan yang semisalnya, meskipun ia setuju dengan kewajiban mengeluarkan yang semisal, dengan berdalil bahwa kewajiban memberi makan itu disebabkan oleh membunuh buruan, sebagaimana kewajiban mengeluarkan yang semisal juga karena membunuh buruan. Maka ketika yang semisal itu dipertimbangkan berdasarkan buruan, wajib pula memberi makan dipertimbangkan berdasarkan buruan. Dan karena jika seseorang beralih dari yang semisal kepada memberi makan, maka hukum antara yang ada padanya yang semisal dan yang tidak ada padanya yang semisal adalah sama dalam hal menaksir harga buruan.

Dan karena ganti rugi terhadap buruan adalah ganti rugi terhadap sesuatu yang rusak (mu’talaf), sedangkan seluruh barang yang rusak itu, nilainya dipertimbangkan berdasarkan nilai barang yang rusak, bukan berdasarkan nilai yang semisal. Maka demikian pula buruan, wajib dipertimbangkan nilainya berdasarkan buruan yang rusak, bukan nilai yang semisalnya.

Dalil atas hal ini adalah firman Allah Ta‘ālā: “Maka balasannya ialah binatang ternak semisal dengan binatang yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, sebagai hadyu yang dibawa ke Ka’bah, atau sebagai kafārah dengan memberi makan orang-orang miskin” (QS. al-Mā’idah: 95).
 Dalam ayat ini terdapat dua dalil:

Pertama: Firman-Nya: “fa-jazā’un miṡlu mā qatal…”, kata jazā’un dibaca rafa‘, dan miṡla dibaca jar menurut banyak qārī’, maka menurut lahir ayat tersebut, wajib atasnya jazā’ miṡli al-maqtūl (balasan semisal yang dibunuh), dan tidak mewajibkan jazā’ al-maqtūl (balasan terhadap yang dibunuh).

Dalil kedua: Firman-Nya: “au kafāratun ṭa‘āmu masākīn”, yaitu kafārah atas apa yang telah disebut sebelumnya. Dan sebelumnya disebutkan buruan dan yang semisal, maka tidak boleh kafārah itu kembali kepada keduanya sekaligus, melainkan harus kembali kepada salah satunya. Dan pengembalian keduanya kepada yang semisal, bukan kepada buruan, lebih utama; karena ia lebih dekat dari keduanya dalam susunan penyebutan, dan karena memberi makan itu bisa didahului oleh yang semisal dan diikuti oleh puasa. Maka ketika sesuatu yang mendahuluinya—yaitu yang semisal—dipertimbangkan berdasarkan apa yang mengikutinya, yaitu buruan, dan sesuatu yang mengikutinya—yaitu puasa—dipertimbangkan berdasarkan apa yang mendahuluinya, yaitu memberi makan, maka wajib pula memberi makan dipertimbangkan berdasarkan apa yang mendahuluinya, yaitu yang semisal.

Penjelasan dari qiyās: bahwa ia (memberi makan) merupakan bagian dari jazā’, maka wajib dipertimbangkan berdasarkan apa yang mengikutinya dalam tilawah, sebagaimana yang semisal dan puasa.

Adapun jawaban atas dalil yang mengatakan bahwa karena yang semisal dipertimbangkan berdasarkan buruan, maka wajib pula memberi makan dipertimbangkan berdasarkan buruan, maka dikatakan: Sesungguhnya yang semisal dipertimbangkan berdasarkan buruan karena ia datang setelahnya dalam tilawah. Maka wajib pula memberi makan dipertimbangkan berdasarkan apa yang datang setelahnya dalam tilawah. Dan hal ini telah kami jadikan sebagai dalil.


وَأَمَّا مَا ذَكَرَهُ مِمَّا لَا مِثْلَ لَهُ فَإِنَّمَا اعْتُبِرَ فِيهِ قِيمَةُ الصَّيْدِ لِعَدَمِ الْمِثْلِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ مَا لَهُ مِثْلٌ، وَأَمَّا قَوْلُهُ: إِنَّهُ لَمَّا كَانَ فِي سَائِرِ الْمُتْلَفَاتِ تُعْتَبَرُ قِيمَتُهَا دُونَ أَمْثَالِهَا، فَكَذَلِكَ فِي الصَّيْدِ قُلْنَا الِاعْتِبَارُ فِي سَائِرِ الْمُتْلَفَاتِ قِيمَةُ أَمْثَالِهَا دُونَ الْمُتْلَفَاتِ فِي أَنْفُسِهَا؛ لِأَنَّهُ يُقَالُ: كَمْ قِيمَةُ هَذَا الْمُتْلَفِ؟ إِلَّا أَنَّ مَا لَهُ مِثْلٌ مِنْ جِنْسِهِ قَدْ تَسْتَوِي قِيمَتُهُ وَقِيمَةُ مِثْلِهِ، وَمَا لَا مِثْلَ لَهُ مِنْ جَنْسِهِ كَالصَّيْدِ قَدْ تَخْتَلِفُ قِيمَتُهُ وَقِيمَةُ مِثْلِهِ.

Adapun apa yang ia sebutkan tentang sesuatu yang tidak memiliki mithl, maka sesungguhnya yang dipertimbangkan padanya adalah qīmah hewan buruan karena tidak adanya mithl. Dan tidak demikian halnya dengan sesuatu yang memiliki mithl.

Adapun ucapannya bahwa: ketika pada selain barang-barang yang rusak (secara umum) dipertimbangkan nilainya dan bukan amtsālnya, maka demikian pula pada hewan buruan — kami katakan: yang dipertimbangkan dalam barang-barang yang rusak secara umum adalah qīmah amtsāliha (nilai pengganti sejenisnya), bukan nilai barang yang rusak itu sendiri. Karena biasanya dikatakan: “Berapa nilai barang yang rusak ini?”

Hanya saja, barang yang memiliki mithl dari jenisnya bisa jadi sama nilai barangnya dengan nilai penggantinya, sedangkan barang yang tidak memiliki mithl dari jenisnya, seperti hewan buruan, bisa jadi berbeda antara nilainya dan nilai penggantinya.


فَصْلٌ
: فَإِذَا أَرَادَ التَّكْفِيرَ بِالصِّيَامِ فَإِنَّهُ يُقَوِّمُ الْمِثْلَ دَرَاهِمَ، وَالدَّرَاهِمَ طَعَامًا، ثُمَّ يَصُومُ عَنْ كُلِّ مُدٍّ يَوْمًا، وَلَا اعْتِبَارَ بِالشِّبَعِ وَحُكِيَ عَنْ طَاوُسَ الْيَمَانِيِّ وَعَنِ الْقَاشَانِيِّ أَنَّ الِاعْتِبَارَ فِي الصَّوْمِ بِقَدْرِ مَا يُشْبِعُ الصَّيْدُ مِنَ النَّاسِ، فَإِنْ كَانَ الصَّيْدُ مِمَّا يَشْبَعُ مِنْهُ وَاحِدٌ وَجَبَ عَلَى قَاتِلِهِ أَنْ يَصُومَ عَنْهُ يَوْمًا وَاحِدًا، وَإِنْ كَانَ مِمَّا يَشْبَعُ مِنْهُ عَشْرَةُ أَنْفُسٍ وَجَبَ عَلَى قَاتِلِهِ أَنْ يَصُومَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ، فَجَعَلَا شِبَعَ يَوْمٍ مِنْهُ مُقَابِلًا لِجُوعِ يَوْمٍ فِي الصَّوْمِ عَنْهُ؛ بقوله تعالى: {أَوْ عَدْلُ ذَلَكَ صَياماً} .

PASAL
 Apabila ia ingin melakukan kafārah dengan berpuasa, maka ia menaksir harga yang semisal dengan dirham, lalu dirham itu untuk membeli makanan, kemudian ia berpuasa satu hari untuk setiap mudd. Tidak diperhitungkan kenyang atau tidaknya.

Diriwayatkan dari Ṭāwūs al-Yamānī dan al-Qāsyānī bahwa ukuran dalam puasa itu didasarkan pada kadar kenyang yang diberikan oleh buruan kepada manusia. Maka jika buruan itu hanya mengenyangkan satu orang, wajib atas orang yang membunuhnya untuk berpuasa satu hari. Jika buruan itu bisa mengenyangkan sepuluh orang, maka wajib atas pembunuhnya untuk berpuasa sepuluh hari.

Keduanya menjadikan kenyang satu hari dari buruan sebagai ganti dari lapar satu hari dalam puasa sebagai kafārah, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “atau yang sebanding dengan itu berupa puasa.”

 

وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمَا مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الدَّلَالَةِ عَلَى مَالِكٍ، ثُمَّ فَسَادُ مَا ذَكَرَاهُ مِنَ اعْتِبَارِ الشِّبَعِ، أَصَحُّ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا حَدَّ لِلشِّبَعِ لِاخْتِلَافِ النَّاسِ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ صَيْدٌ يَشْبَعُ مِنْهُ عَشْرَةُ أَنْفُسٍ لِقِلَّةِ أَكْلِهِمْ، وَلَا يَشْبَعُ مِنْهُ خَمْسَةٌ مِنْ غَيْرِهِمْ لِكَثْرَةِ أَكْلِهِمْ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ حَدًّا فِي الْجَزَاءِ مُعْتَبَرًا.

Dan dalil atas keduanya adalah apa yang telah kami kemukakan sebelumnya sebagai dalil terhadap (pendapat) Mālik. Kemudian rusaknya apa yang mereka sebutkan tentang mempertimbangkan kadar kenyang, lebih kuat dari dua sisi:

Pertama: bahwa tidak ada batas pasti untuk kenyang karena perbedaan manusia dalam hal itu; karena bisa jadi ada hewan buruan yang mengenyangkan sepuluh orang karena sedikitnya makan mereka, namun tidak mengenyangkan lima orang lainnya karena banyaknya makan mereka. Maka tidak sah menjadikan hal tersebut sebagai batas yang dipertimbangkan dalam penentuan jazā’ (ganti rugi).


وَالثَّانِي: أَنَّ جَمِيعَ الصَّيْدِ مَضْمُونٌ وَالشِّبَعُ إِنَّمَا يَكُونُ مِنْ لَحْمِهِ الْمَأْكُولِ دُونَ عَظْمِهِ وَشَعَرِهِ وَجِلْدِهِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ بَعْضٌ مَضْمُونًا وَهُوَ اللَّحْمُ وَبَعْضٌ غَيْرَ مضمونٍ، وَهُوَ الْجِلْدُ وَالْعَظْمُ فَبَطَلَ اعْتِبَارُ الشِّبَعِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِي صِيَامِهِ الطَّعَامُ دُونَ الشِّبَعِ بِالصَّيْدِ فَإِنَّهُ يَصُومُ عَنْ كُلِّ مُدٍّ يَوْمًا، وَقَالَ أبو حنيفة: يَصُومُ عَنْ كُلِّ مُدَّيْنِ يَوْمًا بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ الْإِطْعَامَ مِنَ الْكَفَّارَاتِ لِكُلِّ مِسْكِينٍ مُدَّيْنِ فَجَعَلَ صِيَامَ يومٍ بِإِزَاءِ إِطْعَامِ مِسْكِينٍ وَنَحْنُ بَيَّنَّا ذَلِكَ عَلَى أَصْلِنَا أَنَّ لِكُلِّ مِسْكِينٍ مُدًّا، فَجَعَلْنَا صِيَامَ يومٍ بِإِزَاءِ إِطْعَامِ مِسْكِينٍ لِيَكُونَ جُوعُ يَوْمٍ بِإِزَاءِ إِشْبَاعِ مِسْكِينٍ فِي يومٍ.

PASAL
 Yang kedua: bahwa seluruh bagian buruan itu adalah tanggungan (maḍmūn), sedangkan kenyang itu hanya berasal dari dagingnya yang dapat dimakan, bukan dari tulangnya, bulunya, ataupun kulitnya. Maka tidak sah apabila sebagian (seperti daging) menjadi tanggungan, sementara sebagian lain (seperti kulit dan tulang) bukan tanggungan. Maka batal lah pertimbangan berdasarkan kenyang.

Apabila telah tetap bahwa yang dipertimbangkan dalam puasa adalah makanan, bukan kenyang dari buruan, maka ia berpuasa satu hari untuk setiap mudd.

Abu Ḥanīfah berkata: ia berpuasa satu hari untuk setiap dua mudd, berdasarkan pendapat pokoknya bahwa dalam kafārah, satu orang miskin mendapat dua mudd. Maka ia menjadikan puasa satu hari sebagai ganti dari memberi makan satu orang miskin.

Adapun kami telah menjelaskan hal itu berdasarkan pendapat kami bahwa setiap orang miskin mendapat satu mudd, maka kami menjadikan puasa satu hari sebagai ganti dari memberi makan satu orang miskin, agar lapar satu hari sebanding dengan kenyang satu hari bagi seorang miskin.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا مَا لَا مِثْلَ لَهُ مِنَ الصَّيْدِ فَهُوَ مُخَيَّرٌ فِيهِ بَيْنَ الْإِطْعَامِ أَوِ الصِّيَامِ، فَإِنْ كَفَّرَ بِالْإِطْعَامِ قُوِّمَ الصَّيْدَ لِلْمَقْتُولِ دَرَاهِمَ وَاشْتَرَى بِالدَّرَاهِمِ طَعَامًا يَتَصَدَّقُ بِهِ، فَإِنْ أَرَادَ الصِّيَامَ صَامَ عَنْ كُلِّ مُدٍّ يَوْمًا، وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ: مَا لَا مِثْلَ لَهُ مِنَ النَّعَمِ غَيْرُ مَضْمُونٍ بِالْجَزَاءِ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: {فَجَزَاءُ مِثْلَ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ) {المائدة: 95) ، فَلَمَّا ثَبَتَ الْجَزَاءُ فِيمَا لَهُ مِثْلٌ لَهُ مِنَ النَّعَمِ وَجَبَ أَنْ يَنْتَفِيَ الْجَزَاءُ عَنْ مَا لَا مِثْلَ لَهُ مِنَ النَّعَمِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُماً} ، فَلَمَّا كَانَ جَمِيعُ الصَّيْدِ بِحَقِّ الْعُمُومِ مُحَرَّمًا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ جَمِيعُهُ بِحُكْمِ الْبَعْضِ مَضْمُونًا، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: فِي بَيْضَةِ النَّعَامَةِ يُصِيبُهَا الْمُحْرِمُ قِيمَتُهَا؛ وَالْبَيْضُ لَا مِثْلَ لَهُ وَقَدْ حَكَمَتِ الصَّحَابَةُ فِي الْحَمَامَةِ بِشَاةٍ وَفِي الْجَرَادِ بِالْقِيمَةِ وَذَلِكَ مِمَّا لَا مِثْلَ لَهُ فَثَبَتَ أَنَّ ذَلِكَ إِجْمَاعٌ.

PASAL
 Adapun hewan buruan yang tidak ada mithl-nya (tidak ada tandingan sejenis dari binatang ternak), maka pelakunya diberi pilihan antara memberi makan atau berpuasa. Jika ia menunaikan kafarat dengan memberi makan, maka hewan buruan yang dibunuh itu ditaksir nilainya dalam bentuk dirham, lalu ia membeli makanan dengan dirham tersebut untuk disedekahkan. Jika ia memilih untuk berpuasa, maka ia berpuasa satu hari untuk setiap mudd.

Adapun Dawud bin ‘Ali (al-Zhahiri) berpendapat bahwa hewan buruan yang tidak ada mithl-nya dari binatang ternak tidak wajib diganti dengan jazā’; karena Allah Ta‘ala berfirman: {maka (wajib baginya) hadyu yang sebanding dengan hewan buruan yang dibunuhnya, dari binatang ternak} (QS al-Mā’idah: 95). Maka, ketika jazā’ ditetapkan atas apa yang memiliki mithl dari binatang ternak, wajiblah ditiadakan jazā’ atas apa yang tidak memiliki mithl dari binatang ternak.

Namun, dalil yang membantah pendapat ini adalah firman-Nya Ta‘ala: {Dan diharamkan atas kalian hewan buruan darat selama kalian dalam keadaan ihram}, maka ketika seluruh hewan buruan secara umum diharamkan, wajib pula seluruhnya dihukumi dengan ketentuan sebagian, yaitu diwajibkan ganti rugi (ḍamān).

Telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Pada telur burung unta yang terkena oleh orang yang berihram, wajib membayar nilainya.” Padahal telur tidak memiliki mithl, namun telah ditetapkan kewajiban mengganti. Para sahabat juga menetapkan: dalam kasus burung dara dihukumi dengan kambing, dan dalam kasus belalang dihukumi dengan qīmah. Dan itu semua termasuk yang tidak memiliki mithl. Maka tetaplah bahwa hal tersebut merupakan ijma‘.


فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِالْآيَةِ فَفِيهَا جَوَابَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ جَمِيعَ الصَّيْدِ لَهُ مِثْلٌ إِلَّا أَنَّ الْمِثْلَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: مِثْلٌ مِنْ جِهَةِ الصُّورَةِ.
وَالثَّانِي: مِثْلٌ مِنْ جِهَةِ الْقِيمَةِ، وَجَمِيعًا مِثْلَانِ لِلْمُتْلَفِ، كَمَا يُحْكَمُ عَلَى مَنْ أَتْلَفَ طَعَامًا بِمِثْلِهِ، وَعَلَى مَنْ أَتْلَفَ عَبْدًا بِقِيمَتِهِ، وَكِلَاهُمَا مِثْلٌ عَلَى حَسَبِ الْإِمْكَانِ وَقَدْ أَوْمَأَ الشَّافِعِيُّ إِلَى هَذَا الْمَعْنَى فِي الْقَدِيمِ، وَإِنْ كَانَ الْمَشْهُورُ مِنْ قَوْلِهِ غَيْرُهُ.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ إِنَّمَا دَخَلَ فِيهَا الصَّيْدُ الَّذِي لَهُ مِثْلٌ مِنَ النَّعَمِ وَهُوَ قَوْلُهُ فِي كِتَابِ الْأُمِّ وَغَيْرِهِ: وَمَا لَا مِثْلَ لَهُ لَمْ يَدْخُلْ فِي الْجَزَاءِ الْمَذْكُورِ فِي هَذِهِ الْآيَةِ وَلَكِنْ دَخَلَ فِي قَوْلِهِ: {وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُماً} .

PASAL
 Adapun dalilnya dengan ayat, maka terdapat dua jawaban:

Pertama: bahwa seluruh buruan memiliki yang semisal, hanya saja mithl (yang semisal) itu terbagi menjadi dua jenis:

  • Pertama: yang semisal dari segi rupa (ṣūrah),
  • Kedua: yang semisal dari segi nilai (qīmah),

Dan keduanya sama-sama disebut mithl bagi sesuatu yang dirusak (al-mutlaf), sebagaimana diputuskan terhadap orang yang merusak makanan dengan yang semisal dengannya, dan terhadap orang yang merusak budak dengan nilai harganya. Keduanya termasuk mithl menurut kemampuan yang mungkin. Dan Imam al-Syāfi‘ī telah mengisyaratkan makna ini dalam pendapat al-qadīm-nya, meskipun pendapat yang masyhur darinya berbeda.

Jawaban kedua: bahwa ayat ini hanya mencakup buruan yang memiliki mithl dari jenis binatang ternak, dan itu adalah sebagaimana dikatakannya dalam kitab al-Umm dan selainnya: adapun buruan yang tidak ada mithl-nya maka tidak termasuk dalam jazā’ yang disebutkan dalam ayat ini, tetapi masuk dalam firman Allah Ta‘ālā: “Dan diharamkan atas kalian buruan darat selama kalian dalam keadaan ihram.”

فَصْلٌ: فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ جَمِيعَ الصَّيْدِ مَضْمُونٌ سواءٌ كَانَ ذَا مثلٍ أَوْ غَيْرَ ذِي مثلٍ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُكَفِّرَ بِالْإِطْعَامِ عَنْ مَالَهُ مِنَ النَّعَمِ مِثْلٌ فَيَحْتَاجُ إِلَى اعْتِبَارِ قِيمَتِهِ بِمَكَانٍ مخصوصٍ فِي زَمَانٍ مُعَيَّنٍ، فَأَمَّا الْمَكَانُ فَمَكَّةُ، وَأَمَّا الزَّمَانُ فَوَقْتُ التَّكْفِيرِ فَيَلْزَمُهُ أَنْ يُقَوِّمَ الْمِثْلَ مِنَ النَّعَمِ بِمَكَّةَ فِي وَقْتِ تَكْفِيرِهِ لَا فِي وَقْتِ قَتْلِهِ، وَإِنَّمَا وَجَبَ اعْتِبَارُ قِيمَتِهِ وَقْتَ تَكْفِيرِهِ بِمَكَّةَ؛ لِأَنَّ مَحِلَّ الْمِثْلِ مِنَ النَّعَمِ بِمَكَّةَ، وَإِنَّمَا وَجَبَ اعْتِبَارُ قِيمَتِهِ وَقْتَ تَكْفِيرِهِ لَا وَقْتَ قَتْلِهِ؛ لِأَنَّ الْقُدْرَةَ عَلَى مِثْلِ الْمُتْلَفِ إِذَا تَعَقَّبَهَا العدل إِلَى قِيمَةِ الْمُتْلَفِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ الْقَيِّمَةِ وَقْتَ الْعُدُولِ لَا وَقْتَ التَّلَفِ كَمَنْ أَتْلَفَ عَلَى غَيْرِهِ طَعَامًا فَلَمْ يَأْتِ بِمِثْلِهِ حَتَّى تَعَذَّرَ الْمِثْلُ، وَجَبَ عَلَيْهِ قِيمَتُهُ وَقْتَ التَّعَذُّرِ لَا وقت التلف، وإذا أَرَادَ أَنْ يُكَفِّرَ بِالْإِطْعَامِ عَنْ مَا لَا مِثْلَ لَهُ مِنَ النَّعَمِ فَعَلَيْهِ أَنْ يُقَوِّمَ الصَّيْدَ الْمَقْتُولَ وَقْتَ قَتْلِهِ لَا وَقْتَ تَكْفِيرِهِ؛ لِأَنَّ مَا لَا مِثْلَ لَهُ فَاعْتِبَارُ قِيمَتِهِ وَقْتَ إِتْلَافِهِ لَا وَقْتَ عَدَمِهِ كَمَنْ قَتَلَ عَبْدًا كَانَ عَلَيْهِ قِيمَتُهُ وَقْتَ إِتْلَافِهِ؛ لِأَنَّ وَقْتَ عَدَمِهِ وَقْتُ قَتْلِهِ.

PASAL
 Jika telah ditetapkan bahwa seluruh hewan buruan wajib diganti, baik yang memiliki mithl maupun yang tidak, maka apabila seseorang ingin menunaikan kafarat dengan memberi makan atas hewan buruan yang memiliki mithl dari binatang ternak, maka ia perlu mempertimbangkan nilainya pada tempat tertentu dan waktu tertentu.

Adapun tempatnya adalah Makkah, dan waktunya adalah saat ia menunaikan kafarat. Maka wajib baginya menaksir harga pengganti dari binatang ternak di Makkah pada saat kafarat dilakukan, bukan pada saat hewan itu dibunuh.

Alasan diwajibkan mempertimbangkan nilainya pada saat kafarat di Makkah adalah karena tempat mengganti dengan mithl dari binatang ternak adalah di Makkah. Dan alasan harus memperhatikan nilainya pada saat kafarat, bukan pada saat pembunuhan, adalah karena kemampuan untuk mengganti dengan mithl yang kemudian dialihkan ke pengganti nilai (qīmah) menyebabkan keharusan mempertimbangkan nilai tersebut pada waktu peralihan, bukan pada waktu rusaknya barang. Seperti seseorang yang merusakkan makanan milik orang lain, lalu tidak segera mengganti dengan yang sejenis hingga penggantian sejenis itu tidak memungkinkan lagi, maka wajib mengganti dengan qīmah-nya pada saat ketidakmungkinan, bukan pada saat perusakan.

Namun apabila ia ingin menunaikan kafarat dengan memberi makan atas hewan buruan yang tidak memiliki mithl dari binatang ternak, maka wajib menaksir nilai hewan buruan yang dibunuh itu pada saat dibunuh, bukan saat kafarat. Karena sesuatu yang tidak memiliki mithl wajib dipertimbangkan nilainya pada saat perusakan, bukan saat ketiadaannya, seperti seseorang yang membunuh budak, maka wajib mengganti dengan nilai budak tersebut pada saat pembunuhannya; karena saat ketiadaan budak itu adalah saat pembunuhannya.


فَأَمَّا مَوْضِعُ تَقْوِيمِ الصَّيْدِ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يُقَوِّمُهُ بِمَكَّةَ نَصَّ عَلَيْهِ فِي بَعْضِ كُتُبِهِ كَالْإِمْلَاءِ إِلْحَاقًا بِتَقْوِيمِ مَا لَهُ مِثْلٌ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ وَالْإِمْلَاءِ وَالْأُمِّ يَقَوِّمُهُ بِمَكَانِهِ الَّذِي قَتَلَهُ فِيهِ وَهُوَ الصَّحِيحُ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا وَجَبَ اعْتِبَارُ قِيمَتِهِ وَقْتَ الْقَتْلِ دُونَ وَقْتِ التَّكْفِيرِ وَجَبَ أَنْ يَعْتَبِرَ قِيمَتَهُ فِي مَوْضِعِ الْقَتْلِ دون موضع التكفير.

PASAL
 Adapun tempat penaksiran harga buruan, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: ditaksir harganya di Makkah — ini dinyatakan dalam sebagian kitabnya seperti al-Imlā’, sebagai penyamaan dengan penaksiran terhadap buruan yang memiliki mithl.

Kedua: dinyatakan dalam al-qadīm, al-Imlā’, dan al-Umm, bahwa buruan itu ditaksir harganya di tempat di mana ia dibunuh, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ; karena ketika yang wajib diperhatikan adalah nilainya pada waktu pembunuhan, bukan pada waktu pelaksanaan kafārah, maka wajib pula memperhatikan nilainya di tempat pembunuhan, bukan di tempat pelaksanaan kafārah.


مسألة: قال الشافعي (رضي الله عنه) : ” وَلَا يُجْزِئُهُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِشَيْءٍ مِنَ الْجَزَاءِ إِلَّا بِمَكَّةَ أَوْ بِمِنًى فَأَمَّا الصَّوْمُ فَحَيْثُ شَاءَ لِأَنَّهُ لَا مَنْفَعَةَ فِيهِ لِمَسَاكِينِ الْحَرَمِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مُسْتَوْفَاةً، وَذَكَرْنَا أَنَّ مَنْ كَفَّرَ بِالْهَدْيِ أَوِ الْإِطْعَامِ فَعَلَيْهِ إِيصَالُهُ إِلَى الْحَرَمِ وَنَحْرُ هَدْيِهِ فِيهِ وَتَفْرِيقُ لَحْمِهِ عَلَى مَسَاكِينِهِ، وَأَنَّ مَنْ كَفَّرَ بِالصَّيَامِ فَحَيْثُ شَاءَ صَامَ سَوَاءٌ كَانَ فِي حِلٍّ أَوْ حرمٍ، فَلَمْ يَكُنْ بِنَا إِلَى إعادة ذلك حاجةٌ.

Masalah: Imam al-Syafi‘i (raḥimahullāh) berkata:
 “Dan tidak sah baginya bersedekah dengan bagian apa pun dari jazā’ (ganti rugi) kecuali di Makkah atau di Mina. Adapun puasa, maka boleh dilakukan di mana saja ia kehendaki, karena tidak ada manfaat dari puasa itu bagi para miskin di Tanah Haram.”

Al-Māwardī berkata:
 Masalah ini telah dijelaskan secara rinci sebelumnya. Kami telah sebutkan bahwa siapa yang menunaikan kafarat dengan hadyu atau makanan, maka wajib menyampaikannya ke Tanah Haram, menyembelih hadyu-nya di sana, dan membagikan dagingnya kepada para fakir miskin di Tanah Haram. Dan siapa yang menunaikan kafarat dengan puasa, maka boleh ia berpuasa di mana saja ia kehendaki, baik di tanah halal maupun haram. Maka tidak ada kebutuhan bagi kami untuk mengulanginya kembali.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ أَكَلَ مِنْ لَحْمِهِ فَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ إِلَّا فِي قَتْلِهِ أَوْ جَرْحِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: الْكَلَامَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: فِي مُحْرِمٍ قَتَلَ صَيْدًا هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ.
وَالثَّانِي: فِي مُحِلٍّ قَتَلَ صَيْدًا هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ محرمٌ.
فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يَقْتُلَ الْمُحْرِمُ صَيْدًا فَعَلَيْهِ جَزَاؤُهُ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ، لِتَحْرِيمِهِ عَلَيْهِ ثُمَّ الْكَلَامُ بَعْدَ ذَلِكَ يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: حُكْمُ الْقَاتِلِ إِنْ أكل منه.

وَالثَّانِي: حُكْمُ غَيْرِهِ إِنْ أَكَلَ مِنْهُ.

Masalah:
 Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika ia memakan dari daging buruan, maka tidak ada jazā’ atasnya kecuali karena membunuh atau melukainya.”

Al-Māwardī berkata:
 Pembahasan dalam masalah ini mencakup dua pasal:

Pertama: tentang seorang muḥrim yang membunuh buruan — apakah ia boleh memakannya?
 Kedua: tentang seorang muḥill (orang yang tidak beriḥrām) yang membunuh buruan — apakah boleh seorang muḥrim memakannya?

Adapun pasal pertama, yaitu seorang muḥrim membunuh buruan, maka wajib atasnya jazā’-nya, dan tidak boleh baginya memakannya karena keharamannya atas dirinya.

Kemudian pembahasan setelah itu mencakup dua pasal lagi:

Pertama: hukum bagi si pembunuh jika ia memakan dagingnya.
 Kedua: hukum bagi selain si pembunuh jika ia memakan darinya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا حُكْمُ الْقَاتِلِ إِنْ أَكَلَ مِنْهُ، وَهُوَ أَنْ يَقْتُلَ الْمُحْرِمُ صَيْدًا فَيَفْدِيَهُ ثُمَّ يَأْكُلَ مِنْهُ فَإِنَّهُ يَكُونُ بِأَكْلِهِ عَاصِيًا، وَقَالَ أبو حنيفة: أَكْلُهُ لِلصَّيْدِ حرامٌ، وَعَلَيْهِ جَزَاءُ مَا أَكَلَ، وَجَزَاؤُهُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِقِيمَتِهِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الصَّيْدَ الْمَقْتُولَ حرامٌ عَلَى قَاتِلِهِ، فَلَمَّا كَانَ لَوْ أَكَلَ مِنْ جَزَاءِ الصَّيْدِ كَانَ مَضْمُونًا عَلَيْهِ، وَجَبَ إِذَا أَكَلَ مِنْ لَحْمِ الصَّيْدِ أَنْ يَكُونَ مَضْمُونًا عَلَيْهِ.
وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ أَكَلَ لَحْمَ حَيَوَانٍ حَرُمَ عَلَيْهِ بِحُكْمِ الْإِحْرَامِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَضْمُونًا عَلَيْهِ كَلَحْمِ الْجَزَاءِ وَلِأَنَّ أَكْلَ هَذَا الصَّيْدِ محرمٌ، كَمَا أَنْ قَتَلَهُ محرمٌ، فَلَمَّا كَانَ قَتْلُهُ مُوجِبًا لِلْجَزَاءِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ أَكْلُهُ مُوجِبًا لِلْجَزَاءِ.

PASAL
 Adapun hukum bagi orang yang membunuh hewan buruan jika ia memakannya — yaitu apabila seorang muḥrim membunuh hewan buruan, lalu menunaikan fidyahnya, kemudian ia memakan daging hewan tersebut — maka dengan perbuatannya memakan itu, ia dianggap berdosa.

Abu Ḥanīfah berkata: memakan hewan buruan itu haram, dan atasnya wajib jazā’ (ganti rugi) atas apa yang dimakannya. Ganti rugi itu adalah dengan menyedekahkan nilai bagian yang dimakan, berdalil bahwa hewan buruan yang dibunuh itu haram atas orang yang membunuhnya. Maka, ketika seseorang memakan daging dari jazā’ (hewan pengganti), ia wajib menggantinya; demikian pula, jika ia memakan daging dari hewan buruan (yang dibunuh), maka wajib pula menggantinya.

Penjelasan qiyās atas hal itu adalah: ia telah memakan daging binatang yang haram baginya karena hukum iḥrām, maka wajib diganti, sebagaimana daging dari jazā’. Dan karena memakan hewan buruan ini adalah haram, sebagaimana membunuhnya juga haram, maka ketika membunuhnya mewajibkan ganti rugi, maka memakannya pun mewajibkan ganti rugi.

وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ فَعَلَ فِي الصَّيْدِ مَا هُوَ حرامٌ عَلَيْهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِعْلُهُ مَضْمُونًا عَلَيْهِ كَالْقَتْلِ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ رِوَايَةُ أَبِي زَيْدٍ الْمُزَنِيِّ قَالَ: ” قَضَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الضَّبُعِ كَبْشًا فَجَدْيًا ” فَكَانَ ظَاهِرُ قَضِيَّتِهِ أَنَّ الْكَبْشَ جَمِيعٌ يُوجِبُهُ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ مَا كَانَ مَضْمُونًا بِالْأَكْلِ كَانَ مَضْمُونًا بِالْإِتْلَافِ كَالْجَزَاءِ، وَكُلَّ مَا كَانَ غَيْرَ مَضْمُونٍ بِالْإِتْلَافِ كَانَ غَيْرَ مَضْمُونٍ بِالْأَكْلِ كَالْمَيْتَةِ، فَلَمَّا كَانَ لَحْمُ الصَّيْدِ غَيْرَ مَضْمُونٍ عَلَى قَاتِلِهِ إِذَا أَتْلَفَهُ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مَضْمُونٍ عَلَيْهِ إِذَا أَكَلَهُ، وَهَذَا الِاسْتِدْلَالُ قَدْ يَتَحَرَّرُ مِنَ اعْتِلَالِهِ قِيَاسَانِ:

Dan penjelasan masalah ini secara qiyās:
 Bahwa ia telah melakukan terhadap buruan sesuatu yang diharamkan atasnya, maka wajib perbuatannya itu menjadi maḍmūn (ditanggung) atasnya sebagaimana dalam hal pembunuhan.

Dalil atas hal itu adalah riwayat dari Abū Zayd al-Muzanī, ia berkata:
 “Rasulullah SAW memutuskan dalam kasus ḍabbu‘ (sejenis binatang buas) dengan seekor kambing jantan, maka yang tampak dari putusan itu adalah bahwa kambing itu seluruhnya diwajibkan.”

Dan karena setiap sesuatu yang menjadi maḍmūn (tanggungan) karena dimakan, maka ia juga menjadi maḍmūn karena dirusakkan, sebagaimana dalam kasus jazā’.
 Dan setiap yang tidak menjadi maḍmūn karena dirusakkan, maka juga tidak menjadi maḍmūn karena dimakan, seperti bangkai.

Maka ketika daging buruan itu tidak menjadi maḍmūn atas pembunuhnya jika ia merusaknya, maka wajib pula bahwa tidak menjadi maḍmūn atasnya jika ia memakannya.

Dan istidlāl ini bisa diperjelas dari kekeliruannya dengan dua bentuk qiyās:


أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ غَيْرُ مَضْمُونٍ بِالْإِتْلَافِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مَضْمُونٍ بِالْأَكْلِ كَالْمَيْتَةِ.
وَالثَّانِي: أنه فعل لو أحدثه في ميتته لَمْ يَلْزَمْهُ الضَّمَانُ، فَوَجَبَ إِذَا أَحْدَثَهُ مِنْ لَحْمِ صَيْدٍ أَلَّا يَلْزَمَهُ الضَّمَانُ كَالْإِتْلَافِ، وَلَأَنُّ لَحْمَ الصَّيْدِ الْمَقْتُولِ فِي الْحَرَمِ حرامٌ عَلَى قَاتِلِهِ كَمَا أَنَّ لَحْمَ الصَّيْدِ الْمَقْتُولِ فِي الْإِحْرَامِ حرامٌ عَلَى قَاتِلِهِ فَلَمَّا كَانَ قَاتِلُ الصَّيْدِ مِنَ الْحَرَمِ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ بِأَكْلِهِ ضَمَانٌ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ قَاتِلُ الصَّيْدِ فِي الْإِحْرَامِ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ بِأَكْلِهِ ضَمَانٌ.

Pertama: bahwa hewan buruan tersebut tidak wajib diganti karena perusakan (itlāf), maka seharusnya tidak pula wajib diganti karena dimakan, seperti halnya bangkai (maytah).

Kedua: bahwa perbuatan memakan ini, jika dilakukan terhadap bangkai miliknya sendiri, tidak mewajibkan ganti rugi. Maka semestinya jika ia melakukannya terhadap daging hewan buruan, tidak pula wajib ganti rugi, sebagaimana dalam kasus perusakan.

Dan karena daging hewan buruan yang dibunuh di Tanah Haram adalah haram atas orang yang membunuhnya, sebagaimana daging hewan buruan yang dibunuh dalam keadaan ihram juga haram atas pelakunya, maka ketika pemburu hewan di Tanah Haram tidak diwajibkan mengganti hanya karena memakannya, maka semestinya pemburu hewan dalam keadaan ihram juga tidak diwajibkan mengganti hanya karena memakannya.


وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ صيدٌ ضَمِنَهُ بِالْقَتْلِ فَوَجَبَ أَلَّا يَضْمَنَهُ بِالْأَكْلِ كَالْمَقْتُولِ فِي الْحَرَمِ، وَلِأَنَّهُ قَدْ يَضْمَنُ الصَّيْدَ بِقَتْلِهِ، كَمَا يَضْمَنُ الْبَيْضَ بِكَسْرِهِ، وَالشَّجَرَ بِقَطْعِهِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ ضَمِنَ الْبَيْضَ بِكَسْرِهِ وَالشَّجَرَ بِقَطْعِهِ لَمْ يَضْمَنْهُ فِيمَا بَعْدُ بِإِتْلَافِهِ وَأَكْلِهِ فَكَذَلِكَ الصَّيْدُ.
وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهَا عينٌ ضَمِنَهَا بإتلافٍ فَوَجَبَ أَلَّا يَضْمَنَهَا بِالْأَكْلِ وَالِاسْتِهْلَاكِ، كَالْبَيْضِ وَالشَّجَرِ؛ وَلِأَنَّهُ قَدْ يَضْمَنُ الصَّيْدَ بِمَوْتِهِ فِي يَدِهِ كَمَا يَضْمَنُهُ بِقَتْلِهِ فِي يَدِهِ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ أَمْسَكَ صَيْدًا فَمَاتَ فِي يَدِهِ لَزِمَهُ الْجَزَاءُ، وَلَمْ يَضْمَنْ مَا أَكَلَ مِنْهُ كَذَلِكَ إِذَا قَتَلَهُ بِيَدِهِ.

Dan penjelasan masalah ini secara qiyās:
 Bahwa buruan itu telah menjadi tanggungan (ḍamān) karena dibunuh, maka wajib tidak menjadi tanggungan lagi karena dimakan, sebagaimana hewan yang dibunuh di dalam ḥaram.

Dan karena buruan itu bisa menjadi tanggungan karena dibunuh, sebagaimana telur menjadi tanggungan karena dipecahkan, dan pohon menjadi tanggungan karena ditebang, maka telah tetap bahwa apabila telur telah menjadi tanggungan karena dipecahkan, dan pohon karena ditebang, maka ia tidak ditanggung kembali setelah itu karena perusakan dan pemanfaatan (seperti makan), demikian pula halnya dengan buruan.

Dan penjelasannya dengan qiyās:
 Bahwa ia adalah barang (‘ayn) yang telah dijamin (ditanggung) karena dirusak (itlāf), maka wajib tidak ditanggung kembali karena dimakan dan dikonsumsi, sebagaimana telur dan pohon.

Dan karena buruan bisa menjadi tanggungan karena mati di tangannya, sebagaimana ia menjadi tanggungan karena dibunuh oleh tangannya, maka telah tetap bahwa apabila seseorang menangkap buruan lalu buruan itu mati di tangannya, maka wajib atasnya jazā’, namun ia tidak wajib menanggung apa yang telah ia makan darinya. Maka demikian pula halnya apabila ia membunuhnya dengan tangannya.


وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ صيدٌ مضمونٌ بِالْجَزَاءِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مَضْمُونٍ بِالْأَكْلِ كَالْمَيِّتِ حَتْفَ أَنْفِهِ.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْجَزَاءِ فَالْمَعْنَى فِي الْجَزَاءِ أَنَّهُ مَضْمُونٌ عَلَيْهِ بِالْإِتْلَافِ؛ فَلِذَلِكَ كَانَ مَضْمُونًا عَلَيْهِ بِالْأَكْلِ، وَلَمَّا كَانَ لَحْمُ الصَّيْدِ غَيْرَ مَضْمُونٍ عَلَيْهِ بِالْإِتْلَافِ كَانَ غَيْرَ مضمونٍ عَلَيْهِ بِالْأَكْلَ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمُ الْأَكْلَ عَلَى الْقَتْلِ فَبَاطِلٌ بِالصَّيْدِ الْمَيِّتِ فِي يَدِهِ فَيَضْمَنُهُ بِالْمَوْتِ وَلَا يَضْمَنُهُ بِالْأَكْلِ، عَلَى أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْقَتْلِ حُصُولُ الْإِتْلَافِ بِهِ وَعَدَمُ النَّمَاءِ بِوُجُودِهِ وَلَيْسَ كذلك الأكل بعد القتل.

Penjelasan qiyās atas hal ini adalah bahwa hewan buruan adalah sesuatu yang wajib diganti dengan jazā’, maka semestinya tidak wajib diganti karena dimakan, seperti hewan yang mati dengan sendirinya.

Adapun qiyās mereka terhadap jazā’, maka makna yang terdapat dalam jazā’ adalah bahwa hewan buruan itu wajib diganti karena itlāf (perusakan), maka karena itulah ia juga wajib diganti karena dimakan. Namun ketika daging hewan buruan itu tidak wajib diganti karena perusakan, maka tidak pula wajib diganti karena dimakan.

Adapun qiyās mereka yang menyamakan antara memakan dan membunuh, maka itu batil — karena hewan buruan yang telah mati di tangannya (bukan karena dibunuhnya), ia wajib menggantinya karena sebab kematian, bukan karena memakannya.

Selain itu, sebab dalam membunuh adalah karena itlāf (menghilangkan nyawa) dan mencegah hewan itu dari berkembang biak dengan keberadaannya; sedangkan memakan setelah pembunuhan tidak seperti itu.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا حُكْمُ غَيْرِ الْقَاتِلِ فِي أَكْلِ الصَّيْدِ الْمَقْتُولِ فَفِيهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ حَلَالٌ لِغَيْرِ قَاتِلِهِ مِنَ الْمُحِلِّينَ وَالْمُحْرِمِينَ وَيَكُونُ ذَلِكَ ذَكَاةً لِغَيْرِ قَاتِلِهِ مِنَ الْمُحِلِّينَ، وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ؛ لِأَنَّهُ مِنْ أَهْلِ الذَّكَاةِ فِي غَيْرِ الصَّيْدِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الذَّكَاةِ فِي الصَّيْدِ كَالْحَلَالِ طَرْدًا وَالْمَجُوسِيِّ عَكْسًا؛ وَلِأَنَّهُ حيوانٌ يَصِحُّ فِيهِ ذَكَاةُ الْمُحِلِّ؛ فَوَجَبَ أَنْ تَصِحَّ فِيهِ ذَكَاةُ الْمُحْرِمِ كَالنَّعَمِ طَرْدًا وَغَيْرِ الْمَأْكُولِ عَكْسًا، وَلِأَنَّ الْمُحْرِمَ ممنوعٌ مِنْ ذَكَاةِ الصَّيْدِ لِعَارِضٍ يَخْتَصُّ بِبَعْضِ الْحَيَوَانِ، وَالْمَنْعُ مِنَ الذَّكَاةِ لعارضٍ يَخْتَصُّ بِبَعْضِ الْحَيَوَانِ لَا يَمْنَعُ مِنْ وُقُوعِ الذَّكَاةِ كَالْغَاصِبِ يُمْنَعُ مِنْ ذَكَاةِ مَا غَصَبَهُ وَتَصِحُّ مِنْهُ ذَكَاتُهُ فَكَذَلِكَ الْمُحْرِمُ.

PASAL
 Adapun hukum selain si pembunuh dalam memakan buruan yang dibunuh, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: Halal bagi selain pembunuhnya dari kalangan orang yang tidak beriḥrām (muḥillīn) maupun yang beriḥrām (muḥrimīn), dan penyembelihan itu dianggap sah untuk selain pembunuhnya dari kalangan orang yang muḥill, dan ini adalah pendapatnya dalam qaul qadīm; karena muḥrim termasuk orang yang sah melakukan penyembelihan pada selain buruan, maka wajib dianggap sah pula penyembelihannya dalam buruan, sebagaimana halalnya sembelihan orang ḥalāl sebagai qiyās ṭardī, dan sembelihan majusi sebagai qiyās ‘aksī (kebalikannya).

Dan karena buruan adalah hewan yang sah disembelih oleh orang yang muḥill, maka wajib pula sah disembelih oleh orang yang muḥrim, sebagaimana hewan ternak (sebagai qiyās ṭardī) dan hewan yang tidak bisa dimakan (sebagai qiyās ‘aksī).

Dan karena muḥrim itu dilarang menyembelih buruan karena adanya halangan (‘āriḍ) yang khusus pada sebagian jenis hewan, maka larangan menyembelih karena halangan yang khusus pada sebagian hewan tidaklah mencegah sahnya penyembelihan itu, sebagaimana perampas (ghāṣib) dilarang menyembelih hewan rampasannya namun sembelihannya tetap sah — maka demikian pula muḥrim.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ ميتةٌ لَا يَحِلُّ أَكْلُهُ لِمُحِلٍّ وَلَا لمحرمٍ وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة.
وَوَجْهُ ذَلِكَ أَنَّهَا ذكاةٌ مَمْنُوعٌ مِنْهَا لِحَقِّ اللَّهِ تَعَالَى فَوَجَبَ أَلَّا تَقَعَ بِهَا الْإِبَاحَةُ كَذَكَاةِ الْمَجُوسِيِّ؛ لِأَنَّهَا ذكاةٌ لَا تُبِيحُ الْمُذَكَّى بِوَجْهٍ، فَوَجَبَ أَلَّا تُبِيحَ غَيْرَ الْمُذَكَّى بِكُلِّ وجهٍ قِيَاسًا عَلَى ذَكَاةِ مَا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ وَلِأَنَّهُ صَيْدٌ مَضْمُونٌ بِالْجَزَاءِ فَوَجَبَ أَنْ يُحَرَّمَ أَكْلُهُ قِيَاسًا عَلَى قَاتِلِهِ.
فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فَلَا جَزَاءَ عَلَى أَكْلِهِ سواءٌ قُلْنَا بِتَحْلِيلِهِ أو بتحريمه وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: bahwa hewan buruan tersebut adalah bangkai yang tidak halal dimakan, baik bagi orang yang muḥill (tidak berihram) maupun muḥrim. Ini adalah pendapat dalam qaul jadīd Imam al-Syafi‘i dan juga pendapat Abu Ḥanīfah.

Alasan dari pendapat ini adalah bahwa penyembelihan tersebut merupakan penyembelihan yang dilarang karena hak Allah Ta‘ala, maka tidak boleh menyebabkan kehalalan (dagingnya), seperti penyembelihan yang dilakukan oleh penyembah api (Majusi); karena penyembelihan itu tidak menghalalkan hewan sembelihan dalam bentuk apa pun. Maka semestinya tidak menghalalkan selain yang disembelih juga dalam bentuk apa pun, qiyās atas penyembelihan terhadap hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya.

Dan karena hewan buruan tersebut adalah buruan yang wajib diganti dengan jazā’, maka wajib hukumnya keharaman memakannya, dengan qiyās kepada pelaku pembunuhannya.

Maka setelah dijelaskan arah dari kedua pendapat tersebut, tidak ada jazā’ (ganti rugi) atas perbuatan memakannya, baik kita mengatakan halal maupun haram memakannya.

Wallāhu a‘lam.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَقْتُلَ الْمُحِلُّ صَيْدًا فَيَجُوزُ لَهُ وَلِكُلِّ مُحِلٍّ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ، فَأَمَّا الْمُحْرِمُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ مِنْهُ معونةٌ فِي قَتْلِهِ وَلَا قَتَلَهُ الْحَلَالُ مِنْ أَجْلِهِ فَهُوَ حلالٌ لَهُ، وَإِنْ كَانَ مِنْ هَذَا الْمُحْرِمِ معونةٌ فِي قَتْلِهِ إِمَّا بَدَلًا لَهُ أَوْ آلَةً أَوْ قَتَلَهُ الْحَلَالُ مِنْ أَجْلِهِ إِمَّا عَنْ إِذْنِهِ أَوْ غَيْرِ إِذْنِهِ فَهُوَ حرامٌ عَلَى الْمُحْرِمِ.

PASAL
 Adapun pasal kedua, yaitu apabila orang yang muḥill (tidak beriḥrām) membunuh buruan, maka halal baginya dan bagi setiap orang muḥill untuk memakannya.

Adapun muḥrim, maka jika ia tidak turut serta membantu dalam pembunuhan tersebut dan buruan itu tidak dibunuh oleh orang ḥalāl karena dirinya, maka halal baginya.

Namun jika muḥrim tersebut turut membantu dalam pembunuhan — baik sebagai pengganti, atau dengan memberikan alat, atau buruan itu dibunuh oleh orang ḥalāl karena dirinya, baik dengan izinnya maupun tanpa izinnya — maka buruan itu haram atas muḥrim.


قَالَ بَعْضُ النَّاسِ؛ هُوَ حرامٌ عَلَى الْمُحْرِمِ بِكُلِّ حالٍ، وَقَدْ حُكِيَ هَذَا الْقَوْلُ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ (رَضِيَ اللَّهُ عنه) :، وَقَالَ أبو حنيفة: هُوَ حلالٌ لِلْمُحْرِمِ، وَإِنْ صِيدَ مِنْ أَجْلِهِ أَوْ أَعَانَ عَلَى قَتْلِهِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْقَاتِلُ لَا يَصِلُ إِلَى قَتْلِهِ إِلَّا بِمَعُونَتِهِ مِثْلَ أَنْ يَدُلَّ الْقَاتِلَ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ أَوْ يَدْفَعَ إِلَى الْقَاتِلِ آلَةً لَوْلَاهَا مَا قَدَرَ الْقَاتِلُ عَلَى قَتْلِهِ فَيَكُونُ الْمُحْرِمُ حينئذٍ قَاتِلًا يَجِبُ عَلَيْهِ الْجَزَاءُ وَيُحْرُمُ عَلَيْهِ الْأَكْلُ.

Sebagian ulama berkata: Hewan buruan haram atas orang yang sedang berihram dalam segala keadaan. Pendapat ini dinisbatkan kepada ‘Ali bin Abī Ṭālib (raḍiyallāhu ‘anhu).

Sedangkan Abū Ḥanīfah berpendapat: Hewan buruan itu halal bagi orang yang sedang berihram, meskipun diburu untuknya atau ia turut membantu dalam pembunuhannya, kecuali jika si pembunuh tidak mampu membunuh hewan tersebut kecuali dengan bantuannya, seperti jika ia menunjukkan hewan itu kepada si pemburu tanpa sadar, atau ia memberikan alat (berburu) kepada pemburu, yang tanpanya si pemburu tidak akan mampu membunuhnya — maka dalam keadaan ini muḥrim dianggap sebagai pembunuh, sehingga wajib atasnya jazā’ dan haram baginya memakan (dagingnya).


فَأَمَّا مَنْ ذَهَبَ إِلَى تَحْرِيمِهِ عَلَى الْمُحْرِمِ بِكُلِّ حالٍ فَاسْتَدَلَّ بِحَدِيثِ الصَّعْبِ بْنِ جُثَامَةَ قَالَ: أَهْدَيْتُ لِرَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لحم حمارٍ وحشي، وهو بالأبواء، أو بودان، فَرَدَّهُ عَلَيَّ فَلَمَّا رَأَى الْكَرَاهَةَ فِي وَجْهِي قال: إننا لسنا براديه عليك ولكننا حرمٌ.
وَأَمَّا أبو حنيفة حَيْثُ ذَهَبَ إِلَى إِبَاحَتِهِ لِلْمُحْرِمِ، وَإِنْ صِيدَ مِنْ أَجْلِهِ أَوْ أَعَانَ عَلَى قَتْلِهِ فَاسْتَدَلَّ بِأَنْ قَالَ: لِأَنَّهُ صيدٌ لَمْ يَضْمَنْهُ الْمُحْرِمُ، فَوَجَبَ أَلَّا يَحْرُمَ أَكْلُهُ عَلَى الْمُحْرِمِ أَصْلُهُ إِذَا صَادَهُ الْمُحِلُّ لِنَفْسِهِ بِغَيْرِ مَعُونَةِ الْمُحْرِمِ وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمَا رِوَايَةُ المطلب بن عبد الله بن جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَحْمُ صَيْدِ الْبَرِّ لَكُمْ حلالٌ وَأَنْتُمْ حرمٌ مَا لَمْ تَصِيدُوهُ أَوْ يُصَادَ لَكُمْ “، فَقَوْلُهُ: ” لَحْمُ صَيْدِ الْبَرِّ لَكُمْ حلالٌ وَأَنْتُمْ حرمٌ ” دلالةٌ عَلَى مَنْ مُنِعَ مِنْ أَكْلِهِ، وَقَوْلُهُ: ” مَا لَمْ تَصِيدُوهُ أَوْ يُصَادُ لَكُمْ ” دَلَالَةٌ عَلَى أبي حنيفة حَيْثُ قَالَ: يَجُوزُ أَنْ يَأْكُلَهُ مَنْ صِيدَ لَهُ.

PASAL
 Adapun orang yang berpendapat bahwa buruan itu haram bagi muḥrim dalam segala keadaan, maka ia berdalil dengan hadis Sha‘b bin Juthāmah, ia berkata:
 “Aku menghadiahkan kepada Rasulullah SAW daging ḥimār waḥsyī (keledai liar), sedangkan beliau sedang berada di al-Abwā’ atau Waddān. Maka beliau menolaknya dariku. Ketika beliau melihat rasa kecewa di wajahku, beliau bersabda: ‘Sesungguhnya kami tidak menolaknya karena engkau, akan tetapi karena kami sedang dalam keadaan iḥrām.’”

Adapun pendapat Abū Ḥanīfah, yang membolehkan memakannya bagi muḥrim — sekalipun buruan itu diburu untuknya atau ia membantu dalam pembunuhannya — maka ia berdalil dengan mengatakan:
 “Karena itu adalah buruan yang tidak ditanggung oleh muḥrim, maka tidak wajib haram baginya untuk memakannya. Dasarnya adalah apabila orang muḥill memburunya untuk dirinya sendiri tanpa bantuan dari muḥrim, maka tidak haram.”

Dalil atas kedua pendapat tersebut adalah riwayat al-Muṭṭalib bin ‘Abdillāh bin Ḥanṭhab dari Nabi SAW, beliau bersabda:
 “Daging buruan darat halal bagi kalian sementara kalian dalam keadaan ḥaram, selama kalian tidak memburunya atau diburu untuk kalian.”
 Maka sabdanya: “Daging buruan darat halal bagi kalian sementara kalian dalam keadaan ḥaram” adalah dalil bagi pihak yang mengharamkan makan buruan,
 dan sabdanya: “selama kalian tidak memburunya atau diburu untuk kalian” adalah dalil bagi Abū Ḥanīfah yang berkata: boleh dimakan oleh orang yang buruan itu diburu untuknya.


وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ: ” أَنَّهُ كان مع قومٍ وهم محرمون فأصابوا حمار وحشي فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَاسْتَفْتُوهُ فَقَالَ هَلْ ضَرَبْتُمْ أَوْ أَعَنْتُمْ أَوْ أَشَرْتُمْ؟ قَالُوا: لَا، قَالَ: فَكَلُوا، فَلَمَّا سَأَلَهُمْ عَنِ الضَّرْبِ وَالْإِعَانَةِ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ حرامٌ عَلَيْهِمْ بِوُجُودِ الضَّرْبِ وَالْإِعَانَةِ.
وَرَوَى عَمْرُو بْنُ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: حَجَّ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ (رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ) فَلَمَّا بَلَغَ الْعَرَجَ أَهْدَى لَهُ صَاحِبُ الْعَرَجِ قَطًا مذبوحاتٍ، فَقَالَ لِأَصْحَابِهِ: كَلُوا، وَلَمْ يَأْكُلْ هُوَ، وَقَالَ: إِنَّمَا صِيدَ مِنْ أَجْلِي.

Diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Abī Qatādah dari ayahnya:
 “Bahwasanya ia bersama suatu kaum sementara mereka dalam keadaan iḥrām, lalu mereka mendapatkan seekor keledai liar (ḥimār waḥsyī). Maka mereka mendatangi Rasulullah SAW dan meminta fatwa kepadanya. Beliau bertanya: ‘Apakah kalian memukulnya? Atau membantu? Atau memberi isyarat?’ Mereka menjawab: ‘Tidak.’ Maka beliau bersabda: ‘Kalau begitu, makanlah.’”

Ketika beliau menanyakan tentang memukul, membantu, atau memberi isyarat, itu menunjukkan bahwa jika terdapat salah satu dari hal tersebut, maka hukumnya haram atas mereka.

Dan diriwayatkan dari ‘Amr bin Abī Salamah dari ayahnya, ia berkata:
 “‘Utsmān bin ‘Affān (raḍiyallāhu ‘anhu) berhaji. Ketika sampai di al-‘Arj, pemilik tempat itu menghadiahkan kepadanya burung puyuh (qaṭṭ) yang telah disembelih. Maka beliau berkata kepada para sahabatnya: ‘Makanlah.’ Namun beliau sendiri tidak memakannya dan berkata: ‘Sesungguhnya hewan itu diburu karena aku.’”


وَلِأَنَّهُ صيدٌ قُتِلَ بمعونةِ الْمُحْرِمِ فَوَجَبَ أَنْ يَحْرُمَ أَكْلُهُ عَلَى الْمُحْرِمِ أَصْلِهِ، إِذَا كَانَ الْمُحِلُّ لَا يَصِلُ إِلَى قَتْلِهِ إِلَّا بِمَعُونَةِ الْمُحْرِمِ فَأَمَّا حَدِيثُ الصَّعْبِ بْنِ جَثَّامَةَ فَعَنْهُ جَوَابَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ محمولٌ عَلَى أَنَّهُ قَدْ صَادَهُ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -؛ فَلِذَلِكَ رَدَّهُ عَلَيْهِ وَهُوَ الْأَشْبَهُ بِالْحَالِ.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّهُ إِنَّمَا رَدَّهُ تَنْزِيهًا، وَهُوَ الْأَوْلَى بِالْمُحْرِمِ.
وَأَمَّا قِيَاسُ أبي حنيفة عَلَى الصَّيْدِ إِذَا قَتَلَهُ الْمُحِلُّ بِغَيْرِ مَعُونَةِ الْمُحْرِمِ فَالْمَعْنَى مَا ذَكَرْنَا فِي قِيَاسِنَا.

Dan karena itu adalah buruan yang dibunuh dengan bantuan muḥrim, maka wajib hukumnya haram dimakan oleh muḥrim itu sendiri, jika orang muḥill (yang tidak beriḥrām) tidak bisa membunuhnya kecuali dengan bantuan muḥrim.

Adapun hadis Sha‘b bin Juthāmah, maka terdapat dua jawaban:

Pertama: Hadis itu ditakwil bahwa buruan tersebut memang diburu untuk Rasulullah SAW, maka karena itulah beliau menolaknya, dan ini lebih sesuai dengan konteks kejadian.

Jawaban kedua: Bahwa beliau menolaknya sebagai bentuk tanzīh (menjaga diri dari yang kurang layak), dan sikap itu lebih utama bagi orang yang sedang beriḥrām.

Adapun qiyās Abū Ḥanīfah dengan kasus buruan yang dibunuh oleh muḥill tanpa bantuan muḥrim, maka maknanya telah kami sebutkan dalam qiyās kami sebelumnya.

فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا فَإِنْ أَكَلَ الْمُحْرِمُ صَيْدًا لَمْ يَقْتُلْهُ الْمُحِلُّ لِأَجْلِهِ وَلَا بِمَعُونَتِهِ فَقَدْ أَكَلَ حَلَالًا وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَإِنْ أَكَلَ الْمُحْرِمُ مِنْ صيدٍ قَتَلَهُ الْمُحِلُّ لِأَجْلِهِ أَوْ بِمَعُونَتِهِ فَقَدْ أَكَلَ حَرَامًا وَهَلْ عَلَيْهِ جَزَاءُ مَا أَكَلَ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ الْجَزَاءُ وَبِهِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ؛ لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ البَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُماً} ، فَدَخَلَ فِي ذَلِكَ قَتْلُهُ وَأَكْلُهُ، فَلَمَّا كَانَ فِي قَتْلِهِ الْجَزَاءُ؛ لِتَحْرِيمِ قَتْلِهِ عَلَيْهِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي أَكْلِهِ الْجَزَاءُ؛ لِتَحْرِيمِ أَكْلِهِ عَلَيْهِ فَعَلَى هَذَا فِي كَيْفِيَّةِ الْجَزَاءِ ثَلَاثَةُ أوجهٍ:

PASAL
 Maka apabila hal ini telah ditetapkan, apabila seorang muḥrim memakan buruan yang tidak dibunuh oleh muḥill karena dirinya dan tidak pula dengan bantuannya, maka sungguh ia telah memakan yang halal dan tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Namun apabila seorang muḥrim memakan buruan yang dibunuh oleh muḥill karena dirinya atau dengan bantuannya, maka sungguh ia telah memakan yang haram. Apakah atasnya ada jazā’ terhadap apa yang ia makan atau tidak? Ada dua pendapat:

Pertama: Wajib atasnya jazā’, dan inilah yang ia katakan dalam pendapat qadīm, berdasarkan keumuman firman Allah Ta‘ālā: {wa ḥurri ma ‘alaikum ṣaidu al-barri mā dumtum ḥuruman} (dan diharamkan atas kalian buruan darat selama kalian dalam keadaan iḥrām), maka termasuk dalam larangan itu adalah membunuh dan memakannya. Ketika dalam membunuhnya terdapat kewajiban jazā’ karena keharaman membunuhnya atasnya, maka wajib pula dalam memakannya ada jazā’ karena keharaman memakannya atasnya. Berdasarkan pendapat ini, dalam tata cara jazā’ terdapat tiga wajah:


أحدهما: أَنْ يَكُونَ ضَامِنًا لِمِثْلِهِ لَحْمًا مِنْ لُحُومِ النَّعَمِ يَتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى مَسَاكِينِ الْحَرَمِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَكُونُ ضَامِنًا لِمِثْلِهِ مِنَ النَّعَمِ فَيَضْمَنُ مِنْ مِثْلِهِ بِقَدْرِ مَا أَكَلَ مِنْ لَحْمِهِ، فَإِنْ كَانَ قَدْ أَكَلَ عُشْرَ لَحْمِهِ لَزِمَهُ عُشْرُ مِثْلِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ ضَامِنًا لِقِيمَةِ مَا أَكَلَ دَرَاهِمَ يَتَصَدَّقُ بِهَا إِنْ شَاءَ أَوْ يَصْرِفُهَا فِي طَعَامٍ يَتَصَدَّقُ بِهِ إِنْ شَاءَ.

pertama: bahwa ia wajib mengganti dengan mislu berupa daging dari daging binatang ternak, lalu ia sedekahkan kepada para fakir miskin di Tanah Haram.

kedua: bahwa ia wajib mengganti dengan mislu dari binatang ternak seukuran daging yang ia makan. Jika ia memakan sepersepuluh dari dagingnya, maka wajib atasnya sepersepuluh dari mislu-nya.

dan pendapat ketiga: bahwa ia wajib mengganti senilai dengan apa yang ia makan berupa dirham, lalu ia sedekahkan, jika ia menghendaki, atau ia belikan makanan lalu ia sedekahkan, jika ia menghendaki.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا جَزَاءَ عَلَيْهِ وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ وَالْإِمْلَاءِ؛ لِأَنَّ مَا قَتَلَهُ الْمُحْرِمُ بِنَفْسِهِ أَغْلَظُ تَحْرِيمًا مِمَّا قَتَلَهُ الْمُحِلُّ لِأَجْلِهِ، فَلَمَّا لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْجَزَاءُ فِي أَكْلِ مَا قَتَلَهُ بِنَفْسِهِ فَأَوْلَى أَلَّا يجب عليه الجزاء في أكل ما قتله لِأَجْلِهِ.
وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ أَكَلَ لَحْمَ صيدٍ محرمٍ، فَوَجَبَ أَلَّا يَلْزَمَهُ جَزَاؤُهُ كَمَا لَوْ قَتَلَهُ محرمٌ وَلِأَنَّ قَتْلَ الصَّيْدِ أَغْلَظُ مِنْ أَكْلِهِ؛ لَأَنَّ الْمُحْرِمَ إِذَا قَتَلَ صَيْدًا لَزِمَهُ الْجَزَاءُ بِقَتْلِهِ، وَلَمْ يَلْزَمْهُ الْجَزَاءُ بِأَكْلِهِ، فَلَمَّا ثَبَتَ أَنَّ قَتْلَ هَذَا الصَّيْدِ لَا يَجِبُ فِيهِ جَزَاءٌ؛ فَأَكْلُهُ أَوْلَى أَلَّا يَجِبَ فِيهِ جزاءٌ.
وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ صيدٌ لَمْ يُضْمَنْ قَتْلُهُ بِالْجَزَاءِ، فَوَجَبَ أَلَّا يُضْمَنَ أَكْلُهُ بِالْجَزَاءِ أَصْلِهِ إِذَا أَكَلَهُ محرمٌ وَلَمْ يُصَدْ لَهُ وَهَذَا أَصَحُّ الْقَوْلَيْنِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan pendapat kedua: Tidak wajib atasnya jazā’, dan inilah yang dikatakan dalam pendapat jadīd dan dalam al-Imlā’; karena buruan yang dibunuh sendiri oleh muḥrim lebih berat keharamannya dibandingkan dengan yang dibunuh oleh muḥill karena dirinya. Maka ketika tidak wajib atasnya jazā’ dalam memakan buruan yang ia bunuh sendiri, maka lebih utama lagi untuk tidak wajib atasnya jazā’ dalam memakan buruan yang dibunuh karena dirinya.

Penjelasannya secara qiyās adalah bahwa ia telah memakan daging buruan yang haram, maka tidak wajib atasnya ganti rugi sebagaimana jika buruan itu dibunuh oleh muḥrim. Karena membunuh buruan lebih berat dibandingkan memakannya; sebab ketika seorang muḥrim membunuh buruan, wajib atasnya jazā’ karena membunuhnya, dan tidak wajib atasnya jazā’ karena memakannya. Maka ketika telah tetap bahwa membunuh buruan ini tidak wajib jazā’, maka memakannya lebih utama lagi untuk tidak wajib jazā’.

Dan penjelasan hal itu secara qiyās adalah bahwa itu adalah buruan yang pembunuhannya tidak dikenai ganti rugi (jazā’), maka seharusnya tidak dikenai ganti rugi atas memakannya. Yaitu jika muḥrim memakannya dan tidak diburu untuk dirinya. Dan inilah pendapat yang paling ṣaḥīḥ dari dua pendapat. Wa Allāhu a‘lam.


مسألة: قال الشافعي: (رضي الله عنه) : ” وَلَوْ دَلَّ عَلَى صيدٍ كَانَ مُسِيئًا وَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ كَمَا لَوْ أَمَرَ بِقَتْلِ مُسْلِمٍ لَمْ يُقْتَصَّ مِنْهُ وَكَانَ مُسِيئًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: هَذَا كَمَا قَالَ إِذَا قَتَلَ الْمُحْرِمُ صَيْدًا بِدَلَالَةِ غَيْرِهِ فَالْجَزَاءُ عَلَى الْقَاتِلِ دُونَ الدَّالِّ، وَقَالَ أبو حنيفة: الدَّالُّ عَلَى الصَّيْدِ كَالْقَاتِلِ، فَإِنْ كَانَا مُحْرِمَيْنِ فَعَلَى كُلِّ واحدٍ مِنْهُمَا الْجَزَاءُ، وَإِنْ كَانَ الدَّالُّ مُحْرِمًا وَالْقَاتِلُ حَلَالًا فَالْجَزَاءُ عَلَى الدَّالِّ دُونَ الْقَاتِلِ، وَإِنْ كَانَ الْقَاتِلُ مُحْرِمًا، وَالدَّالُّ حَلَالًا فَالْجَزَاءُ عَلَى الْقَاتِلِ دُونَ الدَّالِّ وَاسْتَدَلَّ عَلَى ذَلِكَ بِقَوْلِهِ (- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -) : ” الدَّالُّ عَلَى الْخَيْرِ كَفَاعِلِهِ ” فَجَمَعَ بَيْنَ الدَّلَالَةِ وَالْفِعْلِ، فَدَلَّ عَلَى اجْتِمَاعِهِمَا فِي الْحُكْمِ، وَبِرِوَايَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” هَلْ ضَرَبْتُمْ أَوْ أَعَنْتُمْ أَوْ أَشَرْتُمْ، قَالُوا: لَا قَالَ: فَكُلُوا “، فَجَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَ الضَّرْبِ وَبَيْنَ الْإِشَارَةِ فِي الِاسْتِفْهَامِ وَأَبَاحَ الأكل بعدهما فَدَلَّ عَلَى اشْتِرَاكِهِمَا فِي الْحُكْمِ، ثُمَّ كَانَ الضَّرْبُ مُوجِبًا لِلْجَزَاءِ، فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ الْإِشَارَةُ بالدلالة موجبةً للجزاء؛ ولأن الدلالة كسب أَفْضَى إِلَى قَتْلِ الصَّيْدِ فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ ضَمَانُ الصَّيْدِ كَالشَّبَكَةِ إِذَا طَرَحَهَا، وَالْأُحْبُولَةِ إذا نصبها؛ ولأنه تسبب، فحرم بِهِ أَكْلُ الصَّيْدِ بِحُرْمَةِ الْإِحْرَامِ، فَوَجَبَ أَنْ يُلْزَمَ بِهِ الضَّمَانُ كَالْقَتْلِ؛ وَلِأَنَّ الصَّيْدَ قَدْ يُضْمَنُ بِالتَّسَبُّبِ كَمَا يُضْمَنُ بِالْمُبَاشَرَةِ؛ لِأَنَّ حَافِرَ الْبِئْرِ يَضْمَنُ مَا وَقَعَ فِيهَا مِنْ صَيْدٍ، كَمَا يُضْمَنُ بِالْمُبَاشَرَةِ، وَإِذَا اسْتَوَى التَسَبُّبُ وَالْمُبَاشَرَةُ فِي وُجُوبِ الضَّمَانِ وَجَبَ أَنْ تَسْتَوِيَ الدَّلَالَةُ وَالْقَتْلُ فِي وُجُوبِ الضَّمَانِ؛ لِأَنَّ الدَّلَالَةَ سَبَبٌ وَالْقَتْلَ مباشرةٌ.

masalah: Imam al-Syafi‘i (raḥimahullāh) berkata: “Seandainya seseorang menunjukkan kepada buruan, maka ia telah berbuat buruk, namun tidak ada jazā’ atasnya, sebagaimana jika ia memerintahkan untuk membunuh seorang Muslim, tidak dikenakan qiṣāṣ atasnya, namun ia tetap berdosa.”

al-Māwardī berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, yaitu apabila seorang muḥrim membunuh buruan berdasarkan petunjuk orang lain, maka jazā’ wajib atas pelaku pembunuhan, bukan atas orang yang menunjukkan.

Sedangkan Abū Ḥanīfah berpendapat: orang yang menunjukkan buruan itu kedudukannya sama seperti yang membunuh. Maka jika keduanya dalam keadaan iḥrām, wajib atas masing-masing dari keduanya jazā’. Dan jika yang menunjukkan adalah muḥrim sedangkan yang membunuh adalah orang yang ḥalāl, maka jazā’ wajib atas orang yang menunjukkan, bukan atas yang membunuh. Dan jika yang membunuh adalah muḥrim, sementara yang menunjukkan adalah ḥalāl, maka jazā’ wajib atas yang membunuh, bukan atas yang menunjukkan.

Ia berdalil dengan sabda Nabi SAW: “Orang yang menunjukkan kepada kebaikan, seperti pelakunya.” Maka Nabi menggabungkan antara penunjuk dan pelaku dalam hukum, yang menunjukkan bahwa keduanya sama dalam ketentuan hukum.

Dan juga dengan riwayat dari ‘Abdullāh bin Abī Qatādah dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apakah kalian memukul, membantu, atau menunjukkan?” Mereka menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Kalau begitu, makanlah.” Maka Rasulullah SAW menyebutkan dalam pertanyaan itu antara memukul dan memberi isyarat (penunjukan), lalu membolehkan makan setelahnya, maka itu menunjukkan keduanya disamakan dalam hukum. Kemudian, karena memukul mewajibkan jazā’, maka isyarat berupa penunjukan pun semestinya mewajibkan jazā’.

Dan karena penunjukan adalah sebab yang mengantarkan kepada pembunuhan buruan, maka wajib dihubungkan dengan kewajiban ganti rugi atas buruan tersebut, seperti meletakkan jaring atau perangkap. Dan karena penunjukan termasuk sebab, maka haram pula memakan buruan itu karena ḥurmatul-iḥrām, maka wajib dikenakan ganti rugi sebagaimana pembunuhan langsung.

Dan karena buruan bisa wajib diganti karena sebab sebagaimana karena perbuatan langsung, karena penggali sumur menanggung apa yang jatuh ke dalamnya dari buruan, sebagaimana jika membunuhnya langsung. Maka apabila penyebab dan pelaku langsung sama-sama mewajibkan ganti rugi, maka penunjukan dan pembunuhan juga harus sama dalam kewajiban ganti rugi; karena penunjukan adalah sebab, dan pembunuhan adalah pelaku langsung.


وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْلُهُ: {فَجَزَاء مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ} ، فَعَلَّقَ الْجَزَاءَ بِالْقَتْلِ، فَاقْتَضَى أَلَّا يَجِبَ الْجَزَاءُ بِعَدَمِ الْقَتْلِ؛ وَلِأَنَّهَا نَفْسٌ مَضْمُونَةٌ بِالْجِنَايَةِ فَوَجَبَ أَلَّا تُضْمَنَ بِالدَّلَالَةِ كَالْآدَمِيِّ، وَلِأَنَّهُ صَيْدٌ تَوَالَى عَنْهُ جِنَايَةٌ وَدَلَالَةٌ، فَوَجَبَ أَنْ يُضْمَنَ بِالْجِنَايَةِ وَلَا يُضْمَنَ بِالدَّلَالَةِ كَصَيْدِ الْمُحْرِمِ؛ وَلِأَنَّ الصَّيْدَ قَدْ يَجْتَمِعُ فِيهِ حَقَّانِ: حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى وَهُوَ الْجَزَاءُ، وَحَقُّ الْآدَمِيِّ وَهُوَ الْقِيمَةُ إِذَا كَانَ مَمْلُوكًا، فَلَمَّا لَمْ يَجِبْ حَقُّ الْآدَمِيِّ بِالدَّلَالَةِ فَكَذَلِكَ لَا يَجِبُ حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى بِالدَّلَالَةِ؛ وَلِأَنَّ الصَّيْدَ لَا يُضْمَنُ إِلَّا بِأَحَدِ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: إِمَّا بِالْيَدِ أَوْ بِالْمُبَاشَرَةِ أَوْ بِالتَّسَبُّبِ، فَالْيَدُ أَنْ يَأْخُذَ صَيْدًا فَيَمُوتَ فِي يَدِهِ فَيَضْمَنَ، وَالْمُبَاشَرَةُ أَنْ يُبَاشِرَ قَتْلَهُ فَيَضْمَنَهُ، وَالتَّسَبُّبُ أَنْ يَحْفِرَ بِئْرًا فَيَقَعَ فِيهَا الصَّيْدُ فيضمن.

Dan dalil atas pendapat ini adalah firman-Nya: {fa-jazāʾu miṡlu mā qatal(a) mina an-naʿam} (maka balasannya adalah semisal dengan apa yang ia bunuh dari binatang ternak), maka Allah menggantungkan kewajiban jazā’ dengan perbuatan membunuh, sehingga hal ini menunjukkan bahwa tidak wajib jazā’ jika tidak ada pembunuhan.

Dan karena (buruan) itu adalah jiwa yang dijamin karena kejahatan (jināyah), maka seharusnya tidak dijamin hanya karena sebab indikasi (dalālah), sebagaimana (jiwa) manusia. Dan karena itu adalah buruan yang padanya berturut-turut terjadi kejahatan (jināyah) dan petunjuk (dalālah), maka seharusnya dijamin karena jināyah dan tidak dijamin karena dalālah, seperti buruan yang diburu oleh muḥrim.

Dan karena buruan bisa terkumpul padanya dua hak: hak Allah Ta‘ālā, yaitu jazā’, dan hak manusia, yaitu qīmah (nilai harga) apabila buruan itu milik seseorang. Maka ketika tidak wajib hak manusia karena dalālah, maka demikian pula tidak wajib hak Allah Ta‘ālā karena dalālah.

Dan karena buruan tidak dijamin kecuali dengan salah satu dari tiga hal:

  • Pertama, dengan tangan (al-yad), yaitu ia mengambil buruan lalu buruan itu mati di tangannya, maka ia wajib menggantinya.
  • Kedua, dengan langsung (al-mubāsyarah), yaitu ia langsung membunuhnya, maka ia wajib menggantinya.
  • Ketiga, dengan sebab (at-tasabbub), yaitu ia menggali sumur lalu buruan jatuh ke dalamnya, maka ia wajib menggantinya.


وَالدَّلَالَةُ لَيْسَتْ يَدًا وَلَا مُبَاشَرَةً وَلَا سَبَبًا؛ لِأَنَّهَا لَوْ كَانَتْ سَبَبًا يَجِبُ بِهَا الضَّمَانُ، لَوَجَبَ إِذَا انْفَرَدَتْ أَنْ تَكُونَ سَبَبًا يَجِبُ الضَّمَانُ، فَوَجَبَ أَلَّا يَتَعَلَّقَ بِالدَّلَالَةِ ضَمَانٌ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: ” الدَّالُّ عَلَى الْخَيْرِ كَفَاعِلِهِ ” فهو أن المقصود بهذا الحديث الخبر وَالْإِرْشَادُ إِلَيْهِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسْتَدَلَّ بِهِ فِي غَيْرِ مَا وُضِعَ لَهُ، وَلَوِ اعْتَمَدَ عَلَى ظَاهِرِ لَفْظِهِ لَمْ يَصِحَّ الِاسْتِدْلَالُ بِهِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ جَعَلَ الدَّالَّ عَلَى الْخَيْرِ كَفَاعِلِهِ، وَلَيْسَتِ الدَّلَالَةُ عَلَى الصَّيْدِ خَيْرًا، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ كَفَاعِلِهِ.

dan penunjukan itu bukanlah tangan (yang melakukan), bukan pula perbuatan langsung, dan bukan pula sebab; karena seandainya penunjukan itu termasuk sebab yang mewajibkan ganti rugi, niscaya apabila ia berdiri sendiri, ia menjadi sebab yang mewajibkan ganti rugi. Maka seharusnya tidak ada kewajiban ganti rugi yang dikaitkan dengan penunjukan.

Adapun jawaban terhadap sabda Nabi: “Orang yang menunjukkan kepada kebaikan seperti pelakunya” adalah bahwa maksud dari hadis ini adalah pemberitahuan dan pengarahan kepada kebaikan, maka tidak boleh dijadikan dalil untuk hal yang tidak sesuai dengan maksudnya. Dan seandainya orang bersandar pada makna lahiriah lafaznya, maka istidlal dengannya tidak sah dari dua sisi:

pertama: karena Nabi menyamakan orang yang menunjukkan kepada kebaikan dengan pelakunya, sedangkan penunjukan kepada buruan bukanlah kebaikan, maka tidak boleh disamakan dengan pelaku.


وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا شَبَّهَ الدَّالَّ بِالْفَاعِلِ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِفَاعِلٍ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَتَعَلَّقَ عَلَى الدَّالِّ ضَمَانٌ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ مِنْهُ فِعْلٌ يُوجِبُ الضَّمَانَ، وَيُجْمَعُ بَيْنَ الدَّالِّ وَالْقَاتِلِ فِي الْإِثْمِ، لِأَنَّ الْإِثْمَ قَدْ يَجِبُ بِالْفِعْلِ وَغَيْرِ الْفِعْلِ، وَأَمَّا حَدِيثُ أَبِي قَتَادَةَ فَلَا حُجَّةَ فِيهِ، لِأَنَّهُمْ سَأَلُوهُ عَنْ أَكْلِهِ لَا عَنْ جَزَائِهِ، فَجَعَلَ الْإِشَارَةَ كَالضَّرْبِ فِي تَحْرِيمِ أَكْلِهِ دُونَ جَزَائِهِ، وأبو حنيفة يَجْعَلُ الْإِشَارَةَ كَالضَّرْبِ فِي جَزَائِهِ دُونَ أَكْلِهِ، فَلَمْ يَصِحَّ اسْتِدْلَالُهُ بِهِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الشَّبَكَةِ وَالْأُحْبُولَةِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ قَدْ يُوجِبُ ضَمَانَ الصَّيْدِ إِذَا انْفَرَدَ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الدَّلَالَةُ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْقَتْلِ فَالْمَعْنَى فِيهِ حُصُولُ الْإِتْلَافِ بِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الدَّلَالَةُ، وَمَا ذَكَرُوا مِنْ أَنَّ الدَّلَالَةَ سَبَبٌ فَقَدْ بَيَّنَّا أنها غير سبب. والله أعلم.

dan kedua: bahwa ketika ia menyerupakan orang yang menunjukkan (ad-dāll) dengan pelaku (al-fā‘il), hal itu menunjukkan bahwa ia bukan pelaku. Maka wajiblah bahwa tidak terkait pada orang yang menunjukkan suatu tanggungan ganti rugi (ḍamān), karena tidak ada perbuatan darinya yang mewajibkan adanya ganti rugi. Adapun penyamaan antara orang yang menunjukkan dan orang yang membunuh dalam hal dosa, maka karena dosa bisa diwajibkan dengan perbuatan maupun bukan perbuatan.

Adapun ḥadīts Abū Qatādah, maka tidak bisa dijadikan hujah, karena mereka bertanya kepada beliau tentang (kehalalan) memakannya, bukan tentang ganti ruginya. Maka beliau menyamakan isyarat dengan pukulan dalam pengharaman memakannya, bukan dalam hal ganti rugi.

Sedangkan Abū Ḥanīfah menyamakan isyarat dengan pukulan dalam ganti rugi, bukan dalam keharaman memakannya. Maka tidak sah menjadikannya sebagai dalil.

Adapun qiyās mereka terhadap jaring dan perangkap, maka maknanya ialah bahwa ia bisa mewajibkan ganti rugi terhadap buruan jika berdiri sendiri, dan itu tidak berlaku bagi orang yang menunjukkan. Begitu pula qiyās mereka terhadap pembunuhan, maknanya ialah karena terjadi perusakan dengan itu, dan itu juga tidak berlaku bagi orang yang menunjukkan. Dan apa yang mereka sebutkan bahwa menunjukkan itu adalah sebab (sabab), maka telah kami jelaskan bahwa ia bukanlah sebab. Dan Allah Maha Mengetahui.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا أَمْسَكَ رَجُلٌ صَيْدًا فَقَتَلَهُ رَجُلٌ آخَرُ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُمْسِكِ وَالْقَاتِلِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَا حَلَالَيْنِ؛ فَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِمَا لِإِبَاحَةِ ذَلِكَ لَهُمَا.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ الْمُمْسِكُ مُحْرِمًا وَالْقَاتِلُ حَلَالًا؛ فَجَزَاؤُهُ وَاجِبٌ عَلَى الْمُمْسِكِ دُونَ الْقَاتِلِ، لِأَنَّهُ قَدْ ضَمِنَهُ بِالْيَدِ بِخِلَافِ مَنْ أَمْسَكَ جَزَاءً حَتَّى قَتَلَ؛ لِأَنَّ الْجَزَاءَ لَا يُضْمَنُ بِالْيَدِ.
وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ الْمُمْسِكُ حَلَالًا وَالْقَاتِلُ مُحْرِمًا؛ فَعَلَى الْقَاتِلِ الْجَزَاءُ دُونَ الْمُمْسِكِ، لِأَنَّهُ قَدْ ضَمِنَهُ بِالْجِنَايَةِ.

PASAL
 Adapun jika seseorang menangkap seekor buruan, lalu orang lain membunuhnya, maka keadaan antara yang menangkap dan yang membunuh tidak lepas dari empat keadaan:

pertama: keduanya dalam keadaan ḥalāl, maka tidak ada jazā’ atas keduanya, karena hal itu memang diperbolehkan bagi mereka.

keadaan kedua: yang menangkap adalah muḥrim dan yang membunuh adalah ḥalāl, maka jazā’ wajib atas orang yang menangkap, bukan atas pembunuh, karena ia telah menanggung buruan itu dengan tangannya, berbeda dengan orang yang menangkap jazā’ (binatang yang telah ditetapkan sebagai ganti rugi), lalu ia membunuhnya; karena jazā’ tidak dijamin hanya dengan tangan.

keadaan ketiga: yang menangkap adalah ḥalāl, sedangkan yang membunuh adalah muḥrim, maka jazā’ wajib atas pembunuh, bukan atas yang menangkap, karena ia telah menanggungnya dengan tindakan pelanggaran.


وَالْحَالَةُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَكُونَ الْمُمْسِكُ وَالْقَاتِلُ مُحْرِمَيْنِ مَعًا؛ فَفِي الْجَزَاءِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ وَاجِبٌ عَلَيْهِمَا لِأَنَّ الْمُمْسِكَ ضَامِنٌ بِالْيَدِ وَالْقَاتِلَ ضَامِنٌ بِالْجِنَايَةِ؛ فَيَكُونُ نِصْفُ الْجَزَاءِ عَلَى الْمُمْسِكِ بِحَقِّ يَدِهِ، وَنِصْفُهُ عَلَى الْقَاتِلِ بِحَقِّ جِنَايَتِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْجَزَاءُ كُلُّهُ وَاجِبًا عَلَى الْقَاتِلِ دُونَ الْمُمْسِكِ؛ لِأَنَّ الْإِمْسَاكَ سَبَبٌ، وَالْقَتْلَ مُبَاشَرَةٌ، وَإِذَا اجْتَمَعَ السَّبَبُ وَالْمُبَاشَرَةُ، سَقَطَ حُكْمُ السَّبَبِ بِالْمُبَاشَرَةِ، وَلَوْ أَنَّ صَيْدًا فِي الْحَرَمِ أَمْسَكَهُ رَجُلٌ وَقَتَلَهُ آخَرُ كَانَ جَزَاؤُهُ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ.

dan keadaan keempat: yaitu apabila yang menangkap dan yang membunuh sama-sama sedang berihram; maka dalam hal ganti rugi (jazā’) terdapat dua pendapat:

Pertama: bahwa ganti rugi wajib atas keduanya, karena yang menangkap (al-mumsik) menanggung ganti rugi karena tangannya (bi al-yad), dan yang membunuh menanggung ganti rugi karena kejahatannya (bi al-jināyah); maka setengah dari ganti rugi ditanggung oleh yang menangkap karena tangan (tindakannya), dan setengahnya lagi ditanggung oleh yang membunuh karena kejahatannya.

Pendapat kedua: bahwa seluruh ganti rugi wajib atas yang membunuh saja, bukan atas yang menangkap; karena menangkap adalah sebab (sabab), sedangkan membunuh adalah tindakan langsung (mubāsyarah), dan apabila sebab dan tindakan langsung berkumpul, maka hukum sebab gugur dengan adanya tindakan langsung.

Seandainya ada buruan di tanah haram yang ditangkap oleh seseorang dan dibunuh oleh orang lain, maka ganti rugi berlaku menurut dua pendapat ini.


فَصْلٌ
: وَلَوْ نَفَّرَ رَجُلٌ صَيْدًا فِي الْحَرَمِ حَتَّى إِذَا خَرَجَ إِلَى الْحِلِّ فَصَادَهُ آخَرُ فَقَتَلَهُ، فَلَا يَخْلُو حَالُ قَاتِلِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُحْرِمًا أَوْ حَلَالًا، فَإِنْ كَانَ مُحْرِمًا فَالْجَزَاءُ عَلَى الْقَاتِلِ دُونَ الْمُنَفِّرِ، وَإِنْ كَانَ الْقَاتِلُ حَلَالًا فَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ، فَأَمَّا الْمُنَفِّرُ فَقَدْ قَالَ أَصْحَابُنَا: إِنْ كَانَ حِينَ نَفَّرَهُ أَلْجَأَهُ إِلَى الْحِلِّ، وَمَنَعَهُ مِنَ الْحَرَمِ، فَعَلَيْهِ الْجَزَاءُ؛ لِأَنَّ الصَّيْدَ مُلْجَأٌ، وَالتَّنْفِيرُ سَبَبٌ، وَإِنْ كَانَ حِينِ نَفَّرَهُ لَمْ يُلْجِئْهُ إِلَى الْخُرُوجِ إِلَى الْحِلِّ، وَلَا مَنَعَهُ مِنَ الْعَوْدِ إِلَى الْحَرَمِ، فَلَا ضَمَانَ عَلَى الْمُنَفِّرِ؛ لِأَنَّ الصَّيْدَ غَيْرُ ملجأٍ، وَفِعْلُ الْمُبَاشَرَةِ أَقْوَى، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الصَّيْدُ لِمَنْ صَادَهُ لَا لِمَنْ أَثَارَهُ “.

PASAL
 Jika seseorang menghalau seekor buruan di Tanah Haram hingga keluar ke wilayah ḥill, lalu orang lain memburunya dan membunuhnya, maka keadaan pembunuh tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi ia seorang muḥrim atau seorang ḥalāl.

Jika pembunuhnya adalah muḥrim, maka jazā’ wajib atas pembunuh, bukan atas orang yang menghalau.
 Dan jika pembunuhnya adalah orang ḥalāl, maka tidak ada jazā’ atasnya.

Adapun orang yang menghalau, maka para sahabat kami (ulama mazhab Syafi‘i) berkata:
 Jika saat menghalaunya, ia telah memaksa buruan itu keluar ke wilayah ḥill dan mencegahnya untuk kembali ke Tanah Haram, maka wajib atasnya jazā’, karena buruan tersebut berada dalam keadaan terpaksa, dan penghalaunya adalah penyebab.
 Namun jika ketika menghalaunya tidak sampai memaksa buruan keluar ke wilayah ḥill dan tidak pula mencegahnya kembali ke Tanah Haram, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atas penghalau, karena buruan tersebut tidak dalam keadaan terpaksa, dan perbuatan langsung (yaitu pembunuhan) lebih kuat.

Rasulullah SAW bersabda:
 “Buruan itu milik orang yang memburunya, bukan milik orang yang hanya menghalaunya.”


فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ (رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ) فِي الْإِمْلَاءِ: وَإِذَا حَبَسَ الْحَلَالُ فِي الْحِلِّ طَائِرًا لَهُ فَرْخٌ فِي الْحَرَمِ فَمَاتَ الطَّائِرُ فِي الْحِلِّ وَالْفَرْخُ فِي الْحَرَمِ، فَعَلَيْهِ جَزَاءُ الْفَرْخِ دُونَ الطائر؛ لأن الطائر فِي الْحِلِّ فَلَمْ يَضْمَنْهُ، وَالْفَرْخَ مَاتَ فِي الْحَرَمِ بِسَبَبٍ مِنْهُ فَضَمِنَهُ، كَمَا لَوْ رَمَى من الْحِلِّ إِلَى الْحَرَمِ سَهْمًا فَقَتَلَ صَيْدًا ضَمِنَهُ، فَلَوْ كَانَ الْحَلَالُ فِي الْحَرَمِ فَحَبَسَ فِي الْحَرَمِ طَائِرًا لَهُ فَرْخٌ فِي الْحِلِّ فَمَاتَ الطَّائِرُ وَالْفَرْخُ، فَعَلَيْهِ جَزَاؤُهُمَا جَمِيعًا، أَمَّا الطَّائِرُ فَلِأَنَّهُ قَاتِلٌ لَهُ فِي الْحَرَمِ، وَأَمَّا الْفَرْخُ فَلِأَنَّهُ مَاتَ بِسَبَبِ صَيْدٍ مِنْ جِهَتِهِ فِي الْحَرَمِ، كَمَا لَوْ رَمَى سَهْمًا مِنَ الْحَرَمِ فَقَتَلَ صَيْدًا فِي الْحِلِّ كَانَ عَلَيْهِ جَزَاؤُهُ.

PASAL
 Imam al-Syafi‘i (raḥimahullāh) berkata dalam al-Imlā’:

Apabila seorang yang tidak berihram (ḥalāl) menahan seekor burung di wilayah ḥill, sedangkan burung itu memiliki anak di wilayah ḥaram, lalu burung induknya mati di wilayah ḥill dan anaknya mati di wilayah ḥaram, maka atasnya kewajiban membayar jazā’ untuk anak burung saja, bukan induknya; karena induk burung berada di wilayah ḥill maka tidak wajib menanggungnya, sedangkan anak burung mati di wilayah ḥaram karena sebab darinya, maka ia menanggungnya—sebagaimana jika seseorang melempar anak panah dari wilayah ḥill ke wilayah ḥaram dan membunuh buruan, maka ia wajib membayar jazā’-nya.

Maka jika orang yang ḥalāl itu berada di wilayah ḥaram dan menahan seekor burung di wilayah ḥaram, sementara anaknya berada di wilayah ḥill, lalu keduanya mati (induk dan anak), maka wajib atasnya membayar jazā’ keduanya:

  • Adapun induknya, karena ia adalah pembunuhnya di wilayah ḥaram
  • Dan adapun anaknya, karena ia mati disebabkan oleh perburuan dari arah dirinya di wilayah ḥaram

Sebagaimana jika ia melempar anak panah dari wilayah ḥaram lalu membunuh buruan di wilayah ḥill, maka wajib atasnya membayar jazā’-nya.


فَصْلٌ
: يُكْرَهُ لِلْمُحْرِمِ حَمْلُ الْبَازِيِّ وَكُلِّ صَائِدٍ مِنْ كَلْبٍ وَفَهْدٍ، فَإِنْ حَمَلَهُ فَأَرْسَلَهُ عَلَى صيد فقتله؛ فعليه جزائه، وَإِنْ جَرَحَهُ وَلَمْ يَقْتُلْهُ ضَمِنَ جُرْحَهُ؛ لِأَنَّهُ كَالْآلَةِ، وَإِنْ لَمْ يَقْتُلْهُ وَلَمْ يَجْرَحْهُ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَإِنِ اسْتَرْسَلَ الْكَلْبُ بِنَفْسِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُرْسِلَهُ فَقَتَلَ صَيْدًا فَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ سَوَاءٌ فَرَّطَ أَمْ لَمْ يُفَرِّطْ؛ لِأَنَّ لِلْكَلْبِ اخْتِيَارًا يَتَصَرَّفُ بِهِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ يَأْكُلُ مَا قَتَلَهُ بِإِرْسَالِهِ، وَلَا يَأْكُلُ مَا قَتَلَهُ بِاسْتِرْسَالِهِ، فَإِنْ قِيلَ: لَوْ أَرْسَلَ كَلْبَهُ عَلَى آدَمِيٍّ وَأَشْلَاهُ عَلَيْهِ وَقَتَلَهُ لَمْ يَضْمَنْهُ، فلا قُلْتُمْ: إِنَّهُ إِذَا أَرْسَلَهُ عَلَى صَيْدٍ فَقَتَلَهُ لَمْ يَضْمَنْهُ أَيْضًا؛ قِيلَ لِأَنَّ الْكَلْبَ مُعَلَّمٌ لِاصْطِيَادِ الصَّيْدِ، فَإِذَا صَادَ صَيْدًا بِإِرْسَالِهِ كَانَ كَمَا لَوْ صَادَهُ بِنَفْسِهِ؛ فَلَزِمَهُ ضَمَانُهُ، وَالْكَلْبُ لا يعلم قتل الْآدَمِيِّ، فَإِذَا أَشْلَاهُ عَلَى آدَمِيٍّ فَقَتَلَهُ لَمْ يَكُنِ الْقَتْلُ مَنْسُوبًا إِلَيْهِ وَكَانَ مَنْسُوبًا إِلَى اخْتِيَارِ الْكَلْبِ فَلَمْ يَضْمَنْهُ، وَمِثَالُهُ فِي الصَّيْدِ: أَنْ يُرْسِلَ كَلْبًا غَيْرَ مُعَلَّمٍ عَلَى صَيْدٍ فَيَقْتُلُهُ فَلَا يَضْمَنُهُ الْمُرْسِلُ؛ لِأَنَّ غَيْرَ الْمُعَلَّمِ لَا يُنْسَبُ فِعْلُهُ إِلَى مُرْسِلِهِ، وَإِنَّمَا يُنْسَبُ إِلَى اخْتِيَارِ الْكَلْبِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَا يؤكل مَا صَادَهُ. وَإِنْ كَانَ مُرْسَلًا كَمَا لَا يؤكل مَا صَادَهُ وَإِنْ كَانَ مُسْتَرْسِلًا؟

PASAL
 Dimakruhkan bagi muḥrim membawa burung elang (bāzī) dan setiap binatang pemburu seperti anjing dan macan tutul. Jika ia membawanya lalu melepaskannya pada buruan dan binatang itu membunuhnya, maka wajib atasnya jazā’-nya. Jika binatang itu melukainya tanpa membunuhnya, maka wajib atasnya ganti rugi atas lukanya, karena binatang itu seperti alat (pemburu). Dan jika tidak membunuh dan tidak pula melukainya, maka tidak ada apa-apa atasnya.

Jika anjing itu melepaskan diri sendiri tanpa dilepas olehnya, lalu membunuh buruan, maka tidak ada jazā’ atasnya, baik ia lalai atau tidak lalai, karena anjing memiliki kehendak dan bertindak dengan pilihannya. Bukankah engkau melihat bahwa ia memakan buruan yang ia bunuh karena dilepaskan (oleh tuannya), dan tidak memakan buruan yang ia bunuh karena melepaskan diri sendiri?

Jika dikatakan: seandainya seseorang melepaskan anjingnya kepada manusia lalu anjing itu mencincarnya dan membunuhnya, maka tidak wajib ganti rugi atasnya, maka mengapa kalian berkata bahwa jika ia melepaskannya kepada buruan lalu membunuhnya, ia wajib menggantinya juga?

Maka jawabannya: karena anjing tersebut dilatih untuk memburu binatang buruan, maka jika ia memburu buruan karena dilepas, maka itu seperti ia memburunya sendiri, maka wajib atasnya menggantinya. Sedangkan anjing tidak diajarkan untuk membunuh manusia. Maka jika ia melepasnya kepada manusia lalu membunuhnya, pembunuhan itu tidak dinisbatkan kepada pemiliknya, tetapi kepada pilihan anjing itu sendiri, sehingga ia tidak wajib mengganti rugi.

Contohnya dalam buruan: jika ia melepas anjing yang tidak terlatih kepada buruan lalu membunuhnya, maka si pelepas tidak wajib menggantinya, karena tindakan anjing yang tidak terlatih tidak bisa dinisbatkan kepada yang melepaskannya, tapi hanya kepada pilihan anjing itu sendiri. Bukankah engkau melihat bahwa tidak boleh memakan buruan yang diburu oleh anjing yang tidak terlatih, baik dilepas maupun melepaskan diri sendiri?


