(Kitab Ar-Rahn / Buku tentang Gadai)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” أَذِنَ اللَّهُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ بِالرَّهْنِ فِي الدَّين والدَّين حَقٌّ فَكَذَلِكَ كُلُّ حَقٍّ لَزِمَ فِي حِينِ الرَّهْنِ وَمَا تَقَدَّمَ الرَّهْنَ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Allah Yang Maha Agung telah membolehkan gadai dalam utang, dan utang adalah hak, maka demikian pula setiap hak yang wajib pada saat gadai dan apa yang mendahului gadai.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وهذا كما قال الرهن أحد الوثائق فِي الْحُقُوقِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, gadai adalah salah satu bentuk penjaminan dalam hak-hak.

وَالْأَصْلُ فِيهِ قَوْله تَعَالَى: {وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ} [البقرة: 283] وَقُرِئَ ” فَرُهُنٌ مَقْبُوضَةٌ ” وَفِي اخْتِلَافِ الْقِرَاءَتَيْنِ تَأْوِيلَانِ:

Dasar hukumnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang} (QS. Al-Baqarah: 283). Dan dibaca juga: “maka barang-barang gadai yang dipegang.” Dari perbedaan dua qira’ah ini terdapat dua penafsiran:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ قَوْلَهُمْ: فَرِهَانٌ جَمْعٌ، وَرُهُنٌ جَمْعُ الْجَمْعِ.

Pertama: Bahwa kata “farihan” adalah bentuk jamak, dan “furuhun” adalah jamak dari jamak.

وَالثَّانِي: أَنَّ قَوْلَهُ: فَرِهَانٌ مُسْتَعْمَلٌ فِي السَّبْقِ وَالنِّضَالِ، وَقَوْلُهُ: فَرُهُنٌ مُسْتَعْمَلٌ فِي الْمُعَامَلَاتِ وَأَمَّا الرَّهِينَةُ، فَلَيْسَتْ مِنْ هَذَيْنِ، وَإِنَّمَا هِيَ مُسْتَعْمَلَةٌ فِي ارْتِهَانِ النُّفُوسِ. قَالَ الْفَرَزْدَقُ:

Kedua: Bahwa kata “farihan” digunakan dalam perlombaan dan memanah, sedangkan “furuhun” digunakan dalam transaksi muamalah. Adapun “rahīnah”, maka itu bukan dari keduanya, melainkan digunakan dalam konteks penahanan jiwa. Al-Farazdaq berkata:

(وَمِنَّا الَذِي أَعْطَى يَدَيْهِ رَهِينَةً … لِغَارَيْ مَعَدٍّ يَوْمَ ضَرْبِ الْجَمَاجِمِ)

(Di antara kami ada yang menyerahkan kedua tangannya sebagai rahīnah … untuk dua orang dari Ma‘add pada hari perang Jamājim)

ثُمَّ مِنَ السُّنَّةِ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِيلَ عَنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: لا يغلق الرهن الرَّهْنُ مِنْ رَاهِنِهِ الَذِي رَهَنَهُ لَهُ غُنْمُهُ غيره وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ

Kemudian dari sunnah, sebagaimana yang diriwayatkan asy-Syafi‘i dari Muhammad bin Isma‘il, dari Abu Dzi’b, dari Ibnu Syihab, dari Ibnu al-Musayyab, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Gadai tidak tertutup (tidak hilang haknya). Gadai itu milik orang yang menggadaikan, baginya keuntungannya dan atasnya kerugiannya.”

وَفِي قَوْلِهِ: لَا يَغْلَقُ الرَّهْنُ تَأْوِيلَانِ:

Dalam sabda beliau: “Gadai tidak tertutup”, terdapat dua penafsiran:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يَبْطُلُ الدَّيْنُ بِتَلَفِهِ.

Pertama: Bahwa utang tidak batal karena barang gadai rusak.

وَالثَّانِي: وَهُوَ أَشْبَهُ: أَنَّهُ لَا يُمَلَّكُ بِالدَّيْنِ عِنْدَ مَحَلِّهِ. قَالَ زُهَيْرٌ:

Kedua, dan ini yang lebih kuat: Bahwa barang gadai tidak menjadi milik karena utang saat jatuh tempo. Zuhair berkata:

(وَفَارَقَتْكَ بِدَيْنٍ لَا فَكَاكَ لَهُ … يَوْمَ الْوَدَاعِ فأنسى الدين قَدْ غَلِقَا)

(Dan ia meninggalkanmu dengan utang yang tak ada tebusannya … pada hari perpisahan, maka aku lupa bahwa utang itu telah tertutup)

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَقْرَبُ النَّفَقَةُ.

Asy-Syafi‘i meriwayatkan dari Yahya bin Sa‘id, dari Zakariya bin Abi Za’idah, dari asy-Sya‘bi, dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang gadai boleh dinaiki dengan biaya pemeliharaannya jika ia digadaikan, dan susu hewan perah boleh diminum dengan biaya pemeliharaannya jika ia digadaikan, dan atas orang yang menaiki dan meminum itu menanggung biaya pemeliharaannya.”

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: رَهَنَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دِرْعَهُ عِنْدَ أَبِي الشَّحْمِ الْيَهُودِيِّ وَاخْتَلَفَ النَّاسُ هَلْ مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَبْلَ فَكَاكِهِ؟ فَقَالَ قَوْمٌ: افْتَكَّهُ قَبْلَ مَوْتِهِ لأنه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى وَهَذِهِ صِفَةٌ تَنْتَفِي عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.

Asy-Syafi‘i meriwayatkan dari ‘Abd al-‘Aziz bin Muhammad, dari Ja‘far bin Muhammad, dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah ﷺ menggadaikan baju besinya kepada Abu Syahm, seorang Yahudi. Orang-orang berbeda pendapat apakah Rasulullah ﷺ wafat sebelum menebusnya? Sebagian berkata: Beliau menebusnya sebelum wafat, karena Rasulullah ﷺ bersabda: “Jiwa seorang mukmin tergantung pada utangnya hingga dilunasi.” Dan sifat ini tidak berlaku bagi beliau ﷺ.

وَقَالَ آخَرُونَ وَهُوَ الصَّحِيحُ: أَنَّهُ مَاتَ قَبْلَ فَكَاكِهِ لِرِوَايَةِ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ رَجُلٍ مِنَ الْيَهُودِ بِثَلَاثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ قَوْلُهُ: نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى مَحْمُولًا عَلَى مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَتْرُكْ وَفَاءً.

Dan yang lain berkata, dan ini yang benar: Bahwa beliau wafat sebelum menebusnya, berdasarkan riwayat ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah ﷺ wafat sementara baju besinya masih tergadai pada seorang Yahudi dengan tiga puluh sha‘ gandum. Maka dengan demikian, sabda beliau: “Jiwa seorang mukmin tergantung pada utangnya hingga dilunasi” dimaknai bagi orang yang wafat dan tidak meninggalkan pelunasan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الرَّهْنِ بِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَهُوَ إِذَا تَمَّ مِنَ الْعُقُودِ اللَّازِمَةِ مِنْ أَحَدِ الْمُتَعَاقِدَيْنِ دُونَ الْآخَرِ فَيَكُونُ لَازِمًا مِنْ جِهَةِ الرَّاهِنِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ فَإِنْ رَامَ الرَّاهِنُ فَسْخَهُ قَبْلَ فَكَاكِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ، وَلَوْ طَلَبَ الْمُرْتَهِنُ ذَلِكَ كَانَ لَهُ، لِأَنَّهُ وَثِيقَةٌ لِلْمُرْتَهِنِ عَلَى الرَّاهِنِ وَأَصْلُ الرَّهْنِ فِي اللُّغَةِ: هُوَ الِاحْتِبَاسُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ} [المدثر: 38] أَيْ مُحْتَبَسَةٌ. وَقَالَ الأعشى:

Jika telah tetap kebolehan gadai sebagaimana yang kami sebutkan dari al-Qur’an dan sunnah, maka apabila telah sempurna, ia termasuk akad yang mengikat dari salah satu pihak yang berakad saja, bukan dari pihak yang lain. Maka ia menjadi mengikat dari pihak orang yang menggadaikan (rahin), bukan dari pihak penerima gadai (murtahin). Jika orang yang menggadaikan ingin membatalkannya sebelum menebusnya, maka ia tidak berhak, tetapi jika penerima gadai yang menghendaki demikian, maka itu haknya, karena gadai adalah jaminan bagi penerima gadai atas orang yang menggadaikan. Adapun asal kata “rahn” dalam bahasa adalah penahanan. Allah Ta‘ala berfirman: {Setiap jiwa tergadai dengan apa yang ia usahakan} (QS. Al-Muddatstsir: 38), artinya: tertahan. Al-A‘syā berkata:

(فهل يمنعني ارتيادي البلاد … مِنْ حَذَرِ الْمَوْتِ أَنْ يَأْتِيَنْ)

(Maka adakah yang menghalangiku menjelajahi negeri … karena takut mati, sehingga kematian itu datang?)

(عَلَيَّ رَقِيبٌ لَهُ حَافِظٌ … فَقُلْ فِي امْرِئٍ غَلِقٍ مُرْتَهِنْ)

(Ada pengawas yang menjagaku… maka katakanlah tentang seseorang yang tertutup dan tergadai.)

فَإِذَا تَمَهَّدَ مَا ذَكَرْنَا. فَالرَّهْنُ عِنْدَنَا يَجُوزُ فِي السَّفَرِ وَالْحَضَرِ، وَعِنْدَ وُجُودِ الْكَاتِبِ وَعَدَمِهِ، وَبِهِ قَالَ فُقَهَاءُ الْأَمْصَارِ، وَقَالَ مُجَاهِدٌ وَدَاوُدُ: لَا يَجُوزُ فِي الْحَضَرِ وَلَا مَعَ وُجُودِالْكَاتِبِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ} [البقرة: 283] فَأَبَاحَهُ بِوُجُودِ شَرْطَيْنِ: السَّفَرِ وَعَدَمِ الْكَاتِبِ.

Setelah apa yang kami sebutkan menjadi jelas, maka rahn menurut kami boleh dilakukan baik dalam perjalanan maupun di tempat tinggal, baik ketika ada penulis maupun tidak ada penulis. Pendapat ini juga dipegang oleh para fuqaha di berbagai negeri. Mujahid dan Dawud berkata: Tidak boleh dilakukan di tempat tinggal dan tidak boleh dilakukan ketika ada penulis, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang} (QS. Al-Baqarah: 283). Maka ayat ini membolehkannya dengan dua syarat: dalam perjalanan dan tidak adanya penulis.

وَدَلِيلُنَا: رِوَايَةُ الشَّافِعِيِّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: نَزَلَ بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ضَيْفٌ فَقَالَ لِي: يَا أَبَا رَافِعٍ اذْهَبْ إِلَى فُلَانٍ الْيَهُودِيِّ فَقُلْ لَهُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: بِعْنِي إِلَى رَجَبٍ، فَأَتَيْتُهُ، فَقَالَ: وَاللَّهِ لَا أَبِيعُهُ إِلَا بِرَهْنٍ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: اذْهَبْ بِدِرْعِي الْجَدِيدِ إِلَيْهِ. فَرَهَنَهُ بِطَعَامٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى.

Dalil kami adalah riwayat asy-Syafi‘i dari Ibrahim bin Muhammad dari Yazid bin ‘Abdullah dari Abu Rafi‘ dari ayahnya, ia berkata: Seorang tamu datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau bersabda kepadaku: “Wahai Abu Rafi‘, pergilah ke si Fulan orang Yahudi itu, dan katakan kepadanya: Rasulullah ﷺ bersabda: Juallah kepadaku hingga bulan Rajab.” Maka aku mendatanginya, lalu ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menjualnya kecuali dengan rahn.” Maka aku kembali kepada Rasulullah ﷺ dan memberitahukan hal itu, lalu beliau bersabda: “Bawalah baju besiku yang baru kepadanya.” Maka beliau menggadaikannya dengan makanan sampai waktu yang telah ditentukan.

فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى جَوَازِ الرَّهْنِ فِي الْحَضَرِ، لِأَنَّ هَذَا كَانَ بِالْمَدِينَةِ، وَلِأَنَّهَا وَثِيقَةٌ تَجُوزُ سَفَرًا فَجَازَتْ حَضَرًا كَالضَّمِينِ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ حَالٍ جَازَ فِيهَا الضَّمِينُ جَازَ فِيهَا الرَّهْنُ كَالسَّفَرِ فَأَمَّا الْآيَةُ فَإِنَّمَا ذكر فيها السفر لتعذر الشهادة فيه غَالِبًا لَا أَنَّهُ شَرْطٌ فِيهِ.

Hal ini menunjukkan bolehnya rahn di tempat tinggal, karena kejadian ini terjadi di Madinah. Dan karena rahn adalah jaminan yang boleh dilakukan dalam perjalanan, maka boleh pula dilakukan di tempat tinggal seperti halnya penjamin (dhamin). Dan karena setiap keadaan yang dibolehkan adanya penjamin, maka dibolehkan pula adanya rahn, seperti dalam perjalanan. Adapun ayat tersebut, hanya menyebutkan perjalanan karena biasanya sulit menghadirkan saksi di sana, bukan karena itu merupakan syarat dalam rahn.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الرَّهْنِ فِي السَّفَرِ وَالْحَضَرِ، فَالْحُقُوقُ ضَرْبَانِ: ضَرْبٌ يَجِبُ فِي مَالٍ، وَضَرْبٌ يَجِبُ فِي غَيْرِ مَالٍ. فَأَمَّا الْحُقُوقُ الَّتِي لَا تَجِبُ فِي الْأَمْوَالِ: فَكَالْقِصَاصِ، وَحَدِّ الْقَذْفِ، وَفِي مَعْنَاهُ الْمُطَالَبَةُ بِالشُّفْعَةِ وَالرَّدُّ بِالْعَيْبِ، فَهَذَا وَمَا شَاكَلَهُ لَا يَجُوزُ أَخْذُ الرَّهْنِ فِيهِ وَإِنْ جَازَتِ الشَّهَادَةُ فِيهِ. وَإِنَّمَا لَمْ يَجُزْ أَخْذُ الرَّهْنِ فِيهِ؛ لِأَنَّ الرَّهْنَ وَثِيقَةٌ فِي مَالٍ يُسْتَوْفَى الْحَقُّ مِنْهُ عِنْدَ تَعَذُّرِهِ، وَمَا لَيْسَ بِمَالٍ قَدْ لَا يُمْكِنُ اسْتِيفَاءُ الْحَقِّ مِنْهُ، فَلَمْ يَجُزْ أَخْذُ الرَّهْنِ فِيهِ.

Setelah jelas bolehnya rahn dalam perjalanan maupun di tempat tinggal, maka hak-hak itu terbagi menjadi dua: hak yang wajib atas harta, dan hak yang wajib bukan atas harta. Adapun hak-hak yang tidak wajib atas harta, seperti qishash, had qazaf, dan yang semakna dengannya seperti tuntutan syuf‘ah dan pengembalian karena cacat, maka dalam hal-hal ini dan yang serupa dengannya tidak boleh mengambil rahn, meskipun boleh memberikan kesaksian di dalamnya. Tidak bolehnya mengambil rahn dalam hal ini karena rahn adalah jaminan atas harta yang darinya hak dapat dipenuhi ketika tidak mampu, sedangkan yang bukan harta terkadang tidak mungkin dipenuhi hak darinya, maka tidak boleh mengambil rahn dalam hal itu.

وَأَمَّا الْحُقُوقُ الْوَاجِبَةُ فِي الْأَمْوَالِ فَضَرْبَانِ:

Adapun hak-hak yang wajib atas harta, maka terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ أَعْيَانًا قَائِمَةً.

Pertama: berupa barang yang masih ada (‘ayn qā’imah).

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ فِي الذِّمَّةِ. فَأَمَّا الْأَعْيَانُ الْقَائِمَةُ فَلَا يَجُوزُ أَخْذُ الرَّهْنِ بِهَا سَوَاءٌ كَانَتْ مَضْمُونَةً كَالْمَغْصُوبِ أَوْ غَيْرَ مَضْمُونَةٍ كَالْوَدَائِعِ وَقَالَ مَالِكٌ: كُلُّ عَيْنٍ مَضْمُونَةٍ بِالتَّلَفِ يَجُوزُ أَخْذُ الرَّهْنِ عَلَيْهَا قَبْلَ التَّلَفِ قَالَ: لِأَنَّهُ مَالٌ مَضْمُونٌ فَجَازَ أَخْذُ الرَّهْنِ فِيهِ قِيَاسًا عَلَى مَا فِي الذِّمَمِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا جَازَ أَنْ يَكُونَ وَثِيقَةً لِمَا فِي الذِّمَّةِ جَازَ أَنْ يَكُونَ وَثِيقَةً لِلْعَيْنِ الْمَضْمُونَةِ كَالشَّهَادَةِ.

Kedua: berupa kewajiban dalam tanggungan (dzimmah). Adapun barang yang masih ada, maka tidak boleh mengambil rahn atasnya, baik barang itu dijamin seperti barang yang digasap (maghsūb), maupun tidak dijamin seperti titipan (wadī‘ah). Malik berkata: Setiap barang yang dijamin karena rusak, boleh diambil rahn atasnya sebelum rusak. Ia berkata: Karena itu adalah harta yang dijamin, maka boleh diambil rahn atasnya dengan qiyās terhadap apa yang ada dalam tanggungan. Dan karena setiap sesuatu yang boleh dijadikan jaminan atas apa yang ada dalam dzimmah, maka boleh pula dijadikan jaminan atas barang yang dijamin, seperti kesaksian.

وَدَلِيلُنَا هُوَ: أَنَّهَا عَيْنٌ بَاقِيَةٌ فَلَمْ يَجُزْ أَخْذُ الرَّهْنِ بِهَا كَالْعَيْنِ إِذَا لَمْ تَكُنْ مَضْمُونَةً. وَهَذَا لِأَنَّ كُلَّ عَيْنٍ لَمْ يَجُزْ أَخْذُ الرَّهْنِ فِيهَا إِذَا كَانَتْ أَمَانَةً لَمْ يَجُزْ أَخْذُ الرَّهْنِ فِيهَا إِذَا كَانَتْ مَضْمُونَةً.

Dalil kami adalah: karena itu adalah barang yang masih ada, maka tidak boleh mengambil rahn atasnya, seperti barang yang tidak dijamin. Ini karena setiap barang yang tidak boleh diambil rahn atasnya ketika berupa amanah, maka tidak boleh pula diambil rahn atasnya ketika dijamin.

أَصْلُهُ: مَا فِي يَدِ الْبَائِعِ من العين المبيعة.

Dasarnya adalah: apa yang ada di tangan penjual dari barang yang dijual.

ولأن الرهن وثيقة لاستيقاء الْحَقِّ مِنْهُ، وَالْعَيْنُ الْمَضْمُونَةُ مَعَ بَقَائِهَا لَا يَجُوزُ أَخْذُ بَدَلِهَا،وَلَا الْعُدُولُ إِلَى قِيمَتِهَا دُونَ أَنْ تُرَدَّ الْعَيْنُ، وَالْعَيْنُ لَا يُمْكِنُ اسْتِيفَاؤُهَا مِنَ الرَّهْنِ، وَكُلُّ رَهْنٍ لَمْ يُمْلَكِ اسْتِيفَاءُ الْحَقِّ مِنْهُ كَانَ رَهْنًا بَاطِلًا كَالْوَقْفِ.

Karena rahn adalah jaminan untuk mengambil hak darinya, sedangkan barang yang dijamin selama masih ada tidak boleh diambil gantinya, dan tidak boleh beralih kepada nilainya kecuali barang itu dikembalikan. Barang itu sendiri tidak bisa dipenuhi haknya dari rahn, dan setiap rahn yang tidak dapat diambil hak darinya adalah rahn yang batal, seperti wakaf.

فَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى مَا فِي الذِّمَّةِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ يُمْكِنُ اسْتِيفَاؤُهُ مِنَ الرَّهْنِ، فَجَازَ فِيهِ الرَّهْنُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْعَيْنُ وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الشَّهَادَةِ فَالْمَعْنَى فِي الشَّهَادَةِ أَنَّهَا لَمَّا جَازَتْ عَلَى عَيْنٍ غَيْرِ مَضْمُونَةٍ جَازَتْ عَلَى عَيْنٍ مَضْمُونَةٍ وَلَمَّا لَمْ يَجُزِ الرَّهْنُ فِي عَيْنٍ غَيْرِ مَضْمُونَةٍ لَمْ يَجُزْ فِي عَيْنٍ مَضْمُونَةٍ وَكَذَلِكَ الرَّهْنُ في كفالات النفوس لا يجوز.

Adapun qiyās terhadap apa yang ada dalam tanggungan (dzimmah), maka maksudnya adalah bahwa hak tersebut dapat dipenuhi dari barang gadai, sehingga diperbolehkan adanya gadai padanya, dan tidak demikian halnya dengan barang (‘ayn). Adapun qiyās terhadap kesaksian (syahādah), maka maksud dalam syahādah adalah bahwa ketika kesaksian boleh atas barang yang tidak dijamin, maka boleh pula atas barang yang dijamin. Dan ketika gadai tidak boleh pada barang yang tidak dijamin, maka tidak boleh pula pada barang yang dijamin. Demikian pula, gadai dalam penjaminan jiwa tidak diperbolehkan.

(فصل)

(Fasal)

[أقسام الأموال باعتبار ما لزم للذمة وما لا يلزم وما يؤول إلى اللزوم] .

[Macam-macam harta ditinjau dari apa yang menjadi tanggungan (dzimmah), yang tidak menjadi tanggungan, dan yang berakhir menjadi tanggungan]

وَأَمَّا الْأَمْوَالُ الَّتِي فِي الذِّمَّةِ فَعَلَى ثَلَاثَةٍ أَضْرُبٍ:

Adapun harta yang ada dalam tanggungan (dzimmah) terbagi menjadi tiga jenis:

أَحَدُهَا: مَا كَانَ لَازِمًا لِلذِّمَّةِ ثَابِتًا فِيهَا كَالْأَثْمَانِ وَالدُّيُونِ وَالْمُهُورِ وَأُرُوشِ الْجِنَايَاتِ وَالسَّلَمِ فَهَذَا كُلُّهُ وَمَا شَاكَلَهُ، يَجُوزُ أَخْذُ الرَّهْنِ فِيهِ سَوَاءٌ كَانَ حَالًا أَوْ مُؤَجَّلًا.

Pertama: Harta yang memang sudah menjadi tanggungan (dzimmah) dan tetap di dalamnya, seperti harga (atsmān), utang (duyūn), mahar (muhūr), diyat (urūsy al-jināyāt), dan akad salam. Semua ini dan yang serupa dengannya, boleh diambil barang gadai atasnya, baik yang sudah jatuh tempo maupun yang masih ditangguhkan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا لَمْ يَكُنْ لَازِمًا مِنَ الذِّمَّةِ فِي الْحَالِ وَلَا تُفْضِي إِلَى اللُّزُومِ فِي ثاني حال مِثْلُ مَالِ الْكِتَابَةِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُؤْخَذَ فِيهِ الرَّهْنُ بِحَالٍ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالرَّهْنِ اسْتِيفَاءُ الْحَقِّ مِنْهُ عِنْدَ تَعَذُّرِ اسْتِيفَائِهِ مِنَ الذِّمَّةِ، وَمَالُ الْكِتَابَةِ غَيْرُ مُسْتَحَقٍّ، وَإِنْ لَمْ يَتَعَذَّرِ اسْتِيفَاؤُهُ مِنَ الذِّمَّةِ.

Jenis kedua: Harta yang belum menjadi tanggungan (dzimmah) pada saat ini dan tidak akan berujung menjadi tanggungan pada waktu berikutnya, seperti harta kitābah (tebusan budak mukatab), maka tidak boleh diambil barang gadai atasnya dalam keadaan apa pun; karena tujuan dari gadai adalah untuk memenuhi hak dari barang gadai ketika tidak mungkin memenuhinya dari tanggungan (dzimmah), sedangkan harta kitābah belum menjadi hak, meskipun tidak sulit untuk memenuhinya dari tanggungan (dzimmah).

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: مَا لَمْ يَكُنْ لَازِمًا لِلذِّمَّةِ فِي الْحَالِ لَكِنَّهُ يُفْضِي إِلَى اللُّزُومِ فِي ثَانِي حَالٍ كَمَالِ الْجَعَالَةِ فَإِنْ كَانَ بَعْدَ لُزُومِهِ بِحُصُولِ الْعَمَلِ جَازَ أَخْذُ الرَّهْنِ فِيهِ، لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ ثَابِتًا فِي الذِّمَّةِ كَالدُّيُونِ وَإِنْ كَانَ قَبْلَ لُزُومِهِ لِعَدَمِ حُصُولِ الْعَمَلِ فَفِي جَوَازِ أَخْذِ الرَّهْنِ فِيهِ وَجْهَانِ:

Jenis ketiga: Harta yang belum menjadi tanggungan (dzimmah) pada saat ini, tetapi akan berujung menjadi tanggungan pada waktu berikutnya, seperti harta ju‘ālah (upah sayembara). Jika setelah menjadi tanggungan karena pekerjaan telah dilakukan, maka boleh diambil barang gadai atasnya, karena telah menjadi tetap dalam tanggungan (dzimmah) seperti utang. Namun jika sebelum menjadi tanggungan karena pekerjaan belum dilakukan, maka dalam kebolehan mengambil barang gadai atasnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ أَخْذُ الرَّهْنِ فِيهِ، لِأَنَّهُ قَدْ يُفْضِي إِلَى اللُّزُومِ، فَجَازَ أَخْذُ الرَّهْنِ فِيهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَازِمًا فِي الْحَالِ، كَالثَّمَنِ فِي مُدَّةِ الْخِيَارِ لَيْسَ بِلَازِمٍ، وَأَخْذُ الرَّهْنِ فِيهِ جَائِزٌ لِأَنَّهُ قَدْ يُفْضِي إِلَى اللُّزُومِ.

Salah satunya: Boleh mengambil barang gadai atasnya, karena bisa saja berujung menjadi tanggungan, sehingga boleh mengambil barang gadai atasnya meskipun belum menjadi tanggungan saat ini, seperti harga dalam masa khiyār (pilihan), yang belum menjadi tanggungan, namun mengambil barang gadai atasnya diperbolehkan karena bisa saja berujung menjadi tanggungan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ: أَنَّ أَخْذَ الرَّهْنِ فِيهِ لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ يُفْضِي إِلَى اللُّزُومِ بِحُصُولِ الْعَمَلِ فَمَا فِي مُقَابَلَةِ هَذَا الْجُعْلِ مِنَ الْعَمَلِ لَا يُفْضِي إِلَى اللُّزُومِ، لِأَنَّ الْمَبْذُولَ لَهُ الْجُعْلُ بِالْخِيَارِ أَبَدًا إِنْ شَاءَ عَمِلَ وَإِنْ شَاءَ لَمْ يَعْمَلْ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الثَّمَنُ فِي مُدَّةِ الْخِيَارِ، لِأَنَّ الْعِوَضَ وَالْمُعَوَّضَ قد يفضيان إلى اللزوم بما افترقا.

Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh Imam Syafi‘i: Bahwa mengambil barang gadai atasnya tidak diperbolehkan, karena meskipun bisa saja berujung menjadi tanggungan dengan terlaksananya pekerjaan, namun pekerjaan yang menjadi imbalan ju‘ālah itu sendiri tidak berujung menjadi tanggungan, karena orang yang dijanjikan ju‘ālah itu selalu memiliki pilihan, jika mau ia kerjakan, jika tidak ia tinggalkan. Tidak demikian halnya dengan harga dalam masa khiyār, karena imbalan dan barang yang diakadkan bisa berujung menjadi tanggungan dengan perbedaan antara keduanya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا أَخْذُ الرَّهْنِ فِي عِوَضِ السَّبْقِ وَالنِّضَالِ، فَإِنْ كَانَ بَعْدَ لُزُومِهِ بِوُجُودِ السَّبْقِ، وَحُصُولِ النِّضَالِ جَازَ أَخْذُ الرَّهْنِ فِيهِ كَالدَّيْنِ. وَإِنْ كَانَ قَبْلَ وُجُودِ السَّبْقِ وَالنِّضَالِ، فَهُوَ مبني عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي عَقْدِ السَّبْقِ وَالنِّضَالِ هَلْ يَجْرِي مَجْرَى الْإِجَارَةِ، أَوْ مَجْرَى الْجَعَالَةِ؟ فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْإِجَارَةِ جَازَ أَخْذُ الرَّهْنِ فِيهِ.

Adapun mengambil barang gadai dalam imbalan sabq (perlombaan) dan nidhāl (adu ketangkasan), jika setelah menjadi tanggungan karena telah terjadi perlombaan dan adu ketangkasan, maka boleh mengambil barang gadai atasnya seperti utang. Namun jika sebelum terjadinya perlombaan dan adu ketangkasan, maka hal ini tergantung pada perbedaan dua pendapat Imam Syafi‘i dalam akad sabq dan nidhāl, apakah hukumnya seperti akad ijarah (sewa-menyewa) atau seperti ju‘ālah (sayembara)? Jika dikatakan hukumnya seperti ijarah, maka boleh mengambil barang gadai atasnya.

وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْجَعَالَةِ فَعَلَى الْوَجْهَيْنِ الْمَاضِيَيْنِ.

Dan jika dikatakan hukumnya seperti ju‘ālah, maka kembali kepada dua pendapat yang telah lalu.

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وقال الله تبارك وتعالى {فرهان مقبوضة} “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman: {Maka barang gadai yang diterima}.”

قال الماوردي: وبه قال أبو حنيفة عِنْدَنَا عَقْدُ الرَّهْنِ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِالْقَبْضِ، وكذلك الهبة.

Al-Mawardi berkata: Demikian pula pendapat Abu Hanifah. Menurut kami, akad gadai tidak sah kecuali dengan penyerahan (qabdh), demikian pula hibah.

وَقَالَ مَالِكٌ: الرَّهْنُ يَتِمُّ بِالْعَقْدِ وَيُجْبَرُ عَلَى الْقَبْضِ، وَكَذَلِكَ الْهِبَةُ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {أَوْفُوا بِالْعُقُودِ} [المائدة: 1] وَلِأَنَّهُ عَقْدُ وَثِيقَةٍ، فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَ بِمُجَرَّدِ الْقَوْلِ. كَالضَّمَانِ. وَلِأَنَّ الثَّمَنَ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِهِ إِذَا شُرِطَ فِي عَقْدِ الْبَيْعِ، فَوَجَبَ أَنْ يُلْزَمَ بِنَفْسِ الشَّرْطِ فِي الْبَيْعِ كَالْأَجَلِ، وَلِأَنَّهُ عَقْدٌ لَازِمٌ بَعْدَ الْقَبْضِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ لَازِمًا قَبْلَ الْقَبْضِ كَالْبَيْعِ، وَلِأَنَّهُ عَقْدٌ يَصِحُّ مُؤَجَّلًا، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بِمُجَرَّدِ الْقَوْلِ لَازِمًا كَالْإِجَارَةِ.

Malik berkata: Gadai menjadi sah dengan akad dan wajib diserahkan, demikian pula hibah, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {Tepatilah akad-akad itu} [al-Mā’idah: 1], dan karena ia adalah akad penjaminan, maka wajib mengikat hanya dengan ucapan saja, seperti penjaminan (ḍamān). Dan karena harga (jual beli) berbeda-beda tergantung padanya jika disyaratkan dalam akad jual beli, maka wajib pula mengikat dengan syarat itu sendiri dalam jual beli seperti tempo (ajal). Dan karena ia adalah akad yang mengikat setelah penyerahan, maka wajib pula mengikat sebelum penyerahan seperti jual beli. Dan karena ia adalah akad yang sah dilakukan secara bertempo, maka wajib pula mengikat hanya dengan ucapan saja seperti sewa-menyewa (ijārah).

وَدَلِيلُنَا، قَوْله تَعَالَى: {فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ} [البقرة: 283] وَالدَّلَالَةُ فِيهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {maka hendaklah ada barang gadai yang dipegang} [al-Baqarah: 283], dan petunjuk dalam ayat ini terdapat pada tiga sisi:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ وَصَفَ الرَّهْنَ بِالْقَبْضِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ شَرْطًا فِي صِحَّتِهِ كَوَصْفِ الرَّقَبَةِ بِالْإِيمَانِ وَالِاعْتِكَافِ بِالْمَسْجِدِ، وَالشَّهَادَةِ بِالْعَدَالَةِ، ثُمَّ كَانَتْ هَذِهِ الْأَوْصَافُ شُرُوطًا، فَكَذَا الْقَبْضُ.

Pertama: Bahwa Allah mensifati gadai dengan penyerahan, maka wajib penyerahan menjadi syarat sahnya, sebagaimana sifat budak dengan keimanan, i‘tikaf dengan masjid, dan kesaksian dengan keadilan; kemudian sifat-sifat ini menjadi syarat, demikian pula penyerahan (qabḍ).

وَالثَّانِي: أَنَّهُ ذَكَرَ غَيْرَ الرَّهْنِ مِنَ الْعُقُودِ وَلَمْ يَصِفْهَا بِالْقَبْضِ، وَذَكَرَ الرَّهْنَ وَوَصَفَهُ بِالْقَبْضِ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ وَصْفُ الرَّهْنِ بِالْقَبْضِ إِمَّا لِاخْتِصَاصِهِ بِهِ، أَوْ لِيَكُونَ تَنْبِيهًا عَلَى غَيْرِهِ. وَأَيُّهُمَا كَانَ فَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى لُزُومِهِ فِيهِ.

Kedua: Bahwa Allah menyebut akad-akad selain gadai tanpa mensifatinya dengan penyerahan, dan menyebut gadai serta mensifatinya dengan penyerahan. Maka tidak lepas, apakah penyifatan gadai dengan penyerahan itu karena kekhususannya, atau sebagai peringatan atas selainnya. Keduanya menunjukkan bahwa penyerahan adalah syarat mengikat pada gadai.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ ذِكْرَ الْقَبْضِ يُوجِبُ فَائِدَةً شَرْعِيَّةً لَا تُسْتَفَادُ بِحَذْفِ ذِكْرِهِ وَلَا فَائِدَةَ فِي ذِكْرِهِ إِنْ لَمْ يُجْعَلِ الْقَبْضُ شَرْطًا فِي صِحَّتِهِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ مَاتَ الرَّاهِنُ قَبْلَ الْإِقْبَاضِ لَمْ يُجْبَرْ وَارِثُهُ على الإقباض، فلو كَانَ لَازِمًا بِالْقَوْلِ كَالْبَيْعِ لَاسْتَحَقَّ عَلَى وَارِثِهِ الْإِقْبَاضُ كَالْبَيْعِ، فَلَمَّا لَمْ يَسْتَحِقَّ عَلَى وَارِثِهِ الْإِقْبَاضُ لَمْ يَسْتَحِقَّ عَلَيْهِ فِي حَيَاتِهِ الْإِقْبَاضُ كَالْجَعَالَةِ.

Ketiga: Bahwa penyebutan penyerahan memberikan faedah syar‘i yang tidak didapatkan jika tidak disebutkan, dan tidak ada faedah penyebutan jika penyerahan tidak dijadikan syarat sahnya. Dan jika orang yang menggadaikan (rāhin) meninggal sebelum penyerahan, maka ahli warisnya tidak dipaksa untuk menyerahkan. Jika gadai itu mengikat hanya dengan ucapan seperti jual beli, tentu ahli warisnya wajib menyerahkan sebagaimana dalam jual beli. Maka, karena ahli warisnya tidak wajib menyerahkan, demikian pula dalam hidupnya tidak wajib menyerahkan, seperti dalam ja‘ālah.

وَهَذَا الِاسْتِدْلَالُ قَدْ يَتَحَرَّرُ مِنَ اعْتِلَالِهِ قِيَاسَانِ:

Dan istidlāl (pengambilan dalil) ini dapat dijelaskan dengan dua qiyās (analogi):

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ رَهْنٌ غَيْرُ مَقْبُوضٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَ تَسْلِيمُهُ كَالْوَارِثِ.

Pertama: Bahwa ia adalah gadai yang belum diserahkan, maka tidak wajib diserahkan seperti pada ahli waris.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ عَقْدٌ لَا يَلْزَمُ وَارِثَ الْعَاقِدِ بِمُجَرَّدِ الْقَوْلِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَ الْعَاقِدَ بِمُجَرَّدِ الْقَوْلِ أَصْلُهُ عَقْدُ الْجَعَالَةِ، وَلِأَنَّهُ عَقْدُ إِرْفَاقٍ مِنْ شَرْطِهِ الْقَبُولُ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنْ شَرْطِ لُزُومِهِ الْقَبْضُ كَالْقَرْضِ.

Kedua: Bahwa ia adalah akad yang tidak mengikat ahli waris pihak yang berakad hanya dengan ucapan, maka tidak wajib pula mengikat pihak yang berakad hanya dengan ucapan. Asalnya adalah akad ja‘ālah. Dan karena ia adalah akad irfāq (tolong-menolong) yang syaratnya adalah penerimaan (qabūl), maka wajib pula syarat mengikatnya adalah penyerahan seperti dalam qardh (pinjaman).

وَقَوْلُنَا: شَرْطُهُ الْقَبُولُ احْتِرَازًا مِنَ الْوَقْفِ.

Dan pernyataan kami: Syaratnya adalah penerimaan, sebagai pembeda dari waqaf.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِعُمُومِ الْآيَةِ فَمَخْصُوصٌ بِمَا ذَكَرْنَا وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الضَّمَانِ فَالْمَعْنَى فِي الضَّمَانِ أَنَّهُ لَمَّا تَمَّ بِالضَّامِنِ وَحْدَهُ مِنْ غَيْرِ قَبُولٍ تم بالقول وَحْدَهُ وَلَمَّا لَمْ يَتِمَّ الرَّهْنُ بِالرَّاهِنِ وَحْدَهُ حَتَّى يَقْتَرِنَ بِهِ الْقَوْلُ جَازَ أَنْ لَا يَلْزَمَ بِالْقَوْلِ وَحْدَهُ وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْأَجَلِ فَالْمَعْنَى فِي الْأَجَلِ أَنَّهُ صِفَةٌ مِنْ صِفَاتِ الْعَقْدِ بِدَلِيلِ أَنَّهُ لَا يَنْفَرِدُ بِنَفْسِهِ وَلَا يُحْكَمُ لَهُ إِنْ شُرِطَ بَعْدَ تَمَامِ الْعَقْدِ وَانْبِرَامِهِ وَلَزِمَ الْوَفَاءُ بِهِ كَسَائِرِ صِفَاتِ الْعَقْدِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الرَّهْنُ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِصِفَةٍ مِنْ صِفَاتِ الْبَيْعِ بِدَلِيلِ أَنَّهُ يَنْفَرِدُ عَنِ الْعَقْدِ فَيَثْبُتُ حُكْمُهُ بِنَفْسِهِ بَعْدَ تَمَامِ ثُبُوتِهِ لَوْ شرط في العقد وأما قياسه على البيع فالمعنى في البيع: أنه لما لزم الورثة لزم المتعاقدين والرهن لما لم يلزم الورثة لم يلزم المتعاقدين وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْإِجَارَةِ فَالْمَعْنَى فِيهِ كَالْمَعْنَى في البيع.

Adapun dalilnya dengan keumuman ayat, maka telah dikhususkan dengan apa yang telah kami sebutkan. Adapun qiyās-nya dengan ḍamān (penjaminan), maka maksud dalam ḍamān adalah bahwa ia menjadi sah dengan penjamin saja tanpa penerimaan, sehingga sah hanya dengan ucapan saja. Sedangkan gadai tidak menjadi sah hanya dengan penggadai saja sampai disertai dengan ucapan, maka boleh saja tidak mengikat hanya dengan ucapan. Adapun qiyās-nya dengan tempo (ajal), maka maksud dalam tempo adalah bahwa ia merupakan sifat dari akad, dengan dalil bahwa ia tidak berdiri sendiri dan tidak dihukumi jika disyaratkan setelah akad selesai dan sah, dan wajib dipenuhi sebagaimana sifat-sifat akad lainnya. Tidak demikian halnya dengan gadai, karena ia bukan sifat dari jual beli, dengan dalil bahwa ia berdiri sendiri dari akad, sehingga hukumnya tetap berlaku dengan sendirinya setelah akad selesai jika disyaratkan dalam akad. Adapun qiyās-nya dengan jual beli, maka maksud dalam jual beli: ketika ia mengikat ahli waris, maka mengikat kedua pihak yang berakad, dan gadai ketika tidak mengikat ahli waris, maka tidak mengikat kedua pihak yang berakad. Adapun qiyās-nya dengan ijārah (sewa-menyewa), maka maksudnya sama dengan maksud pada jual beli.

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَا مَعْنَى لِلرَّهْنِ حَتَّى يَكُونَ مَقْبُوضًا مِنْ جَائِزِ الْأَمْرِ حِينَ رُهِنَ وَحِينَ أُقْبِضَ “.

Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Tidak ada makna bagi gadai sampai ia diserahkan dari pihak yang berwenang ketika digadaikan dan ketika diserahkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الرَّهْنَ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِالْعَقْدِ وَالْقَبْضِ. فَأَمَّا الْعَقْدُ فَهُوَ بَدَلٌ مِنَ الرَّاهِنِ وَقَبُولُهُ مِنَ الْمُرْتَهِنِ عَلَى الْفَوْرِ مِنْ غَيْرِ تَرَاخٍ وَلَا بُعْدٍ، وَأَمَّا الْقَبْضُ فَهُوَ تَسْلِيمٌ مِنَ الرَّاهِنِ أَوْ وَكِيلِهِ إِلَى الْمُرْتَهِنِ أَوْ وَكِيلِهِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ جَائِزًا فِي الْأَمْرِ عِنْدَ الْعَقْدِ وَالْقَبْضِ وَجَوَازُ أَمْرِهِمَا أَنْ يَجُوزَ تَصَرُّفُهُمَا فِي أَمْوَالِهِمَا بِبُلُوغِهِمَا وَعَقْلِهِمَا وَارْتِفَاعِ الْحَجْرِ عَنْهُمَا، فَإِذَا كَانَا كَذَلِكَ عِنْدَ الْعَقْدِ وَعِنْدَ الْقَبْضِ، فَقَدْ تَمَّ الرَّهْنُ وَصَارَ لَازِمًا لِلرَّاهِنِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ. وَإِنْ كَانَا أَوْ أَحَدُهُمَا غَيْرَ جَائِزَيِ الْأَمْرِ عِنْدَ الْعَقْدِ لِصِغَرٍ أَوْ جُنُونٍ أَوْ حَجْرِ حَاكِمٍ، ثُمَّ جَازَ أَمْرُهُمَا عِنْدَ الْقَبْضِ لَمْ يَجُزْ، وَكَانَ الْقَبْضُ فَاسِدًا لِفَسَادِ الْعَقْدِ، وَأَخَذَ قَابِضُ الرَّهْنِ بِرَدِّهِ، وَلَهُمَا اسْتِئْنَافُ عَقْدِهِ، وَتَجْدِيدُ قَبْضِهِ.

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa rahn (gadai) tidak sah kecuali dengan akad dan qabdh (penyerahan barang). Adapun akad, yaitu ijab dari pihak rahin (pemberi gadai) dan kabul dari pihak murtahin (penerima gadai) yang dilakukan secara langsung tanpa ada penundaan atau jeda. Sedangkan qabdh adalah penyerahan barang dari rahin atau wakilnya kepada murtahin atau wakilnya. Dengan demikian, keduanya harus memiliki kewenangan bertindak (jā’iz al-amr) pada saat akad dan qabdh. Kewenangan bertindak ini adalah bolehnya mereka melakukan tasharruf (pengelolaan) atas harta mereka karena telah baligh, berakal, dan tidak sedang dalam status mahjur (terhalang hukum). Jika keduanya demikian pada saat akad dan qabdh, maka rahn telah sempurna dan menjadi wajib bagi rahin, bukan bagi murtahin. Namun, jika keduanya atau salah satunya tidak memiliki kewenangan bertindak pada saat akad karena masih kecil, gila, atau mahjur oleh hakim, lalu kemudian menjadi berwenang pada saat qabdh, maka tidak sah, dan qabdh-nya rusak karena akadnya rusak. Orang yang menerima rahn wajib mengembalikannya, dan keduanya boleh memulai akad baru serta melakukan qabdh yang baru.

فَلَوْ كَانَا جَائِزَيِ الْأَمْرِ عِنْدَ الْعَقْدِ، ثُمَّ طَرَأَ الْحَجْرُ عَلَيْهِمَا أَوْ عَلَى أَحَدِهِمَا بِجُنُونٍ أَوْ سَفَهٍ فَتَقَابَضَاهُ كَذَلِكَ فَالْقَبْضُ فَاسِدٌ، لِأَنَّهُ قَبْضٌ لَا يَجُوزُ إِقْبَاضُهُ، أَوْ إِلَى مَنْ لَا يَجُوزُ قَبْضُهُ وَلَكِنَّ الْعَقْدَ عَلَى حَالِهِ صَحِيحٌ، حَتَّى يَتَعَقَّبَهُ قَبْضٌ صَحِيحٌ فَيَلْزَمُ حِينَئِذٍ.

Jika keduanya memiliki kewenangan bertindak pada saat akad, lalu kemudian salah satu atau keduanya menjadi mahjur karena gila atau safih (bodoh dalam mengelola harta), lalu mereka melakukan qabdh dalam keadaan tersebut, maka qabdh-nya tidak sah. Sebab, itu adalah qabdh yang tidak boleh dilakukan atau diserahkan kepada orang yang tidak berhak menerima. Namun, akadnya tetap sah, hingga kemudian diikuti dengan qabdh yang sah, maka pada saat itu rahn menjadi wajib.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا كَانَا رَشِيدَيْنِ عِنْدَ الْعَقْدِ وَعِنْدَ الْقَبْضِ، لَكِنْ تَخَلَّلَ بَيْنَ الْعَقْدِ وَبَيْنَ الْقَبْضِ عَدَمُ رُشْدِهِمَا وَهُوَ أَنْ يَكُونَا عَاقِلَيْنِ، فَيَعْقِدَا الرَّهْنَ، ثُمَّ يُجَنُّ أَحَدُهُمَا، ثُمَّ يَفِيقُ فَيَقْبِضُهُ بَعْدَ الْإِفَاقَةِ. فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ: جَوَازُ الرَّهْنِ وَتَمَامُهُ لِوُجُودِ الرُّشْدِ فِي الْعَقْدِ وَالْقَبْضِ، فَلَمْ يَكُنْ مَا تَخَلَّلَهُمَا مِنَ الْجُنُونِ قَادِحًا فِي صِحَّتِهِ.

Adapun jika keduanya adalah orang yang cerdas (rashid) pada saat akad dan qabdh, namun di antara akad dan qabdh terjadi hilangnya kecerdasan, yaitu keduanya berakal lalu melakukan akad rahn, kemudian salah satunya menjadi gila, lalu sadar kembali dan melakukan qabdh setelah sadar, maka menurut mazhab Syafi‘i: rahn sah dan sempurna karena kecerdasan (rushd) ada pada saat akad dan qabdh. Maka, apa yang terjadi di antara keduanya berupa kegilaan tidak merusak keabsahannya.

وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: يَبْطُلُ الْعَقْدُ بِجُنُونِ أَحَدِهِمَا قَبْلَ الْقَبْضِ. قَالَ: لِأَنَّ عَقْدَ الرَّهْنِ قَبْلَ الْقَبْضِ مِنَ الْعُقُودِ الْجَائِزَةِ، دُونَ اللَّازِمَةِ، وَالْعُقُودُ الْجَائِزَةُ تَبْطُلُ بِالْجُنُونِ وَالْمَوْتِ، كَالْوِكَالَاتِ وَالشِّرْكِ وَالْجَعَالَاتِ وَهَذَا غَلَطٌ؛ لِأَنَّ الْعُقُودَ الْجَائِزَةَ الَّتِي تَبْطُلُ بِالْجُنُونِ وَالْمَوْتِ مَا لَا يُفْضِي إِلَى اللُّزُومِ، وَعَقْدُ الرَّهْنِ يُفْضِي إِلَى اللُّزُومِ، فَلَا يَبْطُلُ بِالْجُنُونِ وَالْمَوْتِ كَالْبَيْعِ فِي مُدَّةِ الْخِيَارِ.

Sebagian ulama kami berkata: Akad batal jika salah satu dari mereka gila sebelum qabdh. Ia berkata: Karena akad rahn sebelum qabdh termasuk akad yang boleh dibatalkan (bukan akad yang mengikat), dan akad yang boleh dibatalkan menjadi batal dengan kegilaan dan kematian, seperti akad wakalah, syirkah, dan ju‘alah. Ini adalah kekeliruan, karena akad yang boleh dibatalkan dan menjadi batal karena kegilaan dan kematian adalah akad yang tidak mengarah pada keharusan (luzum), sedangkan akad rahn mengarah pada keharusan, maka tidak batal karena kegilaan dan kematian, seperti jual beli dalam masa khiyar.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا تَعَاقَدَا الرَّهْنَ وَهُمَا رَشِيدَانِ ثُمَّ جُنَّ الْمُرْتَهِنُ فَلِوَلِيِّهِ أَنْ يَقْبِضَ الرَّهْنَ مِنَ الرَّاهِنِ، فَإِذَا قَبَضَهُ فَقَدْ تَمَّ الرَّهْنُ، وَقَامَ مَقَامَ قَبْضِ الْمُرْتَهِنِ لَهُ وَهُوَ رَشِيدٌ وَعَلَى قَوْلِ مَنْ أَبْطَلَ الْعَقْدَ مِنْ أَصْحَابِنَا بِجُنُونِ أَحَدِهِمَا يُمْنَعُ مِنْ قَبْضِ وَلِيِّ الْمُرْتَهِنِ، إِلَّا أَنْ يَسْتَأْنِفَ الرَّهْنَ بِعَقْدٍ جَدِيدٍ.

Jika keduanya melakukan akad rahn dalam keadaan cerdas, lalu murtahin menjadi gila, maka wali-nya boleh menerima rahn dari rahin. Jika wali telah menerimanya, maka rahn telah sempurna, dan wali tersebut menempati posisi murtahin dalam menerima rahn saat ia masih cerdas. Namun, menurut pendapat ulama kami yang membatalkan akad karena kegilaan salah satu pihak, wali murtahin tidak boleh menerima rahn, kecuali jika rahn dimulai dengan akad baru.

وَلَوْ كَانَ الْمَجْنُونُ مِنْهُمَا هُوَ الرَّاهِنَ فَأَرَادَ وَلِيُّهُ أَنْ يَتَوَلَّى إِقْبَاضَ الرَّهْنِ لِلْمُرْتَهِنِ فَعَلَى قَوْلِ مَنْ أَبْطَلَ الرَّهْنَ بِجُنُونِ أَحَدِهِمَا لَا يَجُوزُ لِلْوَلِيِّ تَسْلِيمُهُ إِلَى الْمُرْتَهِنِ، فَإِنْ فَعَلَ ضَمِنَ.

Jika yang menjadi gila adalah rahin, lalu walinya ingin menyerahkan rahn kepada murtahin, maka menurut pendapat yang membatalkan rahn karena kegilaan salah satu pihak, wali tidak boleh menyerahkannya kepada murtahin. Jika ia melakukannya, maka ia wajib menanggung (bertanggung jawab atas) rahn tersebut.

فَأَمَّا على مذهب الشافعي، فَيُعْتَبَرُ حَالُ الرَّهْنِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي تَسْلِيمِهِ حَظٌّ لِلرَّاهِنِ لَمْ يَكُنْ لِوَلِيِّهِ أَنْ يُسَلِّمَهُ؛ لِأَنَّ الرَّهْنَ وَإِنْ كَانَ لَا يَبْطُلُ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ بِجُنُونِ أَحَدِهِمَا، فَتَسْلِيمُهُ وَإِنْ صَحَّ الْعَقْدُ غَيْرُ لَازِمٍ، وَالْوَلِيُّ لَيْسَ لَهُ أَنْ يُخْرِجَ مِنْ مَالِهِ مَا لَيْسَ بِلَازِمٍ لَهُ.

Adapun menurut mazhab Syafi‘i, maka yang diperhatikan adalah keadaan rahn. Jika dalam penyerahan rahn tidak ada maslahat bagi rahin, maka wali tidak boleh menyerahkannya; karena meskipun rahn tidak batal menurut mazhab Syafi‘i karena kegilaan salah satu pihak, penyerahannya, meski akadnya sah, tidaklah wajib. Wali tidak boleh mengeluarkan harta dari miliknya untuk sesuatu yang tidak wajib baginya.

وَإِنْ كَانَ فِي تَسْلِيمِ الرَّهْنِ حَظٌّ لِلرَّاهِنِ، وَهُوَ أَنْ يَكُونَ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ فيه فضل وإن لم يسلم الرهن فسخه الْبَائِعُ فَهَلْ يَجُوزُ لَهُ تَسْلِيمُهُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Dan jika dalam penyerahan barang gadai terdapat keuntungan bagi pihak yang menggadaikan, yaitu apabila penyerahan barang gadai itu disyaratkan dalam suatu jual beli yang mengandung kelebihan (manfaat), dan jika barang gadai tidak diserahkan maka penjual membatalkan jual beli tersebut, maka apakah boleh baginya (pihak yang menggadaikan) untuk menyerahkannya atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لِمَا قَدَّمْنَا مِنَ التَّعْلِيلِ.

Salah satunya: Tidak boleh, sebagaimana telah kami kemukakan alasannya sebelumnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: جَائِزٌ لِمَا يَعُودُ عَلَى الْمَوْلَى عَلَيْهِ مِنَ الْفَضْلِ بِتَسْلِيمِ الرَّهْنِ.

Dan pendapat kedua: Boleh, karena dengan penyerahan barang gadai itu terdapat kelebihan/manfaat yang kembali kepada pihak yang berhak menerima (menerima gadai).

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا صِفَةُ الْقَبْضِ فِي الرَّهْنِ، فَهُوَ مُجَامِعٌ لِلْقَبْضِ فِي الْبَيْعِ مِنْ وَجْهٍ وَمُخَالِفٌ لَهُ مِنْ وَجْهٍ. فَالْمَوْضِعُ الَّذِي يُجَامِعُهُ فِيهِ هُوَ قَبْلَ قَبْضِهِ الثَّمَنَ، وَالْمَوْضِعُ الَّذِي يُخَالِفُهُ فِيهِ هُوَ بَعْدَ قَبْضِ الثَّمَنِ، وَذَلِكَ أَنَّ الْقَبْضَ فِي الرَّهْنِ لَا يَصِحُّ حَتَّى يَكُونَ بِإِقْبَاضٍ مِنَ الرَّاهِنِ أَوْ وَكِيلِهِ فِيهِ إِلَى الْمُرْتَهِنِ أَوْ وَكِيلِهِ فِيهِ.

Adapun sifat (cara) pengambilan (qabdh) dalam gadai, maka ia serupa dengan pengambilan dalam jual beli dari satu sisi, dan berbeda dari sisi lain. Sisi kesamaannya adalah sebelum diterimanya harga (barang), dan sisi perbedaannya adalah setelah diterimanya harga. Hal itu karena pengambilan dalam gadai tidak sah kecuali dengan penyerahan dari pihak yang menggadaikan atau wakilnya kepada pihak penerima gadai atau wakilnya.

فَأَمَّا صِفَةُ الْإِقْبَاضِ مِنْ جِهَةِ الرَّاهِنِ، فَإِنَّهُ يُعْتَبَرُ بِحَالِ الرَّهْنِ، فَإِنْ كَانَ مِمَّا لَا يَحْتَاجُ إِلَى كَيْلٍ وَلَا وَزْنٍ، فَإِقْبَاضُ الرَّاهِنِ لَهُ: أَنْ يَأْذَنَ لِلْمُرْتَهِنِ فِي قَبْضِهِ وَيُسَلِّطَهُ عَلَيْهِ. وَقَبْضُ الْمُرْتَهِنِ لَهُ أَنْ يَنْقُلَهُ إِنْ كَانَ مَنْقُولًا، أَوْ يَتَصَرَّفَ فِي رَقَبَتِهِ دُونَ مَنْفَعَتِهِ إِنْ كَانَ غَيْرَ مَنْقُولٍ. وَتَصَرُّفُهُ فِي رَقَبَتِهِ: أَنْ يَرْفَعَ عَنْهُ يَدَ مَالِكِهِ، فَيَتِمُّ الْقَبْضُ هَاهُنَا بِإِذْنِ الرَّاهِنِ وَقَبْضِ الْمُرْتَهِنِ.

Adapun sifat penyerahan dari pihak yang menggadaikan, maka hal itu disesuaikan dengan keadaan barang gadai. Jika barang gadai tersebut tidak membutuhkan takaran atau timbangan, maka penyerahan dari pihak yang menggadaikan adalah dengan mengizinkan penerima gadai untuk mengambilnya dan memberinya kekuasaan atas barang tersebut. Sedangkan pengambilan oleh penerima gadai adalah dengan memindahkannya jika barang itu dapat dipindahkan, atau melakukan tindakan terhadap barangnya (zatnya) tanpa mengambil manfaatnya jika barang itu tidak dapat dipindahkan. Tindakan terhadap barangnya adalah dengan mengangkat tangan pemiliknya dari barang tersebut. Maka sempurnalah pengambilan di sini dengan izin dari pihak yang menggadaikan dan pengambilan dari pihak penerima gadai.

وَإِنْ كَانَ الرَّهْنُ مِمَّا يَحْتَاجُ إِلَى كَيْلٍ أَوْ وَزْنٍ فَهُوَ كَأَنْ يَرْهَنَهُ قَفِيزًا مِنْ صَبْرَةٍ فَلَا يَتِمُّ إِقْبَاضُ الرَّاهِنِ لَهُ بِمُجَرَّدِ الْإِذْنِ لِلْمُرْتَهِنِ حَتَّى يَتَوَلَّى كَيْلَهُ لَهُ بِنَفْسِهِ أَوْ بِوَكِيلِهِ وَيَتَوَلَّى الْمُرْتَهِنُ اكْتِيَالَهُ مِنْهُ بِنَفْسِهِ أَوْ بِوَكِيلِهِ فَيَتِمُّ الْقَبْضُ بِفِعْلِهِمَا جَمِيعًا. فَلَوْ قَبَضَهُ الْمُرْتَهِنُ بِإِذْنِ الرَّاهِنِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَوَلَّى كَيْلَهُ عَلَيْهِ بِنَفْسِهِ، أَوْ بِوَكِيلِهِ، لَمْ يَصِحَّ الْقَبْضُ، وَلَمْ يَتِمَّ الرَّهْنُ.

Dan jika barang gadai itu termasuk yang membutuhkan takaran atau timbangan, seperti menggadaikan satu takaran dari tumpukan barang, maka penyerahan dari pihak yang menggadaikan tidak cukup hanya dengan izin kepada penerima gadai, sampai ia sendiri atau wakilnya melakukan penakaran untuk penerima gadai, dan penerima gadai sendiri atau wakilnya melakukan penakaran dari pihak yang menggadaikan. Maka pengambilan menjadi sah dengan tindakan keduanya. Jika penerima gadai mengambilnya dengan izin dari pihak yang menggadaikan tanpa pihak yang menggadaikan atau wakilnya melakukan penakaran, maka pengambilan itu tidak sah dan gadai pun tidak sempurna.

وَكَذَا كَمَا لَوْ قَالَ لَهُ الرَّاهِنُ: قَدْ وَكَلْتُكَ فِي قَبْضِهِ لِنَفْسِكَ لَمْ يَصِحَّ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ قَابِضًا مِنْ نَفْسِهِ لِنَفْسِهِ.

Demikian pula jika pihak yang menggadaikan berkata kepadanya: “Aku telah mewakilkanmu untuk mengambilnya untuk dirimu sendiri,” maka itu tidak sah, karena tidak boleh seseorang menjadi pengambil dari dirinya sendiri untuk dirinya sendiri.

وَكَذَلِكَ لو وكل الراهن رَجُلًا أَنْ يَقْبِضَ عَنْهُ، وَوَكَّلَهُ الْمُرْتَهِنُ أَنْ يَقْبِضَ لَهُ صَارَ ذَلِكَ الْوَكِيلُ نَائِبًا عَنِ الرَّاهِنِ فِي الْإِقْبَاضِ عَنْهُ، وَنَائِبًا عَنِ الْمُرْتَهِنِ فِي الْقَبْضِ لَهُ لَمْ يَجُزْ، وَكَانَ هَذَا قَبْضًا فَاسِدًا لَا يَتِمُّ بِهِ الرَّهْنُ، لِأَنَّهُ يَصِيرُ قَابِضًا مِنْ نَفْسِهِ، وَهَذَا غَيْرُ جَائِزٍ.

Demikian pula jika pihak yang menggadaikan mewakilkan seseorang untuk mengambilkan barang gadai darinya, lalu penerima gadai juga mewakilkan orang itu untuk mengambilkannya untuk dirinya, maka orang yang diwakilkan itu menjadi wakil dari pihak yang menggadaikan dalam menyerahkan barang, dan wakil dari penerima gadai dalam mengambil barang, maka hal itu tidak boleh, dan pengambilan seperti ini adalah pengambilan yang rusak (tidak sah) sehingga gadai tidak sempurna karenanya, karena ia menjadi pengambil dari dirinya sendiri, dan ini tidak diperbolehkan.

فَأَمَّا الْقَبْضُ فِي الْبَيْعِ فَإِنْ كَانَ الْبَيْعُ مَكِيلًا أَوْ مَوْزُونًا، فَلَا بُدَّ مِنْ إِقْبَاضِ البائع بنفسه، أو بوكيله أو قبض الْمُشْتَرِي بِنَفْسِهِ أَوْ بِوَكِيلِهِ كَمَا قُلْنَا فِي الرَّهْنِ، سَوَاءٌ قَبَضَ الْبَائِعُ الثَّمَنَ أَمْ لَا.

Adapun pengambilan dalam jual beli, jika barang yang dijual itu harus ditakar atau ditimbang, maka harus ada penyerahan dari penjual sendiri atau wakilnya, atau pengambilan oleh pembeli sendiri atau wakilnya, sebagaimana telah kami jelaskan dalam gadai, baik penjual telah menerima harga maupun belum.

فَإِنْ تَسَلَّطَ الْمُشْتَرِي عَلَيْهِ فَقَبَضَهُ بِنَفْسِهِ مِنْ غَيْرِ إِقْبَاضِ الْبَائِعِ، لَمْ يَصِحَّ الْقَبْضُ لَكِنْ يَصِيرُ فِي ضَمَانِهِ وَإِنْ كَانَ الْمَبِيعُ غَيْرَ مَكِيلٍ وَلَا مَوْزُونٍ فَإِنْ كَانَ الْبَائِعُ لَمْ يَقْبِضِ الثَّمَنَ، لَمْ يَصِحَّ قَبْضُ الْمُشْتَرِي لَهُ، إِلَّا بِإِذْنِ الْبَائِعِ، كَمَا قُلْنَا فِي الرَّهْنِ، فَإِنْ قَبَضَهُ الْمُشْتَرِي مِنْ غَيْرِ إِذْنِ الْبَائِعِ، كَانَ قَبْضًا فَاسِدًا، وَكَانَ لِلْبَائِعِ انْتِزَاعُهُ مِنْ يَدِهِ، لِأَنَّ لِلْبَائِعِ أَنْ يَحْبِسَهُ عَلَى ثَمَنِهِ.

Jika pembeli menguasai barang tersebut lalu mengambilnya sendiri tanpa penyerahan dari penjual, maka pengambilan itu tidak sah, namun barang tersebut tetap dalam tanggungannya. Jika barang yang dijual bukan barang yang harus ditakar atau ditimbang, dan penjual belum menerima harga, maka pengambilan pembeli tidak sah kecuali dengan izin penjual, sebagaimana telah kami jelaskan dalam gadai. Jika pembeli mengambilnya tanpa izin penjual, maka pengambilan itu tidak sah, dan penjual berhak menarik kembali barang tersebut dari tangan pembeli, karena penjual berhak menahan barang tersebut sampai menerima harganya.

وَإِنْ كَانَ الْبَائِعُ قَدْ قَبَضَ الثَّمَنَ، فَالْقَبْضُ فِيهِ يَصِحُّ بِقَبْضِ الْمُشْتَرِي لَهُ سَوَاءٌ أَذِنَ الْبَائِعُ لَهُ فِي قَبْضِهِ أَمْ لَا. لِأَنَّهُ بِقَبْضِ ثَمَنِهِ قَدْ لَزِمَهُ رَفْعُ يَدِهِ، وَلَمْ يَبْقَ لَهُ حَقٌّ فِي مَنْعِهِ، فَلَمْ تَفْتَقِرْ صحة القبض إلى إذنه.

Jika penjual telah menerima harga, maka pengambilan oleh pembeli menjadi sah baik dengan izin penjual maupun tanpa izinnya. Karena dengan diterimanya harga, penjual wajib melepaskan tangannya dari barang tersebut, dan ia tidak lagi memiliki hak untuk melarangnya, sehingga sahnya pengambilan tidak memerlukan izinnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

أَمَّا مَا يُفْسِدُ الرَّهْنَ بَعْدَ الْعَقْدِ وَقَبْلَ الْقَبْضِ فَأُمُورٌ:

Adapun hal-hal yang membatalkan rahn setelah akad dan sebelum penyerahan (qabdh) ada beberapa perkara:

مِنْهَا: أَنْ يَبِيعَهُ الرَّاهِنُ بَعْدَ رَهْنِهِ، وَقَبْلَ قَبْضِهِ فَيَبْطُلُ عَقْدُ الرَّهْنِ.

Di antaranya: Apabila orang yang menggadaikan (rahin) menjual barang yang digadaikan setelah akad rahn dan sebelum penyerahan, maka akad rahn menjadi batal.

وَمِنْهَا: أَنْ يَقِفَهُ عَلَى الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ، أَوْ عَلَى قَوْمٍ مُعَيَّنِينَ.

Dan di antaranya: Jika ia mewakafkan barang tersebut kepada fakir miskin, atau kepada sekelompok orang tertentu.

وَمِنْهَا: أَنْ يَجْعَلَهُ صَدَاقًا لزوجته.

Dan di antaranya: Jika ia menjadikannya sebagai mahar (ṣadaq) untuk istrinya.

ومنها: أن يقربه لِرَجُلٍ.

Dan di antaranya: Jika ia mendekatkan (memberikan) barang tersebut kepada seseorang.

وَمِنْهَا: أَنْ يَكُونَ عَبْدًا فَيُعْتِقُهُ أَوْ يُكَاتِبُهُ، فَيَبْطُلُ الرَّهْنُ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ كُلِّهَا لِزَوَالِ مِلْكِهِ فِيمَا سِوَى الْمُكَاتَبِ وَعَدَمِ تَصَرُّفِهِ فِي الْمُكَاتَبِ فَإِنْ كَانَ عَبْدًا فَدَبَّرَهُ فَهَلْ يَبْطُلُ عَقْدُ الرَّهْنِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ.

Dan di antaranya: Jika barang tersebut adalah seorang budak, lalu ia memerdekakannya atau melakukan mukatabah (perjanjian pembebasan) dengannya, maka rahn menjadi batal dalam seluruh keadaan ini karena hilangnya kepemilikan atas barang tersebut kecuali pada kasus mukatabah, di mana ia tidak lagi berhak bertindak atas budak mukatab. Jika budak tersebut didi-debarkan (dijadikan budak yang akan merdeka setelah tuannya wafat), maka apakah akad rahn batal atau tidak? Ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: يَبْطُلُ. لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ بَاقِيًا عَلَى مِلْكِهِ، وَجَوَازِ تَصَرُّفِهِ، فَالتَّدْبِيرُ تَصَرُّفٌ يُخَالِفُهُ عَقْدُ الرَّهْنِ فَأَبْطَلَهُ.

Salah satunya: Batal. Karena meskipun kepemilikan masih ada padanya dan ia masih boleh bertindak atasnya, namun tindakan debir (pendebaran) bertentangan dengan akad rahn sehingga membatalkannya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الرَّهْنَ لَا يَبْطُلُ، لِاسْتِوَاءِ تَصَرُّفِهِ فِيهِ قَبْلَ التَّدْبِيرِ وَبَعْدَهُ، فَلَوْ وَهَبَهُ وَأَقْبَضَهُ أَوْ رَهَنَهُ مِنْ غَيْرِهِ وأقبضه بطل رهن الأول بزوال مِلْكِهِ بِالْهِبَةِ وَانْعِدَامِ تَصَرُّفِهِ بِالرَّهْنِ، وَلَكِنْ لَوْ وَهَبَهُ وَلَمْ يَقْبِضْهُ أَوْ رَهَنَهُ وَلَمْ يَقْبِضْهُ، كَانَ فِي بُطْلَانِ الرَّهْنِ قَوْلَانِ كَالتَّدْبِيرِ.

Pendapat kedua: Rahn tidak batal, karena hak bertindak atasnya sama saja sebelum dan sesudah didebarkan. Jika ia menghibahkan barang tersebut dan telah diserahkan, atau menggadaikannya kepada orang lain dan telah diserahkan, maka rahn yang pertama batal karena hilangnya kepemilikan melalui hibah dan hilangnya hak bertindak melalui rahn. Namun, jika ia menghibahkannya tetapi belum diserahkan, atau menggadaikannya tetapi belum diserahkan, maka dalam pembatalan rahn terdapat dua pendapat sebagaimana pada kasus debir.

وَأَمَّا إِذَا آجَرَهُ فَلَا يَبْطُلُ عَقْدُ الرَّهْنِ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُؤَاجِرَهُ بَعْدَ الْقَبْضِ، لَمْ يَبْطُلْ بِإِجَارَتِهِ قَبْلَ الْقَبْضِ: وَلَوْ كَانَتْ أَمَةً فَزَوَّجَهَا لَمْ يَبْطُلْ عَقْدُ الرَّهْنِ. لِأَنَّهُ لَمَّا لم يبطل الرهن بتزويجها بعد القبض ولم يَبْطُلْ بِتَزْوِيجِهَا قَبْلَ الْقَبْضِ وَلَوْ وَطِئَهَا الرَّاهِنُ فَإِنْ حَبِلَتْ مِنْ وَطْئِهِ بَطَلَ الرَّهْنُ، وَإِنْ لَمْ تَحْبَلْ لَمْ يَبْطُلِ الرَّهْنُ.

Adapun jika ia menyewakannya, maka akad rahn tidak batal, karena setelah penyerahan pun ia boleh menyewakannya, maka tidak batal pula dengan penyewaan sebelum penyerahan. Jika barang tersebut adalah seorang budak perempuan lalu ia menikahkannya, maka akad rahn tidak batal, karena setelah penyerahan pun rahn tidak batal dengan pernikahan, demikian pula sebelum penyerahan. Jika orang yang menggadaikan (rahin) menyetubuhi budak perempuan tersebut, lalu ia hamil dari perbuatannya, maka rahn batal; namun jika tidak hamil, maka rahn tidak batal.

فَإِنْ قِيلَ: لَوْ وَطِئَهَا الْبَائِعُ فِي مُدَّةِ خِيَارِهِ. كَانَ وطؤه فسخا للبيع فهلا كان وطوء الرَّاهِنِ قَبْلَ الْقَبْضِ مُبْطِلًا لِلرَّهْنِ؟ قِيلَ: لِأَنَّ وَطْءَ الْبَائِعِ يُنَافِي الْبَيْعَ، فَكَانَ فَسْخًا وَلَيْسَ وَطْءُ الرَّاهِنِ يُنَافِي الرَّهْنَ وَإِنَّمَا يَمْنَعُ مِنْهُ بحق الْمُرْتَهِنِ فَإِذَا أَذِنَ لَهُ جَازَ. وَقَبْلَ الْقَبْضِ لَمْ يَلْزَمْ حَقُّ الْمُرْتَهِنِ وَلَيْسَ الْوَطْءُ مُنَافِيًا له فلم يكن فسخا.

Jika ada yang bertanya: Jika penjual menyetubuhi budak perempuan dalam masa khiyar (hak memilih), maka perbuatannya dianggap sebagai pembatalan jual beli. Mengapa penyetubuhan oleh rahin sebelum penyerahan tidak membatalkan rahn? Jawabnya: Karena penyetubuhan oleh penjual bertentangan dengan jual beli sehingga menjadi pembatalan, sedangkan penyetubuhan oleh rahin tidak bertentangan dengan rahn, hanya saja dilarang karena hak murtahin (penerima gadai). Jika murtahin mengizinkan, maka boleh. Sebelum penyerahan, hak murtahin belum wajib, dan penyetubuhan tidak bertentangan dengan hak tersebut, sehingga tidak dianggap sebagai pembatalan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَا جَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ وَقَبْضُهُ مِنْ مُشَاعٍ وَغَيْرِهِ “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Barang siapa yang boleh dijual, boleh pula digadaikan dan diserahkan, baik berupa bagian tak terbagi (musya‘) maupun selainnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. وَالْكَلَامُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar sebagaimana yang beliau katakan. Pembahasan dalam masalah ini mencakup dua bagian:

أَحَدُهُمَا: شَرْحُ الْمَذْهَبِ فِيهَا.

Pertama: Penjelasan mazhab dalam masalah ini.

وَالثَّانِي: ذِكْرُ الْخِلَافِ الْمُتَعَلِّقَ بِهَا.

Kedua: Penyebutan perbedaan pendapat yang terkait dengannya.

فَأَمَّا شَرْحُ الْمَذْهَبِ فَقَوْلُهُ: وَمَا جَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ. فَهَذِهِ هِيَ الرِّوَايَةُ الْمَشْهُورَةُ. وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ يَرْوِي ذَلِكَ: وَمَنْ جَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ، فَيَجْعَلُ ذَلِكَ مَعْطُوفًا عَلَى قَوْلِهِ: وَلَا مَعْنَى لِلرَّهْنِ حَتَّى يَكُونَ مَقْبُوضًا مِنْ جَائِزِ الْأَمْرِ حِينَ رُهِنَ، وَحِينَ أُقْبِضَ. وَمَنْ جَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ. فَيَجْعَلُ الْجَائِزَ الْأَمْرِ فِي الرَّهْنِ، مَنْ جَازَ بَيْعُهُ، وَمَنْ لَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ لَمْ يَجُزْ رَهْنُهُ مِثْلُ الْمَجْنُونِ وَالصَّغِيرِ، وَالْمَحْجُورِ عَلَيْهِ لِسَفَهٍ فَيَكُونُ هَذَا مُسْتَمِرًّا.

Adapun penjelasan mazhab, maka ucapannya: “Barang siapa yang boleh dijual, boleh pula digadaikan.” Inilah riwayat yang masyhur. Di antara ulama kami ada yang meriwayatkan demikian: “Barang siapa yang boleh dijual, boleh pula digadaikan,” sehingga menjadikannya sebagai kelanjutan dari ucapannya: “Dan tidak ada makna rahn hingga barang itu diserahkan dari sesuatu yang boleh dilakukan ketika digadaikan dan ketika diserahkan. Barang siapa yang boleh dijual, boleh pula digadaikan.” Maka yang dimaksud dengan boleh dalam rahn adalah barang siapa yang boleh dijual, dan barang siapa yang tidak boleh dijual, tidak boleh pula digadaikan, seperti orang gila, anak kecil, dan orang yang dibatasi haknya karena kebodohan, maka ini berlaku terus-menerus.

وَعَلَى الْقِيَاسِ مُطَّرِدًا. فَيَكُونُ كُلُّ مَنْ جَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ، وَكُلُّ مَنْ لَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ لَمْ يَجُزْ رَهْنُهُ.

Dan secara qiyās (analogi) berlaku secara konsisten. Maka setiap orang yang boleh menjual, boleh pula menggadaikan; dan setiap orang yang tidak boleh menjual, tidak boleh pula menggadaikan.

قَالُوا: وَمَعْنَى قَوْلِهِ: مِنْ مُشَاعٍ وَغَيْرِهِ – يَعْنِي فِي مشاع وغيره.

Mereka berkata: Maksud dari ucapannya “baik berupa bagian tak terbagi (musya‘) maupun selainnya” adalah dalam musya‘ dan selainnya.

وَالرِّوَايَةُ الْأُولَى أَصَحُّ، وَهِيَ الْمَشْهُورَةُ عَنْهُ.

Dan riwayat yang pertama lebih sahih, dan itulah yang masyhur darinya.

وَمَا جَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ يَعْنِي: أَنَّ كُلَّ شَيْءٍ كَانَ بَيْعُهُ جَائِزًا، كَانَ رَهْنُهُ جَائِزًا وَكُلُّ شَيْءٍ لَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ، لَمْ يَجُزْ رَهْنُهُ مِنَ الْأَجْنَاشِ أَوِ الْأَنْجَاشِ وَأُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ. فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ يَجُوزُ بَيْعُ مَا لَا يَجُوزُ رَهْنُهُ كَالْمُدَبَّرِ وَالْمُعْتَقِ بِصِفَةٍ وَالطَّعَامِ الرَّطْبِ الْمَرْهُونِ إِلَى أَجَلٍ يَفْسَدُ فِيهِ.

Dan apa yang boleh dijual, maka boleh pula digadaikan. Maksudnya: setiap sesuatu yang boleh dijual, maka boleh pula digadaikan, dan setiap sesuatu yang tidak boleh dijual, maka tidak boleh digadaikan, baik dari jenis-jenis barang maupun umm al-awlād. Jika dikatakan: terkadang boleh menjual sesuatu yang tidak boleh digadaikan, seperti budak mudabbar, budak yang dimerdekakan dengan syarat, dan makanan basah yang digadaikan hingga waktu tertentu yang dalam rentang waktu itu makanan tersebut akan rusak.

وَقَدْ يَجُوزُ رَهْنُ مَا لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ كَالْأَمَةِ دُونَ وَلَدِهَا الصَّغِيرِ وَالثَّمَرَةِ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ اشْتِرَاطِ الْقَطْعِ فَلِأَصْحَابِنَا فِي ذَلِكَ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ.

Dan terkadang boleh menggadaikan sesuatu yang tidak boleh dijual, seperti budak perempuan tanpa anaknya yang masih kecil, dan buah-buahan sebelum tampak tanda kematangannya secara mutlak tanpa syarat harus dipetik. Maka, menurut para ulama kami dalam hal ini terdapat tiga jawaban.

أَحَدُهَا: أَنَّ الشَّافِعِيَّ قَصَدَ بِذَلِكَ مَا أَفْصَحَ بِهِ فِي آخِرِ كَلَامِهِ مِنْ رَهْنِ الْمُشَاعِ رَدًّا عَلَى أبي حنيفة حَيْثُ أَجَازَ بَيْعَ الْمُشَاعِ وَمَنَعَ مِنْ رَهْنِهِ فَقَالَ: وَمَا جَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ مِنْ مُشَاعٍ وَغَيْرِهِ. فَأَمَّا الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا فِي كُلِّ مَوْضِعٍ فَلَا.

Salah satunya: bahwa Imam Syafi‘i bermaksud dengan pernyataan tersebut sebagaimana yang dijelaskan di akhir ucapannya tentang gadai atas bagian tidak tertentu (musya‘), sebagai bantahan terhadap Abu Hanifah yang membolehkan jual beli musya‘ namun melarang menggadaikannya. Maka beliau berkata: “Apa yang boleh dijual, boleh pula digadaikan, baik musya‘ maupun selainnya.” Adapun menggabungkan keduanya dalam setiap keadaan, maka tidak.

الْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّهُ أَرَادَ بِذَلِكَ غَالِبَ الْأَشْيَاءِ أَنَّ مَا جَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ وَمَا لَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ لَمْ يَجُزْ رَهْنُهُ. وَقَدْ يَكُونُ مِنْهَا مَا يَجُوزُ بَيْعُهُ وَلَا يَجُوزُ رَهْنُهُ، وَمَا يَجُوزُ رَهْنُهُ وَلَا يَجُوزُ بَيْعُهُ، لَكِنَّ الْغَالِبَ بِخِلَافِهِ، فَجَعَلَ قَائِلُ هَذَا الْجَوَابِ جُمْلَةَ الْأَشْيَاءِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَضْرُبٍ.

Jawaban kedua: bahwa yang dimaksud adalah kebanyakan barang, yaitu bahwa apa yang boleh dijual, boleh pula digadaikan, dan apa yang tidak boleh dijual, tidak boleh pula digadaikan. Namun, terkadang ada sesuatu yang boleh dijual tetapi tidak boleh digadaikan, dan ada pula yang boleh digadaikan tetapi tidak boleh dijual. Akan tetapi, yang dominan adalah sebaliknya. Maka, orang yang memberikan jawaban ini membagi seluruh barang menjadi empat jenis.

ضَرْبٌ يَجُوزُ بَيْعُهُ وَرَهْنُهُ كَالْأَمْلَاكِ الْمُطْلَقَةِ.

Jenis yang boleh dijual dan boleh digadaikan, seperti kepemilikan mutlak.

وَضَرْبٌ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ وَلَا رَهْنُهُ كَالْأَوْقَافِ وَأُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ.

Dan jenis yang tidak boleh dijual dan tidak boleh digadaikan, seperti wakaf dan umm al-awlād.

وَضَرْبٌ يَجُوزُ بَيْعُهُ وَلَا يَجُوزُ رَهْنُهُ عَلَى أحد القولين كالمدبر والمعتق نصفه.

Dan jenis yang boleh dijual tetapi tidak boleh digadaikan menurut salah satu pendapat, seperti budak mudabbar dan budak yang setengahnya telah dimerdekakan.

وَضَرْبٌ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ وَيَجُوزُ رَهْنُهُ، كَالْأَمَةِ دُونَ وَلَدِهَا، وَالثَّمَرَةِ مُطْلَقًا دُونَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا.

Dan jenis yang tidak boleh dijual tetapi boleh digadaikan, seperti budak perempuan tanpa anaknya, dan buah-buahan secara mutlak sebelum tampak tanda kematangannya.

وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ الْمُحَقِّقِينَ مِنْ أَصْحَابِنَا: أَنَّ كَلَامَ الشَّافِعِيِّ مَحْمُولٌ عَلَى صِفَتِهِ وَكُلُّ مَا جَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ قِيَاسًا مُطَّرِدًا، وَاعْتِبَارًا صَحِيحًا، وَمَا لَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ لَمْ يَجُزْ رَهْنُهُ. وَمَا ذَكَرُوهُ مِنْ جَوَازِ رَهْنِ مَا لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ كَالْأَمَةِ ذَاتِ الْوَلَدِ، وَالثَّمَرَةِ مُطْلَقًا قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا فَغَلَطٌ؛ لِأَنَّ بَيْعَ ذَلِكَ يَجُوزُ، فَتُبَاعُ الْأَمَةُ مَعَ وَلَدِهَا، وَالثَّمَرَةُ بِشَرْطِ قَطْعِهَا فَصَارَ بَيْعُ ذَلِكَ جَائِزًا، وَإِنِ اخْتَلَفَتْ صِفَاتُهُ وَأَحْوَالُهُ.

Jawaban ketiga, dan inilah pendapat para muhaqqiq dari kalangan ulama kami: bahwa ucapan Imam Syafi‘i itu dibawa pada sifatnya, dan setiap yang boleh dijual, boleh pula digadaikan secara qiyās yang konsisten dan pertimbangan yang benar, dan apa yang tidak boleh dijual, tidak boleh pula digadaikan. Adapun apa yang mereka sebutkan tentang bolehnya menggadaikan sesuatu yang tidak boleh dijual, seperti umm al-walad dan buah-buahan secara mutlak sebelum tampak tanda kematangannya, itu adalah kekeliruan; karena penjualan hal tersebut sebenarnya boleh, yaitu budak perempuan boleh dijual bersama anaknya, dan buah-buahan boleh dijual dengan syarat dipetik. Maka, penjualan hal tersebut menjadi boleh, meskipun sifat dan keadaannya berbeda-beda.

وَمَا ذَكَرُوهُ مِنْ جَوَازِ بَيْعِ مَا لَا يَجُوزُ رَهْنُهُ كَالْمُدَبَّرِ وَالْمُعْتَقِ نِصْفُهُ. فَفِي جَوَازِ رَهْنِ الْمُدَبَّرِ وَالْمُعْتَقِ نِصْفُهُ قَوْلَانِ:

Adapun apa yang mereka sebutkan tentang bolehnya menjual sesuatu yang tidak boleh digadaikan, seperti budak mudabbar dan budak yang setengahnya telah dimerdekakan, maka dalam kebolehan menggadaikan budak mudabbar dan budak yang setengahnya telah dimerdekakan terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ فَعَلَى هَذَا قَدِ اسْتَمَرَّ الْجَوَابُ، وَسَقَطَ السُّؤَالُ.

Salah satunya: boleh. Maka, berdasarkan pendapat ini, jawaban telah tetap dan pertanyaan gugur.

وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ أَنْ يَرْهَنَهُ الْمُشْتَرِي وَإِنْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَرْهَنَهُ الْبَائِعُ فَصَارَ رَهْنُهُ جَائِزًا وَإِنْ كَانَ فِي أَحْوَالِ مُرْتَهَنِهِ مُخْتَلِفًا فَهَذَا جُمْلَةُ الْكَلَامِ فِي شَرْحِ الْمَذْهَبِ وَتَفْسِيرِ كلامه.

Yang kedua: tidak boleh. Maka, berdasarkan pendapat ini, pembeli boleh menggadaikannya meskipun penjual tidak boleh menggadaikannya. Maka, penggadaian tersebut menjadi boleh, meskipun dalam keadaan pihak yang menerima gadai terdapat perbedaan. Demikianlah keseluruhan pembahasan dalam penjelasan mazhab dan tafsir ucapannya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْخِلَافُ الْمُتَعَلِّقُ بِهَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فَهُوَ يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:

Adapun perbedaan pendapat yang berkaitan dengan masalah ini mencakup dua bagian:

أَحَدُهُمَا: هَلِ اسْتِدَامَةُ قَبْضِ الرَّهْنِ مِنْ شَرْطِ صِحَّتِهِ أَمْ لَا؟

Salah satunya: Apakah keberlangsungan penguasaan atas barang gadai merupakan syarat sahnya atau tidak?

وَالثَّانِي: هَلْ رَهْنُ الْمُشَاعِ جَائِزٌ أَمْ لَا؟

Dan yang kedua: Apakah menggadaikan bagian tidak tertentu (musya‘) itu sah atau tidak?

فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي اسْتِدَامَةِ الْقَبْضِ فَتَقْدِيمُ الْكَلَامِ فِيهِ أَوْلَى لِأَنَّهُ لأبي حنيفة أَصْلٌ يُنْشِئُ بُطْلَانَ رَهْنِ الْمُشَاعِ عَلَيْهِ. فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ: أَنَّ اسْتِدَامَةَ قَبْضِ الرَّهْنِ لَيْسَ بِشَرْطٍ فِي صِحَّةِ الرَّهْنِ. فَإِنْ خَرَجَ الرَّهْنُ مِنْ يَدِ الْمُرْتَهِنِ بِاسْتِحْقَاقٍ كَالْإِجَارَةِ، أَوْ بِغَيْرِ اسْتِحْقَاقٍ كَالْإِعَارَةِ أَوِ الْغَصْبِ لَمْ يَبْطُلِ الرَّهْنُ.

Adapun bagian pertama tentang keberlangsungan penguasaan, maka mendahulukan pembahasan ini lebih utama karena menurut Abu Hanifah hal ini merupakan dasar yang menyebabkan batalnya gadai atas musya‘ menurutnya. Maka, mazhab Syafi‘i: bahwa keberlangsungan penguasaan atas barang gadai bukanlah syarat sahnya gadai. Jika barang gadai keluar dari tangan penerima gadai karena suatu hak, seperti sewa, atau tanpa hak, seperti dipinjamkan atau dirampas, maka gadai tersebut tidak batal.

وَقَالَ أبو حنيفة: اسْتِدَامَةُ قَبْضِ الرَّهْنِ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الرَّهْنِ. فَإِنْ خَرَجَ مِنْ يَدِ الْمُرْتَهِنِ بِاسْتِحْقَاقٍ كَالْإِجَارَةِ، أُبْطِلَ الرَّهْنُ، وَإِنْ خَرَجَ مِنْ يَدِهِ بِغَيْرِ اسْتِحْقَاقٍ كَالْغَصْبِ وَالْإِعَارَةِ لَمْ يَبْطُلِ الرَّهْنُ، لِأَنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى انْتِزَاعِهِ إِذَا خَرَجَ بِاسْتِحْقَاقٍ أو بقدر عَلَى انْتِزَاعِهِ إِذَا خَرَجَ بِغَيْرِ اسْتِحْقَاقٍ.

Abu Hanifah berkata: Keberlanjutan penguasaan (qabdh) atas barang gadai merupakan syarat sahnya rahn (gadai). Jika barang tersebut keluar dari tangan murtahin (penerima gadai) karena alasan yang sah seperti sewa, maka rahn menjadi batal. Namun jika keluar dari tangannya tanpa alasan yang sah seperti digasak (dirampas) atau dipinjamkan, maka rahn tidak batal, karena ia tidak mampu mengambilnya kembali jika keluar dengan alasan yang sah, atau ia mampu mengambilnya kembali jika keluar tanpa alasan yang sah.

وَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّ اسْتِدَامَةَ الْقَبْضِ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الرهن بقوله تعالى: {فرهن مَقْبُوضَةٌ} [البقرة: 283] فَجَعَلَهُ بِالْقَبْضِ وَثِيقَةً لِلْمُرْتَهِنِ. فَدَلَّ عَلَى أَنَّ زَوَالَ الْقَبْضِ يُزِيلُ وَثِيقَةَ الْمُرْتَهِنِ.

Ia berdalil bahwa keberlanjutan qabdh adalah syarat sahnya rahn dengan firman Allah Ta‘ala: {maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang} (QS. Al-Baqarah: 283), sehingga Allah menjadikan barang gadai yang dipegang sebagai jaminan bagi murtahin. Ini menunjukkan bahwa hilangnya qabdh menghilangkan jaminan bagi murtahin.

وَلِأَنَّهُ مُحْتَبِسٌ بِحَقِّ الِاسْتِيفَاءِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ زَوَالُ الْيَدِ عَنْهُ مُزِيلًا لِحَقِّ الِاسْتِيفَاءِ مِنْهُ أَصْلُهُ: الْمَبِيعُ الْمُحْتَبِسُ فِي يَدِ بَائِعِهِ لِاسْتِيفَاءِ ثَمَنِهِ.

Karena barang gadai itu tertahan demi hak pelunasan, maka wajib jika hilangnya penguasaan atasnya menyebabkan hilangnya hak pelunasan darinya. Contohnya adalah barang yang dijual yang masih tertahan di tangan penjualnya sampai harga dibayar lunas.

وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِعَقْدِ الرَّهْنِ حُصُولُ الِاحْتِبَاسِ وَالْقَبْضِ كَمَا أَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْبَيْعِ حُصُولُ الْمِلْكِ وَالْيَدِ ثُمَّ كَانَتِ اسْتِدَامَةُ الْمِلْكِ فِي الْبَيْعِ مِنْ مُوجِبِهِ وَمُقْتَضَاهُ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ اسْتِدَامَةُ الْقَبْضِ فِي الرَّهْنِ مِنْ مُوجِبِهِ وَمُقْتَضَاهُ.

Karena tujuan dari akad rahn adalah terjadinya penahanan dan penguasaan, sebagaimana tujuan dari akad jual beli adalah terjadinya kepemilikan dan penguasaan. Maka, sebagaimana keberlanjutan kepemilikan dalam jual beli merupakan konsekuensi dan tuntutannya, demikian pula keberlanjutan qabdh dalam rahn merupakan konsekuensi dan tuntutannya.

وَلِأَنَّ الرَّهْنَ قَبْلَ الْقَبْضِ غَيْرُ لَازِمٍ، فَإِنْ قُبِضَ صَارَ لَازِمًا. فَلَمَّا كَانَ لُزُومُهُ بِالْقَبْضِ، وَجَبَ أَنْ يَزُولَ لُزُومُهُ بِزَوَالِ الْقَبْضِ.

Karena rahn sebelum qabdh tidaklah mengikat, namun jika sudah diqabdhu (dikuasai), maka menjadi mengikat. Maka, ketika keharusan (luzum) rahn itu terjadi dengan qabdh, wajib pula keharusan itu hilang dengan hilangnya qabdh.

وَدَلِيلُنَا حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: [الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَفَقَةُ، فَجَعَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -] الرَّهْنَ مَرْكُوبًا وَمَحْلُوبًا وَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ لِلرَّاهِنِ أَوْ لِلْمُرْتَهِنِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ نَجْعَلَ ذَلِكَ لِلْمُرْتَهِنِ لِأَمْرَيْنِ:

Dalil kami adalah hadis Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: [Barang gadai boleh ditunggangi dengan menanggung biayanya jika ia digadaikan, dan susu hewan perah boleh diminum dengan menanggung biayanya jika ia digadaikan. Dan atas orang yang menunggangi dan meminum susunya wajib menanggung biaya. Maka Rasulullah ﷺ menjadikan barang gadai itu boleh ditunggangi dan diperah susunya, dan tidak lepas kemungkinan bahwa hal itu untuk rahin (penggadai) atau murtahin (penerima gadai). Tidak boleh kita menjadikannya untuk murtahin karena dua alasan:]

أَحَدُهُمَا: إِجْمَاعُهُمْ عَلَى أَنَّ الْمُرْتَهِنَ لَا يَسْتَحِقُّ ذَلِكَ.

Pertama: Ijmā‘ mereka bahwa murtahin tidak berhak atas hal itu.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ جَعَلَ عَلَى الرَّاكِبِ وَالشَّارِبِ نَفَقَةَ الرَّهْنِ، وَالنَّفَقَةُ وَاجِبَةٌ عَلَى الرَّاهِنِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ، فَثَبَتَ بِهَذَيْنِ جَوَازُ ذَلِكَ لِلرَّاهِنِ، فَصَارَ مُسْتَحِقًّا لِإِزَالَةِ يَدِ الْمُرْتَهِنِ عَنْهُ. ثُمَّ لَمْ يَزُلْ حُكْمُ الرَّهْنِ عَنْهُ فَثَبَتَ أَنَّ اسْتِدَامَةَ قَبْضِهِ لَيْسَتْ شَرْطًا فِي صِحَّتِهِ. وَلِأَنَّهُ عَقْدٌ مِنْ شَرْطِ لُزُومِهِ الْقَبْضُ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ مِنْ شَرْطِ صِحَّتِهِ اسْتِدَامَةُ الْقَبْضِ كَالْهِبَةِ وَالصَّرْفِ. وَلِأَنَّ الْقَبْضَ فِي الرَّهْنِ أَوْسَعُ مِنَ الْقَبْضِ فِي الْبَيْعِ، لِجَوَازِ اشْتِرَاطِ الرَّهْنِ عَلَى يَدَيْ عَدْلٍ. فَلَمَّا لَمْ تَكُنِ اسْتِدَامَةُ الْقَبْضِ فِي الْبَيْعِ مَعَ قُوَّتِهِ شَرْطًا فِي صِحَّتِهِ؛ فَلَأَنْ لَا تَكُونُ اسْتِدَامَةُ الْقَبْضِ فِي الرَّهْنِ مَعَ ضَعْفِهِ شَرْطًا فِي صِحَّتِهِ أَوْلَى. وَلِأَنَّ مَنْ جَعَلَ اسْتِدَامَةَ الْقَبْضِ فِيهِ شَرْطًا فَلَا يَخْلُو أَنْ تَكُونَ اسْتِدَامَةُ قَبْضِهِ مُشَاهَدَةً أَوْ حُكْمًا فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الشَّرْطُ فِي صِحَّةِ اسْتِدَامَةِ قَبْضِهِ مُشَاهَدَةً، لِجَوَازِ خُرُوجِهِ مِنْ يَدِهِ بِعَارِيَةٍ أَوْ عَلَى يَدِ عَدْلٍ. فَثَبَتَ أَنَّ الشَّرْطَ فِي صِحَّةِ اسْتِدَامَةِ قَبْضِهِ حُكْمًا، وَهَذَا شَرْطٌ مُعْتَبَرٌ عِنْدَنَا، لِأَنَّهُ وَإِنْ خَرَجَ مِنْ يَدِهِ بِاسْتِحْقَاقٍ. فَهُوَ فِي حُكْمِ الْمَقْبُوضِ لَهُ، لِأَنَّهُ لَا يُخْرَجُ عَنْ سُلْطَانِ الْمُرْتَهِنِ وَلَا يُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ.

Kedua: Karena Rasulullah menjadikan biaya barang gadai itu atas orang yang menunggangi dan meminumnya, sedangkan biaya itu wajib atas rahin, bukan atas murtahin. Dengan dua alasan ini, maka boleh bagi rahin, sehingga ia berhak untuk mengambil kembali barang dari tangan murtahin. Namun, hukum rahn tidak hilang darinya, sehingga tetaplah bahwa keberlanjutan qabdh bukanlah syarat sahnya rahn. Dan karena rahn adalah akad yang syarat keharusannya adalah qabdh, maka tidak boleh keberlanjutan qabdh menjadi syarat sahnya, sebagaimana pada hibah dan sharf. Dan karena qabdh dalam rahn lebih luas daripada qabdh dalam jual beli, karena boleh disyaratkan rahn di tangan pihak ketiga yang adil. Maka, ketika keberlanjutan qabdh dalam jual beli yang lebih kuat tidak menjadi syarat sahnya, maka lebih utama lagi keberlanjutan qabdh dalam rahn yang lebih lemah tidak menjadi syarat sahnya. Dan barang siapa yang mensyaratkan keberlanjutan qabdh dalam rahn, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: keberlanjutan qabdh secara nyata atau secara hukum. Tidak boleh mensyaratkan keberlanjutan qabdh secara nyata, karena boleh saja barang keluar dari tangannya karena pinjaman atau dipegang oleh pihak ketiga yang adil. Maka tetaplah bahwa syarat sahnya adalah keberlanjutan qabdh secara hukum, dan ini adalah syarat yang kami anggap, karena meskipun barang keluar dari tangannya dengan alasan yang sah, maka secara hukum tetap dianggap dalam penguasaan murtahin, karena tidak keluar dari kekuasaannya dan tidak terhalang antara dia dan barang tersebut.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِقَوْلِهِ تعالى: {فرهن مَقْبُوضَةٌ} [البقرة: 283] فَهُوَ حُجَّةٌ عَلَيْهِمْ. لِأَنَّهُ جَعَلَ الرَّهْنَ وَثِيقَةً بِحُصُولِ الْقَبْضِ. فَإِذَا حَصَلَ الْقَبْضُ مَرَّةً فَقَدِ اسْتَقَرَّ الْقَبْضُ وَحَصَلَ الرَّهْنُ وَثِيقَةً أَبَدًا.

Adapun dalil mereka dengan firman Allah Ta‘ala: {maka barang gadai yang dipegang} [al-Baqarah: 283], maka itu justru menjadi hujjah atas mereka. Karena Allah menjadikan barang gadai sebagai jaminan dengan terjadinya penyerahan (qabdh). Maka apabila penyerahan itu telah terjadi sekali, berarti penyerahan itu telah tetap dan barang gadai telah menjadi jaminan selamanya.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمَبِيعِ فِي يَدِ بَائِعِهِ لِاسْتِيفَاءِ الثَّمَنِ، فَغَيْرُ صَحِيحٍ. لِأَنَّ الْمَبِيعَ الْمَحْبُوسَ بِحَقِّ الْيَدِ لَا الْعَقْدِ. فَإِذَا زَالَتِ الْيَدُ زَالَ حُكْمُ الِاحْتِبَاسِ وَالرَّهْنُ مَحْبُوسٌ بِحَقِّ الْعَقْدِ وَالْقَبْضِ، فَإِذَا زَالَ اسْتِصْحَابُهُ لَمْ يَبْطُلِ الْعَقْدُ الْمُقْتَرِنُ بِهِ كَقَبْضِ الْهِبَاتِ وَالصَّرْفِ.

Adapun qiyās mereka dengan barang yang dijual yang masih berada di tangan penjual untuk menagih pembayaran, maka itu tidak benar. Karena barang yang dijual itu tertahan karena hak kepemilikan tangan, bukan karena akad. Maka apabila kepemilikan tangan itu hilang, hilang pula hukum penahanan tersebut. Sedangkan barang gadai itu tertahan karena hak akad dan penyerahan (qabdh), maka apabila keberlanjutan penyerahan itu hilang, akad yang menyertainya tidak batal, sebagaimana penyerahan pada hibah dan sharf.

وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ الْمَقْصُودَ بِعَقْدِ الرَّهْنِ حُصُولُ الِاحْتِبَاسِ وَالْقَبْضُ كَالْمِلْكِ فِي الْبَيْعِ، فَحُجَّةٌ تُعْكَسُ عَلَيْهِمْ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ تَكُنِ اسْتِدَامَةُ الْمِلْكِ فِي الْبَيْعِ شَرْطًا فِي صِحَّةِ الْعَقْدِ، بَلْ لَوْ شَرَطَ أَلَّا يُزِيلَ الْمُشْتَرِي مِلْكَهُ عَنِ الْمَبِيعِ بَطَلَ الْعَقْدُ وَجَبَ أَلَّا تَكُونَ اسْتِدَامَةُ الْقَبْضِ فِي الرَّهْنِ شَرْطًا فِي صِحَّةِ الْعَقْدِ.

Adapun perkataan mereka: Sesungguhnya tujuan dari akad rahn adalah terjadinya penahanan dan penyerahan (qabdh) seperti kepemilikan dalam jual beli, maka itu adalah hujjah yang berbalik kepada mereka. Karena ketika keberlanjutan kepemilikan dalam jual beli tidak menjadi syarat sahnya akad, bahkan jika disyaratkan agar pembeli tidak mengalihkan kepemilikannya atas barang yang dibeli maka batal akadnya, maka seharusnya keberlanjutan penyerahan (qabdh) dalam rahn juga tidak menjadi syarat sahnya akad.

وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ لُزُومَهُ لَمَّا كَانَ بِالْقَبْضِ، وَجَبَ أَنْ يَزُولَ لُزُومُهُ بِزَوَالِ الْقَبْضِ، فَبَاطِلٌ بِالْعَارِيَةِ فَإِنَّهُ قَدْ زَالَ بِهَا الْقَبْضُ وَلَمْ يَزُلْ بها لزوم الرهن على قولنا أَنَّ لُزُومَهُ كَانَ بِالْقَبْضِ لَا بِاسْتِدَامَةِ الْقَبْضِ، وَخُرُوجُهُ مِنْ يَدِهِ يُزِيلُ اسْتِدَامَةَ الْقَبْضِ وَلَا يُزِيلُ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْقَبْضِ فَلَمْ يَزُلْ مَا بِهِ لَزِمَ عَلَى أَنَّ حُكْمَ قَبْضِهِ مُسْتَدَامٌ.

Adapun perkataan mereka: Sesungguhnya kewajiban (rahn) itu terjadi karena penyerahan (qabdh), maka wajib pula hilangnya kewajiban itu dengan hilangnya penyerahan, maka ini batal dengan contoh ‘āriyah (barang pinjaman), karena pada ‘āriyah penyerahan telah hilang namun kewajiban rahn tidak hilang menurut pendapat kami bahwa kewajiban itu terjadi karena penyerahan, bukan karena keberlanjutan penyerahan. Dan keluarnya barang dari tangannya menghilangkan keberlanjutan penyerahan, namun tidak menghilangkan penyerahan yang telah terjadi sebelumnya, sehingga tidak hilang apa yang menjadi sebab kewajiban itu, karena hukum penyerahan itu tetap berlangsung.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي فِي رَهْنِ الْمُشَاعِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ: جَوَازُ رَهْنِ الْمُشَاعِ مِنَ الشَّرِيكِ، وَغَيْرِ الشَّرِيكِ.

Adapun fasal kedua tentang rahn atas harta musya‘ (tidak terbagi), maka menurut mazhab asy-Syafi‘i: boleh menggadaikan harta musya‘ baik dari pihak sekutu maupun bukan sekutu.

وَقَالَ أبو حنيفة: رَهْنُ الْمُشَاعِ يَصِحُّ مِنَ الشَّرِيكِ، وَلَا يَصِحُّ مِنْ غَيْرِ الشَّرِيكِ.

Abu Hanifah berkata: Rahn atas harta musya‘ sah jika dari sekutu, dan tidak sah jika dari selain sekutu.

قَالَ: لِأَنَّ رَهْنَهُ مِنْ غَيْرِ الشَّرِيكِ يُوجِبُ مُهَايَأَةً بَيْنَ الْمُرْتَهِنِ وَالشَّرِيكِ. وَالْمُهَايَأَةُ تُوجِبُ انْتِزَاعَ الرَّهْنِ مِنْ يَدِ الْمُرْتَهِنِ بِاسْتِحْقَاقٍ قَارَنَ الْعَقْدَ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَانِعًا مِنْ صِحَّةِ الرَّهْنِ. أَصْلُهُ. إِذَا رَهَنَ شَيْئًا مَغْصُوبًا.

Ia berkata: Karena menggadaikan harta musya‘ dari selain sekutu mewajibkan adanya muhayā’ah (pembagian waktu pemanfaatan) antara murtahin (penerima gadai) dan sekutu. Dan muhayā’ah itu mewajibkan pengambilan barang gadai dari tangan murtahin dengan hak yang bersamaan dengan akad, maka itu menjadi penghalang sahnya rahn. Dalil asalnya: jika seseorang menggadaikan barang yang digasak (maghsūb).

قَالَ: وَلِأَنَّ الْمُهَايَأَةَ تُوجِبُ تَسْلِيمَهُ إِلَى الْمُرْتَهِنِ يَوْمًا وَانْتِزَاعَهُ مِنْ يَدِهِ يَوْمًا، وَلَوْ شَرَطَ هَذَا فِي عَقْدِ الرَّهْنِ كَانَ بَاطِلًا، فَكَذَا إِذَا اسْتَحَقَّ هَذَا بِعَقْدِ الرَّهْنِ كَانَ بَاطِلًا.

Ia berkata: Dan karena muhayā’ah mewajibkan penyerahan barang itu kepada murtahin pada suatu hari dan pengambilannya dari tangannya pada hari lain. Jika hal ini disyaratkan dalam akad rahn, maka batal akadnya. Maka demikian pula jika hal ini terjadi karena akad rahn, maka batal pula.

وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ كُلَّ مَا جَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ كَالْمُجَوَّزِ فَإِنْ قِيلَ: فَالْخِلَافُ فِي صِحَّةِ قَبْضِهِ لَا في صحة عقده، قلنا: كلما صَحَّ أَنْ يَكُونَ مَقْبُوضًا فِي الْبَيْعِ صَحَّ أَنْ يَكُونَ مَقْبُوضًا فِي الرَّهْنِ كَالْمَحُوزِ. وَلِأَنَّهُ لَوْ رَهَنَ شَيْئًا مَحُوزًا عِنْدَ رَجُلَيْنِ جَازَ الرَّهْنُ وَإِنْ كَانَ نِصْفُهُ مُشَاعًا رَهْنًا عِنْدَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الرَّجُلَيْنِ فَكَذَا إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْهُ مُشَاعًا رَهْنًا وَالنِّصْفُ الْآخَرُ مُطْلَقًا.

Dalil kami: Bahwa setiap barang yang boleh dijual, boleh pula digadaikan, seperti barang yang dapat dikuasai (majwaz). Jika dikatakan: perbedaan pendapat itu pada sahnya penyerahan (qabdh), bukan pada sahnya akad, maka kami katakan: setiap barang yang sah untuk dikuasai dalam jual beli, sah pula untuk dikuasai dalam rahn, seperti barang yang dapat dikuasai. Dan karena jika seseorang menggadaikan barang yang dikuasai oleh dua orang, maka sah rahnnya, meskipun setengahnya adalah musya‘ sebagai rahn di tangan masing-masing dari dua orang tersebut, maka demikian pula jika setengahnya musya‘ sebagai rahn dan setengah lainnya secara mutlak.

وَتَحْرِيرُ هَذَا الِاسْتِدْلَالِ قِيَاسًا:

Penjelasan istidlāl (argumentasi) ini secara qiyās:

أَنَّ كُلَّ شَيْءٍ جَازَ لَهُ أَنْ يُرْهَنَ جَمِيعُهُ عِنْدَ شَخْصٍ جَازَ لَهُ أَنْ يُرْهَنَ بَعْضُهُ مُشَاعًا عِنْدَ ذَلِكَ الشَّخْصِ.

Bahwa setiap sesuatu yang boleh digadaikan seluruhnya kepada seseorang, maka boleh pula digadaikan sebagian secara musya‘ kepada orang tersebut.

أَصْلُهُ: إِذَا رَهَنَ الْمَحُوزَ عِنْدَ رَجُلَيْنِ.

Dalil asalnya: jika seseorang menggadaikan barang yang dikuasai oleh dua orang.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى رَهْنِ الْمَغْصُوبِ بِعِلَّةِ أن المهايأة واجبة، وهي توجب انتزاع مِنَ الْيَدِ.

Adapun qiyās mereka dengan rahn atas barang maghsūb dengan alasan bahwa muhayā’ah itu wajib, dan itu mewajibkan pengambilan dari tangan (murtahin).

قُلْنَا: الْمُهَايَأَةُ غَيْرُ وَاجِبَةٍ عِنْدَنَا لِأَمْرَيْنِ:

Kami katakan: Muhayā’ah tidak wajib menurut kami karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَنْفَعَةَ الشَّيْءِ بَيْنَ الْمَالِكَيْنَ، فلم يلزم أحدهما: أن يعارض عَلَى مَنْفَعَةِ مِلْكِهِ بِمَا يَعْتَاضُهُ مِنْ مَنْفَعَةِ ملك صاحبه.

Pertama: Bahwa manfaat suatu barang adalah milik bersama antara dua pemilik, sehingga tidak wajib bagi salah satu dari keduanya untuk menuntut manfaat miliknya dengan menukar manfaat milik temannya.

والثاني: أن في المهايأة تعجيل لحق مؤجل وتأجيل لِحَقٍّ مُعَجَّلٍ. وَتَعْجِيلُ مَا كَانَ مُؤَجَّلًا، وَتَأْجِيلُ مَا كَانَ مُعَجَّلًا غَيْرُ وَاجِبٍ، وَلَوْ وَجَبَتِ الْمُهَايَأَةُ لَكَانَ الْجَوَابُ عَنْ ذَلِكَ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Kedua: Dalam muhayā’ah terdapat percepatan terhadap hak yang seharusnya ditangguhkan dan penangguhan terhadap hak yang seharusnya disegerakan. Mempercepat sesuatu yang seharusnya ditangguhkan, dan menangguhkan sesuatu yang seharusnya disegerakan, tidaklah wajib. Seandainya muhayā’ah itu wajib, maka jawabannya atas hal tersebut ada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَغْصُوبَ لَا يُمْكِنُ اسْتِيفَاءُ الْحَقِّ مِنْ ثَمَنِهِ فَلَمْ يَجُزْ رَهْنُهُ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمُشَاعُ بَعْدَ الْمُهَايَأَةِ.

Pertama: Barang yang dighasab tidak mungkin dipenuhi haknya dari harganya, sehingga tidak boleh dijadikan sebagai barang gadai. Tidak demikian halnya dengan kepemilikan bersama setelah muhayā’ah.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْقَبْضَ فِي الْمَغْصُوبِ لَمْ يَصِحَّ فَيَلْزَمُ بِهِ الرَّهْنُ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمُشَاعُ بَعْدَ الْمُهَايَأَةِ.

Kedua: Penyerahan (qabdh) pada barang yang dighasab tidak sah sehingga tidak sah pula dijadikan barang gadai. Tidak demikian halnya dengan kepemilikan bersama setelah muhayā’ah.

وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ ذَلِكَ يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ يَوْمًا رَهْنًا، وَيَوْمًا غَيْرَ رَهْنٍ، فَغَيْرُ صَحِيحٍ. لِأَنَّهُ رَهْنٌ فِي جَمِيعِ الْأَيَّامِ، وَقَبْضُهُ حُكْمٌ مُسْتَدَامٌ، وَخُرُوجُهُ فِي يَوْمِ الْمُهَايَأَةِ عَنْ يَدِهِ لَا يُزِيلُ حُكْمَ قَبْضِهِ عَنْهُ، وَإِنْ حَصَلَ فِي يَدِ غَيْرِهِ. فَصَارَ كَمَنْ رَهَنَ شَيْئًا عَلَى أَنَّهُ يَكُونُ فِي يَدِ مُرْتَهِنِهِ يَوْمًا وَعَلَى يَدِ عَدْلٍ يَوْمًا لَمْ يَمْنَعْ ذَلِكَ مِنْ صِحَّةِ الرَّهْنِ وَكَانَ هَذَا بِخِلَافِ قَوْلِهِ: أُرْهِنُكَ يوما واسترجعه منك يوما.

Adapun pernyataan mereka: Bahwa hal itu mengharuskan barang tersebut pada suatu hari menjadi barang gadai, dan pada hari lain tidak menjadi barang gadai, maka itu tidak benar. Karena barang tersebut tetap menjadi barang gadai pada seluruh hari, dan penyerahan (qabdh) itu adalah hukum yang terus-menerus. Keluarnya barang tersebut dari tangan penerima gadai pada hari muhayā’ah tidak menghilangkan hukum penyerahan atasnya, meskipun barang itu berada di tangan orang lain. Maka hal ini seperti seseorang yang menggadaikan sesuatu dengan syarat barang itu berada di tangan penerima gadai pada satu hari dan di tangan pihak ketiga yang adil pada hari lain; hal itu tidak menghalangi keabsahan gadai. Hal ini berbeda dengan pernyataan: “Aku menggadaikan kepadamu satu hari dan mengambilnya kembali darimu pada hari berikutnya.”

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَوْ مَاتَ الْمُرْتَهِنُ قَبْلَ الْقَبْضِ فَلِلرَّاهِنِ تَسْلِيمُ الرَّهْنِ إِلَى وَارِثِهِ ومنعه “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika penerima gadai (murtahin) meninggal sebelum penyerahan barang gadai, maka pemberi gadai (rahin) boleh menyerahkan barang gadai kepada ahli warisnya atau menahannya.”

قال الماوردي: موت الراهن أو المرتهن بعد العقد وقبل القبض إِذَا مَاتَ الرَّاهِنُ أَوِ الْمُرْتَهِنُ بَعْدَ عَقْدِ الرَّهْنِ، وَقَبْلَ قَبْضِهِ: فَظَاهِرُ نَصِّهِ هَاهُنَا أَنَّ الرَّهْنَ لَا يَنْفَسِخُ بِمَوْتِ الْمُرْتَهِنِ قَبْلَ الْقَبْضِ. وَظَاهِرُ نَصِّهِ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: أَنَّ الرَّهْنَ يَنْفَسِخُ بِمَوْتِ الرَّاهِنِ قَبْلَ الْقَبْضِ فَفَسَخَ الرَّهْنَ بِمَوْتِ الرَّاهِنِ، وَلَمْ يَفْسَخْهُ بِمَوْتِ الْمُرْتَهِنِ.

Al-Mawardi berkata: Kematian pemberi gadai (rahin) atau penerima gadai (murtahin) setelah akad dan sebelum penyerahan barang gadai; jika pemberi gadai atau penerima gadai meninggal setelah akad gadai dan sebelum penyerahan barang gadai, maka zahir nash di sini menunjukkan bahwa gadai tidak batal karena kematian penerima gadai sebelum penyerahan. Dan zahir nash di tempat lain menunjukkan bahwa gadai batal karena kematian pemberi gadai sebelum penyerahan. Maka gadai batal karena kematian pemberi gadai, dan tidak batal karena kematian penerima gadai.

فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا: فَكَانَ بَعْضُهُمْ يَنْقُلُ جَوَابَهُ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْمَوْضِعَيْنِ إِلَى الْآخَرِ فَيَخْرُجُ ذَلِكَ على قولين:

Para ulama kami berbeda pendapat: Sebagian mereka menukil jawabannya dari masing-masing tempat ke tempat yang lain, sehingga muncul dua pendapat:

أحدهما: أنه يَنْفَسِخُ الرَّهْنُ بِمَوْتِ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ جَمِيعًا، لِأَنَّ الرَّهْنَ قَبْلَ الْقَبْضِ مِنَ الْعُقُودِ الْجَائِزَةِ، وَالْعُقُودُ الْجَائِزَةُ تَنْفَسِخُ بِالْمَوْتِ كَالشَّرِكَةِ وَالْوَكَالَاتِ.

Pertama: Gadai batal karena kematian pemberi gadai maupun penerima gadai, karena gadai sebelum penyerahan termasuk akad yang boleh dibatalkan (‘uqud jā’izah), dan akad yang boleh dibatalkan akan batal dengan kematian, seperti syirkah dan wakalah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَنْفَسِخُ بِمَوْتِ الرَّاهِنِ، وَلَا بِمَوْتِ الْمُرْتَهِنِ. لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ قَبْلَ الْقَبْضِ مِنَ الْعُقُودِ الْجَائِزَةِ، فَهُوَ يُفْضِي إِلَى اللُّزُومِ، وَمَا أَفْضَى إِلَى اللُّزُومِ وَإِنْ كَانَ جَائِزًا، لَا يَنْفَسِخُ بِالْمَوْتِ كَالْبَيْعِ فِي مُدَّةِ الْخِيَارِ. وَهَذَا أَصَحُّ الْقَوْلَيْنِ.

Pendapat kedua: Gadai tidak batal karena kematian pemberi gadai maupun penerima gadai. Karena meskipun sebelum penyerahan termasuk akad yang boleh dibatalkan, namun ia berujung pada keharusan (iltizam), dan sesuatu yang berujung pada keharusan, meskipun pada awalnya boleh dibatalkan, tidak batal dengan kematian, seperti jual beli dalam masa khiyar. Dan ini adalah pendapat yang paling kuat di antara dua pendapat tersebut.

وَقَالَ آخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا: لَيْسَتِ الْمَسْأَلَةُ عَلَى قَوْلَيْنِ بَلِ الْكَلَامُ عَلَى ظَاهِرِهِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ وَهُوَ أَنْ يَنْفَسِخَ الرَّهْنُ بِمَوْتِ الرَّاهِنِ، وَلَا يَنْفَسِخَ بِمَوْتِ الْمُرْتَهِنِ.

Sebagian ulama kami yang lain berkata: Masalah ini bukanlah dua pendapat, melainkan pembahasan tetap pada zahir nash di kedua tempat, yaitu bahwa gadai batal karena kematian pemberi gadai, dan tidak batal karena kematian penerima gadai.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْمُرْتَهِنَ هُوَ صَاحِبُ الدَّيْنِ، وَمَنْ لَهُ دَيْنٌ مُؤَجَّلٌ فَمَاتَ لَمْ يَحِلَّ بِمَوْتِهِ وَكَانَ دَيْنُ الْمُرْتَهِنِ مُؤَجَّلًا بَعْدَ مَوْتِهِ كَمَا كَانَ مؤجلا قبل موته وكان الرَّاهِنُ الْمَعْقُودُ فِيهِ قَبْلَ مَوْتِهِ بَاقِيًا عَلَى حَالِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ. فَلِذَلِكَ لَمْ يَنْفَسِخْ بِمَوْتِهِ، وليس كذلك الراهن؛ لأن الدين عليه، فإنما مَاتَ حَلَّ الدَّيْنُ بِمَوْتِهِ، فَاسْتَحَقَّ مُطَالَبَةَ الْوَرَثَةِ به. فلم يكن لبقاء الرهن معنى. كذلك الفسخ.

Perbedaan antara keduanya: Penerima gadai adalah pemilik utang, dan siapa yang memiliki utang yang ditangguhkan lalu ia meninggal, maka utangnya tidak menjadi jatuh tempo karena kematiannya, dan utang penerima gadai tetap ditangguhkan setelah kematiannya sebagaimana sebelum kematiannya, dan pemberi gadai yang telah diakadkan sebelum kematiannya tetap sebagaimana keadaannya setelah kematiannya. Oleh karena itu, gadai tidak batal karena kematiannya. Tidak demikian halnya dengan pemberi gadai, karena utang ada padanya; jika ia meninggal, maka utang menjadi jatuh tempo karena kematiannya, sehingga ahli warisnya berhak untuk dituntut membayar utang tersebut. Maka tidak ada lagi makna untuk keberlangsungan gadai. Demikian pula pembatalannya.

(فَصْلٌ)

(Fashal)

فَإِذَا قُلْنَا: إِنَّ الرَّهْنَ قَدِ انْفَسَخَ بِمَوْتِ الرَّاهِنِ أَوِ الْمُرْتَهِنِ فَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَشْرُوطٍ فَيَ بَيْعٍ فَلَا مَقَالَ.

Jika kita katakan: Bahwa gadai telah batal karena kematian pemberi gadai atau penerima gadai, maka jika gadai itu tidak disyaratkan dalam jual beli, tidak ada pembahasan lebih lanjut.

وَإِنْ كَانَ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ كَانَ الْبَائِعُ الْمُرْتَهِنُ، أَوْ وَارِثُهُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ بِلَا رَهْنٍ وَبَيْنَ فَسْخِهِ.

Dan jika gadai itu disyaratkan dalam jual beli, maka penjual yang menjadi penerima gadai, atau ahli warisnya, memiliki pilihan antara melanjutkan jual beli tanpa gadai atau membatalkannya.

فَإِنْ أَحَبَّ وَرَثَةُ الرَّاهِنِ إِقْبَاضَ الرَّهْنِ لِلْمُرْتَهِنِ، فَهُوَ مُسْتَأْنِفٌ لِعَقْدِهِ لِفَسْخِ الْعَقْدِ الْمُتَقَدِّمِ وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يَجُوزُ أَنْ يَسْتَأْنِفَ رَهْنَهُ لِجَوَازِ أَمْرِهِ، وَكَمَالِ تَصَرُّفِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ حَقُّ الْغُرَمَاءِ وَأَرْبَابِ الْوَصَايَا، جَازَ أَنْ يَسْتَأْنِفَهُ بِعَقْدٍ جَدِيدٍ وَقَبْضٍ، فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ، فَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ الْبَائِعِ لِحُصُولِ مَا شَرَطَهُ مِنَ الرَّهْنِ.

Jika para ahli waris dari pihak yang menggadaikan (rāhin) ingin menyerahkan barang gadai (rahn) kepada pihak penerima gadai (murtahin), maka hal itu merupakan permulaan akad baru karena akad sebelumnya telah dibatalkan. Jika ahli waris tersebut termasuk orang yang boleh memulai akad gadai karena sahnya tindakan mereka dan sempurnanya hak pengelolaan mereka, serta tidak ada hak para kreditur (ghurama’) dan pemilik wasiat (arbāb al-waṣāyā) yang terkait dengan barang tersebut, maka boleh bagi mereka untuk memulai akad baru beserta penyerahan barang. Jika hal itu telah dilakukan, maka pihak murtahin yang juga sebagai penjual tidak memiliki hak khiyār (pilihan) karena syarat yang diajukan berupa penyerahan barang gadai telah terpenuhi.

وَفِيهِ وَجْهٌ آخَرُ لَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ وَإِنْ أَجَابَ الْوَرَثَةُ إِلَى إِقْبَاضِهِ، لِأَنَّ فَسْخَ الرَّهْنِ قَدْ أَوْجَبَ لَهُ خِيَارًا فِي الْبَيْعِ، فَلَمْ يُسْقِطْهُ مَا حَدَثَ مِنْ تَطَوُّعِ الْوَارِثِ بِالرَّهْنِ. فَأَمَّا إِنْ كَانَ الْوَارِثُ مِمَّنْ لَا يَجُوزُ أَمْرُهُ، أَوْ تَعَلَّقَ بِالرَّهْنِ دُيُونٌ أَوْ وَصَايَا لَمْ يَجُزْ لِلْوَارِثِ وَلَا لِوَلِيِّهِ أَنْ يَسْتَأْنِفَ عَقْدَ الرَّهْنِ فِيهِ وَإِقْبَاضَهُ، وَيَكُونُ الْمُرْتَهِنُ الْبَائِعُ بِالْخِيَارِ.

Dalam hal ini terdapat pendapat lain, yaitu bahwa pihak murtahin tetap memiliki hak khiyār untuk membatalkan jual beli meskipun para ahli waris telah setuju untuk menyerahkan barang gadai, karena pembatalan akad gadai telah memberikan hak khiyār dalam jual beli, sehingga tindakan sukarela dari ahli waris untuk menyerahkan barang gadai tidak menggugurkan hak tersebut. Adapun jika ahli waris termasuk orang yang tidak sah tindakannya, atau terdapat utang atau wasiat yang terkait dengan barang gadai, maka tidak boleh bagi ahli waris maupun walinya untuk memulai akad gadai baru dan menyerahkannya, dan pihak murtahin yang juga sebagai penjual tetap memiliki hak khiyār.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا قِيلَ: إِنَّ الرَّهْنَ لَا يَنْفَسِخُ بِمَوْتِ الرَّاهِنِ، وَلَا بِمَوْتِ الْمُرْتَهِنِ. فَعَلَى هَذَا لَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ الْمَيِّتُ هُوَ الرَّاهِنُ، أَوِ الْمُرْتَهِنُ، أَوْ هُمَا جَمِيعًا.

Apabila dikatakan bahwa akad gadai (rahn) tidak batal karena wafatnya pihak yang menggadaikan (rāhin) maupun pihak penerima gadai (murtahin), maka dalam hal ini, yang wafat bisa jadi adalah rāhin, atau murtahin, atau keduanya sekaligus.

فَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ هُوَ الرَّاهِنُ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الرَّهْنِ مِنْ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ دُيُونٌ، أَوْ وَصَايَا أَوْ لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ.

Jika yang wafat adalah pihak rāhin, maka keadaan barang gadai tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi ada utang atau wasiat yang terkait dengannya, atau tidak ada sesuatu pun dari keduanya yang terkait.

فَإِنْ تَعَلَّقَ بِهِ دُيُونٌ أَوْ وَصَايَا لَمْ يَجُزْ لِوَرَثَةِ الرَّاهِنِ أَنْ يقبضوا الرهن للمرتهن ما لم توف حُقُوقُ أَرْبَابِ الدَّيْنِ وَأَهْلِ الْوَصَايَا، وَيَكُونُ الْمُرْتَهِنُ الْبَائِعُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ بِلَا رَهْنٍ، وَبَيْنَ فَسْخِهِ، إِنْ كَانَ الرَّهْنُ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ.

Jika terdapat utang atau wasiat yang terkait dengan barang gadai, maka tidak boleh bagi ahli waris rāhin untuk menyerahkan barang gadai kepada murtahin sebelum hak-hak para pemilik utang dan ahli wasiat dipenuhi. Dalam hal ini, murtahin yang juga sebagai penjual memiliki hak khiyār, yaitu memilih antara melanjutkan jual beli tanpa gadai atau membatalkannya, jika gadai tersebut merupakan syarat dalam jual beli.

وَإِنْ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِالرَّهْنِ دُيُونٌ وَلَا وَصَايَا، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْوَارِثِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَجُوزُ أَمْرُهُ لِبُلُوغِهِ وَرُشْدِهِ، أَوْ يَكُونُ مِمَّنْ لَا يَجُوزُ أَمْرُهُ إِمَّا لِصِغَرِهِ وَإِمَّا لِعَدَمِ رُشْدِهِ.

Jika tidak ada utang maupun wasiat yang terkait dengan barang gadai, maka keadaan ahli waris tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi ia termasuk orang yang sah tindakannya karena telah baligh dan berakal, atau termasuk orang yang tidak sah tindakannya, baik karena masih kecil maupun karena belum cakap.

فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يَجُوزُ أَمْرُهُ، فَهُوَ بِالْخِيَارِ. إِنْ شَاءَ أَقْبَضَ الْمُرْتَهِنَ الرَّهْنَ، وَإِنْ شَاءَ مَنَعَهُ. لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الَّذِي تَوَلَّى الْعَقْدَ مُخَيَّرًا فَوَارِثُهُ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ مُخَيَّرًا.

Jika ia termasuk orang yang sah tindakannya, maka ia memiliki hak khiyār. Jika ia mau, ia dapat menyerahkan barang gadai kepada murtahin, dan jika ia mau, ia dapat menolaknya. Karena ketika orang yang melakukan akad sebelumnya memiliki hak memilih, maka ahli warisnya lebih berhak untuk memiliki hak memilih pula.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِقْبَاضِ الرَّهْنِ وَبَيْنَ مَنْعِهِ، فَإِنْ مَنَعَهُ فَالْمُرْتَهِنُ بِالْخِيَارِ إِنْ كَانَ الرَّهْنُ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ بِلَا رَهْنٍ وَبَيْنَ فَسْخِهِ.

Jika telah tetap bahwa ia memiliki hak khiyār antara menyerahkan barang gadai atau menolaknya, maka jika ia menolaknya, murtahin memiliki hak khiyār jika gadai tersebut merupakan syarat dalam jual beli, yaitu memilih antara melanjutkan jual beli tanpa gadai atau membatalkannya.

فَإِنْ أَقْبَضَهُ الرَّهْنَ فَذَلِكَ لَهُ بِالْعَقْدِ الْمُتَقَدِّمِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَسْتَأْنِفَ لَهُ عَقْدًا جَدِيدًا لِصِحَّةِ الْعَقْدِ الْمُتَقَدِّمِ وَسَوَاءٌ كَانَ لِلْوَارِثِ الرَّاهِنِ حَظٌّ فِي إِقْبَاضِهِ أَمْ لَا لِجَوَازِ تَصَرُّفِهِ فِي مَالِهِ كَيْفَ شَاءَ.

Jika ia menyerahkan barang gadai kepada murtahin, maka hal itu berlaku berdasarkan akad yang telah ada sebelumnya tanpa perlu memulai akad baru, karena akad sebelumnya masih sah, baik ahli waris rāhin memiliki kepentingan dalam penyerahan tersebut maupun tidak, karena ia berhak mengelola hartanya sesuai kehendaknya.

فَإِذَا قَبَضَ الْمُرْتَهِنُ الرَّهْنَ، فَلَا خِيَارَ لَهُ فِي الْبَيْعِ لَا يُخْتَلَفُ، لِأَنَّ مَا شَرَطَهُ فِي الْبَيْعِ مِنَ الرَّهْنِ قَدْ صَارَ إِلَيْهِ بِالْعَقْدِ الْمُتَقَدِّمِ.

Jika murtahin telah menerima barang gadai, maka ia tidak lagi memiliki hak khiyār dalam jual beli, dan hal ini tidak diperselisihkan, karena syarat yang diajukan dalam jual beli berupa penyerahan barang gadai telah terpenuhi melalui akad sebelumnya.

وَإِنْ كَانَ الْوَارِثُ مِمَّنْ لَا يَجُوزُ أَمْرُهُ لِصِغَرِهِ، أَوْ لِعَدَمِ رُشْدِهِ فَلَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ حَظٌّ فِي إِقْبَاضِ الرَّهْنِ، أَوْ لَا حَظَّ لَهُ. فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَظٌّ فِي إِقْبَاضِ الرَّهْنِ لَمْ يَكُنْ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَتَوَلَّى إِقْبَاضَ الرَّهْنِ عَنْهُ، وَلَا أَنْ يُسَلِّمَهُ إِلَى الْمُرْتَهِنِ لِأَنَّ إِقْبَاضَ الرَّهْنِ غَيْرُ وَاجِبٍ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ لِلْوَلِيِّ أَنْ يَفْعَلَ فِي مَالِ مَنْ يَلِي عَلَيْهِ، مَا كَانَ غَيْرَ وَاجِبٍ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ حَظٌّ لَهُ.

Jika ahli waris termasuk orang yang tidak sah tindakannya karena masih kecil atau belum cakap, maka ada dua kemungkinan: bisa jadi ia memiliki kepentingan dalam penyerahan barang gadai, atau tidak memiliki kepentingan. Jika ia tidak memiliki kepentingan dalam penyerahan barang gadai, maka walinya tidak boleh menyerahkan barang gadai atas namanya, dan tidak boleh pula menyerahkannya kepada murtahin, karena penyerahan barang gadai bukanlah kewajiban baginya, dan wali tidak boleh melakukan sesuatu atas harta orang yang diwalikannya yang bukan merupakan kewajiban, jika tidak ada kepentingan baginya.

فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ الرَّهْنُ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ فَالْمُرْتَهِنُ الْبَائِعُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ بِلَا رَهْنٍ وَبَيْنَ فَسْخِهِ.

Berdasarkan hal ini, jika rahn (barang jaminan) disyaratkan dalam suatu jual beli, maka murtahin (penerima rahn) yaitu penjual, memiliki pilihan antara melanjutkan jual beli tanpa rahn atau membatalkannya.

وَإِنْ كَانَ لِلْوَارِثِ الْمُوَلَّى عَلَيْهِ حَظٌّ فِي إِقْبَاضِ الرَّهْنِ لِأَنَّهُ مَشْرُوطٌ فِي بَيْعٍ فِيهِ فَضْلٌ، فَهَلْ يَجُوزُ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَقْبِضَهُ عَنْهُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا.

Dan jika ahli waris yang berada dalam perwalian memiliki kepentingan dalam penyerahan rahn karena rahn tersebut disyaratkan dalam jual beli yang mengandung kelebihan (manfaat), maka apakah wali boleh menyerahkan rahn atas nama ahli waris atau tidak? Ada dua pendapat yang telah disebutkan.

أَحَدُهُمَا: لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ يَصِيرُ مُتَطَوِّعًا فِي مَالِ الْوَارِثِ بِإِقْبَاضِ مَا لَا يَلْزَمُ. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْمُرْتَهِنُ الْبَائِعُ بِالْخِيَارِ فِي الْبَيْعِ.

Pendapat pertama: Tidak boleh, karena berarti ia melakukan tindakan sukarela dalam harta ahli waris dengan menyerahkan sesuatu yang tidak wajib. Berdasarkan ini, murtahin (penjual) memiliki pilihan dalam jual beli.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ أَصَحُّ: يَجُوزُ أَنْ يَقْبِضَ الرَّهْنَ عَنِ الْوَارِثِ لِمَا لَهُ فِيهِ مِنَ الْحَظِّ فَعَلَى هَذَا إِذَا قَبَضَ الْمُرْتَهِنُ الرَّهْنَ فَلَا خِيَارَ لَهُ فِي الْبَيْعِ. فَهَذَا الْكَلَامُ فِي مَوْتِ الرَّاهِنِ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih shahih: Boleh bagi wali untuk menyerahkan rahn atas nama ahli waris karena ada kepentingan bagi ahli waris di dalamnya. Berdasarkan ini, jika murtahin telah menerima rahn, maka ia tidak lagi memiliki pilihan dalam jual beli. Inilah pembahasan mengenai kematian rahin (pemberi rahn).

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ هُوَ الْمُرْتَهِنَ فَالرَّاهِنُ بِالْخِيَارِ فِي تَسْلِيمِ الرَّهْنِ إِلَى وَرَثَةِ الْمُرْتَهِنِ، وَإِقْبَاضِهِمْ إِيَّاهُ، أَوْ مَنْعِهِمْ، لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ لَهُ الْخِيَارُ مَعَ الْمُرْتَهِنِ فِي حَيَاتِهِ، فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ لَهُ الْخِيَارُ مَعَ وَارِثِهِ بَعْدَ وَفَاتِهِ.

Jika yang meninggal adalah murtahin, maka rahin memiliki pilihan untuk menyerahkan rahn kepada ahli waris murtahin, menyerahkan rahn kepada mereka, atau menahan rahn dari mereka. Karena ketika ia memiliki pilihan bersama murtahin semasa hidupnya, maka lebih utama lagi ia memiliki pilihan bersama ahli warisnya setelah wafatnya.

فَإِنْ أَقْبَضَهُمُ الرَّهْنَ لَمْ يَحْتَجْ إِلَى تَجْدِيدِ عَقْدٍ، وَأَقْبَضَهُمْ إِيَّاهُ بِالْعَقْدِ الْمُتَقَدِّمِ، لِأَنَّهُ عَلَى حَالِهِ فِي الصِّحَّةِ. فَإِذَا قَبَضُوا الرَّهْنَ فَلَا خِيَارَ لَهُمْ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ بِحُصُولِ الرَّهْنِ لِلْمُرْتَهِنِ فِي حَيَاتِهِ.

Jika ia menyerahkan rahn kepada mereka, maka tidak perlu memperbarui akad, dan ia menyerahkan rahn kepada mereka berdasarkan akad yang telah ada sebelumnya, karena akad tersebut masih sah. Maka jika mereka telah menerima rahn, mereka tidak memiliki pilihan untuk membatalkan jual beli karena rahn telah diterima oleh murtahin semasa hidupnya.

وَإِنْ مَنَعَهُمُ الرَّهْنَ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ فَلَا خِيَارَ لَهُمْ، وَالدَّيْنُ بِلَا رَهْنٍ، وَإِنْ كَانَ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ فَلَا يَخْلُو حَالُهُمْ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika ia menahan rahn dari mereka: jika rahn tidak disyaratkan dalam jual beli, maka mereka tidak memiliki pilihan, dan utang tetap tanpa rahn. Namun jika rahn disyaratkan dalam jual beli, maka keadaan mereka tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونُوا مِمَّنْ يَجُوزُ أَمْرُهُمْ، أَوْ مِمَّنْ لَا يَجُوزُ أَمْرُهُمْ:

Yaitu, apakah mereka termasuk orang yang sah tindakannya, atau termasuk orang yang tidak sah tindakannya:

فَإِنْ كَانُوا مِمَّنْ يَجُوزُ أَمْرُهُمْ لِبُلُوغِهِمْ وَرُشْدِهِمْ فَهُمْ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ بِلَا رَهْنٍ، أَوْ فَسْخِهِ، وَسَوَاءٌ كَانَ الْحَظُّ لَهُمْ فِي إِمْضَائِهِ، أَوْ فَسْخِهِ لِأَنَّ الْفَسْخَ حَقٌّ لَهُمْ فَلَمْ يُجْبَرُوا عَلَيْهِ مَعَ جَوَازِ تَصَرُّفِهِمْ.

Jika mereka termasuk orang yang sah tindakannya karena telah baligh dan berakal, maka mereka memiliki pilihan antara melanjutkan jual beli tanpa rahn atau membatalkannya. Sama saja apakah ada kepentingan bagi mereka dalam melanjutkan atau membatalkannya, karena pembatalan adalah hak mereka sehingga mereka tidak dipaksa untuk melanjutkan meskipun mereka cakap bertindak.

وَإِنْ كَانُوا مِمَّنْ لَا يَجُوزُ أَمْرُهُمْ لِصِغَرِهِمْ، وَعَدَمِ رُشْدِهِمْ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ حَظٌّ فِي إِمْضَاءِ الْبَيْعِ بِلَا رَهْنٍ، فَوَاجِبٌ عَلَى وَلِيِّهِمْ أَنْ يَفْسَخَ الْبَيْعَ، لِأَنَّ فِي إِمْضَائِهِ بِلَا رَهْنٍ تَغْرِيرٌ بِثَمَنِهِ وَإِنْ كَانَ لَهُمْ فِي إِمْضَائِهِ حَظٌّ، لِوُفُورِ الثَّمَنِ، فَإِنْ كَانَ الرَّاهِنُ الْمُشْتَرِي مُعْسِرًا أَوْ كَانَ غَيْرَ أَمِينٍ فَعَلَى وَلِيِّهِ أَنْ يَفْسَخَ الْبَيْعَ أَيْضًا. وَإِنْ كَانَ أَمِينًا مُوسِرًا فَعَلَى وَجْهَيْنِ.

Jika mereka termasuk orang yang tidak sah tindakannya karena masih kecil atau belum berakal, maka jika mereka tidak memiliki kepentingan dalam melanjutkan jual beli tanpa rahn, wajib bagi wali mereka untuk membatalkan jual beli, karena melanjutkan jual beli tanpa rahn mengandung risiko terhadap harga barang. Namun jika mereka memiliki kepentingan dalam melanjutkannya karena harga yang mencukupi, maka jika rahin (pembeli) adalah orang yang tidak mampu atau tidak amanah, maka wali juga harus membatalkan jual beli. Namun jika ia amanah dan mampu, maka ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: يُفْسَخُ أَيْضًا لِجَوَازِ أَنْ يَتَغَيَّرَ حَالُهُ.

Pendapat pertama: Tetap dibatalkan juga karena dikhawatirkan keadaannya bisa berubah.

وَالثَّانِي: لَا يُفْسَخُ لِمَا فِيهِ مِنْ وُفُورِ الْحَظِّ وَأَنَّ الْعَقْدَ تَمَّ بِغَيْرِهِ. وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مُخْرَجَانِ مِنَ الْوَجْهَيْنِ الْمَاضِيَيْنِ فِي وَلِيِّ وَرَثَةِ الرَّاهِنِ هَلْ يَجُوزُ لَهُ إِقْبَاضُ الرَّهْنِ إِذَا كَانَ فِي إِقْبَاضِهِ حَظٌّ لَهُمْ أَمْ لَا؟

Pendapat kedua: Tidak dibatalkan karena terdapat kepentingan yang cukup dan akad telah sempurna tanpa rahn. Kedua pendapat ini diambil dari dua pendapat sebelumnya mengenai wali ahli waris rahin, apakah boleh menyerahkan rahn jika dalam penyerahan itu terdapat kepentingan bagi mereka atau tidak?

فَهَذَا الْكَلَامُ فِي مَوْتِ الْمُرْتَهِنِ.

Demikianlah pembahasan mengenai kematian murtahin.

فَأَمَّا إِنْ مَاتَ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ جَمِيعًا. فَإِنَّ الْحُكْمَ فِي وَرَثَةِ الرَّاهِنِ عَلَى مَا مَضَى وَفِي وَرَثَةِ الْمُرْتَهِنِ عَلَى مَا مَضَى.

Adapun jika rahin dan murtahin meninggal dunia secara bersamaan, maka hukum bagi ahli waris rahin sebagaimana yang telah dijelaskan, dan hukum bagi ahli waris murtahin juga sebagaimana yang telah dijelaskan.

فَأَمَّا إِنْ مَاتَ الرَّاهِنُ أَوِ الْمُرْتَهِنُ بَعْدَ قَبْضِ الرَّهْنِ، فَالرَّهْنُ عَلَى حَالِهِ لَا يَنْفَسِخُ، لِأَنَّهُ بَعْدَ الْقَبْضِ قَدْ لَزِمَ. وَالْعَقْدُ اللَّازِمُ لَا يَنْفَسِخُ بِالْمَوْتِ.

Adapun jika rahin atau murtahin meninggal setelah rahn diterima, maka rahn tetap sebagaimana adanya, tidak batal, karena setelah diterima rahn telah menjadi wajib. Akad yang wajib tidak batal karena kematian.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ أُرْهِنُكَ دَارِي عَلَى أَنْ تُدَايِنَنِي فَدَايَنَهُ لَمْ يَكُنْ رَهْنًا حَتَّى يَعْقِدَا الرَّهْنَ مع الحق أو بعده (قال) حدثنا الربيع عن الشافعي قال لا يجوز إلا معه أو بعده فأما قبله فلا رهن “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Aku menjadikan rumahku sebagai rahn kepadamu agar engkau meminjamkan uang kepadaku,’ lalu ia meminjamkannya, maka itu belum menjadi rahn sampai keduanya mengadakan akad rahn bersamaan dengan hak (utang) atau setelahnya.” (Beliau berkata:) Diriwayatkan dari ar-Rabi‘ dari asy-Syafi‘i, beliau berkata: “Tidak sah kecuali bersamaan dengan hak atau setelahnya, adapun sebelumnya maka tidak menjadi rahn.”

قال الماوردي: والثاني أَنْ يَعْقِدَ مَعَ ثُبُوتِ الدَّيْنِ.

Al-Mawardi berkata: Yang kedua adalah mengadakan akad (rahn) bersamaan dengan tetapnya utang.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَعْقِدَ قَبْلَ ثُبُوتِ الدَّيْنِ.

Dan yang ketiga: mengadakan akad sebelum tetapnya utang.

فَأَمَّا الضَّرْبُ الْأَوَّلُ

Adapun jenis yang pertama

الحال الأولى: وَهُوَ أَنْ يُعْقَدَ بَعْدَ ثُبُوتِ الدَّيْنِ فَهُوَ أَنْ يَسْتَقِرَّ الدَّيْنُ فِي ذِمَّةِ رَجُلٍ مِنْ بَيْعٍ أَوْ قَرْضٍ أَوْ أَرْشِ جِنَايَةٍ، أَوْ ضَمَانِ صَدَاقٍ، أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْحُقُوقِ، فيصير الدين ثابت فِي ذِمَّةِ مَنْ هُوَ عَلَيْهِ بِغَيْرِ رَهْنٍ. ثم إن من عليه الدين يَدْفَعُ إِلَى صَاحِبِ الدَّيْنِ رَهْنًا بِهِ. فَهَذَا يَكُونُ مُتَطَوِّعًا بِالرَّهْنِ لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يُعْطِهِ بِذَلِكَ رَهْنًا، لَمْ يَكُنْ لِصَاحِبِ الدَّيْنِ مُطَالَبَتُهُ برهن. فإذا رهنه بالدين شيئا وأقبضه، فقدم لَزِمَ الرَّهْنُ وَلَيْسَ لَهُ اسْتِرْجَاعُهُ إِلَّا بَعْدَ فكاكه.

Keadaan pertama: yaitu apabila akad raḥn dilakukan setelah tetapnya utang, yaitu ketika utang telah menjadi tanggungan seseorang akibat jual beli, atau pinjaman, atau diyat jinayah, atau penjaminan mahar, atau selain itu dari hak-hak, maka utang menjadi tetap dalam tanggungan orang yang berutang tanpa adanya raḥn. Kemudian, orang yang berutang menyerahkan barang sebagai raḥn kepada pihak yang berpiutang. Dalam hal ini, ia bersifat sukarela dalam memberikan raḥn, karena jika ia tidak menyerahkan raḥn tersebut, pihak yang berpiutang tidak berhak menuntutnya untuk memberikan raḥn. Apabila ia telah menyerahkan raḥn atas utang tersebut dan barang itu telah diserahkan, maka raḥn menjadi wajib dan ia tidak berhak mengambilnya kembali kecuali setelah menebusnya.

وأما الضرب الثاني.

Adapun jenis yang kedua.

الحالة الثَّانِيَةُ: وَهُوَ أَنْ يُعْقَدَ الرَّهْنُ مَعَ ثُبُوتِ الدَّيْنِ مِنْ غَيْرِ تَقْدِيمٍ وَلَا تَأْخِيرٍ. وَهَذَا يَكُونُ فِي مَوْضِعَيْنِ: إِمَّا فِي الْبَيْعِ، وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: بِعْتُكَ عَبْدِي هَذَا بِأَلْفٍ عَلَى أَنْ تُعْطِيَنِي دَارَكَ رَهْنًا. أَوْ فِي الْقَرْضِ، وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: قَدْ أَقْرَضْتُكَ هَذِهِ الْأَلْفَ عَلَى أَنْ تُعْطِيَنِي عَبْدَكَ رَهْنًا، فَيَصِيرُ الرَّهْنُ مَعْقُودًا مَعَ ثُبُوتِ الدَّيْنِ مِنْ غَيْرِ تَقَدُّمٍ عَلَيْهِ وَلَا تَأَخُّرٍ عَنْهُ. فَهَذَا أَيْضًا رَهْنٌ جَائِزٌ، لِأَنَّ كُلَّ وَثِيقَةٍ صَحَّتْ بَعْدَ ثُبُوتِ الدَّيْنِ صَحَّتْ مَعَ ثُبُوتِ الدَّيْنِ كَالشَّهَادَةِ.

Keadaan kedua: yaitu apabila akad raḥn dilakukan bersamaan dengan tetapnya utang, tanpa ada pendahuluan maupun penundaan. Hal ini terjadi dalam dua keadaan: pertama dalam jual beli, yaitu ketika seseorang berkata: “Aku jual budakku ini kepadamu seharga seribu dengan syarat engkau memberikan rumahmu sebagai raḥn.” Atau dalam pinjaman, yaitu ketika seseorang berkata: “Aku telah meminjamkan seribu ini kepadamu dengan syarat engkau memberikan budakmu sebagai raḥn.” Maka raḥn menjadi terikat bersamaan dengan tetapnya utang, tanpa mendahului atau mengakhirinya. Ini juga merupakan raḥn yang sah, karena setiap jaminan yang sah setelah tetapnya utang, maka sah pula bersamaan dengan tetapnya utang, seperti kesaksian.

فَإِذَا ثَبَتَ انْعِقَادُ الرَّهْنِ، فَالرَّاهِنُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِقْبَاضِ الرَّهْنِ، وَبَيْنَ مَنْعِهِ. فَإِنْ أَقْبَضَ الرَّهْنَ، فَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ الْبَائِعِ، وَإِنْ مَنَعَ إِقْبَاضَهُ كَانَ الْمُرْتَهِنُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ بِلَا رَهْنٍ، وَبَيْنَ فَسْخِهِ، وَلَا يُجْبَرُ الرَّاهِنُ عَلَى إِقْبَاضِهِ وَإِنْ كَانَ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ.

Apabila akad raḥn telah tetap, maka pihak yang memberikan raḥn (rāhin) memiliki pilihan antara menyerahkan raḥn atau menahannya. Jika ia menyerahkan raḥn, maka tidak ada pilihan bagi pihak penerima raḥn (murtahin) yang merupakan penjual. Namun jika ia menahan penyerahan raḥn, maka murtahin memiliki pilihan antara melanjutkan jual beli tanpa raḥn atau membatalkannya. Rāhin tidak dapat dipaksa untuk menyerahkan raḥn, meskipun hal itu disyaratkan dalam jual beli.

وَقَالَ أبو حنيفة يُجْبَرُ الرَّاهِنُ عَلَى إِقْبَاضِهِ إِذَا كَانَ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ، وَلَا يَكُونُ مُخَيَّرًا فِيهِ لِأَنَّهُ بِالشَّرْطِ قَدْ صَارَ صِفَةً لِعَقْدٍ لَازِمٍ، فَوَجَبَ أَنْ تَجْرِيَ عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْعَقْدِ فِي اللُّزُومِ كَالْخِيَارِ وَالْأَجَلِ.

Abu Hanifah berkata: Rāhin wajib dipaksa untuk menyerahkan raḥn jika hal itu disyaratkan dalam jual beli, dan ia tidak memiliki pilihan dalam hal tersebut, karena dengan adanya syarat, raḥn telah menjadi sifat dari akad yang mengikat, sehingga harus berlaku atasnya hukum-hukum akad dalam hal keharusan, seperti khiyār dan tenggang waktu.

وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّهَا وَثِيقَةٌ لَا يُجْبَرُ عَلَيْهَا بَعْدَ ثُبُوتِ الدَّيْنِ، فَوَجَبَ أَلَّا يُجْبَرَ عَلَيْهَا مَعَ ثُبُوتِ الدَّيْنِ كَالشَّهَادَةِ وَالضَّمَانِ.

Dalil kami: raḥn adalah jaminan yang tidak wajib dilakukan setelah tetapnya utang, maka tidak seharusnya diwajibkan pula bersamaan dengan tetapnya utang, seperti kesaksian dan penjaminan.

وَلِأَنَّ كُلَّ دَيْنٍ لَا يُجْبَرُ فِيهِ عَلَى إِقَامَةِ ضَمِينٍ، لَمْ يُجْبَرْ فِيهِ عَلَى إِقْبَاضِ رَهْنٍ.

Karena setiap utang yang tidak diwajibkan untuk menghadirkan penjamin, maka tidak diwajibkan pula untuk menyerahkan raḥn.

أَصْلُهُ: الدَّيْنُ الْمُسْتَقِرُّ بِغَيْرِ ضَمِينٍ وَلَا رَهْنٍ.

Dasarnya: utang yang tetap tanpa penjamin dan tanpa raḥn.

فَأَمَّا قَوْلُهُ: إِنَّ الرَّهْنَ قَدْ صَارَ بِالشَّرْطِ صِفَةً لِلْبَيْعِ، فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَ كَالْخِيَارِ وَالْأَجَلِ، فَغَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ الْخِيَارَ وَالْأَجَلَ، لَا يَصِحُّ انْفِرَادُهُمَا عَنِ الْعَقْدِ أَنْ يَصِيرَا صِفَةً لِلْعَقْدِ. وَالرَّهْنُ عَقْدٌ عَلَى حَالِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَنْفَرِدَ بِحُكْمِهِ، وَلَا يَصِيرُ صِفَةً لِغَيْرِهِ.

Adapun pendapatnya bahwa raḥn dengan adanya syarat telah menjadi sifat dari jual beli, sehingga harus menjadi wajib seperti khiyār dan tenggang waktu, maka itu tidak benar. Karena khiyār dan tenggang waktu tidak sah berdiri sendiri dari akad untuk menjadi sifat bagi akad. Sedangkan raḥn adalah akad tersendiri, maka harus berlaku hukum tersendiri atasnya, dan tidak menjadi sifat bagi akad lain.

(فصل)

(Fasal)

الضَّرْبُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يُعْقَدَ الرَّهْنُ قَبْلَ ثُبُوتِ الدَّيْنِ. فَهُوَ أَنْ يَقُولَ: قَدْ رَهَنْتُكَ دَارِي عَلَى أَنْ تُدَايِنَنِي، أَوْ تُبَايِعَنِي، أَوْ عَلَى مَا يَحْصُلُ لَكَ عَلَيَّ، فَهَذَا رَهْنٌ بَاطِلٌ لِتَقَدُّمِهِ عَلَى الدَّيْنِ، وَكَذَلِكَ فِي الضَّمَانِ إذا ضمن له ما لا قَبْلَ ثُبُوتِهِ.

Jenis ketiga: yaitu apabila akad raḥn dilakukan sebelum tetapnya utang. Yaitu ketika seseorang berkata: “Aku telah menjadikan rumahku sebagai raḥn kepadamu agar engkau meminjamkan aku, atau menjual kepadaku, atau atas apa yang kelak menjadi hakmu atasku.” Maka ini adalah raḥn yang batal karena mendahului utang, demikian pula dalam penjaminan apabila seseorang menjamin sesuatu sebelum tetapnya (utang).

وَقَالَ أبو حنيفة: تَقَدُّمُ الرَّهْنِ وَالضَّمَانِ عَلَى ثُبُوتِ الدَّيْنِ جَائِزٌ لِجَوَازِهِ بَعْدَ ثُبُوتِهِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ} [البقرة: 283] .

Abu Hanifah berkata: Mendahulukan raḥn dan penjaminan sebelum tetapnya utang adalah boleh, karena kebolehannya setelah tetapnya utang, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {maka ambillah raḥn yang diterima} [al-Baqarah: 283].

فَجَعَلَ لُزُومَ الرَّهْنِ بِالْقَبْضِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَشْتَرِطَ فِيهِ تَقَدُّمَ الْحَقِّ، فَدَلَّ عَلَى اسْتِوَاءِ حُكْمِهِ قَبْلَ، وَبَعْدَ.

Maka Allah menjadikan keharusan raḥn dengan penyerahan, tanpa mensyaratkan adanya pendahuluan hak, sehingga menunjukkan bahwa hukumnya sama baik sebelum maupun sesudah (tetapnya utang).

وَلَوْ كَانَ تَقَدُّمُ الْحَقِّ شَرْطًا فِي صِحَّتِهِ لَقَيَّدَ الرَّهْنَ بِهِ، كَمَا قَيَّدَهُ بِالْقَبْضِ.

Seandainya pendahuluan hak merupakan syarat sahnya, tentu rahn akan dibatasi dengannya, sebagaimana rahn dibatasi dengan qabdh.

قَالَ: وَلِأَنَّ الرَّهْنَ عَيْنٌ هِيَ وَثِيقَةٌ لِلْبَائِعِ فِي الْحَقِّ، فَلَمْ يَمْتَنِعْ تَقَدُّمُهَا عَلَى الْحَقِّ كَالْبَائِعِ يَحْبِسُ الْمَبِيعَ فِي يَدِهِ، لِاسْتِيفَاءِ ثَمَنِهِ، وَإِنْ كَانَ مُسْتَدِيمَ الْيَدِ قَبْلَ حَقِّهِ. كَذَلِكَ يَجُوزُ أَنْ يَحْبِسَ الْبَائِعُ رَهْنًا فِي يَدِهِ قَبْلَ ثُبُوتِ الْحَقِّ.

Ia berkata: Karena rahn adalah suatu benda yang menjadi jaminan bagi penjual atas haknya, maka tidak terlarang mendahulukannya atas hak, seperti penjual yang menahan barang yang dijual di tangannya untuk memperoleh pembayaran harganya, meskipun ia tetap memegang barang itu sebelum haknya ada. Demikian pula, boleh bagi penjual menahan rahn di tangannya sebelum hak itu tetap.

قَالَ: وَلِأَنَّ حُكْمَ عَقْدِ الرَّهْنِ وَالضَّمَانِ سَوَاءٌ، عِنْدَنَا وَعِنْدَكُمْ بَعْدَ الْحَقِّ وَقَبْلَهُ ثُمَّ قَدْ أَجْمَعْنَا وَإِيَّاكُمْ عَلَى جَوَازِ الضَّمَانِ قَبْلَ ثُبُوتِ الْحَقِّ فِي ثَلَاثَةِ مَوَاضِعَ. فَكَذَلِكَ فِي كُلِّ مَوْضِعٍ. فَإِذَا جَازَ الضَّمَانُ فِي مَوْضِعٍ، جَازَ الرَّهْنُ مَعَهُ فِي كُلِّ مَوْضِعٍ، لِأَنَّكُمْ قَدْ سَوَّيْتُمْ بَيْنَهُمَا بَعْدَ الْحَقِّ فِي الْجَوَازِ، وَقَبْلَ الْحَقِّ فِي الْمَنْعِ.

Ia berkata: Dan karena hukum akad rahn dan dhamān itu sama, menurut kami dan menurut kalian, baik setelah hak itu ada maupun sebelumnya. Kemudian, kita dan kalian telah berijmā‘ atas bolehnya dhamān sebelum hak itu tetap dalam tiga keadaan. Maka demikian pula dalam setiap keadaan. Jika dhamān boleh dalam suatu keadaan, maka rahn pun boleh bersamanya dalam setiap keadaan, karena kalian telah menyamakan keduanya dalam hal kebolehan setelah hak itu ada, dan dalam hal larangan sebelum hak itu ada.

وَأَحَدُ الْمَوَاضِعِ الثَّلَاثَةِ الَّتِي يَجُوزُ فِيهَا الضَّمَانُ قَبْلَ ثُبُوتِ الْحَقِّ أَنْ يَقُولَ: أَلْقِ مَتَاعَكَ فِي الْبَحْرِ وَعَلَيَّ ضَمَانُهُ. أَوْ أَعْتِقْ عَبْدَكَ عَنِّي وَعَلَيَّ قِيمَتُهُ. فَإِذَا أَلْقَى مَتَاعَهُ، أَوْ أَعْتَقَ عَبْدَهُ، لَزِمَهُ ضَمَانُ قِيمَتِهِ بِمَا تَقَدَّمَ مِنْ ضَمَانِهِ.

Salah satu dari tiga keadaan di mana dhamān boleh dilakukan sebelum hak itu tetap adalah seseorang berkata: “Buanglah barangmu ke laut dan aku menanggung jaminannya.” Atau: “Merdekakanlah budakmu atas namaku dan aku menanggung nilainya.” Maka jika ia membuang barangnya atau memerdekakan budaknya, wajib baginya menanggung nilainya karena dhamān yang telah didahulukan.

وَالثَّانِي: ضَمَانُ الدَّرْكِ قَبْلَ اسْتِحْقَاقِ الْمَبِيعِ، فَإِذَا اسْتَحَقَّ لَزِمَ الضَّامِنَ غُرْمُ ثَمَنِهِ لِمَا تَقَدَّمَ مِنْ ضَمَانِهِ.

Yang kedua: dhamān atas kerugian (dhamān al-darak) sebelum barang yang dijual itu ternyata menjadi milik orang lain. Jika ternyata barang itu memang milik orang lain, maka penjamin wajib menanggung harga barang tersebut karena dhamān yang telah didahulukan.

وَالثَّالِثُ: ضَمَانُ نَفَقَاتِ الزَّوْجَاتِ إِذَا ضَمِنَهَا عَنِ الزَّوْجِ أَجْنَبِيٌّ لَزِمَهُ ضَمَانُهَا وَإِنْ كَانَ ضَمَانُهُ قَبْلَ وُجُوبِهَا.

Yang ketiga: dhamān atas nafkah para istri, jika ada orang lain yang menjaminnya dari suami, maka ia wajib menanggung nafkah tersebut meskipun dhamān-nya dilakukan sebelum kewajiban nafkah itu ada.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهَا وثيقة يُمْكِنُ أَنْ يُسْتَوْثَقَ بِهَا مَعَ الْحَقِّ، فَلَمْ تَصِحَّ قَبْلَ ثُبُوتِ الْحَقِّ كَالشَّهَادَةِ. وَلِأَنَّ كُلَّ حَالٍ لَا يَجُوزُ أَنْ يُسْتَوْثَقَ فِيهَا بِالشَّهَادَةِ، لَمْ يَجُزْ أَنْ يُسْتَوْثَقَ فِيهَا بِالرَّهْنِ وَالضَّمَانِ.

Dalil kami adalah bahwa rahn itu merupakan jaminan yang dapat digunakan untuk memperkuat hak, maka tidak sah dilakukan sebelum hak itu tetap, seperti halnya kesaksian. Dan setiap keadaan di mana tidak boleh memperkuat hak dengan kesaksian, maka tidak boleh pula memperkuatnya dengan rahn dan dhamān.

أَصْلُهُ: إِذَا قَالَ: قَدْ ضَمِنْتُ لَكَ مَا تُدَايِنُ بِهِ النَّاسَ كُلَّهُمْ. أَوْ قَدْ رَهَنْتُكَ هَذَا عَلَى مَا تُدَايِنُ بِهِ النَّاسَ كُلَّهُمْ؟

Contohnya: Jika seseorang berkata, “Aku telah menjamin untukmu apa yang kamu pinjamkan kepada semua orang.” Atau, “Aku telah menjadikan ini sebagai rahn untukmu atas apa yang kamu pinjamkan kepada semua orang.”

وَلِأَنَّ الِارْتِهَانَ هُوَ احْتِبَاسٌ بِالْحَقِّ وَوَثِيقَةٌ فِيهِ فَلَمْ يَجُزْ تَقَدُّمُ الِاحْتِبَاسِ عَلَى غَيْرِ حَقٍّ يَقَعُ بِهِ الِاحْتِبَاسُ.

Karena ar-rahn adalah penahanan dengan hak dan merupakan jaminan atasnya, maka tidak boleh mendahulukan penahanan atas sesuatu yang belum ada hak yang menyebabkan penahanan itu.

وَلِأَنَّ هَذَا عَقْدُ رَهْنٍ بِصِفَةٍ، وَالْعُقُودِ لَا يَجُوزُ أَنْ تُعَلَّقَ بِالصِّفَاتِ. كَقَوْلِهِ: إِذَا قَدِمَ زَيْدٌ فَقَدْ رَهَنْتُكَ عَبْدِي. وَلِأَنَّ مَا يُدَايِنُهُ فِي ثَانِي حَالٍ مَجْهُولُ القدر، والرهن في المجهول لا يصح فأما الآية فحجة عليه لأنه تعالى قال: {إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ} [البقرة: 283] ثم قال تَعَالَى {وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كاتبا فرهان مقبوضة} [البقرة: 283] فَكَانَ الدَّيْنُ الْمَذْكُورُ شَرْطًا فِي صِحَّةِ الرَّهْنِ، كَالْقَبْضِ الْمَذْكُورِ. وَأَمَّا مَا ذَكَرَهُ مِنْ حَبْسِ الْمَبِيعِ بِيَدٍ مُتَقَدِّمَةٍ فَغَلَطٌ لِأَنَّهُ لَيْسَ يَحْبِسُ الْمَبِيعَ بِيَدِهِ الْمُتَقَدِّمَةِ، وَإِنَّمَا يَحْبِسُهُ بِعَقْدِ البيع الحادث. وأما الذي ذَكَرَهُ مِنْ صِحَّةِ ضَمَانِ مَا لَمْ يَجِبْ فِي ثَلَاثَةِ مَوَاضِعَ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ مَا نَحْكِيهِ مِنْ مَذْهَبِنَا شَرْحًا وَانْفِصَالًا:

Karena ini adalah akad rahn yang digantungkan pada sifat, sedangkan akad-akad tidak boleh digantungkan pada sifat. Seperti ucapannya: “Jika Zaid datang, maka aku menjadikan budakku sebagai rahn untukmu.” Dan karena apa yang akan dipinjamkannya pada waktu berikutnya tidak diketahui kadarnya, sedangkan rahn atas sesuatu yang tidak diketahui tidak sah. Adapun ayat, maka itu menjadi hujjah atasnya, karena Allah Ta‘ala berfirman: {Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya} [al-Baqarah: 283], kemudian Allah Ta‘ala berfirman: {Dan jika kamu dalam perjalanan dan tidak menemukan seorang penulis, maka hendaklah ada rahn yang dipegang} [al-Baqarah: 283]. Maka utang yang disebutkan itu menjadi syarat sahnya rahn, sebagaimana qabdh yang disebutkan. Adapun apa yang disebutkannya tentang penahanan barang yang dijual dengan tangan yang lebih dahulu, itu adalah kekeliruan, karena ia tidak menahan barang yang dijual dengan tangan yang lebih dahulu, melainkan ia menahannya dengan akad jual beli yang baru. Adapun yang disebutkannya tentang sahnya dhamān atas sesuatu yang belum wajib dalam tiga keadaan, maka jawabannya adalah apa yang akan kami jelaskan dari mazhab kami secara rinci:

أَمَّا تَقَدُّمُ الضَّمَانِ بِقَوْلِهِ: أَلْقِ مَتَاعَكَ فِي الْبَحْرِ، وَعَلَيَّ قِيمَتُهُ، فَلَيْسَ هَذَا بِضَمَانٍ. وَإِنَّمَا اسْتِدْعَاءُ الْإِتْلَافِ بِعِوَضٍ يَجْرِي الْحُكْمُ فِيهِ مَجْرَى الْمُعَاوَضَاتِ لِأَمْرَيْنِ:

Adapun mendahulukan dhamān dengan ucapannya: “Buanglah barangmu ke laut dan aku menanggung nilainya,” maka ini bukanlah dhamān. Melainkan permintaan untuk melakukan perusakan dengan kompensasi, yang hukumnya seperti mu‘āwadah (pertukaran) karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الضَّمَانَ إِنَّمَا يَلْزَمُ بِاللَّفْظِ، وَالضَّمَانُ هَاهُنَا يَلْزَمُ بِالْإِتْلَافِ، لَا بِاللَّفْظِ.

Pertama: dhamān itu hanya menjadi wajib dengan ucapan, sedangkan dhamān di sini menjadi wajib karena perusakan, bukan karena ucapan.

وَالثَّانِي: أَنَّ الضَّمَانَ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِثَلَاثَةِ أَنْفُسٍ: ضَامِنٌ، وَمَضْمُونٌ عَنْهُ، وَمَضْمُونٌ لَهُ. وَلَيْسَ كَذَلِكَ هَاهُنَا فَسَقَطَ الِاحْتِجَاجُ بِهِ.

Kedua: dhamān tidak sah kecuali dengan tiga pihak: penjamin, pihak yang dijamin darinya, dan pihak yang dijamin untuknya. Dan di sini tidak demikian, maka gugurlah argumentasi dengannya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا ضَمَانُ دَرْكِ الْمَبِيعِ قَبْلَ اسْتِحْقَاقِهِ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ جَوَازُهُ.

Adapun penjaminan terhadap dārk (tanggung jawab atas cacat tersembunyi atau gugatan pihak ketiga) pada barang yang dijual sebelum terbukti hak milik orang lain atasnya, maka menurut mazhab Syafi‘i rahimahullah, hal itu diperbolehkan.

وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ ضَمَانُ الدَّرْكِ لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ ضَمَانُ مَالٍ قَبْلَ وُجُوبِهِ. وَهَذَا غَلَطٌ، بَلْ ضَمَانُهُ جَائِزٌ وَلَا يَكُونُ ضَامِنَ مَالٍ قَبْلَ وُجُوبِهِ. لِأَنَّهُ لَيْسَ يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ الْمَبِيعُ مُسْتَحَقًّا أَوْ مِلْكًا، فَإِنْ كَانَ مِلْكًا، فَالضَّمَانُ لَمْ يَجِبْ، وَإِنْ كَانَ مُسْتَحَقًّا فَقَدِ اسْتَحَقَّ ثَمَنُهُ بِالْقَبْضِ فَيَكُونُ مِنْ ضَمَانِ مَا قَدْ وَجَبَ.

Abu al-‘Abbas Ibn Surayj berkata, penjaminan dārk tidak diperbolehkan karena itu merupakan penjaminan atas harta sebelum kewajibannya ada. Ini adalah kekeliruan, bahkan penjaminannya diperbolehkan dan tidak termasuk penjaminan atas harta sebelum kewajibannya ada. Karena tidak lepas, barang yang dijual itu, antara memang hak milik atau bukan. Jika memang hak milik, maka penjaminan belum wajib. Jika ternyata memang hak orang lain, maka harga barang itu telah menjadi hak dengan diterimanya barang, sehingga penjaminan itu termasuk penjaminan atas sesuatu yang memang sudah wajib.

فَإِنْ قِيلَ: إذا جاز ضمان الدرك فهل لا جَازَ أَخْذُ الرَّهْنِ فِيهِ؟

Jika ada yang bertanya: Jika penjaminan dārk diperbolehkan, apakah tidak boleh juga mengambil rahn (barang jaminan) dalam hal ini?

قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Dijawab: Ada dua perbedaan antara keduanya:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ ضَمَانَ الدَّرْكِ وَاجِبٌ عَلَى الْبَائِعِ، فَجَازَ أَنْ يَضْمَنَهُ عَنْهُ أَجْنَبِيٌّ، وَدَفْعُ الرَّهْنِ غَيْرُ وَاجِبٍ عَلَى الْبَائِعِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَرْهَنَ عَنْهُ أَجْنَبِيٌّ.

Pertama: Penjaminan dārk adalah kewajiban penjual, sehingga boleh ada orang lain yang menjaminnya atas nama penjual. Sedangkan penyerahan rahn bukan kewajiban penjual, maka tidak boleh ada orang lain yang menyerahkan rahn atas nama penjual.

وَالثَّانِي: أَنَّ فِي أَخْذِ الرَّهْنِ إِضْرَارًا بِرَاهِنِهِ. إِذْ لَيْسَ يَعْلَمُ وَقْتَ اسْتِحْقَاقِهِ، وَلَيْسَ فِي الضَّمَانِ إِضْرَارٌ بضامنه فَجَازَ الضَّمَانُ لِزَوَالِ الضَّرَرِ فِيهِ وَلَمْ يَجُزِ الرَّهْنُ، لِحُصُولِ الضَّرَرِ فِيهِ.

Kedua: Dalam pengambilan rahn terdapat unsur merugikan pihak yang menyerahkan rahn, karena tidak diketahui kapan hak itu akan muncul. Sedangkan dalam penjaminan tidak ada unsur merugikan penjaminnya, sehingga penjaminan diperbolehkan karena tidak ada mudarat di dalamnya, sedangkan rahn tidak diperbolehkan karena terdapat mudarat di dalamnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا ضَمَانُ نَفَقَاتِ الزَّوْجَاتِ فَفِي جَوَازِهِ قَوْلَانِ:

Adapun penjaminan nafkah istri, terdapat dua pendapat mengenai kebolehannya:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ ضَمَانُهَا وَهَذَانِ الْقَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ: مَتَى تَجِبُ نَفَقَةُ الزَّوْجَةِ؟ فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ تَجِبُ بِالْعَقْدِ وَالتَّمْكِينِ. فَعَلَى هَذَا ضَمَانُهَا بَاطِلٌ لِأَنَّهُ ضَمَانُ مَا لَمْ يَجِبْ.

Pertama: Tidak boleh penjaminan nafkah istri. Kedua pendapat ini dibangun di atas perbedaan pendapat Imam Syafi‘i: Kapan nafkah istri menjadi wajib? Menurut pendapat barunya, nafkah menjadi wajib dengan akad dan penyerahan diri (istri kepada suami). Berdasarkan pendapat ini, penjaminan nafkah istri batal karena merupakan penjaminan atas sesuatu yang belum wajib.

وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ: تَجِبُ بِالْعَقْدِ جُمْلَةً، وَيُسْتَحَقُّ قَبْضُهَا بِالتَّمْكِينِ فَعَلَى هَذَا ضَمَانُهَا جَائِزٌ، لِأَنَّهُ ضَمَانُ مَا وَجَبَ وَفِي جَوَازِ أَخْذِ الرَّهْنِ بِهَا وَجْهَانِ:

Kedua: Yaitu pendapat lamanya, bahwa nafkah menjadi wajib dengan akad secara keseluruhan, dan hak untuk menerima nafkah itu didapatkan dengan penyerahan diri. Berdasarkan pendapat ini, penjaminan nafkah istri diperbolehkan karena merupakan penjaminan atas sesuatu yang sudah wajib. Dalam hal kebolehan mengambil rahn atas nafkah istri, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ الضمان.

Pertama: Penjaminan diperbolehkan.

والثاني: لا يجوز كالدرك.

Kedua: Tidak diperbolehkan seperti halnya dārk.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَجُوزُ ارْتِهَانُ الْحَاكِمِ وَوَلِيِّ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ لَهُ وَرَهْنُهُمَا عَلَيْهِ فِي النَّظَرِ لَهُ وَذَلِكَ أَنْ يبيعا ويفضلا ويرتهنا فأما أن يسلفا ويرتهنا فهما ضامنان لأنه لا فضل له في السلف يعني القرض ومن قلت لا يجوز ارتهانه إلا فيما يفضل من ولي ليتيم أو أب لابن طفل أو مكاتب أو عبد مأذون له في التجارة فلا يجوز له أن يرهن شيئا لأن الرهن أمانة والدين لازم (قال) فالرهن نقص عليهم فلا يجوز أن يرهنوا إلا حيث يجوز أن يودعوا أموالهم من الضرورة بالخوف إلى تحويل أموالهم أو ما أشبه ذلك “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Diperbolehkan hakim dan wali orang yang tidak cakap hukum untuk mengambil rahn untuknya dan menyerahkan rahn atas namanya dalam rangka kemaslahatan baginya. Yaitu, jika mereka menjual, membeli, dan mengambil rahn. Adapun jika mereka memberikan pinjaman dan mengambil rahn, maka keduanya menjadi penjamin karena tidak ada keutamaan dalam pinjaman, yaitu qardh (pinjaman uang). Barang siapa yang aku katakan tidak boleh mengambil rahn kecuali dalam kelebihan, seperti wali untuk anak yatim, ayah untuk anak kecil, atau muktāb (budak yang sedang menebus dirinya), atau budak yang diizinkan berdagang, maka tidak boleh baginya menyerahkan sesuatu sebagai rahn, karena rahn adalah amanah dan utang adalah kewajiban.” (Beliau berkata): “Rahn itu mengurangi hak mereka, maka tidak boleh mereka menyerahkan rahn kecuali dalam keadaan boleh menitipkan harta mereka karena darurat, seperti karena takut atau untuk memindahkan harta mereka, atau yang semisalnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيمَنْ يَرْهَنُ وَيَرْتَهِنُ لِنَفْسِهِ. فَأَمَّا الْمَوْلَى عَلَيْهِ لِصِغَرٍ أَوْ سَفَهٍ أَوْ جُنُونٍ فَلَا يَجُوزُ لَهُ التَّصَرُّفُ فِي مَالِهِ بِرَهْنٍ وَلَا ارْتِهَانٍ.

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya pembahasan tentang siapa yang boleh menyerahkan dan mengambil rahn untuk dirinya sendiri. Adapun orang yang berada di bawah perwalian karena masih kecil, bodoh, atau gila, maka tidak boleh baginya melakukan transaksi atas hartanya dengan rahn maupun mengambil rahn.

وَيَتَوَلَّى ذَلِكَ وَلِيُّهُ مِنْ أَبِيهِ أَوْ وَصِيٌّ لِلْوَرَثَةِ أَوْ أَمِينٌ حَاكِمٌ فَإِذَا أَرَادَ الْوَلِيُّ ذَلِكَ، فَالْحُكْمُ فِيهِ مُشْتَمِلٌ عَلَى فَصْلَيْنِ:

Yang melakukan hal itu adalah walinya, baik ayahnya, wasiat untuk ahli waris, atau orang yang dipercaya yang ditunjuk hakim. Jika wali ingin melakukan hal itu, maka hukumnya mencakup dua bagian:

أَحَدُهُمَا: فِي الِارْتِهَانِ لَهُ فِي ذِمَّتِهِ.

Pertama: Dalam hal mengambil rahn untuknya atas piutang yang menjadi haknya.

وَالثَّانِي: فِي الرَّهْنِ عَلَيْهِ فِي مَالِهِ.

Kedua: Dalam hal menyerahkan rahn atas hartanya.

فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ وَهُوَ الِارْتِهَانُ لَهُ فِي دَيْنٍ ثَبَتَ لَهُ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun bagian pertama, yaitu mengambil rahn untuknya atas utang yang telah tetap menjadi haknya, maka ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَرْتَهِنَ لَهُ فِي دَيْنٍ مُتَقَدِّمٍ قَدِ اسْتَقَرَّ فِي ذِمَّةِ مَنْ هُوَ عَلَيْهِ بِغَيْرِ رَهْنٍ فَيَأْخُذُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ رَهْنًا. فَهَذَا جَائِزٌ؛ لِأَنَّ أَخْذَ الرَّهْنِ فِي دَيْنٍ قَدِ اسْتَقَرَّ بِلَا رَهْنٍ زِيَادَةٌ وَثِيقَةٌ وَفَضْلٌ نُظِرَ.

Pertama: Mengambil rahn atas utang lama yang telah tetap menjadi tanggungan pihak yang berutang tanpa rahn sebelumnya, lalu wali mengambil rahn untuknya atas utang itu. Ini diperbolehkan, karena mengambil rahn atas utang yang telah tetap tanpa rahn sebelumnya adalah tambahan jaminan dan keutamaan dalam menjaga hak.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَرْتَهِنَ لَهُ فِي دَيْنٍ مُسْتَحْدَثٍ بِعَقْدٍ وَذَلِكَ فِي شَيْئَيْنِ:

Bentuk kedua: Mengambil rahn untuknya atas utang baru yang timbul dari akad, dan itu ada pada dua hal:

أَحَدُهُمَا: فِي شَيْءٍ يَبِيعُهُ مِنْ مَالِهِ.

Pertama: Dalam sesuatu yang dijual dari hartanya.

وَالثَّانِي: فِي شَيْءٍ يُقْرِضُهُ مِنْ مَالِهِ.

Kedua: Dalam sesuatu yang dipinjamkan dari hartanya.

فَأَمَّا الْبَيْعُ إِذَا كَانَ لِغِبْطَةٍ أَوْ حَاجَةٍ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun penjualan, jika dilakukan demi kemaslahatan atau kebutuhan, maka ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بِنَقْدٍ.

Pertama: Dengan pembayaran tunai.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بِنَسَاءٍ.

Kedua: Dengan pembayaran tangguh (tempo).

فَإِنْ كَانَ بِنَقْدٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَأْخُذَ عَلَيْهِ رَهْنًا لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُخْرِجَ الْمَبِيعَ مِنْ يَدِهِ إِلَّا بَعْدَ اسْتِيفَاءِ ثَمَنِهِ. فَلَا مَعْنَى لِأَخْذِ الرَّهْنِ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ ارْتِهَانَ الْمَبِيعِ عَلَى ثَمَنِهِ أَوْلَى مِنْ تَسْلِيمِهِ وَأَخْذِ رهن بثمنه.

Jika pembayaran dilakukan secara tunai, maka tidak boleh mengambil barang gadai atasnya, karena tidak diperbolehkan menyerahkan barang yang dijual dari tangan penjual kecuali setelah menerima seluruh harganya. Maka, tidak ada makna mengambil barang gadai atasnya; sebab menjadikan barang yang dijual sebagai jaminan atas harganya itu lebih utama daripada menyerahkannya dan mengambil barang gadai atas harganya.

وَإِنْ كَانَ الْبَيْعُ بِنَسَاءٍ فَصِحَّةُ الْبَيْعِ مَوْقُوفَةٌ عَلَى خَمْسَةِ شُرُوطٍ:

Dan jika jual beli dilakukan secara tempo, maka keabsahan jual beli tersebut bergantung pada lima syarat:

فَالشَّرْطُ الْأَوَّلُ: أَنْ يَكُونَ في الثمن فضل، وهو مثل أَنْ يَكُونَ ثَمَنُ السِّلْعَةِ الْمَبِيعَةِ نَقْدًا بِمِائَةٍ فَيَبِيعُهَا نَسِيئَةً بِمِائَةٍ وَخَمْسِينَ، فَيَكُونُ حَظُّ الْمَوْلَى عَلَيْهِ فِي النَّسِيئَةِ مَا حَصَلَ لَهُ مِنْ فَضْلِ الرِّبْحِ، وَأَمَّا أَنْ يَبِيعَهُ نَسِيئَةً بِالثَّمَنِ الَّذِي يُسَاوِي نَقْدًا وَهُوَ مِائَةُ دِرْهَمٍ، فَلَا يَجُوزُ، لِأَنَّهُ لَا حَظَّ فِي تَأْجِيلِ حَقٍّ يُقْدَرُ عَلَى تَعْجِيلِهِ.

Syarat pertama: Pada harga terdapat tambahan, yaitu misalnya harga barang yang dijual secara tunai adalah seratus, lalu dijual secara tempo seharga seratus lima puluh. Maka, keuntungan yang diperoleh majikan dari penjualan secara tempo adalah tambahan laba tersebut. Adapun jika ia menjualnya secara tempo dengan harga yang sama dengan harga tunai, yaitu seratus dirham, maka itu tidak diperbolehkan, karena tidak ada manfaat dalam menunda hak yang sebenarnya bisa disegerakan.

الشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْمُشْتَرِي ثِقَةً مُوسِرًا فَيَجْتَمِعُ فِيهِ الْوَصْفَانِ: الثِّقَةُ وَالْيَسَارُ، فَإِنْ لَمْ يَجْتَمِعَا فِيهِ لَمْ يَجُزْ، لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ مُعْسِرًا فَالْمَالُ تَائِهٌ وَإِنْ كان خائنا فالجحود مَخُوفٌ.

Syarat kedua: Pembeli haruslah orang yang terpercaya dan mampu, sehingga terkumpul pada dirinya dua sifat: kepercayaan dan kecukupan. Jika kedua sifat itu tidak ada padanya, maka tidak diperbolehkan, karena jika ia tidak mampu, maka harta akan hilang, dan jika ia pengkhianat, maka dikhawatirkan ia akan mengingkari.

وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الْأَجَلُ مُقْتَصِدًا غَيْرَ بَعِيدٍ وَلَا مُتَطَاوِلٍ؛ لِأَنَّ فِي بُعْدِ الْأَجَلِ وَتَطَاوُلِ الْمُدَّةِ تَغْرِيرًا بِالدَّيْنِ، وَإِضَاعَةً لِلْحَقِّ.

Syarat ketiga: Jangka waktu pembayaran harus sedang, tidak terlalu jauh dan tidak terlalu lama; karena dalam jangka waktu yang terlalu lama dan panjang terdapat unsur membahayakan utang dan menyia-nyiakan hak.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَحْدِيدِ الْأَجَلِ الَّذِي لَا يَجُوزُ لَهُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهِ: فَحَدَّهُ بَعْضُهُمْ بِالسَّنَةِ وَقَالَ: إِنْ كَانَ الْأَجَلُ زَائِدًا عَلَى السَّنَةِ لَمْ يَجُزْ. وَامْتَنَعَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا مِنْ تَحْدِيدِهِ بِالسَّنَةِ وَاعْتَبَرُوا فِيهِ عُرْفَ النَّاسِ وَشَاهِدَ الْحَالِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ قَدْ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ السِّلَعِ. وَتَبَايُنِ العادات فيها، فيجوز مَا لَمْ يَخْرُجْ عَنِ تَعَارُفِ النَّاسِ فِي آجَالِ تِلْكَ السِّلْعَةِ، وَمَنَعُوا مِنْهُ مَا خَرَجَ عن تعارف الناس من آجال تلك السلعة.

Para ulama kami berbeda pendapat dalam menentukan batas waktu yang tidak boleh dilebihi: sebagian mereka membatasinya dengan satu tahun dan berkata: Jika jangka waktunya lebih dari satu tahun, maka tidak diperbolehkan. Sedangkan mayoritas ulama kami menolak pembatasan dengan satu tahun dan mempertimbangkan kebiasaan masyarakat dan kondisi yang berlaku; karena hal itu bisa berbeda-beda tergantung jenis barang dan perbedaan adat kebiasaan dalam hal tersebut. Maka diperbolehkan selama tidak keluar dari kebiasaan masyarakat dalam jangka waktu pembayaran barang tersebut, dan tidak diperbolehkan jika keluar dari kebiasaan masyarakat mengenai jangka waktu pembayaran barang tersebut.

وَالشَّرْطُ الرَّابِعُ: أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ رَهْنًا لِيَكُونَ وَثِيقَةً فِي الْحَقِّ، فَلَا يُخْرِجُ مِنْ يَدِهِ لِلْمَوْلَى عَلَيْهِ مَالًا إِلَّا أَنْ يَأْخُذَ لَهُ عَلَيْهِ مَالًا. وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا يَأْخُذُ بِهِ رَهْنًا مِنَ الثَّمَنِ:

Syarat keempat: Penjual mengambil barang gadai dari pembeli sebagai jaminan atas haknya, sehingga ia tidak menyerahkan harta kepada majikan kecuali setelah mengambil jaminan atasnya. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai bagian harga mana yang dijadikan jaminan:

فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ: يَأْخُذُ الرَّهْنَ بِالْفَاضِلِ عَلَى ثَمَنِ النَّقْدِ. وَيَتَعَجَّلُ قَبْضَ ثَمَنِ السِّلْعَةِ نَقْدًا كَأَنَّهَا إِذَا كَانَتْ تساوي نقدا مائة نقدا وَنَسَاءً مِائَةً وَخَمْسِينَ، فَعَجَّلَ قَبْضَ الْمِائَةِ وَأَجَّلَ قَبْضَ الْخَمْسِينَ وَأَخَذَ مِنْهُ رَهْنًا بِهَا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُؤَجِّلَ جَمِيعَ الثَّمَنِ وَيَأْخُذَ مِنْهُ رَهْنًا بِهِ؛ لِأَنَّ فِيهِ تَغْرِيرًا بِمَالِهِ.

Abu Sa‘id al-Istakhri berkata: Penjual mengambil barang gadai atas kelebihan harga dari harga tunai, dan segera menerima harga tunai barang tersebut, misalnya jika harga tunai barang itu seratus, dan harga tempo seratus lima puluh, maka ia segera menerima seratus dan menunda penerimaan lima puluh serta mengambil barang gadai atasnya. Tidak diperbolehkan menunda seluruh harga dan mengambil barang gadai atas seluruhnya, karena di dalamnya terdapat unsur membahayakan hartanya.

وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَسَائِرُ أَصْحَابِنَا: يَأْخُذُ مِنْهُ رَهْنًا بِجَمِيعِ الثَّمَنِ وَيَكُونُ جَمِيعُهُ مُؤَجَّلًا لِأَنَّ الْوَلِيَّ لَوْ مُنِعَ مِنْ هَذَا حَتَّى يَقْبِضَ قِيمَةَ السِّلْعَةِ نَقْدًا وَيُؤَجِّلَ الْبَاقِيَ وَيَأْخُذَ بِهِ رَهْنًا لَكَانَ ذَلِكَ مُتَعَذَّرًا بَلْ لَا أَحْسَبُهُ فِي الْغَالِبِ مُمْكِنًا، وَلَا أَظُنُّ عَاقِلًا يَفْعَلُهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ مُضْطَرًّا.

Abu Ishaq al-Marwazi, Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, dan mayoritas ulama kami berkata: Penjual boleh mengambil barang gadai atas seluruh harga dan seluruhnya boleh ditunda, karena jika wali (penjual) dilarang melakukan hal ini hingga ia menerima nilai barang secara tunai dan menunda sisanya serta mengambil barang gadai atasnya, maka hal itu akan sulit dilakukan, bahkan saya kira pada umumnya tidak mungkin, dan saya tidak mengira ada orang berakal yang melakukannya kecuali dalam keadaan terpaksa.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَأْخُذَ بِجَمِيعِ الثَّمَنِ رَهْنًا فَيَحْتَاجُ أَنْ يَكُونَ الرَّهْنُ يُقَيَّمُ بِجَمِيعِ الثَّمَنِ وَيَزِيدُ عَلَيْهِ، فَإِنْ كَانَ يَعْجِزُ عَنْ جَمِيعِ الثَّمَنِ لَمْ يَجُزْ.

Jika telah tetap bahwa boleh mengambil barang gadai atas seluruh harga, maka barang gadai tersebut harus senilai dengan seluruh harga atau lebih. Jika tidak mampu menutupi seluruh harga, maka tidak diperbolehkan.

وَالشَّرْطُ الْخَامِسُ: أَنْ يَشْهَدَ عَلَى الْمُشْتَرِي لِتَكُونَ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ بِذَلِكَ خَوْفًا أَنْ يَصِيرَ إِلَى حَالَةٍ يَحْتَاجُ فِيهَا إِلَى إِقَامَةِ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ، لِأَنَّ ذَلِكَ أَبْلَغُ فِي الِاحْتِيَاطِ، وَأَوْكَدُ فِي التَّوَثُّقِ.

Syarat kelima: Penjual harus menghadirkan saksi atas pembeli agar ada bukti atasnya, karena dikhawatirkan suatu saat ia membutuhkan bukti tersebut. Hal ini lebih utama dalam kehati-hatian dan lebih kuat dalam penjaminan hak.

فَهَذِهِ خَمْسَةُ شُرُوطٍ عَلَى الْمَوْلَى أَنْ يَفْعَلَهَا فِي مَالِ الْوَلِيِّ عَلَيْهِ لِيَصِحَّ الْبَيْعُ وَالرَّهْنُ فَإِنْ أَخَلَّ بِشَرْطٍ مِنْهَا نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ وَاحِدًا مِنَ الشُّرُوطِ الْأَرْبَعَةِ دُونَ الشَّهَادَةِ بَطَلَ الْبَيْعُ وَالرَّهْنُ، وَإِنْ أَخَلَّ بِالشَّهَادَةِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Ini adalah lima syarat yang wajib dipenuhi oleh wali dalam mengelola harta orang yang berada di bawah perwaliannya agar jual beli dan rahn (gadai) menjadi sah. Jika salah satu syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perlu diperhatikan: jika yang ditinggalkan adalah salah satu dari empat syarat selain persaksian, maka jual beli dan rahn menjadi batal. Namun jika yang ditinggalkan adalah persaksian, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَبْطُلُ الْبَيْعُ وَالرَّهْنُ، كَالشُّرُوطِ الْأَرْبَعَةِ.

Pertama: jual beli dan rahn menjadi batal, sebagaimana empat syarat lainnya.

وَالثَّانِي: لَا يَبْطُلُ. وَتَكُونُ الشَّهَادَةُ تَأْكِيدًا؛ لِأَنَّهَا تُرَادُ لِلِاسْتِيثَاقِ، وَالرَّهْنُ أَقْوَى اسْتِيثَاقًا مِنْهَا، وَلَمْ يَفْتَقِرِ الْوَلِيُّ إِلَيْهَا. فَهَذَا الْحُكْمُ فِي بَيْعِ مَالِهِ وَأَخْذِ رَهْنٍ بِهِ.

Kedua: tidak batal. Persaksian hanya sebagai penguat, karena persaksian dimaksudkan untuk memperkuat (keamanan transaksi), sedangkan rahn lebih kuat dalam hal keamanan daripada persaksian, dan wali tidak membutuhkan persaksian tersebut. Inilah hukum terkait jual beli harta orang yang berada di bawah perwalian dan pengambilan rahn atasnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا قَرْضُ ماله وأخذ رهن بِهِ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun meminjamkan (memberikan pinjaman) harta orang yang berada di bawah perwalian dan mengambil rahn atasnya, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الزَّمَانُ آمِنًا، وَالسُّلْطَانُ عَادِلًا لَا يُخَافُ عَلَى الْمَالِ التَّلَفُ. وَلَا يُخْشَى عَلَيْهِ الْهَلَاكُ. فَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُقْرِضَهُ؛ لِأَنَّ فِي إِقْرَاضِهِ والحالة هذه عدم حظ وقل نَظَرٍ، فَإِنْ أَقْرَضَهُ كَانَ ضَامِنًا.

Pertama: jika keadaan aman dan penguasa adil, tidak dikhawatirkan harta tersebut rusak atau hilang, maka tidak boleh bagi wali untuk meminjamkannya. Karena dalam meminjamkan harta dalam kondisi seperti ini tidak ada maslahat dan kurang pertimbangan. Jika tetap meminjamkannya, maka wali menjadi penjamin (bertanggung jawab atas kerugian).

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الزَّمَانُ مَخُوفًا وَالسُّلْطَانُ جَائِرًا يُخَافُ عَلَى الْمَالِ التَّلَفُ، وَيُخْشَى عَلَيْهِ الْهَلَاكُ فَفِي جَوَازِ قَرْضِهِ وَجْهَانِ.

Kedua: jika keadaan menakutkan dan penguasa zalim sehingga dikhawatirkan harta tersebut rusak atau hilang, maka dalam kebolehan meminjamkannya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّ تَرْكَ الْمَالِ وَإِنْ كَانَ مَخُوفًا فَالْقَرْضُ مَخُوفٌ. فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَعَجَّلَ أَحَدَ الْخَوْفَيْنِ.

Pertama: tidak boleh, karena meninggalkan harta meskipun dalam keadaan menakutkan, meminjamkannya juga menakutkan. Maka tidak boleh memilih salah satu dari dua risiko tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ وَهُوَ الصَّحِيحُ؛ لِأَنَّ قَرْضَهُ أَقَلُّ غَرَرًا وَتَرْكَهُ أَكْثَرُ خَوْفًا. فَعَلَى هَذَا يُعْتَبَرُ فِي صِحَّةِ هَذَا الْقَرْضِ ثَلَاثَةُ شُرُوطٍ:

Pendapat kedua: hal itu boleh dan ini yang benar, karena meminjamkannya lebih sedikit mengandung risiko, sedangkan membiarkannya lebih besar risikonya. Maka, dalam keabsahan pinjaman ini disyaratkan tiga hal:

فَالشَّرْطُ الْأَوَّلُ: أَنْ يُقْرِضَهُ لِرَجُلٍ ثِقَةٍ مليء بِحَيْثُ لَوْ أَرَادَ أَنْ يُودِعَهُ مَالَ الْمَوْلَى إليه كَانَ أَهْلًا لِذَلِكَ. فَإِنْ أَقْرَضَهُ غَيْرَ ثِقَةٍ، أو كان ثقة غير مليء لَمْ يَجُزْ لِمَا فِيهِ مِنْ تَغْرِيرِ الْمَالِ.

Syarat pertama: meminjamkannya kepada orang yang terpercaya dan mampu membayar, sehingga jika wali ingin menitipkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya kepadanya, ia layak untuk itu. Jika meminjamkannya kepada orang yang tidak terpercaya, atau terpercaya tetapi tidak mampu membayar, maka tidak boleh karena mengandung unsur membahayakan harta.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ رَهْنًا بِذَلِكَ لِيَكُونَ وَثِيقَةً بِالدَّيْنِ الَّذِي حَصَلَ عَلَيْهِ. وَيَكُونُ فِي الرَّهْنِ وَفَاءً بِالْمَالِ، فَإِنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْهُ رَهْنًا أَوْ أَخَذَ مِنْهُ رَهْنًا لَيْسَ فِيهِ وَفَاءٌ لَمْ يَجُزْ.

Syarat kedua: mengambil rahn darinya sebagai jaminan atas utang yang diberikan, dan rahn tersebut dapat menutupi nilai harta yang dipinjamkan. Jika tidak mengambil rahn atau mengambil rahn yang nilainya tidak mencukupi, maka tidak boleh.

وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَجُوزُ أَلَّا يَأْخُذَ عَلَى الْقَرْضِ رَهْنًا بِخِلَافِ الْبَيْعِ؟ لِأَنَّ الْقَرْضَ إِنَّمَا يَجُوزُ عِنْدَ الْخَوْفِ عَلَى الْمَالِ، فَلَمَّا جَازَ أَنْ يَخْرُجَ الْمَالُ مِنْ يَدِهِ خَوْفًا عَلَيْهِ، جَازَ أَلَّا يَأْخُذَ رَهْنًا تَخَوُّفًا عَلَيْهِ. وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ الْمَالَ إِنْ تَلِفَ كَانَ مِنْ ضَمَانِ الْمُوَلَّى عَلَيْهِ، فَجَازَ أَنْ يُخْرِجَهُ مِنْ يَدِهِ. وَلَيْسَ الرَّهْنُ إِنْ تَلِفَ مِنْ ضَمَانِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُخْرِجَهُ مِنْ يَدِهِ.

Sebagian ulama kami berpendapat boleh tidak mengambil rahn atas pinjaman, berbeda dengan jual beli. Karena pinjaman hanya boleh dilakukan saat ada kekhawatiran atas harta, sehingga ketika boleh mengeluarkan harta dari tangan wali karena kekhawatiran, maka boleh juga tidak mengambil rahn karena kekhawatiran tersebut. Namun pendapat ini tidak benar, karena jika harta itu rusak, maka menjadi tanggungan orang yang berada di bawah perwalian, sehingga boleh mengeluarkannya dari tangannya. Sedangkan rahn, jika rusak, bukan menjadi tanggungannya, maka tidak boleh mengeluarkannya dari tangannya.

وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ: أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْهِ لِيَكُونَ أَبْلَغَ فِي الِاسْتِيثَاقِ مِنْهُ. فَإِنْ لَمْ يَشْهَدْ عَلَيْهِ، فَعَلَى الْوَجْهَيْنِ الْمَاضِيَيْنِ.

Syarat ketiga: menghadirkan saksi atas pinjaman tersebut agar lebih kuat dalam menjaga keamanan transaksi. Jika tidak menghadirkan saksi, maka kembali kepada dua pendapat sebelumnya.

فَهَذَا الْكَلَامُ فِي الِارْتِهَانِ لَهُ فِي دَيْنِهِ.

Inilah pembahasan mengenai pengambilan rahn untuknya dalam utangnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الرَّهْنُ عَلَيْهِ مِنْ مَالِهِ فِيمَا يَثْبُتُ عَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun rahn yang diberikan dari harta orang yang berada di bawah perwalian untuk menjamin utang yang dibebankan kepadanya, maka terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ فِي دَيْنٍ مُتَقَدِّمٍ.

Pertama: rahn tersebut untuk utang yang sudah ada sebelumnya.

وَالثَّانِي: أَنْ يكون في دين مستحدث.

Kedua: rahn tersebut untuk utang yang baru muncul.

فأما إن كَانَ الدَّيْنُ مُتَقَدِّمًا فَقَدِ اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ بِغَيْرِ رَهْنٍ. فَلَا يَجُوزُ لِلْوَلِيِّ أَنْ يَسْتَأْنِفَ إِعْطَاءَ رَهْنٍ مِنْ مَالِهِ فِي ذَلِكَ الدَّيْنِ، لِأَنَّهُ يَتَطَوَّعُ فِي مَالِهِ. بِإِخْرَاجِ مَا لَا يَجِبُ عَلَيْهِ.

Jika utang tersebut sudah ada sebelumnya, maka utang itu telah tetap menjadi tanggungannya tanpa rahn. Maka tidak boleh bagi wali untuk memberikan rahn dari hartanya untuk utang tersebut, karena berarti ia melakukan tindakan sukarela dengan mengeluarkan sesuatu yang tidak wajib atasnya.

وَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ مُسْتَحْدَثًا عَنْ عَقْدٍ فَشَيْئَانِ: ابْتِيَاعٌ وَاقْتِرَاضٌ.

Jika utang tersebut baru muncul dari suatu akad, maka ada dua kemungkinan: pembelian dan peminjaman.

فَأَمَّا الِابْتِيَاعُ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُحْتَاجًا إِلَى شِرَاءِ مَا ابْتَاعَهُ لَهُ كَانَ بَاطِلًا، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْطِيَ عَلَيْهِ رَهْنًا. وَإِنْ كَانَ مُحْتَاجًا إِلَى شِرَاءِ مَا ابْتَاعَهُ لَهُ أَوْ كَانَ فِيهِ حَظٌّ لَهُ.

Adapun pembelian: jika tidak ada kebutuhan untuk membeli barang yang dibelikan untuknya, maka akadnya batal dan tidak boleh memberikan rahn atasnya. Namun jika ada kebutuhan untuk membeli barang tersebut atau terdapat maslahat baginya,

فإن كان واجدا لثمنه ابتاعه نَقْدًا وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَبْتَاعَهُ نَسَاءً لِأَمْرَيْنِ:

Jika ia memiliki uang untuk membelinya, maka ia membelinya secara tunai dan tidak boleh membelinya secara kredit karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ فِي ابْتِيَاعِهِ بِالنَّقْدِ تَوْفِيرًا عَلَيْهِ.

Pertama: Karena membeli secara tunai lebih menguntungkan baginya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ رُبَّمَا تَلِفَ الْمَالُ وَكَانَ الثَّمَنُ بَاقِيًا عَلَيْهِ، فَإِذَا ابْتَاعَهُ بِالنَّقْدِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْطِيَ بِالثَّمَنِ رَهْنًا لِأَمْرَيْنِ:

Kedua: Bisa jadi harta itu rusak sementara harga (utang) masih menjadi tanggungannya. Jika ia membelinya secara tunai, maka tidak boleh memberikan barang sebagai jaminan atas harga tersebut karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَرْهَنَ مَعَ الثَّمَنِ خَوْفًا مِنْ تَلَفِ الْمَالِ.

Pertama: Tidak boleh memberikan jaminan bersama harga karena khawatir hartanya rusak.

وَالثَّانِي: أَنَّ الرَّهْنَ أَمَانَةٌ، فَلَمْ يُؤْمَنْ تَلَفُ الرَّهْنِ مِنْ مَالِهِ، وَيَبْقَى عَلَيْهِ الثَّمَنُ.

Kedua: Jaminan (rahn) adalah amanah, sehingga tidak terjamin dari kerusakan jaminan dari hartanya, dan harga tetap menjadi tanggungannya.

فَهَذَا حُكْمُ مَا ابْتَاعَهُ لَهُ بِالنَّقْدِ وَذَلِكَ يَجُوزُ فِي مَوْضِعَيْنِ:

Inilah hukum barang yang dibelikan untuknya secara tunai, dan hal itu boleh dalam dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُحْتَاجًا إِلَيْهِ كَدَارٍ يَسْكُنُهَا، أَوْ جَارِيَةٍ يستخدمها أو ثوب يلبسه أو طعام يأكله.

Pertama: Jika ia membutuhkannya, seperti rumah untuk ditempati, budak perempuan untuk digunakan, pakaian untuk dipakai, atau makanan untuk dimakan.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ لَهُ فِيهِ حَظٌّ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُحْتَاجًا إِلَيْهِ، كَالْأَمْتِعَةِ لِلتِّجَارَةِ، وَالْعَقَارَاتِ الْمُسْتَصْلَحَةِ.

Kedua: Jika ia memiliki kepentingan terhadap barang itu meskipun tidak membutuhkannya, seperti barang dagangan untuk perdagangan, atau properti yang diperbaiki.

وَأَمَّا أَنْ يَكُونَ عَادِمًا لِلثَّمَنِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَبْتَاعَ لَهُ شَيْئًا بِالنَّسِيئَةِ إِلَّا فِي مَوْضِعٍ وَاحِدٍ، وَهُوَ أَنْ يَكُونَ مُحْتَاجًا إلى مالا يُسْتَغْنَى عَنْهُ مِنْ مَأْكُولٍ، أَوْ لِبَاسٍ، أَوْ مَا فِي مَعْنَاهُ مِمَّا لَا يَجِدُ بُدًّا مِنْهُ. فَحِينَئِذٍ يَجُوزُ أَنْ يَبْتَاعَ بِالنَّسِيئَةِ إِذَا لَمْ يَجِدْ فِي مَالِهِ مَا يَبْتَاعُهُ لَهُ بِالنَّقْدِ. فَإِنْ وُجِدَ مَنْ يَبْتَاعُ مِنْهُ بِالنَّسَاءِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُعْطِيَهُ بِذَلِكَ رَهْنًا فَعَلَ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْطِيَهُ رَهْنًا بِهِ، فَإِنْ أَعْطَاهُ رَهْنًا بِهِ كَانَ ضَامِنًا لَهُ، وَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَنْ يَبِيعُهُ بِالنَّسَاءِ إِلَّا أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ رَهْنًا جَازَ حِينَئِذٍ أَنْ يُعْطِيَهُ رَهْنًا بِقَدْرِ الدَّيْنِ فَمَا دُونَ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهُ أَزْيَدَ قِيمَةً مِنْ قَدْرِ الدَّيْنِ.

Adapun jika ia tidak memiliki uang, maka tidak boleh membelikan sesuatu untuknya secara kredit kecuali dalam satu keadaan, yaitu jika ia membutuhkan sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan seperti makanan, pakaian, atau yang semakna dengannya yang tidak bisa ia tinggalkan. Saat itu, boleh membelikan secara kredit jika ia tidak menemukan harta untuk membelikannya secara tunai. Jika ada orang yang mau menjual kepadanya secara kredit tanpa meminta jaminan, maka boleh dilakukan, dan tidak boleh memberikan jaminan atasnya. Jika ia memberikan jaminan, maka ia menjadi penanggungnya. Jika tidak ada yang mau menjual secara kredit kecuali dengan jaminan, maka boleh memberikan jaminan sebesar utang atau kurang dari itu, dan tidak boleh memberikan jaminan dengan nilai lebih dari utang.

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ الرَّهْنُ الَّذِي يُعْطِيهِ مِمَّا يَقِلُّ الْخَوْفُ عَلَيْهِ، كَالْأَرَضِينَ وَالْعَقَارَاتِ دُونَ الْعُرُوضِ وَالسِّلَعِ، فَإِذَا أَعْطَاهُ بِذَلِكَ رَهْنًا اعْتُبِرَتْ حَالُ الْبَائِعِ الْمُرْتَهِنِ، فَإِنْ كَانَ ثِقَةً أَمِينًا جَازَ أَنْ يَكُونَ الرَّهْنُ مَوْضُوعًا فِي يَدِهِ. وَإِنْ كَانَ غَيْرَ أَمِينٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُوضَعَ الرَّهْنُ عَلَى يَدَيْهِ، خَوْفًا أَنْ يَدَّعِيَ هَلَاكَهُ وَيُطَالِبَ بِدَيْنِهِ، وَوَضَعَ الرَّهْنَ عَلَى يَدَيْ عَدْلٍ ثِقَةٍ.

Disunnahkan agar jaminan yang diberikan adalah sesuatu yang kecil kemungkinan rusaknya, seperti tanah dan properti, bukan barang dagangan dan komoditas. Jika ia memberikan jaminan, maka keadaan penjual yang menerima jaminan diperhatikan. Jika penjual itu terpercaya dan amanah, maka boleh jaminan itu berada di tangannya. Jika tidak amanah, maka tidak boleh jaminan itu berada di tangannya karena dikhawatirkan ia mengaku barang itu rusak dan menuntut utangnya, sehingga jaminan diletakkan di tangan orang adil yang terpercaya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَأَمَّا الِاقْتِرَاضُ لَهُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِهِ حَاجَةٌ إِلَيْهِ، لَمْ يَجُزْ أَنْ يَقْتَرِضَ لَهُ فَإِنْ فَعَلَ كَانَ ضَمَانُ الْقَرْضِ عَلَيْهِ. وَإِنْ كَانَ مُحْتَاجًا إِلَى الْقَرْضِ إِمَّا لِلْإِنْفَاقِ عَلَيْهِ، أَوْ لِلْإِنْفَاقِ عَلَى مَالِهِ فِي عمارة ما خرب من ضياعه ومرماه ما استهدم من عقاره وليس ينص شَيْءٌ مِنْ مَالِهِ، جَازَ حِينَئِذٍ أَنْ يَقْتَرِضَ لَهُ حَسَبَ حَاجَتِهِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ.

Adapun meminjamkan (uang) untuknya, jika ia tidak membutuhkannya, maka tidak boleh meminjamkan untuknya. Jika dilakukan, maka tanggungan utang ada padanya. Jika ia membutuhkan pinjaman, baik untuk kebutuhan hidupnya atau untuk membiayai hartanya seperti memperbaiki tanah yang rusak atau memperbaiki properti yang roboh dan tidak ada bagian dari hartanya yang bisa digunakan, maka saat itu boleh meminjamkan untuknya sesuai kebutuhannya tanpa berlebihan.

فَإِنْ أَمْكَنَ أَلَّا يُعْطِيَ عَلَى ذَلِكَ رَهْنًا، لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَطَوَّعَ بِإِعْطَاءِ رَهْنٍ، وَإِنْ لَمْ يمكن الِاقْتِرَاضُ لَهُ إِلَّا بِرَهْنٍ جَازَ أَنْ يُعْطِيَ مِنْ مَالِهِ رَهْنًا لَا يَزِيدُ عَلَى قَدْرِ الْقَرْضِ، وَيُوضَعُ عَلَى يَدَيِ الْمُقْرِضِ إِنْ كَانَ عَدْلًا أَوْ عَلَى يَدَيْ عَدْلٍ إِنْ لَمْ يَكُنِ الْمُقْرِضُ عَدْلًا، فَإِنْ وَضَعَهُ عَلَى يَدِ الْمُقْرِضِ وَلَيْسَ بِعَدْلٍ كَانَ الْوَلِيُّ ضَامِنًا لَهُ.

Jika memungkinkan untuk tidak memberikan jaminan atas pinjaman itu, maka tidak boleh secara sukarela memberikan jaminan. Jika tidak memungkinkan meminjamkan untuknya kecuali dengan jaminan, maka boleh memberikan jaminan dari hartanya yang nilainya tidak melebihi jumlah pinjaman, dan jaminan itu diletakkan di tangan pemberi pinjaman jika ia orang adil, atau di tangan orang adil jika pemberi pinjaman bukan orang adil. Jika jaminan diletakkan di tangan pemberi pinjaman yang bukan orang adil, maka wali menjadi penanggungnya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَأَمَّا الْمُكَاتَبُ فِي رَهْنِهِ وَارْتِهَانِهِ، فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَرْهَنَ شَيْئًا مِنْ مَالِهِ كَانَ حُكْمُهُ حُكْمَ وَلِيِّ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْهَنَ شَيْئًا مِنْ مَالِ الْمُوَلَّى عَلَيْهِ، لَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ، فَيَكُونُ الْحُكْمُ فِيهِ عَلَى مَا مَضَى سَوَاءٌ.

Adapun tentang mukatab dalam hal memberikan dan menerima jaminan, jika ia ingin menggadaikan sesuatu dari hartanya, maka hukumnya sama dengan wali atas orang yang tidak cakap hukum jika ingin menggadaikan sesuatu dari harta orang yang diwalikannya. Para ulama kami tidak berbeda pendapat dalam hal ini, sehingga hukumnya sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

فَأَمَّا إِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْتَهِنَ شَيْئًا مِنْ مَالِ الْمُوَلَّى عَلَيْهِ عَلَى دَيْنٍ لَهُ فَإِنْ كَانَ دَيْنًا قَدِ اسْتَقَرَّ فِي ذِمَّةِ مَنْ هُوَ عَلَيْهِ بِغَيْرِ رَهْنٍ جَازَ؛ لِأَنَّ فِي أَخْذِ رَهْنٍ عَلَيْهِ زِيَادَةٌ وَثِيقَةٌ فِيهِ.

Adapun jika ia ingin mengambil barang milik orang yang berada di bawah perwaliannya sebagai jaminan atas utang yang dimilikinya, maka jika utang tersebut sudah tetap menjadi tanggungan pihak yang berutang tanpa jaminan sebelumnya, maka hal itu diperbolehkan; karena dengan mengambil jaminan atas utang tersebut berarti menambah kekuatan dan kepastian dalam pelunasan utang itu.

وَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَرْتَهِنَ فِي دَيْنٍ مُسْتَحْدَثٍ فَإِنْ كَانَ قَرْضًا كَانَ وَلِيُّ الْمَحْجُورُ عَلَيْهِ عَلَى مَا مَضَى وَإِنْ كَانَ بَيْعًا فَإِنْ كَانَ نَقْدًا لَمْ يَجُزْ وَكَانَ الْمَبِيعُ نَفْسُهُ رَهْنًا، وَإِنْ كَانَ نَسَاءً فَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يَبِيعَ بِالنَّسَاءِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Dan jika ia ingin mengambil jaminan atas utang yang baru terjadi, maka jika utang itu berupa pinjaman (qardh), maka wali dari orang yang dibatasi haknya (mahjur ‘alaih) berlaku sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun jika berupa jual beli, maka jika pembayarannya tunai, tidak diperbolehkan dan barang yang dijual itu sendiri menjadi jaminan. Jika pembayarannya secara tempo (nasā’), maka apakah boleh melakukan jual beli secara tempo atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ كَوَلِيِّ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ فِي أَخْذِ الرَّهْنِ فِيهِ.

Pertama: Boleh. Maka berdasarkan pendapat ini, wali dari orang yang dibatasi haknya boleh mengambil jaminan dalam transaksi tersebut.

وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَأْخُذَ رَهْنًا عَلَيْهِ لِفَسَادِ الْبَيْعِ.

Kedua: Tidak boleh. Maka berdasarkan pendapat ini, tidak boleh mengambil jaminan atasnya karena jual belinya tidak sah.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْعَبْدُ الْمَأْذُونُ لَهُ فِي التِّجَارَةِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَرْهَنَ شَيْئًا مِمَّا فِي يَدِهِ إِلَّا بِإِذْنِ سَيِّدِهِ.

Adapun budak yang diizinkan berdagang, maka tidak boleh menggadaikan sesuatu pun dari harta yang ada di tangannya kecuali dengan izin tuannya.

فَأَمَّا إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْخُذَ رَهْنًا عَلَى ثَمَنٍ مَبِيعٍ، فَإِنْ كَانَ الثَّمَنُ نَقْدًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُخْرِجَهُ مِنْ يَدِهِ وَيَأْخُذَ رَهْنًا بِهِ.

Adapun jika ia ingin mengambil jaminan atas harga barang yang dijualnya, maka jika harganya dibayar tunai, tidak boleh ia mengeluarkan barang itu dari tangannya dan mengambil jaminan atasnya.

وَإِنْ كَانَ الثَّمَنُ نَسَاءً لَمْ يَخْلُ حَالُ إِذْنِ السَّيِّدِ لَهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Dan jika harganya dibayar secara tempo, maka izin tuan kepadanya tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي بَيْعِ النَّقْدِ لَا غَيْرَ. فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَبِيعَ بِالنَّسَاءِ، وَإِنْ بَاعَ نَسَاءً كَانَ بَاطِلًا سَوَاءٌ أَخَذَ عَلَيْهِ رَهْنًا أَمْ لَا.

Pertama: Tuannya mengizinkan ia menjual secara tunai saja, tidak selain itu. Maka tidak boleh ia menjual secara tempo, dan jika ia menjual secara tempo, maka jual belinya batal, baik ia mengambil jaminan atasnya atau tidak.

وَالثَّانِي: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي الْبَيْعِ نَسَاءً، فَيَجُوزُ لِلْعَبْدِ أَنْ يَأْخُذَ عَلَى الثَّمَنِ رَهْنًا سَوَاءٌ أَذِنَ لَهُ السَّيِّدُ فِي أَخْذِهِ أَمْ لَا مَا لَمْ يَنْهَهُ عَنْهُ وَلِأَنَّ أَخْذَ الرَّهْنِ فِيهِ زِيَادَةُ احْتِيَاطٍ لِلسَّيِّدِ.

Kedua: Tuannya mengizinkan ia menjual secara tempo, maka budak tersebut boleh mengambil jaminan atas harga barang, baik tuannya mengizinkan ia mengambil jaminan atau tidak, selama tuannya tidak melarangnya. Karena mengambil jaminan dalam hal ini merupakan tambahan kehati-hatian bagi tuannya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ إِذْنًا مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَشْتَرِطَ فِيهِ النَّقْدَ، وَلَا يَأْذَنَ لَهُ فِيهِ بِالنَّسَاءِ.

Ketiga: Tuannya memberikan izin secara mutlak tanpa mensyaratkan pembayaran tunai, dan tidak pula mengizinkan secara khusus pembayaran tempo.

فَهَذَا الْإِطْلَاقُ يَقْتَضِي بَيْعَ النَّقْدِ، لِأَنَّ إِطْلَاقَ الْإِذْنِ يَقْتَضِي تَعْجِيلَ الْعِوَضِ فَعَلَى هَذَا: إِنْ بَاعَ بِالنَّسَاءِ لَمْ يَجُزْ وَكَانَ بَاطِلًا، سَوَاءٌ أَخَذَ عَلَيْهِ رَهْنًا أَمْ لَا.

Maka izin secara mutlak ini menunjukkan bolehnya menjual secara tunai, karena izin mutlak menuntut adanya percepatan imbalan. Berdasarkan hal ini: jika ia menjual secara tempo, maka tidak boleh dan jual belinya batal, baik ia mengambil jaminan atasnya atau tidak.

وَإِذَا أَخَذَ الْعَبْدُ الْمَأْذُونُ لَهُ رَهْنًا فِيمَا بَاعَهُ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي بَيَّنَّا فَقَالَ الْعَبْدُ: قَدْ فَسَخْتُ الرَّهْنَ لَمْ ينفسخ، ولأنه وَثِيقَةٌ لِسَيِّدِهِ، فَلَمْ يَنْفَسِخْ بِقَوْلِهِ، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ السَّيِّدُ: قَدْ فَسَخْتُهُ. انْفَسَخَ لِأَنَّهُ وَثِيقَةٌ لَهُ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ عَلَى الْعَبْدِ دُيُونٌ فَلَا يَنْفَسِخُ الرَّهْنُ بِفَسْخِ السَّيِّدِ لِأَنَّ دُيُونَ الْمَأْذُونِ لَهُ فِي التِّجَارَةِ مُتَعَلِّقَةٌ بِمَا فِي يَدِهِ، فَلَمْ يَكُنْ لِلسَّيِّدِ أَنْ يُبْطِلَ حُقُوقَ أَرْبَابِ الدُّيُونِ مِنَ الرَّهْنِ، وَالِاسْتِيثَاقِ بِهِ.

Jika budak yang diizinkan berdagang mengambil jaminan dalam transaksi jual beli sebagaimana yang telah dijelaskan, lalu budak itu berkata, “Aku telah membatalkan jaminan ini,” maka jaminan itu tidak batal; karena jaminan tersebut adalah bentuk penguatan bagi tuannya, sehingga tidak batal hanya dengan ucapannya. Namun, jika tuannya berkata, “Aku telah membatalkannya,” maka jaminan itu batal, karena jaminan itu adalah hak tuannya. Kecuali jika budak tersebut memiliki utang, maka jaminan itu tidak batal dengan pembatalan tuan, karena utang budak yang diizinkan berdagang terkait dengan harta yang ada di tangannya, sehingga tuan tidak berhak membatalkan hak para kreditur dari jaminan dan penguatan tersebut.

فَأَمَّا الْمُكَاتَبُ إِذَا أَخَذَ رَهْنًا عَلَى الْوَجْهِ الْجَائِزِ، فَقَالَ السَّيِّدُ: قَدْ فَسَخْتُهُ، لَمْ يَنْفَسِخْ، لِأَنَّ تَصَرُّفَ السَّيِّدِ فِي مَالِ الْمُكَاتَبِ غَيْرُ نَافِذٍ، وَحَالُهُ مَعَهُ كَحَالِهِ مَعَ الْأَجَانِبِ فِي الْمُعَامَلَاتِ. أَلَا تَرَى أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَرْتَهِنَ مِنْ سَيِّدِهِ، وَيَرْهَنَ عِنْدَ سَيِّدِهِ؟ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْعَبْدُ المأذون له في التجارة.

Adapun mukatab (budak yang sedang menebus dirinya) jika mengambil jaminan dengan cara yang sah, lalu tuannya berkata, “Aku telah membatalkannya,” maka jaminan itu tidak batal, karena tindakan tuan terhadap harta mukatab tidak berlaku, dan kedudukan tuan terhadap mukatab dalam muamalah seperti kedudukan orang lain (asing). Bukankah engkau melihat bahwa mukatab boleh mengambil jaminan dari tuannya, dan menggadaikan barang kepada tuannya? Tidak demikian halnya dengan budak yang diizinkan berdagang.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَ لِابْنِهِ الطِّفْلِ عَلَيْهِ حَقٌّ جَازَ أَنْ يَرْتَهِنَ لَهُ شَيْئًا مِنْ نَفْسِهِ لِأَنَّهُ يَقُومُ مَقَامَهُ فِي الْقَبْضِ لَهُ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seorang anak kecil memiliki hak atas ayahnya, maka boleh bagi ayahnya mengambilkan jaminan untuknya dari hartanya sendiri, karena ayah bertindak sebagai wakil anak dalam menerima hak tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا كَانَ وَلِيُّ الطِّفْلِ أَبًا أَوْ جَدًّا، فَهُوَ يَسْتَحِقُّ الْوِلَايَةَ عَلَيْهِ بِنَفْسِهِ لِفَضْلِ حُنُوِّهِ وَكَثْرَةِ نَفَقَتِهِ، وَانْتِفَاءِ التُّهْمَةِ عنه في تصرفه، أَلَا تَرَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَصَفَ حَالَهُ مَعَ وَلَدِهِ فَقَالَ: الْوَلَدُ مَجْبَنَةٌ مَحْزَنَةٌ مَجْهَلَةٌ فَوَصَفَهُ بِهَذِهِ الصِّفَةِ لِمَا جُبِلَ عَلَيْهِ مِنْ مَحَبَّتِهِ.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan: Jika wali seorang anak adalah ayah atau kakek, maka ia berhak menjadi wali atas anak tersebut secara langsung karena keutamaan kasih sayangnya, banyaknya nafkah yang ia keluarkan, dan tidak adanya tuduhan dalam tindakannya. Tidakkah engkau melihat bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menggambarkan keadaannya dengan anaknya, beliau bersabda: “Anak itu menyebabkan rasa takut, kesedihan, dan kebodohan.” Maka beliau menggambarkannya dengan sifat-sifat ini karena kecintaan yang secara fitrah ada pada dirinya.

فَإِذَا كَانَ الْوَلِيُّ أَبًا أَوْ جَدًّا، جَازَ أن يفعل فِي مَالِ ابْنِهِ مَعَ نَفْسِهِ مَا يَجُوزُ أَنْ يَفْعَلَهُ فِي مَالِ ابْنِهِ مَعَ غَيْرِهِ من الأجانب.

Maka jika wali itu adalah ayah atau kakek, boleh baginya melakukan terhadap harta anaknya bersama dirinya sendiri apa yang boleh ia lakukan terhadap harta anaknya bersama orang lain dari kalangan orang asing.

فَيَجُوزُ أَنْ يَبِيعَ مِنْ مَالِ ابْنِهِ عَلَى نَفْسِهِ مَا يَجُوزُ أَنْ يَبِيعَهُ مِنْ مَالِ ابْنِهِ عَلَى غَيْرِهِ مِنَ الْأَجَانِبِ. وَيَجُوزُ أَنْ يَشْتَرِيَ لَهُ مِنْ نَفْسِهِ مَا يَجُوزُ أَنْ يَشْتَرِيَهُ لِابْنِهِ مِنَ الْأَجَانِبِ وَيَجُوزَ أَنْ يُقْرِضَ لِابْنِهِ وَيَقْتَرِضَ مِنْهُ مَا يَجُوزُ أَنْ يَقْتَرِضَهُ وَيُقْرِضَهُ مِنَ الْأَجَانِبِ. وَيَجُوزَ أَنْ يَرْتَهِنَ مِنَ ابْنِهِ أَوْ يَرْهَنَ مِنْهُ مَا يَجُوزُ أَنْ يرهنه ويرتهنه من الأجانب. ولو حصل لِابْنِهِ عَلَيْهِ دَيْنٌ بِلَا رَهْنٍ، جَازَ أَنْ يَأْخُذَ لَهُ مِنْ نَفْسِهِ رَهْنًا بِهِ كَمَا يَجُوزُ أَنْ يَأْخُذَ لَهُ مِنَ الْأَجْنَبِيِّ لَوْ كَانَ الدَّيْنُ عَلَيْهِ رَهْنًا بِهِ.

Maka boleh baginya menjual dari harta anaknya kepada dirinya sendiri apa yang boleh ia jual dari harta anaknya kepada orang lain dari kalangan orang asing. Dan boleh baginya membeli untuk anaknya dari dirinya sendiri apa yang boleh ia beli untuk anaknya dari orang asing. Dan boleh baginya meminjamkan kepada anaknya dan meminjam dari anaknya apa yang boleh ia pinjamkan dan pinjam dari orang asing. Dan boleh baginya mengambil gadai dari anaknya atau menggadaikan kepada anaknya apa yang boleh ia gadaikan dan ambil gadai dari orang asing. Jika anaknya memiliki piutang atas dirinya tanpa jaminan, maka boleh baginya mengambil jaminan untuk anaknya dari dirinya sendiri sebagaimana boleh baginya mengambil jaminan untuk anaknya dari orang asing jika utang itu atas orang asing.

وَلَوْ حَصَلَ لَهُ عَلَى ابْنِهِ دَيْنٌ بِلَا رَهْنٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ مَالِهِ رَهْنًا بِهِ كَمَا لَوْ كَانَ الدَّيْنُ لِأَجْنَبِيٍّ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْطِيَهُ رَهْنًا بِهِ.

Dan jika ia memiliki piutang atas anaknya tanpa jaminan, maka tidak boleh baginya mengambil jaminan dari harta anaknya sebagaimana jika utang itu milik orang asing, tidak boleh baginya memberikan jaminan kepadanya.

فَيَسْتَوِي تَصَرُّفُهُ فِي مَالِ ابْنِهِ مَعَ نَفْسِهِ كَمَا يَسْتَوِي تَصَرُّفُهُ فِي مَالِ ابْنِهِ مَعَ الْأَجَانِبِ، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ اخْتِصَاصِهِ بِفَضْلِ الْحُنُوِّ وَكَثْرَةِ الشَّفَقَةِ وَانْتِفَاءِ التُّهْمَةِ.

Maka sama saja tindakannya terhadap harta anaknya bersama dirinya sendiri sebagaimana sama tindakannya terhadap harta anaknya bersama orang asing. Dan hal itu sebagaimana telah kami sebutkan, karena kekhususannya dalam keutamaan kasih sayang, banyaknya rasa sayang, dan tidak adanya tuduhan.

وَأَمَّا الْأُمُّ: فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا: هَلْ تَسْتَحِقُّ الْوِلَايَةَ بِنَفْسِهَا كَالْأَبِ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: تَسْتَحِقُّ الْوِلَايَةَ بِنَفْسِهَا عِنْدَ فَقْدِ الْأَبِ كَالْأَبِ لِمُشَارَكَتِهِ فِي حُنُوِّهِ وَشَفَقَتِهِ. فَعَلَى هَذَا تَكُونُ أَمُّ الْأُمِّ الَّتِي هِيَ الْجَدَّةُ تَسْتَحِقُّ الْوِلَايَةَ بِنَفْسِهَا عِنْدَ عَدَمِ الْأُمِّ كَالْأُمِّ.

Adapun ibu: para ulama kami berbeda pendapat, apakah ia berhak menjadi wali secara langsung seperti ayah? Sebagian mereka berkata: Ia berhak menjadi wali secara langsung ketika ayah tidak ada, seperti ayah, karena ia turut serta dalam kasih sayang dan rasa sayangnya. Berdasarkan pendapat ini, nenek dari pihak ibu, yaitu ibu dari ibu, berhak menjadi wali secara langsung ketika ibu tidak ada, seperti ibu.

وَأَمَّا أَبُو الْأُمِّ فَهَلْ يَكُونُ لَهُ؟ عَلَى هَذَا الْمَذْهَبِ وِلَايَةٌ بِنَفْسِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun kakek dari pihak ibu, apakah ia memiliki, menurut mazhab ini, hak perwalian secara langsung atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَلِي بِنَفْسِهِ لِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَحَقَّتِ الْأُمُّ الْوِلَايَةَ بِنَفْسِهَا وَكَانَ لِابْنِهَا وِلَايَةٌ عَلَيْهَا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِيمَا اسْتَحَقَّتْهُ مِنَ الْوِلَايَةِ مُشَارِكًا لَهَا.

Pertama: Ia menjadi wali secara langsung, karena ketika ibu berhak menjadi wali secara langsung dan anaknya memiliki hak perwalian atasnya, maka wajib ia turut serta dalam hak perwalian yang diperoleh oleh ibu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا وِلَايَةَ لَهُ وَإِنْ وَلِيَتْ بِنْتُهُ كَمَا لَا حَضَانَةَ لَهُ. ولأنه لما ضعف من الْإِرْثِ، كَانَ عَنِ الْوِلَايَةِ أَضْعَفَ.

Pendapat kedua: Ia tidak memiliki hak perwalian, meskipun putrinya menjadi wali, sebagaimana ia juga tidak memiliki hak hadhanah. Dan karena ketika bagian warisnya lemah, maka dalam hal perwalian ia lebih lemah lagi.

وَقَالَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا: لَا وِلَايَةَ لِأُمٍّ وَهُوَ ظَاهِرُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ لِأَنَّهَا وَإِنْ شَارَكَتِ الْأَبَ فِي حُنُوِّهِ وَشَفَقَتِهِ، فَلِلْأَبِ اخْتِصَاصٌ بِفَضْلِ النَّظَرِ، وَصِحَّةِ التَّدْبِيرِ، وَجَوْدَةِ الرَّأْيِ، وَتَنْمِيَةِ الْمَالِ الَّذِي هُوَ مَقْصُودُ الْوِلَايَةِ. فَبَايَنَ بِهِ الْأُمَّ لِضَعْفِ النِّسَاءِ عَنْ هَذِهِ الرُّتْبَةِ، وَقِلَّةِ وُجُودِ هَذَا الْمَعْنَى فِيهِنَّ غَالِبًا، فَلِذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لِلْأُمِّ وِلَايَةٌ بِنَفْسِهَا ولا لأحد أدلى بِهَا.

Dan seluruh ulama kami berkata: Tidak ada hak perwalian bagi ibu, dan ini adalah pendapat yang jelas dalam mazhab Syafi‘i. Karena meskipun ia turut serta dengan ayah dalam kasih sayang dan rasa sayangnya, ayah memiliki kekhususan dalam keutamaan pertimbangan, ketepatan pengelolaan, kecermatan pendapat, dan kemampuan mengembangkan harta yang menjadi tujuan perwalian. Maka dengan itu, ayah berbeda dengan ibu karena lemahnya kaum wanita dalam hal ini dan jarangnya sifat ini ada pada mereka, sehingga karena itu ibu tidak memiliki hak perwalian secara langsung, begitu juga siapa pun yang mendapatkan hak perwalian melalui ibu.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا أَرَادَ الْأَبُ أَنْ يَبْتَاعَ لِنَفْسِهِ مِنْ مَالِ ابْنِهِ، أَوْ يَرْتَهِنَ مِنْهُ، أَوْ أَرَادَ أَنْ يَبِيعَ مِنْ مَالِ نَفْسِهِ عَلَى ابْنِهِ أَوْ يَرْهَنَ لَهُ مِنْ نَفْسِهِ، فَفِي كَيْفِيَّةِ الْعَقْدِ وَجْهَانِ:

Jika ayah ingin membeli untuk dirinya sendiri dari harta anaknya, atau mengambil gadai dari anaknya, atau ingin menjual dari hartanya sendiri kepada anaknya, atau menggadaikan kepada anaknya dari hartanya sendiri, maka dalam tata cara akad terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَعْقِدُ ذَلِكَ لَفْظًا بِبَذْلٍ وَقَبُولٍ فَيَقُولُ إِنْ كَانَ هُوَ الْمُشْتَرِيَ مِنَ ابْنِهِ: قَدْ بِعْتُ كَذَا وَكَذَا مِنْ مَالِ ابْنِي عَلَى نَفْسِي بِكَذَا وَكَذَا دِرْهَمًا. وَقَبِلْتُ ذَلِكَ لِنَفْسِي.

Salah satu caranya: ia melangsungkan akad tersebut secara lisan dengan ijab dan kabul. Jika ia adalah pembeli dari anaknya, maka ia berkata: “Aku telah membeli barang ini dan itu dari harta anakku untuk diriku sendiri seharga sekian dirham.” Lalu ia berkata: “Aku menerima itu untuk diriku sendiri.”

وَإِنْ كَانَ هُوَ الْبَائِعَ عَلَى ابْنِهِ قَالَ: قَدْ بِعْتُ دَارِي الَّتِي بِمَوْضِعِ كَذَا عَلَى ابْنِي بِأَلْفِ دِرْهَمٍ، وَقَبِلْتُ ذَلِكَ لِابْنِي فَيَصِحُّ الْعَقْدُ وَيَتِمُّ.

Dan jika ia adalah penjual kepada anaknya, maka ia berkata: “Aku telah menjual rumahku yang terletak di tempat ini kepada anakku seharga seribu dirham, dan aku menerima itu untuk anakku.” Maka akad tersebut sah dan sempurna.

ثُمَّ إِنْ كَانَ بَيْعًا فَلَهُ خِيَارُ الْمَجْلِسِ، مَا لَمْ يُفَارِقْ مَوْضِعَهُ الَّذِي عَقَدَ فيه. فإذا فارقه قام مقام افتراق المتعاقدين بأبدانهما في انبرام البيع.

Kemudian, jika itu adalah jual beli, maka ia memiliki hak khiyār majlis selama ia belum meninggalkan tempat di mana akad itu dilakukan. Jika ia telah meninggalkannya, maka itu dianggap seperti perpisahan fisik antara dua pihak yang berakad dalam menetapkan jual beli.

والوجه الثَّانِي: أَنَّهُ يَعْقِدُ بِنِيَّتِهِ دُونَ لَفْظِهِ. فَيَنْوِي أَنَّهُ قَدْ بَاعَ عَلَى ابْنِهِ كَذَا وَكَذَا وَيَنْوِي أَنَّهُ قَبِلَ ذَلِكَ عَنِ ابْنِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَلَفَّظَ بِذَلِكَ وَبِقَوْلِهِ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ لَا يَكُونُ مُخَاطِبًا لِنَفْسِهِ. فَوَجَبَ أَنْ يَقْتَصِرَ فِي ذَلِكَ عَلَى نِيَّتِهِ.

Cara kedua: ia melangsungkan akad dengan niatnya tanpa mengucapkan secara lisan. Ia berniat bahwa ia telah menjual barang ini dan itu kepada anaknya, dan ia berniat telah menerima itu untuk anaknya tanpa mengucapkan hal tersebut, karena seseorang tidak dapat berbicara kepada dirinya sendiri. Maka cukup baginya hanya dengan niatnya.

وَالْوَجْهُ الْأَوَّلُ عَلَيْهِ أكثر أصحابنا ولا يكون مخاطبا لنفسه، لأنا نحصل أَحَدَ اللَّفْظَيْنِ عَنْ نَفْسِهِ، وَالْآخَرَ عَنِ ابْنِهِ، فيصير كأنه مخاطب لابنه.

Pendapat pertama dianut oleh mayoritas ulama mazhab kami, dan ia tidak dianggap berbicara kepada dirinya sendiri, karena salah satu dari dua ucapan itu berasal dari dirinya, dan yang lain dari anaknya, sehingga seolah-olah ia berbicara kepada anaknya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: رضي الله عنه ” وإن اقْتَضَى الرَّهْنَ لَمْ يَكُنْ لِصَاحِبِهِ إِخْرَاجُهُ مِنَ الرَّهْنِ حَتَّى يَبْرَأَ مَمَّا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ “.

Imam Syafi‘i, raḥimahullāh, berkata: “Jika barang gadai telah diambil (oleh pihak yang berhak), maka pemiliknya tidak boleh mengeluarkannya dari gadai hingga ia terbebas dari hak yang ada padanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ عَقْدَ الرَّهْنِ يَلْزَمُ بِالْقَبْضِ، فَإِذَا قَبَضَ الْمُرْتَهِنُ الرَّهْنَ، صَارَ لَازِمًا مِنْ جِهَةِ الرَّاهِنِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ، لِأَنَّهُ وَثِيقَةٌ عَلَى الرَّاهِنِ، فَكَانَ لَازِمًا مِنْ جِهَتِهِ لِيَصِحَّ الِاسْتِيثَاقُ بِهِ إِذَا أَرَادَ فَسْخَهُ قَبْلَ قَضَاءِ الْحَقِّ لَمْ يَكُنْ لَهُ، لِأَنَّهُ وَثِيقَةٌ لِلْمُرْتَهِنِ.

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa akad rahn (gadai) menjadi mengikat dengan penyerahan barang. Jika murtahin (penerima gadai) telah menerima barang gadai, maka akad menjadi mengikat dari pihak rāhin (pemberi gadai), bukan dari pihak murtahin, karena itu adalah jaminan atas rāhin, sehingga menjadi mengikat dari pihaknya agar penjaminan itu sah. Jika ia ingin membatalkannya sebelum pelunasan hak, maka tidak boleh, karena itu adalah jaminan bagi murtahin.

فَإِذَا صَحَّ هَذَا وَتَمَّ الرَّهْنُ بِالْقَبْضِ فَقَضَى الرَّاهِنُ بَعْضَ الْحَقِّ كَانَ جَمِيعُ الرَّهْنِ بِحَالِهِ رَهْنًا فِي يَدِ مُرْتَهِنِهِ بِمَا بَقِيَ مِنْ حَقِّهِ.

Jika demikian, dan rahn telah sempurna dengan penyerahan barang, lalu rāhin melunasi sebagian hak, maka seluruh barang gadai tetap menjadi rahn di tangan murtahin untuk sisa hak yang belum dilunasi.

وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ؛ لِأَنَّ جَمِيعَ الرَّهْنِ وَثِيقَةٌ بِجَمِيعِ الْحَقِّ وَبِكُلِّ جُزْءٍ مِنْهُ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَخْرُجَ شَيْءٌ مِنَ الرَّهْنِ مَعَ بَقَاءِ شَيْءٍ مِنَ الْحَقِّ. أَلَا تَرَى أن ذمة الضامن معقولة بِالْحَقِّ وَبِكُلِّ جُزْءٍ مِنْهُ، فَلَمْ تَبْرَأْ ذِمَّةُ الضَّامِنِ مَعَ بَقَاءِ شَيْءٍ مِنَ الْحَقِّ. وَلِأَنَّهُ لَوْ تَلِفَ بَعْضُ الرَّهْنِ كَانَ جَمِيعُ الرَّهْنِ رَهْنًا بِمَا بَقِيَ مِنْهُ كَذَلِكَ إِذَا قَبَضَ بَعْضَ الْحَقِّ كَانَ جَمِيعُ الرَّهْنِ رَهْنًا بِمَا بَقِيَ مِنْهُ.

Hal itu demikian karena seluruh barang gadai adalah jaminan untuk seluruh hak dan untuk setiap bagian darinya. Maka tidak boleh ada bagian dari barang gadai yang keluar selama masih ada sisa hak. Bukankah engkau melihat bahwa tanggungan penjamin (ḍāmin) terikat dengan hak dan setiap bagiannya, sehingga tanggungan penjamin tidak bebas selama masih ada sisa hak. Dan jika sebagian barang gadai rusak, maka seluruh barang gadai tetap menjadi rahn untuk sisa hak yang ada, demikian pula jika sebagian hak telah dilunasi, seluruh barang gadai tetap menjadi rahn untuk sisa hak yang ada.

فَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ: قَدْ رَهَنْتُكَ عَبْدِي هَذَا بِأَلْفٍ عَلَى أَنَّنِي كُلَّمَا قَضَيْتُكَ مِنْهَا مِائَةً خَرَجَ عَشَرَةٌ مِنَ الرَّهْنِ، كَانَ الرَّهْنُ فَاسِدًا لِاشْتِرَاطِهِ مَا يُنَافِيهِ فَلَوْ طَالَبَهُ الْمُرْتَهِنُ بِحَقِّهِ، وَسَأَلَ فَكَاكَ الرَّهْنِ مِنْ يَدِهِ، فَقَالَ الرَّاهِنُ: لَا أَدْفَعُ الْحَقَّ إِلَّا بَعْدَ اسْتِرْجَاعِ الرَّهْنِ، وَقَالَ الْمُرْتَهِنُ: لَا أَرُدُّ الرَّهْنَ إِلَّا بَعْدَ قَبْضِ الْحَقِّ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ. وَلَيْسَ عَلَيْهِ دَفْعُ الْحَقِّ إِلَّا بَعْدَ إِحْضَارِ الرَّهْنِ. فَإِذَا حَضَرَ لَمْ يَلْزَمِ الْمُرْتَهِنَ دَفْعُهُ إِلَّا بَعْدَ قَبْضِ الْحَقِّ.

Berdasarkan hal ini, jika seseorang berkata: “Aku telah menggadaikan budakku ini kepadamu seharga seribu, dengan syarat setiap kali aku membayar seratus kepadamu, maka sepuluh dari barang gadai keluar,” maka rahn tersebut batal karena mensyaratkan sesuatu yang bertentangan dengannya. Jika murtahin menuntut haknya dan meminta agar barang gadai dilepaskan dari tangannya, lalu rāhin berkata: “Aku tidak akan membayar hak kecuali setelah mengambil kembali barang gadai,” dan murtahin berkata: “Aku tidak akan mengembalikan barang gadai kecuali setelah menerima hak,” maka pendapat yang dipegang adalah pendapat rāhin. Ia tidak wajib membayar hak kecuali setelah barang gadai dihadirkan. Jika barang gadai telah dihadirkan, maka murtahin tidak wajib menyerahkannya kecuali setelah menerima hak.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

إِذَا قَالَ: قَدْ رَهَنْتُكَ عَبْدِي هَذَا بِالْأَلْفِ الَّتِي لَكَ عَلَيَّ إِلَى سَنَةٍ، عَلَى أَنَّنِي إِنْ قَضَيْتُكَ الْأَلْفَ مَعَ السَّنَةِ فَالرَّهْنُ لي. وإن لم أقضك مَعَ السَّنَةِ فَالرَّهْنُ لَكَ قَدْ بِعْتُهُ عَلَيْكَ بِالْأَلْفِ فَهَذَا رَهْنٌ بَاطِلٌ وَبَيْعٌ بَاطِلٌ.

Jika seseorang berkata: “Aku telah menggadaikan budakku ini kepadamu untuk seribu yang engkau miliki atasku hingga satu tahun, dengan syarat jika aku melunasi seribu itu dalam waktu satu tahun maka barang gadai menjadi milikku. Jika aku tidak melunasi dalam waktu satu tahun maka barang gadai menjadi milikmu, aku telah menjualnya kepadamu seharga seribu.” Maka ini adalah rahn yang batal dan jual beli yang batal.

أَمَّا الرَّهْنُ فَلِأَنَّهُ شَرَطَ فِيهِ مَا يُنَافِيهِ إِذْ لَيْسَ مِنْ حُكْمِ الرَّهْنِ أَنْ يُمْلَكَ بِالْحَقِّ عِنْدَ تَأَخُّرِ قَضَائِهِ. وَأَمَّا الْبَيْعُ فَلِأَنَّهُ مُعَلَّقٌ بِصِفَةٍ، وَعَقْدُ الْبَيْعِ لَا يَجُوزُ أَنْ يُعَلَّقَ بِالصِّفَاتِ.

Adapun rahn, karena ia mensyaratkan sesuatu yang bertentangan dengannya, sebab bukan termasuk hukum rahn bahwa barang gadai menjadi milik karena hak tidak dilunasi. Adapun jual beli, karena ia digantungkan pada suatu sifat, dan akad jual beli tidak boleh digantungkan pada sifat-sifat.

فَإِذَا ثَبَتَ بُطْلَانُ الرَّهْنِ وَالْبَيْعِ وَكَانَ الْمُرْتَهِنُ قَدْ قَبَضَ هَذَا الرَّهْنَ فَهُوَ غَيْرُ مَضْمُونٍ عَلَيْهِ فِي السَّنَةِ. فَإِذَا انْقَضَّتِ السَّنَةُ صار مضمونا عليه. وإنما كان غير مضمون عليه في السنة، ومضمونا عَلَيْهِ بَعْدَ السَّنَةِ، لِأَنَّهُ فِي السَّنَةِ مَقْبُوضٌ عَنْ رَهْنٍ فَاسِدٍ وَالرَّهْنُ الْفَاسِدُ غَيْرُ مَضْمُونٍ، لِأَنَّ الرَّهْنَ الصَّحِيحَ غَيْرُ مَضْمُونٍ، وَهُوَ بَعْدَ السَّنَةِ مَضْمُونٌ عَنْ بَيْعٍ فَاسِدٍ، وَالْبَيْعُ الْفَاسِدُ مَضْمُونٌ، لِأَنَّ الْبَيْعَ الصَّحِيحَ مَضْمُونٌ.

Apabila telah tetap batalnya rahn dan jual beli, dan pihak murtahin telah menerima barang rahn tersebut, maka ia tidak menjadi tanggungan atasnya selama setahun. Namun, apabila telah berlalu setahun, maka menjadi tanggungan atasnya. Adapun sebab tidak menjadi tanggungan atasnya selama setahun dan menjadi tanggungan setelah setahun adalah karena selama setahun barang tersebut berada dalam penguasaan sebagai rahn yang fasid, dan rahn yang fasid tidak menjadi tanggungan, karena rahn yang sah pun tidak menjadi tanggungan. Namun setelah setahun, barang tersebut menjadi tanggungan atas jual beli yang fasid, dan jual beli yang fasid itu menjadi tanggungan, karena jual beli yang sah pun menjadi tanggungan.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَلَوْ قَالَ: قَدْ رَهَنْتُكَ عَبْدِي هَذَا بِأَلْفٍ إِلَى سَنَةٍ. فَإِنْ قَضَيْتُكَ الْأَلْفَ مَعَ السَّنَةِ فَالْعَبْدُ لِي، وَإِنْ لَمْ أَقْضِكَ فَالْعَبْدُ لَكَ، وَقَدْ بِعْتُهُ عَلَيْكَ، كَانَ الرَّهْنُ جَائِزًا، وَالْبَيْعُ بَاطِلًا، بِخِلَافِ الْمَسْأَلَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ. لِأَنَّهُ لَمْ يَقُلْ: عَلَى أَنَّنِي إِنْ لَمْ أَقْضِكَ، فَقَدْ بِعْتُهُ عَلَيْكَ فَيُخْرِجُهُ مَخْرَجَ الشَّرْطِ. وَإِنَّمَا قَالَ: فَإِنْ لَمْ أَقْضِكَ فَقَدْ بِعْتُهُ عَلَيْكَ. فَأَخْرَجَهُ مَخْرَجَ الْخَبَرِ، فَلَمْ يَقْدَحْ فِي صِحَّةِ الرَّهْنِ.

Jika seseorang berkata: “Aku telah menjadikan budakku ini sebagai rahn kepadamu dengan seribu (dirham) sampai setahun. Jika aku melunasi seribu itu kepadamu dalam setahun, maka budak itu milikku. Jika aku tidak melunasinya, maka budak itu menjadi milikmu, dan aku telah menjualnya kepadamu,” maka rahn tersebut sah, sedangkan jual belinya batal, berbeda dengan permasalahan sebelumnya. Karena ia tidak mengatakan: “Jika aku tidak melunasi, maka aku telah menjualnya kepadamu,” sehingga menjadikannya sebagai syarat. Ia hanya berkata: “Jika aku tidak melunasi, maka aku telah menjualnya kepadamu,” sehingga bentuknya adalah berita, maka hal itu tidak merusak keabsahan rahn.

وَبَطَلَ الْبَيْعُ كَمَا بَطَلَ فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى لِتَعَلُّقِهِ بِالصِّفَةِ كَتَعَلُّقِهِ بِهَا فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى ثُمَّ هُوَ قَبْلَ السَّنَةِ غَيْرُ مَضْمُونٍ عَلَى الْمُرْتَهِنِ، لِأَنَّهُ مَقْبُوضٌ عَنْ رَهْنٍ صَحِيحٍ، وَبَعْدَ السَّنَةِ مَضْمُونٌ عَلَى الْمُرْتَهِنِ لِأَنَّهُ مَقْبُوضٌ عَنْ بَيْعٍ فَاسِدٍ.

Dan jual belinya batal sebagaimana batal pada permasalahan pertama karena terkait dengan sifat, sebagaimana keterkaitannya pada permasalahan pertama. Kemudian, sebelum setahun, tidak menjadi tanggungan atas murtahin, karena barang tersebut diterima sebagai rahn yang sah. Namun setelah setahun, menjadi tanggungan atas murtahin karena barang tersebut diterima atas jual beli yang fasid.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَلَوْ كَانَ الْمَرْهُونُ فِي الْمَسْأَلَتَيْنِ جَمِيعًا أَرْضًا، فَغَرَسَهَا الْمُرْتَهِنُ، نُظِرَ فِي غِرَاسِهِ، فَإِنْ كَانَ قَدْ غَرَسَهُ قَبْلَ تَقَضِّي السَّنَةِ، كَانَ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَأْخُذَهُ بِقَلَصِهِ وَلَا يُغَرَّمُ أَرْشَ نَقْصِهِ وَإِنْ كَانَ قَدْ غَرَسَهُ بَعْدَ تَقَضِّي السَّنَةِ لَمْ يَكُنْ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَأْخُذَهُ بِقَلْعِهِ، إِلَّا أَنْ يُغَرَّمَ أَرْشَ نَقْصِهِ.

Jika barang yang di-rahn-kan pada kedua permasalahan tersebut adalah tanah, lalu murtahin menanaminya, maka dilihat pada tanamannya: jika ia menanam sebelum berakhirnya setahun, maka rahin berhak mengambilnya dengan mencabut tanamannya tanpa harus mengganti nilai kerusakan. Namun jika ia menanam setelah berakhirnya setahun, maka rahin tidak berhak mengambilnya dengan mencabutnya kecuali dengan mengganti nilai kerusakan.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّهُ قَبْلَ السَّنَةِ غَيْرُ مَأْذُونٍ لَهُ فِي الْغَرْسِ، لِأَنَّهُ رَهْنٌ بِيَدِهِ، وَلَا يَجُوزُ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيمَا بِيَدِهِ، فَصَارَ مُتَعَدِّيًا. فَلِذَلِكَ أَخَذَ بِقَلْعِهِ. وَبَعْدَ السَّنَةِ مَأْذُونٌ لَهُ فِي الْغَرْسِ لِأَنَّهُ مَبِيعٌ عَلَيْهِ، وَلِلْمُشْتَرِي أَنْ يَتَصَرَّفَ فيما ابتاعه، فلذلك لم يؤخذ بقلعه.

Perbedaan antara keduanya adalah: sebelum setahun, murtahin tidak diizinkan menanam, karena itu adalah rahn yang ada di tangannya, dan tidak boleh bagi murtahin untuk melakukan tindakan terhadap barang yang ada di tangannya, sehingga ia dianggap melampaui batas. Oleh karena itu, rahin berhak mencabutnya. Setelah setahun, murtahin diizinkan menanam karena barang tersebut telah menjadi miliknya melalui jual beli, dan pembeli berhak melakukan tindakan terhadap barang yang dibelinya, maka karena itu tidak diambil dengan cara mencabutnya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ امْرَأَةً بِإِذْنِ سَيِّدِهِ عَلَى صَدَاقِ أَلْفٍ، ثُمَّ إِنَّ السَّيِّدَ ضَمِنَ لَهَا الْأَلْفَ عَنْ عَبْدِهِ وَأَعْطَاهَا الْعَبْدُ نَفْسَهُ رَهْنًا بِالْأَلْفِ لَمْ يَجُزْ، وَكَانَ رَهْنُهُ بِهَا فَاسِدًا؛ لِأَنَّ أَصْلَ الدَّيْنِ مَضْمُونٌ عَلَى الْعَبْدِ فلم يجز أن يجعل رَهْنًا فِي الدَّيْنِ، لِأَنَّ الْوَثِيقَةَ غَيْرُ الْمَوْثُوقِ فيه وَنَظِيرُهُ مِنَ الضَّمَانِ: أَنْ يَضْمَنَ زَيْدٌ عَنْ عَمْرٍو أَلْفًا ثُمَّ يَعُودُ عَمْرٌو لِيَضْمَنَهَا عَنْ زَيْدٍ، فَيَكُونُ ضَمَانُ زَيْدٍ بَاطِلًا.

Jika seorang budak menikahi seorang wanita dengan izin tuannya dengan mahar seribu, kemudian tuannya menjamin seribu itu untuk wanita tersebut atas nama budaknya, lalu budak itu menyerahkan dirinya sendiri sebagai rahn kepada wanita tersebut atas seribu itu, maka hal itu tidak sah, dan rahn tersebut menjadi fasid; karena pokok utangnya menjadi tanggungan atas budak, maka tidak sah menjadikannya sebagai rahn dalam utang tersebut, karena jaminan tidak boleh diberikan atas sesuatu yang tidak dapat dijamin. Contoh serupa dalam masalah dhaman (penjaminan) adalah: jika Zaid menjamin seribu atas nama Amr, kemudian Amr kembali menjamin seribu itu atas nama Zaid, maka penjaminan Zaid menjadi batal.

فَأَمَّا إِذَا حَصَلَ لِزَوْجَةِ الْعَبْدِ عَلَى سَيِّدِهِ مَالٌ عَنْ مُعَامَلَةٍ: فَأَعْطَاهَا زَوْجَهَا رَهْنًا بِمَالِهَا عَلَيْهِ كَانَ ذَلِكَ جَائِزًا. وَالنِّكَاحُ بِحَالِهِ؛ لِأَنَّ ارْتِهَانَهَا لَهُ اسْتِيثَاقٌ بِهِ فِي الْحَقِّ فَلَمْ يَمْنَعْ صِحَّةَ النكاح.

Adapun jika istri budak memiliki harta atas tuannya karena suatu muamalah, lalu suaminya (budak) memberikan dirinya sebagai rahn atas harta istrinya itu, maka hal itu diperbolehkan. Dan akad nikah tetap sah, karena penyerahan rahn oleh istri kepada suaminya adalah sebagai jaminan atas haknya, sehingga tidak menghalangi keabsahan akad nikah.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو أكرى الرهن من صاحبه أو أعاره إِيَّاهُ لَمْ يَنْفَسِخِ الرَّهْنُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika rahn disewakan oleh pemiliknya atau dipinjamkan kepadanya, maka rahn tidak batal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ خُرُوجَ الرَّهْنِ مِنْ يَدِ الْمُرْتَهِنِ إِلَى يَدِ الرَّاهِنِ لَا يُبْطِلُ الرَّهْنَ؛ لِأَنَّ اسْتِدَامَةَ قَبْضِهِ لَيْسَتْ شَرْطًا فِي صِحَّتِهِ خِلَافًا لأبي حنيفة. وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ وَإِيَّاهُ قَصَدَ الشَّافِعِيُّ.

Al-Mawardi berkata: Kami telah sebutkan bahwa keluarnya rahn dari tangan murtahin ke tangan rahin tidak membatalkan rahn; karena keberlangsungan penguasaan bukanlah syarat sahnya rahn, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah. Dan telah berlalu pembahasan dengannya, dan kepada pendapat itu pula Imam Syafi‘i mengarah.

وَلَوْ أَكْرَى الرَّهْنَ مِنْ صَاحِبِهِ أَوْ أَعَارَهُ لَمْ يَنْفَسِخِ الرَّهْنُ. فَإِنْ قِيلَ: فَعَلَى مَذْهَبِكُمْ أَنَّ مَنَافِعَ الرَّهْنِ وَنَمَاءَهُ لِلرَّاهِنِ فَكَيْفَ يَصِحُّ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَسْتَأْجِرَ الرَّهْنَ أَوْ يَسْتَعِيرَهُ مِنَ الْمُرْتَهِنِ؟ فَفِيهِ أَرْبَعَةُ أَجْوِبَةٍ:

Dan jika barang gadai disewakan oleh pemiliknya atau dipinjamkan kepadanya, maka gadai tidak batal. Jika dikatakan: Menurut mazhab kalian, manfaat dan hasil dari barang gadai adalah milik orang yang menggadaikan (rahin), maka bagaimana sah bagi rahin untuk menyewa atau meminjam barang gadai dari penerima gadai (murtahin)? Dalam hal ini terdapat empat jawaban:

أَحَدُهَا: أَنَّ الشَّافِعِيَّ أَرَادَ بِذَلِكَ أَنَّ عَوْدَ الرَّهْنِ إِلَى يَدِ الرَّاهِنِ لَا يَفْسَخُ الرَّهْنَ رَدًّا عَلَى أبي حنيفة حَيْثُ جَعَلَ عَوْدَهُ إِلَى يَدِهِ فَاسِخًا لِلرَّهْنِ. فَعَبَّرَ عَنْهُ بِهَذِهِ الْعِبَارَةِ، لِأَنَّهَا لَفْظُ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ فَأَوْرَدَهُ عَلَى جِهَتِهِ تَبَرُّكًا بِهِ، وَلَمْ يُرِدْ بِهِ صحة إجاراته، وَإِعَارَتِهِ.

Pertama: Bahwa Imam Syafi‘i bermaksud dengan pernyataan tersebut bahwa kembalinya barang gadai ke tangan rahin tidak membatalkan akad gadai, sebagai bantahan terhadap Abu Hanifah yang berpendapat bahwa kembalinya barang gadai ke tangan rahin membatalkan akad gadai. Maka beliau mengungkapkannya dengan lafaz tersebut, karena itu adalah ucapan ‘Atha’ bin Abi Rabah, dan beliau menyampaikannya dengan redaksi itu untuk mengambil berkah darinya, dan tidak bermaksud menyatakan keabsahan akad sewa-menyewa atau pinjam-meminjamnya.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي أَنَّ فِي الْمَسْأَلَةِ إِضْمَارًا يَصِحُّ عَوْدُ الْجَوَابِ إِلَيْهِ. وَهُوَ أَنَّهَا مُصَوَّرَةٌ فِي رَهْنٍ فَقَدْ كَانَ الْمُرْتَهِنُ اسْتَأْجَرَهُ مِنَ الرَّاهِنِ قَبْلَ الرَّهْنِ أَوْ بَعْدَهُ، فَكَانَ فِي يَدِهِ بِعَقْدَيْنِ:

Jawaban kedua: Dalam permasalahan ini terdapat pengandaian yang memungkinkan jawaban kembali kepadanya. Yaitu, kasus ini digambarkan pada barang gadai yang sebelumnya telah disewa oleh murtahin dari rahin sebelum atau sesudah akad gadai, sehingga barang tersebut berada di tangannya berdasarkan dua akad:

أَحَدُهُمَا: عَقْدُ الْإِجَارَةِ عَلَى مَنْفَعَتِهِ.

Pertama: Akad sewa atas manfaatnya.

وَالثَّانِي: عَقْدُ الرَّهْنِ عَلَى رَقَبَتِهِ. فَيَكُونُ الْمُرْتَهِنُ لِأَجْلِ الْإِجَارَةِ مَالِكًا لِمَنَافِعِهِ. فَإِنِ اسْتَأْجَرَهُ الرَّاهِنُ مِنْهُ أَوِ اسْتَعَارَهُ فَالْإِجَارَةُ صَحِيحَةٌ، وَالْعَارِيَةُ جَائِزَةٌ، وَعَقْدُ الرَّهْنِ بِحَالِهِ لَا يَنْفَسِخُ.

Kedua: Akad gadai atas kepemilikan barangnya. Maka murtahin, karena akad sewa, menjadi pemilik manfaatnya. Jika rahin kemudian menyewa atau meminjam barang tersebut dari murtahin, maka akad sewanya sah, pinjamannya boleh, dan akad gadai tetap berlaku sebagaimana adanya, tidak batal.

وَقَدْ يَصِحُّ مَثَلٌ فِي الْوَصَايَا فِي رَجُلٍ وَصَّى بِرَقَبَةِ عَبْدِهِ لِرَجُلٍ وَمَنْفَعَتِهِ لِآخَرَ أَوْ صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ لَهُمَا بِمَوْتِهِ وَقَبُولِهِمَا. ثُمَّ إِنَّ الْمُوصَى لَهُ بِالرَّقَبَةِ رَهَنَ رَقَبَةَ الْعَبْدِ عِنْدَ الْمُوصَى لَهُ بالمنفعة، فصارت المنفعة بِالْوَصِيَّةِ وَالرَّقَبَةِ فِي يَدِهِ بِالرَّهْنِ، فَلَوْ عَادَ الراهن فاستأجر الْعَبْدَ الْمَرْهُونَةُ رَقَبَتُهُ أَوِ اسْتَعَارَهُ لَمْ يَنْفَسِخِ الرَّهْنُ.

Hal yang serupa juga dapat terjadi dalam wasiat, misalnya seseorang mewasiatkan kepemilikan budaknya kepada seseorang dan manfaatnya kepada orang lain, atau wasiat itu sah untuk keduanya setelah kematian dan keduanya menerimanya. Kemudian, orang yang menerima wasiat atas kepemilikan budak tersebut menggadaikan budak itu kepada orang yang menerima wasiat atas manfaatnya, sehingga manfaatnya menjadi milik penerima wasiat dan kepemilikannya berada di tangannya karena akad gadai. Jika rahin kemudian kembali dan menyewa atau meminjam budak yang digadaikan kepemilikannya itu, maka akad gadai tidak batal.

وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْهَاءَ فِي قَوْلِهِ: وَلَوْ أَكْرَى الرَّهْنَ مِنْ صَاحِبِهِ، كِنَايَةٌ تَعُودُ إلى المرتهن دين الرَّاهِنِ، لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يُضَافَ إِلَى الْمُرْتَهِنِ لِأَجْلِ رَهْنِهِ، كَمَا يُضَافُ إِلَى الرَّاهِنِ لِأَجْلِ مِلْكِهِ، فَإِذَا اسْتَأْجَرَ الْمُرْتَهِنُ الرَّهْنَ أَوِ اسْتَعَارَهُ لَمْ يَنْفَسِخِ الرَّهْنُ بِمَا حَدَثَ مِنَ الْعَقْدِ فَكَانَ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ بِالرَّهْنِ السَّابِقِ، وَعَقْدِ الْإِجَارَةِ الْحَادِثَةِ.

Jawaban ketiga: Huruf “-nya” dalam pernyataan “dan jika barang gadai disewakan oleh pemiliknya” adalah kata ganti yang kembali kepada murtahin, yaitu pemilik piutang rahin, karena boleh jadi barang gadai itu disandarkan kepada murtahin karena akad gadai, sebagaimana disandarkan kepada rahin karena kepemilikannya. Maka jika murtahin menyewa atau meminjam barang gadai, akad gadai tidak batal karena akad baru tersebut, sehingga barang itu tetap berada di tangan murtahin karena akad gadai sebelumnya dan akad sewa yang baru.

وَالْجَوَابُ الرَّابِعُ: إِنَّ هَذَا الْكَلَامَ مِنَ الشَّافِعِيِّ خَارِجٌ عَلَى مَذْهَبِهِ فِي الْقَدِيمِ، لِأَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي الْقَدِيمِ: إِنَّ الرَّاهِنَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْتَفِعَ بِالرَّهْنِ بِنَفْسِهِ وَإِنَّمَا لَهُ أَنْ يُؤَاجِرَهُ مِنْ غَيْرِهِ فَقَالَ: وَلَوْ أَكْرَى الرَّهْنَ مَنْ صَاحِبِهِ أَوْ أَعَارَهُ إِيَّاهُ لَمْ يَنْفَسِخِ الرَّهْنُ يُرِيدُ أَنَّ الرَّاهِنَ وَإِنِ انْتَفَعَ بِالرَّهْنِ بِنَفْسِهِ وَفَعَلَ مَا لَيْسَ لَهُ لَمْ يَنْفَسِخِ الرَّهْنُ فَأَمَّا مَذْهَبُهُ فِي الْجَدِيدِ فَيَجُوزُ أَنْ يَنْتَفِعَ بِهِ بِنَفْسِهِ وَيُؤَاجِرَهُ مِنْ غَيْرِهِ.

Jawaban keempat: Pernyataan Imam Syafi‘i ini keluar menurut pendapat beliau dalam qaul qadim (pendapat lama), karena dalam qaul qadim beliau berpendapat bahwa rahin tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadai untuk dirinya sendiri, dan ia hanya boleh menyewakannya kepada orang lain. Maka beliau berkata: “Jika barang gadai disewakan oleh pemiliknya atau dipinjamkan kepadanya, maka gadai tidak batal,” maksudnya adalah bahwa meskipun rahin mengambil manfaat dari barang gadai untuk dirinya sendiri dan melakukan sesuatu yang bukan haknya, akad gadai tetap tidak batal. Adapun menurut pendapat baru (qaul jadid), maka rahin boleh mengambil manfaat dari barang gadai untuk dirinya sendiri dan boleh juga menyewakannya kepada orang lain.

وَهَذَا الْجَوَابُ ذَكَرَهُ ابْنُ أبي هريرة.

Jawaban ini disebutkan oleh Ibnu Abi Hurairah.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ رَهَنَهُ وَدِيعَةً لَهُ فِي يَدِهِ وَأَذِنَ له بقبضه فجاءت عليه مدة يمكنه أن يقبضه فيها فَهُوَ قَبْضٌ لِأَنَّ قَبْضَهُ وَدِيعَةً غَيْرُ قَبْضِهِ رهنا (قال) ولو كان في المسجد والوديعة في بيته لم يكن قبضا حتى يصير إلى منزله وهي فيه “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menggadaikan barang yang merupakan titipan (wadi‘ah) miliknya yang ada di tangan orang lain, dan ia mengizinkan orang itu untuk mengambilnya, lalu berlalu waktu yang memungkinkan ia mengambil barang tersebut, maka itu dianggap sebagai penyerahan (qabdh), karena mengambil barang sebagai titipan berbeda dengan mengambilnya sebagai barang gadai.” (Beliau berkata): “Jika barang itu berada di masjid dan titipan itu di rumahnya, maka belum dianggap sebagai penyerahan sampai ia datang ke rumahnya dan barang itu ada di sana.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ أَوْدَعَ رَجُلًا وَدِيعَةً، ثُمَّ إِنَّ رَبَّ الْوَدِيعَةِ رَهَنَهَا عِنْدَ الْمُودَعِ بِحَقٍّ ثَبَتَ لَهُ عَلَيْهِ.

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah seseorang menitipkan suatu barang kepada orang lain, kemudian pemilik barang itu menggadaikannya kepada orang yang dititipi karena adanya hak yang tetap baginya atas orang tersebut.

فَإِنْ كَانَا جَاهِلَيْنِ بِالْوَدِيعَةِ أَوْ أَحَدُهُمَا فَالرَّهْنُ بَاطِلٌ، لِأَنَّ رَهْنَ الْمَجْهُولِ لَا يَصِحُّ وَإِنْ كَانَا عَالِمَيْنِ بِهَا وَقَدْ شَاهَدَاهَا جَازَ رَهْنُهَا. لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَرْتَهِنَ مَا لَيْسَ فِي يَدِهِ كَانَ ارْتِهَانُ مَا بِيَدِهِ أَوْلَى وَإِذَا كَانَ ارْتِهَانُهَا جَائِزًا، فَلَا بُدَّ مِنْ عَقْدٍ وَقَبْضٍ.

Jika keduanya tidak mengetahui barang titipan (wadi‘ah) atau salah satu dari mereka tidak mengetahuinya, maka gadai (rahn) tersebut batal, karena menggadaikan barang yang tidak diketahui tidak sah. Namun, jika keduanya mengetahui barang tersebut dan telah melihatnya, maka sah menggadaikannya. Sebab, jika boleh mengambil gadai atas barang yang tidak ada di tangannya, maka mengambil gadai atas barang yang ada di tangannya tentu lebih utama. Dan jika penggadaian tersebut sah, maka harus ada akad dan penyerahan (qabdh).

فَأَمَّا الْعَقْدُ فَبَذْلٌ مِنَ الرَّاهِنِ وَقَبُولٌ مِنَ الْمُرْتَهِنِ كَسَائِرِ عُقُودِ الرَّهْنِ. وَأَمَّا الْقَبْضُ فَيَخْتَلِفُ عَلَى اخْتِلَافِ حَالِ الْوَدِيعَةِ، لِأَنَّ لَهَا حَالَتَيْنِ:

Adapun akad, yaitu penyerahan dari pihak yang menggadaikan (rahin) dan penerimaan dari pihak penerima gadai (murtahin), sebagaimana akad-akad gadai lainnya. Sedangkan penyerahan (qabdh), berbeda-beda sesuai keadaan barang titipan (wadi‘ah), karena ada dua keadaan:

إحداهما: أَنْ يَتَيَقَّنَ الْمُودِعُ الْمُرْتَهِنُ كَوْنَهَا فِي يَدِهِ.

Pertama: Penerima titipan (mudi‘) yang juga penerima gadai (murtahin) yakin bahwa barang tersebut ada di tangannya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَشُكَّ فِي كَوْنِهَا بِيَدِهِ.

Kedua: Ia ragu apakah barang tersebut ada di tangannya atau tidak.

فَإِنْ تَيَقَّنَ كَوْنَهَا بِيَدِهِ فَقَبْضُهَا: أَنْ يَمُرَّ عَلَيْهَا بَعْدَ الرَّهْنِ زَمَانُ الْقَبْضِ. وَهَلْ يَحْتَاجُ إِلَى إِذْنِ الرَّاهِنِ فِي الْقَبْضِ أَمْ لَا؟

Jika ia yakin barang tersebut ada di tangannya, maka penyerahannya adalah dengan berlalu masa penyerahan setelah akad gadai. Apakah diperlukan izin dari pihak yang menggadaikan (rahin) dalam penyerahan atau tidak?

قَالَ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ وَفِي كِتَابِ الْأُمِّ: مِنْ تَمَامِ الْقَبْضِ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي الْقَبْضِ وَقَالَ فِي كِتَابِ الْهِبَاتِ: إِذَا وَهَبَ لَهُ وديعة في يده وقبلها الموهوبة لَهُ فَاتَتْ عَلَيْهِ مُدَّةُ الْقَبْضِ فَقَدْ تَمَّ قَبْضُهَا، وَلَمْ يَشْتَرِطْ هُنَاكَ الْإِذْنَ فِي الْقَبْضِ. فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا: فَكَانَ بَعْضُهُمْ يَنْقُلُ جَوَابَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ إِلَى الْأُخْرَى وَيُخْرِجُهُ عَلَى قَوْلَيْنِ.

Dalam hal ini dan dalam Kitab al-Umm, disebutkan bahwa bagian dari kesempurnaan penyerahan adalah adanya izin dari pihak yang menggadaikan dalam penyerahan. Namun dalam Kitab al-Hibat, disebutkan: Jika seseorang memberikan hadiah berupa barang titipan yang ada di tangannya, lalu penerima hadiah menerimanya dan telah berlalu masa penyerahan, maka penyerahan telah sempurna, dan di sana tidak disyaratkan adanya izin dalam penyerahan. Maka para ulama kami berbeda pendapat: sebagian mereka memindahkan jawaban satu masalah ke masalah lain dan mengeluarkannya menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا بُدَّ مِنَ الْإِذْنِ فِي الْقَبْضِ فِي الْهِبَةِ وَالرَّهْنِ جَمِيعًا، لِأَنَّهُمَا لَا يَلْزَمَانِ إِلَّا بِالْقَبْضِ وَإِنَّمَا لَمْ يَكُنْ بُدٌّ مِنْ إِذْنِهِ فِي الْقَبْضِ، لِأَنَّ يَدَ الْمُودِعِ يَدُ مَالِكِهَا وَفِي ارْتِهَانِهَا أَوْ هِبَتِهَا إِزَالَةُ يَدِ الْمَالِكِ عَنْهَا. وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَكَانَتْ فِي الْحُكْمِ فِي يَدِ الْمَالِكِ لَمْ يَكُنْ بُدٌّ مِنْ إِذْنٍ فِي الْقَبْضِ كَمَا لَمْ يَزَلْ فِي يَدِ الْمَالِكِ. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْقَبْضُ بِشَيْئَيْنِ:

Salah satunya: Bahwa harus ada izin dalam penyerahan baik pada hibah maupun pada gadai, karena keduanya tidak menjadi wajib kecuali dengan penyerahan. Adapun perlunya izin dalam penyerahan, karena tangan penerima titipan adalah tangan pemilik barang, dan dalam penggadaian atau pemberian hibah berarti menghilangkan kekuasaan pemilik atas barang tersebut. Jika demikian, dan barang tersebut secara hukum masih di tangan pemilik, maka harus ada izin dalam penyerahan, sebagaimana barang tersebut tetap di tangan pemilik. Maka dalam hal ini, penyerahan terjadi dengan dua hal:

أَحَدُهُمَا: الْإِذْنُ فِي الْقَبْضِ.

Pertama: Izin dalam penyerahan.

وَالثَّانِي: مُضِيُّ زَمَانِ الْقَبْضِ وَيَكُونُ أَوَّلُ زَمَانِ الْقَبْضِ مِنْ بَعْدِ الْإِذْنِ فِي الْقَبْضِ. فَلَوْ أَذِنَ لَهُ فِي الْقَبْضِ بَعْدَ الْعَقْدِ بِمُدَّةٍ يراعى زَمَانُ الْقَبْضِ مِنْ ذَلِكَ الْوَقْتِ وَلَمْ يَكُنْ مَا مَضَى مِنَ الزَّمَانِ بَعْدَ الْعَقْدِ مُعْتَدًّا بِهِ.

Kedua: Berlalu masa penyerahan, dan awal masa penyerahan adalah setelah adanya izin dalam penyerahan. Jika ia memberi izin dalam penyerahan setelah akad dalam beberapa waktu, maka masa penyerahan dihitung sejak waktu itu, dan waktu yang telah berlalu setelah akad tidak diperhitungkan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَحْتَاجُ إِلَى الْإِذْنِ فِي الْقَبْضِ لَا فِي الْهِبَةِ وَلَا فِي الرَّهْنِ جَمِيعًا وَإِنَّمَا ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ الْإِذْنَ فِي الرَّهْنِ تَأْكِيدًا. وَإِنَّمَا لَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى الْإِذْنِ فِي الْقَبْضِ، لِأَنَّ الْقَبْضَ قَدْ يَخْتَلِفُ عَلَى اخْتِلَافِ الْمَقْبُوضَاتِ:

Pendapat kedua: Bahwa tidak diperlukan izin dalam penyerahan, baik pada hibah maupun pada gadai, dan penyebutan izin oleh Imam Syafi‘i dalam gadai hanya sebagai penegasan. Tidak diperlukannya izin dalam penyerahan, karena penyerahan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan barang yang diserahkan:

فَقَبْضُ مَا يُنْقَلُ: أَنْ ينقله لِلْقَابِضِ، وَقَبْضُ مَا لَا يُنْقَلُ: أَنْ يُخَلِّيَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقَابِضِ.

Penyerahan barang yang dapat dipindahkan adalah dengan memindahkannya kepada penerima, sedangkan penyerahan barang yang tidak dapat dipindahkan adalah dengan membiarkan penerima mengambilnya.

كَذَلِكَ قَبْضُ مَا فِي الْيَدِ: أَنَّ يَمُرَّ عَلَيْهِ زَمَانُ الْقَبْضِ فِي يَدِ الْقَابِضِ. فَعَلَى هَذَا يَتِمُّ الْقَبْضُ بِشَيْءٍ وَاحِدٍ، وَهُوَ مُضِيُّ زَمَانِ الْقَبْضِ، وَأَوَّلُ زَمَانِ الْقَبْضِ مِنْ حِينِ الْعَقْدِ، وَلَا اعْتِبَارَ بِالْإِذْنِ بِخِلَافِ الْقَوْلِ الْأَوَّلِ.

Demikian pula penyerahan barang yang sudah ada di tangan, yaitu dengan berlalu masa penyerahan di tangan penerima. Maka dalam hal ini penyerahan cukup dengan satu hal, yaitu berlalu masa penyerahan, dan awal masa penyerahan adalah sejak akad, tanpa memperhatikan adanya izin, berbeda dengan pendapat pertama.

وَقَالَ آخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا: لَيْسَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَإِنَّمَا الْجَوَابُ عَلَى ظَاهِرِهِ فِي الْمَسْأَلَتَيْنِ فَيَحْتَاجُ رَهْنُ الْوَدِيعَةِ إِلَى إِذْنٍ فِي قَبْضِهَا، وَلَا تَحْتَاجُ هِبَةُ الْوَدِيعَةِ إِلَى إِذْنٍ فِي قَبْضِهَا وَالْفَرْقُ بَيْنَ الرَّهْنِ وَالْهِبَةِ أَنَّ الرَّهْنَ لَا يَنْقُلُ الْمِلْكَ فَضَعُفَ عَنْ أَنْ يَتِمَّ إِلَّا بِالْإِذْنِ فِي الْقَبْضِ، وَالْهِبَةَ تَنْقُلُ الْمِلْكَ فَقَوِيَتْ عَنْ أَنْ يَفْتَقِرَ تمامه إِلَى الْإِذْنِ فِي الْقَبْضِ.

Sebagian ulama kami yang lain berkata: Hal itu bukan dua pendapat, melainkan jawabannya sesuai zahirnya pada kedua masalah tersebut. Maka gadai atas barang titipan membutuhkan izin dalam penyerahannya, sedangkan hibah atas barang titipan tidak membutuhkan izin dalam penyerahannya. Perbedaan antara gadai dan hibah adalah bahwa gadai tidak memindahkan kepemilikan sehingga tidak sempurna kecuali dengan izin dalam penyerahan, sedangkan hibah memindahkan kepemilikan sehingga cukup kuat untuk tidak membutuhkan izin dalam penyerahan agar sempurna.

فَعَلَى هَذَا يَتِمُّ الْقَبْضُ فِي الْهِبَةِ بِشَيْءٍ وَاحِدٍ: وَهُوَ مُضِيُّ زَمَانِ الْقَبْضِ. وَيَتِمُّ فِي الرَّهْنِ بِشَيْئَيْنِ:

Dengan demikian, penyerahan dalam hibah cukup dengan satu hal, yaitu berlalu masa penyerahan. Sedangkan dalam gadai, penyerahan sempurna dengan dua hal:

أَحَدُهُمَا: الْإِذْنُ فِي الْقَبْضِ.

Pertama: Izin dalam penyerahan.

وَالثَّانِي: أَنْ يَمْضِيَ بَعْدَ الْإِذْنِ زَمَانُ الْقَبْضِ فَهَذَا الْحُكْمُ فِي الْوَدِيعَةِ إِذَا تَيَقَّنَ كَوْنَهَا بِيَدِهِ.

Kedua: Jika setelah adanya izin berlalu masa penyerahan, maka inilah hukum dalam hal wadiah apabila telah diyakini bahwa barang titipan itu berada di tangannya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا إِنْ شَكَّ فِي كَوْنِ الْوَدِيعَةِ فِي يَدِهِ وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ تَكُونَ الْوَدِيعَةُ عَبْدًا أَوْ حَيَوَانًا يَدْخُلُ وَيَخْرُجُ، أَوْ يَكُونَ غَيْرَ حَيَوَانٍ فِي مَوْضِعٍ قَدْ حَدَثَ فِيهِ خَوْفٌ يَجُوزُ أَنْ يَتْلَفَ فِيهِ. فَمِنْ تَمَامِ الْقَبْضِ فِي هَذَا:

Adapun jika ragu apakah barang titipan itu berada di tangannya, seperti misalnya barang titipan itu berupa budak atau hewan yang bisa keluar masuk, atau berupa selain hewan yang berada di tempat yang pernah terjadi kekhawatiran sehingga mungkin saja barang itu rusak di sana. Maka, di antara kesempurnaan penyerahan dalam hal ini adalah:

أَنْ يَمْضِيَ الْمُودِعُ الْمُرْتَهِنُ بَعْدَ عَقْدِ الرَّهْنِ إِلَى مَوْضِعِ الْوَدِيعَةِ فَيُشَاهِدَهَا بَاقِيَةً فِيهِ. وَهَلْ يُحْتَاجُ إِلَى مُضِيِّ الرَّاهِنِ مَعَهُ إِلَى مَوْضِعِهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ لِأَصْحَابِنَا:

Bahwa pemilik barang yang menggadaikan (muwaddi‘) dan penerima gadai (murtahin) setelah akad rahn bersama-sama pergi ke tempat barang titipan, lalu keduanya menyaksikan barang itu masih ada di sana. Apakah perlu kehadiran pihak yang menggadaikan (rahin) bersama penerima gadai ke tempat barang tersebut atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan ulama kami:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يُحْتَاجُ إِلَى مُضِيِّ الرَّاهِنِ مَعَهُ إِلَى مَوْضِعِهَا وَإِنَّمَا يُحْتَاجُ إِلَى مُضِيِّ الْمُرْتَهِنِ وَحْدَهُ لِيَعْلَمَ بَقَاءَهَا فَتَكُونُ عَلَى حَالِهَا فِي حُكْمِ أَصْلِهَا. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ مُضِيٌّ لِلْمُرْتَهِنِ وَحْدَهُ شَرْطًا فِي الْقَبْضِ دُونَ الْعَقْدِ. فَإِنْ تَقَدَّمَ عَلَى مُضِيِّ الْمُرْتَهِنِ جَازَ.

Salah satunya: Tidak perlu kehadiran pihak yang menggadaikan (rahin) bersama penerima gadai (murtahin) ke tempat barang tersebut, cukup penerima gadai saja yang pergi agar mengetahui barang itu masih ada, sehingga statusnya tetap sebagaimana hukum asalnya. Dengan demikian, kepergian penerima gadai saja menjadi syarat dalam penyerahan, bukan dalam akad. Jika kepergian itu terjadi sebelum penerima gadai pergi, maka diperbolehkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا بُدَّ مِنْ مُضِيِّ الرَّاهِنِ مَعَهُ لِأَنَّهُ كَاسْتِئْنَافِ عَقْدِهِ فَعَلَى هَذَا لَوْ مَضَى أَحَدُهُمَا لِمُشَاهَدَتِهَا لَمْ يَصِحَّ.

Pendapat kedua: Harus ada kehadiran pihak yang menggadaikan (rahin) bersama penerima gadai (murtahin), karena hal itu seperti memulai kembali akadnya. Dengan demikian, jika hanya salah satu dari keduanya yang pergi untuk menyaksikan barang tersebut, maka tidak sah.

وَلَوْ مَضَيَا جَمِيعًا أَوْ مَنْ يَنُوبُ عَنْهُمَا مِنْ نَائِبٍ أَوْ وَكِيلٍ فَشَاهَدَاهَا بَاقِيَةً فَيَكُونُ شَرْطًا فِي صِحَّةِ الْعَقْدِ فَيَسْتَأْنِفَا عَقْدَ الرَّهْنِ وَلَا يَصِحُّ مِنْهُمَا مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْعَقْدِ. وَهَلْ يَفْتَقِرُ إِلَى الْإِذْنِ فِي قَبْضِهَا أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ اخْتِلَافِ الْمَذْهَبَيْنِ الْمُتَقَدِّمَيْنِ:

Jika keduanya pergi bersama, atau yang mewakili mereka dari seorang wakil atau kuasa, lalu keduanya menyaksikan barang itu masih ada, maka hal itu menjadi syarat sahnya akad, sehingga mereka harus memulai kembali akad rahn, dan akad yang telah dilakukan sebelumnya tidak sah. Apakah diperlukan izin dalam penyerahan barang atau tidak? Hal ini kembali kepada perbedaan dua mazhab yang telah disebutkan sebelumnya:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يَحْتَاجُ إِلَى الْإِذْنِ. فَعَلَى هَذَا يَتِمُّ الْقَبْضُ بِشَيْءٍ وَاحِدٍ، وَهُوَ مُشَاهَدَةُ الْوَدِيعَةِ. فَلَوْ مَرَّ عَلَيْهَا زَمَانُ الْقَبْضِ قَبْلَ مُشَاهَدَتِهَا لَمْ يصح الْقَبْضُ.

Salah satunya: Tidak memerlukan izin. Dengan demikian, penyerahan dianggap sah hanya dengan satu hal, yaitu menyaksikan barang titipan. Jika telah berlalu masa penyerahan sebelum barang itu disaksikan, maka penyerahan tidak sah.

وَالثَّانِي: لَا بُدَّ مِنَ الْإِذْنِ فِي الْقَبْضِ بَعْدَ الْمُشَاهَدَةِ. فَعَلَى هَذَا يَتِمُّ الْقَبْضُ بِشَيْئَيْنِ:

Yang kedua: Harus ada izin dalam penyerahan setelah penyaksian. Dengan demikian, penyerahan dianggap sah dengan dua hal:

أَحَدُهُمَا: الْإِذْنُ فِي الْقَبْضِ.

Pertama: Izin dalam penyerahan.