فَصْلٌ
: إِذَا رَمَى صَيْدًا بِسَهْمٍ أَوْ طَعَنَهُ بِرُمْحٍ أَوْ ضَرَبَهُ بِآلَةٍ أَوْ نَصَبَ لَهُ حِبَالَةً أَوْ أَلْقَى لَهُ شَرَكًا فَأَصَابَهُ بِشَيْءٍ مِنْ هَذَا كُلِّهِ كَانَ ضَامِنًا لَهُ وَعَلَيْهِ جَزَاؤُهُ؛ لِأَنَّهُ مَقْتُولٌ بِفِعْلِهِ، فَلَوْ رَمَى صَيْدًا بِسَهْمٍ فَنَفَذَ السَّهْمُ فِي الصَّيْدِ وَأَصَابَ ثَانِيًا فَقَتَلَهُ ضَمِنَهُمَا جَمِيعًا، وَكَانَ عَلَيْهِ جَزَاؤُهُمَا مَعًا، وَكَذَا لَوْ رَمَى صَيْدًا بِحَجَرٍ فَأَصَابَهُ بِهِ ثُمَّ انْكَسَرَ الْحَجَرُ قِطَعًا فَأَصَابَتْ كُلُّ قِطْعَةٍ مِنْهَا صَيْدًا، كَانَ عَلَيْهِ ضَمَانُ ذَلِكَ كُلِّهِ، لِأَنَّهُ حَادِثٌ مِنْ فِعْلِهِ، وَلَوْ رَمَى صَيْدًا بِسَهْمٍ فَسَقَطَ الصَّيْدُ عَلَى صَيْدٍ آخَرَ فَقَتَلَهُ فَمَاتَا جَمِيعًا فَإِنَّهُ يُنْظُرُ فِي حَالِ الصَّيْدِ الْمَرْمِيِّ فَإِنْ تَحَامَلَ فَمَشَى بَعْدَ الْإِصَابَةِ قَلِيلًا ثُمَّ سَقَطَ عَلَى صَيْدٍ آخَرَ فَقَتَلَهُ فَعَلَيْهِ جَزَاءُ الصَّيْدِ الَّذِي رَمَاهُ دُونَ الْآخَرِ؛ لِأَنَّ سُقُوطَ الصَّيْدِ بَعْدَ تَحَامُلِهِ مِنْ فِعْلِهِ، وَإِنْ كَانَ الصَّيْدُ الَّذِي رَمَاهُ لَمْ يَتَحَامَلْ مَاشِيًا بَلْ سَقَطَ بالسهم وحدته فِي الْحَالِ عَلَى صَيْدٍ آخَرَ فَقَتَلَهُ فَعَلَيْهِ جَزَاؤُهُمَا مَعًا؛ لِأَنَّ سُقُوطَ الصَّيْدِ الَّذِي رَمَاهُ بِفِعْلِهِ، فَكَانَ ضَامِنًا لِمَا أَتْلَفَهُ الصَّيْدُ بِسُقُوطِهِ، كَمَا لَوْ أَلْقَى جِدَارًا عَلَى صَيْدٍ فَقَتَلَهُ كَانَ عَلَيْهِ جَزَاؤُهُ.

PASAL
 Jika seseorang melempar buruan dengan anak panah, atau menusuknya dengan tombak, atau memukulnya dengan alat, atau memasang jerat untuknya, atau menebarkan perangkap, lalu mengenainya dengan salah satu dari semua itu, maka ia wajib menanggungnya dan atasnya jazā’-nya, karena buruan itu terbunuh oleh perbuatannya.

Maka jika ia melempar buruan dengan anak panah lalu anak panah itu menembus buruan pertama dan mengenai buruan kedua hingga membunuhnya, maka ia wajib menanggung keduanya, dan atasnya jazā’ keduanya sekaligus.

Begitu juga jika ia melempar buruan dengan batu, lalu batu itu mengenainya kemudian pecah menjadi serpihan-serpihan dan setiap serpihan mengenai buruan, maka ia wajib menanggung semuanya, karena itu merupakan akibat dari perbuatannya.

Dan jika ia melempar buruan dengan anak panah lalu buruan itu jatuh menimpa buruan lain dan membunuhnya, dan keduanya mati, maka dilihat keadaan buruan yang dilempar:

  • Jika ia masih sempat bergerak dan berjalan sedikit setelah terkena lalu jatuh menimpa buruan lain hingga membunuhnya, maka atasnya jazā’ buruan yang ia lempar saja, bukan yang lain; karena jatuhnya buruan setelah bergerak adalah dari perbuatannya sendiri.
  • Namun jika buruan yang dilempar itu tidak sempat bergerak berjalan, melainkan langsung jatuh terkena anak panah dan kekuatannya lalu menimpa buruan lain dan membunuhnya, maka atasnya jazā’ keduanya sekaligus; karena jatuhnya buruan yang ia lempar itu adalah akibat dari perbuatannya, maka ia juga wajib menanggung apa yang dirusak oleh buruan tersebut karena jatuhnya—sebagaimana jika ia menjatuhkan tembok menimpa buruan lalu membunuhnya, maka ia wajib membayar jazā’-nya.



فَصْلٌ
: إِذَا حَفِرَ الْمُحْرِمُ بِئْرًا فَوَقَعَ فِيهَا صَيْدٌ فَمَاتَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُتَعَدِّيًا بِحَفْرِهَا وَذَلِكَ أَنْ يَحْفِرَهَا فِي مِلْكِ غَيْرِهِ أَوْ يَحْفِرَهَا فِي جَادَّةِ السَّابِلَةِ فَهُوَ ضَامِنٌ وَالْجَزَاءُ وَاجِبٌ عليه.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مُتَعَدٍّ بِحَفْرِهَا وَذَلِكَ أَنْ يَحْفِرَهَا فِي مِلْكِهِ أَوْ فِي صَحْرَاءَ وَاسِعَةٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

PASAL
 Apabila seorang muḥrim menggali sumur lalu seekor buruan jatuh ke dalamnya dan mati, maka hal ini terbagi menjadi dua macam:

pertama: ia menggali dengan cara yang melanggar, yaitu menggali di tanah milik orang lain, atau menggali di jalan umum yang dilalui orang. Maka ia wajib menanggung, dan jazā’ wajib atasnya.

macam kedua: ia menggali tanpa pelanggaran, yaitu menggali di tanah miliknya sendiri atau di padang pasir yang luas, maka ini terbagi menjadi dua macam:


أَحَدُهُمَا: أَنْ يَحْفِرَهَا لِأَجْلِ الصَّيْدِ فَهُوَ ضَامِنٌ لِمَا وَقَعَ فِيهَا مِنَ الصَّيْدِ، كَمَا لَوْ طَرَحَ شَبَكَةً أَوْ نَصَبَ حِبَالَةً.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَحْفِرَهَا لِلشُّرْبِ لَا لِلصَّيْدِ، فَفِي وُجُوبِ الْجَزَاءِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ الْجَزَاءُ؛ لِأَنَّ مَوْتَ الصَّيْدِ كَانَ بِسَبَبٍ مِنْهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَاصِدًا لَهُ كَالْخَاطِئِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَلَا جَزَاءَ، كَمَا لَوْ صَعِدَ صَيْدٌ إِلَى سَطْحِهِ وَتَرَدَّى إِلَى دَارِهِ لَمْ يَضْمَنْهُ، فَكَذَلِكَ إِذَا دَخَلَ إِلَى دَارِهِ وَتَرَدَّى فِي بِئْرِهِ لَمْ يَضْمَنْهُ.

Pertama: apabila ia menggali (lubang) untuk tujuan perburuan, maka ia wajib menanggung (ganti rugi) atas buruan yang jatuh ke dalamnya, sebagaimana jika ia melemparkan jaring atau memasang jerat.

Jenis kedua: apabila ia menggali lubang itu untuk keperluan minum, bukan untuk perburuan, maka dalam kewajiban jazā’ terdapat dua pendapat:

Pertama: ia wajib membayar jazā’, karena matinya buruan terjadi sebab darinya, meskipun ia tidak meniatkannya—seperti orang yang melakukan kesalahan (khaṭa’).

Pendapat kedua: tidak ada tanggungan dan tidak ada jazā’ atasnya, sebagaimana jika seekor buruan naik ke atapnya lalu terjatuh ke halaman rumahnya, maka ia tidak menanggungnya. Maka demikian pula jika buruan itu masuk ke rumahnya dan jatuh ke dalam sumurnya, maka ia tidak menanggungnya.


فَصْلٌ
: إِذَا كَانَ الْمُحْرِمُ رَاكِبًا فَأَتْلَفَ بركوبه صَيْدًا إِمَّا بِرِجْلِهِ أَوْ بِيَدِهِ أَوْ بِرَأْسِهِ أَوْ بِذَنَبِهِ فَعَلَيْهِ ضَمَانُهُ؛ لِأَنَّ أَفْعَالَ مَرْكُوبِهِ مَنْسُوبَةٌ إِلَيْهِ وَكَذَلِكَ لَوْ سَاقَ الْمُحْرِمُ مَرْكُوبَهُ أَوْ قَادَهُ فَأَتْلَفَ الْمَرْكُوبُ شَيْئًا ضِمْنَهُ السَّائِقُ أَوِ الْقَائِدُ، وَلَكِنْ لَوْ سَارَ الْمَرْكُوبُ وَحْدَهُ، وَلَيْسَ عَلَيْهِ رَاكِبٌ وَلَا مَعَهُ سَائِقٌ وَلَا لَهُ قَائِدٌ فَأَتْلَفَ صَيْدًا كَانَ غَيْرَ مَضْمُونٍ؛ لِأَنَّ أَفْعَالَهُ إِذَا انْفَرَدَ مَنْسُوبَةٌ إِلَى اخْتِيَارِهِ.

PASAL
 Jika seorang muḥrim sedang berkendara lalu kendaraannya merusak seekor buruan—baik dengan kakinya, tangannya, kepalanya, atau ekornya—maka ia wajib menggantinya, karena perbuatan hewan tunggangan itu dinisbatkan kepadanya.

Demikian pula jika seorang muḥrim menggiring atau menuntun hewan tunggangannya lalu hewan itu merusak sesuatu, maka orang yang menggiring atau menuntunnya wajib menanggungnya.

Namun, jika hewan tunggangan itu berjalan sendiri, tanpa ada penunggang, penggiring, atau penuntun, lalu merusak buruan, maka ia tidak wajib menanggungnya, karena perbuatan hewan itu, ketika sendirian, dinisbatkan kepada kehendaknya sendiri.


مسألة: (قال الشافعي) : رضي الله عنه: ” وَمَنْ قَطَعَ مِنْ شَجَرِ الْحَرَمِ شَيْئًا جَزَاهُ مُحْرِمًا كَانَ أَوْ حَلَالًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كما قال، شجر الحرم ونباته محرم ولا يَجُوزُ قَطْعُهُ وَلَا إِتْلَافُهُ لِحَلَالٍ وَلَا مُحْرِمٍ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَهَذَا البَلَدُ الأَمِينُ) {التين: 3) ، وَقَالَ سُبْحَانَهُ: {إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ رَبَّ هَذِهِ البَلْدَةَ الّذِي حَرَّمَهَا) {النحل: 91) وَرَوَى طَاوُسٌ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ: ” إِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ الله تعالى يوم خلق السموات والأرض، فهو حرامٌ إلى يوم القيامة، لم يَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي، وَلَمْ يَحِلَّ لِي إِلَّا سَاعَةً مِنْ نهارٍ، ثُمَّ هِيَ حرامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يُنَفَّرُ صَيْدُهَا، ولا يعضد شوكه، ولا تلتقط لقطته إِلَّا لمعرفٍ، وَلَا يُخْتَلَى خَلَاهُ، قَالَ الْعَبَّاسُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَّا الْإِذْخِرَ فَإِنَّهُ لِقَيْنِهِمْ ولبيوتهم فقال: إلا الإذخر ولا هجرةً ولكن جهادٌ ونيةٌ، وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا “.

Masalah:
 (Al-Syafi‘i berkata) raḥimahullāh: “Barang siapa memotong sesuatu dari pohon tanah haram, maka wajib baginya membayar jazā’, baik ia dalam keadaan berihram maupun tidak.”

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan. Pohon-pohon dan tumbuhan di tanah haram adalah haram (untuk dirusak), dan tidak boleh dipotong atau dirusak, baik oleh orang yang berihram maupun yang tidak, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Dan (demi) negeri yang aman ini} (QS. At-Tīn: 3), dan firman-Nya: {Sesungguhnya aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini yang telah Dia haramkan} (QS. Al-Naḥl: 91).

Dan Ṭāwūs meriwayatkan dari Ibn ‘Abbās, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda pada hari Fathu Makkah:

“Sesungguhnya negeri ini telah Allah haramkan sejak hari diciptakannya langit dan bumi. Maka ia adalah haram sampai hari kiamat. Ia tidak dihalalkan untuk siapa pun sebelumku, dan tidak dihalalkan bagiku kecuali sesaat dari siang hari, kemudian ia kembali haram dengan kehormatan dari Allah sampai hari kiamat. Tidak boleh diusir buruannya, tidak boleh dipotong durinya, tidak boleh dipungut barang temuan kecuali oleh orang yang akan mengumumkannya, dan tidak boleh dipotong rerumputannya.”

Lalu al-‘Abbās berkata: “Wahai Rasulullah, kecuali al-idhkhar, karena itu berguna bagi tukang besi dan rumah mereka.” Maka beliau bersabda: *’Kecuali al-idhkhar. Tidak ada hijrah, tetapi (yang ada adalah) jihad dan niat. Jika kalian diminta untuk berangkat (berjihad), maka berangkatlah.’”


فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَجَمِيعُ مَا نَبَتَ فِي الْحَرَمِ ضَرْبَانِ: شَجَرٌ وَنَبَاتٌ: فَأَمَّا الشَّجَرُ فَعَلَى أَرْبَعَةِ أَضْرُبٍ:

أحدها: أَنْ يَكُونَ مِمَّا أَنْبَتَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي الْمَوَاتِ كَالْأَرَاكِ وَالسَّلَمِ، فَقَطْعُهُ حَرَامٌ عَلَى الْمُحْرِمِ وَالْحَلَالِ، وَهُوَ مَضْمُونٌ بِالْجَزَاءِ، وَقَالَ مَالِكٌ وَدَاوُدُ: قَطْعُهُ حَرَامٌ وَلَكِنْ لَا جَزَاءَ فِيهِ؛ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لاَ تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّداً فَجَزَاءٌ مِثْلَ مَا قتَلَ مِنَ النَّعَمِ} ، فَلَمَّا أَوْجَبَ الْجَزَاءَ فِي الصَّيْدِ، وَالشَّجَرُ لَيْسَ بِصَيْدٍ، وَجَعَلَ الْجَزَاءَ مِثْلَهُ مِنَ النَّعَمِ، وَالشَّجَرُ لَيْسَ لَهُ مِثْلٌ مِنَ النَّعَمِ؛ دَلَّ عَلَى أَنَّ الْجَزَاءَ لَا يَجِبُ فِي الشَّجَرِ؛ وَلِأَنَّ قَطْعَ الشَّجَرِ لَوْ كَانَ مَضْمُونًا فِي الْحَرَمِ لَكَانَ مَضْمُونًا فِي الْحِلِّ عَلَى الْمُحْرِمِ كَالصَّيْدِ فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ مَضْمُونًا عَلَى الْمُحْرِمِ لَمْ يَكُنْ مَضْمُونًا فِي الْحَرَمِ، وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ سُفْيَانُ عَنْ دَاوُدَ بْنِ شَابُورَ عَنْ مُجَاهِدٍ عن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: فِي الدَّوْحَةِ إِذَا قُطِعَتْ مِنْ أَصْلِهَا بقرةٌ، وَكَذَلِكَ رُوِيَ عَنْ عَطَاءٍ، لَكِنْ لَمْ يَذْكُرْهُ الشَّافِعِيُّ، وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّهُمَا قَالَا فِي الشَّجَرَةِ بقرةٌ، وَلَيْسَ لَهُمَا فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ؛ وَلِأَنَّهُ أَتْلَفَ مَا مُنِعَ مِنْ إِتْلَافِهِ لِحُرْمَةِ الْحَرَمِ فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ الْجَزَاءُ كَالصَّيْدِ، فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْآيَةِ فَلَا حُجَّةَ فِيهَا؛ لِأَنَّهَا تُوجِبُ الْجَزَاءَ فِي قَتْلِ الصَّيْدِ وَلَا تَمَنَعُ مِنْ وُجُوبِهِ فِي غَيْرِ قَتْلِ الصَّيْدِ، وَأَمَّا شَجَرُ الْحِلِّ فَإِنَّمَا كَانَ غَيْرَ مَضْمُونٍ عَلَى الْمُحْرِمِ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ ممنوع مِنْ إِتْلَافِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ شَجَرُ الْحَرَمِ.

Maka apabila hal ini telah ditetapkan, maka seluruh yang tumbuh di haram terbagi menjadi dua jenis: pohon dan tumbuhan. Adapun pohon, maka terbagi menjadi empat jenis:

Pertama: yaitu pohon yang ditumbuhkan oleh Allah Ta‘ala di tanah mati, seperti al-arāk dan as-salam. Maka menebangnya haram atas orang yang sedang berihram maupun yang tidak, dan wajib diganti dengan jazā’.

Mālik dan Dāwud berkata: Menebangnya haram, tetapi tidak ada jazā’ padanya; dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {Janganlah kalian membunuh buruan dalam keadaan ihram. Barang siapa membunuhnya dengan sengaja di antara kalian, maka jazā’-nya adalah binatang ternak semisal yang dibunuh}. Maka ketika Allah mewajibkan jazā’ pada buruan, sedangkan pohon bukan buruan, dan Dia menjadikan jazā’-nya dengan yang semisal dari binatang ternak, sedangkan pohon tidak memiliki yang semisal dari binatang ternak, maka hal itu menunjukkan bahwa jazā’ tidak wajib pada pohon.

Dan karena penebangan pohon jika dianggap wajib diganti di haram, maka semestinya wajib diganti pula di luar haram oleh orang yang berihram, sebagaimana buruan. Maka ketika ternyata tidak wajib diganti di luar haram oleh orang yang berihram, berarti tidak wajib pula diganti di haram.

Dalil kami adalah riwayat Sufyān dari Dāwud bin Syābūr dari Mujāhid, dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Pada pohon besar (ad-dawḥah) yang ditebang dari akarnya, wajib mengganti dengan seekor sapi.” Demikian juga diriwayatkan dari ‘Athā’, namun tidak disebutkan oleh asy-Syāfi‘i. Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās dan Ibnu az-Zubair bahwa keduanya berkata: “Pada pohon adalah seekor sapi,” dan tidak ada sahabat yang menyelisihi mereka.

Dan karena ia telah merusak sesuatu yang dilarang untuk dirusak karena kehormatan tanah haram, maka wajib atasnya jazā’, sebagaimana buruan.

Adapun istidlal mereka dengan ayat, maka tidak menjadi hujah; karena ayat tersebut hanya mewajibkan jazā’ pada pembunuhan buruan dan tidak mencegah wajibnya jazā’ pada selain pembunuhan buruan.

Adapun pohon di luar tanah haram, maka tidak wajib diganti oleh orang yang berihram; karena tidak ada larangan merusaknya. Dan ini tidak berlaku bagi pohon di tanah haram.


فَصْلٌ
: وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الشَّجَرُ مِمَّا غَرَسَهُ الْآدَمِيُّونَ فِي أَمْلَاكِهِمْ، كَالنَّخْلِ وَالْكَرْمِ وَالرُّمَّانِ وَالْأُتْرُجِّ، فَقَطْعُ هَذَا مُبَاحٌ، كَالنَّعَمِ الَّتِي يَجُوزُ ذَبْحُهَا فِي الْحَرَمِ، فَإِنْ قَطَعَهُ مَالِكُهُ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، وَإِنْ قَطَعَهُ غَيْرُ مَالِكِهِ فَعَلَيْهِ قِيمَتُهُ لِمَالِكِهِ وَلَا جَزَاءَ فِيهِ كَمَنْ ذَبَحَ شَاةَ غَيْرِهِ فَعَلَيْهِ قِيمَتُهَا وَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ فِيهَا:

PASAL
 Jenis kedua: yaitu pohon-pohon yang ditanam oleh manusia di dalam kepemilikan mereka, seperti pohon kurma, anggur, delima, dan utrujj (jeruk sitrun). Maka memotong pohon-pohon ini hukumnya boleh, sebagaimana hewan ternak yang boleh disembelih di tanah haram.

Jika pohon itu dipotong oleh pemiliknya, maka tidak ada tanggungan apa pun atasnya. Namun jika dipotong oleh selain pemiliknya, maka wajib atasnya membayar nilai pohon itu kepada pemiliknya, dan tidak ada jazā’ atasnya—sebagaimana orang yang menyembelih kambing milik orang lain: ia wajib membayar nilai kambing itu, dan tidak ada jazā’ atasnya.


فَصْلٌ
وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الشَّجَرُ مِمَّا أَنْبَتَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي الْأَمْلَاكِ دُونَ الْمَوَاتِ، فَقَطْعُهُ حَرَامٌ، وَهُوَ مَضْمُونٌ بِالْجَزَاءِ فَإِنْ قَطَعَهُ مالكه كان عليه جزاؤه، فإن قَطَعَهُ غَيْرُ مَالِكِهِ كَانَ عَلَيْهِ قِيمَتُهُ لِمَالِكِهِ، وَجَزَاؤُهُ لِلْفُقَرَاءِ، كَمَنْ قَتَلَ صَيْدًا مَمْلُوكًا، كَانَ عَلَيْهِ قِيمَتُهُ وَجَزَاؤُهُ، وَقَدْ رَوَى ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ مُزَاحِمٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرٍ كَانَ يَقْطَعُ الدَّوْحَةَ مِنْ دَارِهِ بِالشَّعْبِ وَيَغْرَمُ عَنْ كُلِّ دَوْحَةٍ بَقْرَةً.

PASAL
 Jenis ketiga: yaitu pohon yang ditumbuhkan oleh Allah Ta‘ālā di tanah-tanah milik pribadi, bukan di tanah mati (al-mawāt); maka memotongnya hukumnya haram dan wajib diganti dengan jazā’.

Jika yang memotongnya adalah pemilik tanah, maka atasnya jazā’-nya. Jika yang memotong adalah selain pemiliknya, maka atasnya membayar nilai pohon itu kepada pemiliknya, dan jazā’-nya disalurkan kepada kaum fakir, sebagaimana orang yang membunuh buruan yang dimiliki orang lain: ia wajib membayar nilainya dan juga jazā’-nya.

Telah diriwayatkan oleh Ibn Jurayj dari Muzāḥim bahwa ‘Abd Allāh bin ‘Āmir pernah memotong pohon dawḥah dari rumahnya di lembah al-Sya‘b, dan ia mengganti setiap pohon dawḥah yang ia potong dengan seekor sapi.


فَصْلٌ
: وَالضَّرْبُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ مَا غَرَسَهُ الْآدَمِيُّونَ فِي الْمَوَاتِ دُونَ الْأَمْلَاكِ، فَفِي وُجُوبِ الْجَزَاءِ فِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا جَزَاءَ فِيهِ؛ لِأَنَّ مَا كَانَ مِنْ غَرْسِ الْآدَمِيِّينَ فَهُوَ كَالْحَيَوَانِ الْأَهْلِيِّ، وَالْحَيَوَانُ الْأَهْلِيُّ لَا جَزَاءَ فِيهِ بِحَالٍ؛ فَكَذَلِكَ غَرْسُ الْآدَمِيِّينَ لَا جَزَاءَ فِيهِ بِحَالٍ، وَهَذَا قَوْلُ أبي حنيفة.

PASAL
 Dan jenis keempat: yaitu apa yang ditanam oleh manusia di tanah mati (al-mawāt) dan bukan di tanah milik (al-amlik), maka dalam hal wajib tidaknya jazā’ padanya terdapat dua wajah (pendapat):

Pertama: tidak ada jazā’ padanya; karena sesuatu yang ditanam oleh manusia adalah seperti hewan jinak, dan hewan jinak tidak ada jazā’ padanya dalam keadaan apa pun; maka demikian pula tanaman manusia tidak ada jazā’ padanya dalam keadaan apa pun. Dan ini adalah pendapat Abū Ḥanīfah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَّ فِيهِ الْجَزَاءَ؛ لِعُمُومِ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” وَلَا يُعْضَدُ شَجَرُهَا “؛ وَلِأَنَّ الْحُرْمَةَ لِلْحَرَمِ لَا لِلشَّجَرِ، فَلَا فَرْقَ بَيْنَ مَا أَنْبَتَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي الْحَرَمِ وَبَيْنَ مَا نَقَلَهُ الْآدَمِيُّونَ مِنَ الْحِلِّ إِلَى الْحَرَمِ، أَلَا تَرَى لَوْ أَنَّ حَلَالًا صَادَ مِنَ الْحِلِّ صَيْدًا وَأَطْلَقَهُ فِي الْحَرَمِ كَانَ كَصَيْدِ الْحَرَمِ؛ لِحُرْمَةِ الْمَكَانِ، فَكَذَلِكَ الشَّجَرُ.

Pendapat kedua—dan inilah yang lebih kuat in syā’ Allāh Ta‘ālā—bahwa padanya (yaitu pohon yang ditanam manusia di tanah haram) tetap ada kewajiban jazā’; karena keumuman sabda Nabi SAW: “Dan tidak boleh dipotong pohonnya.”

Dan karena keharaman itu adalah untuk menghormati tanah haram, bukan karena pohonnya itu sendiri; maka tidak ada perbedaan antara pohon yang ditumbuhkan Allah Ta‘ālā di tanah haram dan yang dipindahkan oleh manusia dari tanah ḥill ke tanah haram.

Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang yang tidak berihram memburu binatang dari tanah ḥill lalu melepaskannya di tanah haram, maka ia dihukumi seperti buruan tanah haram—karena keharaman tempat. Maka begitu pula pohon.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا قَلَعَ مِنْ شَجَرِ الْحَرَمِ وَغَرَسَهُ فِي الْحِلِّ فَإِنْ مَاتَ فَعَلَيْهِ الْجَزَاءُ وَإِنْ نَبَتَ وَجَبَ عَلَيْهِ نَقْلُهُ إِلَى الْحَرَمِ وَغَرْسُهُ فِيهِ فَإِنْ نَقْلَهُ وَغَرْسَهُ وَنَبَتَ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَإِنْ مَاتَ فَعَلَيْهِ الْجَزَاءُ، فَإِنْ قِيلَ: أَلَيْسَ لَوْ أَخَذَ صَيْدًا مِنَ الْحَرَمِ وَأَطْلَقَهُ فِي الْحِلِّ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ رَدُّهُ إِلَى الْحَرَمِ، فَهَلَّا كَانَ الشَّجَرُ كَذَلِكَ؟ قِيلَ: لِأَنَّ الصَّيْدَ يَقْدِرُ عَلَى الرُّجُوعِ إِلَى الْحَرَمِ بِنَفْسِهِ فَلَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ رَدُّهُ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الشَّجَرُ، فَلَوْ قَطَعَ مِنْ شَجَرِ الْحَرَمِ، وَغَرَسَهُ فِي الْحَرَمِ، فَإِنْ مَاتَ وَلَمْ يَنْبُتْ فَعَلَيْهِ الْجَزَاءُ، وَإِنْ نَبْتَ فَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ عَلَيْهِ نَقْلُهُ إِلَى مَوْضِعٍ آخَرَ، لِأَنَّ حُرْمَةَ الْمَكَانِ الَّذِي جُعِلَ فِيهِ كَحُرْمَةِ الْمَكَانِ الَّذِي كَانَ فِيهِ، فَلَوْ قَطَعَ مِنَ الْحَرَمِ شَجَرًا مَيِّتًا فَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ، سَوَاءٌ اسْتَهْلَكَهُ أَوْ تَرَكَهُ؛ لِأَنَّ الْجَزَاءَ يَجِبُ فِي إِتْلَافِ مَا كَانَ نَامِيًا، وَالشَّجَرُ الْمَيِّتُ لَيْسَ بِنَامٍ، فَلَا جَزَاءَ فِيهِ كَالصَّيْدِ الْمَيِّتِ.

PASAL
 Adapun jika seseorang mencabut pohon dari tanah haram lalu menanamnya di wilayah ḥill, maka jika pohon itu mati, wajib atasnya membayar jazā’. Namun jika pohon itu tumbuh, maka wajib atasnya memindahkannya kembali ke tanah haram dan menanamnya di sana. Jika ia telah memindah dan menanamnya, lalu pohon itu tumbuh, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Tapi jika pohon itu mati, maka wajib atasnya membayar jazā’.

Jika dikatakan: Bukankah apabila seseorang mengambil buruan dari tanah haram lalu melepaskannya di ḥill, ia tidak wajib mengembalikannya ke haram? Mengapa tidak diperlakukan sama pada pohon?
 Maka dijawab: Karena buruan mampu kembali sendiri ke tanah haram, maka tidak wajib dikembalikan. Berbeda halnya dengan pohon.

Jika seseorang menebang pohon dari tanah haram lalu menanamnya kembali di tanah haram, maka jika pohon itu mati dan tidak tumbuh kembali, maka wajib atasnya membayar jazā’. Namun jika pohon itu tumbuh, maka tidak ada jazā’ atasnya. Dan tidak wajib pula memindahkannya ke tempat lain; karena kehormatan tempat yang baru ditanami sama dengan kehormatan tempat asal pohon itu.

Jika seseorang menebang pohon mati dari tanah haram, maka tidak ada jazā’ atasnya, baik ia menggunakannya hingga habis maupun ia membiarkannya; karena jazā’ hanya diwajibkan atas perusakan terhadap sesuatu yang masih tumbuh, sedangkan pohon mati tidak tumbuh, maka tidak ada jazā’ padanya sebagaimana buruan mati.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا النَّبَاتُ فَضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: مَا زَرَعَهُ الْآدَمِيُّونَ، كَالْبُقُولِ وَالْحُبُوبِ وَسَائِرِ الْخَضْرَاوَاتِ، فَحُكْمُهُ فِي الْحَرَمِ كَحُكْمِهِ فِي الْحِلِّ، مُبَاحٌ لِمَالِكِهِ وَمَحْظُورٌ عَلَى غَيْرِ مَالِكِهِ، وَلَا جَزَاءَ فِي جَزِّهِ وَلَا قَطْعِهِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا يَنْبُتُ فِي الْمَوَاتِ مِنْ غَيْرِ زِرَاعَةِ آدَمِيٍّ، فَهَذَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَضْرُبٍ:
أَحَدُهَا: مَا كَانَ إِذْخِرَ، فَيَجُوزُ أَخْذُهُ وَجَزُّهُ وَقَلْعُهُ؛ لِقَوْلِ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ: إِلَّا الْإِذْخِرَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَإِنَّهُ لِسَقْفِهِمْ وَلِقَيْنِهِمْ فَقَالَ: إِلَّا الْإِذْخِرَ.

PASAL
 Adapun tumbuhan, maka terbagi menjadi dua jenis:

Pertama: yang ditanam oleh manusia, seperti sayur-sayuran, biji-bijian, dan berbagai jenis sayuran lainnya; maka hukumnya di tanah haram sama seperti hukumnya di tanah ḥill—boleh dimanfaatkan oleh pemiliknya dan terlarang bagi selain pemiliknya. Tidak ada jazā’ dalam memotong atau mencabutnya.

Jenis kedua: yaitu tumbuhan yang tumbuh di tanah mati (al-mawāt) tanpa ditanam oleh manusia. Maka ini terbagi lagi menjadi empat jenis:

Pertama: yang berupa idhkhar, maka boleh diambil, dipotong, dan dicabut; berdasarkan ucapan al-‘Abbās bin ‘Abd al-Muṭṭalib: “Kecuali idhkhar, wahai Rasulullah, karena itu digunakan untuk atap dan tukang besi mereka.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Kecuali idhkhar.”


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا كَانَ دَوَاءً كَالسَّنَاءِ وَمَا فِي مَعْنَاهُ، فَأَخْذُهُ جَائِزٌ وَلَا شَيْءَ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا أَبَاحَ أَخْذَ الْإِذْخِرِ لِمَنْفَعَتِهِ فَكَذَلِكَ الدَّوَاءُ لِحُصُولِ الِانْتِفَاعِ بِهِ.
وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: مَا كَانَ شَوْكًا، كَالْعَوْسَجِ وَمَا فِي مَعْنَاهُ، فَقَلْعُهُ مُبَاحٌ وَلَا شَيْءَ فِي إِتْلَافِهِ؛ لِأَنَّهُ مُؤْذٍ فَشَابَهَ الْبَهَائِمَ الْمُؤْذِيَةَ الَّتِي لَا جَزَاءَ فِي قَتْلِهَا كَالسِّبَاعِ وَغَيْرِهَا.

Dan jenis kedua: yaitu yang digunakan sebagai obat, seperti as-sanā’ dan yang semakna dengannya. Maka mengambilnya diperbolehkan dan tidak ada kewajiban apa pun padanya; karena ketika dihalalkan mengambil al-izhkhir karena adanya manfaat padanya, maka demikian pula obat, karena adanya kemanfaatan padanya.

Dan jenis ketiga: yaitu yang berduri, seperti al-‘awsaj dan yang semakna dengannya. Maka mencabutnya diperbolehkan dan tidak ada kewajiban atas perusakannya; karena ia mengganggu, sehingga menyerupai hewan-hewan pengganggu yang tidak ada jazā’ atas pembunuhannya, seperti binatang buas dan selainnya.


وَالضَّرْبُ الرَّابِعُ: مَا كَانَ حَشِيشًا، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقْلَعَ وَلَا أَنْ يُقْطَعَ؛ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” وَلَا يُخْتَلَى خَلَاؤُهَا) ، لَكِنْ يَجُوزُ أَنْ تَرْعَاهُ الْبَهَائِمُ، وَقَالَ أبو حنيفة: تُمْنَعُ الْبَهَائِمُ مِنْ رَعْيِهِ؛ لِمَا رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ (رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ) رَأَى أَعْرَابِيًّا يَعْلِفُ رَاحِلَتَهُ فَمَنَعَهُ، وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِمَا رَوَاهُ أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” وَلَا يُخْتَلَى خَلَاؤُهَا إِلَّا لِعَلْفِ دَوَابَّ ” وَلِأَنَّ فِي امْتِنَاعِ أَهْلِ الْحَرَمِ مِنْ رَعْيِهِ إضرار بمواشيهم، وضيق عليهم، وقد قَالَ تَعَالَى: {وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ} ، فَأَمَّا نَهْيُ عُمَرَ لِلْأَعْرَابِيِّ فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ نَهَاهُ أَنْ يَخْبِطَ وَرَقَ الشَّجَرِ، فَأَمَّا رَعْيُ الْحَشِيشِ فَلَا، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ رَعْيَ الْبَهَائِمِ جَائِزٌ، وَأَنَّ قَلْعَهُ وَقَطْعَهُ لَا يَجُوزُ، فَإِنْ قَلَعَهُ نَظَرَ فِيهِ، فَإِنْ كَانَ قَدِ اسْتَخْلَفَ الْحَشِيشُ بَعْدَ الْقَطْعِ وَعَادَ فَقَدْ أَسَاءَ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَسْتَخْلِفْ وَلَمْ يَعُدْ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْهُ بِشَيْءٍ، فَأَمَّا مَا جَفَّ مِنْهُ وَمَاتَ فَيَجُوزُ أَخْذُهُ وَقَلْعُهُ.

Jenis keempat: yaitu tumbuhan berupa rumput (ḥashīsy), maka tidak boleh dicabut dan tidak boleh dipotong; berdasarkan sabda Nabi SAW: “Dan tidak boleh diambil rerumputannya (lā yukhtalā khalā’uhā).”

Namun hewan ternak boleh memakannya.

Abū Ḥanīfah berpendapat: hewan-hewan ternak harus dicegah dari memakannya, berdasarkan riwayat bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA melihat seorang Arab badui memberi makan tunggangannya dari rerumputan itu, lalu beliau melarangnya.

Namun pendapat ini tidak benar, karena Abū Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
 “Dan tidak boleh diambil rerumputannya, kecuali untuk pakan hewan tunggangan.”

Selain itu, melarang penduduk ḥaram dari memanfaatkan rumput untuk ternak mereka akan menyusahkan dan memberatkan mereka, padahal Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan Dia tidak menjadikan kesulitan atas kalian dalam agama}.

Adapun larangan ‘Umar terhadap orang badui tersebut, mungkin maksudnya adalah larangan memukul daun-daun pohon agar jatuh, bukan larangan terhadap memakan rumput.

Maka apabila telah tetap bahwa hewan ternak boleh merumput, dan mencabut serta memotongnya tidak boleh, maka jika seseorang mencabutnya, dilihat keadaannya:

  • Jika rumput itu tumbuh kembali setelah dicabut, maka ia telah berbuat buruk tetapi tidak ada kewajiban apa pun atasnya.
  • Jika tidak tumbuh kembali dan tidak tergantikan, maka wajib atasnya bersedekah sebagai ganti.

Adapun rumput yang sudah kering dan mati, maka boleh diambil dan dicabut.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا أَخْذُ وَرَقِ الشَّجَرِ فَإِنْ كَانَ جَافًّا جَازَ أَخْذُهُ، وَإِنْ كَانَ رَطْبًا لَمْ يَجُزْ أخذه؛ لأن فيه إضرار بِالشَّجَرِ، كَمَا لَا يَجُوزُ نَتْفُ شَعْرِ الصَّيْدِ؛ لِمَا فِيهِ مِنْ إِضْرَارٍ بِالصَّيْدِ، فَإِنْ فَعَلَ وَلَمْ يَمُتِ الشَّجَرُ فَقَدْ أَسَاءَ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ يَسْتَخْلِفُ مَعَ بَقَاءِ الشَّجَرِ، وَكَذَلِكَ إِنْ أَخَذَ مِسْوَاكًا مِنْ أَرَاكٍ أَوْ عُودًا صَغِيرًا مِنْ شَجَرَةٍ، فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ يَسْتَخْلِفُ، فَأَمَّا إِنْ قَطَعَ غُصْنًا مِنْ أَغْصَانِ شَجَرَةٍ فَإِنْ عَادَ الْغُصْنُ وَاسْتَخْلَفَ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَسْتَخْلِفْ فَعَلَيْهِ ضَمَانُهُ، عَلَى مَا نَذْكُرُهُ، فَأَمَّا أَخْذُ وَرَقِ الشَّجَرِ وَثِمَارِهِ فجائز، وَكَذَلِكَ أَكْلُ ثِمَارِ الْأَرَاكِ مِنَ الْحَرَمِ وَهُوَ الَّذِي يُسَمِّيهِ أَهْلُ الْحِجَازِ: الْكَبَاثَ، فَجَائِزٌ لَا بأس به، قد رُوِيَ أَنَّ بَعْضَ الصَّحَابَةِ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا نَجْنِي الْكَبَاثَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” كلوا الأسود منه فإنه أطيب “، يَعْنِي: أَطْيَبَ، فَقَدَّمَ الْيَاءَ عَلَى الطَّاءِ عَلَى لُغَةِ الْيَمَنِ، كَمَا يُقَالُ: طَبِيخٌ وَبَطِيخٌ، فَقِيلَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَوَقَدْ رَعَيْتَ؟ فَقَالَ: مَا مِنَّا مَعَاشِرَ الْأَنْبِيَاءِ إِلَّا مَنْ قَدْ رعى لأهله “.

PASAL
 Adapun mengambil daun pohon, jika daunnya telah kering, maka boleh diambil. Namun jika masih basah, maka tidak boleh diambil karena hal itu membahayakan pohon, sebagaimana tidak boleh mencabut bulu buruan karena membahayakan buruan.

Jika seseorang melakukannya namun pohon tidak mati, maka ia telah berbuat buruk, namun tidak ada kewajiban apa pun atasnya, karena pohon masih bisa tumbuh kembali.

Demikian pula jika ia mengambil miswāk dari pohon arāk atau ranting kecil dari sebuah pohon, maka tidak ada kewajiban atasnya, karena dapat tumbuh kembali.

Adapun jika ia memotong cabang dari cabang-cabang pohon, maka jika cabangnya tumbuh kembali, maka tidak ada kewajiban atasnya. Tetapi jika tidak tumbuh kembali, maka ia wajib menanggung ganti rugi, sebagaimana akan kami sebutkan.

Adapun mengambil daun pohon dan buahnya, maka itu diperbolehkan. Demikian pula memakan buah pohon arāk dari tanah haram, yang oleh penduduk Hijaz disebut al-kabāts, maka hal itu diperbolehkan dan tidak mengapa.

Telah diriwayatkan bahwa sebagian sahabat berkata:
 “Wahai Rasulullah, kami memetik al-kabāts.”
 Maka Rasulullah SAW bersabda:
 “Makanlah yang hitam darinya, karena itu yang paling lezat.”

Beliau mengucapkan aṭyab dengan mendahulukan huruf yā’ atas ṭā’ sesuai bahasa penduduk Yaman, sebagaimana mereka mengatakan ṭabīkh dan baṭīkh.

Lalu dikatakan kepada beliau:
 “Wahai Rasulullah, apakah engkau pernah menggembala?”
 Beliau menjawab:
 “Tidaklah ada di antara kami, para nabi, kecuali pernah menggembala untuk keluarganya.”


مسألة: (قال الشافعي) : رضي الله عنه: ” وفي الشجرة الصغيرة شاء وَفِي الْكَبِيرَةِ بقرةٌ وَذَكَرُوا هَذَا عَنِ ابْنِ الزُّبَيْرِ وعطاءٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ مَا يَجِبُ ضَمَانُهُ مِنْ شَجَرِ الْحَرَمِ وَنَبَاتِهِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ شَجَرَةً كَبِيرَةً.
وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ شَجَرَةً صَغِيرَةً.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ غُصْنًا مِنْ شَجَرَةٍ.
وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ نَبَاتًا.

MASALAH: (Imam al-Syafi‘i) ra berkata: “Pada pohon kecil (ganti rugi-nya) adalah seekor kambing, dan pada pohon besar seekor sapi. Dan ini dinukil dari Ibn al-Zubair dan ‘Aṭā’.”

Al-Māwardī berkata: Keseluruhan yang wajib diganti dari pohon dan tumbuhan di kawasan ḥaram terbagi atas empat bagian:

pertama: pohon besar,
 kedua: pohon kecil,
 ketiga: cabang dari pohon,
 keempat: tumbuhan.


فَأَمَّا الشَّجَرَةُ الْكَبِيرَةُ فَفِيهَا بَقَرَةٌ أَوْ بَدَنَةٌ؛ كَمَا تَقَدَّمَ مِنْ حَدِيثِ مُجَاهِدٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” في الدوحة إذا قطعت من أصلها بقرةٌ “، لِأَنَّ ذَلِكَ مَرْوِيٌّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ الزُّبَيْرِ، وَلَيْسَ لَهُمَا فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ، وَلِأَنَّ الشَّجَرَةَ الْكَبِيرَةَ أَعْظَمُ نَبَاتِ الْحَرَمِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ جَزَاؤُهَا مِنْ أَعْظَمِ النَّعَمَ، وَأَمَّا الشَّجَرَةُ الصَّغِيرَةُ – وَحَدُّ الشَّجَرَةِ أَنْ يَقُومَ لَهَا سَاقٌ، أَوْ يُكْسَرَ لَهَا أَغْصَانٌ – فَفِيهَا شَاةٌ، وَذَلِكَ مَرْوِيٌّ عَنِ ابْنِ الزُّبَيْرِ وَابْنِ عَبَّاسٍ، وَلَيْسَ لَهُمَا فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ، وَلِأَنَّهَا لَمَّا كَانَتْ مِنْ صِغَارِ الشَّجَرِ، وَجَبَ فِيهَا صِغَارُ النَّعَمِ، وَذَلِكَ الْغَنَمُ، وَأَمَّا الْأَغْصَانُ الَّتِي لَمْ تَسْتَخْلِفْ بَعْدَ الْقَطْعِ، فَالْوَاجِبُ فِيهَا بِقَدْرِ مَا نَقَصَ مِنْ قِيمَتِهَا، فَتُقَوَّمُ الشَّجَرَةُ قَبْلَ الْقَطْعِ، فَإِذَا قِيلَ: عَشَرَةُ دَرَاهِمَ، قُوِّمَتْ بَعْدَ قَطْعِ الْغُصْنِ مِنْهَا، فَإِذَا قِيلَ: بِتِسْعَةِ دَرَاهِمَ، كَانَ النَّقْصُ مِنْهَا دِرْهَمًا وَهُوَ الْعُشْرُ، فَيَكُونُ ضَامِنًا لِذَلِكَ، وَفِي كَيْفِيَّةِ ضَمَانِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَضْمَنُ الْعُشْرَ بِمَا يَجِبُ فِي تِلْكَ الشَّجَرَةِ؛ فَإِنْ كَانَتْ كَبِيرَةً ضَمِنَ عُشْرَ بَقَرَةٍ أَوْ بَدَنَةٍ وَإِنْ كَانَتْ صَغِيرَةً ضَمِنَ عُشْرَ شَاةٍ.

Adapun pohon besar, maka jazā’-nya adalah seekor sapi atau unta, sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat dari Mujāhid bahwa Nabi SAW bersabda: “Pada pohon besar (ad-dawḥah) yang ditebang dari akarnya, wajib mengganti dengan seekor sapi.”

Karena hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās dan Ibnu az-Zubair, dan tidak ada sahabat lain yang menyelisihi keduanya. Dan karena pohon besar adalah tanaman paling agung di tanah ḥaram, maka wajib jazā’-nya juga dari binatang ternak yang paling agung.

Adapun pohon kecil — dan batasan pohon adalah yang memiliki batang tegak atau cabang yang bisa dipatahkan — maka jazā’-nya adalah seekor kambing. Ini juga diriwayatkan dari Ibnu az-Zubair dan Ibnu ‘Abbās, dan tidak ada sahabat yang menyelisihi keduanya. Dan karena pohon itu termasuk pohon kecil, maka wajib jazā’-nya dari binatang ternak kecil, yaitu kambing.

Adapun cabang-cabang yang tidak tumbuh kembali setelah dipotong, maka wajib menggantinya sesuai kadar nilai yang hilang darinya. Maka dinilai harga pohon sebelum dipotong, misalnya dikatakan: “Sepuluh dirham,” lalu dinilai setelah dipotong cabangnya, misalnya dikatakan: “Sembilan dirham,” maka kekurangannya adalah satu dirham, yaitu sepersepuluh, maka ia wajib menggantinya.

Dan dalam cara mengganti kerugian itu terdapat dua pendapat:

Pertama: ia mengganti sepersepuluh dari apa yang wajib pada pohon tersebut. Jika pohonnya besar, maka ia wajib mengganti sepersepuluh dari seekor sapi atau unta. Dan jika pohonnya kecil, maka ia wajib mengganti sepersepuluh dari seekor kambing.


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَضْمَنَ الدَّرَاهِمَ النَّاقِصَةَ مِنْ قِيمَةِ الشَّجَرَةِ بِالْقَطْعِ ثُمَّ هُوَ بِالْخِيَارِ، إِنْ شَاءَ تَصَدَّقَ بِذَلِكَ الدِّرْهَمِ، وَإِنْ شَاءَ اشْتَرَى بِهِ طَعَامًا تَصَدَّقَ بِهِ، وَأَمَّا النَّبَاتُ الَّذِي لَمْ يَسْتَخْلِفُ بَعْدَ قَطْعِهِ، فَالْوَاجِبُ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْهُ بِشَيْءٍ مِنْ دَرَاهِمَ أَوْ طَعَامٍ يُعْلَمُ أَنَّهُ قَدِ اسْتَوْعَبَ جَمِيعَ قِيمَتِهِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan pendapat kedua: ialah bahwa ia mengganti dengan sejumlah dirham sebesar kekurangan nilai pohon karena dipotong, kemudian ia bebas memilih: jika mau ia bersedekah dengan dirham tersebut, dan jika mau ia membelikan makanan dengan dirham itu lalu bersedekah dengannya.

Adapun tumbuhan yang tidak tumbuh kembali setelah dipotong, maka yang wajib adalah bersedekah untuknya dengan sejumlah dirham atau makanan yang diketahui telah mencakup seluruh nilainya.

Dan Allah Maha Mengetahui.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا حِجَارَةُ الْحَرَمِ فَيُمْنَعُ مِنْ إِخْرَاجِهَا مِنَ الْحَرَمِ، وَكَذَلِكَ التُّرَابُ وَالْمَدَرُ؛ لِمَا لَهُ مِنَ الْحُرْمَةِ الْمُبَايِنَةِ لِغَيْرِهِ، وَقَدْ رَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَسَنِ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: قَدِمْتُ مَعَ جَدَّتِي مَكَّةَ فأتتها صفية بنت شيبة، فأكرمتها وفعلت بها، فَقَالَتْ صَفِيَّةُ: مَا أَدْرِي مَا أُكَافِئُهَا بِهِ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهَا بِقِطْعَةٍ مِنَ الرُّكْنِ فَخَرَجَتْ بِهَا فَنَزَلْنَا أَوَّلَ منزلٍ فَذَكَرَ مِنْ مَرَضِهِمْ وَعِلَّتِهِمْ جميعاً، قال: فقالت لي – وكنت مَنْ أُمَثِّلُهُمْ -: انْطَلِقْ بِهَذِهِ الْقِطْعَةِ إِلَى صَفِيَّةَ فَرُدَّهَا وَقُلْ لَهَا: إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ فِي حَرَمِهِ شَيْئًا فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَخْرُجَ مِنْهُ، قَالَ عَبْدُ الْأَعْلَى: فَقَالُوا لِي: فَمَا هُوَ إِلَّا أَنْ تَحَيَّنَّا دُخُولَكَ الْحَرَمَ فَكَأَنَّمَا نَشَطْنَا من عقلٍ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: فَالْبِرَامُ يَنْفَكُّ مِنَ الْحَرَمِ، فَيُقَالُ لَهُ: هَذَا خَطَأٌ؛ أَلَيْسَ الْبِرَامُ مِنَ الْحَرَمِ بَلْ يُحْمَلُ إِلَى مَكَّةَ مِنَ الْحِلِّ مِنْ مَسِيرَةِ يَوْمَيْنِ وَأَكْثَرَ، فَإِنْ أَخْرَجَ مِنْ حِجَارَةِ الْحَرَمِ أَوْ مِنْ تُرَابِهِ شَيْئًا فَعَلَيْهِ رَدُّهُ إِلَى مَوْضِعِهِ وَإِعَادَتُهُ إِلَى الْحَرَمِ، فَأَمَّا مَاءُ الْحَرَمِ فَلَا بَأْسَ بِإِخْرَاجِهِ إِلَى الْحِلِّ؛ لِمَا بِالنَّاسِ مِنَ الْحَاجَةِ إِلَيْهِ فِي خُرُوجِهِمْ؛ وَلِذَلِكَ لَا بَأْسَ بِإِخْرَاجِ مَاءِ زَمْزَمَ، فَقَدْ رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اسْتَهْدَى مِنْ سُهِيلِ بْنِ عَمْرٍو مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ فَأَهْدَى إِلَيْهِ مَزَادَتَيْنِ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ على بعيرٍ وطرح عليه كساءٌ.

PASAL
 Adapun batu-batu tanah ḥaram, maka dilarang mengeluarkannya dari kawasan ḥaram, demikian pula tanah dan lumpurnya; karena memiliki kehormatan yang berbeda dari selainnya.

Telah meriwayatkan asy-Syāfi‘ī dari ‘Abdur Raḥmān bin al-Ḥasan dari ‘Abdul A‘lā bin ‘Abdillāh bin ‘Āmir, ia berkata:
 Aku datang bersama nenekku ke Makkah, lalu Safiyyah binti Syaibah menemuinya dan memuliakannya serta memperlakukannya dengan baik. Maka Safiyyah berkata: “Aku tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikannya,” lalu ia mengirimkan sepotong batu dari Rukn (Ka‘bah) kepadanya. Ia pun keluar (dari ḥaram) membawanya. Ketika kami tiba di tempat persinggahan pertama, ia menyebutkan tentang sakit dan derita yang mereka alami.

Lalu ia berkata kepadaku — dan aku adalah yang ditugaskan —: “Pergilah engkau dengan batu ini kepada Safiyyah dan kembalikan kepadanya, dan katakan padanya: ‘Sesungguhnya Allah telah menaruh sesuatu di tanah ḥaram-Nya, maka tidak sepantasnya dikeluarkan darinya.’”

‘Abdul A‘lā berkata: Mereka pun berkata kepadaku: “Tidaklah engkau masuk kembali ke kawasan ḥaram melainkan kami seakan-akan lepas dari ikatan.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: Jika ada yang berkata, “Bukankah al-birām (sejenis batu untuk periuk) juga keluar dari ḥaram?” Maka dijawab: Itu keliru. Bukankah birām itu bukan berasal dari kawasan ḥaram, bahkan dibawa ke Makkah dari luar ḥaram, dari jarak dua hari perjalanan atau lebih.

Maka barang siapa mengeluarkan batu atau tanah dari kawasan ḥaram, maka wajib atasnya mengembalikannya ke tempat asalnya dan memasukannya kembali ke kawasan ḥaram.

Adapun air dari kawasan ḥaram, maka tidak mengapa dikeluarkan ke luar ḥaram, karena kebutuhan manusia terhadapnya saat bepergian. Oleh karena itu, tidak mengapa mengeluarkan air Zamzam.

Telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah meminta hadiah dari Suhail bin ‘Amr berupa air Zamzam, lalu Suhail menghadiahkan dua kantong air Zamzam di atas unta dan diberi penutup kain.


مسألة: قال الشافعي: رضي الله عنه: ” وَسَوَاءٌ مَا قُتِلَ فِي الْحَرَمِ أَوْ فِي الإحرام “.
قال الماوردي: فهو مَضْمُونٍ بِالْجَزَاءِ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لاَ تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَْنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّداً فَجَزاء مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ) {المائدة: 95) فَأَوْجَبَ الْجَزَاءَ عَلَى الْحُرُمِ وَالْحُرُمُ جَمْعُ حَرَامٍ وَالْحَرَامُ هُوَ مَنْ عَقَدَ الْإِحْرَامَ، فَأَمَّا مَنْ أَوَى إِلَى الْحَرَمِ فَلَا يُقَالُ لَهُ حَرَامٌ، وَإِنَّمَا يُقَالُ لَهُ مُحْرِمٌ، قَالَ: وَلِأَنَّ الْحَرَمَ لَوْ كَانَ مَانِعًا مِنْ قَتْلِ الصَّيْدِ مُوجِبًا لِلْجَزَاءِ فِيهِ لَكَانَ مَانِعًا مِنْ قَتْلِ مَا أُدْخِلَ مِنَ الصَّيْدِ إِلَيْهِ مُوجِبًا لِلْجَزَاءِ فيه، فلما لم يكن الحرام مانعاً من قَتْلَ مَا أُدْخِلَ إِلَيْهِ لَمْ يَكُنْ مَانِعًا مَنْ قَتْلِ مَا دَخَلَ فِيهِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” الضَّبُعُ صيدٌ، وَفِيهِ إِذَا أَصَابَهُ الْمُحْرِمُ كبشٌ “، فَأَوْجَبَ عَلَى الْمُحْرِمِ جَزَاءَ مَا قَتَلَ، وَمَنْ دَخَلَ الْحَرَمَ يُسَمَّى مُحْرِمًا، كَمَا يقال: قد أنجد إذا دخل نجداً، وأنهم إِذَا دَخَلَ تِهَامَةَ، وَأَحْرَمَ إِذَا دَخَلَ الْحَرَمَ، قَالَ الرَّاعِي:
(قَتَلُوا ابْنَ عَفَّانَ الْخَلِيفَةَ مُحْرِمًا … وَدَعَا فَلَمْ أَرَ مِثْلَهُ مَقْتُولًا)

Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Sama saja, apakah binatang buruan itu dibunuh di ḥaram atau dalam keadaan iḥrām.”

Al-Māwardī berkata: Maka hal itu wajib diganti dengan jazā’, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Lā taqtulū al-ṣaīda wa-antum ḥurum, waman qatalahu minkum muta‘ammidan fa-jazā’un miṡlu mā qatala min al-na‘am} (QS al-Māidah: 95), maka Allah mewajibkan jazā’ atas orang-orang yang sedang beriḥrām, dan kata ḥurum adalah jamak dari ḥarām, dan ḥarām adalah orang yang telah mengadakan akad iḥrām. Adapun orang yang masuk ke dalam wilayah ḥaram tidak disebut ḥarām, tetapi disebut muḥrim.

Ia berkata: Andaikan wilayah ḥaram menjadi penghalang dari membunuh buruan dan mewajibkan jazā’ padanya, niscaya ia juga menjadi penghalang dari membunuh binatang buruan yang dibawa masuk ke dalamnya dan mewajibkan jazā’ padanya. Maka, ketika wilayah ḥaram tidak menjadi penghalang dari membunuh binatang buruan yang dibawa masuk, maka ia juga tidak menjadi penghalang dari membunuh binatang yang masuk ke dalamnya.

Dan dalil atas hal ini adalah riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Ḍabbu‘ adalah buruan, dan jika seorang muḥrim mengenainya maka jazā’-nya adalah seekor kambing jantan.” Maka beliau mewajibkan jazā’ atas orang yang beriḥrām atas apa yang ia bunuh.

Dan orang yang masuk ke dalam wilayah ḥaram disebut muḥrim, sebagaimana dikatakan: “Qad anjada” jika ia masuk ke Najd, dan mereka dikatakan “dakhala Tihāmah”, dan “aḥrama” jika ia masuk ke ḥaram. Sebagaimana dikatakan oleh penyair al-Rā‘ī:

(Qatalū ibna ‘Affāna al-khalīfata muḥrimān … wa-da‘ā fa-lam ara miṡlahū maqtūlā)
 “Mereka membunuh Ibn ‘Affān sang khalifah dalam keadaan muḥrim … dan ia berdoa, maka aku tidak pernah melihat orang seperti dia yang terbunuh.”


وَإِنَّمَا سَمَّاهُ مُحْرِمًا؛ لِأَنَّهُ كَانَ بِالْمَدِينَةِ، وَهِيَ حَرَمُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، كَمَا يُقَالُ لِمَنْ أَحَلَّ الْقِتَالَ فِي الْحَرَمِ مُحِلٌّ، وَإِنْ لَمْ يُحَلَّلْ مِنْ إِحْرَامِهِ، وَقِيلَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ: الْمُحِلُّ؛ لِإِحْلَالِهِ الْقِتَالَ فِيهِ، قَالَ الشَّاعِرُ فِي رَمْلَةَ بِنْتِ الزُّبَيْرِ:
(ألا من لقلب معنى عزل … يذكر الْمُحِلَّةِ أُخْتِ الْمُحِلْ)

Dan ia disebut muḥrim karena ia berada di Madinah, sedangkan Madinah adalah ḥaram Rasulullah SAW, sebagaimana seseorang yang menghalalkan peperangan di tanah ḥaram disebut muḥill, meskipun ia belum bertahallul dari iḥrām-nya.

Dan pernah dikatakan kepada ‘Abdullāh bin az-Zubair: al-muḥill — karena ia menghalalkan peperangan di dalamnya.

Seorang penyair berkata tentang Ramlah binti az-Zubair:

“Tidakkah ada penawar bagi hati yang gundah karena perpisahan…
 yang teringat pada wanita muḥillah, saudari dari sang muḥill?”


وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَهُوَ مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعُثْمَانَ وَابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُمْ أَوْجَبُوا فِي حَمَامِ مَكَّةَ شَاةً، وِإِنَّمَا أَوْجَبُوهَا عَلَى الْمُحِلِّ إِذْ لَوْ كَانَ عَلَى الْمُحْرِمِ لَمَا اخْتَصَّ بِحَمَامِ مَكَّةَ دُونَ غَيْرِهَا؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ تَمِيمَ بْنَ أَسَدٍ الْخُزَاعِيَّ عَامَ الْفَتْحِ يُجَدِّدُ أَنْصَابَ الْحَرَمِ فَعُلِمَ أَنَّهُ إِنَّمَا أَمَرَ بذلك لوقوع الفرق بين صديه وَصَيْدِ غَيْرِهِ وَشَجَرِهِ وَشَجَرِ غَيْرِهِ؛ وَلِأَنَّ حُرْمَةَ الْحَرَمِ قَدْ تَكُونُ أَوْكَدَ مِنْ حُرْمَةِ الْإِحْرَامِ، لِأَنَّ الْإِحْرَامَ إِنَّمَا يُرَادُ لِدُخُولِ الْحَرَمِ، فَلَمَّا وَجَبَ جَزَاءُ الصَّيْدِ بِحُرْمَةِ الْإِحْرَامِ كَانَ وُجُوبُهُ بِحُرْمَةِ الْحَرَمِ أَوْلَى، فَأَمَّا الْآيَةُ فَلَا تَنْفِي وُجُوبَ الْجَزَاءِ عَلَى غَيْرِ الْمُحْرِمِ، فَلَمْ يَكُنْ فِيهَا دَلَالَةٌ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ الْمُحْرِمَ لَمَّا لَمْ يُمْنَعْ مِنْ قَتْلِ مَا أَدْخَلَ إِلَيْهِ لَمْ يُمْنَعْ مِنْ قَتْلِ مَا دَخَلَ فِيهِ، فَغَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ مَا أَدْخَلَ إِلَيْهِ قَدْ سَبَقَتْ حُرْمَةُ الْمِلْكِ حُرْمَةَ الْحَرَمِ، فَلِذَلِكَ لَمْ يُمْنَعْ مِنْ قَتْلِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ مَا دَخَلَ فِيهِ؛ لِأَنَّ حُرْمَةَ الْحَرَمِ قَدِ اسْتَقَرَّتْ لَهُ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ أَدْخَلَ صَيْدًا الْحَرَمَ وَأَطْلَقَهُ حَرُمَ قَتْلُهُ؛ لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَقَرَّتْ لَهُ حُرْمَةُ الْحَرَمِ بِزَوَالِ الْيَدِ عَنْهُ.

Karena hal itu merupakan ijma‘ para sahabat raḍiyallāhu ‘anhum, yaitu sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Utsmān, Ibn ‘Umar, dan Ibn ‘Abbās, bahwa mereka mewajibkan seekor kambing pada burung merpati Makkah. Mereka hanya mewajibkan ganti tersebut atas orang yang muḥill (tidak beriḥrām), sebab seandainya diwajibkan atas muḥrim, niscaya tidak akan dikhususkan pada burung merpati Makkah saja tanpa selainnya. Karena Rasulullah SAW memerintahkan Tamīm ibn Asad al-Khuzā‘ī pada tahun penaklukan (Makkah) untuk memperbaharui tanda-tanda batas ḥaram, maka diketahui bahwa beliau memerintahkan hal itu karena adanya perbedaan hukum antara buruan di dalam ḥaram dan di luar ḥaram, serta antara pohon di dalam ḥaram dan di luar ḥaram.

Dan karena keharaman ḥaram bisa jadi lebih kuat dari keharaman iḥrām, sebab iḥrām itu ditujukan untuk masuk ke ḥaram. Maka ketika jazā’ binatang buruan diwajibkan karena kehormatan iḥrām, maka kewajiban itu lebih utama karena kehormatan ḥaram.

Adapun ayat tersebut tidak menafikan kewajiban jazā’ atas selain orang yang beriḥrām, maka tidak terdapat dalil padanya.

Adapun perkataan mereka: bahwa seorang muḥrim ketika tidak dicegah dari membunuh buruan yang dibawa masuk kepadanya, maka ia juga tidak dicegah dari membunuh buruan yang masuk ke dalam ḥaram, maka itu tidak benar. Karena binatang buruan yang dibawa masuk lebih dulu mendapat kehormatan kepemilikan dibanding kehormatan ḥaram, oleh karena itu tidak dicegah dari membunuhnya. Dan tidak demikian halnya dengan binatang yang masuk ke dalam ḥaram, karena kehormatan ḥaram telah tetap baginya.

Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang membawa masuk buruan ke dalam ḥaram lalu melepaskannya, maka haram membunuhnya? Karena kehormatan ḥaram telah tetap baginya dengan hilangnya kepemilikan atasnya.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ صَيْدَ الْمُحْرِمِ مَضْمُونٌ بِالْجَزَاءِ فَحُكْمُ الْجَزَاءِ فِيهِ كَحُكْمِ الْجَزَاءِ فِي صَيْدِ الْمُحْرِمِ يَكُونُ فِيهِ مُخَيَّرًا بَيْنَ الْمِثْلِ مِنَ النَّعَمِ أَوِ الْإِطْعَامِ أَوِ الصِّيَامِ، وَقَالَ أبو حنيفة: ضَمَانُهُ ضَمَانُ الْأَمْوَالِ فَلَا يَدْخُلُهُ الصَّوْمُ بِحَالٍ، وَيَكُونُ مُخَيَّرًا بَيْنَ الْمِثْلِ وَالْإِطْعَامِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ ضَمَانَهُ إِنَّمَا وَجَبَ عَلَى الْقَاتِلِ لَا لِمَعْنًى فِي الْقَاتِلِ وَلَا لِمَعْنًى فِي غَيْرِهِ؛ كَحُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ الَّتِي يَجِبُ ضَمَانُهَا لِمَعْنًى فِي مَالِكِهَا دُونَ مُتْلِفِهَا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ مَا قَتَلَهُ الْمُحْرِمُ في ضمانه، لأن ضمانه إنما وجب لمعنى في المحرم، والدليل هو أنه صيد مضمون فجاز أن يدخل الصيد فِي ضَمَانِهِ كَصَيْدِ الْحِلِّ عَلَى الْمُحْرِمِ؛ وَلِأَنَّ ضَمَانَ صَيْدِ الْمُحْرِمُ مُفَارِقٌ لضَمَانِ أَمْوَالِ الْآدَمِيِّينَ مِنْ وَجْهَيْنِ:

PASAL
 Apabila telah ditetapkan bahwa buruan yang dibunuh oleh muḥrim wajib diganti dengan jazā’, maka hukum jazā’ padanya sama seperti hukum jazā’ pada buruan muḥrim secara umum, yaitu ia diberi pilihan antara menggantinya dengan yang semisal dari binatang ternak, atau memberi makan, atau berpuasa.

Abū Ḥanīfah berpendapat: Ganti rugi atasnya adalah seperti ganti rugi atas harta, maka tidak masuk puasa dalam hal itu sama sekali. Ia hanya diberi pilihan antara yang semisal dan memberi makan, dengan berdalil bahwa kewajiban mengganti itu ditujukan kepada pembunuh, bukan karena suatu sebab dalam diri pembunuh atau pada pihak lain, sebagaimana hak-hak manusia yang wajib diganti karena sebab yang berkaitan dengan pemiliknya, bukan dengan orang yang merusaknya.

Adapun buruan yang dibunuh oleh muḥrim, maka tidak demikian hukumnya, karena kewajiban jazā’-nya ditetapkan karena suatu sebab dalam diri muḥrim.

Dalilnya adalah bahwa itu adalah buruan yang wajib diganti, maka boleh masuk dalam kewajiban jazā’ sebagaimana buruan di luar tanah ḥaram atas orang yang berihram.

Dan karena ganti rugi atas buruan yang dibunuh oleh muḥrim berbeda dari ganti rugi atas harta milik manusia dalam dua sisi:


أَحَدُهُمَا: أَنَّ أَمْوَالَ الْآدَمِيِّينَ تُضْمَنَ بِقِيمَتِهَا أَوْ بِالْمِثْلِ مِنْ جِنْسِهَا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ صَيْدُ الْمُحْرِمِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ أَمْوَالَ الْآدَمِيِّينَ مَضْمُونَةٌ ببدلٍ مُعَيَّنٍ لَيْسَ فِيهِ تَخْيِيرٌ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ صَيْدُ الْحَرَمِ، وَإِذَا فَارَقَتْ أَمْوَالُ الْآدَمِيِّينَ مِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ كَانَتْ مُلْحَقَةً بِضَمَانِ الصَّيْدِ.

Pertama: Bahwa harta milik manusia dijamin dengan nilainya atau dengan mitsl-nya dari jenis yang sama, sedangkan hal itu tidak berlaku pada buruan yang dibunuh oleh muḥrim.

Kedua: Bahwa harta milik manusia dijamin dengan ganti yang tertentu tanpa adanya pilihan, sedangkan hal itu tidak berlaku pada buruan di ḥaram. Maka, ketika harta manusia berbeda dari dua sisi ini, ia disamakan (dianalogikan) dengan jaminan atas buruan.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا صَيْدُ الْحِلِّ إِذَا أُدْخِلَ الْحَرَمَ بَعْدَ صَيْدِهِ فَحُكْمُهُ حُكْمُ صَيْدِ الْحِلِّ دُونَ الْحَرَمِ، فَيَجُوزُ إِمْسَاكُهُ وَذَبْحُهُ، وَلَا جَزَاءَ فِي قَتْلِهِ، وَقَالَ أبو حنيفة: قَدْ صَارَ حُكْمُهُ بِدُخُولِ الْحَرَمِ حُكْمَ الصَّيْدِ الْحُرُمِ، فَلَا يَجُوزُ إِمْسَاكُهُ وَلَا ذَبْحُهُ، وَالْجَزَاءُ وَاجِبٌ عَلَى قَاتِلِهِ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَنَ دَخَلَهُ كَانَ آمِناً) {آل عمران: 97) فَجَعَلَ اللَّهُ تَعَالَى أَمَانَ الدَّاخِلِ إِلَيْهِ كَأَمَانِ الْقَاطِنِ فِيهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ حُكْمُهُمَا، وبعموم قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” وَلَا يُنَفَّرُ صَيْدُهَا “؛ وَلِأَنَّ كُلَّ مَا كَانَ مَانِعًا مِنَ الْاصْطِيَادِ كَانَ مَانِعًا مِنْ قَتْلِ الصَّيْدِ كَالْإِحْرَامِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ: أَنَّ صَيْدَ الْحَرَمِ حَرَامٌ كَمَا أَنَّ صَيْدَ الْمَدِينَةِ حَرَامٌ، فَلَمَّا جَازَ إِدْخَالُ الصَّيْدِ إِلَى حَرَمِ الْمَدِينَةِ وَإِمْسَاكُهُ فيه لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ ” فَأَقَرَّهُ عَلَى إِمْسَاكِ الصَّيْدِ فِي حَرَمِ الْمَدِينَةِ، وَإِنْ كَانَ قَدْ حَرَّمَ صَيْدَ الْمَدِينَةِ فَكَذَلِكَ يَجُوزُ إِدْخَالُ الصَّيْدِ إِلَى الْحَرَمِ، وَإِنْ لَمْ يَجُزْ قَتْلُ صَيْدِ الْحَرَمِ.
وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهُ مَوْضِعٌ حَرُمَ قَتْلُ صَيْدِهِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَحْرُمَ فِيهِ قَتْلُ مَا صِيدَ فِي غَيْرِهِ كَالْمَدِينَةِ؛ وَلِأَنَّ صَيْدَ الْحَرَمِ لَوْ صِيدَ وَأُخْرِجَ إِلَى الْحِلِّ لَمْ يَزَلْ عَنْهُ حُكْمُ الْحَرَمِ، وَكَانَ عَلَى حَالِهِ الْأُولَى فِي تَحْرِيمِ قَتْلِهِ، وَجَبَ إِذَا صَادَ مِنَ الْحِلِّ صَيْدًا أَوْ أَدْخَلَهُ الْحَرَمَ أَنْ لَا يَزُولَ عَنْهُ حُكْمُ الْحِلِّ وَيَكُونَ عَلَى حَالِهِ الْأُولَى فِي إِبَاحَةِ قَتْلِهِ.

PASAL
 Adapun buruan dari wilayah ḥill (di luar tanah haram) yang dibawa masuk ke tanah ḥaram setelah ditangkap, maka hukumnya adalah hukum buruan ḥill, bukan hukum buruan ḥaram. Maka boleh memeliharanya dan menyembelihnya, serta tidak ada jazā’ atas pembunuhannya.

Abū Ḥanīfah berpendapat: Ketika buruan itu telah masuk ke tanah ḥaram, maka hukum buruan itu menjadi seperti hukum buruan ḥaram. Maka tidak boleh dipelihara atau disembelih, dan jazā’ wajib atas orang yang membunuhnya, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala:

“Dan barang siapa memasukinya, maka ia aman.” [QS. Āli ‘Imrān: 97]

Maka Allah Ta‘ala menjadikan keamanan bagi siapa pun yang masuk ke dalamnya seperti keamanan bagi penduduk tetapnya. Maka wajib disamakan hukumnya.

Dan berdasarkan keumuman sabda Nabi SAW:

“Dan tidak boleh dijerumuskan buruannya (buruan tanah haram).”

Dan karena setiap hal yang menjadi penghalang untuk berburu, maka ia juga menghalangi pembunuhan buruan, seperti iḥrām.

Dalilnya: buruan tanah ḥaram hukumnya haram (dibunuh), sebagaimana buruan Madinah juga haram. Maka ketika diperbolehkan membawa buruan ke tanah haram Madinah dan memeliharanya di dalamnya — berdasarkan sabda Nabi SAW:

“Wahai Abū ‘Umayr, apa yang dilakukan nughayr?”

Beliau membiarkan (membolehkan) anak kecil itu memelihara burung buruan di tanah haram Madinah, padahal beliau telah mengharamkan perburuan di Madinah. Maka demikian pula, diperbolehkan membawa buruan ke tanah haram Makkah, meskipun membunuh buruan tanah haram tetap tidak diperbolehkan.

Penjelasan hukumnya secara analogis:
 Ini adalah tempat yang diharamkan pembunuhan buruannya, maka semestinya tidak haram membunuh buruan yang diburu di luar tempat itu, sebagaimana di Madinah.

Dan karena buruan tanah ḥaram, apabila ditangkap lalu dibawa keluar ke wilayah ḥill, maka hukum ḥaram-nya tidak hilang darinya dan tetap seperti sebelumnya, yaitu tetap haram dibunuh. Maka wajib pula bahwa jika seseorang memburu buruan dari ḥill lalu membawanya ke ḥaram, maka hukum ḥill tidak hilang darinya dan tetap seperti sebelumnya, yaitu boleh dibunuh.


وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهُ صَيْدٌ أُوجِبَ إِمْسَاكُهُ حُكْمًا فَوَجَبَ أَلَّا يُنْتَقَلَ عَنْ حُكْمِهِ بِانْتِقَالِهِ عَنْ مَوْضِعِهِ قِيَاسًا عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ صَيْدِ الْحَرَمِ إِذَا أُخْرِجَ إِلَى الْحِلِّ، وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى حَظَرَ صَيْدَ الْحَرَمِ عَلَى أَهْلِ الْحِلِّ وَالْحَرَمِ وَأَبَاحَ صَيْدَ الْحِلِّ لِأَهْلِ الْحِلِّ وَالْحُرُمِ، فَلَوْ مَنَعَ مِنْ أَنْ يُذْبَحَ صيد الحل في الْحَرَمِ، لِأَنَّهُمْ لَا يَقْدِرُونَ عَلَى ذَبْحِهِ فِي الْحَرَمِ، لَأَدَّى إِلَى حَظْرِ صَيْدِ الْحِلِّ عَلَى أهل الحرم، وإن ذَبَحُوهُ فِي الْحِلِّ رَاحَ وَأَنْتَنَ عِنْدَ إِدْخَالِهِ الْحَرَمَ فَجَازَ لَهُمْ ذَبْحُ الصَّيْدِ فِي الْحَرَمِ لَيْسَتَبِيحُوا مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَهُمْ، وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: لَمْ تَكُنْ لُحُومُ الصَّيْدِ تُبَاعُ بِمَكَّةَ إِلَّا بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى: {وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِناً) {آل عمران: 97) فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Dan penjelasan hal itu secara qiyās adalah: bahwa ia adalah buruan yang diwajibkan untuk ditahan secara hukum, maka tidak sepatutnya hukum tersebut gugur hanya karena ia berpindah dari tempatnya, dengan analogi pada apa yang telah kami sebutkan tentang buruan ḥaram jika dibawa keluar ke wilayah ḥill.

Dan karena Allah Ta‘ālā mengharamkan perburuan di ḥaram atas penduduk ḥill dan ḥaram, serta membolehkan perburuan di ḥill bagi penduduk ḥill dan orang yang beriḥrām, maka jika mereka dicegah dari menyembelih buruan ḥill di dalam ḥaram — karena mereka tidak dapat menyembelihnya di dalam ḥaram — niscaya hal itu akan mengakibatkan larangan perburuan ḥill bagi penduduk ḥaram. Dan jika mereka menyembelihnya di wilayah ḥill, maka dagingnya akan rusak dan membusuk ketika dibawa masuk ke ḥaram, maka dibolehkan bagi mereka menyembelih buruan di dalam ḥaram agar mereka dapat memanfaatkan apa yang telah Allah halalkan bagi mereka.

Dan telah dikatakan oleh al-Syāfi‘ī: Daging buruan tidak diperjualbelikan di Makkah kecuali di antara Shafā dan Marwah.

Adapun jawaban terhadap firman Allah Ta‘ālā: {wa man dakhalahu kāna āminā} (QS Āli ‘Imrān: 97) adalah dari dua sisi:


أَحَدُهُمَا: أَنَّ لَفْظَةَ ” مَنْ ” لَا تَتَنَاوَلُ مَا لَا يَعْقِلُ.
وَالثَّانِي: أَنَّ قَوْله تَعَالَى {وَمَن دَخَلَهُ} وَالصَّيْدُ لَمْ يَدْخُلْهُ وَإِنَّمَا أُدْخِلَ إِلَيْهِ، فَأَمَّا قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا يُنَفَّرُ صَيْدُهَا ” لَا يَتَنَاوَلُ مَا أُدْخِلَ إِلَيْهَا لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ صَيْدِهَا، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ على الإحرام فمنعاهما يَخْتَلِفُ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى حَرَّمَ قَتْلَ الصَّيْدِ عَلَى الْمُحْرِمِ، وَحَرَّمَ قَتْلَ صَيْدِ الْحَرَمِ، وَمَا أُدْخِلَ الْحَرَمَ مَصِيدًا لَمْ يَكُنْ مِنْ صَيْدِ الْحَرَمِ، فَجَازَ قَتْلُهُ، وَمَا صِيدَ قَبْلَ الْإِحْرَامِ ثُمَّ أُحْرِمَ فَهُوَ قَتْلُ صَيْدٍ مِنْ مُحْرِمٍ، فَوَجَبَ أَنْ يُحَرَّمَ قَتْلَهُ.

Pertama: sesungguhnya lafaz “man” (barang siapa) tidak mencakup sesuatu yang tidak berakal.

Kedua: firman Allah Ta‘ala {wa man dakhala-hu} (dan barang siapa memasukinya), sedangkan buruan itu tidak masuk ke dalam ḥaram dengan kehendaknya, melainkan dimasukkan ke dalamnya.

Adapun sabda Nabi SAW: “Janganlah dijerumuskan buruannya,” maka itu tidak mencakup buruan yang dimasukkan ke dalam ḥaram, karena ia bukan termasuk buruan milik tanah ḥaram.

Adapun qiyās (analogi) mereka dengan iḥrām, maka pengharamannya berbeda; karena Allah Ta‘ala mengharamkan pembunuhan buruan atas orang yang muḥrim, dan juga mengharamkan pembunuhan buruan tanah ḥaram.

Namun buruan yang dimasukkan ke tanah ḥaram dalam keadaan sudah diburu sebelumnya, maka itu bukan bagian dari buruan tanah ḥaram, maka boleh dibunuh.

Sedangkan buruan yang ditangkap sebelum berihram, lalu seseorang berihram, maka membunuhnya adalah pembunuhan buruan oleh orang yang muḥrim, maka wajib diharamkan pembunuhannya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا صَيْدُ الْحِلِّ إِذَا صَادَهُ مُحِلٌّ ثُمَّ أَحْرَمَ فَهَلْ يَزُولُ مَلِكُهُ عَنِ الصَّيْدِ بِإِحْرَامِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ مِلْكَهُ لَا يَزُولُ عَنْهُ، وَلَا يَضْمَنُهُ إِلَّا بِالْجِنَايَةِ عَلَيْهِ، وَبِهِ قَالَ فِي ” الْإِمْلَاءِ “؛ لِأَنَّ الْإِحْرَامَ عِبَادَةٌ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يُزِيلَ الْمِلْكَ كَسَائِرِ الْعِبَادَاتِ، وَلِأَنَّهُ مِلْكٌ لِمُحِلٍّ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَزُولَ مِلْكُهُ عَنْهُ بِالْإِحْرَامِ كَسَائِرِ الْأَمْوَالِ.

PASAL
 Adapun buruan di wilayah ḥill yang diburu oleh seorang muḥill, lalu ia beriḥrām, maka apakah kepemilikannya atas buruan itu gugur karena iḥrām-nya atau tidak? Maka ada dua wajah pendapat:

Pertama: Bahwa kepemilikannya tidak gugur darinya, dan ia tidak menanggung ganti kecuali jika ia melakukan jināyah terhadapnya. Ini adalah pendapat yang dikatakan dalam kitab al-Imlā’; karena iḥrām adalah suatu ibadah, maka tidak sepatutnya menghapuskan kepemilikan, sebagaimana ibadah-ibadah lainnya. Dan karena itu adalah milik seorang muḥill, maka tidak sepatutnya kepemilikannya gugur darinya hanya karena iḥrām, sebagaimana harta-harta yang lain.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ مِلْكَهُ قَدْ زَالَ عَنْهُ بِإِحْرَامِهِ، وَإِنْ تَلِفَ فَعَلَيْهِ ضَمَانُهُ، وَوَجْهُهُ: أَنَّهُ صَيْدٌ يَلْزَمُهُ الْجَزَاءُ بِقَتْلِهِ، فَلَمْ يَصِحَّ أَنْ يَكُونَ فِي مِلْكِهِ قِيَاسًا عَلَى ابْتِدَاءِ صَيْدِهِ فِي إِحْرَامِهِ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ شَيْءٍ لَا يُرَادُ لِلْبَقَاءِ، فَإِذَا مَنَعَ الإحرام من ابتدائه مع مِنَ اسْتَدَامَتْهُ، كَاللِّبَاسِ طَرْدًا وَالنِّكَاحَ عَكْسًا، فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فَإِذَا قُلْنَا بِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ وَأَنَّ مِلْكَهُ لَا يَزُولُ عَنْهُ بِإِحْرَامِهِ فَحُكْمُهُ حُكْمُ سَائِرِ أَمْوَالِهِ إِلَّا فِي شَيْءٍ وَاحِدٍ وَهُوَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ ذَبْحُهُ، فَإِنْ ذَبَحَهُ فَعَلَيْهِ الْجَزَاءُ، وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَفِعْلُهُ جَائِزٌ فِيهِ، فَيَجُوزُ أَنْ يَبِيعَهُ وَيَهَبَهُ، وَلَا يَلْزَمُهُ تَخْلِيَتُهُ، وَإِنْ قَتَلَهُ غَيْرُهُ كَانَ عَلَيْهِ قِيمَتُهُ، وَإِنْ أَرْسَلَهُ كَانَ أَحَقَّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ، وَإِذَا حَلَّ مِنْ إِحْرَامِهِ جَازَ أَنْ يَذْبَحَهُ وَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ، وَإِنْ مَاتَ إِحْلَالُهُ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَإِنْ قُلْنَا بِالْقَوْلِ الثَّانِي: إِنَّ مِلْكَهُ قَدْ زَالَ عَنْهُ بِإِحْرَامِهِ فَحُكْمُهُ حُكْمُ مَا صَادَهُ مِنْ إِحْرَامِهِ، فَلَا يَكُونُ مَالِكًا لَهُ وَعَلَيْهِ تَخْلِيَتُهُ، وَلَا يَجُوزُ لَهُ بَيْعُهُ وَلَا هِبَتُهُ، فَإِنْ وَهَبَهُ لِغَيْرِهِ كَانَ ضَامِنًا لَهُ حَتَّى يُرْسِلَهُ الْمَوْهُوبُ لَهُ، وَإِنْ أَرْسَلَهُ مِنْ يَدِهِ فَهُوَ وَغَيْرُهُ فِيهِ سَوَاءٌ، وَإِنِ اغْتَصَبَهُ غَيْرُهُ مِنْ يَدِهِ فَأَرْسَلَهُ فَلَا شَيْءَ عَلَى مُرْسِلِهِ، وَإِنْ مَاتَ فِي يَدِهِ فَعَلَيْهِ جَزَاؤُهُ، وَإِنْ قَتَلَهُ غَيْرُهُ نُظِرَ فِي الْقَاتِلِ فَإِنْ كَانَ مُحِلًّا فَالْجَزَاءُ عَلَى الْمُحْرِمِ؛ لِأَنَّهُ ضَمِنَهُ بِالْيَدِ، وَإِنْ كَانَ الْقَاتِلُ مُحْرِمًا فَعَلَى وَجْهَيْنِ كَمَا قُلْنَا فِي الْمُمْسِكِ وَالْقَاتِلِ إِذَا كَانَا مُحْرِمَيْنِ:
أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ: أَنَّ الْجَزَاءَ عَلَيْهِمَا نِصْفَيْنِ؛ لِأَنَّ الْمُمْسِكَ ضَامِنٌ بِيَدِهِ، وَالْقَاتِلَ ضَامِنٌ بفعله.

PASAL
 Pendapat kedua menyatakan bahwa kepemilikan buruan telah hilang darinya karena iḥrām-nya, dan apabila buruan itu binasa, maka ia wajib menggantinya.

Dasarnya: karena itu adalah buruan yang wajib jazā’ atas pembunuhannya, maka tidak sah ia tetap menjadi miliknya — qiyās-nya dengan memulai berburu saat dalam keadaan iḥrām.

Dan karena segala sesuatu yang tidak dimaksudkan untuk keberlangsungan (dalam kepemilikan), maka ketika iḥrām melarang untuk memulainya, ia pun melarang untuk mempertahankannya — sebagaimana larangan memakai pakaian (yang berkelanjutan), dan sebaliknya larangan menikah (yang terjadi saat permulaan).

Maka ketika dua pendapat ini telah dijelaskan, apabila kita mengikuti pendapat pertama — bahwa kepemilikan tidak hilang karena iḥrām-nya — maka hukum buruan itu seperti harta benda lainnya, kecuali dalam satu hal, yaitu tidak boleh disembelih. Jika ia menyembelihnya, maka wajib jazā’. Selain itu, tindakan atas buruan tersebut diperbolehkan:
 – Boleh ia jual,
 – Boleh ia hibahkan,
 – Tidak wajib membebaskannya,
 – Jika dibunuh oleh orang lain, maka orang itu wajib mengganti nilainya,
 – Jika ia melepaskannya, maka ia lebih berhak atas buruan itu daripada selainnya,
 – Jika ia sudah bertahallul dari iḥrām-nya, maka boleh ia menyembelih buruan itu dan tidak ada jazā’ atasnya,
 – Jika ia wafat dalam keadaan telah iḥlāl, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya.

Namun jika mengikuti pendapat kedua — bahwa kepemilikan buruan itu telah hilang karena iḥrām-nya — maka status buruan tersebut sama seperti buruan yang ditangkap oleh orang yang sedang berihram:
 – Ia tidak lagi menjadi pemiliknya,
 – Wajib baginya untuk membebaskannya,
 – Tidak boleh ia jual atau hibahkan,
 – Jika ia hibahkan kepada orang lain, maka ia bertanggung jawab atasnya sampai orang yang menerima hibah itu melepaskannya,
 – Jika buruan itu dilepaskan oleh penerima hibah, maka ia dan selainnya statusnya sama,
 – Jika buruan itu dirampas orang lain darinya lalu dilepaskan, maka tidak ada tanggungan atas orang yang melepaskannya,
 – Jika buruan itu mati di tangannya, maka ia wajib jazā’-nya,
 – Jika buruan itu dibunuh oleh orang lain, maka dilihat status si pembunuh:
  – Jika ia seorang muḥill (tidak berihram), maka jazā’-nya atas muḥrim, karena ia menanggung buruan itu dengan tangannya,
  – Jika si pembunuh juga seorang muḥrim, maka ada dua wajah (pendapat) sebagaimana dalam kasus muḥrim yang memegang dan membunuh buruan secara bersama:

Salah satu dari dua pendapat: jazā’ dibagi dua, setengah atas si pemegang (karena ia menjamin dengan tangannya), dan setengah atas si pembunuh (karena ia menjamin dengan perbuatannya).

 

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْجَزَاءَ كُلَّهُ عَلَى الْقَاتِلِ؛ لِأَنَّهُ مُبَاشِرٌ، فَأَمَّا إِنْ حَلَّ مِنْ إِحْرَامِهِ وَالصَّيْدُ فِي يَدِهِ، فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ عَلَيْهِ إِرْسَالُهُ، فَإِنْ قَتَلَهُ بَعْدَ إِحْلَالِهِ فَمَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ: أَنَّ عَلَيْهِ الْجَزَاءَ؛ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ ضَامِنًا لَهُ بِالْيَدِ.
وَفِيهِ وَجْهٌ آخَرُ لِبَعْضِ أَصْحَابِنَا: أَنَّهُ لَا جَزَاءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ مُحِلٌّ قَاتِلٌ لِصَيْدٍ فِي الْحِلِّ، وَعَلَى هَذَا الْوَجْهِ لَا يَلْزَمُهُ أَنْ يُرْسِلَهُ لَوْ لَمْ يَقْتُلْهُ، وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لَأَنَّ الْجَزَاءَ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ بِفِعْلِهِ، وَإِنَّمَا وَجَبَ عَلَيْهِ بِيَدِهِ.

dan pendapat kedua: bahwa jazā’ sepenuhnya atas orang yang membunuh, karena ia adalah pelaku langsung. Adapun jika ia telah keluar dari iḥrām-nya sementara buruan masih berada di tangannya, maka menurut pendapat ini wajib baginya melepaskannya. Jika ia membunuhnya setelah tahallul, maka menurut nash asy-Syafi‘i: wajib atasnya membayar jazā’, karena ia telah menjadi penjamin atasnya dengan tangannya.

Dan ada pendapat lain dari sebagian sahabat kami: bahwa tidak ada jazā’ atasnya, karena ia adalah orang yang telah halal yang membunuh buruan di tempat halal. Maka menurut pendapat ini, ia tidak wajib melepaskannya jika tidak membunuhnya. Namun, pendapat ini tidak benar; karena jazā’ tidak diwajibkan atasnya karena perbuatannya, tetapi diwajibkan atasnya karena tangannya.


فَصْلٌ
: إِذَا وَهَبَ الْمُحِلُّ صَيْدًا لِمُحْرِمٍ أَوْ بَاعَهُ عَلَى مُحْرِمٍ لَمْ يَجُزْ وَكَانَ الصَّيْدُ بَاقِيًا عَلَى مَلِكِ الْمُحِلِّ؛ لِأَنَّ الْمُحْرِمَ لَا يَصِحُّ أَنْ يَتَمَلَّكَ فِي إِحْرَامِهِ صَيْدًا، فَإِنْ لَمْ يَجْعَلِ الْمُحْرِمُ عَلَى الصَّيْدِ يَدًا فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، فَإِنْ صَارَتْ يَدُهُ عَلَيْهِ بِأَنْ قَبَضَهُ بِالْهِبَةِ أَوْ بِالْبَيْعِ فَهُوَ ضَامِنٌ لَهُ بِالْجَزَاءِ لِلْفُقَرَاءِ وَبِالْقِيمَةِ لِلْمَالِكِ إِنْ كَانَ مَقْبُوضًا عَنْ بَيْعٍ؛ لِأَنَّ الْمَقْبُوضَ عَنْ بَيْعٍ فَاسِدٍ مَضْمُونٌ، وَإِنْ كَانَ مَقْبُوضًا عَنْ هِبَةٍ فَفِي ضَمَانِ قِيمَتِهِ لِمَالِكِهِ وَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْهِبَةِ: هَلْ يَسْتَحِقُّ عَلَيْهِمَا الْمُكَافَأَةَ أَمْ لَا؟ :
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ ضَمَانُ قِيمَتِهِ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْمُكَافَأَةَ مُسْتَحَقَّةٌ.

PASAL
 Apabila seorang muḥill (yang tidak berihram) menghadiahkan seekor buruan kepada seorang muḥrim, atau menjualnya kepadanya, maka hal itu tidak sah, dan buruan tersebut tetap menjadi milik muḥill; karena seorang muḥrim tidak sah memiliki buruan selama dalam keadaan iḥrām.

Jika muḥrim tidak meletakkan tangan (tidak mengambil atau menguasai) atas buruan itu, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya.
 Namun jika ia meletakkan tangannya atasnya, seperti dengan mengambilnya dari hibah atau membeli, maka ia wajib menjaminnya:
 – dengan jazā’ untuk para fakir miskin, dan
 – dengan nilai (harga) untuk pemilik jika ia mengambilnya melalui jual beli.

Karena sesuatu yang diterima melalui akad jual beli fasid (batal) tetap wajib dijamin.

Namun jika ia mengambilnya melalui hibah, maka dalam hal jaminan nilainya untuk pemilik ada dua pendapat, yang diturunkan dari perbedaan dua qaul Imam asy-Syāfi‘ī tentang hibah: apakah hibah mewajibkan balasan atau tidak?

Salah satunya: ia wajib menjamin nilainya jika dikatakan bahwa balasan atas hibah adalah sesuatu yang wajib.


وَالثَّانِي: لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْمُكَافَأَةَ غَيْرُ مُسْتَحَقَّةٍ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ ضَامِنٌ لَهُ بِالْجَزَاءِ لِلْفُقَرَاءِ وَبِالْقِيمَةِ لِلْمَالِكِ عَلَى مَا بَيَّنَّا، فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَمُوتَ فِي يَدِهِ بِسَبَبٍ أَوْ غَيْرِ سَبَبٍ فَقَدِ اسْتَقَرَّ الضَّمَانُ فَيَلْزَمُهُ ضَمَانُ الْجَزَاءِ لِلْفُقَرَاءِ، أَوْ ضَمَانُ الْقِيمَةِ لِلْمَالِكِ عَلَى مَا وَصَفْنَا.

Dan pendapat kedua: tidak ada kewajiban jaminan atasnya jika dikatakan bahwa balasan atas hibah tidak wajib.

Maka apabila telah ditetapkan bahwa ia wajib menjamin:
 – dengan jazā’ untuk para fakir miskin, dan
 – dengan nilai untuk pemiliknya — sebagaimana telah kami jelaskan —
 maka keadaannya tidak lepas dari empat bagian:

Pertama: buruan itu mati di tangannya, baik karena sebab atau tanpa sebab, maka jaminan telah tetap baginya. Maka wajib atasnya menjamin:
 – jazā’ kepada para fakir miskin, atau
 – nilai kepada pemilik, sesuai dengan apa yang telah kami uraikan.


وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَرُدَّهُ عَلَى مَالِكِهِ فَيَسْقُطَ عَنْهُ ضَمَانُ قِيمَتِهِ لِلْمَالِكِ وَيَبْقَى عَلَيْهِ ضَمَانُ الْجَزَاءِ لِلْفُقَرَاءِ؛ لِأَنَّ الصَّيْدَ إِذَا ضُمِنَ بِالْجَزَاءِ لَمْ يَسْقُطْ ضَمَانُهُ إِلَّا بِإِرْسَالٍ.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُرْسِلَهُ فَيَسْقُطَ عَنْهُ ضَمَانُ الْجَزَاءِ وَيَبْقَى عَلَيْهِ ضَمَانُ قِيمَتِهِ لِلْمَالِكِ عَلَى مَا وَصَفْنَا.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ بَاقِيًا فِي يَدِهِ حَتَّى يَحِلَّ مِنْ إِحْرَامِهِ، فَضَمَانُ قِيمَتِهِ لِلْمَالِكِ بَاقٍ عَلَيْهِ، فَأَمَّا ضَمَانُ الْجَزَاءِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ بَاقٍ عَلَيْهِ.
وَفِيهِ وَجْهٌ آخَرُ: أَنَّهُ قَدْ سَقَطَ ضَمَانُ الْجَزَاءِ عَنْهُ.

dan bagian kedua: yaitu ia mengembalikannya kepada pemiliknya, maka gugurlah dari tanggungannya jaminan nilai kepada pemilik, namun tetap atasnya tanggungan jazā’ untuk para fakir miskin; karena apabila buruan dijamin dengan jazā’, maka tidak gugur jaminannya kecuali dengan pelepasan.

dan bagian ketiga: yaitu ia melepaskannya, maka gugurlah dari tanggungannya jazā’, namun tetap atasnya jaminan nilai kepada pemilik sebagaimana telah kami jelaskan.

dan bagian keempat: yaitu buruan itu tetap berada di tangannya hingga ia tahallul dari iḥrām-nya, maka jaminan nilai kepada pemilik tetap atasnya, adapun jaminan jazā’, maka mazhab asy-Syafi‘i menyatakan bahwa itu tetap atasnya.

dan ada pendapat lain: bahwa jaminan jazā’ telah gugur darinya.


فَصْلٌ
: إِذَا مَلَكَ الْمُحِلُّ صَيْدًا ثُمَّ مَاتَ وَوَارِثُهُ مُحْرِمٌ فَلَا حَقَّ لِغَيْرِ الْوَارِثِ فِي الصَّيْدِ، وَلَكِنْ هَلْ يَمْلِكُهُ الْوَارِثُ فِي حَالِ إِحْرَامِهِ أَوْ بَعْدَ إِحْلَالِهِ؟ عَلَى وجهين:
أحدهما: أنه يكون باقياً على ملك المبيت وَلَا يَنْتَقِلُ إِلَى مِلْكِ الْوَارِثِ إِلَّا بَعْدَ إِحْلَالِهِ؛ لِأَنَّ الْمُحْرِمَ لَا يَصِحُّ مِنْهُ أَنْ يَبْتَدِئَ مِلْكَ صَيْدٍ.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَنْتَقِلُ إِلَى مِلْكِ الْوَارِثِ فِي الْحَالِ، وَإِنْ كَانَ مُحْرِمًا؛ لِأَنَّ الْمِيرَاثَ يُمْلَكُ بِغَيْرِ اخْتِيَارٍ، فَبَايَنَ سَائِرَ التَّمْلِيكَاتِ.

PASAL
 Apabila orang yang tidak berihram memiliki buruan lalu ia meninggal dunia dan ahli warisnya sedang berihram, maka tidak ada hak bagi selain ahli waris atas buruan tersebut. Namun, apakah ahli waris dapat memilikinya dalam keadaan sedang berihram ataukah setelah tahallul? Ada dua pendapat:

Pendapat pertama: Buruan itu tetap berada dalam kepemilikan si pewaris, dan tidak berpindah ke kepemilikan ahli waris kecuali setelah ia tahallul; karena seorang muḥrim tidak sah baginya untuk memulai kepemilikan atas buruan.

Pendapat kedua: Kepemilikan itu berpindah kepada ahli waris secara langsung meskipun ia sedang berihram; karena warisan dimiliki tanpa adanya pilihan, sehingga berbeda dengan bentuk kepemilikan lainnya.


فَصْلٌ
: إِذَا بَاعَ الْمُحِلُّ صَيْدًا عَلَى مُحِلٍّ ثُمَّ أحرم البائع وفلس الْمُشْتَرِي قَبْلَ دَفْعِ الثَّمَنِ لَمْ يَكُنِ لِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِعَيْنِ مَالِهِ وَهُوَ الصَّيْدُ مَا دَامَ مُحْرِمًا؛ لِأَنَّ الرُّجُوعَ بِهِ أَبْدَى تَمَلُّكَهُ لِلصَّيْدِ بِاخْتِيَارِهِ، فَإِنْ أَحَلَّ مِنْ إِحْرَامِهِ جَازَ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ.

PASAL:
 Jika orang yang halal menjual buruan kepada orang yang juga halal, lalu si penjual berihram dan si pembeli bangkrut sebelum membayar harga, maka si penjual tidak boleh mengambil kembali barangnya —yaitu buruan— selama ia masih dalam keadaan iḥrām; karena mengambil kembali barang tersebut berarti menunjukkan bahwa ia memiliki buruan dengan pilihannya sendiri. Jika ia telah taḥallul dari iḥrām-nya, maka boleh baginya mengambil kembali buruan tersebut.