وَالثَّانِي: الْمُضِيُّ إلى موضع الوديعة لمشاهدتها باقية فيه. فَإِنْ قُلْنَا: لَا بُدَّ مِنْ مُضِيِّ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ إِذْنُ الرَّاهِنِ فِي قَبْضِهَا بَعْدَ الْمُضِيِّ لِمُشَاهَدَتِهَا. فَإِنْ أَذِنَ قَبْلَ مُشَاهَدَتِهَا لَمْ يَقَعِ الْإِذْنُ مَوْقِعَهُ، فَاحْتَاجَ إِلَى إِذْنٍ بَعْدَ مُشَاهَدَتِهَا لِيَتِمَّ بِهِ الْقَبْضُ. فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ مُضِيَّ الْمُرْتَهِنِ وَحْدَهُ لِمُشَاهَدَتِهَا جَائِزٌ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ إِذْنُ الرَّاهِنِ فِي قَبْضِهَا قَبْلَ الْمُضِيِّ لِمُشَاهَدَتِهَا فَإِنْ أَذِنَ لَهُ بَعْدَ مُشَاهَدَتِهَا لَمْ يَتِمَّ الْقَبْضُ حَتَّى يَمْضِيَ بَعْدَ الْإِذْنِ زَمَانُ الْقَبْضِ، فَيَتِمُّ حِينَئِذٍ الْقَبْضُ فَيَكُونُ تَقَدُّمُ الْإِذْنِ وَتَأَخُّرُهُ عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي حُضُورِ الرَّاهِنِ مَعَ الْمُرْتَهِنِ وَعَلَيْهِمَا يَخْتَلِفُ الْحُكْمُ.

Kedua: Pergi ke tempat barang titipan untuk menyaksikan bahwa barang itu masih ada di sana. Jika dikatakan: Harus kehadiran pihak yang menggadaikan (rahin) dan penerima gadai (murtahin), maka izin dari pihak yang menggadaikan dalam penyerahan barang harus diberikan setelah pergi untuk menyaksikan barang tersebut. Jika izin diberikan sebelum penyaksian, maka izin itu tidak pada tempatnya, sehingga tetap diperlukan izin setelah penyaksian agar penyerahan menjadi sah. Jika dikatakan: Cukup penerima gadai saja yang pergi untuk menyaksikan barang tersebut, maka izin dari pihak yang menggadaikan dalam penyerahan barang harus diberikan sebelum pergi untuk menyaksikan. Jika izin diberikan setelah penyaksian, maka penyerahan belum sah sampai berlalu masa penyerahan setelah izin diberikan, barulah penyerahan menjadi sah. Maka, perbedaan antara mendahulukan dan mengakhirkan izin tergantung pada perbedaan dua pendapat dalam kehadiran pihak yang menggadaikan bersama penerima gadai, dan berdasarkan itu pula hukum berbeda.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَكُونُ الْقَبْضُ إِلَّا مَا حَضَرَهُ الْمُرْتَهِنُ أَوْ وَكِيلُهُ لَا حَائِلَ دُونَهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Penyerahan (qabdh) tidak dianggap sah kecuali yang dihadiri oleh penerima gadai (murtahin) atau wakilnya, tanpa ada penghalang antara dia dan barang tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.

قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ قَبْضَ الرَّهْنِ شَرْطٌ فِي لُزُومِهِ. وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَصِحَّ الْقَبْضُ إِلَّا بِحُضُورِ الْمُرْتَهِنِ أَوْ وَكِيلِهِ، لِأَنَّ الْقَبْضَ لَهُ.

Telah kami sebutkan bahwa penyerahan barang gadai adalah syarat agar gadai menjadi mengikat. Jika demikian, maka penyerahan tidak sah kecuali dengan kehadiran penerima gadai atau wakilnya, karena penyerahan itu untuk kepentingan penerima gadai.

فَإِنْ وَكَّلَ الرَّاهِنَ فِي قَبْضِهِ لَهُ لَمْ يَجُزْ. لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ قَابِضًا مِنْ نَفْسِهِ. وَلَوْ وَكَّلَ الْمُرْتَهِنُ عَبْدَ الرَّاهِنِ فِي قَبْضِ الرَّهْنِ لَهُ لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّ يَدَ الْعَبْدِ يَدُ سَيِّدِهِ. فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ تَوْكِيلُ الرَّاهِنِ فِي قَبْضِهِ لَمْ يَجُزْ تَوْكِيلُ عَبْدِهِ. وَلَوْ وَكَّلَ ابْنَ الرَّاهِنِ أَوْ أَبَاهُ جَازَ؛ لِأَنَّ يَدَ الِابْنِ وَالْأَبِ لَيْسَتْ يَدًا لَهُ.

Jika pemberi gadai mewakilkan dirinya sendiri untuk menerima barang gadai tersebut, maka tidak sah. Karena tidak sah seseorang menjadi penerima dari dirinya sendiri. Jika penerima gadai mewakilkan budak milik pemberi gadai untuk menerima barang gadai tersebut, maka tidak sah; karena tangan budak adalah tangan tuannya. Maka, ketika tidak sah mewakilkan pemberi gadai untuk menerima barang gadai, tidak sah pula mewakilkan budaknya. Namun, jika mewakilkan anak atau ayah pemberi gadai, maka itu sah; karena tangan anak dan ayah bukanlah tangan pemberi gadai.

وَأَمَّا حُضُورُ الرَّاهِنِ فَقَدْ ذَكَرْنَا مِنْ قَبْلُ مَا يَفْتَقِرُ إِلَى حُضُورِهِ وَمَا يَفْتَقِرُ إِلَى إذنه دون حضوره.

Adapun kehadiran pemberi gadai, telah kami sebutkan sebelumnya mana yang memerlukan kehadirannya dan mana yang hanya memerlukan izinnya tanpa kehadirannya.

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَالْإِقْرَارُ بِقَبْضِ الرَّهْنِ جَائِزٌ إِلَّا فِيمَا لَا يُمْكِنُ فِي مِثْلِهِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Pengakuan atas penerimaan barang gadai itu sah, kecuali pada perkara yang tidak mungkin terjadi pada semisalnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. إِذَا أَقَرَّ الرَّاهِنُ بِتَسْلِيمِ الرَّهْنِ وَأَقَرَّ الْمُرْتَهِنُ بِقَبْضِهِ فَقَدْ لَزِمَ الرَّهْنُ بِإِقْرَارِهِمَا، كَمَا يَلْزَمُ بِمُشَاهَدَةِ قَبْضِهِمَا، لِاسْتِوَائِهِمَا فِي الْحُكْمِ بِهِمَا.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan. Jika pemberi gadai mengakui telah menyerahkan barang gadai dan penerima gadai mengakui telah menerimanya, maka barang gadai menjadi wajib dengan pengakuan keduanya, sebagaimana menjadi wajib dengan penyaksian penerimaan keduanya, karena keduanya sama dalam hukum tersebut.

وَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَلِلرَّهْنِ الْمُقَرِّ بِقَبْضِهِ حَالَانِ:

Jika demikian, maka barang gadai yang diakui telah diterima itu memiliki dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الرَّهْنُ حَاضِرًا.

Pertama: Barang gadai itu hadir.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ غَائِبًا.

Kedua: Barang gadai itu tidak hadir (ghaib).

فَإِنْ كَانَ حَاضِرًا صَحَّ إِقْرَارُهُمَا بِقَبْضِهِ سَوَاءٌ أَطْلَقَا الْإِقْرَارَ بِقَبْضِهِ أَوْ قَيَّدَاهُ بِزَمَانٍ؛ لِأَنَّ الْحَاضِرَ يُمْكِنُ قَبْضُهُ فِي طَوِيلِ الزَّمَانِ وَقَصِيرِهِ.

Jika barang gadai itu hadir, maka sah pengakuan keduanya atas penerimaannya, baik mereka mengucapkan pengakuan penerimaan secara mutlak maupun membatasinya dengan waktu tertentu; karena barang yang hadir dapat diterima dalam waktu lama maupun singkat.

وَإِنْ كَانَ غَائِبًا لَمْ يَخْلُ حَالُ الْإِقْرَارِ بِقَبْضِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُطْلَقًا أَوْ مُقَيَّدًا …

Jika barang gadai itu tidak hadir, maka keadaan pengakuan penerimaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi pengakuan itu mutlak atau dibatasi…

فَإِنْ كَانَ مُطْلَقًا كَانَ الْإِقْرَارُ بِقَبْضِهِ لَازِمًا، وَهُوَ أَنْ يُقِرَّا وَهُمَا بِالْبَصْرَةِ بِقَبْضِ دَارٍ مَرْهُونَةٍ بِالْكُوفَةِ وَلَا يَذْكُرَانِ زَمَانَ الْقَبْضِ فَهَذَا إِقْرَارٌ صَحِيحٌ؛ لِأَنَّ إِطْلَاقَ إِقْرَارِهِمَا بِالْقَبْضِ يَقْتَضِي وُقُوعَهُ فِي زَمَانٍ مُمْكِنٍ فَلِذَلِكَ لَزِمَ.

Jika pengakuan itu mutlak, maka pengakuan atas penerimaannya menjadi wajib, yaitu jika keduanya mengakui di Basrah telah menerima rumah yang digadaikan di Kufah tanpa menyebutkan waktu penerimaan, maka ini adalah pengakuan yang sah; karena pengakuan mutlak mereka atas penerimaan mengandung makna terjadinya penerimaan pada waktu yang memungkinkan, maka dari itu menjadi wajib.

وَإِنْ كَانَ الْإِقْرَارُ مُقَيَّدًا بِزَمَانٍ لَمْ يَخْلُ حَالُ الزَّمَانِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika pengakuan itu dibatasi dengan waktu, maka keadaan waktu tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ الْقَبْضُ فِيهِ مُمْكِنًا أَوْ غَيْرَ مُمْكِنٍ.

Bisa jadi penerimaan pada waktu itu memungkinkan atau tidak memungkinkan.

فَإِنْ كَانَ مُمْكِنًا فَصُورَتُهُ أَنْ يُقِرَّا بِالْبَصْرَةِ بِقَبْضِ دَارٍ بِالْكُوفَةِ مُنْذُ عَشَرَةِ أَيَّامٍ وَأَكْثَرَ فَهَذَا إِقْرَارٌ صَحِيحٌ؛ لِأَنَّ الْقَبْضَ فِي هَذِهِ الْمُدَّةِ مُمْكِنٌ.

Jika memungkinkan, contohnya adalah keduanya mengakui di Basrah telah menerima rumah di Kufah sejak sepuluh hari atau lebih, maka ini adalah pengakuan yang sah; karena penerimaan dalam rentang waktu tersebut memungkinkan.

وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُمْكِنٍ فَصُورَتُهُ أَنْ يُقِرَّا بِالْبَصْرَةِ بِقَبْضِ دَارٍ بِالْكُوفَةِ مُنْذُ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ فَهَذَا إِقْرَارٌ بَاطِلٌ لِاسْتِحَالَةِ الْقَبْضِ فِي هَذِهِ الْمُدَّةِ. وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ: وَالْإِقْرَارُ بِالْقَبْضِ لِلرَّهْنِ جَائِزٌ إِلَّا فِيمَا لَا يُمْكِنُ فِي مِثْلِهِ.

Jika tidak memungkinkan, contohnya adalah keduanya mengakui di Basrah telah menerima rumah di Kufah sejak sehari atau dua hari, maka ini adalah pengakuan yang batal karena mustahil terjadi penerimaan dalam rentang waktu tersebut. Inilah maksud perkataan Imam Syafi‘i: “Pengakuan atas penerimaan barang gadai itu sah kecuali pada perkara yang tidak mungkin terjadi pada semisalnya.”

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ أَرَادَ الرَّاهِنُ أَنْ يُحَلِّفَ الْمُرْتَهِنَ أَنَّهُ قَبَضَ مَا كَانَ أَقَرَّ لَهُ بِقَبْضِهِ أَحْلَفْتَهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika pemberi gadai ingin meminta sumpah kepada penerima gadai bahwa ia benar-benar telah menerima barang yang telah diakui penerimaannya, maka aku akan menyuruhnya bersumpah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: أَنْ يُقِرَّ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ بِقَبْضِ الرَّهْنِ، فَيَصِيرُ مَقْبُوضًا بِإِقْرَارِهِمَا ثُمَّ يَرْجِعُ الرَّاهِنُ فِي إِقْرَارِهِ وَيَدَّعِي أَنَّهُ كَانَ قَدْ أقر بتعليم الرَّهْنِ عَلَى جَهَالَةٍ. فَإِنْ صَدَّقَهُ الْمُرْتَهِنُ أَنَّ الْقَبْضَ لَمْ يَحْصُلْ فَلَا قَبْضَ وَالرَّهْنُ غَيْرُ لَازِمٍ وَالرَّاهِنُ فِيمَا بَعْدُ بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءَ أَقْبَضَ الرَّهْنَ وَإِنْ شَاءَ مَنَعَ.

Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah: pemberi gadai dan penerima gadai sama-sama mengakui telah menerima barang gadai, sehingga barang gadai dianggap telah diterima dengan pengakuan keduanya. Kemudian pemberi gadai menarik kembali pengakuannya dan mengklaim bahwa ia telah mengakui penyerahan barang gadai dalam keadaan tidak tahu. Jika penerima gadai membenarkan bahwa penerimaan belum terjadi, maka tidak ada penerimaan dan barang gadai tidak menjadi wajib, dan pemberi gadai setelah itu bebas memilih, jika ia mau ia menyerahkan barang gadai, jika tidak ia boleh menahan.

وَإِنْ لَمْ يُصَدِّقْهُ الْمُرْتَهِنُ فِي رُجُوعِهِ وَادَّعَى حُصُولَ الْقَبْضِ الَّذِي حَصَلَ بِإِقْرَارِهِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ فِي حُصُولِ الْقَبْضِ، وَلَا يُقْبَلُ رُجُوعُ الرَّاهِنِ فِيمَا تَقَدَّمَ مِنَ الْإِقْرَارِ، لِأَنَّهُ قَدْ حَكَمَ بِهِ عَلَيْهِ.

Namun jika penerima gadai tidak membenarkan penarikan pengakuan pemberi gadai dan mengklaim bahwa penerimaan telah terjadi sebagaimana yang diakui, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan penerima gadai tentang terjadinya penerimaan, dan penarikan pengakuan pemberi gadai atas pengakuan sebelumnya tidak diterima, karena telah diputuskan atas dirinya.

فَإِنْ سَأَلَ الرَّاهِنُ يَمِينَ الْمُرْتَهِنِ بِاللَّهِ أَنَّهُ قَبَضَ الرَّهْنَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika pemberi gadai meminta sumpah penerima gadai dengan nama Allah bahwa ia telah menerima barang gadai, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الرَّاهِنُ الَّذِي أَقَرَّ بِقَبْضِهِ غَائِبًا عَنْهُمَا. فَلَا بُدَّ مِنْ إِحْلَافِ الْمُرْتَهِنِ بِاللَّهِ أَنَّهُ قَدْ كَانَ قَبَضَ الرَّهْنَ. لِأَنَّهُ إِذَا كَانَ غَائِبًا فَإِقْرَارُ الرَّاهِنِ إِنَّمَا يَكُونُ فِي الْغَالِبِ عَلَى قَوْلِ وَكِيلِهِ أَنَّهُ سَلَّمَ الرَّهْنَ. ثُمَّ يَعْلَمُ كَذِبَ الْوَكِيلِ. وَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ سَلَّمَ الرَّهْنَ فَيَكُونُ لِمَا ادَّعَاهُ ثَانِيَةً مِنْ عَدَمِ الْقَبْضِ السَّابِقِ بِإِقْرَارِهِ وَجْهٌ مُمْكِنٌ، فَلِذَلِكَ وَجَبَ أَنْ يَحْلِفَ لَهُ الْمُرْتَهِنُ فَعَلَى هَذَا إِنْ حَلَفَ الْمُرْتَهِنُ حُكِمَ لَهُ بِالْقَبْضِ وَتَمَامِ الرَّهْنِ، وَإِنْ نَكَلَ، رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَى الرَّاهِنِ. فَإِنْ حَلَفَ حُكِمَ لَهُ بِمَا ادَّعَاهُ مِنْ عَدَمِ الْقَبْضِ، وَكَانَ الرَّهْنُ غَيْرَ تَامٍّ، وَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ فِيهِ إِنْ شَاءَهُ وَإِنْ نَكَلَ سَقَطَتْ دَعْوَاهُ، وَحُكِمَ بِتَمَامِ الرهن.

Salah satu di antaranya: Apabila pihak yang menggadaikan (rāhin) yang mengakui penyerahan barang gadai (rahn) itu sedang tidak hadir di antara keduanya. Maka, wajib bagi pihak penerima gadai (murtahin) untuk bersumpah atas nama Allah bahwa ia benar-benar telah menerima barang gadai tersebut. Sebab, jika pihak yang menggadaikan itu tidak hadir, maka pengakuan pihak yang menggadaikan itu pada umumnya didasarkan atas ucapan wakilnya bahwa ia telah menyerahkan barang gadai. Kemudian, bisa saja diketahui bahwa wakil tersebut berbohong dan sebenarnya belum menyerahkan barang gadai itu. Maka, atas pengakuan kedua dari pihak yang menggadaikan tentang tidak adanya penyerahan sebelumnya berdasarkan pengakuannya, terdapat kemungkinan yang masuk akal. Oleh karena itu, wajib bagi pihak penerima gadai untuk bersumpah kepadanya. Berdasarkan hal ini, jika pihak penerima gadai bersumpah, maka diputuskan bahwa ia telah menerima barang gadai dan akad gadai menjadi sempurna. Namun, jika ia menolak bersumpah, maka sumpah itu dikembalikan kepada pihak yang menggadaikan. Jika pihak yang menggadaikan bersumpah, maka diputuskan sesuai dengan apa yang ia klaim, yaitu bahwa penyerahan belum terjadi, dan akad gadai belum sempurna, serta ia berhak mengambil kembali barang gadai tersebut jika ia menghendakinya. Namun, jika ia menolak bersumpah, gugurlah klaimnya dan diputuskan bahwa akad gadai telah sempurna.

والثاني: أن يكون الرهن المقر بقبضه حاضرا قبل حلف المتهم؟ عَلَى وَجْهَيْنِ

Dan yang kedua: Apabila barang gadai yang diakui telah diterima itu hadir sebelum pihak yang dituduh bersumpah? Maka ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ وأبي علي بن خيران: أن يَجِبُ إِحْلَافُ الْمُرْتَهِنِ، لِأَنَّ إِقْرَارَ الرَّاهِنِ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ فِي الْحَاضِرِ عَنْ قَوْلِ وَكِيلِهِ، كَمَا يَحْتَمِلُ فِي الْغَائِبِ، فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ حكم اليمين منهما.

Salah satunya, yaitu pendapat Ibnu Surayj dan Abu Ali bin Khayran: Wajib bagi pihak penerima gadai untuk bersumpah, karena pengakuan pihak yang menggadaikan bisa jadi didasarkan pada ucapan wakilnya meskipun barangnya hadir, sebagaimana halnya jika barangnya tidak hadir. Maka, hukum sumpah pada keduanya harus disamakan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ: لَا يَحْلِفُ الْمُرْتَهِنُ وَإِنْ حَلَفَ فِي الْغَائِبِ؛ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ أَمْرِ الْحَاضِرِ أَنَّهُ تَوَلَّى تَسْلِيمَهُ بِنَفْسِهِ، فَلَمْ يَجِبْ بِرُجُوعِهِ يَمِينٌ عَلَى الْمُرْتَهِنِ مَعَ تَقَدُّمِ إِقْرَارِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْغَائِبُ. وَهَكَذَا لَوْ كَانَ الْإِقْرَارُ بِمَالٍ، أَوْ قَبْضِ ثَمَنٍ فِي مَبِيعٍ، ثُمَّ عَادَ الْمُقِرُّ فَقَالَ: كَانَ إِقْرَارِي بِالْمَالِ قَبْلَ ثُبُوتِهِ، وَإِقْرَارِي بِقَبْضِ الثَّمَنِ قَبْلَ قَبْضِهِ، وَسَأَلَ يَمِينَ الْمُقَرِّ لَهُ كَانَ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ فِي إِحْلَافِ الْمُرْتَهِنِ فِي الرَّهْنِ الْحَاضِرِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq: Pihak penerima gadai tidak perlu bersumpah, meskipun ia bersumpah dalam kasus barang tidak hadir; karena yang tampak dalam kasus barang hadir adalah bahwa pihak yang menggadaikan sendiri yang menyerahkannya secara langsung, sehingga tidak wajib bagi pihak penerima gadai untuk bersumpah setelah adanya pengakuan sebelumnya, dan tidak demikian halnya pada kasus barang tidak hadir. Demikian pula jika pengakuan itu terkait dengan harta, atau penerimaan harga dalam jual beli, kemudian pihak yang mengaku kembali dan berkata: “Pengakuanku atas harta itu sebelum harta itu benar-benar ada, dan pengakuanku atas penerimaan harga sebelum benar-benar menerima harga,” lalu ia meminta sumpah dari pihak yang diakui, maka dalam dua kasus ini, hukum sumpah bagi penerima gadai dalam kasus barang gadai yang hadir mengikuti dua pendapat di atas.

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَحْلِفَ الْمُقَرُّ لَهُ. وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ.

Salah satunya: Pihak yang diakui bersumpah. Ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas.

وَالثَّانِي: لَا يَحْلِفُ وهو قول أبي إسحاق.

Dan yang kedua: Tidak perlu bersumpah, dan ini adalah pendapat Abu Ishaq.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

إِذَا أَنْكَرَ الرَّاهِنُ تَسْلِيمَ الرَّهْنِ فَشَهِدَ شَاهِدَانِ عَلَى إِقْرَارِهِ بِتَسْلِيمِ الرَّهْنِ حُكِمَ عَلَيْهِ بِالتَّسْلِيمِ وَتَمَّ الرَّهْنُ. فَإِنْ سَأَلَ إِحْلَافَ الْمُرْتَهِنِ عَلَى ذَلِكَ لَمْ يَجِبْ إِحْلَافُهُ سَوَاءٌ كَانَ الرَّهْنُ حَاضِرًا أَوْ غَائِبًا.

Jika pihak yang menggadaikan mengingkari telah menyerahkan barang gadai, lalu ada dua orang saksi yang bersaksi atas pengakuannya bahwa ia telah menyerahkan barang gadai, maka diputuskan ia wajib menyerahkan barang gadai dan akad gadai menjadi sempurna. Jika ia meminta pihak penerima gadai untuk bersumpah atas hal itu, maka tidak wajib bagi penerima gadai untuk bersumpah, baik barang gadai itu hadir maupun tidak hadir.

فَإِنْ قِيلَ: مَا الْفَرْقُ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ مُقِرًّا بِتَقَدُّمِ التَّسْلِيمِ، فَيَسْأَلُ إِحْلَافَ الْمُرْتَهِنِ فَيُحَلِّفُونَهُ. وَبَيْنَ أَنْ يَكُونَ مُنْكِرًا، فَتَقُومُ عَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ بِإِقْرَارِهِ، ثُمَّ يَسْأَلُ إِحْلَافَ الْمُرْتَهِنِ فَلَا يُحَلِّفُونَهُ؟

Jika ada yang bertanya: Apa perbedaan antara kasus ketika seseorang mengakui telah menyerahkan barang sebelumnya, lalu ia meminta pihak penerima gadai untuk bersumpah, lalu mereka menyuruhnya bersumpah; dan antara kasus ketika ia mengingkari, lalu ada bukti yang menegaskan pengakuannya, kemudian ia meminta pihak penerima gadai untuk bersumpah, namun mereka tidak menyuruhnya bersumpah?

قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Dijawab: Perbedaan keduanya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ فِي إِحْلَافِ الْمُرْتَهِنِ مَعَ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ لَهُ جَرْحًا لِلشُّهُودِ، وَتَعْلِيلًا لِشَهَادَتِهِمْ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي الْإِقْرَارِ.

Pertama: Bahwa dalam meminta sumpah kepada pihak penerima gadai padahal sudah ada bukti untuknya, berarti mencederai para saksi dan meragukan kesaksian mereka, sedangkan dalam kasus pengakuan tidak demikian.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَعَ الْإِنْكَارِ لَيْسَ بِمُسْتَأْنِفٍ لِدَعْوَى، وَإِنَّمَا يُنْكِرُ شَيْئًا قَامَتْ بِهِ الْبَيِّنَةُ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَجِبْ مَعَ الْبَيِّنَةِ يَمِينٌ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي الْإِقْرَارِ، لِأَنَّهُ مُعْتَرِفٌ بِتَقَدُّمِ الْإِقْرَارِ وَهُوَ مُسْتَأْنِفٌ لِدَعْوَى، فَجَازَ أَنْ يُحَلَّفَ الْمُرْتَهِنُ عنها.

Kedua: Dalam kasus pengingkaran, ia tidak sedang memulai gugatan baru, melainkan hanya mengingkari sesuatu yang sudah ada buktinya atas dirinya, sehingga tidak wajib adanya sumpah bersama bukti. Tidak demikian halnya dalam kasus pengakuan, karena ia mengakui adanya pengakuan sebelumnya dan ia sedang memulai gugatan baru, maka boleh bagi pihak penerima gadai untuk disuruh bersumpah atasnya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

إِذَا أَقَرَّ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ بِقَبْضِ الرَّهْنِ ثُمَّ عَادَ الْمُرْتَهِنُ يُنْكِرُ الْقَبْضَ وَيَدَّعِي أَنَّ إِقْرَارَهُ الْمُتَقَدِّمَ كَانَ عَلَى جَهَالَةٍ كَمَا ادَّعَى الرَّاهِنُ مِنْ قَبْلُ لَمْ يُقْبَلْ رُجُوعُ الْمُرْتَهِنِ. فَإِنْ سَأَلَ إِحْلَافَ الرَّاهِنِ كَانَ عَلَى مَا مَضَى مِنْ رُجُوعِ الرَّاهِنِ وَسُؤَالِهِ يَمِينَ الْمُرْتَهِنِ، لاستوائهما في تمام القبض بإقرارهما.

Jika pihak yang menggadaikan dan pihak penerima gadai sama-sama mengakui telah menerima barang gadai, kemudian pihak penerima gadai kembali mengingkari penerimaan itu dan mengklaim bahwa pengakuan sebelumnya dilakukan karena ketidaktahuan, sebagaimana yang pernah diklaim oleh pihak yang menggadaikan sebelumnya, maka penarikan kembali pengakuan oleh pihak penerima gadai tidak diterima. Jika ia meminta pihak yang menggadaikan untuk bersumpah, maka hukumnya sama seperti yang telah dijelaskan pada kasus penarikan pengakuan oleh pihak yang menggadaikan dan permintaannya agar pihak penerima gadai bersumpah, karena keduanya sama-sama mengakui kesempurnaan penerimaan barang gadai.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالْقَبْضُ فِي الْعَبْدِ وَالثَّوْبِ وَمَا يَحُولُ أَنْ يَأْخُذَهُ مُرْتَهِنُهُ مِنْ يَدَيْ رَاهِنِهِ وَقَبْضُ مَا لَا يَحُولُ مِنْ أَرْضٍ وَدَارٍ أَنْ يُسَلَّمَ لَا حَائِلَ دُونَهُ وَكَذَلِكَ الشِّقْصُ وَشِقْصُ السَّيْفِ أَنْ يَحُولَ حَتَّى يَضَعَهُ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ عَلَى يَدَيْ عَدْلٍ أَوْ يَدَيِ الشَّرِيكِ “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Adapun qabḍ (penguasaan) atas budak, kain, dan segala sesuatu yang memungkinkan bagi murtahin (penerima gadai) untuk mengambilnya dari tangan rāhin (pemberi gadai), serta qabḍ atas sesuatu yang tidak dapat dipindahkan seperti tanah dan rumah adalah dengan menyerahkannya tanpa ada penghalang antara murtahin dan barang tersebut. Demikian pula halnya dengan bagian (syiqṣ) dan bagian dari pedang, yaitu dengan cara dipisahkan hingga rāhin dan murtahin meletakkannya pada tangan seorang ‘adl (orang yang adil) atau pada tangan syarikat (rekanan).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، وَجُمْلَةُ الْكَلَامِ فِي الْقَبْضِ أَنَّهُ يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan, dan keseluruhan pembahasan tentang qabḍ mencakup dua bagian:

أَحَدُهُمَا: فِي حُكْمِ الْقَابِضِ وَالْمُقْبِضِ وَقَدْ مَضَى.

Pertama: Tentang hukum orang yang melakukan qabḍ dan yang menyerahkan, dan hal ini telah dijelaskan sebelumnya.

وَالثَّانِي: فِيمَا يَصِيرُ بِهِ الرَّهْنُ مَقْبُوضًا وَهُوَ أَنَّ كُلَّ شَيْءٍ صَارَ بِهِ الْمَبِيعُ مَقْبُوضًا لِلْمُشْتَرِي صَارَ بِهِ الرَّهْنُ مَقْبُوضًا لِلْمُرْتَهِنِ. وَقَدْ مَضَى ذَلِكَ فِي كِتَابِ الْبُيُوعِ وَجُمْلَتُهُ: أَنَّ الرَّهْنَ ضَرْبَانِ: مَحُوزٌ وَمُشَاعٌ.

Kedua: Tentang hal-hal yang menyebabkan rahn (barang gadai) menjadi maqbūḍ (telah dikuasai), yaitu bahwa segala sesuatu yang dengan itu barang jualan menjadi maqbūḍ bagi pembeli, maka dengan itu pula rahn menjadi maqbūḍ bagi murtahin. Hal ini telah dijelaskan dalam Kitāb al-Buyū‘, dan secara ringkas: rahn terbagi dua, yaitu: maḥūz (terpisah) dan musyā‘ (tidak terpisah).

فَأَمَّا الْمَحُوزُ فَضَرْبَانِ: مَنْقُولٌ وَغَيْرُ مَنْقُولٍ. فَغَيْرُ الْمَنْقُولِ: الدُّورُ وَالْعَقَارُ وَالْأَرَضُونَ. وَقَبْضُ ذَلِكَ يَكُونُ بِرَفْعِ يَدِ الرَّاهِنِ عَنْهَا، وَالتَّخْلِيَةِ بَيْنَ الْمُرْتَهِنِ وَبَيْنَهَا، وَالْمَنْقُولُ ضَرْبَانِ: ضَرْبٌ يَحْتَاجُ إِلَى كَيْلٍ أَوْ وَزْنٍ فَقَبْضُهُ بِشَيْئَيْنِ: الْكَيْلُ وَالتَّحْوِيلُ إِنْ كَانَ مَكِيلًا. وَالْوَزْنُ وَالتَّحْوِيلُ إِنْ كَانَ موزنا.

Adapun maḥūz, terbagi dua: yang dapat dipindahkan (manqūl) dan yang tidak dapat dipindahkan. Yang tidak dapat dipindahkan adalah rumah, bangunan, dan tanah. Qabḍ atas hal-hal tersebut dilakukan dengan cara rāhin melepaskan tangannya darinya, dan membiarkan murtahin menguasainya. Adapun yang dapat dipindahkan terbagi dua: jenis yang memerlukan takaran atau timbangan, maka qabḍ-nya dengan dua hal: takaran dan pemindahan jika berupa barang takaran, dan timbangan serta pemindahan jika berupa barang timbangan.

وضرب لا يحتاج إلى كيل لا وزن. فقبضه ينقله عَنْ مَوْضِعِهِ إِلَى غَيْرِهِ، سَوَاءٌ أَخْرَجَهُ بِالنَّقْلِ عَنْ مِلْكِ بَائِعِهِ أَمْ لَا؟ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ. وَقَالَ أَبُو الْقَاسِمِ الدَّارَكِيُّ لَا يَكُونُ قَبْضًا حَتَّى يُخْرِجَهُ عَنْ مِلْكِ بَائِعِهِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: حَتَّى يَحُوزَهُ التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ.

Adapun jenis yang tidak memerlukan takaran atau timbangan, maka qabḍ-nya adalah dengan memindahkannya dari tempatnya ke tempat lain, baik ia dikeluarkan dari kepemilikan penjualnya atau tidak. Ini adalah pendapat yang ditegaskan oleh asy-Syafi‘i. Sedangkan Abū al-Qāsim ad-Dārakī berpendapat bahwa tidak dianggap qabḍ hingga benar-benar dikeluarkan dari kepemilikan penjualnya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Hingga para pedagang memindahkannya ke tempat mereka masing-masing.”

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْمُشَاعُ فَضَرْبَانِ: مَنْقُولٌ وَغَيْرُ مَنْقُولٍ. فَغَيْرُ الْمَنْقُولِ كأرض أو دار منه سهاما منها مشاعا، فصحة القبض في هذا مفتقرا إِلَى حُضُورِ الشَّرِيكِ، لِأَنَّ مِنْ صِحَّتِهِ أَلَّا يَكُونَ هُنَاكَ مُنَازِعٌ وَلِلشَّرِيكِ يَدٌ فَكَانَ حُضُورُهُ فِي الْقَبْضِ شَرْطًا فِي صِحَّتِهِ. فَإِذَا حَضَرَ الشَّرِيكُ وَالرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ، وَرَفَعَ الرَّاهِنُ يَدَهُ عَنْ حِصَّتِهِ لِلْمُرْتَهِنِ، وَصَارَتْ فِي قَبْضِ الْمُرْتَهِنِ فَإِنْ تَرَاضَيَا الشَّرِيكُ وَالْمُرْتَهِنُ أَنْ تَكُونَ الدَّارُ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ جَازَ. وَإِنْ تَرَاضَيَا أَنْ تَكُونَ فِي يَدِ الشَّرِيكِ جَازَ. وَإِنْ تَرَاضَيَا أَنْ تَكُونَ عَلَى يَدَيْ عَدْلٍ جَازَ.

Adapun musyā‘, terbagi dua: yang dapat dipindahkan dan yang tidak dapat dipindahkan. Yang tidak dapat dipindahkan seperti tanah atau rumah yang sebagian sahamnya bersifat musyā‘ (tidak terpisah), maka sahnya qabḍ dalam hal ini memerlukan kehadiran syarikat (rekanan), karena salah satu syarat sahnya adalah tidak adanya pihak yang menentang, sedangkan syarikat memiliki hak atasnya, sehingga kehadirannya menjadi syarat sah qabḍ. Jika syarikat, rāhin, dan murtahin hadir, lalu rāhin melepaskan tangannya dari bagiannya untuk murtahin, dan bagian tersebut berada dalam penguasaan murtahin, maka jika syarikat dan murtahin sepakat agar rumah itu berada di tangan murtahin, maka boleh. Jika mereka sepakat agar berada di tangan syarikat, juga boleh. Jika mereka sepakat agar berada di tangan seorang ‘adl, juga boleh.

وَأَمَّا الْمَنْقُولُ كَسَهْمٍ مِنْ ثَوْبٍ أَوْ سَيْفٍ أَوْ جَوْهَرَةٍ أَوْ عَبْدٍ، فَقَبْضُ ذَلِكَ غَيْرُ مُفْتَقِرٍ إِلَى حُضُورِ الشَّرِيكِ؛ لِأَنَّ قَبْضَهُ بِالنَّقْلِ وَالتَّحْوِيلِ. فَإِنْ أَذِنَ الشَّرِيكُ لِلْمُرْتَهِنِ فِي نَقْلِ جَمِيعِهِ صَحَّ، وَإِنْ أَذِنَ الْمُرْتَهِنُ لِلشَّرِيكِ فِي قَبْضِ جَمِيعِهِ لَهُ بِالتَّحْوِيلِ جَازَ، وَإِنْ أَذِنَا لِعَدْلٍ فِي قبضه لهما جاز.

Adapun yang dapat dipindahkan seperti saham dari kain, pedang, permata, atau budak, maka qabḍ atas hal tersebut tidak memerlukan kehadiran syarikat, karena qabḍ-nya dilakukan dengan pemindahan dan pengalihan. Jika syarikat mengizinkan murtahin untuk memindahkan seluruhnya, maka sah. Jika murtahin mengizinkan syarikat untuk menguasai seluruhnya dengan pengalihan, maka boleh. Jika keduanya mengizinkan seorang ‘adl untuk menguasai bagi keduanya, maka boleh.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَ فِي يَدَيِ الْمُرْتَهِنِ بِغَصْبٍ لِلرَّاهِنِ فَرَهَنَهُ إِيَّاهُ قَبْلَ أَنْ يَقْبِضَهُ مِنْهُ وَأَذِنَ لَهُ فِي قَبْضِهِ فَقَبَضَهُ كَانَ رَهْنًا وَكَانَ مضمونا على الغاصب بالغصب حَتَّى يَدْفَعَهُ إِلَى الْمَغْصُوبِ مِنْهُ أَوْ يُبَرِّئَهُ من ضمان الغصب (قال المزني) قلت أنا يشبه أصل قوله إذا جعل قبض الغصب في الرهن جائزا كما جعل قبضه في البيع جائزا أن لا يجعل الغاصب في الرهن ضامنا إذ الرهن عنده غير مضمون “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika barang itu berada di tangan murtahin karena telah diguṣab (dirampas) dari rāhin, lalu rāhin menggadaikannya kepadanya sebelum ia mengambilnya kembali darinya dan mengizinkannya untuk mengambilnya, kemudian ia mengambilnya, maka itu sah menjadi rahn dan tetap menjadi tanggungan bagi pelaku guṣab hingga ia menyerahkannya kepada yang berhak atau ia dibebaskan dari tanggungan guṣab.” (Al-Muzanī berkata:) Saya berkata: Ini mirip dengan pendapat dasarnya, jika ia membolehkan qabḍ dengan guṣab dalam rahn sebagaimana ia membolehkannya dalam jual beli, maka seharusnya pelaku guṣab dalam rahn tidak menjadi penanggung, karena menurutnya rahn tidak menjadi tanggungan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لَوْ غَصَبَ رَجُلٌ مِنْ رَجُلٍ شَيْئًا كَعَبْدٍ أَوْ ثَوْبٍ ثم إن الغاصب حصل لَهُ عَلَى الْمَالِكِ مَالٌ فَرَهَنَهُ الْمَالِكُ الشَّيْءَ الْمَغْصُوبَ، فَالرَّهْنُ جَائِزٌ وَيَصِيرُ فِي يَدِ الْغَاصِبِ بِعَقْدِ الرَّهْنِ بَعْدَ أَنْ كَانَ فِي يَدِهِ بِغَصْبٍ.

Al-Māwardī berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan. Jika seseorang merampas sesuatu dari orang lain, seperti budak atau kain, kemudian si perampas memiliki utang kepada pemilik, lalu pemilik menggadaikan barang yang diguṣab itu, maka rahn itu sah dan menjadi berada di tangan perampas berdasarkan akad rahn setelah sebelumnya berada di tangannya karena guṣab.

وَإِنَّمَا جَازَ رَهْنُهُ؛ لِأَنَّ لِلْغَاصِبِ الْمُرْتَهِنِ عليه يد وَمَنْ عَقَدَ عَلَى شَيْءٍ فِي يَدِهِ كَانَ بِالْجَوَازِ أَوْلَى مِنْ عَقْدِهِ عَلَى مَا لَيْسَ بِيَدِهِ. فَإِذَا صَحَّ عَقْدُ الرَّهْنِ عَلَيْهِ كَانَ تَمَامُهُ بِشَرْطَيْنِ:

Dan sesungguhnya boleh menjadikan barang hasil ghasab sebagai barang gadai karena si pengghasab yang menerima gadai memiliki kekuasaan atas barang tersebut, dan siapa yang melakukan akad atas sesuatu yang ada dalam kekuasaannya, maka lebih layak untuk dibolehkan daripada melakukan akad atas sesuatu yang tidak ada dalam kekuasaannya. Maka apabila akad rahn (gadai) atas barang tersebut sah, maka kesempurnaannya tergantung pada dua syarat:

أَحَدُهُمَا: مُضِيُّ زَمَانِ الْقَبْضِ كَمَا قُلْنَا فِي الْوَدِيعَةِ إِذَا كَانَ بَقَاؤُهَا مَعْلُومًا.

Salah satunya: telah berlalu masa penyerahan sebagaimana telah kami jelaskan dalam masalah titipan (wadi‘ah) apabila keberadaannya diketahui.

وَالثَّانِي: الْإِذْنُ فِي قَبْضِهِ قَوْلًا وَاحِدًا بِخِلَافِ الْوَدِيعَةِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ لِأَنَّ الْمُودِعَ قَابِضٌ مُتَسَلِّمٌ فَلَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى إِذْنٍ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، وَالْغَاصِبُ لَيْسَ بِقَابِضٍ، فَافْتَقَرَ إِلَى إِذْنٍ.

Dan yang kedua: adanya izin untuk menerima barang tersebut menurut satu pendapat, berbeda dengan wadi‘ah menurut salah satu dari dua pendapat, karena orang yang menitipkan adalah orang yang menerima dan menguasai barang, sehingga tidak membutuhkan izin menurut salah satu pendapat, sedangkan pengghasab bukanlah orang yang menerima, sehingga membutuhkan izin.

فَإِذَا تَمَّ الرَّهْنُ وَلَزِمَ كَانَ ضَمَانُ الْغَصْبِ بَاقِيًا لَا يَزُولُ عَنْهُ بِالرَّهْنِ الْحَادِثِ.

Maka apabila akad rahn telah sempurna dan mengikat, maka tanggungan ghasab tetap ada dan tidak hilang darinya karena adanya rahn yang baru.

وَقَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ وَالْمُزَنِيُّ: قَدْ زَالَ ضَمَانُ الْغَصْبِ بِالرَّهْنِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ عَقْدَ الرَّهْنِ لا يقتضي زمان الْغَصْبِ، كَمَا أَنَّ عَقْدَ الْبَيْعِ لَا يَقْتَضِي ضَمَانَ الْغَصْبِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ بَاعَهُ عَلَيْهِ سَقَطَ ضَمَانُ الْغَصْبِ، لِأَنَّ الْعَقْدَ يُنَافِيهِ فَوَجَبَ إِذَا رَهَنَهُ إِيَّاهُ أَنْ يَسْقُطَ عَنْهُ ضَمَانُ الْغَصْبِ لِأَنَّ الْعَقْدَ يُنَافِيهِ. وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهُ عَقْدٌ لَا يَقْتَضِي ضَمَانَ الْغَصْبِ لوجب إذا ورد على ضمان الغصب أن يسقطه كَالْبَيْعِ.

Abu Hanifah, Malik, dan al-Muzani berkata: Tanggungan ghasab telah hilang dengan adanya rahn, dengan alasan bahwa akad rahn tidak menuntut adanya tanggungan ghasab, sebagaimana akad jual beli juga tidak menuntut adanya tanggungan ghasab. Kemudian telah tetap bahwa jika ia menjual barang tersebut kepadanya, maka tanggungan ghasab gugur, karena akad itu bertentangan dengannya. Maka wajib pula jika ia menggadaikannya kepadanya, tanggungan ghasab juga gugur darinya, karena akad itu bertentangan dengannya. Penjelasan hal ini secara qiyās: bahwa akad tersebut tidak menuntut adanya tanggungan ghasab, maka jika akad itu terjadi atas barang yang dalam tanggungan ghasab, wajib untuk menggugurkannya sebagaimana dalam jual beli.

قَالُوا: وَلِأَنَّ ابْتِدَاءَ الرَّهْنِ يُنَافِي الضَّمَانَ بِدَلَالَةِ أَنَّهُ لَوْ قَالَ: رَهَنْتُكَ هَذَا الشَّيْءَ عَلَى أَنْ يَكُونَ مَضْمُونًا عَلَيْكَ لَمْ يَصِرْ مضمونا، وإذا تنافيا بابتداء لَمْ يَجْتَمِعَا وَكَانَ أَحَدُهُمَا رَافِعًا لِلْآخَرِ، فَلَمَّا ثَبَتَ عَقْدُ الرَّهْنِ اتِّفَاقًا انْتَفَى الضَّمَانُ حِجَاجًا.

Mereka berkata: Dan karena permulaan akad rahn bertentangan dengan tanggungan, dengan dalil bahwa jika ia berkata: “Aku menggadaikan barang ini kepadamu dengan syarat tetap dalam tanggunganmu,” maka barang itu tidak menjadi dalam tanggungan. Dan apabila keduanya saling bertentangan sejak awal, maka keduanya tidak bisa berkumpul dan salah satunya akan menghapus yang lain. Maka ketika akad rahn telah tetap secara kesepakatan, maka tanggungan gugur sebagai konsekuensinya.

قَالُوا: وَلِأَنَّ لِلْغَصْبِ حُكْمَيْنِ: الضَّمَانُ بِابْتِدَائِهِ. وَالْإِثْمُ بِاحْتِبَاسِهِ. فَلَمَّا كَانَ عَقْدُ الرَّهْنِ رَافِعًا لِلْإِثْمِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ رَافِعًا لِلضَّمَانِ.

Mereka berkata: Dan karena ghasab memiliki dua hukum: tanggungan pada permulaannya, dan dosa karena menahan barang tersebut. Maka ketika akad rahn menghapus dosa, wajib pula ia menghapus tanggungan.

وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهُ أَحَدُ مُوجِبَيِ الْغَصْبِ فَوَجَبَ أَنْ يَزُولَ بِعَقْدِ الرَّهْنِ كَالْإِثْمِ؛ وَلِأَنَّ الرَّهْنَ أَمَانَةٌ كَمَا أَنَّ الْوَدِيعَةَ أَمَانَةٌ، فَلَمَّا صَارَ مَقْبُوضًا رهنا وجب أن ينتقل عن كونه كَمَا لَوْ صَارَ مَقْبُوضًا وَدِيعَةً. فَانْتَقَلَ عَنْ كَوْنِهِ مَقْبُوضًا غَصْبًا وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهُ عَقْدُ أَمَانَةٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ رَافِعًا لِضَمَانِ الْغَصْبِ كَالْوَدِيعَةِ.

Penjelasan hal ini secara qiyās: bahwa tanggungan adalah salah satu akibat dari ghasab, maka wajib hilang dengan akad rahn sebagaimana dosa; dan karena rahn adalah amanah sebagaimana wadi‘ah juga amanah, maka ketika barang itu telah diterima sebagai barang gadai, wajib berpindah statusnya sebagaimana jika diterima sebagai barang titipan. Maka statusnya berpindah dari barang yang diterima secara ghasab. Penjelasan hal ini secara qiyās: bahwa ia adalah akad amanah, maka wajib menjadi penghapus tanggungan ghasab sebagaimana wadi‘ah.

وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ الْمَغْصُوبَ مَضْمُونٌ عَلَى غَاصِبِهِ وَعَقْدُ الرَّهْنِ لَا يُنَافِي ضَمَانَ الْغَصْبِ بِدَلَالَةِ أَنَّهُ لَوْ تَعَدَّى عَلَيْهِ بَعْدَ الرَّهْنِ ضَمِنَهُ ضَمَانَ الْغَصْبِ فَلَمَّا لَمْ يَمْنَعِ الرَّهْنُ ضَمَانَ الْغَصْبِ فِي الِانْتِهَاءِ لَمْ يَمْنَعْ ضَمَانَ الْغَصْبِ فِي الِابْتِدَاءِ. وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهُ عَقْدُ رَهْنٍ فَوَجَبَ أَلَّا يَمْنَعَ ضَمَانَ الْغَصْبِ كَالِانْتِهَاءِ؛ وَلِأَنَّ الشَّيْءَ قَدْ يَصِيرُ مَضْمُونًا بِالْغَصْبِ كَمَا يَصِيرُ مَضْمُونًا بِالْجِنَايَةِ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ عَقْدَ الرَّهْنِ لَا يَنْفِي ضَمَانَ الْجِنَايَةِ فَوَجَبَ أَلَّا يَنْفِيَ ضَمَانَ الْغَصْبِ، وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهُ ضَمَانٌ تَعَلَّقَ بِعَيْنٍ، فَوَجَبَ أَلَّا يَسْقُطَ بِالرَّهْنِ كَضَمَانِ الْجِنَايَةِ؛ وَلِأَنَّ الْعَبْدَ الْمَغْصُوبَ قَدْ يَصِيرُ مَرْهُونًا بِجِنَايَتِهِ، كَمَا يَصِيرُ مَرْهُونًا بِعَقْدِ سَيِّدِهِ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ جَنَى عَلَى الْغَاصِبِ جِنَايَةً وَجَبَ أَرْشُهَا فِي رَقَبَتِهِ وَلَمْ يَسْقُطْ ضَمَانُ الْغَصْبِ وَإِنْ صَارَ مَرْهُونًا بجنايته فوجب إِذَا رَهَنَهُ بِحَقٍّ فَصَارَ وَثِيقَةً فِي رَقَبَتِهِ أَلَّا يَسْقُطَ ضَمَانُ الْغَصْبِ وَإِنْ صَارَ مَرْهُونًا فِي يَدِهِ. وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهُ مَضْمُونٌ بِالْغَصْبِ فَوَجَبَ أَلَّا يَسْقُطَ وُجُوبَ ضَمَانِهِ بِتَعَلُّقِ حَقِّ الْغَاصِبِ بِرَقَبَتِهِ كَالْجِنَايَةِ. وَلِأَنَّ ضَمَانَ الْغَصْبِ لَوْ سَقَطَ بِارْتِهَانِ الْغَاصِبِ لَسَقَطَ بِارْتِهَانِ غَيْرِ الْغَاصِبِ. فَلَمَّا ثَبَتَ أَنَّ غَيْرَ الْغَاصِبِ إِذَا ارْتَهَنَهُ لَمْ يَسْقُطْ عَنِ الْغَاصِبِ ضَمَانُهُ وَجَبَ إِذَا ارْتَهَنَهُ الْغَاصِبُ أَلَّا يَسْقُطَ ضَمَانُهُ عَنْهُ وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهَا عَيْنٌ مَضْمُونَةٌ بِالْغَصْبِ فَوَجَبَ أَلَّا يَسْقُطَ ضَمَانُهَا بِعَقْدِ الرَّهْنِ. أَصْلُهُ: إِذَا رَهَنَهُ عِنْدَ أَجْنَبِيٍّ.

Dalil kami adalah bahwa barang yang dighasab tetap menjadi tanggungan atas penggasabnya, dan akad rahn tidak bertentangan dengan kewajiban menanggung akibat ghasab, sebagaimana ditunjukkan oleh kenyataan bahwa jika seseorang melampaui batas terhadap barang tersebut setelah akad rahn, maka ia tetap wajib menanggungnya sebagai tanggungan ghasab. Maka, ketika akad rahn tidak mencegah kewajiban menanggung akibat ghasab pada akhirnya, maka ia juga tidak mencegah kewajiban menanggung akibat ghasab pada permulaannya. Penjelasan hal ini secara qiyās: bahwa ia adalah akad rahn, maka seharusnya tidak mencegah kewajiban menanggung akibat ghasab sebagaimana pada akhirnya; dan karena suatu barang bisa menjadi tanggungan karena ghasab sebagaimana bisa menjadi tanggungan karena jināyah, kemudian telah tetap bahwa akad rahn tidak meniadakan kewajiban menanggung akibat jināyah, maka seharusnya tidak meniadakan kewajiban menanggung akibat ghasab. Penjelasan hal ini secara qiyās: bahwa ia adalah tanggungan yang terkait dengan suatu benda, maka seharusnya tidak gugur dengan akad rahn sebagaimana tanggungan akibat jināyah; dan karena seorang budak yang dighasab bisa menjadi barang jaminan karena jināyahnya, sebagaimana bisa menjadi barang jaminan karena akad tuannya, kemudian telah tetap bahwa jika ia melakukan jināyah terhadap penggasab, maka wajib membayar diyatnya dari dirinya dan tidak gugur kewajiban menanggung akibat ghasab, meskipun ia menjadi barang jaminan karena jināyahnya. Maka, jika ia dijadikan barang jaminan karena suatu hak sehingga menjadi jaminan pada dirinya, maka seharusnya tidak gugur kewajiban menanggung akibat ghasab meskipun ia menjadi barang jaminan di tangan penggasab. Penjelasan hal ini secara qiyās: bahwa ia adalah barang yang menjadi tanggungan karena ghasab, maka seharusnya tidak gugur kewajiban menanggungnya karena adanya hak penggasab yang melekat padanya sebagaimana pada kasus jināyah. Dan karena kewajiban menanggung akibat ghasab, jika gugur dengan dijadikannya barang itu sebagai rahn oleh penggasab, maka seharusnya juga gugur dengan dijadikannya rahn oleh selain penggasab. Maka, ketika telah tetap bahwa jika selain penggasab menjadikannya sebagai rahn, tidak gugur kewajiban menanggung akibat ghasab dari penggasab, maka jika penggasab sendiri yang menjadikannya sebagai rahn, seharusnya juga tidak gugur kewajiban menanggung akibat ghasab darinya. Penjelasan hal ini secara qiyās: bahwa ia adalah benda yang menjadi tanggungan karena ghasab, maka seharusnya tidak gugur kewajiban menanggungnya dengan akad rahn. Dasarnya: jika ia dijadikan rahn di tangan orang lain (bukan penggasab).

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْبَيْعِ فَالْمَعْنَى فِي الْبَيْعِ أَنَّهُ يُزِيلُ مِلْكَ الْمَالِكِ، وَإِذَا زَالَ مِلْكُهُ زَالَتْ أَحْكَامُ مِلْكِهِ، وَالضَّمَانُ مِنْ أَحْكَامِ مِلْكِهِ، فَسَقَطَ وَانْتَقَلَ الْمِلْكُ إِلَى الْمُشْتَرِي، وَمِلْكُ الْإِنْسَانِ لَا يَكُونُ مَضْمُونًا عَلَيْهِ. وَلَيْسَ كَذَلِكَ الرَّهْنُ لِأَنَّهُ لَمْ يَنْقُلِ الْمِلْكَ فَلَمْ يَزُلِ الضَّمَانُ، عَلَى أَنَّ الْبَيْعَ لَمَّا كَانَ مُنَافِيًا لِلضَّمَانِ فِي اسْتِدَامَتِهِ كَانَ مُنَافِيًا لِلضَّمَانِ فِي ابْتِدَائِهِ، وَلَمَّا كَانَ الرَّهْنُ غَيْرَ مُنَافٍ لِلضَّمَانِ فِي اسْتِدَامَتِهِ كَانَ غَيْرَ مُنَافٍ لِلضَّمَانِ فِي ابْتِدَائِهِ.

Adapun jawaban atas qiyās mereka dengan jual beli, maka maksud dalam jual beli adalah bahwa jual beli menghilangkan kepemilikan pemilik, dan jika kepemilikannya hilang maka hukum-hukum kepemilikannya juga hilang, dan kewajiban menanggung (dhamān) adalah bagian dari hukum kepemilikan, sehingga gugur dan kepemilikan berpindah kepada pembeli, dan kepemilikan seseorang tidak menjadi tanggungan atas dirinya sendiri. Tidak demikian halnya dengan rahn, karena rahn tidak memindahkan kepemilikan, sehingga kewajiban menanggung tidak hilang. Lagi pula, karena jual beli bertentangan dengan kewajiban menanggung dalam kelangsungannya, maka ia juga bertentangan dengan kewajiban menanggung pada permulaannya. Sedangkan rahn, karena tidak bertentangan dengan kewajiban menanggung dalam kelangsungannya, maka ia juga tidak bertentangan dengan kewajiban menanggung pada permulaannya.

وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ ابْتِدَاءَ الرَّهْنِ مُنَافٍ لِلضَّمَانِ مِنْ نَاحِيَةِ الرَّهْنِ مُنَافٍ لِلضَّمَانِ فغلط، لأن ابتداء الرهن، إنما كان منافيا للضمان من ناحية الرهن. وكذلك فِي اسْتِدَامَتِهِ مُنَافٍ لِلضَّمَانِ مِنْ نَاحِيَةِ الرَّهْنِ فَأَمَّا الضَّمَانُ مِنْ غَيْرِ جِهَةِ الرَّهْنِ فَلَا يُنَافِيهِ فِي ابْتِدَائِهِ كَمَا لَا يُنَافِيهِ فِي اسْتِدَامَتِهِ.

Adapun pernyataan mereka bahwa permulaan rahn bertentangan dengan kewajiban menanggung dari sisi rahn bertentangan dengan kewajiban menanggung, maka itu adalah kekeliruan, karena permulaan rahn hanya bertentangan dengan kewajiban menanggung dari sisi rahn. Demikian pula dalam kelangsungannya, ia bertentangan dengan kewajiban menanggung dari sisi rahn. Adapun kewajiban menanggung dari selain sisi rahn, maka tidak bertentangan dengannya pada permulaannya sebagaimana tidak bertentangan dengannya pada kelangsungannya.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ بِسُقُوطِ الضَّمَانِ عَلَى سُقُوطِ الْإِثْمِ، فَالْمَعْنَى فِي الْإِثْمِ: أَنَّهُ مُسْتَحَقٌّ بِاحْتِبَاسِهِ عَلَى وَجْهِ الْعُدْوَانِ، وَبِالرَّهْنِ زَالَ احْتِبَاسُهُ بِالْعُدْوَانِ وَصَارَ مُحْتَبِسًا بِحَقٍّ فَلِذَلِكَ زَالَ الْإِثْمُ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الضَّمَانُ لِأَنَّهُ وَجَبَ بِابْتِدَاءِ الْغَصْبِ عَلَى أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنِ الرَّهْنُ رَافِعًا لِلْإِثْمِ المستحق باحتباسه قبل الرهن ولما كَانَ رَافِعًا لِلْإِثْمِ فِيمَا بَعْدُ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ غَيْرَ رَافِعٍ لِلضَّمَانِ الْمُسْتَحَقِّ قَبْلَ الرَّهْنِ.

Adapun qiyās mereka tentang gugurnya kewajiban menanggung dengan gugurnya dosa, maka maksud dalam dosa adalah bahwa dosa itu timbul karena penahanan barang secara zalim, dan dengan rahn hilanglah penahanan secara zalim dan menjadi penahanan yang sah, maka karena itu dosa pun hilang. Tidak demikian halnya dengan kewajiban menanggung, karena ia wajib sejak awal terjadinya ghasab. Lagi pula, ketika rahn tidak menghapus dosa yang timbul karena penahanan sebelum rahn, dan ketika ia menghapus dosa setelahnya, maka seharusnya rahn juga tidak menghapus kewajiban menanggung yang telah timbul sebelum rahn.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْوَدِيعَةِ فَلِأَصْحَابِنَا فِي الْوَدِيعَةِ وَجْهَانِ:

Adapun qiyās mereka dengan wadi‘ah, maka menurut mazhab kami dalam masalah wadi‘ah terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ ضَمَانَ الْغَصْبِ لَا يَسْقُطُ بِالْوَدِيعَةِ. وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، أن يَدَ الْإِنْسَانِ لَا تُبَرِّئُهُ مِنْ حُقُوقِ الْأَجَانِبِ، كما لو كان عَلَيْهِ طَعَامٌ فَوَكَّلَهُ فِي اكْتِيَالِهِ مِنْ نَفْسِهِ وَتَرَكَهُ فِي يَدِهِ فَفَعَلَ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الضَّمَانُ. فَعَلَى هَذَا قَدِ اسْتَوَى حُكْمُ الرَّهْنِ وَالْوَدِيعَةِ فَسَقَطَ السُّؤَالُ.

Pertama: Bahwa tanggungan (dhamān) atas barang ghashab tidak gugur dengan penyerahan sebagai titipan (wadī‘ah). Ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, yaitu bahwa kepemilikan seseorang atas suatu barang tidak membebaskannya dari hak-hak orang lain, sebagaimana jika seseorang memiliki kewajiban membayar makanan lalu ia mewakilkan kepada orang lain untuk menimbangnya sendiri dan meninggalkannya di tangannya, kemudian orang itu melakukannya, maka tanggungan (dhamān) tidak gugur darinya. Berdasarkan hal ini, maka hukum rahn (gadai) dan wadī‘ah (titipan) adalah sama, sehingga pertanyaan pun gugur.

وَالثَّانِي: وَهُوَ ظَاهِرُ الْمَذْهَبِ أَنَّ ضَمَانَ الْغَصْبِ يَسْقُطُ بِالْوَدِيعَةِ وَلَا يَسْقُطُ بِالرَّهْنِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Kedua: Dan ini adalah pendapat yang tampak dalam mazhab, bahwa tanggungan (dhamān) atas barang ghashab gugur dengan penyerahan sebagai wadī‘ah, namun tidak gugur dengan rahn (gadai). Perbedaan antara keduanya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ يَدَ الْمُودِعِ يَدُ الْمَالِكِ فَصَارَ بِالْوَدِيعَةِ كَالْعَائِدِ إِلَى يَدِ مَالِكِهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمُرْتَهِنُ، لِأَنَّ يَدَهُ لِنَفْسِهِ دُونَ مَالِكِهِ.

Pertama: Bahwa tangan penerima titipan (mudi‘) adalah tangan pemilik, sehingga dengan wadī‘ah, barang tersebut seolah-olah telah kembali ke tangan pemiliknya, sedangkan tidak demikian halnya dengan penerima gadai (murtahin), karena tangannya adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk pemiliknya.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْوَدِيعَةَ وَالضَّمَانَ يَتَنَافَيَانِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ إِذَا تَعَدَّى فِي الْوَدِيعَةِ خَرَجَ مِنْ أَنْ يَكُونَ مُودِعًا وَإِذَا تَنَافَيَا وَصَحَّتِ الْوَدِيعَةُ سَقَطَ الضَّمَانُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الرَّهْنُ لِأَنَّ الرَّهْنَ وَالضَّمَانَ لَا يَتَنَافَيَانِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ تَعَدَّى فِي الرَّهْنِ لَمْ يَخْرُجْ مِنْ أَنْ يَكُونَ مُرْتَهِنًا فَلَمْ يسقط الضمان.

Kedua: Bahwa wadī‘ah dan dhamān (tanggungan) saling menafikan. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang melampaui batas dalam titipan (wadī‘ah), maka ia keluar dari status sebagai penerima titipan, dan jika keduanya saling menafikan dan titipan (wadī‘ah) sah, maka gugurlah dhamān (tanggungan). Tidak demikian halnya dengan rahn (gadai), karena rahn dan dhamān tidak saling menafikan. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang melampaui batas dalam rahn, ia tidak keluar dari status sebagai penerima gadai (murtahin), sehingga dhamān tidak gugur darinya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ ضَمَانَ الْغَصْبِ لَا يَسْقُطُ بِالرَّهْنِ فَهُوَ بَاقٍ بِحَالِهِ لَا يَسْقُطُ إِلَّا بِوَاحِدٍ مِنْ ثَلَاثَةٍ:

Apabila telah tetap bahwa dhamān (tanggungan) atas barang ghashab tidak gugur dengan rahn (gadai), maka dhamān itu tetap sebagaimana keadaannya dan tidak gugur kecuali dengan salah satu dari tiga hal:

أَحَدُهَا: أَنْ يُبَرِّئَهُ الْمَالِكُ بِلَفْظٍ صَرِيحٍ فَيَقُولُ: قَدْ أَبْرَأْتُكَ مِنَ الضَّمَانِ فَيَبْرَأُ حِينَئِذٍ.

Pertama: Pemilik membebaskannya dengan lafaz yang jelas, misalnya ia berkata: “Aku telah membebaskanmu dari dhamān (tanggungan),” maka saat itu ia terbebas.

وَالثَّانِي: أَنْ يَعُودَ الشَّيْءُ إِلَى يَدِ الْمَالِكِ أَوْ وَكِيلِهِ إِمَّا قَبْلَ الرَّهْنِ أَوْ بَعْدَهُ فَيَسْقُطُ الضَّمَانُ حِينَئِذٍ.

Kedua: Barang tersebut kembali ke tangan pemilik atau wakilnya, baik sebelum rahn (gadai) maupun sesudahnya, maka dhamān (tanggungan) gugur saat itu.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَتَّفِقَا بَعْدَ الرَّهْنِ أَنْ يَضَعَاهُ عَلَى يَدَيْ عَدْلٍ اخْتَارَهُ الرَّاهِنُ فَيَسْقُطُ الضَّمَانُ حِينَئِذٍ فَأَمَّا إِنْ أَوْدَعَهُ إِيَّاهُ فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ سُقُوطَ الضَّمَانِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Ketiga: Keduanya sepakat setelah rahn (gadai) untuk meletakkannya di tangan orang yang adil yang dipilih oleh pemberi gadai (rāhin), maka dhamān (tanggungan) gugur saat itu. Adapun jika ia menitipkannya kepadanya, maka telah kami sebutkan bahwa gugurnya dhamān (tanggungan) memiliki dua pendapat:

فَأَمَّا إِنْ أَجَرَهُ إِيَّاهُ، فَإِنْ قِيلَ: بِالْوَدِيعَةِ يَبْرَأُ مِنَ الضَّمَانِ فَبِالْإِجَارَةِ أَوْلَى أَنْ يَبْرَأَ مِنَ الضَّمَانِ، وَإِنْ قِيلَ: بِالْوَدِيعَةِ لَا يَبْرَأُ مِنَ الضَّمَانِ فَفِي الْإِجَارَةِ وَجْهَانِ:

Adapun jika ia menyewakannya kepadanya, maka jika dikatakan: dengan wadī‘ah (titipan) ia terbebas dari dhamān (tanggungan), maka dengan ijarah (sewa) lebih utama lagi ia terbebas dari dhamān. Namun jika dikatakan: dengan wadī‘ah ia tidak terbebas dari dhamān, maka dalam ijarah ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَبْرَأُ بِهَا مِنَ الضَّمَانِ لِأَنَّهَا أَمَانَةٌ كَالْوَدِيعَةِ.

Pertama: Ia tidak terbebas dari dhamān (tanggungan) karena ijarah adalah amanah seperti wadī‘ah.

وَالثَّانِي: يَبْرَأُ مِنَ الضَّمَانِ، لِأَنَّ الْإِجَارَاتِ صِنْفٌ مِنَ الْبُيُوعِ يَسْتَحِقُّ فِيهَا عِوَضًا.

Kedua: Ia terbebas dari dhamān (tanggungan), karena ijarah termasuk salah satu jenis jual beli yang di dalamnya berhak mendapatkan imbalan.

فَأَمَّا إِنْ جَعَلَهُ مُضَارَبَةً فِي يَدِهِ فَفِي سُقُوطِ الضَّمَانِ عَنْهُ وَجْهَانِ كَالْوَدِيعَةِ وَفِيهَا وَجْهٌ ثَالِثٌ هُوَ عِنْدِي صَحِيحٌ أَنَّهُ مَا لَمْ يَتَصَرَّفْ فِي الْمَالِ بِحَقِّ الْمُضَارَبَةِ فَالضَّمَانُ بَاقٍ عَلَيْهِ. وَإِنْ تَصَرَّفَ فِيهِ بِابْتِيَاعِ شَيْءٍ نُظِرَ، فَإِنِ ابْتَاعَ فِي ذِمَّتِهِ وَنَقَدَ الْمَالَ لَمْ يَسْقُطِ الضَّمَانُ، وَإِنِ ابْتَاعَ بِعَيْنِ الْمَالِ سَقَطَ الضَّمَانُ.

Adapun jika ia menjadikannya sebagai mudhārabah di tangannya, maka dalam gugurnya dhamān darinya terdapat dua pendapat seperti pada wadī‘ah, dan ada pendapat ketiga yang menurutku benar, yaitu: selama ia belum melakukan transaksi atas harta tersebut dalam rangka mudhārabah, maka dhamān tetap berlaku atasnya. Namun jika ia telah melakukan transaksi dengan membeli sesuatu, maka perlu dilihat: jika ia membeli atas tanggungan pribadinya dan membayar uangnya, maka dhamān tidak gugur; namun jika ia membeli dengan menggunakan harta itu secara langsung, maka dhamān gugur.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّهُ إِذَا اشْتَرَى بِعَيْنِ الْمَالِ صَارَ دَافِعًا لِلْمَالِ إِلَى مستحقه عن إذن المال فبرئ مِنْ ضَمَانِهِ وَإِذَا اشْتَرَى فِي ذِمَّتِهِ صَارَ قَاضِيًا لِدَيْنٍ تَعَلَّقَ بِذِمَّتِهِ فَلَمْ يَبْرَأْ مِنْ ضَمَانِهِ.

Perbedaan antara keduanya: Jika ia membeli dengan menggunakan harta secara langsung, maka ia telah menyerahkan harta itu kepada yang berhak atas izin pemilik harta, sehingga ia terbebas dari dhamān (tanggungan). Namun jika ia membeli atas tanggungan pribadinya, maka ia menjadi pelunasi utang yang berkaitan dengan dirinya, sehingga ia tidak terbebas dari dhamān.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

إِذَا ابْتَاعَ الرَّجُلُ شَيْئًا بَيْعًا فَاسِدًا وَقَبَضَهُ كَانَ ضَامِنًا لَهُ ضَمَانَ غَصْبٍ فَإِنْ رَهَنَهُ إِيَّاهُ لَمْ يَسْقُطْ ضَمَانُهُ وَيَكُونُ حُكْمُهُ حُكْمَ الْمَغْصُوبِ فِيمَا مَضَى مِنَ التَّفْرِيعِ.

Jika seseorang membeli sesuatu dengan akad jual beli yang fasid (rusak/tidak sah) dan telah menerimanya, maka ia bertanggung jawab atasnya dengan dhamān ghashab. Jika ia menggadaikannya kepada orang lain, maka dhamān-nya tidak gugur dan hukumnya sama dengan barang maghshub (ghashab) sebagaimana penjelasan sebelumnya.

إِذَا اسْتَعَارَ الرَّجُلُ عَارِيَةً فَقَدْ ضَمِنَهَا، فَإِنِ ارْتَهَنَهَا فَهَلْ تَبْطُلُ الْعَارِيَةُ أَمْ لَا: عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika seseorang meminjam suatu barang (‘āriyah), maka ia bertanggung jawab atasnya. Jika kemudian ia menggadaikannya, apakah pinjaman (‘āriyah) itu batal atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تَبْطُلُ بِحُدُوثِ الرَّهْنِ، وَلَهُ أَنْ يَنْتَفِعَ بِهَا كَمَا كَانَ مُنْتَفِعًا بِهَا قَبْلَ الرَّهْنِ فَعَلَى هَذَا ضَمَانُهَا بَاقٍ عَلَيْهِ.

Pertama: Tidak batal dengan terjadinya rahn (gadai), dan ia tetap boleh memanfaatkannya sebagaimana sebelumnya sebelum rahn, sehingga dhamān (tanggung jawab) atasnya tetap berlaku.

وَالثَّانِي: قَدْ بَطَلَتِ الْعَارِيَةُ بِالرَّهْنِ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَنْتَفِعَ بِهَا، فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ ضَمَانُهَا، بخلاف الغصب، لأن الرهن هاهنا قَدْ رَفَعَ الْعَارِيَةَ فَارْتَفَعَ حُكْمُهَا وَلَيْسَ كَذَلِكَ الغصب.

Kedua: Pinjaman pakai (al-‘āriyah) telah batal karena dijadikan sebagai barang gadai (rahn), sehingga ia tidak berhak lagi memanfaatkannya. Dengan demikian, jaminan atas barang tersebut gugur, berbeda dengan kasus ghasb (pengambilan secara paksa/tanpa hak), karena rahn di sini telah menghapus status ‘āriyah sehingga hukumnya pun hilang, sedangkan pada ghasb tidak demikian.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ رَهَنَهُ دَارَيْنِ فَقَبَضَ إِحْدَاهُمَا وَلَمْ يَقْبِضِ الْأُخْرَى كَانَتِ الْمَقْبُوضَةُ رَهْنًا دُونَ الْأُخْرَى بِجَمِيعِ الحق “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang menggadaikan dua rumah, lalu penerima gadai hanya menerima salah satunya dan tidak menerima yang lain, maka rumah yang diterima itu menjadi barang gadai untuk seluruh hak (utang), sedangkan yang lain tidak.”

قال الماوردي: إِذَا رَهَنَهُ دَارَيْنِ بِأَلْفٍ فَإِنْ أَقْبَضَهُ إِيَّاهُمَا كَانَتَا رَهْنًا مَعًا وَكُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا رَهْنًا بِجَمِيعِ الْأَلْفِ. وَلَوْ أَقْبَضَهُ إِحْدَاهُمَا دُونَ الْأُخْرَى كَانَتِ الْمَقْبُوضَةُ رَهْنًا بِجَمِيعِ الْأَلْفِ.

Al-Māwardī berkata: Jika seseorang menggadaikan dua rumah seharga seribu (dirham), lalu penerima gadai menerima keduanya, maka keduanya menjadi barang gadai bersama-sama dan masing-masing dari keduanya menjadi barang gadai untuk seluruh seribu. Namun, jika ia hanya menerima salah satunya saja, maka yang diterima itu menjadi barang gadai untuk seluruh seribu.

وَقَالَ أبو حنيفة إِنْ أَقْبَضَهُ الدَّارَيْنِ كَانَتَا رَهْنًا بِجَمِيعِ الْأَلْفِ وَكُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا رَهْنٌ بِحِصَّتِهَا مِنَ الْأَلْفِ، وَإِنْ أَقْبَضَهُ إِحْدَاهُمَا دُونَ الْأُخْرَى كَانَتِ الْمَقْبُوضَةُ رَهْنًا بِحِصَّتِهَا مِنَ الْأَلْفِ، وَلَا تَكُونُ رَهْنًا بِجَمِيعِ الْأَلْفِ اسْتِدْلَالًا بِشَيْئَيْنِ:

Abu Hanifah berkata: Jika penerima gadai menerima kedua rumah tersebut, maka keduanya menjadi barang gadai untuk seluruh seribu, dan masing-masing dari keduanya menjadi barang gadai untuk bagian (porsi)nya dari seribu. Jika ia hanya menerima salah satunya saja, maka yang diterima itu menjadi barang gadai untuk bagian (porsi)nya dari seribu, dan tidak menjadi barang gadai untuk seluruh seribu, dengan dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الرَّهْنَ عُقِدَ عَلَى عَيْنٍ فِي مُقَابَلَةِ عِوَضٍ كَالْبَيْعِ، فَلَمَّا كَانَ لَوْ بَاعَهُ دَارَيْنِ بِأَلْفٍ كانت كل واحدة منهما مبيعة بحصتهما مِنَ الْأَلْفِ، وَلَا تَكُونُ مَبِيعَةً بِجَمِيعِ الْأَلْفِ فَكَذَلِكَ الرَّهْنُ.

Pertama: Rahn (gadai) diakadkan atas suatu barang sebagai jaminan atas imbalan, seperti jual beli. Maka, jika seseorang menjual dua rumah seharga seribu, masing-masing rumah itu menjadi barang jualan untuk bagiannya dari seribu, dan tidak menjadi barang jualan untuk seluruh seribu. Begitu pula halnya dengan rahn.

وَالثَّانِي: أَنَّ الرَّهْنَ وَثِيقَةٌ كَالضَّمَانِ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ رَجُلَيْنِ لَوْ ضَمِنَا أَلْفًا عَنْ رَجُلٍ كَانَتْ بَيْنَهُمَا، وَلَا تَكُونُ الْأَلْفُ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا. كَذَلِكَ الرَّهْنُ إِذَا رَهَنَهُ دَارَيْنِ بِأَلْفٍ كَانَتِ الْأَلْفُ مُقَسَّطَةً عَلَيْهِمَا وَلَا تَكُونُ جَمِيعُ الْأَلْفِ فِي وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا.

Kedua: Rahn adalah bentuk penjaminan seperti ḍamān (jaminan), dan telah tetap bahwa jika dua orang menjamin seribu atas nama seseorang, maka seribu itu terbagi di antara keduanya, dan tidak menjadi tanggungan seluruh seribu atas masing-masing dari mereka. Demikian pula rahn, jika seseorang menggadaikan dua rumah seharga seribu, maka seribu itu terbagi atas keduanya dan tidak seluruh seribu pada salah satunya saja.

وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ شَيْئَانِ:

Dalil atas hal ini ada dua:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ جَمِيعُ الرَّهْنِ مُحْتَبَسًا بِجَمِيعِ الدَّيْنِ وَبِكُلِّ جُزْءٍ مِنْ أَجْزَائِهِ حَتَّى لَوْ رَهَنَهُ عَلَى أَلْفٍ فَقَضَاهُ أَلْفًا إِلَّا دِرْهَمًا كَانَ جَمِيعُ الرَّهْنِ مُحْتَبَسًا بِالدِّرْهَمِ الْبَاقِي، دَلَّ عَلَى أَنَّ الرَّهْنَ كُلَّهُ وَكُلَّ جُزْءٍ مِنْ أَجْزَائِهِ رَهْنٌ فِي الْحَقِّ كُلِّهِ وَفِي كُلِّ جُزْءٍ مِنْ أَجْزَائِهِ.

Pertama: Seluruh barang gadai tertahan untuk seluruh utang dan untuk setiap bagian dari utang, sehingga jika seseorang menggadaikan suatu barang untuk utang seribu, lalu ia melunasi seribu kecuali satu dirham, maka seluruh barang gadai tetap tertahan untuk sisa satu dirham. Ini menunjukkan bahwa seluruh barang gadai dan setiap bagiannya menjadi jaminan untuk seluruh hak dan untuk setiap bagian dari hak tersebut.

فَإِنْ قِيلَ: هَذَا فَاسِدٌ بِالْمَبِيعِ يَتَقَسَّطُ الثَّمَنُ عَلَى أَجْزَائِهِ، وَلَوْ قَبَضَ الْبَائِعُ بَعْضَ ثَمَنِهِ كَانَ لَهُ حَبْسُ جَمِيعِهِ بِالْبَاقِي؟ قُلْنَا: عَنْهُ جَوَابَانِ:

Jika dikatakan: Hal ini tidak tepat, sebab pada barang yang dijual, harga (pembayaran) terbagi atas bagian-bagiannya, dan jika penjual menerima sebagian dari harganya, maka ia berhak menahan seluruh barang yang dijual untuk sisa pembayaran? Kami jawab: Ada dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَلَى الْبَائِعِ أَنْ يُسَلِّمَ مِنَ الْمَبِيعِ بِقِسْطِ مَا قَبَضَ وَيَحْتَبِسُ مِنْهُ بِقِسْطِ مَا بَقِيَ حَتَّى لَوْ بَاعَ كُرَّيْنِ من طعام بألف وقبض منها نَصِفَهَا لَزِمَهُ تَسْلِيمُ أَحَدِ الْكُرَّيْنِ، وَكَانَ لَهُ احْتِبَاسُ الْكُرِّ الْبَاقِي فَعَلَى هَذَا سَقَطَ السُّؤَالُ.

Pertama: Penjual wajib menyerahkan bagian dari barang yang dijual sesuai dengan bagian harga yang telah diterima, dan ia boleh menahan sisanya sesuai dengan bagian harga yang belum diterima. Sehingga, jika ia menjual dua karung makanan seharga seribu dan telah menerima setengahnya, maka ia wajib menyerahkan salah satu karung, dan berhak menahan karung yang tersisa. Dengan demikian, pertanyaan tersebut gugur.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ تَسْلِيمُ شَيْءٍ مِنَ الْمَبِيعِ إِلَّا بَعْدَ قَبْضِ جَمِيعِ الثَّمَنِ. ثُمَّ هَذَا السُّؤَالُ لَا يَلْزَمُ؛ لِأَنَّ فِي الْمَبِيعِ حَقَّيْنِ: حَقَّ اسْتِحْقَاقٍ، وَهَذَا مُتَقَسِّطٌ وَحَقُّ اسْتِيثَاقٍ وَهَذَا غَيْرُ مُتَقَسِّطٍ كَالرَّهْنِ، وَهُوَ إِنَّمَا يَحْتَبِسُهُ بِحَقِّ الِاسْتِيثَاقِ لَا بِحَقِّ الِاسْتِحْقَاقِ فَصَارَ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ كَالرَّهْنِ.

Kedua: Penjual tidak wajib menyerahkan apa pun dari barang yang dijual kecuali setelah menerima seluruh harga. Kemudian, pertanyaan ini tidak relevan, karena pada barang yang dijual terdapat dua hak: hak kepemilikan, dan ini terbagi-bagi; serta hak penjaminan, dan ini tidak terbagi-bagi seperti rahn. Penjual menahan barang tersebut karena hak penjaminan, bukan karena hak kepemilikan. Dari sisi ini, ia serupa dengan rahn.

وَالدَّلَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنَّ الرَّهْنَ وَثِيقَةٌ فِي الْحَقِّ كَالشَّهَادَةِ وَالضَّمَانِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الشَّهَادَةَ وَذِمَّةَ الضَّامِنِ وَثِيقَةٌ فِي الْحَقِّ كُلِّهِ وَفِي كُلِّ جُزْءٍ مِنْ أَجْزَائِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الرَّهْنُ وثيقة في الحق كله وفي كل جزء مِنْ أَجْزَائِهِ.

Dalil kedua: Rahn adalah bentuk penjaminan dalam hak, seperti syahadah (kesaksian) dan ḍamān (jaminan). Telah tetap bahwa kesaksian dan tanggungan penjamin adalah bentuk penjaminan dalam seluruh hak dan dalam setiap bagiannya. Maka, wajib bahwa rahn juga merupakan penjaminan dalam seluruh hak dan dalam setiap bagiannya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا ذَكَرَهُ مِنَ الْمَبِيعِ، فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا:

Adapun jawaban atas apa yang disebutkan tentang barang yang dijual, maka perbedaannya adalah:

أَنَّ الثَّمَنَ فِي الْمَبِيعِ عِوَضٌ عَنْهُ وَالْعِوَضُ عَنْ جَمِيعِ الشَّيْءِ لَا يَكُونُ عِوَضًا عَنْ بَعْضِهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الرَّهْنُ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِعِوَضٍ وَإِنَّمَا هُوَ وَثِيقَةٌ، وَالْوَثِيقَةُ فِي الشَّيْءِ يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ وَثِيقَةً فِي بَعْضِهِ.

Bahwa harga dalam barang yang dijual adalah sebagai pengganti (iwadh) atas barang tersebut, dan pengganti atas seluruh suatu barang tidak dapat menjadi pengganti atas sebagian darinya. Tidak demikian halnya dengan rahn (gadai), karena rahn bukanlah pengganti, melainkan hanya sebagai jaminan, dan jaminan atas suatu barang boleh saja menjadi jaminan atas sebagian darinya.

وَأَمَّا مَا ذَكَرُوهُ مِنَ الضَّامِنَيْنِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ الضَّامِنَيْنِ هُمَا كَالْعَاقِدَيْنِ فَلِذَلِكَ تَبَعَّضَ، وَكَذَلِكَ الرَّهْنُ إِذَا كَانَ فِي عَقْدَيْنِ كَانَ مُتَبَعِّضًا كَالضَّامِنَيْنِ.

Adapun apa yang mereka sebutkan tentang dua penjamin, itu tidak benar, karena dua penjamin itu seperti dua pihak yang berakad, sehingga bisa terjadi pembagian (taba‘udh). Demikian pula rahn, jika terdapat dalam dua akad, maka ia terbagi seperti dua penjamin.

وَأَمَّا الْعَقْدُ الْوَاحِدُ فَهُوَ كَالضَّامِنِ الْوَاحِدِ.

Adapun satu akad, maka ia seperti satu penjamin.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْمَقْبُوضَةَ مِنَ الدَّارَيْنِ تَكُونُ رَهْنًا بِجَمِيعِ الْحَقِّ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ فَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ، وَإِنْ كَانَ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ فَالْمُرْتَهِنُ الْبَائِعُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُقِيمَ عَلَى الْمَبِيعِ بِارْتِهَانِ إِحْدَى الدَّارَيْنِ وَبَيْنَ أَنْ يَفْسَخَ الْبَيْعَ، لِأَنَّهُ شَرَطَ ارْتِهَانَ دَارَيْنِ فَلَمْ يَحْصُلْ لَهُ إلا ارتهان إحداهما.

Jika telah tetap bahwa barang yang diterima dari dua rumah menjadi rahn atas seluruh hak, maka jika hal itu tidak disyaratkan dalam jual beli, maka tidak ada hak khiyar (memilih) bagi murtahin (penerima gadai). Namun jika disyaratkan dalam jual beli, maka murtahin yang juga sebagai penjual memiliki hak khiyar antara tetap pada barang yang dijual dengan menerima gadai salah satu dari dua rumah, atau membatalkan jual beli, karena ia telah mensyaratkan gadai atas dua rumah, namun yang didapatkan hanyalah gadai atas salah satunya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَصَابَهَا هَدْمٌ بَعْدَ الْقَبْضِ كَانَتْ رَهْنًا بِحَالِهَا وَمَا سَقَطَ مِنْ خَشَبِهَا أَوْ طُوبِهَا يعني الآجر “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika setelah diterima, rumah itu mengalami kerusakan, maka ia tetap menjadi rahn sebagaimana keadaannya, dan apa yang jatuh dari kayu atau batanya (yakni batu bata), juga tetap menjadi rahn.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.

إِذَا رَهَنَ دَارًا فَانْهَدَمَتْ لَمْ يَبْطُلِ الرَّهْنُ، سَوَاءٌ انْهَدَمَتْ قَبْلَ الْقَبْضِ أَوْ بَعْدَهُ، لِبَقَاءِ مَا يَجُوزُ أَنْ يُبْتَدَأَ بِالْعَقْدِ عَلَيْهِ.

Jika seseorang menggadaikan sebuah rumah lalu rumah itu roboh, maka rahn tidak batal, baik robohnya sebelum penerimaan maupun sesudahnya, karena masih ada bagian yang boleh dijadikan objek akad.

فَإِنْ قِيلَ: أَلَيْسَ لَوِ اسْتَأْجَرَ دَارًا فَانْهَدَمَتْ بَطَلَتِ الْإِجَارَةُ؟ فَهَلَّا كَانَ إِذَا ارْتَهَنَ دَارًا فَانْهَدَمَتْ بَطَلَ الرَّهْنُ؟

Jika dikatakan: Bukankah jika seseorang menyewa rumah lalu rumah itu roboh, maka sewa menjadi batal? Mengapa jika seseorang menggadaikan rumah lalu rumah itu roboh, rahn tidak batal?

قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ عَقْدَ الْإِجَارَةِ عَلَى الْمَنَافِعِ، وَبِانْهِدَامِ الدَّارِ تَبْطُلُ الْمَنَافِعُ فَبَطَلَتِ الْإِجَارَةُ. وَعَقْدُ الرَّهْنِ عَلَى عَيْنِ الدَّارِ وَمَا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ مِنْ خَشَبٍ وَطُوبٍ، وَبِانْهِدَامِ الدَّارِ لَا تَذْهَبُ الْعَيْنُ فَلَمْ يَبْطُلِ الرَّهْنُ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوِ اسْتَأْجَرَ دَارًا مَهْدُومَةً لَا يُمْكِنُ الِانْتِفَاعُ بِهَا لَمْ تَصِحَّ الْإِجَارَةُ وَلَوِ ارْتَهَنَ دَارًا مَهْدُومَةً لَا يُمْكِنُ الِانْتِفَاعُ بِهَا صَحَّ الرَّهْنُ.

Dijawab: Perbedaannya adalah bahwa akad ijarah (sewa) itu atas manfaat, dan dengan robohnya rumah maka manfaatnya hilang sehingga sewa menjadi batal. Sedangkan akad rahn atas benda rumah itu sendiri dan apa yang terkandung di dalamnya berupa kayu dan bata, dan dengan robohnya rumah, bendanya tidak hilang sehingga rahn tidak batal. Bukankah engkau lihat, jika seseorang menyewa rumah yang sudah roboh dan tidak mungkin dimanfaatkan, maka sewanya tidak sah. Namun jika seseorang menggadaikan rumah yang sudah roboh dan tidak mungkin dimanfaatkan, maka rahnnya tetap sah.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ انْهِدَامَ الدَّارِ الْمَرْهُونَةِ لَا يُبْطِلُ الرَّهْنَ، فَلَا يَخْلُو انْهِدَامُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika telah tetap bahwa robohnya rumah yang digadaikan tidak membatalkan rahn, maka robohnya itu tidak lepas dari dua keadaan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الْقَبْضِ أَوْ بَعْدَهُ، فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الْقَبْضِ، كَانَ الْمُرْتَهِنُ بِالْخِيَارِ إِنْ كَانَ الرَّهْنُ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ وَبَيْنَ فَسْخِهِ لِمَا طَرَأَ عَلَيْهِ مِنَ النَّقْصِ قَبْلَ قَبْضِهِ. وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْقَبْضِ وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ فَلَا خِيَارَ لَهُ؛ لِأَنَّ الْعَيْبَ الْحَادِثَ بَعْدَ الْقَبْضِ لَيْسَ بِأَكْثَرَ مِنْ تَلَفِ الرَّهْنِ بَعْدَ الْقَبْضِ وَلَوْ تَلِفَ بَعْدَ الْقَبْضِ لَمْ يَكُنْ لَهُ خِيَارٌ. فَأَوْلَى أَلَّا يَكُونَ لَهُ بِالْعَيْبِ خِيَارٌ وَإِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ خِيَارٌ فَمَا بَقِيَ مِنَ الدَّارِ ما سَقَطَ مِنْ خَشَبٍ وَطُوبٍ رَهْنٌ بِحَالِهِ يُبَاعُ عِنْدَ حُلُولِ الْحَقِّ وَيُسْتَوْفَى مِنْهُ إِنْ تَعَذَّرَ استيفاؤه من الرهن.

Yaitu, apakah robohnya sebelum penerimaan atau sesudahnya. Jika sebelum penerimaan, maka murtahin memiliki hak khiyar jika rahn itu disyaratkan dalam jual beli, antara melanjutkan jual beli atau membatalkannya karena adanya kekurangan sebelum penerimaan. Namun jika setelah penerimaan, dan ini adalah masalah dalam kitab ini, maka ia tidak memiliki hak khiyar; karena cacat yang terjadi setelah penerimaan tidak lebih besar dari rusaknya rahn setelah penerimaan, dan jika rusak setelah penerimaan pun ia tidak memiliki hak khiyar. Maka lebih utama lagi bahwa dengan adanya cacat ia tidak memiliki hak khiyar. Jika ia tidak memiliki hak khiyar, maka sisa dari rumah, baik kayu maupun bata yang jatuh, tetap menjadi rahn sebagaimana keadaannya, yang akan dijual ketika hak jatuh tempo dan diambil darinya jika tidak bisa diambil dari rahn.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ رَهَنَهُ جَارِيَةً قَدْ وَطِئَهَا قَبْلَ الْقَبْضِ فَظَهَرَ بِهَا حَمْلٌ أَقَرَّ بِهِ فَهِيَ خَارِجَةٌ مِنَ الرَّهْنِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia menggadaikan seorang budak perempuan yang telah digaulinya sebelum penerimaan, lalu ternyata ia hamil dan ia mengakuinya, maka budak perempuan itu keluar dari rahn.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ رَهَنَ جَارِيَةً فَظَهَرَ بِهَا حَمْلٌ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الرَّاهِنِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah seorang laki-laki menggadaikan budak perempuan, lalu ternyata ia hamil. Maka keadaan rahin (penggadai) tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَدَّعِيَهُ أَنَّهُ وَلَدُهُ أَوْ لَا يَدَّعِيهِ:

Yaitu, apakah ia mengaku bahwa itu anaknya atau tidak mengakuinya:

فَإِنِ ادَّعَاهُ وَلَدًا مِنْ وَطْءٍ كَانَ قَبْلَ الرَّهْنِ، فالولد لا حق بِهِ بِدَعْوَاهُ سَوَاءٌ صَدَّقَ الْمُرْتَهِنُ أَوْ كَذَّبَ؛ لِأَنَّ الْمُرْتَهِنَ لَا حَقَّ لَهُ فِي الْوَلَدِ.

Jika ia mengakuinya sebagai anak dari hubungan sebelum rahn, maka anak itu menjadi anaknya berdasarkan pengakuannya, baik murtahin membenarkan atau mendustakannya; karena murtahin tidak memiliki hak atas anak tersebut.

وَأَمَّا الْأُمُّ فَتَرْجِعُ إِلَى تَصْدِيقِ الْمُرْتَهِنِ وَتَكْذِيبِهِ فِيهَا لِمَا ثَبَتَ لَهُ مِنَ الْحَقِّ فِي رَقَبَتِهَا بَعْدَ الرَّهْنِ.

Adapun mengenai ibu, maka perkara ini kembali kepada pembenaran atau pendustaan dari pihak murtahin (penerima gadai) atasnya, karena hak yang telah tetap baginya atas budak perempuan tersebut setelah terjadinya akad rahn (gadai).

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أن يُصَدِّقَهُ عَلَى ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبَهُ. فَإِنْ صَدَّقَهُ عَلَى ذَلِكَ صَارَتِ الْجَارِيَةُ أُمَّ وَلَدٍ لِلرَّاهِنِ، وَخَرَجَتْ مِنَ الرَّهْنِ لِاتِّفَاقِهِمَا عَلَى كَوْنِهَا أُمَّ وَلَدٍ وَقْتَ الْعَقْدِ. وَإِنْ كَذَّبَهُ الْمُرْتَهِنُ فَلِلرَّاهِنِ حَالَانِ:

Jika demikian keadaannya, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah murtahin membenarkannya dalam hal itu atau mendustakannya. Jika murtahin membenarkannya, maka budak perempuan itu menjadi umm walad bagi rahin (penggadai), dan ia keluar dari rahn karena keduanya telah sepakat bahwa ia adalah umm walad pada saat akad. Namun jika murtahin mendustakannya, maka rahin memiliki dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ أَقَرَّ بِوَطْئِهَا قَبْلَ إِقْبَاضِهَا لِلْمُرْتَهِنِ وَيُعْلَمُ ذَلِكَ إِمَّا بِبَيِّنَةٍ أَوْ تَصْدِيقٍ مِنَ الْمُرْتَهِنِ فَيُحْكَمُ بِقَوْلِهِ وَتَخْرُجُ الْجَارِيَةُ مِنَ الرَّهْنِ وَتَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ لِلرَّاهِنِ إِذَا جَاءَتْ بِهِ لِزَمَانٍ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ عَنْ وَطْءٍ قَبْلَ الْقَبْضِ، وَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ لِأَرْبَعِ سِنِينَ فَمَا دُونَ فَأَمَّا إِنْ وَضَعَتْهُ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ فَقَوْلُ الرَّاهِنِ غَيْرُ مَقْبُولٍ لِعِلْمِنَا بِكَذِبِهِ إِذِ الْحَمْلُ لَا يَكُونُ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ، فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الْجَارِيَةُ رَهْنًا لَا تَخْرُجُ مِنَ الرَّهْنِ.

Pertama: ia telah mengakui telah menggaulinya sebelum menyerahkannya kepada murtahin, dan hal itu diketahui baik dengan adanya bukti atau pengakuan dari murtahin, maka diputuskan berdasarkan pengakuannya dan budak perempuan itu keluar dari rahn serta menjadi umm walad bagi rahin jika ia melahirkan anak dalam rentang waktu yang memungkinkan anak itu berasal dari hubungan sebelum penyerahan, yaitu jika ia melahirkan dalam waktu empat tahun atau kurang. Namun jika ia melahirkan lebih dari empat tahun, maka pengakuan rahin tidak diterima karena kita mengetahui bahwa itu dusta, sebab kehamilan tidak mungkin lebih dari empat tahun. Dengan demikian, budak perempuan itu tetap menjadi barang gadai dan tidak keluar dari rahn.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَلَّا يَكُونَ قَدْ أَقَرَّ بِوَطْئِهَا وَلَا حُفِظَ ذَلِكَ عَلَيْهِ إِلَّا بَعْدَ وَضْعِهَا.

Keadaan kedua: ia tidak mengakui telah menggaulinya dan tidak ada yang mengingat hal itu darinya kecuali setelah budak perempuan itu melahirkan.

فَهَذَا على ثلاثة أقسام:

Kasus ini terbagi menjadi tiga bagian:

أحدها: أن تضعه أقل مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ يَوْمِ الْقَبْضِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ، وَتَخْرُجُ الْجَارِيَةُ مِنَ الرَّهْنِ وَتَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ، لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ أَقَلُّ الْحَمْلِ سِتَّةَ أَشْهُرٍ عُلِمَ تَقَدُّمُ الْعُلُوقِ عَلَى الْقَبْضِ.

Pertama: jika ia melahirkan kurang dari enam bulan sejak hari penyerahan, maka yang dipegang adalah ucapan rahin, dan budak perempuan itu keluar dari rahn serta menjadi umm walad, karena masa kehamilan paling singkat adalah enam bulan sehingga diketahui bahwa pembuahan terjadi sebelum penyerahan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَضَعَهُ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ يَوْمِ الْقَبْضِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ، وَالْجَارِيَةُ عَلَى حَالِهَا لَا تَخْرُجُ مِنَ الرَّهْنِ، لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ أَكْثَرُ الْحَمْلِ أَرْبَعَ سِنِينَ عُلِمَ حُدُوثُ الْعُلُوقِ بَعْدَ الْقَبْضِ.

Bagian kedua: jika ia melahirkan lebih dari empat tahun sejak hari penyerahan, maka yang dipegang adalah ucapan murtahin, dan budak perempuan itu tetap dalam statusnya, tidak keluar dari rahn, karena masa kehamilan paling lama adalah empat tahun sehingga diketahui bahwa pembuahan terjadi setelah penyerahan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَضَعَهُ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ وَدُونَ أَرْبَعِ سِنِينَ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Bagian ketiga: jika ia melahirkan lebih dari enam bulan dan kurang dari empat tahun, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاهِنِ وَتَخْرُجُ مِنَ الرَّهْنِ.

Pertama: yang dipegang adalah ucapan rahin dan budak perempuan itu keluar dari rahn.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: الْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ وَيَصِيرُ الرَّاهِنُ كَالْوَاطِئِ بَعْدَ إِقْبَاضِ الرَّهْنِ.

Pendapat kedua: yang dipegang adalah ucapan murtahin dan rahin diperlakukan seperti orang yang menggauli setelah penyerahan barang gadai.

وَهَذَانِ الْقَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي الرَّاهِنِ إِذَا ادَّعَى بَعْدَ إِقْبَاضِ الرَّهْنِ أَنَّ عَبْدَهُ الْمَرْهُونَ جَنَى قَبْلَ الرَّهْنِ أَوْ أَنَّهُ أَعْتَقَهُ قَبْلَ الرَّهْنِ وَأَنْكَرَ الْمُرْتَهِنُ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Kedua pendapat ini didasarkan pada perbedaan dua pendapat Imam Syafi‘i tentang rahin yang mengklaim setelah penyerahan barang gadai bahwa budaknya yang digadaikan telah melakukan tindak pidana sebelum digadaikan atau bahwa ia telah memerdekakannya sebelum digadaikan, sementara murtahin mengingkarinya, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاهِنِ.

Pertama: yang dipegang adalah ucapan rahin.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ.

Kedua: yang dipegang adalah ucapan murtahin.

كَذَلِكَ مَسْأَلَتُنَا.

Demikian pula masalah kita ini.

فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ فَمَعَ يَمِينِهِ لَا يَخْتَلِفُ. فَإِنْ نَكَلَ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَى الرَّاهِنِ، فَإِذَا حَلَفَ خَرَجَتْ مِنَ الرَّهْنِ، وَإِنْ نَكَلَ كَانَتْ رَهْنًا بِحَالِهَا، فَإِنْ بَدَأَتِ الْجَارِيَةُ الْيَمِينَ فَعَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي غُرَمَاءِ الْمُفْلِسِ إِذَا أَجَابُوا إِلَى الْيَمِينِ عِنْدَ نكول المفلس قيما يَسْتَحِقُّهُ بِيَمِينِهِ إِنْ حَلَفَ.

Jika kita mengatakan bahwa yang dipegang adalah ucapan murtahin, maka harus disertai sumpahnya, dan hal ini tidak ada perbedaan. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada rahin; jika rahin bersumpah, maka budak perempuan itu keluar dari rahn, dan jika ia enggan, maka budak perempuan itu tetap menjadi barang gadai. Jika budak perempuan yang memulai sumpah, maka ada dua pendapat yang didasarkan pada perbedaan dua pendapat Imam Syafi‘i tentang para kreditur orang yang pailit, jika mereka bersedia bersumpah ketika si pailit enggan bersumpah, apakah mereka berhak mendapatkan haknya dengan sumpah mereka jika mereka bersumpah.

وَإِذَا قُلْنَا إِنَّ القول قول الراهن نفي الْيَمِينِ وَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الرَّاهِنِ إِذَا اعْتَرَفَ بِجِنَايَةِ عَبْدِهِ قَبْلَ رَهْنِهِ، أَوْ أَقَرَّ بِعِتْقِهِ وَقِيلَ إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الراهن هل عَلَيْهِ الْيَمِينُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: كَذَلِكَ هاهنا وإذا كان القول قوله هل عَلَيْهِ الْيَمِينُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Dan jika kita mengatakan bahwa yang dipegang adalah ucapan rahin, maka mengenai kewajiban sumpah ada dua wajah yang diambil dari perbedaan dua pendapat Imam Syafi‘i tentang rahin yang mengakui tindak pidana budaknya sebelum digadaikan, atau mengakui telah memerdekakannya, dan dikatakan bahwa yang dipegang adalah ucapan rahin, apakah ia wajib bersumpah atau tidak? Ada dua pendapat: demikian pula di sini. Jika yang dipegang adalah ucapannya, apakah ia wajib bersumpah atau tidak? Ada dua wajah:

أَحَدُهُمَا: لَا يَمِينَ عَلَيْهِ.

Pertama: tidak ada sumpah atasnya.

وَالثَّانِي: عَلَيْهِ الْيَمِينُ.

Kedua: ia wajib bersumpah.

فَإِنْ حَلَفَ خَرَجَتْ مِنَ الرَّهْنِ، وَإِنْ نَكَلَ رُدَّتْ عَلَى الْمُرْتَهِنِ فَهَذَا حُكْمُ الْوَلَدِ إِذَا ادَّعَاهُ الرَّاهِنُ.

Jika ia bersumpah, ia keluar dari status rahn; namun jika ia enggan bersumpah, anak itu dikembalikan kepada murtahin. Inilah hukum anak jika dia diakui oleh rahin.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا حُكْمُ الْوَلَدِ إِذَا لَمْ يَدَّعِيهِ الرَّاهِنُ وَلَدًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun hukum anak jika rahin tidak mengakuinya sebagai anak, maka ada dua keadaan:

أحدهما: ألا يكون منه إقرارا بِوَطْئِهَا وَلَيْسَ يَدَّعِي وَلَدَهَا. فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ كَانَ الْوَلَدُ مَمْلُوكًا لَا يَلْحَقُ بِهِ، وَالْجَارِيَةُ فِي الرَّهْنِ إِلَّا أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَدْخُلُ فِي الرَّهْنِ، لِأَنَّ نَمَاءَ الرَّهْنِ عِنْدَنَا خَارِجٌ مِنَ الرَّهْنِ.

Pertama: Tidak ada pengakuan darinya telah menyetubuhinya dan ia tidak mengaku anak tersebut. Jika demikian, maka anak itu menjadi milik (budak), tidak dinasabkan kepadanya, dan jariyah tetap dalam status rahn, kecuali bahwa anak tersebut tidak termasuk dalam rahn, karena menurut kami, pertumbuhan (hasil) dari barang yang di-rahn-kan tidak termasuk dalam rahn.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَدْ أَقَرَّ بِوَطْئِهَا قَبْلَ الْقَبْضِ، فَالْوَلَدُ لَاحِقٌ بِهِ، وَهُوَ حُرٌّ إِذَا وَضَعَتْهُ لِزَمَانٍ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ مَا لَمْ يَدَّعِ اسْتِبْرَاءَهَا فَإِنِ ادعى استبراءها كان القول قوله مع يمينيه وَكَانَ الْوَلَدُ مَمْلُوكًا لَا يَلْحَقُ بِهِ إِلَّا أَنْ تَضَعَهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَقْتِ الِاسْتِبْرَاءِ فَيَلْحَقُ بِهِ.

Keadaan kedua: Ia telah mengakui telah menyetubuhinya sebelum qabdh (penyerahan), maka anak itu dinasabkan kepadanya dan ia merdeka jika dilahirkan dalam waktu yang memungkinkan anak itu berasal darinya, selama ia tidak mengaku telah melakukan istibra’ terhadapnya. Jika ia mengaku telah melakukan istibra’, maka perkataannya diterima dengan sumpahnya, dan anak itu menjadi milik (budak) dan tidak dinasabkan kepadanya, kecuali jika anak itu dilahirkan kurang dari enam bulan sejak waktu istibra’, maka anak itu dinasabkan kepadanya.

فَأَمَّا خُرُوجُ الْأُمِّ مِنَ الرَّهْنِ فَقَدْ قَالَ أَبُو الْفَيَّاضِ فِي شَرْحِهِ: لَا يَخْرُجُ مِنَ الرَّهْنِ لَا يَخْتَلِفُ الْقَوْلُ فِيهِ قَالَ: لِأَنَّ الْوَلَدَ لَحِقَ بِهِ لِأَجْلِ الْفِرَاشِ لَا بِالِاعْتِرَافِ وَهَذَا الْقَوْلُ عِنْدِي غير صحيح؛ لأن خرجها مِنَ الرَّهْنِ إِنَّمَا يَكُونُ إِذَا صَارَتْ أُمَّ ولد، وهي تصير أم ولد بالفراش فَوَجَبَ أَنْ تَخْرُجَ مِنَ الرَّهْنِ إِذَا لَحِقَ وَلَدُهَا بِالِاعْتِرَافِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَإِنْ وَضَعَتْهُ لأقل من ستة أشهر خرجت من الراهن فَإِنْ وَضَعَتْ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا فَعَلَى قَوْلَيْنِ.

Adapun keluarnya ibu dari status rahn, Abu al-Fayyadh dalam syarahnya berkata: “Ia tidak keluar dari rahn, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.” Ia berkata: “Karena anak itu dinasabkan kepadanya karena firasy, bukan karena pengakuan.” Menurut saya, pendapat ini tidak benar; karena keluarnya dari rahn hanya terjadi jika ia telah menjadi umm walad, dan ia menjadi umm walad karena firasy, maka wajib ia keluar dari rahn jika anaknya dinasabkan kepadanya karena pengakuan. Jika demikian, jika ia melahirkan anak kurang dari enam bulan, maka ia keluar dari rahn; namun jika ia melahirkan anak enam bulan atau lebih, maka ada dua pendapat.

فلو قالت الجارية: هذا الولد من زنا وَلَيْسَ مِنَ الرَّاهِنِ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهَا لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ فِرَاشًا بِالْوَطْءِ السَّابِقِ.

Jika jariyah berkata: “Anak ini hasil zina dan bukan dari rahin,” maka perkataannya tidak diterima, karena ia telah menjadi firasy dengan persetubuhan sebelumnya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا مِنْ حُكْمِ الْجَارِيَةِ إِذَا وَضَعَتْهُ فِي خُرُوجِهَا مِنَ الرَّهْنِ أَوْ بَقَائِهَا فِيهِ مَعَ لُحُوقِ وَلَدِهَا بِالرَّاهِنِ، انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى حُكْمِهَا إِنْ خَرَجَتْ مِنَ الرَّهْنِ وَإِلَى حُكْمِهَا إِنْ بَقِيَتْ فِي الرَّهْنِ، فَأَمَّا حُكْمُهَا إِنْ خَرَجَتْ مِنَ الرَّهْنِ فِي الْمَوَاضِعِ الَّتِي وَصَفْنَا.

Jika telah tetap apa yang kami uraikan tentang hukum jariyah ketika ia melahirkan, baik ia keluar dari rahn atau tetap di dalamnya dengan anaknya dinasabkan kepada rahin, maka pembahasan berpindah kepada hukumnya jika ia keluar dari rahn dan hukumnya jika ia tetap dalam rahn. Adapun hukumnya jika ia keluar dari rahn dalam keadaan-keadaan yang telah kami uraikan.

فَخُرُوجُهَا إِنَّمَا يَكُونُ بِعُلُوقٍ قَبْلَ الرَّهْنِ صَارَتْ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ فَبَطَلَ الرَّهْنُ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ، فَإِنْ لَمْ يَكُنِ الرَّهْنُ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ فَقَدْ بَطَلَ الرَّهْنُ وَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ وَإِنْ كَانَ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْوَطْءِ الَّذِي كَانَ بِهِ الْإِحْبَالُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَبْلَ عَقْدِ الرَّهْنِ أَوْ بَعْدَ عَقْدِ الرَّهْنِ وَقَبْلَ الْقَبْضِ. فَإِنْ كَانَ الْوَطْءُ بَعْدَ عَقْدِ الرَّهْنِ وقبل القبض والبيع جَائِزٌ لَا يُخْتَلَفُ وَالرَّهْنُ بَاطِلٌ.

Keluarnya ia hanya terjadi karena kehamilan sebelum rahn yang menjadikannya umm walad, sehingga rahn menjadi batal. Jika demikian, jika rahn tidak disyaratkan dalam jual beli, maka rahn batal dan tidak ada hak khiyar bagi murtahin. Namun jika rahn disyaratkan dalam jual beli, maka keadaan persetubuhan yang menyebabkan kehamilan tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa terjadi sebelum akad rahn atau setelah akad rahn dan sebelum qabdh. Jika persetubuhan terjadi setelah akad rahn dan sebelum qabdh, maka jual beli sah tanpa perbedaan pendapat dan rahn batal.

وَإِنَّمَا كَانَ الْبَيْعُ جَائِزًا؛ لِأَنَّ بُطْلَانَ الرَّهْنِ الْمَشْرُوطِ فِيهِ كَانَ بَعْدَ الْعَقْدِ فَصَارَ بُطْلَانُهُ كَبُطْلَانِ الرَّهْنِ التَّالِفِ بَعْدَ الْعَقْدِ وَقَبْلَ الْقَبْضِ وَذَلِكَ غَيْرُ مُبْطِلٍ لِلْبَيْعِ فَكَذَلِكَ هَذَا. وَإِذَا لَمْ يَبْطُلِ الْبَيْعُ فَالْبَائِعُ بِالْخِيَارِ بِعَقْدِ الرَّهْنِ الَّذِي شَرَطَهُ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ بِلَا رَهْنٍ وَبَيْنَ فَسْخِهِ.

Jual beli tetap sah karena batalnya rahn yang disyaratkan terjadi setelah akad, sehingga batalnya seperti batalnya rahn yang rusak setelah akad dan sebelum qabdh, dan itu tidak membatalkan jual beli, maka demikian pula dalam hal ini. Jika jual beli tidak batal, maka penjual memiliki hak khiyar karena akad rahn yang disyaratkan, antara melanjutkan jual beli tanpa rahn atau membatalkannya.

وَإِنْ كَانَ الْوَطْءُ قَبْلَ الْعَقْدِ فَقَدْ بَانَ أَنَّهَا كَانَتْ أُمَّ وَلَدٍ حَالَ الْعَقْدِ، فَلَمْ يَجُزْ رَهْنُهَا وَلَا الْعَقْدُ عَلَيْهَا، وَصَارَ الثَّمَنُ معقودا بشرط رهن باطل فكان البيع قولان:

Jika persetubuhan terjadi sebelum akad, maka jelas bahwa ia telah menjadi umm walad pada saat akad, sehingga tidak sah dirahnkan dan tidak sah akad atasnya, dan harga (jual beli) menjadi tergantung pada syarat rahn yang batal, sehingga jual beli ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ لِبُطْلَانِ الرَّهْنِ الْمُقْتَرِنِ بِهِ فِي الْعَقْدِ.

Salah satunya: batal karena batalnya rahn yang menyertainya dalam akad.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: جَائِزٌ لِاسْتِقْلَالِ الْبَيْعِ بِحُكْمِهِ وَصِحَّةِ تَمَيُّزِهِ عَنْ غَيْرِهِ، وَلَكِنْ يَكُونُ الْبَائِعُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ بِلَا رَهْنٍ وَبَيْنَ فَسْخِهِ. . فَهَذَا حُكْمُ الْجَارِيَةِ إِذَا خَرَجَتْ مِنَ الرَّهْنِ، وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مِنْ بُطْلَانِ الْبَيْعِ وخيار المرتهن. فأما حكمهما إِذَا بَقِيَتْ فِي الرَّهْنِ، فَلَا يَجُوزُ بَيْعُهَا إِذَا أَمْكَنَ اسْتِيفَاءُ الْحَقِّ مِنَ الرَّاهِنِ. فَإِذَا استوفى الحق فيه خَرَجَتْ مِنَ الرَّهْنِ، ثُمَّ هِيَ أُمُّ وَلَدٍ لَهُ لَا يَجُوزُ لَهُ بَيْعُهَا وَلَا رَهْنُهَا وَإِنْ لَمْ يُمْكِنِ اسْتِيفَاءُ الْحَقِّ مِنْهُ بِيعَتْ لِمَا قَدْ تَعَلَّقَ بِرَقَبَتِهَا مِنْ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ، فَإِنْ عَادَ الرَّاهِنُ فَمَلَكَهَا بِابْتِيَاعٍ أَوْ هِبَةٍ فَقَدْ صَارَتْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ مُحَرَّمٌ عَلَيْهِ بيعها ورهنها.

Pendapat kedua: Diperbolehkan, karena akad jual beli berdiri sendiri dengan hukumnya dan sah untuk dibedakan dari selainnya. Namun, penjual memiliki hak memilih antara melanjutkan jual beli tanpa rahn atau membatalkannya. Inilah hukum budak perempuan (jāriyah) jika ia keluar dari rahn, beserta hal-hal yang terkait dengannya seperti batalnya jual beli dan hak khiyār bagi murtahin. Adapun hukumnya jika ia tetap dalam rahn, maka tidak boleh dijual jika masih memungkinkan pelunasan hak dari rāhin. Jika hak tersebut telah dilunasi, maka ia keluar dari rahn, dan setelah itu ia menjadi umm walad baginya, sehingga tidak boleh lagi dijual atau digadaikan. Namun, jika tidak memungkinkan pelunasan hak darinya, maka ia dijual karena hak murtahin yang melekat pada dirinya. Jika rāhin kembali memilikinya melalui pembelian atau hibah, maka ia menjadi umm walad baginya dan haram baginya untuk menjual atau menggadaikannya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ اغْتَصَبَهَا بَعْدَ الْقَبْضِ فَوَطِئَهَا فَهِيَ بِحَالِهَا فَإِنِ افْتَضَّهَا فَعَلَيْهِ مَا نَقَصَهَا يَكُونُ رَهْنًا مَعَهَا أَوْ قِصَاصًا مِنَ الْحَقِّ فَإِنْ أَحْبَلَهَا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ غَيْرُهَا لَمْ تُبَعْ مَا كَانَتْ حَامِلًا فَإِذَا وَلَدَتْ بِيعَتْ دُونَ وَلَدِهَا وَعَلَيْهِ مَا نَقَصَتْهَا الْوِلَادَةُ وَإِنْ مَاتَتْ مِنْ ذَلِكَ فَعَلَيْهِ قِيمَتُهَا تَكُونُ رَهْنًا أَوْ قصاصا من الحق “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia (rāhin) merampasnya setelah penyerahan lalu menyetubuhinya, maka statusnya tetap seperti semula. Jika ia merusaknya (misal: merobek keperawanannya), maka ia wajib mengganti kerugian yang terjadi, baik sebagai bagian dari rahn bersama budak itu atau sebagai pengurang dari hak (murtahin). Jika ia menghamilinya dan tidak memiliki harta lain selain budak itu, maka budak itu tidak dijual selama ia hamil. Jika telah melahirkan, maka ia dijual tanpa anaknya, dan ia wajib mengganti kerugian akibat persalinan. Jika budak itu meninggal karena hal tersebut, maka ia wajib membayar nilainya, baik sebagai rahn atau sebagai pengurang dari hak (murtahin).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang telah dikatakan.

أَمَّا إِذَا أَرَادَ الرَّاهِنُ أَنْ يَطَأَ الْجَارِيَةَ الْمَرْهُونَةَ، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ الْقَبْضِ لَمْ يُمْنَعْ مِنَ الْوَطْءِ؛ لِأَنَّ رَهْنَهَا قَبْلَ الْقَبْضِ غَيْرُ لَازِمٍ. فَإِنْ وَطِئَهَا وَلَمْ تَحْبَلْ لَمْ يَقْدَحْ ذَلِكَ فِي الْعَقْدِ الْمُتَقَدِّمِ، فَإِنْ أَقْبَضَهَا بِذَلِكَ الْعَقْدِ صَحَّ الرَّهْنُ وَلَزِمَ.

Adapun jika rāhin ingin menyetubuhi budak perempuan yang digadaikan, maka jika itu dilakukan sebelum penyerahan, ia tidak dilarang untuk menyetubuhinya; karena penggadaian sebelum penyerahan belum bersifat mengikat. Jika ia menyetubuhinya dan tidak hamil, maka hal itu tidak membatalkan akad sebelumnya. Jika kemudian budak itu diserahkan berdasarkan akad tersebut, maka rahn menjadi sah dan mengikat.

وَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَطَأَ بَعْدَ الْقَبْضِ فَلِلْجَارِيَةِ الْمَرْهُونَةِ حَالَانِ:

Jika ia ingin menyetubuhi setelah penyerahan, maka budak perempuan yang digadaikan memiliki dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ تَكُونَ مِنْ ذَوَاتِ الْحَيْضِ وَالطُّهْرِ اللَّاتِي يُخَافُ مِنْ وَطْئِهِنَّ الْحَبَلُ.

Pertama: Ia termasuk wanita yang mengalami haid dan suci, yang dikhawatirkan akan hamil jika disetubuhi.

فَلَا يَجُوزُ لِلرَّاهِنِ وَطْؤُهَا وَإِنْ كَانَ أَحَقَّ بِمَنَافِعِهَا؛ لِأَنَّ وَطْأَهَا ذَرِيعَةٌ إِلَى إِحْبَالِهَا وَإِحْبَالُهَا مُبْطِلٌ لِرَهْنِهَا وَمَا أَدَّى إِلَى بُطْلَانِ الرَّهْنِ كَانَ مَمْنُوعًا مِنْهُ.

Maka tidak boleh bagi rāhin untuk menyetubuhinya, meskipun ia lebih berhak atas manfaatnya; karena menyetubuhinya berpotensi menyebabkan kehamilan, dan kehamilan membatalkan status rahn. Segala sesuatu yang menyebabkan batalnya rahn, maka dilarang untuk dilakukan.

فَإِنْ قِيلَ: فَيَجُوزُ أَنْ يَطَأَهَا دُونَ الْفَرْجِ. إِذْ لَيْسَ فِي ذَلِكَ إِحْبَالٌ لَهَا قِيلَ: لَا يجوز. لأن وطئها دُونَ الْفَرْجِ دَاعٍ إِلَى وَطْئِهَا فِي الْفَرْجِ، وما كان داعيا أَمْرٍ مَمْنُوعٍ مِنْهُ كَانَ فِي نَفْسِهِ مَمْنُوعًا منه كإمساك الخمر فما كَانَ دَاعِيًا إِلَى تَنَاوُلِهَا كَانَ مَمْنُوعًا مِنْهُ كَمَا كَانَ مَمْنُوعًا مِنْ تَنَاوُلِهَا.

Jika dikatakan: Bolehkah ia menyetubuhi tanpa melalui farj (kemaluan)? Karena hal itu tidak menyebabkan kehamilan. Maka dijawab: Tidak boleh. Karena menyetubuhi tanpa melalui farj merupakan dorongan untuk menyetubuhi melalui farj, dan segala sesuatu yang menjadi pendorong kepada perkara yang dilarang, maka perkara itu sendiri juga dilarang, seperti memegang khamr; maka segala sesuatu yang mendorong untuk meminumnya juga dilarang, sebagaimana dilarang meminumnya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَكُونَ مِمَّنْ لَا تَحْبَلُ إِمَّا لِصِغَرٍ أَوْ إِيَاسٍ فَفِي جَوَازِ وَطْءِ الرَّاهِنِ لَهَا وجهان:

Keadaan kedua: Ia termasuk wanita yang tidak mungkin hamil, baik karena masih kecil atau sudah menopause. Dalam hal kebolehan rāhin menyetubuhinya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: يَجُوزُ لَهُ وَطْؤُهَا؛ لِأَنَّ حَبَلَهَا الْمُفْضِيَ إِلَى إِبْطَالِ رَهْنِهَا مَأْمُونٌ. فَصَارَ الْوَطْءُ كَالِاسْتِخْدَامِ.

Pertama: Ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: Boleh baginya menyetubuhi budak tersebut; karena kehamilan yang dapat membatalkan status rahn sudah tidak dikhawatirkan. Maka menyetubuhi budak itu seperti memanfaatkannya untuk pekerjaan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا: لَا يَجُوزُ وَطْؤُهَا، لِأَنَّ الْإِيَاسَ مَظْنُونٌ وَحَبَلُ الْمُرَاهِقَةِ غَيْرُ مَأْمُونٍ. فَصَارَ كَالشَّرَابِ لَمَّا كَانَ مَا يُسْكَرُ مِنْهُ غَيْرَ مَحْدُودٍ. وَيَخْتَلِفُ عَلَى حَسَبِ قُوَّةِ الْأَشْرِبَةِ وَاخْتِلَافِ النَّاسِ مُنِعَ مِنْ قَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ.

Pendapat kedua: Ini adalah pendapat mayoritas ulama kami: Tidak boleh menyetubuhinya, karena menopause masih bersifat dugaan dan kehamilan pada anak yang mendekati baligh masih mungkin terjadi. Maka hukumnya seperti minuman keras, di mana kadar yang memabukkan tidak dapat ditentukan, dan berbeda-beda sesuai kekuatan minuman dan perbedaan orang, sehingga sedikit maupun banyak tetap dilarang.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنْ وَطْئِهَا عَلَى مَا وَصَفْنَا. فَوَطْؤُهَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika telah tetap bahwa rāhin dilarang menyetubuhinya sebagaimana telah dijelaskan, maka perbuatan menyetubuhinya terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَطَأَ دُونَ الْفَرْجِ فَلَا حُكْمَ لَهُ، وَهِيَ بِحَالِهَا رَهْنٌ.

Pertama: Menyetubuhi tanpa melalui farj, maka tidak ada hukum apa pun atasnya, dan statusnya tetap sebagai rahn.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَطَأَ فِي الْفَرْجِ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ وَلَا تَعْزِيرَ، لِأَنَّهَا مِلْكُهُ ثُمَّ هُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: Menyetubuhi melalui farj, maka tidak ada had (hukuman) maupun ta‘zir atasnya, karena ia adalah miliknya. Kemudian, hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُحْبِلَهَا.

Pertama: Ia menghamilinya.

وَالثَّانِي: أَلَّا يُحْبِلَهَا، فَإِنْ لَمْ يُحْبِلْهَا فَلَهَا حَالَانِ:

Kedua: Tidak menghamilinya. Jika ia tidak menghamilinya, maka ada dua keadaan baginya:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ بِكْرًا.

Pertama: Ia masih perawan.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ ثَيِّبًا. فَإِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا فَلَا شَيْءَ عَلَى الرَّاهِنِ الْوَاطِئِ مِنْ مَهْرٍ وَلَا غَيْرِهِ؛ لِأَنَّ الْمَهْرَ مِنْ كَسْبِهَا وَكَسْبُهَا لِلرَّاهِنِ غَيْرُ دَاخِلٍ فِي الرَّهْنِ. أَلَا تَرَى أَنَّ أَجْنَبِيًّا لَوْ وَطِئَهَا فَلَزِمَهُ الْمَهْرُ كَانَ مِلْكًا لِلرَّاهِنِ غَيْرَ دَاخِلٍ فِي الرَّهْنِ، فَكَذَلِكَ إِذَا كَانَ الْوَاطِئُ هُوَ الرَّاهِنَ لَمْ تَلْزَمْهُ غَرَامَةُ الْمَهْرِ فِي الرَّهْنِ.

Kedua: Ia sudah tidak perawan. Jika ia sudah tidak perawan, maka tidak ada kewajiban apa pun atas pihak yang menggadaikan yang menyetubuhinya, baik berupa mahar maupun yang lainnya; karena mahar adalah hasil usahanya dan hasil usahanya menjadi milik pihak yang menggadaikan, tidak termasuk dalam barang gadai. Bukankah engkau melihat bahwa jika orang lain menyetubuhinya lalu wajib membayar mahar, maka mahar itu menjadi milik pihak yang menggadaikan dan tidak termasuk dalam barang gadai? Maka demikian pula jika yang menyetubuhi adalah pihak yang menggadaikan, ia tidak wajib membayar denda mahar dalam barang gadai.

وَإِنْ كَانَتْ بِكْرًا فَعَلَيْهِ أَرْشُ بَكَارَتِهَا وَمَا نَقَصَهَا الِافْتِضَاضُ بِوَطْئِهِ إِيَّاهَا لِيَكُونَ رَهْنًا مَعَهَا أَوْ قِصَاصًا مِنَ الْحَقِّ وَإِنَّمَا لَزِمَهُ أَرْشُ بَكَارَتِهَا وَلَمْ يَلْزَمْهُ مَهْرُهَا؛ لِأَنَّ أَرْشَ الْبَكَارَةِ بَدَلٌ مِنْ إِتْلَافِ عُضْوٍ مِنْهَا وَذَلِكَ دَاخِلٌ فِي الرَّهْنِ غَيْرُ خَارِجٍ مِنْهُ كَمَا لَوْ قَطَعَ يَدَهَا. أَلَا تَرَى أَنَّ أَجْنَبِيًّا لَوْ أَزَالَ بَكَارَتَهَا فَلَزِمَهُ أَرْشُهَا كَانَ الْأَرْشُ دَاخِلًا فِي الرَّهْنِ، فَكَذَلِكَ إِذَا كَانَ مُزِيلَ الْبَكَارَةِ هُوَ الرَّاهِنَ لَزِمَهُ غَرَامَةُ الْأَرْشِ فِي الرَّهْنِ. فَهَذَا حُكْمُ وَطْئِهِ إِذَا لَمْ تَحْبَلْ.

Jika ia masih perawan, maka wajib baginya membayar ganti rugi keperawanannya dan apa yang berkurang darinya akibat keperawanannya hilang karena disetubuhi olehnya, agar menjadi barang gadai bersamanya atau sebagai pengurang dari hak. Ia hanya wajib membayar ganti rugi keperawanannya dan tidak wajib membayar maharnya; karena ganti rugi keperawanan adalah pengganti dari kerusakan anggota tubuhnya dan itu termasuk dalam barang gadai, tidak keluar darinya, sebagaimana jika ia memotong tangannya. Bukankah engkau melihat bahwa jika orang lain menghilangkan keperawanannya lalu wajib membayar ganti ruginya, maka ganti rugi itu termasuk dalam barang gadai? Maka demikian pula jika yang menghilangkan keperawanan adalah pihak yang menggadaikan, ia wajib membayar denda ganti rugi dalam barang gadai. Inilah hukum menyetubuhinya jika tidak hamil.

فَأَمَّا إِذَا أَحْبَلَهَا بِوَطْئِهِ فَالْكَلَامُ فِي الْمَهْرِ وَأَرْشِ الْبَكَارَةِ عَلَى مَا مَضَى مِنْ وُجُوبِ الْأَرْشِ وَسُقُوطِ الْمَهْرِ، ثُمَّ هِيَ قَبْلَ وَضْعِ حَمْلِهَا رَهْنٌ بِحَالِهَا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْحَمْلُ غَلَطًا أَوْ رِيحًا. وَلَا يَجُوزُ بَيْعُهَا فِي الرَّهْنِ قَبْلَ وَضْعِهَا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْحَمْلُ صَحِيحًا.

Adapun jika ia menghamilinya dengan menyetubuhinya, maka pembahasan tentang mahar dan ganti rugi keperawanan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yaitu wajib membayar ganti rugi dan gugurnya mahar. Kemudian, sebelum ia melahirkan, ia tetap menjadi barang gadai sebagaimana adanya, karena masih mungkin kehamilannya itu keliru atau hanya angin. Dan tidak boleh menjualnya dalam keadaan gadai sebelum ia melahirkan, karena masih mungkin kehamilannya benar-benar ada.

فَإِذَا وَضَعَتْ حَمْلَهَا فَالْوَلَدُ حُرٌّ لَاحِقٌ بِالرَّاهِنِ لِأَنَّهُ مِنْ أَمَتِهِ، وَلَيْسَ عَلَيْهِ غُرْمُ قِيمَتِهِ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ مَمْلُوكًا لَكَانَ غَيْرَ دَاخِلٍ فِي الرَّهْنِ.

Jika ia telah melahirkan, maka anak itu merdeka dan dinisbatkan kepada pihak yang menggadaikan karena ia adalah anak dari budaknya. Dan tidak ada kewajiban membayar ganti rugi nilainya, karena jika anak itu adalah budak, maka ia tidak termasuk dalam barang gadai.

فَأَمَّا الْأُمُّ فَهِيَ لَهُ أُمُّ وَلَدٍ. وَهَلْ تَخْرُجُ مِنَ الرَّهْنِ أَمْ لَا؟ قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي كِتَابِ الرَّهْنِ الصَّغِيرِ الْمَنْسُوبِ إِلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ:

Adapun ibunya, maka ia menjadi umm walad baginya. Apakah ia keluar dari barang gadai atau tidak? Imam Syafi‘i ra. berkata dalam Kitab ar-Rahn ash-Shaghir yang dinisbatkan kepada pendapat beliau dalam qaul qadim:

إِنْ كَانَ معسرا لم تخرج من الرهن فإن كَانَ مُوسِرًا فَعَلَى قَوْلَيْنِ وَقَالَ فِي كِتَابِ الرَّهْنِ الْكَبِيرِ الْمَنْسُوبِ إِلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ: إِنَّهُ إِنْ كَانَ مُوسِرًا خَرَجَتْ مِنَ الرَّهْنِ وَطُولِبَ بِقِيمَتِهَا.

Jika ia dalam keadaan tidak mampu (miskin), maka ia tidak keluar dari barang gadai. Jika ia mampu (kaya), maka ada dua pendapat. Dan beliau berkata dalam Kitab ar-Rahn al-Kabir yang dinisbatkan kepada pendapat beliau dalam qaul jadid: Jika ia mampu (kaya), maka ia keluar dari barang gadai dan dituntut untuk membayar nilainya.

وَتَكُونُ رَهْنًا أَوْ قِصَاصًا مِنَ الْحَقِّ وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا فَعَلَى قَوْلَيْنِ.

Dan ia menjadi barang gadai atau sebagai pengurang dari hak, dan jika ia tidak mampu (miskin), maka ada dua pendapat.

فَحَصَلَ فِي خُرُوجِهَا مِنَ الرَّهْنِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

Maka terdapat tiga pendapat tentang keluarnya ia dari barang gadai:

أَحَدُهَا: أَنَّهَا تَخْرُجُ مِنَ الرَّهْنِ فِي الْيَسَارِ وَالْإِعْسَارِ.

Pertama: Ia keluar dari barang gadai baik dalam keadaan mampu maupun tidak mampu.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا لَا تَخْرُجُ مِنَ الرَّهْنِ فِي الْيَسَارِ وَالْإِعْسَارِ.

Pendapat kedua: Ia tidak keluar dari barang gadai baik dalam keadaan mampu maupun tidak mampu.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: تَخْرُجُ مِنَ الرَّهْنِ فِي الْيَسَارِ وَلَا تَخْرُجُ مِنْهُ فِي الْإِعْسَارِ.

Pendapat ketiga: Ia keluar dari barang gadai dalam keadaan mampu, dan tidak keluar darinya dalam keadaan tidak mampu.

وَإِذَا قُلْنَا: تَخْرُجُ مِنَ الرَّهْنِ فِي الْيَسَارِ وَالْإِعْسَارِ فَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة وَوَجْهُهُ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ:

Jika kita mengatakan: Ia keluar dari barang gadai baik dalam keadaan mampu maupun tidak mampu, maka itu adalah pendapat Abu Hanifah, dan alasannya ada tiga:

أَحَدُهَا: هُوَ أَنَّ الرَّهْنَ مُحْتَبِسٌ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ بِدَيْنِهِ كَمَا أَنَّ الْمَبِيعَ مُحْتَبِسٌ فِي يَدِ الْبَائِعِ بِثَمَنِهِ، فَلَمَّا كَانَ حَبْسُ الْجَارِيَةِ فِي يَدِ الْبَائِعِ بِالثَّمَنِ لَا يَمْنَعُ مِنْ أَنْ تَصِيرَ بِوَطْءِ الْمُشْتَرِي أُمَّ وَلَدٍ يَحْرُمُ بَيْعُهَا، كَذَلِكَ حَبْسُ الْجَارِيَةِ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ بِدَيْنِهِ لَا يَمْنَعُ مِنْ أَنْ تَصِيرَ بِوَطْءِ الرَّاهِنِ أُمَّ وَلَدٍ يَحْرُمُ بَيْعُهَا.

Pertama: Barang gadai tertahan di tangan penerima gadai karena utangnya, sebagaimana barang yang dijual tertahan di tangan penjual karena harganya. Maka, ketika penahanan budak perempuan di tangan penjual karena harga tidak menghalangi ia menjadi umm walad karena disetubuhi pembeli sehingga haram dijual, demikian pula penahanan budak perempuan di tangan penerima gadai karena utang tidak menghalangi ia menjadi umm walad karena disetubuhi pihak yang menggadaikan sehingga haram dijual.

وَالثَّانِي: هُوَ أَنَّ حَقَّ الْمُرْتَهِنِ يَتَعَلَّقُ بِالْعَيْنِ وَالذِّمَّةِ، وَحُكْمُ الْإِحْبَالِ مُتَعَلِّقٌ بِالْعَيْنِ دُونَ الذِّمَّةِ، وَالْحَقَّانِ إِذَا تَرَادَفَا وَكَانَ أَحَدُهُمَا مُتَعَلِّقًا بِالْعَيْنِ وَالذِّمَّةِ، وَالْآخَرُ مُتَعَلِّقًا بِالْعَيْنِ دُونَ الذِّمَّةِ، كَانَ مَا تَعَلَّقَ بِالْعَيْنِ دُونَ الذِّمَّةِ مُتَقَدِّمًا عَلَى مَا تَعَلَّقَ بِالْعَيْنِ وَالذِّمَّةِ، كَالْجِنَايَةِ إِذَا حَدَثَتْ مِنَ الرَّهْنِ كَانَتِ الْجِنَايَةُ مُتَقَدِّمَةً لِتَعَلُّقِهَا بِالدَّيْنِ.

Kedua: Bahwa hak murtahin (penerima gadai) terkait dengan barang (‘ayn) dan tanggungan (dzimmah), sedangkan hukum ihbāl hanya terkait dengan barang (‘ayn) saja, tidak dengan tanggungan (dzimmah). Jika dua hak tersebut bersamaan, dan salah satunya terkait dengan barang (‘ayn) dan tanggungan (dzimmah), sedangkan yang lain hanya terkait dengan barang (‘ayn) saja tanpa tanggungan (dzimmah), maka yang hanya terkait dengan barang (‘ayn) saja lebih didahulukan daripada yang terkait dengan barang (‘ayn) dan tanggungan (dzimmah), seperti halnya jināyah (tindak pidana) yang terjadi pada barang gadai, maka hak jināyah lebih didahulukan karena keterkaitannya dengan utang.

وَالثَّالِثُ: هُوَ حُكْمُ الْإِحْبَالِ أَقْوَى مِنَ الرَّهْنِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Ketiga: Hukum ihbāl lebih kuat daripada rahn (gadai) dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ حُكْمَ الْإِحْبَالِ يَقَعُ فِي الْمِلْكِ وَيَسْرِي إِلَى غَيْرِ الْمِلْكِ. وَالرَّهْنُ لَا يَصِحُّ إِلَّا فِي مِلْكٍ.

Pertama: Hukum ihbāl berlaku pada kepemilikan dan dapat merambat ke selain kepemilikan, sedangkan rahn tidak sah kecuali pada sesuatu yang dimiliki.

وَالثَّانِي: أَنَّ حُكْمَ الْإِحْبَالِ يَسْتَوِي فِيهِ الرَّشِيدُ وَغَيْرُ الرَّشِيدِ وَالرَّهْنُ لَا يَصِحُّ إِلَّا مِنْ رَشِيدٍ. فَإِذَا كَانَ الْإِحْبَالُ أَقْوَى مِنَ الرَّهْنِ فِي هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ وَزِيَادَةً غَلَبَ حُكْمُ الْإِحْبَالِ عَلَى الرَّهْنِ … فَهَذَا تَوْجِيهُ هَذَا الْقَوْلِ.

Kedua: Hukum ihbāl berlaku sama baik bagi orang yang cerdas (rasyid) maupun yang tidak cerdas, sedangkan rahn tidak sah kecuali dari orang yang cerdas (rasyid). Maka jika ihbāl lebih kuat daripada rahn dalam dua sisi ini dan lebih, maka hukum ihbāl lebih diunggulkan atas rahn … Inilah penjelasan pendapat ini.

وَإِذَا قُلْنَا: إِنَّهَا لَا تَخْرُجُ مِنَ الرَّهْنِ فِي الْيَسَارِ وَالْإِعْسَارِ وَهُوَ قَوْلُ دَاوُدَ فَوَجْهُهُ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ:

Jika kita mengatakan: Bahwa ia (budak perempuan) tidak keluar dari status rahn baik dalam keadaan mampu maupun tidak mampu, dan ini adalah pendapat Dawud, maka alasannya ada tiga hal:

أَحَدُهَا: هُوَ أَنَّ حَقَّ الْمُرْتَهِنِ يَتَعَلَّقُ بِرَقَبَةِ الجارية المرهونة كما أن حق المجني عليه يتعلق برقبة الجانية، فَلَمَّا لَمْ يَكُنِ الْإِحْبَالُ مَانِعًا مِنْ بَيْعِهَا فِي الْجِنَايَةِ لَمْ يَكُنِ الْإِحْبَالُ مَانِعًا مِنْ بَيْعِهَا فِي الرَّهْنِ.

Pertama: Bahwa hak murtahin terkait dengan leher (kepemilikan) budak perempuan yang digadaikan sebagaimana hak korban jināyah terkait dengan leher pelaku jināyah. Maka ketika ihbāl tidak menjadi penghalang untuk menjualnya dalam kasus jināyah, maka ihbāl juga tidak menjadi penghalang untuk menjualnya dalam kasus rahn.

وَالثَّانِي: هُوَ أَنَّ نُفُوذَ الْإِحْبَالِ مُبْطِلٌ لِوَثِيقَةِ الْمُرْتَهِنِ مِنَ الرَّهْنِ كَمَا أَنَّ الْبَيْعَ مُبْطِلٌ لِوَثِيقَةِ الْمُرْتَهِنِ مِنَ الرَّهْنِ، فَلَمَّا كَانَ بَيْعُ الرَّاهِنِ غَيْرَ صَحِيحٍ لِمَا فِيهِ مِنْ إِبْطَالِ وَثِيقَةِ الْمُرْتَهِنِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ إِحْبَالُ الرَّاهِنِ غَيْرَ نَافِذٍ لِمَا فِيهِ مِنْ إِبْطَالِ وَثِيقَةِ الْمُرْتَهِنِ.

Kedua: Bahwa berlakunya ihbāl membatalkan jaminan murtahin dari rahn, sebagaimana jual beli membatalkan jaminan murtahin dari rahn. Maka ketika penjualan oleh rāhin (penggadai) tidak sah karena membatalkan jaminan murtahin, maka ihbāl yang dilakukan oleh rāhin juga tidak sah karena membatalkan jaminan murtahin.

وَالثَّالِثُ: هُوَ أَنَّ إِثْبَاتَ الرَّهْنِ أَوْلَى مِنْ نُفُوذِ الْإِحْبَالِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Ketiga: Bahwa penetapan rahn lebih utama daripada berlakunya ihbāl dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الرَّهْنَ أَسْبَقُ مِنَ الْإِحْبَالِ فَكَانَ أَوْلَى.

Pertama: Bahwa rahn lebih dahulu daripada ihbāl, maka ia lebih utama.

وَالثَّانِي: أَنَّ عَقْدَ الرَّهْنِ تَمَّ بِاخْتِيَارِهِمَا، وَالْإِحْبَالُ حَادِثٌ بِاخْتِيَارِ أَحَدِهِمَا فَكَانَ مَا تَمَّ بِاخْتِيَارِهِمَا أَوْلَى، وَإِذَا كَانَ إِثْبَاتُ الرَّهْنِ أَوْلَى مِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ لَمْ يَكُنْ لِلْإِحْبَالِ تَأْثِيرٌ فِيهِ فَهَذَا تَوْجِيهُ هَذَا الْقَوْلِ.

Kedua: Bahwa akad rahn terjadi atas dasar kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan ihbāl terjadi atas kehendak salah satu pihak saja. Maka apa yang terjadi atas kesepakatan kedua belah pihak lebih utama. Jika penetapan rahn lebih utama dari dua sisi ini, maka ihbāl tidak berpengaruh terhadapnya. Inilah penjelasan pendapat ini.

وَإِذَا قلنا: إنها تَخْرُجُ مِنَ الرَّهْنِ فِي الْيَسَارِ وَلَا تَخْرُجُ منه فِي الْإِعْسَارِ فَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَوَجْهُهُ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ:

Jika kita mengatakan: Bahwa ia keluar dari status rahn dalam keadaan mampu, namun tidak keluar darinya dalam keadaan tidak mampu, maka ini adalah pendapat Malik, dan alasannya ada tiga hal:

أَحَدُهَا: هُوَ أَنَّ الرَّاهِنَ مَمْنُوعٌ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي الرَّهْنِ كَمَا أَنَّ الشَّرِيكَ مَمْنُوعٌ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي حِصَّةِ الشَّرِيكِ، فَلَمَّا كَانَ إِحْبَالُ الشَّرِيكِ نَافِذًا فِي حِصَّةِ شَرِيكِهِ فِي الْيَسَارِ دُونَ الْإِعْسَارِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ إِحْبَالُ الرَّاهِنِ نَافِذًا فِي الرَّهْنِ فِي الْيَسَارِ دُونَ الْإِعْسَارِ.

Pertama: Bahwa rāhin dilarang melakukan tindakan terhadap barang yang digadaikan sebagaimana seorang sekutu dilarang melakukan tindakan terhadap bagian sekutunya. Maka ketika ihbāl sekutu sah pada bagian sekutunya dalam keadaan mampu dan tidak sah dalam keadaan tidak mampu, maka ihbāl rāhin juga harus sah pada barang gadai dalam keadaan mampu dan tidak sah dalam keadaan tidak mampu.

وَالثَّانِي: هُوَ أَنَّ الْحَقَّيْنِ إِذَا أَمْكَنَ اسْتِيفَاؤُهُمَا لَمْ يَجُزْ إِسْقَاطُ أَحَدِهِمَا وَفِي الْيَسَارِ يمكن استيفاءهما وَفِي الْإِعْسَارِ لَا يُمْكِنُ تَقَدُّمُ الرَّهْنِ، لِأَنَّهُ أَسْبَقُهُمَا.

Kedua: Bahwa jika kedua hak tersebut dapat dipenuhi, maka tidak boleh menggugurkan salah satunya. Dalam keadaan mampu, keduanya dapat dipenuhi, sedangkan dalam keadaan tidak mampu, rahn tidak dapat didahulukan karena ia yang lebih dahulu.

وَالثَّالِثُ: هُوَ أَنَّ الْإِحْبَالَ تَصَرُّفٌ فِي عَيْنٍ تَعَلَّقَ بِهَا اسْتِيفَاءُ حَقِّ الْغَيْرِ مِنْهَا، فَوَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ الْيَسَارُ فِي إِمْضَاءِ تَصَرُّفِهِ، وَالْإِعْسَارُ فِي رَدِّ تَصَرُّفِهِ لِأَمْرَيْنِ:

Ketiga: Bahwa ihbāl adalah tindakan terhadap barang (‘ayn) yang padanya terdapat hak pihak lain, maka harus diperhatikan keadaan mampu dalam mengesahkan tindakannya, dan keadaan tidak mampu dalam menolak tindakannya, karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ التصرف موجب للغرم وَالْمُوسِرُ قَادِرٌ عَلَى الْغُرْمِ دُونَ الْمُعْسِرِ.

Pertama: Bahwa tindakan tersebut menyebabkan tanggungan (ghurm), dan orang yang mampu dapat menanggungnya, sedangkan yang tidak mampu tidak dapat menanggungnya.

وَالثَّانِي: أَنَّ رَدَّ التَّصَرُّفِ حَجْرٌ، وَالْمَحْجُورُ عَلَيْهِ بِحَقِّ الدَّيْنِ هُوَ الْمُعْسِرُ دُونَ الْمُوسِرِ فَهَذَا تَوْجِيهُ هَذَا الْقَوْلِ.

Kedua: Bahwa menolak tindakan adalah bentuk pembatasan (hajr), dan yang dikenai pembatasan karena utang adalah orang yang tidak mampu, bukan orang yang mampu. Inilah penjelasan pendapat ini.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْأَقَاوِيلِ انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى إِبَانَةِ حُكْمِ الْجَارِيَةِ إِذَا قُلْنَا بِخُرُوجِهَا مِنَ الرَّهْنِ، وَإِلَى حُكْمِهَا إِذَا قُلْنَا بِبَقَائِهَا فِي الرَّهْنِ.

Setelah penjelasan mengenai argumentasi pendapat-pendapat, maka pembahasan berpindah kepada penjelasan hukum budak perempuan apabila kita mengatakan ia keluar dari status gadai, dan juga kepada hukumnya apabila kita mengatakan ia tetap berada dalam status gadai.

فَأَمَّا إِذَا قُلْنَا: إِنَّهَا قَدْ خَرَجَتْ مِنَ الرَّهْنِ فَقَدْ صَارَتْ لِلرَّاهِنِ أُمَّ وَلَدٍ بِنَفْسِ الْعُلُوقِ لَايَخْتَلِفُ. وَلَيْسَ كَمَا غَلِطَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا الْمُتَأَخِّرِينَ مِنَ الْبَغْدَادِيِّينَ. فَخَرَّجَ ذَلِكَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ:

Adapun jika kita mengatakan bahwa ia telah keluar dari status gadai, maka ia menjadi umm walad bagi orang yang menggadaikan (rahin) hanya dengan terjadinya kehamilan, tanpa ada perbedaan pendapat. Tidak seperti kekeliruan sebagian ulama kami dari kalangan muta’akhkhirin (ulama belakangan) dari Baghdad, yang mengemukakan tiga pendapat dalam hal ini:

أَحَدُهَا: تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ بِنَفْسِ الْعُلُوقِ.

Pertama: Ia menjadi umm walad hanya dengan terjadinya kehamilan.

وَالثَّانِي: بِدَفْعِ الْقِيمَةِ.

Kedua: Dengan membayar nilai (budak tersebut).

وَالثَّالِثُ: مَوْقُوفٌ اعْتِبَارًا بِوَطْءِ أَحَدِ الشَّرِيكَيْنِ. وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ قَائِلِهِ، لِأَنَّ وَطْءَ الرَّاهِنِ صَادَفَ مِلْكًا، وَإِنَّمَا يَدْفَعُ الْقِيمَةَ لَا غُرْمًا لِلْمُتْلَفِ وَلَكِنْ عَلَى وَجْهِ الِاسْتِيثَاقِ لِلْمُرْتَهِنِ فَصَارَتْ بِنَفْسِ الْعُلُوقِ أُمَّ وَلَدٍ.

Ketiga: Statusnya ditangguhkan, dengan mempertimbangkan kasus persetubuhan salah satu dari dua orang yang berserikat. Ini adalah kekeliruan dari yang berpendapat demikian, karena persetubuhan orang yang menggadaikan (rahin) terjadi pada miliknya, dan ia hanya membayar nilai bukan sebagai ganti rugi atas kerusakan, melainkan sebagai bentuk jaminan bagi penerima gadai (murtahin). Maka, dengan terjadinya kehamilan, ia langsung menjadi umm walad.

وَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَصِيرَ بِدَفْعِ الْقِيمَةِ أُمَّ وَلَدٍ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ قَضَى الدَّيْنَ وَلَمْ يَدْفَعِ الْقِيمَةَ كَانَتْ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ حِصَّةُ أَحَدِ الشَّرِيكَيْنِ.

Tidak sah jika dikatakan bahwa ia menjadi umm walad dengan membayar nilai. Bukankah jika ia melunasi utang dan belum membayar nilai, budak itu tetap menjadi umm walad baginya? Hal ini berbeda dengan bagian milik salah satu dari dua orang yang berserikat.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهَا تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ بِنَفْسِ الْعُلُوقِ، فَعَلَيْهِ دَفْعُ قِيمَتِهَا إِلَى الْمُرْتَهِنِ إِنْ كَانَ مُوسِرًا بِهَا، سَوَاءٌ جَعَلْنَا الْيَسَارَ شَرْطًا فِي خُرُوجِهَا مِنَ الرَّهْنِ أَمْ لَا. لِأَنَّهُ لَمَّا غَرِمَ أَرْشَ نَقْصِهَا بِجِنَايَتِهِ مَعَ بَقَائِهَا فِي الرَّهْنِ، فَأَوْلَى أَنْ يُغَرَّمَ جَمِيعَ قِيمَتِهَا بِخُرُوجِهَا مِنَ الرَّهْنِ، فَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا بِهَا فِي الْحَالِ ثُمَّ أَيْسَرَ فِيمَا بَعْدُ غَرِمَ قِيمَتَهَا إِذَا أَيْسَرَ وَاعْتِبَارُ الْقِيمَةِ وَقْتَ الْعُلُوقِ لَا يَخْتَلِفُ فِيهِ الْمَذْهَبُ، لِأَنَّهُ بِالْعُلُوقِ قَدِ اسْتُهْلِكَ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ، فَالرَّاهِنُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَجْعَلَ الْقِيمَةَ رَهْنًا مكانها أو تكون قصاصا من الحق فإن جعلها رهنا. فَعَلَيْهِ أَنْ يَدْفَعَ جَمِيعَ قِيمَتِهَا وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنَ الْحَقِّ لِأَنَّهُ يَصِيرُ رَهْنًا بَدَلًا عَنِ الْجَارِيَةِ الْمَرْهُونَةِ.

Jika telah tetap bahwa ia menjadi umm walad hanya dengan terjadinya kehamilan, maka wajib baginya membayar nilai budak tersebut kepada murtahin jika ia mampu membayarnya, baik kita mensyaratkan kemampuan sebagai syarat keluarnya dari gadai atau tidak. Karena ketika ia menanggung ganti rugi atas kekurangan nilai budak akibat perbuatannya sementara budak masih dalam status gadai, maka lebih utama lagi ia menanggung seluruh nilai budak jika keluar dari gadai. Jika ia tidak mampu membayarnya saat itu, lalu kemudian mampu, maka ia wajib membayar nilainya ketika telah mampu. Penilaian nilai budak adalah pada saat terjadinya kehamilan, dan tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab mengenai hal ini, karena dengan kehamilan budak tersebut telah dianggap habis (tidak dapat digadaikan lagi). Dengan demikian, orang yang menggadaikan (rahin) memiliki pilihan antara menjadikan nilai budak sebagai barang gadai pengganti atau sebagai pelunasan sebagian dari utang. Jika ia menjadikannya sebagai barang gadai, maka ia wajib membayar seluruh nilai budak, meskipun nilainya lebih besar dari utang, karena nilai tersebut menjadi barang gadai pengganti budak yang digadaikan.

وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَجْعَلَهَا قِصَاصًا مِنَ الْحَقِّ فَعَلَيْهِ أَنْ يَدْفَعَ أَقَلَّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ قِيمَتِهَا أَوْ مَا عَلَيْهِ مِنَ الْحَقِّ، لِأَنَّهُ إِنْ كَانَتْ قِيمَتُهَا أَكْثَرَ مِنَ الْحَقِّ فَلَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ إِلَّا حَقُّهُ، وَالزِّيَادَةُ لِلرَّاهِنِ، وَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهَا أَقَلَّ مِنَ الْحَقِّ فَقَدْ عَجَّلَ بَعْضَ مَا عَلَيْهِ، وَمَنْ عَجَّلَ بَعْضَ مَا عَلَيْهِ لَمْ يَلْزَمْهُ تَعْجِيلُ بَاقِيهِ فَهَذَا حكمها إذا خرجت من الرهن.

Jika ia ingin menjadikannya sebagai pelunasan sebagian dari utang, maka ia wajib membayar yang lebih kecil antara nilai budak atau jumlah utang yang masih tersisa, karena jika nilai budak lebih besar dari utang, maka hak murtahin hanya sebatas utangnya, dan kelebihannya menjadi milik rahin. Jika nilai budak lebih kecil dari utang, maka ia telah melunasi sebagian utangnya, dan siapa yang melunasi sebagian utangnya tidak wajib melunasi sisanya secara langsung. Inilah hukumnya jika budak tersebut keluar dari status gadai.

(فصل)

(Fasal)

فإذا تقرر توجيه الأقاويل فَأَمَّا إِذَا قُلْنَا: إِنَّهَا لَا تَخْرُجُ مِنَ الرَّهْنِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ تُبَاعَ قَبْلَ وَضْعِهَا، لِأَنَّهَا حَامِلٌ بِحُرٍّ فَإِذَا وَضَعَتْ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Setelah penjelasan mengenai argumentasi pendapat-pendapat, adapun jika kita mengatakan bahwa budak perempuan tersebut tidak keluar dari status gadai, maka tidak boleh dijual sebelum melahirkan, karena ia sedang mengandung anak yang merdeka. Jika ia telah melahirkan, maka keadaannya tidak lepas dari tiga kemungkinan:

إِمَّا أَنْ تَمُوتَ بِالْوَضْعِ، أَوْ لَا تَمُوتَ لَكِنْ تَنْقُصُ قِيمَتُهَا، أَوْ لَا تَمُوتُ وَلَا تَنْقُصُ قِيمَتُهَا بِالْوَضْعِ.

Pertama, ia meninggal dunia saat melahirkan; kedua, ia tidak meninggal tetapi nilainya berkurang; ketiga, ia tidak meninggal dan nilainya juga tidak berkurang karena melahirkan.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ تَمُوتَ بِالْوَضْعِ، فَعَلَيْهِ غُرْمُ قِيمَتِهَا لِأَنَّ مَوْتَهَا بِسَبَبٍ مِنْهُ كَمَا لَوْ قَتَلَهَا فَإِنْ قِيلَ أَلَيْسَ لَوِ اسْتَكْرَهَ أَمَةً عَلَى الْوَطْءِ فَأَحْبَلَهَا فَمَاتَتْ مِنَ الْوِلَادَةِ لَمْ يَكُنْ يَلْزَمُهُ قِيمَتُهَا فَهَلَّا كَانَتِ الْجَارِيَةُ الْمَرْهُونَةُ إِذَا مَاتَتْ مِنْ وَضْعِهَا بِإِحْبَالِهِ لَا يَلْزَمُهُ قِيمَتُهَا؟

Adapun kemungkinan pertama, yaitu ia meninggal dunia saat melahirkan, maka wajib mengganti nilai budak tersebut, karena kematiannya disebabkan oleh perbuatannya, sebagaimana jika ia membunuh budak itu. Jika ada yang bertanya: Bukankah jika seseorang memaksa budak perempuan untuk bersetubuh lalu menghamilinya, kemudian budak itu meninggal karena melahirkan, ia tidak wajib membayar nilainya? Mengapa budak perempuan yang digadaikan, jika meninggal karena melahirkan akibat dihamili oleh rahin, tetap wajib dibayar nilainya?

قُلْنَا: لِلشَّافِعِيِّ فِيهِ قَوْلَانِ:

Kami katakan: Dalam hal ini, menurut Imam Syafi’i terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَلَيْهِ قِيمَتَهَا إِنْ كَانَتْ أَمَةً وَدِيَتَهَا إِنْ كَانَتْ حُرَّةً. فَعَلَى هَذَا لَا فَرْقَ بَيْنَ الْمَرْهُونَةِ وَغَيْرِهَا.

Salah satunya: Wajib membayar nilai budak jika ia adalah budak, dan membayar diyat jika ia adalah perempuan merdeka. Berdasarkan pendapat ini, tidak ada perbedaan antara budak yang digadaikan dan selainnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا شَيْءَ عَلَيْهِ فِي الْحُرَّةِ وَلَا فِي الْأَمَةِ مِنْ دِيَةٍ وَلَا قِيمَةٍ. فَعَلَى هَذَا الْفَرْقُ بَيْنَ الرَّاهِنِ حَيْثُ غَرِمَ الْقِيمَةَ وَبَيْنَ غَيْرِهِ: أَنَّ الرَّاهِنَ يَلْحَقُ بِهِ الْوَلَدُ الَّذِي هُوَ سَبَبُ مَوْتِهَا. وذلك من جهته فلزمه غرم قيمتها والمكره على الزنا لا يلحق به الولد، فلم يكن سبب موتها من جهته، فلم يلزم غُرْمُ قِيمَتِهَا فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ عَلَيْهِ غُرْمَ قِيمَتِهَا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي اعْتِبَارِ وَقْتِ الْقِيمَةِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Pendapat kedua: Tidak ada kewajiban apa pun atas perempuan merdeka maupun budak perempuan, baik berupa diyat maupun nilai (harga). Berdasarkan pendapat ini, perbedaan antara orang yang menggadaikan (rahin) yang menanggung nilai (harga) dan selainnya adalah: bahwa kepada orang yang menggadaikan, anak yang menjadi sebab kematian ibunya dinisbatkan kepadanya. Karena sebab itu berasal dari pihaknya, maka ia wajib menanggung nilai (harga) budak tersebut. Adapun orang yang dipaksa berzina, anak tidak dinisbatkan kepadanya, sehingga sebab kematian budak itu bukan dari pihaknya, maka ia tidak wajib menanggung nilai (harga) budak tersebut. Jika telah tetap bahwa ia wajib menanggung nilai (harga) budak tersebut, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam menentukan waktu penetapan nilai (harga) menjadi tiga pendapat:

أَحَدُهَا: وَقْتَ الْعُلُوقِ؛ لِأَنَّ بِالْوَطْءِ كَانَ التَّعَدِّي.

Pertama: pada waktu terjadinya hubungan (al-‘uluq), karena dengan perbuatan tersebut telah terjadi pelanggaran.

وَالثَّانِي: وَقْتَ الْمَوْتِ؛ لِأَنَّ بِهِ اسْتَقَرَّ التَّلَفُ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ.

Kedua: pada waktu kematian, karena pada saat itulah kerusakan (kematian) benar-benar terjadi, dan ini adalah pendapat Ibnu Abi Hurairah.

وَالثَّالِثُ: أَكْثَرُ مَا كَانَتْ قِيمَةً مِنْ وَقْتِ الْوَطْءِ إِلَى وَقْتِ الْمَوْتِ كَالْغَصْبِ.

Ketiga: nilai (harga) tertinggi yang pernah ada sejak waktu hubungan hingga waktu kematian, sebagaimana dalam kasus perampasan (ghashb).

فإذا غرم القيمة كان بالخيارين أَنْ تَكُونَ رَهْنًا مَكَانَهَا سَوَاءً كَانَتْ أَكْثَرَ مِنَ الْحَقِّ أَوْ أَقَلَّ، وَبَيْنَ أَنْ تَكُونَ قِصَاصًا إِنْ كَانَتْ أَقَلَّ مِنَ الْحَقِّ أَوْ مِثْلَهُ وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنَ الْحَقِّ لَمْ يَلْزَمْهُ دَفْعُ الزِّيَادَةِ عَلَى الْحَقِّ.

Apabila ia telah menanggung nilai (harga) budak tersebut, maka ia memiliki dua pilihan: menjadikan budak itu sebagai barang gadai pengganti, baik nilainya lebih besar maupun lebih kecil dari hak (utang), atau menjadikannya sebagai pembayaran utang (qishash) jika nilainya kurang atau sama dengan hak (utang). Namun, jika nilainya lebih besar dari hak (utang), ia tidak wajib membayar kelebihan atas hak (utang) tersebut.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَلَّا تَمُوتَ لَكِنْ تَنْقُصُ قِيمَتُهَا بِالْوَضْعِ: فَعَلَيْهِ غُرْمُ مَا نَقَصَتْهَا الْوِلَادَةُ يَكُونُ رَهْنًا مَعَهَا أَوْ قِصَاصًا مِنَ الْحَقِّ فَإِنْ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ رَهْنًا مَعَهَا كَانَ كَذَلِكَ سَوَاءٌ كَانَ فِيهَا وَفَاءٌ بِالْحَقِّ أَمْ لَا.

Adapun bagian kedua, yaitu budak tidak mati tetapi nilainya berkurang karena melahirkan: maka ia wajib menanggung kekurangan nilai yang disebabkan oleh kelahiran, baik dijadikan sebagai barang gadai bersama budak tersebut atau sebagai pembayaran utang (qishash). Jika ia ingin menjadikannya sebagai barang gadai bersama budak tersebut, maka hal itu dibolehkan, baik nilai budak tersebut mencukupi untuk melunasi utang atau tidak.

وَإِنْ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ قِصَاصًا مِنَ الْحَقِّ كَانَ قِصَاصًا. فَإِنْ كَانَ فِيهِ وَفَاءٌ لِلدَّيْنِ خَرَجَتِ الْجَارِيَةُ مِنَ الرَّهْنِ وَصَارَتْ أُمَّ وَلَدٍ. وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ وَفَاءٌ لِلدَّيْنِ وَبَقِيَ مِنْهُ شَيْءٌ وَإِنْ قَلَّ كَانَتِ الْجَارِيَةُ بِحَالِهَا رَهْنًا.

Jika ia ingin menjadikannya sebagai pembayaran utang (qishash), maka itu pun dibolehkan. Jika kekurangan nilai tersebut cukup untuk melunasi utang, maka budak perempuan keluar dari status gadai dan menjadi umm walad. Namun, jika kekurangan nilai tersebut tidak cukup untuk melunasi utang dan masih tersisa sebagian utang, meskipun sedikit, maka budak perempuan tetap dalam statusnya sebagai barang gadai.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ أَنْ تَكُونَ عَلَى حَالِهَا لَمْ تَمُتْ وَلَمْ تَنْقُصْ بِالْوَضْعِ: فَلَا شَيْءَ عَلَى الرَّاهِنِ، ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُ الْحَقِّ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Adapun bagian ketiga, yaitu budak tetap dalam kondisinya, tidak mati dan tidak berkurang nilainya karena melahirkan: maka tidak ada kewajiban apa pun atas orang yang menggadaikan. Selanjutnya, keadaan hak (utang) tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ حَالًّا، أَوْ مُؤَجَّلًا: فَإِنْ كَانَ مُؤَجَّلًا لَمْ يَجُزْ أَنْ تُبَاعَ قَبْلَ الْأَجَلِ، وَإِنْ كَانَ حَالًّا لَمْ يَجُزْ أَنْ تُبَاعَ قَبْلَ اسْتِغْنَاءِ الْوَلَدِ عَنِ ارْتِضَاعِ اللِّبَأِ فَإِذَا ارْتَفَعَ اللِّبَأُ وَوُجِدَتْ مُرْضِعَةٌ تُرْضِعُهُ تَمَامَ الرَّضَاعِ جَازَ حِينَئِذٍ أَنْ تُبَاعَ فِي الدَّيْنِ وَيُفَرَّقَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْوَلَدِ فِي الْبَيْعِ فَإِنْ قِيلَ: أَلَيْسَ لَوْ كَانَ الْوَلَدُ مَمْلُوكًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْوَلَدِ فِي الْبَيْعِ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ سَبْعًا، فَهَلَّا قُلْتُمْ كَذَلِكَ فِي الْوَلَدِ إِذَا كَانَ حُرًّا؟ قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Yaitu, apakah utang tersebut sudah jatuh tempo atau masih ditangguhkan. Jika masih ditangguhkan, maka tidak boleh dijual sebelum jatuh tempo. Jika sudah jatuh tempo, maka tidak boleh dijual sebelum anaknya tidak lagi membutuhkan susu awal (colostrum). Jika masa colostrum telah berlalu dan telah ditemukan perempuan yang dapat menyusui anak tersebut hingga sempurna masa menyusuinya, maka pada saat itu boleh dijual untuk melunasi utang dan boleh dipisahkan antara budak dan anaknya dalam penjualan. Jika ada yang bertanya: Bukankah jika anak tersebut adalah budak, tidak boleh dipisahkan antara budak dan anaknya dalam penjualan hingga anak berusia tujuh tahun? Mengapa kalian tidak mengatakan demikian juga jika anak tersebut merdeka? Maka dijawab: Perbedaannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْوَلَدَ إِذَا كَانَ مَمْلُوكًا أَمْكَنَ أَنْ تُبَاعَ مَعَهُ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُبَاعَ دُونَهُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ مَعَ الْحُرِّ.

Pertama: Jika anak tersebut adalah budak, maka memungkinkan untuk dijual bersama ibunya, sehingga tidak boleh dijual tanpa anaknya. Hal ini tidak berlaku jika anak tersebut merdeka.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْوَلَدَ إِذَا كَانَ مَمْلُوكًا فَحَضَانَتُهُ لِلْأُمِّ فَإِذَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا سَقَطَتِ الْحَضَانَةُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْحُرُّ؛ لِأَنَّ حَضَانَتَهُ لِلْأَبِ، فَلَمْ يَكُنْ فِي التَّفْرِيقِ بَيْنَهُمَا إِسْقَاطٌ لِلْحَضَانَةِ.

Kedua: Jika anak tersebut adalah budak, maka hak asuh (hadhanah) ada pada ibunya. Jika dipisahkan antara keduanya, maka hak asuh itu gugur. Namun, jika anak tersebut merdeka, hak asuhnya ada pada ayahnya, sehingga pemisahan antara keduanya tidak menyebabkan gugurnya hak asuh.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ بَيْعِهَا وَالتَّفْرِيقُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ وَلَدِهَا لَمْ يَخْلُ حَالُ الدَّيْنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika telah tetap bolehnya menjual budak perempuan tersebut dan memisahkan antara dia dan anaknya, maka keadaan utang tidak lepas dari tiga bagian:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِثْلَ قِيمَتِهَا مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نَقْصٍ، أَوْ يَكُونَ أَكْثَرَ مِنْ قِيَمَتِهَا، أَوْ يَكُونَ أَقَلَّ مِنْ قِيمَتِهَا. فَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ مِثْلَ قِيمَتِهَا وَتَعَذَّرَ اسْتِيفَاءُ الدَّيْنِ مِنْ رَاهِنِهَا بيعت وصرف ثمنها في الدين وكذلك إن كَانَ الدَّيْنُ أَكْثَرَ مِنْ قِيمَتِهَا بِيعَتْ وَصُرِفَ ثَمَنُهَا فِي الدَّيْنِ وَكَانَ بَاقِي الدَّيْنِ فِي ذِمَّةِ الرَّاهِنِ بِغَيْرِ رَهْنٍ. فَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ أَقَلَّ مِنْ قِيمَتِهَا مِثْلَ أَنْ تَكُونَ قِيمَتُهَا أَلْفًا وَالدَّيْنُ خَمْسَمِائَةٍ فَالْوَاجِبُ أَنْ يُبَاعَ مِنْهَا بِقَدْرِ الدَّيْنِ وَهُوَ النِّصْفُ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَيْهِ.

Bisa jadi nilainya sama dengan nilai barang tersebut tanpa ada tambahan atau pengurangan, atau bisa juga lebih besar dari nilainya, atau lebih kecil dari nilainya. Jika utang itu sama dengan nilai barang tersebut dan tidak memungkinkan untuk menagih utang dari pihak yang menggadaikan, maka barang itu dijual dan hasil penjualannya digunakan untuk membayar utang. Demikian pula jika utang lebih besar dari nilai barang tersebut, maka barang itu dijual dan hasil penjualannya digunakan untuk membayar utang, dan sisa utang tetap menjadi tanggungan pihak yang menggadaikan tanpa ada barang jaminan. Jika utang lebih kecil dari nilai barang tersebut, misalnya nilai barang seribu dan utangnya lima ratus, maka yang wajib adalah menjual sebagian barang itu sesuai dengan jumlah utang, yaitu setengahnya, tanpa ada tambahan atasnya.

قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ إِلَّا أَنْ لَا يَشْتَرِيَ النِّصْفُ بِحَالٍ فَتُبَاعُ جَمِيعُهَا وَيَصِيرُ الدَّيْنُ كَأَنَّهُ مُحِيطٌ بِقِيمَتِهَا ثُمَّ يَقْضِي مِنْهُ الدَّيْنَ، وَيَرُدُّ الْبَاقِيَ عَلَى الرَّاهِنِ.

Abu Ishaq al-Marwazi berkata: Kecuali jika setengahnya tidak bisa terjual dalam keadaan apa pun, maka seluruh barang dijual dan utang dianggap seolah-olah meliputi seluruh nilainya, kemudian dari hasil penjualan itu dibayarkan utang dan sisanya dikembalikan kepada pihak yang menggadaikan.

فَأَمَّا إِذَا أَمْكَنَ بَيْعُ الْبَعْضِ مِنْهَا بِقَدْرِ الدَّيْنِ، فَالْوَاجِبُ أَنْ يُبَاعَ ذَلِكَ الْقَدْرُ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ، فَلَوْ كَانَ لَهُ غُرَمَاءُ يَسْتَحِقُّونَ بَقِيَّةَ ثَمَنِهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُبَاعَ الْبَاقِي مِنْهَا؛ لِأَنَّ ذَلِكَ الْقَدْرَ إِنَّمَا بِيعَ فِي دَيْنِ الْمُرْتَهِنِ لِلرَّهْنِ الْمُتَعَلِّقِ بِهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ بَاقِي غُرَمَائِهِ، فَإِذَا بِيعَ مِنْهَا بِقَدْرِ دَيْنِ الْمُرْتَهِنِ وَهُوَ النِّصْفُ كَانَ النِّصْفُ الْبَاقِي أُمَّ وَلَدٍ لَا يَجُوزُ لِلرَّاهِنِ بَيْعُهُ وَكَانَ هُوَ وَشَرِيكُهُ الْمُشْتَرِي مَمْنُوعَيْنِ مِنَ الْوَطْءِ، فَإِنْ مَاتَ الرَّاهِنُ عَتَقَتْ حِصَّتُهُ وَلَا تُقَوَّمُ عَلَيْهِ حِصَّةُ شَرِيكِهِ. لِأَنَّ التَّقْوِيمَ بَعْدَ الْمَوْتِ لَا يَجِبُ، وَتَكُونُ حِصَّةُ شَرِيكِهِ بَاقِيَةً عَلَى الرِّقِّ، وَإِنَّمَا يُعْتِقُ عَلَى الرَّهْنِ قَدْرَ حِصَّتِهِ.

Adapun jika memungkinkan untuk menjual sebagian dari barang itu sesuai dengan jumlah utang, maka yang wajib adalah menjual bagian tersebut tanpa ada tambahan. Jika pihak yang menggadaikan memiliki kreditur lain yang berhak atas sisa hasil penjualannya, maka tidak boleh menjual sisa barang tersebut; karena bagian yang dijual itu memang dijual untuk membayar utang pihak yang menerima gadai yang berkaitan dengan barang tersebut, sedangkan kreditur lainnya tidak demikian. Jika telah dijual bagian dari barang itu sesuai dengan utang pihak penerima gadai, yaitu setengahnya, maka setengah sisanya menjadi umm walad yang tidak boleh dijual oleh pihak yang menggadaikan, dan baik dia maupun pembeli yang menjadi sekutunya dilarang untuk menyetubuhinya. Jika pihak yang menggadaikan meninggal dunia, maka bagian miliknya merdeka dan bagian milik sekutunya tidak ditebus darinya, karena penetapan harga setelah kematian tidak wajib, dan bagian sekutunya tetap dalam status budak, dan yang merdeka karena gadai hanyalah bagian miliknya.

وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: وَتُعْتَقُ بِمَوْتِهِ فِي قَوْلِ مَنْ يُعْتِقُهَا فَتَوَهَّمَ الْمُزَنِيُّ أَنَّ الشَّافِعِيَّ تَوَقَّفَ فِي عِتْقِ أُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ فَقَالَ: قَدْ قَطَعَ الشَّافِعِيُّ بِعِتْقِهَا فِي كِتَابِ عِتْقِ أُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ.

Imam Syafi‘i berkata: “Dan ia merdeka karena kematian pemiliknya menurut pendapat yang memerdekakannya.” Al-Muzani mengira bahwa Imam Syafi‘i ragu dalam memerdekakan umm walad, lalu ia berkata: “Imam Syafi‘i telah memastikan kemerdekaannya dalam Kitab ‘Itqu Ummihāt al-Aulād.”

فَيُقَالُ لِلْمُزَنِيِّ: الْأَمْرُ عَلَى مَا ذكرت، ومذهب الشافعي لَمْ يَخْتَلِفْ فِي عِتْقِ أُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ بِالْمَوْتِ، وَأَنَّ بَيْعَهَا لَا يَجُوزُ فِي الْحَيَاةِ، وَإِنَّمَا قَالَ:

Dikatakan kepada al-Muzani: Keadaannya sebagaimana yang engkau sebutkan, dan mazhab Syafi‘i tidak berbeda pendapat dalam memerdekakan umm walad karena kematian, dan bahwa penjualannya tidak boleh dilakukan semasa hidup, dan yang beliau maksudkan adalah:

وَتُعْتَقُ بِمَوْتِهِ فِي قَوْلِ مَنْ يُعْتِقُهَا يَعْنِي مِنَ الصَّحَابَةِ؛ لِأَنَّ فِيهِمْ مَنْ يُخَالِفُ فَقَالَ: يَجُوزُ بَيْعُهَا وَلَا تُعْتَقُ بِالْمَوْتِ وَبِهِ قَالَ أَهْلُ الظَّاهِرِ.

“Dan ia merdeka karena kematian pemiliknya menurut pendapat yang memerdekakannya,” maksudnya dari kalangan sahabat; karena di antara mereka ada yang berpendapat berbeda, yaitu: boleh menjualnya dan tidak merdeka karena kematian, dan ini adalah pendapat Ahl az-Zhahir.

وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ بَيْعُهَا وَتُعْتَقُ بِالْمَوْتِ.

Dan di antara mereka ada yang berpendapat: Tidak boleh menjualnya dan ia merdeka karena kematian.

وَبِهِ قَالَ سَائِرُ الْفُقَهَاءِ لِيُعْلَمَ أَنَّ فِي الْمَسْأَلَةِ خِلَافًا وَلَيْسَ إِجْمَاعًا كَمَا يَقُولُ مَالِكٌ: إِنَّهَا إِجْمَاعٌ. بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ: أَنَّ مَنْ خَالَفَ مِنَ الصَّحَابَةِ خَارِجَ الْمَدِينَةِ لَمْ يَكُنْ خلافا.

Dan inilah pendapat mayoritas fuqaha, agar diketahui bahwa dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat dan bukan ijmā‘, sebagaimana yang dikatakan Malik bahwa itu adalah ijmā‘, berdasarkan prinsipnya: bahwa siapa pun dari sahabat yang berbeda pendapat di luar Madinah maka itu tidak dianggap sebagai perbedaan pendapat.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَلَا يَكُونُ إِحْبَالُهُ لَهَا أَكْبَرَ مِنْ عِتْقِهَا وَلَا مَالَ لَهُ فأبطل العتق وتباع (قال المزني) يعني إذا كان معسرا. (قال الشافعي) فإن كانت تساوي ألفا والحق مائة بيع منها بقدر المائة والباقي لسيدها ولا توطأ وتعتق بموته في قول من يعتقها (قال المزني) قلت أنا قد قطع بعتقها في كتاب عتق أمهات الأولاد (قال) وفي الأم أنه إذا أعتقها فهي حرة وقد ظلم نفسه “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Kehamilannya tidak lebih besar dari kemerdekaannya, dan jika ia tidak memiliki harta maka kemerdekaannya batal dan ia dijual.” (Al-Muzani berkata) Maksudnya jika ia dalam keadaan tidak mampu. (Imam Syafi‘i berkata) Jika nilainya seribu dan utangnya seratus, maka dijual darinya sesuai dengan seratus dan sisanya menjadi milik tuannya, tidak boleh digauli, dan ia merdeka karena kematian tuannya menurut pendapat yang memerdekakannya. (Al-Muzani berkata) Saya katakan, beliau telah memastikan kemerdekaannya dalam Kitab ‘Itqu Ummihāt al-Aulād. (Beliau berkata) Dan dalam al-Umm disebutkan bahwa jika ia memerdekakannya maka ia menjadi merdeka dan ia telah menzalimi dirinya sendiri.”

قال الماوردي: وَالْحُكْمُ فِي عِتْقِ الرَّهْنِ كَالْحُكْمِ فِي إِحْبَالِهِ فَإِذَا أَعْتَقَ الرَّاهِنُ الْجَارِيَةَ الْمَرْهُونَةَ بَعْدَ الْقَبْضِ بِغَيْرِ إِذْنِ الْمُرْتَهِنِ كَانَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ كَمَا قُلْنَا فِي إِحْبَالِهِ:

Al-Mawardi berkata: Hukum memerdekakan barang gadai sama dengan hukum menghamilinya. Jika pihak yang menggadaikan memerdekakan budak perempuan yang digadaikan setelah penyerahan tanpa izin pihak penerima gadai, maka ada tiga pendapat sebagaimana telah kami sebutkan dalam masalah menghamilinya:

أَحَدُهَا: أَنَّ عِتْقَهُ نَافِذٌ فِي الْيَسَارِ وَالْإِعْسَارِ فَلَا يَجُوزُ بَيْعُهَا وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة وَوَجْهُهُ مَعَ مَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ شَيْئَانِ:

Salah satunya: Kemerdekaannya sah baik dalam keadaan mampu maupun tidak mampu, sehingga tidak boleh dijual. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, dan alasannya, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ada dua:

أَحَدُهُمَا: قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: لَا عِتْقَ قَبْلَ مِلْكٍ فَدَلِيلُهُ نُفُوذُ الْعِتْقِ بَعْدَ وُجُودِ الْمِلْكِ.

Salah satunya adalah sabda Nabi ﷺ: “Tidak ada pembebasan budak sebelum kepemilikan.” Maka dalilnya adalah berlakunya pembebasan budak setelah adanya kepemilikan.

وَالثَّانِي: هُوَ أَنَّ فِي إِبْطَالِ الْعِتْقِ إِبْطَالَ حَقٍّ لَا يَقُومُ غَيْرُهُ مَقَامَهُ. وَلَيْسَ فِي إِبْطَالِ الرَّهْنِ إِبْطَالُ الْحَقِّ لِأَنَّ مَا فِي الذِّمَّةِ يَقُومُ مَقَامَهُ، فَكَانَ تَنْفِيَةُ الْعِتْقِ أَوْلَى حِرَاسَةً لِلْحَقَّيْنِ وَإِثْبَاتًا لِلْأَمْرَيْنِ:

Yang kedua: Sesungguhnya dalam pembatalan pembebasan budak terdapat pembatalan hak yang tidak dapat digantikan oleh selainnya. Sedangkan dalam pembatalan gadai tidak terdapat pembatalan hak, karena apa yang ada dalam tanggungan dapat menggantikannya. Maka meniadakan pembebasan budak lebih utama demi menjaga kedua hak dan menetapkan kedua perkara tersebut.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْعِتْقَ بَاطِلٌ فِي الْيَسَارِ وَالْإِعْسَارِ وَيَجُوزُ بَيْعُهَا وَبِهِ قَالَ دَاوُدُ: وَوَجْهُهُ مَعَ مَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ شَيْئَانِ:

Pendapat kedua: Bahwa pembebasan budak batal baik dalam keadaan mampu maupun tidak mampu, dan boleh menjualnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Dawud. Dasarnya, selain apa yang telah disebutkan sebelumnya, ada dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ حَقَّ الْمُرْتَهِنِ مُتَعَلِّقٌ بِذِمَّةِ الرَّاهِنِ وَرَقَبَةِ الرَّهْنِ فَلَمَّا لَمْ يَمْلِكِ الرَّاهِنُ أَنْ يَنْقُلَ حَقَّ الْمُرْتَهِنِ مِنْ ذِمَّتِهِ إِلَى ذِمَّةِ غَيْرِهِ بِالْحِوَالَةِ إِلَّا بِاخْتِيَارِ الْمُرْتَهِنِ لَمْ يَمْلِكْ أَنْ يَنْقُلَ حَقَّ الْمُرْتَهِنِ مِنْ رَقَبَةِ الرَّهْنِ إِلَى قِيمَتِهِ إِلَّا بِاخْتِيَارِ الْمُرْتَهِنِ.

Salah satunya: Bahwa hak penerima gadai terkait dengan tanggungan pemberi gadai dan juga dengan budak yang digadaikan. Ketika pemberi gadai tidak memiliki hak untuk memindahkan hak penerima gadai dari tanggungannya ke tanggungan orang lain melalui pengalihan kecuali dengan persetujuan penerima gadai, maka ia juga tidak berhak memindahkan hak penerima gadai dari budak yang digadaikan ke nilai harganya kecuali dengan persetujuan penerima gadai.

وَالثَّانِي: هُوَ أَنَّ تَعَلُّقَ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِرَقَبَةِ الرَّهْنِ أَقْوَى مِنْ تَعَلُّقِ حَقِّ غُرَمَاءِ الْمَأْذُونِ لَهُ فِي التِّجَارَةِ بِمَا فِي يَدِهِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ عَنْ عَقْدٍ وَهَذَا عَنْ غَيْرِ عَقْدٍ فَلَمَّا ثَبَتَ أَنَّ سَيِّدَ الْعَبْدِ الْمَأْذُونِ لَهُ فِي التِّجَارَةِ لَوْ أَعْتَقَ عَبْدًا فِي يَدِ عَبْدِهِ الْمَأْذُونِ لَهُ كَانَ عِتْقُهُ بَاطِلًا لِتَعَلُّقِ حُقُوقِ الْغُرَمَاءِ بِهِ كَانَ عِتْقُ الرَّاهِنِ عَبْدَهُ الْمَرْهُونَ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ بَاطِلًا لِتَعَلُّقِ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِهِ.

Yang kedua: Bahwa keterkaitan hak penerima gadai dengan budak yang digadaikan lebih kuat daripada keterkaitan hak para kreditur terhadap harta yang dipegang oleh budak yang diberi izin berdagang; karena yang pertama berdasarkan akad, sedangkan yang kedua tanpa akad. Maka ketika telah tetap bahwa tuan dari budak yang diberi izin berdagang, jika ia membebaskan budak yang berada di tangan budaknya yang diberi izin, maka pembebasannya batal karena adanya keterkaitan hak para kreditur padanya. Maka pembebasan budak yang digadaikan oleh pemberi gadai lebih utama untuk dianggap batal karena keterkaitan hak penerima gadai padanya.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْعِتْقَ نَافِذٌ فِي الْيَسَارِ بَاطِلٌ فِي الْإِعْسَارِ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَوَجْهُهُ مَا مَضَى مِنْ تَوْجِيهِ الْقَوْلِ الْأَوَّلِ. فَإِنْ قُلْنَا يَبْطُلُ فِي الْإِعْسَارِ فَوَجْهُهُ مَا مَضَى فِي الْقَوْلِ الثاني.

Pendapat ketiga: Bahwa pembebasan budak sah dalam keadaan mampu dan batal dalam keadaan tidak mampu. Pendapat ini dikemukakan oleh Malik, dan dasarnya adalah sebagaimana penjelasan pada pendapat pertama. Jika dikatakan batal dalam keadaan tidak mampu, maka dasarnya sebagaimana penjelasan pada pendapat kedua.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْأَقَاوِيلِ، فَإِنْ قُلْنَا بِبُطْلَانِ عِتْقِهِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَالرَّهْنُ عَلَى حَالِهِ وَكَأَنَّ لَفْظَ الْعِتْقِ لَمْ يُوجَدْ.

Setelah penjelasan argumentasi dari berbagai pendapat, jika kita berpendapat bahwa pembebasan budaknya batal, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya, dan gadai tetap sebagaimana adanya, seolah-olah lafaz pembebasan budak itu tidak pernah ada.

وَإِنْ قُلْنَا بِنُفُوذِ عِتْقِهِ فَعَلَيْهِ قِيمَتُهُ إِنْ كَانَ موسرا، واعتبار القيمة من وَقْتِ تَلَفُّظِهِ بِالْعِتْقِ، وَهُوَ حُرٌّ بِاللَّفْظِ دُونَ دَفْعِ الْقِيمَةِ قَوْلًا وَاحِدًا كَمَا قُلْنَا فِي الْإِحْبَالِ؛ لِأَنَّ عِتْقَهُ صَادَفَ مِلْكَهُ فَإِذَا غَرِمَ الْقِيمَةَ كَانَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ رَهْنًا مَكَانَهَا أَوْ قِصَاصًا مِنَ الْحَقِّ عَلَى مَا مَضَى وَإِنْ كَانَ فِي حَالِ عِتْقِهِ مُعْسِرًا ثُمَّ أَيْسَرَ فِيمَا بَعْدُ أُخِذَتْ مِنْهُ الْقِيمَةُ بَعْدَ يَسَارِهِ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ مُسْتَهْلِكًا لِلرَّهْنِ ومن لزمه غرم مات اسْتَهْلَكَ وَأَعْسَرَ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ إِذَا أَيْسَرَ.

Dan jika kita berpendapat bahwa pembebasan budaknya sah, maka ia wajib membayar nilainya jika ia mampu, dan penilaian nilai tersebut dihitung sejak ia mengucapkan lafaz pembebasan budak. Budak tersebut menjadi merdeka dengan lafaz, tanpa harus membayar nilai terlebih dahulu, menurut satu pendapat, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam masalah kehamilan; karena pembebasannya bertepatan dengan kepemilikannya. Maka jika ia telah membayar nilainya, ia diberi pilihan antara menjadikan nilai tersebut sebagai barang gadai pengganti atau sebagai pengurang dari hak, sebagaimana telah dijelaskan. Jika saat membebaskan budak ia dalam keadaan tidak mampu, lalu kemudian menjadi mampu, maka nilai tersebut diambil darinya setelah ia mampu, karena ia telah dianggap menghabiskan barang gadai tersebut. Dan siapa yang wajib membayar ganti rugi lalu ia menghabiskan dan jatuh miskin, kewajiban itu tidak gugur darinya jika ia kemudian menjadi mampu.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ بِيعَتْ أُمُّ الْوَلَدِ بِمَا وَصَفْتُ ثُمَّ مَلَكَهَا سَيِّدُهَا فَهِيَ أُمُّ وَلَدِهِ بِذَلِكَ الْوَلَدِ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) قُلْتُ أَنَا أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ أَنْ لا تصير أم ولد له لأن قوله إن الْعَقْدُ إِذَا لَمْ يَجُزْ فِي وَقْتِهِ لَمْ يجز بعده حتى يبتدأ بما يجوز وقد قال لا يكون إحباله لها أكبر من عتقها (قال) ولو أعتقها أبطلت عتقها (قال المزني) قلت أنا فهي في معنى من أعتقها من لا يجوز عتقه فيها فهي رقيق بحالها فكيف تعتق أو تصير أم ولد بِحَادِثٍ مِنْ شِرَاءٍ وَهِيَ فِي مَعْنَى مَنْ أعتقها محجور ثُمَّ أَطْلَقَ عَنْهُ الْحَجْرَ فَهُوَ لَا يَجْعَلُهَا حرة عليه أبدا بهذا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ummu walad dijual sebagaimana yang telah aku jelaskan, kemudian tuannya memilikinya kembali, maka ia tetap menjadi ummu walad baginya karena anak itu.” (Al-Muzani berkata:) Aku berkata, menurut pendapatku yang lebih sesuai dengan perkataannya adalah bahwa ia tidak menjadi ummu walad baginya, karena menurutnya, jika suatu akad tidak sah pada waktunya, maka tidak sah pula setelahnya kecuali dimulai dengan sesuatu yang sah. Dan ia berkata, kehamilan yang terjadi padanya tidak lebih kuat dari pembebasannya. (Ia berkata:) Jika ia membebaskannya, maka pembebasannya batal. (Al-Muzani berkata:) Aku berkata, maka ia dalam posisi seperti orang yang membebaskannya padahal tidak sah membebaskannya, sehingga ia tetap sebagai budak sebagaimana keadaannya. Maka bagaimana mungkin ia menjadi merdeka atau menjadi ummu walad karena suatu peristiwa jual beli, padahal ia dalam posisi seperti orang yang membebaskannya dalam keadaan terhalang, lalu penghalang itu dicabut, maka hal itu tidak menjadikannya merdeka baginya selamanya dengan sebab ini.”

قال الماوردي: إِذَا أَوْلَدَ الرَّاهِنُ أَمَتَهُ الْمَرْهُونَةَ ثُمَّ بِيعَتْ عَلَيْهِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ أَوْ بِيعَ مِنْهَا بِقَدْرِ الدَّيْنِ ثُمَّ مَلَكَهَا أَوْ مَلَكَ مَا بَاعَ مِنْهَا صَارَتْ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ بِذَلِكَ الْإِحْبَالِ وَحَرُمَ عَلَيْهِ بَيْعُهَا سَوَاءٌ مَلَكَهَا بِبَيْعٍ أَوْ هِبَةٍ أَوْ مِيرَاثٍ، لِأَنَّهَا قَدْ كَانَتْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ بِحَمْلِهَا بِحُرِّ مِنْهُ، وَإِنَّمَا بِيعَتْ بِحَقِّ الْمُرْتَهِنِ. فَإِذَا زَالَ حَقُّ الْمُرْتَهِنِ وَعَادَتْ إِلَى مِلْكِهِ عَادَتْ إِلَى حُكْمِهَا الَّذِي كَانَتْ عَلَيْهِ فِي مِلْكِهِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ أَقَرَّ بِعِتْقِهَا وَهِيَ مَرْهُونَةٌ فَلَمْ يَحْكُمْ بِنُفُوذِ إِقْرَارِهِ وَبِيعَتْ عَلَيْهِ فِي الرَّهْنِ ثُمَّ مَلَكَهَا عَتَقَتْ عَلَيْهِ بِالْإِقْرَارِ الْأَوَّلِ؛ لِأَنَّ عِتْقَهَا قَدْ كَانَ مَحْكُومًا بِهِ وَإِنَّمَا بِيعَتْ فِي حَقِّ الْمُرْتَهِنِ لِتَعَلُّقِ حَقِّهِ بِرَقَبَتِهَا قَبْلَ الْإِقْرَارِ فَإِذَا زَالَ حَقُّهُ وَعَادَتْ إِلَى مِلْكِهِ نَفَذَ عِتْقُهُ كَذَلِكَ أُمُّ الْوَلَدِ.

Al-Mawardi berkata: Jika seorang rahin (orang yang menggadaikan) menghamili budak perempuannya yang sedang digadaikan, kemudian budak itu dijual darinya menurut salah satu dari dua pendapat, atau dijual sebagian dari budak itu sebesar jumlah utang, lalu ia kembali memilikinya atau memiliki bagian yang telah dijual darinya, maka budak itu menjadi umm walad baginya karena kehamilan tersebut, dan haram baginya menjualnya, baik ia memilikinya kembali melalui jual beli, hibah, atau warisan. Sebab, budak itu telah menjadi umm walad baginya karena mengandung anak yang merdeka darinya, dan penjualannya hanya dilakukan demi hak murtahin (penerima gadai). Maka, apabila hak murtahin telah hilang dan budak itu kembali ke dalam kepemilikannya, maka kembali pula hukum yang berlaku atasnya seperti ketika ia masih dalam kepemilikannya. Bukankah engkau melihat bahwa jika ia mengakui telah memerdekakan budak itu saat masih digadaikan, maka pengakuannya tidak langsung berlaku, dan budak itu dijual dalam status gadai, lalu ia memilikinya kembali, maka budak itu menjadi merdeka baginya karena pengakuan yang pertama; sebab kemerdekaannya telah diputuskan, dan penjualannya hanya demi hak murtahin karena haknya terkait dengan budak itu sebelum pengakuan. Maka, apabila haknya telah hilang dan budak itu kembali ke dalam kepemilikannya, kemerdekaannya pun berlaku. Demikian pula halnya dengan umm walad.

وَقَالَ أَبُو إِبْرَاهِيمَ الْمُزَنِيُّ: إِذَا مَلَكَ أُمَّ وَلَدِهِ بَعْدَ أَنْ بِيعَتْ عَلَيْهِ لَمْ تَصِرْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ إِلَّا بِإِحْبَالٍ مُسْتَحْدَثٍ بَعْدَ الْمِلْكِ الثَّانِي اسْتِدْلَالًا بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ.

Abu Ibrahim al-Muzani berkata: Jika seseorang kembali memiliki umm walad-nya setelah dijual darinya, maka budak itu tidak menjadi umm walad baginya kecuali dengan kehamilan baru setelah kepemilikan yang kedua, berdasarkan tiga alasan.

أَحَدُهَا: أَنْ قَالَ: الْعَقْدُ إِذَا لَمْ يَجُزْ فِي وَقْتِهِ لَمْ يَجُزْ بَعْدَهُ حَتَّى يُبْتَدَأَ بِمَا يَجُوزُ وَالْجَوَابُ عَنْهُ:

Pertama: Ia berkata, “Sebuah akad jika tidak sah pada waktunya, maka tidak sah pula setelahnya sampai dimulai dengan sesuatu yang sah.” Jawaban atas hal ini:

أَنَّ الْإِحْبَالَ لَيْسَ بِعَقْدٍ فَيَمْتَنِعُ أَنْ يَقَعَ مَوْقُوفًا، أَلَا تَرَى أَنَّ إِحْبَالَ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ كَإِحْبَالِ غَيْرِ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ فِي أَنَّهَا تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ. وَلَوْ كَانَ عَقْدًا مَا صَحَّ مِنَ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ كَمَا لَا تَصِحُّ مِنْهُ سَائِرُ عُقُودِهِ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ عَقْدًا لَمْ يَمْتَنِعْ أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا عَلَى أُمِّ وَلَدٍ لَهُ فِي الْحَالِ وَإِنَّمَا تُبَاعُ بِحَقِّ الْمُرْتَهِنِ.

Bahwa kehamilan bukanlah sebuah akad sehingga tidak mungkin terjadi dalam status tertunda. Bukankah engkau melihat bahwa kehamilan yang terjadi pada orang yang dibatasi haknya (mahjur ‘alaih) sama dengan kehamilan pada orang yang tidak dibatasi haknya, yaitu budak itu tetap menjadi umm walad baginya. Seandainya kehamilan itu merupakan akad, maka tidak sah dilakukan oleh orang yang dibatasi haknya, sebagaimana tidak sah akad-akad lainnya. Dan jika bukan merupakan akad, maka tidak mustahil kehamilan itu menjadi sebab status umm walad baginya pada saat itu, dan penjualannya hanya demi hak murtahin.

وَالثَّانِي: أَنْ قَالَ: لَا يَكُونُ إِحْبَالُهُ لَهَا أَكْثَرَ مِنْ عِتْقِهَا وَلَوْ أَعْتَقَهَا أَبْطَلْتُ عِتْقَهَا فَإِنْ مَلَكَهَا لَمْ تُعْتَقْ عَلَيْهِ وَكَذَلِكَ إِنْ أَحْبَلَهَا فَبِيعَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ مَلَكَهَا لَمْ تَصِرْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ.

Kedua: Ia berkata, “Kehamilannya tidak lebih kuat dari kemerdekaannya. Jika aku memerdekakannya, maka kemerdekaannya batal; jika aku kembali memilikinya, maka ia tidak menjadi merdeka bagiku. Demikian pula jika aku menghamilinya, lalu ia dijual dariku, kemudian aku memilikinya kembali, maka ia tidak menjadi umm walad bagiku.”

وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنْ يُقَالَ: مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ سَوَّى بَيْنِ الْإِحْبَالِ وَالْعِتْقِ فِي النُّفُوذِ بَعْدَ الْمِلْكِ كَمَا سَوَّى الْمُزَنِيُّ بَيْنَهُمَا فِي الْإِبْطَالِ بَعْدَ الْمِلْكِ: فَقَالَ: إِذَا أَعْتَقَ أَمَتَهُ الْمَرْهُونَةَ فَبِيعَتْ عَلَيْهِ فِي الرَّهْنِ ثُمَّ مَلَكَهَا عَتَقَتْ عَلَيْهِ، كَمَا لَوْ أَحْبَلَهَا فَبِيعَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ مَلَكَهَا صَارَتْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ. فَعَلَى هَذَا، يَسْقُطُ السُّؤَالُ.

Jawaban atas hal ini adalah: Di antara ulama kami ada yang menyamakan antara kehamilan dan kemerdekaan dalam hal berlakunya hukum setelah kepemilikan, sebagaimana al-Muzani menyamakan keduanya dalam hal batalnya hukum setelah kepemilikan. Ia berkata: “Jika seseorang memerdekakan budak perempuannya yang digadaikan, lalu dijual darinya dalam status gadai, kemudian ia memilikinya kembali, maka budak itu menjadi merdeka baginya; sebagaimana jika ia menghamilinya, lalu dijual darinya, kemudian ia memilikinya kembali, maka budak itu menjadi umm walad baginya.” Dengan demikian, pertanyaan ini gugur.

وَقَالَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا: وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ إِنَّهُ إِذَا أَعْتَقَهَا فَبِيعَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ مَلَكَهَا لَمْ تُعْتَقْ عَلَيْهِ، وَلَوْ أَحْبَلَهَا فَبِيعَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ مَلَكَهَا صَارَتْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أن العتق قول فإذا أبطل فِي الْحَالِ لَمْ يَبْقَ لَهُ حُكْمٌ فِي الثَّانِي. وَالْإِحْبَالُ فِعْلٌ إِنْ لَمْ يُؤَثِّرْ فِي الْحَالِ جَازَ أَنْ يُؤَثِّرَ فِي الثَّانِي أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوِ اسْتَوْلَدَ أَمَةَ غَيْرِهِ بِشُبْهَةِ مِلْكٍ لَمْ تَكُنْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ فِي الْحَالِ فَإِنْ مَلَكَهَا صَارَتْ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ فِي الثَّانِي عَلَى مَذْهَبِ الْمُزَنِيِّ وَأَحَدِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ وَلَوْ أَعْتَقَ أَمَةَ غَيْرِهِ ثُمَّ مَلَكَهَا ومن بَعْدُ لَمْ تُعْتَقْ عَلَيْهِ، فَبَانَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا.

Dan seluruh ulama kami berkata—dan ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh asy-Syafi‘i—bahwa jika seseorang memerdekakan budaknya, lalu dijual darinya, kemudian ia memilikinya kembali, maka budak itu tidak menjadi merdeka baginya. Namun, jika ia menghamilinya, lalu dijual darinya, kemudian ia memilikinya kembali, maka budak itu menjadi umm walad baginya. Perbedaannya adalah bahwa kemerdekaan adalah ucapan; jika batal pada saat itu, maka tidak ada lagi hukumnya pada kepemilikan kedua. Sedangkan kehamilan adalah perbuatan; jika tidak berpengaruh pada saat itu, boleh jadi berpengaruh pada kepemilikan kedua. Bukankah engkau melihat bahwa jika seseorang menghamili budak milik orang lain karena syubhat milik, maka budak itu tidak menjadi umm walad baginya pada saat itu, tetapi jika ia memilikinya, maka budak itu menjadi umm walad baginya pada kepemilikan kedua menurut pendapat al-Muzani dan salah satu dari dua pendapat asy-Syafi‘i. Namun, jika ia memerdekakan budak milik orang lain, lalu memilikinya setelah itu, maka budak itu tidak menjadi merdeka baginya. Maka jelaslah perbedaan antara keduanya.

وَالثَّالِثُ: إِنْ قَالَ: كَيْفَ تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ بِحَادِثٍ مِنْ شِرَاءٍ وَهِيَ فِي مَعْنَى من أعتقها محجورا عَلَيْهِ ثُمَّ أَطْلَقَ عَنْهُ الْحَجْرَ فَهُوَ لَا يَجْعَلُهَا حُرَّةً عَلَيْهِ إِنْ مَلَكَهَا فَكَذَلِكَ الْإِحْبَالُ إِذَا لَمْ تَصِرْ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ فِي الْحَالِ لَمْ تَصِرْ أُمَّ وَلَدٍ إِذَا مَلَكَهَا.

Ketiga: Jika ada yang berkata, “Bagaimana bisa seorang budak perempuan menjadi umm walad baginya karena suatu peristiwa seperti pembelian, padahal ia dalam posisi seperti orang yang memerdekakan budak perempuannya dalam keadaan masih dalam status mahjur ‘alaih (yang ditahan haknya), kemudian status mahjur itu dicabut darinya, maka hal itu tidak menjadikan budak perempuan itu menjadi merdeka baginya jika ia memilikinya. Maka demikian pula kehamilan, jika ia belum menjadi umm walad baginya pada saat itu, maka ia juga tidak menjadi umm walad jika ia memilikinya.”

وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنْ يُقَالَ: اعْتِبَارُ إِحْبَالِ الرَّاهِنِ بِعِتْقِ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ لَا يَصِحُّ، لِأَنَّ الرَّاهِنَ وَإِنْ كَانَ فِي الرَّهْنِ مَحْجُورًا عَلَيْهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ. الْحُكْمُ فِي إِحْبَالِ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ وَعِتْقِهِ. أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ أَعْتَقَ أَمَتَهُ لَمْ تُعْتَقْ عَلَيْهِ وَلَوْ أَحْبَلَهَا صَارَتْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ وَإِنَّمَا يَصِحُّ اعْتِبَارُ إِحْبَالِ الرَّاهِنِ بِإِحْبَالِ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ وَعِتْقُ الرَّاهِنِ بِعِتْقِ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ وَهُمَا سَوَاءٌ فِي الْحُكْمِ لِأَنَّ إِحْبَالَهُمَا يَنْفُذُ وعتقهما لا ينفذ.

Jawaban atas hal ini adalah dengan mengatakan: Menyamakan kehamilan yang dilakukan oleh rahin (orang yang menggadaikan) dengan memerdekakan budak oleh orang yang mahjur ‘alaih tidaklah sah, karena meskipun rahin dalam status gadai adalah mahjur ‘alaih, telah berbeda hukum antara kehamilan yang dilakukan oleh mahjur ‘alaih dan memerdekakan budak oleh mahjur ‘alaih. Tidakkah engkau melihat bahwa jika ia memerdekakan budak perempuannya, maka budak itu tidak menjadi merdeka baginya, namun jika ia menghamilinya, maka budak itu menjadi umm walad baginya? Yang benar adalah menyamakan kehamilan rahin dengan kehamilan mahjur ‘alaih, dan memerdekakan rahin dengan memerdekakan mahjur ‘alaih, dan keduanya sama dalam hukum, karena kehamilan keduanya sah, sedangkan pemerdekaan keduanya tidak sah.

فأما قول الشافعي وَلَا يَكُونُ إِحْبَالُهُ لَهَا أَكْثَرَ مِنْ عِتْقِهَا فَلَمْ يُرِدْ بِهِ أَنَّ الْإِحْبَالَ أَضْعَفُ حَالًا مِنَ الْعِتْقِ، بَلِ الْإِحْبَالُ أَوْلَى وَأَقْوَى مِنَ الْعِتْقِ لِنُفُوذِهِ مِنَ الْمَجْنُونِ وَالْمَحْجُورِ عَلَيْهِ وَالْمُفْلِسِ وَالْمَرِيضِ الَّذِي قَدْ أَحَاطَتْ دُيُونُهُ بِتَرِكَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَنْفُذْ عِتْقُهُمْ وَإِنَّمَا أَرَادَ بِهِ مَعْنًى ذَهَبَ عَلَى الْمُزَنِيِّ وَهُوَ أَنَّ الْعِتْقَ نَافِذٌ فِي الْحَالِ وَالْإِحْبَالَ سَبَبٌ لِلْعِتْقِ فِي ثَانِي حَالٍ قَالَ فَلَمَّا لَمْ يَخْرُجْ مِنَ الرَّهْنِ بِالْعِتْقِ الَّذِي يَنْفُذُ فِي الْحَالِ فَأَوْلَى أَلَّا يَخْرُجَ مِنْهُ بِالْإِحْبَالِ الَّذِي هُوَ سَبَبٌ لِلْعِتْقِ في ثاني حال.

Adapun ucapan Imam Syafi‘i, “Kehamilannya tidak lebih kuat dari pemerdekaannya,” beliau tidak bermaksud bahwa kehamilan itu lebih lemah keadaannya dibanding pemerdekaan, bahkan kehamilan itu lebih utama dan lebih kuat daripada pemerdekaan, karena kehamilan itu berlaku (sah) dari orang gila, mahjur ‘alaih, orang yang bangkrut, dan orang sakit yang seluruh hartanya telah dikelilingi oleh utang, meskipun pemerdekaan mereka tidak berlaku. Yang beliau maksud adalah makna yang terlewatkan oleh al-Muzani, yaitu bahwa pemerdekaan berlaku seketika, sedangkan kehamilan adalah sebab terjadinya pemerdekaan pada waktu berikutnya. Beliau berkata: “Ketika tidak keluar dari status gadai dengan pemerdekaan yang berlaku seketika, maka lebih utama lagi tidak keluar darinya dengan kehamilan yang hanya menjadi sebab pemerdekaan pada waktu berikutnya.”

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَحْبَلَهَا أَوْ أَعْتَقَهَا بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ خَرَجَتْ مِنَ الرَّهْنِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia menghamilinya atau memerdekakannya dengan izin dari murtahin (penerima gadai), maka budak perempuan itu keluar dari status gadai.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: “Dan ini benar.”

إذا أَذِنَ الْمُرْتَهِنُ لِلرَّاهِنِ فِي عِتْقِ الْجَارِيَةِ الْمَرْهُونَةِ أَوْ إِحْبَالِهَا فَأَعْتَقَهَا أَوْ أَحْبَلَهَا نَفَذَ عِتْقُهُ وَإِحْبَالُهُ، وَخَرَجَتْ مِنَ الرَّهْنِ فِي الْيَسَارِ وَالْإِعْسَارِ وَلَا قِيمَةَ عَلَيْهِ.

Jika murtahin mengizinkan rahin untuk memerdekakan atau menghamili budak perempuan yang digadaikan, lalu rahin memerdekakan atau menghamilinya, maka pemerdekaan dan kehamilannya sah, dan budak perempuan itu keluar dari status gadai, baik dalam keadaan mampu maupun tidak mampu, dan tidak ada kewajiban membayar nilai (ganti rugi) atasnya.

وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِثَلَاثَةِ معان:

Hal itu terjadi karena tiga alasan:

أحدهما: أَنَّ الْعِتْقَ وَالْإِحْبَالَ فَسْخٌ إِذْ لَا يَصِحُّ رَهْنُ الْحُرِّ وَأُمِّ الْوَلَدِ. وَلَوْ أَذِنَ الْمُرْتَهِنُ لِلرَّاهِنِ فِي فَسْخِ الرَّهْنِ فَفَسَخَهُ صَحَّ الْفَسْخُ، فَكَذَلِكَ إِذَا أَذِنَ لَهُ فِي الْعِتْقِ وَالْإِحْبَالِ فَأَعْتَقَ أَوْ أَحْبَلَ وَقَعَ الْفَسْخُ.

Pertama: Pemerdekaan dan kehamilan adalah pembatalan (fasakh), karena tidak sah menggadaikan orang yang merdeka dan umm walad. Jika murtahin mengizinkan rahin untuk membatalkan gadai, lalu rahin membatalkannya, maka pembatalan itu sah. Demikian pula jika ia mengizinkan pemerdekaan dan kehamilan, lalu rahin melakukannya, maka terjadilah pembatalan.

وَالثَّانِي: أَنَّ الرَّهْنَ إِنَّمَا يَتَعَلَّقُ بِالرِّقِّ وَالْعِتْقِ وَالْإِحْبَالُ إِتْلَافٌ لِلرِّقِّ. وَإِذَا أَذِنَ الْمُرْتَهِنُ لِلرَّاهِنِ فِي إِتْلَافِ الرَّهْنِ فَأَتْلَفَهُ بَطَلَ الرَّهْنُ كَذَلِكَ إِذَا أَذِنَ لَهُ فِي الْعِتْقِ وَالْإِحْبَالِ فَفَعَلَ بَطَلَ الرَّهْنُ.

Kedua: Gadai hanya terkait dengan status budak, sedangkan pemerdekaan dan kehamilan adalah penghilangan status budak. Jika murtahin mengizinkan rahin untuk menghilangkan status gadai, lalu rahin melakukannya, maka batalah gadai tersebut. Demikian pula jika ia mengizinkan pemerdekaan dan kehamilan, lalu rahin melakukannya, maka batalah gadai tersebut.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ الرَّهْنَ يَشْتَمِلُ عَلَى حَقَّيْنِ: حَقِّ مِلْكٍ لِلرَّاهِنِ هُوَ أَقْوَاهُمَا وَحَقِّ اسْتِيثَاقٍ لِلْمُرْتَهِنِ هُوَ أَضْعَفُهُمَا، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الرَّاهِنَ لَوْ أَذِنَ لِلْمُرْتَهِنِ فِي الْبَيْعِ فَبَاعَهُ زَالَ حَقُّ مِلْكِهِ، فَكَذَلِكَ الْمُرْتَهِنُ إِذَا أَذِنَ لِلرَّاهِنِ فِي الْعِتْقِ أَوِ الْإِحْبَالِ فَفَعَلَ زَالَ حَقُّ اسْتِيثَاقِهِ.

Ketiga: Gadai mencakup dua hak: hak milik bagi rahin, yang lebih kuat, dan hak jaminan bagi murtahin, yang lebih lemah. Telah tetap bahwa jika rahin mengizinkan murtahin untuk menjual barang gadai, lalu murtahin menjualnya, maka hilanglah hak milik rahin. Demikian pula jika murtahin mengizinkan rahin untuk memerdekakan atau menghamili, lalu rahin melakukannya, maka hilanglah hak jaminan murtahin.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الرَّهْنَ يَنْفَسِخُ بِذَلِكَ فَلَا يَخْلُو حَالُ الرَّاهِنِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَفْعَلَ مَا أَذِنَ لَهُ الْمُرْتَهِنُ مِنَ الْعِتْقِ أَوِ الْإِحْبَالِ أَوْ لَا يَفْعَلُ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ كَانَ الرَّهْنُ عَلَى حَالِهِ لَا يَنْفَسِخُ بِمُجَرَّدِ الْإِذْنِ، لِأَنَّ الْإِذْنَ لَيْسَ بِفَسْخٍ وَإِنَّمَا يَصِحُّ بِهِ الْفَسْخُ.

Jika telah tetap bahwa gadai batal karena hal tersebut, maka keadaan rahin tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia melakukan apa yang diizinkan oleh murtahin berupa pemerdekaan atau kehamilan, ataukah ia tidak melakukannya. Jika ia tidak melakukannya, maka gadai tetap pada keadaannya dan tidak batal hanya dengan izin saja, karena izin bukanlah pembatalan, namun pembatalan baru sah dengan adanya perbuatan tersebut.

وَإِنْ فَعَلَ مَا أَذِنَ لَهُ فَإِنْ كَانَ عِتْقًا نَفَذَ فِي الْحَالِ، وَإِنْ كَانَ وَطَأَ وَلَمْ يَحْدُثْ عَنْهُ إِحْبَالٌ فَالرَّهْنُ بِحَالِهِ لِأَنَّ الْوَطْءَ إِذَا عُرِّيَ عَنِ الْإِحْبَالِ فِي الْأَمَةِ جَرَى مَجْرَى الْخِدْمَةِ وَإِنْ حَدَثَ عَنْهُ إِحْبَالٌ خَرَجَتْ مِنَ الرَّهْنِ وَلَا قِيمَةَ عَلَيْهِ.

Jika ia melakukan apa yang diizinkan kepadanya, maka jika itu berupa memerdekakan (budak), maka kemerdekaannya berlaku seketika itu juga. Jika itu berupa menggauli (budak perempuan) dan tidak terjadi kehamilan darinya, maka barang gadai tetap dalam keadaannya, karena hubungan badan tanpa menyebabkan kehamilan pada budak perempuan dipandang seperti pelayanan biasa. Namun, jika terjadi kehamilan darinya, maka budak tersebut keluar dari status gadai dan tidak ada kewajiban membayar nilai atasnya.

فَلَوْ أُذِنَ لَهُ فِي وَطْئِهَا دُونَ إِحْبَالِهَا فَوَطِئَهَا وَأَحْبَلَهَا خَرَجَتْ مِنَ الرَّهْنِ؛ لِأَنَّ الِاحْتِرَازَ مِنَ الْإِحْبَالِ غَيْرُ مُمْكِنٍ فَصَارَ مَأْذُونًا فِيهِ.

Jika ia diizinkan untuk menggaulinya tanpa menyebabkan kehamilan, lalu ia menggaulinya dan menyebabkan kehamilan, maka budak tersebut keluar dari status gadai; karena menghindari kehamilan adalah sesuatu yang tidak mungkin, sehingga dianggap telah diizinkan pula.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَلَوْ رَجَعَ الْمُرْتَهِنُ فِي إِذْنِهِ فَإِنْ كَانَ رُجُوعُهُ بَعْدَ الْعِتْقِ أَوِ الْإِحْبَالِ لَمْ يَكُنْ لِرُجُوعِهِ تَأْثِيرٌ لِوُجُودِهِ بَعْدَ فَسْخِ الرَّهْنِ، وَإِنْ كَانَ رُجُوعُهُ قَبْلَ الْعِتْقِ وَالْإِحْبَالِ لَمْ يَكُنْ لِلرَّاهِنِ أَنْ يُعْتِقَ وَلَا أَنْ يَطَأَ. فَإِنْ أَعْتَقَ بَعْدَ رُجُوعِهِ أَوْ وَطِئَ فَأَحْبَلَ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika pihak yang menerima gadai (murtahin) menarik kembali izinnya, maka jika penarikan izin itu dilakukan setelah pembebasan (budak) atau setelah terjadi kehamilan, maka penarikan izin tersebut tidak berpengaruh karena terjadi setelah pembatalan gadai. Namun, jika penarikan izin itu sebelum pembebasan atau kehamilan, maka pihak yang menggadaikan (rahin) tidak boleh memerdekakan atau menggauli (budak tersebut). Jika ia memerdekakan setelah penarikan izin atau menggauli lalu menyebabkan kehamilan, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ عَالِمًا بِرُجُوعِهِ. فَيَكُونُ حُكْمُهُ حُكْمَ مَنْ أَحْبَلَ أَوْ أَعْتَقَ بِغَيْرِ إِذْنِ الْمُرْتَهِنِ فَيَكُونُ غَيْرَ نَافِذٍ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، وَعَلَيْهِ غُرْمُ الْقِيمَةِ.

Pertama: Ia mengetahui bahwa izinnya telah ditarik. Maka hukumnya sama dengan orang yang menyebabkan kehamilan atau memerdekakan tanpa izin murtahin, sehingga tidak sah menurut salah satu pendapat, dan ia wajib mengganti nilai (budak tersebut).

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ غَيْرَ عَالِمٍ بِرُجُوعِهِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ مُخَرَّجَيْنِ مِنَ الْوَكِيلِ الْمَأْذُونِ لَهُ فِي الْبَيْعِ إِذَا رَجَعَ مُوَكِّلُهُ عَنِ الْإِذْنِ ثُمَّ بَاعَ الْوَكِيلُ قَبْلَ الْعِلْمِ.

Kedua: Ia tidak mengetahui bahwa izinnya telah ditarik, maka terdapat dua pendapat yang diqiyaskan dari kasus wakil yang diizinkan menjual, lalu pemberi kuasa menarik izin tersebut, kemudian wakil menjual sebelum mengetahui penarikan izin.

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ حُكْمُ إِذْنِهِ بَاقِيًا حَتَّى يَعْلَمَ بِالرُّجُوعِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ عِتْقُهُ وَإِحْبَالُهُ نَافِذًا وَلَا قِيمَةَ عَلَيْهِ.

Pertama: Hukum izinnya tetap berlaku sampai ia mengetahui penarikan izin. Dengan demikian, pembebasan dan kehamilannya sah, dan ia tidak wajib mengganti nilai.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ حُكْمَ الْإِذْنِ قَدْ زَالَ بِالرُّجُوعِ وَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ كَمَنْ أَحْبَلَ وَأَعْتَقَ، بِغَيْرِ إِذْنٍ، فَيَكُونُ بَاطِلًا فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ وَجَائِزًا فِي الْقَوْلِ الثَّانِي وَعَلَيْهِ الْقِيمَةُ.

Pendapat kedua: Hukum izin telah gugur dengan penarikan izin, meskipun belum diketahui. Maka dalam hal ini, ia seperti orang yang menyebabkan kehamilan atau memerdekakan tanpa izin, sehingga tidak sah menurut salah satu pendapat dan sah menurut pendapat kedua, dan ia wajib mengganti nilai.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابٍ الرَّهْنِ الْكَبِيرِ مِنْ ” الْأُمِّ “: وَلَوْ أَذِنَ لَهُ الْمُرْتَهِنُ فِي ضربها فضربها فَمَاتَتْ لَمْ يَكُنْ عَلَى الرَّاهِنِ غُرْمُ قِيمَتِهَا؛ لِأَنَّ إِطْلَاقَ إِذْنِ الْمُرْتَهِنِ فِي ضَرْبِهَا يَتَنَاوَلُ قَلِيلَ الضَّرْبِ وَكَثِيرَهُ، فَصَارَ مَا فَعَلَهُ الرَّاهِنُ مِنَ الضَّرْبِ الْمُؤَدِّي إِلَى تَلَفِهَا عَنْ إِذْنِ الْمُرْتَهِنِ فَكَانَ إِسْقَاطًا لِلْحَقِّ مِنْ رَقَبَتِهَا وَجَرَى مجرى الفسخ بعتقها أو إحبالها.

Imam Syafi‘i berkata dalam Kitab ar-Rahn al-Kabīr dari “al-Umm”: Jika murtahin mengizinkan untuk memukulnya lalu ia memukul hingga budak itu mati, maka rahin tidak wajib mengganti nilainya; karena izin murtahin secara mutlak dalam memukul mencakup pukulan ringan maupun berat, sehingga apa yang dilakukan rahin berupa pukulan yang menyebabkan kematian adalah atas izin murtahin. Maka itu dianggap sebagai pengguguran hak atas budak tersebut dan dipandang seperti pembatalan gadai dengan memerdekakan atau menyebabkan kehamilan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ اخْتَلَفَا فَقَالَ الرَّاهِنُ أَعْتَقْتُهَا بِإِذْنِكَ وَأَنْكَرَ الْمُرْتَهِنُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَهِيَ رَهْنٌ وهذا إِذَا كَانَ الرَّاهِنُ مُعْسِرًا فَأَمَّا إِذَا كَانَ موسرا أخذ منه قيمة الجارية والعتق والولاء له تكون مكانها أو قصاصا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika keduanya berselisih, lalu rahin berkata: ‘Aku telah memerdekakannya dengan izinmu,’ dan murtahin mengingkarinya, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan murtahin dengan sumpahnya, dan budak itu tetap sebagai barang gadai. Ini jika rahin dalam keadaan tidak mampu (miskin). Adapun jika ia mampu (kaya), maka diambil darinya nilai budak perempuan tersebut, dan kemerdekaan serta hak wala’ tetap menjadi miliknya sebagai pengganti budak itu atau sebagai qishash.”

قال الماوردي: إِذَا اخْتَلَفَ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ بَعْدَ عِتْقِ الرَّاهِنِ أَوْ إِحْبَالِهِ فَقَالَ الرَّاهِنُ: فَعَلْتُ ذَلِكَ بِإِذْنِكَ فَفِعْلِي نَافِذٌ وَالرَّهْنُ مُنْفَسِخٌ. وَقَالَ الْمُرْتَهِنُ: بَلْ فَعَلْتَ ذَلِكَ بِغَيْرِ إِذْنِي، فَفِعْلُكَ مَرْدُودٌ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، وَمَضْمُونٌ فِي الْقَوْلِ الثَّانِي.

Al-Mawardi berkata: Jika rahin dan murtahin berselisih setelah rahin memerdekakan atau menyebabkan kehamilan, lalu rahin berkata: “Aku melakukan itu dengan izinmu, maka tindakanku sah dan gadai batal.” Sedangkan murtahin berkata: “Bahkan, kamu melakukannya tanpa izinku, maka tindakanmu tertolak menurut salah satu pendapat, dan kamu wajib mengganti menurut pendapat kedua.”

فَإِنْ كَانَ لِلرَّاهِنِ بَيِّنَةٌ نَفَذَ عِتْقُهُ وَإِحْبَالُهُ. وَفِي الْبَيِّنَةِ قَوْلَانِ:

Jika rahin memiliki bukti, maka pembebasan dan kehamilannya sah. Dalam hal bukti, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: شَاهِدَانِ عَدْلَانِ لَا غَيْرَ، وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَقُولُ: إِنَّ عِتْقَ الرَّاهِنِ بِغَيْرِ إِذْنِ الْمُرْتَهِنِ بَاطِلٌ لِأَنَّهَا بَيِّنَةٌ تُثْبِتُ الْعِتْقَ وَالْعِتْقُ لَا يُقْبَلُ فِيهِ إِلَّا شَاهِدَانِ.

Pertama: Dua orang saksi yang adil, tidak kurang, dan ini menurut pendapat yang mengatakan bahwa pembebasan rahin tanpa izin murtahin adalah batal, karena bukti tersebut menetapkan pembebasan, dan pembebasan tidak diterima kecuali dengan dua saksi.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْبَيِّنَةَ شَاهِدَانِ أَوْ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ أَوْ شَاهِدٌ وَيَمِينٌ وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَقُولُ: إِنَّ عِتْقَ الرَّاهِنِ بِغَيْرِ إذن المرتهن نافذ فإنه لِلْقِيمَةِ ضَامِنٌ؛ لِأَنَّ هَذَا حَلِفٌ فِي ضَمَانِ مَالٍ وَالْأَمْوَالُ يُحْكَمُ فِيهَا بِشَاهِدَيْنِ وَشَاهِدٍ وَامْرَأَتَيْنِ وَشَاهِدٍ وَيَمِينٍ.

Pendapat kedua: Bukti itu bisa berupa dua saksi, atau satu saksi dan dua perempuan, atau satu saksi dan sumpah. Ini menurut pendapat yang mengatakan bahwa pembebasan rahin tanpa izin murtahin tetap sah, namun ia wajib mengganti nilai; karena ini adalah sumpah dalam penjaminan harta, dan dalam perkara harta diputuskan dengan dua saksi, atau satu saksi dan dua perempuan, atau satu saksi dan sumpah.

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلرَّاهِنِ بَيِّنَةٌ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ مَعَ يَمِينِهِ بِاللَّهِ أَنَّهُ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ. لِأَمْرَيْنِ:

Jika pihak rahin (yang menggadaikan) tidak memiliki bukti, maka pernyataan diterima dari pihak murtahin (penerima gadai) dengan sumpahnya atas nama Allah bahwa ia tidak mengizinkannya. Hal ini karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الرَّاهِنَ يَدَّعِي إِذْنَ الْمُرْتَهِنَ وَالْمُرْتَهِنَ مُنْكِرٌ، فَكَانَ الْقَوْلُ قول المنكر.

Pertama: Karena rahin mengklaim adanya izin dari murtahin, sedangkan murtahin mengingkarinya, maka pernyataan diterima dari pihak yang mengingkari.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ مَعَ يَمِينِهِ، أُحْلِفَ فَإِنْ حَلَفَ صَارَ الرَّاهِنُ كَمَنْ أَعْتَقَ أَوْ أَحْبَلَ بِغَيْرِ إِذْنِ الْمُرْتَهِنِ فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى.

Jika telah dipastikan bahwa pernyataan diterima dari murtahin dengan sumpahnya, maka ia diminta bersumpah. Jika ia bersumpah, maka rahin diperlakukan seperti orang yang memerdekakan atau menghamili (budak perempuan) tanpa izin murtahin, sehingga berlaku hukum sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

فَإِنْ نَكَلَ الْمُرْتَهِنُ عَنِ الْيَمِينِ رُدَّتْ عَلَى الرَّاهِنِ فَإِنْ حَلَفَ صَارَ كَمَنْ أَعْتَقَ أَوْ أَحْبَلَ بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ فَيَكُونُ نَافِذًا وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ فَإِنْ نَكَلَ الرَّاهِنُ فَهَلْ تُرَدُّ الْيَمِينُ عَلَى الْجَارِيَةِ الْمَرْهُونَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika murtahin enggan bersumpah, maka sumpah dialihkan kepada rahin. Jika rahin bersumpah, maka ia diperlakukan seperti orang yang memerdekakan atau menghamili (budak perempuan) dengan izin murtahin, sehingga hal itu sah dan tidak ada tanggungan atasnya. Namun jika rahin juga enggan bersumpah, apakah sumpah itu dialihkan kepada budak perempuan yang digadaikan atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تُرَدُّ عَلَيْهَا لِأَنَّهُ لَا يَحْلِفُ أَحَدٌ عَنْ غَيْرِهِ. فَعَلَى هَذَا إِذَا امْتَنَعَ الرَّاهِنُ مِنَ الْيَمِينِ بَعْدَ نُكُولِ الْمُرْتَهِنِ كَانَ الرَّاهِنُ كَمَنْ أَعْتَقَ أَوْ أَحْبَلَ بِغَيْرِ إِذْنٍ.

Pendapat pertama: Sumpah tidak dialihkan kepadanya, karena tidak ada seorang pun yang bersumpah untuk orang lain. Berdasarkan pendapat ini, jika rahin menolak bersumpah setelah murtahin enggan bersumpah, maka rahin diperlakukan seperti orang yang memerdekakan atau menghamili (budak perempuan) tanpa izin.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْيَمِينَ تُرَدُّ عَلَى الْجَارِيَةِ؛ لِأَنَّ حَقَّ الْحُرِّيَّةِ ثَابِتٌ لَهَا فَجَازَ أَنْ تَحْلِفَ فِي حَقِّهَا. فَعَلَى هَذَا إِذَا حَلَفَتْ صَارَ الرَّاهِنُ كَمَنْ أَعْتَقَ أَوْ أَحْبَلَ بِإِذْنٍ، فَيَكُونُ ذَلِكَ نَافِذًا وَلَا ضمان عليه.

Pendapat kedua: Sumpah dialihkan kepada budak perempuan, karena hak kemerdekaan itu tetap baginya, sehingga ia boleh bersumpah untuk haknya. Berdasarkan pendapat ini, jika ia bersumpah, maka rahin diperlakukan seperti orang yang memerdekakan atau menghamili (budak perempuan) dengan izin, sehingga hal itu sah dan tidak ada tanggungan atasnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَقَرَّ الْمُرْتَهِنُ أَنَّهُ أَذِنَ لَهُ بِوَطْئِهَا وَزَعَمَ أَنَّ هَذَا الْوَلَدَ مِنْ زَوْجٍ لَهَا وَادَّعَاهُ الرَّاهِنُ فَهُوَ ابْنُهُ وَهِيَ أُمُّ وَلَدٍ له ولا يصدق المرتهن وفي الأصل ولا يمين عليه (قال المزني) أصل قول الشافعي أنه إن أعتقها أو أحبلها وهي رهن فسواء فإن كان موسرا أخذت منه القيمة وكانت رهنا مكانها أو قصاصا وإن كان معسرا لم يكن له إبطال الرهن بالعتق ولا بالإحبال وبيعت في الرهن فلما جعلها الشافعي أم ولد لأنه أحبلها بإذن المرتهن ولم تبع كأنه أحبلها وليست رهن فكذلك إذا كان موسرا لم تكن عليه قيمة لأنه أحبلها بإذن المرتهن فلا تباع كأنه أحبلها وليست برهن فتفهم “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika murtahin mengakui bahwa ia telah mengizinkan rahin untuk menggaulinya (budak perempuan), lalu ia mengklaim bahwa anak tersebut adalah dari suaminya, sedangkan rahin mengakuinya, maka anak itu adalah anaknya (rahin) dan budak perempuan itu menjadi umm walad baginya. Murtahin tidak dipercaya dalam hal ini dan tidak ada sumpah atasnya. (Al-Muzani berkata:) Dasar pendapat Imam Syafi‘i adalah bahwa jika ia memerdekakan atau menghamili budak perempuan yang sedang digadaikan, maka hukumnya sama saja. Jika ia orang yang mampu, maka diambil darinya nilai budak tersebut dan dijadikan sebagai barang gadai pengganti atau sebagai qishash. Jika ia tidak mampu, maka ia tidak berhak membatalkan gadai dengan memerdekakan atau menghamili, dan budak perempuan itu dijual dalam status gadai. Ketika Imam Syafi‘i menjadikan budak perempuan itu sebagai umm walad karena ia menghamilinya dengan izin murtahin dan tidak dijual, maka seolah-olah ia menghamilinya bukan dalam status gadai. Demikian pula, jika ia mampu, maka tidak ada kewajiban membayar nilai budak tersebut karena ia menghamilinya dengan izin murtahin, sehingga tidak dijual, seolah-olah ia menghamilinya bukan dalam status gadai. Maka pahamilah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: أَنْ يُقِرَّ الْمُرْتَهِنُ لِلرَّاهِنِ بِالْإِذْنِ فِي وَطْئِهَا عَلَى وَجْهٍ يَلْحَقُ بِهِ الْوَلَدُ لَوْ لَمْ يُنْكِرْهُ وَتَخْرُجْ أُمُّهُ مِنَ الرَّهْنِ وَذَلِكَ بِأَرْبَعَةِ شُرُوطٍ:

Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah: murtahin mengakui kepada rahin bahwa ia telah mengizinkannya untuk menggauli budak perempuan tersebut dengan cara yang menyebabkan anak itu dinasabkan kepadanya jika tidak diingkari, sehingga ibunya keluar dari status gadai. Hal ini dengan empat syarat:

أَحَدُهَا: أَنْ يَعْتَرِفَ الْمُرْتَهِنُ أَنَّهُ قَدْ أَذِنَ لَهُ فِي وَطْئِهَا.

Pertama: Murtahin mengakui bahwa ia telah mengizinkan rahin untuk menggaulinya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَعْتَرِفَ الْمُرْتَهِنُ أَنَّهُ وَطِئَهَا.

Kedua: Murtahin mengakui bahwa rahin telah menggaulinya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَعْتَرِفَ أَنَّهَا وَضَعَتْهُ وَأَنَّهُ مِنْهَا لَمْ تَلْتَقِطْهُ.

Ketiga: Ia mengakui bahwa budak perempuan itu telah melahirkan anak tersebut dan anak itu memang darinya, bukan anak pungut.

وَالرَّابِعُ: أَنْ يَعْتَرِفَ أَنَّ بَيْنَ وَطْئِهِ وَوَضْعِهَا مُدَّةً يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ وَهِيَ سِتَّةُ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا.

Keempat: Ia mengakui bahwa antara waktu menggauli dan waktu melahirkan terdapat rentang waktu yang memungkinkan anak itu berasal darinya, yaitu enam bulan atau lebih.

فَإِذَا اعْتَرَفَ الْمُرْتَهِنُ لِلرَّاهِنِ بِهَذِهِ الْأَرْبَعَةِ ثُمَّ قَالَ: وَهَذَا الْوَلَدُ لَيْسَ مِنْكَ، وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ زَوْجٍ كَانَ لَهَا، أَوْ مِنْ زِنًا، وَقَالَ الرَّاهِنُ: بَلْ هُوَ مِنِّي وَالْجَارِيَةُ أُمُّ وَلَدِي خَارِجَةٌ مِنَ الرَّهْنِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ؛ لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ فِرَاشًا وَالْأَمَةُ إِذَا صَارَتْ فِرَاشًا لَحِقَ بِهِ وَلَدُهَا إِذَا كَانَ لُحُوقُهُ بِهِ مُمْكِنًا، وَلَا يَمِينَ عَلَى الرَّاهِنِ لِأَنَّهُ لَوْ نَفَاهُ لَمْ يَنْتَفِ، وَإِذَا لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِي نَفْيِهِ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ يَمِينٌ فِي ادِّعَائِهِ.

Jika murtahin mengakui kepada rahin keempat hal tersebut, kemudian ia berkata: “Anak ini bukan darimu, melainkan dari suaminya atau dari zina,” sedangkan rahin berkata: “Bahkan anak ini dariku dan budak perempuan itu adalah umm waladku yang keluar dari gadai,” maka pernyataan diterima dari rahin. Sebab, budak perempuan itu telah menjadi firāsy baginya, dan jika seorang budak perempuan telah menjadi firāsy, maka anaknya dinasabkan kepadanya jika secara kemungkinan memang anaknya. Tidak ada sumpah atas rahin, karena jika ia mengingkari, anak itu tidak bisa dinafikan. Dan jika pernyataannya tidak diterima dalam penafian, maka tidak ada sumpah atasnya dalam pengakuan.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاهِنِ بِلَا يَمِينٍ فَالْوَلَدُ حُرٌّ لَاحِقٌ بِهِ وَالْجَارِيَةُ قَدْ صَارَتْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ وَقَدْ خَرَجَتْ مِنَ الرَّهْنِ وَلَا قيمة عليه في اليسار والإعسار.

Jika telah dipastikan bahwa pernyataan diterima dari rahin tanpa sumpah, maka anak itu menjadi merdeka dan dinasabkan kepadanya, budak perempuan itu menjadi umm walad baginya dan keluar dari status gadai, serta tidak ada kewajiban membayar nilai budak tersebut baik dalam keadaan mampu maupun tidak mampu.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا إِذَا أَنْكَرَ الْمُرْتَهِنُ أَحَدَ الشُّرُوطِ الْأَرْبَعَةِ، فَإِنْ كَانَ إِنْكَارُهُ لِلشَّرْطِ الْأَوَّلِ وَهُوَ الْإِذْنُ فَيَقُولُ الرَّاهِنُ لِلْمُرْتَهِنِ: أَذِنْتَ لِي فِي وَطْئِهَا وَيَقُولُ الْمُرْتَهِنُ: لَمْ آذَنْ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ مَعَ يَمِينِهِ وَالْوَلَدُ لَاحِقٌ بِالرَّاهِنِ بِإِقْرَارِهِ.

Adapun jika pihak murtahin (pemegang gadai) mengingkari salah satu dari empat syarat, maka jika pengingkarannya terhadap syarat pertama, yaitu izin, maka rahin (penggadai) berkata kepada murtahin: “Engkau telah mengizinkan aku untuk menggaulinya,” dan murtahin berkata: “Aku tidak mengizinkan.” Maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan murtahin dengan sumpahnya, dan anak tersebut tetap dinisbatkan kepada rahin berdasarkan pengakuannya.

وَإِنْ كَانَ إِنْكَارُهُ لِلشَّرْطِ الثَّانِي وَهُوَ الْوَطْءُ، فيقول الراهن: وطأتها بِإِذْنِكَ وَيَقُولُ الْمُرْتَهِنُ: لَمْ تُطَأْ. فَفِيهِ وَجْهَانِ ذَكَرَهُمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ:

Dan jika pengingkarannya terhadap syarat kedua, yaitu jima‘ (hubungan badan), maka rahin berkata: “Aku telah menggaulinya dengan izinmu,” dan murtahin berkata: “Engkau tidak menggaulinya.” Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang disebutkan oleh Ibn Abi Hurairah:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قول المرتهن ولا يمين عليه؛ لأن الوطأ فِعْلُهُ وَإِقَامَةُ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ غَيْرُ مُمْكِنٍ.

Salah satunya: Bahwa yang dijadikan pegangan adalah pernyataan murtahin dan ia tidak perlu bersumpah; karena jima‘ adalah perbuatannya dan mendatangkan bukti atasnya tidak mungkin dilakukan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ مَعَ يَمِينِهِ، لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يُقِرَّ بِالْوَطْءِ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ لَمْ يُقِرَّ بِالْإِذْنِ، فَكَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ، وَالْوَلَدُ لَاحِقٌ بِالرَّاهِنِ بِإِقْرَارِهِ.

Pendapat kedua: Bahwa yang dijadikan pegangan adalah pernyataan murtahin dengan sumpahnya, karena jika ia tidak mengakui adanya jima‘, maka posisinya sama dengan orang yang tidak mengakui adanya izin, sehingga yang dijadikan pegangan adalah pernyataannya dengan sumpahnya, dan anak tersebut tetap dinisbatkan kepada rahin berdasarkan pengakuannya.

وَإِنْ كَانَ إِنْكَارُهُ لِلشَّرْطِ الثَّالِثِ وَهُوَ الْوَضْعُ، فَيَقُولُ المرتهن: قد أذنت لك في وطئها فوطئها وَلَكِنْ كَانَ إِنْكَارُهُ الْوَلَدَ أَنَّهَا لَمْ تَضَعْهُ وَلَكِنِ الْتَقَطَتْهُ. وَيَقُولُ الرَّاهِنُ بَلْ وَضَعَتْهُ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ مَعَ يَمِينِهِ وَالْوَلَدُ لَاحِقٌ بِالرَّاهِنِ بِإِقْرَارِهِ.

Dan jika pengingkarannya terhadap syarat ketiga, yaitu kelahiran, maka murtahin berkata: “Aku telah mengizinkanmu untuk menggaulinya, lalu engkau menggaulinya, namun aku mengingkari bahwa anak itu adalah hasil kelahirannya, melainkan ia hanya memungutnya.” Dan rahin berkata: “Bahkan ia melahirkannya.” Maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan murtahin dengan sumpahnya, dan anak tersebut tetap dinisbatkan kepada rahin berdasarkan pengakuannya.

وَإِنْ كَانَ إِنْكَارُهُ لِلشَّرْطِ الرَّابِعِ وَهُوَ الْمُدَّةُ، فَيَقُولُ الْمُرْتَهِنُ: وَضَعَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ يَوْمِ الْإِذْنِ، فَالْجَارِيَةُ رَهْنٌ. وَيَقُولُ الرَّاهِنُ: وَضَعَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَأَكْثَرَ.

Dan jika pengingkarannya terhadap syarat keempat, yaitu masa (kehamilan), maka murtahin berkata: “Ia melahirkan anak itu kurang dari enam bulan sejak hari izin diberikan, maka budak perempuan itu tetap menjadi barang gadai.” Dan rahin berkata: “Ia melahirkan anak itu setelah enam bulan atau lebih.”

فَهَذَا الِاخْتِلَافُ فِي زَمَانِ الْوَطْءِ فَيَكُونُ عَلَى وَجْهَيْنِ كَمَا لَوِ اخْتَلَفَا فِي الْوَطْءِ:

Maka perselisihan ini terkait waktu terjadinya jima‘, sehingga terdapat dua pendapat sebagaimana jika mereka berselisih tentang terjadinya jima‘:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ وَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ.

Salah satunya: Bahwa yang dijadikan pegangan adalah pernyataan murtahin dan ia tidak perlu bersumpah.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ مَعَ يَمِينِهِ، وَالْوَلَدُ لَاحِقٌ بالراهن لإقراره.

Dan yang kedua: Bahwa yang dijadikan pegangan adalah pernyataan murtahin dengan sumpahnya, dan anak tersebut tetap dinisbatkan kepada rahin berdasarkan pengakuannya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ نَقَلَ عَنِ الشَّافِعِيِّ بَعْدَ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّهُ قَالَ: إِذَا كَانَ الرَّاهِنُ مُعْسِرًا فَأَمَّا إِذَا كَانَ مُوسِرًا فَتُؤْخَذُ قيمة الجارية ويكون رهنا مكانها أو قصاها.

Adapun al-Muzani, ia meriwayatkan dari asy-Syafi‘i setelah permasalahan ini bahwa beliau berkata: “Jika rahin dalam keadaan tidak mampu (miskin), maka… Adapun jika ia mampu (kaya), maka diambil nilai budak perempuan itu dan dijadikan sebagai barang gadai pengganti atau sebagai pelunasan utangnya.”

ثُمَّ إِنَّ الْمُزَنِيَّ اعْتَرَضَ عَلَى الشَّافِعِيِّ فِي هَذَا فَقَالَ: كَيْفَ نُلْزِمُهُ قِيمَتَهَا إِذَا كَانَ مُوسِرًا وَهُوَ إِنَّمَا أَحْبَلَهَا بِإِذْنٍ فَوَجَبَ أَلَّا تَلْزَمُهُ قِيمَةٌ فِي الْيَسَارِ وَلَا فِي الْإِعْسَارِ.

Kemudian al-Muzani mengkritik asy-Syafi‘i dalam hal ini, ia berkata: “Bagaimana kita mewajibkan ia membayar nilainya jika ia mampu, padahal ia menghamilinya dengan izin, maka seharusnya tidak wajib baginya membayar nilai itu baik dalam keadaan kaya maupun miskin.”

فَيُقَالُ لِلْمُزَنِيِّ: الْأَمْرُ عَلَى مَا ذَكَرْتَهُ وَلَا تَلْزَمُ الرَّاهِنَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ قِيمَتُهَا إِذَا جَعَلْنَا الْقَوْلَ قَوْلَهُ سَوَاءٌ كَانَ مُوسِرًا أَوْ مُعْسِرًا، لِأَنَّهُ فَعَلَ ذَلِكَ بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ، وَلَكِنَّ الشَّافِعِيَّ قَالَ ذَلِكَ فِي الْمَسْأَلَةِ الَّتِي قَبِلَهَا: إِذَا اخْتَلَفَا فِي الْإِذْنِ فَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُرْتَهِنِ، وَيَلْزَمُ الرَّاهِنَ قِيمَتُهَا إِذَا كَانَ مُوسِرًا فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ فَنَقَلْتَهُ أَنْتَ أَيُّهَا الْمُزَنِيُّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى إِلَى الْمَسْأَلَةِ الثَّانِيَةِ. وَقَدْ ذكره الشافعي في الأم صحيحا.

Maka dikatakan kepada al-Muzani: “Perkara ini sebagaimana yang engkau sebutkan, dan tidak wajib atas rahin dalam masalah ini membayar nilainya jika kita menjadikan pernyataannya sebagai pegangan, baik ia kaya maupun miskin, karena ia melakukan hal itu dengan izin murtahin. Namun asy-Syafi‘i mengatakan hal itu dalam permasalahan sebelumnya: Jika keduanya berselisih tentang izin, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan murtahin, dan rahin wajib membayar nilainya jika ia kaya menurut salah satu dari dua pendapat. Maka engkau, wahai al-Muzani, telah memindahkan pendapat itu dari permasalahan pertama ke permasalahan kedua. Dan asy-Syafi‘i telah menyebutkannya dalam al-Umm dengan benar.”

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ وَطِئَهَا الْمُرْتَهِنُ حُدَّ وَوَلَدُهُ مِنْهَا رَقِيقٌ لَا يَلْحَقُهُ وَلَا مَهْرَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ أَكْرَهَهَا فَعَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا وَلَا أَقْبَلُ مِنْهُ دَعْوَاهُ الْجَهَالَةَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ أَسْلَمَ حَدِيثًا أَوْ بِبَادِيَةٍ نَائِيَةٍ وَمَا أَشْبَهَهُ “.

Asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika murtahin menggaulinya, maka ia dikenai had, dan anak yang lahir darinya adalah budak yang tidak dinisbatkan kepadanya, dan tidak ada mahar kecuali jika ia memaksanya, maka wajib baginya membayar mahar yang sepadan. Aku tidak menerima darinya alasan ketidaktahuan kecuali jika ia baru masuk Islam atau tinggal di pedalaman yang jauh dan semisalnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي وَطْءِ الرَّاهِنِ بِإِذْنٍ وَبِغَيْرِ إِذْنٍ. فَأَمَّا وَطْءُ الْمُرْتَهِنِ فَلَا يَخْلُو فِيهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَعْلَمَ تَحْرِيمَ ذَلِكَ أَوْ لَا يَعْلَمَ.

Al-Mawardi berkata: “Telah dijelaskan sebelumnya pembahasan tentang jima‘ rahin dengan izin maupun tanpa izin. Adapun jima‘ murtahin, maka tidak lepas dari dua keadaan: apakah ia mengetahui keharamannya atau tidak mengetahuinya.”

فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يَعْلَمُ تَحْرِيمَ ذَلِكَ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ عَالِمًا بِتَحْرِيمِ الزِّنَا وَأَنَّ وَطْأَ الْمَرْهُونَةِ زِنًا، كَانَ حُكْمُهُ حُكْمَ الزَّانِي وَيَتَعَلَّقُ بِوَطْئِهِ ثَلَاثَةُ أَحْكَامٍ:

Jika pelaku termasuk orang yang mengetahui keharaman perbuatan tersebut—yaitu mengetahui keharaman zina dan bahwa menyetubuhi perempuan yang digadaikan adalah zina—maka hukumnya sama dengan pezina, dan terdapat tiga hukum yang berkaitan dengan perbuatannya:

أَحَدُهَا: وُجُوبُ الْحَدِّ.

Pertama: wajib dikenakan had.

وَالثَّانِي: انْتِفَاءُ النَّسَبِ.

Kedua: tidak ada penetapan nasab.

والثالث: سقوط المهر إن طَاوَعَتْ، وَوُجُوبُهُ إِنْ أُكْرِهَتْ.

Ketiga: gugurnya mahar jika ia rela, dan wajib membayar mahar jika ia dipaksa.

فَأَمَّا الْحَدُّ فَهُوَ واجب عليه. وأما هي إن طَاوَعَتْهُ وَجَبَ عَلَيْهَا الْحَدُّ أَيْضًا وَإِنْ أَكْرَهَهَا فَعَلَيْهِ الْحَدُّ دُونَهَا.

Adapun had, maka wajib atasnya. Adapun perempuan tersebut, jika ia rela, maka wajib pula atasnya had; dan jika ia dipaksa, maka had hanya berlaku atas laki-laki tersebut, tidak atas dirinya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا حَدَّ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” ادْرَءُوا الْحُدُودَ بِالشُبُهَاتِ ” وَعَقْدُ الرَّهْنِ شُبْهَةٌ، فَوَجَبَ أَنْ يَدْرَأَ بِهَا الْحَدَّ قَالَ: وَلِأَنَّ لِلْمُرْتَهِنِ في الرهق حَقَّ الِاسْتِيفَاءِ كَمَا أَنَّ لِلسَّيِّدِ فِي الْمُكَاتَبَةِ حَقَّ الِاسْتِيفَاءِ فَلَمَّا لَمْ يَجِبِ الْحَدُّ عَلَى السَّيِّدِ فِي وَطْءِ الْمُكَاتَبَةِ وَجَبَ أَلَّا يَجِبَ عَلَى الْمُرْتَهِنِ فِي وَطْءِ الْمَرْهُونَةِ حَدٌّ.

Abu Hanifah berpendapat: tidak ada had atas keduanya, dengan berdalil pada sabda Nabi ﷺ: “Hindarilah penjatuhan had dengan adanya syubhat.” Akad gadai adalah syubhat, maka wajib untuk menggugurkan had dengannya. Ia berkata: karena bagi penerima gadai terdapat hak pemenuhan dalam gadai, sebagaimana bagi tuan dalam akad mukatabah terdapat hak pemenuhan. Maka, ketika tidak wajib had atas tuan yang menyetubuhi budak mukatabah, maka seharusnya tidak wajib pula had atas penerima gadai yang menyetubuhi perempuan yang digadaikan.

وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ: أَنَّهُ عَقْدٌ عَلَى جَارِيَةٍ أَوْجَبَ اسْتِيفَاءَ الْحَقِّ مِنْهَا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَانِعًا مِنْ وُجُوبِ الْحَدِّ بِوَطْئِهَا كَالْمُكَاتَبَةِ.

Penjelasannya: bahwa akad tersebut adalah atas seorang budak perempuan yang mewajibkan pemenuhan hak darinya, maka seharusnya menjadi penghalang dari kewajiban had atas penyetubuannya, sebagaimana pada akad mukatabah.

وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ تَعَلُّقَ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِالرَّهْنِ كَتَعَلُّقِ حُقُوقِ الْغُرَمَاءِ بِمَالِ الْمُفْلِسِ وَالْعَبْدِ الْمَأْذُونِ لَهُ فِي التِّجَارَةِ فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ هَذَا مَانِعًا مِنْ وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَى الْوَاطِئِ لَمْ يَكُنِ الرَّهْنُ مَانِعًا مِنْ وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَى الْوَاطِئِ.

Dalil kami: sesungguhnya keterkaitan hak penerima gadai dengan barang gadai itu seperti keterkaitan hak para kreditur dengan harta orang yang bangkrut dan budak yang diizinkan berdagang. Maka, ketika hal ini tidak menjadi penghalang dari kewajiban had atas pelaku, maka gadai pun tidak menjadi penghalang dari kewajiban had atas pelaku.

وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ أَنْ نَقُولَ: لِأَنَّهَا وَثِيقَةٌ لِلْحَقِّ الْمُتَعَلِّقِ بِهَا، فَوَجَبَ أَلَّا يُمْنَعَ مِنْ وُجُوبِ الْحَدِّ بِوَطْئِهَا. أَصْلُهُ: مَا ذَكَرْنَا.

Penjelasannya: karena ia adalah jaminan atas hak yang terkait dengannya, maka tidak boleh menjadi penghalang dari kewajiban had atas penyetubuannya. Dasarnya adalah apa yang telah kami sebutkan.

وَلِأَنَّ تَعَلُّقَ حَقِّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ بِرَقَبَةِ الْأَمَةِ الْجَانِيَةِ أَقْوَى مِنْ تَعَلُّقِ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِالْأَمَةِ الْمَرْهُونَةِ؛ لِأَنَّ حَقَّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ إِذَا طَرَأَ عَلَى حَقِّ الْمُرْتَهِنِ قُدِّمَ بِهِ فَدَلَّ عَلَى قُوَّتِهِ، وَإِذَا كَانَ حَقُّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ أَقْوَى وَلَمْ يُمْنَعْ مِنْ وُجُوبِ الْحَدِّ بِوَطْئِهِ فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ حَقُّ الْمُرْتَهِنِ مَعَ ضَعْفِهِ غَيْرَ مَانِعٍ مِنْ وُجُوبِ الْحَدِّ بِوَطْئِهِ.

Karena keterkaitan hak korban (yang dizalimi) dengan budak perempuan pelaku kejahatan lebih kuat daripada keterkaitan hak penerima gadai dengan budak perempuan yang digadaikan; karena hak korban jika muncul bersamaan dengan hak penerima gadai, maka hak korban didahulukan, yang menunjukkan kekuatannya. Jika hak korban yang lebih kuat saja tidak menghalangi kewajiban had atas penyetubuhannya, maka lebih utama lagi hak penerima gadai yang lebih lemah tidak menjadi penghalang dari kewajiban had atas penyetubuhannya.

فَأَمَّا قَوْلُهُ بِأَنَّ الرَّهْنَ شُبْهَةٌ فَغَلَطٌ، لِأَنَّ الشُّبْهَةَ الْمُسْقِطَةَ لِلْحَدِّ إِمَّا أَنْ تَكُونَ شُبْهَةَ عَقْدٍ كَالنِّكَاحِ بِلَا وَلِيٍّ وَلَا شُهُودٍ أَوْ شُبْهَةَ مِلْكٍ كَالْأَمَةِ بَيْنَ الشَّرِيكَيْنِ، أَوْ شُبْهَةً فِي الْفِعْلِ كَمَنْ وَجَدَ عَلَى فِرَاشِهِ امْرَأَةً فَظَنَّهَا زَوْجَتَهُ أَوْ يَكُونُ جَاهِلًا بِالتَّحْرِيمِ. وَلَيْسَ الرَّهْنُ وَاحِدًا مِنْ هَذِهِ فَلَمْ تَكُنْ شُبْهَةً فِي إِسْقَاطِ الْحَدِّ.

Adapun pendapat bahwa gadai adalah syubhat, maka itu keliru. Karena syubhat yang menggugurkan had itu, bisa berupa syubhat akad seperti nikah tanpa wali dan saksi, atau syubhat kepemilikan seperti budak perempuan milik dua orang yang berserikat, atau syubhat dalam perbuatan seperti seseorang yang menemukan perempuan di ranjangnya lalu mengira itu istrinya, atau karena tidak mengetahui keharaman. Sedangkan gadai bukan salah satu dari hal-hal tersebut, maka tidak dianggap syubhat yang menggugurkan had.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمُكَاتَبَةِ: فَالْمُكَاتَبَةُ بَاقِيَةٌ عَلَى مِلْكِهِ مِنْ وَجْهٍ وَإِنْ كَانَتْ خَارِجَةً عَنْ مِلْكِهِ عَلَى وَجْهٍ. أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ أَعْتَقَهَا عَتَقَتْ وَلَوْ عَجَزَتْ عَادَتْ إِلَى مِلْكِهِ كَمَا كَانَتْ. فَسَقَطَ عَنْهُ الْحَدُّ لِبَقَاءِ مِلْكِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمَرْهُونَةُ.

Adapun qiyās mereka dengan akad mukatabah: pada akad mukatabah, budak perempuan masih berada dalam kepemilikannya dari satu sisi, meskipun di sisi lain telah keluar dari kepemilikannya. Bukankah engkau melihat bahwa jika ia memerdekakannya, maka budak itu merdeka, dan jika ia tidak mampu membayar, maka ia kembali menjadi miliknya seperti semula. Maka, had gugur darinya karena masih adanya kepemilikan, dan tidak demikian halnya dengan perempuan yang digadaikan.

وَأَمَّا الْحُكْمُ الثَّانِي وَهُوَ انْتِفَاءُ النَّسَبِ فَيَكُونُ الْوَلَدُ مَمْلُوكًا لِلرَّاهِنِ غَيْرَ لَاحِقٍ بِالْمُرْتَهِنِ، لِأَنَّ الزِّنَا يَمْنَعُ مِنْ لُحُوقِ النَّسَبِ لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ “.

Adapun hukum kedua, yaitu tidak adanya penetapan nasab, maka anak tersebut menjadi milik pemberi gadai dan tidak dinisbatkan kepada penerima gadai, karena zina menghalangi penetapan nasab, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Anak itu milik pemilik ranjang, dan bagi pezina hanya batu (hukuman).”

وَأَمَّا الْحُكْمُ الثَّالِثُ فَهُوَ وُجُوبُ الْمَهْرِ فَيُنْظَرُ، فَإِنْ كَانَ قَدْ أَكْرَهَهَا عَلَى الْوَطْءِ فَعَلَيْهِ الْمَهْرُ.

Adapun hukum ketiga, yaitu kewajiban mahar, maka dilihat: jika ia memaksa perempuan itu untuk bersetubuh, maka wajib atasnya membayar mahar.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَا مَهْرَ عَلَيْهِ وَسَيَأْتِي الْكَلَامُ مَعَهُ فِي كِتَابِ الْغَصْبِ وَإِنْ طَاوَعَتْهُ عَلَى الْوَطْءِ.

Abu Hanifah berkata: tidak ada mahar atasnya, dan penjelasan tentang hal ini akan datang dalam Kitab Ghashb, jika perempuan itu rela bersetubuh dengannya.

فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ: لَا مَهْرَ عَلَيْهِ.

Adapun mazhab Syafi‘i: tidak ada mahar atasnya.

وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ: عَلَيْهِ الْمَهْرُ وَلَا يَسْقُطُ بِمُطَاوَعَتِهَا لِأَنَّهُ حَقٌّ لِلسَّيِّدِ فَلَمْ يَسْقُطْ بِبَذْلِهَا وَإِبَاحَتِهَا كَمَا لَوْ أَذِنَتْ فِي قَطْعِ عُضْوٍ مِنْ أَعْضَائِهَا لَمْ يَسْقُطِ الْأَرْشُ عَنِ الْجَانِي عَلَيْهَا.

Abu al-‘Abbas bin Surayj berkata: “Atasnya (laki-laki) wajib membayar mahar dan tidak gugur karena kerelaan perempuan itu, karena mahar adalah hak tuan (pemilik budak), sehingga tidak gugur hanya karena perempuan itu menyerahkan diri dan mengizinkan, sebagaimana jika ia mengizinkan untuk memotong salah satu anggota tubuhnya, maka diyat (ganti rugi) tidak gugur dari pelaku yang mencederainya.”

وَهَذَا غَلَطٌ ” لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنْ مَهْرِ الْبَغِيِّ ” وَهَذِهِ بِمُطَاوَعَتِهَا بَغِيٌّ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ مَهْرُهَا.

Dan ini adalah kekeliruan, karena Nabi ﷺ melarang mahar bagi pelacur, dan perempuan ini dengan kerelaannya telah menjadi pelacur, maka wajiblah mahar itu gugur darinya.

وَلِأَنَّهُ وَطْءٌ وَجَبَ بِهِ الْحَدُّ عَلَى الْمَوْطُوءَةِ فَوَجَبَ أَلَّا يَجِبَ بِهِ الْمَهْرُ كَالْحُرَّةِ وَأَمَّا مَا ذَكَرَهُ مِنْ إِذْنِهَا فِي قَطْعِ عُضْوٍ مِنْ أَعْضَائِهَا فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا:

Dan karena perbuatan itu adalah persetubuhan yang mewajibkan had atas perempuan yang disetubuhi, maka tidak wajib mahar karenanya, sebagaimana pada perempuan merdeka. Adapun apa yang disebutkan tentang izinnya dalam memotong anggota tubuhnya, maka perbedaannya adalah:

أَنَّ الْقَطْعَ إِتْلَافٌ فَلَمْ يَسْقُطْ غُرْمُهُ بِإِذْنِ مَنْ لَا يَمْلِكُهُ، وَهَذَا الْوَطْءُ زِنًا وَالزِّنَا غَيْرُ مُوجِبٍ لِلْمَهْرِ سَوَاءٌ كَانَ مِمَّنْ يَمْلِكُ ذَلِكَ الْمَهْرَ أَوْ لَا يَمْلِكُهُ.

Bahwa pemotongan anggota tubuh adalah perusakan, sehingga tidak gugur kewajiban ganti rugi dengan izin dari orang yang tidak memilikinya. Sedangkan persetubuhan ini adalah zina, dan zina tidak mewajibkan mahar, baik dilakukan oleh orang yang berhak mendapatkan mahar itu maupun yang tidak berhak.

فَهَذَا الْكَلَامُ فِي الْمُرْتَهِنِ إِذَا كَانَ عَالِمًا بِالتَّحْرِيمِ.

Maka pembahasan ini adalah tentang orang yang memegang gadai (murtahin) jika ia mengetahui keharamannya.

فَأَمَّا إِذَا كَانَ جَاهِلًا بِتَحْرِيمِ الزِّنَا، أَوْ عَالِمًا بِتَحْرِيمِ الزِّنَا جَاهِلًا بِأَنَّ وَطْءَ الْمَرْهُونَةِ زِنًا لِأَنَّهُ أَسْلَمَ قَرِيبًا أَوْ كَانَ بِبَادِيَةٍ نَائِيَةٍ أَوْ كَانَ بِبَعْضِ جَزَائِرِ الْبَحْرِ النَّائِيَةِ عَنْ أَقَالِيمِ الْمُسْلِمِينَ، أَوْ نَشَأَ فِي بِلَادِ الشِّرْكِ لِسَبَبٍ اعْتَرَضَهُ فَهَذَا لَيْسَ بِزَانٍ وَيَتَعَلَّقُ بِوَطْئِهِ ثَلَاثَةُ أَحْكَامٍ:

Adapun jika ia tidak mengetahui keharaman zina, atau ia mengetahui keharaman zina namun tidak tahu bahwa menyetubuhi budak yang digadaikan adalah zina, karena ia baru masuk Islam, atau tinggal di pedalaman yang jauh, atau di salah satu pulau laut yang jauh dari negeri-negeri kaum Muslimin, atau ia tumbuh di negeri syirik karena suatu sebab yang menimpanya, maka orang ini tidak disebut pezina, dan terkait dengan persetubuhannya ada tiga hukum:

أَحَدُهَا: سُقُوطُ الْحَدِّ عَنْهُ لِأَنَّ جَهْلَهُ بِتَحْرِيمِهِ شُبْهَةٌ فِي دَرْءِ الْحَدِّ عَنْهُ وَهُوَ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ لِمَا رُوِيَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ قَالَ: كُنَّا بِالشَّامِ فَتَذَاكَرْنَا حَدِيثَ الزِّنَا فَقَالَ رَجُلٌ: زَنَيْتُ فَأَنْكَرْنَا عَلَيْهِ. فَقَالَ: أَحْرَامٌ الزِّنَا؟ فَكَتَبْنَا إِلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ: إِنْ كَانَ جَاهِلًا فَانْهَوْهُ فَإِنْ عَادَ فَارْجُمُوهُ.

Pertama: Gugurnya had darinya, karena ketidaktahuannya tentang keharaman itu adalah syubhat (keraguan) yang menggugurkan had darinya, dan ini adalah ijmā‘ para sahabat, sebagaimana diriwayatkan dari Sa‘id bin al-Musayyab, ia berkata: “Kami berada di Syam, lalu kami membicarakan tentang hukum zina. Seorang laki-laki berkata: Aku telah berzina, maka kami mengingkarinya. Ia berkata: Apakah zina itu haram? Lalu kami menulis surat kepada ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, maka ia menjawab: Jika ia tidak tahu, maka laranglah ia, jika ia mengulangi, maka rajamlah.”

وَرُوِيَ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ أَعْتَقَ أَمَةً وَزَوَّجَهَا مِنْ رَاعٍ فَزَنَتْ فَحَمَلَهَا إِلَى عُمَرَ فَقَالَ لَهَا: زَنَيْتِ يَا لَكْعَا، فَقَالَتْ: نَعَمْ مرعونين بِدِرْهَمَيْنِ، فَقَالَ: لِعَلِيٍّ مَا تَقُولُ فِيهَا؟ فَقَالَ: قَدِ اعْتَرَفَتْ عَلَيْهَا الْحَدُّ. فَقَالَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ: مَا تَقُولُ فِيهَا؟ فَقَالَ: كَمَا قَالَ أَخِي عَلِيٌّ. فَقَالَ لِعُثْمَانَ: مَا تَقُولُ فِيهَا؟ فَقَالَ: أَرَاهَا تَسْتَهِلُّ كَأَنَّهَا لَمْ تَعْلَمْ وَإِنَّمَا الْحَدُّ عَلَى مَنْ عَلِمَ فَدَرَأَ عَنْهَا الْحَدَّ. وَقَوْلُهُ: أَرَاهَا تَسْتَهِلُّ كَأَنَّهَا لَمْ تَعْلَمْ يَعْنِي تَعْتَرِفُ بِهِ اعْتِرَافَ مَنْ لَا يَعْلَمُ.

Dan diriwayatkan bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf memerdekakan seorang budak perempuan dan menikahkannya dengan seorang penggembala, lalu budak itu berzina. Ia membawanya kepada ‘Umar, lalu ‘Umar berkata kepadanya: “Apakah engkau berzina, wahai perempuan bodoh?” Ia menjawab: “Ya, kami melakukannya karena dua dirham.” Lalu ‘Umar bertanya kepada ‘Ali: “Apa pendapatmu tentangnya?” ‘Ali menjawab: “Ia telah mengaku, maka atasnya had.” Lalu ‘Umar bertanya kepada ‘Abdurrahman: “Apa pendapatmu tentangnya?” Ia menjawab: “Sebagaimana yang dikatakan saudaraku ‘Ali.” Lalu ‘Umar bertanya kepada ‘Utsman: “Apa pendapatmu tentangnya?” Ia menjawab: “Aku melihat ia menjawab dengan polos, seakan-akan ia tidak tahu, dan sesungguhnya had itu hanya bagi orang yang mengetahui (hukumnya).” Maka ‘Umar menggugurkan had darinya. Ucapan ‘Utsman: “Aku melihat ia menjawab dengan polos, seakan-akan ia tidak tahu,” maksudnya ia mengaku sebagaimana pengakuan orang yang tidak tahu.

فَأَمَّا إِذَا كَانَ عَالِمًا بِتَحْرِيمِ الزِّنَا جَاهِلًا بِوُجُوبِ الْحَدِّ فِيهِ حُدَّ وَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ شُبْهَةً فِي دَرْءِ الْحَدِّ عَنْهُ.

Adapun jika ia mengetahui keharaman zina namun tidak tahu wajibnya had atasnya, maka tetap ditegakkan had atasnya, dan ketidaktahuan itu tidak dianggap sebagai syubhat yang menggugurkan had darinya.

فَأَمَّا الْمَوْطُوءَةُ فَإِنْ كَانَتْ مِثْلَهُ جَاهِلَةً بِتَحْرِيمِهِ فَلَا حَدَّ عَلَيْهَا وَإِنْ كَانَتْ عَالِمَةً فَلَا حَدَّ عَلَيْهَا إِنْ كَانَتْ مُكْرَهَةً وَعَلَيْهَا الْحَدُّ إِنْ كَانَتْ مُطَاوِعَةً.

Adapun perempuan yang disetubuhi, jika ia juga tidak tahu keharamannya seperti laki-laki itu, maka tidak ada had atasnya. Jika ia tahu, maka tidak ada had atasnya jika ia dipaksa, dan wajib had atasnya jika ia melakukannya dengan suka rela.

وَالْحُكْمُ الثَّانِي: لُحُوقُ النَّسَبِ؛ لِأَنَّهُ عَنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ، وَيَكُونُ حُرًّا، وَعَلَى الْمُرْتَهِنِ الْوَاطِئِ قِيمَتُهُ يَوْمَ سَقَطَ حَيًّا لِلرَّاهِنِ لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَلْحَقْ بِالْمُرْتَهِنِ لَكَانَ مِلْكًا لِلرَّاهِنِ، وَمَنْ حَصَلَتْ مِنْهُ الْحُرِّيَّةُ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ الْقِيمَةُ كَالشَّرِيكَيْنِ إِذَا أَعْتَقَ أَحَدَهُمَا وَكَانَ مُوسِرًا.

Hukum kedua: Nasab anak tetap diakui, karena itu terjadi dari persetubuhan syubhat, dan anak itu menjadi merdeka. Atas orang yang memegang gadai (murtahin) yang menyetubuhi, wajib membayar nilai anak itu pada hari ia lahir dalam keadaan hidup kepada pemilik gadai (rahin), karena jika anak itu tidak dinasabkan kepada murtahin, maka ia menjadi milik rahin. Barang siapa yang memperoleh kemerdekaan di dalam kepemilikan orang lain, maka wajib membayar nilainya, seperti dua orang yang berserikat dalam kepemilikan budak, lalu salah satunya memerdekakan dan ia mampu membayar.

وَالْحُكْمُ الثَّالِثُ: الْمَهْرُ: وَهُوَ عَلَى مَا مَضَى مِنَ اعْتِبَارِ حَالِ الْمَوْطُوءَةِ: فَإِنْ كَانَتْ جَاهِلَةً بِالتَّحْرِيمِ فَعَلَيْهِ الْمَهْرُ، وَإِنْ كَانَتْ عَالِمَةً، فَإِنْ أَكْرَهَهَا فَعَلَيْهِ الْمَهْرُ، وَإِنْ طَاوَعَتْهُ فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ لَا شَيْءَ عَلَيْهِ. وَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ عَلَيْهِ الْمَهْرُ.

Hukum ketiga: mahar, yaitu sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, mengikuti keadaan perempuan yang digauli. Jika ia tidak mengetahui keharaman (perbuatan itu), maka atas laki-laki tersebut wajib membayar mahar. Jika ia mengetahui, lalu dipaksa, maka atas laki-laki tersebut juga wajib membayar mahar. Namun jika ia rela dan menurut mazhab asy-Syafi‘i, maka tidak ada kewajiban apa pun atas laki-laki itu. Sedangkan menurut mazhab Abu al-‘Abbas bin Surayj, tetap wajib membayar mahar.

وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ الْأَحْكَامَ الْمُتَعَلِّقَةَ بِالْوَطْءِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:

Kesimpulannya, hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan jima‘ terbagi menjadi tiga jenis:

ضَرْبٌ يُعْتَبَرُ بِالْوَاطِئِ، وَضَرْبٌ يُعْتَبَرُ بِالْمَوْطُوءَةِ وَضَرْبٌ يُعْتَبَرُ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا.

Jenis yang dinilai berdasarkan pelaku (laki-laki), jenis yang dinilai berdasarkan yang digauli (perempuan), dan jenis yang dinilai berdasarkan keduanya.

فَالَّذِي يُعْتَبَرُ بِالْوَاطِئِ: هُوَ النَّسَبُ وَالْعِدَّةُ فَإِنْ كَانَ لَهُ شُبْهَةٌ لَحِقَ بِهِ النَّسَبُ وَوَجَبَتْ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ. وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ شُبْهَةٌ انْتَفَى عَنْهُ النَّسَبُ وَلَمْ تَجِبْ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ.

Adapun yang dinilai berdasarkan pelaku (laki-laki) adalah nasab dan masa iddah. Jika terdapat syubhat baginya, maka nasab anak dinisbatkan kepadanya dan perempuan wajib menjalani iddah. Jika tidak ada syubhat, maka nasab tidak dinisbatkan kepadanya dan perempuan tidak wajib menjalani iddah.

وَالَّذِي يُعْتَبَرُ بِالْمَوْطُوءَةِ: وُجُوبُ الْمَهْرِ، فَإِنْ كَانَ لَهَا شُبْهَةٌ وجب لها المهر وَإِنْ لَمْ تَكُنْ شُبْهَةً سَقَطَ الْمَهْرُ.

Adapun yang dinilai berdasarkan yang digauli (perempuan) adalah kewajiban mahar. Jika terdapat syubhat baginya, maka ia berhak atas mahar. Jika tidak ada syubhat, maka gugur hak atas mahar.

وَالَّذِي يَعْتَبِرُ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا: الْحَدُّ. فَإِنْ كَانَ لَهُمَا شُبْهَةٌ سَقَطَ عَنْهُمَا الْحَدُّ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمَا شُبْهَةٌ وَجَبَ عَلَيْهِمَا، وَإِنْ كَانَ لِأَحَدِهِمَا شُبْهَةٌ دُونَ الْآخَرِ سَقَطَ عَمَّنْ لَهُ الشبهة دون الآخر.

Adapun yang dinilai berdasarkan keduanya adalah hukum had. Jika keduanya memiliki syubhat, maka had gugur dari keduanya. Jika keduanya tidak memiliki syubhat, maka had wajib atas keduanya. Jika salah satu dari keduanya memiliki syubhat sedangkan yang lain tidak, maka had gugur dari yang memiliki syubhat dan tetap berlaku atas yang lainnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَ رَبُّهَا أَذِنَ لَهُ فِي وَطْئِهَا وكان يجهل درىء عَنْهُ الْحَدُّ وَلَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ وَكَانَ حُرًّا وَعَلَيْهِ قِيمَتُهُ يَوْمَ سَقَطَ وَفِي الْمَهْرِ قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّ عَلَيْهِ الْغُرْمَ وَالْآخَرُ لَا غُرْمَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ أَبَاحَهَا لَهُ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika tuannya mengizinkan seseorang untuk menggaulinya (budak perempuan), dan orang itu tidak mengetahui keharamannya, maka had gugur darinya, anak yang lahir dinisbatkan kepadanya dan ia menjadi merdeka, serta ia wajib membayar harga budak pada hari kelahiran anak. Dalam hal mahar terdapat dua pendapat: salah satunya, ia wajib menanggung kerugian (membayar mahar), dan yang lain, ia tidak wajib menanggung kerugian karena tuannya telah menghalalkannya untuknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي وَطْءِ الْمُرْتَهِنِ بِغَيْرِ إِذْنِ الرَّاهِنِ. فَأَمَّا إِذَا وَطِئَ بِإِذْنِ الرَّاهِنِ فَالْإِذْنُ غَيْرُ مُبِيحٍ لَهُ الْوَطْءَ؛ لِأَنَّ الْوَطْءَ لَا يُسْتَبَاحُ إِلَّا بِمِلْكٍ أَوْ نِكَاحٍ.

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya tentang perbuatan jima‘ oleh pemegang gadai tanpa izin dari pemberi gadai. Adapun jika ia menggauli dengan izin dari pemberi gadai, maka izin tersebut tidak menjadikan perbuatan itu halal baginya, karena jima‘ tidak menjadi halal kecuali dengan kepemilikan atau pernikahan.

فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَعَلَى الرَّاهِنِ الْآذِنِ التَّعْزِيرُ لِإِقْدَامِهِ عَلَى إِبَاحَةِ الْمُحَرَّمَاتِ.

Jika demikian, maka atas pemberi gadai yang memberi izin dikenakan ta‘zir karena telah berani menghalalkan perkara yang diharamkan.

وَأَمَّا الْمُرْتَهِنُ الْوَاطِئُ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أن يكون عَالِمًا بِالتَّحْرِيمِ، أَوْ جَاهِلًا بِهِ.

Adapun pemegang gadai yang melakukan jima‘, keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia mengetahui keharamannya atau tidak mengetahuinya.

وَشُبْهَتُهُ فِي الْجَهَالَةِ بِتَحْرِيمِهِ مَعَ إِذْنِ الرَّاهِنِ أَقْوَى مِنْ شُبْهَتِهِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَإِنْ كَانَ عَالِمًا بِالتَّحْرِيمِ: فَعَلَى مَا مَضَى مِنْ وُجُوبِ الْحَدِّ، وَانْتِفَاءِ النَّسَبِ وَاسْتِرْقَاقِ الْوَلَدِ.

Syubhatnya dalam ketidaktahuan terhadap keharaman dengan adanya izin dari pemberi gadai lebih kuat daripada syubhat tanpa izin. Jika ia mengetahui keharamannya, maka sebagaimana telah dijelaskan, wajib atasnya had, nasab anak tidak dinisbatkan kepadanya, dan anak menjadi budak.

وَإِنْ كَانَ جَاهِلًا بِالتَّحْرِيمِ سَقَطَ عَنْهُ الْحَدُّ، وَلَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، وَكَانَ حُرًّا.

Jika ia tidak mengetahui keharamannya, maka had gugur darinya, anak dinisbatkan kepadanya, dan anak tersebut merdeka.

وَأَمَّا الْمَهْرُ فَإِذَا قُلْنَا: إِنَّهُ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى إِذَا وَطِئَ بِغَيْرِ إِذْنِ الرَّاهِنِ فَفِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَوْلَى أَلَّا يَجِبَ وَهُوَ أَنْ تُطَاوِعَهُ الْجَارِيَةُ عَالِمَةً بِالتَّحْرِيمِ، فَلَا مَهْرَ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ لِوُجُوبِ الحد على الموطوءة.

Adapun mengenai mahar, jika kita katakan bahwa ia tidak wajib membayar mahar dalam kasus pertama, yaitu jika ia menggauli tanpa izin dari pemberi gadai, maka dalam kasus ini lebih utama untuk tidak mewajibkannya, yaitu jika budak perempuan tersebut rela dan mengetahui keharamannya, maka tidak ada mahar menurut mazhab asy-Syafi‘i karena wajibnya had atas perempuan yang digauli.

فإذا قُلْنَا: إِنَّ الْمَهْرَ يَجِبُ إِذَا وَطِئَ بِغَيْرِ إِذْنِ الرَّاهِنِ وَهُوَ أَنْ تَكُونَ جَاهِلَةً بِالتَّحْرِيمِ، أَوْ مُكْرَهَةً مَعَ عِلْمِهَا بِالتَّحْرِيمِ فَفِي وُجُوبِهِ عَلَيْهَا إِذَا وَطِئَ بِإِذْنِ الرَّاهِنِ قَوْلَانِ:

Jika kita katakan bahwa mahar wajib jika ia menggauli tanpa izin dari pemberi gadai, yaitu jika perempuan tidak mengetahui keharamannya, atau dipaksa padahal ia mengetahui keharamannya, maka dalam kewajiban mahar atasnya jika ia menggauli dengan izin dari pemberi gadai terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا مَهْرَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْوَطْءَ يَتَعَلَّقُ بِهِ حَقَّانِ:

Salah satunya: tidak ada mahar atasnya, karena dalam perbuatan jima‘ terdapat dua hak:

أَحَدُهُمَا: لِلَّهِ تَعَالَى وَهُوَ الْحَدُّ.

Salah satunya: hak Allah Ta‘ala, yaitu had.

وَالثَّانِي: لِلْآدَمِيِّ وَهُوَ الْمَهْرُ.

Yang kedua: hak manusia, yaitu mahar.

كَمَا أَنَّ الْقَتْلَ يَتَعَلَّقُ بِهِ حَقَّانِ:

Sebagaimana dalam kasus pembunuhan juga terdapat dua hak:

أَحَدُهُمَا: لِلَّهِ تَعَالَى وَهُوَ الْكَفَّارَةُ.

Salah satunya: hak Allah Ta‘ala, yaitu kafarat.

وَالثَّانِي: لِلْآدَمِيِّ وَهُوَ الدِّيَةُ.

Yang kedua: hak manusia, yaitu diyat.

ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ أَذِنَ لَهُ فِي قَتْلِهَا سَقَطَ عَنْهُ حَقُّهُ مِنْ قِيمَتِهَا دُونَ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الْكَفَّارَةِ، فَكَذَلِكَ إِذَا أَذِنَ لَهُ فِي وَطْئِهَا سَقَطَ عَنْهُ حَقُّهُ مِنْ مَهْرِهَا دُونَ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الْحَدِّ.

Kemudian telah tetap bahwa jika ia mengizinkan untuk membunuhnya, gugurlah haknya atas nilai budaknya, namun tidak gugur hak Allah Ta‘ala berupa kewajiban kafarat. Maka demikian pula, jika ia mengizinkan untuk menyetubuhinya, gugurlah haknya atas mahar, namun tidak gugur hak Allah Ta‘ala berupa hukuman had.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عليه المهر؛ لأن هذا الوطأ موجب للمهر. كما أن الوطأ فِي النِّكَاحِ الْفَاسِدِ مُوجِبٌ لِلْمَهْرِ، ثُمَّ ثَبَتَ أنه لو وطأ فِي النِّكَاحِ الْفَاسِدِ بِإِذْنِ الْمَوْطُوءَةِ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الْمَهْرُ. كَذَلِكَ إِذَا وَطِئَ بِإِذْنِ الرَّاهِنِ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الْمَهْرُ.

Pendapat kedua: Tetap wajib membayar mahar; karena persetubuhan ini mewajibkan mahar. Sebagaimana persetubuhan dalam nikah fasid juga mewajibkan mahar, dan telah tetap bahwa jika ia menyetubuhi dalam nikah fasid dengan izin perempuan yang disetubuhi, maharnya tidak gugur darinya. Demikian pula, jika ia menyetubuhi dengan izin pihak yang menggadaikan, maharnya tidak gugur darinya.

وَأَمَّا قِيمَةُ الْوَلَدِ إِذَا لَحِقَ بِهِ وَصَارَ حُرًّا، فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ فِي وُجُوبِ قِيمَتِهِ قَوْلَانِ كَالْمَهْرِ. وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ.

Adapun nilai anak jika ia diakui sebagai anaknya dan menjadi merdeka, maka di antara ulama kami ada yang berpendapat dalam kewajiban membayar nilainya terdapat dua pendapat, seperti halnya mahar. Ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah.

وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: عَلَيْهِ قِيمَةُ الْوَلَدِ قَوْلًا وَاحِدًا وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِهِمْ وَالْفَرْقُ بَيْنَ الولد والمهر من وجهين:

Dan di antara ulama kami ada yang berpendapat: Wajib membayar nilai anak secara satu pendapat saja, dan ini adalah pendapat mayoritas mereka. Perbedaan antara anak dan mahar dari dua sisi:

أحدهما: أن الوطأ مَأْذُونٌ فِيهِ فَسَقَطَ غُرْمُ بَدَلِهِ وَالْإِيلَاءُ غَيْرُ مَأْذُونٍ فِيهِ فَلَمْ يَسْقُطْ غُرْمُ بَدَلِهِ.

Pertama: Bahwa persetubuhan itu diizinkan sehingga gugur kewajiban mengganti gantinya, sedangkan i‘la’ (sumpah tidak menggauli istri) tidak diizinkan sehingga tidak gugur kewajiban mengganti gantinya.

وَالثَّانِي: أن الوطأ استهلاك غير موجود فجاز أن يسقط غرمه عنه. وَالْوَلَدُ اكْتِسَابُ مَوْجُودٍ فَوَجَبَ عَلَيْهِ غُرْمُهُ.

Kedua: Bahwa persetubuhan adalah konsumsi terhadap sesuatu yang tidak ada (tidak wujud), sehingga boleh gugur kewajiban menggantinya. Sedangkan anak adalah perolehan terhadap sesuatu yang ada, sehingga wajib baginya membayar ganti rugi.

فَأَمَّا غُرْمُ مَا نَقَصَ مِنْ قِيمَتِهَا بِالْوِلَادَةِ فَإِنْ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ فَعَلَيْهِ غُرْمُهُ لَا يَخْتَلِفُ وَإِنْ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ الْوَلَدُ فَفِي وُجُوبِ غُرْمِهِ قَوْلَانِ وَكَذَلِكَ لَوْ مَاتَ.

Adapun ganti rugi atas berkurangnya nilai budak perempuan karena melahirkan, maka jika anak itu diakui sebagai anaknya, wajib baginya membayar ganti ruginya tanpa ada perbedaan pendapat. Namun jika anak itu tidak diakui sebagai anaknya, maka dalam kewajiban membayar ganti rugi terdapat dua pendapat, demikian pula jika budak itu meninggal.

أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ غُرْمُهُ؛ لِأَنَّهُ بِسَبَبٍ مِنْهُ.

Salah satunya: Wajib baginya membayar ganti rugi, karena hal itu terjadi disebabkan olehnya.

وَالثَّانِي: لَيْسَ عَلَيْهِ غُرْمُهُ لِعَدَمِ لُحُوقِ الْوَلَدِ بِهِ.

Dan yang kedua: Tidak wajib baginya membayar ganti rugi karena anak itu tidak diakui sebagai anaknya.

وهذان القولان من اختلاف قوليه فيمن زنا بِأَمَةٍ فَأَحْبَلَهَا وَمَاتَتْ فِي وِلَادَتِهَا هَلْ يَلْزَمُهُ غرم قيمتها أم لا؟

Dua pendapat ini merupakan perbedaan pendapat beliau dalam kasus seseorang yang berzina dengan budak perempuan lalu menghamilinya dan budak itu meninggal saat melahirkan, apakah ia wajib membayar ganti rugi atas nilainya atau tidak?

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَتَى مَلَكَهَا كَانَتْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ (قَالَ المزني) قلت أنا قَدْ مَضَى فِي مِثْلِ هَذَا جَوَابِي لَا يَنْبَغِي أَنْ تَكُونَ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ أَبَدًا (قال أبو محمد) وهم المزني في هذا في كتاب الربيع ومتى ملكها لم تكن له أم ولد “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dan kapan saja ia memilikinya, maka budak perempuan itu menjadi umm walad baginya.” (Al-Muzani berkata:) Aku berkata, telah lalu dalam masalah seperti ini jawabanku bahwa tidak sepantasnya ia menjadi umm walad baginya selamanya. (Abu Muhammad berkata:) Al-Muzani keliru dalam hal ini dalam Kitab Al-Rabi‘, dan kapan saja ia memilikinya, maka ia tidak menjadi umm walad baginya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدِ اسْتَوْفَيْنَا حُكْمَ وَطْءِ الْمُرْتَهِنِ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْحَدِّ وَلُحُوقِ الْوَلَدِ وَوُجُوبِ الْمَهْرِ وَقِيمَةِ الْوَلَدِ.

Al-Mawardi berkata: Kami telah merinci hukum persetubuhan oleh pemegang gadai terkait dengan had, pengakuan anak, kewajiban mahar, dan nilai anak.

فَأَمَّا كَوْنُ الْجَارِيَةِ الْمَوْطُوءَةِ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ فَلَا يَخْتَلِفُ الْمَذْهَبُ أَنَّهُ مَا لَمْ يَمْلِكْهَا فَلَيْسَتْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ وَهِيَ رَهْنٌ عَلَى مِلْكِ رَاهِنِهَا.

Adapun status budak perempuan yang disetubuhi menjadi umm walad baginya, maka tidak ada perbedaan mazhab bahwa selama ia belum memilikinya, maka ia bukan umm walad baginya, dan ia adalah barang gadai yang masih menjadi milik pihak yang menggadaikan.

فَإِذَا حَلَّ الْحَقُّ فَلَا يَخْلُو حَالُهَا عِنْدَ حُلُولِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ تَكُونَ حَامِلًا بَعْدُ لَمْ تَضَعْ، أَوْ قَدْ وَضَعَتْ حَمْلَهَا.

Apabila hak telah jatuh tempo, maka keadaan budak perempuan itu saat jatuh tempo tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia masih hamil dan belum melahirkan, atau sudah melahirkan kandungannya.

فَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika ia masih hamil, maka terdapat dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ حَامِلًا بِحُرٍّ يَلْحَقُ بِالْمُرْتَهِنِ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الشُّبْهَةِ فَلَا يَجُوزُ بَيْعُهَا قَبْلَ وَضْعِهَا؛ لِأَنَّ الْحَمْلَ إِذَا كَانَ حُرًّا لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ، وَلَا يَصْلُحُ إِقْرَارُهُ وَلَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يُطَالِبَ الرَّاهِنَ بِحَقِّهِ وَإِنْ حَلَّ قَبْلَ وَضْعِ الْحَمْلِ؛ لِأَنَّ تَأْخِيرَ بَيْعِ الرَّهْنِ مَنْ قِبَلِهِ لَا مِنْ قِبَلِ الرَّاهِنِ.

Pertama: Ia hamil dari anak yang merdeka yang diakui sebagai anak pemegang gadai karena adanya syubhat, maka tidak boleh menjualnya sebelum melahirkan; karena jika janinnya adalah anak merdeka, tidak boleh menjualnya, dan tidak sah pengakuan atasnya, serta pemegang gadai tidak boleh menuntut haknya kepada pihak yang menggadaikan meskipun telah jatuh tempo sebelum melahirkan; karena penundaan penjualan barang gadai berasal dari pihak pemegang gadai, bukan dari pihak yang menggadaikan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ حَامِلًا بِمَمْلُوكٍ، فَإِنْ أَجَابَ الرَّاهِنُ إِلَى بَيْعِهَا حَامِلًا جَازَ، لِأَنَّ حَمْلَهَا بِمَمْلُوكٍ يَجُوزُ بَيْعُهُ مَعَهَا. فَإِنِ امْتَنَعَ الرَّاهِنُ مِنْ بَيْعِهَا حَامِلًا حَتَّى تَضَعَ وَطَلَبَ الْمُرْتَهِنُ أَنْ تُبَاعَ حَامِلًا؛ لِأَنَّ الْحَقَّ قَدْ حَلَّ فَهَلْ يُجْبَرُ الرَّاهِنُ عَلَى بيعها حاملا أَمْ لَا؟

Keadaan kedua: Ia hamil dari anak budak, maka jika pihak yang menggadaikan setuju untuk menjualnya dalam keadaan hamil, itu boleh, karena janin budak boleh dijual bersama ibunya. Jika pihak yang menggadaikan menolak menjualnya dalam keadaan hamil sampai melahirkan, dan pemegang gadai meminta agar ia dijual dalam keadaan hamil karena hak telah jatuh tempo, maka apakah pihak yang menggadaikan dipaksa untuk menjualnya dalam keadaan hamil atau tidak?

عَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْحَمْلِ، هَلْ هُوَ تَبَعٌ، أَوْ يَأْخُذُ قِسْطًا مِنَ الثَّمَنِ.

Ada dua pendapat yang dibangun di atas perbedaan pendapat tentang janin, apakah ia dianggap sebagai bagian (tabi‘) dari ibunya, ataukah ia mengambil bagian dari harga jual.

أَحَدُهُمَا: يُجْبَرُ عَلَى بَيْعِهَا حَامِلًا إِذَا قِيلَ إِنَّ الْحَمْلَ يَكُونُ تَبَعًا.

Salah satunya: Dipaksa untuk menjualnya dalam keadaan hamil jika dikatakan bahwa janin itu dianggap sebagai bagian (tabi‘) dari ibunya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهَا تُتْرَكُ حَتَّى تَضَعَ. وَلَا يُجْبَرُ عَلَى بَيْعِهَا حَامِلًا إِذَا قِيلَ إِنَّ الْحَمْلَ يَأْخُذُ قِسْطًا مِنَ الثَّمَنِ. فَهَذَا حُكْمُ بَيْعِهَا إِذَا حَلَّ الْحَقُّ وَهِيَ حَامِلٌ.

Pendapat kedua: Bahwa ia dibiarkan hingga melahirkan. Tidak boleh dipaksa untuk menjualnya dalam keadaan hamil jika dikatakan bahwa janin mendapat bagian dari harga. Inilah hukum penjualannya apabila hak telah jatuh tempo sementara ia sedang hamil.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا إِذَا حَلَّ الْحَقُّ بَعْدَ وَضْعِهَا، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْوَلَدِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Adapun jika hak jatuh tempo setelah ia melahirkan, maka keadaan anak tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ حُرًّا يَلْحَقُ بِالْمُرْتَهِنِ، أَوْ يَكُونَ مَمْلُوكًا لَا يَلْحَقُ بِهِ.

Yaitu, apakah ia merdeka dan mengikuti pihak murtahin, atau ia adalah budak yang tidak mengikuti murtahin.

فَإِنْ كَانَ حُرًّا جَازَ بَيْعُهَا دُونَ وَلَدِهَا بَعْدَ اسْتِغْنَائِهِ عَنِ ارْتِضَاعِ اللِّبَأِ وَمَا لَا قِوَامَ لِبَدَنِهِ إِلَّا بِهِ.

Jika ia merdeka, maka boleh menjual ibunya tanpa anaknya setelah anak itu tidak lagi membutuhkan susu kolostrum dan apa pun yang tubuhnya tidak bisa bertahan tanpanya.

وَإِنَّمَا جَازَ بَيْعُهَا دُونَ وَلَدِهَا لِحُرِّيَّةِ الْوَلَدِ الَّذِي لَا يُمْكِنُ بَيْعُهُ مَعَهَا وَلَا يَلْزَمُ الْمُرْتَهِنَ أَنْ يُمْسِكَ عَنْ بَيْعِهَا فِي حَقِّهِ لِأَجْلِ وَلَدِهِ إِلَى حِينِ نُشُوئِهِ لِمَا فِيهِ مِنْ تَأْخِيرِ حَقٍّ عَاجِلٍ.

Diperbolehkan menjual ibunya tanpa anaknya karena kemerdekaan anak yang tidak mungkin dijual bersamanya, dan murtahin tidak wajib menahan diri dari menjualnya demi anaknya hingga anak itu tumbuh, karena hal itu berarti menunda hak yang sudah jatuh tempo.

وَإِنْ كَانَ الْوَلَدُ مَمْلُوكًا لَمْ يَجُزْ أَنْ تُبَاعَ دُونَ وَلَدِهَا لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُبَاعَ مَعَهَا فَإِذَا بِيعَا مَعًا أُعْطِيَ الْمُرْتَهِنُ مِنْ ثَمَنِهَا مَا قَابَلَ ثَمَنَ الْأُمِّ دُونَ الْوَلَدِ وَأَخَذَ الرَّاهِنُ مَا قَابَلَ ثَمَنَ الْوَلَدِ.

Jika anak itu adalah budak, maka tidak boleh dijual tanpa anaknya, karena boleh saja dijual bersamanya. Jika keduanya dijual bersama, maka murtahin diberikan dari harga penjualan bagian yang sepadan dengan harga ibu, tanpa anak, dan rahin mengambil bagian yang sepadan dengan harga anak.

فهذا حكم بيعها في ملك الراهن.

Inilah hukum penjualannya dalam kepemilikan rahin.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا إِذَا مَلَكَهَا الْمُرْتَهِنُ، فَإِنْ كَانَ مَمْلُوكًا غَيْرَ لَاحِقٍ بِالْمُرْتَهِنِ، لَمْ تَصِرْ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ لَا يُخْتَلَفُ وَإِنْ كَانَ الْوَلَدُ حُرًّا لَاحِقًا بِالْمُرْتَهِنِ فَهَلْ تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Adapun jika murtahin memilikinya, maka jika anak itu adalah budak yang tidak mengikuti murtahin, ia tidak menjadi umm walad baginya, tidak ada perbedaan pendapat. Namun jika anak itu merdeka dan mengikuti murtahin, apakah ia menjadi umm walad baginya atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الذي نقله المزني هاهنا وَرَوَاهُ حَرْمَلَةُ: أَنَّهَا تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ؛ لِأَنَّهَا عَلِقَتْ مِنْهُ بِحُرٍّ، فَوَجَبَ أَنْ تَصِيرَ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ، كَمَا لَوْ عَلِقَتْ مِنْهُ بِحُرٍّ فِي مِلْكِهِ.

Salah satunya, yang dinukil oleh al-Muzani di sini dan diriwayatkan oleh Harmalah: bahwa ia menjadi umm walad, karena ia mengandung darinya seorang anak merdeka, maka wajib menjadi umm walad baginya, sebagaimana jika ia mengandung darinya anak merdeka dalam kepemilikannya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: رَوَاهُ الرَّبِيعُ وَغَيْرُهُ وهو أصح: أَنَّهَا لَا تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ لِأَنَّهَا عَلِقَتْ مِنْهُ فِي غَيْرِ مِلْكٍ، فَوَجَبَ أَلَّا تَصِيرَ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ كَمَا لَوْ عَلِقَتْ مِنْهُ فِي نِكَاحٍ.

Pendapat kedua, diriwayatkan oleh ar-Rabi‘ dan lainnya, dan ini yang lebih shahih: bahwa ia tidak menjadi umm walad baginya karena ia mengandung darinya bukan dalam kepemilikannya, maka tidak menjadi umm walad baginya sebagaimana jika ia mengandung darinya dalam akad nikah.

وَجُمْلَتُهُ أَنَّ عُلُوقَ الْأَمَةِ بِوَلَدٍ يَلْحَقُ بِالْوَاطِئِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Kesimpulannya, bahwa seorang budak perempuan yang mengandung anak yang nasabnya mengikuti lelaki yang menggaulinya, terbagi menjadi tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَعْلَقَ بِهِ فِي مِلْكِ الْوَاطِئِ، فَإِنَّهَا تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ، لَهُ، كَالسَّيِّدِ إِذَا أَوْلَدَ أَمَتَهُ.

Pertama: Ia mengandung darinya dalam kepemilikan lelaki tersebut, maka ia menjadi umm walad baginya, seperti tuan yang menghamili budak perempuannya.

وَالثَّانِي: أَنْ تَعْلَقَ مِنْهُ فِي عَقْدِ نِكَاحٍ، فَلَا تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ، إِذَا مَلَكَهَا لَا يُخْتَلَفُ.

Kedua: Ia mengandung darinya dalam akad nikah, maka ia tidak menjadi umm walad baginya, jika kemudian ia menjadi miliknya, tidak ada perbedaan pendapat.

وَالثَّالِثُ: أَنْ تَعْلَقَ مِنَ الْوَاطِئِ بِحُرٍّ فِي غَيْرِ مِلْكٍ وَلَا عَقْدٍ كَمَسْأَلَتِنَا وَمَا فِي مَعْنَاهَا مِنْ وَطْءِ الشُّبْهَةِ فَهَلْ تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ إِذَا مَلَكَهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Ketiga: Ia mengandung dari lelaki merdeka bukan dalam kepemilikan maupun akad, seperti dalam kasus kita ini dan semisalnya dari hubungan syubhat. Apakah ia menjadi umm walad baginya jika kemudian ia menjadi miliknya atau tidak? Ada dua pendapat:

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ قَالَ: لَا تَصِيرُ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ. وَقَدْ مَضَى الْجَوَابُ عَنْهُ.

Adapun al-Muzani, ia berpendapat: tidak menjadi umm walad baginya. Dan jawabannya telah dijelaskan sebelumnya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

إِذَا وَطِئَ الْمُرْتَهِنُ الْجَارِيَةَ الْمَرْهُونَةَ وَادَّعَى عَلَى الرَّاهِنِ أَنَّهُ كَانَ قَدْ وَهَبَهَا لَهُ أَوْ بَاعَهَا عَلَيْهِ، وَأَنْكَرَ الرَّاهِنُ ذَلِكَ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ مَعَ يَمِينِهِ، لِأَنَّ الْأَصْلَ أَنَّهَا مُبَقَّاةٌ عَلَى مِلْكِهِ وَقَدْ خَرَجَتِ الْجَارِيَةُ مِنَ الرَّهْنِ، لِأَنَّ ادِّعَاءَ الْمُرْتَهِنِ مِلْكَهَا إِقْرَارٌ بِفَسْخِ ارْتِهَانِهَا، وَالْمُرْتَهِنُ إِذَا أَقَرَّ بِفَسْخِ الرَّهْنِ لَزِمَهُ إِقْرَارُهُ، لِأَنَّ الْفَسْخَ بِيَدِهِ وهل تكون دَعْوَى الْمُرْتَهِنِ شُبْهَةً فِي دَرْءِ الْحَدِّ عَنْهُ أَمْ لَا. عَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika murtahin menggauli budak perempuan yang digadaikan lalu mengklaim kepada rahin bahwa ia telah memberikannya sebagai hibah atau telah menjualnya kepadanya, sementara rahin mengingkari hal itu, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan rahin dengan sumpahnya, karena asalnya budak tersebut tetap dalam kepemilikannya. Budak perempuan itu telah keluar dari status gadai, karena klaim murtahin atas kepemilikannya adalah pengakuan atas pembatalan gadai, dan jika murtahin mengakui pembatalan gadai, maka pengakuannya mengikatnya, karena pembatalan itu ada di tangannya. Apakah klaim murtahin menjadi syubhat untuk menggugurkan had darinya atau tidak? Ada dua pendapat:

أَظْهَرُهُمَا: لَا تَكُونُ شُبْهَةً لِمَا قَابَلَهَا مِنَ الْإِنْكَارِ، وَالْحَدُّ عَلَيْهِ وَاجِبٌ.

Yang lebih kuat: tidak menjadi syubhat karena ada penolakan dari pihak lawan, sehingga had tetap wajib dijatuhkan kepadanya.

فَعَلَى هَذَا إِنْ أَوْلَدَهَا كَانَ وَلَدُهُ مَمْلُوكًا غَيْرَ أَنَّهُ لَاحِقٌ بِهِ وَإِنَّمَا أَلْحَقْنَاهُ به ولم نعتقه عليه؛ لأن الراهن لاحق لَهُ فِي نَسَبِهِ، فَقَبِلْنَا إِقْرَارَ الْمُرْتَهِنِ بِهِ وَالرَّاهِنُ مَالِكٌ لِرِقِّهِ، فَلَمْ نَقْبَلْ دَعْوَى الْمُرْتَهِنِ فِيهِ لَكِنْ إِنْ مَلَكَهُ الْمُرْتَهِنُ عَتَقَ عَلَيْهِ لِثُبُوتِ نَسَبِهِ.

Berdasarkan hal ini, jika ia (budak perempuan) melahirkan anak darinya, maka anak tersebut menjadi milik (mamlūk), hanya saja nasabnya tetap dihubungkan kepadanya. Kami menghubungkan nasab anak itu kepadanya dan tidak memerdekakannya untuknya, karena pemilik gadai (rāhin) tetap terkait dengannya dalam nasab, sehingga kami menerima pengakuan pihak yang menerima gadai (murtahin) tentang anak itu, sedangkan rāhin adalah pemilik atas status budaknya. Maka kami tidak menerima klaim murtahin atas anak itu. Namun, jika murtahin kemudian memiliki anak itu, maka anak itu menjadi merdeka baginya karena nasabnya telah tetap.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: رَوَاهُ الرَّبِيعُ: أَنَّهَا شُبْهَةٌ لِتَجْوِيزِ مَا ادَّعَاهُ وَلَا حَدَّ عَلَيْهِ.

Pendapat kedua, yang diriwayatkan oleh ar-Rabi‘: bahwa hal ini merupakan syubhat karena kemungkinan apa yang didakwakan, sehingga tidak dikenakan had atasnya.

فَعَلَى هَذَا إِنْ أَوْلَدَهَا كَانَ وَلَدُهُ حُرًّا لَاحِقًا بِهِ وَعَلَيْهِ قِيمَتُهُ. فَإِنْ مَلَكَ الْجَارِيَةَ فِيمَا بَعْدُ صَارَتْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ بِإِقْرَارِهِ لَا يُخْتَلَفُ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا، سَوَاءٌ قُلْنَا: إِنَّ مَا ادَّعَاهُ شُبْهَةٌ أَمْ لَا لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ مُقِرًّا لَهُ بِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ بِإِقْرَارِهِ وَلَا يَخْتَلِفُ عَلَى الْقَوْلَيْنِ وَإِنْ أَنْكَرَهُ الرَّاهِنُ، فَصَارَ كَمَنِ ادَّعَى أَنَّهُ ابْتَاعَ مِنْ زَيْدٍ عَبْدَهُ وَأَعْتَقَهُ وَأَنْكَرَ زَيْدٌ الْبَيْعَ، فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ، فَإِنْ مَلَكَ الْمُدَّعِي ذَلِكَ الْعَبْدَ مِنْ بَعْدِ عِتْقٍ عَلَيْهِ بِمَا تَقَدَّمَ مِنْ إِقْرَارِهِ. كَذَلِكَ إِذَا أَقَرَّ بِأَنَّهَا أُمُّ وَلَدِهِ.

Berdasarkan hal ini, jika ia (budak perempuan) melahirkan anak darinya, maka anak itu menjadi anak yang merdeka dan nasabnya dihubungkan kepadanya, dan ia wajib membayar nilai anak tersebut. Jika kemudian ia memiliki budak perempuan itu, maka budak itu menjadi umm walad baginya berdasarkan pengakuannya, dan tidak ada perbedaan menurut kedua pendapat, baik kita katakan bahwa apa yang didakwakannya adalah syubhat atau bukan, karena ia telah mengakui bahwa budak itu telah menjadi umm walad baginya berdasarkan pengakuannya, dan tidak ada perbedaan menurut kedua pendapat, meskipun rāhin mengingkarinya. Maka hal itu seperti orang yang mengaku telah membeli budak dari Zaid, lalu memerdekakannya, namun Zaid mengingkari jual-beli tersebut; maka yang dipegang adalah ucapan Zaid dengan sumpahnya. Namun jika orang yang mengaku itu kemudian memiliki budak tersebut setelah dimerdekakan, maka budak itu menjadi merdeka baginya berdasarkan pengakuan sebelumnya. Demikian pula jika ia mengakui bahwa budak perempuan itu adalah umm walad-nya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِنْ وَطِئَ الْمُرْتَهِنُ الْجَارِيَةَ وَادَّعَى عَلَى الرَّاهِنِ أَنَّهُ زَوَّجَهُ بِهَا وَأَنْكَرَ الرَّاهِنُ ذَلِكَ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ مَعَ يَمِينِهِ، وَلَا يَبْطُلُ الرَّهْنُ؛ لِأَنَّ تَزْوِيجَ الْمُرْتَهِنِ بِهَا لَا يُبْطِلُ ارْتِهَانَهَا، وَخَالَفَ دَعْوَاهُ ابْتِيَاعُهَا؛ لِأَنَّ ابْتِيَاعَهَا يُبْطِلُ ارْتِهَانَهَا.

Jika murtahin menggauli budak perempuan yang digadaikan dan mengklaim kepada rāhin bahwa ia telah menikahkannya dengan budak itu, namun rāhin mengingkari hal tersebut, maka yang dipegang adalah ucapan rāhin dengan sumpahnya, dan gadai tidak batal. Karena menikahkan budak perempuan itu dengan murtahin tidak membatalkan status gadai, berbeda dengan klaim pembelian budak tersebut, karena pembelian budak membatalkan status gadai.

ثُمَّ هَلْ تكون هذه الدعوى شُبْهَةً فِي دَرْءِ الْحَدِّ عَنْهُ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ. وَعَلَى كِلَا الْقَوْلَيْنِ الْوَلَدُ مَمْلُوكٌ لِلرَّاهِنِ، لِأَنَّ الرَّاهِنَ يَدَّعِيهِ مِنْ زِنَا وَالْمُرْتَهِنَ يَدَّعِيهِ مِنْ نِكَاحٍ وَمِنْ أَيِّهِمَا كَانَ فَهُوَ مَمْلُوكٌ لِلرَّاهِنِ وَنَسَبُهُ لَاحِقٌ بالمرتهن، لأن الراهن لاحق لَهُ فِي نَسَبِهِ فَقُبِلَ إِقْرَارُ الْمُرْتَهِنِ بِهِ.

Kemudian, apakah klaim ini menjadi syubhat dalam menggugurkan had atasnya atau tidak? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah lalu. Dan menurut kedua pendapat, anak itu tetap menjadi milik rāhin, karena rāhin mengklaim anak itu dari hasil zina, sedangkan murtahin mengklaim dari hasil nikah, dan dari mana pun asalnya, anak itu tetap menjadi milik rāhin dan nasabnya dihubungkan kepada murtahin, karena rāhin tetap terkait dengannya dalam nasab, sehingga diterima pengakuan murtahin atasnya.

فَإِنْ مَلَكَ الْمُرْتَهِنُ الْجَارِيَةَ لَمْ تَصِرْ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ لَا يُخْتَلَفُ؛ لِأَنَّ أَحْسَنَ حَالَيْهِ أَنْ يَكُونَ قَدِ اسْتَوْلَدَهَا بِنِكَاحٍ وَذَلِكَ لَا يَجْعَلُهَا أُمَّ وَلَدٍ لَهُ إِذَا مَلَكَهَا …

Jika murtahin kemudian memiliki budak perempuan itu, maka budak tersebut tidak menjadi umm walad baginya, dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini; karena keadaan terbaiknya adalah ia telah menghamilinya melalui pernikahan, dan hal itu tidak menjadikan budak tersebut sebagai umm walad baginya jika ia memilikinya…

فَحَصَلَ مِنْ ذَلِكَ أَنَّ وَطْءَ الْمُرْتَهِنِ الْجَارِيَةَ الْمَرْهُونَةَ إِذَا حَبِلَتْ مِنْهُ وَلَحِقَ وَلَدُهَا بِهِ عَلَى ثلاثة أقسام:

Maka dari itu, hubungan seksual murtahin dengan budak perempuan yang digadaikan, jika ia hamil darinya dan anaknya dihubungkan kepadanya, terbagi menjadi tiga bagian:

أحدها: ما تَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ.

Pertama: yang menyebabkan budak itu menjadi umm walad.

وَالثَّانِي: مَا لَا تَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ.

Kedua: yang tidak menyebabkan budak itu menjadi umm walad.

وَالثَّالِثُ: مَا اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِيهِ.

Ketiga: yang diperselisihkan pendapat tentangnya.

فَأَمَّا مَا تَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ، فَهُوَ إِذَا ادَّعَى ابْتِيَاعَهَا مِنَ الرَّاهِنِ ثُمَّ مَلَكَهَا صَارَتْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ.

Adapun yang menyebabkan budak itu menjadi umm walad adalah jika ia mengaku telah membeli budak itu dari rāhin, kemudian memilikinya, maka budak itu menjadi umm walad baginya.

وَأَمَّا مَا لَا تَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ، فَهُوَ إِذَا ادَّعَى تَزْوِيجَهَا مِنَ الرَّاهِنِ ثُمَّ مَلَكَهَا لَمْ تَصِرْ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ.

Adapun yang tidak menyebabkan budak itu menjadi umm walad adalah jika ia mengaku telah menikahi budak itu dari rāhin, kemudian memilikinya, maka budak itu tidak menjadi umm walad baginya.

وَأَمَّا مَا اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِيهِ، فَهُوَ إِذَا ادَّعَى الْجَهَالَةَ ثُمَّ مَلَكَهَا، فَهَلْ تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ أَمْ لَا. عَلَى قَوْلَيْنِ.

Adapun yang diperselisihkan pendapat tentangnya adalah jika ia mengaku tidak tahu (jahālah), kemudian memilikinya, maka apakah budak itu menjadi umm walad baginya atau tidak, terdapat dua pendapat.

فَهَذَا جُمْلَةُ مَا فِي وَطْءِ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ مِنَ الْأَحْكَامِ.

Demikianlah rangkuman hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan seksual antara rāhin dan murtahin.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا وَطْءُ الزَّوْجِ. وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الْجَارِيَةُ الْمَرْهُونَةُ ذَاتَ زَوْجٍ، فَلَهُ ذَلِكَ وَلَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَمْنَعَهُ مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ لَهُ أَنْ يَمْنَعَ الرَّاهِنَ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ وَطْءَ الرَّاهِنِ ذَرِيعَةٌ إِلَى خُرُوجِهَا مِنَ الرَّهْنِ؛ لِأَنَّهَا قَدْ تَصِيرُ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ فَكَانَ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يُمْنَعَ مِنْهُ، وَوَطْءُ الزَّوْجِ لَا يُخْرِجُهَا مِنَ الرَّهْنِ لِأَنَّهَا لَا تَصِيرُ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ فَلَمْ يَكُنْ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَمْنَعَ مِنْهُ.

Adapun hubungan seksual suami, yaitu jika budak perempuan yang digadaikan itu memiliki suami, maka suaminya berhak menggaulinya dan murtahin tidak berhak melarangnya, meskipun murtahin berhak melarang rāhin. Perbedaannya adalah bahwa hubungan seksual rāhin dapat menjadi sebab keluarnya budak dari status gadai, karena ia bisa menjadi umm walad baginya, sehingga murtahin berhak melarangnya. Sedangkan hubungan seksual suami tidak menyebabkan budak keluar dari status gadai, karena ia tidak menjadi umm walad bagi suaminya, sehingga murtahin tidak berhak melarangnya.

وَلَكِنْ إِنْ كَانَ الْمُرْتَهِنُ عَالِمًا بِالزَّوْجِ فَلَا خِيَارَ لَهُ فِي الْبَيْعِ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ عَالِمٍ بِالزَّوْجِ فَلَهُ الْخِيَارُ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ الْمَرْهُونَةِ فِيهِ وَبَيْنَ فَسْخِهِ؛ لِأَنَّ كَوْنَهَا ذَاتَ زَوْجٍ نَقْصٌ يُوكِسُ مِنْ ثَمَنِهَا.

Namun, jika pihak yang menerima gadai (murtahin) mengetahui bahwa barang gadai tersebut telah bersuami, maka ia tidak memiliki hak khiyar (pilihan) dalam penjualan. Tetapi jika ia tidak mengetahui bahwa barang gadai tersebut telah bersuami, maka ia memiliki hak khiyar antara melanjutkan penjualan barang yang digadaikan itu atau membatalkannya; karena status barang tersebut yang telah bersuami merupakan kekurangan yang mengurangi nilainya.

فَلَوِ ارْتَهَنَهَا وَهِيَ خَلِيَّةٌ مِنْ زَوْجٍ لَمْ يَكُنْ لِلرَّاهِنِ أَنْ يُزَوِّجَهَا إِلَّا بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ لِمَا فِيهِ مِنَ النَّقْصِ الدَّاخِلِ عَلَى رَهْنِهِ. فَإِنْ زَوَّجَهَا بِغَيْرِ إِذْنِهِ كَانَ فَاسِدًا.

Maka jika seseorang menggadaikan barang (perempuan budak) yang pada saat itu belum bersuami, maka pihak yang menggadaikan (rahin) tidak boleh menikahkannya kecuali dengan izin murtahin, karena hal itu akan menyebabkan kekurangan pada barang gadai. Jika ia menikahkannya tanpa izin murtahin, maka pernikahan itu fasid (batal menurut hukum fiqh).

فَلَوِ ارْتَهَنَهَا وَهِيَ ذَاتُ زَوْجٍ فَطَلَّقَهَا الزَّوْجُ لَمْ يَكُنْ لِلرَّاهِنِ أَنْ يُزَوِّجَهَا بِغَيْرِهِ إِلَّا بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ لِأَنَّ نِكَاحَ الْأَوَّلِ قَدِ ارْتَفَعَ بِالطَّلَاقِ فَصَارَتْ خَلِيَّةً وَلَيْسَ لِلرَّاهِنِ أَنْ يُزَوِّجَ الْخَلِيَّةَ إِلَّا بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ، وَلَكِنْ لَوْ طَلَّقَهَا الزَّوْجُ طَلَاقًا رَجْعِيًّا جَازَ لَهُ أَنْ يَرْتَجِعَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ الْمُرْتَهِنِ لِأَنَّهُ مَعَ الرَّجْعَةِ مُقِيمٌ عَلَيْهَا بالنكاح المتقدم.

Jika seseorang menggadaikan barang (perempuan budak) yang telah bersuami, lalu suaminya menceraikannya, maka pihak yang menggadaikan tidak boleh menikahkannya dengan laki-laki lain kecuali dengan izin murtahin, karena pernikahan pertama telah berakhir dengan perceraian sehingga ia menjadi tidak bersuami, dan tidak boleh bagi rahin menikahkan perempuan yang tidak bersuami kecuali dengan izin murtahin. Namun, jika suaminya menceraikannya dengan talak raj‘i, maka suami boleh merujuknya tanpa izin murtahin, karena dengan rujuk itu ia tetap menjadi istrinya berdasarkan akad nikah yang terdahulu.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَ الرَّهْنُ إِلَى أَجَلٍ فَأَذِنَ لِلرَّاهِنِ فِي بَيْعِ الرَّهْنِ فَبَاعَهُ فَجَائِزٌ وَلَا يَأْخُذُ الْمُرْتَهِنُ مِنْ ثَمَنِهِ شَيْئًا وَلَا مَكَانَهُ رَهْنًا لِأَنَّهُ أَذِنَ لَهُ وَلَمْ يَجِبْ لَهُ الْبَيْعُ “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika gadai itu sampai pada batas waktu tertentu, lalu murtahin mengizinkan rahin untuk menjual barang gadai tersebut, kemudian ia menjualnya, maka jual beli itu sah dan murtahin tidak berhak mengambil apa pun dari hasil penjualannya, dan tidak pula berhak menjadikan hasil penjualan itu sebagai barang gadai pengganti, karena ia telah memberikan izin dan tidak ada kewajiban baginya dalam penjualan itu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau (Imam Syafi‘i) katakan.

إِذَا أَذِنَ الْمُرْتَهِنُ لِلرَّاهِنِ فِي بَيْعِ الرَّهْنِ قَبْلَ مَحَلِّ الْحَقِّ إِذْنًا مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُشْتَرَطَ عَلَيْهِ تَعْجِيلُ الْحَقِّ مِنْ ثَمَنِهِ فَالْإِذْنُ صَحِيحٌ، وَالْبَيْعُ نَافِذٌ وَالرَّهْنُ بَاطِلٌ وَإِنَّمَا صَحَّ الْبَيْعُ لِوُجُودِ الْإِذْنِ مِنْ مَالِكِ الْإِذْنِ وَبَطَلَ الرَّهْنُ، لِأَنَّ الْبَيْعَ يُزِيلُ الْمِلْكَ وَزَوَالُ الْمَلِكِ مُبْطِلٌ لِلرَّهْنِ كَالْعِتْقِ، وَلِأَنَّ حَقَّ الْمُرْتَهِنِ إِنَّمَا كَانَ فِي حَبْسِ الرَّهْنِ بِحَقِّهِ وَمَنْعِ الرَّاهِنِ مِنْ بَيْعِهِ. وَإِذْنُهُ فِي الْبَيْعِ مُبْطِلٌ لِمَعْنَى الرَّهْنِ. فَكَذَلِكَ إِذَا بِيعَ بِإِذْنِهِ بَطَلَ الرَّهْنُ.

Jika murtahin mengizinkan rahin untuk menjual barang gadai sebelum jatuh tempo hak (pelunasan utang) dengan izin mutlak tanpa mensyaratkan percepatan pelunasan dari hasil penjualan, maka izinnya sah, jual belinya pun sah, dan status gadai menjadi batal. Jual beli itu sah karena adanya izin dari pemilik hak izin, dan gadai menjadi batal karena jual beli menghilangkan kepemilikan, dan hilangnya kepemilikan membatalkan gadai sebagaimana halnya pembebasan budak. Hak murtahin hanyalah pada penahanan barang gadai untuk haknya dan mencegah rahin menjualnya. Maka izinnya untuk menjual membatalkan makna gadai. Demikian pula jika barang itu dijual dengan izinnya, maka batal pula status gadai.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الْبَيْعِ وَبُطْلَانُ الرَّهْنِ. فَالثَّمَنُ لِلرَّاهِنِ يَتَصَرَّفُ فِيهِ كَيْفَ شَاءَ، وَلَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يُطَالِبَهُ بِتَعْجِيلِ الثَّمَنِ قِصَاصًا، وَلَا أَنْ يَكُونَ بِيَدِهِ رَهْنًا.

Jika telah tetap bolehnya jual beli dan batalnya gadai, maka hasil penjualan menjadi milik rahin yang dapat ia pergunakan sesuka hatinya, dan murtahin tidak berhak menuntut percepatan pembayaran dari hasil penjualan, dan tidak pula berhak menjadikan hasil penjualan itu sebagai barang gadai pengganti.

أما التَّعْجِيلُ فَلِأَنَّ الْحَقَّ الْمُؤَجَّلَ لَا يَلْزَمُ تَعْجِيلُهُ إِلَّا بِرِضَا مَنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَالرَّاهِنُ غَيْرُ رَاضٍ، فَلَمْ يَلْزَمْهُ تعجيله.

Adapun percepatan pembayaran, karena hak yang masih ditangguhkan tidak wajib dipercepat kecuali dengan kerelaan pihak yang menanggung hak tersebut, dan rahin tidak rela, maka tidak wajib baginya untuk mempercepat pembayaran.

وَأَمَّا كَوْنُهُ رَهْنًا مَكَانَهُ فَلِأَنَّهُ اسْتِثْنَاءُ رَهْنٍ، وَعَقْدُ الرَّهْنِ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِاخْتِيَارِ الْمُتَعَاقِدَيْنِ وَالرَّاهِنُ غَيْرُ مُخْتَارٍ فَلَمْ يَلْزَمْهُ رَهْنُهُ.

Adapun menjadikan hasil penjualan sebagai barang gadai pengganti, karena hal itu merupakan pengecualian dalam gadai, dan akad gadai tidak sah kecuali dengan kerelaan kedua belah pihak, sedangkan rahin tidak rela, maka tidak wajib baginya menjadikan hasil penjualan itu sebagai barang gadai.

فَإِنْ قيل: أو ليس لَوْ جَنَى عَلَى الرَّهْنِ فَتَلِفَ كَانَتْ قِيمَتُهُ رَهْنًا مَكَانَهُ أَوْ قِصَاصًا مِنَ الْحَقِّ فَهَلَّا كَانَ فِي الْبَيْعِ كَذَلِكَ؟

Jika dikatakan: Bukankah jika seseorang melakukan jinayah (tindak pidana) terhadap barang gadai hingga barang itu rusak, maka nilainya menjadi barang gadai pengganti atau sebagai pembayaran utang? Mengapa dalam kasus penjualan tidak berlaku demikian?

قِيلَ: لِأَنَّ الْجِنَايَةَ غَيْرُ مُبْطِلَةٍ لِلرَّهْنِ، وَإِنَّمَا نُقِلَتِ الْوَثِيقَةُ مِنَ الرَّهْنِ إِلَى بَدَلِهِ. فَجَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ أَصْلِهِ وليس كذلك البيع.

Dijawab: Karena jinayah tidak membatalkan status gadai, melainkan hanya memindahkan jaminan dari barang gadai ke penggantinya, sehingga berlaku atasnya hukum asal barang gadai. Adapun penjualan tidak demikian.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ رَجَعَ فِي الْإِذْنِ قَبْلَ الْبَيْعِ فَالْبَيْعُ مَفْسُوخٌ وَهُوَ رَهْنٌ بِحَالِهِ “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika murtahin menarik kembali izinnya sebelum barang gadai dijual, maka jual beli itu batal dan barang tersebut tetap menjadi gadai sebagaimana semula.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.

إذا أَذِنَ الْمُرْتَهِنُ فِي بَيْعِ الرَّهْنِ قَبْلَ مَحَلِّ الْحَقِّ، ثُمَّ رَجَعَ عَنْ إِذْنِهِ لَمْ يَكُنْ لِلرَّاهِنِ بَيْعُ الرَّهْنِ. فَإِنْ بَاعَهُ بَعْدَ رُجُوعِهِ كَانَ بَيْعُهُ بَاطِلًا كَمَنْ بَاعَ بِغَيْرِ إِذْنٍ. وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ؛ لِأَنَّ إِذْنَ الْمُرْتَهِنِ فِي بَيْعِهِ لَيْسَ بِفَسْخٍ، وَإِنَّمَا بَيْعُ الرَّاهِنِ بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ فَسْخٌ. وَإِذَا لَمْ يَكُنِ الْإِذْنُ فَسْخًا لَمْ يَبْطُلِ الرَّهْنُ بِهِ وَكَانَ لَهُ الرُّجُوعُ فِي إِذْنِهِ لِأَنَّهُ تَطَوَّعَ بِفَسْخِ عَقْدٍ هُوَ مُخَيَّرٌ فِي فَسْخِهِ.

Jika pihak yang menerima gadai (murtahin) mengizinkan penjualan barang gadai sebelum jatuh tempo hak, kemudian ia menarik kembali izinnya, maka pihak yang menggadaikan (rahin) tidak boleh menjual barang gadai tersebut. Jika ia menjualnya setelah penarikan izin, maka penjualannya batal, sebagaimana orang yang menjual tanpa izin. Hal ini demikian karena izin murtahin dalam penjualan barang gadai bukanlah pembatalan (fasakh), sedangkan penjualan oleh rahin dengan izin murtahin adalah pembatalan. Dan jika izin itu bukan pembatalan, maka gadai tidak batal karenanya, dan murtahin berhak menarik kembali izinnya karena ia secara sukarela membatalkan akad yang ia bebas untuk membatalkannya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الرَّاهِنَ مَمْنُوعٌ مِنْ بَيْعِهِ بَعْدَ رُجُوعِ الْمُرْتَهِنِ فَبَاعَهُ الرَّاهِنُ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika telah tetap bahwa rahin dilarang menjual barang gadai setelah murtahin menarik kembali izinnya, lalu rahin tetap menjualnya, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بَيْعُهُ قَبْلَ رُجُوعِ الْمُرْتَهِنِ، فَالْبَيْعُ جَائِزٌ لِحُصُولِهِ عَنْ إِذْنٍ صَحِيحٍ وَرُجُوعُ الْمُرْتَهِنِ غَيْرُ مُؤَثِّرٍ.

Pertama: Penjualannya dilakukan sebelum murtahin menarik kembali izinnya, maka penjualan itu sah karena terjadi atas izin yang benar, dan penarikan kembali izin oleh murtahin tidak berpengaruh.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بَيْعُهُ بَعْدَ رُجُوعِ الْمُرْتَهِنِ وَبَعْدَ عِلْمِ الرَّاهِنِ فَالْبَيْعُ بَاطِلٌ، لِأَنَّ الرُّجُوعَ رَافِعٌ لِلْإِذْنِ فَصَارَ مَبِيعًا بِغَيْرِ إِذْنٍ.

Kedua: Penjualannya dilakukan setelah murtahin menarik kembali izinnya dan setelah rahin mengetahui penarikan izin tersebut, maka penjualan itu batal, karena penarikan izin menghapuskan izin sehingga menjadi penjualan tanpa izin.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ بَيْعُهُ بَعْدَ رُجُوعِ الْمُرْتَهِنِ وَقَبْلَ عِلْمِ الرَّاهِنِ بِرُجُوعِهِ، فَفِي جَوَازِ بَيْعِهِ وَجْهَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى مَسْأَلَةِ الْوَكِيلِ.

Ketiga: Penjualannya dilakukan setelah murtahin menarik kembali izinnya namun sebelum rahin mengetahui penarikan izin tersebut, maka dalam hal kebolehan penjualannya terdapat dua pendapat yang dibangun atas masalah wakil.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَلَوِ اخْتَلَفَا فَقَالَ الْمُرْتَهِنُ: رَجَعْتُ فِي الْإِذْنِ قَبْلَ بَيْعِكَ فَالرَّهْنُ بِحَالِهِ، وَالْبَيْعُ بَاطِلٌ. وَقَالَ الرَّاهِنُ: بَلْ رَجَعْتَ بعد البيع فالرهن باطل والبيع نافذ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَمْرَيْنِ:

Jika keduanya berselisih, murtahin berkata: “Aku telah menarik kembali izin sebelum engkau menjual, maka barang gadai tetap sebagaimana adanya dan penjualan itu batal.” Sedangkan rahin berkata: “Bahkan engkau menarik izin setelah penjualan, maka barang gadai batal dan penjualan sah.” Maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan murtahin dengan sumpahnya karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الرُّجُوعَ مِنْ فِعْلِهِ، فَقُبِلَ فِيهِ قَوْلُهُ:

Pertama: Penarikan izin adalah perbuatan murtahin, maka diterima pernyataannya dalam hal ini.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْأَصْلَ فِي صِحَّةِ الْإِذْنِ وَالرَّهْنِ فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُ الرَّاهِنِ فِيهِ.

Kedua: Asal hukum dalam keabsahan izin dan gadai tetap berlaku, sehingga pernyataan rahin tidak diterima dalam hal ini.

فَإِذَا حَلَفَ الْمُرْتَهِنُ صَارَ الرَّاهِنُ بَائِعًا لِلرَّهْنِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَيَكُونُ بَيْعُهُ بَاطِلًا، وَيُسْتَرْجَعُ لِيَكُونَ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ رَهْنًا فَإِنْ فَاتَ اسْتِرْجَاعُهُ كَانَ عَلَى الرَّاهِنِ غُرْمُ قِيمَتِهِ تَكُونُ رَهْنًا مَكَانَهُ، أَوْ قِصَاصًا مِنَ الْحَقِّ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika murtahin telah bersumpah, maka rahin dianggap menjual barang gadai tanpa izinnya, sehingga penjualannya batal dan barang tersebut harus dikembalikan agar tetap berada di tangan murtahin sebagai barang gadai. Jika pengembalian tidak memungkinkan, maka rahin wajib mengganti nilainya sebagai barang gadai pengganti, atau sebagai pengurang dari hak (utang), dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ أَذِنْتُ لَكَ عَلَى أَنْ تُعْطِيَنِي ثَمَنَهُ وَأَنْكَرَ الرَّاهِنُ الشَّرْطَ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ مَعَ يَمِينِهِ وَالْبَيْعُ مَفْسُوخٌ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika murtahin berkata: ‘Aku mengizinkanmu dengan syarat engkau memberiku harganya,’ lalu rahin mengingkari syarat tersebut, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan murtahin dengan sumpahnya, dan penjualan itu dibatalkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: “Dan ini benar.”

إذا اتَّفَقَا عَلَى أَنَّ الْمُرْتَهِنَ أَذِنَ لِلرَّاهِنِ فِي الْبَيْعِ ثُمَّ اخْتَلَفَا فِي صِفَةِ الْإِذْنِ فَقَالَ الْمُرْتَهِنُ: أَذِنْتُ لَكَ عَلَى أَنْ تُعَجِّلَ لِيَ الْحَقَّ، فَكَانَ الْإِذْنُ فَاسِدًا، وَالْبَيْعُ بَاطِلًا. وَقَالَ الرَّاهِنُ: بَلْ أَذِنْتَ إِذْنًا مُطْلَقًا فَالْإِذْنُ صَحِيحٌ، وَالْبَيْعُ نَافِذٌ.

Jika keduanya sepakat bahwa murtahin telah mengizinkan rahin untuk menjual, kemudian berselisih tentang sifat izinnya, murtahin berkata: “Aku mengizinkanmu dengan syarat engkau menyegerakan hakku,” maka izin itu rusak dan penjualan batal. Sedangkan rahin berkata: “Bahkan engkau mengizinkan secara mutlak,” maka izinnya sah dan penjualan berlaku.

فَإِنْ كَانَ لِلرَّاهِنِ بَيِّنَةٌ عَلَى مَا ادَّعَاهُ مِنْ إِطْلَاقِ إِذْنِ الْمُرْتَهِنِ بَعْدَ بَيْعِهِ بَطَلَ الرَّهْنُ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ بَيِّنَةٌ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَمْرَيْنِ:

Jika rahin memiliki bukti atas klaimnya bahwa izin murtahin itu mutlak setelah penjualan, maka gadai batal. Namun jika ia tidak memiliki bukti, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan murtahin dengan sumpahnya karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَوْ كَانَ اخْتِلَافُهُمَا فِي أَصْلِ الْإِذْنِ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُرْتَهِنِ فَإِذَا كَانَ اخْتِلَافُهُمَا فِي صِفَةِ الْإِذْنِ فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ.

Pertama: Jika perselisihan mereka dalam pokok izin, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan murtahin. Maka jika perselisihan mereka dalam sifat izin, lebih utama lagi pernyataan murtahin yang dijadikan pegangan.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ الرَّهْنِ، وَدَعْوَى الرَّاهِنِ تُنَافِيهِ، وَإِنْكَارُ الْمُرْتَهِنِ يَقْتَضِيهِ فَكَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ.

Kedua: Asal hukum adalah tetapnya gadai, sedangkan klaim rahin bertentangan dengannya, dan pengingkaran murtahin mendukung tetapnya gadai, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataannya dengan sumpahnya.

فَإِذَا حَلَفَ صَارَ الرَّاهِنُ فِي حُكْمِ مَنْ بَاعَ الرَّهْنَ عَنْ إِذْنِ الْمُرْتَهِنِ بِشَرْطِ التَّعْجِيلِ فَيَكُونُ عَلَى مَا نَذْكُرُهُ فِي الْمَسْأَلَةِ الْآتِيَةِ وَاللَّهُ أعلم.

Jika murtahin telah bersumpah, maka rahin dalam hukum seperti orang yang menjual barang gadai atas izin murtahin dengan syarat penyegeraan (hak), maka berlaku sebagaimana yang akan disebutkan dalam masalah berikutnya. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَلَوْ أَذِنَ لَهُ أَنْ يَبِيعَهُ عَلَى أَنْ يُعْطِيَهُ ثَمَنَهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ بَيْعُهُ لِأَنَّهُ لم يأذن له إلا على أن يعجله حقه قبل محله والبيع مفسوخ به وهو رهن بحاله (قال المزني) قلت أنا أشبه بقول الشافعي في هذا المعنى أن لا يفسخ الشرط البيع لأن عقد البيع لم يكن فيه شرط ألا ترى أن من قوله لو أمرت رجلا أن يبيع ثوبي على أن له عشر ثمنه فباعه أن البيع جائز يفسخه فساد الشرط في الثمن وكذا إذا باع الراهن بإذن المرتهن فلا يفسخه فساد الشرط في العقد (قال المزني) قلت أنا وينبغي إذا نفذ البيع على هذا أن يكون الثمن مكان الرهن أو يتقاصان “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika ia mengizinkannya untuk menjual barang itu dengan syarat ia memberikan harga barang tersebut kepadanya, maka ia tidak berhak menjualnya. Sebab, ia tidak mengizinkannya kecuali dengan syarat agar ia menyegerakan haknya sebelum jatuh tempo, dan jual beli itu batal karenanya, dan barang itu tetap menjadi rahn sebagaimana keadaannya.” (Al-Muzani berkata:) Aku berkata, yang lebih mirip dengan pendapat asy-Syafi‘i dalam makna ini adalah bahwa syarat tersebut tidak membatalkan jual beli, karena akad jual beli itu sendiri tidak mengandung syarat. Bukankah engkau melihat bahwa menurut pendapat beliau, jika seseorang memerintahkan orang lain untuk menjual pakaiannya dengan syarat ia mendapat sepersepuluh dari harganya, lalu ia menjualnya, maka jual belinya sah, dan kerusakan syarat hanya membatalkan bagian harga saja. Demikian pula jika orang yang menggadaikan menjual barang gadai dengan izin penerima gadai, maka kerusakan syarat dalam akad tidak membatalkan jual belinya. (Al-Muzani berkata:) Aku berkata, dan seharusnya jika jual beli itu tetap berlaku, maka harga barang menjadi pengganti rahn, atau keduanya saling mengurangi (dikompensasikan).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ لِهَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مُقَدِّمَةً يُبْنَى الْجَوَابُ عَلَيْهَا.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa permasalahan ini memiliki pengantar yang menjadi dasar jawaban atasnya.

وَصُورَتُهَا: فِي رَهْنٍ أَذِنَ الْمُرْتَهِنُ لِلرَّاهِنِ فِي بَيْعِهِ عَلَى أَنْ يَكُونَ ثَمَنُهُ رَهْنًا مَكَانَهُ، فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Gambaran permasalahannya: Pada kasus rahn (gadai) di mana penerima gadai mengizinkan penggadai untuk menjual barang gadai dengan syarat bahwa harga jualnya menjadi rahn pengganti barang tersebut, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْإِمْلَاءِ: أَنَّ هَذَا الْإِذْنَ صَحِيحٌ، فَإِذَا بِيعَ الرَّهْنُ كَانَ الْبَيْعُ صَحِيحًا، وَلَمْ يَبْطُلِ الرَّهْنُ، وَكَانَ الثَّمَنُ رَهْنًا مَكَانَهُ لِأَنَّ نَقْلَ عَيْنِ الرَّهْنِ إِلَى بَدَلٍ يَكُونُ مَكَانُهُ لَا يَقْتَضِي فَسَادَ الرَّهْنِ، كَمَا لَوْ أَتْلَفَ الرَّهْنَ مُتْلِفٌ فَأُغْرِمَ الْقِيمَةَ لَمْ يَفْسَدِ الرَّهْنُ وَكَانَتِ الْقِيمَةُ رَهْنًا مَكَانَهُ. كَذَلِكَ إِذَا بَاعَهُ عَلَى شَرْطِ أَنْ يَكُونَ الثَّمَنُ رَهْنًا مَكَانَهُ.

Salah satunya, yaitu pendapat beliau dalam kitab al-Imla’: bahwa izin tersebut sah, sehingga jika barang gadai dijual, maka jual belinya sah, rahn tidak batal, dan harga jual menjadi rahn pengganti barang tersebut. Karena memindahkan barang gadai kepada pengganti yang menempati posisinya tidak menyebabkan rusaknya rahn, sebagaimana jika barang gadai dirusak seseorang lalu ia mengganti nilainya, maka rahn tidak batal dan nilai pengganti menjadi rahn sebagai gantinya. Demikian pula jika barang itu dijual dengan syarat harga jualnya menjadi rahn pengganti barang tersebut.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ الْأُمِّ وَهُوَ الصَّحِيحُ: أَنَّ هَذَا الْإِذْنَ فَاسِدٌ، وَالْبَيْعَ فَاسِدٌ، وَيَكُونُ الرَّهْنُ بِحَالِهِ؛ لِأَنَّ هَذَا الْإِذْنَ يَقْتَضِي ارْتِهَانَ الثَّمَنِ، وَالثَّمَنُ الَّذِي يُحَصَّلُ فِيهِ مَجْهُولٌ، وَارْتِهَانُ الْمَجْهُولِ بَاطِلٌ، وَإِذَا بَطَلَ الشَّرْطُ بَطَلَ الْإِذْنُ وَإِذَا بَطَلَ الْإِذْنُ بَطَلَ الْبَيْعُ وَكَانَ الرَّهْنُ بِحَالِهِ.

Pendapat kedua, yang dinyatakan secara tegas dalam kitab al-Umm dan inilah yang benar: bahwa izin tersebut batal, jual belinya batal, dan rahn tetap sebagaimana keadaannya. Karena izin tersebut mengharuskan harga jual menjadi rahn, sedangkan harga jual yang akan diperoleh masih tidak diketahui, dan menjadikan sesuatu yang tidak diketahui sebagai rahn adalah batal. Jika syaratnya batal, maka izinnya juga batal, dan jika izinnya batal, maka jual belinya juga batal, dan rahn tetap sebagaimana keadaannya.

فَأَمَّا إِذَا رَهَنَهُ بِهَذَا الشَّرْطِ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: قَدْ رَهَنْتُكَ عَبْدِي هَذَا عَلَى أَنْ يُبَاعَ وَيَكُونَ ثَمَنُهُ رَهْنًا مَكَانَهُ، فَهَذَا رَهْنٌ بَاطِلٌ قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّهُ لَمْ يَجْعَلْهُ رَهْنًا مُسْتَقِرًّا فَكَانَ بَاطِلًا.

Adapun jika ia menggadaikan barang dengan syarat seperti ini, yaitu dengan mengatakan: “Aku menggadaikan budakku ini kepadamu dengan syarat ia akan dijual dan harga jualnya menjadi rahn pengganti barang tersebut,” maka ini adalah rahn yang batal menurut satu pendapat, karena ia tidak menjadikannya sebagai rahn yang tetap, sehingga menjadi batal.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَابُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ فَصُورَةُ مَسْأَلَةِ الْكِتَابِ: أَنْ يأذن المرتهن للراهن في بيع الرهن عَلَى أَنْ يُعَجِّلَ الثَّمَنَ قِصَاصًا مِنْ حَقِّهِ الْمُؤَجَّلِ.

Jika telah tetap jawaban atas permasalahan sebelumnya, maka gambaran permasalahan dalam kitab ini adalah: bahwa penerima gadai mengizinkan penggadai untuk menjual barang gadai dengan syarat harga jualnya disegerakan sebagai kompensasi dari haknya yang masih ditangguhkan.

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ الْإِذْنُ فَاسِدٌ وَالْبَيْعُ مَفْسُوخٌ. وَنَصَّ فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى عَلَى قَوْلَيْنِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا:

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Izin tersebut batal dan jual belinya juga batal. Dan beliau menegaskan dalam permasalahan pertama terdapat dua pendapat, sehingga para ulama kami pun berbeda pendapat:

فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ يُخَرِّجُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالْمَسْأَلَةِ الْأُولَى أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: أَنَّ الْإِذْنَ فَاسِدٌ، وَالْبَيْعَ مَفْسُوخٌ، وَالرَّهْنَ بِحَالِهِ.

Abu Ishaq al-Marwazi mengeluarkan permasalahan ini atas dua pendapat sebagaimana permasalahan pertama. Salah satu dari dua pendapat: bahwa izin tersebut batal, jual belinya batal, dan rahn tetap sebagaimana keadaannya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْإِذْنَ صَحِيحٌ وَالْبَيْعَ مَاضٍ وَالشَّرْطَ مَفْسُوخٌ وَيَكُونُ الثَّمَنُ رَهْنًا مَكَانَهُ وَلَا يَلْزَمُهُ تَعْجِيلُهُ.

Pendapat kedua: bahwa izin tersebut sah, jual belinya tetap berlaku, syaratnya batal, dan harga jual menjadi rahn pengganti barang tersebut, serta tidak wajib baginya untuk menyegerakannya.

وَقَالَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا مِنَ الْبَغْدَادِيِّينَ وَكَثِيرٌ مِنْ غَيْرِهِمْ: إِنَّ الْإِذْنَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فَاسِدٌ، وَالْبَيْعَ مَفْسُوخٌ قَوْلًا وَاحِدًا.

Adapun mayoritas ulama kami dari kalangan Baghdadiyyin dan banyak selain mereka berpendapat: bahwa izin dalam permasalahan ini batal, dan jual belinya juga batal menurut satu pendapat.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَالْمَسْأَلَةِ الْأُولَى:

Perbedaan antara permasalahan ini dan permasalahan pertama:

أَنَّهُ لَمَّا صَحَّ الشَّرْطُ فِي تِلْكَ الْمَسْأَلَةِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الثَّمَنُ رَهْنًا مَكَانَهُ صَحَّ الْإِذْنُ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ أَيْضًا. وَلَمَّا فَسَدَ الشَّرْطُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ قَوْلًا وَاحِدًا وَهُوَ تَعْجِيلُ الثَّمَنِ مِنْ حَقِّهِ قَبْلَ مَحَلِّهِ فَسَدَ الْبَيْعُ وَالْإِذْنُ قَوْلًا وَاحِدًا فَوَضَحَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا.

Bahwa ketika syarat pada permasalahan pertama sah menurut salah satu pendapat, yaitu harga jual menjadi rahn pengganti barang tersebut, maka izinnya juga sah menurut salah satu pendapat. Namun ketika syarat pada permasalahan ini batal menurut satu pendapat, yaitu menyegerakan harga jual sebagai pelunasan hak sebelum jatuh tempo, maka jual beli dan izinnya juga batal menurut satu pendapat. Maka jelaslah perbedaan antara keduanya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ ذَهَبَ إِلَى صِحَّةِ الْإِذْنِ وَجَوَازِ الْبَيْعِ وَفَسَادِ الشَّرْطِ فَقَالَ: الْبَيْعُ صَحِيحٌ، وَالشَّرْطُ فِي تَعْجِيلِ الثَّمَنِ فَاسِدٌ وَيَكُونُ الثمن رهنا مكانه أَوْ قِصَاصًا لِمَا مَضَى مِنْ أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ وَهُوَ مَذْهَبُ أبي حنيفة اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الشَّرْطَ فِي الْإِذْنِ لَيْسَ بِشَرْطٍ فِي الْبَيْعِ فَصَحَّ الْبَيْعُ بِخُلُوِّهِ مِنَ الشَّرْطِ وَإِنْ كَانَ فِي الْإِذْنِ شَرْطٌ كَمَا لَوْ قَالَ الرَّجُلُ لِوَكِيلِهِ: بِعْ ثَوْبِي عَلَى أَنَّ لَكَ عُشْرَ ثَمَنِهِ فَبَاعَهُ الْوَكِيلُ كَانَ الْبَيْعُ جَائِزًا، وَإِنْ كَانَ الشَّرْطُ فَاسِدًا. كَذَلِكَ الْمُرْتَهِنُ إِذَا أَذِنَ لَهُ فِي بَيْعِهِ عَلَى أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ ثَمَنَهُ كَانَ الْبَيْعُ جَائِزًا وَإِنْ كَانَ الشَّرْطُ فَاسِدًا.

Adapun al-Muzani, ia berpendapat bahwa izin tersebut sah, jual belinya boleh, dan syaratnya rusak. Ia berkata: Jual belinya sah, syarat untuk percepatan pembayaran harga adalah syarat yang rusak, dan harga tersebut menjadi rahn (jaminan) sebagai gantinya atau sebagai qishāsh (pengganti) atas yang telah lalu menurut salah satu dari dua pendapat, dan ini adalah mazhab Abu Hanifah. Ia berdalil bahwa syarat dalam izin bukanlah syarat dalam jual beli, sehingga jual beli menjadi sah karena bebas dari syarat, meskipun dalam izinnya terdapat syarat. Sebagaimana jika seseorang berkata kepada wakilnya: “Juallah kainku dengan syarat engkau mendapat sepersepuluh dari harganya,” lalu wakil tersebut menjualnya, maka jual belinya boleh meskipun syaratnya rusak. Demikian pula, jika murtahin (penerima rahn) mengizinkan untuk menjualnya dengan syarat harga diserahkan lebih awal kepadanya, maka jual belinya boleh meskipun syaratnya rusak.

وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ الْمُزَنِيُّ لَيْسَ بِصَحِيحٍ. وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Apa yang dikatakan oleh al-Muzani ini tidaklah benar. Perbedaannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الشَّرْطَ فِي الْوِكَالَةِ كَانَ فِي الْأُجْرَةِ دُونَ الْإِذْنِ فَصَحَّ الْبَيْعُ لِصِحَّةِ الْإِذْنِ، وَفَسَدَتِ الْأُجْرَةُ لِأَجْلِ الشَّرْطِ وَكَانَ لِلْوَكِيلِ أُجْرَةٌ مِثْلُهُ. وَالشَّرْطُ فِي مَسْأَلَتِنَا فِي الْإِذْنِ، فَلِذَلِكَ فَسَدَ مِنْ أَجْلِهِ الْبَيْعُ؛ لأن صحة البيع لصحة الإذن.

Pertama: Syarat dalam wakalah (perwakilan) itu terkait dengan upah, bukan dengan izin, sehingga jual belinya sah karena izinnya sah, dan upahnya rusak karena adanya syarat, dan bagi wakil berhak mendapat upah yang sepadan. Sedangkan syarat dalam permasalahan kita ini ada pada izinnya, sehingga jual belinya rusak karena syarat tersebut; sebab sahnya jual beli bergantung pada sahnya izin.

والوجه الثَّانِي: أَنَّ الشَّرْطَ فِي الْوِكَالَةِ إِنْ لَمْ يَكُنِ الْوَفَاءُ بِهِ وَهُوَ عُشْرُ الثَّمَنِ، أَمْكَنَ الْوَفَاءُ بِمَا قَامَ مَقَامَهُ وَهُوَ أُجْرَةُ الْمِثْلِ فَصَارَ الشَّرْطُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَازِمًا قَبُولُهُ لازم فصح البيع.

Kedua: Syarat dalam wakalah, jika tidak terpenuhi yaitu sepersepuluh dari harga, masih memungkinkan untuk diganti dengan yang sepadan, yaitu upah yang sepadan, sehingga syarat tersebut meskipun tidak wajib diterima, tetap dianggap wajib, maka jual belinya sah.

ولما كَانَ فِي مَسْأَلَتِنَا لَا يَصِحُّ الشَّرْطُ فِي تَعْجِيلِ الْحَقِّ، وَلَيْسَ لَهُ بَدَلٌ يَقُومُ مَقَامَهُ فَبَطَلَ الشَّرْطُ فَكَذَلِكَ بَطَلَ الْبَيْعُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Sedangkan dalam permasalahan kita, syarat untuk mempercepat pembayaran hak tidak sah, dan tidak ada pengganti yang dapat menggantikannya, maka syarat itu batal, demikian pula jual belinya batal. Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فلو كان الرهن بحق حال فأذن فباع وَلَمْ يَشْتَرِطْ شَيْئًا كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يُعْطِيَهُ ثَمَنَهُ لِأَنَّهُ وَجَبَ لَهُ بَيْعُهُ وَأَخْذُ حَقِّهِ مِنْ ثَمَنِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika rahn itu atas hak yang telah jatuh tempo, lalu diizinkan untuk dijual tanpa mensyaratkan apa pun, maka wajib baginya untuk menyerahkan harganya, karena memang wajib baginya menjualnya dan mengambil haknya dari harga tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.

إِذَا كَانَ الرَّهْنُ فِي حَقٍّ حَالٍّ، أَوْ فِي مُؤَجَّلٍ مُحَلٍّ، ثُمَّ إِنَّ الْمُرْتَهِنَ أَذِنَ لِلرَّاهِنِ فِي الْبَيْعِ فَبَاعَهُ صَحَّ الْبَيْعُ وَنَفَذَ وَلَزِمَ دَفْعُ الثَّمَنِ إِلَى الْمُرْتَهِنِ لِيَكُونَ مَصْرُوفًا فِي دَيْنِهِ.

Jika rahn itu atas hak yang telah jatuh tempo, atau atas hak yang ditangguhkan lalu telah jatuh tempo, kemudian murtahin mengizinkan rahin (pemberi rahn) untuk menjualnya, lalu ia menjualnya, maka jual belinya sah, berlaku, dan wajib menyerahkan harga kepada murtahin agar digunakan untuk membayar utangnya.

فَإِنْ كَانَ حَقُّهُ بِقَدْرِ ثَمَنِهِ أَوْ أَكْثَرَ أَخَذَ جَمِيعَهُ. وَإِنْ كَانَ حَقُّهُ أَقَلَّ مِنْ ثَمَنِهِ أَخَذَ مِنْهُ قَدْرَ حَقِّهِ. وَكَانَ الْبَاقِي رَاجِعًا عَلَى الرَّاهِنِ.

Jika haknya sebesar atau lebih dari harga barang, maka ia mengambil seluruhnya. Jika haknya kurang dari harga barang, maka ia mengambil sesuai haknya, dan sisanya dikembalikan kepada rahin.

وَإِنَّمَا جَازَ بَيْعُ الرَّاهِنِ وَلَزِمَهُ دَفْعُ ثَمَنِهِ إِلَى الْمُرْتَهِنِ وَإِنْ لَمْ يَلْزَمْهُ دَفْعُ ثَمَنِهِ قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ الْحَقُّ إِلَى الْمُرْتَهِنِ لِأَمْرَيْنِ:

Diperbolehkannya rahin menjual barang dan wajib menyerahkan harganya kepada murtahin, meskipun tidak wajib menyerahkan harga sebelum hak itu jatuh tempo kepada murtahin, karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مِنْ حُكْمِ الرَّهْنِ أَنَّهُ وَثِيقَةٌ فِي الْحَقِّ لِيُبَاعَ عِنْدَ مَحَلِّهِ وَيَكُونُ مَصْرُوفًا فِيهِ.

Pertama: Bahwa di antara hukum rahn adalah sebagai jaminan atas hak, agar dapat dijual ketika jatuh tempo dan hasilnya digunakan untuk membayar utang.

فَإِذَا بِيعَ عِنْدَ مَحَلِّهِ، لَزِمَ دَفْعُ ثَمَنِهِ فِي الْحَقِّ اعْتِبَارًا بِحُكْمِهِ وَمُوجِبِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ قَبْلَ مَحَلِّهِ.

Maka ketika dijual pada saat jatuh tempo, wajib menyerahkan harganya untuk membayar utang, sesuai dengan hukumnya dan konsekuensinya, dan tidak demikian sebelum jatuh tempo.

وَالثَّانِي: أَنَّ بَيْعَ الرَّهْنِ عِنْدَ مَحَلِّ الْحَقِّ مِنْ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِدَلِيلِ أَنَّ الرَّاهِنَ لَوِ امْتَنَعَ مِنْ بَيْعِهِ أُجْبِرَ عَلَيْهِ، وَإِذَا كَانَ بَيْعُهُ مِنْ حَقِّهِ صُرِفَ فِي حَقِّهِ وَبِيعَ الرَّهْنُ قَبْلَ مَحَلِّ الْحَقِّ مِنْ حَقِّ الرَّاهِنِ بِدَلِيلِ أَنَّ الرَّاهِنَ لَوِ امْتَنَعَ مِنْ بَيْعِهِ لَمْ يُجْبَرْ عَلَيْهِ وَإِذَا كَانَ بَيْعُهُ من حقه صرف في حقه.

Kedua: Bahwa penjualan rahn pada saat jatuh tempo merupakan hak murtahin, dengan dalil bahwa jika rahin menolak menjualnya, maka ia dipaksa untuk menjualnya. Jika penjualannya merupakan hak murtahin, maka hasilnya digunakan untuk membayar utangnya. Sedangkan penjualan rahn sebelum jatuh tempo merupakan hak rahin, dengan dalil bahwa jika rahin menolak menjualnya, ia tidak dipaksa, dan jika penjualannya merupakan haknya, maka hasilnya digunakan untuk kepentingannya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ بَيْعِهِ وَوُجُوبُ صَرْفِ ثَمَنِهِ إِلَى الْمُرْتَهِنِ، فَسَوَاءٌ شَرَطَ الْمُرْتَهِنُ ذَلِكَ أَمْ لَا، لِأَنَّ إِطْلَاقَ الْإِذْنِ يَقْتَضِيهِ فَكَانَ الشَّرْطُ تَأْكِيدًا مِنْهُ.

Jika telah tetap bolehnya menjual rahn dan wajib menyerahkan harganya kepada murtahin, maka baik murtahin mensyaratkan hal itu atau tidak, hukumnya sama saja, karena izin yang diberikan secara mutlak sudah mencakup hal tersebut, sehingga syarat itu hanya sebagai penegasan saja.

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ اعْتُبِرَ فِي بَيْعِ الرَّاهِنِ ثَلَاثَةُ شُرُوطٍ، شَرْطَانِ مِنْهَا فِي صِحَّةِ الْبَيْعِ وَشَرْطٌ فِي سُقُوطِ الضَّمَانِ.

Jika demikian, maka dalam penjualan oleh rahin terdapat tiga syarat: dua syarat terkait sahnya jual beli, dan satu syarat terkait gugurnya tanggungan (jaminan).

فَأَمَّا الشَّرْطَانِ فِي صِحَّةِ الْبَيْعِ.

Adapun dua syarat terkait sahnya jual beli.

فَأَحَدُهُمَا: بَيْعُهُ بِثَمَنِ الْمِثْلِ مِنْ غَيْرِ نَقْصٍ لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ.

Salah satunya: menjualnya dengan harga yang setara tanpa pengurangan, yaitu harga yang tidak membuat orang-orang saling menipu dalam transaksi serupa.

وَالثَّانِي: بَيْعُهُ بِثَمَنٍ عَاجِلٍ غَيْرِ آجِلٍ وَأَنَّ بَيْعَهُ لِقَضَاءِ الدَّيْنِ، فَلَا مَعْنَى لِبَيْعِهِ بِالدَّيْنِ.

Dan yang kedua: menjualnya dengan harga tunai, bukan harga tangguh, serta bahwa penjualannya itu untuk melunasi utang, maka tidak ada makna menjualnya secara utang.

فَإِنْ بَاعَهُ بِنَقْصٍ فِي الثَّمَنِ لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ أَوْ بَاعَهُ بِثَمَنٍ آجِلٍ غَيْرِ عَاجِلٍ كَانَ بَيْعُهُ بَاطِلًا، إِلَّا أَنْ يَكُونَ بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ، فَيَصِحُّ لِأَنَّهُ حَقٌّ لَهُمَا.

Jika ia menjualnya dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar yang tidak biasa orang-orang saling menipu dengannya, atau menjualnya dengan harga tangguh bukan tunai, maka penjualannya batal, kecuali jika dengan izin dari murtahin, maka penjualannya sah karena itu adalah hak bagi keduanya.

وَأَمَّا الشَّرْطُ الثَّالِثُ فِي سُقُوطِ الضَّمَانِ: فَهُوَ أَلَّا يُسَلِّمَ السِّلْعَةَ إِلَى الْمُشْتَرِي إِلَّا بَعْدَ قَبْضِ الثَّمَنِ. فَإِنْ سَلَّمَهَا إِلَيْهِ قَبْلَ قَبْضِ الثَّمَنِ كَانَ الْبَيْعُ مَاضِيًا وَكَانَ لِلثَّمَنِ ضَامِنًا.

Adapun syarat ketiga dalam gugurnya tanggungan: yaitu tidak menyerahkan barang kepada pembeli kecuali setelah menerima pembayaran. Jika ia menyerahkannya sebelum menerima pembayaran, maka jual belinya tetap sah dan ia tetap bertanggung jawab atas harga tersebut.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي شَرْطٍ رَابِعٍ وَهُوَ إِطْلَاقُ بَيْعِهِ مِنْ غَيْرِ اشْتِرَاطِ خِيَارِ الثَّلَاثِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Para ulama kami berbeda pendapat tentang syarat keempat, yaitu membebaskan penjualannya tanpa mensyaratkan khiyār selama tiga hari, dengan dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ ذَلِكَ شَرْطٌ ثَالِثٌ فِي صِحَّةِ الْعَقْدِ، فَإِنْ بَاعَهُ بِخِيَارِ الثَّلَاثِ كَانَ بَيْعُهُ بَاطِلًا، لِأَنَّ الْخِيَارَ يَمْنَعُ مِنَ اسْتِقْرَارِ الْعَقْدِ وَتَمْلِيكُ الثَّمَنِ مُخَالِفٌ مُوجِبُ الْإِذْنِ.

Salah satunya: bahwa hal itu merupakan syarat ketiga dalam keabsahan akad. Jika ia menjualnya dengan khiyār selama tiga hari, maka penjualannya batal, karena khiyār mencegah tetapnya akad dan pengalihan kepemilikan harga bertentangan dengan maksud izin.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ أَصَحُّ: أَنَّهُ لَيْسَ بِشَرْطٍ فِي صِحَّةِ الْعَقْدِ لِلْبَيْعِ جَائِزٌ، لِأَنَّ الْخِيَارَ زِيَادَةٌ يُمْكِنُ اسْتِدْرَاكُ الْفَائِتِ بِهَا.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih: bahwa itu bukan syarat dalam keabsahan akad, sehingga penjualannya tetap sah, karena khiyār adalah tambahan yang memungkinkan untuk mengantisipasi kekurangan dengannya.

فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الشُّرُوطِ فَهِيَ مُعْتَبَرَةٌ فِي بَيْعِ الرَّاهِنِ إِذَا كَانَ الْحَقُّ حَالًّا. فَأَمَّا إِنْ كَانَ الْحَقُّ مُؤَجَّلًا فَلَيْسَتْ هَذِهِ الشُّرُوطُ مُعْتَبَرَةً فِي بَيْعِهِ وَكَيْفَمَا بَاعَهُ بِثَمَنٍ زَائِدٍ أَوْ نَاقِصٍ حَالٍّ أَوْ مُؤَجَّلٍ جَازَ. وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا:

Jika telah tetap apa yang kami sebutkan dari syarat-syarat tersebut, maka syarat-syarat itu dianggap dalam penjualan rahin jika haknya telah jatuh tempo. Adapun jika haknya masih ditangguhkan, maka syarat-syarat ini tidak dianggap dalam penjualannya, dan bagaimanapun ia menjualnya, baik dengan harga lebih tinggi atau lebih rendah, tunai atau tangguh, maka itu dibolehkan. Perbedaannya antara keduanya:

أَنَّهُ قَبْلَ مَحَلِّ الْحَقِّ يَبِيعُ الرَّهْنَ فِي حَقِّ نَفْسِهِ فَصَارَ كَبَيْعِهِ سَائِرَ أَمْلَاكِهِ الَّتِي لَا يُعْتَرَضُ عَلَيْهِ فِي زِيَادَةِ ثَمَنِهَا أَوْ نُقْصَانِهِ وَلَا فِي حُلُولِهِ أَوْ تَأْجِيلِهِ. وَبَعْدَ مَحَلِّ الْحَقِّ يَبِيعُ الرَّهْنَ فِي حَقِّ غَيْرِهِ وَهُوَ الْمُرْتَهِنُ فَصَارَ كَالْوَكِيلِ، فَاعْتُبِرَ فِيهِ الشُّرُوطُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي الْوَكِيلِ.

Bahwa sebelum jatuh tempo hak, ia menjual barang gadai itu untuk kepentingan dirinya sendiri, sehingga seperti menjual harta miliknya yang lain yang tidak dipermasalahkan dalam hal kenaikan atau penurunan harganya, ataupun dalam hal tunai atau tangguhnya. Setelah jatuh tempo hak, ia menjual barang gadai itu untuk kepentingan orang lain, yaitu murtahin, sehingga ia seperti wakil, maka syarat-syarat yang berlaku pada wakil juga berlaku padanya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا رَهَنَهُ عَبْدًا فِي حَقٍّ بَعْضُهُ حَالٌّ وَبَعْضُهُ مُؤَجَّلٌ، ثُمَّ أَذِنَ لَهُ الْمُرْتَهِنُ فِي بَيْعِهِ، فَبَاعَهُ الرَّاهِنُ فَلِلْمُرْتَهِنِ مِنْ ثَمَنِهِ مَا قَابَلَ حَقَّهُ الْحَالَّ وَلِلرَّاهِنِ مَا قَابَلَ الْمُؤَجَّلَ.

Jika ia menggadaikan seorang budak untuk suatu hak, sebagian hak itu telah jatuh tempo dan sebagian lagi masih ditangguhkan, kemudian murtahin mengizinkannya untuk menjualnya, lalu rahin menjualnya, maka bagian dari harga yang sebanding dengan hak yang telah jatuh tempo menjadi milik murtahin, dan bagian yang sebanding dengan hak yang masih ditangguhkan menjadi milik rahin.

فَإِنْ كَانَ الرَّاهِنُ بَاعَ الْعَبْدَ فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ اعْتُبِرَ فِي صِحَّةِ بَيْعِهِ الشُّرُوطُ الْمُتَقَدِّمَةُ لِأَنَّهُ عَقْدٌ وَاحِدٌ لَزِمَ اعْتِبَارُهَا فِي بَعْضِهِ فَغَلَبَ حُكْمُهَا فِي جَمِيعِهِ إِلَّا مَا أَمْكَنَ تَبْعِيضُهُ مِنْهَا.

Jika rahin menjual budak itu dalam satu akad, maka keabsahan penjualannya harus memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan sebelumnya, karena itu adalah satu akad yang mengharuskan syarat-syarat itu dipenuhi pada sebagian bagiannya, sehingga ketentuan syarat itu berlaku pada seluruhnya, kecuali pada bagian yang memungkinkan untuk dipisahkan.

فَإِنْ بَاعَهُ فِي عَقْدَيْنِ جَازَ لِأَنَّهُ مَبِيعٌ فِي حَقَّيْنِ:

Jika ia menjualnya dalam dua akad, maka itu dibolehkan karena barang yang dijual itu terkait dengan dua hak:

أَحَدُهُمَا: لِلْمُرْتَهِنِ. وَهُوَ مَا قَابَلَ الْحَالَ. وَاعْتِبَارُ الشُّرُوطِ فِيهِ وَاجِبَةٌ.

Salah satunya: untuk murtahin, yaitu bagian yang sebanding dengan hak yang telah jatuh tempo, dan syarat-syarat padanya wajib dipenuhi.

وَالثَّانِي: لِلرَّاهِنِ. وَهُوَ مَا قَابَلَ الْمُؤَجَّلَ وَاعْتِبَارُ الشُّرُوطِ فِيهِ غَيْرُ وَاجِبَةٍ.

Dan yang kedua: untuk rahin, yaitu bagian yang sebanding dengan hak yang masih ditangguhkan, dan syarat-syarat padanya tidak wajib dipenuhi.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَلَوْ أَذِنَ الْمُرْتَهِنُ لِلرَّاهِنِ فِي بَيْعِ الرَّهْنِ ثُمَّ اخْتَلَفَا فِي الْحَقِّ فَقَالَ الْمُرْتَهِنُ هُوَ حَالٌّ فَالثَّمَنُ لِي قِصَاصًا مِنْ حَقِّي. وَقَالَ الرَّاهِنُ: هُوَ مُؤَجَّلٌ فَالثَّمَنُ لِي وَقَدْ بَطَلَ الرَّهْنُ بِبَيْعِي. فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ مَعَ يَمِينِهِ، لِأَنَّهُ مُنْكِرٌ حُلُولَ حَقٍّ يَدَّعِيهِ الْمُرْتَهِنُ، فَكَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ لِإِنْكَارِهِ.

Jika murtahin mengizinkan rahin untuk menjual barang gadai, lalu mereka berselisih tentang hak, murtahin berkata, “Hak itu telah jatuh tempo, maka harga itu milikku sebagai pengganti hakku.” Sedangkan rahin berkata, “Hak itu masih ditangguhkan, maka harga itu milikku dan gadai telah batal dengan penjualanku.” Maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan rahin dengan sumpahnya, karena ia mengingkari jatuh temponya hak yang diklaim oleh murtahin, sehingga ucapannya yang dipegang karena pengingkarannya.

فَإِذَا حَلَفَ كَانَ أَوْلَى بِالثَّمَنِ وَلَا تُعْتَبَرُ فِي بَيْعِهِ الشُّرُوطُ الْمَاضِيَةُ لِأَنَّهُ يَبِيعُهُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ.

Jika ia telah bersumpah, maka ia lebih berhak atas harga tersebut dan syarat-syarat yang telah lalu tidak dianggap dalam penjualannya, karena ia menjualnya untuk kepentingan dirinya sendiri.

وَإِنْ نَكَلَ فَحَلَفَ الْمُرْتَهِنُ كَانَ الْمُرْتَهِنُ أَحَقَّ بِالثَّمَنِ وَاعْتُبِرَ فِي بَيْعِهِ الشُّرُوطُ الْمَاضِيَةُ لِأَنَّهُ يَصِيرُ بَائِعًا لَهُ فِي حَقِّ غَيْرِهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُفَرِّقَ الصَّفْقَةَ فِي بَيْعِهِ لِأَنَّهُ مَبِيعٌ فِي حَقٍّ وَاحِدٍ.

Jika pihak yang mengingkari bersumpah, lalu pihak pemegang gadai (murtahin) bersumpah, maka pemegang gadai lebih berhak atas harga (barang yang dijual), dan dalam penjualannya berlaku syarat-syarat yang telah lalu, karena ia menjadi penjual atas nama orang lain. Tidak boleh memisahkan akad dalam penjualannya, karena barang tersebut dijual untuk satu hak.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَلَوْ رَهَنَهُ عَبْدَيْنِ أَحَدُهُمَا فِي حَقٍّ حَالٍّ، وَالْآخَرُ فِي مُؤَجَّلٍ وَأَذِنَ لَهُ فِي بَيْعِ أَحَدِهِمَا، ثُمَّ اخْتَلَفَا بَعْدَ الْبَيْعِ، فَقَالَ الْمُرْتَهِنُ: أَذِنْتُ لَكَ فِي بَيْعِ الْحَالِّ، وَقَالَ الرَّاهِنُ: أَذِنْتَ لِي فِي بَيْعِ الْمُؤَجَّلِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika seseorang menggadaikan dua budak, salah satunya untuk hak yang sudah jatuh tempo, dan yang lainnya untuk hak yang masih ditangguhkan, lalu ia mengizinkan (pemegang gadai) untuk menjual salah satunya, kemudian mereka berselisih setelah penjualan, pemegang gadai berkata: “Aku mengizinkanmu menjual yang sudah jatuh tempo,” sedangkan penggadai berkata: “Engkau mengizinkanku menjual yang masih ditangguhkan,” maka permasalahan ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى الْعَبْدِ الْمَرْهُونِ فِي الْحَالِ أَنَّهُ سَالِمٌ وَعَلَى الْعَبْدِ الْمَرْهُونِ في الْمُؤَجَّلِ أَنَّهُ غَانِمٌ وَيَخْتَلِفَا، هَلْ أَذِنَ الْمُرْتَهِنُ فِي بَيْعِ سَالِمِ الْمَرْهُونِ فِي الْحَالِّ أَوْ فِي بَيْعِ غَانِمِ الْمَرْهُونِ فِي الْمُؤَجَّلِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّهُ يُنْكِرُ إِذْنًا يَدَّعِيهِ الرَّاهِنُ، وَيَكُونُ الْبَيْعُ بَاطِلًا، لِأَنَّ الرَّاهِنَ يَصِيرُ بَائِعًا لِرَهْنٍ لَمْ يُؤْذَنْ فِيهِ. وَيَجُوزُ أَنْ يَسْتَأْنِفَ بَيْعَ سَالِمِ الْمَرْهُونِ فِي الْحَالِّ، لِأَنَّ الْمُرْتَهِنَ مُعْتَرِفٌ بِحُصُولِ الْإِذْنِ فِيهِ.

Pertama: Keduanya sepakat bahwa budak yang digadaikan untuk hak yang sudah jatuh tempo adalah Salim, dan budak yang digadaikan untuk hak yang masih ditangguhkan adalah Ghanim, lalu mereka berselisih apakah pemegang gadai mengizinkan penjualan Salim (yang digadaikan untuk hak yang sudah jatuh tempo) atau penjualan Ghanim (yang digadaikan untuk hak yang masih ditangguhkan). Maka, pendapat yang dipegang adalah pendapat pemegang gadai dengan sumpahnya, karena ia mengingkari izin yang diklaim oleh penggadai, dan penjualannya menjadi batal, karena penggadai menjadi penjual atas barang gadai yang tidak diizinkan. Namun boleh memulai kembali penjualan Salim (yang digadaikan untuk hak yang sudah jatuh tempo), karena pemegang gadai mengakui adanya izin untuk itu.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى أَنَّ الْمُرْتَهِنَ أَذِنَ فِي بَيْعِ سَالِمٍ دُونَ غَانِمٍ وَيَخْتَلِفَا هَلْ غَانِمٌ مَرْهُونٌ فِي الْحَالِّ أَوْ فِي الْمُؤَجَّلِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّهُ اخْتِلَافٌ فِي أَصْلِ الْحَقِّ الَّذِي عَلَيْهِ، فَصَارَ مُنْكِرًا لِحُلُولِ حَقٍّ يَدَّعِيهِ الْمُرْتَهِنُ فَكَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ لِإِنْكَارِهِ. فَإِذَا حَلَفَ صَحَّ بَيْعُهُ، وَلَا تُعْتَبَرُ فِيهِ الشُّرُوطُ الْمُتَقَدِّمَةُ لِأَنَّهُ يَبِيعُهُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَبِيعَ الْعَبْدَ الْآخَرَ الْمَرْهُونَ فِي الْحَالِّ إِلَّا بِإِذْنِ مستأنف، لِأَنَّ الْإِذْنَ الْأَوَّلَ إِنَّمَا كَانَ فِي بَيْعِ غيره وقد بيع (والله أعلم) .

Kedua: Keduanya sepakat bahwa pemegang gadai mengizinkan penjualan Salim saja, bukan Ghanim, lalu mereka berselisih apakah Ghanim digadaikan untuk hak yang sudah jatuh tempo atau yang masih ditangguhkan. Maka, pendapat yang dipegang adalah pendapat penggadai dengan sumpahnya, karena ini adalah perselisihan dalam pokok hak yang ada padanya, sehingga ia menjadi pengingkar atas jatuh temponya hak yang diklaim oleh pemegang gadai, maka pendapatnya yang dipegang karena ia mengingkarinya. Jika ia bersumpah, maka penjualannya sah, dan tidak berlaku syarat-syarat sebelumnya karena ia menjualnya untuk hak dirinya sendiri. Tidak boleh menjual budak lain yang digadaikan untuk hak yang sudah jatuh tempo kecuali dengan izin baru, karena izin yang pertama hanya untuk penjualan selainnya dan telah dijual (Wallāhu a‘lam).

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ رَهَنَهُ أَرْضًا مِنْ أَرْضِ الْخَرَاجِ فَالرَّهْنُ مَفْسُوخٌ لِأَنَّهَا غَيْرُ مَمْلُوكَةٍ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menggadaikan tanah kharaj, maka gadai tersebut batal karena tanah itu bukan miliknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ أَرْضَ الْخَرَاجِ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa tanah kharaj terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ الْأَرْضُ لِلْمُشْرِكِينَ وَقَدْ صَالَحَهُمُ الْإِمَامُ عَنْهَا على خراج يضر به عَلَيْهَا. فَهَذَا الْخَرَاجُ فِي حُكْمِ الْجِزْيَةِ مَتَى أَسْلَمُوا سَقَطَ عَنْهُمْ، وَالْأَرْضُ فِي مِلْكِهِمْ قَبْلَ إِسْلَامِهِمْ وَبَعْدَهُ وَهَذِهِ يَجُوزُ بَيْعُهَا وَرَهْنُهَا وَلَمْ يُرِدِ الشَّافِعِيُّ هَذَا الضَّرْبَ مِنْهَا.

Pertama: Tanah milik kaum musyrik yang telah didamaikan oleh imam dengan mereka atas pembayaran kharaj yang memberatkan atas tanah tersebut. Kharaj ini hukumnya seperti jizyah, jika mereka masuk Islam maka kharaj tersebut gugur, dan tanah itu tetap menjadi milik mereka sebelum dan sesudah mereka masuk Islam. Tanah jenis ini boleh dijual dan digadaikan, dan inilah yang tidak dimaksudkan oleh Imam Syafi‘i.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَصِيرَ الْأَرْضُ لِلْمُسْلِمِينَ إِمَّا عَنْوَةً أَوْ صُلْحًا ثُمَّ يَقِفُهَا الْإِمَامُ وَيَضْرِبُ عَلَيْهَا خَرَاجًا فِي كُلِّ عَامٍ وَيُقِرُّهَا فِي يَدِ الْمُشْرِكِينَ أَوْ غَيْرِهِمْ. فَهَذِهِ أُجْرَةٌ لَا تَسْقُطُ عَنْهُمْ بِإِسْلَامِهِمْ وَالْأَرْضُ وَقْفٌ لَا يَجُوزُ بَيْعُهَا وَلَا رَهْنُهَا. وَهَذَا الضَّرْبُ هُوَ الَّذِي أَرَادَهُ الشَّافِعِيُّ مِنْهَا.

Kedua: Tanah yang menjadi milik kaum muslimin, baik melalui peperangan (‘anwah) maupun perjanjian (ṣulḥ), kemudian imam menjadikannya sebagai tanah wakaf dan menetapkan kharaj atasnya setiap tahun, serta membiarkannya di tangan kaum musyrik atau selain mereka. Kharaj ini adalah sewa yang tidak gugur dengan keislaman mereka, dan tanah tersebut adalah tanah wakaf yang tidak boleh dijual maupun digadaikan. Inilah jenis yang dimaksudkan oleh Imam Syafi‘i.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا أَرْضُ السَّوَادِ فَهِيَ مَا مُلِكَ مِنْ أَرْضِ كِسْرَى وَحْدَهُ طُولًا، مِنْ حديثة الْمَوْصِلِ إِلَى عَبَّادَانَ وَعَرْضًا: مِنْ عُذَيْبِ الْقَادِسِيَّةِ إِلَى حُلْوَانَ يَكُونُ مَبْلَغُ طُولِهِ مِائَةً وَسِتِّينَ فَرْسَخًا وَمَبْلَغُ عَرْضِهِ ثَمَانِينَ فَرْسَخًا.

Adapun tanah Sawad, yaitu tanah yang dimiliki dari wilayah Kisra saja secara memanjang, dari Haditsah al-Mawṣil hingga ‘Abbādān, dan secara melebar: dari ‘Udhaib al-Qādisiyyah hingga Ḥulwān, dengan panjang sekitar seratus enam puluh farsakh dan lebar sekitar delapan puluh farsakh.

فَهَذِهِ الْأَرْضُ مَلَكَهَا الْمُسْلِمُونَ فَاسْتَطَابَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْفُسَهُمْ عَنْهَا، وَسَأَلَهُمْ أَنْ يَتْرُكُوا حُقُوقَهُمْ مِنْهَا وَأَقَرَّهَا فِي أَيْدِي الْأَكَرَةِ وَالدَّهَاقِينِ وَضَرَبَ عَلَيْهِمْ خراجا يؤدونه في كل عام على جريب الْكَرْمِ وَالشَّجَرِ عَشَرَةَ دَرَاهِمَ، وَمِنِ النَّخْلِ ثَمَانِيَةَ دَرَاهِمَ، وَمِنْ قَصَبِ السُّكَّرِ سِتَّةَ دَرَاهِمَ وَمِنِ الرُّطَبَةِ خَمْسَةَ دَرَاهِمَ، وَمِنِ الْبُرِّ أَرْبَعَةَ دَرَاهِمَ، وَمِنِ الشَّعِيرِ دِرْهَمَيْنِ.

Maka tanah ini telah dimiliki oleh kaum Muslimin, lalu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu meminta kerelaan mereka atas tanah tersebut, dan beliau meminta mereka untuk melepaskan hak-hak mereka atasnya, kemudian menetapkannya di tangan para petani dan pemilik tanah, serta menetapkan atas mereka pembayaran kharāj yang harus mereka bayarkan setiap tahun: untuk setiap jarīb kebun anggur dan pohon-pohon sebesar sepuluh dirham, untuk pohon kurma delapan dirham, untuk tebu enam dirham, untuk rumput lima dirham, untuk gandum empat dirham, dan untuk jelai dua dirham.

فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي حُكْمِهَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Para ulama mazhab kami berbeda pendapat mengenai hukumnya menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ وَمَذْهَبُ الْبَصْرِيِّينَ، أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَقَفَهَا عَلَى جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ وَجَعَلَ الْخَرَاجَ الَّذِي ضَرَبَهُ عَلَيْهَا أُجْرَةً تُؤَدَّى فِي كُلِّ عَامٍ فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ بَيْعُهَا وَلَا رَهْنُهَا وَهَذَا أَشْبَهُ بِنَصِّ الشَّافِعِيِّ.

Pertama, yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī dan mazhab ulama Basrah, bahwa ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu telah mewakafkan tanah itu untuk seluruh kaum Muslimin dan menjadikan kharāj yang ditetapkan atasnya sebagai upah yang dibayarkan setiap tahun. Berdasarkan pendapat ini, tidak boleh menjual atau menggadaikan tanah tersebut, dan ini lebih sesuai dengan nash al-Syāfi‘ī.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَهُوَ مَذْهَبُ بَعْضِ الْبَغْدَادِيِّينَ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَاعَهَا عَلَى الْأَكَرَةِ وَالدَّهَاقِينِ وَجَعَلَ الْخَرَاجَ الَّذِي ضَرَبَهُ عَلَيْهَا ثَمَنًا فِي كُلِّ عَامٍ. فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ بَيْعُهَا وَرَهْنُهَا وَلِلْكَلَامِ فِي ذَلِكَ مَوْضِعٌ يُسْتَوْفَى فِيهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تعالى.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abū al-‘Abbās Ibn Surayj dan merupakan mazhab sebagian ulama Baghdad, bahwa ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu telah menjual tanah itu kepada para petani dan pemilik tanah, dan menjadikan kharāj yang ditetapkan atasnya sebagai harga yang dibayarkan setiap tahun. Berdasarkan pendapat ini, boleh menjual dan menggadaikan tanah tersebut. Adapun pembahasan lebih lanjut tentang hal ini akan dijelaskan pada tempatnya, insya Allah Ta‘ālā.

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” فَإِنْ كَانَ فِيهَا غِرَاسٌ أَوْ بِنَاءٌ لِلرَّاهِنِ فَهُوَ رَهْنٌ “.

Al-Syāfi‘ī radhiyallāhu ‘anhu berkata: “Jika di atas tanah itu terdapat tanaman atau bangunan milik pihak yang menggadaikan, maka itu termasuk barang gadaian.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا مَا فِي أَرْضِ الْخَرَاجِ مِنَ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ فَهُوَ مِلْكٌ لِأَرْبَابِهِ يَجُوزُ بَيْعُهُ وَرَهْنُهُ وَلَا يَكُونُ الِامْتِنَاعُ مِنْ بَيْعِ الْأَرْضِ مَانِعًا مِنْ بَيْعِ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ أَرْضِ الْخَرَاجِ ذَاتِ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ فِي الرَّهْنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Māwardī berkata: Adapun tanaman dan bangunan yang ada di tanah kharāj, maka itu adalah milik pemiliknya, boleh dijual dan digadaikan, dan larangan menjual tanah tidak menjadi penghalang untuk menjual tanaman dan bangunan. Jika demikian, maka keadaan tanah kharāj yang memiliki tanaman dan bangunan dalam hal gadai terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَرْهَنَهُ رَقَبَةَ الْأَرْضِ دُونَ غِرَاسِهَا وَبِنَائِهَا فَهَذَا رَهْنٌ بَاطِلٌ، وَإِنْ كَانَ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ فَفِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ قَوْلَانِ.

Pertama: Menggadaikan tanahnya saja tanpa tanaman dan bangunannya, maka gadai ini batal. Jika hal itu disyaratkan dalam jual beli, maka dalam pembatalan jual belinya terdapat dua pendapat.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَرْهَنَهُ الْغِرَاسَ وَالْبِنَاءَ دُونَ رَقَبَةِ الْأَرْضِ فَهَذَا رَهْنٌ جَائِزٌ؛ لِأَنَّ بَيْعَ ذَلِكَ جَائِزٌ.

Bagian kedua: Menggadaikan tanaman dan bangunannya saja tanpa tanahnya, maka gadai ini sah, karena penjualannya pun sah.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَرْهَنَهُ رَقَبَةَ الْأَرْضِ مَعَ غِرَاسِهَا وَبِنَائِهَا فَالرَّهْنُ فِي رَقَبَةِ الْأَرْضِ بَاطِلٌ، وَهَلْ يَبْطُلُ فِي الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ:

Bagian ketiga: Menggadaikan tanah beserta tanaman dan bangunannya, maka gadai atas tanahnya batal. Adapun apakah batal pula pada tanaman dan bangunannya atau tidak, terdapat dua pendapat dalam masalah pemisahan akad:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ.

Pertama: Batal.

وَالثَّانِي: جَائِزٌ.

Kedua: Sah.

فَإِذَا قِيلَ: إِنَّ الرَّهْنَ فِي الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ جَائِزٌ فَالْبَيْعُ الْمَشْرُوطُ فِيهِ جَائِزٌ وَالْبَائِعُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ بِارْتِهَانِ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ دُونَ رَقَبَةِ الْأَرْضِ وَبَيْنَ فَسْخِهِ.

Jika dikatakan bahwa gadai atas tanaman dan bangunan itu sah, maka jual beli yang disyaratkan di dalamnya juga sah, dan penjual memiliki pilihan antara melanjutkan jual beli dengan menggadaikan tanaman dan bangunan saja tanpa tanahnya, atau membatalkannya.

وَإِذَا قِيلَ: إِنَّ الرَّهْنَ فِي الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ بَاطِلٌ لِبُطْلَانِهِ فِي الْأَرْضِ فَفِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ الْمَشْرُوطِ فِيهِ قَوْلَانِ:

Dan jika dikatakan bahwa gadai atas tanaman dan bangunan itu batal karena batalnya pada tanah, maka dalam pembatalan jual beli yang disyaratkan di dalamnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ.

Pertama: Batal.

وَالثَّانِي: جَائِزٌ. وَالْبَائِعُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ بِلَا رَهْنٍ وَبَيْنَ فسخه.

Kedua: Sah, dan penjual memiliki pilihan antara melanjutkan jual beli tanpa gadai atau membatalkannya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ أَدَّى عَنْهَا الْخَرَاجَ فَهُوَ مُتَطَوِّعٌ لَا يَرْجِعُ بِهِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ دَفَعَهُ بِأَمْرِهِ فيرجع به كرجل اكترى أرضا من رجل اكتراها فدفع المكتري الثاني كراءها عن الأول فَهُوَ مُتَطَوِّعٌ “.

Al-Syāfi‘ī radhiyallāhu ‘anhu berkata: “Jika seseorang membayarkan kharāj atas tanah itu, maka ia dianggap sebagai orang yang berbuat sukarela dan tidak boleh meminta kembali kecuali jika ia membayarkannya atas perintah pemiliknya, maka ia boleh meminta kembali, sebagaimana seseorang yang menyewa tanah dari orang yang juga menyewa tanah tersebut, lalu penyewa kedua membayar sewanya untuk penyewa pertama, maka ia dianggap sebagai orang yang berbuat sukarela.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي رَجُلٍ ارْتَهَنَ غِرَاسًا وَبِنَاءً فِي أَرْضٍ خَرَاجِيَّةٍ ثُمَّ أَدَّى الْخَرَاجَ عَنْهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Contohnya adalah seseorang yang menggadaikan tanaman dan bangunan di tanah kharāj, kemudian ia membayarkan kharāj atas tanah itu. Maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُؤَدِّيَهُ بِأَمْرِ الْمَالِكِ.

Pertama: Ia membayarkannya atas perintah pemilik.

وَالثَّانِي: أَنْ يُؤَدِّيَهُ بِغَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنْ أَدَّاهُ بِغَيْرِ أَمْرِهِ لَمْ يَرْجِعْ عَلَيْهِ سَوَاءٌ أَدَّاهُ مُكْرَهًا أَوْ مُخْتَارًا صَدِيقًا كَانَ أو عدوا.

Kedua: Ia membayarkannya tanpa perintah pemilik. Jika ia membayarkannya tanpa perintah pemilik, maka ia tidak boleh meminta kembali, baik ia membayarkannya karena terpaksa atau dengan sukarela, baik ia teman maupun musuh.

وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ أَدَّاهُ مُكْرَهًا رَجَعَ بِهِ عَلَى الرَّاهِنِ وَإِنْ أَدَّاهُ مُخْتَارًا، فَإِنْ كَانَ صَدِيقًا لِلرَّاهِنِ رَجَعَ بِهِ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ عَدُوًّا لَهُ لَمْ يَرْجِعْ بِهِ عَلَيْهِ.

Malik berkata: Jika ia membayarkannya dalam keadaan terpaksa, maka ia boleh menuntut kembali kepada pihak yang menggadaikan. Namun jika ia membayarkannya secara sukarela, maka apabila ia adalah teman dari pihak yang menggadaikan, ia boleh menuntut kembali kepadanya; tetapi jika ia adalah musuhnya, maka ia tidak boleh menuntut kembali kepadanya.

وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ الدَّيْنَ الثَّابِتَ فِي ذِمَّةِ الرَّجُلِ إِذَا تَطَوَّعَ بِهِ الْغَيْرُ فَقَضَاهُ عَنْهُ لَمْ يَسْتَحِقَّ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ عَلَيْهِ لِمَا رُوِيَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – امْتَنَعَ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَى جَنَازَةِ رَجُلٍ عَلَيْهِ دِرْهَمَانِ، وَقَالَ: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ، فَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: هُمَا عَلَيَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَأَنَا لَهُمَا ضَامِنٌ، فَصَلَّى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.

Ini adalah kekeliruan; karena utang yang tetap menjadi tanggungan seseorang, apabila orang lain melunasinya secara sukarela atas namanya, maka ia tidak berhak menuntut kembali kepadanya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah ﷺ menolak untuk menshalatkan jenazah seorang laki-laki yang masih memiliki utang dua dirham, dan beliau bersabda: “Shalatkanlah jenazah teman kalian.” Lalu Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Kedua dirham itu menjadi tanggunganku, wahai Rasulullah, dan aku menjaminnya.” Maka Rasulullah ﷺ pun menshalatkannya.

فَلَوْ كَانَ يَثْبُتُ لِعَلِيٍّ الرُّجُوعُ عَلَى الْمَيِّتِ بِالدِّرْهَمَيْنِ لَكَانَ لَا يُصَلِّي لِبَقَاءِ الدِّرْهَمَيْنِ عَلَيْهِ وَإِنِ انْتَقَلَتْ مِنْ مَالِكٍ إِلَى مَالِكٍ. فَلَمَّا صَلَّى عَلَيْهِ السَّلَامُ عُلِمَ سُقُوطُ ذَلِكَ عَنْهُ. وَإِنْ أَبْقَى لِعَلِيٍّ الرُّجُوعَ عَلَيْهِ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ حَقٍّ لَوْ أَدَّاهُ الْعَدُوُّ لَمْ يُرْجَعْ بِهِ، فَإِذَا أَدَّاهُ الصَّدِيقُ لَمْ يُرْجَعْ بِهِ.

Seandainya Ali berhak menuntut kembali dua dirham itu dari si mayit, tentu Rasulullah tidak akan menshalatkannya karena dua dirham itu masih menjadi tanggungannya, meskipun telah berpindah dari satu pemilik ke pemilik lain. Maka ketika Rasulullah ﷺ menshalatkannya, diketahui bahwa utang itu telah gugur darinya. Jika tetap diberikan hak bagi Ali untuk menuntut kembali, dan karena setiap hak, jika dibayarkan oleh musuh, tidak dapat dituntut kembali, maka jika dibayarkan oleh teman pun tidak dapat dituntut kembali.

أَصْلُهُ: إِذَا نُهِيَ عَنْ أَدَائِهِ وَلِأَنَّ كُلَّ حَقٍّ لَوْ أَدَّاهُ بَعْدَ النَّهْيِ عَنْ أَدَائِهِ لَمْ يُرْجَعْ بِهِ فَإِذَا أَدَّاهُ قَبْلَ النَّهْيِ عَنْ أَدَائِهِ لَمْ يُرْجَعْ بِهِ كَالْعَدُوِّ.

Dasarnya: Jika dilarang untuk membayarkannya, dan karena setiap hak, jika dibayarkan setelah dilarang untuk membayarkannya, tidak dapat dituntut kembali, maka jika dibayarkan sebelum ada larangan untuk membayarkannya, juga tidak dapat dituntut kembali, seperti halnya musuh.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يُؤَدِّيَهُ بِإِذْنِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun jenis kedua, yaitu seseorang membayarkannya dengan izinnya, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُؤَدِّيَهُ بِإِذْنِهِ وَيَشْتَرِطَ لَهُ الرُّجُوعَ بِهِ، فَيَقُولُ: أَدِّ عَنِّي وَارْجِعْ بِهِ عَلَيَّ فَهَذَا يَرْجِعُ بِهِ لَا يَخْتَلِفُ لِأَنَّهُ بِاشْتِرَاطِ الرُّجُوعِ غَيْرُ مُتَطَوِّعٍ.

Pertama: Ia membayarkannya dengan izinnya dan mensyaratkan hak untuk menuntut kembali, misalnya ia berkata: “Bayarkanlah untukku dan tuntutlah kembali kepadaku.” Maka dalam hal ini ia boleh menuntut kembali, dan tidak ada perbedaan pendapat, karena dengan adanya syarat untuk menuntut kembali, ia bukanlah orang yang membayar secara sukarela.

وَالثَّانِي: أَنْ يُؤَدِّيَهُ بِإِذْنِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَشْتَرِطَ لَهُ الرُّجُوعُ بِهِ، فَيَقُولُ: أَدِّ عَنِّي. فَهَلْ يُرْجَعُ بِهِ عَلَيْهِ أَمْ لَا. عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kedua: Ia membayarkannya dengan izinnya tanpa mensyaratkan hak untuk menuntut kembali, misalnya ia berkata: “Bayarkanlah untukku.” Apakah ia boleh menuntut kembali atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُرْجَعُ بِهِ. لِأَنَّ إِذْنَهُ قَدْ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ طَلَبًا، لِأَنْ يَتَطَوَّعَ بِأَدَائِهِ عَنْهُ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ أَمْرًا لِيَرْجِعَ بِهِ وَمَعَ احْتِمَالِ الْأَمْرَيْنِ لَا يَثْبُتُ الرُّجُوعُ إِلَّا بِيَقِينٍ.

Pertama: Tidak boleh menuntut kembali. Karena izinnya bisa jadi bermakna permintaan agar ia membayar secara sukarela atas namanya, dan bisa juga bermakna perintah agar ia menuntut kembali. Dengan adanya dua kemungkinan ini, maka hak untuk menuntut kembali tidak dapat ditetapkan kecuali dengan keyakinan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ يَرْجِعُ بِهِ، لِأَنَّ إِذْنَهُ فِي أَدَائِهِ عَنْهُ كَإِذْنِهِ فِي إِتْلَافِ مَالِهِ عَلَيْهِ. ثُمَّ لَوْ أَذِنَ لَهُ فِي إِتْلَافِ مَالِهِ فَقَالَ: أَتْلِفْ عَلَيَّ مَالِي سَقَطَ عَنْهُ الضَّمَانُ بِإِذْنِهِ كَمَا لَوْ صَرَّحَ بِسُقُوطِهِ. كَذَلِكَ إِذَا أَذِنَ لَهُ فِي أَدَائِهِ فَقَالَ: أَدِّ عَنِّي وَجَبَ لَهُ الرُّجُوعُ بِهِ كَمَا لَوْ صَرَّحَ بِهِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq: Ia boleh menuntut kembali, karena izinnya untuk membayarkan atas namanya seperti izinnya untuk merusak hartanya atas dirinya. Jika ia mengizinkan orang lain untuk merusak hartanya, misalnya ia berkata: “Rusaklah hartaku,” maka gugurlah kewajiban ganti rugi darinya karena izinnya, sebagaimana jika ia secara tegas menggugurkannya. Demikian pula jika ia mengizinkan orang lain untuk membayarkan utangnya, misalnya ia berkata: “Bayarkanlah untukku,” maka wajib baginya untuk menuntut kembali, sebagaimana jika ia secara tegas menyatakannya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ اشْتَرَى عَبْدًا بِالْخِيَارِ ثَلَاثًا فَرَهَنَهُ قَبْلَهَا فجائز وَهُوَ قَطْعٌ لِخِيَارِهِ وَإِيجَابٌ لِلْبَيْعِ فِي الْعَبْدِ وَإِنْ كَانَ الْخِيَارُ لِلْبَائِعِ أَوْ لِلْبَائِعِ وَالْمُشْتَرِي فَرَهَنَهُ قَبْلَ الثَّلَاثِ فَتَمَّ لَهُ مِلْكُهُ بَعْدَ الثَّلَاثِ فَالرَّهْنُ مَفْسُوخٌ لِأَنَّهُ انْعَقَدَ وَمِلْكُهُ عَلَى الْعَبْدِ غَيْرُ تَامٍّ “.

Asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang membeli seorang budak dengan hak khiyar selama tiga hari, lalu ia menggadaikannya sebelum masa tersebut, maka hal itu sah dan merupakan pemutusan hak khiyarnya serta penetapan jual beli atas budak tersebut. Namun jika hak khiyar itu milik penjual atau milik penjual dan pembeli, lalu ia menggadaikannya sebelum tiga hari dan kepemilikannya atas budak itu menjadi sempurna setelah tiga hari, maka gadaiannya batal, karena akad gadai terjadi saat kepemilikannya atas budak tersebut belum sempurna.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.

وَجُمْلَةُ الْخِيَارِ الْمُسْتَحَقِّ فِي الْمَبِيعِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ: خِيَارُ مَجْلِسٍ، وَخِيَارُ شَرْطٍ، وَخِيَارُ عَيْبٍ.

Secara umum, hak khiyar yang dimiliki dalam barang yang dijual terbagi menjadi tiga jenis: khiyar majlis, khiyar syarat, dan khiyar ‘aib.

فَأَمَّا الضَّرْبُ الْأَوَّلُ وَهُوَ: خِيَارُ الْمَجْلِسِ.

Adapun jenis pertama, yaitu khiyar majlis.

فَهُوَ مُسْتَحَقٌّ لِلْبَائِعِ وَالْمُشْتَرِي. فَإِنْ رَهَنَهُ الْبَائِعُ صَحَّ رهنه وكان فسخا للبيع وإن رهنه المشتري لَمْ يَجُزْ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَهَنَهُ عَنْ إِذْنِ الْبَائِعِ فَيَصِحُّ رَهْنُ الْمُشْتَرِي؛ لِأَنَّ إِذْنَ البائع إمضاء، ورهن المشتري إمضاء، وَإِذَا اتَّفَقَ الْمُتَبَايِعَانِ عَلَى الْإِمْضَاءِ فِي خِيَارِ الْمَجْلِسِ تَمَّ الْبَيْعُ، وَسَقَطَ الْخِيَارُ.

Maka hak itu menjadi milik penjual dan pembeli. Jika penjual menjaminkannya (barang) sebagai gadai, maka sah jaminannya dan itu dianggap sebagai pembatalan terhadap jual beli. Namun jika pembeli yang menjaminkannya, tidak sah kecuali jika ia melakukannya atas izin penjual, maka sah jaminan pembeli; karena izin penjual merupakan pengesahan, dan jaminan pembeli juga merupakan pengesahan. Apabila kedua belah pihak sepakat untuk melanjutkan (akad) dalam masa khiyār majlis, maka jual beli menjadi sempurna dan hak khiyār gugur.

فَأَمَّا أَنْ يَرْهَنَهُ الْمُشْتَرِي مِنْ غَيْرِ إِذْنِ الْبَائِعِ فَلَا يَجُوزُ وَإِنَّمَا جَازَ رَهْنُ الْبَائِعِ بِغَيْرِ إِذْنِ الْمُشْتَرِي، وَلَمْ يَجُزْ رَهْنُ الْمُشْتَرِي بِغَيْرِ إِذْنِ الْبَائِعِ؛ لِأَنَّ رَهْنَ الْبَائِعِ فَسْخٌ، وَرَهْنَ الْمُشْتَرِي إِمْضَاءٌ وَالْخِيَارُ مَوْضُوعٌ لِلْفَسْخِ دُونَ الْإِمْضَاءِ. أَلَا تَرَى لَوْ فَسَخَ أَحَدُهُمَا وَأَمْضَى الْآخَرُ حُكِمَ بِالْفَسْخِ دُونَ الْإِمْضَاءِ.

Adapun jika pembeli menjaminkannya tanpa izin penjual, maka tidak sah. Yang dibolehkan hanyalah penjual yang menjaminkan tanpa izin pembeli, sedangkan pembeli tidak boleh menjaminkan tanpa izin penjual; karena jaminan penjual berarti pembatalan, sedangkan jaminan pembeli berarti pengesahan, dan khiyār memang ditetapkan untuk pembatalan, bukan untuk pengesahan. Bukankah jika salah satu membatalkan dan yang lain mengesahkan, maka yang berlaku adalah pembatalan, bukan pengesahan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي وَهُوَ: خِيَارُ الشَّرْطِ.

Adapun jenis kedua, yaitu: khiyār syarat.

فَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:

Khiyār ini terbagi menjadi tiga jenis:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ لِلْبَائِعِ دُونَ الْمُشْتَرِي.

Pertama: Khiyār hanya dimiliki oleh penjual, tidak oleh pembeli.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ لِلْمُشْتَرِي دُونَ الْبَائِعِ.

Kedua: Khiyār hanya dimiliki oleh pembeli, tidak oleh penjual.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ لَهُمَا جَمِيعًا.

Ketiga: Khiyār dimiliki oleh keduanya.

فَإِنْ كَانَ الْخِيَارُ مَشْرُوطًا لِلْبَائِعِ دُونَ الْمُشْتَرِي، فَإِنْ رَهَنَهُ الْبَائِعُ صَحَّ رهنه وكان فسخا للبيع وإن رهنه المشتري لَمْ يَجُزْ وَكَانَ رَهْنًا بَاطِلًا.

Jika khiyār disyaratkan untuk penjual saja tanpa pembeli, maka jika penjual menjaminkannya (menggadaikan barang), sah jaminannya dan itu dianggap sebagai pembatalan jual beli. Namun jika pembeli yang menjaminkannya, tidak sah dan jaminannya batal.

لِحَقِّ الْبَائِعِ مِنَ الْخِيَارِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْمُشْتَرِي قَدْ رَهَنَهُ بِأَمْرِ الْبَائِعِ فَيَصِحُّ الرَّهْنُ. وَيَكُونُ إِذْنُ الْبَائِعِ اخْتِيَارًا لِإِمْضَاءِ الْبَيْعِ وَقَطْعِ الْخِيَارِ.

Karena hak khiyār ada pada penjual, kecuali jika pembeli menjaminkannya atas perintah penjual, maka sah jaminannya. Dan izin penjual itu merupakan pilihan untuk melanjutkan jual beli dan mengakhiri khiyār.

وَإِنْ كَانَ الْخِيَارُ مَشْرُوطًا لِلْمُشْتَرِي دُونَ الْبَائِعِ فَإِنْ رَهَنَهُ الْمُشْتَرِي صَحَّ رَهْنُهُ وَكَانَ اخْتِيَارًا مِنْهُ لِإِمْضَاءِ الْبَيْعِ وَقَطْعِ الْخِيَارِ.

Jika khiyār disyaratkan untuk pembeli saja tanpa penjual, maka jika pembeli menjaminkannya, sah jaminannya dan itu merupakan pilihannya untuk melanjutkan jual beli dan mengakhiri khiyār.

وَإِنْ رَهَنَهُ الْبَائِعُ لَمْ يَجُزْ. وَكَانَ رَهْنُهُ بَاطِلًا، لِأَنَّهُ لَازِمٌ مِنْ جِهَتِهِ وَإِنْ كَانَ الْخِيَارُ ثَابِتًا لِغَيْرِهِ إِلَّا أَنْ يَرْهَنَهُ الْبَائِعُ بِإِذْنِ الْمُشْتَرِي فَيَصِحُّ رَهْنُهُ وَيَنْفَسِخُ الْبَيْعُ. وَيَكُونُ إِذْنُ الْمُشْتَرِي اخْتِيَارًا لِفَسْخِ الْبَيْعِ.

Jika penjual yang menjaminkannya, maka tidak sah dan jaminannya batal, karena dari pihak penjual akad sudah mengikat meskipun khiyār masih tetap bagi pihak lain. Kecuali jika penjual menjaminkannya dengan izin pembeli, maka sah jaminannya dan jual beli batal. Dan izin pembeli itu merupakan pilihan untuk membatalkan jual beli.

وَإِنْ كَانَ الْخِيَارُ مَشْرُوطًا لَهُمَا جَمِيعًا، فَإِنْ رَهَنَهُ الْبَائِعُ صَحَّ رَهْنُهُ وَكَانَ فسخا للبيع.

Jika khiyār disyaratkan untuk keduanya, maka jika penjual menjaminkannya, sah jaminannya dan itu dianggap sebagai pembatalan jual beli.

وإن رهنه المشتري لم يجز إلا أن يَكُونَ بِإِذْنِ الْبَائِعِ فَيَصِحُّ رَهْنُهُ، وَيَكُونُ إِذْنُ الْبَائِعِ اخْتِيَارًا لِإِمْضَاءِ الْبَيْعِ.

Dan jika pembeli yang menjaminkannya, tidak sah kecuali dengan izin penjual, maka sah jaminannya, dan izin penjual itu merupakan pilihan untuk melanjutkan jual beli.

وَإِنَّمَا صَحَّ رَهْنُ الْبَائِعِ دُونَ الْمُشْتَرِي وَإِنْ كَانَ الْخِيَارُ لَهُمَا لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ أَنَّ رَهْنَ الْبَائِعِ فَسْخٌ وَرَهْنَ الْمُشْتَرِي إِمْضَاءٌ.

Yang sah hanyalah jaminan penjual, bukan pembeli, meskipun khiyār untuk keduanya, sebagaimana telah dijelaskan bahwa jaminan penjual berarti pembatalan, sedangkan jaminan pembeli berarti pengesahan.

فَلَوْ كَانَ لِلْبَائِعِ خِيَارُ يَوْمٍ وَلِلْمُشْتَرِي خِيَارُ يَوْمَيْنِ، فَإِنْ رَهَنَهُ الْبَائِعُ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ جَازَ. وَإِنْ رَهَنَهُ الْمُشْتَرِي لَمْ يَجُزْ.

Jika penjual memiliki khiyār satu hari dan pembeli memiliki khiyār dua hari, maka jika penjual menjaminkannya pada hari pertama, itu sah. Namun jika pembeli yang menjaminkannya, tidak sah.

وَإِنْ رَهَنَهُ الْمُشْتَرِيَ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي جَازَ. وَإِنْ رَهَنَهُ الْبَائِعَ لَمْ يَجُزْ.

Jika pembeli menjaminkannya pada hari kedua, itu sah. Namun jika penjual yang menjaminkannya, tidak sah.

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّالِثُ وَهُوَ خِيَارُ الْعَيْبِ.

Adapun jenis ketiga, yaitu khiyār ‘aib (cacat).

فَهُوَ مُسْتَحَقٌّ لِلْمُشْتَرِي دُونَ الْبَائِعِ. فَإِنْ رَهَنَهُ الْمُشْتَرِيَ صَحَّ رَهْنُهُ، وَكَانَ رِضًا بِالْعَيْبِ، وَمَانِعًا مِنَ الرَّدِّ وَالرُّجُوعِ بِالْأَرْشِ.

Khiyār ini menjadi hak pembeli, bukan penjual. Jika pembeli menjaminkannya, maka sah jaminannya, dan itu dianggap sebagai kerelaan terhadap cacat, serta menghalangi hak untuk mengembalikan barang dan menuntut kompensasi (‘arsh).

وَإِنْ رَهَنَهُ الْبَائِعُ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ لَازِمٌ مِنْ جِهَتِهِ وَإِنْ ثَبَتَ فِيهِ خِيَارٌ لِغَيْرِهِ. فَلَوْ رُدَّ عَلَى الْبَائِعِ بِالْعَيْبِ بَعْدَ أَنْ رَهَنَهُ لَمْ يَصِحَّ رَهْنُهُ إِلَّا بِاسْتِئْنَافِ عَقْدٍ صَحِيحٍ كَمَا لَوْ رَهَنَهُ الْمُشْتَرِي فِي خِيَارِ الْبَائِعِ كَانَ رَهْنًا بَاطِلًا وَإِنْ تَمَّ مِلْكُهُ عَلَيْهِ.

Jika penjual yang menjaminkannya, maka tidak sah, karena dari pihak penjual akad sudah mengikat meskipun khiyār tetap ada bagi pihak lain. Jika barang dikembalikan kepada penjual karena cacat setelah dijaminkan, maka jaminannya tidak sah kecuali dengan akad baru yang sah, sebagaimana jika pembeli menjaminkannya dalam masa khiyār penjual, maka jaminannya batal meskipun kepemilikan telah sempurna atasnya.

فَلَوْ لَمْ يُعْلِمِ الْمُشْتَرِيَ بِالْعَيْبِ حَتَّى رَهَنَهُ ثُمَّ عَلِمَ بِهِ صَحَّ رَهْنُهُ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ رَدُّهُ مَا كَانَ بَاقِيًا. وَفِيمَا يَسْتَحِقُّهُ بِالْعَيْبِ وَجْهَانِ مَضَيَا فِي الْبُيُوعِ.

Jika pembeli belum mengetahui cacatnya hingga ia menjaminkannya, lalu kemudian ia mengetahui, maka jaminannya tetap sah dan ia tidak berhak mengembalikannya selama barang itu masih ada. Terkait hak yang diperolehnya karena cacat, terdapat dua pendapat yang telah dijelaskan dalam bab jual beli.

أَحَدُهُمَا: يَسْتَحِقُّ الْأَرْشَ فِي الْحَالِّ.

Salah satunya: ia berhak mendapatkan kompensasi (‘arsh) saat itu juga.

وَالثَّانِي: يَنْتَظِرُ مَا يَكُونُ مِنْ حَالِهِ فِي الرَّهْنِ فَإِنْ بِيعَ فِيهِ رَجَعَ بِالْأَرْشِ وَإِنْ فَكَّهُ مِنَ الرَّهْنِ رَدَّهُ بِالْعَيْبِ.

Kedua: Menunggu apa yang akan terjadi pada status barang dalam gadai tersebut; jika barang itu dijual dalam keadaan tergadai, maka ia berhak menuntut ganti rugi (al-arsh), dan jika barang itu ditebus dari gadai, maka ia dapat mengembalikannya karena cacat.

( [الْقَوْلُ فِي بيع ورهن العبد المرتد] )

([Pembahasan tentang jual beli dan gadai budak murtad])

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَجُوزُ رَهْنُ الْعَبْدِ الْمُرْتَدِّ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Boleh menggadaikan budak yang murtad.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.

رَهْنُ الْعَبْدِ الْمُرْتَدِّ جَائِزٌ وَبَيْعُهُ جَائِزٌ نَصَّ عَلَى جَوَازِ بَيْعِهِ فِي كِتَابِ الْبُيُوعِ، وَعَلَى جَوَازِ رَهْنِهِ فِي كِتَابِ الرَّهْنِ: وَإِنَّمَا جَازَ بَيْعُهُ وَرَهْنُهُ؛ لِأَنَّ الرِّدَّةَ لَيْسَ فِيهَا أَكْثَرُ مِنْ خَوْفِ هَلَاكِهِ إِنْ أَقَامَ عَلَيْهَا، وَرَجَاءَ سَلَامَتِهِ إِنْ تَابَ مِنْهَا، وَهَذَا غَيْرُ مَانِعٍ مِنْ صِحَّةِ الْبَيْعِ وَجَوَازِ الرَّهْنِ كَالْعَبْدِ الْمَرِيضِ الْمُدْنَفِ يَجُوزُ بَيْعُهُ وَرَهْنُهُ وَإِنْ خِيفَ هَلَاكُهُ بِالْمَوْتِ وَرُجِيَتْ سَلَامَتُهُ بِالْبُرْءِ.

Menggadaikan budak murtad itu boleh, dan menjualnya juga boleh. Imam Syafi‘i menegaskan kebolehan menjualnya dalam Kitab al-Buyu‘, dan kebolehan menggadaikannya dalam Kitab al-Rahn. Kebolehan menjual dan menggadaikannya itu karena riddah (kemurtadan) tidak lebih dari sekadar kekhawatiran akan binasanya budak itu jika tetap dalam kemurtadan, dan harapan akan keselamatannya jika ia bertobat darinya. Hal ini tidak menghalangi sahnya jual beli dan bolehnya gadai, sebagaimana budak yang sakit parah pun boleh dijual dan digadaikan, meskipun dikhawatirkan ia akan binasa karena kematian dan diharapkan keselamatannya jika sembuh.

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ بَيْعِهِ وَرَهْنِهِ وَجَبَ عَلَيْهِ تَقْدِيمُ الْكَلَامِ فِي بَيْعِهِ؛ لِأَنَّ حُكْمَ رَهْنِهِ مَبْنِيٌّ عَلَيْهِ.

Jika telah tetap kebolehan menjual dan menggadaikannya, maka wajib mendahulukan pembahasan tentang jual belinya, karena hukum gadai dibangun di atas hukum jual belinya.

فَإِذَا بِيعَ الْعَبْدُ الْمُرْتَدُّ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُشْتَرِي مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَالِمًا بِرِدَّتِهِ أَوْ غَيْرَ عَالِمٍ بِرِدَّتِهِ.

Jika budak murtad dijual, maka keadaan pembeli tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi ia mengetahui kemurtadannya atau tidak mengetahuinya.

فَإِنْ كَانَ عَالِمًا بِرِدَّتِهِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْعَبْدِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika ia mengetahui kemurtadannya, maka keadaan budak itu juga tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَتُوبَ مِنَ الرِّدَّةِ أَوْ يُقْتَلَ بِهَا. فَإِنْ تَابَ مِنَ الرِّدَّةِ فَقَدْ مَضَى الْبَيْعُ سَلِيمًا وَلَا خِيَارَ لِلْمُشْتَرِي وَإِنْ قُتِلَ بِالرِّدَّةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Bisa jadi ia bertobat dari kemurtadan atau dibunuh karena kemurtadannya. Jika ia bertobat dari kemurtadan, maka jual beli itu berjalan dengan sah dan pembeli tidak memiliki hak khiyar (pilihan untuk membatalkan). Jika ia dibunuh karena kemurtadan, maka para ulama kami berbeda pendapat menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: إِنَّ قَتْلَهُ بِالرِّدَّةِ يَجْرِي مَجْرَى اسْتِحْقَاقِهِ بِالْغَصْبِ فَيَجْعَلُ لِلْمُشْتَرِي الرُّجُوعَ بِثَمَنِهِ كَمَا لَوِ اشْتَرَى عَبْدًا فَبَانَ مَغْصُوبًا وَاسْتَحَقَّ رَدَّهُ كَانَ لَهُ الرُّجُوعُ بِثَمَنِهِ.

Pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: Pembunuhan karena riddah itu seperti status istihqaq (hak milik orang lain) karena ghashab (perampasan), sehingga pembeli berhak menuntut kembali harga (yang telah dibayarkan), sebagaimana jika seseorang membeli budak lalu ternyata budak itu hasil ghashab dan harus dikembalikan, maka ia berhak menuntut kembali harga yang telah dibayarkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ الرِّدَّةَ عَيْبٌ كَالْمَرَضِ وَقَتْلُهُ بِالرِّدَّةِ يَجْرِي مَجْرَى مَوْتِهِ بِالْمَرَضِ، فَإِذَا قُتِلَ فِي يَدِهِ بِالرِّدَّةِ لَمْ يَرْجِعْ بِثَمَنِهِ كَمَا لَوْ مَاتَ فِي يَدِهِ بِالْمَرَضِ لَمْ يَرْجِعْ بِثَمَنِهِ وَلَيْسَ لَهُ الرُّجُوعُ بِأَرْشِ نَقْصِهِ بِالرِّدَّةِ، لِأَنَّهُ عَيْبٌ قَدْ كَانَ عَالِمًا بِهِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: Riddah adalah cacat seperti penyakit, dan pembunuhan karena riddah itu seperti kematian karena penyakit. Jika budak itu dibunuh di tangan pembeli karena riddah, maka pembeli tidak berhak menuntut kembali harga, sebagaimana jika budak itu mati di tangan pembeli karena penyakit, maka ia tidak berhak menuntut kembali harga. Ia juga tidak berhak menuntut ganti rugi (arsh) atas kekurangan karena riddah, karena itu adalah cacat yang sudah diketahui oleh pembeli.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِنْ كَانَ الْمُشْتَرِي غَيْرَ عَالِمٍ بِرِدَّتِهِ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:

Jika pembeli tidak mengetahui kemurtadannya, maka ada tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَعْلَمَ بِهَا وَهُوَ عَلَى رِدَّتِهِ.

Pertama: Ia mengetahui kemurtadannya saat budak itu masih dalam keadaan murtad.

وَالثَّانِي: أَنْ يَعْلَمَ بِهَا بَعْدَ تَوْبَتِهِ.

Kedua: Ia mengetahui kemurtadannya setelah budak itu bertobat.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَعْلَمَ بِهَا بَعْدَ قَتْلِهِ. فَأَمَّا الضَّرْبُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَعْلَمَ بِهَا وَهُوَ عَلَى رِدَّتِهِ فَهَذَا عَيْبٌ قَدْ عَلِمَهُ الْمُشْتَرِي فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَرُدَّهُ وَيَفْسَخَ الْبَيْعَ، وَبَيْنَ أَنْ يُقِيمَ عَلَى الْبَيْعِ.

Ketiga: Ia mengetahui kemurtadannya setelah budak itu dibunuh. Adapun kemungkinan pertama, yaitu ia mengetahui kemurtadannya saat budak itu masih dalam keadaan murtad, maka ini adalah cacat yang diketahui oleh pembeli, sehingga ia berhak memilih antara mengembalikan budak dan membatalkan jual beli, atau tetap melanjutkan jual beli.

فَإِنْ رَدَّهُ بِالْعَيْبِ وَفَسَخَ الْبَيْعَ كَانَ لَهُ اسْتِرْجَاعُ الثَّمَنِ، وَإِنْ رَضِيَ بِالْعَيْبِ وَأَرَادَ الْمَقَامَ عَلَى الْبَيْعِ فَلَا أَرْشَ لَهُ.

Jika ia mengembalikannya karena cacat dan membatalkan jual beli, maka ia berhak mengambil kembali harga yang telah dibayarkan. Jika ia ridha dengan cacat tersebut dan ingin tetap melanjutkan jual beli, maka ia tidak berhak atas ganti rugi (arsh).

ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُهُ فِيمَا بَعْدُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Kemudian, setelah itu keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَتُوبَ مِنَ الرِّدَّةِ أَوْ يُقْتَلَ بِهَا، فَإِنْ تَابَ مِنَ الرِّدَّةِ فَقَدِ اسْتَقَرَّ الْمِلْكُ وَانْقَطَعَ حُكْمُ الرِّدَّةِ، وَإِنْ قُتِلَ بِالرِّدَّةِ فَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لَهُ الرُّجُوعُ بِثَمَنِهِ كَمَا لَوِ استحق.

Bisa jadi budak itu bertobat dari riddah atau dibunuh karena riddah. Jika ia bertobat dari riddah, maka kepemilikan telah tetap dan hukum riddah terputus. Jika ia dibunuh karena riddah, maka menurut pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, pembeli berhak menuntut kembali harga sebagaimana jika terjadi istihqaq.

وَعَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لَيْسَ لَهُ الرُّجُوعُ بِثَمَنِهِ كَمَا لَوْ مَاتَ بِمَرَضٍ قَدْ رَضِيَ بِهِ. وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَعْلَمَ بِرِدَّتِهِ بَعْدَ تَوْبَتِهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا: هَلْ ذَلِكَ عَيْبٌ فِي الْحَالِّ يُوجِبُ الرَّدَّ أَمْ لَا. عَلَى وَجْهَيْنِ:

Dan menurut pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, pembeli tidak berhak menuntut kembali harga, sebagaimana jika budak itu mati karena penyakit yang telah ia ridai. Adapun kemungkinan kedua, yaitu ia mengetahui kemurtadannya setelah budak itu bertobat, maka para ulama kami berbeda pendapat: apakah itu dianggap cacat pada saat itu yang menyebabkan hak untuk mengembalikan atau tidak. Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ ذَلِكَ عَيْبٌ فِي الْحَالِّ يُوجِبُ الرَّدَّ. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ رَدِّهِ وَإِمْسَاكِهِ.

Salah satu pendapat: Bahwa hal itu merupakan cacat pada keadaan saat ini yang menyebabkan hak untuk mengembalikan (barang). Maka berdasarkan pendapat ini, ia berhak memilih antara mengembalikan atau mempertahankannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِعَيْبٍ فِي الْحَالِّ لِأَنَّ الْعَيْبَ إِنَّمَا كَانَ بِالرِّدَّةِ وَالرِّدَّةُ قَدْ زَالَتْ بِالتَّوْبَةِ فَعَلَى هَذَا هَلْ يَجُوزُ لَهُ الرَّدُّ أَمْ لَا. عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Bahwa hal itu bukanlah cacat pada keadaan saat ini, karena cacat itu hanya disebabkan oleh riddah, dan riddah tersebut telah hilang dengan taubat. Maka berdasarkan pendapat ini, apakah ia boleh mengembalikan atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهُ الرَّدُّ اعْتِبَارًا بِوُجُوبِهِ فِي الِابْتِدَاءِ.

Salah satunya: Ia boleh mengembalikan, dengan pertimbangan bahwa pada awalnya memang wajib dikembalikan.

وَالثَّانِي: لَا رَدَّ لَهُ اعْتِبَارًا بِسُقُوطِهِ فِي الِانْتِهَاءِ. وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّالِثُ فَهُوَ أَنْ يَعْلَمَ بِرِدَّتِهِ بَعْدَ قَتْلِهِ. فَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لَهُ الرُّجُوعُ بِثَمَنِهِ كما لو استحق. وَعَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لَهُ الرُّجُوعُ بِأَرْشِهِ دُونَ ثَمَنِهِ كَمَا لَوِ اشْتَرَاهُ مَرِيضًا فَلَمْ يَعْلَمْ بِمَرَضِهِ حَتَّى مَاتَ فِي يَدِهِ رَجَعَ بِأَرْشِهِ دُونَ ثَمَنِهِ.

Dan yang kedua: Ia tidak boleh mengembalikan, dengan pertimbangan bahwa kewajiban mengembalikan telah gugur pada akhirnya. Adapun bentuk ketiga adalah jika ia mengetahui riddahnya setelah orang tersebut dibunuh. Maka menurut pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, ia berhak menuntut kembali harga barangnya sebagaimana jika barang itu ternyata milik orang lain. Dan menurut pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah, ia hanya berhak menuntut kembali nilai kerugiannya (arsh) tanpa harga barangnya, sebagaimana jika ia membeli seorang budak yang sakit lalu tidak mengetahui penyakitnya hingga budak itu meninggal di tangannya, maka ia hanya berhak menuntut nilai kerugiannya tanpa harga barangnya.

وَاعْتِبَارُ أَرْشِهِ أَنْ يُقَوَّمَ مُرْتَدًّا وَغَيْرَ مُرْتَدٍّ وَيَرْجِعَ بِمَا بَيْنَ الْقِيمَتَيْنِ مِنْ ثَمَنِهِ.

Adapun penilaian arsh-nya adalah dengan menaksir harga budak tersebut dalam keadaan murtad dan tidak murtad, lalu ia menuntut selisih antara kedua nilai tersebut dari harga barangnya.

وَإِنَّمَا لَمْ يَرْجِعْ بِثَمَنِهِ عَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لِفَوَاتِ رَدِّهِ وَرَجَعَ بِأَرْشِهِ لِعَدَمِ الْعِلْمِ بِهِ. فَهَذَا حُكْمُ بَيْعِ الْمُرْتَدِّ.

Adapun menurut pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah, ia tidak berhak menuntut kembali harga barangnya karena telah hilangnya kesempatan untuk mengembalikan, dan ia hanya berhak menuntut arsh karena ketidaktahuan akan hal itu. Inilah hukum jual beli budak murtad.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: فَأَمَّا رَهْنُ الْمُرْتَدِّ فَجَائِزٌ لِمَا ذَكَرْنَا فَإِنْ كَانَ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: Adapun gadai budak murtad, maka hukumnya sah sebagaimana telah kami sebutkan. Jika gadai tersebut disyaratkan dalam akad jual beli, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْمُرْتَهِنُ عَالِمًا بِرِدَّتِهِ وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ غَيْرَ عَالِمٍ بِرِدَّتِهِ. فَإِنْ كَانَ عَالِمًا بِرِدَّتِهِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْعَبْدِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يتوب من رِدَّتِهِ أَوْ يُقْتَلَ بِهَا: فَإِنْ تَابَ مِنْ رِدَّتِهِ فَهُوَ رَهْنٌ بِحَالِهِ، وَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ فِي الْبَيْعِ، وَإِنْ قُتِلَ بِرِدَّتِهِ فَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ كَمَا لَوِ اسْتَحَقَّ. وَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لَا خِيَارَ لَهُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ عَيْبٌ قَدْ كَانَ عَالِمًا بِهِ.

Salah satunya: Penerima gadai mengetahui bahwa budak itu murtad. Keadaan kedua: Ia tidak mengetahui bahwa budak itu murtad. Jika ia mengetahui riddahnya, maka keadaan budak itu tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia bertaubat dari riddahnya atau dibunuh karena riddahnya. Jika ia bertaubat dari riddahnya, maka gadai tetap berlaku sebagaimana adanya, dan penerima gadai tidak memiliki hak khiyar dalam jual beli. Namun jika ia dibunuh karena riddahnya, maka menurut mazhab Abu Ishaq al-Marwazi, penerima gadai memiliki hak khiyar untuk membatalkan jual beli sebagaimana jika barang itu ternyata milik orang lain. Sedangkan menurut mazhab Abu Ali bin Abi Hurairah, ia tidak memiliki hak khiyar untuk membatalkan jual beli, karena hal itu merupakan cacat yang sudah ia ketahui.

وَإِنْ كَانَ غَيْرَ عَالِمٍ بِرِدَّتِهِ ثُمَّ عَلِمَ بِهَا فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ مَضَتْ:

Jika ia tidak mengetahui riddahnya, lalu kemudian mengetahuinya, maka ada tiga keadaan yang telah dijelaskan sebelumnya:

أَحَدُهَا: أَنْ يَعْلَمَ بِهِ وَهُوَ عَلَى رِدَّتِهِ. فَعَلَى هَذَا هُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ فَسْخِ الرَّهْنِ وَالْبَيْعِ وَبَيْنَ إِمْضَائِهِمَا.

Pertama: Ia mengetahui riddahnya saat budak itu masih dalam keadaan murtad. Dalam hal ini, ia berhak memilih antara membatalkan gadai dan jual beli, atau melanjutkan keduanya.

فَإِنْ فُسِخَ فَلَهُ ذَلِكَ وَإِنْ أَمْضَاهُمَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْعَبْدِ الْمُرْتَدِّ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَتُوبَ مِنْ رِدَّتِهِ، فَلَا يَكُونُ لَهُ خِيَارٌ فِي الْبَيْعِ، أَوْ يُقْتَلَ فِي رِدَّتِهِ فَيَكُونُ لَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ عَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَلَا خِيَارَ لَهُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ عَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ.

Jika ia membatalkan, maka itu haknya. Jika ia melanjutkan keduanya, maka keadaan budak murtad itu tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia bertaubat dari riddahnya, maka ia tidak memiliki hak khiyar dalam jual beli; atau ia dibunuh dalam keadaan murtad, maka ia memiliki hak khiyar untuk membatalkan jual beli menurut pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, dan tidak memiliki hak khiyar menurut pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَعْلَمَ بِرِدَّتِهِ بَعْدَ تَوْبَتِهِ فَهَلْ ذَلِكَ عَيْبٌ فِي الْحَالِّ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Keadaan kedua: Ia mengetahui riddahnya setelah budak itu bertaubat. Apakah hal itu merupakan cacat pada keadaan saat ini atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: هُوَ عَيْبٌ فِي الْحَالِّ، فَعَلَى هَذَا هُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ فَسْخِ الْبَيْعِ وَإِمْضَائِهِ.

Salah satunya: Itu adalah cacat pada keadaan saat ini. Maka berdasarkan pendapat ini, ia berhak memilih antara membatalkan jual beli atau melanjutkannya.

وَالثَّانِي: لَيْسَ بِعَيْبٍ. فَعَلَى هَذَا هَلْ لَهُ خِيَارٌ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا.

Yang kedua: Itu bukan cacat. Maka berdasarkan pendapat ini, apakah ia memiliki hak khiyar untuk membatalkan jual beli atau tidak, ada dua pendapat yang telah dijelaskan.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: أَنْ يَعْلَمَ بِرِدَّتِهِ بَعْدَ قَتْلِهِ.

Keadaan ketiga: Ia mengetahui riddahnya setelah budak itu dibunuh.

فَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ لَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ كَمَا لَوِ اسْتَحَقَّ. وَعَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيٍّ لَا خِيَارَ لَهُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ وَلَا مُطَالَبَةَ لَهُ بِالْأَرْشِ.

Menurut pendapat Abu Ishaq, ia memiliki hak khiyar untuk membatalkan jual beli sebagaimana jika barang itu ternyata milik orang lain. Dan menurut pendapat Abu Ali, ia tidak memiliki hak khiyar untuk membatalkan jual beli dan tidak pula berhak menuntut arsh.

أما فَسْخُ الْبَيْعِ فَلِأَنَّ تَلَفَ الرَّهْنِ كَانَ بِيَدِهِ، وَإِذَا كَانَ تَلَفُ الرَّهْنِ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ بِعَيْبٍ مُتَقَدِّمٍ لَمْ يُوجِبْ خِيَارًا فِي الْبَيْعِ لِفَوَاتِ رَدِّهِ بِالْعَيْبِ، كَمَا لَوِ ارْتَهَنَ عَبْدًا مَرِيضًا فَمَاتَ فِي يَدِهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ بِمَرَضِهِ، لَمْ يَكُنْ لَهُ خِيَارٌ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ لِفَوَاتِ رَدِّهِ، وَأَمَّا الرُّجُوعُ بِالْأَرْشِ فَلَيْسَ لَهُ.

Adapun pembatalan jual beli, hal itu karena kerusakan barang gadai terjadi di tangannya. Jika kerusakan barang gadai terjadi di tangan penerima gadai karena cacat yang sudah ada sebelumnya, maka tidak menyebabkan adanya hak memilih (khiyār) dalam jual beli karena telah hilangnya kesempatan untuk mengembalikannya akibat cacat tersebut. Sebagaimana jika seseorang menggadaikan budak yang sedang sakit, lalu budak itu mati di tangannya sementara ia tidak mengetahui penyakitnya, maka ia tidak memiliki hak memilih untuk membatalkan jual beli karena telah hilangnya kesempatan untuk mengembalikannya. Adapun hak untuk menuntut ganti rugi (arasy), maka ia tidak memilikinya.

فَإِنْ قِيلَ: أَلَيْسَ لَوْ كَانَ الْمُرْتَدُّ مَبِيعًا فَلَمْ يَعْلَمِ الْمُشْتَرِي بِرِدَّتِهِ حَتَّى قُتِلَ بِهَا كَانَ لَهُ الرُّجُوعُ بِأَرْشِهِ عَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيٍّ فَهَلَّا إِذَا كَانَ الْعَبْدُ مَرْهُونًا فَلَمْ يَعْلَمْ بِرِدَّتِهِ حَتَّى قُتِلَ بِهَا أَنْ يَكُونَ لَهُ الرُّجُوعُ بِأَرْشِهِ عَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيٍّ قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا وَهُوَ فَرْقُ أَبِي علي:

Jika dikatakan: Bukankah jika seorang murtad dijual, lalu pembeli tidak mengetahui kemurtadannya hingga ia dibunuh karena kemurtadannya, maka menurut pendapat Abu ‘Ali, pembeli berhak menuntut ganti rugi (arasy)? Lalu mengapa jika budak itu digadaikan dan pemiliknya tidak mengetahui kemurtadannya hingga ia dibunuh karena kemurtadannya, ia tidak berhak menuntut ganti rugi (arasy) menurut pendapat Abu ‘Ali? Maka dijawab: Ada perbedaan antara keduanya, dan inilah perbedaan menurut Abu ‘Ali:

أن الرُّجُوعَ بِالْأَرْشِ إِنَّمَا يُسْتَحَقُّ فِيمَا يُجْبَرُ عَلَى تَسْلِيمِهِ فَلَمَّا أُجْبِرَ الْبَائِعُ عَلَى تَسْلِيمِ الْمَبِيعِ أُجْبِرَ عَلَى تَسْلِيمِ الْأَرْشِ، وَلَمَّا لَمْ يُجْبَرِ الرَّاهِنُ عَلَى تَسْلِيمِ الرَّهْنِ لَمْ يُجْبَرْ عَلَى تَسْلِيمِ الْأَرْشِ فَمِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَحْدَهُ اخْتَلَفَ بَيْعُ الْمُرْتَدِّ وَرَهْنُهُ.

Bahwa hak menuntut ganti rugi (arasy) hanya berlaku pada sesuatu yang wajib diserahkan. Ketika penjual diwajibkan menyerahkan barang yang dijual, maka ia juga diwajibkan menyerahkan ganti rugi (arasy). Namun ketika pemberi gadai tidak diwajibkan menyerahkan barang gadai, maka ia juga tidak diwajibkan menyerahkan ganti rugi (arasy). Dari sisi inilah terdapat perbedaan antara jual beli orang murtad dan gadaiannya.

فَلِذَلِكَ أَعَدْتُ تَقْسِيمَهُ وَلَمْ أَجْعَلِ الْجَوَابَ فِي الرَّهْنِ مَعْطُوفًا عَلَى الْجَوَابِ في البيع خوف الاشتباه.

Oleh karena itu, aku mengulang pembagiannya dan tidak menjadikan jawaban dalam masalah gadai digandengkan dengan jawaban dalam masalah jual beli, karena khawatir terjadi kerancuan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” والقاتل فَإِنْ قُتِلَ بَطَلَ الرَهْنُ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Dan pembunuh, jika ia dibunuh, maka batalah gadaiannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْعَبْدُ الْقَاتِلُ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Adapun budak pembunuh, maka ada dua jenis:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَاتِلَ خَطَأٍ يَلْزَمُهُ الْمَالُ. وَسَيَأْتِي الْكَلَامُ فِي جَوَازِ رَهْنِهِ.

Pertama: Pembunuh karena tidak sengaja yang wajib membayar diyat. Akan dijelaskan nanti tentang kebolehan menggadaikannya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَاتِلَ عَمْدٍ يَلْزَمُهُ الْقَوَدُ فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي قَتْلِ الْعَمْدِ. مَا الَّذِي يُوجِبُ.

Jenis kedua: Pembunuh dengan sengaja yang wajib dikenai qishāsh. Dalam hal pembunuhan sengaja, terdapat perbedaan pendapat Imam Syafi‘i mengenai apa yang menjadi konsekuensinya.

فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ أَنَّهُ يُوجِبُ الْقَوَدَ وَحْدَهُ فَأَمَّا الدِّيَةُ فَإِنَّمَا تَجِبُ بِاخْتِيَارِ الْوَلِيِّ. فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ رَهْنُهُ كَمَا يَجُوزُ رَهْنُ الْمُرْتَدِّ؛ لِأَنَّ الْقَاتِلَ يَتَرَدَّدُ بَيْنَ الِاقْتِصَاصِ مِنْهُ وَالْعَفْوِ عَنْهُ كَالْمُرْتَدِّ يَتَرَدَّدُ بَيْنَ قَتْلِهِ بِالرِّدَّةِ، وَسَلَامَتِهِ بِالتَّوْبَةِ.

Salah satu dari dua pendapat adalah bahwa pembunuhan sengaja hanya mewajibkan qishāsh saja, adapun diyat hanya wajib jika wali korban memilihnya. Dalam hal ini, boleh menggadaikannya sebagaimana boleh menggadaikan orang murtad; karena pembunuh berada dalam posisi antara kemungkinan diqishāsh atau dimaafkan, sebagaimana orang murtad berada dalam posisi antara kemungkinan dibunuh karena kemurtadannya atau selamat karena bertobat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ قَتْلَ الْعَمْدِ يُوجِبُ أَحَدَ أَمْرَيْنِ: إِمَّا الْقَوَدُ وَإِمَّا الدِّيَةُ فَعَلَى هَذَا فِي جَوَازِ رَهْنِهِ قَوْلَانِ:

Pendapat kedua: Bahwa pembunuhan sengaja mewajibkan salah satu dari dua hal: qishāsh atau diyat. Dalam hal kebolehan menggadaikannya, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ رَهْنُهُ كَالْقَاتِلِ الْخَطَأِ وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَجُوزُ رَهْنُهُ؛ لأنه قَدْ يَجُوزُ الْعَفْوُ عَنْهُ فَأَمَّا بَيْعُهُ فَقَدْ مَضَى فِي كِتَابِ الْبُيُوعِ.

Salah satunya: Tidak boleh menggadaikannya, seperti halnya pembunuh karena tidak sengaja. Pendapat kedua: Boleh menggadaikannya, karena bisa saja ia dimaafkan. Adapun tentang penjualannya, telah dijelaskan dalam Kitab al-Buyu‘.

(فَصْلٌ)

(Pembahasan)

فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ رَهْنَهُ جَائِزٌ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُرْتَهِنِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَالِمًا بِجِنَايَتِهِ أَوْ غَيْرَ عَالِمٍ.

Jika telah tetap demikian, maka jika kita katakan bahwa menggadaikannya itu boleh, maka keadaan penerima gadai tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia mengetahui kejahatannya atau tidak mengetahuinya.

فَإِنْ كَانَ عَالِمًا بِجِنَايَتِهِ فَلَا خِيَارَ لَهُ فِي الْحَالِّ؛ لِأَنَّ الْجِنَايَةَ عَيْبٌ إِذَا عُلِمَ بِهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ خِيَارٌ فِيهَا ثُمَّ يَنْظُرُ مَا يَكُونُ مِنْ أَمْرِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فِي الثَّانِي فَلَا يَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Jika ia mengetahui kejahatannya, maka ia tidak memiliki hak memilih (khiyār) pada saat itu; karena kejahatan adalah cacat yang jika telah diketahui, maka tidak ada hak memilih (khiyār) padanya. Kemudian dilihat apa yang akan terjadi dari pihak korban pada tahap berikutnya, yang tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَقْتَصَّ مِنْهُ.

Pertama: Ia diqishāsh.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُ إِلَى مَالٍ.

Kedua: Ia dimaafkan dengan pembayaran diyat.

وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُ إِلَى غَيْرِ مَالٍ.

Ketiga: Ia dimaafkan tanpa pembayaran diyat.

فَإِنِ اقْتَصَّ مِنْهُ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْقِصَاصِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika ia diqishāsh, maka keadaan qishāsh tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ فِي طَرَفٍ مِنْ أَطْرَافِهِ، أَوْ فِي نَفْسِهِ، فَإِنْ كَانَ الْقِصَاصُ فِي طَرَفٍ مِنْ أَطْرَافِهِ كَيَدِهِ أَوْ رِجْلِهِ كَانَ رَهْنًا بِحَالِهِ وَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ فِي الْبَيْعِ لِعِلْمِهِ بِجِنَايَتِهِ. وَإِنْ كَانَ الْقِصَاصُ فِي نَفْسِهِ فَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ لَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ كَالْمُسْتَحَقِّ وَعَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيٍّ لَا خِيَارَ لَهُ فِي الْبَيْعِ لِأَنَّهُ عَيْبٌ كَانَ عَالِمًا بِهِ فَهَذَا حُكْمُ الْقِصَاصِ.

Bisa jadi qishāsh itu pada salah satu anggota tubuhnya, atau pada dirinya sendiri. Jika qishāsh itu pada salah satu anggota tubuhnya seperti tangan atau kakinya, maka ia tetap menjadi barang gadai sebagaimana adanya dan tidak ada hak khiyar bagi penerima gadai dalam penjualan, karena ia telah mengetahui adanya tindak pidana tersebut. Namun jika qishāsh itu pada dirinya sendiri, menurut pendapat Abu Ishaq, penerima gadai memiliki hak khiyar untuk membatalkan penjualan seperti halnya barang yang ternyata milik orang lain. Sedangkan menurut pendapat Abu Ali, tidak ada hak khiyar baginya dalam penjualan karena itu adalah cacat yang sudah ia ketahui. Inilah hukum qishāsh.

وَإِنْ عَفَا عَنْهُ إِلَى مَالٍ فَلَا يَخْلُو حَالُ سَيِّدِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ

Jika dimaafkan dengan tebusan harta, maka keadaan tuannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَفْدِيَهُ مِنْ مَالِهِ، أَوْ لَا يَفْدِيَهُ. فَإِنْ فَدَاهُ مِنْ مَالِهِ وَدَفَعَ أَرْشَ جِنَايَتِهِ مِنْ عِنْدِهِ فَهُوَ رَهْنٌ بِحَالِهِ، وَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ فِي الْبَيْعِ.

Bisa jadi ia menebusnya dengan hartanya, atau tidak menebusnya. Jika ia menebusnya dengan hartanya dan membayar diyat atas tindak pidananya dari hartanya sendiri, maka ia tetap menjadi barang gadai sebagaimana adanya, dan tidak ada hak khiyar bagi penerima gadai dalam penjualan.

وَإِنْ لَمْ يَفْدِهِ السَّيِّدُ وَلَا غَيْرُهُ وَبِيعَ فِي الْجِنَايَةِ فَقَدْ بَطَلَ الرَّهْنُ.

Namun jika tuannya atau orang lain tidak menebusnya dan ia dijual karena tindak pidananya, maka batalah status gadai tersebut.

وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ لِلْمُرْتَهِنِ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ كَالْمُسْتَحَقِّ. وَعَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيٍّ لَا خِيَارَ لَهُ لِأَنَّهُ عَيْبٌ عَلِمَ بِهِ فَهَذَا حُكْمُ الْعَفْوِ إِلَى مَالٍ. وَإِنْ عَفَا عَنْهُ إِلَى غَيْرِ مَالٍ فَقَدْ سَقَطَ حُكْمُ الْجِنَايَةِ وَاسْتَقَرَّ رَهْنُهُ. وَلَا خِيَارَ فِي الْبَيْعِ بِحَالٍ. فَهَذَا حُكْمُ الْجِنَايَةِ إِذَا كَانَ الْمُرْتَهِنُ عَالِمًا بِهَا.

Menurut pendapat Abu Ishaq, penerima gadai memiliki hak khiyar untuk membatalkan penjualan seperti halnya barang yang ternyata milik orang lain. Sedangkan menurut pendapat Abu Ali, tidak ada hak khiyar baginya karena itu adalah cacat yang sudah ia ketahui. Inilah hukum pemaafan dengan tebusan harta. Jika dimaafkan tanpa tebusan harta, maka gugurlah hukum tindak pidana tersebut dan status gadai tetap berlaku. Tidak ada hak khiyar dalam penjualan dalam kondisi apapun. Inilah hukum tindak pidana jika penerima gadai mengetahui adanya tindak pidana tersebut.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا كَانَ الْمُرْتَهِنُ غَيْرَ عَالِمٍ بِجِنَايَتِهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun jika penerima gadai tidak mengetahui adanya tindak pidana tersebut, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَعْلَمَ بِهَا قَبْلَ اسْتِقْرَارِ حُكْمِهَا. فَإِذَا عَلِمَ بِهَا كَانَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ فَسْخِ الْبَيْعِ وَإِمْضَائِهِ. فَإِنْ فَسَخَ الْبَيْعَ كَانَ لَهُ، لِأَنَّ الْجِنَايَةَ عَيْبٌ لَمْ يَعْلَمْ بِهِ وَرَدُّهُ مُمْكِنٌ. فَإِنْ أَقَامَ صَارَ كَالْمُرْتَهِنِ عَالِمًا بِجِنَايَتِهِ. فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى مِنَ اعْتِبَارِ أَحْوَالِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فِي الْأَحْوَالِ الثَّلَاثَةِ مِنَ اقْتِصَاصِهِ أَوْ عَفْوِهِ عَلَى مَالٍ أَوْ عَفْوِهِ إِلَى غَيْرِ مَالٍ … ثُمَّ الْحُكْمُ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهَا عَلَى مَا مَضَى.

Pertama: Ia mengetahuinya sebelum hukum tindak pidana itu tetap berlaku. Jika ia mengetahuinya, maka ia memiliki hak khiyar antara membatalkan penjualan atau melanjutkannya. Jika ia membatalkan penjualan, maka itu menjadi haknya, karena tindak pidana tersebut adalah cacat yang tidak ia ketahui dan pengembalian masih memungkinkan. Jika ia tetap melanjutkan, maka ia seperti penerima gadai yang mengetahui adanya tindak pidana tersebut. Maka, statusnya mengikuti penjelasan sebelumnya terkait keadaan korban dalam tiga kondisi: qishāsh, pemaafan dengan tebusan harta, atau pemaafan tanpa tebusan harta … kemudian hukum pada masing-masing kondisi tersebut seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَلَّا يَعْلَمَ الْمُرْتَهِنُ بِجِنَايَتِهِ إِلَّا بَعْدَ اسْتِقْرَارِ حُكْمِهَا فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:

Keadaan kedua: Penerima gadai baru mengetahui adanya tindak pidana tersebut setelah hukum tindak pidana itu tetap berlaku. Maka, ini terbagi menjadi tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَسْتَقِرَّ حُكْمُهَا عَلَى الْقِصَاصِ مِنْهُ.

Pertama: Hukum tetapnya adalah qishāsh terhadapnya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَسْتَقِرَّ حُكْمُهَا عَلَى الْعَفْوِ عَنْهُ إِلَى مَالٍ.

Kedua: Hukum tetapnya adalah pemaafan dengan tebusan harta.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَسْتَقِرَّ حُكْمُهَا عَلَى الْعَفْوِ عَنْهُ إِلَى غَيْرِ مَالٍ فَإِنِ اسْتَقَرَّ حُكْمُهَا عَلَى الِاقْتِصَاصِ منه على ضَرْبَيْنِ:

Ketiga: Hukum tetapnya adalah pemaafan tanpa tebusan harta. Jika hukum tetapnya adalah qishāsh terhadapnya, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْقِصَاصُ فِي طَرَفِهِ، فَلَا يَبْطُلُ رَهْنُهُ بِالْقِصَاصِ لِبَقَائِهِ فِيهِ لَكِنَّ الْمُرْتَهِنَ بِالْخِيَارِ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ وَإِمْضَائِهِ لِإِمْكَانِ رَدِّهِ وَعَدَمِ الْعِلْمِ بِهِ.

Pertama: Qishāsh itu pada anggota tubuhnya, maka status gadai tidak batal karena qishāsh, karena barang gadai masih tetap ada. Namun, penerima gadai memiliki hak khiyar untuk membatalkan atau melanjutkan penjualan karena pengembalian masih memungkinkan dan ia sebelumnya tidak mengetahui cacat tersebut.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْقِصَاصُ فِي نَفْسِهِ، فَقَدْ بَطَلَ الرَّهْنُ، وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ لَهُ الْخِيَارُ وَإِنْ فَاتَ رَدُّهُ كَالْمُسْتَحَقِّ وَعَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيٍّ لَا خِيَارَ لَهُ لِفَوَاتِ رَدِّهِ كَالْعَيْبِ.

Kedua: Qishāsh itu pada dirinya sendiri, maka batalah status gadai. Menurut pendapat Abu Ishaq, ia memiliki hak khiyar meskipun pengembalian sudah tidak mungkin, seperti halnya barang yang ternyata milik orang lain. Sedangkan menurut pendapat Abu Ali, tidak ada hak khiyar baginya karena pengembalian sudah tidak mungkin, seperti cacat pada barang.

وَإِنِ اسْتَقَرَّ حُكْمُهَا عَلَى الْعَفْوِ عَنْهُ إِلَى مَالٍ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika hukum tetapnya adalah pemaafan dengan tebusan harta, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَفْدِيَهُ السَّيِّدُ. فَيَكُونُ حُكْمُهُ كَحُكْمِ الْعَفْوِ عَنْهُ إِلَى غَيْرِ مَالٍ عَلَى مَا نَذْكُرُهُ.

Pertama: Tuannya menebusnya. Maka hukumnya seperti hukum pemaafan tanpa tebusan harta sebagaimana akan dijelaskan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَلَّا يَفْدِيَهُ السَّيِّدُ، وَيُبَاعُ فِي جِنَايَتِهِ فَقَدْ بَطَلَ الرَّهْنُ. وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ لِلْمُرْتَهِنِ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ كَالْمُسْتَحَقِّ، وَعَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيٍّ لَا خِيَارَ لَهُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ لِفَوَاتِ رَدِّهِ كَالْمَعِيبِ.

Kedua: Tuannya tidak menebusnya, lalu ia dijual karena tindak pidananya, maka batalah status gadai. Menurut pendapat Abu Ishaq, penerima gadai memiliki hak khiyar untuk membatalkan penjualan seperti halnya barang yang ternyata milik orang lain. Sedangkan menurut pendapat Abu Ali, tidak ada hak khiyar baginya untuk membatalkan penjualan karena pengembalian sudah tidak mungkin, seperti barang cacat.

فَإِنِ اسْتَقَرَّ حُكْمُهَا عَلَى الْعَفْوِ عَنْهُ إِلَى غَيْرِ مَالٍ، فَقَدْ سَقَطَ حُكْمُ الْجِنَايَةِ ثُمَّ يُنْظَرُ فِي الْعَبْدِ الْجَانِي، فَإِنْ لَمْ يَتُبْ مِنْ جِنَايَتِهِ وَكَانَ مُصِرًّا عَلَى حَالِهِ، فَهَذَا عَيْبٌ وَلِلْمُرْتَهِنِ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ وَإِمْضَائِهِ. فَإِنْ تَابَ الْعَبْدُ مِنْ جِنَايَتِهِ وَانْتَهَى مِنَ الْعَوْدِ إِلَى مِثْلِهَا، فَهَلْ ذَلِكَ عَيْبٌ فِي الْحَالِّ أَمْ لَا. عَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا فِي الْبُيُوعِ.

Jika telah tetap hukumnya bahwa ia dimaafkan tanpa adanya kewajiban membayar harta, maka gugurlah hukum jinayah tersebut. Kemudian dilihat keadaan budak yang melakukan jinayah, jika ia tidak bertobat dari perbuatannya dan tetap bersikeras dalam keadaannya, maka ini merupakan cacat, dan bagi pemegang gadai (murtahin) ada hak memilih antara membatalkan jual beli atau melanjutkannya. Namun jika budak tersebut bertobat dari jinayahnya dan berhenti dari mengulangi perbuatan serupa, maka apakah hal itu masih dianggap cacat atau tidak pada saat itu? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang telah disebutkan dalam bab jual beli.

وَمَا ذَكَرْنَاهُ فِي تَوْبَةِ الْمُرْتَدِّ مِنَ الْوَجْهَيْنِ مَبْنِيٌّ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ:

Apa yang kami sebutkan tentang tobatnya murtad dari dua pendapat, dibangun atas dua pendapat yang telah lalu:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَيْبٌ. فَعَلَى هَذَا لَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ وَإِمْضَائِهِ.

Salah satunya: Bahwa itu adalah cacat. Maka berdasarkan pendapat ini, ia (murtahin) berhak memilih antara membatalkan jual beli atau melanjutkannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَيْسَ بِعَيْبٍ فِي الْحَالِّ. فَعَلَى هَذَا هَلْ لَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ أَمْ لَا. عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Bahwa itu bukan cacat pada saat itu. Maka berdasarkan pendapat ini, apakah ia berhak memilih antara membatalkan jual beli atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهُ الْخِيَارُ اعْتِبَارًا بِوُجُوبِهِ فِي الِابْتِدَاءِ.

Salah satunya: Ia berhak memilih, dengan pertimbangan bahwa hak tersebut wajib pada awalnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا خِيَارَ لَهُ اعْتِبَارًا بِسُقُوطِهِ فِي الِانْتِهَاءِ.

Pendapat kedua: Ia tidak berhak memilih, dengan pertimbangan bahwa hak tersebut telah gugur pada akhirnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا رَهْنُ الْعَبْدِ إِذَا كَانَ قَاتِلًا فِي الْحِرَابَةِ، فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun gadai budak jika ia adalah pembunuh dalam kasus hirabah (perampokan bersenjata), maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُرْهَنَ قَبْلَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ. فَهَذَا فِي حُكْمِ الْفَاعِلِ فِي غَيْرِ الْحِرَابَةِ لِجَوَازِ الْعَفْوِ عَنْهُ. فَيَكُونُ الْحُكْمُ فِي رَهْنِهِ عَلَى مَا مَضَى.

Salah satunya: Digadaikan sebelum ada kemampuan (untuk menangkapnya). Maka ini hukumnya seperti pelaku jinayah selain hirabah, karena masih dimungkinkan adanya pemaafan terhadapnya. Maka hukum gadai dalam kasus ini mengikuti hukum yang telah lalu.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَرْهَنَهُ بَعْدَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ فَفِي جَوَازِ رَهْنِهِ وَجْهَانِ:

Keadaan kedua: Digadaikan setelah ada kemampuan (untuk menangkapnya), maka dalam kebolehan menggadaikannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لِأَنَّ قَتْلَهُ فِي الْحِرَابَةِ لَا يُخْرِجُهُ مِنْ مِلْكِ سَيِّدِهِ كَالْمُرْتَدِّ.

Salah satunya: Boleh, karena pembunuhan dalam hirabah tidak mengeluarkannya dari kepemilikan tuannya, sebagaimana halnya murtad.

وَالثَّانِي: أَنَّ رَهْنَهُ لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّ قَتْلَهُ مَحْتُومٌ لَا يَجُوزُ الْعَفْوُ عَنْهُ، فَكَانَ أَسْوَأَ حَالًا مِنَ الْمُرْتَدِّ الَّذِي قَدْ يَتُوبُ فَيُعْفَى عَنْهُ.

Pendapat kedua: Tidak boleh menggadaikannya, karena pembunuhannya sudah pasti dan tidak boleh dimaafkan, sehingga keadaannya lebih buruk daripada murtad yang masih mungkin bertobat lalu dimaafkan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا أَخَذَ مَالَا فِي الْحِرَابَةِ، أَوْ سَرَقَ فِي غَيْرِ الْحِرَابَةِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun jika ia mengambil harta dalam hirabah, atau mencuri di luar hirabah, maka ini ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْمَالُ مَوْجُودًا مَعَهُ، فَيُنْزَعُ مِنْ يَدِهِ فَرَهْنُ هَذَا جَائِزٌ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِرَقَبَتِهِ غُرْمٌ. وَوُجُوبُ قَطْعِهِ لَا يَمْنَعُ مِنْ رَهْنِهِ.

Salah satunya: Harta tersebut masih ada padanya, maka harta itu diambil darinya, dan menggadaikan budak ini hukumnya boleh, karena tidak ada tanggungan ganti rugi yang melekat pada dirinya. Kewajiban pemotongan tangan tidak menghalangi bolehnya menggadaikan.

فَإِنْ كَانَ الْمُرْتَهِنُ عَالِمًا بِهِ فَلَا خِيَارَ لَهُ. وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَالِمًا بِهِ فَهُوَ بِالْخِيَارِ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ وَإِمْضَائِهِ، سَوَاءٌ عَلِمَ بِهِ قَبْلَ قَطْعِهِ، أَوْ لَمْ يَعْلَمْ بِهِ إِلَّا بَعْدَ قَطْعِهِ لِأَنَّهُ قَدْ يُمْكِنُ رَدُّهُ بَعْدَ الْقَطْعِ.

Jika pemegang gadai mengetahui hal itu, maka ia tidak memiliki hak memilih. Namun jika ia tidak mengetahuinya, maka ia berhak memilih antara membatalkan jual beli atau melanjutkannya, baik ia mengetahui sebelum pemotongan tangan, maupun baru mengetahuinya setelah pemotongan, karena masih mungkin untuk mengembalikannya setelah pemotongan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْمَالُ قَدْ تَلِفَ مِنْ يَدِهِ فَالْحُكْمُ فِي رَهْنِهِ كَالْحُكْمِ فِي رَهْنِ الْجَانِي خَطَأً عَلَى مَا نَذْكُرُهُ لِتَعَلُّقِ الغرم برقبته.

Keadaan kedua: Harta tersebut telah rusak di tangannya, maka hukum menggadaikannya sama dengan hukum menggadaikan pelaku jinayah karena kesalahan, sebagaimana akan dijelaskan, karena adanya tanggungan ganti rugi pada dirinya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَسْلَفَهُ بِرَهْنٍ ثُمَّ سَأَلَهُ الرَّاهِنُ أَنْ يَزِيدَهُ أَلْفًا وَيَجْعَلَ الرَّهْنَ الْأَوَّلَ رَهْنًا بِهَا وبالألف الأولى ففعل لم يجز الآخر لأنه كان رهنا كله بالألف الأولى كما لو تكارى دارا سنة بعشرة ثم اكتراها تلك السنة بعينها بعشرين لم يكن الكراء الثاني إلا بعد فسخ الأول (قال المزني) قلت أنا وأجازه في القديم وهو أقيس لأنه أجاز في الحق الواحد بالرهن الواحد أن يزيده في الحق رهنا فكذلك يجوز أن يزيده في الرهن حقا “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang memberikan pinjaman dengan jaminan gadai, kemudian pihak yang menggadaikan meminta agar ditambah seribu (dirham) dan menjadikan barang gadai yang pertama sebagai jaminan untuk tambahan tersebut dan untuk seribu yang pertama, lalu dilakukan, maka tambahan tersebut tidak sah, karena seluruhnya telah menjadi jaminan untuk seribu yang pertama, sebagaimana jika seseorang menyewa rumah selama setahun dengan sepuluh (dirham), lalu menyewanya kembali untuk tahun yang sama dengan dua puluh (dirham), maka sewa yang kedua tidak sah kecuali setelah membatalkan yang pertama.” (Al-Muzani berkata:) Saya berkata, “Beliau membolehkannya dalam pendapat lama, dan itu lebih sesuai dengan qiyas, karena beliau membolehkan dalam satu hak dengan satu gadai untuk menambah barang gadai dalam hak tersebut, maka demikian pula boleh menambah hak dalam barang gadai.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.

إِذَا رَهَنَ عَبْدَهُ عَلَى أَلْفِ دِرْهَمٍ ثُمَّ طَلَبَ مِنْهُ أَلِفًا أُخْرَى عَلَى أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ رَهْنًا بِالْأَلْفَيْنِ مَعًا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika seseorang menggadaikan budaknya untuk seribu dirham, kemudian meminta tambahan seribu lagi dengan syarat budak tersebut menjadi jaminan untuk kedua seribu itu sekaligus, maka ini ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَفْسَخَا الرَّهْنَ الْأَوَّلَ، ثُمَّ يَسْتَأْنِفَاهُ بِأَلْفَيْنِ فَهَذَا جَائِزٌ إِجْمَاعًا.

Salah satunya: Keduanya membatalkan gadai yang pertama, lalu memulai akad baru untuk dua ribu, maka ini boleh menurut ijmā‘.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَجْعَلَاهُ بِالْعَقْدِ الْأَوَّلِ رَهْنًا بِأَلْفَيْنِ فَهَذَا عَلَى قَوْلَيْنِ مَنْصُوصَيْنِ:

Keadaan kedua: Keduanya menjadikan dengan akad yang pertama budak tersebut sebagai jaminan untuk dua ribu, maka dalam hal ini ada dua pendapat yang masyhur:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ إِنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ وَبِهِ قَالَ الْمُزَنِيُّ وأبو يوسف وَأَبُو ثَوْرٍ.

Salah satunya, yaitu pendapat beliau dalam qaul qadim, bahwa hal itu boleh, dan ini juga pendapat al-Muzani, Abu Yusuf, dan Abu Tsaur.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ ذَلِكَ لَا يَجُوزُ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وأبو حنيفة.

Pendapat kedua, yaitu pendapat beliau dalam qaul jadid, bahwa hal itu tidak boleh, dan ini juga pendapat Malik dan Abu Hanifah.

فَإِذَا قُلْنَا بِقَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ إِنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ فَوَجْهُهُ أَنَّ الضَّمَانَ وَثِيقَةٌ كَمَا أَنَّ الرَّهْنَ وَثِيقَةٌ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ ضَمِنَ لَهُ أَلْفًا فَصَارَتْ ذِمَّتُهُ مَرْهُونَةً بِهَا جَازَ أَنْ يَضْمَنَ لَهُ أَلْفًا أُخْرَى فَتَصِيرُ ذِمَّتُهُ مَرْهُونَةً بِأَلْفَيْنِ. كَذَلِكَ إِذَا رَهَنَهُ عَبْدًا بِأَلْفٍ جَازَ أَنْ يَرْهَنَهُ بِأَلْفٍ أُخْرَى، فَيَصِيرُ الْعَبْدُ مَرْهُونًا بِأَلْفَيْنِ.

Jika kita mengikuti pendapat beliau dalam qaul qadīm bahwa hal itu boleh, alasannya adalah karena dhamān (jaminan) merupakan bentuk penjaminan sebagaimana rahn (gadai) juga merupakan penjaminan. Kemudian telah tetap bahwa jika seseorang menjamin utang seribu dinar, maka tanggungannya menjadi tergadai dengan jumlah itu, maka boleh baginya untuk menjamin seribu dinar lainnya sehingga tanggungannya menjadi tergadai dengan dua ribu dinar. Demikian pula, jika ia menggadaikan seorang budak dengan utang seribu dinar, maka boleh baginya untuk menggadaikannya lagi dengan seribu dinar lainnya, sehingga budak tersebut menjadi tergadai dengan dua ribu dinar.

وَلِأَنَّ الْعَبْدَ قَدْ يَكُونُ مَرْهُونًا بِجِنَايَتِهِ كَمَا يَكُونُ مَرْهُونًا بِحَقِّ مرتهنه، ثم ثبت أنه لو جنا جِنَايَةً صَارَ مَرْهُونًا بِهَا وَلَا يَمْنَعُ مِنْ حُدُوثِ جِنَايَةٍ ثَانِيَةٍ يَصِيرُ مَرْهُونًا بِهَا. . كَذَلِكَ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا بِحَقِّ مُرْتَهِنِهِ لَمْ يَمْنَعْ مِنْ حُدُوثِ حَقٍّ ثَانٍ لِمُرْتَهِنِهِ، فَيَصِيرُ مَرْهُونًا به.

Karena seorang budak bisa saja tergadai karena tindak pidananya, sebagaimana ia juga bisa tergadai karena hak pihak yang menerima gadai. Kemudian telah tetap bahwa jika ia melakukan suatu tindak pidana, maka budak itu menjadi tergadai karenanya, dan hal itu tidak mencegah terjadinya tindak pidana kedua yang menyebabkan budak itu kembali tergadai. Demikian pula, jika budak itu telah tergadai karena hak penerima gadai, hal itu tidak mencegah terjadinya hak kedua bagi penerima gadai, sehingga budak itu menjadi tergadai karenanya.

ولأنه لو كان مرهونا بألف وجنا جِنَايَةً أَرْشُهَا أَلْفٌ فَغَرِمَهَا الْمُرْتَهِنُ بِإِذْنِ الرَّاهِنِ عَلَى أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ فِي يَدِهِ رَهْنًا بِالْأَلْفِ الْأُولَى الَّتِي كَانَ مَرْهُونًا بِهَا وَبِالْأَلْفِ الَّتِي غَرَسَهَا جَازَ وَصَارَ الْعَبْدُ مَرْهُونًا بِأَلْفَيْنِ. كَذَلِكَ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا بِأَلْفٍ، ثُمَّ حَصَلَ لِلْمُرْتَهِنِ عَلَى الرَّاهِنِ أَلْفٌ أُخْرَى مِنْ مُعَامَلَةٍ عَلَى أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ رَهْنًا بِالْأَلْفِ الْأُولَى الَّتِي كَانَ مَرْهُونًا بِهَا وَبِالْأَلْفِ الثَّانِيَةِ الَّتِي اسْتَحَقَّهَا جَازَ وَصَارَ الْعَبْدُ مَرْهُونًا بِأَلْفَيْنِ.

Karena jika budak itu tergadai dengan utang seribu dinar dan kemudian melakukan tindak pidana yang diyatnya juga seribu dinar, lalu penerima gadai membayar diyat itu dengan izin pemberi gadai, dengan syarat budak itu tetap berada di tangannya sebagai gadai untuk seribu dinar pertama yang menjadi jaminannya dan untuk seribu dinar yang telah dibayarkan, maka hal itu boleh dan budak itu menjadi tergadai dengan dua ribu dinar. Demikian pula, jika budak itu tergadai dengan seribu dinar, kemudian penerima gadai memperoleh hak atas pemberi gadai sebesar seribu dinar lainnya dari suatu transaksi, dengan syarat budak itu menjadi gadai untuk seribu dinar pertama yang menjadi jaminannya dan untuk seribu dinar kedua yang menjadi haknya, maka hal itu boleh dan budak itu menjadi tergadai dengan dua ribu dinar.

وَلِأَنَّ الرَّهْنَ فِي مُقَابَلَةِ الدَّيْنِ. فَلَمَّا جَازَ أَنْ يُزَادَ فِي الدَّيْنِ الْوَاحِدِ رَهْنًا عَلَى رَهْنٍ، جَازَ أَنْ يُزَادَ فِي الرَّهْنِ الْوَاحِدِ دَيْنًا عَلَى دَيْنٍ.

Karena rahn (gadai) merupakan jaminan atas utang. Maka, ketika dibolehkan menambah rahn atas rahn dalam satu utang, maka dibolehkan pula menambah utang atas utang dalam satu rahn.

وَإِذَا قُلْنَا بِقَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ: إِنَّ ذَلِكَ لَا يَجُوزُ فَوَجْهُهُ أَنْ يُقَالَ: لَوْ جَازَ أَنْ يَرْتَهِنَهُ بِحَقٍّ آخَرَ لَجَازَ أَنْ يَكُونَ رَهْنًا عِنْدَ شَخْصٍ آخَرَ. فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ رَهْنًا عِنْدَ شَخْصٍ آخَرَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَرْتَهِنَهُ بِحَقٍّ آخَرَ.

Dan jika kita mengikuti pendapat beliau dalam qaul jadīd bahwa hal itu tidak boleh, alasannya adalah: jika dibolehkan untuk menggadaikan barang itu untuk hak lain, maka akan dibolehkan pula menjadikannya sebagai gadai di tangan orang lain. Maka, ketika tidak dibolehkan menjadikannya sebagai gadai di tangan orang lain, tidak dibolehkan pula menggadaikannya untuk hak lain.

أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَضْمَنَ لِشَخْصٍ جَازَ أَنْ يَضْمَنَ لَهُ حَقًّا آخَرَ.

Tidakkah engkau melihat bahwa ketika dibolehkan menjamin seseorang, maka dibolehkan pula menjamin hak lain untuk orang tersebut.

وَلِأَنَّ الرَّهْنَ وَكُلَّ جُزْءٍ مِنْهُ مَرْهُونٌ بِالْحَقِّ وَبِكُلِّ جُزْءٍ مِنْهُ بِدَلِيلِ أَنَّهُ لَوْ قَضَاهُ الْحَقَّ إِلَّا جُزْءًا مِنْهُ كَانَ الرَّهْنُ كُلُّهُ مَرْهُونًا فِي الْجُزْءِ الْبَاقِي مِنْهُ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَصِيرَ مَرْهُونًا بِحَقٍّ آخَرَ لِاشْتِغَالِهِ بِالْحَقِّ الْأَوَّلِ كَمَنْ أَجَرَ دَارًا سَنَةً لَمْ يَجُزْ أَنْ يُؤَاجِرَهَا ثَانِيَةً لِاشْتِغَالِهَا بِالْعَقْدِ الْأَوَّلِ.

Karena rahn dan setiap bagiannya tergadai untuk hak tersebut dan untuk setiap bagian darinya. Buktinya, jika ia melunasi hak itu kecuali sebagian darinya, maka seluruh rahn tetap tergadai untuk sisa bagian tersebut. Maka tidak boleh ia menjadi tergadai untuk hak lain karena telah tersibukkan dengan hak pertama, sebagaimana seseorang yang menyewakan rumah selama satu tahun, maka tidak boleh ia menyewakannya lagi karena masih terikat dengan akad pertama.

وَلِأَنَّ الرَّهْنَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مُتَقَدِّمًا عَلَى الْحَقِّ. فَلَوْ جَازَ إِدْخَالُ حَقٍّ ثَانٍ عَلَى الرَّهْنِ لَصَارَ الرَّهْنُ مُتَقَدِّمًا عَلَى الْحَقِّ.

Karena rahn tidak boleh mendahului hak. Maka, jika dibolehkan memasukkan hak kedua atas rahn, berarti rahn itu mendahului hak.

وَلِأَنَّ الرَّهْنَ يَتْبَعُ الْبَيْعَ لِاقْتِرَانِهِ بِهِ، وَاشْتِرَاطِهِ فِيهِ. فَيَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُهُ فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ إِذَا ابْتَاعَ شَيْئًا أَنْ يَبْتَاعَهُ ثَانِيَةً مَعَ بَقَاءِ الْعَقْدِ الْأَوَّلِ. لَمْ يَجُزْ إِذَا ارْتَهَنَ شَيْئًا أَنْ يَرْتَهِنَهُ ثَانِيَةً مَعَ بَقَاءِ الْعَقْدِ الْأَوَّلِ.

Karena rahn mengikuti jual beli karena keterkaitan dan persyaratan di dalamnya. Maka, berlaku atasnya hukum jual beli. Ketika tidak boleh membeli suatu barang untuk kedua kalinya selama akad pertama masih berlaku, maka tidak boleh pula menggadaikan suatu barang untuk kedua kalinya selama akad pertama masih berlaku.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الضَّمَانِ:

Adapun jawaban atas permasalahan dhamān:

فَالْمَعْنَى فِيهِ أن الضمان لا يستغرق ذمة الضامن بدليل أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَضْمَنَ لِشَخْصٍ آخَرَ فَجَازَ أَنْ يَضْمَنَ لَهُ حَقًّا آخَرَ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الرَّهْنُ؛ لِأَنَّ الْحَقَّ قَدِ اسْتَغْرَقَهُ … أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ رَهْنًا عِنْدَ شَخْصٍ آخَرَ فَكَذَلِكَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَرْتَهِنَهُ بِحَقٍّ آخَرَ.

Maksudnya adalah bahwa dhamān tidak menyita seluruh tanggungan penjamin, dengan bukti bahwa boleh bagi seseorang untuk menjamin orang lain, maka boleh pula menjamin hak lain untuk orang tersebut. Tidak demikian halnya dengan rahn, karena hak telah menyita barang tersebut… Tidakkah engkau melihat bahwa tidak boleh menjadikan barang itu sebagai rahn di tangan orang lain, maka demikian pula tidak boleh menggadaikannya untuk hak lain.

وَكَذَلِكَ الْجَوَابُ عَنْ دُخُولِ الْجِنَايَةِ عَلَى الْجِنَايَةِ:

Demikian pula jawaban atas masuknya tindak pidana atas tindak pidana lainnya:

أَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَطْرَأَ أَرْشٌ عَلَى أَرْشِهِ، جَازَ أَنْ يَطْرَأَ أَرْشُهُ عَلَى أَرْشِهِ وَلَمَّا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَطْرَأَ رَهْنُ غَيْرِهِ عَلَى رَهْنِهِ، لَمْ يَجُزْ أَنْ يَطْرَأَ رَهْنُهُ عَلَى رَهْنِهِ.

Karena ketika dimungkinkan adanya tambahan arsy pada arsy yang sudah ada, maka dimungkinkan pula tambahan arsy-nya sendiri pada arsy-nya. Dan ketika tidak dimungkinkan adanya tambahan rahn milik orang lain pada rahn-nya, maka tidak dimungkinkan pula tambahan rahn-nya sendiri pada rahn-nya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْمُرْتَهِنِ إِذَا فَدَاهُ مِنْ جِنَايَتِهِ وَصَارَ مَرْهُونًا بِهِمَا:

Adapun jawaban mengenai kasus murtahin (penerima gadai) jika ia menebus (membayar diyat) dari jinayah (kejahatan) yang dilakukan barang gadai, lalu barang itu menjadi tergadai karena keduanya:

فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: إِنَّ الْحُكْمَ فِي الْمَوْضِعَيْنِ سَوَاءٌ وَكِلَاهُمَا عَلَى قَوْلَيْنِ. فَعَلَى هَذَا سَقَطَ السُّؤَالُ.

Para sahabat kami berbeda pendapat; sebagian dari mereka berkata: Hukum pada kedua tempat itu sama dan keduanya memiliki dua pendapat. Dengan demikian, pertanyaan tersebut gugur.

وَقَالَ آخَرُونَ: بَلْ يَجُوزُ فِي الْجِنَايَةِ قَوْلًا وَاحِدًا. وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Dan yang lain berkata: Bahkan dalam kasus jinayah hanya ada satu pendapat yang membolehkan. Dan ini adalah nash dari Imam asy-Syafi‘i. Perbedaan antara keduanya ada pada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْجِنَايَةَ إِذَا طَرَأَتْ عَلَى الرَّهْنِ صَارَ الرَّهْنُ مَعْلُولًا بِهَا لِتَعَرُّضِهِ لِلْفَسْخِ فَجَازَ أَنْ يُزَادَ فِي الْحَقِّ كَالْبَيْعِ فِي زَمَانِ الْخِيَارِ لَمَّا كَانَ مُعَرَّضًا لِلْفَسْخِ جَازَ أَنْ يُزَادَ فِي الثَّمَنِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي غَيْرِ الْجِنَايَةِ؛ لِأَنَّ الرَّهْنَ غَيْرُ مُعَرَّضٍ لِلْفَسْخِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُزَادَ فِي الْحَقِّ كَالْبَيْعِ بَعْدَ تَقَضِّي الْخِيَارِ لِمَا لَمْ يَكُنْ مُعَرَّضًا لِلْفَسْخِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُزَادَ فِي الثَّمَنِ.

Pertama: Jika terjadi jinayah pada barang yang digadaikan, maka rahn menjadi cacat karenanya karena berpotensi dibatalkan, sehingga boleh ada tambahan hak, seperti halnya jual beli pada masa khiyar, ketika masih berpotensi dibatalkan maka boleh ada tambahan harga. Tidak demikian halnya pada selain jinayah, karena rahn tidak berpotensi dibatalkan, sehingga tidak boleh ada tambahan hak, seperti jual beli setelah masa khiyar selesai, karena tidak lagi berpotensi dibatalkan maka tidak boleh ada tambahan harga.

وَالثَّانِي: أَنَّ فِي ارْتِهَانِهِ بِمَا قَدْ فَدَاهُ مَنْ أَرْشِ جِنَايَتِهِ استصلاح لِرَهْنِهِ فَجَازَ أَنْ يَرْتَهِنَهُ بِهَا ثَانِيَةً مَعَ بَقَاءِ الرَّهْنِ الْأَوَّلِ كَمَا يَفْدِي الْمُشْتَرِي عَبْدَهُ إِذَا جَنَى عَلَى الْبَائِعِ فَيَبِيعُهُ مِنْهُ ثَانِيَةً كَمَا يَفْدِيهِ مَعَ بَقَاءِ الْبَيْعِ الْأَوَّلِ.

Kedua: Dalam hal barang gadai menjadi tergadai karena diyat jinayah yang telah ditebus, terdapat kemaslahatan bagi rahn pertama, sehingga boleh dijadikan rahn kembali bersamaan dengan tetapnya rahn pertama, sebagaimana pembeli menebus budaknya jika budak itu melakukan jinayah terhadap penjual, lalu penjual menjualnya kembali kepadanya, sebagaimana ia menebusnya dengan tetapnya akad jual beli pertama.

وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي غَيْرِ الْجِنَايَةِ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهِ اسْتِصْلَاحٌ لِلرَّهْنِ الْأَوَّلِ كَمَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَبْتَاعَهُ ثَانِيَةً فِي غَيْرِ الْجِنَايَةِ مَعَ بَقَاءِ الْعَقْدِ الْأَوَّلِ.

Tidak demikian halnya pada selain jinayah, karena di dalamnya tidak terdapat kemaslahatan bagi rahn pertama, sebagaimana tidak boleh membelinya kembali pada selain jinayah dengan tetapnya akad pertama.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِ الْمُزَنِيِّ: أَنَّهُ لَمَّا جَازَتِ الزِّيَادَةُ فِي الرَّهْنِ عَلَى دَيْنٍ وَاحِدٍ، جَازَتِ الزِّيَادَةُ فِي الدَّيْنِ عَلَى رَهْنٍ وَاحِدٍ. فَيُقَالُ: الدَّيْنُ مُسْتَغْرِقٌ لِلرَّهْنِ وَلَيْسَ الرَّهْنُ مُسْتَغْرِقًا لِلدَّيْنِ بِدَلِيلِ أَنَّ سُقُوطَ الدَّيْنِ يُبْطِلُ الرَّهْنَ، وَسُقُوطُ الرَّهْنِ لَا يُبْطِلُ الدَّيْنَ. فَلِذَلِكَ جَازَ دُخُولُ رَهْنٍ ثَانٍ عَلَى أَوَّلَ فِي دَيْنٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يَجُزْ دُخُولُ دَيْنٍ ثَانٍ عَلَى أَوَّلَ فِي رَهْنٍ واحد.

Adapun jawaban atas istidlal (argumentasi) al-Muzani: Ketika dibolehkan adanya tambahan pada rahn atas satu utang, maka dibolehkan pula tambahan pada utang atas satu rahn. Maka dikatakan: Utang itu meliputi rahn, sedangkan rahn tidak meliputi utang. Buktinya, gugurnya utang membatalkan rahn, sedangkan gugurnya rahn tidak membatalkan utang. Oleh karena itu, dibolehkan masuknya rahn kedua atas rahn pertama dalam satu utang, dan tidak dibolehkan masuknya utang kedua atas utang pertama dalam satu rahn.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَشْهَدَ الْمُرْتَهِنُ أَنَّ هَذَا الرَّهْنَ فِي يَدِهِ بِأَلْفَيْنِ جَازَتِ الشَّهَادَةُ فِي الْحُكْمِ فَإِنْ تَصَادَقَا فَهُوَ مَا قَالَا “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika murtahin (penerima gadai) bersaksi bahwa rahn (barang gadai) ini ada di tangannya karena dua ribu, maka kesaksian itu sah dalam hukum. Jika keduanya saling membenarkan, maka berlaku apa yang mereka katakan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كما قال. فإذا ارْتَهَنَ عَبْدًا بِأَلْفٍ ثُمَّ حَصَلَتْ لَهُ أَلْفٌ أُخْرَى فَجُعِلَ الْعَبْدُ رَهْنًا بِهَا وَبِالْأَلْفِ الْأُولَى ثُمَّ أَقَرَّ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ عِنْدَ حَاكِمٍ أَوْ عِنْدَ شَاهِدَيْنِ أَنَّ الْعَبْدَ رُهِنَ بِأَلْفَيْنِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan. Jika seseorang menggadaikan seorang budak dengan seribu, kemudian ia memperoleh seribu lagi, lalu budak itu dijadikan rahn untuk seribu yang kedua dan seribu yang pertama, kemudian rahin (penggadai) dan murtahin mengakui di hadapan hakim atau dua saksi bahwa budak itu digadaikan untuk dua ribu, maka hal ini ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ إِقْرَارُهُمَا بِذَلِكَ مُقَيَّدًا بِشَرْحِ الْحَالِّ.

Pertama: Pengakuan keduanya itu disertai penjelasan tentang keadaan yang terjadi.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُطْلَقًا.

Kedua: Pengakuan itu bersifat mutlak.

فَإِنْ أَقَرَّ بِذَلِكَ مُقَيَّدًا بِشَرْحِ مَا جَرَى مِنْ حَالِهِمَا نُظِرَ فَإِنْ كَانَ الْإِقْرَارُ عِنْدَ حَاكِمٍ حَكَمَ عَلَيْهِمَا بِاجْتِهَادِهِ فَإِنْ كَانَ يَرَى قَوْلَهُ فِي الْقَدِيمِ حَكَمَ بِأَنَّ الْعَبْدَ رهن بألفين. وإن كان يرى قوله في الجديد حكم بأن العبد رهن بالألف الأولى دُونَ الثَّانِيَةِ.

Jika pengakuan itu disertai penjelasan tentang keadaan yang terjadi di antara mereka, maka dilihat; jika pengakuan itu di hadapan hakim, maka hakim memutuskan berdasarkan ijtihadnya. Jika ia berpendapat sesuai qaul qadim (pendapat lama) Imam asy-Syafi‘i, maka diputuskan bahwa budak itu menjadi rahn untuk dua ribu. Jika ia berpendapat sesuai qaul jadid (pendapat baru), maka diputuskan bahwa budak itu menjadi rahn untuk seribu yang pertama saja, tidak untuk yang kedua.

وَإِنْ كَانَ الْإِقْرَارُ عِنْدَ شَاهِدَيْنِ فَأَرَادَ الشَّاهِدَانِ أَنْ يَشْهَدَا بِذَلِكَ عِنْدَ الْحَاكِمِ عِنْدَ اخْتِلَافِ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ. فَعَلَى الشَّاهِدَيْنِ أَنْ يُؤَدِّيَا إِلَى الْحَاكِمِ مَا سَمِعَاهُ مِنْ إِقْرَارِهِمَا مَشْرُوحًا. فَإِذَا شَهِدَا عِنْدَهُ حَكَمَ فِي الرَّهْنِ بِاجْتِهَادِهِ فَإِنْ كَانَ يَرَى الْقَوْلَ الْقَدِيمَ حَكَمَ بِأَنَّ الرَّهْنَ بِأَلْفَيْنِ. وَإِنْ كَانَ يَرَى الْقَوْلَ الْجَدِيدَ حَكَمَ أَنَّ الرَّهْنَ بِأَلْفٍ.

Jika pengakuan dilakukan di hadapan dua orang saksi, lalu kedua saksi tersebut ingin memberikan kesaksian tentang hal itu di hadapan hakim ketika terjadi perselisihan antara pihak yang menggadaikan (rāhin) dan pihak penerima gadai (murtahin), maka wajib bagi kedua saksi untuk menyampaikan kepada hakim apa yang mereka dengar dari pengakuan kedua belah pihak secara terperinci. Apabila keduanya telah bersaksi di hadapan hakim, maka hakim memutuskan perkara gadai berdasarkan ijtihadnya. Jika ia berpendapat sesuai dengan qaul qadīm, maka ia memutuskan bahwa barang gadai tersebut senilai dua ribu. Namun jika ia berpendapat sesuai dengan qaul jadīd, maka ia memutuskan bahwa barang gadai tersebut senilai seribu.

فَلَوْ أَرَادَ الشَّاهِدَانِ أَلَّا يَذْكُرَا شَرْحَ الْإِقْرَارِ وَشَهِدَا أَنَّ الْعَبْدَ رُهِنَ بِأَلْفَيْنِ فَإِنْ كَانَا مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ لَمْ يَجُزْ وَوَجَبَ عَلَيْهِمَا شَرْحُ الْإِقْرَارِ لِيَكُونَ الْحُكْمُ فِيهِ مَرْدُودًا إِلَى اجْتِهَادِ الْحَاكِمِ.

Jika kedua saksi ingin tidak menyebutkan penjelasan pengakuan dan bersaksi bahwa budak tersebut digadaikan dengan dua ribu, maka jika keduanya bukan termasuk ahlul ijtihad, hal itu tidak diperbolehkan dan wajib bagi keduanya untuk menjelaskan pengakuan tersebut agar keputusan hukum dikembalikan kepada ijtihad hakim.

وَإِنْ كَانَا مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ فَهَلْ يَجُوزُ لَهُمَا أَنْ يَشْهَدَا فِي الرَّهْنِ عِنْدَ الْحَاكِمِ بِمَا يُؤَدِّيهِمَا إِلَيْهِ اجْتِهَادُهُمَا أَوْ يَشْرَحَا لَهُ الْإِقْرَارَ اجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فِيمَا ثَبَتَ عِنْدَهُ بِشَهَادَتِهِمَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika keduanya termasuk ahlul ijtihad, apakah boleh bagi mereka untuk bersaksi tentang gadai di hadapan hakim sesuai dengan hasil ijtihad mereka, ataukah mereka harus menjelaskan pengakuan itu kepada hakim sehingga hakim berijtihad berdasarkan apa yang tetap di hadapannya melalui kesaksian mereka? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لِلشَّاهِدَيْنِ أَنْ يَجْتَهِدَا فِي الْإِقْرَارِ وَيُؤَدِّيَا إِلَى الْحَاكِمِ الشَّهَادَةَ عَلَى مَا يَصِحُّ مِنَ اجْتِهَادِهِمَا.

Pertama: Diperbolehkan bagi kedua saksi untuk berijtihad dalam pengakuan tersebut dan menyampaikan kesaksian kepada hakim berdasarkan apa yang sah menurut ijtihad mereka.

فَإِنْ كَانَا يَرَيَانِ قَوْلَهُ فِي الْقَدِيمِ شَهِدَا عِنْدَ الْحَاكِمِ أَنَّ الْعَبْدَ رُهِنَ بِأَلْفَيْنِ وَإِنْ كَانَا يَرَيَانِ قَوْلَهُ فِي الْجَدِيدِ شَهِدَا أَنَّ الْعَبْدَ رُهِنَ بِأَلْفٍ وَأَنَّ الرَّاهِنَ مُقِرٌّ لِلْمُرْتَهِنِ بِأَلْفٍ أُخْرَى بِغَيْرِ رَهْنٍ.

Jika keduanya berpendapat sesuai dengan qaul qadīm, maka mereka bersaksi di hadapan hakim bahwa budak tersebut digadaikan dengan dua ribu. Jika keduanya berpendapat sesuai dengan qaul jadīd, maka mereka bersaksi bahwa budak tersebut digadaikan dengan seribu dan bahwa pihak yang menggadaikan mengakui kepada penerima gadai adanya seribu lainnya tanpa gadai.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَهُوَ أَصَحُّ الْوَجْهَيْنِ: أَنَّ عَلَى الشَّاهِدَيْنِ أَنْ يَنْقُلَا الْإِقْرَارَ إِلَى الْحَاكِمِ مَشْرُوحًا عَلَى صُورَتِهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَجْتَهِدَا فِيهِ؛ لِأَنَّ الشَّاهِدَ نَاقِلٌ وَالِاجْتِهَادُ إِلَى الْحَاكِمِ وَهَكَذَا الْقَوْلُ فِي كُلِّ شَهَادَةٍ طَرِيقُهَا الِاجْتِهَادُ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abū Ishāq al-Marwazī dan ini adalah pendapat yang lebih kuat di antara dua pendapat tersebut: Wajib bagi kedua saksi untuk menyampaikan pengakuan itu kepada hakim secara terperinci sesuai dengan bentuk aslinya dan tidak boleh mereka berijtihad dalam hal itu; karena saksi hanya sebagai penyampai, sedangkan ijtihad diserahkan kepada hakim. Demikian pula hukum dalam setiap kesaksian yang jalurnya memerlukan ijtihad.

فَهَذَا حُكْمُ الْإِقْرَارِ إِذَا كَانَ مُقَيَّدًا.

Inilah hukum pengakuan jika pengakuan tersebut bersifat muqayyad (terikat/terbatas).

فَإِنْ أَقَرَّا بِذَلِكَ مُطْلَقًا وَهُوَ أَنْ يُقِرَّا عِنْدَ الْحَاكِمِ أَوْ عِنْدَ شَاهِدَيْنِ أَنَّ هَذَا الْعَبْدَ رُهِنَ بِأَلْفَيْنِ فَإِنَّ الْحُكْمَ بِظَاهِرِ إِقْرَارِهِمَا وَاجِبٌ فَيَحْكُمُ الْحَاكِمُ فِي الظَّاهِرِ أَنَّ هَذَا الْعَبْدَ رُهِنَ بِأَلْفَيْنِ إِمَّا بِإِقْرَارِهِمَا أَوْ بِشَهَادَةِ الشَّاهِدَيْنِ عَلَى إِقْرَارِهِمَا.

Jika kedua belah pihak mengakui hal itu secara mutlak, yaitu mereka mengakui di hadapan hakim atau di hadapan dua orang saksi bahwa budak ini digadaikan dengan dua ribu, maka wajib memutuskan perkara berdasarkan lahiriah pengakuan mereka. Maka hakim memutuskan secara lahiriah bahwa budak ini digadaikan dengan dua ribu, baik dengan pengakuan mereka maupun dengan kesaksian dua saksi atas pengakuan mereka.

فَلَوْ عَادَ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ جَمِيعًا إِلَى الْحَاكِمِ فَاعْتَرَفَا عِنْدَهُ بِالْحَالِّ وَشَرَحَا لَهُ الصُّورَةَ فَإِنْ كَانَ الْحَاكِمُ يَرَى قَوْلَهُ فِي الْقَدِيمِ كَانَ عَلَى الْحُكْمِ الْأَوَّلِ فِي أَنَّ الْعَبْدَ رُهِنَ بِأَلْفَيْنِ وَإِنْ كَانَ يَرَى قَوْلَهُ فِي الْجَدِيدِ حَكَمَ بِأَنَّ الْعَبْدَ رُهِنَ بِالْأَلْفِ الْأُولَى دُونَ الثَّانِيَةِ.

Jika pihak yang menggadaikan dan penerima gadai bersama-sama kembali kepada hakim lalu mengakui keadaan yang sebenarnya di hadapannya dan menjelaskan situasinya, maka jika hakim berpendapat sesuai dengan qaul qadīm, maka tetap pada keputusan pertama bahwa budak tersebut digadaikan dengan dua ribu. Namun jika ia berpendapat sesuai dengan qaul jadīd, maka ia memutuskan bahwa budak tersebut digadaikan dengan seribu yang pertama saja, tidak termasuk seribu yang kedua.

وَلَوْ عَادَ الْمُرْتَهِنُ وَحْدَهُ يَعْتَرِفُ بِذَلِكَ كَانَ الْحُكْمُ كَذَلِكَ وَلَكِنْ لَوْ عَادَ الرَّاهِنُ يَدَّعِي ذَلِكَ وَأَنْكَرَ الْمُرْتَهِنُ. فَإِنْ كَانَ الْحَاكِمُ يَرَى قَوْلَهُ فِي الْقَدِيمِ قَالَ لِلرَّاهِنِ: هَذِهِ الدَّعْوَى مُؤَثِّرَةٌ فِي الْحُكْمِ.

Jika penerima gadai saja yang kembali dan mengakui hal itu, maka keputusannya tetap demikian. Namun jika pihak yang menggadaikan yang kembali dan mengklaim hal itu sementara penerima gadai mengingkarinya, maka jika hakim berpendapat sesuai dengan qaul qadīm, ia berkata kepada pihak yang menggadaikan: Klaim ini berpengaruh dalam keputusan hukum.

وَإِنْ كَانَ يَرَى قَوْلَهُ فِي الْجَدِيدِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ، وَلَا تُقْبَلُ دَعْوَى الرَّاهِنِ لِتَقَدُّمِ إِقْرَارِهِ. وَهَلْ عَلَى الْمُرْتَهِنِ الْيَمِينُ أَمْ لَا. عَلَى وَجْهَيْنِ:

Namun jika ia berpendapat sesuai dengan qaul jadīd, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan penerima gadai, dan klaim pihak yang menggadaikan tidak diterima karena telah didahului oleh pengakuannya. Apakah penerima gadai harus bersumpah atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَمِينَ عَلَيْهِ.

Pertama: Tidak ada sumpah atasnya.

وَالثَّانِي: عَلَيْهِ الْيَمِينُ.

Kedua: Ia wajib bersumpah.

وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي الرَّاهِنِ إِذَا أَقَرَّ لِلْمُرْتَهِنِ بِتَسْلِيمِ الرَّهْنِ إِلَيْهِ ثُمَّ عَادَ يَدَّعِي أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ قَدْ سَلَّمَهُ إِلَيْهِ وَسَأَلَ إِحْلَافَهُ هَلْ يَحْلِفُ الْمُرْتَهِنُ أَمْ لَا. عَلَى وَجْهَيْنِ: كَذَلِكَ هَهُنَا.

Kedua pendapat ini mengikuti perbedaan dua pendapat dalam kasus pihak yang menggadaikan jika ia mengakui kepada penerima gadai bahwa ia telah menyerahkan barang gadai kepadanya, kemudian ia kembali mengklaim bahwa ia belum menyerahkannya dan meminta agar penerima gadai disumpah, apakah penerima gadai harus bersumpah atau tidak. Dalam hal ini juga terdapat dua pendapat, demikian pula di sini.

فَلَوْ كَانَ الشَّاهِدَانِ حِينَ شَهِدَا عَلَى الرَّاهِنِ بِإِقْرَارِهِ الْمُطْلَقِ عَلِمَا الْحَالَ فِي الْبَاطِنِ، فَهَلْ عَلَيْهِمَا إِذَا شَهِدَا بِالْإِقْرَارِ الْمُطْلَقِ أَنْ يُخْبِرَا بِمَا عَلِمَا فِي الْبَاطِنِ أَمْ لَا. عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika kedua saksi, ketika memberikan kesaksian atas pengakuan mutlak dari pihak yang menggadaikan, mengetahui keadaan yang sebenarnya di dalam batin, maka apakah wajib bagi keduanya ketika bersaksi atas pengakuan mutlak itu untuk memberitahukan apa yang mereka ketahui dalam batin atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِمَا أَنْ يَشْهَدَا بِالْإِقْرَارِ الْمُطْلَقِ، وَلَيْسَ عَلَيْهِمَا الْإِخْبَارُ بِمَا عَلِمَا فِي الْبَاطِنِ لِأَنَّ الشَّاهِدَ يُؤَدِّي مَا تَحَمَّلَ.

Pertama: Keduanya wajib bersaksi atas pengakuan mutlak, dan tidak wajib memberitahukan apa yang mereka ketahui dalam batin, karena saksi hanya menyampaikan apa yang ia tanggung.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ. أَنَّ عَلَيْهِمَا أَنْ يَشْهَدَا بِالْإِقْرَارِ الْمُطْلَقِ وَيُخْبِرَا بِمَا عَلِمَا فِي الْبَاطِنِ، لِأَنَّ الشَّاهِدَ يَنْقُلُ إِلَى الْحَاكِمِ بِمَا عَلِمَهُ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih: Keduanya wajib bersaksi atas pengakuan mutlak dan juga memberitahukan apa yang mereka ketahui dalam batin, karena saksi menyampaikan kepada hakim apa yang ia ketahui.

فَسَوَاءٌ كَانَ إِقْرَارًا أَوْ غَيْرَ إِقْرَارٍ. وَهَكَذَا الْقَوْلُ فِي كُلِّ مَا عَلَيْهِ مَعَ مَا تَحَمَّلَهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَا عَلِمَهُ يُنَافِي مَا تَحَمَّلَهُ أَوْ يَعْتَقِدُ أَنَّهُ مُنَافٍ لِمَا تَحَمَّلَهُ فَيَلْزَمُهُ الْإِخْبَارُ بِمَا عَلِمَهُ … وَهَذَا مَبْنِيٌّ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي اجْتِهَادِ الشَّاهِدِ.

Baik itu berupa pengakuan maupun bukan pengakuan. Demikian pula hukum dalam setiap perkara yang berkaitan dengan apa yang ia tanggung, kecuali jika apa yang ia ketahui bertentangan dengan apa yang ia tanggung atau ia meyakini bahwa hal itu bertentangan dengan apa yang ia tanggung, maka wajib baginya untuk memberitahukan apa yang ia ketahui … Dan hal ini dibangun di atas apa yang telah kami sebutkan tentang perbedaan dua pendapat dalam ijtihad saksi.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ رَهَنَ عَبْدًا قَدْ صَارَتْ فِي عُنُقِهِ جِنَايَةٌ عَلَى آدَمِيٍّ أَوْ فِي مَالٍ فَالرَّهْنُ مَفْسُوخٌ وَلَوْ أَبْطَلَ رَبُّ الْجِنَايَةِ حَقَّهُ لِأَنَّهُ كَانَ أَوْلَى بِهِ بِحَقٍّ لَهُ فِي عُنُقِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menggadaikan seorang budak yang telah terbebani jinayah (tindak pidana) terhadap seorang manusia atau terhadap harta, maka gadaiannya batal. Dan jika pemilik hak jinayah menggugurkan haknya, karena ia lebih berhak atas budak itu karena adanya hak atas lehernya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ جِنَايَةَ الْعَبْدِ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa jinayah budak itu ada dua macam:

عَمْدٍ يُوجِبُ الْقَوَدَ وَقَدْ مَضَى حُكْمُهُ، وَخَطَأٍ يُوجِبُ الْمَالَ وَهَذَا مَوْضِعُهُ فَإِذَا كَانَتْ جِنَايَةُ الْعَبْدِ خَطَأً تُوجِبُ الْمَالَ فَقَدْ تَعَلَّقَتْ بِرَقَبَتِهِ لِيُبَاعَ فِي جِنَايَتِهِ.

Pertama, jinayah sengaja yang mewajibkan qishash dan hukumnya telah dijelaskan; kedua, jinayah karena kesalahan yang mewajibkan pembayaran harta, dan ini adalah tempat pembahasannya. Jika jinayah budak itu karena kesalahan yang mewajibkan pembayaran harta, maka jinayah itu terkait dengan lehernya agar ia dijual untuk menutupi jinayahnya.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي كَيْفِيَّةِ وُجُوبِهَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Para ulama kami berbeda pendapat tentang bagaimana kewajiban tersebut, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا وَجَبَتِ ابْتِدَاءً فِي رَقَبَتِهِ لِأَنَّهُ لَوْ مَاتَ سَقَطَ أَرْشُهَا لِفَوَاتِ رَقَبَتِهِ.

Pertama: Kewajiban itu sejak awal terkait dengan lehernya, karena jika ia mati maka diyatnya gugur karena lehernya telah hilang.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا وَجَبَتِ ابْتِدَاءً فِي ذِمَّتِهِ ثُمَّ انْتَقَلَ وُجُوبُهَا إِلَى رَقَبَتِهِ لِأَنَّهُ لَوْ أُعْتِقَ لَوَجَبَ عَلَيْهِ أَرْشُهَا فِي ذِمَّتِهِ، وَلَوْ وَجَبَتْ فِي رَقَبَتِهِ لَكَانَ كَالْحَقِّ الْمَرْهُونِ فِيهِ لَا يَنْتَقِلُ بَعْدَ عِتْقِهِ إِلَى ذِمَّتِهِ.

Pendapat kedua: Kewajiban itu sejak awal terkait dengan tanggungannya (dzimmah), kemudian berpindah menjadi terkait dengan lehernya, karena jika ia dimerdekakan maka diyatnya wajib atas tanggungannya. Jika sejak awal terkait dengan lehernya, maka ia seperti hak yang digadaikan padanya yang tidak berpindah ke tanggungannya setelah ia dimerdekakan.

وَالْوَجْهُ الْأَوَّلُ أَصَحُّ. لِأَنَّهَا لَوْ وَجَبَتْ فِي ذِمَّتِهِ فِي الِابْتِدَاءِ مَا جَازَ أَنْ تَنْتَقِلَ إِلَى رَقَبَتِهِ فِي الِانْتِهَاءِ كَالدَّيْنِ، لَمَّا كَانَ وُجُوبُهُ فِي ذِمَّتِهِ لَمْ يَنْتَقِلْ إِلَى رَقَبَتِهِ.

Pendapat pertama lebih sahih. Karena jika sejak awal kewajiban itu terkait dengan tanggungannya, maka tidak boleh berpindah ke lehernya pada akhirnya, sebagaimana utang; ketika kewajibannya pada tanggungan, tidak berpindah ke lehernya.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنْ أَرْشَ الْجِنَايَةِ مُتَعَلِّقٌ بِرَقَبَتِهِ فَإِنْ فَدَاهُ السَّيِّدُ مِنْ جِنَايَتِهِ أَوْ أَبْرَأَهُ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ مِنْهَا جَازَ لِلسَّيِّدِ أَنْ يَرْهَنَهُ لِفَكَاكِ رَقَبَتِهِ، وَخَلَاصِهِ مِنْ جِنَايَتِهِ فَإِنْ كَانَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ بَاقِيًا فِي رَقَبَتِهِ لَمْ يَجُزْ لِلسَّيِّدِ أَنْ يَرْهَنَهُ لِأَنَّهُ مرهون بأرش جنايته، فإن رهنه باطلا مُوسِرًا كَانَ أَوْ مُعْسِرًا.

Jika telah tetap bahwa diyat jinayah itu terkait dengan lehernya, maka jika tuannya menebusnya dari jinayahnya atau orang yang menjadi korban memaafkannya, maka tuan boleh menggadaikannya untuk membebaskan lehernya dan melepaskannya dari jinayahnya. Namun jika diyat jinayah masih tetap pada lehernya, maka tidak boleh bagi tuan untuk menggadaikannya, karena ia telah tergadai dengan diyat jinayahnya. Jika tuan tetap menggadaikannya, maka gadaiannya batal, baik ia mampu membayar maupun tidak.

وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ خَرَّجَ فِي رَهْنِهِ قَوْلًا ثَانِيًا إِنَّهُ جَائِزٌ إِذَا كَانَ مُوسِرًا وَهُوَ قَوْلُ مَنْ زَعَمَ أَنَّهَا وَجَبَتْ فِي الِابْتِدَاءِ فِي ذِمَّتِهِ. فَإِنْ فَدَاهُ السَّيِّدُ اسْتَقَرَّ رَهْنُهُ وَإِنْ بِيعَ فِي الْجِنَايَةِ بَطَلَ رَهْنُهُ.

Sebagian ulama kami ada yang mengemukakan pendapat kedua dalam masalah menggadaikannya, yaitu boleh jika tuan mampu membayar, dan ini adalah pendapat orang yang berpendapat bahwa kewajiban itu sejak awal terkait dengan tanggungannya. Jika tuan menebusnya, maka gadaiannya tetap berlaku, dan jika ia dijual karena jinayah, maka gadaiannya batal.

وَالصَّحِيحُ أَنَّ رَهْنَهُ بَاطِلٌ قَوْلًا وَاحِدًا فِي الْيَسَارِ وَالْإِعْسَارِ لِأَنَّ حَقَّ الْجِنَايَةِ أَوْكَدُ مِنْ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ لِتَقْدِيمِهِ إِذَا طَرَأَ عَلَى الرَّهْنِ ثُمَّ كَانَ الْمَرْهُونُ لَا يَجُوزُ رَهْنُهُ قَبْلَ فَكَاكِهِ لِتَعَلُّقِ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِرَقَبَتِهِ، فَالْجَانِي أَوْلَى أَلَّا يَجُوزَ رَهْنُهُ قَبْلَ فَكَاكِهِ لِتَعَلُّقِ حَقِّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ بِرَقَبَتِهِ. فَلَوْ أَنَّ الْمَجْنِيَّ عَلَيْهِ أَبْطَلَ أَرْشَ جِنَايَتِهِ مِنْ رَقَبَةِ الْعَبْدِ لَمْ يَصِحَّ الرَّهْنُ إِلَّا أَنْ يَسْتَأْنِفَا تَجْدِيدَ رَهْنٍ لِأَنَّ الْعَقْدَ إِذَا وَقَعَ فَاسِدًا لَا يَصِحُّ بِزَوَالِ ما وقع به فاسدا.

Pendapat yang sahih adalah bahwa gadai tersebut batal secara mutlak, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, karena hak jināyah lebih kuat daripada hak murtahin, sebab hak jināyah didahulukan apabila muncul pada barang yang digadaikan. Kemudian, barang yang digadaikan tidak boleh digadaikan sebelum ditebus karena hak murtahin telah melekat pada dirinya. Maka, pelaku jināyah lebih utama untuk tidak boleh digadaikan sebelum ditebus karena hak korban jināyah telah melekat pada dirinya. Jika korban jināyah menggugurkan diyat jināyah dari leher budak, maka gadai tidak sah kecuali keduanya memperbarui akad gadai, karena apabila akad terjadi dalam keadaan fasid, tidak menjadi sah hanya dengan hilangnya sebab yang menjadikannya fasid.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ تُسَاوِي دِينَارًا وَالْعَبْدُ يُسَاوِي أَلْفًا وَهَذَا أَكْبَرُ مِنْ أَنْ يَكُونَ رَهْنَهُ بِحَقٍّ ثُمَّ رَهَنَهُ بَعْدَ الْأَوَّلِ فَلَا يَجُوزُ الرَّهْنُ الثَّانِي “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika jināyah itu senilai satu dinar, sedangkan budak itu senilai seribu dinar, dan ini lebih besar daripada sekadar menggadaikannya karena suatu hak, kemudian digadaikan lagi setelah gadai pertama, maka gadai kedua tidak sah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ رَهْنَ الْعَبْدِ الْجَانِي خَطَأٌ عَلَى نَفْسٍ. أَوْ مَالٍ لَا يَجُوزُ قَبْلَ فَكَاكِهِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ سَوَاءٌ كَانَ أَرْشُ جِنَايَتِهِ مِثْلَ قيمته أو أقل حتى إن كانت قيمته أَلْفًا وَأَرْشُ جِنَايَتِهِ مِائَةً لَمْ يَجُزْ رَهْنُهُ بِمَا فَضَلَ مِنْ جِنَايَتِهِ.

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa menggadaikan budak yang melakukan jināyah khata’ terhadap jiwa atau harta tidak boleh sebelum ditebus menurut pendapat yang sahih dalam mazhab, baik diyat jināyahnya senilai dengan harganya atau kurang. Bahkan jika harganya seribu dan diyat jināyahnya seratus, tidak boleh digadaikan untuk sisa nilai dari jināyahnya.

فَإِنْ قَالَ: قَدْ رَهَنْتُكَ الْفَاضِلَ مِنْ جِنَايَتِهِ لَمْ يَجُزْ.

Jika ia berkata: “Aku menggadaikan kepadamu sisa dari nilai jināyahnya,” maka tidak sah.

وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ؛ لِأَنَّ تَعَلُّقَ الْجِنَايَةِ بِرَقَبَتِهِ كَتَعَلُّقِ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِرَقَبَتِهِ وَأَوْكَدُ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ رَهَنَهُ بِمِائَةٍ وَقِيمَتُهُ أَلْفٌ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَرْهَنَهُ ثَانِيَةً بِمَا بَقِيَ مِنَ الْأَلْفِ لِأَنَّ الرَّهْنَ الْأَوَّلَ قَدْ تَعَلَّقَ بِالرَّقَبَةِ وَبِكُلِّ جُزْءٍ مِنْهَا، فَصَارَ مُسْتَغْرِقًا لَهَا كَذَلِكَ فِي الْجِنَايَةِ.

Hal itu demikian karena keterkaitan jināyah pada dirinya seperti keterkaitan hak murtahin pada dirinya, bahkan lebih kuat. Telah tetap pula bahwa jika ia menggadaikannya untuk seratus, padahal nilainya seribu, maka tidak boleh menggadaikannya lagi untuk sisa dari seribu itu, karena gadai pertama telah melekat pada dirinya dan pada setiap bagian darinya, sehingga menjadi menyeluruh. Demikian pula dalam kasus jināyah.

فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ إِذًا رَهَنَهُ بِمِائَةٍ وَقِيمَتُهُ أَلْفٌ أَلَا يَجُوزَ أَنْ يَرْهَنَهُ بِمَا بَقِيَ مِنَ الْأَلْفِ.

Jika dikatakan: “Mengapa jika ia menggadaikannya untuk seratus, padahal nilainya seribu, tidak boleh menggadaikannya untuk sisa dari seribu itu?”

قُلْنَا: لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ اسْتِغْرَاقِهِ بِالْمِائَةِ. وَيَجُوزُ أَنْ تَعُودَ قِيمَتُهُ مِائَةً فيصير الثاني مشاركا للأول منهما.

Kami katakan: Karena sebagaimana telah disebutkan, seluruh nilainya telah tercakup oleh seratus itu. Namun, boleh jadi nilainya turun menjadi seratus, sehingga yang kedua menjadi sekutu bagi yang pertama.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ ارْتَهَنَهُ فَقَبَضَهُ ثُمَّ أَقَرَّ الرَّاهِنُ أَنَّهُ جَنَى قَبْلَ الرَّهْنِ جِنَايَةً ادَّعَى بِهَا فَفِيهَا قولان أحدهما أن القول قول الراهن لأنه أقر بحق في عنق عبده ولا تبرأ ذمته من دين المرتهن وقيل يحلف المرتهن ما علم فإذا حلف كان القول في إقرار الراهن بأن عبده جنى قبل أن يرهنه واحدا من قولين أحدهما أن العبد رهن ولا يؤخذ من ماله شيء وإن كان موسرا لأنه إنما أقر في شيء واحد بحقين لرجلين أحدهما من قبل الجناية والآخر من قبل الرهن وإذا فك من الرهن وهو له فالجناية في رقبته بإقرار سيده إن كانت خطأ أو شبه عمد لا قصاص وإن كانت عمدا فيها قصاص لم يقبل قوله على العبد إذا لم يقر بها والقول الثاني أنه إذا كان موسرا أخذ من السيد الأقل من قيمة العبد أو أرش الجناية فيدفع إلى المجني عليه لأنه يقر بأن في عنق عبده حقا أتلفه على المجني عليه برهنه إياه وكان كمن أعتق عبده وقد جنى وهو موسر أو أتلفه أو قتله فيضمن الأقل من قيمته أو أرش الجناية وهو رهن بحاله وإنما أتلف على المجني عليه لا على المرتهن وإن كان معسرا فهو رهن بحاله ومتى خرج من الرهن وهو في ملكه فالجناية في عنقه وإن خرج من الرهن ببيع ففي ذمة سيده الأقل من قيمته أو أرش جنايته (قال المزني) قلت أنا وهذا أصحها وأشبهها بقوله لأنه هو والعلماء مجمعة أن من أقر بما يضره لزمه ومن أَقَرَّ بِمَا يَبْطُلُ بِهِ حَقُّ غَيْرِهِ لَمْ يجز عَلَى غَيْرِهِ وَمَنْ أَتْلَفَ شَيْئًا لِغَيْرِهِ فِيهِ حق فهو ضامن بعدوانه، وقد قال إن لم يحلف المرتهن على علمه كان المجني عليه أولى به منه وقد قال الشافعي بهذا المعنى لو أقر أنه أعتقه لم يضر المرتهن فإن كان موسرا أخذت منه قيمته فجعلت رهنا مكانه ولو كان معسرا بيع في الرهن (قال) ومتى رجع إليه لأنه مقر أنه حر “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menggadaikan budaknya lalu budak itu telah diterima oleh murtahin, kemudian rahin mengakui bahwa budak itu telah melakukan jināyah sebelum digadaikan, yang dituntut oleh korban jināyah, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Salah satunya, pendapat rahin diterima karena ia mengakui adanya hak pada leher budaknya, dan tanggung jawabnya terhadap utang murtahin tidak gugur. Ada pula yang mengatakan, murtahin harus bersumpah bahwa ia tidak tahu, jika ia bersumpah, maka dalam pengakuan rahin bahwa budaknya telah melakukan jināyah sebelum digadaikan, ada dua pendapat: salah satunya, budak itu tetap menjadi barang gadai dan tidak diambil dari hartanya sedikit pun meskipun ia mampu, karena ia mengakui dua hak pada satu hal untuk dua orang, satu dari sisi jināyah dan satu dari sisi gadai. Jika budak itu ditebus dari gadai dan kembali menjadi miliknya, maka jināyah tetap melekat pada dirinya berdasarkan pengakuan tuannya, jika jināyah itu khata’ atau syibh ‘amd, bukan qishāsh. Jika jināyah itu ‘amd yang mengharuskan qishāsh, maka pengakuannya tidak diterima atas budak jika budak tidak mengakuinya. Pendapat kedua, jika tuan budak itu mampu, maka diambil darinya yang lebih kecil antara nilai budak atau diyat jināyah, lalu diberikan kepada korban jināyah, karena ia mengakui adanya hak pada leher budaknya yang telah ia hilangkan dari korban jināyah dengan menggadaikannya. Keadaannya seperti orang yang memerdekakan budaknya yang telah melakukan jināyah dan ia mampu, atau membinasakan atau membunuhnya, maka ia menanggung yang lebih kecil antara nilai budak atau diyat jināyah. Budak itu tetap menjadi barang gadai, dan yang ia hilangkan adalah hak korban jināyah, bukan hak murtahin. Jika ia tidak mampu, maka budak tetap menjadi barang gadai, dan kapan pun budak itu keluar dari gadai dan masih menjadi miliknya, maka jināyah tetap melekat pada dirinya. Jika budak keluar dari gadai karena dijual, maka yang menjadi tanggungan tuannya adalah yang lebih kecil antara nilai budak atau diyat jināyah.” (Al-Muzani berkata:) “Saya berkata: Ini adalah pendapat yang paling sahih dan paling sesuai dengan pendapat Syafi‘i, karena beliau dan para ulama sepakat bahwa siapa yang mengakui sesuatu yang merugikan dirinya, maka itu wajib baginya. Dan siapa yang mengakui sesuatu yang membatalkan hak orang lain, maka tidak berlaku atas orang lain. Siapa yang membinasakan sesuatu yang di dalamnya terdapat hak orang lain, maka ia wajib menanggungnya karena perbuatannya. Syafi‘i juga berkata, jika murtahin tidak bersumpah atas pengetahuannya, maka korban jināyah lebih berhak atas budak itu daripada murtahin. Syafi‘i juga berkata dalam makna ini: Jika ia mengakui bahwa ia telah memerdekakannya, maka itu tidak merugikan murtahin. Jika ia mampu, maka diambil nilainya dan dijadikan barang gadai pengganti budak itu. Jika ia tidak mampu, maka budak dijual untuk pelunasan gadai. (Syafi‘i berkata:) Dan kapan pun budak itu kembali kepadanya, karena ia mengakui bahwa budak itu telah merdeka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: صُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي رَجُلٍ رهن عبده رجلا فَادَّعَى أَجْنَبِيٌّ أَنَّ الْعَبْدَ الْمَرْهُونَ جَنَى عَلَيْهِ قَبْلَ الرَّهْنِ جِنَايَةً. فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Bentuk masalah ini adalah seorang laki-laki menggadaikan budaknya kepada seseorang, lalu ada orang lain yang mengaku bahwa budak yang digadaikan itu telah melakukan jināyah terhadapnya sebelum digadaikan. Maka, kasus ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَدَّعِيَ جِنَايَةَ عَمْدٍ تُوجِبُ الْقَوَدَ.

Pertama: Mengaku bahwa jināyah itu adalah ‘amd (sengaja) yang mewajibkan qishāsh.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَدَّعِيَ جِنَايَةَ خَطَأٍ تُوجِبُ الْمَالَ.

Jenis kedua: yaitu seseorang mengaku melakukan jinayah karena kesalahan yang mewajibkan pembayaran harta.

فَإِنِ ادَّعَى جِنَايَةَ عَمْدٍ تُوجِبُ الْقَوَدَ فَالدَّعْوَى مَسْمُوعَةٌ عَلَى الْعَبْدِ دُونَ السَّيِّدِ الرَّاهِنِ وَدُونَ الْمُرْتَهِنِ ولأن الدَّعْوَى تُسْمَعُ عَلَى مَنْ يَنْفُذُ إِقْرَارُهُ بِهَا وَالْعَبْدُ هُوَ الَّذِي يَنْفُذُ إِقْرَارُهُ بِهَا دُونَ سَيِّدِهِ وَمُرْتَهِنِهِ. فَإِذَا سُمِعَتِ الدَّعْوَى عَلَى الْعَبْدِ فَإِنْ أَنْكَرَهَا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ، وَهُوَ رهن بحاله فإن اعترف بها العبد بَعْدَ إِنْكَارِ الْعَبْدِ وَيَمِينِهِ لَمْ يَكُنْ لِاعْتِرَافِهِ تَأْثِيرٌ.

Jika ia mengaku melakukan jinayah sengaja yang mewajibkan qishash, maka gugatan tersebut dapat didengar terhadap budak, bukan terhadap tuan yang menjaminkan atau pihak yang menerima jaminan. Sebab, gugatan hanya dapat didengar terhadap pihak yang pengakuannya sah, dan budaklah yang pengakuannya sah dalam hal ini, bukan tuannya atau pihak yang menerima jaminan. Jika gugatan didengar terhadap budak, lalu budak itu mengingkarinya, maka perkataannya diterima dengan sumpahnya, dan ia tetap menjadi barang jaminan sebagaimana adanya. Jika setelah itu budak mengakuinya setelah sebelumnya mengingkari dan bersumpah, maka pengakuannya tidak berpengaruh.

وَإِنِ اعْتَرَفَ الْعَبْدُ بِالْجِنَايَةِ وَأَقَرَّ بِهَا كَانَ قَوْلُهُ مَقْبُولًا فِيهَا سَوَاءٌ اعْتَرَفَ السَّيِّدُ أَوْ أَنْكَرَ لِارْتِفَاعِ التُّهْمَةِ عَنْهُ فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَيْهِ.

Jika budak mengakui jinayah dan membenarkannya, maka pengakuannya diterima dalam hal ini, baik tuannya mengakui maupun mengingkari, karena tidak ada lagi tuduhan terhadapnya dalam kewajiban qishash atas dirinya.

فَإِذَا ثَبَتَ إِقْرَارُهُ بِهَا فَلِصَاحِبِ الْجِنَايَةِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Jika pengakuannya telah tetap, maka bagi pihak yang menjadi korban jinayah ada tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُ وَيُبَرِّئَهُ مِنْهَا. فَيَكُونُ رَهْنًا بِحَالِهِ؛ لِأَنَّ جِنَايَةَ الْعَمْدِ لَا تَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ رَهْنِهِ.

Pertama: ia memaafkan budak tersebut dan membebaskannya dari jinayah itu. Maka budak tetap menjadi barang jaminan sebagaimana adanya, karena jinayah sengaja tidak menghalangi keabsahan penjaminannya.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَقْتَصَّ مِنْهُ. فَإِنْ كَانَ الْقِصَاصُ فِي طَرَفٍ مِنْ أَطْرَافِهِ كَانَ رَهْنًا بِحَالِهِ وَإِنْ كَانَ فِي نَفْسِهِ فَقَدْ بَطَلَ الرَّهْنُ لِفَوَاتِهِ.

Kedua: ia menuntut qishash terhadap budak tersebut. Jika qishash itu pada salah satu anggota tubuhnya, maka budak tetap menjadi barang jaminan sebagaimana adanya. Namun jika qishash itu pada jiwanya (dihukum mati), maka jaminan batal karena budak telah tiada.

وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقِصَاصِ عَنْهُ إِلَى مَالٍ. فَلَهُ ذَلِكَ لِثُبُوتِ الْجِنَايَةِ له. فإن قيل: إقرار الْعَبْدِ بِالْمَالِ غَيْرُ مَقْبُولٍ عَلَى سَيِّدِهِ فَلِمَ حَكَمْتُمْ فِي الْمَالِ بِإِقْرَارِهِ؟ قِيلَ: لَمْ يَكُنْ إقراره بالمال، وإنما تفرع عنه الْمَالُ فَصَارَ كَالْمَحْجُورِ عَلَيْهِ بِالسَّنَةِ لَا يُقْبَلُ إِقْرَارُهُ فِي مَالِهِ.

Ketiga: ia memaafkan qishash dengan ganti harta. Maka ia berhak atas hal itu karena jinayah telah tetap baginya. Jika dikatakan: pengakuan budak terhadap harta tidak diterima atas tuannya, lalu mengapa kalian memutuskan kewajiban harta dengan pengakuannya? Dijawab: pengakuannya bukanlah terhadap harta, melainkan harta itu merupakan konsekuensi dari jinayah, sehingga keadaannya seperti orang yang dibatasi haknya secara hukum, yang pengakuannya terhadap hartanya tidak diterima.

وَلَوْ أَقَرَّ بِجِنَايَةِ عَبْدٍ فَاخْتَارَ صَاحِبُهَا الْمَالَ وَجَبَ فِي مَالِهِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَإِنْ كَانَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ مُحِيطًا بِقِيمَتِهِ بِيعَ جَمِيعُهُ فَإِذَا بِيعَ بَطَلَ الرَّهْنُ. وَإِنْ كَانَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ أَقَلَّ مِنْ قِيمَتِهِ بِيعَ مِنْهُ. بِقَدْرِ الْجِنَايَةِ وَكَانَ ما بقي منه رهنا مكانه ولأنه لَمَّا لَمْ تَكُنْ جِنَايَتُهُ مَانِعَةً مِنْ جَوَازِ رَهْنِهِ لَمْ يَكُنْ بَيْعُ بَعْضِهِ فِيهَا مُبْطِلًا لِرَهْنِ بَقِيَّتِهِ …

Jika ia mengakui jinayah budak, lalu pihak korban memilih harta, maka harta itu wajib diambil dari harta budak. Jika demikian, jika besaran diyat jinayah sama dengan nilai budak, maka seluruh budak dijual, dan jika telah dijual maka jaminan batal. Jika besaran diyat jinayah kurang dari nilai budak, maka dijual sebagian dari budak sesuai besaran jinayah, dan sisanya tetap menjadi barang jaminan sebagaimana sebelumnya. Karena jinayahnya tidak menghalangi keabsahan penjaminannya, maka penjualan sebagian budak dalam hal ini tidak membatalkan jaminan atas sisanya.

فَهَذَا حُكْمُ الْجِنَايَةِ إِذَا كَانَتْ مُوجِبَةً لِلْقَوَدِ وَلَيْسَتْ مَسْأَلَةَ الْكِتَابِ وَإِنَّمَا وَجَبَ تَقْدِيمُهَا لِاشْتِمَالِ التَّقْسِيمِ عَلَيْهَا وَقُرْبِ الْكَلَامِ فِيهَا.

Inilah hukum jinayah jika mewajibkan qishash, dan ini bukanlah pokok pembahasan kitab, hanya saja perlu didahulukan karena pembagian hukum berkaitan dengannya dan pembahasan tentangnya dekat dengan topik.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا ادَّعَى جِنَايَةً خَطَأً أَوْ عَمْدًا تُوجِبُ الْمَالَ فَهِيَ مَسْمُوعَةٌ عَلَى السَّيِّدِ دُونَ الْعَبْدِ؛ لِأَنَّ الَّذِي يَنْفُذُ إِقْرَارُهُ بِهَا هُوَ السَّيِّدُ دُونَ الْعَبْدِ.

Jika seseorang mengaku melakukan jinayah karena kesalahan atau sengaja yang mewajibkan pembayaran harta, maka gugatan tersebut dapat didengar terhadap tuan, bukan terhadap budak; karena yang pengakuannya sah dalam hal ini adalah tuan, bukan budak.

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يَخْلُو حَالُ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ مِنْ أَحَدِ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Jika demikian, maka keadaan pihak yang menjaminkan dan pihak yang menerima jaminan tidak lepas dari salah satu dari empat bagian:

الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: أَنْ يُصَدِّقَهُ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ جَمِيعًا: فَيَكُونُ الرَّهْنُ بَاطِلًا عَلَى الصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ، لِأَنَّ رَهْنَ الْجَانِي خَطَأٌ لَا يَصِحُّ وَقَدْ ثَبَتَتْ جِنَايَتُهُ بِتَصْدِيقِ الرَّاهِنِ وَبَطَلَ حُكْمُ الرَّهْنِ بِتَصْدِيقِ الْمُرْتَهِنِ.

Bagian pertama: jika baik pihak yang menjaminkan maupun pihak yang menerima jaminan sama-sama membenarkan, maka jaminan menjadi batal menurut pendapat yang sahih dalam mazhab, karena penjaminan terhadap pelaku jinayah karena kesalahan tidak sah, dan jinayahnya telah tetap dengan pembenaran pihak yang menjaminkan, serta hukum jaminan batal dengan pembenaran pihak yang menerima jaminan.

فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ ارْتِهَانُ الْعَبْدِ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ فَفِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ قَوْلَانِ ثُمَّ الرَّاهِنُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَفْدِيَهُ وَبَيْنَ أَنْ يُمَكِّنَ مِنْ بَيْعِهِ. فَإِنْ مَكَّنَ مِنْ بَيْعِهِ وَلَمْ يَفْدِهِ مِنْ مَالِهِ نُظِرَ فِي الْجِنَايَةِ:

Berdasarkan hal ini, jika penjaminan budak disyaratkan dalam jual beli, maka dalam pembatalan jual beli terdapat dua pendapat. Kemudian pihak yang menjaminkan berhak memilih antara menebusnya atau membiarkan budak itu dijual. Jika ia membiarkan budak itu dijual dan tidak menebusnya dari hartanya, maka dilihat pada jinayahnya:

فَإِنْ كَانَ أَرْشُهَا مِثْلَ قِيمَتِهِ فَأَكْثَرَ. بِيعَ، وَلَمْ يَكُنْ لِصَاحِبِ الْجِنَايَةِ أَكْثَرُ مِنْ ثَمَنِهِ. وَإِنْ كَانَتْ أَقَلَّ بِيعَ مِنْهُ بِقَدْرِ الْأَرْشِ وَكَانَ الْبَاقِي عَلَى مِلْكِ السَّيِّدِ لَا يَعُودُ إِلَى الرَّهْنِ.

Jika besaran diyatnya sama dengan atau lebih dari nilai budak, maka budak dijual, dan pihak korban tidak berhak mendapatkan lebih dari harga budak tersebut. Jika besaran diyatnya kurang, maka dijual sebagian dari budak sesuai besaran diyat, dan sisanya tetap menjadi milik tuan dan tidak kembali menjadi barang jaminan.

وَإِنْ فَدَاهُ نُظِرَ فِي أَرْشِ جِنَايَتِهِ فَإِنْ كَانَ مِثْلَ قِيمَتِهِ فَمَا دُونَ فَدَاهُ بِأَرْشِ جِنَايَتِهِ. وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika ia menebusnya, maka dilihat pada besaran diyat jinayahnya. Jika sama dengan atau kurang dari nilai budak, maka ia menebusnya dengan besaran diyat jinayahnya. Jika lebih, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَيْسَ عَلَيْهِ أَكْثَرُ مِنْ قِيمَتِهِ كَمَا لَوْ بِيعَ فِي جنايته بذل الْمُشْتَرِي فِيهِ قَدْرَ قِيمَتِهِ لَمْ يَسْتَحِقَّ صَاحِبُ الْجِنَايَةِ أَكْثَرَ مِنْهَا. كَذَلِكَ إِذَا فَدَاهُ الرَّاهِنُ الْمَالِكُ بِهَا.

Salah satu pendapat: Tidak wajib atasnya lebih dari nilai budak tersebut, sebagaimana jika budak itu dijual karena tindak pidananya, lalu pembeli membayar sebesar nilai budak itu, maka pemilik budak yang melakukan tindak pidana tidak berhak mendapatkan lebih dari nilai tersebut. Demikian pula jika pihak yang menggadaikan, yaitu pemilik, menebusnya dengan nilai itu.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عَلَيْهِ جَمِيعُ الْأَرْشِ وَإِنْ زَادَ عَلَى قِيمَتِهِ إِلَّا أَنْ يُمَكِّنَ مِنْ بَيْعِهِ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ لَوْ مَكَّنَ مِنْ بَيْعِهِ أَنْ يَحْدُثَ رَاغِبٌ فِي ابْتِيَاعِهِ بِأَرْشِ جِنَايَتِهِ فَإِذَا فَدَاهُ لَمْ يَعُدْ إِلَى الرَّهْنِ إِلَّا بِاسْتِئْنَافِ عَقْدٍ، لِأَنَّ الْعَقْدَ إِذَا فَسَدَ لَمْ يَصِحَّ بِمَا يَطْرَأُ فِيمَا بَعْدَهُ.

Pendapat kedua: Wajib atasnya seluruh diyat (ganti rugi) meskipun melebihi nilai budak tersebut, kecuali jika memungkinkan untuk menjualnya. Sebab, bisa jadi jika penjualan dilakukan, akan muncul orang yang berminat membeli budak itu dengan diyat tindak pidananya. Jika budak itu telah ditebus, maka ia tidak kembali menjadi barang gadai kecuali dengan akad baru, karena jika akad telah batal, maka tidak bisa menjadi sah dengan sesuatu yang terjadi setelahnya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُكَذِّبَهُ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ جَمِيعًا:

Bagian kedua: Yaitu apabila baik pihak yang menggadaikan maupun pihak penerima gadai sama-sama mendustakannya.

فَتَكُونُ الْيَمِينُ عَلَى الرَّاهِنِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ لِأَنَّ الْمُرْتَهِنَ لَوْ أَقَرَّ لَمْ تَثْبُتِ الْجِنَايَةُ بِإِقْرَارِهِ فَوَجَبَ إِذَا أَنْكَرَ أَلَّا تَجِبَ عَلَيْهِ الْيَمِينُ بِإِنْكَارِهِ فَإِنْ حَلَفَ الرَّاهِنُ كَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا بِحَالِهِ. وَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ وَأَجَابَ الْمُرْتَهِنُ إِلَى الْيَمِينِ فَهَلْ تُرَدُّ الْيَمِينُ عَلَى الْمُرْتَهِنِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي غُرَمَاءِ الْمُفْلِسِ إِذَا أَجَابُوا إِلَى الْيَمِينِ عِنْدَ نُكُولِ الْمُفْلِسِ.

Maka sumpah dibebankan kepada pihak yang menggadaikan, bukan kepada penerima gadai. Sebab, jika penerima gadai mengakui, tindak pidana tersebut tidak dapat ditetapkan hanya dengan pengakuannya. Maka, jika ia mengingkari, tidak wajib atasnya sumpah karena pengingkarannya. Jika pihak yang menggadaikan bersumpah, maka budak tetap menjadi barang gadai sebagaimana adanya. Jika ia enggan bersumpah dan penerima gadai bersedia bersumpah, apakah sumpah itu dialihkan kepada penerima gadai atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat, yang didasarkan pada perbedaan pendapat dalam masalah para kreditur orang yang pailit apabila mereka bersedia bersumpah ketika si pailit enggan bersumpah.

أَحَدُهُمَا: لَا يَحْلِفُ الْمُرْتَهِنُ بَلْ تُرَدُّ الْيَمِينُ عَلَى مُدَّعِي الْجِنَايَةِ. فَإِنْ حَلَفَ حُكِمَ لَهُ بِأَرْشِ الْجِنَايَةِ وَأُبْطِلَ الرَّهْنُ وَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ كَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا بِحَالِهِ وَلَا شَيْءَ لَهُ.

Salah satu pendapat: Penerima gadai tidak bersumpah, melainkan sumpah dikembalikan kepada pihak yang menuntut tindak pidana. Jika ia bersumpah, maka diputuskan baginya hak atas diyat tindak pidana dan gadai menjadi batal. Jika ia enggan bersumpah, maka budak tetap menjadi barang gadai sebagaimana adanya dan ia tidak mendapatkan apa-apa.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَحْلِفُ الْمُرْتَهِنُ إِذَا أَجَابَ إِلَى الْيَمِينِ. فَإِنْ حَلَفَ كَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا بِحَالِهِ وَلَا شَيْءَ لِمُدَّعِي الْجِنَايَةِ. وَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ رُدَّتْ حِينَئِذٍ عَلَى مُدَّعِي الْجِنَايَةِ فَإِنْ حَلَفَ ثَبَتَ لَهُ الْأَرْشُ وبطل الرهن وإن نكل فلا شيء له وَالْعَبْدُ رَهْنٌ بِحَالِهِ.

Pendapat kedua: Penerima gadai bersumpah jika ia bersedia bersumpah. Jika ia bersumpah, maka budak tetap menjadi barang gadai sebagaimana adanya dan pihak penuntut tindak pidana tidak mendapatkan apa-apa. Jika ia enggan bersumpah, maka pada saat itu sumpah dikembalikan kepada pihak penuntut tindak pidana. Jika ia bersumpah, maka diyat menjadi haknya dan gadai menjadi batal. Jika ia enggan bersumpah, maka ia tidak mendapatkan apa-apa dan budak tetap menjadi barang gadai sebagaimana adanya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُصَدِّقَهُ الْمُرْتَهِنُ وَيُكَذِّبَهُ الرَّاهِنُ:

Bagian ketiga: Yaitu apabila penerima gadai membenarkannya dan pihak yang menggadaikan mendustakannya.

فَيَبْطُلُ الرَّهْنُ بِتَصْدِيقِ الْمُرْتَهِنِ، لِأَنَّهُ غَيْرُ لَازِمٍ مِنْ جِهَتِهِ وَهُوَ مُقِرٌّ بِبُطْلَانِهِ. ثُمَّ إِنْ كَانَ الْمُرْتَهِنُ عَدْلًا جَازَ أَنْ يَكُونَ شَاهِدًا لِمُدَّعِي الْجِنَايَةِ عَلَى الرَّاهِنِ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُتَّهَمٍ فِي شَهَادَتِهِ. وَإِذَا بَطَلَ الرَّهْنُ بِإِقْرَارِ الْمُرْتَهِنِ لَمْ يَثْبُتْ بِإِقْرَارِهِ أَرْشُ الْجِنَايَةِ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ الْإِقْرَارَ فِي مَالِ غَيْرِهِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ شَاهِدًا فِيهِ وَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَ الرَّاهِنِ مَعَ يَمِينِهِ مَا لَمْ يَقُمِ الْمُدَّعِي بِبَيِّنَةٍ.

Maka gadai menjadi batal karena pengakuan penerima gadai, sebab dari pihaknya gadai tidak bersifat mengikat dan ia telah mengakui batalnya. Kemudian, jika penerima gadai adalah orang yang adil, maka boleh ia menjadi saksi bagi pihak yang menuntut tindak pidana terhadap pihak yang menggadaikan, karena ia tidak dicurigai dalam kesaksiannya. Apabila gadai batal karena pengakuan penerima gadai, maka diyat tindak pidana tidak dapat ditetapkan hanya dengan pengakuannya, karena ia tidak berhak mengakui atas harta orang lain kecuali jika ia menjadi saksi dalam perkara itu. Dalam hal ini, pendapat yang dipegang adalah pendapat pihak yang menggadaikan dengan sumpahnya, selama pihak penuntut tidak dapat menghadirkan bukti.

فَإِذَا حَلَفَ الرَّاهِنُ كَانَ الْعَبْدُ عَلَى مِلْكِهِ، وَلَا شَيْءَ لِمُدَّعِي الْجِنَايَةِ وَلَا يَكُونُ بُطْلَانُ الرَّهْنِ بِتَصْدِيقِ الْمُرْتَهِنِ قَادِحًا فِي صِحَّةِ الْبَيْعِ وَلَا مُوجِبًا لِلْخِيَارِ، وَإِنْ نَكَلَ الرَّاهِنُ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَى مُدَّعِي الْجِنَايَةِ. فَإِذَا حَلَفَ حُكِمَ لَهُ بِأَرْشِهَا وَبِيعَ الْعَبْدُ فِيهَا إِلَّا أَنْ يَفْدِيَهُ السَّيِّدُ مِنْهَا.

Jika pihak yang menggadaikan bersumpah, maka budak tetap menjadi miliknya, dan pihak penuntut tindak pidana tidak mendapatkan apa-apa. Pembatalan gadai karena pengakuan penerima gadai tidak berpengaruh pada keabsahan jual beli dan tidak menyebabkan adanya hak khiyar (pilihan untuk membatalkan akad). Jika pihak yang menggadaikan enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada pihak penuntut tindak pidana. Jika ia bersumpah, maka diputuskan baginya hak atas diyat dan budak dijual untuk menutupi diyat tersebut, kecuali jika tuannya menebusnya dari diyat itu.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ: أَنْ يُصَدِّقَهُ الرَّاهِنُ وَيُكَذِّبَهُ الْمُرْتَهِنُ:

Bagian keempat, yaitu masalah yang dibahas dalam kitab ini: Yaitu apabila pihak yang menggadaikan membenarkannya dan penerima gadai mendustakannya.

فَفِيهِ قَوْلَانِ مَنْصُوصَانِ:

Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang dinukilkan secara tegas:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاهِنِ لِأَمْرَيْنِ:

Salah satunya: Bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat pihak yang menggadaikan, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مُقِرٌّ فِي مِلْكِهِ بِمَا تَنْتَفِي عَنْهُ التُّهْمَةُ بِهِ فَوَجَبَ أَنْ يُحْكَمَ بِإِقْرَارِهِ كَغَيْرِ الْمَرْهُونِ وَلِأَنَّ الرَّهْنَ يُوجِبُ حَجْرَ الْحَقِّ الْمُعَيَّنِ كَالْمَرَضِ ثُمَّ كَانَ الْمَرِيضُ لَوْ أَقَرَّ بِجِنَايَتِهِ فِي رَقَبَةِ عَبْدٍ كَانَ إِقْرَارُهُ نَافِذًا فَوَجَبَ إِذَا أَقَرَّ الرَّاهِنُ بِجِنَايَةٍ فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ أَنْ يَكُونَ إِقْرَارُهُ نَافِذًا.

Pertama: Ia mengakui dalam hartanya sendiri sesuatu yang tidak ada tuduhan padanya, maka wajib diputuskan berdasarkan pengakuannya sebagaimana pada harta yang tidak digadaikan. Karena gadai menyebabkan pembatasan hak tertentu seperti halnya sakit, dan jika orang sakit mengakui adanya tindak pidana pada budaknya, maka pengakuannya sah. Maka, jika pihak yang menggadaikan mengakui adanya tindak pidana pada budaknya, pengakuannya pun sah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua: bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat al-murtahin (penerima gadai) karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ فِي إِقْرَارِ الرَّاهِنِ إِبْطَالًا لِلرَّهْنِ بَعْدَ لُزُومِهِ. وَالرَّهْنُ إِذَا لَزِمَ فَلَا سَبِيلَ لِلرَّاهِنِ إِلَى إِبْطَالِهِ بِبَيْعٍ أَوْ غَيْرِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُرْتَهِنِ.

Pertama: bahwa pengakuan dari ar-rahin (pemberi gadai) berarti membatalkan gadai setelah ia menjadi wajib. Jika gadai sudah menjadi wajib, maka tidak ada jalan bagi ar-rahin untuk membatalkannya dengan penjualan atau cara lain, sehingga wajiblah pendapat yang dipegang adalah pendapat al-murtahin.

وَالثَّانِي: أَنَّ الرَّاهِنَ مَحْجُورٌ عَلَيْهِ فِي عَيْنِ الرَّهْنِ حَجْرًا يَمْنَعُهُ مِنْ بَيْعِهِ وعتقه كالسفيه الَّذِي يَمْنَعُهُ الْحَجْرُ مِنْ بَيْعِ عَبْدِهِ أَوْ عِتْقِهِ ثُمَّ كَانَ لَوْ أَقَرَّ السَّفِيهُ بِجِنَايَةٍ فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ لَمْ يُحْكَمْ بِإِقْرَارِهِ لِأَجْلِ حَجْرِهِ. كَذَلِكَ إِذَا أَقَرَّ الرَّاهِنُ بِجِنَايَةٍ فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ لَمْ يُحْكَمْ بِإِقْرَارِهِ لِأَجْلِ حَجْرِهِ.

Kedua: bahwa ar-rahin berada dalam kondisi mahjur (terhalang) atas barang gadai, yaitu terhalang untuk menjual atau memerdekakannya, seperti halnya seorang safih (orang yang kurang akal) yang terhalang oleh hajr (pembatasan) untuk menjual atau memerdekakan budaknya. Kemudian, jika seorang safih mengakui adanya tindak pidana pada budaknya, maka pengakuannya tidak dihukumi (tidak diterima) karena adanya hajr atas dirinya. Demikian pula, jika ar-rahin mengakui adanya tindak pidana pada budaknya, maka pengakuannya tidak dihukumi (tidak diterima) karena adanya hajr atas dirinya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى التَّفْرِيعِ عَلَيْهِمَا.

Setelah penjelasan argumentasi kedua pendapat tersebut, maka pembahasan berpindah pada rincian cabang-cabang hukumnya.

فَإِذَا قُلْنَا: إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاهِنِ فَهَلْ عَلَيْهِ الْيَمِينُ أَمْ لَا. عَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika kita mengatakan: bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat ar-rahin, maka apakah ia harus bersumpah atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَمِينَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَوْ رَجَعَ عَنْ إِقْرَارِهِ لَمْ يُقْبَلْ رُجُوعُهُ وَالْيَمِينُ إِنَّمَا تَجِبُ عَلَى مَنْ يُقْبَلُ رُجُوعُهُ.

Pertama: tidak ada kewajiban sumpah atasnya, karena jika ia menarik kembali pengakuannya, maka penarikannya tidak diterima, dan sumpah itu hanya diwajibkan atas orang yang penarikannya diterima.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عَلَيْهِ الْيَمِينُ. لِأَنَّهُ بِإِقْرَارِهِ مُبْطِلٌ لِحَقِّ الْمُرْتَهِنِ مِنْ رَقَبَةِ عَبْدِهِ وَمُنْكِرٌ لِصِحَّةِ رَهْنِهِ. فَافْتَقَرَ إِلَى يَمِينٍ يَدْفَعُ بِهَا مُطَالَبَةَ الْمُرْتَهِنِ بِصِحَّةِ الرَّهْنِ.

Pendapat kedua: ia wajib bersumpah. Karena dengan pengakuannya, ia membatalkan hak al-murtahin atas budaknya dan mengingkari keabsahan gadai tersebut. Maka ia membutuhkan sumpah untuk menolak tuntutan al-murtahin atas keabsahan gadai.

وَتَكُونُ يَمِينُهُ عَلَى الْبَتِّ وَالْقَطْعِ لِأَنَّهَا وَإِنْ كَانَتْ عَلَى فِعْلِ غَيْرِهِ فهي يمين إثبات. ويبين الْإِثْبَاتِ لَا تَكُونُ إِلَّا عَلَى الْبَتِّ وَالْقَطْعِ.

Sumpahnya harus dilakukan secara tegas dan pasti, karena meskipun sumpah itu atas perbuatan orang lain, ia adalah sumpah penetapan. Dan sumpah penetapan tidaklah dilakukan kecuali secara tegas dan pasti.

فَإِذَا قُلْنَا لَا يَمِينَ عَلَى الرَّاهِنِ. أَوْ قُلْنَا عَلَيْهِ الْيَمِينُ فَحَلَفَ ثَبَتَتِ الْجِنَايَةُ فِي رَقَبَةِ الْعَبْدِ. ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika kita mengatakan tidak ada sumpah atas ar-rahin, atau kita mengatakan ia wajib bersumpah lalu ia bersumpah, maka tetaplah tindak pidana pada budak tersebut. Setelah itu, keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يُبَاعَ فِي الْجِنَايَةِ. أَوْ يَفْدِيَهُ السَّيِّدُ.

Yaitu, apakah budak itu dijual untuk membayar tindak pidana, atau tuannya menebusnya.

فَإِنْ بِيعَ فِي الْجِنَايَةِ لَمْ يَخْلُ حَالُ أَرْشِ الْجِنَايَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika budak itu dijual untuk membayar tindak pidana, maka keadaan uang hasil penjualan untuk membayar tindak pidana itu tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُسْتَوْعِبًا لِقِيمَةِ الرَّهْنِ أَوْ غَيْرَ مُسْتَوْعِبٍ لَهَا. فَإِنْ كَانَ الْأَرْشُ مُسْتَوْعِبًا لِقِيمَتِهِ بِيعَ جَمِيعُهُ وَصُرِفَ ثَمَنُهُ فِي الْأَرْشِ وَقَدْ بَطَلَ الرَّهْنُ فَإِنْ كَانَ الرَّهْنُ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ فَالْبَيْعُ جَائِزٌ لَا يَبْطُلُ قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّ قَوْلَ أَحَدِ الْمُتَبَايِعَيْنِ غَيْرُ مَقْبُولٍ فِي إِبْطَالِ الْبَيْعِ بَعْدَ صِحَّتِهِ لَكِنْ لِلْمُرْتَهِنِ الْبَائِعِ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ لِأَنَّهُ شَرَطَ رَهْنًا وَجَبَ انْتِزَاعُهُ مِنْ يَدِهِ بِسَبَبِ تَقَدُّمِ الْقَبْضِ.

Yaitu, apakah nilai ganti rugi (arsh) tindak pidana itu mencakup seluruh nilai gadai atau tidak. Jika arsh mencakup seluruh nilainya, maka seluruh budak dijual dan hasil penjualannya digunakan untuk membayar arsh, dan gadai pun batal. Jika gadai itu disyaratkan dalam akad jual beli, maka jual belinya tetap sah dan tidak batal menurut satu pendapat pun, karena pendapat salah satu pihak yang berakad tidak diterima untuk membatalkan akad jual beli setelah sahnya, namun bagi al-murtahin (penjual) ada hak khiyar (memilih) untuk membatalkan jual beli, karena ia telah mensyaratkan gadai yang harus dicabut dari tangannya karena telah terjadi penyerahan sebelumnya.

وَإِنْ كَانَ الْأَرْشُ غَيْرَ مُسْتَوْعِبٍ لِقِيمَتِهِ بِيعَ مِنْهُ بِقَدْرِ الْأَرْشِ مِثَالُهُ: أَنْ تَكُونَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ مِثْلَ نِصْفِ الْقِيمَةِ فَيُبَاعُ نِصْفُهُ فِي الْجِنَايَةِ لِيُصْرَفَ فِي أَرْشِهَا وَيَبْطُلُ الرَّهْنُ فِيهِ. وَهَلْ يَبْطُلُ فِي النِّصْفِ الثَّانِي الَّذِي لَمْ يُبَعْ فِي الْأَرْشِ أَمْ لَا. عَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika arsh tidak mencakup seluruh nilainya, maka dijual sebagian sesuai dengan nilai arsh. Contohnya: jika arsh tindak pidana itu setengah dari nilai budak, maka dijual setengahnya untuk membayar arsh, dan gadai pada bagian itu batal. Adapun pada setengah sisanya yang tidak dijual untuk arsh, apakah gadai juga batal atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَدْ بَطَلَ الرَّهْنُ فِيهِ أَيْضًا لِأَنَّنَا قَدْ حَكَمْنَا بِثُبُوتِ الْجِنَايَةِ فِي رَقَبَتِهِ وَالْجَانِي لَا يَصِحُّ رَهْنُهُ فِيمَا فَضَلَ مِنْ جِنَايَتِهِ. فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ رَهْنُ جَمِيعِهِ بَاطِلًا كَمَا لَوْ قَامَتْ بَيِّنَةٌ بِجِنَايَتِهِ.

Pertama: gadai pada bagian itu juga batal, karena kita telah menetapkan adanya tindak pidana pada budak tersebut, dan budak yang melakukan tindak pidana tidak sah digadaikan pada sisa dari tindak pidananya. Maka wajiblah gadai seluruhnya batal, sebagaimana jika ada bukti (baiyinah) atas tindak pidananya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ النِّصْفَ الْبَاقِيَ رَهْنٌ بِحَالِهِ. وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ فَقَالَ: وَلَوْ شَهِدَ شَاهِدٌ عَلَى جِنَايَتِهِ قَبْلَ الرَّهْنِ حَلَفَ وَلِيُّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مَعَ شَاهِدِهِ وَكَانَتِ الْجِنَايَةُ أَوْلَى بِهِ مِنَ الرَّهْنِ حَتَّى يَسْتَوْفِيَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ جِنَايَتَهُ وَيَكُونُ مَا فَضَلَ مِنْ ثَمَنِهِ رَهْنًا. وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّ إِقْرَارَ الرَّاهِنِ إِنَّمَا نَفَذَ فِي الْجِنَايَةِ بِحَقِّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لِوُجُودِ الْإِقْرَارِ مِنْهُ. أَلَا تَرَى أَنَّ الراهن لو أقر بالجناية ولم يدعيها الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ كَانَ الرَّاهِنُ بِحَالِهِ لَا يَبْطُلُ بِإِقْرَارِهِ. وَإِذَا كَانَ إِقْرَارُهُ إِنَّمَا نَفَذَ لِحَقِّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَا فَضَلَ مِنْ حَقِّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لَا يَنْفُذُ إِقْرَارُهُ فِيهِ وَيَكُونُ رَهْنًا بِحَالِهِ فَلَوْ لَمْ يُمَكَّنْ أَنْ يُبَاعَ مِنْهُ بِقَدْرِ الْجِنَايَةِ بِيعَ جَمِيعُهُ. وَدُفِعَ مِنْ ثَمَنِهِ أَرْشُ الْجِنَايَةِ وَكَانَ الْفَاضِلُ مِنْهُ رَهْنًا مَكَانَهُ أَوْ قِصَاصًا مِنَ الْحَقِّ.

Pendapat kedua: setengah sisanya tetap menjadi barang gadai sebagaimana keadaannya. Hal ini telah dinyatakan oleh asy-Syafi‘i dalam kitab al-Umm, beliau berkata: “Jika ada seorang saksi yang bersaksi atas tindak pidana (jinayah) sebelum barang itu digadaikan, maka wali korban bersumpah bersama saksinya, dan hak jinayah lebih didahulukan daripada hak gadai hingga korban mengambil haknya atas jinayah tersebut, dan sisanya dari harga barang itu menjadi barang gadai. Hal itu karena pengakuan pihak yang menggadaikan hanya berlaku dalam perkara jinayah untuk hak korban, karena adanya pengakuan darinya. Tidakkah engkau melihat bahwa jika pihak yang menggadaikan mengakui adanya jinayah, namun korban tidak menuntutnya, maka barang gadai tetap sebagaimana keadaannya dan tidak batal hanya karena pengakuan tersebut? Dan jika pengakuannya hanya berlaku untuk hak korban, maka yang tersisa dari hak korban tidak berlaku pengakuan padanya, dan tetap menjadi barang gadai sebagaimana keadaannya. Jika tidak memungkinkan untuk dijual sesuai kadar jinayah, maka seluruh barang dijual, dan dari hasil penjualannya diberikan diyat (ganti rugi) jinayah, dan sisanya tetap menjadi barang gadai di tempatnya, atau sebagai qishash dari hak tersebut.”

فَأَمَّا إِنْ فَدَاهُ الرَّاهِنُ مِنْ جِنَايَتِهِ فَإِنْ كَانَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ لَا يَزِيدُ عَلَى قِيمَتِهِ فَلَا يَلْزَمُهُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهَا وَإِنْ زَادَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ عَلَى قِيمَتِهِ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Adapun jika pihak yang menggadaikan menebus barang gadai dari jinayahnya, jika diyat jinayah tidak melebihi nilainya, maka ia tidak wajib membayar lebih dari nilainya. Namun jika diyat jinayah melebihi nilainya, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَفْدِيهِ بِقِيمَتِهِ وَلَا يَلْزَمُهُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهَا.

Salah satunya: ia menebusnya dengan nilai barang tersebut dan tidak wajib membayar lebih dari itu.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَفْدِيهِ بِجَمِيعِ الْأَرْشِ. فَإِنْ فَدَاهُ فَهَلْ يَكُونُ عَلَى حَالِهِ فِي الرَّهْنِ أَمْ لَا. عَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ الْقَوْلَيْنِ الْمَاضِيَيْنِ فِي الْفَاضِلِ عَنْ جِنَايَتِهِ هَلْ يَكُونُ رَهْنًا مَكَانَهَا أَمْ لَا:

Pendapat kedua: ia menebusnya dengan seluruh diyat. Jika ia telah menebusnya, apakah barang itu tetap menjadi barang gadai atau tidak? Ada dua pendapat yang dibangun atas perbedaan dua pendapat sebelumnya mengenai sisa dari jinayahnya, apakah tetap menjadi barang gadai di tempatnya atau tidak:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ رَهْنًا مَكَانَهَا بِالْعَقْدِ الْأَوَّلِ.

Salah satunya: tetap menjadi barang gadai di tempatnya berdasarkan akad pertama.

وَالثَّانِي: قَدْ بَطَلَ الرَّهْنُ فَلَا يَعُودُ إِلَيْهِ إِلَّا بِعَقْدٍ مُسْتَأْنَفٍ.

Yang kedua: gadai telah batal, sehingga tidak kembali menjadi gadai kecuali dengan akad baru.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ عَلَى الرَّاهِنِ الْيَمِينَ فَنَكَلَ عَنْهَا وَجَبَ رَدُّهَا وَفِيمَنْ تُرَدُّ عَلَيْهِ وَجْهَانِ:

Jika kita mengatakan bahwa sumpah dibebankan kepada pihak yang menggadaikan, lalu ia enggan bersumpah, maka sumpah itu harus dialihkan. Mengenai kepada siapa sumpah itu dialihkan, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تُرَدُّ عَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لِأَنَّ الْأَرْشَ صَائِرٌ إِلَيْهِ. فَإِنْ حَلَفَ ثَبَتَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ فِي رَقَبَةِ الْعَبْدِ وَأُخْرِجَ عَنِ الرَّهْنِ لِيُبَاعَ فِي الْأَرْشِ عَلَى مَا مَضَى. وَإِنْ نَكَلَ كَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا بِحَالِهِ وَلَا مُطَالَبَةَ لَهُ عَلَى الرَّاهِنِ بِالْأَرْشِ عَلَى مَا مَضَى لِأَنَّهُ كَانَ قَادِرًا عَلَيْهِ بِيَمِينِهِ لَوْ حَلَفَ فَإِنْ خَرَجَ الْعَبْدُ مِنَ الرَّهْنِ وَعَادَ إِلَى الرَّاهِنِ وَجَبَ تَسْلِيمُهُ إِلَيْهِ لِيَسْتَوْفِيَ أَرْشَ جِنَايَتِهِ مِنْهُ. وَإِنْ بِيعَ فِي الرَّهْنِ وَلَمْ يَعُدْ إِلَى الرَّاهِنِ بَطَلَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ.

Salah satunya: dialihkan kepada korban, karena diyat akan menjadi haknya. Jika ia bersumpah, maka diyat jinayah tetap menjadi tanggungan budak dan dikeluarkan dari gadai untuk dijual demi membayar diyat sebagaimana telah dijelaskan. Jika ia enggan bersumpah, maka budak tetap menjadi barang gadai sebagaimana keadaannya dan tidak ada tuntutan diyat kepada pihak yang menggadaikan, karena ia sebenarnya mampu mendapatkannya dengan sumpahnya jika ia mau bersumpah. Jika budak keluar dari gadai dan kembali kepada pihak yang menggadaikan, maka wajib diserahkan kepadanya agar ia dapat mengambil diyat jinayah darinya. Jika budak dijual dalam status gadai dan tidak kembali kepada pihak yang menggadaikan, maka gugurlah hak diyat jinayah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْيَمِينَ تُرَدُّ عَلَى الْمُرْتَهِنِ لِأَنَّ نُكُولَ الرَّاهِنِ يُوجِبُ نَقْلَ الْيَمِينِ مِنْ جِهَتِهِ إِلَى جِهَةِ مَنْ فِي مُقَابَلَتِهِ فَلَمْ يَجُزْ رَدُّهَا إِلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ مِنْ جِهَتِهِ فَوَجَبَ رَدُّهَا عَلَى الْمُرْتَهِنِ لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَتِهِ. فَعَلَى هَذَا إِنْ حَلَفَ المرتهن حلف على العام لِأَنَّ يَمِينَهُ عَلَى نَفْيِ فِعْلِ الْغَيْرِ وَكَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا فِي يَدِهِ.

Pendapat kedua: sumpah dialihkan kepada pihak yang menerima gadai (murtahin), karena keengganan pihak yang menggadaikan menyebabkan perpindahan sumpah dari pihaknya kepada pihak yang berhadapan dengannya, sehingga tidak boleh dialihkan kepada korban karena ia berasal dari pihaknya, maka wajib dialihkan kepada murtahin karena ia adalah pihak yang berhadapan dengannya. Dalam hal ini, jika murtahin bersumpah, ia bersumpah secara umum karena sumpahnya untuk menafikan perbuatan orang lain, dan budak tetap menjadi barang gadai di tangannya.

وَهَلْ يَسْتَحِقُّ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ عَلَى الرَّاهِنِ أَرْشَ جِنَايَتِهِ أَمْ لَا. عَلَى قَوْلَيْنِ نَذْكُرُ تَوْجِيهَهُمَا فِيمَا بَعْدُ.

Apakah korban berhak menuntut diyat jinayah kepada pihak yang menggadaikan atau tidak? Ada dua pendapat yang akan dijelaskan alasannya setelah ini.

وَإِنْ نَكَلَ الْمُرْتَهِنُ عَنِ الْيَمِينِ فَهَلْ تُرَدُّ عَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ أَمْ لَا. عَلَى وَجْهَيْنِ مُخَرَّجَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ القولين في رُجُوعِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ عَلَى الرَّاهِنِ عِنْدَ يَمِينِ الْمُرْتَهِنِ:

Jika murtahin enggan bersumpah, apakah sumpah itu dialihkan kepada korban atau tidak? Ada dua pendapat yang diambil dari perbedaan pendapat tentang apakah korban dapat kembali menuntut kepada pihak yang menggadaikan ketika murtahin bersumpah.

أَحَدُهُمَا: لَا تُرَدُّ الْيَمِينُ عَلَى الْمَجْنِيِّ عليه. وهذا على القول الذي يقول إن لِلْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ الرُّجُوعَ عَلَى الرَّاهِنِ لَوْ حَلَفَ الْمُرْتَهِنُ لِأَنَّهُ لَوْ حَلَفَ لَمْ يَبْطُلْ حَقُّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فَوَجَبَ إِذَا نَكَلَ أَلَّا تُرَدَّ الْيَمِينُ عَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْعَبْدُ رَهْنًا بِحَالِهِ.

Salah satu pendapat: Sumpah tidak dikembalikan kepada korban. Ini menurut pendapat yang menyatakan bahwa korban memiliki hak untuk menuntut kembali kepada pihak yang menggadaikan jika pihak penerima gadai bersumpah, karena jika penerima gadai bersumpah, hak korban tidak gugur. Maka, apabila penerima gadai enggan bersumpah, sumpah tidak dikembalikan kepada korban. Dengan demikian, budak tetap menjadi barang gadai sebagaimana keadaannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْيَمِينَ تُرَدُّ عَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ. وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَقُولُ أَنْ لَيْسَ لِلْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الرَّاهِنِ لَوْ حَلَفَ الْمُرْتَهِنُ لِأَنَّ فِي يَمِينِ الْمُرْتَهِنِ إِسْقَاطًا لِحَقِّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فَوَجَبَ إِذَا نَكَلَ عَنْهَا أَنْ تُرَدَّ عَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ.

Pendapat kedua: Sumpah dikembalikan kepada korban. Ini menurut pendapat yang menyatakan bahwa korban tidak berhak menuntut kembali kepada pihak yang menggadaikan jika penerima gadai bersumpah, karena sumpah penerima gadai menggugurkan hak korban. Oleh karena itu, jika penerima gadai enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada korban.

فَعَلَى هَذَا إِنْ حَلَفَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ ثَبَتَ أَرْشُ جِنَايَتِهِ فِي رَقَبَةِ الْعَبْدِ وَأُخْرِجَ الْعَبْدُ مِنَ الرَّهْنِ لِيُبَاعَ فِي الْأَرْشِ. وَإِنْ نَكَلَ عَنْهَا كَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا بِحَالِهِ عَلَى مَا مَضَى. فَهَذَا جُمْلَةُ التَّفْرِيعِ إِذَا قُلْنَا إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاهِنِ.

Berdasarkan hal ini, jika korban bersumpah, maka diyat atas tindak pidananya tetap berlaku pada budak tersebut dan budak dikeluarkan dari gadai untuk dijual guna membayar diyat. Namun jika korban enggan bersumpah, maka budak tetap menjadi barang gadai sebagaimana sebelumnya. Inilah rangkuman cabang permasalahan jika kita berpendapat bahwa pernyataan pihak yang menggadaikan yang dijadikan pegangan.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا قُلْنَا إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَيَمِينُهُ عَلَى الْعِلْمِ لِأَنَّهَا عَلَى نَفْيِ فِعْلِ الْغَيْرِ وَإِنَّمَا لَزِمَتْهُ الْيَمِينُ قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّهُ لَوْ رَجَعَ بَعْدَ إِنْكَارِهِ قَبْلَ رجوعه فاحتاج إلى يمين يرتدع بها لجواز أَنْ يَرْجِعَ عَنْهَا. فَإِنْ حَلَفَ كَانَ الْعَبْدُ رهنا في يديه ولا اعتراض فيه هل للمجني عَلَيْهِ، وَهَلْ عَلَى الرَّاهِنِ غُرْمُ الْجِنَايَةِ لِلْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ أَمْ لَا. عَلَى قَوْلَيْنِ:

Dan jika kita berpendapat bahwa pernyataan pihak penerima gadai yang dijadikan pegangan, maka pernyataannya diterima dengan sumpahnya, dan sumpahnya atas dasar pengetahuan, karena sumpah tersebut untuk menafikan perbuatan orang lain. Sumpah itu wajib baginya menurut satu pendapat, karena jika ia menarik kembali pengakuannya setelah mengingkari sebelum korban menuntut, maka ia membutuhkan sumpah agar tidak mudah menarik kembali pengakuannya. Jika ia bersumpah, maka budak tetap menjadi barang gadai di tangannya, dan tidak ada perdebatan apakah korban berhak menuntut atau tidak, dan apakah pihak yang menggadaikan wajib membayar diyat kepada korban atau tidak. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا غُرْمَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ أَقَرَّ بِمَا عَلِمَهُ مِنَ الْجِنَايَةِ وَإِقْرَارُهُ بِجِنَايَةِ غَيْرِهِ لَا يُوجِبُ عَلَيْهِ غُرْمَ جِنَايَتِهِ لِأَنَّهُ لَا يَخْلُو فِيهِ مِنْ صِدْقٍ أَوْ كَذِبٍ فَإِنْ كَانَ كَاذِبًا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ. وَإِنْ كَانَ صَادِقًا وَجَبَ انْتِزَاعُ الْعَبْدِ الْجَانِي مِنَ الْمُرْتَهِنِ وَعَلَى هَذَا إِنْ عَادَ الْعَبْدُ إِلَى الرَّاهِنِ إِمَّا بِفَكَاكٍ أَوْ بيع فابتاعه أو ورثه أَوِ اسْتَوْهَبَهُ ثَبَتَتِ الْجِنَايَةُ فِي رَقَبَتِهِ لِإِقْرَارِ الرَّاهِنِ بِهَا وَبِيعَ فِيهَا إِلَّا أَنْ يَفْدِيَهُ الرَّاهِنُ مِنْهَا وَإِنْ لَمْ يَعْلَمِ الرَّاهِنُ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ.

Salah satunya: Tidak ada kewajiban membayar diyat atas pihak yang menggadaikan, karena ia telah mengakui apa yang ia ketahui dari tindak pidana tersebut, dan pengakuannya atas tindak pidana orang lain tidak mewajibkan ia membayar diyat, karena pengakuan itu tidak lepas dari kemungkinan benar atau dusta. Jika ia dusta, maka tidak ada apa-apa atasnya. Jika ia benar, maka budak pelaku pidana harus diambil dari penerima gadai. Dalam hal ini, jika budak kembali kepada pihak yang menggadaikan, baik melalui pembebasan, penjualan lalu ia membelinya kembali, atau diwarisi, atau diminta sebagai hadiah, maka tindak pidana tetap berlaku atas budak tersebut karena pengakuan pihak yang menggadaikan, dan budak dijual untuk membayar diyat, kecuali jika pihak yang menggadaikan menebusnya. Jika pihak yang menggadaikan tidak mengetahui, maka tidak ada kewajiban atasnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عَلَيْهِ غُرْمُ الْجِنَايَةِ لِأَنَّهُ بِالرَّهْنِ قَدْ حَالَ بَيْنَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ وَبَيْنَهُ، وَأَتْلَفَ عَلَيْهِ حَقَّهُ. فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ غُرْمُ الْأَرْشِ كَمَا لَوْ أَعْتَقَهُ أَوْ قَتَلَهُ فإن كان موسرا بها في الحال أو غرم وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا أُنْظِرَ إِلَى أَنْ يُوسِرَ ثُمَّ يُغَرَّمُ.

Pendapat kedua: Ia wajib membayar diyat, karena dengan menggadaikan budak tersebut, ia telah menghalangi korban dari haknya dan merusak hak korban. Maka wajib baginya membayar diyat sebagaimana jika ia membebaskan atau membunuh budak tersebut. Jika ia mampu membayar saat itu, maka ia wajib membayar, dan jika ia tidak mampu, maka ditunggu sampai mampu, lalu ia wajib membayar.

فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ مِثْلَ قِيمَتِهِ فَمَا دُونَ غُرِّمَ جَمِيعَهَا وَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ أَكَثُرَ مِنْ قِيمَتِهِ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Berdasarkan hal ini, jika nilai diyat sama dengan atau kurang dari nilai budak, maka ia wajib membayar seluruhnya. Jika diyat lebih besar dari nilai budak, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ غُرْمُ جَمِيعِهَا. وَإِنْ زَادَتْ عَلَى قِيمَتِهِ أَضْعَافًا.

Salah satunya: Ia wajib membayar seluruh diyat, meskipun melebihi nilai budak berkali-kali lipat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عَلَيْهِ غُرْمُ قِيمَتِهِ، وَلَيْسَ عَلَيْهِ غُرْمُ الزِّيَادَةِ. فَيَكُونُ غَارِمًا لِأَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ قِيمَتِهِ أَوْ جِنَايَتِهِ.

Pendapat kedua: Ia hanya wajib membayar sebesar nilai budak, dan tidak wajib membayar kelebihannya. Maka ia menanggung yang lebih kecil antara nilai budak atau diyat.

وَهَذَانِ الْقَوْلَانِ كَمَا لَوْ أَرَادَ أَنْ يَفْدِيَهُ مِنْ جِنَايَتِهِ وَهُوَ غَيْرُ مَرْهُونٍ. وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: يَغْرَمُ قِيمَتَهُ وَلَا يُلْزَمُ غُرْمَ الزِّيَادَةِ قَوْلًا وَاحِدًا بِخِلَافِ مَا لَوْ أَرَادَ أَنْ يَفْدِيَهُ وَهُوَ غَيْرُ مَرْهُونٍ؛ لِأَنَّهُ إِذَا كَانَ غَيْرَ مَرْهُونٍ أُمْكِنَ بَيْعُهُ وَهَهُنَا لَا يُمْكِنُ بَيْعُهُ فَصَارَ مُتْلِفًا لَهُ كَمَا لَوْ قَتَلَهُ أَوْ أَعْتَقَهُ لَمْ يَلْزَمْهُ غُرْمُ الزِّيَادَةِ قَوْلًا وَاحِدًا، وَلَزِمَهُ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ قِيمَتِهِ أَوْ أَرْشُ جِنَايَتِهِ كَمَا يَفْدِي أُمَّ وَلَدِهِ وَإِذَا غَرِمَ أَرْشَ الْجِنَايَةِ ثُمَّ عَادَ الْعَبْدُ إِلَيْهِ فَلَا حَقَّ فِيهِ لِلْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ. فَهَذَا حُكْمُهُ إِذَا حَلَفَ الْمُرْتَهِنُ.

Kedua pendapat ini seperti halnya jika seseorang ingin menebusnya dari tindak pidananya sementara ia bukan barang gadai. Di antara para ulama mazhab kami ada yang berpendapat: ia wajib membayar ganti rugi senilai barang tersebut dan tidak diwajibkan membayar ganti rugi atas kelebihan nilai menurut satu pendapat, berbeda dengan jika ia ingin menebusnya sementara ia bukan barang gadai; karena jika bukan barang gadai maka memungkinkan untuk dijual, sedangkan dalam kasus ini tidak mungkin dijual sehingga ia dianggap sebagai perusak barang tersebut, sebagaimana jika ia membunuhnya atau memerdekakannya, maka ia tidak diwajibkan membayar ganti rugi atas kelebihan nilai menurut satu pendapat. Ia hanya wajib membayar yang lebih kecil antara nilai barang tersebut atau diyat atas tindak pidananya, sebagaimana menebus ummu walad-nya. Jika ia telah membayar diyat tindak pidana lalu budak itu kembali kepadanya, maka tidak ada hak lagi bagi korban atas budak tersebut. Inilah hukumnya jika pihak penerima gadai bersumpah.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِنْ نَكَلَ الْمُرْتَهِنُ عَنِ الْيَمِينِ وَجَبَ رَدُّهَا وَفِيمَنْ تُرَدُّ عَلَيْهِ وَجْهَانِ:

Jika pihak penerima gadai enggan bersumpah, maka wajib mengembalikan sumpah tersebut. Dalam hal kepada siapa sumpah itu dikembalikan, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهَا تُرَدُّ عَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ. وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَقُولُ: إِنَّ الْمُرْتَهِنَ لَوْ حَلَفَ لَمْ يَغْرَمِ الرَّاهِنُ شَيْئًا فَلَا مَعْنَى لِرَدِّهَا عَلَى الرَّاهِنِ لِأَنَّهُ لَا يَدْفَعُ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ شَيْئًا وَرُدَّتْ عَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ يُثْبِتُ بِهَا حَقَّ نَفْسِهِ فَعَلَى هَذَا إِنْ حَلَفَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ ثَبَتَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ فِي رَقَبَةِ الْعَبْدِ وَبِيعَ فِيهَا، إِلَّا أَنْ يَفْدِيَهُ الرَّاهِنُ مِنْهَا.

Salah satunya, dan ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh asy-Syafi‘i: sumpah itu dikembalikan kepada korban. Ini berdasarkan pendapat yang mengatakan: jika penerima gadai bersumpah, maka pihak pemberi gadai tidak menanggung apa pun, sehingga tidak ada makna mengembalikan sumpah kepada pemberi gadai karena ia tidak dapat membela dirinya dengan sumpah itu dari sesuatu apa pun. Sumpah itu dikembalikan kepada korban karena dengan sumpah itu ia dapat menetapkan haknya sendiri. Berdasarkan hal ini, jika korban bersumpah, maka diyat tindak pidana tetap pada budak tersebut dan budak itu dijual untuk menutupi diyat, kecuali jika pemberi gadai menebusnya dari diyat tersebut.

وَإِنْ نَكَلَ فَلَا شَيْءَ لَهُ فِي الْحَالِّ وَلَا مُطَالَبَةَ لَهُ عَلَى الرَّاهِنِ بِالْأَرْشِ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ قَادِرًا عَلَيْهِ بِيَمِينِهِ لَوْ حَلَفَ فَإِنْ عَادَ الْعَبْدُ إِلَى الرَّاهِنِ لَزِمَهُ حِينَئِذٍ تَسْلِيمُهُ إِلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لِيُبَاعَ فِي الْجِنَايَةِ أَوْ يفديه الراهن منها. وإن لم يجد إِلَيْهِ وَبِيعَ فِي الرَّهْنِ سَقَطَ حَقُّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ.

Jika korban enggan bersumpah, maka ia tidak berhak menuntut apa pun saat itu dan tidak boleh menuntut pemberi gadai atas diyat, karena ia sebenarnya mampu mendapatkannya dengan sumpahnya jika ia mau bersumpah. Jika budak itu kembali kepada pemberi gadai, maka saat itu wajib menyerahkannya kepada korban agar dijual untuk menutupi diyat atau agar pemberi gadai menebusnya dari diyat tersebut. Jika tidak kembali kepadanya dan dijual untuk menutupi utang gadai, maka gugurlah hak korban.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْيَمِينَ تُرَدُّ عَلَى الرَّاهِنِ. وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَقُولُ إِنَّ الْمُرْتَهِنَ لَوْ حَلَفَ كَانَ عَلَى الرَّاهِنِ أَرْشُ الْجِنَايَةِ لِلْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ يَدْفَعُ بِيَمِينِهِ عَنْ نَفْسِهِ مَا يَلْزَمُهُ بِإِقْرَارِهِ لِلْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مِنَ الْأَرْشِ. فَعَلَى هَذَا إِنْ حَلَفَ خَرَجَ الْعَبْدُ مِنَ الرَّهْنِ وَبِيعَ فِي الْجِنَايَةِ إِلَّا أَنْ يَفْدِيَهُ الرَّاهِنُ مِنْهَا.

Pendapat kedua: sumpah itu dikembalikan kepada pemberi gadai. Ini berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa jika penerima gadai bersumpah, maka atas pemberi gadai wajib membayar diyat tindak pidana kepada korban, karena dengan sumpahnya ia dapat membela dirinya dari kewajiban yang harus ia akui kepada korban berupa diyat. Berdasarkan hal ini, jika pemberi gadai bersumpah, maka budak itu keluar dari status gadai dan dijual untuk menutupi diyat, kecuali jika pemberi gadai menebusnya dari diyat tersebut.

وَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ فَهَلْ تُرَدُّ عَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مُخَرَّجَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْمُفْلِسِ أَوِ الْوَرَثَةِ إِذَا امْتَنَعُوا مِنَ الْيَمِينِ هَلْ تُرَدُّ عَلَى الْغُرَمَاءِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ مَنْصُوصَيْنِ. فَكَذَلِكَ رَدُّ الْيَمِينِ. عَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مُخَرَّجٌ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika ia enggan bersumpah, apakah sumpah itu dikembalikan kepada korban atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang diambil dari perbedaan pendapat asy-Syafi‘i mengenai kasus orang yang bangkrut atau ahli waris jika mereka menolak bersumpah, apakah sumpah itu dikembalikan kepada para kreditur atau tidak, menurut dua pendapat yang dinyatakan. Demikian pula pengembalian sumpah kepada korban, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تُرَدُّ الْيَمِينُ عَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ. فَإِنْ حَلَفَ ثَبَتَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ وَبِيعَ فِيهَا إِلَّا أَنْ يَفْدِيَهُ الرَّاهِنُ مِنْهَا. وَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ فَلَا مُطَالَبَةَ لَهُ عَلَى الرَّاهِنِ بِعِوَضِ الْأَرْشِ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ قَادِرًا عَلَيْهِ بِيَمِينِهِ. فَإِنْ عَادَ الْعَبْدُ إِلَى الرَّاهِنِ لَزِمَهُ تَسْلِيمُهُ إِلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لِيُبَاعَ فِي الْجِنَايَةِ إِلَّا أَنْ يَفْدِيَهُ الرَّاهِنُ مِنْهَا وَإِنْ لَمْ يَعُدْ إِلَى الرَّاهِنِ، وَبِيعَ فِي الرَّهْنِ سَقَطَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ.

Salah satunya: sumpah itu dikembalikan kepada korban. Jika ia bersumpah, maka diyat tindak pidana tetap dan budak itu dijual untuk menutupi diyat, kecuali jika pemberi gadai menebusnya dari diyat tersebut. Jika ia enggan bersumpah, maka ia tidak berhak menuntut pemberi gadai atas ganti rugi diyat, karena ia sebenarnya mampu mendapatkannya dengan sumpahnya. Jika budak itu kembali kepada pemberi gadai, maka wajib menyerahkannya kepada korban agar dijual untuk menutupi diyat, kecuali jika pemberi gadai menebusnya dari diyat tersebut. Jika tidak kembali kepada pemberi gadai dan dijual untuk menutupi utang gadai, maka gugurlah diyat tindak pidana.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا لَا تُرَدُّ عَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ. فَعَلَى هَذَا هَلْ يَرْجِعُ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ عَلَى الرَّاهِنِ فَيُغْرِمُهُ أَرْشَ الْجِنَايَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Pendapat kedua: sumpah itu tidak dikembalikan kepada korban. Berdasarkan hal ini, apakah korban dapat menuntut pemberi gadai untuk membayar diyat tindak pidana atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُلْزِمُهُ غُرْمَ أَرْشِهَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ اعْتِبَارِهَا بِقِيمَةِ الْعَبْدِ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ مُتْلَفًا عَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فَلُزِمَ أَرْشَ الْجِنَايَةِ بِرَهْنِهِ وَنُكُولِهِ.

Salah satu pendapat: mewajibkan dia menanggung ganti rugi arsy sebagaimana telah kami sebutkan, dengan mempertimbangkannya berdasarkan nilai budak, karena budak tersebut telah menjadi barang yang rusak atas pihak yang menjadi korban, sehingga wajib membayar arsy jinayah dengan jaminan dan penolakannya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يُلْزِمُهُ غُرْمَ أَرْشِهَا وَتَكُونُ فِي رَقَبَةِ الْعَبْدِ. فَإِذَا عَادَ إِلَى الرَّاهِنِ بِيعَ فِيهَا إِلَّا أَنْ يَفْدِيَهُ السَّيِّدُ فَإِنْ لَمْ يَعُدْ سَقَطَتْ مُطَالَبَتُهُ بِأَرْشِهَا فَهَذَا جُمْلَةُ التَّفْرِيعِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ إِذَا أَقَرَّ الرَّاهِنُ أَنَّهُ جَنَى وأنكر المرتهن.