فَصْلٌ
: إِذَا اسْتَعَارَ الْمُحْرِمُ صيداً في مُحِلٍّ فَتَلِفَ الصَّيْدُ فِي يَدِ الْمُسْتَعِيرِ الْمُحْرِمِ فَعَلَيْهِ ضَمَانُ الْجَزَاءِ لِلْمَسَاكِينِ وَالْقِيمَةِ لِلْمَالِكِ، أَمَّا الْجَزَاءُ فَلِأَنَّهُ صَيْدٌ تَلِفَ فِي يَدِ مُحْرِمٍ، وَأَمَّا الْقِيمَةُ فَلِأَنَّهَا عَارِيَةٌ تَلِفَتْ فِي يَدِ مُسْتَعِيرٍ، فَأَمَّا إِذَا اسْتَعَارَ الْمُحِلُّ صَيْدًا مِنْ مُحْرِمٍ فَتَلِفَ الصَّيْدُ فِي يَدِ الْمُسْتَعِيرِ الْمُحِلِّ فَهَذَا مَبْنِيٌّ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْمُحْرِمِ: هَلْ يَزُولُ مِلْكُهُ عَنِ الصَّيْدِ أَمْ لَا؟ فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ مِلْكَهُ قَدْ زَالَ عَنِ الصيد فعلى المحرم المعبر الْجَزَاءُ وَلَا قِيمَةَ عَلَى الْمُسْتَعِيرِ الْمُحِلِّ، وَإِنَّمَا لَزِمَ الْمُعِيرَ الْجَزَاءُ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ ضَامِنًا لَهُ بِالْيَدِ وَلَمْ يَلْزَمِ الْمُسْتَعِيرَ بِالْقِيمَةِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ خَرَجَ مِنْ مِلْكِ الْغَيْرِ، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ مِلْكَهُ لَمْ يَزَلْ عَنِ الصَّيْدِ فَلَا جَزَاءَ عَلَى الْمُحْرِمِ وَالْمُعِيرِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَضْمَنُهُ إِلَّا بِالْجِنَايَةِ، وَعَلَى الْمُسْتَعِيرِ الْمُحِلِّ الْقِيمَةُ؛ لأنها عارية مملوكة، والعارية مضمونة.

PASAL
 Apabila seorang muḥrim meminjam seekor buruan dari orang yang tidak berihram di tanah halal, lalu buruan itu rusak di tangan peminjam yang sedang berihram, maka wajib atasnya menanggung jazā’ bagi para miskin dan nilai (harga) bagi pemilik. Adapun jazā’, karena buruan itu rusak di tangan seorang muḥrim; dan adapun nilai, karena ia adalah barang pinjaman yang rusak di tangan peminjam.

Adapun jika orang yang tidak berihram meminjam buruan dari seorang muḥrim, lalu buruan itu rusak di tangan peminjam yang tidak berihram, maka hal ini dibangun di atas perbedaan dua pendapat Imam al-Syafi‘i mengenai muḥrim: apakah kepemilikannya atas buruan menjadi gugur atau tidak?

  • Jika dikatakan bahwa kepemilikannya atas buruan telah gugur, maka jazā’ wajib atas muḥrim yang meminjamkan, dan tidak ada kewajiban nilai atas peminjam yang tidak berihram. Kewajiban jazā’ atas peminjamkan karena ia telah menjadi penjamin atas buruan itu dengan tangannya, dan tidak wajib atas peminjam nilai buruan karena buruan itu telah keluar dari milik orang lain.
  • Jika dikatakan bahwa kepemilikan muḥrim atas buruan tidak gugur, maka tidak ada jazā’ atas muḥrim peminjamkan, karena ia tidak menanggung kecuali karena pelanggaran (jināyah), dan kewajiban atas peminjam yang tidak berihram adalah membayar nilai buruan karena itu adalah barang pinjaman yang masih dimiliki, dan barang pinjaman adalah sesuatu yang wajib diganti.


مسألة: قال الشافعي: رضي الله عنه: ” مُفْرِدًا كَانَ أَوْ قَارِنًا فجزاءٌ واحدٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: كُلُّ مَا وَجَبَ بِالْإِحْرَامِ مِنْ جَزَاءِ الصَّيْدِ أَوْ كَفَارَّةِ أَذَى أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ سَائِرِ الدِّمَاءِ فَهُوَ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ والقرن سَوَاءٌ، فَإِنْ قَتَلَ الْقَارِنُ صَيْدًا فَعَلَيْهِ جَزَاءٌ وَاحِدٌ وَإِنْ حَلَقَ أَوْ تَطَيَّبَ فَعَلَيْهِ دَمٌ وَاحِدٌ، وَقَالَ أبو حنيفة: مَحْظُورَاتُ الْإِحْرَامِ تَتَضَاعَفُ عَلَى الْقَارِنِ، فَإِذَا قَتَلَ الْقَارِنُ صَيْدًا فَعَلَيْهِ جَزَاءَانِ، وَإِنْ حَلَقَ أَوْ تَطَيَّبَ فَعَلَيْهِ دَمَانِ، استدلالاً بأنه قال: لأنه أدخل نقضاً عَلَى نُسُكَيْنِ، فَوَجَبَ أَنْ يَفْتَدِيَ بِجَزَاءَيْنِ وَكَفَارَّتَيْنِ كَمَا لَوْ كَانَ النُّسُكَانِ مُفْرَدَيْنَ، قَالَ: وَلِأَنَّ مَحْظُورَاتِ الْإِحْرَامِ تُوجِبُ الْكَفَّارَةَ، وَقَدْ تُوجِبُ الْقَضَاءَ، فلما كان مما يوجب القضاء وهو الوطء إذا أوقعه فِي الْقِرَانِ مُخَالِفًا لِمَا أَوْقَعَهُ فِي الْإِفْرَادِ ولزمه كَفَّارَتَانِ.

Masalah: Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Baik dalam keadaan ifrād maupun qirān, maka jazā’-nya satu.”

Al-Māwardī berkata: Semua yang diwajibkan karena iḥrām berupa jazā’ atas buruan, atau kafārah atas pelanggaran, atau selainnya dari berbagai jenis dam, maka hukumnya dalam ḥajj, ‘umrah, dan qirān adalah sama. Maka jika orang yang qārin membunuh buruan, maka atasnya satu jazā’, dan jika ia mencukur rambut atau memakai wewangian, maka atasnya satu dam.

Adapun Abū Ḥanīfah berpendapat: pelanggaran-pelanggaran iḥrām menjadi berlipat atas orang yang qārin. Maka jika orang yang qārin membunuh buruan, maka atasnya dua jazā’, dan jika ia mencukur atau memakai wewangian, maka atasnya dua dam. Ia berdalil bahwa hal itu karena ia telah merusak dua ibadah (nusuk), maka wajib baginya membayar dua jazā’ dan dua kafārah, sebagaimana jika kedua ibadah tersebut dilakukan secara terpisah (mufrad).

Ia berkata: dan karena pelanggaran iḥrām mewajibkan kafārah, dan terkadang juga mewajibkan penggantian (qaḍā’), maka ketika termasuk yang mewajibkan qaḍā’ seperti hubungan suami istri jika dilakukan dalam qirān, maka berbeda hukumnya dibandingkan jika dilakukan dalam ifrād, dan wajib baginya dua kafārah.


وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهُ أَحَدُ مُوَجِبِي فعله المحظور في إحرامه، فوجب أن موجب الْقِرَانِ أَغْلَظَ مِمَّا أَوْجَبَهُ فِي الْإِفْرَادِ كَالْقَضَاءِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ: قَوْله تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَقْتُلُواْ الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّداً فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ} (المائدة: 95) وَاسْمُ الْإِحْرَامِ يَقَعُ عَلَى الْقَارِنِ وَالْمُفْرَدِ ثُمَّ عَلَّقَ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ جَزَاءً وَاحِدًا فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجِبَ عَلَيْهِ سواه؛ ولقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: في الضبع إذا أصابه الحرم كَبْشًا فَعَمَّ بِالْحُكْمِ كُلَّ مُحْرِمٍ وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ مفردٍ أَوْ قَارَنٍ، وَلِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ – وَهُوَ أَنَّهُمْ أَوْجَبُوا عَلَى الْمُحْرِمِ فِي النَّعَامَةِ بِدِنَةً، وَفِي حِمَارِ الْوَحْشِ بَقَرَةً، وَفِي الضَّبُعِ كَبْشًا، وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ مفردٍ أَوْ قارنٍ؛ وَلِأَنَّهُمَا حُرْمَتَانِ يَجِبُ بهتك كل واحد مِنْهُمَا عَلَى الْإِفْرَادِ جزاءٌ واحدٌ، فَوَجَبَ إِذَا جمعهما أَنْ يَجِبَ بِهَتْكِهِمَا جزاءٌ واحدٌ، كَالْمُحْرِمِ إِذَا قَتَلَ صَيْدًا فِي الْحَرَمِ؛ وَلِأَنَّهُ صَيْدٌ وَاحِدٌ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجِبَ بِقَتْلِهِ إِلَّا جَزَاءٌ واحد، كالمفرد لأنه نَقْصٌ يَجِبُ عَلَى الْمُفْرِدِ بِهِ دَمٌ وَاحِدٌ، فَوَجَبَ أَنْ يَجِبَ عَلَى الْقَارِنِ بِهِ دَمٌ وَاحِدٌ كَتَرْكِ الْمِيقَاتِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى قَتْلِ الصَّيْدِ فِي نُسُكَيْنِ مُفْرَدَيْنِ فَالْمَعْنَى فِيهِ: أَنَّهُ وَجَبَ عَلَيْهِ جَزَاءَانِ؛ لِأَنَّهُ قَتَلَ الصَّيْدَيْنِ؛ فَلِذَلِكَ وَجَبَ عَلَيْهِ جَزَاءَانِ، وَلَوْ قَتَلَهُمَا فِي نسكٍ وَاحِدٍ لَوَجَبَ عَلَيْهِ جَزَاءَانِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْقَارِنُ؛ لِأَنَّهُ قَتَلَ صَيْدًا وَاحِدًا فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ جَزَاءٌ وَاحِدٌ كَالْمُفْرِدِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْقَضَاءِ فَمُنْتَقِضٌ بِتَرْكِ الْمِيقَاتِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْقَضَاءِ: أَنَّهُ مُعْتَبَرٌ بِالْأَدَاءِ، فَلَمَّا كَانَ مُؤَدِّيًا لِنُسُكَيْنِ فوجب أَنْ يَكُونَ قَاضِيًا لِنُسُكَيْنِ، وَالْجَزَاءُ مُعْتَبَرٌ بِالصَّيْدِ، فَلَمَّا كَانَ الصَّيْدُ وَاحِدًا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الجزاء واحداً.

Dan penjelasan masalah ini secara qiyās: bahwa ia (qārin) termasuk salah satu yang melakukan larangan dalam keadaan iḥrām-nya, maka wajiblah bahwa kewajiban pada qārin lebih berat dari yang wajib pada mufrid, seperti halnya dalam *qaḍā’. Dan dalil atas hal itu adalah firman Allah Ta‘ālā:

Yā ayyuhā alladzīna āmanū lā taqtulū aṣ-ṣayda wa antum ḥurum, wa man qatalahu minkum muta‘ammidan fa-jazā’un mitslu mā qatal mina an-na‘m (QS al-Mā’idah: 95).

Dan nama iḥrām mencakup qārin dan mufrid, kemudian Allah Ta‘ālā menggantungkan (hukuman) padanya dengan satu jazā’, maka wajib bahwa tidak wajib atasnya selain itu.

Dan karena sabda Nabi SAW tentang ḍab‘ (hyena) apabila mengenainya (dalam keadaan) ḥaram: “seekor kambing jantan,” maka beliau menggeneralisasi hukum tersebut untuk seluruh orang yang sedang iḥrām, dan tidak membedakan antara mufrid dan qārin.

Dan karena ijmā‘ para sahabat RA, bahwa mereka mewajibkan atas orang yang muḥrim untuk unta pada buruan na‘āmah, sapi pada ḥimār waḥsy, dan kambing jantan pada ḍab‘, dan mereka tidak membedakan antara mufrid dan qārin.

Dan karena keduanya adalah dua kehormatan (ḥurmatān) yang apabila masing-masing dilanggar dalam keadaan ifrād, maka wajib satu jazā’, maka apabila dikumpulkan (dilanggar keduanya) wajiblah satu jazā’, seperti orang yang sedang iḥrām lalu membunuh buruan di tanah ḥaram.

Dan karena buruan itu hanya satu, maka wajib bahwa tidak dikenakan atas pembunuhannya kecuali satu jazā’, seperti mufrid, karena itu adalah satu kekurangan yang mewajibkan atas mufrid satu darah (dam), maka wajib pula atas qārin satu darah, seperti orang yang meninggalkan mīqāt.

Adapun qiyās mereka terhadap pembunuhan buruan dalam dua nusuk mufradān, maka alasannya adalah: bahwa dia dikenai dua jazā’ karena dia membunuh dua buruan, maka karena itu wajib atasnya dua jazā’, dan seandainya dia membunuh keduanya dalam satu nusuk, niscaya wajib pula dua jazā’. Tetapi qārin tidaklah demikian, karena dia membunuh satu buruan, maka wajib atasnya satu jazā’ sebagaimana mufrid.

Adapun qiyās mereka terhadap qaḍā’, maka tertolak dengan (kasus) meninggalkan mīqāt. Dan makna dalam qaḍā’ adalah bahwa ia mengikuti adā’ (pelaksanaan ibadah), maka ketika dia sedang melaksanakan dua nusuk, maka wajib pula mengganti dua nusuk. Sedangkan jazā’ mengikuti buruan, maka ketika buruannya satu, wajib pula bahwa jazā’-nya satu.


مسألة: قال الشافعي: رضي الله عنه: ” وَلَوِ اشْتَرَكُوا فِي قَتْلِ صيدٍ لَمْ يَكُنْ عليهم إلا جزاءٌ واحدٌ وهو قول ابْنِ عُمَرَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا اشْتَرَكَ جماعة محرمون فِي قَتْلِ صَيْدٍ فَعَلَى جَمَاعَتِهِمْ جَزَاءٌ وَاحِدٌ، ولو كانوا مائة، وَهُوَ قَوْلُ جَمِيعِ الصَّحَابَةِ وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ، وَقَالَ مَالِكٌ وَالثَّوْرِيُّ وأبو حنيفة وَصَاحِبَاهُ: عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ جَزَاءٌ كَامِلٌ، ثُمَّ نَاقَضَ أبو حنيفة فِي صَيْدِ الْحَرَمِ فَقَالَ: إِذَا اشْتَرَكَ جَمَاعَةٌ فِي قَتْلِ صَيْدِ الْمُحْرِمِ فَعَلَى جَمِيعِهِمْ جَزَاءٌ وَاحِدٌ، وَالْكَلَامُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: هَلْ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ جَزَاءٌ كَامِلٌ أَمْ لَا؟

Masalah: Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika mereka bersama-sama membunuh seekor buruan, maka tidak wajib atas mereka kecuali satu jazā’ saja.” Dan ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar.

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: apabila sekelompok orang yang sedang iḥrām bersama-sama membunuh seekor buruan, maka atas mereka secara keseluruhan hanya satu jazā’, meskipun jumlah mereka seratus orang. Dan ini adalah pendapat seluruh sahabat dan mayoritas fuqahā’.

Adapun Mālik, ats-Tsaurī, Abū Ḥanīfah dan dua sahabatnya berpendapat: atas masing-masing dari mereka wajib satu jazā’ secara penuh.

Namun Abū Ḥanīfah membuat kontradiksi dalam masalah buruan di tanah ḥaram; ia berkata: jika sekelompok orang bersama-sama membunuh buruan milik orang yang sedang iḥrām di tanah ḥaram, maka atas mereka semua satu jazā’.

Dan pembahasan dalam masalah ini mencakup dua bagian:
 Pertama: Apakah atas masing-masing dari mereka satu jazā’ penuh atau tidak?


وَالثَّانِي: هَلِ الْجَزَاءُ يَجْرِي مَجْرَى الْكَفَّارَاتِ أَوْ ضَمَانِ الْأَمْوَالِ، واستدلوا أَنَّ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ جَزَاءً كَامِلًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّداً فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ} (المائدة: 95) فَعَلَّقَ الْجَزَاءَ عَلَى شَرْطِ الْقَتْلِ بِلَفْظَةِ مَنْ، وَلَفْظَةُ (مَنْ) إِذَا عُلِّقَ عَلَيْهَا الْجَزَاءُ اسْتَوَى حَالُ الْوَاحِدِ وَالْجَمَاعَةِ فِي اسْتِحْقَاقِ ذَلِكَ الْجَزَاءِ كَقَوْلِهِ: مَنْ دَخَلَ دَارِي فَلَهُ دِرْهَمٌ، فَلَوْ دَخَلَهَا وَاحِدٌ اسْتَحَقَّ دِرْهَمًا وَلَوْ دَخَلَهَا مِائَةٌ اسْتَحَقَّ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ دِرْهَمًا كَذَلِكَ فِي جَزَاءِ الصَّيْدِ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ هَتَكَ حُرْمَةَ إِحْرَامِهِ بِالْقَتْلِ فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ جَزَاءٌ كَامِلٌ، كَمَا لَوْ تَفَرَّدَ بِالْقَتْلِ؛ وَلِأَنَّهَا كَفَّارَةٌ يَدْخُلُهَا الصَّوْمُ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَنْتَقِضَ قِيَاسًا عَلَى كَفَّارَةِ الْقَتْلِ، وَاسْتَدَلُّوا عَلَى أَنَّ الْجَزَاءَ يَجْرِي مَجْرَى الْكَفَّارَاتِ، دُونَ ضَمَانِ الْأَمْوَالِ بِأَنَّ مَنْ قَتَلَ صَيْدًا لِنَفْسِهِ لَزِمَهُ الْجَزَاءُ، وَلَوْ كَانَ يَجْرِي مَجْرَى ضَمَانِ الْأَمْوَالِ سَقَطَ عَنْهُ الْجَزَاءُ كَسَائِرِ أَمْوَالِهِ، أَلَا تَرَى أَنَّ الدِّيَةَ لَمَّا كَانَتْ جَارِيَةً مَجْرَى ضَمَانِ الْأَمْوَالِ سَقَطَتْ عَنِ السيد في قتل عبده، ولما كانت الكفارات مخالفة لها لم تسقط الكفارات عَنِ السَّيِّدِ بِقَتْلِ عَبْدِهِ؛ وَلِأَنَّهُ لَوْ قَتَلَ صَيْدًا مَمْلُوكًا لَزِمَهُ الْجَزَاءُ وَالْقِيمَةُ، فَلَوْ كَانَ الْجَزَاءُ كَالْقِيمَةِ لَمْ يَجْتَمِعَا، وَلِأَنَّ الْجَزَاءَ يَدْخُلُ فيه الصَّوْمُ، وَضَمَانُ الْأَمْوَالِ لَا يَدْخُلُ فِيهِ الصَّوْمُ، وَلِأَنَّ مَا سِوَى الْجَزَاءِ مِنْ مَحْظُورَاتِ الْإِحْرَامِ كَفَارَّةٌ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْجَزَاءُ الَّذِي هُوَ أَيْضًا مِنْ مَحْظُورَاتِ الْإِحْرَامِ كَفَّارَةٌ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى أن على جماعتهم جزاء واحد قَوْله تَعَالَى: {وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّداً فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ) {المائدة: 95) وَمِنْهَا دَلِيلَانِ:

dan yang kedua: apakah jazā’ itu berlaku seperti kafārat atau seperti ganti rugi harta? Mereka berdalil bahwa atas setiap orang dari mereka dikenakan jazā’ yang sempurna, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “wa man qatalahu minkum muta‘ammidan fa-jazā’un miṡlu mā qatal(a) mina an-na‘am” (al-Mā’idah: 95). Maka Allah menggantungkan jazā’ dengan syarat membunuh, menggunakan lafaz man, dan lafaz man apabila padanya digantungkan jazā’, maka keadaan orang satu dan jamaah dalam menanggung jazā’ itu sama, seperti ucapan: man dakhala dārī falahu dirham, maka jika satu orang masuk, dia berhak mendapatkan satu dirham, dan jika seratus orang masuk, maka setiap dari mereka berhak satu dirham. Maka demikian pula dalam jazā’ buruan; dan karena setiap dari mereka telah melanggar kehormatan iḥrām-nya dengan membunuh, maka wajib atasnya jazā’ sempurna, sebagaimana jika ia sendirian yang membunuh; dan karena ia adalah kafārah yang mencakup puasa, maka tidak boleh diqiyaskan dengan ganti rugi harta; dan mereka berdalil bahwa jazā’ itu berjalan sebagaimana kafārat, bukan seperti ganti rugi harta, karena siapa pun yang membunuh buruan untuk dirinya sendiri tetap wajib membayar jazā’, dan jika itu seperti ganti rugi harta, niscaya gugur jazā’-nya sebagaimana harta miliknya yang lain. Bukankah engkau melihat bahwa diyat, ketika dianggap sebagai ganti rugi harta, maka gugur dari tuan (majikan) jika ia membunuh hambanya? Namun ketika kafārat berbeda darinya, maka kafārat tidak gugur dari tuan yang membunuh hambanya; dan karena jika seseorang membunuh buruan yang dimiliki, maka wajib atasnya jazā’ dan nilai harta (dari buruan itu), maka jika jazā’ itu seperti nilai harta, niscaya keduanya tidak akan berkumpul (dalam satu kasus); dan karena jazā’ mencakup puasa, sedangkan ganti rugi harta tidak mencakup puasa; dan karena selain jazā’ dari larangan-larangan iḥrām adalah kafārah, maka seharusnya jazā’ yang juga termasuk larangan iḥrām adalah kafārah juga. Dan dalil yang menunjukkan bahwa atas jamaah mereka hanya dikenakan satu jazā’ adalah firman Allah Ta‘ālā: “wa man qatalahu minkum muta‘ammidan fa-jazā’un miṡlu mā qatal(a) mina an-na‘am” (al-Mā’idah: 95), dan dari ayat ini terdapat dua dalil:…


أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَّقَ الْجَزَاءَ بِلَفْظِ (مَنْ) عَلَى شَرْطِ الْقَتْلِ، وَالشَّرْطُ إِذَا عُلِّقَ عَلَيْهِ بِلَفْظِ (مَنْ) إِنْ كَانَ مَوْجُودًا مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْجَمَاعَةِ اسْتَحَقَّ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ جَزَاءً كَامِلًا كَقَوْلِهِ:
مَنْ دَخَلَ دَارِي فَلَهُ دِرْهَمٌ، فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ دِرْهَمٌ؛ لِأَنَّ الدُّخُولَ مَوْجُودٌ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ، وَإِنْ كَانَ الشَّرْطُ مَوْجُودًا مِنْ جَمَاعَتِهِمْ فَالْجَزَاءُ مُسْتَحَقٌّ مِنْ جَمَاعَتِهِمْ دُونَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ، كَقَوْلِهِ: مَنْ جَاءَ بِعَبْدِيَ الْآبِقِ فَلَهُ دِرْهَمٌ، وَمَنْ شَالَ الْحَجَرَ فَلَهُ دِرْهَمٌ، فَإِذَا اشْتَرَكَ جَمَاعَةٌ فِي شَيْلِ الْحَجْرِ وَالْمَجِيءِ بِالْآبِقِ فَالدِّرْهَمُ مُسْتَحَقٌّ بَيْنَ جماعتهم، ولا يستحقه كل واحد في شَيْلَ الْحَجْرِ وَالْمَجِيءَ بِالْآبِقِ وُجِدَ مِنْ جَمَاعَتِهِمْ دُونَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ كَذَلِكَ الْقَتْلُ لَمَّا كَانَ مَوْجُودًا مِنْ جَمَاعَتِهِمْ دُونَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْجَزَاءُ مُسْتَحَقًّا بَيْنَ جَمَاعَتِهِمْ دُونَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ، وَفِي هَذَا اسْتِدْلَالٌ وَانْفِصَالٌ.
وَالدَّلِيلُ الثَّانِي مِنَ الْآيَةِ: قَوْله تَعَالَى: {فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ) {المائدة: 95) فَأَوْجَبَ فِي قَتْلِ الصَّيْدِ جَزَاءً وَهُوَ مِثْلُ الْمَقْتُولِ، وَمِثْلُ الْوَاحِدِ وَاحِدٌ سَوَاءٌ كَانَ الْقَتْلُ مِنْ قَاتَلٍ وَاحِدٍ أَوْ مِنْ جَمَاعَةٍ كَمَا أَنَّ مِثْلَ الْعَشْرَةِ عَشْرَةٌ، سَوَاءٌ كَانَ الْقَتْلُ مِنْ وَاحِدٍ أَوْ مِنْ جَمَاعَةٍ، وَمِنَ الدَّلَالَةِ عَلَيْهِ: حَدِيثُ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الضَّبُعُ صيدٌ يُؤْكَلُ وَفِيهِ كبشٌ إِذَا أَصَابَهُ الْمُحْرِمُ ” فَذَكَرَ الْمُحْرِمَ بِالْأَلْفِ وَاللَّامِ الْمُسْتَوْعِبَةِ لِلْجِنْسِ؛ ثُمَّ جَعَلَ جَمِيعَ مُوجِبِهِ الْكَبْشَ؛ وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ – رُوِيَ ذَلِكَ عنهم في قضيتين منتشرتين:

salah satunya: bahwa Allah menggantungkan kewajiban jazā’ dengan lafaz (man) pada syarat pembunuhan, dan apabila syarat digantungkan dengan lafaz (man), maka jika syarat itu terdapat pada setiap individu dari suatu kelompok, maka setiap individu dari mereka berhak atas jazā’ yang sempurna, sebagaimana dalam ucapan: “man masuk ke rumahku, maka baginya satu dirham,” maka setiap orang dari mereka mendapatkan satu dirham, karena masuk itu terjadi dari setiap individu mereka. Namun jika syarat itu hanya ada dari keseluruhan kelompoknya saja, maka jazā’ menjadi hak bagi kelompoknya saja, bukan bagi masing-masing individu, sebagaimana ucapan: “man membawa budakku yang melarikan diri maka baginya satu dirham,” dan “man mengangkat batu maka baginya satu dirham.” Maka jika suatu kelompok bekerja sama dalam mengangkat batu dan membawa budak yang melarikan diri, maka dirham itu menjadi hak bagi kelompok mereka, dan tidak menjadi hak bagi setiap individu mereka. Karena perbuatan mengangkat batu dan membawa budak itu hanya terjadi dari kelompoknya saja, bukan dari masing-masing individu. Maka demikian pula dalam pembunuhan: karena pembunuhan itu terjadi dari kelompoknya saja, bukan dari setiap individu mereka, maka jazā’ wajib atas kelompok mereka saja, bukan atas setiap individu mereka. Dan dalam hal ini terdapat dalil dan pemisahan argumentasi.

Dalil kedua dari ayat adalah firman-Nya: {fa-jazāʾun miṡlu mā qatal(a) min an-naʿam} (al-Mā’idah: 95). Maka Allah mewajibkan atas pembunuhan buruan suatu jazā’ yang serupa dengan yang dibunuh. Dan serupa satu itu adalah satu, baik pembunuhan dilakukan oleh satu orang atau oleh suatu kelompok. Sebagaimana serupa sepuluh itu adalah sepuluh, baik dilakukan oleh satu orang atau oleh sekelompok orang.

Dan di antara dalil yang menunjukkan hal itu adalah hadis Jābir bahwa Nabi SAW bersabda: “aḍ-ḍabʿu ṣaydun yuʾkulu wa-fīhi kabšun iḏā aṣābahu al-muḥrim” (serigala betina adalah buruan yang boleh dimakan, dan wajib satu kambing jika dibunuh oleh seorang muḥrim). Maka Nabi menyebut al-muḥrim dengan menggunakan alif-lām yang mencakup seluruh jenis (mencakup semua orang yang berihram), kemudian beliau menetapkan bahwa semua yang membunuhnya (dari kalangan muḥrim) wajib kambing sebagai jazā’-nya.

Dan karena ini adalah ijmāʿ para sahabat RA, dan telah dinukil dari mereka dalam dua peristiwa yang masyhur:


أحدهما: مَا رُوِيَ أَنَّ مَوَالِيَ لِابْنِ الزُبَيْرِ أَحْرَمُوا فَمَرَّتْ بِهِمْ ضبعٌ فَحَذَفُوهَا بِعِصِيِّهِمْ فَأَصَابُوهَا فَوَقَعَ فِي أَنْفُسِهِمْ، فَأَتَوُا ابْنَ عُمَرَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ له، فقال: إني لمعرتٌ بِكَمْ: عَلَيْكُمْ كبشٌ، فَقَالُوا: عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ ٍمنها؟ فَقَالَ: بَلَ عَلَيْكُمْ جَمِيعًا، يَعْنِي بِقَوْلِهِ: إِنِّي لمعرت أَيْ: لَمُشَدِّدٌ عَلَيْكُمْ.
وَالثَّانِيَةُ: مَا رُوِيَ أَنَّ مُحْرِمَيْنِ وَطِئَا صَيْدًا بِفَرَسِهِمَا فَقَتَلَاهُ فَسَأَلَا عُمَرَ عَنْهُ فَقَالَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ: مَا تَقُولُ فِيهِ؟ قَالَ: عَلَيْهِمَا شَاةٌ، فَقَضَى عُمَرُ عَلَيْهِمَا بِالشَّاةِ، فَكَانَ ذَلِكَ مَذْهَبَ عُمَرَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ وَابْنِ عُمَرَ فِي قَضِيَّتَيْنِ مُنْتَشِرَتَيْنِ، وَلَيْسَ لَهُمَا فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ، وَمِنْ طَرِيقِ الِاعْتِبَارِ أَنْ نَقُولَ: لِأَنَّهُ صَيْدٌ وَاحِدٌ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجِبَ بقتله إلا جزاء واحداً كَالْقَاتِلِ الْوَاحِدِ، وَلِأَنَّ كُلَّ صَيْدٍ لَوِ انْفَرَدَ بِقَتْلِهِ كَانَ فِيهِ جَزَاءٌ وَاحِدٌ فَإِذَا اشْتَرَكَ فِيهِ جَمَاعَةٌ كَانَ فِيهِ جَزَاءٌ وَاحِدٌ كَالْمُحِلِّينَ إِذَا اشْتَرَكُوا فِي قَتْلِ صَيْدٍ فِي الْمُحْرِمِ وَلِأَنَّ الصَّيْدَ قَدْ يُضْمَنُ بِالْجَزَاءِ وَيُضْمَنُ بِالْقِيمَةِ، فَلَمَّا اسْتَوَى فِي ضَمَانِ الْقِيمَةِ حَالُ الْوَاحِدِ، وَالْجَمَاعَةِ وَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ فِي ضَمَانِ الْجَزَاءِ حَالُ الْوَاحِدِ وَالْجَمَاعَةِ.

pertama: adalah riwayat bahwa para mawālī (budak yang telah dimerdekakan) milik Ibnuz Zubair berihram, lalu seekor serigala betina melewati mereka, lalu mereka melemparnya dengan tongkat-tongkat mereka hingga mengenainya, dan kejadian itu membuat hati mereka gelisah. Maka mereka mendatangi Ibn ʿUmar dan menceritakan hal itu kepadanya. Maka dia berkata: “inni la-muʿarratun bikum: ʿalaikum kabšun” (sungguh aku benar-benar menekankan atas kalian: atas kalian satu kambing). Mereka berkata: “Apakah atas setiap orang dari kami?” Dia menjawab: “Tidak, melainkan atas kalian secara keseluruhan.” Maksud dari ucapannya inni la-muʿarrat adalah: sungguh aku benar-benar memberatkan atas kalian.

kedua: adalah riwayat bahwa dua orang muḥrim menginjak seekor buruan dengan kuda mereka hingga membunuhnya, lalu mereka menanyakan hal itu kepada ʿUmar. Maka ʿUmar bertanya kepada ʿAbdurraḥmān: “Apa pendapatmu tentang hal ini?” Ia menjawab: “Atas mereka berdua seekor kambing.” Maka ʿUmar memutuskan atas mereka berdua dengan satu kambing. Maka ini adalah mazhab ʿUmar, ʿAbdurraḥmān, dan Ibn ʿUmar dalam dua kasus yang tersebar luas, dan tidak ada satu pun sahabat yang menyelisihi mereka dalam hal ini.

Dan dari sisi pertimbangan analogi (iʿtibār), kita dapat mengatakan: karena buruan itu hanya satu, maka wajib bahwa tidak ada jazā’ atas pembunuhannya kecuali satu jazā’ saja, sebagaimana jika pembunuhnya hanya satu orang. Dan karena setiap buruan jika dibunuh oleh satu orang maka wajib baginya satu jazā’, maka apabila sekelompok orang membunuhnya bersama-sama, maka wajib pula satu jazā’, sebagaimana orang-orang muḥill jika bersama-sama membunuh buruan pada seorang muḥrim.

Dan karena buruan bisa menjadi tanggungan dengan jazā’, dan bisa pula menjadi tanggungan dengan nilai (harga), maka ketika dalam hal nilai itu keadaan orang yang sendiri dan yang berkelompok sama, maka haruslah dalam hal tanggungan jazā’ pun keadaan orang yang sendiri dan yang berkelompok sama pula.


وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهُ صَيْدٌ مَضْمُونٌ بِالْجِنَايَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ فِي جِنَايَةِ الْوَاحِدِ وَالْجَمَاعَةِ كَالْقِيمَةِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّ الْجَزَاءَ يَجْرِي مَجْرَى ضَمَانِ الْأَمْوَالِ دُونَ الْكَفَّارَاتِ: أَنَّ الْجَزَاءَ قَدْ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ صَغِيرِ الصَّيْدِ وَكَبِيرِهِ، كَمَا يَخْتَلِفُ ضَمَانُ قِيمَتِهِ بِاخْتِلَافِ صِغَرِهِ وَكِبَرِهِ، وَلَوْ كَانَ كَفَّارَةً لَاسْتَوَى حُكْمُهُمَا فِي صِغَارِ الصَّيْدِ وَكِبَارِهِ كَمَا أَنَّ كَفَّارَةَ النُّفُوسِ يَسْتَوِي فِي كِبَارِ الْآدَمِيِّينَ وَصِغَارِهِمْ؛ وَلِأَنَّ الْجَزَاءَ لَوْ جَرَى مَجْرَى الْكَفَّارَةِ لَمَا كَانَ مَضْمُونًا بِالْيَدِ وَلَكَانَ لَا يُضْمَنُ إِلَّا بِالْجِنَايَةِ مِثْلَ كَفَّارَاتِ النُّفُوسِ، فَلَمَّا كَانَ مَضْمُونًا بِالْيَدِ والجناية ثبت أن ضمانه ضَمَانُ الْأَمْوَالِ؛ أَلَا تَرَى أَنَّ الْعَبْدَ الْمَغْصُوبَ إِذَا مَاتَ فِي يَدِ غَاصِبِهِ مِنْ غَيْرِ جِنَايَةٍ فَضَمِنَهُ بِالْيَدِ وَجَبَ عَلَيْهِ ضَمَانُ قِيمَتِهِ وَلَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ كَفَّارَةُ قَتْلِهِ؟ وَلِأَنَّ الْجَزَاءَ قَدْ يَجِبُ فِي الْجُمْلَةِ وَالْأَبْعَاضِ وَالْكَفَّارَةَ تَجِبُ فِي الْجُمْلَةِ وَلَا تُجِبُ فِي الْأَبْعَاضِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ ضَمَانَهُ ضَمَانُ الْأَمْوَالِ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَقَدْ مَضَى.

dan perincian hal itu berdasarkan qiyās adalah: bahwa buruan adalah sesuatu yang wajib diganti karena jināyah, maka wajib disamakan antara jināyah satu orang dan jināyah sekelompok orang sebagaimana dalam nilai harta. Dan dalil bahwa jazā’ berlaku seperti ganti rugi harta, bukan seperti kafārat: bahwa jazā’ dapat berbeda-beda sesuai perbedaan kecil atau besarnya buruan, sebagaimana ganti nilai hartanya juga berbeda menurut kecil besarnya. Jika jazā’ adalah kafārat, niscaya hukum antara buruan kecil dan besar akan sama, sebagaimana kafārat jiwa itu sama antara orang dewasa dan anak-anak.

Dan karena jika jazā’ berjalan seperti kafārat, niscaya tidak wajib diganti hanya karena sebab kepemilikan (tanggung jawab atas barang) tetapi hanya karena jināyah, sebagaimana kafārat jiwa. Maka ketika jazā’ wajib diganti karena kepemilikan dan jināyah, terbuktilah bahwa tanggungannya adalah seperti tanggungan harta. Bukankah engkau melihat bahwa hamba sahaya yang digasap, jika ia mati di tangan penggasap tanpa jināyah, maka penggasap wajib mengganti nilainya karena tangan (tanggung jawab), namun tidak wajib atasnya kafārat pembunuhan?

Dan karena jazā’ kadang wajib pada keseluruhan (binatang) dan kadang pada bagian-bagian, sedangkan kafārat hanya wajib atas keseluruhan dan tidak pada bagian-bagian, maka hal itu menunjukkan bahwa jaminan jazā’ adalah jaminan harta. Adapun jawaban atas ayat, telah dijelaskan sebelumnya.


وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى المنفرد فقد عارضه قياساً عَلَى الْمُنْفَرِدِ ثُمَّ نَذْكُرُ أَوْصَافَ عِلَّتِهِمْ وَنُعَلِّقُ عَلَيْهَا ضِدَّ حُكْمِهِمْ فَنَقُولُ: لِأَنَّهُ هَتَكَ حُرْمَةَ إِحْرَامِهِ بِالْقَتْلِ فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ قَدْرُ مَا أَتْلَفَ كَالْمُنْفَرِدِ، عَلَى أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْمُنْفَرِدِ أَنَّهُ انْفَرَدَ بِقَتْلِ صَيْدٍ كَامِلٍ؛ فَلِذَلِكَ لَزِمَهُ جَزَاءٌ كَامِلٌ، وَالْجَمَاعَةُ إِذَا اشْتَرَكُوا فِي قَتْلِ صَيْدٍ لَمْ يَنْفَرِدْ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِقَتْلِ صَيْدٍ كَامِلٍ؛ فَلِذَلِكَ لَمْ يَلْزَمْهُ جَزَاءٌ كَامِلٌ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى كَفَّارَةِ الْقَتْلِ، فَقَدْ حَكَى أَبُو عَلِيٍّ الطَّبَرِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ: أَنَّ عَلَى الْجَمَاعَةِ إِذَا اشْتَرَكُوا فِي قَتْلِ نَفْسٍ كَفَّارَةً وَاحِدَةً، فَإِنْ صَحَّ هَذَا بَطَلَ الْقِيَاسُ، وَالْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ كَفَّارَةً، فَعَلَى هَذَا الْمَعْنَى فِي كَفَّارَةِ النُّفُوسِ أَنَّهَا لَا تَزِيدُ بِالصِّغَرِ وَالْكِبْرِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْجَزَاءُ.

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka atas orang yang melakukannya sendirian, maka qiyās itu telah ditentang oleh qiyās atas orang yang melakukannya sendirian juga. Kemudian kita sebutkan sifat-sifat dari ʿillat (alasan hukum) mereka dan kita kaitkan dengannya hukum yang berlawanan dengan pendapat mereka. Maka kami katakan: karena ia telah melanggar kehormatan iḥrām-nya dengan membunuh, maka wajib baginya untuk menanggung kadar kerusakan yang ditimbulkan, sebagaimana orang yang melakukannya sendiri. Padahal makna pada orang yang sendirian adalah bahwa ia sendirian membunuh satu buruan secara utuh; karena itu ia wajib menanggung jazā’ secara utuh. Adapun kelompok, jika mereka bersama-sama dalam membunuh buruan, maka masing-masing dari mereka tidak sendirian membunuh satu buruan secara utuh; karena itu, tidak wajib atasnya satu jazā’ yang sempurna.

Adapun qiyās mereka dengan kafārah pembunuhan jiwa, maka Abū ʿAlī ath-Ṭabarī meriwayatkan dari asy-Syāfiʿī bahwa apabila suatu kelompok bersama-sama membunuh satu jiwa, maka atas mereka satu kafārah saja. Jika riwayat ini sahih, maka batallah qiyās (yang mereka ajukan). Namun yang masyhur dari mazhab asy-Syāfiʿī adalah bahwa atas setiap orang (dari kelompok itu) wajib satu kafārah. Maka atas dasar ini, makna dalam kafārah jiwa adalah bahwa ia tidak bertambah karena besar atau kecilnya (korban), sedangkan jazā’ tidaklah demikian.


وَأَمَّا قَوْلُهُمْ لَوْ كَانَ الْجَزَاءُ يَجْرِي مَجْرَى ضَمَانِ الْأَمْوَالِ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ فِي إِتْلَافِ مِلْكِهِ، قُلْنَا: إِنَّمَا لَا يَجِبُ عَلَيْهِ الضَّمَانُ مَعَ إِتْلَافِ مِلْكِهِ إِذَا لَمْ يَتَعَلَّقْ بِهِ حَقٌّ لِغَيْرِهِ، فَأَمَّا إِذَا تَعَلَّقَ بِهِ حَقٌّ لِغَيْرِهِ فَإِنَّهُ يَلْزَمُهُ الضَّمَانُ بِإِتْلَافِ مِلْكِهِ، كَالْعَبْدِ الْمَرْهُونِ، وَالصَّيْدُ قَدْ تَعَلَّقَ بِهِ حَقٌّ لِغَيْرِهِ وَهُمُ الْمَسَاكِينُ فَلَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الضَّمَانُ.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ الْجَزَاءَ لَوْ كَانَ كَالْقِيمَةِ لَمْ يَجْتَمِعَا، فَلَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّهُمَا لَا يَجْتَمِعَانِ إِذَا تَمَاثَلَا، فَأَمَّا إِذَا اخْتَلَفَا فَلَا بَأْسَ أَنْ يَتَمَاثَلَا، كَالْجَمْعِ بَيْنَ زَكَاةِ الْفِطْرِ فِي الرَّقِيقِ وَبَيْنَ زَكَاةِ الْقِيمَةِ، وَكَمَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْعُشْرِ وَالْخَرَاجِ.

Adapun ucapan mereka: “Seandainya jazā’ itu berlaku seperti ganti rugi harta, niscaya tidak wajib atasnya dalam merusak miliknya sendiri”, maka kami katakan: sesungguhnya ganti rugi itu memang tidak wajib atas seseorang yang merusak miliknya sendiri apabila tidak berkaitan dengan hak pihak lain. Namun apabila berkaitan dengan hak pihak lain, maka wajib atasnya ganti rugi atas kerusakan miliknya, seperti budak yang digadaikan (al-‘abd al-marhūn). Dan buruan itu telah berkaitan dengan hak pihak lain, yaitu para masākīn, maka tidak gugur darinya kewajiban ganti rugi.

Adapun ucapan mereka: “Jika jazā’ itu seperti nilai (al-qīmah), maka keduanya tidak akan berkumpul”, maka itu tidak benar. Karena keduanya memang tidak berkumpul jika keduanya sama, adapun jika berbeda, maka tidak mengapa keduanya berkumpul. Seperti penggabungan antara zakat fitri pada budak dan zakat nilai (harta), dan sebagaimana dijamak antara ‘usyur dan kharāj.


وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: لَوْ كَانَ كَالضَّمَانِ فِي الْأَمْوَالِ لَمْ يَجُزْ فِيهِ الصَّوْمُ؛ قُلْنَا: إِنَّمَا جَازَ فِيهِ الصَّوْمُ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِحَقٍّ آدَمِيٍّ مَحْضٍ، وَإِنَّمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى وَحَقُّ الْآدَمِيِّ، فَجَازَ دُخُولُ الصَّوْمِ فِيهِ لِتَعَلُّقِ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى بِهِ.

وَأَمَّا جَمْعُهُمْ بَيْنَ الْجَزَاءِ وَبَيْنَ سَائِرِ الدِّمَاءِ فَالْمَعْنَى فِي سَائِرِ الدِّمَاءِ: لِأَنَّهَا لَا تَخْتَلِفُ صِغَرًا وَكِبَرًا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْجَزَاءُ.

Adapun ucapan mereka: “Kalau jazā’ itu seperti tanggungan dalam harta, tentu tidak boleh padanya puasa,” maka kami jawab: sesungguhnya dibolehkannya puasa dalam jazā’ itu karena ia bukan murni hak manusia (ḥaqq ādamī maḥḍ), tetapi padanya terdapat hak Allah Ta‘ālā dan juga hak manusia. Maka dibolehkannya puasa di dalamnya adalah karena adanya keterkaitan hak Allah Ta‘ālā padanya.

Adapun penggabungan mereka antara jazā’ dan seluruh bentuk dimā’ (denda darah), maka makna dalam seluruh dimā’ adalah karena ia tidak berbeda-beda dalam hal kecil atau besarnya (nilai atau bentuknya), sedangkan jazā’ tidaklah demikian.


فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ الْمُشْتَرِكِينَ فِي قَتْلِ الصَّيْدِ عَلَيْهِمْ جَزَاءٌ وَاحِدٌ، فَإِنِ اشْتَرَكَ مُحِلٌّ وَمُحْرِمٌ فِي قَتْلِ صَيْدٍ فِي الْحِلِّ فَعَلَى الْمُحْرِمِ نِصْفُ الْجَزَاءِ، وَيُهْدَرُ نِصْفُ الْجَزَاءِ؛ لِأَنَّ الْمُحِلَّ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ الْجَزَاءِ، قَالَهُ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ نصاً، وكذلك لو اشترك محرم وحالان فِي قَتْلِ صَيْدٍ فِي الْحِلِّ؛ كَانَ عَلَى الْمُحْرِمِ ثُلْثُ الْجَزَاءِ وَسَقَطَ الثُّلْثَانِ، وَلَوِ اشْتَرَكَ مُحْرِمَانِ وَحَلَالٌ كَانَ عَلَى الْمُحْرِمَيْنِ ثُلْثَا الْجَزَاءِ وَسَقَطَ الثُّلُثُ، فَلَوْ جَرَحَ مُحِلٌّ صَيْدًا فِي الْحِلِّ، ثُمَّ تَحَامَلَ الصَّيْدُ مَجْرُوحًا فَدَخَلَ الْحَرَمَ فَعَادَ الْمُحِلُّ فَجَرَحَهُ ثَانِيَةً فِي الْحَرَمِ، ثُمَّ مَاتَ الصَّيْدُ؛ كَانَ عَلَيْهِ نِصْفُ الْجَزَاءِ، لِأَنَّهُ مات من جراحتين: أحدهما: غَيْرُ مَضْمُونَةٍ، كَمَنْ جَرَحَ مُرْتَدًّا فَأَسْلَمَ الْمُرْتَدُّ، فَعَادَ الْجَارِحُ فَجَرَحَهُ بَعْدَ إِسْلَامِهِ أُخْرَى فَمَاتَ؛ كَانَ ضَامِنًا لِنِصْفِ دِيَتِهِ، وَلَوْ أَنَّ مُحِلًّا جَرَحَ صَيْدًا فِي الْحَرَمِ ثُمَّ تَحَامَلَ الصَّيْدُ فَخَرَجَ إِلَى الْحِلِّ، فَعَادَ الْجَارِحُ فَجَرَحَهُ جِرَاحَةً ثَانِيَةً فِي الْحِلِّ فَمَاتَ الصَّيْدُ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

PASAL
 Maka apabila telah dipastikan bahwa orang-orang yang bersama-sama dalam membunuh buruan hanya wajib atas mereka satu jazā’, maka jika seorang muḥill dan seorang muḥrim bersama-sama membunuh buruan di tanah halal (al-ḥill), maka atas muḥrim setengah jazā’, dan setengahnya gugur, karena muḥill bukan termasuk orang yang wajib jazā’. Ini dinyatakan oleh asy-Syāfi‘ī dalam al-Umm secara naṣṣ.

Demikian pula jika seorang muḥrim dan dua orang ḥalāl bersama-sama membunuh buruan di tanah halal, maka atas muḥrim sepertiga jazā’, dan dua pertiga gugur. Dan jika dua orang muḥrim dan satu orang ḥalāl bersama-sama, maka atas kedua muḥrim dua pertiga jazā’, dan sepertiganya gugur.

Jika seorang muḥill melukai buruan di tanah halal, lalu buruan yang terluka itu masuk ke tanah haram, kemudian muḥill tadi kembali melukainya untuk kedua kalinya di tanah haram lalu buruan itu mati, maka wajib atasnya setengah jazā’, karena buruan itu mati akibat dua luka: salah satunya tidak tergolong wajib dijamin (ghayru maḍmūnah). Seperti orang yang melukai seorang murtad, lalu murtad itu masuk Islam, kemudian si pelukai kembali melukainya setelah ia masuk Islam lalu mati, maka ia wajib membayar setengah diyatnya.

Dan jika seorang muḥill melukai buruan di tanah haram, lalu buruan itu keluar menuju tanah halal, kemudian si pelukai kembali melukainya untuk kedua kalinya di tanah halal lalu buruan itu mati, maka kasus ini terbagi dua…


أَحَدُهُمَا: أَنْ يَجْرَحَهُ الْجِرَاحَةَ الثَّانِيَةَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ لَهُ عَلَيْهِ يَدٌ فَيَلْزَمُهُ نِصْفُ الْجَزَاءِ، لِأَنَّهُ مَوَّتَهُ مِنْ جُرْحَيْنِ: أَحَدُهُمَا مُبَاحٌ وَالْآخَرُ مَضْمُونٌ، فَصَارَ كَمَنْ جَرَحَ مُرْتَدًّا فَأَسْلَمَ، ثُمَّ جَرَحَهُ ثَانِيَةً بَعْدَ إِسْلَامِهِ؛ ضَمِنَ نصف ديته.
والضرب الثاني: أن يثبت لَهُ عَلَيْهِ يَدٌ عِنْدَ الْجِرَاحَةِ الثَّانِيَةِ؛ فَيَكُونَ ضَامِنًا لِجَمِيعِ الْجَزَاءِ لِعُدْوَانِ يَدِهِ الْمُوجِبَةِ لِضَمَانِهِ.

pertama: jika ia melukainya dengan luka kedua tanpa sebelumnya memiliki kekuasaan atas buruan itu, maka ia wajib menanggung setengah dari jazā’, karena ia telah menyebabkan kematian buruan itu dengan dua luka: salah satunya mubah dan yang lainnya wajib ditanggung. Maka hukumnya seperti orang yang melukai seorang murtad, lalu ia masuk Islam, kemudian dilukai lagi untuk kedua kalinya setelah keislamannya; maka wajib menanggung setengah dari diyat-nya.

dan jenis kedua: jika ia telah memiliki kekuasaan atas buruan itu ketika melakukan luka kedua, maka ia wajib menanggung seluruh jazā’, karena serangan dengan tangannya itu bersifat melampaui batas dan menyebabkan kewajiban tanggungan seluruh jazā’.


فَصْلٌ
: إِذَا قَتَلَ الْمُحْرِمُ صَيْدًا بَعْضُهُ فِي الْحِلِّ وَبَعْضُهُ فِي الْحَرَمِ، فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: لَا جَزَاءَ فِيهِ؛ لِأَنَّ حُرْمَةَ الْحَرَمِ لَمْ تَكْمُلْ لَهُ.
وَالثَّانِي: إِنْ كَانَ أَكْثَرُ الصَّيْدِ فِي الْحَرَمِ؛ فَفِيهِ الْجَزَاءُ، وَإِنْ كَانَ أَكْثَرُهُ فِي الْحِلِّ؛ فَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ فِيهِ اعْتِبَارًا بِالْأَغْلَبِ مِنْهُ.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: إِنْ كَانَ الصَّيْدُ خَارِجًا مِنَ الْحَرَمِ إِلَى الْحِلِّ، ففيه الجزاء لأن حرمة الحرم ثابتة له ما لم تفارقه، فإن كان داخلاً من الحل إلى الحرم؛ فلا جزاء فيه، لأن حكم الحل جاز عَلَيْهِ مَا لَمْ يُفَارِقْهُ.

PASAL
 Apabila seorang muḥrim membunuh buruan yang sebagian tubuhnya berada di tanah halal (al-ḥill) dan sebagian lagi di tanah haram (al-ḥaram), maka menurut para sahabat kami (ulama mazhab) terdapat tiga pendapat:

Pertama: tidak ada jazā’ atasnya, karena kehormatan tanah haram belum sempurna baginya.

Kedua: jika sebagian besar tubuh buruan berada di tanah haram, maka wajib jazā’ atasnya; dan jika sebagian besarnya di tanah halal, maka tidak ada jazā’ atasnya, berdasarkan pertimbangan mayoritas bagian tubuhnya.

Ketiga: jika buruan itu sedang keluar dari tanah haram menuju tanah halal, maka wajib jazā’, karena kehormatan tanah haram masih tetap berlaku selama belum keluar sepenuhnya darinya. Namun jika buruan itu sedang masuk dari tanah halal menuju tanah haram, maka tidak wajib jazā’, karena hukum tanah halal masih berlaku atasnya selama belum sepenuhnya berpindah.


فَصْلٌ
: إِذَا رَمَى الْمُحِلُّ سَهْمًا مِنَ الْحِلِّ عَلَى صَيْدٍ فِي الْحَرَمِ فَقَتَلَهُ؛ فَعَلَيْهِ الْجَزَاءُ، لِأَنَّهُ قَاتِلُ الصَّيْدِ فِي الْحَرَمِ، وَلَوْ رَمَى الْمُحِلُّ سَهْمًا مِنَ الْحَرَمِ عَلَى صَيْدٍ فِي الْحِلِّ وَبَيْنَ الْحِلَّيْنِ حَرَمٌ فَاعْتَرَضَ السَّهْمُ الْحَرَمَ وَخَرَجَ مِنْهُ إِلَى الْحِلِّ وَقَتَلَ الصَّيْدَ، فَقَدْ عَلَّقَ الشَّافِعِيُّ الْقَوْلَ فِيهِ، فَخَرَّجَهُ أَصْحَابُنَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

أحدهما: لا جزاء عليه، لأنه ابتداء الرمي من حل وانتهاؤه إِلَى حِلٍّ، وَحُكْمُ الصَّيْدِ مُعْتَبَرٌ بِأَحَدِهِمَا.

PASAL
 Apabila seorang muḥill melepaskan anak panah dari wilayah ḥill kepada buruan yang berada di dalam ḥaram, lalu membunuhnya, maka atasnya wajib jazā’, karena dialah yang membunuh buruan di tanah ḥaram.

Dan jika seorang muḥill melepaskan anak panah dari dalam ḥaram kepada buruan yang berada di wilayah ḥill, dan di antara kedua wilayah ḥill itu terdapat ḥaram, lalu anak panah itu melewati wilayah ḥaram dan keluar darinya ke wilayah ḥill, kemudian membunuh buruan tersebut, maka asy-Syāfi‘ī menggantungkan pendapat dalam masalah ini. Para sahabat kami (ulama mazhab) mengeluarkan (membahas) permasalahan ini berdasarkan dua pendapat:

pertama: tidak ada jazā’ atasnya, karena awal pelepasan panah dari wilayah ḥill dan akhirnya juga di wilayah ḥill, dan hukum buruan dianggap berdasarkan salah satunya.


وَالْقَوْلُ الثاني: عليه الجزاء؛ لأنه السَّهْمَ أَصَابَ الصَّيْدَ بَعْدَ خُرُوجِهِ مِنَ الْحَرَمِ، فَصَارَ كَمَا لَوِ ابْتَدَأَ رَمْيَهُ مِنَ الْحَرَمِ، وَكَذَلِكَ الْكَلَامُ فِي الْكَلْبِ إِذَا أَرْسَلَهُ الْمُحِلُّ مِنَ الْحِلِّ عَلَى صَيْدٍ فِي الْحَرَمِ فَقَتَلَهُ؛ فَعَلَيْهِ الْجَزَاءُ، وَلَوْ أَرْسَلَهُ مِنَ الْحَرَمِ عَلَى صَيْدٍ فِي الْحِلِّ؛ فَعَلَيْهِ الْجَزَاءُ، وَلَوْ أَرْسَلَهُ مِنَ الْحِلِّ عَلَى صَيْدٍ فِي الْحِلِّ وَبَيْنَ الْحِلَّيْنِ حَرَمٌ؛ فَالْجَزَاءُ عَلَى قَوْلَيْنِ.

Pendapat kedua: wajib atasnya jazā’, karena anak panah itu mengenai buruan setelah buruan keluar dari tanah haram, maka keadaannya seperti orang yang memulai melempar dari dalam tanah haram.

Demikian pula pembahasan mengenai anjing (pemburu): jika seorang muḥill melepaskannya dari tanah halal untuk memburu buruan yang berada di tanah haram lalu membunuhnya, maka wajib atasnya jazā’.

Dan jika ia melepaskannya dari tanah haram menuju buruan di tanah halal, maka wajib atasnya jazā’.

Namun jika ia melepaskannya dari tanah halal menuju buruan yang juga berada di tanah halal, tetapi di antara dua wilayah halal tersebut terdapat tanah haram, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.


فَصْلٌ
: إِذَا رَمَى الْمُحِلُّ سَهْمًا مِنَ الْحِلِّ عَلَى صَيْدٍ فِي الْحِلِّ فَجَازَ السَّهْمُ إِلَى الْحَرَمِ فَقَتَلَ صَيْدًا؛ فَعَلَيْهِ الْجَزَاءُ، لِأَنَّهُ قَتَلَ صَيْدًا فِي الْحَرَمِ بِفِعْلِهِ، وَلَوْ أَرْسَلَ الْمُحِلُّ كَلْبًا مِنَ الْحِلِّ عَلَى صَيْدٍ فِي الْحِلِّ فَعَدَلَ الْكَلْبُ عَنْ ذَلِكَ الصَّيْدِ إِلَى صَيْدٍ آخَرَ فِي الْحَرَمِ فَقَتَلَهُ؛ فَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ، بِخِلَافِ السَّهْمِ الجائز، لأنه لِلْكَلْبِ اخْتِيَارًا، فَكَانَ عُدُولُهُ مَنْسُوبًا إِلَى اخْتِيَارِهِ، وَلَيْسَ لِلسَّهْمِ اخْتِيَارٌ، وَلَوْ أَرْسَلَ كَلْبًا مِنَ الْحِلِّ عَلَى صَيْدٍ فِي الْحِلِّ فَعَدَا الصَّيْدُ إِلَى الْحَرَمِ فَعَدَا الْكَلْبُ خَلْفَهُ إِلَى الْحَرَمِ فَقَتَلَهُ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: لَا جَزَاءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ إِنَّمَا أَرْسَلَهُ عَلَى صَيْدٍ فِي الْحِلِّ، قَالَ أَصْحَابُنَا: إِنَّمَا أَرَادَ الشَّافِعِيُّ بِذَلِكَ إِذَا كَانَ مُرْسِلُهُ قَدْ زَجَرَهُ عِنْدَ اتِّبَاعِ الصَّيْدِ فِي الْحَرَمِ فَلَمْ يَنْزَجِرْ فَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ قَتْلَ الصَّيْدِ مَنْسُوبٌ إِلَى اخْتِيَارِ الْكَلْبِ إِذَا كَانَ مَزْجُورًا، فَأَمَّا إِذَا لَمْ يَزْجُرْهُ مُرْسِلُهُ ولا منعه منه اتِّبَاعِهِ فَعَلَيْهِ الْجَزَاءُ؛ لِأَنَّ الْكَلْبَ الْمُعَلَّمَ إِذَا أُرْسِلَ عَلَى صَيْدٍ تَبِعَهُ أَيْنَ تَوَجَّهَ.

PASAL
 Apabila seorang muḥill melepaskan anak panah dari wilayah ḥill kepada buruan yang juga berada di wilayah ḥill, lalu anak panah itu melewati wilayah ḥaram dan membunuh buruan di dalam ḥaram, maka atasnya wajib jazā’, karena ia telah membunuh buruan di dalam ḥaram dengan perbuatannya sendiri.

Dan apabila seorang muḥill melepaskan anjing dari wilayah ḥill kepada buruan yang berada di wilayah ḥill, lalu anjing itu berpaling dari buruan tersebut menuju buruan lain yang berada di dalam ḥaram dan membunuhnya, maka tidak ada jazā’ atasnya. Hal ini berbeda dengan anak panah yang melesat, karena pada anjing terdapat unsur pilihan (kehendak), maka penyimpangan arah anjing tersebut dinisbatkan kepada pilihannya sendiri, sedangkan anak panah tidak memiliki pilihan.

Dan apabila seseorang melepaskan anjing dari wilayah ḥill kepada buruan yang juga berada di wilayah ḥill, lalu buruan itu lari masuk ke dalam ḥaram dan anjing mengejarnya ke dalam ḥaram lalu membunuhnya, maka asy-Syāfi‘ī berkata: tidak ada jazā’ atasnya, karena ia hanya melepaskannya untuk memburu buruan yang berada di wilayah ḥill.

Para sahabat kami (ulama mazhab) berkata: maksud asy-Syāfi‘ī dalam hal itu adalah apabila orang yang melepaskan anjing tersebut telah melarang (mencegah) anjing itu ketika ia mengejar buruan ke dalam ḥaram, lalu anjing itu tidak mau berhenti, maka tidak ada jazā’ atas orang tersebut, karena pembunuhan buruan tersebut dinisbatkan kepada pilihan anjing jika ia telah dicegah.

Adapun jika orang yang melepaskan tidak melarang anjingnya dan tidak mencegahnya untuk mengikuti buruan tersebut, maka atasnya wajib jazā’, karena anjing yang terlatih jika dilepas untuk mengejar buruan, maka ia akan mengikutinya ke mana pun buruan itu pergi.


فَصْلٌ
: إِذَا كَانَتْ شَجَرَةٌ أَصْلُهَا فِي الْحَرَمِ وَفَرْعُهَا فِي الْحِلِّ وَعَلَى فَرْعِهَا صَيْدٌ فَقَتَلَهُ مُحِلٌّ فَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ اعْتِبَارًا بِمَكَانِهِ مِنَ الْحِلِّ، وَلَوْ قَطَعَ فَرْعَ الشَّجَرَةِ أَوْ أَصْلَهَا كَانَ عَلَيْهِ الْجَزَاءُ اعْتِبَارًا بِمَكَانِهِ مِنَ الْحَرَمِ، وَلَوْ كَانَ أَصْلُ الشَّجَرَةِ فِي الْحِلِّ وَفَرْعُهَا فِي الْحَرَمِ وَعَلَى فَرْعِهَا صَيْدٌ فَقَتَلَهُ مُحِلٌّ فَعَلَيْهِ الْجَزَاءُ اعْتِبَارًا بِمَكَانِهِ مِنَ الْحَرَمِ، وَلَوْ قَطَعَ الْفَرْعَ أَوْ أَصْلَهُ لَمْ يَلْزَمْهُ الْجَزَاءُ اعْتِبَارًا بمكانه من الحل.

PASAL
 Apabila ada pohon yang akarnya berada di tanah haram dan cabangnya berada di tanah halal, dan di atas cabangnya terdapat buruan lalu seorang muḥill membunuhnya, maka tidak wajib atasnya jazā’, karena dilihat dari tempatnya yang berada di tanah halal.

Namun jika ia memotong cabang pohon tersebut atau akarnya, maka wajib atasnya jazā’, karena dilihat dari tempatnya yang berada di tanah haram.

Dan jika akar pohon berada di tanah halal dan cabangnya berada di tanah haram, dan di atas cabangnya terdapat buruan lalu seorang muḥill membunuhnya, maka wajib atasnya jazā’, karena dilihat dari tempatnya yang berada di tanah haram.

Namun jika ia memotong cabangnya atau akarnya, maka tidak wajib atasnya jazā’, karena dilihat dari tempatnya yang berada di tanah halal.


مسألة: قال الشافعي: رضي الله عنه: ” وَمَا قُتِلَ مِنَ الصَّيْدِ لِإِنْسَانٍ فَعَلَيْهِ جَزَاؤُهُ للمساكين وقيمته لصاحبه ولو جاز إذا تحول حال الصيد من التوحش إلى الاستئناس أن يصير حكمه حكم الأنيس جاز أن يضحي به ويجزي به ما قتل من الصيد وإذا توحش الإنسي من البقر والإبل أن يكون صيداً يجزيه المحرم ولا يضحي به ولكن كل على أصله “.

Masalah:
 Imam asy-Syāfi‘ī RA berkata:
 “Setiap buruan yang dibunuh untuk kepentingan seseorang, maka atasnya wajib membayar jazā’-nya kepada para miskin dan nilainya kepada pemiliknya.

Seandainya boleh karena berubahnya keadaan buruan dari liar menjadi jinak, lalu hukumnya berubah menjadi hukum hewan jinak, maka tentu boleh menyembelih hewan tersebut sebagai kurban dan sah dijadikan tebusan (sebagai jazā’ atas buruan yang dibunuh). Dan jika hewan jinak seperti sapi dan unta kembali menjadi liar, maka tentu dianggap sebagai buruan yang sah untuk dijadikan jazā’ oleh orang yang berihram dan tidak sah untuk dijadikan kurban.

Namun, masing-masing harus dikembalikan kepada hukum asalnya.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا قَتَلَ الْمُحْرِمُ صَيْدًا مَمْلُوكًا فَعَلَيْهِ جَزَاؤُهُ لِلْمَسَاكِينِ وَقِيمَتُهُ لِمَالِكِهِ، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة وَعَامَّةُ الْفُقَهَاءِ، وَقَالَ الْمُزَنِيُّ وَمَالِكٌ: عَلَيْهِ قِيمَتُهُ لِمَالِكِهِ وَلَا جَزَاءَ فِيهِ بِحَالٍ، وَجَعَلَا مِلْكَهُ وَاسْتِئْنَاسَهُ مُخْرِجًا لَهُ مِنْ حُكْمِ الصَّيْدِ الْوَحْشِيِّ إِلَى حُكْمِ الْحَيَوَانِ الْإِنْسِيِّ اسْتِدْلَالًا بِشَيْئَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ قَالُوا: لِأَنَّهُ حَيَوَانٌ مَمْلُوكٌ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجِبَ فِي قَتْلِهِ الْجَزَاءُ، كَالنَّعَمِ مِنَ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ.

Berkata al-Māwardī: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, yaitu apabila seorang muḥrim membunuh buruan yang dimiliki (milik seseorang), maka wajib atasnya membayar jazā’ untuk para masākīn dan nilai (harga) buruan tersebut untuk pemiliknya. Pendapat ini dipegang oleh Abū Ḥanīfah dan mayoritas para fuqahā’.

Sedangkan al-Muzanī dan Mālik berpendapat: wajib atasnya hanya membayar nilai buruan itu kepada pemiliknya dan tidak ada jazā’ sama sekali.

Keduanya menjadikan kepemilikan dan kebiasaan jinak (karena peliharaan) sebagai alasan untuk mengeluarkannya dari hukum buruan liar menuju hukum hewan peliharaan, dengan berdalil pada dua hal:

Pertama: mereka berkata bahwa karena ia adalah hewan yang dimiliki, maka tidak wajib jazā’ atas pembunuhannya, sebagaimana hewan ternak berupa unta, sapi, dan kambing.


وَالثَّانِي: أَنْ قَالُوا: الْجَزَاءُ بَدَلٌ وَالْقِيمَةُ بَدَلٌ، وَلَا يُجْمَعُ بَدَلَانِ فِي مُتْلَفٍ وَاحِدٍ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ، فَلَمَّا وَجَبَتِ الْقِيمَةُ سَقَطَ الْجَزَاءُ، وَدَلِيلُنَا: قَوْله تَعَالَى: {لاَ تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّداً فَجَزَاءٌ مِثْلَ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ) {المائدة: 95) فَأَوْجَبَ الْجَزَاءَ فِي جِنْسِ الصَّيْدِ؛ لِأَنَّ الْأَلِفَ وَاللَّامَ تَدْخُلَانِ لِلْجِنْسِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعْهُودًا يَعُمُّ المملوك وغير المملوك، ولأن حَيَوَانٌ مُنِعَ مِنْ قَتْلِهِ لِحُرْمَةِ الْإِحْرَامِ، فَوَجَبَ أَنْ يَجِبَ عَلَيْهِ الْجَزَاءُ بِقَتْلِهِ، كَالصَّيْدِ الَّذِي لم يملك، ولأنه حق الله يَجِبُ فِي قَتْلِ حَيَوَانٍ غَيْرِ مَمْلُوكٍ، فَوَجَبَ أَنْ يَجِبَ فِي قَتْلِ حَيَوَانٍ مَمْلُوكٍ كَالرَّقَبَةِ فِي كَفَّارَةِ الْقَتْلِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ خَرَجَ بِالِاسْتِئْنَاسِ عَنْ حُكْمِ الصَّيْدِ إِلَى حُكْمِ الْإِنْسِيِّ حَتَّى لَا يَجِبَ فِي قَتْلِهِ الْجَزَاءُ لَوَجَبَ أَنْ يصير كالإنس فِي جَوَازِ الْأُضْحِيَةِ بِهِ، وَلَوَجَبَ إِذَا تَوَحَّشَ الْإِنْسِيُّ مِنَ النَّعَمِ أَنْ يَصِيرَ فِي حُكْمِ الصَّيْدِ، فَيَجِبَ فِي قَتْلِهِ الْجَزَاءُ، وَلَا تَجُوزُ الْأُضْحِيَةُ بِهِ، فَلَمَّا كَانَ الْإِنْسِيُّ إِذَا تَوَحَّشَ عَلَى حُكْمِ أَصْلِهِ، وَالْوَحْشُ إِذَا تَأَنَّسَ أَنْ لَا تَجُوزَ الْأُضْحِيَةُ بِهِ عَلَى حُكْمِ أَصْلِهِ؛ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي إِيجَابِ الْجَزَاءِ عَلَى حُكْمِ أَصْلِهِ.

kedua: mereka berkata: jazā’ adalah pengganti (badal), dan nilai (qīmah) juga adalah pengganti, dan tidak boleh dikumpulkan dua pengganti untuk satu barang yang rusak (mutlaf) dalam satu waktu. Maka ketika nilai telah diwajibkan, gugurlah jazā’.

Namun dalil kami: firman Allah Ta‘ālā: {lā taqtulū aṣ-ṣayda wa-antum ḥurum, wa-man qatalahu minkum mu‘tamidan fa-jazā’un miṡlu mā qatal(a) min an-na‘am} (al-Mā’idah: 95), maka Allah mewajibkan jazā’ dalam jenis buruan, karena alif dan lām masuk untuk menunjukkan jenis apabila tidak ada konteks khusus, maka ia mencakup buruan yang dimiliki dan yang tidak dimiliki.

Dan karena ia adalah hewan yang dilarang untuk dibunuh karena kehormatan iḥrām, maka wajib atas orang yang membunuhnya membayar jazā’, sebagaimana buruan yang belum dimiliki. Dan karena ia adalah hak Allah yang wajib dipenuhi atas pembunuhan hewan yang tidak dimiliki, maka wajib pula dipenuhi atas pembunuhan hewan yang dimiliki, sebagaimana (pembebasan) budak dalam kafārah pembunuhan.

Dan karena seandainya dengan menjadi jinak (berubah dari liar ke jinak) buruan keluar dari hukum buruan kepada hukum hewan jinak sehingga tidak wajib jazā’ atas pembunuhannya, niscaya ia boleh dijadikan hewan kurban sebagaimana hewan jinak. Dan seandainya hewan jinak seperti unta dan sapi menjadi liar, niscaya ia akan masuk dalam hukum buruan, sehingga wajib jazā’ atas pembunuhannya, dan tidak sah dijadikan kurban dengannya.

Maka ketika hewan jinak yang menjadi liar tetap dihukumi sesuai asalnya (yakni sebagai hewan jinak), dan hewan liar yang menjadi jinak tidak sah dijadikan kurban tetap dihukumi sesuai asalnya (yakni sebagai buruan); maka wajib pula bahwa kewajiban jazā’ ditetapkan berdasarkan hukum asalnya.


وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى النَّعَمِ فَالْمَعْنَى فِي النَّعَمِ: أَنَّ الْجَزَاءَ لَمَّا لَمْ يَجِبْ فِيمَا تَوَحَّشَ مِنْهُ لَمْ يَجِبْ فِي غَيْرِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الصَّيْدُ.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ بَدَلَيْنِ لَا يَجْتَمِعَانِ فِي مبدلٍ وَاحِدٍ، فَالْجَوَابُ أَنْ يُقَالَ: إِنَّمَا لَا يَجْتَمِعَانِ فِي مبدلٍ وَاحِدٍ وإذا اتَّفَقَا فَأَمَّا مَعَ اخْتِلَافِهِمَا، فَيَجُوزُ اتِّفَاقُهُمَا كَمَا تَجْتَمِعُ الدِّيَةُ وَالْكَفَّارَةُ فِي قَتْلِ الْآدَمِيِّ.

Adapun qiyās mereka terhadap hewan ternak (an-na‘am), maka maknanya dalam hewan ternak adalah: bahwa jazā’ tidak diwajibkan pada hewan ternak yang menjadi liar, maka tidak pula wajib pada selainnya. Padahal tidak demikian halnya dengan buruan (aṣ-ṣayd).

Adapun ucapan mereka bahwa dua badal (pengganti) tidak boleh berkumpul dalam satu yang digantikan (mubdal), maka jawabannya adalah: memang benar dua badal tidak boleh berkumpul dalam satu mubdal jika keduanya sama.

Namun jika keduanya berbeda, maka boleh keduanya berkumpul, sebagaimana diyat dan kafārah dapat berkumpul dalam kasus pembunuhan terhadap manusia.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ عَلَيْهِ الْجَزَاءَ وَالْقِيمَةَ، فَالْجَزَاءُ لِلْمَسَاكِينِ كَامِلٌ، فَأَمَّا الْقِيمَةُ فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ مَا قَتَلَهُ الْمُحْرِمُ مِنَ الصَّيْدِ مَيْتَةٌ؛ فَعَلَيْهِ جَمِيعُ قِيمَتِهِ، وَالْمَالِكُ أَحَقُّ بِجِلْدِهِ، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ مَا قَتَلَهُ الْمُحْرِمُ مَأْكُولٌ؛ فَعَلَيْهِ مَا نَقَصَ مِنْ قِيمَتِهِ بِالذَّبْحِ، فَيُقَوَّمُ حَيًّا، فَإِذَا قِيلَ: بِعَشَرَةٍ قُوِّمَ مَذْبُوحًا، فَإِذَا قِيلَ بِثَمَانِيَةٍ كَانَ النَّاقِصُ مِنْ قِيمَتِهِ بِالذَّبْحِ دِرْهَمَيْنِ، فَيَكُونُ الْوَاجِبُ عَلَيْهِ دِرْهَمَيْنِ لَا غَيْرَ.

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa atasnya wajib jazā’ dan juga qīmah (nilai), maka jazā’ diberikan kepada para miskin secara sempurna.

Adapun qīmah, maka jika kita katakan bahwa buruan yang dibunuh oleh muḥrim adalah bangkai (maytah), maka wajib atasnya seluruh nilai buruan itu, dan pemiliknya lebih berhak terhadap kulitnya.

Namun jika kita katakan bahwa buruan yang dibunuh oleh muḥrim adalah hewan yang bisa dimakan, maka wajib atasnya membayar selisih nilai yang berkurang karena penyembelihan. Maka buruan itu dinilai saat hidupnya, misalnya dikatakan nilainya sepuluh, lalu dinilai setelah disembelih, misalnya dikatakan nilainya delapan, maka nilai yang berkurang akibat penyembelihan adalah dua dirham. Maka yang wajib atasnya hanyalah dua dirham, tidak lebih dari itu.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا قَتَلَ رَجُلٌ صَيْدًا مَمْلُوكًا فِي الْحَرَمِ فَإِنْ كَانَ الْقَاتِلُ مُحِلًّا فَعَلَيْهِ قِيمَتُهُ لِمَالِكِهِ، وَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ تَثْبُتْ لَهُ حُرْمَةُ الْحَرَمِ، لِأَنَّهُ قَدْ أُدْخِلَ فِي الْحِلِّ، وَلَا حُرْمَةُ الْإِحْرَامِ، لِأَنَّ الْقَاتِلَ مُحِلٌّ، فَلِذَلِكَ لَمْ يَجِبْ فِيهِ الْجَزَاءُ وَوَجَبَتْ فِيهِ الْقِيمَةُ، فَإِنْ ذَبَحَهُ فَهُوَ مَأْكُولٌ، فَيَجِبُ عَلَيْهِ مَا بَيْنَ الْقِيمَتَيْنِ، وَإِنْ كَانَ الْقَاتِلُ مُحْرِمًا فَعَلَيْهِ الْجَزَاءُ؛ لِحُرْمَةِ الْإِحْرَامِ، وَعَلَيْهِ الْقِيمَةُ عَلَى مَا مضى.

PASAL
 Adapun jika seseorang membunuh buruan yang dimiliki di tanah haram, maka:

  • Jika pelakunya adalah muḥill, maka wajib atasnya membayar nilai buruan kepada pemiliknya, dan tidak ada jazā’ atasnya; karena buruan tersebut tidak memiliki kehormatan tanah haram — sebab ia telah dimasukkan ke dalam tanah halal — dan juga tidak memiliki kehormatan iḥrām, karena pelakunya adalah muḥ Maka karena itu, tidak wajib jazā’ padanya, tetapi wajib membayar nilai (al-qīmah).
  • Jika ia menyembelih buruan itu, maka ia halal dimakan, sehingga wajib membayar selisih antara dua nilai.
  • Namun jika pembunuhnya adalah seorang muḥrim, maka wajib atasnya jazā’ karena kehormatan iḥrām, dan wajib pula membayar nilai sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

 

فَصْلٌ
: إِذَا قَتَلَ الْمُحِلُّ صَيْدًا فِي الْحَرَمِ فَهَلْ يُؤْكَلُ أَمْ لَا؟ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ: فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: عَلَى قَوْلَيْنِ كَالْمُحْرِمِ إِذَا قَتَلَ صَيْدًا.
وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: لَا يُؤْكَلُ قَوْلًا وَاحِدًا، وَالْفَرْقُ بَيْنَ مَا قُتِلَ فِي الْحَرَمِ وَبَيْنَ مَا قُتِلَ فِي الْإِحْرَامِ: أَنَّ الْمُحْرِمَ قَدْ يَسْتَبِيحُ قَتْلَ الصَّيْدِ بَعْدَ إِحْلَالِهِ، وَالْحَرَمُ لَا يُسْتَبَاحُ قَتْلُ صَيْدِهِ بِحَالٍ، فَعَلَى هَذَا لَوْ أَنَّ مُحْرِمًا قَتَلَ صَيْدًا فِي الْحَرَمِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يُغَلَّبُ حُكْمُ الْحَرَمِ أَوْ حُكْمُ الْإِحْرَامِ عَلَى وَجْهَيْنِ.

PASAL
 Apabila seorang muḥill membunuh buruan di tanah ḥaram, apakah boleh dimakan atau tidak? Maka para sahabat kami (ulama mazhab) berbeda pendapat dalam hal ini:

Sebagian dari mereka berkata: terdapat dua pendapat, seperti halnya muḥrim apabila membunuh buruan.

Dan sebagian dari mereka berkata: tidak boleh dimakan menurut satu pendapat saja.

Perbedaan antara buruan yang dibunuh di ḥaram dan buruan yang dibunuh dalam keadaan iḥrām adalah: bahwa seorang muḥrim mungkin saja akan dihalalkan membunuh buruan setelah ia iḥlāl, sedangkan tanah ḥaram, membunuh buruan di dalamnya tidak pernah dihalalkan dalam keadaan apa pun.

Berdasarkan itu, jika seorang muḥrim membunuh buruan di tanah ḥaram, maka para sahabat kami berbeda pendapat: apakah yang lebih didahulukan adalah hukum ḥaram atau hukum iḥrām? Maka ada dua wajah (pendapat) dalam hal ini.


مَسْأَلَةٌ
: قال الشافعي: رضي الله عنه: ” وَمَا أَصَابَ مِنَ الْصَيْدِ فِدَاهُ إِلَى أَنْ يَخْرُجَ مِنَ إِحْرَامِهِ وَخُرُوجِهِ مِنَ الْعُمْرَةِ بِالطَّوَافِ والسعي والحلاق وخروجه من الحج خروجان الأول الرمي والحلاق وهكذا لو طاف بعد عرفة وحلق وإن لم يرم فقد خرج من الإحرام فإن أصاب بعد ذلك صيداً في الحل فليس عليه شيءٌ “.

Masalah:
 Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:

“Segala yang ia langgar dari buruan, wajib ia bayar fidyahnya sampai ia keluar dari iḥrām-nya.

Dan keluarnya dari iḥrām ‘umrah adalah dengan ṭawāf, sa‘i, dan ḥalaq (mencukur).

Sedangkan keluarnya dari iḥrām haji ada dua tahapan: yang pertama dengan ramy (melempar jumrah) dan ḥalaq.

Demikian pula jika ia melakukan ṭawāf setelah ‘Arafah lalu mencukur, meskipun belum melempar, maka ia telah keluar dari iḥrām.

Maka jika ia membunuh buruan setelah itu di tanah halal, tidak ada kewajiban apa pun atasnya.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيمَا يَحْرُمُ عَلَى الْمُحْرِمِ مِنْ قَتْلِ الصَّيْدِ وَمَا يَلْزَمُهُ مِنَ الْجَزَاءِ فِيهِ، وَأَنَّهُ بَعْدَ إِحْلَالِهِ يَسْتَبِيحُ مِنْ قَتْلِ الصَّيْدِ مَا كَانَ مَحْظُورًا عَلَيْهِ فِي إِحْرَامِهِ، وَإِذَا كَانَ هَذَا مُقَرَّرًا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُحْرِمِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ إِحْرَامُهُ بِحَجٍّ أَوْ بِعُمْرَةٍ، فَإِنْ كَانَ إِحْرَامُهُ بِعُمْرَةٍ فَلَهُ إِحْلَالٌ وَاحِدٌ قَدْ ذَكَرْنَاهُ وَهُوَ الطَّوَافُ وَالسَّعْيُ وَالْحِلَاقُ، فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ حَلَّ مِنْ إِحْرَامِهِ، وَإِنْ طَافَ وَسَعَى وَلَمْ يَحْلِقْ فَهَلْ يَتَحَلَّلُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: قَدْ حَلَّ إِذَا قِيلَ: إِنَّ الْحَلْقَ إِبَاحَةٌ بَعْدَ حَظْرٍ.

al-Māwardī berkata:
 Telah lalu pembahasan tentang apa yang diharamkan atas muḥrim berupa membunuh buruan dan apa yang wajib atasnya berupa jazā’, dan bahwa setelah ia iḥlāl (berlepas dari iḥrām) ia menjadi halal untuk membunuh buruan yang sebelumnya terlarang atasnya saat dalam iḥrām.

Apabila hal ini telah ditetapkan, maka keadaan seorang muḥrim tidak lepas dari dua kemungkinan:

Yaitu iḥrāmnya karena ḥajj atau karena ‘umrah.

Apabila iḥrām-nya karena ‘umrah, maka ia memiliki satu iḥlāl yang telah kami sebutkan, yaitu ṭawāf, sa‘y, dan mencukur rambut (ḥalaq). Maka apabila ia telah melakukan itu, maka ia telah ḥall (lepas) dari iḥrām-nya.

Namun jika ia telah ṭawāf dan sa‘y tetapi belum mencukur rambut, apakah ia telah ḥall (lepas dari iḥrām) atau belum? Maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

pertama: ia telah ḥall, jika dikatakan bahwa ḥalaq adalah bentuk kebolehan setelah larangan.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ بَاقٍ عَلَى إِحْرَامِهِ يَلْزَمُهُ جَزَاءُ الصَّيْدِ بِقَتْلِهِ إِذَا قِيلَ: إِنَّ الْحَلْقَ نُسُكٌ يَتَحَلَّلُ بِهِ.
وَأَمَّا الْحَجُّ فله إحلالان فإن قِيلَ: إِنَّ الْحَلْقَ إِبَاحَةٌ بَعْدَ حَظْرٍ كَانَ إِحْلَالُهُ الْأَوَّلُ بِوَاحِدٍ مِنْ شَيْئَيْنِ: إِمَّا الرَّمْيُ أَوِ الطَّوَافُ، وَإِحْلَالُهُ الثَّانِي بِهِمَا جَمِيعًا، وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْحَلْقَ نُسُكٌ يَتَحَلَّلُ بِهِ كَانَ إِحْلَالُهُ الْأَوَّلُ بِشَيْئَيْنِ مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِمَّا الرَّمْيُ وَالْحَلْقُ، أَوِ الرَّمْيُ وَالطَّوَافُ، أَوِ الْحِلَاقُ وَالطَّوَافُ. وَإِحْلَالُهُ الثَّانِي بِالثَّلَاثَةِ كُلِّهَا، فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا فَإِنْ حَلَّ مِنْ حَجِّهِ الْإِحْلَالَ الثَّانِي حَلَّ لَهُ قَتْلُ الصَّيْدِ، وَإِنْ حَلَّ إِحْلَالَهُ الْأَوَّلَ دُونَ الثَّانِي فَهَلْ يَحِلُّ لَهُ قَتْلُ الصَّيْدِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ ذَكَرْنَاهُمَا:
أَحَدُهُمَا: قَدْ حَلَّ وَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ.
وَالثَّانِي: هُوَ حَرَامٌ عَلَيْهِ، وَإِنْ قَتَلَهُ كَانَ عَلَيْهِ الْجَزَاءُ.

Pendapat kedua:
 Bahwa ia masih dalam keadaan iḥrām, dan wajib atasnya jazā’ buruan jika ia membunuhnya, apabila dikatakan bahwa ḥalaq (mencukur) adalah suatu nusuk yang dengan itu seseorang keluar dari iḥrām.

Adapun haji memiliki dua bentuk iḥlāl (pelepasan iḥrām). Maka jika dikatakan bahwa ḥalaq adalah bentuk kebolehan setelah larangan, maka iḥlāl pertamanya terjadi dengan salah satu dari dua perkara:

  • Ramy (melempar jumrah), atau
  • Ṭawā

Dan iḥlāl keduanya adalah dengan keduanya secara bersamaan.

Namun jika dikatakan bahwa ḥalaq adalah nusuk yang dengan itu seseorang keluar dari iḥrām, maka iḥlāl pertamanya terjadi dengan dua dari tiga hal berikut:

  • Ramy dan ḥalaq, atau
  • Ramy dan ṭawāf, atau
  • Ṭawāf dan ḥ

Adapun iḥlāl kedua terjadi dengan ketiganya sekaligus.

Maka apabila telah dipastikan bahwa seseorang telah keluar dari hajinya dengan iḥlāl yang kedua, maka halal baginya membunuh buruan.

Namun jika ia hanya melakukan iḥlāl yang pertama tanpa yang kedua, maka apakah halal baginya membunuh buruan atau tidak? Terdapat dua pendapat yang telah kami sebutkan:

  • Pertama: ia telah halal, dan tidak ada jazā’ atasnya.
  • Kedua: masih haram baginya, dan jika ia membunuh buruan maka wajib atasnya jazā’.


فَصْلٌ
: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي صَيْدِ الْحَرَمِ، فَأَمَّا صَيْدُ الْمَدِينَةِ فَهُوَ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ حَرَامٌ كَصَيْدِ الْحَرَمِ، وَقَالَ أبو حنيفة: صَيْدُ الْمَدِينَةِ حَلَالٌ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ صَيْدَ الْمَدِينَةِ مِمَّا تَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى، وَمَا عَمَّ بِهِ الْبَلْوَى يَجِبُ أَنْ يَكُونَ بَيَانُهُ مُنْتَشِرًا وَفِي النَّاسِ مُسْتَفِيضًا، وَلَيْسَ فِيهِ اسْتِفَاضَةٌ، فَلَمْ يَصِحَّ تَحْرِيمُهُ وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ: مَا رَوَى أَسْعَدُ بْنُ سَوَّارٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ عَبْدَ اللَّهِ وَخَلِيلَهُ، وَإِنِّي عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، وَإِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَةَ، وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ، فَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَقْطَعَ شَجَرَهَا إِلَّا لِعَلَفِ بَعِيرِهِ ” فَأَخْبَرَ أَنَّهُ حَرَّمَ الْمَدِينَةَ كَمَا حَرَّمَ إِبْرَاهِيمُ مَكَّةَ، ثُمَّ كَانَ صَيْدُ مَكَّةَ حَرَامًا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ صَيْدُ الْمَدِينَةِ حَرَامًا.

PASAL
 Telah lalu pembahasan mengenai buruan di ḥaram (Makkah). Adapun buruan di Madinah, maka menurut mazhab asy-Syāfi‘ī hukumnya haram seperti buruan ḥaram Makkah.

Sedangkan Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa buruan Madinah adalah halal, dengan alasan bahwa buruan Madinah termasuk perkara yang tersebar luas dan banyak dibutuhkan (‘umūm al-balwā), dan perkara yang tersebar luas semestinya penjelasan hukumnya juga tersebar luas dan masyhur di tengah manusia. Sedangkan dalam hal ini tidak terdapat penyebaran (dalil) yang kuat, maka tidak sah pengharamannya.

Adapun dalil atas pengharamannya adalah riwayat dari Asʿad bin Sawwār dari Nāfiʿ dari Ibn ʿUmar, bahwa Nabi SAW bersabda:
 “Sesungguhnya Ibrāhīm adalah hamba Allah dan kekasih-Nya, dan aku adalah hamba Allah dan rasul-Nya. Dan sesungguhnya Ibrāhīm telah mengharamkan Makkah, dan aku telah mengharamkan Madinah. Maka tidak halal bagi seorang muslim memotong pohonnya kecuali untuk memberi makan untanya.”

Maka Nabi SAW mengabarkan bahwa beliau mengharamkan Madinah sebagaimana Ibrāhīm mengharamkan Makkah. Dan karena buruan Makkah haram, maka wajib bahwa buruan Madinah juga haram.


وَرَوَى عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنِّي لَأُحَرِّمُ مَا بَيْنَ لَابَتَيِ الْمَدِينَةِ أَنْ لَا يُقْطَعَ عِضَاهُهَا وَلَا يُقْتَلَ صَيْدُهَا “، وَقَالَ: ” الْمَدِينَةُ خيرٌ لَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ لَا يَخْرُجْ عَنْهَا أحدٌ رَغْبَةً عَنْهَا إِلَّا أَبْدَلَ اللَّهُ فِيهَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ، وَلَا يثبت أحدٌ على لأوائها وجهدها إِلَّا كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا أَوْ شَهِيدًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ “، وَهَذَا نَصٌّ ظَاهِرٌ فِي تَحْرِيمِ الصَّيْدِ.

Diriwayatkan dari ‘Utsmān bin Ḥakīm dari ‘Āmir bin Sa‘d dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku mengharamkan daerah antara dua lābah Madinah, agar tidak dipotong pepohonannya dan tidak dibunuh hewan buruan di dalamnya.” Dan beliau bersabda: “Madinah itu lebih baik bagi mereka jika mereka mengetahui. Tidaklah seseorang keluar darinya karena tidak menyukainya melainkan Allah akan menggantikannya dengan orang yang lebih baik darinya. Dan tidaklah seseorang tetap tinggal di dalamnya meski mengalami kesulitan dan kesempitan, melainkan aku akan menjadi pemberi syafaat atau saksi baginya pada hari kiamat.” Ini adalah nash yang jelas dalam pengharaman berburu.


وروى يزيد التميمي عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِنَّ الْمَدِينَةَ حرامٌ مَا بَيْنَ عيرٍ إِلَى ثورٍ ” وَهُمَا جَبَلَانِ بِالْمَدِينَةِ.
وَرَوَى الزُّهُرِيِّ عَنِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: ” حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا بَيْنَ لَابَتَيِ الْمَدِينَةِ ” قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: فلو وجدت الضياء ما بين لابتيها ما زعرتها وَجُعِلَ حَوْلَ الْمَدِينَةِ اثْنَا عَشَرَ مِيلًا، فَدَلَّتْ هَذِهِ الْأَخْبَارُ الْمُسْتَفِيضَةُ عَلَى تَحْرِيمِ صَيْدِ الْمَدِينَةِ.

Diriwayatkan dari Yazīd at-Tamīmī dari ‘Alī bin Abī Ṭālib RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Madinah adalah tanah haram antara ‘Ir dan Ṡaur,” dan keduanya adalah dua gunung di Madinah.

Dan az-Zuhrī meriwayatkan dari Ibnu al-Musayyab dari Abū Hurairah, ia berkata: “Rasulullah SAW mengharamkan daerah antara dua lābah Madinah.” Abū Hurairah berkata: “Seandainya aku mendapati cahaya di antara dua lābah-nya, niscaya aku tidak akan mengusiknya.” Dan dijadikan di sekitar Madinah sejauh dua belas mil. Maka hadits-hadits yang masyhur ini menunjukkan atas keharaman berburu di Madinah.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ صَيْدَ الْمَدِينَةِ حَرَامٌ فَهَلْ يُضْمَنُ بِالْجَزَاءِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَبِهِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ: إِنَّهُ مَضْمُونٌ بِالْجَزَاءِ، وَجَزَاؤُهُ سَلَبُ قَاتِلِهِ؛ لِمَا رَوَى سُلَيْمَانُ بْنُ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ رَأَى رَجُلًا يَصِيدُ بِالْمَدِينَةِ فَسَلَبَهُ، فَجَاءَهُ مَوَالِيهِ وَسَأَلُوهُ أَنْ يَرُدَّ عَلَيْهِ مَا أَخَذَ، فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَصِيدُ بِالْمَدِينَةِ فَاسْلُبُوهُ، فَلَا أرد طعمة أطعمنيها رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلَكِنْ إِنْ شِئْتُمْ أَنْ أُعْطِيَهُ ثَمَنَهُ فَعَلْتُ. وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ مِنَ الْإِمْلَاءِ: لَا جَزَاءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ مَا لَا يُضْمَنُ بِالْمِثْلِ مِنَ النَّعَمِ لَمْ يُضْمَنْ بِالْجَزَاءِ وَالسَّلَبِ، كَالصَّيْدِ الَّذِي لَا يُؤْكَلُ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ صَيْدٍ لَمْ يَكُنْ جَزَاؤُهُ مَصْرُوفًا إِلَى أَهْلِ الْحَرَمِ لَمْ يَكُنْ مَضْمُونًا بِالْجَزَاءِ كَصَيْدِ سَائِرِ الْبُلْدَانِ.

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa berburu di Madinah adalah haram, maka apakah pelakunya wajib mengganti dengan jazā’ (denda) atau tidak? Ada dua pendapat:

Pertama, sebagaimana dikatakan dalam qaul qadīm: bahwa ia wajib mengganti dengan jazā’, dan gantinya adalah barang rampasan (salab) milik pemburunya. Berdasarkan riwayat dari Sulaimān bin Abī ‘Abdillāh bahwa Sa‘d bin Abī Waqqāṣ melihat seseorang berburu di Madinah lalu beliau merampas hartanya. Maka datanglah para mawālī-nya dan meminta agar dikembalikan apa yang telah diambil, namun beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa kalian temukan sedang berburu di Madinah, maka rampaslah darinya!” Maka aku tidak akan mengembalikan makanan yang telah diberikan Rasulullah SAW kepadaku. Tetapi jika kalian ingin aku membayar harganya, maka aku akan melakukannya.

Pendapat kedua: Disebutkan dalam qaul jadīd dari al-Imlā’, bahwa tidak ada kewajiban jazā’ atasnya, karena sesuatu yang tidak dijamin dengan gantinya dari hewan ternak, tidak wajib diganti dengan jazā’ maupun salab, seperti hewan buruan yang tidak boleh dimakan; dan karena setiap hewan buruan yang tidak dijadikan gantinya untuk penduduk tanah haram, maka tidak wajib diganti dengan jazā’, sebagaimana hewan buruan di selain tanah haram.

فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَانِ الْقَوْلَانِ.
فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ غَيْرُ مَضْمُونٍ، فَقَدْ أَثِمَ قَاتِلُهُ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ.
وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ مَضْمُونٌ، فَالْوَاجِبُ فِيهِ أَنْ يُؤْخَذَ سَلَبُ قَاتِلِهِ لِحَدِيثِ سَعْدٍ.
وَالسَّلَبُ: مَا اسْتَحَقَّهُ الْمُسْلِمُ بِقَتْلِ الْكَافِرِ وَهُوَ ثيابه وسلاحه ودابته وآلته وشبكته، فَأَمَّا حِلْيَتُهُ وَزِينَتُهُ كَالْخَاتَمِ وَالطَّوْقِ وَالسِّوَارِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ، وَيُتْرَكُ عَلَى الْقَاتِلِ مَا يَسْتُرُ عَوْرَتَهُ، فَإِذَا أُخِذَ مِنَ الْقَاتِلِ سَلَبُهُ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

PASAL
 Apabila telah ditetapkan dua pendapat ini, maka:

Jika kita mengatakan bahwa ia tidak dijamin (tidak ada diyat atasnya), maka pembunuhnya berdosa namun tidak ada kewajiban atasnya.

Dan jika kita mengatakan bahwa ia dijamin (ada diyat atasnya), maka yang wajib atasnya adalah diambil salab (barang rampasan) pembunuhnya, berdasarkan hadits Sa‘d.

Adapun salab adalah apa yang berhak didapatkan oleh seorang Muslim karena membunuh orang kafir, yaitu pakaian, senjata, tunggangan, perlengkapan, dan jaring perangnya.

Adapun perhiasan dan pernak-perniknya seperti cincin, kalung, dan gelang, maka terdapat dua pendapat.

Dan dibiarkan kepada pembunuh apa yang menutupi auratnya.

Jika salab-nya telah diambil dari pembunuh, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:


أحدهما: أن يَكُونُ مِلْكًا لِمَنْ سَلَبَهُ وَأَخَذَهُ؛ لِأَنَّ سَعْدًا أَخَذَ سَلَبَ قَاتِلِ الصَّيْدِ، وَقَالَ: لَا أَرُدُّ طعمة أطعمنيها رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَصْرُوفًا فِي فُقَرَاءِ الْمَدِينَةِ؛ لِأَنَّ كُلَّ بَلَدٍ كَانَ صَيْدُهُ مَضْمُونًا بِالْجَزَاءِ، كَانَ جَزَاؤُهُ مَصْرُوفًا إِلَى أَهْلِهِ كَالْحَرَمِ.

Pertama: bahwa salab (barang rampasan) menjadi milik orang yang merampas dan mengambilnya; karena Sa‘d telah mengambil salab pemburu hewan buruan dan berkata: “Aku tidak akan mengembalikan makanan yang telah diberikan Rasulullah SAW kepadaku.”

Wajah kedua: bahwa salab tersebut disalurkan kepada fakir miskin Madinah; karena setiap negeri yang hewan buruannya wajib diganti dengan jazā’, maka gantinya disalurkan kepada penduduk negeri tersebut, sebagaimana tanah ḥaram.


فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَأَكْرَهُ فِي الْإِسْلَامِ صَيْدَ وج من الطائف؛ لأنه يَرْوِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَرَّمَهُ فَنَصَّ عَلَى كَرَاهَتِهِ، وَلَعَلَّهَا كَرَاهَةُ تَحْرِيمٍ؛ لرواية عروة بن الزبير عن أبي الزبير قَالَ: لَمَّا تَوَجَّهَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إلى الطائف فبلغ وج، قَالَ: صَيْدُ وَجٍّ وَعِضَاهُهُ حرامٌ محرمٌ، فَأَمَّا ضمانه فلم يحكى عَنِ الشَّافِعِيِّ فِيهِ شَيْءٌ وَلَا نَصَّ لِأَصْحَابِنَا عليه، والله أعلم.

PASAL
 Imam Syafi‘i berkata: “Aku memakruhkan dalam Islam berburu di Wajj, salah satu wilayah dari Ṭā’if; karena diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengharamkannya, maka beliau menegaskan kemakruhannya. Barangkali itu adalah kemakruhan yang berarti pengharaman, berdasarkan riwayat ‘Urwah bin az-Zubair dari Abū az-Zubair, ia berkata: Ketika Rasulullah SAW menuju Ṭā’if dan sampai di Wajj, beliau bersabda: ‘Buruan Wajj dan pepohonannya adalah haram dan dimuliakan.’

Adapun mengenai diyatnya (jaminannya), tidak ada yang meriwayatkan dari Imam Syafi‘i sesuatu pun, dan tidak ada nash dari para sahabat kami tentangnya. Wallāhu a‘lam.

(قال الشافعي) : ” وَالطَّائِرُ صِنْفَانِ حمامٌ وَغَيْرُ حمامٍ فَمَا كَانَ مِنْهَا حَمَامًا فَفِيهِ شاةٌ اتِّبَاعًا لِعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَابْنِ عباسٍ وَنَافِعِ بْنِ عَبْدِ الْحَرْثِ وَابْنِ عُمَرَ وَعَاصِمِ بِنِ عُمَرَ وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الصَّيْدَ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: دَوَابُّ وَطَائِرٌ، فَأَمَّا الدَّوَابُّ فَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيهَا، وَأَمَّا الطَّائِرُ فَضَرْبَانِ: مَأْكُولٌ وَغَيْرُ مَأْكُولٍ. فَأَمَّا غَيْرُ الْمَأْكُولِ: فَيَأْتِي. وَأَمَّا الْمَأْكُولُ: فعلى ثلاث أَضْرُبٍ:
حَمَامٌ، وَدُونَ الْحَمَامِ، وَفَوْقَ الْحَمَامِ.

Bab Jazā’ al-Ṭā’ir
 (Imam al-Syāfi‘i berkata): “Burung itu ada dua jenis: ḥamām dan selain ḥamām. Adapun yang termasuk ḥamām, maka padanya dikenakan denda satu ekor kambing, mengikuti pendapat ‘Umar, ‘Utsmān, Ibnu ‘Abbās, Nāfi‘ bin ‘Abd al-Ḥārith, Ibnu ‘Umar, ‘Āṣim bin ‘Umar, dan Sa‘īd bin al-Musayyab.”

Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa hewan buruan itu dua jenis:
 Pertama: binatang darat dan burung. Adapun binatang darat, telah dijelaskan pembahasannya. Adapun burung, maka terbagi menjadi dua jenis: yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan.

Adapun burung yang tidak boleh dimakan, maka pembahasannya akan datang.
 Adapun yang boleh dimakan, terbagi menjadi tiga tingkatan:
 ḥamām,
 di bawah ḥamām,
 dan di atas ḥamām.


فَأَمَّا الحمام فهو عند العرب معروف، ك ” القمارى ” والدباسي، والفواخت والوارشين، وَكَذَلِكَ الْيَمَامُ كَالْحَمَامِ، وَالْحَمَامُ عِنْدَ الْعَرَبِ: مَا كَانَ مُطَوَّقًا وَالْيَمَامُ: مَا لَمْ يَكُنْ مُطَوَّقًا، وَكِلَاهُمَا فِي الْحُكْمِ وَالْمَعْنَى سَوَاءٌ.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَعَامَّةُ الْحَمَامِ مَا وَصَفْتُ مَا عَبَّ فِي الْمَاءِ عَبًّا مِنَ الطَّيْرِ فَهُوَ حَمَامٌ، وَمَا شُرْبُهُ قَطْرَةٌ قَطْرَةٌ كَشُرْبِ الدَّجَاجِ فَلَيْسَ بِحَمَامٍ.

Adapun ḥamām menurut orang Arab sudah dikenal, seperti al-qamārī, ad-dibāsī, al-fawākht, dan al-wārsyīn. Demikian pula al-yamām seperti ḥamām.

Ḥamām menurut orang Arab adalah burung yang memiliki kalung (lingkar leher), sedangkan yamām adalah yang tidak memiliki kalung, dan keduanya dalam hukum dan makna adalah sama.

Imam Syafi‘i berkata: “Umumnya ḥamām adalah seperti yang telah aku sebutkan, yaitu burung yang minumnya menyedot air dengan sedotan (‘abb) dari air, maka itu termasuk ḥamām. Sedangkan yang minumnya setetes demi setetes seperti ayam, maka itu bukan ḥamām.”


وَجُمْلَتُهُ: أَنَّ كُلَّ مَا عَبَّ وَهَدَرَ وَزَقَّ فَرْخَهُ فَهُوَ حَمَامٌ، وَالْيَمَامُ مِثْلُهُ.
وَالْعَبُّ هُوَ: أَنْ يَشْرَبَ الْمَاءَ دَفْعَةً وَاحِدَةً.

وَالْهَدْرُ هُوَ: أَنْ يُوَاصِلَ صَوْتَهُ.
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْحَمَامَ هُوَ مَا وَصَفْتُ، فَإِذَا أَصَابَهُ فِي الْحَرَمِ أَوِ الْإِحْرَامِ، فَفِيهِ شَاةٌ، وَقَالَ أبو حنيفة: فِي الْحَمَامِ قِيمَتُهُ.

Kesimpulannya: setiap burung yang ‘abba, hadara, dan zaqqa farkhahū, maka ia termasuk ḥamām; dan burung yamām termasuk jenisnya.

al-‘abbu adalah: minum air dalam satu tegukan langsung.
 al-hadru adalah: mengeluarkan suara secara terus-menerus.

Apabila telah tetap bahwa ḥamām adalah sebagaimana yang telah kami sifatkan, maka apabila burung itu dibunuh di tanah ḥaram atau dalam keadaan iḥrām, maka dendanya adalah satu ekor kambing.

Abū Ḥanīfah berkata: dalam kasus ḥamām, dikenakan ganti rugi berupa nilainya.


وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ – وَهُوَ: مَا رُوِيَ عَنْ نَافِعِ بْنِ عَبْدِ الْحَرْثِ قَالَ: قَدِمَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَكَّةَ فَدَخَلَ دَارَ النَّدْوَةِ فِي يَوْمِ جمعةٍ، وَأَرَادَ أَنْ يَسْتَقْرِبَ مِنْهَا الرَّوَاحَ إِلَى الَمَسْجِدِ، فَأَلْقَى رِدَاءَهُ عَلَى واقفٍ فِي الْبَيْتِ، فَوَقَعَ عَلَيْهِ طيرٌ مِنْ هَذَا الْحَمَامِ، فَأَطَارَهُ فَانْتَهَزَتْهُ حيةٌ فَقَتَلَتْهُ، فَلَمَّا صَلَّى الْجُمُعَةَ دَخَلْتُ عَلَيْهِ أَنَا وَعُثْمَانُ فَقَالَ: ” احْكُمَا عَلَيَّ فِي شَيْءٍ صَنَعْتُهُ الْيَوْمَ، إِنِّي دَخَلْتُ هَذِهِ الدَّارَ، وَأَرَدْتُ أَنْ أَسْتَقْرِبَ منها الرَّوَاحَ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَأَلْقَيْتُ رِدَائِيَ عَلَى هَذَا الْوَاقِفِ، فَوَقَعَ عَلَيْهِ طَيْرٌ مِنْ هَذَا الْحَمَامِ، فَخَشِيتُ أَنْ يُلَطِّخَهُ بِسَلْحِهِ فَأَطَرْتُهُ عَنْهُ، فَوَقَعَ عَلَى هَذَا الْوَاقِفِ الْآخَرِ، فَانْتَهَزَتْهُ حيةٌ فَقَتَلَتْهُ، فَوَجَدْتُ فِي نَفْسِي أَنِّي أَطَرْتُهُ مِنْ منزلةٍ كَانَ مِنْهَا آمِنًا إِلَى موقفةٍ كَانَ فِيهَا حتفه ” فقلت لعثمان بن عفان كيف ترى في عنز ثَنِيَّةِ عَفْرَاءَ تَحْكُمُ بِهَا عَلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ؟ فَقَالَ: إِنِّي أَرَى ذَلِكَ، فَأَمَرَ بِهَا عُمَرَ.

Dan yang menunjukkan hal ini adalah ijma‘ para sahabat RA, yaitu apa yang diriwayatkan dari Nāfi‘ bin ‘Abdil-Ḥārith, ia berkata: Umar bin al-Khaṭṭāb RA datang ke Makkah lalu masuk ke Dār an-Nadwah pada hari Jumat, dan ia ingin mendekat darinya menuju masjid, maka ia melemparkan rida’-nya ke atas seseorang yang sedang berdiri di rumah itu. Lalu seekor burung dari jenis ḥamām hinggap padanya, lalu ia (Umar) mengusir burung itu, maka burung itu hinggap pada orang lain yang sedang berdiri, lalu seekor ular menyerangnya dan membunuhnya.

Setelah shalat Jumat, aku dan ‘Utsmān masuk menemuinya, lalu ia berkata: “Berikanlah keputusan terhadapku dalam suatu perbuatan yang kulakukan hari ini. Aku masuk ke rumah ini dan ingin mendekat darinya menuju masjid, lalu aku melemparkan rida’-ku ke atas orang yang berdiri itu. Seekor burung dari jenis ḥamām hinggap padanya. Aku khawatir ia akan mengotorinya dengan kotorannya, maka aku mengusirnya, lalu burung itu hinggap pada orang lain yang sedang berdiri, kemudian seekor ular menyerangnya dan membunuhnya. Maka aku merasa bersalah karena telah mengusirnya dari tempat yang ia aman darinya ke tempat yang menjadi sebab kematiannya.”

Lalu aku berkata kepada ‘Utsmān bin ‘Affān: “Bagaimana pendapatmu tentang seekor kambing betina ṡaniyyah ‘Afrā’, apakah engkau akan memutuskan dengan itu terhadap Amīrul-Mu’minīn?” Maka ‘Utsmān berkata: “Aku melihat demikian.” Maka Umar pun memerintahkan agar kambing itu diberikan sebagai ganti rugi.


وَرَوَى عَطَاءٌ أَنَّ ابْنًا لِعُثْمَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حُمَيْدٍ قَتَلَ حَمَامَةً، فَقِيلَ ذَلِكَ لِابْنِ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: يَذْبَحُ شَاةً يَتَصَدَّقُ بِهَا.
وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ فَقَالَ: أَغْلَقْتُ بَابًا عَلَى حمامةٍ وَفَرْخَتِهَا فِي الْمَوْسِمِ، فَرَجَعْتُ وَقَدْ مُتْنَ، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: عَلَيْكَ بِثَلَاثِ شياهٍ، فَكَانَ هَذَا مَذْهَبَ عُمَرَ وَعُثْمَانَ وَنَافِعِ بْنِ عَبْدِ الْحَرْثِ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ عُمَرَ وَغَيْرِهِمْ مِمَّا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ، وَلَيْسَ لَهُمْ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ.

Diriwayatkan dari ‘Aṭā’: bahwa seorang anak dari ‘Utsmān bin ‘Abdillāh bin Ḥumayd membunuh seekor burung ḥamāmah, lalu hal itu disampaikan kepada Ibnu ‘Abbās, maka beliau berkata: “Menyembelih seekor kambing dan bersedekah dengannya.”

Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar: bahwa seseorang bertanya kepadanya: “Aku menutup pintu atas seekor burung ḥamāmah dan anaknya pada musim haji, lalu aku kembali dan mendapati keduanya telah mati.” Maka Ibnu ‘Umar berkata: “Atasmu kewajiban tiga ekor kambing.”

Inilah mazhab ‘Umar, ‘Utsmān, Nāfi‘ bin ‘Abd al-Ḥārith, Ibnu ‘Abbās, Ibnu ‘Umar, dan selain mereka yang disebutkan oleh al-Syāfi‘ī, dan tidak ada dari kalangan sahabat yang menyelisihi mereka.


وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الشَّاةِ الْوَاجِبَةِ فِي الْحَمَامِ هَلْ وَجَبَتْ تَوْقِيفًا أَوْ مِنْ جِهَةِ الْمُمَاثَلَةِ وَالشَّبَهِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهَا وَجَبَتِ اتِّبَاعًا لِلْأَثَرِ وَتَوْقِيفًا عَنِ الصَّحَابَةِ لَا قِيَاسًا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا وَجَبَتْ مِنْ حَيْثُ الشَّبَهِ وَالْمُمَاثِلَةِ؛ لِأَنَّ فِيهَا أُنساً وَإِلْفًا، وَأَنَّهُمَا يَعُبَّانِ فِي الْمَاءِ عَبًّا.

Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai kambing yang wajib sebagai ganti atas ḥamām (burung merpati), apakah kewajibannya itu bersifat tawqīfī (berdasarkan nash) atau karena adanya kesamaan dan kemiripan? Dalam hal ini ada dua wajah:

Pertama: dan ini adalah yang dinyatakan oleh Imam Syafi‘i, bahwa kewajiban itu ditetapkan karena mengikuti atsar dan bersifat tawqīfī dari para sahabat, bukan karena qiyās.

Wajah kedua: bahwa kewajiban itu ditetapkan karena adanya kemiripan dan kesamaan; karena keduanya (kambing dan burung) memiliki kejinakan dan keterbiasaan dengan manusia, serta keduanya minum air dengan cara menyedot (‘abb).


فَصْلٌ
: وَأَمَّا دُونَ الْحَمَامِ فَهُوَ: كَالْعُصْفُورِ، وَالصَّقْرِ، وَالْقُبَّرَةِ، وَالضُّوَعِ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: هُوَ طَائِرٌ دُونَ الْحَمَامِ، فَهَذَا كُلُّهُ وَأَشْبَاهُهُ مَضْمُونٌ بالقيمة، وقال داود بن علي: غَيْرُ مَضْمُونٍ، وَهَذَا خَطَأٌ. لِأَنَّ عُمَرَ وَابْنَ عَبَّاسٍ أَوْجَبَا فِي الْجَرَادَةِ الْجَزَاءَ.
وَالْكَلَامُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ قَدْ مَضَى فِيمَا لَا مِثْلَ لَهُ مِنَ الصَّيْدِ، هَلْ هُوَ مَضْمُونٌ بِالْقِيمَةِ أَمْ لَا؟
وَحَكَى الشَّافِعِيُّ عَنْ عَطَاءٍ أَنَّهُ قَالَ: وَالْكُعَيْتُ عُصْفُورٌ، فَفِيهِ قِيمَتُهُ، فَأَمَّا الْوَطْوَاطُ فَهُوَ فَوْقَ الْعُصْفُورِ وَدُونَ الْهُدْهُدِ، فَفِيهِ إِنْ كَانَ مَأْكُولًا قِيمَتُهُ.

PASAL
 Adapun burung yang di bawah tingkat ḥamām, seperti: ‘uṣfūr (burung pipit), ṣaqr (elang), qubbārah (tekukur), dan ḍuā‘ (sejenis burung kecil).

Imam al-Syāfi‘ī berkata: itu semua termasuk burung yang berada di bawah tingkatan ḥamām, maka semuanya dan yang semisal dengannya wajib diganti dengan qīmah (nilai harganya).

Dāwud bin ‘Alī berkata: tidak wajib diganti, dan ini adalah pendapat yang keliru. Karena ‘Umar dan Ibnu ‘Abbās mewajibkan jazā’ atas jarādah (belalang).

Dan pembahasan dalam masalah ini telah dijelaskan sebelumnya, yaitu mengenai hewan buruan yang tidak memiliki padanan, apakah wajib diganti dengan qīmah atau tidak?

Dan Imam al-Syāfi‘ī meriwayatkan dari ‘Aṭā’: bahwa al-Ku‘ayt adalah burung ‘uṣfūr, maka padanya dikenakan ganti sesuai nilainya.

Adapun waṭwāṭ (kelelawar), maka kedudukannya di atas ‘uṣfūr dan di bawah hudhud (burung hud-hud). Maka padanya, jika termasuk hewan yang boleh dimakan, dikenakan ganti berupa qīmah (nilai).


فَصْلٌ
: فَأَمَّا مَا كَانَ فوق الحمام فهو كالفتاح وَالْقَطَاةِ وَالْكُرْكِيِّ وَالْحُبَارَى، فَهَذَا وَأَشْبَاهُهُ فَوْقَ الْحَمَامِ، وفيه قولان:

أَحَدُهُمَا: وَبِهِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ: إِنَّ فِيهِ شاةٌ؛ لِأَنَّهَا إِذَا وَجَبَتْ فِي الْحَمَامِ الَّذِي هُوَ أَصْغَرُ مِنْهَا فَأَوْلَى أَنْ يَجِبَ فِيهَا.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ: إِنَّ فِيهِ قِيمَتَهُ؛ لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ أَكْبَرَ مِنَ الْحَمَامِ وَأَكْثَرَ لَحْمًا مِنْهُ، فَالْحَمَامُ أَشْرَفُ مِنْهُ وَأَكْثَرُ ثَمَنًا؛ لِمَا فِيهِ مِنَ الْإِلْفِ وَالْهَدِيرِ وَالصَّوْتِ الْمُسْتَحْسَنِ وَالتَّذْكِيرِ وَالتَّشْوِيقِ إِلَيْهِ، حَتَّى ذَكَرَتِ الْعَرَبُ ذَلِكَ فِي أَشْعَارِهَا، فَقَالَ شَاعِرٌ مِنْهُمْ:
(أَحن إلى حمامةٌ بطن وجٍ … تغنت فوق مرقبةٍ خنينا)

PASAL
 Adapun hewan yang lebih besar dari ḥamām seperti al-fatāḥ, al-qaṭāh, al-kurkiyy, dan al-ḥubārā, maka hewan-hewan ini dan yang semisalnya lebih tinggi derajatnya dari ḥamām, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama – dan ini dikatakan dalam pendapat qadīm – bahwa wajib atasnya seekor kambing, karena jika atas ḥamām yang lebih kecil darinya saja wajib kambing, maka lebih utama lagi atas yang lebih besar darinya.

Pendapat kedua – dan ini dikatakan dalam pendapat jadīd – bahwa wajib atasnya adalah nilainya, karena meskipun ia lebih besar dari ḥamām dan lebih banyak dagingnya, ḥamām lebih mulia darinya dan lebih mahal nilainya, karena ada padanya kejinakan, suara dengungan, suara yang merdu, dan membangkitkan kenangan serta kerinduan kepadanya, hingga orang Arab menyebutkannya dalam syair-syair mereka. Sebagaimana salah seorang penyair berkata:

“Aku rindu kepada burung merpati di perut Wajj, yang bernyanyi di atas tempat tinggi dengan suara merdu.”


وَقَالَ آخَرُ:
(وَقَفْتُ عَلَى الرَّسْمِ الْمُحِيلِ فَهَاجَنِي … بكا حماماتٍ عَلَى الرَّسْمِ وُقَّعُ)
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَالْعَرَبُ تَقُولُ: الْحَمَامُ نَاسُ الطَّائِرِ، أَيْ: يَعْقِلُ عَقْلَ الناس، فلما اختص الحمام بهذا ومايز مَا سِوَاهُ وَجَبَ أَنْ يَخْتَصَّ فِي الْجَزَاءِ بِوُجُوبِ الشَّاةِ مُبَايَنَةً لِمَا سِوَاهُ. وَقَالَ الشَّافِعِيُّ – رحمه الله -: وَكَذَلِكَ الدَّجَاجُ الْحَبَشِيُّ فِيهِ الْجَزَاءُ؛ لِأَنَّهُ وَإِنْ تَأَنَّسَ فَهُوَ وَحْشُ الْأَصْلِ، كَالْغَزَالِ الَّذِي قَدْ يَتَأَنَّسُ، وَإِنْ كَانَ وَحْشِيًّا. قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَطَائِرُ الْمَاءِ مِنْ صَيْدِ الْبَرِّ، وَهُوَ مَضْمُونٌ بِالْجَزَاءِ؛ لأنه وإن رعا فِي الْمَاءِ فَالْبَرُّ مَأْوَاهُ، وَفِيهِ يُفْرِخُ، فَأَمَّا الْإِوَزُّ فَمَا نَهَضَ مِنْهُ طَائِرًا بِجَنَاحِهِ فَهُوَ صَيْدٌ يُضْمَنُ بِالْجَزَاءِ، وَمَا لَمْ يَنْهَضْ مِنْهُ طَائِرًا بِجَنَاحِهِ فَلَيْسَ بِصَيْدٍ، كَالْبَطِّ، وَلَا جَزَاءَ فِيهِ، كَمَا لَا جَزَاءَ فِي الدَّجَاجِ، فَأَمَّا الْحَمَامُ الْأَهْلِيُّ الَّذِي يُسَمَّى الدَّاعِي، وَهُوَ مَا يَكُونُ فِي الْمَنَازِلِ مُسْتَأْنَسًا، فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:

PASAL
 Dan seseorang berkata:
 (Aku berdiri di atas bekas yang telah lapuk, lalu membuatku terharu … seperti tangisan burung-burung ḥamām di atas reruntuhan yang telah ditinggalkan).

Imam al-Syāfi‘ī berkata: Orang-orang Arab mengatakan bahwa al-ḥamām adalah manusia dari jenis burung, maksudnya: ia memiliki kecerdasan seperti manusia. Maka ketika ḥamām memiliki kekhususan ini dan berbeda dari selainnya, wajiblah ia dikhususkan dalam jazā’ dengan kewajiban satu ekor kambing, sebagai pembeda dari selainnya.

Dan Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: demikian pula ad-dajāju al-ḥabashiyy (ayam kampung/ayam liar), padanya ada jazā’, karena meskipun ia jinak, ia berasal dari hewan liar, seperti ghazāl (kijang) yang terkadang bisa dijinakkan, meskipun ia aslinya hewan liar.

Imam al-Syāfi‘ī berkata: burung air termasuk hewan buruan darat, dan ia wajib diganti dengan jazā’, karena meskipun mencari makan di air, tempat tinggalnya di darat, dan di situlah ia bertelur.

Adapun al-iwazz (angsa), maka yang bisa terbang dengan kedua sayapnya, maka ia termasuk hewan buruan dan wajib diganti dengan jazā’; adapun yang tidak bisa terbang dengan sayapnya, maka bukan termasuk hewan buruan dan tidak ada jazā’ padanya, sebagaimana tidak ada jazā’ pada ayam.

Adapun al-ḥamām al-ahliy yang disebut ad-dā‘ī, yaitu yang berada di rumah-rumah dalam keadaan jinak, maka menurut para sahabat kami ada dua wajah:


أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مِنْ جُمْلَةِ الْحَمَامِ؛ لِانْطِلَاقِ الِاسْمِ عليه، ففيه الْجَزَاءُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ: لَا جَزَاءَ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِصَيْدٍ، وَإِنَّمَا هُوَ أَنِيسٌ كَالدَّجَاجِ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُخْرِجَ قِيمَةَ ذَلِكَ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، أَوْ قِيمَةَ مَا كَانَ دُونَ الْحَمَامِ قَوْلًا وَاحِدًا، فَعَلَيْهِ قِيمَتُهُ وَقْتَ قَتْلِهِ، ثُمَّ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَلَيْهِ قِيمَتَهُ وَقْتَ قَتْلِهِ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي أَصَابَهُ فِيهِ.
وَالْقَوْلُ الثاني: أن عليه قيمته وقت قلته فِي مَكَّةَ؛ لِأَنَّهَا مَحِلُّ الْهَدْيِ دُونَ الْمَوْضِعِ الذي أصابه فيه.

Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia termasuk dalam jenis ḥamām, karena nama tersebut mencakupnya, maka atasnya ada kewajiban jazā’ (tebusan).

Wajah kedua – dan ini adalah pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah – bahwa tidak ada jazā’ atasnya, karena ia bukan termasuk binatang buruan (ṣayd), melainkan hanyalah hewan jinak seperti ayam.

Jika ia ingin mengeluarkan nilai hewan itu menurut salah satu dari dua pendapat, atau nilai sesuatu yang berada di bawah ḥamām menurut satu pendapat, maka wajib atasnya adalah nilainya saat dibunuh.

Lalu dalam hal ini ada dua pendapat:

Pertama: bahwa wajib atasnya nilai hewan itu saat dibunuh di tempat di mana ia membunuhnya.

Pendapat kedua: bahwa wajib atasnya nilai hewan itu saat dibunuh di Makkah, karena Makkah adalah tempat penyembelihan hady, bukan tempat di mana hewan itu dibunuh.


مسألة
: قال الشافعي: رضي الله عنه: ” وَهَذَا إِذَا أُصِيبَ بِمَكَّةَ أَوْ أَصَابَهُ الْمُحْرِمُ قال عطاء في القمري والدبسي شاة (قال) وكل ما عب وهدر فهو حمامٌ وفيه شاةٌ وما سواه من الطير فيه قيمته في المكان الذي أصيب فيه “.

قال الماوردي: هذا صحيح، كَانَ مَضْمُونًا مِنَ الطَّائِرِ فِي الْحَرَمِ فَهُوَ مَضْمُونٌ فِي الْحِلِّ إِذَا قَتَلَهُ الْمُحْرِمُ، وَالضَّمَانُ فِي الْحَالَيْنِ سَوَاءٌ، فَإِنْ أَصَابَ الْمُحْرِمُ فِي الْحِلِّ حَمَامَةً فَعَلَيْهِ شَاةٌ، وَإِنْ أَصَابَ دُونَ الْحَمَامِ فَعَلَيْهِ قِيمَتُهُ، وَإِنْ أَصَابَ فَوْقَ الْحَمَامِ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Masalah
 Imam al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Ini berlaku apabila (burung) itu dibunuh di Makkah atau dibunuh oleh orang yang sedang beriḥrām.”

‘Aṭā’ berkata mengenai al-qumrī (tekukur) dan ad-dubasī (sejenis burung): “(Dendanya) adalah satu ekor kambing.” Ia juga berkata: “Setiap burung yang ‘abba dan hadara maka ia termasuk ḥamām, dan padanya wajib satu ekor kambing. Adapun selainnya dari burung-burung, maka wajib diganti sesuai nilainya di tempat di mana ia dibunuh.”

Al-Māwardī berkata: Ini benar. Jika burung tergolong yang wajib diganti di tanah ḥaram, maka ia juga wajib diganti jika dibunuh oleh orang yang beriḥrām di tanah ḥill. Dan kewajiban dhamān (ganti rugi) dalam dua keadaan itu sama.

Maka jika orang beriḥrām membunuh ḥamāmah di tanah ḥill, wajib baginya seekor kambing.
 Dan jika ia membunuh burung yang di bawah tingkat ḥamām, maka wajib menggantinya dengan nilainya.
 Dan jika ia membunuh burung yang di atas ḥamām, maka ada dua pendapat.


وَقَالَ مَالِكٌ: حَمَامُ الْحَرَمِ مَضْمُونٌ بِشَاةٍ، وَحَمَامُ الْحِلِّ مَضْمُونٌ عَلَى الْمُحْرِمِ بِقِيمَتِهِ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ: مَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: فِي حَمَامِ الْحِلِّ شاةٌ، وَلَا مُخَالِفَ لَهُ؛ وَلِأَنَّ مَا كَانَ مَضْمُونًا فِي الْحَرَمِ بِالْجَزَاءِ فَهُوَ مَضْمُونٌ فِي الْحِلِّ عَلَى الْمُحْرِمِ بِمِثْلِ ذَلِكَ الْجَزَاءِ، كَالصَّيْدِ مِنَ الدَّوَابِّ، وَلِأَنَّهَا حَمَامَةٌ مَضْمُونَةٌ بِالْجَزَاءِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْجَزَاءُ فِيهَا شَاةً كَحَمَامَةِ مَكَّةَ.

Imam Mālik berkata: Ḥamām di tanah haram dijamin dengan seekor kambing, sedangkan ḥamām di tanah halal (di luar tanah haram) dijamin atas orang yang berihram dengan nilainya.

Yang menunjukkan hal tersebut adalah riwayat dari Ibnu ‘Abbās bahwa ia berkata: “Dalam ḥamām tanah halal wajib seekor kambing,” dan tidak ada yang menyelisihinya.

Karena apa yang dijamin di tanah haram dengan jazā’, maka ia juga dijamin di tanah halal atas orang yang berihram dengan jazā’ yang semisal, sebagaimana buruan dari binatang darat.

Dan karena itu adalah ḥamāmah yang dijamin dengan jazā’, maka wajib jazā’-nya adalah seekor kambing sebagaimana ḥamāmah Makkah.


مَسْأَلَةٌ
: قَالَ الشافعي: رضي الله عنه: ” وَقَالَ عُمَرُ لِكَعْبٍ فِي جَرَادَتَيْنِ مَا جَعَلْتَ فِي نَفْسِكَ قَالَ دِرْهَمَيْنِ قَالَ بخٍ دِرْهَمَانِ خيرٌ مِنْ مِائَةِ جرادةٍِ افْعَلْ مَا جَعَلْتَ فِي نَفْسِكَ وَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي جَرَادَةٍ تَمْرَةٌ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فِي جرادةٍ تَصَدَّقْ بِقَبْضَةِ طعامٍ وَلْيَأْخُذَنَّ بِقَبْضَةِ جراداتٍ فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُمَا رَأَيَا فِي ذَلِكَ الْقِيمَةَ فَأَمَرَا بِالِاحْتِيَاطِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، الْجَرَادُ مِنْ صَيْدِ الْبَرِّ حَرَامٌ عَلَى الْمُحْرِمِ، وَهُوَ مَضْمُونٌ بِالْجَزَاءِ.
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: هُوَ مِنْ صَيْدِ البحر من بئر جوث، وَلَا جَزَاءَ فِيهِ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ، وَمِنَ التَّابِعَيْنِ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ.

Masalah
 Imam al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “‘Umar berkata kepada Ka‘b mengenai dua ekor belalang: ‘Apa yang kamu niatkan atas dirimu (sebagai pengganti)?’ Ka‘b menjawab: ‘Dua dirham.’ Maka ‘Umar berkata: ‘Bagus, dua dirham lebih baik daripada seratus belalang. Lakukan apa yang telah kamu niatkan atas dirimu.’”

Dan diriwayatkan darinya bahwa ia berkata mengenai seekor belalang: “Satu butir kurma.”
 Ibnu ‘Abbās berkata mengenai seekor belalang: “Bersedekahlah dengan segenggam makanan, dan hendaknya ia mengambil segenggam belalang.”
 Hal ini menunjukkan bahwa keduanya memandang ganti rugi itu berupa qīmah (nilai), dan mereka memerintahkan untuk berhati-hati (dengan taksiran terbaik).

Al-Māwardī berkata: Ini benar. Belalang termasuk hewan buruan darat, haram bagi orang yang beriḥrām untuk memburunya, dan wajib diganti dengan jazā’.

Ada sekelompok pendapat yang mengatakan: Belalang termasuk hewan buruan laut karena berasal dari sumur Jauth, dan tidak ada jazā’ padanya. Ini adalah pendapat dari kalangan sahabat: Abū Sa‘īd al-Khudrī, dan dari kalangan tābi‘īn: ‘Urwah bin al-Zubayr.


وَمِنَ الْفُقَهَاءِ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ الظَّاهِرِيُّ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ أَبِي الْمُهَزَّمِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةُ قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ فَلَقِينَا رِجْلًا مِنْ جَرَادٍ فَجَعَلْنَا نَقْتُلُهُمْ بِسِيَاطِنَا وَعِصِيِّنَا فَأُسْقِطَ فِي أَيْدِينَا، وَقُلْنَا: مَا صَنَعْنَا وَنَحْنُ مُحْرِمُونَ، فَسَأَلْنَا رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ: ” لَا بَأْسَ صَيْدُ الْبَحْرِ ” فَلَمَّا جَعَلَهُ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ صَيْدِ الْبَحْرِ عُلِمَ أَنَّهُ لَا جَزَاءَ فِيهِ، كَمَا لَا جَزَاءَ فِي صَيْدِ الْبَحْرِ؛ ولأن الجراد كصيد البحر في أنه مأكول مَيِّتًا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ كَصَيْدِ الْبَحْرِ فِي أَنَّهُ غَيْرُ مَضْمُونٍ بِالْجَزَاءِ.

Dan di antara para fuqahā’ adalah Dāwūd bin ‘Alī aẓ-Ẓāhirī, yang berdalil dengan riwayat Abū al-Muhazzam dari Abū Hurairah, ia berkata: “Kami bersama Nabi SAW dalam haji atau ‘umrah, lalu kami menemui segerombolan belalang, maka kami mulai membunuhnya dengan cambuk dan tongkat kami. Maka kami menyesal dan berkata: ‘Apa yang telah kami lakukan sementara kami dalam keadaan ihram?’ Maka kami bertanya kepada Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda: ‘Tidak mengapa, itu adalah buruan laut.’

Maka ketika Nabi SAW menjadikannya sebagai bagian dari ṣayd al-baḥr (buruan laut), diketahui bahwa tidak ada jazā’ atasnya, sebagaimana buruan laut tidak ada jazā’-nya.

Karena belalang itu seperti buruan laut dalam hal bahwa ia halal dimakan dalam keadaan mati, maka wajib hukumnya dipersamakan dengan buruan laut dalam hal tidak adanya jazā’ atasnya.


وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمْ: رِوَايَةُ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِنَّ مَرْيَمَ بِنْتَ عِمْرَانَ سَأَلَتْ رَبَّهَا أَنْ يُطْعِمَهَا لَحْمًا لَا دَمَ فِيهِ، فَأَطْعَمَهَا الْجَرَادَ، فَقَالَتِ: اللَّهُمَّ أَعِشْهُ بِغَيْرِ رضاعٍ، وَتَابِعْ بيته بغير شياعٍ.

قَالَ ابْنُ قُتَيْبَةَ: الشِّيَاعُ دُعَاءُ الدَّاعِي، أَيْ: يتابع بيته في الطيران؛ لأنه منع بَعْضُهُ بَعْضًا، وَيَأْتَلِفُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُشَايَعَ كَمَا تُشَايَعُ الْغَنَمُ، فَهَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ مِنْ صَيْدِ الْبَرِّ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا سَأَلَتْ رَبَّهَا أَنْ يُطْعِمَهَا لَحْمًا لَا دَمَ فِيهِ، وَقَدْ عَلِمْتَ أَنَّ صَيْدَ الْبَحْرِ لا دم فيه، فأطعمها الجراد، وليس من صَيْدِ الْبَرِّ لَحْمٌ لَا دَمَ فِيهِ سِوَى الْجَرَادِ.

Dan dalil yang menunjukkan (bahwa belalang termasuk hewan buruan darat) adalah riwayat dari Abū Umāmah bahwa Nabi SAW bersabda:
 “Sesungguhnya Maryam binti ‘Imrān memohon kepada Rabb-nya agar Dia memberinya daging yang tidak mengandung darah, maka Allah memberinya belalang. Lalu Maryam berkata: ‘Ya Allah, hidupkanlah ia tanpa susuan, dan jadikan rumahnya tetap tanpa perlu digiring.’”

Ibnu Qutaybah berkata: asy-syiyā‘ adalah panggilan orang yang menggiring (ternak), yakni: belalang terbang mengikuti rumahnya sendiri tanpa digiring satu sama lain, dan mereka bersatu tanpa perlu digiring seperti domba.

Hadis ini menunjukkan bahwa belalang termasuk hewan buruan darat dari dua sisi:

Pertama: bahwa Maryam memohon kepada Rabb-nya daging yang tidak mengandung darah, padahal engkau tahu bahwa hewan buruan laut tidak mengandung darah. Maka Allah memberinya belalang, dan tidak ada daging dari hewan buruan darat yang tidak mengandung darah selain belalang.


وَالثَّانِي: قَوْلُ مَرْيَمَ: اللَّهُمَّ أَعِشْهُ بِغَيْرِ رضاعٍ، وَتَابِعْ بَيْتَهُ بِغَيْرِ شياعٍ، فَدَعَتْ رَبَّهَا أَنْ يَخُصَّهُ بِذَلِكَ بَعْدَ أَنْ لَمْ يَكُنْ مَخْصُوصًا، فَعُلِمَ أَنَّهُ كَانَ قَبْلَ دَعْوَتِهَا يَعِيشُ بِرِضَاعٍ، وَلَا يَجْتَمِعُ بِغَيْرِ شِيَاعٍ، وَذَلِكَ مِنْ صِفَاتِ صَيْدِ الْبَرِّ؛ وَلِأَنَّ صَيْدَ الْبَحْرِ: مَا كَانَ عَيْشُهُ فِي الْبَحْرِ، وَعَيْشُ الْجَرَادِ فِي الْبَرِّ، وَمَوْتُهُ فِي الْبَحْرِ، فَعُلِمَ أَنَّهُ مِنْ صَيْدِ الْبَرِّ دُونَ الْبَحْرِ، وَإِذَا كَانَ هَكَذَا وَجَبَ فِيهِ الْجَزَاءُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لاَ تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّداً فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ) {المائدة: 95) وَرَوَى يُوسُفُ بْنُ مَاهِكَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي عَمَّارٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ أَقْبَلَ مَعَ مُعَاذِ بْنِ جبلٍ وَكَعْبِ الْأَحْبَارِ فِي أناسٍ محرمين من بيت المقدس بغمرةٍ، حَتَى إِذَا كُنَّا بِبَعْضِ الطَّرِيقِ، وكعبٌ عَلَى نارٍ يَصْطَلِي مَرَّ بِهِ رِجْلٌ مِنْ جَرَادٍ، فَأَخَذَ جَرَادَتَيْنِ فَقَتَلَهُمَا وَنَسِيَ إِحْرَامَهُ، ثُمَّ ذَكَرَ إِحْرَامَهُ فَأَلْقَاهُمَا، فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ قَصَّ كَعْبٌ قصة الجرادتين على عمر قال: مَا جَعَلْتَ فِي نَفْسِكَ، قَالَ: دِرْهَمَيْنِ، قَالَ عُمَرُ: بخٍ دِرْهَمَانِ خيرٌ مِنْ مِائَةِ جرادةٍ، فَدَلَّ حَدِيثُ كَعْبٍ عَلَى جَوَازِ الْإِحْرَامِ قَبْلَ الْمِيقَاتِ، وَأَنَّ قَاتِلَ الصَّيْدِ نَاسِيًا كَالْعَامِدِ، وَأَنَّ الْجَرَادَ مِنْ صَيْدِ الْبَرِّ، وَأَنَّهُ مَضْمُونٌ بِالْجَزَاءِ وأن فيه قيمته؛ لأنه صَيْدٌ مَأْكُولٌ يَأْوِي الْبَرَّ.
فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَضْمُونًا بِالْجَزَاءِ كَسَائِرِ الْصُّيُودِ، فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْخَبَرِ فَضَعِيفٌ؛ لِأَنَّ أَبَا الْمُهَزِّمِ مَجْهُولٌ، وَأَمَّا جَوَازُ أَكْلِهَا بَعْدَ الْمَوْتِ فَلَا يَمْنَعُ مِنَ اخْتِلَافِ حُكْمِهَا فِي الْحَيَاةِ.

PASAL
 Pendapat kedua: adalah ucapan Maryam: “Ya Allah, hidupkanlah dia tanpa disusui, dan ikutilah rumahnya tanpa keramaian.” Maka ia berdoa kepada Rabb-nya agar mengkhususkannya dengan hal itu setelah sebelumnya tidak dikhususkan. Maka diketahui bahwa sebelum doanya itu, ia hidup dengan menyusu dan tidak berkumpul tanpa keramaian. Hal ini termasuk sifat binatang buruan darat (ṣayd al-barr).

Karena ṣayd al-baḥr adalah yang kehidupannya di laut, sedangkan belalang hidupnya di darat dan matinya di laut, maka diketahui bahwa ia termasuk ṣayd al-barr, bukan laut. Maka jika demikian, wajib atasnya jazā’, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:
 “Janganlah kalian membunuh binatang buruan dalam keadaan ihram. Barang siapa membunuhnya dengan sengaja, maka ia wajib membayar jazā’ yang sebanding dengan binatang ternak.” (QS. al-Mā’idah: 95)

Dan diriwayatkan dari Yūsuf bin Māhik dari ‘Abdullāh bin Abī ‘Ammār, bahwa ia datang bersama Mu‘āż bin Jabal dan Ka‘b al-Aḥbār bersama sekelompok orang yang berihram dari Bayt al-Maqdis dalam keadaan ghumrah, hingga ketika kami berada di suatu jalan dan Ka‘b sedang menghangatkan diri di dekat api, lewat segerombolan belalang, lalu ia mengambil dua ekor dan membunuh keduanya karena lupa bahwa ia sedang ihram. Lalu ia teringat kembali dan melemparkannya.

Ketika kami sampai di Madinah, Ka‘b menceritakan kisah dua belalang itu kepada ‘Umar. Maka ‘Umar berkata: “Apa yang engkau tetapkan untuk dirimu?” Ia menjawab: “Dua dirham.” Maka ‘Umar berkata: “Bagus! Dua dirham lebih baik dari seratus belalang.”

Maka hadits Ka‘b menunjukkan:

  • Bolehnya berihram sebelum miqāt,
  • Bahwa orang yang membunuh buruan karena lupa diperlakukan seperti yang sengaja,
  • Bahwa belalang termasuk ṣayd al-barr,
  • Bahwa ia dijamin dengan jazā’,
  • Dan bahwa atasnya adalah nilai (qīmah), karena ia adalah buruan yang halal dimakan dan bernaung di daratan.

Maka wajib atasnya jazā’ sebagaimana seluruh buruan lainnya.

Adapun dalil mereka dengan hadits, maka lemah, karena Abū al-Muhazzim adalah majhūl.

Dan bolehnya memakan belalang setelah mati tidaklah mencegah adanya perbedaan hukum atasnya saat hidup.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ مَضْمُونٌ بِالْجَزَاءِ، فَفِيهِ قِيمَتُهُ؛ لِأَنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ، فَإِنْ قَتَلَ جَرَادَةً فِي الْحَرَمِ، أَوْ في الإحرام فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فِي الْإِمْلَاءِ: عَلَيْهِ تَمْرَةٌ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ قِيمَتُهَا أكثر من تمرة فعليه قيمتها، وإن كانت قِيمَتُهَا أَقَلَّ مِنْ تَمْرَةٍ أَحْبَبْتُ أَلَّا تَنْقُصَ عَنْ تَمْرَةٍ؛ لِأَنَّ أَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ قَبِيحٌ أَنْ يُتَصَدَّقَ بِهِ، وَإِنْ كَانَ جَرَادًا كَثِيرًا احْتَاطَ حَتَّى يَعْلَمَ قَدْرَهُ فَتَكُونَ عَلَيْهِ قِيمَتُهُ طَعَامًا أَوْ تَمْرًا يَتَصَدَّقُ بِهِ.

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa belalang wajib diganti dengan jazā’, maka padanya dikenakan nilai (harga), karena tidak ada padanannya.

Jika seseorang membunuh seekor belalang di tanah ḥaram atau dalam keadaan beriḥrām, maka Imam al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata dalam al-Imlā’: atasnya satu butir kurma, kecuali jika nilai belalang tersebut lebih mahal dari satu butir kurma, maka wajib baginya membayar sesuai nilainya.

Jika nilainya lebih rendah dari satu butir kurma, maka aku menyukai agar tidak kurang dari satu kurma, karena kurang dari itu adalah sesuatu yang buruk untuk disedekahkan.

Dan jika belalangnya banyak, maka hendaknya berhati-hati hingga mengetahui jumlahnya, lalu wajib baginya membayar nilainya berupa makanan atau kurma untuk disedekahkan.


قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ: وَالدَّبَاءُ جَرَادٌ صِغَارٌ فَفِي الدَّبَاةِ مِنْهُ أَقَلُّ مِنْ تَمْرَةٍ إِنْ شَاءَ الَّذِي يفديه أو لقيمة صغير وَمَا فَدَاهُ بِهِ فَهُوَ خَيْرٌ مِنْهُ، وَإِذَا كسر بيض الجراد فداه، وما فدا به كل بَيْضَةٍ مِنْهُ مِنْ طَعَامٍ فَهُوَ خَيْرٌ مِنْهَا، فَأَمَّا الْجُنْدُبُ وَالْكَدْمُ فَهُمَا وَإِنْ كَانَا كَالْجَرَادِ فَلَيْسَا مَأْكُولَيْنِ، وَلَا شَيْءَ فِيهِمَا، وَيُكْرَهُ قَتْلُهُمَا؛ لجواز أن يكون مَأْكُولَيْنِ.

Imam Syafi‘i berkata dalam al-Umm: ad-dabbā’ adalah belalang kecil. Maka dalam seekor dabbā’ darinya (yakni belalang kecil itu), kadarnya lebih sedikit dari sebutir kurma, jika orang yang membayar tebusan menghendaki, maka cukup dengan nilai belalang kecil. Apa pun yang ia jadikan sebagai fidyah, maka itu lebih baik darinya.

Jika ia memecahkan telur belalang, maka ia wajib membayar tebusannya. Dan apa pun yang dijadikan tebusan untuk setiap telurnya berupa makanan, maka itu lebih baik dari telur tersebut.

Adapun al-jundub dan al-kadm, meskipun keduanya menyerupai belalang, keduanya bukan binatang yang halal dimakan, maka tidak ada kewajiban apa pun atas pembunuh keduanya, namun makruh hukumnya membunuh mereka berdua, karena memungkinkan saja keduanya termasuk yang halal dimakan.


فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ: وَإِذَا كَانَ الْمُحْرِمُ عَلَى بَعِيرِهِ أَوْ يَقُودُهُ أَوْ يَسُوقُهُ غَرِمَ مَا أَصَابَهُ بِعِيرُهُ مِنَ الْجَرَادِ، فَإِنْ كَانَ بَعِيرُهُ مُنْفَلِتًا لَمْ يُغَرَّمْ مَا أَصَابَ بِعِيرُهُ مِنْهُ، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ كَانَ عَلَيْهِ أَوْ مَعَهُ نُسِبَتْ إِلَيْهِ أَفْعَالُهُ، وإذا فلت مِنْهُ لَمْ يُنْسَبْ أَفْعَالُهُ إِلَيْهِ، فَلَوْ كَانَ الْجَرَادُ فِي طَرِيقِهِ مُفْتَرِشًا لَا يَجِدُ مَسْلَكًا إِلَّا عَلَيْهِ، فَوَطِئَهُ بِقَدَمِهِ أَوْ سَارَ عَلَيْهِ بعيره، فَقَدْ عَلَّقَ الشَّافِعِيُّ الْقَوْلَ فِيهِ، فَخَرَّجَهُ أَصْحَابُنَا عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا جَزَاءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ مُضْطَرٌّ لِقَتْلِهِ، فَلَمْ يُضْمَنْ، كَالصَّيْدِ إِذَا صَالَ عَلَيْهِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عَلَيْهِ الْجَزَاءُ؛ لِأَنَّهُ وَإِنِ اضْطُرَّ إِلَيْهِ فَهُوَ لِمَعْنًى فِيهِ، لَا فِي الْجَرَادِ، فَصَارَ كَاضْطِرَارِهِ إِلَى قَتْلِ الصَّيْدِ لِأَكْلِهِ، والله أعلم.

PASAL
 Imam al-Syāfi‘ī berkata dalam al-Umm:
 Apabila orang yang beriḥrām berada di atas unta, atau menuntunnya, atau menggiringnya, maka ia wajib mengganti apa yang terkena (terbunuh) oleh untanya dari belalang. Namun jika untanya lepas, maka ia tidak wajib mengganti apa yang terkena oleh untanya dari belalang.

Hal ini karena ketika ia berada di atas atau bersama untanya, maka perbuatan unta tersebut dinisbatkan kepadanya. Tapi bila unta itu lepas darinya, maka perbuatannya tidak lagi dinisbatkan kepadanya.

Jika belalang sedang berhamparan di jalannya dan ia tidak menemukan jalan lain selain melewatinya, lalu ia menginjaknya dengan kakinya atau untanya berjalan di atasnya, maka Imam al-Syāfi‘ī menggantungkan (belum memastikan) pendapat dalam hal ini.

Para sahabat kami mengeluarkan dua pendapat dari hal tersebut:

Pertama: tidak ada jazā’ atasnya, karena ia terpaksa membunuh belalang tersebut, maka tidak dikenakan ganti, seperti hewan buruan yang menyerangnya.

Kedua: ia wajib membayar jazā’, karena meskipun ia terpaksa, keterpaksaan itu berasal dari kondisi dirinya, bukan dari belalang itu, sehingga keadaannya seperti orang yang terpaksa membunuh hewan buruan untuk dimakan.

Wallāhu a‘lam.


مسألة
: قَالَ الشَّافِعِيُّ: رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَمَا كَانَ مِنْ بَيْضِ طَيْرٍ يُؤْكَلُ فَفِي كُلِّ بيضةٍ قِيمَتُهَا وَإِنْ كَانَ فِيهَا فرخٌ فَقِيمَتُهَا فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي أَصَابَهَا فِيهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْبَيْضَ ضَرْبَانِ: مَأْكُولٌ وَغَيْرُ مَأْكُولٍ.
فَغَيْرُ الْمَأْكُولِ: لَا شَيْءَ فِيهِ، كَبَيْضِ الرَّخَمِ وَالْغُرَابِ وَالنَّسْرِ وَالْبَازِيِّ.
وَأَمَّا الْمَأْكُولُ: فَهُوَ صَيْدٌ يَمْنَعُ مِنْهُ الْحَرَمُ وَالْإِحْرَامُ، وَيُضْمَنُ بِالْجَزَاءِ.
وَقَالَ أَبُو إِبْرَاهِيمَ الْمُزَنِيُّ وَدَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ: الْبَيْضُ غَيْرُ مَضْمُونٍ بِالْجَزَاءِ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمَا، قَوْله تَعَالَى: {لَيَبْلُوَنَّكُمُ اللهُ بِشَيْءٍ مِنَ الصَّيْدِ تَنَالُهُ أيْدِيكُمْ وَرِمَاحُكُمْ) {المائدة: 94) قَالَ مُجَاهِدٌ فِي قَوْله تعالى: {تَنَالُهُ أيْدِيكُمْ} : الْبَيْضُ.

Masalah
 Imam Syafi‘i RA berkata: “Setiap telur dari burung yang halal dimakan, maka dalam setiap butirnya wajib dibayar nilainya. Dan jika di dalamnya terdapat anak (embrio), maka nilainya berdasarkan tempat di mana telur itu dibinasakan.”

Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa telur itu terbagi dua jenis: yang halal dimakan dan yang tidak.

Adapun yang tidak halal dimakan, maka tidak ada kewajiban atasnya, seperti telur ar-rakham, al-ghurāb, an-nasr, dan al-bāzī (burung pemangsa).

Adapun yang halal dimakan, maka itu termasuk buruan (ṣayd) yang diharamkan karena tanah haram dan ihram, dan wajib dijamin dengan jazā’.

Namun Abū Ibrāhīm al-Muzanī dan Dāwūd bin ‘Alī berpendapat: telur tidak dijamin dengan jazā’.

Dalil mereka adalah firman Allah Ta‘ālā:
 {Sungguh Allah akan menguji kalian dengan sesuatu dari buruan yang dapat dijangkau oleh tangan dan tombak kalian} (QS. al-Mā’idah: 94)

Mujāhid berkata tentang firman-Nya: {tanaluh aydīkum} (yang dapat dijangkau oleh tangan kalian): itu adalah telur.


وَرَوَى أَبُو الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” فِي بَيْضِ النَّعَامَةِ يُصِيبُهَا الْمُحْرِمُ قِيمَتُهَا “؛ وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ.
وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَأَبِي مُوسَى: أَنَّهُمْ أَوْجَبُوا فِي بَيْضِ الصَّيْدِ الْجَزَاءَ، وَإِنِ اخْتَلَفُوا فِي كَيْفِيَّةِ الْجَزَاءِ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ بَائِضٍ كَانَ مَضْمُونًا بِالْإِتْلَافِ، فَبَيْضُهُ مَضْمُونٌ بِالْإِتْلَافِ، كَالْبَيْضِ الْمَمْلُوكِ طَرْدًا، وَكَبَيْضِ الْحُوتِ عَكْسًا؛ وَلِأَنَّ الْمُزَنِيَّ قَدْ وَافَقَنَا فِي ضَمَانِ رِيشِ الطَّائِرِ إِذَا نُتِفَ عَنْهُ؛ لِأَنَّهُ شَيْءٌ مِنْهُ، فَضَمَانُ بَيْضِهِ أَوْلَى مِنْهُ؛ لِأَنَّ الرِّيشَ لَا يَكُونُ مِنْهُ صَيْدٌ، وَالْبَيْضُ قَدْ يَكُونُ مِنْهُ صَيْدٌ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Diriwayatkan dari Abū al-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
 “Dalam telur burung unta yang mengenai (dirusak) oleh orang beriḥrām, wajib mengganti nilainya.”

Dan karena hal ini merupakan ijmak para sahabat raḍiyallāhu ‘anhum.

Diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Alī, Ibnu ‘Abbās, Ibnu Mas‘ūd, dan Abū Mūsā bahwa mereka mewajibkan jazā’ atas telur hewan buruan, meskipun mereka berbeda pendapat dalam bentuk jazā’-nya.

Karena setiap hewan bertelur yang wajib diganti apabila dirusak, maka telurnya juga wajib diganti ketika dirusak, sebagaimana telur hewan yang dimiliki (seperti ayam) — secara analogi ke depan — dan seperti telur ikan — secara analogi terbalik.

Dan karena al-Muzanī telah sependapat dengan kami dalam kewajiban mengganti bulu burung jika dicabut darinya, karena ia adalah bagian dari tubuhnya, maka mengganti telur burung lebih utama daripada bulunya.

Karena bulu tidak menjadi hewan buruan, sedangkan telur bisa menjadi hewan buruan.

Wallāhu a‘lam.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ بَيْضَ الصَّيْدِ مَضْمُونٌ بِالْجَزَاءِ، فَالْبَيْضُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بَيْضًا صَحِيحًا لَا فَرْخَ فِيهِ، فَعَلَيْهِ قِيمَتُهُ، وَحُكِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: أَنَّ مَنْ أَتْلَفَ بَيْضًا فَعَلَيْهِ أَنْ يُلَقِّحَ مَحِلَّهُ عَلَى ذَوْقٍ بِعَدَدِ الْبَيْضِ فَمَا نَتَجَتْ مِنْ شيءٍ تَصَدَّقَ بِهِ.
وَقَالَ مَالِكٌ: فِي الْبَيْضِ عُشْرُ قِيمَةِ أُمِّهِ، كَالْجَنِينِ الَّذِي يَجِبُ فِيهِ عُشْرُ قِيمَةِ أُمِّهِ.
وَدَلِيلُنَا: حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” فِي بَيْضِ النَّعَامَةِ يُصِيبُهَا الْمُحْرِمُ قِيمَتُهَا “.

PASAL
 Apabila telah ditetapkan bahwa telur binatang buruan (ṣayd) wajib diganti dengan jazā’, maka telur terbagi menjadi tiga bagian:

Pertama: telur yang masih utuh dan tidak terdapat janin di dalamnya, maka atasnya wajib dibayar nilainya.

Diriwayatkan dari ‘Alī bin Abī Ṭālib RA bahwa siapa yang merusak telur, maka wajib baginya untuk mengawinkan induknya kembali sesuai jumlah telur yang dirusaknya, dan apa pun yang lahir darinya disedekahkan.

Imam Mālik berkata: Dalam telur, wajib sepersepuluh dari nilai induknya, sebagaimana janin yang wajib atasnya sepersepuluh dari nilai induknya.

Adapun dalil kami adalah hadits Abū Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Dalam telur unta betina liar (na‘āmah) yang dibunuh oleh orang yang berihram, wajib dibayar nilainya.”


فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ عَلَيْهِ قِيمَتَهُ، فَالْقِيمَةُ مُعْتَبِرَةٌ بِاجْتِهَادِ فَقِيهَيْنِ، وَكَذَلِكَ قِيمَةُ مَا لَا مِثْلَ لَهُ مِنَ الصَّيْدِ كُلِّهِ، يَجِبُ أَنْ يَحْكُمَ بِهَا فَقِيهَانِ عَدْلَانِ، كَمَا يَحْكُمَانِ بِالْمِثْلِ مِنَ الْجَزَاءِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ) {المائدة: 94) وَهَلْ تُعْتَبَرُ قِيمَةُ الْبَيْضِ فِي مَوْضِعِ إِتْلَافِهِ أَوْ بِمَكَّةَ؟ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ، فَإِذَا حَكَمَا بِالْقِيمَةِ كَانَ مَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ مُخَيَّرًا بَيْنَ إِخْرَاجِ الْقِيمَةِ دَرَاهِمَ يَصْرِفُهَا فِي مَسَاكِينِ الْحَرَمِ، وَبَيْنَ أَنْ يَشْتَرِيَ بِالْقِيمَةِ طَعَامًا يَتَصَدَّقُ بِهِ عَلَيْهِمْ، وَبَيْنَ أَنْ يَصُومَ عَنْ كُلِّ مدٍ يَوْمًا، كَمَا كَانَ مخيراً في جزاء ماله مِثْلٌ مِنَ النَّعَمِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

PASAL
 Apabila telah ditetapkan bahwa wajib atasnya membayar nilainya, maka penetapan nilai tersebut dilakukan dengan ijtihad dua orang faqih.

Demikian pula nilai dari seluruh buruan yang tidak memiliki padanan (mithl), wajib ditentukan oleh dua orang faqih yang ‘adil, sebagaimana mereka berdua menetapkan padanannya dari jazā’, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:
 {Ditetapkan oleh dua orang yang adil di antara kalian} (QS. al-Mā’idah: 94).

Adapun apakah nilai telur itu dihitung berdasarkan tempat terjadinya perusakan, atau berdasarkan nilai di Makkah, maka kembali kepada dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya.

Jika dua faqih tersebut telah menetapkan nilainya, maka orang yang wajib membayar jazā’ atasnya diberi pilihan antara:

  • Mengeluarkan nilai tersebut dalam bentuk dirham dan membagikannya kepada para fakir miskin tanah haram, atau
  • Membelikan makanan dengan nilai tersebut lalu mensedekahkannya kepada mereka, atau
  • Berpuasa satu hari untuk setiap mudd, sebagaimana ia diberi pilihan dalam buruan yang memiliki padanan dari binatang ternak.

Wallāhu a‘lam.


فَصْلٌ
: وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْبَيْضُ فَاسِدًا، فَإِنْ كَانَ مِمَّا لَا قِيمَةَ لِقِشْرِهِ؛ فَلَا شَيْءَ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ مِمَّا لِقِشْرِهِ قِيمَةٌ كَبَيْضِ النَّعَامِ، فَعَلَيْهِ قِيمَةُ قِشْرِهِ.
فَإِنْ قِيلَ: لَوْ أَتْلَفَ الْمُحْرِمُ صَيْدًا مَيِّتًا لَمْ يَلْزَمْهُ قِيمَةُ جِلْدِهِ، فَهَلَّا كَانَ الْبَيْضُ الْفَاسِدُ أَيْضًا لَا يَلْزَمُهُ قِيمَةُ قِشْرِهِ.
قِيلَ: لِأَنَّ جِلْدَ الْمَيْتَةِ لَا قِيمَةَ لَهُ؛ لِأَنَّهُ مَيْتَةٌ، وَقِشْرُ الْبَيْضِ لَهُ قِيمَةٌ.

PASAL
 Bagian kedua: yaitu telur yang rusak.

Jika termasuk telur yang kulitnya tidak memiliki nilai, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya.

Namun jika kulitnya memiliki nilai, seperti telur burung unta, maka wajib atasnya membayar nilai kulitnya.

Jika dikatakan: “Seandainya orang yang berihram merusak buruan yang sudah mati, maka tidak wajib atasnya membayar nilai kulitnya. Mengapa dalam telur yang rusak tetap wajib membayar nilai kulitnya?”

Maka dijawab: Karena kulit bangkai tidak memiliki nilai, sebab ia adalah bangkai. Sedangkan kulit telur tetap memiliki nilai.


فَصْلٌ
: وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الْبَيْضُ صَحِيحًا فِيهِ فَرْخٌ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْفَرْخِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ حَيًّا، أَوْ مَيِّتًا.
فَإِنْ كَانَ مَيِّتًا، فَلَا شَيْءَ فِيهِ، وَقَالَ أبو حنيفة: فِيهِ الْجَزَاءُ، وَإِنْ كَانَ مَيِّتًا، وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ ضَمَانَ الْأُمِّ أَقْوَى مِنْ ضَمَانِ الْفَرْخِ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ أَتْلَفَ الْأُمَّ بَعْدَ موتها لم يضمنها بالجزاء، فالرخ إِذَا أَتْلَفَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ أَوْلَى أَلَّا يَضْمَنَهُ بِالْجَزَاءِ.

PASAL
 Bagian ketiga: yaitu telur yang masih utuh dan di dalamnya terdapat anak (embrio). Maka keadaan anak tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan: hidup atau mati.

Jika ia mati, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya.

Abū Ḥanīfah berpendapat: wajib jazā’ atasnya, meskipun anaknya sudah mati.

Namun ini adalah kekeliruan dari dua sisi:

Pertama: bahwa kewajiban mengganti induk lebih kuat daripada kewajiban mengganti anaknya. Padahal telah ditetapkan bahwa jika seseorang merusak induk setelah matinya, maka tidak wajib atasnya jazā’. Maka jika ia merusak anaknya setelah mati, lebih utama lagi untuk tidak diwajibkan jazā’.


وَالثَّانِي: أَنَّ ضَمَانَ الْبَيْضِ فِي حَقِّ الْآدَمِيِّ أَقْوَى مِنْ ضَمَانِهِ بِالْجَزَاءِ؛ لِأَنَّ ضَمَانَهُ فِي حَقِّ الْآدَمِيِّ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ، وَبِالْجَزَاءِ مُخْتَلَفٌ فِيهِ، فَلَمَّا لَمْ يَكُنِ الْفَرْخُ بِمَيِّتٍ فِي حَقِّ الْآدَمِيِّ مَضْمُونًا فَأَوْلَى أَنْ لَا يَكُونَ بِالْجَزَاءِ مَضْمُونًا وَإِنْ كَانَ الْفَرْخُ حَيًّا لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
إِمَّا أن يَعِيشَ وَيَمْتَنِعَ أَوْ يَمُوتَ، فَإِنْ عَاشَ فَلَا شَيْءَ فِيهِ وَإِنْ مَاتَ فَعَلَيْهِ ضَمَانُهُ، ثُمَّ

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَكُونَ ضَعِيفًا غَيْرَ مُسْتَقِرِّ الْحَيَاةِ لَا يَجُوزُ أَنْ يَعِيشَ مِثْلُهُ، فَيَجِبُ عَلَيْهِ قِيمَةُ فَرْخٍ يَحْكُمُ بِهَا عَدْلَانِ مِنَ الْفُقَهَاءِ عَلَى مَا مَضَى.

kedua: bahwa jaminan terhadap telur dalam hak manusia lebih kuat daripada jaminannya dengan jazā’, karena jaminannya dalam hak manusia telah disepakati, sedangkan dengan jazā’ masih diperselisihkan, maka ketika anak burung yang mati tidak dijamin dalam hak manusia, maka lebih utama ia tidak dijamin dengan jazā’. Dan jika anak burung itu hidup, maka keadaannya tidak lepas dari salah satu dari dua hal:

yakni ia akan hidup dan menjadi kuat, atau ia akan mati. Jika ia hidup maka tidak ada kewajiban apa pun padanya, dan jika ia mati maka wajib menanggungnya.

Lalu:

pertama: jika anak burung itu lemah, tidak stabil kehidupannya, dan tidak mungkin hidup semisal itu, maka wajib atasnya nilai seekor anak burung yang ditetapkan oleh dua orang ahli fikih yang adil sebagaimana telah dijelaskan.


وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَوِيًّا مُسْتَقِرَّ الْحَيَاةِ يَجُوزُ أَنْ يَعِيشَ مِثْلُهُ فَلَا يَخْلُو مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ فَرْخَ نَعَامَةٍ، فَفِيهِ وَلَدُ نَاقَةٍ صَغِيرٌ، هُبَعٌ أَوْ كُبَعٌ أَوْ رُبَعٌ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فَرْخَ حَمَامَةٍ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: فِيهِ شَاةٌ كَمَا يَجِبُ فِي أُمِّهِ.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: فِيهِ وَلَدُ شَاةٍ صَغِيرٌ، رَاضِعٌ أَوْ فَطِيمٌ، يكون قدر بدنةٍ من الشاة يقدر بَدَنِ الْفَرْخِ مِنْ أُمِّهِ، وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي الشَّاةِ الْوَاجِبَةِ فِي الْحَمَامَةِ، هَلْ وَجَبَتْ تَوْقِيفًا أَوْ مِنْ طَرِيقِ الشَّبَهِ وَالْمُمَاثِلَةِ؟

dan yang kedua: bahwa anak burung tersebut kuat dan stabil kehidupannya, memungkinkan burung semisalnya hidup, maka tidak lepas dari empat bagian:

Bagian pertama: bahwa ia adalah anak burung unta, maka padanya dikenakan anak unta kecil, huba‘, atau kuba‘, atau ruba‘.

Bagian kedua: bahwa ia adalah anak burung merpati, maka padanya ada dua pendapat:

Pendapat pertama: dikenakan satu ekor kambing, sebagaimana yang diwajibkan pada induknya.

Pendapat kedua: dikenakan anak kambing kecil, yang masih menyusu atau yang sudah disapih, yang sebanding dengan badan anak burung tersebut dari induknya. Dan kedua pendapat ini dibangun di atas perbedaan pendapat para aṣḥāb kami dalam hal kambing yang diwajibkan pada burung merpati, apakah kewajiban tersebut berdasarkan tawqīf ataukah melalui pendekatan syabah dan kemiripan?


وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ فَرْخَ مَا دُونَ الْحَمَامَةِ كَفَرْخِ الْعُصْفُورِ وَالْقُنْبُرِ، فَفِيهِ قِيمَتُهُ كَمَا يَجِبُ فِي أُمِّهِ قِيمَتُهَا.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ فَرْخَ مَا فَوْقَ الْحَمَامِ كَفَرْخِ الْفَتَخِ وَالْقَطَا، فَهُوَ مُعْتَبِرٌ بِأُمِّهِ، فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ مَا فَوْقَ الْحَمَامِ فِيهِ قِيمَتُهُ، فَفِي فَرْخِهِ أَيْضًا قِيمَتُهُ، فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ فِيهِ شَاةً، كَفَرْخِ الْحَمَامِ، فَيَكُونُ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: فِيهِ شَاةٌ.
وَالثَّانِي: وَلَدُ شَاةٍ صَغِيرٌ.

dan bagian ketiga: yaitu anak burung yang berada di bawah tingkat burung merpati, seperti anak burung ‘uṣfūr dan qunbur, maka padanya wajib membayar nilainya sebagaimana wajib atas induknya nilai induknya.

dan bagian keempat: yaitu anak burung yang berada di atas tingkat burung merpati, seperti anak burung fatakh dan qaṭā, maka ia diqiyaskan pada induknya. Jika kita katakan bahwa pada burung yang di atas tingkat merpati itu wajib membayar nilai, maka pada anaknya pun demikian, wajib membayar nilainya. Jika kita katakan bahwa padanya wajib seekor kambing seperti pada burung merpati, maka terdapat dua wajah:

pertama: padanya wajib seekor kambing.

kedua: anak kambing yang masih kecil.


فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَلَوْ أَخَذَ بَيْضَ حَمَامٍ فَجَعَلَهُ تَحْتَ دَجَاجٍ، فَإِنْ خَرَجَ وَطَارَ فَقَدْ أَسَاءَ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَإِنْ أَفْسَدَهُ فَهُوَ ضَامِنٌ؛ لِأَنَّهُ فَسَدَ بِفِعْلِهِ، وَإِنْ أَخَذَ بَيْضَ دَجَاجٍ فَجَعَلَهُ تَحْتَ حَمَامٍ، فذعر عن بيض فَهُوَ ضَامِنٌ لِمَا فَسَدَ مِنْ بَيْضٍ؛ لِأَنَّهُ فَسَدَ بِجِنَايَتِهِ، وَإِنْ حَصَّنَ جَمِيعَهُ، لَكِنْ ضَاقَ عَنْ أَنْ يَدْفِنَهُ، فَهُوَ ضَامِنٌ لِمَا فَسَدَ مِنْ بَيْضِهِ، فَلَوْ رَأَى عَلَى فِرَاشِهِ بَيْضَ حَمَامٍ فَأَزَالُهُ عَنْهُ فَفَسَدَ بِإِزَالَتِهِ، فَقَدْ عَلَّقَ الشَّافِعِيُّ الْقَوْلَ فِيهِ، فَخَرَّجَهُ أَصْحَابُنَا عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ ضَمَانُهُ؛ لِأَنَّهُ فَسَدَ بِفِعْلِهِ.
وَالثَّانِي: لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ.
فَأَمَّا بَيْضُ الْحُوتِ، فَهُوَ مَأْكُولٌ وَلَا جَزَاءَ فِيهِ اعْتِبَارًا بِأَصْلِهِ وَبَائِضِهِ.

PASAL
 Imam asy-Syafi‘i RA berkata: “Jika seseorang mengambil telur burung merpati lalu meletakkannya di bawah ayam, maka jika anaknya keluar dan terbang, sungguh dia telah berbuat buruk namun tidak ada kewajiban apa-apa atasnya. Tetapi jika telur itu rusak, maka ia wajib menggantinya, karena kerusakannya disebabkan oleh perbuatannya.

Jika ia mengambil telur ayam lalu meletakkannya di bawah burung merpati, lalu burung itu ketakutan dan meninggalkan telurnya, maka ia wajib mengganti telur yang rusak, karena rusaknya itu akibat perbuatannya.

Dan jika ia menaruh semua telur, namun tempat itu sempit dan tidak cukup untuk dierami, maka ia tetap wajib mengganti telur yang rusak.

Maka jika seseorang melihat telur burung merpati di atas kasurnya, lalu ia memindahkannya dan telur itu rusak karena pemindahan tersebut, maka asy-Syafi‘i menggantungkan (tidak tegas memutuskan) hukum padanya. Maka para aṣḥāb kami menyimpulkan dua pendapat:

Pertama: wajib mengganti, karena rusaknya disebabkan oleh perbuatannya.

Kedua: tidak ada kewajiban mengganti.

Adapun telur ikan, maka ia adalah makanan dan tidak ada jazā’ padanya, dengan mempertimbangkan asal-usul induknya dan status yang bertelur.


مسألة: قال الشافعي: رضي الله عنه: ” وَلَا يَأْكُلُهَا محرمٌ لِأَنَّهَا مِنَ الصَّيْدِ وَقَدْ يكون فيها صيداً “.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا بَيْضُ الْحَرَمِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُؤْكَلَ بِحَالٍ، فَلَوْ كَسَرَهُ إِنْسَانٌ فَضَمِنَهُ، لم يجز له ولا لغيره، أن أكله قَوْلًا وَاحِدًا، فَأَمَّا بَيْضُ الْحِلِّ فَحَرَامٌ عَلَى الْمُحْرِمِ، حَلَالٌ لِلْمُحِلِّ، فَلَوْ أَفْسَدَ الْمُحْرِمُ بَيْضًا فِي الْحِلِّ، لَمْ يَجُزْ أَنْ يَأْكُلَهُ وَلَا أَحَدٌ مِنَ الْمُحْرِمِينَ؛ لِأَنَّهُمْ مِثْلُهُ فِي تَحْرِيمِهِ عليهم، فأما المحلون يجوز لَهُمْ أَنْ يَأْكُلُوهُ، وَإِنْ أَفْسَدَهُ مُحْرِمٌ، وَجَهِلَ بَعْضُ مُتَأَخَّرِي أَصْحَابِنَا، فَخَرَّجَ جَوَازَ أَكْلِ الْحَلَالِ لَهُ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالصَّيْدِ، وَهَذَا قَوْلٌ قَبِيحٌ؛ لِأَنَّ الْبَيْضَ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى ذَكَاةٍ، فَيَكُونُ فِعْلُ الْمُحْرِمِ فِيهِ غَيْرَ ذَكَاةٍ؛ وَكَذَلِكَ الْجَرَادُ وَلَوْ قَتَلَهُ مُحْرِمٌ فِي الْحِلِّ جَازَ أَنْ يَأْكُلَهُ الْمُحِلُّ؛ لِأَنَّهُ يُؤْكَلُ مَيِّتًا، فَلَمْ يَكُنْ قَتْلُ الْمُحْرِمِ لَهُ بِأَكْثَرَ مِنْ مَوْتِهِ.

Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Seorang muḥrim tidak boleh memakannya karena ia termasuk ṣaid, dan boleh jadi di dalamnya terdapat hewan buruan.”

Al-Māwardī berkata: Adapun telur yang berasal dari tanah haram, maka tidak boleh dimakan dalam keadaan apa pun. Jika seseorang memecahkannya lalu ia menanggungnya, maka tidak halal baginya dan juga tidak bagi selainnya untuk memakannya menurut satu pendapat. Adapun telur yang berasal dari tanah halal, maka haram atas muḥrim, dan halal bagi orang yang tidak beriḥrām (muḥill). Jika seorang muḥrim merusak telur di tanah halal, maka tidak boleh ia memakannya dan tidak pula salah satu dari para muḥrim lainnya, karena mereka sama dengannya dalam keharaman atas mereka. Adapun para muḥill, mereka boleh memakannya meskipun dirusak oleh seorang muḥrim.

Sebagian ulama belakangan dari mazhab kami ada yang tidak mengetahui hukum ini lalu mengeluarkan pendapat bahwa orang yang halal boleh memakannya berdasarkan dua pendapat sebagaimana dalam masalah buruan. Ini adalah pendapat yang buruk, karena telur tidak membutuhkan proses penyembelihan (dzakāh), maka perbuatan muḥrim padanya bukanlah termasuk dzakāh.

Demikian pula belalang; jika dibunuh oleh seorang muḥrim di tanah halal, maka boleh dimakan oleh orang yang halal, karena belalang dimakan dalam keadaan mati, maka pembunuhan oleh seorang muḥrim tidak lebih dari sekadar mematikannya.


فَإِنْ قِيلَ: مَا الْفَرْقُ بَيْنَ بَيْضِ الْحَرَمِ لَا يَجُوزُ إِذَا أَفْسَدَهُ مُفْسِدٌ أَنْ يُؤْكَلَ بِحَالٍ، وَبَيْنَ بَيْضِ الْحِلِّ إِذَا أَفْسَدَهُ الْمُحْرِمُ، حَيْثُ جاز أن يأكل الْمُحِلُّ؟
قِيلَ: لِأَنَّ حُرْمَةَ الْحَرَمِ لَمْ تَزُلْ عَنْهُ بِكَسْرِهِ، وَحُرْمَةُ الْإِحْرَامِ غَيْرُ مَوْجُودَةٍ فِي المحلين فزالت عنه بكسره.

Jika dikatakan: “Apa perbedaan antara telur yang ada di ḥaram yang tidak boleh dimakan sama sekali jika dirusak oleh perusak, dan telur yang ada di ḥill (di luar ḥaram) jika dirusak oleh orang yang sedang beriḥrām, di mana orang yang tidak beriḥrām (muḥill) boleh memakannya?”

Dijawab: Karena kehormatan ḥaram tidak hilang dari telur tersebut hanya karena dipecahkan, sedangkan kehormatan iḥrām tidak terdapat pada orang-orang yang tidak beriḥrām (muḥill), maka kehormatan itu hilang darinya dengan dipecahkannya telur tersebut.


مسألة: قال الشافعي: رضي الله عنه: ” وَإِنْ نَتَفَ طَيْرًا فَعَلَيْهِ بِقَدْرِ مَا نَقَصَ النَتْفُ فَإِنْ تَلِفَ بَعْدُ فَالِاحْتِيَاطُ أَنْ يَفْدِيَهُ وَالْقِيَاسُ أَنْ لَا شَيْءَ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ ممتنعاً حتى يعلم أنه مات من نتفه فإن كان غير ممتنع حبسه وألقطه وسقاه ممتنعاً وفدى ما نقص النتف منه وكذلك لو كسره فجبره فصار أعرج لا يمتنع فداه كاملاً “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا نَتَفَ رِيشَ طَائِرٍ مِنَ الصَّيْدِ الْمَضْمُونِ فِي الْحَرَمِ أَوْ فِي الْإِحْرَامِ، لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang mencabuti bulu seekor burung, maka ia wajib membayar ganti sebesar kekurangan akibat cabutan itu. Jika burung tersebut kemudian mati, maka sikap hati-hati adalah dengan membayar fidyah-nya, sedangkan secara qiyās tidak ada kewajiban atasnya jika burung itu tetap liar (tidak jinak), sampai diketahui bahwa kematiannya disebabkan oleh cabutan itu. Namun jika ia tidak lagi liar (jinak), maka wajib ditahan, diberi makan, dan diberi minum. Jika ia tetap liar, maka ia wajib membayar ganti atas kekurangan akibat cabutan itu. Demikian juga jika ia mematahkan (tulangnya), lalu disambung kembali namun menjadi pincang dan tidak liar, maka ia wajib membayar fidyah secara sempurna.”

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: Jika seseorang mencabuti bulu burung dari buruan yang wajib diganti di tanah haram atau dalam keadaan iḥrām, maka keadaannya tidak lepas dari salah satu dari dua hal:


إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَلَى امْتِنَاعِهِ بَعْدَ النَّتْفِ، أَوْ يَصِيرَ غَيْرَ مُمْتَنِعٍ بَعْدَ النَّتْفِ، فَإِنْ كَانَ مُمْتَنِعًا بَعْدَ النَّتْفِ فَالْكَلَامُ فِيهِ يَتَعَلَّقُ بِفَصْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: ضَمَانُ نَقْصِهِ بِالنَّتْفِ.
وَالثَّانِي: ضَمَانُ نَقْصِهِ بِالتَّلَفِ.
فَأَمَّا ضَمَانُ نَقْصِهِ بالتلف، فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Bisa jadi buruan itu tetap kuat menolak (tidak mudah ditangkap) setelah bulunya dicabut, atau menjadi tidak mampu menolak setelah dicabut.

Jika ia tetap mampu menolak setelah dicabut, maka pembahasan padanya terkait dua bagian:

Pertama: jaminan atas kekurangannya akibat pencabutan bulu.
 Kedua: jaminan atas kekurangannya akibat kematian.

Adapun jaminan atas kekurangannya karena kematian, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:


أَحَدُهَا: أَنْ لَا يَسْتَخْلِفَ مَا نَتَفَ مِنْ رِيشِهِ، فَعَلَيْهِ ضَمَانُ مَا نَقَصَ مِنْهُ، وَهُوَ: أَنْ يُقَوِّمَهُ قَبْلَ نَتْفِ رِيشِهِ، فَإِذَا قِيلَ: عَشْرُ دَرَاهِمَ، قَوَّمَهُ بَعْدَ نَتْفِ رِيشِهِ، فَإِذَا قِيلَ: تِسْعَةٌ، عَلِمَ أَنَّ مَا بَيْنَ الْقِيمَتَيْنِ عُشْرُ القيمة، وينظر فِي الطَّائِرِ الْمَنْتُوفِ، فَإِنْ كَانَ مِمَّا تَجِبُ فِيهِ شَاةٌ، فَعَلَيْهِ عُشْرُ ثَمَنِ شَاةٍ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، وَعُشْرُ شَاةٍ عَلَى مَذْهَبِ الْمُزَنِيِّ، وَإِنْ كَانَ مَا يَجِبُ قِيمَتُهُ، فَعَلَيْهِ ضَمَانُ مَا نَقَصَ مِنْ قِيمَتِهِ، وَهُوَ: دِرْهَمٌ وَاحِدٌ.

Pertama: bahwa bulu yang dicabut itu tidak tumbuh kembali, maka wajib atasnya mengganti apa yang berkurang darinya. Caranya adalah: menaksir harga burung sebelum dicabut bulunya. Jika dikatakan: sepuluh dirham, lalu ditaksir setelah dicabut bulunya, dan dikatakan: sembilan, maka diketahui bahwa selisih antara dua nilai itu adalah sepersepuluh dari harga.

Kemudian dilihat pada burung yang dicabuti: jika ia termasuk burung yang wajib dibayar dengan seekor kambing, maka ia wajib membayar sepersepuluh dari harga kambing menurut mazhab al-Syafi‘i, dan sepersepuluh kambing menurut mazhab al-Muzanī. Dan jika burung itu tergolong yang wajib dibayar dengan nilainya, maka ia wajib mengganti kekurangan dari nilainya, yaitu satu dirham.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَسْتَخْلِفَ مَا نُتِفَ مِنْ رِيشِهِ، وَيَعُودَ كَمَا كَانَ قَبْلَ نَتْفِ رِيشِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا شَيْءَ عَلَيْهِ؛ لِعَوْدِهِ إِلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ.
وَالثَّانِي: عَلَيْهِ ضَمَانُ مَا نَقَصَ بِالنَّتْفِ قَبْلَ حُدُوثِ مَا اسْتَخْلَفَ؛ لِأَنَّ الرِّيشَ الْمَضْمُونَ بِالنَّتْفِ غَيْرُ الرِّيشِ الَّذِي اسْتَخْلَفَ، وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فيمن حنى عَلَى سِنِّهِ فَانْقَلَعَتْ، فَأَخَذَ دِيَتَهَا، ثُمَّ نَبَتَتْ سِنُّهُ وَعَادَتْ هَلْ يُسْتَرْجَعُ مِنْهُ مَا أَخَذَ مِنَ الدِّيَةِ أَمْ لَا؟

Bagian kedua: bahwa bulu yang dicabut itu tumbuh kembali dan kembali seperti semula sebelum dicabut, maka padanya terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: tidak ada kewajiban apa pun atasnya, karena bulunya telah kembali seperti semula.
 Pendapat kedua: wajib mengganti atas kekurangan yang terjadi akibat pencabutan sebelum tumbuhnya bulu pengganti, karena bulu yang dijamin akibat pencabutan itu bukanlah bulu yang tumbuh menggantikannya.

Kedua pendapat ini diturunkan dari perbedaan dua pendapat Imam asy-Syafi‘i mengenai seseorang yang memukul gigi orang lain hingga tanggal, lalu ia mengambil diyatnya, kemudian gigi itu tumbuh kembali, apakah diyat yang telah diambil itu harus dikembalikan atau tidak?


وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَمْتَنِعَ الطَّائِرُ فَلَا يُعْلَمُ هَلِ اسْتَخْلَفَ رِيشُهُ أَمْ لَمْ يَسْتَخْلِفْ، فَعَلَيْهِ ضَمَانُ نَقْصِهِ وَجْهًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ أَنَّهُ بَاقٍ عَلَى حَالِهِ، وَأَمَّا ضَمَانُ نَفْسِهِ إِنْ تَلِفَ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَتْلَفَ مِنْ ذَلِكَ النَّتْفِ، وَهُوَ أَنْ يَمْتَنِعَ بَعْدَ النَّتْفِ فَيَطِيرَ مُتَحَامِلًا لِنَفْسِهِ، وَيَسْقُطَ مِنْ شِدَّةِ الْأَلَمِ فَيَمُوتَ، فَعَلَيْهِ ضَمَانُ نَفْسِهِ، وَيَسْقُطُ ضَمَانُ نَقْصِهِ، فَإِنْ كَانَ مِمَّا يَجِبُ فِيهِ شَاةٌ فَعَلَيْهِ شَاةٌ، وَإِنْ كَانَ مِمَّا يَجِبُ فِيهِ قِيمَتُهُ، فَعَلَيْهِ قِيمَتُهُ قَبْلَ النَّتْفِ.

dan bagian ketiga: yaitu burung itu kembali liar sehingga tidak diketahui apakah bulunya tumbuh kembali atau tidak, maka wajib atasnya membayar ganti rugi atas kekurangannya menurut satu pendapat, karena hukum asalnya adalah tetap dalam keadaan semula.

Adapun jaminan atas diri burung itu jika sampai mati, maka tidak lepas dari tiga keadaan:

pertama: burung itu mati karena cabutan tersebut, yaitu ia menjadi liar setelah dicabut bulunya lalu terbang sambil menahan sakit, kemudian jatuh karena sangat sakit hingga mati, maka wajib atasnya membayar ganti rugi atas dirinya, dan gugurlah kewajiban membayar ganti atas kekurangan. Jika burung itu termasuk yang wajib dibayar dengan seekor kambing, maka wajib atasnya seekor kambing. Dan jika termasuk yang wajib dibayar dengan nilainya, maka wajib atasnya membayar nilainya sebelum pencabutan.


وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَمُوتَ مِنْ غَيْرِ ذَلِكَ النَّتْفِ، إِمَّا حَتْفَ أَنْفِهِ، أَوْ مِنْ حَادِثٍ غَيْرِهِ، فَلَيْسَ عَلَيْهِ ضَمَانُ نَفْسِهِ، لَكِنْ عَلَيْهِ ضَمَانُ نَقْصِهِ.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ لَا يُعْلَمَ هَلْ مَاتَ منه ذَلِكَ النَّتْفِ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ، فَالِاحْتِيَاطُ أَنْ يَفْدِيَهُ كُلَّهُ، وَيَضْمَنَ نَفْسَهُ، لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ مَوْتُهُ مِنْ نَتْفِهِ، وَلَا يَلْزَمَهُ أَنْ يَضْمَنَ إِلَّا قَدْرَ نَقْصِهِ، لِأَنَّ ظَاهِرَ مَوْتِهِ بَعْدَ امْتِنَاعِهِ أَنَّهُ مِنْ حَادِثٍ غَيْرِهِ.

Bagian kedua: bahwa buruan itu mati bukan karena pencabutan tersebut, baik karena mati dengan sendirinya atau karena sebab lain, maka tidak wajib menjamin jiwanya, tetapi wajib menjamin kekurangan nilainya.

Bagian ketiga: bahwa tidak diketahui apakah ia mati karena pencabutan itu atau karena sebab lain, maka secara iḥtiyāṭ (kehati-hatian) hendaknya ia membayar fidyah seluruhnya dan menjamin jiwanya, karena mungkin saja kematiannya disebabkan oleh pencabutan tersebut. Namun, ia tidak wajib menjamin kecuali sebatas kadar kekurangannya, karena lahirnya kematian setelah ia tetap mampu menolak (muntani‘) menunjukkan bahwa kematiannya berasal dari sebab lain.


فَصْلٌ
: وَإِنْ صَارَ الطَّائِرُ بِالنَّتْفِ غَيْرَ مُمْتَنِعٍ، فَعَلَيْهِ أَنْ يمسكه ويطعمه ويسقيه لينظر ما يؤول إِلَيْهِ حَالُهُ، فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
إِمَّا أَنْ يَعِيشَ أَوْ يَمُوتَ، فَإِنْ عَاشَ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أحدهما: أَنْ يَعِيشَ غَيْرَ مُمْتَنِعٍ، وَيَصِيرَ مَطْرُوحًا كَالْكَسِيرِ الزَّمِنِ، فَعَلَيْهِ ضَمَانُ نَفْسِهِ، وَفِدَاءُ جَمِيعِهِ، لِأَنَّ الصَّيْدَ بِامْتِنَاعِهِ، فَإِذَا صَارَ بِجِنَايَتِهِ غَيْرَ مُمْتَنِعٍ فَقَدْ أَتْلَفَهُ.

PASAL
 Jika burung menjadi tidak liar lagi karena dicabuti bulunya, maka wajib atasnya untuk menahannya, memberinya makan dan minum, agar dilihat bagaimana keadaan akhirnya. Jika ia melakukan hal itu, maka keadaannya tidak lepas dari salah satu dari dua hal:

yaitu ia akan hidup atau mati. Jika ia hidup, maka ada tiga keadaan:

pertama: ia hidup dalam keadaan tidak liar dan menjadi seperti makhluk yang lemah dan tidak berdaya, maka wajib atasnya membayar ganti rugi atas dirinya dan menunaikan fidyah secara keseluruhan, karena status buruan itu ada pada sifat liarnya. Maka apabila dengan sebab kejahatannya burung itu menjadi tidak liar, berarti ia telah membinasakannya.


وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَعِيشَ مُمْتَنِعًا، وَيَعُودَ إِلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ قَبْلَ النَّتْفِ، فَفِيهِ وَجْهَانِ – عَلَى مَا مَضَى -:
أَحَدُهُمَا: لَا شَيْءَ عَلَيْهِ؛ لِعَدَمِ نَقْصِهِ.
وَالثَّانِي: عَلَيْهِ ضَمَانُ مَا بَيْنَ قِيمَتِهِ عَافِيًا مُمْتَنِعًا وَمَنْتُوفًا غَيْرَ ممتنع.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَعِيشَ وَيَغِيبَ، فَلَا يُعْلَمُ هَلِ امْتَنَعَ أَوْ لَمْ يَمْتَنِعْ؟ إِلَّا أَنَّ جِنَايَتَهُ مَعْلُومَةٌ، فَعَلَيْهِ ضَمَانُ نَفْسِهِ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ أَنَّهُ غَيْرُ مُمْتَنِعٍ، حَتَّى يُعْلَمَ امْتِنَاعَهُ، وَفِي غَيْرِ الْمُمْتَنِعِ قِيمَتُهُ، وَإِنْ مَاتَ الصَّيْدُ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Bagian kedua: bahwa buruan itu hidup dan tetap mampu menolak, serta kembali seperti semula sebelum bulunya dicabut, maka padanya terdapat dua pendapat — sebagaimana telah disebutkan sebelumnya:

Pertama: tidak ada kewajiban apa pun atasnya, karena tidak ada kekurangan.

Kedua: wajib menjamin selisih antara nilainya ketika sehat dan mampu menolak dengan nilainya saat bulunya dicabut dan tidak mampu menolak.

Bagian ketiga: bahwa buruan itu hidup lalu menghilang, sehingga tidak diketahui apakah ia mampu menolak atau tidak. Namun, karena tindak kejahatannya (yakni pencabutan) diketahui, maka wajib menjamin jiwanya, karena asalnya adalah ia dianggap tidak mampu menolak sampai ada bukti bahwa ia mampu. Dan pada buruan yang tidak mampu menolak, wajib membayar nilai penuh.

Jika buruan itu mati, maka terdapat tiga bagian:


أَحَدُهَا: أَنْ يَمُوتَ بِالنَّتْفِ، فَعَلَيْهِ ضَمَانُ قِيمَتِهِ، أَوْ فِدَاءُ مِثْلِهِ؛ لِأَنَّ مَوْتَهُ مِنْ جِنَايَتِهِ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَمُوتَ بِسَبَبِ حَادِثٍ غَيْرِ النَّتْفِ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ السَّبَبُ الْحَادِثُ مِمَّا لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ ضَمَانُ الصَّيْدِ لَوِ انْفَرَدَ، مِثْلَ أَنْ يَفْتَرِسَهُ سَبُعٌ أَوْ يَقْتُلَهُ مُحِلٌّ، فَيَكُونَ عَلَى الجاني الأول أن يفيده كَامِلًا؛ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ لَهُ ضَامِنًا.

Pertama: jika burung itu mati karena cabutan bulu, maka wajib atasnya membayar ganti nilai burung tersebut, atau fidyah dengan yang sepadan, karena kematiannya terjadi akibat perbuatannya.

dan bagian kedua: jika burung itu mati karena sebab lain selain cabutan, maka ini terbagi dua:

pertama: sebab yang terjadi adalah sesuatu yang tidak menyebabkan adanya kewajiban ganti rugi terhadap buruan jika terjadi sendirian, seperti diterkam binatang buas atau dibunuh oleh seorang muḥill, maka wajib atas pelaku pertama untuk membayar fidyah secara sempurna, karena sebelumnya ia sudah menjadi penjamin atas buruan itu.


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ السَّبَبُ الْحَادِثُ مِمَّا يَتَعَلَّقُ بِهِ ضَمَانُ الصَّيْدِ لَوِ انْفَرَدَ، مِثْلَ: أَنْ يَقْتُلَهُ مُحْرِمٌ، أَوْ يَقْتُلَهُ مُحِلٌّ وَالصَّيْدُ فِي الحرم، فهذا على فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ جِنَايَةُ الْأَوَّلِ بِالنَّتْفِ قَدِ اسْتَقَرَّتْ فِيهِ، وَبَرَأَ غَيْرَ مُمْتَنِعٍ، فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَجَبَ عَلَى الْأَوَّلِ أَنْ يَفْدِيَهُ كَامِلًا؛ لِأَنَّهُ قَدْ كَفَّهُ عَنِ الِامْتِنَاعِ، وَوَجَبَ عَلَى الثَّانِي أَنْ يَفْدِيَهُ كَامِلًا؛ لِأَنَّهُ قَتَلَ صَيْدًا حَيًّا، فَإِنْ كَانَ مِمَّا يُضْمَنُ بِشَاةٍ، كَانَ عَلَى الْأَوَّلِ شَاةٌ كَامِلَةٌ، وَعَلَى الثَّانِي شَاةٌ كَامِلَةٌ، وَإِنْ كَانَ مِمَّا يُضْمَنُ بِالْقِيمَةِ، فَعَلَى الْأَوَّلِ قِيمَتُهُ وَهُوَ صَيْدٌ مُمْتَنِعٌ، وَعَلَى الثَّانِي قِيمَتُهُ وَهُوَ صَيْدٌ غَيْرُ مُمْتَنِعٍ.

Dan jenis kedua: bahwa sebab kejadian itu termasuk sebab yang mengharuskan jaminan atas buruan seandainya ia terjadi sendirian, seperti: seorang muḥrim membunuhnya, atau seorang muḥill membunuhnya sementara buruan itu berada di dalam ḥaram.

Maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

Pertama: bahwa kejahatan orang pertama berupa mencabut bulu telah menetap pada buruan tersebut, dan buruan itu telah sembuh namun dalam keadaan tidak mampu menolak. Jika demikian keadaannya, maka wajib atas orang pertama untuk membayar fidyah secara penuh, karena ia telah melemahkannya dari kemampuan menolak. Dan wajib atas orang kedua untuk membayar fidyah secara penuh pula, karena ia telah membunuh buruan yang masih hidup.

Jika buruan itu termasuk yang dijamin dengan seekor kambing, maka atas orang pertama satu ekor kambing penuh, dan atas orang kedua juga satu ekor kambing penuh.

Dan jika termasuk yang dijamin dengan nilai, maka atas orang pertama adalah nilainya saat buruan itu dalam keadaan mampu menolak, dan atas orang kedua nilainya saat buruan itu dalam keadaan tidak mampu menolak.


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ جِنَايَةُ الْأَوَّلِ بِالنَّتْفِ لَمْ تَسْتَقِرَّ، وَلَا بَرَأَ مِنْهَا، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الثَّانِي: قَاتِلًا لِلصَّيْدِ بِالتَّوْجِيهِ، وَهُوَ أَنْ يَذْبَحَهُ أَوْ يَشُقَّ بَطْنَهُ وَيُخْرِجَ حَشَوْتَهُ فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَجَبَ عَلَى الْأَوَّلِ مَا بَيْنَ قِيمَتِهِ عَافِيًا وَمَنْتُوفًا؛ لِأَنَّهُ بِالنَّتْفِ جارحٌ، وَوَجَبَ عَلَى الثَّانِي أَنْ يَفْدِيَهُ كَامِلًا؛ لِأَنَّهُ بِالتَّوْجِيهِ قَاتِلٌ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الثَّانِي جَارِحًا لَهُ مِنْ غَيْرِ تَوْجِيهٍ، فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَقَدِ اسْتَوَيَا فَيَكُونَانِ قَاتِلِينَ، وَتَكُونُ الْفِدْيَةُ عَلَيْهِمَا نِصْفَيْنِ، فَهَذَا حُكْمُ الْقِسْمِ الثَّانِي.

dan bagian kedua: bahwa pelanggaran orang pertama dengan mencabuti bulu belum tuntas dan belum lepas tanggung jawab darinya, maka ini terbagi dua:

pertama: bahwa orang kedua membunuh buruan dengan sengaja dan langsung, yaitu dengan menyembelihnya atau membelah perutnya dan mengeluarkan isi perutnya. Jika demikian, maka wajib atas orang pertama membayar selisih antara nilai burung dalam keadaan sehat dan dalam keadaan tercabuti bulunya, karena dengan mencabut bulu ia telah melukai. Dan wajib atas orang kedua untuk membayar fidyah secara penuh, karena ia adalah pembunuh dengan tindakan langsung.

dan bagian kedua: bahwa orang kedua melukai buruan tanpa tindakan langsung membunuh. Jika demikian, maka keduanya setara, dan keduanya dianggap sebagai pembunuh, dan fidyah dibebankan kepada mereka berdua secara setengah-setengah. Maka inilah hukum bagian kedua.


وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَمُوتَ بَعْدَ أَنْ يَغِيبَ عَنِ الْعَيْنِ غَيْرَ مُمْتَنِعٍ، وَلَا يُعْلَمُ هَلْ مَاتَ بِمَا تَقَدَّمَ مِنَ الْجِنَايَةِ، أَوْ بِسَبَبِ حادثٍ غَيْرِ الْجِنَايَةِ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَفْدِيَهُ كَامِلًا؛ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ حُدُوثَ سَبَبِهِ بَعْدَ الْأَوَّلِ مَظْنُونٌ؛ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْقُطَ بِهِ حُكْمُ الْيَقِينِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْأَوَّلَ قَدْ ضَمِنَ جَمِيعَ قِيمَتِهِ، فَلَمْ يَسْقُطْ مِمَّا ضَمِنَهُ شيء بالشك.
قال الشافعي – رضي الله عنه -: وَمَنْ رَمَى طَيْرًا فَجَرَحَهُ جُرْحًا لَا يَمْتَنِعُ مَعَهُ، أَوْ كَسَرَهُ كَسْرًا لَا يَمْتَنِعُ مَعَهُ، فَالْجَوَابُ فِيهِ كَالْجَوَابِ فِي نَتْفِ رِيشِ الطَّائِرِ سَوَاءٌ، لَا يُخَالِفُهُ.

Bagian ketiga: bahwa buruan itu mati setelah menghilang dari penglihatan dalam keadaan tidak mampu menolak, dan tidak diketahui apakah ia mati karena kejahatan yang telah terjadi sebelumnya, atau karena sebab baru yang bukan berasal dari kejahatan tersebut, maka wajib baginya untuk membayar fidyah secara penuh, karena dua hal:

Pertama: bahwa terjadinya sebab baru setelah kejadian pertama adalah sesuatu yang bersifat dugaan (maẓnūn); maka tidak boleh menggugurkan hukum berdasarkan sesuatu yang masih berupa dugaan, padahal hukum sebelumnya adalah yaqīn.
 Kedua: bahwa pada kejadian pertama ia telah menjamin seluruh nilainya, maka tidak gugur sedikit pun dari jaminan tersebut hanya karena adanya keraguan.

Imam asy-Syafi‘i RA berkata: “Barang siapa melempar burung lalu melukainya dengan luka yang menyebabkan ia tidak mampu menolak, atau mematahkannya dengan patahan yang menjadikannya tidak mampu menolak, maka jawabannya sama dengan jawaban pada kasus mencabut bulu burung, tidak berbeda sedikit pun.”

فَصْلٌ
: إِذَا أَخَذَ حَمَامَةً لِيَدْفَعَ عَنْهَا مَا يَضُرُّهَا، أَوْ لِيَفْعَلَ بِهَا مَا يَنْفَعُهَا، مِثْلَ أن يخلص ما في رجلها، أو يخصها من في هِرٍّ، أَوْ سَبُعٍ، أَوْ شَقِّ جِدَارٍ وَلَجَتْ فيه، أو أصابتها لدغة، فساقها تِرْيَاقًا، أَوْ عَالَجَهَا بدواءٍ، فَمَاتَتْ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ كُلِّهَا، فَقَدْ عَلَّقَ الشَّافِعِيُّ الْقَوْلَ فِيهِ، فَخَرَّجَهُ أَصْحَابُنَا عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُهَا بِالْيَدِ.
وَالثَّانِي: لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مِنْهُ جِنَايَةٌ، وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِهِ.

PASAL
 Jika seseorang mengambil burung merpati untuk menyingkirkan sesuatu yang membahayakannya, atau untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat baginya—seperti melepaskan sesuatu yang terlilit di kakinya, atau menyelamatkannya dari kucing, atau binatang buas, atau dari celah dinding yang dimasukinya, atau karena terkena gigitan lalu ia membawanya untuk diberi penawar, atau mengobatinya dengan obat—lalu burung itu mati dalam semua keadaan tersebut, maka Imam asy-Syafi‘i menggantungkan pendapatnya dalam masalah ini.

Maka para aṣḥāb kami menyimpulkannya menjadi dua pendapat:

Pertama: ia wajib menanggungnya karena sebab memegangnya.
 Kedua: tidak ada kewajiban atasnya, karena tidak ada unsur kejahatan dari pihaknya, dan ini merupakan zahir dari ucapan Imam asy-Syafi‘i.


فَصْلٌ
: فَإِنْ وَقَعَتْ حَمَامَةٌ عَلَى فِرَاشِهِ فَأَزَالَهَا عَنْهُ، فَتَلِفَتَ، أَوْ أَخَذَتْهَا حَيَّةٌ فَمَاتَتْ كَمَا فَعَلَ عُمَرُ، فَالْفِدْيَةُ عَلَى الْقَوْلَيْنِ الْمَاضِيَيْنِ، أَظْهَرُهُمَا هَاهُنَا وُجُوبُهَا عَلَيْهِ، فَلَوْ أَغْلَقَ بَابَهُ فِي الْحَرَمِ وَكَانَ فِيهِ حَمَامَةٌ تَحْتَهَا بَيْضٌ، فَعَادَ وَقَدْ مَاتَتِ الْحَمَامَةُ عَطَشًا، وَفَسَدَ الْبَيْضُ، فَإِنْ كَانَ عَالِمًا بِهَا، فَعَلَيْهِ أَنْ يَفْدِيَ الْحَمَامَةَ وَالْبَيْضَ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ عَالِمٍ بِهَا، فَعَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُهَا وَبَيْضَهَا.
وَالثَّانِي: لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، وَاللَّهُ أعلم.

PASAL
 Jika seekor burung merpati hinggap di atas alas tidurnya lalu ia mengusirnya, lalu burung itu mati, atau burung itu dimakan oleh ular lalu mati — sebagaimana yang pernah dilakukan oleh ‘Umar — maka fidyah wajib atasnya menurut dua pendapat yang telah lalu, dan yang lebih kuat di sini adalah wajibnya fidyah atasnya.