Pendapat kedua: tidak mewajibkan dia menanggung ganti rugi arsy, dan arsy itu tetap pada leher budak. Jika budak itu kembali kepada pihak yang menggadaikan, maka dijual untuk menutupi arsy tersebut, kecuali jika tuannya menebusnya. Jika tidak kembali, maka gugurlah tuntutan atas arsy tersebut. Inilah ringkasan cabang permasalahan menurut dua pendapat apabila pihak yang menggadaikan mengakui bahwa dia telah melakukan jinayah dan pihak penerima gadai mengingkarinya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَأَمَّا إِذَا أَقَرَّ الرَّاهِنُ أَنَّهُ مَغْصُوبٌ وَأَنْكَرَ الْمُرْتَهِنُ فَعَلَى قَوْلَيْنِ مَنْصُوصَيْنِ:

Adapun jika pihak yang menggadaikan mengakui bahwa barang itu adalah barang hasil ghasab (perampasan), sedangkan pihak penerima gadai mengingkarinya, maka ada dua pendapat yang dinukil secara tekstual:

وَلَوْ أَقَرَّ الرَّاهِنُ أَنَّهُ أَعْتَقَهُ وَأَنْكَرَ الْمُرْتَهِنُ فَعَلَى قَوْلَيْنِ مُخَرَّجَيْنِ، فَتَصِيرُ الْمَسَائِلُ الثَّلَاثُ فِي الْإِقْرَارِ بِالْجِنَايَةِ وَالْغَصْبِ وَالْعِتْقِ عَلَى قَوْلَيْنِ عَلَى مَا مَضَى من التفريع عليهما.

Dan jika pihak yang menggadaikan mengakui bahwa dia telah memerdekakan budak tersebut, sedangkan pihak penerima gadai mengingkarinya, maka ada dua pendapat yang diambil dari qiyas. Maka, tiga permasalahan dalam pengakuan terkait jinayah, ghasab, dan ‘itq (pembebasan budak) semuanya kembali kepada dua pendapat sebagaimana telah dijelaskan dalam cabang-cabangnya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَأَمَّا إِذَا آجَرَهُ ثُمَّ أَقَرَّ الْمُؤْجِرُ بِجِنَايَتِهِ وَأَنْكَرَ الْمُسْتَأْجِرُ فَإِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُؤْجِرِ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّ بَيْعَهُ فِي الْجِنَايَةِ لَا يُبْطِلُ الْإِجَارَةَ بِخِلَافِ الرَّهْنِ. فَلَمْ يَكُنْ لِإِنْكَارِ الْمُسْتَأْجِرِ تَأْثِيرٌ فِي عَقْدِهِ. وَكَذَلِكَ لَوِ ادَّعَى الْمُؤْجِرُ أَنَّهُ أَعْتَقَهُ كَانَ قَوْلُهُ مَقْبُولًا وَالْإِجَارَةُ بِحَالِهَا وَهَلْ لِلْعَبْدِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى سَيِّدِهِ بِأُجْرَةِ الْمُدَّةِ الْبَاقِيَةِ مِنَ الْإِجَارَةِ بَعْدَ عِتْقِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ يَأْتِي مَوْضِعُ تَوْجِيهِهِمَا إِنْ شَاءَ اللَّهُ، وَلَكِنْ لَوْ أَقَرَّ الْمُؤْجِرُ أَنَّهُ مَغْصُوبٌ وَأَنْكَرَ الْمُسْتَأْجِرُ كَانَ عَلَى قَوْلَيْنِ، لأن إقراره لوضع لأبطل الإجارة فصار كإقراره بجناية المرهون ويغصبه فَيَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ.

Adapun jika ia menyewakannya, kemudian pihak penyewa mengakui adanya jinayah dan pihak penyewa mengingkarinya, maka pendapat yang diterima adalah pendapat pihak penyewa secara mutlak, karena penjualan budak dalam kasus jinayah tidak membatalkan akad ijarah, berbeda dengan akad rahn (gadai). Maka pengingkaran pihak penyewa tidak berpengaruh pada akadnya. Demikian pula jika pihak penyewa mengaku bahwa ia telah memerdekakannya, maka pengakuannya diterima dan akad ijarah tetap berlaku. Apakah budak berhak menuntut tuannya atas upah sisa masa sewa setelah ia dimerdekakan atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat, dan penjelasan tentang keduanya akan datang insya Allah. Namun, jika pihak penyewa mengakui bahwa budak itu adalah barang hasil ghasab dan pihak penyewa mengingkarinya, maka ada dua pendapat, karena pengakuannya menyebabkan batalnya akad ijarah, sehingga menjadi seperti pengakuan atas jinayah pada barang gadai dan ghasab, maka kembali kepada dua pendapat.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَأَمَّا إِذَا بَاعَهُ ثُمَّ أَقَرَّ الْبَائِعُ أَنَّهُ كَانَ قَدْ جَنَى أَوْ أَقَرَّ أَنَّهُ أَعْتَقَهُ أَوْ أَنَّهُ مَغْصُوبٌ وَأَنْكَرَ الْمُشْتَرِي فَإِنَّهُ لَا يُقْبَلُ إِقْرَارُ الْبَائِعِ قَوْلًا وَاحِدًا وَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُشْتَرِي وَكَذَلِكَ لَوْ كَاتَبَهُ ثُمَّ أَقَرَّ أَنَّهُ جَنَى أَوْ غَصَبَ لَمْ يُقْبَلْ إِقْرَارُهُ قَوْلًا وَاحِدًا.

Adapun jika ia menjualnya, kemudian penjual mengakui bahwa budak itu telah melakukan jinayah, atau mengakui bahwa ia telah memerdekakannya, atau bahwa budak itu adalah barang hasil ghasab, sedangkan pembeli mengingkarinya, maka pengakuan penjual tidak diterima secara mutlak, dan pendapat yang diterima adalah pendapat pembeli. Demikian pula jika ia melakukan mukatabah (perjanjian pembebasan budak), kemudian mengakui bahwa budak itu telah melakukan jinayah atau merupakan barang hasil ghasab, maka pengakuannya tidak diterima secara mutlak.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْبَيْعِ وَالْكِتَابَةِ حَيْثُ لَمْ يُقْبَلْ إِقْرَارُهُ قَوْلًا وَاحِدًا وَبَيْنَ الرَّهْنِ حَيْثُ قُبِلَ إِقْرَارُهُ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ.

Perbedaan antara jual beli dan mukatabah, di mana pengakuannya tidak diterima secara mutlak, dengan rahn (gadai), di mana pengakuannya diterima menurut salah satu dari dua pendapat.

أَنَّ إِقْرَارَهُ بَعْدَ الْبَيْعِ وَالْكِتَابَةِ إِقْرَارٌ بَعْدَ خُرُوجِهِ مِنْ مِلْكِهِ فَلَمْ يَنْفُذْ إِقْرَارُهُ فِي غَيْرِ مِلْكِهِ وَإِقْرَارُهُ بَعْدَ الرَّهْنِ إِقْرَارٌ فِي مِلْكِهِ. فَجَازَ أَنْ يَنْفُذَ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ.

Bahwa pengakuannya setelah jual beli dan mukatabah adalah pengakuan setelah keluar dari kepemilikannya, sehingga pengakuannya tidak berlaku atas sesuatu yang bukan miliknya. Sedangkan pengakuannya setelah rahn adalah pengakuan dalam kepemilikannya, sehingga boleh jadi pengakuannya berlaku menurut salah satu dari dua pendapat.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ اخْتَارَ أَنْ يَكُونَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُرْتَهِنِ، وَهَذَا أَصَحُّ الْقَوْلَيْنِ وَاخْتَارَ أَنَّ عَلَى الرَّاهِنِ غَرَامَةَ الْأَرْشِ وَهَذَا أَيْضًا أَصَحُّ الْقَوْلَيْنِ إِلَّا أَنَّهُ اسْتَدَلَّ عَلَيْهِ بِشَيْئَيْنِ أَحَدُهُمَا ضَعِيفٌ وَالْآخَرُ غَيْرُ صحيح.

Adapun al-Muzani, ia memilih bahwa pendapat yang diterima adalah pendapat pihak penerima gadai, dan ini adalah pendapat yang paling shahih dari dua pendapat. Ia juga memilih bahwa pihak yang menggadaikan wajib menanggung ganti rugi arsy, dan ini juga pendapat yang paling shahih dari dua pendapat. Hanya saja ia berdalil dengan dua hal, salah satunya lemah dan yang lainnya tidak sahih.

فَأَمَّا الضَّعِيفُ فَهُوَ أَنْ قَالَ: لِأَنَّهُ وَالْعُلَمَاءَ مُجْمِعَةٌ عَلَى أَنَّ مَنْ أَقَرَّ بِمَا يَضُرُّهُ قبل إقراره وَمَنْ أَقَرَّ بِمَا يَبْطُلُ بِهِ حَقُّ غَيْرِهِ لَمْ يَجُزْ إِقْرَارُهُ عَلَى غَيْرِهِ وَمَنْ أَتْلَفَ شَيْئًا لِغَيْرِهِ فِيهِ حَقٌّ فَهُوَ ضَامِنٌ بِعُدْوَانِهِ فَكَأَنَّهُ يَقُولُ: إِنَّ فِي إِقْرَارِهِ إِضْرَارًا بِنَفْسِهِ فقيل إضرارا بِغَيْرِهِ فَلَمْ يُقْبَلْ.

Adapun yang lemah adalah ia berkata: Karena para ulama telah berijma‘ bahwa siapa yang mengakui sesuatu yang merugikan dirinya sebelum pengakuannya, dan siapa yang mengakui sesuatu yang membatalkan hak orang lain, maka tidak sah pengakuannya atas orang lain. Dan siapa yang merusak sesuatu yang di dalamnya ada hak orang lain, maka ia wajib menanggung kerugian karena perbuatannya. Seolah-olah ia berkata: Dalam pengakuannya terdapat unsur merugikan dirinya sendiri, maka dikatakan juga merugikan orang lain, sehingga tidak diterima.

فَيُقَالُ لِلْمُزَنِيِّ: لَيْسَ يُمْتَنَعُ قَبُولُ إِقْرَارِ مَنْ أَضَرَّ بِنَفْسِهِ. وَإِنْ كَانَ فيه إقرارا بِغَيْرِهِ إِذَا لَمْ تَلْحَقْهُ تُهْمَةٌ فِي إِقْرَارِهِ. . أَلَا تَرَى أَنَّ الْعَبْدَ لَوْ أَقَرَّ عَلَى نَفْسِهِ بِجِنَايَةِ عَمْدٍ قُبِلَ إِقْرَارُهُ وَإِنْ كَانَ فِيهِ إِضْرَارٌ بِسَيِّدِهِ، لِأَنَّ التُّهْمَةَ لَا تَلْحَقُهُ فِي إِقْرَارِهِ.

Maka dikatakan kepada al-Muzani: Tidaklah terlarang menerima pengakuan seseorang yang merugikan dirinya sendiri, meskipun di dalamnya terdapat pengakuan terhadap hak orang lain, selama tidak ada tuduhan (motif tidak jujur) yang melekat pada pengakuannya. Tidakkah engkau melihat bahwa seorang budak jika mengakui atas dirinya sendiri telah melakukan jinayah ‘amdan (kejahatan sengaja), maka pengakuannya diterima, meskipun di dalamnya terdapat kerugian bagi tuannya, karena tuduhan (motif tidak jujur) tidak melekat pada pengakuannya.

كَذَلِكَ الرَّاهِنُ وَإِنْ أَقَرَّ بِمَا فِيهِ إِضْرَارٌ بِالْمُرْتَهِنِ قُبِلَ إِقْرَارُهُ لِأَنَّ التُّهْمَةَ لَا تَلْحَقُهُ فِي إِقْرَارِهِ.

Demikian pula halnya dengan orang yang menggadaikan (rahin), jika ia mengakui sesuatu yang di dalamnya terdapat kerugian bagi penerima gadai (murtahin), maka pengakuannya diterima karena tuduhan (motif tidak jujur) tidak melekat pada pengakuannya.

وَقَوْلُهُ: وَمَنْ أَتْلَفَ شَيْئًا لِغَيْرِهِ فِيهِ حَقٌّ فَهُوَ ضَامِنٌ لِعُدْوَانِهِ. فَيُقَالُ لَهُ لَيْسَ مِنَ الرَّاهِنِ إِتْلَافٌ لِمَا فِيهِ حَقٌّ لِلْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لِأَنَّ حَقَّهُ فِي رَقَبَةِ الْعَبْدِ الْجَانِي وَهُوَ بَاقٍ لَمْ يَنْقُلْهُ الرَّاهِنُ وَإِنَّمَا وَقَعَ عَلَيْهِ عَقْدٌ مَعَ بَقَاءِ الرَّقَبَةِ وَوُجُودِ الْعَيْنِ.

Adapun ucapannya: “Barang siapa merusak sesuatu yang di dalamnya terdapat hak orang lain, maka ia wajib menanggungnya karena perbuatannya yang melampaui batas.” Maka dikatakan kepadanya: Tidaklah dari pihak rahin terdapat perusakan terhadap sesuatu yang di dalamnya terdapat hak bagi pihak yang dizalimi (majnu ‘alayh), karena haknya berada pada diri budak pelaku jinayah, dan hak itu tetap ada, tidak dipindahkan oleh rahin, melainkan hanya terjadi akad atasnya dengan tetapnya kepemilikan dan keberadaan barangnya.

وَأَمَّا مَا اسْتُدِلَّ بِهِ مِمَّا هُوَ غَيْرُ صَحِيحٍ فَهُوَ أَنْ قَالَ:

Adapun dalil yang digunakan yang tidak benar adalah sebagai berikut:

وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي هَذَا الْمَعْنَى: وَلَوْ أَقَرَّ بِأَنَّهُ أَعْتَقَهُ لَمْ يَضُرَّ الْمُرْتَهِنَ. فَيُقَالُ لَهُ: وَهَذَا أَيْضًا عَلَى قَوْلَيْنِ كَالْجِنَايَةِ. فَلَمْ يَصِحَّ الِاسْتِدْلَالُ بِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan telah berkata asy-Syafi‘i dalam makna ini: “Seandainya ia mengakui bahwa ia telah memerdekakannya, maka hal itu tidak merugikan murtahin.” Maka dikatakan kepadanya: Ini pun terdapat dua pendapat, sebagaimana dalam kasus jinayah. Maka tidak sah menjadikannya sebagai dalil. Allah lebih mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ جَنَى بَعْدَ الرَّهْنِ ثُمَّ بَرِئَ مِنَ الْجِنَايَةِ بِعَفْوٍ أَوْ صُلْحٍ أَوْ غَيْرِهِ فَهُوَ عَلَى حَالِهِ رَهْنٌ لِأَنَّ أَصْلَ الرَّهْنِ كَانَ صَحِيحًا “.

Berkata asy-Syafi‘i raḥimahullāh: “Jika seorang budak melakukan jinayah setelah dijadikan barang gadai, kemudian ia terbebas dari jinayah itu karena dimaafkan, atau melalui perdamaian, atau sebab lainnya, maka ia tetap dalam statusnya sebagai barang gadai, karena asal akad gadai itu sah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. إِذَا كَانَ الْعَبْدُ مَرْهُونًا فَجَنَى بَعْدَ الرَّهْنِ جِنَايَةً تُوجِبُ الْقَوَدَ أَوِ الْمَالَ فَالرَّهْنُ صَحِيحٌ لَا يَبْطُلُ بِجِنَايَتِهِ الْحَادِثَةِ لِأَنَّ مِلْكَ الرَّاهِنِ لَمْ يَزُلْ بِالْجِنَايَةِ الْحَادِثَةِ فَوَجَبَ أَلَّا يَبْطُلَ عَقْدُ الرَّهْنِ بِالْجِنَايَةِ الْحَادِثَةِ.

Berkata al-Mawardi: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan. Jika seorang budak digadaikan, lalu setelah itu ia melakukan jinayah yang mewajibkan qawad (qishash) atau pembayaran harta, maka akad gadai tetap sah dan tidak batal karena jinayah yang baru terjadi, karena kepemilikan rahin tidak hilang akibat jinayah yang baru terjadi, sehingga akad gadai tidak batal karenanya.

فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا بَطَلَ عَقْدُ الرَّهْنِ بِالْجِنَايَةِ الْحَادِثَةِ بَعْدَ الرَّهْنِ كَمَا بَطَلَ بِالْجِنَايَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ عَلَى الرَّهْنِ؟ قُلْنَا: اسْتِدَامَةُ الْعَقْدِ أَقْوَى مِنَ ابْتِدَائِهِ فَلِذَلِكَ كَانَ تَقَدُّمُ الْجِنَايَةِ مَانِعًا مِنَ ابْتِدَاءِ الرَّهْنِ لِضَعْفِهِ وَلَمْ يَكُنْ حُدُوثُ الْجِنَايَةِ مَانِعًا مِنَ اسْتِدَامَةِ الرَّهْنِ لِقُوَّتِهِ كَمَا أَنَّ الْعِدَّةَ تَمْنَعُ مِنَ ابْتِدَاءِ النِّكَاحِ وَلَا تَمْنَعُ مِنَ اسْتِدَامَتِهِ.

Jika dikatakan: Mengapa akad gadai tidak batal karena jinayah yang terjadi setelah akad gadai, sebagaimana batalnya akad gadai karena jinayah yang terjadi sebelum akad gadai? Kami katakan: Keberlangsungan akad lebih kuat daripada permulaannya. Oleh karena itu, jinayah yang terjadi sebelum akad menjadi penghalang dimulainya akad gadai karena lemahnya akad pada permulaan, sedangkan terjadinya jinayah setelah akad tidak menjadi penghalang keberlangsungan akad gadai karena kekuatannya, sebagaimana masa iddah menghalangi permulaan akad nikah, tetapi tidak menghalangi keberlangsungannya.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الرَّهْنَ لَا يَبْطُلُ بِحُدُوثِ الْجِنَايَةِ فَقَدْ تَعَلَّقَ بِرَقَبَةِ الْعَبْدِ حَقَّانِ حَقٌّ لِلْمُرْتَهِنِ بِعَقْدِ الرَّهْنِ، وَحَقٌّ لِلْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ بِحُدُوثِ الْجِنَايَةِ فَقَدَّمَ حَقَّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ عَلَى حَقِّ الْمُرْتَهِنِ لِأَنَّ حَقَّ الْجِنَايَةِ مُقَدَّمٌ عَلَى حَقِّ الْمُرْتَهِنِ لِثَلَاثَةِ معان:

Jika telah tetap bahwa akad gadai tidak batal karena terjadinya jinayah, maka pada diri budak tersebut melekat dua hak: hak murtahin karena akad gadai, dan hak majnu ‘alayh karena terjadinya jinayah. Maka hak majnu ‘alayh didahulukan atas hak murtahin, karena hak jinayah lebih didahulukan daripada hak murtahin karena tiga alasan:

أَحَدُهَا: أَنَّ حَقَّ الْجِنَايَةِ وَجَبَ بِلَا اخْتِيَارٍ وَحَقَّ الْمُرْتَهِنِ وَجَبَ بِاخْتِيَارٍ وَمَا وَجَبَ بِلَا اخْتِيَارٍ أَوْكَدُ مِمَّا وَجَبَ بِاخْتِيَارٍ كَمَا أَنَّ الْمِلْكَ بِالْإِرْثِ أَوْكَدُ مِنَ الْمِلْكِ بِالْبَيْعِ، لِأَنَّ الْإِرْثَ بِلَا اخْتِيَارٍ وَالْبَيْعَ بِاخْتِيَارٍ.

Pertama: Hak jinayah itu wajib tanpa pilihan, sedangkan hak murtahin wajib karena pilihan. Dan sesuatu yang wajib tanpa pilihan lebih kuat daripada yang wajib karena pilihan, sebagaimana kepemilikan karena warisan lebih kuat daripada kepemilikan karena jual beli, karena warisan terjadi tanpa pilihan, sedangkan jual beli dengan pilihan.

وَالثَّانِي: أَنَّ حَقَّ الْجِنَايَةِ مُتَعَلِّقٌ بِالرَّقَبَةِ، وَحَقَّ الرَّهْنِ ثَابِتٌ في الذمة.

Kedua: Hak jinayah berkaitan dengan diri (raqabah) budak, sedangkan hak gadai tetap pada tanggungan (dzimmah).

إِذَا كَانَ الْعَبْدُ مَرْهُونًا فَجَنَى بَعْدَ الرَّهْنِ جِنَايَةً تُوجِبُ الْقَوَدَ أَوِ الْمَالَ فَالرَّهْنُ صَحِيحٌ لَا يَبْطُلُ بِجِنَايَتِهِ الْحَادِثَةِ لِأَنَّ مِلْكَ الرَّاهِنِ لَمْ يَزُلْ بِالْجِنَايَةِ الْحَادِثَةِ فَوَجَبَ أَلَّا يَبْطُلَ عَقْدُ الرَّهْنِ بِالْجِنَايَةِ الْحَادِثَةِ.

Jika seorang budak digadaikan, lalu setelah itu ia melakukan jinayah yang mewajibkan qawad (qishash) atau pembayaran harta, maka akad gadai tetap sah dan tidak batal karena jinayah yang baru terjadi, karena kepemilikan rahin tidak hilang akibat jinayah yang baru terjadi, sehingga akad gadai tidak batal karenanya.

فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا بَطَلَ عَقْدُ الرَّهْنِ بِالْجِنَايَةِ الْحَادِثَةِ بَعْدَ الرَّهْنِ كَمَا بَطَلَ بِالْجِنَايَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ عَلَى الرَّهْنِ؟ قُلْنَا: اسْتِدَامَةُ الْعَقْدِ أَقْوَى مِنَ ابْتِدَائِهِ فَلِذَلِكَ كَانَ تَقَدُّمُ الْجِنَايَةِ مَانِعًا مِنَ ابْتِدَاءِ الرَّهْنِ لِضَعْفِهِ وَلَمْ يَكُنْ حُدُوثُ الْجِنَايَةِ مَانِعًا مِنَ اسْتِدَامَةِ الرَّهْنِ لِقُوَّتِهِ كَمَا أَنَّ الْعِدَّةَ تَمْنَعُ مِنَ ابْتِدَاءِ النِّكَاحِ وَلَا تَمْنَعُ مِنَ اسْتِدَامَتِهِ.

Jika dikatakan: Mengapa akad rahn tidak batal karena jinayah (tindak pidana) yang terjadi setelah rahn, sebagaimana batal karena jinayah yang terjadi sebelum rahn? Kami jawab: Keberlanjutan akad itu lebih kuat daripada permulaannya. Oleh karena itu, jinayah yang terjadi sebelum rahn menjadi penghalang dimulainya rahn karena lemahnya (kedudukan akad pada permulaan), sedangkan terjadinya jinayah setelah rahn tidak menjadi penghalang keberlanjutan rahn karena kuatnya (kedudukan akad setelah berjalan). Sebagaimana ‘iddah menghalangi dimulainya akad nikah, namun tidak menghalangi keberlanjutannya.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الرَّهْنَ لَا يَبْطُلُ بِحُدُوثِ الْجِنَايَةِ فَقَدْ تَعَلَّقَ بِرَقَبَةِ الْعَبْدِ حَقَّانِ حَقٌّ لِلْمُرْتَهِنِ بِعَقْدِ الرَّهْنِ، وَحَقٌّ لِلْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ بِحُدُوثِ الْجِنَايَةِ فَقَدَّمَ حَقَّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ عَلَى حَقِّ الْمُرْتَهِنِ؛ لِأَنَّ حَقَّ الْجِنَايَةِ مُقَدَّمٌ عَلَى حَقِّ الْمُرْتَهِنِ لِثَلَاثَةِ مَعَانٍ:

Jika telah tetap bahwa rahn tidak batal dengan terjadinya jinayah, maka pada diri budak tersebut melekat dua hak: hak untuk murtahin (penerima gadai) berdasarkan akad rahn, dan hak untuk korban jinayah karena terjadinya jinayah. Maka hak korban jinayah didahulukan atas hak murtahin; karena hak jinayah lebih didahulukan atas hak murtahin karena tiga alasan:

أَحَدُهَا: أَنَّ حَقَّ الْجِنَايَةِ وَجَبَ بِلَا اخْتِيَارٍ وَحَقَّ الْمُرْتَهِنِ وَجَبَ بِاخْتِيَارٍ وَمَا وَجَبَ بِلَا اخْتِيَارٍ أَوْكَدُ مِمَّا وَجَبَ بِاخْتِيَارٍ كَمَا أَنَّ الْمِلْكَ بِالْإِرْثِ أَوْكَدُ مِنَ الْمِلْكِ بِالْبَيْعِ لِأَنَّ الْإِرْثَ بِلَا اخْتِيَارٍ وَالْبَيْعَ بِاخْتِيَارٍ.

Pertama: Hak jinayah wajib tanpa pilihan, sedangkan hak murtahin wajib dengan pilihan. Dan apa yang wajib tanpa pilihan lebih kuat daripada yang wajib dengan pilihan, sebagaimana kepemilikan melalui warisan lebih kuat daripada kepemilikan melalui jual beli, karena warisan terjadi tanpa pilihan sedangkan jual beli dengan pilihan.

وَالثَّانِي: أَنَّ حَقَّ الْجِنَايَةِ مُتَعَلِّقٌ بِالرَّقَبَةِ وَحَقَّ الرَّهْنِ ثَابِتٌ فِي الذِّمَّةِ وَيَتَعَلَّقُ بِالرَّقَبَةِ فَكَانَ تَقْدِيمُ حَقِّ الْجِنَايَةِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالرَّقَبَةِ أَوْلَى مِنْ تَقْدِيمِ حَقِّ الرَّهْنِ الثَّابِتِ فِي الذِّمَّةِ مَعَ تَعَلُّقِهِ بِالرَّقَبَةِ؛ لِأَنَّ فِيهِ اسْتِيفَاءَ الْحَقَّيْنِ وَفِي تَقْدِيمِ حَقِّ الرَّهْنِ إِسْقَاطُ أَحَدِ الْحَقَّيْنِ.

Kedua: Hak jinayah berkaitan langsung dengan tubuh (budak), sedangkan hak rahn tetap dalam tanggungan (dzimmah) dan baru berkaitan dengan tubuh (budak) setelahnya. Maka mendahulukan hak jinayah yang langsung berkaitan dengan tubuh lebih utama daripada mendahulukan hak rahn yang hanya tetap dalam tanggungan dengan keterkaitan pada tubuh; karena dengan demikian kedua hak dapat terpenuhi, sedangkan jika hak rahn yang didahulukan maka salah satu hak akan gugur.

كَمَا أَنَّ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقِصَاصُ فِي طَرَفِهِ وَالْقِصَاصُ فِي نَفْسِهِ يُقَدَّمُ الْقِصَاصَ فِي نَفْسِهِ عَلَى الْقِصَاصِ فِي طَرَفِهِ؛ لِأَنَّ فِيهِ اسْتِيفَاءَ الْحَقَّيْنِ، وَفِي تَقْدِيمِ الْقِصَاصِ فِي النَّفْسِ إِسْقَاطُ أَحَدِ الْحَقَّيْنِ.

Sebagaimana seseorang yang wajib atasnya qishash pada anggota tubuh dan qishash pada jiwa, maka qishash pada jiwa didahulukan atas qishash pada anggota tubuh; karena dengan demikian kedua hak dapat terpenuhi, sedangkan jika qishash pada jiwa yang didahulukan maka salah satu hak akan gugur.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ لَمَّا قَوِيَ حَقُّ الْجِنَايَةِ فِي مَنْعِ الرَّهْنِ إِذَا كَانَ حَقُّ الْجِنَايَةِ مُتَقَدِّمًا، قَوِيَ فِي تَقْدِيمِهِ عَلَى حَقِّ الرَّهْنِ إِذَا كَانَ حَقُّ الْجِنَايَةِ مُتَأَخِّرًا لِأَنَّ أقوى الحقين يقدم على أضعفها.

Ketiga: Ketika hak jinayah kuat dalam mencegah rahn jika hak jinayah itu mendahului, maka ia juga kuat untuk didahulukan atas hak rahn jika hak jinayah itu datang belakangan, karena hak yang lebih kuat didahulukan atas yang lebih lemah.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ حَقَّ الْجِنَايَةِ مُتَقَدِّمٌ عَلَى حَقِّ الرَّهْنِ فَإِنْ عَفَا الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ سقط حق الجناية وبقي حقه الرَّهْنِ، وَكَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا بَعْدَ الْعَفْوِ كَمَا كَانَ رَهْنًا قَبْلَ الْجِنَايَةِ.

Jika telah tetap bahwa hak jinayah didahulukan atas hak rahn, maka jika korban jinayah memaafkan, gugurlah hak jinayah dan hak rahn tetap, dan budak tersebut tetap menjadi barang gadai setelah pemaafan sebagaimana ia menjadi barang gadai sebelum terjadinya jinayah.

وَإِنْ لَمْ يَعْفُ عَنْهَا وَطَالَبَ بِحَقِّهِ فِيهَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْجِنَايَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika ia tidak memaafkan dan menuntut haknya, maka keadaan jinayah tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ تَكُونَ مُوجِبَةً لِلْقَوَدِ أَوْ مُوجِبَةً لِلْمَالِ. فَلَهُ أَنْ يَقْتَصَّ فَإِذَا اقْتَصَّ لَمْ يَخْلُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Yaitu apakah jinayah itu mewajibkan qawad (qishash) atau mewajibkan pembayaran harta. Maka ia (korban) boleh melakukan qishash, dan jika ia melakukannya, maka tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ تَكُونَ فِي نَفْسِهِ، أَوْ فِي طَرَفِهِ. فَإِنْ كَانَتْ فِي طَرَفِهِ كَانَ رَهْنًا بَعْدَ الْقِصَاصِ كَمَا كَانَ رَهْنًا قَبْلَ الْقِصَاصِ. وَإِنْ كَانَتْ فِي نَفْسِهِ بَطَلَ الرَّهْنُ لِفَوَاتِهِ بَعْدَ الْقِصَاصِ.

Yaitu apakah qishash itu pada jiwa atau pada anggota tubuh. Jika pada anggota tubuh, maka budak tersebut tetap menjadi barang gadai setelah qishash sebagaimana ia menjadi barang gadai sebelum qishash. Namun jika pada jiwa, maka rahn batal karena budak telah tiada setelah qishash.

وَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ مُوجِبَةً لِلْمَالِ فَإِنْ فَدَاهُ الرَّاهِنُ مِنْ مَالِهِ كَانَ رَهْنًا بِحَالِهِ، وَإِنْ لَمْ يَفْدِهِ مِنْ مَالِهِ بِيعَ فِي الْجِنَايَةِ. فَإِنْ كَانَ أَرْشُهَا مِثْلَ قِيمَتِهِ أَوْ أَكْثَرَ بِيعَ جَمِيعُهُ فَإِذَا بِيعَ فَقَدْ بَطَلَ الرَّهْنُ وَإِنْ كَانَ أَرْشُهَا أَقَلَّ مِنْ قِيمَتِهِ بِيعَ مِنْهُ بِقَدْرِ الْأَرْشِ وَكَانَ مَا بَقِيَ رَهْنًا إِلَّا أَنْ لَا يُمْكِنَ بَيْعُ بَعْضِهِ فَيُبَاعَ جَمِيعُهُ، وَيَكُونُ مَا فَضَلَ مِنْ ثَمَنِهِ بَعْدَ الْأَرْشِ هُنَا مَكَانَهُ أَوْ قِصَاصًا مِنَ الْحَقِّ، وَلَا يَكُونُ لِلْمُرْتَهِنِ خِيَارٌ فِي الْبَيْعِ بِحُدُوثِ ذلك بعد الرهن.

Jika jinayah itu mewajibkan pembayaran harta, maka jika rahin (penggadai) menebusnya dengan hartanya, budak tetap menjadi barang gadai sebagaimana adanya. Namun jika tidak menebusnya, maka budak dijual untuk membayar jinayah. Jika nilai ganti rugi (arsh) sama dengan atau lebih besar dari nilai budak, maka seluruh budak dijual, dan jika telah dijual maka batalah rahn. Jika nilai ganti rugi kurang dari nilai budak, maka dijual sebagian budak sesuai nilai arsh, dan sisanya tetap menjadi barang gadai, kecuali jika tidak memungkinkan menjual sebagian, maka dijual seluruhnya. Sisa harga setelah dikurangi arsh tetap pada tempatnya atau sebagai pengurang dari hak (murtahin), dan murtahin tidak memiliki hak memilih dalam penjualan karena hal itu terjadi setelah akad rahn.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ دَبَّرَهُ ثُمَّ رَهَنَهُ كَانَ الرَّهْنُ مَفْسُوخًا لِأَنَّهُ أَثْبَتَ لَهُ عِتْقًا قَدْ يَقَعُ قَبْلَ حُلُولِ الرَّهْنِ فَلَا يَسْقُطُ الْعِتْقُ وَالرَّهْنُ غَيْرُ جَائِزٍ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ فِي التَّدْبِيرِ إلا بأن يخرجه من ملكه “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang mentadbir (menetapkan pembebasan budak setelah wafatnya) lalu ia menjadikannya sebagai barang gadai, maka gadaiannya batal, karena ia telah menetapkan adanya ‘itq (pembebasan) yang bisa terjadi sebelum jatuh tempo gadai, sehingga pembebasan itu tidak gugur dan gadaiannya tidak sah. Ia pun tidak boleh menarik kembali tadbir kecuali dengan mengeluarkannya dari kepemilikannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا التَّدْبِيرُ: فَهُوَ قَوْلُ الرَّجُلِ لِعَبْدِهِ إِذَا مِتُّ فَأَنْتَ حُرٌّ أَوْ أَنْتَ حُرٌّ بِمَوْتِي، أَوْ أَنْتَ حُرٌّ فِي دُبُرِ حَيَاتِي. فَيُعْتَقُ الْعَبْدُ بِمَوْتِ سَيِّدِهِ، وَيَكُونُ عِتْقُهُ مِنْ ثُلُثِهِ، وَهُوَ قَبْلَ مَوْتِ السَّيِّدِ رَقِيقٌ تَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْعَبِيدِ. وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي التَّدْبِيرِ فَلَهُ فِيهِ قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Adapun tadbir adalah ucapan seseorang kepada budaknya: ‘Jika aku mati, maka engkau merdeka,’ atau ‘Engkau merdeka karena kematianku,’ atau ‘Engkau merdeka di akhir hidupku.’ Maka budak itu akan merdeka dengan wafat tuannya, dan pembebasannya berasal dari sepertiga harta tuannya. Sebelum tuannya wafat, ia tetap berstatus budak yang berlaku atasnya hukum-hukum perbudakan. Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat Imam asy-Syafi‘i tentang tadbir, beliau memiliki dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ وَبَعْضِ الْجَدِيدِ: أَنَّ التَّدْبِيرَ يَجْرِي مَجْرَى الْوَصَايَا لِأَنَّهَا عَطِيَّةٌ بَعْدَ الْمَوْتِ مُعْتَبَرَةً فِي الثُّلْثِ فَوَجَبَ أَنْ تَجْرِيَ مَجْرَى الْوَصَايَا كَالْمُوصَى بِعِتْقِهِ. فَعَلَى هَذَا يَصِحُّ الرُّجُوعُ فِيهِ بِالْقَوْلِ وَالْفِعْلِ مَعَ بَقَائِهِ فِي الْمِلْكِ وَمَعَ خُرُوجِهِ مِنْهُ، كَمَا يَصِحُّ أَنْ يُرْجَعَ فِي الْوَصَايَا بِالْقَوْلِ وَالْفِعْلِ مَعَ بَقَائِهَا فِي الْمِلْكِ وَخُرُوجِهَا مِنْهُ.

Salah satunya, yaitu pendapat beliau dalam qaul qadim dan sebagian qaul jadid: bahwa tadbir diperlakukan seperti wasiat, karena ia merupakan pemberian setelah kematian yang diperhitungkan dari sepertiga harta, sehingga harus diperlakukan seperti wasiat, sebagaimana wasiat untuk memerdekakan budak. Berdasarkan pendapat ini, boleh menarik kembali tadbir dengan ucapan maupun perbuatan selama budak itu masih dalam kepemilikan, maupun setelah keluar dari kepemilikan, sebagaimana boleh menarik kembali wasiat dengan ucapan maupun perbuatan selama wasiat itu masih dalam kepemilikan atau telah keluar darinya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ: إِنَّ التَّدْبِيرَ يَجْرِي مَجْرَى الْعِتْقِ بِالصِّفَاتِ لِأَنَّ تَعْلِيقَ عِتْقِهِ بِمَوْتِهِ كَتَعْلِيقِ عِتْقِهِ بِمَوْتِ غَيْرِهِ. فَلَمَّا كَانَ لَوْ عَلَّقَ عِتْقَهُ بِمَوْتِ غَيْرِهِ فَقَالَ: إِذَا مَاتَ زَيْدٌ فَأَنْتَ حُرٌّ كَانَ عِتْقًا بِصِفَةٍ كَذَلِكَ إِذَا عَلَّقَ عِتْقَهُ بِمَوْتِهِ فَقَالَ: إِذَا مِتُّ فَأَنْتَ حُرٌّ كَانَ عِتْقًا بِصِفَةٍ فَعَلَى هَذَا لَا يَصِحُّ أَنْ يَرْجِعَ فِيهِ بِالْقَوْلِ مَعَ بَقَائِهِ عَلَى مِلْكِهِ كَمَا لَا يَصِحُّ أَنْ يَرْجِعَ فِي الْعِتْقِ بِالصِّفَةِ بِالْقَوْلِ مَعَ بَقَائِهِ عَلَى مِلْكِهِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat beliau dalam qaul jadid: bahwa tadbir diperlakukan seperti pembebasan budak bersyarat (al-‘itq biṣ-ṣifah), karena menggantungkan pembebasan budak dengan kematian tuan sama seperti menggantungkan pembebasan dengan kematian orang lain. Jika seseorang menggantungkan pembebasan budaknya dengan kematian orang lain, misalnya berkata: ‘Jika Zaid mati, maka engkau merdeka,’ maka itu adalah pembebasan bersyarat. Demikian pula jika ia berkata: ‘Jika aku mati, maka engkau merdeka,’ maka itu juga pembebasan bersyarat. Berdasarkan pendapat ini, tidak sah menarik kembali tadbir dengan ucapan selama budak itu masih dalam kepemilikan, sebagaimana tidak sah menarik kembali pembebasan bersyarat dengan ucapan selama budak itu masih dalam kepemilikan.

(فَصْلٌ)

(Bab)

فَإِذَا ثَبَتَ هَذَانِ الْقَوْلَانِ فِي التَّدْبِيرِ أَنَّهُ هَلْ يَجْرِي مَجْرَى الْوَصِيَّةِ أَوْ مَجْرَى الْعِتْقِ بِالصِّفَةِ فَرَهَنَ الرَّجُلُ مُدَبَّرَهُ فَفِي رَهْنِهِ ثلاثة أقوال:

Jika telah tetap dua pendapat ini dalam masalah tadbir, apakah ia diperlakukan seperti wasiat atau seperti pembebasan bersyarat, lalu seseorang menggadaikan budak mudabbarnya, maka dalam penggadaian ini terdapat tiga pendapat:

أحدهما: أَنَّ رَهْنَهُ بَاطِلٌ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّهُ عِتْقٌ بِصِفَةٍ أَوْ وَصِيَّةٍ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يُعْتَقَ قَبْلَ حُلُولِ الْحَقِّ بِمَوْتِ السَّيِّدِ فَتَبْطُلُ الْوَثِيقَةُ بِهِ فَلَمْ يَصِحَّ رَهْنُهُ. –

Pertama: bahwa penggadaiannya batal menurut kedua pendapat, baik dikatakan bahwa tadbir itu pembebasan bersyarat maupun wasiat, karena bisa saja budak itu merdeka sebelum jatuh tempo hak (gadai) dengan wafat tuannya, sehingga jaminan gadai menjadi batal, maka tidak sah menggadaikannya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ رَهْنَهُ جَائِزٌ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّهُ وَصِيَّةٌ أَوْ عِتْقٌ بِصِفَةٍ، لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَطْرَأَ عليه التدبير فَيَكُونُ الرَّهْنُ صَحِيحًا لِجَوَازِ بَيْعِهِ جَازَ أَنْ يَطْرَأَ الرَّهْنُ عَلَى التَّدْبِيرِ فَيَكُونُ الرَّهْنُ جَائِزًا لِجَوَازِ بَيْعِهِ وَلَيْسَ مَا يَطْرَأُ مِنْ جَوَازِ أَنْ يُعْتَقَ بِمَوْتِ السَّيِّدِ قَبْلَ حُلُولِ الْحَقِّ بِمَانِعٍ مِنْ صِحَّةِ الرَّهْنِ كَمَا أَنَّ الْحَيَوَانَ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَمُوتَ قَبْلَ حُلُولِ الْحَقِّ وذلك بمانع مِنْ صِحَّةِ الرَّهْنِ.

Pendapat kedua: bahwa penggadaiannya sah menurut kedua pendapat, baik dikatakan bahwa tadbir itu wasiat maupun pembebasan bersyarat, karena ketika tadbir bisa terjadi atasnya, maka gadai pun sah karena bolehnya menjual budak tersebut. Maka boleh juga gadai terjadi atas tadbir, sehingga gadai sah karena boleh dijual. Adapun kemungkinan budak itu merdeka karena wafat tuan sebelum jatuh tempo hak, tidak menjadi penghalang sahnya gadai, sebagaimana hewan yang mungkin mati sebelum jatuh tempo hak, itu pun tidak menjadi penghalang sahnya gadai.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّ رَهْنَهُ جَائِزٌ إِذَا قِيلَ إِنَّ التَّدْبِيرَ وَصِيَّةٌ وَبَاطِلٌ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ عَتَقَ بِصِفَةٍ وَهَذَا أَصَحُّ الْأَقَاوِيلِ لِأَنَّ الرَّهْنَ رُجُوعٌ عَنِ التَّدْبِيرِ مَعَ بَقَاءِ الْمِلْكِ وَالرُّجُوعُ عَنِ التَّدْبِيرِ مَعَ بَقَاءِ الملك ويجوز إِذَا قِيلَ إِنَّ التَّدْبِيرَ وَصِيَّةٌ وَلَا يَجُوزُ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ عِتْقٌ بِصِفَةٍ فَلِذَلِكَ جَازَ رَهْنُهُ إِذَا قِيلَ إِنَّ التَّدْبِيرَ وَصِيَّةٌ وَلَا يَجُوزُ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ عِتْقٌ بِصِفَةٍ.

Pendapat ketiga: bahwa penggadaiannya sah jika dikatakan tadbir adalah wasiat, dan batal jika dikatakan tadbir adalah pembebasan bersyarat. Ini adalah pendapat yang paling kuat, karena gadai merupakan bentuk penarikan kembali dari tadbir selama budak masih dalam kepemilikan, dan penarikan kembali dari tadbir selama masih dalam kepemilikan itu boleh jika dikatakan tadbir adalah wasiat, dan tidak boleh jika dikatakan tadbir adalah pembebasan bersyarat. Oleh karena itu, sah menggadaikannya jika dikatakan tadbir adalah wasiat, dan tidak sah jika dikatakan tadbir adalah pembebasan bersyarat.

وَلِأَصْحَابِنَا فِي تَرْتِيبِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ طُرُقٌ مُضْطَرِبَةٌ وَهَذِهِ الطَّرِيقَةُ أَصَحُّهَا.

Para ulama kami memiliki beberapa metode yang berbeda dalam menyusun masalah ini, dan metode yang disebutkan inilah yang paling kuat.

(فَصْلٌ)

(Bab)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ هَذِهِ الْأَقَاوِيلِ فِي حُكْمِ رَهْنِهِ فَإِذَا قُلْنَا: إِنَّ رَهْنَهُ بَاطِلٌ فَالتَّدْبِيرُ بِحَالِهِ بَاقٍ. وَإِذَا قُلْنَا: إِنَّ رَهْنَهُ صَحِيحٌ فَهَلْ يَبْطُلُ التَّدْبِيرَ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Apabila telah jelas apa yang telah kami sebutkan dari berbagai pendapat mengenai hukum gadai (rahn) terhadapnya, maka apabila kita mengatakan: sesungguhnya gadai tersebut batal, maka status tadbīr tetap berlaku sebagaimana adanya. Dan apabila kita mengatakan: sesungguhnya gadai tersebut sah, maka apakah tadbīr menjadi batal atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ التَّدْبِيرَ قَدْ بَطَلَ وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الثَّالِثِ.

Salah satunya: bahwa tadbīr telah batal, dan ini menurut pendapat ketiga.

وَالثَّانِي: أَنَّ التَّدْبِيرَ لَا يَبْطُلُ وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي.

Dan yang kedua: bahwa tadbīr tidak batal, dan ini menurut pendapat kedua.

فَإِذَا قُلْنَا إِنَّ التَّدْبِيرَ قَدْ بَطَلَ فَهُوَ رَهْنٌ يُبَاعُ فِيهِ وَإِنِ افْتَكَّهُ الرَّاهِنُ لَمْ يَعُدِ التَّدْبِيرُ وَإِنْ مَاتَ الرَّاهِنُ لَمْ يُعْتَقْ عَلَيْهِ لِأَنَّ التَّدْبِيرَ إِذَا بَطَلَ ارْتَفَعَ حُكْمُهُ. وَإِذَا قُلْنَا: إِنَّ التَّدْبِيرَ لَا يَبْطُلُ، فَإِنِ افْتَكَّهُ الرَّاهِنُ بِأَدَاءِ الْحَقِّ خَرَجَ مِنَ الرَّهْنِ كَانَ مُدَبَّرًا بِعِتْقٍ بِمَوْتِ سَيِّدِهِ، وَإِنْ لَمْ يَفْتَكَّهُ بِيعَ فِي الرَّهْنِ لِأَنَّ بَيْعَ الْمُدَبَّرِ جَائِزٌ عَلَى مَذْهَبِنَا فَإِذَا بِيعَ زَالَ عَنْهُ حُكْمُ التَّدْبِيرِ فَإِنْ مَلَكَهُ الرَّاهِنُ فِيمَا بَعْدُ بِبَيْعٍ أَوْ هِبَةٍ أَوْ مِيرَاثٍ فَهَلْ يَعُودُ إِلَى التَّدْبِيرِ أَمْ لَا. عَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْأيْمَانِ بِالصِّفَاتِ فِي الْعِتْقِ وَالطَّلَاقِ إِذَا وَقَعَتْ فِي عَقْدٍ هَلْ يَقَعُ الْحِنْثُ بِهَا فِي عَقْدٍ ثَانٍ أَمْ لَا.

Apabila kita mengatakan bahwa tadbīr telah batal, maka ia menjadi barang gadai yang boleh dijual, dan jika rahin (penggadai) menebusnya, tadbīr tidak kembali lagi, dan jika rahin meninggal dunia, maka budak tersebut tidak merdeka karena tadbīr, sebab apabila tadbīr telah batal maka hukumnya pun hilang. Dan apabila kita mengatakan bahwa tadbīr tidak batal, maka jika rahin menebusnya dengan membayar hak, ia keluar dari status gadai dan tetap menjadi mudabbir (budak yang dijanjikan merdeka setelah tuannya wafat). Jika tidak ditebus, maka dijual dalam status gadai, karena penjualan mudabbir diperbolehkan menurut mazhab kami. Jika telah dijual, maka hukum tadbīr hilang darinya. Jika kemudian rahin memilikinya kembali melalui jual beli, hibah, atau warisan, maka apakah tadbīr kembali lagi atau tidak? Ini juga terdapat dua pendapat, yang dibangun atas perbedaan pendapat dalam masalah sumpah dengan sifat-sifat dalam masalah pembebasan budak (‘itq) dan talak, apabila terjadi dalam satu akad, apakah pelanggaran sumpah terjadi pula dalam akad kedua atau tidak.

فَأَمَّا إِذَا لَمْ يَفْتَكَّهُ الرَّاهِنُ وَلَا بِيعَ فِي الرَّهْنِ حَتَّى مَاتَ الرَّاهِنُ، فَإِنْ خَلَّفَ وَفَاءً لِقَضَاءِ الْحَقِّ عَتَقَ الْمُدَبَّرُ إِذَا كَانَ خَارِجًا مِنَ الثُّلُثِ فَإِنْ لَمْ يُخْلِفْ وَفَاءً لِقَضَاءِ الْحَقِّ بِيعَ فِي الحق، لِأَنَّ قَضَاءَ الدَّيْنِ مُقَدَّمٌ عَلَى الْعِتْقِ بِالتَّدْبِيرِ، لأن مَحَلَّ التَّدْبِيرِ فِي الثُّلُثِ وَالدَّيْنُ مِنْ رَأْسِ المال وبما وَجَبَ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ أَحَقُّ بِالتَّقْدِيمِ مِمَّا وَجَبَ فِي الثُّلُثِ.

Adapun jika rahin tidak menebusnya dan tidak pula dijual dalam status gadai hingga rahin meninggal dunia, maka jika ia meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hak (utang), maka mudabbir itu merdeka jika nilainya tidak melebihi sepertiga harta peninggalan. Jika tidak meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hak, maka dijual untuk melunasi utang, karena pelunasan utang didahulukan atas pembebasan budak dengan tadbīr. Sebab, tempat tadbīr adalah pada sepertiga harta, sedangkan utang diambil dari seluruh harta, dan apa yang wajib diambil dari seluruh harta lebih berhak didahulukan daripada yang wajib diambil dari sepertiga harta.

فَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ مُحِيطًا بِجَمِيعِ قِيمَتِهِ بِيعَ جَمِيعُهُ فِي قَضَاءِ الدَّيْنِ وَلَمْ يُعْتَقْ شَيْءٌ مِنْهُ بِالتَّدْبِيرِ. وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ قِيمَتِهِ بِيعَ مِنْهُ بِقَدْرِ الدَّيْنِ وَعَتَقَ مِنَ الْبَاقِي بِالتَّدْبِيرِ قَدْرُ مَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ.

Jika utang meliputi seluruh nilai budak, maka seluruhnya dijual untuk melunasi utang dan tidak ada bagian yang merdeka karena tadbīr. Jika utang lebih sedikit dari nilainya, maka dijual sebagian sesuai jumlah utang dan sisanya merdeka karena tadbīr sebanyak yang dapat ditanggung oleh sepertiga harta.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا رَهَنَ عَبْدًا غَيْرَ مُدَبَّرٍ، ثُمَّ دَبَّرَهُ صَحَّ تَدْبِيرُهُ وَلَمْ يَبْطُلْ رَهْنُهُ، وَكَانَ حُكْمُهُ عَلَى مَا ذُكِرَ آنِفًا إِذَا دَبَّرَهُ ثُمَّ رَهَنَهُ صَحَّ رَهْنُهُ وَلَمْ يَبْطُلْ تَدْبِيرُهُ. فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا كَانَ تَدْبِيرُ الْمَرْهُونِ بَاطِلًا كَمَا كَانَ عِتْقُهُ فِي بَعْضِ الْأَقَاوِيلِ بَاطِلًا؟ قِيلَ: لِأَنَّ الْعِتْقَ إِزَالَةُ مِلْكٍ يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ الْبَيْعِ، وَلَيْسَ التَّدْبِيرُ إِزَالَةَ مِلْكٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ الْبَيْعِ. فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا كَانَ التَّدْبِيرُ إِذَا طَرَأَ عَلَى الرَّهْنِ مَانِعًا مِنْ صِحَّةِ الرَّهْنِ، كَمَا لَوْ كَانَ التَّدْبِيرُ مُتَقَدِّمًا مُنِعَ فِي بَعْضِ الْأَقَاوِيلِ مِنْ صِحَّةِ الرَّهْنِ؟

Adapun jika seseorang menggadaikan budak yang bukan mudabbir, kemudian ia menjadikannya mudabbir, maka tadbīrnya sah dan gadainya tidak batal, dan hukumnya sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Jika ia menjadikan budak itu mudabbir lalu menggadaikannya, maka gadai itu sah dan tadbīrnya tidak batal. Jika dikatakan: Mengapa tadbīr terhadap barang gadai tidak batal sebagaimana pembebasan budak (itq) dalam sebagian pendapat dianggap batal? Dijawab: Karena pembebasan budak adalah penghilangan kepemilikan yang menghalangi keabsahan jual beli, sedangkan tadbīr bukanlah penghilangan kepemilikan dan tidak menghalangi keabsahan jual beli. Jika dikatakan: Mengapa tadbīr yang terjadi setelah gadai tidak menjadi penghalang sahnya gadai, sebagaimana jika tadbīr terjadi sebelum gadai dalam sebagian pendapat menghalangi keabsahan gadai?

قِيلَ: لِأَنَّ اسْتِدَامَةَ الرَّهْنِ أَقْوَى مِنَ ابْتِدَائِهِ. أَلَا تَرَى أَنَّ جِنَايَةَ الْمَرْهُونِ إِذَا طَرَأَتْ عَلَى الرَّهْنِ لَمْ تَمْنَعْ صِحَّةَ الرَّهْنِ وَلَوْ تَقَدَّمَتْ عَلَى الرَّهْنِ مَنَعَتْ مِنْ صِحَّةِ الرَّهْنِ.

Dijawab: Karena kelanjutan status gadai lebih kuat daripada permulaannya. Tidakkah engkau melihat bahwa jika terjadi tindak pidana oleh barang gadai setelah digadaikan, hal itu tidak menghalangi keabsahan gadai, sedangkan jika tindak pidana itu terjadi sebelum digadaikan, maka menghalangi keabsahan gadai.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ اخْتَارَ أَنَّ التَّدْبِيرَ وَصِيَّةٌ، وَاخْتَارَ أَنَّ الرَّهْنَ مُبْطِلٌ لِلتَّدْبِيرِ كَمَا كَانَ مُبْطِلًا لِلْوَصِيَّةِ.

Adapun al-Muzani, ia berpendapat bahwa tadbīr adalah wasiat, dan ia memilih bahwa gadai membatalkan tadbīr sebagaimana gadai membatalkan wasiat.

فَأَمَّا مَا اخْتَارَهُ مِنْ أَنَّ التَّدْبِيرَ وَصِيَّةٌ وَلَيْسَ بِعِتْقٍ بِصِفَةٍ، فَاسْتَدَلَّ عَلَيْهِ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ بِمَسْأَلَتَيْنِ لَيْسَ لَهُ فِيهِمَا دَلِيلٌ:

Adapun pendapatnya bahwa tadbīr adalah wasiat dan bukan pembebasan budak dengan sifat tertentu, ia berdalil dengan dua masalah dari mazhab asy-Syafi‘i, padahal dalam keduanya tidak ada dalil baginya:

إِحْدَاهُمَا: أَنَّهُ قَالَ: قَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَلَوْ قَالَ لِمُدَبَّرِهِ: إِنْ أَدَّيْتَ كَذَا بَعْدَ مَوْتِي فَأَنْتَ حُرٌّ أَنَّهُ رُجُوعٌ فِي التَّدْبِيرِ. وَلَا دَلِيلَ لِلْمُزَنِيِّ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَالَ ذَلِكَ عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَزْعُمُ أَنَّ التَّدْبِيرَ وَصِيَّةٌ. فَأَمَّا عَلَى الْقَوْلِ الْآخَرِ الَّذِي يَقُولُ إِنَّ التَّدْبِيرَ عِتْقٌ بِصِفَةٍ، فَلَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا أَنَّهُ لَا يَكُونُ رُجُوعًا عَنِ التَّدْبِيرِ.

Pertama: Ia berkata, “Imam Syafi‘i telah berkata: Seandainya seseorang berkata kepada budak mudabbarnya, ‘Jika engkau membayar sekian setelah kematianku, maka engkau merdeka,’ maka itu merupakan bentuk rujuk dari tadbir.” Tidak ada dalil bagi al-Muzani dalam masalah ini, karena Imam Syafi‘i mengatakan hal tersebut berdasarkan pendapat yang menyatakan bahwa tadbir adalah wasiat. Adapun menurut pendapat lain yang mengatakan bahwa tadbir adalah pembebasan (budak) dengan syarat, maka para sahabat kami tidak berbeda pendapat bahwa itu tidak dianggap sebagai rujuk dari tadbir.

وَالْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ قَالَ: قَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ولو وجب الْمُدَبَّرُ وَلَمْ يَقْبِضْهُ أَنَّهُ رُجُوعٌ فِي التَّدْبِيرِ.

Masalah kedua: Ia berkata, “Imam Syafi‘i rahimahullah telah berkata: Jika mudabbar telah menjadi wajib (merdeka) namun belum diterima (oleh budak tersebut), maka itu merupakan rujuk dari tadbir.”

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Para sahabat kami berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْهِبَةَ قَبْلَ الْقَبْضِ تَكُونُ رُجُوعًا فِي التَّدْبِيرِ عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَقُولُ: إِنَّ التَّدْبِيرَ وَصِيَّةٌ فَأَمَّا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَقُولُ: إِنَّ التَّدْبِيرَ عِتْقٌ بِصِفَةٍ فَلَا يَكُونُ رُجُوعًا فِي التَّدْبِيرِ.

Salah satunya: Bahwa hibah sebelum diterima dianggap sebagai rujuk dari tadbir menurut pendapat yang mengatakan bahwa tadbir adalah wasiat. Adapun menurut pendapat yang mengatakan bahwa tadbir adalah pembebasan (budak) dengan syarat, maka itu tidak dianggap sebagai rujuk dari tadbir.

فَعَلَى هَذَا لَا دَلِيلَ لِلْمُزَنِيِّ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ كَمَا لَمْ يَكُنْ لَهُ دَلِيلٌ فِي تِلْكَ.

Dengan demikian, tidak ada dalil bagi al-Muzani dalam masalah ini, sebagaimana ia juga tidak memiliki dalil dalam masalah sebelumnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّهُ يَكُونُ رُجُوعًا فِي التَّدْبِيرِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا سَوَاءٌ قُلْنَا إِنَّ التَّدْبِيرَ وَصِيَّةٌ أَوْ عِتْقٌ بِصِفَةٍ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: Bahwa itu dianggap sebagai rujuk dari tadbir menurut kedua pendapat, baik kita mengatakan tadbir adalah wasiat maupun pembebasan (budak) dengan syarat.

فَعَلَى هَذَا الْفَرْقُ بَيْنَ الرَّهْنِ وَالْهِبَةِ: أَنَّ الْهِبَةَ تُزِيلُ الْمِلْكَ بَعْدَ الْقَبْضِ وَهِيَ أَحَدُ مُوَجِبَيْ زَوَالِ الْمِلْكِ قَبْلَ الْقَبْضِ، وَالرَّهْنُ لَا يُزِيلُ الْمِلْكَ وَلَا هُوَ أَحَدُ مُوَجِبَيْ مَا يُزِيلُ الْمِلْكَ فَلِذَلِكَ كَانَتِ الْهِبَةُ رُجُوعًا وَإِنْ لَمْ يُقْبَضْ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا بِخِلَافِ الرَّهْنِ.

Dengan demikian, perbedaan antara rahn (gadai) dan hibah adalah: Hibah menghilangkan kepemilikan setelah diterima, dan ia merupakan salah satu sebab hilangnya kepemilikan sebelum diterima. Sedangkan rahn tidak menghilangkan kepemilikan dan bukan pula salah satu sebab yang menghilangkan kepemilikan. Oleh karena itu, hibah dianggap sebagai rujuk meskipun belum diterima menurut kedua pendapat, berbeda dengan rahn.

فَأَمَّا مَا اخْتَارَهُ مِنْ أَنَّ الرَّهْنَ مُبْطِلٌ لِلتَّدْبِيرِ كَمَا كَانَ مُبْطِلًا لِلْوَصِيَّةِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنْ يُقَالَ:

Adapun pendapat yang dipilihnya bahwa rahn membatalkan tadbir sebagaimana membatalkan wasiat, maka jawabannya adalah:

أَمَّا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَزْعُمُ أَنَّ التَّدْبِيرَ عِتْقٌ بِصِفَةٍ فَلَا يَكُونُ الرَّهْنُ رُجُوعًا عَنِ التَّدْبِيرِ لَا يُخْتَلَفُ فِيهِ وَأَمَّا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَزْعُمُ أَنَّ التَّدْبِيرَ وَصِيَّةٌ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي عَقْدِ الرَّهْنِ إِذَا تَجَدَّدَ هَلْ يُبْطِلُ التَّدْبِيرَ وَالْوَصِيَّةَ أَمْ لَا. عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Adapun menurut pendapat yang menyatakan bahwa tadbir adalah pembebasan (budak) dengan syarat, maka rahn tidak dianggap sebagai rujuk dari tadbir, dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Sedangkan menurut pendapat yang menyatakan bahwa tadbir adalah wasiat, para sahabat kami berbeda pendapat mengenai akad rahn yang baru terjadi, apakah membatalkan tadbir dan wasiat atau tidak. Ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّ عَقْدَ الرَّهْنِ يُبْطِلُ التَّدْبِيرَ وَالْوَصِيَّةَ جَمِيعًا لِأَنَّهُمَا يَبْطُلَانِ بِالْقَوْلِ مَعَ بَقَاءِ الْمِلْكِ، وَالرَّهْنُ كَالْقَوْلِ فِي الرُّجُوعِ. فَعَلَى هَذَا قَدْ صَحَّ لِلْمُزَنِيِّ الْمَذْهَبُ وَسَلِمَ لَهُ الدَّلِيلُ.

Pertama: Bahwa akad rahn membatalkan tadbir dan wasiat seluruhnya, karena keduanya batal dengan ucapan meskipun kepemilikan masih ada, dan rahn dipersamakan dengan ucapan dalam hal rujuk. Dengan demikian, pendapat al-Muzani benar dan dalilnya sah baginya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ عَقْدَ الرَّهْنِ لَا يُبْطِلُ التَّدْبِيرَ وَلَا الْوَصِيَّةَ جَمِيعًا لِأَنَّ عَقْدَ الرَّهْنِ لَيْسَ بِصَرِيحٍ فِي الرُّجُوعِ وَلَا فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى الرجوع. وإنما صارت رقبته وَثِيقَةً بِحَقِّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ الرَّهْنُ رُجُوعًا كَمَا لَمْ تَكُنْ جِنَايَةُ الْعَبْدِ رُجُوعًا. فَعَلَى هَذَا لَمْ يَصِحَّ لِلْمُزَنِيِّ الْمَذْهَبُ وَلَا سَلِمَ لَهُ الدَّلِيلُ.

Pendapat kedua: Bahwa akad rahn tidak membatalkan tadbir maupun wasiat seluruhnya, karena akad rahn tidak secara tegas menunjukkan rujuk dan tidak ada dalil di dalamnya atas rujuk. Hanya saja, budak tersebut menjadi jaminan atas hak orang yang dizalimi, sehingga tidak boleh rahn dianggap sebagai rujuk, sebagaimana tindak pidana budak tidak dianggap sebagai rujuk. Dengan demikian, pendapat al-Muzani tidak sah dan dalilnya tidak kuat baginya.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ الرَّهْنَ يَكُونُ رُجُوعًا فِي الْوَصِيَّةِ وَلَا يَكُونُ رُجُوعًا فِي التَّدْبِيرِ. وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ التَّدْبِيرَ أَقْوَى مِنَ الْوَصِيَّةِ وَإِنْ جَرَى مَجْرَى الْوَصِيَّةِ لِأَنَّ التَّدْبِيرَ عَطِيَّةٌ تَقَعُ بِالْمَوْتِ لَا تَفْتَقِرُ إِلَى قَبُولٍ فَقَوِيَ حُكْمُهَا وَلَمْ تَبْطُلْ بِالرَّهْنِ وَالْوَصِيَّةُ لَا تُمَلَكُ إِلَّا بِالْقَبُولِ بَعْدَ الْمَوْتِ فَكَانَتْ أَضْعَفَ مِنَ التَّدْبِيرِ فَبَطَلَتْ بِالرَّهْنِ. فَعَلَى هَذَا قَدْ صَحَّ لِلْمُزَنِيِّ الْمَذْهَبُ وَلَمْ يسلم له الدليل.

Pendapat ketiga: Bahwa rahn dianggap sebagai rujuk dalam wasiat, tetapi tidak dianggap sebagai rujuk dalam tadbir. Perbedaannya adalah: Tadbir lebih kuat daripada wasiat, meskipun serupa dengan wasiat, karena tadbir adalah pemberian yang berlaku setelah kematian tanpa memerlukan penerimaan, sehingga hukumnya lebih kuat dan tidak batal dengan rahn. Sedangkan wasiat tidak dimiliki kecuali dengan penerimaan setelah kematian, sehingga lebih lemah daripada tadbir dan batal dengan rahn. Dengan demikian, pendapat al-Muzani benar namun dalilnya tidak kuat baginya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ لَهُ إِنْ دَخَلْتَ الدَّارَ فَأَنْتَ حر ثم رهنه كان هكذا (قال المزني) قلت أنا وقد (قال الشافعي) إن التدبير وصية فلو أوصى به ثم رهنه أما كان جائزا؟ فكذلك التدبير في أصل قوله وقد قال في الكتاب الجديد آخر ما سمعناه منه ولو قال في المدبر إِنْ أَدَّى بَعْدَ مَوْتِي كَذَا فَهُوَ حُرٌّ أَوْ وَهَبَهُ هِبَةَ بَتَاتٍ قُبِضَ أَوْ لَمْ يقبض ورجع فهذا رجوع في التدبير هذا نص قوله (قال المزني) قلت أنا فقد أبطل تدبيره بغير إخراج له من ملكه كما لو أوصى برقبته وإذا رهنه فد أوجب للمرتهن حقا فيه فهو أولى برقبته منه وليس لسيده بيعه للحق الذي عقده فيه فكيف يبطل التدبير بقوله إن أدى كذا فهو حر أو وهبه ولم يقبضه الموهوب له حتى رجع في هبته وملكه فيه بحاله ولا حق فيه لغيره ولا يبطل تدبيره بأن يخرجه من يده إلى يد من هو أحق برقبته منه وبيعه وقبض ثمنه في دينه ومنع سيده من بيعه فهذا أقيس بقوله وقد شرحت لك في كتاب المدبر فتفهمه “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang berkata kepadanya, ‘Jika engkau masuk ke dalam rumah, maka engkau merdeka,’ lalu ia menjadikannya sebagai barang gadai, maka hukumnya demikian.” (Al-Muzani berkata:) Saya berkata, dan (Imam Syafi‘i) telah berkata bahwa tadbir adalah wasiat. Maka jika ia berwasiat dengan tadbir lalu menjadikannya sebagai barang gadai, bukankah itu boleh? Maka demikian pula hukum tadbir menurut pendapat dasarnya. Dan ia berkata dalam kitab al-jadid, yang terakhir kami dengar darinya: ‘Jika seseorang berkata tentang budak mudabbar, ‘Jika ia membayar setelah kematianku sekian, maka ia merdeka,’ atau ia memberikannya sebagai hibah mutlak, baik telah diterima atau belum, lalu ia menarik kembali, maka ini adalah penarikan kembali tadbir, dan ini adalah nash ucapannya.’ (Al-Muzani berkata:) Saya berkata, maka ia telah membatalkan tadbirnya tanpa mengeluarkannya dari kepemilikannya, sebagaimana jika ia berwasiat atas dirinya. Dan jika ia menggadaikannya, maka ia telah memberikan hak kepada penerima gadai atasnya, sehingga penerima gadai lebih berhak atas dirinya daripada tuannya, dan tuannya tidak boleh menjualnya karena hak yang telah diakadkan atasnya. Maka bagaimana mungkin tadbir batal hanya karena ia berkata, ‘Jika ia membayar sekian maka ia merdeka,’ atau ia memberikannya sebagai hibah namun penerima hibah belum menerimanya hingga ia menarik kembali hibahnya, dan kepemilikannya tetap seperti semula, tidak ada hak bagi orang lain atasnya, dan tadbirnya tidak batal hanya karena ia mengeluarkannya dari tangannya kepada orang yang lebih berhak atas dirinya, menjualnya, dan menerima harganya untuk membayar utangnya, serta mencegah tuannya dari menjualnya? Ini lebih sesuai dengan qiyas menurut pendapatnya. Dan aku telah menjelaskannya kepadamu dalam Kitab al-Mudabbar, maka pahamilah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي رَهْنِ الْمُدَبَّرِ. فَأَمَّا رَهْنُ الْمُعْتَقِ بِصِفَةٍ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya pembahasan tentang gadai budak mudabbar. Adapun gadai budak yang dimerdekakan dengan syarat, maka terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ لِحُلُولِ الْحَقِّ قَبْلَ وجود الصفة. وهو أن يقول إذا أهل رَمَضَانُ فَأَنْتَ حُرٌّ وَيَكُونُ حُلُولُ الْحَقِّ فِي شَعْبَانَ. فَهَذَا رَهْنٌ جَائِزٌ لِسَلَامَتِهِ إِلَى حُلُولِ الْحَقِّ.

Pertama: Hak jatuh tempo sebelum terpenuhinya syarat. Yaitu, misalnya seseorang berkata, “Jika telah masuk bulan Ramadan, maka engkau merdeka,” sementara jatuh tempo hak terjadi pada bulan Sya‘ban. Maka gadai ini sah karena masih aman hingga jatuh tempo hak.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ حُلُولُ الْحَقِّ بَعْدَ وُجُودِ الصِّفَةِ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: إِذَا أَهَّلَ شَعْبَانُ فَأَنْتَ حُرٌّ، وَيَكُونُ حُلُولُ الْحَقِّ فِي رَمَضَانَ فَهَذَا رَهْنٌ بَاطِلٌ لِخُرُوجِهِ بِالْعِتْقِ قَبْلَ حُلُولِ الْحَقِّ.

Bagian kedua: Jatuh tempo hak setelah terpenuhinya syarat, yaitu misalnya seseorang berkata, “Jika telah masuk bulan Sya‘ban, maka engkau merdeka,” sementara jatuh tempo hak terjadi pada bulan Ramadan. Maka gadai ini batal karena budak telah keluar dari status perbudakan sebelum jatuh tempo hak.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ حُلُولُ الْحَقِّ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ وُجُودِ الصِّفَةِ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ وُجُودِ الصِّفَةِ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: إِنْ قَدِمَ زَيْدٌ فَأَنْتَ حُرٌّ، فَيَجُوزُ أَنْ يَقْدَمَ زَيْدٌ قَبْلَ حُلُولِ الْحَقِّ وَيَجُوزُ أَنْ يَقْدَمَ بَعْدَ حُلُولِ الْحَقِّ. فَفِي جَوَازِ رَهْنِهِ قَوْلَانِ:

Bagian ketiga: Jatuh tempo hak bisa terjadi sebelum atau sesudah terpenuhinya syarat, yaitu misalnya seseorang berkata, “Jika Zaid datang, maka engkau merdeka.” Maka bisa saja Zaid datang sebelum jatuh tempo hak, dan bisa juga setelahnya. Dalam hal kebolehan menggadaikannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لِتَرَدُّدِهِ بَيْنَ حَالَتَيْنِ يَصِحُّ الرَّهْنُ فِي إِحْدَاهُمَا وَلَا يَصِحُّ فِي الْأُخْرَى فَشَابَهَ بَيْعَ الْغَرَرِ.

Salah satunya: Tidak boleh, karena terdapat keraguan antara dua keadaan; pada salah satunya gadai sah, pada yang lain tidak sah, sehingga menyerupai jual beli gharar (mengandung ketidakjelasan).

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَجُوزُ رَهْنُهُ لِأَنَّ الْأَصْلَ سَلَامَتُهُ وَإِنْ جَازَ عِتْقُهُ، كَمَا كَانَ الْأَصْلُ حَيَاتَهُ وَإِنْ جَازَ مَوْتُهُ. فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ تَجْوِيزُ مَوْتِهِ مَانِعًا مِنْ جَوَازِ رَهْنِهِ لَمْ يَكُنْ تَجْوِيزُ عِتْقِهِ مَانِعًا مِنْ جَوَازِ رَهْنِهِ.

Pendapat kedua: Boleh menggadaikannya, karena pada dasarnya ia masih aman, meskipun ada kemungkinan ia merdeka, sebagaimana pada dasarnya ia masih hidup meskipun ada kemungkinan ia mati. Maka ketika kemungkinan kematiannya tidak menjadi penghalang kebolehan menggadaikannya, demikian pula kemungkinan ia merdeka tidak menjadi penghalang kebolehan menggadaikannya.

فَعَلَى هَذَا إِذَا صَحَّ رَهْنُهُ ثُمَّ وُجِدَتِ الصِّفَةُ قَبْلَ حُلُولِ الْحَقِّ كَانَ كَالْمُدَبَّرِ إِذَا مَاتَ السَّيِّدُ قَبْلَ حُلُولِ الْحَقِّ فَيَكُونُ عَلَى مَا مضى.

Berdasarkan hal ini, jika gadai tersebut sah lalu syarat terpenuhi sebelum jatuh tempo hak, maka keadaannya seperti budak mudabbar jika tuannya meninggal sebelum jatuh tempo hak, maka hukumnya mengikuti yang telah dijelaskan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ رَهَنَهُ عَصِيرًا حُلْوًا كَانَ جَائِزًا فَإِنْ حَالَ إِلَى أَنْ يَصِيرَ خَلًّا أَوْ مُرًّا أَوْ شَيْئًا لَا يُسْكِرُ كَثِيرُهُ فَالرَّهْنُ بِحَالِهِ فَإِنْ حَالَ الْعَصِيرُ إِلَى أَنْ يُسْكِرَ فَالرَّهْنُ مَفْسُوخٌ لِأَنَّهُ صَارَ حَرَامًا لَا يَحِلُّ بَيْعُهُ كَمَا لَوْ رَهَنَهُ عَبْدًا فَمَاتَ الْعَبْدُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menggadaikan air anggur manis, maka itu sah. Jika kemudian berubah menjadi cuka, atau menjadi pahit, atau menjadi sesuatu yang banyaknya tidak memabukkan, maka gadai tetap berlaku sebagaimana adanya. Namun jika air anggur itu berubah menjadi memabukkan, maka gadai menjadi batal karena telah menjadi barang haram yang tidak boleh diperjualbelikan, sebagaimana jika seseorang menggadaikan budak lalu budak itu mati.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan.

رَهْنُ الْعَصِيرِ الْحُلْوِ جَائِزٌ لِأَنَّ بَيْعَهُ جَائِزٌ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ رَهْنَهُ جَائِزٌ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Menggadaikan air anggur manis itu sah karena jual belinya juga sah. Jika telah tetap bahwa menggadaikannya sah, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَبْقَى عَلَى حَالِهِ عَصِيرًا حُلْوًا، أَوْ يَنْقَلِبَ عَنْ كَوْنِهِ عَصِيرًا حُلْوًا فَإِنْ بَقِيَ عَلَى حَالِهِ عَصِيرًا بِيعَ فِي الْحَقِّ عِنْدَ حُلُولِهِ، وَكَانَ حُكْمُهُ فِي الرَّهْنِ كَحُكْمِ غَيْرِهِ.

Pertama, tetap dalam keadaan sebagai air anggur manis; atau berubah dari status air anggur manis. Jika tetap sebagai air anggur, maka ia dijual untuk melunasi hak ketika jatuh tempo, dan hukumnya dalam gadai sama seperti barang lain.

وَإِنِ انْقَلَبَ عَنْ كَوْنِهِ عَصِيرًا حُلْوًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika berubah dari status air anggur manis, maka ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: يَنْقَلِبُ إِلَى مَالٍ فَيَصِيرُ خَلًّا أَوْ مُزًّا أَوْ مُزَِيًّا أَوْ مَا لَا يُسْكِرُ فَهُوَ رَهْنٌ بِحَالِهِ. لِأَنَّ انْقِلَابَ الرَّهْنِ مِنْ مَالٍ إِلَى مَالٍ لَا يَقْدَحُ فِي صِحَّةِ الرَّهْنِ كَالْعَبْدِ الْمَرْهُونِ إِذَا قُتِلَ وَجَبَ عَلَى الْقَاتِلِ قِيمَتُهُ وَكَانَتْ رَهْنًا مَكَانَهُ وَلَا يَبْطُلُ بِالْقَتْلِ لِأَنَّهُ انْقَلَبَ الرَّهْنُ مَنْ مَالٍ إِلَى مَالٍ.

Pertama: Berubah menjadi harta, seperti menjadi cuka, atau menjadi masam, atau menjadi sesuatu yang tidak memabukkan, maka gadai tetap berlaku sebagaimana adanya. Karena perubahan barang gadai dari satu harta ke harta lain tidak merusak keabsahan gadai, seperti budak yang digadaikan lalu terbunuh, maka wajib bagi pembunuhnya membayar nilai budak tersebut dan nilai itu menjadi barang gadai pengganti, dan gadai tidak batal karena pembunuhan, sebab barang gadai berubah dari satu harta ke harta lain.

كَذَلِكَ الْعَصِيرُ إِذَا انْقَلَبَ خَلًّا، فَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ يَصِيرُ الْعَصِيرُ مُزَيًّا قِيلَ: قَدْ رُوِيَ ذَلِكَ فِي بَعْضِ النُّسَخِ وَلَمْ يُرْوَ فِي أَكْثَرِهَا. وَالَّذِي قَالَهُ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ وَإِنْ صَارَ مُزًّا وَقَدْ يَصِحُّ أَنْ يَصِيرَ مُزَيًّا يَكُونُ ذَلِكَ مِنْ أَحَدِ وَجْهَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَصِيرَ الشَّعِيرِ فَيَصِحُّ انْقِلَابُهُ مُزَيًّا أَوْ يَكُونَ عَصِيرَ الْعِنَبِ فَيُطْرَحُ فيه دقيق الشعير فينقلب مزيا.

Demikian pula, jika sari buah berubah menjadi cuka. Jika ada yang bertanya: Bagaimana sari buah bisa menjadi muzza (minuman antara sari dan cuka)? Dijawab: Hal itu memang diriwayatkan dalam sebagian naskah, namun tidak diriwayatkan dalam kebanyakan naskah lainnya. Pendapat yang dikemukakan oleh asy-Syafi‘i dalam al-Umm adalah: Jika sari buah berubah menjadi muzza, dan memang memungkinkan sari buah berubah menjadi muzza, maka hal itu bisa terjadi dalam dua kemungkinan: Pertama, sari itu adalah sari gandum, sehingga sah jika berubah menjadi muzza; atau kedua, sari itu adalah sari anggur lalu dicampurkan tepung gandum ke dalamnya sehingga berubah menjadi muzza.

(فصل)

(Fasal)

والثاني: أَنْ يَنْقَلِبَ الْعَصِيرُ خَمْرًا فَيَبْطُلُ الرَّهْنُ. لِأَنَّ انْقِلَابَ الرَّهْنِ إِلَى غَيْرِ مَالٍ يُوجِبُ بُطْلَانَ الرَّهْنِ كَالْعَبْدِ الْمَرْهُونِ إِذَا مَاتَ وَجَبَ بُطْلَانُ الرَّهْنِ كَذَلِكَ هَهُنَا. وَلِأَنَّ حَقَّ الْمِلْكِ أَوْكَدُ مِنْ حَقِّ الرَّهْنِ فَلَمَّا كَانَ انْقِلَابُهُ خَمْرًا يُبْطِلُ الْمِلْكَ فَأَوْلَى أَنْ يُبْطِلَ الرَّهْنَ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الرَّهْنَ فِيهِ قَدْ بَطَلَ بِانْقِلَابِهِ خَمْرًا فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ رَهْنَهُ بَطَلَ فِي الْحَالِ الَّتِي صَارَ فِيهَا خَمْرًا، وَقَدْ كَانَ الْعَقْدُ وَقَعَ عَلَيْهِ صَحِيحًا.

Kedua: Jika sari buah berubah menjadi khamr (minuman memabukkan), maka gadai menjadi batal. Sebab, berubahnya barang gadai menjadi sesuatu yang bukan harta menyebabkan batalnya gadai, sebagaimana budak yang digadaikan jika meninggal maka gadai menjadi batal, demikian pula dalam hal ini. Dan karena hak kepemilikan lebih kuat daripada hak gadai, maka ketika berubahnya menjadi khamr membatalkan kepemilikan, maka lebih utama lagi membatalkan gadai. Maka jika telah tetap bahwa gadai menjadi batal karena berubahnya menjadi khamr, maka menurut mazhab asy-Syafi‘i, gadai tersebut batal pada saat sari buah itu berubah menjadi khamr, padahal akadnya sebelumnya sah.

وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ: إِنَّ انْقِلَابَهُ خَمْرًا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْعَقْدَ وَقَعَ عَلَيْهِ بَاطِلًا؛ لِأَنَّ ظُهُورَهُ في الزمان الثاني دليل على ابتدائه بالقدح فِي الزَّمَانِ الْأَوَّلِ.

Abu ‘Ali bin Khairan berkata: Perubahan sari buah menjadi khamr menunjukkan bahwa akad atasnya sejak awal adalah batal; karena kemunculannya pada waktu kedua menjadi bukti adanya cacat sejak awal pada waktu pertama.

وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ غَلَطٌ؛ لِأَنَّ رَهْنَ الْعَصِيرِ جَائِزٌ وَبَعْدَ انْقِلَابِهِ خَمْرًا بَاطِلٌ، كَمَا أَنَّ رَهْنَ الْعَبْدِ جَائِزٌ وَبَعْدَ مَوْتِهِ بَاطِلٌ وَلَا يُوجِبُ بُطْلَانُهُ الْإِذْنَ بِالْمَوْتِ بُطْلَانَهُ وَقْتَ عَقْدِهِ كَذَلِكَ هَهُنَا.

Pendapat yang dikemukakannya itu keliru; karena menggadaikan sari buah hukumnya boleh, dan setelah berubah menjadi khamr menjadi batal, sebagaimana menggadaikan budak itu boleh dan setelah ia meninggal menjadi batal, dan batalnya tidak menyebabkan izin kematian membatalkan akad pada saat akad dilakukan, demikian pula dalam hal ini.

وَلَوْ كَانَ مَا قَالَهُ ابْنُ خَيْرَانَ مِنْ أَنَّ ظُهُورَهُ فِي الزَّمَانِ الثَّانِي دَلِيلٌ عَلَى ابْتِدَائِهِ فِي الزَّمَانِ الْأَوَّلِ فِي إِبْطَالِ الرَّهْنِ لَوَجَبَ إِذَا بِيعَ الْعَصِيرُ فَانْقَلَبَ خَمْرًا فِي يَدِ الْمُشْتَرِي أَنْ يُبْطِلَ الْبَيْعَ وَيُوجِبَ اسْتِرْجَاعَ الثَّمَنِ وَمَا أَحَدٌ يَقُولُ بِهَذَا فَدَلَّ عَلَى فَسَادِهِ.

Seandainya apa yang dikatakan oleh Ibnu Khairan, bahwa kemunculannya pada waktu kedua menjadi bukti adanya cacat sejak awal pada waktu pertama sehingga membatalkan gadai, maka seharusnya jika sari buah dijual lalu berubah menjadi khamr di tangan pembeli, maka jual belinya pun batal dan harus mengembalikan harga, dan tidak ada seorang pun yang berpendapat demikian, maka ini menunjukkan rusaknya pendapat tersebut.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَفَائِدَةُ هَذَا الْخِلَافِ شَيْئَانِ:

Manfaat dari perbedaan pendapat ini ada dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْخَمْرَ إِذَا عَادَ بِنَفْسِهِ فَعَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ يَعُودُ إِلَى الرَّهْنِ لِصِحَّةِ الْعَقْدِ عَلَيْهِ. وَعَلَى قَوْلِ ابْنِ خَيْرَانَ يَعُودُ إِلَى الرَّهْنِ لِفَسَادِ الْعَقْدِ عَلَيْهِ.

Pertama: Jika khamr itu kembali menjadi dirinya semula, maka menurut pendapat asy-Syafi‘i, ia kembali menjadi barang gadai karena akad atasnya sah. Sedangkan menurut pendapat Ibnu Khairan, ia kembali menjadi barang gadai karena akad atasnya rusak.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ إِنْ كَانَ رَهْنُهُ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ لَمْ يَبْطُلِ الْبَيْعُ عَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَلَمْ يَكُنْ لِلْمُرْتَهِنِ فِي فَسْخِهِ خِيَارٌ لِصِحَّةِ رَهْنِهِ وَقْتَ الْعَقْدِ وَحُدُوثُ فَسَادِهِ كَمَوْتِ الْعَبْدِ وَعَلَى قَوْلِ ابْنِ خَيْرَانَ فِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ قَوْلَانِ:

Kedua: Jika gadai itu disyaratkan dalam jual beli, maka jual belinya tidak batal menurut pendapat asy-Syafi‘i dan tidak ada hak bagi penerima gadai untuk membatalkannya karena akad gadai pada saat akad itu sah dan rusaknya terjadi kemudian seperti kematian budak. Sedangkan menurut pendapat Ibnu Khairan, dalam batalnya jual beli ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ.

Pertama: Batal.

وَالثَّانِي: جَائِزٌ وَلَهُ الْخِيَارُ كَمَا لَوْ كان خمرا وقت العقد.

Kedua: Sah dan pihak penerima gadai memiliki hak memilih, sebagaimana jika barang itu berupa khamr pada saat akad.

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ: رَحِمَهُ اللَّهُ ” فَإِنْ صَارَ الْعَصِيرُ خَمْرًا ثُمَّ صَارَ خَلًّا مِنْ غَيْرِ صَنْعَةِ آدَمِيٍّ فَهُوَ رَهْنٌ “.

Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika sari buah berubah menjadi khamr kemudian berubah menjadi cuka tanpa campur tangan manusia, maka ia tetap menjadi barang gadai.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan memang demikianlah sebagaimana yang dikatakan.

إِذَا رَهَنَ عَصِيرًا حُلْوًا ثُمَّ صَارَ الْعَصِيرُ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ خَمْرًا ثُمَّ انْقَلَبَ الْخَمْرُ فِي يَدِهِ فَصَارَ خَلًّا مِنْ غَيْرِ صَنْعَةٍ وَلَا عِلَاجٍ فَقَدْ حَلَّ ذَلِكَ وَعَادَ إِلَى الرَّهْنِ بِالْعَقْدِ السَّابِقِ.

Jika seseorang menggadaikan sari buah yang manis, kemudian sari buah itu di tangan penerima gadai berubah menjadi khamr, lalu khamr itu di tangannya berubah menjadi cuka tanpa campur tangan atau pengolahan, maka hal itu menjadi halal dan kembali menjadi barang gadai berdasarkan akad sebelumnya.

وَحُكِيَ عَنْ أبي حنيفة أَنَّهُ لَا يَعُودُ إِلَى الرَّهْنِ إِلَّا بِعَقْدٍ مُسْتَأْنَفٍ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الرَّهْنَ قَدْ بَطَلَ بِاسْتِحَالَتِهِ خَمْرًا، فَلَمْ يَعُدْ إِلَى الرَّهْنِ بِاسْتِحَالَتِهِ خَلًّا لِأَنَّ الْعَقْدَ إِذَا بَطَلَ لَمْ يَعُدْ إِلَى الصِّحَّةِ فِيمَا بَعْدُ اعْتِبَارًا بِسَائِرِ الْعُقُودِ لَا تَصِحُّ بَعْدَ بُطْلَانِهَا وَلِأَنَّ رَهْنَ الْعَصِيرِ بَطَلَ بِاسْتِحَالَتِهِ خَمْرًا كَمَا يَبْطُلُ رَهْنُ الشَّاةِ بِالْمَوْتِ وَتُطَهَّرُ الْخَمْرُ بِاسْتِحَالَتِهَا خَلًّا كَمَا يُطَهَّرُ جِلْدُ الْمَيْتَةِ بِالدِّبَاغِ فَلَمَّا كَانَ جِلْدُ الشَّاةِ الْمَرْهُونَةِ إِذَا دُبِغَ بَعْدَ الْمَوْتِ لَا يَعُودُ إِلَى الرَّهْنِ إِلَّا بِاسْتِئْنَافِ عَقْدٍ لِبُطْلَانِهِ مِنْ قَبْلُ.

Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa barang tersebut tidak kembali menjadi rahn kecuali dengan akad baru, dan ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Khairan, dengan alasan bahwa rahn telah batal karena berubah menjadi khamar, sehingga tidak kembali menjadi rahn ketika berubah menjadi cuka, karena jika suatu akad telah batal maka tidak kembali menjadi sah setelahnya, sebagaimana pada akad-akad lain yang tidak sah setelah batal. Selain itu, rahn atas ‘asir (perasan anggur) batal karena berubah menjadi khamar, sebagaimana rahn atas kambing batal karena mati. Khamar menjadi suci dengan berubah menjadi cuka, sebagaimana kulit bangkai menjadi suci dengan disamak. Maka, ketika kulit kambing yang digadaikan jika disamak setelah mati tidak kembali menjadi rahn kecuali dengan akad baru karena sebelumnya telah batal.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ بُطْلَانَ الرَّهْنِ إِنَّمَا كَانَ لِبُطْلَانِ الْمِلْكِ فَوَجَبَ أَنْ يَعُودَ إِلَى الرَّهْنِ بِعَوْدِهِ إِلَى الْمِلْكِ لِأَنَّ وُجُودَ الْمِلْكِ سَبَبٌ لِصِحَّةِ الرَّهْنِ كَمَا أَنَّ عَدَمَ الْمِلْكِ سَبَبٌ لِبُطْلَانِ الرَّهْنِ وَلِأَنَّ مَنْ مَلَكَ شَيْئًا مَلَكَهُ بِحُقُوقِهِ كَالْوَرَثَةِ إِذَا مَلَكُوا الرَّهْنَ مَلَكُوهُ بِحُقُوقِهِ مَرْهُونًا كَذَلِكَ إِذَا مَلَكَ الرَّاهِنُ الْخَمْرَ بِاسْتِحَالَتِهِ خَلًّا وَجَبَ أَنْ يَمْلِكَهُ بِحُقُوقِهِ مَرْهُونًا وَلِأَنَّ اسْتِحَالَةَ الْعَصِيرِ خَمْرًا تُوجِبُ إِتْلَافَهُ بِالْإِرَاقَةِ كَمَا أَنَّ ارْتِدَادَ الْعَبْدِ الْمَرْهُونِ يُوجِبُ إِتْلَافَهُ بِالْقَتْلِ.

Dalil kami adalah bahwa batalnya rahn itu terjadi karena batalnya kepemilikan, sehingga wajib kembali menjadi rahn ketika kembali menjadi milik, karena adanya kepemilikan adalah sebab sahnya rahn, sebagaimana ketiadaan kepemilikan adalah sebab batalnya rahn. Dan siapa yang memiliki sesuatu, ia memilikinya beserta hak-haknya, seperti ahli waris yang jika memiliki barang gadai, maka mereka memilikinya beserta hak-haknya sebagai barang gadai. Demikian pula jika orang yang menggadaikan (rahin) memiliki khamar yang telah berubah menjadi cuka, maka wajib ia memilikinya beserta hak-haknya sebagai barang gadai. Dan karena perubahan ‘asir menjadi khamar mewajibkan pemusnahannya dengan ditumpahkan, sebagaimana murtadnya budak yang digadaikan mewajibkan pemusnahannya dengan dibunuh.

فَلَمَّا كَانَ زَوَالُ مَا بِهِ يُوجِبُ إِتْلَافَ الْمُرْتَدِّ مُوجِبًا لِاسْتِقْرَارِ الرَّهْنِ وَهُوَ أَنْ يَعُودَ فَلَمَّا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ زَوَالُ مَا بِهِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ إِتْلَافُ الْخَمْرِ مُوجِبًا لِاسْتِقْرَارِ الرَّهْنِ وَهُوَ أَنْ يَسْتَحِيلَ خَلًّا وَلِأَنَّهُ يَعُودُ إِلَى الْمِلْكِ إِذَا اسْتَحَالَ خَلًّا بِسَبَبٍ سَابِقٍ لَا بِسَبَبٍ حَادِثٍ.

Maka ketika hilangnya sebab yang mewajibkan pemusnahan budak murtad menyebabkan tetapnya rahn, yaitu ia kembali (menjadi rahn), maka wajib pula bahwa hilangnya sebab tersebut mewajibkan pemusnahan khamar menyebabkan tetapnya rahn, yaitu ketika ia berubah menjadi cuka. Dan karena ia kembali menjadi milik jika berubah menjadi cuka karena sebab yang telah ada sebelumnya, bukan sebab baru.

أَلَا تَرَى لَوْ أَنَّ رَجُلًا مَاتَ وَتَرَكَ خَمْرًا فَاسْتَحَالَ بَعْدَ مَوْتِهِ خَلًّا لَوَجَبَ أَنْ تُقْضَى مِنْهُ دُيُونُهُ وَتُنَفَّذَ مِنْهُ وَصَايَاهُ، فَلَوْ عَادَ إِلَى الْمِلْكِ بِسَبَبٍ حَادِثٍ لَاخْتَصَّ بِهِ الْوَرَثَةُ وَلَمْ يَلْزَمْهُمْ قَضَاءُ دُيُونِهِ مِنْهُ وَلَا إِنْفَاذُ وَصَايَاهُ وَإِذَا عَادَ إِلَى الْمِلْكِ بِسَبَبٍ سَابِقٍ وَجَبَ أَنْ يَعُودَ إِلَى الرَّهْنِ لِكَوْنِهِ رَهْنًا فِي السَّابِقِ.

Tidakkah engkau melihat, jika seseorang meninggal dan meninggalkan khamar, lalu setelah kematiannya khamar itu berubah menjadi cuka, maka wajib digunakan untuk melunasi utangnya dan melaksanakan wasiatnya. Jika ia kembali menjadi milik karena sebab baru, tentu hanya menjadi milik ahli waris saja dan mereka tidak wajib melunasi utangnya dari itu, juga tidak wajib melaksanakan wasiatnya. Namun jika ia kembali menjadi milik karena sebab yang telah ada sebelumnya, maka wajib kembali menjadi rahn karena sebelumnya memang merupakan barang gadai.

– فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ الرَّهْنَ إِذَا بَطَلَ لَمْ يَصِحَّ بِسَبَبٍ يَحْدُثُ فِيمَا بَعْدُ كَالْبَيْعِ وَغَيْرِهِ فَهُوَ أَنْ يُقَالَ: لَمَّا جَازَ عَوْدُهُ إِلَى الْمِلْكِ بَعْدَ بُطْلَانِهِ وَإِنْ خَالَفَ سَائِرَ الْأَمْلَاكِ جَازَ عَوْدُهُ إِلَى الرَّهْنِ بَعْدَ بُطْلَانِهِ وَإِنْ خَالَفَ سَائِرَ الْعُقُودِ عَلَى أَنَّ بُطْلَانَ الرَّهْنِ لَا يَكُونُ مُنْبَرِمًا بِاسْتِحَالَتِهِ خَمْرًا وَإِنَّمَا يَكُونُ مُرَاعًى، فَإِنْ صَارَ خَلًّا بَانَ أَنَّ الرَّهْنَ لَمْ يَبْطُلْ، وَإِنْ لَمْ يَصِرْ خَلًّا بَانَ أَنَّهُ قَدْ كَانَ بَطَلَ كَمَا نَقُولُ فِي ارْتِدَادِ الزَّوْجَةِ: إِنَّ النِّكَاحَ مُرَاعًى. فَإِنْ لَمْ تُسْلِمْ قَبْلَ أَنْ تَقْضِيَ الْعِدَّةَ بَانَ أَنَّ النِّكَاحَ قَدْ كَانَ بَاطِلًا بِالرِّدَّةِ وَإِنْ أَسْلَمَتْ قَبْلَ أَنْ تَنْقَضِيَ الْعِدَّةُ بَانَ أَنَّ النِّكَاحَ لَمْ يَبْطُلْ بِالرِّدَّةِ.

Adapun jawaban atas pendapat mereka bahwa rahn jika telah batal tidak sah kembali karena sebab yang terjadi setelahnya, seperti jual beli dan lainnya, maka jawabannya adalah: Ketika boleh kembali menjadi milik setelah batal, meskipun berbeda dengan kepemilikan lain, maka boleh pula kembali menjadi rahn setelah batal, meskipun berbeda dengan akad-akad lain. Selain itu, batalnya rahn tidaklah bersifat pasti karena berubah menjadi khamar, melainkan masih dipertimbangkan; jika berubah menjadi cuka, maka jelaslah bahwa rahn tidak batal, dan jika tidak berubah menjadi cuka, maka jelaslah bahwa ia telah batal, sebagaimana kami katakan dalam kasus istri yang murtad: bahwa nikahnya masih dipertimbangkan. Jika ia tidak masuk Islam sebelum habis masa iddah, maka jelaslah bahwa nikahnya telah batal karena riddah, dan jika ia masuk Islam sebelum habis masa iddah, maka jelaslah bahwa nikahnya tidak batal karena riddah.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِجِلْدِ الشَّاةِ الْمَرْهُونَةِ إِذَا دُبِغَ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas dalil mereka dengan kulit kambing yang digadaikan jika disamak, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ الْجِلْدَ يَعُودُ إِلَى الرَّهْنِ بِالدِّبَاغَةِ كَمَا يَعُودُ الْخَمْرُ إِذَا صَارَ خَلًّا بِالِاسْتِحَالَةِ فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ السُّؤَالُ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa kulit tersebut kembali menjadi rahn dengan disamak, sebagaimana khamar kembali menjadi rahn jika berubah menjadi cuka melalui proses perubahan. Maka dengan demikian, pertanyaan tersebut gugur.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّهُ لَا يَعُودُ إِلَى الرَّهْنِ بِالدِّبَاغَةِ وَإِنْ عَادَ الْعَصِيرُ بِالِاسْتِحَالَةِ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah bahwa kulit tidak kembali menjadi barang gadai dengan proses penyamakan, meskipun sari buah anggur dapat kembali (menjadi milik) dengan proses istihālah (perubahan zat).

فَعَلَى هَذَا الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْجِلْدَ لَمَّا لَمْ يَعُدْ إِلَى الْمِلْكِ إِلَّا بِفِعْلٍ حَادِثٍ لَمْ يَعُدْ إِلَى الرَّهْنِ إِلَّا بِعَقْدٍ حَادِثٍ وَلَمَّا عَادَ الْخَمْرُ إِلَى الْمِلْكِ إِذَا اسْتَحَالَ خَلًّا بِغَيْرِ فِعْلٍ حَادِثٍ عَادَ إِلَى الرَّهْنِ بِغَيْرِ عَقْدٍ حَادِثٍ.

Menurut perbedaan ini antara keduanya: bahwa kulit, karena tidak kembali menjadi milik kecuali dengan suatu perbuatan baru, maka ia tidak kembali menjadi barang gadai kecuali dengan akad baru. Sedangkan khamr, ketika ia kembali menjadi milik jika berubah menjadi cuka tanpa adanya perbuatan baru, maka ia kembali menjadi barang gadai tanpa akad baru.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

إِذَا أَخَذَ رَجُلٌ خَمْرًا لِغَيْرِهِ بِغَصْبٍ أَوْ غَيْرِهِ فَاسْتَحَالَ خَلًّا فِي يَدِهِ كَانَ مِلْكًا لِلْأَوَّلِ دُونَ مَنِ اسْتَحَالَ فِي يَدِهِ لِأَنَّ الْخَمْرَ غَيْرُ مُقَرٍّ فِي يَدِهِ إِذْ لَا يَجُوزُ أَنْ تُقَرَّ الْيَدُ عَلَى الْخَمْرِ فَصَارَ اسْتِحَالَتُهَا فِي يَدِهِ كَاسْتِحَالَتِهَا خَلًّا فِي غَيْرِ يَدِهِ وَإِذَا اسْتَحَالَ خَلًّا فِي غَيْرِ يَدِهِ كَانَ الْمَالِكُ الْأَوَّلُ أَوْلَى بِهِ كَذَلِكَ وَإِنِ اسْتَحَالَ فِي يَدِهِ.

Jika seseorang mengambil khamr milik orang lain dengan cara merampas atau selainnya, lalu khamr itu berubah menjadi cuka di tangannya, maka cuka itu menjadi milik pemilik pertama, bukan milik orang yang terjadi perubahan di tangannya. Sebab, khamr tidak diakui kepemilikannya di tangan orang tersebut, karena tidak boleh seseorang menguasai khamr. Maka perubahan khamr menjadi cuka di tangannya sama seperti perubahan khamr menjadi cuka di tangan orang lain. Dan jika khamr berubah menjadi cuka di tangan orang lain, maka pemilik pertama lebih berhak atasnya, demikian pula jika berubah di tangannya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

إِذَا أَخَذَ رَجُلٌ جِلْدَ مَيْتَةٍ بِغَصْبٍ أَوْ غَيْرِهِ فَدَبَغَهُ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika seseorang mengambil kulit bangkai dengan cara merampas atau selainnya, lalu ia menyamaknya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنْ يَكُونَ مِلْكًا لِرَبِّهِ الْأَوَّلِ دُونَ الدَّابِغِ كَالْخَمْرِ إِذَا اسْتَحَالَتْ خَلًّا.

Salah satunya: yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa kulit tersebut menjadi milik pemilik pertamanya, bukan milik orang yang menyamaknya, sebagaimana khamr yang berubah menjadi cuka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّهُ يَكُونُ مِلْكًا لِلدَّابِغِ وَلَا يَكُونُ مِلْكًا لِرَبِّهِ الْأَوَّلِ بِخِلَافِ الْخَمْرِ لِأَنَّهُ لَا يُمْلَكُ إِلَّا بِإِحْدَاثِ فِعْلٍ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِلْكًا لِمَنْ وُجِدَ مِنْهُ الْفِعْلُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ اسْتِحَالَةُ الْخَمْرِ لِأَنَّهُ مُلِكَ بِغَيْرِ إِحْدَاثِ فعل. وعلى هذين الوجهين يبني عود للجلد المدبوغ إلى الرهن.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa kulit tersebut menjadi milik orang yang menyamaknya dan tidak menjadi milik pemilik pertamanya, berbeda dengan khamr, karena kulit tidak dimiliki kecuali dengan adanya perbuatan baru. Maka wajib menjadi milik orang yang melakukan perbuatan tersebut. Tidak demikian halnya dengan perubahan khamr, karena khamr menjadi milik tanpa adanya perbuatan baru. Berdasarkan dua pendapat ini, dibangun hukum kembalinya kulit yang telah disamak kepada status barang gadai.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ صَارَ خَلًّا بِصَنْعَةِ آدَمِيٍّ فَلَا يَكُونُ ذَلِكَ حَلَالًا “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika khamr berubah menjadi cuka melalui perbuatan manusia, maka itu tidak menjadi halal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan demikianlah sebagaimana yang beliau katakan.

لَا يَحِلُّ تَخْلِيلُ الْخَمْرِ، فَإِنْ خَلَّلَهَا بِخَلٍّ أَوْ مِلْحٍ أَلْقَاهُ فِيهَا فَهِيَ نَجِسَةٌ لَا يَحِلُّ شُرْبُهَا لَكِنْ لَا يَفْسُقُ مُسْتَحِلُّهَا، وَلَا يُحَدُّ شَارِبُهَا.

Tidak halal mengubah khamr menjadi cuka. Jika seseorang mengubahnya menjadi cuka dengan menambahkan cuka atau garam ke dalamnya, maka ia tetap najis dan tidak halal diminum. Namun, orang yang menghalalkannya tidak dianggap fasik, dan orang yang meminumnya tidak dikenai had.

وَقَالَ أبو حنيفة تَخْلِيلُ الْخَمْرِ جَائِزٌ وَهِيَ بِالتَّخْلِيلِ طَاهِرَةٌ وَشُرْبُهَا مُبَاحٌ اسْتِدْلَالًا بقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نعم الإدام الخل ولم يفرق بما رَوَتْ أُمُّ سَلَمَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: يُحِلُّ الدِّبَاغُ الْجِلْدَ كَمَا يُحِلُّ الْخَلُّ الْخَمْرَ. وَهَذَا نَصٌّ فِي تَحْلِيلِهَا وَإِبَاحَةِ تَخْلِيلِهَا وَلِأَنَّهَا عَيْنٌ نَجَسَتْ لِعَارِضٍ فَجَازَ أَنْ تُطَهَّرَ بِفِعْلِ الْآدَمِيِّ. أَصْلُهُ: جِلْدُ الْمَيْتَةِ حَيْثُ يُطَهَّرُ بِالدِّبَاغِ، وَالثَّوْبُ النَّجِسُ حَيْثُ يُطَهَّرُ بِالْغَسْلِ. وَلِأَنَّ مَا جَازَ أَنْ يُطَهَّرَ بِغَيْرِ فِعْلٍ آدَمِيٍّ جَازَ أَنْ يُطَهَّرَ بِفِعْلِ الْآدَمِيِّ كَالْبَيْضِ الْمَحْضُونِ إِذَا نَجُسَ بِأَنْ صَارَ دَمًا وَعَلَقَةً لَمَّا جَازَ أَنْ يُطَهَّرَ فَيَصِيرَ فَرْخًا بِغَيْرِ فِعْلٍ آدَمِيٍّ إِمَّا بِنَفْسِهِ أَوْ بِخَاصِّيَّةٍ جَازَ أَنْ يُطَهَّرَ بِفِعْلِ الْآدَمِيِّ كَذَلِكَ الْخَمْرُ لَمَّا جَازَ أَنْ تُطَهَّرَ بِاسْتِحَالَتِهَا خَلًّا مِنْ غَيْرِ فِعْلِ آدَمِيٍّ جَازَ أَنْ تُطَهَّرَ إِذَا خُلِّلَتْ بِفِعْلِ الْآدَمِيِّ.

Abu Hanifah berkata: Mengubah khamr menjadi cuka hukumnya boleh, dan khamr yang telah menjadi cuka itu suci, serta boleh diminum. Ia berdalil dengan sabda Nabi ﷺ: “Sebaik-baik lauk adalah cuka.” Ia juga tidak membedakan dengan riwayat Ummu Salamah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Penyamakan dapat menghalalkan kulit sebagaimana cuka dapat menghalalkan khamr.” Ini adalah nash tentang kehalalannya dan kebolehan mengubahnya menjadi cuka. Karena khamr adalah benda yang menjadi najis karena sebab tertentu, maka boleh disucikan dengan perbuatan manusia. Contohnya: kulit bangkai yang disucikan dengan disamak, dan pakaian najis yang disucikan dengan dicuci. Dan sesuatu yang boleh disucikan tanpa perbuatan manusia, boleh pula disucikan dengan perbuatan manusia, seperti telur yang dierami, jika menjadi najis karena berubah menjadi darah atau segumpal daging, maka boleh disucikan dan menjadi anak ayam tanpa perbuatan manusia, baik dengan sendirinya atau dengan sebab khusus, maka boleh pula disucikan dengan perbuatan manusia. Demikian pula khamr, ketika boleh disucikan dengan berubah menjadi cuka tanpa perbuatan manusia, maka boleh pula disucikan jika diubah menjadi cuka dengan perbuatan manusia.

قَالُوا: وَلِأَنَّ الْحُكْمَ إِذَا ثَبَتَ لِعِلَّةٍ زَالَ بِزَوَالِهَا فَلَمَّا كَانَ تَنْجِيسُهَا وَتَحْرِيمُهَا عِنْدَكُمْ بِحُدُوثِ الشِّدَّةِ فِيهَا وَعِنْدَنَا لِانْطِلَاقِ اسْمِ الْخَمْرِ عليها وكان تخليلها يزيل الشدة منها وبنقل اسْمَ الْخَمْرِ عَنْهَا وَجَبَ أَنْ يُزِيلَ تَنْجِيسَهَا وَتَحْرِيمَهَا.

Mereka berkata: Karena suatu hukum jika ditetapkan karena suatu sebab, maka hukum itu hilang dengan hilangnya sebab tersebut. Ketika kenajisan dan keharaman khamr menurut kalian disebabkan oleh adanya sifat memabukkan di dalamnya, dan menurut kami karena nama khamr masih melekat padanya, maka ketika proses pengubahan menjadi cuka menghilangkan sifat memabukkan dan menghilangkan nama khamr darinya, wajib pula hilang kenajisan dan keharamannya.

قَالُوا: وَلِأَنَّ مِنْ حُكْمِهَا مَعَ تَنْجِيسِهَا وَتَحْرِيمِهَا تَفْسِيقُ مُتَنَاوِلِهَا وَوُجُوبُ الْحَدِّ عَلَى شَارِبِهَا، فَلَمَّا كَانَ تَخْلِيلُهَا مَانِعًا مِنْ تَفْسِيقِ مُتَنَاوِلِهَا، وَمُسْقِطًا لِوُجُوبِ الْحَدِّ عَلَى شَارِبِهَا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ رَافِعًا لِتَنْجِيسِهَا وَتَحْرِيمِهَا.

Mereka berkata: Karena di antara hukum khamr, selain menajiskannya dan mengharamkannya, adalah memfasikkan orang yang meminumnya dan mewajibkan hukuman had atas peminumnya. Maka ketika proses pengasaman (takhliil) khamr itu mencegah terjadinya fasik pada orang yang meminumnya dan menggugurkan kewajiban had atas peminumnya, maka wajib pula bahwa proses tersebut mengangkat status najis dan keharamannya.

وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهُ أَحَدُ حُكْمَيِ الْخَمْرِ، فَوَجَبَ أَنْ يَرْتَفِعَ بِالتَّخْلِيلِ كَالْحَدِّ.

Penjelasan hal itu secara qiyās: Bahwa itu adalah salah satu dari dua hukum khamr, maka wajib pula diangkat dengan pengasaman sebagaimana had.

قَالُوا: وَلِأَنَّ التَّخْلِيلَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Mereka berkata: Karena pengasaman (takhliil) itu ada dua macam:

تَخْلِيلٌ بِطَرْحِ شَيْءٍ فِيهَا وَتَخْلِيلٌ بِنَقْلِهَا وَتَحْوِيلِهَا فَلَمَّا كَانَ تَخْلِيلُهَا بِنَقْلِهَا مِنَ الظِّلِّ إِلَى الشَّمْسِ وَتَعْرِيضِهَا لِلْحَرِّ وَالرِّيحِ رَافِعًا لِتَنْجِيسِهَا وَتَحْرِيمِهَا مُوجِبًا لِتَطْهِيرِهَا وَتَحْلِيلِهَا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَخْلِيلُهَا بِطَرْحِ شَيْءٍ فِيهَا رَافِعًا لِتَنْجِيسِهَا وَتَحْرِيمِهَا مُوجِبًا لتطهيرها وتحليلها.

Pengasaman dengan menambahkan sesuatu ke dalamnya, dan pengasaman dengan memindahkannya dan mengubahnya. Maka ketika pengasaman dengan memindahkannya dari tempat teduh ke tempat terkena matahari serta memaparkannya pada panas dan angin dapat mengangkat status najis dan keharamannya, serta menyebabkan ia menjadi suci dan halal, maka wajib pula bahwa pengasaman dengan menambahkan sesuatu ke dalamnya juga mengangkat status najis dan keharamannya, serta menyebabkan ia menjadi suci dan halal.

وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ أَنَّهُ أَحَدُ نَوْعَيِ التَّخْلِيلِ، فَوَجَبَ أَنْ يَقَعَ بِهِ التَّطْهِيرُ وَالتَّخْلِيلُ كَالنَّقْلِ وَالتَّحْوِيلِ.

Penjelasan hal itu adalah bahwa ia merupakan salah satu dari dua jenis pengasaman, maka wajib pula terjadi pensucian dan penghalalan dengannya sebagaimana dengan pemindahan dan pengubahan.

وَالدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ مَا رَوَى أنس بن مالك (رضي الله عنه) أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ الْأَنْصَارِيَّ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عِنْدِي خَمْرًا لِأَيْتَامٍ فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أَهْرِقْهَا. قَالَ: أَفَلَا أَجْعَلُهَا خَلًّا؟ قَالَ: لَا. قَالَ أَنَسٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: فَعَمَدْتُ إِلَى مِهْرَاسٍ عِنْدَنَا فَكَسَرْتُهَا فَأَرَقْتُهَا. وَمِنْ هَذَا الْخَبَرِ دَلِيلَانِ:

Dalil atas kebenaran pendapat kami adalah riwayat dari Anas bin Malik (raḍiyallāhu ‘anhu) bahwa Abu Thalhah al-Anshari berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki khamr milik anak-anak yatim.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Tumpahkanlah!” Ia berkata: “Tidakkah aku jadikan ia sebagai cuka?” Beliau bersabda: “Jangan.” Anas raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Maka aku mengambil lesung yang ada pada kami, lalu aku memecahkannya dan menumpahkannya.” Dari hadis ini terdapat dua dalil:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَنَعَهُ مِنْ تَخْلِيلِهَا، وَلَوْ كَانَ تَخْلِيلُهَا سَبَبًا لِطَهَارَتِهَا وَإِبَاحَتِهَا لَأَمَرَ بِهِ وَلَمْ يَمْنَعْ مِنْهُ، كَمَا أَنَّ الدِّبَاغَةَ لَمَّا كَانَتْ سَبَبًا لِطَهَارَةِ الْجِلْدِ أَمَرَ بِهِ فِي شَاةِ مَيْمُونَةَ حَيْثُ رَآهَا مَيْتَةً وَلَمْ يَمْنَعْ مِنْهُ.

Pertama: Bahwa beliau melarang melakukan pengasaman terhadap khamr, dan seandainya pengasaman itu menjadi sebab kesuciannya dan kehalalannya, tentu beliau akan memerintahkannya dan tidak melarangnya, sebagaimana penyamakan, ketika menjadi sebab kesucian kulit, beliau memerintahkannya pada kulit kambing Maimunah ketika beliau melihatnya sebagai bangkai dan tidak melarangnya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَمَرَ بِإِرَاقَتِهَا مَعَ عِلْمِهِ أَنَّهَا مَالُ يَتِيمٍ وَأَمْوَالُ الْيَتَامَى تَجِبُ حِرَاسَتُهَا. فَلَوْ كَانَ التَّخْلِيلُ سَبَبًا لِطَهَارَتِهَا وَإِبَاحَتِهَا لَأَمَرَ بِهِ فِي مَالِ الْيَتِيمِ وَلَمْ يَأْمُرْ بِإِرَاقَتِهَا.

Kedua: Bahwa beliau memerintahkan untuk menumpahkannya padahal beliau mengetahui bahwa itu adalah harta anak yatim, dan harta anak yatim wajib dijaga. Maka seandainya pengasaman itu menjadi sebab kesuciannya dan kehalalannya, tentu beliau akan memerintahkannya pada harta anak yatim dan tidak memerintahkan untuk menumpahkannya.

وَرُوِيَ فِي حَدِيثٍ آخَرَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنْ تَخْلِيلِ الْخَمْرِ وَالنَّهْيُ يَقْتَضِي تَحْرِيمَ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ وَفَسَادَهُ.

Dan diriwayatkan dalam hadis lain: Bahwa Rasulullah ﷺ melarang melakukan pengasaman terhadap khamr, dan larangan itu meniscayakan keharaman terhadap yang dilarang dan kerusakannya.

وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ وَهُوَ مَا رَوَى عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: لَا تَنْتَفِعُوا بِخَمْرٍ أَفْسَدْتُمُوهَا حَتَّى يَقْلِبَ اللَّهُ عَيْنَهَا.

Karena itu merupakan ijmā‘ para sahabat, sebagaimana riwayat dari Umar raḍiyallāhu ‘anhu bahwa ia berkata: “Janganlah kalian memanfaatkan khamr yang kalian rusak hingga Allah mengubah hakikatnya.”

وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: لَا تَشْتَرُوا الْخَلَّ مِنَ الْخَمَّارِ مَخَافَةَ أَنْ يَكُونَ قَدْ خَلَّلَهَا.

Dan diriwayatkan dari Ibnu Umar raḍiyallāhu ‘anhu bahwa ia berkata: “Janganlah kalian membeli cuka dari penjual khamr karena khawatir ia telah mengasamkannya.”

فَهَذَا قَوْلُ صَحَابِيَّيْنِ وَلَيْسَ لَهُمَا فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ.

Maka ini adalah pendapat dua sahabat dan tidak ada sahabat lain yang menyelisihi keduanya.

وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ مِنْ نَاحِيَةِ الْمَعْنَى: أَنَّهُ مَائِعٌ نَجِسٌ لَا يُطَهَّرُ بِالْمُكَاثَرَةِ فَوَجَبَ أَلَّا يُطَهَّرَ بِالْعِلَاجِ وَالصَّنْعَةِ … أَصْلُهُ: مَا سِوَى الْخَمْرِ مِنَ الْمَائِعَاتِ النَّجِسَةِ.

Dan yang menunjukkan hal itu dari sisi makna: Bahwa ia adalah cairan najis yang tidak dapat disucikan dengan cara dicampur dengan banyak air, maka wajib pula tidak dapat disucikan dengan pengolahan dan pembuatan… Dasarnya: selain khamr dari cairan-cairan najis lainnya.

وَلِأَنَّ مَا اسْتُبِيحَ مِنَ الْأَمْوَالِ بِغَيْرِ فِعْلٍ لَمْ يُسْتَبَحْ بِالْمَحْظُورِ مِنَ الْفِعْلِ، كَالْمِيرَاثِ وَغَيْرِهِ لَمَّا كَانَ يُسْتَبَاحُ بِالْمَوْتِ مِنْ غَيْرِ فِعْلِ الْوَارِثِ لَمْ يُسْتَبَحْ بِقَتْلِ الْوَارِثِ كَذَلِكَ الْخَمْرُ لَمَّا اسْتُبِيحَتْ بِاسْتِحَالَتِهَا خَلًّا مِنْ غَيْرِ فِعْلٍ مَحْظُورٍ لَمْ تُسْتَبَحْ بِانْقِلَابِهَا خَلًّا بِفِعْلٍ مَحْظُورٍ.

Dan karena sesuatu yang dibolehkan dari harta tanpa perbuatan, tidak dibolehkan dengan perbuatan yang terlarang, seperti warisan dan selainnya, ketika ia dibolehkan karena kematian tanpa perbuatan ahli waris, maka tidak dibolehkan dengan membunuh ahli waris. Demikian pula khamr, ketika ia dibolehkan karena berubah menjadi cuka tanpa perbuatan terlarang, maka tidak dibolehkan dengan berubah menjadi cuka melalui perbuatan terlarang.

وَلِأَنَّ تَحْرِيمَ الْخَمْرِ وَتَنْجِيسَهَا لِحُدُوثِ الشِّدَّةِ الْمُطْرِيَةِ فِيهَا وَالشِّدَّةُ قَدْ تَزُولُ تَارَةً بِإِلْقَاءِ الْعَسَلِ فِيهَا فَتَحْلُو، وَتَارَةً بِإِلْقَاءِ الْخَلِّ فِيهَا فَتَحَمُضُ فَلَمَّا كَانَ زَوَالُ الشِّدَّةِ إِذَا حَلَتْ بِإِلْقَاءِ الْعَسَلِ فِيهَا لَا يُوجِبُ إِبَاحَتَهَا وَتَطْهِيرَهَا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ زَوَالُ الشِّدَّةِ إِذَا حَمُضَتْ بِإِلْقَاءِ الْخَلِّ فِيهَا لَا يُوجِبُ إِبَاحَتَهَا وَتَطْهِيرَهَا وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا:

Dan karena pengharaman khamr dan pensucian najisnya disebabkan oleh adanya sifat keras yang memabukkan di dalamnya, dan sifat keras itu kadang-kadang bisa hilang dengan memasukkan madu ke dalamnya sehingga menjadi manis, dan kadang-kadang dengan memasukkan cuka ke dalamnya sehingga menjadi asam. Maka, ketika hilangnya sifat keras itu jika menjadi manis karena dimasukkan madu ke dalamnya tidak menyebabkan kebolehannya dan pensuciannya, maka wajib pula bahwa hilangnya sifat keras itu jika menjadi asam karena dimasukkan cuka ke dalamnya tidak menyebabkan kebolehannya dan pensuciannya. Penjelasan hal ini secara qiyās:

أَنَّهُ أَحَدُ نَوْعَيْ فِعْلٍ تَزُولُ بِهِ الشِّدَّةُ فَوَجَبَ أَلَّا تَقَعَ بِهِ الْإِبَاحَةُ كَزَوَالِهَا بِالْحَلَاوَةِ.

Bahwa itu adalah salah satu dari dua jenis perbuatan yang dapat menghilangkan sifat keras tersebut, maka wajib tidak menyebabkan kebolehan, sebagaimana hilangnya sifat keras itu dengan menjadi manis.

وَكَانَ الْإِسْفَرَايِينِيُّ يَعْتَمِدُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ عَلَى أَنَّ الْخَلَّ إِذَا أُلْقِيَ فِي الْخَمْرِ فَقَدْ نَجُسَ بِمُلَاقَاةِ الْخَمْرِ فَلَا يُطَهَّرُ بِانْقِلَابِهَا خَلًّا لِنَجَاسَةِ مَا أُلْقِيَ فِيهَا مِنَ الْخَلِّ كَمَا لَوْ كَانَ الْخَلُّ نَجِسًا مِنْ قَبْلُ وَيَزْعُمُ أَنَّ هَذَا فِقْهُ الْمَسْأَلَةِ وَأَقْوَى دَلَائِلِهَا وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ لِأَنَّهُ لَا دليل في المسألة أو رهن مِنْهُ لِظُهُورِ فَسَادِهِ بِكُلِّ مَا تَقَعُ الطَّهَارَةُ بِهِ لِأَنَّ الْمَاءَ وَهُوَ أَقْوَى الْأَشْيَاءِ فِي التَّطْهِيرِ يُنَجَّسُ بِمُلَاقَاةِ النَّجَاسَةِ إِذَا وَرَدَ عَلَيْهَا وَلَا يَمْنَعُ مِنْ إِزَالَتِهَا وَطَهَارَةِ مَحَلِّهَا. وَالْأَحْجَارُ تُنَجَّسُ فِي الِاسْتِنْجَاءِ بِمُلَاقَاةِ النَّجَاسَةِ فِي مَحَلِّهَا وَلَا تَمْنَعُ إِزَالَةَ حُكْمِهَا.

Adapun al-Isfara’ini dalam masalah ini berpegang pada pendapat bahwa jika cuka dimasukkan ke dalam khamr, maka cuka itu menjadi najis karena bersentuhan dengan khamr, sehingga tidak dapat disucikan dengan berubahnya khamr menjadi cuka, karena najisnya cuka yang dimasukkan ke dalamnya, sebagaimana jika cuka itu sebelumnya memang najis. Ia mengklaim bahwa inilah fiqh masalah ini dan dalil terkuatnya. Namun, ini tidak benar, karena tidak ada dalil dalam masalah ini atau sandaran darinya, sebab rusaknya pendapat itu jelas dari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk bersuci. Karena air, yang merupakan zat terkuat dalam bersuci, menjadi najis jika terkena najis, namun tidak menghalangi untuk menghilangkan najis dan mensucikan tempatnya. Batu-batu juga menjadi najis ketika digunakan untuk istinja’ karena bersentuhan dengan najis di tempatnya, namun tidak menghalangi penghilangan hukum najisnya.

وَالشَّثُّ وَالْقَرْظُ فِي الدِّبَاغِ يَنْجُسُ بِمُلَاقَاةِ جِلْدِ الْمَيْتَةِ وَلَا يَمْنَعُ مِنْ تَطْهِيرِهِ وَلَوْ كَانَ هَذَا كُلُّهُ نَجِسًا قَبْلَ الْمُلَاقَاةِ لَمْ تَقَعْ بِهِ الطَّهَارَةُ فَمَا الْمَانِعُ أَنْ يَكُونَ حُكْمُ الْخَلِّ كَذَلِكَ.

Demikian pula daun shath dan qarazh dalam proses penyamakan menjadi najis karena bersentuhan dengan kulit bangkai, namun tidak menghalangi pensuciannya. Seandainya semua itu najis sebelum bersentuhan, maka tidak akan bisa digunakan untuk bersuci. Maka, apa yang menghalangi jika hukum cuka juga demikian?

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ ” نِعْمَ الْإِدَامُ الْخَلُّ ” فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik lauk adalah cuka,” maka ada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ قَوْلَهُ ” نِعْمَ ” لَفْظُ تَفْضِيلٍ وَتَشْرِيفٍ، وَمَا كَانَ مُخْتَلَفًا فِي إِبَاحَتِهِ لَا يَسْتَحِقُّ التَّفْضِيلَ وَالتَّشْرِيفَ وَتَخْلِيلُ الْخَمْرِ مُخْتَلَفٌ فِيهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ دَاخِلًا فِي عُمُومِ لَفْظٍ يُنَافِيهِ.

Pertama: Sabda beliau “sebaik-baik” adalah lafaz keutamaan dan pemuliaan, dan sesuatu yang masih diperselisihkan kebolehannya tidak layak untuk diutamakan dan dimuliakan. Sementara cuka yang berasal dari khamr masih diperselisihkan statusnya, maka tidak boleh dimasukkan dalam keumuman lafaz yang bertentangan dengannya.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّ قَوْلَهُ قُصِدَ بِهِ إِبَاحَةُ الْجِنْسِ وَالْجِنْسُ مُبَاحٌ فَلَمْ يَجُزْ إِذَا اخْتُلِفَ فِي تَنْجِيسِ الْبَعْضِ لِمَعْنًى أَنْ يُجْعَلَ دَلِيلًا فِيهِ كَمَا لَا يُجْعَلُ دَلِيلًا فِي طَهَارَةِ مَا طَرَأَتْ عَلَيْهِ النَّجَاسَةُ.

Jawaban kedua: Sabda beliau dimaksudkan untuk membolehkan jenisnya, dan jenis cuka itu memang halal. Maka, jika ada perbedaan pendapat tentang kenajisan sebagian karena suatu alasan, tidak bisa dijadikan dalil dalam hal itu, sebagaimana tidak bisa dijadikan dalil dalam kesucian sesuatu yang terkena najis.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: يُحِلُّ الدِّبَاغُ الْجِلْدَ كَمَا يُحِلُّ الْخَلُّ الْخَمْرَ مَعَ ضَعْفِهِ فَإِنَّهُ مُحْتَمِلٌ لِأَمْرَيْنِ:

Adapun jawaban atas sabdanya: “Penyamakan menghalalkan kulit sebagaimana cuka menghalalkan khamr,” meskipun hadits ini lemah, maka itu mengandung dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ أَرَادَ الْخَلَّ الَّذِي قَدِ اسْتَحَالَتْ إِلَيْهِ.

Pertama: Yang dimaksud adalah cuka yang memang telah berubah menjadi cuka.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَرَادَ خَلًّا أُلْقِيَ فِيهَا … فَكَانَ حَمْلُهُ عَلَى الْأَوَّلِ أَوْلَى مِنْ حَمْلِهِ عَلَى هَذَا لِأَنَّ بِإِلْقَاءِ الْخَلِّ فِيهَا لَا تَطْهُرُ إِجْمَاعًا حَتَّى تَسْتَحِيلَ مَعَ ذَلِكَ خَلًّا وَهَذِهِ زِيَادَةٌ فِي الطَّهَارَةِ فَكَانَ الْأَوَّلُ أَوْلَى.

Kedua: Yang dimaksud adalah cuka yang dimasukkan ke dalam khamr… Maka menafsirkannya dengan makna pertama lebih utama daripada menafsirkannya dengan makna kedua, karena dengan memasukkan cuka ke dalam khamr tidaklah menjadi suci menurut ijmā‘, kecuali jika khamr itu benar-benar berubah menjadi cuka, dan ini adalah tambahan dalam pensucian, maka makna pertama lebih utama.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الدِّبَاغِ فِي جِلْدِ الْمَيْتَةِ فَبَاطِلٌ بِلَحْمِ الْمَيْتَةِ لِأَنَّهُ لَا سَبِيلَ إِلَى طَهَارَتِهِ وَإِنْ كَانَتْ نَجَاسَتُهُ لِعَارِضٍ. ثُمَّ الْمَعْنَى فِي دِبَاغِ جِلْدِ الْمَيْتَةِ أَنَّهُ يُسْتَبَاحُ بِفِعْلٍ غَيْرِ مَحْظُورٍ فَجَازَ أَنْ يُطَهَّرَ بِهِ وَلَمَّا كَانَ التَّخْلِيلُ مَحْظُورًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُطَهَّرَ بِهِ.

Adapun qiyās mereka dengan penyamakan pada kulit bangkai adalah batal dengan daging bangkai, karena tidak ada jalan untuk mensucikannya meskipun kenajisannya karena sebab tertentu. Kemudian, makna dalam penyamakan kulit bangkai adalah bahwa ia menjadi boleh digunakan dengan suatu perbuatan yang tidak terlarang, sehingga boleh disucikan dengannya. Sedangkan proses mengubah khamr menjadi cuka (takhallul) adalah perbuatan yang terlarang, maka tidak boleh disucikan dengannya.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْبَيْضِ إِذَا صَارَ دَمًا وَعَلَقَةً فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْبَيْضِ إِذَا صَارَ كَذَلِكَ هَلْ هُوَ نَجِسٌ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِهِمْ فِي عَلَقَةِ الْآدَمِيِّ.

Adapun dalil mereka dengan telur yang berubah menjadi darah dan segumpal daging (‘alaqah), para ulama kami berbeda pendapat tentang telur jika berubah demikian, apakah menjadi najis atau tidak, ada dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat mereka tentang ‘alaqah pada manusia.

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ طَاهِرٌ. فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ الدَّلِيلُ بِهِ.

Pertama: Bahwa ia suci. Maka menurut pendapat ini, dalil tersebut gugur.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ نَجِسٌ. فَعَلَى هَذَا الْفَرْقُ بَيْنَ الْبَيْضِ وَبَيْنَ الْخَمْرِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: bahwa ia najis. Berdasarkan pendapat ini, terdapat perbedaan antara telur dan khamr dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْفِعْلَ فِي الْبَيْضِ غَيْرُ مَحْظُورٍ فَجَازَ أَنْ يُطَهَّرَ بِهِ وَفِي الْخَمْرِ مَحْظُورٌ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُطَهَّرَ بِهِ.

Pertama: bahwa perbuatan pada telur tidak terlarang sehingga boleh disucikan dengannya, sedangkan pada khamr perbuatan tersebut terlarang sehingga tidak boleh disucikan dengannya.

وَالثَّانِي: أَنَّ مَا هُوَ نَجِسٌ مِنَ الْبَيْضِ لَمْ يَحْدُثْ فِيهِ فِعْلٌ وَإِنَّمَا كَانَ فِي غَيْرِهِ فَجَازَ أَنْ يُطَهَّرَ بِهِ كَمَا يُطَهَّرُ الْخَمْرُ بِالِاسْتِحَالَةِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْخَمْرُ النَّجِسُ لِأَنَّ فِعْلَ التَّخْلِيلِ حَادِثٌ فِيهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُطَهَّرَ بِهِ.

Kedua: bahwa bagian yang najis dari telur tidak terjadi padanya suatu perbuatan, melainkan terjadi pada selainnya, sehingga boleh disucikan dengannya sebagaimana khamr disucikan melalui istihālah (perubahan zat), sedangkan khamr tidak demikian karena proses pengasaman (takhliil) merupakan perbuatan yang terjadi padanya, sehingga tidak boleh disucikan dengannya.

وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ الْعِلَّةَ إِذَا زَالَتْ وَجَبَ زَوَالُ حُكْمِهَا فَالْجَوَابُ: أَنَّ نَجَاسَةَ الْخَمْرِ قَدْ زَالَتْ وَإِنَّمَا بَقِيَ نَجَاسَةُ الْخَلِّ.

Adapun pernyataan mereka: bahwa jika ‘illat (alasan hukum) telah hilang maka hukumnya pun harus hilang, maka jawabannya: bahwa kenajisan khamr memang telah hilang, namun yang tersisa adalah kenajisan cuka.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ على سقوط الحد وزوال التفسيق فيقال بموجبه لأن نجاسة الخمر قد زالت وإنما بقيت نجاسة أخرى وهي نَجَاسَةُ الْخَلِّ.

Adapun qiyās mereka terhadap gugurnya had dan hilangnya status fasik, maka dikatakan sesuai dengan konsekuensinya, karena kenajisan khamr telah hilang dan yang tersisa hanyalah kenajisan lain, yaitu kenajisan cuka.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى تَحْلِيلِهَا بِالنَّقْلِ وَالتَّحْوِيلِ مِنَ الظِّلِّ إِلَى الشَّمْسِ أَوْ بِتَعْرِيضِهَا لِلْهَوَاءِ وَالرِّيحِ. أَوْ بِكَشْفِ رُؤُوسِهَا حَتَّى أَطَارَتِ الرِّيحُ الْمِلْحَ فِيهَا فَهَلْ تَكُونُ طَاهِرَةً كَمَا لَوِ اسْتَحَالَتْ أَوْ تَكُونُ نَجِسَةً كَمَا لَوْ خُلِّلَتْ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun qiyās mereka terhadap kehalalannya melalui pemindahan dan perubahan dari tempat teduh ke tempat yang terkena matahari, atau dengan membiarkannya terkena udara dan angin, atau dengan membuka penutupnya hingga angin menerbangkan garam di dalamnya, apakah ia menjadi suci sebagaimana jika terjadi istihālah, atau tetap najis sebagaimana jika diasamkan? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّهَا نَجِسَةٌ كَمَا لَوْ خُلِّلَتْ لِأَنَّ تَحْوِيلَهَا وَكَشْفَ رَأَسِهَا سَبَبٌ لِإِتْلَافِهَا وَمَانِعٌ مِنَ اسْتِحَالَتِهَا بِذَاتِهَا وَخَالَفَ الْإِمْسَاكُ لِأَنَّ إِمْسَاكَهَا يُقْصَدُ بِهِ تَعْتِيقُهَا وَاسْتِصْلَاحُهَا وَيُقْصَدُ بِكَشْفِهَا اسْتِهْلَاكُهَا وَإِتْلَافُهَا أَلَا تَرَى إِلَى قَوْلِ الشَّاعِرِ:

Pertama, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: bahwa ia najis sebagaimana jika diasamkan, karena pemindahan dan membuka penutupnya merupakan sebab kerusakannya dan pencegah terjadinya istihālah secara alami, berbeda dengan membiarkannya, karena membiarkannya bertujuan untuk mematangkannya dan memperbaikinya, sedangkan membuka penutupnya bertujuan untuk merusaknya dan membinasakannya. Tidakkah engkau perhatikan ucapan penyair:

(فَهِيَ لِلْيَوْمِ الَّذِي نَزَلَتْ … وَهِيَ تِرْبُ الدَّهْرِ فِي الْقِدَمِ)

(Maka ia untuk hari ketika ia turun … dan ia adalah teman masa dalam keusangan)

فَعَلَى هَذَا: سَقَطَ الِاسْتِدْلَالُ.

Berdasarkan hal ini: batal-lah istidlāl (pengambilan dalil).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا طَاهِرَةٌ كَمَا لَوِ اسْتَحَالَتْ بِخِلَافِ التَّخْلِيلِ لِأَنَّ التَّخْلِيلَ إِحْدَاثُ فِعْلٍ فِيهَا فَلَمْ تُطَهَّرْ بِهِ وَلَيْسَ كَشْفُ رُؤُوسِهَا وَتَحْوِيلِهَا إِحْدَاثَ فِعْلٍ فِيهَا فَجَازَ أَنْ تُطَهَّرَ بِهِ.

Pendapat kedua: bahwa ia suci sebagaimana jika terjadi istihālah, berbeda dengan takhliil, karena takhliil adalah melakukan suatu perbuatan padanya sehingga tidak menjadi suci karenanya, sedangkan membuka penutup dan memindahkannya bukanlah melakukan suatu perbuatan padanya, sehingga boleh disucikan dengannya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ رَهَنْتُكَهُ عَصِيرًا ثُمَّ صَارَ فِي يديك خمرا وقال المرتهن رهنتيه خمرا ففيها قولان أحدهما أن القول قول الراهن لأنه يحدث كما يحدث العيب في البيع ومن قال هذا أراق الخمر ولا رهن له والبيع لازم والثاني أن القول قول المرتهن لأنه لم يقر أنه قبض منه شيئا يحل له ارتهانه بحال وليس كالعيب في العبد الذي يحل ملكه والعيب به والمرتهن بالخيار في فسخ البيع (قلت) أنا هذا عندي أقيس لأن الراهن مدع “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Aku gadaikan kepadamu air perasan anggur, kemudian di tanganmu berubah menjadi khamr,’ dan penerima gadai berkata: ‘Engkau menggadaikannya kepadaku dalam bentuk khamr,’ maka dalam hal ini ada dua pendapat. Salah satunya, pendapat yang dipegang adalah pendapat pemberi gadai, karena perubahan itu terjadi sebagaimana cacat terjadi dalam jual beli. Siapa yang berpendapat demikian, maka ia membuang khamr tersebut dan tidak ada hak gadai baginya, dan jual belinya tetap sah. Pendapat kedua, yang dipegang adalah pendapat penerima gadai, karena ia tidak mengakui bahwa ia menerima sesuatu yang boleh digadaikan dalam keadaan apa pun, dan ini tidak sama dengan cacat pada budak yang kepemilikannya halal dan cacatnya pun halal, dan penerima gadai berhak memilih untuk membatalkan jual beli. (Saya katakan) menurut saya, ini lebih sesuai dengan qiyās, karena pemberi gadai adalah pihak yang mengklaim.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي رَجُلٍ ارْتَهَنَ عَصِيرًا حُلْوًا شَرَطَهُ فِي مَوْضِعِ عَقْدِ الْبَيْعِ ثُمَّ وَجَدَ الْعَصِيرَ خَمْرًا فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Bentuk masalah ini adalah pada seseorang yang menerima gadai air perasan anggur manis yang disyaratkan dalam akad jual beli, kemudian ia mendapati air perasan tersebut telah menjadi khamr. Maka kasus ini terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تَصِيرَ خَمْرًا فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ فَقَدْ بَطَلَ فِيهِ الرَّهْنُ وَلَا خِيَارَ لَهُ فِي الْبَيْعِ.

Pertama: jika berubah menjadi khamr di tangan penerima gadai, maka gadai tersebut batal dan ia tidak memiliki hak memilih dalam jual beli.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَصِيرَ خَمْرًا فِي يَدِ الرَّاهِنِ بَعْدَ الْعَقْدِ وَقَبْلَ الْقَبْضِ وَيَقْبِضُهُ الْمُرْتَهِنُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ بِهِ ثُمَّ يَعْلَمُ فَقَدْ بَطَلَ بِهِ الرَّهْنُ وَوَجَبَ لَهُ الْخِيَارُ فِي الْبَيْعِ بَيْنَ أَنْ يُقِيمَ عَلَيْهِ بِلَا رَهْنٍ وَبَيْنَ أَنْ يَفْسَخَ لِأَنَّ مَا شَرَطَهُ مِنَ الرَّهْنِ لَمْ يُسَلَّمْ لَهُ بِالْقَبْضِ.

Bagian kedua: jika berubah menjadi khamr di tangan pemberi gadai setelah akad dan sebelum penyerahan, lalu penerima gadai menerimanya tanpa mengetahui, kemudian ia mengetahuinya, maka gadai tersebut batal dan ia berhak memilih dalam jual beli antara tetap melanjutkan tanpa gadai atau membatalkan, karena syarat gadai yang diajukan tidak terpenuhi dengan penyerahan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الْعَصِيرُ قَدْ صَارَ خَمْرًا قَبْلَ الْعَقْدِ وَلَمْ يَعْلَمَا بِهِ إِلَّا فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ بَعْدَ الْقَبْضِ فَهَذَا رَهْنٌ بَاطِلٌ وَفِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ الْمَشْرُوطِ فِيهِ قَوْلَانِ:

Bagian ketiga: jika air perasan anggur telah menjadi khamr sebelum akad dan keduanya tidak mengetahuinya kecuali setelah berada di tangan penerima gadai setelah penyerahan, maka gadai ini batal, dan dalam hal batalnya jual beli yang disyaratkan di dalamnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ لِبُطْلَانِ مَا اقْتَرَنَ بِهِ مِنَ ارْتِهَانِ الْخَمْرِ.

Salah satunya: batal karena batalnya akad gadai khamr yang menyertainya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: جَائِزٌ لِاسْتِقْلَالِ الْبَيْعِ بِحُكْمِهِ، وَجَوَازِ تَفَرُّدِهِ عَنْ غَيْرِهِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْبَائِعُ الْمُرْتَهِنُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ بِلَا رَهْنٍ وبين فسخه فهذا حُكْمُهُ إِذَا لَمْ يَخْتَلِفَا.

Pendapat kedua: Diperbolehkan, karena jual beli berdiri sendiri dengan hukumnya, dan boleh terpisah dari selainnya. Maka berdasarkan hal ini, penjual yang juga sebagai murtahin (penerima gadai) memiliki pilihan antara melanjutkan jual beli tanpa gadai atau membatalkannya. Inilah hukumnya jika keduanya tidak berselisih.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا إِذَا اخْتَلَفَا وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ فَقَالَ الْبَائِعُ الْمُرْتَهِنُ: كَانَ خَمْرًا فِي يَدِكَ أَيُّهَا الرَّاهِنُ فَقَبَضْتُهُ وَأَنَا لَا أَعْلَمُ بِهِ عَلَى الْخِيَارِ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ، وَقَالَ الْمُشْتَرِي الرَّاهِنُ: قَبَضْتَهُ مِنِّي عَصِيرًا حُلْوًا فَصَارَ فِي يَدِكَ خَمْرًا فَلَا خِيَارَ لَكَ فِي الْبَيْعِ.

Adapun jika keduanya berselisih, yaitu permasalahan yang dibahas dalam kitab ini, maka penjual yang juga sebagai murtahin berkata: “Barang itu adalah khamr di tanganmu, wahai rahin (pemberi gadai), lalu aku menerimanya tanpa mengetahui hal itu, maka aku berhak memilih untuk membatalkan jual beli.” Sedangkan pembeli yang juga sebagai rahin berkata: “Engkau menerimanya dariku dalam keadaan masih ‘asir (perasan anggur) yang manis, lalu berubah menjadi khamr di tanganmu, maka engkau tidak memiliki hak khiyar (pilihan) dalam jual beli ini.”

فَإِنْ كَانَ لِأَحَدِهِمَا بَيِّنَةٌ أَوْ كَانَ الْحَالُ يَشْهَدُ بِصِحَّةِ دَعْوَاهُ حُكِمَ لَهُ رَاهِنًا كَانَ أَوْ مُرْتَهِنًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِأَحَدِهِمَا بَيِّنَةٌ وَلَا فِي الْحَالِّ بَيَانٌ فَفِيهِ قَوْلَانِ مَنْصُوصَانِ:

Jika salah satu dari keduanya memiliki bukti atau keadaan mendukung kebenaran klaimnya, maka diputuskan untuknya, baik ia sebagai rahin maupun murtahin. Namun jika tidak ada bukti dari keduanya dan tidak ada penjelasan dari keadaan, maka terdapat dua pendapat yang dinukilkan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاهِنِ الْمُشْتَرِي لِأَنَّ كَوْنَ الْعَصْرِ خَمْرًا مِثْلُ كَوْنِهِ مَعِيبًا فِي اسْتِحْقَاقِ الْفَسْخِ. ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الْمُرْتَهِنَ لَوِ ادَّعَى تَقَدُّمَ عَيْبٍ فِي الرَّهْنِ وَأَنْكَرَهُ الرَّاهِنُ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الرَّاهِنِ فَكَذَلِكَ إِذَا ادَّعَى الْمُرْتَهِنُ تَقَدُّمَ كَوْنِهِ خَمْرًا وَأَنْكَرَهُ الرَّاهِنُ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ الْقَوْلُ قول الراهن.

Salah satunya: Pendapat yang dipegang adalah pendapat rahin (pemberi gadai) yang juga sebagai pembeli, karena berubahnya ‘asir menjadi khamr seperti halnya cacat dalam hal berhaknya pembatalan. Telah tetap bahwa jika murtahin mengklaim adanya cacat sebelumnya pada barang gadai dan rahin mengingkarinya, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat rahin. Begitu pula jika murtahin mengklaim barang itu telah menjadi khamr sebelumnya dan rahin mengingkarinya, maka yang dipegang adalah pendapat rahin.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ: إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ المرتهن البائع لأن كون االعصير خَمْرًا يَمْنَعُ صِحَّةَ الْقَبْضِ وَقَوْلُ الْمُرْتَهِنِ: أَقْبَضْتَنِيهِ خَمْرًا إِنْكَارٌ لِصِحَّةِ الْقَبْضِ وَقَوْلُ الرَّاهِنِ أَقْبَضْتُكَهُ عَصِيرًا ادِّعَاءٌ بِصِحَّةِ الْقَبْضِ، وَلَوِ ادَّعَى الرَّاهِنُ عَلَى الْمُرْتَهِنِ صِحَّةَ الْقَبْضِ وَأَنْكَرَهُ الْمُرْتَهِنُ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُرْتَهِنِ. كَذَلِكَ إِذَا ادَّعَى الرَّاهِنُ عَلَى الْمُرْتَهِنِ أَنَّهُ صَارَ خَمْرًا بَعْدَ القبض وأنكره المرتهن وكان الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُرْتَهِنِ وَكَانَ هَذَا مُخَالِفًا لِاخْتِلَافِهِمَا فِي الْعَيْبِ لِأَنَّهُمَا فِي الْعَيْبِ قَدِ اتَّفَقَا عَلَى صِحَّةِ الْقَبْضِ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih shahih: Pendapat yang dipegang adalah pendapat murtahin (penerima gadai) yang juga sebagai penjual, karena berubahnya ‘asir menjadi khamr menghalangi keabsahan penerimaan (qabdh). Pernyataan murtahin “Engkau menyerahkannya kepadaku dalam keadaan khamr” adalah penolakan terhadap keabsahan penerimaan, sedangkan pernyataan rahin “Aku menyerahkannya kepadamu dalam keadaan ‘asir” adalah pengakuan terhadap keabsahan penerimaan. Jika rahin mengklaim keabsahan penerimaan kepada murtahin dan murtahin mengingkarinya, maka yang dipegang adalah pendapat murtahin. Begitu pula jika rahin mengklaim kepada murtahin bahwa barang itu berubah menjadi khamr setelah penerimaan dan murtahin mengingkarinya, maka yang dipegang adalah pendapat murtahin. Ini berbeda dengan perselisihan dalam hal cacat, karena dalam kasus cacat, keduanya telah sepakat atas keabsahan penerimaan.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مَوْضِعِ الْقَوْلَيْنِ مِنَ اخْتِلَافِهِمَا: فَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ: الْقَوْلَانِ فِي اخْتِلَافِهِمَا فِي كَوْنِهِ عَصِيرًا وَقْتَ الْعَقْدِ وَبَعْدَهُ. فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَدَّعِيَ الْمُرْتَهِنُ أَنَّهُ كَانَ خَمْرًا وَقْتَ الْعَقْدِ وَبَيْنَ أَنْ يَدَّعِيَ أَنَّهُ صَارَ خَمْرًا بَعْدَ الْعَقْدِ وَقَبْلَ الْقَبْضِ فِي أَنَّهُمَا جَمِيعًا عَلَى قَوْلَيْنِ.

Setelah jelas penjelasan dua pendapat tersebut, para ulama kami berbeda pendapat mengenai letak dua pendapat ini dalam perselisihan mereka: Abu Ishaq al-Marwazi berkata: Kedua pendapat tersebut berlaku dalam perselisihan mereka tentang apakah barang itu ‘asir pada saat akad dan setelahnya. Tidak ada perbedaan antara murtahin yang mengklaim bahwa barang itu adalah khamr pada saat akad, atau mengklaim bahwa barang itu berubah menjadi khamr setelah akad dan sebelum penerimaan; semuanya berada pada dua pendapat tersebut.

وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ الْقَوْلَانِ فِي اخْتِلَافِهِمَا بَعْدَ الْعَقْدِ وَقَبْلَ الْقَبْضِ. فَأَمَّا إِذَا اخْتَلَفَا فِي كَوْنِهِ عَصِيرًا وَقْتَ الْعَقْدِ، فَقَالَ الْمُرْتَهِنُ: رَهَنْتَنِيهِ وَكَانَ خَمْرًا وَقْتَ الْعَقْدِ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُرْتَهِنِ لِأَنَّهُ يُنْكِرُ أَصْلَ الْعَقْدِ وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ وَأَكْثَرِ أَصْحَابِنَا الْبَصْرِيِّينَ.

Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata: Kedua pendapat tersebut berlaku dalam perselisihan mereka setelah akad dan sebelum penerimaan. Adapun jika mereka berselisih tentang apakah barang itu ‘asir pada saat akad, lalu murtahin berkata: “Engkau menggadaikannya kepadaku dalam keadaan khamr pada saat akad,” maka yang dipegang adalah pendapat murtahin, karena ia mengingkari asal akad. Ini juga merupakan pendapat Abu Ishaq dan mayoritas ulama kami dari kalangan Basrah.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا قُلْنَا إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاهِنِ مَعَ يَمِينِهِ، فَإِنْ حَلَفَ ثَبَتَ مَا ادَّعَاهُ وَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ فِي الْبَيْعِ وَإِنْ نَكَلَ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَى الْمُرْتَهِنِ فَإِنْ حَلَفَ بَعْدَ نُكُولِ الرَّاهِنِ ثَبَتَ لَهُ مَا ادَّعَى فَإِنْ كَانَ قَدِ ادَّعَى أَنَّهُ صَارَ خَمْرًا بَعْدَ الْعَقْدِ وَقَبْلَ الْقَبْضِ وَأَنَّهُ قَدْ كَانَ عَصِيرًا وَقْتَ الْعَقْدِ فَالْبَيْعُ جَائِزٌ وَهُوَ بِالْخِيَارِ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ وَإِمْضَائِهِ.

Jika kita mengatakan bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat rahin dengan sumpahnya, maka jika ia bersumpah, tetaplah apa yang ia klaim dan tidak ada hak khiyar bagi murtahin dalam jual beli. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dialihkan kepada murtahin. Jika murtahin bersumpah setelah rahin enggan, maka tetaplah apa yang ia klaim. Jika ia mengklaim bahwa barang itu berubah menjadi khamr setelah akad dan sebelum penerimaan, dan bahwa barang itu adalah ‘asir pada saat akad, maka jual beli sah dan ia berhak memilih antara membatalkan atau melanjutkan jual beli.

وَإِنْ كَانَ قَدِ ادَّعَى أَنَّهُ كَانَ خَمْرًا وَقْتَ الْعَقْدِ فَفِي الْبَيْعِ إِذَا حَلَفَ قَوْلَانِ:

Jika ia mengklaim bahwa barang itu adalah khamr pada saat akad, maka dalam jual beli, jika ia bersumpah, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ.

Salah satunya: batal.

وَالثَّانِي: جَائِزٌ وَلَهُ الْخِيَارُ بَيْنَ فَسْخِ الْبَيْعِ وَإِمْضَائِهِ فَإِنْ نَكَلَ الْمُرْتَهِنُ أَيْضًا بَعْدَ نُكُولِ الرَّاهِنِ فَلَا خِيَارَ لَهُ فِي الْبَيْعِ.

Kedua: Boleh, dan ia (pemilik barang) memiliki hak memilih antara membatalkan jual beli atau melanjutkannya. Jika pemegang gadai juga menolak setelah penolakan pemberi gadai, maka ia tidak memiliki hak memilih dalam jual beli.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا قُلْنَا إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ مَعَ يَمِينِهِ فَإِنْ حَلَفَ ثَبَتَ لَهُ مَا ادَّعَى فَإِنْ كَانَ قَدِ ادَّعَى أَنَّهُ كَانَ عَصِيرًا وَقْتَ الْعَقْدِ وَإِنَّمَا صَارَ خَمْرًا بَعْدَ الْعَقْدِ وَقَبْلَ الْقَبْضِ كَانَ الْبَيْعُ جَائِزًا وَلَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ وَإِمْضَائِهِ. وَإِنْ كَانَ قَدِ ادَّعَى أَنَّهُ كَانَ خَمْرًا وَقْتَ الْعَقْدِ فَفِي الْبَيْعِ قَوْلَانِ:

Apabila kita mengatakan bahwa pernyataan pemegang gadai diterima dengan sumpahnya, maka jika ia bersumpah, tetaplah baginya apa yang ia klaim. Jika ia mengklaim bahwa barang itu berupa perasan anggur saat akad dan baru menjadi khamar setelah akad dan sebelum penyerahan, maka jual beli itu sah dan ia memiliki hak memilih antara membatalkan atau melanjutkan jual beli. Namun jika ia mengklaim bahwa barang itu sudah berupa khamar saat akad, maka dalam jual beli terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ.

Salah satunya: batal.

وَالثَّانِي: جَائِزٌ. وَلَهُ الْخِيَارُ بَيْنَ فَسْخِهِ وَإِمْضَائِهِ.

Yang kedua: sah, dan ia memiliki hak memilih antara membatalkan atau melanjutkannya.

وَإِنْ نَكَلَ الْمُرْتَهِنُ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَى الرَّاهِنِ. فَإِنْ حَلَفَ الرَّاهِنُ بَعْدَ نُكُولِ الْمُرْتَهِنِ فَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ. وَإِنْ نَكَلَ الرَّاهِنُ أَيْضًا، فَهَلْ يُحْكَمُ بِقَوْلِ الْمُرْتَهِنِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika pemegang gadai menolak bersumpah, maka sumpah dialihkan kepada pemberi gadai. Jika pemberi gadai bersumpah setelah penolakan pemegang gadai, maka pemegang gadai tidak memiliki hak memilih. Jika pemberi gadai juga menolak, maka apakah keputusan diambil berdasarkan pernyataan pemegang gadai atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُحْكَمُ لِلْمُرْتَهِنِ بِقَوْلِهِ؛ لِأَنَّ الرَّاهِنَ قَدْ أَسْقَطَ حَقَّهُ بِنُكُولِهِ وَقَوْلُ الْمُرْتَهِنِ يستند إِلَى صُورَةِ الرَّهْنِ وَصِفَتِهِ. وَلِأَنَّ نُكُولَ الْمُرْتَهِنِ بَعْدَ الرَّاهِنِ يُوجِبُ الْحُكْمَ بِقَوْلِ الرَّاهِنِ فِي إِسْقَاطِ الْخِيَارِ. كَذَلِكَ نُكُولُ الرَّاهِنِ بَعْدَ الْمُرْتَهِنِ يُوجِبُ الْحُكْمَ بِقَوْلِ الْمُرْتَهِنِ فِي إِثْبَاتِ الْخِيَارِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْحُكْمُ فِيهِ عَلَى مَا مَضَى لَوْ حَلَفَ.

Salah satunya: keputusan diambil berdasarkan pernyataan pemegang gadai, karena pemberi gadai telah menggugurkan haknya dengan penolakannya, dan pernyataan pemegang gadai didasarkan pada bentuk dan sifat barang gadai. Karena penolakan pemegang gadai setelah pemberi gadai menyebabkan keputusan diambil berdasarkan pernyataan pemberi gadai dalam menggugurkan hak memilih, demikian pula penolakan pemberi gadai setelah pemegang gadai menyebabkan keputusan diambil berdasarkan pernyataan pemegang gadai dalam menetapkan hak memilih. Maka, dalam hal ini, keputusan diambil sebagaimana jika ia bersumpah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُحْكَمُ لِلْمُرْتَهِنِ بِقَوْلِهِ؛ لِأَنَّ فِيهِ اسْتِئْنَافَ حُكْمٍ بِمُجَرَّدِ الدَّعْوَى وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُسْتَأْنَفَ حُكْمٌ بِمُجَرَّدِ الدَّعْوَى وَلَيْسَ كَذَلِكَ نُكُولُ الْمُرْتَهِنِ بَعْدَ الرَّاهِنِ، لِأَنَّ فِيهِ اسْتِدَامَةَ حُكْمٍ فِي إِسْقَاطِ الْخِيَارِ وَلَيْسَ فِيهِ اسْتِئْنَافُ حُكْمٍ فِي إِثْبَاتِ الْخِيَارِ.

Pendapat kedua: tidak diputuskan berdasarkan pernyataan pemegang gadai, karena hal itu berarti memulai keputusan hanya berdasarkan klaim, dan tidak boleh memulai keputusan hanya berdasarkan klaim. Tidak demikian halnya dengan penolakan pemegang gadai setelah pemberi gadai, karena dalam hal itu hanya melanjutkan keputusan dalam menggugurkan hak memilih, dan tidak memulai keputusan dalam menetapkan hak memilih.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا صَارَ الْعَصِيرُ خَمْرًا فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ فَلَمْ يُرِقْهُ حَتَّى صَارَ خَلًّا فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ ثُمَّ اخْتَلَفَا فَقَالَ الرَّاهِنُ: صَارَتْ خَلًّا بِنَفْسِهَا، وَقَالَ الْمُرْتَهِنُ: صَارَتْ خَلًّا بِالتَّخْلِيلِ، فَقَدْ بَطَلَ الرَّهْنُ بِدَعْوَى الْمُرْتَهِنِ؛ لِأَنَّهُ يُقِرُّ أَنَّهُ قَدْ خَرَجَ مِنَ الرَّهْنِ خُرُوجًا لَا يَجُوزُ عَوْدُهُ إِلَيْهِ فَكَانَ قَوْلُهُ مَقْبُولًا فَيَصِيرُ الْقَوْلُ قَوْلَ الرَّاهِنِ أَنَّهَا اسْتَحَالَتْ خَلًّا بِنَفْسِهَا وَلَهُ بَيْعُهَا وَالتَّفَرُّدُ بِثَمَنِهَا.

Jika perasan anggur berubah menjadi khamar di tangan pemegang gadai, lalu ia tidak membuangnya hingga berubah menjadi cuka di tangannya, kemudian keduanya berselisih: pemberi gadai berkata, “Ia berubah menjadi cuka dengan sendirinya,” sedangkan pemegang gadai berkata, “Ia berubah menjadi cuka dengan proses pencukaian,” maka batalah gadai itu menurut klaim pemegang gadai, karena ia mengakui bahwa barang tersebut telah keluar dari status gadai dengan cara yang tidak memungkinkan untuk kembali lagi, sehingga pernyataannya diterima. Maka, pernyataan pemberi gadai bahwa barang itu berubah menjadi cuka dengan sendirinya diterima, dan ia berhak menjualnya serta memiliki hasil penjualannya.

وَلَوْ قَالَ الْمُرْتَهِنُ: اسْتَحَالَتْ خَلًّا بِنَفْسِهَا وَقَالَ الرَّاهِنُ: صَارَتْ خَلًّا بِالتَّخْلِيلِ فَفِيهَا وَجْهَانِ:

Jika pemegang gadai berkata, “Barang itu berubah menjadi cuka dengan sendirinya,” dan pemberi gadai berkata, “Barang itu berubah menjadi cuka dengan proses pencukaian,” maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ أَنَّهَا اسْتَحَالَتْ بِنَفْسِهَا وَتَكُونُ رَهْنًا.

Salah satunya: pernyataan pemegang gadai diterima bahwa barang itu berubah dengan sendirinya dan tetap menjadi barang gadai.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاهِنِ أَنَّهَا صَارَتْ خَلًّا بِالتَّخْلِيلِ وَيَبْطُلُ الرَّهْنُ وَتَحْرُمُ عَلَى الرَّاهِنِ.

Pendapat kedua: pernyataan pemberi gadai diterima bahwa barang itu berubah menjadi cuka dengan proses pencukaian, sehingga gadai batal dan barang itu menjadi haram bagi pemberi gadai.

وَهَذَانِ الْقَوْلَانِ مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي إِقْرَارِ الرَّاهِنِ بِجِنَايَةِ الْعَبْدِ الْمَرْهُونِ وَإِنْكَارِ الْمُرْتَهِنِ.

Kedua pendapat ini diambil dari perbedaan dua pendapat dalam kasus pengakuan pemberi gadai atas tindak pidana budak yang digadaikan dan penolakan pemegang gadai.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا بَأْسَ أَنْ يَرْهَنَ الْجَارِيَةَ وَلَهَا وَلَدٌ صَغِيرٌ لِأَنَّ هَذَا لَيْسَ بِتَفْرِقَةٍ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Tidak mengapa menggadaikan seorang budak perempuan yang memiliki anak kecil, karena hal itu tidak dianggap sebagai pemisahan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى فِي كِتَابِ الْبُيُوعِ أَنَّ الْجَارِيَةَ إِذَا كَانَتْ ذَاتَ وَلَدٍ لَا يَجُوزُ أَنْ تُبَاعَ دُونَ وَلَدِهَا وَلَا يُبَاعَ وَلَدُهَا دُونَهَا. فَأَمَّا فِي الرَّهْنِ فَيَجُوزُ أَنْ تُرْهَنَ الْجَارِيَةُ دُونَ وَلَدِهَا وَالْوَلَدُ دُونَهَا لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan dalam Kitab al-Buyu‘ bahwa jika seorang budak perempuan memiliki anak, maka tidak boleh dijual tanpa anaknya, dan anaknya pun tidak boleh dijual tanpa ibunya. Adapun dalam masalah gadai, boleh menggadaikan budak perempuan tanpa anaknya, dan anaknya tanpa ibunya, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الرَّهْنَ لَا يَنْقُلُ الْمِلْكَ وَلَا يَمْنَعُ مِنْ حَضَانَةِ الْوَلَدِ وَإِرْضَاعِهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْبَيْعُ فَلِذَلِكَ جَازَ أَنْ تُرْهَنَ دُونَ وَلَدِهَا وَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُبَاعَ دُونَ وَلَدِهَا.

Salah satunya: gadai tidak memindahkan kepemilikan dan tidak menghalangi pengasuhan serta penyusuan anak, berbeda dengan jual beli. Oleh karena itu, boleh menggadaikan budak perempuan tanpa anaknya, namun tidak boleh menjualnya tanpa anaknya.

وَالثَّانِي: أَنَّ عَقْدَ الرَّهْنِ عَلَيْهَا يَجْرِي مَجْرَى إِجَارَتِهَا بَلْ هُوَ أَقْرَبُ لِأَنَّ عَقْدَ الْإِجَارَةِ يُوجِبُ حَبْسَ الرَّقَبَةِ وَمِلْكَ الْمَنَافِعِ وَعَقْدُ الرَّهْنِ يُوجِبُ حَبْسَ الرَّقَبَةِ وَلَا يُوجِبُ مِلْكَ الْمَنَافِعِ فَلَمَّا جَازَتْ إِجَارَتُهَا دون ولدها جاز رهنها دون ولدها.

Kedua: Bahwa akad rahn atas budak perempuan tersebut berlaku seperti akad ijarah atasnya, bahkan lebih dekat lagi, karena akad ijarah menyebabkan penahanan atas dirinya dan kepemilikan manfaatnya, sedangkan akad rahn hanya menyebabkan penahanan atas dirinya dan tidak menyebabkan kepemilikan manfaat. Maka, ketika boleh disewakan tanpa anaknya, maka boleh pula dijadikan rahn tanpa anaknya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ رَهْنِهَا دُونَ وَلَدِهَا فَحَلَّ الْحَقُّ وَهِيَ رَهْنٌ فَإِنْ أَمْكَنَ الرَّاهِنَ قَضَاءُ الْحَقِّ مِنْ مَالِهِ لَمْ تُبَعْ عَلَيْهِ وَإِنْ تَعَذَّرَ عَلَيْهِ قَضَاؤُهُ بِيعَتْ فِي الرَّهْنِ حينئذ فهل يَجُوزُ بَيْعُهَا دُونَ وَلَدِهَا أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ حَكَاهُمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ:

Apabila telah tetap kebolehan menjadikan budak perempuan sebagai rahn tanpa anaknya, lalu hak jatuh tempo sementara ia dalam keadaan sebagai rahn, maka jika memungkinkan bagi orang yang menggadaikan (rahin) untuk melunasi hak tersebut dari hartanya, maka ia tidak dijual. Namun jika ia tidak mampu melunasinya, maka budak tersebut dijual dalam keadaan sebagai rahn. Lalu, apakah boleh menjualnya tanpa anaknya atau tidak? Ada dua pendapat yang dinukil oleh Ibn Abi Hurairah:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ بَيْعُهَا دُونَ وَلَدِهَا لِلضَّرُورَةِ الْمُؤَدِّيَةِ إِلَى ذَلِكَ كَمَا تُبَاعُ لَوْ كَانَ وَلَدُهَا حُرًّا.

Salah satunya: Boleh menjualnya tanpa anaknya karena adanya kebutuhan mendesak yang mengharuskan hal itu, sebagaimana ia boleh dijual jika anaknya adalah orang merdeka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ أَنَّهَا تُبَاعُ مَعَ وَلَدِهَا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ لِأَنَّهُ لَمَّا رَهَنَهَا دُونَ وَلَدِهَا كَانَ الرَّهْنُ مُفْضِيًا إِلَى بَيْعِهَا وَقَدْ مَنَعَ الشَّرْعُ مِنَ التَّفْرِقَةِ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا صَارَ الْعَقْدُ مُوجِبًا لِبَيْعِهِ مَعَهَا.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih: Ia dijual bersama anaknya dan tidak boleh dipisahkan antara keduanya, karena ketika ia dijadikan rahn tanpa anaknya, maka rahn itu berujung pada penjualan dirinya, dan syariat telah melarang memisahkan antara ibu dan anak, sehingga akad tersebut mengharuskan penjualan keduanya secara bersamaan.

فَعَلَى هَذَا إِذَا بِيعَا مَعًا قُسِّمَ الثَّمَنُ عَلَى قِيمَتِهَا وَقِيمَةِ الْوَلَدِ فَمَا قَابَلَهَا مِنَ الثَّمَنِ دُفِعَ إِلَى الْمُرْتَهِنِ وَمَا قَابَلَ الْوَلَدَ دُفِعَ إِلَى الرَّاهِنِ.

Berdasarkan hal ini, jika keduanya dijual bersama, maka harga penjualan dibagi sesuai dengan nilai budak perempuan dan nilai anaknya. Bagian harga yang sesuai dengan nilai budak perempuan diberikan kepada murtahin (penerima gadai), dan bagian yang sesuai dengan nilai anak diberikan kepada rahin (penggadai).

وَاعْتِبَارُ ذَلِكَ أَنْ يُقَالَ: كَمْ قِيمَةُ الْجَارِيَةِ وَحْدَهَا إِذَا بِيعَتْ مَعَ الْوَلَدِ فَإِذَا قِيلَ: أَلْفُ دِرْهَمٍ قِيلَ: وَكَمْ قِيمَةُ الْوَلَدِ وَحْدَهُ إِذَا بِيعَ مَعَ أُمِّهِ، فإذا قيل: خمسمائة درهم قسمت الثَّمَنُ أَثْلَاثًا فَدُفِعَ إِلَى الْمُرْتَهِنِ الثُّلُثَيْنِ، وَدُفِعَ إِلَى الرَّاهِنِ الثُّلُثَ.

Pertimbangannya adalah dengan menanyakan: Berapa nilai budak perempuan saja jika dijual bersama anaknya? Jika dijawab: seribu dirham, lalu ditanyakan: Berapa nilai anak saja jika dijual bersama ibunya? Jika dijawab: lima ratus dirham, maka harga penjualan dibagi menjadi tiga bagian, dua pertiga diberikan kepada murtahin, dan sepertiga diberikan kepada rahin.

فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ قَسَّمْتُمُ الثَّمَنَ عَلَى قِيمَتِهَا وَحْدَهَا إِذَا بِيعَتْ مَعَ الْوَلَدِ وَقَدْ يَلْحَقُهُ مِنْ ذَلِكَ نَقْصٌ وَهَلَّا قَسَّمْتُمُوهَا عَلَى الثَّمَنِ عَلَى قِيمَتِهَا وَحْدَهَا أَنْ لَوْ بِيعَتْ مُفْرَدَةً بِلَا وَلَدٍ كَمَا لَوْ رَهَنَهُ أَرْضًا بَيْضَاءَ فَحَدَثَ فِيهَا شَجَرٌ فَبِيعَتِ الْأَرْضُ مَعَ الشَّجَرِ قُسِّمَ الثَّمَنُ عَلَى قِيمَةِ الْأَرْضِ أَنْ لَوْ بِيعَتْ بِغَيْرِ شَجَرٍ؟

Jika ada yang bertanya: Mengapa kalian membagi harga penjualan berdasarkan nilai budak perempuan saja jika dijual bersama anaknya, padahal bisa jadi hal itu menyebabkan kekurangan pada bagian anak? Mengapa tidak membaginya berdasarkan nilai budak perempuan saja seandainya ia dijual sendirian tanpa anak, sebagaimana jika seseorang menggadaikan sebidang tanah kosong lalu tumbuh pohon di atasnya, kemudian tanah itu dijual bersama pohonnya, maka harga penjualan dibagi berdasarkan nilai tanah seandainya dijual tanpa pohon?

قِيلَ: هُمَا سَوَاءٌ فِي الْحُكْمِ لِأَنَّ الشَّجَرَ حَادِثٌ بَعْدَ الرَّهْنِ فَكَانَ الثَّمَنُ مَقْسُومًا عَلَى قِيمَةِ الْأَرْضِ أَنْ لَوْ بِيعَتْ بَيْضَاءَ وَكَذَا لَوْ حَدَثَ الْوَلَدُ بَعْدَ الرَّهْنِ كَانَ الثَّمَنُ مُقَسَّطًا عَلَى قِيمَةِ الْأُمِّ أَنْ لَوْ بِيعَتْ بِغَيْرِ الْوَلَدِ.

Dijawab: Keduanya sama dalam hukum, karena pohon itu muncul setelah akad rahn, maka harga penjualan dibagi berdasarkan nilai tanah seandainya dijual dalam keadaan kosong. Demikian pula jika anak lahir setelah akad rahn, maka harga penjualan dibagi berdasarkan nilai ibu seandainya dijual tanpa anak.

وَإِذَا كَانَ الْوَلَدُ مُتَقَدِّمًا عَلَى الرَّهْنِ كَانَ الثَّمَنُ مَقْسُومًا عَلَى قِيمَةِ الْأُمِّ أَنْ لَوْ بِيعَتْ مَعَ الْوَلَدِ.

Dan jika anak sudah ada sebelum akad rahn, maka harga penjualan dibagi berdasarkan nilai ibu seandainya dijual bersama anaknya.

وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ الشَّجَرُ مُتَقَدِّمًا قَبْلَ الرَّهْنِ كَانَ الثَّمَنُ مَقْسُومًا عَلَى قِيمَةِ الْأَرْضِ أَنْ لَوْ بِيعَتْ مَعَ الشَّجَرِ.

Demikian pula jika pohon sudah ada sebelum akad rahn, maka harga penjualan dibagi berdasarkan nilai tanah seandainya dijual bersama pohonnya.

فَإِنْ قِيلَ: أَفَتَجْعَلُونَ لِلْمُرْتَهِنِ الْخِيَارَ إِذَا عَلِمَ بِوَلَدِ الْجَارِيَةِ الْمَرْهُونَةِ قِيلَ: إِنْ عَلِمَ بِهِ قَبْلَ الرَّهْنِ فَلَا خِيَارَ لَهُ وَإِنْ عَلِمَ بِهِ بَعْدَ الرَّهْنِ فَعَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يَقُولُ إِنَّهَا تُبَاعُ دُونَ وَلَدِهَا لَا خِيَارَ لَهُ. وَعَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يَقُولُ إِنَّهَا تُبَاعُ مَعَ وَلَدِهَا فِي خِيَارِهِ وَجْهَانِ:

Jika ada yang bertanya: Apakah kalian memberikan hak khiyar (pilihan) kepada murtahin jika ia mengetahui adanya anak dari budak perempuan yang digadaikan? Dijawab: Jika ia mengetahuinya sebelum akad rahn, maka tidak ada hak khiyar baginya. Jika ia mengetahuinya setelah akad rahn, maka menurut pendapat yang mengatakan budak perempuan boleh dijual tanpa anaknya, maka tidak ada hak khiyar baginya. Namun menurut pendapat yang mengatakan budak perempuan dijual bersama anaknya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهُ الْخِيَارُ لِمَا يَلْحَقُهُ مِنَ النَّقْصِ فِي قِيمَتِهَا إِذَا بِيعَتْ مَعَ الْوَلَدِ.

Salah satunya: Ia berhak mendapatkan khiyar karena adanya kekurangan nilai pada budak perempuan jika dijual bersama anaknya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا خِيَارَ لَهُ لِأَنَّ بَيْعَهَا مَعَ الْوَلَدِ لَا يُوجِبُ النَّقْصَ يَقِينًا وَقَطْعًا بَلْ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَجِدَ فِي قِيمَتِهَا زِيَادَةً وتوفير.

Pendapat kedua: Ia tidak berhak mendapatkan khiyar, karena penjualan budak perempuan bersama anaknya tidak pasti menyebabkan kekurangan nilai, bahkan bisa jadi justru menambah nilai dan keuntungan.

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَوِ ارْتَهَنَ نَخْلًا مُثْمِرًا فَالثَّمَرُ خَارِجٌ مِنَ الرَّهْنِ طَلْعًا كَانَ أَوْ بُسْرًا إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَهُ مَعَ النَّخْلِ لِأَنَّهُ عَيْنٌ تُرَى “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang menggadaikan pohon kurma yang sedang berbuah, maka buahnya tidak termasuk dalam rahn, baik masih berupa mayang maupun sudah menjadi busur, kecuali jika disyaratkan bersama pohonnya, karena buah itu adalah benda yang dapat dilihat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini adalah pendapat yang benar.

إذا رَهَنَهُ نَخْلًا مُثْمِرًا لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika seseorang menggadaikan pohon kurma yang sedang berbuah, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَشْتَرِطَ دُخُولَ الثَّمَرَةِ فِي الرَّهْنِ فَيَصِحُّ الرَّهْنُ فِيهِمَا مَعًا وَيَكُونَانِ رَهْنَيْنِ.

Pertama: Jika disyaratkan bahwa buahnya termasuk dalam barang gadai, maka sah gadai atas keduanya sekaligus dan keduanya menjadi barang gadai.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَشْتَرِطَ خُرُوجَهَا مِنَ الرَّهْنِ فَيَصِحُّ الرَّهْنُ فِي النَّخْلِ وَتَكُونُ الثَّمَرَةُ خَارِجَةً مِنَ الرَّهْنِ.

Bagian kedua: Jika disyaratkan bahwa buahnya tidak termasuk dalam barang gadai, maka sah gadai atas pohon kurma saja dan buahnya berada di luar barang gadai.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُطْلِقَ الرَّهْنَ فَلَا يَشْتَرِطُ دُخُولَ الثَّمَرَةِ فِي الرَّهْنِ وَلَا خُرُوجَهَا مِنْهُ فَلَا تَخْلُو الثَّمَرَةُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Bagian ketiga: Jika gadai dilakukan secara mutlak, tanpa mensyaratkan buahnya masuk atau keluar dari barang gadai, maka buah tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ تَكُونَ مُؤَبَّرَةً أَوْ غَيْرَ مُؤَبَّرَةٍ. فَإِنْ كَانَتْ مُؤَبَّرَةً فَهِيَ خَارِجَةٌ مِنَ الرَّهْنِ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ تَكُنِ الثَّمَرَةُ الْمُؤَبَّرَةُ تَابِعَةً لِعَقْدِ الْبَيْعِ مَعَ قُوَّتِهِ فَأَوْلَى أَلَّا تَكُونَ تَابِعَةً لِعَقْدِ الرَّهْنِ مَعَ ضَعْفِهِ.

Yaitu, apakah buah itu sudah dibuahi (mu’abbara) atau belum dibuahi. Jika sudah dibuahi, maka buah tersebut berada di luar barang gadai, karena ketika buah yang sudah dibuahi tidak termasuk dalam akad jual beli yang lebih kuat, maka lebih utama lagi tidak termasuk dalam akad gadai yang lebih lemah.

وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مُؤَبَّرَةٍ فَالْمَذْهَبُ أَنَّهَا خَارِجَةٌ مِنَ الرَّهْنِ أَيْضًا وَإِنْ كَانَتْ دَاخِلَةً فِي الْبَيْعِ. . وَالْفَرْقُ بَيْنَ الرَّهْنِ وَالْبَيْعِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Dan jika belum dibuahi, maka menurut mazhab, buah tersebut juga berada di luar barang gadai, meskipun dalam jual beli ia termasuk. Perbedaan antara gadai dan jual beli ada pada tiga aspek:

أَحَدُهَا: أَنَّ الْبَيْعَ يُزِيلُ الْمِلْكَ فَدَخَلَتِ الثَّمَرَةُ لِأَنَّهَا تَابِعَةٌ لِلْمِلْكِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الرَّهْنُ لِأَنَّهُ لَا يُزِيلُ الْمِلْكَ.

Pertama: Jual beli menghilangkan kepemilikan, sehingga buahnya termasuk karena ia mengikuti kepemilikan. Tidak demikian halnya dengan gadai, karena gadai tidak menghilangkan kepemilikan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَتِ الثَّمَرَةُ الْحَادِثَةُ تَابِعَةً لِلْمَبِيعِ كَانَتِ الْمُتَقَدِّمَةُ كَذَلِكَ وَلَمَّا كَانَتِ الثَّمَرَةُ الْحَادِثَةُ غَيْرَ دَاخِلَةٍ فِي الرَّهْنِ فَأَوْلَى أَنْ تَكُونَ الْمُتَقَدِّمَةُ كَذَلِكَ.

Kedua: Ketika buah yang muncul setelah akad jual beli dianggap mengikuti barang yang dijual, maka buah yang sudah ada sebelumnya juga demikian. Namun, ketika buah yang muncul setelah akad gadai tidak termasuk dalam barang gadai, maka lebih utama lagi buah yang sudah ada sebelumnya juga tidak termasuk.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ فِي الرَّهْنِ حَقَّيْنِ: حَقُّ الْمِلْكِ لِلرَّاهِنِ وَحَقُّ الْوَثِيقَةِ لِلْمُرْتَهِنِ وَالثَّمَرَةُ مِنْ حُقُوقِ الْمِلْكِ دُونَ الْوَثِيقَةِ، فَلِذَلِكَ خَرَجَتْ مِنَ الرَّهْنِ تَبَعًا لِلْمِلْكِ وَلَمْ تَدْخُلْ فِيهِ تَبَعًا لِلْوَثِيقَةِ.

Ketiga: Dalam gadai terdapat dua hak, yaitu hak kepemilikan bagi pihak yang menggadaikan dan hak jaminan bagi pihak penerima gadai. Buah merupakan bagian dari hak kepemilikan, bukan hak jaminan. Oleh karena itu, buah keluar dari barang gadai mengikuti kepemilikan, dan tidak masuk ke dalamnya mengikuti hak jaminan.

فَهَذَا هُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ.

Inilah pendapat yang dinyatakan dalam pendapat lama dan baru (al-qadīm wa al-jadīd).

وَفِيهَا تَخْرِيجٌ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ مِنْ مَسَائِلَ نَذْكُرُهَا وَهِيَ قِيمَةُ رَهْنِ شَاةٍ ذَاتِ صُوفٍ هَلْ يَكُونُ الصُّوفُ الَّذِي عَلَى ظَهْرِهَا دَاخِلًا فِي الرَّهْنِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ أَوْ رَهَنَ شَاةً حَامِلًا، هَلْ يَكُونُ الْحَمْلُ إِذَا وَضَعَتْهُ رَهْنًا مَعَهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ. أَوْ رَهَنَ شَاةً فِي ضَرْعِهَا لَبَنٌ هَلْ يَكُونُ اللَّبَنُ إِذَا حُلِبَ مِنْهَا رَهْنًا مَعَهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ. فَفِي هَذِهِ الْمَسَائِلِ الثَّلَاثِ قَوْلَانِ:

Dalam masalah ini terdapat cabang permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama kami, yang akan kami sebutkan, yaitu: nilai gadai seekor kambing yang memiliki bulu, apakah bulu yang ada di punggungnya termasuk dalam barang gadai atau tidak? Ada dua pendapat. Atau jika seseorang menggadaikan kambing yang sedang bunting, apakah anak yang dilahirkan juga menjadi barang gadai bersamanya atau tidak? Ada dua pendapat. Atau jika seseorang menggadaikan kambing yang di dalam ambingnya terdapat susu, apakah susu yang diperah darinya juga menjadi barang gadai bersamanya atau tidak? Ada dua pendapat. Maka dalam tiga masalah ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ الْحَمْلَ وَالصُّوفَ وَاللَّبَنَ غَيْرُ دَاخِلٍ فِي الرَّهْنِ كَالثَّمَرَةِ.

Salah satunya, yaitu pendapat dalam al-jadīd, bahwa anak, bulu, dan susu tidak termasuk dalam barang gadai, sebagaimana buah.

وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ. أَنَّهُ دَاخِلٌ فِي الرَّهْنِ. فَعَلَى هَذَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي هَذَا الْقَوْلِ هَلْ يَصِحُّ تَخْرِيجُهُ فِي الثَّمَرَةِ غَيْرِ الْمُؤَبَّرَةِ حَتَّى تَكُونَ دَاخِلَةً فِي الرَّهْنِ أَمْ لَا؟ فَكَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ يُخَرِّجُ فِيهَا قَوْلًا ثَانِيًا مِنْ هَذِهِ الْمَسَائِلِ أَنَّهَا دَاخِلَةٌ فِي الرَّهْنِ فَيُخْرِجُ الثَّمَرَةَ غَيْرَ الْمُؤَبَّرَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Yang kedua, yaitu pendapat dalam al-qadīm, bahwa semuanya termasuk dalam barang gadai. Berdasarkan pendapat ini, para ulama kami berbeda pendapat, apakah dapat diterapkan pada buah yang belum dibuahi sehingga ia termasuk dalam barang gadai atau tidak? Maka Abu ‘Ali bin Khairan mengeluarkan pendapat kedua dari masalah-masalah ini, bahwa buah yang belum dibuahi termasuk dalam barang gadai, sehingga buah yang belum dibuahi menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا خَارِجَةٌ مِنَ الرَّهْنِ.

Salah satunya, bahwa ia berada di luar barang gadai.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا دَاخِلَةٌ فِيهِ كَالصُّوفِ وَالْحَمْلِ وَاللَّبَنِ وَبِهِ قَالَ طَائِفَةٌ مِنَ الْبَغْدَادِيِّينَ وَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يَمْنَعَانِ مِنْ تَخْرِيجِ الثَّمَرَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالصُّوفِ وَالْحَمْلِ وَاللَّبَنِ وَبِهِ قَالَ كَافَّةُ الْبَصْرِيِّينَ. وَتَعْلِيلُ الشَّافِعِيِّ فِي الثَّمَرَةِ دليل على الفرق بينهما لأنه علل للثمرة فِي خُرُوجِهَا مِنَ الرَّهْنِ بِأَنْ قَالَ:

Yang kedua, bahwa ia termasuk dalam barang gadai seperti bulu, anak, dan susu. Pendapat ini dipegang oleh sekelompok ulama Baghdad. Sedangkan Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah melarang penerapan dua pendapat pada buah sebagaimana pada bulu, anak, dan susu, dan ini juga merupakan pendapat seluruh ulama Bashrah. Penjelasan Imam Syafi‘i tentang buah menjadi dalil adanya perbedaan antara keduanya, karena beliau beralasan bahwa buah keluar dari barang gadai dengan berkata:

لِأَنَّهَا عَيْنٌ تُرَى وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْحَمْلُ وَاللَّبَنُ. فَأَمَّا الصُّوفُ وَإِنْ كَانَ مَرْئِيًّا فَهُوَ مِنْ جُمْلَةِ الشَّاةِ وَأَبْعَاضِهَا فَجَرَى مَجْرَى سَائِرِ أَعْضَائِهَا فِي دُخُولِهِ فِي الرَّهْنِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الثَّمَرَةَ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ مِنْ جُمْلَةِ النَّخْلَةِ، وَلَا بَعْضًا مِنْهَا فَلَمْ تَكُنْ دَاخِلَةً فِي الرَّهْنِ مَعَهَا كَالْمُؤَبَّرَةِ.

Karena ia adalah benda yang dapat dilihat secara nyata, sedangkan janin dan susu tidak demikian. Adapun wol, meskipun dapat dilihat, ia merupakan bagian dari domba dan termasuk anggota-anggotanya, sehingga hukumnya sama dengan anggota-anggota lainnya dalam hal masuk ke dalam barang gadai. Tidak demikian halnya dengan buah, karena buah bukanlah bagian dari pohon kurma dan bukan pula sebagian darinya, sehingga buah tidak termasuk dalam barang gadai bersama pohon kurma, sebagaimana buah yang telah dibuahi (mu’abbara).

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَا هَلَكَ فِي يَدَيِ الْمُرْتَهِنِ مِنْ رَهْنٍ صَحِيحٍ وَفَاسِدٍ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Barang gadai yang rusak di tangan penerima gadai, baik gadai yang sah maupun yang rusak, maka tidak ada tanggungan atasnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan.

صَحِيحُ الرَّهْنِ وَفَاسِدُهُ عِنْدَنَا غَيْرُ مَضْمُونٍ وَأَوْجَبَ أبو حنيفة ضَمَانَ صَحِيحِهِ دُونَ فَاسِدِهِ وَهَذَا مُخَالِفٌ لِلْأُصُولِ لِأَنَّهَا مَوْضُوعَةٌ عَلَى أَنَّ فَاسِدَ كُلِّ عَقْدٍ فِي حُكْمِ صَحِيحِهِ فِي وُجُوبِ ضَمَانِهِ أَوْ فِي سُقُوطِهِ. أَلَا تَرَى أَنَّ الْبَيْعَ الْفَاسِدَ كَالصَّحِيحِ فِي وُجُوبِ الضَّمَانِ وَالشِّرْكِ وَالْمُضَارَبَاتُ الْفَاسِدَةُ كَالصَّحِيحَةِ فِي سُقُوطِ الضَّمَانِ فَكَذَلِكَ الرَّهْنُ.

Barang gadai yang sah maupun yang rusak menurut kami tidak ada tanggungan atasnya. Abu Hanifah mewajibkan tanggungan atas barang gadai yang sah saja, tidak pada yang rusak. Ini bertentangan dengan ushul, karena kaidahnya adalah bahwa setiap akad yang rusak hukumnya sama dengan akad yang sah dalam hal wajib atau tidaknya tanggungan. Bukankah engkau melihat bahwa jual beli yang rusak sama dengan yang sah dalam kewajiban tanggungan, dan syirkah serta mudharabah yang rusak sama dengan yang sah dalam gugurnya tanggungan? Maka demikian pula halnya dengan gadai.

وَتَحْرِيرُهُ: أَنَّهُ عَقْدٌ فَاسِدٌ غَيْرُ مَضْمُونٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ صَحِيحُهُ غَيْرَ مَضْمُونٍ كَالْوَدَائِعِ وَالْمُضَارَبَاتِ وَسَيَأْتِي الْكَلَامُ مَعَهُ فِي سُقُوطِ ضَمَانِهِ فِي بَابٍ يُسْتَوْفَى فِيهِ إن شاء الله.

Penjelasannya: bahwa ia adalah akad yang rusak dan tidak ada tanggungan atasnya, maka seharusnya akad yang sah pun tidak ada tanggungan atasnya, seperti pada wadiah dan mudharabah. Pembahasan tentang gugurnya tanggungan akan dijelaskan pada bab tersendiri, insya Allah.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا رَهَنَهُ مَا يَفْسَدُ مِنْ يَوْمِهِ أَوْ غَدِهِ أَوْ مُدَّةٍ قَصِيرَةٍ لَا يَنْتَفِعُ بِهِ يَابِسًا مِثْلَ الْبَقْلِ وَالْبِطِّيخِ فَإِنْ كَانَ الْحَقُّ حَالًّا فَجَائِزٌ وَيُبَاعُ وَإِنْ كَانَ إِلَى أَجَلٍ يَفْسَدُ إِلَيْهِ كَرِهْتُهُ وَمَنَعَنِي مِنْ فَسْخِهِ أَنَّ لِلرَّاهِنِ بَيْعَهُ قَبْلَ مَحَلِّ الْحَقِّ عَلَى أَنْ يُعْطَى صَاحِبُ الْحَقِّ حَقَّهُ بِلَا شَرْطٍ فَإِنْ شَرَطَ أَنْ لَا يُبَاعَ إِلَى أَنْ يَحِلَّ الْحَقُّ فَالرَّهْنُ مَفْسُوخٌ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menggadaikan barang yang akan rusak pada hari itu, esok, atau dalam waktu singkat sehingga tidak dapat dimanfaatkan dalam keadaan kering, seperti sayuran dan semangka, maka jika hak (piutang) jatuh tempo, boleh digadaikan dan dijual. Namun jika jatuh temponya masih lama sehingga barang itu akan rusak sebelum tiba waktunya, aku tidak menyukainya. Aku tidak membatalkannya karena pemberi gadai boleh menjual barang itu sebelum jatuh tempo dengan syarat hak penerima gadai diberikan tanpa syarat. Jika disyaratkan tidak boleh dijual sampai jatuh tempo, maka gadai tersebut batal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ الرَّهْنِ أَنَّهُ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Secara umum, barang gadai itu terbagi menjadi dua jenis:

ضَرْبٌ يَبْقَى وَلَا يَفْسَدُ غَالِبًا كَالثِّيَابِ وَالْعُرُوضِ وَالْحَيَوَانَاتِ، فَرَهْنُ هَذِهِ جَائِزٌ فِي الْحَالِّ وَالْمُؤَجَّلِ. فَإِنْ حَدَثَ بِهَا مَا يُؤَدِّي إِلَى فَسَادِهَا مِثْلُ عَتٍّ يَأْكُلُ الثَّوْبَ، أَوْ كَسْرٍ يُصِيبُ الْحَيَوَانَ لَمْ يَقْدَحْ ذَلِكَ فِي صِحَّةِ الرَّهْنِ، وَلَكِنْ هَلْ يُجْبَرُ الرَّاهِنُ عَلَى بَيْعِهِ قَبْلَ ضِمَادِهِ لِيَكُونَ ثَمَنُهُ رَهْنًا مَكَانَهُ أَوْ قِصَاصًا مِنَ الْحَقِّ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Jenis pertama: barang yang umumnya tahan lama dan tidak cepat rusak, seperti pakaian, barang dagangan, dan hewan. Gadai atas barang-barang ini boleh baik untuk piutang yang sudah jatuh tempo maupun yang belum. Jika kemudian terjadi sesuatu yang menyebabkan kerusakan, seperti dimakan rayap pada pakaian atau hewan yang patah, hal itu tidak membatalkan keabsahan gadai. Namun, apakah pemberi gadai wajib menjual barang itu sebelum rusak agar harganya menjadi barang gadai pengganti atau sebagai pengganti hak piutang? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُجْبَرُ عَلَى بَيْعِهِ لِأَنَّ حَقَّ الْمُرْتَهِنِ فِي حَبْسِهِ دُونَ بَيْعِهِ.

Pendapat pertama: Tidak wajib menjualnya, karena hak penerima gadai adalah menahan barang, bukan menjualnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يُجْبَرُ عَلَى بَيْعِهِ لِمَا فِي الْبَيْعِ مِنَ اسْتِيفَاءِ الْوَثِيقَةِ كَمَا يُجْبَرُ عَلَى الْمَعْلُوفَةِ وَالنَّفَقَةِ.

Pendapat kedua: Wajib menjualnya, karena dalam penjualan terdapat pemenuhan jaminan, sebagaimana wajibnya memberi makan dan menafkahi (barang gadai yang berupa hewan).

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا يَفْسَدُ وَلَا يَبْقَى كَالْأَطْعِمَةِ وَالْفَوَاكِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: barang yang mudah rusak dan tidak tahan lama, seperti makanan dan buah-buahan. Ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ اسْتِصْلَاحُهُ لِلتَّبْقِيَةِ مُمْكِنًا كَالرُّطَبِ الَّذِي إِنْ جُفِّفَ صَارَ تَمْرًا، وَالْعِنَبِ الَّذِي إِنْ جُفِّفَ صَارَ زَبِيبًا، فَرَهْنُ هَذَا جَائِزٌ فِي الْحَالِّ وَالْمُؤَجَّلِ، لِإِمْكَانِ تَبْقِيَتِهِ بِالتَّجْفِيفِ.

Pertama: Barang yang masih bisa diawetkan, seperti kurma basah yang jika dikeringkan menjadi kurma kering, atau anggur yang jika dikeringkan menjadi kismis. Barang seperti ini boleh digadaikan baik untuk piutang yang sudah jatuh tempo maupun yang belum, karena masih bisa diawetkan dengan pengeringan.

فَإِنِ امْتَنَعَ الرَّاهِنُ مِنْ تَجْفِيفِهِ أُجْبِرَ عَلَيْهِ لِمَا فِيهِ مِنْ حِفْظِ مِلْكِ الرَّاهِنِ.

Jika pemberi gadai menolak untuk mengeringkannya, maka ia dipaksa untuk melakukannya demi menjaga harta miliknya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ اسْتِصْلَاحُهُ مَعَ التَّبْقِيَةِ غَيْرَ مُمْكِنٍ كَالْبِطِّيخِ وَالْخِيَارِ وَسَائِرِ الطَّبَائِخِ كَالْهَرِيسَةِ وَغَيْرِهَا فَإِنْ كَانَ الْحَقُّ حَالًّا كَانَ رَهْنُهُ مِنْهُ جَائِزًا لِوُجُوبِ بَيْعِهِ قَبْلَ فَسَادِهِ. وَإِنْ كَانَ الْحَقُّ مُؤَجَّلًا فَالْأَجَلُ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: Barang yang tidak mungkin diawetkan, seperti semangka, mentimun, dan berbagai masakan seperti bubur gandum (harisah) dan sejenisnya. Jika piutang sudah jatuh tempo, maka barang seperti ini boleh digadaikan karena harus segera dijual sebelum rusak. Namun jika piutang belum jatuh tempo, maka ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ حُلُولُهُ قَبْلَ فَسَادِهِ فَرَهْنُهُ جَائِزٌ.

Pertama: Jatuh tempo piutang sebelum barang itu rusak, maka gadai atasnya boleh.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ حُلُولُهُ بَعْدَ فَسَادِهِ فَهَذَا عَلَى ضرين:

Jenis kedua: Jatuh tempo piutang setelah barang itu rusak, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَشْتَرِطَا تَبْقِيَةَ الرَّهْنِ إِلَى وَقْتِ حُلُولِهِ فَهَذَا رَهْنٌ بَاطِلٌ لِعِلْمِنَا بِتَلَفِهِ قَبْلَ حُلُولِ الْحَقِّ.

Salah satunya: Jika kedua belah pihak mensyaratkan agar barang gadai tetap ada hingga waktu jatuh tempo, maka gadai ini batal karena kita mengetahui barang tersebut akan rusak sebelum jatuh tempo hak.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُطْلِقَا رَهْنَهُ وَلَا يَشْتَرِطَا تَبْقِيَتَهُ فَفِي جَوَازِ رَهْنِهِ قَوْلَانِ:

Jenis kedua: Jika keduanya melepaskan gadai tanpa mensyaratkan agar tetap ada, maka dalam kebolehan menggadaikannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ رَهْنَهُ جَائِزٌ لِأَمْرَيْنِ:

Salah satunya: Bahwa menggadaikannya diperbolehkan karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عُرْفَ النَّاسِ فِي رَهْنِ مَا يَفْسَدُ قَبْلَ حُلُولِ الْحَقِّ أَلَّا يَمْتَنِعُوا مِنْ بَيْعِهِ إِذَا خِيفَ فَسَادُهُ قَبْلَ حُلُولِ الْحَقِّ فَجَازَ رَهْنُهُ فِي الْمُؤَجَّلِ تَغْلِيبًا لِبَيْعِهِ قَبْلَ فَسَادِهِ عُرْفًا كَمَا جَازَ رَهْنُهُ فِي الْمُعَجَّلِ تَغْلِيبًا لِبَيْعِهِ قَبْلَ فَسَادِهِ حُكْمًا وَتَحْرِيرُهُ: أَنَّ كُلَّ مَا جَازَ رَهْنُهُ فِي الْمُعَجَّلِ جَازَ رَهْنُهُ فِي الْمُؤَجَّلِ كَالَّذِي لَا يَفْسَدُ فِيهِ.

Pertama: Kebiasaan masyarakat dalam menggadaikan barang yang bisa rusak sebelum jatuh tempo hak adalah mereka tidak menolak untuk menjualnya jika dikhawatirkan akan rusak sebelum jatuh tempo hak. Maka boleh menggadaikannya dalam utang yang ditangguhkan dengan pertimbangan kebiasaan menjualnya sebelum rusak, sebagaimana boleh menggadaikannya dalam utang yang segera dengan pertimbangan hukum bolehnya menjual sebelum rusak. Penjelasannya: Setiap barang yang boleh digadaikan dalam utang segera, boleh juga digadaikan dalam utang yang ditangguhkan, seperti barang yang tidak mudah rusak.

وَالثَّانِي: أَنَّ حُدُوثَ الْفَسَادِ بِمَا لَا يَفْسَدُ جَارٍ مَجْرَى فَسَادِ مَا يَفْسَدُ لِأَنَّهُمَا قَدْ يقضيان إلى التلف. فلما كان لو رهن مالا يَفْسَدُ ثُمَّ طَرَأَ عَلَيْهِ الْفَسَادُ مِثْلَ كَسْرِ الْحَيَوَانِ لَمْ يَمْنَعْ مِنْ صِحَّةِ الرَّهْنِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَقَدُّمُ الْفَسَادِ فِيمَا يَفْسَدُ غَيْرَ مَانِعٍ مِنْ جَوَازِ الرَّهْنِ.

Kedua: Bahwa terjadinya kerusakan pada barang yang biasanya tidak rusak, dipandang sama dengan kerusakan pada barang yang memang mudah rusak, karena keduanya bisa berujung pada kebinasaan. Maka, jika seseorang menggadaikan barang yang tidak mudah rusak lalu kemudian rusak, seperti hewan yang patah kakinya, hal itu tidak menghalangi keabsahan gadai. Maka, kerusakan yang sudah ada sebelumnya pada barang yang mudah rusak tidak boleh menjadi penghalang kebolehan gadai.

وَتَحْرِيرُهُ: أَنَّهُ فَسَادٌ لَا يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ الْبَيْعِ فَوَجَبَ أَلَّا يَمْنَعَ مِنْ جَوَازِ الرَّهْنِ الْحَادِثِ بَعْدَ الْعَقْدِ.

Penjelasannya: Bahwa kerusakan tersebut tidak menghalangi kebolehan jual beli, maka tidak seharusnya menghalangi kebolehan gadai yang terjadi setelah akad.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ رَهْنَهُ بَاطِلٌ لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua: Bahwa menggadaikannya batal karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَا يُوجِبُهُ الْعَقْدُ إِذَا كَانَ مُطْلَقًا بِمَنْزِلَتِهِ لَوْ شَرَطَ نُطْقًا فَلَمَّا كَانَ شَرْطُ تَبْقِيَتِهِ إِلَى حُلُولِ الْحَقِّ مَانِعًا مِنْ جَوَازِ رَهْنِهِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ إِطْلَاقُ عَقْدِهِ مَانِعًا مِنْ جَوَازِ رَهْنِهِ.

Salah satunya: Bahwa apa yang diakibatkan oleh akad jika dilakukan secara mutlak, kedudukannya sama dengan jika disyaratkan secara lisan. Maka, jika syarat tetapnya barang gadai hingga jatuh tempo hak menjadi penghalang kebolehan menggadaikannya, maka akad yang dilakukan secara mutlak juga harus menjadi penghalang kebolehan menggadaikannya.

وَالثَّانِي: أَنَّ أَحْكَامَ الْعُقُودِ مَحْمُولَةٌ عَلَى مُوجِبَاتِ أُصُولِهَا دُونَ مَا يَتَطَوَّعُ بِهِ الْمُتَعَاقِدَانِ فِيهَا وَحَبْسُ الرَّهْنِ إِلَى حُلُولِ الْحَقِّ وَاجِبٌ وَاتِّفَاقُهُمَا عَلَى بَيْعِهِ قَبْلَ حُلُولِ الْحَقِّ لِأَجْلِ فَسَادِهِ تَطَوُّعٌ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْمَلَ عَلَى تَطَوُّعِهِمَا بِبَيْعِهِ لِيَصِحَّ الرَّهْنُ وَوَجَبَ أَنْ يُحْمَلَ عَلَى وُجُوبِ إِمْسَاكِهِ إِلَى حُلُولِ الْحَقِّ لِيُفْسِدَ الرَّهْنَ كَمَنْ بَاعَ عَبْدًا آبِقًا أَنْ يَحْمِلَ الْبَيْعَ عَلَى جَوَازِ وَجُودِهِ لِيَصِحَّ الْعَقْدُ وَحَمَلَ عَلَى تَعَذُّرِ وُجُودِهِ وَإِنْ بَطَلَ الْبَيْعُ.

Kedua: Bahwa hukum-hukum akad didasarkan pada ketentuan asalnya, bukan pada kesepakatan tambahan para pihak dalam akad tersebut. Menahan barang gadai hingga jatuh tempo hak adalah kewajiban, sedangkan kesepakatan kedua belah pihak untuk menjualnya sebelum jatuh tempo hak karena sebab kerusakan adalah tambahan. Maka, tidak boleh mendasarkan hukum pada tambahan tersebut agar gadai menjadi sah, tetapi harus didasarkan pada kewajiban menahan barang hingga jatuh tempo hak, sehingga menyebabkan gadai menjadi batal. Seperti orang yang menjual budak yang melarikan diri, tidak boleh mendasarkan jual beli pada kemungkinan budak itu ada agar akad sah, tetapi harus didasarkan pada ketidakmungkinan keberadaannya, sehingga jual beli menjadi batal.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِذَا قُلْنَا بِبُطْلَانِ رَهْنِهِ كَانَ فِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ الْمَشْرُوطِ فِيهِ قَوْلَانِ:

Jika kita berpendapat bahwa menggadaikannya batal, maka dalam batalnya jual beli yang disyaratkan di dalamnya terdapat dua pendapat:

وَإِذَا قُلْنَا بِجَوَازِ رَهْنِهِ لَمْ يَلْزَمِ الرَّاهِنَ بَيْعُهُ عِنْدَ فَسَادِهِ. وَالْفَرْقُ بَيْنَ هَذَا فِي أَلَّا يَجِبَ بَيْعُهُ عِنْدَ فَسَادِهِ، وَبَيْنَ مَا لَا يَفْسَدُ فِي وُجُوبِ بَيْعِهِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ عِنْدَ حُدُوثِ فَسَادِهِ:

Dan jika kita berpendapat bahwa menggadaikannya boleh, maka tidak wajib bagi pihak yang menggadaikan untuk menjual barang gadai ketika rusak. Perbedaannya dengan kasus di mana tidak wajib menjualnya ketika rusak, dan dengan barang yang tidak mudah rusak yang wajib dijual menurut salah satu pendapat ketika terjadi kerusakan:

أَنَّ الْبَيْعَ يَمْنَعُ مِنَ الْفَسَادِ فَوَجَبَ بَيْعُ مَا لَمْ يَكُنْ فَاسِدًا إِذَا حَدَثَ فِيهِ الْفَسَادُ لِيَكُونَ الرَّهْنُ بَاقِيًا فِي الِانْتِهَاءِ عَلَى حُكْمِهِ فِي الِابْتِدَاءِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ مَا كَانَ فَاسِدًا وَقْتَ الْعَقْدِ لِأَنَّهُ فِي الِانْتِهَاءِ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ فِي الِابْتِدَاءِ.

Bahwa penjualan mencegah terjadinya kerusakan, maka wajib menjual barang yang belum rusak jika terjadi kerusakan padanya, agar barang gadai tetap berlaku hukumnya sebagaimana pada awal akad. Tidak demikian halnya dengan barang yang memang sudah rusak saat akad, karena pada akhirnya tetap seperti keadaan awalnya.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ فَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ كَالْمَشْرُوطِ فِيهِ إِذَا امْتَنَعَ الرَّاهِنُ مِنْ بَيْعِ الرَّهْنِ عِنْدَ فَسَادِهِ لِأَنَّ فَسَادَهُ قَدْ كَانَ مَعْلُومًا بِهِ.

Jika telah tetap bahwa barang tersebut tidak dijual, maka tidak ada hak bagi penerima gadai untuk membatalkan jual beli, sebagaimana pada jual beli yang disyaratkan di dalamnya, jika pihak yang menggadaikan menolak menjual barang gadai ketika rusak, karena kerusakannya sudah diketahui sebelumnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ رَهَنَهُ أَرْضًا بِلَا نَخْلٍ فَأَخْرَجَتْ نَخْلًا فَالنَّخْلُ خَارِجٌ مِنَ الرَّهْنِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ قَلْعُهَا لِأَنَّهُ لَا ضَرَرَ عَلَى الْأَرْضِ مِنْهَا حَتَّى يحل الحق فإن بَلَغَتْ حَقَّ الْمُرْتَهِنِ لَمْ تُقْلَعْ وَإِنْ لَمْ تَبْلُغْ قُلِعَتْ وَإِنْ فُلِّسَ بِدُيُونِ النَّاسِ بِيعَتِ الْأَرْضُ بِالنَّخْلِ ثُمَّ قُسِّمَ الثَّمَنُ عَلَى أَرْضٍ بَيْضَاءَ بِلَا نَخْلٍ وَعَلَى مَا بَلَغَتْ بِالنَّخْلِ فَأُعْطِيَ الْمُرْتَهِنُ ثَمَنَ الْأَرْضِ وَالْغُرُمَاءٌ ثَمَنَ النَّخْلِ “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang menggadaikan sebidang tanah tanpa pohon kurma, lalu kemudian tumbuh pohon kurma di atasnya, maka pohon kurma tersebut tidak termasuk dalam barang gadai dan tidak wajib dicabut karena tidak ada mudarat bagi tanah dari keberadaannya hingga jatuh tempo hak (pelunasan utang). Jika nilai pohon kurma itu mencapai nilai hak penerima gadai, maka pohon itu tidak dicabut. Namun jika tidak mencapai, maka pohon itu dicabut. Jika si pemilik tanah dinyatakan pailit karena utang-utang kepada orang lain, maka tanah beserta pohon kurma dijual, lalu harga penjualannya dibagi: harga tanah kosong tanpa kurma dan harga tanah beserta kurma sesuai dengan apa yang dihasilkan oleh pohon kurma. Maka penerima gadai mendapat harga tanah, sedangkan para kreditur mendapat harga pohon kurma.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Māwardī berkata: Dan hal ini sebagaimana yang telah dikatakan (oleh Imam Syafi‘i).

إِذَا رَهَنَ أَرْضًا فِي حَقِّ مَحَلِّ الْحَقِّ وَفِي الْأَرْضِ نَخْلٌ لَمْ يَدْخُلْ فِي الرَّهْنِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ.

Jika seseorang menggadaikan sebidang tanah pada saat jatuh tempo hak, dan di atas tanah tersebut terdapat pohon kurma yang tidak termasuk dalam barang gadai, maka keadaannya tidak lepas dari tiga kemungkinan.

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ حَادِثًا بَعْدَ الرَّهْنِ.

Pertama: Pohon kurma itu tumbuh setelah akad gadai.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُتَقَدِّمًا قَبْلَ الرَّهْنِ.

Kedua: Pohon kurma itu sudah ada sebelum akad gadai.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ النَّوَى الَّذِي نَبَتَ فِيهِ قَبْلَ الرَّهْنِ وَعُلُوقُهُ وَظُهُورُهُ بَعْدَ الرَّهْنِ.

Ketiga: Biji kurma yang tumbuh di tanah itu sudah ada sebelum akad gadai, namun akarnya dan kemunculannya di permukaan tanah terjadi setelah akad gadai.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ حَادِثًا بَعْدَ الرَّهْنِ. فَهُوَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ.

Adapun bagian pertama, yaitu pohon kurma yang tumbuh setelah akad gadai, maka inilah permasalahan yang dibahas dalam kitab ini.

وَصُورَتُهَا: أَنْ يَرْهَنَهُ أَرْضًا بَيْضَاءَ لَا نَخْلَ فِيهَا ثُمَّ يَحْدُثُ فِيهَا نَخْلٌ إِمَّا بِأَنْ يَغْرِسَهُ الرَّاهِنُ أَوْ يَنْغَرِسَ بِنَفْسِهِ مِنْ نَوْعٍ يَقَعُ فِي الْأَرْضِ فَيَنْبُتُ فِيهَا فَالْحُكْمُ فِيهِمَا سَوَاءٌ إِلَّا أَنَّ الرَّاهِنَ يُمْنَعُ مِنَ ابْتِدَاءِ الْغَرْسِ فَإِنْ غَرَسَ لَمْ يُقْلَعْ فِي الْحَالِ قَبْلَ حُلُولِ الْحَقِّ لِأَنَّ إِقْرَارَ الْغَرْسِ فِي الْأَرْضِ انْتِفَاعٌ بِهَا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُمْنَعَ الرَّاهِنُ مِنَ الِانْتِفَاعِ بِأَرْضِهِ الْمَرْهُونَةِ وَلَا يَكُونُ النَّخْلُ الْحَادِثُ فِيهَا دَاخِلًا فِي الرَّهْنِ مَعَهَا لِأَنَّ حُدُوثَ النَّخْلِ نَمَاءٌ وَالنَّمَاءُ الْحَادِثُ مِنَ الرَّهْنِ لَا يَدْخُلُ فِي الرَّهْنِ.

Gambaran kasusnya: Seseorang menggadaikan sebidang tanah kosong yang tidak ada pohon kurmanya, lalu kemudian tumbuh pohon kurma di atasnya, baik karena ditanam oleh pihak yang menggadaikan atau tumbuh sendiri dari biji yang jatuh ke tanah lalu tumbuh di sana. Hukum keduanya sama, kecuali bahwa pihak yang menggadaikan dilarang menanam pohon sejak awal. Namun jika ia tetap menanam, maka pohon itu tidak langsung dicabut sebelum jatuh tempo hak, karena membiarkan pohon tetap tumbuh di tanah merupakan bentuk pemanfaatan tanah, dan tidak boleh melarang pihak yang menggadaikan untuk memanfaatkan tanah yang digadaikannya. Pohon kurma yang tumbuh setelah akad gadai tidak termasuk dalam barang gadai, karena pertumbuhan pohon kurma merupakan tambahan (namā’), dan tambahan yang muncul setelah akad gadai tidak termasuk dalam barang gadai.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ لَا يَدْخُلُ فِي الرَّهْنِ وَلَا يُقْلَعُ قَبْلَ حُلُولِ الْحَقِّ، نُظِرَ فِي ذَلِكَ عِنْدَ حُلُولِ الْحَقِّ. فَإِنْ قَضَى الرَّاهِنُ مِنْ مَالِهِ خَرَجَتِ الْأَرْضُ مِنَ الرَّهْنِ وَكَانَ النَّخْلُ مُقَرًّا فِيهَا لِلرَّاهِنِ وَإِنِ امْتَنَعَ الرَّاهِنُ مِنْ قَضَاءِ الْحَقِّ مِنْ مَالِهِ نُظِرَ فِي بَيَاضِ الْأَرْضِ:

Jika telah tetap bahwa pohon kurma tersebut tidak termasuk dalam barang gadai dan tidak dicabut sebelum jatuh tempo hak, maka dilihat keadaannya ketika jatuh tempo hak. Jika pihak yang menggadaikan melunasi utangnya dari hartanya sendiri, maka tanah keluar dari gadai dan pohon kurma tetap berada di tanah tersebut untuk pihak yang menggadaikan. Namun jika pihak yang menggadaikan enggan melunasi utangnya dari hartanya sendiri, maka dilihat pada tanah kosongnya:

فَإِنْ كَانَ فِي ثَمَنِهِ وَفَاءُ الْحَقِّ بِيعَ بَيَاضُ الْأَرْضِ وَقُضِيَ بِهِ الْحَقُّ وَكَانَ النَّخْلُ عَلَى حَالِهِ مُقَرًّا فِي الْأَرْضِ لَا يَعْرِضُ لِبَيْعِهِ وَلَا لِقَلْعِهِ. وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي ثَمَنِ بَيَاضِ الْأَرْضِ وَفَاءٌ لِلْحَقِّ نُظِرَ فِي الرَّاهِنِ فَإِنْ أَجَابَ إِلَى بَيْعِ النَّخْلِ مَعَ الْأَرْضِ بِعْنَاهُمَا مَعًا وَكَانَ لِلْمُرْتَهِنِ مِنَ الثَّمَنِ مَا قَابَلَ قِيمَةَ الْأَرْضِ بَيْضَاءَ لَا نَخْلَ فِيهَا وَالرَّاهِنَ مَا قَابَلَ النَّخْلَ.

Jika harga tanah kosong cukup untuk melunasi utang, maka tanah kosong dijual dan utang dilunasi dengan hasil penjualannya, sedangkan pohon kurma tetap berada di atas tanah sebagaimana adanya, tidak dijual dan tidak dicabut. Namun jika harga tanah kosong tidak cukup untuk melunasi utang, maka dilihat pada pihak yang menggadaikan: jika ia setuju untuk menjual pohon kurma bersama tanah, maka keduanya dijual bersama, dan penerima gadai mendapat bagian dari harga yang sepadan dengan nilai tanah kosong tanpa pohon kurma, sedangkan pihak yang menggadaikan mendapat bagian yang sepadan dengan nilai pohon kurma.

وَإِنِ امْتَنَعَ مِنْ بَيْعِ النَّخْلِ مَعَ الْأَرْضِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika pihak yang menggadaikan menolak menjual pohon kurma bersama tanah, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُوسِرًا يَجُوزُ تَصَرُّفُهُ فِي مَالِهِ أَوْ يَكُونُ مُفْلِسًا مَحْجُورًا عَلَيْهِ بِحَقِّ غُرَمَائِهِ.

Pertama, ia adalah orang yang mampu dan boleh melakukan transaksi atas hartanya; atau kedua, ia adalah orang yang pailit dan hartanya telah dibatasi hak pengelolaannya karena hak para krediturnya.

فَإِنْ كَانَ مُوسِرًا يَجُوزُ تَصَرُّفُهُ فِي مَالِهِ لَمْ يُجْبَرْ عَلَى بَيْعِ النَّخْلِ مَعَ الْأَرْضِ لِأَنَّ الْإِجْبَارَ عَلَى بَيْعِ الْأَمْلَاكِ لَا يَجُوزُ إِلَّا فِي رَهْنٍ أَوْ غَرِيمٍ مُفْلِسٍ وَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِنَخْلِ الرَّاهِنِ أَحَدُ هَذَيْنِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْبَرَ عَلَى بَيْعِهَا. وَإِذَا لَمْ يُجْبَرْ عَلَى بَيْعِهَا وَجَبَ أَنْ يُؤْمَرَ بِقَلْعِهَا لِأَنَّ حَقَّ الْمُرْتَهِنِ مُتَعَلِّقٌ بِالْأَرْضِ وَهِيَ بَيْضَاءُ وَفِي تَرْكِ النَّخْلِ فِيهَا تَفْوِيتٌ لِمَعْنَى حَقِّهِ، فَلِذَلِكَ وَجَبَ أَنْ يؤخذ بقلعها إلا أن تبذل لِلْمُرْتَهِنِ تَمَامَ قِيمَةِ الْأَرْضِ بَيْضَاءَ لَا نَخْلَ فِيهَا فَلَا يُؤْخَذُ بِقَلْعِهَا وَيُبَاعُ بَيَاضُ الْأَرْضِ سِوَى النَّخْلِ الْقَائِمِ فِيهَا. وَإِنْ لَمْ يَبْذُلْ تَمَامَ الْقِيمَةِ أُجْبِرُ عَلَى قَلْعِ النَّخْلِ فَإِذَا قَلَعَهَا بِيعَتِ الْأَرْضُ بَيْضَاءَ لَا نَخْلَ فِيهَا ثُمَّ يُنْظَرُ فِي الْأَرْضِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِقَلْعِ النَّخْلِ تَأْثِيرٌ فِي الْأَرْضِ فِي نَقْصِ قِيمَتِهَا فَلَا شَيْءَ عَلَى الرَّاهِنِ وَإِنْ كَانَ قَلْعُ النَّخْلِ قَدْ نَقَصَ مِنْ قِيمَتِهَا لِمَا أَحْدَثَ مِنَ الْحَفْرِ فِيهَا وَجَبَ عَلَى الرَّاهِنِ أَنْ يُغْرَمَ أَرْشَ نَقْصِهَا بِالْقَلْعِ إِنْ كَانَ هُوَ الْغَارِسَ لِلنَّخْلِ لِأَنَّهُ حَادِثٌ مِنْ فِعْلِهِ فَوَجَبَ أَنْ يُؤْخَذَ بِأَرْشِهِ كَمَا لَوْ جَنَى عَلَى الرَّاهِنِ فَإِنْ كَانَ النَّخْلُ قَدْ نَبَتَ بِنَفْعِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَغْرِسَهُ الرَّاهِنُ لَمْ تَلْزَمْهُ غَرَامَةُ الْأَرْشِ كَمَا لَوْ حَدَثَ نَقْصٌ بِالرَّهْنِ.

Jika pemilik gadai itu orang yang mampu dan boleh bertindak atas hartanya, maka ia tidak dipaksa untuk menjual pohon kurma beserta tanahnya, karena pemaksaan untuk menjual harta milik tidak dibolehkan kecuali dalam kasus rahn atau orang yang berutang dan bangkrut. Dan tidak ada salah satu dari dua hal ini yang terkait dengan pohon kurma milik pemberi gadai, maka tidak boleh dipaksa untuk menjualnya. Jika ia tidak dipaksa untuk menjualnya, maka ia wajib diperintahkan untuk mencabut pohon kurma tersebut, karena hak penerima gadai terkait dengan tanah yang kosong, dan membiarkan pohon kurma di atasnya berarti menghilangkan makna haknya. Oleh karena itu, wajib diambil dengan cara mencabutnya, kecuali jika pemberi gadai memberikan kepada penerima gadai seluruh nilai tanah dalam keadaan kosong tanpa pohon kurma, maka ia tidak diwajibkan mencabutnya dan yang dijual adalah tanah kosong selain pohon kurma yang masih berdiri di atasnya. Jika ia tidak memberikan nilai penuh, maka ia dipaksa untuk mencabut pohon kurma tersebut. Setelah pohon kurma dicabut, tanah dijual dalam keadaan kosong tanpa pohon kurma, kemudian dilihat keadaan tanah tersebut. Jika pencabutan pohon kurma tidak berpengaruh pada tanah dalam mengurangi nilainya, maka tidak ada kewajiban apa pun atas pemberi gadai. Namun jika pencabutan pohon kurma menyebabkan berkurangnya nilai tanah karena adanya penggalian di dalamnya, maka pemberi gadai wajib menanggung ganti rugi atas kekurangan nilai akibat pencabutan tersebut, jika ia sendiri yang menanam pohon kurma itu, karena hal itu merupakan akibat dari perbuatannya, sehingga ia wajib menanggung ganti ruginya sebagaimana jika ia melakukan pelanggaran terhadap barang gadai. Namun jika pohon kurma itu tumbuh dengan sendirinya tanpa ditanam oleh pemberi gadai, maka ia tidak wajib menanggung ganti rugi, sebagaimana jika terjadi kekurangan pada barang gadai.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِنْ كَانَ الرَّاهِنُ مُفْلِسًا مَحْجُورًا عَلَيْهِ بِحَقِّ غُرَمَائِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ تُقْلَعَ النَّخْلُ لِتَعَلُّقِ حُقُوقِ الْغُرَمَاءِ بِالنَّخْلِ كَتَعَلُّقِ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِالْأَرْضِ وَوَجَبَ بَيْعُ الْأَرْضِ مَعَ النَّخْلِ لِتَكُونَ الْأَرْضُ مَبِيعَةً مِنْ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ وَالنَّخْلُ مَبِيعَةً فِي حُقُوقِ الْغُرَمَاءِ. فَإِذَا بِيعَا مَعًا لَمْ يَخْلُ حَالُ الْأَرْضِ فِي بَيْعِهَا مَعَ النَّخْلِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika pemberi gadai adalah orang yang bangkrut dan telah dibatasi haknya karena hak para krediturnya, maka tidak boleh mencabut pohon kurma karena hak para kreditur juga terkait dengan pohon kurma sebagaimana hak penerima gadai terkait dengan tanah. Maka wajib menjual tanah beserta pohon kurmanya agar tanah menjadi milik penerima gadai dan pohon kurma menjadi milik para kreditur. Jika keduanya dijual bersama, maka keadaan tanah dalam penjualannya bersama pohon kurma tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ قِيمَتُهَا لَمْ تَزِدْ وَلَمْ تَنْقُصْ.

Pertama: Nilai tanah tidak bertambah dan tidak berkurang.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ قِيمَتُهَا قَدْ نَقَصَتْ.

Kedua: Nilai tanah berkurang.

وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ قِيمَتُهَا قَدْ زَادَتْ.

Ketiga: Nilai tanah bertambah.

فَإِنْ كَانَتْ قِيمَةُ الْأَرْضِ لَمْ تَزِدْ وَلَمْ تَنْقُصْ وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ تَكُونَ قِيمَتُهَا بَيْضَاءَ أَلْفَ دِرْهَمٍ وَقِيمَةُ النَّخْلِ خَمْسَمِائَةٍ وَقَدْ بِيعَا مَعًا بِأَلْفٍ وَخَمْسِمِائَةٍ فَيَدْفَعُ إِلَى الْمُرْتَهِنِ مَا قَابَلَ الْأَرْضَ وَذَلِكَ أَلْفٌ وَإِلَى الْغُرَمَاءِ مَا قَابَلَ النَّخْلَ وَذَلِكَ خَمْسُمِائَةٍ.

Jika nilai tanah tidak bertambah dan tidak berkurang, seperti misalnya nilai tanah kosong seribu dirham dan nilai pohon kurma lima ratus dirham, lalu keduanya dijual bersama seharga seribu lima ratus dirham, maka diberikan kepada penerima gadai bagian yang sepadan dengan tanah, yaitu seribu dirham, dan kepada para kreditur bagian yang sepadan dengan pohon kurma, yaitu lima ratus dirham.

وَإِنْ كَانَتْ قِيمَةُ الْأَرْضِ بَيْضَاءَ قَدْ نَقَصَتْ بِالنَّخْلِ، وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ تَكُونَ قِيمَتُهَا بَيْضَاءَ ألف درهم وقيمة النخل خمسمائة وقد بيعا مَعًا بِأَلْفٍ وَمِائَتَيْ دِرْهَمٍ فَيُجْبَرُ لِلْمُرْتَهِنِ نَقْصُ الْأَرْضِ وَيُعْطِي تَمَامَ الْأَلْفِ وَيُدْفَعُ مَا تَبَقَّى إِلَى الْغُرَمَاءِ وَذَلِكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ، لِأَنَّ الْمُرْتَهِنَ قَدْ كَانَ يَسْتَحِقُّ إِزَالَةَ النَّقْصِ بِقَلْعِ النَّخْلِ.

Jika nilai tanah kosong berkurang karena adanya pohon kurma, seperti misalnya nilai tanah kosong seribu dirham dan nilai pohon kurma lima ratus dirham, lalu keduanya dijual bersama seharga seribu dua ratus dirham, maka penerima gadai diberi ganti rugi atas kekurangan nilai tanah dan diberikan nilai penuh seribu dirham, sedangkan sisanya diberikan kepada para kreditur, yaitu dua ratus dirham, karena penerima gadai sebenarnya berhak atas penghilangan kekurangan itu dengan mencabut pohon kurma.

وَإِنْ كَانَتْ قِيمَةُ الْأَرْضِ بَيْضَاءَ قَدْ زَادَتْ بِالنَّخْلِ وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ تَكُونَ قِيمَتُهَا بَيْضَاءَ ألف درهم وقيمة النخل خمسمائة وقد بيعا مَعًا بِأَلْفَيْ دِرْهَمٍ فَتَكُونُ الزِّيَادَةُ فِي قِيمَتِهَا خَمْسَمِائَةِ دِرْهَمٍ وَهِيَ حَادِثَةٌ مِنَ الْأَرْضِ وَالنَّخْلِ فَتُقَسَّطُ عَلَيْهِمَا جَمِيعًا، فَتَكُونُ حِصَّةُ الْأَرْضِ مِنَ الزِّيَادَةِ ثُلُثَيْهَا، وَحِصَّةُ النَّخْلِ مِنَ الزِّيَادَةِ ثُلُثَهَا فَيُدْفَعُ إِلَى الْمُرْتَهِنِ قِيمَةُ الْأَرْضِ وَهِيَ أَلْفٌ وحصتها من الزِّيَادَةِ وَهِيَ ثَلَاثُمِائَةٍ وَثَلَاثَةٌ وَثَلَاثُونَ دِرْهَمًا وَثُلُثٌ. وَيُدْفَعُ إِلَى الْغُرَمَاءِ قِيمَةُ النَّخْلِ وَهِيَ خَمْسُمِائَةٍ، وَحِصَّتُهَا مِنَ الزِّيَادَةِ وَهِيَ مِائَةٌ وَسِتَّةٌ وَسِتُّونَ دِرْهَمًا وَثُلُثَا دِرْهَمٍ. فَهَذَا حُكْمُ الْقِسْمُ الْأَوَّلُ.

Jika nilai tanah kosong meningkat karena adanya pohon kurma, seperti misalnya nilai tanah kosong seribu dirham dan nilai pohon kurma lima ratus dirham, lalu keduanya dijual bersama seharga dua ribu dirham, maka kelebihan nilai pada tanah tersebut adalah lima ratus dirham, dan kelebihan ini berasal dari tanah dan pohon kurma, sehingga dibagi rata kepada keduanya. Maka bagian tanah dari kelebihan itu adalah dua pertiga, dan bagian pohon kurma adalah sepertiganya. Maka diberikan kepada pemegang gadai nilai tanah, yaitu seribu dirham, dan bagian tanah dari kelebihan, yaitu tiga ratus tiga puluh tiga dirham sepertiga. Dan diberikan kepada para kreditur nilai pohon kurma, yaitu lima ratus dirham, dan bagian pohon kurma dari kelebihan, yaitu seratus enam puluh enam dirham dua pertiga dirham. Inilah hukum pada bagian pertama.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ النَّخْلُ مُقَدَّمًا قَبْلَ الرَّهْنِ.

Adapun bagian kedua: yaitu pohon kurma sudah ada sebelum adanya gadai.

فَإِذَا حَلَّ الْحَقُّ لَمْ يَجُزْ أَنْ تُبَاعَ النَّخْلُ مَعَ الْأَرْضِ جَبْرًا، وَلَا أَنْ يُؤْخَذَ الرَّاهِنُ بِقَلْعِهَا جَبْرًا لِتَقَدُّمِهَا عَلَى الرَّهْنِ.

Maka apabila hak telah jatuh tempo, tidak boleh menjual pohon kurma bersama tanah secara paksa, dan tidak boleh pula memaksa pemberi gadai untuk mencabut pohon kurma tersebut karena pohon kurma itu lebih dahulu ada sebelum gadai.

فَإِنْ لَمْ يَكُنِ الرَّاهِنُ مُفْلِسًا مَحْجُورًا عَلَيْهِ بِحَقِّ غُرَمَائِهِ بِيعَ بَيَاضُ الْأَرْضِ دُونَ النَّخْلِ وَدُفِعَ إِلَى الْمُرْتَهِنِ سَوَاءٌ كَانَ فِيهِ وَفَاءٌ لِدَيْنِهِ أَمْ لَا. وَيَكُونُ النَّخْلُ مُقَرًّا فِي الْأَرْضِ لِلرَّاهِنِ.

Jika pemberi gadai tidak dalam keadaan bangkrut dan tidak sedang dibatasi haknya karena utang kepada para krediturnya, maka dijual tanah kosong tanpa pohon kurma dan hasil penjualannya diberikan kepada pemegang gadai, baik mencukupi untuk melunasi utangnya maupun tidak. Dan pohon kurma tetap berada di tanah untuk pemberi gadai.

فَإِنِ اخْتَارَ الرَّاهِنُ بَيْعَ النَّخْلِ مَعَ الْأَرْضِ بِيعَا مَعًا وَدُفِعَ إِلَى الْمُرْتَهِنِ مَا قَابَلَ قِيمَةَ الْأَرْضِ وَهِيَ ذَاتُ نَخْلٍ، وَدُفِعَ إِلَى الرَّاهِنِ مَا قَابَلَ النَّخْلَ.

Jika pemberi gadai memilih untuk menjual pohon kurma bersama tanah, maka keduanya dijual bersama, dan diberikan kepada pemegang gadai bagian yang sepadan dengan nilai tanah yang ada pohon kurmanya, dan diberikan kepada pemberi gadai bagian yang sepadan dengan nilai pohon kurma.

وَإِنَّمَا دُفِعَ إِلَى الْمُرْتَهِنِ مَا قَابَلَ قِيمَةَ الْأَرْضِ وَهِيَ ذَاتُ نَخْلٍ لِأَنَّ الْأَرْضَ كَانَتْ حِينَ ارْتَهَنَهَا ذَاتَ نَخْلٍ وَدُفِعَ إِلَيْهِ فِي الْقِسْمِ الْأَوَّلِ مَا قَابَلَ قِيمَةَ الْأَرْضِ بَيْضَاءَ لِأَنَّهَا كَانَتْ حِينَ ارْتَهَنَهَا بَيْضَاءَ فَيَكُونُ الْفَرْقُ بَيْنَ هَذَا الْقِسْمِ وَالْقِسْمِ الْأَوَّلِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Yang diberikan kepada pemegang gadai adalah bagian yang sepadan dengan nilai tanah yang ada pohon kurmanya, karena tanah tersebut ketika digadaikan memang sudah ada pohon kurmanya. Sedangkan pada bagian pertama, yang diberikan adalah nilai tanah kosong, karena ketika digadaikan tanah itu masih kosong. Maka perbedaan antara bagian ini dan bagian pertama ada pada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يُجْبَرُ فِي هَذَا الْقِسْمِ عَلَى قَلْعِ النَّخْلِ عِنْدَ امْتِنَاعِهِ مِنْ بَيْعِهَا.

Pertama: Dalam bagian ini tidak boleh memaksa untuk mencabut pohon kurma jika pemberi gadai menolak menjualnya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَا يُؤْخَذُ مِنْهُ فِي هَذَا الْقِسْمِ مَا نَقَصَ مِنْ قِيمَةِ بَيَاضِ الْأَرْضِ وَفِي الْقِسْمِ الْأَوَّلِ يُؤْخَذُ.

Kedua: Dalam bagian ini tidak diambil dari pemberi gadai kekurangan nilai tanah kosong, sedangkan pada bagian pertama diambil.

فَأَمَّا إِنْ كَانَ الرَّاهِنُ مُفْلِسًا وَجَبَ بَيْعُ النَّخْلِ مَعَ الْأَرْضِ جَبْرًا فَتَكُونُ الْأَرْضُ مَبِيعَةً فِي حَقِّ الْمُرْتَهِنِ وَالنَّخْلُ مَبِيعَةً فِي حَقِّ الْغُرَمَاءِ ثُمَّ يُنْظَرُ فِيمَا حَصَلَ مِنَ الثَّمَنِ:

Adapun jika pemberi gadai dalam keadaan bangkrut, maka wajib menjual pohon kurma bersama tanah secara paksa. Maka tanah dijual untuk kepentingan pemegang gadai dan pohon kurma dijual untuk kepentingan para kreditur, kemudian dilihat hasil dari penjualannya:

فَإِنْ كَانَ بِإِزَاءِ قِيمَةِ الْأَرْضِ وَالنَّخْلِ دُفِعَ إِلَى الْمُرْتَهِنِ مَا قَابَلَ قِيمَةَ الْأَرْضِ ذَاتَ نَخْلٍ، وَإِلَى الْغُرَمَاءِ مَا قَابَلَ قِيمَةَ النَّخْلِ.

Jika hasil penjualan sepadan dengan nilai tanah dan pohon kurma, maka diberikan kepada pemegang gadai bagian yang sepadan dengan nilai tanah yang ada pohon kurmanya, dan kepada para kreditur bagian yang sepadan dengan nilai pohon kurma.

وَإِنْ كَانَ الثَّمَنُ أَزْيَدَ مِنْ قِيمَتِهَا كَانَتِ الزِّيَادَةُ عَلَى مَا مَضَى مُقَسَّطَةً بَيْنَهُمَا وَإِنْ كَانَ الثَّمَنُ أَنْقَصَ مِنْ قِيمَتِهَا كَانَ النُّقْصَانُ مُقَسَّطًا عَلَيْهِمَا بِخِلَافِ مَا مَضَى لِأَنَّ نَقْصَ الْأَرْضِ هُنَاكَ مَجْبُورٌ وَنَقْصَ الْأَرْضِ هَهُنَا غَيْرُ مَجْبُورٍ فَهَذَا حُكْمُ الْقِسْمِ الثَّانِي.

Jika harga jual lebih tinggi dari nilainya, maka kelebihan tersebut dibagi di antara keduanya sebagaimana telah dijelaskan. Jika harga jual lebih rendah dari nilainya, maka kekurangan tersebut juga dibagi di antara keduanya, berbeda dengan yang telah lalu, karena kekurangan nilai tanah pada bagian sebelumnya ditanggung, sedangkan pada bagian ini tidak ditanggung. Inilah hukum pada bagian kedua.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: فَهُوَ أَنْ يَكُونَ ابْتِدَاءُ نَبَاتِهِ قَبْلَ الرَّهْنِ وَظُهُورُهُ بَعْدَ الرَّهْنِ فَالْحُكْمُ فِيهِ كَالْقِسْمِ الثَّانِي إِذَا كَانَ ظُهُورُهُ قَبْلَ الرَّهْنِ فَلَا يُجْبَرُ الرَّاهِنُ عَلَى قَلْعِ النَّخْلِ عِنْدَ امْتِنَاعِهِ مِنْ بَيْعِ الْأَرْضِ مَعَ النَّخْلِ وَيَسْتَحِقُّ الْمُرْتَهِنُ قِيمَةَ الْأَرْضِ ذَاتَ نَخْلٍ، لِأَنَّ حُدُوثَ النَّخْلِ مُتَقَدِّمٌ عَلَى الرَّهْنِ. فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى فِي الْقِسْمِ الثَّانِي سَوَاءً إِلَّا فِي شَيْءٍ وَاحِدٍ وَهُوَ: أَنَّ الْمُرْتَهِنَ إِذَا كَانَ غَيْرَ عَالِمٍ بِحَالِ النَّوَى الْمَزْرُوعِ فِي الْأَرْضِ قَبْلَ الرَّهْنِ فَلَهُ الْخِيَارُ فِي إِمْضَاءِ الْبَيْعِ وَفَسْخِهِ مَعَ الرَّهْنِ لِأَنَّ ذَلِكَ عَيْبٌ وَمِثْلُهُ يَخْفَى. وَلَيْسَ لَهُ فِي النَّخْلِ إِذَا كَانَ ظَاهِرًا قَبْلَ الرَّهْنِ خِيَارٌ لِأَنَّ مِثْلَهُ لَا يخفى.

Adapun bagian ketiga: yaitu apabila awal tumbuhnya (tanaman) terjadi sebelum akad rahn, namun kemunculannya setelah akad rahn, maka hukumnya sama dengan bagian kedua apabila kemunculannya sebelum akad rahn. Maka, pemilik barang yang menggadaikan (rāhin) tidak dipaksa untuk mencabut pohon kurma ketika ia menolak menjual tanah beserta pohon kurmanya, dan pihak penerima gadai (murtahin) berhak atas nilai tanah yang beserta pohon kurma, karena kemunculan pohon kurma itu lebih dahulu daripada akad rahn. Maka, hukumnya mengikuti apa yang telah dijelaskan pada bagian kedua, kecuali dalam satu hal, yaitu: apabila murtahin tidak mengetahui keadaan biji kurma yang telah ditanam di tanah sebelum akad rahn, maka ia memiliki hak memilih (khiyār) antara melanjutkan atau membatalkan jual beli beserta rahn, karena hal itu merupakan cacat (aib) yang biasanya tersembunyi. Namun, ia tidak memiliki hak khiyār pada pohon kurma apabila pohon tersebut telah tampak sebelum akad rahn, karena hal seperti itu tidak tersembunyi.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ رَهَنَهُ أَرْضًا وَنَخْلًا ثُمَّ اخْتَلَفَا فَقَالَ الرَّاهِنُ أَحْدَثْتَ فِيهَا نَخْلًا وَأَنْكَرَ الْمُرْتَهِنُ وَلَمْ تَكُنْ دَلَالَةٌ وَأَمْكَنَ مَا قَالَ الرَّاهِنُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ ثُمَّ كَالْمَسْأَلَةِ قَبْلَهَا “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang menggadaikan tanah dan pohon kurma, kemudian keduanya berselisih, lalu rāhin berkata: ‘Engkau menanam pohon kurma di dalamnya,’ dan murtahin mengingkarinya, serta tidak ada bukti dan apa yang dikatakan rāhin itu mungkin terjadi, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan rāhin dengan sumpahnya, kemudian hukumnya seperti masalah sebelumnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Māwardī berkata: Dan memang demikianlah sebagaimana yang beliau katakan.

وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ رَهَنَ رَجُلًا أَرْضًا مَعَ نَخْلِهَا ثُمَّ اخْتَلَفَا فِي شَيْءٍ مِنَ النَّخْلِ هَلْ كَانَ مُتَقَدِّمًا فَدَخَلَ فِي الرَّهْنِ؟ أَوْ حَادِثًا فَلَمْ يَدْخُلْ فِي الرَّهْنِ؟ فَقَالَ الْمُرْتَهِنُ: كَانَ مُتَقَدِّمًا فَهُوَ رَهْنٌ. وَقَالَ الرَّاهِنُ: أَحْدَثْتُهُ بَعْدَ الرَّهْنِ فَلَيْسَ بِرَهْنٍ. فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Gambaran masalahnya adalah: seorang laki-laki menggadaikan tanah beserta pohon kurmanya kepada orang lain, kemudian keduanya berselisih tentang sebagian pohon kurma, apakah pohon itu sudah ada sebelumnya sehingga termasuk dalam rahn, atau pohon itu baru tumbuh sehingga tidak termasuk dalam rahn? Maka murtahin berkata: “Pohon itu sudah ada sebelumnya, maka ia termasuk rahn.” Sedangkan rāhin berkata: “Aku menanamnya setelah akad rahn, maka ia tidak termasuk rahn.” Dalam hal ini terdapat tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يعهد الْحَالُ بِصِدْقِ الرَّاهِنِ فِي ذَلِكَ: مِثْلَ أَنْ يَكُونَ النَّخْلُ مِنْ غَرْسِ عَشْرِ سِنِينَ، وَمُدَّةُ الرَّهْنِ عِشْرِينَ سَنَةً. فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ لِاسْتِحَالَةِ دَعْوَى الْمُرْتَهِنِ، وَلَا يَمِينَ عَلَى الرَّاهِنِ، وَتَكُونُ النَّخْلُ خَارِجَةً مِنَ الرَّهْنِ وَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ.

Pertama: Keadaan menunjukkan kebenaran rāhin dalam hal itu, seperti pohon kurma yang baru ditanam sepuluh tahun, sedangkan masa rahn dua puluh tahun. Maka, yang dijadikan pegangan adalah pernyataan rāhin karena mustahil klaim murtahin, dan tidak ada sumpah atas rāhin, serta pohon kurma tersebut keluar dari rahn dan murtahin tidak memiliki hak khiyār.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَشْهَدَ الْحَالُ بِصِدْقِ الْمُرْتَهِنِ: وَذَلِكَ أَنْ تَكُونَ النَّخْلُ مِنْ غَرْسِ عِشْرِينَ سَنَةً وَمُدَّةُ الرَّهْنِ عَشْرُ سِنِينَ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ لِاسْتِحَالَةِ دَعْوَى الرَّاهِنِ وَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ وَتَكُونُ تِلْكَ النَّخْلُ رَهْنًا.

Bagian kedua: Keadaan menunjukkan kebenaran murtahin, yaitu apabila pohon kurma sudah ditanam dua puluh tahun, sedangkan masa rahn sepuluh tahun. Maka, yang dijadikan pegangan adalah pernyataan murtahin karena mustahil klaim rāhin, dan tidak ada sumpah atasnya, serta pohon kurma tersebut menjadi rahn.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَلَّا يَكُونَ فِي الْحَالِ شَاهِدٌ وَيُمْكِنُ مَا قَالَهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا: وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ تَكُونَ مُدَّةُ الرَّهْنِ عِشْرِينَ سَنَةً، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ النَّخْلُ مِنْ غَرْسٍ أَقَلَّ مِنْ عِشْرِينَ سَنَةً، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ قَدْ غُرِسَ لِأَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ سَنَةً وَلَا بَيِّنَةَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا فِيمَا ادَّعَاهُ مَعَ إِمْكَانِ دَعْوَاهُ.

Bagian ketiga: Tidak ada keadaan yang menjadi saksi, dan apa yang dikatakan masing-masing dari keduanya mungkin terjadi; seperti masa rahn dua puluh tahun, dan bisa jadi pohon kurma ditanam kurang dari dua puluh tahun, atau bisa jadi sudah ditanam lebih dari dua puluh tahun, dan tidak ada bukti bagi keduanya atas apa yang mereka klaim, padahal klaim itu mungkin terjadi.

فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّهُ مَالِكٌ قَدِ ادُّعِيَ عَلَيْهِ فِي مِلْكِهِ عَقْدُ وَثِيقَةٍ فَكَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ فِي إِنْكَارِ رَهْنِ النَّخْلِ كَمَا كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ لَوْ أَنْكَرَ رَهْنَ الْأَرْضِ.

Jika demikian keadaannya, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan rāhin dengan sumpahnya, karena ia adalah pemilik yang didakwa atas kepemilikannya adanya akad rahn, maka pernyataannya yang dijadikan pegangan dalam mengingkari rahn atas pohon kurma, sebagaimana pernyataannya juga dijadikan pegangan jika ia mengingkari rahn atas tanah.

فَإِذَا حَلَفَ الرَّاهِنُ فَالنَّخْلُ خَارِجَةٌ مِنَ الرَّهْنِ. فَإِنْ كَانَ فِي دَيْنٍ فَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ وَإِنْ كَانَ فِي بَيْعٍ أُحْلِفَ الْمُرْتَهِنُ بِاللَّهِ: لَقَدْ كَانَ النَّخْلُ دَاخِلًا فِي الرَّهْنِ. فَإِذَا حَلَفَ فَلَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ، لِأَنَّهُ لَا يَعْتَرِفُ بِالْبَيْعِ إِلَّا بِرَهْنٍ لَمْ يَحْصُلْ لَهُ فَكَانَ لَهُ فَسْخُهُ إِذَا حَلَفَ فيصير الرَّاهِنُ حَالِفًا وَالْمُرْتَهِنُ حَالِفًا إِلَّا أَنَّ يَمِينَ الرَّاهِنِ عَلَى خُرُوجِ النَّخْلِ مِنَ الرَّهْنِ وَيَمِينُ الْمُرْتَهِنِ لِفَسْخِ الْبَيْعِ.

Apabila rāhin telah bersumpah, maka pohon kurma keluar dari rahn. Jika dalam kasus utang, maka murtahin tidak memiliki hak khiyār. Namun jika dalam kasus jual beli, maka murtahin disumpah dengan nama Allah: “Sungguh pohon kurma itu termasuk dalam rahn.” Jika ia bersumpah, maka ia memiliki hak khiyār untuk membatalkan jual beli, karena ia tidak mengakui jual beli kecuali dengan rahn yang tidak ia dapatkan, maka ia berhak membatalkannya jika ia bersumpah. Maka, rāhin menjadi orang yang bersumpah dan murtahin juga bersumpah, hanya saja sumpah rāhin untuk mengeluarkan pohon kurma dari rahn, dan sumpah murtahin untuk membatalkan jual beli.

فَلَوْ حَلَفَ الرَّاهِنُ فَخَرَجَتِ النَّخْلُ بِيَمِينِهِ مِنَ الرَّهْنِ وَنَكَلَ الْمُرْتَهِنُ لَمْ يَكُنْ لِلْمُرْتَهِنِ خِيَارٌ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ.

Jika rāhin telah bersumpah, maka pohon kurma keluar dari rahn dengan sumpahnya, dan jika murtahin enggan bersumpah, maka murtahin tidak memiliki hak khiyār untuk membatalkan jual beli.

وَلَوْ نَكَلَ الرَّاهِنُ عَنِ الْيَمِينِ رُدَّتْ عَلَى الْمُرْتَهِنِ فَإِنْ حَلَفَ كَانَتِ النَّخْلُ دَاخِلَةً فِي الرَّهْنِ عَلَى مَا ادَّعَى وَلَا خِيَارَ لَهُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ وَإِنْ نَكَلَ الْمُرْتَهِنُ أَيْضًا فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika pihak yang menggadaikan (rāhin) enggan bersumpah, maka sumpah itu dikembalikan kepada pihak penerima gadai (murtahin). Jika murtahin bersumpah, maka pohon kurma (nakhl) termasuk dalam barang gadai sesuai dengan klaimnya, dan ia tidak memiliki hak khiyar untuk membatalkan jual beli. Namun jika murtahin juga enggan bersumpah, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ النَّخْلَ دَاخِلَةٌ فِي الرَّهْنِ عَلَى مَا ادَّعَى الْمُرْتَهِنُ لِتَصَادُقِهِمَا بِأَنَّ الرَّهْنَ قَدْ كَانَ عَلَى جَمِيعِ النَّخْلِ الَّذِي كَانَ في الأرض وهذا نَخْلٍِ فِي الْأَرْضِ فَلَمَّا لَمْ يُخْرِجْهُ الرَّاهِنُ بِيَمِينِهِ دَخَلَ فِي الرَّهْنِ.

Pertama: Pohon kurma termasuk dalam barang gadai sesuai dengan klaim murtahin, karena keduanya telah sepakat bahwa barang gadai itu mencakup seluruh pohon kurma yang ada di tanah, dan ini adalah pohon kurma yang ada di tanah. Maka ketika rāhin tidak mengeluarkannya dengan sumpahnya, pohon kurma itu masuk dalam barang gadai.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّ النَّخْلَ خَارِجٌ مِنَ الرَّهْنِ عَلَى مَا ادَّعَى الرَّاهِنُ؛ لِأَنَّ دَعْوَى الْمُرْتَهِنِ قَدْ سَقَطَ بِنُكُولِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْكَمَ بِقَوْلِهِ. فَعَلَى هَذَا تَكُونُ النَّخْلُ خَارِجَةً مِنَ الرَّهْنِ، وَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ لِأَنَّهُ نَاكِلٌ.

Pendapat kedua, dan ini yang shahih: Pohon kurma tidak termasuk dalam barang gadai sesuai dengan klaim rāhin, karena klaim murtahin gugur akibat keengganannya bersumpah, sehingga tidak boleh diputuskan berdasarkan ucapannya. Dengan demikian, pohon kurma keluar dari barang gadai, dan murtahin tidak memiliki hak khiyar untuk membatalkan jual beli karena ia adalah pihak yang enggan bersumpah.

فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ كَمَسْأَلَتِنَا ثُمَّ كَالْمَسْأَلَةِ قَبْلَهَا: يَعْنِي فِي بَيْعِ الْأَرْضِ دُونَ النَّخْلِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ غُرَمَاءَ فَيُبَاعَانِ مَعًا.

Adapun pendapat asy-Syafi‘i, seperti dalam masalah kita ini dan juga seperti masalah sebelumnya: yaitu dalam penjualan tanah tanpa pohon kurma, kecuali jika ada para kreditur, maka keduanya dijual bersamaan.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا إِذَا اتَّفَقَا عَلَى أَنَّ النَّخْلَ فِي الْأَرْضِ قَبْلَ عَقْدِ الرَّهْنِ ثُمَّ اخْتَلَفَا: هَلْ رَهَنَهُ الْأَرْضَ مَعَ النَّخْلِ أَوْ رَهَنَهُ الْأَرْضَ دُونَ النَّخْلِ؟ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ مَعَ يَمِينِهِ أَيْضًا عَلَى مَا مَضَى. فَإِذَا حَلَفَ خَرَجَتِ النَّخْلُ مِنَ الرَّهْنِ وَحَلَفَ الْمُرْتَهِنُ عَلَى ذَلِكَ ثُمَّ فُسِخَ الْبَيْعُ فَإِنْ نَكَلَ الرَّاهِنُ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَى الْمُرْتَهِنِ فَإِنْ حَلَفَ دَخَلَتِ النَّخْلُ فِي الرَّهْنِ، وَإِنْ نَكَلَ الْمُرْتَهِنُ فَالنَّخْلُ خَارِجَةٌ مِنَ الرَّهْنِ وَجْهًا وَاحِدًا لَا يَخْتَلِفُ فِيهِ أصحابنا لأنه ليس سَبَبٌ يَغْلِبُ بِهِ دُخُولُ النَّخْلِ فِي الرَّهْنِ بخلاف ما مضى.

Adapun jika keduanya sepakat bahwa pohon kurma sudah ada di tanah sebelum akad rahn, lalu mereka berselisih: apakah ia menggadaikan tanah beserta pohon kurmanya, atau menggadaikan tanah tanpa pohon kurma? Maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan rāhin dengan sumpahnya juga, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Jika ia bersumpah, pohon kurma keluar dari barang gadai, dan murtahin pun bersumpah atas hal itu, lalu jual beli dibatalkan. Jika rāhin enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada murtahin. Jika ia bersumpah, pohon kurma masuk dalam barang gadai. Namun jika murtahin enggan bersumpah, maka pohon kurma keluar dari barang gadai secara pasti, tanpa perbedaan pendapat di kalangan ulama kami, karena tidak ada sebab yang menguatkan masuknya pohon kurma ke dalam barang gadai, berbeda dengan kasus sebelumnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ شَرَطَ لِلْمُرْتَهِنِ إِذَا حَلَّ الْحَقُّ أَنْ يَبِيعَهُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَبِيعَ لِنَفْسِهِ إِلَّا بِأَنْ يَحْضُرَهُ رَبُّ الرَّهْنِ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika disyaratkan bagi murtahin, ketika hak telah jatuh tempo, untuk menjual barang gadai, maka tidak boleh ia menjualnya untuk dirinya sendiri kecuali dengan kehadiran pemilik barang gadai.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.

إِذَا اشْتَرَطَ الرَّاهِنُ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَبِيعَ الرَّهْنَ عِنْدَ حُلُولِ الْحَقِّ بِغَيْرِ حُضُورِ الرَّاهِنِ لَمْ يَجُزْ، وَكَانَ شَرْطًا بَاطِلًا وَوِكَالَةً فَاسِدَةً.

Jika rāhin mensyaratkan kepada murtahin untuk menjual barang gadai saat hak telah jatuh tempo tanpa kehadiran rāhin, maka tidak boleh, dan syarat itu batal serta akad wakalahnya rusak.

وَقَالَ أبو حنيفة: يَجُوزُ تَوْكِيلُ الْمُرْتَهِنِ فِي بَيْعِ الرَّهْنِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ كُلَّ مَنْ جَازَ أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا فِي بَيْعِ غَيْرِ الرَّهْنِ جَازَ أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا فِي بَيْعِ الرهن كالأجنبي.

Abu Hanifah berkata: Boleh murtahin diberi kuasa untuk menjual barang gadai, dengan alasan bahwa siapa saja yang boleh menjadi wakil dalam penjualan selain barang gadai, maka boleh juga menjadi wakil dalam penjualan barang gadai, seperti orang lain (ajānib).

وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ جَازَ تَوْكِيلُهُ فِي بَيْعِ عَيْنٍ بِحَضْرَةِ الْمَالِكِ جَازَ تَوْكِيلُهُ فِي بَيْعِهَا مَعَ غَيْبَةِ الْمَالِكِ. أَصْلُهُ: مَا سِوَى الرَّهْنِ.

Dan karena siapa saja yang boleh diberi kuasa untuk menjual suatu barang di hadapan pemiliknya, maka boleh juga diberi kuasa untuk menjualnya saat pemiliknya tidak hadir. Dasarnya: selain barang gadai.

وَلِأَنَّهَا عَيْنٌ يَجُوزُ تَوْكِيلُ الْأَجْنَبِيِّ فِي بَيْعِهَا فَجَازَ تَوْكِيلُ الْمُرْتَهِنِ فِي بَيْعِهَا. أَصْلُهُ: إِذَا بَاعَهُ بِحَضْرَةِ الرَّاهِنِ.

Dan karena barang itu adalah benda yang boleh dikuasakan kepada orang lain untuk menjualnya, maka boleh juga murtahin diberi kuasa untuk menjualnya. Dasarnya: jika ia menjualnya di hadapan rāhin.

وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ التَّوْكِيلَ فِي بَيْعٍ يَخْتَلِفُ فِيهِ قَصْدُ الْوَكِيلِ وَالْمُوَكِّلِ لَا يَصِحُّ لِأَنَّ الْوَكِيلَ يَقُومُ مَقَامَ مُوَكِّلِهِ، وَإِذَا كَانَ قَصْدُهُ بِخِلَافِ قَصْدِهِ لَمْ يَصِحَّ قِيَامُهُ مَقَامَ مُوَكِّلِهِ.

Adapun dalil kami: Bahwa pemberian kuasa dalam penjualan yang tujuan wakil dan pemberi kuasanya berbeda, tidak sah, karena wakil menempati posisi pemberi kuasa, dan jika tujuannya berbeda, maka tidak sah ia menempati posisinya.

أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَا يَصِحُّ تَوْكِيلُ الرَّجُلِ فِي بَيْعِ سِلْعَةٍ عَلَى نَفْسِهِ وَلَا فِي ابْتِيَاعِهَا مِنْ نَفْسِهِ لِأَنَّ قَصْدَهُ بِخِلَافِ قَصْدِ مُوَكِّلِهِ. كَذَلِكَ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ قَصْدُهُمَا مُخْتَلِفٌ لِأَنَّ قَصْدَ الرَّاهِنِ التَّوَقُّفُ عَنِ الْبَيْعِ لِتَوْفِيرِ الثَّمَنِ وَقَصْدَ الْمُرْتَهِنِ الْمُبَادَرَةُ إِلَى الْبَيْعِ لِتَعْجِيلِ الثَّمَنِ فَلَمْ يَصِحَّ أَنْ يَكُونَ الْمُرْتَهِنُ وَكِيلًا فِي الْبَيْعِ كَمَا لَمْ يَصِحَّ أَنْ يَكُونَ بَائِعُ السِّلْعَةِ عَلَى نَفْسِهِ وَكِيلًا فِي الْبَيْعِ.

Tidakkah engkau melihat bahwa tidak sah seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual barang kepada dirinya sendiri, atau membelinya dari dirinya sendiri, karena tujuannya berbeda dengan tujuan pemberi kuasa. Demikian pula rāhin dan murtahin, tujuan keduanya berbeda, karena tujuan rāhin adalah menunda penjualan untuk menjaga harga, sedangkan tujuan murtahin adalah segera menjual untuk mempercepat mendapatkan harga. Maka tidak sah murtahin menjadi wakil dalam penjualan, sebagaimana tidak sah penjual barang menjadi wakil dalam penjualan kepada dirinya sendiri.

وَقَدْ يَتَحَرَّرُ مِنَ اعْتِدَالِ هَذَا الِاسْتِدْلَالِ قِيَاسَانِ:

Dari penjelasan argumentasi ini dapat diambil dua qiyās:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَعْنًى يَمْنَعُ مِنَ التَّوْكِيلِ فِي الِابْتِيَاعِ فَوَجَبَ أَنْ يَمْنَعَ مِنَ التَّوْكِيلِ فِي الْبَيْعِ كَالْمِلْكِ.

Pertama: Bahwa itu adalah suatu makna yang mencegah adanya perwakilan (tawkil) dalam pembelian, maka wajib pula mencegah adanya perwakilan dalam penjualan, sebagaimana (hukum) kepemilikan.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا وِكَالَةٌ يُمْنَعُ مِنْهَا الْمِلْكُ فَوَجَبَ أَنْ يُمْنَعَ مِنْهَا الرَّهْنُ كَالِابْتِيَاعِ.

Kedua: Bahwa itu adalah bentuk wakalah yang di dalamnya kepemilikan dilarang, maka wajib pula melarang adanya rahn di dalamnya, sebagaimana dalam pembelian.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى الْأَجْنَبِيِّ فَالْمَعْنَى فِي الْأَجْنَبِيِّ أَنَّ قَصْدَهُ لَا يُخَالِفُ قَصْدَ الرَّاهِنِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمُرْتَهِنُ.

Adapun jawaban atas qiyās terhadap orang asing (ajānib), maka maksud pada orang asing adalah bahwa tujuannya tidak bertentangan dengan tujuan pihak yang menggadaikan (rāhin), dan tidak demikian halnya dengan pihak yang menerima gadai (murtahin).

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى بَيْعِ مَا سِوَى الرَّهْنِ فَالْمَعْنَى فِيمَا سِوَى الرَّهْنِ أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ فِيهِ قَصْدٌ يُخَالِفُ قَصْدَ الرَّاهِنِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الرَّاهِنُ.

Adapun jawaban atas qiyās terhadap penjualan selain barang gadai, maka maksud pada selain barang gadai adalah bahwa ia tidak memiliki tujuan yang bertentangan dengan tujuan rāhin, dan tidak demikian halnya dengan rāhin.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى بَيْعِهِ بِحَضْرَةِ الرَّاهِنِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّ الْمُرْتَهِنَ إِذَا بَاعَ الرَّهْنَ بِحَضْرَةِ الرَّاهِنِ فَالْبَيْعُ مَنْسُوبٌ إِلَى الرَّاهِنِ وَقَدْ يُمْكِنُهُ اسْتِيفَاءُ قَصْدِهِ وَمَنْعُ الْمُرْتَهِنِ مِنَ التَّفَرُّدِ بِقَصْدِهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِذَا تَفَرَّدَ بِبَيْعِهِ فِي غَيْبَتِهِ.

Adapun jawaban atas qiyās terhadap penjualan barang gadai di hadapan rāhin, maka maksudnya adalah bahwa jika murtahin menjual barang gadai di hadapan rāhin, maka penjualan itu dinisbatkan kepada rāhin, dan memungkinkan baginya untuk memenuhi tujuannya serta mencegah murtahin bertindak sendiri dengan tujuannya, dan tidak demikian halnya jika ia menjualnya sendiri tanpa kehadiran rāhin.

(فَصْلٌ)

(Fashal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ هَذِهِ الْوَكَالَةَ فَاسِدَةٌ وَاشْتِرَاطَهَا بَاطِلٌ فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ تَكُونَ مَشْرُوطَةً بَعْدَ الْعَقْدِ أَوْ تَكُونَ مَشْرُوطَةً بَعْدَ الرَّهْنِ أَوْ تَكُونَ مَشْرُوطَةً فِي عَقْدِ الرَّهْنِ.

Jika telah tetap bahwa wakalah ini fasid (rusak/tidak sah) dan pensyaratannya batal, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi disyaratkan setelah akad, atau disyaratkan setelah rahn, atau disyaratkan dalam akad rahn.

فَإِنْ كَانَتْ مَشْرُوطَةً بَعْدَ عَقْدِ الرَّهْنِ، فَالشَّرْطُ فَاسِدٌ وَالْوَكَالَةُ بَاطِلَةٌ وَالرَّهْنُ صَحِيحٌ. وَإِنْ كَانَتْ مَشْرُوطَةً فِي عَقْدِ الرَّهْنِ فَهَذَا شَرْطٌ يُنَافِي مُوجِبَ الرَّهْنِ وَالشُّرُوطُ فِي الرَّهْنِ إِذَا كَانَتْ مُنَافِيَةً لِمُوجَبِ الرَّهْنِ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika disyaratkan setelah akad rahn, maka syaratnya fasid, wakalahnya batal, dan rahnnya sah. Dan jika disyaratkan dalam akad rahn, maka ini adalah syarat yang bertentangan dengan konsekuensi rahn, dan syarat-syarat dalam rahn jika bertentangan dengan konsekuensi rahn terbagi menjadi dua:

ضَرْبٌ مِنْهَا يَكُونُ عَلَى الْمُرْتَهِنِ فَهَذَا إِذَا شُرِطَ فِي الرَّهْنِ أَبْطَلَهُ وَضَرْبٌ مِنْهَا يَكُونُ لِلْمُرْتَهِنِ فَهَذَا إِذَا شُرِطَ فِي الرَّهْنِ فَهَلْ يُبْطِلُهُ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Salah satunya adalah syarat yang memberatkan murtahin, maka jika disyaratkan dalam rahn, membatalkan rahn tersebut. Dan yang lainnya adalah syarat yang menguntungkan murtahin, maka jika disyaratkan dalam rahn, apakah membatalkan rahn atau tidak, terdapat dua pendapat.

وَشَرْطُ الْوَكَالَةِ لِلْمُرْتَهِنِ لَا عَلَيْهِ فَهَلْ يَبْطُلُ الرَّهْنُ أَمْ لا، على قولين.

Dan syarat wakalah untuk murtahin, bukan atasnya, maka apakah membatalkan rahn atau tidak, terdapat dua pendapat.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنِ امْتَنَعَ أَمَرَ الْحَاكِمُ بِبَيْعِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia menolak, maka hakim memerintahkan untuk menjualnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْمَالِكَ لِبَيْعِ الرَّهْنِ هُوَ الرَّاهِنُ دُونَ الْمُرْتَهِنِ لِأَنَّ لِلْمُرْتَهِنِ حَقَّ الِاسْتِيثَاقِ وَلِلرَّاهِنِ حَقُّ الْمِلْكِ إِلَّا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَبِيعَ الرَّهْنَ إِلَّا بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ لِأَنَّ عَقْدَ الرَّهْنِ قَدْ أَوْقَعَ فِيهِ حَجْرًا عَلَيْهِ فَإِنْ بَاعَهُ بِغَيْرِ إِذْنِهِ كَانَ بَاطِلًا كَبَيْعِ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa yang berhak menjual barang gadai adalah rāhin, bukan murtahin, karena murtahin memiliki hak penjaminan, sedangkan rāhin memiliki hak kepemilikan, kecuali bahwa tidak boleh bagi rāhin menjual barang gadai kecuali dengan izin murtahin, karena akad rahn telah menjadikan adanya pembatasan atasnya. Jika ia menjualnya tanpa izin murtahin, maka batal, seperti penjualan orang yang sedang dibatasi haknya.

فَأَمَّا الْمُرْتَهِنُ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِبَيْعِ الرَّهْنِ سَوَاءٌ كَانَ بِإِذْنِ الرَّاهِنِ أَوْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ عَلَى مَا مَضَى إِلَّا أن يكون الراهن حاضرا.

Adapun murtahin, maka tidak boleh ia sendiri menjual barang gadai, baik dengan izin rāhin maupun tanpa izinnya, sebagaimana telah dijelaskan, kecuali jika rāhin hadir.

(فَصْلٌ)

(Fashal)

فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ فِي الرَّهْنِ عِنْدَ حُلُولِ الْحَقِّ مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ:

Jika telah tetap demikian, maka keadaan rāhin dan murtahin dalam rahn ketika jatuh tempo hak (pelunasan utang) tidak lepas dari empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى بَيْعِهِ. فَيَجُوزُ وَيَكُونُ الْمُتَوَلِّي لِبَيْعِهِ الرَّاهِنُ أَوْ وَكِيلُهُ دُونَ الْمُرْتَهِنِ.

Pertama: Keduanya sepakat untuk menjualnya. Maka boleh, dan yang melaksanakan penjualannya adalah rāhin atau wakilnya, bukan murtahin.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى تَرْكِ بَيْعِهِ. فَيَجُوزُ لِرِضَا الْمُرْتَهِنِ بِتَأْخِيرِ حَقِّهِ وَاسْتِبْقَاءِ رَهْنِهِ وَرِضَا الرَّاهِنِ بِاسْتِبْقَاءِ مِلْكِهِ مَعَ بَقَاءِ دَيْنِهِ.

Keadaan kedua: Keduanya sepakat untuk tidak menjualnya. Maka boleh, karena kerelaan murtahin untuk menunda haknya dan mempertahankan barang gadai, serta kerelaan rāhin untuk mempertahankan kepemilikannya meskipun utangnya masih ada.

(فَصْلٌ)

(Fashal)

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَدْعُوَ الرَّاهِنُ إِلَى بَيْعِهِ وَيَمْتَنِعَ الْمُرْتَهِنُ فَيَنْبَغِي للراهن أن يأتي الحاكم ليأذن له في بيعه بدلا من إذن المرتهن بعد أن يحضر الحاكم المرتهن فَيَسْأَلُهُ عَنْ سَبَبِ امْتِنَاعِهِ. فَإِنْ ذَكَرَ عُذْرًا يَسُوغُ مِثْلُهُ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ، وَإِنْ لَمْ يَذْكُرْ عُذْرًا أَذِنَ الْحَاكِمُ لِلرَّاهِنِ فِي الْبَيْعِ وَلَيْسَ يَحْتَاجُ إِلَى تَوْكِيلِ الْحَاكِمِ عَنِ الْمُرْتَهِنِ لِأَنَّ الَّذِي يُحْتَاجُ مِنْ جِهَةِ الْمُرْتَهِنِ إِلَى إِذْنٍ مُجَرَّدٍ، وَالْحَاكِمُ قَدْ أَذِنَ فَلَمْ يَحْتَجْ إِلَى وَكِيلٍ لَهُ.

Keadaan ketiga: Apabila pihak rahin (yang menggadaikan) meminta agar barang gadai dijual, namun pihak murtahin (penerima gadai) menolak, maka sebaiknya rahin mendatangi hakim untuk meminta izin menjual barang gadai tersebut sebagai pengganti izin dari murtahin, setelah hakim menghadirkan murtahin dan menanyakan alasan penolakannya. Jika murtahin menyampaikan alasan yang dapat diterima, maka hakim tidak mengizinkan penjualan. Namun jika tidak ada alasan yang dapat diterima, maka hakim mengizinkan rahin untuk menjual barang gadai tersebut, dan tidak diperlukan adanya perwakilan hakim atas nama murtahin, karena yang dibutuhkan dari pihak murtahin hanyalah izin semata, dan hakim telah memberikan izin tersebut sehingga tidak perlu ada wakil baginya.

فَإِذَا بَاعَ الرَّاهِنُ الرَّهْنَ بِإِذْنِ الْحَاكِمِ مَنَعَهُ الْحَاكِمُ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي ثَمَنِهِ لِتَعَلُّقِ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِهِ وَأَعْلَمَ الْحَاكِمُ الْمُرْتَهِنَ بِذَلِكَ. فَإِنْ سَأَلَ حَقَّهُ أَمَرَ الْحَاكِمُ الرَّاهِنَ بِدَفْعِ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ مِنَ الثَّمَنِ وَإِنْ لَمْ يَسْأَلْ حَقَّهُ أَعْلَمَهُ الْحَاكِمُ أَنَّهُ يُطْلِقُ تَصَرُّفَ الرَّاهِنِ فِيهِ. وَإِنْ أَذِنَ لِلرَّاهِنِ بِالتَّصَرُّفِ فِيهِ فَإِنْ سَأَلَ الرَّاهِنُ أَنْ يُقْبِضَ الْمُرْتَهِنَ حَقَّهُ أَمَرَ الْحَاكِمُ الْمُرْتَهِنَ بِقَبْضِ حَقِّهِ مِنَ الرَّاهِنِ أَوْ إِبْرَائِهِ مِنْهُ فَإِنِ امْتَنَعَ الْمُرْتَهِنُ مِنْ قَبْضِهِ أَوْ إِبْرَائِهِ قَبَضَهُ الْحَاكِمُ لِيَبْرَأَ مِنْهُ الرَّاهِنُ وَتَرَكَهُ فِي بَيْتِ الْمَالِ لِلْمُرْتَهِنِ.

Apabila rahin menjual barang gadai dengan izin hakim, maka hakim melarang rahin untuk menggunakan hasil penjualannya karena hak murtahin terkait dengan hasil tersebut, dan hakim memberitahukan hal ini kepada murtahin. Jika murtahin meminta haknya, maka hakim memerintahkan rahin untuk membayarkan hak murtahin dari hasil penjualan tersebut. Jika murtahin tidak meminta haknya, hakim memberitahukan bahwa rahin bebas untuk menggunakan hasil penjualan itu. Jika hakim mengizinkan rahin untuk menggunakan hasil penjualan, lalu rahin meminta agar murtahin menerima haknya, maka hakim memerintahkan murtahin untuk mengambil haknya dari rahin atau membebaskannya. Jika murtahin menolak untuk menerima atau membebaskan haknya, maka hakim yang akan mengambil hak tersebut agar rahin terbebas darinya, lalu menyimpannya di baitul mal untuk murtahin.

هَذَا إِذَا بَاعَ الرَّاهِنُ الرَّهْنَ بِإِذْنِ الْحَاكِمِ. فَأَمَّا إِنْ بَاعَهُ بِغَيْرِ إِذْنِ الْحَاكِمِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Hal ini berlaku jika rahin menjual barang gadai dengan izin hakim. Adapun jika ia menjualnya tanpa izin hakim, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَادِرًا عَلَى اسْتِئْذَانِهِ فَبَيْعُهُ بَاطِلٌ لِوُقُوعِ الْحَجْرِ عَلَيْهِ.

Pertama: Jika ia mampu meminta izin hakim, maka penjualannya batal karena ia berada dalam status yang dicegah (dilarang) untuk melakukan transaksi.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ غَيْرَ قَادِرٍ عَلَى اسْتِئْذَانِهِ فَفِي جَوَازِ بَيْعِهِ وَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ عَلَى وَجْهَيْنِ نَذْكُرُهُمَا فِي الْفَصْلِ الَّذِي بَعْدَهُ.

Kedua: Jika ia tidak mampu meminta izin hakim, maka mengenai keabsahan penjualannya terdapat dua pendapat yang akan dijelaskan pada bab berikutnya.

(فَصْلٌ)

(Bab)

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَدْعُوَ الْمُرْتَهِنُ إِلَى بَيْعِهِ وَيَمْتَنِعَ الرَّاهِنُ وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ. فَيَنْبَغِي لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَأْتِيَ الْحَاكِمَ لِيُوَكِّلَ عَنِ الرَّاهِنِ وَكِيلًا فِي بَيْعِ الرَّهْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْضُرَ الرَّاهِنُ فَيَسْأَلُهُ عَنْ سَبَبِ امْتِنَاعِهِ. فَإِنْ ذَكَرَ عُذْرًا يَسُوغُ مِثْلُهُ فِي امْتِنَاعِهِ لَمْ يُوَكَّلْ عَنْهُ فِي بَيْعِهِ. وَإِنْ لَمْ يَذْكُرْ عُذْرًا وَكَّلَ الْحَاكِمُ عَنْهُ مَنْ يَبِيعُ الرَّهْنَ عَلَيْهِ.

Keadaan keempat: Apabila murtahin meminta agar barang gadai dijual, namun rahin menolak—dan inilah inti pembahasan kitab ini—maka sebaiknya murtahin mendatangi hakim agar hakim menunjuk seorang wakil dari pihak rahin untuk menjual barang gadai tersebut, setelah hakim menghadirkan rahin dan menanyakan alasan penolakannya. Jika rahin menyampaikan alasan yang dapat diterima untuk penolakannya, maka tidak ditunjuk wakil untuk menjual barang gadai tersebut. Namun jika tidak ada alasan yang dapat diterima, maka hakim menunjuk seseorang sebagai wakil dari rahin untuk menjual barang gadai tersebut.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَجُوزُ لِلْحَاكِمِ أَنْ يُوَكِّلَ عَنْهُ مَنْ يَبِيعُ عَلَيْهِ بَلْ يَحْبِسُهُ حَتَّى يَبِيعَ الرَّاهِنُ بِنَفْسِهِ.

Abu Hanifah berkata: Tidak boleh bagi hakim untuk menunjuk seseorang sebagai wakil dari rahin untuk menjual barang gadai tersebut, melainkan hakim harus menahan rahin hingga ia sendiri yang menjual barang gadai itu.

وَهَذَا غَلَطٌ، لِأَنَّ كُلَّ حَقٍّ يَصِحُّ فِيهِ التَّوْكِيلُ فَإِنَّ الْحَاكِمَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَحْبِسَ فِيهِ مَنِ امْتَنَعَ مِنْهُ مَا أَمْكَنَ التَّوَصُّلُ إِلَيْهِ كَالدُّيُونِ. وَكُلُّ مَا لَا يَصِحُّ فِيهِ التَّوْكِيلُ فَإِنَّ الْحَاكِمَ يَحْبِسُ فِيهِ مَنِ امْتَنَعَ مِنْهُ وَلَا يُوَكِّلُ عَنْهُ كَمَنْ أَسْلَمَ عَنْ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ نِسْوَةٍ فَلَمْ يَخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا.

Ini adalah kekeliruan, karena setiap hak yang memungkinkan untuk diwakilkan, maka hakim tidak boleh menahan orang yang menolak melakukannya selama masih memungkinkan untuk dicapai, seperti dalam kasus utang. Dan setiap perkara yang tidak sah untuk diwakilkan, maka hakim boleh menahan orang yang menolak melakukannya dan tidak menunjuk wakil baginya, seperti seseorang yang menikahi lebih dari empat wanita lalu tidak memilih empat di antara mereka.

فَلَمَّا كَانَ التَّوْكِيلُ فِي بَيْعِ الرَّهْنِ جَائِزًا، وَجَبَ إِذَا امْتَنَعَ مِنْهُ الرَّاهِنُ أَنْ يَتَوَلَّى بَيْعَهُ الْحَاكِمُ. إِمَّا بِنَفْسِهِ أَوْ بِأَمِينٍ يُوَكِّلُهُ عَنِ الرَّاهِنِ فِي بَيْعِهِ. وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَأْذَنَ الْحَاكِمُ لِلْمُرْتَهِنِ فِي بَيْعِهِ وإن جاز أن يأذن للراهن عنه امْتِنَاعَ الْمُرْتَهِنِ مِنْ بَيْعِهِ.

Karena perwakilan dalam penjualan barang gadai itu diperbolehkan, maka apabila rahin menolak melakukannya, wajib bagi hakim untuk mengambil alih penjualannya, baik dengan dirinya sendiri atau dengan menunjuk seorang yang dipercaya sebagai wakil dari rahin untuk menjualnya. Tidak boleh bagi hakim untuk mengizinkan murtahin menjualnya, meskipun boleh bagi hakim untuk mengizinkan rahin menjualnya jika murtahin menolak menjualnya.

وَإِنَّمَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَأْذَنَ لِلْمُرْتَهِنِ فِي بَيْعِهِ لِأَنَّ الْحَاكِمَ يَقُومُ فِي ذَلِكَ مَقَامَ الرَّاهِنِ. فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَأْذَنَ لِلْمُرْتَهِنِ فِي بَيْعِهِ لَمْ يَجُزْ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَأْذَنَ لِلْمُرْتَهِنِ فِي بَيْعِهِ وَكَانَ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَأْذَنَ لِلرَّاهِنِ فِي بَيْعِهِ لِأَنَّ الْمُرْتَهِنَ يَجُوزُ أَنْ يَأْذَنَ لِلرَّاهِنِ فِي بَيْعِهِ.

Adapun tidak bolehnya hakim mengizinkan murtahin untuk menjualnya adalah karena hakim dalam hal ini bertindak sebagai pengganti rahin. Karena rahin sendiri tidak boleh mengizinkan murtahin untuk menjualnya, maka demikian pula hakim tidak boleh mengizinkan murtahin untuk menjualnya. Namun hakim boleh mengizinkan rahin untuk menjualnya, karena murtahin boleh mengizinkan rahin untuk menjualnya.

فَإِذَا وَكَّلَ الْحَاكِمُ عَنِ الرَّاهِنِ مَنْ يَبِيعُ عَلَيْهِ الرَّهْنَ فَإِنْ كَانَ الْحَقُّ يحيط بِقِيمَةِ الرَّهْنِ بِيعَ جَمِيعُهُ وَسُلِّمَ ثَمَنُهُ إِلَى الْمُرْتَهِنِ. وَإِنْ كَانَ الْحَقُّ يُقَابِلُ بَعْضَ قِيمَةِ الرَّهْنِ بِيعَ مِنَ الْأَرْضِ بِقَدْرِ الْحَقِّ وَكَانَ الْبَاقِي مِنْهُ غَيْرَ مَبِيعٍ عَلَى مِلْكِ الرَّاهِنِ. فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ مَا قَابَلَ الْحَقَّ إِلَّا بِبَيْعِ جَمِيعِهِ وَدُفِعَ إِلَى الْمُرْتَهِنِ قَدْرُ حَقِّهِ وَدُفِعَ الْبَاقِي إِلَى الرَّاهِنِ.

Apabila hakim mewakilkan dari pihak rahin (pemberi gadai) seseorang untuk menjual barang gadai, maka jika hak (utang) itu setara dengan nilai barang gadai, seluruh barang gadai dijual dan hasil penjualannya diserahkan kepada murtahin (penerima gadai). Jika hak itu hanya setara dengan sebagian nilai barang gadai, maka dijual dari tanah itu sebesar nilai hak, dan sisanya yang tidak dijual tetap menjadi milik rahin. Jika tidak memungkinkan untuk mengambil nilai hak kecuali dengan menjual seluruhnya, maka diberikan kepada murtahin sebesar haknya dan sisanya diberikan kepada rahin.

فَإِنْ بَاعَ الْمُرْتَهِنُ الرَّهْنَ مِنْ غَيْرِ إِتْيَانِ الْحَاكِمِ فَإِنْ كَانَ قَادِرًا عَلَى إِتْيَانِ الْحَاكِمِ كَانَ بَيْعُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى إِتْيَانِهِ فَفِي جَوَازِ بَيْعِهِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ. وَمِنْهَا تَخْرِيجُ الْوَجْهَيْنِ الْمَاضِيَيْنِ:

Jika murtahin menjual barang gadai tanpa mendatangi hakim, maka jika ia mampu untuk mendatangi hakim, penjualannya batal. Namun jika ia tidak mampu mendatangi hakim, maka dalam kebolehan penjualannya terdapat dua pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Abi Hurairah. Dari sini pula diturunkan dua pendapat sebelumnya:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ بَيْعَهُ جَائِزٌ.

Pertama: Penjualannya sah.

وَالثَّانِي: أَنَّ بَيْعَهُ بَاطِلٌ وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ وَجْهَيْ أَصْحَابِنَا فِيمَنْ لَهُ حَقٌّ عَلَى غَرِيمٍ جَاحِدٍ لَيْسَ لَهُ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ هَلْ يَجُوزُ إِذَا قَدَرَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ مَالِهِ أَنْ يَتَوَلَّى بَيْعَهُ بِنَفْسِهِ لِاسْتِيفَاءِ حَقِّهِ أَمْ يَأْتِي الْحَاكِمَ حَتَّى يَبِيعَهُ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ. كَذَلِكَ الْمُرْتَهِنُ فِي بَيْعِ الرَّهْنِ لِأَنَّ العادم للبينة عند الحاكم كالعادم للحاكم.

Kedua: Penjualannya batal. Kedua pendapat ini dibangun di atas perbedaan pendapat ulama kami mengenai seseorang yang memiliki hak atas orang yang berutang namun mengingkari dan tidak ada bukti atasnya: apakah boleh, jika ia mampu mendapatkan sebagian harta orang itu, ia sendiri yang menjualnya untuk mengambil haknya, ataukah harus mendatangi hakim agar hakim yang menjualnya? Ada dua pendapat. Demikian pula halnya murtahin dalam menjual barang gadai, karena orang yang tidak memiliki bukti di hadapan hakim sama seperti orang yang tidak dapat mendatangi hakim.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَ الشَّرْطُ لِلْعَدْلِ جَازَ بَيْعُهُ مَا لَمْ يَفْسَخَا أَوْ أَحَدُهُمَا وِكَالَتَهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika syaratnya untuk orang yang adil, maka boleh ia menjual barang itu selama keduanya atau salah satu dari mereka tidak membatalkan wakalahnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.

إِذَا شَرَطَ فِي عَقْدِ الرَّهْنِ أَنْ يَكُونَ مَوْضُوعًا عَلَى يَدَيْ عَدْلٍ وَشَرَطَا لِلْعَدْلِ أَنْ يَبِيعَهُ عِنْدَ مَحَلِّ الْحَقِّ، فَهَذَا الْعَقْدُ قَدْ تَضَمَّنَ شَرْطَيْنِ:

Jika dalam akad rahn disyaratkan agar barang gadai diletakkan di tangan orang yang adil, dan keduanya mensyaratkan agar orang adil itu menjualnya ketika jatuh tempo hak, maka akad ini mengandung dua syarat:

أَحَدُهُمَا: وَضْعُ الرَّهْنِ عَلَى يَدَيْ عَدْلٍ.

Pertama: Menempatkan barang gadai di tangan orang yang adil.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي: تَوْكِيلُ الْعَدْلِ فِي بَيْعِهِ عِنْدَ مَحَلِّ الْعَقْدِ. فَهَذَانِ الشَّرْطَانِ جَائِزَانِ إِلَّا أَنَّ الشَّرْطَ الْأَوَّلَ وَهُوَ وَضْعُ الرَّهْنِ عَلَى يَدَيْ عَدْلٍ يَلْزَمُ بِالْعَقْدِ وَيَتِمُّ بِالْقَبْضِ.

Syarat kedua: Mewakilkan orang adil untuk menjualnya ketika jatuh tempo akad. Kedua syarat ini boleh, kecuali syarat pertama, yaitu menempatkan barang gadai di tangan orang yang adil, menjadi wajib dengan akad dan sempurna dengan penyerahan.

وَأَمَّا الشَّرْطُ الثَّانِي وَهُوَ تَوْكِيلُ الْعَدْلِ فِي بَيْعِهِ عِنْدَ مَحَلِّ الْحَقِّ فَلَا يَتِمُّ بِالْعَقْدِ لِأَنَّهُ اشْتِرَاطُ تَوْكِيلٍ فِيمَا بَعْدُ. فَإِذَا سَلَّمَا الرَّهْنَ إِلَى الْعَدْلِ وَوَكَّلَاهُ فِي بَيْعِهِ عِنْدَ مَحَلِّ الْحَقِّ فَقَدْ تَمَّ الشَّرْطَانِ جَمِيعًا وَيَكُونُ الْأَوَّلُ مِنْهُمَا لَازِمًا وَالثَّانِي مِنْهُمَا جَائِزًا لِأَنَّ الْوِكَالَةَ جَائِزَةٌ وَلَيْسَتْ لَازِمَةً.

Adapun syarat kedua, yaitu mewakilkan orang adil untuk menjualnya ketika jatuh tempo hak, tidak menjadi sempurna dengan akad, karena itu merupakan syarat wakalah untuk masa yang akan datang. Jika keduanya telah menyerahkan barang gadai kepada orang adil dan mewakilkannya untuk menjualnya ketika jatuh tempo hak, maka kedua syarat itu telah sempurna seluruhnya, dan yang pertama di antaranya menjadi wajib, sedangkan yang kedua menjadi boleh, karena wakalah itu boleh dan tidak wajib.

فَإِنْ قِيلَ فَهَذِهِ وِكَالَةٌ مَعْقُودَةٌ بِصِفَةٍ وَهِيَ مَحَلُّ الْحَقِّ وَالْعُقُودِ لَا يَصِحُّ أَنْ تُعَلَّقَ بِالصِّفَاتِ قِيلَ الْوِكَالَةُ مُنْجَزَةٌ غَيْرُ مُعَلَّقَةٍ بِصِفَةٍ وَإِنَّمَا جُعِلَ التَّصَرُّفُ فِيهَا مُعَلَّقًا بِصِفَةٍ وَهَذَا جَائِزٌ.

Jika dikatakan: Ini adalah wakalah yang diadakan dengan sifat tertentu, yaitu jatuh tempo hak, sedangkan akad-akad tidak sah digantungkan pada sifat, maka dijawab: Wakalahnya itu langsung (tidak digantungkan pada sifat), hanya saja pelaksanaan tindakannya yang digantungkan pada sifat, dan ini boleh.

أَلَا تَرَى لَوْ أَنَّهُ وَكَّلَ رَجُلًا فِي بَيْعِ مَتَاعِهِ وَأَذِنَ لَهُ فِي بَيْعِهِ عِنْدَ مَجِيءِ الْحَاجِّ أَوْ عِنْدَ اسْتِهْلَالِ الشَّهْرِ جَازَ؛ لِأَنَّ عَقْدَ الْوِكَالَةِ مُنْجَزٌ وَالْإِذْنَ بِالتَّصَرُّفِ مُعَلَّقٌ بِالصِّفَةِ، فَصَحَّ كَذَلِكَ تَوْكِيلُ الْعَدْلِ فِي بَيْعِ الرَّهْنِ.

Tidakkah engkau melihat, jika seseorang mewakilkan seseorang untuk menjual barangnya dan mengizinkannya menjual ketika datang musim haji atau ketika masuk bulan baru, maka itu boleh; karena akad wakalahnya langsung, sedangkan izin untuk bertindak digantungkan pada sifat, maka sah pula mewakilkan orang adil untuk menjual barang gadai.

وَلَكِنْ لَوْ قَالَا لِلْعَدْلِ قَدْ وَكَّلْنَاكَ فِي بَيْعِهِ عِنْدَ مَحَلِّ الْحَقِّ وَجَعَلَا الصِّفَةَ شَرْطًا فِي عَقْدِ الْوِكَالَةِ لَمْ يَصِحَّ، لِأَنَّهُ عَقْدٌ مُعَلَّقٌ بِصِفَةٍ.