Jika ia menutup pintu rumahnya di tanah haram, dan di dalamnya terdapat burung merpati yang sedang mengerami telur, lalu ketika ia kembali ternyata burung itu mati karena kehausan dan telurnya rusak, maka jika ia mengetahui keberadaan burung itu, maka wajib atasnya membayar fidyah atas burung dan telurnya.

Namun jika ia tidak mengetahui keberadaan burung itu, maka ada dua pendapat:

pertama: ia wajib mengganti burung dan telurnya,
 kedua: tidak ada kewajiban ganti atasnya.

Wallāhu a‘lam.

(قال الشافعي) رضي الله عنه: ” وَلِلْمُحْرِمِ أَنْ يَقْتُلَ الْحَيَّةَ وَالْعَقْرَبَ وَالْفَأْرَةَ وَالْحِدَأَةَ وَالْغُرَابَ وَالْكَلْبَ الْعَقُورَ وَمَا أَشْبَهَ الْكَلْبَ الْعَقُورَ مِثْلُ السَّبُعِ وَالنَّمِرِ وَالْفَهْدِ وَالذِّئْبِ صِغَارُ ذَلِكَ وكباره سواءٌ وليس في الرخم والخنافس والقردان والحلم وما لا يؤكل لحمه جزاءٌ لأن هذا ليس من الصيد وقال الله جل وعز: {وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ البَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمَا} فدل على أن الصيد الذي حرم عليهم ما كان لهم قبل الإحرام حلالاً لأنه لا يشبه أن يحرم في الإحرام خاصةً إلا ما كان مباحاً قبله “.

BAB APA YANG BOLEH DIBUNUH OLEH ORANG YANG BER-IHRAM
 (Al-Syafi‘i) ra berkata: “Bagi orang yang muḥrim boleh membunuh ular, kalajengking, tikus, burung elang, burung gagak, anjing buas, dan hewan-hewan yang menyerupai anjing buas seperti singa, harimau, macan tutul, dan serigala—baik yang kecil maupun yang besar, hukumnya sama. Adapun bangkai, kumbang, kutu, tungau, dan hewan yang tidak dimakan dagingnya, tidak ada jaza’ (denda) atas pembunuhannya karena ini bukan termasuk ṣayd (buruan). Allah SWT berfirman: {wa ḥurima ‘alaikum ṣaydu al-barri mā dumtum ḥuruman} (QS al-Mā’idah: 96) maka hal ini menunjukkan bahwa buruan yang diharamkan bagi mereka adalah yang sebelumnya halal sebelum berihram, karena tidak mungkin sesuatu itu diharamkan khusus dalam keadaan berihram kecuali sesuatu yang sebelumnya halal.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ وَحْشِيَّ الْحَيَوَانِ ضَرْبَانِ: مَأْكُولٌ، وَغَيْرُ مَأْكُولٍ.
فَالْمَأْكُولُ قَدْ مَضَى حُكْمُهُ فِي تَحْرِيمِ قَتْلِهِ، وَوُجُوبِ جَزَائِهِ، وَغَيْرُ الْمَأْكُولِ عَلَى ثَلَاثَةٍ أَضْرُبٍ:
ضَرْبٌ لَا جَزَاءَ فِي قَتْلِهِ إِجْمَاعًا، وَذَلِكَ الْهَوَامُّ وَحَشَرَاتُ الْأَرْضِ، فَالْهَوَامُّ كَالْحَيَّةِ وَالْعَقْرَبِ، وَالزُّنْبُورِ، وَالْحَشَرَاتُ كَالدُّودِ وَالْخَنَافِسِ وَالْجُعُولِ.

Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa hewan liar terbagi dua jenis: yang dapat dimakan dan yang tidak dapat dimakan.

Adapun yang dapat dimakan, maka telah disebutkan hukumnya: haram dibunuh dan wajib menggantinya. Adapun yang tidak dapat dimakan, maka terbagi menjadi tiga jenis:

Jenis yang tidak ada kewajiban jazā’ dalam membunuhnya secara ijmā‘, yaitu binatang pengganggu (hawām) dan serangga tanah. Adapun hawām seperti ular, kalajengking, tawon. Sedangkan serangga tanah seperti cacing, kumbang, dan ju‘āl.


وَضَرْبٌ فِيهِ الْجَزَاءُ وَهُوَ الْمُتَوَلِّدُ بَيْنَ مَأْكُولٍ وَغَيْرِ مَأْكُولٍ، كَالسِّمْعِ وَهُوَ الْمُتَوَلِّدُ بَيْنَ الضَّبُعِ وَالذِّئْبِ، وَالْمُخَتَّمِ وَهُوَ الْمُتَوَلِّدُ بَيْنَ الْحُبَارَى وَالْغُرَابِ، وَكَالْمُتَوَلِّدِ بَيْنَ حِمَارِ وَحْشٍ، وَحِمَارٍ أَهْلِيٍّ، فَهَذَا غَيْرُ مَأْكُولٍ، تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْحَظْرِ، وَفِيهِ الْجَزَاءُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْجَزَاءِ.

Dan jenis kedua adalah yang diperselisihkan, yaitu binatang buas dari kalangan hewan darat dan burung pemangsa.

Imam al-Syafi‘i berpendapat bahwa membunuhnya hukumnya mubah dan tidak ada jazā’ atasnya.
 Abu Ḥanīfah berpendapat bahwa jazā’ atas pembunuhan hewan-hewan tersebut adalah wajib, kecuali anjing dan serigala. Ia berkata tentang as-sim‘ (sejenis serigala kecil): jika nilainya setara atau lebih rendah dari nilai kambing, maka wajib membayar sesuai nilainya; namun jika nilainya lebih dari nilai kambing, maka tidak wajib membayar lebih dari nilai kambing.

Mālik berkata: segala hewan buas dan burung pemangsa yang besar dan dapat menularkan bahaya, maka wajib membayar jazā’-nya; adapun yang kecil dan tidak membahayakan, maka tidak ada kewajiban jazā’ atasnya.


وَضَرْبٌ مُخْتَلَفٌ فِيهِ وَهُوَ سِبَاعُ الْبَهَائِمِ، وَجَوَارِحُ الطَّيْرِ، فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّ قَتْلَهَا مباحٌ، وَلَا جَزَاءَ فِيهِ، وَقَالَ أبو حنيفة: الْجَزَاءُ فِي قَتْلِهَا وَاجِبٌ، إِلَّا الْكَلْبَ وَالذِّئْبَ، وَقَالَ فِي السِّمْعِ إِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ مِثْلَ قِيمَةِ الشَّاةِ أَوْ أَقَلَّ، فَفِيهِ قِيمَتُهُ، وَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ أَكْثَرَ مِنْ قِيمَةِ الشَّاةِ، فَلَيْسَ عَلَيْهِ أَكْثَرُ مِنْ قِيمَةِ الشَّاةِ؛ وَقَالَ مَالِكٌ: مَا كَانَ مِنْ سِبَاعِ الْبَهَائِمِ وَجَوَارِحِ الطَّيْرِ كِبَارًا فِيهَا عَدْوَى فَفِيهَا الْجَزَاءُ، وَمَا كَانَ مِنْهَا صِغَارًا لَيْسَ فِيهَا عَدْوَى فَلَا جَزَاءَ عَلَيْهَا.

Dan jenis (hewan) yang diperselisihkan hukumnya adalah binatang buas dari jenis hewan ternak, serta burung pemangsa. Al-Syafi‘i berpendapat bahwa membunuhnya adalah mubāḥ (boleh) dan tidak ada jaza’ (denda) atasnya. Abu Ḥanīfah berkata: wajib jaza’ atas pembunuhannya, kecuali anjing dan serigala. Adapun mengenai as-sim‘ (sejenis serigala), bila nilainya setara atau lebih rendah dari nilai seekor kambing, maka wajib membayar nilainya; tetapi jika nilainya lebih tinggi dari nilai seekor kambing, maka tidak wajib lebih dari nilai seekor kambing.

Mālik berkata: hewan buas dan burung pemangsa yang besar, yang dapat menularkan (bahaya), wajib jaza’ atasnya; sedangkan yang kecil dan tidak menularkan (bahaya), maka tidak ada jaza’ atasnya.


وَاسْتَدَلُّوا عَلَى وُجُوبِ الْجَزَاءِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {يَا أيُّهَا الّّذِينَ آمَنُوا لاَ تَقْتُلُواْ الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ، وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمَّداً فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ) {المائدة: 95) فَأَوْجَبَ الْجَزَاءَ فِي الصَّيْدِ، وَالسِّبَاعُ مِنْ جُمْلَةِ الصَّيْدِ؛ لِأَنَّهُمْ يَقُولُونَ: فلانٌ صَارَ سَبْعًا، كَمَا يَقُولُونَ: صَارَ ظَبْيًا، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ حَبَسَ مِنَ الصَّيْدِ الْمُمْتَنِعِ الَّذِي لَا تَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى فَجَازَ أَنْ يَجِبَ الْجَزَاءُ بِقَتْلِهِ كَالضَّبُعِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ مَا حَلَّ قَتْلُهُ فِي حَالِ الْإِحْلَالِ جَازَ أَنْ يُحَرَّمَ قَتْلُهُ فِي حَالِ الْإِحْرَامِ كَسَائِرِ الصَّيْدِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ الْجَزَاءَ غَيْرُ مَقْصُورٍ عَلَى مَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ بَلْ يَجِبُ فِيمَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ وَلَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ كَالسِّمْعِ الْمُتَوَلِّدِ بَيْنَ الذِّئْبِ وَالضَّبُعِ وَكَالْمُتَوَلِّدِ بَيْنَ الْحِمَارِ الْوَحْشِيِّ وَالْحِمَارِ الْأَهْلِيِّ.

Mereka berdalil atas wajibnya jaza’ dengan firman Allah Ta‘ala: {Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, sedang kamu dalam keadaan berihram. Dan barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka jaza’-nya adalah binatang ternak yang sepadan dengan binatang yang dibunuh itu} (al-Māidah: 95). Maka Allah mewajibkan jaza’ atas binatang buruan. Dan binatang buas termasuk dalam kategori buruan, karena mereka berkata: “Si Fulan telah menjadi sabu‘ (binatang buas),” sebagaimana mereka berkata: “Si Fulan telah menjadi zhaby.” Mereka berkata: karena ia termasuk binatang buruan yang sukar ditangkap dan tidak banyak dibutuhkan oleh manusia, maka boleh diwajibkan jaza’ atas pembunuhannya, seperti halnya ḍabbu‘. Mereka juga berkata: karena apa yang halal dibunuh pada saat iḥlāl (tidak berihram), boleh jadi diharamkan pembunuhannya pada saat iḥrām, sebagaimana buruan lainnya. Mereka juga berkata: karena jaza’ tidak terbatas pada apa yang boleh dimakan dagingnya saja, bahkan wajib pula pada yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan dagingnya, seperti as-sim‘ yang merupakan hasil perkawinan antara serigala dan ḍabbu‘, dan juga hasil perkawinan antara keledai liar dan keledai jinak.


وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ الشَّافِعِيِّ عَنْ سُفْيَانَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سالمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: خمسٌ مِنَ الدَّوَابِّ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ قَتَلَهُنَّ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الْغُرَابُ وَالْحِدَأَةُ وَالْفَأْرَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ وَفِيهِ دَلِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ نَصَّ عَلَى قَتْلِ مَا يَقِلُّ ضَرَرُهُ؛ لِيُنَبِّهَ عَلَى جَوَازِ قَتْلِ مَا يَكْثُرُ ضَرَرُهُ فَنَصَّ عَلَى الْغُرَابِ وَالْحِدَأَةِ؛ لِيُنَبَّهَ عَلَى الْعُقَابِ وَالرَّخَمَةِ، وَنَصَّ عَلَى الْفَأْرَةِ، لِيُنَبَّهَ عَلَى حَشَرَاتِ الْأَرْضِ، وَعَلَى الْعَقْرَبِ؛ لِيُنَبَّهَ عَلَى الْحَيَّةِ، وَعَلَى الْكَلْبِ الْعَقُورِ؛ لِيُنَبَّهَ عَلَى السُّبُعِ وَالْفَهْدِ وَمَا فِي مَعْنَاهُ، وَإِذَا أَفَادَ النَّصُّ دَلِيلًا وَتَنْبِيهًا كَانَ حُكْمُ التَّنْبِيهِ مُسْقِطًا لِدَلِيلِ اللَّفْظِ، كَقَوْلِهِ تعالى: {وَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ) {الإسراء: 22) ، فَفِيهِ تَنْبِيهٌ عَلَى تَحْرِيمِ الضَّرْبِ، وَدَلِيلُ لَفْظِهِ يَقْتَضِي جَوَازَ الضَّرْبِ، فَقَضَى بِتَنْبِيهِهِ عَلَى دَلِيلِهِ.

Dalil kami adalah riwayat al-Syafi‘i dari Sufyān, dari al-Zuhrī, dari Sālim, dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Lima jenis hewan yang tidak berdosa membunuhnya, baik di tanah halal maupun di tanah haram: burung gagak, burung elang, tikus, kalajengking, dan anjing buas.”

Di dalamnya terdapat dua dalil:

Pertama: bahwa Nabi SAW menyebutkan secara nash hewan-hewan yang bahayanya kecil, untuk menunjukkan bolehnya membunuh hewan-hewan yang bahayanya lebih besar. Maka beliau menyebutkan burung gagak dan burung elang untuk menunjukkan (bolehnya membunuh) burung alap-alap dan bangkai; menyebutkan tikus untuk menunjukkan (bolehnya membunuh) serangga tanah; menyebutkan kalajengking untuk menunjukkan (bolehnya membunuh) ular; dan menyebutkan anjing buas untuk menunjukkan (bolehnya membunuh) singa, macan tutul, dan hewan-hewan sejenisnya.

Dan apabila suatu nash memberikan faedah berupa dalālah (penunjukan hukum) dan tanbīh (indikasi kepada hal yang lebih luas), maka hukum dari tanbīh itu menyingkirkan dalil dari lafaz literal, seperti firman Allah Ta‘ālā: {wa lā taqul lahumā uffin} (QS al-Isrā’: 23), di dalamnya terdapat tanbīh atas keharaman memukul. Adapun dalil lafaznya menunjukkan bolehnya memukul, maka tanbīh lebih diutamakan daripada dalil lafaznya.


وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَبَاحَ قَتْلَ الْكَلْبِ الْعَقُورِ، وَاسْمُ الْكَلْبِ يَقَعُ عَلَى السُّبُعِ لُغَةً وَشَرْعًا.
أَمَا اللُّغَةُ: فَلِأَنَّهُ مُشْتَقٌّ مِنَ التَّكَلُّبِ وَهُوَ الْعَدْوَى وَالضَّرَارَةُ وَهَذَا مَوْجُودٌ فِي السَّبُعِ.
وَأَمَّا الشَّرْعُ فَمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دَعَا عَلَى عُتْبَةَ بْنِ أَبِي لَهَبٍ فَقَالَ: اللَّهُمَّ سَلِّطْ عَلَيْهِ كَلْبًا مِنْ كِلَابِكَ فَأَكَلَهُ السَّبُعُ فِي طَرِيقِ الشَّامِ وَرَوَى أَبُو دَاوُدَ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ عَنْ هَشِيمٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بن أبي نعم عن الْبَجَلِيِّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سئل عما يحل للمحرم قتله فقال: ” الحية والعقرب وَالْفُوَيْسِقَةُ وَالْحِدَأَةُ وَالْغُرَابُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ وَالسَّبُعُ الْعَادِيُّ “، وَهَذَا نَصٌّ فِي إِبَاحَةِ قَتْلِ السَّبُعِ ودليلٌ عَلَى سُقُوطِ الْجَزَاءِ فِيهِ.
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّمَا أَبَاحَ قَتْلَهُ عَلَى صفةٍ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ فيه عدوى وقتل ذلك مباحٌ قبل السِّبَاعُ كُلُّهَا مَوْصُوفَةٌ بِهَذِهِ الصِّفَةِ، وَإِنْ لَمْ يُوجَدْ فِيهَا عَدْوَى، كَمَا يُوصَفُ السَّيْفُ بِأَنَّهُ قَاطِعٌ وَإِنْ لَمْ يُوجَدْ مِنْهُ الْقَطْعُ، وَالنَّارُ بِأَنَّهَا محرقةٌ وَإِنْ لَمْ يُوجَدْ مِنْهَا الْإِحْرَاقُ؛ وَلِأَنَّهُ متولدٌ مِمَّا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُ شيءٍ مِنْ جِنْسِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجِبَ الْجَزَاءُ فِي قَتْلِهِ كَالذِّئْبِ.

Dan dalil kedua: bahwa Nabi SAW membolehkan membunuh al-kalb al-‘aqūr (anjing buas), padahal kata kalb secara bahasa maupun secara syariat mencakup binatang buas.

Adapun secara bahasa: karena kata kalb berasal dari takkallub yang bermakna menyerang dan membahayakan, dan sifat ini terdapat pada binatang buas.

Sedangkan secara syariat: sebagaimana riwayat bahwa Nabi SAW pernah berdoa atas ‘Utbah bin Abī Lahab dengan doa: “Ya Allah, kuasakan kepadanya seekor anjing dari anjing-anjing-Mu,” lalu ia dimakan oleh seekor binatang buas dalam perjalanan menuju Syam.

Juga diriwayatkan oleh Abū Dāwūd dari Aḥmad bin Ḥanbal, dari Hasyīm, dari Yazīd bin Abī Ziyād, dari ‘Abd al-Raḥmān bin Abī Ni‘m, dari al-Bajalī, dari Abū Sa‘īd al-Khudrī bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang apa yang boleh dibunuh oleh orang yang berihram, lalu beliau bersabda: “Ular, kalajengking, al-fuwaisqah, burung elang, burung gagak, anjing buas, dan binatang buas penyerang.” Ini merupakan nash yang jelas atas kebolehan membunuh binatang buas dan menjadi dalil atas gugurnya kewajiban jaza’ atasnya.

Jika dikatakan: sesungguhnya yang dibolehkan untuk dibunuh hanyalah yang memiliki sifat tertentu, yaitu adanya penyerangan, maka dijawab: semua binatang buas memiliki sifat ini, walaupun tidak ditemukan penyerangan darinya, sebagaimana pedang disebut pemotong meski belum digunakan memotong, dan api disebut pembakar walau belum membakar.

Dan karena binatang buas itu berasal dari jenis yang dagingnya tidak boleh dimakan, maka wajib hukumnya tidak ada jaza’ atas pembunuhannya, seperti halnya serigala.

فَإِنْ قِيلَ: يَبْطُلُ بِقَتْلِ الْقَمْلِ، قِيلَ: الْقَمْلُ لَا يَجِبُ بِقَتْلِهِ الْجَزَاءُ، وَإِنَّمَا يَجِبُ لِإِزَالَةِ الْأَذَى مِنْ رَأَسِهِ؛ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ الْجَزَاءُ إِذَا قَتَلَهُ مِنْ عَلَى بَدَنِهِ، وَإِنَّمَا يَلْزَمُهُ إِذَا قَتَلَهُ عَلَى رَأْسِهِ؛ وَلِأَنَّ مَا يُوجِبُ الْجَزَاءَ مِنَ الصَّيْدِ الْمَقْتُولِ إِنَّمَا يُوجِبُ الْمِثْلَ أَوِ الْقِيمَةَ الْكَامِلَةَ، فَلَمَّا كَانَ قَتْلُ السَّبُعِ غَيْرَ مُوجِبٍ لِلْمِثْلِ وَلَا لِلْقِيمَةِ الْكَامِلَةِ عُلِمَ أَنَّهُ غَيْرُ مضمونٍ.

Jika dikatakan: batal (dalil kalian) dengan (bolehnya) membunuh kutu, maka dijawab: kutu tidak wajib jaza’ karena membunuhnya, tetapi jaza’ wajib karena menghilangkan gangguan dari kepala. Tidakkah engkau melihat bahwa tidak wajib jaza’ jika ia membunuhnya dari badannya, dan hanya wajib jika membunuhnya dari kepalanya? Dan karena apa yang mewajibkan jaza’ dari binatang buruan yang dibunuh, hanyalah yang mewajibkan mithl atau nilai penuh. Maka ketika pembunuhan terhadap binatang buas tidak mewajibkan mithl dan tidak pula nilai penuh, maka diketahui bahwa ia tidak wajib diganti.


فَإِنْ شِئْتَ حَرَّرْتُ ذَلِكَ قِيَاسًا فَقُلْتُ: لِأَنَّ كُلَّ مَا لَمْ يُضْمَنْ بِالْمِثْلِ وَلَا بِكَمْالِ الْقِيمَةِ لَمْ يَكُنْ مَضْمُونًا بِالْجَزَاءِ كَالذِّئْبِ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ اسْمَ الصَّيْدِ لَا يَقَعُ عَلَى السَّبُعِ؛ لِأَنَّ الصَّيْدَ مَا أَحَلَّهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الْبَرِّ، وَلَيْسَ السَّبُعُ مِمَّا أَحَلَّهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الْبَرِّ، فَلَمْ يَكُنْ مِنْ جُمْلَةِ الصَّيْدِ.

Jika engkau menghendaki, aku akan tegaskan hal itu secara qiyās, lalu aku katakan: karena setiap sesuatu yang tidak diwajibkan ganti dengan yang sejenis atau dengan nilai yang sempurna, maka tidak wajib diganti dengan jaza’, seperti halnya serigala.

Adapun jawaban terhadap ayat (tentang larangan berburu bagi muḥrim) adalah dari dua sisi:

Pertama: bahwa nama ṣayd tidak mencakup binatang buas (al-sabu‘), karena ṣayd adalah apa yang dihalalkan oleh Allah Ta‘ālā dari binatang darat. Sedangkan binatang buas bukanlah termasuk dari apa yang dihalalkan oleh Allah Ta‘ālā dari binatang darat, maka tidak termasuk ke dalam kategori ṣayd.


وَالثَّانِي: أَنَّ الصَّيْدَ مَا وَجَبَ فِيهِ الْمِثْلُ عِنْدَنَا أَوِ الْقِيمَةُ عِنْدَهُمْ، وَالسَّبُعُ لَا يَجِبُ فِيهِ الْمِثْلُ وَلَا القيمة الكاملة فلم تكن مِنَ الصَّيْدِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الضَّبُعِ فَالْمَعْنَى فيه: أنه صيدٌ مأكولٌ، فليس كَذَلِكَ السَّبُعُ.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ الْجَزَاءَ غَيْرُ مقصورٍ عَلَى مَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ كَالسِّمْعِ الْمُتَوَلِّدِ بَيْنَ الضَّبُعِ وَالذِّئْبِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ متولدٌ مَا بَيْنَ مَأْكُولٍ وَغَيْرِ مَأْكُولٍ، فَغَلَبَ حُكْمُ التَّحْرِيمِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ السَّبُعُ، فَأَمَّا مَالِكٌ فَإِنَّهُ فَرَّقَ بَيْنَ صِغَارِ ذَلِكَ وَكِبَارِهِ.

Dan yang kedua: bahwa yang disebut ṣayd adalah apa yang wajib padanya mithl menurut kami, atau nilai menurut mereka. Sedangkan binatang buas tidak wajib padanya mithl dan tidak pula nilai penuh, maka ia tidak termasuk dalam ṣayd. Adapun qiyas mereka terhadap ḍabbu‘, maka illat-nya adalah: karena ḍabbu‘ adalah buruan yang boleh dimakan, sedangkan binatang buas tidak demikian.

Adapun ucapan mereka bahwa jaza’ tidak terbatas pada yang boleh dimakan dagingnya, seperti as-sim‘ yang merupakan hasil perkawinan antara ḍabbu‘ dan serigala, maka illat-nya adalah karena ia merupakan hasil perkawinan antara yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan, maka yang dominan adalah hukum keharaman. Tidak demikian halnya dengan binatang buas. Adapun Mālik, maka beliau membedakan antara yang masih kecil dan yang besar dari jenis tersebut.


وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ مَا يَحْرُمُ بِالْإِحْرَامِ، وَيُضْمَنُ بِالْجَزَاءِ، يَسْتَوِي حُكْمُ صِغَارِهِ وَكِبَارِهِ فَكَذَلِكَ مَا يُسْتَبَاحُ مَعَ الْإِحْرَامِ، وَيَسْقُطُ فِيهِ الْجَزَاءُ يَجِبُ أَنْ يَسْتَوِيَ حُكْمُ صِغَارِهِ وَكِبَارِهِ، كَالْحَشَرَاتِ فَإِذَا ثَبَتَ سُقُوطُ الْجَزَاءِ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ فِي الْحَرَمِ وَالْإِحْرَامِ، فَمَا كَانَ مِنْهُ مُؤْذٍ لَمْ يَحْرُمْ قَتْلُهُ، وَمَا لَمْ يَكُنْ مُؤْذِيًا فَفِي تَحْرِيمِ قَتْلِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَحْرُمُ قَتْلُهُ لِضَعْفِ حُرْمَتِهِ.
وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ قَتْلُهُ حَرَامٌ؛ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ حَرَّى أَجْرٌ “.

Dan ini tidaklah benar; karena sesuatu yang diharamkan karena ihram dan wajib diganti dengan jaza’, maka hukum antara yang kecil dan yang besar adalah sama. Maka demikian pula, sesuatu yang dibolehkan (dibunuh) dalam keadaan ihram dan tidak wajib jaza’ atasnya, seharusnya hukumnya juga sama antara yang kecil dan yang besar, seperti serangga.

Maka apabila telah tetap bahwa jaza’ gugur dari semua itu—baik di tanah haram maupun saat ihram—maka yang bersifat membahayakan, tidak haram membunuhnya. Adapun yang tidak membahayakan, maka dalam keharaman membunuhnya terdapat dua pendapat:

Pertama: tidak haram membunuhnya karena lemahnya kehormatannya.
 Kedua: dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, membunuhnya adalah haram, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Setiap yang memiliki hati yang basah (makhluk bernyawa) ada pahala padanya.”


فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ: وَإِذَا صَالَ الصَّيْدُ عَلَيْهِ فَقَتَلَهُ دَفْعًا عَنْ نَفْسِهِ فَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ، وَقَالَ أبو حنيفة: عَلَيْهِ الْجَزَاءُ، وَقَالَ فِي السَّبُعِ إِذَا صَالَ عَلَيْهِ فَقَتَلَهُ دَفْعًا عَنْ نَفْسِهِ، فَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ، وَأَصْلُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ الْفَحْلُ إِذَا صَالَ عَلَيْهِ فَقَتَلَهُ، عِنْدَنَا فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، وَعِنْدَهُ عَلَيْهِ الضَّمَانُ، فَنَقُولُ: لِأَنَّهُ قَتَلَهُ دَفْعًا عَنْ نَفْسِهِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَضْمَنَهُ، كَالصَّيْدِ إِذَا صَالَ عَلَيْهِ فَقَتَلَهُ، فَنَجْعَلُ الصَّيْدَ أَصْلًا فِي الْمَسْأَلَتَيْنِ.

PASAL
 Imam al-Syafi‘i berkata dalam al-Umm: Apabila binatang buruan menyerangnya lalu ia membunuhnya untuk membela diri, maka tidak ada jaza’ atasnya. Sedangkan Abū Ḥanīfah berpendapat: wajib atasnya jaza’. Dan beliau berkata mengenai binatang buas, apabila menyerang lalu ia membunuhnya untuk membela diri, maka tidak ada jaza’ atasnya.

Adapun pokok permasalahan ini adalah tentang unta jantan, apabila ia menyerang lalu dibunuh, maka menurut kami tidak ada kewajiban mengganti, sedangkan menurut mereka wajib mengganti. Maka kami katakan: karena ia membunuhnya dalam rangka membela diri, maka seharusnya tidak wajib mengganti, sebagaimana binatang buruan apabila menyerangnya lalu ia membunuhnya. Maka kami menjadikan binatang buruan sebagai aṣl dalam dua permasalahan tersebut.

فَصْلٌ
: إِذَا قَتَلَ فِي الْحَرَمِ أَوِ الْإِحْرَامِ حيواناً لا يعلم أوحشي أو إِنْسِيٌّ؟ فَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْجَزَاءَ لَا يَجِبُ بِالشَّكِّ، وَكَذَلِكَ لَوْ عَلِمَ أَنَّهُ وَحْشِيٌّ، وَشَكَّ هَلْ هُوَ مَأْكُولٌ أَوْ غَيْرُ مَأْكُولٍ؟ فَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ.

PASAL
 Apabila seseorang membunuh hewan di ḥaram atau dalam keadaan iḥrām, namun ia tidak mengetahui apakah hewan itu liar atau jinak, maka tidak ada kewajiban membayar jazā’ atasnya, karena jazā’ tidak diwajibkan dalam keadaan ragu-ragu. Begitu pula jika ia mengetahui bahwa hewan itu liar, namun ragu apakah hewan itu termasuk hewan yang boleh dimakan atau tidak, maka tidak ada kewajiban jazā’ atasnya.


فَصْلٌ
: وَصَيْدُ الْبَحْرِ حَلَالٌ فِي الْحَرَمِ وَالْإِحْرَامِ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ البَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعاً لَكُمْ ولِلسَّيَّارةِ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ البَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُماً) {المائدة: 96) فأباح للمحرمين صيد البحر.
قال الشافعي: وكلما عَاشَ فِي الْمَاءِ أَكْثَرَ عَيْشِهِ، وَكَانَ فِي بَحْرٍ أَوْ نَهْرٍ أَوْ وَادٍ أَوْ بِئْرٍ أو ماء مُسْتَنْقَعٍ أَوْ غَيْرِهِ فَسَوَاءٌ وَمُبَاحٌ لَهُ صَيْدُهُ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ، وَأَمَّا طَائِرُهُ فَإِنَّمَا يَأْوِي إِلَى أَرْضٍ فِيهِ فَهُوَ مِنْ صَيْدِ الْبَرِّ إذا أصيب.

PASAL
 Dan ṣaid laut adalah halal di ḥaram dan saat beriḥrām, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:

“Dihalalkan bagi kalian perburuan laut dan makanannya sebagai kesenangan bagi kalian dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan, dan diharamkan atas kalian perburuan darat selama kalian dalam keadaan beriḥrām” (QS al-Mā’idah: 96).

Maka, Allah membolehkan bagi orang yang beriḥrām untuk berburu laut.

Imam al-Syāfi‘i berkata: Setiap yang hidup di air lebih banyak kehidupannya, baik berada di laut, sungai, lembah, sumur, air yang menggenang, atau selainnya, maka hukumnya sama, dan halal baginya berburu hewan tersebut baik di tanah halal maupun tanah ḥaram.

Adapun burungnya, karena ia kembali (hinggap) ke daratan, maka bila diburu, ia termasuk ṣaid al-barri.

قال الشافعي رضي الله عنه: ” قال الله جل وعز: {فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الهَدْيِ} وَأُحْصِرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِالْحُدَيْبِيَةِ فَنَحَرَ الْبَدَنَةَ عَنْ سبعةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سبعةٍ (قَالَ) وَإِذَا أَحُصِرَ بِعَدُوٍّ كافرٍ أَوْ مُسْلِمٍ أَوْ سلطانٍ بحبسٍ فِي سجنٍ “.

BAB IḤṢĀR
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Allah ‘azza wa jalla berfirman: {Fa in uḥṣirtum fa mā staysara mina al-hadyi} (Jika kamu terhalang, maka sembelihlah hadyu yang mudah didapat). Dan Rasulullah SAW pernah terhalang (dari haji) di Ḥudaibiyah, lalu beliau menyembelih unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang.”

(Beliau berkata): “Jika seseorang terhalang karena musuh kafir, atau muslim, atau karena penguasa yang memenjarakannya di dalam penjara…”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا أُحْصِرَ الْمُحْرِمُ بِحَجٍّ أَوْ عمرةٍ وَصُدَّ عَنِ الْبَيْتِ بِعَدُوٍّ مُسْلِمٍ أَوْ كَافِرٍ، فَلَهُ أَنْ يَتَحَلَّلَ مِنْ إِحْرَامِهِ؛ لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَحْرَمَ بِالْعُمْرَةِ سَنَةَ سِتٍّ فِي ألفٍ وَأَرْبَعِ مائةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَصَدَّتْهُ قُرَيْشٌ عَنِ الْبَيْتِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الهَدْيِ) {البقرة: 196) ، تَقْدِيرُهُ: فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ وَحَلَلْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ، فَكَانَ التَّحَلُّلُ مُضْمَرًا فِيهِ؛ لِأَنَّ الْهَدْيَ لَا يَجِبُ بِمُجَرَّدِ الْحَصْرِ، وإنما بجب بِالتَّحَلُّلِ فِي الْحَصْرِ، فَلَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ، تَحَلَّلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ عُمْرَتِهِ بَعْدَ أَنْ نَحَرَ هَدْيَهُ.

Berkata al-Māwardī: Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan, yaitu apabila seorang muḥrim untuk haji atau ‘umrah tertahan dan terhalangi dari sampai ke Baitullah oleh musuh, baik Muslim maupun kafir, maka ia boleh bertahallul dari iḥrām-nya; berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW beriḥrām untuk ‘umrah pada tahun keenam bersama seribu empat ratus sahabatnya, lalu Quraisy menghalangi beliau dari masuk ke Baitullah, maka Allah Ta‘ālā menurunkan firman-Nya:

“Jika kalian terhalang, maka sembelihlah hewan hadyu yang mudah didapat” (QS al-Baqarah: 196).

Maksudnya: Jika kalian terhalang dan kalian bertahallul, maka (wajib) menyembelih hewan hadyu yang mudah didapat.

Maka, perintah tahallul tersirat dalam ayat tersebut; karena hadyu tidaklah wajib hanya dengan sekadar tertahan (ḥaṣr), melainkan wajib karena tahallul dalam keadaan ḥaṣr. Maka, ketika ayat ini turun, Rasulullah SAW bertahallul dari ‘umrah-nya setelah menyembelih hewan hadyu-nya.


وَرَوَى مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: أحصرنا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ، فَنَحَرْنَا الْبَدَنَةَ عَنْ سبعةٍ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سبعةٍ؛ وَلِأَنَّ الْإِحْصَارَ عُذْرٌ، وَالْخُرُوجَ مِنَ الْعِبَادَةِ بِالْعُذْرِ جَائِزٌ، كَالصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْعِبَادَاتِ، كَذَلِكَ الْحَجُّ.
فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ التَّحَلُّلِ بِإِحْصَارِ الْعَدُوِّ، فَسَوَاءٌ كَانَ الْعَدُوُّ كَافِرًا أَوْ مُسْلِمًا.
وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَغَيْرِهِ أَنَّ التَّحَلُّلَ إِنَّمَا يَجُوزُ بِإِحْصَارِ الْعَدُوِّ الْكَافِرِ دُونَ الْمُسْلِمِ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَحَلَّلَ بِإِحْصَارِ عدوٍ كافرٍ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى ذَلِكَ عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الهَدْيِ} ، وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ حَصْرِ كَافِرٍ وَمُسْلِمٍ.

Diriwayatkan oleh Mālik dari Abū az-Zubair dari Jābir, ia berkata: “Kami terhalang bersama Rasulullah SAW pada tahun Ḥudaibiyah, lalu kami menyembelih unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang.”

Karena iḥṣār adalah suatu uzur, maka keluar dari ibadah karena uzur adalah dibolehkan, sebagaimana dalam salat dan ibadah lainnya, maka demikian pula dalam haji.

Apabila telah tetap kebolehan bertahallul karena terhalang oleh musuh, maka hukumnya sama, baik musuh itu kafir maupun muslim.

Dan dinukil dari Ibn ‘Abbās dan selainnya bahwa tahallul hanya dibolehkan apabila terhalang oleh musuh yang kafir, bukan oleh yang muslim, karena Rasulullah SAW bertahallul karena terhalang oleh musuh kafir.

Dalil yang menunjukkan bolehnya adalah keumuman firman Allah Ta‘ālā: {Fa in uḥṣirtum fa mā staysara mina al-hadyi} (Jika kamu terhalang, maka sembelihlah hadyu yang mudah didapat), dan Allah tidak membedakan antara halangan dari orang kafir dan muslim.


وَرَوَى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ خَرَجَ إِلَى مَكَةَ مُعْتَمِرًا فِي الْفِتْنَةِ، فَقَالَ: إِنْ صُدِدْتُ عَنِ الْبَيْتِ صَنَعْتُ مَا صَنَعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -؛ وَلِأَنَّهُ مَصْدُودٌ عَنِ الْبَيْتِ فَجَازَ لَهُ التَّحَلُّلُ كَالْمَصْدُودِ بِعَدُوٍّ مُشْرِكٍ.


dan Nafi‘ meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa ia keluar menuju Makkah untuk ‘umrah pada masa fitnah, lalu ia berkata: “Jika aku terhalang dari Baitullah, aku akan melakukan seperti yang kami lakukan bersama Rasulullah SAW.” Karena ia adalah orang yang terhalang dari Baitullah, maka boleh baginya bertahallul sebagaimana orang yang terhalang oleh musuh musyrik.

فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ مَنْ أُحْصِرَ بِعَدُوٍّ كَافِرٍ أَوْ مُسْلِمٍ سَوَاءٌ فِي التَّحَلُّلِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُحْصَرِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ فِي حل أو في حرم فإن كان فِي حِلٍّ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْإِحْصَارِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَامًّا، أَوْ خَاصًّا.
فَإِنْ كَانَ عَامًّا وَهُوَ أَنْ يُصَدَّ جَمِيعُ النَّاسِ عَنِ الْحَرَمِ وَيُمْنَعُوا مِنْ فِعْلِ مَا أَحْرَمُوا بِهِ مَنْ حَجًّ أَوْ عُمْرَةٍ، فَلَا يَخْلُو حَالُهُمْ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
إِمَّا أَنْ يَجِدُوا طَرِيقًا يَسْلُكُونَهَا إِلَى الْحَرَمِ غَيْرَ الطَّرِيقِ الَّتِي أُحْصِرُوا فِيهَا، أَوْ لَا يَجِدُوا طَرِيقَا غَيْرَهَا، فَإِنْ لَمْ يَجِدُوا طَرِيقًا غَيْرَهَا، فَلَا يَخْلُو حَالُهُمْ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

PASAL
 Apabila telah tetap bahwa orang yang terhalang oleh musuh, baik kafir maupun muslim, keduanya sama dalam kebolehan bertahallul, maka keadaan orang yang terhalang (muḥṣar) tidak lepas dari dua kemungkinan: berada di daerah ḥill atau di dalam ḥaram.

Jika ia berada di ḥill, maka keadaan iḥṣār tidak lepas dari dua hal: bersifat umum atau khusus.

Apabila bersifat umum, yaitu seluruh manusia dihalangi dari memasuki ḥaram dan dicegah dari menunaikan manasik yang mereka ihramkan untuknya, baik haji maupun umrah, maka keadaan mereka tidak lepas dari dua kemungkinan:

  • Mereka menemukan jalan lain menuju ḥaram selain jalan yang mereka dihalangi padanya
  • Atau mereka tidak menemukan jalan lain

Jika mereka tidak menemukan jalan lain, maka keadaan mereka tidak lepas dari dua hal: …


إِمَّا أَنْ يَرْجُوا انْكِشَافَ الْعَدُوِّ، أَوْ لَا يَرْجُونَهُ.
فَإِنْ لَمْ يَرْجُوَا انْكِشَافَ الْعَدُوِّ جَازَ لَهُمْ أَنْ يُحِلُّوا مِنْ إِحْرَامِهِمْ، سَوَاءٌ كَانَ إِحْرَامُهُمْ بِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ؛ لِأَنَّ الْعُمْرَةَ وَإِنْ لَمْ تفت ففي المقام على الإحرام بلا مَشَقَّةٌ، وَقَدْ كَانَ إِحْرَامُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِعُمْرَةٍ فَأَحَلَّ مِنْهَا بِإِحْصَارِهِ، وَلَا يَلْزَمُهُمْ قِتَالُ عَدُوِّهِمْ، وَإِنْ كَانَ بِهِمْ قُوَّةٌ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْقِتَالَ لَا يَلْزَمُهُمْ إِلَّا فِي النَّفِيرِ، فَإِذَا حَلُّوا فَعَلَيْهِمْ دَمُ الْإِحْصَارِ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِمْ فَهَذَا الْكَلَامُ فِيمَا إِذَا كَانُوا لَا يَرْجُونَ انْكِشَافَ الْعَدُوِّ.

Ada dua kemungkinan: apakah mereka mengharap musuh akan pergi, atau tidak mengharapnya.

Jika mereka tidak mengharap musuh akan pergi, maka boleh bagi mereka untuk bertahallul dari iḥrām-nya, baik iḥrām mereka untuk ḥajj maupun ‘umrah; karena ‘umrah meskipun belum terlewat waktunya, tetap saja berdiam dalam keadaan iḥrām itu memberatkan. Dan sungguh Rasulullah SAW beriḥrām untuk ‘umrah, lalu beliau bertahallul darinya karena terhalang (iḥṣār). Mereka tidak diwajibkan memerangi musuh mereka, meskipun mereka mampu untuk itu; karena peperangan tidak wajib atas mereka kecuali dalam keadaan seruan umum (nafir). Maka jika mereka telah bertahallul, wajib atas mereka dam al-iḥṣār, dan tidak ada kewajiban qaḍā’ atas mereka. Maka ini adalah pembahasan apabila mereka tidak mengharap musuh akan pergi.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِنْ كَانُوا يَرْجُونَ انْكِشَافَ الْعَدُوِّ وَزَوَالَهُ فَلَا يَخْلُو ذَلِكَ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ مِنْ طَرِيقِ الْيَقِينِ، أَوْ مِنْ طَرِيقِ غَلَبَةِ الظَّنِّ، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ مِنْ طَرِيقِ الْيَقِينِ، وَهُوَ أَنْ يَعْتَرِضَهُمُ الْعَدُوُّ مُجْتَازًا، وَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ لَا يُمْكِنُهُ الْمَقَامُ عَلَيْهِمْ، فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْإِحْرَامِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

PASAL
 Adapun jika mereka masih berharap musuh akan pergi dan halangannya akan hilang, maka keadaan itu tidak lepas dari dua kemungkinan:

  • Berdasarkan keyakinan
  • Atau berdasarkan ghalabat az-ẓann (dugaan kuat)

Jika hal itu berdasarkan keyakinan, yaitu bahwa musuh hanya menghadang mereka dalam perjalanan dan mereka mengetahui bahwa musuh tidak mungkin menetap menghadang mereka, maka dalam keadaan seperti itu, iḥrām mereka tidak lepas dari dua hal:


إِمَّا أن يكون بحج أو بعمرة، فإذا كَانَ الْإِحْرَامُ بِحَجٍّ، نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ إِدْرَاكُ الْحَجِّ مُمْكِنًا بَعْدَ انْكِشَافِ الْعَدُوِّ، وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْإِحْصَارُ قَبْلَ الْحَجِّ بِشَهْرٍ، وَبَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْحَرَمِ مَسَافَةُ عَشَرَةِ أَيَّامٍ، فَيَكُونُ الْفَاضِلُ مِنَ الْقُوتِ عِشْرِينَ يَوْمًا، فَإِذَا تَيَقَّنَ أَنَّ الْعَدُوَّ يَنْكَشِفُ إِلَى عِشْرِينَ يَوْمًا فَمَا دُونَ، فَعَلَيْهِ الْمَقَامُ عَلَى الْإِحْرَامِ، وَلَيْسَ لَهُ التَّحَلُّلُ مِنْهُ بالإحصار، وإن تيقن أن العدو ينكشف بعد عشرين يَوْمًا، وَلَا يَنْكَشِفُ قَبْلَهَا، فَهَذَا لَهُ أَنْ يَتَحَلَّلَ مِنْ إِحْرَامِهِ بِالْحَجِّ، وَهُوَ الْأَوْلَى لَهُ؛ لِأَنَّهُ عَلَى يَقِينٍ مِنْ أَنَّهُ لَيْسَ يُدْرِكُ الْحَجَّ، فَإِنْ لَمْ يَتَحَلَّلْ حَتَّى انْكَشَفَ الْعَدُوُّ وَقَدْ فَاتَهُ الْحَجُّ، فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَتَحَلَّلَ بِغَيْرِ طَوَافٍ وَسَعَيٍ؛ لِزَوَالِ الْإِحْصَارِ، وَعَلَيْهِ أَنْ يَطُوفَ وَيَسْعَى، وَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ؛ لِأَجْلِ الْفَوَاتِ، وَعَلَيْهِ دَمٌ؛ لِلْفَوَاتِ دُونَ الْإِحْصَارِ، فَهَذَا إِنْ كَانَ إِحْرَامُهُ بِحَجٍّ، فَأَمَّا إِنْ كَانَ إِحْرَامُهُ بِعُمْرَةٍ فإن تيقين انْكِشَافَ الْعَدُوِّ عَنْ زَمَانٍ قَرِيبٍ، وَذَلِكَ يَوْمٌ أَوْ يَوْمَانِ أَوْ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ لَزِمَهُ الْمَقَامُ عَلَى إِحْرَامِهِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ التَّحَلُّلُ مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ لَا مَشَقَّةَ عَلَيْهِ فِي اسْتِدَامَةِ الْإِحْرَامِ فِي هَذِهِ الْمُدَّةِ، وَلَا يَخْرُجُ بِهَا عَنْ حد السفر إلى الإقامة، وَإِنْ تَيَقَّنَ أَنَّ الْعَدُوَّ يَنْكَشِفُ بَعْدَ زَمَانٍ بَعِيدٍ، جَازَ لَهُ التَّحَلُّلُ مِنْ إِحْرَامِهِ وَلَمْ يَلْزَمْهُ الْمَقَامُ عَلَيْهِ، فَإِنْ قِيلَ: مَا الْفَرْقُ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ حَيْثُ قُلْتُمْ: إِنَّهُ إِذَا كان محرماً يحج، فَأُحْصِرَ، وَالْوَقْتُ وَاسِعٌ، وَعَلِمَ أَنَّ الْعَدُوَّ يَنْكَشِفُ بَعْدَ شَهْرٍ، وَإِدْرَاكُ الْحَجِّ لَا يَفُوتُهُ بَعْدَ شَهْرٍ، أَنَّ عَلَيْهِ الْمَقَامَ عَلَى إِحْرَامِهِ، وَلَيْسَ لَهُ التَّحَلُّلُ مِنْهُ، وَلَوْ كَانَ مُحْرِمًا بِعُمْرَةٍ، فَأُحْصِرَ، وَعَلِمَ أَنَّ الْعَدُوَّ يَنْكَشِفُ بَعْدَ شَهْرٍ، أَنَّ لَهُ أَنْ يَتَحَلَّلَ مِنْ إِحْرَامِهِ، وَلَيْسَ لِلْعُمْرَةِ وَقْتٌ يَفُوتُ، كَمَا أَنَّ الْحَجَّ هُنَاكَ بَعْدَ شَهْرٍ لَيْسَ يَفُوتُ؟ قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمُحْرِمَ بِالْحَجِّ لَوْ لَمْ يَحْصُرْ لَمْ يُمْكِنُهُ التَّحَلُّلُ مِنْهُ قَبْلَ وَقْتِ الْحَجِّ، وَكَانَ عَلَيْهِ الْمَقَامُ عَلَى إِحْرَامِهِ إِلَى وَقْتِ الْحَجِّ، فَلَمْ يَلْتَزِمْ بِالْإِحْصَارِ اسْتِدَامَةَ إِحْرَامٍ لَمْ يَكُنْ لَازِمًا لَهُ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ لِلْمُحْرِمِ بِالْعُمْرَةِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَكُنْ إِحْصَارٌ لَأَمْكَنَهُ التَّحَلُّلُ مِنْ إِحْرَامِهِ عِنْدَ فَرَاغِهِ مِنْ عُمْرَتِهِ، إِذْ لَيْسَ لِلْعُمْرَةِ وَقْتٌ يَخْتَصُّ بِهِ، فَجَازَ لَهُ التَّحَلُّلُ مِنْ إِحْرَامِهِ بِالْإِحْصَارِ؛ لِأَنَّهُ بِالْمَقَامِ عَلَى إِحْرَامِهِ يَلْتَزِمُ اسْتِدَامَةَ إحرامٍ لَمْ يَكُنْ لَازِمًا لَهُ، فَهَذَا الْكَلَامُ فِيهِ إِذَا تَيَقَّنَ انْكِشَافَ الْعَدُوِّ.

Baik iḥrām itu untuk ḥajj maupun ‘umrah. Jika iḥrām-nya untuk ḥajj, maka dilihat: jika memungkinkan untuk mendapatkan ḥajj setelah musuh pergi, yaitu apabila iḥṣār terjadi sebulan sebelum ḥajj dan jarak antara mereka dan ḥaram adalah sepuluh hari perjalanan, maka waktu yang tersisa dari kekuatan perjalanan adalah dua puluh hari. Maka jika ia yakin bahwa musuh akan pergi dalam dua puluh hari atau kurang dari itu, maka wajib baginya tetap berada dalam iḥrām dan tidak boleh bertahallul darinya karena iḥṣār. Namun jika ia yakin bahwa musuh baru akan pergi setelah dua puluh hari dan tidak akan pergi sebelum itu, maka ia boleh bertahallul dari iḥrām ḥajj-nya, dan ini yang lebih utama baginya, karena ia yakin tidak akan bisa mendapatkan ḥajj. Jika ia tidak bertahallul hingga musuh pergi sedangkan waktu ḥajj telah lewat, maka ia tidak boleh bertahallul kecuali dengan ṭawāf dan sa‘i, karena iḥṣār telah hilang. Maka wajib baginya ṭawāf dan sa‘i, serta wajib baginya qaḍā’ karena fawāt, dan wajib baginya dam karena fawāt, bukan karena iḥṣār.

Ini bila iḥrām-nya untuk ḥajj. Adapun bila iḥrām-nya untuk ‘umrah, jika ia yakin musuh akan pergi dalam waktu dekat, seperti satu atau dua atau tiga hari, maka wajib baginya tetap berada dalam iḥrām-nya dan tidak boleh bertahallul darinya; karena tidak ada kesulitan dalam melanjutkan iḥrām dalam masa sesingkat ini, dan masa ini tidak mengeluarkannya dari batasan safar menuju iqāmah. Namun jika ia yakin bahwa musuh baru akan pergi setelah waktu yang lama, maka boleh baginya bertahallul dari iḥrām-nya dan tidak wajib baginya tetap berada dalamnya.

Jika ada yang bertanya: Apa perbedaan antara ḥajj dan ‘umrah, padahal kalian mengatakan bahwa jika seseorang beriḥrām untuk ḥajj, lalu tertahan (uḥṣira), dan waktunya masih luas, serta ia tahu bahwa musuh akan pergi setelah sebulan, dan ia masih bisa mendapatkan ḥajj setelah sebulan itu, maka ia wajib tetap dalam iḥrām-nya dan tidak boleh bertahallul. Tetapi bila ia beriḥrām untuk ‘umrah, lalu tertahan, dan ia tahu bahwa musuh akan pergi setelah sebulan, maka ia boleh bertahallul dari iḥrām-nya. Padahal tidak ada waktu tertentu yang menyebabkan ‘umrah menjadi terlewat, sebagaimana ḥajj di sana pun belum terlewat karena masih sebulan lagi?

Dijawab: Perbedaannya adalah bahwa orang yang beriḥrām untuk ḥajj, seandainya tidak tertahan pun, ia tidak boleh bertahallul sebelum masuk waktu ḥajj. Maka wajib baginya tetap dalam iḥrām-nya hingga masuk waktu ḥajj. Maka dengan adanya iḥṣār, ia tidak dibebani untuk melanjutkan iḥrām yang memang sudah menjadi kewajiban atasnya. Tidak demikian halnya dengan orang yang beriḥrām untuk ‘umrah, karena seandainya tidak ada iḥṣār, ia bisa bertahallul dari iḥrām-nya setelah menyelesaikan ‘umrah-nya, sebab ‘umrah tidak memiliki waktu tertentu yang mengikatnya. Maka boleh baginya bertahallul dari iḥrām-nya karena iḥṣār, sebab dengan tetap berada dalam iḥrām, ia terbebani untuk melanjutkan iḥrām yang sebetulnya tidak wajib atasnya. Maka ini adalah penjelasan jika ia yakin musuh akan pergi.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ انْكِشَافُ الْعَدُوِّ وَلَمْ يَتَيَقَّنْهُ، فَلَهُ التَّحَلُّلُ بِكُلِّ حَالٍ، سَوَاءٌ كَانَ مُحْرِمًا بِحَجٍّ أَوْ بِعُمْرَةٍ، وَلَوِ انْتَظَرَ مُرُورَ أَيَّامٍ لا يخالف مَعَهَا فَوَاتَ الْحَجِّ كَانَ حَسَنًا، وَإِنْ عَجَّلَ الْإِحْلَالَ كَانَ جَائِزًا، فَلَوْ لَمْ يَحِلَّ حَتَّى انْكَشَفَ الْعَدُوُّ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَحِلَّ، وَمَضَى فِي إِحْرَامِهِ، فَإِنْ كَانَ مُعْتَمِرًا، أَتَى بِأَرْكَانِ الْعُمْرَةِ، وَأَحَلَّ مِنْهَا، وَأَجْزَأَتْهُ عَنْ عُمْرَةِ الْإِسْلَامِ، وَإِنْ كَانَ حَاجًّا فَإِنْ أَدْرَكَ الْوُقُوفَ بِعَرَفَةَ، أَتَمَّ حَجَّهُ، وَأَجْزَأَهُ عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ، وَإِنْ فَاتَهُ الْوُقُوفُ بِعَرَفَةَ، وَأَحَلَّ بِطَوَافٍ وَسَعْيٍ وحلاق، ولزمه دَمُ الْفَوَاتِ، وَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ بِالْفَوَاتِ، وَلَا يَكُونُ لِلْإِحْصَارِ الَّذِي لَمْ يَتَحَلَّلْ مِنْهُ تَأْثِيرٌ فِي سُقُوطِ الْقَضَاءِ، فَهَذَا حُكْمُ الْمُحْصَرِ إِذَا لَمْ يكن له طريق غير الطريق الذي أُحْصِرَ فِيهَا.

PASAL
 Adapun jika ia lebih cenderung menyangka bahwa musuh akan sirna, namun belum meyakininya, maka ia boleh bertahallul dalam segala keadaan, baik ia sedang berihram untuk haji maupun ‘umrah. Dan seandainya ia menunggu beberapa hari yang tidak menyebabkan luputnya haji, maka itu lebih baik. Namun jika ia segera bertahallul, maka itu dibolehkan.

Jika ia tidak bertahallul hingga musuh benar-benar sirna, dan ternyata ia tidak berhak untuk bertahallul, lalu ia melanjutkan ihram-nya, maka:

  • Jika ia sedang mu‘tamir (melakukan ‘umrah), ia menyempurnakan rukun-rukun ‘umrah lalu bertahallul darinya, dan itu mencukupi dari ‘umrah Islam.
  • Jika ia sedang hajj dan ia mendapati wuqūf di ‘Arafah, maka ia menyempurnakan hajinya dan mencukupi dari haji Islam.
  • Jika ia luput dari wuqūf di ‘Arafah, lalu ia bertahallul dengan ṭawāf, sa‘i, dan ḥalaq, maka ia wajib membayar dam al-fawāt, dan ia wajib mengganti haji tersebut karena luput, dan keadaan iḥṣār yang belum ia lakukan taḥallul darinya tidak berdampak pada gugurnya kewajiban mengganti haji.

Itulah hukum orang yang terhalangi (muḥṣar) apabila tidak ada jalan lain selain jalan yang ia terhalangi padanya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا وَجَدَ طَرِيقًا يَسْلُكُهَا إِلَى الْحَرَمِ غَيْرَ الطَّرِيقِ الَّتِي أُحْصِرَ فِيهَا، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ لَهُ في هذا الطريق عدو مَانِعٌ، وَذَلِكَ قَدْ يَكُونُ مِنْ أَحَدِ وُجُوهٍ:
إِمَّا أَنْ يَخَافَ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قِلَّةِ مَاءٍ أَوْ مَرْعَى، أَوْ يَخَافَ عَلَى مَالِهِ مِنْ لِصٍّ غَالِبٍ، أَوْ يَخَافَ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ عَدُوٍّ قَاهِرٍ، أَوْ يُضْطَرَّ فِيهِ إِلَى رُكُوبِ بَحْرٍ، أَوْ يَحْتَاجَ فِيهِ إِلَى زِيَادَةِ نَفَقَةٍ وَهُوَ لَهَا عَادِمٌ، فَهَذِهِ كُلُّهَا أَعْذَارُ لَا يَلْزَمُهُ مَعَهَا سُلُوكُ الطَّرِيقِ الْآخَرِ، وَيَكُونُ حُكْمُهُ حُكْمَ مَنْ لَيْسَ لَهُ طَرِيقٌ إِلَّا الطَّرِيقَ الَّتِي أَحُصِرَ فِيهَا، فَيَجُوزُ لَهُ التَّحَلُّلُ عَلَى مَا مَضَى.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ عُذْرٌ مَانِعٌ مِنْ سُلُوكِ هَذَا الطَّرِيقِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَسْلُكَهُ، وَلَا يَجُوزَ لَهُ التَّحَلُّلُ سَوَاءٌ كَانَ إِدْرَاكُ الْحَجِّ بِسُلُوكِهِ مُمْكِنًا أَمْ لَا، فَإِنْ سَلَكَهُ وَوَصَلَ إِلَى مَكَّةَ، فَإِنْ أَدْرَكَ الْحَجَّ أَجُزْأَهُ عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ، وَإِنْ لَمْ يُدْرِكِ الْحَجَّ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ إِدْرَاكُ الْحَجِّ مُمْكِنًا حِينَ سَلَكَهُ؛ لِأَنَّهُ مَسَافَةُ عَشَرَةِ أَيَّامٍ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ يَوْمِ عَرَفَةَ عَشَرَةُ أَيَّامٍ، فَهَذَا يَلْزَمُهُ قَضَاءُ الْحَجِّ بِالْفَوَاتِ؛ لِأَنَّ فَوَاتَ الْحَجِّ مَعَ إِمْكَانِ الْإِدْرَاكِ لَمْ يَكُنْ بِالْإِحْصَارِ، وَلَا لِلْإِحْصَارِ فِيهِ تَأْثِيرٌ؛ فَلِذَلِكَ لَزِمَ فِيهِ الْقَضَاءُ، وَعَلَيْهِ مَعَ الْقَضَاءِ دَمُ الْفَوَاتِ.

PASAL
 Adapun apabila ia mendapati jalan lain yang dapat ditempuh menuju ḥaram selain jalan yang ia tertahan di dalamnya, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

Pertama: ia mendapati pada jalan tersebut ada penghalang berupa musuh, dan hal itu bisa terjadi dalam beberapa bentuk:

  • ia khawatir atas dirinya karena kekurangan air atau padang rumput,
  • atau khawatir atas hartanya karena perampok yang berkuasa,
  • atau khawatir atas dirinya dari musuh yang kuat,
  • atau ia harus menempuh laut dalam perjalanannya,
  • atau membutuhkan tambahan biaya namun ia tidak memilikinya.

Semua ini merupakan uzur yang membuatnya tidak wajib menempuh jalan tersebut. Maka hukumnya seperti orang yang tidak memiliki jalan lain kecuali jalan tempat ia tertahan, sehingga boleh baginya bertahallul sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Kedua: ia tidak memiliki uzur yang menghalangi dari menempuh jalan tersebut, maka wajib baginya menempuhnya dan tidak boleh bertahallul, baik ia masih memungkinkan mendapatkan ḥajj dengan menempuh jalan itu ataupun tidak.

Jika ia menempuh jalan tersebut dan sampai ke Makkah, lalu mendapatkan ḥajj, maka itu mencukupi dari ḥajj Islam. Namun jika ia tidak mendapatkan ḥajj, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

Pertama: saat ia menempuh jalan tersebut, masih mungkin baginya untuk mendapatkan ḥajj, karena jaraknya sepuluh hari, dan antara dirinya dengan hari ‘Arafah masih sepuluh hari. Maka dalam keadaan ini, ia wajib melakukan qaḍā’ ḥajj karena fawāt, karena ḥajj terluput padahal memungkinkan untuk didapatkan, dan iḥṣār tidak berpengaruh dalam hal ini. Oleh karena itu, wajib baginya qaḍā’ ḥajj dan dam karena fawāt.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ إِدْرَاكُ الْحَجِّ حِينَ سَلَكَهُ غَيْرَ مُمْكِنٍ؛ لِأَنَّ الْبَاقِيَ إِلَى يَوْمِ عَرَفَةَ خَمْسَةُ أَيَّامٍ، وَالْمَسَافَةَ عَشَرَةُ أَيَّامٍ، فَفِي وُجُوبِ الْقَضَاءِ قَوْلَانِ مَنْصُوصَانِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ بِالْفَوَاتِ كَمَا لَوْ فَاتَهُ الْوُقُوفُ بِأَنْ ضَلَّ عَنِ الطَّرِيقِ، أَوْ أَخْطَأَ فِي الْعَدَدِ، فَعَلَى هَذَا عَلَيْهِ دَمُ الْفَوَاتِ، وَلَا يَكُونُ لِلْإِحْصَارِ تَأْثِيرٌ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ: لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْفَوَاتَ لَمْ يَكُنْ بِتَفْرِيطٍ مِنْهُ، وَإِنَّمَا كَانَ بِسَبَبِ الْإِحْصَارِ، فَكَانَ حُكْمُ الْإِحْصَارِ بَاقِيًا عَلَيْهِ، فَعَلَى هَذَا الدَّمُ عَلَيْهِ وَاجِبٌ لِلْإِحْصَارِ دُونَ الْفَوَاتِ، فَهَذَا حُكْمُ الْمُحْصَرِ إِذَا وَجَدَ طَرِيقًا يَسْلُكُهَا غَيْرَ الطَّرِيقِ الَّذِي أُحْصِرَ فِيهَا، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي الْإِحْصَارِ إِذَا كَانَ عَامًّا.

dan jenis yang kedua: yaitu apabila tidak mungkin baginya untuk mendapatkan (waktu) haji saat menempuh jalan itu; karena yang tersisa hingga hari Arafah adalah lima hari, sedangkan jaraknya adalah sepuluh hari perjalanan. Maka dalam kewajiban qadhā’ ada dua pendapat yang manṣūṣ:

pertama: wajib atasnya qadhā’ karena dianggap fawāt, sebagaimana jika dia luput dari wukuf karena tersesat dari jalan atau keliru dalam menghitung hari. Maka menurut pendapat ini, wajib atasnya menyembelih dam al-fawāt, dan iḥṣār tidak memberikan pengaruh.

kedua: dan ini yang lebih ṣaḥīḥ: tidak wajib atasnya qadhā’, karena fawāt itu tidak terjadi karena kelalaiannya, melainkan karena sebab iḥṣār. Maka hukum iḥṣār tetap berlaku padanya. Maka menurut pendapat ini, darah (dam) yang wajib atasnya adalah karena iḥṣār, bukan karena fawāt. Maka inilah hukum orang yang terhalang (muḥṣar) jika ia mendapati jalan lain yang dapat ditempuh selain jalan yang menghalanginya, dan telah disebutkan sebelumnya pembahasan tentang iḥṣār jika bersifat umum.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا كَانَ الْإِحْصَارُ خَاصًّا، وَهُوَ أَنْ يَحْبِسَهُ سُلْطَانٌ أَوْ يُلَازِمَهُ غَرِيمٌ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ حَبْسُ السُّلْطَانِ لَهُ بِحَقٍّ هُوَ قَادِرٌ عَلَى أَدَائِهِ، وَمُلَازَمَةُ الْغَرِيمِ لَهُ بِدَيْنٍ هُوَ قَادِرٌ على وفائه، فَهَذَا لَا يَجُوزُ لَهُ التَّحَلُّلُ؛ لِأَنَّ الْإِحْصَارَ مِنْ قِبَلِهِ، وَهُوَ حَابِسُ نَفْسِهِ، إِذْ قَدْ يُمْكِنُهُ الْخُرُوجُ مِنْهُ وَأَدَاءُ مَا عَلَيْهِ، فَصَارَ كَمَنِ اخْتَارَ الْمَقَامَ فِي مَنْزِلِهِ بَعْدَ تَقَدُّمِ إِحْرَامِهِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ فَاتَهُ الْحَجُّ تَحَلَّلَ بِطَوَافٍ وَسَعْيٍ، وَكَانَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَدَمُ الْفَوَاتِ.

PASAL
 Adapun apabila iḥṣār bersifat khusus, yaitu tertahannya seseorang oleh penguasa atau karena ditagih oleh orang yang memiliki piutang kepadanya, maka hal ini terbagi menjadi dua:

Pertama: tertahannya ia oleh penguasa karena suatu hak yang ia mampu membayarnya, atau desakan penagih utang atas utang yang ia mampu melunasinya; maka dalam keadaan ini tidak boleh baginya untuk bertahallul. Karena iḥṣār tersebut berasal dari dirinya sendiri, dan ia adalah orang yang menahan dirinya sendiri, sebab ia mampu keluar dari keadaan tersebut dengan melunasi kewajiban yang ada padanya. Maka ia seperti orang yang memilih untuk tetap tinggal di rumahnya setelah beriḥrām.

Berdasarkan hal ini, jika ḥajj terluput darinya, maka ia bertahallul dengan ṭawāf dan sa‘i, dan wajib baginya qaḍā’ serta dam karena fawāt.


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ حَبْسُ السُّلْطَانِ لَهُ بِظُلْمٍ، وَمُلَازَمَةُ الْغَرِيمِ لَهُ مَعَ إِعْسَارٍ، فَهَذَا يَجُوزُ لَهُ التَّحَلُّلُ، لَا يَخْتَلِفُ فِيهِ الْمَذْهَبُ، كَالْإِحْصَارِ الْعَامِّ، وَإِنَّمَا اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي وُجُوبِ الْقَضَاءِ عَلَيْهِ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا يَلْزَمُهُ دَمُ الْإِحْصَارِ دُونَ الْقَضَاءِ، كَالْإِحْصَارِ الْعَامِّ سَوَاءٌ، إِذْ هُوَ بِهِمَا مَعْذُورٌ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ مَعَ دَمِ الْإِحْصَارِ.

dan jenis yang kedua: yaitu apabila ia ditahan oleh penguasa secara zalim, atau terus-menerus ditagih oleh si penagih utang padahal ia dalam keadaan tidak mampu, maka dalam keadaan ini boleh baginya untuk bertahallul, dan tidak ada perbedaan dalam mazhab tentang kebolehannya, sebagaimana iḥṣār yang bersifat umum. Hanya saja pendapat Imam asy-Syafi‘i berbeda dalam hal kewajiban qadhā’ atasnya, dengan dua pendapat:

pertama: tidak wajib atasnya qadhā’, dan yang wajib hanyalah dam al-iḥṣār, tanpa qadhā’, sebagaimana iḥṣār yang umum, karena dalam kedua keadaan itu dia memiliki uzur.

dan pendapat kedua: wajib atasnya qadhā’ bersamaan dengan dam al-iḥṣār.


فَإِنْ قِيلَ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ مَا الْفَرْقُ بَيْنَ الْإِحْصَارِ الْعَامِّ حَيْثُ لَمْ يَجِبُ فِيهِ الْقَضَاءُ، وَبَيْنَ الْإِحْصَارِ الْخَاصِّ حَيْثُ وَجَبَ فِيهِ الْقَضَاءُ؟ .
قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْأَعْذَارَ الْعَامَّةَ أَدْخَلُ فِي سُقُوطِ الْقَضَاءِ مِنَ الْأَعْذَارِ الْخَاصَّةِ؛ لِمَا يَلْحَقُ مِنَ الْمَشَقَّةِ فِي إِيجَابِ الْقَضَاءِ عَلَى الْكَافَّةِ، أَلَا تَرَى أَنَّ الْحُجَّاجَ لو أخطأوا جَمِيعُهُمُ الْوُقُوفَ بِعَرَفَةَ فَوَقَفُوا فِي الْيَوْمِ الْعَاشِرِ أَجْزَأَهُمْ وَلَمْ يَجِبْ عَلَيْهِمُ الْقَضَاءُ لِمَا فِيهِ مِنْ عِظَمِ الْمَشَقَّةِ وَلَوْ أَخْطَأَ وَاحِدٌ فَوَقَفَ في اليوم العاشر لم يجزه كذلك للإحصار الْعَامُّ لَا يُوجِبُ الْقَضَاءَ، وَالْإِحْصَارُ الْخَاصُّ يُوجِبُ الْقَضَاءَ، فَهَذَا حُكْمُ الْمُحْصَرِ فِي الْحِلِّ بِإِحْصَارٍ خَاصٍّ وَعَامٍّ، وَمَا يَتَعَلَّقُ عَلَيْهِ مِنَ الْأَحْكَامِ.

Jika dikatakan: berdasarkan pendapat ini, apa perbedaan antara iḥṣār ‘ām (iḥṣār umum) yang tidak diwajibkan di dalamnya qaḍā’, dengan iḥṣār khāṣṣ (iḥṣār khusus) yang diwajibkan di dalamnya qaḍā’?

Dijawab: perbedaan antara keduanya adalah bahwa uzur yang bersifat umum lebih kuat menjadi sebab gugurnya kewajiban qaḍā’ dibandingkan uzur yang bersifat khusus, karena beratnya beban jika mewajibkan qaḍā’ atas seluruh orang. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seluruh jemaah ḥajj salah dalam melaksanakan wukuf di ‘Arafah, lalu mereka wukuf pada hari kesepuluh, maka itu mencukupi mereka dan tidak wajib atas mereka qaḍā’, karena besar dan beratnya kesulitan (yang akan timbul jika qaḍā’ diwajibkan atas mereka semua). Sedangkan jika satu orang saja yang salah lalu wukuf pada hari kesepuluh, maka hal itu tidak mencukupi baginya.

Demikian pula, iḥṣār ‘ām tidak mewajibkan qaḍā’, sedangkan iḥṣār khāṣṣ mewajibkan qaḍā’. Maka ini adalah hukum orang yang tertahan (muḥṣar) di luar tanah ḥaram, baik karena iḥṣār khusus maupun umum, dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya.

فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْمُحْصَرُ فِي الْحَرَمِ فَعَلَى ثَلَاثَةٍ أَضْرُبٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يُصَدَّ عَنِ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ، وَعَنِ الطَّوَافِ بِالْبَيْتِ، فَحُكْمُ هَذَا حُكْمُ الْمُحْصَرِ فِي الْحِلِّ، فَيَجُوزُ أَنْ يَتَحَلَّلَ مِنْ إِحْرَامِهِ بالهدي والحلق، فلا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَقَالَ مَالِكٌ: الْمُحْصَرُ فِي الْحَرَمِ لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَحَلَّلَ إِلَّا أَنْ يَفُوتَهُ الْحَجُّ، فَإِذَا فَاتَهُ خَرَجَ إِلَى الْحِلِّ، وَأَهَلَّ بِعُمْرَةٍ، وَكَانَ بَاقِيًا عَلَى إِحْرَامِهِ حَتَّى يَزُولَ إِحْصَارُهُ؛ وَالدَّلَالَةُ عَلَى جَوَازِ إِحْلَالِهِ عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الهَدْيِ) {البقرة: 196) ، وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ الْإِحْصَارُ فِي حِلٍّ أَوْ حَرَمٍ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حُكْمُهُمَا سَوَاءً؛ وَلِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنْ إِكْمَالِ نُسُكِهِ بِغَيْرِ حَقٍّ، فَجَازَ لَهُ الْإِحْلَالُ قِيَاسًا عَلَى الْمُحْصَرِ فِي الْحِلِّ.

PASAL
 Adapun muḥṣar di dalam ḥaram, maka terbagi menjadi tiga jenis:

pertama: yaitu jika ia dihalangi dari wukuf di Arafah dan dari ṭawāf di Baitullah, maka hukumnya seperti muḥṣar di luar ḥaram, maka boleh baginya bertahallul dari iḥrām-nya dengan menyembelih hadyu dan mencukur rambut, dan tidak wajib atasnya qadhā’.

Mālik berkata: muḥṣar di dalam ḥaram tidak boleh bertahallul kecuali setelah luput (waktu) haji. Jika telah luput, maka ia keluar ke luar ḥaram, berihram untuk ‘umrah, dan tetap berada dalam keadaan iḥrām-nya hingga iḥṣār-nya hilang.

Dalil kebolehan bertahallulnya adalah keumuman firman Allah Ta‘ālā:
 {Fa-in uḥṣirtum famā istaisara mina al-hadyi} (QS. al-Baqarah: 196),
 dan Allah tidak membedakan antara iḥṣār di ḥill maupun di ḥaram, maka wajib hukumnya disamakan.

Dan karena ia terhalangi dari menyempurnakan manasiknya tanpa alasan yang benar, maka boleh baginya untuk bertahallul dengan qiyās atas muḥṣar di ḥill.


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُصَدَّ عَنِ الطَّوَافِ بِالْبَيْتِ دُونَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ، فَلَهُ إِذَا وَقَفَ بِعَرَفَةَ أَنْ يَتَحَلَّلَ مِنْ إِحْرَامِهِ قَبْلَ الطَّوَافِ بِالْبَيْتِ، وَقَالَ أبو حنيفة: لَيْسَ لَهُ أَنْ يَتَحَلَّلَ، وَيُقِيمَ عَلَى إِحْرَامِهِ حَتَّى يَطُوفَ بِالْبَيْتِ، وَيَسْعَى، وَدَلِيلُنَا: عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَر مِنَ الهَدْيِ) {البقرة: 196) ؛ وَلِأَنَّهُ إِحْرَامٌ تَامٌّ، فَجَازَ لَهُ التَّحَلُّلُ مِنْهُ قِيَاسًا عَلَى مَا قَبْلَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَتَحَلَّلَ بِالْإِحْصَارِ مِنْ جَمِيعِ الْأَرْكَانِ، كَانَ تَحَلُّلُهُ مِنْ بَعْضِهَا أَوْلَى، فَإِذَا أَحَلَّ بِالْهَدْيِ وَالْحَلْقِ، فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ.
فَإِنْ قِيلَ: أَفَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَقِفَ بِعَرَفَةَ قَبْلَ إِحْلَالِهِ؟
قِيلَ: يَجِبُ عَلَيْهِ الْوُقُوفُ بِهَا؛ لِأَنَّهُ رُكْنٌ مِنْ أَرْكَانِ إِحْرَامِهِ، فَإِذَا قَدَرَ عَلَيْهِ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ بِالْعَجْزِ عَنْ غَيْرِهِ، كَالْمُصَلِّي إِذَا عَجَزَ عَنْ سَتْرِ الْعَوْرَةِ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ فَرْضُ الْقِيَامِ.

Dan bentuk yang kedua: yaitu apabila seseorang terhalang dari ṭawāf di Baitullah namun tidak terhalang dari wukuf di ‘Arafah. Maka jika ia telah wukuf di ‘Arafah, boleh baginya untuk bertahallul dari iḥrām-nya sebelum melakukan ṭawāf di Baitullah.

Abū Ḥanīfah berpendapat: tidak boleh baginya bertahallul, tetapi harus tetap berada dalam iḥrām-nya hingga ia bisa melakukan ṭawāf di Baitullah dan sa‘i.

Dalil kami: adalah keumuman firman Allah Ta‘ālā: “Fa-in uḥṣirtum fa-mā istaysara mina al-hady” (QS. al-Baqarah: 196); dan karena ini adalah iḥrām yang sempurna, maka boleh baginya bertahallul darinya, qiyās dengan iḥrām sebelum wukuf di ‘Arafah. Dan karena apabila boleh bertahallul karena iḥṣār dari seluruh rukun, maka bertahallul karena iḥṣār dari sebagian rukun lebih utama lagi.

Maka apabila ia telah bertahallul dengan menyembelih hady dan mencukur rambut, maka tidak ada qaḍā’ atasnya.

Jika dikatakan: apakah wajib baginya untuk wukuf di ‘Arafah sebelum bertahallul?

Dijawab: wajib baginya wukuf di sana, karena wukuf adalah salah satu rukun dari iḥrām-nya. Maka apabila ia mampu melakukannya, tidak gugur kewajibannya hanya karena ia tidak mampu melakukan rukun yang lain, seperti orang yang salat — apabila ia tidak mampu menutup aurat — tidak gugur darinya kewajiban berdiri dalam salat.


وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: أَنْ يُصَدَّ عَنِ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ دُونَ الطَّوَافِ بِالْبَيْتِ، فَلَهُ أَنْ يَتَحَلَّلَ مِنْ إِحْرَامِهِ بِالطَّوَافِ وَالسَّعْيِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَتَحَلَّلَ عَنْ جَمِيعِ الْأَرْكَانِ كَانَ إِحْلَالُهُ مِنْ بَعْضِهَا أَوْلَى، وَعَلَيْهِ دَمُ الْإِحْصَارِ، وَهَلْ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مَنْصُوصَيْنِ كَالَّذِي أُحْصِرَ فِي طَرِيقٍ وَلَهُ طَرِيقٌ غَيْرُهَا، فَسَلَكَهَا فَفَاتَهُ الْوُقُوفُ فَأَحَلَّ بِالطَّوَافِ وَالسَّعْيِ:
أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْمُحْصَرُ عَنْ جَمِيعِ الْأَرْكَانِ لَا يَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ فَالْمُحْصَرُ عَنْ بَعْضِهَا أَوْلَى أَنْ لَا يَلْزَمَهُ الْقَضَاءُ.

dan jenis yang ketiga: yaitu apabila ia dihalangi dari wukuf di Arafah namun tidak dari ṭawāf di Baitullah, maka boleh baginya untuk bertahallul dari iḥrām-nya dengan melakukan ṭawāf dan sa‘i; karena jika diperbolehkan baginya untuk bertahallul dari seluruh rukun, maka bertahallul dari sebagian rukunnya tentu lebih utama. Dan wajib atasnya dam al-iḥṣār.

Adapun apakah wajib atasnya qadhā’ atau tidak, maka terdapat dua pendapat manṣūṣ, sebagaimana orang yang terhalangi di satu jalan namun masih ada jalan lain, lalu ia menempuhnya namun luput dari wukuf, maka ia bertahallul dengan ṭawāf dan sa‘i:

salah satu dari dua pendapat: tidak wajib atasnya qadhā’; karena jika muḥṣar dari seluruh rukun tidak wajib qadhā’, maka muḥṣar dari sebagian rukun lebih utama untuk tidak diwajibkan qadhā’.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَصْدُودٍ عَنِ الْبَيْتِ فَصَارَ كَالْغَائِبِ. فَإِنْ قِيلَ: مَا الْفَرْقُ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ مَصْدُودًا عَنِ الطَّوَافِ بِالْبَيْتِ دُونَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ فَلَا يَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ إِذَا أَحَلَّ قَوْلًا وَاحِدًا وَبَيْنَ أَنْ يَكُونَ مَصْدُودًا عَنِ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ دُونَ الطَّوَافِ بِالْبَيْتِ فَيَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ إِذَا أَحَلَّ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ؟
قِيلَ: لِأَنَّ فَوَاتَ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ قَدْ يُوجِبُ الْقَضَاءَ، وَلَيْسَ لِلطَّوَافِ وَقْتٌ يَفُوتُ فَيُوجِبَ الْقَضَاءَ، فَكَانَ الصَّدُّ عَنِ الْوُقُوفِ أَغْلَظَ حُكْمًا؛ فَلِذَلِكَ افْتَرَقَا، فَهَذَا حُكْمُ الْإِحْصَارِ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ، وَمَا يَتَعَلَّقُ عَلَيْهِ مِنْ فروعه وأحكامه.

Pendapat kedua: wajib atasnya melakukan qaḍā’, karena ia tidak terhalang dari Baitullah, maka keadaannya seperti orang yang absen (ghā’ib).

Jika dikatakan: apa perbedaan antara orang yang terhalang dari ṭawāf di Baitullah namun tidak terhalang dari wukuf di ‘Arafah — yang menurut satu pendapat tidak wajib atasnya qaḍā’ jika ia telah bertahallul — dengan orang yang terhalang dari wukuf di ‘Arafah namun tidak dari ṭawāf — yang menurut salah satu pendapat wajib atasnya qaḍā’ jika ia bertahallul?

Dijawab: karena luputnya wukuf di ‘Arafah dapat mewajibkan qaḍā’, sedangkan ṭawāf tidak memiliki waktu tertentu yang dapat menyebabkan kewajiban qaḍā’. Maka terhalang dari wukuf lebih berat hukumnya, oleh karena itu keduanya berbeda.

Maka ini adalah hukum iḥṣār baik yang terjadi di luar tanah ḥaram maupun di dalamnya, serta cabang-cabang hukum yang berkaitan dengannya.

مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” نَحَرَ هَدْيًا لِإِحْصَارِهِ حَيْثُ أُحْصِرَ فِي حِلٍّ أو حرمٍ “.
قال الماوردي: وهو كَمَا قَالَ: عَلَى الْمُتَحَلِّلِ بِالْإِحْصَارِ دَمٌ لِأَجْلِ إِحْلَالِهِ، وَقَالَ مَالِكٌ: لَا دَمَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ يَتَحَلَّلُ مَنْ نُسُكِهِ بِسَبَبٍ لَمْ يَنْتَسِبْ فِيهِ إِلَى التَّفْرِيطِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ الدَّمُ قِيَاسًا عَلَى الْمُتَحَلِّلِ بِإِكْمَالِ الْحَجِّ، قَالَ: وَلِأَنَّ الْمُحْصَرَ إِنَّمَا جُوِّزَ لَهُ التَّحَلُّلُ قَبْلَ إِتْمَامِ الْحَجِّ؛ رِفْقًا بِهِ وَتَخْفِيفًا عَلَيْهِ، فَلَمْ يَجِبْ أَنْ تُغْلِظَ عَلَيْهِ بِإِيجَابِ الدَّمِ فِي مَحِلِّ التَّخْفِيفِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الهَدْيِ) {البقرة: 196) فَذَكَرَ السَّبَبَ وَحُكْمَهُ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْحُكْمَ مُتَعَلِّقٌ بِهِ.

Masalah
 Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Ia menyembelih hadyu karena iḥṣār-nya di tempat ia terhalang, baik di ḥill maupun di ḥaram.”

Al-Māwardī berkata: dan hal itu sebagaimana yang dikatakan (oleh asy-Syafi‘i): wajib atas orang yang bertahallul karena iḥṣār untuk menyembelih dam, disebabkan ia bertahallul.

Mālik berkata: tidak ada dam atasnya; karena ia bertahallul dari nusuk-nya karena sebab yang bukan disebabkan oleh kelalaiannya, maka tidak wajib atasnya dam, dengan qiyās terhadap orang yang bertahallul setelah menyempurnakan haji. Ia juga berkata: karena muḥṣar diperbolehkan baginya bertahallul sebelum menyempurnakan haji sebagai bentuk keringanan dan kemudahan untuknya, maka tidak semestinya dibebani dengan kewajiban dam pada tempat yang merupakan tempat keringanan.

Adapun dalilnya adalah firman Allah Ta‘ālā:
 {Fa-in uḥṣirtum famā istaisara mina al-hadyi} (QS. al-Baqarah: 196),
 di situ disebutkan sebab dan hukumnya, maka hal itu menunjukkan bahwa hukum tersebut bergantung padanya.


وَرَوَى جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: أُحْصِرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ فَنَحَرْنَا الْبَدَنَةَ عَنْ سبعةٍ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سبعةٍ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْبَدَنَةَ قَدْ وَجَبَتْ بِالْإِحْصَارِ عَلَى سَبْعَةٍ؛ لِيَصِحَّ أَنْ تَكُونَ الْبَدَنَةُ مَنْحُورَةً عَنْ سَبْعَةٍ؛ وَلِأَنَّهُ تَحَلَّلَ مَنْ نُسُكِهِ قَبْلَ إِتْمَامِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ الْهَدْيُ كَالْفَائِتِ.

Diriwayatkan dari Jābir bin ‘Abdillāh, ia berkata: “Kami dihalangi bersama Rasulullah SAW pada tahun Ḥudaibiyah, lalu kami menyembelih unta untuk tujuh orang, dan sapi untuk tujuh orang.”

Maka hal ini menunjukkan bahwa unta itu wajib disembelih karena iḥṣār atas tujuh orang; agar sah unta tersebut disembelih atas nama tujuh orang.

Dan karena ia telah bertahallul dari nusuk-nya sebelum menyempurnakannya, maka wajib atasnya hadyu sebagaimana orang yang fā’it.


وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْمُتَحَلِّلِ بَعْدَ كَمَالِ نُسُكِهِ فَمُنْتَقَضٌ بِالْقَارِنِ وَالْمُتَمَتِّعِ قَدْ أَحَلَّ بَعْدَ كَمَالِ نُسُكِهِ، وَعَلَيْهِ دَمٌ ثُمَّ الْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ أَحَلَّ بَعْدَ كَمَالِ نُسُكِهِ، فَلَمْ يَلْزَمْهُ دَمٌ، وَهَذَا الْمُحْصَرُ قَدْ أَحَلَّ قَبْلَ كَمَالِ نُسُكِهِ فَلَزِمَهُ دَمٌ.
وَأَمَّا قَوْلُهُ: إِنَّ إِحْلَالَ الْمُحْصَرِ تَخْفِيفٌ، وَإِيجَابَ الدَّمِ تَغْلِيطٌ فَغَيْرُ لَازِمٍ؛ لِأَنَّ الدَّمَ قَدْ يَجِبُ فِي مَحِلِّ التَّخْفِيفِ كَمَا يَجِبُ فِي مَحِلِّ التَّغْلِيطِ، أَلَا تَرَى أَنَّ الْمُتَمَتِّعَ يَلْزَمُهُ دَمٌ، وَإِنْ كَانَ الْمُتَمَتِّعُ مَحِلَّ تَخْفِيفٍ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun qiyās terhadap orang yang bertahallul setelah menyempurnakan nusuk-nya, maka itu tertolak dengan keadaan orang yang qārin dan mutamatti‘, karena keduanya bertahallul setelah menyempurnakan nusuk-nya namun tetap wajib atasnya dam.

Kemudian, alasan dalam hal itu adalah: ia bertahallul setelah menyempurnakan nusuk-nya, maka tidak wajib atasnya dam, sedangkan orang yang muḥṣar ini bertahallul sebelum menyempurnakan nusuk-nya, maka wajib atasnya dam.

Adapun perkataannya: bahwa iḥlāl (bertahallul)-nya orang muḥṣar adalah bentuk keringanan, sedangkan kewajiban dam adalah bentuk pemberatan, maka itu tidak mesti benar. Karena dam bisa saja diwajibkan dalam kondisi keringanan sebagaimana juga diwajibkan dalam kondisi pemberatan. Tidakkah engkau melihat bahwa orang mutamatti‘ wajib atasnya dam, padahal ia berada dalam kondisi keringanan? Dan Allah lebih mengetahui.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ عَلَى الْمُتَحَلِّلِ بِالْإِحْصَارِ هَدْيًا، انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى الْمَوْضِعِ الَّذِي يَجُوزُ أَنْ يَنْحَرَ فِيهِ الْهَدْيَ، فَنَقُولُ: لَيْسَ يَخْلُو أَنْ يَكُونَ مُحْصَرًا في حل أو في حرم، فإن كان مُحْصَرًا فِي حَرَمٍ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَنْحَرَ هَدْيَ إِحْصَارِهِ فِي الْحَرَمِ، فَإِنْ نَحَرَهُ فِي الْحِلِّ لَمْ يُجْزِهِ، وَإِنْ كَانَ مُحْصَرًا فِي الْحِلِّ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَادِرًا عَلَى إِيصَالِ هَدْيِهِ إِلَى الْحَرَمِ، أَوْ غَيْرَ قَادِرٍ، فَإِنْ كَانَ قَادِرًا عَلَى إِيصَالِ هَدْيِهِ إِلَى الْحَرَمِ، لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْحَرَ، فِي الْحِلِّ، وَكَانَ عَلَيْهِ إِيصَالُهُ إِلَى الْحَرَمِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا الْبَغْدَادِيِّينَ مَنْ جَوَّزَ نَحْرَ هَدْيِهِ فِي الْحِلِّ، وَإِنْ قَدَرَ عَلَى إِيصَالِهِ إِلَى الْحَرَمِ، وَالْمَذْهَبُ هُوَ الْأَوَّلُ، وَعَلَيْهِ جَمِيعُ أَصْحَابِنَا الْبَصْرِيِّينَ، وَقَدْ حَكَاهُ أَبُو حَامِدٍ فِي جَامِعِهِ عَنِ الشَّافِعِيِّ نَصًّا، فَأَمَّا إِذَا كَانَ الْمُحْصَرُ فِي الْحِلِّ غَيْرَ قَادِرٍ عَلَى إِيصَالِ هَدْيِهِ إِلَى الْحَرَمِ، فَإِنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَنْحَرَهُ فِي الْحِلِّ، حَيْثُ أَحُصِرَ، وَقَالَ أبو حنيفة: عَلَيْهِ أَنْ يُوَصِّلَهُ إِلَى الْحَرَمِ، وَلَا يَجُوزَ أَنْ يَنْحَرَهُ فِي الْحِلِّ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الهَدْيِ وَلاَ تَحْلِقُوا رُؤوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الهَدْيَ مَحِلَّهُ} (البقرة: 196) فَأَمَرَ بِإِبْلَاغِ الْهَدْيِ مَحِلَّهُ، وَمَحِلُّهُ الْحَرَمُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {ثُمَّ مَحِلُّها إِلَى الْبَيْتِ العَتِيقِ} .

PASAL
 Maka apabila telah tetap bahwa atas orang yang bertahallul karena iḥṣār wajib menyembelih hadyu, maka berpindahlah pembahasan kepada tempat yang boleh menyembelih hadyu tersebut. Maka kami katakan: tidak lepas dari dua keadaan, apakah ia mengalami iḥṣār di wilayah ḥill atau di wilayah ḥaram. Jika ia mengalami iḥṣār di dalam ḥaram, maka wajib baginya menyembelih hadyu iḥṣār di dalam ḥaram. Jika ia menyembelihnya di ḥill, maka tidak mencukupi. Dan jika ia mengalami iḥṣār di ḥill, maka keadaannya tidak lepas dari dua perkara: apakah ia mampu menyampaikan hadyu-nya ke dalam ḥaram atau tidak mampu. Jika ia mampu menyampaikannya ke dalam ḥaram, maka tidak boleh menyembelihnya di ḥill, dan wajib baginya menyampaikannya ke ḥaram. Di antara para sahabat kami dari kalangan Baghdadiyyīn ada yang membolehkan menyembelih hadyu-nya di ḥill meskipun ia mampu menyampaikannya ke dalam ḥaram, namun mazhab yang benar adalah pendapat pertama, dan atas pendapat ini seluruh sahabat kami dari kalangan Baṣriyyīn, dan telah dinukil oleh Abū Ḥāmid dalam Jāmi‘-nya dari al-Syāfi‘ī secara naṣṣ.

Adapun apabila orang yang mengalami iḥṣār berada di ḥill dan tidak mampu menyampaikan hadyu-nya ke ḥaram, maka boleh baginya menyembelihnya di ḥill di tempat ia terkena iḥṣār.

Dan Abū Ḥanīfah berkata: Wajib baginya menyampaikannya ke dalam ḥaram, dan tidak boleh menyembelihnya di ḥill, berdalil dengan firman Allah Ta‘ālā: “Fa in uḥṣirtum fa mā istaysara mina al-hadyi wa lā taḥliqū ru’ūsakum ḥattā yablugha al-hadyu maḥillah” (QS. al-Baqarah: 196), maka Dia memerintahkan agar hadyu sampai ke tempatnya (maḥill), dan tempatnya adalah ḥaram, sebagaimana firman-Nya Ta‘ālā: “Ṡumma maḥilluhā ilā al-bayti al-‘atīq.”


وَرُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعَثَ بِهَدْيِهِ إِلَى مَكَّةَ مَعَ نَاجِيَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، فَكَانَ يَنْحَرُهُ فِي الْفِجَاجِ وَالْأَوْدِيَةِ، فَلَوْ جَازَ نَحْرُهُ فِي الْحِلِّ لَكَانَ لَا يَتَعَذَّرُ بِإِنْفَاذِهِ إِلَى الْحَرَمِ، وَلَكَانَ نَحْرُهُ بِحَضْرَتِهِ أَفْضَلَ، فَعُلِمَ أَنَّهُ إِنَّمَا أَنْفَذَهُ إِلَى الْحَرَمِ؛ لِأَنَّ نَحْرَهُ فِي الْحِلِّ لَا يَجُوزُ، قَالَ: وَلِأَنَّهُ دَمٌ لَزِمَ بِحُكْمِ الْإِحْرَامِ، فَوَجَبَ أَنْ تَجِبَ إِرَاقَتُهُ فِي الْحَرَمِ، قِيَاسًا عَلَى سَائِرِ الدِّمَاءِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الهَدْيِ} فَأَوْجَبَ الْهَدْيَ وَلَمْ يَجْرِ لِلْمَكَانِ ذِكْرٌ، فَكَانَ الظَّاهِرُ يَقْتَضِي جَوَازَ نَحْرِهِ عُقَيْبَ الْإِحْصَارِ وَلَمْ يَفْصِلْ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ الْإِحْصَارُ فِي حِلٍّ أَوْ حَرَمٍ.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengirim hadyu-nya ke Mekah bersama Nājiyah bin Jundub, dan ia biasa menyembelihnya di jalan-jalan dan lembah-lembah.

Seandainya menyembelih hadyu di ḥill itu boleh, tentu tidak perlu bersusah payah mengirimkannya ke ḥaram, dan tentu menyembelihnya di hadapan beliau lebih utama. Maka diketahui bahwa beliau mengirimnya ke ḥaram karena menyembelihnya di ḥill tidak diperbolehkan.

Ia berkata: dan karena itu adalah darah yang diwajibkan karena hukum iḥrām, maka wajib disembelih di ḥaram, dengan qiyās terhadap seluruh darah yang lain.

Dan dalilnya adalah firman Allah Ta‘ālā:
 {Fa-in uḥṣirtum famā istaisara mina al-hadyi}
 (QS. al-Baqarah: 196),
 di mana Allah mewajibkan hadyu, namun tidak menyebutkan tempatnya. Maka secara lahiriah menunjukkan bolehnya menyembelih segera setelah iḥṣār, dan tidak membedakan apakah iḥṣār itu terjadi di ḥill atau di ḥaram.


رُوِيَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ قَالَ: ” أَحُصِرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ، فَنَحَرْنَا الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ، وَنَحَرْنَا الْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ ” فَدَلَّ عَلَى نَحْرِ ذَلِكَ بِالْحُدَيْبِيَةِ.
فَإِنْ قِيلَ: هَذَا يَدُلُّ عَلَى إِحْصَارِهِ بِالْحُدَيْبِيَةَ، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَرْسَلَ هَدْيَهُ إِلَى الْحَرَمِ.
قِيلَ: هَذَا تَأْوِيلٌ يَرُدُّهُ نَصُّ الْكِتَابِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {هُمُ الّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوكُمْ عَنِ المَسْجِدِ الحَرَامِ، الهَدْيَ مَعْكُوفاً أَنْ يَبْلُغَ مَحِلَّهُ} ، وَالْمُرَادُ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الْحَرَمُ، فَأَخْبَرَ أَنَّهُمْ مَنَعُوا الْهَدْيَ أَنْ يَصِلَ مَحِلَّهُ مِنَ الْحَرَمِ.

Diriwayatkan dari Jābir bin ‘Abdillāh bahwa ia berkata: “Kami dihalangi bersama Rasulullah SAW pada tahun Ḥudaibiyah, lalu kami menyembelih unta untuk tujuh orang, dan kami menyembelih sapi untuk tujuh orang.” Maka ini menunjukkan bahwa penyembelihan itu dilakukan di Ḥudaibiyah.

Jika dikatakan: Ini menunjukkan bahwa beliau terhalang di Ḥudaibiyah, namun bisa jadi beliau mengirim hadyu-nya ke ḥaram?

Dijawab: Ini adalah takwilan yang dibantah oleh nash dalam al-Kitab. Allah Ta‘ālā berfirman:
 {Humul-ladzīna kafarū wa ṣaddūkum ‘an al-masjid al-ḥarām, al-hadya ma‘kūfan an yablugha maḥillah}
 (QS. al-Fatḥ: 25),
 dan yang dimaksud dengan al-masjid al-ḥarām adalah ḥaram. Maka Allah mengabarkan bahwa mereka menghalangi hadyu agar tidak sampai ke tempat penyembelihannya di ḥaram.


فَإِنْ قِيلَ: فَالْحُدَيْبِيَةُ الَّتِي نَحَرَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – من الحرم.
قيل: هَذَا صَحِيحٌ؛ لِمَا تَقَدَّمَ مِنَ الْآيَةِ، وَلِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا بَلَغَتْ رَاحِلَتُهُ إِلَى ثَنِيَّةِ ذَاتِ الْحَنْظَلِ بَرَكَتْ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ: ثَقُلَ عَلَيْهَا الْحَرَمُ، وَهُوَ عَلَيَّ أَثْقَلُ، فَقَدْ دَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَدْخُلِ الْحَرَمَ عَلَى أَنَّهُ قَدْ رُوِيَ عَنْ جَابِرٍ أَنَّهُ قَالَ: نَحَرْنَا فِي حِلٍّ مِنَ الْحُدَيْبِيَةِ؛ ولأن مَوْضِعٌ لِتُحَلُّلِهِ، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ مَحِلًّا لِهَدْيِهِ كَالْحَرَمِ، وَلِأَنَّ إِحْلَالَ الْمُحْصَرِ يَكُونُ بِالنَّحْرِ وَالْحَلْقِ، فَلَمَّا كَانَ الْحَلْقُ فِي مَوْضِعِ إِحْصَارِهِ، كَذَلِكَ النَّحْرُ فِي مَوْضِعِ إِحْصَارِهِ.

Maka jika dikatakan: “Bukankah Ḥudaibiyah, tempat Rasulullah SAW menyembelih (hadyu), termasuk wilayah ḥaram?”
 Dijawab: Ini benar, sebagaimana yang telah disebutkan dalam ayat, dan sebagaimana riwayat bahwa Nabi SAW ketika sampai tunggangannya di Ṯaniyyah Dzāt al-Ḥanẓal, unta beliau SAW duduk, lalu beliau bersabda: “Telah berat baginya (unta) masuk ke dalam ḥaram, dan itu lebih berat bagiku.” Maka hal itu menunjukkan bahwa beliau belum masuk ke dalam wilayah ḥaram.

Juga karena telah diriwayatkan dari Jābir bahwa ia berkata: “Kami menyembelih di bagian ḥill dari Ḥudaibiyah.”

Dan karena tempat bertahallul merupakan tempat penyembelihan hadyu, sebagaimana ḥaram, serta karena tahallul orang yang mengalami iḥṣār dilakukan dengan cara menyembelih dan mencukur rambut, maka ketika mencukur dilakukan di tempat ia terkena iḥṣār, maka demikian pula penyembelihan dilakukan di tempat ia terkena iḥṣār.


وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَنَّهُ أَحَدُ سَبَبَيِ التَّحَلُّلِ، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ فِي مَوْضِعِ إِحْصَارِهِ مِنَ الْحِلِّ كَالْحَلْقِ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عن قوله تعالى: {وَلاَ تَحْلِقُوا رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الهَدْيَ مِحِلَّهُ} (البقرة: 196) فَالْمَحِلُّ مَوْضِعُ الإحلال، لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لضياعة بِنْتِ الزُّبَيْرِ: أَحْرِمِي وَاشْتَرِطِي أَنَّ مَحِلِّيَ حَيْثُ حَبَسْتَنِي، وقَوْله تَعَالَى: {ثمَّ مَحِلُّهَا إلَى البَيْتِ العَتِيقِ) {الحج: 33) وَارِدٌ فِي غَيْرِ الْمُحْصَرِ، وَأَمَّا مَا رُوِيَ أَنَّهُ بَعَثَ بِهَدْيِهِ إِلَى مَكَّةَ مَعَ نَاجِيَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، فَذَاكَ فِي غَيْرِ السَّنَةِ الَّتِي أُحْصِرَ فِيهَا.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى غَيْرِ الْمُحْصَرِ أَنَّهُ يَلْزَمُهُ إِيصَالُهُ إِلَى الْحَرَمِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّ غَيْرَ الْمُحْصَرِ لَا يَتَحَلَّلُ إِلَّا فِي الْحَرَمِ؛ فَلِذَلِكَ لم يجز إِلَّا فِي الْحَرَمِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمُحْصَرُ.

Penjelasan hukumnya dengan qiyās adalah bahwa hadyu merupakan salah satu dari dua sebab taḥallul, maka diperbolehkan menyembelihnya di tempat iḥṣār-nya di ḥill, sebagaimana mencukur rambut (ḥalq).

Adapun jawaban terhadap firman Allah Ta‘ālā:
 {Wa lā taḥliqū ru’ūsakum ḥattā yablugha al-hadyu maḥillah} (QS. al-Baqarah: 196),
 maka al-maḥill yang dimaksud adalah tempat iḥlāl (bertahallul), sebagaimana sabda Nabi SAW kepada Ḍiā‘ah binti az-Zubair: “Ber-iḥrāmlah dan ucapkan syarat bahwa tempat aku bertahallul adalah di tempat aku terhalang,”
 dan firman Allah Ta‘ālā:
 {Ṡumma maḥilluhā ilā al-bayt al-‘atīq} (QS. al-Ḥajj: 33),
 ini berlaku bagi selain muḥṣar.

Adapun riwayat bahwa Nabi SAW mengirim hadyu-nya ke Mekah bersama Nājiyah bin Jundub, maka itu terjadi bukan pada tahun ketika beliau terhalang (muḥṣar).

Adapun qiyās mereka terhadap orang yang bukan muḥṣar bahwa wajib baginya mengantarkan hadyu ke ḥaram, maka alasan dalam hal itu adalah karena orang yang bukan muḥṣar tidak boleh bertahallul kecuali di ḥaram, oleh sebab itu tidak diperbolehkan menyembelih kecuali di ḥaram; sedangkan muḥṣar tidak demikian keadaannya.


مَسْأَلَةٌ: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ وَاجِبًا فَيَقْضِيَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْمُحْصَرَ إِذَا تَحَلَّلَ مِنْ إِحْرَامِهِ بِالْهَدْيِ وَالْحِلَاقِ، فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ حَجَّةُ الْإِسْلَامِ قَدْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ قَبْلَ إِحْصَارِهِ فَعَلَيْهِ أَدَاؤُهَا، وَإِنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِي الْعَامِ الَّذِي أُحْصِرَ فِيهِ لَمْ يَلْزَمْهُ قَضَاؤُهَا، وَقَالَ أبو حنيفة: عَلَى الْمُتَحَلِّلِ بِالْإِحْصَارِ الْقَضَاءُ، سَوَاءٌ كَانَ إِحْرَامُهُ فَرْضًا أَوْ تَطَوُّعًا، فَإِنْ كَانَ مُحْرِمًا بِحَجٍّ لَزِمَهُ أَنْ يَقْضِيَ حَجَّةً أَوْ عُمْرَةً، وَإِنْ كَانَ قَارِنًا قَضَى حَجًّا وَعُمْرَتَيْنِ، وَاسْتَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ الْقَضَاءِ بِرِوَايَةِ عِكْرِمَةَ قَالَ سَمِعْتُ الْحَجَّاجَ بْنَ عَمْرٍو الْأَنْصَارِيَّ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ كُسِرَ أَوْ عُرِجَ فَقَدْ حَلَّ وَعَلَيْهِ حجةٌ ” فَسَأَلْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ وَابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَا: صَدَقَ؛ وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا أَحَلَّ مِنْ عُمْرَتِهِ بِالْإِحْصَارِ سَنَةَ سِتٍّ بِالْحُدَيْبِيَةِ، قَضَاهَا سَنَةَ سَبْعٍ، فَسُمِّيَتْ عُمْرَةَ الْقَضِيَّةِ، وَعُمْرَةَ الْقَضَاءِ، وَعُمْرَةَ الْقِصَاصِ؛ وَلِأَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَمَّا حَاضَتْ بِمَكَّةَ، قَالَ لَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” اقْضِي عُمْرَتَكِ وَأَهِلِّي بِالْحَجِّ “، ثُمَّ أَمَرَ أَخَاهَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ أَنْ يُعَمِّرَهَا مِنَ التَّنْعِيمِ، فَأَلْزَمَهَا قَضَاءَ الْعُمْرَةِ الَّتِي رَفَضَتْهَا، وَتَحَلَّلَتْ مِنْهَا وَكَانَتْ فِي حُكْمِ الْمُحْصَرِ؛ لِأَنَّهَا لَمْ تَقْدِرْ عَلَى إِكْمَالِ الْعُمْرَةِ؛ لِأَجْلِ الْحَيْضِ، وَلَا أَمْكَنَهَا الْمَقَامُ على العمرة إلا أَنْ تَطْهُرَ خَوْفًا مِنْ فَوَاتِ الْحَجِّ؛ وَلِأَنَّهُ خَرَجَ مِنْ نُسُكِهِ قَبْلَ تَمَامِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ الْقَضَاءُ، كَالْفَائِتِ، وَلِأَنَّ الْحَصْرَ نَوْعَانِ: عَامٌّ، وَخَاصٌّ.

MASALAH
 Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Dan tidak wajib qaḍā’ atasnya kecuali jika ihramnya merupakan kewajiban, maka ia wajib menggantinya.”

Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan. Sungguh telah kami sebutkan bahwa orang yang mengalami iḥṣār, jika ia bertahallul dari ihramnya dengan menyembelih hadyu dan mencukur rambut, maka tidak wajib atasnya qaḍā’, kecuali jika ḥajjatul-islām telah wajib atasnya sebelum terkena iḥṣār, maka wajib atasnya untuk menunaikannya. Namun jika kewajiban ḥajjatul-islām itu baru berlaku atasnya pada tahun ia terkena iḥṣār, maka tidak wajib atasnya untuk menggantinya.

Abū Ḥanīfah berkata: Orang yang bertahallul karena iḥṣār wajib melakukan qaḍā’, baik ihramnya adalah fardu maupun sunnah. Jika ia berihram untuk haji, maka wajib atasnya mengganti haji atau ‘umrah. Jika ia berihram secara qārin, maka ia wajib mengganti haji dan dua ‘umrah.

Beliau berdalil atas wajibnya qaḍā’ dengan riwayat dari ‘Ikrimah, ia berkata: Aku mendengar al-Ḥajjāj bin ‘Amr al-Anṣārī berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa patah (tulangnya) atau pincang, maka ia telah bertahallul dan atasnya haji sebagai gantinya.” Maka aku bertanya kepada Abū Hurairah dan Ibn ‘Abbās, lalu keduanya berkata: “Benar.”

Dan juga karena Nabi SAW ketika bertahallul dari ‘umrah beliau karena iḥṣār pada tahun keenam di Ḥudaibiyah, beliau menggantinya pada tahun ketujuh, maka dinamakan ‘umratul-qaḍiyyah, ‘umratul-qaḍā’, dan ‘umratul-qiṣāṣ.

Serta karena ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā ketika mengalami haid di Makkah, Nabi SAW bersabda kepadanya: “Gantilah ‘umrahmu dan masuklah ke dalam ihram untuk haji.” Lalu beliau memerintahkan saudaranya, ‘Abd al-Raḥmān, untuk membawanya berihram ‘umrah dari Tan‘īm. Maka beliau mewajibkan atasnya mengganti ‘umrah yang ia tinggalkan dan telah bertahallul darinya, dan ia termasuk dalam hukum orang yang mengalami iḥṣār, karena ia tidak mampu menyempurnakan ‘umrah-nya disebabkan haid, dan tidak memungkinkan baginya untuk menetap menunggu sampai suci karena khawatir kehilangan waktu haji.

Dan karena ia keluar dari nusuk-nya sebelum sempurna, maka wajib atasnya menggantinya seperti orang yang luput dari haji.

Juga karena ḥaṣr (halangan) itu ada dua macam: umum dan khusus.


فَلَمَّا لَزِمَهُ الْقَضَاءُ بِالتَّحَلُّلِ مِنَ الْحَصْرِ الْخَاصِّ، وَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ بِالتَّحَلُّلِ مِنَ الْحَصْرِ الْعَامِّ، وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الهَدْيِ) {البقرة: 196) فَذَكَرَ الْإِحْصَارَ، وَبَيَّنَ حُكْمَهُ وَهُوَ الْهَدْيُ، فَدَلَّ أَنَّهُ لَا مُوجَبَ لَهُ غَيْرُهُ، وَاسْتَدَلَّ الشَّافِعِيُّ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أُحْصِرَ بِالْعُمْرَةِ سَنَةَ سِتٍّ، وَأُحْصِرَ مَعَهُ أَصْحَابُهُ وَكَانُوا أَلْفًا وَأَرْبَعَمِائَةٍ، ثُمَّ تَحَلَّلُوا مَعَهُ، فَلَمَّا كَانَ فِي السَّنَةُ الْمُقْبِلَةُ، وَهِيَ سَنَةُ سبعٍ خَرَجَ لِلْقَضَاءِ، وَخَرَجَ مَعَهُ ناسٌ مِنَ الصَّحَابَةِ، أَكْثَرُ مَا قِيلَ، سَبْعُمِائَةٍ، فَمَوْضِعُ الدَّلِيلِ مِنْ هَذَا، هُوَ أَنَّ الْقَضَاءَ لَوْ كَانَ يَلْزَمُهُمْ لذكره النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَهُمْ لِيَخْرُجَ مَعَهُ جَمِيعُهُمْ؛ لِأَنَّ مَنْ أَوْجَبَهُ عَلَى الْفَوْرِ مَنَعَ مِنَ التَّرَاخِي، وَمَنْ جَعَلَهُ عَلَى التَّرَاخِي، مَنَعَ أَنْ يُجْبَرَ التَّأْخِيرُ فِي ذَلِكَ الْعَامِ؛ لِأَنَّ مَكَّةَ كَانَتْ إِذْ ذَاكَ دَارَ شِرْكٍ، وَكَانَ الْقَضَاءُ فِي غَيْرِ الْعَامِ الَّذِي قَضَى فِيهِ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – غَيْرَ مُمْكِنٍ، فَلَمَّا لَمْ يَخْرُجُوا وَأَقَرَّهُمُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى تَرْكِ الْخُرُوجِ، دَلَّ عَلَى أَنَّ الْقَضَاءَ غَيْرُ وَاجِبٍ، وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُمَا قَالَا: لَا قَضَاءَ عَلَى الْمُحْصَرِ، وَلَيْسَ لَهُمَا مُخَالِفٌ، فَكَانَ إِجْمَاعًا؛ وَلِأَنَّهُ تَحَلَّلَ من نسكه بسبب عام، لم ينسب إِلَى التَّفْرِيطِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ الْقَضَاءُ، كالمتحلل بعد كَمَالِ الْحَجِّ؛ وَلِأَنَّ دَمَ الْإِحْصَارِ إِنَّمَا وَجَبَ بَدَلًا عَمَّا أَحَلَّ بِفِعْلِهِ مِنَ الْأَرْكَانِ، بِدَلِيلِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَحَلَّلَ قَبْلَ نَحْرِهِ، وَإِذَا كَانَ الدَّمُ بَدَلًا مِنْهَا، وَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ الْقَضَاءُ كَمَا لَوْ أَكْمَلَهَا.

Maka ketika qadhā’ menjadi kewajiban karena taḥallul dari ḥaṣr khāṣṣ (penghalangan khusus), maka seharusnya juga menjadi kewajiban karena taḥallul dari ḥaṣr ‘ām (penghalangan umum).

Namun dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā:
 {Fa-in uḥṣirtum famā istaisara mina al-hadyi} (QS. al-Baqarah: 196),
 di mana Allah menyebutkan iḥṣār dan menjelaskan hukumnya, yaitu hadyu. Maka hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kewajiban lain selain hadyu.

Imam asy-Syafi‘i berdalil bahwa Nabi SAW dihalangi untuk ‘umrah pada tahun keenam, dan para sahabat beliau pun ikut terhalang, mereka berjumlah seribu empat ratus orang. Kemudian mereka semua bertahallul bersama beliau.

Lalu pada tahun berikutnya, yaitu tahun ketujuh, Nabi SAW keluar untuk qadhā’, dan bersamanya ikut sejumlah sahabat, menurut pendapat terbanyak, jumlah mereka adalah tujuh ratus orang.

Letak dalilnya dalam peristiwa ini adalah: seandainya qadhā’ itu wajib atas mereka semua, tentu Nabi SAW akan menyampaikan hal itu kepada mereka, agar seluruhnya ikut bersama beliau. Karena siapa yang mewajibkan qadhā’ secara langsung (‘alā al-faur), maka ia tidak membolehkan penundaan, dan siapa yang membolehkan qadhā’ ditunda (‘alā al-tarākhī), maka ia pun tidak membolehkan adanya pemaksaan untuk mengakhirkan pelaksanaannya dalam tahun tersebut.

Karena saat itu Mekah masih merupakan negeri syirik, dan pelaksanaan qadhā’ di selain tahun Nabi SAW melaksanakan qadhā’ adalah tidak memungkinkan.

Maka ketika mereka tidak keluar bersama beliau dan Nabi SAW pun membiarkan mereka tidak keluar, hal itu menunjukkan bahwa qadhā’ tidaklah wajib.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbās bahwa keduanya berkata: “Tidak ada qadhā’ atas orang yang muḥṣar.”
 Dan tidak ada yang menyelisihi keduanya, maka itu merupakan ijmā‘.

Dan karena ia telah taḥallul dari nusuk-nya karena sebab umum, dan tidak dinisbatkan kepada kelalaiannya, maka tidak wajib atasnya qadhā’, sebagaimana orang yang bertahallul setelah menyempurnakan haji.

Dan karena dam al-iḥṣār hanyalah wajib sebagai pengganti dari rukun-rukun yang ia halalkan dengan perbuatannya, dengan dalil bahwa tidak diperbolehkan baginya bertahallul sebelum menyembelih.

Dan jika darah tersebut adalah sebagai pengganti dari rukun-rukun itu, maka tidak wajib atasnya qadhā’, sebagaimana jika ia telah menyempurnakannya.


فَإِنْ قِيلَ: فَيَجِبُ عَلَى هَذَا أَنْ لَا يَلْزَمَ الْفَائِتَ الْقَضَاءُ.
قُلْنَا: دَمُ الْفَوَاتِ وَجَبَ لِأَجْلِ التَّأْخِيرِ بَدَلًا مِنَ الْأَفْعَالِ.
فَإِنْ قِيلَ: إِذَا قَامَ الدَّمُ مَقَامَ الْأَفْعَالِ، يَجِبُ أَنْ يُجْزِئَهُ ذَلِكَ عَنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ.
قُلْنَا: قَدْ يَكُونُ الشَّيْءُ بَدَلًا عَنِ الشَّيْءِ فِي حُكْمٍ، وَلَا يَكُونُ بَدَلًا عَنْهُ فِي جَمِيعِ الْأَحْكَامِ، كَالتَّيَمُّمِ بَدَلٌ مِنَ الطَّهَارَةِ فِي سُقُوطِ الْفَرْضِ، وَلَيْسَ هُوَ ببدلٍ عَنْهُ فِي أَنْ يُؤَدِّيَ بِهِ كُلَّ فَرْضٍ.

Maka jika dikatakan: “Berdasarkan ini, seharusnya orang yang kehilangan (waktu haji) tidak wajib melakukan qaḍā’.”
 Kami katakan: Darah fawāt diwajibkan karena adanya keterlambatan, sebagai pengganti dari amalan-amalan yang ditinggalkan.

Jika dikatakan: “Jika darah itu menggantikan amalan, maka seharusnya hal itu mencukupi dari ḥajjatul-islām.”
 Kami katakan: Sesuatu bisa menjadi pengganti dari sesuatu yang lain dalam satu hukum, namun tidak menjadi pengganti dalam seluruh hukum. Seperti tayamum, ia adalah pengganti dari wudhu dalam gugurnya kewajiban, namun tidak menjadi pengganti dalam (kemampuan) menunaikan seluruh kewajiban.


فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ الْحَجَّاجِ، يقتضي أَنَّ الْمُتَحَلِّلَ بِالْمَرَضِ يَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ، وَلَنَا فِيهِ كَلَامٌ سَيَأْتِي.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَضَى عُمْرَتَهُ، وَسَمَّاهَا عُمْرَةَ الْقَضِيَّةِ وَالْقَضَاءِ.
قُلْنَا: هَذِهِ التَّسْمِيَةُ لَيْسَتْ مِنَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ولا من أصحابه، وإنما هو مِنْ أَهْلِ السِّيَرِ وَالْمَغَازِي، فَلَمْ يَكُنْ فِيهِ حُجَّةٌ عَلَى أَنَّهَا سُمِّيَتْ عُمْرَةَ الْقَضِيَّةِ وَالْقَضَاءِ؛ لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَاضَى عَلَيْهَا سُهَيْلَ بْنَ عَمْرٍو عَلَى أَنْ يَرْجِعَ فِي الْعَامِ الْمُقْبِلِ، وَلِذَلِكَ سُمِّيَتْ عُمْرَةَ الْقِصَاصِ؛ لِأَنَّهُ اقْتَصَّ مِنْهُمْ حِينَ مَنَعُوهُ، وَفِيهَا أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {والحُرُمَاتُ قِصَاصٌ) {البقرة: 194) ، وَأَمَّا عَائِشَةُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – فَكَانَتْ قَارِنَةً؛ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَهَا: ” طَوَافُكِ بِالْبَيْتِ يَكْفِيكِ لِحَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ “.

Adapun jawaban terhadap hadis tentang al-ḥajjāj, yang menunjukkan bahwa orang yang taḥallul karena sakit wajib atasnya qadhā’, maka kami memiliki pembahasan khusus mengenai hal itu yang akan disebutkan nanti.

Adapun perkataan mereka: bahwa Nabi SAW melakukan qadhā’ terhadap ‘umrah-nya, dan menamakannya sebagai ‘umrat al-qaḍiyyah dan ‘umrat al-qaḍā’.

Kami katakan: penamaan tersebut bukan berasal dari Nabi SAW dan bukan pula dari para sahabatnya, melainkan berasal dari ahli siyar dan maghāzī. Maka tidak ada hujah di dalamnya bahwa ia dinamakan ‘umrat al-qaḍiyyah atau al-qaḍā’, karena Nabi SAW mengadakan muṣālaḥah dengan Suhail bin ‘Amr untuk kembali pada tahun berikutnya, dan karena itu dinamakan ‘umrat al-qiṣāṣ; karena beliau membalas mereka ketika sebelumnya mereka menghalanginya.

Dan dalam peristiwa itu Allah Ta‘ālā menurunkan firman-Nya:
 {Wa al-ḥurumātu qiṣāṣ} (QS. al-Baqarah: 194).

Adapun ‘Ā’isyah RA, maka beliau adalah qārinah, berdasarkan sabda Nabi SAW kepadanya:
 “Ṭawāf-mu di Baitullah cukup untuk haji dan ‘umrah-mu.”


وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْفَوَاتِ، فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْغَالِبَ مِنَ الْفَوَاتِ حُدُوثُهُ مِنْ تَفْرِيطٍ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْإِحْصَارُ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا لَزِمَهُ بَعْدَ الْفَوَاتِ أَنْ يَأْتِيَ بِمَا قَدَرَ عَلَيْهِ مِنَ الْأَفْعَالِ، لَزِمَهُ الْقَضَاءُ، وَلَمَّا لَمْ يَلْزَمْهُ بَعْدَ تَحَلُّلِ الْإِحْصَارِ أَنْ يَأْتِيَ بِمَا قَدَرَ عَلَيْهِ، لَمْ يَلْزَمْهُ الْقَضَاءُ.
وَأَمَّا الْإِحْصَارُ الخاص، ففيه قولان:
أحدهما: لا قضاء، فعل هذا قد اسْتَوَيَا.

Adapun qiyās-nya dengan fawāt, maka perbedaan antara keduanya dari dua sisi:

Pertama: Bahwa yang umum terjadi pada fawāt adalah disebabkan oleh kelalaian, sedangkan iḥṣār tidak demikian.

Kedua: Bahwa ketika setelah fawāt ia tetap diwajibkan menunaikan apa yang masih mampu ia lakukan dari amalan, maka wajib pula atasnya qaḍā’. Namun, ketika setelah bertahallul karena iḥṣār tidak diwajibkan atasnya untuk menunaikan apa pun yang ia mampu, maka tidaklah wajib atasnya qaḍā’.

Adapun iḥṣār khāṣṣ, maka di dalamnya terdapat dua pendapat:
 Pertama: Tidak wajib qaḍā’, karena keduanya telah setara (dalam hal sebab dan kondisi).


وَالثَّانِي: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ، فَعَلَى هَذَا الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: قَدْ ذَكَرْنَاهُ: وَهُوَ لُحُوقُ الْمَشَقَّةِ الْغَالِبَةِ فِي الْعَامِ، وَعَدَمُهَا فِي الْخَاصِّ.
وَالثَّانِي: أَنَّ فِي الْإِحْصَارِ الْعَامِّ يَمْتَنِعُ سُلُوكُ الطَّرِيقِ، وَذَلِكَ شَرْطٌ فِي وُجُوبِ الْحَجِّ، فَسَقَطَ الْقَضَاءُ، وَفِي الْخَاصِّ لَا يَمْتَنِعُ سُلُوكُ الطريق، فوجب القضاء.

dan pendapat yang kedua: wajib atasnya qadhā’. Maka menurut pendapat ini, terdapat perbedaan antara keduanya (ḥaṣr ‘āmm dan khāṣṣ) dari dua sisi:

pertama: sebagaimana telah disebutkan, yaitu adanya kesulitan yang besar dan umum pada ḥaṣr ‘āmm, dan tidak adanya kesulitan tersebut pada ḥaṣr khāṣṣ.

kedua: bahwa pada iḥṣār ‘āmm, tidak memungkinkan menempuh jalan, dan itu merupakan syarat dalam kewajiban haji, maka gugurlah qadhā’. Sedangkan dalam iḥṣār khāṣṣ, masih memungkinkan menempuh jalan, maka qadhā’ tetap wajib.

مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا لَمْ يَجِدْ هَدْيًا يَشْتَرِيهِ أَوْ كَانَ معسراً ففيها قولان أحدهما أن لا يحل إلا بهديٍ والآخر أنه إذا لم يقدر على شيءٍ حل وأتى به إذا قدر عليه إذا أمر بالرجوع للخوف أن لا يؤمر بالمقام للصيام والصوم يجزئه في كل مكانٍ (قال المزني) القياس عنده حق وقد زعم أن هذا أشبه بالقياس والصوم عنده إذا لم يجد الهدي أن يقوم الشاة دراهم ثم الدراهم طعاماً ثم يصوم مكان كل مد يوماً “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ عَلَى الْمُحْصَرِ تَحَلُّلَهُ هَدْيًا، فَالْهَدْيُ شَاةٌ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الهَدْيِ) {البقرة: 196) ، وَأَقَلُّ مَا يَجُوزُ فِي الْمَيْسُورِ شَاةٌ تَجُوزُ أُضْحِيَةً، وَقَالَ جَابِرٌ: أحصرنا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ، فَنَحَرْنَا الْبَدَنَةَ عَنْ سبعةٍ، وَنَحَرْنَا الْبَقَرَةَ عَنْ سبعةٍ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ هَدْيَ الْإِحْصَارِ شَاةٌ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُحْصَرِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

MASALAH: Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Apabila tidak menemukan hady yang dapat dibelinya atau ia dalam keadaan tidak mampu, maka ada dua pendapat. Pendapat pertama, ia tidak boleh bertahallul kecuali dengan hady, dan pendapat kedua, jika ia tidak mampu, maka ia boleh bertahallul dan menyembelih hady ketika mampu, karena ia diperintahkan kembali karena takut (bahaya), bukan karena diperintahkan menetap untuk berpuasa, dan puasa boleh dilaksanakan di mana saja.”
 (Al-Muzani berkata): Qiyas menurut beliau adalah benar, dan beliau menganggap bahwa pendapat ini lebih sesuai dengan qiyas. Dan menurut beliau, jika tidak menemukan hady, maka harus menghitung harga seekor kambing, kemudian harga itu diubah menjadi makanan, lalu ia berpuasa satu hari untuk setiap mudd.

Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa atas orang yang terkena iḥṣār (terhalang untuk menyempurnakan manasik) diwajibkan bertahallul dengan menyembelih hady, dan hady itu adalah seekor kambing, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “fa mā istaysara mina al-hady” (QS. al-Baqarah: 196), dan kadar paling sedikit yang termasuk dalam al-maysūr adalah seekor kambing yang sah dijadikan sebagai kurban.
 Jābir berkata: Kami terkena iḥṣār bersama Rasulullah SAW pada tahun Hudaibiyah, lalu kami menyembelih unta untuk tujuh orang, dan kami menyembelih sapi untuk tujuh orang.

Maka jika telah tetap bahwa hady al-iḥṣār adalah kambing, maka keadaan orang yang terkena iḥṣār tidak lepas dari salah satu dari dua hal:


إِمَّا أَنْ يَكُونَ وَاجِدًا لِلشَّاةِ، أَوْ عَادِمًا لَهَا.
فَإِنْ كَانَ وَاجِدًا لَهَا نَحَرَهَا مَوْضِعَهُ – عَلَى مَا ذَكَرْنَا -، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَحَلَّلَ قَبْلَ نَحْرِهَا؛ لِقَوْلِهِ: {وَلاَ تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الهَدْيُ مَحِلَّهُ) {البقرة: 196) ؛ وَلِأَنَّ الْهَدْيَ بدلٌ مِنَ الْأَفْعَالِ الَّتِي تَرَكَهَا، وَهُوَ لَمْ يَكُنْ يَتَحَلَّلُ إِلَّا بِهَا، فَكَذَلِكَ الْهَدْيُ الَّذِي هُوَ بَدَلٌ لَهَا، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَحَلَّلَ قَبْلَ النَّحْرِ، فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْحِلَاقَ إِبَاحَةٌ بَعْدَ حَظْرٍ، وَلَيْسَ بِنُسُكٍ، فَإِحْلَالُهُ يَكُونُ بِالنَّحْرِ وَحْدَهُ، وَلَا يُجْزِئُهُ حَتَّى يَنْحَرَ هَدْيَهُ نَاوِيًا بِهِ الْإِحْلَالَ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ يَتَحَلَّلُ بِالْأَفْعَالِ الَّتِي انْعَقَدَ عَلَيْهَا إِحْرَامُهُ فَيُجْزِئُهُ فعلها بالنية المتقدمة لَهَا، وَإِنَّمَا يَتَحَلَّلُ بِغَيْرِهَا وَهُوَ الَّذِي لَمْ تَضْمَنْهُ نِيَّةُ إِحْرَامِهِ، فَافْتَقَرَ فِي نَحْرِهِ إِلَى نِيَّةٍ لِيَقَعَ بِهَا التَّمَيُّزُ، وَيَحْصُلَ بِهَا الْإِحْلَالُ، فَإِذَا نَحَرَ هَدْيَهُ فَقَدْ حَلَّ وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْحِلَاقَ نُسُكٌ، فَإِحْلَالُهُ يَكُونُ بِشَيْئَيْنِ: وَهُمَا نَحْرُ الْهَدْيِ نَاوِيًا ثُمَّ الْحَلْقُ، فَإِنْ نَحَرَ وَلَمْ يَحْلِقْ فَهُوَ بَعْدُ عَلَى إِحْرَامِهِ، فَهَذَا حكم المحصر إذا كان واجداً لهدي.

Yaitu antara ia mampu mendapatkan kambing atau tidak mampu mendapatkannya.

Jika ia mampu mendapatkan kambing, maka ia menyembelihnya di tempatnya — sebagaimana telah disebutkan — dan tidak boleh bertahallul sebelum menyembelihnya, berdasarkan firman-Nya: “Dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum sampai kurban pada tempat penyembelihannya” (QS. al-Baqarah: 196).

Karena hady adalah pengganti dari amalan-amalan yang ia tinggalkan, dan ia sebelumnya tidak dapat bertahallul kecuali dengan amalan-amalan itu, maka demikian pula hady yang merupakan pengganti darinya, tidak boleh ia bertahallul kecuali setelah menyembelihnya.

Maka apabila telah tetap bahwa tidak boleh bertahallul sebelum penyembelihan, jika kita katakan bahwa cukur rambut (ḥalaq) adalah mubah setelah dilarang dan bukan termasuk nusuk, maka tahallulnya terjadi hanya dengan penyembelihan saja, dan tidak sah kecuali dengan niat bertahallul saat menyembelih hady, karena ia tidak bertahallul melalui amalan-amalan yang menjadi dasar ihramnya, sehingga tidak mencukupi baginya menyembelih hady dengan niat yang sebelumnya. Tetapi karena ia bertahallul dengan selain amalan-amalan tersebut — dan itu bukan bagian dari niat ihramnya — maka harus ada niat khusus dalam penyembelihannya agar perbuatan itu terbedakan dan sah sebagai sebab bertahallul.

Jika ia telah menyembelih hady-nya, maka ia telah bertahallul.

Namun jika kita katakan bahwa ḥalaq adalah nusuk, maka tahallulnya terjadi dengan dua hal: yaitu menyembelih hady dengan niat (bertahallul), kemudian mencukur rambut. Maka jika ia menyembelih tetapi belum mencukur, ia tetap dalam keadaan ihram.

Inilah hukum orang yang terkena iḥṣār apabila ia mampu mendapatkan hady.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا كَانَ عَادِمًا لِلْهَدْيِ، إِمَّا لِتَعَذُّرِهِ أَوْ لِإِعْسَارِهِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ هَلْ لَهُ بَدَلٌ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا بَدَلَ لَهُ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى نَصَّ عَلَيْهِ، وَلَمْ يَنُصَّ عَلَى بَدَلِهِ، فَلَوْ كَانَ ذَا بدلٍ لَنَصَّ عَلَيْهِ كَمَا نَصَّ على غيره، من دم المتعة، والأداء وَجَزَاءِ الصَّيْدِ.

PASAL
 Adapun jika seseorang tidak memiliki hady, baik karena tidak mendapatkannya maupun karena tidak mampu, maka Imam al-Syafi‘i memiliki dua pendapat mengenai apakah ada penggantinya atau tidak:

Pertama: Tidak ada pengganti baginya; karena Allah Ta‘ala telah menyebutkannya secara tegas, dan tidak menyebutkan penggantinya. Seandainya ada penggantinya, tentu Allah akan menyebutkannya sebagaimana Dia telah menyebutkan pengganti dari dam tamattu‘, dam karena tidak melaksanakan amalan haji, dan dam sebagai kompensasi atas membunuh binatang buruan.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَهُ بَدَلٌ يُنْقَلُ إِلَيْهِ عِنْدَ عَدَمِهِ؛ لِأَنَّ سَائِرَ الدِّمَاءِ الْوَاجِبَةِ فِي الْإِحْرَامِ لَهَا أَبْدَالٌ تُنْقَلُ إِلَيْهَا مَعَ الْإِعْدَامِ، فَكَذَلِكَ دَمُ الْإِحْصَارِ، فَإِذَا قُلْنَا: لَيْسَ لَهُ بَدَلٌ، كَانَ الدَّمُ فِي ذِمَّتِهِ إِلَى وَقْتِ وُجُودِهِ، وَهَلْ لَهُ التَّحَلُّلُ قَبْلَ وُجُوبِهِ وَنَحْرِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَيْسَ لَهُ ذلك؛ لقوله تعالى: {وَلاَ تَحْلِقُوا رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الهَدْيُ مَحِلَّهُ {البقرة: 196) ، وَلِأَنَّهُ قَائِمٌ مَقَامَ الْأَفْعَالِ الَّتِي لَا يَتَحَلَّلُ قَبْلَهَا، فَكَذَلِكَ الْهَدْيُ الَّذِي هُوَ بَدَلٌ مِنْهَا، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ بَاقِيًا عَلَى إِحْرَامِهِ إِلَى أَنْ يَجِدَ الْهَدْيَ، فَيَتَحَلَّلَ بِهِ.

Pendapat kedua: hady memiliki pengganti (badal) yang dapat dialihkan kepadanya ketika hady tidak ada, karena seluruh darah kewajiban dalam ihram memiliki pengganti yang dapat dialihkan ketika tidak ditemukan. Maka demikian pula darah karena iḥṣār.

Apabila kita berpendapat bahwa tidak ada penggantinya, maka hady itu tetap menjadi tanggungan sampai waktu ia mampu mendapatkannya.

Lalu, apakah ia boleh bertahallul sebelum hady itu wajib dan sebelum menyembelihnya atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: Ia tidak boleh melakukan itu, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum sampai kurban pada tempat penyembelihannya” (QS. al-Baqarah: 196).

Dan karena hady itu menggantikan amalan-amalan yang (semestinya dilakukan) dan tidak boleh bertahallul sebelum melakukannya, maka demikian pula hady yang menjadi pengganti dari amalan-amalan tersebut, tidak boleh tahallul sebelum hady.

Berdasarkan pendapat ini, ia tetap berada dalam keadaan ihram sampai ia mendapatkan hady, lalu bertahallul dengannya.


والقول الثاني: له أن يتحلل في المال قَبْلَ وُجُودِ الْهَدْيِ؛ لِأَنَّ الْهَدْيَ بَدَلٌ مِنَ الْأَفْعَالِ، وَالْأَفْعَالُ مُبْدَلَاتٌ مِنَ الْهَدْيِ، فَلَمَّا جَازَ أَنْ يَتَحَلَّلَ مِنَ الْمُبْدَلِ قَبْلَ فِعْلِهِ عِنْدَ تَعَذُّرِهِ، فَأَوْلَى أَنْ يَتَحَلَّلَ مِنَ الْبَدَلِ قَبْلَ فِعْلِهِ عِنْدَ تَعَذُّرِهِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ قُلْنَا: إن الحلاق نسك يقع به الإحلال، ويتحلل بِهِ، وَإِنْ قُلْنَا: إِبَاحَةٌ بَعْدَ حَظْرٍ، نَوَى الْإِحْلَالَ، فَإِذَا نَوَاهُ فَقَدْ حَلَّ، وَإِذَا قُلْنَا: لِهَدْيِ الْإِحْصَارِ بَدَلٌ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُحْصَرِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Dan pendapat kedua: Boleh baginya untuk bertahallul dengan harta sebelum mendapatkan hady, karena hady adalah pengganti dari amalan, dan amalan adalah sesuatu yang digantikan oleh hady. Maka ketika boleh bertahallul dari yang digantikan sebelum melakukannya saat terjadi halangan, maka lebih utama lagi boleh bertahallul dari pengganti sebelum melakukannya saat terjadi halangan.

Berdasarkan pendapat ini, jika kita mengatakan bahwa cukur rambut adalah nusuk yang dengannya seseorang menjadi halal dan dapat bertahallul, maka itu sah. Dan jika kita mengatakan bahwa itu hanya sebatas kebolehan setelah larangan, maka ia berniat untuk bertahallul, dan jika ia telah meniatkannya maka ia telah halal.

Dan jika kita mengatakan bahwa hady untuk iḥṣār memiliki pengganti, maka keadaan orang yang mengalami iḥṣār tidak lepas dari dua keadaan:


إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَادِمًا لِلْهَدْيِ بِالْإِعْسَارِ، أَوْ عَادِمًا لِلْهَدْيِ لِتَعَذُّرِهِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْمَالِ، فَإِذَا كَانَ عَادِمًا لِلْهَدْيِ بإعساره، فبدله الصوم، وفيه ثلاثة أقاويل:
أَحَدُهَا: صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، مِثْلَ كَفَّارَةِ الْأَذَى.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: صِيَامُ عَشَرَةِ أَيَّامٍ كَالْمُتَمَتِّعِ.
وَالثَّالِثُ: يُقَوِّمُ الْهَدْيَ دَرَاهِمَ، وَالدَّرَاهِمَ طَعَامًا، وَيَصُومُ عَنْ كُلِّ مُدٍّ يَوْمًا، مِثْلَ جَزَاءِ الصَّيْدِ.

Yaitu apakah ia tidak mendapatkan hady karena i‘sār (tidak mampu secara finansial), atau tidak mendapatkannya karena ta‘aẓẓur (tidak tersedia) meskipun ia mampu secara finansial.

Jika ia tidak mendapatkan hady karena i‘sār (miskin/tidak mampu), maka penggantinya adalah puasa, dan dalam hal ini terdapat tiga pendapat:

Pertama: Puasa tiga hari, sebagaimana kaffārah al-adzā (denda atas pelanggaran ihram).

Pendapat kedua: Puasa sepuluh hari, seperti orang yang melakukan tamattu‘.

Pendapat ketiga: Menghitung nilai hady dalam bentuk dirham, kemudian dirham itu dihitung sebagai makanan, lalu ia berpuasa satu hari untuk setiap mudd, seperti dalam denda jaza’ al-ṣayd (ganti rugi karena membunuh hewan buruan).


وَإِنْ كَانَ عَادِمًا لِلْهَدْيِ لِتَعَذُّرِهِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْمَالِ، فَهَلْ يَكُونُ الْمُبْدَلُ الَّذِي يَنْتَقِلُ إِلَيْهِ طَعَامًا أَوْ صِيَامًا؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: الصِّيَامُ كَالتَّمَتُّعِ الَّذِي يَنْتَقِلُ فِيهِ عَنِ الدَّمِ إِلَى الصِّيَامِ، وَإِنْ كَانَ قَادِرًا عَلَى الْإِطْعَامِ، فَعَلَى هَذَا فِي الصَّوْمِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ – عَلَى مَا مَضَتْ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَنْتَقِلُ إِلَى الْإِطْعَامِ، لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إِلَى نَفْعِ الْمَسَاكِينِ مِنَ الصِّيَامِ، فَعَلَى هَذَا فِي كَيْفِيَّتِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُقَوِّمُ الْهَدْيَ دَرَاهِمَ، وَيَشْتَرِي بِالدَّرَاهِمِ طَعَامًا كَجَزَاءِ الصَّيْدِ.

Dan jika ia tidak memiliki hady karena tidak mendapatkannya, padahal ia mampu secara harta, maka apakah pengganti yang dialihkan kepadanya berupa makanan atau puasa? Dalam hal ini ada tiga pendapat:

Pertama: Beralih kepada puasa, seperti dalam kasus tamattu‘ yang berpindah dari dam ke puasa, meskipun ia mampu memberi makan. Berdasarkan pendapat ini, dalam hal puasa terdapat tiga pendapat—sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Pendapat kedua: Bahwa ia berpindah kepada memberi makan, karena itu lebih bermanfaat bagi para miskin daripada puasa. Berdasarkan pendapat ini, dalam tata caranya terdapat dua pendapat:

Pertama dari keduanya: Bahwa ia menaksir harga hady dengan dirham, lalu membeli makanan dengan dirham tersebut, sebagaimana dalam jazā’ aṣ-ṣayd.


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ إِطْعَامُ ثَلَاثَةِ آصُعٍ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، كُلُّ مِسْكِينٍ مُدَّانِ، كَفِدْيَةِ الْأَذَى.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: فِي الْأَصْلِ أَنَّهُ مُخَيَّرٌ بَيْنَ الْإِطْعَامِ وَالصِّيَامِ، كَفِدْيَةِ الْأَذَى، وَجَزَاءِ الصَّيْدِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ عَدَلَ إِلَى الصِّيَامِ، فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ مَضَتْ، وَإِنْ عَدَلَ إِلَى الْإِطْعَامِ فَفِي كَيْفِيَّتِهِ وَجْهَانِ مَضَيَا، ثُمَّ هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَتَحَلَّلَ قَبْلَ الصَّوْمِ أَوِ الْإِطْعَامِ أَمْ يكون على إحرامه حتى يأتي بالصوم أو الإطعام؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَكُونُ عَلَى إِحْرَامِهِ حَتَّى يَأْتِيَ بِهِ.
وَالثَّانِي: يَجُوزُ أَنْ يَتَحَلَّلَ قَبْلَ الإتيان به.

Pendapat kedua: Bahwa gantinya adalah memberi makan tiga ṣā‘ kepada enam orang miskin, setiap orang miskin mendapatkan dua mudd, sebagaimana fidyah al-adzā.

Pendapat ketiga: Dalam asalnya, ia diberi pilihan antara memberi makan dan berpuasa, sebagaimana dalam fidyah al-adzā dan jaza’ al-ṣayd. Maka berdasarkan ini, jika ia memilih puasa, maka ada tiga pendapat sebagaimana telah disebutkan; dan jika ia memilih memberi makan, maka tentang caranya terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan pula.

Kemudian, apakah boleh ia bertahallul sebelum melaksanakan puasa atau memberi makan, ataukah tetap dalam keadaan ihram hingga melaksanakannya? Dalam hal ini ada dua pendapat:

Pertama: Ia tetap dalam keadaan ihram hingga menunaikannya.

Kedua: Boleh baginya bertahallul sebelum menunaikannya.

 

فَصْلٌ
: إِذَا أَفْسَدَ حَجَّهُ ثُمَّ أُحْصِرَ، ثُمَّ أَفْسَدَ حَجَّهُ قَبْلَ أَنْ يَتَحَلَّلَ، فَلَهُ أَنْ يَتَحَلَّلَ مِنْهُ بِالْإِحْصَارِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَتَحَلَّلَ بِالْإِحْصَارِ مِنْ حَجٍّ صَحِيحٍ، كَانَ تَحَلُّلُهُ مِنَ الْحَجِّ الْفَاسِدِ أَوْلَى، وَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ؛ لِأَجْلِ الْإِفْسَادِ دُونَ الْإِحْصَارِ، وَعَلَيْهِ بَدَنَةٌ وَشَاةٌ، أَمَّا الْبَدَنَةُ فَلِأَجْلِ الْإِفْسَادِ وَأَمَّا الشَّاةُ فَلِأَجْلِ الْإِحْصَارِ، فَإِذَا أَحَلَّ وَزَالَ الْعَدُوُّ، وَكَانَ وَقْتُ الْحَجِّ مُمْكِنًا، جَازَ أَنْ يَقْضِيَ الْحَجَّ فِي عَامِهِ.

PASAL
 Jika seseorang merusak hajinya, lalu mengalami iḥṣār, kemudian merusak hajinya sebelum ia bertahallul, maka ia boleh bertahallul dari haji tersebut karena iḥṣār; karena ketika boleh baginya untuk bertahallul karena iḥṣār dari haji yang sah, maka bertahallul dari haji yang rusak lebih utama.

Dan wajib baginya mengganti haji karena kerusakan haji, bukan karena iḥṣār. Ia juga wajib menyembelih seekor unta dan seekor kambing: adapun unta disebabkan oleh kerusakan haji, dan kambing disebabkan oleh iḥṣār.

Jika ia telah bertahallul dan musuh telah pergi, serta waktu haji masih memungkinkan, maka boleh baginya mengganti hajinya di tahun itu juga.


فَصْلٌ
: إِذَا فَاتَهُ الْحَجُّ، ثُمَّ أُحْصِرَ، أَوْ أُحْصِرَ ثُمَّ فَاتَهُ الْحَجُّ قَبْلَ أَنْ يَتَحَلَّلَ فله أن يتحلل بِالْإِحْصَارِ؛ لِمَا ذَكَرْنَا، ثُمَّ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ بِالْفَوَاتِ، وَدَمَانِ:
أَحَدُهُمَا: لِأَجْلِ الْفَوَاتِ.
وَالثَّانِي: لِأَجْلِ الْإِحْصَارِ.

PASAL
 Apabila seseorang luput dari melaksanakan haji, kemudian ia terkena iḥṣār, atau ia terkena iḥṣār lalu luput dari haji sebelum ia bertahallul, maka ia boleh bertahallul karena iḥṣār, sebagaimana telah kami sebutkan.

Kemudian ia wajib mengqadha karena fawāt (keluputan), dan wajib atasnya dua dam (sembelihan):

Pertama: karena fawāt,
 kedua: karena iḥṣār.


فَصْلٌ
: إِذَا فَعَلَ الْمُحْصَرُ قَبْلَ إِحْلَالِهِ شَيْئًا يُوجِبُ عَلَيْهِ الْفِدْيَةَ مِنْ مَحْظُورَاتِ الْإِحْرَامِ، كَالطِّيبِ وَاللِّبَاسِ، وَالْحَلْقِ وَغَيْرِهِ، فَالْفِدْيَةُ وَاجِبَةٌ عَلَيْهِ كَغَيْرِ الْمُحْصَرِ؛ لِأَنَّ كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ قَالَ: مَرَّ بِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِالْحُدَيْبِيَةِ وَأَنَا أَطْبُخُ وَالْقَمْلُ يَتَنَاثَرُ مِنْ رَأْسِي، فَقَالَ: يَا كَعْبُ أَيُؤْذِيكَ هَوَامُّ رَأْسِكَ، قُلْتُ: نَعَمْ، فَأَمَرَهُ بِالْفِدْيَةِ، وَكَانَ ذَلِكَ بَعْدَ الْإِحْصَارِ.

PASAL
 Jika orang yang mengalami iḥṣār melakukan sesuatu dari larangan ihram sebelum ia bertahallul, seperti memakai minyak wangi, memakai pakaian, mencukur rambut, dan lainnya, maka fidyah tetap wajib atasnya sebagaimana orang yang tidak mengalami iḥṣār; karena Ka‘b bin ‘Ujrah berkata: Rasulullah SAW melewatiku di Hudaibiyah, sementara aku sedang memasak dan kutu-kutu beterbangan dari kepalaku. Maka beliau bersabda: “Wahai Ka‘b, apakah serangga di kepalamu menyakitimu?” Aku menjawab: “Ya.” Maka beliau memerintahkannya untuk membayar fidyah, dan kejadian itu setelah iḥṣār.


فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ: إِذَا أُحْصِرُوا وَكَانَ بِهِمْ قُوَّةٌ عَلَى قِتَالِ عَدُوِّهِمْ، كَانَ لَهُمُ الْقِتَالُ وَالِانْصِرَافُ أَيْنَمَا شَاءُوا؛ لِأَنَّ لَهُمْ تَرْكَ الْقِتَالِ إِلَّا فِي النَّفِيرِ، وَأَنْ يَبْدَأُوا بِالْقِتَالِ، فَإِنْ أَرَادُوا قِتَالَ عَدُوِّهِمْ، فَإِنْ كَانَ النَّظَرُ لِلْمُسْلِمِينَ الرُّجُوعَ عَنْهُمْ، اخْتَرْتُ لَهُمْ ذَلِكَ، وَإِنْ كَانَ النَّظَرُ لِلْمُسْلِمِينَ قِتَالَهُمْ، قَاتَلُوا وَلَبِسُوا السِّلَاحَ، وَافْتَدَوْا إِنْ لَبِسُوهُ قَبْلَ إِحْلَالِهِمْ، وَإِنْ أُحْصِرُوا بِغَيْرِ الْمُشْرِكِينَ، اخْتَرْتُ الِانْصِرَافَ عَنْهُمْ بِكُلِّ حَالٍ.

PASAL
 Imam al-Syafi‘i berkata: Apabila mereka terkena iḥṣār dan mereka memiliki kemampuan untuk memerangi musuh mereka, maka mereka boleh berperang dan kembali (berpaling) ke mana pun mereka kehendaki. Sebab, mereka memiliki hak untuk meninggalkan peperangan kecuali dalam keadaan nafir (seruan jihad umum), dan mereka pun boleh memulai peperangan.

Maka jika mereka ingin memerangi musuh mereka, lalu jika maslahat bagi kaum Muslimin adalah mundur dari musuh, maka aku memilihkan hal itu bagi mereka. Namun jika maslahat bagi kaum Muslimin adalah memerangi mereka, maka hendaknya mereka berperang dan memakai senjata, dan mereka wajib membayar fidyah jika mengenakan senjata sebelum tahallul.

Dan apabila mereka terkena iḥṣār bukan karena kaum musyrik, maka aku memilihkan agar mereka berpaling dari mereka dalam segala keadaan.


فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَإِنْ أُحْصِرُوا بِالْمُشْرِكِينَ وَغَيْرِهِمْ، فَأَعْطَوْهُمُ الْأَمَانَ عَلَى أَنْ يَأْذَنُوا لَهُمْ فِي الْحَجِّ، لَمْ يَكُنْ لَهُمُ الرُّجُوعُ، وَكَانُوا غَيْرَ مُحْصَرَيْنِ، إِلَّا أَنْ يَكُونُوا مِمَّنْ لَا يُوثَقُ بِأَمَانِهِمْ، أَوْ يُعْرَفُ غَدْرُهُمْ، فَيَكُونَ لَهُمُ الِانْصِرَافُ إِذَا كَانُوا هَكَذَا بَعْدَ الْإِحْلَالِ.

PASAL
 Imam al-Syafi‘i berkata: Jika mereka mengalami iḥṣār karena orang-orang musyrik atau selain mereka, lalu pihak tersebut memberi jaminan keamanan dengan syarat mengizinkan mereka untuk menunaikan haji, maka tidak boleh bagi mereka untuk kembali, dan mereka dianggap tidak dalam keadaan iḥṣār, kecuali jika pihak yang memberi jaminan itu termasuk golongan yang tidak dapat dipercaya jaminannya, atau dikenal dengan pengkhianatannya, maka boleh bagi mereka untuk kembali jika keadaannya seperti itu setelah mereka bertahallul.


فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَوْ كَانُوا مِمَّنْ يُوثَقُ بِأَمَانِهِمْ، فَأَعْطَوْهُمُ الْأَمَانَ عَلَى جَعْلٍ كَبِيرٍ أَوْ قَلِيلٍ، لَمْ أَرَ أَنْ يُعْطُوهُمْ شَيْئًا؛ لِأَنَّ لَهُمْ عُذْرًا فِي الْإِحْصَارِ يَحِلُّ لَهُمْ بِهِ الْخُرُوجُ مِنَ الْإِحْرَامِ، وَإِنِّي أَكْرَهُ أَنْ يَنَالَ الْمُشْرِكُ مِنَ الْمُسْلِمِ أَخَذَ شَيْءٍ؛ لِأَنَّ الْمُشْرِكِينَ الْمَأْخُوذُ مِنْهُمُ الصَّغَارُ، ولو فعلوا لم يحرم ذلك عليهم، فإني كرهته، كما لو يَحْرُمْ عَلَيْهِمْ مَا وَهَبُوهُ لِمُشْرِكٍ مِنْ أَمْوَالِهِمْ.

PASAL
 Imam al-Syafi‘i berkata: Jika orang-orang tersebut termasuk pihak yang dapat dipercaya jaminan keamanannya, lalu mereka memberikan jaminan dengan syarat membayar sejumlah harta, banyak ataupun sedikit, maka aku tidak memandang perlu bagi kaum Muslimin untuk memberikan apa pun kepada mereka; karena mereka memiliki uzur iḥṣār yang membolehkan mereka keluar dari iḥrām.

Dan aku membenci jika orang musyrik mendapatkan bagian harta dari seorang Muslim; karena orang musyrik, ketika diambil harta darinya, itu adalah bentuk kehinaan (ṣaghār) atasnya. Namun jika kaum Muslimin tetap memberikan (harta) kepada mereka, maka hal itu tidaklah haram bagi mereka; hanya saja aku membencinya, sebagaimana tidak haram bagi mereka memberikan sebagian hartanya kepada orang musyrik sebagai hadiah.


فصل
: قال الشافعي رحمه الله: ولو قاتلهم المحصر، فقتل وجرح وأصاب دواباً أَنِيسَةً، لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ غُرْمٌ، وَلَوْ أَصَابَ لَهُمْ صَيْدًا يَمْلِكُونَهُ جَزَاهُ بِمِثْلِهِ وَلَمْ يَضْمَنْ لَهُمْ شَيْئًا، وَلَوْ كَانَ الصَّيْدُ لِمَنْ هُوَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ مِمَّنْ لَا يُقَاتِلُهُمْ جَزَاهُ، وَضَمِنَ قِيمَتَهُ لِصَاحِبِهِ، وَلَوْ كَانَ الصَّيْدُ لِغَيْرِ مَالِكٍ جَزَاهُ الْمُحْرِمُ بِمِثْلِهِ إِنْ شَاءَ مَكَانَهُ فِي الْحِلِّ كَانَ أَمْ فِي الْحَرَمِ، وَلَوْ أَرَادُوا الْإِحْلَالَ ثُمَّ الْقِتَالَ، لَمْ أَرَ بِذَلِكَ بَأْسًا.

PASAL
 Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: Jika orang yang muḥṣar memerangi mereka, lalu membunuh, melukai, atau merusak hewan tunggangan jinak mereka, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya.

Namun jika ia mengenai binatang buruan milik mereka, maka ia wajib membayar jazā’ dengan yang semisalnya, tetapi tidak wajib mengganti rugi kepada mereka.

Jika binatang buruan itu milik seorang Muslim yang berada di tengah-tengah mereka dan tidak memerangi mereka, maka ia wajib membayar jazā’ dan juga mengganti nilainya kepada pemiliknya.

Jika binatang buruan itu tidak dimiliki oleh siapa pun, maka orang yang berihram wajib membayar jazā’ dengan yang semisalnya, jika ia menghendaki, baik peristiwa itu terjadi di tanah halal maupun tanah haram.

Dan jika mereka ingin bertahallul terlebih dahulu lalu memerangi, maka aku tidak melihat adanya keberatan dalam hal itu.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لَا حَصْرَ إِلَّا حَصْرُ الْعَدُوِّ وَذَهَبَ الْحَصْرُ الْآنَ وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ لَا يُحِلَّ محرمٌ حَبَسَهُ بلاءٌ حَتَى يَطُوفَ إِلَّا مَنْ حَبَسَهُ عدوٌ (قَالَ) فَيُقِيمُ عَلَى إِحْرَامِهِ قال فإن أدرك الحج وإلا طاف وسعى وعليه الحج من قابلٍ، وما استيسر من الهدي فإن كان معتمراً أجزأه ولا وقت للعمرة فتفوته والفرق بين المحصر بالعدو والمرض أن المحصر بالعدو خائفٌ القتل إن أقام وقد رخص لمن لقى المشركين أن يتحرف لقتالٍ أو يتحيز إلى فئةٍ فينتقل بالرجوع من خوف قتلٍ إلى أمنٍ والمريض حاله واحدةٌ في التقدم والرجوع والإحلال رخصةً فلا يعدى بها موضعها كما أن المسح على الخفين رخصةٌ فلم يقس عليه مسح عمامةٍ ولا قفازين ولو جاز أن يقاس حل المريض على حصر العدو جاز أن يقاس حل مخطئ الطريق ومخطئ العدد حتى يفوته الحج على حصر العدو. وبالله التوفيق “.

Masalah: Berkata Imam al-Syafi‘i RA:
 **”**Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās bahwa ia berkata: Tidak ada iḥṣār kecuali karena musuh, dan iḥṣār karena musuh itu telah hilang sekarang.
 Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa ia berkata: Tidak halal seseorang yang beriḥrām lalu tertahan oleh bala’ hingga ia thawaf, kecuali orang yang tertahan oleh musuh.

(Kata Imam al-Syafi‘i:) Maka orang tersebut tetap berada dalam keadaan iḥrām-nya. Jika ia mendapati waktu haji maka ia mengerjakan haji. Jika tidak, maka ia thawaf dan sa‘i, dan atasnya kewajiban haji pada tahun berikutnya serta mā tayassara mina al-hadyi (sembelihan yang mudah didapat).

Jika ia beriḥrām untuk umrah, maka umrahnya mencukupi. Umrah tidak memiliki waktu tertentu sehingga tidak terluput.

Perbedaan antara orang yang tertahan karena musuh dan karena sakit adalah bahwa orang yang tertahan karena musuh takut terbunuh jika tetap tinggal. Dan telah diberikan rukhṣah (keringanan) bagi orang yang bertemu dengan orang musyrik untuk berpaling guna berperang atau bergabung ke kelompok lain. Maka dengan kembali (ke arah lain) karena takut terbunuh berpindahlah dari keadaan takut kepada keadaan aman.

Adapun orang sakit, keadaannya sama dalam keadaan maju maupun mundur, dan penghalalan baginya adalah rukhṣah, maka tidak boleh melewati tempatnya, sebagaimana mengusap khuf adalah rukhṣah maka tidak dianalogikan untuk mengusap sorban atau sarung tangan.

Seandainya boleh dianalogikan penghalalan orang sakit dengan iḥṣār karena musuh, niscaya boleh pula dianalogikan penghalalan orang yang salah jalan atau salah hitung hingga terluput dari haji dengan iḥṣār karena musuh.

Wa biLlāh al-tawfīq.”**


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي الْإِحْصَارِ بِالْعَدُوِّ.
فَأَمَّا الْإِحْصَارُ بِالْمَرَضِ، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَحَلَّلَ بِهِ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ، وَقَالَ أبو حنيفة: يَجُوزُ أَنْ يَتَحَلَّلَ بِالْمَرَضِ كَمَا يَتَحَلَّلَ بِالْعَدُوِّ، اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الهَدْيِ) {البقرة: 196) ، فَذَهَبَ بَعْضُ أَهْلِ اللُّغَةِ إِلَى أَنَّهُ يُقَالُ: أَحْصَرَهُ الْمَرَضُ وَحَصَرَهُ الْعَدُوُّ فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الْآيَةُ وَارِدَةً فِي الْإِحْصَارِ بِالْمَرَضِ وَيَكُونُ الْإِحْصَارُ بِالْعَدُوِّ قِيَاسًا عَلَيْهِ، وَذَهَبَ آخَرُونَ إِلَى أَنَّهُ يُقَالُ: أَحْصَرَهُ الْمَرَضُ وَأَحْصَرَهُ الْعَدُوُّ مَعًا، فَعَلَى هَذَا الْآيَةُ عَامَّةٌ فِيهِمَا جَمِيعًا، وَرَوَى عِكْرِمَةُ قَالَ: سَمِعْتُ الْحَجَّاجَ بْنَ عَمْرٍو الْأَنْصَارِيَّ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَنْ كُسِرَ أَوْ عُرِجَ فَقَدْ حَلَّ وَعَلَيْهِ حَجَّةٌ، فَسَأَلْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ وَابْنَ عباسٍ، فَقَالَا: صَدَقَ، قَالَ: وَلِأَنَّهُ مَصْدُودٌ عَنِ الْبَيْتِ، فَجَازَ لَهُ التَّحَلُّلُ كَالْمُحْصَرِ بِالْعَدُوِّ، قَالَ: وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَجِبُ بِوُجُودِ الزَّادِ وَالرَّاحِلَةِ فَجَازَ لَهُ الْخُرُوجُ مِنْهَا بِالْمَرَضِ كَالْجِهَادِ؛ وَلِأَنَّ الْإِحْصَارَ بِالْمَرَضِ أَشَدُّ من الإحصار بالعدو؛ لأنه لَا يَقْدِرُ عَلَى دَفْعِ الْمَرَضِ عَنْ نَفْسِهِ، وَيَقْدِرُ عَلَى دَفْعِ الْعَدُوِّ عَنْ نَفْسِهِ، إِمَّا بِقِتَالٍ، أَوْ بِمَالٍ، فَلَمَّا جَازَ لَهُ التَّحَلُّلُ بِمَا قَدْ يُمْكِنُهُ أَنْ يَدْفَعَهُ عَنْ نَفْسِهِ، كَانَ تَحَلُّلُهُ فِيمَا لَا يُمْكِنُهُ أَنْ يَدْفَعَهُ عَنْ نَفْسِهِ أَوْلَى، وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – عَنْ سُفْيَانَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ ضُبَاعَةَ بِنْتَ الزُّبَيْرِ، فَقَالَ لَهَا: تُرِيدِينَ الْحَجَّ؟ فَقَالَتْ: إِنِّي شَاكِيَةٌ، فَقَالَ: حُجِّي وَاشْتَرِطِي أن محلي حيث حبستني. والدلالة مِنْ وَجْهَيْنِ:

Imam al-Māwardī berkata: Telah berlalu pembahasan mengenai iḥṣār karena musuh.

Adapun iḥṣār karena sakit, maka menurut Imam al-Syafi‘i tidak boleh seseorang bertahallul karenanya. Ini juga merupakan pendapat Mālik dan Aḥmad. Sedangkan Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa boleh bertahallul karena sakit, sebagaimana boleh bertahallul karena musuh. Ia berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: “Jika kalian mengalami iḥṣār, maka (sembelihlah) apa yang mudah didapat dari hady” (QS. al-Baqarah: 196).

Sebagian ahli bahasa berpendapat bahwa “aḥṣarahu” digunakan untuk sakit dan “ḥaṣarahu” untuk musuh. Maka menurut mereka, ayat tersebut turun berkenaan dengan iḥṣār karena sakit, dan iḥṣār karena musuh dianalogikan kepadanya.

Sementara yang lain mengatakan bahwa digunakan kata “aḥṣarahu” untuk keduanya, baik sakit maupun musuh. Maka berdasarkan pendapat ini, ayat tersebut mencakup keduanya secara umum.

Diriwayatkan dari ‘Ikrimah, ia berkata: Aku mendengar al-Ḥajjāj bin ‘Amr al-Anṣārī berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang tulangnya patah atau pincang, maka ia boleh bertahallul dan wajib mengganti hajinya.”

Maka aku tanyakan hal itu kepada Abū Hurairah dan Ibn ‘Abbās, dan keduanya berkata: Benar.

Ia berkata: Karena ia telah terhalang dari Baitullah, maka ia boleh bertahallul sebagaimana orang yang muḥṣar karena musuh.

Ia juga berkata: Karena haji adalah ibadah yang diwajibkan dengan adanya bekal dan kendaraan, maka boleh keluar darinya karena sakit sebagaimana halnya jihad.

Dan iḥṣār karena sakit lebih berat daripada iḥṣār karena musuh; karena seseorang tidak mampu menolak penyakit dari dirinya sendiri, sedangkan terhadap musuh, ia masih mungkin mencegahnya, baik dengan perlawanan maupun dengan harta.

Maka ketika seseorang boleh bertahallul karena sesuatu yang mungkin bisa ia hindari, maka bertahallul dari sesuatu yang tidak mungkin ia hindari tentu lebih utama.

Adapun dalil kami adalah riwayat dari Imam al-Syafi‘i dari Sufyān dari Hishām bin ‘Urwah dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW memerintahkan Ḍubā‘ah binti az-Zubair, dan beliau bersabda kepadanya, “Engkau ingin berhaji?” Ia menjawab, “Aku sedang sakit.” Maka beliau bersabda, “Berhajilah dan syaratkan bahwa tempat tahallulmu adalah di mana engkau terhalang.”

Dan sisi pendalilannya ada dua:


أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَوْ جَازَ لَهَا الْخُرُوجُ بِالْمَرَضِ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ، لَأَخْبَرَهَا وَلَمْ يُعَلِّقْهُ بِالشَّرْطِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ عَلَّقَ جَوَازَ إِحْلَالِهَا مِنَ الْمَرَضِ بِالشَّرْطِ، وَالْحُكْمُ الْمُعَلَّقُ بِشَرْطٍ لَا يَتَعَلَّقُ بِغَيْرِهِ، وَيَنْتَفِي عِنْدَ عَدَمِهِ؛ وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ – وَذَلِكَ مَا رَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَيُّوبَ السِّجِسْتَانِيِّ أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْبَصْرَةِ خَرَجَ لِيَحُجَّ، فَوَقَعَ مِنْ على بَعِيرِهِ، فَانْكَسَرَتْ فَخِذُهُ فَمَضَوْا إِلَى مَكَّةَ وَبِهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ وَالنَّاسُ، فَلَمْ يَأْذَنْ لَهُ أحدٌ فِي التَّحَلُّلِ، فَبَقِيَ سَبْعَةَ أشهرٍ، ثُمَّ تَحَلَّلَ بعمرةٍ، وَلَيْسَ يُعْرَفُ مِنَ الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ لِهَذَا الْقَوْلِ، فَثَبَتَ أَنَّهُ إِجْمَاعٌ، وَلِأَنَّ الْمَرَضَ مَعْنًى لَا يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ الْحَجِّ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يُعِيدَ التَّحَلُّلَ مِنْهُ، كَالصُّدَاعِ طَرْدًا، أَوْ كَانْسِدَادِ الطَّرِيقِ عَكْسًا؛ وَلِأَنَّهُ لَا يَسْتَفِيدُ بِتَحَلُّلِهِ التَّخَلُّصَ مِنْ شَيْءٍ مِنَ الْأَذَى الَّذِي هُوَ فِيهِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجُوزَ لَهُ التَّحَلُّلُ، كَضَالِّ الطَّرِيقِ طَرْدًا، وَكَالْمُحْصَرِ عَكْسًا.

Salah satunya: bahwa seandainya perempuan itu boleh keluar dari iḥrām karena sakit tanpa syarat, niscaya Nabi akan memberitahunya dan tidak menggantungkan hal itu pada syarat.

Yang kedua: bahwa beliau menggantungkan kebolehan penghalalan karena sakit dengan syarat, dan hukum yang digantungkan pada suatu syarat tidak berlaku tanpa adanya syarat tersebut, dan gugur ketika syarat itu tidak ada.

Dan karena hal itu merupakan ijmā‘ para sahabat RA — yaitu sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Syāfi‘i dari Mālik dari Ayyūb al-Sijistānī bahwa ada seorang laki-laki dari Baṣrah berangkat untuk haji, lalu ia jatuh dari untanya dan pahanya patah. Maka mereka tetap melanjutkan ke Makkah, dan di sana ada ‘Abdullāh bin ‘Umar dan ‘Abdullāh bin ‘Abbās serta orang-orang, namun tidak ada seorang pun dari mereka yang memberi izin kepadanya untuk bertahallul. Maka ia tetap dalam keadaan iḥrām selama tujuh bulan, kemudian ia bertahallul dengan umrah. Dan tidak dikenal ada seorang sahabat pun yang menyelisihi pendapat ini, maka tetaplah bahwa itu adalah ijmā‘.

Dan karena sakit adalah suatu keadaan yang tidak menghalangi dari kewajiban haji, maka wajib untuk tidak diperbolehkan bertahallul karenanya, sebagaimana sakit kepala (tidak membolehkan penghalalan) secara ṭard, dan sebagaimana jalan yang tertutup (tidak membolehkan penghalalan) secara ‘aks.

Dan karena dengan tahallul itu ia tidak mendapatkan manfaat apa pun berupa terbebas dari rasa sakit yang sedang ia alami, maka wajib untuk tidak boleh baginya bertahallul, sebagaimana orang yang tersesat jalan secara ṭard, dan sebagaimana orang yang terhalang (oleh musuh) secara ‘aks.


فَإِنْ قِيلَ: فَالْمُحْصَرُ إِذَا حَصَرَهُ الْعَدُوُّ مِنْ سَائِرِ جِهَاتِهِ، لَهُ التَّحَلُّلُ وَلَا يَسْتَفِيدُ بِهِ التَّخَلُّصَ مِنَ الْأَذَى الَّذِي هُوَ فِيهِ. قِيلَ: لَيْسَ لِلشَّافِعِيِّ فِيهِ نَصٌّ، وَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَيْسَ لَهُ التَّحَلُّلُ، كَالْمَرِيضِ.
وَالثَّانِي: لَهُ التَّحَلُّلُ لِأَنَّهُ قَدْ يَسْتَفِيدُ بِهِ التَّخَلُّصَ مِنْ بَعْضِ الْأَذَى، فَإِنْ لَمْ يَسْتَفِدْ بِهِ التَّخَلُّصَ مِنْ جَمِيعِهِ، وَهُوَ الْعَدُوُّ الَّذِي فِي وَجْهِهِ؛ لِأَنَّهُ بِالْإِحْلَالِ وَالْعَوْدِ لَا يَحْتَاجُ إِلَى لِقَائِهِ.

Jika dikatakan: Orang yang muḥṣar, apabila musuh mengepungnya dari segala arah, maka ia boleh bertahallul namun tidak mendapatkan manfaat berupa terbebas dari gangguan yang sedang ia alami—

Maka dijawab: Tidak terdapat nash dari Imam al-Syafi‘i dalam hal ini, dan para sahabat kami berbeda pendapat menjadi dua pendapat:

Pertama: Tidak boleh baginya bertahallul, sebagaimana orang yang sakit.

Kedua: Boleh baginya bertahallul, karena dengan bertahallul itu ia mungkin bisa terbebas dari sebagian gangguan, meskipun tidak semua, yaitu musuh yang berada di hadapannya; karena dengan bertahallul dan kembali (ke tempat asal), ia tidak lagi perlu berhadapan dengan musuh tersebut.


فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَهُوَ أَنَّهُمْ قَالُوا: إنها في الإحصار بالمرض كان فَاسِدًا؛ لِأَنَّهَا نَزَلَتْ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ، وَرَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَالصَّحَابَةُ مُحَاصَرُونَ بِالْعَدُوِّ.
فَإِنْ قَالُوا: اللَّفْظُ مُسْتَعْمَلٌ فِي إِحْصَارِ الْمَرَضِ؛ لِأَنَّهُ يُقَالُ: أَحْصَرَهُ الْمَرَضُ، وَحَصَرَهُ الْعَدُوُّ.
قُلْنَا: قَدْ ثَبَتَ أَنَّ الْإِحْصَارَ بالعدو مراداً، وَإِذَا كَانَ مُرَادًا كَانَ اللَّفْظُ مُسْتَعْمَلًا فِيهِ مَجَازًا، وَاللَّفْظَةُ الْوَاحِدَةُ إِذَا أُرِيدَ بِهَا الْمَجَازُ، لَمْ يَجُزْ أَنْ يُرَادَ بِهَا الْحَقِيقَةُ أَيْضًا حَتَّى تَصِيرَ مُسْتَعْمَلَةً فِيهِمَا جَمِيعًا عَلَى قَوْلِ أبي حنيفة، وَأَكْثَرِ أَصْحَابِنَا وَإِنْ قَالُوا: إِنَّ ذَلِكَ مُسْتَعْمَلٌ فِيهِمَا حَقِيقَةً، وَعُمُومَ اللَّفْظِ يَتَنَاوَلُهَا.

Adapun jawaban terhadap (dalil dari) ayat adalah bahwa mereka berkata: sesungguhnya ayat itu (QS al-Baqarah: 196) turun tentang iḥṣār karena sakit, adalah pendapat yang rusak; karena ayat itu turun pada tahun Ḥudaibiyah, sedangkan Rasulullah SAW dan para sahabat saat itu sedang dihalangi oleh musuh.

Jika mereka berkata: lafal tersebut digunakan untuk iḥṣār karena sakit, karena dikatakan: aḥṣarahu al-maraḍ (ia tertahan karena sakit), dan ḥaṣarahu al-‘aduww (ia dikepung oleh musuh),

Kami katakan: telah tetap bahwa yang dimaksud dalam ayat adalah iḥṣār karena musuh. Dan apabila itu yang dimaksud, maka lafal itu digunakan secara majaz. Dan satu kata, jika digunakan dalam makna majaz, tidak boleh juga dimaksudkan dengan makna hakikat secara bersamaan, kecuali kata itu memang digunakan untuk kedua makna tersebut sekaligus — menurut pendapat Abū Ḥanīfah dan mayoritas sahabat kami.

Jika mereka berkata: sesungguhnya kata itu digunakan untuk keduanya secara hakiki, dan keumuman lafal mencakup keduanya.

قِيلَ: ظَاهِرُ الْآيَةِ لَا يَدُلُّ إِلَّا عَلَى الْهَدْيِ، فَأَمَّا التَّحَلُّلُ فَغَيْرُ مَذْكُورٍ، وَإِنَّمَا هُوَ مُضْمَرٌ فِيهِ، فَلَا يُدَّعِي فِيهِ الْعُمُومُ، وَالْإِضْمَارُ لَا يُوصَلُ إِلَى تَعْيِينِهِ إِلَّا بِدَلِيلٍ، ثُمَّ لو كان العموم بتناولهما جَمِيعًا، لَكَانَ الْمُرَادُ بِالْآيَةِ الْإِحْصَارَ بِالْعَدُوِّ دُونَ المرض من وجهين:
أحدهما: قوله في أثناء الآية: {وَلاَ تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الهَدْيَ مَحِلَّهُُ} (البقرة: 196) ، فَمَنَعَ تَوْجِيهَ الْخِطَابِ إِلَيْهِ أَنْ يَحْلِقَ رَأْسَهُ حَتَّى يَنْحَرَ، وَهَذَا فِي الْمُحْصَرِ بِالْعَدُوِّ، وَلِأَنَّ الْمُحْصَرَ بِالْمَرَضِ يَجُوزُ أَنْ يَحْلِقَ قَبْلَ أَنْ يَنْحَرَ.

Dikatakan: Lafal zhahir dari ayat tersebut tidak menunjukkan selain hady, adapun tahallul tidak disebutkan secara eksplisit, melainkan hanya dipahami secara tersirat darinya. Maka tidak boleh mengklaim keumuman makna darinya, karena sesuatu yang tersirat tidak bisa dijadikan dasar umum, dan sesuatu yang tersirat tidak bisa dipastikan maksudnya kecuali dengan dalil.

Kemudian, seandainya keumuman itu mencakup keduanya (yaitu iḥṣār karena musuh dan karena sakit), maka yang dimaksud dalam ayat hanyalah iḥṣār karena musuh, dari dua sisi:

Pertama: Firman Allah di tengah ayat tersebut: “Dan janganlah kalian mencukur kepala kalian sebelum hady sampai pada tempat penyembelihannya” (QS. al-Baqarah: 196), merupakan larangan langsung terhadap orang yang sedang diajak bicara agar tidak mencukur kepalanya sebelum menyembelih hady; dan ini berlaku bagi orang yang muḥṣar karena musuh.

Sedangkan orang yang muḥṣar karena sakit, boleh mencukur kepalanya sebelum menyembelih.


وَالثَّانِي: قَوْلُهُ فِيهَا: {فَإِذَا أَمِنْتُمْ) {البقرة: 196) وَالْأَمْنُ إِنَّمَا يَكُونُ عَنْ خَوْفٍ، فَأَمَّا عَنْ مَرَضٍ فَإِنَّمَا يُقَالُ: بُرْءٌ، فَثَبَتَ أَنَّ الْمُرَادَ بِهَا إِحْصَارُ الْعَدُوِّ دُونَ الْمَرَضِ، فَأَمَّا قَوْلُهُ: ” مَنْ كُسِرَ أَوْ عُرِجَ فَقَدْ حَلَّ “. قُلْنَا: مَحْمُولٌ عَلَى مَنْ شَرَطَ التَّحَلُّلَ.
فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ أَضْمَرْتُمْ فِي الْخَبَرِ شَرْطًا غَيْرَ مَذْكُورٍ مَعَ إِمْكَانِ حَمْلِ اللَّفْظِ عَلَى ظَاهِرِهِ.
قِيلَ: لَا بُدَّ مِنْ إِضْمَارٍ فِي الْخَبَرِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَتَحَلَّلُ بِنَفْسِ الْكَسْرِ وَالْعَرَجِ، فَلَمْ يُمْكِنْ حَمْلُ اللَّفْظِ عَلَى ظَاهِرِهِ. وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمُحْصَرِ بِالْعَدُوِّ، بعلة أنه مصدود عن البيت فغير سليم؛ لِأَنَّ الْمَرِيضَ غَيْرُ مَصْدُودٍ عَنِ الْبَيْتِ؛ لِأَنَّهُ لم يحمل المشقة لموصل إِلَيْهِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْإِحْصَارِ بِالْعَدُوِّ، أَنَّهُ يَسْتَفِيدُ بِالتَّحَلُّلِ التَّخَلُّصَ مِنَ الْأَذَى الَّذِي هُوَ فِيهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمَرِيضُ
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْجِهَادِ، فَالْجِهَادُ قِتَالٌ، وَالْمَرِيضُ لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ، فَجَازَ لَهُ الْخُرُوجُ مِنْهُ، وَالْحَجُّ سَيْرٌ، وَالْمَرِيضُ يُمْكِنُهُ السَّيْرُ إِذَا كَانَ رَاكِبًا، فَلَمْ يَكُنْ لَهُ الْخُرُوجُ مِنْهُ.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ الْمَرِيضَ أَسْوَأُ حَالًا، فَقَدْ تَقَدَّمَ الْجَوَابُ عَنْهُ.

Dan yang kedua: firman-Nya dalam ayat tersebut: {fa-idzā amintum} (QS al-Baqarah: 196), sedangkan al-amn (rasa aman) itu hanya berlaku setelah adanya rasa takut. Adapun terhadap sakit, maka yang dikatakan adalah al-bur’ (sembuh). Maka telah tetap bahwa yang dimaksud dalam ayat itu adalah iḥṣār karena musuh, bukan karena sakit.

Adapun sabda Nabi: “Siapa yang patah tulang atau pincang maka ia telah halal,” kami katakan: itu ditakwilkan bagi orang yang membuat syarat untuk tahallul.

Jika dikatakan: berarti kalian menyisipkan syarat dalam hadis padahal tidak disebutkan, padahal bisa saja dipahami menurut zahir lafaznya?
 Dijawab: mesti ada penyisipan syarat dalam hadis tersebut, karena tidak ada tahallul hanya dengan sebab patah atau pincang semata, maka tidak mungkin lafaznya dipahami secara zahir.

Adapun qiyās mereka terhadap orang yang terhalang oleh musuh, dengan alasan sama-sama terhalangi dari Baitullah, maka itu tidak sah; karena orang sakit tidak benar-benar terhalangi dari Baitullah, sebab ia tidak mengalami kesulitan untuk sampai ke sana.

Lalu, makna dalam iḥṣār karena musuh adalah bahwa dengan tahallul ia mendapatkan manfaat berupa terbebas dari gangguan yang menimpanya. Sedangkan orang sakit tidak demikian keadaannya.

Adapun qiyās mereka terhadap jihad, maka jihad adalah pertempuran, dan orang sakit tidak mampu melakukannya, maka boleh baginya keluar (dari jihad). Sedangkan haji adalah perjalanan, dan orang sakit mungkin saja mampu melakukannya jika menaiki kendaraan, maka tidak dibolehkan keluar darinya.

Adapun ucapan mereka: bahwa orang sakit lebih buruk keadaannya, maka telah dijawab sebelumnya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا شَرَطَ مَعَ الْإِحْرَامِ الْإِحْلَالَ بِالْمَرَضِ، وهو أن يقول في إحرامه: إن حبستني مرض، أو انقطعت في نَفَقَةٌ، أَوْ عَاقَنِي عَائِقٌ مِنْ ضَلَالِ طَرِيقٍ أو خطأٍ في عدو، تَحَلَّلَتْ، فَقَدْ ذَهَبَ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ إِلَى انعقاد هذا الشرط، وجواز الإحلال به، كحديث ضُبَاعَةَ بِنْتِ الزُّبَيْرِ وَعَلَّقَ الْقَوْلَ فِي الْجَدِيدِ عَلَى صِحَّةِ حَدِيثِ ضُبَاعَةَ؛ لِأَنَّهُ رَوَاهُ مُرْسَلًا، وَرَوَاهُ مُسْنَدًا، وَرَوَى مِثْلَهُ مَوْقُوفًا، فَأَمَّا الْمُرْسَلُ فَهُوَ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَرَّ بِضُبَاعَةَ بِنْتِ الزُّبَيْرِ، فَقَالَ لَهَا: أَتُرِيدِينَ الْحَجَّ، فَقَالَتْ: إِنِّي شَاكِيَةٌ، فَقَالَ: حُجِّي وَاشْتَرِطِي أَنَّ مَحِلِّي حَيْثُ حَبَسْتَنِي، وَأَمَّا الْمُسْنَدُ فَرَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَرْثِ عَنِ ابن جريج عن أبي الزُّبَيْرِ عَنْ طَاوُسٍ وَعِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَتْ ضُبَاعَةُ بِنْتُ الزُّبَيْرِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، إِنِّي امْرَأَةٌ ثقيلةٌ، وَإِنِّي أُرِيدُ الْحَجَّ، فَقَالَ: أَهِلِّي وَاشْتَرِطِي أَنَّ مَحِلِّي حَيْثُ حَبَسْتَنِي.

PASAL
 Adapun jika seseorang mengucapkan syarat saat berihram untuk bertahallul karena sakit — yaitu dengan berkata dalam ihramnya: “Jika aku terhalang karena sakit, atau terputus nafkah, atau ada penghalang seperti tersesat jalan atau kekeliruan karena musuh, maka aku bertahallul” — maka Imam al-Syafi‘i dalam qaul qadīm berpendapat bahwa syarat ini sah dan boleh baginya bertahallul dengan sebab itu, sebagaimana dalam hadits Ḍubā‘ah binti az-Zubair.

Namun dalam qaul jadīd, beliau menggantungkan pendapatnya pada keabsahan hadits Ḍubā‘ah; karena hadits tersebut diriwayatkan secara mursal, musnad, dan ada pula yang meriwayatkannya secara mawqūf.

Adapun mursal, yaitu yang diriwayatkan oleh al-Syafi‘i dari Sufyān dari Hishām bin ‘Urwah dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW melewati Ḍubā‘ah binti az-Zubair, lalu beliau bersabda kepadanya: “Apakah engkau ingin berhaji?” Ia menjawab: “Aku sedang sakit.” Maka beliau bersabda: “Berhajilah dan syaratkan bahwa tempat tahallulmu adalah di mana engkau terhalang.”

Adapun musnad, diriwayatkan oleh al-Syafi‘i dari ‘Abdullah bin al-Ḥārith dari Ibn Jurayj dari Abū az-Zubair dari Ṭāwūs dan ‘Ikrimah dari Ibn ‘Abbās, bahwa Ḍubā‘ah binti az-Zubair berkata: “Wahai Rasulullah SAW, aku seorang wanita yang berat badannya, dan aku ingin berhaji.” Maka beliau bersabda: “Berniatlah ihram dan syaratkan bahwa tempat tahallulmu adalah di mana engkau terhalang.”


وَأَمَّا الْمَوْقُوفُ فَرَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَتْ لِي عائشة رضي الله عنها: هل تثتثني إِذَا حَجَجْتَ؟ قُلْتُ لَهَا: مَاذَا أَقُولُ؟ فَقَالَتْ: قُلِ اللَّهُمَّ الْحَجَّ أَرَدْتُ، وَلَهُ عَمَدْتُ، فَإِنْ يَسَّرْتَهُ لِي فَهُوَ الْحَجُّ، وَإِنْ حَبَسَنِي حابسٌ فَهِيَ عمرةٌ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا، فَكَانَ بَعْضُهُمْ يُخَرِّجُ انْعِقَادَ الشَّرْطِ وَجَوَازَ الْإِحْلَالِ بِهِ، عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مُنْعَقِدٌ بِهِ، وَالْعَمَلُ بِهِ جَائِزٌ؛ لِمَا رُوِيَ فِيهِ مِنَ الْأَخْبَارِ.

Adapun riwayat mauqūf, maka diriwayatkan oleh al-Syāfi‘i dari Sufyān dari Hisyām bin ‘Urwah dari ayahnya, ia berkata:

‘Āisyah RA berkata kepadaku: “Apakah engkau membuat syarat ketika berhaji?”
 Aku menjawab: “Apa yang harus aku ucapkan?”
 Maka ia berkata: “Ucapkanlah: ‘Allāhumma al-ḥajja aradtu wa lahu ‘amattu, fa-in yassartahu lī fa-huwa al-ḥajj, wa in ḥabasani ḥābisun fa-hiya ‘umrah’ (Ya Allah, aku menghendaki haji dan menuju kepadanya, maka jika Engkau memudahkannya bagiku, maka itulah haji; dan jika ada yang menahanku, maka ia menjadi umrah).”

Lalu para sahabat kami berbeda pendapat tentang pengikatan syarat ini dan kebolehan tahallul karenanya, menjadi dua pendapat:

Yang pertama: bahwa syarat itu sah dan boleh diamalkan, berdasarkan riwayat-riwayat yang telah disebutkan tentang hal itu.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ غَيْرُ مُنْعَقِدٍ، وَالْعَمَلُ بِهِ غَيْرُ جَائِزٍ، لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وأَتِمُّوا الحَجَّ وَالعُمْرَةَ للهِ) {البقرة: 196) ، وَقَالَ آخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا: الشَّرْطُ مُنْعَقِدٌ قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّهُ فِي الْجَدِيدِ تَوَقَّفَ عَنِ الْعَمَلِ بِهِ؛ لِأَجْلِ الْحَدِيثِ وَصِحَّتِهِ، وَقَدْ صَحَّحَهُ أَصْحَابُ الْحَدِيثِ، فَلِذَلِكَ انْعَقَدَ الشَّرْطُ قَوْلًا وَاحِدًا وَجَازَ الْعَمَلُ بِهِ، فَعَلَى هَذَا لَا يَنْعَقِدُ الشَّرْطُ حَتَّى يَكُونَ مُقْتَرِنًا بِإِحْرَامِهِ، فَإِنْ شَرَطَ قَبْلَ إِحْرَامِهِ أَوْ بَعْدَهُ لَمْ يَنْعَقِدِ الشَّرْطُ، وَإِنْ كَانَ الشَّرْطُ مُقْتَرِنًا بِإِحْرَامِهِ، فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ فِيهِ غَرَضٌ صَحِيحٌ.
وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ فِيهِ غَرَضٌ صَحِيحٌ.

Dan pendapat kedua: Bahwa syarat tersebut tidak sah dan tidak boleh diamalkan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah” (QS. al-Baqarah: 196).

Sebagian ulama dari kalangan sahabat kami mengatakan: Syarat tersebut sah menurut satu pendapat; karena dalam qaul jadīd, Imam al-Syafi‘i tidak langsung mengamalkannya hanya karena mempertimbangkan status keabsahan hadits tersebut.

Sementara para ahli hadits telah mensahihkannya, maka dengan itu syarat tersebut menjadi sah menurut satu pendapat dan boleh diamalkan.

Berdasarkan hal ini, syarat tersebut tidak dianggap sah kecuali jika diucapkan bersamaan dengan ihramnya. Jika ia mengucapkannya sebelum atau setelah ihram, maka syarat itu tidak sah.

Dan apabila syarat tersebut diucapkan bersamaan dengan ihram, maka ada dua kondisi:

Pertama: Mengandung tujuan yang benar.
 Kedua: Tidak mengandung tujuan yang benar.


فَإِنْ كَانَ فِيهِ غَرَضٌ صَحِيحٌ، وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: إن حبسني مرض، أو انقطعت بي نفقة، أَحْلَلْتُ، أَوْ أَنَا حَلَالٌ، أَوْ يَشْتَرِطُ فَيَقُولُ: إِنْ أَخْطَأْتُ الْعَدَدَ، أَوْ ضَلَلْتُ عَنِ الطَّرِيقِ، أَوْ عَاقَنِي عَائِقٌ، فَفَاتَنِي الْحَجُّ، كَانَ حَجِّي عُمْرَةً، فَهَذِهِ الشُّرُوطُ كُلُّهَا مُنْعَقِدَةٌ؛ لِمَا فِيهَا مِنَ الْغَرَضِ الصَّحِيحِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي الشُّرُوطِ غَرَضٌ صَحِيحٌ، مِثْلَ قَوْلِهِ أَنَا مُحْرِمٌ بِحَجٍّ، فَإِنْ أَحْبَبْتُ الْخُرُوجَ مِنْهُ خَرَجْتُ، وَإِنْ لَمْ يُسَاعِدْنِي زَيْدٌ قَعَدْتُ، فَهَذَا وَمَا أَشْبَهَهُ مِنَ الشُّرُوطِ فَاسِدَةٌ، لَا تَنْعَقِدُ، وَلَا يَجُوزُ الْإِحْلَالُ بِهَا.

Jika dalam syarat itu terdapat tujuan yang benar, seperti ia berkata: “Jika aku tertahan karena sakit, atau nafkahku terputus, maka aku bertahallul,” atau “aku menjadi halal,” atau ia membuat syarat dengan berkata: “Jika aku salah menghitung (manāsik), atau tersesat dari jalan, atau ada sesuatu yang menghalangi hingga aku terluput dari haji, maka hajiku menjadi umrah,”
 maka seluruh syarat seperti ini sah, karena mengandung tujuan yang benar.

Namun jika dalam syarat-syarat tersebut tidak terdapat tujuan yang benar, seperti ia berkata: “Aku beriḥrām untuk haji, dan jika aku ingin keluar darinya maka aku keluar,” atau “jika Zaid tidak menemaniku, maka aku tidak jadi,”
 maka syarat-syarat seperti ini dan yang semisalnya adalah syarat yang rusak, tidak sah, dan tidak boleh bertahallul dengannya.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ انْعِقَادُ الشَّرْطِ فِي الْإِحْرَامِ عَلَى الْوَصْفِ الَّذِي شَاءَ، فَهَلْ يَصِيرُ حَلَالًا بِنَفْسِ الشَّرْطِ إِذَا وُجِدَ أَمْ لَا يَصِيرُ حَلَالًا حَتَّى يَنْوِيَ التَّحَلُّلَ فَيَنْظُرَ فِي الشَّرْطِ فَإِنْ كَانَ قَالَ: إِنْ حَبَسَنِي مَرَضٌ تَحَلَّلْتُ فَإِنَّهُ لَا يَصِيرُ حَلَالًا بِوُجُودِ الْمَرَضِ حَتَّى يَنْوِيَ التَّحَلُّلَ وَالْخُرُوجَ مِنْ إِحْرَامِهِ، وَإِنْ كَانَ قَالَ: إِنْ حَبَسَنِي مَرَضٌ فَأَنَا حَلَالٌ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَصِيرُ حَلَالًا بِوُجُودِ الشَّرْطِ؛ اعْتِبَارًا بِمُوجِبِ اللَّفْظِ فِيهِ، وَلِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” من كسر أو عرج فقد حل “.

Dan pendapat kedua: Bahwa syarat tersebut tidak sah dan tidak boleh diamalkan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah” (QS. al-Baqarah: 196).

Sebagian ulama dari kalangan sahabat kami mengatakan: Syarat tersebut sah menurut satu pendapat; karena dalam qaul jadīd, Imam al-Syafi‘i tidak langsung mengamalkannya hanya karena mempertimbangkan status keabsahan hadits tersebut.

Sementara para ahli hadits telah mensahihkannya, maka dengan itu syarat tersebut menjadi sah menurut satu pendapat dan boleh diamalkan.

Berdasarkan hal ini, syarat tersebut tidak dianggap sah kecuali jika diucapkan bersamaan dengan ihramnya. Jika ia mengucapkannya sebelum atau setelah ihram, maka syarat itu tidak sah.

Dan apabila syarat tersebut diucapkan bersamaan dengan ihram, maka ada dua kondisi:

Pertama: Mengandung tujuan yang benar.
 Kedua: Tidak mengandung tujuan yang benar.


والوجه الثَّانِي: لَا يَصِيرُ حَلَالًا حَتَّى يَنْوِيَ التَّحَلُّلَ وَالْخُرُوجَ مِنْهُ، فَيَصِيرَ حينئذٍ حَلَالًا؛ لِأَنَّ الْإِحْلَالَ بِإِحْصَارِ الْعَدُوِّ أَقْوَى مِنَ الْإِحْلَالِ بِالْمَرَضِ، فَلَمَّا لَمْ يَتَحَلَّلْ بِوُجُودِ الْإِحْصَارِ، حَتَّى يَنْوِيَ الْإِحْلَالَ، فَالْمَرَضُ أَوْلَى، فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا وَتَحَلَّلَ مِنْ إِحْرَامِهِ بِالشَّرْطِ، فَهَلْ عَلَيْهِ دَمٌ لِتَحَلُّلِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ دَمٌ كَالْإِحْصَارِ بِالْعَدُوِّ.

Dan pendapat kedua: tidak menjadi halal hingga ia berniat untuk bertahallul dan keluar dari iḥrām-nya, maka saat itu barulah ia menjadi halal. Karena tahallul karena iḥṣār oleh musuh lebih kuat dibandingkan tahallul karena sakit, maka ketika seseorang tidak menjadi halal hanya dengan terjadinya iḥṣār oleh musuh, melainkan harus disertai niat tahallul, maka dalam hal sakit lebih utama lagi (untuk disyaratkan niat).

Jika hal ini telah tetap, dan ia bertahallul dari iḥrām-nya karena syarat, maka apakah atasnya ada kewajiban dam karena tahallul tersebut atau tidak? Maka dalam hal ini ada dua wajah (pendapat):

Yang pertama: wajib atasnya dam, sebagaimana dalam iḥṣār karena musuh.


وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ: لَا دَمَ عَلَيْهِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ إِحْصَارِ الْعَدُوِّ، أَنَّ مُوجَبَ الشَّرْطِ أَنْ يَكُونَ إِحْرَامُهُ مُنْتَهِيًا إِلَى حِينِ وُجُودِ الشَّرْطِ، فَلَمْ يَلْزَمْهُ بِعَقْدِ الْإِحْرَامِ أَنْ يَأْتِيَ بِمَا بَعْدَ ذَلِكَ مِنَ الْأَفْعَالِ، فَلَمْ يَلْزَمْهُ دَمٌ، وَالْمُحْصَرُ بِالْعَدُوِّ قَدْ كَانَ إِحْرَامُهُ مُوجِبًا لِلْإِتْيَانِ بِجَمِيعِ أَفْعَالِ الْحَجِّ، فَإِذَا أَحَلَّ بِالْإِحْصَارِ فَقَدْ تَرَكَ الْإِتْيَانَ بِفِعْلِ مَا وَجَبَ بِالْإِحْرَامِ؛ فَلِذَلِكَ لَزِمَهُ دَمٌ، وَاللَّهُ أعلم.

Dan pendapat kedua, dan inilah yang dinyatakan secara tegas oleh Imam al-Syafi‘i: tidak ada kewajiban dam atasnya.

Perbedaan antara kasus ini dan iḥṣār karena musuh adalah: bahwa konsekuensi dari syarat yang diucapkan adalah bahwa ihramnya dianggap berakhir pada saat terjadinya syarat tersebut. Maka, dengan akad ihram itu, ia tidak dibebani untuk melaksanakan amalan-amalan yang datang setelah syarat itu terjadi, sehingga tidak wajib atasnya membayar dam.

Adapun orang yang mengalami iḥṣār karena musuh, maka ihramnya telah mewajibkan untuk melaksanakan seluruh amalan-amalan haji. Maka ketika ia bertahallul karena iḥṣār, berarti ia telah meninggalkan amalan yang telah wajib atasnya karena ihram tersebut, sehingga wajib baginya membayar dam.

Wallāhu a‘lam.

 

(قال الشافعي) رضي الله عنه: وَإِنْ أَحْرَمَ الْعَبْدُ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ وَالْمَرْأَةُ بِغَيْرِ إِذْنِ زَوْجِهَا فَهُمَا فِي مَعْنَى الْإِحْصَارِ وَلِلسَّيِّدِ وَالزَوْجِ مَنْعُهُمَا وَهُمَا فِي مَعْنَى الْعَدُوِّ في الإحصار وفي أكثر من معناه فإن لَهُمَا مَنْعَهُمَا وَلَيْسَ ذَلِكَ لِلْعَدُوِّ وَمُخَالِفُونَ لَهُ فِي أَنَّهُمَا غَيْرُ خَائِفِينَ خَوْفَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْعَبْدُ فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ الْإِحْرَامُ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعَبْدَ مَمْلُوكُ الرَّقَبَةِ، مُسْتَحِقُّ الْمَنْفَعَةِ، وَفِي إِحْرَامِهِ تَعْطِيلٌ لِمَا مَلَكَ عَلَيْهِ مِنْ مَنْفَعَتِهِ.

BAB TENTANG IḤṢĀR BUDAK YANG BERĪḤRĀM TANPA IZIN TUANNYA, DAN PEREMPUAN YANG BERĪḤRĀM TANPA IZIN SUAMINYA

Berkata Imam al-Syāfi‘i RA:
 Jika budak berīḥrām tanpa izin tuannya, dan perempuan tanpa izin suaminya, maka keduanya berada dalam makna iḥṣār, dan tuan serta suami berhak mencegah mereka berdua. Mereka dalam makna musuh dalam iḥṣār, bahkan dalam makna yang lebih dari itu, karena keduanya (tuan dan suami) boleh mencegah, sedangkan musuh tidak memiliki hak itu. Namun keduanya berbeda dengan musuh dalam hal bahwa keduanya bukan dalam keadaan takut sebagaimana takutnya terhadap musuh.”

Al-Māwardī berkata:
 Adapun budak, maka telah kami sebutkan bahwa tidak sah baginya berīḥrām tanpa izin tuannya karena dua hal:

Pertama: karena budak adalah milik penuh (pada dzatnya), dan tuannya berhak atas manfaat dirinya. Maka dalam keadaan budak itu berīḥrām, berarti terjadi penghilangan manfaat yang dimiliki tuannya atas dirinya.


وَالثَّانِي: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَلْزَمُهُ الْحَجُّ، فَإِذَا أَحْرَمَ كَانَ تَطَوُّعًا، وَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَمْنَعَ عَبْدَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، فَإِذَا أَحْرَمَ الْعَبْدُ، فَإِنْ كَانَ بِإِذْنِ سَيِّدِهِ، لَزِمَهُ تَمْكِينُهُ، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ، فَالْمُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يُمَكِّنَهُ، وَيَجُوزَ أَنْ يَمْنَعَهُ؛ لِمَا عَلَيْهِ مِنَ الضَّرَرِ بِإِحْرَامِهِ، وَتَعْطِيلِ مَا يَسْتَحِقُّهُ مِنْ مَنَافِعِهِ، فَإِذَا مَنَعَهُ السَّيِّدُ، كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يَرْجِعَ، وَلَهُ أَنْ يَتَحَلَّلَ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَتَحَلَّلَ الْمُحْصَرُ بِالْعَدُوِّ، وَهُوَ مَمْنُوعٌ بِظُلْمٍ، فَأَوْلَى أَنْ يَتَحَلَّلَ الْعَبْدُ بِمَنْعِ السَّيِّدِ، إِذْ هُوَ مَمْنُوعٌ بِحُقٍّ، فَإِذَا أَرَادَ الْإِحْلَالَ، فَلَا يَخْلُو حَالُ سَيِّدِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Kedua: Bahwa budak tidak diwajibkan haji. Maka jika ia berihram, hukumnya adalah ṭathawwu‘ (sunnah), dan tuannya berhak melarang budaknya dari amalan sunnah tersebut.

Jika budak berihram dengan izin tuannya, maka wajib bagi tuannya untuk membiarkannya (menyempurnakan haji).

Namun jika ia berihram tanpa izin tuannya, maka yang disunnahkan bagi tuannya adalah membiarkannya, tetapi ia boleh melarangnya, karena ihram itu menimbulkan mudarat terhadap tuannya, berupa terhalangnya manfaat-manfaat yang menjadi hak tuannya.

Maka jika tuannya melarangnya, wajib bagi budak itu untuk kembali, dan ia boleh bertahallul; karena jika orang yang muḥṣar karena musuh — yang merupakan pencegahan secara zalim — boleh bertahallul, maka budak yang dilarang oleh tuannya — yang merupakan pencegahan yang sah secara hak — lebih utama lagi boleh bertahallul.

Maka ketika budak itu ingin bertahallul, keadaan tuannya tidak lepas dari dua kemungkinan:


إِمَّا أَنْ يُمَلِّكَهُ هَدْيًا، أَوْ لَا يُمَلِّكَهُ. فَإِنْ لَمْ يُمَلِّكْهُ هَدْيًا فَهُوَ كَالْحُرِّ الْمُعْسِرِ، فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ دَمُ الْإِحْصَارِ لَا بَدَلَ لَهُ، كَانَ الدَّمُ فِي ذِمَّتِهِ إِذَا أُعْتِقَ وَأَيْسَرَ أَتَى بِهِ، وَهَلْ لَهُ أَنْ يَتَحَلَّلَ قَبْلَ الْإِتْيَانِ بِهِ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مَضَيَا، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: يَتَحَلَّلُ الْعَبْدُ قَوْلًا وَاحِدًا، بِخِلَافِ الْحُرِّ الْمُعْسِرِ؛ لِأَنَّ فِي بقائه على إحرامه إضرار بِسَيِّدِهِ، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ لِدَمِ الْإِحْصَارَ بَدَلًا فَبَدَلُهُ هَاهُنَا الصَّوْمُ؛ لِأَنَّ الْعَبْدَ لَا يَمْلِكُ شَيْئًا، وَفِي قَدْرِهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:
أَحَدُهَا: صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ.
وَالثَّانِي: صِيَامُ عَشَرَةِ أَيَّامٍ.

Ada dua kemungkinan: apakah tuannya memberikan kepemilikan hady kepadanya, atau tidak memberikannya.

Jika tuannya tidak memberikannya hady, maka ia seperti orang merdeka yang tidak mampu (mu‘sir).