Namun, jika keduanya berkata kepada orang adil: “Kami telah mewakilkanmu untuk menjualnya ketika jatuh tempo hak,” dan menjadikan sifat itu sebagai syarat dalam akad wakalah, maka tidak sah, karena itu akad yang digantungkan pada sifat.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ صِحَّةُ الْوِكَالَةِ بِمَا ذَكَرْنَا، فَلَا يَخْلُو حَالُ الرَّاهِنِ والمرتهن من أربعة أحوال:

Jika telah tetap sahnya wakalah sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka keadaan rahin dan murtahin tidak lepas dari empat keadaan:

أحدهما: أَنْ يُقِيمَا عَلَى الْوِكَالَةِ إِلَى حُلُولِ الْحَقِّ. فَلِلْعَدْلِ أَنْ يَبِيعَ الرَّهْنَ مِنْ غَيْرِ اسْتِئْذَانِهِمَا مَا لَمْ يَكُنْ مِنْهُمَا مَنْعٌ لِصِحَّةِ وِكَالَتِهِ فِي الْبَيْعِ فَلَمْ يَلْزَمْهُ اسْتِئْذَانُهُمَا عِنْدَ الْبَيْعِ كسائر الوكلاء.

Pertama: Keduanya tetap pada wakalah hingga jatuh tempo hak. Maka orang adil boleh menjual barang gadai tanpa meminta izin dari keduanya, selama tidak ada larangan dari keduanya yang membatalkan wakalahnya dalam penjualan, sehingga tidak wajib baginya meminta izin dari keduanya saat penjualan, sebagaimana para wakil lainnya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَرْجِعَا جَمِيعًا عَنْ وِكَالَتِهِ قَبْلَ الْبَيْعِ فَلَا يَجُوزُ لِلْعَدْلِ أَنْ يَبِيعَ بَعْدَ رُجُوعِهِمَا لِبُطْلَانِ وِكَالَتِهِ مِنْهُمَا.

Keadaan kedua: Jika keduanya (rahin dan murtahin) sama-sama menarik kembali wakalahnya sebelum terjadi penjualan, maka tidak boleh bagi ‘adl (penengah) untuk menjual setelah keduanya menarik kembali, karena wakalah dari keduanya telah batal.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَرْجِعَ الرَّاهِنُ دُونَ الْمُرْتَهِنِ فَقَدِ انْفَسَخَتْ وِكَالَتُهُ بِرُجُوعِ الرَّاهِنِ وَلَيْسَ لَهُ الْبَيْعُ.

Keadaan ketiga: Jika rahin (pemberi gadai) menarik kembali (wakalah) tanpa murtahin (penerima gadai), maka wakalahnya telah batal dengan kembalinya rahin, dan ia tidak berhak melakukan penjualan.

وَحُكِيَ عَنْ أبي حنيفة أَنَّ وِكَالَةَ الْعَدْلِ لَا تَنْفَسِخُ بِرُجُوعِ الرَّاهِنِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ وِكَالَتَهُ صَحَّتْ بِهِمَا فَصَارَ وَكِيلًا لَهُمَا وَمَنْ كَانَ وَكِيلًا لِنَفْسَيْنِ بَطَلَتْ وِكَالَتُهُ بِرُجُوعِ أَحَدِهِمَا كَالشَّرِيكَيْنِ.

Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa wakalah ‘adl tidak batal dengan kembalinya rahin, namun pendapat ini tidak benar; karena wakalahnya sah dari keduanya, sehingga ia menjadi wakil bagi keduanya. Dan siapa yang menjadi wakil bagi dua orang, maka batal wakalahnya dengan kembalinya salah satu dari keduanya, sebagaimana halnya dua orang yang berserikat.

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَرْجِعَ الْمُرْتَهِنُ دُونَ الرَّاهِنِ فَالَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ كَافَّةً: أَنَّ وِكَالَتَهُ قَدِ انْفَسَخَتْ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ التَّعْلِيلِ وَهُوَ ظَاهِرُ نَصِّ الشَّافِعِيِّ.

Keadaan keempat: Jika murtahin menarik kembali (wakalah) tanpa rahin, maka menurut mayoritas ulama kami, dan ini adalah pendapat seluruh ulama Basrah: wakalahnya telah batal karena alasan yang telah kami sebutkan, dan ini adalah makna zahir dari nash Imam Syafi‘i.

وَحُكِيَ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ الْوِكَالَةَ لَا تَنْفَسِخُ بِرُجُوعِ الْمُرْتَهِنِ وَإِنَّمَا يُمْنَعُ الْعَدْلُ مِنَ الْبَيْعِ بِرُجُوعِ الْمُرْتَهِنِ مِنْ غَيْرِ أَنْ تَنْفَسِخَ وِكَالَتُهُ.

Diriwayatkan dari Abu Ishaq al-Marwazi bahwa wakalah tidak batal dengan kembalinya murtahin, hanya saja ‘adl dilarang melakukan penjualan karena kembalinya murtahin, tanpa berarti wakalahnya menjadi batal.

قَالَ: لِأَنَّهُ وَكِيلٌ لِلرَّاهِنِ وَمَأْذُونٌ لَهُ مِنْ جِهَةِ الْمُرْتَهِنِ فَلَا يَكُونُ رُجُوعُ الْمُرْتَهِنِ فِي إِذْنِهِ بِقَادِحٍ فِي صِحَّةِ وِكَالَتِهِ.

Ia berkata: Karena ia adalah wakil bagi rahin dan mendapat izin dari pihak murtahin, maka kembalinya murtahin dari izinnya tidaklah merusak keabsahan wakalahnya.

وهذا قول لا يتحصل لأن بعضه ينقص بَعْضًا، لِأَنَّ الْوِكَالَةَ إِنَّمَا هِيَ إِذْنٌ بِالْبَيْعِ فَإِذَا مُنِعَهُ بِرُجُوعِ الْمُرْتَهِنِ عَنِ الْبَيْعِ، فَقَدْ زَالَ مُوجِبُ الْوِكَالَةِ وَهَذَا صَرِيحُ الْفَسْخِ إِلَّا أَنَّ وِكَالَةَ الرَّاهِنِ لَا تَنْفَسِخُ بِرُجُوعِ الْمُرْتَهِنِ، كَمَا لَا تَنْفَسِخُ وِكَالَةُ الْمُرْتَهِنِ بِرُجُوعِ الرَّاهِنِ.

Ini adalah pendapat yang tidak dapat diterima karena sebagian pendapatnya saling meniadakan, sebab wakalah itu pada hakikatnya adalah izin untuk menjual. Jika ia dilarang menjual karena murtahin menarik kembali izinnya, maka hilanglah sebab adanya wakalah, dan ini adalah pembatalan secara jelas, kecuali bahwa wakalah rahin tidak batal dengan kembalinya murtahin, sebagaimana wakalah murtahin juga tidak batal dengan kembalinya rahin.

فَلَوْ مَاتَا أَوْ أَحَدُهُمَا كَانَ كَمَا لَوْ رَجَعَا أَوْ أَحَدُهُمَا لِأَنَّ الْوِكَالَةَ تَبْطُلُ بِالْمَوْتِ كَمَا تَبْطُلُ بِالرُّجُوعِ فَلَوْ وَكَّلَا رَجُلَيْنِ ثُمَّ أَبْطَلَا وِكَالَةَ أَحَدِهِمَا لَمْ يَكُنْ لِلثَّانِي مِنْهُمَا الْبَيْعُ إِلَّا بِإِذْنِهِمَا أَوْ يُوَكِّلَا مَعَهُ مَنْ يقوم مقام الميت.

Jika keduanya atau salah satunya meninggal dunia, maka hukumnya sama seperti jika keduanya atau salah satunya menarik kembali (wakalah), karena wakalah batal dengan kematian sebagaimana batal dengan penarikan kembali. Jika keduanya mewakilkan kepada dua orang, lalu membatalkan wakalah salah satunya, maka yang satunya lagi tidak berhak melakukan penjualan kecuali dengan izin keduanya, atau keduanya mewakilkan orang lain bersamanya yang menggantikan posisi orang yang telah meninggal.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ بَاعَ بِمَا يَتَغَابَنُ النَاسُ بِمِثْلِهِ فَلَمْ يُفَارِقْهُ حَتَى جَاءَ مَنْ يَزِيدُهُ قَبْلَ الزِّيَادَةِ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَبَيْعُهُ مَرْدُودٌ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia menjual dengan harga yang biasa orang-orang tertipu dengannya, lalu ia belum berpisah (dari akad) hingga datang orang yang menambah harga sebelum terjadi penambahan, maka jika ia tidak melakukannya, maka jual belinya tertolak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا وُكِّلَ الْعَدْلُ فِي بَيْعِ الرَّهْنِ فَعَلَيْهِ مَا عَلَى الْوَكِيلِ فِي بَيْعِ غَيْرِ الرَّهْنِ فَيَلْزَمُهُ فِي الْبَيْعِ إِذَا كَانَ الْإِذْنُ مُطْلَقًا خَمْسَةُ شُرُوطٍ:

Al-Mawardi berkata: Jika ‘adl diwakilkan untuk menjual barang gadai, maka ia berkewajiban sebagaimana kewajiban wakil dalam penjualan selain barang gadai. Maka ia wajib memenuhi lima syarat dalam penjualan jika izinnya bersifat mutlak:

أَحَدُهَا: الِاجْتِهَادُ فِي تَوْفِيرِ الثَّمَنِ وَأَلَّا يَبِيعَهُ بِمَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ.

Pertama: Berusaha maksimal dalam memperoleh harga yang tinggi dan tidak menjualnya dengan harga yang biasa orang-orang tertipu dengannya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَبِيعَهُ بِغَالِبِ نَقْدِ الْبَلَدِ دُونَ غَيْرِهِ.

Kedua: Menjualnya dengan mata uang yang umum berlaku di negeri tersebut, bukan dengan selainnya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الثَّمَنُ حَالًّا وَلَا يَكُونُ مُؤَجَّلًا وَلَا مُنَجَّمًا.

Ketiga: Harga harus tunai, tidak boleh ditangguhkan atau dicicil.

فَهَذِهِ الثَّلَاثَةُ شُرُوطٍ فِي صِحَّةِ الْبَيْعِ وَسُقُوطِ الضَّمَانِ.

Tiga syarat ini adalah syarat sahnya penjualan dan gugurnya tanggungan (jaminan).

وَالرَّابِعُ: أَلَّا يُسَلِّمَ الْمَبِيعَ إِلَّا بَعْدَ قَبْضِ الثَّمَنِ. وَهَذَا شَرْطٌ فِي سُقُوطِ الضَّمَانِ وَلَيْسَ بِشَرْطٍ فِي صِحَّةِ الْبَيْعِ.

Keempat: Tidak menyerahkan barang yang dijual kecuali setelah menerima harga. Ini adalah syarat gugurnya tanggungan, bukan syarat sahnya penjualan.

وَالْخَامِسُ: أَنْ يَكُونَ الْبَيْعُ نَاجِزًا فَلَا يُشْتَرَطُ فِيهِ خِيَارُ الثَّلَاثِ 0 وَفِي هَذَا الشَّرْطِ وَجْهَانِ:

Kelima: Penjualan harus bersifat final (langsung), tidak disyaratkan adanya khiyar selama tiga hari. Dalam syarat ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الْبَيْعِ وَسُقُوطِ الضَّمَانِ.

Pertama: Bahwa ini adalah syarat sahnya penjualan dan gugurnya tanggungan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ اسْتِحْبَابٌ لَا تَأْثِيرَ لَهُ فِي الْبَيْعِ وَلَا فِي الضَّمَانِ.

Kedua: Bahwa ini hanya anjuran, tidak berpengaruh pada keabsahan penjualan maupun pada tanggungan.

فَهَذِهِ خَمْسَةُ شُرُوطٍ تَخْتَلِفُ أَحْكَامُهَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ إِلَّا أَنَّ مَسْأَلَةَ الْكِتَابِ تَخْتَصُّ بِالشَّرْطِ الْأَوَّلِ مِنْهَا وَهُوَ الْغَبْنُ فِي الثَّمَنِ وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى حُكْمِ مَا يُضَاهِيهِ.

Inilah lima syarat yang hukumnya berbeda-beda menurut tiga pendapat, kecuali bahwa masalah dalam kitab ini khusus pada syarat pertama, yaitu terkait kerugian dalam harga, dan di dalamnya terdapat dalil atas hukum hal-hal yang serupa dengannya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا بَاعَ الْعَدْلُ الرَّهْنَ بِثَمَنٍ غُبِنَ فِيهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika ‘adl menjual barang gadai dengan harga yang merugikan (ghabn), maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بِمَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ، مِثْلَ أَنْ يَكُونَ ثمن الرهن مائة درهم وغبنه مِثْلِهِ عَشَرَةُ دَرَاهِمَ وَقَدْ بَاعَ الْعَدْلُ بِتِسْعِينَ دِرْهَمًا. فَهَذَا بَيْعٌ جَائِزٌ وَلَا ضَمَانَ عَلَى الْعَدْلِ، لِأَنَّ الْبَيْعَ مَوْضُوعٌ عَلَى الْمُغَابَنَةِ وَالْمُكَاسَبَةِ وَالِاحْتِرَازُ مِمَّا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ مِنْ غَبِينَةِ الْمِثْلِ غَيْرُ مُمْكِنٍ وَكَانَ ذَلِكَ مَعْفُوًّا عَنْهُ.

Yang pertama: yaitu jika termasuk hal yang biasa orang saling menipu (dalam jual beli) dengannya, seperti harga barang gadai seratus dirham dan kerugian (ghabn)-nya sebesar sepuluh dirham, sementara orang yang adil telah menjualnya dengan sembilan puluh dirham. Maka ini adalah jual beli yang sah dan tidak ada kewajiban ganti rugi atas orang yang adil, karena jual beli memang didasarkan pada adanya saling menipu dan mencari keuntungan, dan menghindari kerugian yang sudah menjadi kebiasaan adalah hal yang tidak mungkin, sehingga hal itu dimaafkan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مِمَّا لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ، مِثْلَ أَنْ يُسَاوِيَ مِائَةً وَغَبِينَةُ مِثْلِهِ عَشَرَةُ دَرَاهِمَ، وَقَدْ بَاعَهُ بِخَمْسِينَ دِرْهَمًا فَالْبَيْعُ بَاطِلٌ لِوُقُوعِهِ عَلَى غَيْرِ الْوَجْهِ الْمَأْذُونِ فِيهِ وَيُمْنَعُ الْعَدْلُ مِنْ تَسْلِيمِ الرَّهْنِ إِلَى الْمُشْتَرِي، فَإِنْ سَلَّمَهُ إِلَى الْمُشْتَرِي صَارَ الْعَدْلُ بِالتَّسْلِيمِ ضَامِنًا لَا بِالْعَقْدِ وَعَلَيْهِ اسْتِرْجَاعُهُ مِنْ يَدِ الْمُشْتَرِي. فَإِنْ فَاتَ اسْتِرْجَاعُهُ فَقَدِ اسْتَتَرَ الضَّمَانُ فِي ذِمَّةِ الْعَدْلِ، وَفِي قَدْرِ مَا يضمنه قولان:

Jenis kedua: yaitu jika termasuk hal yang tidak biasa orang saling menipu dengannya, seperti barang itu seharga seratus dirham dan kerugian (ghabn)-nya sepuluh dirham, namun dijual dengan lima puluh dirham. Maka jual beli ini batal karena dilakukan dengan cara yang tidak diperbolehkan, dan orang yang adil dilarang menyerahkan barang gadai kepada pembeli. Jika ia tetap menyerahkannya kepada pembeli, maka orang yang adil menjadi penjamin (wajib ganti rugi) karena penyerahan, bukan karena akad, dan ia wajib mengambil kembali barang itu dari tangan pembeli. Jika tidak bisa mengambilnya kembali, maka kewajiban ganti rugi tetap melekat pada tanggungan orang yang adil, dan dalam hal berapa besar yang harus dijaminnya terdapat dua pendapat:

أحدهما: أنه يضمن القدر الذين لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ وَذَلِكَ أَرْبَعُونَ دِرْهَمًا، لِأَنَّ الضَّمَانَ إِنَّمَا يَجِبُ فِيمَا حَصَلَ فِيهِ التَّفْرِيطُ، وَالتَّفْرِيطُ إِنَّمَا كَانَ فِي قَدْرِ مَا لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ. فَأَمَّا الْعَشَرَةُ الَّتِي يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهَا فَلَمْ يُفَرِّطْ فِيهَا فَلَمْ يَلْزَمْ ضَمَانُهَا. أَمَّا الْخَمْسُونَ فَهُوَ غَيْرُ مُفَرِّطٍ فِيهَا فَلَمْ يَلْزَمْهُ ضَمَانُهَا.

Salah satunya: ia wajib menjamin sebesar nilai yang tidak biasa orang saling menipu dengannya, yaitu empat puluh dirham, karena kewajiban ganti rugi hanya berlaku pada bagian yang terjadi kelalaian, dan kelalaian itu hanya terjadi pada bagian yang tidak biasa orang saling menipu dengannya. Adapun sepuluh dirham yang biasa orang saling menipu dengannya, maka tidak ada kelalaian di situ sehingga tidak wajib menjaminnya. Adapun lima puluh dirham, ia juga tidak lalai padanya sehingga tidak wajib menjaminnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ الصَّحِيحُ: أَنَّهُ ضَامِنٌ لِجَمِيعِ الْقِيمَةِ وَذَلِكَ مِائَةُ دِرْهَمٍ، لِأَنَّ الْبَيْعَ وَقَعَ فَاسِدًا، فَلَمْ يَجُزْ تَسْلِيمُ السِّلْعَةِ بِهِ وَمَنْ سَلَّمَ سِلْعَةً إِلَى غَيْرِ مُسْتَحِقِّهَا كَانَ ضَامِنًا لِجَمِيعِ قِيمَتِهَا.

Pendapat kedua, dan ini yang shahih: ia wajib menjamin seluruh nilai barang, yaitu seratus dirham, karena jual beli tersebut terjadi secara fasid (rusak/tidak sah), sehingga tidak boleh menyerahkan barang karena jual beli itu, dan siapa yang menyerahkan barang kepada yang tidak berhak menerimanya maka ia wajib menjamin seluruh nilainya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فَإِنْ قُلْنَا: عَلَيْهِ ضَمَانُ الْغَبِينَةِ وَحْدَهَا وَهِيَ أَرْبَعُونَ دِرْهَمًا، فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika telah jelas penjelasan dua pendapat tersebut, maka jika kita mengatakan: ia hanya wajib menjamin kerugian (ghabn) saja, yaitu empat puluh dirham, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ قَبَضَ مِنَ الْمُشْتَرِي الْخَمْسِينَ الَّتِي هِيَ الثَّمَنُ أَوْ لَمْ يَقْبِضْ. فَإِنْ كَانَ قَدْ قَبَضَ الْخَمْسِينَ دِرْهَمًا الثَّمَنَ فَقَدْ بَرِئَ الْمُشْتَرِي مِنْهَا لِأَنَّهُ دَفَعَهَا إِلَى مُؤْتَمَنٍ عَلَيْهَا وَلَيْسَ عَلَى الْعَدْلِ ضَمَانُهَا لِأَنَّهُ غَيْرُ مُتَعَدٍّ فِيهَا ثُمَّ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَرْجِعَ بِالْغَبِينَةِ إِنْ شَاءَ عَلَى الْعَدْلِ لِأَنَّهُ بِدَفْعِ الرَّهْنِ صَارَ ضَامِنًا لَهَا وَإِنْ شَاءَ عَلَى الْمُشْتَرِي لأنه يقبض الرَّهْنِ صَارَ ضَامِنًا لَهَا.

Yaitu apakah ia telah menerima dari pembeli lima puluh dirham sebagai harga atau belum. Jika ia telah menerima lima puluh dirham sebagai harga, maka pembeli telah bebas dari tanggungan karena ia telah menyerahkannya kepada orang yang dipercaya, dan orang yang adil tidak wajib menjamin bagian itu karena ia tidak melampaui batas padanya. Kemudian, bagi pihak yang menggadaikan (rahin) boleh menuntut kerugian (ghabn) jika ia mau kepada orang yang adil, karena dengan menyerahkan barang gadai ia menjadi penjamin atasnya, atau jika ia mau kepada pembeli karena dengan menerima barang gadai ia menjadi penjamin atasnya.

فَإِنْ رَجَعَ عَلَى الْمُشْتَرِي رَجَعَ عَلَيْهِ بِخَمْسِينَ دِرْهَمًا، وَلَا يَسْقُطُ عَنْهُ الْعَشَرَةُ الَّتِي يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِهَا لِأَنَّهُ بِالْقَبْضِ عَنْ بَيْعٍ فَاسِدٍ ضَامِنٌ عَلَى الصَّحِيحِ من المذهب ضمان غصب.

Jika ia menuntut kepada pembeli, maka ia menuntut lima puluh dirham, dan tidak gugur darinya sepuluh dirham yang biasa orang saling menipu dengannya, karena dengan menerima barang dari jual beli yang fasid, menurut pendapat yang shahih dalam mazhab, ia menjadi penjamin seperti penjaminan dalam kasus ghashab (perampasan).

فإذا غرم الْمُشْتَرِي ذَلِكَ لَمْ يَرْجِعْ عَلَى الْعَدْلِ بِشَيْءٍ.

Jika pembeli telah membayar ganti rugi tersebut, maka ia tidak boleh menuntut apa pun dari orang yang adil.

فَإِنْ رَجَعَ الرَّاهِنُ عَلَى الْعَدْلِ دُونَ الْمُشْتَرِي رَجَعَ عَلَيْهِ بِأَرْبَعِينَ دِرْهَمًا، لِأَنَّهُ يَضْمَنُ بِالتَّفْرِيطِ فَلَمْ يَضْمَنْ إِلَّا قَدْرَ مَا فَرَّطَ فِيهِ وَذَلِكَ أَرْبَعُونَ دِرْهَمًا، وَيَرْجِعُ عَلَى الْمُشْتَرِي بِالْعَشَرَةِ الْبَاقِيَةِ مِنْ ضَمَانِ الْغَصْبِ لِأَنَّ الْمُشْتَرِيَ ضَامِنٌ لَهَا فَيَصِيرُ الرَّاهِنُ رَاجِعًا عَلَى الْعَدْلِ بِأَرْبَعِينَ دِرْهَمًا وَعَلَى الْمُشْتَرِي بِعَشَرَةِ دَرَاهِمَ، ثُمَّ لِلْعَدْلِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمُشْتَرِي بِالْأَرْبَعِينَ الَّتِي غَرِمَهَا لِأَنَّ الْمُشْتَرِيَ ضَامِنٌ لَهَا فَهَذَا الْكَلَامُ فِيهِ إِذَا كَانَ الْعَدْلُ قَدْ قَبَضَ الْخَمْسِينَ الثَّمَنَ.

Jika pihak yang menggadaikan menuntut kepada orang yang adil dan bukan kepada pembeli, maka ia menuntut empat puluh dirham, karena ia wajib menjamin karena kelalaian, sehingga ia hanya wajib menjamin sebesar yang ia lalaikan, yaitu empat puluh dirham. Dan ia menuntut kepada pembeli sepuluh dirham sisanya sebagai ganti rugi ghashab, karena pembeli wajib menjamin bagian itu. Maka pihak yang menggadaikan menuntut kepada orang yang adil empat puluh dirham dan kepada pembeli sepuluh dirham. Kemudian, orang yang adil boleh menuntut kepada pembeli empat puluh dirham yang telah ia bayarkan, karena pembeli wajib menjamin bagian itu. Inilah penjelasan jika orang yang adil telah menerima lima puluh dirham sebagai harga.

فَأَمَّا إِنْ كَانَ الْعَدْلُ لَمْ يَقْبِضْ مِنَ الْمُشْتَرِي الثَّمَنَ فَالرَّاهِنُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمُشْتَرِي أَوْ عَلَى الْعَدْلِ فَإِنْ رَجَعَ عَلَى الْمُشْتَرِي فَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهِ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ وَهِيَ جَمِيعُ الْقِيمَةِ وَلَا يَرْجِعُ الْمُشْتَرِي بِشَيْءٍ مِنْهَا عَلَى الْعَدْلِ.

Adapun jika ‘adl (penjaga barang gadai) belum menerima pembayaran dari pembeli, maka pihak yang menggadaikan (rāhin) memiliki hak memilih antara menuntut kepada pembeli atau kepada ‘adl. Jika ia menuntut kepada pembeli, maka ia berhak menuntut seluruh seratus dirham, yaitu seluruh nilai barang, dan pembeli tidak dapat menuntut kembali apa pun dari ‘adl.

وَإِنْ رَجَعَ الرَّاهِنُ عَلَى الْعَدْلِ فَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهِ بِأَرْبَعِينَ دِرْهَمًا لَا غَيْرُ لِأَنَّهَا الْقَدْرُ الَّذِي ضَمِنَهُ بِالتَّفْرِيطِ وَيَرْجِعُ عَلَى الْمُشْتَرِي بِبَاقِي الْقِيمَةِ وَهُوَ سِتُّونَ دِرْهَمًا. وَلِلْعَدْلِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمُشْتَرِي بِالْأَرْبَعِينَ الَّتِي غَرِمَهَا لِأَنَّهُ ضَامِنٌ لَهَا.

Dan jika rāhin menuntut kepada ‘adl, maka ia berhak menuntut empat puluh dirham saja, karena itulah jumlah yang dijamin oleh ‘adl akibat kelalaiannya, dan sisanya, yaitu enam puluh dirham, dapat ia tuntut kepada pembeli. Sedangkan ‘adl berhak menuntut kepada pembeli atas empat puluh dirham yang telah ia bayarkan, karena ia telah menjadi penjamin atas jumlah tersebut.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْعَدْلَ ضَامِنٌ لِجَمِيعِ الْقِيمَةِ، فَلِلرَّاهِنِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَى الْعَدْلِ إِنْ شَاءَ أَوْ عَلَى الْمُشْتَرِي إِنْ شَاءَ، لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ضَامِنٌ ضَمَانَ غَصْبٍ وَلَا يَبْرَأُ الْمُشْتَرِي عَلَى هَذَا مِنْ شَيْءٍ يَدْفَعُهُ إِلَى الْعَدْلِ بِخِلَافِ مَا قُلْنَا مِنْ قَبْلُ، لِأَنَّ الْعَدْلَ صَارَ ضَامِنًا لِلْكُلِّ بِالتَّعَدِّي فَصَارَ خَارِجًا مِنَ الْأَمَانَةِ وَاسْتَوَى حَالُهُ وَحَالُ الْمُشْتَرِي فِي وُجُوبِ الضَّمَانِ عَلَيْهِمَا لِلرَّاهِنِ فَلَمْ يَبْرَأْ أَحَدُهُمَا بِدَفْعِ مَا عَلَيْهِ إِلَى صَاحِبِهِ. أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَا يَبْرَأُ الْعَدْلُ بِدَفْعِ مَا عَلَيْهِ إِلَى الْمُشْتَرِي، كَذَلِكَ لَا يَبْرَأُ الْمُشْتَرِي بِدَفْعِ مَا عَلَيْهِ إِلَى الْعَدْلِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِذَا كَانَ الْعَدْلُ ضَامِنًا لِقَدْرِ الْغَبِينَةِ لَا غَيْرَ لِأَنَّ مَا سِوَى الْغَبِينَةِ لَيْسَ بِمَضْمُونٍ عَلَيْهِ فَكَانَ أَمِينًا فِيهِ.

Dan jika kita mengatakan bahwa ‘adl bertanggung jawab atas seluruh nilai barang, maka rāhin boleh menuntut seluruh nilai itu kepada ‘adl jika ia mau, atau kepada pembeli jika ia mau, karena masing-masing dari keduanya menjadi penjamin dengan jaminan seperti ghashb (perampasan), dan pembeli tidak terbebas dari tanggung jawab atas apa pun yang ia bayarkan kepada ‘adl, berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena ‘adl telah menjadi penjamin seluruhnya akibat pelanggaran, sehingga ia keluar dari status amanah dan kedudukannya sama dengan pembeli dalam kewajiban menjamin kepada rāhin, sehingga tidak ada seorang pun di antara mereka yang terbebas dari tanggung jawab dengan membayar kepada pihak lainnya. Tidakkah engkau melihat bahwa ‘adl tidak terbebas dari tanggung jawab dengan membayar kepada pembeli, demikian pula pembeli tidak terbebas dengan membayar kepada ‘adl. Hal ini berbeda jika ‘adl hanya menjamin sebesar kadar kerugian (ghabīnah) saja, karena selain ghabīnah tidak menjadi tanggung jawabnya, sehingga ia tetap sebagai pihak yang dipercaya (amīn) dalam hal itu.

وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ الْعَدْلُ قَدْ قَبَضَ مِنَ الْمُشْتَرِي الثَّمَنَ وَالْغَبِينَةَ لَمْ يَبْرَأِ الْمُشْتَرِي مِنَ الْغَبِينَةِ لِضَمَانِ الْعَدْلِ لَهَا، وَبَرِئَ مِنَ الثَّمَنِ لِأَنَّهُ أَمِينٌ فِيهِ.

Demikian pula jika ‘adl telah menerima pembayaran dari pembeli berupa harga dan ghabīnah, maka pembeli tidak terbebas dari tanggung jawab atas ghabīnah karena ‘adl menjadi penjamin atasnya, namun ia terbebas dari harga karena dalam hal itu ia adalah pihak yang dipercaya (amīn).

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى أَيِّهِمَا شَاءَ بِجَمِيعِ الْمِائَةِ الَّتِي هِيَ قِيمَةُ الرَّهْنِ، فَإِنْ رَجَعَ بِهَا عَلَى الْعَدْلِ فَلِلْعَدْلِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَى الْمُشْتَرِي إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْعَدْلُ قَدْ قَبَضَهَا مِنَ الْمُشْتَرِي، فَلَا يَرْجِعُ بِهَا عَلَيْهِ. وَإِنْ كَانَ قَدْ قَبَضَ بَعْضَهَا رَجَعَ عَلَيْهِ بِمَا بَقِيَ مِنْهَا. فَإِنْ رَجَعَ الرَّاهِنُ عَلَى الْمُشْتَرِي بِالْمِائَةِ فَلَيْسَ لِلْمُشْتَرِي أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَى الْعَدْلِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ دَفَعَهَا إِلَيْهِ، أَوْ دَفَعَ إِلَيْهِ بَعْضَهَا فَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ عليه بما كان فسد دَفْعَهُ إِلَيْهِ مِنْهَا.

Dengan demikian, telah tetap bahwa rāhin boleh menuntut kepada siapa saja dari keduanya yang ia kehendaki atas seluruh seratus dirham yang merupakan nilai barang gadai. Jika ia menuntut kepada ‘adl, maka ‘adl boleh menuntut kepada pembeli kecuali jika ‘adl telah menerima pembayaran itu dari pembeli, maka ia tidak dapat menuntut kembali. Jika ia hanya menerima sebagian, maka ia menuntut sisanya. Jika rāhin menuntut kepada pembeli atas seratus dirham, maka pembeli tidak dapat menuntut kembali kepada ‘adl kecuali jika ia telah membayarkannya kepada ‘adl, atau membayar sebagian, maka ia boleh menuntut kembali kepada ‘adl atas bagian yang telah ia bayarkan secara tidak sah.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَأَمَّا إِذَا بَاعَ الْعَدْلُ الرَّهْنَ بِثَمَنٍ مِثْلِهِ وَذَلِكَ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ ثُمَّ بُذِلَتْ لَهُ فِي الثَّمَنِ زِيَادَةُ عَشَرَةِ دَرَاهِمَ لِرَغْبَةِ رَاغِبٍ، فَإِنْ كَانَتْ هَذِهِ الزِّيَادَةُ الْمَبْذُولَةُ لَهُ بَعْدَ التَّفَرُّقِ لَمْ يَلْزَمْهُ قَبُولُهَا، لِتَمَامِ الْبَيْعِ بِالِافْتِرَاقِ، وَإِنْ كَانَتْ هَذِهِ الزِّيَادَةُ الْمَبْذُولَةُ لَهُ قَبْلَ التَّفَرُّقِ وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ فَعَلَيْهِ قَبُولُهَا لِأَنَّ الْبَيْعَ لَمْ يَنْبَرِمْ وَالْفَضْلَ فِي الثَّمَنِ بِالْبَذْلِ قَدْ تَعَيَّنَ.

Adapun jika ‘adl menjual barang gadai dengan harga yang sepadan, yaitu seratus dirham, lalu setelah itu ada seseorang yang menawarkan tambahan sepuluh dirham karena keinginannya, maka jika tambahan tersebut ditawarkan setelah akad berpisah, ‘adl tidak wajib menerimanya, karena akad jual beli telah sempurna dengan perpisahan. Namun jika tambahan itu ditawarkan sebelum berpisah, sebagaimana dalam masalah yang dibahas dalam kitab ini, maka ia wajib menerimanya karena akad jual beli belum sempurna dan kelebihan harga yang ditawarkan telah menjadi hak.

فَإِنْ لَمْ يَقْبَلِ الزِّيَادَةَ وَأَقْبَضَ الرَّهْنَ بِالْبَيْعِ الْأَوَّلِ فَمَذْهَبُ الشافعي أنه يكون ضامنا لما لَوْ بَاعَ بِمَا لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ، وَيَكُونُ الْبَيْعُ الْأَوَّلُ بَاطِلًا.

Jika ia tidak menerima tambahan itu dan menyerahkan barang gadai dengan harga jual yang pertama, maka menurut mazhab Syafi‘i, ia menjadi penjamin seandainya ia menjual dengan harga yang tidak lazim terjadi penipuan (ghabn) di kalangan manusia, dan penjualan pertama itu menjadi batal.

وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: لَا يَبْطُلُ الْبَيْعُ بِهَذِهِ الزِّيَادَةِ وَلَا ضَمَانَ عَلَى الْعَدْلِ لِأَنَّ قَبُولَهَا غَيْرُ لَازِمٍ لَهُ. قَالَ: وَإِنَّمَا كَانَ قَبُولُهَا غَيْرَ لَازِمٍ لَهُ لِأَنَّهَا قَدْ تُبْذَلُ لِرَغْبَةٍ وَقَدْ تُبْذَلُ لِفَسَادٍ عَلَى الْمُشْتَرِي الْأَوَّلِ، فَلَمْ يَكُنْ بَذْلُهَا مُتَحَقَّقًا فَلَمْ يَكُنْ قَبُولُهَا لَازِمًا.

Sebagian dari para sahabat kami berkata: Jual beli tidak batal karena adanya tambahan ini dan tidak ada kewajiban ganti rugi atas pihak adil, karena menerima tambahan tersebut tidaklah wajib baginya. Ia berkata: Dan sesungguhnya menerima tambahan itu tidak wajib baginya karena tambahan itu bisa saja diberikan karena keinginan, dan bisa juga diberikan karena kerusakan (tujuan buruk) terhadap pembeli pertama, sehingga pemberian tambahan itu belum pasti terjadi, maka penerimaannya pun tidak menjadi wajib.

وَهَذَا غَلَطٌ لِأَنَّ بَذْلَ الزِّيَادَةِ فِي خِيَارِ الْمَجْلِسِ كَبَذْلِهَا فِي حَالِ الْعَقْدِ فَلَمَّا كَانَ قَبُولُهَا فِي حَالِ الْعَقْدِ لَازِمًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بَذْلُهَا مُتَحَقَّقًا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ قَبُولُهَا فِي خِيَارِ الْمَجْلِسِ وَاجِبًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بَذْلُهَا مُتَحَقَّقًا.

Ini adalah kekeliruan, karena pemberian tambahan dalam masa khiyār majlis sama seperti pemberiannya pada saat akad. Maka, ketika penerimaan tambahan pada saat akad itu wajib, meskipun pemberiannya belum pasti, maka seharusnya penerimaan tambahan dalam masa khiyār majlis juga wajib, meskipun pemberiannya belum pasti.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ قَبُولَهَا وَاجِبٌ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْبَيْعُ بِتَرْكِ قَبُولِهَا بَاطِلًا وَإِذَا بَطَلَ الْبَيْعُ وَجَبَ الضَّمَانُ عَلَى الْعَدْلِ بِتَسْلِيمِ الرَّهْنِ وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ ضَامِنٌ فَفِي قَدْرِ ضَمَانِهِ قَوْلَانِ:

Jika telah tetap bahwa penerimaannya wajib, maka jual beli menjadi batal jika tidak menerima tambahan tersebut. Dan jika jual beli batal, maka wajib ganti rugi atas pihak adil karena telah menyerahkan barang gadai. Dan jika telah tetap bahwa ia wajib mengganti rugi, maka dalam kadar ganti ruginya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُ قَدْرَ الزِّيَادَةِ لَا غَيْرَ وَذَلِكَ عَشَرَةُ دَرَاهِمَ. فَعَلَى هَذَا إِذَا غَرِمَهَا الْعَدْلُ لَمْ يَرْجِعْ بِهَا عَلَى الْمُشْتَرِي لِأَنَّ ضَمَانَ الْمُشْتَرِي ضَمَانُ غَصْبٍ وَتِلْكَ الزِّيَادَةُ الْمَبْذُولَةُ لَا تُضْمَنُ بِالْغَصْبِ. وَعَلَى هَذَا إِنْ دَفَعَ الْمُشْتَرِي الثَّمَنَ إِلَى الْعَدْلِ بَرِئَ مِنْهُ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِضَامِنٍ فَكَانَ أَمِينًا عَلَيْهِ.

Pertama: Ia wajib mengganti sebesar tambahan saja, tidak lebih, yaitu sepuluh dirham. Maka, menurut pendapat ini, jika pihak adil telah membayar ganti rugi tersebut, ia tidak boleh menuntut kembali kepada pembeli, karena tanggung jawab pembeli adalah tanggung jawab atas perampasan, sedangkan tambahan yang diberikan itu tidak dijamin dengan perampasan. Dan menurut pendapat ini, jika pembeli membayar harga kepada pihak adil, ia telah bebas dari tanggung jawab, karena ia bukan penjamin, sehingga ia hanya sebagai pemegang amanah atasnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْعَدْلَ ضَامِنٌ بِهِ لِلْكُلِّ وَذَلِكَ مِائَةٌ وَعَشَرَةُ دَرَاهِمَ فَعَلَى هَذَا لَا يَبْرَأُ الْمُشْتَرِي بِدَفْعِ الثَّمَنِ إِلَى الْعَدْلِ لِأَنَّهُ ضَامِنٌ لَهُ، فَبَطَلَ أَنْ يَكُونَ أَمِينًا فِيهِ.

Pendapat kedua: Bahwa pihak adil wajib mengganti seluruhnya, yaitu seratus sepuluh dirham. Maka, menurut pendapat ini, pembeli tidak bebas dari tanggung jawab dengan membayar harga kepada pihak adil, karena ia adalah penjamin atasnya, sehingga batal statusnya sebagai pemegang amanah dalam hal ini.

وَلِلرَّاهِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى أَيِّهِمَا شَاءَ. فَإِنْ رَجَعَ عَلَى الْعَدْلِ رَجَعَ بِمِائَةٍ وَعَشَرَةِ دَرَاهِمَ وَيَرْجِعُ الْعَدْلُ عَلَى الْمُشْتَرِي بِمِائَةِ دِرْهَمٍ وَلَا يَرْجِعُ عَلَيْهِ بِالْعَشَرَةِ الزَّائِدَةِ وَإِنْ رَجَعَ الرَّاهِنُ عَلَى الْمُشْتَرِي رَجَعَ عَلَيْهِ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ وَرَجَعَ عَلَى الْعَدْلِ بِعَشَرَةِ دَرَاهِمَ وَهِيَ الزِّيَادَةُ الَّتِي بُذِلَتْ لَهُ. وَإِذَا غَرِمَ الْمُشْتَرِي لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَى الْعَدْلِ.

Pihak yang menggadaikan (rāhin) berhak menuntut kepada siapa saja dari keduanya yang ia kehendaki. Jika ia menuntut kepada pihak adil, maka ia menuntut seratus sepuluh dirham, dan pihak adil menuntut kepada pembeli seratus dirham, dan tidak menuntut kepadanya sepuluh dirham tambahan. Jika pihak yang menggadaikan menuntut kepada pembeli, maka ia menuntut seratus dirham, dan menuntut kepada pihak adil sepuluh dirham, yaitu tambahan yang telah diberikan kepadanya. Dan jika pembeli telah membayar ganti rugi, maka ia tidak berhak menuntut kembali kepada pihak adil.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَلَيْسَ الرَّاهِنُ وَحْدَهُ مُسْتَحِقًّا لِلرُّجُوعِ بِهَا دُونَ الْمُرْتَهِنِ وَلَا الْمُرْتَهِنُ دُونَ الرَّاهِنِ وَلَكِنَّ الرَّاهِنَ وَالْمُرْتَهِنَ جَمِيعًا يَسْتَحِقَّانِ الرُّجُوعَ بِهَا. أَمَّا الرَّاهِنُ فَبِحَقِّ مِلْكِهِ، وَأَمَّا الْمُرْتَهِنُ فَبِحَقِّ وَثِيقَتِهِ.

Pihak yang menggadaikan (rāhin) saja tidak berhak menuntut kembali tanpa pihak yang menerima gadai (murtahin), dan begitu pula pihak murtahin saja tanpa rāhin, melainkan rāhin dan murtahin keduanya berhak menuntut kembali. Adapun rāhin, karena hak kepemilikannya, dan adapun murtahin, karena hak jaminannya.

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْقَابِضِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika demikian, maka keadaan pihak yang menerima (barang) tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ جَمِيعًا قَدِ اجْتَمَعَا عَلَى قَبْضِهَا فَقَدْ بَرِئَ الْعَدْلُ وَالْمُشْتَرِي مِنْهَا ثُمَّ لِلرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ فِيهَا ثلاثة أحوال:

Pertama: Jika rāhin dan murtahin keduanya telah sepakat untuk menerima (tambahan) tersebut, maka pihak adil dan pembeli telah bebas dari tanggung jawab. Kemudian, rāhin dan murtahin memiliki tiga kemungkinan dalam hal ini:

أحدهما: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى تَرْكِهَا رَهْنًا فَتَكُونُ رَهْنًا عَلَى مَا اتَّفَقَا عَلَيْهِ.

Pertama: Keduanya sepakat untuk tetap menjadikannya sebagai barang gadai, maka ia tetap menjadi barang gadai sesuai kesepakatan mereka.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى أَنْ تَكُونَ قِصَاصًا فَتَكُونُ قِصَاصًا كَمَا اتَّفَقَا.

Kedua: Keduanya sepakat untuk menjadikannya sebagai qishāsh (kompensasi), maka ia menjadi qishāsh sebagaimana kesepakatan mereka.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَخْتَلِفَا فَيَدْعُو أَحَدُهُمَا إِلَى أَنْ تَكُونَ رَهْنًا وَيَدْعُو الْآخَرُ إِلَى أَنْ تَكُونَ قِصَاصًا، فَالْقَوْلُ قَوْلُ مَنْ دَعَا إِلَى أَنْ تَكُونَ قِصَاصًا إِذَا كَانَ الْحَقُّ حَالًّا، لِأَنَّ الْإِذْنَ بِالْبَيْعِ إِنَّمَا كَانَ لِقَضَاءِ الْحَقِّ وَلَمْ يَكُنْ لِتَرْكِ ذَلِكَ فِي الرَّهْنِ وَلَيْسَ فَسَادُ الْبَيْعِ مُوجِبًا لِإِبْطَالِ هَذَا الْحُكْمِ.

Ketiga: Keduanya berselisih, salah satu menghendaki agar tetap menjadi barang gadai, dan yang lain menghendaki agar menjadi qishāsh, maka pendapat yang diambil adalah pendapat yang menghendaki agar menjadi qishāsh jika hak tersebut telah jatuh tempo, karena izin untuk menjual itu diberikan untuk melunasi hak, bukan untuk membiarkannya tetap sebagai barang gadai. Dan batalnya jual beli tidak menyebabkan batalnya hukum ini.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْقَابِضُ لَهَا هُوَ الرَّاهِنُ دُونَ الْمُرْتَهِنِ، فَيَكُونُ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَى الْعَدْلِ دُونَ الْمُشْتَرِي، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّ الْمُرْتَهِنَ يَرْجِعُ بِحَقِّ الرَّهْنِ وَالْعَدْلَ ضَامِنٌ لِحَقِّ الرَّهْنِ دُونَ الْمُشْتَرِي وَإِنَّمَا يَضْمَنُ الْمُشْتَرِي بِحَقِّ الْمِلْكِ. فَلِذَلِكَ كَانَ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْعَدْلِ لِأَنَّهُ ضَامِنٌ لِحَقِّ الرَّهْنِ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمُشْتَرِي لِأَنَّهُ ضَامِنٌ لِحَقِّ الْمِلْكِ.

Bagian kedua: Apabila yang menerima barang tersebut adalah rahin (pemberi gadai) dan bukan murtahin (penerima gadai), maka murtahin berhak menuntutnya kepada ‘adl (penjamin) dan bukan kepada pembeli. Hal ini karena murtahin menuntut berdasarkan hak rahn (gadai), dan ‘adl adalah penjamin hak rahn, bukan pembeli. Adapun pembeli hanya menjamin berdasarkan hak milik. Oleh karena itu, murtahin berhak menuntut kepada ‘adl karena ia penjamin hak rahn, dan tidak berhak menuntut kepada pembeli karena ia penjamin hak milik.

فَإِنْ قِيلَ: أَلَيْسَ لَوْ جَنَى عَلَى الرَّهْنِ كَانَ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْجَانِي بِالْأَرْشِ وَإِنْ كَانَ الْجَانِي ضَامِنًا لِحَقِّ الْمِلْكِ؟ فَقِيلَ: إِنَّمَا كَانَ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْجَانِي لِأَنَّ الْجَانِيَ ضامن للحقين معا، إذ ليس بجب ضَمَانُ حَقِّ الرَّهْنِ عَلَى غَيْرِ الْجَانِي وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي بَيْعِ الْعَدْلِ لِأَنَّ الْعَدْلَ ضَامِنٌ لِحَقِّ الرَّهْنِ، فَلَمْ يَضْمَنْهُ الْمُشْتَرِي.

Jika dikatakan: Bukankah jika seseorang melakukan jinayah (kerusakan) terhadap barang gadai, murtahin berhak menuntut kepada pelaku jinayah dengan meminta ganti rugi (arsh), meskipun pelaku jinayah itu penjamin hak milik? Maka dijawab: Murtahin berhak menuntut kepada pelaku jinayah karena pelaku jinayah menjamin kedua hak sekaligus, sebab tidak wajib jaminan hak rahn atas selain pelaku jinayah. Hal ini berbeda dengan penjualan oleh ‘adl, karena ‘adl hanya menjamin hak rahn, sehingga pembeli tidak menanggungnya.

فَإِذَا رَجَعَ الْمُرْتَهِنُ عَلَى الْعَدْلِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَدْلِ أَنْ يرجع الرَّاهِنِ بِمَا دَفَعَهُ إِلَى الْمُرْتَهِنِ، لِأَنَّ الْعَدْلَ لَوْ كَانَ دَفَعَ إِلَى الْمُرْتَهِنِ فِي الِابْتِدَاءِ كَانَ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهِ بِمَا دَفَعَ، وَيَصِيرُ الْعَدْلُ مُتَطَوِّعًا بِمَا دَفَعَهُ إِلَى الرَّاهِنِ.

Apabila murtahin menuntut kepada ‘adl, maka ‘adl tidak berhak menuntut kepada rahin atas apa yang telah dibayarkan kepada murtahin. Sebab, jika ‘adl sejak awal telah membayar kepada murtahin, maka rahin berhak menuntut kembali kepada ‘adl atas apa yang telah dibayarkan, dan ‘adl menjadi orang yang secara sukarela membayar kepada rahin.

والقسم الثالث: أن يكون القباض لَهَا هُوَ الْمُرْتَهِنُ دُونَ الرَّاهِنِ فَيَكُونُ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَى الْعَدْلِ إِنْ شَاءَ، وَعَلَى الْمُشْتَرِي إِنْ شَاءَ لِأَنَّ الرَّاهِنَ يَرْجِعُ بِحَقِّ الْمِلْكِ وَالْمُرْتَهِنَ يَرْجِعُ بِحَقِّ الرَّهْنِ. وَالْعَدْلَ ضَامِنٌ لِحَقِّ الْمِلْكِ وَحَقِّ الرَّهْنِ، وَالْمُشْتَرِيَ ضَامِنٌ لِحَقِّ الْمِلْكِ، فَلِذَلِكَ كَانَ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى مَنْ شَاءَ مِنَ الْعَدْلِ وَالْمُشْتَرِي لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ضَامِنًا بِحَقِّ الْمِلْكِ، وَلَمْ يَكُنْ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَرْجِعَ إِلَّا عَلَى الْعَدْلِ دُونَ الْمُشْتَرِي لِأَنَّهُ يَرْجِعُ بِحَقِّ الرهن، والعدل ضامن لحق الرهن دون المشتري.

Bagian ketiga: Apabila yang menerima barang tersebut adalah murtahin dan bukan rahin, maka rahin berhak menuntut kepada ‘adl jika ia menghendaki, atau kepada pembeli jika ia menghendaki. Sebab, rahin menuntut berdasarkan hak milik, sedangkan murtahin menuntut berdasarkan hak rahn. ‘Adl menjamin hak milik dan hak rahn, sedangkan pembeli menjamin hak milik. Oleh karena itu, rahin berhak menuntut kepada siapa saja yang ia kehendaki di antara ‘adl dan pembeli, karena keduanya telah menjadi penjamin hak milik. Adapun murtahin hanya berhak menuntut kepada ‘adl dan bukan kepada pembeli, karena ia menuntut berdasarkan hak rahn, dan ‘adl adalah penjamin hak rahn, bukan pembeli.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى مَنْ شَاءَ مِنَ الْعَدْلِ وَالْمُشْتَرِي نُظِرَ فِي الْمُرْتَهِنِ الْقَابِضِ أَوَّلًا فَإِنْ كَانَ قَدْ قَبَضَ ذَلِكَ مِنَ الْمُشْتَرِي فَلِلْمُشْتَرِي أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهِ بِذَلِكَ لِأَنَّهُ لَا حَقَّ لِلْمُرْتَهِنِ عَلَى الْمُشْتَرِي. فَإِنْ كَانَ قَدْ قَبَضَ مِنَ الْعَدْلِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَدْلِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَيْهِ لِأَنَّ الْعَدْلَ لَوْ كَانَ قَدْ دَفَعَ إِلَى الرَّاهِنِ فِي الِابْتِدَاءِ لَمْ يَبْرَأْ مِنْ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ، وَكَانَ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهِ. وَيَصِيرَ الْعَدْلُ مُتَطَوِّعًا بِقَضَاءِ دَيْنِ الْمُرْتَهِنِ.

Apabila telah tetap bahwa rahin berhak menuntut kepada siapa saja yang ia kehendaki di antara ‘adl dan pembeli, maka dilihat dahulu pada murtahin yang menerima barang. Jika ia menerima dari pembeli, maka pembeli berhak menuntut kembali kepadanya, karena murtahin tidak memiliki hak atas pembeli. Jika ia menerima dari ‘adl, maka ‘adl tidak berhak menuntut kembali kepadanya, karena jika ‘adl sejak awal telah membayar kepada rahin, ia tidak terbebas dari hak murtahin, dan murtahin tetap berhak menuntut kepadanya. Maka ‘adl menjadi orang yang secara sukarela membayarkan utang murtahin.

فَهَذَا الْكَلَامُ فِي إِخْلَالِهِ بِالشَّرْطِ الْأَوَّلِ.

Inilah pembahasan mengenai pelanggaran terhadap syarat pertama.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا إِخْلَالُهُ بِالشَّرْطِ الثَّانِي، وَهُوَ بَيْعُهُ بِغَالِبِ نَقْدِ الْبَلَدِ، فَإِذَا بَاعَهُ بِغَيْرِ الْغَالِبِ مِنْ نَقْدِ الْبَلَدِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْذَنَ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ بِهِ فَبَيْعُهُ بَاطِلٌ مَرْدُودٌ فَإِنْ فَاتَ رَدُّهُ كَانَ الْعَدْلُ ضَامِنًا لِجَمِيعِ الْقِيمَةِ قَوْلًا وَاحِدًا بِخِلَافِ مَا مَضَى مِنَ الْغَبِينَةِ فِي ثَمَنِهِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ.

Adapun pelanggaran terhadap syarat kedua, yaitu menjualnya dengan mata uang yang berlaku umum di negeri tersebut, maka jika ia menjualnya dengan mata uang selain yang berlaku umum di negeri itu tanpa izin dari rahin dan murtahin, maka penjualannya batal dan harus dikembalikan. Jika pengembaliannya tidak memungkinkan, maka ‘adl wajib menanggung seluruh nilai barang tersebut menurut satu pendapat, berbeda dengan kasus sebelumnya terkait kerugian harga menurut salah satu dari dua pendapat.

وَإِنَّمَا كَانَ هَهُنَا ضَامِنًا لِجَمِيعِ قِيمَتِهِ لأنه ليس جزء منه متميزا عن الضمان وسببه، وَالْغَبِينَةُ هُنَاكَ مُتَمَيِّزَةٌ مُقَدَّرَةٌ فَجَازَ أَنْ يَخْتَصَّ الضَّمَانُ بِهَا عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ.

Ia diwajibkan menanggung seluruh nilainya di sini karena tidak ada bagian dari barang tersebut yang terpisah dari jaminan dan sebabnya, sedangkan kerugian harga di sana adalah sesuatu yang terpisah dan terukur, sehingga boleh jaminan hanya khusus padanya menurut salah satu pendapat.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ ضَامِنٌ لِجَمِيعِ الْقِيمَةِ فَهُوَ عَلَى مَا مَضَى مِنْ مُطَالَبَةِ الْعَدْلِ وَالْمُشْتَرِي وَمَا يَتَفَرَّعُ عَلَى ذَلِكَ.

Apabila telah tetap bahwa ia wajib menanggung seluruh nilainya, maka berlaku ketentuan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mengenai tuntutan terhadap ‘adl dan pembeli serta cabang-cabang hukum yang berkaitan dengannya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا إِخْلَالُهُ بِالشَّرْطِ الثَّالِثِ وَهُوَ حُلُولُ الثَّمَنِ بِبَيْعِهِ بِثَمَنٍ مُؤَجَّلٍ فَبَيْعُهُ بَاطِلٌ فَإِنْ فَاتَ رَدُّهُ كَانَ مَضْمُونًا بِقِيمَتِهِ دُونَ ثَمَنِهِ سَوَاءٌ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنَ الثَّمَنِ أَوْ أَقَلَّ لِأَنَّ بُطْلَانَ الْبَيْعِ يُبْطِلُ حُكْمَ الثَّمَنِ، وَيُوجِبُ اعْتِبَارَ الْقِيمَةِ وَيَكُونُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْعَدْلِ وَالْمُشْتَرِي ضَامِنًا لِجَمِيعِ قِيمَتِهِ، وَلِلرَّاهِنِ الْخِيَارُ فِي مُطَالَبَةِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَلَا يَبْرَأُ الْمُشْتَرِي بِدَفْعِ الْقِيمَةِ إِلَى الْعَدْلِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا.

Adapun jika ia mengabaikan syarat ketiga, yaitu jatuh tempo pembayaran harga dengan menjualnya dengan harga yang ditangguhkan, maka jual belinya batal. Jika pengembalian barang tidak memungkinkan, maka barang tersebut menjadi tanggungan dengan nilainya, bukan dengan harganya, baik nilainya lebih besar maupun lebih kecil dari harga, karena batalnya jual beli membatalkan ketentuan harga dan mewajibkan untuk memperhitungkan nilai barang. Masing-masing dari pihak adil (penengah) dan pembeli bertanggung jawab atas seluruh nilai barang tersebut, dan pihak yang menggadaikan (rahin) memiliki hak untuk menuntut kepada salah satu dari keduanya, dan pembeli tidak terbebas dari tanggung jawab dengan membayar nilai barang kepada pihak adil, sebagaimana telah kami sebutkan.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَأَمَّا إِخْلَالُهُ بِالشَّرْطِ الرَّابِعِ وَهُوَ الِامْتِنَاعُ مِنْ تَسْلِيمِهِ قَبْلَ قَبْضِ ثَمَنِهِ فَيُسَلِّمُهُ إِلَى الْمُشْتَرِي قَبْلَ قَبْضِ ثَمَنِهِ، فَإِنَّهُ مَضْمُونٌ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْعَدْلِ وَالْمُشْتَرِي بِالثَّمَنِ الْمُسَمَّى دُونَ الْقِيمَةِ لِصِحَّةِ الْعَقْدِ وَلُزُومِ الثَّمَنِ فِيهِ وَلِلرَّاهِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالثَّمَنِ. فَإِنْ دَفَعَ الْمُشْتَرِي الثَّمَنَ إِلَى الْعَدْلِ بَرِئَ الْمُشْتَرِي مِنْهُ وَإِنْ كَانَ الْعَدْلُ ضَامِنًا لَهُ، لِأَنَّ ضَمَانَ الْعَدْلِ لَيْسَ بِضَمَانِ غَصْبٍ، وَإِنَّمَا هُوَ ضَمَانُ تَفْرِيطٍ سَبَبُهُ تَأْخِيرُ قَبْضِ الثَّمَنِ مِنَ الْمُشْتَرِي فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ قَبْضُ الْعَدْلِ مَانِعًا مِنْ بَرَاءَةِ الْمُشْتَرِي، وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِيمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْفُصُولِ الْمَاضِيَةِ، لِأَنَّ الْمُشْتَرِيَ لَا يَبْرَأُ بِمَا يَدْفَعُهُ إِلَى الْعَدْلِ إِذَا ضَمِنَهُ الْعَدْلُ، لِأَنَّ ضَمَانَهُ ضَمَانُ غَصْبٍ.

Adapun jika ia mengabaikan syarat keempat, yaitu menolak untuk menyerahkan barang sebelum menerima harganya, lalu ia menyerahkan barang tersebut kepada pembeli sebelum menerima harganya, maka barang tersebut menjadi tanggungan atas masing-masing dari pihak adil dan pembeli dengan harga yang telah disepakati, bukan dengan nilai barang, karena akadnya sah dan harga menjadi kewajiban di dalamnya. Pihak yang menggadaikan (rahin) boleh menuntut harga kepada salah satu dari keduanya. Jika pembeli membayar harga kepada pihak adil, maka pembeli terbebas dari tanggung jawab, meskipun pihak adil tetap bertanggung jawab, karena tanggungan pihak adil bukanlah tanggungan akibat perampasan (ghashb), melainkan tanggungan akibat kelalaian yang disebabkan oleh penundaan penerimaan harga dari pembeli. Maka tidak boleh penerimaan pihak adil menjadi penghalang bagi pembebasan pembeli. Hal ini berbeda dengan yang telah kami sebutkan dalam pasal-pasal sebelumnya, karena dalam hal itu pembeli tidak terbebas dengan apa yang ia bayarkan kepada pihak adil jika pihak adil menanggungnya, sebab tanggungannya adalah tanggungan akibat perampasan (ghashb).

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَأَمَّا إِخْلَالُهُ بِالشَّرْطِ الْخَامِسِ وَهُوَ بَيْعُهُ نَاجِزًا بِغَيْرِ خيار شرط فيبيعه باشتراط خِيَارِ الثَّلَاثِ فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ اسْتِحْبَابٌ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ، فَلَا يُبْطِلُ الْبَيْعَ وَلَا يُوجِبُ الضَّمَانَ، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ وَاجِبٌ كَانَ الْبَيْعُ بَاطِلًا فَإِنْ فَاتَ الرَّدُّ كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْعَدْلِ وَالْمُشْتَرِي ضَامِنًا لِلْقِيمَةِ دُونَ الثَّمَنِ، وَلَا يَبْرَأُ الْمُشْتَرِي بِدَفْعِ الْقِيمَةِ إِلَى الْعَدْلِ لِأَنَّهُ ضَامِنٌ لَهَا ضَمَانَ غَصْبٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun jika ia mengabaikan syarat kelima, yaitu menjualnya secara tunai tanpa syarat khiyār, lalu ia menjualnya dengan mensyaratkan khiyār selama tiga hari, maka jika kita katakan bahwa itu hanya mustahabb (anjuran) dan bukan wajib, maka hal itu tidak membatalkan jual beli dan tidak mewajibkan tanggungan. Namun jika kita katakan bahwa itu wajib, maka jual belinya batal. Jika pengembalian barang tidak memungkinkan, maka masing-masing dari pihak adil dan pembeli bertanggung jawab atas nilai barang, bukan harganya, dan pembeli tidak terbebas dari tanggung jawab dengan membayar nilai barang kepada pihak adil, karena ia menanggungnya dengan tanggungan akibat perampasan (ghashb). Allah Maha Mengetahui.

باب بيع الحاكم للرهن في الاستحقاق

(Bab: Jual Beli Hakim atas Barang Gadai dalam Kasus Istihqāq)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَإِذَا بِيعَ الرَّهْنُ فَثَمَنُهُ مِنَ الرَّاهِنِ حَتَى يَقْبِضَهُ الْمُرْتَهِنُ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Apabila barang gadai dijual, maka hasil penjualannya tetap menjadi milik pihak yang menggadaikan (rahin) hingga penerima gadai (murtahin) menerimanya.”

قَالَ الماوردي: وهذا صحيح.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.

إِذَا بِيعَ الرَّهْنُ فَثَمَنُهُ مِنَ الرَّاهِنِ حَتَى بَعْدَ حُلُولِ الْحَقِّ فَثَمَنُهُ فِي حُكْمِ الرَّهْنِ مَضْمُونٌ عَلَى الرَّاهِنِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ فَإِنْ تَلِفَ الثَّمَنُ فِي يَدِ الْعَدْلِ قَبْلَ قَبْضِ الْمُرْتَهِنِ كَانَ تَالِفًا مِنْ مَالِ الرَّاهِنِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ وَلَا ضَمَانَ عَلَى الْعَدْلِ مَا لَمْ يَتَعَدَّ أَوْ يُفَرِّطْ.

Apabila barang gadai dijual, maka hasil penjualannya tetap menjadi milik pihak yang menggadaikan (rahin) bahkan setelah jatuh tempo hak (pelunasan utang), sehingga hasil penjualannya menurut hukum gadai tetap menjadi tanggungan pihak yang menggadaikan, bukan penerima gadai (murtahin). Jika hasil penjualan tersebut rusak di tangan pihak adil sebelum diterima oleh penerima gadai, maka kerusakan itu menjadi tanggungan pihak yang menggadaikan, bukan penerima gadai, dan tidak ada tanggungan atas pihak adil selama ia tidak melampaui batas atau lalai.

وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ كَانَ الرَّاهِنُ هُوَ الَّذِي تَوَلَّى بَيْعَ الرَّهْنِ فَثَمَنُهُ مِنْ ضَمَانِ الرَّاهِنِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ، وَإِنْ كَانَ قَدْ بَاعَهُ الْعَدْلُ أَوِ الْحَاكِمُ فَثَمَنُهُ مِنْ ضَمَانِ الْمُرْتَهِنِ دُونَ الرَّاهِنِ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ الرَّهْنَ مَضْمُونٌ عَلَى مُرْتَهِنِهِ وَاسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الرَّهْنَ مَبِيعٌ فِي حَقِّ الْمُرْتَهِنِ، كَمَا أَنَّ الْعَبْدَ الْجَانِيَ مَبِيعٌ فِي حَقِّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ ثَمَنَ الْعَبْدِ الْجَانِي إِذَا بِيعَ مِنْ ضَمَانِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ دُونَ سَيِّدِهِ لِأَنَّهُ مَبِيعٌ فِي حَقِّهِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ ثَمَنُ الرَّهْنِ إِذَا بِيعَ مِنْ ضَمَانِ المرتهن مَبِيعٌ فِي حَقِّهِ، وَدَلِيلُنَا بِنَاءُ ذَلِكَ عَلَى أَصْلِنَا فِي أَنَّ الرَّهْنَ غَيْرُ مَضْمُونٍ عَلَى مُرْتَهِنِهِ، ثُمَّ مِنَ الدَّلِيلِ أَنَّ يَدَ الْعَدْلِ كيد الراهن لأن جواز بيعه وتصرفه موقوفا عَلَى إِذْنِ الرَّاهِنِ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الرَّاهِنَ إِذَا بَاعَ الرَّهْنَ كَانَ ثَمَنُهُ مِنْ ضَمَانِ الرَّاهِنِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ لِبَقَاءِ الرَّهْنِ عَلَى مِلْكِهِ فَوَجَبَ إِذَا بَاعَهُ الْعَدْلُ أَنْ يَكُونَ ثَمَنُهُ مِنْ ضَمَانِ الرَّاهِنِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ لِبَقَاءِ الرَّهْنِ عَلَى مِلْكِهِ.

Abu Hanifah berkata: Jika pihak yang menggadaikan (rahin) sendiri yang melakukan penjualan barang gadai, maka harga jualnya menjadi tanggungan rahin, bukan tanggungan murtahin (penerima gadai). Namun, jika yang menjual adalah pihak yang adil (al-‘adl) atau hakim, maka harga jualnya menjadi tanggungan murtahin, bukan rahin, berdasarkan pendapat dasarnya bahwa barang gadai menjadi tanggungan murtahin. Ia juga berdalil bahwa barang gadai itu dianggap sebagai barang yang dijual dalam hak murtahin, sebagaimana budak yang melakukan kejahatan (al-‘abd al-jani) dianggap sebagai barang yang dijual dalam hak orang yang menjadi korban (al-majnī ‘alayh). Telah tetap pula bahwa harga budak yang melakukan kejahatan, jika dijual, menjadi tanggungan al-majnī ‘alayh, bukan tuannya, karena ia dijual dalam haknya. Maka wajib pula bahwa harga barang gadai, jika dijual, menjadi tanggungan murtahin karena ia dijual dalam haknya. Adapun dalil kami, hal itu dibangun atas dasar bahwa barang gadai bukanlah tanggungan murtahin. Selain itu, dari sisi dalil, tangan al-‘adl itu seperti tangan rahin, karena keabsahan penjualan dan pengelolaannya bergantung pada izin rahin. Telah tetap pula bahwa jika rahin menjual barang gadai, maka harga jualnya menjadi tanggungan rahin, bukan murtahin, karena barang gadai tetap menjadi miliknya. Maka wajib pula, jika al-‘adl yang menjualnya, harga jualnya menjadi tanggungan rahin, bukan murtahin, karena barang gadai tetap menjadi miliknya.

وَتَحْرِيرُهُ أَنَّهُ مَبِيعٌ فِي الرَّهْنِ أَنْ يَكُونَ ثَمَنُهُ مِنْ ضَمَانِ الرَّاهِنِ أَصْلُهُ: إِذَا بَاعَهُ الرَّاهِنُ، وَلِأَنَّهُ ثَمَنٌ مَبِيعٌ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنْ ضَمَانِ الْمَالِكِ كَالْوَكِيلِ.

Penjelasannya adalah bahwa barang yang dijual dalam akad rahn (gadai), harga jualnya menjadi tanggungan rahin. Dasarnya: jika rahin yang menjualnya. Karena itu adalah harga barang yang dijual, maka wajib menjadi tanggungan pemilik, sebagaimana halnya seorang wakil.

وَأَمَّا ثَمَنُ الْعَبْدِ الْجَانِي فَهُوَ مِنْ ضَمَانِ السَّيِّدِ دُونَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ، أَلَا تَرَى أَنَّ الرُّجُوعَ بِالدَّرْكِ يَجِبُ عَلَى السَّيِّدِ دُونَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا بَطَلَ حَقُّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ بِتَلَفِ الثَّمَنِ وَإِنْ كَانَ مِنْ ضَمَانِ غَيْرِهِ كَمَا بَطَلَ حَقُّهُ بِتَلَفِ الْعَبْدِ الْجَانِي وَإِنْ كَانَ عَلَى ملك غيره والله أعلم.

Adapun harga budak yang melakukan kejahatan, maka itu menjadi tanggungan tuan (sayyid), bukan al-majnī ‘alayh. Tidakkah engkau melihat bahwa tuntutan pengembalian (rujū‘ bi al-darak) wajib atas tuan, bukan al-majnī ‘alayh? Hanya saja hak al-majnī ‘alayh gugur karena hilangnya harga jual, meskipun itu menjadi tanggungan selainnya, sebagaimana haknya juga gugur karena hilangnya budak yang melakukan kejahatan, meskipun budak itu milik orang lain. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ مَاتَ الرَّاهِنُ فَأَمَرَ الْحَاكِمُ عَدْلًا فَبَاعَ الرَّهْنَ وَضَاعَ الثَّمَنُ مِنْ يَدَيِ الْعَدْلِ فَاسْتَحَقَّ الرَّهْنَ لَمْ يَضْمَنِ الْحَاكِمُ وَلَا الْعَدْلُ لِأَنَّهُ أمين وأخذالْمُسْتَحِقُّ مَتَاعَهُ وَالْحَقُّ وَالثَّمَنُ فِي ذِمَّةِ الْمَيِّتِ والعهدة عليه كهي لَوْ بَاعَ عَلَى نَفْسِهِ فَلَيْسَ الَّذِي بِيعَ لَهُ الرَّهْنُ مِنَ الْعُهْدَةِ بِسَبِيلٍ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika rahin meninggal dunia, lalu hakim memerintahkan seorang yang adil untuk menjual barang gadai, kemudian harga jualnya hilang dari tangan al-‘adl, lalu barang gadai itu ternyata berhak dimiliki oleh orang lain (mustahiq), maka hakim dan al-‘adl tidak menanggung apa-apa, karena ia adalah orang yang dipercaya (amin), dan mustahiq mengambil barangnya, dan hak serta harga jual itu menjadi tanggungan si mayit, dan jaminan (al-‘uhdah) tetap atasnya, sebagaimana jika ia menjual untuk dirinya sendiri. Maka orang yang dibelikan barang gadai itu tidak berhak menuntut jaminan apa pun.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.

إِذَا كَانَ الرهن موضوعا عَلَى يَدَيْ عَدْلٍ فَلَيْسَ لِلْعَدْلِ بَيْعُ الرَّهْنِ عِنْدَ مَحَلِّ الْحَقِّ إِلَّا بِتَوْكِيلٍ مِنَ الرَّاهِنِ وَإِذْنٍ مِنَ الْمُرْتَهِنِ، فَحِينَئِذٍ يَجُوزُ لَهُ بَيْعُ الرَّهْنِ مَا بَقِيَ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ عَلَى إِذْنِهِمَا وَجَوَازِ أَمْرِهِمَا. فَإِنْ مَاتَ أَحَدُهُمَا أَوْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ فِي جَوَازِ أَمْرِهِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَدْلِ أَنْ يَبِيعَ إِلَّا بِأَمْرِ الْحَاكِمِ، فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا وَبَاعَ الْعَدْلُ الرَّهْنَ بِإِذْنِهِمَا أَوْ بِأَمْرِ الْحَاكِمِ عِنْدَ مَوْتِ الرَّاهِنِ مِنْهُمَا فَالثَّمَنُ مَضْمُونٌ عَلَى الرَّاهِنِ حَتَّى يَقْبِضَهُ الْمُرْتَهِنُ.

Jika barang gadai diletakkan di tangan seorang yang adil (al-‘adl), maka al-‘adl tidak boleh menjual barang gadai ketika tiba waktu pelunasan kecuali dengan perwakilan dari rahin dan izin dari murtahin. Pada saat itu, ia boleh menjual barang gadai selama rahin dan murtahin masih memberikan izin dan persetujuan. Jika salah satu dari keduanya meninggal atau keadaannya berubah sehingga tidak lagi bisa memberikan izin, maka al-‘adl tidak boleh menjual kecuali atas perintah hakim. Jika sudah demikian, dan al-‘adl menjual barang gadai dengan izin keduanya atau atas perintah hakim ketika rahin telah meninggal, maka harga jualnya menjadi tanggungan rahin sampai murtahin menerimanya.

فَلَوْ تَلِفَ الثَّمَنُ فِي يَدِ الْعَدْلِ فَإِنْ كَانَ بِتَفْرِيطٍ أَوْ تَعَدٍّ فِيهِ، فَالْعَدْلُ ضَامِنٌ لَهُ، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ تَفْرِيطٍ مِنْهُ وَلَا تَعَدٍّ فِيهِ فَلَا ضَمَانَ عَلَى الْعَدْلِ؛ لِأَنَّهُ أَمِينٌ وَهُوَ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ تَالِفٌ مِنْ مَالِ الرَّاهِنِ، وَعَلَى مَذْهَبِ أبي حنيفة أَنَّهُ تَالِفٌ مِنْ مَالِ الْمُرْتَهِنِ لِأَنَّهُ مَضْمُونٌ عَلَيْهِ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ فِيهِ. فَلَوِ اسْتَحَقَّ الرَّهْنَ الْمَبِيعَ في يد مشتريه بعد تلف الثمن في يد العدل كانت عهدة المبيع بِالثَّمَنِ، مِنْ مَالِ الرَّاهِنِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ.

Jika harga jual itu rusak di tangan al-‘adl, maka jika karena kelalaian atau pelanggaran darinya, al-‘adl wajib menanggungnya. Namun jika tanpa kelalaian atau pelanggaran darinya, maka tidak ada tanggungan atas al-‘adl, karena ia adalah orang yang dipercaya. Menurut mazhab Syafi‘i, kerusakan itu menjadi tanggungan harta rahin, sedangkan menurut mazhab Abu Hanifah, kerusakan itu menjadi tanggungan harta murtahin karena ia menjadi tanggungannya, dan telah dijelaskan pembahasannya sebelumnya. Jika barang gadai yang telah dijual itu ternyata berhak dimiliki oleh orang lain di tangan pembelinya setelah harga jualnya rusak di tangan al-‘adl, maka jaminan barang yang dijual dengan harga tersebut berasal dari harta rahin, bukan murtahin.

وَقَالَ أبو حنيفة عُهْدَةُ الْمَبِيعِ فِي رُجُوعِ الْمُشْتَرِي بِالثَّمَنِ فِي مَالِ الْمُرْتَهِنِ دُونَ الرَّاهِنِ بِنَاءً على أصله في أن لثمن الرهن الْمَبِيعِ مَضْمُونٌ عَلَى الْمُرْتَهِنِ دُونَ الرَّاهِنِ، وَنَحْنُ نَبْنِي ذَلِكَ عَلَى أَصْلِنَا فِي أَنَّ ثَمَنَ الرَّهْنِ الْمَبِيعِ مَضْمُونٌ عَلَى الرَّاهِنِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي الْأَصْلِ فَأَغْنَى عَنْ تَجْدِيدِهِ فِي الْفَرْعِ.

Abu Hanifah berkata: Tanggung jawab atas barang yang dijual dalam hal pembeli ingin mengembalikan harga berada pada harta pihak murtahin (penerima gadai), bukan pada rahin (pemberi gadai), berdasarkan pendapat dasarnya bahwa harga barang gadai yang dijual menjadi tanggungan murtahin, bukan rahin. Sedangkan kami membangun hal ini di atas pendapat dasar kami bahwa harga barang gadai yang dijual menjadi tanggungan rahin, bukan murtahin. Pembahasan tentang dasar ini telah dijelaskan sebelumnya sehingga tidak perlu diulang dalam cabang masalah ini.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ رُجُوعَ الْمُشْتَرِي بِالثَّمَنِ يَكُونُ فِي مَالِ الرَّاهِنِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الرَّاهِنِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika telah tetap bahwa pengembalian harga oleh pembeli itu berada pada harta rahin, bukan pada murtahin, maka keadaan rahin tidak lepas dari dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُوسِرًا بِدَفْعِ الثَّمَنِ وَغَيْرِهِ مِنْ قَضَاءِ الدُّيُونِ فَالْمُشْتَرِي وَجَمِيعُ الْغُرَمَاءِ فِيهِ أُسْوَةٌ لِأَنَّ اتِّسَاعَ الْمَالِ يَمْنَعُ مِنَ الْمُزَاحَمَةِ وَلَا يُوجِبُ تَقْدِيمَ بَعْضِ الْحُقُوقِ فَصَارُوا فِيهِ أُسْوَةً.

Pertama: Rahin adalah orang yang mampu membayar harga dan melunasi utang-utang lainnya, maka pembeli dan seluruh kreditur (ghurama’) memiliki kedudukan yang sama dalam hal ini, karena kelapangan harta menghalangi terjadinya persaingan dan tidak mengharuskan adanya pengutamaan sebagian hak atas yang lain, sehingga mereka semua setara dalam hal itu.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُعْسِرًا يَضِيقُ مَالُهُ عَنْ دَفْعِ الثَّمَنِ وَقَضَاءِ الدُّيُونِ وَهُوَ مَحْجُورٌ عَلَيْهِ بِالْفَلَسِ فَالَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ أَنَّ الْمُشْتَرِيَ يُقَدَّمُ بِدَفْعِ الثَّمَنِ عَلَى جَمِيعِ الْغُرَمَاءِ، ثُمَّ يُدْفَعُ مَا بَقِيَ إِلَى الْغُرَمَاءِ، وَالَّذِي نَقَلَهُ الرَّبِيعُ وَحَرْمَلَةُ أَنَّ الْمُشْتَرِيَ يَكُونُ أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ.

Kedua: Rahin adalah orang yang tidak mampu, hartanya tidak cukup untuk membayar harga dan melunasi utang, dan ia telah dinyatakan pailit (mahjur ‘alaih bil-falas). Menurut riwayat al-Muzani, pembeli didahulukan dalam pembayaran harga atas seluruh kreditur, kemudian sisanya diberikan kepada para kreditur. Sedangkan menurut riwayat ar-Rabi‘ dan Harmalah, pembeli diperlakukan sama dengan para kreditur.

يَتَحَاصُّونَ مَعًا فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى طَرِيقَيْنِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ الْمَسْأَلَةُ عَلَى قَوْلَيْنِ لِظَاهِرِ النَّصِّ فِي الْمَوْضِعَيْنِ أَحَدُهُمَا مَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ أَنَّ الْمُشْتَرِيَ يُقَدَّمُ بِدَفْعِ الثَّمَنِ على جميع الْغُرَمَاءِ لِمَعْنَيَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّ الْمُشْتَرِيَ لَمْ يَدْخُلْ فِي الْعَقْدِ رَاضِيًا بِذِمَّتِهِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُسَوَّى بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ رَاضَاهُ عَلَى ذِمَّتِهِ وَالثَّانِي أَنَّا لَوْ لَمْ نُقَدِّمْهُ بِهِ لَأَدَّى إِلَى الِامْتِنَاعِ مِنَ ابْتِيَاعِ مَالِ الْمُفْلِسِ خَوْفًا مِنَ اسْتِحْقَاقِ الْمَبِيعِ وَدُخُولِ الضَّرَرِ فِي تَأْخِيرِ الثَّمَنِ فَوَجَبَ تَقْدِيمُهُ بِهِ كَمَا وَجَبَ تَقْدِيمُ الْمُنَادِي بِأُجْرَتِهِ وَالدَّلَّالِ بِجَعَالَتِهِ، لِيُقْدِمَ النَّاسُ عَلَى مُعَامَلَتِهِ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي مَا نَقَلَهُ الرَّبِيعُ وَحَرْمَلَةُ أَنَّ الْمُشْتَرِيَ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ لِاسْتِوَائِهِ وَإِيَّاهُمْ فِي تَعَلُّقِ الْغُرْمِ بِذِمَّتِهِ وَلَا يَجِبُ تَقْدِيمُ الْمُشْتَرِي عَلَيْهِمْ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ بِذِمَّتِهِ بِدَلِيلِ أَنَّ الْمُفْلِسَ لَوْ جَنَى عَلَى مَالِ رَجُلٍ فَتَعَلَّقَ الْغُرْمُ بِذِمَّتِهِ كَانَ أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ بِذِمَّتِهِ.

Mereka saling berbagi secara proporsional. Maka para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat: sebagian dari mereka mengatakan bahwa masalah ini memang memiliki dua pendapat, sesuai dengan zahir nash pada kedua tempat tersebut. Salah satunya adalah riwayat al-Muzani bahwa pembeli didahulukan dalam pembayaran harga atas seluruh kreditur karena dua alasan: pertama, pembeli tidak masuk dalam akad dengan rela menanggung utang rahin, sehingga tidak boleh disamakan antara dia dengan orang yang rela menanggung utang rahin; kedua, jika tidak didahulukan, maka akan menyebabkan orang enggan membeli harta orang yang pailit karena khawatir barang yang dibeli ternyata milik orang lain dan menimbulkan kerugian akibat penundaan pembayaran harga. Maka wajib mendahulukannya, sebagaimana wajib mendahulukan petugas lelang dengan upahnya dan makelar dengan jasanya, agar orang-orang mau bertransaksi dengannya. Pendapat kedua adalah riwayat ar-Rabi‘ dan Harmalah bahwa pembeli setara dengan para kreditur, karena sama-sama terkait dengan utang rahin, dan tidak wajib mendahulukan pembeli atas mereka, meskipun ia tidak rela menanggung utang rahin. Buktinya, jika orang yang pailit melakukan tindak pidana terhadap harta seseorang sehingga utang terkait dengan dirinya, maka ia tetap setara dengan para kreditur meskipun ia tidak rela menanggung utang tersebut.

وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ حَمَلَ اخْتِلَافَ النَّصِّ فِي الْمَوْضِعَيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَالْمَوْضِعُ الَّذِي نَقَلَ مِنْهُ الْمُزَنِيُّ أَنَّ الْمُشْتَرِيَ يُقَدَّمُ عَلَى جَمِيعِ الْغُرَمَاءِ إِذَا لَمْ يُفَكَّ الْحَجْرُ عَنِ الْمُفْلِسِ فَيُقَدَّمُ الْمُشْتَرِي عَلَى جَمِيعِ الْغُرَمَاءِ وَالْمَوْضِعُ الَّذِي نَقَلَ مِنْهُ الرَّبِيعُ وَحَرْمَلَةُ أَنَّ الْمُشْتَرِيَ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ إِذَا فُكَّ الْحَجْرُ عَنْهُ ثُمَّ اسْتَحَقَّ الْمَبِيعَ مِنْ يَدَيِ الْمُشْتَرِي فَصَارَ الثَّمَنُ مَعَ بَاقِي الدُّيُونِ فِي ذِمَّتِهِ، ثُمَّ أَصَابَ مَا لَا يُحْجَرُ عَلَيْهِ فَإِنَّ الْمُشْتَرِيَ أسوة الغرماء.

Sebagian ulama kami menafsirkan perbedaan nash pada dua tempat tersebut sebagai perbedaan dua keadaan: tempat yang diriwayatkan oleh al-Muzani, yaitu pembeli didahulukan atas seluruh kreditur, adalah jika status pailit belum dicabut dari orang yang pailit, maka pembeli didahulukan atas seluruh kreditur. Adapun tempat yang diriwayatkan oleh ar-Rabi‘ dan Harmalah, yaitu pembeli setara dengan para kreditur, adalah jika status pailit telah dicabut darinya, kemudian barang yang dibeli ternyata milik orang lain dan diambil dari tangan pembeli, maka harga barang tersebut bersama utang-utang lainnya menjadi tanggungan rahin, lalu ia memperoleh harta yang tidak terkena status pailit, maka pembeli setara dengan para kreditur.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ بَاعَ الْعَدْلُ فَقَبَضَ الثَّمَنَ فَقَالَ ضَاعَ فَهُوَ مُصَدَّقٌ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika orang yang adil menjual barang lalu menerima harga, kemudian ia berkata bahwa harga tersebut hilang, maka ia dipercaya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.

إذا قَالَ الْعَدْلُ الْمَأْمُونُ بِبَيْعِ الرَّهْنِ قَدْ بِعْتُهُ وَقَبَضْتُ ثَمَنَهُ وَضَاعَ مِنْ يَدَيَّ فَقَوْلُهُ مَقْبُولٌ لِأَنَّهُ أَمِينٌ وَقَوْلُ الْأَمِينِ فِي تَلَفِ مَا بِيَدِهِ مَقْبُولٌ، كَالْمُودَعِ وَالْوَكِيلِ فَأَمَّا وُجُوبُ الْيَمِينِ عَلَيْهِ فَمُعْتَبَرَةٌ بِمَا يَكُونُ مِنْ تَصْدِيقِ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ أَوْ تَكْذِيبِهِمَا لِأَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَقًّا وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يَخْلُو الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ، أَحَدُهَا أَنْ يُصَدِّقَا جَمِيعًا الْعَدْلَ عَلَى تَلَفِ الرَّهْنِ فِي يَدِهِ، فَلَا يَجِبُ عَلَى الْعَدْلِ الْيَمِينُ بِتَصْدِيقِهِمَا وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يُكَذِّبَا جَمِيعًا الْعَدْلَ فِي تَلَفِ الثَّمَنِ مِنْ يَدِهِ فَعَلَى الْعَدْلِ الْيَمِينُ، لِأَنَّهُمَا بِالتَّكْذِيبِ يَدَّعِيَانِ عَلَيْهِ اسْتِحْقَاقَ الثَّمَنِ فِي يَدِهِ فَإِنْ حَلَفَ بَرِئَ مِنَ الْحُكْمِ مِنَ الثَّمَنِ، وَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ رُدَّتْ عَلَى الرَّاهِنِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ لِأَنَّ الثَّمَنَ عَلَى مِلْكِهِ، فَإِنْ حلف الراهن كان على العدل عزم الثَّمَنِ وَكَانَ حَقُّ الْمُرْتَهِنِ مُتَعَلِّقًا بِهِ يَسْتَوْفِيهِ مِنْهُ وَإِنْ نَكَلَ الرَّاهِنُ وَبَذَلَ الْمُرْتَهِنُ الْيَمِينَ لِأَجْلِ أَنَّ الثَّمَنَ صَائِرٌ إِلَيْهِ، فَهَلْ يَجُوزُ أَنْ تُرَدَّ الْيَمِينُ عَلَيْهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي اخْتِلَافِ غُرَمَاءَ الْمُفْلِسِ فِيمَا نَكَلَ عَنْهُ الْمُفْلِسُ.

Jika seorang ‘adl yang dipercaya berkata tentang penjualan barang gadai, “Saya telah menjualnya, menerima harganya, lalu barang itu hilang dari tangan saya,” maka ucapannya diterima karena ia adalah orang yang amanah, dan ucapan orang yang amanah tentang kerusakan barang yang ada di tangannya diterima, seperti halnya pada orang yang dititipi (muwadda‘) dan wakil. Adapun kewajiban sumpah atasnya, maka hal itu bergantung pada apakah pihak rahin (penggadai) dan murtahin (penerima gadai) membenarkan atau mendustakannya, karena masing-masing dari keduanya memiliki hak. Jika demikian, maka rahin dan murtahin tidak lepas dari empat keadaan: Pertama, keduanya sama-sama membenarkan ‘adl atas kerusakan barang gadai di tangannya, maka tidak wajib atas ‘adl untuk bersumpah karena keduanya telah membenarkannya. Keadaan kedua, keduanya sama-sama mendustakan ‘adl atas kerusakan harga di tangannya, maka atas ‘adl wajib bersumpah, karena dengan pendustaan itu keduanya menuntut hak atas harga yang ada di tangannya. Jika ia bersumpah, ia terbebas dari tuntutan hukum atas harga tersebut. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada rahin saja, tidak kepada murtahin, karena harga itu adalah miliknya. Jika rahin bersumpah, maka ‘adl wajib mengganti harga tersebut dan hak murtahin terkait dengannya, sehingga ia dapat mengambil haknya dari harga itu. Jika rahin enggan bersumpah dan murtahin bersedia bersumpah karena harga itu akan menjadi miliknya, maka apakah boleh sumpah dikembalikan kepadanya atau tidak? Ada dua pendapat yang didasarkan pada perbedaan pendapat tentang perbedaan para kreditur orang yang bangkrut dalam hal yang diingkari oleh orang yang bangkrut itu.

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْيَمِينَ تُرَدُّ عَلَى الْمُرْتَهِنِ فَإِنْ حَلَفَ وَجَبَ عَلَى الْعَدْلِ غَرَامَةُ الثَّمَنِ لِيَسْتَوْفِيَ الْمُرْتَهِنُ حَقَّهُ وَإِنْ نَكَلَ بَرِئَ الْعَدْلُ،

Salah satunya: Sumpah dikembalikan kepada murtahin. Jika ia bersumpah, maka ‘adl wajib mengganti harga tersebut agar murtahin dapat mengambil haknya. Jika ia enggan bersumpah, maka ‘adl terbebas.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا تُرَدُّ الْيَمِينُ عَلَى الْمُرْتَهِنِ، فَعَلَى هَذَا القول برئ من الثمن بنكول الراهن، والحال الثَّالِثَةُ: أَنْ يُصَدِّقَ الْمُرْتَهِنُ وَيُكَذِّبَ الرَّاهِنُ فَعَلَى الْعَدْلِ الْيَمِينُ لِأَنَّ الثَّمَنَ مِلْكٌ لِلرَّاهِنِ فَلَا يُمْنَعُ الرَّاهِنُ مِنْ إِحْلَافِ الْعَدْلِ عَلَى مِلْكِهِ لِأَجْلِ تَصْدِيقِ غَيْرِهِ، فَإِنْ حَلَفَ الْعَدْلُ بَرِئَ من الثمن، وإن نكل عن اليمين ردت الْيَمِينُ عَلَى الرَّاهِنِ، فَإِنْ حَلَفَ الرَّاهِنُ وَجَبَ عَلَى الْعَدْلِ غَرَامَةُ الثَّمَنِ، فَإِذَا غَرِمَ الثَّمَنَ اخْتُصَّ بِهِ الرَّاهِنُ وَلَمْ يَكُنْ لِلْمُرْتَهِنِ فِيهِ حَقٌّ لِإِقْرَارِهِ بِتَلَفِ مَا كَانَ حَقُّهُ مُتَعَلِّقًا بِهِ، فَإِنْ سَأَلَ الرَّاهِنُ أَنْ يَقْبِضَ الْمُرْتَهِنُ حَقَّهُ مِنْ هَذَا الثَّمَنِ لِتَبْرَأَ ذِمَّتُهُ، فَوَاجِبٌ عَلَى الْمُرْتَهِنِ أَنْ يَقْبِضَ حَقَّهُ مِنَ الثَّمَنِ الَّذِي غَرِمَهُ الْعَدْلُ وَيُبَرِّئُ الرَّاهِنَ مِنْ حَقِّهِ، فَإِنْ قَبَضَ الْمُرْتَهِنُ حَقَّهُ مِنْ هَذَا الثَّمَنِ بَرِئَ الرَّاهِنُ مِنْ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ وَوَجَبَ عَلَى الْمُرْتَهِنِ أَنْ يَرُدَّ مَا قَبَضَهُ مِنْ ذَلِكَ عَلَى الْعَدْلِ، لِأَنَّ الْمُرْتَهِنَ يُقِرُّ أَنَّ الْعَدْلَ مظلوم به وأنه باق على ملكه.

Pendapat kedua: Sumpah tidak dikembalikan kepada murtahin. Maka menurut pendapat ini, ‘adl terbebas dari harga dengan keengganan rahin untuk bersumpah. Keadaan ketiga: Murtahin membenarkan dan rahin mendustakan, maka atas ‘adl wajib bersumpah karena harga itu milik rahin, sehingga rahin tidak dicegah untuk meminta sumpah dari ‘adl atas miliknya hanya karena ada pembenaran dari pihak lain. Jika ‘adl bersumpah, ia terbebas dari harga tersebut. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada rahin. Jika rahin bersumpah, maka ‘adl wajib mengganti harga tersebut. Jika ia telah mengganti harga, maka harga itu menjadi milik rahin dan murtahin tidak memiliki hak atasnya karena ia telah mengakui bahwa haknya telah hilang dari barang yang menjadi haknya. Jika rahin meminta agar murtahin mengambil haknya dari harga tersebut agar ia terbebas dari tanggungannya, maka wajib bagi murtahin untuk mengambil haknya dari harga yang telah diganti oleh ‘adl dan membebaskan rahin dari haknya. Jika murtahin telah mengambil haknya dari harga tersebut, maka rahin terbebas dari hak murtahin dan wajib bagi murtahin untuk mengembalikan apa yang telah ia terima dari harga itu kepada ‘adl, karena murtahin mengakui bahwa ‘adl telah dizalimi dengan harga itu dan harga itu tetap menjadi miliknya.

والحال الرَّابِعَةُ: أَنْ يُصَدِّقَ الرَّاهِنُ وَيُكَذِّبَ الْمُرْتَهِنُ، فَإِنْ كَانَ الرَّاهِنُ مُوسِرًا أُجْبِرَ عَلَى دَفْعِهِ لِلْمُرْتَهِنِ وَلَمْ يَكُنْ لِلْمُرْتَهِنِ إِحْلَافُ الْعَدْلِ، وَقَدْ بَرِئَ الْعَدْلُ بِتَصْدِيقِ الرَّاهِنِ، وَإِنْ كَانَ الرَّاهِنُ مُعْسِرًا فَهَلْ تَسْقُطُ الْيَمِينُ عَنِ الْعَدْلِ بِتَصْدِيقِ الرَّاهِنِ أَوْ يَجِبُ عَلَيْهِ لِأَجْلِ تَكْذِيبِ الْمُرْتَهِنِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مُخَرَّجَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي مُدَّعِي جِنَايَةِ الْعَبْدِ الْمَرْهُونِ إِذَا صَدَّقَهُ الرَّاهِنُ وَكَذَّبَهُ الْمُرْتَهِنُ هَلْ يَثْبُتُ حَقُّهُ فِي رَقَبَةِ الْعَبْدِ الْمَرْهُونِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ، كَذَلِكَ الْعَدْلُ إِذَا ادَّعَى تَلَفَ الثَّمَنِ فَصَدَّقَهُ الرَّاهِنُ وَكَذَّبَهُ الْمُرْتَهِنُ كَانَ عَلَى وَجْهَيْنِ مُخَرَّجَيْنِ مِمَّا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ – أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ أَنَّ الْعَدْلَ قَدْ بَرِئَ بِتَصْدِيقِ الرَّاهِنِ وَلَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ إِحْلَافُهُ، وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَبْرَأُ بِتَصْدِيقِ الرَّاهِنِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَحْلِفَ لِلْمُرْتَهِنِ فَإِنْ حَلَفَ الْعَدْلُ لِلْمُرْتَهِنِ بَرِئَ مِنَ الْحُكْمِ، وَإِنْ نَكَلَ الْعَدْلُ عَنِ الْيَمِينِ فَهَلْ يَجُوزُ أَنْ تُرَدَّ عَلَى الْمُرْتَهِنِ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ، أَحَدُهُمَا: لَا تُرَدُّ عَلَيْهِ لِأَنَّ الثَّمَنَ مِلْكٌ لِغَيْرِهِ، وَالثَّانِي: تُرَدُّ الْيَمِينُ عَلَيْهِ لِأَنَّ الثَّمَنَ صَائِرٌ إِلَيْهِ.

Keadaan keempat: Apabila pihak rāhin membenarkan dan pihak murtahin mendustakan, maka jika rāhin adalah orang yang mampu, ia dipaksa untuk membayar kepada murtahin dan murtahin tidak berhak meminta sumpah dari pihak ‘adl, dan ‘adl telah bebas dari tanggung jawab dengan adanya pembenaran dari rāhin. Namun, jika rāhin adalah orang yang tidak mampu, apakah sumpah gugur dari ‘adl karena pembenaran rāhin, ataukah tetap wajib atasnya karena pendustaan murtahin? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang diambil dari perbedaan pendapat Imam Syafi‘i dalam kasus orang yang menuduh adanya jināyah (pelanggaran) terhadap budak yang digadaikan, apabila rāhin membenarkan dan murtahin mendustakan, apakah haknya tetap ada pada budak yang digadaikan atau tidak? Ada dua pendapat. Demikian pula, jika ‘adl mengaku harga (barang) telah rusak, lalu rāhin membenarkan dan murtahin mendustakan, maka ada dua wajah (pendapat) yang diambil dari dua pendapat yang telah disebutkan: salah satunya, bahwa ‘adl telah bebas dengan pembenaran rāhin dan murtahin tidak berhak meminta sumpah darinya; dan yang kedua, bahwa ‘adl tidak bebas hanya dengan pembenaran rāhin, dan ia wajib bersumpah kepada murtahin. Jika ‘adl bersumpah kepada murtahin, maka ia bebas dari hukum, dan jika ‘adl enggan bersumpah, apakah sumpah itu boleh dialihkan kepada murtahin atau tidak? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah lalu: salah satunya, tidak boleh dialihkan karena harga tersebut adalah milik orang lain; dan yang kedua, sumpah boleh dialihkan kepadanya karena harga itu akan berpindah kepadanya.

فَعَلَى هَذَا إِذَا حَلَفَ الْمُرْتَهِنُ وَجَبَ عَلَى الْعَدْلِ غَرَامَةُ الثَّمَنِ ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُ الثَّمَنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Berdasarkan hal ini, jika murtahin bersumpah, maka wajib atas ‘adl untuk mengganti harga tersebut. Selanjutnya, keadaan harga tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الثَّمَنُ بِإِزَاءِ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نَقْصٍ فَلَهُ مُطَالَبَةُ الْعَدْلِ بِجَمِيعِهِ، فَإِذَا قَبَضَ ذَلِكَ مِنْهُ سَقَطَ حَقُّ الْمُرْتَهِنِ مِنْ ذِمَّةِ الرَّاهِنِ لِإِقْرَارِهِ بِقَبْضِهِ.

Pertama: Jika harga tersebut sebanding dengan hak murtahin, tidak lebih dan tidak kurang, maka murtahin berhak menuntut seluruhnya dari ‘adl. Jika ia telah menerima seluruhnya, maka hak murtahin atas rāhin gugur karena ia telah mengakui telah menerimanya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الثَّمَنُ أَقَلَّ مِنْ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ فَلَهُ قَبْضُ جَمِيعِ الثَّمَنِ وَمُطَالَبَةُ الرَّاهِنِ بِمَا بَقِيَ مِنْ حَقِّهِ بَعْدَ قَبْضِ الثَّمَنِ.

Bagian kedua: Jika harga tersebut lebih sedikit dari hak murtahin, maka murtahin berhak menerima seluruh harga dan menuntut rāhin atas sisa haknya setelah menerima harga tersebut.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الثَّمَنُ أَكْثَرَ مِنْ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ، فَلَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ إِلَّا قِدْرَ حَقِّهِ، فَإِذَا أَخَذَ قَدْرَ حَقِّهِ بَرِئَ الرَّاهِنُ مِنْهُ، وَلَيْسَ لِلرَّاهِنِ مُطَالَبَةُ الْعَدْلِ بما بقي من الثمن يعد حَقِّ الْمُرْتَهِنِ لِأَنَّهُ مُقِرٌّ أَنَّ الْعَدْلَ مَظْلُومٌ بِجَمِيعِ الثَّمَنِ، فَإِنْ قِيلَ، فَإِذَا كَانَ مَا قبضه الْمُرْتَهِنُ ظُلْمًا فَكَيْفَ يَبْرَأُ بِهِ الرَّاهِنُ؟ قُلْنَا إِنَّمَا سَقَطَتِ الْمُطَالَبَةُ عَنْهُ، فَأَمَّا بَرَاءَةُ ذِمَّتِهِ من الباطن فالله أعلم بذلك.

Bagian ketiga: Jika harga tersebut lebih banyak dari hak murtahin, maka murtahin tidak berhak mengambil darinya kecuali sebesar haknya saja. Jika ia telah mengambil sebesar haknya, maka rāhin terbebas darinya, dan rāhin tidak berhak menuntut ‘adl atas sisa harga setelah hak murtahin, karena ia telah mengakui bahwa ‘adl telah dizalimi dengan seluruh harga tersebut. Jika dikatakan, “Jika apa yang diterima murtahin itu secara zalim, bagaimana rāhin bisa terbebas darinya?” Kami katakan, yang gugur hanyalah tuntutan darinya, adapun kebebasan tanggung jawabnya secara batin, maka Allah-lah yang lebih mengetahui hal itu.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ قَالَ دَفَعْتُهُ إِلَى الْمُرْتَهِنِ وَأَنْكَرَ ذَلِكَ الْمُرْتَهِنُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ وَعَلَى الدَّافِعِ الْبَيِّنَةُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Saya telah menyerahkannya kepada murtahin,’ lalu murtahin mengingkari hal itu, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan murtahin, dan pihak yang menyerahkan wajib mendatangkan bukti.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْعَدْلَ إِذَا بَاعَ الرَّهْنَ بِإِذْنِ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ، فَلَيْسَ لَهُ دَفْعُ ثَمَنِهِ إِلَى الْمُرْتَهِنِ إِلَّا بِإِذْنِ الرَّاهِنِ لِبَقَائِهِ عَلَى مِلْكِهِ وَلَا لَهُ دَفْعُ ثَمَنِهِ إِلَى الرَّاهِنِ إِلَّا بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ لِتَعَلُّقِ حَقِّهِ بِهِ، وَالْوَاجِبُ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَيْهِمَا مَعًا، أَوْ إِلَى أَحَدِهِمَا بِإِذْنِ صَاحِبِهِ لِتَعَلُّقِ حَقِّ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِهِ، فَإِنْ أَذِنَ لَهُ الرَّاهِنُ فِي دَفْعِهِ إِلَى الْمُرْتَهِنِ جَازَ وَكَانَ وَكِيلًا لَهُ فِي قَضَاءِ الْحَقِّ عَنْهُ، فَإِنْ رَجَعَ الرَّاهِنُ عَنْ إِذْنِهِ قَبْلَ دَفْعِهِ إِلَى الْمُرْتَهِنِ بَطَلَتْ وَكَالَةُ الْعَدْلِ فِي قَضَاءِ الْحَقِّ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ دَفْعُ الثَّمَنِ إِلَى الْمُرْتَهِنِ فَإِنْ دَفَعَهُ إِلَى الْمُرْتَهِنِ بَعْدَ رُجُوعِ الرَّاهِنِ، كَانَ دَافِعًا لَهُ بِغَيْرِ إِذْنِ الرَّاهِنِ فَصَارَ لَهُ ضَامِنًا.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa apabila seorang adil menjual barang gadai dengan izin pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin), maka ia tidak boleh menyerahkan harganya kepada murtahin kecuali dengan izin rahin karena barang tersebut masih menjadi milik rahin, dan ia juga tidak boleh menyerahkan harganya kepada rahin kecuali dengan izin murtahin karena adanya hak murtahin yang terkait dengannya. Yang wajib adalah ia menyerahkannya kepada keduanya sekaligus, atau kepada salah satu dari keduanya dengan izin yang lain, karena hak masing-masing dari keduanya terkait dengannya. Jika rahin mengizinkannya untuk menyerahkan kepada murtahin, maka itu boleh dan ia menjadi wakil rahin dalam melunasi haknya. Jika rahin menarik kembali izinnya sebelum harga itu diserahkan kepada murtahin, maka batalah keagenan adil dalam pelunasan hak tersebut dan ia tidak boleh menyerahkan harga itu kepada murtahin. Jika ia tetap menyerahkannya kepada murtahin setelah rahin menarik kembali izinnya, maka ia telah menyerahkan tanpa izin rahin sehingga ia menjadi penjamin atas harga tersebut.

فَإِنْ أَذِنَ الْمُرْتَهِنُ لِلْعَدْلِ فِي دَفْعِ الثَّمَنِ إِلَى الرَّاهِنِ كَانَ ذَلِكَ إِبْطَالًا لِحَقِّ وَثِيقَتِهِ فِي الثَّمَنِ، فَإِنْ رَجَعَ الْمُرْتَهِنُ عَنْ إِذْنِهِ قَبْلَ دَفْعِ الثَّمَنِ إِلَى الرَّاهِنِ، لَمْ يَكُنْ لِرُجُوعِهِ تَأْثِيرٌ لِبُطْلَانِ حَقِّهِ مِنَ الْوَثِيقَةِ بِالْإِذْنِ الْمُتَقَدِّمِ وَكَانَ لِلْعَدْلِ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَى الرَّاهِنِ.

Jika murtahin mengizinkan adil untuk menyerahkan harga kepada rahin, maka hal itu berarti menggugurkan hak jaminannya atas harga tersebut. Jika murtahin menarik kembali izinnya sebelum harga diserahkan kepada rahin, maka penarikan izin itu tidak berpengaruh karena hak jaminannya telah gugur dengan izin yang telah diberikan sebelumnya, dan adil boleh menyerahkan harga itu kepada rahin.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْجُمْلَةُ، وَكَانَ ثَمَنُ الرَّهْنِ بِيَدِ الْعَدْلِ فَادَّعَى تَسْلِيمَهُ وَدَفْعَهُ فَهَذَا عَلَى ثلاثة أحوال.

Setelah penjelasan ini dipaparkan, apabila harga barang gadai berada di tangan adil lalu ia mengaku telah menyerahkannya, maka ada tiga keadaan.

أَحَدُهَا: أَنْ يَدَّعِيَ تَسْلِيمَهُ إِلَى الرَّاهِنِ.

Pertama: Ia mengaku telah menyerahkannya kepada rahin.

وَالثَّانِي: أَنْ يَدَّعِيَ تَسْلِيمَهُ إِلَى الْمُرْتَهِنِ.

Kedua: Ia mengaku telah menyerahkannya kepada murtahin.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَدَّعِيَ تَسْلِيمَهُ إِلَى الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ.

Ketiga: Ia mengaku telah menyerahkannya kepada rahin dan murtahin sekaligus.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَدَّعِيَ تَسْلِيمَ الثَّمَنِ إِلَى الرَّاهِنِ، فَعَلَى أَرْبَعَةِ أَضْرُبٍ:

Adapun bagian pertama, yaitu ia mengaku telah menyerahkan harga kepada rahin, maka terdapat empat bentuk:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الْمُرْتَهِنُ قَدْ أَذِنَ لَهُ بِالدَّفْعِ، وَالرَّاهِنُ مُقِرٌّ بِالْقَبْضِ، فَقَدْ بَرِئَ الْعَدْلُ مِنْ مُطَالَبَةِ الْمُرْتَهِنِ بِإِذْنِهِ، وَبَرِئَ مِنْ مُطَالَبَةِ الرَّاهِنِ بِقَبْضِهِ، وَيَكُونُ حَقُّ الْمُرْتَهِنِ بَاقِيًا فِي ذِمَّةِ الرَّاهِنِ، وَلَيْسَ لَهُ مُطَالَبَةُ الْعَدْلِ بِهِ.

Pertama: Murtahin telah mengizinkannya untuk menyerahkan, dan rahin mengakui telah menerima, maka adil telah bebas dari tuntutan murtahin karena izinnya, dan bebas dari tuntutan rahin karena pengakuannya telah menerima, dan hak murtahin tetap menjadi tanggungan rahin, dan murtahin tidak berhak menuntut adil atas harga tersebut.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْمُرْتَهِنُ قَدْ أَذِنَ لَهُ بِالدَّفْعِ، وَالرَّاهِنُ مُنْكِرٌ لِلْقَبْضِ فَقَدْ بَرِئَ الْعَدْلُ مِنْ مُطَالَبَةِ الْمُرْتَهِنِ بِإِذْنِهِ وَبَرِئَ مِنْ مُطَالَبَةِ الرَّاهِنِ بِقَوْلِهِ، لِأَنَّ قَوْلَ الْعَدْلِ عَلَى الرَّاهِنِ مَقْبُولٌ، وَإِنْ أَنْكَرَ لِأَنَّهُ وَكِيلٌ لَهُ وَأَمِينٌ عَلَيْهِ، وَقَوْلُ الْوَكِيلِ مَقْبُولٌ عَلَى مُوَكِّلِهِ إِذَا حَلَفَ، وَيَكُونُ حَقُّ الْمُرْتَهِنِ بَاقِيًا فِي ذِمَّةِ الرَّاهِنِ لَيْسَ لَهُ مُطَالَبَةُ الْعَدْلِ بِهِ.

Bentuk kedua: Murtahin telah mengizinkannya untuk menyerahkan, namun rahin mengingkari telah menerima. Maka adil telah bebas dari tuntutan murtahin karena izinnya, dan bebas dari tuntutan rahin karena pengakuannya, sebab pernyataan adil diterima terhadap rahin meskipun rahin mengingkari, karena ia adalah wakil dan orang yang dipercaya oleh rahin, dan pernyataan wakil diterima terhadap yang mewakilkan jika ia bersumpah. Hak murtahin tetap menjadi tanggungan rahin, dan murtahin tidak berhak menuntut adil atas harga tersebut.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الْمُرْتَهِنُ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ بِالدَّفْعِ، وَالرَّاهِنُ مُقِرٌّ بِالْقَبْضِ، فَقَدْ بَرِئَ الْعَدْلُ مِنْ مُطَالَبَةِ الرَّاهِنِ بِقَبْضِهِ وَلَمْ يَبْرَأْ مِنْ مُطَالَبَةِ الْمُرْتَهِنِ لِعَدَمِ إِذْنِهِ، وَالْمُرْتَهِنُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ مُطَالَبَةِ الرَّاهِنِ أو العدل.

Bentuk ketiga: Murtahin tidak mengizinkannya untuk menyerahkan, namun rahin mengakui telah menerima. Maka adil telah bebas dari tuntutan rahin karena pengakuannya, namun belum bebas dari tuntutan murtahin karena tidak ada izinnya, dan murtahin berhak memilih antara menuntut rahin atau adil.

فَإِنْ طَالَبَ الرَّاهِنَ وَقَبَضَ مِنْهُ بَرِئَ الرَّاهِنُ والعدل جميعا، لا وَلَمْ يَكُنْ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْعَدْلِ بِشَيْءٍ، لِأَنَّ مَا كَانَ يَسْتَحِقُّهُ مِنَ الثَّمَنِ قَدْ أَقَرَّ بِقَبْضِهِ، وَإِنْ طَالَبَ الْعَدْلَ وَأَغْرَمَهُ فَقَدْ بَرِئَ الْعَدْلُ وَالرَّاهِنُ جَمِيعًا، وَلِلْعَدْلِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الرَّاهِنِ بِمَا غَرِمَهُ لِلْمُرْتَهِنِ، لِأَنَّ غُرْمَهُ بِحَقِّ نِيَابَتِهِ عَنْهُ وَوِكَالَتِهِ لَهُ.

Jika murtahin menuntut rahin dan telah menerima darinya, maka rahin dan adil keduanya telah bebas, dan rahin tidak berhak menuntut adil atas apa pun, karena apa yang menjadi haknya dari harga telah ia akui telah diterima. Jika murtahin menuntut adil dan adil membayar kepadanya, maka adil dan rahin keduanya telah bebas, dan adil berhak menuntut kembali kepada rahin atas apa yang telah ia bayarkan kepada murtahin, karena pembayaran itu dilakukan atas dasar perwakilan dan keagenannya untuk rahin.

وَالضَّرْبُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الْمُرْتَهِنُ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ بِالدَّفْعِ وَالرَّاهِنُ مُنْكِرٌ لِلْقَبْضِ، فَقَدْ بَرِئَ الْعَدْلُ من مطالبة الراهن وإن أنكر، لأن قول عليه مقبول ولم يبرأ العدل مِنْ مُطَالَبَةِ الْمُرْتَهِنِ لِعَدَمِ إِذْنِهِ بِالدَّفْعِ، وَالْمُرْتَهِنُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ مُطَالَبَةِ الرَّاهِنِ أَوِ الْعَدْلِ، فَإِنْ طَالَبَ الرَّاهِنَ وَقَبَضَ مِنْهُ بَرِئَ الرَّاهِنُ وَالْعَدْلُ جَمِيعًا، وَلَمْ يَكُنْ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْعَدْلِ بِمَا غَرِمَهُ لِلْمُرْتَهِنِ، فَإِنْ طَالَبَ الْعَدْلَ وَأَغْرَمَهُ بَرِئَ الْعَدْلُ وَالرَّاهِنُ جَمِيعًا، وَلَمْ يَكُنْ لِلْعَدْلِ أَنْ يَرْجِعَ بِذَلِكَ عَلَى الرَّاهِنِ، لِأَنَّ قَوْلَ الْعَدْلِ عَلَى الرَّاهِنِ مَقْبُولٌ فِيمَا بِيَدِهِ، وَغَيْرُ مَقْبُولٍ فِيمَا يَدَّعِي اسْتِحْقَاقَ الرُّجُوعِ بِهِ، فَهَذَا حُكْمُ دَعْوَى الْعَدْلِ تَسْلِيمَ الثَّمَنِ إِلَى الراهن.

Jenis keempat: yaitu apabila pihak yang menerima gadai (murtahin) tidak mengizinkan penyerahan (barang), dan pihak yang menggadaikan (rahin) mengingkari telah diterimanya barang tersebut, maka pihak penengah (adil) telah bebas dari tuntutan rahin meskipun rahin mengingkarinya, karena pernyataan adil diterima atas rahin. Namun, adil belum bebas dari tuntutan murtahin karena tidak adanya izin dari murtahin untuk penyerahan. Dalam hal ini, murtahin memiliki pilihan antara menuntut rahin atau adil. Jika ia menuntut rahin dan menerima pembayaran darinya, maka rahin dan adil keduanya telah bebas. Rahin tidak berhak menuntut kembali kepada adil atas apa yang telah ia bayarkan kepada murtahin. Jika murtahin menuntut adil dan adil membayarnya, maka adil dan rahin keduanya telah bebas, dan adil tidak berhak menuntut kembali kepada rahin, karena pernyataan adil terhadap rahin diterima dalam hal yang ada di tangannya, namun tidak diterima dalam hal yang ia klaim berhak untuk menuntut kembali. Inilah hukum gugatan adil atas penyerahan harga kepada rahin.

(فصل)

(Fasal)

فأما القسم الثاني وهو أن يدعي تَسْلِيمَ الثَّمَنِ إِلَى الْمُرْتَهِنِ، فَعَلَى أَرْبَعَةِ أَضْرُبٍ:

Adapun bagian kedua, yaitu ketika adil mengklaim telah menyerahkan harga kepada murtahin, maka terdapat empat bentuk:

أحدها: أَنْ يَكُونَ الرَّاهِنُ قَدْ أَذِنَ لَهُ بِالدَّفْعِ إِلَيْهِ.

Pertama: Rahin telah mengizinkan adil untuk menyerahkan (harga) kepadanya.

وَالْمُرْتَهِنُ مُقِرٌّ بِالْقَبْضِ، فَقَدْ بَرِئَ الْعَدْلُ مِنْ مُطَالَبَةِ الرَّاهِنِ بِإِذْنِهِ، وَبَرِئَ مِنْ مُطَالَبَةِ الْمُرْتَهِنِ بِإِقْرَارِهِ، وَقَدِ اسْتَوْفَى الْمُرْتَهِنُ حَقَّهُ فَلَا مُطَالَبَةَ لَهُ عَلَى الرَّاهِنِ.

Dan murtahin mengakui telah menerima (harga tersebut), maka adil telah bebas dari tuntutan rahin karena izinnya, dan bebas dari tuntutan murtahin karena pengakuannya, dan murtahin telah menerima haknya sehingga tidak ada lagi tuntutan terhadap rahin.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الرَّاهِنُ قَدْ أَذِنَ لَهُ بِالدَّفْعِ، وَالْمُرْتَهِنُ مُنْكِرٌ لِلْقَبْضِ وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ مَعَ يَمِينِهِ، أَنَّهُ لَمْ يَقْبِضْ وَلَا يُقْبَلُ قَوْلُ الْعَدْلِ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ مَقْبُولًا عَلَى الرَّاهِنِ، لِأَنَّهُ لَيْسَ بِأَمِينٍ لَهُ، فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ عَلَيْهِ، وَهُوَ أَمِينٌ لِلرَّاهِنِ فَقُبِلَ قَوْلُهُ عَلَيْهِ، وَإِذَا لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ عَلَى الْمُرْتَهِنِ لَمْ يَبْرَأْ مِنْ مُطَالَبَةِ الْمُرْتَهِنِ، فَأَمَّا الراهن فله حالتان:

Bentuk kedua: Rahin telah mengizinkan adil untuk menyerahkan (harga), namun murtahin mengingkari telah menerima, dan inilah masalah yang dibahas dalam kitab. Maka, pernyataan yang diterima adalah pernyataan murtahin dengan sumpahnya bahwa ia belum menerima, dan pernyataan adil tidak diterima atas murtahin, meskipun diterima atas rahin, karena adil bukanlah orang yang dipercaya oleh murtahin, sehingga pernyataannya tidak diterima atasnya. Namun, ia adalah orang yang dipercaya oleh rahin sehingga pernyataannya diterima atas rahin. Jika demikian, maka adil tidak bebas dari tuntutan murtahin. Adapun rahin, maka ada dua keadaan:

أحدهما: أَنْ يُكَذِّبَ الْعَدْلَ فِيمَا يَدَّعِيهِ مِنْ دَفْعِ الثَّمَنِ إِلَى الْمُرْتَهِنِ، فَلَا يَبْرَأُ الْعَدْلُ مِنْ مُطَالَبَةِ الرَّاهِنِ، لِأَنَّ قَوْلَ الْعَدْلِ مَقْبُولٌ عَلَى الرَّاهِنِ فِيمَا يَدَّعِي تَسْلِيمَهُ وَغَيْرُ مَقْبُولٍ عَلَيْهِ فِيمَا يَدَّعِي تَسْلِيمَهُ إِلَى غَيْرِهِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ عَلَى حَقِّهِمَا مِنْ مُطَالَبَةِ الْعَدْلِ بِالثَّمَنِ، وَالْمُرْتَهِنُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ مُطَالَبَةِ الْعَدْلِ أَوِ الرَّاهِنِ، فَإِنْ طَالَبَ الْعَدْلَ فَأَغْرَمَهُ لَمْ يَرْجِعِ الْعَدْلُ عَلَى الرَّاهِنِ وإن أغرمه الراهن رجع الراهن على العدل.

Pertama: Rahin mendustakan adil dalam klaimnya telah menyerahkan harga kepada murtahin, maka adil tidak bebas dari tuntutan rahin, karena pernyataan adil diterima atas rahin dalam hal yang ia klaim telah menyerahkan, dan tidak diterima dalam hal yang ia klaim telah menyerahkan kepada selainnya. Dengan demikian, masing-masing dari rahin dan murtahin tetap berhak menuntut adil atas harga tersebut, dan murtahin memiliki pilihan antara menuntut adil atau rahin. Jika ia menuntut adil dan adil membayar, maka adil tidak dapat menuntut kembali kepada rahin. Namun jika rahin yang membayar, maka rahin dapat menuntut kembali kepada adil.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُصَدِّقَ الْعَدْلَ فِيمَا يَدَّعِيهِ مِنْ دَفْعِ الثَّمَنِ إِلَى الْمُرْتَهِنِ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Keadaan kedua: Rahin membenarkan adil dalam klaimnya telah menyerahkan harga kepada murtahin, dan ini terbagi menjadi dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الرَّاهِنُ حَاضِرًا عِنْدَ دَفْعِ الْعَدْلِ إِلَى الْمُرْتَهِنِ، فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَقَدْ بَرِئَ الْعَدْلُ مِنْ حَقِّ الرَّاهِنِ بِحُضُورِهِ، وَلَمْ يَبْرَأْ مَنْ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ لِإِنْكَارِهِ، وَالْمُرْتَهِنُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ مُطَالَبَةِ الْعَدْلِ أَوِ الرَّاهِنِ، فَإِنْ طَالَبَ الْعَدْلَ فَأَغْرَمَهُ لَمْ يَرْجِعِ الْعَدْلُ عَلَى الرَّاهِنِ لِأَنَّ الْعَدْلَ مَظْلُومٌ بِهَا، وَلَا يَرْجِعُ عَلَى غَيْرِ ظَالِمِهِ.

Pertama: Rahin hadir saat adil menyerahkan kepada murtahin. Dalam hal ini, adil telah bebas dari hak rahin karena kehadirannya, namun belum bebas dari hak murtahin karena murtahin mengingkari. Murtahin memiliki pilihan antara menuntut adil atau rahin. Jika ia menuntut adil dan adil membayar, maka adil tidak dapat menuntut kembali kepada rahin karena adil telah dizalimi dalam hal ini, dan tidak boleh menuntut kepada selain orang yang menzaliminya.

وَإِنْ طَالَبَ الرَّاهِنَ فَأَغْرَمَهُ لَمْ يَرْجِعِ الرَّاهِنُ عَلَى الْعَدْلِ لِأَنَّ الرَّاهِنَ مَظْلُومٌ بِهَا فَلَا يَرْجِعُ عَلَى غَيْرِ ظَالِمِهِ.

Dan jika murtahin menuntut rahin dan rahin membayar, maka rahin tidak dapat menuntut kembali kepada adil karena rahin telah dizalimi dalam hal ini, sehingga tidak boleh menuntut kepada selain orang yang menzaliminya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الرَّاهِنُ الْمُصَدِّقُ غَائِبًا عِنْدَ الدَّفْعِ، فَهَلْ يَبْرَأُ الْعَدْلُ مِنْ حَقِّ الرَّاهِنِ بِتَصْدِيقِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kedua: Rahin yang membenarkan itu tidak hadir saat penyerahan, maka apakah adil bebas dari hak rahin dengan pembenarannya atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَبْرَأُ بِتَصْدِيقِهِ كَمَا لَوْ كَانَ حَاضِرًا عِنْدَ دَفْعِهِ ثُمَّ يَكُونُ الْمُرْتَهِنُ بِالْخِيَارِ، بَيْنَ مُطَالَبَةِ الرَّاهِنِ أَوِ الْعَدْلِ، فَإِنْ أَغْرَمَ الْعَدْلَ لَمْ يَرْجِعِ الْعَدْلُ عَلَى الرَّاهِنِ، وَإِنْ أَغْرَمَ الرَّاهِنَ لَمْ يَرْجِعِ الرَّاهِنُ عَلَى الْعَدْلِ.

Salah satu di antaranya: ia terbebas dengan adanya pembenaran, sebagaimana jika ia hadir saat penyerahan, kemudian pihak yang menerima gadai (al-murtahin) memiliki hak memilih antara menuntut pihak yang menggadaikan (ar-rahin) atau pihak penengah (al-‘adl). Jika penengah yang membayar, maka penengah tidak dapat menuntut kembali kepada pihak yang menggadaikan. Jika yang membayar adalah pihak yang menggadaikan, maka ia juga tidak dapat menuntut kembali kepada penengah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْعَدْلَ لَا يَبْرَأُ مِنْ حَقِّ الرَّاهِنِ، وَإِنْ صَدَّقَهُ الرَّاهِنُ عَلَى الدَّفْعِ، وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ أَصْحَابِنَا؛ لِأَنَّ الْعَدْلَ مُفَرِّطٌ حَيْثُ لَمْ يَشْهَدْ عَلَى الْمُرْتَهِنِ وَإِنْ كَانَ مُصَدِّقًا فَلَمْ يَبْرَأْ مِنْ حَقِّ الرَّاهِنِ، لِأَجْلِ تَفْرِيطِهِ فَعَلَى هَذَا الْمُرْتَهِنُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ مُطَالَبَةِ الرَّاهِنِ أَوِ الْعَدْلِ، فَإِنْ طَالَبَ الْعَدْلَ فَأَغْرَمَهُ لَمْ يَرْجِعِ الْعَدْلُ عَلَى الرَّاهِنِ، وَإِنْ طَالَبَ الرَّاهِنَ فَأَغْرَمَهُ رَجَعَ الرَّاهِنُ عَلَى الْعَدْلِ لِأَنَّ الْعَدْلَ لَمْ يَبْرَأْ مِنْ حَقِّ الرَّاهِنِ.

Adapun pendapat kedua: penengah tidak terbebas dari hak pihak yang menggadaikan, meskipun pihak yang menggadaikan membenarkan penyerahan tersebut, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama kami; karena penengah dianggap lalai ketika tidak menghadirkan saksi atas penyerahan kepada pihak penerima gadai, meskipun ia dibenarkan, maka ia tidak terbebas dari hak pihak yang menggadaikan karena kelalaiannya. Berdasarkan hal ini, pihak penerima gadai memiliki hak memilih antara menuntut pihak yang menggadaikan atau penengah. Jika ia menuntut penengah dan penengah membayar, maka penengah tidak dapat menuntut kembali kepada pihak yang menggadaikan. Namun jika ia menuntut pihak yang menggadaikan dan pihak yang menggadaikan membayar, maka ia dapat menuntut kembali kepada penengah, karena penengah belum terbebas dari hak pihak yang menggadaikan.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الرَّاهِنُ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ بِالدَّفْعِ، وَالْمُرْتَهِنُ مُقِرٌّ بِالْقَبْضِ، فَقَدْ بَرِئَ الْعَدْلُ مِنْ مُطَالَبَةِ الْمُرْتَهِنِ بِإِقْرَارِهِ، وَلَمْ يَبْرَأْ مِنْ مُطَالَبَةِ الرَّاهِنِ لِعَدَمِ إِذْنِهِ، وَوَجَدْتُ أَبَا الْعَبَّاسِ مِنْ أَصْحَابِنَا الْبَصْرِيِّينَ يَقُولُ: إِنَّ الْعَدْلَ قَدْ بَرِئَ مِنْ مُطَالَبَةِ الرَّاهِنِ، وَلَيْسَ لَهُ مُطَالَبَتُهُ بِالثَّمَنِ لِحُصُولِ الْإِبْرَاءِ لِلرَّاهِنِ بِإِقْرَارِ الْمُرْتَهِنِ بِالْقَبْضِ.

Jenis ketiga: yaitu apabila pihak yang menggadaikan tidak mengizinkan penyerahan, namun pihak penerima gadai mengakui telah menerima, maka penengah terbebas dari tuntutan pihak penerima gadai karena pengakuannya, namun tidak terbebas dari tuntutan pihak yang menggadaikan karena tidak adanya izin. Aku mendapati Abu al-‘Abbas dari kalangan ulama Basrah di antara kami berpendapat bahwa penengah telah terbebas dari tuntutan pihak yang menggadaikan, dan pihak yang menggadaikan tidak berhak menuntutnya atas harga, karena telah terjadi pembebasan bagi pihak yang menggadaikan dengan pengakuan pihak penerima gadai atas penerimaan.

وَهَذَا عِنْدِي غَيْرُ صَحِيحٍ بَلْ عَلَى الْعَدْلِ غَرَامَةُ الثَّمَنِ لِلرَّاهِنِ وَإِنْ بَرِئَ مِنْ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ، لِأَنَّ الْعَدْلَ مُتَعَدٍّ بِالدَّفْعِ مُتَطَوِّعٌ بِالْأَدَاءِ، فَلَزِمَهُ الْغُرْمُ بِتَعَدِّيهِ، وَلَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ بِتَطَوُّعِهِ كَمَا لَوْ قَضَى الدَّيْنَ مِنْ مَالِهِ.

Menurutku, pendapat ini tidak benar. Justru penengah tetap wajib membayar harga kepada pihak yang menggadaikan, meskipun ia telah terbebas dari hak pihak penerima gadai, karena penengah telah melampaui batas dengan melakukan penyerahan tanpa izin dan secara sukarela melaksanakan pembayaran, sehingga ia wajib menanggung kerugian karena pelanggarannya, dan kewajiban itu tidak gugur hanya karena ia melakukannya secara sukarela, sebagaimana jika ia melunasi utang dari hartanya sendiri.

وَالضَّرْبُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الرَّاهِنُ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ بِالدَّفْعِ، وَالْمُرْتَهِنُ مُنْكِرٌ لِلْقَبْضِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ مَعَ يَمِينِهِ أَنَّهُ لَمْ يَقْبِضْ، لِأَنَّ قَوْلَ الْعَدْلِ غَيْرُ مَقْبُولٍ عَلَى الْمُرْتَهِنِ، ثُمَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ مُطَالَبَةُ الْعَدْلِ بِالثَّمَنِ، أَمَّا الرَّاهِنُ فَلِعَدَمِ إِذْنِهِ، وَأَمَّا الْمُرْتَهِنُ فَلِإِنْكَارِ قَبْضِهِ، وَلَهُ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ غَرَامَةِ الثَّمَنِ لِأَحَدِهِمَا إِلَّا بِإِذْنِ الْآخَرِ، كَالثَّمَنِ الْأَوَّلِ الَّذِي كَانَ لَهُ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ دَفْعِهِ إِلَى أَحَدِهِمَا إِلَّا بِإِذْنِ الْآخَرِ، لِئَلَّا يَلْزَمَهُ غَرَامَةُ ثَمَنَيْنِ، فَيَغْرَمُ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ثَمَنًا، فَإِنْ غَرِمَ الثَّمَنَ لِلرَّاهِنِ مِنْ غَيْرِ إِذْنِ الْمُرْتَهِنِ، كَانَ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَأْخُذَ بِغَرَامَةِ الثَّمَنِ ثانية، وإن غَرِمَ الثَّمَنَ لِلْمُرْتَهِنِ مِنْ غَيْرِ إِذْنِ الرَّاهِنِ كان الراهن أَنْ يَأْخُذَهُ بِغَرَامَةِ الثَّمَنِ ثَانِيَةً وَلِلْمُرْتَهِنِ مُطَالَبَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْعَدْلِ وَالرَّاهِنِ مَعًا، فَإِنْ طَالَبَ الرَّاهِنَ فَأَغْرَمَهُ، كَانَ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْعَدْلِ بِالثَّمَنِ وَإِنْ طَالَبَ الْعَدْلَ فَأَغْرَمَهُ لَمْ يَكُنْ لِلْعَدْلِ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ عَلَى الرَّاهِنِ.

Jenis keempat: yaitu apabila pihak yang menggadaikan tidak mengizinkan penyerahan, dan pihak penerima gadai mengingkari telah menerima, maka yang dipegang adalah pernyataan pihak penerima gadai dengan sumpahnya bahwa ia tidak menerima, karena pernyataan penengah tidak diterima terhadap pihak penerima gadai. Selanjutnya, masing-masing dari pihak yang menggadaikan dan pihak penerima gadai berhak menuntut penengah atas harga. Adapun pihak yang menggadaikan, karena tidak adanya izin darinya, dan pihak penerima gadai, karena ia mengingkari penerimaan. Penengah berhak menolak membayar harga kepada salah satu dari mereka kecuali dengan izin yang lain, sebagaimana harga pertama yang boleh ia tolak untuk diserahkan kepada salah satu dari mereka kecuali dengan izin yang lain, agar ia tidak terbebani membayar dua kali harga, sehingga ia harus membayar harga kepada masing-masing dari mereka. Jika ia membayar harga kepada pihak yang menggadaikan tanpa izin pihak penerima gadai, maka pihak yang menggadaikan berhak menuntutnya kembali atas pembayaran harga yang kedua. Jika ia membayar harga kepada pihak penerima gadai tanpa izin pihak yang menggadaikan, maka pihak yang menggadaikan juga berhak menuntutnya kembali atas pembayaran harga yang kedua. Pihak penerima gadai berhak menuntut baik penengah maupun pihak yang menggadaikan secara bersamaan. Jika ia menuntut pihak yang menggadaikan dan pihak yang menggadaikan membayar, maka pihak yang menggadaikan berhak menuntut penengah atas harga tersebut. Jika ia menuntut penengah dan penengah membayar, maka penengah tidak berhak menuntut kembali kepada pihak yang menggadaikan.

ثُمَّ يُنْظَرُ، فَإِنْ غَرِمَهُ بِإِذْنِ الرَّاهِنِ بَرِئَ مِنْ مُطَالَبَةِ الرَّاهِنِ وَإِنْ غَرِمَهُ بِغَيْرِ إِذْنِهِ لَمْ يَبْرَأْ مِنْ مُطَالَبَتِهِ فَهَذَا حُكْمُ دَعْوَى الْعَدْلِ تَسْلِيمَ الثَّمَنِ إِلَى الْمُرْتَهِنِ.

Kemudian diperhatikan, jika penengah membayar dengan izin pihak yang menggadaikan, maka ia terbebas dari tuntutan pihak yang menggadaikan. Namun jika ia membayar tanpa izin, maka ia tidak terbebas dari tuntutannya. Inilah hukum terkait klaim penengah atas penyerahan harga kepada pihak penerima gadai.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَدَّعِيَ الْعَدْلُ تَسْلِيمَ الثَّمَنِ إِلَى الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ فَعَلَى أربعة أضرب: –

Adapun bagian ketiga, yaitu apabila penengah mengklaim telah menyerahkan harga kepada pihak yang menggadaikan dan pihak penerima gadai, maka terdapat empat bentuk:

أحدهما: أَنْ يُقِرَّ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ فَقَدْ بَرِئَ الْعَدْلُ مِنْ حَقِّهِمَا مَعًا.

Pertama: apabila pihak yang menggadaikan dan pihak penerima gadai sama-sama mengakui, maka penengah telah terbebas dari hak keduanya sekaligus.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُنْكِرَهُ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ.

Bentuk kedua: apabila pihak yang menggadaikan dan pihak penerima gadai sama-sama mengingkari.

فَقَدْ بَرِئَ الْعَدْلُ مِنْ مُطَالَبَةِ الرَّاهِنِ، لِأَنَّ قَوْلَ الْعَدْلِ مَقْبُولٌ عَلَيْهِ وَإِنْ أَنْكَرْهُ، وَلَمْ يَبْرَأْ مِنْ مُطَالَبَةِ الْمُرْتَهِنِ؛ لِأَنَّ قَوْلَهُ غَيْرُ مَقْبُولٍ عَلَيْهِ إِذَا أَنْكَرَ.

Maka gugurlah tanggung jawab ‘adl dari tuntutan rahin, karena pernyataan ‘adl diterima atasnya meskipun ia (rahin) mengingkarinya, dan tidak gugur dari tuntutan murtahin; karena pernyataannya (‘adl) tidak diterima atas murtahin jika murtahin mengingkarinya.

ثُمَّ الْمُرْتَهِنُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ مُطَالَبَةِ الرَّاهِنِ، أَوِ الْعَدْلِ فَإِنْ طَالَبَ الرَّاهِنَ فَأَغْرَمَهُ فَقَدْ بَرِئَ الرَّاهِنُ وَالْعَدْلُ جَمِيعًا، وَلَيْسَ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَرْجِعَ بِذَلِكَ عَلَى الْعَدْلِ.

Kemudian, murtahin memiliki pilihan antara menuntut rahin atau ‘adl. Jika ia menuntut rahin lalu rahin membayar, maka gugurlah tanggung jawab rahin dan ‘adl sekaligus, dan rahin tidak berhak menuntut kembali kepada ‘adl atas pembayaran tersebut.

وَإِنْ طَالَبَ الْعَدْلَ فَأَغْرَمَهُ بَرِئَ الْعَدْلُ وَالرَّاهِنُ جَمِيعًا وَلَيْسَ لِلْعَدْلِ أَنْ يَرْجِعَ بِذَلِكَ عَلَى الرَّاهِنِ، لِأَنَّ قَوْلَ الْعَدْلِ فِيمَا يَدَّعِي اسْتِحْقَاقَ الرُّجُوعِ بِهِ غَيْرُ مَقْبُولٍ وَإِنْ كَانَ قَوْلُهُ فِيمَا بِيَدِهِ مَقْبُولًا.

Dan jika ia menuntut ‘adl lalu ‘adl membayar, maka gugurlah tanggung jawab ‘adl dan rahin sekaligus, dan ‘adl tidak berhak menuntut kembali kepada rahin atas pembayaran tersebut, karena pernyataan ‘adl dalam hal mengklaim hak untuk menuntut kembali tidak diterima, meskipun pernyataannya dalam hal yang ada di tangannya diterima.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: أَنْ يُقِرَّ الْمُرْتَهِنُ وَيُنْكِرَ الرَّاهِنُ فَقَدْ بَرِئَ الْعَدْلُ مِنْ حَقِّهِمَا، أَمَّا الْمُرْتَهِنُ فَبِإِقْرَارِهِ وَأَمَّا الراهن فلقبول قوله.

Jenis ketiga: jika murtahin mengakui dan rahin mengingkari, maka gugurlah tanggung jawab ‘adl dari hak keduanya; adapun murtahin karena pengakuannya, dan adapun rahin karena pernyataannya diterima.

وَالضَّرْبُ الرَّابِعُ: أَنْ يُقِرَّ الرَّاهِنُ وَيُنْكِرَ الْمُرْتَهِنُ فَقَدْ بَرِئَ الْعَدْلُ مِنْ حَقِّ الرَّاهِنِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ وَلِلْمُرْتَهِنِ الْخِيَارُ بَيْنَ أَنْ يُطَالِبَ الرَّاهِنَ أَوِ الْعَدْلَ، فَإِنْ أَغْرَمَ الرَّاهِنَ بَرِئَ الرَّاهِنُ وَالْعَدْلُ جَمِيعًا، وَلَيْسَ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَرْجِعَ بِذَلِكَ عَلَى الْعَدْلِ.

Jenis keempat: jika rahin mengakui dan murtahin mengingkari, maka gugurlah tanggung jawab ‘adl dari hak rahin, namun tidak dari hak murtahin. Dan murtahin memiliki pilihan antara menuntut rahin atau ‘adl. Jika rahin membayar, maka gugurlah tanggung jawab rahin dan ‘adl sekaligus, dan rahin tidak berhak menuntut kembali kepada ‘adl atas pembayaran tersebut.

فَإِنْ أَغْرَمَهُ الْعَدْلَ بَرِئَ الْعَدْلُ وَالرَّاهِنُ جَمِيعًا، وَلَيْسَ لِلْعَدْلِ أَنْ يَرْجِعَ بِذَلِكَ عَلَى الرَّاهِنِ، لِأَنَّ الْعَدْلَ مُقِرٌّ أَنَّهُ مَظْلُومٌ بِإِغْرَامِ الْمُرْتَهِنِ لَهُ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ عَلَى غَيْرِ مَنْ ظَلَمَهُ، فَهَذَا حُكْمُ دَعْوَى الْعَدْلِ تَسْلِيمَ الثَّمَنِ إِلَى الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ وَاللَّهُ أعلم.

Jika ‘adl yang membayar, maka gugurlah tanggung jawab ‘adl dan rahin sekaligus, dan ‘adl tidak berhak menuntut kembali kepada rahin atas pembayaran tersebut, karena ‘adl telah mengakui bahwa ia dizalimi oleh pembayaran kepada murtahin, sehingga ia tidak berhak menuntut kembali kecuali kepada orang yang menzaliminya. Inilah hukum gugatan ‘adl dalam menyerahkan harga kepada rahin dan murtahin, dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ بَاعَ بِدَيْنٍ كَانَ ضَامِنًا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia menjual dengan pembayaran secara utang, maka ia wajib menanggung (menjamin).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَجُمْلَتُهُ إِذَا أَذِنَ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ لِلْعَدْلِ فِي بَيْعِ الرَّهْنِ أَنَّهُ لَا يَخْلُو مِنْ خَمْسَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Secara ringkas, jika rahin dan murtahin mengizinkan ‘adl untuk menjual barang gadai, maka tidak lepas dari lima keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَأْذَنَا لَهُ فِي بَيْعِهِ بِالنَّقْدِ فَلَا يَجُوزُ لِلْعَدْلِ أَنْ يَبِيعَهُ بِالدَّيْنِ، فَإِنْ بَاعَهُ بِالدَّيْنِ كَانَ بَيْعُهُ بَاطِلًا، وَكَانَ لِجَمِيعِ قِيمَتِهِ بِالتَّسْلِيمِ ضَامِنًا.

Pertama: Keduanya mengizinkan ‘adl menjualnya secara tunai, maka tidak boleh bagi ‘adl menjualnya secara utang. Jika ia menjualnya secara utang, maka jual belinya batal dan ia wajib menanggung seluruh nilainya dengan penyerahan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَأْذَنَا لَهُ فِي بَيْعِهِ بِالدَّيْنِ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَبِيعَهُ بِالدَّيْنِ بِمَا حَدَّا لَهُ مِنَ الْأَجَلِ أَوْ بِمَا لَا يَتَفَاوَتُ مِنَ الْآجَالِ إِنْ لَمْ يَحُدَّا لَهُ الْأَجَلَ، فَإِنْ بَاعَهُ بِالنَّقْدِ بِمِثْلِ الثَّمَنِ الَّذِي يُسَاوَى بِالدَّيْنِ كَانَ بَيْعُهُ جَائِزًا لِتَعْجِيلِ الثَّمَنِ مَعَ حُصُولِ مَا يُقْصَدُ مِنَ التَّوْفِيرِ لِلْأَجَلِ، وَإِنْ بَاعَهُ بِالنَّقْدِ بِدُونِ مَا يُسَاوَى بِالدَّيْنِ كَانَ بَيْعُهُ بَاطِلًا وَكَانَ لِقِيمَتِهِ بِالتَّسْلِيمِ ضَامِنًا.

Kedua: Keduanya mengizinkan ‘adl menjualnya secara utang, maka boleh baginya menjual secara utang sesuai batas waktu yang ditentukan keduanya, atau dengan waktu yang tidak berbeda jauh jika keduanya tidak menentukan batas waktu. Jika ia menjualnya secara tunai dengan harga yang sama dengan harga utang, maka jual belinya sah karena mempercepat pembayaran dengan tetap mendapatkan tujuan dari penundaan waktu. Namun jika ia menjualnya secara tunai dengan harga di bawah harga utang, maka jual belinya batal dan ia wajib menanggung nilainya dengan penyerahan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَأْذَنَا لَهُ فِي بَيْعِهِ مُطْلَقًا، فَإِطْلَاقُ الْإِذْنِ يَقْتَضِي بَيْعَ النَّقْدِ كَمَا لَوْ صَرَّحَا بِهِ فَإِنْ بَاعَهُ بِالدَّيْنِ كَانَ بَيْعُهُ بَاطِلًا.

Ketiga: Keduanya mengizinkan ‘adl menjualnya secara mutlak, maka izin yang mutlak menuntut penjualan secara tunai, sebagaimana jika keduanya menegaskan demikian. Jika ia menjualnya secara utang, maka jual belinya batal.

وَقَالَ أبو حنيفة: إِطْلَاقُ الْإِذْنِ يَقْتَضِي جَوَازَ الْبَيْعِ بِالنَّقْدِ وَالدَّيْنِ فَبِأَيِّهِمَا بَاعَ جاز، وكذلك الوكيل مع الإطلاق لِأَنَّ اسْمَ الْبَيْعِ يَتَنَاوَلُهُ.

Abu Hanifah berkata: Izin yang mutlak membolehkan penjualan secara tunai maupun utang, maka dengan cara apa pun ia menjual, hukumnya sah. Demikian pula halnya dengan wakil jika diberi izin secara mutlak, karena istilah “jual” mencakup keduanya.

وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ إِطْلَاقَ الْإِذْنِ كَإِطْلَاقِ الْعَقْدِ، فَلَمَّا كَانَ إِطْلَاقُ الْعَقْدِ يَقْتَضِي تَعْجِيلَ الثَّمَنِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ إِطْلَاقُ الْإِذْنِ يَقْتَضِي تَعْجِيلَ الثَّمَنِ وَالْكَلَامُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ يُسْتَوْفَى فِي كِتَابِ الْوِكَالَةِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.

Dalil kami: Sesungguhnya izin yang mutlak seperti akad yang mutlak. Ketika akad yang mutlak menuntut pembayaran harga secara langsung, maka izin yang mutlak pun menuntut pembayaran harga secara langsung. Pembahasan masalah ini akan dijelaskan lebih rinci dalam Kitab al-Wikālah, insya Allah.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَأْذَنَ الرَّاهِنُ فِي بَيْعِهِ بِالدَّيْنِ وَيَأْذَنَ الْمُرْتَهِنُ فِي بَيْعِهِ بِالنَّقْدِ فَلَيْسَ لِلْعَدْلِ بَيْعُهُ بِالدَّيْنِ، لِأَنَّ الْمُرْتَهِنَ لَمْ يَأْذَنْ بِهِ مَعَ اسْتِحْقَاقِ تَعْجِيلِهِ، فَأَمَّا بِالنَّقْدِ فَإِنْ بَاعَهُ بِمِثْلِ مَا يُسَاوَى بِالدَّيْنِ جَازَ وَإِنْ بَاعَهُ بِمِثْلِ مَا يُسَاوَى بِالنَّقْدِ دُونَ مَا يُسَاوَى بِالدَّيْنِ لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّ الرَّاهِنَ الْمَالِكَ لَمْ يَأْذَنْ بِهِ. فَيَجْرِي عَلَى هَذَا الْإِذْنِ حُكْمُ النَّقْدِ فِي التَّعْجِيلِ وَحُكْمُ الدَّيْنِ فِي التَّوْفِيرِ.

Bagian keempat: Jika rahin mengizinkan penjualan dengan cara utang (bi al-dayn) dan murtahin mengizinkan penjualan dengan tunai (bi al-naqd), maka tidak boleh bagi pihak adil (al-‘adl) menjualnya dengan cara utang, karena murtahin tidak mengizinkannya padahal ia berhak atas percepatan pembayaran. Adapun jika dijual secara tunai, maka jika ia menjualnya dengan harga yang setara dengan harga utang, maka itu boleh. Namun jika ia menjualnya dengan harga tunai yang lebih rendah dari harga utang, maka tidak boleh, karena rahin sebagai pemilik tidak mengizinkannya. Maka dalam hal ini, izin tersebut berlaku seperti hukum tunai dalam hal percepatan, dan seperti hukum utang dalam hal penghematan.

وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ الرَّاهِنُ فِي بَيْعِهِ بِالنَّقْدِ وَيَأْذَنُ لَهُ الْمُرْتَهِنُ فِي بَيْعِهِ بِالدَّيْنِ فَلِلْعَدْلِ أَنْ يَبِيعَهُ بِالنَّقْدِ الَّذِي أَذِنَ فِيهِ الرَّاهِنُ وَلَا يَبِيعَهُ بِالدَّيْنِ الَّذِي أَذِنَ فِيهِ الْمُرْتَهِنُ، لِأَنَّ حَقَّ الْمُرْتَهِنِ فِي الْبَيْعِ وَالتَّعْجِيلِ وَلَيْسَ لَهُ حَقٌّ فِي التَّأْخِيرِ فَقُبِلَ إِذْنُهُ فِي الْبَيْعِ، لِأَنَّهُ حَقٌّ لَهُ وَلَمْ يُقْبَلْ إِذْنُهُ فِي التَّأْخِيرِ لِأَنَّهُ حَقٌّ عَلَيْهِ وَفَارَقَ إِذْنَ الرَّاهِنِ بِالتَّأْخِيرِ لِأَنَّهُ مِلْكُهُ.

Bagian kelima: Jika rahin mengizinkan penjualan secara tunai dan murtahin mengizinkan penjualan secara utang, maka pihak adil boleh menjualnya secara tunai sebagaimana yang diizinkan oleh rahin, dan tidak boleh menjualnya secara utang sebagaimana yang diizinkan oleh murtahin, karena hak murtahin adalah pada penjualan dan percepatan pembayaran, dan ia tidak memiliki hak dalam penundaan. Maka diterima izinnya dalam penjualan karena itu adalah haknya, namun tidak diterima izinnya dalam penundaan karena itu adalah kewajiban atasnya. Hal ini berbeda dengan izin rahin dalam penundaan karena itu adalah miliknya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِذَا أَذِنَا لِلْعَدْلِ فِي بَيْعِ الرَّهْنِ بَعْدَ شَهْرٍ فَبَاعَهُ قَبْلَ مُضِيِّ الشَّهْرِ كَانَ بَيْعُهُ بَاطِلًا وَكَانَ لِقِيمَتِهِ بِالتَّسْلِيمِ ضَامِنًا وَلَوْ أَذِنَا فِي بَيْعِهِ بِالْكُوفَةِ فَبَاعَهُ بِالْبَصْرَةِ كَانَ بَيْعُهُ جَائِزًا إِذَا كَانَ الثَّمَنَانِ وَاحِدًا وَكَانَ لِثَمَنِهِ ضَامِنًا.

Jika kita mengizinkan pihak adil untuk menjual barang gadai setelah satu bulan, lalu ia menjualnya sebelum berlalu satu bulan, maka penjualannya batal dan ia bertanggung jawab atas nilai barang tersebut dengan penyerahan. Jika kita mengizinkan penjualannya di Kufah lalu ia menjualnya di Bashrah, maka penjualannya sah jika kedua harga sama, dan ia bertanggung jawab atas harga tersebut.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ قَبْلَ الشَّهْرِ غَيْرَ مَأْذُونٍ لَهُ فِي بَيْعِهِ فَبَطَلَ بَيْعُهُ، وَإِذَا نَقَلَهُ مِنْ بَلَدٍ إِلَى بَلَدٍ كَانَ مَأْذُونًا فِي بَيْعِهِ فَجَازَ بَيْعُهُ وضمن ثمنه.

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa sebelum satu bulan, ia tidak diizinkan untuk menjualnya sehingga penjualannya batal. Namun jika ia memindahkan barang dari satu negeri ke negeri lain, ia tetap diizinkan untuk menjualnya sehingga penjualannya sah dan ia bertanggung jawab atas harganya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ لَهُ أَحَدُهُمَا بِعْ بِدَنَانِيرَ وَالْآخَرُ بِعْ بِدَرَاهِمَ لَمْ يَبِعْ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا لَحِقِّ الْمُرْتَهِنِ فِي ثَمَنِ الرَهْنِ وَحَقِّ الرَّاهِنِ فِي رَقَبَتِهِ وَثَمَنِهِ وَجَاءَ الْحَاكِمُ حَتَّى يَأْمُرَهُ بِالْبَيْعِ بِنَقْدِ الْبَلَدِ ثُمَّ يَصْرِفُهُ فِيمَا الرَّهْنُ فِيهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika salah satu dari keduanya berkata kepadanya, ‘Juallah dengan dinar,’ dan yang lain berkata, ‘Juallah dengan dirham,’ maka ia tidak boleh menjual dengan salah satu dari keduanya, karena hak murtahin ada pada harga barang gadai dan hak rahin ada pada barang dan harganya. Maka datanglah hakim hingga ia memerintahkan untuk menjual dengan mata uang negeri tersebut, kemudian hasilnya digunakan sesuai dengan tujuan gadai.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَجُمْلَتُهُ أَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُ إِذْنِهِمَا لِلْعَدْلِ فِي الثَّمَنِ الَّذِي يبيع الرهن به من أربعة أقسام:

Al-Mawardi berkata: Ini benar. Kesimpulannya, keadaan izin keduanya kepada pihak adil dalam menentukan harga yang digunakan untuk menjual barang gadai terbagi menjadi empat bagian:

أحدهما: أَنْ يُعَيِّنَا فِي الْإِذْنِ جِنْسَ الثَّمَنِ فَيَأْذَنَا لَهُ فِي بَيْعِهِ بِالدَّرَاهِمِ أَوْ يَأْذَنَا لَهُ فِي بَيْعِهِ بِجِنْسٍ مِنَ الْأَمْتِعَةِ وَالْعُرُوضِ، فَلَا يَجُوزُ لِلْعَدْلِ أَنْ يَبِيعَ الرَّهْنَ إِلَّا بِالثَّمَنِ الَّذِي عَيَّنَّاهُ لَهُ، فَإِنْ بَاعَهُ بِغَيْرِهِ كَانَ بَيْعُهُ بَاطِلًا وَكَانَ لِقِيمَتِهِ بِالتَّسْلِيمِ ضَامِنًا.

Pertama: Keduanya menentukan dalam izin tersebut jenis harga, misalnya mengizinkan penjualan dengan dirham atau mengizinkan penjualan dengan jenis barang atau komoditas tertentu. Maka tidak boleh bagi pihak adil menjual barang gadai kecuali dengan harga yang telah mereka tentukan. Jika ia menjualnya dengan selain itu, maka penjualannya batal dan ia bertanggung jawab atas nilai barang tersebut dengan penyerahan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُطْلِقَا الْإِذْنَ وَلَا يُعَيِّنَا جِنْسَ الثَّمَنِ فَوَاجِبٌ عَلَى الْعَدْلِ أَنْ يَبِيعَهُ بِغَالِبِ نَقْدِ الْبَلَدِ سَوَاءٌ كَانَ مَنْ جِنْسِ الْحَقِّ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ.

Bagian kedua: Keduanya memberikan izin secara mutlak tanpa menentukan jenis harga. Maka wajib bagi pihak adil untuk menjualnya dengan mata uang yang paling umum digunakan di negeri tersebut, baik dari jenis haknya maupun bukan.

وَقَالَ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ “: يَبِيعُهُ بِجِنْسِ حَقِّهِ.

Imam Syafi‘i dalam kitab “al-Umm” berkata: Ia menjualnya dengan jenis haknya.

قَالَ أَصْحَابُنَا: إِنَّمَا أَرَادَ بِجِنْسِ حَقِّهِ إِذَا كَانَ مِنْ غَالِبِ نَقْدِ الْبَلَدَ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ غَالِبِ نَقْدِ الْبَلَدِ بَاعَهُ بِغَالِبِ نَقْدِ الْبَلَدِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ جِنْسِ حَقِّهِ، فَحَمَلُوا إِطْلَاقَهُ عَلَى هَذَا التَّقْيِيدِ، فَإِنْ كَانَ غَالِبُ نَقْدِ الْبَلَدِ دَرَاهِمَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَبِيعَهُ بِدَنَانِيرَ، وَإِنْ كَانَ غَالِبُ نَقْدِ الْبَلَدِ دَنَانِيرَ، لَمْ يَجُزْ أَنْ يَبِيعَهُ بِدَرَاهِمَ، فَإِنْ فَعَلَ كَانَ بَيْعُهُ بَاطِلًا وَكَانَ لِقِيمَتِهِ بِالتَّسْلِيمِ ضَامِنًا.

Para ulama kami berkata: Maksud beliau dengan ‘jenis haknya’ adalah jika itu termasuk mata uang yang paling umum di negeri tersebut. Jika bukan, maka ia menjualnya dengan mata uang yang paling umum di negeri tersebut, meskipun bukan dari jenis haknya. Maka mereka menafsirkan pernyataan beliau yang mutlak dengan pembatasan ini. Jika mata uang yang paling umum di negeri tersebut adalah dirham, maka tidak boleh menjualnya dengan dinar. Jika yang paling umum adalah dinar, maka tidak boleh menjualnya dengan dirham. Jika ia melakukannya, maka penjualannya batal dan ia bertanggung jawab atas nilai barang tersebut dengan penyerahan.

الْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَأْذَنَا لَهُ فِي بَيْعِهِ بِمَا رَأَى مِنَ الْأَثْمَانِ فَلَهُ بَيْعُهُ بِمَا رَأَى مِنَ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ سَوَاءٌ بَاعَهُ بِغَالِبِ نَقْدِ الْبَلَدِ أَوْ بِغَيْرِهِ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَبِيعَهُ بِالْبُرِّ أَوْ بِالشَّعِيرِ، لِأَنَّ مُطْلَقَ الْأَثْمَانِ يَتَنَاوَلُ الْفِضَّةَ وَالذَّهَبَ دُونَ غَيْرِهِمَا إِلَّا أَنْ يُصَرِّحَا بِهِ فِي إِذْنِهِمَا فَإِنْ بَاعَهُ بِذَلِكَ كَانَ بَيْعُهُ بَاطِلًا.

Bagian ketiga: Jika keduanya mengizinkan kepada penengah (al-‘adl) untuk menjual barang tersebut dengan harga yang ia lihat pantas, maka penengah boleh menjualnya dengan harga yang ia anggap sesuai, baik dengan dirham maupun dinar, baik ia menjualnya dengan mata uang yang umum digunakan di negeri itu atau selainnya. Namun, penengah tidak boleh menjualnya dengan gandum atau jelai, karena istilah “harga” (‘athman) secara mutlak hanya mencakup perak dan emas, tidak selain keduanya, kecuali jika keduanya secara tegas menyebutkannya dalam izin mereka. Jika penengah menjualnya dengan selain itu, maka jual belinya batal.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَخْتَلِفَا عَلَيْهِ فِي الْإِذْنِ وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ فَيَأْذَنُ أَحَدُهُمَا فِي بَيْعِهِ بِالدَّرَاهِمِ وَيَأْذَنُ الْآخَرُ فِي بَيْعِهِ بِالدَّنَانِيرِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ مَا اخْتَلَفَا فِيهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:

Bagian keempat: Jika keduanya berbeda pendapat dalam pemberian izin—dan inilah permasalahan yang dibahas dalam kitab ini—misalnya salah satu dari mereka mengizinkan penjualan dengan dirham dan yang lain mengizinkan penjualan dengan dinar, maka keadaan perbedaan izin tersebut tidak lepas dari tiga bentuk:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ غَالِبُ نَقْدِ الْبَلَدِ وَجِنْسُ الْحَقِّ هُوَ مَا أَذِنَ بِهِ الْمُرْتَهِنُ دُونَ الرَّاهِنِ، فَلَا يَجُوزُ لِلْعَدْلِ أَنْ يَبِيعَهُ بِمَا أَذِنَ بِهِ الْمُرْتَهِنُ وَلَا بِمَا أَذِنَ بِهِ الرَّاهِنُ، أَمَّا مَا أَذِنَ بِهِ الرَّاهِنُ فَلِأَنَّ حَقَّ الْمُرْتَهِنِ فِي غَيْرِهِ وَأَمَّا مَا أَذِنَ بِهِ الْمُرْتَهِنُ فَلِأَنَّ مِلْكَ الرَّقَبَةِ لِغَيْرِهِ.

Pertama: Jika mata uang yang umum digunakan di negeri itu dan jenis hak (utang) adalah apa yang diizinkan oleh pihak penerima gadai (murtahin) dan bukan oleh pihak yang menggadaikan (rahin), maka penengah tidak boleh menjualnya dengan apa yang diizinkan oleh murtahin maupun dengan apa yang diizinkan oleh rahin. Adapun larangan menjual dengan apa yang diizinkan oleh rahin, karena hak murtahin ada pada selain itu; sedangkan larangan menjual dengan apa yang diizinkan oleh murtahin, karena kepemilikan barang (raqabah) ada pada selainnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ غَالِبُ نَقْدِ الْبَلَدِ وَجِنْسُ الْحَقِّ مَا أَذِنَ بِهِ الرَّاهِنُ دُونَ الْمُرْتَهِنِ، فَهَذَا يَبِيعُهُ الْعَدْلُ بِمَا أَذِنَ بِهِ الرَّاهِنُ دُونَ الْمُرْتَهِنِ، لِأَنَّ الْمُرْتَهِنَ يَمْلِكُ إِمْسَاكَ الرَّهْنُ ثُمَّ الْإِذْنُ فِي بَيْعِهِ إِمَّا بِجِنْسِ الْحَقِّ أَوْ بِغَالِبِ نَقْدِ الْبَلَدِ، فَإِذَا أَذِنَ فِي بَيْعِهِ بِغَيْرِهِمَا، كَانَ إِذْنًا فِي الْبَيْعِ دَاعِيًا إِلَى بَيْعِهِ بِمَا لَا يَسْتَحِقُّ، فَكَانَ إِذْنُهُ مَاضِيًا وَمَا دُعِيَ إِلَيْهِ مِنْ بَيْعِهِ بِمَا لَا يَسْتَحِقُّ مَرْدُودًا، فَلِذَلِكَ جَازَ الْقَوْلُ بِبَيْعِهِ بِمَا أَذِنَ بِهِ الرَّاهِنُ وَلَمْ يَقِفْ ذَلِكَ عَلَى إِذْنِ الْحَاكِمِ. لِأَنَّ إِذْنَ الْحَاكِمِ إِنَّمَا يَكُونُ مَوْقُوفًا عَلَى اجْتِهَادِهِ في تقليب قول أحدهما.

Kedua: Jika mata uang yang umum digunakan di negeri itu dan jenis hak adalah apa yang diizinkan oleh rahin dan bukan oleh murtahin, maka penengah boleh menjualnya dengan apa yang diizinkan oleh rahin dan bukan dengan apa yang diizinkan oleh murtahin. Sebab, murtahin berhak menahan barang gadai, kemudian memberi izin untuk menjualnya baik dengan jenis hak atau dengan mata uang yang umum di negeri itu. Jika ia mengizinkan penjualan dengan selain keduanya, maka izinnya untuk menjual tetap sah, namun ajakan untuk menjual dengan sesuatu yang bukan haknya tertolak. Oleh karena itu, diperbolehkan menjual dengan apa yang diizinkan oleh rahin tanpa harus menunggu izin hakim, karena izin hakim hanya diperlukan jika harus mempertimbangkan pendapat salah satu dari keduanya.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ غَالِبُ النَّقْدِ مَا أذن فيه أَحَدُهُمَا إِمَّا الرَّاهِنُ أَوِ الْمُرْتَهِنُ وَجِنْسُ الْحَقِّ مَا أَذِنَ بِهِ الْآخَرُ إِمَّا الرَّاهِنُ أَوِ الْمُرْتَهِنُ، فَلَيْسَ لِلْعَدْلِ أَنْ يَبِيعَهُ بِمَا قَالَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِأَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَقًّا فِيمَا دَعَا إِلَيْهِ فَافْتَقَرَ إِلَى إِذْنِ الْحَاكِمِ لِيَكُونَ مَوْقُوفًا عَلَى اجْتِهَادِهِ، فَأَمَّا الشَّافِعِيُّ فَإِنَّهُ أَطْلَقَ الْقَوْلَ فِي اخْتِلَافِهِمَا بِأَنْ لَيْسَ لِلْعَدْلِ بَيْعُهُ بِقَوْلِ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَسَاعَدَهُ أَصْحَابُنَا عَلَى هَذَا الْإِطْلَاقِ، وَإِطْلَاقُهُ عِنْدِي مَحْمُولٌ عَلَى مَا وَصَفْتُ لِأَنَّ تَعْلِيلَهُ يَقْتَضِيهِ.

Ketiga: Jika mata uang yang umum digunakan adalah apa yang diizinkan oleh salah satu dari keduanya—baik rahin maupun murtahin—dan jenis hak adalah apa yang diizinkan oleh yang lain—baik rahin maupun murtahin—maka penengah tidak boleh menjualnya dengan apa yang dikatakan oleh masing-masing dari keduanya, karena masing-masing memiliki hak atas apa yang ia ajukan. Maka, hal ini memerlukan izin hakim agar keputusan didasarkan pada ijtihadnya. Adapun Imam Syafi‘i, beliau berpendapat secara umum bahwa jika terjadi perbedaan pendapat antara keduanya, penengah tidak boleh menjual hanya berdasarkan pendapat salah satu dari mereka, dan para ulama mazhab kami mendukung pendapat umum ini. Menurut saya, pendapat umum beliau ini harus dipahami sebagaimana yang telah saya jelaskan, karena alasan yang beliau kemukakan menuntut demikian.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنْ لَيْسَ لِلْعَدْلِ بَيْعُهُ إِذَا اخْتَلَفَا على ما وصفت فقد قال الشافعي: وَجَاءَ الْعَدْلُ إِلَى الْحَاكِمِ حَتَّى يَأْمُرَهُ بِالْبَيْعِ بِنَقْدِ الْبَلَدِ، وَفِي هَذَا الْكَلَامِ إِضْمَارٌ لِأَنَّ الْعَدْلَ لَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَأْتِيَ الْحَاكِمَ ابْتِدَاءً إِذْ لَيْسَ فِي بَيْعِهِ حَقٌّ لَهُ وَلَا عَلَيْهِ فَيَأْتِي الْحَاكِمَ مُسْتَعْدِيًا، وَإِنَّمَا الْحَقُّ لِلرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ وَإِضْمَارُ ذَلِكَ أَنَّ الرَّاهِنَ أَوِ الْمُرْتَهِنَ، جَاءَ إِلَى الْحَاكِمِ مُسْتَعْدِيًا فَإِنَّ الْحَاكِمَ يُحْضِرُ الْعَدْلَ حَتَّى يَأْمُرَهُ بِبَيْعِهِ بِنَقْدِ الْبَلَدِ إِذَا كَانَ الْحَظُّ لَهُمَا. فَإِنْ كَانَ نَقْدُ الْبَلَدِ مِنْ جِنْسِ الْحَقِّ تَقَدَّمَ بِدَفْعِهِ إِلَى الْمُرْتَهِنِ وَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ تَقَدَّمَ بِصَرْفِهِ فِي جِنْسِ الْحَقِّ ثُمَّ دَفَعَهُ إِلَى المرتهن والله أعلم.

Jika telah tetap bahwa penengah tidak boleh menjual barang tersebut ketika keduanya berbeda pendapat sebagaimana telah dijelaskan, maka Imam Syafi‘i berkata: “Penengah datang kepada hakim agar hakim memerintahkannya untuk menjual dengan mata uang yang berlaku di negeri itu.” Dalam pernyataan ini terdapat makna tersirat, yaitu bahwa penengah tidak seharusnya datang kepada hakim terlebih dahulu, karena dalam penjualan tersebut tidak ada hak baginya maupun kewajiban atasnya, sehingga ia tidak datang kepada hakim sebagai pihak yang mengadukan perkara. Hak itu hanyalah milik rahin dan murtahin. Makna tersiratnya adalah bahwa rahin atau murtahin datang kepada hakim sebagai pihak yang mengadukan perkara, lalu hakim menghadirkan penengah dan memerintahkannya untuk menjual barang tersebut dengan mata uang yang berlaku di negeri itu jika hal itu merupakan kemaslahatan bagi keduanya. Jika mata uang negeri itu sejenis dengan hak (utang), maka penyerahan dilakukan kepada murtahin. Jika bukan sejenis, maka dilakukan penukaran ke jenis hak terlebih dahulu, kemudian diserahkan kepada murtahin. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ تَغَيَّرَتْ حَالُ الْعَدْلِ فَأَيُّهُمَا دَعَا إِلَى إِخْرَاجِهِ كَانَ ذَلِكَ لَهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika keadaan penengah berubah, maka siapa pun di antara keduanya yang meminta agar barang tersebut dikeluarkan, permintaannya harus dipenuhi.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَمَّا الْعَدْلُ فَهُوَ نَائِبٌ عَنِ الرَّاهِنِ فِي حِفْظِ الْمِلْكِ وَعَنِ الْمُرْتَهِنِ فِي حَبْسِ الرَّهْنِ، فَإِذَا اتَّفَقَا عَلَى وَضْعِ الرَّهْنِ عَلَى يَدِ عَدْلٍ أَوْ شَرَطَا ذَلِكَ فِي عَقْدِ الرَّهْنِ فَإِنِ اتَّفَقَا عَلَى إِخْرَاجِهِ مِنْ يَدِهِ وَوَضْعِهِ فِي يَدِ غَيْرِهِ فَذَاكَ لَهُمَا سَوَاءٌ تَغَيَّرَتْ حَالُ الْعَدْلِ أَمْ لَا، وَإِنِ اتَّفَقَا عَلَى إِقْرَارِهِ فِي يَدِهِ وَالْإِذْنِ لَهُ بِبَيْعِهِ فَذَاكَ لَهُمَا سواء تغيرت حال العدل أم لا وإن دَعَا أَحَدُهُمَا إِلَى إِخْرَاجِهِ وَدَعَا الْآخَرُ إِلَى إِقْرَارِهِ فِي يَدِهِ، فَإِنْ كَانَ الْعَدْلُ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ مِنْ عَدَالَتِهِ لَمْ يَتَغَيَّرْ حَالُهُ فَالْقَوْلُ قَوْلُ مَنْ دَعَا إِلَى إِقْرَارِهِ فِي يَدِهِ، لِأَنَّهُ يَسْتَصْحِبُ حُكْمًا لَزِمَ بِعَقْدٍ وَاتِّفَاقٍ، وَإِنْ كَانَ الْعَدْلُ قَدْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ بِأَحَدِ ثَلَاثَةِ أُمُورٍ:

Al-Mawardi berkata: Adapun al-‘adl (orang yang dipercaya), maka ia adalah wakil dari rahin (pemberi gadai) dalam menjaga kepemilikan, dan wakil dari murtahin (penerima gadai) dalam menahan barang gadai. Jika keduanya sepakat untuk meletakkan barang gadai di tangan seorang ‘adl, atau mensyaratkan hal itu dalam akad gadai, lalu keduanya sepakat untuk mengeluarkannya dari tangan ‘adl tersebut dan meletakkannya di tangan orang lain, maka itu boleh bagi keduanya, baik keadaan ‘adl tersebut berubah atau tidak. Jika keduanya sepakat untuk tetap meletakkannya di tangan ‘adl dan memberinya izin untuk menjualnya, maka itu juga boleh bagi keduanya, baik keadaan ‘adl tersebut berubah atau tidak. Namun, jika salah satu dari keduanya meminta agar barang gadai dikeluarkan dari tangan ‘adl, sedangkan yang lain meminta agar tetap di tangan ‘adl, maka jika ‘adl tersebut masih dalam keadaan adil seperti semula dan keadaannya tidak berubah, maka pendapat yang diikuti adalah pendapat yang meminta agar tetap di tangan ‘adl, karena ia mempertahankan hukum yang telah ditetapkan dengan akad dan kesepakatan. Namun, jika keadaan ‘adl telah berubah karena salah satu dari tiga hal:

إِمَّا لِفِسْقٍ فِي دِينِهِ، أَوْ عَجْزٍ فِي حِفْظِهِ، أَوْ عَدَاوَةٍ ظَهَرَتْ مِنْهُ لِمَالِكِ الرَّهْنِ أَوْ مُرْتَهِنِهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ من دعا إلى إخراجه يَدِهِ؛ لِأَنَّ فِيهِ حِفْظًا لَحِقِّهِ فَإِذَا أُخْرِجَ مِنْ يَدِهِ قَالَ لَهُمَا الْحَاكِمُ: اتَّفِقَا عَلَى اخْتِيَارِ عَدْلٍ يُوضَعُ عَلَى يَدَيْهِ، فَإِنِ اتَّفَقَا عَلَى اخْتِيَارِهِ وَضَعَهُ فِي يَدِهِ.

Yaitu karena kefasikan dalam agamanya, atau ketidakmampuan dalam menjaga, atau permusuhan yang tampak dari dirinya terhadap pemilik barang gadai atau penerima gadai, maka pendapat yang diikuti adalah pendapat yang meminta agar barang gadai dikeluarkan dari tangannya, karena hal itu lebih menjaga haknya. Jika barang gadai telah dikeluarkan dari tangannya, hakim berkata kepada keduanya: Sepakatlah untuk memilih seorang ‘adl yang akan dijadikan tempat penitipan barang gadai. Jika keduanya sepakat memilihnya, maka barang gadai diletakkan di tangannya.

وَإِنْ لَمْ يَتَّفِقَا وَاخْتَارَ الرَّاهِنُ عَدْلًا وَاخْتَارَ الْمُرْتَهِنُ عَدْلًا وَضَعَهُ الْحَاكِمُ عَلَى يَدِ عَدْلٍ يَخْتَارُهُ لَهُمَا سَوَاءٌ كَانَ الْعَدْلُ الْمَوْضُوعُ عَلَى يَدِهِ الرَّهْنُ مَشْرُوطًا فِي عَقْدِ الرَّهْنِ أَوْ مُتَّفَقًا عَلَيْهِ بَعْدَ الرَّهْنِ، فِي أَنَّ الْحُكْمَ فِي وُجُوبِ إِقْرَارِهِ فِي يَدِهِ سَوَاءٌ.

Jika keduanya tidak sepakat, lalu rahin memilih seorang ‘adl dan murtahin memilih seorang ‘adl yang lain, maka hakim akan meletakkan barang gadai di tangan seorang ‘adl yang dipilihnya untuk keduanya, baik ‘adl yang dijadikan tempat penitipan barang gadai itu telah disyaratkan dalam akad gadai maupun disepakati setelah akad gadai, karena hukum wajibnya tetap meletakkan barang gadai di tangannya adalah sama.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

إِذَا طَلَبَ الْمُرْتَهِنُ أَنْ يُوضَعَ الرَّهْنُ عَلَى يَدِهِ لِحَقِّ وَثِيقَتَهُ وَأَبَى الرَّاهِنُ. لَمْ يُجْبَرِ الرَّاهِنُ عَلَى وَضْعِهِ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ لِأَجْلِ مِلْكِهِ، كَمَا لَا يُجْبَرُ الْمُرْتَهِنُ عَلَى وَضْعِ الرَّهْنِ فِي يَدِ الرَّاهِنِ لِأَجْلِ اسْتِيثَاقِهِ، وأمرهما الحاكم باختيار عدل بوضع عَلَى يَدِهِ، فَإِنِ اتَّفَقَا عَلَى اخْتِيَارِ عَدْلٍ وَإِلَّا اخْتَارَ الْحَاكِمُ لَهُمَا عَدْلًا، وَوَضَعَهُ عَلَى يَدِهِ، فَلَوْ تَعَدَّى الْمُرْتَهِنُ فَأَخَذَ الرَّهْنَ مِنْ يَدِ الرَّاهِنِ، صَارَ ضَامِنًا لَهُ، فَإِنْ رَدَّهُ عَلَى الرَّاهِنِ سَقَطَ عَنْهُ الضَّمَانُ وَلَمْ يَبْطُلِ الرَّهْنُ، وَلَوْ كَانَ الرَّهْنُ عَلَى يَدِ عَدْلٍ فَأَخَذَهُ الْمُرْتَهِنُ مِنْ يَدِهِ لَزِمَهُ ضَمَانُهُ كَمَا لَوْ رَدَّهُ إِلَى يَدِ الرَّاهِنِ فَإِنْ رَدَّهُ عَلَى الْعَدْلِ سَقَطَ عَنْهُ الضَّمَانُ كَمَا لَوْ رَدَّهُ إِلَى يَدِ الْمُرْتَهِنِ، لِأَنَّ الْعَدْلَ وَكَيْلُ الرَّاهِنِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika murtahin meminta agar barang gadai diletakkan di tangannya demi hak penjaminannya, sedangkan rahin menolak, maka rahin tidak dipaksa untuk meletakkan barang gadai di tangan murtahin karena alasan kepemilikannya, sebagaimana murtahin juga tidak dipaksa untuk meletakkan barang gadai di tangan rahin demi penjaminannya. Hakim memerintahkan keduanya untuk memilih seorang ‘adl yang akan dijadikan tempat penitipan barang gadai. Jika keduanya sepakat memilih seorang ‘adl, maka barang gadai diletakkan di tangannya. Jika tidak, maka hakim memilihkan seorang ‘adl untuk keduanya dan meletakkan barang gadai di tangannya. Jika murtahin melampaui batas lalu mengambil barang gadai dari tangan rahin, maka ia menjadi penjamin atas barang tersebut. Jika ia mengembalikannya kepada rahin, gugurlah kewajiban jaminan darinya dan gadai tidak batal. Jika barang gadai berada di tangan ‘adl, lalu murtahin mengambilnya dari tangan ‘adl, maka ia wajib menjaminnya, sebagaimana jika ia mengembalikannya ke tangan rahin. Jika ia mengembalikannya ke tangan ‘adl, gugurlah kewajiban jaminan darinya, sebagaimana jika ia mengembalikannya ke tangan murtahin, karena ‘adl adalah wakil rahin. Dan Allah Maha Mengetahui.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

إِذَا رَضِيَ الرَّاهِنُ بِتَرْكِ الرَّهْنِ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ، ثُمَّ سَأَلَ إخراجه من يده إلى غيره، فإن تغيير حَالُ الْمُرْتَهِنِ وَجَبَ إِخْرَاجُهُ مِنْ يَدِهِ وَوَضْعُهُ عَلَى يَدِ عَدْلٍ يَرْضَيَانِ بِهِ، أَوْ يَرْضَاهُ الْحَاكِمُ لَهُمَا إِنِ اخْتَلَفَا، وَإِنْ لَمْ يَخْتَلِفْ يتغير حال المرتهن، وجب إقراراه فِي يَدِهِ، كَمَا يَجِبُ إِقْرَارُهُ فِي يَدِ الْعَدْلِ لَوْ لَمْ يَتَغَيَّرْ حَالُهُ، فَلَوْ مَاتَ الْمُرْتَهِنُ لَمْ يَلْزَمِ الرَّاهِنَ أَنْ يُقِرَّهُ فِي يَدِ وَارِثِهِ أَوْ وَصِّيهِ وَإِنْ كَانَ عَدْلًا إِلَّا أَنْ يَخْتَارَهُ، وَقِيلَ لِوَارِثِهِ إِنْ كَانَ بَالِغًا أَوْ لِوَصِيِّهِ: تَرَاضَ أَنْتَ وَالرَّاهِنُ بِعَدْلٍ يُوضَعُ عَلَى يَدِهِ فَإِنْ تَرَاضَيَا وَإِلَّا اخْتَارَ الْحَاكِمُ لَهُمَا عَدْلًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika rahin rela barang gadai tetap berada di tangan murtahin, lalu kemudian ia meminta agar barang gadai dipindahkan dari tangan murtahin ke tangan orang lain, maka jika keadaan murtahin berubah, wajib dikeluarkan dari tangannya dan diletakkan di tangan seorang ‘adl yang disepakati oleh keduanya, atau yang dipilih hakim untuk keduanya jika mereka berselisih. Jika tidak ada perselisihan dan keadaan murtahin tidak berubah, maka wajib tetap meletakkannya di tangannya, sebagaimana wajib tetap meletakkannya di tangan ‘adl jika keadaannya tidak berubah. Jika murtahin meninggal dunia, rahin tidak wajib meletakkan barang gadai di tangan ahli warisnya atau wasiatnya, meskipun mereka adalah ‘adl, kecuali jika rahin memilihnya. Dikatakan kepada ahli warisnya jika ia sudah dewasa, atau kepada wasiatnya: Sepakatlah engkau dan rahin untuk memilih seorang ‘adl yang akan dijadikan tempat penitipan barang gadai. Jika keduanya sepakat, maka demikianlah; jika tidak, maka hakim memilihkan seorang ‘adl untuk keduanya. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ أَرَادَ الْعَدْلُ رَدَّهُ وَهُمَا حَاضِرَانِ فَذَلِكَ لَهُ وَلَوْ دَفَعَهُ بِغَيْرِ أَمْرِ الْحَاكِمِ مِنْ غَيْرِ مَحْضَرِهِمَا ضَمِنَ وَإِنْ كَانَا بَعِيدَيِ الْغَيْبَةِ لَمْ أَرَ أَنْ يَضْطَرَّهُ عَلَى حَبْسِهِ وَإِنَمَا هِيَ وِكَالَةٌ لَيْسَتْ لَهُ فِيهَا مَنْفَعَةٌ وَأَخْرَجَهُ الْحَاكِمُ إِلَى عَدْلٍ “.

Imam asy-Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Jika ‘adl (penjaga barang gadai) ingin mengembalikannya sementara kedua belah pihak (rahin dan murtahin) hadir, maka itu boleh baginya. Namun, jika ia menyerahkan barang gadai tanpa perintah hakim dan tanpa kehadiran keduanya, maka ia wajib menanggung (tanggung jawab). Jika keduanya sedang dalam kepergian yang jauh, aku tidak melihat adanya keharusan baginya untuk memaksa ‘adl menahan barang tersebut, karena ini hanyalah bentuk perwakilan yang tidak memberikan manfaat apa pun baginya, dan hakim boleh memindahkan barang gadai itu kepada ‘adl lain.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْعَدْلَ الْمَوْضُوعَ عَلَى يَدِهِ الرَّهْنُ نَائِبٌ عن الرهن والمرتهن في حفظ الراهن، فَإِذَا أَرَادَ رَدَّ الرَّهْنِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُسْتَأْجَرًا أَوْ مُتَطَوِّعًا، فَإِنْ كَانَ مُسْتَأْجَرًا مُدَّةً مَعْلُومَةً بِأُجْرَةٍ مَعْلُومَةٍ فَلَيْسَ لَهُ رَدُّ الرَّهْنِ قَبْلَ مُضِيِّ الْمُدَّةِ لِأَنَّ عَقْدَ الرَّهْنِ لَازِمٌ، وَإِنْ كَانَ مُتَطَوِّعًا فَلَهُ رَدُّهُ قَبْلَ مُضِيِّ الْمُدَّةِ لِأَنَّهَا أَمَانَةٌ مَحْضَةٌ، وَإِذَا كَانَ لَهُ رَدُّهُ فَلَا يَخْلُو حَالُ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa ‘adl yang dititipi barang gadai adalah wakil dari rahin (pemberi gadai) dan murtahin (penerima gadai) dalam menjaga barang gadai. Jika ia ingin mengembalikan barang gadai, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi ia adalah orang yang disewa atau sukarelawan. Jika ia adalah orang yang disewa untuk jangka waktu tertentu dengan upah tertentu, maka ia tidak boleh mengembalikan barang gadai sebelum masa tersebut berakhir, karena akad gadai bersifat mengikat. Namun, jika ia adalah sukarelawan, maka ia boleh mengembalikannya sebelum masa berakhir karena ini adalah amanah murni. Jika ia berhak mengembalikannya, maka keadaan rahin dan murtahin tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَا حَاضِرَيْنِ، فَالْوَاجِبُ عَلَى الْعَدْلِ أَنْ يَرُدَّهُ عَلَيْهِمَا وَلَيْسَ لَهُ مَعَ حُضُورِهِمَا أَنْ يَرُدَّهُ عَلَى أَحَدِهِمَا وَلَا عَلَى غَيْرِهِمَا مِنْ حَاكِمٍ أَوْ عَدْلٍ، فَإِنْ دَفَعَهُ إِلَى غَيْرِهِمَا، كَانَ ضَامِنًا، وَإِنْ رَدَّهُ عَلَيْهِمَا لَيْسَ لَهُ أَنْ يُخْرِجَهُ مِنَ الْحِرْزِ لِرَدِّهِ عليهما إلا بإذنهما فإن أخرجه بغير إذنها ضَمِنَهُ لِتَعَدِّيهِ بِإِخْرَاجِهِ فَإِنْ لَمْ يَقْبَلَا مِنْهُ الرَّهْنَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَأْتِيَ الْحَاكِمُ حَتَّى يَأْمُرَهُمَا بِأَخْذِهِ مِنْ يَدِهِ مِنْ غَيْرِ إِخْرَاجِهِ إِلَى الْحَاكِمِ، فَإِنْ أَجَابَا الْحَاكِمَ إِلَى أَخْذِهِ مِنْهُ وَإِلَّا ارْتَضَى لَهُمَا عَدْلًا وَأَمَرَهُ بِتَسْلِيمِ الرَّهْنِ إليه.

Pertama: Keduanya hadir. Maka wajib bagi ‘adl untuk mengembalikannya kepada mereka berdua, dan ia tidak boleh mengembalikannya hanya kepada salah satu dari mereka atau kepada selain mereka berdua, baik itu hakim atau ‘adl lain. Jika ia menyerahkannya kepada selain mereka berdua, maka ia wajib menanggung (tanggung jawab). Jika ia mengembalikannya kepada mereka berdua, ia tidak boleh mengeluarkan barang gadai dari tempat penyimpanannya untuk diserahkan kepada mereka kecuali dengan izin mereka. Jika ia mengeluarkannya tanpa izin mereka, maka ia wajib menanggungnya karena telah melampaui batas. Jika keduanya tidak mau menerima barang gadai darinya, maka sebaiknya ia mendatangi hakim agar hakim memerintahkan mereka untuk mengambilnya dari tangannya tanpa harus mengeluarkannya ke hadapan hakim. Jika mereka memenuhi perintah hakim untuk mengambilnya, maka selesai. Jika tidak, hakim memilihkan ‘adl lain untuk mereka dan memerintahkan agar barang gadai diserahkan kepadanya.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَا غَائِبَيْنِ فَإِنْ حَضَرَ لَهُمَا وَكِيلٌ مُطْلَقُ التَّصَرُّفِ فَإِنَّهُ يَقُومُ مَقَامَهُمَا، فَإِنْ عَدَلَ عَنْ تَسْلِيمِهِ إِلَى غَيْرِهِ مِنْ حَاكِمٍ أَوْ عَدْلٍ ضَمِنَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمَا وَكِيلٌ حَاضِرٌ فَلَا يَخْلُو الْعَدْلُ فِي رَدِّ الرَّهْنِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Kedua: Keduanya tidak hadir. Jika ada wakil mereka yang hadir dengan wewenang penuh, maka wakil tersebut menempati posisi mereka. Jika ‘adl menyerahkannya kepada selain wakil, seperti hakim atau ‘adl lain, maka ia wajib menanggungnya. Jika tidak ada wakil mereka yang hadir, maka dalam mengembalikan barang gadai, ‘adl tidak lepas dari dua keadaan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ مَعْذُورًا أَوْ غَيْرَ مَعْذُورٍ، فَإِنْ كَانَ مَعْذُورًا لِسَفَرٍ يُرِيدُهُ أَوْ مَرَضٍ يُعْجِزُهُ أَتَى الْحَاكِمَ فَسَلَّمَهُ إِلَيْهِ لِيَضَعَهُ الْحَاكِمُ عَلَى يَدِ عَدْلٍ يَرْضَاهُ لَهُمَا سَوَاءٌ كَانَ بَعِيدَيِ الْغَيْبَةِ أَمْ لَا. وَلَيْسَ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَضْطَرَّهُ عَلَى تَرْكِهِ بِيَدِهِ لِمَا فِيهِ مِنْ دُخُولِ الْمَضَرَّةِ عَلَيْهِ. فَإِنْ عَدَلَ عَنْ تَسْلِيمِهِ إِلَى الْحَاكِمِ وَسَلَّمَهُ إِلَى عَدْلٍ ثِقَةٍ أَشْهَدَ عَلَيْهِ شَاهِدَيْنِ فَإِنْ كَانَ قَدْ فَعَلَ ذَلِكَ لِعَدَمِ حَاكِمٍ أَمِينٍ فَفِي وُجُوبِ الضَّمَانِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ مِنَ الْمُودَعِ أَظْهَرُهُمَا وُجُوبُ الضَّمَانِ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَعْذُورٍ فَلَا يَخْلُو حَالُ سَفَرِ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ طَوِيلًا أَوْ قَصِيرًا، فَإِنْ كَانَ سَفَرُهُمَا طَوِيلًا رَفَعَهُ إِلَى الْحَاكِمِ لِيُسَلِّمَهُ إِلَى عَدْلٍ يَرْضَاهُ لَهُمَا كَمَا لَوْ كَانَ مَعْذُورًا وَلَا يَجُوزُ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَضْطَرَّهُ عَلَى تَرْكِهِ بِيَدِهِ، وَإِنْ كَانَ سَفَرُهُمَا قَصِيرًا عَلَى مَسَافَةٍ أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، أَمَرَهُ الْحَاكِمُ بِتَرْكِهِ فِي يَدِهِ وَأَنْفَذَ إِلَى الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ لِيَخْتَارَا عَدْلًا يُوضَعُ عَلَى يَدِهِ. لِأَنَّهُمَا رُبَّمَا رَضِيَا غَيْرَ مَنْ يَخْتَارُهُ لَهُمَا، فَإِنِ اخْتَارَا عَدْلًا أَمَرَهُ بِتَسْلِيمِ الرَّهْنِ إِلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَخْتَارَا عَدْلًا اخْتَارَ الْحَاكِمُ لَهُمَا عَدْلًا وَأَمَرَهُ بِتَسْلِيمِ الرَّهْنِ إِلَيْهِ.

Bisa jadi ia memiliki uzur atau tidak. Jika ia beruzur karena hendak bepergian atau sakit yang menghalanginya, maka ia mendatangi hakim dan menyerahkan barang gadai kepadanya agar hakim menempatkannya pada ‘adl lain yang disetujui oleh kedua belah pihak, baik mereka sedang bepergian jauh atau tidak. Hakim tidak boleh memaksanya untuk tetap memegang barang gadai karena hal itu dapat menimbulkan mudarat baginya. Jika ia tidak menyerahkan kepada hakim, tetapi menyerahkan kepada ‘adl lain yang terpercaya dan menghadirkan dua saksi atas penyerahan itu, maka jika ia melakukan hal tersebut karena tidak ada hakim yang amanah, maka dalam hal kewajiban menanggung (tanggung jawab) atasnya terdapat dua pendapat dari para ulama, yang paling kuat adalah wajib menanggung. Jika ia tidak beruzur, maka keadaan safar rahin dan murtahin tidak lepas dari dua kemungkinan: safar mereka jauh atau dekat. Jika safar mereka jauh, maka ia menyerahkan barang gadai kepada hakim agar hakim menyerahkannya kepada ‘adl yang disetujui oleh keduanya, sebagaimana jika ia beruzur, dan tidak boleh bagi hakim memaksanya untuk tetap memegang barang gadai. Jika safar mereka dekat, yakni dalam jarak kurang dari sehari semalam, maka hakim memerintahkannya untuk tetap memegang barang gadai dan mengirim utusan kepada rahin dan murtahin agar mereka memilih ‘adl yang akan dititipi barang gadai. Karena bisa jadi mereka ridha kepada orang yang tidak dipilihkan oleh hakim untuk mereka. Jika mereka memilih ‘adl, maka hakim memerintahkan untuk menyerahkan barang gadai kepadanya. Jika mereka tidak memilih ‘adl, maka hakim memilihkan ‘adl untuk mereka dan memerintahkan agar barang gadai diserahkan kepadanya.

وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا حَاضِرًا وَالْآخَرُ غَائِبًا. فَلَا يَجُوزُ لِلْعَدْلِ تَسْلِيمُهُ إِلَى الْحَاضِرِ مِنْهُمَا لِمَا فِيهِ مِنْ حَقِّ الْغَائِبِ، فَإِنْ حَضَرَ لِلْغَائِبِ وَكِيلٌ مُطْلَقُ التَّصَرُّفِ تَرَاضَى الْحَاضِرُ وَوَكِيلُ الْغَائِبِ بِعَدْلٍ يَضَعَانِهِ عَلَى يَدِهِ فَإِنِ ارْتَضَيَا بِعَدْلٍ وَإِلَّا ارْتَضَى لَهُمَا الْحَاكِمُ عَدْلًا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلْغَائِبِ وَكِيلٌ حَاضِرٌ، نَابَ الْحَاكِمُ عَنِ الْغَائِبِ فِي اخْتِيَارِ عَدْلٍ يُوضَعُ على يده.

Keadaan ketiga: salah satu dari keduanya hadir dan yang lain tidak hadir. Maka tidak boleh bagi pihak adil (penjaga barang gadai) menyerahkan barang tersebut kepada pihak yang hadir karena di dalamnya terdapat hak pihak yang tidak hadir. Jika untuk pihak yang tidak hadir hadir seorang wakil yang memiliki wewenang penuh dalam bertindak, maka pihak yang hadir dan wakil pihak yang tidak hadir dapat sepakat menunjuk seorang adil (penjaga) yang mereka percayakan barang itu kepadanya. Jika keduanya sepakat pada seorang adil, maka dilakukan; jika tidak, hakim yang akan memilihkan seorang adil untuk mereka. Jika pihak yang tidak hadir tidak memiliki wakil yang hadir, maka hakim bertindak mewakili pihak yang tidak hadir dalam memilih seorang adil yang akan dipercayakan barang itu kepadanya.

(فصل)

(Fasal)

وإن سَافَرَ الْعَدْلُ بِالرَّهْنِ كَانَ ضَامِنًا لَهُ سَوَاءٌ كَانَ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ حَاضِرَيْنِ أَوْ كَانَا غَائِبَيْنِ لِأَنَّ فِي السَّفَرِ تَغْرِيرًا بِهِ فَإِنْ قَالَ إنما سافرت به إليهما لا رده عَلَيْهِمَا لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الضَّمَانُ لِعَدَمِ إِذْنِهِمَا فَلَوْ لَقِيَهُمَا فِي السَّفَرِ فَسَأَلَهُمَا أَخْذَ الرَّهْنِ مِنْهُ لَمْ يَلْزَمْهُمَا أَخْذُهُ.

Jika pihak adil bepergian membawa barang gadai, maka ia bertanggung jawab atas barang tersebut, baik pihak yang menggadaikan maupun pihak penerima gadai hadir ataupun tidak hadir, karena dalam bepergian terdapat unsur membahayakan barang tersebut. Jika ia berkata, “Saya bepergian membawanya kepada mereka untuk mengembalikannya kepada mereka,” maka tanggung jawab tidak gugur darinya karena tidak ada izin dari keduanya. Jika ia bertemu dengan keduanya dalam perjalanan lalu meminta mereka mengambil barang gadai darinya, maka keduanya tidak wajib mengambilnya.

وَوَجَبَ عَلَى الْعَدْلِ رَدُّهُ إِلَى الْبَلَدِ إِلَّا أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى أَخْذِهِ فِي السَّفَرِ فَيَبْرَأُ مِنْهُ بِأَخْذِهِمَا لَهُ، فَلَوْ رَضِيَ أَحَدُهُمَا بِأَخْذِهِ، مِنْهُ فِي السَّفَرِ وَلَمْ يَرْضَ الْآخَرُ لَمْ يُجْبَرِ الْمُمْتَنِعُ عَلَى أَخْذِهِ وَلَمْ يَكُنْ لِلْعَدْلِ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَى الراض بِأَخْذِهِ وَكَانَ فِي ضَمَانِهِ وَعَلَيْهِ رَدُّهُ إِلَى بلده.

Pihak adil wajib mengembalikan barang gadai ke kota asal, kecuali jika kedua belah pihak sepakat untuk mengambilnya dalam perjalanan, maka ia terbebas dari tanggung jawab dengan diambilnya barang itu oleh mereka. Jika salah satu dari keduanya rela mengambilnya dalam perjalanan dan yang lain tidak rela, maka pihak yang menolak tidak dipaksa untuk mengambilnya dan pihak adil tidak boleh menyerahkan barang itu kepada pihak yang rela, sehingga barang tersebut tetap dalam tanggung jawabnya dan ia wajib mengembalikannya ke kota asal.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

إِذَا وَضَعَ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ الرَّهْنَ عَلَى يَدَيْ عَدْلَيْنِ فَعَلَيْهِمَا أَنْ يَشْتَرِكَا فِي حِفْظِهِ وَإِحْرَازِهِ، فَإِنْ أَرَادَ الْعَدْلَانِ أَنْ يُقِرَّا الرَّهْنَ فِي يَدِ أَحَدِهِمَا أَوْ يُقَسِّمَانِهِ لِيَكُونَ فِي أَيْدِيهِمَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ مِنْ ثلاثة أحوال:

Jika pihak yang menggadaikan dan pihak penerima gadai menyerahkan barang gadai kepada dua orang adil (penjaga), maka keduanya wajib bersama-sama menjaga dan mengamankannya. Jika kedua adil tersebut ingin menempatkan barang gadai di tangan salah satu dari mereka atau membaginya agar masing-masing memegang sebagian, maka keadaan pihak yang menggadaikan dan pihak penerima gadai tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَأْذَنَا لَهُمَا بِذَلِكَ، فَيَجُوزُ لِلْعَدْلَيْنِ فِعْلُهُ لِصَرِيحِ الْإِذْنِ بِهِ.

Pertama: jika keduanya mengizinkan hal itu, maka kedua adil boleh melakukannya karena adanya izin yang jelas.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَنْهَيَاهُمَا عَنْ ذَلِكَ، فَلَا يَجُوزُ لِلْعَدْلَيْنِ فِعْلُهُ لِصَرِيحِ النَّهْيِ عَنْهُ، فَإِنْ فَعَلَا ذَلِكَ نُظِرَ، فَإِنِ اقْتَسَمَاهُ فَعَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ضَمَانُ نِصْفِهِ وَهُوَ الْقَدْرُ الَّذِي خَرَجَ مِنْ يَدِهِ إِلَى يَدِ صَاحِبِهِ وَإِنْ لَمْ يَقْتَسِمَاهُ وَلَكِنِ اتَّفَقَا عَلَى إِقْرَارِهِ فِي يَدِ أَحَدِهِمَا فَعَلَى الْمُخْرِجِ لَهُ مِنْ يَدِهِ ضَمَانُ جَمِيعِهِ وَلَيْسَ عَلَى مَنْ هُوَ فِي يَدِهِ ضَمَانٌ.

Kedua: jika keduanya melarang hal itu, maka kedua adil tidak boleh melakukannya karena adanya larangan yang jelas. Jika keduanya tetap melakukannya, maka diperinci: jika barang gadai dibagi, maka masing-masing bertanggung jawab atas setengahnya, yaitu bagian yang keluar dari tangannya ke tangan temannya. Jika tidak dibagi, tetapi disepakati untuk menempatkannya di tangan salah satu dari mereka, maka yang mengeluarkan barang dari tangannya bertanggung jawab atas seluruhnya, sedangkan yang memegang barang tidak menanggung apa-apa.

وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُطْلِقَ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ تَصْرِيحٍ بِإِذْنٍ وَلَا نَهْيٍ فَفِي جَوَازِ ذلك قولان: حكاهما ابن سريج:

Ketiga: jika pihak yang menggadaikan dan pihak penerima gadai membiarkan hal itu tanpa izin atau larangan yang jelas, maka dalam kebolehan tindakan tersebut terdapat dua pendapat yang diriwayatkan oleh Ibn Suraij:

أحدهما: لَا يَجُوزُ لِأَنَّ الرَّاهِنَ وَالْمُرْتَهِنَ لَمْ يَرْضَيَا بِأَمَانَةِ أَحَدِهِمَا فَإِنْ فَعَلَا لَزِمَ الضَّمَانُ عَلَى مَا وَصَفْنَاهُ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَجُوزُ لِمَا فِيهِ مِنَ الرِّفْقِ بِهِمَا فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ الرَّهْنُ مِمَّا لَا يُقْسَمُ جَازَ أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى كَوْنِهِ فِي يَدِ أَحَدِهِمَا وَلَا ضَمَانَ عَلَى الْآخَرِ، وَإِنْ كَانَ مِمَّا يُقَسَّمُ جَازَ أَنْ يُقَسِّمَاهُ لِيَكُونَ فِي يَدِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُهُ وَلَا ضَمَانَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا.

Pertama: tidak boleh, karena pihak yang menggadaikan dan pihak penerima gadai tidak rela dengan amanah salah satu dari mereka. Jika keduanya tetap melakukannya, maka berlaku tanggung jawab sebagaimana telah dijelaskan. Pendapat kedua: boleh, karena di dalamnya terdapat kemudahan bagi keduanya. Dalam hal ini, jika barang gadai tidak dapat dibagi, maka boleh keduanya sepakat untuk menempatkannya di tangan salah satu dari mereka dan tidak ada tanggung jawab atas yang lain. Jika barang gadai dapat dibagi, maka boleh keduanya membaginya sehingga masing-masing memegang setengahnya dan tidak ada tanggung jawab atas keduanya.

فإن لم يقتسماه وَاتَّفَقَا عَلَى كَوْنِهِ فِي يَدِ أَحَدِهِمَا فَفِي وُجُوبِ الضَّمَانِ عَلَى الْمُخْرِجِ لَهُ مِنْ يَدِهِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ:

Jika keduanya tidak membagi barang gadai dan sepakat untuk menempatkannya di tangan salah satu dari mereka, maka dalam kewajiban tanggung jawab atas yang mengeluarkan barang dari tangannya terdapat dua pendapat yang diriwayatkan oleh Ibn Suraij:

أَحَدُهُمَا: لَا ضَمَانَ عليه.

Pertama: tidak ada tanggung jawab atasnya.

والثاني: عليه ضمان نصفه.

Kedua: ia bertanggung jawab atas setengahnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ جَنَى الْمَرْهُونُ عَلَى سَيِّدِهِ فَلَهُ الْقِصَاصُ فَإِنْ عَفَا فَلَا دَيْنَ لَهُ عَلَى عَبْدِهِ وَهُوَ رَهْنٌ بِحَالِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika barang yang digadaikan melakukan tindak pidana terhadap tuannya, maka tuannya berhak melakukan qishāsh. Jika ia memaafkan, maka ia tidak memiliki tuntutan terhadap budaknya, dan budak itu tetap menjadi barang gadai sebagaimana keadaannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي عَبْدٍ مَرْهُونٍ جَنَى عَلَى سَيِّدِهِ فَلَا يَخْلُو حَالُ جِنَايَتِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada budak yang digadaikan lalu melakukan tindak pidana terhadap tuannya, maka keadaan tindak pidananya tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ فِي طَرَفٍ مِنْ أَطْرَافِهِ، فَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ عَلَى طَرَفٍ مِنْ أَطْرَافِهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Yaitu, tindak pidana itu mengenai jiwanya atau mengenai salah satu anggota tubuhnya. Jika tindak pidana itu mengenai salah satu anggota tubuhnya, maka terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ خَطَأً فَهِيَ هَدَرٌ وَلَا قَوَدَ فِيهِمَا وَلَا أَرْشَ لِأَنَّ الْقَوَدَ لَا يَجِبُ فِي الْخَطَأِ وَالْأَرْشَ لَا يَجِبُ لِلسَّيِّدِ لِأَنَّ مِلْكَهُ لِمَحَلِّ الْأَرْشِ سابقا.

Salah satunya: jika perbuatannya merupakan kesalahan (tidak sengaja), maka itu dianggap sia-sia (tidak ada tuntutan) dan tidak ada qishāsh maupun ‘arsh di dalamnya. Sebab, qishāsh tidak diwajibkan dalam kasus kesalahan, dan ‘arsh tidak wajib bagi tuan karena sebelumnya ia telah memiliki bagian tubuh yang menjadi tempat ‘arsh tersebut.

والضرب الثاني: أن يكون عمدا توجب القود فَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْهُ لِأَنَّ الْقِصَاصَ مَوْضُوعٌ لِلرَّدْعِ وَحِرَاسَةِ النُّفُوسِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ} [البقرة: 179] فَاسْتَوَى حُكْمُ السَّيِّدِ وَغَيْرُهُ فِي الْقِصَاصِ فَإِنْ عَفَا السَّيِّدُ عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى الْأَرْشِ صَارَتْ هَدَرًا يَسْقُطُ الْقِصَاصُ وَلَا يَجِبُ الْأَرْشُ لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ مِلْكِهِ لِمَحَلِّ الْأَرْشِ، فَلَوْ لَمْ يَقْتَصَّ السَّيِّدُ مَنْ عَبْدِهِ الْمَرْهُونِ وَلَا عَفَا عَنْهُ حَتَّى مَاتَ السَّيِّدُ مِنْ غَيْرِ الْجِنَايَةِ كَانَ لِوَارِثِهِ الْقِصَاصُ مِنَ الْعَبْدِ الْمَرْهُونِ فَإِنْ عَفَا الْوَارِثُ عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى الْأَرْشِ سَقَطَ الْقِصَاصُ وَلَمْ يَجِبْ لَهُ الْأَرْشُ لِأَنَّهُ يَحُلُّ مَحَلَّ السَّيِّدِ فَمَلَكَ عَنْهُ مَا كَانَ السَّيِّدُ مَالِكًا لَهُ.

Jenis kedua: jika perbuatannya dilakukan dengan sengaja sehingga mewajibkan qishāsh, maka tuan berhak menuntut qishāsh darinya. Sebab, qishāsh ditetapkan untuk mencegah kejahatan dan menjaga jiwa, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Dan dalam qishāsh itu ada (jaminan) kehidupan bagimu} [Al-Baqarah: 179]. Maka, hukum antara tuan dan selainnya sama dalam hal qishāsh. Jika tuan memaafkan qishāsh dengan menerima ‘arsh, maka perkaranya menjadi sia-sia; qishāsh gugur dan ‘arsh tidak wajib diberikan karena sebagaimana telah dijelaskan, ia telah memiliki bagian tubuh yang menjadi tempat ‘arsh tersebut. Jika tuan tidak menuntut qishāsh dari budaknya yang sedang digadaikan dan tidak pula memaafkannya hingga tuan meninggal bukan karena kejahatan itu, maka ahli warisnya berhak menuntut qishāsh dari budak yang digadaikan tersebut. Jika ahli waris memaafkan qishāsh dengan menerima ‘arsh, maka qishāsh gugur dan ‘arsh tidak wajib diberikan kepadanya, karena ia menempati posisi tuan sehingga ia memiliki hak yang sama seperti yang dimiliki tuan sebelumnya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ لِلسَّيِّدِ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْهُ فِي الْعَمْدِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ لَهُ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْهُ بِنَفْسِهِ أَوْ يَقْتَصَّ لَهُ السُّلْطَانُ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika telah tetap bahwa tuan berhak menuntut qishāsh dalam kasus sengaja, maka para ulama kami berbeda pendapat: apakah tuan boleh menuntut qishāsh sendiri ataukah harus melalui penguasa? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْهُ كَمَا يَجُوزُ أَنْ يَحُدَّهُ إِذَا زَنَا.

Salah satunya: boleh bagi tuan menuntut qishāsh sendiri, sebagaimana ia boleh menegakkan had jika budaknya berzina.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْهُ حَتَّى يَقْتَصَّ السُّلْطَانُ لَهُ لِأَنَّهُ الْخَصْمُ فِي الْقِصَاصِ وَالْخَصْمُ فِي الْقِصَاصِ لَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَوْفِيَ الْقِصَاصَ كَالْأَجْنَبِيِّ.

Pendapat kedua: tidak boleh bagi tuan menuntut qishāsh sendiri, melainkan harus melalui penguasa, karena ia adalah pihak yang bersengketa dalam qishāsh, dan pihak yang bersengketa dalam qishāsh tidak boleh menegakkan qishāsh sendiri seperti orang lain (yang bukan pihak terkait).

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ عَلَى نَفْسِهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika kejahatan itu dilakukan terhadap dirinya sendiri, maka terbagi menjadi dua jenis:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ خَطَأً فَفِيهَا قَوْلَانِ:

Salah satunya: jika dilakukan karena kesalahan (tidak sengaja), maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تَكُونُ هَدَرًا فَلَا شَيْءَ لِوَارِثِهِ.

Salah satunya: bahwa itu dianggap sia-sia (tidak ada tuntutan), sehingga ahli warisnya tidak mendapatkan apa-apa.

كَمَا لَوْ جَنَى عَلَى طَرَفٍ مِنْ أَطْرَافِهِ.

Sebagaimana jika ia melakukan kejahatan terhadap salah satu anggota tubuhnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا لَا تَكُونُ هَدَرًا وَلَهُمْ إِخْرَاجُهُ مِنَ الرَّهْنِ وَبَيْعُهُ فِي الْجِنَايَةِ وَهَذَانِ الْقَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي الدِّيَةِ مَتَى تَجِبُ فَأَحَدُ قَوْلَيْهِ أَنَّهَا تَجِبُ لِلْمَقْتُولِ فِي آخِرِ جُزْءٍ مِنْ حَيَاتِهِ لِأَنَّهُ قَدْ يَقْضِي مِنْهَا دُيُونَهُ، وَتُنَفَّذُ فِيهَا وَصَايَاهُ فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِهَا فِي مِلْكِهِ، فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ تَكُونُ الْجِنَايَةُ هَدَرًا لِأَنَّ السَّيِّدَ لَا يَثْبُتُ لَهُ فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ مَالٌ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْعَبْدُ رَهْنًا بِحَالِهِ.

Pendapat kedua: bahwa itu tidak dianggap sia-sia, dan ahli warisnya berhak mengeluarkannya dari gadai dan menjualnya untuk keperluan kejahatan tersebut. Kedua pendapat ini didasarkan pada perbedaan pendapat Imam Syafi‘i tentang kapan diyat menjadi wajib. Salah satu pendapat beliau, diyat menjadi wajib bagi yang terbunuh pada bagian akhir dari hidupnya, karena bisa saja ia melunasi utangnya dari diyat tersebut dan wasiatnya dapat dilaksanakan darinya, sehingga menunjukkan bahwa diyat menjadi hak miliknya. Berdasarkan pendapat ini, kejahatan tersebut dianggap sia-sia karena tuan tidak memiliki harta atas diri budaknya, sehingga budak tetap menjadi barang gadai sebagaimana adanya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَجِبُ فِي مِلْكِ الْوَرَثَةِ لِأَنَّ الدِّيَةَ بَدَلٌ فَلَمْ يَسْتَحِقَّ وُجُوبُهَا مَعَ بَقَاءِ نَفْسِهِ، فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ لَا يَكُونُ هَدَرًا وَتَجِبُ الدِّيَةُ فِي رَقَبَتِهِ وَلَهُمْ إِخْرَاجُهُ مِنَ الرَّهْنِ وَبَيْعُهُ فِيهَا فَعَلَى هَذَا إِذَا بِيعَ فِي الْجِنَايَةِ بَطَلَ الرَّهْنُ وَكَانَ حَقُّ الْمُرْتَهِنِ وَاجِبًا فِي التَّرِكَةِ كَسَائِرِ الْغُرَمَاءِ.

Pendapat kedua: bahwa diyat menjadi hak milik ahli waris, karena diyat adalah pengganti, sehingga tidak berhak diwajibkan selama ia masih hidup. Berdasarkan pendapat ini, kejahatan tersebut tidak dianggap sia-sia dan diyat wajib atas dirinya, serta ahli waris berhak mengeluarkannya dari gadai dan menjualnya untuk diyat tersebut. Dengan demikian, jika ia dijual untuk keperluan kejahatan, maka gadai batal dan hak pemegang gadai menjadi bagian dari harta warisan seperti para kreditur lainnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ جِنَايَةَ عَمْدٍ تُوجِبُ الْقَوَدَ فَلِلْوَارِثِ إِذَا كَانَ بالغا ثلاثة أحوال:

Jenis kedua: jika kejahatan itu dilakukan dengan sengaja sehingga mewajibkan qishāsh, maka bagi ahli waris yang sudah baligh ada tiga keadaan:

أحدها: أَنْ يَطْلُبَ الْقَوَدَ وَيُرِيدَ الْقِصَاصَ فَذَلِكَ لَهُ، لِأَنَّ السَّيِّدَ قَدْ يَجِبُ لَهُ الْقِصَاصُ عَلَى عَبْدِهِ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ مَحَلَّ الْقِصَاصَ قَبْلَ الْجِنَايَةِ فَجَازَ أَنْ يَمْلِكَهُ بِالْجِنَايَةِ، وَهُوَ يَمْلِكُ مَحَلَّ الْأَرْشِ قَبْلَ الْجِنَايَةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَمْلِكَهُ بِالْجِنَايَةِ، وَإِذَا اقْتَصَّ مِنْهُ الْوَارِثُ بَطَلَ الرَّهْنُ وَتَعَلَّقَ حَقُّ الْمُرْتَهِنِ بِالتَّرِكَةِ كَسَائِرِ الْغُرَمَاءِ.

Pertama: ia menuntut qishāsh dan menghendaki pelaksanaan qishāsh, maka itu menjadi haknya. Sebab, tuan bisa saja berhak atas qishāsh terhadap budaknya karena ia tidak memiliki bagian tubuh yang menjadi tempat qishāsh sebelum kejahatan terjadi, sehingga boleh baginya memilikinya karena kejahatan tersebut. Sedangkan ia (tuan) telah memiliki bagian tubuh yang menjadi tempat ‘arsh sebelum kejahatan, sehingga tidak boleh memilikinya karena kejahatan. Jika ahli waris menuntut qishāsh darinya, maka gadai batal dan hak pemegang gadai menjadi bagian dari harta warisan seperti para kreditur lainnya.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَعْفُوَ الْوَارِثُ عَنِ الْقِصَاصِ عَلَى غَيْرِ مَالٍ، فَقَدْ سَقَطَ حُكْمُ الْجِنَايَةِ وَكَانَ الْعَبْدُ، هَاهُنَا رَهْنًا عَلَى حَالِهِ يُقَدِّمُ الْمُرْتَهِنَ بِثَمَنِهِ عَلَى جَمِيعِ غُرَمَائِهِ.

Keadaan kedua: Jika ahli waris memaafkan qishāsh tanpa imbalan harta, maka gugurlah hukum jināyah dan budak tersebut tetap menjadi barang gadai sebagaimana keadaannya, sehingga pihak yang menerima gadai didahulukan dengan harga budak itu atas seluruh para krediturnya.

وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقَوَدِ إِلَى الدِّيَةِ لِيُبَاعَ الْعَبْدُ فِيهَا فَفِي جَوَازِ ذَلِكَ قَوْلَانِ نَصَّ عَلَيْهِمَا فِي الْأُمِّ بِنَاءً عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي دِيَةِ الْمَقْتُولِ مَتَى تَجِبُ؟

Keadaan ketiga: Jika memaafkan qawad (qishāsh) dengan diganti diyat agar budak dijual untuk diyat tersebut, maka dalam kebolehan hal ini terdapat dua pendapat yang ditegaskan dalam kitab al-Umm, berdasarkan apa yang telah kami sebutkan tentang perbedaan dua pendapat beliau mengenai kapan diwajibkannya diyat bagi korban pembunuhan.

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْجِنَايَةَ صَارَتْ هَدَرًا لِعَفْوِهِ عَنِ الْقَوَدِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْعَبْدُ رَهْنًا على حاله يقدم المرتهن بثمنه على جميع الْغُرَمَاءِ.

Salah satunya: Bahwa jināyah menjadi sia-sia (tidak ada tuntutan) karena telah dimaafkan dari qawad, sehingga dalam hal ini budak tetap menjadi barang gadai sebagaimana keadaannya, dan pihak yang menerima gadai didahulukan dengan harga budak itu atas seluruh para kreditur.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَدْ وَجَبَتْ لَهُ الدِّيَةُ فِي رَقَبَتِهِ فَيُبَاعُ فِيهَا فَإِذَا بِيعَ بَطَلَ الرَّهْنُ وَكَانَ ثَمَنُ الْعَبْدِ الْمَأْخُوذُ مِنَ الدِّيَةِ مَضْمُونًا إِلَى التَّرِكَةِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا لِتُقْضَى مِنْهَا دُيُونُ السَّيِّدِ الرَّاهِنِ وَتُنَفَّذَ مِنْهَا وَصَايَاهُ وَيَكُونُ الْمُرْتَهِنُ فِي ثَمَنِهِ وَجَمِيعُ الْغُرَمَاءِ أُسْوَةً كما يكونوا فِي جَمِيعِ التَّرِكَةِ أُسْوَةً.

Pendapat kedua: Diyat telah menjadi hak atas budak tersebut, sehingga budak dijual untuk membayar diyat. Jika telah dijual, maka batalah status gadai, dan harga budak yang diambil dari diyat menjadi tanggungan bagi harta peninggalan (tirkah) menurut kedua pendapat, agar dari harta itu dapat dibayarkan utang-utang tuan yang menggadaikan dan dilaksanakan wasiat-wasiatnya. Pihak yang menerima gadai dan seluruh para kreditur mendapat bagian yang sama dari harga budak itu, sebagaimana mereka mendapat bagian yang sama dari seluruh harta peninggalan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَلَوْ جَنَى الْعَبْدُ الْمَرْهُونُ عَلَى ابْنِ سَيِّدِهِ أَوْ عَلَى أَبِيهِ، وَمَاتَ مِنْ جِنَايَتِهِ فَوَرِثَهُ السَّيِّدُ، فَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْهُ ثَانِيَةً، وَلَهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى الدِّيَةِ فَيُخْرِجَهُ مِنَ الرَّهْنِ وَيَبِيعَهُ فِيهَا، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ لِأَنَّهُ مَلَكَ ذَلِكَ عَنِ ابْنِهِ وَلَمْ يُمْتَنَعْ أَنْ يَسْتَحِقَّ الْأَرْشَ فِي رَقَبَتِهِ كَمَا كان يستحقه الابن الوارث قائم مَقَامَ مُوَرِّثِهِ.

Jika budak yang digadaikan melakukan jināyah terhadap anak tuannya atau terhadap ayahnya, lalu korban meninggal karena jināyah tersebut dan tuan mewarisinya, maka tuan berhak menuntut qishāsh darinya untuk kedua kalinya, dan ia juga berhak memaafkan qishāsh dengan diganti diyat, lalu mengeluarkan budak itu dari gadai dan menjualnya untuk membayar diyat. Hal ini ditegaskan oleh asy-Syāfi‘ī dalam kitab al-Umm, karena ia telah memiliki hak itu dari anaknya, dan tidak terhalang untuk berhak atas arsy (ganti rugi) pada budak tersebut sebagaimana anak yang mewarisi berhak atasnya sebagai pengganti pewarisnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

إِذَا جَنَى الْمُكَاتَبُ عَلَى سيده فللسيد أن يقتص منه إِنْ كَانَتْ عَمْدًا وَيَجِبَ عَلَيْهِ أَرْشُهَا إِنْ كَانَتْ خَطَأً بِخِلَافِ الْعَبْدِ لِأَنَّ السَّيِّدَ قَدْ يَجِبُ لَهُ عَلَى مُكَاتَبِهِ مَالٌ مِنْ غَيْرِ الْجِنَايَةِ، فَجَازَ أَنْ يَجِبَ لَهُ عَلَيْهِ أَرْشُ الْجِنَايَةِ – إِذْ لَيْسَ يَمْلِكُ مَحَلَّ الْأَرْشِ قَبْلَ الْجِنَايَةِ، وَلَمَّا لَمْ يَجِبْ لِلسَّيِّدِ عَلَى عَبْدِهِ مَالٌ مِنْ غَيْرِ الْجِنَايَةِ لَمْ يَجِبْ لَهُ عَلَيْهِ أَرْشُ الْجِنَايَةِ، فَلَوْ عَجَزَ الْمُكَاتَبُ قَبْلَ أَدَاءِ الْأَرْشِ لِسَيِّدِهِ سَقَطَ الْأَرْشُ لِأَنَّهُ صَارَ بِالْعَجْزِ عَبْدًا، وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Jika seorang mukātab melakukan jināyah terhadap tuannya, maka tuan berhak menuntut qishāsh jika jināyah itu disengaja, dan wajib atasnya membayar arsy jika tidak disengaja, berbeda dengan budak biasa. Sebab, tuan bisa saja memiliki hak harta atas mukātabnya selain karena jināyah, maka boleh saja ia berhak atas arsy jināyah—karena ia tidak memiliki objek arsy sebelum terjadi jināyah. Sedangkan jika tuan tidak memiliki hak harta atas budaknya selain karena jināyah, maka tidak wajib atasnya arsy jināyah. Jika mukātab tidak mampu membayar arsy kepada tuannya sebelum melunasi, maka gugurlah kewajiban arsy karena ia kembali menjadi budak, dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ جَنَى عَبْدُهُ الْمَرْهُونُ عَلَى عَبْدٍ لَهُ آخَرَ مَرْهُونٍ فَلَهُ الْقِصَاصُ فَإِنْ عَفَا عَلَى مَالٍ فَالْمَالُ مَرْهُونُ فِي يَدَيْ مُرْتَهِنِ الْعَبْدِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ بِحَقِّهِ الَّذِي بِهِ أَجَزْتُ لِسَيِّدِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْخُذَ الْجِنَايَةَ مِنْ عُنُقِ عَبْدِهِ الْجَانِي “.

Asy-Syāfi‘ī ra. berkata: “Jika budak yang digadaikan melakukan jināyah terhadap budak lain miliknya yang juga digadaikan, maka ia berhak menuntut qishāsh. Jika ia memaafkan dengan imbalan harta, maka harta itu menjadi barang gadai di tangan pihak yang menerima gadai budak korban jināyah, sesuai haknya. Dengan demikian, aku membolehkan bagi tuan budak untuk mengambil ganti rugi jināyah dari budaknya yang melakukan jināyah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Māwardī berkata: Dan ini adalah pendapat yang benar.

وَصُورَتُهَا فِي عَبْدٍ مَرْهُونٍ جَنَى عَلَى عَبْدٍ لِسَيِّدٍ آخَرَ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْعَبْدِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ مَرْهُونًا أَوْ غَيْرَ مَرْهُونٍ، فَإِنْ كَانَ الْعَبْدُ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ غَيْرَ مَرْهُونٍ. فَلَا يَخْلُو حَالُ الْجِنَايَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ تَكُونَ عَمْدًا أَوْ خَطَأً، فَإِنْ كَانَتْ خَطَأً فَهِيَ هَدَرٌ لِأَنَّهَا تُوجِبُ الْمَالَ وَالسَّيِّدُ لَا يَثْبُتُ لَهُ فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ مَالٌ، وَإِنْ كَانَتْ عَمْدًا تُوجِبُ القود فالسيد بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَقْتَصَّ مِنَ الْعَبْدِ الْجَانِي وَبَيْنَ أَنْ يَعْفُوَ، فَإِنْ عَفَا صَارَتِ الْجِنَايَةُ هَدَرًا وَكَانَ الْعَبْدُ الْجَانِي رَهْنًا بِحَالِهِ، وَإِنِ اقْتَصَّ مِنْهُ فَذَلِكَ لَهُ رَدْعًا لِلْجَانِي إِنْ كَانَ الْقِصَاصُ فِي طَرَفِهِ وَزَجْرًا لِغَيْرِهِ إِنْ كَانَ فِي نَفْسِهِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ} [البقرة: 179] فَإِنْ كَانَ الْقِصَاصُ فِي نَفْسِهِ بَطَلَ الرَّهْنُ، وَإِنْ كَانَ الْقِصَاصُ فِي طَرَفٍ مِنْ أَطْرَافِهِ كَانَ رَهْنًا بِحَالِهِ.

Contoh kasusnya adalah seorang budak yang dijadikan barang gadai melakukan tindak pidana terhadap budak milik tuan lain. Maka, keadaan budak yang menjadi korban tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi ia juga merupakan barang gadai atau bukan barang gadai. Jika budak yang menjadi korban bukan barang gadai, maka keadaan tindak pidananya juga tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi dilakukan dengan sengaja (‘amdan) atau tidak sengaja (khaṭa’an). Jika dilakukan tidak sengaja, maka tindak pidana tersebut dianggap sia-sia (hadhar), karena menimbulkan kewajiban pembayaran harta, sementara tuan tidak memiliki hak harta atas budaknya sendiri. Namun jika dilakukan dengan sengaja yang mewajibkan qishāsh, maka tuan korban memiliki pilihan antara menuntut qishāsh terhadap budak pelaku atau memaafkannya. Jika ia memaafkan, maka tindak pidana tersebut menjadi sia-sia dan budak pelaku tetap menjadi barang gadai sebagaimana keadaannya. Jika ia menuntut qishāsh, maka itu menjadi haknya sebagai bentuk pencegahan bagi pelaku jika qishāsh dilakukan pada anggota tubuh, dan sebagai peringatan bagi yang lain jika qishāsh dilakukan pada jiwa, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan dalam qishāsh itu ada kehidupan bagimu} (QS. Al-Baqarah: 179). Jika qishāsh dilakukan pada jiwa, maka status gadai menjadi batal. Namun jika qishāsh dilakukan pada anggota tubuh, maka budak tersebut tetap menjadi barang gadai sebagaimana keadaannya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِنْ كَانَ الْعَبْدُ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ مَرْهُونًا فَعَلَى ضربين:

Jika budak yang menjadi korban adalah barang gadai, maka keadaannya terbagi menjadi dua:

أحدهما: أن يكون مرتهنا عِنْدَ مُرْتَهِنٍ ثَانٍ غَيْرِ مُرْتَهِنِ الْعَبْدِ الْجَانِي فَلَا يَخْلُو حَالُ الْجِنَايَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ تَكُونَ عَمْدًا أَوْ خَطَأً، فَإِنْ كَانَتْ خَطَأً فَأَرْشُهَا ثَابِتٌ فِي رَقَبَةِ الْجَانِي لِتَعَلُّقِ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِرَقَبَةِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْأَرْشِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Pertama: Budak tersebut digadaikan kepada pihak kedua yang berbeda dengan pihak yang menerima gadai budak pelaku. Maka, keadaan tindak pidananya tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja. Jika dilakukan tidak sengaja, maka diyatnya tetap menjadi tanggungan budak pelaku, karena hak penerima gadai terkait dengan budak korban. Dalam hal ini, keadaan diyat terbagi menjadi tiga:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ أَقَلَّ مِنْ قِيمَةِ الْجَانِي.

Pertama: Jika diyatnya kurang dari nilai budak pelaku.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ أَكْثَرَ مِنْ قِيمَتِهِ.

Kedua: Jika diyatnya lebih dari nilai budak pelaku.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ مِثْلَ قِيمَتِهِ.

Ketiga: Jika diyatnya sama dengan nilai budak pelaku.

فَإِنْ كَانَ الْأَرْشُ أَقَلَّ مِنْ قِيمَةِ الْجَانِي بِأَنْ كَانَتْ قِيمَةُ الْجَانِي أَلْفَ دِرْهَمٍ وَأَرْشُ الْجِنَايَةِ خَمْسَمِائَةٍ فَالْوَاجِبُ أَنْ يُبَاعَ مِنَ الْجَانِي بِقَدْرِ الْأَرْشِ وَذَلِكَ نَصِفُهُ وَيَكُونُ النِّصْفُ الثَّانِي رَهْنًا بِحَالِهِ، وَيُؤْخَذُ ثَمَنُ مَا بِيعَ مِنَ الْأَرْشِ فَيُوضَعُ رَهْنًا مَكَانَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ، أَوْ قِصَاصًا مِنَ الْحَقِّ الْمَرْهُونِ فِيهِ وَإِنْ كَانَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ مِثْلَ قِيمَةِ الْجَانِي أَوْ كَانَ أَرْشُهَا أَكْثَرَ مِنْ قِيمَةِ الْجَانِي فَهُمَا سَوَاءٌ وَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika diyatnya kurang dari nilai budak pelaku, misalnya nilai budak pelaku seribu dirham dan diyat tindak pidananya lima ratus dirham, maka yang wajib adalah menjual budak pelaku sebesar nilai diyat, yaitu setengahnya, dan setengah sisanya tetap menjadi barang gadai sebagaimana keadaannya. Hasil penjualan bagian yang dijual dari budak pelaku diambil untuk diyat dan dijadikan barang gadai menggantikan posisi budak korban, atau sebagai pengganti dari hak yang digadaikan. Jika diyat tindak pidananya sama dengan nilai budak pelaku atau lebih dari nilainya, maka keduanya sama, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُنْقَلَ الْجَانِي مِنَ الرَّهْنِ فَيُوضَعَ رَهْنًا فِي يَدَيْ مُرْتَهِنِ الْعَبْدِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مِنْ غَيْرِ بَيْعٍ لِأَنَّ بَيْعَهُ إِنَّمَا يَجُوزُ لِيَكُونَ الْفَاضِلُ مِنْ ثَمَنِهِ رَهْنًا فِي يَدِ مُرْتَهِنِهِ فَإِذَا اسْتَوْعَبَتِ الْجِنَايَةُ جَمِيعَ قِيمَتِهِ، لَمْ يَكُنْ لِبَيْعِهِ وَارْتِهَانِ ثَمَنِهِ مَعْنًى.

Pertama: Budak pelaku dipindahkan dari status gadai dan dijadikan barang gadai di tangan penerima gadai budak korban tanpa perlu dijual, karena penjualan hanya dibolehkan agar kelebihan dari hasil penjualannya dapat dijadikan barang gadai di tangan penerima gadai semula. Jika seluruh nilai budak pelaku telah habis untuk diyat, maka tidak ada makna untuk menjualnya dan menjadikan hasil penjualannya sebagai barang gadai.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْجَانِيَ يُبَاعُ وَيُوضَعُ ثَمَنُهُ رَهْنًا مَكَانَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لِجَوَازِ حُدُوثِ رَاغِبٍ يَشْتَرِيهِ بِأَكْثَرَ مِنْ أَرْشِ جِنَايَتِهِ. فَيَكُونُ الْفَاضِلُ مِنْهَا رَهْنًا بِيَدِ مُرْتَهِنِهِ وَهَذَا أَصَحُّ الْوَجْهَيْنِ إِلَّا أَنْ يَقْطَعَ بِعَدَمِ الزِّيَادَةِ وَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ عَمْدًا فَالسَّيِّدُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَقْتَصَّ مِنَ الْجَانِي وَبَيْنَ أَنْ يَبِيعَهُ فِي الْأَرْشِ، فَإِذَا أَرَادَ الْقِصَاصَ فَذَاكَ لَهُ، فَإِذَا اقْتَصَّ مِنْهُ وَكَانَ الْقِصَاصُ فِي النَّفْسِ فَقَدْ بَطَلَ الرَّهْنُ، وَإِنْ كَانَ فِي طَرَفٍ كَانَا بَعْدَ الْجِنَايَةِ وَالْقِصَاصِ رَهْنًا بِحَالِهِمَا، وَإِنْ عَدَلَ عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى الْمَالِ فَذَلِكَ لَهُ وَيَكُونُ حُكْمُ الْأَرْشِ كَحُكْمِ الْأَرْشِ فِي جِنَايَةِ الْخَطَأِ عَلَى مَا مَضَى.

Pendapat kedua: Budak pelaku dijual dan hasil penjualannya dijadikan barang gadai menggantikan posisi budak korban, karena dimungkinkan ada pembeli yang ingin membelinya dengan harga lebih tinggi dari diyat tindak pidananya. Maka kelebihan dari hasil penjualan itu dijadikan barang gadai di tangan penerima gadai semula. Pendapat ini adalah yang lebih kuat, kecuali jika dipastikan tidak ada kelebihan harga. Jika tindak pidananya dilakukan dengan sengaja, maka tuan korban memiliki pilihan antara menuntut qishāsh terhadap pelaku atau menjualnya untuk diyat. Jika ia memilih qishāsh, maka itu menjadi haknya. Jika qishāsh dilakukan dan qishāsh tersebut pada jiwa, maka status gadai menjadi batal. Namun jika qishāsh dilakukan pada anggota tubuh, maka setelah tindak pidana dan qishāsh, keduanya tetap menjadi barang gadai sebagaimana keadaannya. Jika ia memilih untuk mengganti qishāsh dengan harta, maka itu juga haknya, dan hukum diyatnya sama seperti hukum diyat pada tindak pidana tidak sengaja sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ مَرْهُونًا عِنْدَ مُرْتَهِنِ الْعَبْدِ الْجَانِي فَيَكُونُ مُرْتَهِنُهُمَا وَاحِدًا، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ،

Jenis kedua: yaitu apabila budak yang menjadi korban (majnu ‘alayh) digadaikan kepada pemegang gadai (murtahin) dari budak pelaku (jani), sehingga pemegang gadai keduanya adalah satu orang. Dalam hal ini terdapat dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَا مَرْهُونَيْنِ فِي حَقٍّ وَاحِدٍ فَالْحُكْمُ فِيهِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فِي الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لَوْ كَانَ غَيْرَ مَرْهُونٍ فَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ خَطَأً فَهُوَ هَدَرٌ لِأَنَّ تَعَلُّقَ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِالْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ كَتَعَلُّقِهِ بِالْجَانِي، فَلَمْ يَكُنْ لِبَيْعِ الْجَانِي فِي أَرْشِ الْجِنَايَةِ مَعْنًى، وَإِنْ كَانَتْ عَمْدًا فَالسَّيِّدُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَقْتَصَّ أَوْ يَعْفُوَ عَنْهُ، فَإِنِ اقْتَصَّ مِنْهُ بَطَلَ الرَّهْنُ فِيهِمَا جَمِيعًا إِنْ كَانَ الْقِصَاصُ فِي النَّفْسِ، وَإِنْ عَفَا عَنِ الْقِصَاصِ صَارَتْ هَدَرًا وَكَانَ الْجَانِي عَلَى حَالِهِ رَهْنًا.

Salah satunya: apabila keduanya digadaikan untuk satu hak yang sama, maka hukumnya sebagaimana yang telah kami sebutkan pada kasus korban (majnu ‘alayh) jika ia bukan budak yang digadaikan. Jika tindak pidananya (jinayah) terjadi karena kesalahan (khatha’), maka itu dianggap gugur (hadhar), karena keterikatan hak pemegang gadai pada korban sama dengan keterikatannya pada pelaku, sehingga tidak ada makna bagi penjualan budak pelaku untuk membayar diyat jinayah. Namun jika jinayah dilakukan dengan sengaja (‘amdan), maka tuan (sayyid) memiliki pilihan antara menuntut qishash atau memaafkannya. Jika ia menuntut qishash, maka batalah status gadai pada keduanya secara keseluruhan jika qishash itu pada jiwa (nyawa). Jika ia memaafkan qishash, maka jinayah itu menjadi gugur dan budak pelaku tetap dalam statusnya sebagai barang gadai.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَا مَرْهُونَيْنِ عِنْدَ مُرْتَهِنٍ وَاحِدٍ بِحَقَّيْنِ فِي عَقْدَيْنِ فَهَذَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَضْرُبٍ:

Jenis kedua: yaitu apabila keduanya digadaikan kepada satu pemegang gadai (murtahin) untuk dua hak yang berbeda dalam dua akad, maka hal ini terbagi menjadi empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَسْتَوِيَ قَدْرُ الْحَقَّيْنِ وَتَسْتَوِيَ قِيمَةُ الْعَبْدَيْنِ.

Pertama: kedua hak tersebut sama besar nilainya dan nilai kedua budak juga sama.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَخْتَلِفَ قَدْرُ الْحَقَّيْنِ وَتَخْتَلِفَ قِيمَةُ الْعَبْدَيْنِ.

Jenis kedua: nilai kedua hak berbeda dan nilai kedua budak juga berbeda.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: أَنْ يَسْتَوِيَ قَدْرُ الْحَقَّيْنِ وَتَخْتَلِفَ قِيمَةُ الْعَبْدَيْنِ.

Jenis ketiga: nilai kedua hak sama, namun nilai kedua budak berbeda.

وَالضَّرْبُ الرَّابِعُ: أَنْ يَخْتَلِفَ قَدْرُ الْحَقَّيْنِ وَتَسْتَوِيَ قِيمَةُ الْعَبْدَيْنِ.

Jenis keempat: nilai kedua hak berbeda, namun nilai kedua budak sama.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَأَمَّا الضَّرْبُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يَسْتَوِيَ قَدْرُ الْحَقَّيْنِ وَتَسْتَوِيَ قِيمَةُ الْعَبْدَيْنِ فَمِثَالُهُ أَنْ يَكُونَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْحَقَّيْنِ أَلْفًا وَقِيمَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْعَبْدَيْنِ أَلْفًا، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun jenis pertama, yaitu apabila nilai kedua hak sama dan nilai kedua budak juga sama, contohnya adalah jika masing-masing hak bernilai seribu dan nilai masing-masing budak juga seribu. Dalam hal ini terdapat dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَسْتَوِيَ وَصْفُ الْحَقَّيْنِ بِأَنْ يَكُونَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَالًا أَوْ يَكُونَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُؤَجَّلًا، فَالْجِنَايَةُ هَدَرٌ لِأَنَّهُ لَا يَسْتَفِيدُ الْمُرْتَهِنُ بنقل ثمن القاتل إلى موضع المقتول شيئا.

Salah satunya: sifat kedua hak tersebut sama, yaitu keduanya bersifat tunai (hal) atau keduanya bersifat tangguh (mu’ajjalah), maka jinayah dianggap gugur karena pemegang gadai tidak memperoleh manfaat apapun dengan memindahkan harga budak pelaku ke posisi budak korban.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَخْتَلِفَ وَصْفُ الْحَقَّيْنِ بِأَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا حَالًا وَالْآخَرُ مُؤَجَّلًا، فَلِلْمُرْتَهِنِ بَيْعُ الْقَاتِلِ وَوَضْعُ ثَمَنِهِ مَوْضِعَ الْمَقْتُولِ، وَلَا تَكُونُ الْجِنَايَةُ هَدَرًا لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ الْمَقْتُولُ رَهْنًا فِي الْحَالِ وَالْقَاتِلُ فِي الْمُؤَجَّلِ اسْتَفَادَ بِبَيْعِ الْقَاتِلِ أَنْ يَصِيرَ ثَمَنُهُ رَهْنًا فِي مُعَجَّلٍ بَعْدَ أَنْ كَانَ رَهْنًا فِي مُؤَجَّلٍ، وَإِنْ كَانَ الْقَاتِلُ فِي الْمُعَجَّلِ وَالْمَقْتُولُ فِي الْمُؤَجَّلِ فَقَدْ يَكُونُ الرَّاهِنُ مُوسِرًا فِي الْحَالِ يَقْدِرُ عَلَى أَدَاءِ الْمُعَجَّلِ وَلَا يَأْمَنُ الْمُرْتَهِنُ أَنْ يَعْسُرَ الرَّاهِنُ عِنْدَ حُلُولِ الْمُؤَجَّلِ فَيَسْتَفِيدُ الْمُرْتَهِنُ ببيع القاتل أن يعتبر ثمنه رهنا قيما يُخَافُ إِعْسَارُ الرَّاهِنِ بِهِ فِي الْمُؤَجَّلِ.

Jenis kedua: sifat kedua hak berbeda, yaitu salah satunya tunai dan yang lain tangguh. Maka pemegang gadai berhak menjual budak pelaku dan menempatkan hasil penjualannya pada posisi budak korban. Jinayah tidak dianggap gugur, karena jika budak korban adalah barang gadai untuk hak tunai dan budak pelaku untuk hak tangguh, maka dengan menjual budak pelaku, pemegang gadai memperoleh manfaat berupa harga jualnya menjadi barang gadai untuk hak tunai setelah sebelumnya menjadi barang gadai untuk hak tangguh. Dan jika budak pelaku untuk hak tunai dan budak korban untuk hak tangguh, bisa jadi pemberi gadai (rahin) mampu membayar hak tunai saat itu, namun pemegang gadai khawatir pemberi gadai tidak mampu membayar saat jatuh tempo hak tangguh, sehingga pemegang gadai memperoleh manfaat dengan menjual budak pelaku, yaitu menjadikan harga jualnya sebagai barang gadai yang nilainya dikhawatirkan pemberi gadai tidak mampu membayarnya pada hak tangguh.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وأما الضرب الثاني: وَهُوَ أَنْ يَسْتَوِيَ قَدْرُ الْحَقَّيْنِ وَتَخْتَلِفَ قِيمَةُ العبدين فمثاله أَنْ يَكُونَ قَدْرُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْحَقَّيْنِ أَلْفًا، وَتَكُونُ قِيمَةُ أَحَدِ الْعَبْدَيْنِ أَلْفًا وَالْآخَرُ خمسمائة فهذا على ضربين:

Adapun jenis kedua, yaitu apabila nilai kedua hak sama namun nilai kedua budak berbeda, contohnya adalah jika nilai masing-masing hak seribu, dan nilai salah satu budak seribu dan yang lainnya lima ratus. Dalam hal ini terdapat dua keadaan:

أحدهما: أن يكون القاتل أكثرهما قيمة من المقتول، فللراهن أَنْ يَبِيعَ مِنَ الْقَاتِلِ بِقِدْرِ قِيمَةِ الْمَقْتُولِ وَهُوَ النِّصْفُ فَيَكُونُ رَهْنًا مَكَانَ الْمَقْتُولِ، وَلَا تَكُونُ الْجِنَايَةُ هَدَرًا لِأَنَّ الْمُرْتَهِنَ قَدْ يَسْتَفِيدُ بها أن يعتبر لَهُ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْحَقَّيْنِ رَهْنًا.

Salah satunya: jika budak pelaku lebih tinggi nilainya daripada budak korban, maka pemberi gadai (rahin) boleh menjual dari budak pelaku sebesar nilai budak korban, yaitu setengahnya, sehingga menjadi barang gadai menggantikan budak korban. Jinayah tidak dianggap gugur karena pemegang gadai dapat memperoleh manfaat dengan menganggap setiap hak memiliki barang gadai.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْقَاتِلُ أَقَلَّ قِيمَةً من المقتول وهو أن تكون قيمة القاتل خمسمائة وقيمة المقتول ألفا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: jika budak pelaku lebih rendah nilainya daripada budak korban, yaitu nilai budak pelaku lima ratus dan nilai budak korban seribu, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْقَاتِلُ رَهْنًا فِي أَكْثَرِ الْحَقَّيْنِ فَالْجِنَايَةُ هَدَرٌ لِأَنَّ المرتهن لا يستفيد بنقل ثمنه إلى أقل الحقين شيئا بل يعتبر مستضرا.

Salah satunya: jika budak pelaku menjadi barang gadai untuk hak yang lebih besar, maka jinayah dianggap gugur karena pemegang gadai tidak memperoleh manfaat apapun dengan memindahkan harga budak pelaku ke hak yang lebih kecil, bahkan dianggap merugikan.

والضرب الثالث: أَنْ يَكُونَ الْقَاتِلُ رَهْنًا فِي أَقَلِّ الْحَقَّيْنِ فللمرتهن بيع القاتل وترك ثمنه رَهْنًا مَكَانَ الْمَقْتُولِ وَلَا تَكُونُ الْجِنَايَةُ هَدَرًا لأن المرتهن يستفيد بها أن يصير الثمن رهنا في أكثر الحقين.

Jenis ketiga: Jika si pembunuh menjadi barang gadai pada kadar hak yang lebih kecil di antara dua hak, maka bagi pemegang gadai berhak menjual si pembunuh dan menjadikan hasil penjualannya sebagai barang gadai menggantikan posisi yang terbunuh, dan tindak pidana tersebut tidak menjadi sia-sia (hadr), karena pemegang gadai mendapatkan manfaat dengan menjadikan hasil penjualan sebagai barang gadai pada kadar hak yang lebih besar.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَأَمَّا الضَّرْبُ الرَّابِعُ وَهُوَ أَنْ يَخْتَلِفَ قَدْرُ الْحَقَّيْنِ وَتَسْتَوِيَ قِيمَةُ الْعَبْدَيْنِ، فَمِثَالُهُ أَنْ يكون قدر أَحَدِ الْحَقَّيْنِ أَلْفًا وَالْآخَرُ خَمْسَمِائَةٍ. وَتَكُونُ قِيمَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْعَبْدَيْنِ أَلْفًا فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun jenis keempat, yaitu apabila kadar dua hak berbeda dan nilai kedua budak sama, contohnya adalah jika kadar salah satu hak seribu dan yang lain lima ratus, dan nilai masing-masing budak adalah seribu, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْقَاتِلُ رَهْنًا فِي أَكْثَرِ الْحَقَّيْنِ فَالْجِنَايَةُ هَدَرٌ؛ لِأَنَّ الْمُرْتَهِنَ لَا يستفيد بنقل قيمته إِلَى مَوْضِعِ الْقَاتِلِ شَيْئًا بَلْ يَصِيرُ مُسْتَضَرًّا.

Pertama: Jika si pembunuh menjadi barang gadai pada kadar hak yang lebih besar, maka tindak pidana tersebut menjadi sia-sia (hadr); karena pemegang gadai tidak mendapatkan manfaat apapun dari pemindahan nilainya ke tempat si pembunuh, bahkan justru menjadi pihak yang dirugikan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْقَاتِلُ رَهْنًا فِي أقل الحقين فللمرتهن بيع القاتل وترك ثمنه رهنا الْمَقْتُولِ وَلَا تَكُونُ الْجِنَايَةُ هَدَرًا لِأَنَّ الْمُرْتَهِنَ يستفيد بها أن يصير الثمن رهنا فِي أَكْثَرِ الْحَقَّيْنِ، بَعْدَ أَنْ كَانَ رَهْنًا فِي أَقَلِّهِمَا فَهَذَا حُكْمُ جِنَايَةِ الْعَبْدِ الْمَرْهُونِ عَلَى عَبْدِ الرَّاهِنِ مَرْهُونٍ وَغَيْرِ مَرْهُونٍ، وَكَذَلِكَ لَوْ جَنَى عَلَى مُدَبَّرِهِ وَأُمِّ وَلَدِهِ.

Kedua: Jika si pembunuh menjadi barang gadai pada kadar hak yang lebih kecil, maka bagi pemegang gadai berhak menjual si pembunuh dan menjadikan hasil penjualannya sebagai barang gadai bagi pihak yang terbunuh, dan tindak pidana tersebut tidak menjadi sia-sia, karena pemegang gadai mendapatkan manfaat dengan menjadikan hasil penjualan sebagai barang gadai pada kadar hak yang lebih besar, setelah sebelumnya hanya menjadi barang gadai pada kadar hak yang lebih kecil. Inilah hukum tindak pidana yang dilakukan oleh budak yang digadaikan terhadap budak milik pemberi gadai, baik yang digadaikan maupun yang tidak digadaikan, demikian pula jika ia melakukan tindak pidana terhadap mudabbarnya atau umm walad-nya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَأَمَّا إِذَا جَنَى الْعَبْدُ الْمَرْهُونُ عَلَى مُكَاتَبٍ لِسَيِّدِهِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْجِنَايَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Adapun jika budak yang digadaikan melakukan tindak pidana terhadap seorang mukatab milik tuannya, maka keadaan tindak pidana tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan:

أَنْ تَكُونَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ عَلَى طَرَفِهِ، فَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ عَلَى نَفْسِهِ فَحُكْمُهَا حُكْمُ الْجِنَايَةِ عَلَى عَبْدِ سَيِّدِهِ، لِأَنَّ الْمُكَاتَبَ إِذَا مَاتَ عَلَى كِتَابَتِهِ مَاتَ عَبْدًا، فَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ خَطَأً فَهِيَ هَدَرٌ، وَإِنْ كَانَتْ عَمْدًا فَلِلسَّيِّدِ الْقِصَاصُ فَإِنْ عَفَا عَنِ الْقِصَاصِ صَارَتِ الْجِنَايَةُ هَدَرًا، فَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ عَلَى طَرَفِ الْمُكَاتَبِ، نُظِرَ فَإِنْ كَانَتْ خَطَأً ثَبَتَ لِلْمُكَاتَبِ أَرْشُ الْجِنَايَةِ فِي رَقَبَةِ الْعَبْدِ الْجَانِي فَيُبَاعُ فِيهَا وَإِنْ كَانَ مِلْكًا لسيده، حق لِأَنَّ الْمُكَاتَبَ قَدْ يَصِحُّ أَنْ يَثْبُتَ لَهُ حق على سيده فكذا يَصِحُّ أَنْ يَثْبُتَ لَهُ حَقٌّ فِي رَقَبَةِ عَبْدِ سَيِّدِهِ، فَإِنْ كَانَتْ عَمْدًا فَالْمُكَاتَبُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَقْتَصَّ أَوْ يَعْفُوَ عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى الْأَرْشِ أَوْ يَعْفُوَ عَنِ الْقِصَاصِ وَالْأَرْشِ فإن قيل أليس المكاتب ممنوع مِنَ الْعَفْوِ عَنِ الْمَالِ فَكَيْفَ يَصِحُّ عَفْوُهُ عَنِ الْأَرْشِ وَهُوَ مَالٌ؟ قُلْنَا: إِنَّمَا مُنِعَ مِنَ الْعَفْوِ لِحَقِّ السَّيِّدِ وَحِفْظِ مَالِهِ وَهَذَا حَقٌّ عَلَى السَّيِّدِ فَصَحَّ عَفْوُهُ عَنْهُ، فَلَوْ لَمْ يَقْتَصَّ الْمُكَاتَبُ وَلَا أَخَذَ الْأَرْشَ حَتَّى مَاتَ عَلَى كِتَابَتِهِ فَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْ عَبْدِهِ الْجَانِي وَلَهُ أَنْ يَبِيعَهُ فِي الْأَرْشِ، لِأَنَّهُ وَإِنْ لَمْ يَصِحَّ أَنْ يَثْبُتَ لَهُ ابْتِدَاءً فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ الْأَرْشُ، فَهُوَ إِنَّمَا يَمْلِكُ ذَلِكَ عَنِ الْمُكَاتَبِ الَّذِي قَدْ كَانَ مالكا للأرش والله أعلم.

Yaitu tindak pidana terhadap jiwa atau terhadap anggota tubuhnya. Jika tindak pidana itu terhadap jiwanya, maka hukumnya sama dengan tindak pidana terhadap budak milik tuannya, karena jika mukatab meninggal dalam keadaan masih dalam akad mukatab, maka ia meninggal sebagai budak. Jika tindak pidana itu dilakukan secara tidak sengaja, maka menjadi sia-sia (hadr), dan jika dilakukan dengan sengaja, maka tuan berhak melakukan qishash. Jika tuan memaafkan qishash, maka tindak pidana tersebut menjadi sia-sia. Jika tindak pidana itu terhadap anggota tubuh mukatab, maka dilihat, jika dilakukan secara tidak sengaja, maka mukatab berhak mendapatkan arsy (ganti rugi) atas tindak pidana tersebut dari harga budak pelaku, sehingga budak itu dijual untuk membayar arsy tersebut, dan jika budak itu milik tuannya, maka itu adalah hak yang sah, karena mukatab bisa saja memiliki hak atas tuannya, demikian pula sah jika ia memiliki hak atas budak milik tuannya. Jika dilakukan dengan sengaja, maka mukatab berhak memilih antara melakukan qishash atau memaafkan qishash dengan arsy, atau memaafkan qishash dan arsy sekaligus. Jika ada yang bertanya, bukankah mukatab tidak boleh memaafkan harta, lalu bagaimana sah memaafkan arsy padahal itu adalah harta? Kami jawab: Larangan memaafkan itu demi menjaga hak dan harta tuan, sedangkan ini adalah hak atas tuan, maka sah ia memaafkan hak tersebut. Jika mukatab tidak melakukan qishash dan tidak mengambil arsy hingga ia meninggal dalam keadaan masih dalam akad mukatab, maka tuan berhak melakukan qishash terhadap budaknya yang melakukan tindak pidana, dan ia juga berhak menjualnya untuk membayar arsy, karena meskipun pada awalnya tidak sah baginya untuk memiliki arsy dari harga budaknya, namun ia memilikinya sebagai pengganti dari mukatab yang sebelumnya berhak atas arsy tersebut. Wallahu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَمْنَعُ الْمُرْتَهَنُ السَّيِّدَ مِنَ الْعَفْوِ بِلَا مَالٍ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ فِي الْعَبْدِ مَالٌ حَتَى يَخْتَارَهُ الْوَلِيُّ وَمَا فَضَلَ بَعْدَ الْجِنَايَةِ فَهُوَ رَهْنٌ “.

Imam asy-Syafi‘i ra berkata: “Pemegang gadai tidak boleh melarang tuan untuk memaafkan tanpa harta, karena tidak ada harta dalam budak hingga wali memilihnya, dan apa yang tersisa setelah tindak pidana tetap menjadi barang gadai.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْجِنَايَةَ عَلَى الْعَبْدِ الْمَرْهُونِ ضَرْبَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa tindak pidana terhadap budak yang digadaikan terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ خَطَأً يُوجِبُ الْمَالَ.

Pertama: Tindak pidana yang dilakukan secara tidak sengaja yang mewajibkan pembayaran harta.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ عَمْدًا يُوجِبُ الْقَوَدَ، فَإِنْ كَانَتْ خَطَأً يُوجِبُ الْمَالَ فَعَلَى أَرْبَعَةِ أَضْرُبٍ:

Kedua: Tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja yang mewajibkan qishash. Jika tindak pidana itu dilakukan secara tidak sengaja yang mewajibkan pembayaran harta, maka terbagi menjadi empat jenis:

أَحَدُهَا: مَا اسْتَوَى فِيهِ ضَمَانُ الْجِنَايَةِ وَضَمَانُ الْغَصْبِ.

Pertama: Yang di dalamnya jaminan tindak pidana sama dengan jaminan ghashab (perampasan).

وَالثَّانِي: مَا يُضْمَنُ بِالْجِنَايَةِ وَلَا يُضْمَنُ بِالْغَصْبِ.

Kedua: Yang dijamin karena tindak pidana, tetapi tidak dijamin karena ghashab.

وَالثَّالِثُ: مَا يَزِيدُ فِيهِ ضَمَانُ الْجِنَايَةِ عَلَى ضَمَانِ الْغَصْبِ.

Ketiga: Yang jaminan tindak pidananya lebih besar daripada jaminan ghashab.

وَالرَّابِعُ: مَا يَنْقُصُ فِيهِ ضَمَانُ الْجِنَايَةِ عَنْ ضَمَانِ الْغَصْبِ.

Keempat: Yang jaminan tindak pidananya lebih kecil daripada jaminan ghashab.

فَأَمَّا الضَّرْبُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ مَا اسْتَوَى فِيهِ ضَمَانُ الْجِنَايَةِ وَضَمَانُ الْغَصْبِ فَفِي ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ فِي النَّفْسِ الَّتِي يَجِبُ فِيهَا كَمَالُ الْقِيمَةِ بِالْجِنَايَةِ كَمَا يَجِبُ فِيهَا كَمَالُ الْقِيمَةِ بِالْغَصْبِ.

Adapun jenis pertama, yaitu perkara di mana jaminan jināyah dan jaminan ghashb itu sama, maka terdapat tiga keadaan pada jiwa (budak) yang wajib dibayar nilai penuhnya karena jināyah sebagaimana wajib dibayar nilai penuhnya karena ghashb.

وَالثَّانِيَةُ: فِيمَا لَا يَتَقَدَّرُ أَرْشُهُ مِنَ الْجِرَاحِ، يَجِبُ فِيهِ مَا بَيْنَ الْقِيمَتَيْنِ كَمَا يَجِبُ فِي نَقْصِ الْغَصْبِ مَا بَيْنَ الْقِيمَتَيْنِ.

Kedua, pada luka yang tidak dapat ditentukan besaran arsy-nya, maka wajib dibayar selisih antara dua nilai, sebagaimana dalam kekurangan akibat ghashb juga wajib dibayar selisih antara dua nilai.

وَالثَّالِثُ: فِيمَا يَتَقَدَّرُ أَرْشُهُ مِنَ الْجِرَاحِ وَالْأَطْرُفِ إِذَا سَاوَى بِالِاتِّفَاقِ ضَمَانُ الْجِنَايَةِ فِيهِ ضَمَانَ الْغَصْبِ فَيَكُونُ الْوَاجِبُ بِالْجِنَايَةِ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ الثَّلَاثَةِ رَهْنًا يَتَعَلَّقُ بِهِ حَقُّ الْمُرْتَهِنِ.

Ketiga, pada luka dan anggota tubuh yang besaran arsy-nya dapat ditentukan, apabila menurut kesepakatan jaminan jināyah di dalamnya sama dengan jaminan ghashb, maka yang wajib dibayar karena jināyah dalam tiga keadaan ini menjadi barang gadai yang terkait dengan hak penerima gadai (murtahin).

وَلَيْسَ لِلرَّاهِنِ الْعَفْوُ عَنْهُ بِغَيْرِ إِذْنِ الْمُرْتَهِنِ، لِأَنَّ حَقَّهُ قَدْ تَعَلَّقَ بِأَرْشِ الْجِنَايَةِ كَمَا كَانَ مُتَعَلِّقًا بِرَقَبَةِ الْعَبْدِ قَبْلَ الْجِنَايَةِ، وَإِنْ عَفَا عَنِ الْأَرْشِ بِغَيْرِ إِذْنِ الْمُرْتَهِنِ كَانَ عَفْوُهُ باطلا وَلِلْمُرْتَهِنِ أَخْذُ الْأَرْشِ مِنَ الْجَانِي لِيَكُونَ رَهْنًا مَكَانَ الْعَبْدِ أَوْ قِصَاصًا مِنَ الْحَقِّ فَإِنْ أَخَذَ الْمُرْتَهِنُ الْأَرْشَ فَكَانَ رَهْنًا مَكَانَ الْعَبْدِ أَوْ قِصَاصًا مِنَ الْحَقِّ، ثُمَّ إِنَّ الرَّاهِنَ قضى المرتهن حقه من ماله، فللمرتهن أَنْ يَأْخُذَ الْأَرْشَ وَيَتَمَلَّكَهُ وَلَا يَلْزَمُهُ أَنْ يَرُدَّهُ عَلَى الْجَانِي لِأَجْلِ مَا تَقَدَّمَ مِنْ عَفْوِهِ؛ لِأَنَّ عَفْوَهُ وَقَعَ بَاطِلًا لَمْ يُبْرِئِ الْجَانِيَ فَكَانَ الْأَرْشُ مَأْخُوذًا مِنْهُ بِحَقٍّ لَازِمٍ فَلَمْ يَجِبْ رَدُّهُ عَلَيْهِ.

Pemberi gadai (rāhin) tidak berhak memaafkan (menghapuskan) hak tersebut tanpa izin penerima gadai (murtahin), karena haknya telah terkait dengan arsy jināyah sebagaimana sebelumnya terkait dengan budak sebelum terjadinya jināyah. Jika pemberi gadai memaafkan arsy tanpa izin penerima gadai, maka pemaafannya batal, dan penerima gadai berhak mengambil arsy dari pelaku jināyah untuk dijadikan barang gadai sebagai pengganti budak atau sebagai qishāsh atas haknya. Jika penerima gadai mengambil arsy, maka arsy itu menjadi barang gadai sebagai pengganti budak atau sebagai qishāsh atas haknya. Kemudian, jika pemberi gadai melunasi hak penerima gadai dari hartanya, maka penerima gadai berhak mengambil arsy dan memilikinya, serta tidak wajib mengembalikannya kepada pelaku jināyah karena pemaafan sebelumnya batal dan tidak membebaskan pelaku jināyah. Maka arsy itu diambil darinya secara sah dan tidak wajib dikembalikan kepadanya.

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي وَهُوَ مَا يُضْمَنُ بِالْجِنَايَةِ وَلَا يُضْمَنُ بِالْغَصْبِ فَمِثَالُهُ أَنْ يَقْطَعَ الْجَانِي ذَكَرَهُ فَتَجِبُ فِيهِ كَمَالُ قِيمَتِهِ وَلَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ قِيمَتِهِ فَتَصِيرُ هَذِهِ الْقِيمَةُ بِالْجِنَايَةِ مَضْمُونَةً وَبِالْغَصْبِ غَيْرَ مَضْمُونَةٍ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْقِيمَةُ الْوَاجِبَةُ بِهَذِهِ الْجِنَايَةِ يَخْتَصُّ بِهَا الرَّاهِنُ وَلَا تَكُونُ رَهْنًا يَتَعَلَّقُ بِهِ حَقُّ الْمُرْتَهِنِ كَالنَّمَاءِ لِأَنَّ حَقَّ الْمُرْتَهِنِ فِيمَا قَابَلَ النَّقْصَ الْمَضْمُونَ بِالْغَصْبِ، وَلَوْ عَفَا الرَّاهِنُ عَنْهُ صَحَّ عَفْوُهُ وَبَرِئَ الْجَانِي مِنْهُ، لِأَنَّهُ عَفَا عَمَّا لَمْ يَتَعَلَّقْ بِهِ حق المرتهن فكان عفوه صحيحا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun jenis kedua, yaitu perkara yang dijamin karena jināyah namun tidak dijamin karena ghashb, contohnya adalah jika pelaku jināyah memotong kemaluannya (budak), maka wajib dibayar nilai penuhnya dan hal itu tidak mengurangi nilainya, sehingga nilai tersebut wajib karena jināyah namun tidak wajib karena ghashb. Dalam hal ini, nilai yang wajib karena jināyah menjadi hak khusus pemberi gadai dan tidak menjadi barang gadai yang terkait dengan hak penerima gadai, seperti halnya hasil tambahan (namā’), karena hak penerima gadai hanya pada kekurangan yang dijamin karena ghashb. Jika pemberi gadai memaafkan hak tersebut, maka pemaafannya sah dan pelaku jināyah terbebas darinya, karena ia memaafkan sesuatu yang tidak terkait dengan hak penerima gadai, sehingga pemaafannya sah. Wallāhu a‘lam.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّالِثُ: وَهُوَ مَا يَزِيدُ فِيهِ ضَمَانُ الْجِنَايَةِ عَلَى ضَمَانِ الْغَصْبِ فَمِثَالُهُ: أَنْ يَقْطَعَ أُذُنَيْهِ فَيَجِبُ فِيهِ كَمَالُ قِيمَتِهِ وَيَكُونُ النَّاقِصُ مِنْهُ بِهَذِهِ الْجِنَايَةِ نِصْفَ قِيمَتِهِ وَهُوَ الْقَدْرُ الْمَضْمُونُ بِالْغَصْبِ فَيَكُونُ نِصْفَ الْقِيمَةِ وهو قدر ما يضمن بالغصب وهنا يَتَعَلَّقُ بِهِ حَقُّ الْمُرْتَهِنِ وَالنِّصْفُ الْبَاقِي الزَّائِدُ بِالْجِنَايَةِ الْمُقَدَّرَةِ عَلَى ضَمَانِ الْغَصْبِ الْمُعْتَبَرِ بِالنَّقْصِ يَخْتَصُّ بِهِ الرَّاهِنُ وَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حَقُّ الْمُرْتَهِنِ فَلَوْ عَفَا الرَّاهِنُ عَنْ هَذِهِ الْجِنَايَةِ صَحَّ عَفْوُهُ عَنْ مَا يَخْتَصُّ بِهِ مِنْ ضَمَانِ الْجِنَايَةِ الزَّايِدِ عَلَى ضَمَانِ الْغَصْبِ وَهُوَ النِّصْفُ لِأَنَّهُ خَالِصٌ لَهُ لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حَقُّ الْمُرْتَهِنِ، وَلَمْ يَصِحَّ عَفْوُهُ عَنْ نِصْفِ الْقِيمَةِ الَّذِي يَضْمَنُهُ بِالْغَصْبِ لِتَعَلُّقِ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِهِ، فَلَوْ كَانَ الْجَانِي قَدْ قَطَعَ أَنْفَهُ وَلِسَانَهُ، فَوَاجِبٌ عَلَيْهِ قِيمَتَانِ، وَكَانَ مَا نَقَصَ مِنْ قِيمَتِهِ بِهَذِهِ الْجِنَايَةِ النِّصْفَ. لِتَعَلُّقِ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِنِصْفِ الْقِيمَةِ رَهْنًا وَاخْتَصَّ الرَّاهِنُ بِالْبَاقِي وَهُوَ قِيمَةٌ وَنِصْفٌ.

Adapun jenis ketiga, yaitu perkara di mana jaminan jināyah lebih besar daripada jaminan ghashb, contohnya adalah jika pelaku jināyah memotong kedua telinganya, maka wajib dibayar nilai penuhnya, dan kekurangan akibat jināyah tersebut adalah setengah nilainya, yaitu kadar yang dijamin karena ghashb. Maka setengah nilai tersebut, yaitu kadar yang dijamin karena ghashb, di situ terkait hak penerima gadai, sedangkan setengah sisanya yang merupakan tambahan karena jināyah di atas jaminan ghashb yang dihitung berdasarkan kekurangan, menjadi hak khusus pemberi gadai dan tidak terkait dengan hak penerima gadai. Jika pemberi gadai memaafkan jināyah ini, maka pemaafannya sah atas bagian yang menjadi hak khususnya dari jaminan jināyah yang melebihi jaminan ghashb, yaitu setengahnya, karena itu murni miliknya dan tidak terkait dengan hak penerima gadai. Namun, tidak sah pemaafannya atas setengah nilai yang dijamin karena ghashb karena terkait dengan hak penerima gadai. Jika pelaku jināyah memotong hidung dan lidahnya, maka wajib atasnya dua nilai, dan kekurangan akibat jināyah tersebut adalah setengah nilai. Karena terkait hak penerima gadai pada setengah nilai sebagai barang gadai, maka pemberi gadai berhak atas sisanya, yaitu satu setengah nilai.

فَلَوْ عَفَا الرَّاهِنُ صَحَّ عَفْوُهُ عَنْ قِيمَةٍ وَنِصْفٍ وَهُوَ قَدْرُ مَا يَخْتَصُّ بِهِ وَلَمْ يَصِحَّ عَفْوُهُ عَنْ نِصْفِ الْقِيمَةِ لِتَعَلُّقِ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِهِ.

Jika pihak yang menggadaikan memaafkan, maka sah pemaafannya atas nilai dan setengahnya, yaitu sebesar bagian yang menjadi haknya secara khusus, dan tidak sah pemaafannya atas setengah nilai karena hak pihak penerima gadai terkait dengannya.

وَأَمَّا الضَّرْبُ الرَّابِعُ: وَهُوَ مَا يَنْقُصُ فِيهِ ضَمَانُ الْجِنَايَةِ عَنْ ضَمَانِ الْغَصْبِ فَمِثَالُهُ أَنْ تُقْطَعَ إِحْدَى يَدَيْهِ فَيَجِبُ عَلَيْهِ نِصْفُ الْقِيمَةِ وَيَكُونُ النَّاقِصُ مِنْهُ بِهَذِهِ الْجِنَايَةِ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعِ الْقِيمَةِ، فَلَيْسَ عَلَى الْجَانِي أَكْثَرَ مِنْ نِصْفِ الْقِيمَةِ لِأَنَّهُ يَضْمَنُهُ بِالْجِنَايَةِ وَيَكُونُ النَّقْصُ الزَّايِدُ عَلَى ذَلِكَ غَيْرَ مَضْمُونٍ كَالشَّيْءِ التَّالِفِ، وَيَكُونُ نِصْفُ الْقِيمَةِ الْمَأْخُوذَةِ رَهْنًا يَتَعَلَّقُ بِهِ حَقُّ الْمُرْتَهِنِ، فَلَوْ عَفَا الرَّاهِنُ عَنْهُ لَمْ يَصِحَّ عَفْوُهُ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ. فَهَذَا حُكْمُ الْجِنَايَةِ إِذَا كَانَتْ خطأ توجب المال.

Adapun jenis keempat, yaitu kasus di mana jaminan jinayah (tindak pidana) lebih ringan daripada jaminan ghashab (perampasan), contohnya adalah jika salah satu tangannya terpotong, maka wajib baginya membayar setengah nilai, dan kekurangan dari nilai tersebut akibat jinayah ini adalah tiga perempat dari nilai. Maka pelaku jinayah tidak wajib membayar lebih dari setengah nilai karena ia menanggungnya akibat jinayah, dan kekurangan yang lebih dari itu tidak dijamin seperti barang yang rusak. Adapun setengah nilai yang dijadikan sebagai barang gadai, maka hak penerima gadai terkait dengannya. Jika pihak yang menggadaikan memaafkan bagian tersebut, maka tidak sah pemaafannya atas bagian mana pun darinya. Inilah hukum jinayah jika terjadi karena kesalahan yang mewajibkan pembayaran harta.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ عَمْدًا تُوجِبُ الْقَوَدَ فَلِلرَّاهِنِ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:

Jika jinayah dilakukan dengan sengaja yang mewajibkan qishash, maka bagi pihak yang menggadaikan ada empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَطْلُبَ الْقِصَاصَ دُونَ الْمَالِ وَالثَّانِيَةُ أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى الْمَالِ، وَالثَّالِثَةُ أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقِصَاصِ وَعَنِ الْمَالِ، وَالرَّابِعَةُ أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقِصَاصِ وَلَا يُصَرِّحَ بِالْعَفْوِ عَنِ الْمَالِ.

Pertama: menuntut qishash tanpa menuntut harta; kedua: memaafkan qishash dengan menggantinya dengan harta; ketiga: memaafkan qishash dan juga harta; keempat: memaafkan qishash tanpa secara tegas memaafkan harta.

فَأَمَّا الْحَالَةُ الْأُولَى: وَهِيَ أَنْ يَطْلُبَ الْقِصَاصَ دُونَ الْمَالِ فَلَهُ أَنْ يَقْتَصَّ وَلَا يَأْخُذَ الْمَالَ وَلَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ مَنْعُهُ مِنَ الْقِصَاصِ وَجَبْرُهُ عَلَى أَخْذِ المال، وأما الحال الثَّانِيَةُ وَهِيَ أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى الْمَالِ فَلَهُ ذَلِكَ وَلَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ مَنْعُهُ مِنَ الْمَالِ وَجَبْرُهُ عَلَى الْقِصَاصِ، وَأَمَّا الْحَالَةُ الثَّالِثَةُ وَهِيَ أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقِصَاصِ وَعَنِ الْمَالِ فَيَصِحُّ عَفْوُهُ عَنِ الْقِصَاصِ وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِ الْمُرْتَهِنِ لِأَنَّهُ لَا حَظَّ فِيهِ لِلْمُرْتَهِنِ وَهَلْ يَصِحُّ عَفْوُهُ عَنِ الْمَالِ بِغَيْرِ إِذْنِ الْمُرْتَهِنِ فِيمَا قَابَلَ ضَمَانَ الْغَصْبِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ في جناية العمد ما الذي توجب؟ وَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ أَنَّهَا تُوجِبُ الْقَوَدَ.

Adapun keadaan pertama, yaitu menuntut qishash tanpa menuntut harta, maka ia berhak menuntut qishash dan tidak mengambil harta, dan pihak penerima gadai tidak berhak melarangnya dari qishash atau memaksanya untuk mengambil harta. Adapun keadaan kedua, yaitu memaafkan qishash dengan menggantinya dengan harta, maka ia berhak melakukannya dan pihak penerima gadai tidak berhak melarangnya dari mengambil harta atau memaksanya untuk menuntut qishash. Adapun keadaan ketiga, yaitu memaafkan qishash dan juga harta, maka sah pemaafannya atas qishash meskipun tanpa izin penerima gadai, karena tidak ada hak bagi penerima gadai di dalamnya. Adapun apakah sah pemaafannya atas harta tanpa izin penerima gadai pada bagian yang menjadi jaminan ghashab atau tidak, terdapat dua pendapat yang didasarkan pada perbedaan pendapat Imam asy-Syafi‘i dalam kasus jinayah ‘amdan (sengaja), apa yang wajib ditanggung? Salah satu pendapat menyatakan bahwa jinayah ‘amdan mewajibkan qishash.

فَأَمَّا الْمَالُ فَلَا يَجِبُ إِلَّا بِاخْتِيَارِ الْوَلِيِّ وَعَلَى هَذَا يَصِحُّ عَفْوُهُ لِأَنَّ الْمَالَ لَا يَجِبُ إِلَّا بِاخْتِيَارِهِ وَهُوَ لَا يُجْبَرُ عَلَى اخْتِيَارِ الْمَالِ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهَا تُوجِبُ أَحَدَ شَيْئَيْنِ، إِمَّا الْقَوَدُ أَوِ الْمَالُ فَعَلَى هَذَا لَا يَصِحُّ عَفْوُهُ عَنِ الْمَالِ لِتَقَدُّمِ وُجُوبِهِ وَتَعَلُّقِ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِهِ كَجِنَايَةِ الْخَطَأِ.

Adapun harta, maka tidak wajib kecuali dengan pilihan wali. Berdasarkan pendapat ini, sah pemaafannya karena harta tidak wajib kecuali dengan pilihannya, dan ia tidak dipaksa untuk memilih harta. Pendapat kedua menyatakan bahwa jinayah ‘amdan mewajibkan salah satu dari dua hal, yaitu qishash atau harta. Berdasarkan pendapat ini, tidak sah pemaafannya atas harta karena kewajibannya telah lebih dahulu dan hak penerima gadai telah terkait dengannya, sebagaimana pada jinayah karena kesalahan.

وَأَمَّا الْحَالُ الرَّابِعَةُ: وَهُوَ أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقِصَاصِ وَلَا يُصَرِّحَ بِالْعَفْوِ عَنِ الْمَالِ وَلَا يَخْتَارَهُ، فَقَدْ سَقَطَ الْقِصَاصُ بِعَفْوِهِ وَفِي الْمَالِ قَوْلَانِ، أَحَدُهُمَا أَنَّهُ وَاجِبٌ إِذَا قِيلَ إِنَّ جِنَايَةَ الْعَمْدِ تُوجِبُ الْقَوَدَ أَوِ الْمَالَ لِأَنَّ الْعَفْوَ عَنْ أَحَدِ الْحَقَّيْنِ لَا يَكُونُ عَفْوًا عَنِ الْآخَرِ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّ الْمَالَ لَا يَجِبُ وَقَدْ سَقَطَتِ الْمُطَالَبَةُ بِهِ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْمَالَ فِي جِنَايَةِ الْعَمْدِ لَا يَجِبُ إِلَّا بِاخْتِيَارِ الْوَلِيِّ وَالِاخْتِيَارُ لَمْ يُوجَدْ مِنْهُ فَيَجِبُ الْمَالُ بِهِ وَقَدْ سَقَطَ خِيَارُهُ، لِأَنَّهُ عَلَى الْفَوْرِ بَعْدَ عَفْوِهِ.

Adapun keadaan keempat, yaitu memaafkan qishash tanpa secara tegas memaafkan harta dan juga tidak memilihnya, maka qishash gugur dengan pemaafannya, dan dalam hal harta terdapat dua pendapat. Salah satunya adalah harta tetap wajib jika dikatakan bahwa jinayah ‘amdan mewajibkan qishash atau harta, karena pemaafan atas salah satu dari dua hak tidak berarti pemaafan atas hak yang lain. Pendapat kedua adalah harta tidak wajib dan gugur tuntutannya jika dikatakan bahwa harta dalam jinayah ‘amdan tidak wajib kecuali dengan pilihan wali, dan pilihan tersebut tidak dilakukan olehnya, maka harta menjadi wajib baginya dan hak pilihnya telah gugur, karena harus segera setelah pemaafannya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي جِنَايَةِ الْأَجْنَبِيِّ عَلَى الْعَبْدِ الْمَرْهُونِ عَمْدًا أَوْ خَطَأً، فَأَمَّا جِنَايَةُ السَّيِّدِ عَلَى عَبْدِهِ الْمَرْهُونِ فَهِيَ مَضْمُونَةٌ عَلَيْهِ بِالْأَرْشِ ضَمَانَ غَصْبٍ لِمَا تَعَلَّقَ بِرَقَبَتِهِ مِنْ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ، فَلَوْ كَانَ السَّيِّدُ قَدْ قَطَعَ إِحْدَى يَدَيْهِ وَجَبَ عَلَيْهِ مَا نَقَصَ مِنْ قِيمَتِهِ، وَلَمْ يَتَقَدَّرْ ذَلِكَ بِنِصْفِ الْقِيمَةِ كَالْأَجْنَبِيِّ، فَإِنْ كَانَ النَّاقِصُ مِنْ قِيمَتِهِ بِالْقَطْعِ نِصْفَ الْقِيمَةِ وَجَبَ عَلَيْهِ النِّصْفُ، وَقَدِ اسْتَوَى النَّقْصُ بِهَا وَالْمُقَدَّرُ فِيهَا، وَإِنْ كَانَ النَّاقِصُ بِالْقَطْعِ ثُلُثَ الْقِيمَةِ وَجَبَ عَلَيْهِ الثُّلُثُ وَيَكُونُ النَّقْصُ بِهَا أَقَلَّ مِنَ الْمُقَدَّرِ فِيهَا، وَإِنْ كَانَ النَّاقِصُ مِنْ قِيمَتِهِ بِالْقَطْعِ ثُلْثَا الْقِيمَةِ وَجَبَ عَلَيْهِ الثُّلُثَانِ وَيَكُونُ النَّقْصُ بِهَا أَكْثَرَ مِنَ الْمُقَدَّرِ فِيهَا، فَإِنْ قِيلَ: أَفَيَجِبُ على السيد بجناية أَكْثَرَ مِمَّا يَجِبُ عَلَى الْأَجْنَبِيِّ بِجِنَايَتِهِ؟ قِيلَ: لَمَّا اخْتَلَفَ سَبَبُ وُجُوبِ الضَّمَانِ عَلَيْهِمَا فَكَانَ مَضْمُونًا عَلَى الْأَجْنَبِيِّ بِالْجِنَايَةِ وَعَلَى السَّيِّدِ بِالْغَصْبِ وَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ فِي الْأَجْنَبِيِّ ضَمَانُ الْمُقَدَّرِ بِالْجِنَايَاتِ سَوَاءٌ كَانَ أَكْثَرَ مِنَ النَّقْصِ أَوْ أَقَلَّ وَفِي السَّيِّدِ ضَمَانُ النَّقْصِ بِالْغَصْبِ سَوَاءٌ كَانَ أَكْثَرَ مِنَ الْمُقَدَّرِ أَوْ أَقَلَّ، فَإِنْ ضَمِنَهُ الْأَجْنَبِيُّ بِالْغَصْبِ وَالْجِنَايَةِ لَزِمَهُ ضَمَانُ أَكْثَرِ الْأَرْشَيْنِ مِنَ الْمُقَدَّرِ بِالْجِنَايَةِ أَوِ النَّقْصِ بِالْغَصْبِ.

Telah dijelaskan sebelumnya mengenai jinayah (tindak pidana) yang dilakukan oleh orang lain terhadap budak yang dijadikan barang gadai, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Adapun jinayah yang dilakukan oleh tuan terhadap budaknya yang digadaikan, maka ia wajib menanggung ganti rugi berupa arsy (denda) sebagai jaminan atas perbuatan ghasab (pengambilan secara zalim), karena pada budak tersebut terdapat hak pihak penerima gadai. Jika tuan memotong salah satu tangan budaknya, maka ia wajib mengganti kerugian sebesar nilai yang berkurang dari budak tersebut, dan hal itu tidak ditentukan setengah dari nilai budak sebagaimana jika dilakukan oleh orang lain. Jika nilai yang berkurang akibat pemotongan itu adalah setengah dari nilai budak, maka ia wajib mengganti setengahnya, di mana nilai kerugian dan ketentuan hukumnya sama. Jika nilai yang berkurang akibat pemotongan itu sepertiga dari nilai budak, maka ia wajib mengganti sepertiganya, dan nilai kerugian di sini lebih kecil dari ketentuan hukumnya. Jika nilai yang berkurang akibat pemotongan itu dua pertiga dari nilai budak, maka ia wajib mengganti dua pertiganya, dan nilai kerugian di sini lebih besar dari ketentuan hukumnya. Jika ada yang bertanya: Apakah tuan wajib menanggung akibat jinayah lebih besar daripada yang wajib ditanggung oleh orang lain atas jinayahnya? Maka dijawab: Karena sebab kewajiban ganti rugi pada keduanya berbeda, maka pada orang lain ganti rugi itu wajib karena jinayah, sedangkan pada tuan karena ghasab, sehingga pada orang lain yang menjadi ukuran adalah ganti rugi yang telah ditentukan dalam jinayah, baik lebih besar maupun lebih kecil dari kerugian yang terjadi, sedangkan pada tuan yang menjadi ukuran adalah ganti rugi atas kerugian nyata karena ghasab, baik lebih besar maupun lebih kecil dari ketentuan hukumnya. Jika orang lain menanggungnya karena ghasab dan jinayah sekaligus, maka ia wajib menanggung ganti rugi yang lebih besar di antara dua arsy, yaitu antara yang ditentukan dalam jinayah atau kerugian nyata karena ghasab.

مِثَالُهُ: أَنْ يَغْصِبَهُ أَجْنَبِيٌّ ثُمَّ يَقْطَعَ يَدَهُ، فَإِنْ نَقَصَ مِنْ قِيمَتِهِ بِالْقَطْعِ أَقَلُّ مِنْ نِصْفِ الْقِيمَةِ ضَمِنَهُ الْجَانِي بِنِصْفِ الْقِيمَةِ ضَمَانَ الْجِنَايَةِ لِأَنَّهُ أَكْثَرُ الْأَرْشَيْنِ، وَكَانَ الزَّايِدُ عَلَى النَّقْصِ يَخْتَصُّ بِهِ الرَّاهِنُ وَإِنْ نَقَصَ مِنْ قِيمَتِهِ بِالْقَطْعِ أَكْثَرُ مِنْ نِصْفِ الْقِيمَةِ ضَمِنَهُ الْجَانِي بِالنَّقْصِ ضَمَانَ غَصْبٍ وَلَمْ يَضْمَنْهُ بِالنِّصْفِ لِأَنَّ ضَمَانَ الْغَصْبِ أَكْثَرُ الْأَرْشَيْنِ، وَيَكُونُ جَمِيعُ ذَلِكَ رَهْنًا لَا يَخْتَصُّ الرَّاهِنُ بشيء منه والله أعلم.

Contohnya: Seorang asing (bukan tuan) menggashab budak tersebut, lalu memotong tangannya. Jika nilai yang berkurang akibat pemotongan itu kurang dari setengah nilai budak, maka pelaku jinayah wajib mengganti setengah nilai budak sebagai ganti rugi jinayah, karena itu merupakan arsy yang lebih besar, dan kelebihan dari kerugian itu menjadi hak khusus pihak yang menggadaikan. Jika nilai yang berkurang akibat pemotongan itu lebih dari setengah nilai budak, maka pelaku jinayah wajib mengganti sesuai dengan kerugian nyata sebagai ganti rugi ghasab, dan tidak cukup dengan setengah nilai, karena ganti rugi ghasab adalah arsy yang lebih besar. Semua itu menjadi barang gadai dan tidak ada bagian khusus bagi pihak yang menggadaikan, dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِقْرَارُ الْعَبْدِ الْمَرْهُونِ بِمَا فِيهِ قِصَاصٌ جَائِزٌ كَالْبَيِّنَةِ وَمَا لَيْسَ فِيهِ قِصَاصٌ فَإِقْرَارُهُ بَاطِلٌ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Pengakuan budak yang digadaikan terhadap suatu perbuatan yang mengharuskan qishash adalah sah seperti halnya kesaksian, sedangkan pengakuannya terhadap sesuatu yang tidak mengharuskan qishash maka pengakuannya batal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. قَدْ مَضَى هَذَا الْفَصْلُ فِي كِتَابِ الْبُيُوعِ بِتَمَامِهِ، وَجُمْلَتُهُ أَنَّ إِقْرَارَ الْعَبْدِ الْمَرْهُونِ بِالْجِنَايَةِ كَإِقْرَارِ غَيْرِ الْمَرْهُونِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ فِي كِتَابِ الْبُيُوعِ فَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ خَطَأً تُوجِبُ الْمَالَ، كَانَ إِقْرَارُهُ مَرْدُودًا يُتْبَعُ بِهِ إِذَا أُعْتِقَ وَأَيْسَرَ وَلَا يَتَعَلَّقُ بِرَقَبَتِهِ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Pembahasan ini telah dijelaskan secara lengkap dalam Kitab al-Buyu‘. Intinya, pengakuan budak yang digadaikan atas jinayah sama dengan pengakuan budak yang tidak digadaikan, sebagaimana telah dijelaskan dalam Kitab al-Buyu‘. Jika jinayah tersebut dilakukan secara tidak sengaja dan mengharuskan pembayaran harta, maka pengakuannya ditolak, namun tetap dapat dituntut setelah ia dimerdekakan dan mampu, dan tidak berkaitan dengan dirinya (sebagai budak) karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ رَقَبَتَهُ مِلْكٌ لِسَيِّدِ الْعَبْدِ وَإِقْرَارُ الْمُقِرِّ لَا يَنْفُذُ فِي مِلْكِ الْغَيْرِ.

Pertama: Karena dirinya (budak) adalah milik tuannya, dan pengakuan seseorang tidak berlaku atas milik orang lain.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ مُتَّهَمٌ فِي إِقْرَارِهِ، لِأَنَّ إِقْرَارَهُ إِضْرَارٌ بِسَيِّدِهِ لِلْخَلَاصِ مِنْ يَدِهِ وَالْمُتَّهَمُ فِي إِقْرَارِهِ مَرْدُودُ الْإِقْرَارِ كَالسَّفِيهِ.

Kedua: Karena ia dianggap tertuduh dalam pengakuannya, sebab pengakuannya itu dapat merugikan tuannya demi membebaskan diri dari kekuasaan tuannya, dan pengakuan orang yang tertuduh tidak diterima sebagaimana pengakuan orang safih (tidak cakap).

(فَصْلٌ)

(Fashal)

وَإِذَا كَانَتْ جِنَايَتُهُ عَمْدًا تُوجِبُ الْقَوَدَ، كَانَ إقراره نافذا مقبولا وقال زفر بن الهزيل ومحمد بن الحسن وَأَبُو إِبْرَاهِيمَ الْمُزَنِيُّ وَدَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ: إِقْرَارُهُ بِمَا يُوجِبُ الْقَوَدَ مَرْدُودٌ كَإِقْرَارِهِ بِمَا يُوجِبُ الْمَالَ.

Jika jinayah yang dilakukan secara sengaja dan mengharuskan qishash, maka pengakuannya dianggap sah dan diterima. Namun menurut Zafar bin al-Hudzail, Muhammad bin al-Hasan, Abu Ibrahim al-Muzani, dan Dawud bin ‘Ali, pengakuan budak atas perbuatan yang mengharuskan qishash ditolak sebagaimana pengakuannya atas perbuatan yang mengharuskan pembayaran harta.

اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَا يُقْبَلُ إِقْرَارُهُ فِي الْخَطَأِ لَمْ يُقْبَلْ فِي الْعَمْدِ، كَالْمَجْنُونِ وَالصَّبِيِّ، وَلِأَنَّهُ مُقِرٌّ فِي غَيْرِ مِلْكِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُقْبَلَ إِقْرَارُهُ كَالْخَطَأِ.

Mereka berdalil bahwa setiap orang yang pengakuannya tidak diterima dalam kasus tidak sengaja, maka tidak diterima pula dalam kasus sengaja, seperti orang gila dan anak kecil. Selain itu, karena ia mengakui sesuatu yang bukan miliknya, maka seharusnya pengakuannya tidak diterima sebagaimana dalam kasus tidak sengaja.

وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: مَنْ يُبْدِ لَنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ حَدَّ اللَّهِ عَلَيْهِ وَلَمْ يَفْصِلْ بَيْنَ حُرٍّ وَعَبْدٍ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَزِمَهُ الْحَدُّ بِإِقْرَارِهِ لَزِمَهُ الْقَوَدُ بِإِقْرَارِهِ كَالْحُرِّ، وَلِأَنَّهُ قَتْلٌ يَجِبُ بِإِقْرَارِ الْحُرِّ فَوَجَبَ أَنْ يَجِبَ بِإِقْرَارِ الْعَبْدِ كَالرِّدَّةِ.

Dalil kami adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda: “Barang siapa menampakkan lehernya kepada kami, maka kami akan menegakkan hudud Allah atasnya,” dan beliau tidak membedakan antara orang merdeka dan budak. Karena setiap orang yang wajib atasnya hudud karena pengakuannya, maka wajib pula atasnya qishāsh karena pengakuannya, sebagaimana halnya orang merdeka. Dan karena pembunuhan yang wajib dengan pengakuan orang merdeka, maka wajib pula dengan pengakuan budak, sebagaimana dalam kasus riddah (kemurtadan).