Jika kita mengatakan bahwa dam karena iḥṣār tidak memiliki pengganti (badal), maka dam itu tetap menjadi tanggungan dalam dzimmah-nya. Jika kelak ia merdeka dan mampu, maka ia wajib melaksanakannya.

Lalu, apakah ia boleh bertahallul sebelum melaksanakan dam tersebut? Maka terdapat dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya.

Sebagian sahabat kami berkata: budak boleh bertahallul menurut satu pendapat, berbeda dengan orang merdeka yang tidak mampu; karena jika ia terus berada dalam keadaan iḥrām, maka hal itu akan menyusahkan tuannya.

Dan jika kita mengatakan bahwa dam iḥṣār memiliki pengganti, maka penggantinya dalam hal ini adalah puasa; karena budak tidak memiliki harta apa pun.

Adapun jumlah harinya, terdapat tiga pendapat:

Pertama: puasa tiga hari.
 Kedua: puasa sepuluh hari.


وَالثَّالِثُ: تُقَوَّمُ الشَّاةُ دَرَاهِمَ، وَالدَّرَاهِمُ طَعَامًا، وَيَصُومُ عَنْ لك مُدٍّ يَوْمًا، ثُمَّ هَلْ يَكُونُ عَلَى إِحْرَامِهِ حتى يصوم أو يحوز أو يتحلل؟ قيل: يَصُومَ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: يَتَحَلَّلُ قَوْلًا وَاحِدًا، فَأَمَّا إِنْ مَلَّكَهُ سَيِّدُهُ دَمًا، فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

أَحَدُهُمَا: يَنْحَرُهُ وَلَا يَصُومُ عَلَى قَوْلِهِ – فِي الْقَدِيمِ -: إِنَّ الْعَبْدَ يَمْلِكُ إِذَا مُلِّكَ.
وَالثَّانِي: لَا يُجْزِئُهُ ذَلِكَ عَلَى قَوْلِهِ – فِي الْجَدِيدِ: إِنَّ الْعَبْدَ لَا يَمْلِكُ إِذَا مُلِّكَ.

Kedua: Bahwa budak tidak diwajibkan haji. Maka jika ia berihram, hukumnya adalah ṭathawwu‘ (sunnah), dan tuannya berhak melarang budaknya dari amalan sunnah tersebut.

Jika budak berihram dengan izin tuannya, maka wajib bagi tuannya untuk membiarkannya (menyempurnakan haji).

Namun jika ia berihram tanpa izin tuannya, maka yang disunnahkan bagi tuannya adalah membiarkannya, tetapi ia boleh melarangnya, karena ihram itu menimbulkan mudarat terhadap tuannya, berupa terhalangnya manfaat-manfaat yang menjadi hak tuannya.

Maka jika tuannya melarangnya, wajib bagi budak itu untuk kembali, dan ia boleh bertahallul; karena jika orang yang muḥṣar karena musuh — yang merupakan pencegahan secara zalim — boleh bertahallul, maka budak yang dilarang oleh tuannya — yang merupakan pencegahan yang sah secara hak — lebih utama lagi boleh bertahallul.

Maka ketika budak itu ingin bertahallul, keadaan tuannya tidak lepas dari dua kemungkinan:


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْمَرْأَةُ إِذَا كَانَتْ ذَاتَ زَوْجٍ وَأَرَادَتِ الْإِحْرَامَ بِالْحَجِّ، فَقَدْ يَكُونُ فَرْضًا، وَقَدْ يَكُونُ تَطَوُّعًا؛ لِأَنَّ الْمَرْأَةَ قَدْ يَلْزَمُهَا فَرْضُ الْحَجِّ بِالشَّرَائِطِ الَّتِي تُلْزِمُ الرَّجُلَ، وَهِيَ سِتٌّ، فَإِذَا أَرَادَتِ الْإِحْرَامَ بِالْحَجِّ، فَعَلَيْهَا اسْتِئْذَانُ الزَّوْجِ؛ لِمَا قَدِ اسْتَحَقَّهُ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا، فَإِنْ أَحْرَمَتْ بِإِذْنِهِ، فَعَلَيْهِ تَمْكِينُهَا، وَلَيْسَ لَهُ مَنْعُهَا، فَإِنْ أحرمت بغير إذنه، فهل له منعا أَمْ لَا؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ – حَكَاهَا أَبُو حَامِدٍ فِي جَامِعِهِ -:
أَحَدُهَا: أَنَّ لَهُ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْهُ، فَرْضًا كَانَ أَوْ تَطَوُّعًا؛ لِأَنَّهُ يَسْتَحِقُّ الِاسْتِمْتَاعَ بِهَا عَاجِلًا، وَإِحْرَامُهَا إِنْ كَانَ فَرْضًا فَفَرْضُ الْحَجِّ عَلَى التَّرَاخِي، فَكَانَ لَهُ مَنْعُهَا مِنْ تَعْجِيلِهِ، وَإِنْ كَانَ تَطَوُّعًا، فَأَوْلَى أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْهُ.

PASAL
 Adapun perempuan, jika ia memiliki suami dan ingin berīḥrām untuk haji, maka kadang hajinya adalah fardu dan kadang sunnah, karena perempuan juga bisa diwajibkan haji fardu dengan syarat-syarat yang juga berlaku bagi laki-laki, yaitu enam perkara.

Maka jika ia ingin berīḥrām untuk haji, ia wajib meminta izin suaminya, karena suami memiliki hak menikmati dirinya.

Jika ia berīḥrām dengan izin suaminya, maka suaminya wajib membiarkannya, dan tidak boleh melarangnya.

Namun jika ia berīḥrām tanpa izinnya, maka apakah suaminya berhak melarangnya atau tidak? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat — sebagaimana dinukil oleh Abū Ḥāmid dalam Jāmi‘-nya:

Pertama: suami boleh melarangnya, baik hajinya fardu maupun sunnah; karena suami berhak untuk segera menikmati istrinya, sedangkan haji fardu itu hukumnya takhyīri (boleh ditunda), maka suami boleh melarang pelaksanaan haji tersebut secara segera. Dan jika hajinya sunnah, maka lebih utama lagi baginya untuk melarangnya.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَيْسَ لَهُ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْهُ فَرْضًا كَانَ أَوْ تَطَوُّعًا؛ لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ فَرْضًا، فَالْفَرَائِضُ مُسْتَثْنَاةٌ مِنَ الزَّوْجِيَّةِ، وَإِنْ كَانَ تَطَوُّعًا، فَبِالدُّخُولِ فِيهِ صَارَ فَرْضًا.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: لَهُ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْهُ إِنْ كَانَ تَطَوُّعًا، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَمْنَعَهَا منه وإن كَانَ فَرْضًا، كَمَا لَهُ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْ صَلَاةِ التَّطَوُّعِ وَصِيَامِ التَّطَوُّعِ، وَلَا يَمْنَعَهَا مِنَ الْفَرْضِ.
فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا وَقُلْنَا: لِلزَّوْجِ أَنْ يَمْنَعَهَا، فَإِنْ مَنْعَهَا كَانَتْ كَالْمُحْصَرِ بِالْعَدُوِّ، وَتَتَحَلَّلُ مِنْ إِحْرَامِهَا، وَعَلَيْهَا دَمُ الْإِحْصَارِ، وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهَا، وَإِنْ مَكَّنَهَا فَعَلَيْهَا إِتْمَامُ حَجِّهَا، وَلَيْسَ لَهَا الْإِحْلَالُ مِنْهُ، وَلَا لِلزَّوْجِ الرُّجُوعُ فِيهِ.

Dan pendapat kedua: Suami tidak berhak melarang istrinya dari haji, baik haji fardu maupun sunnah; karena jika itu adalah fardu, maka kewajiban fardu dikecualikan dari hak-hak pernikahan; dan jika itu adalah sunnah, maka dengan masuknya istri ke dalam ihram, maka haji itu menjadi fardu atasnya.

Pendapat ketiga: Suami boleh melarang istrinya jika itu haji sunnah, tetapi tidak boleh melarangnya jika itu haji fardu; sebagaimana ia boleh melarangnya dari salat sunnah dan puasa sunnah, tetapi tidak boleh melarangnya dari yang fardu.

Maka jika hal ini telah ditetapkan, dan kita mengatakan bahwa suami boleh melarangnya, maka jika suami melarang, ia seperti orang yang muḥṣar karena musuh, sehingga istri boleh bertahallul dari ihramnya dan wajib atasnya dam iḥṣār, serta tidak wajib qaḍā’.

Namun jika suami membolehkannya, maka wajib atas istri menyempurnakan hajinya, dan tidak boleh bertahallul darinya, dan suami pun tidak berhak menarik kembali izinnya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا أَرَادَتِ الْمَرْأَةُ أَنْ تَبْتَدِئَ بِالْحَجِّ، فَإِنْ كَانَ فَرْضًا جَازَ أَنْ تَخْرُجَ من ذِي مَحْرَمٍ، أَوْ مَعَ نِسَاءٍ ثِقَاتٍ وَلَوْ كَانَتِ امْرَأَةً وَاحِدَةً، إِذَا كَانَ الطَّرِيقُ آمِنًا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَخْرُجَ بِلَا مَحْرَمٍ، وَلَا امْرَأَةٍ تَثِقُ بِهَا وَإِنْ كَانَ حَجُّهَا وَاجِبًا، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: إِذَا كَانَ الطَّرِيقُ آمِنًا لَا تَخَافُ خَلْوَةَ الرِّجَالِ مَعَهَا، جَازَ أَنْ تَخْرُجَ بِغَيْرِ مَحْرَمٍ، وَبِغَيْرِ امْرَأَةِ ثِقَةٍ، وهو خلاف نص الشافعي – رضي الله عنه -.

PASAL
 Adapun jika seorang perempuan ingin memulai haji, maka jika hajinya fardhu, boleh baginya keluar (bepergian) tanpa maḥram, atau bersama perempuan-perempuan tepercaya meskipun hanya seorang perempuan, jika jalan yang dilalui aman. Tidak boleh ia keluar tanpa maḥram dan tanpa seorang perempuan yang ia percaya, sekalipun hajinya wajib.

Sebagian dari kalangan kami berkata: jika jalan aman dan tidak dikhawatirkan terjadi khalwah dengan laki-laki, maka boleh ia keluar tanpa maḥram dan tanpa perempuan tepercaya. Dan ini bertentangan dengan nash al-Syafi‘i RA.


فَأَمَّا إِنْ كَانَ الْحَجُّ تَطَوُّعًا، لَمْ يَجُزْ أَنْ تَخْرُجَ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ، وَكَذَلِكَ فِي السَّفَرِ الْمُبَاحِ، كَسَفَرِ الزِّيَارَةِ وَالتِّجَارَةِ، لَا يَجُوزُ أَنْ تَخْرُجَ فِي شيءٍ مِنْهَا إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: يَجُوزُ أَنْ تَخْرُجَ مَعَ نِسَاءٍ ثِقَاتٍ، كَسَفَرِ الْحَجِّ الْوَاجِبِ، وَهُوَ خِلَافُ نَصِّ الشَّافِعِيِّ، وَقَالَ مالك: يجوز أن تخرج من الْفَرْضِ مَعَ نِسَاءٍ ثِقَاتٍ، لَكِنْ لَا يَجُوزُ أَنْ تَخْرُجَ مَعَ امْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ، وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَجُوزُ أَنْ تَخْرُجَ فِي الْفَرْضِ وَالتَّطَوُّعِ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ، اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: لَا تُسَافِرِ امرأةٌ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أيامٍ إِلَّا وَمَعَهَا أَخُوهَا أَوْ أَبُوهَا أَوْ زَوْجُهَا أو محرم، وبرواية أبي سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا تُسَافِرِ امرأةٌ مَسِيرَةَ يومٍ وليلةٍ إِلَّا مَعَ محرمٍ “، وَبِرِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا تَحُجَّنَّ امرأةٌ إِلَّا مَعَ ذِي محرمٍ “؛ وَلِأَنَّهُ سَفَرٌ تُقْصَرُ فِي مِثْلِهِ الصَّلَاةُ، فَلَمْ يَجُزْ لَهَا قَطْعُهُ بِغَيْرِ حَرَمٍ كَالْأَسْفَارِ الْمُبَاحَةِ، وَلِأَنَّ حَجَّ التَّطَوُّعِ قَدْ يَلْزَمُ بِالدُّخُولِ فِيهِ كَالْفَرْضِ، فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ لَهَا الْخُرُوجُ فِي التَّطَوُّعِ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ، وَإِنْ صَارَ بِالدُّخُولِ فَرْضًا، فَكَذَلِكَ إِذَا كَانَ ابْتِدَاؤُهُ فَرْضًا، وَدَلِيلُنَا عَلَى جَوَازِ خُرُوجِهَا بِغَيْرِ مَحْرَمٍ، رِوَايَةُ أَبِي عُبَيْدَةَ عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لمرسلٍ: الظَّعِينَةُ تَخْرُجُ مِنَ الْحِيرَةِ بِغَيْرِ خفارٍ حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ وَيُوشِكُ أَنْ تُفْتَحَ كنوز كسرى بن هرمز ويوشك الرجل سعى يبتغي أن يؤخذ فوجد مَالُهُ صَدَقَةً فَلَا تُقْبَلُ مِنْهُ، فَلَقَدْ رَأَيْتُ الظَّعِينَةَ تَخْرُجُ مِنَ الْحِيرَةِ حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ بِغَيْرٍ خِفَارٍ، وَكُنْتُ فِي الْخَيْلِ الَّتِي أَغَارَتْ على المدائن، حتى فتحوا كنوز كسرة، ووالله لَتَكُونَنَّ الثَّالِثَةُ، فَمَوْضِعُ الدَّلِيلِ مِنْ هَذَا أَنَّهُ أَخْبَرَ أَنَّ مِنِ اسْتِقَامَةِ الزَّمَانِ أَنْ تَخْرُجَ الْمَرْأَةُ إِلَى الْحَجِّ بِغَيْرِ خِفَارٍ، وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ غَيْرَ جَائِزٍ لَكَانَ الزَّمَانُ بِفِعْلِهِ غَيْرَ مُسْتَقِيمٍ، فَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ: أَحِجُّوا هَذِهِ الذُّرِّيَّةَ، وَلَا تَأْكُلُوا أَرْزَاقَهَا وَتَدَعُوا أَوْبَاقَهَا فِي أَعْنَاقِهَا، فَأَمَرَ بِالْإِذْنِ لِلنِّسَاءِ فِي الْحَجِّ وَأَنْ لَا يُمْنَعْنَ مِنْهُ، وَلَمْ يَشْتَرِطْ فِي إِخْرَاجِهِنَّ ذَا مَحْرَمٍ؛ وَلِأَنَّهُ سَفَرٌ وَاجِبٌ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ الْمُحْرِمُ شَرْطًا فِي قَطْعِهِ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ لَمْ يَكُنِ الْمُحْرِمُ شَرْطًا فِي وُجُوبِهَا لَمْ يَكُنْ شَرْطًا فِي أَدَائِهَا كَسَائِرِ الْعِبَادَاتِ، وَاسْتِدْلَالُ الشَّافِعِيِّ وَهُوَ أَنَّهُ إِذَا ادُّعِيَ عِنْدَ الْحَاكِمِ عَلَى امْرَأَةٍ غَائِبَةٍ دَعْوَى، فَإِنَّ الْحَاكِمَ يَبْعَثُ إِلَيْهَا لِيُحْضِرَهَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا مَحْرَمٌ إِذَا كَانَتْ مِمَّنْ تَبْرُزُ، فَإِذَا وَجَبَ عَلَيْهَا الْخُرُوجُ بِلَا مَحْرَمٍ فِي حَقٍّ لَا يَتَحَقَّقُ وجوبه عليها، إذا قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مُبْطِلًا فِي الدَّعْوَى عَلَيْهَا، فَلَأَنْ يَجِبَ فِي حَقٍّ يَتَحَقَّقُ وُجُوبُهُ عَلَيْهَا أَوْلَى، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ فَمَحْمُولٌ بِدِلَالَتِنَا عَلَى السَّفَرِ الْمُبَاحِ دُونَ الْوَاجِبِ، وَأَمَّا حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ فمحمول وإن صح فمحمول عَلَى حَجِّ التَّطَوُّعِ.

Adapun jika haji itu tathawwu‘, maka tidak boleh ia keluar kecuali bersama maḥram, demikian pula dalam safar yang mubah seperti safar ziarah dan perdagangan, tidak boleh ia keluar dalam salah satunya kecuali bersama maḥram. Di antara para sahabat kami ada yang berpendapat: boleh ia keluar bersama perempuan-perempuan yang terpercaya, seperti safar haji yang wajib, namun ini bertentangan dengan nash al-Syafi‘i.

Mālik berkata: boleh ia keluar untuk haji fardhu bersama perempuan-perempuan terpercaya, tetapi tidak boleh keluar hanya bersama satu perempuan. Abū Ḥanīfah berkata: tidak boleh ia keluar dalam haji fardhu maupun tathawwu‘ kecuali bersama maḥram, dengan berdalil pada riwayat al-A‘mash dari Abū Ṣāliḥ dari Abū Sa‘īd al-Khudrī bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Seorang perempuan tidak boleh bepergian lebih dari tiga hari kecuali bersamanya saudaranya atau ayahnya atau suaminya atau maḥram-nya.” Dan dengan riwayat Abū Sa‘īd bin Abī Sa‘īd al-Maqburī dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Perempuan tidak boleh bepergian sehari semalam kecuali bersama maḥram.” Dan dengan riwayat Ibn ‘Abbās bahwa Nabi SAW bersabda: “Janganlah seorang perempuan berhaji kecuali bersama maḥram.”

Karena itu adalah safar yang dalam jarak semacam itu salat boleh diqashar, maka tidak boleh ia menempuhnya tanpa ḥaram sebagaimana safar yang mubah. Dan karena haji tathawwu‘ bisa menjadi wajib setelah memulainya sebagaimana fardhu, maka ketika tidak boleh ia keluar dalam tathawwu‘ kecuali bersama maḥram, meskipun menjadi fardhu karena dimulai, maka demikian pula jika sejak awal memang wajib.

Adapun dalil kami bahwa boleh ia keluar tanpa maḥram adalah riwayat Abū ‘Ubaidah dari ‘Adiyy bin Ḥātim bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada seorang utusan: “Sungguh akan datang masa di mana perempuan bepergian dari al-Ḥīrah tanpa pengawalan hingga thawaf di Ka‘bah, dan sungguh akan dibuka harta simpanan Kisrā bin Hurmuz, dan sungguh seorang laki-laki akan berusaha untuk menyerahkan hartanya sebagai sedekah namun tidak diterima darinya.” Maka sungguh aku telah melihat perempuan bepergian dari al-Ḥīrah hingga thawaf di Ka‘bah tanpa pengawalan, dan aku berada dalam pasukan yang menyerbu kota al-Madā’in hingga membuka harta simpanan Kisrā. Demi Allah, sungguh yang ketiga itu akan terjadi.

Maka tempat pengambilan dalil dari hadits ini adalah bahwa beliau mengabarkan bahwa dari tanda istikamah zaman adalah perempuan bisa keluar untuk haji tanpa pengawalan. Seandainya hal itu tidak boleh, niscaya zaman karena perbuatan itu tidaklah istikamah.

Diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA bahwa ia berkata: “Berhajikanlah anak-anak ini, dan jangan kalian makan rizki mereka dan tinggalkan dosa mereka di leher mereka.” Maka ia memerintahkan agar perempuan diizinkan berhaji dan tidak dilarang darinya, serta tidak mensyaratkan keberadaan maḥram untuk keluarnya mereka.

Karena itu adalah safar yang wajib, maka wajib pula tidak menjadikan maḥram sebagai syarat untuk menempuhnya. Dan karena setiap ibadah yang tidak disyaratkan maḥram dalam kewajibannya, maka tidak menjadi syarat pula dalam pelaksanaannya, sebagaimana ibadah-ibadah lainnya.

Adapun dalil al-Syafi‘i adalah bahwa jika diajukan gugatan terhadap seorang perempuan yang sedang tidak hadir di hadapan hakim, maka hakim akan mengirim orang untuk menghadirkannya. Jika ia tidak memiliki maḥram padahal ia termasuk perempuan yang biasa menampakkan diri, maka ketika wajib atasnya keluar tanpa maḥram dalam urusan hak yang belum tentu wajib atasnya (karena bisa saja gugatan itu palsu), maka tentu lebih utama untuk wajib keluar tanpa maḥram dalam hak yang sudah pasti wajib atasnya.

Adapun jawaban dari hadits Abū Sa‘īd dan Abū Hurairah, maka menurut petunjuk kami ditujukan untuk safar yang mubah, bukan yang wajib. Sedangkan hadits Ibn ‘Abbās — jika pun sahih — maka ditujukan untuk haji tathawwu‘.


وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى التَّطَوُّعِ فَمُنْتَقِضٌ بِالْهِجْرَةِ كَمَا أَنَّ التَّطَوُّعَ قَدْ يَلْزَمُ بِالدُّخُولِ فِيهِ كَالْهِجْرَةِ ثُمَّ كَانَ أَضْعَفَ حَالًا مِنَ الْهِجْرَةِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِيهِ لَوْ صَحَّ أَنَّهُ غَيْرُ وَاجِبٍ، وَأَمَّا قَوْلُهُ: إِنَّ التَّطَوُّعَ قد يلزم بالدخول كالفرض إِنْ كَانَ لَازِمًا بِالدُّخُولِ كَالْفَرْضِ فَهُوَ أَضْعَفُ حَالًا مِنَ الْفَرْضِ، فَيَكُونُ فَرْقًا بَيْنَ الْفَرْضِ وَالتَّطَوُّعِ، كَفَرْقِهِمْ بَيْنَ الْهِجْرَةِ وَالتَّطَوُّعِ.

Adapun qiyās mereka atas tathawwu‘ maka tertolak dengan hijrah, sebagaimana tathawwu‘ bisa menjadi wajib dengan masuk ke dalamnya seperti hijrah, kemudian tathawwu‘ itu lebih lemah keadaannya dibanding hijrah. Selanjutnya, makna dalam hal itu—jika benar bahwa ia tidak wajib—adapun perkataannya bahwa tathawwu‘ bisa menjadi wajib dengan memasukinya seperti fardhu, maka jika ia menjadi wajib dengan masuk seperti fardhu, tetap saja ia lebih lemah keadaannya dibanding fardhu, maka jadilah perbedaan antara fardhu dan tathawwu‘, sebagaimana mereka membedakan antara hijrah dan tathawwu‘.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْمُعْتَدَّةُ إِذَا أَحْرَمَتْ بِالْحَجِّ فَإِنَّهَا تُمْنَعُ مِنَ الْمُضِيِّ فِي الْحَجِّ حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا، سَوَاءٌ كَانَتِ الْعِدَّةُ مِنْ وَفَاةٍ أَوْ طَلَاقٍ، كَانَ لِلزَّوْجِ عَلَيْهَا رَجْعَةٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ، وَلَيْسَ لها أن تتحل بِهَذَا الْمَنْعِ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: لِأَنَّ مَانِعَهَا إِلَى مُدَّةٍ إِذَا بَلَغَتْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ مَنْعُهَا فإذا انقضت عِدَّتُهَا مَضَتْ فِي حَجِّهَا، فَإِنْ أَدْرَكَتِ الْحَجَّ أَجْزَأَهَا، وَإِنْ فَاتَهَا الْحَجُّ أَحَلَّتْ بِطَوَافٍ وَسَعْيٍ، وَوَجَبَ عَلَيْهَا الْقَضَاءُ، وَدَمُ الْفَوَاتِ كَالْغَائِبِ سَوَاءٌ، فَأَمَّا إِذَا أَحْرَمَتْ بِالْحَجِّ غَيْرَ مُعْتَدَّةٍ، ثُمَّ طَرَأَتْ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ فِي الْإِحْرَامِ بِوَفَاةِ زَوْجٍ أَوْ طَلَاقٍ، فَعَلَيْهَا الْمُضِيُّ فِي إِحْرَامِهَا، وَلَا تَكُونُ الْعِدَّةُ مَانِعَةً لَهَا لِتَقَدُّمِ الْإِحْرَامِ عَلَيْهَا فَإِنْ مَنَعَهَا مِنْ إِتْمَامِ حَجِّهَا حَاكِمٌ لِأَجْلِ عِدَّتِهَا كَانَتْ كَالْمُحْصَرَةِ حِينَئِذٍ فَيَجُوزُ لَهَا أَنْ تَتَحَلَّلَ وَعَلَيْهَا دَمُ الْإِحْصَارِ.

PASAL
 Adapun perempuan yang sedang menjalani ‘iddah, apabila ia beriḥrām untuk haji, maka ia dilarang melanjutkan haji hingga selesai masa ‘iddah-nya, baik ‘iddah karena wafat maupun karena talak, baik suaminya masih memiliki hak rujū‘ terhadapnya atau tidak. Dan tidak boleh baginya bertahallul dengan sebab larangan ini.

Al-Syafi‘i berkata: karena larangan ini hanya sampai batas waktu tertentu, yang jika telah tercapai maka tidak ada lagi larangan baginya. Maka apabila ‘iddah-nya telah selesai, ia boleh melanjutkan hajinya. Jika ia masih sempat menunaikan haji, maka hajinya mencukupi. Namun jika hajinya terlewat, maka ia bertahallul dengan ṭawāf dan sa‘i, dan ia wajib mengqadha haji, serta wajib atasnya dam al-fawāt sebagaimana hukum orang yang tidak sempat (ghā’ib).

Adapun jika ia beriḥrām untuk haji saat tidak dalam keadaan ‘iddah, kemudian tiba-tiba masuk masa ‘iddah karena wafatnya suami atau karena talak, maka wajib atasnya untuk melanjutkan iḥrām-nya, dan ‘iddah tidak menjadi penghalang baginya karena iḥrām lebih dahulu terjadi dibanding ‘iddah. Maka jika seorang hakim melarangnya untuk menyempurnakan hajinya karena alasan ‘iddah, maka ia seperti orang yang terkena iḥṣār, dan saat itu boleh baginya untuk bertahallul dan wajib atasnya dam al-iḥṣār.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا أَرَادَ الْوَلَدُ أَنْ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ فَيَنْبَغِيَ أَنْ يَسْتَأْذِنَ أَبَوَيْهِ أَوِ الْبَاقِيَ مِنْهُمَا فَإِنْ أَحْرَمَ بِإِذْنِهِمَا انْعَقَدَ إِحْرَامُهُ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمَا مَنْعُهُ وَلَوْ أَحْرَمَ بِغَيْرِ إِذْنِهِمَا فَإِنْ كَانَ غَيْرَ بَالِغٍ فَإِحْرَامُهُ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّ إِحْرَامَ غَيْرِ الْبَالِغِ لَا يَنْعَقِدُ إِلَّا بِإِذْنِ وَلَيِّهِ وَبِهِ قَالَ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا.
وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ: إِحْرَامُهُ يَنْعَقِدُ كَالْبَالِغِ وَلِوَالِدِهِ أَنْ يَمْنَعَهُ مِنْهُ وَيَفْسَخَهُ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ بَالِغًا فَإِحْرَامُهُ مُنْعَقِدٌ فَإِنْ أراد والده أَنْ يَمْنَعَاهُ نَظَرْتَ فَإِنْ كَانَ الْحَجُّ الَّذِي أَحْرَمَ بِهِ فَرْضًا فَلَيْسَ لَهُمَا مَنْعُهُ؛ لِأَنَّ الْمَقَامَ عَلَيْهِمَا مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ وَكَانَ تَقْدِيمُ الْفَرْضِ أَوْلَى مِنْهُ وَإِنْ كَانَ تَطَوُّعًا فَهَلْ لَهُمَا مَنْعُهُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

PASAL
 Adapun jika seorang anak ingin beriḥrām untuk haji, maka sebaiknya ia meminta izin kepada kedua orang tuanya, atau kepada salah satu dari keduanya yang masih hidup. Jika ia beriḥrām dengan izin keduanya, maka iḥrām-nya sah dan keduanya tidak boleh melarangnya. Namun jika ia beriḥrām tanpa izin keduanya, dan ia belum bāligh, maka iḥrām-nya batal; karena iḥrām anak yang belum bāligh tidak sah kecuali dengan izin walinya — dan ini adalah pendapat mayoritas sahabat kami.

Abū Isḥāq al-Marwazī berkata: iḥrām-nya sah sebagaimana orang bāligh, dan orang tuanya berhak melarang dan membatalkannya. Jika ia sudah bāligh, maka iḥrām-nya sah. Jika orang tuanya ingin melarangnya, maka dilihat: bila haji yang sedang ia kerjakan adalah haji fardhu, maka keduanya tidak berhak melarangnya; karena tinggal bersama orang tua bersifat mandūb, sedangkan mendahulukan yang fardhu lebih utama. Namun jika hajinya tathawwu‘, maka apakah keduanya berhak melarangnya atau tidak, ada dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: لَهُمَا مَنْعُهُ وَأَشَارَ إِلَيْهِ فِي ” الْإِمْلَاءِ ” كَالْجِهَادِ أَلَا تَرَى إِلَى مَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَأَى رَجُلًا يُجَاهِدُ فَقَالَ: ” أَلَكَ أَبَوَانِ ” قَالَ: نَعَمْ قَالَ: ” فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ ” فَلَمَّا مَنَعَهُ مِنَ الْجِهَادِ الَّذِي هُوَ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَاتِ يَتَعَيَّنُ بِالدُّخُولِ فِيهِ كَانَ مَنْعُهُ مِنْ حَجِّ التَّطَوُّعِ أَوْلَى فَعَلَى هَذَا إِذَا مَنَعَاهُ كَانَ كَالْمُحْصَرِ يَتَحَلَّلُ وَعَلَيْهِ دَمٌ، فَلَوْ أَذِنَ لَهُ أَحَدُهُمَا وَمَنْعَهُ الْآخَرُ فَإِنْ كَانَ الْآذِنَ مِنْهُمَا الْأَبُ وَالْمَانِعَ الْأُمُّ مَضَى فِي حَجِّهِ وَلَمْ يَتَحَلَّلْ، وَإِنْ كَانَ الْمَانِعَ الْأَبُ وَالْآذِنَ الْأُمُّ كَانَ لَهُ مَنْعُهُ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَيْسَ لِأَبَوَيْهِ وَلَا لِأَحَدُهُمَا مَنْعُهُ مِنَ التَّطَوُّعِ كَمَا لَمْ يُمْكِنْ لهما منعه من الفروض؛ لِأَنَّ التَّطَوُّعَ قَدْ صَارَ لَازِمًا فِيهِ كَالْفَرْضِ، وَهَذَا الْقَوْلُ نَصَّ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ “.

Salah satu dari keduanya: keduanya (orang tua) berhak melarangnya, dan hal ini ditunjukkan dalam kitab al-Imlā’, sebagaimana jihad. Tidakkah engkau melihat pada riwayat bahwa Nabi SAW melihat seorang lelaki berjihad, lalu beliau bersabda: “Apakah engkau memiliki kedua orang tua?” Ia menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Maka pada keduanya engkau berjihad.” Maka ketika beliau melarangnya dari jihad yang merupakan bagian dari furūḍ al-kifāyāt dan menjadi wajib ketika sudah dimasuki, maka larangan dari haji tathawwu‘ lebih utama. Maka berdasarkan ini, apabila kedua orang tuanya melarangnya, maka ia seperti orang yang terhalang (muḥṣar), ia bertahallul dan wajib membayar dam. Jika salah satu dari keduanya mengizinkan dan yang lain melarang, maka jika yang mengizinkan adalah ayah dan yang melarang adalah ibu, maka ia tetap melanjutkan hajinya dan tidak bertahallul. Tetapi jika yang melarang adalah ayah dan yang mengizinkan adalah ibu, maka sang ayah berhak melarangnya.

Pendapat kedua: Kedua orang tua, ataupun salah satunya, tidak berhak melarangnya dari ibadah tathawwu‘, sebagaimana keduanya tidak bisa melarangnya dari ibadah fardhu; karena tathawwu‘ telah menjadi wajib baginya seperti halnya fardhu, dan pendapat ini dinyatakan secara eksplisit dalam kitab al-Umm.


فصل
: فأما المولى عليه بالسفه فليس لوليه أَنْ يَمْنَعَهُ مِنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ وَعَلَيْهِ أَنْ يُعْطِيَهُ نَفَقَةَ حَجِّهِ وَإِنْ كَانَ تَطَوُّعًا قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي ” الْإِمْلَاءِ “: لَمْ يُجْبَرْ وَلِيُّهُ عَلَى أَنْ يُعْطِيَهُ شَيْئًا، وَيُقَالُ لَهُ إِنْ قَدَرْتَ عَلَى إِتْمَامِ حَجِّكَ فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَمْنَعَكَ وَلَا لَكَ أَنْ تُحِلَّ وَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ فَلَكَ أَنْ تُحِلَّ بِمَا يُحِلُّ بِهِ الْمُحْصَرُ مِنَ الْعَدُوِّ، وَهَذَا صَحِيحٌ؛ لِأَنَّهُ قَادِرٌ عَلَى نَفَقَةٍ هُوَ مَمْنُوعٌ مِنْهَا فَصَارَ كَالْمَمْنُوعِ بِإِحْصَارِ الْعَدُوِّ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

PASAL
 Adapun orang yang berada di bawah perwalian karena kebodohan (as-safah), maka walinya tidak berhak melarangnya dari menunaikan ḥajjat al-islām, dan wajib atas wali tersebut memberikan nafkah hajinya.

Namun jika hajinya adalah tathawwu‘, maka al-Syafi‘i berkata dalam al-Imlā’: tidak wajib bagi walinya untuk memberinya sesuatu. Maka dikatakan kepadanya: “Jika engkau mampu menyempurnakan hajimu, maka tidak ada seorang pun yang boleh melarangmu, dan engkau tidak boleh bertahallul. Namun jika engkau tidak mampu, maka engkau boleh bertahallul sebagaimana orang yang terkena iḥṣār oleh musuh.”

Dan ini adalah pendapat yang sahih, karena ia mampu secara biaya namun terhalang darinya, maka keadaannya seperti orang yang terhalang oleh iḥṣār musuh. Wallāhu a‘lam.

 

(قال الشافعي) رضي الله عنه: ” والأيام المعلومات العشر وآخرها يوم النحروالمعدودات ثلاثة أيامٍ بعد النحر (قال المزني) سماهن الله عزوجل باسمين مختلفين وأجمعوا أن الاسمين لم يقعا على أيامٍ واحدةٍ وإن لم يقعا على أيامٍ واحدةٍ فأشبه الأمرين أن تكون كل أيامٍ منها غير الأخرى كما أن اسم كل يومٍ غير الآخر وهو ما قال الشافعي عندي (قال المزني) فإن قيل لو كانت المعلومات العشر لكان النحر في جميعها فلما لم يجز النحر في جميعها بطل أن تكون المعلومات فيها يقال له قال الله عز وجل {سَبْع سَمَوَاتٍ طِبَاقاً، وَجَعَلَ القَمَرَ فِيهِنَّ نُوراً} وليس القمر في جميعها وإنما هو في واحدها أفيبطل أن يكون القمر فيهن نوراً كما قال الله جل وعز في ذلك دليلٌ لما قال الشافعي وبالله التوفيق “.

BAB TENTANG AL-AYYĀM AL-MA‘LŪMĀT DAN AL-AYYĀM AL-MA‘DŪDĀT

(Berkata asy-Syāfi‘ī) raḥimahullāh: “Adapun al-ayyām al-ma‘lūmāt adalah sepuluh hari, dan terakhirnya adalah hari nahr (Idul Adha), sedangkan al-ma‘dūdāt adalah tiga hari setelah nahr.”
 (Berkata al-Muzanī): Allah ‘azza wa jalla telah menamainya dengan dua nama yang berbeda, dan para ulama sepakat bahwa dua nama itu tidak ditujukan kepada hari-hari yang sama. Maka apabila keduanya tidak jatuh pada hari yang sama, maka hal yang lebih mendekati adalah bahwa masing-masing hari tersebut berbeda satu sama lain, sebagaimana nama masing-masing hari juga berbeda satu sama lain. Inilah yang menurutku benar sebagaimana dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī.

(Berkata al-Muzanī): Jika dikatakan: “Seandainya al-ma‘lūmāt itu adalah sepuluh hari, niscaya nahr berlaku pada semuanya. Maka ketika tidak boleh menyembelih nahr pada seluruh hari itu, batallah bahwa al-ma‘lūmāt mencakupnya.”
 Maka dijawab: Allah ‘azza wa jalla berfirman, {sab‘ samāwātin ṭibāqan, wa ja‘ala al-qamara fīhinna nūran} — “tujuh langit yang bertingkat-tingkat, dan Dia menjadikan bulan sebagai cahaya di dalamnya.” Padahal bulan tidak berada di seluruhnya, melainkan hanya di salah satunya. Apakah hal itu membatalkan bahwa bulan ada di dalamnya sebagai cahaya, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla?

Maka ini merupakan dalil atas apa yang dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī. Dan hanya kepada Allah-lah tempat memohon taufik.


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى ذَكَرَ فِي كِتَابِهِ الْعَزِيزِ أَيَّامًا مَعْلُومَاتٍ، وَأَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ) {الحج: 28) وَقَالَ تَعَالَى: {وَاذْكُرُوا اللهَ فِي أيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إثْمَ عَلَيْهِ) {البقرة: 203) فَاخْتَلَفَ النَّاسُ فِي الْمَعْلُومَاتِ وَالْمَعْدُودَاتِ فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى أَنَّ الْأَيَّامَ الْمَعْلُومَاتِ الْعَشْرَ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ آخِرُهَا يَوْمُ النَّحْرِ، وَالْأَيَّامَ الْمَعْلُومَاتِ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ الثَّلَاثَةُ وَهِيَ الْحَادِي عَشَرَ، وَالثَّانِي عَشَرُ، وَالثَّالِثَ عَشَرَ.

berkata al-Māwardī: asal masalah ini adalah bahwa Allah Ta‘ālā menyebut dalam Kitab-Nya yang mulia tentang ayyām ma‘lūmāt dan ayyām ma‘dūdāt. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “dan agar mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang diketahui atas rezeki yang telah Dia berikan kepada mereka berupa hewan ternak” (QS al-Ḥajj: 28), dan Allah Ta‘ālā berfirman: “dan ingatlah Allah pada hari-hari yang terbilang. Maka barang siapa yang menyegerakan dalam dua hari, maka tidak ada dosa atasnya” (QS al-Baqarah: 203). Maka manusia berbeda pendapat tentang al-ma‘lūmāt dan al-ma‘dūdāt. asy-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berpendapat bahwa al-ayyām al-ma‘lūmāt adalah sepuluh hari dari Dzulhijjah yang terakhirnya adalah Yawm an-Naḥr, dan al-ayyām al-ma‘dūdāt adalah tiga hari tasyriq, yaitu tanggal sebelas, dua belas, dan tiga belas.


وَقَالَ مَالِكٌ: يَوْمُ النَّحْرِ مِنَ الْمَعْلُومَاتِ الْمَحْضَةِ دُونَ مَا قَبْلَهُ مِنَ الْعَشْرِ، وَالْيَوْمُ الثَّالِثَ عَشَرَ وَهُوَ آخَرُ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ مِنَ الْمَعْدُودَاتِ الْمَحْضَةِ وَالْيَوْمُ الْحَادِي عَشَرَ، وَالثَّانِي عَشَرَ مُشْتَرِكَانِ فِي الْمَعْلُومَاتِ وَالْمَعْدُودَاتِ.
وَقَالَ أبو حنيفة: يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ مِنَ الْمَعْلُومَاتِ الْمَحْضَةِ، وَالْيَوْمُ الثَّانِي عَشَرَ وَالثَّالِثَ عَشَرَ مِنَ الْمَعْدُودَاتِ الْمَحْضَةِ وَالْيَوْمُ الْحَادِي عَشَرَ مُشْتَرِكٌ فِي الْمَعْلُومَاتِ وَالْمَعْدُودَاتِ وَاسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُواْ اسْمَ اللهِ فِي أيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ) {الحج: 28) .

Dan Malik berkata: Hari nahr termasuk hari-hari ma‘lūmāt murni, tidak termasuk sebelumnya dari sepuluh (hari pertama Dzulhijjah); dan hari ketiga belas, yaitu akhir dari hari-hari tasyriq, termasuk hari-hari ma‘dūdāt murni; sedangkan hari kesebelas dan kedua belas termasuk dalam keduanya, yaitu ma‘lūmāt dan ma‘dūdāt.

Dan Abu Hanifah berkata: Hari ‘Arafah dan hari nahr termasuk ma‘lūmāt murni; dan hari kedua belas serta ketiga belas termasuk ma‘dūdāt murni; sedangkan hari kesebelas termasuk dalam keduanya, yaitu ma‘lūmāt dan ma‘dūdāt, berdasarkan firman-Nya Ta‘ala: “agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan menyebut nama Allah pada hari-hari yang ma‘lūmāt atas rezeki yang diberikan kepada mereka berupa hewan ternak.” (QS. al-Ḥajj: 28).

قَالَ مَالِكٌ: فَلَمَّا جَعَلَ التَّسْمِيَةَ عَلَى بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فِي الْأَيَّامِ الْمَعْلُومَاتِ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ النَّحْرِ دُونَ مَا قَبْلَهُ مِنَ الْعَشْرِ دَلَّ عَلَى أَنَّ مَا قَبْلَ يَوْمِ النَّحْرِ لَيْسَ مِنْهَا.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَمَّا قَالَ: {لِيَشْهَدُواْ مَنَافِعَ لَهُمْ) {الحج: 28) يَعْنِي: الْوُقُوفَ بِعَرَفَةَ دَلَّ عَلَى أَنَّ يَوْمَ عَرَفَةَ مِنَ الْمَعْلُومَاتِ وَمَا قَبْلَ يَوْمِ عَرَفَةَ لَيْسَ مِنْهَا.

berkata Mālik: ketika Allah menjadikan penyebutan nama (Allah) atas bahīmat al-an‘ām pada ayyām ma‘lūmāt, dan itu terjadi pada Yawm an-Naḥr bukan pada hari-hari sebelumnya dari sepuluh hari itu, maka hal itu menunjukkan bahwa hari-hari sebelum Yawm an-Naḥr tidak termasuk di dalamnya.

dan Abū Ḥanīfah berkata: ketika Allah berfirman: “agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka” (QS al-Ḥajj: 28), maksudnya adalah wukuf di ‘Arafah, maka hal itu menunjukkan bahwa Yawm ‘Arafah termasuk dari al-ma‘lūmāt, dan apa yang sebelum Yawm ‘Arafah tidak termasuk di dalamnya.


وَالدَّلَالَةُ عَلَى مَا قُلْنَا: هُوَ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى ذَكَرَهُمَا بِاسْمَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ الْمُسَمَّيْنِ، وَإِذَا اخْتَلَفَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَشْتَرِكَا فَإِذَا انْفَرَدَا وَلَمْ يَشْتَرِكَا ثَبَتَ قَوْلُنَا؛ لِأَنَّ كُلَّ مَنْ أَفْرَدَهُمَا جَعَلَ الْعَشْرَ مِنَ الْمَعْلُومَاتِ، وَأَيَّامَ التشريق من المعدودات وقال تعالى: {وَالفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ) {الفجر: 3) قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ: ” وليالٍ عشرٍ ” يعني: عشر ذي الحجة ” والشفع ” يعني: يوم النحر والوتر يعني يوم عرفة فلما جعل في الْعَشْرِ الَّتِي شَرَّفَهَا وَأَقْسَمَ بِهَا يَوْمَ النَّحْرِ وَعَرَفَةَ وَهُمَا مِنَ الْمَعْلُومَاتِ عَلِمَ أَنَّ مَا دَخَلَا فِيهِ مِنَ الْعَشْرِ كُلِّهِ مِنَ الْمَعْلُومَاتِ وروى ابن أبي حسين بن جُبَيْرُ بْنُ مُطْعِمٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذبحٌ ” وَمَالِكٌ يَمْنَعُ مِنَ الذَّبْحِ فِي الْيَوْمِ الثَّالِثِ، وَلِأَنَّ يَوْمَ الْحَادِيَ عَشَرَ يَوْمٌ يُسَنُّ فِيهِ رَمْيُ الْجَمَرَاتِ الثلاث فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمَعْلُومَاتِ كَالثَّالِثَ عَشَرَ، وَلِأَنَّ مَا دَخَلَ فِي أَحَدِ الْعَدَدَيْنِ انْتَفَى عَنِ الْآخَرِ كَالْعَاشِرِ لَمَّا دَخَلَ فِي الْمَعْلُومَاتِ انْتَفَى عَنِ الْمَعْدُودَاتِ وَكَالثَّالِثَ عَشَرَ لَمَّا دَخَلَ فِي الْمَعْدُودَاتِ انْتَفَى عَنِ الْمَعْلُومَاتِ.

Dan dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa Allah Ta‘ala menyebut keduanya dengan dua nama yang berbeda, maka hal itu menunjukkan bahwa dua yang dinamai itu berbeda. Dan apabila keduanya berbeda, maka tidak boleh digabungkan. Maka apabila keduanya berdiri sendiri dan tidak bergabung, tetaplah pendapat kami; karena setiap orang yang memisahkan antara keduanya menjadikan sepuluh (hari pertama Dzulhijjah) termasuk ma‘lūmāt, dan hari-hari tasyriq termasuk ma‘dūdāt. Dan Allah Ta‘ala berfirman: “Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil” (QS. al-Fajr: 3). Para ahli ilmu berkata: “dan malam yang sepuluh” maksudnya adalah sepuluh (hari) Dzulhijjah, “yang genap” maksudnya hari nahr, dan “yang ganjil” maksudnya hari ‘Arafah. Maka ketika Dia menjadikan hari nahr dan ‘Arafah, yang keduanya termasuk ma‘lūmāt, berada dalam sepuluh hari yang dimuliakan dan yang Allah bersumpah dengannya, diketahuilah bahwa semua yang termasuk dalam sepuluh itu adalah dari ma‘lūmāt.

Dan Ibn Abī Ḥusain meriwayatkan dari Jubair bin Muṭ‘im dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Seluruh hari-hari tasyriq adalah hari penyembelihan.” Dan Malik melarang penyembelihan pada hari ketiga belas. Dan karena hari kesebelas adalah hari yang disunnahkan untuk melempar tiga jumrah, maka tidak boleh ia termasuk dalam ma‘lūmāt sebagaimana hari ketiga belas. Dan karena sesuatu yang masuk dalam salah satu dari dua kategori tidak termasuk dalam yang lain, seperti hari kesepuluh: ketika ia masuk dalam ma‘lūmāt, maka ia keluar dari ma‘dūdāt; dan seperti hari ketiga belas: ketika ia masuk dalam ma‘dūdāt, maka ia keluar dari ma‘lūmāt.


وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْآيَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الشَّيْءَ قَدْ يُضَافُ إِلَى الْجُمْلَةِ وَإِنْ كَانَ يَقَعُ فِي بَعْضِ تِلْكَ الْجُمْلَةِ كَمَا قال تعالى: {سَبْع سَمَواِتٍ طِبَاقاً وجَعَلَ القَمَرَ فِيهِنَّ نُوراً) {نوح: 16) وَلَيْسَ الْقَمَرُ في جَمِيعَهَا وَإِنَّمَا هُوَ فِي وَاحِدَةٍ مِنْهَا وَكَقَوْلِهِ تَعَالَى: {الْحَجُّ أشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ) (البقرة: 197) وَلَيْسَ الْحَجُّ فِي جَمِيعِهَا وَإِنَّمَا هُوَ فِي بَعْضِهَا وَكَمَا يُقَالُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ وَلَيْسَتِ الْجُمُعَةُ تُقَامُ فِي جَمِيعِ الْيَوْمِ وَإِنَّمَا تُقَامُ فِي بَعْضِهِ. وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَضَافَ الذِّكْرَ عَلَى الْبَهِيمَةِ إِلَى الْأَيَّامِ الْمَعْلُومَاتِ وَالذِّكْرُ عِنْدَنَا يَقَعُ فِي جَمِيعِ الْعَشْرِ؛ لِأَنَّهُ إِذَا سَاقَ الْهَدْيَ وَسَمَّى اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى وَكَبَّرَ مِنْ أَوَّلِ الْعَشْرِ عَلَى مَا فَعَلَ الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَجَرَى بِهِ الْعَمَلُ فَأَمَّا الْمَنَافِعُ الَّتِي أَرَادَهَا اللَّهُ تَعَالَى بِقَوْلِهِ: {لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ) {الحج: 28) فَفِيهَا ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

Adapun jawaban terhadap istidlāl mereka dengan ayat, maka dari dua sisi:

pertama: bahwa sesuatu kadang disandarkan kepada keseluruhan, meskipun ia hanya terjadi pada sebagian dari keseluruhan itu. Sebagaimana firman Allah Ta‘ālā: “tujuh langit yang bertingkat-tingkat, dan Dia menjadikan bulan di dalamnya sebagai cahaya” (QS Nūḥ: 16), padahal bulan tidak berada dalam seluruh langit, melainkan hanya pada salah satu darinya. Dan sebagaimana firman-Nya Ta‘ālā: “ḥajj adalah beberapa bulan yang diketahui” (QS al-Baqarah: 197), padahal ḥajj tidak dilakukan dalam seluruh bulan tersebut, melainkan hanya pada sebagian darinya. Dan seperti ucapan: “hari Jumat”, padahal salat Jumat tidak dilaksanakan sepanjang hari itu, melainkan hanya pada sebagian darinya.

jawaban kedua: bahwa Allah Ta‘ālā menyandarkan dzikir atas bahīmah kepada al-ayyām al-ma‘lūmāt, dan dzikir menurut kami terjadi sepanjang sepuluh hari itu, karena jika seseorang menggiring hady lalu menyebut nama Allah Ta‘ālā dan bertakbir sejak awal sepuluh hari, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat raḍiyallāhu ‘anhum dan sebagaimana menjadi amal yang berjalan (di masyarakat), maka hal itu termasuk dzikir yang dimaksud.

Adapun manāfi‘ (manfaat-manfaat) yang dimaksud oleh Allah Ta‘ālā dalam firman-Nya: “agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka” (QS al-Ḥajj: 28), maka di dalamnya terdapat tiga pendapat:


أَحَدُهَا: إِنَّهَا الْمَوَاقِفُ وَقَضَاءُ الْمَنَاسِكِ.
وَالثَّانِي: إِنَّهَا الْمَغْفِرَةُ.

والثالث: إنها التجارة.
فإن قيل فلما ذَكَرَهَا اللَّهُ تَعَالَى بِهَذَيْنِ الِاسْمَيْنِ الْمُخْتَلِفَيْنِ؛ قِيلَ: لأم عَلِمَهُ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ سَمَّى الْمَعْلُومَاتِ بِهَذَا الِاسْمِ؛ لِأَنَّ مَا عُلِمَ مِنْ أَفْعَالِ الْحَجِّ يَقَعُ فِيهَا كَالتَّعْرِيفِ يَوْمَ عَرَفَةَ وَالرَّمْيِ وَالنَّحْرِ وَالطَّوَافِ يَوْمَ النَّحْرِ كَمَا أَنَّ الْحَجَّ أَشْهَرٌ مَعْلُومَاتٌ مِنْ أَجْلِ مَا عُلِمَ فِيهِنَّ مِنَ الْحَجِّ وَسَمَّى الْمَعْدُودَاتِ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ؛ لِأَنَّهَا أَيَّامٌ مَعْدُودَةٌ مُسْتَوِيَةُ الْأَحْكَامِ فِي الرَّمْيِ وَالتَّلْبِيَةِ وَالنَّحْرِ، فَإِنْ قِيلَ فَيَوْمُ النَّحْرِ يَقَعُ فِيهِ النَّحْرُ قِيلَ لَمْ يَقَعْ فِيهِ لِنَفْسِهِ وَإِنَّمَا وَقَعَ فيه؛ لأنه يقع لِمَا يَتَعَلَّقُ الْإِحْلَالُ بِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Salah satunya: bahwa ia adalah tempat-tempat wuqūf dan pelaksanaan manāsik.
 Yang kedua: bahwa ia adalah ampunan.
 Yang ketiga: bahwa ia adalah perdagangan.

Jika dikatakan: mengapa Allah Ta‘ala menyebutnya dengan dua nama yang berbeda? Maka dijawab: untuk menunjukkan bahwa Dia mengetahuinya, dan boleh jadi bahwa Allah menamai ma‘lūmāt dengan nama itu karena apa yang diketahui dari amalan-amalan haji terjadi pada hari-hari tersebut, seperti ta‘rīf pada hari ‘Arafah, melempar (jumrah), menyembelih (kurban), dan thawaf pada hari nahr; sebagaimana (disebutkan bahwa) haji adalah asyhurun ma‘lūmāt karena apa yang diketahui di dalamnya dari rangkaian haji.

Dan Dia menamai ma‘dūdāt sebagai hari-hari tasyriq, karena ia adalah hari-hari yang terhitung, dengan hukum-hukum yang sama dalam hal melempar, talbiyah, dan penyembelihan.

Jika dikatakan: bukankah penyembelihan terjadi pada hari nahr? Maka dijawab: tidaklah ia terjadi karena hari itu sendiri, melainkan terjadi karena berkaitan dengan hal yang menyangkut pelepasan (iḥlāl) darinya. Dan Allah-lah yang lebih mengetahui.


فَإِنْ قِيلَ أَيُّ الْأَيَّامِ أَشْرَفُ الْمَعْلُومَاتُ أَوِ الْمَعْدُودَاتُ؟ قيل المعلومات أشرف لقوله تعالى: {وَالفَجْرِ وَلَيالٍ عَشْرٍ) {الْفَجْرِ: 1) وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنْ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّحْمِيدِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ إِلَّا الْمُعَفَّرُ في التراب “.

Jika dikatakan: hari-hari manakah yang lebih mulia, ma‘lūmāt atau ma‘dūdāt?
 Dijawab: ma‘lūmāt lebih mulia, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Demi fajar, dan malam yang sepuluh” (QS. al-Fajr: 1).

Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Tidak ada hari-hari yang amal di dalamnya lebih dicintai oleh Allah Ta‘ala daripada sepuluh (hari) Dzulhijjah, maka perbanyaklah di dalamnya tahlīl dan taḥmīd.”
 Lalu dikatakan: Wahai Rasulullah, apakah (lebih utama) daripada jihad di jalan Allah Ta‘ala?
 Beliau menjawab: “Tidak pula jihad, kecuali seseorang yang wajahnya berlumur debu.”

 

(قال الشافعي) رضي الله عنه: ” وَالْهَدْيُ مِنَ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ فَمَنْ نَذَرَ لِلَّهِ هَدْيًا فَسَمَّى شَيْئًا فَهُوَ عَلَى مَا سَمَّى وَإِنْ لَمْ يُسَمِّهِ فَلَا يُجْزِئُهُ مِنَ الإبل والبقر والغنم الأنثى فَصَاعِدًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ الْهَدْيِ ضَرْبَانِ وَاجِبٌ وَغَيْرُ وَاجِبٍ فَأَمَّا غَيْرُ الْوَاجِبِ فَهُوَ مَوْقُوفٌ عَلَى خِيَارِهِ، وَأَمَّا الْوَاجِبُ فَضَرْبَانِ: ضَرْبٌ وَجَبَ بِالشَّرْعِ، وَضَرْبٌ وَجَبَ بِالنَّذْرِ.

Bab Nazar Untuk Hadyu

(asy-Syāfi‘ī) raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “dan hadyu adalah dari unta, sapi, dan kambing. Barang siapa bernazar untuk Allah dengan hadyu lalu menyebut jenis tertentu, maka berlaku sesuai yang ia sebut. Dan jika ia tidak menyebutnya, maka tidak sah baginya dari unta, sapi, dan kambing kecuali yang betina dan yang lebih tinggi (dari segi umur atau jenis).”

al-Māwardī berkata: keseluruhan hadyu terbagi dua: wājib dan ghair wājib. Adapun yang ghair wājib, maka tergantung pada pilihannya (orang yang beribadah). Adapun yang wājib, maka terbagi dua:
 jenis yang wajib karena syariat, dan
 jenis yang wajib karena nazar.


فَأَمَّا الْوَاجِبُ بِالشَّرْعِ فَهُوَ مَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ مِنْ هَدْيِ الْإِحْصَارِ، وَالْمُتْعَةِ، وَالْقِرَانِ، وَسَائِرِ الدِّمَاءِ الْوَاجِبَةِ فِي الْحَجِّ إِمَّا لِتَرْكِ مَأْمُورٍ أَوْ لِارْتِكَابِ مَحْظُورٍ وَقَدْ فَصَّلْنَا جَمِيعَهَا وَذَكَرْنَا حُكْمَ كُلٍّ وَاحِدٍ مِنْهَا.
وَأَمَّا الْوَاجِبُ بِالنَّذْرِ فَضَرْبَانِ: مُعَيَّنٌ، وَغَيْرُ مُعَيَّنٍ.
فَأَمَّا الْمُعَيَّنُ فَهُوَ أَنْ يَقُولَ لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُهْدِيَ هَذِهِ الْبَدَنَةَ أَوْ هَذِهِ الْبَقَرَةَ، أَوْ هَذِهِ الشَّاةَ، أَوْ هَذَا الثَّوْبَ، أَوْ هَذَا الدِّينَارَ، أَوْ هَذَا الطَّعَامَ فَعَلَيْهِ أَنْ يُهْدِيَ مَا عَيَّنَهُ فِي نَذْرِهِ سَوَاءٌ أَكَانَ مِمَّا يَجُوزُ أُضْحِيَةً أَمْ لَا فَإِنْ أَرَادَ أن يبدله بغيره ولم يَجُزْ سَوَاءٌ أَبَدَّلَهُ بِمِثْلِهِ أَوْ فَوْقَهُ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيهِ بِبَيْعٍ وَلَا هِبَةٍ وَلَا غَيْرِهِ وَإِنْ مَاتَ لَمْ يُورَثْ عَنْهُ.

Adapun yang wajib secara syar‘i adalah apa yang telah disebutkan sebelumnya, berupa hady karena iḥṣār, tamattu‘, qirān, dan seluruh darah yang diwajibkan dalam haji, baik karena meninggalkan perintah atau karena melakukan larangan. Kami telah merincikan semuanya dan menyebutkan hukum masing-masing darinya.

Adapun yang wajib karena nadzar, maka terbagi dua: yang tertentu (mu‘ayyan) dan yang tidak tertentu (ghayr mu‘ayyan).

Adapun yang tertentu, yaitu seseorang berkata: “Atas tanggunganku karena Allah untuk menyembelih unta ini, atau sapi ini, atau kambing ini, atau pakaian ini, atau dinar ini, atau makanan ini,” maka wajib atasnya untuk menyembelih apa yang telah ia tentukan dalam nadzarnya, baik dari sesuatu yang boleh dijadikan kurban atau tidak. Jika ia ingin menukarnya dengan yang lain, maka tidak boleh, baik ia menukarnya dengan yang sepadan atau yang lebih baik. Dan tidak boleh baginya untuk menggunakannya dalam bentuk jual beli, hibah, atau lainnya. Dan jika ia meninggal, maka benda itu tidak diwariskan darinya.


وَقَالَ أبو حنيفة: إِذَا عَيَّنَهُ بِنَذْرٍ لَمْ يَخْرُجْ مِنْ مِلْكِهِ وَيَجُوزُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيهِ بِأَنْ يَبِيعَهُ وَيَشْتَرِيَ بِثَمَنِهِ هَدْيًا غَيْرَهُ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي جَوَازِ إِخْرَاجِ الْقِيمَةِ فِي الزَّكَاةِ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ مَعَ مَا تَقَدَّمَ الْكَلَامُ فِي إِخْرَاجِ الْقِيمَةِ فِي الزَّكَوَاتِ مَا رَوَى سَالِمُ بْنِ عَبْدِ اللَهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أهدى بختياً له فَأُعْطِيَ بِهِ ثَلَاثَ مِائَةِ دينارٍ فَأَتَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ: أَهْدَيْتُ بُخْتِيًّا فَأُعْطِيتُ بِهِ ثَلَاثَ مِائَةِ دينارٍ فَأَبِيعُهُ وَأَشْتَرِي بِثَمَنِهِ بُدْنًا؟ قَالَ: لَا انْحَرْهُ ” فَلَوْ جَازَ بَيْعُهُ بَعْدَ أَنْ تَعَيَّنَ فِي النَّذْرِ لَأَذِنَ فِيهِ؛ لِأَنَّ الْبُدْنَ أَوْفَرُ عَلَى الْمَسَاكِينِ لَحْمًا مِنَ النَّجِيبِ الَّذِي لَا لحم فيه.

berkata Abū Ḥanīfah: jika seseorang menentukan hewan tertentu melalui nazar, maka hewan itu tidak keluar dari kepemilikannya, dan boleh baginya untuk melakukan transaksi terhadapnya, seperti menjualnya lalu membeli hadyu lain dengan harganya, berdasarkan pada pendapat asal beliau yang membolehkan mengeluarkan nilai (harga) dalam zakat.

Dan dalil yang menunjukkan hal itu, selain dari pembahasan terdahulu tentang bolehnya mengeluarkan nilai dalam zakat, adalah riwayat dari Sālim bin ‘Abdillāh bin ‘Umar dari ayahnya, bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu pernah menghadiahkan seekor unta bukhtī, lalu ia ditawari seharga tiga ratus dinar. Maka ia mendatangi Rasulullah SAW dan berkata: “Aku telah menghadiahkan seekor bukhtī, lalu aku ditawari tiga ratus dinar. Bolehkah aku menjualnya dan membeli budn (unta kurban) dengan harganya?” Beliau bersabda: “Jangan, sembelihlah dia.” Maka seandainya boleh menjualnya setelah ditentukan dalam nazar, tentu beliau mengizinkannya, karena budn lebih banyak memberikan daging kepada kaum miskin dibandingkan najīb yang tidak banyak dagingnya.

 

فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ مَا تَعَيَّنَ إِيجَابُهُ بِالنَّذْرِ لَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ وَلَا التَّصَرُّفُ فِيهِ، انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى مَا يَصِيرُ بِهِ وَاجِبًا وَذَلِكَ ضَرْبَانِ: إِمَّا أَنْ يُوجِبَهُ عَلَى نَفْسِهِ بِقَوْلِهِ أَوْ بِنِيَّتِهِ، فَإِنْ أَوْجَبَهُ عَلَى نَفْسِهِ بِقَوْلِهِ فَقَدْ وَجَبَ سَوَاءٌ قَلَّدَهُ وَأَشْعَرَهُ أَمْ لَا وَإِيجَابُهُ بِالْقَوْلِ أَنْ يَقُولَ: لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُهْدِيَ هَذِهِ الْبَدَنَةَ، وَإِنْ أَوْجَبَهُ بِنِيِّتِهِ وَهُوَ أَنْ يَنْوِيَ هَذِهِ الْبَدَنَةَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَلَفَّظَ بِلِسَانِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أن لا يوجد منه غير النية حسب من غير أن يقلد ويشعر أن يَكُونَ ذَلِكَ مِمَّا لَا يُقَلَّدُ وَلَا يُشْعَرُ فَهَذَا غَيْرُ وَاجِبٍ وَهُوَ عَلَى أَصْلِ مِلْكِهِ لَا يَلْزَمُهُ هَدْيُهُ، لِأَنَّ الْأَمْوَالَ الْمُخْرَجَةَ فِي الْقُرَبِ لَا تَلْزَمُ بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ كَالضَّحَايَا وَالْعِتْقِ.

PASAL
 Maka apabila telah tetap bahwa sesuatu yang ditentukan wajib karena nadzar tidak boleh dijual dan tidak boleh digunakan dalam bentuk apa pun, maka pembahasan berpindah kepada hal yang menjadikannya wajib, dan hal itu terbagi dua:
 yaitu dengan mewajibkannya atas dirinya melalui ucapan atau melalui niat.

Jika ia mewajibkannya atas dirinya dengan ucapan, maka telah menjadi wajib, baik ia men-taqlīd-nya dan men-iś‘ār-nya atau tidak.
 Dan mewajibkannya dengan ucapan adalah dengan mengatakan: “Atas tanggunganku karena Allah untuk menyembelih unta ini.”

Dan jika ia mewajibkannya dengan niat, yaitu ia meniatkan unta ini (sebagai hady) tanpa melafalkan dengan lisannya, maka ini terbagi dua:

Pertama: ia tidak melakukan selain niat semata, tanpa taqlīd dan iś‘ār, dan benda tersebut termasuk yang tidak biasa di-taqlīd dan di-iś‘ār, maka ini tidak menjadi wajib dan tetap dalam kepemilikannya, dan tidak wajib atasnya untuk menyembelihnya sebagai hady, karena harta-harta yang dikeluarkan dalam rangka ibadah tidak menjadi wajib hanya dengan niat saja, seperti uḍḥiyyah dan pembebasan budak.


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَضُمَّ إِلَى نِيَّتِهِ التَّقْلِيدَ وَالْإِشْعَارَ وَهُوَ أَنْ يَنْوِيَ هَدْيَ هَذِهِ الْبَدَنَةِ وَيُقَلِّدَهَا وَيُشْعِرَهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَلَفَّظَ بِإِيجَابِهَا فَفِيهَا قَوْلَانِ ذَكَرَهُمَا أَبُو حَامِدٍ فِي جَامِعِهِ أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: إِنَّهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ لِمَا ذَكَرْنَا.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهَا قَدْ وَجَبَتْ وَلَيْسَ لَهُ الرُّجُوعُ فِيهَا؛ لِأَنَّ التَّقْلِيدَ وَالْإِشْعَارَ مَعَ النِّيَّةِ عِلْمٌ ظَاهِرٌ كَالْقَوْلِ فَوَجَبَتْ بِهِ كَمَا تَجِبُ بِالْقَوْلِ فَهَذَا حُكْمُ الْهَدْيِ الْمُعَيَّنِ.

Dan jenis yang kedua: yaitu seseorang menyertakan dalam niatnya tindakan taqlīd dan isy‘ār, yaitu bahwa ia meniatkan hewan ini sebagai hadyu, lalu ia mengalungkan tanda padanya (taqlīd) dan melukai punuknya (isy‘ār), tanpa mengucapkan secara lisan penetapan (wajibnya). Maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang disebutkan oleh Abū Ḥāmid dalam Jāmi‘-nya:

Salah satu dari dua pendapat: bahwa hewan itu belum menjadi wajib, sebagaimana yang telah kami sebutkan.

Dan pendapat kedua: bahwa ia telah menjadi wajib dan tidak boleh ia menarik kembali niat tersebut, karena taqlīd dan isy‘ār yang disertai dengan niat merupakan bentuk penetapan yang tampak, sebagaimana ucapan. Maka ia menjadi wajib dengan hal itu sebagaimana menjadi wajib dengan ucapan.

Inilah hukum hadyu yang ditentukan (secara spesifik).


فَصْلٌ
: فَأَمَّا غَيْرُ الْمُعَيَّنِ فَضَرْبَانِ: مُطْلَقٌ، وَمُقَيَّدٌ.
فَأَمَّا الْمُقَيَّدُ فَهُوَ أَنْ يَقُولَ: لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُهْدِيَ كَذَا فَعَلَيْهِ أَنْ يُهْدِيَ مَا سَمَّاهُ سَوَاءٌ جَازَ أُضْحِيَةً أَمْ لَا حَتَّى لَوْ سَمَّى بَيْضَةً لَمْ يَلْزَمْهُ غَيْرُهَا فَإِنْ نَوَى هَدْيَ شَيْءٍ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَلَفَّظَ بِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ بِخِلَافِ الْمُعَيَّنِ قَوْلًا وَاحِدًا.
وَأَمَّا الْمُطْلَقُ فَهُوَ أَنْ يَقُولَ لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُهْدِيَ هَدْيًا وَيُطْلِقَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُعَيِّنَهُ فِي شَيْءٍ وَلَا يُقَيِّدَهُ لِشَيْءٍ فَفِيمَا يَلْزَمُهُ بِهَذَا الْإِطْلَاقِ قَوْلَانِ:

PASAL
 Adapun nadzar yang tidak tertentu, maka terbagi dua: muṭlaq dan muqayyad.

Adapun muqayyad, yaitu seseorang berkata: “Atas tanggunganku karena Allah untuk menyembelih (sebagai hady) sesuatu dengan sifat tertentu,” maka wajib atasnya untuk menyembelih apa yang ia sebutkan, baik termasuk yang sah dijadikan uḍḥiyyah atau tidak.
 Bahkan seandainya ia menyebutkan telur, maka tidak wajib baginya selain itu.
 Jika ia hanya meniatkan menyembelih sesuatu sebagai hady tanpa melafalkannya, maka tidak menjadi wajib, berbeda dengan nadzar yang tertentu, berdasarkan satu pendapat.

Adapun muṭlaq, yaitu ia berkata: “Atas tanggunganku karena Allah untuk menyembelih hady,” dan ia mengucapkan secara umum tanpa menetapkan pada sesuatu tertentu dan tanpa mengaitkannya pada sesuatu tertentu, maka mengenai apa yang wajib atasnya dalam bentuk nadzar yang umum ini, terdapat dua pendapat.


أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ قَالَهُ فِي كِتَابِ ” النُّذُورِ ” إِنَّهُ يَلْزَمُهُ مَا يَجُوزُ فِي الصَّدَقَةِ مِنَ النَّعَمِ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ مِنْ قَلِيلٍ أَوْ مِنْ كَثِيرٍ حَتَّى لَوْ أَهْدَى بَيْضَةً أَوْ تَمْرَةً أَجْزَأَهُ؛ لَأَنَّ اسْمَ الْهَدْيِ يَنْطَلِقُ عَلَى النَّعَمِ وَغَيْرِ النَّعَمِ لُغَةً وَشَرْعًا.
أَمَّا اللُّغَةُ: فَلِأَنَّ الْهَدْيَ مَأْخُوذٌ مِنَ الْهَدِيَّةِ وَالْهَدِيَّةُ لَا تَخْتَصُّ بِالنَّعَمِ دُونَ غَيْرِهَا وَأَمَّا الشَّرْعُ: فَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَجَزَاءٌ مِثْلَ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْياً بَالِغَ الكَعْبَةِ) {المائدة: 95) وَقَدْ يَجِبُ فِي الْجَزَاءِ مَا لَا يَجُوزُ أُضْحِيَةً وَقَدْ سَمَّاهُ اللَّهُ تَعَالَى هَدْيًا، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ فِي التَّبْكِيرِ إِلَى الْجُمُعَةِ: ” وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً “.

Pertama: yaitu pendapatnya dalam qaul qadīm yang ia sebutkan dalam kitab an-Nużūr, bahwa wajib atasnya (orang yang bernazar) apa pun yang boleh dijadikan sebagai sedekah, baik dari binatang ternak maupun selainnya, baik sedikit maupun banyak. Maka seandainya ia menghadiahkan sebutir telur atau sebiji kurma, maka itu sah baginya; karena nama hadyu secara bahasa dan syariat mencakup binatang ternak maupun selainnya.

Adapun secara bahasa: karena hadyu diambil dari kata hadiyyah (hadiah), dan hadiyyah tidak terbatas pada binatang ternak saja, tetapi mencakup selainnya.

Adapun secara syar‘i: karena firman-Nya Ta‘ālā: “maka (wajib atasnya) membayar fidyah dengan binatang ternak yang sebanding dengan yang dibunuh, yang diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kalian, sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka‘bah” (QS al-Mā’idah: 95). Dan bisa jadi dalam bentuk fidyah diwajibkan sesuatu yang tidak sah sebagai uḍḥiyyah, namun tetap dinamakan oleh Allah sebagai hadyu.

Dan telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda tentang keutamaan datang lebih awal ke salat Jumat: “Dan barang siapa datang pada jam kelima, maka seolah-olah ia mempersembahkan sebutir telur.”

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة إِنَّهُ يَلْزَمُهُ مِنَ النَّعَمِ مَا يَجُوزُ أُضْحِيَةً وَذَلِكَ الثَّنِيُّ مِنَ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْمَاعِزِ وَالْجَزَعُ مِنَ الضَّأْنِ، فَإِنْ أَهْدَى مَا لَا يَجُوزُ أُضْحِيَةً لَمْ يُجْزِهِ، لِأَنَّ الِاسْمَ الْمُطْلَقَ إِذَا كَانَ لَهُ حَقِيقَةٌ فِي اللُّغَةِ وَمَعْهُودٌ فِي الشَّرْعِ وَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى مَعْهُودِ الشَّرْعِ دُونَ حَقِيقَةِ اللُّغَةِ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَمَعْهُودُ الشَّرْعِ فِي الْهَدْيِ مَا يَجُوزُ مِنَ النَّعَمِ فِي الْأَضَاحِيِّ دُونَ غَيْرِهَا لِقَوْلِهِ تَعَالَى فِي الْمُتْعَةِ وَالْإِحْصَارِ: {فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الهَدْيِ) {البقرة: 196) ثُمَّ كَانَ إِطْلَاقُ هَذَا الْهَدْيِ يُوجِبُ إِخْرَاجَ مَا يَجُوزُ أُضْحِيَةً مِنَ النَّعَمِ فَكَذَلِكَ إِطْلَاقُ الْهَدْيِ مِنَ النَّذْرِ فَعَلَى هَذَا أَقَلُّ الْوَاجِبِ عَلَيْهِ شَاةٌ إِمَّا جَذَعٌ مِنَ الضَّأْنِ أَوْ ثَنِيٌّ مِنَ الْمَعْزِ فَلَوْ أَخْرَجَ بَقَرَةً أَوْ بَدَنَةً فَهَلْ يَكُونُ سُبُعُهَا وَاجِبًا أَوْ جميعها؟ على وجهين:

Pendapat kedua — yaitu pendapat dalam qaul jadīd, dan inilah pendapat Abū Ḥanīfah — bahwa yang wajib atasnya adalah dari jenis hewan ternak (na‘am) yang sah dijadikan uḍḥiyyah, yaitu unta, sapi, dan kambing yang telah mencapai usia tsanī serta domba yang telah mencapai usia jadz‘.

Maka jika ia menyembelih sesuatu yang tidak sah dijadikan uḍḥiyyah, tidak mencukupi baginya. Karena lafaz yang bersifat muṭlaq, apabila memiliki makna hakiki dalam bahasa dan juga memiliki pengertian yang dikenal dalam syariat, maka wajib dibawa kepada pengertian yang dikenal dalam syariat, bukan makna hakiki dalam bahasa, seperti halnya kata ṣalāh dan ṣiyām.

Adapun makna yang dikenal dalam syariat untuk hady adalah apa yang sah dari jenis ternak untuk uḍḥiyyah, bukan selainnya, berdasarkan firman-Nya Ta‘ala tentang tamattu‘ dan iḥṣār:
 “Maka apa yang mudah dari hady” (QS. al-Baqarah: 196).

Maka ketika hady yang disebut secara muṭlaq dalam ayat ini mewajibkan pengeluaran hewan ternak yang sah untuk uḍḥiyyah, maka demikian pula hady yang disebut dalam nadzar.

Berdasarkan ini, maka kadar minimal yang wajib atasnya adalah seekor kambing, baik berupa domba jadz‘ ataupun kambing tsanī.

Jika ia mengeluarkan seekor sapi atau unta, maka apakah yang wajib hanya sepertujuhnya atau seluruhnya? Maka terdapat dua wajah (pendapat).


أحدهما: أن يكون جَمِيعَهَا وَاجِبٌ؛ لِأَنَّ الْهَدْيَ يَنْطَلِقُ عَلَى الْبَدَنَةِ كَانْطِلَاقِهِ عَلَى الشَّاةِ فَلَمْ يَكُنْ تَخْيِيرُهُ بَيْنَهَا وبين ما هو أقل منها موجب لِإِسْقَاطِ الْإِيجَابِ فِي بَعْضِهَا كَالْكَفَّارَاتِ فَعَلَى هَذَا لَيْسَ لَهُ أَنْ يَأْكُلَ شَيْئًا مِنْهَا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّ الْوَاجِبَ سُبُعُهَا دُونَ مَا بَقِيَ مِنْ سِتَّةِ أَسْبَاعِهَا، لِأَنَّ كُلَّ سُبُعٍ مِنْهَا قَدْ أُقِيمَ مَقَامَ شَاةٍ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الْوَاجِبُ مَا قَابَلَ الشَّاةَ مِنْهَا وَبَاقِيهَا تَطَوُّعٌ فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ سِتَّةِ أَسْبَاعِهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pertama: bahwa seluruh bagian dari hadyu itu adalah wajib, karena istilah hadyu berlaku atas badnah sebagaimana berlaku atas kambing. Maka tidaklah adanya pilihan antara badnah dan sesuatu yang lebih rendah darinya menyebabkan gugurnya kewajiban pada sebagian bagiannya, sebagaimana pada kafārah. Berdasarkan ini, maka tidak boleh baginya memakan sedikit pun darinya.

Pendapat kedua: bahwa yang wajib hanyalah sepertujuh dari badnah, bukan enam per tujuh sisanya. Karena setiap sepertujuh dari badnah telah disetarakan dengan satu ekor kambing, maka hal itu menunjukkan bahwa yang wajib hanyalah bagian yang setara dengan kambing, dan sisanya adalah taṭawwu‘ (sunnah). Maka berdasarkan ini, boleh baginya memakan dari enam per tujuh sisanya. Wallāhu a‘lam.


فَصْلٌ
: إِذَا قَالَ: لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُهْدِيَ هَذِهِ الدَّارَ أَوْ هَذِهِ الْأَرْضَ أَوْ مَالَا يُنْقَلُ مِنَ الْعَقَارَاتِ فَعَلَيْهِ بَيْعُ ذَلِكَ وَحَمْلُ ثَمَنِهِ إِلَى الْحَرَمِ وَتَفْرِيقُهُ فِي الْمَسَاكِينِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ لَهُ نِيَّةٌ فَيُحْمَلَ عَلَى نِيَّتِهِ، فَإِنْ نَوَى أَنْ يُنْفِقَهُ وَيَصْرِفَ غَلَّتَهُ فِي مَصَالِحِ الْكَعْبَةِ فَعَلَى ذَلِكَ أَجْزَأَهُ وَإِنْ نَوَى أَنْ يُنْفِقَهُ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ نِيَّةٌ فِي مَصْرِفِ غَلَّتِهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يُنْفِقَهُ وَيَصْرِفَ غَلَّتَهُ فِي مَسَاكِينِ الْحَرَمِ.

PASAL
 Apabila seseorang berkata: “Atas tanggunganku karena Allah untuk menyembelih hady dari rumah ini, atau tanah ini, atau sesuatu dari benda tak bergerak (seperti bangunan atau lahan),” maka wajib atasnya untuk menjualnya dan membawa hasil penjualannya ke ḥaram (Tanah Suci) lalu membagikannya kepada orang-orang miskin di sana, kecuali jika ia memiliki niat tertentu, maka dipertimbangkan menurut niatnya.

Jika ia berniat untuk menafkahkan dan mengalokasikan hasil keuntungannya untuk kemaslahatan Ka‘bah, maka yang demikian itu mencukupi baginya.
 Dan jika ia hanya berniat menafkahkannya namun tidak memiliki niat tentang penyaluran hasil keuntungannya, maka wajib atasnya untuk menafkahkannya dan menyalurkan hasil keuntungannya kepada orang-orang miskin di ḥaram.


مَسْأَلَةٌ
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ويجزئه الذَّكَرُ وَالْأُنْثَى وَلَا يُجْزِئُهُ مِنَ الضَّأْنِ إِلَّا الجذع فصاعداً “.
إِذَا نَذَرَ هَدْيًا مِنَ النَّعَمِ غَيْرَ مُعَيَّنٍ أَجْزَأَهُ أَنْ يُهْدِيَ ذَكَرًا أَوْ أُنْثَى لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي اسْمِ الْهَدْيِ وَقَدْ رَوَى مِقْسَمٌ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَهْدَى مِائَةَ بدنةٍ فِيهَا جملٌ لِأَبِي جهلٍ عَلَيْهِ برةٌ مِنَ فِضَّةٍ وَاسْمُ الْجَمَلِ يَتَنَاوَلُ الذَّكَرَ دُونَ الْأُنْثَى، وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ الْهَدَايَا اللَّحْمُ وَلَحْمُ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى سَوَاءٌ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَوَى الذَّكَرُ وَالْأُنْثَى فِي جَوَازِ الْأُضْحِيَةِ كَذَلِكَ في الهدايا.

Masalah
 asy-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Sah baginya (berhadyu) dengan hewan jantan maupun betina, dan tidak sah dari kambing kecuali yang jadzā‘ ke atas.”

Jika seseorang bernazar untuk berhadyu dari binatang ternak tanpa menentukan jenis tertentu, maka sah baginya untuk menyembelih hewan jantan atau betina, karena keduanya sama-sama termasuk dalam nama hadyu. Dan telah diriwayatkan oleh Miqsam dari Ibn ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā bahwa Rasulullah SAW pernah menghadiahkan seratus ekor badnah, di antaranya ada seekor unta jantan milik Abū Jahl yang di lehernya terdapat kalung dari perak, dan nama jamal itu hanya mencakup jantan tanpa betina.

Dan karena maksud dari hadyāyā adalah daging, maka daging jantan dan betina itu sama. Dan karena jantan dan betina sama dalam kebolehan untuk uḍḥiyyah, maka begitu pula dalam hadyu.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَنْحَرَ دُونَ الْحَرَمِ وَهُوَ مَحِلُّهَا لِقَوْلِ اللَّهِ جَلَّ وَعَزَّ {ثُمَّ مَحَلُّهَا إِلَى البَيْتِ الَعِتيقِ} إِلَّا أَنْ يُحْصَرَ فَيَنْحَرَ حَيْثُ أُحْصِرَ كَمَا فعل النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في الحديبية “.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا أَوْجَبَ عَلَى نَفْسِهِ هَدْيًا فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يُعَيِّنَ مَوْضِعَ نَحْرِهِ أَوْ لَا يُعَيِّنَ فَإِنْ عَيَّنَ مَوْضِعَ نَحْرِهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يُفَرِّقَهُ حَيْثُ عَيَّنَ سَوَاءٌ كَانَ الْمَوْضِعُ الَّذِي عَيَّنَ نَحْرَهُ فِيهِ حِلًّا أَوْ حَرَمًا، فَلَوْ نَذَرَ أَنْ يَنْحَرَهُ بِمَكَّةَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْحَرَهُ بِغَيْرِهَا، وَلَوْ نَذَرَ أَنْ يَنْحَرَهُ بِالْبَصْرَةِ فَإِنْ نَحْرَهُ بِالْبَصْرَةِ أَجْزَأَهُ وَكَانَ أولى وإن نحره بغير الْإِرَاقَةَ وَالتَّفْرِقَةَ لِوُجُودِ الْقُرْبَةِ فِي الْإِرَاقَةِ وَفِي غَيْرِ الْحَرَمِ يَسْتَحِقُّ فِيهِ التَّفْرِقَةَ دُونَ الْإِرَاقَةِ فَلَا يَجُوزُ إِذَا عَيَّنَهُ بِالْبَصْرَةِ أَنْ يُفَرِّقَهُ بِغَيْرِهَا؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ حَقًّا لِمَسَاكِينِهَا، فَلَوْ سَاقَهُ إِلَى الْمَوْضِعِ الَّذِي عَيَّنَهُ فَأُحْصِرَ دُونَهُ جَازَ أَنْ يَنْحَرَهُ حَيْثُ أُحْصِرَ، وَكَذَلِكَ مَا سَاقَ مَعَهُ مِنَ الدِّمَاءِ الْوَاجِبَةِ عَلَيْهِ كَدَمِ الْمُتْعَةِ، وَالْقِرَانِ، وَدَمِ الطِّيبِ وَاللِّبَاسِ فَأُحْصِرَ دُونَ الْحَرَمِ فَنَحَرَهُ حَيْثُ أُحْصِرَ أَجْزَأَهُ، لِأَنَّهُ مَحِلُّ إِحْلَالِهِ فَهَذَا الْكَلَامَ فِي الْهَدْيِ الَّذِي عَيَّنَ مَوْضِعَ نَحْرِهِ.

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Tidak boleh menyembelihnya selain di haram, padahal itu adalah tempat penyembelihannya, berdasarkan firman Allah Jalla wa ‘Azz: {tsumma maḥilluhā ilā al-bayti al-‘atīq}, kecuali jika dia terhalang (muḥṣar), maka menyembelih di tempat ia terhalang, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW di Hudaibiyah.”

Al-Māwardī berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, yaitu apabila seseorang mewajibkan atas dirinya hadyu, maka keadaannya tidak lepas dari dua hal: pertama, ia menentukan tempat penyembelihannya; atau kedua, tidak menentukannya. Jika ia menentukan tempat penyembelihan, maka wajib baginya menyembelih di tempat yang telah ditentukan, baik tempat itu berada di wilayah ḥill atau ḥaram. Maka jika ia bernazar untuk menyembelihnya di Makkah, tidak boleh menyembelihnya di selain Makkah. Dan jika ia bernazar untuk menyembelihnya di Bashrah, maka jika ia menyembelihnya di Bashrah, itu sah dan lebih utama. Namun jika ia menyembelihnya di selain tempat yang ditentukan, maka yang sah adalah penyembelihannya saja karena unsur qurbah terdapat pada penyembelihan, sedangkan di luar ḥaram, yang menjadi kewajiban hanyalah pembagian daging, bukan penyembelihannya. Maka tidak boleh membagikannya di selain tempat yang telah ia tentukan, karena haknya telah menjadi milik para miskin di tempat itu. Maka jika ia menggiring hewan ke tempat yang ia tentukan, lalu ia terhalang sebelum sampai ke sana, maka boleh baginya menyembelih di tempat ia terhalang. Begitu pula hewan-hewan yang ia bawa bersamanya dari jenis darah yang wajib atasnya seperti dam tamattu‘, qirān, dam karena memakai wewangian dan pakaian, lalu ia terhalang sebelum sampai ke ḥaram, kemudian menyembelihnya di tempat ia terhalang, maka itu sah, karena itu adalah tempat ia menjadi halal. Inilah pembahasan mengenai hadyu yang telah ditentukan tempat penyembelihannya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا لَمْ يُعَيِّنْ مَوْضِعَ نَحْرِهِ بَلْ نَذَرَ هَدْيًا مُطْلَقًا فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ إِطْلَاقَ ذَلِكَ يُوجِبُ هَدْيَ مَا يَجُوزُ أُضْحِيَةً مِنَ النَّعَمِ دُونَ غَيْرِهَا فَعَلَيْهِ أَنْ يَنْحَرَهُ بِمَكَّةَ لِأَنَّنَا نَجْعَلُ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ حُكْمَ الْهَدْيِ الْوَاجِبِ بِالنَّذْرِ كَحُكْمِ الْهَدَايَا الْوَاجِبَةِ فِي الْحَجِّ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: {ثُمَّ مَحِلَُّهَا إِلَى البَيْتِ العَتِيقِ) {الحج: 33) فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ إِطْلَاقَ ذَلِكَ يُجِيزُ هَدْيَ النَّعَمِ وَغَيْرِهَا فَهَلْ يَلْزَمُهُ إِيصَالُهُ إِلَى الْحَرَمِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

PASAL
 Adapun jika ia tidak menentukan tempat penyembelihannya, melainkan bernazar hadyu secara mutlak, maka jika kita berpendapat bahwa kemutlakan tersebut mewajibkan hadyu berupa hewan ternak yang sah untuk udhiyah dan bukan selainnya, maka wajib baginya menyembelihnya di Makkah, karena menurut pendapat ini hukum hadyu yang wajib karena nazar disamakan dengan hukum hadyā yang wajib dalam haji. Dan Allah Ta‘ala telah berfirman: “Ṡumma maḥilluhā ilā al-bayt al-‘atīq” (QS. al-Ḥajj: 33). Maka jika kita berpendapat bahwa kemutlakan tersebut membolehkan hadyu dari hewan ternak maupun selainnya, maka apakah ia wajib membawanya sampai ke ḥaram atau tidak? Ada dua wajah pendapat.


أَحَدُهُمَا: يُجْزِئُهُ فِي غَيْرِ الْحَرَمِ، لِأَنَّنَا عَلَى هَذَا الْقَوْلِ نُجْرِيهِ مَجْرَى الصَّدَقَاتِ الَّتِي تَجُوزُ فِي الْحَرَمِ وَغَيْرِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ لَا يُجْزِئُهُ إِلَّا فِي الْحَرَمِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {هَدْياً بَالِغَ الكَعْبَةِ) {المائدة: 95) فَجَعَلَ شرطاً في الهدي إبلاغه الحرم.

Salah satu dari keduanya: sah baginya menyembelih di luar ḥaram, karena menurut pendapat ini, hadyu tersebut diperlakukan seperti ṣadaqāt yang sah dilakukan di dalam ḥaram maupun di luar ḥaram.

Dan pendapat kedua — dan inilah yang ṣaḥīḥ — tidak sah kecuali di dalam ḥaram, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Hadyan bāligha al-ka‘bah” (QS. al-Mā’idah: 95), maka Allah menjadikan penyampaian ke ḥaram sebagai syarat dalam hadyu.


مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ الْهَدْيُ بَدَنَةً أَوْ بَقَرَةً قَلَّدَهَا نَعْلَيْنِ وَأَشْعَرَهَا وَضَرَبَ شِقَّهَا الْأَيْمَنَ مِنْ مَوْضِعِ السَّنَامِ بحديدةٍ حَتَّى يُدْمِيَهَا وَهِيَ مستقبلةٌ الْقُبْلَةَ وَإِنْ كَانَتْ شاةٌ قَلَّدَهَا خربَ الْقِرَبِ وَلَا يُشْعِرُهَا وَإِنْ تَرَكَ التَّقْلِيدَ وَالْإِشْعَارَ أَجْزَأْهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا كَانَ الْهَدْيُ بَدَنَةً أَوْ بَقَرَةً فَمِنَ السُّنَّةَ تَقْلِيدُهَا وَإِشْعَارُهَا وَإِنْ كَانَتْ شَاةً فَمِنَ السُّنَّةِ تَقْلِيدُهَا دُونَ إِشْعَارِهَا سَوَاءٌ كَانَ هَدْيَ إِحْصَارٍ أَوْ غَيْرَهُ.

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika hadyu itu unta atau sapi, maka disunnahkan mengalungkan dua sandal padanya dan menandainya dengan memukul sisi kanannya di bagian punuk menggunakan besi hingga mengalirkan darah, dalam keadaan menghadap kiblat. Dan jika kambing, maka dikalungkan padanya qirbah yang rusak, tetapi tidak ditandai. Namun jika ia meninggalkan taqlīd dan isyi‘ār, maka tetap sah.”

Al-Māwardī berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, yaitu jika hadyu itu unta atau sapi, maka termasuk sunnah untuk mengalungkannya dan menandainya. Jika kambing, maka termasuk sunnah untuk mengalungkannya saja tanpa menandainya, baik itu hadyu karena iḥṣār ataupun bukan.


وَقَالَ أبو حنيفة: الْإِشْعَارُ بِدْعَةٌ مَكْرُوهَةٌ وَالتَّقْلِيدُ سُنَّةٌ إِلَّا فِي هَدْيِ الْإِحْصَارِ وَاسْتَدَلَّ عَلَى ذَلِكَ بِمَا رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ نَهَى عَنِ الْمُثْلَةِ وَفِي الْإِشْعَارِ مُثْلَةٌ وَبِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ نَهَى عَنْ تَعْذِيبِ الْحَيَوَانِ وَفِي الْإِشْعَارِ تَعْذِيبٌ لَهَا، وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ الْهَدْيِ لَحْمُهُ وَالْإِشْعَارُ يَهْزِلُهُ وَيُفْسِدُهُ وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَمَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَرَجَ حَتَّى إِذَا أَتَى ذَا الْحُلَيْفَةَ قَلَّدَ هَدْيَهُ وَأَشْعَرَهُ وَأَحْرَمَ وَلِأَنَّ فِي الْإِشْعَارِ أَغْرَاضًا مُسْتَفَادَةً فَجَازَ أَنْ يَكُونَ عِبَادَةً كَالْوَسْمِ فَمِنْ ذَلِكَ أَنْ تَتَمَيَّزَ بِالْإِشْعَارِ عَنْ غَيْرِهَا وَلِتُعْرَفَ إِذَا ضَلَّتْ فَيَسُوقُهَا وَاجِدُهَا وَلِيُؤْمَنَ بظهور الإشعار أن يرجع فيها مهدياً وليحتسب اللُّصُوصُ سَرِقَتَهَا وَلِيَتْبَعَهَا الْمَسَاكِينُ عِنْدَ مُشَاهَدَتِهَا.

Abu Ḥanīfah berkata: Isy‘ār adalah bid‘ah yang makruh, sedangkan taqlīd adalah sunnah kecuali pada hadyu iḥṣār. Ia berdalil dengan riwayat dari Rasulullah SAW bahwa beliau melarang al-mutslah (menyiksa dengan merusak bagian tubuh), sementara dalam isy‘ār terdapat unsur mutslah. Dan juga berdalil dengan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau melarang menyiksa hewan, sedangkan dalam isy‘ār terdapat penyiksaan terhadap hewan. Selain itu, tujuan dari hadyu adalah dagingnya, sementara isy‘ār menyebabkan hewan menjadi kurus dan rusak.

Adapun dalil kami adalah riwayat yang disampaikan oleh Imam al-Syafi‘i dari Sufyān dari az-Zuhrī dari ‘Urwah bin az-Zubair dari al-Miswar bin Makhramah dan Marwān bin al-Ḥakam, bahwa Rasulullah SAW berangkat hingga sampai ke Dzul-Ḥulaifah, lalu beliau mengalungkan dan menandai hadyu-nya, kemudian beriḥrām.

Dan karena dalam isy‘ār terdapat tujuan-tujuan yang bermanfaat, maka boleh dijadikan ibadah sebagaimana tanda bakar (wasm). Di antaranya: agar hewan itu bisa dibedakan dari selainnya, agar dikenal jika tersesat lalu yang menemukannya bisa menggiringnya, dan karena tampaknya tanda isy‘ār membuat orang segan untuk mengambilnya karena ia milik Allah, sehingga pencuri mengurungkan niatnya untuk mencurinya, serta agar para fakir miskin bisa mengikutinya ketika melihatnya.


وَأَمَّا ” نَهْيُهُ عَنِ الْمُثْلَةِ ” فَإِنَّمَا كَانَ فِي عَامِ أحد سنة ثلاث حِينَ مَثَّلَتْ قُرَيْشٌ بِعَمِّهِ حَمْزَةَ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ أَشْعَرَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ سَنَةَ سَبْعٍ فَعُلِمَ أَنَّ الْإِشْعَارَ لَيْسَ مِنَ الْمُثْلَةِ الَّتِي نَهَى عَنْهَا، وَأَمَّا نَهْيُهُ عَنْ تَعْذِيبِ الْبَهَائِمِ فَمَخْصُوصٌ فِيمَا لَا غَرَضَ فِيهِ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ الْإِشْعَارَ يَهْزِلُهَا فَلَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّهُ يَسِيرٌ لا يؤثر فيها بها الْوَسْمُ أَشُدُّ عَلَيْهَا.

Adapun larangan Nabi SAW terhadap mutslah (menyakiti atau merusak tubuh), maka itu terjadi pada tahun Perang Uhud, tahun ketiga, ketika Quraisy melakukan mutslah terhadap pamannya, Ḥamzah raḍiyallāh ‘anhu. Dan sungguh beliau telah melakukan isy‘ār pada tahun Ḥudaibiyah, tahun ketujuh, maka diketahui bahwa isy‘ār bukanlah termasuk mutslah yang dilarang olehnya.

Adapun larangannya terhadap penyiksaan terhadap hewan, maka itu khusus berlaku pada apa yang tidak ada maslahat di dalamnya. Adapun pernyataan mereka bahwa isy‘ār dapat membuat hewan menjadi kurus, maka itu tidak benar; karena isy‘ār itu ringan dan tidak berpengaruh terhadap hewan, bahkan cap (tanda) lebih berat darinya.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ التَّقْلِيدَ وَالْإِشْعَارَ سُنَّةٌ فَالتَّقْلِيدُ هُوَ: أَنْ يُقَلِّدَهَا بِالْحِبَالِ الْمَفْتُولَةِ مِنَ الْمَسَدِ وَغَيْرِهِ وَيُشَدُّ فِيهِ نَعْلٌ أَوْ قِطْعَةٌ مِنْ جِرَابٍ أَوْ قِرْبَةٍ.
وَأَمَّا الْإِشْعَارُ فَهُوَ: أَنْ يَضْرِبَ صَفْحَةَ سَنَامِهَا الْأَيْمَنِ بِحَدِيدَةٍ حَتَّى يَدْمَى.
وَقَالَ مَالِكٌ: وَابْنُ أَبِي لَيْلَى: يُشْعِرُهَا فِي سَنَامِهَا الْأَيْسَرِ.
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي حَسَّانٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَشْعَرَ بَدَنَتَهُ فِي الْجَانِبِ الْأَيْمَنِ ثُمَّ سَلَتِ الدَّمَ عَنْهَا ثُمَّ قَلَّدَهَا نَعْلَيْنِ.

PASAL:
 Apabila telah tetap bahwa taqlīd dan isy‘ār adalah sunnah, maka taqlīd adalah: mengalungkan tali yang dipilin dari masad (serabut) atau selainnya, dan pada tali tersebut diikatkan sandal atau potongan dari kantong atau qirbah.

Adapun isy‘ār adalah: memukul sisi kanan punuknya dengan besi hingga mengeluarkan darah.

Mālik dan Ibn Abī Lailā berkata: ditandai pada punuk kirinya.

Dalil kami adalah riwayat Qatādah dari Abū Ḥassān dari Ibn ‘Abbās bahwa Rasulullah SAW menandai unta hadyu beliau di sisi kanan punuknya, lalu mengusap darahnya, kemudian mengalungkan dua sandal padanya.


قَالَ أَصْحَابُنَا: وَيَسْتَحِبُّ أَنْ يُقَدِّمَ الْإِشْعَارَ عَلَى التَّقْلِيدِ لِحَدِيثِ ابن عباس وتختار أَنْ يَسْتَقْبِلَ بِهَا الْقِبْلَةَ عِنْدَ إِشْعَارِهَا وَتَقْلِيدِهَا؛ لِأَنَّ ابْنَ عُمَرَ هَكَذَا فَعَلَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلْبَدَنَةِ أَوِ الْبَقَرَةِ سَنَامٌ قَالَ الشَّافِعِيُّ: أشعر موضع سنامها، فأما الغنم تراجع فيقلدها فِي أَعْنَاقِهَا بِنَعْلٍ أَوْ قِطْعَةٍ مِنْ شَنٍّ وَلَا يُشْعِرُهَا؛ لِأَنَّهَا تَضْعُفُ عَنِ احْتِمَالِهِ.

Para sahabat kami berkata: disunnahkan mendahulukan isy‘ār atas taqlīd, berdasarkan hadis Ibnu ‘Abbās. Dan dipilih untuk menghadapkannya ke arah kiblat ketika melakukan isy‘ār dan taqlīd, karena Ibnu ‘Umar melakukan demikian.

Jika unta atau sapi tidak memiliki punuk, Imam al-Syafi‘i berkata: lakukan isy‘ār pada tempat punuknya. Adapun kambing, maka ia hanya diberi qalādah di lehernya berupa sandal atau potongan kulit bekas, dan tidak dilakukan isy‘ār padanya, karena ia lemah untuk menanggung isy‘ār tersebut.


فَصْلٌ
: فَإِذَا قَلَّدَ هَدْيَهُ وَأَشْعَرَهُ لَمْ يَصِرْ مُحْرِمًا مَا لَمْ يَعْقِدِ الْإِحْرَامَ.
وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ قَلَّدَ هَدْيَهُ وَلَبَّى صَارَ مُحْرِمًا وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ.
وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُمَا قَالَا: يَصِيرُ مُحْرِمًا بِالتَّقْلِيدِ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمَا حَدِيثُ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ زِيَادَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ كَتَبَ إِلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ قَالَ مَنْ أَهْدَى هَدْيًا حَرُمَ عَلَيْهِ مَا يَحْرُمُ عَلَى الْحَاجِّ فَقَالَتْ عَائِشَةُ لَيْسَ كَمَا قَالَ ابْنُ عباسٍ أَنَا قَلَّدْتُ قَلَائِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللَّهَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِيَدَيَّ ثُمَّ قَلَّدَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِيَدِهِ ثُمَّ بَعَثَ بِهَا مَعَ أَبِي فَلَمْ يَحْرُمْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللَّهُ لَهُ حَتَى نَحَرَ الْهَدْيَ.

PASAL:
 Apabila seseorang telah mengalungkan hadyu-nya dan menandainya (isy‘ār), maka ia belum menjadi muḥrim selama belum mengucapkan akad iḥrām.

Abū Ḥanīfah berpendapat: Jika ia telah mengalungkan hadyu-nya dan bertalbiyah, maka ia menjadi muḥrim. Dan pembahasan telah lewat bersamanya.

Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar dan Ibn ‘Abbās bahwa keduanya berkata: Seseorang menjadi muḥrim hanya dengan taqlīd.

Dalil atas kedua pendapat tersebut adalah hadis ‘Amrah binti ‘Abd al-Raḥmān, bahwa Ziyād bin Abī Sufyān menulis surat kepada ‘Ā’isyah RA, istri Nabi SAW, bahwa Ibn ‘Abbās berkata: Barangsiapa menghadiahkan hadyu, maka haramlah atasnya segala sesuatu yang diharamkan atas orang yang berhaji. Maka ‘Ā’isyah menjawab: Tidak seperti yang dikatakan oleh Ibn ‘Abbās. Aku sendiri yang mengalungkan kalung hadyu Rasulullah SAW dengan tanganku, lalu Rasulullah SAW sendiri yang mengalungkannya dengan tangannya, kemudian mengutusnya bersama ayahku, dan tidak haram atas Rasulullah SAW sesuatu pun dari apa yang dihalalkan Allah untuk beliau hingga beliau menyembelih hadyu-nya.

مسألة: (قال) : ” وَيَجُوزُ أَنْ يَشْتَرِكَ السَّبْعَةُ فِي الْبَدَنَةِ الْوَاحِدَةِ وفي البقرة كذلك وَرُوِيَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – البدنة بالحديبية عن سبعةٍ والبقرة عن سبعةٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ يَجُوزُ اشْتِرَاكُ السَّبْعَةِ فِي الْبَدَنَةِ أَوِ الْبَقَرَةِ سَوَاءٌ كَانُوا مُقَرِّبِينَ قُرَبًا مُتَّفِقَةً أَوْ مُخْتَلِفَةً وَسَوَاءٌ كَانَ بَعْضُهُمْ مُتَقَرِّبًا وَبَعْضُهُمْ غَيْرَ مُتَقَرِّبٍ.
وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ كَانُوا مُتَقَرِّبِينَ تَطَوُّعًا جَازَ وَإِنْ كَانُوا مُتَقَرِّبِينَ وَاجِبًا لَمْ يَجُزْ.

Masalah: (Beliau berkata): “Dan boleh tujuh orang berserikat dalam satu badnah, demikian pula dalam satu sapi. Diriwayatkan dari Jābir bin ‘Abdillāh bahwa ia berkata: ‘Kami menyembelih bersama Rasulullah SAW di Ḥudaibiyah satu unta untuk tujuh orang dan satu sapi untuk tujuh orang.’”

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, boleh tujuh orang berserikat dalam satu badnah atau sapi, baik mereka semua bertaqarrub dengan tujuan yang sama ataupun berbeda, dan baik sebagian dari mereka bertaqarrub dan sebagian lagi tidak bertaqarrub.

Imam Mālik berkata: Jika mereka bertaqarrub secara taṭawwu‘ (sunnah), maka boleh; namun jika mereka bertaqarrub dengan kewajiban, maka tidak boleh.


وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ كَانَ جَمِيعُهُمْ مُتَقَرِّبِينَ جَازَ، تَطَوُّعًا كَانَ أَوْ وَاجِبًا، وَإِنْ كَانَ بَعْضُهُمْ مُتَقَرِّبًا وَبَعْضُهُمْ غَيْرَ مُتَقَرِّبٍ لَمْ يَجُزْ وَالدَّلَالَةُ عَلَى مَالِكِ رِوَايَةِ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ذَبَحَ عَمَّنِ اعْتَمَرَ مِنْ نِسَائِهِ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ بَقَرَةً بَيْنَهُنُّ.
وَرَوَى عَطَاءٌ عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نَتَمَتَّعُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَيَشْتَرِكُ السَّبْعَةُ فِي بدنةٍ أَوْ بقرةٍ، وَلِأَنَّ كُلَّ بَدَنَةٍ جَازَ أَنْ يُهْدِيَهَا الْوَاحِدُ جَازَ أَنْ يُهْدِيَهَا الْجَمَاعَةُ كَالْمُتَطَوِّعِينَ.

Abu Ḥanīfah berkata: Jika seluruh peserta penyembelihan bertujuan untuk bertaqarrub, maka hal itu boleh—baik dalam rangka ṭathawwu‘ maupun yang wajib. Namun jika sebagian dari mereka bertujuan untuk bertaqarrub dan sebagian lagi tidak, maka tidak boleh.

Dalil bagi pendapat Mālik adalah riwayat Yaḥyā bin Abī Katsīr dari Abū Salamah dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW menyembelih seekor sapi untuk orang-orang yang melakukan ‘umrah dari kalangan istri-istri beliau dalam ḥajj al-wadā‘, sebagai sembelihan bersama di antara mereka.

Dan diriwayatkan oleh ‘Aṭā’ dari Jābir bahwa ia berkata: Kami melakukan tamattu‘ bersama Rasulullah SAW dan tujuh orang dari kami ikut serta dalam satu unta atau sapi.

Dan karena setiap unta boleh dijadikan hadyu oleh satu orang, maka boleh pula dijadikan hadyu oleh sekelompok orang, seperti para sukarelawan yang melakukan ṭathawwu‘.

وَالدَّلَالَةُ عَلَى أبي حنيفة رِوَايَةُ عَطَاءٍ الْخُرَاسَانِيِّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ رجلٌ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فقال علي بدنةٌ وأنا موسرٌ وَلَا أَجِدُ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اذْبَحْ سَبْعَ شياهٍ فَلَمَّا جَعَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْبَدَنَةَ وَسَبْعَ الشِّيَاهِ فِي الْحُكْمِ سَوَاءً كَانَ كُلَّ سبعٍ مِنْهَا بِإِزَاءِ شَاةٍ فَلَمْ يَضُرَّ اخْتِلَافُ جِهَاتِهِمْ، وَلِأَنَّ كُلَّ هَدْيٍ جَازَ أَنْ يَشْتَرِكَ فِيهِ السَّبْعَةُ فِي وُجُوهٍ مُخْتَلِفَةٍ قِيَاسًا عَلَى الْمُتَقَرِّبِينَ إِذَا كَانَتْ وُجُوهُ قُرَبِهِمْ مُخْتَلِفَةً.

Dan dalil bagi pendapat Abū Ḥanīfah adalah riwayat ‘Aṭā’ al-Khurāsānī dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata: Seorang lelaki datang kepada Nabi SAW lalu berkata: “Atasku ada kewajiban badnah, sementara aku mampu tetapi tidak menemukannya.” Maka Nabi SAW bersabda: “Sembelihlah tujuh ekor kambing.” Maka ketika Nabi SAW menyamakan hukum badnah dengan tujuh kambing, maka setiap satu dari tujuh bagian badnah itu setara dengan seekor kambing. Maka perbedaan tujuan dari para peserta tidaklah merusak (keabsahan ibadah tersebut).

Dan karena setiap hadyu boleh diserikatkan oleh tujuh orang dalam niat yang berbeda-beda, maka (serikat semacam itu) dianalogikan dengan mereka yang bertaqarrub jika tujuan taqarrub mereka berbeda-beda.


فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ اشْتِرَاكِ السَّبْعَةِ فِي الْبَدَنَةِ فَإِذَا اشْتَرَكُوا فِيهَا نَظَرْتَ فِي أَحْوَالِهِمْ فإنها لا تخلوا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونُوا مُتَقَرِّبِينَ عَنْ وَاجِبٍ عَلَيْهِمْ فَإِذَا ذَبَحُوهَا وَنَوَوْا بِهَا الْوَاجِبَ سَقَطَ الْفَرْضُ عَنْهُمْ وَعَلَيْهِمْ تَسْلِيمُهُ إِلَى الْفُقَرَاءِ مَذْبُوحًا فَإِذَا قَبَضُوهُ مُشَاعًا جَازَ أَنْ يتصرفوا فيه كيف شاؤوا وَأَقَلُّ مَا يُجْزِئُ أَنْ يَدْفَعَ كُلٌّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ سَهْمَهُ إِلَى ثَلَاثَةٍ فَإِنْ دَفَعُوهُ إِلَى أحد وَعِشْرِينَ فَقِيرًا لِيَكُونَ كُلُّ سَبْعٍ مِنْهَا مَدْفُوعًا إِلَى ثَلَاثَةٍ مِنْهُمْ أَجْزَأَ وَإِنْ دَفَعُوهُ إِلَى ثَلَاثَةٍ فَإِنْ قَصَدُوا أَنَّ حِصَّةَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ السَّبْعَةِ بَيْنَ الثَّلَاثَةِ أَجْزَأَهُ؛ لِأَنَّ مَنْ أَخَذَ مِنْ كَفَّارَةٍ جَازَ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ غَيْرِهَا وَإِنْ أَطْلَقُوهُ لَمْ يَجُزْ.

 

PASAL
 Apabila telah tetap bolehnya tujuh orang berserikat dalam satu badnah (unta atau sapi untuk kurban), maka apabila mereka berserikat di dalamnya, dilihat keadaan mereka. Keadaan mereka tidak lepas dari tiga bagian:

Pertama: bila mereka bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dari kewajiban yang wajib atas mereka, maka apabila mereka menyembelihnya dan meniatkan dengan itu untuk menunaikan kewajiban, gugurlah kewajiban dari mereka, dan wajib atas mereka menyerahkannya kepada orang-orang fakir dalam keadaan telah disembelih. Maka apabila mereka (orang-orang fakir) menerimanya dalam keadaan musya‘ (tidak terbagi secara fisik), boleh bagi mereka untuk mempergunakannya sebagaimana yang mereka kehendaki.

Dan kadar paling sedikit yang mencukupi adalah setiap satu orang dari mereka menyerahkan bagiannya kepada tiga orang fakir. Maka jika mereka menyerahkannya kepada dua puluh satu fakir — agar setiap tujuh bagian diserahkan kepada tiga orang dari mereka — maka hal itu mencukupi. Dan jika mereka menyerahkannya kepada tiga orang fakir saja, maka jika mereka bermaksud bahwa bagian masing-masing dari ketujuh orang itu terbagi kepada tiga orang tersebut, maka hal itu mencukupi. Karena siapa yang menerima dari kafarah, boleh baginya menerima dari selainnya. Namun jika mereka menyerahkannya secara mutlak tanpa niat tersebut, maka tidak mencukupi.

وَالْقِسْمُ الثُّانِي: أَنْ يَكُونُوا مُتَقَرِّبِينَ عَنْ وَاجِبٍ وَتَطَوُّعٍ فَإِنْ لَمْ يُرِدِ الْمُتَطَوِّعُ مِنْهُمْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ نَصِيبِهِ شَيْئًا خَلَّوْا بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْفُقَرَاءِ مَذْبُوحَةً عَلَى مَا مَضَى فَإِنْ أَرَادَ الْمُتَطَوِّعُ مِنْهُمْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ تَطَوُّعِهِ شَيْئًا خلا الْمُعْتَرِضُونَ بَيْنَ حِصَصِهِمْ وَبَيْنَ الْفُقَرَاءِ وَكَانَ هَذَا الْمُتَطَوِّعُ شَرِيكًا لَهُمْ فِيمَا يُرِيدُ أَنْ يَأْكُلَهُ عَلَى مَا نَذْكُرُهُ فِيمَا بَعْدُ.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ بَعْضُهُمْ مُتَقَرِّبًا وَبَعْضُهُمْ يُرِيدُ حِصَّتَهُ لَحْمًا فَيَنْبَغِي لِمَنْ كَانَ مِنْهُمْ مُتَقَرِّبًا أَنْ يُسَلِّمَ حِصَّتَهُ مُشَاعَةً إِلَى ثَلَاثَةِ فُقَرَاءَ وَيَكُونَ مَنْ أَرَادَ حِصَّتَهُ لَحْمًا شَرِيكًا لَهُمْ بِقَدْرِ حِصَّتِهِ فَإِذَا أَرَادُوا قِسْمَةَ ذَلِكَ بَيْنَهُمْ فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْقِسْمَةَ إِقْرَارُ حَقٍّ وَتَمْيِيزُ نَصِيبٍ جَازَ أَنْ يَقْتَسِمُوا ذَلِكَ لَحْمًا طَرِيًّا وَزْنًا وَجُزَافًا، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْقِسْمَةَ بَيْعٌ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَقْتَسِمُوا ذَلِكَ جُزَافًا وَلَا وَزْنًا وَالطَّرِيقُ إِلَى قِسْمَتِهِ بَيْنَهُمْ أَحَدُ وَجْهَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَتْرُكُوا ذَلِكَ حَتَّى يَصِيرَ لَحْمًا يَابِسًا ثُمَّ يَقْتَسِمُوهُ وَزْنًا، وَإِمَّا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي الْحَالِ سَبْعَ حِصَصٍ وَيَأْتِيَ كُلٌّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ إِلَى حِصَّتِهِ مِنْهَا فَيَشْتَرِيَ مِنْ شُرَكَائِهِ حَقَّهُمْ مِنْ تِلْكَ الْحِصَّةِ بِدِرْهَمٍ مَعْلُومٍ فَتَصِيرَ الْحِصَّةُ كُلُّهَا لَهُ وَعَلَيْهِ ثَمَنُ مَا لِشُرَكَائِهِ فِيهَا ويفعل كل واحد مِنْهُمْ كَذَلِكَ فَتَصِيرَ كُلُّ حِصَّةٍ لِوَاحِدٍ وَعَلَيْهِ لِشُرَكَائِهِ ثَمَنُ حُقُوقِهِمْ مِنْهَا ثُمَّ يُبَرِّئَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

PASAL

Dan bagian kedua: yaitu mereka beribadah dengan menyembelih hewan dari kewajiban dan tathawwu‘. Jika yang melakukannya secara tathawwu‘ tidak ingin memakan sedikit pun dari bagiannya, maka mereka menyerahkannya kepada para fakir dalam keadaan sudah disembelih sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Namun jika orang yang tathawwu‘ di antara mereka ingin memakan sesuatu dari tathawwu‘-nya, maka orang-orang yang wajib berkurban akan menjadi sekutu dengannya dalam bagian yang ingin ia makan, sebagaimana akan kami jelaskan kemudian.

Dan bagian ketiga: yaitu jika sebagian dari mereka beribadah dan sebagian lainnya menginginkan bagiannya berupa daging, maka yang beribadah di antara mereka harus menyerahkan bagiannya secara tidak terbagi kepada tiga orang fakir. Dan orang yang menginginkan bagiannya berupa daging adalah sekutu mereka sesuai bagian yang ia miliki. Maka apabila mereka ingin membagi daging tersebut di antara mereka, jika kita mengatakan bahwa pembagian adalah pengakuan atas hak dan penentuan bagian, maka boleh membaginya dalam bentuk daging segar, baik dengan ditimbang maupun tanpa timbangan. Namun jika kita mengatakan bahwa pembagian adalah bentuk jual beli, maka tidak boleh membaginya tanpa timbangan ataupun dengan timbangan. Jalan untuk membaginya di antara mereka ada dua cara: pertama, mereka membiarkannya hingga menjadi daging kering, lalu membaginya dengan ditimbang. Kedua, mereka membaginya saat itu juga menjadi tujuh bagian, kemudian masing-masing dari mereka mendatangi bagiannya dan membeli hak sekutunya dari bagian itu dengan satu dirham yang diketahui nilainya, maka bagian itu seluruhnya menjadi miliknya dan ia menanggung harga hak para sekutunya dalam bagian tersebut. Masing-masing dari mereka melakukan hal yang sama, sehingga setiap bagian menjadi milik satu orang dan ia menanggung harga hak para sekutunya dari bagian tersebut, kemudian sebagian mereka saling membebaskan satu sama lain. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.


فَصْلٌ
: إِذَا اشْتَرَكَ اثْنَانِ فِي شَاةٍ عَنْ قِرَانٍ أَوْ تَمَتُّعٍ لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّ عَلَى كُلٍّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِقِرَانِهِ شَاةً فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَشْتَرِكَا فِي شَاةٍ ثُمَّ فِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَى كُلٍّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا شَاةٌ كَامِلَةٌ وَيَكُونُ مَا اشْتَرَكَا فِيهِ مِنَ الشَّاةِ تَطَوُّعًا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ عَلَى كُلٍّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُ شَاةٍ وَيَكُونُ مَا اشْتَرَكَا فِيهِ وَاجِبًا فَيَصِيرُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُخْرِجًا لِشَاةٍ مُنَصَّفَةٍ مِنْ شَاتَيْنِ.

PASAL
 Apabila dua orang berserikat dalam satu ekor kambing untuk qirān atau tamattu‘, maka tidak diperbolehkan. Karena masing-masing dari keduanya wajib menyembelih satu ekor kambing disebabkan qirān-nya, maka tidak sah keduanya berserikat dalam satu kambing. Kemudian dalam masalah ini terdapat dua wajah:

Pertama: masing-masing dari keduanya wajib menyembelih satu ekor kambing secara utuh, dan apa yang mereka serikatkan dalam satu kambing itu dihitung sebagai tathawwu‘ (kurban sunah).

Wajah kedua — dan ini yang lebih shahih — masing-masing dari keduanya wajib setengah kambing, dan kambing yang mereka serikatkan itu dihitung sebagai kurban wajib. Maka masing-masing dari keduanya dianggap telah mengeluarkan satu kambing setengah dari dua kambing.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ الْهَدْيُ نَاقَةً فَنَتَجَتْ سِيقَ مَعَهَا فَصِيلُهَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا سَاقَ الْمُحْرِمُ هَدْيًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يُوجِبَهُ عَلَى نَفْسِهِ.
وَالثَّانِي: أَنْ لَا يُوجِبَهُ عَلَى نَفْسِهِ، فَإِنْ لَمْ يُوجِبْهُ عَلَى نَفْسِهِ وَلَكِنْ سَاقَهُ حَتَّى إِنِ احْتَاجَ إِلَيْهِ أَخْرَجَهُ فَهَذَا الْهَدْيُ عَلَى مِلْكِهِ لَهُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيهِ بِبَيْعٍ أَوْ غَيْرِهِ فَإِنْ كَانَ الْهَدْيُ بدنة فنتجت فصيلاً أو شاة فَنَتَجَتْ جَدْيًا كَانَ النَّتَاجُ عَلَى مِلْكِهِ وَإِنْ أَوْجَبَ الْهَدْيَ عَلَى نَفْسِهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Masalah: Imam asy-Syafi‘i RA berkata: “Jika hady itu unta betina lalu melahirkan, maka anaknya dibawa bersamanya.”

Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan (oleh Imam asy-Syafi‘i), bahwa apabila seorang muḥrim menggiring hady, maka terbagi menjadi dua keadaan:

Pertama: Ia mewajibkan hady itu atas dirinya.

Kedua: Ia tidak mewajibkannya atas dirinya, namun ia menggiringnya agar jika suatu saat membutuhkannya ia bisa menyembelihnya, maka hady tersebut masih dalam kepemilikannya. Ia boleh melakukan berbagai bentuk transaksi terhadapnya, seperti menjual atau selainnya. Jika hady tersebut berupa badinah (unta besar) lalu melahirkan anak, atau kambing lalu melahirkan anak kambing, maka anak tersebut juga menjadi miliknya.

Namun jika ia telah mewajibkan hady itu atas dirinya, maka terdapat dua keadaan: (berlanjut pada penjelasan selanjutnya).


أَحَدُهُمَا: أَنْ يُوجِبَهُ بِالنَّذْرِ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُهْدِيَ هَذِهِ الْبَدَنَةَ فَتَصِيرَ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ لِلْوُجُوبِ تَعَلُّقٌ بِذِمَّتِهِ فَهَذِهِ الْبَدَنَةُ قَدْ خَرَجَتْ مَنْ مِلْكِهِ بالنذر وصارت مَلِكًا لِلْمَسَاكِينِ وَهُوَ عَلَيْهَا أَمِينٌ فَإِنْ نَتَجَتْ فِي الطَّرِيقِ لَزِمَهُ أَنْ يَسُوقَ النَّتَاجَ مَعَهَا؛ لِأَنَّهُ تَبَعٌ لَهَا كَذَلِكَ الْأَمَةُ إِذَا أُعْتِقَتْ فإن كان النتاج لا يبلغ بنفسه حَمَلَهُ عَلَى أُمِّهِ فَإِنْ غَابَ الْهَدْيُ فِي الطَّرِيقِ لَمْ يَضْمَنْهُ وَأَجْزَأَهُ أَنْ يَنْحَرَهُ مَعِيبًا، لِأَنَّ حُدُوثَ الْعَيْبِ كَانَ فِي مِلْكِ الْمَسَاكِينِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَعَلَّقَ لَهُمْ بِذِمَّتِهِ ضَمَانٌ.

Pertama: yaitu mewajibkannya dengan nadzar, yaitu dengan ia mengatakan: “Karena Allah atasku untuk aku menyembelih badnah ini.” Maka badnah tersebut menjadi wajib karena nadzar, tanpa ada keterikatan kewajiban pada tanggungannya. Maka badnah ini telah keluar dari kepemilikannya karena nadzar dan menjadi milik orang-orang miskin, dan ia hanyalah sebagai orang yang dipercaya atasnya.

Jika badnah itu melahirkan di perjalanan, maka wajib atasnya untuk menggiring anaknya bersamanya, karena anak tersebut adalah bagian darinya. Demikian pula budak perempuan apabila dimerdekakan, maka jika anaknya belum bisa berjalan sendiri, ia digendong di atas induknya.

Apabila hewan hady tersebut hilang dalam perjalanan, maka ia tidak menanggungnya dan boleh baginya untuk menyembelih hewan yang cacat, karena cacat tersebut terjadi ketika hewan itu sudah menjadi milik orang-orang miskin, tanpa adanya keterikatan tanggungan jaminan bagi mereka atas dirinya.


وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُوجِبَهُ عَلَى نَفْسِهِ بِأَنْ يُعَيِّنَهُ عَنْ وَاجِبٍ فِي ذِمَّتِهِ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ فِي ذِمَّتِهِ هَدْيٌ وَاجِبٌ فَيَقُولَ: لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُهْدِيَ هَذِهِ الْبَدَنَةَ عَمَّا عَلَيَّ وَفِي ذِمَّتِي مِنَ الْهَدْيِ الْوَاجِبِ فَإِذَا قَالَ ذَلِكَ تَعَيَّنَ وُجُوبُهَا عَلَيْهِ وَلَزِمَهُ أَنْ يَهْدِيَهَا بِعَيْنِهَا وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُبَدِّلَهَا بِغَيْرِهَا كَمَنْ كَانَ عَلَيْهِ عِتْقُ رَقَبَةٍ فَقَالَ: لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُعْتِقَ هَذَا الْعَبْدَ عَمَّا عَلَيَّ لَزِمَهُ عِتْقُهُ وَلَمْ يُجْزِهِ غَيْرُهُ.

Dan keadaan kedua: yaitu ia mewajibkan hady atas dirinya dengan cara menetapkannya sebagai pengganti dari hady yang wajib dalam tanggungannya, yaitu ketika dalam tanggungannya terdapat hady yang wajib, lalu ia berkata: “Untuk Allah, atas diriku untuk menyembelih unta ini sebagai hady dari kewajiban yang ada padaku dan dalam tanggunganku.”

Maka apabila ia telah mengucapkan hal tersebut, wajiblah baginya menyembelih hewan itu secara tertentu, dan ia harus mengirimkan hewan itu secara langsung, serta tidak boleh menggantinya dengan yang lain, sebagaimana orang yang wajib memerdekakan budak lalu berkata: “Untuk Allah, atas diriku untuk memerdekakan budak ini dari kewajiban yang ada padaku,” maka wajib baginya memerdekakan budak tersebut, dan tidak sah menggantinya dengan yang lain.


فَإِذَا ثَبَتَ تَعْيِينُ هَذِهِ الْبَدَنَةِ عَلَيْهِ بَدَلًا مِمَّا فِي ذِمَّتِهِ فَإِنْ وَصَلَتْ إِلَى الْمَسَاكِينِ سَالِمَةً أَجْزَأَتْهُ وَإِنْ عَابَتْ قَبْلَ وُصُولِهَا إِلَيْهِمْ لَمْ يُجْزِهِ أَنْ يُهْدِيَهَا مَعِيبَةً عَمَّا وَجَبَ عَلَيْهِ وَلَزِمَهُ أَنْ يُهْدِيَ سَلِيمَةً بَدَلَهَا لِتُكُونَ نَائِبَةً عَمَّا كَانَ عَلَيْهِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يُهْدِيَهَا بَعْدَ عَيْبِهَا وَلَهُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيهَا بِمَا شَاءَ مِنْ بَيْعٍ وَغَيْرِهِ؛ لِأَنَّهُ إِنَّمَا كَانَتْ قَدْ تَعَيَّنَتْ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهَا مَعَ سَلَامَتِهَا قَدْ كَانَتْ تُجْزِئُهُ عَمَّا وَجَبَ عَلَيْهِ فَإِذَا عَابَتْ زَالَ عَنْهَا مَعْنَى الْإِجْزَاءِ فَزَالَ عَنْهَا مَعْنَى الْوُجُوبِ فَلَوْ كَانَتْ عَلَى سَلَامَتِهَا فَنَتَجَتْ فَصِيلًا فَهَلْ يَكُونُ مِلْكًا لِلْمَسَاكِينِ يَلْزَمُهُ أَنْ يَسُوقَهُ مَعَهَا أَوْ يَكُونُ مَلِكًا لَهُ يَتَصَرَّفُ فِيهِ كَيْفَ شَاءَ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Apabila telah tetap penetapan badnah ini atasnya sebagai pengganti dari yang wajib di tanggungannya, maka jika badnah itu sampai kepada orang-orang miskin dalam keadaan selamat, hal itu mencukupi baginya. Namun jika mengalami cacat sebelum sampai kepada mereka, tidak mencukupi baginya untuk menghadiahkannya dalam keadaan cacat sebagai pengganti dari yang wajib atasnya. Maka wajib baginya untuk menghadiahkan badnah yang selamat sebagai gantinya agar menjadi pengganti dari apa yang wajib atasnya.

Dan tidak wajib atasnya untuk tetap menghadiahkannya setelah cacat, serta ia boleh mempergunakannya sebagaimana ia kehendaki, baik dengan menjualnya atau yang lainnya. Karena sesungguhnya badnah itu menjadi wajib atasnya hanya karena dengan keadaannya yang selamat, ia dapat mencukupi sebagai pengganti dari yang wajib atasnya. Maka apabila terjadi cacat, hilanglah padanya makna “mencukupi”, sehingga hilang pula makna “kewajiban” darinya.

Maka seandainya badnah itu tetap dalam keadaan selamat kemudian melahirkan anak unta (faṣīl), apakah anak itu menjadi milik orang-orang miskin sehingga ia wajib menggiringnya bersama induknya, ataukah menjadi milik dirinya sehingga ia boleh mempergunakannya sesuai kehendaknya? Maka dalam hal ini terdapat dua wajah.


أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ لِلْمَسَاكِينِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَسُوقَهُ مَعَهَا لِأَنَّهَا قَدْ خَرَجَتْ عَنْ مِلْكِهِ بِالتَّعْيِينِ فَوَجَبَتْ أَنْ لَا يَمْلِكَ نَتَاجَهَا كَالَّتِي خَرَجَتْ مِنْ مِلْكِهِ بِالنَّذْرِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهُ مِلْكُهُ وَلَا يَلْزَمُهُ سَوْقُهُ كَالْأُمِّ؛ لِأَنَّ مَا وَجَبَ فِي ذِمَّتِهِ مِنْ حَقِّ الْمَسَاكِينِ غَيْرُ مُسْتَقِرٍّ فِيهَا إِذْ قَدْ تَعَيَّنَتْ فَلَا يَسْقُطُ الْوُجُوبُ فِيهَا فَلَمْ يَكُنِ النَّتَاجُ تَابِعًا لَهَا.

Pertama: anak hewan tersebut menjadi milik para miskin, dan wajib baginya untuk menggiringnya bersama induknya, karena induknya telah keluar dari kepemilikannya dengan penetapan tertentu, maka wajiblah ia tidak memiliki anaknya, sebagaimana hewan yang keluar dari kepemilikannya karena nadzar.

Wajah kedua: anak tersebut adalah miliknya, dan ia tidak wajib menggiringnya sebagaimana induknya, karena kewajiban dalam tanggungannya terhadap hak para miskin tidak menetap pada anak tersebut, sebab yang telah ditetapkan hanyalah induknya, maka kewajiban tidak jatuh pada anak tersebut, sehingga anaknya tidak menjadi pengikut bagi induknya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا لَبَنُ الْهَدْيِ فَلَيْسَ لَهُ شُرْبُهُ وَلَا سَقْيُ أَحَدٍ مِنْهُ إِلَّا بَعْدَ رَيِّ فَصِيلِهَا فَإِذَا ارْتَوَى الْفَصِيلُ مِنْ لَبَنِهَا جَازَ أَنْ يَشْرَبَهُ وَيَسْقِيَ النَّاسَ مِنْهُ.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَوْ تَصَدَّقَ بِهِ عَلَى الْمَسَاكِينِ كَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ فَإِنْ قِيلَ مَا الْفَرْقُ بَيْنَ اللَّبَنِ والنتاج حيث جاز أن تشرب اللَّبَنَ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَأْكَلَ النَّتَاجُ وَكُلَاهُمَا حادث منها؟ قبل الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّ اللَّبَنَ يستخلف مَعَ الْأَوْقَاتِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ النِّتَاجُ.
وَالثَّانِي: إِنَّ في تبقية اللبن إلى بلوغ محله فساد لَهُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ النَّتَاجُ.

PASAL
 Adapun susu dari hewan hady, maka tidak boleh diminumnya dan tidak boleh diberi minum kepada siapa pun darinya kecuali setelah anak unta (faṣīl) dari induknya itu kenyang terlebih dahulu. Maka apabila anaknya telah kenyang meminum susunya, boleh baginya untuk meminumnya dan memberikannya kepada orang lain.

Imam Syafi‘i berkata: “Seandainya ia bersedekah dengan susu itu kepada orang-orang miskin, itu lebih aku sukai.”

Jika dikatakan: Apa perbedaan antara susu dan anak (yang lahir darinya), padahal keduanya adalah sesuatu yang baru berasal darinya, namun diperbolehkan meminum susunya dan tidak diperbolehkan memakan anaknya?

Dijawab: perbedaan antara keduanya dari dua sisi:
 Pertama: Susu itu dapat terus tergantikan seiring waktu, berbeda dengan anak.
 Kedua: Menyimpan susu hingga sampai waktu penyembelihan akan merusaknya, sementara anak tidak demikian.


فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ وَيَرْكَبُ الْهَدْيَ إِنِ اضْطُرَّ إِلَيْهِ رُكُوبًا غَيْرَ قَادِحٍ وَيُحْمَلُ الْمُضْطَرُّ عَلَيْهَا لِرِوَايَةِ ابْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ رُكُوبِ الْهَدْيِ فَقَالَ: ” ارْكَبْهَا بِالْمَعْرُوفِ إِذَا أُلْجِئْتَ إِلَيْهَا حَتَّى تَجِدَ ظَهْرًا ” وَكَذَلِكَ لَوْ رَكِبَهَا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ جَازَ مَا لَمْ يَضُرَّ بِهَا سَوَاءٌ كَانَ وَاجِبًا أَوْ تَطَوُّعًا لِرِوَايَةِ أَبِي الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَأَى رَجُلًا يَسُوقُ بَدَنَةً فَقَالَ ارْكَبْهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا بدنةٌ فَقَالَ: ارْكَبْهَا وَيْلَكَ ” فَلَوْ رَكِبَهَا غَيْرَ مُضْطَرٍّ فَأَعْجَفَهَا غُرِّمَ قيمة ما نقصها.

PASAL
 Imam asy-Syafi‘i berkata: Hady boleh dinaiki jika dalam keadaan darurat dengan cara menaiki yang tidak merusaknya, dan orang yang darurat boleh dibawa dengan menungganginya, berdasarkan riwayat dari Ibnu az-Zubair dari Jabir, ia berkata: Rasulullah SAW ditanya tentang menaiki hady, maka beliau bersabda: “Tunggangilah dengan cara yang baik jika engkau terpaksa hingga engkau mendapatkan tunggangan lain.”

Demikian pula jika ia menungganginya tanpa darurat, maka boleh selama tidak membahayakannya, baik hady itu wajib maupun tathawwu‘, berdasarkan riwayat dari Abū az-Zinād dari al-A‘raj dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW melihat seseorang menggiring unta badinah, lalu beliau bersabda: “Tunggangilah!” Orang itu berkata: “Wahai Rasulullah, ini badinah (hady).” Maka beliau bersabda: “Tunggangilah, celaka engkau!”

Maka jika seseorang menungganginya tanpa darurat lalu membuatnya kurus, maka ia wajib mengganti nilai kekurangannya.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَتُنْحَرُ الْإِبِلُ قِيَامًا مَعْقُولَةً وَغَيْرَ معقولةٍ فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْهُ نَحَرَهَا بَارِكَةً وَيُذْبَحُ الْبَقَرُ وَالْغَنَمُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ مِنَ السُّنَّةِ في الإبل أن تنحر في لبتنها قِيَامًا.
وَقَالَ عَطَاءٌ: تُنْحَرُ بَارِكَةً.

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Unta disembelih dalam keadaan berdiri, baik dalam keadaan diikat maupun tidak diikat. Jika tidak memungkinkan, maka disembelih dalam keadaan duduk. Sedangkan sapi dan kambing disembelih (dengan cara biasa).”

Al-Māwardī berkata: “Ini sebagaimana yang dikatakan (oleh Imam al-Syafi‘i), bahwa sunnah dalam unta adalah menyembelihnya (menyembelih dengan cara naḥr) pada bagian labah (pangkal leher) dalam keadaan berdiri.”

‘Aṭā’ berkata: “Disembelih dalam keadaan duduk.”


وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {وَالبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهَا صَوافَّ) {الحج: 36) وَقَرَأَ الْحَسَنُ صَوَافِيَ يَعْنِي قِيَامًا عَلَى ثَلَاثٍ ثُمَّ قَالَ: {فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا) {الحج: 36) يَعْنِي: سَقَطَتْ جُنُوبُهَا، وَهَذَا لَا يَكُونُ إِلَّا إِذَا نُحِرَتْ قِيَامًا؛ لِأَنَّهَا تَسْقُطُ مِنِ قِيَامٍ وَيُخْتَارُ أَنْ تُعْقَلَ يَدُهَا الْيُسْرَى لِتَقُومَ عَلَى ثَلَاثَةٍ لِرِوَايَةِ ابْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَحَرَ بَدَنَةً قِيَامًا مَعْقُولَةً يَدُهَا الْيُسْرَى فَإِنْ نَحَرَهَا بَارِكَةً أَجْزَأَهُ.
فَأَمَّا الْبَقَرُ وَالْغَنَمُ فَالسُّنَّةُ فيها أن يذبحها في حلقهما مَضْجُوعَةً عَلَى جَنْبِهَا الْأَيْسَرِ فَإِنْ ذَبَحَهَا قَائِمَةً أجزأ وقد أساء.

Dan dalil atas hal tersebut adalah firman Allah Ta‘ala:
 {Dan unta-unta itu Kami jadikan untuk kalian sebagai bagian dari syi‘ar-syi‘ar Allah, bagi kalian terdapat kebaikan padanya, maka sebutlah nama Allah atasnya dalam keadaan berdiri (ṣawāff)} (QS al-Ḥajj: 36).

Al-Ḥasan membaca: ṣawāfiy, yang berarti berdiri di atas tiga kaki. Kemudian Allah berfirman: {Maka apabila telah roboh lambungnya} (QS al-Ḥajj: 36), artinya: lambungnya telah jatuh, dan itu tidak terjadi kecuali jika disembelih dalam keadaan berdiri, karena hewan tersebut jatuh dari keadaan berdiri.

Dan disunnahkan untuk diikat tangan kirinya agar berdiri di atas tiga kaki, berdasarkan riwayat dari Ibnu az-Zubair dari Jabir bahwa Nabi SAW menyembelih unta badinah dalam keadaan berdiri dengan tangan kirinya terikat.

Jika ia menyembelihnya dalam keadaan duduk (berlutut), maka itu sah (cukup).

Adapun sapi dan kambing, maka sunnahnya adalah disembelih pada lehernya dalam keadaan miring pada sisi kiri. Jika ia menyembelihnya dalam keadaan berdiri, maka hal itu sah namun ia telah berbuat kurang baik.


مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ ذَبَحَ الْإِبِلَ وَنَحَرَ الْبَقَرَ وَالْغَنَمَ أَجْزَأَهُ ذَلِكَ وَكَرِهْتُهُ لَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أن السنة في الإبل نحرها في اللبة وَفِي الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ ذَبْحُهَا فِي الْحَلْقِ فَإِنْ خَالَفَ السُّنَّةَ فَذَبَحَ الْإِبِلَ وَنَحَرَ الْبَقَرَ وَالْغَنَمَ أَجْزَأَهُ ذَلِكَ وَقَدْ أَسَاءَ.
وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ نَحَرَ الْبَقَرَ وَالْغَنَمَ جَازَ وَإِنْ ذَبَحَ الْإِبِلَ لَمْ يَجُزْ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ نَهَى أَنْ تُعْقَرَ الْإِبِلُ وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ) {المائدة: 3) وَالتَّذْكِيَةُ فِي كَلَامِهِمُ: الْقَطْعُ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ مَا جَازَ نَحْرُهُ جَازَ ذَبْحُهُ كَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا كَانَ ذَكَاةً فِي الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ كَانَ ذَكَاةً فِي الْإِبِلِ كَالنَّحْرِ، فَأَمَّا نَهْيُهُ عَنْ عَقْرِ الْإِبِلِ فَإِنَّمَا خُرِّجَ عَلَى مَا كَانَتِ الْعَرَبُ تَفْعَلُهُ مِنْ عَقْرِ الْإِبِلِ فِي أَرْجُلِهَا قَبْلَ نَحْرِهَا، فَأَمَّا هَذَا فَلَيْسَ بِعَقْرٍ وَإِنَّمَا هو ذكاة والله أعلم.

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang menyembelih unta dan menyembelih (dengan cara naḥr) sapi dan kambing, maka hal itu mencukupi (sah), namun aku membencinya (makruh baginya).”

Al-Māwardī berkata: “Telah kami sebutkan bahwa sunnah pada unta adalah menyembelihnya dengan naḥr pada bagian labah (pangkal leher), dan pada sapi dan kambing adalah menyembelihnya di tenggorokan (ḥalq). Maka jika seseorang menyelisihi sunnah dengan menyembelih unta dan menyembelih sapi dan kambing dengan cara naḥr, maka hal itu sah, tetapi ia telah berbuat buruk.”

Imam Mālik berkata: “Jika seseorang menyembelih sapi dan kambing dengan cara naḥr, maka hal itu sah; namun jika ia menyembelih unta (dengan cara dhabḥ), maka tidak sah. Karena telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau melarang unta disembelih dengan cara ‘aqr, dan dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {illā mā dhakkaitum} (QS. al-Māidah: 3), sedangkan makna tadzkiah dalam istilah mereka adalah pemotongan.

Dan karena setiap hewan yang sah untuk disembelih dengan cara naḥr maka sah pula dengan dhabḥ, seperti sapi dan kambing. Dan setiap yang dianggap tadzkiah untuk sapi dan kambing, maka dianggap pula sebagai tadzkiah untuk unta, seperti naḥr.

Adapun larangan menyembelih unta dengan cara ‘aqr, maka larangan itu ditujukan kepada kebiasaan bangsa Arab yang dahulu menyembelih unta dengan melukai kakinya sebelum melakukan naḥr. Adapun yang seperti ini (yaitu menyembelih dengan memotong tenggorokan), maka itu bukan termasuk ‘aqr, melainkan termasuk tadzkiah, dan Allah lebih mengetahui.”

مسألة: قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” فَإِنْ كَانَ مُعْتَمِرًا نَحَرَهُ بَعْدَ مَا يَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَيَسْعَى بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ قَبْلَ أَنْ يَحْلِقَ عِنْدَ الْمَرْوَةِ وَحَيْثُ نَحَرَ مِنْ فِجَاجِ مَكَّةَ أَجْزَأَهُ وَإِنْ كَانَ حَاجًّا نَحَرَهُ بَعْدَ مَا يَرْمِي جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ قَبْلَ أَنْ يَحْلِقَ وَحَيْثُ نَحَرَ مِنْ شَاءٍ أَجْزَأَهُ “.

Masalah: Imam asy-Syafi‘i RA berkata: “Jika seseorang sedang melakukan ‘umrah, maka ia menyembelih hady setelah thawaf di Ka‘bah dan sa‘i antara ṣafā dan marwah, sebelum mencukur rambutnya di dekat marwah. Di mana pun ia menyembelih di wilayah lembah-lembah Makkah, maka itu sah baginya.

Dan jika ia sedang melakukan haji, maka ia menyembelih hady setelah melempar jamrah ‘aqabah, sebelum mencukur rambutnya. Di mana pun ia menyembelih dari tempat yang ia kehendaki, maka itu sah baginya.”


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: السُّنَّةُ فِي نَحْرِ الْهَدْيِ أَنْ يَكُونَ فِي مَوْضِعِ الْإِحْلَالِ فَإِنْ كَانَ مُعْتَمِرًا نَحَرَهُ عِنْدَ الْمَرْوَةِ بَعْدَ سَعْيِهِ وَقَبْلَ حِلَاقِهِ؛ لِأَنَّهُ يَتَحَلَّلُ مِنْ عُمْرَتِهِ عِنْدَ الْمَرْوَةِ وَإِنْ كَانَ حَاجًّا نَحَرَهُ بِمِنًى بَعْدَ رَمْيِ جَمْرَةِ الْعَقَبَةِ وَقَبْلَ الْحَلْقِ؛ لِأَنَّهُ مَوْضِعُ إِحْلَالِهِ الْأَوَّلِ مِنْ حَجِّهِ فَلَوْ نَحَرَ الْمُعْتَمِرُ بِمِنًى وَنَحَرَ الْحَاجُّ عِنْدَ الْمَرْوَةِ أَوْ نَحَرَا مَعًا فِي مَوْضِعٍ مِنْ فِجَاجِ مَكَّةَ أَوْ فِي سَائِرِ الْحَرَمِ أَجْزَأَهُمَا وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يُجْزِئُ الْمُعْتَمِرَ أَنْ يَنْحَرَ إِلَّا عِنْدَ الْمَرْوَةِ وَلَا الْحَاجَّ أَنْ يَنْحَرَ إِلَّا بِمِنًى.

Al-Māwardī berkata: Sunnah dalam menyembelih hady adalah dilakukan di tempat pelepasan iḥlāl (tahallul).

Jika seseorang sedang ‘umrah, maka ia menyembelih hady-nya di dekat Marwah setelah selesai sa‘i-nya dan sebelum mencukur rambut, karena ia bertahallul dari ‘umrah-nya di Marwah.

Dan jika ia sedang haji, maka ia menyembelih hady-nya di Minā setelah melempar Jamrah al-‘Aqabah dan sebelum mencukur rambut, karena Minā adalah tempat iḥlāl pertamanya dari hajinya.

Maka jika seorang yang sedang ‘umrah menyembelih di Minā, atau orang yang sedang haji menyembelih di Marwah, atau keduanya menyembelih di salah satu tempat di jalan-jalan Makkah atau seluruh kawasan ḥaram, maka hal itu mencukupi bagi mereka.

Adapun Imam Mālik berpendapat: Tidak sah bagi orang yang ‘umrah menyembelih kecuali di Marwah, dan tidak sah bagi orang yang haji menyembelih kecuali di Minā.


وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” عَرَفَةُ كُلُّهَا موقفٌ وَمَزْدَلِفَةُ كُلُّهَا موقفٌ وَمِنًى كُلُّهَا مَنْحَرٌ وفجاجٌ مَكَّةَ كُلُّهَا مَنْحَرٌ “، وَلِأَنَّهُ مَوْضِعٌ مِنَ الْحَرَمِ فَجَازَ نَحْرُ الْهَدْيِ فِيهِ قِيَاسًا عَلَى مِنًى فِي الْحَجِّ والمروة في العمرة.

Dan dalil atas hal ini adalah riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “‘Arafah seluruhnya adalah tempat wuquf, Muzdalifah seluruhnya adalah tempat wuquf, Mina seluruhnya adalah tempat menyembelih, dan lembah-lembah Makkah seluruhnya adalah tempat menyembelih.”

Dan karena tempat tersebut termasuk bagian dari ḥaram, maka diperbolehkan menyembelih hady di dalamnya, dengan qiyās kepada Mina dalam haji dan Marwah dalam ‘umrah.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا زَمَانُ النَّحْرِ فَالْهَدْيُ عَلَى ثَلَاثَةِ أقسام:
أحدها: أن يكون وَاجِبٍ فِي الذِّمَّةِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ وَاجِبًا عن نذر من غير تعلق بالذمة.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ تَطَوُّعًا. فَإِنْ كَانَ عَنْ وَاجِبٍ فِي الذِّمَّةِ كَدَمِ الْمُتْعَةِ وَالْقِرَانِ وَسَائِرِ الْوَاجِبَاتِ جُبْرَانًا فِي الْحَجِّ فَالْمُخْتَارُ أَنْ يَنْحَرَهَا فِي يَوْمِ النَّحْرِ وَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ الثَّلَاثَةِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ آخِرِهَا فَإِنْ نَحَرَهَا قَبْلَ هَذَا الزَّمَانِ أَجْزَأَ وَكَانَتْ تَعْجِيلًا.

PASAL
 Adapun waktu penyembelihan, maka hady terbagi menjadi tiga bagian:

Pertama: Hady yang wajib dalam tanggungan (żimmah).
 Kedua: Hady yang wajib karena nadzar tanpa ada keterikatan pada żimmah.
 Ketiga: Hady yang bersifat tathawwu‘ (sunnah).

Jika hady itu merupakan kewajiban dalam tanggungan, seperti dam tamattu‘, qirān, dan seluruh hady yang wajib sebagai kompensasi dalam ibadah haji, maka pendapat yang dipilih adalah disembelih pada hari nahr dan tiga hari tasyriq sampai tenggelamnya matahari pada hari terakhir.

Apabila disembelih sebelum waktu tersebut, maka itu sah dan dianggap sebagai percepatan.


قَالَ الشَّافِعِيُّ: مَنْ قَالَ إِنَّ عَلَى النَّاسِ فَرْضَيْنِ: أَحَدُهُمَا: عَلَى الْأَبْدَانِ فَلَا يَكُونُ إِلَّا بَعْدَ الْوَقْتِ وَفَرْضٌ مِنَ الْأَمْوَالِ فَيَكُونُ قَبْلَ الْوَقْتِ وَإِنْ كَانَ هَذَا الْهَدْيُ تَطَوُّعًا لَمْ يُجْزِهِ أَنْ يَنْحَرَهُ إِلَّا فِي يَوْمِ النَّحْرِ وَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ فَإِنْ نَحَرَهُ قَبْلَ ذَلِكَ أَوْ بَعْدَهُ لَمْ يُجْزِهِ؛ لِأَنَّهُ كَالضَّحَايَا وَإِنْ كَانَ هَذَا الْهَدْيُ واجباً عن نذر تعين فِيهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِالذِّمَّةِ فَالْمَذْهَبُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْحَرَهُ إِلَّا فِي أَيَّامِ النَّحْرِ وَقَدْ أَشَارَ الشَّافِعِيُّ فِي مَوْضِعٍ مِنَ الْمُخْتَصَرِ إِلَى أَنَّهُ إِنْ نَحَرَهُ قَبْلَ أَيَّامِ النَّحْرِ أَوْ بَعْدَهَا أَجْزَأَهُ.
Imam asy-Syafi‘i berkata: “Barang siapa yang mengatakan bahwa ada dua kewajiban atas manusia:

Pertama: kewajiban atas badan, maka tidak berlaku kecuali setelah waktunya.
 Kedua: kewajiban dari harta, maka berlaku sebelum waktunya.

Jika hady ini adalah tathawwu‘, maka tidak sah menyembelihnya kecuali pada hari nahr dan hari-hari tasyriq. Maka jika ia menyembelihnya sebelum atau sesudah hari-hari tersebut, tidak sah; karena ia seperti hewan kurban.

Dan jika hady ini wajib karena nadzar yang telah ditentukan tanpa terkait dalam tanggungan (dzimmah), maka mazhab yang benar adalah tidak boleh menyembelihnya kecuali pada hari-hari nahr.

Namun Imam asy-Syafi‘i pernah mengisyaratkan dalam satu tempat dalam al-Mukhtaṣar, bahwa jika seseorang menyembelihnya sebelum atau sesudah hari-hari nahr, maka itu tetap sah.

 

مَسْأَلَةٌ: قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَمَا كَانَ منها تطوعاً أكل منها لقول الله جل وعز {فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا} وأكل النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ لَحْمِ هَدْيِهِ وَأَطْعَمَ وَكَانَ هَدْيُهُ تَطَوُّعًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ الْهَدَايَا ثَلَاثَةُ أَضْرُبٍ: ضَرْبٌ وَجَبَ فِي الْحَجِّ جُبْرَانًا، وَضَرْبٌ وَجَبَ نَذْرًا، وَضَرْبٌ سَاقَهُ تَطَوُّعًا.

Masalah:
 Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Setiap hady yang bersifat tathawwu‘ (sunnah), maka boleh memakannya, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {Fa idzā wajabat junūbuhā fa kulū minhā} (‘Apabila telah roboh (disembelih) lambungnya, maka makanlah sebagian darinya)’ (QS. Al-Ḥajj: 36). Dan Nabi SAW makan dari daging hady-nya dan memberi makan (kepada orang lain), dan hady beliau adalah tathawwu‘.”

Al-Māwardī berkata: Seluruh jenis hady terbagi menjadi tiga macam:

  1. Jenis yang wajib dalam haji sebagai jubrān (kompensasi).
  2. Jenis yang wajib karena nadzar.
  3. Jenis yang dihadiahkan secara tathawwu‘ (sukarela/sunnah).


فَأَمَّا الْوَاجِبُ فِي الْحَجِّ جُبْرَانًا وَهُوَ: مَا وَجَبَ لِتَرْكِ مَأْمُورٍ بِهِ أَوْ فِعْلِ مَنْهِيٍّ عَنْهُ فَلَا يَجُوزُ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ شَيْءٍ مِنْهُ بِحَالٍ.
وَقَالَ أبو حنيفة: يجوز أن يأكل من دمَ التَّمَتُّعِ وَالْقِرَانِ دُونَ مَا سِوَاهُمَا؛ لِأَنَّهُمَا عِنْدَهُ دَمُ نُسُكٍ لَا جُبْرَانٍ.

Adapun hady yang wajib dalam haji sebagai penebus (jabrān), yaitu: hady yang diwajibkan karena meninggalkan sesuatu yang diperintahkan atau melakukan sesuatu yang dilarang, maka menurut Imam asy-Syafi‘i tidak boleh memakan sedikit pun darinya dalam keadaan apa pun.

Sedangkan Abū Ḥanīfah berpendapat: Boleh memakan dari dam tamattu‘ dan qirān, namun tidak dari selain keduanya; karena keduanya menurut beliau adalah dam nusk, bukan jabrān.


وَقَالَ مَالِكٌ: يَجُوزُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ جَمِيعِ الدِّمَاءِ الْوَاجِبَةِ إِلَّا مِنْ دَمَيْنِ لَا يَجُوزُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُمَا وَهُمَا جَزَاءُ الصَّيْدِ وَفِدْيَةُ الْأَذَى، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي ذَلِكَ مِنْ قَبْلُ ثُمَّ نَقِيسُ مَا خَالَفُوا فِيهِ عَلَى مَا أَجْمَعُوا هَاهُنَا عَلَيْهِ فَنَقُولُ؛ لِأَنَّهُ دَمٌ وَجَبَتْ إِرَاقَتُهُ في الحج فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ كَجَزَاءِ الصَّيْدِ؛ وَلِأَنَّ الدَّمَ أَحَدُ نَوْعَيْ مَا يَقَعُ بِهِ التَّكْفِيرُ فِي الْإِحْرَامِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ كَالطَّعَامِ يَعْنِي: الْحِنْطَةُ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ لا يَجُوزُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ فَأَكَلَ كَانَ ضَامِنًا له وفي كيفية ضمانه ثلاثة أوجه:

Imam Mālik berkata: Boleh memakan seluruh jenis dam yang wajib, kecuali dua jenis dam yang tidak boleh dimakan, yaitu:

  • Jazā’ al-ṣayd (denda karena membunuh buruan dalam keadaan ihram), dan
  • Fidyah al-adzā (denda karena melakukan pelanggaran ihram yang menyebabkan gangguan, seperti mencukur rambut, memakai wangi-wangian, dll.).

Telah dijelaskan sebelumnya perinciannya.

Kemudian, kami mengqiyaskan perkara yang diperselisihkan atas perkara yang telah disepakati di sini. Maka kami katakan: karena ini adalah dam yang wajib ditumpahkan dalam ibadah haji, maka tidak boleh memakannya — sebagaimana jazā’ al-ṣayd.

Dan karena dam termasuk salah satu dari dua bentuk yang menjadi sarana kafārah dalam keadaan ihram, maka tidak boleh memakannya — sebagaimana makanan (seperti gandum) yang dijadikan sebagai kafārah juga tidak boleh dimakan sendiri.

Maka apabila telah tetap bahwa tidak boleh memakannya, lalu ia memakannya, maka ia menjadi penanggung (ḍāmin) atasnya.

Adapun tata cara penjaminannya, terdapat tiga wajah.


أحدهما: أَنْ يَضْمَنَ قِيمَتَهُ وَرِقًا؛ لِأَنَّهُ أَتْلَفَ عَلَى الْمَسَاكِينِ مَا لَا مِثْلَ لَهُ فَوَجَبَتْ عَلَيْهِ قيمته.
والوجه الثاني: عليه بقدر وَزْنَهُ لَحْمًا؛ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ عَلَيْهِ وَأَسْهَلُ وَأَنْفَعُ لِلْمَسَاكِينِ.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: عَلَيْهِ أَنْ يَعْتَبِرَ مَا أَكَلَهُ مِنَ اللَّحْمِ كَمْ هُوَ مِنَ الْهَدْيِ أَنِصْفٌ أَمْ ثُلْثٌ؟ فَيَلْزَمُهُ مِثْلُهُ مِنَ الْحَيَوَانِ الْحَيِّ.

Pertama: ia wajib menanggung nilainya dengan perak, karena ia telah merusak hak milik para miskin berupa sesuatu yang tidak ada padanannya, maka wajib baginya membayar nilainya.

Wajah kedua: ia wajib mengganti seukuran berat daging yang ia makan, karena itu lebih dekat, lebih mudah, dan lebih bermanfaat bagi para miskin.

Wajah ketiga: ia harus memperkirakan berapa bagian dari hady yang ia makan — apakah setengah atau sepertiga — maka wajib baginya mengganti dengan jumlah yang sama dari hewan hidup.


فَصْلٌ
: وَإِنْ كَانَ الْهَدْيُ نَذْرًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ عَلَى وَجْهِ الْمُجَازَاةِ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: إِنْ شَفَى اللَّهُ مَرِيضِي أَوْ قَدِمَ غَائِبِي أَوْ سَلِمَ مَالِي فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُهْدِيَ هَذِهِ الْبَدَنَةَ فَهَذَا لَا يجوز أن يأكل منه؛ لأنه جاري مَجْرَى الْبَدَلِ فَشَابَهَ الْجُبْرَانَ، فَإِنْ أَكَلَ مِنْهُ كَانَ ضَامِنًا عَلَى مَا مَضَى.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ النَّذْرُ عَلَى غَيْرِ وَجْهِ الْمُجَازَاةِ وإنما هو تبرر: أَنْ يَقُولَ لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُهْدِيَ هَذِهِ الْبَدَنَةَ فَهَذَا عَلَى الصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ وَاجِبٌ كَوُجُوبِ الْمُجَازَاةِ وَهَلْ يَجُوزُ عَلَى هَذَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

PASAL
 Apabila hady itu berasal dari nadzar, maka terbagi menjadi dua bentuk:

Pertama: Nadzar dalam bentuk mujāzāt (dengan syarat atau balasan), yaitu seperti seseorang berkata: “Jika Allah menyembuhkan orang sakitku, atau orang yang bepergianku datang, atau hartaku selamat, maka karena Allah atasku untuk menyembelih badnah ini.” Maka dalam hal ini tidak boleh ia memakan darinya, karena hady ini berada dalam kedudukan sebagai pengganti atau balasan, sehingga menyerupai hady jubrān (kompensasi). Maka jika ia memakannya, ia menjadi ḍāmin (penanggung) sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Kedua: Nadzar bukan dalam bentuk mujāzāt, namun sebagai bentuk pendekatan diri (tabarrur), seperti ia berkata: “Karena Allah atasku untuk menyembelih badnah ini.”

Maka hady semacam ini menurut pendapat yang paling shahih dalam mazhab, hukumnya tetap wajib sebagaimana nadzar mujāzāt.

Lalu, apakah boleh ia memakan darinya atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua wajah.


أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ كَالنَّذْرِ عَلَى وَجْهِ الْمُجَازَاةِ وَهَذَا أَشْبَهُ بِمَنْصُوصِ الشَّافِعِيِّ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ يَجُوزُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ مُتَطَوِّعٌ بِإِيجَابِهِ فَصَارَ كَالتَّطَوُّعِ مِنْ غَيْرِ إِيجَابٍ.

Pertama: tidak boleh memakan darinya, seperti nadzar yang bersifat balasan (mujāzah), dan ini yang lebih sesuai dengan nash Imam asy-Syafi‘i.

Wajah kedua: yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa boleh memakan darinya, karena ia adalah orang yang tathawwu‘ dalam mewajibkannya atas dirinya, maka hukumnya seperti tathawwu‘ yang tanpa mewajibkan.


فَصْلٌ
: وَإِنْ كَانَ الْهَدْيُ تَطَوُّعًا فَلَهُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ لِقَوْلِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: {فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا) {الحج: 28) وَرَوَى جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أهدى مائة بدنةٍ فقدم علي رضوان الله عليه من الْيَمَنِ فَأَشْرَكَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِالثُّلْثِ فَنَحَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سِتًّا وَسِتِّينَ بَدَنَةً وَأَمَرَ عَلِيًّا فَنَحَرَ أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ ثُمَّ أَمَرَ مِنْ كُلِّ جزورٍ بِنِصْفِهِ فَجُعِلَتْ فِي قِدْرٍ فَأَكَلَا مِنَ اللَّحْمِ وَحَسَوْا مِنَ المرقِ ” فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ أَكْلِهِ مِنْهُ فَعَلَيْهِ أَنْ يُطْعِمَ الْفُقَرَاءَ مِنْهُ فَيَكُونَ أَكْلُهُ مُبَاحًا وَإِطْعَامُ الْفُقَرَاءِ وَاجِبًا.

PASAL
 Apabila hady itu bersifat tathawwu‘ (sukarela/sunnah), maka boleh baginya memakan darinya, berdasarkan firman Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā: {Fa kulū minhā wa aṭ‘imū} (QS. al-Ḥajj: 28) — “Maka makanlah darinya dan berilah makan.”

Dan telah meriwayatkan Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya dari Jābir, bahwa Rasulullah SAW menghadiahkan seratus ekor badnah. Lalu datanglah ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhu dari Yaman, maka Rasulullah SAW menyertakannya dalam sepertiga dari hady tersebut. Lalu Nabi SAW menyembelih sendiri enam puluh enam ekor badnah, dan memerintahkan ‘Alī untuk menyembelih tiga puluh empat ekor.

Kemudian beliau memerintahkan agar dari setiap unta diambil setengah bagian, lalu dimasak dalam satu kuali. Lalu mereka berdua (Nabi SAW dan ‘Alī RA) memakan dagingnya dan meminum kuahnya.

Maka jika telah tetap bolehnya ia memakan hady tathawwu‘, wajib atasnya memberi makan orang-orang fakir dari hady tersebut. Maka memakannya adalah mubah, sedangkan memberi makan fakir miskin adalah wajib.


وَقَالَ ابْنُ سُرَيْجٍ: إِطْعَامُ الْفُقَرَاءِ مُبَاحٌ كَالْأَكْلِ فَإِنْ أَكَلَ جَمِيعَهَا جاز وقال أبو حَفْصِ بْنُ الْوَكِيلِ: الْأَكْلُ وَاجِبٌ كَإِطْعَامِ الْفُقَرَاءِ فَإِنْ أَطْعَمَ جَمِيعَهُ الْفُقَرَاءَ لَمْ يَجُزْ وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْأَكْلَ مُبَاحٌ وَالْإِطْعَامَ وَاجِبٌ وَهُوَ أَصَحُّ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْهَدْيِ الْقُرْبَةُ وَالْقُرْبَةُ فِي إِطْعَامِ الْفُقَرَاءِ دُونَ أَكْلِهِ فِي نَفْسِهِ.
فَإِذَا ثبت هذا فالكلام بعد ذلك في فعلين:
أَحَدُهُمَا: فِي الِاسْتِحْبَابِ.

Ibnu Surayj berkata: Memberi makan fakir miskin itu hukumnya mubah, sebagaimana makan itu sendiri. Maka jika seseorang memakan seluruh daging hady, hukumnya sah.

Sedangkan Abū Ḥafṣ bin al-Wakīl berkata: Makan itu hukumnya wajib, sebagaimana memberi makan fakir miskin, maka jika seseorang memberikan seluruh hady kepada fakir miskin tanpa memakannya sendiri, tidak sah.

Adapun mazhab Imam asy-Syafi‘i adalah bahwa makan hukumnya mubah, dan memberi makan kepada fakir miskin hukumnya wajib, dan inilah pendapat yang paling sahih. Karena tujuan dari hady adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan kedekatan (yang dimaksud) terletak pada memberi makan fakir miskin, bukan pada memakannya sendiri.

Jika hal ini telah ditetapkan, maka pembahasan setelahnya adalah terkait dua perbuatan:

Pertama: dalam hal anjuran (istiḥbāb).


وَالثَّانِي: فِي الْإِجْزَاءِ، فَأَمَّا الِاسْتِحْبَابُ فِي قَدْرِ مَا يَأْكُلُ مِنْهُ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: هُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ يَأْكُلُ وَيَدَّخِرُ الثُّلُثَ وَيُهْدِي إِلَى الْمُتَحَمِّلِينَ الثُّلُثَ وَيَتَصَدَّقُ عَلَى الْمَسَاكِينِ بِالثُّلُثِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا القَانِعَ وَالمُعْتَر} (الحج: 36) فاقتضى فجعله مشتركاً بينه وبين القانع والمعتر أَنْ يَكُونَ بَيْنَهُمْ أَثْلَاثًا.
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: الْقَانِعُ الَذِي يَقْتَنِعُ بِمَا أَخَذَهُ وَلَا يَسْأَلُ، وَالْمُعْتَرُّ هُوَ الَذِي يَعْتَرِيكَ بِالسُّؤَالِ وَهُوَ الْمُلِحُّ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ الْمُسْتَحَبَّ أَنْ يَأْكُلَ وَيَدَّخِرَ النِّصْفَ وَيَتَصَدَّقَ عَلَى المساكين بالنصف لقوله تعالى: {فَكُلُوا وَأَطْعِمُوا البَائِسَ الفَقِيرَ) {الحج: 28) .

Kedua: Dalam hal kadar yang disunnahkan untuk dimakan dari hady tathawwu‘.
 Adapun dalam perkara ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: Ini adalah pendapat Imam al-Syafi‘i dalam qaul qadīm-nya, bahwa disunnahkan memakan dan menyimpan sepertiga, menghadiahkan kepada orang-orang yang membawa (hady atau bekal) sepertiga, dan bersedekah kepada orang-orang miskin sepertiga. Berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:
 {Fa kulū minhā wa aṭ‘imū al-qāni‘a wa al-mu‘tar} (QS. al-Ḥajj: 36) —
 “Maka makanlah darinya dan berilah makan kepada orang yang qāni‘ dan mu‘tar.”

Maka ayat ini menunjukkan bahwa daging hady itu dibagi antara dirinya sendiri, si qāni‘, dan si mu‘tar — sehingga disunnahkan membaginya menjadi tiga bagian.

Ibn ‘Abbās berkata:

  • Qāni‘ adalah orang yang menerima apa yang diberi kepadanya dan tidak meminta.
  • Mu‘tar adalah orang yang datang kepadamu dengan permintaan, yaitu yang mendesak.

Pendapat kedua: Ini adalah pendapat Imam al-Syafi‘i dalam qaul jadīd-nya, bahwa yang disunnahkan adalah memakan dan menyimpan separuhnya, serta bersedekah kepada orang-orang miskin separuhnya. Berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:
 {Fa kulū minhā wa aṭ‘imū al-bā’isa al-faqīr} (QS. al-Ḥajj: 28) —
 “Maka makanlah darinya dan berilah makan kepada orang yang sangat membutuhkan lagi fakir.”


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْكَلَامُ فِي قَدْرِ الْجَائِزِ فَإِنْ أَكَلَ جَمِيعَهُ إِلَّا رِطْلًا وَاحِدًا تَصَدَّقَ بِهِ عَلَى الْمَسَاكِينِ أَجْزَأَهُ وَإِنْ تَصَدَّقَ بِجَمِيعِهِ إِلَّا رِطْلًا وَاحِدًا أَكَلَهُ أجزأه وإن تصدق بجميعه ولم يأكل شيء مِنْهُ أَجْزَأَهُ وَإِنْ أَكَلَ جَمِيعَهُ وَلَمْ يَتَصَدَّقْ بِشَيْءٍ مِنْهُ لَمْ يُجْزِهِ وَكَانَ ضَامِنًا وَفِي قَدْرِ مَا يَضْمَنُهُ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَضْمَنَ مِنْهُ قَدْرَ الْجَائِزِ وَهُوَ الْقَلِيلُ الَّذِي لَوْ تَصَدَّقَ بِهِ أَجْزَأَهُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهُ يَضْمَنُ مِنْهُ قَدْرَ الِاسْتِحْبَابِ وَفِي قَدْرِ الِاسْتِحْبَابِ قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى. أَحَدُهُمَا: النِّصْفُ.
وَالثَّانِي: الثُّلُثُ، ثُمَّ إِذَا لَزِمَهُ ضَمَانُ قَدْرٍ مِنْهُ فَفِي كَيْفِيَّةِ ضَمَانِهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ مَضَتْ.

PASAL
 Adapun pembahasan mengenai kadar yang diperbolehkan:

Jika seseorang memakan seluruh daging hady kecuali satu riṭl lalu menyedekahkan riṭl itu kepada para fakir, maka itu sah baginya.

Jika ia menyedekahkan seluruhnya kecuali satu riṭl yang ia makan, maka itu juga sah.

Jika ia menyedekahkan seluruhnya dan tidak memakan sedikit pun darinya, maka tetap sah.

Namun jika ia memakan seluruhnya tanpa menyedekahkan sedikit pun, maka tidak sah, dan ia wajib menggantinya (menanggungnya).

Adapun tentang kadar yang wajib diganti, terdapat dua pendapat:

Pertama: ia wajib mengganti seukuran kadar minimal yang mencukupi seandainya disedekahkan, yaitu bagian kecil yang jika disedekahkan sudah dianggap sah.

Kedua: ia wajib mengganti seukuran kadar yang dianjurkan untuk disedekahkan, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan:

  • Salah satunya: separuh
  • Yang kedua: sepertiga


Kemudian apabila telah wajib mengganti sebagian darinya, maka cara mengganti tersebut ada tiga pendapat sebagaimana telah berlalu.


مَسْأَلَةٌ
: قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَا عَطِبَ مِنْهَا نَحَرَهَا وَخَلَّى بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْمَسَاكِينِ وَلَا بَدَلَ عَلَيْهِ فِيهَا وَمَا كَانَ وَاجِبًا مِنْ جَزَاءِ الصَّيْدِ أَوْ غَيْرِهِ فَلَا يَأْكُلُ مِنْهَا شَيْئًا فَإِنْ أَكَلَ فَعَلَيْهِ بِقَدْرِ مَا أَكَلَ لِمَسَاكِينِ الْحَرَمِ وَمَا عَطِبَ مِنْهَا فعليه مكانها “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي الْهَدْيِ إِذَا بَلَغَ مَحِلَّهُ فَأَمَّا إِذَا عَطِبَ فِي طَرِيقِهِ وَضَعُفَ عَنْ بُلُوغِ مَحِلِّهِ بِمَرَضٍ أَوْ عَرَجٍ أَوْ زَمَانَةٍ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ تَطَوُّعًا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ وَاجِبًا فِي الذِّمَّةِ كَدِمَاءِ الْحَجِّ.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ وَاجِبًا لَا يَتَعَلَّقُ بِالذِّمَّةِ كَالنَّذْرِ.

MASALAH

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Hewan hadyu yang rusak, maka ia menyembelihnya dan membiarkannya bagi para miskīn, dan tidak ada pengganti atasnya. Adapun yang wajib karena membayar jazāʾ aṣ-ṣayd atau selainnya, maka tidak boleh memakan sedikit pun darinya. Jika ia memakannya, maka ia wajib mengganti sesuai kadar yang dimakannya kepada para miskīn al-Ḥaram. Dan hewan hadyu yang rusak, maka wajib mengganti sebagai penggantinya.”

Al-Māwardī berkata: Telah lalu pembahasan tentang hadyu apabila telah sampai ke tempatnya. Adapun jika rusak di perjalanan dan tidak mampu sampai ke tempatnya karena sakit, pincang, atau lumpuh, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

pertama: bila ia adalah ṭawwaʿ (sukarela),

kedua: bila ia wajib di dalam żimmah seperti dam ḥajj,

ketiga: bila ia wajib namun tidak terkait dengan żimmah seperti nadzar.


فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْهَدْيُ تَطَوُّعًا فَعَلَيْهِ أَنْ يَنْحَرَهُ فِي مَوْضِعِهِ وَيَغْمِسَ نَعْلَيْهِ فِي دَمِهِ وَيَضْرِبَهَا عَلَى صَفْحَتِهِ وَيُخَلِّيَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَسَاكِينِ الْمَوْضِعِ وَيُنَادِيَ فِيهِمْ بِإِبَاحَتِهِ وَإِنَّمَا فَعَلَ ذَلِكَ لِمَا رَوَى سِنَانُ بْنُ سَلَمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ ذُؤَيْبًا أَبَا قَبِيصَةَ حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَبْعَثُ مَعَهُ بِالنَّذْرِ ثُمَّ يَقُولُ إِنْ عَطِبَ مِنْهَا شَيْءٌ فَخَشِيتَ عَلَيْهِ مَوْتًا فَانْحَرْهَا ثم اغمس نعلك في دمها ثم اضربه صَفْحَتَهَا وَلَا تَطْعَمْهَا أَنْتَ وَلَا أحدٍ مِنْ أَهْلِ رُفْقَتِكَ فَإِذَا فَعَلَ بِالْهَدْيِ مَا ذَكَرْنَا وَهِيَ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ النَّحْرُ وَغَمْسُ نَعْلَيْهِ بِدَمِهِ وَالنِّدَاءُ عَلَيْهِ وَالتَّخْلِيَةُ بَيْنَ مَسَاكِينِ الْمَوْضِعِ وَبَيْنَهُ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ غَنِيًّا كَانَ أَوْ فَقِيرًا وَلَا أَحَدٌ مِنْ أَغْنِيَاءِ أَهْلِ رُفْقَتِهِ، فَأَمَّا فُقَرَاءُ رُفْقَتِهِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لا يجوز لهم أن يأكلوا أشياء مِنْهُ وَإِنْ كَانُوا فُقَرَاءَ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” وَلَا تَطْعَمْهَا أَنْتَ وَلَا أحدٌ مِنْ أَهْلِ رُفْقَتِكَ ” وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَجُوزُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا فُقَرَاءُ رُفْقَتِهِ لِأَنَّ بِحُصُولِهِمْ بِالْمَوْضِعِ قَدْ صَارُوا مِنْ أَهْلِهِ وَهَذَا قَوْلٌ يَدْفَعُهُ نَصُّ السُّنَّةِ الْمَرْوِيَّةِ وَيُبْطِلُهُ مَعْنَى النَّهْيِ فِي الِاحْتِيَاطِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ رَخَّصَ لِأَهْلِ الرُّفْقَةِ فِي أَكْلِهِ لَجَازَ أَنْ يَتَوَصَّلُوا إِلَى عَطَبِهِ لِيَتَعَجَّلُوا اسْتِبَاحَةَ أَكْلِهِ فَإِذَا مُنِعُوا مِنْ أَكْلِهِ عِنْدَ عَطَبِهِ كان ذلك داعية حفاظه وَسَبَبَ الِاحْتِيَاطِ فِي إِبْلَاغِهِ فَإِنْ أَكَلَ مِنْهُ أَوْ أَكَلَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ رُفْقَتِهِ كَانَ ضامناً لقدر ما أكل وعليه إبلاغ مَا ضَمِنَهُ الْحَرَمَ، لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى إِبْلَاغِهِ الْحَرَمَ بِخِلَافِ الْهَدْيِ الَّذِي قَدْ عَطِبَ فَلَا يَقْدِرُ عَلَى إِبْلَاغِهِ الْحَرَمَ فَإِنْ لَمْ يَأْكُلْ هُوَ وَلَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ رُفْقَتِهِ مِنْهُ وَفَعَلَ بِهِ الْأَرْبَعَةَ أَشْيَاءَ فَلَمْ يَأْكُلْ أَحَدٌ مِنْ مَسَاكِينِ الْمَوْضِعِ مِنْهُ حَتَّى تَغَيَّرَ أَوْ هَلَكَ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ عَلَيْهِ تَمْكِينَ أَهْلِ الْمَوْضِعِ مِنْهُ وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَأْكُلُوا مِنْهُ، فَأَمَّا إِذَا لَمْ يَفْعَلْ بِهِ شَيْئًا مِمَّا ذَكَرْنَا فَتَرَكَهُ حَتَّى مَاتَ فَإِنْ كَانَ قَادِرًا عَلَى نَحْرِهِ فَلَمْ يَنْحَرْهُ حَتَّى هَلَكَ فَعَلَيْهِ ضَمَانُهُ وَغَرَامَةُ مَثْلِهِ لِمَسَاكِينِ الْحَرَمِ وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى نَحْرِهِ حَتَّى مَاتَ بِعَجَلَةِ هَلَاكِهِ وَسُرْعَةِ مَوْتِهِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، فَأَمَّا إن نحره وخلا بينه وبين المساكين وإباحة أَكْلَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَصْبُغَ نَعْلَيْهِ بِدَمِهِ أجزأه واستباح المساكين أن يَأْكُلُوهُ لِرِوَايَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قرطٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أَعْظَمُ الْأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يوم القر وقرت إلى النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بدناتٍ خمسٍ أو ست ينحرهن فطفقن يزدلفن إليه أيتهن يبدأ بها فلما وجبت جنوبها قال كلمةً خفيفةً لم أفهمها فسألت بعض من يليني ما قال: قالوا قَالَ: ” مَنْ شَاءَ اقْتَطَعَ ” فَأَمَّا إِنْ نَحَرَهُ وَغَمَسَ نَعْلَيْهِ فِي دَمِهِ وَضَرَبَهَا عَلَى صَفْحَتِهِ وَلَمْ يُنَادِ فِي النَّاسِ بِهِ وَلَا أَعْلَمَهُمْ بإباحته فهل يجزئه وتستبيح النَّاسُ بِذَلِكَ أَكْلَهُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Adapun bagian pertama: yaitu apabila hadyu tersebut merupakan tathawwu‘ (kurban sunah), maka wajib menyembelihnya di tempat itu, mencelupkan kedua sandalnya ke dalam darahnya, memukulkan sandal tersebut ke sisi tubuhnya, membiarkan hewan itu untuk para fakir miskin di tempat itu, serta menyerukan kepada mereka bahwa daging itu halal bagi mereka. Ia melakukan hal itu berdasarkan riwayat dari Sinān bin Salamah dari Ibnu ‘Abbās, bahwa Dzu’aib Abū Qabīṣah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah SAW dahulu mengirimkan hewan nadzr bersamanya, lalu bersabda, “Jika ada hewan di antara hewan tersebut yang rusak dan kamu khawatir ia akan mati, maka sembelihlah, lalu celupkan sandalmu ke dalam darahnya dan pukulkan ke sisi tubuhnya, dan jangan kamu makan darinya, tidak pula seorang pun dari kawan seperjalananmu.”

Apabila ia telah melakukan terhadap hadyu tersebut apa yang telah kami sebutkan — yaitu empat perkara: menyembelihnya, mencelupkan kedua sandalnya ke dalam darahnya, menyerukan bahwa ia halal, dan membiarkan hewan itu untuk para fakir miskin di tempat tersebut — maka ia tidak boleh memakannya, baik ia orang kaya atau fakir, dan tidak boleh pula seorang pun dari orang-orang kaya dari kawan seperjalanannya. Adapun orang-orang fakir dari kawan seperjalanannya, maka mazhab asy-Syāfi‘ī bahwa tidak boleh bagi mereka memakan sebagian darinya, meskipun mereka fakir, karena sabda Nabi SAW: “Jangan kamu makan darinya, tidak pula seorang pun dari kawan seperjalananmu.”

Sebagian sahabat kami berkata: boleh bagi orang-orang fakir dari kawan seperjalanannya untuk memakannya, karena keberadaan mereka di tempat itu telah menjadikan mereka termasuk penduduk tempat tersebut. Ini adalah pendapat yang ditolak oleh nash sunnah yang diriwayatkan dan dibatalkan oleh makna larangan secara kehati-hatian. Karena jika diperbolehkan bagi kawan seperjalanan untuk memakannya, maka dimungkinkan bagi mereka untuk sengaja merusaknya agar segera dapat memakan dagingnya. Maka apabila mereka dilarang untuk memakannya ketika hewan tersebut rusak, hal itu menjadi pendorong untuk menjaganya dan sebab kehati-hatian dalam menyampaikannya ke ḥaram.

Apabila ia memakan darinya, atau salah seorang dari kawan seperjalanannya memakannya, maka ia wajib menanggung ganti rugi sebesar apa yang ia makan dan wajib menyampaikannya ke ḥaram, karena ia mampu menyampaikannya ke ḥaram, berbeda dengan hadyu yang telah rusak, maka ia tidak mampu menyampaikannya ke ḥaram. Apabila ia dan kawan seperjalanannya tidak memakannya dan telah melakukan empat perkara tersebut, lalu tidak ada seorang pun dari fakir miskin tempat itu yang memakannya hingga daging itu membusuk atau rusak, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya, karena kewajibannya hanyalah memungkinkan penduduk tempat itu untuk mengambilnya, bukan mewajibkan mereka untuk memakannya.

Adapun jika ia tidak melakukan satu pun dari hal-hal yang telah kami sebutkan, lalu ia membiarkannya hingga mati, maka jika ia mampu menyembelihnya tetapi tidak melakukannya hingga hewan itu rusak, maka wajib menggantinya dan membayar harganya kepada para fakir miskin ḥaram. Jika ia tidak mampu menyembelihnya karena hewan itu terlalu cepat mati, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya.

Adapun jika ia menyembelihnya, lalu membiarkannya untuk fakir miskin dan menghalalkan dagingnya tanpa mencelupkan sandalnya ke dalam darahnya, maka hal itu sah, dan para fakir miskin boleh memakannya, berdasarkan riwayat dari ‘Abdullāh bin Qurṭ, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari an-naḥr, kemudian hari al-qarr.” Lalu didatangkan kepada Nabi SAW unta-unta besar sejumlah lima atau enam ekor, beliau menyembelihnya, dan unta-unta itu mendekat satu per satu kepada beliau untuk disembelih. Ketika tubuh-tubuh mereka telah rebah, beliau mengucapkan kalimat ringan yang aku tidak paham, lalu aku bertanya kepada orang di dekatku: “Apa yang beliau ucapkan?” Mereka berkata: “Beliau bersabda: ‘Siapa yang mau, ambillah’.”

Adapun jika ia menyembelihnya dan mencelupkan sandalnya ke dalam darahnya, serta memukulkannya ke sisi tubuh hewan itu, tetapi tidak menyerukan kepada orang-orang bahwa dagingnya halal dan tidak menginformasikannya, maka apakah hal itu mencukupi dan boleh dimakan oleh orang-orang? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ إِنَّ هَذِهِ عَلَامَةٌ يَسْتَبِيحُ النَّاسُ أَكْلَهُ بِهَا كَالنِّدَاءِ عَلَيْهَا فَعَلَى هَذَا إِنْ لَمْ يَأْكُلُوهَا فَلَا ضَمَانَ عليه.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ وَهُوَ الصَّحِيحُ لَيْسَتْ هَذِهِ عَلَامَةً يُسْتَبَاحُ بِهَا الْأَكْلُ إِلَّا بِالنِّدَاءِ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ هَذَا الْعَقْدَ قَدْ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ عَنْ وَاجِبٍ فِي تَطَوُّعٍ يَسْتَبِيحُ النَّاسُ أَكْلَهُ وَقَدْ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ عَنْ وَاجِبٍ فِي ذِمَّتِهِ لَا يَسْتَبِيحُ النَّاسُ أَكْلَهُ فَلَمْ يَتَمَيَّزْ أَحَدُهُمَا عَنِ الْآخَرِ إِلَّا بِالنِّدَاءِ فعلى هذا وإن لَمْ يَأْكُلْهُ النَّاسُ حَتَّى هَلَكَ أَوْ تَغَيَّرَ ضمانه لمساكين الحرم، فأما حلال الهدي التي عليها فعليه أيضاً لها إِلَى الْحَرَمِ وَتَفْرِيقُهَا فِي مَسَاكِينِهِ لِقُدْرَتِهِ عَلَى ذَلِكَ وَلِمَا رَوَى ابْنُ أَبَى لَيْلَى عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أُقَسِّمَ جِلَالَهَا وَجُلُودَهَا وَرُوِيَ فِي الْحَدِيثِ وَأَلَّا أُعْطِيَ الْجَازِرَ مِنْهَا شَيْئًا وَقَالَ: نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا، فهذا حكم هدي التطوع إذا أعطب في طريق فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ فَلَيْسَ عَلَيْهِ بَدَلُهُ؛ لِأَنَّ التَّطَوُّعَ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِذِمَّتِهِ وَقَدْ فَعَلَ فِيهَا مَا أُمِرَ بِهِ.

Pertama: yaitu pendapatnya dalam qaul qadīm, bahwa hal ini (menyembelih dan membiarkannya untuk para miskīn) adalah tanda bahwa orang-orang boleh memakannya sebagaimana (bolehnya) setelah diumumkan. Maka berdasarkan pendapat ini, jika mereka tidak memakannya, maka tidak ada tanggungan (ganti) atasnya.

Pendapat kedua: disampaikan dalam qaul jadīd, dan inilah yang ṣaḥīḥ: bahwa ini bukanlah tanda yang menjadikan orang-orang boleh memakannya kecuali setelah diumumkan; karena hewan tersebut bisa jadi berasal dari wājib dalam bentuk ṭawwaʿ yang boleh dimakan oleh orang-orang, dan bisa jadi berasal dari wājib yang terkait dalam żimmah-nya, yang tidak boleh dimakan oleh orang lain. Maka keduanya tidak bisa dibedakan kecuali dengan pengumuman. Maka berdasarkan ini, jika hewan itu tidak dimakan oleh orang-orang sampai binasa atau berubah (tidak layak dikonsumsi), maka wajib menggantinya kepada para miskīn al-Ḥaram.

Adapun orang yang melepaskan hadyu tersebut, maka ia juga wajib mengantarkannya ke al-Ḥaram dan membagikannya kepada para miskīn-nya, karena ia mampu melakukannya. Dan karena diriwayatkan dari Ibn Abī Lailā dari ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah SAW memerintahkanku untuk mengurusi hewan budn-nya dan membagikan kain pelananya dan kulit-kulitnya. Dan dalam hadits disebutkan: “Jangan engkau berikan kepada penjagal sedikit pun darinya,” dan beliau bersabda: “Kami akan memberinya dari harta kami.”

Maka inilah hukum hadyu ṭawwaʿ jika rusak di tengah perjalanan. Jika telah dilakukan sebagaimana mestinya, maka tidak ada kewajiban mengganti, karena ṭawwaʿ tidak terkait dengan żimmah dan ia telah melakukan apa yang diperintahkan atasnya.


فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْهَدْيُ وَاجِبًا فِي الذِّمَّةِ كَدِمَاءِ الْحَجِّ فَيُعَيِّنَهُ فِي هَدْيٍ بِعَيْنِهِ فَيَقُولُ: هَذَا عَمَّا عَلَيَّ مِنْ هَدْيِ الْمُتْعَةِ أَوِ الْقِرَانِ فَإِنْ عَطِبَ عَلَيْهِ فِي الطَّرِيقِ قَبْلَ بُلُوغِ مَحِلِّهِ فَقَدْ عَادَ إِلَى مِلْكِهِ وَجَازَ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيهِ بِبَيْعٍ أَوْ غَيْرِهِ وَإِنْ نحره كان لحماً على ملكه أن يَأْكُلُ مِنْهُ إِنْ شَاءَ وَيُطْعِمُ مِنْهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَبِيعُهُ إِنْ شَاءَ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الشَّافِعِيُّ وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّهُ وَجَبَ بِالتَّعْيِينِ لِيَكُونَ مُسْقِطًا لِمَا فِي الذِّمَّةِ فَإِذَا غَابَ لَمْ يَسْقُطْ مَا فِي الذِّمَّةِ فَلَمْ تَجِبْ فِيهِ بِالتَّعْيِينِ كَرَجُلٍ قَالَ: لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَعْتِقَ هَذَا الْعَبْدَ عَنْ كَفَّارَتِي فَقَدْ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ عِتْقُهُ فِي كَفَّارَتِهِ فَإِنْ غَابَ لَمْ يَلْزَمْهُ عِتْقُهُ؛ لِأَنَّهُ لَا يُجْزِئُهُ عَنْ كَفَّارَتِهِ.

PASAL
 Adapun bagian kedua: yaitu apabila hadyu itu wajib dalam tanggungan (dalam dzimmah) seperti darah hajj, lalu ia menetapkannya pada seekor hewan tertentu, misalnya ia berkata: “Ini sebagai ganti hadyu tamattu‘ atau qirān yang wajib atasku,” maka apabila hewan itu rusak dalam perjalanan sebelum sampai ke tempat penyembelihannya, maka hewan tersebut kembali menjadi miliknya dan boleh ia perlakukan seperti harta miliknya, boleh dijual atau lainnya. Apabila ia menyembelihnya, maka menjadi daging miliknya; boleh ia makan darinya jika ia menghendaki, memberi makan orang lain jika ia menghendaki, dan menjualnya jika ia menghendaki. Hal ini ditegaskan oleh asy-Syāfi‘ī.

Dan hal itu demikian karena hewan tersebut menjadi wajib dengan penetapan (ta‘yīn) agar menggugurkan apa yang menjadi tanggungan dalam dzimmah, maka apabila hewan itu hilang, kewajiban yang ada dalam dzimmah tidak gugur. Maka tidaklah menjadi wajib dengan penetapan tersebut, seperti seorang yang berkata: “Wajib atas diriku karena Allah untuk memerdekakan budak ini sebagai kafaratku,” maka sungguh telah ditetapkan bahwa budak itu harus dimerdekakan sebagai kafaratnya. Namun jika budak itu hilang, maka tidak wajib memerdekakannya, karena tidak mencukupi sebagai penggugur kafaratnya.


فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ يَعُودُ إِلَى مِلْكِهِ بِحُدُوثِ الْعَيْبِ وَيَجُوزُ أَنْ يَصْنَعَ فِيهِ مَا شَاءَ مِنْ بَيْعٍ وَغَيْرِهِ فَعَلَيْهِ إِخْرَاجُ بَدَلِهِ؛ لِأَنَّ مَا فِي الذِّمَّةِ بَاقٍ لِحَالِهِ فَإِذَا أَخْرَجَ بَدَلَهُ نَظَرَ فَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ مِثْلَ قِيمَةِ الْأَوَّلِ أَوْ أَكْثَرَ أَجْزَأَهُ وَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ أَقَلَّ مِنْ قِيمَةِ الْأَوَّلِ فَهَلْ يُجْزِئُهُ إِخْرَاجُ مَا بَيْنَهُمَا مِنَ الْفَضْلِ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ: عَلَيْهِ إِخْرَاجُ مَا بَيْنَهُمَا مِنَ الْفَضْلِ يَتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى مَسَاكِينِ الْحَرَمِ، لِأَنَّهُ قَدِ الْتَزَمَ الزِّيَادَةَ بِتَعْيِينِ الْأَوَّلِ.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَ فِي الْجَدِيدِ وَهُوَ الصَّحِيحُ لَيْسَ عَلَيْهِ إِخْرَاجُ مَا بَيْنَهُمَا مِنَ الْفَضْلِ؛ لِأَنَّ حُدُوثَ الْعَيْبِ فِي الْأَوَّلِ قَدْ أَبْطَلَ وُجُوبَهُ فَسَقَطَ حُكْمُهُ.

Maka apabila telah dipastikan bahwa hewan itu kembali menjadi miliknya karena timbulnya cacat, dan ia boleh memperlakukan hewan tersebut sebagaimana ia kehendaki, seperti menjualnya dan lainnya, maka wajib baginya mengeluarkan penggantinya; karena kewajiban yang ada di dalam żimmah-nya tetap sebagaimana adanya.

Apabila ia telah mengeluarkan penggantinya, maka dilihat: jika nilai hewan pengganti sama atau lebih besar dari nilai hewan yang pertama, maka hal itu mencukupi. Namun jika nilainya lebih rendah dari hewan yang pertama, maka apakah cukup baginya mengeluarkan selisih kekurangannya?

Dalam hal ini ada dua pendapat:

Pertama, yaitu pendapat dalam qaul qadīm: wajib baginya mengeluarkan selisih kelebihan tersebut dan mensedekahkannya kepada miskīn al-Ḥaram, karena ia telah berkomitmen terhadap kelebihan itu ketika menetapkan hewan yang pertama.

Pendapat kedua, disampaikan dalam qaul jadīd dan inilah yang ṣaḥīḥ: tidak wajib baginya mengeluarkan selisih kelebihan itu, karena cacat yang terjadi pada hewan pertama telah menggugurkan kewajibannya, maka gugurlah pula hukumnya.


فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ وَاجِبًا يَتَعَلَّقُ بِالذِّمَّةِ كَالنَّذْرِ إِذَا تَعَيَّنَ فِي هَدْيٍ بِقَوْلِهِ: لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُهْدِيَ هَذِهِ الْبَدَنَةَ فَإِذَا عَطِبَتْ فِي الطَّرِيقِ قَبْلَ بُلُوغِهَا مَحِلَّهَا فَهَلْ عَلَيْهِ بَدَلُهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ وِجْهَتَيْ أَصْحَابِنَا فِي هَذَا النَّذْرِ إِذَا بَلَغَ مَحِلَّهُ هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ أَمْ لَا؟ فَإِنْ قِيلَ يَجُوزُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ أَجْرَيْتَ عَلَيْهِ حُكْمَ هَدْيِ التَّطَوُّعِ فَإِذَا عَطِبَ دون محله نحره في موضعه وخلا بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَسَاكِينِ الْمَوْضِعِ فَلَمْ يَأْكُلْ مِنْهُ وَلَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ رُفْقَتِهِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ إِخْرَاجُ بَدَلِهِ، وَإِنْ قِيلَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ عِنْدَ بُلُوغِ مَحِلِّهِ فَلَيْسَ عَلَيْهِ نَحْرُهُ وَإِنْ نَحَرَهُ كَانَ لَهُ أَنْ يَأْكُلَ وَعَلَيْهِ بَدَلُهُ وَالْأَوَّلُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ أَصَحُّ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ نَذَرَ عِتْقَ عَبْدٍ بِعَيْنِهِ فَمَاتَ لَمْ يَلْزَمْهُ كَذَلِكَ إِذَا نَذَرَ هَدْيًا بِعَيْنِهِ ثُمَّ مَاتَ لَمْ يَلْزَمْهُ بَدَلُهُ؛ لِأَنَّ حُكْمَ الْهَدْيِ إِذَا نَذَرَهُ وَالْعَبْدِ إِذَا نَذَرَ عِتْقَهُ سَوَاءٌ إِلَّا فِي مَوْضِعٍ وَاحِدٍ وَهُوَ: إِذَا نَذَرَ عِتْقَ عَبْدِهِ فَقَتَلَهُ لَمْ يَلْزَمْهُ بَدَلُهُ، وَلَوْ نَذَرَ هَدْيًا فَقَتَلَهُ لَزِمَهُ بَدَلُهُ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ حَقَّ الْمَسَاكِينِ قَدْ تَعَلَّقَ بنذر الهدي فلزمه وَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِالْعِتْقِ فَلَمْ يَلْزَمْهُ بَدَلُهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

PASAL
 Adapun bagian ketiga: yaitu hadyu yang wajib dan terkait dengan tanggungan (dzimmah) seperti nadzar, apabila telah ditentukan pada hewan tertentu dengan ucapannya: “Karena Allah, wajib atasku untuk berkurban dengan unta ini,” maka apabila unta tersebut rusak dalam perjalanan sebelum sampai ke tempat penyembelihannya, apakah wajib menggantinya atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua wajah (pendapat), yang dibangun di atas perbedaan dua arah pandang sahabat-sahabat kami dalam permasalahan nadzar ini apabila hewan tersebut telah sampai ke tempatnya: apakah boleh memakannya atau tidak?

Jika dikatakan: boleh memakannya, maka diterapkan atasnya hukum hadyu tathawwu‘; apabila rusak sebelum sampai tempatnya, maka ia menyembelihnya di tempat itu dan membiarkan hewan tersebut untuk fakir miskin setempat, lalu ia tidak memakannya dan tidak pula seorang pun dari kawan seperjalanannya, dan tidak wajib atasnya untuk mengganti hewan tersebut.

Namun jika dikatakan: tidak boleh memakannya saat sampai tempatnya, maka tidak wajib menyembelihnya, dan jika ia menyembelihnya, ia boleh memakannya tetapi wajib menggantinya.

Dan pendapat pertama dari dua wajah ini lebih kuat. Tidakkah kamu melihat bahwa jika seseorang bernadzar memerdekakan budak tertentu, lalu budak itu mati, maka ia tidak wajib menggantinya? Demikian pula jika ia bernadzar untuk menyembelih hewan tertentu sebagai hadyu, lalu hewan itu mati, maka ia tidak wajib menggantinya. Karena hukum hadyu apabila dinadzarkan dan hukum budak yang dinadzarkan untuk dimerdekakan adalah sama, kecuali dalam satu keadaan, yaitu: apabila seseorang bernadzar memerdekakan budaknya lalu ia membunuhnya, maka tidak wajib menggantinya. Namun jika ia bernadzar menyembelih hadyu, lalu ia membunuh hewan tersebut, maka ia wajib menggantinya.

Perbedaan antara keduanya adalah: bahwa hak para fakir miskin telah terkait dengan nadzar hadyu, maka ia wajib menggantinya. Adapun dalam nadzar memerdekakan budak, tidak ada hak fakir miskin yang terkait, maka tidak wajib menggantinya. Dan Allah lebih mengetahui.

فَصْلٌ
: إِذَا سَاقَ الْمُحْرِمُ هَدْيًا فَضَلَّ مِنْهُ فَإِنْ كَانَ فِي عُمْرَةٍ انْتَظَرَ بِهِ أَبَدًا فَإِنْ وَجَدَهُ نَحَرَهُ وَإِنْ كَانَ فِي حَجٍّ تَرَبَّصَ بِهِ إِلَى صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ وَلَا يَفُوتُهُ ذَلِكَ مَا لَمْ تَغِبِ الشَّمْسُ مِنْ يَوْمِهِ وَإِنْ وَجَدَهُ نَحَرَهُ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمُعْتَمِرُ ذَلِكَ بَعْدَ تَطَاوُلِ الزَّمَانِ وَلَا وَجَدَ الْحَاجُّ ذَلِكَ حَتَّى خَرَجَتْ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ فَهَلْ عَلَيْهِ مِثْلُهُ بَدَلًا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ بَدَلُهُ وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ؛ لِأَنَّهُ يَضِلُّ بِتَفْرِيطٍ مِنْ سَائْقِهِ وَإِنْ خَفِيَ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي كِتَابِ الضَّحَايَا، لَيْسَ عَلَيْهِ بَدَلُهُ، لِأَنَّهُ لَوْ مَاتَ لَمْ يَلْزَمْهُ بَدَلُهُ وَهُوَ بِالْمَوْتِ غَيْرُ مَرْجُوٍّ فَإِذَا ضَلَّ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَلْزَمَهُ بَدَلُهُ؛ لِأَنَّهُ بَعْدَ الضَّلَالِ مَرْجُوٌّ فَعَلَى هَذَا لَوْ أَبْدَلَهُ ثُمَّ وَجَدَهُ قَالَ الشَّافِعِيُّ نَحَرَهُ، لِأَنَّهُ قَدْ أَوْجَبَهُ فَلَا يَعُودُ فِي مِلْكِهِ أَبَدًا وَقَدْ أَخْرَجَهُ إِلَى شَيْءٍ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَقَدْ رَوَى ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا حَجَّتْ فَأَهْدَتْ بَدَنَتَيْنِ وَقَلَّدَتْهُمَا فَضَلَّتَا فَاشْتَرَتْ مَكَانَهُمَا فَقَلَّدَتْهُمَا ثم وجدت الأولتين قَالَ فَنَحَرَتْهُنَّ أَرْبَعَتَهُنَّ فَكَانَتْ كُلَّمَا حَجَّتْ بَعْدَ ذَلِكَ أَهْدَتْ أَرْبَعًا مِنَ الْبُدْنِِ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.

PASAL

Apabila seorang muḥrim menggiring hadyu lalu salah satu dari hewan tersebut tersesat, maka:

  • Jika itu dalam rangka ‘umrah, ia menunggu selama-lamanya. Jika ia menemukannya, maka ia menyembelihnya.
  • Jika itu dalam rangka ḥajj, maka ia menunggu sampai shalat subuh pada hari terakhir dari hari-hari tasyriq, dan ia tidak akan kehilangan waktunya selama matahari belum tenggelam pada hari tersebut. Jika ia menemukannya, maka ia menyembelihnya.

Namun apabila:

  • Mu‘tamir tidak menemukannya setelah waktu yang lama, atau
  • Hājj tidak menemukannya hingga hari-hari tasyriq berlalu,

maka apakah ia wajib menggantinya atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: wajib menggantinya, dan ini adalah qaul qadīm, karena kehilangan itu disebabkan oleh kelalaian penggiringnya, meskipun tersembunyi.

Kedua: disebutkan dalam Kitāb al-Ḍaḥāyā, bahwa tidak wajib menggantinya; karena jika hewan itu mati, ia tidak wajib menggantinya, padahal kematian itu tidak diharapkan kembali. Maka bila hewan itu hilang (yang masih mungkin ditemukan), tentu lebih utama untuk tidak wajib menggantinya.

Berdasarkan pendapat ini, jika ia telah mengganti lalu kemudian menemukan yang pertama, maka asy-Syāfi‘ī berkata: ia harus menyembelih hewan yang pertama, karena ia telah mewajibkannya dan tidak kembali lagi menjadi miliknya selamanya, sebab ia telah mengeluarkannya untuk sesuatu karena Allah ‘azza wa jalla.

Diriwayatkan dari Ibn Abī Mulaykah dari ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā, bahwa ia pernah berhaji lalu menghadiahkan dua ekor budnah dan memberinya tanda kalung. Keduanya tersesat. Maka ia membeli dua ekor pengganti dan mengalunginya. Lalu ia menemukan dua ekor yang pertama. Maka ia menyembelih keempatnya. Dan setelah itu, setiap kali ia berhaji, ia selalu menghadiahkan empat ekor budnah.

Wa billāhi at-tawfīq.