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ فَمُنْتَقَضٌ بِالسَّفِيهِ يُقْبَلُ إِقْرَارُهُ فِي الْعَمْدِ وَلَا يُقْبَلُ إِقْرَارُهُ فِي الْخَطَأِ، فَإِنْ لَمْ يَلْتَزِمُوهُ فَالْمَعْنَى فِي الْمَجْنُونِ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْحَدُّ بِإِقْرَارِهِ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْقَوَدُ بِإِقْرَارِهِ وَلَمَّا وَجَبَ الْحَدُّ عَلَى الْعَبْدِ بِإِقْرَارِهِ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ بِإِقْرَارِهِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى إِقْرَارِهِ بِجِنَايَةِ الْخَطَأِ فَالْمَعْنَى فِي جِنَايَةِ الْخَطَأِ لَمَّا كَانَ مُتَّهَمًا فِيهَا لَمْ يَصِحَّ إِقْرَارُهُ بِهَا وَلَمَّا لَمْ يُتَّهَمْ فِي جِنَايَةِ الْعَمْدِ نَفَذَ إِقْرَارُهُ بِهَا.

Adapun jawaban atas qiyās mereka, maka dapat dibantah dengan (kasus) orang safīh, di mana pengakuannya diterima dalam pembunuhan sengaja, namun tidak diterima dalam pembunuhan karena kesalahan. Jika mereka tidak menerima (bantahan) ini, maka alasannya pada orang gila adalah karena ketika hudud tidak wajib atasnya karena pengakuannya, maka qishāsh pun tidak wajib atasnya karena pengakuannya. Dan ketika hudud wajib atas budak karena pengakuannya, maka qishāsh pun wajib atasnya karena pengakuannya. Adapun qiyās mereka terhadap pengakuan dalam jināyah khathā’ (kejahatan karena kesalahan), maka alasannya adalah dalam jināyah khathā’, karena ia dicurigai di dalamnya, maka pengakuannya tidak sah. Sedangkan dalam jināyah ‘amd (kejahatan sengaja) ia tidak dicurigai, maka pengakuannya sah.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

إِذَا ثَبَتَ أَنَّ إِقْرَارَهُ بِجِنَايَةِ الْعَمْدِ مَقْبُولٌ فَالْمُقَرُّ لَهُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَقْتَصَّ مِنَ الْعَبْدِ الْمُقِرِّ وَبَيْنَ أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى الْمَالِ وَبَيْنَ أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقِصَاصِ وَالْمَالِ فَإِنْ عَفَا عَنِ الْأَمْرَيْنِ كَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا بِحَالِهِ وَإِنِ اقْتَصَّ مِنْهُ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ الْقِصَاصُ فِي نَفْسِهِ بَطَلَ الرَّهْنُ، وَإِنْ كَانَ فِي طَرَفِهِ كَانَ بَعْدَ الْقِصَاصِ رَهْنًا بِحَالِهِ. وَإِنْ عَفَا عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى الْمَالِ ثَبَتَ الْمَالُ فِي رَقَبَتِهِ وَبِيعَ مِنْهُ بِقَدْرِ جِنَايَتِهِ، فَإِنِ اسْتَغْرَقَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ جَمِيعَ قِيمَتِهِ بِيعَ وَبَطَلَ الرَّهْنُ بِبَيْعِهِ، وَإِنْ قَابَلَ بَعْضَ قِيمَتِهِ بِيعَ مِنْهُ بِقَدْرِ جِنَايَتِهِ وَكَانَ الْبَاقِي مِنْهُ رَهْنًا بحاله.

Jika telah tetap bahwa pengakuannya atas jināyah ‘amd (kejahatan sengaja) diterima, maka pihak yang diakui berhak memilih antara menuntut qishāsh dari budak yang mengaku, atau memaafkan qishāsh dengan diganti harta, atau memaafkan qishāsh dan harta sekaligus. Jika ia memaafkan keduanya, maka budak tersebut tetap menjadi barang jaminan sebagaimana keadaannya. Jika ia menuntut qishāsh, maka dilihat: jika qishāsh itu pada jiwa (membunuh), maka barang jaminan batal; jika pada anggota tubuh, maka setelah qishāsh, budak tersebut tetap menjadi barang jaminan sebagaimana keadaannya. Jika ia memaafkan qishāsh dengan diganti harta, maka harta itu tetap menjadi tanggungan lehernya dan ia dijual seharga nilai jināyah-nya. Jika nilai ganti rugi jināyah menghabiskan seluruh nilainya, maka ia dijual dan barang jaminan batal dengan penjualannya. Jika hanya sebagian nilainya, maka ia dijual seharga nilai jināyah-nya dan sisanya tetap menjadi barang jaminan sebagaimana keadaannya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا جَنَى الْعَبْدُ فِي الرَّهْنِ قِيلَ لِسَيِّدِهِ إِنْ فَدَيْتَهُ بِجَمِيعِ الْجِنَايَةِ فَأَنْتَ مُتَطَوِّعٌ وَهُوَ رَهْنٌ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ بِيعَ فِي جِنَايَتِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika budak melakukan jināyah saat menjadi barang jaminan, maka dikatakan kepada tuannya: Jika engkau menebusnya dengan seluruh nilai jināyah, maka itu adalah kebaikan darimu dan ia tetap menjadi barang jaminan. Jika tidak, maka ia dijual untuk menutupi jināyah-nya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini adalah pendapat yang benar.

أَمَّا جِنَايَةُ الْعَبْدِ الْمَرْهُونِ فَهِيَ مُتَعَلِّقَةٌ بِرَقَبَتِهِ كَغَيْرِ الْمَرْهُونِ لَا تَلْزَمُ الرَّاهِنَ وَلَا تَلْزَمُ الْمُرْتَهِنَ، وَلَيْسَ يَجِبُ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يَفْدِيَهُ، أَمَّا الْمُرْتَهِنُ فَإِنَّهُ لَا يَمْلِكُهُ وَأَمَّا الرَّاهِنُ فَهُوَ وَإِنْ كَانَ مَالِكًا لِرَقَبَتِهِ فَلَيْسَتِ الْجِنَايَةُ مُتَعَلِّقَةً بِذِمَّتِهِ وَإِنَّمَا هِيَ فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ، بِدَلِيلِ أَنَّ الرَّقَبَةَ إِذَا أُتْلِفَتْ بِالْجِنَايَةِ أَوْ تَلِفَتْ قَبْلَ اسْتِيفَاءِ الْجِنَايَةِ سَقَطَ الْأَرْشُ.

Adapun jināyah budak yang menjadi barang jaminan, maka itu terkait dengan lehernya sebagaimana budak yang bukan barang jaminan; tidak menjadi tanggungan pihak yang menggadaikan maupun pihak yang menerima gadai. Tidak wajib bagi salah satu dari keduanya untuk menebusnya. Adapun pihak yang menerima gadai, ia tidak memilikinya. Adapun pihak yang menggadaikan, meskipun ia pemilik lehernya, namun jināyah tidak terkait dengan tanggungannya, melainkan pada leher budaknya. Buktinya, jika leher (budak) itu rusak karena jināyah atau rusak sebelum pelaksanaan jināyah, maka gugurlah ganti rugi (arsh).

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْجِنَايَةَ وَاجِبَةٌ فِي رَقَبَةِ الْعَبْدِ دُونَ سَيِّدِهِ وَمُرْتَهِنِهِ فَالْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ لَا يَمْلِكُ رَقَبَتَهُ بِجِنَايَتِهِ، وَإِنَّمَا يَمْلِكُ اسْتِيفَاءَ الْأَرْشِ مِنْ رَقَبَتِهِ مَا لَمْ يَصِلْ إِلَيْهِ مِنْ غَيْرِ رَقَبَتِهِ وَقَالَ مَالِكٌ وأبو حنيفة قَدْ صَارَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ مَالِكًا لِرَقَبَتِهِ بِالْجِنَايَةِ وَعَلَى السَّيِّدِ تَسْلِيمُهُ إِلَيْهِ. فَإِنْ شَاءَ بَاعَهُ وَإِنْ شَاءَ تَمَلَّكَهُ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْمَجْنِيَّ عَلَيْهِ قَدْ مَلَكَ الْأَرْشَ وَاسْتَحَقَّهُ وَالْحُقُوقُ الْمَمْلُوكَةُ لَا تَخْلُو مِنْ أَنْ تَكُونَ مُسْتَقِرَّةً فِي ذِمَّةٍ مَضْمُونَةٍ كَالدُّيُونِ، أَوْ مُسْتَقِرَّةٍ فِي عَيْنٍ مَمْلُوكَةٍ كَالْإِرْثِ، فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ أَرْشُ الْجِنَايَةِ مَضْمُونًا فِي الذِّمَّةِ بِدَلِيلِ سُقُوطِهِ بِتَلَفِ الذِّمَّةِ ثَبَتَ أَنَّهُ مُسْتَقِرٌّ فِي الرَّقَبَةِ لِاسْتِحْقَاقِهِ مَعَ بَقَائِهَا وَسُقُوطِهِ مَعَ عَدَمِهَا.

Jika telah tetap bahwa jināyah wajib pada diri budak, bukan pada tuannya atau pemegang gadaiannya, maka pihak yang menjadi korban jināyah tidak memiliki kepemilikan atas budak tersebut karena jināyah-nya, melainkan hanya berhak menagih arsy dari budak itu selama belum mendapatkannya dari selain budak tersebut. Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa pihak yang menjadi korban jināyah telah menjadi pemilik budak itu karena jināyah, dan tuan budak wajib menyerahkannya kepadanya. Maka jika ia mau, ia boleh menjualnya, dan jika ia mau, ia boleh memilikinya. Mereka berdalil bahwa pihak yang menjadi korban jināyah telah memiliki dan berhak atas arsy, dan hak-hak yang dimiliki tidak lepas dari dua kemungkinan: menetap dalam tanggungan yang dijamin seperti utang, atau menetap pada benda tertentu yang dimiliki seperti warisan. Maka, ketika arsy jināyah tidak dijamin dalam tanggungan, sebagaimana terbukti dengan gugurnya arsy karena hilangnya tanggungan, maka tetaplah bahwa arsy itu menetap pada budak karena hak atasnya selama budak itu masih ada, dan gugur bila budak itu tidak ada.

وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ رَقَبَةَ الْعَبْدِ مِلْكٌ لِسَيِّدِهِ وَالْأَعْيَانُ لَا تُمْلَكُ عَنْ أَرْبَابِهَا بِالْجِنَايَاتِ كَالْفَحْلِ إِذَا صَالَ فَأَتْلَفَ مَالًا، لَا يَصِيرُ الْفَحْلُ مَمْلُوكًا لِصَاحِبِ الْمَالِ فَكَذَلِكَ الْعَبْدُ.

Dalil kami: Sesungguhnya budak adalah milik tuannya, dan benda-benda tidak menjadi milik orang lain karena jināyah, seperti halnya seekor pejantan jika menyerang lalu merusak harta orang lain, maka pejantan itu tidak menjadi milik pemilik harta tersebut. Begitu pula halnya dengan budak.

وَتَحْرِيرُ عِلَّتِهِ: أَنَّهَا جِنَايَةٌ مِنْ غَيْرِ مَمْلُوكَةٍ فَوَجَبَ أَلَّا تُعْتَبَرَ الْجِنَايَةُ مَمْلُوكَةً كَالْفَحْلِ وَمَا ذَكَرُوهُ مِنَ الْحَقِّ الْوَاجِبِ لَا يَصِحُّ إِلَّا أَنْ يَكُونَ ثَابِتًا فِي ذِمَّةٍ أَوْ مُسْتَقِرًّا فِي عَيْنٍ مملوكة فَمُنْتَقَضٌ بِدَيْنِ الْمَيِّتِ فَهُوَ وَاجِبٌ وَلَيْسَ بِثَابِتٍ فِي ذِمَّةٍ، وَلَا مَلَكَ بِهِ عَيْنَ التَّرِكَةِ، وَإِنَّمَا يَجِبُ اسْتِيفَاؤُهُ مِنْ رَقَبَةِ الْعَبْدِ الْجَانِي مَا لَمْ يَفْدِهِ السَّيِّدُ.

Penjelasan illat-nya: Bahwa ini adalah jināyah dari sesuatu yang bukan milik, maka tidak seharusnya jināyah itu dianggap sebagai milik, seperti halnya pejantan. Apa yang mereka sebutkan tentang hak yang wajib, tidaklah sah kecuali jika hak itu tetap dalam tanggungan atau menetap pada benda tertentu yang dimiliki. Ini terbantahkan dengan utang mayit, karena itu adalah kewajiban, namun tidak tetap dalam tanggungan, dan tidak pula menjadikan benda warisan menjadi milik karenanya. Yang wajib hanyalah menagihnya dari budak pelaku jināyah selama tuannya belum menebusnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْمَجْنِيَّ عَلَيْهِ لَا يَمْلِكُ رَقَبَةَ الْعَبْدِ بِجِنَايَتِهِ عَلَيْهِ. فَالسَّيِّدُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُسَلِّمَ الْعَبْدَ الْجَانِيَ لِيُبَاعَ فِي جِنَايَتِهِ وَبَيْنَ أَنْ يَفْدِيَهُ مِنْهَا، فَإِنْ سَلَّمَهُ لِيُبَاعَ فِي أَرْشِ الْجِنَايَةِ، نُظِرَ فِي أَرْشِ الْجِنَايَةِ فَإِنْ كَانَ مُحِيطًا بِقِيمَتِهِ بِيعَ وَبَطَلَ الرَّهْنُ بِالْبَيْعِ، فَإِنْ مَلَكَهُ السَّيِّدُ فِيمَا بَعْدُ لَمْ يَعُدْ إِلَى الرَّهْنِ لِبُطْلَانِهِ بِالْبَيْعِ، وَإِنْ كَانَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ يُقَابِلُ بَعْضَ قِيمَتِهِ بِيعَ مِنْهُ بِقَدْرِ الْأَرْشِ نِصْفًا أَوْ ثُلُثًا، وَكَانَ الْبَاقِي مِنْهُ بَعْدَ الْبَيْعِ رَهْنًا.

Jika telah tetap bahwa pihak yang menjadi korban jināyah tidak memiliki budak karena jināyah yang dilakukan terhadapnya, maka tuan budak memiliki pilihan antara menyerahkan budak pelaku jināyah untuk dijual karena jināyahnya, atau menebusnya dari jināyah itu. Jika ia menyerahkannya untuk dijual sebagai pembayaran arsy jināyah, maka dilihat nilai arsy jināyah itu: jika arsy jināyah itu setara dengan nilai budak, maka budak itu dijual dan gadaiannya batal karena penjualan tersebut. Jika tuan budak membelinya kembali setelah itu, maka budak tersebut tidak kembali menjadi barang gadai karena gadaian telah batal dengan penjualan. Jika arsy jināyah hanya setara dengan sebagian nilai budak, maka budak dijual sesuai dengan nilai arsy, misalnya setengah atau sepertiga, dan sisanya setelah penjualan tetap menjadi barang gadai.

وَإِنْ أَرَادَ السَّيِّدُ أَنْ يَفْدِيَهُ مِنَ الْجِنَايَةِ فَإِنْ كَانَ الْأَرْشُ مِثْلَ قِيمَتِهِ أَوْ أَقَلَّ لَزِمَهُ أَنْ يَفْدِيَهُ بِجَمِيعِ الْأَرْشِ، وَإِنْ كَانَ الْأَرْشُ أَكْثَرَ مِنْ قِيمَتِهِ فَفِيمَا يَفْدِيهِ بِهِ قَوْلَانِ:

Jika tuan budak ingin menebus budaknya dari jināyah, maka jika arsy setara atau kurang dari nilai budak, ia wajib menebusnya dengan seluruh arsy. Namun jika arsy lebih besar dari nilai budak, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أحدهما: يقدر بِأَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ مِنَ الْقِيمَةِ أَوِ الْأَرْشِ، لِأَنَّ الْقِيمَةَ إِذَا زَادَتْ فَلَيْسَ يَسْتَحِقُّ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ أَكْثَرَ مِنَ الْأَرْشِ، فَإِنْ زَادَ الْأَرْشُ فَلَيْسَ يَسْتَحِقُّ أَكْثَرَ مِنَ الرَّقَبَةِ فَلِذَلِكَ لَزِمَ السَّيِّدَ أَنْ يَفْدِيَهُ بِأَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ.

Pendapat pertama: Ditetapkan dengan nilai yang lebih kecil antara nilai budak atau arsy, karena jika nilai budak lebih besar, maka pihak yang menjadi korban jināyah tidak berhak mendapat lebih dari arsy, dan jika arsy lebih besar, maka ia tidak berhak mendapat lebih dari budak itu. Oleh karena itu, tuan budak wajib menebusnya dengan nilai yang lebih kecil di antara keduanya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنْ يَفْدِيَهُ بِجَمِيعِ الْأَرْشِ وَإِنْ زَادَ عَلَى قِيمَةِ الْعَبْدِ، أَوْ تَمَكَّنَ مِنْ بَيْعِهِ فَلَا يَسْتَحِقُّ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ غَيْرَ ثَمَنِ الْعَبْدِ لِأَنَّهُ قَدْ يَحْدُثُ لِلْعَبْدِ لَوْ بِيعَ رَاغِبٌ يَبْتَاعُهُ بِأَكْثَرَ مِنْ قِيَمَتِهِ فَإِذَا امْتَنَعَ السَّيِّدُ مِنْ بَيْعِ عَبْدِهِ لِيَفْدِيَهُ مُنِعَ مِنْ زِيَادَةِ الرَّغْبَةِ فَلَزِمَهُ جَمِيعُ الْأَرْشِ وَلَمْ يَقْتَصِرْ مِنْهُ عَلَى الْقِيمَةِ، وَالْقَوْلُ الْأَوَّلُ أَصَحُّ، فَإِذَا فَدَاهُ السَّيِّدُ بِمَا وَصَفْتُ كَانَ الْعَبْدُ عَلَى حَالِهِ رَهْنًا، لِأَنَّ جِنَايَتَهُ لَمْ تُبْطِلْ رَهْنَهُ، وَإِنَّمَا أَدْخَلَتْ عَلَى الرَّاهِنِ حَقًّا زَاحَمَهُ فَإِذَا سَقَطَ الْحَقُّ ثَبَتَ الرهن والله أعلم.

Pendapat kedua: hendaknya ia menebusnya dengan seluruh nilai arsy, meskipun melebihi nilai budak tersebut. Atau jika memungkinkan untuk menjualnya, maka pihak yang menjadi korban tidak berhak mendapatkan selain harga budak itu. Sebab, bisa saja jika budak itu dijual, ada pembeli yang berminat membelinya dengan harga lebih tinggi dari nilainya. Maka jika tuan budak menolak menjual budaknya untuk menebusnya, ia telah menghalangi adanya tambahan minat, sehingga ia wajib membayar seluruh arsy dan tidak cukup hanya dengan nilai budak. Namun, pendapat pertama lebih sahih. Jika tuan menebusnya sebagaimana telah aku jelaskan, maka budak itu tetap dalam statusnya sebagai barang gadai, karena tindak pidananya tidak membatalkan status gadai, melainkan hanya menimbulkan hak baru yang bersaing dengan hak gadai. Maka jika hak tersebut gugur, tetaplah status gadai. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فإن تطوع المرتهن لَمْ يَرْجِعْ بِهَا عَلَى السَّيِّدِ وَإِنْ فَدَاهُ بِأَمْرِهِ عَلَى أَنْ يَكُونَ رَهْنًا بِهِ مَعَ الحق فجائز (قال المزني) قلت أنا هَذَا أَوْلَى مِنْ قَوْلِهِ لَا يَجُوزُ أَنْ يَزْدَادَ حَقًّا فِي الرَّهْنِ الْوَاحِدِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika murtahin (penerima gadai) menebus secara sukarela, maka ia tidak boleh menuntut kembali kepada tuan budak. Namun jika ia menebusnya atas perintah tuan budak dengan syarat budak itu tetap menjadi barang gadai bersama hak yang ada, maka hal itu boleh.” (Al-Muzani berkata:) Aku berkata: “Ini lebih utama daripada pendapat yang menyatakan tidak boleh menambah hak dalam satu barang gadai.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْمُرْتَهِنَ لَا يَلْزَمُهُ أَنْ يَفْدِيَ الْعَبْدَ الْمَرْهُونَ مِنْ جِنَايَتِهِ، فَإِنْ فَدَاهُ الْمُرْتَهِنُ فَقَدْ بَرِئَ مِنَ الْجِنَايَةِ وَاسْتَقَرَّ فِي الرَّهْنِ، وَبِمَاذَا يَفْدِيهِ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالرَّاهِنِ، أَحَدُهُمَا يَفْدِيهِ بِأَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ مَنْ أَرْشِ جِنَايَتِهِ أَوْ قِيمَتِهِ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَفْدِيهِ بِأَرْشِ جِنَايَتِهِ وَإِنْ زَادَتْ عَلَى قِيمَتِهِ.

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa murtahin tidak wajib menebus budak yang digadaikan dari tindak pidananya. Jika murtahin menebusnya, maka ia telah bebas dari tanggungan pidana dan status gadai tetap berlaku. Dengan apa ia menebusnya? Ada dua pendapat, sebagaimana pada rahin (penggadai): salah satunya, ia menebus dengan yang lebih kecil antara nilai arsy tindak pidananya atau nilai budaknya; pendapat kedua, ia menebus dengan nilai arsy tindak pidananya meskipun melebihi nilai budaknya.

فَإِنْ فَدَاهُ وَخَلَصَ مِنَ الرَّهْنِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ فِي فِدْيَتِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَفْدِيَهُ بِأَمْرِ الرَّاهِنِ أَوْ بِغَيْرِ أَمْرِهِ، فَإِنْ فَدَاهُ بِغَيْرِ أَمْرِهِ لَمْ يَرْجِعْ عَلَى الرَّاهِنِ بِمَا فَدَاهُ وَكَانَ مُتَطَوِّعًا بِهِ، وَإِنْ فَدَاهُ بِإِذْنِ الرَّاهِنِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ، أَحَدُهُمَا أَنْ يَفْدِيَهُ بِأَمْرِهِ عَلَى شَرْطِ الرُّجُوعِ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: أَفْدِهِ بِالْجِنَايَةِ لِتَرْجِعَ عَلَيَّ فَلِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الرَّاهِنِ بِمَا فَدَاهُ بِهِ.

Jika murtahin menebusnya dan budak itu terbebas dari status gadai, maka dalam penebusan itu terdapat dua kemungkinan: menebusnya atas perintah rahin atau tanpa perintahnya. Jika menebus tanpa perintah rahin, maka ia tidak boleh menuntut kembali kepada rahin atas apa yang telah ia bayarkan, dan itu dianggap sebagai tindakan sukarela. Jika menebusnya dengan izin rahin, maka terdapat dua keadaan: salah satunya, ia menebus atas perintah rahin dengan syarat boleh menuntut kembali, yaitu dengan mengatakan: “Tebuslah dari tindak pidana itu agar engkau dapat menuntut kembali kepadaku.” Maka murtahin berhak menuntut kembali kepada rahin atas apa yang telah ia bayarkan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَفْدِيَهُ بِأَمْرِهِ مِنْ غَيْرِ شَرْطِ الرُّجُوعِ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: أَفْدِهِ عَنِّي، فَلِلْمُرْتَهِنِ الرُّجُوعُ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا.

Keadaan kedua: ia menebus atas perintah rahin tanpa syarat boleh menuntut kembali, yaitu dengan mengatakan: “Tebuslah untukku.” Maka apakah murtahin boleh menuntut kembali atau tidak, terdapat dua pendapat yang telah lalu.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِنْ فَدَاهُ الْمُرْتَهِنُ بِأَمْرِ الرَّاهِنِ عَلَى شَرْطِ الرُّجُوعِ عَلَى أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ فِي يَدِهِ رَهْنًا بِالْحَقِّ الْأَوَّلِ وَبِالْأَرْشِ الَّذِي فَدَاهُ بِهِ.

Jika murtahin menebusnya atas perintah rahin dengan syarat boleh menuntut kembali, dengan ketentuan budak itu tetap berada di tangannya sebagai barang gadai untuk hak pertama dan untuk arsy yang digunakan untuk menebusnya.

قَالَ الشَّافِعِيُّ: فَذَلِكَ جَائِزٌ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَقَالَ بَعْضُهُمْ: فِي جَوَازِهِ قَوْلَانِ مِنْ إِدْخَالِ حَقٍّ ثَانٍ عَلَى أَوَّلٍ، وَقَوْلُ الشَّافِعِيِّ إِنَّهُ جَائِزٌ يَعْنِي عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ وَنَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ إِلَى هَذَا الْمَوْضِعِ، وَقَالَ آخَرُونَ: بَلْ ذَلِكَ جَائِزٌ قَوْلًا وَاحِدًا وَفَرَّقُوا بَيْنَ ارْتِهَانِهِ بِالْأَرْشِ مَعَ الْحَقِّ الْأَوَّلِ فَيَجُوزُ قَوْلًا وَاحِدًا وَبَيْنَ ارْتِهَانِهِ بِحَقٍّ ثَانٍ مَعَ الْحَقِّ الْأَوَّلِ فَيَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ، لِأَنَّ فِدْيَتَهُ بِالْأَرْشِ اسْتِصْلَاحٌ لِلرَّهْنِ، فَجَازَ فِيهِ مَا لَا يَجُوزُ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْحُقُوقِ الْمُبْتَدَأَةِ فِي الرهن والله أعلم.

Imam Syafi‘i berkata: Maka hal itu boleh. Ulama kami berbeda pendapat: sebagian mereka berkata, dalam kebolehannya ada dua pendapat karena adanya penambahan hak kedua atas hak pertama. Pendapat Imam Syafi‘i bahwa hal itu boleh, maksudnya menurut salah satu dari dua pendapat, yaitu pendapat beliau dalam qaul qadim yang dinukil oleh Al-Muzani di tempat ini. Sebagian lain berkata: Bahkan hal itu boleh menurut satu pendapat saja, dan mereka membedakan antara penambahan arsy bersama hak pertama—maka itu boleh menurut satu pendapat—dan penambahan hak kedua bersama hak pertama—maka itu ada dua pendapat. Karena penebusan dengan arsy adalah bentuk perbaikan bagi barang gadai, sehingga dibolehkan di dalamnya apa yang tidak dibolehkan dalam hak-hak baru lainnya pada barang gadai. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” فَإِنْ كَانَ السَّيِّدُ أَمَرَ الْعَبْدَ بِالْجِنَايَةِ فَإِنْ كَانَ يَعْقِلُ بَالِغًا فَهُوَ آثِمٌ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ صَبِيًّا أَوْ أَعْجَمِيًّا فَبِيعَ فِي الْجِنَايَةِ كُلِّفَ السَّيِّدُ أَنْ يَأْتِيَ بِمِثْلِ قِيمَتِهِ يَكُونُ رَهْنًا مَكَانَهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika tuan memerintahkan budaknya untuk melakukan tindak pidana, maka jika budak itu berakal dan sudah baligh, ia berdosa namun tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Namun jika ia masih anak-anak atau tidak memahami bahasa (ajam), lalu dijual karena tindak pidana itu, maka tuan wajib menghadirkan budak lain dengan nilai yang sama untuk dijadikan barang gadai sebagai pengganti.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا أَمَرَ السَّيِّدُ عَبْدَهُ الْمَرْهُونَ بِالْجِنَايَةِ فَجَنَى الْعَبْدُ عَنْ أَمْرِ السَّيِّدِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْعَبْدِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana ia berkata, “Jika tuan memerintahkan budaknya yang sedang digadaikan untuk melakukan tindak pidana, lalu budak tersebut melakukan tindak pidana atas perintah tuannya, maka keadaan budak itu tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَالِمًا بِأَنَّ طَاعَةَ السَّيِّدِ فِيمَا حَظَرَهُ الشَّرْعُ لَا تَجُوزُ، أَوْ يَكُونُ جَاهِلًا بِذَلِكَ فَإِنْ كَانَ عَالِمًا بِأَنَّ السَّيِّدَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُطَاعَ فِي الْمَحْظُورِ مِنْ قَتْلٍ أَوْ إِتْلَافٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ: –

Pertama, ia mengetahui bahwa menaati tuan dalam hal yang dilarang syariat tidak diperbolehkan, atau ia tidak mengetahui hal itu. Jika ia mengetahui bahwa tidak boleh menaati tuan dalam perkara yang terlarang seperti membunuh atau merusak, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعَبْدَ الْمَأْمُورَ جَنَى غَيْرَ مُكْرَهٍ وَلَا مُجْبَرٍ فَالْجِنَايَةُ مَنْسُوبَةٌ إِلَى الْعَبْدِ دُونَ السَّيِّدِ، فَيَكُونُ حُكْمُهَا حُكْمَ جِنَايَتِهِ لَوْ لَمْ يَأْمُرْهُ السَّيِّدُ بِهَا وَسَوَاءٌ كَانَ بَالِغًا أَوْ مُرَاهِقًا إِذَا كَانَ بِحَظْرِ مَا فَعَلَهُ عَالِمًا، لِأَنَّ أَمْرَ السَّيِّدِ إِنَّمَا يَلْزَمُهُ امْتِثَالُهُ فِيمَا أُبِيحَ فِعْلُهُ دُونَمَا حَظْرٍ، وَأَمْرُ السَّيِّدِ بِالْمَحْظُورِ غَيْرُ مُمْتَثَلٍ.

Pertama: Budak yang diperintah melakukan tindak pidana tersebut tidak dalam keadaan dipaksa atau terpaksa, maka tindak pidana itu dinisbatkan kepada budak, bukan kepada tuan. Maka hukumnya sama seperti jika ia melakukan tindak pidana itu tanpa perintah tuan, baik ia sudah baligh maupun mendekati baligh, selama ia mengetahui bahwa perbuatan itu terlarang. Sebab, perintah tuan hanya wajib ditaati dalam perkara yang diperbolehkan, bukan dalam perkara yang dilarang, dan perintah tuan dalam perkara terlarang tidak wajib ditaati.

بَلْ يَكُونُ بِأَمْرِهِ آثِمًا لِأَنَّهُ يَصِيرُ بِالْأَمْرِ عَلَى مَعْصِيَةِ اللَّهِ تَعَالَى مُعَاوِنًا، وَالْمُؤَاخَذُ بِالْجِنَايَةِ هُوَ الْعَبْدُ الْجَانِي دُونَ السَّيِّدِ الْآمِرِ.

Bahkan, dengan perintah tersebut, tuan menjadi berdosa karena ia dengan perintahnya telah membantu dalam maksiat kepada Allah Ta‘ala, dan yang dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana itu adalah budak pelaku, bukan tuan yang memerintah.

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ تُوجِبُ الْمَالَ كَانَتْ فِي رَقَبَتِهِ يُبَاعُ فِيهَا وَإِنْ كَانَتْ تُوجِبُ الْقَوَدَ، فَإِنْ كَانَ بَالِغًا اقْتُصَّ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ مُرَاهِقًا لَمْ يُقْتَصَّ مِنْهُ، لِأَنَّ غَيْرَ الْبَالِغِ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ، وَكَانَتْ مُوجِبَةً لِلْمَالِ فِي رَقَبَتِهِ يُبَاعُ فِيهَا كَالْخَطَأِ وَلَا غُرْمَ عَلَى السَّيِّدِ فِيهَا وَإِنْ كَانَ أَمَرَ بِهَا.

Jika demikian, apabila tindak pidana itu mewajibkan pembayaran harta, maka harta itu diambil dari harga budak yang dijual untuk itu. Jika tindak pidana itu mewajibkan qishāsh, maka jika budak itu sudah baligh, ia dikenai qishāsh; jika masih mendekati baligh, tidak dikenai qishāsh, karena yang belum baligh tidak dikenai qishāsh. Maka, kewajibannya berupa pembayaran harta yang diambil dari harga budak yang dijual untuk itu, seperti dalam kasus kesalahan, dan tidak ada tanggungan bagi tuan dalam hal ini, meskipun ia yang memerintahkannya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ الْمَأْمُورُ بِالْجِنَايَةِ مُكْرَهًا عَلَيْهَا مَجْبُورًا عَلَى فِعْلِهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun kemungkinan kedua: Budak yang diperintah melakukan tindak pidana itu dalam keadaan dipaksa dan terpaksa melakukannya, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ مُوجِبَةً لِلْمَالِ فَيَكُونُ الْغُرْمُ وَاجِبًا عَلَى السَّيِّدِ فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ وَسَائِرِ مَالِهِ حَتَّى يَسْتَوْفِيَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ أَرْشَ جِنَايَتِهِ وَإِنْ زَادَتْ عَلَى قِيمَةِ الْعَبْدِ الْجَانِي لِكَوْنِ السَّيِّدِ جَانِيًا بِإِكْرَاهِ عَبْدِهِ.

Pertama: Jika tindak pidana itu mewajibkan pembayaran harta, maka tanggungan pembayaran itu wajib atas tuan, baik dari harga budaknya maupun dari seluruh hartanya, hingga korban mendapatkan ganti rugi atas tindak pidana itu, meskipun nilainya melebihi harga budak pelaku, karena tuan dianggap sebagai pelaku tindak pidana dengan memaksa budaknya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تُوجِبَ الْقَوَدَ فَيَكُونُ الْقَوَدُ وَاجِبًا عَلَى السَّيِّدِ وَهَلْ يَجِبُ عَلَى الْعَبْدِ الْمُكْرَهِ الْقَوَدُ إِذَا كَانَ بَالِغًا أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ: فَهَذَا حُكْمُ الْعَبْدِ إِذَا كَانَ عَالِمًا بِأَنَّ طَاعَةَ السَّيِّدِ فِي الْمَحْظُورِ لَا تَجُوزُ.

Kedua: Jika tindak pidana itu mewajibkan qishāsh, maka qishāsh wajib atas tuan. Apakah budak yang dipaksa dan sudah baligh juga wajib dikenai qishāsh atau tidak, terdapat dua pendapat. Inilah hukum bagi budak jika ia mengetahui bahwa menaati tuan dalam perkara terlarang tidak diperbolehkan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِنْ كَانَ الْعَبْدُ جَاهِلًا بِتَحْرِيمِ طَاعَةِ السَّيِّدِ فِي الْمَحْظُورَاتِ كَالصَّبِيِّ الصَّغِيرِ وَالْأَعْجَمِيِّ الجلب الْجَاهِلِ بِتَحْرِيمِ الْقَتْلِ وَالْإِتْلَافِ الْمُعْتَقِدِ طَاعَةَ السَّيِّدِ فِيمَا أَمَرَهُ مِنْ مَحْظُورٍ أَوْ مُبَاحٍ فَالْجِنَايَةُ مَنْسُوبَةٌ إِلَى السَّيِّدِ الْآمِرِ دُونَ الْعَبْدِ الْجَانِي – لِأَنَّ الْعَبْدَ إِذَا كَانَ بِهَذِهِ الْمَنْزِلَةِ صَارَ كَالْآلَةِ فَكَانَ بِمَنْزِلَةِ كَلْبٍ يُشْلِيهِ أَوْ سَهْمٍ يَرْمِيهِ، فَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ تُوجِبُ الْقَوَدَ فَالْقَوَدُ وَاجِبٌ عَلَى السَّيِّدِ وَالْعَبْدُ رَهْنٌ بِحَالِهِ، وَإِنْ كَانَتْ تُوجِبُ الْمَالَ فَالْغُرْمُ وَاجِبٌ عَلَى السَّيِّدِ وَالْعَبْدُ رَهْنٌ بِحَالِهِ. فَإِنْ أَعْسَرَ السَّيِّدُ بِهَا فَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يُبَاعَ الْعَبْدُ فِيهَا أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika budak itu tidak mengetahui keharaman menaati tuan dalam perkara terlarang, seperti anak kecil atau budak asing yang tidak tahu keharaman membunuh dan merusak, dan ia meyakini bahwa menaati tuan dalam apa pun yang diperintahkan, baik yang terlarang maupun yang diperbolehkan, maka tindak pidana itu dinisbatkan kepada tuan yang memerintah, bukan kepada budak pelaku. Karena jika budak berada pada posisi seperti ini, ia dianggap seperti alat, seperti anjing yang diperintah atau anak panah yang dilemparkan. Jika tindak pidana itu mewajibkan qishāsh, maka qishāsh wajib atas tuan dan budak tetap sebagai barang gadai sebagaimana adanya. Jika tindak pidana itu mewajibkan pembayaran harta, maka tanggungan pembayaran itu wajib atas tuan dan budak tetap sebagai barang gadai sebagaimana adanya. Jika tuan tidak mampu membayar, apakah boleh budak dijual untuk menutupi pembayaran itu atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، لَا يَجُوزُ أَنْ يُبَاعَ فِيهَا وَيَكُونُ الْأَرْشُ وَاجِبًا فِي ذِمَّةِ السَّيِّدِ وَالْعَبْدِ بِحَالِهِ فِي الرَّهْنِ لِأَنَّ الْجِنَايَةَ مَنْسُوبَةٌ إِلَى السَّيِّدِ وَجِنَايَاتُ السَّيِّدِ إِذَا أَعْسَرَ بِأَرْشِهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ تُبَاعَ فِيهَا أَمْوَالُهُ الْمَرْهُونَةُ لِتَعَلُّقِ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِهَا.

Pertama, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, tidak boleh budak dijual untuk itu, dan ganti rugi tetap menjadi tanggungan tuan, sedangkan budak tetap sebagai barang gadai, karena tindak pidana itu dinisbatkan kepada tuan. Jika tuan tidak mampu membayar ganti rugi atas tindak pidananya, maka tidak boleh harta yang digadaikan dijual untuk menutupi pembayaran itu, karena hak pemegang gadai tetap melekat padanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ يُبَاعُ فِي الْأَرْشِ إِذَا كَانَ السَّيِّدُ مُعْسِرًا لِأَنَّ الْجِنَايَةَ عَنِ الْعَبْدِ صَدَرَتْ وَمِنْ فِعْلِهِ حَدَثَتْ وَإِنَّمَا غُلِبَ فِيهَا السَّيِّدُ لِأَمْرِهِ إِذَا أَمْكَنَ أَخْذُهَا مِنْ مَالِهِ، وَأَمَّا إِذَا تَعَذَّرَ أَخْذُهَا مِنْ مَالِهِ فَأَوْلَى الْأُمُورِ أَنْ يُبَاعَ فِيهَا الْجَانِي، فَإِذَا بِيعَ بَطَلَ الرَّهْنُ، فَإِنْ أَيْسَرَ السَّيِّدُ بِهَا فِيمَا بَعْدُ أُخِذَتْ مِنْهُ قِيمَةُ الْعَبْدِ وَتَكُونُ رَهْنًا مَكَانَهُ أَوْ قِصَاصًا مِنَ الْحَقِّ وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ: وَكَذَلِكَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا بَالِغًا عَاقِلًا أَمَرَ صَبِيًّا صَغِيرًا بِقَتْلِ إِنْسَانٍ فَقَتَلَهُ كَانَ الْقَوَدُ عَلَى الرَّجُلِ الْآمِرِ دُونَ الصَّبِيِّ الْقَاتِلِ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī bahwa budak dijual untuk membayar arsy (ganti rugi) jika tuannya tidak mampu membayarnya, karena tindak pidana itu berasal dari budak dan terjadi akibat perbuatannya. Tuannya hanya dibebani tanggung jawab karena kepemilikannya atas budak tersebut, jika memungkinkan untuk diambil dari hartanya. Namun, jika tidak memungkinkan diambil dari hartanya, maka yang lebih utama adalah budak pelaku dijual untuk membayar ganti rugi tersebut. Jika budak itu telah dijual, maka batalah status gadai atasnya. Jika kemudian tuan tersebut menjadi mampu membayar, maka diambil darinya nilai budak tersebut dan dijadikan sebagai barang gadai pengganti, atau sebagai qishāsh dari hak tersebut. Abū Isḥāq juga berkata: Demikian pula, jika ada seorang laki-laki dewasa berakal memerintahkan seorang anak kecil untuk membunuh seseorang, lalu anak itu membunuhnya, maka qawad (hukuman balasan) dijatuhkan kepada laki-laki yang memerintah, bukan kepada anak kecil yang melakukan pembunuhan.

وَإِنْ عَفَا وَلِيُّ الْجِنَايَةِ عَنِ الْقَوَدِ إِلَى الدِّيَةِ وَكَانَ الرَّجُلُ الْآمِرُ مُعْسِرًا بِهَا وَالصَّبِيُّ الْقَاتِلُ مُوسِرًا بِهَا أُخِذَتِ الدِّيَةُ مِنْ مَالِ الصَّبِيِّ الْقَاتِلِ وَكَانَتِ الدِّيَةُ دَيْنًا لِلصَّبِيِّ عَلَى الرَّجُلِ الْآمِرِ يَرْجِعُ بِهَا إِذَا أَيْسَرَ بِهَا وَعَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ. لَا يَجُوزُ أَنْ تُؤْخَذَ الدِّيَةُ مِنْ مَالِ الصَّبِيِّ لِأَنَّ الْجِنَايَةَ مَنْسُوبَةٌ إِلَى غَيْرِهِ وَتَكُونُ دَيْنًا عَلَى الرَّجُلِ الْآمِرِ يُؤْخَذُ بِهَا إِذَا أَيْسَرَ.

Jika wali korban memaafkan pelaku dari qawad (hukuman balasan) menjadi diyat (tebusan darah), dan laki-laki yang memerintah tidak mampu membayarnya, sedangkan anak kecil pelaku pembunuhan mampu membayarnya, maka diyat diambil dari harta anak kecil pelaku pembunuhan, dan diyat itu menjadi utang bagi anak kecil tersebut atas laki-laki yang memerintah, yang dapat ditagih jika ia kemudian mampu membayarnya. Menurut pendapat Abū ‘Alī ibn Abī Hurayrah, tidak boleh mengambil diyat dari harta anak kecil, karena tindak pidana itu dinisbatkan kepada orang lain, dan diyat menjadi utang atas laki-laki yang memerintah, yang diambil darinya jika ia mampu membayarnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَإِنْ كَانَ صَبِيًّا أَوْ أَعْجَمِيًّا فَبِيعَ فِي الْجِنَايَةِ كُلِّفَ السَّيِّدُ أَنْ يَأْتِيَ بِمِثْلِ قِيمَتِهِ تَكُونُ رَهْنًا مَكَانَهُ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ إِنَّ الْعَبْدَ يُبَاعُ فِي الْجِنَايَةِ إِذَا أَعْسَرَ السَّيِّدُ بِهَا، قِيلَ. أَمَّا أَبُو إِسْحَاقَ فَتَعَلَّقَ بِهَذَا مِنْ قَوْلِهِ – وَحَكَمَ فِي الْعَبْدِ بِجَوَازِ بَيْعِهِ وَأَمَّا أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ فَإِنَّهُ مَنَعَ مِنْ جَوَازِ بَيْعِهِ وَقَالَ: لَيْسَ فِي هَذَا الْقَوْلِ مِنَ الشَّافِعِيِّ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ بَيْعِهِ لِأَنَّهُ لِمَ يَقُلْ: بِيعَ فِي الْجِنَايَةِ، فَيَكُونُ هَذَا الْقَوْلُ مِنْهُ حُكْمًا بِبَيْعِهِ. وَإِنَّمَا قَالَ: بِيعَ فِي الْجِنَايَةِ عَلَى وَجْهِ الْإِخْبَارِ عَنْ حَالِهِ إِنْ بِيعَ بِرَأْيِ حَاكِمٍ أَوِ اجْتِهَادِ مُجْتَهِدٍ، فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ قَالَ الشَّافِعِيُّ كُلِّفَ السَّيِّدُ أَنْ يَأْتِيَ بِمِثْلِ قِيمَتِهِ فَتَكُونُ رَهْنًا مَكَانَهُ فَحَكَمَ عَلَى السَّيِّدِ أَنْ يَأْتِيَ بِمِثْلِ قِيمَتِهِ تَكُونُ رَهْنًا مَكَانَهُ إِذَا بِيعَ فِي جِنَايَتِهِ وَلَيْسَ يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika dikatakan: Telah berkata asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh, “Jika budak itu masih kecil atau orang asing, lalu dijual karena tindak pidana, maka tuannya diwajibkan untuk menghadirkan nilai yang sepadan dengannya sebagai barang gadai pengganti.” Ini menunjukkan pendapat Abū Isḥāq bahwa budak dijual karena tindak pidana jika tuannya tidak mampu membayarnya. Maka dikatakan: Adapun Abū Isḥāq berpegang pada pernyataan ini dan menetapkan hukum bolehnya menjual budak. Sedangkan Abū ‘Alī ibn Abī Hurayrah melarang bolehnya penjualan budak tersebut dan berkata: Tidak ada dalil dari perkataan asy-Syāfi‘ī tentang bolehnya menjual budak, karena beliau tidak mengatakan “dijual karena tindak pidana”, sehingga perkataan ini menjadi penetapan hukum bolehnya menjual budak. Beliau hanya berkata “dijual karena tindak pidana” dalam bentuk pemberitaan tentang keadaannya jika dijual atas keputusan hakim atau ijtihad seorang mujtahid. Jika dikatakan: Mengapa asy-Syāfi‘ī berkata, “Tuannya diwajibkan menghadirkan nilai yang sepadan dengannya sebagai barang gadai pengganti”? Maka beliau menetapkan bahwa tuan wajib menghadirkan nilai yang sepadan sebagai barang gadai pengganti jika budak dijual karena tindak pidananya. Hal ini tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَاقِلًا فَالْجِنَايَةُ فِي رَقَبَتِهِ يُبَاعُ فِيهَا وَلَيْسَ عَلَى السَّيِّدِ غُرْمُ قِيمَتِهِ لِلْمُرْتَهِنِ أَوْ يَكُونُ صَغِيرًا لَا يَعْقِلُ فَعَلَى السَّيِّدِ أَرْشُ الْجِنَايَةِ وَلَا يُبَاعُ الْعَبْدُ بَلْ يَكُونُ عَلَى حَالِهِ رَهْنًا فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ، فَعَلَى كِلَا الْحَالَيْنِ تَأْوِيلُ أَبِي عَلِيٍّ لَا يَصِحُّ وَقَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ أَصَحُّ.

Pertama, jika budak itu berakal, maka tindak pidana terkait pada dirinya dan ia dijual karenanya, serta tuan tidak menanggung pembayaran nilainya kepada pemegang gadai. Atau kedua, jika budak itu masih kecil dan belum berakal, maka tuan wajib membayar arsy tindak pidana dan budak tidak dijual, melainkan tetap dalam statusnya sebagai barang gadai di tangan pemegang gadai. Maka dalam kedua keadaan tersebut, penafsiran Abū ‘Alī tidak sah, dan pendapat Abū Isḥāq lebih kuat.

قِيلَ قَدْ أَجَابَ أَبُو عَلِيٍّ عَنْ هَذَا جَوَابَيْنَ: أَحَدُهُمَا أَنَّ الْعَبْدَ بِيعَ فِي الْجِنَايَةِ لِأَنَّهُ لَمْ يُعْلَمْ مِنَ السَّيِّدِ أَنَّهُ أَمَرَهُ ثُمَّ عُلِمَ بَعْدَ بَيْعِهِ أَنَّ السَّيِّدَ قَدْ كَانَ أَمَرَهُ بِهَا، فَلَمْ يُفْسَخِ الْبَيْعُ لِمَا تَعَلَّقَ بِهِ حَقُّ الْمُشْتَرِي وَأُخِذَ مِنَ السَّيِّدِ قِيمَتُهُ رَهْنًا مَكَانَهُ.

Dikatakan bahwa Abū ‘Alī telah menjawab hal ini dengan dua jawaban: Pertama, bahwa budak dijual karena tindak pidana karena belum diketahui bahwa tuannya telah memerintahkannya, kemudian setelah budak dijual baru diketahui bahwa tuan telah memerintahkannya. Maka penjualan tidak dibatalkan karena hak pembeli telah terkait dengannya, dan dari tuan diambil nilai budak tersebut sebagai barang gadai pengganti.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي أَنَّهُ لَمْ يُعْلَمْ أَنَّ السَّيِّدَ أَمَرَ الْعَبْدَ بِالْجِنَايَةِ إِلَّا بِقَوْلِ السَّيِّدِ وَهُوَ مُعْسِرٌ وَالْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ يُنْكِرُ أَنْ يَكُونَ السَّيِّدُ أَمَرَهُ بِهَا، فَلَا يُقْبَلُ قَوْلُ السَّيِّدِ فِي تَأْخِيرِ حَقِّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ وَيُبَاعُ الْعَبْدُ فِي الرَّهْنِ فَإِذَا أَيْسَرَ أُخِذَتْ مِنْهُ قِيمَةُ الْعَبْدِ تَكُونُ رَهْنًا مَكَانَهُ، وَهَذَانِ الْجَوَابَانِ مِنْ أَبِي عَلِيٍّ عَنِ السُّؤَالِ حَسَنٌ عَلَى أَصْلٍ مِنَ المذهب صحيح.

Jawaban kedua adalah bahwa tidak diketahui bahwa tuan memerintahkan budaknya untuk melakukan tindak pidana kecuali berdasarkan perkataan tuan, sedangkan ia dalam keadaan tidak mampu (membayar), dan pihak yang menjadi korban menyangkal bahwa tuan telah memerintahkannya melakukan hal itu. Maka, perkataan tuan tidak diterima dalam menunda hak korban, dan budak tersebut dijual untuk pelunasan utang. Jika kemudian tuan menjadi mampu, maka diambil darinya nilai budak tersebut sebagai pengganti jaminan. Kedua jawaban ini berasal dari Abu ‘Ali sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut, dan keduanya baik menurut salah satu dasar mazhab yang sahih.

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَلَوْ أُذِنَ لَهُ بِرَهْنِهِ فَجَنَى فَبِيعَ فِي الْجِنَايَةِ فَأَشْبَهُ الْأَمْرَيْنِ أَنَّهُ غَيْرُ ضَامِنٍ وَلَيْسَ كَالْمُسْتَعِيرِ الَّذِي مَنْفَعَتُهُ مَشْغُولَةٌ بِخِدْمَةِ الْعَبْدِ عَنْ مُعِيرِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia diizinkan untuk menjadikan budak itu sebagai jaminan, lalu budak itu melakukan tindak pidana sehingga dijual untuk menanggung pidana tersebut, maka yang lebih mendekati dari dua keadaan adalah bahwa ia tidak menanggung (ganti rugi), dan tidak seperti peminjam yang manfaatnya digunakan untuk melayani budak dari pemilik aslinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: صُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ: فِي رَجُلٍ اسْتَعَارَ مِنْ رَجُلٍ عَبْدًا لِيَرْهَنَهُ عِنْدَ رَجُلٍ بِحَقٍّ لَهُ عَلَيْهِ فَهَذَا جَائِزٌ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Bentuk masalah ini adalah: seseorang meminjam budak dari orang lain untuk dijadikan jaminan kepada seseorang atas suatu hak yang dimiliki orang itu atas dirinya. Ini diperbolehkan karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُمَلِّكَهُ رَقَبَةَ عَبْدِهِ جَازَ أَنْ يُمَلِّكَهُ الِانْتِفَاعَ بِرَقَبَتِهِ.

Pertama: Karena ketika diperbolehkan baginya untuk memberikan kepemilikan atas budaknya, maka diperbolehkan pula baginya memberikan hak pemanfaatan atas budaknya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُمَلِّكَهُ حَقَّ الْمُرْتَهِنِ مُوَثَّقًا فِي ذِمَّةِ نَفْسِهِ جَازَ أَنْ يَجْعَلَهُ مُوَثَّقًا فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ لِاسْتِوَاءِ تَصَرُّفِهِ فِي ذِمَّةِ نَفْسِهِ وَرَقَبَةِ عَبْدِهِ.

Kedua: Karena ketika diperbolehkan baginya untuk memberikan hak penerima gadai yang dijamin dalam tanggungan dirinya sendiri, maka diperbolehkan pula baginya menjadikan hak itu dijamin pada budaknya, karena sama saja tindakan atas tanggungan dirinya maupun atas budaknya.

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُهُ فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي حُكْمِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ نَصَّ عَلَيْهِمَا فِي الرَّهْنِ الصَّغِيرِ وَالرَّهْنِ الْقَدِيمِ.

Jika telah tetap kebolehannya, maka terdapat perbedaan pendapat Imam Syafi‘i ra. mengenai hukumnya, sebagaimana dinyatakan dalam dua pendapat dalam kitab “Rahn Shaghir” dan “Rahn Qadim”.

أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ أَنَّهُ جَارٍ مَجْرَى الْعَارِيَةِ لِأَمْرَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَدْ أَرْفَقَ الرَّاهِنُ مَنْفَعَتَهُ فِيمَا اسْتَأْذَنَ بِهِ مِنْ رَهْنِ رَقَبَتِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ عَارِيَةً كَمَا لَوْ أَذِنَ لَهُ فِي الِانْتِفَاعِ بِخِدْمَتِهِ.

Salah satu dari dua pendapat adalah bahwa hal itu diperlakukan seperti ‘ariyah (pinjaman barang) karena dua alasan: Pertama, karena pemilik gadai telah memberikan manfaatnya sesuai izin yang diberikan untuk menjadikan budaknya sebagai jaminan, maka wajib dianggap sebagai ‘ariyah, sebagaimana jika ia mengizinkannya untuk memanfaatkan pelayanannya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْعَبْدُ بَاقِيًا عَلَى مِلْكِ سَيِّدِهِ وَكَانَتْ ذِمَّةُ السَّيِّدِ بَرِيَّةً مِنْ حَقِّ مُرْتَهِنِهِ انْصَرَفَ عَنِ الضَّمَانِ لِبَرَاءَةِ الذِّمَّةِ إِلَى العارية لاختصاصه بِالْمَنْفَعَةِ.

Kedua, karena budak tersebut tetap menjadi milik tuannya dan tanggungan tuan terbebas dari hak penerima gadai, maka tidak ada kewajiban menanggung (jaminan), karena tanggungan telah bebas, sehingga diperlakukan sebagai ‘ariyah karena manfaatnya khusus.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الضَّمَانِ فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua: bahwa hal itu diperlakukan seperti jaminan atas budaknya karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ مَالِكًا لِرَقَبَةِ عَبْدِهِ كَمِلْكِهِ لِذِمَّةِ نَفْسِهِ ثُمَّ كَانَ لَوْ جُعِلَ دَيْنُ الْمُرْتَهِنِ مُوَثَّقًا فِي ذِمَّةِ نَفْسِهِ كَانَ ضَمَانًا وَلَمْ يَكُنْ عَارِيَةً وَجَبَ إِذَا جُعِلَ دَيْنُ الْمُرْتَهِنِ مُوَثَّقًا في رقبة عبده أن يكون ضمانا لا تكون عَارِيَةً.

Pertama: Karena ketika ia memiliki budaknya sebagaimana ia memiliki tanggungan dirinya sendiri, maka seandainya utang penerima gadai dijamin dalam tanggungan dirinya, itu adalah jaminan dan bukan ‘ariyah. Maka, jika utang penerima gadai dijamin pada budaknya, itu juga harus menjadi jaminan, bukan ‘ariyah.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْعَارِيَةَ تَخْتَصُّ بِالْمَنْفَعَةِ وَالضَّمَانَ يَخْتَصُّ بِالْوَثِيقَةِ فَلَمَّا كَانَتِ الْمَنْفَعَةُ عَلَى مِلْكِ سَيِّدِهِ لَمْ يَكُنْ عَارِيَةً وَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ ضَمَانًا لِاخْتِصَاصِهِ بِالْوَثِيقَةِ.

Kedua: Karena ‘ariyah khusus pada manfaat, sedangkan jaminan khusus pada jaminan (jaminan harta). Maka, ketika manfaatnya tetap pada milik tuannya, itu bukan ‘ariyah, dan wajib dianggap sebagai jaminan karena khusus pada jaminan.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فَرَهْنُهُ صَحِيحٌ سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْعَارِيَةِ، أَوْ قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الضَّمَانِ.

Setelah dijelaskan argumentasi kedua pendapat, maka menjadikan budak sebagai jaminan adalah sah, baik dikatakan diperlakukan seperti ‘ariyah maupun diperlakukan seperti jaminan.

وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ: إِنَّهُ يَصِحُّ رَهْنُهُ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الضَّمَانِ فَأَمَّا إِذَا قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْعَارِيَةِ فَلَا يَصِحُّ لِأَنَّ لِلْمُعِيرِ أَنْ يَرْجِعَ فِي عَارِيَتِهِ وَالرَّهْنُ يَمْنَعُ مِنَ الرُّجُوعِ بَعْدَ تَمَامِهِ فَلَمَّا تَنَافَيَا حُكْمُ الْعَارِيَةِ وَالرَّهْنُ لَمْ يَصِحَّ إِعَارَةُ الرَّهْنِ. وَهُوَ غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ الْعَارِيَةَ تَتَنَوَّعُ نَوْعَيْنِ جَائِزَةً وَلَازِمَةً، فَالْجَائِزَةُ يَجُوزُ الرُّجُوعُ فِيهَا، وَاللَّازِمَةُ لَا يَجُوزُ الرُّجُوعُ فِيهَا كَإِعَارَةِ حَائِطٍ لِوَضْعِ جُذُوعٍ وَإِعَارَةِ أَرْضٍ لِدَفْنِ مَيِّتٍ فَكَذَا إِعَارَةُ عَبْدِ الرَّهْنِ.

Abu al-‘Abbas bin Suraij berkata: Sah menjadikan budak sebagai jaminan jika dikatakan diperlakukan seperti jaminan. Adapun jika dikatakan diperlakukan seperti ‘ariyah, maka tidak sah, karena peminjam berhak menarik kembali pinjamannya, sedangkan gadai mencegah penarikan kembali setelah selesai. Ketika hukum ‘ariyah dan gadai saling bertentangan, maka tidak sah meminjamkan barang yang digadaikan. Namun, pendapat ini tidak benar, karena ‘ariyah terbagi menjadi dua: yang boleh ditarik kembali dan yang wajib (tidak boleh ditarik kembali). Yang boleh ditarik kembali, boleh dikembalikan; yang wajib, tidak boleh ditarik kembali, seperti meminjamkan dinding untuk meletakkan balok atau meminjamkan tanah untuk menguburkan jenazah. Demikian pula meminjamkan budak untuk dijadikan jaminan.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ رَهْنِهِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا، انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى التَّفْرِيعِ عَلَيْهِمَا، فَإِذَا قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْعَارِيَةِ جَازَ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي رَهْنِهِ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ عَارِفٍ بِجِنْسِ الْحَقِّ وَقَدْرِهِ وَوَصْفِهِ وَمَالِكِهِ لِأَنَّ الْجَهَالَةَ بِمَنْفَعَةِ الْعَارِيَةِ لَا تَقْدَحُ فِي صِحَّتِهَا، فَلَوْ أُذِنَ لَهُ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ أَنْ يَرْهَنَهُ فِي قَدْرٍ مَعْلُومٍ مِنْ جِنْسٍ مَعْلُومٍ عَلَى صِفَةٍ مَعْلُومَةٍ عِنْدَ رَجُلٍ مُعَيَّنٍ لَمْ يَجُزْ لِمُسْتَعِيرِهِ أن يُخَالِفَ نَعْتَ مُعِيرِهِ، لِأَنَّ الْعَارِيَةَ لِمَنْفَعَةٍ مَخْصُوصَةٍ لَا يَجُوزُ الِانْتِفَاعُ بِهَا فِي غَيْرِ تِلْكَ الْمَنْفَعَةِ.

Jika telah tetap kebolehan menggadaikannya menurut kedua pendapat sekaligus, maka pembahasan berpindah kepada rincian berdasarkan keduanya. Jika dikatakan bahwa ia diperlakukan seperti ‘āriyah (barang pinjaman pakai), maka boleh baginya untuk mengizinkan menggadaikannya meskipun ia tidak mengetahui jenis, kadar, sifat, dan pemilik hak tersebut. Sebab, ketidaktahuan terhadap manfaat ‘āriyah tidak merusak keabsahannya. Maka, jika ia diizinkan menurut pendapat ini untuk menggadaikannya dalam kadar tertentu dari jenis tertentu dengan sifat tertentu di sisi seseorang yang tertentu, maka tidak boleh bagi peminjamnya untuk menyelisihi sifat yang ditetapkan oleh pemberi pinjaman, karena ‘āriyah diberikan untuk manfaat tertentu dan tidak boleh dimanfaatkan selain untuk manfaat tersebut.

وَإِذَا قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الضَّمَانِ لَمْ يَجُزْ رَهْنُهُ إِلَّا بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَالِكِ لِجِنْسِ الْحَقِّ وَقَدْرِهِ وَوَصْفِهِ وَفِي وُجُوبِ مَعْرِفَةِ مَالِكِ الْحَقِّ وَجْهَانِ:

Dan jika dikatakan bahwa ia diperlakukan seperti dhamān (penjaminan), maka tidak boleh menggadaikannya kecuali setelah diketahui oleh pemilik mengenai jenis, kadar, dan sifat hak tersebut. Adapun tentang kewajiban mengetahui pemilik hak, terdapat dua pendapat:

فَأَمَّا جِنْسُ الْحَقِّ فَهُوَ أَنْ يَعْلَمَ هَلْ ذَلِكَ دَرَاهِمُ أَوْ دَنَانِيرُ لِيَعْلَمَ جِنْسَ مَا ضَمِنَهُ فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ فَيَصِحُّ ضَمَانُهُ وَأَمَّا قَدْرُ الْحَقِّ فَهُوَ أَنْ يَعْلَمَ ذَلِكَ مِائَةٌ أَوْ أَلْفٌ لِتَنْتَفِيَ الْجَهَالَةُ عَمَّا ضَمِنَهُ فَيَصِحُّ ضَمَانُهُ.

Adapun jenis hak, yaitu harus diketahui apakah itu dirham atau dinar, agar diketahui jenis apa yang dijamin atas budaknya sehingga penjaminannya sah. Adapun kadar hak, yaitu harus diketahui apakah itu seratus atau seribu, agar ketidaktahuan terhadap apa yang dijamin hilang sehingga penjaminannya sah.

وَأَمَّا وَصْفُ الْحَقِّ فَهُوَ أَنْ يُعْلَمَ هَلْ ذَلِكَ حَالٌ أَوْ مؤجل؛ لأن الجهالة يوصفه كَالْجَهَالَةِ بِقَدْرِهِ وَجِنْسِهِ. وَأَمَّا مَعْرِفَةُ مَالِكِ الْحَقِّ فَعَلَى وَجْهَيْنِ مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي الضَّمَانِ هَلْ تَكُونُ مَعْرِفَةُ الْمَضْمُونِ لَهُ شَرْطًا فِي صِحَّةِ الضَّمَانِ أَمْ لَا؟ وَإِنْ قُلْنَا مَعْرِفَةُ الْمَضْمُونِ لَهُ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الضَّمَانِ، فَلَا بُدَّ مِنْ مَعْرِفَةِ الْمُرْتَهِنِ، وَإِنْ قُلْنَا لَيْسَتْ شرطا في صحة الضمان جاز جهله بِالْمُرْتَهِنِ.

Adapun sifat hak, yaitu harus diketahui apakah itu hak yang tunai atau yang ditangguhkan, karena ketidaktahuan terhadap sifatnya seperti ketidaktahuan terhadap kadarnya dan jenisnya. Adapun pengetahuan tentang pemilik hak, maka terdapat dua pendapat di kalangan ulama kami dalam masalah dhamān: apakah pengetahuan tentang pihak yang dijamin untuknya merupakan syarat sahnya dhamān atau tidak? Jika kita katakan bahwa pengetahuan tentang pihak yang dijamin untuknya adalah syarat sahnya dhamān, maka harus diketahui siapa penerima gadai. Namun jika kita katakan bahwa itu bukan syarat sahnya dhamān, maka boleh tidak mengetahui siapa penerima gadai.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِذَا أُذِنَ لَهُ فِي رَهْنِهِ عَلَى مَا وَصَفْنَا فَرَهَنَهُ كَذَلِكَ عَلَى الْأَوْصَافِ الْمَأْذُونِ لَهُ فِيهَا صَحَّ الرَّهْنُ وَلَزِمَ، وَإِنْ خَالَفَهُ فِي شَيْءٍ مِنْهَا لَمْ يَخْلُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ: إِمَّا أَنْ يُخَالِفَهُ فِي الْجِنْسِ أَوْ يُخَالِفَهُ فِي الْقَدْرِ أَوْ يُخَالِفَهُ فِي الْوَصْفِ أَوْ يُخَالِفَهُ فِي الْمَالِكِ، فَإِنْ خَالَفَهُ فِي الْجِنْسِ فَمِثَالُهُ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي رَهْنِهِ بِدَنَانِيرَ فَيَرْهَنُهُ بِدَرَاهِمَ أَوْ فِي دَرَاهِمَ فَيَرْهَنُهُ بِدَنَانِيرَ فَالرَّهْنُ بَاطِلٌ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا. لِأَنَّنَا إِنْ قُلْنَا إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الضَّمَانِ فَمَنْ ضَمِنَ دَنَانِيرَ لَمْ يَلْزَمْهُ غَيْرُهَا، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْعَارِيَةِ فَمَنْ أَعَارَ لِمَنْفَعَةٍ مَخْصُوصَةٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْتَفِعَ بِالْعَارِيَةِ فِي مَنْفَعَةِ غَيْرِهَا، وَإِنْ خَالَفَهُ فِي الْقَدْرِ فَمِثَالُهُ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي رَهْنِهِ بِأَلْفٍ فَيَرْهَنُهُ بِأَقَلَّ أَوْ بِأَكْثَرَ فَهَذَا يُنْظَرُ فَإِنْ رَهَنَهُ بِأَقَلَّ مَنْ أَلْفٍ جَازَ رَهْنُهُ لِأَنَّهُ بَعْضُ الْمَأْذُونِ فِيهِ، وَإِنْ رَهَنَهُ بِأَكْثَرَ مِنْ أَلْفٍ فَالرَّهْنُ بَاطِلٌ فِيمَا زَادَ عَلَى الْأَلْفِ وَهَلْ يَبْطُلُ فِي الْأَلْفِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ بِنَاءً عَلَى تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ وَإِنْ خَالَفَهُ فِي الصِّفَةِ فَمِثَالُهُ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي رَهْنِهِ بِدَيْنٍ حَالٍ فَيَرْهَنُهُ فِي مُؤَجَّلٍ أَوْ فِي مُؤَجَّلٍ فَيَرْهَنُهُ فِي حَالٍ فَالرَّهْنُ بَاطِلٌ عَلَى الْقَوْلَيْنِ.

Jika ia diizinkan untuk menggadaikannya sebagaimana yang telah kami jelaskan, lalu ia menggadaikannya sesuai dengan sifat-sifat yang diizinkan, maka gadai tersebut sah dan mengikat. Namun jika ia menyelisihi dalam salah satu sifat tersebut, maka tidak lepas dari empat keadaan: bisa jadi ia menyelisihi dalam jenis, atau dalam kadar, atau dalam sifat, atau dalam pemilik. Jika ia menyelisihi dalam jenis, contohnya adalah jika ia diizinkan untuk menggadaikannya dengan dinar lalu ia menggadaikannya dengan dirham, atau diizinkan dengan dirham lalu ia menggadaikannya dengan dinar, maka gadai tersebut batal menurut kedua pendapat. Karena jika kita katakan ia diperlakukan seperti dhamān, maka siapa yang menjamin dinar tidak wajib baginya selain dinar; dan jika kita katakan ia diperlakukan seperti ‘āriyah, maka siapa yang meminjamkan untuk manfaat tertentu tidak boleh mengambil manfaat selain manfaat tersebut. Jika ia menyelisihi dalam kadar, contohnya adalah jika ia diizinkan menggadaikan seribu lalu ia menggadaikan kurang atau lebih dari itu, maka hal ini perlu diperinci: jika ia menggadaikan kurang dari seribu, maka gadai itu sah karena itu bagian dari yang diizinkan; namun jika ia menggadaikan lebih dari seribu, maka gadai batal untuk kelebihan dari seribu tersebut, dan apakah batal juga untuk seribunya atau tidak? Ada dua pendapat berdasarkan perbedaan dalam memisahkan akad. Jika ia menyelisihi dalam sifat, contohnya adalah jika ia diizinkan menggadaikan utang yang tunai lalu ia menggadaikannya dalam utang yang ditangguhkan, atau sebaliknya, maka gadai tersebut batal menurut kedua pendapat.

لِأَنَّهُ إِنْ أَذِنَ لَهُ أَنْ يَرْهَنَهُ فِي حَالٍ فَرَهَنَهُ فِي مُؤَجَّلٍ فَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْعَارِيَةِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّ مَنْ أَعَارَ شَيْئًا لِيُنْتَفَعَ بِهِ فِي الْحَالِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُنْتَفَعَ بِهِ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ. وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الضَّمَانِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْتَدِمِ الضَّمَانُ إِلَى تِلْكَ الْمُدَّةِ.

Karena jika ia mengizinkannya untuk menggadaikannya dalam keadaan tunai, lalu ia menggadaikannya dalam keadaan tangguh, maka jika kita katakan bahwa hal itu berlaku seperti ‘āriyah (barang pinjaman), maka tidak boleh, karena siapa yang meminjamkan sesuatu untuk dimanfaatkan secara langsung, tidak boleh dimanfaatkan melebihi dari itu. Dan jika kita katakan bahwa hal itu berlaku seperti ḍamān (jaminan), maka tidak boleh, karena jaminan tersebut tidak berlangsung sampai waktu yang dimaksud.

وَإِنْ أَذِنَهُ أَنْ يَرْهَنَهُ فِي مُؤَجَّلٍ فَرَهَنَهُ فِي حَالٍ فَإِنْ قُلْنَا يَجْرِي مَجْرَى الْعَارِيَةِ لَمْ يَجُزْ، لِأَنَّ مَنْ أَعَارَ شَيْئًا لِيُنْتَفَعَ بِهِ بَعْدَ مُدَّةٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُنْتَفَعَ قَبْلَ تِلْكَ الْمُدَّةِ وَإِنْ قُلْنَا يَجْرِي مَجْرَى الضَّمَانِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّ مِنْ ضَمِنَ شَيْئًا إِلَى مُدَّةٍ لَمْ يَلْزَمْهُ قَبْلَ تِلْكَ الْمُدَّةِ.

Dan jika ia mengizinkannya untuk menggadaikannya dalam keadaan tangguh, lalu ia menggadaikannya dalam keadaan tunai, maka jika kita katakan bahwa hal itu berlaku seperti ‘āriyah, maka tidak boleh, karena siapa yang meminjamkan sesuatu untuk dimanfaatkan setelah jangka waktu tertentu, tidak boleh dimanfaatkan sebelum waktu tersebut. Dan jika kita katakan bahwa hal itu berlaku seperti ḍamān, maka tidak boleh, karena siapa yang menjamin sesuatu hingga waktu tertentu, maka tidak wajib baginya (menanggung) sebelum waktu tersebut.

وَإِنْ خَالَفَهُ فِي الْمَالِكِ فَمِثَالُهُ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي رَهْنِهِ عِنْدَ زَيْدٍ فَرَهَنَهُ عِنْدَ غَيْرِهِ فَالرَّهْنُ بَاطِلٌ إِنْ قُلْنَا إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الضَّمَانِ، لِأَنَّ مَنْ ضَمِنَ لِزَيْدٍ لَمْ يَلْزَمْهُ الضَّمَانُ لِغَيْرِهِ، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْعَارِيَةِ فَالرَّهْنُ جَائِزٌ، لِأَنَّهُ وَإِنْ صَارَ مَرْهُونًا عِنْدَ غَيْرِ مَنْ أُذِنَ لَهُ، فَلَيْسَ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ الرَّهْنُ مَوْضُوعًا عَلَى يَدِ مَنِ ارْتَهَنَهُ وَإِذَا لَمْ يَجِبْ لَمْ يَقَعِ الْفَرْقُ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ حَقُّ الِارْتِهَانِ لِزَيْدٍ أَوْ غَيْرِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ يُمْكِنُ أَلَّا يُوضَعَ عَلَى يَدِ مُرْتَهِنِهِ وَيُوضَعَ عَلَى يَدِ عَدْلٍ يَرْضَيَانِ بِهِ.

Dan jika ia menyelisihi dalam hal pihak pemilik, contohnya adalah ketika ia mengizinkannya untuk menggadaikannya kepada Zaid, lalu ia menggadaikannya kepada selain Zaid, maka gadai tersebut batal jika kita katakan bahwa hal itu berlaku seperti ḍamān, karena siapa yang menjamin untuk Zaid, maka tidak wajib baginya menjamin untuk selainnya. Namun jika kita katakan bahwa hal itu berlaku seperti ‘āriyah, maka gadai tersebut sah, karena meskipun barang tersebut menjadi gadai di tangan selain orang yang diizinkan, tidaklah wajib bahwa gadai itu harus berada di tangan orang yang menerima gadai, dan jika tidak wajib, maka tidak ada perbedaan antara hak menerima gadai itu untuk Zaid atau selainnya, karena bisa saja barang tersebut tidak diletakkan di tangan penerima gadai, melainkan diletakkan di tangan pihak yang adil yang disepakati oleh keduanya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ رَهْنَهُ لَا يَصِحُّ إِذَا خَالَفَهُ فَرَهَنَهُ رَهْنًا صَحِيحًا كَمَا أَذِنَ لَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَأْخُذَهُ بِفَكَاكِهِ مِنَ الرَّهْنِ وَخَلَاصِهِ. فَلَا يَخْلُو حَالُ الْحَقِّ الْمَرْهُونِ فِيهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.

Maka apabila telah tetap bahwa menggadaikannya tidak sah jika ia menyelisihi (izin), lalu ia menggadaikannya dengan gadai yang sah sebagaimana yang diizinkan kepadanya, kemudian ia ingin mengambilnya dengan menebusnya dari gadai dan membebaskannya, maka keadaan hak yang digadaikan tidak lepas dari dua kemungkinan.

إِمَّا أَنْ يَكُونَ حَالًا أَوْ يَكُونُ مُؤَجَّلًا فَإِنْ كَانَ الْحَقُّ حَالًا فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَهُ بِخَلَاصِهِ وَيُطَالِبَهُ بِفَكَاكِهِ إِنْ جَرَى مَجْرَى الْعَارِيَةِ، فَلِلْمُعِيرِ الرُّجُوعُ فِي الْعَارِيَةِ، وَإِنْ جَرَى مَجْرَى الضَّمَانِ فَلِلضَّامِنِ أَخْذُ الْمَضْمُونِ عَنْهُ بِفَكَاكِهِ مِمَّا ضَمِنَهُ بِأَمْرِهِ، وَإِنْ كَانَ الْحَقُّ مُؤَجَّلًا فَهَلْ لَهُ أَنْ يَأْخُذَهُ بِفَكَاكِهِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ إِنْ قُلْنَا إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْعَارِيَةِ فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَهُ بِفَكَاكِهِ؛ لِأَنَّ لِلْمُعِيرِ أَنْ يَرْجِعَ فِي عَارِيَتِهِ، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الضَّمَانِ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ بِفَكَاكِهِ لِأَنَّ الضَّامِنَ إِلَى أَجَلٍ لَيْسَ لَهُ أَخْذُ الْمَضْمُونِ عَنْهُ بِفَكَاكِهِ قَبْلَ حُلُولِ الْأَجَلِ.

Yaitu, bisa jadi hak tersebut dalam keadaan tunai atau dalam keadaan tangguh. Jika hak tersebut dalam keadaan tunai, maka ia boleh mengambilnya dengan menebusnya dan menuntutnya untuk membebaskannya jika berlaku seperti ‘āriyah, karena peminjam boleh menarik kembali barang pinjamannya. Dan jika berlaku seperti ḍamān, maka penjamin boleh mengambil barang yang dijaminkan darinya dengan menebusnya atas perintahnya. Dan jika hak tersebut dalam keadaan tangguh, maka apakah ia boleh mengambilnya dengan menebusnya atau tidak, terdapat dua pendapat: jika kita katakan bahwa hal itu berlaku seperti ‘āriyah, maka ia boleh mengambilnya dengan menebusnya, karena peminjam boleh menarik kembali barang pinjamannya; dan jika kita katakan bahwa hal itu berlaku seperti ḍamān, maka ia tidak boleh mengambilnya dengan menebusnya, karena penjamin yang menjamin hingga waktu tertentu tidak boleh mengambil barang yang dijaminkan darinya dengan menebusnya sebelum jatuh tempo.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِذَا حَلَّ الْأَجَلُ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْعَبْدِ الْمَرْهُونِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Maka apabila waktu jatuh tempo telah tiba, keadaan budak yang digadaikan tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُفَكَّ مِنَ الرَّهْنِ وَالثَّانِي أَنْ يُبَاعَ فِي الرَّهْنِ وَالثَّالِثُ أَنْ يُتْلَفَ فِي الرَّهْنِ. فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يُفَكَّ مِنَ الرَّهْنِ فَلِسَيِّدِهِ أَنْ يَسْتَرْجِعَهُ وَيَسْقُطُ عَنِ الرَّاهِنِ الْمُسْتَعِيرِ ضَمَانُهُ، فَإِنْ كَانَ الرَّاهِنُ فَكَّهُ مِنَ الرَّهْنِ بِقَضَاءٍ أَوْ بِإِبْرَاءِ الْمُرْتَهِنِ لَهُ، خَلَصَ الْعَبْدُ لِسَيِّدِهِ وَبَرِئَ الرَّاهِنُ عَنْ ضَمَانِهِ وَإِنْ كَانَ السَّيِّدُ قَدْ فَكَّهُ مِنَ الرَّهْنِ بِقَضَاءِ الْحَقِّ، نُظِرَ فَإِنْ فَكَّهُ بِأَمْرِ الرَّاهِنِ فَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الرَّاهِنِ بِمَا افْتَكَّهُ بِهِ مِنَ الْحَقِّ قَلِيلًا كَانَ الْحَقُّ أَمْ كَثِيرًا، وَإِنِ افْتَكَّهُ بِقَضَاءِ الْحَقِّ مِنْ غَيْرِ أَمْرِ الرَّاهِنِ فَهَلْ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الرَّاهِنِ بِمَا افْتَكَّهُ بِهِ مِنَ الْحَقِّ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ بِنَاءً عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ، فَإِنْ قُلْنَا إِنَّهَا تَجْرِي مَجْرَى الضَّمَانِ فَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهِ بِالْحَقِّ الَّذِي افْتَكَّهُ كَمَنْ ضَمِنَ عَنْهُ حَقًّا بِأَمْرِهِ فَلَهُ الرُّجُوعُ بِمَا غَرِمَهُ فِي ضَمَانِهِ، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْعَارِيَةِ فَلَا رُجُوعَ لَهُ بِالْحَقِّ الَّذِي افْتَكَّهُ لِأَنَّ الْعَارِيَةَ تُوجِبُ اسْتِرْجَاعَ مَا أَعَارَهُ وَلَا تُوجِبُ غُرْمَ مَا تعلق بالمعار.

Salah satunya: barang itu ditebus dari rahn; yang kedua, barang itu dijual dalam keadaan rahn; dan yang ketiga, barang itu dimusnahkan dalam keadaan rahn. Adapun bagian pertama, yaitu barang itu ditebus dari rahn, maka tuannya berhak mengambil kembali barang tersebut dan gugurlah tanggungan dari pihak rahin (peminjam) atas barang yang dipinjamnya. Jika rahin menebus barang itu dari rahn dengan membayar utang atau karena murota-hin (penerima rahn) membebaskannya, maka budak itu kembali sepenuhnya kepada tuannya dan rahin terbebas dari tanggungannya. Namun jika tuan menebus barang itu dari rahn dengan membayar utang, maka dilihat: jika ia menebusnya atas perintah rahin, maka ia berhak menuntut kembali kepada rahin sejumlah yang ia bayarkan untuk menebus hak tersebut, baik hak itu sedikit maupun banyak. Jika ia menebusnya dengan membayar utang tanpa perintah rahin, maka apakah ia berhak menuntut kembali kepada rahin sejumlah yang ia bayarkan atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat, berdasarkan apa yang telah kami sebutkan dari dua pendapat sebelumnya. Jika dikatakan bahwa kasus ini diperlakukan seperti dhaman (jaminan), maka ia berhak menuntut kembali hak yang telah ia bayarkan, sebagaimana orang yang menjamin suatu hak atas perintah orang lain, maka ia berhak menuntut kembali apa yang ia bayarkan dalam jaminannya. Namun jika dikatakan bahwa kasus ini diperlakukan seperti ‘ariyah (barang pinjaman), maka ia tidak berhak menuntut kembali hak yang telah ia bayarkan, karena ‘ariyah hanya mewajibkan pengembalian barang yang dipinjamkan dan tidak mewajibkan menanggung kerugian atas apa yang berkaitan dengan barang pinjaman tersebut.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يُبَاعَ فِي الرَّهْنِ وَذَلِكَ قَدْ يَكُونُ إِمَّا لِكَوْنِ الرَّاهِنِ مُعْسِرًا وَإِمَّا لِيَصِيرَ بِهِ مُوسِرًا فَإِذَا بِيعَ وَقَضَى بِهِ الْحَقَّ الْمَرْهُونَ فِيهِ، كَانَ مَضْمُونًا عَلَى الرَّاهِنِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا لِأَنَّهُ إِنْ جَرَى مَجْرَى الْعَارِيَةِ فَالْعَارِيَةُ مَضْمُونَةٌ عَلَى مُسْتَعِيرِهَا وَإِنْ جَرَى مَجْرَى الضَّمَانِ فَالضَّامِنُ يَسْتَحِقُّ الرُّجُوعَ بِمَا أَدَّى، فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يَخْلُو حَالُ مَا بِيعَ بِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: –

Adapun bagian kedua, yaitu barang itu dijual dalam keadaan rahn, hal itu bisa terjadi karena rahin dalam keadaan tidak mampu membayar utang, atau agar ia menjadi mampu membayar utang. Jika barang itu dijual dan hasil penjualannya digunakan untuk melunasi hak yang dijaminkan, maka barang itu menjadi tanggungan rahin menurut kedua pendapat, karena jika diperlakukan seperti ‘ariyah, maka barang pinjaman itu menjadi tanggungan peminjamnya; dan jika diperlakukan seperti dhaman, maka penjamin berhak menuntut kembali apa yang telah ia bayarkan. Dalam hal ini, hasil penjualan barang itu tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُبَاعَ بِمِثْلِ قِيمَتِهِ.

Salah satunya: barang itu dijual seharga nilai aslinya.

وَالثَّانِي: أَنْ يُبَاعَ بِأَكْثَرَ مِنْ قِيمَتِهِ.

Yang kedua: barang itu dijual dengan harga lebih tinggi dari nilai aslinya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يُبَاعَ بِأَقَلَّ مِنْ قِيمَتِهِ.

Yang ketiga: barang itu dijual dengan harga lebih rendah dari nilai aslinya.

فَإِنْ بِيعَ بِمِثْلِ قِيمَتِهِ وَهُوَ أَنْ تَكُونَ قِيمَتُهُ أَلْفًا فَيُبَاعُ بِأَلْفٍ فَهُوَ مَضْمُونٌ عَلَى الرَّاهِنِ الْمُسْتَعِيرِ بِأَلْفٍ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا. لِأَنَّهُ إِنْ جَرَى مَجْرَى الْعَارِيَةِ فَالْعَارِيَةُ مَضْمُونَةٌ بِالْقِيمَةِ وَهِيَ أَلْفٌ وَإِنْ جَرَى مَجْرَى الضَّمَانِ فَالضَّامِنُ يَسْتَحِقُّ الرُّجُوعَ بِمَا أَدَّى وَهُوَ أَلْفٌ.

Jika barang itu dijual seharga nilai aslinya, misalnya nilainya seribu lalu dijual seharga seribu, maka itu menjadi tanggungan rahin (peminjam) sebesar seribu menurut kedua pendapat. Karena jika diperlakukan seperti ‘ariyah, maka barang pinjaman itu menjadi tanggungan sebesar nilainya, yaitu seribu; dan jika diperlakukan seperti dhaman, maka penjamin berhak menuntut kembali sebesar yang ia bayarkan, yaitu seribu.

فَلِذَلِكَ اسْتَحَقَّ الرُّجُوعَ بِأَلْفٍ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا، وَإِنْ بِيعَ بِأَكْثَرَ مِنْ قِيمَتِهِ وَهُوَ أَنْ تَكُونَ قِيمَتُهُ أَلْفًا فَيُبَاعُ بِأَلْفٍ وَمِائَةٍ فَفِيمَا يَضْمَنُ الرَّاهِنُ الْمُسْتَعِيرُ وَيُرْجَعُ به على المالك المغير قَوْلَانِ:

Oleh karena itu, ia berhak menuntut kembali sebesar seribu menurut kedua pendapat. Jika barang itu dijual dengan harga lebih tinggi dari nilai aslinya, misalnya nilainya seribu lalu dijual seharga seribu seratus, maka dalam hal berapa besar tanggungan rahin (peminjam) dan berapa yang dapat dituntut kembali kepada pemilik (yang meminjamkan), terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَسْتَحِقُّ الرُّجُوعَ بِأَلْفٍ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْعَارِيَةِ، لِأَنَّ الْعَارِيَةَ مَضْمُونَةٌ بِالْقِيمَةِ دُونَ مَا زَادَ عَلَيْهَا.

Salah satunya: ia berhak menuntut kembali sebesar seribu jika dikatakan bahwa kasus ini diperlakukan seperti ‘ariyah, karena barang pinjaman itu menjadi tanggungan sebesar nilainya saja, tidak termasuk kelebihan dari nilainya.

وَالْقَوْلُ الثاني: أنه يستحق الرجوع بألف ومائة وإذا قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الضَّمَانِ، لِأَنَّ الْمَضْمُونَ عَنْهُ يَضْمَنُ الْقَدْرَ الْمُؤَدَّى عَنْهُ.

Pendapat kedua: ia berhak menuntut kembali sebesar seribu seratus jika dikatakan bahwa kasus ini diperlakukan seperti dhaman, karena pihak yang dijamin atasnya wajib menanggung sebesar jumlah yang telah dibayarkan untuknya.

وَإِنْ بِيعَ بِأَقَلَّ مِنْ قِيمَتِهِ وَهُوَ أَنْ تَكُونَ قِيمَتُهُ أَلْفًا فَيُبَاعُ بِتِسْعِمِائَةٍ فَفِي قَدْرِ مَا يَضْمَنُهُ الرَّاهِنُ الْمُسْتَعِيرُ وَيَسْتَحِقُّ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ الْمَالِكُ المعير قولان:

Jika barang itu dijual dengan harga lebih rendah dari nilai aslinya, misalnya nilainya seribu lalu dijual seharga sembilan ratus, maka dalam hal berapa besar tanggungan rahin (peminjam) dan berapa yang berhak dituntut kembali oleh pemilik (yang meminjamkan), terdapat dua pendapat:

أحدهما: أنه يستحق الرجوع بألف إِذَا قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْعَارِيَةِ لِأَنَّ الْعَارِيَةَ مَضْمُونَةٌ بِجَمِيعِ الْقِيمَةِ وَهِيَ أَلْفٌ وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ يَسْتَحِقُّ الرُّجُوعَ بِتِسْعِمِائَةٍ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الضَّمَانِ؛ لِأَنَّ الْمَضْمُونَ عَنْهُ يَضْمَنُ الْقَدْرَ الْمُؤَدَّى عَنْهُ وَهُوَ تِسْعُمِائَةٍ وَلَوْ بَقِيَ لِلْمُرْتَهِنِ بَقِيَّةٌ مِنْ حَقِّهِ بَعْدَ قَبْضِ الثَّمَنِ لَمْ يَكُنِ الرُّجُوعُ بِهَا عَلَى الْمُعِيرِ سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْعَارِيَةِ أَوْ مَجْرَى الضَّمَانِ لِأَنَّهُ إِنْ جَرَى مَجْرَى الْعَارِيَةِ فَالْمُعِيرُ لَا يَلْزَمُهُ غُرْمٌ، وَإِنْ جَرَى مَجْرَى الضَّمَانِ فَهُوَ إِنَّمَا يَضْمَنُ ذَلِكَ فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ لِتَعَلُّقِ حَقِّ الْجِنَايَةِ بِرَقَبَتِهِ فِيمَا ضَاقَتْ عَنْهُ رَقَبَةُ الْعَبْدِ فَهُوَ غَيْرُ مَضْمُونٍ عَلَيْهِ، فَلَوْ فَضَلَ مِنْ ثَمَنِهِ بَعْدَ قَضَاءِ الْحَقِّ فَضْلَةٌ كَانَ الْمَالِكُ أَحَقَّ بِهَا وَيَسْقُطُ عَنِ الرَّاهِنِ الْمُسْتَعِيرِ ضَمَانُهَا.

Pertama: Ia berhak menuntut kembali seribu jika dikatakan bahwa kasus ini diperlakukan seperti ‘ariyah (barang pinjaman pakai), karena ‘ariyah itu dijamin dengan seluruh nilai barang, yaitu seribu. Pendapat kedua, ia berhak menuntut kembali sembilan ratus jika dikatakan bahwa kasus ini diperlakukan seperti dhaman (jaminan), karena pihak yang dijamin hanya menanggung sebesar nilai yang telah dibayarkan, yaitu sembilan ratus. Jika masih tersisa hak bagi murtahin (penerima gadai) setelah menerima harga barang, maka sisa tersebut tidak dapat dituntut kembali dari mu‘īr (pemberi pinjaman), baik kasus ini diperlakukan seperti ‘ariyah maupun seperti dhaman. Sebab, jika diperlakukan seperti ‘ariyah, maka mu‘īr tidak wajib menanggung kerugian; dan jika diperlakukan seperti dhaman, maka ia hanya menanggung dalam batas kepemilikan budaknya, karena hak jinayah (denda pidana) terkait dengan kepemilikan budak tersebut, sehingga jika nilai budak tidak mencukupi, maka sisanya tidak menjadi tanggungannya. Jika setelah pelunasan hak masih ada kelebihan dari harga budak, maka pemilik lebih berhak atas kelebihan itu dan gugurlah kewajiban dhaman dari rahin (pemberi gadai) yang meminjam.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يُتْلَفَ فِي الرَّهْنِ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun bagian ketiga: yaitu apabila barang gadai rusak atau binasa, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ تَلَفُهُ بِالْمَوْتِ مِنْ غَيْرِ جِنَايَةٍ عَلَيْهِ.

Pertama: Kerusakannya terjadi karena mati tanpa adanya jinayah (tindak pidana) terhadapnya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ تَلَفُهُ بِجِنَايَةٍ جُنِيَتْ عَلَيْهِ فَمَاتَ مِنْهَا.

Kedua: Kerusakannya terjadi karena jinayah yang dilakukan terhadapnya sehingga ia mati karenanya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ تَلَفُهُ بِجِنَايَةٍ جَنَاهَا وَاقْتُصَّ مِنْهُ أَوْ بِيعَ فِيهَا.

Ketiga: Kerusakannya terjadi karena jinayah yang dilakukan olehnya sendiri, lalu dilakukan qishash terhadapnya atau dijual karenanya.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَمُوتَ فِي الرَّهْنِ حَتْفَ أَنْفِهِ فَهَلْ يَكُونُ مَضْمُونًا عَلَى رَاهِنِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Adapun bagian pertama, yaitu ia mati dalam keadaan sebagai barang gadai tanpa sebab apapun, apakah hal itu menjadi tanggungan rahin (pemberi gadai) atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَكُونُ مَضْمُونًا عَلَيْهِ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الضَّمَانِ لِأَنَّ الْمَضْمُونَ عَنْهُ لَا يُسْتَحَقُّ عَلَيْهِ إِلَّا مَا أَدَّى عَنْهُ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ تَالِفًا مِنْ مَالِ مَالِكِهِ.

Pertama: Tidak menjadi tanggungan rahin jika dikatakan bahwa kasus ini diperlakukan seperti dhaman, karena pihak yang dijamin hanya wajib menanggung sebesar yang telah dibayarkan. Dengan demikian, kerusakan itu menjadi kerugian bagi pemiliknya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَكُونُ مَضْمُونًا إِذَا قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْعَارِيَةِ، لِأَنَّ الْعَارِيَةَ مَضْمُونَةٌ عَلَى مُسْتَعِيرِهَا فَعَلَى هَذَا فِي كَيْفِيَّةِ ضَمَانِهِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Menjadi tanggungan rahin jika dikatakan bahwa kasus ini diperlakukan seperti ‘ariyah, karena ‘ariyah itu menjadi tanggungan musta‘īr (peminjam). Dalam hal ini, mengenai cara penjaminannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُ قِيمَتَهُ يَوْمَ التَّلَفِ.

Pertama: Menanggung nilainya pada hari kerusakan terjadi.

وَالثَّانِي: يَضْمَنُهُ أَكْثَرَ مَا كَانَتْ قِيمَتُهُ مِنْ يَوْمِ الْقَبْضِ إِلَى يَوْمِ التَّلَفِ، فَإِذَا قَبَضَ الْقِيمَةَ اخْتَصَّ بِهَا الْمَالِكُ وَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِهَا حَقُّ الْمُرْتَهِنِ لِبُطْلَانِ الرَّهْنِ بِتَلَفِهِ مِنْ غَيْرِ جِنَايَةٍ وَلَا غَصْبٍ، فَإِنْ قِيلَ: أَلَيْسَ إِذَا كان تلف بِالْقِيمَةِ كَالْجِنَايَةِ كَانَتِ الْقِيمَةُ رَهْنًا مَكَانَهُ فَهَلَّا كَانَتِ الْقِيمَةُ الْمَأْخُوذَةُ مِنَ الْمُسْتَعِيرِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ رَهْنًا مَكَانَهُ؟

Kedua: Menanggung nilai tertinggi dari hari penerimaan hingga hari kerusakan. Jika nilai tersebut telah diterima, maka nilai itu menjadi hak milik pemilik barang dan tidak terkait dengan hak murtahin, karena akad rahn batal akibat kerusakan tanpa adanya jinayah atau ghashab (perampasan). Jika ada yang bertanya: Bukankah jika kerusakan diganti dengan nilai, seperti dalam kasus jinayah, maka nilai itu menjadi barang gadai pengganti? Lalu mengapa nilai yang diambil dari musta‘īr dalam kasus ini tidak menjadi barang gadai pengganti?

قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Dijawab: Perbedaannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْجَانِيَ عَلَى الرَّهْنِ مُتَعَدٍّ فِي حَقِّ الْمُرْتَهِنِ فَتَعَلَّقَ بِأَرْشِ جِنَايَتِهِ حَقُّ الْمُرْتَهِنِ وَالْمُسْتَعِيرُ غَيْرُ مُتَعَدٍّ فِي حَقِّ الْمُرْتَهِنِ فَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِمَا يُغْرِمُهُ حَقَّ الْمُرْتَهِنِ.

Pertama: Pelaku jinayah terhadap barang gadai telah melampaui hak murtahin, sehingga hak murtahin terkait dengan diyat jinayah tersebut. Sedangkan musta‘īr tidak melampaui hak murtahin, sehingga apa yang ia ganti tidak terkait dengan hak murtahin.

وَالثَّانِي: أَنَّ أَرْشَ الْجِنَايَةِ وَجَبَ بِالْإِتْلَافِ فَلَمْ يَبْطُلِ الرَّهْنُ بِالْإِتْلَافِ وَكَانَتِ الْقِيمَةُ فِي الرَّهْنِ قَائِمَةً مَقَامَ الرَّهْنِ، وَقِيمَةُ الْعَارِيَةِ وَاجِبَةً بِالْعَقْدِ لَا بِالْإِتْلَافِ وَإِنَّمَا يَسْتَقِرُّ وُجُوبُهَا بِالتَّلَفِ فَلَمْ تَكُنِ الْقِيمَةُ رَهْنًا يَبْطُلُ بِالتَّلَفِ كَمَا لَوْ بِيعَ بِثَمَنٍ قَبْلَ حُلُولِ الْأَجَلِ لَمْ يَكُنِ الثَّمَنُ الْمَأْخُوذُ بِالْعَقْدِ رَهْنًا وَبَطَلَ الرَّهْنُ بِالْبَيْعِ.

Kedua: Diyat jinayah wajib karena perusakan, sehingga akad rahn tidak batal karena perusakan dan nilai barang tetap menjadi pengganti barang gadai. Sedangkan nilai ‘ariyah wajib karena akad, bukan karena perusakan, dan kewajibannya baru tetap setelah terjadi kerusakan. Maka nilai tersebut tidak menjadi barang gadai, dan akad rahn batal karena kerusakan, sebagaimana jika barang dijual sebelum jatuh tempo, maka harga yang diterima dari akad jual beli tidak menjadi barang gadai dan akad rahn batal karena penjualan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَكُونَ تَلَفُهُ بِجِنَايَةٍ جُنِيَتْ عَلَيْهِ فَمَاتَ مِنْهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun bagian kedua, yaitu kerusakannya terjadi karena jinayah yang dilakukan terhadapnya sehingga ia mati karenanya, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أحدهما: أن يكون بجناية عمدا يوجب القود.

Pertama: Jinayah dilakukan secara sengaja yang mewajibkan qishash.

والثاني: أن تكون جناية خطأ يوجب الْمَالَ.

Kedua: Jinayah dilakukan karena kesalahan yang mewajibkan pembayaran harta (diyat).

فَإِنْ كَانَتْ عَمْدًا يُوجِبُ الْقَوَدَ فَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَقْتَصَّ مِنَ الْجَانِي فَإِذَا اقْتَصَّ مِنْهُ فَقَدِ اسْتَوْفَى حَقَّهُ وَلَا مُطَالَبَةَ لَهُ عَلَى الرَّاهِنِ الْمُسْتَعِيرِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الضَّمَانِ أَوْ مَجْرَى الْعَارِيَةِ، لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَوْفَى بِالْقِصَاصِ حَقَّ الْجِنَايَةِ وَبَدَلَ الْمِلْكِ.

Jika perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja yang mewajibkan qishāsh, maka tuan (pemilik) berhak menuntut qishāsh dari pelaku. Apabila ia telah menuntut qishāsh darinya, maka ia telah mengambil haknya dan tidak ada tuntutan lagi terhadap pihak yang menggadaikan atau peminjam, menurut kedua pendapat, baik dikatakan bahwa kasus ini mengikuti hukum dhamān (jaminan) maupun mengikuti hukum ‘āriyah (pinjam pakai), karena dengan qishāsh tersebut hak atas jināyah (tindak pidana) dan pengganti kepemilikan telah terpenuhi.

وَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ خَطَأً تُوجِبُ الْمَالَ كَانَ الْجَانِي ضَامِنًا لِأَرْشِهَا وَهَلْ يَكُونُ الرَّاهِنُ الْمُسْتَعِيرُ ضَامِنًا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ أَحَدُهُمَا لَا يَكُونُ ضَامِنًا. وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَقُولُ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الضَّمَانِ، فَعَلَى هَذَا لِلْمَالِكِ مُطَالَبَةُ الْجَانِي بِالْأَرْشِ فَإِذَا اسْتَحَقَّهُ وَضَعَهُ رَهْنًا مَكَانَهُ، لِأَنَّ أَرْشَ الْجِنَايَةِ عَلَى الرَّهْنِ بِكَوْنِهِ رَهْنًا مَكَانَهُ.

Jika jināyah itu terjadi karena kesalahan yang mewajibkan pembayaran harta, maka pelaku jināyah wajib menanggung diyatnya. Apakah pihak yang menggadaikan atau peminjam juga wajib menanggungnya atau tidak? Ada dua pendapat; salah satunya menyatakan bahwa ia tidak wajib menanggungnya. Ini menurut pendapat yang mengatakan bahwa kasus ini mengikuti hukum dhamān. Maka dalam hal ini, pemilik berhak menuntut pelaku jināyah untuk membayar diyat, dan jika ia telah menerima diyat tersebut, maka diyat itu dijadikan sebagai barang gadai pengganti, karena diyat jināyah atas barang gadai itu tetap sebagai barang gadai pengganti.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الرَّاهِنَ الْمُسْتَعِيرَ يَكُونُ ضَامِنًا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَقُولُ يَجْرِي مَجْرَى الْعَارِيَةِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْمَالِكُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ مُطَالَبَةِ الْجَانِي أَوِ الرَّاهِنِ الْمُسْتَعِيرِ فَإِنْ أُغْرِمَ الْجَانِي لَمْ يَكُنْ لِلْجَانِي أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمُسْتَعِيرِ.

Pendapat kedua: bahwa pihak yang menggadaikan atau peminjam wajib menanggungnya, menurut pendapat yang menyatakan kasus ini mengikuti hukum ‘āriyah. Dalam hal ini, pemilik memiliki pilihan antara menuntut pelaku jināyah atau pihak yang menggadaikan/peminjam. Jika pelaku jināyah telah membayar ganti rugi, maka pelaku jināyah tidak berhak menuntut kembali kepada peminjam.

وَكَانَ الْأَرْشُ رَهْنًا مَكَانَهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْأَرْشُ أَكْثَرَ مِنْ قِيمَتِهِ فَلَهُ أَنْ يَخْتَصَّ بِأَخْذِ الْفَاضِلِ عَلَى قِيمَتِهِ وَتَكُونُ لَهُ الْقِيمَةُ لَا غَيْرَ رَهْنًا مَكَانَهُ.

Diyat tersebut tetap menjadi barang gadai pengganti, kecuali jika diyat itu lebih besar dari nilainya, maka pemilik berhak mengambil kelebihan dari nilai tersebut, dan ia hanya berhak atas nilai barang itu saja, bukan lebih, sebagai barang gadai pengganti.

فَإِنْ أُغْرِمَ الْمُسْتَعِيرُ فَلَا يَخْلُو حَالُ أَرْشِ الْجِنَايَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika peminjam yang membayar ganti rugi, maka keadaan diyat jināyah tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ بِقَدْرِ قِيمَتِهِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ أَوْ يَكُونَ أَكْثَرَ مِنْ قِيمَتِهِ.

Yaitu, apakah diyat itu sebesar nilainya tanpa ada kelebihan, ataukah lebih besar dari nilainya.

فَإِنْ كَانَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ بِقَدْرِ قِيمَتِهِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ فَلَهُ أَنْ يُغْرِمَ الْمُسْتَعِيرَ جَمِيعَهَا وَلِلْمُسْتَعِيرِ إِذَا غَرِمَهَا أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْجَانِي بِهَا، وَإِنْ كَانَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ أَكْبَرَ مِنْ قِيمَتِهِ فَلَهُ أَنْ يُغْرِمَ الْمُسْتَعِيرَ قَدْرَ قِيمَتِهِ دُونَ الزِّيَادَةِ، وَيُغْرِمَ الْجَانِي مَا زَادَ عَلَى قِيمَتِهِ مِنَ الْأَرْشِ وَيَرْجِعُ الْمُسْتَعِيرُ بِمَا غَرِمَهُ مِنَ الْقِيمَةِ عَلَى الْجَانِي لِضَمَانِهِ لَهَا بِالْجِنَايَةِ ثُمَّ تَكُونُ الْقِيمَةُ رَهْنًا مَكَانَهُ دُونَ الزِّيَادَةِ.

Jika diyat jināyah sebesar nilainya tanpa ada kelebihan, maka pemilik berhak menuntut seluruhnya dari peminjam, dan peminjam, jika telah membayar, berhak menuntut kembali kepada pelaku jināyah. Namun jika diyat jināyah lebih besar dari nilainya, maka pemilik hanya berhak menuntut peminjam sebesar nilai barang itu saja tanpa kelebihannya, dan menuntut pelaku jināyah atas kelebihan dari nilai barang itu, dan peminjam berhak menuntut kembali kepada pelaku jināyah atas apa yang telah ia bayarkan dari nilai barang tersebut karena ia menanggungnya akibat jināyah, kemudian nilai barang itu tetap menjadi barang gadai pengganti tanpa kelebihannya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ تَلَفُهُ بِجِنَايَةٍ جَنَاهَا فَاقْتُصَّ مِنْهُ أَوْ بِيعَ فِيهَا وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ وَهِيَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun bagian ketiga, yaitu apabila kerusakan terjadi karena jināyah yang dilakukan oleh seseorang, lalu dilakukan qishāsh terhadapnya atau dijual karena jināyah tersebut, inilah permasalahan yang dibahas dalam kitab ini, dan kasusnya terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ الْجِنَايَةُ قَدْ أَتَتْ عَلَى جَمِيعِهِ وَذَلِكَ بِأَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Pertama: Jināyah tersebut mengakibatkan kerusakan seluruhnya, dan itu terjadi dalam dua keadaan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ الْقِصَاصُ فِي نَفْسِهِ، أَوْ يَكُونَ الْأَرْشُ الَّذِي بِيعَ فِيهِ مُسْتَوْعِبًا لِقِيمَتِهِ فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَهَلْ يَكُونُ الرَّاهِنُ الْمُسْتَعِيرُ ضَامِنًا قِيمَتَهُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Yaitu, apakah qishāsh dilakukan pada dirinya sendiri, atau diyat yang dijual sebanding dengan seluruh nilainya. Jika demikian, apakah pihak yang menggadaikan/peminjam wajib menanggung nilainya atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَلَّا يَكُونُ ضَامِنًا إِذَا قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مجرى الضمان.

Salah satunya: tidak wajib menanggung jika dikatakan bahwa kasus ini mengikuti hukum dhamān.

وَالثَّانِي: يَكُونُ ضَامِنًا لِقِيمَتِهِ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْعَارِيَةِ وَفِي كَيْفِيَّةِ ضَمَانِهِ وَجْهَانِ مَضَيَا، فَإِذَا غَرِمَ الْقِيمَةَ اخْتَصَّ الْمَالِكُ بِهَا.

Yang kedua: wajib menanggung nilainya jika dikatakan bahwa kasus ini mengikuti hukum ‘āriyah, dan terkait cara penanggungannya terdapat dua pendapat yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika ia telah membayar nilai barang tersebut, maka pemilik berhak atas nilai itu.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ الْجِنَايَةُ قَدْ أَتَتْ عَلَى بَعْضِهِ وَذَلِكَ بِأَحَدِ وَجْهَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ الْقِصَاصُ فِي طَرَفٍ مِنْ أَطْرَافِهِ أَوْ يَكُونَ الْأَرْشُ الَّذِي بِيعَ فِيهِ يُقَابِلُ قِيمَةَ بَعْضِهِ، فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ كَانَ الْبَاقِي رَهْنًا بحاله وهل يَكُونُ الرَّاهِنُ الْمُسْتَعِيرُ ضَامِنًا لِمَا تَلِفَ مِنْهُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Bagian kedua, yaitu jināyah hanya mengenai sebagian dari barang tersebut, dan itu terjadi dalam dua keadaan: apakah qishāsh dilakukan pada salah satu anggota tubuhnya, atau diyat yang dijual sebanding dengan nilai sebagian dari barang tersebut. Jika demikian, maka sisanya tetap menjadi barang gadai sebagaimana adanya. Apakah pihak yang menggadaikan/peminjam wajib menanggung kerusakan pada bagian yang rusak atau tidak? Ada dua pendapat, dan Allah lebih mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلِلسَّيِّدِ فِي الرَّهْنِ أَنْ يَسْتَخْدِمَ عَبْدَهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Tuan (pemilik) berhak menggunakan budaknya yang dijadikan barang gadai.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: فَأَمَّا مَنَافِعُ الرَّهْنِ فَهِيَ مِلْكٌ لِرَاهِنِهِ دُونَ مُرْتَهِنِهِ وَسَنَذْكُرُ ذَلِكَ فِي مَوْضِعِهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ. وَإِذَا كَانَتْ عَلَى مِلْكِ رَاهِنِهِ فَلَهُ أَنْ يُؤَاجِرَ الرَّهْنَ لِيَكُونَ الْمُسْتَأْجِرُ مُسْتَوْفِيًا لِمَنَافِعِهِ، وَكَذَلِكَ لَهُ أَنْ يُعِيرَهُ لِيَتَوَلَّى الْمُسْتَعِيرُ اسْتِيفَاءَ مَنَافِعِهِ، فَأَمَّا إِذَا أَرَادَ أَنْ يَتَوَلَّى اسْتِيفَاءَ مَنَافِعِهِ بِنَفْسِهِ حَتَّى إِذَا كَانَتْ دَارًا سَكَنَهَا وَإِنْ كَانَتْ دَابَّةً رَكِبَهَا وَإِنْ كَانَ عَبْدًا اسْتَخْدَمَهُ، فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الرَّهْنِ الصَّغِيرِ وَالرَّهْنِ الْقَدِيمِ: لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ إِلَّا بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ وَقَالَ فِي الْجَدِيدِ وَسَائِرِ كُتُبِهِ: لَهُ ذَلِكَ بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ وَبِغَيْرِ إِذْنِهِ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ بَعْضُهُمْ يُخَرِّجُ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Adapun manfaat-manfaat barang gadai, maka itu adalah milik orang yang menggadaikan (rahin), bukan milik penerima gadai (murtahin), dan kami akan menyebutkan hal itu pada tempatnya, insya Allah. Dan jika manfaat-manfaat itu berada dalam kepemilikan rahin, maka ia boleh menyewakan barang gadai tersebut sehingga penyewa dapat mengambil manfaat darinya, demikian pula ia boleh meminjamkannya sehingga peminjam dapat mengambil manfaat darinya. Adapun jika ia ingin mengambil manfaatnya sendiri—misalnya jika barang gadai itu berupa rumah, ia menempatinya; jika berupa hewan, ia menungganginya; jika berupa budak, ia mempekerjakannya—maka Imam Syafi‘i dalam kitab ar-Rahn ash-Shaghir dan ar-Rahn al-Qadim berkata: Ia tidak boleh melakukan hal itu kecuali dengan izin murtahin. Sedangkan dalam kitab al-Jadid dan seluruh kitab lainnya, beliau berkata: Ia boleh melakukan hal itu baik dengan izin murtahin maupun tanpa izinnya. Para sahabat kami berbeda pendapat; sebagian mereka mengeluarkan dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ وَالرَّهْنِ الصَّغِيرِ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَسْتَوْفِيَ مَنَافِعَ الرَّهْنِ وَلَهُ أَنْ يُؤَاجِرَهُ وَيُعِيرَهُ لِأَنَّ الرَّهْنَ إِذَا عَادَ إِلَى يَدِهِ لَمْ يُؤْمَنْ مِنْهُ جُحُودُ مُرْتَهِنِهِ.

Pertama, yaitu yang dinyatakan dalam al-Qadim dan ar-Rahn ash-Shaghir: Ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadai, namun ia boleh menyewakannya dan meminjamkannya, karena jika barang gadai itu kembali ke tangannya, dikhawatirkan ia akan mengingkari hak murtahin.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ وَسَائِرِ كُتُبِهِ، لَهُ أَنْ يَسْتَوْفِيَ مَنَافِعَ الرَّهْنِ بِنَفْسِهِ كَمَا يَسْتَوْفِيهَا غَيْرُهُ بِإِجَارَتِهِ وَإِعَادَتِهِ وَلَوْ جَازَ أَنْ يُمْنَعَ مِنْ عَوْدِهِ إِلَى يَدِهِ خَوْفًا مِنْ جُحُودِ مُرْتَهِنِهِ لَجَازَ أَنْ يُمْنَعَ مِنْ خُرُوجِهِ إِلَى يَدِ مُسْتَأْجِرِهِ، عَلَى أَنَّ يَدَ الْمُرْتَهِنِ لَا تُوجِبُ قَبُولَ قَوْلِهِ عِنْدَ جُحُودِ رَاهِنِهِ.

Pendapat kedua, yaitu yang dinyatakan dalam al-Jadid dan seluruh kitab lainnya: Ia boleh mengambil manfaat barang gadai itu sendiri sebagaimana orang lain dapat mengambil manfaatnya melalui sewa atau pinjam. Jika boleh dilarang agar tidak kembali ke tangannya karena dikhawatirkan ia mengingkari hak murtahin, maka seharusnya juga boleh dilarang agar tidak diserahkan kepada penyewa. Lagi pula, kepemilikan murtahin atas barang gadai tidak menjadikan ucapannya diterima ketika rahin mengingkari.

وَقَالَ آخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا: لَيْسَتِ الْمَسْأَلَةُ عَلَى قَوْلَيْنِ وَإِنَّمَا هِيَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ، فَالْمَوْضِعُ الَّذِي مَنَعَهُ مِنَ اسْتِيفَاءِ مَنَافِعِ الرَّهْنِ بِنَفْسِهِ إِذَا كَانَ غَيْرَ أَمِينٍ عَلَيْهِ وَكَانَ الْجُحُودُ غَيْرَ مَأْمُونٍ مِنْهُ. وَالْمَوْضِعُ الَّذِي جَوَّزَ لَهُ اسْتِيفَاءَ مَنَافِعِ الرَّهْنِ بِنَفْسِهِ إِذَا كَانَ أَمِينًا عَلَيْهِ وَكَانَ الجحود مأمونا عنه.

Sebagian sahabat kami yang lain berkata: Masalah ini bukan dua pendapat, melainkan perbedaan dua keadaan. Pada keadaan di mana rahin dilarang mengambil manfaat barang gadai sendiri adalah jika ia tidak amanah terhadapnya dan dikhawatirkan ia akan mengingkari hak murtahin. Sedangkan pada keadaan di mana ia dibolehkan mengambil manfaat barang gadai sendiri adalah jika ia amanah terhadapnya dan tidak dikhawatirkan akan mengingkari hak murtahin.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالْخَصْمُ فِيمَا جَنَى عَلَى الْعَبْدِ سَيِّدُهُ فَإِنْ أَحَبَّ الْمُرْتَهِنُ حَضَرَ خُصُومَتَهُ فَإِذَا قَضَى لَهُ بِشَيْءٍ أَخَذَهُ رَهْنًا وَلَوْ عَدَا الْمُرْتَهِنُ كَانَ عَفْوُهُ بَاطِلًا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Pihak yang berhak menjadi lawan perkara atas pelanggaran terhadap budak adalah tuannya. Jika murtahin menghendaki, ia boleh hadir dalam persidangan. Jika diputuskan sesuatu untuknya, maka ia mengambilnya sebagai barang gadai. Jika murtahin melampaui batas, maka pengampunannya batal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: هَذَا كَمَا قَالَ، الْمُطَالِبُ بِمَا جَنَى عَلَى الْعَبْدِ وَالْخَصْمُ فِيهِ الراهن دون الْمُرْتَهِنِ. وَقَالَ أبو حنيفة رَحِمَهُ اللَّهُ الْمُطَالِبُ بِهِ وَالْخَصْمُ فِيهِ الْمُرْتَهِنُ دُونَ الرَّاهِنِ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ الرَّهْنَ مَضْمُونٌ عَلَى مُرْتَهِنِهِ، وَلِأَنَّ الْيَدَ لَهُ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ له حق المطالبة كالمالك والدليل بِنَاؤُهُ عَلَى أَصْلِنَا فِي أَنَّ الرَّهْنَ عَلَى مِلْكِ رَاهِنِهِ وَغَيْرُ مَضْمُونٍ عَلَى مُرْتَهِنِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ اسْتِحْقَاقُ الْمُطَالَبَةِ لِمَالِكِهِ كَغَيْرِ الرَّهْنِ وَلِأَنَّ الْجِنَايَةَ عَلَى الْعَبْدِ قَدْ تُوجِبُ الْقَوَدَ تَارَةً وَالْمَالَ أُخْرَى ثُمَّ أَنَّهَا لَوْ أَوْجَبَتِ الْقَوَدَ كَانَ الْخَصْمُ فِيهَا الرَّاهِنَ لِحَقِّ مِلْكِهِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ وَكَذَا إِذَا أَوْجَبَتِ الْمَالَ يَجِبُ أن يكون بالخصم فِيهَا الرَّاهِنَ لِحَقِّ الْمِلْكِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang beliau katakan, yaitu pihak yang menuntut atas pelanggaran terhadap budak dan yang menjadi lawan perkara adalah rahin, bukan murtahin. Abu Hanifah rahimahullah berkata: Pihak yang menuntut dan yang menjadi lawan perkara adalah murtahin, bukan rahin, berdasarkan pendapatnya bahwa barang gadai menjadi tanggungan murtahin, dan karena barang itu berada di tangannya, maka ia berhak menuntut sebagaimana pemilik. Dalilnya, menurut pendapat kami, barang gadai tetap milik rahin dan tidak menjadi tanggungan murtahin, sehingga hak menuntut tetap pada pemiliknya sebagaimana barang lain yang bukan gadai. Selain itu, pelanggaran terhadap budak kadang mewajibkan qishash dan kadang mewajibkan pembayaran harta. Jika pelanggaran itu mewajibkan qishash, maka yang menjadi lawan perkara adalah rahin karena hak kepemilikannya, bukan murtahin. Demikian pula jika mewajibkan pembayaran harta, maka yang menjadi lawan perkara adalah rahin karena hak kepemilikannya, bukan murtahin.

وَقَدْ تَحَرَّرَ مِنَ اعْتِلَالِ هَذَا الِاسْتِدْلَالِ قِيَاسَانِ:

Dari penjelasan argumentasi ini, terdapat dua qiyās:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ خَصْمًا فِي الْعَمْدِ كَانَ خَصْمًا فِي الْخَطَأِ كَغَيْرِ الْمَرْهُونِ.

Pertama: Setiap orang yang menjadi lawan perkara dalam kasus sengaja (al-‘amd), maka ia juga menjadi lawan perkara dalam kasus tidak sengaja (al-khathā’), sebagaimana pada barang yang bukan gadai.

وَالثَّانِي: أَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ خَصْمًا فِي غَيْرِ الْمَرْهُونِ كَانَ خَصْمًا فِي الْمَرْهُونِ كَالْعَمْدِ، فَأَمَّا مَا ذَكَرَهُ مَنْ بَنَاءِ عَلَى أَصْلِهِ فَمُقَابَلٌ بِمِثْلِهِ، وَمَا ذَكَرَهُ مِنْ حَقِّ الْيَدِ فَيَنْتَقِضُ بِالْمُسْتَأْجِرِ لَهُ يَدٌ وَلَيْسَ بِخَصْمٍ.

Kedua: Setiap orang yang menjadi lawan perkara pada barang yang bukan gadai, maka ia juga menjadi lawan perkara pada barang gadai, sebagaimana pada kasus sengaja. Adapun apa yang disebutkan tentang pendapat berdasarkan prinsipnya, maka itu dihadapkan dengan yang semisal. Dan apa yang disebutkan tentang hak kepemilikan, maka itu dapat dibantah dengan penyewa; ia memiliki hak kepemilikan tetapi bukan sebagai lawan perkara.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْخَصْمَ فِي الْجِنَايَةِ هُوَ الرَّاهِنُ فَلِلْمُرْتَهِنِ حُضُورُ خُصُومَتِهِ لِيَرْتَهِنَ مَا يُقْضَى بِهِ مِنْ أَرْشٍ وَلَا يَخْلُو حَالُ الْجَانِي مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: –

Apabila telah tetap bahwa pihak yang bersengketa dalam kasus jināyah adalah rāhin, maka bagi murtahin berhak hadir dalam persengketaan tersebut agar dapat mengambil jaminan dari arsy yang diputuskan. Keadaan pelaku jināyah tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَعْتَرِفَ بِالْجِنَايَةِ أَوْ يُنْكِرَهَا فَإِنِ اعْتَرَفَ بِالْجِنَايَةِ نُظِرَ، فَإِنْ صَدَّقَهُ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ عَلَيْهَا، كَانَ الْأَرْشُ مِلْكًا لِلرَّاهِنِ وَوَثِيقَةً لِلْمُرْتَهِنِ، وَإِنْ صَدَّقَهُ الرَّاهِنُ وَكَذَّبَهُ الْمُرْتَهِنُ كَانَ الْأَرْشُ مِلْكًا لِلرَّاهِنِ وَبَطَلَ أَنْ يَكُونَ وَثِيقَةً لِلْمُرْتَهِنِ، فَإِنْ صَدَّقَهُ الْمُرْتَهِنُ وَكَذَّبَهُ الرَّاهِنُ كَانَ الْأَرْشُ الْمَأْخُوذُ وَثِيقَةً لِلْمُرْتَهِنِ وَبَطَلَ أَنْ يَكُونَ مِلْكًا لِلرَّاهِنِ، فَإِنْ أَخَذَ الْمُرْتَهِنُ حَقَّهُ مِنْ غَيْرِ الْأَرْشِ وَجَبَ رَدُّ الْأَرْشِ عَلَى الْجَانِي، وَإِنْ لَمْ يَأْخُذْ حَقَّهُ مِنْ غَيْرِ الْأَرْشِ فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَهُ مِنَ الْأَرْشِ لِكَوْنِهِ وَثِيقَةً فِيهِ، فَإِنْ بَقِيَ مِنَ الْأَرْشِ بَعْدَ قَضَاءِ الْحَقِّ بَقِيَّةٌ وَجَبَ رَدُّهَا عَلَى الْجَانِي. فَهَذَا حُكْمُ اعْتِرَافِ الْجَانِي.

Yaitu, apakah ia mengakui jināyah tersebut atau mengingkarinya. Jika ia mengakui jināyah, maka dilihat lagi: jika rāhin dan murtahin sama-sama membenarkannya, maka arsy menjadi milik rāhin dan menjadi jaminan bagi murtahin. Jika rāhin membenarkan dan murtahin mendustakan, maka arsy tetap menjadi milik rāhin dan batal menjadi jaminan bagi murtahin. Jika murtahin membenarkan dan rāhin mendustakan, maka arsy yang diambil menjadi jaminan bagi murtahin dan batal menjadi milik rāhin. Jika murtahin mengambil haknya dari selain arsy, maka arsy wajib dikembalikan kepada pelaku jināyah. Jika ia tidak mengambil haknya dari selain arsy, maka ia boleh mengambilnya dari arsy karena arsy menjadi jaminan baginya. Jika masih tersisa dari arsy setelah hak murtahin terpenuhi, maka sisanya wajib dikembalikan kepada pelaku jināyah. Inilah hukum pengakuan pelaku jināyah.

وَإِنْ أَنْكَرَ الْجَانِي فَإِنْ قَامَتْ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ بِالْجِنَايَةِ لَزِمَتْهُ الْجِنَايَةُ وَإِنْ لَمْ تَقُمْ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْجَانِي مَعَ يَمِينِهِ فَإِنْ حَلَفَ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَإِنْ نَكَلَ عَنْهَا رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَى الرَّاهِنِ لِأَنَّهُ مَالِكٌ بِمُوجِبِهَا فَإِنْ حَلَفَ ثَبَتَتِ الْجِنَايَةُ وَإِنْ نَكَلَ عَنْهَا فَهَلْ يَجِبُ إِحْلَافُ الْمُرْتَهِنِ فِيهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مَضَيَا.

Jika pelaku jināyah mengingkari, lalu ada bukti (bayyinah) yang menegaskan jināyah atas dirinya, maka ia tetap bertanggung jawab atas jināyah tersebut. Jika tidak ada bukti atas dirinya, maka perkataan pelaku jināyah diterima dengan sumpahnya. Jika ia bersumpah, maka tidak ada apa-apa atas dirinya. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dialihkan kepada rāhin karena ia adalah pemilik berdasarkan sumpah tersebut. Jika rāhin bersumpah, maka jināyah tetap terbukti. Jika ia enggan bersumpah, maka apakah murtahin wajib disumpahkan dalam hal ini atau tidak? Ada dua pendapat yang telah lalu.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَتِ الْجِنَايَةُ عَلَى الْجَانِي إِمَّا بِإِقْرَارٍ أَوْ بِبَيِّنَةٍ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ تَكُونَ خَطَأً يُوجِبُ الْمَالَ أَوْ تَكُونَ عَمْدًا يُوجِبُ الْقَوَدَ، فَإِنْ كَانَتْ خَطَأً يُوجِبُ الْمَالَ فَلَيْسَ لِلرَّاهِنِ قَبْضُ أَرْشِهَا لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ خَصْمًا فِيهِ فَحَقُّ الْمُرْتَهِنِ مُتَعَلِّقٌ بِأَرْشِهَا وَإِنَّمَا لَهُ أَنْ يُثْبِتَ عَلَى الْجَانِي مَا وَجَبَ بِهَا، وَالْوَاجِبُ أَنْ يَقْبِضَ الْأَرْشَ مَا كَانَ قَابِضًا لِلرَّهْنِ، فَإِنْ كَانَ الرَّهْنُ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ فَلِلْمُرْتَهِنِ قَبْضُ الْأَرْشِ، وَإِنْ كَانَ عَلَى يَدِ عَدْلٍ فَلِلْعَدْلِ قَبْضُ الْأَرْشِ فَإِنْ عَفَا الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ عَنِ الْأَرْشِ بَرِئَ الْجَانِي وَلَمْ يَكُنْ لِلْعَدْلِ أَنْ يَقْبِضَ الْأَرْشَ، وَإِنْ عَفَا الْمُرْتَهِنُ عَنِ الْأَرْشِ دُونَ الرَّاهِنِ بَطَلَتْ وَثِيقَةُ الْمُرْتَهِنِ فِي الْأَرْشِ وَلَمْ يَبْرَأِ الْجَانِي وَكَانَ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَقْبِضَ مِنْهُ الْأَرْشَ دُونَ الْعَدْلِ لِأَنَّ الْعَدْلَ إِنَّمَا كَانَ لَهُ أَنْ يَقْبِضَ الْأَرْشَ لِحَقِّ الْمُرْتَهِنِ وَعَفْوُ الْمُرْتَهِنِ قَدْ أَبْطَلَ وَثِيقَتَهُ فِيهِ فَلَمْ يَبْقَ لِلْعَدْلِ نِيَابَةٌ عَنْهُ، وَإِنْ عَفَا الرَّاهِنُ دُونَ الْمُرْتَهِنِ لَمْ يَصِحَّ عَفْوُهُ لِأَنَّ تَعَلُّقَ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِهِ قَدْ أَوْقَعَ حَجْرًا عَلَيْهِ وَالْمَحْجُورُ عَلَيْهِ إِذَا عَفَا عَنْ مِلْكِهِ لَمْ يَصِحَّ عَفْوُهُ فَلِذَلِكَ قُلْنَا إِنَّ عَفْوَ الرَّاهِنِ لَا يُبْطِلُ مِلْكَهُ لِأَنَّ لِلْمُرْتَهِنِ حَجْرًا عَلَيْهِ، وَعَفْوُ الْمُرْتَهِنِ يُبْطِلُ وَثِيقَتَهُ لِأَنَّهُ لَيْسَ لِلرَّاهِنِ حَجْرًا عَلَيْهِ. وَإِذَا لَمْ يَصِحَّ عَفْوُ الرَّاهِنِ فَلِلْعَدْلِ قَبْضُ الْأَرْشِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ لِبَقَاءِ نِيَابَةِ الْعَدْلِ عَنِ الرَّاهِنِ إِذْ عَفْوُهُ لَمْ يُبْطِلْ مِلْكَهُ عَنِ الْأَرْشِ، فَإِذَا قَبَضَ الْمُرْتَهِنُ حَقَّهُ مِنَ الْأَرْشِ كَانَ الْفَاضِلُ مِنْهُ مَرْدُودًا عَلَى الرَّاهِنِ وَإِنْ تَقَدَّمَ مِنْهُ الْعَفْوُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Apabila jināyah telah terbukti atas pelaku, baik dengan pengakuan maupun dengan bukti, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah jināyah itu karena kesalahan (khata’) yang mewajibkan pembayaran harta, atau karena sengaja (‘amdan) yang mewajibkan qawad (qishāsh). Jika jināyah itu karena kesalahan yang mewajibkan pembayaran harta, maka rāhin tidak berhak menerima arsy-nya, karena jika ia adalah pihak yang bersengketa, maka hak murtahin terkait dengan arsy tersebut, dan ia hanya berhak menuntut kepada pelaku jināyah apa yang wajib atasnya. Yang wajib menerima arsy adalah siapa yang memegang rahn. Jika rahn di tangan murtahin, maka murtahin yang berhak menerima arsy. Jika rahn di tangan pihak adil (penengah), maka pihak adil yang berhak menerima arsy. Jika rāhin dan murtahin sama-sama memaafkan arsy, maka pelaku jināyah bebas dan pihak adil tidak berhak menerima arsy. Jika murtahin memaafkan arsy tanpa rāhin, maka jaminan murtahin atas arsy batal dan pelaku jināyah tidak bebas, dan rāhin berhak menerima arsy dari pelaku jināyah tanpa melalui pihak adil, karena pihak adil hanya berhak menerima arsy untuk hak murtahin, dan pemaafan murtahin telah membatalkan jaminannya, sehingga pihak adil tidak lagi menjadi wakilnya. Jika rāhin memaafkan tanpa murtahin, maka pemaafannya tidak sah, karena keterkaitan hak murtahin telah menyebabkan adanya pembatasan atas rāhin, dan orang yang dibatasi haknya jika memaafkan atas miliknya, maka pemaafannya tidak sah. Oleh karena itu, kami katakan bahwa pemaafan rāhin tidak membatalkan kepemilikannya karena murtahin memiliki hak pembatasan atasnya, sedangkan pemaafan murtahin membatalkan jaminannya karena rāhin tidak memiliki hak pembatasan atasnya. Jika pemaafan rāhin tidak sah, maka pihak adil berhak menerima arsy, bukan murtahin, karena pihak adil masih menjadi wakil rāhin, sebab pemaafan rāhin tidak membatalkan kepemilikannya atas arsy. Jika murtahin telah menerima haknya dari arsy, maka sisanya dikembalikan kepada rāhin, meskipun sebelumnya ia telah memaafkan. Wallāhu a‘lam.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ عَمْدًا يُوجِبُ الْقَوَدَ فَلِلرَّاهِنِ الْخِيَارُ بَيْنَ الْقِصَاصِ أَوِ الْمَالِ فَإِنِ اخْتَارَ الْقِصَاصَ فَلَهُ أَنْ يَقْتَصَّ وَإِنْ لَمْ يَحْضُرِ الْمُرْتَهِنُ.

Jika jinayah (kejahatan) dilakukan secara sengaja yang mewajibkan qishāsh, maka pihak rāhin (yang menggadaikan) memiliki pilihan antara qishāsh atau harta. Jika ia memilih qishāsh, maka ia berhak melaksanakan qishāsh meskipun murtahin (penerima gadai) tidak hadir.

وَقَالَ أبو حنيفة لَيْسَ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَقْتَصَّ إِلَّا بِحُضُورِ الْمُرْتَهِنِ وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ لِأَنَّ الْقِصَاصَ مِنْ حُقُوقِ الْمِلْكِ وَلَيْسَ مِنْ حُقُوقِ الرَّهْنِ لِمَا فِيهِ مِنْ إِبْطَالِ الرَّهْنِ. وَإِنِ اخْتَارَ الرَّاهِنُ الْمَالَ وَعَفَا عَنِ الْقِصَاصِ كَانَ الْحُكْمُ فِي الْمَالِ عَلَى مَا مَضَى فِي جِنَايَةِ الْخَطَأِ لَيْسَ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَقْبِضَهُ وَالْمُسْتَحِقُّ لِقَبْضِهِ مَنْ كَانَ الرَّهْنُ فِي يَدِهِ. فَإِنْ عَفَا الرَّاهِنُ عَنِ الْقِصَاصِ وَالْمَالِ مَعًا فَإِنْ كَانَ بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ صَحَّ عَفْوُهُ عَنْهُمَا وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنٍ صَحَّ عَفْوُهُ عَنِ الْقِصَاصِ وَهَلْ يَصِحُّ عَنِ الْمَالِ أم لا على قولين مضيا.

Abu Hanifah berpendapat bahwa rāhin tidak boleh melaksanakan qishāsh kecuali dengan kehadiran murtahin. Namun pendapat ini tidak benar, karena qishāsh termasuk hak kepemilikan, bukan hak gadai, sebab di dalamnya terdapat pembatalan gadai. Jika rāhin memilih harta dan memaafkan qishāsh, maka hukum terkait harta mengikuti apa yang telah dijelaskan pada jinayah khathā’ (kejahatan tidak sengaja), yaitu rāhin tidak berhak menerima harta tersebut, dan yang berhak menerimanya adalah pihak yang memegang barang gadai. Jika rāhin memaafkan baik qishāsh maupun harta sekaligus, maka jika dengan izin murtahin, sah pemaafannya atas keduanya. Namun jika tanpa izin, sah pemaafannya atas qishāsh, dan apakah sah atas harta atau tidak, terdapat dua pendapat yang telah lalu.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ رَهَنَهُ عَبْدًا بِدَنَانِيرَ وَعَبْدًا بِحِنْطَةٍ فَقَتَلَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ كَانَتِ الْجِنَايَةُ هَدَرًا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menggadaikan seorang budak dengan dinar, dan budak lain dengan gandum, lalu salah satu dari keduanya membunuh yang lain, maka jinayah tersebut menjadi sia-sia (tidak ada tuntutan).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا حُكْمَ الْعَبْدَيْنِ إِذَا رُهِنَا عِنْدَ رَجُلٍ بِحَقَّيْنِ وَسَوَاءٌ كَانَ الْحَقَّانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ أَوْ جِنْسَيْنِ.

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan hukum dua budak jika keduanya digadaikan kepada seseorang untuk dua hak, baik kedua hak itu dari jenis yang sama maupun dari dua jenis yang berbeda.

فَإِذَا كَانَ أَحَدُهُمَا رَهْنًا على عشرين دينارا والآخر رهنا على كسر حنطة، فإن كان قيمة الحنطة عشرين دينار فَحُكْمُهَا حُكْمُ الْعَبْدَيْنِ إِذَا رُهِنَا بِحَقَّيْنِ مُتَمَاثِلَيْنِ وَقَدْ ذَكَرْنَاهُ وَإِنْ كَانَ قِيمَةُ الْحِنْطَةِ أَقَلَّ مِنْ عِشْرِينَ دِينَارًا أَوْ أَكْثَرَ فَحُكْمُهَا حُكْمُ الْعَبْدَيْنِ إِذَا رُهِنَا بِحَقَّيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ وَقَدْ ذَكَرْنَاهُ والله أعلم.

Jika salah satunya digadaikan untuk dua puluh dinar dan yang lainnya untuk sejumlah gandum, maka jika nilai gandum itu dua puluh dinar, hukumnya sama seperti dua budak yang digadaikan untuk dua hak yang sama, dan telah kami sebutkan. Namun jika nilai gandum kurang dari dua puluh dinar atau lebih, maka hukumnya seperti dua budak yang digadaikan untuk dua hak yang berbeda, dan telah kami sebutkan. Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأَكْرَهُ أَنْ يَرْهَنَ مِنْ مُشْرِكٍ مُصْحَفًا أَوْ عَبْدًا مُسْلِمًا وَأَجْبَرَهُ عَلَى أَنْ يَضَعَهُمَا عَلَى يدي مسلم ولا بأس برهنه مَا سِوَاهُمَا رَهَنَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – درعه عند أبي الشحم اليهودي (قال الشافعي) في غير كتاب الرهن الكبير: إن الرهن في المصحف والعبد المسلم من النصراني باطل “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Aku tidak menyukai menggadaikan mushaf atau budak muslim dari orang musyrik, dan aku mewajibkan agar keduanya diletakkan di tangan seorang muslim yang adil. Tidak mengapa menggadaikan selain keduanya. Nabi ﷺ pernah menggadaikan baju besinya kepada Abu Syahm, seorang Yahudi. (Syafi‘i berkata) dalam kitab selain Kitab Ar-Rahn Al-Kabir: Sesungguhnya gadai mushaf dan budak muslim dari orang Nasrani adalah batal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، كُلُّ شَيْءٍ جاز أن يملكه الْمُشْرِكُ جَازَ أَنْ يُرْهَنَ عِنْدَ الْمُشْرِكِ كَالدُّورِ وَالْأَرْضِينَ وَالْمَوَاشِي وَالثِّيَابِ وَالْعُرُوضِ وَالْأَثَاثِ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَهَنَ دِرْعِهِ عِنْدَ أَبِي الشَّحْمِ الْيَهُودِيِّ، وَلِأَنَّ الرَّهْنَ وَثِيقَةٌ فَاسْتَوَى فِيهِ الْمُسْلِمُ وَالْكَافِرُ كَالضَّمَانِ. فَأَمَّا مَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَمْلِكَهُ الْمُشْرِكُ كَالْعَبْدِ الْمُسْلِمِ وَالْمُصْحَفِ إِذَا رَهَنَهُ مُسْلِمٌ عِنْدَ مُشْرِكٍ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, segala sesuatu yang boleh dimiliki oleh orang musyrik, maka boleh digadaikan kepadanya, seperti rumah, tanah, hewan ternak, pakaian, barang dagangan, dan perabotan. Karena Rasulullah ﷺ pernah menggadaikan baju besinya kepada Abu Syahm, seorang Yahudi. Dan karena gadai adalah jaminan, maka sama saja antara muslim dan kafir, seperti halnya penjaminan. Adapun sesuatu yang tidak boleh dimiliki oleh orang musyrik, seperti budak muslim dan mushaf, jika seorang muslim menggadaikannya kepada orang musyrik, maka ada tiga bentuk:

أَحَدُهَا: أَنْ يَشْتَرِطَا تَرْكَهُ عَلَى يَدَيِ الْمُشْرِكِ فَيَكُونُ رَهْنًا بَاطِلًا لِأَنَّ مُوجِبَ الشَّرْطِ مَحْظُورٌ.

Pertama: Keduanya mensyaratkan agar barang tersebut tetap berada di tangan orang musyrik, maka gadai tersebut batal karena syaratnya mengharuskan sesuatu yang terlarang.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَشْتَرِطَا تَرْكَهُ عَلَى يَدِ عَدْلٍ مُسْلِمٍ فَيَكُونُ رَهْنُهُ جَائِزًا لِأَنَّ مُوجِبَ الشَّرْطِ مُبَاحٌ.

Kedua: Keduanya mensyaratkan agar barang tersebut tetap berada di tangan seorang muslim yang adil, maka gadai tersebut sah karena syaratnya dibolehkan.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: أَنْ يُطْلِقَا رَهْنَهُ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ فَفِي جَوَازِ رَهْنِهِ قَوْلَانِ: نَصَّ عَلَيْهِمَا فِي كِتَابِ الرَّهْنِ مِنَ الْأُمِّ، أَحَدُهُمَا بَاطِلٌ وَالثَّانِي جَائِزٌ.

Ketiga: Keduanya menggadaikan tanpa syarat, maka dalam kebolehan gadai tersebut terdapat dua pendapat yang telah dinyatakan dalam Kitab Ar-Rahn dari Al-Umm: salah satunya batal, dan yang kedua sah.

وَهَذَانِ الْقَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي بَيْعِ ذَلِكَ عَلَى الْمُشْرِكِ وَقَدْ مَضَى تَوْجِيهُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ الْبُيُوعِ.

Dua pendapat ini dibangun atas perbedaan pendapat beliau dalam jual beli barang tersebut kepada orang musyrik, dan penjelasannya telah lalu dalam Kitab Al-Buyu‘.

فَإِذَا قُلْنَا بِبُطْلَانِ الرَّهْنِ فَسَوَاءٌ أَسْلَمَ الْمُشْرِكُ قَبْلَ الْقَبْضِ أَمْ لَا لِفَسَادِ الْعَقْدِ وَإِنْ قُلْنَا يَجُوزُ الرَّهْنُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُوضَعَ عَلَى يَدِ الْمُشْرِكِ لِأَنَّ الْمُشْرِكَ لَا يَجُوزُ أَنْ تُقَرَّ يَدُهُ عَلَى مُسْلِمٍ وَلَا مُصْحَفٍ فَوَجَبَ أَنْ يُوضَعَ عَلَى يَدِ عَدْلٍ مُسْلِمٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.

Jika kita berpendapat bahwa gadai tersebut batal, maka sama saja apakah orang musyrik masuk Islam sebelum penyerahan barang atau tidak, karena akadnya rusak. Namun jika kita berpendapat bahwa gadai tersebut sah, maka tidak boleh diletakkan di tangan orang musyrik, karena tidak boleh menetapkan kepemilikan orang musyrik atas seorang muslim atau mushaf. Maka wajib diletakkan di tangan seorang muslim yang adil. Allah lebih mengetahui kebenaran.

باب اختلاف الراهن والمرتهن

(Bab Perselisihan antara Rāhin dan Murtahin)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” ومعقول إذا أذن الله جل وعز بِالرَّهْنِ أَنَّهُ زِيَادَةٌ وَثِيقَةٌ لِصَاحِبِ الْحَقِّ وَأَنَّهُ لَيْسَ بِالْحَقِّ بِعَيْنِهِ وَلَا جُزْءًا مِنْ عَدَدِهِ “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Dan dapat dipahami bahwa ketika Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mulia membolehkan rahn (gadai), maka itu adalah tambahan jaminan bagi pemilik hak, dan bahwa rahn itu sendiri bukanlah hak itu sendiri dan bukan pula bagian dari jumlah hak tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَهَذِهِ جُمْلَةٌ تَحْتَاجُ إِلَى تَفْصِيلٍ وَشَرْحٍ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, namun pernyataan ini membutuhkan perincian dan penjelasan.

أَمَّا قَوْلُهُ وَمَعْقُولٌ فَيَعْنِي أَنَّ الرَّهْنَ لَمْ يُعْلَمْ كَوْنُهُ وَثِيقَةً بِنَصِّ كِتَابٍ وَلَا سُنَّةٍ، وَإِنَّمَا عُقِلَ اسْتِنْبَاطًا مِنْ إِبَاحَتِهِ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَكُلِّ مَوْضِعٍ.

Adapun ucapannya “dan dapat dipahami”, maksudnya adalah bahwa rahn tidak diketahui sebagai jaminan berdasarkan nash dari al-Qur’an maupun sunnah, melainkan dipahami melalui istinbāṭ (penggalian hukum) dari kebolehannya dalam al-Qur’an, sunnah, dan di setiap tempat.

قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَمَعْقُولٌ، فَإِنَّمَا يُرِيدُ بِهِ مَعْقُولَ الشَّرْعِ، لَا مَعْقُولَ الْبَدِيهَةِ وَالْعَقْلِ.

Imam Syafi‘i berkata: “Dan dapat dipahami”, yang beliau maksud adalah makna yang dipahami dari syariat, bukan makna yang dipahami secara logika spontan atau akal semata.

وَأَمَّا قَوْلُهُ إِذَا أَذِنَ اللَّهُ تَعَالَى بِالرَّهْنِ فَلْيُعْلَمْ أَنَّهُ مُبَاحٌ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ رَدًّا عَلَى مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ فِي السَّفَرِ وَاجِبٌ؛ لِأَنَّهُ أَذِنَ بِهِ وَلَوْ كَانَ وَاجِبًا لَأَمَرَ بِهِ.

Adapun ucapannya “jika Allah Ta‘ala membolehkan rahn”, maka hendaknya diketahui bahwa rahn itu mubah (boleh) dan bukan wajib, sebagai bantahan terhadap orang yang mengira bahwa rahn itu wajib dalam safar (perjalanan); karena Allah hanya membolehkannya, dan jika memang wajib tentu Allah akan memerintahkannya.

وَأَمَّا قَوْلُهُ: إِنَّهُ زِيَادَةٌ وَثِيقَةٌ لِصَاحِبِ الْحَقِّ فَقَدْ قِيلَ مَعْنَاهُ أَنَّهُ وَثِيقَةٌ، وَقَوْلُهُ زِيَادَةٌ صِلَةٌ فِي الْكَلَامِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ} [النساء: 11] وَكَقَوْلِهِ: {فَاضْرِبُوا فَوْقَ الأَعْنَاقِ} [الأنفال: 12] وَقِيلَ: بَلْ هُوَ زِيَادَةٌ وَثِيقَةٌ حَقِيقَةٌ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ فِي الْكَلَامِ صِلَةً، وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:

Adapun ucapannya: “bahwa rahn adalah tambahan jaminan bagi pemilik hak”, telah dikatakan bahwa maksudnya adalah rahn itu merupakan jaminan, dan kata “tambahan” di sini hanyalah tambahan dalam ucapan, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Maka jika mereka perempuan lebih dari dua} [an-Nisā’: 11] dan firman-Nya: {Maka penggallah di atas leher-leher itu} [al-Anfāl: 12]. Ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya memang benar-benar tambahan jaminan, bukan sekadar tambahan dalam ucapan, dan dalam hal ini terdapat dua penafsiran:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ زِيَادَةٌ وَثِيقَةٌ عَلَى الذِّمَّةِ.

Pertama: bahwa rahn adalah tambahan jaminan di atas tanggungan (dzimmah).

وَالثَّانِي: أَنَّهُ زِيَادَةٌ مَعَ الشَّهَادَةِ الَّتِي هِيَ وَثِيقَةٌ ذَكَرَهَا اللَّهُ تَعَالَى فِي الْآيَةِ، ثُمَّ عَقَّبَهَا بِإِبَاحَةِ الرَّهْنِ الَّذِي هُوَ وَثِيقَةٌ، فَصَارَ الرهن وثيقة زايدة مَعَ الشَّهَادَةِ، وَأَمَّا قَوْلُهُ إِنَّهُ لَيْسَ الْحَقَّ بعينه ولا جزء مِنْ عَدَدِهِ فَإِنَّمَا قَصَدَ بِهِ الرَّدَّ عَلَى أبي حنيفة فِي إِيجَابِهِ ضَمَانَ الرَّهْنِ بِأَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ مِنَ الْقِيمَةِ أَوِ الْحَقِّ لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَكُنِ الرَّهْنُ هُوَ الْحَقَّ بِعَيْنِهِ وَلَا جزء مِنْ عَدَدِهِ فَلِمَ أُبْطِلَ الْحَقُّ بِتَلَفِهِ، وَإِنَّمَا لَمْ يَكُنْ هُوَ الْحَقَّ بِعَيْنِهِ لِأَنَّ الْمُرْتَهِنَ لَوْ أَبْرَأَ الرَّاهِنَ ومِنَ الرَّهْنِ بَرِئَ مِنْهُ وَلَمْ يَبْرَأْ مِنَ الْحَقِّ، وَلَوْ كَانَ هُوَ الْحَقَّ بِعَيْنِهِ لَكَانَ إِذَا بَرِئَ مِنْهُ بَرِئَ مِنَ الْحَقِّ.

Kedua: bahwa rahn adalah tambahan di samping kesaksian yang juga merupakan jaminan sebagaimana disebutkan Allah Ta‘ala dalam ayat, kemudian Allah menyusulnya dengan kebolehan rahn yang juga merupakan jaminan. Maka rahn menjadi jaminan tambahan di samping kesaksian. Adapun ucapannya bahwa rahn itu bukan hak itu sendiri dan bukan pula bagian dari jumlah hak, maksudnya adalah sebagai bantahan terhadap pendapat Abu Hanifah yang mewajibkan penjaminan rahn dengan nilai yang lebih kecil antara nilai barang atau hak, karena jika rahn itu bukan hak itu sendiri dan bukan pula bagian dari jumlah hak, maka mengapa hak itu menjadi batal dengan hilangnya rahn? Rahn itu bukan hak itu sendiri karena jika murtahin (penerima gadai) membebaskan rāhin (penggadai) dari rahn, maka ia terbebas dari rahn namun tidak terbebas dari hak. Jika rahn itu adalah hak itu sendiri, maka ketika terbebas dari rahn, ia pun terbebas dari hak.

وَلَمْ يَكُنْ أَيْضًا جُزْءًا مِنَ الْحَقِّ، لِأَنَّهُ يَجُوزُ اشْتِرَاطُ الرَّهْنِ فِي الْقَرْضِ ولو كان جزءا منه لكل زِيَادَةٍ فِي الْقَرْضِ وَالزِّيَادَةُ رِبًا مُحَرَّمٌ، فَهَذَا تَفْصِيلُ كَلَامِهِ وَبَيَانُ شَرْحِهِ، وَمَا قَصَدَهُ الشَّافِعِيُّ بِهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِضَمِيرِ قَلْبِهِ.

Rahn juga bukan bagian dari hak, karena boleh saja mensyaratkan rahn dalam akad qardh (pinjaman), dan jika rahn adalah bagian dari hak, maka setiap tambahan dalam qardh adalah riba yang diharamkan. Inilah perincian dan penjelasan dari ucapannya, dan maksud yang dikehendaki Imam Syafi‘i, dan Allah lebih mengetahui isi hati beliau.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ بَاعَ رَجُلٌ شَيْئًا عَلَى أَنْ يَرْهَنَهُ مِنْ مَالِهِ مَا يَعْرِفَانِهِ يَضَعَانِهِ عَلَى يَدَيْ عَدْلٍ أَوْ عَلَى يَدَيِ الْمُرْتَهِنِ كَانَ الْبَيْعُ جَائِزًا “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang menjual sesuatu dengan syarat akan menggadaikan dari hartanya sesuatu yang mereka berdua ketahui, lalu mereka meletakkannya di tangan orang yang adil atau di tangan murtahin, maka jual beli itu sah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: الْبَيْعُ بِشَرْطِ الرَّهْنِ جَائِزٌ، فَإِنْ بَاعَهُ شَيْئًا عَلَى أَنْ يُعْطِيَهُ بِثَمَنِهِ رَهْنًا وَكَانَ الرَّهْنُ مُعَيَّنًا كَانَ الْبَيْعُ صَحِيحًا وَالرَّهْنُ جَائِزًا، لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: jual beli dengan syarat rahn adalah sah. Jika ia menjual sesuatu dengan syarat akan memberikan barang itu sebagai rahn atas harganya, dan rahn itu telah ditentukan, maka jual belinya sah dan rahn-nya juga sah, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: إنما جَازَ اشْتِرَاطُهُ بَعْدَ الْعَقْدِ كَانَ أَوْلَى بِالْجَوَازِ مَعَ الْعَقْدِ لِأَنَّ مِنَ الشُّرُوطِ مَا يَلْزَمُ مَعَ الْعَقْدِ وَلَا يَلْزَمُ بَعْدَ الْعَقْدِ كَالْأَجَلِ، فَلَمَّا كَانَ الرَّهْنُ بَعْدَ الْعَقْدِ جَائِزًا كَانَ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ مَعَ الْعَقْدِ جَائِزًا.

Pertama: Jika mensyaratkan rahn setelah akad saja dibolehkan, maka lebih utama lagi dibolehkan bersamaan dengan akad, karena ada syarat yang mengikat bersama akad namun tidak mengikat setelah akad, seperti syarat tempo. Maka jika rahn setelah akad dibolehkan, maka lebih utama lagi jika bersamaan dengan akad juga dibolehkan.

وَالثَّانِي: أَنَّ الرَّهْنَ مِنْ مَصْلَحَةِ الْعَقْدِ لِأَنَّهُ مَوْضُوعٌ لِاسْتِيفَاءِ مُوجِبِهِ، وَمَا كَانَ مِنْ مَصْلَحَتِهِ جَازَ اشْتِرَاطُهُ فِيهِ كَالْخِيَارِ.

Kedua: Bahwa rahn merupakan kemaslahatan akad, karena rahn itu ditetapkan untuk memenuhi kewajiban akad tersebut, dan segala sesuatu yang merupakan kemaslahatan akad boleh disyaratkan di dalamnya, seperti khiyār (hak memilih).

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ اشْتِرَاطِهِ فِي الْعَقْدِ، فَلَا يَخْلُو حَالُهُمَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika telah tetap kebolehan mensyaratkan rahn dalam akad, maka keadaan keduanya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَشْتَرِطَا تَرْكَ الرَّهْنِ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ فَالْوَاجِبُ أَنْ يُوضَعَ عَلَى يَدِهِ لِمُوجِبِ شَرْطِهِ، وَلَيْسَ لَهُ إِذَا قَبَضَهُ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنْهُ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ حَالُهُ.

Salah satunya: Apabila keduanya mensyaratkan agar barang gadai tetap berada di tangan murtahin (penerima gadai), maka wajib diletakkan di tangannya sesuai dengan syarat tersebut, dan tidak boleh bagi rahin (pemberi gadai), setelah murtahin menerimanya, untuk mengambilnya kembali selama keadaannya belum berubah.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَشْتَرِطَا وَضْعَهُ عَلَى يَدِ عَدْلٍ، فَالْوَاجِبُ أَنْ يُوضَعَ عَلَى يَدِهِ مَا لَمْ يَتَّفِقَا عَلَى غَيْرِهِ وَلَيْسَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا إِذَا حَصَلَ الرَّهْنُ بِيَدِهِ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنْهُ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ حَالُهُ.

Bagian kedua: Apabila keduanya mensyaratkan agar barang gadai diletakkan di tangan seorang ‘adl (orang yang adil), maka wajib diletakkan di tangannya selama keduanya tidak sepakat atas selainnya, dan tidak boleh bagi salah satu dari mereka, setelah barang gadai berada di tangan ‘adl tersebut, untuk mengambilnya kembali selama keadaannya belum berubah.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُطْلِقَا وَلَا يَشْتَرِطَا تَرْكَهُ عَلَى يَدِ الْمُرْتَهِنِ وَلَا عَدْلٍ يَتَّفِقَانِ عَلَيْهِ.

Bagian ketiga: Apabila keduanya membiarkan secara mutlak dan tidak mensyaratkan agar barang gadai diletakkan di tangan murtahin maupun di tangan seorang ‘adl yang mereka sepakati.

فَفِي الرَّهْنِ وَجْهَانِ:

Maka dalam hal gadai ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ لِلْجَهْلِ بِمُسْتَحَقِّ الْيَدِ.

Salah satunya: Tidak sah, karena tidak diketahui siapa yang berhak memegang barang tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهَذَا أَصَحُّ أَنَّ الرَّهْنَ جَائِزٌ لِأَنَّ تَعَيُّنَهُ لِمَا لَمْ يَلْزَمْ بِالْعَقْدِ لَمْ يَكُنْ شَرْطًا فِي صِحَّةِ الْعَقْدِ، فَعَلَى هَذَا إِنِ اتَّفَقَا عَلَى تَرْكِهِ فِي يَدِ مَنْ يَرْضَيَانِ بِهِ، وَإِلَّا اخْتَارَ لَهُمَا الْحَاكِمُ عَدْلًا وَأَمَرَهُمَا بِوَضْعِهِ عَلَى يده.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih shahih: Bahwa gadai tersebut sah, karena penentuan siapa yang memegangnya, selama belum menjadi kewajiban dalam akad, bukanlah syarat sahnya akad. Oleh karena itu, jika keduanya sepakat untuk meletakkannya di tangan orang yang mereka ridai, maka dilakukan demikian. Jika tidak, hakim memilihkan seorang ‘adl untuk mereka dan memerintahkan agar barang gadai diletakkan di tangannya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَمْ يَكُنِ الرَّهْنُ تَامًّا حَتَّى يَقْبِضَهُ الْمُرْتَهِنُ وَلَوِ امْتَنَعَ الرَّاهِنُ أَنْ يُقْبِضَهُ الرَّهْنَ لَمْ يُجْبِرْهُ وَالْبَائِعُ بِالْخِيَارِ فِي إِتْمَامِ الْبَيْعِ بِلَا رَهْنٍ أَوْ رَدِّهِ لِأَنَّهُ لَمْ يَرْضَ بِذِمَّتِهِ دون الرهن “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dan gadai itu belum sempurna sampai murtahin menerimanya. Jika rahin menolak untuk menyerahkan barang gadai, maka ia tidak dipaksa, dan penjual memiliki hak memilih untuk melanjutkan jual beli tanpa gadai atau membatalkannya, karena ia tidak rela dengan tanggungan (piutang) saja tanpa adanya gadai.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِنَّمَا قَصَدَ الشَّافِعِيُّ بِهَذَا الْكَلَامِ الرَّدَّ عَلَى مَالِكٍ فِي مَسْأَلَةٍ، وَعَلَى أبي حنيفة فِي أُخْرَى.

Al-Mawardi berkata: Maksud Imam Syafi‘i dengan perkataan ini adalah untuk membantah pendapat Malik dalam satu masalah, dan membantah Abu Hanifah dalam masalah lain.

أَمَّا عَلَى مَالِكٍ فَقَوْلُهُ: إِنَّ الرَّهْنَ يَتِمُّ بِالْعَقْدِ دُونَ الْقَبْضِ، وَالشَّافِعِيُّ يَقُولُ: إِنَّهُ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِالْعَقْدِ وَالْقَبْضِ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيهِ.

Adapun terhadap Malik, yaitu pendapatnya bahwa gadai menjadi sempurna dengan akad tanpa harus ada penyerahan, sedangkan Syafi‘i berpendapat bahwa gadai tidak sempurna kecuali dengan akad dan penyerahan, dan penjelasan tentang hal ini telah lalu.

وَأَمَّا عَلَى أبي حنيفة فَإِنَّهُ يَقُولُ: إِنَّ الرَّهْنَ إِنْ كَانَ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ أُجْبِرَ الرَّاهِنُ عَلَى قَبْضِهِ وَالشَّافِعِيُّ يَقُولُ: إِنَّ الرَّهْنَ وَإِنْ كَانَ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ فَإِنَّ الرَّاهِنَ لَا يُجْبَرُ عَلَى قَبْضِهِ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيهِ.

Adapun terhadap Abu Hanifah, ia berpendapat bahwa jika gadai disyaratkan dalam jual beli, maka rahin dipaksa untuk menyerahkannya. Sedangkan Syafi‘i berpendapat bahwa meskipun gadai disyaratkan dalam jual beli, rahin tidak dipaksa untuk menyerahkannya, dan penjelasan tentang hal ini telah lalu.

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَإِنْ أَقْبَضَ الرَّاهِنُ الْمُرْتَهِنَ حَقَّهُ لَزِمَهُ وَسَقَطَ خِيَارُ الْبَائِعِ وَإِنْ لَمْ يُقْبِضْهُ الرَّهْنَ لَمْ يُجْبَرْ عَلَيْهِ وَلَكِنْ يَكُونُ الْبَائِعُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ بلا رهن وبين فسخه لِأَنَّهُ لَمْ يَرْضَ بِذِمَّتِهِ حَتَّى شَرَطَ رَهْنًا يَتَوَثَّقُ بِهِ فَإِذَا لَمْ يَحْصُلْ لَهُ التَّوَثُّقُ بِالرَّهْنِ كَانَ ذَلِكَ نَقْصًا وَعَيْبًا، فَيَثْبُتُ لَهُ الْخِيَارُ وَهَذَا الْخِيَارُ يَجِبُ بَعْدَ الِامْتِنَاعِ عَلَى الْفَوْرِ لِأَنَّهُ خِيَارُ عَيْبٍ وَالِامْتِنَاعُ يَكُونُ بَعْدَ الطلب.

Jika demikian, maka apabila rahin telah menyerahkan barang gadai kepada murtahin, maka menjadi wajib baginya dan hak khiyar (hak memilih) penjual gugur. Namun jika rahin tidak menyerahkan barang gadai, maka ia tidak dipaksa, tetapi penjual memiliki hak khiyar antara melanjutkan jual beli tanpa gadai atau membatalkannya, karena ia tidak rela dengan tanggungan (piutang) saja sehingga ia mensyaratkan adanya gadai sebagai jaminan. Maka jika ia tidak mendapatkan jaminan dengan gadai, hal itu dianggap sebagai kekurangan dan cacat, sehingga ia berhak mendapatkan khiyar. Hak khiyar ini berlaku segera setelah adanya penolakan, karena ini adalah khiyar ‘aib (khiyar karena cacat), dan penolakan terjadi setelah adanya permintaan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَهَكَذَا لَوْ بَاعَهُ عَلَى أَنْ يُعْطِيَهُ حَمِيلًا بِعَيْنِهِ فَلَمْ يَتَحَمَّلْ لَهُ فَلَهُ رَدُّ الْبَيْعِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Demikian pula jika seseorang menjual barang dengan syarat pembeli memberinya penanggung (kafil) tertentu, lalu ternyata tidak ada yang menjadi penanggung baginya, maka penjual berhak membatalkan jual beli.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: فَأَمَّا الضَّمَانُ فَهُوَ أَحَدُ الْوَثَائِقِ الثَّلَاثَةِ فِي الْأَمْوَالِ. فَإِذَا شَرَطَ الْمُشْتَرِي عَلَى نَفْسِهِ فِي عَقْدِ الْبَيْعِ أَنْ يُقِيمَ بِالثَّمَنِ ضَامِنًا مُعَيَّنًا صَحَّ الْبَيْعُ وَلَزِمَ الشَّرْطُ كَالرَّهْنِ إِذَا شُرِطَ فِي الْعَقْدِ، فَإِذَا ضَمِنَهُ الضَّامِنُ الْمَشْرُوطُ سَقَطَ خِيَارُ الْبَائِعِ وَإِنْ لَمْ يَضْمَنْ لَمْ يُجْبَرْ عَلَى الضَّمَانِ، لِأَنَّ الضَّمَانَ لَا يَصِحُّ بِالْإِجْبَارِ وَيَكُونُ الْبَائِعُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ بِلَا ضَمَانٍ وَبَيْنَ فَسْخِهِ لِمَا دَخَلَ عَلَيْهِ مِنَ النَّقْصِ فِي شَرْطِهِ، فَإِنْ قَالَ الْمُشْتَرِي: أَنَا أُقِيمُ لَكَ بِالثَّمَنِ ضَمِينًا غَيْرَهُ لَمْ يَلْزَمِ الْبَائِعَ إِمْضَاءُ الْبَيْعِ بِضَمَانِ الثَّانِي وَكَانَ عَلَى خِيَارِهِ لِاخْتِلَافِ الذِّمَمِ وَفَقْدِ الشَّرْطِ، كَمَا أَنَّ الْبَائِعَ لَوْ سَأَلَ الْمُشْتَرِيَ أَنْ يُقِيمَ لَهُ ضَمِينًا غَيْرَ الْمُعَيَّنِ لَمْ يَلْزَمْهُ لِأَنَّهُ غَيْرُ لَازِمٍ بِالشَّرْطِ.

Al-Mawardi berkata: Adapun ḍamān (jaminan) adalah salah satu dari tiga bentuk penjaminan dalam harta. Jika pembeli mensyaratkan atas dirinya dalam akad jual beli untuk menghadirkan seorang penjamin tertentu atas pembayaran harga, maka jual beli itu sah dan syarat tersebut wajib dipenuhi, sebagaimana rahn (gadai) jika disyaratkan dalam akad. Jika penjamin yang disyaratkan itu memberikan jaminan, maka hak khiyār (pilihan) penjual gugur. Namun jika penjamin tidak memberikan jaminan, maka ia tidak dapat dipaksa untuk menjamin, karena ḍamān tidak sah dengan paksaan. Dalam hal ini, penjual memiliki pilihan antara melanjutkan jual beli tanpa jaminan atau membatalkannya karena kekurangan pada syarat yang telah ditetapkan. Jika pembeli berkata: “Aku akan menghadirkan penjamin lain untukmu atas harga tersebut,” maka penjual tidak wajib melanjutkan jual beli dengan penjamin yang kedua, dan ia tetap memiliki hak khiyār karena perbedaan tanggungan dan hilangnya syarat. Demikian pula, jika penjual meminta pembeli untuk menghadirkan penjamin yang tidak ditentukan, maka pembeli tidak wajib memenuhinya karena hal itu tidak menjadi keharusan berdasarkan syarat.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا شَرَطَ الْمُشْتَرِي عَلَى نَفْسِهِ فِي عَقْدِ الْبَيْعِ شَهَادَةَ شَاهِدِينَ مُعَيَّنَيْنِ فَالْعَقْدُ صَحِيحٌ وَالشَّرْطُ لَازِمٌ، لِأَنَّ الشَّهَادَةَ وَثِيقَةٌ كَالرَّهْنِ وَالضَّمَانِ، فَإِنْ أَشْهَدَهُمَا لَمْ يَلْزَمْهُ إِشْهَادُ غَيْرِهِمَا، وَلَمْ يَكُنْ لِلْبَائِعِ خِيَارٌ بِمَوْتِهِمَا، كَمَا لَوْ مَاتَ الضَّامِنُ لَمْ يَلْزَمِ الْمُشْتَرِيَ إِقَامَةُ غَيْرِهِ وَلَمْ يَكُنْ لِلْبَائِعِ خِيَارٌ بِمَوْتِهِ، وَأَمَّا إِنْ مَاتَ الشَّاهِدَانِ قَبْلَ إِشْهَادِهِمَا أَوِ امْتَنَعَا مِنَ الشَّهَادَةِ عَلَيْهِ فِي حَيَاتِهِمَا، لَمْ يُجْبَرِ الْمُشْتَرِي عَلَى إِشْهَادِ غَيْرِهِمَا، وللبائع الخيار لفقد شرطه، فو أَشْهَدَ الْمُشْتَرِي عَلَى نَفْسِهِ غَيْرَهُمَا مِنَ الشُّهُودِ الْعُدُولِ. فَفِي خِيَارِ الْبَائِعِ وَجْهَانِ:

Adapun jika pembeli mensyaratkan atas dirinya dalam akad jual beli untuk menghadirkan dua saksi tertentu, maka akadnya sah dan syaratnya wajib dipenuhi, karena kesaksian adalah bentuk penjaminan seperti rahn dan ḍamān. Jika kedua saksi tersebut telah dihadirkan, maka pembeli tidak wajib menghadirkan saksi lain, dan penjual tidak memiliki hak khiyār karena kematian keduanya, sebagaimana jika penjamin meninggal dunia maka pembeli tidak wajib menghadirkan penjamin lain dan penjual tidak memiliki hak khiyār karena kematiannya. Namun, jika kedua saksi meninggal sebelum dihadirkan atau menolak memberikan kesaksian selama hidup mereka, maka pembeli tidak dapat dipaksa menghadirkan saksi lain, dan penjual memiliki hak khiyār karena syaratnya tidak terpenuhi. Jika pembeli menghadirkan saksi lain yang adil, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat mengenai hak khiyār penjual:

أَحَدُهُمَا: لَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ لِعَدَمِ شَرْطِهِ كَمَا لَوْ شَرَطَ ضَامِنًا لَمْ يَلْزَمْهُ الرِّضَا بِضَمَانِ غَيْرِهِ وَإِذَا شَرَطَ رَهْنًا لَمْ يَلْزَمْهُ أَخْذُ رَهْنٍ غَيْرِهِ، كَذَلِكَ لَوْ شَرَطَ شَهَادَةَ شَاهِدَيْنِ مُعَيَّنَيْنِ.

Salah satunya: Penjual berhak memilih untuk membatalkan jual beli karena syaratnya tidak terpenuhi, sebagaimana jika disyaratkan penjamin tertentu maka ia tidak wajib menerima penjamin lain, dan jika disyaratkan rahn tertentu maka ia tidak wajib menerima rahn lain, demikian pula jika disyaratkan dua saksi tertentu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ، أَنَّ خِيَارَ الْبَائِعِ قَدْ أُسْقِطَ بِإِشْهَادِ شَاهِدَيْنِ إِذَا كَانَا عَدْلَيْنِ وَإِنْ كَانَا غَيْرَ الْمُعَيَّنَيْنِ الْمَشْرُوطَيْنِ بِخِلَافِ الرَّهْنِ وَالضَّمَانِ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih kuat: Hak khiyār penjual gugur dengan dihadirkannya dua saksi yang adil, meskipun bukan dua saksi tertentu yang disyaratkan, berbeda dengan rahn dan ḍamān.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Perbedaan antara keduanya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا صَحَّ اشْتِرَاطُ شَاهِدَيْنِ غَيْرِ مُعَيَّنَيْنِ لَمْ يَتَعَيَّنَا وَإِنْ شَرَطَا مُعَيَّنَيْنِ، وَلَمَّا لَمْ يَصِحَّ اشْتِرَاطُ رَهْنٍ أَوْ ضَمِينٍ غَيْرِ مُعَيَّنٍ لَزِمَ إِذَا كَانَ مُعَيَّنًا.

Pertama: Karena disahkannya pensyaratan dua saksi yang tidak tertentu, maka keduanya tidak menjadi harus tertentu meskipun disyaratkan tertentu. Sedangkan rahn atau penjamin yang tidak tertentu tidak sah disyaratkan, sehingga jika disyaratkan tertentu maka harus dipenuhi.

وَالْفَرْقُ الثَّانِي: أَنَّ الْمَقْصُودَ بِالضَّمَانِ وَالرَّهْنِ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ ذِمَمِ الضُّمَنَاءِ وَقِيَمِ الرُّهُونِ. وَالْمَقْصُودُ بِالشَّهَادَةِ لَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الشُّهُودِ، وَلِهَذَا لَوْ قَدَرَ الْمُشْتَرِي عَلَى الشَّاهِدَيْنِ الْمُعَيَّنَيْنِ فَعَدَلَ عَنْ إِشْهَادِهِمَا إِلَى إِشْهَادِ غَيْرِهِمَا كَانَ خِيَارُ الْبَائِعِ عَلَى الْوَجْهَيْنِ، والله أعلم بالصواب.

Perbedaan kedua: Bahwa maksud dari ḍamān dan rahn berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tanggungan para penjamin dan nilai barang gadai. Sedangkan maksud dari kesaksian tidak berbeda-beda dengan perbedaan para saksi. Oleh karena itu, jika pembeli mampu menghadirkan dua saksi tertentu lalu beralih kepada menghadirkan saksi lain, maka hak khiyār penjual tetap pada dua pendapat tersebut. Dan Allah lebih mengetahui mana yang benar.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَيْسَ لِلْمُشْتَرِي رَدُّ الْبَيْعِ لِأَنَّهُ لَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهِ نَقْصٌ يَكُونُ لَهُ بِهِ الْخِيَارُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Pembeli tidak berhak membatalkan jual beli karena tidak ada kekurangan yang menimpanya sehingga ia berhak mendapatkan khiyār.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا شَرَطَ الْبَائِعُ عَلَى الْمُشْتَرِي فِي عَقْدِ الْبَيْعِ رَهْنًا مُعَيَّنًا أَوْ ضَمِينًا مَعْرُوفًا ثُمَّ امْتَنَعَ مِنْ قَبْضِ الرَّهْنِ أَوْ قَبُولِ الضَّمَانِ لَمْ يُجْبَرْ عَلَى الْقَبْضِ أَوِ الْقَبُولِ لِأَنَّهُ وَثِيقَةٌ لَهُ، وَلَا خِيَارَ لِلْمُشْتَرِي فِي فَسْخِ الْبَيْعِ بِامْتِنَاعِ الْبَائِعِ مِنْ قَبْضِ الرَّهْنِ وَقَبُولِ الضَّمَانِ وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ: لِلْمُشْتَرِي فَسْخُ الْبَيْعِ فِي امْتِنَاعِ الْبَائِعِ مِنْ قَبُولِ الضَّمَانِ وَلَيْسَ لَهُ فَسْخُ الْبَيْعِ فِي امْتِنَاعِهِ مِنْ قَبْضِ الرَّهْنِ.

Al-Mawardi berkata: “Dan ini benar, apabila penjual mensyaratkan kepada pembeli dalam akad jual beli suatu barang gadai tertentu atau penanggung yang dikenal, kemudian penjual menolak untuk menerima barang gadai atau menolak menerima penjaminan, maka ia tidak dipaksa untuk menerima atau menyetujui, karena itu adalah jaminan untuknya. Dan pembeli tidak memiliki hak khiyar untuk membatalkan jual beli karena penjual menolak menerima barang gadai atau penjaminan. Dawud bin Ali berkata: Pembeli berhak membatalkan jual beli jika penjual menolak menerima penjaminan, tetapi tidak berhak membatalkan jual beli jika penjual menolak menerima barang gadai.”

وَقَالَ أبو حنيفة: لِلْمُشْتَرِي فَسْخُ الْبَيْعِ فِي امْتِنَاعِهِ مِنْ قَبْضِ الرَّهْنِ وَلَيْسَ لَهُ فَسْخُ الْبَيْعِ فِي امْتِنَاعِهِ مِنْ قَبُولِ الضَّمَانِ.

Abu Hanifah berkata: “Pembeli berhak membatalkan jual beli jika penjual menolak menerima barang gadai, tetapi tidak berhak membatalkan jual beli jika penjual menolak menerima penjaminan.”

وَبَنَى كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ذَلِكَ عَلَى أَصْلِهِ فَأَمَّا أبو حنيفة فَلِأَنَّ مِنْ أَصْلِهِ أَنَّ الْمَرْهُونَ مَضْمُونٌ عَلَى مُرْتَهِنِهِ، فَإِذَا امْتَنَعَ الْمُرْتَهِنُ مَنْ قَبْضِهِ صَارَ مُمْتَنِعًا مِمَّا شَرَطَ عَلَيْهِ مِنْ أَخْذِهِ بِحَقِّهِ فَثَبَتَ لِلرَّاهِنِ الْخِيَارُ. وَأَمَّا دَاوُدُ فَلِأَنَّ مِنْ أَصْلِهِ أَنَّ الضَّمَانَ يُسْقِطُ الْحَقَّ مِنْ ذِمَّةِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ، فَإِذَا امْتَنَعَ الْبَائِعُ مِنْ قَبُولِ الضَّمَانِ صَارَ مُمْتَنِعًا مِنْ نَقْلِ حَقِّهِ مِنْ ذِمَّةِ الْمُشْتَرِي، وَشَرْطُ الضَّمَانِ قَدْ أَلْزَمَهُ بِنَقْلِ حَقِّهِ فَثَبَتَ لِلْمُشْتَرِي الْخِيَارُ، وَكِلَا الْأَصْلَيْنِ عِنْدَنَا غَيْرُ مُسَلَّمٍ وَسَيَأْتِي الْكَلَامُ فِيهِمَا إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى.

Masing-masing dari mereka mendasarkan pendapatnya pada prinsip dasarnya. Adapun Abu Hanifah, karena menurut prinsipnya barang yang digadaikan menjadi tanggungan pihak yang menerima gadai, maka jika penerima gadai menolak untuk menerimanya, berarti ia menolak apa yang telah disyaratkan kepadanya untuk mengambilnya sebagai haknya, sehingga penjual (rahin) berhak memilih (khiyar). Adapun Dawud, karena menurut prinsipnya penjaminan menghapuskan hak dari tanggungan pihak yang dijamin, maka jika penjual menolak menerima penjaminan, berarti ia menolak memindahkan haknya dari tanggungan pembeli, padahal syarat penjaminan telah mewajibkannya memindahkan haknya, sehingga pembeli berhak memilih (khiyar). Kedua prinsip ini menurut kami tidak dapat diterima, dan pembahasan tentang keduanya akan datang, insya Allah Ta‘ala.

ثُمَّ مِنَ الدَّلَالَةِ عَلَيْهِمَا أَنَّهَا وَثِيقَةٌ فِي الْحَقِّ فَلَمْ يَكُنْ تَرْكُ قَبُولِهَا مُوجِبًا لِخِيَارِ مَنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ كَالشَّهَادَةِ. وَلِأَنَّ النَّقْصَ فِي صِفَةِ الْبَيْعِ نَقْصَانِ، نَقْصٌ فِي الثَّمَنِ يُوجِبُ خِيَارَ الْبَائِعِ، وَنَقْصٌ فِي الْمُثَمَّنِ يُوجِبُ خِيَارَ الْمُشْتَرِي.

Di antara dalil atas keduanya adalah bahwa barang gadai dan penjaminan merupakan jaminan atas hak, sehingga penolakan untuk menerimanya tidak menyebabkan adanya hak khiyar bagi pihak yang menanggung hak tersebut, sebagaimana halnya kesaksian. Karena kekurangan dalam sifat jual beli itu ada dua macam: kekurangan pada harga yang menyebabkan khiyar bagi penjual, dan kekurangan pada objek yang dijual yang menyebabkan khiyar bagi pembeli.

فَلَمَّا كَانَ النَّقْصُ فِي الْمُثَمَّنِ بِظُهُورِ الْعَيْبِ إِذَا أَوْجَبَ خِيَارَ الْمُشْتَرِي لَمْ يُوجِبْ خِيَارَ الْبَائِعِ لِأَجْلِ مَا ثَبَتَ مِنْ خِيَارِ الْمُشْتَرِي، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ النَّقْصُ فِي الثَّمَنِ لِعَدَمِ الْوَثِيقَةِ إِذَا أَوْجَبَ خِيَارَ الْبَائِعِ لَمْ يُوجِبْ خِيَارَ الْمُشْتَرِي لِأَجْلِ مَا ثَبَتَ مِنْ خِيَارِ الْبَائِعِ.

Maka ketika kekurangan pada objek yang dijual karena adanya cacat menyebabkan khiyar bagi pembeli, tidak menyebabkan khiyar bagi penjual karena telah tetapnya khiyar bagi pembeli. Maka sudah seharusnya kekurangan pada harga karena tidak adanya jaminan, jika menyebabkan khiyar bagi penjual, tidak menyebabkan khiyar bagi pembeli karena telah tetapnya khiyar bagi penjual.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَا جَهِلَا الرَّهْنَ أَوِ الْحَمِيلَ فَالْبَيْعُ فاسد (قال المزني) قلت أنا هذا عندي غلط الرهن فاسد للجهل به والبيع جائز لعلمهما به وللبائع الخيار إن شاء أتم البيع بلا برهن وإن شاء فسخ لبطلان الوثيقة فِي مَعْنَى قَوْلِهِ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika keduanya (penjual dan pembeli) tidak mengetahui barang gadai atau penanggungnya, maka jual belinya fasid.” (Al-Muzani berkata:) Saya katakan, menurut saya ini keliru; barang gadai menjadi fasid karena tidak diketahui, sedangkan jual belinya sah karena keduanya mengetahui (objek jual beli), dan penjual memiliki hak khiyar: jika ia mau, ia melanjutkan jual beli tanpa jaminan, dan jika ia mau, ia membatalkan karena batalnya jaminan, sebagaimana maksud perkataannya. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:

Al-Mawardi berkata: “Dan ini sebagaimana yang beliau katakan:

إِذَا شَرَطَ فِي عَقْدِ الْبَيْعِ رَهْنًا مَجْهُولًا أَوْ ضَمِينًا مَجْهُولًا، كَانَ الشَّرْطُ بَاطِلًا وَالرَّهْنُ وَالضَّمَانُ فَاسِدَيْنِ مَا لَمْ يَكُونَا مُعَيَّنَيْنِ.

Jika dalam akad jual beli disyaratkan barang gadai yang tidak diketahui atau penanggung yang tidak diketahui, maka syarat tersebut batal dan barang gadai serta penjaminan menjadi fasid selama keduanya tidak ditentukan secara spesifik.

وَقَالَ مَالِكٌ: يَصِحُّ اشْتِرَاطُ الرَّهْنِ وَالضَّمَانِ وَإِنْ لَمْ يَكُونَا مُعَيَّنَيْنِ. وَقَالَ أبو حنيفة يَصِحُّ اشْتِرَاطُ الضَّمَانِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُعَيَّنًا وَلَا يَصِحُّ اشْتِرَاطُ الرَّهْنِ حَتَّى يَكُونَ مُعَيَّنًا، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهَا وَثِيقَةٌ فَجَازَ اشْتِرَاطُهَا غَيْرَ مُعَيَّنَةٍ كَالشَّهَادَةِ، وَلِأَنَّ مَا يَتَعَيَّنُ بِالْعُرْفِ يُسْتَغْنَى فِيهِ عَنْ تَعَيُّنِهِ بِالشَّرْطِ كَالْأَثْمَانِ وَالْعُرْفُ فِي الرَّهْنِ أَنْ يَكُونَ بِقِيمَةِ الْحَقِّ، وَفِي الضَّمَانِ أَنْ يَكُونَ فِي الذِّمَّةِ كَمَا أَنَّ الْعُرْفَ فِي الْأَثْمَانِ الْمُطْلَقَةِ أَنَّهَا مِنْ نَقْدِ الْبَلَدِ.

Malik berkata: Syarat barang gadai dan penjaminan tetap sah meskipun keduanya tidak ditentukan secara spesifik. Abu Hanifah berkata: Syarat penjaminan sah meskipun tidak ditentukan secara spesifik, tetapi syarat barang gadai tidak sah kecuali jika ditentukan secara spesifik. Ia berdalil bahwa keduanya adalah jaminan, sehingga boleh disyaratkan tanpa penentuan seperti halnya kesaksian. Dan karena sesuatu yang dapat ditentukan berdasarkan ‘urf (kebiasaan), maka tidak perlu ditentukan secara syarat, seperti harga-harga; dan ‘urf dalam barang gadai adalah nilainya sepadan dengan hak, sedangkan dalam penjaminan adalah dalam tanggungan, sebagaimana ‘urf dalam harga-harga mutlak adalah dari mata uang negeri setempat.

وَأَمَّا أبو حنيفة فَإِنَّهُ فَرَّقَ بَيْنَ الرَّهْنِ وَالضَّمَانِ بِأَنْ بَنَاهُ عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ الرَّهْنَ يُؤْخَذُ بَدَلًا مِنَ الْحَقِّ فَلَمْ يَصِحَّ إِلَّا مُعَيَّنًا، وَلَيْسَ الضَّمَانُ بَدَلًا مِنَ الْحَقِّ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ مُعَيَّنًا.

Adapun Abu Hanifah, ia membedakan antara barang gadai dan penjaminan dengan mendasarkan pada prinsipnya bahwa barang gadai diambil sebagai pengganti hak, sehingga tidak sah kecuali ditentukan secara spesifik, sedangkan penjaminan bukan pengganti hak sehingga boleh tidak ditentukan secara spesifik.

وَدَلِيلُنَا: أَنَّهُ رَهْنٌ مَجْهُولٌ فَوَجَبَ أَلَّا يَصِحَّ كَالْحَمْلِ فِي بَطْنِ أُمِّهِ، وَلِأَنَّ الرَّهْنَ يَتَضَمَّنُ مَعْنَى الْبَيْعِ لِأَنَّهُ مَوْضُوعٌ لِاسْتِيفَاءِ الْحَقِّ مِنْ ثَمَنِهِ، فَلَمَّا كَانَتْ جَهَالَةُ الْمَبِيعِ مَانِعَةً مِنْ صِحَّةِ الْبَيْعِ وَجَبَ أَنْ تَكُونَ جَهَالَةُ الْمَرْهُونِ مَانِعَةً مِنْ صِحَّةِ الرَّهْنِ.

Dalil kami: Bahwa itu adalah rahn (barang jaminan) yang majhūl (tidak diketahui), maka wajib hukumnya tidak sah, seperti janin dalam perut ibunya. Karena rahn mengandung makna jual beli, sebab rahn itu ditetapkan untuk pelunasan hak dari harganya. Maka, ketika ketidaktahuan terhadap objek jual beli menjadi penghalang sahnya jual beli, wajib pula ketidaktahuan terhadap barang jaminan menjadi penghalang sahnya rahn.

وَمِنَ الدَّلِيلِ عَلَى أبي حنيفة: أَنَّهَا جَهَالَةٌ تَمْنَعُ صِحَّةَ الرَّهْنِ فَوَجَبَ أَنْ تَمْنَعَ صِحَّةَ الضَّمَانِ، أَصْلُهُ إِذَا شَرَطَ أَنْ يَضْمَنَ لَهُ مَنْ شَاءَ زَيْدٌ.

Dan di antara dalil atas pendapat Abu Hanifah: Bahwa ketidaktahuan itu mencegah sahnya rahn, maka wajib juga mencegah sahnya ḍamān (penjaminan). Dasarnya adalah jika disyaratkan agar Zaid menjamin siapa saja yang dia kehendaki.

فَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الشَّهَادَةِ فَالْمَعْنَى فِي الشَّهَادَةِ أَنَّهَا لَمَّا لم يتعين بِالتَّعَيُّنِ جَازَ إِطْلَاقُهَا مِنْ غَيْرِ تَعَيُّنٍ، وَلَمَّا تَعَيَّنَ الرَّهْنُ وَالضَّمَانُ بِالتَّعَيُّنِ لَمْ يَصِحَّ إِطْلَاقُهُمَا مِنْ غَيْرِ تَعَيُّنٍ. وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْأَثْمَانِ لِأَنَّهَا تَتَعَيَّنُ بِالْعُرْفِ فَغَلَطٌ لِأَنَّ الْأَثْمَانَ إِنَّمَا تتعين مِنْهَا بِالْعُرْفِ وَصْفُهَا دُونُ قَدْرِهَا، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَاسَ عَلَيْهَا الرُّهُونُ فِي تَعْيِينِ قَدْرِهَا وَوَصْفِهَا مَعَ أَنَّ جِنْسَ الْأَثْمَانِ وَاحِدٌ فَيَصِحُّ تَعَيُّنُهُ بِالْعُرْفِ، وَلَيْسَ جِنْسُ الرهن واحد فَيَصِحُّ تَعَيُّنُهُ بِالْعُرْفِ، عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ فِي الرَّهْنِ عُرْفٌ يَتَعَيَّنُ بِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ يَرْهَنُ الْقَلِيلَ فِي الْكَثِيرِ وَالْكَثِيرَ فِي الْقَلِيلِ، فَأَمَّا فَرْقُ أبي حنيفة بَيْنَ الرَّهْنِ وَالضَّمَانِ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فَنَحْنُ نُخَالِفُهُ فِي أَصْلِهِ كَمَا نُخَالِفُهُ فِي فَرْعِهِ.

Adapun qiyās mereka terhadap syahādah (kesaksian), maka maknanya dalam syahādah adalah karena tidak ditentukan secara spesifik, maka boleh dilakukan tanpa penentuan. Namun, ketika rahn dan ḍamān telah ditentukan secara spesifik, maka tidak sah keduanya dilakukan tanpa penentuan. Adapun qiyās mereka terhadap atsman (harga/harta) karena dapat ditentukan dengan ‘urf (kebiasaan), maka itu keliru. Sebab, atsman yang dapat ditentukan dengan ‘urf hanyalah sifatnya, bukan kadarnya. Maka tidak boleh diqiyaskan kepada atsman dalam hal penentuan kadar dan sifat rahn, karena jenis atsman itu satu sehingga sah penentuannya dengan ‘urf, sedangkan jenis rahn tidak satu sehingga tidak sah penentuannya dengan ‘urf. Selain itu, dalam rahn tidak ada ‘urf yang bisa dijadikan penentu, karena bisa saja seseorang menjaminkan yang sedikit untuk yang banyak, atau yang banyak untuk yang sedikit. Adapun perbedaan Abu Hanifah antara rahn dan ḍamān yang dibangun di atas dasarnya, maka kami menyelisihinya dalam pokoknya sebagaimana kami menyelisihinya dalam cabangnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ جَهَالَةَ الرَّهْنِ وَالضَّمِينِ قَادِحَةٌ فِي صِحَّةِ الرَّهْنِ وَالضَّمَانِ وَأَنَّهُمَا لَا يَصِحَّانِ إِلَّا مُعَيَّنَيْنِ، فَالضَّامِنُ لَا يَتَعَيَّنُ إِلَّا بِشَيْءٍ وَاحِدٍ، وَهُوَ الْإِشَارَةُ إِلَيْهِ مُشَاهَدَةً أَوْ تَسْمِيَةً، فَالْإِشَارَةُ إِلَيْهِ مُشَاهَدَةً أَنْ يَقُولَ عَلَى أَنَّهُ تَضْمَنُ لِي هَذَا وَالْإِشَارَةُ إِلَيْهِ تَسْمِيَةً أَنْ يَقُولَ عَلَي أَنْ يَضْمَنَ لَكَ هَذَا زَيْدٌ، وَلَا يَصِحُّ بِغَيْرِ الْإِشَارَةِ عَلَى غَيْرِ مُسَمًّى.

Jika telah tetap bahwa ketidaktahuan terhadap rahn dan ḍamīn (penjamin) merusak keabsahan rahn dan ḍamān, dan bahwa keduanya tidak sah kecuali jika ditentukan, maka penjamin tidak dapat ditentukan kecuali dengan satu hal, yaitu dengan menunjuk kepadanya secara langsung atau dengan menyebut namanya. Menunjuk secara langsung maksudnya adalah mengatakan: “Kamu menjamin untukku orang ini,” dan menunjuk dengan menyebut nama maksudnya adalah mengatakan: “Zaid menjamin untukmu orang ini.” Tidak sah tanpa penunjukan terhadap orang yang tidak disebutkan namanya.

وَأَمَّا الرَّهْنُ فَإِنَّهُ يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ مُعَيَّنًا بِأَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا بِالْإِشَارَةِ إِلَيْهِ مُشَاهَدَةً أَوْ تَسْمِيَةً كَقَوْلِهِ: عَلَى أن أرهنك عبدي أَوْ أُرْهِنَكَ عَبْدِي سَالِمًا، وَإِمَّا بِالصِّفَةِ مِنْ غَيْرِ إِشَارَةٍ وَهَذَا فِيمَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ مَوْصُوفًا فِي السَّلَمِ كَقَوْلِهِ: عَلَى أَنْ أُرْهِنَكَ عَبْدًا خُمَاسِيًّا وَيَذْكُرُ أَوْصَافَهُ الْمُسْتَحَقَّةَ فِي السَّلَمِ فَيَصِيرُ مُعَيَّنَ الْوَصْفِ، فَإِذَا أَقْبَضَهُ عَبْدًا بِتِلْكَ الصِّفَةِ صَارَ مُعَيَّنَ الذَّاتِ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ إبداله بعد قبضه بعيد عَلَى وَصْفِهِ.

Adapun rahn, maka sah jika ditentukan dengan salah satu dari dua cara: dengan menunjuk secara langsung atau dengan menyebut namanya, seperti ucapannya: “Aku akan menjaminkan budakku kepadamu,” atau “Aku akan menjaminkan budakku Salim kepadamu.” Atau dengan sifat tanpa penunjukan, dan ini berlaku pada sesuatu yang sah disebutkan sifatnya dalam akad salam, seperti ucapannya: “Aku akan menjaminkan kepadamu seorang budak berusia lima tahun,” lalu ia menyebutkan sifat-sifat yang disyaratkan dalam akad salam, sehingga menjadi ditentukan sifatnya. Jika ia menyerahkan budak dengan sifat tersebut, maka menjadi ditentukan zatnya, sehingga tidak boleh menggantinya setelah diserahkan kecuali sesuai dengan sifatnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنْ تَعَيُّنَ الرَّهْنِ وَالضَّمِينِ بِمَا وَصَفْنَاهُ، فَشَرَطَ فِي الْبَيْعِ رَهْنًا أَوْ ضَمِينًا صَحَّ، وَإِنْ شَرَطَ رَهْنًا أَوْ ضَمِينًا مَجْهُولًا بَطَلَ الشَّرْطُ فِي الرَّهْنِ وَالضَّمَانِ، وَفِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ قَوْلَانِ:

Jika telah tetap bahwa penentuan rahn dan ḍamīn sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka jika dalam akad jual beli disyaratkan adanya rahn atau ḍamīn, maka sah. Namun jika disyaratkan rahn atau ḍamīn yang majhūl (tidak diketahui), maka batal syarat rahn dan ḍamān-nya. Adapun mengenai batal atau tidaknya akad jual belinya, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ وَهُوَ الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ لِأَنَّ الْبَيْعَ وَإِنْ صَحَّ أَنْ يُعَرَّى مِنَ الرَّهْنِ وَالضَّمَانِ، فَقَدْ صَارَ الشَّرْطُ صِفَةً مِنْ صِفَاتِهِ كَالْأَجَلِ، ثُمَّ كَانَ الْجَهْلُ بِالْأَجَلِ مُبْطِلًا لِلْبَيْعِ وَإِنْ صَحَّ أَنْ يُعَرَّى مِنْهُ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْجَهْلُ بِالرَّهْنِ وَالضَّمَانِ مُبْطِلًا لِلْبَيْعِ وَإِنْ صَحَّ أَنْ يُعَرَّى مِنْهُ.

Salah satunya: batal, dan ini yang dinyatakan dalam masalah ini. Karena meskipun jual beli sah tanpa rahn dan ḍamān, namun ketika syarat itu menjadi bagian dari sifat-sifat akad seperti tempo, maka ketidaktahuan tentang tempo membatalkan jual beli meskipun sah tanpa tempo. Maka wajib pula ketidaktahuan tentang rahn dan ḍamān membatalkan jual beli meskipun sah tanpa keduanya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: فِي أَنَّ الْبَيْعَ جَائِزٌ وَلِلْبَائِعِ الْخِيَارُ وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ، لِأَنَّ الرَّهْنَ يَنْفَرِدُ بِنَفْسِهِ، فَلَمْ يَكُنْ فَسَادُهُ فِي الْعَقْدِ بِنَفْسِهِ مُفْسِدًا لِمَا اقْتَرَنَ بِهِ، كَالصَّدَاقِ الَّذِي لَمَّا صَحَّ إِفْرَادُهُ عَنِ الْعَقْدِ، لَمْ يَكُنْ فِي النِّكَاحِ مُفْسِدًا لِلنِّكَاحِ الَّذِي يَقْتَرِنُ بِهِ، وَلِهَذَا فَارَقَ فَسَادَ الْأَجَلِ، لِأَنَّ الْأَجَلَ لَا يَصِحُّ إِفْرَادُهُ بِنَفْسِهِ فَكَانَ فَسَادُهُ فِي الْعَقْدِ مُفْسِدًا لِمَا اقْتَرَنَ بِهِ.

Pendapat kedua: bahwa jual beli itu sah dan penjual memiliki hak khiyār, dan pendapat ini dipilih oleh al-Muzani, karena rahn (gadai) berdiri sendiri, sehingga kerusakannya dalam akad itu sendiri tidak merusak apa yang menyertainya, seperti halnya mahar, yang ketika sah untuk dipisahkan dari akad, maka dalam pernikahan ia tidak merusak akad nikah yang menyertainya. Oleh karena itu, berbeda dengan kerusakan pada penetapan tempo (ajal), karena tempo tidak sah untuk dipisahkan sendiri, maka kerusakannya dalam akad menjadi perusak bagi apa yang menyertainya.

قَالَ الْمُزَنِيُّ: الرَّهْنُ فَاسِدٌ لِلْجَهْلِ بِهِ وَالْبَيْعُ جَائِزٌ لِلْعِلْمِ بِهِ، وَلِمَنْ قَالَ بِالْأَوَّلِ أَنْ يَنْفَصِلَ عَنْ قَوْلِهِ بِأَنَّ دُخُولَ الْجَهَالَةِ فِي الرَّهْنِ وَفَسَادَهُ يُوجِبُ دُخُولَهُ الْجَهَالَةَ فِي الثَّمَنِ المضمون به، والله أعلم.

Al-Muzani berkata: Rahn itu rusak karena tidak diketahui (jahalah) tentangnya, sedangkan jual beli sah karena diketahui (diketahui objeknya). Dan bagi yang berpendapat dengan pendapat pertama, dapat memisahkan dari pendapatnya dengan mengatakan bahwa masuknya unsur ketidaktahuan (jahalah) dalam rahn dan kerusakannya menyebabkan masuknya unsur ketidaktahuan dalam harga (tsaman) yang dijaminkan dengannya. Dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ أُرْهِنُكَ أَحَدَ عَبْدَيَّ كَانَ فَاسِدًا لَا يَجُوزُ إِلَّا مَعْلُومًا يَعْرِفَانِهِ جَمِيعًا بِعَيْنِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Aku menggadaikan kepadamu salah satu dari dua budakku,’ maka itu tidak sah kecuali jika diketahui secara pasti dan keduanya mengenalnya dengan jelas.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. وَقَدْ دَلَّلْنَا عَلَى أَنَّ رَهْنَ الْمَجْهُولِ لَا يَصِحُّ، فَإِذَا قَالَ: أُرْهِنُكَ أَحَدَ عَبِيدِي، أَوْ أَحَدَ عَبْدَيَّ هَذَيْنِ، فَالرَّهْنُ وَإِنْ كَانَ مُعَيَّنًا فِي أَحَدِ الْعَبْدَيْنِ فَالْجَهَالَةُ حَاصِلَةٌ فِيمَا يَتَنَاوَلُهُ الرَّهْنُ مِنَ الْعَبْدَيْنِ، وَكَانَ الرَّهْنُ مَجْهُولًا، إِذْ لَيْسَ بِمَوْصُوفٍ، وَلَا مُعَيَّنٍ، وَلِأَنَّهَا جَهَالَةٌ تَمْنَعُ جَوَازَ بَيْعِهِ، فَوَجَبَ أَنْ تَمْنَعَ جَوَازَ رَهْنِهِ كَرَهْنِ مَا فِي الصندوق أو القفل.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Kami telah menjelaskan bahwa menggadaikan sesuatu yang majhul (tidak diketahui) tidak sah. Maka jika seseorang berkata, “Aku menggadaikan kepadamu salah satu dari budak-budakku,” atau “salah satu dari dua budakku ini,” maka meskipun rahn itu ditentukan pada salah satu dari dua budak tersebut, tetap saja terdapat unsur ketidaktahuan pada siapa yang dimaksud dalam rahn dari kedua budak itu, sehingga rahn menjadi majhul (tidak diketahui), karena tidak disebutkan sifatnya dan tidak ditentukan secara pasti. Dan karena ketidaktahuan ini menghalangi sahnya jual beli, maka wajib juga menghalangi sahnya rahn, seperti menggadaikan apa yang ada di dalam peti atau kotak yang terkunci.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَصَابَ الْمُرْتَهِنُ بَعْدَ الْقَبْضِ بِالرَّهْنِ عَيْبًا فَقَالَ كَانَ بِهِ قَبْلَ الْقَبْضِ فَأَنَا أَفْسَخُ الْبَيْعَ وَقَالَ الرَّاهِنُ بَلْ حَدَثَ بَعْدَ الْقَبْضِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ مَعَ يَمِينِهِ إِذَا كَانَ مِثْلُهُ يَحْدُثُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika penerima gadai (murtahin) setelah menerima barang gadai menemukan cacat pada barang tersebut, lalu ia berkata, ‘Cacat ini sudah ada sebelum aku menerima, maka aku batalkan jual beli,’ dan pihak yang menggadaikan (rahin) berkata, ‘Justru cacat itu terjadi setelah penyerahan,’ maka yang dipegang adalah pernyataan rahin dengan sumpahnya, jika cacat seperti itu memang biasa terjadi.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا وَجَدَ الرَّهْنَ مَعِيبًا، فَادَّعَى الْمُرْتَهِنُ تَقَدُّمَ الْعَيْبِ لِيَفْسَخَ بِهِ الْبَيْعَ، وَادَّعَى الرَّاهِنُ حُدُوثَهُ لِيَمْنَعَ الْمُرْتَهِنَ مِنْ فَسْخِ الْبَيْعِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْعَيْبِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, yaitu jika menemukan barang gadai cacat, lalu murtahin mengklaim bahwa cacat itu sudah ada sebelumnya agar ia dapat membatalkan jual beli, sedangkan rahin mengklaim bahwa cacat itu baru terjadi agar mencegah murtahin membatalkan jual beli, maka keadaan cacat itu tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَلَّا يُمْكِنَ حُدُوثُ مِثْلِهِ بَعْدَ الْقَبْضِ كَالْأُصْبُعِ الزَّائِدِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ فِي تَقَادُمِ الْعَيْبِ بِلَا يَمِينٍ، لِعِلْمِنَا بِصِدْقِهِ وَكَذِبِ الرَّاهِنِ، فَإِنِ ادَّعَى الرَّاهِنُ أَنَّ الْمُرْتَهِنَ كَانَ عَالِمًا بِهَذَا الْعَيْبِ، لَمْ تُسْمَعْ مِنْهُ هَذِهِ الدَّعْوَى، لِأَنَّهُ بِادِّعَائِهِ حُدُوثَ الْعَيْبِ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ مُكَذِّبٌ لِنَفْسِهِ فِيمَا يَدَّعِيهِ مِنْ تَقَدُّمِ عِلْمِ الْمُرْتَهِنِ.

Pertama: Tidak mungkin cacat seperti itu terjadi setelah penyerahan, seperti jari tambahan, maka yang dipegang adalah pernyataan murtahin bahwa cacat itu sudah ada sebelumnya tanpa perlu sumpah, karena kita tahu ia benar dan rahin berbohong. Jika rahin mengklaim bahwa murtahin sudah mengetahui cacat tersebut sebelumnya, maka klaim ini tidak diterima darinya, karena dengan klaimnya bahwa cacat itu terjadi di tangan murtahin, ia telah mendustai dirinya sendiri dalam klaim bahwa murtahin sudah mengetahui sebelumnya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَلَّا يُمْكِنَ تَقَدُّمُ مِثْلِهِ قَبْلَ الْقَبْضِ كَالشَّجَّةِ الدَّامِيَةِ إِذَا وُجِدَتْ بِهِ فِي الْحَالِ، وَقَدْ تَقَدَّمَ قَبْضُ الرَّهْنِ سَابِقًا فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ بِلَا يَمِينٍ، لِعِلْمِنَا بِصِدْقِهِ وَكَذِبِ الْمُرْتَهِنِ. وَلَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ فَسْخُ الْبَيْعِ.

Kedua: Tidak mungkin cacat seperti itu sudah ada sebelum penyerahan, seperti luka berdarah yang ditemukan saat ini, sedangkan penyerahan rahn telah terjadi sebelumnya, maka yang dipegang adalah pernyataan rahin tanpa sumpah, karena kita tahu ia benar dan murtahin berbohong. Dan murtahin tidak berhak membatalkan jual beli.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُمْكِنَ حُدُوثُ مِثْلِهِ بَعْدَ الْقَبْضِ وَيُمْكِنَ تَقَدُّمُهُ قَبْلَ الْقَبْضِ، فَإِنْ كَانَتْ لِأَحَدِهِمَا بَيِّنَةٌ تَشْهَدُ لَهُ بِمَا يَدَّعِيهِ، عُمِلَ عَلَيْهَا.

Ketiga: Cacat seperti itu mungkin terjadi setelah penyerahan dan mungkin juga sudah ada sebelumnya. Jika salah satu dari keduanya memiliki bukti (bayyinah) yang mendukung klaimnya, maka diputuskan berdasarkan bukti tersebut.

وَالْبَيِّنَةُ شَاهِدَانِ، أَوْ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ، أَوْ شَاهِدٌ وَيَمِينٌ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِأَحَدِهِمَا بَيِّنَةٌ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَمْرَيْنِ:

Bayyinah itu berupa dua saksi, atau satu saksi dan dua perempuan, atau satu saksi dan sumpah. Jika tidak ada bayyinah pada keduanya, maka yang dipegang adalah pernyataan rahin dengan sumpahnya karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمُرْتَهِنَ بِدَعْوَاهُ يُرِيدُ فَسْخَ عَقْدٍ قَدْ ثَبَتَ، فَلَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ.

Pertama: Murtahin dengan klaimnya ingin membatalkan akad yang sudah sah, maka tidak diterima darinya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَدَّعِي تَقَدُّمَ عَيْبٍ لَمْ يُشَاهِدْهُ إِلَّا فِي يَدِهِ فَلَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ.

Kedua: Ia mengklaim adanya cacat sebelumnya yang tidak ia saksikan kecuali di tangannya sendiri, maka tidak diterima darinya.

فَإِنْ حَلَفَ الرَّاهِنُ، لَمْ يَكُنْ لِلْمُرْتَهِنِ فَسْخٌ، وَإِنْ نَكَلَ الرَّاهِنُ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَى الْمُرْتَهِنِ، فَإِنْ حَلَفَ ثَبَتَ لَهُ الْفَسْخُ، وَإِنْ نَكَلَ الْمُرْتَهِنُ أَيْضًا، لَمْ يَكُنْ لَهُ الْفَسْخُ، والله أعلم.

Jika rahin bersumpah, maka murtahin tidak berhak membatalkan (akad), dan jika rahin enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada murtahin. Jika murtahin bersumpah, maka ia berhak membatalkan (akad), dan jika murtahin juga enggan bersumpah, maka ia tidak berhak membatalkan (akad). Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو قتل الراهن بردة أو قطع بِسَرِقَةٍ قَبْلَ الْقَبْضِ كَانَ لَهُ فَسْخُ الْبَيْعِ (قال المزني) قلت أنا في هذا دليل أن البيع وإن جهلا الرهن أو الحميل غير فاسد وإنما له الخيار في فسخ البيع أو إثباته لجهله بالرهن أو الحميل وبالله التوفيق. (قال الشافعي) وإن كان حدث ذلك بعد القبض لم يكن لَهُ فَسْخُ الْبَيْعِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika rahin terbunuh karena riddah atau dipotong (tangannya) karena mencuri sebelum penyerahan (barang), maka murtahin berhak membatalkan jual beli.” (Al-Muzani berkata:) Saya katakan, dalam hal ini terdapat dalil bahwa jual beli, meskipun rahin atau penjamin tidak diketahui, tidaklah fasid, melainkan murtahin berhak memilih antara membatalkan atau melanjutkan jual beli karena ketidaktahuannya terhadap rahin atau penjamin. Dan hanya kepada Allah-lah taufik. (Imam Syafi‘i berkata:) Jika hal itu terjadi setelah penyerahan, maka murtahin tidak berhak membatalkan jual beli.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا مِنْ قَبْلُ حَالَ الْقَاتِلِ وَالْمُرْتَدِّ وَالسَّارِقِ عَلَى الِاسْتِقْصَاءِ، وَسَنَذْكُرُ مِنْهُ مَا يَقْتَضِيهِ هَذَا الْمَوْضِعُ، فَإِذَا قُتِلَ الْعَبْدُ الْمَرْهُونُ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ بِرِدَّةٍ أَوْ قِصَاصٍ، لَمْ يَخْلُ حَالُ الرِّدَّةِ وَالْجِنَايَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ تَكُونَ حَادِثَةً بَعْدَ الْقَبْضِ، أَوْ مُتَقَدِّمَةً، فَإِذَا كَانَتْ حَادِثَةً فَقَدْ بَطَلَ الرَّهْنُ، وَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ فِي الْبَيْعِ، لِحُدُوثِهِ فِي يَدِهِ كَحُدُوثِ الْعَيْبِ فِي يَدِ الْمُشْتَرِي، وَإِنْ كَانَتْ مُتَقَدِّمَةً قَبْلَ الْقَبْضِ، فَهَلْ لِلْمُرْتَهِنِ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan sebelumnya keadaan pembunuh, murtad, dan pencuri secara rinci, dan akan kami sebutkan di sini apa yang relevan dengan pembahasan ini. Jika budak yang dijadikan rahn terbunuh di tangan murtahin karena riddah atau qishash, maka keadaan riddah dan jinayah tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi terjadi setelah penyerahan, atau sebelumnya. Jika terjadi setelah penyerahan, maka rahn batal dan murtahin tidak memiliki hak khiyar dalam jual beli, karena kejadiannya di tangannya seperti cacat yang terjadi di tangan pembeli. Jika terjadi sebelumnya, sebelum penyerahan, maka apakah murtahin berhak khiyar untuk membatalkan jual beli atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: لَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ، لِأَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى قَتْلِهِ بِالرِّدَّةِ وَالْقِصَاصِ مَجْرَى الِاسْتِحْقَاقِ.

Pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: murtahin berhak khiyar untuk membatalkan jual beli, karena hal itu serupa dengan terbunuhnya (budak) karena riddah dan qishash yang dipersamakan dengan istihqaq (barang yang ternyata milik orang lain).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: لَا خِيَارَ لَهُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ سَوَاءٌ كَانَ عَالِمًا بِرِدَّتِهِ أَمْ لَا، لِأَنَّهُ يَجْرِي قَتْلُهُ بِالرِّدَّةِ وَالْقِصَاصِ مَجْرَى مَوْتِهِ بِالْمَرَضِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: murtahin tidak berhak khiyar untuk membatalkan jual beli, baik ia mengetahui riddahnya atau tidak, karena terbunuhnya (budak) karena riddah dan qishash dipersamakan dengan kematiannya karena sakit.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا قُطِعَتْ يَدُهُ بِالسَّرِقَةِ، فَإِنْ كَانَتِ السَّرِقَةُ حَادِثَةً بَعْدَ الْقَبْضِ، فَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ، وَإِنْ كَانَتْ مُتَقَدِّمَةً قَبْلَ الْقَبْضِ، نُظِرَ فِي حَالِ الْمُرْتَهِنِ، فَإِنْ كَانَ عَالِمًا بِسَرِقَتِهِ، فَلَا خِيَارَ لَهُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ، لِأَنَّهُ عَيْبٌ قَدْ كَانَ عَالِمًا بِهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَالِمًا بِسَرِقَتِهِ، فَلَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الرَّهْنِ وَالْبَيْعِ، لِأَنَّهُ عَيْبٌ لَمْ يَعْلَمْ بِهِ وَهُوَ قَادِرٌ على رده.

Jika tangannya dipotong karena mencuri, maka jika pencurian itu terjadi setelah penyerahan, murtahin tidak berhak khiyar untuk membatalkan jual beli. Namun jika pencurian itu terjadi sebelumnya, sebelum penyerahan, maka dilihat keadaan murtahin: jika ia mengetahui pencurian tersebut, maka ia tidak berhak khiyar untuk membatalkan jual beli, karena itu cacat yang sudah ia ketahui. Jika ia tidak mengetahui pencurian tersebut, maka ia berhak khiyar untuk membatalkan rahn dan jual beli, karena itu cacat yang tidak ia ketahui dan ia mampu mengembalikannya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ مَاتَ فِي يَدَيْهِ وَقَدْ دَلَّسَ لَهُ فِيهِ بِعَيْبٍ قَبْلَ أَنْ يَخْتَارَ فَسْخَ الْبَيْعِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَخْتَارَ لِمَا فَاتَ مِنَ الرَّهْنِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika (barang rahn) itu mati di tangannya, padahal sebelumnya telah ditipu dengan disembunyikan cacatnya sebelum ia memilih membatalkan jual beli, maka ia tidak berhak memilih (membatalkan), karena rahn itu telah hilang.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا دَلَّسَ الرَّاهِنُ عَلَى الْمُرْتَهِنِ حَتَّى خَفِيَ عليه، ثم علم المرتهن به فلا يخل حَالُ الرَّهْنِ بَعْدَ عِلْمِ الْمُرْتَهِنِ بِعَيْبِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ بَاقِيًا أَوْ تَالِفًا، فَإِنْ كَانَ بَاقِيًا، فَلِلْمُرْتَهِنِ فَسْخُ الرَّهْنِ وَالْبَيْعِ، لِأَجْلِ مَا ظَهَرَ عَلَيْهِ مِنَ الْعَيْبِ، كَمَا لَوْ ظَهَرَ فِيمَا ابْتَاعَهُ عَيْبٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan (Imam Syafi‘i): Jika rahin menipu murtahin hingga cacatnya tersembunyi darinya, kemudian murtahin mengetahuinya, maka keadaan rahn setelah murtahin mengetahui cacatnya tidak lepas dari dua kemungkinan: masih ada atau sudah rusak. Jika masih ada, maka murtahin berhak membatalkan rahn dan jual beli karena cacat yang tampak, sebagaimana jika ditemukan cacat pada barang yang dibelinya.

وَإِذَا بَذَلَ لَهُ الرَّاهِنُ أَرْشَ الْعَيْبِ لِيَزُولَ عَنْهُ الضَّرَرُ، فَيَمْتَنِعَ مِنَ الْفَسْخِ، لَمْ يَلْزَمِ الْمُرْتَهِنَ قَبُولُ الْأَرْشِ، وَكَانَ لَهُ فَسْخُ الرَّهْنِ وَالْبَيْعِ، لِاسْتِحْقَاقِهِ بِوُجُودِ الْعَيْبِ كَالْمُشْتَرِي الَّذِي يَسْتَحِقُّ رَدَّ مَا ابْتَاعَهُ لِوُجُودِ الْعَيْبِ.

Jika rahin menawarkan ganti rugi cacat (arasy) agar kerugian itu hilang darinya, lalu murtahin menolak pembatalan, maka murtahin tidak wajib menerima arasy tersebut, dan ia tetap berhak membatalkan rahn dan jual beli, karena ia berhak atas hal itu dengan adanya cacat, seperti pembeli yang berhak mengembalikan barang yang dibelinya karena adanya cacat.

وَإِنْ بَذَلَ لَهُ الْأَرْشَ، فَلَوْ لَمْ يَعْلَمِ الْمُرْتَهِنُ بِالْعَيْبِ حَتَّى حَدَثَ عِنْدَهُ بِالرَّهْنِ عَيْبٌ آخَرُ، كَانَ لَهُ فَسْخُ الرَّهْنِ وَالْبَيْعِ، بِخِلَافِ الْمُشْتَرِي الَّذِي لَيْسَ لَهُ الرَّدُّ بِالْعَيْبِ إِذَا حَدَثَ عِنْدَهُ عَيْبٌ آخَرُ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ عَيْبَ الْمَبِيعِ إِذَا حَدَثَ فِي يَدِ الْمُشْتَرِي مِنْ ضَمَانِهِ، فَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَرُدَّهُ بَعْدَ حُدُوثِ عَيْبِهِ، وَلَيْسَ عَيْبُ الرَّهْنِ إِذَا حَدَثَ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ مِنْ ضَمَانِهِ، وَكَانَ لَهُ رَدُّهُ بَعْدَ حُدُوثِ عَيْبِهِ.

Dan jika ia telah memberikan arsy (ganti rugi) kepadanya, maka jika pemegang gadai (al-murtahin) tidak mengetahui cacat tersebut hingga kemudian terjadi cacat lain pada barang gadai di tangannya, maka ia berhak membatalkan akad gadai dan jual beli. Berbeda dengan pembeli, yang tidak berhak mengembalikan barang karena cacat apabila setelah itu terjadi cacat lain di tangannya. Perbedaannya adalah: jika cacat pada barang yang dijual terjadi di tangan pembeli, maka itu menjadi tanggungannya, sehingga ia tidak berhak mengembalikannya setelah terjadi cacat tersebut. Sedangkan cacat pada barang gadai jika terjadi di tangan pemegang gadai, itu bukan menjadi tanggungannya, sehingga ia tetap berhak mengembalikannya setelah terjadi cacat tersebut.

فَلَوْ لَمْ يَعْلَمِ الْمُرْتَهِنُ بِالْعَيْبِ حَتَّى ارْتَفَعَ فِي يَدِهِ، كَانَ فِي خِيَارِهِ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ وَجْهَانِ:

Maka jika pemegang gadai tidak mengetahui cacat tersebut hingga cacat itu hilang di tangannya, maka dalam hal ini ia memiliki dua pendapat terkait hak memilih untuk membatalkan jual beli:

أَحَدُهُمَا: لَهُ الْخِيَارُ، اعْتِبَارًا بِوُجُوبِهِ فِي الِابْتِدَاءِ.

Pertama: Ia tetap memiliki hak memilih, karena pada awalnya hak itu memang wajib baginya.

وَالثَّانِي: لَا خِيَارَ لَهُ، اعْتِبَارًا بِسُقُوطِهِ فِي الِانْتِهَاءِ.

Kedua: Ia tidak memiliki hak memilih, karena hak itu telah gugur pada akhirnya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا كَانَ الرَّهْنُ تَالِفًا قَبْلَ عِلْمِ الْمُرْتَهِنِ بِعَيْبِهِ، كَعَبْدٍ مَاتَ فِي يَدِهِ، أَوْ ثَوْبٍ سُرِقَ مِنْ حِرْزِهِ، ثُمَّ عَلِمَ حِينَئِذٍ بِعَيْبِهِ، فَلَا خِيَارَ لَهُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ، لِفَوَاتِ رَدِّهِ وَلَا رُجُوعَ لَهُ بِأَرْشِهِ، فَإِنْ قِيلَ: أَلَيْسَ لِلْمُشْتَرِي الرُّجُوعُ بِأَرْشِهِ عِنْدَ فَوَاتِ رَدِّهِ؟ فَهَلَّا كَانَ لِلْمُرْتَهِنِ الرُّجُوعُ بِأَرْشِهِ عِنْدَ فَوَاتِ رَدِّهِ؟ قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Jika barang gadai rusak sebelum pemegang gadai mengetahui cacatnya, seperti budak yang meninggal di tangannya, atau kain yang dicuri dari tempat penyimpanannya, kemudian setelah itu ia baru mengetahui cacatnya, maka ia tidak memiliki hak untuk membatalkan jual beli karena sudah tidak mungkin mengembalikannya, dan ia juga tidak berhak menuntut arsy (ganti rugi). Jika ada yang bertanya: Bukankah pembeli berhak menuntut arsy jika tidak memungkinkan mengembalikan barang? Lalu mengapa pemegang gadai tidak berhak menuntut arsy jika tidak memungkinkan mengembalikan barang? Maka dijawab: perbedaan antara keduanya ada pada tiga hal:

أَحَدُهَا: أَنَّ الْبَائِعَ لَمَّا أُجْبِرَ عَلَى تَسْلِيمِ الْمَبِيعِ سَلِيمًا أُجْبِرَ عَلَى تَسْلِيمِ أَرْشِهِ مَعِيبًا، ولما لم يجبر الراهن على تسليم الراهن سَلِيمًا، لَمْ يُجْبَرْ عَلَى تَسْلِيمِ أَرْشِهِ مَعِيبًا.

Pertama: Karena penjual ketika diwajibkan menyerahkan barang yang dijual dalam keadaan utuh, maka ia juga diwajibkan menyerahkan arsy-nya jika barang itu cacat. Sedangkan pemberi gadai tidak diwajibkan menyerahkan barang gadai dalam keadaan utuh, maka ia juga tidak diwajibkan menyerahkan arsy-nya jika barang itu cacat.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا وَجَبَ عَلَى الْبَائِعِ رَدُّ الثَّمَنِ عِنْدَ تَعَذُّرِ تَسْلِيمِ الْمَبِيعِ، وَجَبَ عَلَيْهِ رَدُّ الْأَرْشِ عِنْدَ تَعَذُّرِ رَدِّ الْمَبِيعِ، وَلَمَّا لَمْ يَجِبْ عَلَى الرَّاهِنِ دَفْعُ الْحَقِّ عِنْدَ تَعَذُّرِ تَسْلِيمِ الرَّهْنِ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ رَدُّ الْأَرْشِ لِفَوَاتِ رَدِّ الرَّهْنِ.

Kedua: Karena penjual wajib mengembalikan harga jika tidak bisa menyerahkan barang yang dijual, maka ia juga wajib mengembalikan arsy jika tidak bisa mengembalikan barang yang dijual. Sedangkan pemberi gadai tidak wajib membayar hak (utang) jika tidak bisa menyerahkan barang gadai, maka ia juga tidak wajib mengembalikan arsy karena tidak bisa mengembalikan barang gadai.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ فِي مَنْعِ الْمُشْتَرِي مِنَ الْأَرْشِ تَفْوِيتٌ لِحَقِّهِ كَانَ لَهُ الرُّجُوعُ بِهِ، وَلَمَّا لَمْ يَكُنْ فِي مَنْعِ الْمُرْتَهِنِ مِنَ الْأَرْشِ تَفْوِيتٌ لِحَقِّهِ، لِأَنَّ حَقَّهُ مُوَثَّقٌ فِي ذِمَّةِ رَاهِنِهِ، لَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ بِهِ.

Ketiga: Karena jika pembeli tidak diberi arsy, maka itu berarti menghilangkan haknya, sehingga ia berhak menuntutnya. Sedangkan jika pemegang gadai tidak diberi arsy, itu tidak berarti menghilangkan haknya, karena haknya sudah terjamin pada tanggungan pemberi gadai, maka ia tidak berhak menuntut arsy.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا ارْتَهَنَ عَبْدَيْنِ فَقَبَضَ أَحَدَهُمَا فَمَاتَ فِي يَدِهِ وَمَاتَ الْآخَرُ فِي يَدِ رَاهِنِهِ أَوْ مَاتَ فِي يَدِهِ، لَمْ يَكُنْ لِلْمُرْتَهِنِ رَدُّ الْبَيْعِ لِفَوَاتِ رَدِّ مَا تَلِفَ بِيَدِهِ.

Jika seseorang menggadaikan dua budak, lalu pemegang gadai menerima salah satunya dan budak itu meninggal di tangannya, kemudian budak yang satunya lagi meninggal di tangan pemberi gadai atau juga di tangan pemegang gadai, maka pemegang gadai tidak berhak membatalkan jual beli karena sudah tidak mungkin mengembalikan barang yang rusak di tangannya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

إِذَا ارْتَهَنَ عَبْدًا فَقُتِلَ فِي يَدِ مُرْتَهِنِهِ، ثُمَّ عَلِمَ الْمُرْتَهِنُ بِعَيْبٍ كَانَ بِهِ، فَإِنْ كَانَ قَتْلُهُ قَدْ أَوْجَبَ مَالًا، تَرَكَ مَكَانَهُ رَهْنًا، وَلِلْمُرْتَهِنِ فَسْخُ الْبَيْعِ، لِأَنَّهُ وَإِنْ فَاتَ رَدُّ العبد بعينه، فَقَدْ رَدَّ مَا قَامَ مَقَامَهُ مِنْ قِيمَتِهِ، وَإِنْ كَانَ قَدْ أَوْجَبَ قِصَاصًا، اقْتُصَّ لَهُ مِنْ قَاتِلِهِ، وَلَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ فَسْخُ الْبَيْعِ لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ فِي اقْتِصَاصِ سَيِّدِهِ وَاسْتِرْجَاعِ بَدَلِهِ لَمَّا لَمْ يَكُنْ لَهُ الْفَسْخُ مَعَ خُرُوجِهِ بِالْقَتْلِ وَالْقِصَاصِ مِنْ يَدِهِ، فَأَوْلَى أَلَّا يَكُونَ لَهُ الْفَسْخُ إِذَا عَلِمَ بِعَيْبِهِ.

Jika seseorang menggadaikan seorang budak, lalu budak itu terbunuh di tangan pemegang gadai, kemudian pemegang gadai mengetahui adanya cacat pada budak tersebut, maka jika pembunuhan itu mewajibkan pembayaran harta (diyat), maka diyat tersebut menjadi pengganti barang gadai, dan pemegang gadai berhak membatalkan jual beli. Karena meskipun ia tidak dapat mengembalikan budak itu secara fisik, ia telah mengembalikan penggantinya berupa nilai (diyat). Namun jika pembunuhan itu mewajibkan qishash, maka qishash dilaksanakan terhadap pembunuhnya, dan pemegang gadai tidak berhak membatalkan jual beli. Karena meskipun dengan pelaksanaan qishash tuannya dapat mengambil pengganti budak tersebut, namun ketika ia tidak berhak membatalkan akad dengan keluarnya budak itu dari tangannya karena terbunuh dan qishash, maka lebih utama lagi ia tidak berhak membatalkan akad jika baru mengetahui cacatnya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَلَوْ بِيعَ الرَّهْنُ فِي حَقِّ الْمُرْتَهِنِ، ثُمَّ عَلِمَ الْمُرْتَهِنُ بِتَقَدُّمِ عَيْبِهِ، لَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ فَسْخُ الْبَيْعِ وَإِنْ كَانَ الثَّمَنُ بَاقِيًا، فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا كَانَ لَهُ فَسْخُ الْبَيْعِ وَرَدُّ الثَّمَنِ، لِأَنَّ الثَّمَنَ بَدَلٌ يَقُومُ مَقَامَهُ كَالْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ إِذَا أُخِذَتْ قِيمَتُهُ، ثُمَّ عَلِمَ الْمُرْتَهِنُ بِعَيْبِهِ، تَكُونُ الْقِيمَةُ الْمَأْخُوذَةُ قَائِمَةً مَقَامَ رَدِّهِ بِعَيْبِهِ، وَلَهُ فَسْخُ الْبَيْعِ.

Jika barang gadai dijual untuk kepentingan pemegang gadai, kemudian pemegang gadai mengetahui bahwa barang tersebut sebelumnya cacat, maka ia tidak berhak membatalkan jual beli meskipun harga barang masih ada. Jika ada yang bertanya: Mengapa ia tidak berhak membatalkan jual beli dan mengembalikan harga, padahal harga itu adalah pengganti yang menempati posisi barang seperti halnya orang yang menjadi korban kejahatan ketika diambil nilainya, lalu pemegang gadai mengetahui cacatnya, maka nilai yang diambil itu menempati posisi pengembalian barang karena cacat, sehingga ia berhak membatalkan jual beli?

قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَ الْمَبِيعِ وَالْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ، أَنَّ الْمَبِيعَ قَدْ عَاوَضَ عَلَيْهِ سَلِيمًا، وَلَمْ يَكُنْ نَقْصُ الْعَيْبِ مُؤَثِّرًا إِذَا لَمْ يَظْهَرْ عَيْبُهُ إِلَّا بَعْدَ نُفُوذِ بَيْعِهِ كَالْمُشْتَرِي إِذَا بَاعَ ثُمَّ ظَهَرَ عَلَى عَيْبٍ لَهُ، لَمْ يَكُنْ لَهُ فَسْخٌ وَلَا أَرْشٌ، وَلَيْسَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ كَذَلِكَ لِأَنَّ الْمَأْخُوذَ فِيهِ قِيمَتُهُ الَّتِي كَانَ يَسْوَاهَا وَقْتَ الْجِنَايَةِ مَعَ نَقْصِهِ بِالْعَيْبِ فَافْتَرَقَا.

Dikatakan: Perbedaan antara barang yang dijual dan barang yang menjadi objek jinayah (kejahatan) adalah bahwa barang yang dijual telah terjadi akad tukar-menukar atasnya dalam keadaan utuh, dan kekurangan akibat cacat tidak berpengaruh jika cacatnya baru tampak setelah akad jual beli sah, seperti pembeli yang menjual barang lalu kemudian diketahui ada cacat pada barang itu, maka ia tidak berhak membatalkan akad maupun menuntut ganti rugi (‘arsh). Adapun barang yang menjadi objek jinayah tidak demikian, karena yang diambil darinya adalah nilai barang tersebut pada saat terjadinya jinayah, dengan memperhitungkan kekurangannya akibat cacat, sehingga keduanya berbeda.

فَلَوْ أَنَّ مُشْتَرِيَ الرَّهْنِ ظَهَرَ عَلَى عَيْبِهِ فَرَدَّهُ بِهِ، وَطَالَبَ بِرَدِّ ثَمَنِهِ نُظِرَ، فَإِنِ اسْتَرْجَعَ الثَّمَنَ مِنْ يَدِ الْمُرْتَهِنِ أَوْ مِنْ يَدِ الْعَدْلِ الْمَوْضُوعِ عَلَى يَدِهِ الرَّهْنُ، فَلِلْمُرْتَهِنِ فَسْخُ الْبَيْعِ، لِأَنَّ الرَّهْنَ قَدْ عَادَ إِلَى حُكْمِهِ قَبْلَ الْبَيْعِ.

Jika pembeli barang gadai (rahn) menemukan cacat pada barang tersebut lalu mengembalikannya karena cacat itu dan menuntut pengembalian harga, maka hal ini perlu diteliti. Jika ia mengambil kembali harga dari tangan murtahin (penerima gadai) atau dari tangan pihak adil yang memegang barang gadai, maka murtahin berhak membatalkan jual beli, karena barang gadai telah kembali pada statusnya sebelum terjadi jual beli.

وَإِنْ كَانَ الْمُشْتَرِي قَدْ رَجَعَ عَلَى الرَّاهِنِ بِالثَّمَنِ وَلَمْ يَسْتَرْجِعْهُ مِنْ يَدِ الْمُرْتَهِنِ، فَلَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ فَسْخُ الْبَيْعِ، لِسَلَامَةِ الثَّمَنِ لَهُ وَارْتِفَاعِ ضَرَرِ النَّقْصِ عنه، والله أعلم.

Namun jika pembeli telah meminta kembali harga kepada pihak yang menggadaikan (rahin) dan tidak mengambilnya dari tangan murtahin, maka murtahin tidak berhak membatalkan jual beli, karena harga tetap aman baginya dan tidak ada kerugian akibat kekurangan tersebut, dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ لَمْ يَشْتَرِطَا رَهْنًا فِي الْبَيْعِ فَتَطَوَّعَ المشتري فرهنه فلا سبيل له إلى إخراجه مِنَ الرَّهْنِ وَبَقِيَ مِنَ الْحَقِّ شَيْءٌ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika dalam akad jual beli tidak disyaratkan adanya barang gadai, lalu pembeli secara sukarela menggadaikan barangnya, maka ia tidak berhak mengeluarkan barang itu dari gadai selama masih ada sisa hak (utang).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، التَّطَوُّعُ بِالرَّهْنِ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ فِي عَقْدِ الْبَيْعِ جَائِزٌ كَجَوَازِهِ لَوْ كَانَ مَشْرُوطًا فِي الْبَيْعِ، لِأَنَّ الرَّهْنَ وَثِيقَةٌ فَيَصِحُّ التَّطَوُّعُ بِهَا كَالشَّهَادَةِ وَالضَّمَانِ، وَلِأَنَّ الرَّهْنَ عَقْدٌ يَنْفَرِدُ بِحُكْمِهِ بِدَلِيلِ افْتِقَارِهِ إِلَى بَذْلٍ وَقَبُولٍ، فَصَحَّ عَقْدُهُ مُفْرَدًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَشْرُوطًا فِي غَيْرِهِ كَسَائِرِ الْعُقُودِ، وَلَيْسَ كَالْأَجَلِ الَّذِي لَا يَصِحُّ بِغَيْرِ شَرْطٍ فِي الْعَقْدِ، لِأَنَّهُ لَيْسَ بِعَقْدٍ يَنْفَرِدُ بِحُكْمِهِ، فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَتَطَوَّعَ الْمُشْتَرِي فَأَعْطَى الْبَائِعَ رَهْنًا بِالثَّمَنِ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ عَلَيْهِ، فَقَدْ لَزِمَ الرَّهْنُ بِإِقْبَاضِهِ كَمَا لَوْ كَانَ مَشْرُوطًا، وَلَيْسَ لِلْمُشْتَرِي انْتِزَاعُ الرَّهْنِ إِلَّا بَعْدَ قَضَاءِ الْحَقِّ كُلِّهِ، وَتَكُونُ جَمِيعُ أَحْكَامِ هَذَا الرَّهْنِ كَأَحْكَامِ الرَّهْنِ للشروط فِي الْبَيْعِ. إِلَّا فِي شَيْءٍ وَاحِدٍ، وَهُوَ أَنَّ الْبَائِعَ الْمُرْتَهِنَ إِذَا بَانَ لَهُ بِالرَّهْنِ عَيْبٌ مُتَقَدِّمٌ لَيْسَ لَهُ فَسْخُ الْبَيْعِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Memberikan barang gadai secara sukarela tanpa syarat dalam akad jual beli hukumnya boleh, sebagaimana bolehnya jika disyaratkan dalam jual beli. Karena gadai adalah jaminan, maka boleh diberikan secara sukarela sebagaimana kesaksian dan penjaminan. Dan karena gadai adalah akad yang berdiri sendiri dengan hukumnya, sebagaimana dibuktikan dengan perlunya penyerahan dan penerimaan, maka sah akadnya secara terpisah meskipun tidak disyaratkan dalam akad lain, seperti akad-akad lainnya. Tidak seperti tempo (ajal) yang tidak sah kecuali dengan syarat dalam akad, karena ia bukan akad yang berdiri sendiri dengan hukumnya. Jika demikian, maka jika pembeli secara sukarela memberikan barang gadai kepada penjual sebagai jaminan harga tanpa syarat, maka barang gadai itu menjadi wajib dengan penyerahannya, sebagaimana jika disyaratkan. Pembeli tidak berhak menarik kembali barang gadai kecuali setelah seluruh hak (utang) dilunasi. Semua hukum terkait barang gadai ini sama dengan hukum gadai yang disyaratkan dalam jual beli, kecuali dalam satu hal, yaitu jika penjual yang menerima gadai mengetahui adanya cacat lama pada barang gadai, maka ia tidak berhak membatalkan jual beli.

وَلَوْ كَانَ مَشْرُوطًا فِي الْبَيْعِ كَانَ لَهُ فَسْخُ الْبَيْعِ، لِأَنَّهُ إِذَا كَانَ مَشْرُوطًا فَقَدْ دَخَلَ عليه بِظُهُورِ الْعَيْبِ نَقْصٌ، وَإِذَا كَانَ تَطَوُّعًا لَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهِ نَقْصٌ، فَلَمْ يَكُنْ لَهُ الْفَسْخُ، لِأَنَّهُ بَعْدَ ظُهُورِ الْعَيْبِ زِيَادَةٌ مَحْضَةٌ تَطَوَّعَ بها المشتري.

Jika barang gadai itu disyaratkan dalam jual beli, maka penjual berhak membatalkan jual beli, karena jika disyaratkan, maka dengan munculnya cacat terjadi kekurangan (nilai). Namun jika diberikan secara sukarela, maka tidak terjadi kekurangan, sehingga penjual tidak berhak membatalkan, karena setelah munculnya cacat, barang gadai itu merupakan tambahan murni yang diberikan secara sukarela oleh pembeli.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ اشْتَرَطَا أَنْ يَكُونَ الْمَبِيعُ نَفْسُهُ رَهْنًا فَالْبَيْعُ مَفْسُوخٌ مِنْ قِبَلِ أَنَّهُ لَمْ يُمَلِّكْهُ الْمَبِيعَ إِلَا بِأَنْ يَكُونَ مَحْبُوسًا عَلَى الْمُشْتَرِي “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika disyaratkan bahwa barang yang dijual itu sendiri menjadi barang gadai, maka jual belinya batal, karena ia tidak menjadikan pembeli memiliki barang itu kecuali dengan syarat barang itu tetap tertahan pada pembeli.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. إِذَا شَرَطَا فِي عَقْدِ الْبَيْعِ أَنْ يَكُونَ مَا ابْتَاعَهُ رَهْنًا عَلَى ثَمَنِهِ، كَانَ رَهْنًا بَاطِلًا، وَبَيْعًا بَاطِلًا أَمَّا بُطْلَانُ الرَّهْنِ فَلِمَعْنَيَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan demikianlah sebagaimana yang dikatakan. Jika dalam akad jual beli disyaratkan bahwa barang yang dibeli itu menjadi barang gadai atas harganya, maka gadai itu batal dan jual belinya juga batal. Adapun batalnya gadai karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عُقِدَ الرَّهْنُ عَلَيْهِ قَبْلَ مِلْكِهِ لَهُ، لِأَنَّهُ يَمْلِكُ مَا ابْتَاعَهُ، إِمَّا بِالْعَقْدِ، وَالِافْتِرَاقِ، أَوْ بِالْعَقْدِ وَحْدَهُ، وَهُوَ عَقَدَ الرَّهْنَ عَلَيْهِ قَبْلَ وُجُودِ هَذَيْنِ، فَكَانَ رَهْنًا لَهُ قَبْلَ مِلْكِهِ، وَالرَّهْنُ قَبْلَ الْمَلِكِ بَاطِلٌ.

Pertama: Karena akad gadai dilakukan atas barang yang belum dimiliki, sebab ia baru memiliki barang yang dibeli itu, baik dengan akad dan perpisahan, atau dengan akad saja. Sedangkan ia mengadakan akad gadai atas barang itu sebelum kedua hal tersebut terjadi, sehingga barang itu menjadi barang gadai sebelum ia memilikinya, dan gadai atas barang yang belum dimiliki adalah batal.

وَالثَّانِي: أَنَّ عَقْدَ الرَّهْنِ يَنْفِي ضَمَانَ الثَّمَنِ، لِأَنَّهُ عَقْدُ أَمَانَةٍ فَإِذَا وَجَبَ ضَمَانُهُ بِالتَّعَدِّي كَانَ مَضْمُونًا بِالْقِيمَةِ دُونَ الثَّمَنِ، وَالْمَبِيعُ قَبْلَ الْقَبْضِ مَضْمُونٌ عَلَى بَائِعِهِ بِالثَّمَنِ.

Kedua: Bahwa akad rahn meniadakan jaminan atas harga, karena ia adalah akad amanah. Maka apabila wajib dijaminkan karena adanya pelanggaran, maka yang dijaminkan adalah nilainya, bukan harganya. Sedangkan barang yang dijual sebelum diterima, dijamin oleh penjualnya dengan harga.

فَإِذَا جَعَلَ الْمَبِيعَ الْمَضْمُونَ بِالثَّمَنِ رَهْنًا لَا يَجِبُ ضَمَانُهُ بِالثَّمَنِ، صَارَ مُشْتَرِطًا فِي الرَّهْنِ ضَمَانًا يُنَافِيهِ فَبَطَلَ.

Maka apabila barang yang dijual yang dijamin dengan harga dijadikan sebagai rahn, tidak wajib dijaminkan dengan harga. Dengan demikian, berarti mensyaratkan dalam rahn suatu jaminan yang bertentangan dengannya, sehingga batal.

فَأَمَّا بُطْلَانُ الْبَيْعِ فَلِمَعْنَيَيْنِ.

Adapun batalnya jual beli, maka karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَقْدَ الْبَيْعِ يُوجِبُ تَسْلِيمَ الْمَبِيعِ، وَعَقْدَ الرَّهْنِ يُوجِبُ حَبْسَ الْمَرْهُونِ، فَإِذَا اشْتَرَطَ أَنْ يَكُونَ الْمَبِيعُ رَهْنًا فَقَدْ شَرَطَ فِي الْبَيْعِ تَأْخِيرَ التَّسْلِيمِ، وَبُيُوعُ الْأَعْيَانِ بشرط تأخير التسليم باطلة.

Salah satunya: Bahwa akad jual beli mewajibkan penyerahan barang yang dijual, sedangkan akad rahn mewajibkan penahanan barang yang digadaikan. Maka apabila disyaratkan agar barang yang dijual menjadi rahn, berarti mensyaratkan dalam jual beli penundaan penyerahan, dan jual beli barang dengan syarat penundaan penyerahan adalah batal.

وَالثَّانِي: أَنَّ عَقْدَ الْبَيْعِ يَنْقُلُ مَنَافِعَ الْمَبِيعِ للمشتري كَمَا يَنْقُلُ الْمِلْكَ، فَإِذَا شَرَطَ ارْتِهَانَ الْمَبِيعِ فَقَدْ شَرَطَ لِنَفْسِهِ مَنْفَعَةَ الْمَبِيعِ، كَانَ الْبَيْعُ بَاطِلًا.

Kedua: Bahwa akad jual beli memindahkan manfaat barang yang dijual kepada pembeli sebagaimana memindahkan kepemilikan, maka apabila disyaratkan penahanan barang yang dijual sebagai rahn, berarti mensyaratkan bagi dirinya manfaat dari barang yang dijual, sehingga jual beli menjadi batal.

فَإِنْ قِيلَ: ارْتِهَانُ الْمَبِيعِ إِنَّمَا هُوَ حَبْسُ الْمَبِيعِ عَلَى ثَمَنِهِ وَلِلْبَائِعِ أَنْ يَحْبِسَ ما باعه حتى يقبض ثَمَنَهُ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ جَائِزًا مِنْ غَيْرِ شَرْطِ ارْتِهَانِهِ، كَانَ مَعَ شَرْطِ ارْتِهَانِهِ أَوْلَى بِالْجَوَازِ.

Jika dikatakan: Penahanan barang yang dijual sebagai rahn hanyalah penahanan barang atas harganya, dan penjual berhak menahan barang yang dijualnya hingga ia menerima harganya. Maka jika hal itu boleh tanpa syarat penahanan sebagai rahn, tentu dengan syarat penahanan sebagai rahn lebih utama untuk dibolehkan.

قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Dijawab: Perbedaan antara keduanya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَبِيعَ الْمَحْبُوسَ عَلَى ثَمَنِهِ مَضْمُونٌ بِالثَّمَنِ وَالرَّهْنُ يَنْفِي ضَمَانَ الثَّمَنِ.

Salah satunya: Bahwa barang yang dijual yang ditahan atas harganya dijamin dengan harga, sedangkan rahn meniadakan jaminan atas harga.

وَالثَّانِي: أَنِ الْمَبِيعَ الْمَحْبُوسَ عَلَى ثَمَنِهِ يَمْنَعُ مِنْ بَيْعِهِ عِنْدَ تَأَخُّرِ ثَمَنِهِ وَالرَّهْنُ يُوجِبُ بَيْعَهُ عِنْدَ تَأَخُّرِ مَا رُهِنَ بِهِ، فَافْتَرَقَ حُكْمُهُمَا مِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ.

Kedua: Bahwa barang yang dijual yang ditahan atas harganya mencegah dari penjualannya ketika harga belum dibayar, sedangkan rahn mewajibkan penjualannya ketika apa yang menjadi jaminan rahn belum dibayar. Maka berbeda hukum keduanya dari dua sisi ini.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَبَايَعَا سِلْعَةً بِشَرْطِ أَنْ يُسَلِّمَهَا إِلَى الْمُشْتَرِي فَإِذَا صَارَتْ فِي قَبْضِ المشتري رَهَنَهَا عِنْدَ الْبَائِعِ عَلَى ثَمَنِهَا، كَانَ الرَّهْنُ بَاطِلًا وَالْبَيْعُ بَاطِلًا، أَمَّا بُطْلَانُ الرَّهْنِ فَلِمَعْنًى وَاحِدٍ وَهُوَ أَنَّهُ رَهَنَهُ قَبْلَ مِلْكِهِ وَأَمَّا بُطْلَانُ الْبَيْعِ فَلِمَعْنًى وَاحِدٍ وَهُوَ أَنَّهُ شَرَطَ مَنْفَعَةَ مَا بَاعَهُ.

Apabila keduanya melakukan jual beli suatu barang dengan syarat barang itu diserahkan kepada pembeli, lalu setelah berada dalam penguasaan pembeli, barang itu digadaikan kepada penjual atas harganya, maka rahn tersebut batal dan jual belinya juga batal. Adapun batalnya rahn karena satu alasan, yaitu karena ia menggadaikan barang sebelum memilikinya. Sedangkan batalnya jual beli karena satu alasan, yaitu karena ia mensyaratkan manfaat dari barang yang telah dijualnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَلَوْ بَاعَ سِلْعَةً بِغَيْرِ شَرْطِ رَهْنِ الْمَبِيعِ، ثُمَّ إِنَّ الْمُشْتَرِيَ رهنها قبل قبضها. عند بايعها أو غير بايعها، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika seseorang menjual barang tanpa syarat rahn atas barang yang dijual, kemudian pembeli menggadaikannya sebelum menerimanya, baik kepada penjualnya atau kepada selain penjualnya, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَرْهَنَهَا قَبْلَ التَّفَرُّقِ، فَالْبَيْعُ جَائِزٌ لِسَلَامَتِهِ مِنْ شَرْطٍ يُفْسِدُهُ وَالرَّهْنُ بَاطِلٌ سَوَاءٌ رَهَنَهُ عِنْدَ الْبَائِعِ أَوْ غَيْرِ الْبَائِعِ، لِأَنَّهُ قَبْلَ التَّفَرُّقِ غَيْرُ مُسْتَقِرِّ الْمِلْكِ.

Pertama: Menggadaikannya sebelum berpisah, maka jual belinya sah karena tidak ada syarat yang merusaknya, dan rahnnya batal baik digadaikan kepada penjual atau selain penjual, karena sebelum berpisah kepemilikannya belum tetap.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَرْهَنَهُ بَعْدَ التَّفَرُّقِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian kedua: Menggadaikannya setelah berpisah, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْبَائِعُ لَمْ يَقْبِضِ الثَّمَنَ فَرَهْنُهُ غَيْرُ جَائِزٍ سَوَاءٌ رهنه عند البائع أو عند غَيْرِهِ، لِأَنَّ لِلْبَائِعِ حَبْسَ الْمَبِيعِ عَلَى ثَمَنِهِ فَلَا مَعْنَى لِارْتِهَانِهِ عَلَى ثَمَنِهِ، وَلَا عِنْدَ غَيْرِ بَائِعِهِ لِحَقِّ الْبَائِعِ فِي حَبْسِهِ.

Pertama: Penjual belum menerima harga, maka menggadaikannya tidak sah baik kepada penjual maupun kepada selain penjual, karena penjual berhak menahan barang atas harganya, sehingga tidak ada makna menggadaikannya atas harganya, dan juga tidak kepada selain penjual karena hak penjual untuk menahannya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْبَائِعُ قَدْ قَبَضَ الثَّمَنَ، فَفِي جَوَازِ رَهْنِهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Bagian kedua: Penjual telah menerima harga, maka dalam kebolehan menggadaikannya ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ يجوز رهنه عند بائعه وغير بائعه، وَهُوَ قَوْلُ طَائِفَةٍ مِنَ الْبَغْدَادِيِّينَ وَهَذَا مَذْهَبُ مَنْ جَوَّزَ إِجَارَةَ الْمَبِيعِ قَبْلَ قَبْضِهِ.

Pertama: Boleh menggadaikannya kepada penjual maupun kepada selain penjual, dan ini adalah pendapat sekelompok ulama Baghdad, dan ini adalah madzhab orang yang membolehkan penyewaan barang yang dijual sebelum diterima.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ هَذَا لَا يَجُوزُ لَا مِنْ بَائِعِهِ وَلَا مِنْ غَيْرِ بَائِعِهِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَطَائِفَةٍ، وَهَذَا مَذْهَبُ مَنْ مَنَعَ مِنْ إِجَارَةِ الْمَبِيعِ قَبْلَ قَبْضِهِ.

Pendapat kedua: Hal ini tidak boleh baik kepada penjual maupun kepada selain penjual, dan ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dan sekelompok ulama, dan ini adalah madzhab orang yang melarang penyewaan barang yang dijual sebelum diterima.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ رَهْنَهُ جَائِزٌ عِنْدَ غَيْرِ بَائِعِهِ وَرَهْنَهُ عِنْدَ بَائِعِهِ غَيْرُ جَائِزٍ وَهَذَا قَوْلُ أَكْثَرِ الْبَصْرِيِّينَ، لِأَنَّ رَهْنَهُ عِنْدَ بَائِعِهِ يُوجِبُ اسْتِدَامَةَ ضَمَانِهِ بِالثَّمَنِ الْمُنَافِي لِلرَّهْنِ، وَرَهْنَهُ عِنْدَ غَيْرِ بَائِعِهِ يَنْفِي هَذَا الضَّمَانَ، والله أعلم.

Pendapat ketiga: Bahwa menggadaikan barang tersebut kepada selain penjualnya adalah boleh, sedangkan menggadaikannya kepada penjualnya sendiri tidak boleh. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Basrah, karena menggadaikannya kepada penjualnya menyebabkan tetapnya jaminan harga yang bertentangan dengan konsep rahn, sedangkan menggadaikannya kepada selain penjualnya meniadakan jaminan tersebut. Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ أُرْهِنُكَ عَلَى أَنْ تَزِيدَنِي فِي الْأَجَلِ فَفَعَلَا فَالرَّهْنُ مَفْسُوخٌ وَالْحَقُّ الْأَوَّلُ بِحَالِهِ وَيَرُدُّ مَا زَادَهُ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika orang yang berutang berkata, ‘Aku menggadaikan barang kepadamu dengan syarat engkau menambah tempo pembayaran kepadaku,’ lalu keduanya melakukannya, maka gadai tersebut batal, hak yang pertama tetap sebagaimana adanya, dan tambahan tempo itu harus dikembalikan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.

إِذَا كَانَ الْحَقُّ حَالًّا فَقَالَ مَنْ هُوَ عَلَيْهِ لِمَنْ هُوَ لَهُ: أُعْطِيكَ بِحَقِّكَ رَهْنًا عَلَى أَنْ تَجْعَلَ الْحَقَّ مُؤَجَّلًا، أَوْ كَانَ الْحَقُّ إِلَى سَنَةٍ فَقَالَ مَنْ هُوَ عَلَيْهِ: أُعْطِيكَ بِهِ رَهْنًا عَلَى أَنْ تَجْعَلَهُ مُؤَجَّلًا إِلَى سَنَتَيْنِ فَفَعَلَا ذَلِكَ وَأَجَّلَا الْحَقَّ وَوَثَّقَاهُ بِالرَّهْنِ، فَالشَّرْطُ فِي الْأَجَلِ بَاطِلٌ، وَالرَّهْنُ فَاسِدٌ.

Jika hak tersebut telah jatuh tempo, lalu orang yang berutang berkata kepada yang berpiutang, “Aku berikan kepadamu barang sebagai gadai dengan syarat engkau menjadikan hak itu bertempo,” atau jika hak itu jatuh tempo setahun, lalu orang yang berutang berkata, “Aku berikan barang itu sebagai gadai dengan syarat engkau menambah temponya menjadi dua tahun,” kemudian keduanya melakukannya, memperpanjang tempo dan memperkuatnya dengan gadai, maka syarat dalam tempo itu batal dan gadai tersebut rusak (tidak sah).

أَمَّا بُطْلَانُ الشَّرْطِ فِي الأجل فلمعنيين:

Adapun batalnya syarat dalam tempo itu karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأَجَلَ لَا يَنْفَرِدُ عَنِ الْعَقْدِ وَلَا يُفْرَدُ بِالْعَقْدِ وَإِنَّمَا يَلْزَمُ فِي الْبَيْعِ تَبَعًا لِلْعَقْدِ، وَقَدْ عَرَّى الْأَجَلَ هَاهُنَا عَنْ أَنْ يَكُونَ تَبَعًا لِلْعَقْدِ.

Pertama: Bahwa tempo tidak berdiri sendiri dari akad dan tidak bisa diadakan dengan akad tersendiri, melainkan hanya berlaku dalam jual beli sebagai pengikut akad. Namun di sini tempo dipisahkan dari menjadi pengikut akad.

وَالثَّانِي: أَنَّ أَخْذَ الْعِوَضِ عَنِ الْأَجَلِ رِبًا، وَالرَّهْنُ عِوَضٌ مَأْخُوذٌ عَنِ الْأَجَلِ، فَلَمْ يَصِحَّ.

Kedua: Bahwa mengambil kompensasi atas tempo adalah riba, sedangkan gadai adalah kompensasi yang diambil atas tempo, maka tidak sah.

وَأَمَّا بُطْلَانُ الرَّهْنِ فَلِمَعْنًى وَاحِدٍ، وَهُوَ أَنَّهُ عُقِدَ عَلَى شَرْطِ خِيَارٍ فِي مُقَابَلَتِهِ، فَلَمَّا بَطَلَ الشَّرْطُ فِي الْأَجَلِ، بَطَلَ مَا فِي مُقَابَلَتِهِ مِنَ الرَّهْنِ، فَإِذَا ثَبَتَ بُطْلَانُ الشَّرْطِ وَالرَّهْنِ فَالْحَقُّ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ مِنْ قَبْلِ حُلُولٍ أَوْ تأجيل.

Adapun batalnya gadai itu karena satu alasan, yaitu karena ia diadakan dengan syarat adanya hak khiyar sebagai imbalannya. Maka ketika syarat dalam tempo itu batal, batal pula gadai yang menjadi imbalannya. Jika telah tetap batalnya syarat dan gadai, maka hak kembali kepada keadaan semula, baik sudah jatuh tempo maupun masih ditangguhkan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا أَقَرَّ أَنَّ الْمَوْضُوعَ عَلَى يَدَيْهِ قَبَضَ الرَّهْنَ جَعَلْتُهُ رَهْنًا وَلَمْ أَقْبَلْ قَوْلَ الَعَدْلِ لَمْ أَقْبِضْهُ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika diakui bahwa barang yang diletakkan di tangan seseorang telah diterima sebagai gadai, maka aku menetapkannya sebagai gadai dan tidak menerima pernyataan orang adil tersebut yang mengatakan ‘aku tidak menerimanya’.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَفِي الْمَسْأَلَةِ اخْتِصَارٌ، وَصُورَتُهَا فِي مُتَبَايِعَيْنِ شَرَطَا فِي عَقْدِ الْبَيْعِ رَهْنًا يَضَعَانِهِ عَلَى يَدِ عَدْلٍ، فَأَقَرَّ الرَّاهِنُ الْمُشْتَرِي بِتَسْلِيمِ الرَّهْنِ، وَأَقَرَّ الْمُرْتَهِنُ الْبَائِعُ بِقَبْضِ الرَّهْنِ، وَأَنْكَرَ الْعَدْلُ أَنْ يَكُونَ قَبَضَ الرَّهْنَ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ، وَالرَّهْنُ قَدْ تَمَّ وَلَا يُؤَثِّرُ فِيهِ إِنْكَارُ الْعَدْلِ، لِأَنَّ مَنْ بِهِ يَتِمُّ الرَّهْنُ هُوَ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ دُونَ الْعَدْلِ، وَقَدْ أَقَرَّا بِتَمَامِهِ، وَإِذَا كَانَ قَوْلُهُمَا مَقْبُولًا فَلَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ فَسْخُ الْبَيْعِ، لِإِقْرَارِهِ بِقَبْضِ الرَّهْنِ، وَلَا لِلرَّاهِنِ الرُّجُوعُ فِيهِ لِإِقْرَارِهِ بِتَسْلِيمِ الرَّهْنِ غَيْرَ أَنَّ إِقْرَارَهُمَا بِالرَّهْنِ لَا يَكُونُ مَقْبُولًا عَلَى الْعَدْلِ، وَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَ الْعَدْلِ مَعَ يَمِينِهِ بِاللَّهِ مَا قَبَضْتُهُ إِنِ ادَّعَيَاهُ فِي يَدِهِ، فَإِذَا حَلَفَ صَارَ الرَّهْنُ تَالِفًا، وَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ، لِأَنَّهُ رَهْنٌ مَحْكُومٌ بِتَلَفِهِ بَعْدَ الْقَبْضِ، وَإِنْ لَمْ يَدَّعِيَاهُ فِي يَدِهِ وَكَانَ مَعَ أَحَدِهِمَا: فَلَا يَمِينَ عَلَى الْعَدْلِ، وَلَهُمَا أَنْ يَضَعَاهُ عَلَى يَدِ مَنْ يَرْتَضِيَانِهِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Dalam masalah ini ada ringkasan, dan bentuk kasusnya adalah pada dua orang yang melakukan jual beli dan mensyaratkan dalam akad jual beli adanya barang gadai yang diletakkan di tangan orang yang adil. Lalu pihak yang menggadaikan (pembeli) mengakui telah menyerahkan barang gadai, dan pihak yang menerima gadai (penjual) mengakui telah menerima barang gadai, sedangkan orang adil itu mengingkari bahwa ia telah menerima barang gadai tersebut. Maka yang dijadikan pegangan adalah pengakuan pihak yang menggadaikan dan yang menerima gadai, dan gadai itu telah sempurna, serta pengingkaran orang adil tidak berpengaruh terhadapnya. Sebab, yang menyempurnakan gadai adalah pihak yang menggadaikan dan yang menerima gadai, bukan orang adil, dan keduanya telah mengakui kesempurnaannya. Jika pengakuan keduanya diterima, maka pihak yang menerima gadai tidak berhak membatalkan jual beli karena ia telah mengakui penerimaan barang gadai, dan pihak yang menggadaikan juga tidak berhak menarik kembali karena ia telah mengakui penyerahan barang gadai. Hanya saja, pengakuan keduanya atas gadai tidak berlaku terhadap orang adil, dan yang dijadikan pegangan adalah pernyataan orang adil dengan sumpahnya atas nama Allah bahwa ia tidak menerimanya, jika keduanya mengklaim barang itu ada di tangannya. Jika ia bersumpah, maka barang gadai dianggap telah rusak, dan pihak yang menerima gadai tidak memiliki hak khiyar, karena itu adalah barang gadai yang dihukumi rusak setelah diterima. Jika keduanya tidak mengklaim barang itu ada di tangan orang adil dan barang itu ada pada salah satu dari mereka, maka tidak ada sumpah atas orang adil, dan keduanya boleh meletakkannya di tangan orang yang mereka ridai.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَلَوْ أَقَرَّ الْمُرْتَهِنُ وَالْعَدْلُ بِقَبْضِ الرَّهْنِ، وَأَنْكَرَ الرَّاهِنُ، كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الراهن مع يمينه بالله ما أقبض، ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُ الرَّهْنِ الَّذِي أَقَرَّ الْعَدْلُ وَالْمُرْتَهِنُ بِقَبْضِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika pihak yang menerima gadai dan orang adil mengakui telah menerima barang gadai, sedangkan pihak yang menggadaikan mengingkarinya, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pihak yang menggadaikan dengan sumpahnya atas nama Allah bahwa ia tidak menyerahkannya. Kemudian, keadaan barang gadai yang diakui oleh orang adil dan pihak yang menerima gadai telah diterima tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ بَاقِيًا أَوْ تَالِفًا، فَإِنْ كَانَ بَاقِيًا فَلِلرَّاهِنِ انْتِزَاعُهُ وَاسْتِرْجَاعُهُ، فَإِذَا اسْتَرْجَعَهُ قِيلَ لَهُ: إِنْ أُقْبِضْتَ الرَّهْنَ فَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ، وَإِنِ امْتَنَعْتَ مِنْ إِقْبَاضِهِ فَلِلْمُرْتَهِنِ فِي الْبَيْعِ الْخِيَارُ، بَيْنَ فَسْخِهِ أَوْ إِمْضَائِهِ، وَإِنْ كَانَ الرَّهْنُ تَالِفًا فَلَهُ الرُّجُوعُ بِقِيمَتِهِ عَلَى مَنْ شَاءَ مِنَ الْعَدْلِ أَوِ الْمُرْتَهِنِ، لِأَنَّ كُلَّ واحد منهما مقر بقبضه، وقد حكمنا بإقرار أَنَّهُ غَيْرُ مَقْبُوضٍ فِي الرَّهْنِ، فَصَارَ مَقْبُوضًا بِالتَّعَدِّي فَلَزِمَهُ ضَمَانُهُ بِالتَّلَفِ، فَإِنْ رَجَعَ الرَّاهِنُ عَلَى الْعَدْلِ وَأَغْرَمَهُ قِيمَةَ الرَّهْنِ فَلَا رُجُوعَ لِلْعَدْلِ عَلَى الْمُرْتَهِنِ، لِأَنَّهُ مُقِرٌّ أَنَّ الرَّاهِنَ ظَلَمَهُ بِهَا، وَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ، لِأَنَّهُ مُقِرٌّ بِقَبْضِ مَا شَرَطَهُ مِنَ الرَّهْنِ، فَإِنْ رَجَعَ الرَّاهِنُ عَلَى الْمُرْتَهِنِ فَأَغْرَمَهُ قِيمَةَ الرَّهْنِ، فَلَا رُجُوعَ لِلْمُرْتَهِنِ عَلَى الْعَدْلِ لِأَنَّهُ مُقِرٌّ أَنَّ الْعَدْلَ أَمِينٌ، وَأَنَّ الرَّاهِنَ ظَالِمٌ، وَلِلْمُرْتَهِنِ فِي الْبَيْعِ الْخِيَارُ بَيْنَ فَسْخِهِ وَإِمْضَائِهِ لِأَنَّ حُكْمَنَا عَلَيْهِ يُغَرِّمُ القيمة وهو حكم يرد الرَّهْنَ، فَلَمْ يَكُنْ مَا تَقَدَّمَ مِنْ إِقْرَارِهِ بِالْقَبْضِ مَانِعًا مِنَ الْفَسْخِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِذَا رَجَعَ الرَّاهِنُ بِالْغُرْمِ عَلَى الْعَدْلِ إِذْ لَيْسَ فِيهِ حُكْمٌ عَلَى الْمُرْتَهِنِ بِرَدِّ الرَّهْنِ.

Barang gadai itu, bisa jadi masih ada atau sudah rusak. Jika masih ada, maka pihak yang menggadaikan (rahin) berhak mengambil dan memintanya kembali. Jika ia telah mengambilnya kembali, dikatakan kepadanya: “Jika engkau telah menyerahkan barang gadai itu, maka tidak ada hak khiyar (pilihan) bagi pihak penerima gadai (murtahin). Namun jika engkau menolak untuk menyerahkannya, maka murtahin memiliki hak khiyar dalam jual beli, antara membatalkan atau melanjutkannya.” Jika barang gadai itu telah rusak, maka rahin berhak menuntut nilai barang tersebut kepada siapa saja yang ia kehendaki, baik kepada pihak penengah (adl) maupun kepada murtahin, karena masing-masing dari keduanya mengakui telah menerima barang tersebut, dan kami telah memutuskan berdasarkan pengakuan bahwa barang itu belum diterima dalam akad gadai, sehingga barang itu dianggap diterima secara melampaui batas (ta‘addi), maka wajib baginya menanggung kerugian akibat kerusakan tersebut. Jika rahin menuntut kepada adl dan adl membayar nilai barang gadai, maka adl tidak dapat menuntut kembali kepada murtahin, karena ia mengakui bahwa rahin telah menzhaliminya dalam hal itu, dan murtahin tidak memiliki hak khiyar untuk membatalkan jual beli, karena ia mengakui telah menerima apa yang disyaratkan dari barang gadai. Jika rahin menuntut kepada murtahin dan murtahin membayar nilai barang gadai, maka murtahin tidak dapat menuntut kembali kepada adl, karena ia mengakui bahwa adl adalah orang yang amanah, dan bahwa rahin adalah pihak yang zhalim. Dalam hal ini, murtahin memiliki hak khiyar dalam jual beli, antara membatalkan atau melanjutkannya, karena keputusan kami yang membebankan pembayaran nilai barang kepadanya adalah keputusan yang mengembalikan barang gadai, sehingga pengakuannya sebelumnya tentang penerimaan barang tidak menjadi penghalang untuk membatalkan jual beli. Tidak demikian halnya jika rahin menuntut ganti rugi kepada adl, karena dalam hal itu tidak ada keputusan yang mewajibkan murtahin mengembalikan barang gadai.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَلَوْ أَقَرَّ الرَّاهِنُ وَالْعَدْلُ بِقَبْضِ الرَّهْنِ وَأَنْكَرَ الْمُرْتَهِنُ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الرَّهْنِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ بَاقِيًا أَوْ تَالِفًا، فَإِنْ كَانَ بَاقِيًا فَلَا يَمِينَ عَلَى الْمُرْتَهِنِ لِأَنَّهُ وَإِنْ أَنْكَرَ قَبْضَهُ مِنْ قَبْلُ، أُمِرَ بِقَبْضِهِ فِي الْمُسْتَقْبَلِ، فَإِنِ امْتَنَعَ مِنْ قَبْضِهِ ثُمَّ تَلِفَ بَعْدَ امْتِنَاعِهِ، لَزِمَهُ إِمْضَاءُ الْبَيْعِ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ الْفَسْخُ، فَإِنْ كَانَ الرَّهْنُ تَالِفًا، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ مَعَ يَمِينِهِ: بِاللَّهِ مَا قَبَضَ الرَّهْنَ لِأَنَّهُ مُنْكِرٌ لِمَا يَدَّعِيهِ الرَّاهِنُ مِنَ الْإِقْبَاضِ، فَإِذَا حَلَفَ فَلَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ: لِأَنَّهُ شَرَطَ فِيهِ رَهْنًا لَمْ يُحْكَمْ عَلَيْهِ بِقَبْضِهِ، فَلَا يُقْبَلُ قَوْلُ الْعَدْلِ عَلَيْهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ شَاهِدًا عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ إِقْرَارَ الْعَدْلِ بِقَبْضِهِ شَهَادَةٌ عَلَى فِعْلِ نَفْسِهِ، وَشَهَادَةُ الْإِنْسَانِ عَلَى فِعْلِ نَفْسِهِ مَرْدُودَةٌ، وَلَيْسَ عَلَى الْعَدْلِ عَزْمُ مَا تَلِفَ بِيَدِهِ مِنَ الرَّهْنِ، لِأَنَّ الرَّاهِنَ مُقِرٌّ أَنَّهُ أَمِينٌ، فَلَمْ يَلْزَمْهُ ضَمَانٌ وَالْمُرْتَهِنُ مُنْكِرٌ أَنْ يَكُونَ قَبَضَ فَأَوْلَى أَلَّا يَلْزَمَهُ ضَمَانٌ، وَاللَّهُ أعلم.

Jika rahin dan adl mengakui bahwa barang gadai telah diterima, namun murtahin mengingkarinya, maka keadaan barang gadai tidak lepas dari dua kemungkinan: masih ada atau sudah rusak. Jika masih ada, maka tidak ada sumpah atas murtahin, karena meskipun ia mengingkari telah menerima sebelumnya, ia diperintahkan untuk menerimanya di masa mendatang. Jika ia menolak untuk menerima lalu barang itu rusak setelah penolakannya, maka ia wajib melanjutkan jual beli dan tidak berhak membatalkannya. Jika barang gadai telah rusak, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan murtahin dengan sumpahnya: “Demi Allah, saya tidak menerima barang gadai itu,” karena ia mengingkari apa yang didakwakan oleh rahin tentang penyerahan barang. Jika ia telah bersumpah, maka ia berhak memilih untuk membatalkan jual beli, karena ia telah mensyaratkan adanya barang gadai yang belum diputuskan telah diterima olehnya. Maka, tidak diterima pernyataan adl terhadapnya dan tidak boleh adl menjadi saksi atasnya, karena pengakuan adl atas penerimaan barang adalah kesaksian atas perbuatannya sendiri, dan kesaksian seseorang atas perbuatannya sendiri tidak diterima. Adl juga tidak wajib menanggung kerugian atas barang gadai yang rusak di tangannya, karena rahin mengakui bahwa ia adalah orang yang amanah, sehingga ia tidak wajib menanggung kerugian, dan murtahin mengingkari telah menerima barang, maka lebih utama lagi ia tidak wajib menanggung kerugian. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأَيُّهُمَا مَاتَ قَامَ وَارِثُهُ مَقَامَهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Siapa pun dari keduanya yang meninggal dunia, maka ahli warisnya menggantikan posisinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.

إِذَا مَاتَ أَحَدُ مُتَعَاقِدَيِ الرَّهْنِ فَلَا يَخْلُو ذَلِكَ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الْقَبْضِ أَوْ بَعْدَهُ، فَإِنْ كَانَ مَوْتُهُ بَعْدَ الْقَبْضِ، لَمْ يَبْطُلْ بِمَوْتِ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، لِأَنَّ الرَّهْنَ بَعْدَ الْقَبْضِ لَازِمٌ، وَالْعُقُودُ اللَّازِمَةُ لَا تَبْطُلُ بِالْمَوْتِ فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ هُوَ الرَّاهِنَ، فَقَدْ حَلَّ مَا عَلَيْهِ مِنَ الْحَقِّ الْمُؤَجَّلِ بِمَوْتِهِ وَالرَّهْنُ عَلَى حَالِهِ فِي يَدِ مُرْتَهِنِهِ حَتَّى يَقْبِضَ الْحَقَّ مِنْ وَرَثَتِهِ أَوْ يُبَاعَ الرَّهْنُ إِنِ امْتَنَعَ الْوَارِثُ، لِيَقْبِضَ الْمُرْتَهِنُ حَقَّهُ مِنْ ثَمَنِهِ، وَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ هُوَ الْمُرْتَهِنَ، فَحَقُّهُ فِي ذِمَّةِ الرَّاهِنِ، إِلَى أَجَلِهِ، لِأَنَّ الدَّيْنَ الْمُؤَجَّلَ يُحَلُّ بِمَوْتِ مَنْ هُوَ عَلَيْهِ، وَلَا يُحَلُّ بِمَوْتِ مَنْ هُوَ لَهُ، ثُمَّ ينظر في الرهن فإن كانت عَلَى يَدِ عَدْلٍ، وَجَبَ إِقْرَارُهُ فِي يَدِهِ، وَلَمْ يَكُنْ لِلرَّاهِنِ وَلَا لِوَارِثِ الْمُرْتَهِنِ إِخْرَاجُهُ مِنْ يَدِهِ إِلَّا أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى إِخْرَاجِهِ، ثُمَّ لِوَارِثِ الْمُرْتَهِنِ مُطَالَبَةُ الرَّاهِنِ بِالْحَقِّ عِنْدَ حُلُولِ أَجَلِهِ.

Apabila salah satu dari dua pihak yang berakad rahn meninggal dunia, maka hal itu tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa terjadi sebelum penyerahan barang rahn atau sesudahnya. Jika kematian terjadi setelah penyerahan, maka akad rahn tidak batal dengan kematian salah satu dari keduanya, karena rahn setelah penyerahan menjadi akad yang mengikat, dan akad-akad yang mengikat tidak batal karena kematian. Jika demikian, maka dilihat lagi: jika yang meninggal adalah pihak rāhin (yang menggadaikan), maka kewajiban utangnya yang masih ditangguhkan menjadi jatuh tempo dengan kematiannya, dan barang rahn tetap berada di tangan murtahin (penerima gadai) sampai ia menerima haknya dari ahli waris rāhin, atau barang rahn dijual jika ahli waris menolak, agar murtahin dapat mengambil haknya dari hasil penjualan tersebut. Jika yang meninggal adalah murtahin, maka haknya tetap menjadi tanggungan rāhin hingga jatuh tempo, karena utang yang masih ditangguhkan menjadi jatuh tempo dengan kematian orang yang berutang, dan tidak menjadi jatuh tempo dengan kematian orang yang berpiutang. Kemudian, dilihat lagi keadaan barang rahn: jika berada di tangan pihak yang adil, maka wajib tetap berada di tangannya, dan tidak boleh bagi rāhin maupun ahli waris murtahin untuk mengambilnya kecuali jika keduanya sepakat untuk mengeluarkannya. Setelah itu, ahli waris murtahin berhak menuntut rāhin atas haknya ketika jatuh tempo.

وَإِنْ كَانَ الرَّهْنُ عَلَى يَدِ الْمُرْتَهِنِ، لَمْ يَلْزَمِ الرَّاهِنَ إِقْرَارُ الرَّهْنِ فِي يَدِ وَارِثِهِ إِلَّا بِاخْتِيَارِهِ، وَلَهُ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنْ يَدِ الْوَارِثِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَرْضَ بِأَمَانَتِهِ وَيَضَعَانِهِ عَلَى يَدِ عَدْلٍ يَرْضَيَانِ بِهِ، فَإِنْ تَمَانَعَا وَاخْتَلَفَا ارْتَضَى الْحَاكِمُ لَهُمَا عَدْلًا، فَإِنْ مَنَعَ الْوَارِثُ مِنْ تَسْلِيمِ الرَّهْنِ ضَمِنَهُ.

Jika barang rahn berada di tangan murtahin, maka rāhin tidak wajib membiarkan barang rahn tetap di tangan ahli waris murtahin kecuali atas pilihannya sendiri, dan ia berhak mengambilnya dari tangan ahli waris, karena ia tidak merelakan keamanahan ahli waris tersebut. Kemudian, keduanya meletakkan barang rahn di tangan pihak yang adil yang mereka berdua setujui. Jika keduanya saling menolak dan berselisih, maka hakim memilihkan pihak yang adil untuk mereka. Jika ahli waris menolak menyerahkan barang rahn, maka ia wajib menanggungnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِنْ كَانَ الْمَوْتُ قَبْلَ الْقَبْضِ، فَالْحَيُّ مِنْهُمَا وَوَارِثُ الْمَيِّتِ عَلَى حَالِهِمَا، إِنْ أَحَبَّا أَنْ يُمْضِيَا الرَّهْنَ أَمْضَيَاهُ، لِأَنَّ الرَّهْنَ قَبْلَ الْقَبْضِ غَيْرُ لَازِمٍ. ثُمَّ هَلْ يَبْطُلُ بِالْمَوْتِ حُكْمُ الْعَقْدِ الْمُتَقَدِّمِ؟ حَتَّى إِنْ أَحَبَّا إِمْضَاءَ الرَّهْنِ، اسْتَأْنَفَاهُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا فِي أَوَّلِ الْكِتَابِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika kematian terjadi sebelum penyerahan barang rahn, maka pihak yang masih hidup dan ahli waris dari yang meninggal tetap pada kedudukan semula. Jika keduanya ingin melanjutkan akad rahn, maka mereka boleh melanjutkannya, karena rahn sebelum penyerahan belum menjadi akad yang mengikat. Kemudian, apakah dengan kematian itu hukum akad sebelumnya menjadi batal, sehingga jika keduanya ingin melanjutkan rahn harus memulai akad baru, atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang telah dijelaskan di awal kitab. Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ المزني: قلت أنا وَجُمْلَةُ قَوْلِهِ فِي اخْتِلَافِ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاهِنِ فِي الْحَقِّ وَالْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ فِي الرَّهْنِ فِيمَا يُشْبِهُ وَلَا يُشْبِهُ وَيَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى دَعْوَى صَاحِبِهِ “.

Al-Muzani berkata: Saya berkata, dan inti dari ucapannya tentang perselisihan antara rāhin dan murtahin adalah bahwa dalam perkara hak, yang dipegang adalah pernyataan rāhin, dan dalam perkara rahn, yang dipegang adalah pernyataan murtahin, baik dalam hal yang serupa maupun yang tidak serupa, dan masing-masing dari keduanya bersumpah atas klaim lawannya.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْمُزَنِيَّ ذَكَرَ جُمْلَةً مُجْمَلَةً لَهَا تَفْصِيلٌ، وَبَيْنَ أَصْحَابِنَا فِي تَأْوِيلِهَا خِلَافٌ. وَلِلْكَلَامِ فِيهَا مُقَدِّمَةٌ، فَمُقَدِّمَتُهَا وَمَا بِهِ يَنْكَشِفُ إِجْمَالُهَا شَرْحُ الْمَذْهَبِ فِي اخْتِلَافِ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ فِي الْحَقِّ، وَفِي اخْتِلَافِهِمَا فِي الرَّهْنِ، فَأَمَّا اخْتِلَافُهُمَا فِي الْحَقِّ، فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa al-Muzani menyebutkan satu kaidah secara ringkas yang memiliki rincian, dan di antara para sahabat kami terdapat perbedaan dalam menafsirkan kaidah tersebut. Untuk membahasnya diperlukan pengantar, dan pengantarnya serta hal yang dapat menjelaskan ringkasannya adalah penjelasan mazhab tentang perselisihan antara rāhin dan murtahin dalam perkara hak, dan perselisihan mereka dalam perkara rahn. Adapun perselisihan mereka dalam perkara hak, maka terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَخْتَلِفَا فِي أَصْلِهِ.

Pertama: Mereka berselisih tentang asal hak tersebut.

وَالثَّانِي: أَنْ يَخْتَلِفَا فِي قَدْرِهِ.

Kedua: Mereka berselisih tentang jumlahnya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَخْتَلِفَا فِي وَصْفِهِ.

Ketiga: Mereka berselisih tentang sifat atau jenisnya.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَخْتَلِفَا فِي أَصْلِ الْحَقِّ، فَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ الْمُرْتَهِنُ: لِي عَلَيْكَ أَلْفُ دِرْهَمٍ مِنْ بَيْعٍ أَوْ قَرْضٍ رَهَنْتَنِي بِهَا عَبْدَكَ سَالِمًا. فَيَقُولُ الرَّاهِنُ: لَيْسَ لَكَ عَلَيَّ شَيْءٌ مِنْ بَيْعٍ وَلَا قَرْضٍ، أَوْ يَقُولُ: أَقْرَضَتْنِي أَلْفًا وَلَمْ تُقْبِضْنِي وَرَهَنْتُكَ سَالِمًا عَلَى أَنْ تُقْبِضَنِي مَا أَقْرَضْتَنِي، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ مَعَ يَمِينِهِ، بِاللَّهِ مَا لِلْمُرْتَهِنِ عَلَيْهِ الْأَلْفُ الَّتِي ادَّعَاهَا، أَوْ مَا أَقْبَضَهُ الْأَلْفَ الَّتِي أَقْرَضَهُ إِيَّاهَا، فَإِذَا حَلَفَ الرَّاهِنُ بَرِئَتْ ذِمَّتُهُ فِي الْحُكْمِ، وَلَا رَهْنَ بَيْنَهُمَا، لِأَنَّ الرَّهْنَ إِنَّمَا يَصِحُّ بَعْدَ ثُبُوتِ الْحَقِّ.

Adapun bagian pertama, yaitu perselisihan tentang asal hak, contohnya adalah murtahin berkata: “Kamu berutang kepadaku seribu dirham dari jual beli atau pinjaman, dan kamu telah menggadaikan budakmu Salim kepadaku sebagai jaminan.” Lalu rāhin berkata: “Kamu tidak memiliki hak apapun atas diriku, baik dari jual beli maupun pinjaman,” atau ia berkata: “Kamu telah meminjamkan aku seribu, tetapi belum menyerahkannya kepadaku, dan aku telah menggadaikan Salim kepadamu dengan syarat kamu menyerahkan kepadaku apa yang telah kamu pinjamkan.” Maka dalam hal ini, pernyataan rāhin yang dipegang dengan sumpahnya, misalnya: “Demi Allah, murtahin tidak memiliki seribu yang ia klaim atas diriku,” atau “Ia tidak menyerahkan seribu yang ia pinjamkan kepadaku.” Jika rāhin telah bersumpah, maka ia terbebas dari tanggungan secara hukum, dan tidak ada rahn di antara keduanya, karena rahn hanya sah setelah hak tersebut terbukti.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ اخْتِلَافُهُمَا فِي قَدْرِ الْحَقِّ، فَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ الْمُرْتَهِنُ، رَهَنْتَنِي عَبْدَكَ سَالِمًا فِي أَلْفٍ، فَيَقُولُ الرَّاهِنُ: رَهَنْتُكَ فِي خَمْسِمِائَةٍ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun bagian kedua, yaitu perselisihan mereka dalam jumlah hak (utang), maka bentuknya adalah: pihak penerima gadai berkata, “Engkau menggadaikan kepadaku budakmu dalam keadaan sehat untuk jaminan seribu,” lalu pihak yang menggadaikan berkata, “Aku menggadaikannya kepadamu hanya untuk lima ratus.” Maka kasus ini terbagi menjadi dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الرَّاهِنُ مُقِرًّا بِخَمْسِمِائَةٍ وَمُنْكِرًا مَا زَادَ عَلَيْهَا.

Pertama: pihak yang menggadaikan mengakui lima ratus dan mengingkari kelebihan dari jumlah itu.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُقِرًّا بِالْأَلْفِ كُلِّهَا وَمُنْكِرًا أَنْ يَكُونَ سَالِمٌ رَهْنًا إِلَّا فِي خَمْسِمِائَةٍ مِنْهَا، فَإِنْ كَانَ مُقِرًّا بِخَمْسِمِائَةٍ وَمُنْكِرًا مَا زَادَ عَلَيْهَا، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ مَعَ يَمِينِهِ فِي نَفْسِ مَا زَادَ عَلَيْهَا، فَيَقُولُ: وَاللَّهِ مَا لَهُ أَكْثَرُ مِنْ خَمْسِمِائَةٍ فَإِذَا حَلَفَ بَرِئَتْ ذِمَّتُهُ فِي الْحُكْمِ مِمَّا زَادَ عَلَى خَمْسِمِائَةٍ، وَكَانَ سَالِمٌ رَهْنًا بها.

Macam kedua: ia mengakui seluruh seribu, namun mengingkari bahwa Salim dijadikan barang gadai kecuali hanya untuk lima ratus dari jumlah itu. Jika ia mengakui lima ratus dan mengingkari kelebihan dari jumlah itu, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat pihak yang menggadaikan dengan sumpahnya atas kelebihan dari jumlah itu. Ia berkata, “Demi Allah, ia tidak berhak lebih dari lima ratus.” Jika ia telah bersumpah, maka ia terbebas secara hukum dari tanggungan atas kelebihan dari lima ratus, dan Salim menjadi barang gadai untuk lima ratus itu.

وَإِنْ كَانَ مُقِرًّا بِالْأَلْفِ كُلِّهَا وَمُنْكِرًا أَنْ يَكُونَ سَالِمٌ رَهْنًا إِلَّا فِي خَمْسِمِائَةٍ مِنْهَا، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ مَعَ يَمِينِهِ: بِاللَّهِ مَا رَهَنَهُ سَالِمًا إِلَّا فِي خَمْسِمِائَةٍ وَسَوَاءٌ كَانَ سَالِمٌ يُسَاوِي أَلْفًا أَوْ خَمْسَمِائَةٍ.

Dan jika ia mengakui seluruh seribu, namun mengingkari bahwa Salim dijadikan barang gadai kecuali hanya untuk lima ratus dari jumlah itu, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat pihak yang menggadaikan dengan sumpahnya: “Demi Allah, aku tidak menggadaikan Salim kecuali untuk lima ratus,” baik nilai Salim sama dengan seribu ataupun lima ratus.

وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ كَانَ سَالِمٌ الْمَرْهُونُ يُسَاوِي خَمْسَمِائَةٍ فَمَا دُونَ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ مَعَ يَمِينِهِ وَيَكُونُ رَهْنًا بِخَمْسِمِائَةٍ، وَإِنْ كَانَ سَالِمٌ يُسَاوِي أَلْفًا فَمَا زَادَ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ مَعَ يَمِينِهِ، وَيَكُونُ رَهْنًا بِالْأَلْفِ، اسْتِدْلَالًا بِالْعَادَةِ وَاسْتِشْهَادًا بِالْعُرْفِ، إِنَّ الْعَبْدَ يَكُونُ رَهْنًا بِقَدْرِ قِيمَتِهِ وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمْ عُمُومُ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ “. وَلِأَنَّ إِنْكَارَ الرَّاهِنِ مَا زَادَ عَلَى خَمْسِمِائَةٍ، أَغْلَظُ مِنْ إِنْكَارِهِ الرَّهْنَ فِيهَا مَعَ إِقْرَارِهِ بِهَا، فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ الِاسْتِشْهَادُ بِالْعُرْفِ فِي اعْتِبَارِهِ بِقِيمَةِ الْعَبْدِ دَلِيلًا عَلَى قَبُولِ قَوْلِ الْمُرْتَهِنِ فِي إِثْبَاتِ الزِّيَادَةِ، لَمْ يَكُنْ دَلِيلًا عَلَى قَبُولِهِ فِي إِثْبَاتِ الرَّهْنِ فِي الزِّيَادَةِ، وَلِأَنَّ إِنْكَارَهُ الْأَلْفَ فِي جَمِيعِ الرَّهْنِ، أَعْظَمُ مِنْ إِنْكَارِهِ الرَّهْنَ فِي بَعْضِ الْأَلْفِ، فَلَمَّا كَانَ لَوْ أَنْكَرَ الرَّهْنَ فِي جَمِيعِ الْأَلْفِ، كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ وَلَمْ يُعْتَبَرِ الْعُرْفُ فِي الرَّاهِنِ أَنَّهُ مِمَّا لَا يُوثَقُ بِذِمَّتِهِ إِلَّا بِرَهْنٍ، وَلَا فِي الْمُرْتَهِنِ أَنَّهُ مِمَّا لَا يُوثَقُ بِذِمَّتِهِ إِلَّا بِرَهْنٍ، وَجَبَ إِذَا أَنْكَرَ الرَّهْنَ فِي بَعْضِ الْأَلْفِ أَنْ يَكُونَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ، وَلَا يُعْتَبَرُ الْعُرْفُ فِي قِيمَةِ الرَّهْنِ، وَلِأَنَّ الدَّعَاوَى لَا تَقْوَى بِالتَّعَارُفِ وَظُهُورِ الْحَالِ، بِدَلِيلِ أَنَّ دَعْوَى الْعَدْلِ التَّقِيِّ عَلَى الْفَاسِقِ الْغَوِيِّ فِي الشَّيْءِ غَيْرُ مَقْبُولٍ، وَإِنْ كَانَ الظَّاهِرُ فِي التَّعَارُفِ صِدْقَ الْمُدَّعِي فِيهَا، وَدَعْوَى الْعَطَّارِ عَلَى الدَّبَّاغِ عِطْرًا لَا يُوجِبُ قَبُولَ قَوْلِ الْعَطَّارِ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ الْعُرْفُ يَقْتَضِيهِ، كَذَلِكَ الرَّهْنُ لَا تُعْتَبَرُ قِيمَتُهُ فِي قَبُولِ قَوْلِ الْمُرْتَهِنِ، وَإِنْ جَازَ أَنْ يَكُونَ الْعُرْفُ مَعَهُ، وَلِأَنَّ الْعُرْفَ فِي الرَّهْنِ يَخْتَلِفُ، فَمِنِ النَّاسِ مَنْ يَرْهَنُ مَا فِيهِ وَفَاءٌ عَلَى الْحَقِّ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَرْهَنُ مَا فِيهِ نُقْصَانٌ عَنِ الْحَقِّ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ الْعُرْفُ مَعَ اخْتِلَافِهِ مُعْتَبَرًا.

Imam Malik berkata: Jika Salim, barang yang digadaikan, nilainya sama dengan lima ratus atau kurang, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat pihak yang menggadaikan dengan sumpahnya, dan Salim menjadi barang gadai untuk lima ratus. Namun jika Salim nilainya sama dengan seribu atau lebih, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat pihak penerima gadai dengan sumpahnya, dan Salim menjadi barang gadai untuk seribu, dengan dalil kebiasaan dan berdasarkan urf (kebiasaan masyarakat), bahwa seorang budak dijadikan barang gadai sesuai dengan nilai dirinya. Dalil atas hal ini adalah keumuman sabda Nabi ﷺ: “Bukti (harus) dari pihak yang mendakwa, dan sumpah (harus) dari pihak yang mengingkari.” Dan karena pengingkaran pihak yang menggadaikan atas kelebihan dari lima ratus lebih berat daripada pengingkarannya atas gadai dalam jumlah itu dengan pengakuannya, maka ketika tidak dijadikan urf sebagai dalil dalam menilai nilai budak untuk menerima pendapat pihak penerima gadai dalam menetapkan tambahan, maka tidak pula dijadikan dalil untuk menerima pendapatnya dalam menetapkan gadai pada tambahan itu. Dan karena pengingkarannya atas seribu dalam seluruh gadai lebih besar daripada pengingkarannya atas gadai pada sebagian dari seribu, maka jika ia mengingkari gadai pada seluruh seribu, pendapat yang dipegang adalah pendapatnya dan urf tidak dianggap pada pihak yang menggadaikan bahwa ia termasuk orang yang tidak dapat dipercaya kecuali dengan gadai, dan tidak pula pada pihak penerima gadai bahwa ia termasuk orang yang tidak dapat dipercaya kecuali dengan gadai. Maka apabila ia mengingkari gadai pada sebagian dari seribu, wajib pendapat yang dipegang adalah pendapatnya dengan sumpahnya, dan urf tidak dianggap dalam menilai nilai barang gadai. Karena klaim tidak menjadi kuat hanya dengan adanya kebiasaan dan tampaknya keadaan, sebagaimana bukti bahwa klaim orang adil dan bertakwa atas orang fasik dan durhaka dalam suatu perkara tidak diterima, meskipun secara lahiriyah dalam kebiasaan tampak kebenaran pihak yang mendakwa. Dan klaim seorang penjual minyak wangi atas penyamak kulit tentang minyak wangi tidak menyebabkan diterimanya pendapat penjual minyak wangi dalam hal itu, meskipun urf menuntutnya. Demikian pula nilai barang gadai tidak dianggap dalam menerima pendapat pihak penerima gadai, meskipun boleh jadi urf bersamanya. Dan karena urf dalam gadai berbeda-beda, di antara manusia ada yang menggadaikan barang yang nilainya setara dengan hak (utang), dan ada pula yang menggadaikan barang yang nilainya kurang dari hak, maka tidak boleh urf yang berbeda-beda itu dijadikan sebagai pertimbangan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ اخْتِلَافُهُمَا فِي صِفَةِ الْحَقِّ فَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ الْمُرْتَهِنُ: رَهَنْتَنِي عَبْدَكَ سَالِمًا فِي أَلْفٍ حَالَّةٍ، وَيَقُولُ الرَّاهِنُ رَهَنْتُكَ فِي أَلْفٍ مُؤَجَّلَةٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun bagian ketiga, yaitu perbedaan mereka berdua dalam sifat hak, bentuknya adalah ketika pihak yang menerima gadai berkata: “Engkau menggadaikan budakmu kepadaku dalam keadaan selamat untuk seribu (dirham) yang tunai,” dan pihak yang menggadaikan berkata: “Aku menggadaikan kepadamu untuk seribu (dirham) yang ditangguhkan.” Maka hal ini terbagi menjadi dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى أَنَّ لِلْمُرْتَهِنِ أَلْفَ حَالَّةً وَأَنَّ لَهُ أَلْفًا مُؤَجَّلَةً، ثُمَّ يَخْتَلِفَانِ، فَيَقُولُ الْمُرْتَهِنُ، رَهَنْتَنِي سَالِمًا فِي الْأَلْفِ الْحَالَّةِ، وَيَقُولُ الرَّاهِنُ: رَهَنْتُكَ فِي الْأَلْفِ الْمُؤَجَّلَةِ. فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ مَعَ يَمِينِهِ، بِاللَّهِ مَا رَهَنَهُ سَالِمًا فِي الْأَلْفِ الْحَالَّةِ، وَيَخْرُجُ سَالِمٌ مِنَ الرَّهْنِ فِي الْمُؤَجَّلَةِ وَالْحَالَّةِ، أَمَّا الْحَالَّةُ فَبِيَمِينِ الرَّاهِنِ وَأَمَّا الْمُؤَجَّلَةُ فَبِإِنْكَارِ الْمُرْتَهِنِ.

Salah satunya: Keduanya sepakat bahwa pihak penerima gadai memiliki seribu yang tunai dan juga memiliki seribu yang ditangguhkan, kemudian mereka berselisih; pihak penerima gadai berkata, “Engkau menggadaikan kepadaku dalam keadaan selamat untuk seribu yang tunai,” dan pihak yang menggadaikan berkata, “Aku menggadaikan kepadamu untuk seribu yang ditangguhkan.” Maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan pihak yang menggadaikan dengan sumpahnya, “Demi Allah, aku tidak menggadaikannya dalam keadaan selamat untuk seribu yang tunai,” dan budak tersebut keluar dari status gadai baik dalam yang tunai maupun yang ditangguhkan; adapun yang tunai karena sumpah pihak yang menggadaikan, dan adapun yang ditangguhkan karena penolakan pihak penerima gadai.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى أَنَّهَا أَلْفٌ وَاحِدَةٌ وَأَنَّ سَالِمًا رَهْنٌ بِهَا، ثُمَّ يَخْتَلِفَانِ فِي حُلُولِهَا وَتَأْجِيلِهَا، فَيَقُولُ الْمُرْتَهِنُ: هِيَ حَالَّةٌ، وَيَقُولُ الرَّاهِنُ: بَلْ هِيَ مُؤَجَّلَةٌ، فَفِيهَا قَوْلَانِ:

Bentuk kedua: Keduanya sepakat bahwa itu adalah satu seribu dan bahwa Salim adalah barang gadai atasnya, kemudian mereka berselisih tentang apakah itu tunai atau ditangguhkan; pihak penerima gadai berkata, “Itu tunai,” dan pihak yang menggadaikan berkata, “Bahkan itu ditangguhkan.” Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ، بِاللَّهِ أَنَّ الْأَلْفَ حَالَّةٌ، وَيَصِيرُ سَالِمٌ رَهْنًا فِي أَلْفِ حَالَّةٍ.

Salah satunya: Bahwa yang dijadikan pegangan adalah perkataan pihak penerima gadai, “Demi Allah, seribu itu tunai,” dan Salim menjadi barang gadai dalam seribu yang tunai.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاهِنِ: بِاللَّهِ أَنَّ الْأَلْفَ مُؤَجَّلَةٌ، وَيَصِيرُ سَالِمٌ رَهْنًا فِي أَلْفٍ مُؤَجَّلَةٍ وَهَذَانِ الْقَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِيمَنْ أَقَرَّ بِدَيْنٍ مُؤَجَّلٍ، هَلْ يُقْبَلُ إِقْرَارُهُ فِي الْأَجَلِ أَمْ لَا؟ فَهَذَا حُكْمُ اخْتِلَافِهِمَا فِي الْحَقِّ.

Pendapat kedua: Bahwa yang dijadikan pegangan adalah perkataan pihak yang menggadaikan, “Demi Allah, seribu itu ditangguhkan,” dan Salim menjadi barang gadai dalam seribu yang ditangguhkan. Kedua pendapat ini dibangun di atas perbedaan pendapat Imam Syafi‘i tentang seseorang yang mengakui utang yang ditangguhkan, apakah pengakuannya tentang tempo diterima atau tidak. Maka inilah hukum perselisihan mereka berdua dalam hak.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا اخْتِلَافُهُمَا فِي الرَّهْنِ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun perselisihan mereka berdua dalam gadai, maka terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَخْتَلِفَا فِي أَصْلِهِ.

Salah satunya: Mereka berselisih tentang asal gadai.

وَالثَّانِي: أَنْ يَخْتَلِفَا فِي قَدْرِهِ.

Kedua: Mereka berselisih tentang jumlahnya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَخْتَلِفَا فِي صِفَتِهِ وَعَيْنِهِ، فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ، وَهُوَ اخْتِلَافُهُمَا فِي أَصْلِ الرَّهْنِ، فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Ketiga: Mereka berselisih tentang sifat dan jenisnya. Adapun bagian pertama, yaitu perselisihan mereka tentang asal gadai, maka terbagi menjadi dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَخْتَلِفَا فِي أَصْلِ الرَّهْنِ بَعْدَ اسْتِقْرَارِ الْحَقِّ.

Salah satunya: Mereka berselisih tentang asal gadai setelah hak itu tetap.

وَالثَّانِي: أَنْ يَخْتَلِفَا فِي أَصْلِ الرَّهْنِ قَبْلَ اسْتِقْرَارِ الْحَقِّ، فَإِنْ كَانَ اخْتِلَافُهُمَا فِي أَصْلِ الرَّهْنِ بَعْدَ اسْتِقْرَارِ الْحَقِّ فَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ صَاحِبُ الْحَقِّ، رَهَنْتَنِي عَبْدَكَ سَالِمًا بِالْأَلْفِ الَّتِي لِي عَلَيْكَ، فَيَقُولُ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ، مَا رَهَنْتُكَ سَالِمًا وَلَا غَيْرَهُ، فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ: بِاللَّهِ مَا رَهَنَهُ سَالِمًا، وَيَصِيرُ الْأَلْفُ بِلَا رَهْنٍ، وَإِنْ كَانَ اخْتِلَافُهُمَا فِي أَصْلِ الرَّهْنِ قَبْلَ اسْتِقْرَارِ الْحَقِّ فَصُورَتُهُ، أَنْ يَقُولَ صَاحِبُ الْحَقِّ: بِعْتُكَ دَارِي بِأَلْفٍ عَلَى أَنْ تَرْهَنَنِي بِهَا عَبْدَكَ سَالِمًا، وَيَقُولُ الْمُشْتَرِي: بِعْتَنِي دَارَكَ بِأَلْفٍ عَلَى أَنْ لَا رَهْنَ بِهَا، فَيَتَحَالَفَانِ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُدَّعٍ عَلَى صَاحِبِهِ. فَالْمُشْتَرِي يَدَّعِي شِرَاءَ الدَّارِ بِلَا رَهْنٍ، وَالْبَائِعُ يَدَّعِي عَلَى الْمُشْتَرِي عَقْدَ الرَّهْنِ، فَوَجَبَ أَنْ يَحْلِفَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى دَعْوَى صَاحِبِهِ، فَيَبْدَأُ الْمُشْتَرِي بِالْيَمِينِ لَا يَخْتَلِفُ فِيهِ الْمَذْهَبُ، لِأَنَّ يَمِينَهُ لِإِنْكَارِ عَقْدِ الرَّهْنِ، وَيَمِينَ الْبَائِعِ لِفَسْخِ الْبَيْعِ لِعَدَمِ الرَّهْنِ فَيَقُولُ الْمُشْتَرِي: وَاللَّهِ لَقَدِ اشْتَرَيْتُهَا بِلَا رَهْنٍ. ثُمَّ يَحْلِفُ الْبَائِعُ، بِاللَّهِ لَقَدْ بِعْتُهَا بِرَهْنٍ، فَإِذَا حَلَفَا جَمِيعًا خَرَجَ الْعَبْدُ مِنَ الرَّهْنِ، وَلَمْ يَلْزَمِ الْبَائِعَ إِمْضَاءُ الْبَيْعِ بِلَا رَهْنٍ، وَكَانَ بِالْخِيَارِ فِي الْبَيْعِ بَيْنَ إِمْضَائِهِ بِلَا رَهْنٍ، وَبَيْنَ فَسْخِهِ، وَإِنْ حَلَفَ الْمُشْتَرِي دُونَ الْبَائِعِ، خَرَجَ الْعَبْدُ مِنَ الرَّهْنِ، وَلَمْ يَكُنْ لِلْبَائِعِ فَسْخُ الْبَيْعِ، وَإِنْ حَلَفَ الْبَائِعُ دُونَ الْمُشْتَرِي، كَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا بِالثَّمَنِ، وَلَمْ يَكُنْ لِلْبَائِعِ فَسْخُ الْبَيْعِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Kedua: Jika keduanya berselisih tentang pokok rahn sebelum hak itu tetap, maka jika perselisihan mereka tentang pokok rahn terjadi setelah hak itu tetap, contohnya adalah ketika pemilik hak berkata, “Engkau telah menjadikan budakmu Salim sebagai rahn untuk seribu yang menjadi hakku atasmu,” lalu orang yang berutang berkata, “Aku tidak pernah menjadikan Salim atau selainnya sebagai rahn untukmu.” Maka yang dijadikan pegangan adalah perkataannya: “Demi Allah, aku tidak menjadikannya Salim sebagai rahn,” sehingga seribu itu menjadi tanpa rahn. Namun, jika perselisihan mereka tentang pokok rahn terjadi sebelum hak itu tetap, contohnya adalah ketika pemilik hak berkata, “Aku telah menjual rumahku kepadamu seharga seribu dengan syarat engkau menjadikan budakmu Salim sebagai rahn untukku,” dan pembeli berkata, “Engkau telah menjual rumahmu kepadaku seharga seribu dengan syarat tanpa rahn,” maka keduanya saling bersumpah, karena masing-masing dari mereka saling menuntut kepada yang lain. Pembeli mengaku membeli rumah tanpa rahn, sedangkan penjual mengaku adanya akad rahn atas pembeli, sehingga wajib bagi masing-masing dari mereka untuk bersumpah atas tuntutan lawannya. Dimulai dari pembeli untuk bersumpah, dan ini tidak diperselisihkan dalam mazhab, karena sumpahnya untuk mengingkari akad rahn, sedangkan sumpah penjual untuk membatalkan jual beli karena tidak adanya rahn. Maka pembeli berkata, “Demi Allah, sungguh aku telah membelinya tanpa rahn.” Kemudian penjual bersumpah, “Demi Allah, sungguh aku telah menjualnya dengan rahn.” Jika keduanya telah bersumpah, maka budak keluar dari rahn, dan penjual tidak wajib melanjutkan jual beli tanpa rahn, dan ia berhak memilih antara melanjutkan jual beli tanpa rahn atau membatalkannya. Jika pembeli saja yang bersumpah tanpa penjual, maka budak keluar dari rahn dan penjual tidak berhak membatalkan jual beli. Jika penjual saja yang bersumpah tanpa pembeli, maka budak menjadi rahn untuk harga tersebut, dan penjual tidak berhak membatalkan jual beli. Dan Allah Maha Mengetahui.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ اخْتِلَافُهُمَا فِي قَدْرِ الرَّهْنِ، فَعَلَى ضَرْبَيْنِ أَيْضًا.

Adapun bagian kedua, yaitu perselisihan mereka tentang kadar rahn, maka ini juga terbagi menjadi dua bentuk.

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ اخْتِلَافُهُمَا بَعْدَ اسْتِقْرَارِ الْحَقِّ، وَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ الْمُرْتَهِنُ: رَهَنْتَنِي عَبْدَيْكَ سَالِمًا وَغَانِمًا فِي الْأَلْفِ الَّتِي لِي عَلَيْكَ، وَيَقُولُ الرَّاهِنُ رَهَنْتُكَ عَبْدِي سَالِمًا وَحْدَهُ فِي الْأَلْفِ الَّتِي لَكَ عَلَيَّ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ مَعَ يَمِينِهِ، وَيَكُونُ سَالِمٌ وَحْدَهُ رَهْنًا فِي الْأَلْفِ.

Salah satunya: jika perselisihan mereka terjadi setelah hak itu tetap, contohnya adalah ketika murtahin berkata, “Engkau telah menjadikan dua budakmu, Salim dan Ghanim, sebagai rahn untuk seribu yang menjadi hakku atasmu,” dan rahin berkata, “Aku hanya menjadikan budakku Salim saja sebagai rahn untuk seribu yang menjadi hakmu atasku.” Maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan rahin dengan sumpahnya, dan Salim saja yang menjadi rahn untuk seribu itu.

وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ كَانَتْ قِيمَةُ سَالِمٍ وَحْدَهُ أَلْفًا فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ، وَإِنْ كَانَتْ قِيمَةُ سَالِمٍ وَغَانِمٍ مَعًا أَلْفًا، فَالْقَوْلُ قول المرتهن ويكون سالم غانم رَهْنًا وَقَدْ مَضَتِ الدَّلَالَةُ عَلَيْهِ.

Imam Malik berkata: Jika nilai Salim saja adalah seribu, maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan rahin. Namun jika nilai Salim dan Ghanim bersama-sama adalah seribu, maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan murtahin dan Salim serta Ghanim menjadi rahn, dan telah dijelaskan dalilnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ اخْتِلَافُهُمَا قَبْلَ اسْتِقْرَارِ الْحَقِّ، وَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ الْمُرْتَهِنُ: بِعْتُكَ دَارِي بِأَلْفٍ عَلَى أَنْ تَرْهَنَنِي سَالِمًا وَغَانِمًا، وَيَقُولُ الرَّاهِنُ: ابْتَعْتُ دَارَكَ بِأَلْفٍ عَلَى أَنْ أُرْهِنَكَ سَالِمًا دُونَ غانم، فإنهما يتحالفان ثم يكون البائع في البيع بالخيار بين إمضائه برهن سالم وحده وبين فسخه.

Bentuk kedua: jika perselisihan mereka terjadi sebelum hak itu tetap, contohnya adalah ketika murtahin berkata, “Aku telah menjual rumahku kepadamu seharga seribu dengan syarat engkau menjadikan Salim dan Ghanim sebagai rahn untukku,” dan rahin berkata, “Aku membeli rumahmu seharga seribu dengan syarat aku hanya menjadikan Salim saja sebagai rahn untukmu, tanpa Ghanim.” Maka keduanya saling bersumpah, kemudian penjual dalam jual beli berhak memilih antara melanjutkan jual beli dengan rahn Salim saja atau membatalkannya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ اخْتِلَافُهُمَا فِي صفة الرهن وعينه، فعلى ضربين أيضا: أحدهما: أن يكون بَعْدَ اسْتِقْرَارِ الْحَقِّ، وَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ الْمُرْتَهِنُ: رهنتني عبدك سالما فِي الْأَلْفِ الَّتِي لِي عَلَيْكَ، وَيَقُولُ الرَّاهِنُ: رهنتك عبدي غانما فِي الْأَلْفِ الَّتِي لَكَ عَلَيَّ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ مَعَ يَمِينِهِ، بِاللَّهِ مَا رَهَنَهُ سَالِمًا، فإذا حلف خرج سالم بيمين الراهن، ولم يكن غانم في الرهن لإنكار المرتهن.

Adapun bagian ketiga, yaitu perselisihan mereka tentang sifat rahn dan bendanya, maka ini juga terbagi menjadi dua bentuk: Pertama, jika terjadi setelah hak itu tetap, contohnya adalah ketika murtahin berkata, “Engkau telah menjadikan budakmu Salim sebagai rahn untuk seribu yang menjadi hakku atasmu,” dan rahin berkata, “Aku telah menjadikan budakku Ghanim sebagai rahn untuk seribu yang menjadi hakmu atasku.” Maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan rahin dengan sumpahnya, “Demi Allah, aku tidak menjadikannya Salim sebagai rahn.” Jika ia telah bersumpah, maka Salim keluar dari rahn dengan sumpah rahin, dan Ghanim tidak menjadi rahn karena murtahin mengingkarinya.

والضرب الثاني: أن يكون قَبْلَ اسْتِقْرَارِ الْحَقِّ، وَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ الْمُرْتَهِنُ: بعتك داري بألف على أن ترهنني عبدك سالما، وَيَقُولُ الرَّاهِنُ: ابْتَعْتُ دَارَكَ بِأَلْفٍ عَلَى أَنْ أرهنك عبدي غانما، فَإِنَّهُمَا يَتَحَالَفَانِ فإذا حلفا لم يكن سالم ولا غانم رهنا، والمرتهن بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ بِلَا رَهْنٍ وَبَيْنَ فَسْخِهِ، فهذا حكم اختلافهما في الرهن، فإن اختلفا في الحق والرهن معا، كان اختلافهما في الحق على ما وصفنا وفي الرهن على ما بينا، وهذه مقدمة أوضحنا بها شرح المذهب، لنبني عليها كلام المزني واختلاف أصحابنا في تأويله.

Jenis kedua: yaitu terjadi sebelum hak itu tetap. Contohnya adalah ketika pihak penerima gadai (al-murtahin) berkata: “Aku jual rumahku kepadamu seharga seribu dengan syarat engkau menggadaikan kepadaku budakmu, Salim.” Lalu pihak yang menggadaikan (ar-rahin) berkata: “Aku beli rumahmu seharga seribu dengan syarat aku menggadaikan budakku, Ghanim, kepadamu.” Maka keduanya saling bersumpah. Jika keduanya telah bersumpah, maka baik Salim maupun Ghanim tidak menjadi barang gadai, dan pihak penerima gadai (al-murtahin) berhak memilih antara melanjutkan jual beli tanpa gadai atau membatalkannya. Inilah hukum perselisihan mereka dalam masalah gadai. Jika mereka berselisih dalam hak dan gadai sekaligus, maka perselisihan mereka dalam hak sebagaimana telah kami jelaskan, dan dalam gadai sebagaimana telah kami uraikan. Ini adalah mukadimah yang kami jelaskan untuk menerangkan mazhab, agar kami dapat membangun di atasnya pembahasan pendapat al-Muzani dan perbedaan pendapat para sahabat kami dalam menafsirkan maksudnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

قَالَ الْمُزَنِيُّ: وَجُمْلَةُ قَوْلِهِ فِي اخْتِلَافِ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاهِنِ فِي الْحَقِّ وَالْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ فِي الرَّهْنِ، أَمَّا قَوْلُهُ إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاهِنِ فِي الْحَقِّ فَصَحِيحٌ مُطَّرِدٌ، لِأَنَّ الْمُرْتَهِنَ لَوْ قَالَ الْحَقُّ أَلْفٌ وَقَالَ الرَّاهِنُ الْحَقُّ خَمْسُمِائَةٍ، كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الرَّاهِنِ فِي الْحَقِّ أَنَّهُ خَمْسُمِائَةٍ.

Al-Muzani berkata: Kesimpulan pendapatnya dalam perselisihan antara ar-rahin dan al-murtahin adalah bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat ar-rahin dalam hal hak, dan pendapat al-murtahin dalam hal gadai. Adapun ucapannya bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat ar-rahin dalam hal hak, maka itu benar dan konsisten, karena jika al-murtahin berkata: “Hak itu seribu,” dan ar-rahin berkata: “Hak itu lima ratus,” maka pendapat yang dipegang adalah pendapat ar-rahin bahwa hak itu lima ratus.

وَأَمَّا قَوْلُهُ: إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ فِي الرَّهْنِ، فَلَا يُمْكِنُ حَمْلُهُ عَلَى ظَاهِرِهِ؛ لِأَنَّ الْمُرْتَهِنَ لَوِ ادَّعَى فِي الْحَقِّ رَهْنًا، وَأَنْكَرَهُ الرَّاهِنُ، كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الرَّاهِنِ، وَلَكِنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَأْوِيلِ مُرَادِهِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:

Adapun ucapannya bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat al-murtahin dalam hal gadai, maka tidak mungkin dipahami secara lahiriah, karena jika al-murtahin mengklaim adanya gadai dalam hak, dan ar-rahin mengingkarinya, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat ar-rahin. Namun, para sahabat kami berbeda pendapat dalam menafsirkan maksudnya menjadi tiga mazhab:

أَحَدُهَا: أَنَّ مُرَادَهُ بِهِ إِذَا اخْتَلَفَا فِي الرَّهْنِ بَعْدَ تَلَفِهِ. فَقَالَ الرَّاهِنُ: تَلِفَ الرَّهْنُ بِتَعَدِّيكَ أَيُّهَا الْمُرْتَهِنُ وَقَالَ الْمُرْتَهِنُ: تَلِفَ بِغَيْرِ تَعَدٍّ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ فِي الرَّهْنِ مَعَ يَمِينِهِ بِاللَّهِ أَنَّهُ تَلِفَ بِغَيْرِ تَعَدٍّ.

Salah satunya: Maksudnya adalah jika keduanya berselisih tentang gadai setelah barang gadai itu rusak. Maka ar-rahin berkata: “Barang gadai itu rusak karena kelalaianmu, wahai al-murtahin,” dan al-murtahin berkata: “Barang itu rusak bukan karena kelalaian.” Maka pendapat yang dipegang adalah pendapat al-murtahin dalam hal gadai dengan sumpahnya atas nama Allah bahwa barang itu rusak bukan karena kelalaian.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: مُرَادُ الْمُزَنِيِّ بِهِ إِذَا اخْتَلَفَا بَعْدَ تَلَفِ الرَّهْنِ بِالتَّعَدِّي، فِي قَدْرِ قِيمَتِهِ، فَقَالَ الرَّاهِنُ: قِيمَتُهُ أَلْفٌ وَقَالَ الْمُرْتَهِنُ قِيمَتُهُ مِائَةٌ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ فِي الرَّهْنِ مَعَ يَمِينِهِ، بِاللَّهِ أَنَّ قِيمَتَهُ مِائَةٌ.

Mazhab kedua: Maksud al-Muzani adalah jika keduanya berselisih setelah barang gadai rusak karena kelalaian, dalam hal nilai barangnya. Maka ar-rahin berkata: “Nilainya seribu,” dan al-murtahin berkata: “Nilainya seratus.” Maka pendapat yang dipegang adalah pendapat al-murtahin dalam hal gadai dengan sumpahnya atas nama Allah bahwa nilainya seratus.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: هُوَ أَصَحُّ الْمَذَاهِبِ، أَنَّ مُرَادَهُ إِذَا اخْتَلَفَا فِي الْبَيْعِ، فَقَالَ الرَّاهِنُ: ابْتَعْتُهُ بِلَا رَهْنٍ، وَقَالَ الْمُرْتَهِنُ: مَا بِعْتُكَ إِلَّا بِرَهْنٍ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ فِي الْحَقِّ أَنَّهُ لَزِمَهُ بِغَيْرِ رَهْنٍ، وَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ فِي الرَّهْنِ أَنَّهُ وَثِيقَةٌ فِي الْحَقِّ.

Mazhab ketiga, dan ini yang paling kuat, adalah bahwa maksudnya adalah jika keduanya berselisih dalam jual beli. Maka ar-rahin berkata: “Aku membelinya tanpa gadai,” dan al-murtahin berkata: “Aku tidak menjual kepadamu kecuali dengan gadai.” Maka pendapat yang dipegang adalah pendapat ar-rahin dalam hal hak, yaitu ia wajib tanpa gadai, dan pendapat yang dipegang adalah pendapat al-murtahin dalam hal gadai, yaitu sebagai jaminan atas hak.

أَلَا تَرَاهُ قَالَ بَعْدَهُ: وَيَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى دَعْوَى صَاحِبِهِ، وَهُمَا لَا يَتَحَالَفَانِ إِلَّا فِي مَسْأَلَةِ الْبَيْعِ، فَأَمَّا فِي تَلَفِهِ بِتَعَدٍّ أَوْ غَيْرِ تَعَدٍّ فَإِنَّمَا يَحْلِفُ أَحَدُهُمَا، فَأَمَّا قَوْلُ الْمُزَنِيِّ فِيمَا يُشْبِهُ وَلَا يُشْبِهُ، فَإِنَّمَا أَرَادَ بِهِ الرَّدَّ عَلَى مَالِكٍ فِيمَا ذَكَرَهُ مِنَ اعْتِبَارِ الْعَادَةِ مِنْ قِيمَةِ الرَّهْنِ وَقَدْ ذَكَرْنَاهُ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Tidakkah engkau lihat bahwa ia berkata setelah itu: “Dan masing-masing dari keduanya bersumpah atas klaim lawannya, dan keduanya tidak saling bersumpah kecuali dalam masalah jual beli. Adapun dalam hal rusaknya barang karena kelalaian atau bukan, maka hanya salah satu dari keduanya yang bersumpah.” Adapun ucapan al-Muzani tentang hal yang serupa dan tidak serupa, maksudnya adalah membantah pendapat Malik tentang pertimbangan kebiasaan dalam menilai barang gadai, dan telah kami sebutkan hal itu. Wallāhu a‘lam.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ رَجُلٌ لِرَجُلَيْنِ رَهَنْتُمَانِي عَبْدَكُمَا هَذَا بِمِائَةٍ وَقَبَضْتُهُ مِنْكُمَا فَصَدَّقَهُ أَحَدُهُمَا وَكَذَّبَهُ الْآخَرُ كَانَ نِصْفُهُ رَهْنًا بِخَمْسِينَ وَنِصْفُهُ خَارِجًا مِنَ الرَّهْنِ فَإِنْ شَهِدَ شَرِيكُ صَاحِبِ نِصْفِ الْعَبْدِ عَلَيْهِ بِدَعْوَى الْمُرْتَهِنِ وَكَانَ عَدْلًا حَلَفَ الْمُرْتَهِنُ مَعَهُ وَكَانَ نَصِيبُهُ مِنْهُ رَهْنًا بِخَمْسِينَ وَلَا مَعْنَى فِي شَهَادَتِهِ نَرُدُّهَا بِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang berkata kepada dua orang: ‘Kalian berdua telah menggadaikan budak kalian ini kepadaku seharga seratus, dan aku telah menerimanya dari kalian,’ lalu salah satu dari keduanya membenarkannya dan yang lain mendustakannya, maka setengahnya menjadi barang gadai seharga lima puluh dan setengahnya keluar dari gadai. Jika rekan pemilik setengah budak itu menjadi saksi atas klaim al-murtahin dan ia adalah orang yang adil, maka al-murtahin bersumpah bersamanya, dan bagiannya dari budak itu menjadi barang gadai seharga lima puluh. Tidak ada alasan untuk menolak kesaksiannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا ادَّعَى رَجُلٌ عَلَى رَجُلَيْنِ، أَنَّهُمَا رَهَنَاهُ عَبْدَهُمَا سَالِمًا بِمِائَةِ دِرْهَمٍ لَهُ عَلَيْهِمَا، لَمْ يَخْلُ حَالُهُمَا فِي الدَّعْوَى مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan: Jika seseorang mengklaim kepada dua orang bahwa keduanya telah menggadaikan budak mereka, Salim, kepadanya seharga seratus dirham atas keduanya, maka keadaan mereka dalam klaim itu tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُصَدِّقَاهُ عَلَيْهِ، فَيَصِيرُ الْعَبْدُ رَهْنًا لَهُمَا عِنْدَهُ عَلَى مِائَةِ دِرْهَمٍ عَلَيْهِمَا لَهُ، فَيَكُونُ نِصْفُ الْعَبْدِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا رَهْنًا عَلَى خَمْسِينَ دِرْهَمًا، فَإِذَا قَضَاهُ أَحَدُهُمَا مَا عَلَيْهِ، خَرَجَ نِصْفُ الْعَبْدِ مِنَ الرَّهْنِ.

Salah satunya: Kedua orang itu membenarkannya atas dirinya, sehingga budak tersebut menjadi barang gadai bagi mereka berdua di sisinya atas seratus dirham yang menjadi tanggungan mereka berdua kepadanya. Maka setengah dari budak itu menjadi barang gadai bagi masing-masing dari mereka atas lima puluh dirham. Jika salah satu dari mereka melunasi apa yang menjadi tanggungannya, maka setengah budak itu keluar dari status gadai.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُكَذِّبَاهُ عَلَيْهَا، فَالْقَوْلُ قَوْلُهُمَا مَعَ أَيْمَانِهِمَا، فَإِذَا حَلَفَا لَمْ يَكُنِ الْعَبْدُ رَهْنًا، فَإِنْ كَانَا يَعْتَرِفَانِ بِالْحَقِّ وَيُنْكِرَانِ الرَّهْنَ، كَانَ الْحَقُّ عَلَيْهِمَا بِلَا رَهْنٍ، وَإِنْ كَانَا يُنْكِرَانِ الْحَقَّ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِمَا، فَإِنْ حَلَفَ أَحَدُهُمَا وَنَكَلَ الْآخَرُ، بَدَأَ الْحَالِفُ بِيَمِينِهِ وَرُدَّتْ يَمِينُ النَّاكِلِ عَلَى الْمُدَّعِي فَإِذَا حَلَفَ حُكِمَ لَهُ بِدَعْوَاهُ، وَإِنْ نَكَلَا مَعًا رُدَّتْ يَمِينُهُمَا عَلَى الْمُدَّعِي، فَيَحْلِفُ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَمِينًا، فَإِذَا حَلَفَ لَهُمَا حُكِمَ عَلَيْهِمَا بِدَعْوَاهُ، وَكَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا بِمَا ادَّعَاهُ.

Keadaan kedua: Kedua orang itu mendustakannya atas dirinya, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan mereka berdua disertai sumpah mereka. Jika mereka berdua bersumpah, maka budak itu tidak menjadi barang gadai. Jika mereka berdua mengakui adanya hak (utang) namun mengingkari gadai, maka hak itu tetap menjadi tanggungan mereka berdua tanpa gadai. Dan jika mereka berdua mengingkari hak (utang), maka tidak ada apa-apa atas mereka berdua. Jika salah satu dari mereka bersumpah dan yang lain enggan, maka yang bersumpah memulai dengan sumpahnya, lalu sumpah yang enggan diarahkan kepada penggugat. Jika penggugat bersumpah, maka diputuskan untuknya sesuai dengan tuntutannya. Jika keduanya sama-sama enggan bersumpah, maka sumpah mereka berdua diarahkan kepada penggugat, sehingga penggugat bersumpah untuk masing-masing dari mereka satu kali sumpah. Jika ia bersumpah untuk keduanya, maka diputuskan atas mereka berdua sesuai tuntutannya, dan budak itu menjadi barang gadai atas apa yang ia tuntut.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ، أَنْ يُصَدِّقَهُ أَحَدُهُمَا وَيُكَذِّبَهُ الْآخَرُ، فَتَكُونُ حِصَّةُ الْمُصَدِّقِ مِنْهُمَا وَهِيَ نِصْفُ الْعَبْدِ رَهْنًا عَلَى خَمْسِينَ، وَعَلَى الْمُكَذِّبِ الْيَمِينُ، فَإِنْ حَلَفَ، كَانَتْ حِصَّتُهُ خَارِجَةً مِنَ الرَّهْنِ، وَإِنْ نَكَلَ الْمُكَذِّبُ، رُدَّتْ يَمِينُهُ عَلَى الْمُدَّعِي، فَإِذَا حَلَفَ حُكِمَ لَهُ بِدَعْوَاهُ وَصَارَ جَمِيعُ الْعَبْدِ رَهْنًا بِمِائَةٍ، نِصْفُهُ بِتَصْدِيقِ أَحَدِهِمَا بِخَمْسِينَ. وَنِصْفُهُ الْآخَرُ بِيَمِينِ الْمُدَّعِي بَعْدَ نُكُولِ الْمُكَذِّبِ مِنْهُمَا رَهْنٌ بِخَمْسِينَ، فَأَيُّهُمَا قَضَاهُ خَمْسِينَ، خَرَجَتْ حِصَّتُهُ مِنَ الرَّهْنِ، وَهِيَ نِصْفُ الْعَبْدِ، وَكَانَتْ حِصَّةُ الْآخَرِ بَاقِيَةً مِنَ الرَّهْنِ، فَلَوْ كَانَ الْمُصَدِّقُ مِنَ الشَّرِيكَيْنِ عَدْلًا، جَازَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَى شَرِيكِهِ الْمُكَذِّبِ، لِأَنَّهَا شَهَادَةٌ لَا تَجُرُّ لَهُ نَفْعًا وَلَا تَدْفَعُ عَنْهُ ضَرَرًا، فَلَمْ يَكُنْ لِرَدِّ شَهَادَتِهِ مَعْنًى، فَإِنْ شَهِدَ مَعَهُ عَدْلٌ آخَرُ أَوِ امْرَأَتَانِ أَوْ حَلَفَ مَعَهُ الْمُدَّعِي، فَقَدْ كَمُلَتِ الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُكَذِّبِ وَصَارَ جَمِيعُ الْعَبْدِ رَهْنًا لَهُمَا عِنْدَهُ عَلَى مِائَةٍ نِصْفُهُ بِالتَّصْدِيقِ وَنِصْفُهُ بِالْبَيِّنَةِ.

Keadaan ketiga, yaitu masalah dalam kitab ini: Salah satu dari mereka membenarkannya dan yang lain mendustakannya. Maka bagian orang yang membenarkan dari mereka berdua, yaitu setengah budak, menjadi barang gadai atas lima puluh dirham. Adapun yang mendustakan, maka ia harus bersumpah. Jika ia bersumpah, maka bagiannya keluar dari status gadai. Jika yang mendustakan enggan bersumpah, maka sumpahnya diarahkan kepada penggugat. Jika penggugat bersumpah, maka diputuskan untuknya sesuai tuntutannya dan seluruh budak menjadi barang gadai atas seratus dirham: setengahnya karena pembenaran salah satu dari mereka atas lima puluh dirham, dan setengah lainnya karena sumpah penggugat setelah yang mendustakan enggan bersumpah, menjadi barang gadai atas lima puluh dirham. Maka siapa pun dari mereka yang melunasi lima puluh dirham, maka bagiannya keluar dari status gadai, yaitu setengah budak, dan bagian yang lain tetap dalam status gadai. Jika yang membenarkan dari kedua orang yang berserikat itu adalah seorang yang adil, maka boleh baginya untuk menjadi saksi atas rekannya yang mendustakan, karena kesaksiannya itu tidak mendatangkan manfaat untuk dirinya dan tidak pula menolak mudarat dari dirinya, sehingga tidak ada alasan untuk menolak kesaksiannya. Jika ada seorang adil lain bersaksi bersamanya, atau dua orang perempuan, atau penggugat bersumpah bersamanya, maka telah sempurna alat bukti terhadap yang mendustakan, dan seluruh budak menjadi barang gadai bagi mereka berdua di sisinya atas seratus dirham, setengahnya karena pembenaran dan setengahnya karena alat bukti.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَلَوِ ادَّعَى رَجُلَانِ عَلَى رَجُلٍ، أَنَّهُ رَهَنَهُمَا عَبْدَهُ عَلَى مِائَةٍ لَهُمَا عَلَيْهِ، فَصَدَّقَ أَحَدُهُمَا دُونَ الْآخَرِ، كَانَ نِصْفُهُ رَهْنًا عِنْدَ الْمُصَدِّقِ، وَحَلَفَ الْمُكَذِّبُ فَلَوْ أَرَادَ الْمُصَدِّقُ وَهُوَ عَدْلٌ أَنْ يَشْهَدَ لِصَاحِبِهِ عَلَى الْمُنْكِرِ، لَمْ يَجُزْ إِذَا كَانَا شَرِيكَيْنِ، لِأَنَّهُ يَجُرُّ بِشَهَادَتِهِ نَفْعًا إِلَى نَفْسِهِ، لِأَنَّهُ يَشْهَدُ لِشَرِيكِهِ، وَفِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى يَشْهَدُ عَلَى شَرِيكِهِ.

Jika dua orang laki-laki mengklaim terhadap seorang laki-laki bahwa ia telah menggadaikan budaknya kepada mereka berdua atas seratus (dirham) yang menjadi tanggungan mereka berdua kepadanya, lalu salah satu dari mereka membenarkan dan yang lain tidak, maka setengah budak itu menjadi barang gadai di sisi yang membenarkan, dan yang mendustakan bersumpah. Jika yang membenarkan, yang merupakan orang adil, ingin menjadi saksi untuk rekannya terhadap orang yang mengingkari, maka tidak boleh jika keduanya adalah dua orang yang berserikat, karena dengan kesaksiannya itu ia menarik manfaat untuk dirinya sendiri, sebab ia bersaksi untuk rekannya, sedangkan pada masalah pertama ia bersaksi atas rekannya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَلَوِ ادَّعَى رَجُلَانِ عَلَى رَجُلَيْنِ فِي عَبْدٍ بَيْنَهُمَا أَنَّهُمَا رَهَنَاهُمَا عَبْدَهُمَا عَلَى مِائَةِ دِرْهَمٍ لَهُمَا فَصَدَّقَا أَحَدَ الْمُدَّعِيَيْنِ، كَانَ نِصْفُ الْعَبْدِ رَهْنًا عِنْدَ الْمُصَدِّقِ مِنْهُمَا عَلَى خَمْسِينَ دِرْهَمًا، لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا رُبْعُهُ رَهْنًا عَلَى خَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَعَلَى الرَّاهِنَيْنِ أَنْ يَحْلِفَا لِلْمُكَذِّبِ مِنَ الْمُرْتَهِنَيْنِ، فَإِنْ حَلَفَا، كَانَ نِصْفُهُ بَيْنَهُمَا خَارِجًا مِنَ الرَّهْنِ.

Jika dua orang laki-laki mengklaim terhadap dua orang laki-laki dalam perkara budak yang dimiliki bersama bahwa keduanya telah menggadaikan budak mereka kepada kedua penggugat atas seratus dirham yang menjadi tanggungan mereka berdua, lalu salah satu dari penggugat dibenarkan, maka setengah budak menjadi barang gadai di sisi yang membenarkan dari mereka atas lima puluh dirham, dan masing-masing dari mereka memiliki seperempat budak sebagai barang gadai atas dua puluh lima dirham. Kedua orang yang menggadaikan harus bersumpah kepada yang mendustakan dari para penerima gadai. Jika keduanya bersumpah, maka setengah budak di antara mereka keluar dari status gadai.

فَلَوْ كَانَ الْمُصَدِّقُ مِنَ الْمُرْتَهِنَيْنِ عَدْلًا، جَازَ أَنْ يَشْهَدَ لِلْمُرْتَهِنِ الْمُكَذِّبِ عَلَى الرَّاهِنَيْنِ، لِأَنَّ شَهَادَتَهُ لَا تَجُرُّ إِلَيْهِ نَفْعًا، وَلَا تَدْفَعُ عَنْهُ ضَرَرًا، فَإِذَا شَهِدَ حَلَفَ مَعَهُ الْمُرْتَهِنُ الْمُكَذِّبُ، وَصَارَ جَمِيعُ الْعَبْدِ رَهْنًا عِنْدَهُمَا عَلَى مِائَةِ دِرْهَمٍ، نِصْفُهُ عِنْدَ الْمُرْتَهِنِ الْمُصَدِّقِ رَهْنٌ عَلَى خَمْسِينَ دِرْهَمًا بِتَصْدِيقِ الرَّاهِنَيْنِ وَنِصْفُهُ عِنْدَ الْمُرْتَهِنِ الْمُكَذِّبِ رَهْنٌ عَلَى خَمْسِينَ دِرْهَمًا، لِقِيَامِ الْبَيِّنَةِ عَلَى الرَّاهِنَيْنِ، فَلَوْ صَدَّقَ أَحَدُ الرَّاهِنَيْنِ الْمُرْتَهِنَيْنِ مَعًا، وَكَذَّبَ الرَّاهِنُ الْآخَرُ الْمُرْتَهِنَيْنِ مَعًا، كَانَ نِصْفُ الْعَبْدِ وَهِيَ حِصَّةُ الْمُصَدِّقِ مِنَ الرَّاهِنَيْنِ رَهْنًا عِنْدَ الْمُرْتَهِنَيْنِ عَلَى خَمْسِينَ دِرْهَمًا عِنْدَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا رُبْعُهُ رَهْنٌ عَلَى خَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَالنِّصْفُ الثَّانِي مِنَ الْعَبْدِ وَهِيَ حِصَّةُ الْمُكَذِّبِ خَارِجَةٌ مِنَ الرَّهْنِ إِذَا حَلَفَ.

Jika yang membenarkan di antara dua murtahin (penerima gadai) adalah seorang yang adil, maka boleh baginya menjadi saksi bagi murtahin yang mendustakan terhadap dua rahin (pemberi gadai), karena kesaksiannya tidak mendatangkan manfaat untuk dirinya, dan tidak pula menolak bahaya darinya. Maka, jika ia bersaksi, murtahin yang mendustakan itu bersumpah bersamanya, sehingga seluruh budak menjadi barang gadai di tangan mereka berdua atas seratus dirham; setengahnya di tangan murtahin yang membenarkan sebagai barang gadai atas lima puluh dirham dengan pengakuan kedua rahin, dan setengahnya di tangan murtahin yang mendustakan sebagai barang gadai atas lima puluh dirham, karena adanya bukti atas kedua rahin. Jika salah satu rahin membenarkan kedua murtahin sekaligus, dan rahin yang lain mendustakan kedua murtahin sekaligus, maka setengah budak, yaitu bagian rahin yang membenarkan, menjadi barang gadai di tangan kedua murtahin atas lima puluh dirham, di mana pada masing-masing dari mereka seperempatnya menjadi barang gadai atas dua puluh lima dirham, dan setengah budak yang lain, yaitu bagian rahin yang mendustakan, keluar dari gadai jika ia bersumpah.

فَلَوْ صَدَّقَ أَحَدُ الرَّاهِنَيْنِ أَحَدَ الْمُرْتَهِنَيْنِ وَكَذَّبَ الْمُرْتَهِنُ الْآخَرُ، وَكَذَّبَ الرَّاهِنُ الْآخَرُ الْمُرْتَهِنَيْنِ مَعًا، كَانَ رُبْعُ الْعَبْدِ وَهِيَ نِصْفُ حِصَّةِ الرَّاهِنِ الْمُصَدِّقِ رَهْنًا عِنْدَ الْمُصَدَّقِ مِنْ الْمُرْتَهِنَيْنِ عَلَى خَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ دِرْهَمًا وَثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ الْعَبْدِ خَارِجَةٌ مِنَ الرَّهْنِ نِصْفُهُ لِمُكَذِّبِ الْمُرْتَهِنَيْنِ وَرُبْعُهُ لِمُكَذِّبِ أَحَدِ الْمُرْتَهِنَيْنِ.

Jika salah satu rahin membenarkan salah satu murtahin dan murtahin yang lain mendustakan, serta rahin yang lain mendustakan kedua murtahin sekaligus, maka seperempat budak, yaitu setengah bagian rahin yang membenarkan, menjadi barang gadai di tangan murtahin yang dibenarkan atas dua puluh lima dirham, dan tiga perempat budak keluar dari gadai; setengahnya untuk yang mendustakan kedua murtahin, dan seperempatnya untuk yang mendustakan salah satu murtahin.

فَلَوْ صَدَّقَ أَحَدُ الرَّاهِنَيْنِ أَحَدَ الْمُرْتَهِنَيْنِ، وَصَدَّقَ الرَّاهِنُ الْآخَرُ الْمُرْتَهِنَ الْآخَرَ، وَكَذَّبَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الرَّاهِنَيْنِ مَنْ صَدَّقَهُ صَاحِبُهُ، كَانَ نِصْفُ نَصِيبِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَهُوَ الرُّبُعُ رَهْنًا عِنْدَ مَنْ صَدَّقَهُ عَلَى خَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَيَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِمَنْ كَذَّبَهُ.

Jika salah satu rahin membenarkan salah satu murtahin, dan rahin yang lain membenarkan murtahin yang lain, serta masing-masing rahin mendustakan murtahin yang dibenarkan oleh temannya, maka setengah bagian masing-masing dari mereka, yaitu seperempat, menjadi barang gadai di tangan murtahin yang dibenarkannya atas dua puluh lima dirham, dan masing-masing dari mereka bersumpah kepada murtahin yang didustakannya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَلَوِ ادَّعَى ثَلَاثَةٌ عَلَى ثَلَاثَةٍ فِي عَبْدٍ بَيْنَهُمْ أَنَّهُمْ رَهَنُوهُ عِنْدَهُمْ عَلَى مِائَةِ دِرْهَمٍ، فَصَدَّقُوا أَحَدَ الثَّلَاثَةِ: كَانَ ثُلُثُ الْعَبْدِ رَهْنًا عِنْدَ الْمُصَدِّقِ مِنَ الثَّلَاثَةِ عَلَى ثُلُثِ الْمِائَةِ لِثَلَاثَةِ أَنْفُسٍ، لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ ثُلُثُ الثُّلُثِ، وَهُوَ تُسْعُ الرَّهْنِ، عِنْدَ الْمُصَدِّقِ عَلَى ثُلُثٍ مِنَ الْمِائَةِ، وَهُوَ تُسْعُ الْمِائَةِ، فَإِذَا قَضَاهُ أَحَدُ الثَّلَاثَةِ مَا عَلَيْهِ وَهُوَ تُسْعُ الْمِائَةِ، خَرَجَتْ حِصَّتُهُ مِنَ الرَّهْنِ وَهِيَ تُسْعُ الْعَبْدِ، لِأَنَّ الثَّلَاثَةَ إِذَا عَاقَدُوا ثَلَاثَةً، جَرَى عَلَى عَقْدِهِمْ حُكْمُ عُقُودٍ تِسْعَةٍ، فَلَوْ صَدَّقَ أَحَدُ الثَّلَاثَةِ جَمِيعَ الثَّلَاثَةِ، كَانَتْ حِصَّةُ الْمُصَدِّقِ وَهِيَ ثُلُثُ الْعَبْدِ رَهْنًا عِنْدَ الثَّلَاثَةِ عَلَى ثُلُثِ الْمِائَةِ عِنْدَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ تُسْعُ الْعَبْدِ رَهْنٌ عَلَى تُسْعِ الْمِائَةِ.

Jika tiga orang mengklaim terhadap tiga orang lain dalam perkara seorang budak yang mereka miliki bersama, bahwa mereka telah menggadaikannya kepada mereka atas seratus dirham, lalu mereka membenarkan salah satu dari tiga orang tersebut, maka sepertiga budak menjadi barang gadai di tangan yang membenarkan dari tiga orang tersebut atas sepertiga dari seratus untuk tiga orang, masing-masing dari mereka memperoleh sepertiga dari sepertiga, yaitu sepersembilan dari barang gadai, di tangan yang membenarkan atas sepertiga dari seratus, yaitu sepersembilan dari seratus. Jika salah satu dari tiga orang tersebut melunasi bagian yang menjadi tanggungannya, yaitu sepersembilan dari seratus, maka bagiannya keluar dari barang gadai, yaitu sepersembilan dari budak, karena jika tiga orang melakukan akad dengan tiga orang, maka atas akad mereka berlaku hukum sembilan akad. Jika salah satu dari tiga orang membenarkan seluruh tiga orang, maka bagian yang membenarkan, yaitu sepertiga budak, menjadi barang gadai di tangan ketiganya atas sepertiga dari seratus, di mana pada masing-masing dari mereka sepersembilan budak menjadi barang gadai atas sepersembilan dari seratus.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَلَوِ ادَّعَى أَرْبَعَةٌ عَلَى أَرْبَعَةٍ فِي عَبْدٍ بَيْنَهُمْ أَنَّهُمْ رَهَنُوهُ عِنْدَهُمْ عَلَى مِائَةِ دِرْهَمٍ، فَصَدَّقَ جَمِيعُ الْأَرْبَعَةِ. أَحَدَ الْأَرْبَعَةِ كَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا عِنْدَ الْمُصَدَّقِ مِنَ الْأَرْبَعَةِ عَلَى رُبْعِ الْمِائَةِ لِأَرْبَعَةِ أَنْفُسٍ، لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْأَرْبَعَةِ رُبْعُ الْعَبْدِ وَاحِدٌ مِنْ سِتَّةَ عَشَرَ رَهْنٌ فِي رُبْعِ رُبْعِ الْمِائَةِ سِتَّةُ دَرَاهِمَ وَرُبْعٌ، فَلَوْ صَدَّقَ أَحَدُ الْأَرْبَعَةِ جَمِيعَ الأربعة، كانت حصة المصدق وهي ربع العبد رَهْنًا عِنْدَ الْأَرْبَعَةِ عَلَى رُبْعِ الْمِائَةِ عِنْدَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ رُبْعُ رُبْعِ الْعَبْدِ وَاحِدٌ مِنْ سِتَّةَ عَشَرَ رَهْنٌ عَلَى رُبْعِ رُبْعِ سِتَّةِ دَرَاهِمَ وَرُبْعٍ.

Jika empat orang mengklaim terhadap empat orang lain mengenai seorang budak yang berada di antara mereka, bahwa mereka telah menjadikannya sebagai rahn (barang gadai) di sisi mereka atas seratus dirham, lalu keempat-empatnya membenarkan, maka salah satu dari empat orang tersebut, budak itu menjadi rahn di sisi orang yang membenarkan dari keempat orang itu atas seperempat dari seratus dirham untuk empat orang, sehingga masing-masing dari keempat orang itu memiliki seperempat bagian dari budak, yaitu satu dari enam belas bagian sebagai rahn atas seperempat dari seperempat seratus, yaitu enam dirham dan seperempat. Jika salah satu dari empat orang itu membenarkan keempat-empatnya, maka bagian orang yang membenarkan, yaitu seperempat budak, menjadi rahn di sisi keempat orang itu atas seperempat dari seratus, dan pada masing-masing dari mereka seperempat dari seperempat budak, yaitu satu dari enam belas bagian sebagai rahn atas seperempat dari seperempat, yaitu enam dirham dan seperempat.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَلَوِ ادَّعَى ثَلَاثَةٌ عَلَى أَرْبَعَةٍ فِي عَبْدٍ بَيْنَهُمْ، أَنَّهُمْ رَهَنُوهُ عِنْدَهُمْ عَلَى مِائَةِ دِرْهَمٍ، فَصَدَّقَ جَمِيعُ الْأَرْبَعَةِ أَحَدَ الثَّلَاثَةِ كَانَ ثُلُثُ الْعَبْدِ رَهْنًا لِلْأَرْبَعَةِ عند المصدق من الثلاثة على ثلث المائة لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْأَرْبَعَةِ رُبْعُ ثُلُثِ الْعَبْدِ مِنَ اثْنَيْ عَشَرَ رَهْنٌ عَلَى رُبْعِ ثُلُثِ الْمِائَةِ ثَمَانِيَةِ دَرَاهِمَ وَثُلُثٍ.

Jika tiga orang mengklaim terhadap empat orang lain mengenai seorang budak yang berada di antara mereka, bahwa mereka telah menjadikannya sebagai rahn di sisi mereka atas seratus dirham, lalu keempat-empatnya membenarkan, maka salah satu dari tiga orang tersebut, sepertiga budak menjadi rahn untuk keempat orang di sisi orang yang membenarkan dari tiga orang itu atas sepertiga dari seratus, sehingga masing-masing dari keempat orang itu memiliki seperempat dari sepertiga budak, yaitu satu dari dua belas bagian sebagai rahn atas seperempat dari sepertiga seratus, yaitu delapan dirham dan sepertiga.

فَلَوْ صَدَّقَ أَحَدُ الأربعة جميع الأربعة كانت حصة المصدق وهي رُبْعُ الْعَبْدِ رَهْنًا عِنْدَ الثَّلَاثَةِ عَلَى رُبْعِ الْمِائَةِ، عِنْدَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ ثُلُثُ رُبْعِ الْعَبْدِ وَاحِدٌ مِنَ اثْنَيْ عَشَرَ رَهْنٌ عَلَى ثُلُثِ الْمِائَةِ ثَمَانِيَةِ دَرَاهِمَ وَثُلُثٍ، فَهَذِهِ فُصُولٌ كَافِيَةٌ وَفُرُوعٌ مُقْنِعَةٌ لِمَنْ تَأَمَّلَهَا، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika salah satu dari empat orang itu membenarkan keempat-empatnya, maka bagian orang yang membenarkan, yaitu seperempat budak, menjadi rahn di sisi tiga orang atas seperempat dari seratus, dan pada masing-masing dari mereka sepertiga dari seperempat budak, yaitu satu dari dua belas bagian sebagai rahn atas sepertiga dari seratus, yaitu delapan dirham dan sepertiga. Inilah beberapa fashl (pembahasan) yang cukup dan cabang-cabang yang memadai bagi siapa yang merenungkannya, dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإذا كَانَتْ لَهُ عَلَى رَجُلٍ أَلْفَانِ إِحْدَاهُمَا بِرَهْنٍ وَالْأُخْرَى بِغَيْرِ رَهْنٍ فَقَضَاهُ أَلْفًا ثُمَّ اخْتَلَفَا فَقَالَ الْقَاضِي هِيَ الَّتِي فِي الرَهْنِ وَقَالَ الْمُرْتَهِنُ هِيَ الَّتِي بِلَا رَهْنٍ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْقَاضِي مَعَ يَمِينِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang memiliki piutang atas orang lain sebanyak dua ribu, salah satunya dengan rahn dan yang lainnya tanpa rahn, lalu orang itu membayar seribu, kemudian mereka berselisih. Pihak qadhi berkata: ‘Ini adalah yang dengan rahn,’ sedangkan pihak murtahin berkata: ‘Ini adalah yang tanpa rahn.’ Maka yang dipegang adalah ucapan qadhi dengan sumpahnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي رَجُلٍ عَلَيْهِ لِرَجُلٍ أَلْفَانِ، أَحَدُهُمَا بِرَهْنٍ وَالْآخَرُ بِغَيْرِ رَهْنٍ، فَقَضَاهُ مِنَ الْأَلْفَيْنِ أَلْفًا، فَإِنْ جَعَلَهَا قَضَاءً فِي الْأَلْفِ الَّتِي فِيهَا الرَّهْنُ، كَانَتْ كَذَلِكَ، وَخَرَجَ الرَّهْنُ مِنْ وَثِيقَةِ الْمُرْتَهِنِ، وَإِنْ جَعَلَهَا قَضَاءً مِنَ الْأَلْفِ الَّتِي لَيْسَ فِيهَا الرَّهْنُ، كَانَتْ كَذَلِكَ، وَكَانَ الرَّاهِنُ عَلَى حَالِهِ في الألف الأخرى وثيقة للمرتهن.

Al-Mawardi berkata: Bentuk masalah ini adalah seseorang berutang kepada orang lain dua ribu, salah satunya dengan rahn dan yang lainnya tanpa rahn, lalu ia membayar seribu dari dua ribu itu. Jika ia menjadikannya sebagai pembayaran untuk seribu yang ada rahn-nya, maka itu dianggap demikian, dan rahn keluar dari jaminan murtahin. Jika ia menjadikannya sebagai pembayaran dari seribu yang tidak ada rahn-nya, maka itu dianggap demikian, dan rahin tetap dalam keadaan semula pada seribu yang lain sebagai jaminan bagi murtahin.

فإن دَفَعَهَا مُطْلَقَةً مِنْ غَيْرِ أَنْ يُعَيِّنَهَا فِي أَيِّ الْأَلْفَيْنِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا عَلَى وَجْهَيْنِ، أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ المروزي: إن لَهُ أَنْ يَجْعَلَهَا قَضَاءً فِي أَيِّ الْأَلْفَيْنِ شَاءَ، كَمَا لَوْ طَلَّقَ إِحْدَى امْرَأَتَيْهِ مِنْ غَيْرِ تَعَيُّنٍ، كَانَ لَهُ أَنْ يُعَيِّنَ الطَّلَاقَ فِي أَيِّهِمَا شَاءَ، فَعَلَى هَذَا إِنْ شَاءَ أَنْ يَجْعَلَهَا قَضَاءً مِنَ الْأَلْفِ الَّتِي فِيهَا الرَّهْنُ، كَانَ ذَلِكَ لَهُ، وَإِنْ شَاءَ أَنْ يَجْعَلَهَا قَضَاءً مِنَ الْأَلْفِ الَّتِي لَيْسَ فِيهَا الرَّهْنُ فَذَلِكَ لَهُ.

Jika ia membayarnya secara mutlak tanpa menentukan untuk yang mana dari dua utang itu, maka para sahabat kami berbeda pendapat menjadi dua pendapat. Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: Ia boleh menjadikannya sebagai pembayaran untuk salah satu dari dua utang mana saja yang ia kehendaki, sebagaimana jika seseorang mentalak salah satu dari dua istrinya tanpa menentukan, maka ia boleh menentukan talak itu untuk salah satu dari keduanya yang ia kehendaki. Berdasarkan pendapat ini, jika ia ingin menjadikannya sebagai pembayaran dari seribu yang ada rahn-nya, maka itu boleh baginya, dan jika ia ingin menjadikannya sebagai pembayaran dari seribu yang tidak ada rahn-nya, maka itu juga boleh baginya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: هُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهَا تكون قَضَاءً فِي الْأَلْفَيْنِ مَعًا، فَيَكُونُ نِصْفُهَا قَضَاءً مِنَ الْأَلْفِ الَّتِي فِيهَا الرَّهْنُ، وَالنِّصْفُ الْآخَرُ قضاء من الألف التي ليس فيها الرهن، لِاسْتِوَاءِ الْأَلْفَيْنِ وَحُصُولِ الْإِبْرَاءِ بِالدَّفْعِ، فَلَمْ تَكُنْ إِحْدَى الْأَلْفَيْنِ أَوْلَى مِنَ الْأُخْرَى.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa pembayaran itu dianggap sebagai pembayaran untuk kedua utang tersebut sekaligus, sehingga setengahnya menjadi pembayaran dari seribu yang ada rahn-nya, dan setengah lainnya menjadi pembayaran dari seribu yang tidak ada rahn-nya, karena kedua utang itu sama dan pembebasan terjadi dengan pembayaran, sehingga tidak ada salah satu dari dua utang yang lebih utama dari yang lain.

فَعَلَى هَذَا وَلَوِ اتَّفَقَا بَعْدَ الدَّفْعِ عَلَى أَنْ تَكُونَ الْأَلْفُ قَضَاءً مِنْ إِحْدَى الْأَلْفَيْنِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ.

Berdasarkan hal ini, jika keduanya sepakat setelah pembayaran bahwa seribu itu sebagai pembayaran dari salah satu dari dua utang, maka ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: أَنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ، وَتُعْتَبَرُ الْأَلْفُ الْمَدْفُوعَةُ قَضَاءً فِيمَا اتَّفَقَا عَلَيْهِ مِنَ الْأَلْفَيْنِ، لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ لَهُ ذَلِكَ قَبْلَ الدَّفْعِ، جَازَ ذَلِكَ لَهُ بَعْدَ الدَّفْعِ.

Salah satu pendapat: Bahwa hal itu diperbolehkan, dan seribu yang telah dibayarkan dianggap sebagai pelunasan atas bagian yang telah disepakati dari dua ribu tersebut, karena ketika hal itu boleh dilakukan sebelum pembayaran, maka boleh pula setelah pembayaran.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ، أَنَّ ذَلِكَ لَا يَجُوزُ، لِأَنَّ الْإِبْرَاءَ قَدْ حَصَلَ بِالدَّفْعِ، فَإِذَا كَانَ الدَّفْعُ قَدْ جَعَلَهَا مِنَ الْأَلْفَيْنِ نِصْفَيْنِ، لَمْ يَجُزْ أَنْ يَصِيرَ بِاتِّفَاقِهِمَا قَضَاءً مِنْ إِحْدَى الْأَلْفَيْنِ، لِأَنَّهُ يُعْتَبَرُ نَقْلَ دَيْنٍ بِدَيْنٍ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih, bahwa hal itu tidak diperbolehkan, karena pembebasan utang telah terjadi dengan pembayaran. Maka jika pembayaran itu telah dianggap sebagai pelunasan setengah dari dua ribu, tidak boleh kemudian dengan kesepakatan keduanya dianggap sebagai pelunasan dari salah satu dari dua ribu, karena hal itu berarti memindahkan utang dengan utang.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَلَوْ دَفَعَ الْأَلْفَ قَضَاءً مِنْ إِحْدَى الْأَلْفَيْنِ، ثُمَّ اخْتَلَفَا، فَقَالَ الدَّافِعُ الْقَاضِي: دَفَعْتُهَا قَضَاءً مِنَ الْأَلْفِ الَّتِي بِرَهْنٍ، وَقَالَ الْمُرْتَهِنُ: بَلْ دَفَعْتَهَا مِنَ الْأَلْفِ الَّتِي بَلَا رَهْنٍ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ الْقَاضِي، لِأَنَّهُ بِالدَّفْعِ مُزِيلٌ لِمِلْكِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ فِي صِفَةِ إِزَالَةِ مِلْكِهِ كَسَائِرِ الْأَمْلَاكِ، وَإِذَا كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الرَّاهِنِ الْقَاضِي، لَمْ يَخْلُ حَالُ الْمُرْتَهِنِ الْقَابِضِ مِنْ أحد أمرين، إما أن يدعي على القاضي، أَنَّهُ صَرَّحَ لَهُ عِنْدَ الدَّفْعِ أَنَّهَا الَّتِي بَلَا رَهْنٍ، أَوْ لَا يَدَّعِي ذَلِكَ، فَإِنِ ادَّعَى أَنَّهُ صَرَّحَ لَهُ بِذَلِكَ عِنْدَ الدَّفْعِ، وَجَبَ عَلَى الرَّاهِنِ الْقَاضِي الْيَمِينُ، بِاللَّهِ أَنَّهُ دَفَعَهَا قَضَاءً مِنَ الَّتِي فِيهَا الرَّهْنُ، وَإِنْ لَمْ يَدَّعِ أَنَّهُ صَرَّحَ بِذَلِكَ عِنْدَ الدَّفْعِ، وَسَأَلَ يَمِينَهُ، فَفِي الْيَمِينِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ، أَحَدُهُمَا وَهُوَ ظَاهِرُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ، أَنَّ الْيَمِينَ عَلَيْهِ وَاجِبَةٌ لِإِنْكَارِ مَا ادَّعَى عَلَيْهِ.

Jika seseorang membayar seribu sebagai pelunasan dari salah satu dua ribu, lalu keduanya berselisih, pihak yang membayar (pelunasan) berkata: “Aku membayarnya sebagai pelunasan dari seribu yang dijaminkan,” sedangkan pihak penerima gadai berkata: “Justru kamu membayarnya dari seribu yang tidak dijaminkan.” Maka yang dipegang adalah pernyataan pihak yang membayar (pelunasan), karena dengan pembayaran itu ia telah menghilangkan hak miliknya, sehingga wajib pernyataannya dipegang dalam hal sifat penghilangan hak miliknya, sebagaimana pada harta lainnya. Dan jika pernyataan yang dipegang adalah pihak yang membayar (pelunasan), maka keadaan penerima gadai yang menerima tidak lepas dari dua kemungkinan: pertama, ia mengklaim bahwa pihak yang membayar telah menyatakan kepadanya saat pembayaran bahwa itu adalah yang tidak dijaminkan, atau ia tidak mengklaim demikian. Jika ia mengklaim bahwa pihak yang membayar telah menyatakan demikian saat pembayaran, maka wajib atas pihak yang membayar (pelunasan) untuk bersumpah dengan nama Allah bahwa ia membayarnya sebagai pelunasan dari yang dijaminkan. Namun jika ia tidak mengklaim adanya pernyataan tersebut saat pembayaran, lalu meminta sumpahnya, maka dalam hal sumpah ini ada dua pendapat: salah satunya, dan ini adalah pendapat zhahir dari Imam Syafi‘i, bahwa sumpah itu wajib atasnya karena ia mengingkari apa yang didakwakan kepadanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ لَا يَمِينَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ عَدَمَ التَّصْرِيحِ بِهِ يُوجِبُ الرُّجُوعَ إِلَى مُرَادِهِ، وَمُرَادُهُ لَا يُعْلَمُ إِلَّا بِإِخْبَارِهِ، فَلَمْ يَكُنْ لِلْقَابِضِ سَبِيلٌ إِلَى الْعِلْمِ بِهِ.

Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa tidak ada kewajiban sumpah atasnya, karena tidak adanya pernyataan secara jelas mengharuskan kembali pada maksudnya, dan maksudnya tidak diketahui kecuali dengan pemberitahuannya, sehingga penerima tidak memiliki jalan untuk mengetahuinya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَقَدْ يَتَفَرَّعُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ جِهَةِ الْمُرْتَهِنِ أَنْ يُبَرِّئَ الرَّاهِنَ مِنْ إِحْدَى الْأَلْفَيْنِ، ثُمَّ يَخْتَلِفَانِ، فَيَقُولُ الْمُرْتَهِنُ: أَبْرَأْتُكَ مِنَ الْأَلْفِ الَّتِي لَا رَهْنَ فِيهَا، وَيَقُولُ الرَّاهِنُ: بَلْ أَبْرَأْتَنِي مِنَ الْأَلْفِ الَّتِي فِيهَا الرَّهْنُ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ الْمُبَرِّئِ، لِأَنَّ الْإِبْرَاءَ كَالْقَضَاءِ، فَلَمَّا كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْقَاضِي وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُبَرِّئِ ثُمَّ الْكَلَامُ فِي الْيَمِينِ عَلَى مَا مَضَى.

Dari sisi penerima gadai, dapat pula bercabang permasalahan bahwa ia membebaskan pihak yang menggadaikan dari salah satu dua ribu, lalu keduanya berselisih. Penerima gadai berkata: “Aku membebaskanmu dari seribu yang tidak dijaminkan,” sedangkan pihak yang menggadaikan berkata: “Justru engkau membebaskanku dari seribu yang dijaminkan.” Maka yang dipegang adalah pernyataan penerima gadai yang membebaskan, karena pembebasan utang itu seperti pelunasan, sehingga ketika pernyataan yang dipegang adalah pihak yang melunasi, maka wajib pula pernyataan yang dipegang adalah pihak yang membebaskan. Kemudian pembahasan tentang sumpah sebagaimana yang telah lalu.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَقَدْ يَتَفَرَّعُ عَلَى ذَلِكَ مِنَ الضَّمَانِ أَنْ يَكُونَ عَلَى رَجُلٍ أَلْفَانِ، إِحْدَاهُمَا مَضْمُونَةٌ عَنْهُ وَالْأُخْرَى غَيْرُ مَضْمُونَةٍ عَنْهُ فَيَقْضِي إِحْدَى الْأَلْفَيْنِ، ثُمَّ يَخْتَلِفَانِ، فَيَقُولُ الْقَاضِي: قَضَيْتَ الْمَضْمُونَةَ عَنِّي، وَيَقُولُ الْقَابِضُ: بَلْ قَبَضْتُ غَيْرَ الْمَضْمُونَةِ عَنْكَ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْقَاضِي مَعَ يَمِينِهِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا.

Dari sisi penjaminan, dapat pula bercabang permasalahan bahwa seseorang memiliki dua utang, salah satunya dijamin atasnya dan yang lain tidak dijamin atasnya. Lalu ia melunasi salah satu dari dua utang tersebut, kemudian keduanya berselisih. Pihak yang melunasi berkata: “Aku telah melunasi yang dijamin atasku,” sedangkan pihak penerima berkata: “Justru aku menerima yang tidak dijamin atasmu.” Maka yang dipegang adalah pernyataan pihak yang melunasi dengan sumpahnya, sebagaimana telah disebutkan.

فَلَوْ أَنَّ صَاحِبَ الْأَلْفَيْنِ أَبْرَأَهُ مِنْ إِحْدَى الْأَلْفَيْنِ، ثُمَّ اخْتَلَفَا، فَقَالَ الْمُبَرِّئُ، أَبْرَأْتُكَ مِنَ الْأَلْفِ الَّتِي هِيَ غَيْرُ مَضْمُونَةٍ، وَقَالَ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ: أَبْرَأْتَنِي مِنَ الْأَلْفِ الْمَضْمُونَةِ، كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُبَرِّئِ وَالْكَلَامُ فِي يَمِينِهِ عَلَى مَا مَضَى، وَالدَّعْوَى عَلَى ذَلِكَ مَسْمُوعَةٌ مِنَ الضَّامِنِ دُونَ الْمَضْمُونِ عَنْهُ.

Jika pemilik dua utang itu membebaskannya dari salah satu dari dua utang, lalu keduanya berselisih. Pihak yang membebaskan berkata: “Aku membebaskanmu dari seribu yang tidak dijamin,” sedangkan pihak yang berutang berkata: “Engkau membebaskanku dari seribu yang dijamin.” Maka yang dipegang adalah pernyataan pihak yang membebaskan, dan pembahasan tentang sumpah sebagaimana telah lalu. Klaim atas hal itu dapat didengar dari pihak penjamin, bukan dari pihak yang dijamin.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَقَدْ يَتَفَرَّعُ عَلَى ذَلِكَ مِنَ الرَّهْنِ وَالضَّمَانِ، أَنْ يَكُونَ عَلَى الرَّجُلِ أَلْفَانِ أَحَدُهُمَا بِرَهْنٍ وَالْأُخْرَى بِضَمِينٍ فَيَقْضِي إِحْدَى الْأَلْفَيْنِ، ثُمَّ يَخْتَلِفُ الْقَاضِي وَالضَّامِنُ، فَيَقُولُ الْقَاضِي: قَضَيْتُ عَنِ الْأَلْفِ الَّتِي فِيهَا الرَّهْنُ فَقَدْ خَرَجَ الرَّهْنُ وَبَقِيَ الضَّمَانُ يَقُولُ الضَّامِنُ: بَلْ قَضَيْتَ الْأَلْفَ الَّتِي ضَمِنْتُهَا عَنْكَ فَقَدْ خَرَجَ الضَّمَانُ وَبَقِيَ الرَّهْنُ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْقَاضِي لِمَا ذَكَرْنَا وَالْكَلَامُ فِي يَمِينِهِ عَلَى مَا مَضَى، ثُمَّ لَا يَخْلُو صَاحِبُ الدَّيْنِ، مِنْ أَنْ يُصَدِّقَ الْقَاضِيَ أَوِ الضَّامِنَ، فَإِنْ صَدَّقَ الْقَاضِيَ، كَانَ الضَّمَانُ بِحَالِهِ، وَلَيْسَ لِلضَّامِنِ إِحْلَافُ صَاحِبِ الدَّيْنِ، وَإِنَّمَا لَهُ إِحْلَافُ الْقَاضِي.

Dan dari masalah rahn dan dhamān dapat bercabang permasalahan berikut: jika seseorang memiliki utang dua ribu, salah satunya dengan jaminan rahn dan yang lainnya dengan dhamīn (penjamin), lalu ia melunasi salah satu dari dua ribu tersebut, kemudian terjadi perselisihan antara qāḍī (kreditur) dan dhamīn. Qāḍī berkata: “Aku telah melunasi seribu yang ada jaminan rahn-nya, maka rahn telah bebas dan dhamān masih tersisa.” Sementara dhamīn berkata: “Justru engkau telah melunasi seribu yang aku jamin, maka dhamān telah bebas dan rahn masih tersisa.” Maka pendapat yang dipegang adalah pendapat qāḍī sebagaimana telah kami sebutkan, dan pembicaraan mengenai sumpahnya sebagaimana telah lalu. Kemudian, pemilik utang tidak lepas dari dua kemungkinan: membenarkan qāḍī atau membenarkan dhamīn. Jika ia membenarkan qāḍī, maka dhamān tetap sebagaimana adanya, dan dhamīn tidak berhak meminta sumpah dari pemilik utang, melainkan ia hanya berhak meminta sumpah dari qāḍī.

وَإِنْ كَانَ صَاحِبُ الدَّيْنِ قَدْ صَدَّقَ الضَّامِنَ وَكَذَّبَ الْقَاضِيَ، كَانَ تَصْدِيقُهُ مَقْبُولًا عَلَى نَفْسِهِ فِي سُقُوطِ الضَّمَانِ وَبَرَاءَةِ الضَّامِنِ، وَلَا يَكُونُ مَقْبُولًا عَلَى الْقَاضِي فِي بَقَاءِ الرَّهْنِ، وَتَكُونُ الْأَلْفُ الثَّانِيَةُ لَهُ بِلَا رهن وضمين.

Dan jika pemilik utang membenarkan dhamīn dan mendustakan qāḍī, maka pembenarannya diterima atas dirinya sendiri dalam gugurnya dhamān dan bebasnya dhamīn, namun tidak diterima atas qāḍī dalam hal tetapnya rahn, dan seribu yang kedua menjadi miliknya tanpa rahn dan dhamīn.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَقَدْ يَتَفَرَّعُ عَلَى ذَلِكَ مِنَ الرَّهْنِ وَالضَّمَانِ فِي الْقَضَاءِ وَالْإِبْرَاءِ، أَنْ يَكُونَ عَلَى رَجُلٍ أَلْفَانِ، إِحْدَاهُمَا بِرَهْنٍ وَالْأُخْرَى بِضَمِينٍ فَيَقْضِي ألفا ويبرؤه صَاحِبُ الْحَقِّ مِنْ أَلْفٍ، ثُمَّ يَخْتَلِفُ الْقَاضِي وَالْمُبَرِئُ، فَيَقُولُ الْقَاضِي قَضَيْتُكَ الْأَلْفَ الَّتِي فِيهَا الرَّهْنُ وَأَبْرَأْتَنِي مِنَ الَّتِي فِيهَا الضَّمِينُ، وَيَقُولُ الْمُبَرِئُ: أَبْرَأْتُكَ مِنَ الَّتِي فِيهَا الرَّهْنُ وَقَضَيْتَنِي الَّتِي فِيهَا الضَّمِينُ، فَهَذَا اخْتِلَافٌ غَيْرُ مُؤَثِّرٍ، وَكَذَلِكَ لَوْ قَالَا بِعَكْسِ ذَلِكَ، لِحُصُولِ الْبَرَاءَةِ مِنَ الْأَلْفَيْنِ مَعًا، بِالْقَضَاءِ وَالْإِبْرَاءِ، وَخُرُوجِ الرَّهْنِ والضمين، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ الْقَاضِي: قَضَيْتُكَ الَّتِي فِيهَا الرَّهْنُ وَأَبْرَأْتَنِي مِنَ الَّتِي فِيهَا الضَّمِينُ، وَقَالَ الْمُبَرِئُ: بَلْ أَبْرَأْتُكَ مِنَ الَّتِي فِيهَا الرَّهْنُ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْقَاضِي فِي قَضَائِهِ، وَقَوْلُ الْمُبَرِئِ فِي إِبْرَائِهِ، ثُمَّ يُنْظَرُ فِي الْإِبْرَاءِ، فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْقَضَاءِ فَلَا تَأْثِيرَ لِوُقُوعِ الْإِبْرَاءِ قَبْلَهُ بِالْقَضَاءِ، وَتَكُونُ الْأَلْفُ الَّتِي فِيهَا الضَّمِينُ بَاقِيَةً، وَإِنْ كَانَ الْإِبْرَاءُ كَانَ مَا دَفَعَهُ مِنَ الْقَضَاءِ مَنْقُولًا عَمَّا فِيهِ الرَّهْنُ لِتَقَدُّمِ الْبَرَاءَةِ مِنْهُ، إِلَى مَا فِيهِ الضَّمِينُ لِبَقَائِهِ عليه، ويبرأ من الألفين والله أعلم.

Dan dari masalah rahn dan dhamān dalam pelunasan dan pembebasan, dapat bercabang permasalahan berikut: jika seseorang memiliki utang dua ribu, salah satunya dengan rahn dan yang lainnya dengan dhamīn, lalu ia melunasi dua ribu dan pemilik hak membebaskannya dari seribu, kemudian terjadi perselisihan antara qāḍī dan orang yang membebaskan. Qāḍī berkata: “Aku telah melunasi seribu yang ada rahn-nya dan engkau telah membebaskanku dari yang ada dhamīn-nya.” Sedangkan orang yang membebaskan berkata: “Aku telah membebaskanmu dari yang ada rahn-nya dan engkau telah melunasi yang ada dhamīn-nya.” Ini adalah perselisihan yang tidak berpengaruh, demikian pula jika keduanya berkata sebaliknya, karena telah tercapai pembebasan dari kedua utang tersebut sekaligus, baik dengan pelunasan maupun pembebasan, serta keluarnya rahn dan dhamīn. Namun, jika qāḍī berkata: “Aku telah melunasi yang ada rahn-nya dan engkau telah membebaskanku dari yang ada dhamīn-nya,” sedangkan orang yang membebaskan berkata: “Justru aku telah membebaskanmu dari yang ada rahn-nya,” maka pendapat yang dipegang adalah pendapat qāḍī dalam pelunasannya, dan pendapat orang yang membebaskan dalam pembebasannya. Kemudian dilihat pada pembebasan tersebut: jika terjadi setelah pelunasan, maka tidak berpengaruh karena pembebasan terjadi sebelumnya dengan pelunasan, dan seribu yang ada dhamīn-nya tetap tersisa. Namun jika pembebasan terjadi lebih dahulu, maka apa yang telah dibayarkan dalam pelunasan dialihkan dari yang ada rahn-nya karena pembebasan telah lebih dahulu, kepada yang ada dhamīn-nya karena masih tersisa atasnya, dan ia terbebas dari kedua utang tersebut. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ رَهَنْتُهُ هَذِهِ الدَّارَ الَّتِي فِي يَدَيْهِ بِأَلْفٍ وَلَمْ أَدْفَعْهَا إِلَيْهِ فَغَصَبَنِيهَا أَوْ تَكَارَاهَا مِنِّي رَجُلٌ وَأَنْزَلَهُ فِيهَا أَوْ تَكَارَاهَا هُوَ مِنِّي فَنَزَلَهَا وَلَمْ أُسْلِمْهَا رَهْنًا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Aku telah menjadikan rumah ini yang ada di tangannya sebagai rahn untuk utang seribu, namun aku belum menyerahkannya kepadanya, lalu ia merampasnya dariku, atau seseorang menyewanya dariku dan ia menempatinya, atau ia sendiri yang menyewanya dariku lalu ia menempatinya, dan aku belum menyerahkannya sebagai rahn,’ maka yang dipegang adalah ucapannya dengan disertai sumpahnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan:

إِذَا ادَّعَى رَجُلٌ دَارًا فِي يَدِهِ أَنَّهَا مَرْهُونَةٌ عِنْدَهُ عَلَى أَلْفٍ لَهُ عَلَى مَالِكِهَا، وَقَالَ الْمَالِكُ: لَهُ عَلَيَّ أَلْفٌ رَهَنْتُهُ الدَّارَ بِهَا، غَيْرَ أَنَّنِي لَمْ أُقْبِضْهُ إِيَّاهَا، وَإِنَّمَا غَصَبَنِيهَا أَوْ تَكَارَاهَا أَوِ اسْتَعَارَهَا أَوْ تَكَارَاهَا رَجُلٌ فَأَنْزَلَهُ بِهَا، فَالْقَوْلُ قَوْلُ مَالِكِهَا مَعَ يَمِينِهِ، لِأَنَّ عَقْدَ الرَّهْنِ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِالْقَبْضِ فَكَانَ الْخُلْفُ فِي الْقَبْضِ، خُلْفًا فِي أَصْلِ الْعَقْدِ، وَلَوِ اخْتَلَفَا فِي عَقْدِ الرَّهْنِ، كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الرَّاهِنِ وَكَذَلِكَ إِذَا اخْتَلَفَا فِي الْقَبْضِ بَعْدَ الْعَقْدِ، يَجِبُ أَنْ يَكُونَ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَ الرَّاهِنِ، فَإِنْ قِيلَ أَلَيْسَ لَوِ اشْتَرَى رَجُلٌ دَارًا ثُمَّ وُجِدَتِ الدَّارُ فِي يَدِ الْمُشْتَرِي، فَقَالَ الْمُشْتَرِي: أَقْبَضَنِيهَا وَقَالَ الْبَائِعُ: بِعْتُهُ وَلَمْ أَقْبِضْ، لَكِنْ غَصَبَنِيهَا، كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُشْتَرِي لِحُصُولِ يَدِهِ، وَكَذَلِكَ الْمُسْتَأْجِرُ إِذَا كَانَتِ الدَّارُ فِي يَدِهِ، وَقَالَ أَقْبَضَنِيهَا الْمُؤَجِّرُ، وَقَالَ الْمُؤَجِّرُ: بَلْ غَصَبَنِيهَا الْمُسْتَأْجِرُ لِحُصُولِ يَدِهِ فَهَلَّا كَانَ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَ الْمُرْتَهِنِ فِي قَبْضِ الْمَرْهُونِ لِحُصُولِ يَدِهِ.

Apabila seorang laki-laki mengklaim bahwa sebuah rumah yang ada di tangannya adalah barang gadai di sisinya atas utang seribu yang dimiliki atas pemilik rumah tersebut, lalu pemilik rumah berkata: “Ia memang memiliki utang seribu atas diriku dan aku telah menggadaikan rumah itu untuknya, hanya saja aku belum menyerahkannya kepadanya, melainkan ia telah merampasnya dariku, atau menyewanya, atau meminjamnya, atau ada seseorang yang menyewanya lalu menempatkannya di rumah itu,” maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pemilik rumah dengan sumpahnya. Sebab, akad rahn (gadai) tidak sah kecuali dengan penyerahan (qabdh), sehingga perselisihan dalam penyerahan berarti perselisihan dalam pokok akad. Jika keduanya berselisih dalam akad rahn, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pihak yang menggadaikan (rahin). Demikian pula jika keduanya berselisih dalam penyerahan setelah akad, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan rahin. Jika ada yang bertanya: Bukankah jika seseorang membeli rumah lalu rumah itu ditemukan di tangan pembeli, kemudian pembeli berkata: “Penjual telah menyerahkannya kepadaku,” dan penjual berkata: “Aku memang telah menjualnya, tapi belum menyerahkannya, melainkan ia telah merampasnya,” maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pembeli karena rumah itu ada di tangannya? Demikian pula penyewa, jika rumah itu ada di tangannya dan ia berkata: “Pemilik telah menyerahkannya kepadaku,” sementara pemilik berkata: “Bukan, penyewa telah merampasnya,” maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan penyewa karena rumah itu ada di tangannya. Lalu mengapa dalam hal ini yang dijadikan pegangan bukan pernyataan murtahin (penerima gadai) dalam penyerahan barang gadai, karena barang itu ada di tangannya?

قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا، أَنَّ الْقَبْضَ فِي الرَّهْنِ شَرْطٌ في تمامه لا يصح أن يجبر عَلَى الرَّاهِنِ، وَلَيْسَتْ يَدُ الْمُرْتَهِنِ دَلِيلًا عَلَى اخْتِيَارِهِ، وَالْقَبْضُ فِي الْبَيْعِ وَالْإِجَارَةِ وَاجِبٌ يُجْبَرُ عَلَيْهِ الْبَائِعُ وَالْمُؤَجِّرُ، فَكَانَتْ يَدُ الْمُشْتَرِي وَالْمُسْتَأْجِرِ دَلِيلًا عَلَى حُصُولِهِ، وَيَتَفَرَّعُ عَلَى تَعْلِيلِ هَذَا الْفَرْقِ بَيْنَ الْإِجَارَةِ، وَالرَّهْنِ، أَنَّ إِجَارَةَ الرَّهْنِ مِنْ مُرْتَهِنِهِ جَائِزَةٌ، وَلَا تَحْتَاجُ إِلَى قَبْضٍ لكونها في قبضه، ورهن ما في الإجارة من مستأجره جَائِزٌ، وَيَحْتَاجُ إِلَى قَبْضٍ، وَإِنْ كَانَ فِي قَبْضِهِ، لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ أَنَّ قَبْضَ الْإِجَارَةِ يَصِحُّ بِغَيْرِ إِذْنٍ، وَقَبْضَ الرَّهْنِ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِإِذْنٍ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Dijawab: Perbedaannya adalah bahwa penyerahan (qabdh) dalam rahn merupakan syarat sahnya akad dan tidak boleh dipaksakan kepada rahin, dan tangan murtahin tidak menjadi bukti atas kerelaan rahin. Sedangkan penyerahan dalam jual beli dan ijarah (sewa-menyewa) adalah kewajiban yang dapat dipaksakan kepada penjual dan pemilik sewa, sehingga tangan pembeli dan penyewa menjadi bukti telah terjadinya penyerahan. Dari penjelasan perbedaan antara ijarah dan rahn ini, dapat diturunkan bahwa menyewakan barang gadai oleh murtahin hukumnya boleh dan tidak memerlukan penyerahan karena barang itu sudah dalam genggamannya. Sedangkan menggadaikan barang yang sedang dalam masa sewa oleh penyewanya juga boleh, namun memerlukan penyerahan meskipun barang itu sudah dalam genggamannya, karena penyerahan dalam ijarah sah tanpa izin, sedangkan penyerahan dalam rahn tidak sah kecuali dengan izin. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

باب انتفاع الراهن بما يرهنه

(Bab Pemanfaatan Rahin atas Barang yang Digadaikannya)

” قال حدثنا إبراهيم بن محمد قال أخبرني المزني قال (قال الشافعي) وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال ” الرهن مركوب ومحلوب ” (قال) ومعنى هذا القول أَنَّ مَنْ رَهَنَ ذَاتَ دَرٍّ وَظَهْرٍ لَمْ يمنع الراهن من ظهرها ودرها وأصل المعرفة بهذا الباب أن للمرتهن حقا في رقبة الرهن دون غيره وما يحدث مما يتميز منه غيره “.

Diriwayatkan dari Ibrahim bin Muhammad, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku al-Muzani, ia berkata: (Imam Syafi‘i berkata): Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda: “Barang gadai itu boleh ditunggangi dan diperah susunya.” (Imam Syafi‘i berkata): Makna dari sabda ini adalah bahwa siapa yang menggadaikan hewan yang bisa diperah susunya atau ditunggangi, maka rahin tidak dilarang memanfaatkan punggung dan susunya. Dasar pengetahuan dalam bab ini adalah bahwa hak murtahin hanya pada pokok barang gadai, bukan pada selainnya, dan apa yang muncul dari barang gadai yang dapat dibedakan dari pokoknya bukanlah hak murtahin.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ نَمَاءُ الرَّهْنِ وَمَنَافِعُهُ مِنْ ثَمَرَةٍ وَنِتَاجٍ وَدَرٍّ وَرُكُوبٍ وَسُكْنَى، مِلْكٌ لِلرَّاهِنِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ، سَوَاءٌ أَنْفَقَ عَلَى الرَّهْنِ أَمْ لَا.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang telah dikatakan, bahwa pertumbuhan dan manfaat barang gadai, seperti buah, anak, susu, tunggangan, dan tempat tinggal, adalah milik rahin, bukan milik murtahin, baik murtahin menafkahi barang gadai tersebut maupun tidak.

وَهَذَا قَوْلُ مَالِكٍ وأبي حنيفة.

Dan ini adalah pendapat Malik dan Abu Hanifah.

وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: جَمِيعُ نَمَاءِ الرَّهْنِ وَسَائِرُ مَنَافِعِهِ مِلْكُ الْمُرْتَهِنِ دُونَ الرَّاهِنِ سَوَاءٌ كَانَ هُوَ الْمُنْفِقُ عَلَى الرَّهْنِ أَمْ لا.

Ahmad bin Hanbal berkata: Seluruh pertumbuhan dan manfaat barang gadai adalah milik murtahin, bukan milik rahin, baik murtahin yang menafkahi barang gadai tersebut maupun tidak.

وقال أبو ثور: إذا كان الراهن هو الذي ينفق على الرهن، فالنماء والمنافع له.

Abu Tsaur berkata: Jika rahin yang menafkahi barang gadai, maka pertumbuhan dan manfaatnya menjadi milik rahin.

وإذا كان المرتهن هُوَ الْمُنْفِقُ عَلَى الرَّهْنِ، فَالنَّمَاءُ وَالْمَنَافِعُ لَهُ.

Dan jika murtahin yang menafkahi barang gadai, maka pertumbuhan dan manfaatnya menjadi milik murtahin.

فَأَمَّا أَحْمَدُ فَاسْتَدَلَّ بِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الرَّهْنُ مَحْلُوبٌ وَمَرْكُوبٌ ” وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ عَلَّقَ عَلَى الرَّهْنِ هَذَا الْحُكْمَ، لَمَّا حَدَثَ عَقْدُ الرهن، فلم يجز أن يكون الحلب وَالرُّكُوبُ مُضَافًا إِلَى الرَّاهِنِ، لِأَنَّ لَهُ ذَلِكَ قَبْلَ الرَّهْنِ، فَعَلِمَ أَنَّهُ أَضَافَ ذَلِكَ إِلَى الْمُرْتَهِنِ، لِيَصِيرَ حُكْمُهُ مُسْتَفَادًا بِالرَّهْنِ، وَلِأَنَّ الرَّهْنَ كَالْبَيْعِ فِي أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَقْدٌ عَلَى مِلْكٍ فِي مُقَابَلَةِ عِوَضٍ، ثُمَّ لَمَّا كَانَ عَقْدُ الْبَيْعِ يَجْعَلُ نَمَاءَ الْمَبِيعِ مِلْكًا لِلْمُشْتَرِي، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ عَقْدُ الرَّهْنِ يَجْعَلُ نَمَاءَ الْمَبِيعِ مِلْكًا لِلْمُرْتَهِنِ.

Adapun Ahmad, ia berdalil dengan hadis Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang gadai itu dapat diperah susunya dan dapat ditunggangi.” Telah diketahui bahwa beliau mengaitkan hukum ini pada barang gadai ketika akad rahn terjadi. Maka tidak boleh dikatakan bahwa memerah susu dan menunggangi itu dinisbatkan kepada orang yang menggadaikan (rahin), karena ia sudah memiliki hak itu sebelum akad rahn. Maka dipahami bahwa beliau menisbatkan hal itu kepada penerima gadai (murtahin), agar hukumnya dapat diambil dari akad rahn. Karena rahn itu seperti jual beli, di mana masing-masing merupakan akad atas kepemilikan dengan imbalan. Kemudian, ketika akad jual beli menjadikan hasil dari barang yang dijual menjadi milik pembeli, maka seharusnya akad rahn juga menjadikan hasil dari barang yang digadaikan menjadi milik murtahin.

وَأَمَّا أَبُو ثَوْرٍ فَاسْتَدَلَّ بِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ ” قَالَ: فَجَعَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – النَّمَاءَ تَبَعًا لِلنَّفَقَةِ، فَعَلِمَ أَنَّهَا مِلْكٌ لِمَنْ تَوَلَّى النَّفَقَةَ، قَالَ: وَلِأَنَّ النَّمَاءَ فِي مُقَابَلَةِ النَّفَقَةِ لِأَنَّ النَّفَقَةَ نَقْصٌ وَغُرْمٌ وَالنَّمَاءَ زِيَادَةٌ وَكَسْبٌ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ كَسْبُ النَّمَاءِ لِمَنْ جُعِلَ عَلَيْهِ نَقْصُ النَّفَقَةِ.

Adapun Abu Tsaur, ia berdalil dengan hadis Abu Hurairah ra. bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang gadai itu boleh ditunggangi dengan menanggung biaya pemeliharaannya jika ia digadaikan, dan susu hewan perahan boleh diminum dengan menanggung biaya pemeliharaannya jika ia digadaikan. Dan orang yang menunggangi dan meminum susunya wajib menanggung biayanya.” Ia berkata: Rasulullah ﷺ menjadikan hasil (barang gadai) mengikuti biaya pemeliharaan, sehingga dipahami bahwa hasil itu menjadi milik orang yang menanggung biaya pemeliharaan. Ia juga berkata: Karena hasil itu sebagai imbalan atas biaya, sebab biaya adalah pengurangan dan kerugian, sedangkan hasil adalah tambahan dan keuntungan. Maka seharusnya keuntungan dari hasil itu menjadi milik orang yang menanggung kerugian biaya.

وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهَا حَدِيثُ ابن المسيب مرسلا عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: لَا يَغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ رَاهِنِهِ الَذِي رَهَنَهُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ.

Dalil yang menunjukkan hal itu adalah hadis Ibnu al-Musayyab secara mursal dari Abu Hurairah, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang gadai tidak boleh ditutup dari orang yang menggadaikannya; baginya keuntungannya dan atasnya kerugiannya.”

فَجَعَلَ لِمَالِكِ الرَّهْنِ غُنْمَهُ مِنْ نَمَاءٍ وَزِيَادَةٍ، وَجَعَلَ عَلَيْهِ غرمه من مؤونة وَنَقْصٍ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ لَهُ مِلْكٌ، كَانَ لَهُ نَمَاءُ ذَلِكَ الْمِلْكِ لِأَنَّ الْفُرُوعَ تَابِعَةٌ لِلْأُصُولِ، فَلَمَّا كَانَ الرَّهْنُ عَلَى مِلْكِ الراهن، وجب أن يكون النماء على ملك الراهن كَسَائِرِ الْأَمْلَاكِ وَلِأَنَّ يَدَ الْمُرْتَهِنِ عَلَيْهِ لِاسْتِيفَاءِ حَقِّهِ مِنْهُ، وَذَلِكَ لَا يُوجِبُ تَمَلُّكَ الْمَنَافِعِ كَحَبْسِ الْمَبِيعِ فِي يَدِ الْبَائِعِ، وَلِأَنَّ حَقَّ الْمُرْتَهِنِ قَدْ تَعَلَّقَ بِرَقَبَةِ الْعَبْدِ الْمَرْهُونِ كَتَعَلُّقِ الْجِنَايَةِ بِرَقَبَةِ الْعَبْدِ الْجَانِي، ثُمَّ لَمْ يَكُنْ تعلق حق الجناية بالرقبة موجبا لتملك الْمَنَافِعِ، وَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ تَعَلُّقُ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِالرَّهْنِ مُوجِبًا لِتَمْلِيكِ الْمَنَافِعِ.

Maka Nabi menjadikan bagi pemilik barang gadai keuntungannya berupa hasil dan tambahan, dan menjadikan atasnya kerugian berupa biaya dan kekurangan. Karena setiap orang yang memiliki suatu harta, maka ia juga memiliki hasil dari harta itu, sebab cabang mengikuti pokok. Maka ketika barang gadai tetap menjadi milik rahin, wajib hasilnya juga menjadi milik rahin seperti kepemilikan lainnya. Dan karena tangan murtahin atas barang gadai itu hanya untuk mengambil haknya darinya, dan itu tidak menyebabkan kepemilikan manfaat, sebagaimana menahan barang yang dijual di tangan penjual. Dan karena hak murtahin berkaitan dengan tubuh budak yang digadaikan, sebagaimana hak jinayah (denda) berkaitan dengan tubuh budak yang melakukan jinayah, namun keterkaitan hak jinayah dengan tubuh budak tidak menyebabkan kepemilikan manfaat, maka seharusnya keterkaitan hak murtahin dengan barang gadai juga tidak menyebabkan kepemilikan manfaat.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا اسْتَدَلَّ بِهِ أَحْمَدُ مِنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الرَّهْنُ مَحْلُوبٌ وَمَرْكُوبٌ ” فَيَعْنِي لِرَاهِنِهِ وَقَصَدَ بِهِ بَيَانَ الْحُكْمِ بِأَنَّ الرَّاهِنَ لَا يَمْتَنِعُ مِنْهُ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِالْبَيْعِ فَالْبَيْعُ لَمَّا نَقَلَ مِلْكَ الْمَبِيعِ إِلَى الْمُشْتَرِي نَقَلَ نَمَاءَ الْمَبِيعِ إِلَى الْمُشْتَرِي، وَلَمَّا لَمْ يَنْقُلْ عَقْدُ الرَّهْنِ الْمِلْكَ إِلَى الْمُرْتَهِنِ لَمْ يَنْقُلْ نَمَاءَ الرَّهْنِ إِلَى الْمُرْتَهِنِ.

Adapun jawaban atas dalil Ahmad dari sabda Nabi ﷺ: “Barang gadai itu dapat diperah susunya dan dapat ditunggangi,” maksudnya adalah untuk orang yang menggadaikan (rahin), dan beliau bermaksud menjelaskan hukum bahwa rahin tidak dihalangi dari hal itu. Adapun jawaban atas dalilnya dengan perbandingan jual beli, maka jual beli itu memindahkan kepemilikan barang yang dijual kepada pembeli, sehingga hasilnya juga berpindah kepada pembeli. Sedangkan akad rahn tidak memindahkan kepemilikan kepada murtahin, maka hasil barang gadai pun tidak berpindah kepada murtahin.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا اسْتَدَلَّ بِهِ أَبُو ثَوْرٍ مِنَ الْخَبَرِ فَالْمُرَادُ بِهِ الرَّاهِنُ بِدَلِيلَيْنِ.

Adapun jawaban atas dalil Abu Tsaur dari hadis tersebut, yang dimaksud adalah rahin, berdasarkan dua dalil.

أَحَدُهُمَا: قَوْلُهُ: الرَّهْنُ مِنْ رَاهِنِهِ الَذِي رَهَنَهُ لَهُ غُنْمُهُ، وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ.

Pertama: Sabda beliau: “Barang gadai itu dari orang yang menggadaikannya; baginya keuntungannya dan atasnya kerugiannya.”

وَالثَّانِي: أَنَّهُ جَعَلَ ذَلِكَ مِلْكًا لِمَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ النَّفَقَةُ وَلَمْ يَجْعَلْهُ لِمَنْ تَطَوَّعَ بِالنَّفَقَةِ. وَالنَّفَقَةُ واجبة على الرهن دُونَ الْمُرْتَهِنِ.

Kedua: Bahwa beliau menjadikan hal itu sebagai milik orang yang wajib menanggung biaya pemeliharaan, dan tidak menjadikannya milik orang yang secara sukarela menanggung biaya. Dan biaya pemeliharaan itu wajib atas rahin, bukan atas murtahin.

فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بِدَلِيلِ هَذَا الْحَدِيثِ، النَّمَاءُ وَاجِبًا لِلرَّاهِنِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ، وَهُوَ جَوَابٌ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ.

Maka wajib, berdasarkan dalil hadis ini, bahwa hasil (barang gadai) menjadi hak rahin, bukan murtahin, dan ini merupakan jawaban atas dalilnya.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ النَّمَاءَ مِلْكٌ لِلرَّاهِنِ فَالْكَلَامُ فِي خُرُوجِهِ مِنَ الرَّهْنِ وَخِلَافِ مَالِكٍ وأبي حنيفة فِيهِ يَأْتِي مِنْ بعد.

Jika telah tetap bahwa hasil pertumbuhan (namā’) adalah milik rāhin (orang yang menggadaikan), maka pembahasan selanjutnya adalah tentang keluarnya hasil tersebut dari barang gadai dan perbedaan pendapat antara Mālik dan Abū Ḥanīfah dalam hal ini akan dijelaskan setelah ini.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَكَذَلِكَ سُكْنَى الدُّورِ وَزُرُوعُ الْأَرَضِينَ وَغَيْرُهَا “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Demikian pula halnya dengan menempati rumah-rumah dan hasil tanaman di tanah-tanah serta selainnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي أَنَّ نماء الرهن ومنافعه ملك للراهن دون المرتهن، فَقَدَّمَ الشَّافِعِيُّ سُكْنَى الدُّورِ وَزُرُوعَ الْأَرَضِينَ فَإِنْ كان الرهن دارا فللراهن حالات، حَالٌ يُرِيدُ سُكْنَاهَا وَحَالٌ يُرِيدُ إِجَارَتَهَا، فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَسْكُنَهَا فَمَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ فِي كُتُبِهِ الْجَدِيدَةِ أَنَّ لَهُ ذَلِكَ وَلَا يُمْنَعُ مِنْ سُكْنَاهَا مُدَّةَ الرَّهْنِ، فَإِذَا حَلَّ الْحَقُّ بِيعَتْ فِيهِ.

Al-Māwardī berkata: Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hasil pertumbuhan dan manfaat barang gadai adalah milik rāhin, bukan milik murtahin (penerima gadai). Imam Syafi‘i mendahulukan pembahasan tentang menempati rumah dan hasil tanaman di tanah. Jika barang gadai itu berupa rumah, maka rāhin memiliki beberapa keadaan: keadaan di mana ia ingin menempatinya, dan keadaan di mana ia ingin menyewakannya. Jika ia ingin menempatinya, maka menurut nash Imam Syafi‘i dalam kitab-kitab barunya, ia boleh melakukannya dan tidak dilarang menempatinya selama masa gadai. Jika hak telah jatuh tempo, maka rumah itu dijual untuk melunasi hak tersebut.

وَقَالَ فِي الرَّهْنِ الصَّغِيرِ وَالرَّهْنِ الْقَدِيمِ: يُمْنَعُ مِنْ سُكْنَاهَا إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ الْمُرْتَهِنُ، وَقِيلَ: لَكَ أَنْ تُؤْجِرَهَا غَيْرَكَ وَلَا تَسْكُنَهَا بِنَفْسِكَ.

Dan dalam kitab al-Rahn al-Ṣaghīr dan al-Rahn al-Qadīm disebutkan: Ia dilarang menempatinya kecuali dengan izin murtahin. Ada juga pendapat: Engkau boleh menyewakannya kepada orang lain, tetapi tidak boleh menempatinya sendiri.

فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا، فَكَانَ بَعْضُهُمْ يُخَرِّجُهَا عَلَى قولين.

Maka para ulama kami berbeda pendapat, sebagian mereka mengeluarkan masalah ini menjadi dua pendapat.

وقال آخرون وهذا الصَّحِيحُ: إِنَّهَا لَيْسَتْ عَلَى قَوْلَيْنِ وَإِنَّمَا هِيَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ، فَالْمَوْضِعُ الَّذِي أَجَازَ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَسْكُنَهَا بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ وَغَيْرِ إِذْنِهِ إِذَا كَانَ ثِقَةً يُؤْمَنُ جُحُودُهُ وَالْمَوْضِعُ الَّذِي مَنَعَ الرَّاهِنَ أَنْ يَسْكُنَهَا إِلَّا بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ إِذَا كَانَ مُتَّهَمًا لَا يُؤْمَنُ جُحُودُهُ. فَإِنْ أَرَادَ الرَّاهِنُ إِجَارَتَهَا، فَلَهُ أَنْ يُؤَاجِرَهَا مُدَّةَ الرَّهْنِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَيْهَا، مِثَالُهُ أَنْ تَكُونَ مُدَّةُ الرَّهْنِ وَأَجَلُ الْحَقِّ سَنَةً، فَلَهُ أَنْ يُؤَاجِرَهَا سَنَةً فَمَا دُونَ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُؤَاجِرَهَا أَكْثَرَ مِنْ سَنَةٍ فَإِنْ آجَرَهَا أَكْثَرَ مِنْ سَنَةٍ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ الرَّاهِنُ قَدْ آجَرَهَا بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ، صَحَّتِ الْإِجَارَةُ وَلَزِمَتْ، وَإِنْ أَجَّرَهَا بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَفِي الْإِجَارَةِ قَوْلَانِ:

Sebagian lain berkata, dan ini yang benar: masalah ini bukan dua pendapat, melainkan tergantung pada dua keadaan. Keadaan di mana rāhin diizinkan menempatinya dengan atau tanpa izin murtahin jika ia adalah orang yang terpercaya dan tidak dikhawatirkan mengingkari hak, dan keadaan di mana rāhin dilarang menempatinya kecuali dengan izin murtahin jika ia adalah orang yang dicurigai dan dikhawatirkan mengingkari hak. Jika rāhin ingin menyewakannya, maka ia boleh menyewakannya selama masa gadai tanpa melebihi masa tersebut. Contohnya, jika masa gadai dan jatuh tempo hak adalah satu tahun, maka ia boleh menyewakannya selama satu tahun atau kurang, dan tidak boleh lebih dari satu tahun. Jika ia menyewakannya lebih dari satu tahun, maka dilihat: jika rāhin menyewakannya dengan izin murtahin, maka akad sewanya sah dan mengikat. Jika ia menyewakannya tanpa izin murtahin, maka dalam akad sewa terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: جَائِزَةٌ.

Pertama: akad sewa tersebut sah.

وَالثَّانِي: غَيْرُ جَائِزَةٍ، بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي بَيْعِ الدَّارِ الْمُؤَاجَرَةِ، فَإِنْ قِيلَ إِنَّ بَيْعَ الدَّارِ الْمُؤَاجَرَةِ جَائِزٌ، جَازَتِ الْمُؤَاجَرَةُ وَإِنْ قِيلَ إِنَّ بَيْعَ الدَّارِ الْمُؤَاجَرَةِ لَا يَجُوزُ لَمْ تَجُزِ الْإِجَارَةُ.

Kedua: akad sewa tersebut tidak sah, berdasarkan perbedaan dua pendapat dalam masalah jual beli rumah yang sedang disewakan. Jika dikatakan bahwa jual beli rumah yang sedang disewakan itu sah, maka akad sewanya juga sah. Jika dikatakan jual beli rumah yang sedang disewakan tidak sah, maka akad sewanya juga tidak sah.

فَإِذَا قُلْنَا إِنَّ الْإِجَارَةَ غَيْرُ جَائِزَةٍ، فَهِيَ بَاطِلَةٌ فِيمَا زَادَ عَلَى السَّنَةِ، وَهَلْ تَبْطُلُ فِي السَّنَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ، لِأَنَّهُ عَقْدٌ قَدْ جَمَعَ جَائِزًا وَغَيْرَ جَائِزٍ. وَإِذَا قُلْنَا الْإِجَارَةُ جَائِزَةٌ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُوكِسُ فِي ثَمَنِ الرَّهْنِ فَهِيَ لَازِمَةٌ فِي جَمِيعِ مُدَّتِهَا، وَلَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ الِاعْتِرَاضُ، وَإِنْ كَانَتْ تُوكِسُ فِي ثَمَنِ الرَّهْنِ، بَطَلَتِ الْإِجَارَةُ فِيمَا زَادَ عَلَى السَّنَةِ، وَهَلْ تَبْطُلُ فِي السَّنَةِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ، لِأَنَّ مَا فَعَلَهُ الرَّاهِنُ مِمَّا يُوكِسُ فِي ثَمَنِ الرَّهْنِ مَرْدُودٌ كَتَزْوِيجِ الْأَمَةِ، وَسَوَاءٌ رَضِيَ بِذَلِكَ الْمُرْتَهِنُ فِيمَا بَعْدُ أَوْ لَمْ يَرْضَ.

Jika kita katakan bahwa akad sewa tidak sah, maka akad tersebut batal untuk masa lebih dari satu tahun. Adapun apakah batal juga untuk masa satu tahun atau tidak, terdapat dua pendapat berdasarkan perincian akad yang menggabungkan antara yang sah dan yang tidak sah, karena ini adalah akad yang mencakup keduanya. Jika kita katakan akad sewa itu sah, maka jika tidak menyebabkan penurunan nilai barang gadai, akad tersebut mengikat untuk seluruh masa sewanya dan murtahin tidak berhak mengajukan keberatan. Namun jika akad sewa tersebut menyebabkan penurunan nilai barang gadai, maka akad sewa batal untuk masa lebih dari satu tahun, dan apakah batal juga untuk masa satu tahun atau tidak, terdapat dua pendapat, karena apa yang dilakukan rāhin yang menyebabkan penurunan nilai barang gadai adalah tertolak, seperti menikahkan budak perempuan. Sama saja apakah murtahin kemudian ridha atau tidak.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا كَانَ الرَّهْنُ أرضا. فللراهن حالات، حَالٌ يُرِيدُ إِجَارَتَهَا وَحَالٌ يُرِيدُ زِرَاعَتَهَا، فَإِنْ أَرَادَ إِجَارَتَهَا كَانَ عَلَى مَا مَضَى فِي إِجَارَةِ الدَّارِ، وَإِنْ أَرَادَ زِرَاعَتَهَا فَلَهُ ذَلِكَ قَوْلًا وَاحِدًا بِخِلَافِ سُكْنَى الدَّارِ، فَإِنَّ لِلسَّاكِنِ يَدًا عَلَى الدَّارِ فَجَازَ أَنْ يُمْنَعَ مِنْهُ الرَّاهِنُ إِلَّا بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ، وَلَيْسَ لِلزَّارِعِ يَدٌ عَلَى الْأَرْضِ، وَإِنَّمَا يَدُهُ عَلَى الزَّرْعِ، فَلَمْ يُمْنَعْ مِنْهَا الرَّاهِنُ.

Jika barang gadai itu berupa tanah, maka rāhin memiliki beberapa keadaan: keadaan di mana ia ingin menyewakannya dan keadaan di mana ia ingin menanaminya. Jika ia ingin menyewakannya, maka hukumnya sama seperti yang telah dijelaskan dalam penyewaan rumah. Jika ia ingin menanaminya, maka ia boleh melakukannya menurut satu pendapat, berbeda dengan menempati rumah, karena orang yang menempati rumah memiliki kekuasaan atas rumah sehingga rāhin boleh dicegah menempatinya kecuali dengan izin murtahin, sedangkan orang yang menanam tidak memiliki kekuasaan atas tanah, melainkan hanya atas tanaman, sehingga rāhin tidak dilarang menanaminya.

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَهُ أَنْ يَزْرَعَهَا مَا يُحْصَدُ قَبْلَ مَحَلِّ الْحَقِّ أَوْ مَعَهُ، فَإِنْ زرعها ما يحصد يعد محل الحق ففيه قولان مبينان عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي بَيْعِ الْأَرْضِ الْمَزْرُوعَةِ دُونَ الزَّرْعِ.

Jika demikian keadaannya, maka ia boleh menanaminya dengan tanaman yang dapat dipanen sebelum jatuh tempo hak atau bersamaan dengannya. Namun, jika ia menanaminya dengan tanaman yang dipanen setelah jatuh tempo hak, maka ada dua pendapat yang dijelaskan berdasarkan perbedaan dua pendapat dalam jual beli tanah yang ditanami tanpa termasuk tanamannya.

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ بَيْعُهَا مَزْرُوعَةً دُونَ الزَّرْعِ، فَعَلَى هَذَا يُمْنَعُ مِنْ زَرْعِهَا فَإِنْ زَرَعَ لَمْ يُقْلَعْ زَرْعُهُ قَبْلَ مَحَلِّ الْحَقِّ فَإِذَا حَلَّ الْحَقُّ أَخَذَ بِقَلْعِ الزَّرْعِ إِلَّا أَنْ يَخْتَارَ الْمُرْتَهِنُ تَأْخِيرَ حَقِّهِ إِلَى حَصَادِ الزَّرْعِ.

Salah satunya: Tidak boleh menjual tanah yang sedang ditanami tanpa termasuk tanamannya. Berdasarkan pendapat ini, ia dilarang menanaminya. Jika ia tetap menanam dan tanamannya belum dicabut sebelum jatuh tempo hak, maka ketika hak itu jatuh tempo, ia diwajibkan mencabut tanamannya, kecuali jika pihak penerima gadai memilih untuk menunda haknya hingga panen tanaman tersebut.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ بَيْعَ الْأَرْضِ الْمَزْرُوعَةِ جَائِزٌ فَعَلَى هَذَا لَا يُمْنَعُ مِنْ زَرْعِهَا، فَإِذَا زَرَعَهَا وَحَلَّ الْحَقُّ وَالزَّرْعُ قَائِمٌ فِيهَا، فَإِنْ قَضَاهُ الْحَقَّ تُرِكَ زَرْعُهُ فِي الْأَرْضِ، وَإِنْ لَمْ يَقْضِهِ حَقَّهُ بِيعَتِ الْأَرْضُ، وَإِنْ كَانَ فِي بَيْعِهَا مَعَ بَقَاءِ الزَّرْعِ فِيهَا، وَفَاءٌ لِلْحَقِّ، لَمْ يُؤْخَذْ بِقَلْعِ الزَّرْعِ وَبِيعَتِ الْأَرْضُ وَالزَّرْعُ فِيهَا قَائِمٌ، فَإِنْ لَمْ تَبْلُغْ وَفَاءَ حَقِّهِ إِلَّا بِأَنْ يَقْلَعَ الزَّرْعَ، أَخَذَ بِقَلْعِهِ إِلَّا أَنْ يَجِدَ مَنْ يَشْتَرِيهَا مِنْهُ بِحَقِّهِ عَلَى أَنَّهُ يَقْلَعُ الزَّرْعَ، ثُمَّ يُقِرُّ الْمُشْتَرِي الزَّرْعَ فِي أَرْضِهِ إِنْ شَاءَ مُتَطَوِّعًا.

Pendapat kedua: Jual beli tanah yang sedang ditanami adalah boleh. Berdasarkan pendapat ini, ia tidak dilarang menanaminya. Jika ia menanaminya dan hak telah jatuh tempo sementara tanaman masih ada di atas tanah, maka jika ia melunasi hak tersebut, tanamannya dibiarkan tetap di tanah. Namun jika ia tidak melunasi haknya, tanah itu dijual, dan jika penjualan tanah beserta tetapnya tanaman di atasnya dapat menutupi hak tersebut, maka tidak diwajibkan mencabut tanamannya dan tanah dijual beserta tanaman yang masih berdiri di atasnya. Jika tidak cukup untuk menutupi haknya kecuali dengan mencabut tanaman, maka ia diwajibkan mencabutnya, kecuali jika ia menemukan seseorang yang mau membeli tanah itu darinya seharga haknya dengan syarat ia mencabut tanamannya, lalu pembeli tersebut membiarkan tanaman itu tetap di tanahnya jika ia menghendaki secara sukarela.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِنْ أَرَادَ أَنْ يَغْرِسَ الْأَرْضَ أَوْ يَبْنِيَ فِيهَا، فَإِنَّهُ يُمْنَعُ مِنْ ذَلِكَ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّ بَيْعَ بَيَاضِ الْأَرْضِ دُونَ غِرَاسِهَا وَبِنَائِهَا غَيْرُ جَائِزٍ، لِأَنَّ الْغَرْسَ وَالْبِنَاءَ يُرَادُ بِهِ الِاسْتِدَامَةُ وَالْبَقَاءُ وَهُوَ يُوكِسُ قِيمَةَ الْأَرْضِ عَنْ حَالِهَا بَيْضَاءَ، فَإِنْ بَنَى أَوْ غَرَسَ لَمْ يُؤْخَذْ بِقَلْعِ غَرْسِهِ وَبِنَائِهِ قَبْلَ مَحَلِّ الْحَقِّ كَمَا قُلْنَا فِي الزَّرْعِ، فَإِنْ حَلَّ الْحَقُّ وَكَانَ فِي بَيَاضِ الْأَرْضِ وَفَاءٌ بِالْحَقِّ بِيعَ الْبَيَاضُ مُفْرَدًا، وَأُقِرَّ الْغَرْسُ وَالْبِنَاءُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي الْبَيَاضِ وَفَاءٌ بِالْحَقِّ، أُخِذَ بِقَلْعِ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ وَبِيعَتِ الْأَرْضُ بَيْضَاءَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مُفْلِسًا فَتُبَاعُ الْأَرْضُ مَعَ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ، وَيُدْفَعُ إِلَى الْمُرْتَهِنِ مِنَ الثَّمَنِ مَا قَابَلَ قِيمَةَ الْأَرْضِ بَيْضَاءَ، وَيُدْفَعُ إِلَى الْغُرَمَاءِ مَا قَابَلَ قِيمَةَ الزَّرْعِ وَالْبِنَاءِ.

Adapun jika ia ingin menanam pohon atau membangun di atas tanah tersebut, maka ia dilarang melakukan hal itu menurut satu pendapat, karena menjual tanah kosong tanpa pohon dan bangunan tidak diperbolehkan, sebab penanaman pohon dan pembangunan dimaksudkan untuk keberlanjutan dan kelestarian, sedangkan hal itu akan mengurangi nilai tanah dari keadaan aslinya yang kosong. Jika ia membangun atau menanam pohon, maka tidak diwajibkan mencabut pohon dan bangunannya sebelum jatuh tempo hak sebagaimana telah dijelaskan pada kasus tanaman. Jika hak telah jatuh tempo dan pada tanah kosong tersebut cukup untuk menutupi hak, maka tanah kosong itu dijual secara terpisah dan pohon serta bangunan tetap dibiarkan. Namun jika pada tanah kosong tidak cukup untuk menutupi hak, maka ia diwajibkan mencabut pohon dan bangunan, dan tanah dijual dalam keadaan kosong, kecuali jika ia dalam keadaan bangkrut, maka tanah dijual beserta pohon dan bangunannya, dan kepada penerima gadai diberikan dari harga jual sebesar nilai tanah kosong, sedangkan kepada para kreditur diberikan sebesar nilai tanaman dan bangunan.

(فصل)

(Fasal)

فَإِنْ أَرَادَ الرَّاهِنُ أَنْ يُحْدِثَ فِيهَا عَيْنًا أَوْ يَحْفِرَ فِيهَا بِئْرًا.

Jika pihak yang menggadaikan ingin membuat mata air atau menggali sumur di tanah tersebut.

فَإِنْ كَانَتِ الْعَيْنُ وَالْبِئْرُ يُزِيدَانِ فِيهَا وَلَا يُنْقِصَانِ ثَمَنَهَا، لَمْ يُمْنَعْ مِنْ ذَلِكَ.

Jika mata air dan sumur itu menambah nilai tanah dan tidak menguranginya, maka ia tidak dilarang melakukannya.

وَإِنْ كَانَا يُنْقِصَانِهَا قَبْلَ أَنْ يَكُونَا فِيهَا مُنِعَ مِنْ ذَلِكَ.

Namun jika keduanya mengurangi nilai tanah sebelum keberadaannya, maka ia dilarang melakukannya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فللراهن أن يستخدم في الرهن عبده وَيَرْكَبَ دَوَابَّهُ وَيُؤَاجِرَهَا وَيَحْلِبَ دَرَّهَا وَيَجِزَّ صُوفَهَا وَتَأْوِيَ بِاللَّيْلِ إِلَى مُرْتَهِنِهَا أَوْ إِلَى يَدَيِ الْمَوْضُوعَةِ عَلَى يَدَيْهِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Maka pihak yang menggadaikan boleh memanfaatkan barang gadai berupa budaknya, menunggangi hewan tunggangannya, menyewakannya, memerah susunya, mencukur bulunya, dan hewan itu bermalam di tempat penerima gadai atau di tangan pihak yang ditunjuk untuk memegangnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَقَدْ مَنَعَ أبو حنيفة مِنَ اسْتِخْدَامِ الْعَبْدِ وَرُكُوبِ الدَّابَّةِ وَإِجَارَتِهَا بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي اسْتِدَامَةِ قَبْضِ الرَّهْنِ وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ مَعَهُ فِي هَذَا الْأَصْلِ. فَإِنْ كَانَ الرَّهْنُ عَبْدًا، فَلَهُ أَنْ يُؤَاجِرَهُ كَالدَّارِ، فَأَمَّا اسْتِخْدَامُهُ فَإِنْ كَانَ ثِقَةً جَازَ لَهُ اسْتِخْدَامُهُ كَسُكْنَى الدَّارِ، وَقَدْ خَرَجَ قَوْلٌ آخَرُ أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ اسْتِخْدَامُهُ بِنَفْسِهِ، كَمَا خَرَجَ فِي سُكْنَى الدَّارِ قَوْلٌ آخَرُ إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُكْنَاهَا بِنَفْسِهِ فَإِنْ كَانَ الرَّاهِنُ غَيْرَ ثِقَةٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ اسْتِخْدَامُهُ بِنَفْسِهِ قَوْلًا وَاحِدًا بِخِلَافِ سُكْنَى الدَّارِ لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى إِخْفَاءِ الْعَبْدِ وَلَا يَقْدِرُ عَلَى إِخْفَاءِ الدَّارِ عَنْ مُرْتَهِنِهَا، فَإِذَا اسْتَخْدَمَهُ أَوْ آجَرَهُ لِلْخِدْمَةِ فَهُوَ كَالدَّارِ إِذَا سَكَنَهَا أَوْ آجَرَهَا لِلسُّكْنَى فِي جَمِيعِ الْأَحْكَامِ إِلَّا فِي شَرْطٍ وَاحِدٍ، وَهُوَ أَنَّ الدَّارَ لَهُ أَنْ يَسْكُنَهَا لَيْلًا وَنَهَارًا وَالْعَبْدَ لَهُ أَنْ يَسْتَخْدِمَهُ نَهَارًا، وَيَرْجِعُ فِي اللَّيْلِ إِلَى يَدِ مُرْتَهِنِهِ أَوِ الْمَوْضُوعِ عَلَى يَدِهِ، لِأَنَّ الْعُرْفَ جَارٍ بِاسْتِخْدَامِ الْعَبْدِ نَهَارًا دُونَ اللَّيْلِ، وَسُكْنَى الدَّارِ فِي النَّهَارِ وَاللَّيْلِ، وَإِنْ كَانَ الرَّهْنُ دَابَّةً فَهُوَ فِي حُكْمِ الْعَبْدِ سَوَاءٌ، لَهُ أَنْ يُؤَاجِرَهَا، وَإِنْ كَانَ ثِقَةً فَلَهُ أَنْ يَرْكَبَهَا، ثُمَّ تَعُودُ فِي اللَّيْلِ إِلَى يَدِ مُرْتَهِنِهَا.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, dan Abu Hanifah melarang penggunaan budak, menunggangi hewan tunggangan, dan menyewakannya, berdasarkan pendapat dasarnya dalam keharusan terus-menerusnya penguasaan barang gadai. Telah dijelaskan sebelumnya pembahasan dengannya dalam masalah ini. Jika barang gadai itu adalah seorang budak, maka boleh baginya untuk menyewakannya seperti rumah. Adapun menggunakan budak tersebut, jika ia orang yang terpercaya, maka boleh baginya menggunakannya seperti menempati rumah. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ia tidak boleh menggunakannya sendiri, sebagaimana ada pula pendapat lain dalam menempati rumah bahwa ia tidak boleh menempatinya sendiri. Jika pihak yang menggadaikan bukan orang yang terpercaya, maka tidak boleh baginya menggunakannya sendiri menurut satu pendapat, berbeda dengan menempati rumah, karena ia bisa menyembunyikan budak, sedangkan rumah tidak bisa disembunyikan dari pemegang gadai. Jika ia menggunakan atau menyewakannya untuk pelayanan, maka hukumnya seperti rumah yang ditempati atau disewakan untuk tempat tinggal dalam seluruh hukum, kecuali dalam satu syarat, yaitu bahwa rumah boleh ditempati siang dan malam, sedangkan budak hanya boleh digunakan pada siang hari, dan pada malam hari kembali ke tangan pemegang gadai atau pihak yang dititipi olehnya. Hal ini karena kebiasaan yang berlaku adalah menggunakan budak pada siang hari saja, tidak pada malam hari, sedangkan rumah ditempati siang dan malam. Jika barang gadai itu adalah hewan tunggangan, maka hukumnya sama dengan budak, boleh baginya untuk menyewakannya, dan jika ia orang yang terpercaya, maka boleh baginya menungganginya, kemudian pada malam hari kembali ke tangan pemegang gadai.

وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُسَافِرَ بِعَبْدِهِ وَلَا بِدَابَّتِهِ وَلَا يُؤَاجِرَهُمَا مِمَّنْ يُسَافِرُ بِهِمَا لِمَا فِي السَّفَرِ مِنَ التَّغْرِيرِ بِهِمَا وَإِحَالَةِ يَدِ الْمُرْتَهِنِ عَنْهُمَا.

Tidak boleh bepergian dengan budaknya atau dengan hewan tunggangannya, dan tidak boleh menyewakan keduanya kepada orang yang akan bepergian dengan keduanya, karena dalam perjalanan terdapat unsur membahayakan keduanya dan memindahkan penguasaan pemegang gadai dari keduanya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِنْ كَانَ الرَّهْنُ ماشية فعلى ضربين:

Jika barang gadai itu adalah ternak, maka terbagi menjadi dua jenis:

أحدهما: أن تكون عامل كَالْإِبِلِ وَالْبَقَرِ الْعَامِلَةِ فِي الْحُمُولَةِ وَالنَّاضِحِ. فَحُكْمُهَا حُكْمُ الدَّوَابِّ، لِأَنَّهَا مَفْقُودَةُ الدَّرِّ وَالنَّسْلِ مُرْصَدَةٌ لِلرُّكُوبِ وَالْعَمَلِ.

Pertama: Ternak yang digunakan untuk bekerja, seperti unta dan sapi yang digunakan untuk mengangkut barang dan menarik air. Hukumnya sama dengan hewan tunggangan, karena tidak menghasilkan susu dan keturunan, serta dikhususkan untuk ditunggangi dan bekerja.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ غَيْرَ عَوَامِلَ قَدْ أُرْصِدَتْ لِلدَّرِّ وَالنَّسْلِ سَائِمَةً أَوْ مَعْلُوفَةً، فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: –

Jenis kedua: Ternak yang tidak digunakan untuk bekerja, tetapi dikhususkan untuk diambil susu dan keturunannya, baik yang digembalakan maupun yang diberi makan. Keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ تَكُونَ مَفْقُودَةَ الدَّرِّ وَالنَّسْلِ عِنْدَ عَقْدِ الرَّهْنِ، أَوْ مَوْجُودَةَ الدَّرِّ وَالنَّسْلِ فَإِنْ كَانَتْ مَفْقُودَةَ الدَّرِّ وَالنَّسْلِ فَكُلَّمَا حَدَثَ مِنْ دَرِّهَا وَنَسْلِهَا فَهُوَ لِلرَّاهِنِ.

Pertama, tidak menghasilkan susu dan keturunan pada saat akad gadai; atau kedua, sedang menghasilkan susu dan keturunan. Jika tidak menghasilkan susu dan keturunan, maka setiap kali ternak itu menghasilkan susu atau keturunan setelahnya, maka itu menjadi milik pihak yang menggadaikan.

فَعَلَى هَذَا فَلِلرَّاهِنِ أَنْ يَحْلِبَهَا وَيَجِزَّ صُوفَهَا، أَمَّا الْحِلَابُ فَفِي وَقْتِ الْعَادَةِ وَلَا يَسْتَقْصِي فِيهِ اسْتِقْصَاءً يَضُرُّ بِالْمَاشِيَةِ مَعَ مَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ مِنَ النَّهْيِ عَنْهُ، وَأَمَّا جَزُّ الصُّوفِ فَفِي الزَّمَانِ الَّذِي لَا يَضُرُّ أَخْذُهُ بِالْمَاشِيَةِ، يَأْخُذُهُ جَزًّا وَلَا يَأْخُذُهُ حَلْقًا، وَيُبْقِي مِنْهُ بَعْدَ الْجَزِّ مَا يَكُونُ حَافِظًا لِلْمَاشِيَةِ.

Berdasarkan hal ini, pihak yang menggadaikan boleh memerah susunya dan mencukur bulunya. Adapun memerah susu dilakukan pada waktu yang biasa dan tidak berlebihan hingga membahayakan ternak, sebagaimana larangan dalam hadis. Adapun mencukur bulu dilakukan pada waktu yang tidak membahayakan ternak, diambil dengan cara dicukur, tidak dicabut habis, dan menyisakan sebagian bulu setelah dicukur yang dapat melindungi ternak.

وَأَمَّا إِنْ كَانَتْ مَوْجُودَةَ الدَّرِّ وَالنَّسْلِ وَقْتَ عَقْدِ الرَّهْنِ، وَهُوَ أَنْ يَكُونَ مَعَهَا حَمْلٌ وَفِي ضَرْعِهَا لَبَنٌ وَعَلَى ظُهُورِهَا صُوفٌ، فَفِي الْحَمْلِ قَوْلَانِ:

Adapun jika ternak itu sedang menghasilkan susu dan keturunan pada saat akad gadai, yaitu sedang bunting, di kantong susunya ada susu, dan di punggungnya ada bulu, maka dalam masalah kehamilan ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ دَاخِلًا فِي الرَّهْنِ.

Pertama: Kehamilan tersebut termasuk dalam barang gadai.

وَالثَّانِي: لَا يَكُونُ دَاخِلًا فِيهِ، بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْحَمْلِ هَلْ يَأْخُذُ قِسْطًا مِنَ الثَّمَنِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Kedua: Tidak termasuk dalam barang gadai, berdasarkan perbedaan pendapat tentang apakah kehamilan itu mendapat bagian dari harga atau tidak; ada dua pendapat dalam hal ini.

فَأَمَّا اللَّبَنُ فِي الضَّرْعِ وَالصُّوفُ عَلَى الظَّهْرِ فَمَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَكُونُ دَاخِلًا فِي الرَّهْنِ، وَلِلرَّاهِنِ أَنْ يَأْخُذَهَا قَالَ الرَّبِيعُ: وَفِيهِ قَوْلٌ آخَرُ إِنَّهُ يَكُونُ رَهْنًا، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا، فَكَانَ أَكْثَرُهُمْ يُخَرِّجُونَ اللَّبَنَ وَالصُّوفَ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالْحَمْلِ، وَكَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يَقُولُ: يَدْخُلُ الصُّوفُ فِي الرَّهْنِ وَلَا يَدْخُلُ اللَّبَنُ، وَيُفَرِّقُ بَيْنَهُمَا بِأَنَّ اللَّبَنَ مُنْفَصِلٌ لَا يُسْتَبْقَى وَالصُّوفُ مُتَّصِلٌ يُسْتَبْقَى.

Adapun susu yang masih di dalam ambing dan bulu (wol) yang masih menempel di punggung, menurut pendapat yang dinyatakan oleh Imam Syafi‘i, keduanya tidak termasuk dalam barang gadai, dan pihak yang menggadaikan berhak mengambilnya. Ar-Rabi‘ berkata: Ada pendapat lain bahwa keduanya termasuk dalam barang gadai. Para ulama mazhab kami berbeda pendapat dalam hal ini. Mayoritas dari mereka mengeluarkan hukum susu dan bulu pada dua pendapat, seperti halnya janin (yang dikandung). Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berpendapat: Bulu termasuk dalam barang gadai, sedangkan susu tidak. Ia membedakan keduanya dengan alasan bahwa susu adalah sesuatu yang terpisah dan tidak dapat dipertahankan, sedangkan bulu masih menempel dan dapat dipertahankan.

فَأَمَّا مَا حَدَثَ مِنَ اللَّبَنِ وَالصُّوفِ بَعْدَ عَقْدِ الرَّهْنِ وَقَبْلَ الْقَبْضِ فَهُوَ فِي حُكْمِ الْحَادِثِ بَعْدَ الْقَبْضِ لَا يَكُونُ دَاخِلًا فِي الرَّهْنِ وَلَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا فيه والله أعلم.

Adapun susu dan bulu yang muncul setelah akad gadai namun sebelum penyerahan barang, maka hukumnya sama dengan sesuatu yang muncul setelah penyerahan, yaitu tidak termasuk dalam barang gadai. Dalam hal ini, para ulama mazhab kami tidak berbeda pendapat. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَكُلُّ وَلَدِ أَمَةٍ وَنِتَاجِ مَاشِيَةٍ وَثَمَرِ شَجَرَةٍ وَنَخْلَةٍ فَذَلِكَ كُلُّهُ خَارِجٌ مِنَ الرَّهْنِ يُسَلَّمُ لِلرَّاهِنِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Setiap anak dari budak perempuan, hasil ternak, buah pohon, dan kurma, semuanya itu tidak termasuk dalam barang gadai dan diserahkan kepada pihak yang menggadaikan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ نَمَاءَ الرَّهْنِ مِلْكٌ لِلرَّاهِنِ فَأَمَّا دُخُولُهُ فِي الرَّهْنِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ.

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa pertumbuhan (tambahan) dari barang gadai adalah milik pihak yang menggadaikan. Adapun masuk atau tidaknya ke dalam barang gadai, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bentuk.

أَحَدُهَا: مَا يَدْخُلُ فِي الرَّهْنِ وَهُوَ النَّمَاءُ الْمُتَّصِلُ كَالطُّولِ وَالسِّمَنِ.

Pertama: Yang termasuk dalam barang gadai, yaitu pertumbuhan yang menyatu seperti bertambah tinggi dan gemuk.

وَالثَّانِي: مَا لَا يَدْخُلُ فِي الرَّهْنِ وَهُوَ كَسْبُ الْعَبِيدِ وَالْإِمَاءِ.

Kedua: Yang tidak termasuk dalam barang gadai, yaitu hasil kerja budak laki-laki dan budak perempuan.

وَالثَّالِثُ: مَا اخْتَلَفَ فِيهِ الْفُقَهَاءُ وَهُوَ مَا سِوَى الْكَسْبِ مِنَ النَّمَاءِ الْمُنْفَصِلِ كَالثَّمَرَةِ وَالنِّتَاجِ وَالدَّرِّ وَالصُّوفِ وَأَوْلَادِ الْإِمَاءِ، فَفِيهِ ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ.

Ketiga: Yang diperselisihkan oleh para fuqaha, yaitu selain hasil kerja dari pertumbuhan yang terpisah seperti buah, hasil ternak, susu, bulu, dan anak-anak budak perempuan. Dalam hal ini terdapat tiga mazhab.

أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، أَنَّ جَمِيعَ ذَلِكَ خَارِجٌ مِنَ الرَّهْنِ.

Pertama: Yaitu mazhab Syafi‘i, bahwa semuanya itu tidak termasuk dalam barang gadai.

وَالثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ أبي حنيفة، أَنَّ جَمِيعَ ذَلِكَ دَاخِلٌ فِي الرَّهْنِ.

Kedua: Yaitu mazhab Abu Hanifah, bahwa semuanya itu termasuk dalam barang gadai.

وَالثَّالِثُ: وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ، أَنَّ مَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ مِنْ جِنْسِ الرَّهْنِ كَالْأَوْلَادِ وَالنِّتَاجِ، فَإِنَّهُ يَكُونُ دَاخِلًا فِي الرَّهْنِ، وَمَا كَانَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ كَالدَّرِّ وَالثَّمَرَةِ فَإِنَّهُ يَكُونُ خَارِجًا مِنَ الرَّهْنِ.

Ketiga: Yaitu mazhab Malik, bahwa yang sejenis dengan barang gadai seperti anak dan hasil ternak, maka itu termasuk dalam barang gadai. Sedangkan yang tidak sejenis seperti susu dan buah, maka itu tidak termasuk dalam barang gadai.

وَاسْتَدَلُّوا بِأَنَّهُ نَمَاءٌ فِي الرَّهْنِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ دَاخِلًا فِي الرَّهْنِ كَالنَّمَاءِ الْمُتَّصِلِ وَلِأَنَّهُ مَحْبُوسٌ عَلَى اسْتِيفَاءِ الْحَقِّ فَوَجَبَ أَنْ يكون ماؤه محبوسا معه كالمبيع، إذا حبسه البائع على ثمنه كان نماؤه الْحَادِثُ مَحْبُوسًا مَعَهُ كَالْمَبِيعِ وَلِأَنَّهُ عَقْدٌ لَا يَصِحُّ إِلَّا عَلَى مِلْكٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ النَّمَاءُ الْحَادِثُ بَعْدَهُ تَابِعًا لَهُ كَالْمَبِيعِ، وَلِأَنَّهُ عَقْدٌ يَقْضِي إِلَى زَوَالِ الْمِلْكِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْوَلَدُ فِيهِ تَابِعًا لِأُمِّهِ كَالْكِتَابَةِ.

Mereka berdalil bahwa itu adalah pertumbuhan dari barang gadai, maka wajib hukumnya termasuk dalam barang gadai seperti pertumbuhan yang menyatu. Dan karena barang itu ditahan untuk pelunasan hak, maka wajib pula hasilnya ikut tertahan bersamanya seperti barang yang dijual, jika ditahan oleh penjual karena harga, maka pertumbuhan barunya juga ikut tertahan bersamanya seperti barang yang dijual. Dan karena akad gadai tidak sah kecuali atas kepemilikan, maka wajib pertumbuhan yang muncul setelahnya mengikuti barang gadai seperti barang yang dijual. Dan karena akad ini berkonsekuensi pada hilangnya kepemilikan, maka wajib anaknya mengikuti induknya seperti dalam akad kitabah.

وَلِأَنَّهُ حَقٌّ ثَابِتٌ فِي الرَّقَبَةِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْوَلَدُ فِيهِ تَابِعًا لِأُمِّهِ كَأُمِّ الْوَلَدِ وَالْمُدَبَّرَةِ، وَلِأَنَّ الْوَلَدَ لَمَّا كَانَ تَابِعًا لِأُمِّهِ فِي الزَّكَاةِ وَالْوَصِيَّةِ وَالْهَدْيِ وَالْأُضْحِيَّةِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَابِعًا لِأُمِّهِ فِي الرَّهْنِ.

Dan karena hak itu tetap pada pokok barang, maka wajib anaknya mengikuti induknya seperti ummul walad dan budak yang dimerdekakan setelah tuannya wafat (mudabbirah). Dan karena anak itu mengikuti induknya dalam zakat, wasiat, hadyu, dan kurban, maka wajib pula anak itu mengikuti induknya dalam barang gadai.

وَدَلِيلُنَا حَدِيثُ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الرَّهْنُ مَحْلُوبٌ وَمَرْكُوبٌ ” فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لِلْمُرْتَهِنِ ثَبَتَ أَنَّهُ لِلرَّاهِنِ، وَلِرِوَايَةِ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ مُرْسَلًا وَمُسْنَدًا عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال ” لا يغلق الرهن الرَّهْنُ مِنْ رَاهِنِهِ الَذِي رَهَنَهُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ ” وَغُنْمُهُ نَمَاؤُهُ.

Dalil kami adalah hadis dari Al-A‘mash dari Abu Shalih dari Abu Hurairah, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang gadai itu boleh diperah susunya dan boleh ditunggangi.” Maka ketika hal itu bukan menjadi hak penerima gadai, tetaplah bahwa itu adalah hak pihak yang menggadaikan. Juga berdasarkan riwayat Sa‘id bin Al-Musayyab secara mursal dan musnad dari Abu Hurairah, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang gadai tidak tertutup (tidak lepas dari pemiliknya), barang gadai tetap milik orang yang menggadaikannya, ia mendapatkan keuntungannya dan menanggung kerugiannya.” Dan yang dimaksud keuntungannya adalah pertumbuhannya.

فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ جعل النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – غُنْمَهُ مِلْكًا لِلرَّاهِنِ وَلَمْ يَجْعَلْهُ خَارِجًا مِنَ الرَّهْنِ، وَنَحْنُ نَقُولُ: إِنَّهُ مِلْكٌ لِلرَّاهِنِ وَإِنَّمَا نَخْتَلِفُ فِي خُرُوجِهِ مِنَ الرَّهْنِ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا أَنَّهُ جَعَلَ غُنْمَ الرَّهْنِ مِلْكًا لِلرَّاهِنِ عَلَى الْإِطْلَاقِ وَدُخُولُهُ فِي الرَّهْنِ يَمْنَعُ مِنْ إِطْلَاقِهِ.

Jika dikatakan: Nabi ﷺ telah menjadikan hasil keuntungan (ghunm) barang gadai sebagai milik orang yang menggadaikan (rāhin) dan tidak menjadikannya keluar dari barang gadai, sedangkan kami mengatakan: itu memang milik rāhin, hanya saja kami berbeda pendapat dalam hal keluarnya dari barang gadai. Maka jawabannya ada dua sisi: Pertama, Nabi ﷺ telah menjadikan hasil keuntungan barang gadai sebagai milik rāhin secara mutlak, dan masuknya ke dalam barang gadai menghalangi kemutlakan tersebut.

وَالثَّانِي: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَرَّقَ فِي الْحَدِيثِ بَيْنَ الرَّهْنِ وَبَيْنَ غُنْمِهِ وَمَعْلُومٌ أَنَّ الرَّهْنَ عَلَى مِلْكِ رَاهِنِهِ، فَعُلِمَ أَنَّ مَا أَضَافَهُ إِلَيْهِ مِنْ غُنْمِهِ مُخَالِفٌ لِمَا لَمْ يُضِفْهُ إِلَيْهِ مِنْ رَهْنِهِ وَلَا وَجْهَ يَخْتَلِفَانِ فِيهِ إِلَّا خُرُوجُهُ مِنَ الرَّهْنِ وَعَدَمُ دُخُولِهِ فِيهِ، وَلِأَنَّهُ نَمَاءٌ مُنْفَصِلٌ مِنَ الرَّهْنِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ خَارِجًا مِنَ الرَّهْنِ كَالْكَسْبِ وَلِأَنَّ النَّمَاءَ عَيْنٌ يَصِحُّ أَنْ تُفْرَدَ بِالْعَقْدِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَدْخُلَ فِي الرَّهْنِ إِلَّا بِعَقْدٍ كَالْأُمِّ، وَلِأَنَّ الرَّهْنَ وَثِيقَةٌ فِي الْحَقِّ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْرِيَ حُكْمُهُ لِلْوَلَدِ كَالشَّهَادَةِ وَالضَّمَانِ.

Kedua: Nabi ﷺ dalam hadis telah membedakan antara barang gadai dan hasil keuntungannya. Telah diketahui bahwa barang gadai tetap dalam kepemilikan orang yang menggadaikan, maka diketahui bahwa apa yang dinisbatkan kepadanya dari hasil keuntungannya berbeda dengan apa yang tidak dinisbatkan kepadanya dari barang gadai itu sendiri. Tidak ada sisi perbedaan di antara keduanya kecuali keluarnya dari barang gadai dan tidak masuknya ke dalamnya. Karena hasil keuntungan itu adalah pertumbuhan (namā’) yang terpisah dari barang gadai, maka wajib ia keluar dari barang gadai seperti halnya penghasilan (kasb). Karena pertumbuhan itu adalah benda (‘ayn) yang sah untuk dijadikan objek akad tersendiri, maka tidak boleh ia masuk ke dalam barang gadai kecuali dengan akad tersendiri seperti induknya (al-umm). Dan karena barang gadai adalah jaminan atas hak, maka wajib hukumnya tidak berlaku pada anaknya sebagaimana dalam kesaksian (syahādah) dan penjaminan (ḍamān).

وَلِأَنَّهَا عَيْنٌ مُحْتَبَسَةٌ لِاسْتِيفَاءِ الْحَقِّ مِنْهَا مِنْ غَيْرِ زَوَالِ مِلْكِ مَالِكِهَا، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَتْبَعَهَا وَلَدُهَا كَالْعَيْنِ الَّتِي آجَرَهَا، وَلِأَنَّ حَقَّ الْجِنَايَةِ آكَدُ ثُبُوتًا مِنْ حَقِّ الرَّهْنِ، لِأَنَّ حَقَّ الْجِنَايَةِ يَطْرَأُ عَلَى الرَّهْنِ وَحَقُّ الرَّهْنِ لَا يَطْرَأُ عَلَى الْجِنَايَةِ، ثُمَّ كَانَ حَقُّ الْجِنَايَةِ مَعَ تَأَكُّدِهِ لَا يَسْرِي عَلَى وَلَدِ الْجَانِيَةِ، فَحَقُّ الرَّهْنِ مَعَ ضَعْفِهِ أَوْلَى أَلَّا يَسْرِيَ إِلَى وَلَدِ الْمَرْهُونَةِ.

Karena barang gadai adalah benda yang ditahan untuk pelunasan hak darinya tanpa hilangnya kepemilikan pemiliknya, maka wajib anaknya tidak mengikutinya, seperti benda yang disewakan. Dan karena hak jināyah (denda pidana) lebih kuat penetapannya daripada hak gadai, karena hak jināyah dapat timbul pada barang gadai, sedangkan hak gadai tidak dapat timbul pada jināyah. Kemudian, hak jināyah meskipun lebih kuat, tidak berlaku pada anak dari pelaku jināyah, maka hak gadai yang lebih lemah lebih utama untuk tidak berlaku pada anak dari barang yang digadaikan.

وَتَحْرِيرُ عِلَّتِهِ، أَنَّهُ حَقٌّ تَعَلَّقَ بِالرَّقَبَةِ لِاسْتِيفَائِهِ مِنْهَا، فَوَجَبَ أَلَّا يَسْرِيَ إِلَى وَلَدِهَا كَالْجِنَايَةِ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى النَّمَاءِ الْمُتَّصِلِ فَمُنْتَقَضٌ أَوَّلًا بِالْكَسْبِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْمُتَّصِلِ أَنَّهُ تابع للأصل فِي مَوْضِعِ الْأُصُولِ، لِعَدَمِ تَمْيِيزِهِ عَنْهُ وَالْمُنْفَصِلُ غير تابع للأصول لتمييزه عنه ألا ترى أن المتصل تابع للأصل في الإجارة والجناية والبيع إذا رد بعيب، فَكَذَلِكَ يَتْبَعُ الْأَصْلَ فِي الرَّهْنِ، وَالْمُنْفَصِلُ لَا يَتْبَعُ الْأَصْلَ فِي الْإِجَارَةِ وَالْجِنَايَةِ وَلَا الْمَبِيعِ إِذَا رُدَّ بِعَيْبٍ، فَكَذَلِكَ لَا يَتْبَعُ الْأَصْلَ فِي الرَّهْنِ.

Penjelasan (‘illat) hukumnya adalah bahwa ia merupakan hak yang terkait dengan benda (‘raqabah) untuk pelunasan hak darinya, maka wajib tidak berlaku pada anaknya sebagaimana dalam jināyah. Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap pertumbuhan (namā’) yang menyatu (muttaṣil) adalah tertolak, pertama dengan penghasilan (kasb), kemudian karena makna pada yang muttaṣil adalah ia mengikuti induknya pada tempat asal, karena tidak terbedakan darinya. Sedangkan yang terpisah (munfaṣil) tidak mengikuti induknya karena terbedakan darinya. Bukankah engkau melihat bahwa yang muttaṣil mengikuti induknya dalam sewa-menyewa (ijārah), jināyah, dan jual beli jika dikembalikan karena cacat, maka demikian pula ia mengikuti induknya dalam gadai. Sedangkan yang munfaṣil tidak mengikuti induknya dalam ijārah, jināyah, dan jual beli jika dikembalikan karena cacat, maka demikian pula ia tidak mengikuti induknya dalam gadai.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْمَبِيعِ إِذَا حَبَسَهُ الْبَائِعُ عَلَى ثَمَنِهِ فَغَيْرُ مُسَلَّمٍ لِأَنَّ عِنْدَنَا أَنَّ الْبَائِعَ إِذَا حَبَسَ الْمَبِيعَ لِاسْتِيفَاءِ ثَمَنِهِ، لَمْ يَكُنْ لَهُ حَبْسُ النَّمَاءِ الْحَادِثِ بَعْدَ مَبِيعِهِ.

Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap barang yang dijual jika ditahan oleh penjual karena menunggu pembayaran harga, maka itu tidak diterima. Karena menurut kami, jika penjual menahan barang yang dijual untuk pelunasan harganya, maka ia tidak berhak menahan pertumbuhan (namā’) yang terjadi setelah barang itu dijual.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْبَيْعِ فَدَلِيلُنَا أَنَّهُ يُوجِبُ كَوْنَ النَّمَاءِ لِمَالِكِ الْأَصْلِ، لِأَنَّ الْمُشْتَرِيَ قَدْ مَلَكَ الْأَصْلَ، كَذَلِكَ الرَّهْنُ لَمَّا كَانَ عَلَى مِلْكِ الرَّاهِنِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ خَالِصًا لِلرَّاهِنِ.

Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap jual beli, dalil kami adalah bahwa hal itu mewajibkan pertumbuhan (namā’) menjadi milik pemilik asal, karena pembeli telah memiliki barang asal, demikian pula dalam gadai, ketika barang gadai tetap dalam kepemilikan rāhin, maka wajib pertumbuhan itu murni menjadi milik rāhin.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْكِتَابَةِ بِعِلَّةِ أَنَّهُ عَقْدٌ يُفْضِي إِلَى زَوَالِ الْمِلْكِ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap kitabah (akad pembebasan budak dengan pembayaran bertahap) dengan alasan bahwa ia adalah akad yang berujung pada hilangnya kepemilikan, maka jawabannya dari tiga sisi:

أَحَدُهَا: مَنْعُ الْوَصْفِ بِأَنَّهُ يُفْضِي إِلَى زَوَالِ الْمِلْكِ، لِأَنَّ الْكِتَابَةَ وَإِنْ أَفْضَتْ إِلَى زَوَالِ الْمِلْكِ فَالرَّهْنُ لَا يُفْضِي إِلَى زَوَالِ الْمِلْكِ، لِأَنَّهُ يُفْضِي إِلَى اسْتِيفَائِهِ وَثِيقَةً لِمُرْتَهِنِهِ وَإِنْ طَالَتِ الْمُدَّةُ، وَإِنَّمَا بَيْعُهُ يُفْضِي إِلَى زَوَالِ الْمِلْكِ.

Pertama: Menolak sifat bahwa ia berujung pada hilangnya kepemilikan, karena kitabah meskipun berujung pada hilangnya kepemilikan, namun gadai tidak berujung pada hilangnya kepemilikan, karena ia hanya berujung pada pelunasan hak sebagai jaminan bagi penerima gadai (murtahin) meskipun waktunya lama. Adapun penjualannya, itulah yang berujung pada hilangnya kepemilikan.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّهُ وَإِنْ سَلِمَ لَهُمُ الْوَصْفُ، فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي وَلَدِ الْمُكَاتَبَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Jawaban kedua: Meskipun sifat itu diterima, pendapat Imam Syāfi‘ī berbeda dalam masalah anak dari budak mukātabah, ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَوْقُوفٌ لَا يَتْبَعُهَا وَكَذَا وَلَدُ الْمُدَبَّرَةِ.

Salah satu pendapat: bahwa statusnya terhenti, tidak mengikuti ibunya, demikian pula anak dari budak mudabbirah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ حُكْمَهُ مُعْتَبَرٌ بِحُكْمِ أُمِّهِ فِي الْحُرِّيَّةِ وَالرِّقِّ، فَإِنْ عُتِقَتِ الْمُكَاتَبَةُ بِالْأَدَاءِ وَالْمُدَبَّرَةُ بِمَوْتِ السَّيِّدِ، عُتِقَ وَلَدُهُمَا وَإِنْ عَجَزَتْ وَرَقَّتْ رَقَّ وَلَدُهَا فَإِنْ قِيلَ لَا يَتْبَعُهَا سَقَطَ السُّؤَالُ.

Pendapat kedua: bahwa hukumnya mengikuti hukum ibunya dalam hal kemerdekaan dan perbudakan. Jika budak mukatabah merdeka karena pelunasan atau budak mudabbirah merdeka karena wafat tuannya, maka anak keduanya juga merdeka. Jika ia tidak mampu (melunasi) dan kembali menjadi budak, maka anaknya pun menjadi budak. Jika dikatakan anaknya tidak mengikutinya, maka pertanyaan gugur.

وَإِنْ قِيلَ يَتْبَعُهَا فَهُوَ لَيْسَ يَتْبَعُهَا فِي الْكِتَابَةِ وَإِنَّمَا يَتْبَعُهَا فِي الْحُرِّيَّةِ، فَلَمْ يَسْلَمْ لَهُمُ الْحُكْمُ لِأَنَّهُمْ يَقُولُونَ: إِنَّ وَلَدَ الْمَرْهُونَةِ دَاخِلٌ فِي الرَّهْنِ، وَوَلَدُ الْمُكَاتَبَةِ قَدْ بَيَّنَّا أَنَّهُ لَا يَدْخُلُ فِي الْكِتَابَةِ.

Jika dikatakan anaknya mengikutinya, maka yang dimaksud bukan mengikuti dalam hal kitabah, melainkan hanya dalam hal kemerdekaan. Maka, pendapat mereka tidak dapat diterima, karena mereka mengatakan bahwa anak budak yang digadaikan termasuk dalam gadai, sedangkan anak budak mukatabah, sebagaimana telah dijelaskan, tidak termasuk dalam kitabah.

وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْمُكَاتَبَةَ لَمَّا تَبِعَهَا كَسْبُهَا تَبِعَهَا وَلَدُهَا وَالرَّهْنُ لَمَّا لَمْ يَتْبَعْهُ الْكَسْبُ لَمْ يَتْبَعْهُ الْوَلَدُ وَالْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى أُمِّ الْوَلَدِ فِي أَنَّ وَلَدَهَا مِنْ غَيْرِ السَّيِّدِ يَتْبَعُهَا فِي الْعِتْقِ بِمَوْتِ السَّيِّدِ فَالْقِيَاسُ مُنْتَقَضٌ بِوَلَدِ الْجَانِيَةِ.

Jawaban ketiga: bahwa ketika penghasilan budak mukatabah mengikuti ibunya, maka anaknya pun mengikutinya. Sedangkan dalam gadai, karena penghasilan tidak mengikuti, maka anak pun tidak mengikutinya. Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap umm al-walad, bahwa anaknya dari selain tuan mengikuti ibunya dalam hal kemerdekaan dengan wafatnya tuan, maka qiyās tersebut batal dengan kasus anak budak perempuan yang melakukan tindak pidana (jāniyah).

ثُمَّ الْمَعْنَى أَنَّ سَبَبَ حُرِّيَّتِهَا مُسْتَقِرٌّ اسْتِقْرَارًا يَمْنَعُ مِنْ إِزَالَتِهِ، فَجَازَ أَنْ يَسْرِيَ إِلَى الْوَلَدِ لِقُوَّتِهِ وَالرَّهْنُ لَا يَسْتَقِرُّ اسْتِقْرَارًا يَمْنَعُ مِنْ إِزَالَتِهِ، فَلَمْ يَسْرِ إِلَى الْوَلَدِ لِضَعْفِهِ، وَأَمَّا الْمُدَبَّرَةُ فَهَلْ يَتْبَعُهَا وَلَدُهَا أَمْ لَا، عَلَى قَوْلَيْنِ، وَأَمَّا الْمُكَاتَبَةُ فَلَا يَتْبَعُهَا وَلَدُهَا فِي الْكِتَابَةِ وَلَكِنْ هَلْ يَثْبُتُ لَهُ … حُكْمُهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: وَأَمَّا نِتَاجُ الْمَاشِيَةِ، فَإِنَّمَا كَانَ تَبَعًا لِلْأُمَّهَاتِ فِي حَوْلِ الزَّكَاةِ لِأَنَّهُ لَمَّا ارْتَفَقَ أَرْبَابُ الْأَمْوَالِ بِالرِّبَا وَالْمَاخِضِ ارْتَفَقَ الْمَسَاكِينُ بِحَوْلِ السِّخَالِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الرَّهْنُ، فَأَمَّا وَلَدُ الْمُوصَى بِهَا، فَإِنْ كَانَ قَبْلَ مَوْتِ الْمُوصِي لَمْ يَتْبَعْهَا وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْقَبُولِ تَبِعَهَا لِانْتِقَالِ الْمِلْكِ، وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْمَوْتِ وَقَبْلَ الْقَبُولِ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Selanjutnya, maknanya adalah bahwa sebab kemerdekaan budak mukatabah itu tetap dan kokoh sehingga tidak dapat dihilangkan, sehingga boleh berlaku pada anaknya karena kekuatannya. Sedangkan gadai tidak tetap dan tidak kokoh sehingga dapat dihilangkan, sehingga tidak berlaku pada anaknya karena lemahnya. Adapun budak mudabbirah, apakah anaknya mengikutinya atau tidak, terdapat dua pendapat. Adapun budak mukatabah, anaknya tidak mengikutinya dalam kitabah, namun apakah berlaku baginya hukumnya atau tidak, juga terdapat dua pendapat. Adapun anak hewan ternak, maka ia mengikuti induknya dalam perhitungan haul zakat, karena ketika para pemilik harta mendapat manfaat dari riba dan hewan yang bunting, maka orang miskin mendapat manfaat dari haul anak-anak hewan, dan tidak demikian halnya dengan gadai. Adapun anak hewan yang diwasiatkan, jika lahir sebelum wafatnya pemberi wasiat maka tidak mengikutinya, namun jika lahir setelah wafat dan setelah penerimaan wasiat maka ia mengikutinya karena perpindahan kepemilikan. Jika lahir setelah wafat namun sebelum penerimaan wasiat, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لِلْوَرَثَةِ، هَذَا إِذَا قِيلَ إِنَّ الْقَبُولَ هُوَ التَّمَلُّكُ.

Salah satunya: menjadi milik ahli waris, ini jika dikatakan bahwa penerimaan wasiat adalah bentuk kepemilikan.

وَالثَّانِي: لِلْمُوصِي لَهُ، وَهَذَا إِذَا قِيلَ إِنَّ الْقَوْلَ يُبْنَى عَلَى مِلْكٍ سَابِقٍ، وَكَذَلِكَ الْحُكْمُ فِي وَلَدِ الْمَرْهُونَةِ.

Yang kedua: menjadi milik penerima wasiat, dan ini jika dikatakan bahwa pendapat tersebut didasarkan pada kepemilikan sebelumnya. Demikian pula hukum anak budak yang digadaikan.

وَأَمَّا وَلَدُ الْهَدْيِ وَالْأُضْحِيَّةِ فَيَتْبَعُ لِلْهَدْيِ وَالْأُضْحِيَّةِ لِزَوَالِ الْمِلْكِ عَنْهَا إِلَى الْمَسَاكِينِ، وَكَانَ الْوَلَدُ حَادِثًا عَلَى مِلْكِ الْمَسَاكِينِ.

Adapun anak hewan hadyu dan udhiyah, maka ia mengikuti hadyu dan udhiyah karena kepemilikan telah berpindah dari pemilik kepada orang miskin, sehingga anak tersebut lahir dalam kepemilikan orang miskin.

وَأَمَّا وَلَدُ الْمَغْصُوبَةِ فَيَتْبَعُ لِأُمِّهِ فِي الضَّمَانِ لِحُصُولِ التَّعَدِّي فِيهِمَا.

Adapun anak hewan yang digasak (dirampas), maka ia mengikuti induknya dalam hal tanggungan, karena terjadi pelanggaran pada keduanya.

وَأَمَّا وَلَدُ الْمُودَعَةِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Adapun anak hewan titipan (wadi‘ah), terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ كَأُمِّهِ أَمَانَةٌ لَا يَلْزَمُهُ ضَمَانُهُ.

Salah satunya: ia seperti induknya, merupakan amanah sehingga tidak wajib menanggungnya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَضْمُونٌ بِخِلَافِ أُمِّهِ، لِأَنَّهُ مُؤْتَمَنٌ عَلَى أُمِّهِ دُونَ وَلَدِهَا.

Yang kedua: ia wajib ditanggung, berbeda dengan induknya, karena kepercayaan hanya pada induknya, bukan pada anaknya.

وَأَمَّا وَلَدُ الْعَارِيَةِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Adapun anak hewan pinjaman (‘āriyah), terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ كَأُمِّهِ مَضْمُونٌ لِأَنَّهُ فَرْعٌ لِأَصْلٍ مَضْمُونٍ.

Salah satunya: ia seperti induknya, wajib ditanggung karena ia merupakan cabang dari induk yang wajib ditanggung.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ غَيْرُ مَضْمُونٍ بِخِلَافِ أُمِّهِ، لِأَنَّ الِانْتِفَاعَ بِالْأُمِّ أَوْجَبَ ضَمَانَهَا، وَلَمَّا لَمْ يَكُنِ الِانْتِفَاعُ بِالْوَلَدِ لَمْ يَجِبْ ضَمَانُهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: ia tidak wajib ditanggung, berbeda dengan induknya, karena pemanfaatan induk menyebabkan wajibnya tanggungan, sedangkan tidak ada pemanfaatan pada anak sehingga tidak wajib menanggungnya. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَعَلَيْهِ مُؤْنَةُ رُهُونِهِ وَمَنْ مَاتَ مِنْ رَقِيقِهِ فعليه كفنه والفرق بين الأمة تعتق أو تباع فيتبعها ولدها وبين الرهن أنه إذا أعتق أو باع زال ملكه وحدث الولد في غير ملكه وإذا رهن فلم يزل ملكه وحدث الولد في ملكه إلا أنه محول دونه لحق حبس به لغيره كما يؤاجرها فتكون محتبسة بحق غيره وإن ولدت لم يدخل ولدها في ذلك معها والرهن كالضمين لا يلزم إلا من أدخل نفسه فيه وولد الأمة لم يدخل في الرهن قط “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Atasnya (pemberi gadai) tanggungan biaya perawatan barang gadai, dan jika ada budaknya yang wafat maka ia wajib mengafani, dan perbedaan antara budak perempuan yang dimerdekakan atau dijual sehingga anaknya mengikutinya, dengan gadai adalah bahwa jika dimerdekakan atau dijual maka kepemilikannya hilang dan anak lahir di luar kepemilikannya. Jika digadaikan, kepemilikannya tidak hilang dan anak lahir dalam kepemilikannya, hanya saja terhalang karena hak penahanan untuk orang lain, sebagaimana jika ia disewakan maka ia tertahan karena hak orang lain. Jika ia melahirkan, maka anaknya tidak termasuk dalam hal itu bersamanya. Gadai seperti penjamin, tidak wajib kecuali bagi yang memasukkan dirinya ke dalamnya, dan anak budak perempuan tidak pernah masuk dalam gadai sama sekali.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: “Dan ini benar.”

كُلُّ نَفَقَةٍ احْتَاجَ الرَّهْنُ إِلَيْهَا مِنْ نَفَقَةِ مَطْعَمٍ وَمَشْرَبٍ وَنَفَقَةِ دَوَاءٍ وَعِلَاجٍ وَنَفَقَةِ مُرَاعَاةٍ وَحِفْظٍ، فَهِيَ وَاجِبَةٌ على الرهن دُونَ الْمُرْتَهِنِ.

Setiap nafkah yang dibutuhkan oleh barang gadai, seperti nafkah makanan, minuman, obat-obatan, perawatan, dan penjagaan, maka itu menjadi kewajiban atas rahin (pemberi gadai), bukan atas murtahin (penerima gadai).

وَقَالَ أبو حنيفة: نَفَقَةُ الْمَطْعَمِ وَالْمَشْرَبِ عَلَى الرَّاهِنِ، وَنَفَقَةُ الْمُرَاعَاةِ وَالْحِفْظِ عَلَى الْمُرْتَهِنِ، وَنَفَقَةُ الدَّوَاءِ وَعِلَاجِ الدُّبُرِ مُعْتَبَرَةٌ بِقِيمَةِ الرَّهْنِ، فَإِنْ كَانَتْ بِقَدْرِ الْحَقِّ أَوْ أَقَلَّ فَهُوَ عَلَى الْمُرْتَهِنِ، وَإِنْ كَانَتْ قِيمَةُ الرَّهْنِ أَكْثَرَ مِنَ الْحَقِّ فَهُوَ عَلَى الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ بِالْقِسْطِ، مِثَالُهُ أَنْ يَكُونَ الْحَقُّ بِقِيمَةِ نِصْفِ الرَّهْنِ، فَالنَّفَقَةُ بَيْنَهُمَا نِصْفَانِ: وَهَذَا خَطَأٌ، لِرِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: الرَّهْنُ مِنْ رَاهِنِهِ الَذِي رَهَنَهُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ فَجَعَلَ الْغُرْمَ وَاجِبًا عَلَيْهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُوجِبَهُ عَلَى غَيْرِهِ.

Abu Hanifah berkata: Nafkah makanan dan minuman menjadi tanggungan rahin, sedangkan nafkah perawatan dan penjagaan menjadi tanggungan murtahin. Adapun nafkah obat-obatan dan pengobatan luka, maka dipertimbangkan berdasarkan nilai barang gadai. Jika nilainya sebanding dengan hak atau kurang, maka menjadi tanggungan murtahin. Jika nilai barang gadai lebih besar dari hak, maka menjadi tanggungan rahin dan murtahin secara proporsional. Contohnya, jika hak sebanding dengan setengah nilai barang gadai, maka nafkah dibagi dua antara keduanya. Pendapat ini keliru, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang gadai itu milik pemberi gadai yang menggadaikannya; keuntungannya untuknya dan kerugiannya juga atasnya.” Maka Nabi menjadikan kerugian sebagai kewajiban atas pemberi gadai tanpa membebankannya kepada selainnya.

وَلِأَنَّهُ مَالِكٌ لِرَقَبَتِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُلْتَزِمًا لِلنَّفَقَةِ كَسَائِرِ الْمُلَّاكِ وَلِأَنَّهَا نَفَقَةٌ تَجِبُ عَلَى الْمَالِكِ فِي غَيْرِ الرَّهْنِ، فَوَجَبَ أَنْ يَجِبَ عَلَيْهِ فِي الرَّهْنِ كَالْأَكْلِ وَالشُّرْبِ.

Karena ia (rahin) adalah pemilik barang gadai, maka wajib baginya menanggung nafkah sebagaimana para pemilik lainnya. Dan karena nafkah itu wajib atas pemilik dalam selain kasus gadai, maka demikian pula wajib atasnya dalam kasus gadai, seperti halnya makanan dan minuman.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ النَّفَقَةِ عَلَى الرَّاهِنِ، فَإِنْ شَرَطَهَا الرَّاهِنُ عَلَى الْمُرْتَهِنِ، كَانَ الشَّرْطُ وَالرَّهْنُ بَاطِلَيْنِ. من غير شرط، كَانَ مُتَطَوِّعًا بِالنَّفَقَةِ سَوَاءٌ كَانَ الرَّاهِنُ حَاضِرًا أَوْ غَائِبًا، إِلَّا أَنْ يَكُونَ أَنْفَقَ بِأَمْرِ الرَّاهِنِ، أَوْ أَذِنَ الْحَاكِمُ عِنْدَ غَيْبَةِ الرَّاهِنِ، فَيَجُوزُ أَنْ يَرْجِعَ بِمَا أَنْفَقَهُ.

Apabila telah tetap kewajiban nafkah atas rahin, maka jika rahin mensyaratkannya atas murtahin, syarat dan akad gadai menjadi batal. Jika tanpa syarat, maka murtahin dianggap sukarela menanggung nafkah, baik rahin hadir maupun tidak, kecuali jika ia menafkahi atas perintah rahin, atau hakim mengizinkan ketika rahin tidak ada, maka boleh baginya menuntut kembali apa yang telah ia keluarkan.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا كَيْفِيَّةُ النَّفَقَةِ وَمَا يَجِبُ مِنْهَا وَمَا لَا يَجِبُ فَهِيَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun tata cara nafkah, apa saja yang wajib dan yang tidak wajib darinya, maka terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: مَا كَانَتْ وَاجِبَةً.

Pertama: Nafkah yang wajib.

وَالثَّانِي: مَا كَانَتْ غَيْرَ وَاجِبَةٍ.

Kedua: Nafkah yang tidak wajib.

وَالثَّالِثُ: مَا كَانَتْ وَاجِبَةً عَلَى وَجْهِ التَّخْيِيرِ، فَأَمَّا مَا كَانَتْ وَاجِبَةً فَهِيَ نَفَقَةُ الْمَطْعَمِ وَالْمَشْرَبِ فِي الْحَيَوَانِ دُونَ غَيْرِهِ، وَهِيَ وَاجِبَةٌ لَا رُخْصَةَ لَهُ فِي تَرْكِهَا، وَلَا تَخْيِيرَ بينها وبين غيرها.

Ketiga: Nafkah yang wajib secara pilihan. Adapun nafkah yang wajib adalah nafkah makanan dan minuman pada hewan, bukan selainnya. Ini adalah kewajiban yang tidak ada keringanan untuk meninggalkannya, dan tidak ada pilihan antara itu dengan selainnya.

فإن كانت مما تعلف ولا ترعى وجب عليه علفها، وإن كانت مما ترعى ولا تعلف وجب عليه رعيها ولم يكن له علفها. لأن ما يرعى ولا يعلف يضر به العلف.

Jika hewan tersebut termasuk yang diberi makan (dengan pakan) dan tidak digembalakan, maka wajib atasnya memberi pakan. Jika termasuk yang digembalakan dan tidak diberi pakan, maka wajib atasnya menggembalakan dan tidak boleh memberinya pakan, karena memberi pakan pada hewan yang biasa digembalakan justru membahayakan.

وإن كَانَتْ مِمَّا تَرْعَى وَتُعْلَفُ مَعًا، فالراهن مخير بين رعيها وعلفها، إلا أن يكون الرعي مخوفا فليس له رعيها وعليه علفها حفظا لوثيقة الرهن.

Jika termasuk hewan yang bisa digembalakan dan diberi pakan sekaligus, maka rahin boleh memilih antara menggembalakan atau memberi pakan, kecuali jika penggembalaan berbahaya, maka tidak boleh menggembalakan dan wajib memberinya pakan demi menjaga keamanan barang gadai.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا مَا كَانَتْ مِنَ النَّفَقَةِ غَيْرَ وَاجِبَةٍ، فَنَفَقَةُ الدَّوَاءِ وَعِلَاجِ الْمَرَضِ لا يجب على الراهن، وقال الشافعي رحمه الله: لِأَنَّ ذَلِكَ قَدْ يَذْهَبُ بِغَيْرِ عِلَاجٍ وَكَذَلِكَ لو كان الرهن دارا فاستهدمت لَمْ يَلْزَمْهُ عِمَارَتُهَا.

Adapun nafkah yang tidak wajib, maka nafkah obat-obatan dan pengobatan penyakit tidak wajib atas rahin. Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Karena penyakit itu bisa saja sembuh tanpa pengobatan. Demikian pula jika barang gadai berupa rumah lalu roboh, maka tidak wajib atasnya untuk memperbaikinya.

فَلَوْ أَرَادَ الرَّاهِنُ عِلَاجَ مَا مَرِضَ وَمِرَمَّةَ مَا اسْتُهْدِمَ، لَمْ يَكُنْ لِلْمُرْتَهِنِ مَنْعُهُ مِنْهُ، فَإِنْ أَرَادَ الْمُرْتَهِنُ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ لِيَرْجِعَ بِهِ عَلَى الرَّاهِنِ لَمْ يَكُنْ لَهُ، وَلَوْ أَرَادَ أَنْ يَتَطَوَّعَ بِهِ كَانَ لَهُ، وَلَمْ يَكُنْ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَمْنَعْهُ إِذَا كَانَ مَا يُعَالِجُهَا بِهِ نَافِعًا، فَإِنْ عَالَجَهَا بِشَيْءٍ يَنْفَعُ فِي حَالٍ وَيَضُرُّ فِي أخرى منع، فإن فعل ضمن.

Jika rahin ingin mengobati yang sakit atau memperbaiki yang rusak, maka murtahin tidak berhak melarangnya. Jika murtahin ingin melakukan itu agar dapat menuntut biaya kepada rahin, maka ia tidak berhak. Namun jika ia ingin melakukannya secara sukarela, maka itu boleh, dan rahin tidak berhak melarangnya selama pengobatan itu bermanfaat. Jika pengobatan yang dilakukan bermanfaat dalam satu keadaan namun membahayakan dalam keadaan lain, maka ia dilarang. Jika tetap dilakukan, ia wajib mengganti kerugian.

فَأَمَّا مَا كَانَتْ مِنَ النَّفَقَةِ وَاجِبَةً عَلَى وَجْهِ التَّخْيِيرِ، فَنَفَقَةُ الْحِفْظِ وَالْمُرَاعَاةِ وَارْتِيَادِ الْحِرْزِ وَالسَّكَنِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ عَلَيْهِ، فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ بِنَفْسِهِ سَقَطَ عَنْهُ، وَإِنْ أَبَى إِلَّا بِمَالِهِ وجب عليه وكذا مؤونة نَقْلِ الرَّهْنِ إِلَى الْمُرْتَهِنِ أَوْ إِلَى يَدِ الْمَوْضُوعِ عَلَى يَدِهِ وَاجِبَةٌ عَلَى الرَّاهِنِ أَيْضًا.

Adapun nafkah yang wajib secara pilihan adalah nafkah penjagaan, perawatan, mencari tempat aman, dan tempat tinggal; semuanya wajib atas rahin. Jika ia melakukannya sendiri, gugurlah kewajibannya. Jika ia menolak kecuali dengan hartanya, maka wajib atasnya. Demikian pula biaya pemindahan barang gadai ke murtahin atau ke tangan pihak yang ditunjuk juga wajib atas rahin.

وأما مؤونة رَدِّهِ بَعْدَ الْفِكَاكِ وَاسْتِيفَاءِ الْحَقِّ فَفِيهَا وَجْهَانِ، أَحَدُهُمَا عَلَى الرَّاهِنِ أَيْضًا لِتَعَلُّقِهَا بِالْمِلْكِ.

Adapun biaya pengembalian barang gadai setelah dibebaskan dan hak telah dipenuhi, terdapat dua pendapat. Salah satunya adalah bahwa biaya tersebut tetap menjadi tanggungan rahin (pemberi gadai) juga, karena berkaitan dengan kepemilikan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا عَلَى الْمُرْتَهِنِ لِأَنَّهُ عَلَيْهِ رَدُّهُ بعد استيفاء الحق فكانت مؤونة الرَّدِّ عَلَى مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الرَّدُّ.

Pendapat kedua: biaya tersebut menjadi tanggungan murtahin (penerima gadai), karena kewajiban mengembalikan barang gadai setelah haknya terpenuhi ada padanya, sehingga biaya pengembalian menjadi tanggungan pihak yang wajib mengembalikannya.

فأما مؤونة رد العبد الآبق والجمل الشارد فواجب عَلَى الرَّاهِنِ وَكَذَا عَلَيْهِ كَفَنُ مَنْ مَاتَ من رقيقه ومؤونة دَفْنِهِ.

Adapun biaya pengembalian budak yang melarikan diri atau unta yang kabur, maka itu wajib atas rahin. Demikian pula, biaya kain kafan bagi budak yang meninggal dan biaya pemakamannya juga menjadi tanggungan rahin.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ وَلَوْ كَانَ الرَّهْنُ مَاشِيَةً فِي بَادِيَةٍ فَأَجْدَبَ مَوْضِعُهَا، لَمْ يُؤْمَرِ الْمَالِكُ بِعَلْفِهَا إِذَا كَانَتْ سَائِمَةً وَكُلِّفَ رَبُّهَا النُّجْعَةَ بِهَا، فَإِنْ أَرَادَ النُّجْعَةَ بِهَا وَأَرَادَ الْمُرْتَهِنُ حَبْسَهَا، قِيلَ لِلْمُرْتَهِنِ إن رضيت أن تنجع بها وإلا اختر أَنْ تَضَعَهَا عَلَى يَدِ عَدْلٍ يَنْجَعُ بِهَا إِذَا طَلَبَ ذَلِكَ رَبُّهَا.

Imam Syafi‘i berkata dalam kitab Al-Umm: Jika barang gadai berupa ternak yang berada di padang, lalu tempatnya mengalami kekeringan, maka pemiliknya tidak diperintahkan untuk memberi makan jika ternak itu termasuk hewan yang biasa digembalakan, dan pemiliknya dibebani untuk mengembalakan ternak tersebut. Jika pemilik ingin menggembalakan ternaknya dan murtahin ingin menahannya, maka dikatakan kepada murtahin: Jika engkau rela untuk ikut menggembalakan, silakan. Jika tidak, pilihlah untuk menyerahkannya kepada pihak yang adil yang akan menggembalakan ternak itu jika diminta oleh pemiliknya.

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: فَإِنْ أَرَادَتِ الْمَاشِيَةُ النُّجْعَةَ مِنْ غَيْرِ جَدْبٍ وَالْمُرْتَهِنُ الْمَقَامَ، قِيلَ لِرَبِّ الْمَاشِيَةِ: لَيْسَ لَكَ إِخْرَاجُهَا مِنَ الْبَلَدِ الَّذِي رَهَنْتَهَا بِهِ إِلَّا مِنْ ضَرَرٍ عَلَيْهَا، وَفِي هَذِهِ الْحَالَةِ لَا ضَرَرَ عَلَيْهَا فَوَكِّلْ بِرَشْلِهَا مَنْ شِئْتَ يَعْنِي بِالرَّشْلِ اللَّبَنَ. وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: وَإِنْ أَرَادَ الْمُرْتَهِنُ النُّجْعَةَ مِنْ غَيْرِ جَدْبٍ، قِيلَ لَهُ: لَيْسَ لَكَ تَحْوِيلُهَا مِنَ الْبَلَدِ الَّذِي ارْتَهَنْتَهَا بِهِ وَبِحَضْرَةِ مَالِكِهَا إِلَّا مِنْ ضَرُورَةٍ، فَتَرَاضَيَا بِمَنْ شِئْتُمَا، مِمَّنْ يُقِيمُ فِي الدَّارِ أَنْ تَكُونَ عَلَى يَدَيْهِ مَا كَانَتِ الدَّارُ غَيْرَ مُجْدِبَةٍ، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ أَجْبَرْنَاهُ عَلَى رجل تأوي إليه.

Imam Syafi‘i radhiyallahu ‘anhu berkata: Jika ternak ingin digembalakan bukan karena kekeringan, sedangkan murtahin ingin tetap tinggal, maka dikatakan kepada pemilik ternak: Engkau tidak berhak mengeluarkan ternak dari negeri tempat engkau menggadaikannya kecuali jika ada mudarat atas ternak tersebut. Dalam keadaan ini tidak ada mudarat, maka serahkanlah urusan pemerahan susunya kepada siapa saja yang engkau kehendaki. Imam Syafi‘i juga berkata: Jika murtahin ingin menggembalakan ternak bukan karena kekeringan, maka dikatakan kepadanya: Engkau tidak berhak memindahkan ternak dari negeri tempat engkau menerima gadai dan di hadapan pemiliknya kecuali karena darurat. Maka, sepakatilah bersama siapa saja yang kalian kehendaki dari orang yang tinggal di negeri itu untuk menjaga ternak selama negeri tersebut tidak mengalami kekeringan. Jika tidak dilakukan, maka kami paksa untuk menyerahkannya kepada seseorang yang bisa menampungnya.

(فصل)

(Fasal)

فَإِنْ كَانَتِ الْأَرْضُ الَّتِي رَهَنَهَا بِهَا غَيْرَ مُجْدِبَةٍ وَغَيْرُهَا أَخْصَبُ مِنْهَا، لَمْ يُجْبَرْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا عَلَى نَقْلِهَا مِنْهَا، وَإِنْ أَجْدَبَتْ فَاخْتَلَفَتْ نُجْعَتُهَا إِلَى بَلَدَيْنِ مُشْتَبِهَيْنِ فِي الْخِصْبِ، فَسَأَلَ رَبُّ الْمَاشِيَةِ أَنْ تَكُونَ مَعَهُ وَسَأَلَ الْمُرْتَهِنُ أَنْ تَكُونَ مَعَهُ، قِيلَ لَهُمَا: إِنِ اجْتَمَعْتُمَا بِبَلَدٍ فَهِيَ مَعَ الْمُرْتَهِنِ أَوِ الْمَوْضُوعَةِ عَلَى يَدَيْهِ، وَإِنِ اخْتَلَفْتُمَا أُجْبِرْتُمَا عَلَى عَدْلٍ تَكُونُ عَلَى يَدَيْهِ فِي الْبَلَدِ الَّذِي يَنْتَجِعُ إِلَيْهِ رَبُّ الْمَاشِيَةِ لِيَنْتَفِعَ بِرَشْلِهَا، فَأَيُّهُمَا دَعَا إِلَى بَلَدٍ فِيهِ عَلَيْهَا ضَرَرٌ لَمْ يَجِبْ إِلَيْهِ لِحَقِّ الرَّاهِنِ فِي رِقَابِهَا وَرَشْلِهَا وَحَقِّ الْمُرْتَهِنِ في رقابها.

Jika tanah tempat ternak digadaikan tidak mengalami kekeringan, namun ada tempat lain yang lebih subur, maka tidak ada kewajiban bagi salah satu pihak untuk memindahkan ternak dari tempat tersebut. Jika terjadi kekeringan dan penggembalaan harus dilakukan ke dua negeri yang sama-sama subur, lalu pemilik ternak meminta agar ternak bersamanya dan murtahin juga meminta agar ternak bersamanya, maka dikatakan kepada keduanya: Jika kalian sepakat di satu negeri, maka ternak bersama murtahin atau pihak yang ditunjuk olehnya. Jika kalian berselisih, maka kalian dipaksa untuk menyerahkannya kepada pihak yang adil di negeri yang menjadi tujuan penggembalaan pemilik ternak, agar ia dapat mengambil manfaat dari susunya. Jika salah satu dari kalian mengajak ke negeri yang dapat membahayakan ternak, maka tidak wajib dipenuhi, demi menjaga hak rahin atas ternak dan susunya, serta hak murtahin atas ternak tersebut.

(فصل)

(Fasal)

قال الشافعي رحمه الله، وَإِنْ كَانَ الْحَقُّ إِلَى أَجَلٍ فَقَالَ الْمُرْتَهِنُ لِلرَّاهِنِ فِي حَالِ تَسَاقُطِ الْمَاشِيَةِ مِنَ الْهُزَالِ وَالضَّرَرِ: مُرْ مَنْ يَذْبَحُهَا وَيَبِيعُ لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا، لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ عَلَى الرَّاهِنِ، لِأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ يُحْدِثُ لَهَا الْغَيْثَ فَيَحْسُنُ حَالُهَا، وَإِنْ كَانَ حَالًّا أَخَذَ الرَّاهِنُ بِبَيْعِهَا.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Jika hak (piutang) itu masih bertempo, lalu murtahin berkata kepada rahin ketika ternak mulai kurus dan terancam bahaya: “Perintahkan seseorang untuk menyembelih dan menjual daging serta kulitnya,” maka hal itu tidak menjadi kewajiban rahin, karena Allah ‘Azza wa Jalla bisa saja menurunkan hujan sehingga ternak itu kembali sehat. Namun, jika hutang telah jatuh tempo, maka rahin diwajibkan menjual ternak tersebut.

قَالَ الشَّافِعِيُّ: إِذَا أَصَابَهَا مَرَضٌ وَكَانَ الْحَقُّ إِلَى أَجَلٍ، لَمْ يُكَلَّفِ الرَّاهِنُ عِلَاجَهَا لِأَنَّ ذَلِكَ قَدْ يَذْهَبُ بِغَيْرِ عِلَاجٍ.

Imam Syafi‘i berkata: Jika ternak terkena penyakit sedangkan hak (piutang) masih bertempo, maka rahin tidak dibebani kewajiban mengobatinya, karena penyakit itu bisa saja hilang tanpa pengobatan.

وَلَوْ كَانَتِ الماشية أوارك أو خميصه أو غوادي فاستؤنيت مَكَانَهَا، فَسَأَلَ الْمُرْتَهِنُ الرَّاهِنَ أَنْ يَنْجَعَهَا إِلَى مَوْضِعٍ غَيْرِهِ، لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ عَلَى الرَّاهِنِ، لِأَنَّ الْمَرَضَ قَدْ يَكُونُ مِنْ غَيْرِ الْمَرْعَى.

Jika ternak itu pincang, kurus, atau sering keluar pagi hari, lalu tetap dibiarkan di tempatnya, kemudian murtahin meminta rahin untuk menggembalakannya ke tempat lain, maka hal itu tidak menjadi kewajiban rahin, karena penyakit bisa saja bukan berasal dari padang rumput.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأَكْرَهُ رَهْنَ الْأَمَةِ إِلَّا أَنْ تُوضَعَ عَلَى يَدَيِ امْرَأَةٍ ثِقَةٍ “.

Imam Syafi‘i radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku tidak menyukai menggadaikan budak perempuan kecuali jika diletakkan di tangan seorang perempuan yang terpercaya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini adalah pendapat yang benar.

إِذَا رَهَنَ أَمَةً لَهُ فَالْوَاجِبُ أَنْ تُوضَعَ عَلَى يَدَيِ امْرَأَةٍ ثِقَةٍ، لِأَنَّهَا عَوْرَةٌ ذَاتُ فَرْجٍ، فَإِنْ شَرَطَ أَنْ تَكُونَ عَلَى يَدِ الْمُرْتَهِنِ أَوْ عَلَى يَدَيْ رَجُلٍ عَدْلٍ، فَإِنْ كَانَ مَأْمُونًا ذَا زَوْجَةٍ جَازَ أَنْ تُوضَعَ عَلَى يَدَيْهِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَأْمُونٍ أَوْ كَانَ مَأْمُونًا لَكِنَّهُ أَعْزَبُ غَيْرُ ذِي زَوْجَةٍ، لَمْ يَجُزْ أَنْ تُوضَعَ عَلَى يَدَيْهِ لِقَوْلِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا.

Apabila seseorang menggadaikan seorang budak perempuan miliknya, maka yang wajib adalah meletakkannya di bawah pengawasan seorang perempuan tepercaya, karena ia adalah aurat yang memiliki kemaluan. Jika disyaratkan agar ia berada di bawah pengawasan pihak yang menerima gadai atau di bawah pengawasan seorang laki-laki yang adil, maka jika laki-laki tersebut dapat dipercaya dan memiliki istri, boleh diletakkan di bawah pengawasannya. Namun, jika ia tidak dapat dipercaya, atau ia dapat dipercaya tetapi masih lajang dan tidak beristri, maka tidak boleh diletakkan di bawah pengawasannya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan, karena sesungguhnya setan adalah yang ketiganya.”

سواء كَانَتْ جَمِيلَةً تَدْعُو الشَّهْوَةُ إِلَيْهَا، أَوْ كَانَتْ قَبِيحَةً لَا تَدْعُو الشَّهْوَةُ إِلَيْهَا لِأَنَّ الْقَبِيحَةَ تَشْتَهَى، وَسَوَاءٌ كَانَتْ مِمَّا يَحْبَلُ مِثْلُهَا أَوْ كَانَتْ مِمَّا لَا يَحْبَلُ لِصِغَرٍ أَوْ إِيَاسٍ؛ لِأَنَّ الْمَنْعَ لَيْسَ لِأَجْلِ الْإِحْبَالِ وَحْدَهُ، وَإِنَّمَا الْمَنْعُ خَوْفًا مِنْ مُوَاقَعَةِ الْفَاحِشَةِ، وَسَوَاءٌ رَضِيَ بِذَلِكَ الرَّاهِنُ أَمْ لَا، لِأَنَّ هَذَا الْمَنْعَ لَا يَخْتَصُّ بِهَا لِأَجْلِ مِلْكِهِ وَإِنَّمَا هُوَ لِحَقِّ اللَّهِ تَعَالَى خَوْفًا مِنْ مُوَاقَعَةِ مَا حَرَّمَ اللَّهُ، وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهَا لَا تُوضَعُ عَلَى يَدِ الْمُرْتَهِنِ وَإِنْ شَرَطَ كَوْنَهَا عَلَى يَدِهِ، فَإِنَّ هَذَا الشَّرْطَ لَا يَقْدَحُ فِي صِحَّةِ الرَّهْنِ؛ لِأَنَّهُ شَرْطٌ لَمْ يُمْنَعُ مِنْهُ لِأَجْلِ الْمِلْكِ وَإِنَّمَا مُنِعَ مِنْهُ لِحَقِّ اللَّهِ تَعَالَى، فَتُوضَعُ عَلَى يَدِ امْرَأَةٍ ثِقَةٍ، فَلَوْ رَهَنَهَا وَلَمْ يَشْرُطْ فِي الْعَقْدِ مَنْ تُوضَعُ عَلَى يَدَيْهِ، صَحَّ الْعَقْدُ بِخِلَافِ رَهْنِ غَيْرِهَا مِنَ الْأَمْلَاكِ، فَإِنَّ غَيْرَهَا مِنَ الْأَمْلَاكِ الْمَنْقُولَةِ إِذَا لَمْ يَذْكُرْ فِي الْعَقْدِ مَنْ يَكُونُ عَلَى يَدَيْهِ بَطَلَ الْعَقْدُ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ، وَفِي الْأَمَةِ لَا يَبْطُلْ وَجْهًا وَاحِدًا، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْأَمَةَ لَيْسَتْ لَهَا إِلَّا جِهَةٌ وَاحِدَةٌ تَكُونُ مَوْضُوعَةً فِيهَا، وَهِيَ أَنْ تَكُونَ مَوْضُوعَةٌ عَلَى يَدِ امْرَأَةٍ ثِقَةٍ، وَغَيْرُهَا مِنَ الرُّهُونِ لَهُ جِهَاتٌ شَتَّى يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ فِيهَا، فَبَطَلَ الرَّهْنُ مَعَ الْإِطْلَاقِ عَلَى أَحَدِ الوجهين لاختلاف الجهات.

Baik budak perempuan itu cantik yang dapat membangkitkan syahwat, maupun jelek yang tidak membangkitkan syahwat, karena perempuan yang jelek pun bisa diinginkan. Demikian pula, baik ia termasuk yang mungkin hamil atau yang tidak mungkin hamil karena masih kecil atau sudah menopause; sebab larangan ini bukan hanya karena kemungkinan hamil saja, melainkan larangan tersebut karena dikhawatirkan terjadinya perbuatan keji. Sama saja apakah pihak yang menggadaikan rela dengan hal itu atau tidak, karena larangan ini tidak khusus baginya karena kepemilikannya, melainkan demi hak Allah Ta‘ala, sebagai bentuk kehati-hatian dari terjadinya apa yang diharamkan Allah. Jika telah tetap bahwa ia tidak boleh diletakkan di bawah pengawasan pihak penerima gadai, meskipun disyaratkan agar berada di bawah pengawasannya, maka syarat ini tidak membatalkan keabsahan gadai, karena syarat tersebut tidak dilarang karena kepemilikan, melainkan dilarang demi hak Allah Ta‘ala. Maka, ia diletakkan di bawah pengawasan perempuan tepercaya. Jika ia digadaikan tanpa menyebutkan dalam akad siapa yang akan mengawasinya, akadnya tetap sah, berbeda dengan gadai selain budak perempuan dari harta milik lainnya. Sebab, selain budak perempuan dari harta bergerak, jika tidak disebutkan dalam akad siapa yang akan mengawasinya, maka akadnya batal menurut salah satu pendapat. Adapun pada budak perempuan, tidak batal menurut satu pendapat pun. Perbedaannya adalah bahwa budak perempuan hanya memiliki satu kemungkinan tempat pengawasan, yaitu di bawah pengawasan perempuan tepercaya, sedangkan selainnya dari barang gadai memiliki banyak kemungkinan tempat pengawasan, sehingga jika tidak disebutkan, maka batal akad gadai menurut salah satu pendapat karena perbedaan kemungkinan tempat pengawasan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَيْسَ لِلسَّيِّدِ أَخْذُهَا لِلْخِدْمَةِ خَوْفًا أَنْ يُحْبِلَهَا “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Dan tidak boleh bagi tuan (pemilik) mengambilnya untuk dijadikan pelayan karena khawatir ia akan menghamilinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَنَافِعَ الرَّهْنِ لِلرَّاهِنِ، وَهُوَ غَيْرُ مَمْنُوعٍ مِنْهَا مَا لَمْ يَكُنْ فِيهَا سَبَبٌ يُفْضِي إِلَى إِبْطَالِ وَثِيقَةِ الْمُرْتَهِنِ، أَوْ إِلَى النُّقْصَانِ فِيهَا، فَإِذَا كَانَ الرَّهْنُ أَمَةً، فَلَهَا مَنْفَعَتَانِ، اسْتِخْدَامٌ وَاسْتِمْتَاعٌ فَأَمَّا الِاسْتِخْدَامُ فَهُوَ غَيْرُ مَمْنُوعٍ؛ لِأَنَّهُ لَا يُفْضِي إِلَى إِبْطَالِ وَثِيقَةِ الْمُرْتَهِنِ وَلَا إِلَى النُّقْصَانِ فِيهَا.

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa manfaat dari barang gadai adalah milik pihak yang menggadaikan, dan ia tidak dilarang mengambil manfaat tersebut selama tidak ada sebab yang menyebabkan hilangnya jaminan bagi pihak penerima gadai atau mengurangi nilainya. Apabila barang gadai itu adalah budak perempuan, maka terdapat dua manfaat padanya: digunakan sebagai pelayan dan dinikmati (secara seksual). Adapun penggunaan sebagai pelayan, maka itu tidak dilarang, karena tidak menyebabkan hilangnya jaminan bagi pihak penerima gadai dan tidak pula mengurangi nilainya.

وَأَمَّا الِاسْتِمْتَاعُ فَإِنْ كَانَتْ مِمَّنْ يُخَافُ حَبَلُهَا فَهُوَ مَمْنُوعٌ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا، لِأَنَّ حبلهايُفْضِي إِلَى إِبْطَالِ وَثِيقَةِ الْمُرْتَهِنِ فِيهَا وَإِنْ كَانَتْ مِمَّنْ لَا يُخَافُ حَبَلُهَا لِصِغَرٍ أَوْ إِيَاسٍ، فَفِي جَوَازِ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا وَجْهَانِ:

Adapun pemanfaatan secara seksual, jika ia termasuk yang dikhawatirkan bisa hamil, maka pemiliknya dilarang memanfaatkannya secara seksual, karena kehamilannya dapat menyebabkan hilangnya jaminan bagi pihak penerima gadai. Namun jika ia termasuk yang tidak dikhawatirkan bisa hamil karena masih kecil atau sudah menopause, maka dalam kebolehan memanfaatkannya secara seksual terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: يَجُوزُ اسْتِمْتَاعُهُ بِهَا وَلَا يُمْنَعُ مِنْهُ، لِأَنَّهَا مَنْفَعَةٌ لَا تُفْضِي إِلَى إِبْطَالِ وَثِيقَةِ الْمُرْتَهِنِ مِنْهَا وَلَا إِلَى النُّقْصَانِ فِيهَا.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: Boleh memanfaatkannya secara seksual dan tidak dilarang, karena itu merupakan manfaat yang tidak menyebabkan hilangnya jaminan bagi pihak penerima gadai dan tidak pula mengurangi nilainya.

وَتَعْلِيلُ الشَّافِعِيِّ يَقْتَضِيهِ وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ يُمْنَعُ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ، لِأَنَّ عَادَةَ النِّسَاءِ فِي زَمَانِ الْحَمْلِ مُخْتَلِفَةٌ، فَرُبَّمَا أَسْرَعَ إِلَيْهَا بِقُوَّةِ الطَّبْعِ وَفَرَطِ الْحَرَارَةِ، وَرُبَّمَا تَأَخَّرَ لِضَعْفِ الطَّبْعِ وَكَثْرَةِ الْبُرُودَةِ، فَكَانَ حَسْمُ ذَلِكَ لِاخْتِلَافِهِ خَوْفًا مِنْ حُدُوثِ الْإِحْبَالِ أَوْلَى.

Penalaran al-Syafi‘i menuntut demikian, dan pendapat kedua—yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah—bahwa ia dilarang untuk menikmati (istri yang sedang dalam masa tertentu), karena kebiasaan perempuan pada masa kehamilan itu berbeda-beda; terkadang ada yang cepat (hamil) karena kekuatan tabiat dan tingginya suhu tubuh, dan terkadang lambat karena lemahnya tabiat dan banyaknya rasa dingin. Maka, pencegahan secara mutlak karena perbedaan tersebut lebih utama, demi menghindari terjadinya kehamilan.

كَمَا أَنَّ طِبَاعَ النَّاسِ لَمَّا كَانَتْ تَخْتَلِفُ فِي السُّكْرِ فَمِنْهُمْ مَنْ يَسْكَرُ بِالْقَلِيلِ وَمِنْهُمْ مَنْ لَا يَسْكَرُ بِهِ، مُنِعَ مِنْ قَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ.

Sebagaimana tabiat manusia berbeda-beda dalam hal mabuk; ada di antara mereka yang mabuk dengan sedikit (minuman), dan ada pula yang tidak mabuk karenanya, maka diharamkan baik sedikit maupun banyaknya.

فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَانِ الْوَجْهَانِ، فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا، لَمْ يَجُزْ أَنْ يَخْلُوَ بِهَا فِي الِاسْتِخْدَامِ لَهَا خَوْفًا مِنْ مُوَاقَعَتِهَا سَوَاءٌ كَانَتْ جَمِيلَةً أَمْ لَا، إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ الْمُرْتَهِنُ فَيَجُوزُ، لِأَنَّ هَذَا الْمَنْعَ لَيْسَ لِحَقِّ اللَّهِ تَعَالَى كَمَنْعِ الْمُرْتَهِنِ فَإِذَا أَذِنَ جَازَ.

Jika dua pendapat ini telah dijelaskan, maka jika dikatakan: Sesungguhnya ia dilarang untuk menikmati istrinya, maka tidak boleh ia berduaan dengannya dalam rangka mempekerjakannya karena dikhawatirkan terjadi hubungan badan, baik ia cantik maupun tidak, kecuali jika pemegang gadai mengizinkan, maka itu diperbolehkan. Sebab larangan ini bukanlah hak Allah Ta‘ala, seperti larangan dari pemegang gadai; maka jika ia mengizinkan, diperbolehkan.

فَإِذَا قِيلَ: إِنَّهُ غَيْرُ مَمْنُوعٍ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ، جَازَ أَنْ يَخْلُوَ بِهَا فِي الِاسْتِخْدَامِ لَهَا، لِأَنَّ أَكْثَرَ مَا يُخَافُ مِنَ الْخَلْوَةِ بِهَا أَنْ يَطَأَ وَالْوَطْءُ مُبَاحٌ لَهُ، والله أعلم.

Namun jika dikatakan: Ia tidak dilarang untuk menikmati istrinya, maka boleh ia berduaan dengannya dalam rangka mempekerjakannya, karena hal yang paling dikhawatirkan dari berduaan dengannya adalah terjadinya hubungan badan, dan hubungan badan itu halal baginya. Dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَا كَانَتْ مِنْ زِيَادَةٍ لَا تَتَمَيَّزُ مِنْهَا مِثْلَ الْجَارِيَةِ تَكْبُرُ وَالثَّمَرَةِ تَعْظُمُ وَنَحْوَ ذَلِكَ فَهُوَ غَيْرُ مُتَمَيِّزٍ مِنْهَا وَهِيَ رَهْنٌ كُلُّهَا “.

Al-Syafi‘i ra. berkata: “Tambahan yang tidak dapat dibedakan darinya, seperti budak perempuan yang tumbuh dewasa, buah yang membesar, dan semacamnya, maka itu tidak terpisah darinya dan semuanya menjadi barang gadai.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا حُكْمَ الزِّيَادَةِ الْمُتَّصِلَةِ فيما مضى قبل.

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan hukum tambahan yang menyatu sebelumnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَ الرَّهْنُ مَاشِيَةً فَأَرَادَ الرَّاهِنُ أَنْ يُنْزِيَ عَلَيْهَا أَوْ عَبْدًا صَغِيرًا فَأَرَادَ أَنْ يَخْتِنَهُ أَوِ احْتَاجَ إِلَى شُرْبِ دَوَاءٍ أَوْ فَتْحِ عِرْقٍ أَوِ الدَّابَّةُ إِلَى تَوْدِيجٍ أَوْ تَبْزِيعٍ فَلَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَمْنَعَهُ مِمَّا فِيهِ لِلرَّهْنِ مَنْفَعَةٌ وَيَمْنَعُهُ مِمَا فِيهِ مَضَرَّةٌ “.

Al-Syafi‘i ra. berkata: “Jika barang gadai itu hewan ternak, lalu pihak yang menggadaikan ingin mengawinkannya, atau budak kecil ingin dikhitan, atau membutuhkan minum obat, atau pembuluh darahnya harus dibuka, atau hewan tunggangan perlu dikawinkan atau dipotong telinganya, maka pemegang gadai tidak berhak melarangnya dari sesuatu yang bermanfaat bagi barang gadai, dan boleh melarangnya dari sesuatu yang membahayakan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا كَانَ الرهن مَاشِيَةً، فَإِنْ كَانَتْ ذُكْرَانًا فَلَهُ أَنْ يُنْزِيَهَا عَلَى إِنَاثِهِ مَا لَمْ يَتَجَاوَزْ فِيهَا الْعُرْفَ، لِأَنَّ الْإِنْزَاءَ مِنْ مَنْفَعَتِهَا وَلَا يَنْتَقِصُ شَيْءٌ مِنْ ثَمَنِهَا، فَإِنْ كَانَتْ إِنَاثًا فَأَرَادَ أَنْ يُنْزِيَ عَلَيْهَا ذُكْرَانًا، فَإِنْ كَانَتْ تَضَعُ قَبْلَ حُلُولِ الْحَقِّ فَلَهُ ذَلِكَ، وَلَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ مَنْعُهُ مِنْهُ فِي أَوَانِهِ، لِمَا فِي مَنْعِهِ مِنْ تَعْطِيلِ نَفْعِهَا وَذَهَابِ نِتَاجِهَا، فَإِنْ قِيلَ: أَلَيْسَ لَوْ كَانَ الرَّهْنُ جَارِيَةً لَمْ يَكُنْ لِلرَّاهِنِ أَنْ يُزَوِّجَهَا خَوْفًا مِنْ حَبَلِهَا. فَهَلَّا كَانَ مَمْنُوعًا فِي الْمَاشِيَةِ مِنَ الْإِنْزَاءِ عَلَيْهَا لِأَجْلِ حَبَلِهَا قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Al-Mawardi berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan, jika barang gadai adalah hewan ternak, maka jika hewan itu jantan, boleh dikawinkan dengan betinanya selama tidak melampaui kebiasaan, karena perkawinan adalah manfaatnya dan tidak mengurangi harganya. Jika hewan itu betina dan ingin dikawinkan dengan pejantan, jika ia akan melahirkan sebelum jatuh tempo hak (gadai), maka itu boleh, dan pemegang gadai tidak berhak melarangnya pada waktunya, karena larangan itu akan menghilangkan manfaat dan hasil keturunannya. Jika dikatakan: Bukankah jika barang gadai itu budak perempuan, pihak yang menggadaikan tidak boleh menikahkannya karena dikhawatirkan hamil? Mengapa tidak dilarang juga pada hewan ternak untuk dikawinkan karena kehamilannya? Maka dijawab: Perbedaannya ada pada tiga hal:

أَحَدُهَا: أَنَّ النِّتَاجَ فِي الْمَاشِيَةِ هُوَ الْمَنْفَعَةُ الْمَقْصُودَةُ وَالنَّمَاءُ الْمَطْلُوبُ غَالِبًا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي الْإِمَاءِ.

Pertama: Bahwa hasil keturunan pada hewan ternak adalah manfaat utama dan pertumbuhan yang diinginkan pada umumnya, sedangkan pada budak perempuan tidak demikian.

وَالثَّانِي: أَنَّ غَالِبَ الْوِلَادَةِ فِي الْإِمَاءِ مُخَوَّفٌ وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي الْمَاشِيَةِ.

Kedua: Bahwa pada umumnya kelahiran pada budak perempuan dikhawatirkan (membawa mudarat), sedangkan pada hewan ternak tidak demikian.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ الْوِلَادَةَ فِي الْإِمَاءِ فِي الْغَالِبِ نَقْصٌ وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي الْمَاشِيَةِ.

Ketiga: Bahwa kelahiran pada budak perempuan pada umumnya merupakan kekurangan, sedangkan pada hewan ternak tidak demikian.

فَأَمَّا إِذَا كَانَتْ لَا تَضَعُ قَبْلَ حُلُولِ الْحَقِّ، فَهَلْ لَهُ الْإِنْزَاءُ عَلَيْهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الماشية هل تباع إذ حَلَّ الْحَقُّ وَهِيَ حَوَامِلُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: –

Adapun jika hewan betina itu tidak akan melahirkan sebelum jatuh tempo hak (gadai), apakah boleh dikawinkan atau tidak? Ada dua pendapat yang dibangun di atas perbedaan pendapat tentang apakah hewan ternak boleh dijual ketika jatuh tempo hak (gadai) sementara ia sedang hamil atau tidak. Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُجْبَرُ الرَّاهِنُ عَلَى بَيْعِهَا عِنْدَ حُلُولِ الْحَقِّ وَإِنْ حَمَلَتْ وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَقُولُ إِنَّ الْحَمْلَ تَبَعٌ، فَعَلَى هَذَا لَهُ أَنْ يُنْزِيَ عَلَيْهَا وَلَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ مَنْعُهُ.

Pertama: Pihak yang menggadaikan dipaksa untuk menjualnya ketika jatuh tempo hak (gadai) meskipun sedang hamil, dan ini menurut pendapat yang mengatakan bahwa kehamilan itu mengikuti (induknya). Maka berdasarkan pendapat ini, boleh dikawinkan dan pemegang gadai tidak berhak melarangnya.

وَالثَّانِي: أَنَّ الرَّاهِنَ لَا يُجْبَرُ عَلَى بَيْعِهَا عِنْدَ حُلُولِ الْحَقِّ إِذَا حَمَلَتْ حَتَّى تَضَعَ وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَقُولُ إِنَّ الْحَمْلَ يَأْخُذُ قِسْطًا مِنَ الثَّمَنِ.

Kedua: Bahwa pihak yang menggadaikan (rāhin) tidak dapat dipaksa untuk menjual barang gadai tersebut ketika hak (pelunasan utang) jatuh tempo jika hewan itu sedang bunting, sampai ia melahirkan. Ini menurut pendapat yang mengatakan bahwa janin (dalam kandungan) juga mendapat bagian dari harga jual.

فَعَلَى هَذَا لَيْسَ لَهُ أَنْ يُنْزِيَ عَلَيْهَا إِلَّا بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ وَلِلْمُرْتَهِنِ مَنْعُهُ مِنْهُ لِمَا فِيهِ مِنْ تَأْخِيرِ حَقِّهِ.

Berdasarkan hal ini, maka tidak boleh baginya (rāhin) mengawinkan hewan tersebut kecuali dengan izin pihak penerima gadai (murtahin), dan murtahin berhak melarangnya karena hal itu dapat menyebabkan penundaan pelunasan haknya.

وَعَلَى هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ، لَوْ كَانَتِ الْمَاشِيَةُ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا، كَانَ وُجُوبُ التَّفْرِقَةِ بَيْنَ ذُكْرَانِهَا وأنثاها، عَلَى قَوْلَيْنِ، فَلَوْ قَالَ الرَّاهِنُ: أَنَا أُنْزِي عَلَيْهَا وَأَبِيعُهَا عِنْدَ مَحَلِّ الْحَقِّ حَوَامِلَ، كَانَ هَذَا وَعْدًا، وَلَهُ أَلَّا يَفْعَلَ وَلِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَمْنَعَهُ مِنْهُ.

Menurut kedua pendapat tersebut, jika hewan yang digadaikan terdiri dari jantan dan betina, maka kewajiban memisahkan antara jantan dan betinanya juga diperselisihkan menurut dua pendapat. Jika rāhin berkata, “Aku akan mengawinkan hewan ini dan akan menjualnya dalam keadaan bunting ketika hak jatuh tempo,” maka itu hanya sebatas janji, dan dia boleh untuk tidak melakukannya, serta murtahin berhak melarangnya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِنْ كَانَ الرَّهْنُ عَبْدًا وَأَرَادَ الرَّاهِنُ أَنْ يَخْتِنَهُ، فَإِنْ كَانَ حَقُّهُ حَالًّا أَوْ مُؤَجَّلًا يَحِلُّ قَبْلَ بُرْئِهِ مِنَ الْخِتَانِ، فَإِنَّ لِلْمُرْتَهِنِ مَنْعُهُ، لِأَنَّ فِي بَيْعِهِ قَبْلَ بُرْئِهِ نَقْصًا فِي ثَمَنِهِ، وَإِنْ كَانَ الْحَقُّ مُؤَجَّلًا يَحِلُّ بَعْدَ بُرْئِهِ مِنَ الْخِتَانِ، لَمْ يَكُنْ لِلْمُرْتَهِنِ مَنْعُهُ لِوُرُودِ الشَّرْعِ بِهِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي شِدَّةِ حَرٍّ أَوْ بَرْدٍ أَوْ بِالْعَبْدِ ضَنًى مِنْ مَرَضٍ يُخْشَى عَلَيْهِ إِنْ خُتِنَ فَيُمْنَعَ مِنْهُ حَتَّى يَطِيبَ الزَّمَانُ فَيَزُولَ الْمَرَضُ، فَأَمَّا إِنْ أَرَادَ أَنْ يَحْجُمَهُ فَلَهُ ذَلِكَ وَلَا يُمْنَعُ، لِأَنَّ الْحِجَامَةَ نَافِعَةٌ فِي الْغَالِبِ غَيْرُ مُخَوِّفَةٍ فِي الْعَادَةِ.

Jika barang gadai itu adalah seorang budak dan rāhin ingin mengkhitannya, maka jika hak (utang) sudah jatuh tempo atau akan jatuh tempo sebelum budak itu sembuh dari khitan, maka murtahin berhak melarangnya, karena menjual budak sebelum sembuh dari khitan akan mengurangi harga jualnya. Namun jika hak tersebut baru jatuh tempo setelah budak sembuh dari khitan, maka murtahin tidak berhak melarangnya karena syariat membolehkannya, kecuali jika sedang dalam cuaca sangat panas atau sangat dingin, atau budak tersebut sedang sakit yang dikhawatirkan akan bertambah parah jika dikhitan, maka dilarang sampai waktu memungkinkan dan penyakitnya hilang. Adapun jika rāhin ingin membekam budak tersebut, maka itu boleh dan tidak dilarang, karena bekam umumnya bermanfaat dan tidak membahayakan menurut kebiasaan.

فَأَمَّا الْفِصَادُ فَهُوَ أَخْوَفُ وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” قَطْعُ الْعُرُوقِ مَسْقَمَةٌ وَالْحِجَامَةُ خَيْرٌ مِنْهُ “.

Adapun fasd (mengeluarkan darah dengan memotong pembuluh darah) lebih berbahaya. Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Memotong pembuluh darah itu membahayakan, dan bekam lebih baik darinya.”

فَإِنْ لَمْ تَدْعُهُ إِلَى الْفِصَادِ حَاجَةٌ مُنِعَ مِنْهُ، وَإِنْ دَعَتْهُ إِلَى الْفِصَادِ حَاجَةٌ لَمْ يُمْنَعْ مِنْهُ، فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَنَّهُ أَرْخَصَ لِأُبَيِّ بِنْ كَعْبٍ فِي الْفَصْدِ “.

Jika tidak ada kebutuhan mendesak untuk melakukan fasd, maka dilarang melakukannya. Namun jika ada kebutuhan mendesak, maka tidak dilarang. Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau memberikan keringanan kepada Ubay bin Ka‘b untuk melakukan fasd.

وَأَمَّا إِنْ وَقَعَتْ فِي عُضْوٍ مِنْ أَعْضَائِهِ أَكَلَةٌ فَأَرَادَ قَطْعَهَا فَإِنْ كَانَ الْخَوْفُ مِنَ الْقَطْعِ أَكْثَرَ مِنَ الْخَوْفِ مِنَ الْأَكَلَةِ، مُنِعَ مِنْ قَطْعِهَا، وَإِنْ كَانَ الْخَوْفُ مِنَ الْأَكَلَةِ أَكْثَرَ مِنَ الْخَوْفِ مِنَ الْقَطْعِ لَمْ يُمْنَعْ.

Jika pada salah satu anggota tubuh budak terdapat penyakit (seperti gangren) dan rāhin ingin memotongnya, maka jika risiko dari pemotongan lebih besar daripada risiko dari penyakit tersebut, maka dilarang memotongnya. Namun jika risiko dari penyakit lebih besar daripada risiko pemotongan, maka tidak dilarang.

وَإِنْ كَانَ الْخَوْفُ مِنَ الْأَكَلَةِ كَالْخَوْفِ مِنَ الْقَطْعِ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ الْقَطْعُ يُزِيدُ فِي ثَمَنِهِ لَمْ يُمْنَعْ، وَإِنْ كَانَ لَا يُزِيدُ فِيهِ مُنِعَ.

Jika risiko dari penyakit dan risiko dari pemotongan sama, maka dilihat: jika pemotongan itu dapat meningkatkan harga jualnya, maka tidak dilarang; namun jika tidak meningkatkan harga jualnya, maka dilarang.

فَأَمَّا شُرْبُ الدَّوَاءِ فَنَوْعَانِ، مُخَوِّفٌ وَغَيْرُ مُخَوِّفٍ، فَأَمَّا غَيْرُ الْمُخَوِّفِ كَالشَّرَابِ وَالسَّعُوطِ فَغَيْرُ مَمْنُوعٍ مِنْهُ، وَأَمَّا الْمُخَوِّفُ فَمَا لَمْ تَدْعُ إِلَيْهِ حَاجَةٌ فَهُوَ مَمْنُوعٌ مِنْهُ، وَإِنْ دَعَتْ إِلَيْهِ حَاجَةٌ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ.

Adapun minum obat ada dua jenis: yang berbahaya dan yang tidak berbahaya. Yang tidak berbahaya seperti minuman atau obat tetes hidung, maka tidak dilarang. Adapun yang berbahaya, jika tidak ada kebutuhan mendesak maka dilarang, namun jika ada kebutuhan mendesak maka terbagi menjadi tiga keadaan.

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ السَّلَامَةُ فِيهِ أَغْلَبَ مِنَ الْخَوْفِ، فَهَذَا غَيْرُ مَمْنُوعٍ مِنْهُ.

Pertama: Jika kemungkinan selamat lebih besar daripada kemungkinan bahaya, maka tidak dilarang.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْخَوْفُ مِنْهُ أَغْلَبَ مِنَ السَّلَامَةِ، فَهَذَا مَمْنُوعٌ مِنْهُ.

Kedua: Jika kemungkinan bahaya lebih besar daripada kemungkinan selamat, maka dilarang.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهِ السَّلَامَةُ وَالْخَوْفُ، فَيُمْنَعُ مِنْهُ لِأَنَّهُ مُخَوِّفٌ.

Ketiga: Jika kemungkinan selamat dan bahaya seimbang, maka dilarang karena dianggap berbahaya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِنْ كَانَ الرَّهْنُ دَابَّةً، فَحُكْمُهَا حُكْمُ الْعَبْدِ وَحُكْمُ التَّوْدِيجِ وَالتَّبْزِيغِ حُكْمُ الْحِجَامَةِ وَالْفِصَادِ، لِأَنَّ التَّوْدِيجَ فِي الرَّقَبَةِ وَالتَّبْزِيغَ فِي الْيَدَيْنِ فَيَجُوزُ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَفْعَلَهُ وَلَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ مَنْعُهُ عَلَى النَّحْوِ الَّذِي وَصَفْنَاهُ، فَأَمَّا الْمُرْتَهِنُ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَفْعَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ بِحَالٍ، لِأَنَّ الرَّهْنَ مِلْكٌ لِغَيْرِهِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي غير ملكه.

Jika barang gadai itu adalah hewan tunggangan, maka hukumnya sama seperti budak. Adapun hukum tawdīj (pengobatan dengan besi panas di leher) dan tabzīgh (pengobatan dengan besi panas di tangan) sama seperti hukum bekam dan fasd, karena tawdīj dilakukan di leher dan tabzīgh di kedua tangan. Maka rāhin boleh melakukannya dan murtahin tidak berhak melarangnya sebagaimana telah dijelaskan. Adapun murtahin, ia tidak boleh melakukan salah satu dari semua itu dalam keadaan apapun, karena barang gadai adalah milik orang lain, sehingga tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan miliknya.

باب رهن المشترك

(Bab Gadai Milik Bersama)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا رَهَنَاهُ مَعَا عَبْدًا بِمَائَةٍ وَقَبَضَ الْمُرْتَهِنُ فَجَائِزٌ وَإِنْ أَبْرَأَ أَحَدَهُمَا مِمَّا عَلَيْهِ فَنِصْفُهُ خَارِجٌ مِنَ الرَّهْنِ “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika kita gadaikan bersama seorang budak dengan harga seratus, lalu penerima gadai mengambilnya, maka itu sah. Jika salah satu dari keduanya dibebaskan dari kewajibannya, maka setengahnya keluar dari gadai.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ – إِذَا كَانَ عَبْدٌ بَيْنَ رَجُلَيْنِ فَرَهَنَا مَعًا عِنْدَ رَجُلٍ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ صَحَّ الرَّهْنُ، بِوِفَاقِ أبي حنيفة: وَإِنْ كَانَ فِي رَهْنٍ مَشَاعٍ مُخَالِفًا؛ لِأَنَّهُ لَمَّا صَحَّ بَيْعُ عَبْدِهِمَا عَلَيْهِ صَحَّ رَهْنُ عَبْدِهِمَا عِنْدَهُ وَإِذَا صَحَّ رَهْنُهُ صَارَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نَصَّفَهُ بِخَمْسِينَ، فإن قضاه أحدهما: أو أبرأه أَحَدَهُمَا خَرَجَتْ حِصَّتُهُ وَهِيَ نِصْفُ الْعَبْدِ مِنَ الرَّهْنِ، وَقَالَ أبو حنيفة: إِذَا أَبْرَأَ أَحَدَهُمَا لَمْ تَخْرُجْ حِصَّتُهُ مِنَ الرَّهْنِ حَتَّى يُؤَدِّيَ الشريك ما عليها، وتبرئه الْمُرْتَهِنِ مِنْهُ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ رَهْنَ الْمَشَاعِ لَا يَجُوزُ فِي ابْتِدَاءِ عَقْدِهِ، فَكَذَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَصِيرَ الرَّهْنُ مَشَاعًا فِي انْتِهَاءِ فَكِّهِ.

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan—jika ada seorang budak dimiliki oleh dua orang, lalu keduanya bersama-sama menggadaikannya kepada seseorang dengan seratus dirham, maka gadai itu sah, sesuai pendapat Abū Ḥanīfah. Meskipun dalam gadai bagian bersama (musya‘), beliau berbeda pendapat; karena ketika sah jual beli budak milik mereka berdua kepadanya, maka sah pula gadai budak milik mereka berdua kepadanya. Jika gadai itu sah, maka masing-masing dari mereka menanggung setengahnya dengan lima puluh. Jika salah satu dari mereka melunasi atau penerima gadai membebaskannya, maka bagian miliknya, yaitu setengah budak, keluar dari gadai. Abū Ḥanīfah berkata: Jika salah satu dari mereka dibebaskan, maka bagiannya tidak keluar dari gadai sampai rekannya melunasi bagian yang menjadi tanggungannya dan penerima gadai membebaskannya, berdasarkan pendapat dasarnya bahwa gadai bagian bersama (musya‘) tidak sah pada awal akadnya, maka demikian pula tidak sah jika gadai itu menjadi bagian bersama pada akhir pembebasannya.

وَدَلِيلُنَا الْجَوَابُ عَلَى أَصْلِنَا فِي أَنَّ رَهْنَ الْمَشَاعِ جَائِزٌ فِي الِابْتِدَاءِ، فَكَذَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَصِيرَ الرَّهْنُ مَشَاعًا فِي الِانْتِهَاءِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ بَرِئَ مِنْ جَمِيعِ مَا كَانَ مِلْكُهُ مَرْهُونًا فِيهِ فَوَجَبَ أَنْ يخرج من الرهن كالمتفرد، ولأنها براءة تنفك بِهَا رَهْنُ الْمُنْفَرِدِ فَوَجَبَ أَنْ يَنْفَكَّ بِهَا رَهْنُ الْمُشْتَرِي. أَصْلُهُ: إِذَا بَرِئَ الشَّرِيكَانِ وَاللَّهُ أعلم.

Dalil kami adalah jawaban atas dasar kami bahwa gadai bagian bersama (musya‘) boleh pada permulaan, maka demikian pula boleh jika gadai itu menjadi bagian bersama pada akhirnya; karena ia telah terbebas dari seluruh bagian miliknya yang tergadai, maka wajib keluar dari gadai sebagaimana orang yang sendiri. Dan karena pembebasan ini dapat melepaskan gadai milik orang yang sendiri, maka wajib pula dapat melepaskan gadai milik pembeli. Dasarnya: jika kedua sekutu telah terbebas, dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ رَهَنَهُ مِنْ رَجُلَيْنِ بِمَائَةٍ وَقَبَضَاهُ فَنِصْفُهُ مَرْهُونٌ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِخَمْسِينَ فَإِنْ أَبْرَأَهُ أَحَدَهُمَا أَوْ قَبَضَ مِنْهُ نِصْفَ الْمِائَةِ فَنِصْفُهُ خَارِجٌ مِنَ الرَّهْنِ “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang menggadaikan budaknya kepada dua orang dengan harga seratus, lalu keduanya menerimanya, maka setengahnya tergadai kepada masing-masing dari mereka dengan lima puluh. Jika salah satu dari mereka membebaskannya atau menerima dari dia setengah dari seratus, maka setengahnya keluar dari gadai.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا رَهَنَ رجل واحدا عَبْدًا لَهُ مِنْ رَجُلَيْنِ عَلَى مِائَةِ دِرْهَمٍ لَهُمَا عَلَيْهِ وَصَحَّ الرَّهْنُ، كَانَ نِصْفُهُ رَهْنًا عِنْدَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى خَمْسِينَ، فَيَصِيرُ الرَّهْنُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَاحِدًا، وَالْمُرْتَهِنُ اثْنَيْنِ، وَفِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى كَانَ الْمُرْتَهِنُ وَاحِدًا وَالرَّاهِنُ اثْنَيْنِ، وَالْحُكْمُ فِيهِمَا سَوَاءٌ، فَإِذَا بَرِئَ الرَّاهِنُ مِنْ حَقِّ أَحَدِهِمَا بِأَدَاءٍ أَوْ إِبْرَاءٍ خَرَجَ نِصْفُ الْعَبْدِ مِنَ الرَّهْنِ وَكَانَ نِصْفُهُ الْبَاقِي رَهْنًا فِي يَدِ الْآخَرِ حَتَّى يُؤَدِّيَ إِلَيْهِ حقه وتبرئه منه.

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Jika seseorang menggadaikan satu budaknya kepada dua orang atas seratus dirham yang menjadi tanggungan kepadanya dan gadai itu sah, maka setengahnya menjadi gadai di tangan masing-masing dari mereka atas lima puluh. Maka dalam masalah ini, gadai menjadi satu, sedangkan penerima gadai ada dua, dan dalam masalah pertama penerima gadai satu dan penggadai dua, dan hukum pada keduanya sama. Jika penggadai telah terbebas dari hak salah satu dari mereka dengan pelunasan atau pembebasan, maka setengah budak keluar dari gadai dan setengah sisanya tetap tergadai di tangan yang lain sampai ia melunasi haknya dan membebaskannya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

إِذَا رَهَنَ الرَّجُلُ الْوَاحِدُ عَبْدَيْنِ لَهُ عِنْدَ الرَّجُلِ الْوَاحِدِ عَلَى مِائَتَيْ دِرْهَمٍ فَذَلِكَ على ضربين:

Jika seseorang menggadaikan dua budaknya kepada satu orang atas dua ratus dirham, maka hal itu terbagi menjadi dua bentuk:

أحدها: أَنْ يَرْهَنَ جَمِيعَ الْعَبْدَيْنِ عَلَى جَمِيعِ الْمِائَتَيْنِ، فَهَذَا رَهْنٌ وَاحِدٌ قَدِ اشْتَمَلَ عَلَى عَبْدَيْنِ، فَإِنْ قَضَاهُ أَحَدَ الْمِائَتَيْنِ لَمْ يَنْفَكَّ وَاحِدٌ مِنَ الْعَبْدَيْنِ، فَإِنْ قَضَاهُ جَمِيعَ الْمِائَتَيْنِ انْفَكَّ جَمِيعُ الْعَبْدَيْنِ، وَلَوْ كَانَ قَدْ أَقْبَضَهُ أَحَدَ الْعَبْدَيْنِ كَانَ الْمَقْبُوضُ رَهْنًا بِجَمِيعِ الْمِائَتَيْنِ.

Pertama: Menggadaikan kedua budak itu sekaligus atas seluruh dua ratus, maka ini adalah satu gadai yang mencakup dua budak. Jika ia melunasi salah satu dari dua ratus, maka tidak ada satu pun dari kedua budak yang bebas. Jika ia melunasi seluruh dua ratus, maka kedua budak itu bebas seluruhnya. Jika ia hanya menyerahkan salah satu budak, maka yang diserahkan itu menjadi gadai atas seluruh dua ratus.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَرْهَنَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الْعَبْدَيْنِ فِي مِائَةٍ فَيَصِيرَا رَهْنَيْنِ رَاهِنُهُمَا وَاحِدٌ، وَمُرْتَهِنُهُمَا وَاحِدٌ، فَإِنْ قَضَاهُ إِحْدَى الْمِائَتَيْنِ انْفَكَّ أَحَدُ الْعَبْدَيْنِ، وَلَوْ كَانَ قَدْ أَقْبَضَهُ أَحَدَ الْعَبْدَيْنِ كَانَ الْمَقْبُوضُ رَهْنًا فِي إِحْدَى الْمِائَتَيْنِ، فَيَجْرِي عَلَيْهِمَا حُكْمُ الْعَقْدَيْنِ إِذَا كَانَا مِنْ رَاهِنَيْنِ أَوْ مُرْتَهِنَيْنِ، فَلَوِ اخْتَلَفَتْ قِيمَةُ الْعَبْدَيْنِ فَقَالَ الرَّاهِنُ قَضَيْتُ الْمِائَةَ الَّتِي فِيهَا أَكْثَرُ الْعَبْدَيْنِ قِيمَةً وَقَالَ الْمُرْتَهِنُ بَلْ قَضَيْتَ الْمِائَةَ الَّتِي فِيهَا أَقَلُّ الْعَبْدَيْنِ قِيمَةً كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الرَّاهِنِ.

Bentuk kedua: Menggadaikan masing-masing budak atas seratus, maka menjadi dua gadai, penggadainya satu, penerima gadainya satu. Jika ia melunasi salah satu dari dua ratus, maka salah satu budak bebas. Jika ia hanya menyerahkan salah satu budak, maka yang diserahkan itu menjadi gadai atas salah satu dari dua ratus. Maka berlaku atas keduanya hukum dua akad jika berasal dari dua penggadai atau dua penerima gadai. Jika nilai kedua budak berbeda, lalu penggadai berkata, “Aku telah melunasi seratus yang di dalamnya terdapat budak yang nilainya lebih tinggi,” dan penerima gadai berkata, “Justru engkau telah melunasi seratus yang di dalamnya terdapat budak yang nilainya lebih rendah,” maka yang dipegang adalah perkataan penggadai.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَلَوْ كَانَ الرَّاهِنُ قَضَاهُ مِائَةً يَنْوِي بِهَا إِحْدَى الْمِائَتَيْنِ بِكَمَالِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ قَدْ عَيَّنَهَا فِي أَحَدِ الْعَبْدَيْنِ، ثُمَّ أَرَادَ الرَّاهِنُ أَنْ يَفُكَّ بِهَا أَكْثَرَ الْعَبْدَيْنِ قِيمَةً، وَأَرَادَ الْمُرْتَهِنُ أَنْ يَفُكَّ أَقَلَّهُمَا قِيمَةً فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika pihak yang menggadaikan telah membayar seratus (dirham) dengan niat untuk membebaskan salah satu dari dua budak secara penuh, tanpa menentukan pada salah satu dari kedua budak tersebut, kemudian pihak yang menggadaikan ingin membebaskan budak yang nilainya lebih tinggi dengan pembayaran itu, sedangkan pihak penerima gadai ingin membebaskan budak yang nilainya lebih rendah, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: إِنَّ الْمِائَةَ الْمَقْضِيَّةَ مَوْقُوفَةٌ عَلَى خِيَارِ الرَّاهِنِ فِي تَعْيِينِهَا فِي أَيِّ الْعَبْدَيْنِ شَاءَ، فَعَلَى هَذَا لَهُ أَنْ يَأْخُذَ أَيَّ الْعَبْدَيْنِ شَاءَ بَعْدَ أَنْ يُعَيِّنَ الْمِائَةَ فِيهِ.

Pendapat pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: Seratus yang telah dibayarkan itu statusnya tergantung pada pilihan pihak yang menggadaikan untuk menentukan pada budak yang mana saja yang ia kehendaki. Dengan demikian, ia berhak mengambil salah satu dari kedua budak itu setelah ia menentukan seratus tersebut untuknya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْمِائَةَ الْمَقْضِيَّةَ لَا تَكُونُ مَوْقُوفَةً عَلَى خِيَارِ الرَّاهِنِ فِي التَّعْيِينِ، وَلَا عَلَى خِيَارِ الْمُرْتَهِنِ لِوُقُوعِ الْإِبْرَاءِ بِالْأَدَاءِ، فَعَلَى هَذَا قَدْ بَرِئَ فِي إِحْدَى الْمِائَتَيْنِ لَا بِعَيْنِهَا، وَخَرَجَ مِنَ الرَّاهِنِ أَحَدُ الْعَبْدَيْنِ لَا بِعَيْنِهِ، وَبَقِيَ فِي الرَّهْنِ أَحَدُ الْعَبْدَيْنِ لَا بِعَيْنِهِ، وَلَيْسَ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي أَحَدِ الْعَبْدَيْنِ بِعَيْنِهِ، لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ هُوَ الْمَرْهُونُ، وَلَا يَجُوزُ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَحْبِسَ أَحَدَ الْعَبْدَيْنِ بِعَيْنِهِ، لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ هُوَ الْمَفْكُوكُ، وَيُوضَعُ الْعَبْدَانِ عَلَى يَدَيْ عَدْلٍ لِلْجَهْلِ بِتَعْيِينِ الْمَفْكُوكِ مِنَ الْمَرْهُونِ، إِلَّا أَنْ يَصْطَلِحَا عَلَى فَكِّ أَحَدِهِمَا بِعَيْنِهِ، وَبَقَاءِ الْآخَرِ بِعَيْنِهِ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah: Seratus yang telah dibayarkan itu tidak tergantung pada pilihan pihak yang menggadaikan dalam penentuan, dan tidak pula pada pilihan pihak penerima gadai, karena pembebasan telah terjadi dengan pembayaran. Maka, dalam hal ini, telah bebas salah satu dari dua budak, namun tidak secara spesifik, dan keluar dari pihak yang menggadaikan salah satu dari kedua budak, juga tidak secara spesifik, serta yang tersisa dalam gadai adalah salah satu dari kedua budak, juga tidak secara spesifik. Pihak yang menggadaikan tidak boleh melakukan tindakan terhadap salah satu budak secara spesifik, karena bisa jadi dialah yang menjadi barang gadai, dan pihak penerima gadai pun tidak boleh menahan salah satu budak secara spesifik, karena bisa jadi dialah yang telah dibebaskan. Maka kedua budak itu diletakkan di tangan pihak yang adil karena ketidaktahuan dalam penentuan mana yang telah dibebaskan dari barang gadai, kecuali jika keduanya sepakat untuk membebaskan salah satu secara spesifik dan membiarkan yang lain secara spesifik.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَلَوْ كَانَ الرَّاهِنُ قَضَاهُ مِائَةً مُطْلَقَةً، وَلَمْ يَنْوِ بِهَا إِحْدَى الْمِائَتَيْنِ بِكَمَالِهَا كَانَ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika pihak yang menggadaikan membayar seratus secara mutlak, dan tidak meniatkan untuk membebaskan salah satu dari dua budak secara penuh, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّهَا مَوْقُوفَةٌ وَلَهُ أَنْ يَصْرِفَهَا إِلَى أَيِّ الْمِائَتَيْنِ شَاءَ، وَيُفَكُّ بِهَا الْعَبْدُ الْمَرْهُونُ فِيهَا.

Pendapat pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: Seratus itu statusnya tergantung, dan ia boleh mengarahkannya kepada salah satu dari dua budak yang ia kehendaki, dan budak yang menjadi barang gadai pada seratus itu dibebaskan dengannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهَا تَكُونُ قَضَاءً مِنْ قَضَاءٍ مِنَ الْمِائَتَيْنِ نِصْفَيْنِ، وَلَا يَنْفَكُّ وَاحِدٌ مِنَ الْعَبْدَيْنِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah: Seratus itu menjadi pembayaran dari dua pembayaran atas dua budak, masing-masing setengah, dan tidak ada satu pun dari kedua budak yang terbebaskan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَ الرَّهْنُ مِمَّا يُكَالُ أَوْ يُوزَنُ كَانَ لِلَّذِيَ افْتَكَّ نِصْفَهُ أَنْ يُقَاسِمَ الْمُرْتَهِنَ بِإِذْنِ شَرِيكِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika barang gadai berupa sesuatu yang ditakar atau ditimbang, maka pihak yang membebaskan setengahnya berhak membagi dengan penerima gadai dengan izin dari rekannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِنَّمَا عَطَفَ الشَّافِعِيُّ بِهَذِهِ الْمَسْأَلَةِ عَلَى الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى، وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الرَّاهِنُ اثْنَيْنِ وَالْمُرْتَهِنُ وَاحِدٌ، فَيَنْفَكُّ حِصَّةُ أحد الراهنين من الرهنين، إِمَّا بِأَدَاءٍ أَوْ إِبْرَاءٍ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الرهن إذا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Syafi‘i menyambungkan masalah ini dengan masalah sebelumnya, yaitu jika pihak yang menggadaikan ada dua orang dan penerima gadai satu orang, lalu bagian salah satu dari dua pihak yang menggadaikan terbebas dari dua barang gadai, baik dengan pembayaran maupun pembebasan, maka keadaan barang gadai tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مِمَّا لَا يُقَسَّمُ جَبْرًا وَلَا صُلْحًا كَالْعَبْدِ وَالدَّابَّةِ، فَتَكُونُ الْحِصَّةُ الْخَارِجَةُ مِنَ الرَّهْنِ شَائِعَةً، وَلِمَالِكِهَا التَّصَرُّفُ فِيهَا، كَتَصَرُّفِ الشُّرَكَاءِ فِي الْمَشَاعِ.

Pertama: Jika barang gadai berupa sesuatu yang tidak dapat dibagi secara paksa maupun damai, seperti budak dan hewan tunggangan, maka bagian yang keluar dari barang gadai menjadi bagian bersama, dan pemiliknya berhak melakukan tindakan atasnya sebagaimana tindakan para sekutu dalam harta bersama.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مِمَّا يُقَسَّمُ جَبْرًا، وَهُوَ ما تماثل أجزاؤه من الحبوب المكيلة والمائعات الموزونة، فإذا ادعى الشريك إلى القيمة أَجْبَرَ الشَّرِيكُ الرَّاهِنَ وَالْمُرْتَهِنَ عَلَى مُقَاسَمَتِهِ، فَإِنْ قسم ذلك بنفسه، وأخذ من الحملة قَدْرَ حِصَّتِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَقَاسَمَهُ الْمُرْتَهِنُ وَالشَّرِيكُ وَالرَّاهِنُ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Bagian kedua: Jika barang gadai berupa sesuatu yang dapat dibagi secara paksa, yaitu barang-barang yang bagian-bagiannya serupa seperti biji-bijian yang ditakar dan cairan yang ditimbang, maka jika sekutu menuntut pembagian berdasarkan nilai, sekutu yang menggadaikan dan penerima gadai dipaksa untuk membaginya. Jika ia membaginya sendiri dan mengambil dari tumpukan sesuai bagiannya tanpa membaginya bersama penerima gadai, sekutu, dan pihak yang menggadaikan, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ ذَلِكَ لا يجوز، لأن الملك مشترك بينها فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَفَرَّدَ أَحَدُهُمَا بِتَمْلِيكِ بَعْضِهِ، وعلى هذا يكون ما أخذه بالقسمة بينها، وَعَلَيْهِ ضَمَانُهُ وَمَا تَرَكَهُ بَيْنَهُمَا، وَلَيْسَ عَلَيْهِ ضَمَانُهُ.

Pertama: Hal itu tidak diperbolehkan, karena kepemilikan adalah milik bersama di antara mereka, sehingga tidak boleh salah satu dari mereka secara sepihak memiliki sebagian darinya. Berdasarkan pendapat ini, apa yang diambilnya dengan pembagian itu menjadi milik bersama di antara mereka, dan ia bertanggung jawab atasnya, sedangkan apa yang ditinggalkannya tetap menjadi milik bersama di antara mereka, dan ia tidak bertanggung jawab atasnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ، لِأَنَّ مَا أَخَذَهُ لَوْ كَانَ غَاصِبًا ضَمِنَهُ بِمِثْلِهِ، فَإِذَا كَانَ شَرِيكًا ضَمِنَهُ بِحَقِّهِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ أَخَذَ بِالْقِسْمَةِ أَكْثَرَ مِنْ حَقِّهِ مَلَكَ مِنْهُ قَدْرَ حِصَّتِهِ، وَضَمِنَ الزِّيَادَةَ لِشَرِيكِهِ.

Pendapat kedua: Hal itu diperbolehkan, karena apa yang diambilnya, seandainya ia seorang ghashib (perampas), maka ia wajib menggantinya dengan yang sepadan. Maka jika ia adalah seorang syarik (sekutu), ia wajib menggantinya sesuai dengan haknya. Berdasarkan hal ini, jika ia mengambil melalui pembagian lebih dari haknya, maka ia hanya memiliki bagian sesuai porsinya, dan ia wajib menanggung kelebihan tersebut untuk sekutunya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ مِمَّا يُقَسَّمُ صُلْحًا وَلَا يقسم جبرا، وهو ما اختلقت أجزاؤه وتفاضلت قيمته، كالبقر والأرض والعروض والنبات، فلا تصح للقسمة إلا برضى الرَّاهِنِ الْبَاقِي وَالْمُرْتَهِنِ، فَإِنْ تَفَرَّدَ أَحَدُهُمَا بِمُقَاسَمَتِهِ تَصِحُّ الْقِسْمَةُ؛ لِأَنَّ لِلرَّاهِنِ حَقَّ الْمِلْكِ وَلِلْمُرْتَهِنِ حق المنفعة الْوَثِيقَةِ، فَإِنْ رَضِيَ الرَّاهِنُ دُونَ الْمُرْتَهِنِ لَمْ يجبر المرتهن؛ لحقه في الْوَثِيقَةِ، فَإِنْ رَضِيَ الرَّاهِنُ دُونَ الْمُرْتَهِنِ لَمْ يجبر المرتهن؛ لحقه فِي الْوَثِيقَةِ، وَلَوْ رَضِيَ الْمُرْتَهِنُ دُونَ الرَّاهِنِ لَمْ يُجْبَرِ الرَّاهِنُ لِحَقِّهِ فِي الْمِلْكِ، وَلَكِنْ لَوْ رَضِيَا مَعًا وَجَعَلَ أَحَدُهُمَا إِلَى الْآخَرِ مُقَاسَمَةَ الشَّرِيكِ جَازَ ذَلِكَ وَصَحَّتِ الْقِسْمَةُ، سَوَاءٌ قَاسَمَهُ الرَّاهِنُ بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ، أَوْ قَاسَمَهُ بإذن الراهن.

Bagian ketiga: Yaitu sesuatu yang pembagiannya dilakukan secara damai (ṣulḥ) dan tidak dapat dipaksa, yaitu barang yang bagian-bagiannya berbeda dan nilainya tidak sama, seperti sapi, tanah, barang dagangan, dan tanaman. Maka pembagian tidak sah kecuali dengan kerelaan pihak rāhin (pemilik gadai) yang masih ada dan murtahin (penerima gadai). Jika salah satu dari keduanya melakukan pembagian sendiri, maka pembagian itu sah, karena rāhin memiliki hak milik dan murtahin memiliki hak manfaat atas jaminan. Jika rāhin rela tanpa persetujuan murtahin, maka murtahin tidak dapat dipaksa karena ia memiliki hak atas jaminan. Jika murtahin rela tanpa persetujuan rāhin, maka rāhin tidak dapat dipaksa karena ia memiliki hak atas kepemilikan. Namun, jika keduanya rela dan salah satu dari mereka menyerahkan urusan pembagian kepada yang lain sebagai sekutu, maka hal itu diperbolehkan dan pembagian tersebut sah, baik rāhin yang membagi dengan izin murtahin, atau murtahin yang membagi dengan izin rāhin.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَأْذَنَ رَجُلٌ لِرَجُلٍ فِي أَنْ يَرْهَنَ عَبْدَهُ إِلَّا بِشَيْءٍ مَعْلُومٍ أَوْ أَجَلٍ مَعْلُومٍ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Tidak boleh seseorang mengizinkan orang lain untuk menggadaikan hambanya kecuali untuk sesuatu yang jelas (diketahui) atau untuk jangka waktu yang jelas (diketahui).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ تَقَدَّمَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي بَابِ بَيْعِ الْحَاكِمِ وَالِاسْتِحْقَاقِ وَاسْتَوْفَيْنَا منصوصها، واستقصينا فروعها، فإذا استعار أرضا لرهنه جَازَ وَفِيهِ قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dijelaskan sebelumnya dalam bab jual beli oleh hakim dan istihqāq, dan kami telah menyebutkan nashnya serta menguraikan cabang-cabangnya. Jika seseorang meminjam tanah untuk digadaikan, maka hal itu boleh dan terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَجْرِيَ مَجْرَى الْعَارِيَةِ، فَعَلَى هَذَا يَصِحُّ أَنْ يَسْتَعِيرَهُ لِيَرْهَنَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَذْكُرَ قَدْرَ الْحَقِّ وَوَصْفَهُ وَمُسْتَحَقَّهُ.

Salah satunya: Diperlakukan seperti pinjaman (al-‘āriyah), sehingga boleh meminjamkannya untuk digadaikan tanpa menyebutkan besaran hak, sifatnya, dan siapa yang berhak menerimanya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَجْرِيَ مَجْرَى الضَّمَانِ، وَهُوَ الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ، فَعَلَى هَذَا لَا يَصِحُّ حَتَّى يَذْكُرَ قَدْرَ الْحَقِّ ووصفه ومستحقه.

Pendapat kedua: Diperlakukan seperti penjaminan (ḍamān), dan inilah yang dinyatakan secara tegas dalam masalah ini. Berdasarkan pendapat ini, tidak sah kecuali disebutkan besaran hak, sifatnya, dan siapa yang berhak menerimanya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ رَهَنَهُ بِأَكْثَرَ لَمْ يَجُزْ مِنَ الرَّهْنِ شيء “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia menggadaikannya untuk jumlah yang lebih banyak, maka tidak sah sedikit pun dari barang gadai tersebut.”

قال الماوردي: لأنا قد ذكرنا إِذَا أَذِنَ لَهُ مَالِكُ الْعَبْدِ أَنْ يَرْهَنَهُ بِمِائَةٍ، جَازَ أَنْ يَرْهَنَهُ بِالْمِائَةِ فَمَا دُونَ، فَإِنْ رَهَنَهُ بِأَكْثَرَ مِنْ مِائَةٍ كَانَ رَهْنُهُ فِيمَا زَادَ عَلَى الْمِائَةِ بَاطِلًا، وَفِي الْمِائَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ.

Al-Mawardi berkata: Karena telah kami sebutkan, jika pemilik budak mengizinkan untuk menggadaikannya dengan nilai seratus, maka boleh menggadaikannya untuk seratus atau kurang dari itu. Jika ia menggadaikannya untuk lebih dari seratus, maka gadai atas kelebihan dari seratus itu batal, dan untuk seratus ada dua pendapat terkait pemisahan akad.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ رَهَنَهُ بِمَا أَذِنَ لَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَخْذَهُ بِافْتِكَاكِهِ وَكَانَ الْحَقُّ حَالًّا كَانَ ذَلِكَ له وتبع في ماله حتى يوفى الغريم حقه ولو لم يرد ذلك الغريم أسلم عبده المرهون وإن كان أذن له إلى أجل معلوم لم يكن له أن يأخذه بافتكاكه إلا إلى محله “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia menggadaikannya sesuai izin yang diberikan, lalu ia ingin mengambilnya dengan menebusnya dan hak tersebut telah jatuh tempo, maka itu boleh baginya dan ia mengikuti hartanya hingga hak kreditur terpenuhi. Jika kreditur tidak menginginkannya, maka budak yang digadaikan itu diserahkan. Jika ia diizinkan sampai waktu tertentu, maka ia tidak boleh mengambilnya dengan menebusnya kecuali pada waktunya.”

قال الماوردي: قد ذكرنا أنه إذا رهن الْمُسْتَعِيرُ بِمَا أُذِنَ لَهُ عَلَى الْوَصْفِ الَّذِي ذَكَرَهُ ثُمَّ أَرَادَ الْمَالِكُ أَنْ يَأْخُذَهُ الْمُسْتَعِيرُ بِفِكَاكِهِ، فَإِنْ كَانَ الْحَقُّ مُنْجَزًا فَلَهُ ذَلِكَ، وَإِنْ كَانَ مُؤَجَّلًا فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa jika peminjam menggadaikan sesuai izin yang diberikan dan dengan sifat yang telah disebutkan, lalu pemilik ingin mengambilnya dari peminjam dengan menebusnya, maka jika hak tersebut telah jatuh tempo, ia boleh melakukannya. Jika hak tersebut masih ditangguhkan, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهُ ذَلِكَ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْعَارِيَةِ؛ لِأَنَّ الْعَوَارِيَ مُسْتَرْجَعَةٌ.

Salah satunya: Ia boleh melakukannya jika dikatakan bahwa hal itu diperlakukan seperti pinjaman (‘āriyah), karena barang pinjaman dapat diambil kembali.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الضَّمَانِ، لِأَنَّ الضَّمَانَ لَا يَسْتَحِقُّ فِيهِ الرُّجُوعُ قَبْلَ الْمَحَلِّ، وَقَدِ اسْتَوْفَيْنَا فِي فُصُولٍ هَذِهِ الْمَسَائِلَ مَا يُغْنِي عَنْ إِعَادَتِهِ، وَسَنَذْكُرُ فُصُولًا تَتَعَلَّقُ بها.

Pendapat kedua: Ia tidak boleh melakukannya jika dikatakan bahwa hal itu diperlakukan seperti penjaminan (ḍamān), karena dalam penjaminan tidak berhak untuk menarik kembali sebelum jatuh tempo. Kami telah menguraikan masalah-masalah ini dalam beberapa bab sehingga tidak perlu diulang, dan kami akan menyebutkan bab-bab yang berkaitan dengannya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

إِذَا اسْتَعَارَ رَجُلَانِ مِنْ رَجُلٍ عَبْدًا وَرَهَنَاهُ عِنْدَ رَجُلٍ عَلَى مِائَةِ دِرْهَمٍ، كَانَ نصفه رَهْنًا لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى خَمْسِينَ دِرْهَمًا، فَإِنْ أَقْضَاهُ أَحَدُهُمَا خَمْسِينَ خَرَجَ نِصْفُهُ مِنَ الرَّهْنِ، وَلَوِ اسْتَعَارَ رَجُلٌ عَبْدَيْنِ مِنْ رَجُلَيْنِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَحَدُ الْعَبْدَيْنِ وَرَهَنَهُمَا عِنْدَ رَجُلٍ عَلَى مِائَةِ دِرْهَمٍ كَانَ لِلرَّاهِنِ أَنْ يَفْتَكَّ أَحَدَ الْعَبْدَيْنِ وَيَدْفَعَ نِصْفَ الْمِائَةِ؛ لِأَنَّهُ إِذَا كَانَا لِمَالِكَيْنِ جَرَى عَلَيْهِمَا حُكْمُ الْعَقْدَيْنِ، فَإِنْ كَانَ الْمُرْتَهِنُ عَالِمًا بِأَنَّ الْعَبْدَيْنِ لِرَجُلَيْنِ فَلَا خِيَارَ لَهُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ الْمَشْرُوطِ ارْتِهَانُ الْعَبْدِ، وَإِنْ كَانَ الْمُرْتَهِنُ جَاهِلًا بِأَنَّ العبدين الاثنين فإن قضاه الراهن ما قضاه مجتمعا وافتكها معا فلا خيار له، وإن قَضَاهُ عَنْ أَحَدِهِمَا وَافْتَكَّ وَاحِدًا مِنْهُمَا فَهَلْ لَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: حَكَاهُمَا أَبُو حَامِدٍ فِي جَامِعِهِ.

Jika dua orang meminjam seorang budak dari seseorang, lalu mereka menjadikannya sebagai barang gadai kepada seseorang atas utang seratus dirham, maka setengah dari budak itu menjadi barang gadai untuk masing-masing dari mereka atas lima puluh dirham. Jika salah satu dari mereka melunasi lima puluh dirham, maka setengah dari budak itu keluar dari gadai. Jika seseorang meminjam dua budak dari dua orang (masing-masing satu budak), lalu menjadikan keduanya sebagai barang gadai kepada seseorang atas utang seratus dirham, maka bagi orang yang menggadaikan, boleh menebus salah satu dari kedua budak itu dengan membayar setengah dari seratus dirham; karena jika keduanya milik dua orang, maka berlaku atas keduanya hukum dua akad. Jika penerima gadai mengetahui bahwa kedua budak itu milik dua orang, maka ia tidak memiliki hak khiyar (memilih) untuk membatalkan jual beli yang disyaratkan dengan penggadaian budak. Namun jika penerima gadai tidak mengetahui bahwa kedua budak itu milik dua orang, lalu orang yang menggadaikan melunasi seluruh utang dan menebus keduanya sekaligus, maka tidak ada hak khiyar baginya. Tetapi jika ia melunasi utang atas salah satu dari keduanya dan menebus salah satunya saja, apakah ia memiliki hak khiyar untuk membatalkan jual beli atau tidak? Ada dua pendapat yang dinukil oleh Abu Hamid dalam kitab Jami‘-nya.

أَحَدُهُمَا: لَا خِيَارَ لَهُ، لِبَقَاءِ وَثِيقَتِهِ فِي بَاقِي الْحَقِّ.

Salah satunya: Tidak ada hak khiyar baginya, karena jaminannya masih ada pada sisa haknya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَهُ الْخِيَارُ لِأَنَّ فَكَّهُمَا مَعًا خَيْرٌ لِلْمُرْتَهِنِ مِنْ فَكِّ أَحَدِهِمَا.

Pendapat kedua: Ia memiliki hak khiyar, karena menebus keduanya sekaligus lebih baik bagi penerima gadai daripada menebus salah satunya saja.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَلَوْ كَانَ الْعَبْدُ بَيْنَ رَجُلَيْنِ، وَكَانَ الْعَبْدُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ، فَاسْتَعَارَهُ رَجُلٌ لِرَهْنِهِ عِنْدَ رجل، وأقر بِمِائَةِ دِرْهَمٍ فَرَهَنَهُ عِنْدَهُ عَلَى الْمِائَةِ، ثُمَّ أَرَادَ الرَّاهِنُ أَنْ يَفُكَّ إِحْدَى الْحِصَّتَيْنِ قَبْلَ الْأُخْرَى، فَإِنْ كَانَ الْمُرْتَهِنُ عَالِمًا أَنَّ الْعَبْدَ لِرَجُلَيْنِ فَلِلرَّاهِنِ أَنْ يَفُكَّ أَيَّ الْحِصَّتَيْنِ شَاءَ، بِأَنْ يَدْفَعَ خَمْسِينَ دِرْهَمًا وَيَفُكَّ نِصْفَ الْعَبْدِ، فَإِنْ كَانَ الْمُرْتَهِنُ جَاهِلًا فَإِنَّ الْعَبْدَ لِرَجُلَيْنِ فهل للراهن أن يفك إحدى الحصتين، قيل فِكَاكِ الْأُخْرَى أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ نَصَّ عليهما في الرهن الكبير في الْجَدِيدِ.

Jika budak itu dimiliki oleh dua orang, dan budak itu terbagi antara mereka berdua masing-masing setengah, lalu seseorang meminjam budak itu untuk digadaikan kepada seseorang, dan ia mengakui utang seratus dirham, lalu ia menggadaikannya atas seratus dirham tersebut, kemudian orang yang menggadaikan ingin menebus salah satu bagian sebelum bagian yang lain, maka jika penerima gadai mengetahui bahwa budak itu milik dua orang, maka orang yang menggadaikan boleh menebus bagian mana saja yang ia kehendaki dengan membayar lima puluh dirham dan menebus setengah budak. Namun jika penerima gadai tidak mengetahui bahwa budak itu milik dua orang, apakah orang yang menggadaikan boleh menebus salah satu bagian, dan bagaimana dengan penebusan bagian yang lain? Ada dua pendapat yang disebutkan dalam kitab ar-Rahn al-Kabīr dalam al-Jadīd.

أَحَدُهُمَا: لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ يَفُكَّ جَمِيعَهُ، لِأَنَّهُ رَهْنٌ وَاحِدٌ، كَمَا لَوْ رَهَنَ عَبْدًا لِنَفْسِهِ بِمِائَةٍ ثُمَّ أَدَّى تِسْعِينَ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَفُكَّ تِسْعَةَ أَعْشَارِهِ، فَعَلَى هَذَا لَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ فِي الْبَيْعِ.

Salah satunya: Ia tidak boleh melakukan itu kecuali dengan menebus seluruhnya, karena itu adalah satu gadai, sebagaimana jika seseorang menggadaikan satu budak miliknya sendiri atas seratus dirham, lalu ia membayar sembilan puluh dirham, maka ia tidak boleh menebus sembilan per sepuluh bagiannya. Berdasarkan ini, tidak ada hak khiyar bagi penerima gadai dalam jual beli.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ: لَهُ أَنْ يَفُكَّ حِصَّتَهُ أَيَّهُمَا شَاءَ، وَيَخْرُجُ نِصْفُ الْعَبْدِ مِنَ الرَّهْنِ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih: Ia boleh menebus bagiannya, bagian mana saja yang ia kehendaki, dan setengah budak keluar dari gadai.

قَالَ الشَّافِعِيُّ: كَمَا لَوِ اسْتَعَارَ مِنْ رَجُلٍ عَبْدًا وَمِنْ آخَرَ عَبْدًا جَازَ لَهُ أَنْ يَفُكَّ أَحَدَهُمَا دُونَ الْآخَرِ، وَالرَّجُلَانِ، وَإِنْ كان في ملكيهما فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لَا يَتَجَزَّأُ فَأَحْكَامُهُمَا في البيع والرهن حكم مالكي العبدين المتفرقين، فَعَلَى هَذَا هَلْ لِلْمُرْتَهِنِ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ البيع أم لا؟ على قولين. وكذا لو كان عبدين شريكين فاستعار أحد الشريكين حصة شريكه وَرَهَنَهَا مَعَ حِصَّتِهِ فَهَلْ لَهُ أَنْ يَفُكَّ إِحْدَى الْحِصَّتَيْنِ قَبْلَ الْأُخْرَى أَمْ لَا؟ عَلَى قولين.

Imam asy-Syafi‘i berkata: Sebagaimana jika seseorang meminjam seorang budak dari seseorang dan budak lain dari orang lain, maka boleh baginya menebus salah satunya tanpa yang lain. Dua orang itu, meskipun dalam kepemilikan mereka masing-masing tidak terbagi, namun hukum keduanya dalam jual beli dan gadai seperti hukum dua pemilik budak yang berbeda. Berdasarkan ini, apakah penerima gadai memiliki hak khiyar untuk membatalkan jual beli atau tidak? Ada dua pendapat. Demikian pula jika ada dua budak milik dua orang yang berserikat, lalu salah satu dari mereka meminjam bagian milik temannya dan menggadaikannya bersama bagiannya sendiri, apakah ia boleh menebus salah satu bagian sebelum bagian yang lain atau tidak? Ada dua pendapat.

(فصل)

(Fasal)

ولو كان العبدان رَجُلَيْنِ فَأَذِنَا لِرَجُلٍ أَنْ يَرْهَنَهُ عِنْدَ رَجُلَيْنِ بمائة فَرَهَنَهُ بِهَا، فَلِلرَّاهِنِ أَنْ يُعْطِيَ خَمْسِينَ لِأَحَدِهِمَا وَيَفُكَّ نِصْفَ الْعَبْدِ، وَهَلْ لَهُ أَنْ يُعْطِيَهُ خَمْسَةً وَعِشْرِينَ وَيَفُكَّ رُبْعَ الْعَبْدِ أَمْ لَا؟ على قولين:

Jika kedua budak itu adalah dua orang (milik dua orang), lalu keduanya mengizinkan seseorang untuk menggadaikannya kepada dua orang atas utang seratus dirham, lalu ia menggadaikannya dengan jumlah itu, maka orang yang menggadaikan boleh memberikan lima puluh dirham kepada salah satu dari mereka dan menebus setengah budak. Apakah ia boleh memberikan dua puluh lima dirham dan menebus seperempat budak atau tidak? Ada dua pendapat:

فَلَوْ وَكَّلَ الْمُرْتَهِنَانِ رَجُلًا يَقْبِضُ حَقَّهُمَا فَأَعْطَاهُ الراهن خمسين وقال هي قضاء ما عَلَيَّ وَلَمْ يَدْفَعْهَا الْوَكِيلُ إِلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَتَّى قَالَ لَهُ ادْفَعْهَا إِلَى أَحَدِهِمَا قَالَ الشَّافِعِيُّ: كَانَتْ لِلَّذِي أَمْرَهُ بِدَفْعِهَا إِلَيْهِ، فَلَوْ دَفَعَهُ الْوَكِيلُ إِلَيْهِمَا مَعًا فَقَبَضَاهَا ثُمَّ قَالَ هِيَ لِفُلَانٍ لَمْ يَكُنْ لِأَحَدِهِمَا أَنْ يَأْخُذَ مِنَ الْآخَرِ مَا قَبَضَ مِنْ مَالِ غَرِيمِهِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ وَجَدَ لِغَرِيمِهِ مَالًا وَأَخَذَهُ لَمْ يَكُنْ لِغَرِيمِهِ إِخْرَاجُهُ مِنْ يَدِهِ.

Jika dua orang yang memegang hak gadai mewakilkan kepada seorang laki-laki untuk menerima hak mereka, lalu pihak yang menggadaikan memberikan kepadanya lima puluh dan berkata, “Ini untuk melunasi utang saya,” namun wakil tersebut belum menyerahkannya kepada salah satu dari mereka hingga salah satu dari mereka berkata kepadanya, “Serahkanlah kepada salah satu dari kami,” maka menurut pendapat asy-Syafi‘i: uang itu menjadi milik orang yang memerintahkannya untuk menyerahkan kepadanya. Jika wakil itu menyerahkannya kepada keduanya sekaligus lalu keduanya menerimanya, kemudian salah satu berkata, “Ini milik si Fulan,” maka tidak ada hak bagi salah satu dari mereka untuk mengambil dari yang lain apa yang telah diterimanya dari harta piutang temannya. Bukankah engkau melihat bahwa jika seseorang menemukan harta milik piutangnya lalu mengambilnya, maka piutangnya tidak berhak mengambilnya kembali dari tangannya.

(فصل)

(Fasal)

قال الشافعي فِي الرَّهْنِ الْكَبِيرِ فِي الْأُمِّ فِي بَابِ الرِّسَالَةِ فِي الرَّهْنِ: وَإِذَا دَفَعَ رَجُلٌ إِلَى رَجُلٍ مَتَاعًا فَقَالَ ارْهَنْهُ عِنْدَ فُلَانٍ فَرَهَنَهُ عِنْدَهُ ثُمَّ اخْتَلَفَ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ، فَقَالَ الرَّاهِنُ: إِنَّمَا أَمَرْتُ الرَّسُولَ أَنْ يَرْهَنَ عِنْدَكَ بِعَشَرَةٍ، وَقَالَ الْمُرْتَهِنُ جَاءَنِي فِي رِسَالَتِكَ أَنْ أُسَلِّفَكَ عِشْرِينَ فَأَعْطَيْتُهُ إِيَّاهَا وَكَذَّبَهُ الرَّسُولُ فَالْقَوْلُ قَوْلِ الرسول والمرسل؛ لأنها ينكران دعواه وله إحلاف كل واحد منها.

Asy-Syafi‘i berkata dalam kitab al-Umm pada Bab Risalah tentang Gadai: Jika seseorang menyerahkan barang kepada orang lain lalu berkata, “Gadaikanlah ini kepada si Fulan,” lalu ia menggadaikannya kepadanya, kemudian terjadi perselisihan antara pihak yang menggadaikan dan pihak yang menerima gadai. Pihak yang menggadaikan berkata, “Aku hanya memerintahkan utusan untuk menggadaikan kepadamu dengan sepuluh,” sedangkan pihak yang menerima gadai berkata, “Utusanmu datang kepadaku dengan pesanmu agar aku meminjamkanmu dua puluh, lalu aku memberikannya kepadanya,” dan utusan tersebut mendustakannya, maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan utusan dan pengirim, karena keduanya mengingkari klaimnya, dan masing-masing dari mereka boleh diminta bersumpah.

قال الشافعي: وَلَا أَنْظُرُ إِلَى قِيمَةِ الرَّهْنِ، وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ قَالَ ذَلِكَ رَدًّا عَلَى مَالِكٍ.

Asy-Syafi‘i berkata: Aku tidak melihat kepada nilai barang gadai, dan tampaknya ia mengatakan hal itu sebagai bantahan terhadap Malik.

قَالَ الشافعي: فَلَوْ صَدَّقَهُ الرَّسُولُ فَقَالَ: قَبَضْتُ مِنْكَ عِشْرِينَ وَدَفَعْتُهَا إِلَى الْمُرْسِلِ وَكَذَّبَهُ الْمُرْسِلُ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُرْسِلِ مَعَ يَمِينِهِ، وَكَانَ الرَّاهِنُ عَلَيْهِ عَشَرَةٌ وَالرَّسُولُ ضَامِنٌ لِلْعَشَرَةِ الَّتِي أَقَرَّ بِقَبْضِهَا الزَّائِدَةِ عَلَى الْعَشَرَةِ الْمَأْمُورِ بِقَبْضِهَا.

Asy-Syafi‘i berkata: Jika utusan membenarkannya lalu berkata, “Aku menerima darimu dua puluh dan menyerahkannya kepada pengirim,” namun pengirim mendustakannya, maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan pengirim dengan sumpahnya, dan pihak yang menggadaikan tetap memiliki utang sepuluh, sedangkan utusan bertanggung jawab atas sepuluh yang ia akui telah diterimanya, yaitu kelebihan dari sepuluh yang diperintahkan untuk diterima.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي بَابِ الرِّسَالَةِ فِي الرَّهْنِ: وَلَوِ اختلف الرسول والمرسل فقال المرسل أمرتك أَنْ تَسْتَلِفَ مِنْهُ عَشَرَةً بِغَيْرِ رَهْنٍ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْسِلِ مَعَ يَمِينِهِ، وَالْعَشَرَةُ حَالَّةٌ عَلَيْهِ بِلَا رَهْنٍ، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ؛ لِأَنَّ قَوْلَ الرَّسُولِ دَعْوَى غَيْرُ مَقْبُولَةٍ عليه؛ ولأن ضمانه على الرسول من الْعَشَرَةِ، لِأَنَّ الْمُرْسِلَ قَدْ أَقَرَّ بِقَبْضِهَا. قَالَ الشَّافِعِيُّ: فَلَوْ قَالَ الْمُرْسِلُ أَمَرْتُكَ بِأَنْ تَأْخُذَ عَشَرَةً عَلَى عَبْدِ فُلَانٍ، وَقَالَ الرَّسُولُ بَلْ على ثوبك منها، أو عبد غير العبد الَّذِي قَالَهُ الْمُرْسِلُ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْآمِرِ، وَالْعَشَرَةُ حَالَّةٌ عَلَيْهِ، وَلَا رَهْنَ فِيمَا أَقَرَّ بِهِ الْمُرْسِلُ، وَلَا فِيمَا رَهَنَ الرَّسُولُ، إِلَّا أَنْ يُجَدِّدَ فِيهِ رَهْنًا، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ، لِأَنَّ ما رهنه الرَّسُولُ لَمْ يَأْذَنْ فِيهِ الْمُرْسِلُ، وَمَا أَذِنَ فِيهِ الْمُرْسِلُ لَمْ يَرْهَنْهُ الرَّسُولُ.

Asy-Syafi‘i berkata dalam Bab Risalah tentang Gadai: Jika terjadi perselisihan antara utusan dan pengirim, lalu pengirim berkata, “Aku memerintahkanmu untuk meminjam darinya sepuluh tanpa gadai,” maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan pengirim dengan sumpahnya, dan sepuluh itu menjadi utang yang harus dibayar tanpa gadai. Hal itu karena perkataan utusan adalah klaim yang tidak diterima atas dirinya; dan karena tanggung jawabnya atas sepuluh itu ada pada utusan, sebab pengirim telah mengakui penerimaannya. Asy-Syafi‘i berkata: Jika pengirim berkata, “Aku memerintahkanmu untuk mengambil sepuluh atas jaminan budak si Fulan,” dan utusan berkata, “Bukan, melainkan atas jaminan pakaianmu,” atau atas budak lain yang bukan budak yang disebutkan oleh pengirim, maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan orang yang memerintah, dan sepuluh itu menjadi utang yang harus dibayar, dan tidak ada gadai atas apa yang diakui oleh pengirim, maupun atas apa yang digadaikan oleh utusan, kecuali jika diperbarui akad gadai atasnya. Hal itu karena apa yang digadaikan oleh utusan tidak diizinkan oleh pengirim, dan apa yang diizinkan oleh pengirim tidak digadaikan oleh utusan.

قَالَ الشَّافِعِيُّ: ولو أقام المرتهن يسأل الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ أَمَرَهُ بِرَهْنِ الْعَبْدِ دُونَ الثَّوْبِ، وَأَنَّهُ نَهَاهُ عَنْ رَهْنِ الثَّوْبِ كَانَتِ الْبَيِّنَةُ بَيِّنَةَ الْمُرْتَهِنِ، وَجَعَلْتُ مَا قَامَتْ بَيِّنَةٌ عَلَيْهِ رهنا، والبينتان ههنا يمكن أن تكونا صادقتين؛ لأنه قد بينها عَنْ رَهْنِهِ بَعْدَ مَا يَأْذَنُ فِيهِ وَيَرْهَنُ ولا يَنْفَسِخُ ذَلِكَ الرَّهْنُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Asy-Syafi‘i berkata: Jika pihak yang menerima gadai mengajukan bukti bahwa ia diperintahkan untuk menggadaikan budak, bukan pakaian, dan bahwa ia dilarang menggadaikan pakaian, maka bukti itu adalah bukti pihak yang menerima gadai, dan aku menetapkan apa yang didukung oleh bukti sebagai barang gadai. Kedua bukti di sini bisa saja keduanya benar, karena bisa saja seseorang melarang menggadaikan sesuatu setelah sebelumnya mengizinkan dan menggadaikannya, dan gadai itu tidak batal karenanya. Wallāhu a‘lam.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ رَهَنَ عَبْدَهُ رَجُلَيْنِ وَأَقَرَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ منهما بِقَبْضِهِ كُلِّهِ بِالرَّهْنِ وَادَّعَى كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنَّ رَهْنَهُ وَقَبْضَهُ كَانَ قَبْلَ صَاحِبِهِ وَلَيْسَ الرَّهْنُ فِي يَدَيْ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَصَدَّقَ الرَّاهِنُ أَحَدَهُمَا فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ وَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ وَلَوْ أَنْكَرَ أَيُّهُمَا أَوَّلٌ أُحْلِفَ وَكَانَ الرَّهْنُ مَفْسُوخًا وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ فِي أَيْدِيهِمَا مَعًا وَإِنْ كَانَ فِي يَدَيْ أَحَدِهِمَا وَصَدَّقَ الَّذِي ليس في يديه ففيها قولان: أحدهما يصدق والآخر لا يصدق لأن الذي في يديه العبد يملك بالرهن مثل ما يملك المرتهن غيره (قال المزني) قلت أنا أصحهما أَنْ يُصَدَّقَ لِأَنَّهُ حَقٌّ مِنَ الْحُقُوقِ اجْتَمَعَ فيه إقرار المرتهن ورب الرهن (قال المزني) ثُمَّ رَأَيْتُ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ الَّذِي هو في يديه لأن الراهن مقر له أنه أقبضه إياه في جملة قوله وله فضل يديه على صاحبه فلا تقبل دعوى الراهن عليه إلا أن يقر الذي في يديه أن كل واحد منهما قد قبضه فيعلم بذلك أن قبض صاحبه قبله. “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang menjadikan hambanya sebagai rahn (barang gadai) kepada dua orang, lalu ia mengakui kepada masing-masing dari keduanya bahwa ia telah menyerahkan seluruhnya sebagai rahn, dan masing-masing dari keduanya mengklaim bahwa rahn dan penyerahan itu terjadi sebelum yang lain, sementara rahn itu tidak berada di tangan salah satu dari mereka, kemudian pemberi rahn membenarkan salah satu dari mereka, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pemberi rahn dan ia tidak perlu bersumpah. Namun, jika salah satu dari mereka mengingkari siapa yang lebih dahulu, maka keduanya harus bersumpah dan rahn tersebut menjadi batal. Demikian pula jika rahn itu berada di tangan mereka berdua secara bersama-sama. Jika rahn itu berada di tangan salah satu dari mereka dan pemberi rahn membenarkan yang tidak memegangnya, maka ada dua pendapat: salah satunya, ia dibenarkan; yang lain, tidak dibenarkan, karena yang memegang hamba tersebut memiliki hak atas rahn sebagaimana hak pemegang rahn lainnya.” (Al-Muzani berkata:) “Menurutku, yang paling sahih adalah ia dibenarkan, karena ini adalah hak di antara hak-hak yang diakui oleh pemegang rahn dan pemilik rahn.” (Al-Muzani berkata:) “Kemudian aku melihat bahwa yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pemegang rahn yang memegangnya, karena pemberi rahn mengakui bahwa ia telah menyerahkannya kepadanya secara keseluruhan, dan ia memiliki kelebihan tangan atas yang lain. Maka, klaim pemberi rahn tidak diterima atasnya kecuali jika yang memegangnya mengakui bahwa masing-masing dari mereka telah menerima penyerahan, sehingga diketahui bahwa penyerahan oleh yang lain terjadi lebih dahulu darinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا كَانَ لرجل عبد فادعى عليه رجلان بارتهانه منه فقال: أحدهما رهنتني عبدك هذا، وأقبضت كُلِّ وَاحِدٍ فَهُوَ رَهْنٌ بِحَقِّي وَقَالَ الْآخَرُ بَلْ رَهَنْتَنِيهِ وَأَقْبَضْتَنِيهِ قَبْلَ كُلِّ وَاحِدٍ فَهُوَ رَهْنٌ بِحَقِّي، فَلَا يَخْلُو حَالُ هَذَا الْعَبْدِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang telah dikatakan: Jika seseorang memiliki seorang hamba, lalu dua orang mengklaim bahwa mereka menerima hamba itu sebagai rahn darinya. Salah satu dari mereka berkata, “Engkau telah menjadikan hamba ini sebagai rahn untukku dan telah menyerahkannya kepadaku, maka ia adalah rahn atas hakku.” Yang lain berkata, “Bahkan engkau telah menjadikannya sebagai rahn untukku dan menyerahkannya kepadaku sebelum yang lain, maka ia adalah rahn atas hakku.” Maka, keadaan hamba ini tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُكَذِّبَهُمَا مَعًا.

Pertama: Ia mendustakan keduanya sekaligus.

وَالثَّانِي: أَنْ يُكَذِّبَ أَحَدَهُمَا وَيُصَدِّقَ الْآخَرَ.

Kedua: Ia mendustakan salah satu dari keduanya dan membenarkan yang lain.

وَالثَّالِثَ: أن يصدقهما معا.

Ketiga: Ia membenarkan keduanya sekaligus.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يُكَذِّبَهُمَا جَمِيعًا فَيَقُولُ مَا رَهَنْتُهُ مِنْ وَاحِدٍ مِنْكُمَا، فَلَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ هُنَاكَ بَيِّنَةٌ أَوْ لَا يَكُونَ، فَإِنْ كَانَتْ هُنَاكَ بَيِّنَةٌ فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ تَكُونَ لِأَحَدِهِمَا أَوْ لَهُمَا، فَإِنْ كَانَتِ الْبَيِّنَةُ لِأَحَدِ المدعيين حُكِمَ بِهَا وَجُعِلَ الْعَبْدُ رَهْنًا فِي يَدِ صَاحِبِهَا، وَالْبَيِّنَةُ هَاهُنَا شَاهِدَانِ أَوْ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ أَوْ شَاهِدٌ وَيَمِينٌ، لِأَنَّهَا مَسْمُوعَةٌ فِيمَا يُفْضَى إِلَى مَالٍ، وَإِنْ كَانَتِ الْبَيِّنَةُ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْمُدَّعِيَيْنِ جَمِيعًا فَقَدْ تَعَارَضَتِ الْبَيِّنَتَانِ، وَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي الْبَيِّنَتَيْنِ إِذَا تَعَارَضَتَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ:

Adapun bagian pertama, yaitu ia mendustakan keduanya dengan mengatakan, “Aku tidak pernah menjadikannya sebagai rahn kepada salah satu dari kalian,” maka tidak lepas dari dua keadaan: apakah ada bayyinah (alat bukti) atau tidak ada. Jika ada bayyinah, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah bayyinah itu milik salah satu dari mereka atau milik keduanya. Jika bayyinah itu milik salah satu dari para penggugat, maka diputuskan berdasarkan bayyinah tersebut dan hamba itu dijadikan sebagai rahn di tangan pemilik bayyinah. Bayyinah di sini adalah dua orang saksi, atau satu saksi dan dua perempuan, atau satu saksi dan sumpah, karena bayyinah ini diterima dalam perkara yang berujung pada harta. Jika bayyinah itu dimiliki oleh masing-masing dari kedua penggugat, maka kedua bayyinah itu saling bertentangan, dan telah terjadi perbedaan pendapat Imam Syafi‘i mengenai dua bayyinah yang saling bertentangan dalam tiga pendapat:

أَحَدُهَا: إِسْقَاطُهَا وَالرُّجُوعُ إِلَى الدَّعْوَى.

Pertama: Keduanya gugur dan kembali kepada klaim.

وَالثَّانِي: الْإِقْرَاعُ بَيْنَهُمَا وَالْحُكْمُ لِمَنْ قُرِعَتْ منهما،

Kedua: Diadakan undian di antara keduanya dan diputuskan untuk siapa yang keluar undiannya.

والثالث: استعمالها وقسم الشيء بينها، فَيَجِيءُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ قَوْلَانِ:

Ketiga: Menggunakan kedua bayyinah tersebut dan membagi barang di antara mereka, sehingga dalam masalah ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِسْقَاطُ الْبَيِّنَتَيْنِ وَالرُّجُوعُ إِلَى الدَّعْوَى.

Pertama: Menggugurkan kedua bayyinah dan kembali kepada klaim.

وَالثَّانِي: الْإِقْرَاعُ بَيْنَ البينتين والحكم لمن قرعت منها.

Kedua: Mengundi antara kedua bayyinah dan diputuskan untuk siapa yang keluar undiannya.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَخْرِيجِ الْقَوْلِ الثَّالِثِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ، وَهُوَ اسْتِعْمَالُ الْبَيِّنَتَيْنِ، وَجَعْلُ الْعَبْدِ بينهما نصفين على وجهين وهذا حُكْمُ الْبَيِّنَةِ، فَأَمَّا إِنْ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ بَيِّنَةٌ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمَالِكِ مَعَ يَمِينِهِ بِاللَّهِ مَا رَهَنَهُ مِنْ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، فَإِنْ حَلَفَ فَالْعَبْدُ غَيْرُ مَرْهُونٍ عَنْ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَإِنْ نَكَلَ فَالْيَمِينُ عَلَى الْمُدَّعِيَيْنِ، فَإِذَا رُدَّتْ عَلَيْهِمَا لَمْ يَخْلُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Para ulama kami berbeda pendapat dalam mengeluarkan pendapat ketiga dalam masalah ini, yaitu menggunakan kedua bayyinah dan membagi hamba itu di antara mereka berdua menjadi dua bagian, dan inilah hukum bayyinah. Adapun jika tidak ada bayyinah, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pemilik (hamba) dengan sumpahnya bahwa ia tidak pernah menjadikannya sebagai rahn kepada salah satu dari mereka. Jika ia bersumpah, maka hamba itu tidak menjadi rahn bagi salah satu dari mereka. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah berpindah kepada kedua penggugat. Ketika sumpah dikembalikan kepada mereka, maka tidak lepas dari tiga keadaan:

إِمَّا أَنْ يَحْلِفَا مَعًا، أَوْ يَنْكُلَا مَعًا، أَوْ يَحْلِفَ أَحَدُهُمَا وَيَنْكُلَ الْآخَرُ، فَإِنْ حَلَفَا فَفِيهِ وَجْهَانِ: أَصَحُّهُمَا لَا يَكُونُ رَهْنًا عِنْدَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، لِأَنَّ يَمِينَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا تُعَارِضُ يَمِينَ صَاحِبِهِ.

Pertama, keduanya bersumpah bersama-sama; atau keduanya sama-sama enggan bersumpah; atau salah satu bersumpah dan yang lain enggan. Jika keduanya bersumpah, maka ada dua pendapat: yang paling sahih, hamba itu tidak menjadi rahn bagi salah satu dari mereka, karena sumpah masing-masing dari mereka saling bertentangan.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ رَهْنًا بَيْنَهُمَا.

Kedua: Hamba itu menjadi rahn di antara mereka berdua.

وَإِنْ نَكَلَا لَمْ يَكُنِ الْعَبْدُ رَهْنًا عِنْدَ واحد منها.

Jika keduanya sama-sama enggan bersumpah, maka hamba itu tidak menjadi rahn bagi salah satu dari mereka.

فَإِنْ حَلَفَ أَحَدُهُمَا وَنَكَلَ الْآخَرُ قُضِيَ بِهِ رَهْنًا لِلْحَالِفِ دُونَ النَّاكِلِ، فَهَذَا حُكْمُ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ فِي تَكْذِيبِهِ لَهُمَا.

Jika salah satu dari keduanya bersumpah dan yang lain enggan, maka diputuskan bahwa barang gadai itu menjadi milik sementara bagi yang bersumpah, bukan bagi yang enggan. Inilah hukum bagian pertama dalam kasus ia mendustakan keduanya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يُصَدِّقَ أَحَدَهُمَا وَيُكَذِّبَ الْآخَرَ فَيَقُولُ: رَهَنْتُهُ مِنْ فُلَانٍ وَأُقْبِضُهُ دُونَ غَيْرِهِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُكَذَّبِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Adapun bagian kedua, yaitu jika ia membenarkan salah satu dari keduanya dan mendustakan yang lain, lalu ia berkata: “Aku menggadaikannya dari si Fulan dan aku menerimanya, bukan dari selainnya,” maka keadaan pihak yang didustakan tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ بَيِّنَةٌ، أَوْ لَا يَكُونَ لَهُ بَيِّنَةٌ.

Yaitu, apakah ia memiliki bukti (bayyinah), atau tidak memiliki bukti.

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ بينة فالقول قول الراهن المقر من كَوْنِ الْعَبْدِ رَهْنًا عِنْدَ الْمُصَدَّقِ وَهَلْ عَلَيْهِ اليمين أم لا؟ على قولين، المنصوص منها فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أَنَّهُ لَا يَمِينَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْيَمِينَ تَجِبُ زَجْرًا لِلْمُسْتَحْلَفِ لِيَرْجِعَ عَنْهَا فَيُحْكَمُ بِرُجُوعِهِ، وَهَذَا الرَّاهِنُ لَوْ رَجَعَ عَنْ إِقْرَارِهِ لَمْ يُحْكَمْ بِرُجُوعِهِ، فَلَمْ يَكُنْ لِوُجُوبِ الْيَمِينِ عَلَيْهِ فِيهِ وَجْهٌ.

Jika ia tidak memiliki bukti, maka yang dipegang adalah pernyataan pihak yang mengakui, yaitu bahwa budak itu adalah barang gadai di tangan pihak yang dibenarkan. Apakah ia (yang mengakui) harus bersumpah atau tidak? Ada dua pendapat. Pendapat yang dinyatakan dalam masalah ini adalah bahwa ia tidak wajib bersumpah, karena sumpah itu diwajibkan sebagai pencegah bagi yang diminta bersumpah agar ia mau menarik kembali pengakuannya, sehingga diputuskan berdasarkan penarikannya itu. Sedangkan dalam kasus ini, jika pihak yang mengakui menarik kembali pengakuannya, maka penarikannya tidak diterima. Maka tidak ada alasan untuk mewajibkan sumpah atasnya dalam hal ini.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ مُخَرَّجٌ مِنْ قَوْلِهِ فِي الْإِمْلَاءِ فِي الزَّوْجَةِ إِذَا أَنْكَحَهَا الْوَلِيَّانِ وَصَدَّقَتْ أَحَدَ الزَّوْجَيْنِ أَنَّ عَلَيْهَا الْيَمِينَ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، وَفِي الرَّاهِنِ إِذَا أَقَرَّ بِجِنَايَةِ عَبْدِهِ الْمَرْهُونِ وَقُبِلَ قَوْلُهُ أن عليه اليمين وَإِنْ لَمْ يُقْبَلْ رُجُوعُهُ، وَوَجْهُ وُجُوبِ الْيَمِينِ عَلَيْهِ أَنَّهُ قَدْ يُسْتَفَادُ بِهَا إِنْ نَكَلَ أَنْ تُرَدَّ عَلَى الْمُكَذَّبِ فَيَسْتَحِقُّ بِهَا إِنْ حَلَفَ مَا سَنَذْكُرُهُ، وَإِذَا ثَبَتَ هَذَانِ الْقَوْلَانِ فِي وُجُوبِ الْيَمِينِ عَلَيْهِ، فَإِنْ قُلْنَا: لَا يَمِينَ عَلَيْهِ أَوْ عَلَيْهِ الْيَمِينُ فَحَلَفَ كَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا فِي يَدِ الْمُصَدَّقِ، وَإِنْ قُلْنَا عَلَيْهِ الْيَمِينُ فَنَكَلَ عَنْهَا لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua, yang merupakan hasil istinbat dari perkataannya dalam kitab Al-Imla’ tentang istri yang dinikahkan oleh dua wali dan ia membenarkan salah satu dari dua suami, bahwa atasnya (istri) wajib sumpah menurut salah satu dari dua pendapat. Demikian pula pada pihak yang menggadaikan, jika ia mengakui adanya tindak pidana oleh budak yang digadaikan dan pengakuannya diterima, maka atasnya wajib sumpah, meskipun penarikannya tidak diterima. Alasan wajibnya sumpah atasnya adalah karena dengan sumpah itu dapat diambil manfaat, yaitu jika ia enggan bersumpah, maka sumpah itu dikembalikan kepada pihak yang didustakan, sehingga ia berhak atasnya jika ia bersumpah, sebagaimana akan dijelaskan. Jika telah tetap dua pendapat ini tentang wajibnya sumpah atasnya, maka jika kita katakan: tidak ada sumpah atasnya, atau atasnya wajib sumpah lalu ia bersumpah, maka budak itu menjadi barang gadai di tangan pihak yang dibenarkan. Namun jika kita katakan atasnya wajib sumpah, lalu ia enggan bersumpah, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَنْكُلَ عَنِ الْيَمِينِ وَيَعْتَرِفَ لِلْمُكَذَّبِ، أَوْ يَنْكُلَ عَنْهَا وَلَا يَعْتَرِفَ لِلْمُكَذَّبِ، فَإِنْ نَكَلَ عَنْهَا وَاعْتَرَفَ لِلْمُكَذَّبِ لَمْ تُرَدَّ الْيَمِينُ عَلَى الْمُكَذَّبِ، لِحُدُوثِ الِاعْتِرَافِ لَهُ، وَيَصِيرُ الرَّاهِنُ بِهَذَا الِاعْتِرَافِ رَاجِعًا عَنِ الأول مقر لِلثَّانِي فَلَمْ يُقْبَلْ رُجُوعُهُ عَنِ الْأَوَّلِ، وَكَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا بِيَدِهِ لِمَا تَقَدَّمَ مِنْ إِقْرَارِهِ وَهَلْ يُغَرَّمُ قِيمَةَ الرَّهْنِ لِلثَّانِي أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مُخَرَّجَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِيمَنْ أَقَرَّ فِي دَارٍ بِيَدِهِ لِزَيْدٍ ثُمَّ أَقَرَّ بِهَا لِعَمْرٍو، وَهَلْ يُغَرَّمُ قِيمَتَهَا لِعَمْرٍو أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ خَرَجَ مِنْهُمَا هَذَانِ الْوَجْهَانِ:

Yaitu, apakah ia enggan bersumpah dan mengakui kepada pihak yang didustakan, atau ia enggan bersumpah namun tidak mengakui kepada pihak yang didustakan. Jika ia enggan bersumpah dan mengakui kepada pihak yang didustakan, maka sumpah tidak dikembalikan kepada pihak yang didustakan, karena telah terjadi pengakuan kepadanya. Dengan pengakuan ini, pihak yang menggadaikan dianggap telah menarik kembali pengakuan pertamanya dan mengakui kepada pihak kedua, sehingga penarikan pengakuan dari yang pertama tidak diterima, dan budak itu tetap menjadi barang gadai di tangannya berdasarkan pengakuan sebelumnya. Apakah ia wajib mengganti nilai barang gadai kepada pihak kedua atau tidak? Ada dua wajah yang diambil dari perbedaan pendapat tentang seseorang yang mengakui sebuah rumah di tangannya milik Zaid, kemudian mengakuinya untuk Amr, apakah ia wajib mengganti nilainya kepada Amr atau tidak? Dari dua pendapat itu lahir dua wajah ini:

أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ غُرْمُ قِيمَةِ الْعَبْدِ يَكُونُ رَهْنًا بِيَدِ الثَّانِي لِتَفْوِيتِهِ الرَّهْنَ عَلَيْهِ بِإِقْرَارِهِ الْمُتَقَدِّمِ.

Salah satunya: ia wajib mengganti nilai budak yang menjadi barang gadai di tangan pihak kedua, karena ia telah menghilangkan hak gadai atasnya dengan pengakuan sebelumnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ: أَنَّهُ لَا غُرْمَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ قَدْ أَقَرَّ بِمَا لَزِمَهُ وَلَمْ يُتْلِفْ عَلَيْهِ مَالًا فَيَلْزَمُهُ غُرْمُهُ، وَهَذَا إِنْ نَكَلَ وَاعْتَرَفَ، فَأَمَّا إِنْ نَكَلَ وَلَمْ يَعْتَرِفْ فَإِنَّ الْيَمِينَ تُرَدُّ عَلَى الْمُكَذَّبِ فَإِنْ نَكَلَ عَنْهَا كَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا بِيَدِ الْمُصَدَّقِ وَلَا شَيْءَ لِلْمُكَذَّبِ وَإِنْ حَلَفَ الْمُكَذَّبُ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَيْهِ وكانت يَمِينُهُ بَعْدَ نُكُولِ الرَّاهِنِ عَنْهَا بِمَنْزِلَةِ إِقْرَارِهِ للأول فاستويا، وإذا كان كذلك فقد حكاهم ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ فِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Wajah kedua, dan ini yang lebih kuat dalam masalah ini: ia tidak wajib mengganti, karena ia telah mengakui apa yang menjadi tanggungannya dan tidak merusak harta pihak lain sehingga ia wajib menggantinya. Ini jika ia enggan bersumpah dan mengakui. Adapun jika ia enggan bersumpah dan tidak mengakui, maka sumpah dikembalikan kepada pihak yang didustakan. Jika ia juga enggan bersumpah, maka budak itu menjadi barang gadai di tangan pihak yang dibenarkan dan tidak ada hak bagi pihak yang didustakan. Namun jika pihak yang didustakan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepadanya, dan sumpahnya setelah pihak yang menggadaikan enggan bersumpah, kedudukannya seperti pengakuan kepada yang pertama, sehingga keduanya sama. Dalam hal ini, Ibn Abi Hurairah meriwayatkan ada tiga wajah:

أَحَدُهَا: أن الرهن منسوخ، لِأَنَّ جَمِيعَهُ لَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ مَرْهُونًا عِنْدَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا.

Salah satunya: barang gadai itu dianggap batal, karena seluruhnya tidak sah menjadi barang gadai di tangan masing-masing dari keduanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْعَبْدَ يُجْعَلُ رَهْنًا بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ، لِأَنَّهُمَا فِيهِ مُتَسَاوِيَانِ.

Wajah kedua: budak itu dijadikan barang gadai di antara keduanya, masing-masing setengah, karena keduanya sama kedudukannya dalam perkara ini.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْعَبْدَ رَهْنٌ لِلْأَوَّلِ لِمَا تَقَدَّمَ مِنْ إِقْرَارِهِ، وَعَلَيْهِ أَنْ يُغَرَّمَ قِيمَتَهُ وَتَكُونَ رَهْنًا بِيَدِ الثَّانِي لِأَجْلِ اعْتِرَافِهِ، فَهَذَا الْحُكْمُ فِيهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ لِلْمُكَذَّبِ بَيِّنَةٌ، فَأَمَّا إِنْ كَانَتْ لِلْمُكَذَّبِ بَيِّنَةٌ تَشْهَدُ لَهُ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُصَدَّقِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Penjelasan ketiga: Bahwa budak tersebut menjadi barang gadai bagi yang pertama karena pengakuan yang telah lalu, dan ia (pemilik) wajib mengganti nilainya, lalu budak itu menjadi barang gadai di tangan yang kedua karena pengakuannya. Inilah hukum dalam kasus ini jika pihak yang mendustakan tidak memiliki bukti. Adapun jika pihak yang mendustakan memiliki bukti yang mendukungnya, maka keadaan pihak yang membenarkan tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ بَيِّنَةٌ تُعَارِضُ بَيِّنَةَ الْمُكَذَّبِ، أَوْ لَا تَكُونَ لَهُ بَيِّنَةٌ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ بَيِّنَةٌ حُكِمَ لِلْمُكَذَّبِ بِبَيِّنَتِهِ، وَكَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا بِيَدِ الْمُكَذَّبِ دُونَ الْمُصَدَّقِ، لِأَنَّ الْبَيِّنَةَ أَوْلَى مِنَ الْإِقْرَارِ وَإِنْ كان للمصدق بينة سمعت لا عَلَى الرَّاهِنِ؛ لِأَنَّهُ مُقِرٌّ وَالْمُقِرُّ لَا تُسْمَعُ عليه البينة بإقراره، ولكن تسمع في معارضة بينة المكذب، فإذا تعارضت قوى المصدق بالإقرار له فحكم له لقوله، وَسَقَطَتِ الْبَيِّنَتَانِ لِتَعَارُضِهِمَا، وَكَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا بِيَدِ الْمُصَدَّقِ، وَهَذَا حُكْمُ الْقِسْمِ الثَّانِي فِي تَصْدِيقِ أحدهما ويكذب الْآخَرِ.

Pertama, ia memiliki bukti yang bertentangan dengan bukti pihak yang mendustakan, atau ia tidak memiliki bukti. Jika ia tidak memiliki bukti, maka diputuskan untuk pihak yang mendustakan berdasarkan buktinya, dan budak tersebut menjadi barang gadai di tangan pihak yang mendustakan, bukan di tangan pihak yang membenarkan, karena bukti lebih kuat daripada pengakuan. Jika pihak yang membenarkan memiliki bukti, maka buktinya didengar bukan terhadap pihak yang menggadaikan, karena ia telah mengakui dan terhadap orang yang mengakui tidak didengar bukti untuk menentang pengakuannya, tetapi bukti itu didengar untuk menandingi bukti pihak yang mendustakan. Jika kedua bukti itu bertentangan, maka pihak yang membenarkan dikuatkan dengan pengakuan untuknya, sehingga diputuskan untuknya berdasarkan ucapannya, dan kedua bukti gugur karena saling bertentangan, dan budak tersebut menjadi barang gadai di tangan pihak yang membenarkan. Inilah hukum bagian kedua dalam kasus membenarkan salah satu dan mendustakan yang lain.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يُصَدِّقَهُمَا مَعًا، فَيَقُولُ قَدْ رَهَنْتُهُ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْكُمَا وَأَقْبَضْتُهُ، فَمَعْلُومٌ أَنَّ ذَلِكَ غَيْرُ مُمْكِنٍ، إِلَّا أَنْ يَتَقَدَّمَ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ، وَالْمُتَقَدِّمُ مِنْهُمَا أَحَقُّ بِرَهْنِهِ مِنَ الْمُتَأَخِّرِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الرَّاهِنِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَعْلَمَ الْمُتَقَدِّمَ مِنْهُمَا أو لا يعلم، فإن قال كنت علمت المتقدم فيهما فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ مَا لَمْ يَكُنْ لواحد من المرتهنين بينة، وإنما لزمه الْيَمِينُ قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّهُ لَوْ رَجَعَ عَنْهُمَا وَعَنِ الْأَوَّلِ مِنْهَا قُبِلَ مِنْهُ فَلِذَلِكَ لَزِمَتْهُ الْيَمِينُ، وَإِذَا كَانَتِ الْيَمِينُ لَازِمَةً لَهُ لَمْ يَخْلُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَحْلِفَ أَوْ يَنْكُلَ، فَإِنْ حَلَفَ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الرهن مقسوم وَسَوَاءٌ كَانَ الرَّهْنُ فِي يَدِهِ أَوْفِي يَدِ أَحَدِ الْمُرْتَهِنَيْنِ، لِاسْتِوَائِهِمَا فَيَ الدَّعْوَى، وَسُقُوطِ دَعْوَيْهِمَا بِالْيَمِينِ، وَفِي الرَّهْنِ وَجْهٌ آخَرُ لِبَعْضِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ لَا يَنْفَسِخُ يَمِينُ الرَّاهِنِ؛ لِأَنَّ يَمِينَهُ لَمْ تَكُنْ لِنَفْيِ الرَّهْنِ وَإِنَّمَا كَانَتْ لِنَفْيِ الْعِلْمِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَبْطُلَ بِهَا الرَّهْنُ، وَإِذَا لَمْ يَبْطُلِ الرَّهْنُ بِيَمِينِهِ كَانَ الْحُكْمُ فِيهِ كَمَا لَوْ نَكَلَا عَنِ اليمين وجب ردها على المرتهنين ولها ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Adapun bagian ketiga, yaitu membenarkan keduanya sekaligus, yakni ia berkata: “Aku telah menggadaikannya kepada masing-masing dari kalian dan telah menyerahkannya,” maka sudah diketahui bahwa hal itu tidak mungkin, kecuali salah satu dari keduanya mendahului yang lain, dan yang lebih dahulu di antara keduanya lebih berhak atas barang gadai daripada yang belakangan. Jika demikian, maka keadaan pihak yang menggadaikan tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia mengetahui siapa yang lebih dahulu di antara keduanya atau tidak. Jika ia berkata, “Aku mengetahui siapa yang lebih dahulu di antara keduanya,” maka ucapannya diterima dengan sumpahnya selama tidak ada bukti dari salah satu pihak yang menerima gadai. Sumpah diwajibkan atasnya secara pasti, karena jika ia menarik kembali pengakuannya dari keduanya atau dari yang pertama di antara keduanya, maka diterima darinya, oleh karena itu sumpah diwajibkan atasnya. Jika sumpah telah diwajibkan atasnya, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia bersumpah atau menolak. Jika ia bersumpah, menurut mazhab Syafi‘i, barang gadai dibagi, baik barang gadai itu ada di tangannya atau di tangan salah satu penerima gadai, karena keduanya sama dalam pengakuan dan gugurnya klaim keduanya dengan sumpah. Dalam masalah gadai ada pendapat lain dari sebagian ulama kami bahwa sumpah pihak yang menggadaikan tidak membatalkan gadai, karena sumpahnya bukan untuk menafikan gadai, melainkan untuk menafikan pengetahuan, sehingga tidak boleh gadai itu batal dengan sumpahnya. Jika gadai tidak batal dengan sumpahnya, maka hukumnya seperti jika keduanya menolak bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada para penerima gadai, dan dalam hal ini ada tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَنْكُلَا عَنْهَا، فَالرَّهْنُ حِينَئِذٍ مَفْسُوخٌ لِنُكُولِهِمَا، وَالْعَبْدُ فِي يَدِ مَالِكِهِ غير مرهون.

Pertama: Keduanya menolak bersumpah, maka barang gadai saat itu batal karena penolakan keduanya, dan budak tersebut kembali ke tangan pemiliknya, tidak lagi menjadi barang gadai.

الحالة الثَّانِيَةُ: أَنْ يَحْلِفَ أَحَدُهُمَا وَيَنْكُلَ الْآخَرُ، فَيُقْضَى لِلْعَبْدِ رَهْنًا فِي يَدِ الْحَالِفِ مِنْهَا دُونَ الناكل.

Kedua: Salah satu dari keduanya bersumpah dan yang lain menolak, maka diputuskan budak tersebut menjadi barang gadai di tangan yang bersumpah, bukan yang menolak.

والحالة الثَّالِثَةُ: أَنْ يَحْلِفَا مَعًا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Ketiga: Keduanya bersumpah, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الرَّهْنَ مَفْسُوخٌ لِتَعَارُضِ بَيِّنَتِهِمَا.

Pertama: Barang gadai batal karena bukti keduanya saling bertentangan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ رَهْنٌ بَيْنَهُمَا لِتَسَاوِيهِمَا، وَهَذَا حُكْمُ الرَّهْنِ إِذَا لَمْ يُعْلَمْ تَقَدُّمُ أَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ، فَأَمَّا إِذَا عُلِمَ تَقَدُّمُ أَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ، قَالَ هُوَ فُلَانٌ دُونَ فُلَانٍ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْعَبْدِ الْمَرْهُونِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Kedua: Barang gadai menjadi milik bersama di antara keduanya karena kedudukan mereka yang sama. Inilah hukum barang gadai jika tidak diketahui siapa yang lebih dahulu di antara keduanya. Adapun jika diketahui siapa yang lebih dahulu di antara keduanya, misalnya dikatakan “yang lebih dahulu adalah si fulan, bukan yang lain”, maka keadaan budak yang digadaikan tidak lepas dari empat bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ فِي يَدِ الرَّاهِنِ.

Pertama: Berada di tangan pihak yang menggadaikan.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فِي يَدِ أَحَدِ الْمُرْتَهِنَيْنِ.

Kedua: Berada di tangan salah satu dari dua penerima gadai.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنَيْنِ جَمِيعًا.

Ketiga: Berada di tangan kedua penerima gadai sekaligus.

وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ فِي يَدِ أَجْنَبِيٍّ.

Keempat: Berada di tangan orang lain (pihak ketiga).

فَإِنْ كَانَ فِي يَدِ الرَّاهِنِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ، وَيَكُونُ رَهْنًا لِمَنْ أَقَرَّ لَهُ مَا لَمْ يَكُنْ لِلْآخَرِ بَيِّنَةٌ، وَهَلْ عليه التمييز أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ أَحَدُهُمَا: لَا يَمِينَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ لَوْ رَجَعَ لَمْ يُقْبَلْ رُجُوعُهُ.

Jika barang gadai berada di tangan pihak yang menggadaikan (rahin), maka perkataan dipegang berdasarkan pengakuannya, dan barang tersebut menjadi gadai bagi siapa yang ia akui, selama pihak lain tidak memiliki bukti. Apakah ia wajib membedakan (antara keduanya) atau tidak? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah kami sebutkan sebelumnya. Salah satunya: tidak ada sumpah atasnya, karena jika ia menarik kembali pengakuannya, maka penarikannya tidak diterima.

وَالثَّانِي: عَلَيْهِ الْيَمِينُ زَجْرًا لَهُ لِيَنْكُلَ عَنْهَا فَتُرَدَّ عَلَى الْآخَرِ.

Pendapat kedua: ia wajib bersumpah sebagai bentuk pencegahan agar ia mengurungkan diri dari sumpah tersebut, sehingga sumpah itu dialihkan kepada pihak lain.

فَإِنْ قِيلَ لَا يَمِينَ عَلَيْهِ أَوْ عَلَيْهِ الْيَمِينُ فَحَلَفَ كَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا فِي يَدِ الْمُقَرِّ لَهُ بِالتَّقَدُّمِ دُونَ الْآخَرِ، وَإِنْ قِيلَ عَلَيْهِ الْيَمِينُ فَنَكَلَ عَنْهَا رُدَّتْ عَلَى الْآخَرِ، فَإِنْ نَكَلَ عَنْهَا كَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا بِيَدِ الْمُقَرِّ لَهُ بِالتَّقَدُّمِ، وَإِنْ حَلَفَ فَفِي الرَّهْنِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ مَضَتْ.

Jika dikatakan tidak ada sumpah atasnya, atau ia wajib bersumpah lalu ia bersumpah, maka budak itu menjadi barang gadai di tangan orang yang diakui lebih dahulu, bukan di tangan yang lain. Namun jika dikatakan ia wajib bersumpah lalu ia enggan bersumpah, maka sumpah itu dialihkan kepada pihak lain. Jika pihak lain juga enggan bersumpah, maka budak itu menjadi barang gadai di tangan orang yang diakui lebih dahulu. Jika ia bersumpah, maka dalam masalah gadai terdapat tiga pendapat yang telah disebutkan.

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الرَّهْنُ مَفْسُوخًا لتعارضهما.

Pertama: barang gadai menjadi batal karena adanya pertentangan antara keduanya.

والثاني: يكون بينها لتساويهما.

Kedua: barang gadai dibagi di antara keduanya karena kedudukannya sama.

وَالثَّالِثُ: يَكُونُ رَهْنًا بِيَدِ الْمُقَرِّ لَهُ بِالتَّقَدُّمِ، ويغرم للراهن قِيمَتُهُ تَكُونُ رَهْنًا بِيَدِ الْآخَرِ، وَهَذَا حُكْمُ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ فِي كَوْنِ الْعَبْدِ بِيَدِ الرَّاهِنِ، وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ بِيَدِ أَحَدِ الْمُرْتَهِنَيْنِ، وَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Ketiga: barang gadai menjadi milik orang yang diakui lebih dahulu, dan ia mengganti nilainya kepada pihak yang menggadaikan, yang nilainya itu menjadi barang gadai di tangan pihak lainnya. Inilah hukum bagian pertama jika budak berada di tangan pihak yang menggadaikan. Adapun bagian kedua, yaitu jika budak berada di tangan salah satu dari dua penerima gadai, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ أَقَرَّ بِالتَّقَدُّمِ لِمَنْ هُوَ في يده، فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ وَهَلْ عَلَيْهِ الْيَمِينُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ ثُمَّ عَلَى مَا مَضَى.

Pertama: jika ia telah mengakui lebih dahulu kepada orang yang budak itu berada di tangannya, maka perkataan dipegang berdasarkan pengakuannya. Apakah ia wajib bersumpah atau tidak? Ada dua pendapat, kemudian berlaku sebagaimana yang telah lalu.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَدْ أَقَرَّ بِالتَّقَدُّمِ وَالسَّبْقِ لِمَنْ لَيْسَ الْعَبْدُ بِيَدِهِ، فَفِيهِ قَوْلَانِ مَنْصُوصَانِ:

Keadaan kedua: jika ia mengakui lebih dahulu dan mendahulukan orang yang budak itu tidak berada di tangannya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang dinyatakan secara tegas:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ صَاحِبِ الْيَدِ دُونَ المرتهن، ووجهه أن فِي الْيَدِ يُنَافِي التَّدَاعِي، أَلَا تَرَى لَوْ تداعيا عبد بعبد مَبِيعًا لَا رَهْنًا وَكَانَ الْعَبْدُ فِي يَدِ أَحَدِهِمَا فَصَدَّقَهُمَا عَلَى الْبَيْعِ وَأَقَرَّ بِالتَّقَدُّمِ وَالسَّبْقِ لِغَيْرِ صَاحِبِ الْيَدِ لَمْ يُقْبَلْ إِقْرَارُهُ، وَكَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ صَاحِبِ الْيَدِ كَذَلِكَ فِي الرَّهْنِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ، فَإِنْ حَلَفَ كَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا بِيَدِهِ، وَإِنْ نَكَلَ كَانَ الْعَبْدُ رَهْنًا بِيَدِ الْمُقَرِّ لَهُ بِالتَّقَدُّمِ مِنْ غَيْرِ أَنْ تُرَدَّ عَلَيْهِ الْيَمِينُ؛ لِأَنَّ ارْتِهَانَهُ مِنْ صَاحِبِ الْيَدِ قَدْ بَطَلَ بنكوله ومع هذا الإقرار لم يحتج إلى يمين.

Pertama: bahwa perkataan dipegang berdasarkan pemilik tangan, bukan penerima gadai. Alasannya, karena barang yang berada di tangan menafikan adanya sengketa. Tidakkah engkau lihat, jika keduanya bersengketa atas seorang budak yang dijual, bukan digadaikan, dan budak itu berada di tangan salah satu dari mereka, lalu ia membenarkan keduanya atas jual beli dan mengakui lebih dahulu kepada selain pemilik tangan, maka pengakuannya tidak diterima, dan perkataan dipegang berdasarkan pemilik tangan. Demikian pula dalam masalah gadai. Maka berdasarkan pendapat ini, perkataan dipegang berdasarkan pemilik tangan dengan sumpahnya. Jika ia bersumpah, maka budak itu menjadi barang gadai di tangannya. Jika ia enggan bersumpah, maka budak itu menjadi barang gadai di tangan orang yang diakui lebih dahulu tanpa perlu mengalihkan sumpah kepadanya, karena hak gadai dari pemilik tangan telah gugur dengan keengganannya bersumpah, dan dengan pengakuan ini tidak diperlukan lagi sumpah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاهِنِ دُونَ صَاحِبِ الْيَدِ، وَوَجْهُهُ أَنَّ الْيَدَ فِي الرَّهْنِ لَيْسَتْ بَيَانًا لِصِحَّةِ الدَّعْوَى أَلَا ترى لو أنكر الرهن وكان فِي يَدِهِ لَمْ تَكُنْ يَدُهُ دَلِيلًا عَلَى صحة دعواه، وكذلك إِذَا اعْتَرَفَ أَنَّ رَهْنَهُ بَعْدَ الْأَوَّلِ رَهْنًا فَاسِدًا، كَمَا لَوْ أَنْكَرَهُ وَلَمْ تَكُنْ يَدُهُ دَلِيلًا عَلَى صِحَّةِ دَعْوَاهُ، وَيُفَارِقُ الْبَيْعَ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua, dan ini yang shahih, bahwa perkataan dipegang berdasarkan pihak yang menggadaikan (rahin), bukan pemilik tangan. Alasannya, karena kepemilikan tangan dalam gadai bukanlah bukti kebenaran klaim. Tidakkah engkau lihat, jika ia mengingkari gadai padahal barang itu di tangannya, maka kepemilikan tangannya tidak menjadi bukti atas kebenaran klaimnya. Demikian pula jika ia mengakui bahwa gadaiannya setelah yang pertama adalah gadai yang rusak, sebagaimana jika ia mengingkarinya, maka kepemilikan tangannya tidak menjadi bukti atas kebenaran klaimnya. Hal ini berbeda dengan jual beli dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْبَيْعَ يَنْقُلُ الْمِلْكَ، وَالْيَدَ تَدُلُّ عَلَى الْمِلْكِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الرَّهْنُ.

Pertama: jual beli memindahkan kepemilikan, dan kepemilikan tangan menunjukkan kepemilikan, sedangkan gadai tidak demikian.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْبَيْعَ قَدْ أَزَالَ مِلْكَ الْبَائِعِ فَصَارَ مُقَرًّا فِي غَيْرِ مَالِهِ فَلَمْ يُقْبَلْ إِقْرَارُهُ عَلَى صَاحِبِ الْيَدِ، وَالرَّهْنُ لَمْ يُزِلْ مِلْكَ الراهن وكان مُقَرًّا فِي مِلْكِهِ، وَكَانَ إِقْرَارُهُ نَافِذًا عَلَى صَاحِبِ الْيَدِ، فَعَلَى هَذَا الْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ وَهَلْ عَلَيْهِ الْيَمِينُ أَمْ لَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ ثُمَّ عَلَى مَا مَضَى حَلِفِهِ وَنُكُولِهِ، وَهَذَا حُكْمُ الْقِسْمِ الثَّانِي فِي كَوْنِ الْعَبْدِ فِي يَدِ أَحَدِ الْمُرْتَهِنَيْنِ.

Kedua: jual beli telah menghilangkan kepemilikan penjual sehingga ia mengakui pada harta yang bukan miliknya, maka pengakuannya atas pemilik tangan tidak diterima. Sedangkan gadai tidak menghilangkan kepemilikan pihak yang menggadaikan, dan ia mengakui pada hartanya sendiri, sehingga pengakuannya berlaku atas pemilik tangan. Maka berdasarkan pendapat ini, perkataan dipegang berdasarkan pihak yang menggadaikan. Apakah ia wajib bersumpah atau tidak, kembali kepada dua pendapat yang telah kami sebutkan, kemudian berlaku sebagaimana yang telah lalu tentang sumpah dan keengganannya. Inilah hukum bagian kedua jika budak berada di tangan salah satu dari dua penerima gadai.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنَيْنِ جَمِيعًا. فَمَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاهِنَيْنِ فِي جَمِيعِ الْعَبْدِ وَيَكُونُ الْعَبْدُ كُلُّهُ رَهْنًا فِي يَدِ الْمُقَرِّ لَهُ، وَهَلْ عَلَى الرَّاهِنِ الْيَمِينُ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ، وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَ الرَّاهِنِ فِي نِصْفِ الْعَبْدِ وَهُوَ الَّذِي فِي يَدِ الْمُقَرِّ لَهُ، وَفِي النِّصْفِ الْآخَرِ الَّذِي فِي يَدِ المرتهن الْآخَرِ عَلَى قَوْلَيْنِ؛ لِأَنَّهُ أَقَرَّ بِهِ لِغَيْرِهِ مَنْ هُوَ فِي يَدِهِ، وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ، وَمَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ أَوْلَى؛ لِأَنَّهُمَا قَدِ اسْتَوَيَا فِي الْيَدِ وَفُضِّلَ أَحَدُهُمَا بِالْإِقْرَارِ فَكَانَ الْحُكْمُ لَهُ.

Adapun bagian ketiga: yaitu apabila budak berada di tangan kedua murtahin (penerima gadai) secara bersama-sama. Menurut pendapat yang dinyatakan oleh Imam Syafi‘i, yang dijadikan pegangan adalah pernyataan kedua rahin (pemberi gadai) atas seluruh budak tersebut, dan budak itu seluruhnya menjadi barang gadai di tangan orang yang diakui untuknya. Apakah rahin harus bersumpah atau tidak? Hal ini sesuai dengan dua pendapat yang telah kami sebutkan sebelumnya. Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah pernyataan rahin atas setengah budak, yaitu yang berada di tangan orang yang diakui untuknya, dan untuk setengah lainnya yang berada di tangan murtahin yang lain terdapat dua pendapat; karena ia mengakui untuk orang lain atas sesuatu yang ada di tangannya, dan ini tidaklah benar. Pendapat yang dinyatakan oleh Imam Syafi‘i lebih utama, karena keduanya sama-sama memegang (budak tersebut), lalu salah satunya diunggulkan dengan adanya pengakuan, maka hukum diberikan kepadanya.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: وَهُوَ أَنْ يكون الرهن في يد أجنبي، فإنه يسأل عن يده، فإن كانت نابتة عَنِ الرَّاهِنِ فَالْحُكْمُ فِيهِ كَمَا لَوْ كَانَ في يد الراهن، وإن كانت نابتة عَنْ أَحَدِ الْمُرْتَهِنَيْنِ كَانَ حُكْمُهُ كَمَا لَوْ كَانَ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ، وَإِنْ كَانَتْ غَاصِبَةً لا ينوب بها عن أحد، فَالْحُكْمُ فِيهِ كَمَا لَوْ كَانَ فِي يَدِ الرَّاهِنِ، لِأَنَّهُ مُسْتَحِقُّ الْيَدِ بِحُكْمِ الْمِلْكِ.

Adapun bagian keempat: yaitu apabila barang gadai berada di tangan orang ketiga (bukan rahin maupun murtahin), maka ia ditanya tentang asal usul kepemilikan tangannya. Jika tangannya mewakili rahin, maka hukumnya seperti barang gadai di tangan rahin. Jika tangannya mewakili salah satu murtahin, maka hukumnya seperti barang gadai di tangan murtahin. Jika ia adalah seorang yang merampas (ghāṣib) dan tidak mewakili siapa pun, maka hukumnya seperti barang gadai di tangan rahin, karena rahin adalah pihak yang berhak atas kepemilikan tangan berdasarkan hukum kepemilikan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ قَالَ أَصَحُّهُمَا عِنْدِي أَنْ يُصَدَّقَ؛ لِأَنَّهُ حَقٌّ مِنَ الْحُقُوقِ اجْتَمَعَ فِيهِ إِقْرَارُ الْمُرْتَهِنِ وَرَبِّ الرَّهْنِ، ثُمَّ رَأَيْتُ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ الَّذِي هُوَ فِي يَدِهِ الفصل إلى آخره.

Adapun al-Muzani, ia berkata: “Menurutku, yang paling sahih adalah dibenarkan (pengakuan rahin), karena ini adalah salah satu hak yang di dalamnya terdapat pengakuan dari murtahin dan pemilik barang gadai (rahin). Kemudian aku melihat bahwa yang dijadikan pegangan adalah pernyataan murtahin yang barang gadai itu ada di tangannya.” (fasal hingga akhir)

وكان أَوَّلُ كَلَامِهِ دَلِيلًا عَلَى أَنَّهُ اخْتَارَ أَنْ يَكُونَ الْقَوْلُ قَوْلَ الرَّاهِنِ دُونَ صَاحِبِ الْيَدِ؛ لِأَنَّهُ قَالَ: أَصَحُّهُمَا عِنْدِي أَنْ يُصَدَّقَ يَعْنِي الرَّاهِنَ لِأَنَّهُ حَقٌّ مِنَ الْحُقُوقِ اجْتَمَعَ فِيهِ إِقْرَارُ الْمُرْتَهِنِ وَرَبِّ الرَّهْنِ، ثُمَّ آخِرُ كَلَامِهِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ اخْتَارَ أَنْ يَكُونَ الْقَوْلُ قَوْلَ صَاحِبِ الْيَدِ دُونَ الرَّاهِنِ؛ لِأَنَّهُ قَالَ: ثُمَّ رَأَيْتُ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ الَّذِي هُوَ فِي يَدَيْهِ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ بَعْضُهُمْ يَقُولُ لِلْمُزَنِيِّ أَيْضًا فِي الْمَسْأَلَةِ قَوْلَانِ لِلشَّافِعِيِّ، وَقَالَ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا إِنَّ الْمُزَنِيَّ قَالَ: أَصَحُّهُمَا عِنْدِي أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاهِنِ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَهُوَ صَرِيحُ أُصُولِهِ، وَالَّذِي أَرَاهُ عَلَى مَذْهَبِي أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ؛ لِأَنَّهُ ذَكَرَ فِي اخْتِيَارِهِ قَوْلَيْنِ ثُمَّ أَخَذَ بِنَصِّ اخْتِيَارِهِ مِمَّا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.

Dan awal perkataannya menunjukkan bahwa ia memilih agar yang dijadikan pegangan adalah pernyataan rahin, bukan pemegang barang (murtahin), karena ia berkata: “Menurutku, yang paling sahih adalah dibenarkan,” maksudnya adalah rahin, karena ini adalah salah satu hak yang di dalamnya terdapat pengakuan dari murtahin dan pemilik barang gadai (rahin). Kemudian akhir perkataannya menunjukkan bahwa ia memilih agar yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pemegang barang (murtahin), bukan rahin, karena ia berkata: “Kemudian aku melihat bahwa yang dijadikan pegangan adalah pernyataan murtahin yang barang gadai itu ada di tangannya.” Maka para sahabat kami berbeda pendapat; sebagian mereka berkata bahwa menurut al-Muzani juga dalam masalah ini terdapat dua pendapat dari Imam Syafi‘i, dan mayoritas sahabat kami berkata bahwa al-Muzani berkata: “Menurutku, yang paling sahih adalah pernyataan rahin menurut mazhab Syafi‘i, dan itu adalah pendapat yang jelas dalam ushulnya. Sedangkan yang aku lihat menurut mazhabku adalah pernyataan murtahin yang dijadikan pegangan.” Karena ia menyebutkan dalam pilihannya dua pendapat, kemudian ia mengambil pendapat yang dinyatakan secara tegas dalam pilihannya sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Dan Allah Ta‘ala lebih mengetahui.

باب رهن الأرض

(Bab Gadai Tanah)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” إِذَا رَهَنَ أَرْضًا وَلَمْ يَقُلْ بِبِنَائِهَا وَشَجَرِهَا فَالْأَرْضُ رَهْنٌ دُونَ بِنَائِهَا وَشَجَرِهَا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menggadaikan sebidang tanah dan tidak menyebutkan bangunan dan pepohonannya, maka yang menjadi barang gadai hanyalah tanahnya, tidak termasuk bangunan dan pepohonannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ: إِذَا رَهَنَ أَرْضًا ذَاتَ نَبَاتٍ وَشَجَرٍ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar; jika seseorang menggadaikan tanah yang memiliki tanaman dan pepohonan, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَشْتَرِطَ دُخُولَ نَبَاتِهَا وَشَجَرِهَا فِي الْأَرْضِ، فَيَكُونَ جَمِيعُ ذَلِكَ رَهْنًا مَعَ الْأَرْضِ وِفَاقًا.

Pertama: ia mensyaratkan masuknya tanaman dan pepohonannya ke dalam tanah, maka semuanya menjadi barang gadai bersama tanah, dan ini disepakati.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَشْتَرِطَ خُرُوجَ نَبَاتِهَا وَشَجَرِهَا مِنَ الرَّهْنِ فَيَكُونَ جَمِيعُ ذَلِكَ خَارِجًا مِنَ الرَّهْنِ، وَتَكُونَ الْأَرْضُ وَحْدَهَا رَهْنًا.

Bagian kedua: ia mensyaratkan keluarnya tanaman dan pepohonannya dari barang gadai, maka semuanya keluar dari barang gadai, dan hanya tanah saja yang menjadi barang gadai.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُطْلَقَ الرَّهْنُ فِي الْأَرْضِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ فِي الْبِنَاءِ وَالْغِرَاسِ شَرْطٌ، فَالَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الرَّهْنِ أن الأرض تكون رهنا دون نباتها، وَقَالَ فِي كِتَابِ الْبُيُوعِ: إِذَا بَاعَهُ الْأَرْضَ ذَاتَ الْبِنَاءِ وَالشَّجَرِ مُطْلَقًا، كَانَ الْبِنَاءُ وَالشَّجَرُ دَاخِلًا فِي الْبَيْعِ تَبَعًا لِلْأَرْضِ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:

Bagian ketiga: ia melepaskan (tidak mensyaratkan) barang gadai pada tanah tanpa ada syarat apapun mengenai bangunan dan tanaman, maka menurut pendapat yang dinyatakan oleh Imam Syafi‘i dalam masalah gadai, tanah menjadi barang gadai tanpa tanaman-tanamannya. Dan beliau berkata dalam Kitab al-Buyū‘: Jika ia menjual tanah yang ada bangunan dan pepohonannya secara mutlak, maka bangunan dan pepohonan itu termasuk dalam penjualan sebagai pengikut tanah. Maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga mazhab:

أَحَدُهَا: أَنَّ الْحُكْمَ فِي الْبَيْعِ وَالرَّهْنِ سَوَاءٌ، وَأَنَّ الْبِنَاءَ وَالشَّجَرَ خَارِجٌ مِنَ الْعَقْدِ وَغَيْرُ تَابِعٍ لِلْأَرْضِ فِي الْبَيْعِ وَالرَّهْنِ، وَحَمَلُوا مَا ذَكَرُوهُ فِي الْبُيُوعِ عَلَى بَيْعِ الْأَرْضِ بِحُقُوقِهَا، وَأَمَّا مَعَ الْإِطْلَاقِ فَلَا.

Salah satunya: bahwa hukum dalam jual beli dan rahn (gadai) adalah sama, dan bahwa bangunan serta pohon tidak termasuk dalam akad dan tidak mengikuti tanah dalam jual beli maupun rahn. Mereka menafsirkan apa yang disebutkan dalam bab jual beli sebagai jual beli tanah beserta hak-haknya, adapun jika disebutkan secara mutlak maka tidak demikian.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: أَنَّهُمْ خَرَّجُوا فِي الرَّهْنِ مِنَ الْبُيُوعِ قَوْلًا، وَفِي الْبُيُوعِ في الرَّهْنِ قَوْلًا، وَجَعَلُوا مَسْأَلَةَ الرَّهْنِ وَالْبُيُوعِ مَعًا على قولين:

Mazhab kedua: mereka mengeluarkan dalam rahn dari bab jual beli satu pendapat, dan dalam jual beli dari bab rahn satu pendapat, dan mereka menjadikan permasalahan rahn dan jual beli bersama-sama dalam dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: دُخُولُ الْبِنَاءِ وَالشَّجَرِ فِي عَقْدِ الْبَيْعِ وَالرَّهْنِ تَبَعًا لِلْأَرْضِ لِأَنَّهُ مُتَّصِلٌ بِالْأَرْضِ فَأَشْبَهَ حُقُوقَ الْأَرْضِ.

Salah satunya: masuknya bangunan dan pohon dalam akad jual beli dan rahn sebagai pengikut tanah karena keduanya menyatu dengan tanah sehingga menyerupai hak-hak tanah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: خُرُوجُ الْبِنَاءِ وَالشَّجَرِ فِي الْبَيْعِ وَالرَّهْنِ لِأَنَّهُ مِمَّا يُمْكِنُ إِفْرَادُهُ بِالْعَقْدِ فَلَمْ يَدْخُلْ فِيهِ إِلَّا بِالشَّرْطِ كَالْأَرْضِ.

Pendapat kedua: keluarnya bangunan dan pohon dalam jual beli dan rahn karena keduanya bisa diakadkan secara terpisah, sehingga tidak termasuk di dalamnya kecuali dengan syarat, sebagaimana tanah.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: وَهُوَ الصَّحِيحُ، حَمْلُ الْجَوَابِ عَلَى ظَاهِرِهِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ فَيَكُونُ الْبِنَاءُ وَالشَّجَرُ يَدْخُلَانِ فِي عَقْدِ الْبَيْعِ بِغَيْرِ شَرْطٍ وَلَا يَدْخُلَانِ فِيِ عَقْدِ الرَّهْنِ إِلَّا بِشَرْطٍ، وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْبَيْعِ وَالرَّهْنِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Mazhab ketiga, dan inilah yang shahih, adalah memahami jawaban sesuai zahirnya pada kedua tempat tersebut, sehingga bangunan dan pohon masuk dalam akad jual beli tanpa syarat, dan tidak masuk dalam akad rahn kecuali dengan syarat. Perbedaan antara jual beli dan rahn dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْبَيْعَ عقد ينقل الملك قد حل فِيهِ تَوَابِعُ الْمَبِيعِ بِغَيْرِ شَرْطٍ لِقُوَّتِهِ، وَعَقْدُ الرَّهْنِ وَثِيقَةٌ لَا تَنْقُلُ الْمِلْكَ، فَلَمْ يَدْخُلْ فِيهِ إِلَّا مَا سُمِّيَ لِضَعْفِهِ.

Salah satunya: bahwa jual beli adalah akad yang memindahkan kepemilikan, sehingga segala sesuatu yang menjadi pengikut barang yang dijual masuk tanpa syarat karena kuatnya akad tersebut. Sedangkan akad rahn adalah jaminan yang tidak memindahkan kepemilikan, sehingga tidak masuk di dalamnya kecuali apa yang disebutkan secara eksplisit karena lemahnya akad tersebut.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْبَيْعَ لَمَّا تَبِعَهُ مَا حَدَثَ بَعْدَ الْعَقْدِ تَبِعَهُ مَا كَانَ مَوْجُودًا حِينَ الْعَقْدِ، وَالرَّهْنُ لَمَّا لَمْ يَتْبَعْهُ مَا حَدَثَ بَعْدَ الْعَقْدِ لَمْ يَتْبَعْهُ مَا كَانَ مَوْجُودًا حِينَ الْعَقْدِ.

Kedua: bahwa dalam jual beli, apa yang terjadi setelah akad mengikuti (masuk), maka apa yang sudah ada saat akad juga ikut masuk. Sedangkan dalam rahn, karena apa yang terjadi setelah akad tidak mengikuti, maka apa yang sudah ada saat akad pun tidak ikut masuk.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

إِذَا قَالَ رَهَنْتُكَ هَذَا الْبُسْتَانَ فَإِنَّ الْغِرَاسَ وَالشَّجَرَ يَدْخُلَانِ فِي الرَّهْنِ لَا يَخْتَلِفُ الْمَذْهَبُ فِيهِ، وَكَذَلِكَ فِي الْبَيْعِ، لِأَنَّ الْبُسْتَانَ اسْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَى الْأَرْضِ وَمَا فِيهَا، وَكَذَا لَوْ قَالَ: رَهَنْتُكَ هَذِهِ الدَّارَ دَخَلَ فِي الرَّهْنِ جَمِيعُ بِنَائِهَا، لِأَنَّ اسْمَ الدَّارِ لَا يَنْطَلِقُ عَلَى الْأَرْضِ إِلَّا مَعَ بِنَائِهَا.

Jika seseorang berkata, “Aku menggadaikan kepadamu kebun ini,” maka tanaman dan pohon masuk dalam rahn, tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab mengenai hal ini, demikian pula dalam jual beli. Karena kata “kebun” mencakup tanah dan segala yang ada di atasnya. Demikian pula jika ia berkata, “Aku menggadaikan rumah ini kepadamu,” maka seluruh bangunannya masuk dalam rahn, karena istilah “rumah” tidak berlaku atas tanah kecuali beserta bangunannya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ رَهَنَ شَجَرًا وَبَيْنَ الشَّجَرِ بَيَاضٌ فَالشَّجَرُ رَهْنٌ دُونَ الْبَيَاضِ وَلَا يَدْخُلُ فِي الرَّهْنِ إلا ما سمي “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menggadaikan pohon dan di antara pohon-pohon itu ada lahan kosong, maka yang menjadi rahn hanya pohonnya saja, sedangkan lahan kosong tidak termasuk dalam rahn. Tidak masuk dalam rahn kecuali apa yang disebutkan secara eksplisit.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan.

إِذَا رَهَنَ الْبِنَاءَ وَالشَّجَرَ لَمْ يَدْخُلْ فِي الرَّهْنِ بَيَاضُ الْأَرْضِ، وَكَذَا الْبَيْعُ لَا يَخْتَلِفُ فِيهِ أَصْحَابُنَا، لِأَنَّ الشَّجَرَ فَرْعٌ تَابِعٌ وَالْأَرْضَ أَصْلٌ مَتْبُوعٌ، وَالْفَرْعُ قَدْ يَتْبَعُ أَصْلَهُ، وَالْأَصْلُ لَا يَتْبَعُ فَرْعَهُ. فَأَمَّا قَرَارُ الْبِنَاءِ وَالشَّجَرِ مِنَ الْأَرْضِ فَغَيْرُ دَاخِلٍ فِي الرَّهْنِ، لَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا فِيهِ، وَهَلْ يَدْخُلُ فِي الْبَيْعِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika seseorang menggadaikan bangunan dan pohon, maka lahan kosong dari tanah tidak masuk dalam rahn. Demikian pula dalam jual beli, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kami, karena pohon adalah cabang yang mengikuti, sedangkan tanah adalah pokok yang diikuti. Cabang bisa mengikuti pokoknya, sedangkan pokok tidak mengikuti cabangnya. Adapun bagian tanah tempat berdirinya bangunan dan pohon, maka itu tidak termasuk dalam rahn, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kami. Apakah bagian tersebut masuk dalam jual beli atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَدْخُلُ فِيهِ كَالرَّهْنِ.

Salah satunya: tidak masuk, sebagaimana dalam rahn.

وَالثَّانِي: يَدْخُلُ فِيهِ. وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْبَيْعِ وَالرَّهْنِ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ قُوَّةِ الْبَيْعِ وَضَعْفِ الرَّهْنِ.

Kedua: masuk. Perbedaan antara jual beli dan rahn adalah sebagaimana telah kami sebutkan, yaitu karena kuatnya jual beli dan lemahnya rahn.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا رَهَنَ ثَمَرًا قَدْ خَرَجَ مِنْ نَخْلَةٍ قبل يحل بَيْعُهُ وَمَعَهُ النَّخْلُ فَهُمَا رَهْنٌ لِأَنَّ الْحَقَّ لَوْ حَلَّ جَازَ أَنْ يُبَاعَ وَكَذَلِكَ إِذَا بلغت هذه الثمرة قبل محل الحق وبيعت خُيِّرَ الرَّاهِنُ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ ثَمَنُهَا مَرْهُونًا مَعَ النَّخْلِ أَوْ قِصَاصًا إِلَّا أَنْ تَكُونَ هذه الثمرة تيبس فلا يكون لَهُ بَيْعُهَا إِلَّا بِإِذْنِ الرَّاهِنِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menggadaikan buah yang telah keluar dari pohon kurma sebelum boleh dijual, dan bersama buah itu ada pohon kurmanya, maka keduanya menjadi rahn. Karena jika hak telah jatuh tempo, boleh dijual. Demikian pula jika buah tersebut telah matang sebelum jatuh tempo hak dan dijual, maka pihak yang menggadaikan diberi pilihan antara menjadikan harganya sebagai barang gadai bersama pohon kurma atau sebagai pengganti, kecuali jika buah tersebut mengering, maka tidak boleh dijual kecuali dengan izin pihak yang menggadaikan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا رَهَنَهُ تَمْرًا مَعَ نَخْلِهِ صَحَّ الرَّهْنُ مِنْهُمَا، سَوَاءٌ كَانَتِ الثَّمَرَةُ بادية الصلاح أو غير بادية الصلاح، مرة كانت أو غير مرة، وَلَيْسَ يَحْتَاجُ صِحَّةُ الرَّهْنِ إِلَى اشْتِرَاطِ قَطْعِهَا فِي الْعَقْدِ؛ لِأَنَّهَا تَبَعٌ للنخل يجوز بيعها من غير شرط، فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الرَّهْنِ فِيهِمَا لَمْ يَخْلُ حَالُ الْحَقِّ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُعَجَّلًا أَوْ مُؤَجَّلًا، فَإِنْ كَانَ الْحَقُّ مُعَجَّلًا اسْتَقَرَّتْ صِحَّةُ الرَّهْنِ فِي النَّخْلِ وَالثَّمَرَةِ، سَوَاءٌ كَانَتِ الثَّمَرَةُ تَيْبَسُ وَتَبْقَى مُدَّخَرَةً أَمْ لا؟ لأن تعجيل حقها مُسْتَحَقٌّ وَإِنْ كَانَ الْحَقُّ مُؤَجَّلًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang telah dikatakan, apabila seseorang menjadikan kurma beserta pohon kurmanya sebagai barang gadai, maka sah gadai atas keduanya, baik buahnya sudah tampak matang atau belum, baik rasanya pahit atau tidak pahit. Tidak disyaratkan dalam keabsahan gadai adanya syarat untuk memetik buahnya dalam akad, karena buah tersebut mengikuti pohonnya yang boleh dijual tanpa syarat. Apabila telah tetap kebolehan gadai atas keduanya, maka keadaan hak (piutang) tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi hak itu jatuh tempo segera atau ditangguhkan. Jika hak itu jatuh tempo segera, maka keabsahan gadai pada pohon dan buahnya tetap berlaku, baik buahnya bisa mengering dan dapat disimpan atau tidak, karena haknya memang sudah harus dipenuhi. Namun jika hak itu ditangguhkan, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَحَلُّهُ قَبْلَ تَنَاهِي الثَّمَرَةِ وإدراكها فالراهن فِيهِمَا مُسْتَقِرٌّ عَلَى مَا مَضَى.

Pertama: Tempat jatuh temponya sebelum buah itu sempurna dan matang, maka status barang gadai pada keduanya tetap sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ محله بعد تناهي الثمرة من إدراكها فَلَا يَخْلُو حَالُ الثَّمَرة مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Kedua: Tempat jatuh temponya setelah buah itu sempurna dan matang, maka keadaan buah tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ مِمَّا يَيْبَسُ وَيُدَّخَرُ وَذَلِكَ أَزْيَدُ فِي ثَمَنِهَا.

Pertama: Buah tersebut termasuk yang bisa mengering dan disimpan, dan itu lebih tinggi nilainya.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ مِمَّا ييبس مدخرا.

Kedua: Buah tersebut termasuk yang bisa mengering dan disimpan.

وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ مِمَّا يُؤْكَلُ وَلَا يَيْبَسُ مُدَّخَرًا.

Ketiga: Buah tersebut termasuk yang hanya bisa dimakan dan tidak bisa dikeringkan untuk disimpan.

(فَصْلٌ)

(Bab)

وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَيْبَسُ مُدَّخَرَةً وَيَكُونُ أَوْفَرَ مِنْ ثَمَنِهَا كَالرُّطَبِ الَّذِي يَصِيرُ تمرا، أو العنب الَّذِي يُصِيرُ زَبِيبًا، فَالْوَاجِبُ تَجْفِيفُهَا وَاسْتِبْقَاؤُهَا إِلَى حُلُولِ الْحَقِّ، فَإِنْ دَعَا أَحَدُهُمَا إِلَى بَيْعِهَا وَدَعَا الْآخَرُ إِلَى اسْتِبْقَائِهَا حُكِمَ بِقَوْلِ مَنْ دَعَا إِلَى اسْتِبْقَائِهَا، لِأَنَّ مُوجَبَ الرَّهْنِ يَقْتَضِيهِ، وَإِنِ اتُّفِقَ عَلَى بَيْعِهَا فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ.

Jika buah tersebut termasuk yang bisa dikeringkan dan disimpan, dan nilainya lebih tinggi setelah dikeringkan, seperti kurma basah yang menjadi kurma kering, atau anggur yang menjadi kismis, maka wajib dikeringkan dan disimpan sampai waktu jatuh tempo hak (piutang). Jika salah satu pihak meminta agar dijual dan pihak lain meminta agar disimpan, maka diputuskan mengikuti pendapat yang meminta untuk disimpan, karena tuntutan gadai mengharuskannya. Jika keduanya sepakat untuk menjualnya, maka ada tiga keadaan.

أَحَدُهَا: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى بَيْعِهَا بِشَرْطِ أَنْ يَتَعَجَّلَ الْمُرْتَهِنُ ثَمَنَهَا. فَالْبَيْعُ بَاطِلٌ لِفَسَادِ الشَّرْطِ وَتَأْخِيرِ الْحَقِّ.

Pertama: Keduanya sepakat untuk menjualnya dengan syarat penerima gadai segera menerima uang hasil penjualannya. Maka jual beli tersebut batal karena syaratnya rusak dan haknya menjadi tertunda.

وَالثَّانِي: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى بَيْعِهَا مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ شَرْطِ التَّعْجِيلِ فَالْبَيْعُ جَائِزٌ، وَقَدْ بَطَلَ الرَّهْنُ فِي الثَّمَرَةِ إِذَا بِيعَتْ، ولا حق للمرتهن في ثمنها.

Kedua: Keduanya sepakat untuk menjualnya secara mutlak tanpa syarat percepatan pembayaran, maka jual belinya sah, dan gadai atas buah tersebut batal jika sudah dijual, serta penerima gadai tidak berhak atas hasil penjualannya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى بَيْعِهَا لِيَكُونَ ثَمَنُهَا رَهْنًا مَكَانَهَا، فَفِي صِحَّةِ الْبَيْعِ قَوْلَانِ:

Ketiga: Keduanya sepakat untuk menjualnya agar uang hasil penjualannya menjadi barang gadai pengganti buah tersebut, maka dalam keabsahan jual belinya ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: صحيح ويكون الثمر رهنا.

Pertama: Sah, dan uang hasil penjualannya menjadi barang gadai.

والثاني: بَاطِلٌ وَقَدْ ذَكَرْنَا تَوْجِيهَ الْقَوْلَيْنِ مِنْ قَبْلُ.

Kedua: Tidak sah, dan telah disebutkan alasan kedua pendapat tersebut sebelumnya.

(فَصْلٌ)

(Bab)

وَإِنْ كَانَتِ الثَّمَرَةُ مِمَّا تَيْبَسُ مُدَّخَرَةً لَكِنَّ ذَلِكَ مُوكِسٌ لِثَمَنِهَا وَبَيْعُهَا قَبْلَ الْيُبْسِ وَالْجَفَافِ أَوْفَرُ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika buah tersebut termasuk yang bisa dikeringkan dan disimpan, tetapi hal itu justru menurunkan nilainya dan menjualnya sebelum kering dan mengeras lebih menguntungkan, maka keadaan pemilik gadai dan penerima gadai tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى تَرْكِهَا.

Pertama: Keduanya sepakat untuk membiarkannya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى بَيْعِهَا.

Kedua: Keduanya sepakat untuk menjualnya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَخْتَلِفَا فَيَدْعُو أَحَدُهُمَا إِلَى بَيْعِهَا وَيَدْعُو الْآخَرُ إِلَى تَرْكِهَا، فَإِنِ اتَّفَقَا عَلَى تَرْكِهَا إِلَى حُلُولِ الْحَقِّ جَازَ، وَكَانَ النَّقْصُ لِجَفَافِهَا دَاخِلًا عَلَيْهَا بِاخْتِيَارِهِمَا، فَإِنِ اتَّفَقَا عَلَى بَيْعِهَا، فَإِنْ بِيعَتْ بِشَرْطِ أَنْ يَكُونَ الثَّمَنُ رَهْنًا، أَوْ بِيعَتْ مُطْلَقًا حَقَّ الْبَيْعُ وَكَانَ الثَّمَنُ رَهْنًا؛ لِأَنَّ هَذَا الْبَيْعَ لِحِفَاظِ الْحَقِّ، وَتَوْفِيرِ الثَّمَنِ وَلَيْسَ كَالَّذِي تَقَدَّمَ، فَإِنْ بِيعَتْ بِشَرْطِ تَعْجِيلِ الثَّمَنِ كَانَ الْبَيْعُ فَاسِدًا، وَإِنِ اخْتَلَفَا فَدَعَا أَحَدُهُمَا إِلَى بَيْعِهَا وَدَعَا الْآخَرُ إِلَى تَرْكِهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Ketiga: Keduanya berselisih, salah satu meminta untuk menjualnya dan yang lain meminta untuk membiarkannya. Jika keduanya sepakat untuk membiarkannya sampai jatuh tempo hak, maka boleh, dan kerugian akibat pengeringan menjadi tanggungan mereka berdua karena pilihan mereka. Jika keduanya sepakat untuk menjualnya, lalu dijual dengan syarat uang hasil penjualannya menjadi barang gadai, atau dijual secara mutlak, maka jual belinya sah dan uang hasil penjualannya menjadi barang gadai, karena penjualan ini untuk menjaga hak dan memperbesar nilai hasil penjualan, dan tidak seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Jika dijual dengan syarat pembayaran uang hasil penjualan secara tunai, maka jual belinya rusak. Jika keduanya berselisih, salah satu meminta untuk menjualnya dan yang lain meminta untuk membiarkannya, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ مَنْ دَعَا إِلَى تَرْكِهَا إِلَى مَحَلِّ الْحَقِّ لِأَنَّهُ مُوجَبُ الرَّهْنِ.

Pertama: Pendapat yang diikuti adalah yang meminta untuk membiarkannya sampai waktu jatuh tempo hak, karena itu adalah tuntutan gadai.

وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: الْقَوْلُ قَوْلُ مَنْ دَعَا إِلَى بَيْعِهَا لِمَا فِيهِ مِنْ تَوْفِيرِ الثَّمَنِ وَحِفْظِ الزِّيَادَةِ، وَالْوَجْهُ الْأَوَّلُ أَصَحُّ.

Kedua: Ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, yaitu pendapat yang diikuti adalah yang meminta untuk menjualnya, karena hal itu dapat memperbesar nilai hasil penjualan dan menjaga tambahan nilai, namun pendapat pertama lebih kuat.

(فَصْلٌ)

(Bab)

وَإِنْ كَانَتِ الثَّمَرَةُ مِمَّا تُؤْكَلُ رَطْبًا وتفكها ولا تيبس مدخرة فَهَذِهِ الثَّمَرَةُ تَفْسُدُ إِنْ تُرِكَتْ إِلَى مَحَلِّ الْحَقِّ، وَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِيمَنِ ارْتَهَنَ طَعَامًا رَطْبًا إِلَى أَجَلٍ يَفْسُدُ قَبْلَ مَحَلِّهِ عَلَى قَوْلَيْنِ.

Jika buah tersebut termasuk yang biasa dimakan dalam keadaan segar dan dinikmati tanpa dikeringkan untuk disimpan, maka buah ini akan rusak jika dibiarkan sampai waktu jatuh tempo hak (pelunasan utang). Telah terjadi perbedaan pendapat Imam Syafi‘i mengenai orang yang menggadaikan makanan segar hingga waktu tertentu, yang makanan itu akan rusak sebelum jatuh tempo, terdapat dua pendapat.

فَأَمَّا رَهْنُ هَذِهِ الثَّمَرَةِ: فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ فَكَانَ بَعْضُهُمْ يُخْرِجُهُ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالطَّعَامِ الرَّطْبِ، لِاسْتِوَائِهِمَا فِي الْوَصْفِ. أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ أَنَّ الرَّهْنَ فِي الثَّمَرَةِ جَائِزٌ وَفِي النخل معا.

Adapun gadai buah seperti ini: para ulama mazhab kami berbeda pendapat tentangnya. Sebagian mereka mengembalikan hukumnya kepada dua pendapat, seperti makanan segar, karena keduanya sama dalam sifatnya. Salah satu dari dua pendapat tersebut adalah bahwa gadai pada buah itu sah, demikian pula pada pohon kurma secara bersamaan.

وفي القول الثَّانِي: الرَّهْنُ بَاطِلٌ فِي الثَّمَرِ.

Sedangkan pada pendapat kedua: gadai pada buah adalah batal.

وَهَلْ يَبْطُلُ فِي النَّخْلِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ، وَقَالَ آخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا: الرَّهْنُ فِي الثَّمَرَةِ جَائِزٌ قَوْلًا وَاحِدًا بِخِلَافِ الطَّعَامِ الرَّطْبِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الثَّمَرَةَ تَبَعٌ لِلنَّخْلِ فَلَمْ يُغَيَّرْ حُكْمُهَا مُفْرَدَةً كسائر التوابع وليس الطعام الرطب كذلك؛ لأن غَيْرُ تَبَعٍ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الرَّهْنَ فِي التَّمْرِ لَا يَبْطُلُ فَهَلْ يُجْبَرُ الرَّاهِنُ عَلَى بَيْعِهَا عِنْدَ تَنَاهِيهَا وَإِدْرَاكِهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Apakah batal juga pada pohon kurmanya atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang berasal dari perincian akad. Ada pula ulama mazhab kami yang berpendapat: gadai pada buah itu sah menurut satu pendapat, berbeda dengan makanan segar menurut salah satu dari dua pendapat. Perbedaannya adalah: buah itu merupakan bagian dari pohon kurma sehingga hukumnya tidak berubah secara terpisah seperti halnya bagian-bagian lain, sedangkan makanan segar tidak demikian karena bukan bagian dari pokok. Jika telah tetap bahwa gadai pada buah kurma tidak batal, maka apakah orang yang menggadaikan wajib dipaksa untuk menjualnya ketika buah itu telah matang dan siap panen atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُجْبَرُ عَلَى بَيْعِهَا كَالطَّعَامِ الرَّطْبِ الَّذِي لَا يُجْبَرُ عَلَى بَيْعِهِ عِنْدَ حدوث فساده.

Salah satunya: tidak wajib dipaksa untuk menjualnya, seperti makanan segar yang tidak dipaksa untuk dijual ketika mulai rusak.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أَنَّهُ يُجْبَرُ عَلَى بَيْعِهَا بِخِلَافِ الطَّعَامِ الرَّطْبِ.

Pendapat kedua: dan inilah yang ditegaskan dalam masalah ini, bahwa ia wajib dipaksa untuk menjualnya, berbeda dengan makanan segar.

وَالْفَرْقُ بينهما: أن الثمرة هاهنا تبع لأصل باقي وَهُوَ النَّخْلُ فَالْحَقُّ يَحْكُمُ أَصْلَهُ، وَوَجَبَ بَيْعُهُ لِيَكُونَ بَاقِيًا مَعًا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الطَّعَامُ الرَّطْبُ؛ لأنه لا يتبع أصلا باقيا فكان يحكم نفسه مفردا.

Perbedaannya adalah: buah di sini merupakan bagian dari pokok yang masih ada, yaitu pohon kurma, sehingga hak itu mengikuti pokoknya, dan wajib dijual agar pokoknya tetap ada bersama-sama. Tidak demikian halnya dengan makanan segar, karena ia tidak mengikuti pokok yang masih ada, sehingga hukumnya berdiri sendiri.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ رَهَنَهُ الثَّمْرَ دُونَ النَّخْلِ طَلْعَا أَوْ مُؤَبَّرَةً أَوْ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا لَمْ يَجُزِ الرَّهْنُ إِلَّا أَنْ يَتَشَارَطَا أَنَّ الْمُرْتَهِنَ إِذَا حَلَّ حَقُّهُ قَطَعَهَا وَبَاعَهَا فَيَجُوزُ الرَّهْنُ لِأَنَّ المعروف من الثمر أنه يترك إلى أن يصلح أَلَا تَرَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا لمعرفة الناس أنها تترك إلى بدو صلاحها “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menggadaikan buah tanpa pohon kurmanya, baik masih berupa mayang, sudah dibuahi, atau sebelum tampak kematangannya, maka tidak sah gadai tersebut kecuali jika disyaratkan bahwa penerima gadai, ketika haknya jatuh tempo, boleh memetik dan menjualnya. Maka sah gadai tersebut, karena yang dikenal dari buah adalah dibiarkan sampai matang. Bukankah engkau melihat bahwa Rasulullah ﷺ melarang menjual buah-buahan sebelum tampak kematangannya, karena diketahui orang-orang membiarkannya sampai tampak matang?”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي رَهْنِ النَّخْلِ مَعَ الثَّمَرَةِ آنِفًا، وَمَضَى الْكَلَامُ فِي رهن النخل على الإطلاق في حكمه، وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي رَهْنِ الثَّمَرَةِ دُونَ النَّخْلِ وَهِيَ إِذَا رُهِنَتْ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya pembahasan tentang gadai pohon kurma beserta buahnya, dan telah dijelaskan pula pembahasan tentang gadai pohon kurma secara mutlak dalam hukumnya. Adapun masalah ini adalah tentang gadai buah tanpa pohon kurmanya, yang mana jika digadaikan terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ بَادِيَةَ الصَّلَاحِ.

Pertama: buah tersebut sudah tampak matang.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ غَيْرَ بَادِيَةِ الصَّلَاحِ.

Kedua: buah tersebut belum tampak matang.

فَإِنْ كَانَتْ بَادِيَةَ الصَّلَاحِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika buah tersebut sudah tampak matang, maka terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تُرْهَنَ فِي حَقٍّ حَالٍّ، فَرَهْنُهَا جَائِزٌ، سَوَاءٌ كَانَتْ مِمَّا تَيْبَسُ مُدَّخَرَةً أَمْ لَا.

Pertama: digadaikan untuk utang yang sudah jatuh tempo, maka gadai tersebut sah, baik buah itu termasuk yang bisa dikeringkan untuk disimpan atau tidak.

وَالثَّانِي: أَنْ تُرْهَنَ فِي مُؤَجَّلٍ، فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: digadaikan untuk utang yang jatuh temponya masih akan datang, maka terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ مِمَّا تَيْبَسُ وَتَجِفُّ، فَرَهْنُهَا جَائِزٌ مِنْ غَيْرِ شَرْطِ الْقَطْعِ، وَسَوَاءٌ كَانَ حُلُولُ الْحَقِّ قَبْلَ جَفَافِهَا أَوْ بَعْدَهُ.

Pertama: buah tersebut termasuk yang bisa dikeringkan dan diawetkan, maka gadai tersebut sah tanpa syarat harus dipetik, baik jatuh tempo hak itu sebelum buah mengering atau sesudahnya.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ مِمَّا لَا تَيْبَسُ وَلَا تَجِفُّ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: buah tersebut termasuk yang tidak bisa dikeringkan dan diawetkan, maka ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ حُلُولُ الْأَجَلِ قَبْلَ تَنَاهِيهَا وَفَسَادِهَا فَرَهْنُهَا جَائِزٌ.

Pertama: jatuh tempo utang sebelum buah itu habis masa panennya dan sebelum rusak, maka gadai tersebut sah.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ حُلُولُ الْأَجَلِ بَعْدَ تَنَاهِيهَا وَفَسَادِهَا، فَفِي رَهْنِهَا قَوْلَانِ، كَالطَّعَامِ الرَّطْبِ سَوَاءٌ، بَلْ هِيَ طَعَامٌ رَطْبٌ.

Kedua: jatuh tempo utang setelah buah itu habis masa panennya dan rusak, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat, seperti halnya makanan segar, bahkan ia adalah makanan segar itu sendiri.

أَحَدُهَا: أَنَّ رَهْنَهَا بَاطِلٌ.

Salah satunya: bahwa gadai tersebut batal.

وَالثَّانِي: أَنَّ رَهْنَهَا جَائِزٌ.

Kedua: bahwa gadai tersebut sah.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وإن كانت الثمرة غير بَادِيَةَ الصَّلَاحِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika buah tersebut belum tampak matang, maka terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تُرْهَنَ فِي دَيْنٍ حَالٍّ.

Pertama: digadaikan untuk utang yang sudah jatuh tempo.

وَالثَّانِي: فِي مُؤَجَّلٍ.

Kedua: untuk utang yang jatuh temponya masih akan datang.

فَإِنْ رُهِنَتْ فِي دَيْنٍ حَالٍّ فَهَلْ مِنْ شَرْطِ صِحَّةِ رَهْنِهَا اشْتِرَاطُ قَطْعِهَا، أَمْ لَا؟ عَلَى قولين:

Jika digadaikan untuk utang yang sudah jatuh tempo, maka apakah sahnya gadai itu disyaratkan harus dipetik, atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أحدهما: إن اشتراط القطع شرط في صِحَّةِ الرَّهْنِ، فَإِنْ رُهِنَتْ بِغَيْرِ شَرْطِ الْقَطْعِ كَانَ رَهْنًا بَاطِلًا كَالْبَيْعِ، وَهَذَا الْقَوْلُ مَنْصُوصٌ فِي كِتَابِ التَّفْلِيسِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ صَحَّ رَهْنُهَا بِاشْتِرَاطِ قَطْعِهَا فَقَالَ الْمُرْتَهِنُ بِعْتُهَا عَلَى رؤوس النَّخْلِ قَبْلَ الْقَطْعِ، وَقَالَ الرَّاهِنُ لَسْتُ أَبِيعُهَا إِلَّا بَعْدَ الْقَطْعِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ لِأَجْلِ شَرْطِهِ، وَيُؤْخَذُ الْمُرْتَهِنُ بِقَطْعِهِ قَبْلَ بَيْعِهِ.

Yang pertama: Bahwa mensyaratkan pemotongan (qat‘) adalah syarat sahnya rahn (gadai). Jika digadaikan tanpa syarat pemotongan, maka gadai tersebut batal seperti halnya jual beli. Pendapat ini dinyatakan secara eksplisit dalam Kitab Taflis. Berdasarkan pendapat ini, jika sah penggadaian dengan mensyaratkan pemotongan, lalu pihak murtahin (penerima gadai) berkata, “Aku jual (buahnya) di atas pohon sebelum dipotong,” dan pihak rahin (penggadai) berkata, “Aku tidak akan menjualnya kecuali setelah dipotong,” maka pendapat yang dipegang adalah pendapat rahin karena syaratnya, dan murtahin diwajibkan untuk memotongnya sebelum menjualnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ، وَهُوَ الصحيح: إِنَّ اشْتِرَاطَ الْقَطْعِ فِيهَا لَيْسَ بِشَرْطٍ فِي صحة الرهن، فَإِنْ رَهَنَهَا بِشَرْطِ الْقَطْعِ صَحَّ الرَّهْنُ، وَوَجَبَ بِالْقَطْعِ، فَإِنْ رَهَنَهَا بِغَيْرِ شَرْطِ الْقَطْعِ صَحَّ الرَّهْنُ وَلَمْ يَجِبِ الْقَطْعُ، وَإِنَّمَا لَمْ يَكُنِ الْقَطْعُ فِي صِحَّةِ الرَّهْنِ شَرْطًا، وَإِنْ كَانَ فِي صِحَّةِ الْبَيْعِ شَرْطًا، أَنَّ فِي الْبَيْعِ ثَمَنًا مَنَعَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنَ اسْتِحْلَالِهِ فِي الثَّمَرَةِ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا، فقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَرَأَيْتَ إِنْ مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ فِيمَ يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيهِ ” فَكَانَ الْقَطْعُ شَرْطًا فِي صحته، لأن لا يُؤَدِّيَ إِلَى اسْتِحْلَالِ الثَّمَنِ مِنْ غَيْرِ تَسْلِيمِ الْمَبِيعِ، وَلِأَنَّ حُصُولَهُ فِي يَدِ مُشْتَرِيهِ، وَالرَّهْنُ لَا يُقَابِلُ ثَمَنًا، وَإِنَّمَا دَخَلَ فِي الْحَقِّ وَثِيقَةً، فَلَمْ يَكُنِ الْقَطْعُ فِي صِحَّتِهِ شَرْطًا.

Pendapat kedua: Dinyatakan secara eksplisit dalam bagian ini, dan inilah yang shahih: Bahwa mensyaratkan pemotongan pada buah tersebut bukanlah syarat sahnya rahn. Jika digadaikan dengan syarat pemotongan, maka rahn itu sah dan wajib dilakukan pemotongan. Jika digadaikan tanpa syarat pemotongan, maka rahn itu tetap sah dan tidak wajib dilakukan pemotongan. Pemotongan tidak menjadi syarat sahnya rahn, meskipun menjadi syarat sahnya jual beli, karena dalam jual beli terdapat harga yang Nabi ﷺ melarang untuk dihalalkan pada buah sebelum tampak kematangannya. Nabi ﷺ bersabda, “Bagaimana jika Allah menahan buah itu, dengan apa salah seorang dari kalian mengambil harta saudaranya?” Maka pemotongan menjadi syarat sahnya jual beli, agar tidak menyebabkan kehalalan harga tanpa penyerahan barang yang dijual, dan agar barang tersebut benar-benar berada di tangan pembelinya. Adapun rahn tidak berhadapan dengan harga, melainkan hanya menjadi jaminan atas hak, sehingga pemotongan tidak menjadi syarat sahnya rahn.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا رُهِنَتِ الثَّمَرَةُ فِي دَيْنٍ مُؤَجَّلٍ، فَالْأَجَلُ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Apabila buah digadaikan untuk utang yang jatuh temponya di kemudian hari, maka jatuh tempo itu terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ حُلُولُهُ بَعْدَ بُدُوِّ الصَّلَاحِ، فَحُكْمُهُ حُكْمُ رَهْنِهَا فِي الدَّيْنِ الْحَالِّ، وَهَلْ يَكُونُ اشْتِرَاطُ الْقَطْعِ فِي صِحَّةِ رَهْنِهَا شَرْطًا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Pertama: Jatuh temponya setelah tampak kematangan (budū aṣ-ṣalāḥ), maka hukumnya sama dengan penggadaian buah pada utang yang telah jatuh tempo. Apakah syarat pemotongan menjadi syarat sahnya rahn atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ حُلُولُ الدَّيْنِ قَبْلَ بدو الصلاح قبل أَنْ يَكُونَ حُلُولُ الدَّيْنِ بَعْدَ شَهْرٍ وَبُدُوُّ الصَّلَاحِ بَعْدَ ثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ، فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ:

Kedua: Jatuh tempo utang sebelum tampak kematangan, misalnya jatuh tempo utang setelah satu bulan sedangkan kematangan buah baru terjadi setelah tiga bulan, maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّ اشْتِرَاطَ الْقَطْعِ مَعَ الْعَقْدِ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الرَّهْنِ، فَإِنْ لَمْ يُشْتَرَطْ قَطْعُهَا فِي الرَّهْنِ فَسَدَ الرَّهْنُ، سَوَاءٌ شُرِطَ قَطْعُهَا عِنْدَ حُلُولِ الدَّيْنِ أَمْ لَا، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ حُكْمُهَا حُكْمَ الطَّعَامِ الرَّطْبِ، لِأَنَّ قَطْعَهَا واجب.

Pertama: Bahwa mensyaratkan pemotongan bersamaan dengan akad adalah syarat sahnya rahn. Jika tidak disyaratkan pemotongan dalam rahn, maka rahn itu rusak (tidak sah), baik disyaratkan pemotongan saat jatuh tempo utang atau tidak. Berdasarkan pendapat ini, hukumnya sama dengan makanan basah, karena pemotongan wajib dilakukan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ شَرْطَ قَطْعِهَا مَعَ حُلُولِ الدَّيْنِ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الرَّهْنِ، وَلَيْسَ يَلْزَمُ أَنْ يُشْتَرَطَ قَطْعُهَا مَعَ الْعَقْدِ قَبْلَ حُلُولِ الدَّيْنِ، فَعَلَى هَذَا رَهْنُهَا جَائِزٌ، سَوَاءٌ كَانَتْ مِمَّا تَيْبَسُ وَتَجِفُّ أَمْ لَا.

Pendapat kedua: Bahwa syarat pemotongan saat jatuh tempo utang adalah syarat sahnya rahn, dan tidak wajib disyaratkan pemotongan bersamaan dengan akad sebelum jatuh tempo utang. Berdasarkan pendapat ini, penggadaian buah tersebut boleh, baik buah itu termasuk yang bisa mengering dan awet maupun tidak.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: إِنَّ اشْتِرَاطَ قَطْعِهَا لَيْسَ بِوَاجِبٍ، لَا حَالَ الْعَقْدِ، وَلَا عِنْدَ حُلُولِ الدَّيْنِ وَإِنَّمَا يَلْزَمُ ذَلِكَ مَعَ الْبَيْعِ، فَلَوْ قَالَ الرَّاهِنُ: أَقْطَعُهَا عِنْدَ حُلُولِ الدَّيْنِ وَأَبِيعُهَا، وَقَالَ الْمُرْتَهِنُ: بِعْهَا على رؤوس النخل يشرط الْقَطْعَ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ؛ لِأَنَّ قَطْعَهَا يَضُرُّ ولا يوجبه شرط ولا عقد إذا جرت العادة بيعها على رؤوس النَّخْلِ، فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الْعَادَةُ جَارِيَةً بِبَيْعِهَا مَقْطُوعَةً، فَالْقَوْلُ قَوْلُ مَنْ دَعَا إِلَى قَطْعِهَا، لِأَنَّ الْعُرْفَ مَعَهُ، فَأَمَّا إِذَا رَهَنَهَا بِشَرْطِ التبقية كان رهنها باطلا قولا واحد؛ لِأَنَّ رَهْنَهَا يَمْنَعُ مِنْ تَبْقِيَتِهَا.

Pendapat ketiga: Bahwa mensyaratkan pemotongan tidaklah wajib, baik saat akad maupun saat jatuh tempo utang. Hal itu hanya wajib dalam jual beli. Jika rahin berkata, “Aku akan memotongnya saat jatuh tempo utang dan menjualnya,” dan murtahin berkata, “Jual saja di atas pohon dengan syarat dipotong,” maka pendapat yang dipegang adalah pendapat murtahin, karena pemotongan itu merugikan dan tidak diwajibkan oleh syarat maupun akad jika kebiasaan yang berlaku adalah menjualnya di atas pohon. Namun jika kebiasaan yang berlaku adalah menjualnya dalam keadaan sudah dipotong, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat yang menghendaki pemotongan, karena ‘urf (kebiasaan) mendukungnya. Adapun jika digadaikan dengan syarat dibiarkan tetap di pohon, maka penggadaian itu batal menurut satu pendapat, karena penggadaian itu menghalangi untuk membiarkannya tetap di pohon.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَكَذَلِكَ الْحُكْمُ فِي كُلِّ ثَمَرَةٍ وَزَرْعٍ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا فَمَا لَمْ يَحِلَّ بَيْعُهُ فَلَا يَجُوزُ رَهْنُهُ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Demikian pula hukum pada setiap buah dan tanaman sebelum tampak kematangannya; selama belum halal untuk dijual, maka tidak boleh digadaikan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي رَهْنِ ثِمَارِ النَّخْلِ قَبْلَ بُدُوِّ الصَّلَاحِ وَبَعْدَهُ، وَكَذَا الْحُكْمُ فِي غَيْرِ ثِمَارِ النَّخْلِ كالحكم في ثِمَارِ النَّخْلِ، فَأَمَّا الزَّرْعُ فَكَالثَّمَرَةِ أَيْضًا وَالِاشْتِدَادُ كَبُدُوِّ الصَّلَاحِ، وَعَدَمُ الِاشْتِدَادِ كَعَدَمِ الصَّلَاحِ، فَإِنْ كَانَ هَذَا الزَّرْعُ مُتَّصِلًا غَيْرَ مُشْتَدٍّ، فَإِنْ رهنه في حق معجل فصل يَلْزَمُ اشْتِرَاطُ الْقَطْعِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ.

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya pembahasan tentang gadai buah kurma sebelum dan sesudah tampaknya tanda kematangan, dan demikian pula hukum pada selain buah kurma sama seperti hukum pada buah kurma. Adapun tanaman, maka hukumnya juga seperti buah; tanaman yang telah mengeras (menguning/matang) sama seperti telah tampak tanda kematangan, dan yang belum mengeras seperti belum tampak tanda kematangan. Jika tanaman tersebut masih menyatu dan belum mengeras, lalu digadaikan untuk hak yang segera dipisahkan, maka wajibkah disyaratkan untuk dipotong atau tidak? Ada dua pendapat dalam hal ini.

وَإِنْ كَانَ فِي حَقٍّ مُؤَجَّلٍ: فَعَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ اخْتِلَافِ الْحَالَيْنِ، وَإِنْ كَانَ مُشْتَدًّا فعلى ضربين:

Dan jika untuk hak yang ditangguhkan (tidak segera): maka mengikuti apa yang telah kami sebutkan tentang perbedaan dua keadaan tersebut. Jika tanaman itu sudah mengeras, maka ada dua bentuk:

أحدهما: أن يكون بائنا فِي سُنْبُلِهِ غَيْرَ مَسْتُورٍ بِحَائِلٍ كَالشَّعِيرِ فِي سنبله جاز فِي الْمُعَجَّلِ وَالْمُؤَجَّلِ، لِأَنَّ الْحُبُوبَ الْمَزْرُوعَةَ تَيْبَسُ مُدَّخَرَةً فِي الْغَالِبِ.

Pertama: Tanaman itu sudah terpisah dalam bulirnya dan tidak tertutup oleh penghalang, seperti jelai dalam bulirnya, maka boleh digadaikan baik untuk hak yang segera maupun yang ditangguhkan, karena biji-bijian yang ditanam biasanya dapat dikeringkan dan disimpan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَسْتُورًا فِي سُنْبُلِهِ بِحَائِلٍ يَمْنَعُ مِنْ مُشَاهَدَتِهِ كالتين، فَفِي جَوَازِهِ قَوْلَانِ، كَالْبَيْعِ مُعَجَّلًا كَانَ الْحَقُّ أَوْ مُؤَجَّلًا؛ لِأَنَّ مَا لَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ لم يجز رهنه.

Bentuk kedua: Tanaman itu masih tertutup dalam bulirnya oleh penghalang yang menghalangi untuk melihatnya, seperti buah tin. Maka dalam kebolehannya ada dua pendapat, sebagaimana dalam jual beli, baik haknya segera maupun ditangguhkan; karena sesuatu yang tidak boleh dijual, tidak boleh pula digadaikan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ مِنَ الثَّمَرِ شَيْءٌ يَخْرُجُ فَرَهَنَهُ وَكَانَ يَخْرُجُ بَعْدَهُ غَيْرُهُ مِنْهُ فَلَا يَتَمَيَّزُ الْخَارِجُ الْأَوَّلُ الْمَرْهُونُ مِنَ الْآخَرِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّ الرَّهْنَ لَيْسَ بِمَعْرُوفٍ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَا أن يقطع في مدة قبل أن يلحفه الثَّانِي فَيَجُوزَ الرَّهْنُ فَإِنْ تُرِكَ حَتَى يُخْرِجَ بعده ثمرة لا تتميز ففيها قولان أحدهما أنه يفسد الرهن كما يفسد البيع. والثاني أنه لا يفسد والقول قول الراهن في قدر الثمرة المختلطة من المرهونة كما لو رهنه حنطة فاختلطت بحنطة للراهن كان القول قوله في قدر المرهونة من المختلطة بها مع يمينه (قال المزني) قلت أنا هذا أشبه بقوله وقد بينته في هذا الكتاب في باب ثمر الحائط يباع أصله (قلت أنا) وينبغي أن يكون القول في الزيادة قول المرتهن لأن الثمرة في يديه والراهن مدع قدر الزيادة عليه فالقول قول الذي هي في يديه مع يمينه في قياسه عندي وبالله التوفيق “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika dari buah itu ada sebagian yang keluar (tumbuh) lalu digadaikan, kemudian setelah itu keluar lagi buah lain darinya sehingga tidak dapat dibedakan mana buah pertama yang digadaikan dan mana yang bukan, maka tidak boleh (digadaikan), karena barang gadai tidak diketahui kecuali jika keduanya mensyaratkan untuk dipotong dalam waktu tertentu sebelum buah kedua menutupinya, maka boleh digadaikan. Jika dibiarkan hingga keluar buah lain setelahnya yang tidak dapat dibedakan, maka ada dua pendapat: salah satunya, gadai menjadi rusak sebagaimana jual beli menjadi rusak; yang kedua, tidak rusak dan yang dijadikan pegangan adalah ucapan pihak yang menggadaikan (rahin) mengenai jumlah buah yang bercampur dengan yang digadaikan, sebagaimana jika ia menggadaikan gandum lalu bercampur dengan gandum milik rahin, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan rahin tentang jumlah yang digadaikan dari yang bercampur itu dengan sumpahnya.” (Al-Muzani berkata:) Saya berkata, ini lebih mirip dengan pendapatnya dan telah saya jelaskan dalam kitab ini pada bab tentang buah kebun yang dijual bersama pokoknya. (Saya berkata:) Dan seharusnya pendapat tentang tambahan (buah) adalah pendapat pihak yang menerima gadai (murtahin), karena buah itu berada di tangannya, dan rahin adalah pihak yang mengklaim adanya tambahan atasnya, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan orang yang memegangnya dengan sumpahnya menurut qiyās saya, dan hanya kepada Allah-lah taufik.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا رَهَنَهُ ثَمَرَةً تُخْرِجُ بَعْدَهَا ثَمَرَةً أُخْرَى، فَلَا يَخْلُو حَالُ الثَّمَرَةِ الْخَارِجَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Jika seseorang menggadaikan buah yang setelahnya akan keluar buah lain, maka keadaan buah yang keluar itu tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ تَكُونَ مُتَمَيِّزَةً عَنِ الْمُتَقَدِّمَةِ، أَوْ غَيْرَ مُتَمَيِّزَةٍ، فَإِنْ كَانَتْ مُتَمَيِّزَةً عَنِ الْمُتَقَدِّمَةِ كَانَ رَهْنُ الثَّمَرَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ، جَائِزٌ، سَوَاءٌ كَانَ الْحَقُّ مُعَجَّلًا أَوْ مُؤَجَّلًا، وَإِنْ كَانَتِ الْحَادِثَةُ غَيْرَ مُتَمَيِّزَةٍ عَنِ الْمُتَقَدِّمَةِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْحَقِّ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Bisa jadi buah itu dapat dibedakan dari yang sebelumnya, atau tidak dapat dibedakan. Jika dapat dibedakan dari yang sebelumnya, maka gadai atas buah yang terdahulu itu sah, baik haknya segera maupun ditangguhkan. Namun jika buah yang baru tidak dapat dibedakan dari yang sebelumnya, maka keadaan haknya tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أن يكون معجلا، أَوْ مُؤَجَّلًا، فَإِنْ كَانَ مُعَجَّلًا جَازَ رَهْنُ الثَّمَرَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ مُؤَجَّلًا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْأَجَلِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ حُلُولُهُ قَبْلَ ثَمَرَةٍ أُخْرَى، أَوْ بعد حدوثها فإن كان حلوله قيل حُدُوثِ ثَمَرَةٍ أُخْرَى فَرَهْنُهَا جَائِزٌ، لِأَنَّهَا وَقْتَ الْبَيْعِ مُمْتَازَةٌ عَنْ غَيْرِهَا، وَإِنْ كَانَ حُلُولُهُ بَعْدَ ثَمَرَةٍ أُخْرَى فَلَا يَخْلُو حَالُ رَهْنِهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Bisa jadi haknya segera atau ditangguhkan. Jika haknya segera, maka boleh menggadaikan buah yang terdahulu. Jika haknya ditangguhkan, maka keadaan jatuh temponya tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi jatuh temponya sebelum muncul buah lain, atau setelah muncul buah lain. Jika jatuh temponya sebelum muncul buah lain, maka gadai atasnya sah, karena pada saat jual beli, buah itu masih dapat dibedakan dari yang lain. Namun jika jatuh temponya setelah muncul buah lain, maka keadaan gadai atasnya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَرْهَنَ بِشَرْطِ التَّبْقِيَةِ إِلَى حُلُولِ الْأَجَلِ، فَرَهْنُهَا بَاطِلٌ؛ لِأَنَّهَا وَقْتَ حُلُولُ الْأَجَلِ غَيْرُ مُمْتَازَةٍ، وَإِفْرَادُهَا بِالْبَيْعِ غَيْرُ مُمْكِنٍ.

Pertama: Menggadaikan dengan syarat membiarkannya hingga jatuh tempo, maka gadai atasnya batal, karena pada saat jatuh tempo buah itu tidak dapat dibedakan, dan memisahkannya untuk dijual tidak mungkin.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَرْهَنَهَا بِشَرْطِ الْقَطْعِ أَوِ اشْتِرَاطِ الْقَطْعِ مَعَ الرَّهْنِ أَوْ بَعْدَ مُدَّةٍ لَمْ تَخْرُجْ فِيهَا الثَّمَرَةُ الْحَادِثَةُ، فَالْحُكْمُ فِيهِ سَوَاءٌ. وَلَا يَخْلُو حَالُ الثَّمَرَةِ بَعْدَ الْقَطْعِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Bagian kedua: Menggadaikan dengan syarat dipotong atau mensyaratkan pemotongan bersamaan dengan gadai atau setelah jangka waktu di mana buah baru belum keluar, maka hukumnya sama. Dan keadaan buah setelah dipotong tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ تَبْقَى إِلَى حُلُولِ الْأَجَلِ أَوْ لَا تَبْقَى، فَإِنْ كَانَتْ تَبْقَى إِلَى حُلُولِ الْأَجَلِ فَرَهْنُهَا جَائِزٌ؛ لِأَنَّهَا بِالْقَطْعِ تَمْتَازُ عَنْ غَيْرِهَا، وَإِنْ كَانَتْ لَا تَبْقَى إِلَى وَقْتِ حُلُولِ الْأَجَلِ فَرَهْنُهَا عَلَى قَوْلَيْنِ، كَالطَّعَامِ الرَّطْبِ.

Bisa jadi buah itu tetap ada hingga jatuh tempo, atau tidak tetap ada. Jika buah itu tetap ada hingga jatuh tempo, maka menjadikannya sebagai barang gadai (rahn) hukumnya boleh, karena secara pasti buah itu dapat dibedakan dari selainnya. Namun jika buah itu tidak tetap ada hingga waktu jatuh tempo, maka menjadikannya sebagai barang gadai terdapat dua pendapat, seperti halnya makanan yang basah.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَرْهَنَهَا مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ شَرْطِ الْقَطْعِ وَلَا شَرْطِ التَّرْكِ، فَالْمَذْهَبُ أَنَّ رَهْنَهَا بَاطِلٌ؛ لِأَنَّ مُطْلَقَ الرَّهْنِ يُوجِبُ تَرْكَهَا إِلَى حُلُولِ الأجل، فهذا الرهن بَاطِلٌ، وَفِيهَا وَجْهٌ آخَرُ خَرَّجَهُ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَهْنَهَا جَائِزٌ، قَالَ لأنهما يتطوعان ببيعها وقطعها.

Bagian ketiga: Menjadikannya sebagai barang gadai secara mutlak tanpa syarat harus dipetik atau tanpa syarat harus dibiarkan. Maka menurut mazhab, menjadikannya sebagai barang gadai adalah batal, karena gadai secara mutlak mengharuskan buah itu dibiarkan hingga jatuh tempo, sehingga gadai tersebut batal. Namun ada pendapat lain yang dikemukakan oleh Abu ‘Ali bin Abi Hurairah bahwa menjadikannya sebagai barang gadai itu boleh, beliau berkata: karena keduanya dapat secara sukarela menjual dan memetiknya.

(فصل)

(Pasal)

فإذا ثبت جَوَازَ رَهْنِهَا مَشْرُوطٌ بِمَا ذَكَرْنَا فَرَهْنُهَا جَائِزٌ وَإِنْ لَمْ تُقْطَعْ حَتَّى حَدَثَتْ ثَمَرَةٌ أُخْرَى، فَإِنْ كَانَتِ الْحَادِثَةُ مُتَمَيِّزَةً عَنِ الْأُولَى، فَرَهْنُ الْأُولَى عَلَى حَالِهِ فِي الْجَوَازِ لَا يَتَغَيَّرُ بِحُدُوثِ مَا يُمَيَّزُ عَنْهَا، وَإِنْ كَانَتِ الثَّمَرَةُ الْحَادِثَةُ غَيْرَ مُتَمَيِّزَةٍ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Apabila telah tetap kebolehan menjadikannya sebagai barang gadai dengan syarat yang telah kami sebutkan, maka menjadikannya sebagai barang gadai hukumnya boleh, meskipun belum dipetik hingga muncul buah yang lain. Jika buah yang baru itu dapat dibedakan dari yang pertama, maka gadai atas buah yang pertama tetap sah dan tidak berubah dengan munculnya buah yang dapat dibedakan darinya. Namun jika buah yang baru tidak dapat dibedakan, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ حَادِثَةً قَبْلَ الْقَبْضِ فَيَكُونَ الرَّهْنُ بَاطِلًا لِلْجَهَالَةِ بِقَدْرِ الْمَرْهُونِ قَبْلَ تَمَامِ الرَّهْنِ.

Pertama: Buah yang baru muncul sebelum penyerahan (qabdh), maka gadai menjadi batal karena tidak diketahui secara pasti jumlah barang yang digadaikan sebelum sempurnanya akad gadai.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ جَائِزًا بَعْدَ الْقَبْضِ، فَفِي بُطْلَانِ الرَّهْنِ قَوْلَانِ:

Keadaan kedua: Boleh setelah penyerahan (qabdh), maka dalam hal batalnya gadai terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ بَاطِلٌ لِلْجَهَالَةِ بِهِ.

Pertama: Bahwa gadai itu batal karena tidak diketahui secara pasti.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهُ جَائِزٌ لِسَلَامَتِهِ إِلَى حِينِ تَمَامِهِ بِالْقَبْضِ، وَبَقَاءُ مَا تَنَاوَلَهُ عَقْدُ الرهن، وَالْجَوَابُ فِي الرَّهْنِ مِمَّا يُخَالِفُ الْجَوَابَ فِي الْبَيْعِ، لِأَنَّ الِاخْتِلَاطَ إِذَا حَدَثَ فِي الْبَيْعِ بَعْدَ الْقَبْضِ كَانَ الْبَيْعُ جَائِزًا، وَإِنْ كَانَ قَبْلَ الْقَبْضِ فَعَلَى قَوْلَيْنِ فِي الرَّهْنِ، وَإِنْ كَانَ قَبْلَ الْقَبْضِ كَانَ الرَّهْنُ بَاطِلًا، فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْقَبْضِ فَعَلَى قَوْلَيْنِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْقَبْضَ فِي الرَّهْنِ شَرْطٌ فِي تَمَامِهِ، وَفِي الْبَيْعِ حَقٌّ مِنْ أَحْكَامِهِ.

Pendapat kedua: Bahwa gadai itu boleh karena keadaannya tetap aman hingga sempurna dengan penyerahan, dan barang yang tercakup dalam akad gadai tetap ada. Jawaban dalam masalah gadai berbeda dengan jawaban dalam jual beli, karena jika percampuran terjadi dalam jual beli setelah penyerahan maka jual beli itu sah, dan jika terjadi sebelum penyerahan maka dalam masalah gadai terdapat dua pendapat. Jika terjadi sebelum penyerahan maka gadai batal, namun jika terjadi setelah penyerahan maka ada dua pendapat. Perbedaannya adalah: penyerahan dalam gadai merupakan syarat kesempurnaan akad, sedangkan dalam jual beli merupakan salah satu hukum dari akad tersebut.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى التَّفْرِيعِ عَلَيْهِمَا فَإِذَا قُلْنَا بِبُطْلَانِ الرَّهْنِ فَفِي زَمَانِ بُطْلَانِهِ وَجْهَانِ:

Setelah jelas penjelasan dua pendapat tersebut, maka pembahasan berlanjut pada rincian atas keduanya. Jika kita berpendapat bahwa gadai batal, maka dalam waktu batalnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الرَّهْنَ قَدْ بَطَلَ حِينَ اخْتِلَاطِهِ وَيَجْرِي مَجْرَى تَلَفِ الرَّهْنِ فَيَكُونُ قَاطِعًا لِتَمَامِهِ وَاسْتِدَامَتِهِ، وَلَا يَكُونُ رَافِعًا مِنْ أَصْلِهِ، فَعَلَى هَذَا لَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ، كَمَا لَا يَسْتَحِقُّ بِتَلَفِ الرَّهْنِ بَعْدَ الْقَبْضِ الْخِيَارَ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ.

Pertama: Bahwa gadai batal saat terjadi percampuran dan diperlakukan seperti rusaknya barang gadai, sehingga menjadi pemutus atas kesempurnaan dan kelangsungannya, namun tidak membatalkan akad dari asalnya. Dengan demikian, tidak ada hak bagi penerima gadai (murtahin) untuk membatalkan jual beli, sebagaimana ia juga tidak berhak membatalkan jual beli karena rusaknya barang gadai setelah penyerahan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الرَّهْنَ بَاطِلٌ مِنْ وَقْتِ الْعَقْدِ، وَيَكُونُ حُدُوثُ الِاخْتِلَاطِ وإلا عَلَى الْجَهَالَةِ بِهِ حِينَ الْعَقْدِ، فَيَصِيرُ رَافِعًا لَهُ مِنْ أَصْلِهِ، وَقَدْ أَشَارَ إِلَيْهِ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ، فَعَلَى هَذَا إِذَا كَانَ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ فَفِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ قَوْلَانِ:

Pendapat kedua: Bahwa gadai batal sejak waktu akad, dan terjadinya percampuran atau ketidakjelasan pada saat akad menjadi sebab batalnya dari asalnya. Hal ini telah disinggung oleh Abu ‘Ali bin Abi Hurairah. Berdasarkan pendapat ini, jika gadai disyaratkan dalam jual beli, maka dalam batalnya jual beli terdapat dua pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ بَاطِلٌ.

Pertama: Bahwa jual beli itu batal.

وَالثَّانِي: جَائِزٌ وَلِلْبَائِعِ الْخِيَارُ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ بِالرَّهْنِ وَبَيْنَ فَسْخِهِ، وَإِذَا قُلْنَا بِجَوَازِ الرَّهْنِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الرَّاهِنِ مِنَ الثَّمَرَةِ الْحَادِثَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Kedua: Sah, dan penjual memiliki hak memilih antara melanjutkan jual beli dengan gadai atau membatalkannya. Jika kita berpendapat bahwa gadai itu sah, maka keadaan pemberi gadai (rahin) terhadap buah yang baru muncul terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَرْهَنَهُ إِيَّاهَا.

Pertama: Ia menjadikannya sebagai barang gadai juga.

وَالثَّانِي: أَنْ لَا يسامحه.

Kedua: Ia tidak memaafkannya (tidak mengizinkan).

والثالث: أن لا يفعل أحدهما ولكن يريد أخذها.

Ketiga: Tidak ada salah satu dari keduanya yang dilakukan, tetapi ia ingin mengambilnya.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يَرْهَنَهُ إِيَّاهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun bagian pertama, yaitu ia menjadikannya sebagai barang gadai juga, maka ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَعْلَمَا قَدْرَهَا أَوْ يَتَّفِقَا عَلَى قَدْرِهَا، فَرَهْنُهَا جَائِزٌ سَوَاءٌ رَهَنَهَا فِي الْحَقِّ الْأَوَّلِ أَوْ فِي غَيْرِهِ، فَإِنْ كَانَ فِي الْحَقِّ الْأَوَّلِ صَارَ مُدْخِلًا رَهْنًا ثَانِيًا عَلَى رَهْنٍ أَوَّلٍ فِي حَقٍّ واحد، وذلك جائز، فيكون جَمِيعُ الثَّمَرَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ مِنْهَا وَالْحَادِثَةِ رَهْنًا فِي حَقٍّ وَاحِدٍ، وَإِنْ رَهَنَهَا فِي حَقٍّ ثَانٍ صَارَتِ الثَّمَرَةُ رَهْنَيْنِ فِي وَقْتَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ، وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الرَّهْنَيْنِ مُبْتَاعٌ فِي الرَّهْنِ الْآخَرِ، فيكون بقدر الثَّمَرَةِ الْأُولَى الَّذِي قَدْ عَلِمَاهُ، أَوِ اتَّفَقَا عِلَيْهِ مِنْ نِصْفٍ أَوْ ثُلُثٍ رَهْنًا فِي الْحَقِّ الْأَوَّلِ، وَالثَّمَرَةُ الْحَادِثَةُ الَّتِي قَدْ عَلِمَاهَا أَوِ اتَّفَقَا عَلَيْهَا مِنْ ثُلُثٍ أَوْ ثُلُثَيْنِ رهنا مساغا في الْحَقِّ الثَّانِي.

Pertama: Jika keduanya mengetahui kadar (jumlah) buah tersebut atau sepakat atas kadarnya, maka penjaminan (rahn) atasnya adalah sah, baik ia menjaminkannya untuk hak yang pertama maupun untuk hak yang lain. Jika dijaminkan untuk hak yang pertama, maka berarti ia memasukkan jaminan kedua atas jaminan pertama dalam satu hak, dan itu dibolehkan. Maka seluruh buah, baik yang sudah ada maupun yang baru muncul, menjadi jaminan dalam satu hak. Jika ia menjaminkannya untuk hak yang kedua, maka buah tersebut menjadi dua jaminan pada dua waktu yang berbeda, dan masing-masing dari kedua jaminan tersebut menjadi bagian dari jaminan yang lain. Maka, sebesar buah yang pertama yang telah diketahui atau disepakati, misalnya setengah atau sepertiga, menjadi jaminan untuk hak yang pertama, dan buah yang baru yang telah diketahui atau disepakati, misalnya sepertiga atau dua pertiga, menjadi jaminan yang sah untuk hak yang kedua.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَعْلَمَا قَدْرَ الثَّمَرَةِ الْحَادِثَةِ وَلَا يَتَّفِقَا عَلَيْهَا، وَإِنْ رَهَنَهَا فِي غَيْرِ الْحَقِّ الْأَوَّلِ كَانَ رَهْنًا بَاطِلًا؛ لِأَنَّهُ رَهْنٌ مَجْهُولُ الْقَدْرِ، وَإِنْ رَهَنَهَا في الحق الأول فعلى وجهين:

Jenis kedua: Jika keduanya tidak mengetahui kadar buah yang baru dan tidak pula sepakat atasnya, maka jika ia menjaminkannya untuk selain hak yang pertama, jaminan tersebut batal karena merupakan jaminan atas sesuatu yang tidak diketahui kadarnya. Namun, jika ia menjaminkannya untuk hak yang pertama, maka ada dua pendapat:

أحدهما: أنه رَهْنٌ بَاطِلٌ لِلْجَهَالَةِ بِقَدْرِهِ.

Pertama: Jaminan tersebut batal karena tidak diketahui kadarnya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ رَهْنٌ جَائِزٌ؛ لِأَنَّ الرَّهْنَ الثَّانِيَ إِذَا دَخَلَ عَلَى رَهْنٍ أَوَّلٍ صَارَا جَمِيعًا رَهْنًا وَاحِدًا، وَالْجَمِيعُ مَعْلُومٌ، وَإِنْ جُهِلَ قَدْرُ الثَّانِي فَلَا يَمْنَعُ صحة الرهن للجميع جهالة قدر الثاني، وهذا حُكْمُ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ، وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يُسَامِحَهُ بِهَا فَيَقُولَ قَدْ سَامَحْتُكَ بِالثَّمَرَةِ الْحَادِثَةِ، فَهَذِهِ الْمُسَامَحَةُ تُتْرَكُ الْمُطَالَبَةُ بِهَا، وَلَيْسَتْ رَهْنًا وَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ فِيهَا مَتَى شَاءَ، وَيُطَالِبَهُ بِهَا، وَمَا لَمْ يُطَالِبْهُ بِهَا فَهِيَ تَابِعَةٌ لِلرَّهْنِ تُبَاعُ مَعَهُ إِذَا بِيعَ، وَتَكُونُ هَذِهِ الْمُسَامَحَةُ قَطْعًا لِلِاخْتِلَافِ وَالْمُنَازَعَةِ.

Kedua: Jaminan tersebut sah, karena jaminan kedua jika dimasukkan ke dalam jaminan pertama, maka keduanya menjadi satu jaminan, dan keseluruhannya diketahui, sehingga ketidaktahuan terhadap kadar yang kedua tidak menghalangi keabsahan jaminan untuk keseluruhan. Ini adalah hukum pada bagian pertama. Adapun bagian kedua, yaitu jika ia memaafkannya (mengikhlaskannya), misalnya ia berkata, “Aku telah memaafkanmu atas buah yang baru,” maka pemaafan ini berarti gugurnya tuntutan atasnya, dan itu bukanlah jaminan. Ia boleh menarik kembali pemaafannya kapan saja dan menuntutnya kembali. Selama ia belum menuntutnya, maka buah itu mengikuti jaminan dan dijual bersamanya jika jaminan dijual. Pemaafan ini menjadi pemutus perselisihan dan pertentangan.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ لَا يَرْهَنَهَا وَلَا يُسَامِحَ بها ويطالب بأحدها فَلَهُ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهَا غَيْرُ دَاخِلَةٍ فِي الرَّهْنِ، فَإِنِ اتَّفَقَا عَلَى قَدْرِهَا وَأَنَّهَا ثُلُثُ الْجُمْلَةِ أَوْ رُبُعُهَا سَقَطَ النِّزَاعُ، وَكَانَ ذَلِكَ الْعَقْدُ مِنَ الْجُمْلَةِ مَشَاعًا فِي الثَّمَرَةِ خَارِجًا مِنَ الرَّهْنِ، وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي قَدْرِهَا فَقَالَ الرَّاهِنُ: هِي النِّصْفُ، وَقَالَ الْمُرْتَهِنُ، هِيَ الثُّلُثُ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ مَعَ يَمِينِهِ، لِأَنَّهُ حَلِفٌ فِي قَدْرِ الرَّهْنِ، وَاخْتِلَافُهُمَا فِي قَدْرِ الرَّهْنِ يُوجِبُ أَنْ يَكُونَ الْقَوْلُ قَوْلَ الرَّاهِنِ. فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا كَانَ اخْتِلَافُهُمَا فِي قَدْرِ الْمَرْهُونِ بَعْدَ الِاخْتِلَاطِ إِذَا لَمْ يَقْدَحْ ذَلِكَ فِي صِحَّةِ الرَّهْنِ يُوجِبُ فَسْخَ الرَّهْنِ، كَمَا أَنَّ اخْتِلَافَ الْمُتَبَايِعَيْنِ فِي قَدْرِ الْمَبِيعِ بَعْدَ الِاخْتِلَاطِ إِذَا لَمْ يَقْدَحْ فِي صِحَّةِ الْبَيْعِ يُوجِبُ فَسْخَ الْبَيْعِ، قِيلَ: هُمَا سَوَاءٌ إِذَا كَانَ اخْتِلَافُهُمَا فِي الْمَبِيعِ فِيمَا لَا يَتَمَيَّزُ أَوْجَبَ فَسْخَ الْبَيْعِ كَالْبُقُولِ الْمَبِيعَةِ بِشَرْطِ الْجَزِّ، فَإِذَا تَأَخَّرَ جَزُّهَا حَتَّى زَادَتْ وَطَابَتْ فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: إِنَّ الْبَيْعَ بَاطِلٌ.

Adapun bagian ketiga, yaitu jika ia tidak menjaminkannya dan tidak pula memaafkannya, melainkan menuntut salah satunya, maka itu boleh, karena buah tersebut tidak termasuk dalam jaminan. Jika keduanya sepakat atas kadarnya, misalnya sepertiga atau seperempat dari keseluruhan, maka perselisihan gugur, dan akad tersebut menjadi bagian yang bersifat musya‘ (tidak terbagi) dalam buah, di luar jaminan. Jika keduanya berselisih tentang kadarnya, misalnya penjamin berkata, “Itu setengah,” dan penerima jaminan berkata, “Itu sepertiga,” maka yang dipegang adalah ucapan penjamin dengan sumpahnya, karena ia bersumpah atas kadar jaminan. Perselisihan mereka tentang kadar jaminan menyebabkan ucapan penjamin yang dipegang. Jika dikatakan: Mengapa perselisihan mereka tentang kadar barang yang dijaminkan setelah bercampur, jika tidak merusak keabsahan jaminan, menyebabkan pembatalan jaminan, sebagaimana perselisihan dua pihak dalam jual beli tentang kadar barang yang dijual setelah bercampur, jika tidak merusak keabsahan jual beli, menyebabkan pembatalan jual beli? Maka dijawab: Keduanya sama, jika perselisihan mereka dalam barang yang dijual pada sesuatu yang tidak dapat dibedakan, maka menyebabkan pembatalan jual beli, seperti sayuran yang dijual dengan syarat dipotong, lalu pemotongannya ditunda hingga bertambah dan menjadi baik, maka salah satu pendapat: jual belinya batal.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: جَائِزٌ.

Pendapat kedua: Sah.

فَإِنِ اتَّفَقَا عَلَى قَدْرِ الزَّائِدِ مِنْهَا صَحَّ الْبَيْعُ، وَإِنِ اخْتَلَفَا فُسِخَ الْبَيْعُ، وَكَذَا لَوْ كَانَتْ زِيَادَةُ الْمَرْهُونِ غَيْرَ مُنْفَصِلَةٍ كَالْعَلَفِ إِذَا طَالَ وَالْبَقْلِ إِذَا زَادَ، فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ أَنَّ الرَّهْنَ بَاطِلٌ، وَالثَّانِي جَائِزٌ فَإِنِ اتَّفَقَا عَلَى قَدْرِ الزِّيَادَةِ فَالرَّهْنُ صَحِيحٌ، وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي فَسْخِ الرَّهْنِ لَمْ يَرْجِعْ إِلَى قَوْلِ الرَّاهِنِ؛ لِأَنَّ مَا لا ينفصل يستحيل العلم بحقيقة قدره، وهل الزِّيَادَةُ الْمُنْفَصِلَةُ إِذَا اخْتَلَطَتْ بِالرَّهْنِ إِذَا كَانَتْ فِي الْبَيْعِ، كَانَ الْحُكْمُ فِيهَا كَالْحُكْمِ فِي الرَّهْنِ فَاسْتَوَيَا.

Jika keduanya sepakat atas kadar tambahan dari barang tersebut, maka jual beli sah. Namun jika berselisih, maka jual beli dibatalkan. Demikian pula jika tambahan barang yang digadaikan itu tidak terpisah, seperti rumput yang tumbuh panjang atau sayuran yang bertambah, maka menurut salah satu pendapat, gadai tersebut batal, dan menurut pendapat kedua, gadai tersebut sah. Jika keduanya sepakat atas kadar tambahan, maka gadai sah. Namun jika berselisih dalam pembatalan gadai, maka tidak kembali kepada pendapat pemberi gadai, karena sesuatu yang tidak terpisah mustahil diketahui kadar pastinya. Adapun tambahan yang terpisah jika bercampur dengan barang gadai dalam jual beli, maka hukumnya sama dengan hukum pada gadai, sehingga keduanya setara.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ اعْتَرَضَ عَلَى الشَّافِعِيِّ حَيْثُ قَالَ إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاهِنِ، وَقَالَ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُرْتَهِنِ؛ لِأَنَّ الثَّمَرَةَ فِي يَدِهِ، كَالْمُشْتَرِي إِذَا قَبَضَ مَا ابْتَاعَهُ وَاخْتَلَطَ بِمَالِ الْبَائِعِ. كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُشْتَرِي، لِكَوْنِهِ فِي يَدِهِ، وَهَذَا الِاعْتِرَاضُ مِنَ الْمُزَنِيِّ غَيْرُ صَحِيحٍ، وَالْمَذْهَبُ الَّذِي ذَهَبَ إِلَيْهِ فَاسِدٌ.

Adapun al-Muzani, ia mengkritik pendapat asy-Syafi‘i yang mengatakan bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat pemberi gadai, dan ia berkata bahwa seharusnya pendapat yang dipegang adalah pendapat penerima gadai, karena buah itu berada di tangannya, sebagaimana pembeli jika telah menerima barang yang dibelinya dan bercampur dengan harta penjual, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat pembeli karena barang itu ada di tangannya. Namun kritik al-Muzani ini tidak benar, dan mazhab yang ia pilih adalah mazhab yang rusak.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْمُشْتَرِي وَالْمُرْتَهِنِ: أَنَّ نِزَاعَهُمَا فِي البيع نزاع في الملك.

Perbedaan antara pembeli dan penerima gadai adalah: perselisihan mereka dalam jual beli adalah perselisihan dalam kepemilikan.

واليد تدل، فَكَانَ الْقَوْلَ قَوْلُ صَاحِبِ الْيَدِ، وَنِزَاعُهُمَا فِي الرَّهْنِ نِزَاعٌ فِي قَدْرِ الْمَرْهُونِ، وَالْيَدُ لَا تَدُلُّ عَلَى الرَّهْنِ، فَلَمْ يَجِبْ أَنْ يُحْكَمَ بِقَوْلِ صَاحِبِ الْيَدِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan tangan (kepemilikan fisik) menunjukkan (kepemilikan), sehingga pendapat yang dipegang adalah pendapat pemilik tangan. Sedangkan perselisihan mereka dalam gadai adalah perselisihan dalam kadar barang yang digadaikan, dan tangan tidak menunjukkan (kepemilikan) dalam gadai, sehingga tidak wajib untuk memutuskan dengan pendapat pemilik tangan. Dan Allah lebih mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا رَهَنَهُ ثَمَرَةً فَعَلَى الرَّاهِنِ سَقْيُهَا وَصَلَاحُهَا وَجِدَادُهَا وَتَشْمِيسُهَا كَمَا يَكُونُ عَلَيْهِ نَفْقَةُ الْعَبْدِ “.

Asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menggadaikan buah, maka pemberi gadai wajib menyiraminya, memeliharanya, memanennya, dan menjemurnya, sebagaimana ia wajib menanggung nafkah budak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ: كُلَّمَا احْتَاجَتِ الثَّمَرَةُ إليه من نفقة سقي أو مؤونة حِفَاظٍ فَهِيَ وَاجِبَةٌ عَلَى الرَّاهِنِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ، لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَا يَغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ رَاهِنِهِ الَذِي رَهَنَهُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ؛ لِأَنَّ نَفَقَةَ الرَّهْنِ لَوْ كَانَ دَابَّةً لَوَجَبَتْ عَلَى الرَّاهِنِ، فَكَذَلِكَ الثَّمَرَةُ، فَأَمَّا الْجِدَادُ وَالتَّشْمِيسُ: فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا هُوَ وَاجِبٌ عَلَى الرَّاهِنِ، وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: لَيْسَ بِوَاجِبٍ عَلَى الرَّاهِنِ، وَلَيْسَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَإِنَّمَا هُوَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ، فَالْمَوْضِعُ الَّذِي قَالَ: يَجِبُ عَلَيْهِ جِدَادُهَا وَتَشْمِيسُهَا إِذَا بَلَغَ وَقْتَ الْجِدَادِ وَالتَّشْمِيسِ فَالْحَقُّ لَمْ يَحِلَّ بَعْدُ، فَعَلَى الرَّاهِنِ جِدَادُهَا وَتَشْمِيسُهَا لِمَا فِيهِ مِنْ حِفْظِهَا وَصَلَاحِهَا، فَإِنِ امْتَنَعَ مِنْهُ الرَّاهِنُ أُجْبِرَ عَلَيْهِ، وَالْمَوْضِعُ الَّذِي قَالَ لَيْسَ عَلَيْهِ جِدَادُهَا وَتَشْمِيسُهَا هُوَ إِذَا بَلَغَ وَقْتَ الْجِدَادِ وَالتَّشْمِيسِ وَالْحَقُّ قَدْ حَلَّ، لِأَنَّ حَقَّ الْمُرْتَهِنِ بَعْدَ حُلُولِهِ فِي بَيْعِهَا دُونَ تَبْقِيَتِهَا فَلَمْ يَجِبْ عَلَى الرَّاهِنِ جِدَادُهَا وَتَشْمِيسُهَا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar: setiap kebutuhan buah tersebut, baik berupa biaya penyiraman atau biaya pemeliharaan, maka itu wajib ditanggung oleh pemberi gadai, bukan penerima gadai, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: ‘Gadai tidak terputus dari pemberi gadainya; baginya keuntungannya dan atasnya kerugiannya.’ Karena biaya pemeliharaan barang gadai, jika berupa hewan, wajib atas pemberi gadai, demikian pula buah. Adapun panen dan penjemuran, asy-Syafi‘i berkata di sini bahwa itu wajib atas pemberi gadai, namun di tempat lain beliau berkata tidak wajib atas pemberi gadai. Ini bukan dua pendapat, melainkan perbedaan dua keadaan. Pada keadaan di mana beliau berkata wajib memanen dan menjemur, yaitu jika telah tiba waktu panen dan penjemuran namun hak (penerima gadai) belum jatuh tempo, maka pemberi gadai wajib memanen dan menjemur karena itu demi menjaga dan memperbaikinya. Jika pemberi gadai enggan, maka ia dipaksa melakukannya. Adapun keadaan di mana beliau berkata tidak wajib memanen dan menjemur adalah jika telah tiba waktu panen dan penjemuran dan hak (penerima gadai) telah jatuh tempo, karena hak penerima gadai setelah jatuh tempo adalah pada penjualannya, bukan pada mempertahankannya, sehingga pemberi gadai tidak wajib memanen dan menjemurnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَيْسَ لِلرَّاهِنِ وَلَا لِلْمُرْتَهِنِ قَطْعُهَا قَبْلَ أَوَانِهَا إِلَّا بِأَنْ يَرْضَيَا بِهِ وَإِذَا بَلَغَتْ إِبَّانَهَا فَأَيُّهُمَا أَرَادَ قَطْعَهَا جُبِرَ الْآخَرُ عَلَى ذَلِكَ لِأَنَّهُ مِنْ صَلَاحِهَا “.

Asy-Syafi‘i ra. berkata: “Pemberi gadai maupun penerima gadai tidak boleh memotong (buah) sebelum waktunya kecuali jika keduanya rela. Jika telah sampai masa panennya, maka siapa pun dari keduanya yang ingin memotongnya, yang lain dipaksa untuk menyetujuinya, karena itu demi kebaikan buah tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِنِ اتَّفَقَا عَلَى قَطْعِهَا فَذَاكَ لَهُمَا، سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ إِدْرَاكِهَا أَوْ بَعْدَهُ؛ لِأَنَّهَا حَقٌّ لهما، وإن اتفقا على تركها فذلك لها، سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ بَعْدَ إِدْرَاكِهَا أَوْ قَبْلَهُ، وَإِنِ اخْتَلَفَا فَدَعَا أَحَدُهُمَا إِلَى قَطْعِهَا وَدَعَا الْآخَرُ إِلَى تَرْكِهَا وَالْحَقُّ مُؤَجَّلٌ لَمْ يَحِلَّ فَلَا يَخْلُو حَالُ الثَّمَرَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: –

Al-Mawardi berkata: Jika keduanya sepakat untuk memotongnya, maka itu hak mereka, baik sebelum matang maupun sesudahnya, karena itu adalah hak mereka berdua. Jika keduanya sepakat untuk membiarkannya, maka itu juga hak mereka, baik setelah matang maupun sebelumnya. Namun jika keduanya berselisih, salah satunya ingin memotong dan yang lain ingin membiarkan, sementara hak (penerima gadai) masih belum jatuh tempo, maka keadaan buah tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ تَكُونَ مُدْرَكَةً أَوْ غَيْرَ مُدْرَكَةٍ فَالْقَوْلُ قَوْلُ مَنْ دَعَا إِلَى تَرْكِهَا، سَوَاءٌ كَانَ الرَّاهِنُ دَاعِيًا إِلَى تَرْكِهَا أَوِ الْمُرْتَهِنُ، لِأَنَّ الثَّمَرَةَ زِيدَ فِي ثَمَنِهَا، وَفِي نَفْسِهَا إِلَى وَقْتِ إِدْرَاكِهَا، وَالزِّيَادَةُ الْمُنْفَصِلَةُ بِالرَّهْنِ حَادِثَةٌ عَلَى مِلْكِ الرَّاهِنِ، وَدَاخِلَةٌ فِي وَثِيقَةِ الْمُرْتَهِنِ، فَلَمْ يُجْبَرِ الرَّاهِنُ عَلَى قَطْعِهَا؛ لِمَا فِيهِ مِنْ إِبْطَالِ مِلْكِهِ مِنْ زِيَادَتِهَا وَلَمْ يُجْبَرِ الْمُرْتَهِنُ عَلَى قَطْعِهَا، لِمَا فِيهِ مِنْ إِبْطَالِ استساقة زيادتها، وَإِنْ كَانَتِ الثَّمَرَةُ مُدْرَكَةً فَالْقَوْلُ قَوْلُ مَنْ دَعَا إِلَى قَطْعِهَا، سَوَاءٌ كَانَ الرَّاهِنُ دَاعِيًا إِلَى قَطْعِهَا أَوِ الْمُرْتَهِنُ؛ لِأَنَّ فِي تَرْكِهَا بعد الإدراك إضاعة لها وإتلاف وفي قطعها حِرَاسَةٌ لَهَا وَحِفْظٌ، فَكَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ مَنْ دَعَا إِلَى حِرَاسَتِهَا وَحِفْظِهَا، دُونَ مَنْ دَعَا إِلَى إِضَاعَتِهَا وَإِتْلَافِهَا.

Baik buah itu sudah dapat dipetik maupun belum, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat orang yang mengusulkan untuk meninggalkannya, baik yang mengusulkan itu adalah rahin maupun murtahin. Sebab, harga buah tersebut bertambah, dan pada dirinya sendiri hingga waktu dapat dipetiknya, dan tambahan yang terpisah karena rahn itu terjadi atas kepemilikan rahin, namun juga termasuk dalam jaminan murtahin. Maka, rahin tidak dipaksa untuk memotongnya, karena hal itu berarti menghilangkan hak miliknya atas tambahan tersebut, dan murtahin pun tidak dipaksa untuk memotongnya, karena hal itu berarti menghilangkan haknya untuk mendapatkan tambahan tersebut. Namun, jika buah itu sudah dapat dipetik, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat orang yang mengusulkan untuk memotongnya, baik yang mengusulkan itu adalah rahin maupun murtahin. Karena membiarkannya setelah dapat dipetik akan menyebabkan kerusakan dan pemborosan, sedangkan memotongnya berarti menjaga dan memeliharanya. Maka, pendapat yang dipegang adalah pendapat orang yang mengusulkan untuk menjaga dan memeliharanya, bukan pendapat yang mengusulkan untuk membiarkan dan merusaknya.

فَلَوْ دَعَا أَحَدُهُمَا إِلَى قَطْعِهَا فِي أَوَّلِ إِدْرَاكِهَا، وَدَعَا الْآخَرُ إِلَى قَطْعِهَا بَعْدَ تَنَاهِي إِدْرَاكِهَا، فَإِنْ كَانَتْ مِمَّا يُجْتَنَى رَطْبًا وَلَا يُشَمَّسُ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ مَنْ دَعَا إِلَى قَطْعِهَا مِنْ أَوَّلِ إِدْرَاكِهَا؛ لِأَنَّهُ أحفظ لها، وإن كانت مما يجفف وتشمس، فَالْقَوْلُ قَوْلُ مَنْ دَعَا إِلَى قَطْعِهَا بَعْدَ تَنَاهِي إِدْرَاكِهَا، لِأَنَّهُ أَكْمَلُ لِزِيَادَتِهَا وَأَوْفَرُ لِثَمَنِهَا.

Jika salah satu dari keduanya mengusulkan untuk memotongnya pada awal masa dapat dipetik, dan yang lain mengusulkan untuk memotongnya setelah benar-benar matang, maka jika buah tersebut termasuk yang dipanen dalam keadaan segar dan tidak dikeringkan di bawah matahari, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat orang yang mengusulkan untuk memotongnya sejak awal masa dapat dipetik, karena itu lebih menjaga buah tersebut. Namun jika buah tersebut termasuk yang dikeringkan dan dijemur, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat orang yang mengusulkan untuk memotongnya setelah benar-benar matang, karena itu lebih sempurna tambahan hasilnya dan lebih tinggi nilainya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ أَبَى الْمَوْضُوعَةُ عَلَى يَدَيْهِ أَنْ يَتَطَوَّعَ بِأَنْ يَضَعَهَا فِي مَنْزِلِهِ إِلَّا بِكِرَاءٍ قِيلَ لِلرَّاهِنِ عَلَيْكَ لَهَا مَنْزِلٌ تُحْرَزُ فِيهِ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ صَلَاحِهَا فَإِنْ جِئْتَ بِهِ وَإِلَّا اكْتَرَى عَلَيْكَ مِنْهَا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika orang yang memegang barang rahn menolak untuk secara sukarela menyimpannya di rumahnya kecuali dengan sewa, maka dikatakan kepada rahin: ‘Kamu wajib menyediakan tempat penyimpanan yang aman untuk barang tersebut, karena itu termasuk dalam upaya menjaga barang. Jika kamu dapat menyediakannya, maka lakukanlah. Jika tidak, maka biaya sewa akan diambil dari hartamu.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. إِذَا كَانَ الرَّهْنُ مَوْضُوعًا عَلَى يَدِ عَدْلٍ لِيَشْتَرِطَ فِي عَقْدِ الرَّهْنِ فَأَبَى الْعَدْلُ أَنْ يُحْرِزَهُ فِي مَنْزِلِهِ إِلَّا بِكِرَاءٍ، لَمْ يُجْبَرِ الْعَدْلُ عَلَى إِحْرَازِهِ فِي مَنْزِلِهِ بِغَيْرِ كِرَاءٍ، وَلَا الرَّاهِنُ عَلَى أَنْ يَدْفَعَ لِلْعَدْلِ الْكِرَاءَ، وَقِيلَ: لِلرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ إِنِ اتَّفَقْتُمَا عَلَى نَقْلِهِ إِلَى يَدِ عَدْلٍ يَتَطَوَّعُ بِإِحْرَازِهِ فِي مَنْزِلِهِ بِغَيْرِ كِرَاءٍ، وَإِلَّا عَلَى الرَّاهِنِ كِرَاءُ مَنْزِلٍ يُحْرِزُ فِيهِ، لِأَنَّ كِرَاءَ الْمَنْزِلِ مِنْ مؤونة الرَّهْنِ الَّذِي يَجِبُ عَلَى الرَّاهِنِ، وَلِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” له غنمه وعليه غرمه “.

Al-Mawardi berkata: “Demikianlah sebagaimana yang dikatakan. Jika barang rahn diletakkan di tangan orang yang adil sebagai syarat dalam akad rahn, lalu orang yang adil itu menolak untuk menyimpannya di rumahnya kecuali dengan sewa, maka ia tidak dipaksa untuk menyimpannya tanpa sewa, dan rahin pun tidak dipaksa untuk membayar sewa kepada orang yang adil tersebut. Dikatakan pula: Bagi rahin dan murtahin, jika kalian berdua sepakat untuk memindahkan barang itu ke tangan orang adil yang bersedia menyimpannya di rumahnya tanpa sewa, maka lakukanlah. Jika tidak, maka rahin wajib membayar sewa tempat penyimpanan, karena biaya sewa tempat adalah bagian dari biaya pemeliharaan rahn yang menjadi kewajiban rahin. Berdasarkan sabda Nabi ﷺ: ‘Keuntungan menjadi miliknya dan kerugian menjadi tanggungannya.’”

وإن امْتَنَعَ الرَّاهِنُ مِنَ اكْتِرَاءِ مَنْزِلٍ اكْتَرَى الْقَاضِي عليه من ماله فَإِنْ وَجَدَ لَهُ مَالًا غَيْرَ الرَّهْنِ اكْتَرَى فِيهِ وَلَمْ يَبِعْ مِنَ الرَّهْنِ مَا يُكْتَرَى فيه، وَإِنْ لَمْ يَجِدْ لَهُ مَالًا غَيْرَ الرَّهْنِ بَاعَ مِنَ الرَّهْنِ بِقَدْرِ مَا يَكْتَرِي بِهِ مَنْزِلًا يُحْرِزُهُ فِيهِ، وَيَكُونُ مَكْرِيُّ الْمَنْزِلِ مُقَدَّمًا بِالْكِرَاءِ عَلَى الْمُرْتَهِنِ وَعَلَى سَائِرِ الْغُرَمَاءِ.

Jika rahin menolak untuk menyewa tempat penyimpanan, maka hakim akan menyewakan tempat tersebut dari hartanya. Jika ia memiliki harta selain barang rahn, maka biaya sewa diambil dari harta tersebut dan tidak dijual bagian dari barang rahn untuk membayar sewa. Namun jika ia tidak memiliki harta selain barang rahn, maka dijual sebagian dari barang rahn sebesar yang diperlukan untuk membayar sewa tempat penyimpanan. Biaya sewa tempat penyimpanan didahulukan pembayarannya daripada hak murtahin dan para kreditur lainnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِنِ اكْتَرَى الْمُرْتَهِنُ مَنْزِلًا مِنْ مَالِهِ لِإِحْرَازِ الرَّهْنِ فِيهِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الرَّاهِنِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika murtahin menyewa tempat penyimpanan dari hartanya sendiri untuk menyimpan barang rahn di sana, maka keadaan rahin tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ حَاضِرًا أَوْ غَائِبًا، فَإِنْ كَانَ الرَّاهِنُ حَاضِرًا، لَمْ يَخْلُ حَالُ الْمُرْتَهِنِ فِي دَفْعِ الْكِرَاءِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Yaitu, apakah rahin hadir atau tidak. Jika rahin hadir, maka keadaan murtahin dalam membayar sewa juga tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَدْفَعَهُ بِإِذْنِ الرَّاهِنِ، أَوْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ. فَإِنْ دَفَعَهُ بِغَيْرِ إِذْنِهِ كَانَ مُتَطَوِّعًا بِهِ، وَلَيْسَ لَهُ الرُّجُوعُ، وَإِنْ دَفَعَهُ بِإِذْنِهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Yaitu, apakah ia membayar dengan izin rahin atau tanpa izinnya. Jika ia membayar tanpa izin rahin, maka ia dianggap bersedekah dan tidak berhak meminta kembali. Namun jika ia membayar dengan izin rahin, maka ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بِشَرْطِ الرُّجُوعِ بِمَا يَدْفَعُ فَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ عَلَى الرَّاهِنِ.

Pertama: Jika dengan syarat boleh meminta kembali apa yang telah dibayarkan, maka ia berhak menagihnya kepada rahin.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بِغَيْرِ شَرْطِ الرُّجُوعِ، فَهَلْ يَرْجِعُ بِهِ عَلَى الرَّاهِنِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ.

Yang kedua: jika tanpa syarat hak untuk kembali (menuntut penggantian), apakah ia boleh kembali menuntut kepada pihak yang menggadaikan atau tidak? Ada dua pendapat dalam hal ini.

فَلَوْ شَرَطَ الْمُرْتَهِنُ الرُّجُوعَ بِمَا دَفَعَ مِنَ الْكِرَاءِ، عَلَى أَنَّ الرَّاهِنَ مَرْهُونٌ فِي يَدِهِ بالحق المتقدم، والأجرة المستأخرة فَيَصِيرُ مُدْخِلًا لِحَقٍّ ثَانٍ عَلَى حَقٍّ أَوَّلٍ فِي رَهْنٍ وَاحِدٍ، إِلَّا أَنَّ فِيهِ صَلَاحًا فَجَرَى مَجْرَى جِنَايَةِ الْعَبْدِ إِذَا فَدَاهُ الْمُرْتَهِنُ مِنْهَا عَلَى أَنْ يَكُونَ رَهْنًا بِهَا وَبِحَقِّهِ الْأَوَّلِ، فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: يَكُونُ جَوَازُ ذلك على قولين، ومنهم من قال قَوْلًا وَاحِدًا. فَأَمَّا إِنْ كَانَ الرَّاهِنُ غَائِبًا، فَإِنْ دَفَعَ الْمُرْتَهِنُ الْكِرَاءَ بِإِذْنِ الْحَاكِمِ فَلَهُ الرجوع به، وإن كان بغير إذنه: فَإِنْ كَانَ الْحَاكِمُ مَوْجُودًا وَالْمُرْتَهِنُ عَلَى اسْتِئْذَانِهِ قَادِرًا فَلَا رُجُوعَ لِلْمُرْتَهِنِ بِالْكِرَاءِ، وَإِنْ كَانَ الْحَاكِمُ غَيْرَ مَوْجُودٍ فَهَلْ لِلْمُرْتَهِنِ الرُّجُوعُ بِالْكِرَاءِ أم لا؟ على وجهين والله تعالى أعلم.

Jika pihak penerima gadai mensyaratkan hak untuk kembali atas apa yang ia bayarkan dari biaya sewa, dengan ketentuan bahwa barang gadai tetap berada di tangannya karena hak yang telah ada sebelumnya, dan biaya sewa yang baru, maka hal itu berarti memasukkan hak kedua di atas hak pertama dalam satu barang gadai. Namun, di dalamnya terdapat kemaslahatan, sehingga dipersamakan dengan kasus jinayah (pelanggaran) yang dilakukan oleh budak, apabila penerima gadai menebusnya dengan syarat bahwa barang tersebut menjadi gadai karena jinayah tersebut dan juga karena haknya yang pertama. Di antara ulama kami ada yang berpendapat bahwa kebolehan hal tersebut ada dua pendapat, dan ada pula yang berpendapat satu pendapat saja. Adapun jika pihak yang menggadaikan sedang tidak ada, lalu penerima gadai membayar biaya sewa dengan izin hakim, maka ia berhak menuntut kembali biaya tersebut. Namun jika tanpa izin hakim, dan hakim ada serta penerima gadai mampu meminta izinnya, maka penerima gadai tidak berhak menuntut kembali biaya sewa. Jika hakim tidak ada, maka apakah penerima gadai berhak menuntut kembali biaya sewa atau tidak? Ada dua pendapat dalam hal ini, dan Allah Ta‘ala lebih mengetahui.

(بَابُ مَا يُفْسِدُ الرَّهْنَ مِنَ الشَّرْطِ وَمَا لا يفسده وغير ذلك)

(Bab tentang syarat-syarat yang membatalkan akad gadai, yang tidak membatalkannya, dan hal-hal lain terkait)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” إِنِ اشْتَرَطَ الْمُرْتَهِنُ مِنْ مَنَافِعِ الرَّهْنِ شَيْئًا فَالشَّرْطُ بَاطِلٌ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika penerima gadai mensyaratkan untuk mengambil manfaat dari barang gadai, maka syarat tersebut batal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: عُقِدَ هَذَا الْبَابُ وَمُقَدَّمَتُهُ وَمَا تُبْنَى عَلَيْهِ مَسَائِلُهُ أَنَّ الشَّرْطَ فِي الرَّهْنِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَضْرُبٍ:

Al-Mawardi berkata: Bab ini, pendahuluannya, dan permasalahan-permasalahan yang dibangun di atasnya, didasarkan pada bahwa syarat dalam akad gadai terbagi menjadi empat jenis:

أَحَدُهَا: مَا كَانَ مِنْ مُوجِبَاتِهِ.

Pertama: syarat yang merupakan bagian dari konsekuensi akad gadai.

وَالثَّانِي: مَا كَانَ مِنْ جَائِزَاتِهِ.

Kedua: syarat yang diperbolehkan dalam akad gadai.

وَالثَّالِثُ: مَا كَانَ مِنْ مَمْنُوعَاتِهِ النَّاقِصَةِ.

Ketiga: syarat yang dilarang namun sifatnya ringan (kurang).

وَالرَّابِعُ: مَا كَانَ مِنْ مَمْنُوعَاتِهِ الزَّائِدَةِ.

Keempat: syarat yang dilarang namun sifatnya berat (berlebihan).

فَأَمَّا الضَّرْبُ الْأَوَّلُ مِنْهَا وَهُوَ مَا كَانَ مِنْ مُوجِبَاتِهِ، فَمِثْلُ اشْتِرَاطِ سُقُوطِ ضَمَانِهِ عَنْ مُرْتَهِنِهِ، وَتَمْلِيكِ مَنَافِعِهِ لِرَاهِنِهِ، وَبَيْعِهِ عِنْدَ حُلُولِ أَجَلِهِ، وَقَضَاءِ الْحَقِّ مِنْ ثَمَنِهِ عِنْدَ تَعَذُّرِ قَبْضِهِ وَهَذِهِ وَمَا بَيَّنَّا كُلُّهَا مِنْ مُوجِبَاتِ الرَّهْنِ لَوْ لَمْ يَشْتَرِطْهَا لَوَجَبَتْ وَإِذَا اشْتَرَطَهَا تَأَكَّدَتْ.

Adapun jenis pertama, yaitu syarat yang merupakan bagian dari konsekuensi akad gadai, seperti mensyaratkan gugurnya tanggungan dari penerima gadai, memberikan manfaat barang gadai kepada pihak yang menggadaikan, menjual barang gadai ketika jatuh tempo, dan melunasi hak dari hasil penjualannya ketika tidak memungkinkan untuk mengambil barang gadai tersebut. Semua ini, sebagaimana telah kami jelaskan, termasuk konsekuensi akad gadai; jika tidak disyaratkan pun tetap wajib, dan jika disyaratkan maka semakin dikuatkan.

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي مِنْهَا وَهُوَ مَا كَانَ مِنْ جَائِزَاتِهِ، فَمِثْلُ اشْتِرَاطِ وَضْعِهِ عَلَى يَدِ عَدْلٍ يَرْضَيَانِ بِهِ، وَالتَّوْكِيلِ فِي بَيْعِهِ نِيَابَةً لِرَاهِنِهِ وَمُرْتَهِنِهِ، فَإِنْ شُرِطَ هَذَا مَعَ الْعَقْدِ أَوْ بَعْدَهُ صَحَّ الْعَقْدُ وَجَازَ الشَّرْطُ، وَإِنْ أَخَلَّا بِتَعْيِينِهِ وَبِالشَّرْطِ صَحَّ الْعَقْدُ وَسَقَطَ الشَّرْطُ، فَأَمَّا حُلُولُ الرَّهْنِ وَتَأْجِيلُهُ فَلَيْسَ مِنْ جَائِزَاتِ الرَّهْنِ، وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ مُوجِبَاتِ الدَّيْنِ، لَا عَقْدِ الرَّهْنِ فَيَجِبُ أَنْ يَكُونَ بِحَسَبِ الدَّيْنِ مِنْ حُلُولِهِ وَتَأْجِيلِهِ، فَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ حَالًّا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ عَقْدُ الرَّهْنِ حَالًّا، فَإِنْ عُقِدَ مُؤَجَّلًا بَطَلَ؛ لِأَنَّ الرَّهْنَ مِمَّا أَمْكَنَ اسْتِيفَاءُ الدَّيْنِ مِنْهُ عِنْدَ اسْتِحْقَاقِهِ، وَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ مُؤَجَّلًا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ عَقْدُ الرَّهْنِ مُؤَجَّلًا، فَإِنْ عَقَدَهُ حَالًّا بَطَلَ؛ لِأَنَّ الرَّهْنَ مَا أَمْكَنَ اسْتِدَامَةَ التَّوَثُّقِ إِلَى حُلُولِ الدَّيْنِ؛ فَلِذَلِكَ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ حُلُولُ الرَّهْنِ وَتَأْجِيلُهُ عَلَى حَسَبِ الدَّيْنِ وَتَأْجِيلِهِ. وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ مِنْهَا وَهُوَ مَا كَانَ مِنْ مَمْنُوعَاتِهِ النَّاقِصَةِ قَبْلَ اشْتِرَاطِ تَأْخِيرِ بَيْعِهِ شَهْرًا بَعْدَ حُلُولِ أَجَلِهِ أَوْ يَمْتَنِعُ مِنْ بَيْعِهِ عِنْدَ حُلُولِهِ إِلَّا بِاخْتِيَارِ رَاهِنِهِ، أَوْ يُبَاعُ بِيَمِينٍ عِنْدَ اسْتِحْقَاقِ بَيْعِهِ، فَإِذَا بِيعَ لَمْ يَسْتَوْفِ جَمِيعَ الْحَقِّ مِنْ ثَمَنِهِ فَهَذِهِ وَمَا شَاءَ كُلُّهَا شُرُوطٌ يَمْنَعُ الرَّهْنُ مِنْهَا، وَهِيَ شُرُوطٌ نَاقِصَةٌ فَكَانَتْ بَاطِلَةً، لِمُنَافَاتِهَا مُقْتَضَى الْعَقْدِ، وَكَانَ الرَّهْنُ بَاطِلًا، لِأَنَّهَا تَمْنَعُ مِنْ مُوجَبِ الرَّهْنِ، وَإِذَا بَطَلَ الرَّهْنُ بِهَا، فَإِنْ كَانَ الرَّهْنُ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ فَهَلْ يَبْطُلُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Adapun jenis kedua dari syarat-syarat tersebut, yaitu syarat-syarat yang diperbolehkan, contohnya adalah mensyaratkan agar barang yang dijadikan rahn diletakkan di tangan seorang yang adil yang disepakati oleh kedua belah pihak, atau mensyaratkan adanya perwakilan dalam penjualan barang tersebut atas nama rahin (pemberi rahn) dan murtahin (penerima rahn). Jika syarat ini ditetapkan bersamaan dengan akad atau setelahnya, maka akadnya sah dan syaratnya boleh. Namun, jika keduanya lalai dalam penunjukan orang tersebut atau dalam menetapkan syaratnya, maka akadnya tetap sah dan syaratnya gugur. Adapun jatuh tempo rahn dan penundaannya, itu bukan termasuk syarat-syarat yang diperbolehkan dalam rahn, melainkan merupakan konsekuensi dari utang, bukan akad rahn. Oleh karena itu, jatuh tempo dan penundaan rahn harus mengikuti jatuh tempo dan penundaan utang. Jika utangnya sudah jatuh tempo, maka akad rahn juga harus jatuh tempo. Jika akad rahn dibuat dengan penundaan, maka batal; karena rahn adalah sesuatu yang memungkinkan pelunasan utang darinya ketika utang telah jatuh tempo. Jika utangnya ditunda, maka akad rahn juga harus ditunda. Jika akad rahn dibuat langsung (tanpa penundaan), maka batal; karena rahn adalah sesuatu yang memungkinkan terjaganya jaminan hingga utang jatuh tempo. Oleh sebab itu, jatuh tempo dan penundaan rahn harus mengikuti jatuh tempo dan penundaan utang. Jenis ketiga dari syarat-syarat tersebut adalah syarat-syarat yang dilarang secara parsial sebelum akad, seperti mensyaratkan penundaan penjualan barang rahn selama sebulan setelah jatuh tempo, atau melarang penjualan barang rahn ketika sudah jatuh tempo kecuali atas pilihan rahin, atau mensyaratkan barang rahn dijual dengan sumpah ketika sudah layak dijual, atau jika barang rahn dijual namun tidak seluruh hak dapat diambil dari hasil penjualannya. Semua syarat semacam ini dan yang sejenisnya adalah syarat-syarat yang dilarang dalam rahn, dan merupakan syarat-syarat yang cacat sehingga batal, karena bertentangan dengan konsekuensi akad. Maka rahn pun menjadi batal, karena syarat-syarat tersebut menghalangi konsekuensi rahn. Jika rahn batal karenanya, lalu jika rahn itu disyaratkan dalam akad jual beli, apakah jual belinya juga batal atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَبْطُلُ الْبَيْعُ بِبُطْلَانِهِ، لِأَنَّ الرَّهْنَ مِنْ مُقَابَلَةِ جُزْءٍ مِنَ الثَّمَنِ، بِدَلِيلِ أَنَّ الثَّمَنَ فِي الْعُرْفِ يَزِيدُ بِعَدَمِهِ، وَيَنْقُصُ بِاشْتِرَاطِهِ كَالْخِيَارِ، وَالْأَجَلِ، وَإِذَا بَطَلَ الرَّهْنُ بَطَلَ مِنَ الثَّمَنِ مَا قَابَلَهُ وَذَلِكَ مَجْهُولٌ، وَيُؤَدِّي إِلَى جَهَالَةِ بَاقِي الثَّمَنِ، وَالثَّمَنُ الْمَجْهُولُ يُبْطِلُ صِحَّةَ الْبَيْعِ.

Salah satunya: jual beli menjadi batal karena batalnya rahn, karena rahn merupakan pengganti sebagian dari harga, sebagaimana harga dalam kebiasaan akan bertambah jika tidak ada rahn, dan berkurang jika disyaratkan adanya rahn, seperti halnya khiyār (opsi) dan penundaan pembayaran. Jika rahn batal, maka bagian harga yang menjadi penggantinya juga batal, dan itu tidak diketahui secara pasti, sehingga menyebabkan ketidakjelasan pada sisa harga, sedangkan harga yang tidak jelas membatalkan keabsahan jual beli.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّ الْبَيْعَ جَائِزٌ، وَالْمُرْتَهِنُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ وَفَسْخِهِ، وَإِنَّمَا كَانَ الْبَيْعُ جَائِزًا وَإِنْ بَطَلَ الرَّهْنُ؛ لِأَنَّ الرَّهْنَ عَقْدٌ يَصِحُّ إِفْرَادُهُ عَنِ الْبَيْعِ، فَإِذَا اقْتَرَنَ بِهِ وَجَبَ أَنْ يَخْتَصَّ بِحُكْمِهِ فَلَا يَكُونُ فَسَادُهُ مُوجِبًا لِفَسَادِ الْبَيْعِ الْمُقْتَرِنِ بِهِ، كَالصَّدَاقِ الَّذِي لَمَّا صَحَّ أَنْ يَكُونَ مُفْرَدًا عَنِ النِّكَاحِ لَمْ يَكُنْ بُطْلَانُهُ مُبْطِلًا لِلنِّكَاحِ، وَبِهَذَا فَارَقَ الْخِيَارَ وَالْأَجَلَ الَّذَيْنِ لَمَّا لَمْ يُمْكِنْ إِفْرَادُهُمَا عَنِ الْعَقْدِ كَانَ بُطْلَانُهُمَا مُبْطِلًا لِلْعَقْدِ، وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ إِنَّ الرَّهْنَ فِي مُقَابَلَةِ جُزْءٍ مِنَ الثَّمَنِ لِجَوَازِ اشْتِرَاطِهِ فِي الْقَرْضِ الَّذِي لَا يَجُوزُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهِ بِشَرْطٍ.

Pendapat kedua, jual beli tetap sah, dan murtahin memiliki pilihan antara melanjutkan jual beli atau membatalkannya. Jual beli tetap sah meskipun rahnnya batal, karena rahn adalah akad yang sah untuk berdiri sendiri terpisah dari jual beli. Jika digabungkan, maka harus memiliki hukum tersendiri, sehingga kerusakan pada rahn tidak menyebabkan rusaknya jual beli yang digabungkan dengannya, sebagaimana mahar yang ketika sah untuk berdiri sendiri terpisah dari akad nikah, maka batalnya mahar tidak membatalkan akad nikah. Dengan demikian, berbeda dengan khiyār dan penundaan pembayaran, yang tidak mungkin berdiri sendiri terpisah dari akad, sehingga batalnya keduanya menyebabkan batalnya akad. Abu Ishaq berkata, tidak boleh dikatakan bahwa rahn adalah pengganti sebagian dari harga, karena boleh saja mensyaratkan rahn dalam akad qardh (pinjaman), padahal tidak boleh ada tambahan atas pinjaman dengan syarat.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الضَّرْبُ الرَّابِعُ مِنْهَا: وَهُوَ مَا كَانَ مِنْ مَمْنُوعَاتِهِ الزَّائِدَةِ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:

Adapun jenis keempat dari syarat-syarat tersebut, yaitu syarat-syarat yang dilarang secara berlebihan, maka terbagi menjadi tiga macam:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ زِيَادَةَ صِفَةٍ فِي الْحُكْمِ.

Pertama: penambahan sifat dalam hukum.

وَالثَّانِي: زِيَادَةً وَثِيقَةً كَالرَّهْنِ.

Kedua: penambahan jaminan seperti rahn.

وَالثَّالِثُ: زِيَادَةَ تَمْلِيكٍ مِنَ الرَّهْنِ.

Ketiga: penambahan kepemilikan dari rahn.

فَأَمَّا زِيَادَةُ الصِّفَةِ فِي الْحُكْمِ: فَمِثْلُ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُرْتَهِنُ في العقد ببيع الرَّهْنِ مَتَى شَاءَ، أَوْ يَشْتَرِطَ بَيْعَهُ بِأَيِّ ثَمَنٍ شَاءَ فَهَذَا وَمَا شَاءَ كُلُّهُ شُرُوطٌ زَائِدَةٌ عَلَى مُقْتَضَى الرَّهْنِ فَكَانَتْ بَاطِلَةً لِمُنَافَاتِهَا مُقْتَضَى الْعَقْدِ، وَهَلْ يَبْطُلُ الْعَقْدُ بِبُطْلَانِهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Adapun penambahan sifat dalam hukum: misalnya pihak yang menerima gadai mensyaratkan dalam akad untuk menjual barang gadai kapan saja ia mau, atau mensyaratkan untuk menjualnya dengan harga berapa pun yang ia kehendaki. Maka ini dan apa pun yang ia kehendaki, semuanya adalah syarat-syarat tambahan dari konsekuensi gadai, sehingga syarat-syarat tersebut batal karena bertentangan dengan konsekuensi akad. Apakah akadnya menjadi batal karena batalnya syarat-syarat tersebut atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَدْ بَطَلَ لِشَرْطِ مَا يُنَافِيهِ، وَإِنْ كَانَتْ شُرُوطًا زَائِدَةً، كَمَا يَبْطُلُ بِاشْتِرَاطِ مَا يُنَافِيهِ مِنَ الشُّرُوطِ النَّاقِصَةِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الشُّرُوطَ النَّاقِصَةَ تَمْنَعُ بَعْضَ مُوجِبَاتِ الرَّهْنِ فَكَانَتْ مُبْطِلَةً، وَالشُّرُوطُ الزَّائِدَةُ قَدِ اسْتَوْفَى مَعَهَا مُوجِبَاتِ الرَّهْنِ فَلَمْ تُبْطِلْهُ، وَأَمَّا زِيَادَةُ الْوَثِيقَةِ فِي الرَّهْنِ فَمِثْلُ أَنْ يَرْهَنَهُ نَخْلًا عَلَى أَنَّ مَا أَثْمَرَتْ كَانَ رَهْنًا مَعَهَا، أَوْ مَاشِيَةً عَلَى أَنَّ مَا أَنْتَجَتْ كَانَ رَهْنًا مَعَهَا، أَوْ دَارًا عَلَى أَنَّ مَا اسْتُغِلَّ مِنْ أُجْرَتِهَا كَانَ رَهْنًا مَعَهَا، فَهَذَا وَمَا يَشَاءُ كُلُّهُ مِنَ الشُّرُوطِ الزَّائِدَةِ فِي وَثِيقَةِ الرَّهْنِ، وَفِيهَا قَوْلَانِ:

Salah satunya: akad menjadi batal karena mensyaratkan sesuatu yang bertentangan dengannya, meskipun itu syarat-syarat tambahan, sebagaimana akad menjadi batal dengan mensyaratkan syarat-syarat yang kurang yang bertentangan dengannya. Perbedaannya adalah: syarat-syarat yang kurang mencegah sebagian konsekuensi gadai sehingga membatalkannya, sedangkan syarat-syarat tambahan, konsekuensi gadai tetap terpenuhi bersamanya sehingga tidak membatalkannya. Adapun penambahan jaminan dalam gadai, seperti seseorang menggadaikan pohon kurma dengan syarat bahwa apa yang dihasilkannya juga menjadi barang gadai bersamanya, atau menggadaikan hewan ternak dengan syarat bahwa anak yang dilahirkannya juga menjadi barang gadai bersamanya, atau menggadaikan rumah dengan syarat bahwa hasil sewa yang diperoleh juga menjadi barang gadai bersamanya, maka ini dan apa pun yang ia kehendaki, semuanya adalah syarat-syarat tambahan dalam jaminan gadai. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ: إِنَّهَا لَازِمَةٌ وَعَقْدُ الرَّهْنِ بِاشْتِرَاطِهَا صَحِيحٌ وَتَدْخُلُ فِي الرَّهْنِ تَبَعًا لِلرَّهْنِ.

Salah satunya, sebagaimana disebutkan dalam pendapat lama: syarat-syarat tersebut wajib dan akad gadai dengan mensyaratkannya adalah sah, dan hasilnya masuk dalam gadai sebagai pengikut dari barang gadai.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهَا بَاطِلَةٌ وَهُوَ الصَّحِيحُ لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua: syarat-syarat tersebut batal, dan ini adalah pendapat yang benar karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: غُرْمُهُ وَقْتَ عَقْدِهِ.

Pertama: kerugian terjadi pada saat akad.

وَالثَّانِي: جَهَالَةُ قَدْرِهِ.

Kedua: ketidakjelasan kadar (barang yang dijaminkan).

فَعَلَى هَذَا فِي بُطْلَانِ الرَّهْنِ بِبُطْلَانِ هَذَا الشَّرْطِ قَوْلَانِ:

Berdasarkan hal ini, dalam batalnya gadai karena batalnya syarat ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الرَّهْنَ بَاطِلٌ بِبُطْلَانِ هَذَا الشَّرْطِ، فَعَلَى هَذَا فِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ قَوْلَانِ.

Salah satunya: gadai batal karena batalnya syarat ini. Berdasarkan pendapat ini, dalam batalnya jual beli juga terdapat dua pendapat.

وَالثَّانِي: أَنَّ الرَّهْنَ جَائِزٌ وَإِنْ بَطَلَ هَذَا الشَّرْطُ، فَعَلَى هَذَا الْبَيْعُ أَجْوَزُ، وَالْبَائِعُ فِيهِ مُخَيَّرٌ بَيْنَ إِمْضَائِهِ وَفَسْخِهِ لِبُطْلَانِ الشَّرْطِ فِي إِرْهَانِ الْحَادِثِ.

Pendapat kedua: gadai tetap sah meskipun syarat ini batal. Berdasarkan pendapat ini, jual beli lebih sah, dan penjual diberi pilihan antara melanjutkan atau membatalkan akad karena batalnya syarat dalam menjaminkan barang yang baru.

وَأَمَّا زِيَادَةُ التَّمْلِيكِ فِي الرَّهْنِ: فَمِثْلُ أَنْ يَرْهَنَ نَخْلًا عَلَى أَنَّ لِلْمُرْتَهِنِ ثَمَرَتَهَا، أَوْ مَاشِيَةً عَلَى أَنَّ لَهُ نِتَاجَهَا، أَوْ دَارًا عَلَى أَنَّ لَهُ سُكْنَاهَا، أَوْ دَابَّةً عَلَى أَنَّ لَهُ رُكُوبَهَا، فَهَذَا وَمَا شَاءَ كُلُّهَا مِنَ الشُّرُوطِ الزَّائِدَةِ فِي تَمَلُّكِهِ مِنَ الرَّهْنِ، إِذَا كَانَتْ مُشْتَرَطَةً فِي رَهْنٍ لَمْ يَخْلُ ذَلِكَ الرَّهْنُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Adapun penambahan kepemilikan dalam gadai: seperti seseorang menggadaikan pohon kurma dengan syarat bahwa hasil buahnya menjadi milik pihak yang menerima gadai, atau menggadaikan hewan ternak dengan syarat bahwa anak yang dilahirkannya menjadi miliknya, atau menggadaikan rumah dengan syarat bahwa ia berhak menempatinya, atau menggadaikan hewan tunggangan dengan syarat bahwa ia berhak menungganginya. Maka ini dan apa pun yang ia kehendaki, semuanya adalah syarat-syarat tambahan dalam kepemilikan dari barang gadai. Jika syarat-syarat tersebut disyaratkan dalam gadai, maka gadai tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ مَأْخُوذًا مِنْ دَيْنٍ أَوْ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ، فَإِنْ كَانَ الرَّهْنُ مَأْخُوذًا فِي بَيْعٍ كَانَتْ هَذِهِ الشُّرُوطُ كُلُّهَا بَاطِلَةً، لِأَنَّهَا تَمْلِيكُ أَعْيَانٍ وَمَنَافِعَ بِعَقْدٍ لَا يُوجِبُهَا مِنْ غَيْرِ عِوَضٍ يُقَابِلُهَا، وَإِذَا بَطَلَتِ الشُّرُوطُ فَفِي بُطْلَانِ الرَّهْنِ قَوْلَانِ؛ لِأَنَّهَا شُرُوطٌ زَائِدَةٌ، وَإِنْ كَانَ الرَّهْنُ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ لَمْ تَخْلُ هَذِهِ الشُّرُوطُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Pertama, diambil dari utang atau disyaratkan dalam jual beli. Jika gadai diambil dalam jual beli, maka semua syarat ini batal, karena itu merupakan pemberian kepemilikan atas barang atau manfaat dengan akad yang tidak mewajibkannya tanpa adanya imbalan yang sepadan. Jika syarat-syarat tersebut batal, maka dalam batalnya gadai terdapat dua pendapat; karena itu adalah syarat-syarat tambahan. Jika gadai disyaratkan dalam jual beli, maka syarat-syarat ini tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ تَكُونَ مَشْرُوطَةً فِي الرَّهْنِ أَوْ فِي الْبَيْعِ، فَإِنْ كَانَتْ مَشْرُوطَةً فِي الرَّهْنِ كَانَتِ الشُّرُوطُ بَاطِلَةً، وَفِي بُطْلَانِ الرَّهْنِ قَوْلَانِ:

Pertama, disyaratkan dalam gadai atau dalam jual beli. Jika disyaratkan dalam gadai, maka syarat-syarat tersebut batal, dan dalam batalnya gadai terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ. فَعَلَى هَذَا فِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ قَوْلَانِ

Salah satunya: batal. Berdasarkan pendapat ini, dalam batalnya jual beli juga terdapat dua pendapat.

وَالثَّانِي: جَائِزٌ فَعَلَى هَذَا الْبَيْعُ أَجْوَزُ، وَالْبَائِعُ فِي الْبَيْعِ مُخَيَّرٌ بَيْنَ إِمْضَائِهِ وَفَسْخِهِ، وَإِنْ كَانَتْ هَذِهِ الشُّرُوطُ مَشْرُوطَةً فِي الْبَيْعِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الشَّرْطِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Kedua: sah. Berdasarkan pendapat ini, jual beli lebih sah, dan penjual dalam jual beli diberi pilihan antara melanjutkan atau membatalkan akad, dan jika syarat-syarat ini disyaratkan dalam jual beli, maka keadaan syarat tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ تَكُونَ أَعْيَانًا أَوْ مَنَافِعَ، فَإِنْ كَانَتْ أَعْيَانًا كَالثِّمَارِ وَالنِّتَاجِ كَانَ الشَّرْطُ بَاطِلًا وَالْبَيْعُ بَاطِلًا، لِأَنَّهَا تَصِيرُ مِنْ جُمْلَةِ الثَّمَنِ وَهِيَ أَعْيَانٌ مَجْهُولَةٌ لَمْ تُخْلَقْ فَلَمْ يَصِحَّ أَنْ تَكُونَ مِنْ جُمْلَةِ الثَّمَنِ فَبَطَلَتْ وَبَطَلَ الْبَيْعُ بِبُطْلَانِهَا، وَلَا رَهْنَ، فَإِنْ كَانَتْ مَنَافِعَ كَسُكْنَى الدَّارِ، وَرُكُوبِ الدَّابَّةِ، كَانَ كَاشْتِرَاطِهِ فِي عَقْدِ الْبَيْعِ الَّذِي قَدِ ارْتَهَنَ فِيهِ دَارًا عَلَى أَنْ يَسْكُنَهَا سَنَةً، أَوِ ارْتَهَنَ فِيهِ دَابَّةً عَلَى أَنْ يَرْكَبَهَا سَنَةً، فَهَذَا عَقْدٌ قَدْ جَمَعَ بَيْعًا وَإِجَارَةً بِعِوَضٍ وَاحِدٍ لَا يُعْرَفُ مِنْهُ حِصَّةُ الْبَيْعِ مِنْ حِصَّةِ الْإِجَارَةِ، وَلِلشَّافِعِيِّ فِي ذَلِكَ قَوْلَانِ:

Bisa jadi berupa benda (‘ayn) atau manfaat (manfa‘ah). Jika berupa benda seperti buah-buahan atau hasil ternak, maka syarat tersebut batal dan jual belinya juga batal, karena benda-benda tersebut menjadi bagian dari harga, padahal ia adalah benda yang tidak diketahui dan belum tercipta, sehingga tidak sah menjadi bagian dari harga, maka syarat itu batal dan jual belinya juga batal karena kebatalan syarat tersebut, dan tidak ada hak gadai. Namun jika berupa manfaat seperti menempati rumah atau menunggangi hewan, maka seperti mensyaratkan dalam akad jual beli yang di situ telah digadaikan sebuah rumah dengan syarat ia boleh menempatinya selama setahun, atau digadaikan seekor hewan dengan syarat ia boleh menungganginya selama setahun, maka ini adalah akad yang menggabungkan jual beli dan sewa dengan satu imbalan, di mana tidak diketahui bagian jual beli dari bagian sewa. Dalam hal ini, menurut Imam Syafi‘i ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْبَيْعَ وَالْإِجَارَةَ جَائِزَانِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الشَّرْطُ لَازِمًا، وَالْبَيْعُ صَحِيحًا، وَالرَّهْنُ جَائِزًا.

Salah satunya: bahwa jual beli dan sewa keduanya sah, sehingga syarat tersebut menjadi wajib, jual belinya sah, dan gadai pun sah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْبَيْعَ وَالْإِجَارَةَ بَاطِلَانِ، لِأَنَّ الْبَيْعَ وَالْإِجَارَةَ مُخْتَلِفَا الْحُكْمِ، فَلَمْ يَصِحَّ أَنْ يَجْتَمِعَا فِي الْمَنْفَعَةِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الشَّرْطُ بَاطِلًا، وَالْبَيْعُ فاسد، وَالرَّهْنُ مَحْلُولًا، فَهَذَا عَقْدُ هَذَا الْبَابِ وَمُقَدِّمَتُهُ وَمَا يُبْنَى عَلَيْهِ مَسَائِلُهُ.

Pendapat kedua: bahwa jual beli dan sewa keduanya batal, karena jual beli dan sewa memiliki hukum yang berbeda, sehingga tidak sah digabungkan dalam satu manfaat. Maka menurut pendapat ini, syaratnya batal, jual belinya rusak, dan gadai menjadi batal. Inilah pokok pembahasan bab ini, pendahuluannya, dan dasar yang menjadi pijakan masalah-masalahnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْمُقَدِّمَةُ فَالْبَابُ كُلُّهُ يَشْتَمِلُ عَلَى تِسْعِ مسائل مسطورة. فأول مسائله.

Setelah pendahuluan ini dipahami, maka seluruh bab ini mencakup sembilan masalah yang tertulis. Dan masalah yang pertama adalah:

قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَوِ اشْتَرَطَ الْمُرْتَهِنُ مِنْ مَنَافِعِ الرهن شيئا فالشرط باطل، وصورتها في رهن مستقر من ثمن مبيع، أو أرش جناية، أو صداقه زَوْجَةٍ، أَخَذَ بِهِ رَهْنًا وَشَرَطَ الْمُرْتَهِنُ مَنَافِعَهُ لِنَفْسِهِ، وَهَذَا الشَّرْطُ بَاطِلٌ بِكُلِّ حَالٍ، وَفِي بُطْلَانِ الرَّهْنِ قَوْلَانِ؛ لِأَنَّهَا شُرُوطٌ زَائِدَةٌ، سَوَاءٌ كَانَ الشَّرْطُ أَعْيَانًا أَوْ مَنَافِعَ، فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الرَّهْنَ قَدْ بَطَلَ كَانَ الدَّيْنُ مُسْتَقِرًّا بِلَا رَهْنٍ وَلَا خِيَارَ لَهُ.

Imam Syafi‘i berkata: Jika pihak yang menerima gadai mensyaratkan untuk mendapatkan sebagian manfaat dari barang gadai, maka syarat itu batal. Contohnya adalah pada gadai yang berasal dari harga barang yang dijual, atau denda tindak pidana, atau mahar istri, lalu ia mengambil barang sebagai gadai dan pihak penerima gadai mensyaratkan manfaatnya untuk dirinya sendiri, maka syarat ini batal dalam segala keadaan. Dalam kebatalan gadai terdapat dua pendapat; karena itu merupakan syarat tambahan, baik syarat itu berupa benda maupun manfaat. Jika dikatakan bahwa gadai menjadi batal, maka utangnya tetap ada tanpa gadai dan ia tidak memiliki hak pilih.

وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الرَّهْنَ لَمْ يَبْطُلْ كَانَ وَثِيقَةً فِي الدين ولا خيار له.

Dan jika dikatakan bahwa gadai tidak batal, maka ia tetap menjadi jaminan atas utang dan ia tidak memiliki hak pilih.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَتْ لَهُ أَلْفٌ فَقَالَ زِدْنِي أَلْفًا عَلَى أَنْ أَرْهَنَكَ بِهِمَا مَعًا رَهْنًا يَعْرِفَانِهِ كَانَ الرَّهْنُ مَفْسُوخًا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang memiliki utang seribu, lalu ia berkata, ‘Tambahkanlah seribu lagi kepadaku dengan syarat aku akan menggadaikan keduanya kepadamu dengan barang gadai yang kita berdua kenal,’ maka gadai tersebut menjadi batal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ عَلَيْهِ لِرَجُلٍ أَلْفٌ، فَقَالَ لِمَنْ لَهُ الْأَلْفُ أَقْرِضْنِي أَلْفًا عَلَى أَنْ أُعْطِيَكَ بِهَا وَبِالْأَلْفِ الْأُولَى عَبْدِي الْفُلَانِيِّ رَهْنًا، فَهَذَا قَرْضٌ بَاطِلٌ، وَرَهْنٌ بَاطِلٌ، وَإِنَّمَا يَبْطُلُ الْقَرْضُ؛ لِأَنَّهُ شَرَطَ فِيهِ رَهْنًا فِي الْأُولَى فَصَارَ قَرْضًا جَرَّ مَنْفَعَةً، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا ” وَيَبْطُلُ الرَّهْنُ فِي الْأَلْفِ الْأُولَى وَفِي الْقَرْضِ، وَإِنَّمَا بَطَلَ فِي الرَّهْنِ؛ لِبُطْلَانِ الْقَرْضِ، وَبَطَلَ فِي الأولى؛ لأن الرهن فيهما كان يشرط الْقَرْضِ، وَقَالَ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ هَذَا فَاسِدٌ مِنْ جِهَةِ الشَّرْطِ فِي الرَّهْنِ، وَهُوَ شَرْطٌ زَائِدٌ فَيَكُونُ الشَّرْطُ فِي نَفْسِهِ بَاطِلًا، وَهَلْ يَبْطُلُ الرَّهْنُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ. وَالصَّحِيحُ على مَا ذَكَرْنَا مِنَ التَّعْلِيلِ وَهُوَ قَوْلُ سَائِرِ أصحابنا.

Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah seorang laki-laki berutang seribu kepada orang lain, lalu ia berkata kepada orang yang berpiutang, ‘Pinjamkanlah aku seribu lagi dengan syarat aku akan memberikan kepadamu, sebagai jaminan atas kedua utang itu, budakku yang bernama fulan sebagai barang gadai.’ Maka ini adalah pinjaman yang batal dan gadai yang batal. Pinjamannya batal karena ia mensyaratkan adanya gadai pada pinjaman pertama, sehingga menjadi pinjaman yang mendatangkan manfaat, dan telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ: “Setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat adalah riba.” Maka batal pula gadai atas seribu yang pertama dan atas pinjaman tersebut. Gadai menjadi batal karena pinjamannya batal, dan batal pula atas yang pertama karena gadai atas keduanya disyaratkan pada pinjaman. Ibnu Abi Hurairah berkata, ini rusak dari sisi syarat dalam gadai, dan itu adalah syarat tambahan sehingga syarat itu sendiri batal. Apakah gadai menjadi batal atau tidak? Ada dua pendapat. Dan yang benar adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam penjelasan, dan itu adalah pendapat mayoritas ulama kami.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ لَهُ بِعْنِي عَبْدًا بِأَلْفٍ عَلَى أَنْ أُعْطِيَكَ بِهَا وَبِالْأَلْفِ الَّتِي لَكَ عَلَيَّ بِلَا رَهْنٍ دَارِي رَهْنًا فَفَعَلَ كَانَ الْبَيْعُ والرهن مفسوخا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Jualkan kepadaku seorang budak seharga seribu, dengan syarat aku akan memberikan kepadamu, sebagai jaminan atas harga itu dan atas seribu yang engkau punya atas diriku tanpa gadai, rumahku sebagai barang gadai,’ lalu ia melakukannya, maka jual beli dan gadai keduanya menjadi batal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ عَلَيْهِ لِرَجُلٍ أَلْفٌ، فَقَالَ لِمَنْ لَهُ الْأَلْفُ بِعْنِي عَبْدَكَ بِأَلْفٍ عَلَى أَنْ أُعْطِيَكَ بِهَا وَبِالْأَلْفِ الَّتِي لَكَ عَلَيَّ بِلَا رَهْنٍ دَارِي هَذِهِ رَهْنًا، فَهَذَا بَيْعٌ بَاطِلٌ، وَرَهْنٌ بَاطِلٌ، أَمَّا بُطْلَانُ الْبَيْعِ، فَلِأَنَّهُ شَرَطَ فِيهِ رَهْنًا فِيمَا لَا يَسْتَحِقُّ رَهْنًا فَبَطَلَ، فَكَانَ ذَلِكَ مَضْمُونًا إِلَى الثَّمَنِ فَأَدَّى إِلَى جَهَالَةٍ فِي بَابِ الثَّمَنِ، وَأَمَّا بُطْلَانُ الرَّهْنِ فَيَبْطُلُ فِي الْبَيْعِ، لِبُطْلَانِ الْبَيْعِ وَبَطَلَ فِي الْأَلْفِ الْأُولَى؛ لِأَنَّ الرَّهْنَ فِيهَا كَانَ بِشَرْطِ الْبَيْعِ، وَقَالَ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ: هَذَا فَسَادٌ مِنْ جِهَةِ الشَّرْطِ فِي الرَّهْنِ وَهُوَ شَرْطٌ زَائِدٌ فَكَانَ شَرْطًا بَاطِلًا، وَفِي بُطْلَانِ الرَّهْنِ قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah pada seorang laki-laki yang memiliki utang seribu kepada orang lain, lalu orang yang berpiutang berkata kepadanya, “Juallah budakmu kepadaku seharga seribu, dengan syarat aku akan memberimu harga itu dan juga seribu yang menjadi utangmu kepadaku, tanpa jaminan, dan rumahku ini menjadi jaminan.” Maka ini adalah jual beli yang batal dan jaminan (rahn) yang batal. Adapun batalnya jual beli, karena di dalamnya disyaratkan adanya jaminan pada sesuatu yang tidak berhak dijadikan jaminan, sehingga menjadi batal. Hal itu menjadi tanggungan sampai harga dibayar, sehingga menimbulkan ketidakjelasan dalam masalah harga. Adapun batalnya jaminan, maka ia batal dalam jual beli karena jual belinya batal, dan batal pula dalam seribu yang pertama karena jaminan di situ disyaratkan dalam jual beli. Ibnu Abi Hurairah berkata: Ini adalah kerusakan dari sisi syarat dalam jaminan, dan itu adalah syarat tambahan sehingga menjadi syarat yang batal. Dalam batalnya jaminan ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ بَاطِلٌ، فَعَلَى هَذَا فِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ قَوْلَانِ.

Salah satunya: Bahwa jaminan itu batal. Berdasarkan pendapat ini, dalam batalnya jual beli terdapat dua pendapat.

وَالثَّانِي: جَائِزٌ، فَعَلَى هَذَا الْبَيْعُ جَائِزٌ وَالصَّحِيحُ مَا ذكر؛ لأن التعليل يقتضيه.

Dan yang kedua: Diperbolehkan. Berdasarkan pendapat ini, jual belinya sah. Dan yang benar adalah sebagaimana yang telah disebutkan, karena alasan (ta‘līl) menuntut demikian.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَسْلَفَهُ أَلْفًا عَلَى أَنْ يَرْهَنَهُ بِهَا رَهْنًا وَشَرَطَ الْمُرْتَهِنِ لِنَفْسِهِ مَنْفَعَةَ الرَّهْنِ فَالشَّرْطُ بَاطِلٌ لِأَنَّ ذَلِكَ زِيَادَةٌ فِي السَّلَفِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang memberikan pinjaman seribu dengan syarat menerima jaminan atasnya, dan pihak yang menerima jaminan mensyaratkan manfaat dari barang jaminan untuk dirinya sendiri, maka syarat itu batal karena hal tersebut merupakan tambahan dalam akad salam.”

قَالَ الماوردي: صورتها فِي رَجُلٍ اقْتَرَضَ مِنْ رَجُلٍ أَلْفًا عَلَى أَنْ يُعْطِيَهُ بِهَا رَهْنًا مُعَيَّنًا عَلَى أَنَّ لَهُ مَنَافِعَ الرَّهْنِ، وَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah pada seorang laki-laki yang meminjam seribu dari orang lain dengan syarat akan memberikan barang tertentu sebagai jaminan, dengan ketentuan bahwa manfaat dari barang jaminan tersebut menjadi miliknya. Hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَشْتَرِطَ مَنَافِعَ الرَّهْنِ مِلْكًا لِنَفْسِهِ، فَهَذَا قَرْضٌ بَاطِلٌ لِأَنَّهُ يَجُرُّ مَنْفَعَةً، وَرَهْنٌ بَاطِلٌ، لأنه مشروط في قرض قد بطل.

Pertama: Mensyaratkan manfaat barang jaminan menjadi miliknya sendiri. Ini adalah pinjaman yang batal karena mengandung manfaat (bagi pemberi pinjaman), dan jaminannya pun batal karena disyaratkan dalam pinjaman yang telah batal.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَشْتَرِطَ فِي مَنَافِعِ الرَّهْنِ أَنْ يَكُونَ رَهْنًا وَهِيَ أَعْيَانٌ، فَالْقَرْضُ لَا يَبْطُلُ، لِأَنَّ فَسَادَ الرَّهْنِ فِي الْقَرْضِ لَا يُوجِبُ فَسَادَ الْقَرْضِ، وَفِي صِحَّةِ الشَّرْطِ قَوْلَانِ:

Kedua: Mensyaratkan dalam manfaat barang jaminan agar menjadi jaminan, dan manfaat tersebut berupa benda. Maka pinjamannya tidak batal, karena rusaknya jaminan dalam pinjaman tidak menyebabkan rusaknya pinjaman. Dalam keabsahan syarat ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ هَذَا الشَّرْطَ صَحِيحٌ، وَتَكُونُ الْمَنَافِعُ رَهْنًا.

Salah satunya: Syarat ini sah, dan manfaatnya menjadi jaminan.

وَالثَّانِي: أَنَّ الشَّرْطَ بَاطِلٌ، وَلَا تَكُونُ الْمَنَافِعُ الْحَادِثَةُ رَهْنًا، فَعَلَى هَذَا فِي بُطْلَانِ الرهن قولان.

Yang kedua: Syaratnya batal, dan manfaat yang timbul tidak menjadi jaminan. Berdasarkan pendapat ini, dalam batalnya jaminan terdapat dua pendapat.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَ اشْتَرَى مِنْهُ عَلَى هَذَا الشَّرْطِ فَالْبَيْعُ بِالْخِيَارِ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ أَوْ إِثْبَاتِهِ والرهن ويبطل الشرط (قال المزني) قلت أنا أصل قول الشافعي كُلَّ بَيْعٍ فَاسِدٍ بِشَرْطٍ وَغَيْرِهِ أَنَّهُ لَا يجوز وإن أجيز حتى يبتدأ بما يجوز “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang membeli dari orang lain dengan syarat seperti ini, maka jual belinya dengan hak khiyar, yaitu boleh membatalkan atau meneruskan jual beli dan jaminan, dan syaratnya batal.” (Al-Muzani berkata:) Aku berkata, asal pendapat Imam Syafi‘i adalah setiap jual beli yang rusak karena syarat atau sebab lain, maka tidak boleh (dilakukan), dan jika dibolehkan pun harus dimulai dengan akad yang sah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ ابْتَاعَ مِنْ رَجُلٍ بَيْعًا وَشَرَطَ أَنْ يُعْطِيَهُ بِثَمَنِهِ رَهْنًا معينا على أن منافع الرهن للمرتهن، وهذا على ضربين:

Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah pada seorang laki-laki yang membeli barang dari orang lain dan mensyaratkan akan memberikan barang tertentu sebagai jaminan atas harga tersebut, dengan ketentuan bahwa manfaat barang jaminan menjadi milik penerima jaminan. Hal ini terbagi menjadi dua:

أحدهما: وهو مسألة الكتاب: أن يكون الشرط بَاطِلًا، وَهَلْ يَبْطُلُ الرَّهْنُ أَمْ لَا؟ عَلَى قولين:

Pertama, yaitu masalah dalam kitab ini: Syaratnya batal. Apakah jaminannya juga batal atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أحدهما: إنه باطل، فعلى هذا من بُطْلَانِ الْبَيْعِ قَوْلَانِ:

Salah satunya: Jaminannya batal. Berdasarkan pendapat ini, dalam batalnya jual beli terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا بَاطِلٌ، وَالثَّانِي جَائِزٌ، وَلِلْبَائِعِ الْمُرْتَهِنِ الْخِيَارُ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ بِلَا رَهْنٍ وَبَيْنَ فَسْخِهِ. وَإِنَّمَا كَانَ لَهُ فَسْخُهُ وَإِنْ صَحَّ الرَّهْنُ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ، لِأَنَّهُ شَرَطَ مَنَافِعَهُ لِنَفْسِهِ فَلَمَّا فَاتَهُ الشَّرْطُ ثَبَتَ له الخيار، وقد كان بعض أصحابنا يرتبها غير هذا الترتيب، وخرج الْمَسْأَلَةَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ:

Salah satunya batal, dan yang kedua sah. Penjual yang menerima jaminan memiliki hak memilih antara melanjutkan jual beli tanpa jaminan atau membatalkannya. Ia berhak membatalkannya meskipun jaminan sah menurut pendapat ini, karena ia telah mensyaratkan manfaatnya untuk dirinya sendiri, sehingga ketika syarat itu tidak terpenuhi, ia berhak memilih. Sebagian ulama kami mengurutkan masalah ini dengan cara berbeda, dan membagi masalah ini menjadi tiga pendapat:

أَحَدُهَا: بُطْلَانُ الشَّرْطِ فِي الرَّهْنِ وَالْبَيْعِ.

Pertama: Batalnya syarat dalam jaminan dan jual beli.

وَالثَّانِي: بُطْلَانُ الشَّرْطِ وَالرَّهْنِ وَجَوَازُ الْبَيْعِ.

Kedua: Batalnya syarat dan jaminan, namun jual belinya sah.

وَالثَّالِثُ: بُطْلَانُ الشَّرْطِ وَجَوَازُ الرَّهْنِ وَالْبَيْعِ.

Ketiga: Batalnya syarat, namun jaminan dan jual belinya sah.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الشَّرْطُ فِي الْبَيْعِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمَنَافِعِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Kedua: Syarat tersebut terdapat dalam jual beli, maka keadaan manfaat tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ تَكُونَ أَعْيَانًا كَالنِّتَاجِ وَالثِّمَارِ، أَوْ آثَارًا كَالسُّكْنَى وَالرُّكُوبِ، فَإِنْ كَانَتْ أَعْيَانًا كَانَ الْبَيْعُ بَاطِلًا؛ لِأَنَّ الْأَعْيَانَ الْمَعْدُومَةَ صَارَتْ ثَمَنًا فِي الْبَيْعِ، وَإِذَا بَطَلَ الْبَيْعُ فَلَا رَهْنَ أَصْلًا.

Yaitu, apakah manfaat itu berupa benda seperti hasil ternak dan buah-buahan, atau berupa dampak seperti hak tinggal dan hak menunggang. Jika manfaat itu berupa benda, maka jual belinya batal, karena benda yang belum ada dijadikan sebagai harga dalam jual beli. Jika jual belinya batal, maka tidak ada jaminan sama sekali.

وَإِنْ كَانَتْ آثَارًا كَالسُّكْنَى وَالرُّكُوبِ، فَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مُقَدَّرَةٍ بِزَمَانٍ وَإِنَّمَا شُرِطَتْ ما بقي الرهن، فالبيع باطل؛ لأن الرهن قَدْ يُعَجِّلُ قَضَاءَ الْحَقِّ أَوْ يُؤَخِّرُهُ، فَتُجْهَلُ الْمَنَافِعُ الَّتِي هِيَ مُضَافَةٌ إِلَى الثَّمَنِ، وَكَانَ الْبَيْعُ بَاطِلًا وَالرَّهْنُ مَجْهُولًا، وَإِنْ كَانَتْ مُقَدَّرَةً بِزَمَانٍ كَأَنَّهُ شَرَطَ سُكْنَى الدَّارِ الْمَرْهُونَةِ سَنَةً، أَوْ شَرَطَ رُكُوبَ الدَّابَّةِ الْمَرْهُونَةِ شَهْرًا، فَهَذَا عَقْدٌ قَدْ جَمَعَ بَيْعًا وَإِجَارَةً فَكَانَ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika manfaatnya berupa penggunaan seperti tinggal di rumah atau menunggangi hewan, maka jika manfaat itu tidak ditentukan waktunya dan hanya disyaratkan selama barang gadai masih ada, maka jual beli tersebut batal; karena barang gadai bisa saja pelunasan haknya dipercepat atau diperlambat, sehingga manfaat yang menjadi tambahan atas harga menjadi tidak diketahui, maka jual belinya batal dan barang gadai menjadi tidak jelas. Namun jika manfaat itu ditentukan waktunya, seperti disyaratkan tinggal di rumah yang digadaikan selama setahun, atau menunggangi hewan yang digadaikan selama sebulan, maka ini adalah akad yang menggabungkan jual beli dan ijarah, sehingga terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُمَا بَاطِلَانِ وَلَا رَهْنَ.

Salah satunya: Keduanya batal dan tidak ada gadai.

وَالثَّانِي: إِنَّهُمَا جَائِزَانِ وَالرَّهْنُ صَحِيحٌ وَلَا خِيَارَ لِلْبَائِعِ الْمُرْتَهِنِ لِحُصُولِ غَرَضِهِ وَاسْتِيفَائِهِ.

Yang kedua: Keduanya sah dan gadai itu benar, serta tidak ada hak khiyar bagi penjual yang menggadaikan karena tujuannya telah tercapai dan haknya telah terpenuhi.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

قَدْ ذَكَرْنَا فِي أَصْلِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ كُلَّ بَيْعٍ فَاسِدٍ بِشَرْطٍ وَغَيْرِهِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ وَإِنْ أُجْبِرَ حَتَّى يَعْقِدَا بِمَا يَجُوزُ، وَهَذَا اعْتِرَاضٌ مِنَ الْمُزَنِيِّ عَلَى الضَّرْبِ الْأَوَّلِ الَّذِي هُوَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ. ظَنَّ فِيهِ أَنَّ الْبَيْعَ إِذَا بَطَلَ بِفَسَادِ الشَّرْطِ أَنَّ الشَّافِعِيَّ جَعَلَ لِلْمُرْتَهِنِ الْبَائِعِ فِيهِ الْخِيَارَ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ بِلَا رَهْنٍ وَبَيْنَ فَسْخِهِ، فَقَالَ: كَيْفَ يُجْعَلُ الْخِيَارُ فِي بَيْعٍ فَاسِدٍ، وَهَذَا غَلَطٌ مِنَ الْمُزَنِيِّ وَهِمَ فِيهِ عَلَى الشَّافِعِيِّ، لِأَنَّ الْبَيْعَ إِذَا بَطَلَ لَمْ يَكُنْ لِلْبَائِعِ إِمْضَاؤُهُ، وَإِنَّمَا جَعَلَ الشَّافِعِيُّ لِلْبَائِعِ الْخِيَارَ فِي إِمْضَاءِ الْبَيْعِ بِلَا رَهْنٍ إِذَا قِيلَ بِبُطْلَانِ الرَّهْنِ وجواز البيع.

Telah kami sebutkan dalam pokok pendapat Imam Syafi‘i bahwa setiap jual beli yang rusak karena syarat atau tanpa syarat, maka tidak boleh dilaksanakan, bahkan jika dipaksa sekalipun, hingga keduanya berakad dengan akad yang sah. Ini merupakan sanggahan dari al-Muzani terhadap jenis pertama, yaitu permasalahan dalam kitab ini. Ia mengira bahwa jika jual beli batal karena rusaknya syarat, maka Imam Syafi‘i memberikan hak khiyar kepada penjual yang menggadaikan antara melanjutkan jual beli tanpa gadai atau membatalkannya. Ia berkata: Bagaimana bisa diberikan hak khiyar dalam jual beli yang rusak? Ini adalah kekeliruan dari al-Muzani dan ia salah paham terhadap pendapat Imam Syafi‘i, karena jika jual beli batal maka penjual tidak berhak melanjutkannya. Imam Syafi‘i hanya memberikan hak khiyar kepada penjual untuk melanjutkan jual beli tanpa gadai jika dikatakan bahwa gadai batal namun jual beli sah.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ اشْتَرَطَ عَلَى الْمُرْتَهِنِ أَنْ لَا يُبَاعَ الرَّهْنُ عِنْدَ مَحَلِّ الْحَقِّ إِلَّا بِمَا يُرْضِي الرَّاهِنَ أَوْ حَتَى يَبْلُغَ كَذَا أَوْ بَعْدَ مَحَلِّ الْحَقِّ بِشَهْرٍ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ كَانَ الرَّهْنُ فَاسِدًا حَتَى لَا يَكُونَ دُونَ بَيْعِهِ حائل عند محل الحق “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika disyaratkan kepada penerima gadai bahwa barang gadai tidak boleh dijual pada saat jatuh tempo kecuali dengan kerelaan pemberi gadai, atau hingga mencapai harga tertentu, atau setelah jatuh tempo sebulan, atau semacamnya, maka gadai tersebut rusak, sehingga tidak boleh ada penghalang untuk menjualnya pada saat jatuh tempo.”

قال الماوردي: وقد ذَكَرْنَا أَنَّ الشُّرُوطَ الَّتِي يَمْنَعُ مِنْهَا الرَّهْنُ ضربين:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa syarat-syarat yang dilarang dalam gadai ada dua macam:

أَحَدُهَا: شُرُوطٌ نَاقِصَةٌ.

Pertama: Syarat yang mengurangi.

وَالثَّانِي: شُرُوطٌ زَائِدَةٌ.

Kedua: Syarat yang menambah.

فَأَمَّا الشُّرُوطُ النَّاقِصَةُ: فَهِيَ مَا شَرَطَهَا الرَّاهِنُ لِنَفْسِهِ عَلَى الْمُرْتَهِنِ، وَأَمَّا الشُّرُوطُ الزَّائِدَةُ فَهِيَ مَا شَرَطَهَا الْمُرْتَهِنُ لِنَفْسِهِ عَلَى الرَّاهِنِ، فَإِذَا كَانَ الشَّرْطُ نَاقِصًا كَاشْتِرَاطِ الرَّاهِنِ لِنَفْسِهِ أَنْ لَا يُبَاعَ إِلَّا بِمَا يَرْضَى، أَوْ لَا يُبَاعَ إِلَّا بِمَا سَمَّى، أَوْ لَا يُبَاعَ إِلَّا بَعْدَ مَحَلِّ الْحَقِّ بِشَهْرٍ، أَوْ لَا يُبَاعَ مِنْهُ إِلَّا الْبَعْضُ فَهَذَا شَرْطٌ بَاطِلٌ لِمُنَافَاتِهِ الرَّهْنَ، لِأَنَّ الرَّهْنَ يُوجِبُ بَيْعَهُ عِنْدَ تَعَذُّرِ الحق، رضي الراهن أو لم يرض، ويثمن مِثْلُهُ، وَإِنْ لَمْ يُسَمَّ عِنْدَ مَحَلِّ الْحَقِّ، وَيُبَاعُ مِنْهُ بِقَدْرِ الْحَقِّ، وَإِنْ كَانَ الْأَجَلُ وَالشَّرْطُ إِذْنًا فِي الْعَقْدِ لَوَجَبَ بُطْلَانُ الشَّرْطِ وَالْعَقْدِ، وَإِذَا صَحَّ بِمَا ذَكَرْنَا بِأَنَّ الشَّرْطَ وَالْعَقْدَ بَاطِلَانِ فَفِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ قَوْلَانِ:

Adapun syarat yang mengurangi adalah syarat yang ditetapkan oleh pemberi gadai untuk dirinya sendiri atas penerima gadai. Sedangkan syarat yang menambah adalah syarat yang ditetapkan oleh penerima gadai untuk dirinya sendiri atas pemberi gadai. Jika syarat itu mengurangi, seperti pemberi gadai mensyaratkan agar barang gadai tidak dijual kecuali dengan kerelaannya, atau tidak dijual kecuali dengan harga yang ia tentukan, atau tidak dijual kecuali setelah jatuh tempo sebulan, atau hanya sebagian barang gadai yang dijual, maka ini adalah syarat yang batal karena bertentangan dengan hakikat gadai. Sebab gadai mengharuskan penjualan barang gadai ketika pelunasan hak tidak dapat dilakukan, baik pemberi gadai rela atau tidak, dan barang gadai harus dinilai dengan harga yang sepadan meskipun tidak disebutkan pada saat jatuh tempo, serta dijual sebanyak nilai haknya. Jika waktu dan syarat itu merupakan izin dalam akad, maka wajib batal syarat dan akadnya. Jika telah sah dengan penjelasan kami bahwa syarat dan akadnya batal, maka dalam batalnya jual beli ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ.

Salah satunya: Batal.

وَالثَّانِي: جَائِزٌ.

Yang kedua: Sah.

وَلِلْبَائِعِ الْخِيَارُ فِي عَقْدِ الْبَيْعِ بَيْنَ الْإِمْضَاءِ وَالْفَسْخِ، وَإِنْ كَانَ الشَّرْطُ زَائِدًا فَقَدْ تَقَدَّمَ مِثَالُهُ، فَإِذَا بَطَلَ الشَّرْطُ كَانَ فِي بُطْلَانِ الرَّهْنِ قَوْلَانِ:

Dan penjual memiliki hak khiyar dalam akad jual beli antara melanjutkan atau membatalkannya. Jika syarat itu menambah, maka contohnya telah dijelaskan sebelumnya. Jika syarat itu batal, maka dalam batalnya gadai ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ كَالشَّرْطِ فِي النَّاقِصِ.

Salah satunya: Batal seperti syarat dalam syarat yang mengurangi.

وَالثَّانِي: الرَّهْنُ جَائِزٌ، وَالْفَرْقُ بَيْنَ الشَّرْطِ النَّاقِصِ وَالشَّرْطِ الزَّائِدِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Yang kedua: Gadai tetap sah. Perbedaan antara syarat yang mengurangi dan syarat yang menambah ada pada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ النَّاقِصَ قَدْ أَسْقَطَ بَعْضَ مُوجِبَاتِ الرَّهْنِ فَأَبْطَلَهُ، وَالزَّائِدَ قَدِ اسْتَوْفَى مَعَهُ مُوجِبَاتِ الرَّهْنِ فَلَمْ يُبْطِلْهُ.

Pertama: Syarat yang mengurangi telah menghilangkan sebagian konsekuensi gadai sehingga membatalkannya, sedangkan syarat yang menambah tetap memenuhi konsekuensi gadai sehingga tidak membatalkannya.

وَالثَّانِي: أَنَّ الشَّرْطَ النَّاقِصَ مُقْتَرِنٌ بِالْعَقْدِ فِي الْحَالِ، وَالزَّائِدَ مُنْتَظَرٌ فِي ثَانِي الْحَالِ، فَصَارَ الرَّهْنُ بِالشَّرْطِ النَّاقِصِ مُقْتَرِنًا ومن الشرط خاليا.

Kedua: Bahwa syarat yang kurang (naqis) itu menyertai akad pada saat ini, sedangkan syarat yang lebih (zaid) itu ditunggu pada waktu berikutnya. Maka, gadai dengan syarat yang kurang itu menyertai dan bebas dari syarat.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ رَهَنَهُ نَخْلًا عَلَى أَنَّ مَا أَثْمَرَتْ أَوْ مَاشِيَةً عَلَى أَنَّ مَا نَتَجَتْ فَهُوَ دَاخِلٌ فِي الرَّهْنِ كَانَ الرَّهْنُ مِنَ النَّخْلِ وَالْمَاشِيَةِ رَهْنًا وَلَمْ يَدْخُلْ مَعَهُ ثَمَرُ الْحَائِطِ وَلَا نِتَاجُ الْمَاشِيَةِ إِذَا كَانَ الرَّهْنُ بِحَقٍّ وَاجِبٍ قَبْلَ الرَّهْنِ وَهَذَا كَرَجُلٍ رَهَنَ مِنْ رَجُلٍ دَارًا عَلَى أَنْ يَرْهَنَهُ أُخْرَى غَيْرَ أَنَّ الْبَيْعَ إِنْ وَقَعَ عَلَى هَذَا الشَّرْطِ فُسِخَ الرَّهْنُ وَكَانَ الْبَائِعُ بِالْخِيَارِ لِأَنَّهُ لَمْ يتم له الشرط (قال المزني) قلت أنا وقال في موضع آخر هذا جائز في قول من أجاز أن يرهنه عبدين فيصيب أحدهما حرا فيجيز الجائز ويرد المردود (قال المزني) وفيها قول آخر يفسد كما يفسد البيع إذا جمعت الصفقة جائزا وغير جائز (قال المزني) قلت أنا ما قطع به وأثبته أولى وجواباته في هذا المعنى بالذي قطع به شبيه وقد قال لو تبايعا على أن يرهنه هذا العصير فرهنه إياه فإذا هو من ساعته خمر فله الخيار في البيع لأنه لم يتم له الرهن “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menggadaikan pohon kurma dengan syarat bahwa apa yang dihasilkannya (buahnya), atau menggadaikan hewan ternak dengan syarat bahwa apa yang dilahirkannya, maka itu termasuk dalam gadai, maka gadai dari pohon kurma dan hewan ternak itu sah sebagai gadai, namun buah kebun dan anak dari hewan ternak tidak termasuk di dalamnya jika gadai itu untuk hak yang wajib sebelum gadai. Ini seperti seseorang yang menggadaikan rumah kepada orang lain dengan syarat akan menggadaikan rumah lain lagi, kecuali jika jual beli terjadi atas syarat ini maka gadai tersebut batal dan penjual berhak memilih (melanjutkan atau membatalkan) karena syaratnya tidak terpenuhi baginya.” (Al-Muzani berkata:) Saya berkata, dan beliau berkata di tempat lain: “Ini boleh menurut pendapat yang membolehkan seseorang menggadaikan dua budak, lalu salah satunya ternyata merdeka, maka yang membolehkan membolehkan, dan yang tidak sah dikembalikan.” (Al-Muzani berkata:) Dalam hal ini ada pendapat lain yang menyatakan batal, sebagaimana batalnya jual beli jika dalam satu transaksi terkumpul yang sah dan yang tidak sah. (Al-Muzani berkata:) Saya berkata, apa yang dipastikan dan ditegaskan itu lebih utama, dan jawabannya dalam makna ini mirip dengan yang dipastikan. Dan beliau berkata: “Jika keduanya berjual beli dengan syarat akan menggadaikan sari buah ini, lalu ia menggadaikannya, ternyata saat itu juga berubah menjadi khamar, maka ia berhak memilih dalam jual beli karena gadai tidak sempurna baginya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ ابْتَاعَ بَيْعًا وَشَرَطَ فِيهِ رَهْنًا عَلَى أَنَّ مَنَافِعَ الرَّهْنِ دَاخِلَةٌ فِي الرَّهْنِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمَنَافِعِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Bentuk permasalahannya adalah seseorang melakukan jual beli dan mensyaratkan adanya gadai dengan syarat manfaat dari barang gadai itu termasuk dalam gadai. Maka, keadaan manfaat itu tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ تَكُونَ أَعْيَانًا أَوْ آثَارًا، فَإِنْ كَانَتِ الْمَنَافِعُ آثَارًا كَدَارٍ ارْتَهَنَهَا وَشَرَطَ مَعَهَا ارْتِهَانَ سُكْنَاهَا، أَوْ دَابَّةٍ ارْتَهَنَهَا وَشَرَطَ مَعَهَا ارْتِهَانَ رُكُوبِهَا، فَهَذَا شَرْطٌ بَاطِلٌ، لِأَنَّ ارْتِهَانَ سُكْنَى الدَّارِ وَرُكُوبِ الدَّابَّةِ لَا يَصِحُّ؛ لِأَنَّ الرَّهْنَ مَا أَمْكَنَ اسْتِيفَاءَ الْحَقِّ مِنْهُ عِنْدَ مَحَلِّهِ، وَالرُّكُوبُ وَالسُّكْنَى يَتْلِفُ بِمُضِيِّهِ، وَإِذَا كَانَ الشَّرْطُ بَاطِلًا فَفِي بُطْلَانِ الرَّهْنِ قَوْلَانِ، وَإِذَا بَطَلَ الرَّهْنُ فَفِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ قَوْلَانِ، وَإِنْ كَانَتِ الْمَنَافِعُ أَعْيَانًا كَنَخْلٍ ارْتَهَنَهَا وَشَرَطَ مَعَهَا ارْتِهَانَ مَا يَحْدُثُ مِنْ ثَمَرَتِهَا، أَوْ مَاشِيَةٍ ارْتَهَنَهَا وَشَرَطَ مَعَهَا ارْتِهَانَ ما يحدث من نتاجها فإنه منصوص عَلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ أَنَّ الشَّرْطَ فِي ارْتِهَانِ مَا يَحْدُثُ مِنَ الثَّمَرَةِ وَالنِّتَاجِ بَاطِلٌ.

Pertama, manfaat itu berupa benda (‘ayn) atau berupa dampak (atsar). Jika manfaat itu berupa dampak, seperti rumah yang digadaikan dan disyaratkan bersama itu hak menempati rumah tersebut, atau hewan yang digadaikan dan disyaratkan bersama itu hak menungganginya, maka syarat ini batal, karena menggadaikan hak menempati rumah dan menunggangi hewan tidak sah; sebab gadai adalah sesuatu yang memungkinkan pengambilan hak darinya pada waktunya, sedangkan menunggangi dan menempati akan habis dengan berjalannya waktu. Jika syaratnya batal, maka dalam batalnya gadai ada dua pendapat, dan jika gadai batal maka dalam batalnya jual beli juga ada dua pendapat. Jika manfaat itu berupa benda, seperti pohon kurma yang digadaikan dan disyaratkan bersama itu hak menggadaikan buah yang muncul darinya, atau hewan ternak yang digadaikan dan disyaratkan bersama itu hak menggadaikan anak yang lahir darinya, maka telah dinyatakan secara tegas dalam pendapat baru (al-jadid) bahwa syarat menggadaikan buah dan anak yang akan muncul itu batal.

وَقَالَ فِي كِتَابِ الرَّهْنِ الْقَدِيمِ وَفِي الرَّهْنِ الصَّغِيرِ مِنَ الْجَدِيدِ: وَلَوْ قَالَ قَائِلٌ إِذَا تَشَارَطَا عِنْدَ الرَّهْنِ أَنْ يَكُونَ مَا يَحْدُثُ مِنَ النِّتَاجِ وَالثَّمَرَةِ رَهْنًا يُشْبِهُ أَنْ يَجُوزَ عِنْدِي، وَإِنَّمَا أَجَزْتُهُ عَلَى مَا لَمْ يَكُنْ أَنَّهُ لَيْسَ بِتَمْلِيكٍ، ثُمَّ احْتَجَّ بِمَا رَوَاهُ مُطَرِّفُ بْنُ مَازِنٍ ” أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قَضَى بِالْيَمَنِ وَرَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَيٌّ ” أَنَّ مَنِ ارْتَهَنَ نَخْلًا فَثَمَرَتُهَا مَحْسُوبَةٌ عَلَى الْمُرْتَهِنِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ فِي شَرْحِهِ وَأَبُو حَامِدٍ فِي جَامِعِهِ يُخَرِّجَانِ الْمَسْأَلَةَ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Dan beliau berkata dalam Kitab ar-Rahn yang lama (al-qadim) dan dalam ar-Rahn ash-shaghir dari pendapat baru (al-jadid): “Jika ada yang berkata, apabila keduanya saling mensyaratkan saat gadai bahwa apa yang muncul dari anak dan buah itu menjadi barang gadai, menurutku ini boleh. Aku membolehkannya karena itu bukanlah pemilikan. Kemudian beliau berdalil dengan riwayat dari Mutarrif bin Mazin bahwa Mu‘adz bin Jabal memutuskan di Yaman, sementara Rasulullah ﷺ masih hidup, bahwa siapa yang menggadaikan pohon kurma maka buahnya dihitung milik penerima gadai.” Para sahabat kami berbeda pendapat; Abu Ishaq dalam syarahnya dan Abu Hamid dalam Jami‘nya mengeluarkan permasalahan ini menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الشَّرْطَ فِي ارْتِهَانِ مَا يَحْدُثُ مِنَ الثَّمَرَةِ وَالنِّتَاجِ جَائِزٌ، لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ مَعْدُومًا مَجْهُولًا فَهُوَ تَبَعٌ لموجود معلوم.

Pertama: Syarat menggadaikan buah dan anak yang akan muncul itu boleh, karena meskipun belum ada dan tidak diketahui, ia mengikuti barang yang ada dan diketahui.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ الشَّرْطَ فِي ارْتِهَانِ مَا يَحْدُثُ مِنَ الثَّمَرَةِ وَالنِّتَاجِ بَاطِلٌ، لِأَنَّهُ لَمَّا امْتَنَعَ دُخُولُهُ فِي الرَّهْنِ بِغَيْرِ شَرْطٍ صَارَ رَهْنًا مَقْصُودًا فَامْتَنَعَ أَنْ يَكُونَ تَبَعًا فَجَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الرَّهْنِ إِنْ كَانَ مُفْرَدًا، فَكَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يَمْتَنِعُ مِنْ تَخْرِيجِ الشَّرْطِ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَيَقُولُ هُوَ بَاطِلٌ قَوْلًا وَاحِدًا.

Pendapat kedua: Syarat menggadaikan buah dan anak yang akan muncul itu batal, karena ketika tidak boleh dimasukkan dalam gadai tanpa syarat, maka ia menjadi barang gadai yang dimaksudkan secara tersendiri, sehingga tidak boleh menjadi pengikut, maka berlaku atasnya hukum gadai jika berdiri sendiri. Oleh karena itu, Abu ‘Ali bin Abi Hurairah menolak mengeluarkan syarat ini menjadi dua pendapat, dan mengatakan bahwa itu batal menurut satu pendapat saja.

وَمَا قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ لَيْسَ بِنَصٍّ صَرِيحٍ، وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ حِكَايَةً عَنْ غَيْرِهِ وَهُوَ الْعَبَّاسُ عَلَى قَوْلِهِ، فَإِذَا قِيلَ بِصِحَّةِ الشَّرْطِ كَانَ الرَّهْنُ صَحِيحًا، وَالْبَيْعُ لَازِمًا، وَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ الْبَائِعِ.

Apa yang dinyatakannya dalam pendapat lama bukanlah nash yang tegas, dan dimungkinkan bahwa itu hanyalah pengisahan dari selainnya, yaitu al-‘Abbas menurut pendapatnya. Maka, jika dikatakan bahwa syarat tersebut sah, maka rahn (gadai) itu sah, dan jual belinya menjadi mengikat, serta tidak ada hak khiyar bagi murtahin (penerima gadai) yang juga penjual.

وَإِذَا قِيلَ بِبُطْلَانِ الشَّرْطِ فَفِي بُطْلَانِ الرَّهْنِ قَوْلَانِ:

Dan jika dikatakan bahwa syarat tersebut batal, maka dalam kebatalan rahn terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ، فَعَلَى هَذَا فِي الْبَيْعِ قَوْلَانِ.

Salah satunya: batal, dan berdasarkan ini, dalam jual beli terdapat dua pendapat.

وَالثَّانِي: جَائِزٌ فَعَلَى هَذَا الْبَيْعُ جَائِزٌ، وَالْبَائِعُ بِالْخِيَارِ وَلَهُ مَا شَرَطَهُ مِنِ ارْتِهَانِ مَا يَحْدُثُ مِنْ ثَمَرَةٍ أَوْ نِتَاجٍ.

Yang kedua: boleh, dan berdasarkan ini jual beli juga boleh, dan penjual memiliki hak khiyar serta berhak atas apa yang disyaratkan berupa pengambilan gadai dari hasil atau keturunan yang muncul kemudian.

وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ يُرَتِّبُ الْمَسْأَلَةَ غَيْرَ هَذَا التَّرْتِيبِ فَيُخَرِّجُ فِيهَا عَلَى مَذْهَبِ أَبِي إِسْحَاقَ أَرْبَعَةَ أَقَاوِيلَ، وَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي عَلِيٍّ ثَلَاثَةَ أَقَاوِيلَ:

Sebagian ulama kami mengurutkan masalah ini dengan urutan yang berbeda, lalu mengeluarkan dalam masalah ini menurut mazhab Abu Ishaq empat pendapat, dan menurut mazhab Abu ‘Ali tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّ الشَّرْطَ وَالرَّهْنَ فِي الْبَيْعِ جَائِزٌ كُلُّهُ.

Salah satunya: bahwa syarat dan rahn dalam jual beli semuanya boleh.

وَالثَّانِي: أَنَّ الشَّرْطَ وَالرَّهْنَ فِي الْبَيْعِ بَاطِلٌ كُلُّهُ.

Yang kedua: bahwa syarat dan rahn dalam jual beli semuanya batal.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ الشَّرْطَ بَاطِلٌ وَالرَّهْنَ وَالْبَيْعَ جَائِزٌ وَلِلْمُرْتَهِنِ الْخِيَارُ وَكَانَ الْقَاضِي أَبُو الْقَاسِمِ الْمَيْمُونِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – يُرَتِّبُ الْمَسْأَلَةَ تَرْتِيبًا ثَالِثًا وَيَقُولُ فِي الْبَيْعِ قَوْلَانِ:

Yang ketiga: bahwa syaratnya batal, sedangkan rahn dan jual belinya boleh, dan murtahin memiliki hak khiyar. Qadhi Abu al-Qasim al-Maimuni rahimahullah mengurutkan masalah ini dengan urutan ketiga dan berkata dalam jual beli ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ فَعَلَى هَذَا الرَّهْنُ وَالشَّرْطُ أَبْطَلُ.

Salah satunya: batal, dan berdasarkan ini rahn dan syarat menjadi lebih batal.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْبَيْعَ جَائِزٌ فَعَلَى هَذَا فِي الرَّهْنِ قَوْلَانِ:

Yang kedua: bahwa jual beli boleh, dan berdasarkan ini dalam rahn terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ، فَعَلَى هَذَا الشَّرْطُ أَبْطَلُ.

Salah satunya: batal, dan berdasarkan ini syarat menjadi lebih batal.

وَالثَّانِي: جَائِزٌ، فَعَلَى هَذَا فِي الشَّرْطِ قَوْلَانِ:

Yang kedua: boleh, dan berdasarkan ini dalam syarat terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ وَلَهُ الْخِيَارُ.

Salah satunya: batal dan ia memiliki hak khiyar.

والثاني: جاز وليس له خيار.

Yang kedua: boleh dan ia tidak memiliki hak khiyar.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ اخْتَارَ أَنْ يَكُونَ الرَّهْنُ صَحِيحًا، وَإِنْ بَطَلَ الشَّرْطُ وَالْبَيْعُ جَازَا وَإِنْ بَطَلَ الرَّهْنُ.

Adapun al-Muzani, ia memilih bahwa rahn itu sah, meskipun syaratnya batal, dan jual beli itu boleh meskipun rahnnya batal.

وَاسْتَدَلَّ بِصِحَّةِ الرَّهْنِ مَعَ بُطْلَانِ الشَّرْطِ بِمِثْلِهِ، وَبِصِحَّةِ الْبَيْعِ مَعَ بُطْلَانِ الرَّهْنِ بِمِثْلِهِ.

Ia berdalil dengan sahnya rahn meskipun syaratnya batal dengan dalil yang serupa, dan dengan sahnya jual beli meskipun rahnnya batal dengan dalil yang serupa pula.

فَأَمَّا الْمَسْأَلَةُ الَّتِي اسْتَدَلَّ بِهَا فِي صِحَّةِ الرَّهْنِ مَعَ بُطْلَانِ الشَّرْطِ فَهِيَ أَنْ قَالَ: لَوِ ارْتَهَنَ عَبْدَيْنِ فَوَجَدَ أَحَدَهُمَا حُرًّا فَإِنَّ الرَّهْنَ بَاطِلٌ فِي الْحُرِّ جَائِزٌ فِي الْمَمْلُوكِ، وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ وَمَسْأَلَةُ الْكِتَابِ سَوَاءٌ فِي الصُّورَةِ وَالْحُكْمِ وَلَا فَرْقَ بَيْنَهُمَا فِي الْجَوَابِ، لِأَنَّ الرَّهْنَ بَاطِلٌ فِي الْحُرِّ وَفِي الْمَمْلُوكِ عَلَى قَوْلَيْنِ، كَمَا أَنَّ الرَّهْنَ إِذَا بَطَلَ فِي الثَّمَرَةِ وَالنِّتَاجِ كَانَ الرَّهْنُ عَلَى قَوْلَيْنِ فَلَمْ يَكُنْ لِلْمُزَنِيِّ فِيمَا اسْتَشْهَدَ بِهِ دَلِيلٌ، وَأَمَّا الْمَسْأَلَةُ الَّتِي اسْتَدَلَّ بِهَا فِي صِحَّةِ الْبَيْعِ مَعَ بُطْلَانِ الرَّهْنِ فَهِيَ إِنْ قَالَ: لَوِ ارْتَهَنَ مِنْهُ عَصِيرًا حُلْوًا فَصَارَ مِنْ سَاعَتِهِ قَبْلَ القبض خمرا إذ الرَّهْنَ فِي الْعَصِيرِ بَاطِلٌ، وَالْبَيْعُ جَائِزٌ، وَهَذِهِ المسألة في العصير تخالف مسألتنا في الصُّورَةِ وَالْحُكْمِ، لِأَنَّ الرَّهْنَ فِي الْعَصِيرِ عَقْدٌ صَحِيحٌ، وَإِنَّمَا طَرَأَ الْفَسَادُ بَعْدَ صِحَّتِهِ بِمَا حَدَثَ فِيهِ مِنَ الشِّدَّةِ الَّتِي صَارَ بِهَا خَمْرًا، فَجَرَى مَجْرَى تَلَفِ الرَّهْنِ وَمَوْتِ الْعَبْدِ بعد الْعَقْدِ وَقَبْلَ الْقَبْضِ فَبَطَلَ الرَّهْنُ لِتَلَفِهِ قَبْلَ الْقَبْضِ، وَلَمْ يَبْطُلْ لِصِحَّةِ الرَّهْنِ حِينَ الْعَقْدِ فَكَانَ لِلْمُرْتَهِنِ الْخِيَارُ فِي الْبَيْعِ لِفَوَاتِ مَا شرطه من الرهن.

Adapun masalah yang dijadikan dalil olehnya tentang sahnya rahn meskipun syaratnya batal adalah jika seseorang menggadaikan dua budak, lalu didapati salah satunya adalah orang merdeka, maka rahn pada yang merdeka batal dan pada yang budak sah. Masalah ini dan masalah dalam kitab ini sama dalam bentuk dan hukumnya, tidak ada perbedaan di antara keduanya dalam jawaban, karena rahn pada yang merdeka batal dan pada yang budak ada dua pendapat, sebagaimana rahn jika batal pada hasil dan keturunan maka rahn juga ada dua pendapat. Maka, tidak ada dalil bagi al-Muzani dalam apa yang dijadikannya sebagai bukti. Adapun masalah yang dijadikan dalil olehnya tentang sahnya jual beli meskipun rahnnya batal adalah jika seseorang menggadaikan darinya sari buah yang manis, lalu seketika itu juga sebelum diterima berubah menjadi khamar, maka rahn pada sari buah itu batal, sedangkan jual belinya sah. Masalah ini pada sari buah berbeda dengan masalah kita baik dari segi bentuk maupun hukumnya, karena rahn pada sari buah adalah akad yang sah, hanya saja kerusakan terjadi setelah sahnya akad karena adanya perubahan menjadi khamar, sehingga hal itu seperti rusaknya rahn dan matinya budak setelah akad dan sebelum penyerahan, maka rahn batal karena rusak sebelum penyerahan, dan tidak batal karena sahnya rahn saat akad. Maka, murtahin berhak memilih dalam jual beli karena hilangnya apa yang disyaratkan berupa rahn.

ومسألة الكتاب إن كان عَقْدُ الرَّهْنِ فِيهَا فَاسِدًا فَكَانَ فَاسِدُ الرَّهْنِ قَادِحًا فِيمَا قُرِنَ مِنَ الْبَيْعِ فَلَمَّا اخْتَلَفَا فِي الشَّرْطِ وَجَبَ أَنْ يَخْتَلِفَا فِي الْحُكْمِ فَلَمْ يَكُنْ فِيمَا اسْتَشْهَدَ بِهِ فِيهَا دَلِيلٌ والله تعالى أعلم.

Adapun masalah dalam kitab ini, jika akad rahn di dalamnya rusak, maka rusaknya rahn menjadi cacat pada jual beli yang digandengkan dengannya. Ketika keduanya berbeda dalam syarat, maka wajib berbeda pula dalam hukum, sehingga tidak ada dalil dalam apa yang dijadikannya sebagai bukti di dalamnya. Allah Ta‘ala lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ دَفَعَ إِلَيْهِ حَقًّا فَقَالَ قَدْ رَهَنْتُكَهُ بِمَا فِيِهِ وَقَبَضَهُ الْمُرْتَهِنُ وَرَضِيَ كَانَ الْحَقُّ رهنا وَمَا فِيهِ خَارِجًا مِنَ الرَّهْنِ إِنْ كَانَ فِيهِ شَيْءٌ لِجَهْلِ الْمُرْتَهِنِ بِمَا فِيهِ وَأَمَّا الْخَرِيطَةُ فَلَا يَجُوزُ الرَّهْنُ فِيهَا إِلَّا بِأَنْ يَقُولَ دُونَ مَا فِيهَا وَيَجُوزُ فِي الْحَقِّ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنَ الْحَقِّ أَنَّ لَهُ قِيمَةً وَالظَّاهِرَ مِنَ الْخَرِيطَةِ أَنْ لَا قِيمَةَ لَهَا وَإِنَمَا يُرَادُ مَا فِيهَا “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang menyerahkan suatu hak kepada orang lain, lalu berkata: ‘Aku telah menjadikannya sebagai rahn (barang gadai) untukmu beserta apa yang ada di dalamnya,’ kemudian barang itu diterima oleh penerima gadai dan ia pun ridha, maka hak tersebut menjadi rahn, sedangkan apa yang ada di dalamnya tidak termasuk dalam rahn jika memang ada sesuatu di dalamnya, karena ketidaktahuan penerima gadai terhadap isinya. Adapun kantong (kharīṭah), maka tidak sah dijadikan rahn kecuali dengan mengatakan: ‘selain apa yang ada di dalamnya.’ Adapun pada hak, maka sah, karena yang tampak dari hak adalah ia memiliki nilai, sedangkan yang tampak dari kantong adalah tidak ada nilainya, dan yang dimaksud hanyalah apa yang ada di dalamnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ: إِذَا رَهَنَهُ حَقًّا أَوْ خَرِيطَةً وَفِي جَوْفِ ذَلِكَ شَيْءٌ مِنْ ثِيَابٍ أَوْ عَرَضٍ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةٍ أَضْرُبٍ:

Al-Māwardī berkata: Dan ini benar: Jika seseorang menggadaikan suatu hak atau kantong, dan di dalamnya terdapat sesuatu berupa pakaian atau barang, maka hal ini terbagi menjadi tiga bentuk:

أَحَدُهَا: أَنْ يَرْهَنَهُ مَا فِي الْحَقِّ أَوِ الْخَرِيطَةِ دُونَ الْحَقِّ [أو الخريطة] فهذا ينظر فيه

Pertama: Ia menggadaikan apa yang ada di dalam hak atau kantong tanpa mengikutsertakan hak [atau kantong] itu sendiri; maka hal ini perlu diteliti.

فإن كان يَعْلَمَانِ مَا فِي الْحَقِّ أَوِ الْخَرِيطَةِ صَحَّ الرَّهْنُ. وَإِنْ كَانَا يَجْهَلَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا مَا فِي الْحَقِّ أَوِ الْخَرِيطَةِ بَطَلَ الرَّهْنُ. وَإِنْ كَانَ مَشْرُوطًا فِي بَيْعٍ فَفِي بُطْلَانِ الرَّهْنِ قَوْلَانِ:

Jika keduanya mengetahui apa yang ada di dalam hak atau kantong, maka sah rahn-nya. Namun jika keduanya atau salah satunya tidak mengetahui apa yang ada di dalam hak atau kantong, maka batal rahn-nya. Jika hal itu disyaratkan dalam jual beli, maka dalam pembatalan rahn terdapat dua pendapat:

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَرْهَنَهُ الْحَقَّ أَوِ الْخَرِيطَةَ دُونَ مَا فِيهَا، فَالرَّهْنُ فِي الْحَقِّ جائز، لأن غَالِبَ الْحِقَاقِ أَنَّ لَهَا قِيمَةً فَجَازَ رَهْنُهَا، وَالرَّهْنُ فِي الْخَرِيطَةِ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّ غَالِبَ الْخَرِيطَةِ لَا قِيمَةَ لَهَا فَلَمْ يَجُزْ رَهْنُهَا، فَإِنْ كَانَ الْحَقُّ مِمَّا لَا قِيمَةَ لِمِثْلِهِ لَمْ يَجُزْ رَهْنُهَا كَالْخَرِيطَةِ، وَلَوْ كَانَتِ الْخَرِيطَةُ مِمَّا لَهَا قِيمَةٌ جَازَ رَهْنُهَا كَالْحَقِّ.

Bentuk kedua: Ia menggadaikan hak atau kantong tanpa apa yang ada di dalamnya, maka rahn pada hak adalah sah, karena umumnya hak itu memiliki nilai sehingga sah digadaikan. Sedangkan rahn pada kantong adalah batal, karena umumnya kantong tidak memiliki nilai sehingga tidak sah digadaikan. Jika hak tersebut termasuk sesuatu yang tidak memiliki nilai, maka tidak sah digadaikan sebagaimana kantong. Namun jika kantong itu termasuk sesuatu yang memiliki nilai, maka sah digadaikan sebagaimana hak.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: أَنْ يَرْهَنَهُ الْحَقَّ وَالْخَرِيطَةَ مَعَ مَا فِي ذَلِكَ مِنْ شَيْءٍ، فَإِنْ كَانَا يَعْلَمَانِ مَا فِيهَا صَحَّ الرَّهْنُ فِي الْحَقِّ وَالْخَرِيطَةِ مَعَ مَا فِيهَا، وَسَوَاءٌ كَانَتِ الْخَرِيطَةُ مِمَّا لَهَا قيمة أو لَا؛ لِأَنَّهَا صَارَتْ تَبَعًا لِمَا لَهُ قِيمَةٌ، وَإِنْ كَانَا يَجْهَلَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا مَا فِي الْحَقِّ أَوِ الْخَرِيطَةِ كَانَ رَهْنُ مَا فِيهَا باطل لِلْجَهْلِ بِهِ، وَهَلْ يَبْطُلُ الرَّهْنُ فِي الْحَقِّ أَوِ الْخَرِيطَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ.

Bentuk ketiga: Ia menggadaikan hak dan kantong beserta apa yang ada di dalamnya, maka jika keduanya mengetahui apa yang ada di dalamnya, sah rahn pada hak dan kantong beserta isinya, baik kantong itu termasuk sesuatu yang bernilai maupun tidak; karena ia telah menjadi pengikut dari sesuatu yang bernilai. Namun jika keduanya atau salah satunya tidak mengetahui apa yang ada di dalam hak atau kantong, maka rahn atas isinya batal karena ketidaktahuan terhadapnya. Adapun apakah rahn pada hak atau kantong juga batal, terdapat dua pendapat berdasarkan perbedaan akad.

أَحَدُهُمَا: يَبْطُلُ عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يُمْنَعُ فِيهِ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ فَعَلَى هَذَا فِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ قَوْلَانِ.

Salah satunya: Batal menurut pendapat yang melarang pemisahan akad, dan dalam hal ini pada pembatalan jual beli terdapat dua pendapat.

وَالثَّانِي: لَا يَبْطُلُ عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَجُوزُ فِيهِ تَفْرِيقُ الصَّفْقَةِ فَعَلَى هَذَا يَصِحُّ الرَّهْنُ فِي الْحَقِّ إِنْ كَانَ لَهُ قِيمَةٌ، وَيَبْطُلُ فِي الْخَرِيطَةِ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا قِيمَةٌ، وَالْبَيْعُ لَا يَبْطُلُ، وَالْبَائِعُ مُخَيَّرٌ فيه بين الإمضاء والفسخ.

Yang kedua: Tidak batal menurut pendapat yang membolehkan pemisahan akad, sehingga dalam hal ini sah rahn pada hak jika ia memiliki nilai, dan batal pada kantong jika tidak memiliki nilai, dan jual belinya tidak batal, serta penjual diberi pilihan antara melanjutkan atau membatalkan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ شُرِطَ عَلَى الْمُرْتَهِنِ أَنَّهُ ضَامِنٌ لِلرَّهْنِ وَدَفَعَهُ فَالرَّهْنُ فَاسِدٌ وَغَيْرُ مَضْمُونٍ “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika disyaratkan kepada penerima gadai bahwa ia menjadi penanggung atas rahn dan ia menerimanya, maka rahn tersebut rusak (tidak sah) dan tidak menjadi tanggungannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. لِأَنَّ مِنْ مَذْهَبِنَا أَنَّ الرَّهْنَ غَيْرُ مَضْمُونٍ عَلَى الْمُرْتَهِنِ. فَإِذَا شُرِطَ لِلرَّاهِنِ عَلَى الْمُرْتَهِنِ ضَمَانُ الرَّهْنِ كَانَ شَرْطًا بَاطِلًا، لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَلَوْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ شَرْطُ اللَّهِ أَحَقُّ وَعَقْدُهُ أَوْثَقُ “، وَلِأَنَّ لِلْعُقُودِ أُصُولًا مُقَدَّرَةً وَأَحْكَامُهَا مُعْتَبَرَةٌ لَا تُغَيِّرُهَا الشُّرُوطُ عَنْ أَحْكَامِهَا فِي شَرْطِ سُقُوطِ الضَّمَانِ وَإِيجَابِهِ كَالْوَدَائِعِ وَالشَّرِكَةُ لَمَّا كَانَتْ غَيْرَ مَضْمُونَةٍ كَالْعُقُودِ لَا تُعْتَبَرُ مَضْمُونَةً بِالشُّرُوطِ وَالْقُرُوضِ وَالْعَوَارِي لَمَّا كَانَتْ مَضْمُونَةً بِالْعَقْدِ لَمْ يَسْقُطِ الضَّمَانُ بِالشَّرْطِ كَذَلِكَ الرَّهْنُ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ اشْتِرَاطَ ضَمَانِ الرَّهْنِ فَاسِدٌ وَجَبَ اعْتِبَارُهُ، فَإِنْ كَانَ مَشْرُوطًا فِي عَقْدِ الرَّهْنِ صَحَّ الرَّهْنُ وَبَطَلَ الشَّرْطُ، وَلَمْ يَكُنْ بُطْلَانُهُ قَادِحًا فِي صِحَّةِ الرَّهْنِ وَإِنْ كَانَ مَشْرُوطًا فِي عَقْدِ الرَّهْنِ فَهَذَا مِنَ الشروط الناقضة لِأَنَّهُ شَرْطٌ مِنْ جِهَةِ الرَّاهِنِ يَنْفِي بَعْضَ أَحْكَامِ الرَّهْنِ فَكَانَ الرَّهْنُ بِاشْتِرَاطِهِ فِيهِ بَاطِلًا قَوْلًا وَاحِدًا، وَهَلْ يَبْطُلُ الْبَيْعُ الْمَشْرُوطُ فِيهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Karena menurut mazhab kami, barang gadai (rahn) tidak menjadi tanggungan (tidak dijamin) atas pihak penerima gadai (murtahin). Maka jika disyaratkan kepada penerima gadai untuk menjamin barang gadai, maka syarat itu batal, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Setiap syarat yang tidak terdapat dalam Kitabullah maka ia batal, meskipun seratus syarat. Syarat Allah lebih berhak dan akad-Nya lebih kuat.” Karena setiap akad memiliki prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dan hukum-hukumnya yang berlaku, yang tidak dapat diubah oleh syarat-syarat dari ketentuan hukumnya, baik dalam syarat gugurnya jaminan maupun penetapannya, seperti pada titipan (wadi‘ah) dan syirkah (kerja sama usaha). Ketika keduanya tidak dijamin dalam akad, maka tidak dianggap menjadi tanggungan hanya karena syarat. Sedangkan pinjaman (qardh) dan barang pinjaman pakai (ariyah), karena memang dijamin dalam akad, maka jaminan itu tidak gugur hanya karena syarat. Demikian pula dengan rahn. Maka jika telah tetap bahwa pensyaratan jaminan atas rahn adalah fasid (rusak/batal), maka harus dianggap demikian. Jika syarat itu terdapat dalam akad rahn, maka rahn tetap sah dan syaratnya batal, dan kebatalan syarat itu tidak merusak keabsahan rahn. Namun, jika syarat itu terdapat dalam akad jual beli, maka ini termasuk syarat yang membatalkan, karena merupakan syarat dari pihak pemberi gadai (rahin) yang meniadakan sebagian hukum rahn, sehingga rahn dengan syarat tersebut menjadi batal secara ijma‘. Adapun apakah jual beli yang disyaratkan rahn di dalamnya menjadi batal atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَبْطُلُ.

Salah satunya: batal.

وَالثَّانِي: لَا يَبْطُلُ، لَكِنْ يَكُونُ الْبَائِعُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ فَسْخِ الْبَيْعِ وَإِمْضَائِهِ بِلَا رَهْنٍ، وَاللَّهُ تَعَالَى أعلم.

Yang kedua: tidak batal, tetapi penjual memiliki hak memilih antara membatalkan jual beli atau melanjutkannya tanpa rahn. Dan Allah Ta‘ala lebih mengetahui.

باب الرهن غير مضمون

(Bab: Rahn Tidak Menjadi Tanggungan)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي فُدَيْكٍ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ ابْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” لَا يَغْلَقُ الرَّهْنُ وَالرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ ” وَوَصَلَهُ ابْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِثْلَهُ أَوْ مِثْلَ مَعْنَاهُ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ أَبِي أُنَيْسَةَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَفِيهِ دَلِيلٌ أَنَّهُ غَيْرُ مَضْمُونٍ إِذْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ فَمَنْ كَانَ مِنْهُ شَيْءٌ فَضَمَانُهُ مِنْهُ لَا مِنْ غَيْرِهِ ” ثَمَّ أَكَدَهُ بِقَوْلِهِ ” لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ ” وَغُنْمُهُ سَلَامَتُهُ وزيادته وغرمه عطبه ونقصانه ألا ترى لو ارتهن خاتما بدرهم يساوي درهما فهلك الخاتم فمن قال ذهب درهم المرتهن بالخاتم زعم أنه غرمه على المرتهن لأن درهمه ذهب وكان الراهن بريئا من غرمه لأنه قد أخذ ثمنه من المرتهن ولم يغرم له شيئا وأحال ما جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (قال) وقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لا يغلق الرهن ” لا يستحقه المرتهن بأن يدع الراهن قضاء حقه عند محله (قال الشافعي) ملك الرهن لربه والمرتهن غير متعد بأخذه ولا مخاطر بارتهانه لأنه لو كان إذا هلك بطل ماله كان مخاطرا بماله وإنما جعله الله تبارك وتعالى وثيقة له وكان خيرا له ترك الارتهان بأن يكون ماله مضمونا في جميع مال غريمه “. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي الرَّهْنِ هَلْ هُوَ مَضْمُونٌ عَلَى الْمُرْتَهِنِ أَوْ غَيْرُ مَضْمُونٍ عَلَى خَمْسَةِ مَذَاهِبَ.

Imam Syafi‘i ra berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Isma‘il bin Abi Fudayk dari Ibnu Abi Dzi’b dari Az-Zuhri dari Ibnu Al-Musayyab bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Barang gadai tidak tertutup (tidak menjadi milik penerima gadai), dan barang gadai tetap milik pemiliknya yang menggadaikannya; ia mendapat keuntungannya dan menanggung kerugiannya.’ Ibnu Al-Musayyab meriwayatkan secara bersambung dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ dengan lafaz yang sama atau makna yang serupa dari hadits Ibnu Abi Unaisah.” (Syafi‘i berkata:) “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa rahn tidak menjadi tanggungan, karena Nabi ﷺ bersabda: ‘Barang gadai tetap milik pemiliknya, maka jika terjadi sesuatu atasnya, maka jaminannya dari pemiliknya, bukan dari selainnya.’ Kemudian dikuatkan dengan sabdanya: ‘Ia mendapat keuntungannya dan menanggung kerugiannya.’ Keuntungannya adalah keselamatan dan pertambahannya, sedangkan kerugiannya adalah kerusakan dan kekurangannya. Tidakkah engkau melihat, jika seseorang menggadaikan cincin seharga satu dirham, lalu cincin itu rusak, maka siapa yang mengatakan bahwa dirham penerima gadai hilang karena cincin itu, berarti ia berpendapat bahwa kerugian itu ditanggung oleh penerima gadai, karena dirhamnya hilang, sedangkan pemberi gadai bebas dari kerugian itu karena ia telah menerima harganya dari penerima gadai dan tidak menanggung apapun kepadanya. Ini bertentangan dengan apa yang datang dari Rasulullah ﷺ.” (Syafi‘i berkata:) “Sabda beliau ﷺ: ‘Barang gadai tidak tertutup (tidak menjadi milik penerima gadai)’ maksudnya penerima gadai tidak berhak memilikinya hanya karena pemberi gadai tidak melunasi haknya pada waktunya.” (Syafi‘i berkata:) “Kepemilikan barang gadai tetap pada pemiliknya, dan penerima gadai tidak dianggap melampaui batas dengan mengambilnya, dan tidak pula menanggung risiko dengan menerimanya sebagai gadai. Sebab, jika seandainya ketika barang itu rusak, hartanya hilang, maka ia menanggung risiko atas hartanya. Padahal Allah Ta‘ala menjadikan rahn sebagai jaminan baginya, dan lebih baik baginya meninggalkan gadai, agar hartanya dijamin dalam seluruh harta orang yang berutang kepadanya.” Al-Mawardi berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang rahn, apakah ia menjadi tanggungan atas penerima gadai atau tidak, menjadi lima mazhab.”

إِحْدَاهَا: وَهُوَ مَذْهَبُنَا أَنَّ الرَّهْنَ أَمَانَةٌ لَا يُضْمَنُ إِلَّا بِالتَّعَدِّي، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَمِنَ التَّابِعِينَ ابْنُ الْمُسَيَّبِ.

Salah satunya, dan inilah mazhab kami: bahwa rahn adalah amanah, tidak menjadi tanggungan kecuali jika terjadi pelanggaran. Pendapat ini juga dikatakan oleh sahabat Abu Hurairah ra dan dari kalangan tabi‘in Ibnu Al-Musayyab.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، وَأَبُو ثَوْرٍ.

Dan dari kalangan fuqaha: Ibnu Abi Dzi’b, Ahmad bin Hanbal, dan Abu Tsaur.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: أَنَّ الرَّهْنَ مَضْمُونٌ بِأَقَلِّ أَمْرَيْنِ: مِنْ قِيمَتِهِ أَوِ الْحَقِّ الْمَرْهُونِ فِيهِ.

Mazhab kedua: bahwa rahn menjadi tanggungan dengan nilai yang lebih rendah di antara dua hal: dari nilainya atau dari hak yang digadaikan padanya.

مثاله: أن تكون قيمة الرهن ألفا والحق أَلْفَيْنِ فَيَكُونَ مَضْمُونًا بِالْقِيمَةِ وَهِيَ أَلْفٌ، وَلَوْ كَانَ قِيمَةُ الرَّهْنِ أَلْفَيْنِ، وَالْحَقُّ أَلْفًا، كَانَ مَضْمُونًا بِالْحَقِّ وَهُوَ أَلْفٌ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصحابة عمر.

Contohnya: Jika nilai barang gadai seribu dan hak (piutang) dua ribu, maka barang gadai itu dijamin sebesar nilainya, yaitu seribu. Dan jika nilai barang gadai dua ribu, sedangkan hak (piutang) seribu, maka barang gadai itu dijamin sebesar hak, yaitu seribu. Pendapat ini dikatakan oleh Umar dari kalangan sahabat.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ أبو حنيفة وَصَاحِبَاهُ وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ، وَسُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ.

Dan dari kalangan fuqaha: Abu Hanifah dan dua sahabatnya, Ibrahim an-Nakha‘i, dan Sufyan ats-Tsauri.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: أَنَّ الرَّهْنَ مَضْمُونٌ بِقِيمَتِهِ وَإِنْ زَادَتْ عَلَى الْحَقِّ وَيَتَرَادَّا فِي الْفَضْلِ فَإِنْ كَانَتْ قِيمَةُ الرَّهْنِ أَلْفًا وَالْحَقُّ أَلْفَيْنِ ضَمِنَهُ الْمُرْتَهِنُ بِأَلْفٍ وَرَجَعَ عَلَى الرَّاهِنِ بِبَقِيَّةِ الْقِيمَةِ وَهِيَ أَلْفٌ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَمِنَ التَّابِعِينَ عَطَاءٌ.

Madzhab ketiga: Bahwa barang gadai dijamin sebesar nilainya meskipun nilainya melebihi hak (piutang), dan kelebihan nilainya dikembalikan kepada pemiliknya. Jika nilai barang gadai seribu dan hak (piutang) dua ribu, maka barang gadai itu dijamin oleh penerima gadai sebesar seribu, dan ia menuntut sisa nilainya kepada pemberi gadai, yaitu seribu. Pendapat ini dikatakan oleh Ali radhiyallahu ‘anhu dari kalangan sahabat dan ‘Atha’ dari kalangan tabi‘in.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ إِسْحَاقُ.

Dan dari kalangan fuqaha: Ishaq.

وَالْمَذْهَبُ الرَّابِعُ: أَنَّ الرَّهْنَ مَضْمُونٌ بِالْحَقِّ فَإِنْ كَانَ الْحَقُّ أَلْفَيْنِ وَقِيمَةُ الرَّهْنِ أَلْفًا ضَمِنَهُ بِالْحَقِّ وَهُوَ أَلْفَيْنِ، وَإِنْ كَانَ الْحَقُّ أَلْفًا، وَقِيمَةُ الرَّهْنِ أَلْفَيْنِ ضَمِنَهُ بِالْحَقِّ وَهُوَ أَلْفٌ، حَتَّى قَالَ أَصْحَابُ هذا المذهب: لو كان قيمة الرهن درهم وَالْحَقُّ أَلْفًا ضَمِنَهُ بِأَلْفٍ، وَبِهِ قَالَ مِنَ التَّابِعِينَ شُرَيْحٌ، وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَعَامِرٌ الشَّعْبِيُّ.

Madzhab keempat: Bahwa barang gadai dijamin sebesar hak (piutang). Jika hak (piutang) dua ribu dan nilai barang gadai seribu, maka dijamin sebesar hak, yaitu dua ribu. Jika hak (piutang) seribu dan nilai barang gadai dua ribu, maka dijamin sebesar hak, yaitu seribu. Sampai-sampai para pengikut madzhab ini berkata: Jika nilai barang gadai satu dirham dan hak (piutang) seribu, maka dijamin sebesar seribu. Pendapat ini dikatakan oleh Syuraih, al-Hasan al-Bashri, dan ‘Amir asy-Sya‘bi dari kalangan tabi‘in.

وَالْمَذْهَبُ الْخَامِسُ: أَنَّهُ إِنْ كَانَ تَلَفُهُ ظَاهِرًا كَالنُّصْبِ وَالْحَرِيقِ وَانْهِدَامِ الدَّارِ وَنَفَاقِ الْحَيَوَانِ فَهُوَ غَيْرُ مَضْمُونٍ، وَإِنْ كَانَ تَلَفُهُ بَاطِنًا كَالسَّرِقَةِ فَهُوَ مَضْمُونٌ بِقِيمَتِهِ وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ فَهَذِهِ جُمْلَةُ مَذَاهِبِ النَّاسِ فِي ضَمَانِ الرَّهْنِ.

Madzhab kelima: Jika kerusakannya tampak jelas seperti karena dipasang, terbakar, runtuhnya rumah, atau matinya hewan, maka barang gadai tidak dijamin. Namun jika kerusakannya tersembunyi seperti karena pencurian, maka dijamin sebesar nilainya. Ini adalah madzhab Malik. Demikianlah ringkasan madzhab-madzhab manusia dalam penjaminan barang gadai.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَمَنْ أَوْجَبَ ضَمَانَهُ اسْتَدَلَّ بِرِوَايَةِ مُصْعَبِ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ عَطَاءٍ أَنَّ رَجُلًا رَهَنَ عِنْدَ رَجُلٍ فَرَسًا فَنَفَقَ الْفَرَسُ فِي يَدَيِ الْمُرْتَهِنِ فَاخْتَلَفَا فَتَدَافَعَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ذهب حقك قالوا: فلما خير الْمُرْتَهِنُ بِذَهَابِ حَقِّهِ لَمْ يَخْلُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ.

Barang siapa yang mewajibkan penjaminan (barang gadai), berdalil dengan riwayat dari Mush‘ab bin Tsabit dari ‘Atha’ bahwa seorang laki-laki menggadaikan seekor kuda kepada orang lain, lalu kuda itu mati di tangan penerima gadai. Keduanya berselisih, lalu mengadukan perkara kepada Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ bersabda: “Hakmu telah hilang.” Mereka berkata: Ketika penerima gadai diberi pilihan dengan hilangnya haknya, maka tidak lepas dari tiga keadaan.

إِمَّا أَنْ يَكُونَ أَخْبَرْ بِذَهَابِ وَثِيقَتِهِ أَوْ بِذَهَابِ الْمُطَالَبَةِ بِبَدَلِهِ أَوْ بِذَهَابِ دَيْنِهِ فَلَمْ يَحْسُنْ أَنْ يُخْبِرَ بِذَهَابِ وَثِيقَتِهِ لِأَنَّ هَذَا يُعْلَمُ ضَرُورَةً بِالْحُسْنِ وَلَمْ يَكُنِ اخْتِلَافُهُمَا فِيهِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُخْبِرَهُ بِذَهَابِ الْمُطَالَبَةِ بِبَدَلِهِ، لِأَنَّ الْمُطَالَبَةَ بِبَدَلِهِ لَمْ تَكُنْ وَاجِبَةً قَبْلَ تَلَفِهِ فَيَذْهَبُ بِتَلَفِهِ فَعُلِمَ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ بِذَهَابِ دَيْنِهِ، وَبِرِوَايَةِ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الرَّهْنُ بِمَا فِيهِ “.

Yaitu: Bisa jadi beliau mengabarkan tentang hilangnya jaminan, atau hilangnya tuntutan untuk penggantinya, atau hilangnya utangnya. Tidak layak jika beliau mengabarkan tentang hilangnya jaminan, karena hal itu sudah diketahui secara pasti dan tidak menjadi pokok perselisihan mereka. Tidak boleh pula beliau mengabarkan tentang hilangnya tuntutan untuk penggantinya, karena tuntutan pengganti belum wajib sebelum barang itu rusak, sehingga hilang bersamaan dengan rusaknya barang. Maka diketahui bahwa beliau mengabarkan tentang hilangnya utang. Dan juga berdasarkan riwayat Alqamah bin Martsad dari Muharib bin Ditsar bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang gadai itu sesuai dengan apa yang ada padanya.”

قَالُوا: فَلَمَّا جَعَلَ الرَّهْنَ بِمَا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَلَفُهُ مُسْقِطًا لِلْحَقِّ.

Mereka berkata: Ketika Nabi menjadikan barang gadai sesuai dengan apa yang ada padanya dari hak (piutang), maka wajib bahwa kerusakannya menggugurkan hak (piutang).

قَالُوا: وَلِأَنَّ الْحَقَّ مُتَعَلِّقٌ بِالرَّهْنِ كَتَعَلُّقِ أَرْشِ الْجِنَايَةِ بِالْعَبْدِ ثُمَّ ثبت أن تلف العبد الجاني مسقطا للأرش فكذا تلف الرهن مسقط للحق.

Mereka berkata: Karena hak (piutang) itu terkait dengan barang gadai sebagaimana keterkaitan diyat jinayah dengan budak. Telah tetap bahwa rusaknya budak pelaku jinayah menggugurkan diyat, maka demikian pula rusaknya barang gadai menggugurkan hak (piutang).

وتحريره علة أَنَّهُ اسْتِيفَاءُ حَقٍّ تَعَلَّقَ ابْتِدَاءً بِالْعَيْنِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ بِتَلَفِ الْعَيْنِ كَالْعَبْدِ الْجَانِي

Penjelasan illatnya adalah bahwa ini merupakan pemenuhan hak yang sejak awal terkait dengan benda (barang gadai), maka wajib gugur dengan rusaknya benda tersebut, sebagaimana budak pelaku jinayah.

وَقَوْلُهُمُ ابْتِدَاءً: احْتِرَازًا مِنْ وَلَدِ الْمَرْهُونِ؛ لِأَنَّ عِنْدَهُمْ أَنَّ الْحَقَّ يَتَعَلَّقُ بِهِ، وَلَا يُسْقِطُ بِتَلَفِهِ لِأَنَّ حَقَّ الِاسْتِيفَاءِ لَمْ يَتَعَلَّقْ فِي الِابْتِدَاءِ، وَلِأَنَّ الرَّهْنَ مُحْتَبَسٌ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ بِالْحَقِّ كَمَا أَنَّ الْمَبِيعَ مُحْتَبِسٌ فِي يَدِ الْبَائِعِ بِالثَّمَنِ، فَلَمَّا كَانَ تَلَفُ الْمَبِيعِ فِي يَدِ الْبَائِعِ مُوجِبًا لِسُقُوطِ الثَّمَنِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَلَفُ الرَّهْنِ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ مُوجِبًا لِسُقُوطِ الحق.

Dan ucapan mereka “sejak awal” adalah sebagai pengecualian dari anak barang gadai, karena menurut mereka hak (piutang) juga terkait dengannya, namun tidak gugur dengan rusaknya anak barang gadai, sebab hak pemenuhan tidak terkait sejak awal. Dan karena barang gadai itu tertahan di tangan penerima gadai karena hak (piutang), sebagaimana barang yang dijual tertahan di tangan penjual karena harga. Maka ketika barang yang dijual rusak di tangan penjual menyebabkan gugurnya harga, demikian pula rusaknya barang gadai di tangan penerima gadai menyebabkan gugurnya hak (piutang).

وتحريره علة أَنَّهُ مُحْتَبِسٌ بِعَقْدٍ عَلَى وَجْهِ الِاسْتِيثَاقِ لِاسْتِيفَاءِ مَالٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَلَفُهُ مُوجِبًا لِسُقُوطِ الْمَالِ كَالْمَبِيعِ إِذَا تَلِفَ فِي يَدِ الْبَائِعِ، وَلِأَنَّ أَخْذَ الشَّيْءِ عَلَى وَجْهِ مَا يَتَعَلَّقُ بِتَلَفِهِ ضَمَانُ ذَلِكَ الْوَجْهِ كَالسَّوْمِ، لِأَنَّ الْمُسَاوِمَ يأخذ الشيء على وجد الْبَدَلِ، فَإِذَا تَلِفَ فِي يَدِهِ لَزِمَهُ الْبَدَلُ كَذَلِكَ الْمُرْتَهِنُ يَأْخُذُ الرَّهْنَ عَلَى وَجْهِ اسْتِيفَاءِ الْحَقِّ فَإِذَا تَلِفَ فِي يَدِهِ تَلِفَ بِالْحَقِّ.

Penjelasannya adalah bahwa sebabnya: barang tersebut tertahan oleh suatu akad dalam rangka penjaminan untuk memperoleh harta, maka wajib jika barang itu rusak, harta tersebut gugur sebagaimana barang yang dijual jika rusak di tangan penjual. Dan karena mengambil sesuatu dengan cara yang berkaitan dengan kerusakannya mewajibkan jaminan atas cara tersebut, seperti dalam kasus tawar-menawar (as-saum), karena orang yang menawar mengambil barang atas dasar adanya pengganti, maka jika barang itu rusak di tangannya, ia wajib mengganti. Demikian pula orang yang menerima gadai (al-murtahin) mengambil barang gadai untuk memperoleh hak, maka jika barang itu rusak di tangannya, barang itu rusak bersama hak tersebut.

وتحريره علة أَخَذَ عَلَى الِاسْتِيفَاءِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حُكْمُهُ إِذَا تَلِفَ حُكْمَ الْمُسْتَوْفَى كَالسَّوْمِ، وَلِأَنَّ الرَّهْنَ فِي مُقَابَلَةِ الْحَقِّ فَلَمَّا كَانَ الْحَقُّ مَضْمُونًا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَا فِي مُقَابَلَتِهِ مِنَ الرَّهْنِ مَضْمُونًا كَالدُّيُونِ، وَلَوْ كَانَ غَيْرَ مَضْمُونٍ كَانَ مَا فِي مُقَابَلَتِهِ مِنَ الْحَقِّ غَيْرَ مضمون كالودائع.

Penjelasannya adalah bahwa ia diambil untuk memperoleh (hak), maka wajib hukumnya jika barang itu rusak, hukumnya sama dengan barang yang diambil untuk dipenuhi, seperti dalam kasus tawar-menawar. Dan karena barang gadai (ar-rahn) itu sebagai imbalan atas hak, maka ketika hak itu dijamin, wajib juga barang gadai yang menjadi imbalannya dijamin, seperti dalam kasus utang. Jika barang gadai itu tidak dijamin, maka hak yang menjadi imbalannya juga tidak dijamin, seperti dalam kasus titipan (wadi‘ah).

تحريره أَنَّهُ مَأْخُوذٌ فِي مُقَابَلَةِ حَقٍّ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حُكْمُهُ فِي الضَّمَانِ حُكْمَ مَا فِي مُقَابَلَتِهِ مِنَ الْحَقِّ كَالْقُرُوضِ الْمَأْخُوذَةِ فِي الدَّيْنِ، ولأنه عقد يقضي إِلَى زَوَالِ الْمِلْكِ فِي ثَانِي حَالٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَضْمُونًا فِي الْحَالِ كَالْقَرْضِ.

Penjelasannya adalah bahwa barang itu diambil sebagai imbalan atas suatu hak, maka wajib hukumnya dalam penjaminan sama dengan hak yang menjadi imbalannya, seperti pinjaman yang diambil dalam utang. Dan karena ia adalah akad yang berujung pada hilangnya kepemilikan pada keadaan berikutnya, maka wajib dijamin pada saat ini, seperti dalam kasus pinjaman (al-qardh).

وِالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ رِوَايَةُ مَعْمَرٍ وَابْنِ أَبِي ذِئْبٍ وَإِسْحَاقَ بْنِ رَاشِدٍ وَابْنِ أَبِي أُنَيْسَةَ عَنِ الزُّهُرِيِّ عَنِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لَا يَغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ.

Dalil yang menunjukkan kebenaran pendapat kami adalah riwayat dari Ma‘mar, Ibnu Abi Dhi’b, Ishaq bin Rasyid, dan Ibnu Abi Unaisah dari az-Zuhri dari Ibnu al-Musayyab dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang gadai tidak tertutup dari pemiliknya yang menggadaikannya; baginya keuntungannya dan atasnya kerugiannya.”

فَالدَّلَالَةُ مِنْهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Dalil dari hadis ini ada tiga sisi:

أَحَدُهَا: قَوْلُهُ لَا يَغْلَقُ الرَّهْنُ قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ لَهُ تَأْوِيلَانِ:

Pertama: Sabda beliau “Barang gadai tidak tertutup”, Abu ‘Ubaid berkata, ada dua penafsiran:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمُرْتَهِنَ لَا يَمْلِكُهُ عِنْدَ تَأَخُّرِ الْحَقِّ.

Pertama: Bahwa penerima gadai (al-murtahin) tidak memilikinya ketika hak (piutang) terlambat dibayar.

وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ غَلْقًا فَيَتْلَفَ الْحَقُّ بِتَلَفِهِ فَوَجَبَ حَمْلُهُ عَلَيْهِمَا جَمِيعًا، وَفِي هَذَا نَظَرٌ؛ لِأَنَّ اللَّفْظَ الْمُبْهَمَ إِذَا لَمْ يُعْلَمْ مُرَادُهُ بِمُجَرَّدِهِ لَمْ يَجُزِ ادِّعَاءُ الْعُمُومِ فِي مُوجَبِهِ حَتَّى يَكُونَ مُسْتَقِلًّا بِنَفْسِهِ يَتَنَاوَلُ شَيْئَيْنِ فَصَاعِدًا فَحِينَئِذٍ يَجُوزُ ادِّعَاءُ الْعُمُومِ فِيهِ.

Kedua: Bahwa tidak terjadi penutupan sehingga hak itu hilang karena kerusakan barang gadai, maka wajib menggabungkan kedua penafsiran ini. Namun dalam hal ini ada catatan; karena lafaz yang samar, jika maksudnya tidak diketahui secara jelas, tidak boleh mengklaim keumuman maknanya sampai lafaz itu berdiri sendiri dan mencakup dua hal atau lebih, barulah boleh mengklaim keumuman makna di dalamnya.

وَالدَّلَالَةُ الثَّانِيَةُ: مِنَ الْخَبَرِ قَوْلُهُ ” الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ ” يَعْنِي: مِنْ ضَمَانِ صَاحِبِهِ، وَلَا يَصِحُّ حَمْلُهُ عَلَى أَنَّهُ مِنْ مِلْكِ صَاحِبِهِ، لِأَنَّ حَرْفَ التَّمْلِيكِ هُوَ اللَّامُ فَلَوْ أَرَادَ الْمِلْكَ لَقَالَ الرَّهْنُ لِصَاحِبِهِ وَلَفْظَةُ ” مِنْ ” مُسْتَعْمَلَةٌ فِي الضَّمَانِ، لِأَنَّهُ يُقَالُ: هَذَا مِنْ ضَمَانِ فُلَانٍ فَلَمَّا قَالَ: ” مِنْ صَاحِبِهِ ” عُلِمَ أَنَّهُ أَرَادَ مِنْ ضَمَانِ صَاحِبِهِ وَالدَّلَالَةُ الثالثة من الخبر قوله ” لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ ” قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ الله عنه: غنمه زيادة وَنَمَاؤُهُ وَغُرْمُهُ عَطَبُهُ وَنَقْصُهُ.

Dalil kedua dari hadis tersebut adalah sabda beliau: “Barang gadai dari pemiliknya yang menggadaikannya”, maksudnya: dari jaminan pemiliknya, dan tidak sah menafsirkannya sebagai milik pemiliknya, karena huruf yang menunjukkan kepemilikan adalah “lam”, maka jika yang dimaksudkan adalah kepemilikan, tentu beliau akan mengatakan “barang gadai milik pemiliknya”. Sedangkan kata “min” digunakan dalam konteks jaminan, karena dikatakan: “Ini dari jaminan si Fulan.” Maka ketika beliau bersabda: “dari pemiliknya”, diketahui bahwa yang dimaksud adalah dari jaminan pemiliknya. Dalil ketiga dari hadis tersebut adalah sabda beliau: “Baginya keuntungannya dan atasnya kerugiannya.” Asy-Syafi‘i ra berkata: Keuntungannya adalah tambahan dan pertumbuhannya, sedangkan kerugiannya adalah kerusakan dan kekurangannya.

فَإِنْ قِيلَ: الْغُرْمُ فِي اللِّسَانِ هُوَ الْتِزَامُ الْبَدَلِ عَنِ الشَّيْءِ عَنْ تَلَفِهِ وَلَا يَنْطَلِقُ اسْمُ الْغُرْمِ عَلَى مَنْ تَلِفَ الشَّيْءُ مِنْ مَالِهِ.

Jika dikatakan: Kerugian (al-ghurm) dalam bahasa adalah kewajiban mengganti sesuatu karena kerusakannya, dan istilah “kerugian” tidak digunakan untuk orang yang barangnya rusak dari hartanya sendiri.

قِيلَ: قَدْ يَنْطَلِقُ اسْمُ الْغُرْمِ عَلَى الْأَمْرَيْنِ مَعًا عَلَى أَنَّهُ قَدْ يَصِيرُ غَارِمًا لِلْحَقِّ، ثُمَّ مِنَ الدَّلِيلِ أَيْضًا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَلَمْ تَجِدُوا كاتبا فرهن مقبوضة} [البقرة: 282] فجعل الله تعالى الرهن بدل مِنَ الْكِتَابِ وَالْإِبْدَالِ فِي عَامِّ أَحْكَامِهَا وَفِي حُكْمِ مُبْدَلَاتِهَا، كَالصِّيَامِ فِي الْكَفَّارَةِ لَمَّا كَانَ بَدَلًا مِنَ الْعِتْقِ كَانَ فِي الْوُجُوبِ كَالْعِتْقِ، وَكَالتَّيَمُّمِ فِي الطَّهَارَةِ لَمَّا كَانَ بَدَلًا مِنَ الْمَاءِ كَانَ فِي الْوُجُوبِ كَالطَّهَارَةِ بِالْمَاءِ، وَإِذَا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ حُكْمُ الْبَدَلِ حُكْمَ الْمُبْدَلِ بِدَلِيلِ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الشَّاهِدِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ حُكْمُ الرَّهْنِ حُكْمَ الْكِتَابِ فَلَمَّا كَانَ تَلَفُ الْكِتَابِ لَا يُوجِبُ سُقُوطَ الْحَقِّ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَلَفُ الرَّهْنِ لَا يُوجِبُ سُقُوطَ الْحَقِّ، وَلِأَنَّ الرَّهْنَ وَثِيقَةٌ كَالضَّمَانِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الْحَقَّ لَا يَسْقُطُ بِتَلَفِ الضَّامِنِ وَجَبَ أن لا يسقط بتلف الرهن.

Dikatakan: Terkadang istilah “ghurm” (tanggungan) dapat mencakup kedua hal sekaligus, yaitu seseorang bisa menjadi penanggung hak. Di antara dalilnya juga adalah firman Allah Ta‘ala: {Jika kamu tidak menemukan seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang} (QS. Al-Baqarah: 282). Maka Allah Ta‘ala menjadikan rahn (barang tanggungan) sebagai pengganti dari kitabah (pencatatan), dan penggantian dalam seluruh hukum-hukumnya serta dalam hukum hal-hal yang digantikan, seperti puasa dalam kafarat yang ketika menjadi pengganti dari pembebasan budak, maka dalam kewajibannya sama seperti pembebasan budak; dan seperti tayammum dalam thaharah yang ketika menjadi pengganti dari air, maka dalam kewajibannya sama seperti bersuci dengan air. Jika telah wajib bahwa hukum pengganti adalah sama dengan hukum yang digantikan berdasarkan dalil yang telah kami sebutkan, maka wajib pula bahwa hukum rahn sama dengan hukum kitabah. Ketika kerusakan atau hilangnya kitabah tidak menyebabkan gugurnya hak, maka wajib pula bahwa kerusakan atau hilangnya rahn tidak menyebabkan gugurnya hak. Karena rahn adalah bentuk penjaminan seperti dhaman, dan telah tetap bahwa hak tidak gugur dengan hilangnya dhamin (penjamin), maka wajib pula hak tidak gugur dengan hilangnya rahn.

وتحريره علة أَنَّهُ وَثِيقَةٌ فِي الْحَقِّ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ تَلَفُهُ مُسْقِطًا لِلْحَقِّ كَالضَّمَانِ، وَلِأَنَّ فَاسِدَ كُلِّ عَقْدٍ مَرْدُودٌ إِلَى صَحِيحِهِ فِي وُجُوبِ الضَّمَانِ وَسُقُوطِهِ، أَلَا تَرَى أَنَّ الْبَيْعَ لَمَّا كَانَ فَاسِدُهُ مَضْمُونًا كَانَ صَحِيحُهُ مَضْمُونًا، وَالشَّرِكَةُ وَالْمُضَارَبَاتُ لَمَّا كَانَ صَحِيحُهَا غَيْرَ مَضْمُونٍ كَانَ فَاسِدُهَا غَيْرَ مَضْمُونٍ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الرَّهْنَ الْفَاسِدَ غَيْرُ مَضْمُونٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الرَّهْنُ الصحيح غير مضمون.

Penjelasan (‘illah)-nya adalah bahwa rahn merupakan bentuk penjaminan atas hak, maka wajib bahwa hilangnya rahn tidak menggugurkan hak, sebagaimana dhaman. Dan karena setiap akad yang rusak (fasid) dikembalikan kepada akad yang sahih dalam hal kewajiban penjaminan dan gugurnya, tidakkah engkau melihat bahwa jual beli ketika fasid-nya dijamin, maka sahih-nya juga dijamin; sedangkan syirkah dan mudharabah ketika sahih-nya tidak dijamin, maka fasid-nya juga tidak dijamin. Kemudian telah tetap bahwa rahn yang fasid tidak dijamin, maka wajib bahwa rahn yang sahih juga tidak dijamin.

وتحريره علة أَنَّهُ عَقْدٌ فَاسِدٌ غَيْرُ مَضْمُونٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ صَحِيحُهُ غَيْرَ مَضْمُونٍ كَالشَّرِكَةِ وَالْمُضَارَبَاتِ، وَلِأَنَّ الرَّهْنَ قَدْ يَبْطُلُ بِتَلَفِهِ كَمَا يَبْطُلُ بِفَسْخِهِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ بُطْلَانَهُ بِالْفَسْخِ لَا يُوجِبُ سُقُوطَ الْحَقِّ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بُطْلَانَهُ بِالتَّلَفِ لَا يُوجِبُ سُقُوطَ الْحَقِّ.

Penjelasan (‘illah)-nya adalah bahwa ia merupakan akad yang fasid dan tidak dijamin, maka wajib bahwa akad yang sahih juga tidak dijamin, seperti syirkah dan mudharabah. Dan karena rahn bisa batal dengan hilangnya sebagaimana batal dengan pembatalan (fasakh), kemudian telah tetap bahwa batalnya dengan fasakh tidak menyebabkan gugurnya hak, maka wajib bahwa batalnya dengan hilang juga tidak menyebabkan gugurnya hak.

وَتَحْرِيرُهُ أَنَّهُ مَعْنًى يُبْطِلُ الرَّهْنَ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُسْقِطَ الْحَقَّ كَالْفَسْخِ، وَلِأَنَّ الْأُصُولَ مَوْضُوعَةٌ عَلَى أَنَّ كُلَّ شَيْءٍ كَانَ بَعْضُهُ غَيْرَ مَضْمُونٍ كَانَ جَمِيعُهُ غَيْرَ مَضْمُونٍ كَالْوَدَائِعِ وَالشَّيْءِ الْمُسْتَأْجَرِ، وَكُلُّ شَيْءٍ كَانَ بَعْضُهُ مَضْمُونًا كَانَ جَمِيعُهُ مَضْمُونًا كَالْبُيُوعِ والغصوب، فلما كان كَانَ بَعْضُ الرَّهْنِ غَيْرَ مَضْمُونٍ وَهُوَ مَا زَادَ عَلَى قَدْرِ الْحَقِّ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ جَمِيعُهُ غَيْرَ مَضْمُونٍ بِالْحَقِّ.

Penjelasannya adalah bahwa ia merupakan sebab yang membatalkan rahn, maka wajib bahwa ia tidak menggugurkan hak, sebagaimana fasakh. Dan karena kaidah ushul menyatakan bahwa setiap sesuatu yang sebagian darinya tidak dijamin, maka seluruhnya juga tidak dijamin, seperti wadiah dan barang sewaan; dan setiap sesuatu yang sebagian darinya dijamin, maka seluruhnya juga dijamin, seperti jual beli dan ghasb (perampasan). Maka ketika sebagian rahn tidak dijamin, yaitu yang melebihi kadar hak, maka wajib bahwa seluruhnya tidak dijamin dengan hak.

وَقَدْ يَتَحَرَّرُ مِنْ هَذَا الِاسْتِدْلَالِ قِيَاسَانِ:

Dari istidlal (penalaran) ini dapat disimpulkan dua qiyās:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَقْبُوضٌ لَا يُوجِبُهُ ضَمَانُ بَعْضِهِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجِبَ ضَمَانُ جَمِيعِهِ كَالْوَدَائِعِ، وَالشَّيْءِ الْمُسْتَأْجَرِ.

Pertama: Bahwa ia adalah barang yang dipegang yang tidak mewajibkan penjaminan sebagian darinya, maka wajib tidak diwajibkan penjaminan seluruhnya, seperti wadiah dan barang sewaan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَرْهُونٌ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بِالْعَقْدِ غَيْرَ مَضْمُونٍ كَالزِّيَادَةِ عَلَى الْحَقِّ، وَلِأَنَّ الرَّهْنَ وَثِيقَةٌ لِمَنْ لَهُ الْحَقُّ، فَلَوْ كَانَ مَضْمُونًا بِالْحَقِّ لَكَانَ وَثِيقَةً عَلَى مَنْ لَهُ الْحَقُّ، وَفِي ذَلِكَ إِبْطَالٌ لِمَعْنَى الرَّهْنِ، وَهَذَا اسْتِدْلَالُ الشَّافِعِيِّ.

Kedua: Bahwa ia adalah barang yang digadaikan, maka wajib dengan akadnya tidak dijamin, seperti tambahan atas hak. Dan karena rahn adalah penjaminan bagi yang memiliki hak, maka jika ia dijamin dengan hak, berarti menjadi penjaminan atas yang memiliki hak, dan itu bertentangan dengan makna rahn. Inilah istidlal dari Imam Syafi‘i.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لمرتهن الفرس ” ذهب حقك ” فراويه مُصْعَبُ بْنُ ثَابِتٍ وَهُوَ ضَعِيفٌ، ثُمَّ هُوَ مُرْسَلٌ؛ لِأَنَّهُ عَنْ عَطَاءٍ وَالْمَرَاسِيلُ عِنْدَنَا لَا يَجِبُ بِهَا الْعَمَلُ، ثُمَّ هو مرسل لأنه عن عطاء ثم هِيَ قَضِيَّةٌ فِي عَيْنٍ يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ عَلَى وَجْهِ التَّعَدِّي، فَلَزِمَ فِيهِ الضَّمَانُ عَلَى أَنَّهُ لَوْ خَلَا مِنْ هَذِهِ الْأُمُورِ الْمَانِعَةِ مِنْ وُجُوبِ الْعَمَلِ بِهِ وَجَاءَ مَجِيئًا يُلْزِمُ الْآخِذَ بِهِ لَكَانَ عَنْ قَوْلِهِ ” ذَهَبَ حَقُّكَ ” جَوَابَانِ:

Adapun jawaban atas sabda Nabi ﷺ kepada pemegang gadai kuda: “Hakmu telah hilang”, maka perawinya adalah Mush‘ab bin Tsabit dan ia dha‘if, kemudian hadis itu mursal karena berasal dari ‘Atha’, dan mursal menurut kami tidak dapat dijadikan dasar amal. Kemudian, ia juga merupakan kasus khusus yang mungkin terjadi karena adanya unsur pelanggaran, sehingga dalam hal itu diwajibkan penjaminan. Seandainya pun hadis tersebut terbebas dari hal-hal yang menghalangi kewajiban mengamalkannya dan datang dengan cara yang mewajibkan penerima untuk mengamalkannya, maka dari sabda beliau “Hakmu telah hilang” terdapat dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: الْمُرَادُ بِهِ حَقُّ الْوَثِيقَةِ، وَسُقُوطُ حَقِّهِ مِنَ الدَّيْنِ سَقَطَ لِحَقِّهِ مِنَ الْوَثِيقَةِ، وليس سقوط حقه من الوثيقة مسقط لِحَقِّهِ مِنَ الدَّيْنِ، فَلَوْ كَانَ أَرَادَ بِهِ ذَهَابَ حَقِّهِ مِنَ الدَّيْنِ لَقَالَ ذَهَبَ حَقُّكَ، فَلَمَّا قَالَ: ” ذَهَبَ حَقُّكَ ” وَأَشَارَ إِلَى حَقٍّ وَاحِدٍ عُلِمَ أَنَّهُ أَرَادَ حَقَّ الْوَثِيقَةِ دُونَ الدَّيْنِ.

Pertama: Yang dimaksud adalah hak atas jaminan, dan gugurnya haknya atas utang adalah karena gugurnya haknya atas jaminan. Gugurnya hak atas jaminan bukanlah sebab gugurnya hak atas utang. Seandainya yang dimaksud adalah hilangnya hak atas utang, tentu ia akan mengatakan, “Hakmu telah hilang.” Namun, ketika ia mengatakan, “Hakmu telah hilang,” dan menunjuk kepada satu hak saja, maka diketahui bahwa yang dimaksud adalah hak atas jaminan, bukan hak atas utang.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّ قَوْلَهُ ذَهَبَ حَقُّكَ، مَحْمُولٌ عَلَى ذَهَابِ حَقِّهِ مِنْ فَسْخِ الْبَيْعِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ تَلِفَ قَبْلَ الْقَبْضِ لَكَانَ يَسْتَحِقُّ فَسْخَ الْبَيْعِ فَإِذَا تَلِفَ بَعْدَ الْقَبْضِ كَانَ فِي الْجَائِزِ أَنْ يَسْتَحِقَّ فَسْخَ الْبَيْعِ فَأَذْهَبَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَقَّهُ فِي الْفَسْخِ بَعْدَ الْقَبْضِ.

Jawaban kedua: Ucapan “hakmu telah hilang” dimaknai sebagai hilangnya haknya untuk membatalkan jual beli; karena jika barang rusak sebelum diterima, ia berhak membatalkan jual beli. Maka, jika barang rusak setelah diterima, dalam kasus yang diperbolehkan, ia juga berhak membatalkan jual beli. Namun, Nabi ﷺ telah menggugurkan haknya untuk membatalkan setelah barang diterima.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا رُوِيَ مِنْ قَوْلِهِ ” الرَّهْنُ بِمَا فِيهِ ” إن صح مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ وَثِيقَةٌ بِمَا فِيهِ فَلَا يَجُوزُ حَمْلُهُ عَلَى أَنَّهُ مَضْمُونٌ بِمَا فِيهِ لِأَمْرَيْنِ:

Adapun jawaban atas riwayat ucapan beliau, “jaminan sesuai dengan isinya”, jika sahih, maka dimaknai bahwa itu adalah jaminan atas apa yang ada di dalamnya, sehingga tidak boleh dimaknai sebagai tanggungan atas apa yang ada di dalamnya karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ زِيَادَةٌ لِضَمَانٍ لَا يَقْتَضِيهِ اللَّفْظُ.

Pertama: Itu merupakan tambahan tanggungan yang tidak dituntut oleh lafaznya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ جَعَلَ الرَّهْنَ بِمَا فِيهِ مَعَ بَقَائِهِ، وَهُوَ عَلَى بَقَائِهِ غَيْرُ مَضْمُونٍ عَلَى مُرْتَهِنِهِ حِينَ يَتْلَفُ، وَإِنَّمَا هُوَ مَعَ بَقَائِهِ وَثِيقَةٌ بِمَا فِيهِ فَلَمْ تَصِحَّ الدَّلَالَةُ مِنْهُ.

Kedua: Ia menjadikan jaminan atas apa yang ada di dalamnya selama barang itu masih ada, dan selama barang itu masih ada, tidak menjadi tanggungan bagi penerima gadai ketika barang itu rusak. Barang itu hanyalah, selama masih ada, sebagai jaminan atas apa yang ada di dalamnya, sehingga tidak sah penunjukan makna dari situ.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى تَلَفِ الْعَبْدِ الْجَانِي فَالْمَعْنَى فِي الْعَبْدِ الْجَانِي أَنَّ الْأَرْشَ تَعَلَّقَ بِمَحَلٍّ وَاحِدٍ وَهُوَ رَقَبَةُ الْجَانِي فَإِذَا تَلِفَ الْعَبْدُ بُذِلَ الْأَرْشُ كَتَلَفِ مَحَلِّهِ، وَحَقُّ الْمُرْتَهِنِ مُتَعَلِّقٌ بِمَحَلَّيْنِ

Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap kerusakan budak yang melakukan pelanggaran, maka maknanya pada budak yang melakukan pelanggaran adalah bahwa diyat (ganti rugi) terkait pada satu objek, yaitu leher budak pelaku. Jika budak itu rusak, maka diyat diberikan sebagaimana rusaknya objeknya. Sedangkan hak penerima gadai terkait pada dua objek.

أَحَدُهُمَا: ذِمَّةُ الرَّاهِنِ.

Pertama: Tanggungan (dzimmah) pemberi gadai.

وَالثَّانِي: رَقَبَةُ الرَّهْنِ.

Kedua: Leher (fisik) barang gadai.

فَإِذَا تَلِفَ الرَّهْنُ فَقَدْ تَلِفَ أَحَدُ الْمَحَلَّيْنِ، وَبَقِيَ الْآخَرُ فَلَمْ يَتْلَفِ الْحَقُّ لِبَقَاءِ أَحَدِ مَحَلَّيْهِ كَالدَّيْنِ الْمَضْمُونِ لَمَّا كَانَ مُتَعَلِّقًا بِالْمَحَلَّيْنِ يَلْزَمُهُ الْمَضْمُونُ عَنْهُ، وَبِذِمَّةِ الضَّامِنِ لَمْ يَكُنْ تَلَفُ الضَّامِنِ لِلدَّيْنِ مُبْطِلًا لِلْحَقِّ لِبَقَاءِ الْمَحَلِّ الْآخَرِ.

Maka jika barang gadai rusak, berarti salah satu dari dua objek itu telah rusak, dan yang lainnya masih ada. Maka hak itu tidak hilang karena masih adanya salah satu dari dua objek tersebut, sebagaimana utang yang dijamin, ketika terkait pada dua objek, maka yang dijamin tetap wajib, dan dengan tanggungan penjamin, kerusakan penjamin utang tidak membatalkan hak karena masih adanya objek yang lain.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى تَلَفِ الْمَبِيعِ فِي يَدِ الْبَائِعِ. فَالْمَبِيعُ غَيْرُ مُحْتَبَسٍ بِعَقْدٍ؛ لِأَنَّ عَقْدَ الْبَيْعِ يُوجِبُ تَسْلِيمَهُ، وَيَمْنَعُ مِنْ حَبْسِهِ، وَإِنَّمَا تَأْخِيرُ الثَّمَنِ يُوجِبُ حَبْسَهُ أَلَا تَرَاهُ يَسْتَدِيمُ حَبْسًا قَبْلَ الْبَيْعِ فَلَمْ يَسْلَمِ الْوَصْفُ فِي قَوْلِهِمْ مُحْتَبَسٌ بِعَقْدٍ وَإِذَا لَمْ يَسْلَمِ الْوَصْفُ انْتَقَصَتِ الْعِلَّةُ عَلَى أَصْلِهِمْ بِزِيَادَاتِ الرَّهْنِ مِنَ الْأَوْلَادِ وَالنِّتَاجِ وَهِيَ مُحْتَبَسَةٌ بِالْحَقِّ ثُمَّ لَا يَضْمَنُهَا. الْمُرْتَهِنُ عَلَى أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْبَيْعِ أَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ عِوَضٍ يَسْقُطُ بِالْفَسْخِ فَلِذَلِكَ لَمْ يَسْقُطْ بِالتَّلَفِ.

Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap kerusakan barang yang dijual di tangan penjual: Barang yang dijual tidak tertahan oleh akad, karena akad jual beli mewajibkan penyerahan barang dan melarang penahanan barang. Penundaan pembayaran harga hanya menyebabkan penahanan barang. Bukankah engkau melihat bahwa penahanan barang hanya berlangsung sebelum akad jual beli? Maka tidak sah sifat “tertahan oleh akad” dalam ucapan mereka. Jika sifat itu tidak sah, maka illat (alasan hukum) menurut mereka menjadi kurang, dengan tambahan-tambahan pada barang gadai seperti anak dan hasil, yang juga tertahan karena hak, namun penerima gadai tidak menanggungnya. Makna dalam jual beli adalah bahwa barang itu sebagai imbalan yang gugur dengan pembatalan akad, maka karena itu tidak gugur dengan kerusakan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى السَّوْمِ فَمُنْتَقَضٌ بِالشَّيْءِ الْمُسْتَأْجَرِ، لِأَنَّهُ أَخَذَهُ عَلَى وَجْهِ الِاسْتِيفَاءِ، وَلَا يُضْمَنُ إِذَا تَلِفَ ضَمَانُ الِاسْتِيفَاءِ عَلَى أَنَّ السَّوْمَ دَلِيلُنَا.

Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap barang yang dipinjamkan untuk dicoba (sawm), maka dapat dibantah dengan barang yang disewa, karena ia diambil untuk dimanfaatkan, dan tidak menjadi tanggungan jika rusak dalam pemanfaatan. Selain itu, sawm adalah dalil bagi kami.

وَذَلِكَ أَنَّ سَبَبَ كُلِّ شَيْءٍ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالضَّمَانِ حُكْمُ سَبَبِهِ بِدَلِيلِ أَنَّهُ لَوْ أَخَذَ الشَّيْءَ مِنْ مُسَاوِمِهِ كَانَ مَضْمُونًا عَلَيْهِ، وَلَوْ أَخَذَهُ عَنْ عَقْدِ مُبَايَعَةٍ كَانَ مَضْمُونًا عَلَيْهِ، فَلَمَّا كَانَ لَوْ أَخَذَ الشَّيْءَ لِمُرْتَهِنِهِ لَمْ يَكُنْ مَضْمُونًا عَلَيْهِ، وَجَبَ إِذَا أَخَذَهُ عَنْ عَقْدِ رَهْنٍ أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مَضْمُونٍ عَلَيْهِ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْقُرُوضِ الْمَأْخُوذَةِ بِالدَّيْنِ، وَعَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْقَرْضِ فَوَاحِدٌ وَهُوَ أَنَّ ذَلِكَ مَأْخُوذٌ عَلَى وَجْهِ الْبَدَلِ مِنَ الْحَقِّ بِدَلِيلِ أَنَّ قِيمَتَهُ لَا تُوجِبُ سُقُوطَ الْحَقِّ فَلِذَلِكَ لَمْ يَكُنْ مَضْمُونًا والله أعلم.

Hal itu karena sebab dari setiap perkara yang berkaitan dengan tanggungan (jaminan) hukumnya mengikuti sebabnya. Dalilnya adalah, jika seseorang mengambil suatu barang dari orang yang sedang menawarkannya, maka barang itu menjadi tanggungannya; dan jika ia mengambilnya melalui akad jual beli, maka barang itu juga menjadi tanggungannya. Maka, ketika jika ia mengambil barang itu untuk kepentingan pihak yang menerima gadai (murtahin), barang itu tidak menjadi tanggungannya, maka wajib pula jika ia mengambilnya melalui akad rahn (gadai), barang itu tidak menjadi tanggungannya. Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap pinjaman yang diambil dengan utang, dan qiyās mereka terhadap pinjaman (qarḍ), keduanya sama, yaitu bahwa hal itu diambil sebagai pengganti dari hak, dengan dalil bahwa nilainya tidak menyebabkan gugurnya hak, maka karena itu tidak menjadi tanggungan (jaminan). Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَا ظَهَرَ هَلَاكُهُ وَخَفِيَ سَوَاءٌ لَا يَضْمَنُ الْمُرْتَهِنُ وَلَا الْمَوْضُوعُ عَلَى يَدَيْهِ مِنَ الرَّهْنِ شَيْئًا إِلَّا فِيمَا يَضْمَنَانِ فِيهِ مِنَ الْوَدِيعَةِ بالتعدي “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Baik kerusakan (barang gadai) itu tampak maupun tersembunyi, murtahin (penerima gadai) dan orang yang dititipi barang gadai tidak menanggung apa pun dari barang gadai, kecuali dalam hal yang keduanya menanggungnya dari titipan (wadi‘ah) karena adanya pelanggaran.”

قال الماوردي: وهذا له ردا عَلَى مَالِكٍ حَيْثُ أَوْجَبَ ضَمَانَ حَقَيْ هَلَاكِهِ مِنَ الرَّهْنِ وَأَسْقَطَ ضَمَانَ مَا ظَهَرَ هَلَاكُهُ وَكَانَ مِنْ صِحَّتِهِ فِيهِ أَنَّ النَّاسَ مُضْطَرُّونَ إِلَى الرَّهْنِ فَلَوْ سَقَطَ الضَّمَانُ عَلَى الْمُرْتَهِنِ مِمَّا خَفِيَ هَلَاكُهُ لَصَارَ ذَرِيعَةً إِلَى ادِّعَاءِ تَلَفِ الرَّهْنِ وَالْمُطَالَبَةِ بِالْحَقِّ فَإِذَا وَجَبَ الضَّمَانُ كَانَ ذَلِكَ مَأْمُونًا، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّهُ لَوْ وَجَبَ اعْتِبَارُ هَذَا الْمَعْنَى فِي الرَّهْنِ خَوْفًا مَنِ ادَّعَى بِتَلَفِ الرَّهْنِ مَعَ بَقَائِهِ وَلَوَجَبَ اعْتِبَارُهُ فِي الْوَدَائِعِ وَالْمُضَارَبَاتِ وَالشِّرَكِ وَالْأَمَانَاتِ فَيَجِبُ ضَمَانُ مَا خَفِيَ هَلَاكُهُ مِنْهَا، وَيَسْقُطُ ضَمَانُ مَا ظَهَرَ، وَلَا غَيْرَ مِثْلِهِ فِي الْعَوَارِي ولغصب فَلَمَّا كَانَتِ الْأَمَانَاتُ غَيْرَ مَضْمُونَةٍ فِيمَا خَفِيَ هَلَاكُهُ أَوْ ظَهَرَ وَالْعَوَارِي وَالْغُصُوبُ مَضْمُونَةً فِيمَا خَفِيَ هَلَاكُهُ أَوْ ظَهَرَ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الرَّهْنُ لَاحِقًا لِأَحَدِهِمَا فِي وُجُوبِ ضَمَانِهِ أَوْ سُقُوطِهِ إِذْ هُمَا أَصْلَانِ لَيْسَ لَهُمَا ثَالِثٌ فيرد الرهن إليه.

Al-Mawardi berkata: Ini merupakan bantahan terhadap Malik yang mewajibkan tanggungan atas dua hal: kerusakan barang gadai dan menggugurkan tanggungan atas kerusakan yang tampak. Dalil kebenarannya adalah bahwa manusia sangat membutuhkan rahn (gadai). Jika tanggungan atas murtahin digugurkan dalam hal kerusakan yang tersembunyi, maka hal itu akan menjadi celah untuk mengklaim kerusakan barang gadai dan menuntut hak. Maka, jika tanggungan diwajibkan, hal itu menjadi aman. Ini adalah kesalahan, karena jika harus mempertimbangkan makna ini dalam rahn karena khawatir ada yang mengklaim kerusakan barang gadai padahal masih ada, maka harus pula dipertimbangkan dalam wadi‘ah (titipan), muḍārabah, syirkah, dan amanat, sehingga wajib menanggung kerusakan yang tersembunyi darinya, dan gugur tanggungan atas kerusakan yang tampak, dan tidak berlaku seperti itu pada ‘āriyah (pinjaman pakai) dan ghashb (perampasan). Maka, ketika amanat tidak menjadi tanggungan baik atas kerusakan yang tersembunyi maupun yang tampak, sedangkan ‘āriyah dan ghashb menjadi tanggungan baik atas kerusakan yang tersembunyi maupun yang tampak, maka wajib rahn mengikuti salah satu dari keduanya dalam kewajiban menanggung atau gugurnya, karena keduanya adalah pokok yang tidak ada yang ketiga, maka rahn dikembalikan kepadanya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ قَضَاهُ مَا فِي الرَّهْنِ ثُمَّ سَأَلَهُ الرَّاهِنُ فَحَبَسَهُ عَنْهُ وَهُوَ يُمْكِنُهُ فَهُوَ ضَامِنٌ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia telah melunasi utangnya yang dijamin oleh barang gadai, kemudian rahin (pemberi gadai) memintanya, lalu murtahin menahan barang itu padahal ia mampu mengembalikannya, maka ia wajib menanggung (kerusakan barang itu).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّ الرَّهْنَ وَثِيقَةٌ وَلِلْمُرْتَهِنِ حَبْسُهُ فِي حَقِّهِ، فَإِنْ تَلِفَ لَمْ يَضْمَنْهُ، لِأَنَّهُ مُحْتَبَسٌ بِحَقِّهِ وَكَذَلِكَ لَوْ بَقِيَ مِنَ الْحَقِّ شَيْءٌ وَإِنْ قَلَّ فَحَبَسَهُ بِمَا بَقِيَ مِنْهُ لَمْ يَضْمَنْهُ فَإِذَا اسْتَوْفَى حَقَّهُ لَزِمَهُ تَسْلِيمُهُ وَرَفْعُ يَدِهِ فَإِنْ حَبَسَهُ بَعْدَ اسْتِيفَاءِ حَقِّهِ حَتَّى تَلِفَ بِطَرَفَيْهِ فَإِنْ كَانَ مَعْذُورًا فِي حَبْسِهِ بِحُدُوثِ سَبَبٍ مَنَعَ مِنْ رَدِّهِ لِغَيْبَةٍ أَوْ مَرَضٍ لَمْ يَضْمَنْهُ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَعْذُورٍ فِي حَبْسِهِ فَعَلَيْهِ ضَمَانُهُ، لِأَنَّهُ صَارَ بِحَبْسِهِ بَعْدَ اسْتِيفَاءِ حَقِّهِ مُتَعَدِّيًا فَلَوِ اخْتَلَفَ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ فِيهِ فَقَالَ الرَّاهِنُ حَبَسَهُ غَيْرَ مَعْذُورٍ فَعَلَيْكَ ضَمَانُهُ، وَقَالَ الْمُرْتَهِنُ: حَبَسَهُ مَعْذُورًا، فَلَا ضَمَانَ عَلَيَّ، فَالْقَوْلُ لِلْمُرْتَهِنِ مَعَ يَمِينِهِ بِاللَّهِ لَقَدْ حَبَسْتُهُ مَعْذُورًا، فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ يَرَى الذِّمَّةَ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ هَذَا آخِرُ كِتَابِ الرَّهْنِ مِنَ الْمُزَنِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, karena rahn adalah jaminan dan murtahin berhak menahan barang itu untuk haknya. Jika barang itu rusak, ia tidak menanggungnya, karena barang itu ditahan demi haknya. Demikian pula jika masih tersisa sebagian hak, meskipun sedikit, lalu ia menahan barang itu karena sisa haknya, maka ia tidak menanggungnya. Namun, jika ia telah menerima seluruh haknya, maka ia wajib menyerahkan barang itu dan melepaskan tangannya. Jika ia menahan barang itu setelah menerima seluruh haknya hingga barang itu rusak, maka jika ia punya uzur dalam menahan barang itu karena ada sebab yang menghalangi pengembalian, seperti karena tidak ada (rahin) atau sakit, maka ia tidak menanggungnya. Namun, jika ia tidak punya uzur dalam menahan barang itu, maka ia wajib menanggungnya, karena dengan menahan barang itu setelah menerima haknya, ia telah melampaui batas. Jika terjadi perselisihan antara rahin dan murtahin dalam hal ini, rahin berkata, “Engkau menahan barang itu tanpa uzur, maka engkau wajib menanggungnya,” sedangkan murtahin berkata, “Aku menahannya karena uzur, maka tidak ada tanggungan atasku,” maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan murtahin dengan sumpahnya, “Demi Allah, aku menahannya karena uzur,” maka tidak ada tanggungan atasnya, karena ia dianggap masih memegang amanat. Allah lebih mengetahui kebenaran. Ini adalah akhir dari Kitab Rahn dari al-Muzani rahimahullah.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فِي فُرُوعِ الرَّهْنِ يَجُوزُ أَنْ يَرْهَنَ الدَّنَانِيرَ فِي الدَّرَاهِمِ وَالدَّرَاهِمَ فِي الدَّنَانِيرِ سَوَاءٌ كَانَتِ الْمَرْهُونَةُ مَوْزُونَةً أَوْ غَيْرَ مَوْزُونَةٍ إِذَا كَانَتْ مُشَاهَدَةً؛ لِأَنَّ أَخْذَ الْحَقِّ مِنْهَا مُمْكِنٌ وَبَيْعُ الدَّرَاهِمِ بِالدَّنَانِيرِ جُزَافًا جَائِزٌ.

Dalam cabang-cabang pembahasan rahn, diperbolehkan menggadaikan dinar untuk dirham dan dirham untuk dinar, baik barang yang digadaikan itu ditimbang maupun tidak ditimbang, selama barang tersebut dapat disaksikan; karena mengambil hak dari barang tersebut memungkinkan, dan jual beli dirham dengan dinar secara tanpa takaran (jazaf) adalah diperbolehkan.

فَرْعٌ: وَيَجُوزُ رَهْنُ الدَّرَاهِمِ فِي الدَّنَانِيرِ وَالدَّنَانِيرَ فِي الدَّنَانِيرِ، سَوَاءٌ كَانَتِ الدَّرَاهِمُ أَوِ الدَّنَانِيرُ الْمَرْهُونَةُ جُزَافًا أَوْ مَوْزُونَةً؛ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَكُونَ الرَّهْنُ مِنْ غَيْرِ جِنْسِ الْحَقِّ كَانَ الرَّهْنُ مِنْ جِنْسِ الْحَقِّ بِالْجَوَازِ أَحَقَّ.

Cabang: Diperbolehkan menggadaikan dirham untuk dinar dan dinar untuk dinar, baik dirham atau dinar yang digadaikan itu secara jazaf maupun ditimbang; karena ketika diperbolehkan rahn dari selain jenis hak, maka rahn dari jenis hak itu sendiri lebih utama untuk diperbolehkan.

فَرْعٌ: إِذَا رَهَنَهُ بِحَقِّهِ دَيْنًا لَهُ عَلَى غَيْرِهِ لَمْ يُجِزْهُ، لِأَنَّ الدَّيْنَ لَيْسَ بِعَيْنٍ فَيُمْكِنُ بَيْعُهَا، وَلِأَنَّ الرَّهْنَ لَيْسَ بِحَوَالَةٍ فَيَسْتَحِقُّ الْمُطَالَبَةَ بِهَا، وَمَا لَا يُمْكِنُ الْمُطَالَبَةُ بِهِ وَلَا اسْتِيفَاءُ الْحَقِّ مِنْهُ فَرَهْنُهُ بَاطِلٌ.

Cabang: Jika seseorang menggadaikan kepada orang lain atas haknya berupa utang yang ia miliki atas orang lain, maka itu tidak diperbolehkan; karena utang bukanlah barang yang dapat dijual, dan rahn bukanlah hawalah sehingga berhak untuk dituntut, dan sesuatu yang tidak dapat dituntut dan tidak dapat diambil hak darinya, maka menggadaikannya adalah batal.

فَرْعٌ: إِذَا رَهَنَهُ بِحَقِّهِ دَيْنًا لَهُ فِي ذِمَّتِهِ مِثْلَ أَنْ يَكُونَ لَهُ دَرَاهِمُ وَعَلَيْهِ دَنَانِيرُ أَوْ حِنْطَةٌ مِنْ سَلَمٍ فَيَرْهَنُهُ مَا فِي ذِمَّتِهِ مِنَ الْحِنْطَةِ بِمَالِهِ مِنَ الدَّرَاهِمِ كَانَ فَاسِدًا لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ التَّعْلِيلِ.

Cabang: Jika seseorang menggadaikan kepada orang lain atas haknya berupa utang yang ada dalam tanggungannya, seperti ia memiliki dirham dan ia berutang dinar atau gandum dari akad salam, lalu ia menggadaikan apa yang ada dalam tanggungannya berupa gandum untuk membayar utangnya berupa dirham, maka itu batal karena alasan yang telah disebutkan.

فَرْعٌ: إِذَا رَهَنَهُ بِدَيْنِهِ سُكْنَى دَارٍ مُدَّةً مَعْلُومَةً كَانَ فَاسِدًا؛ لِأَنَّ السُّكْنَى بِمُضِيِّ مُدَّتِهِ فَاتَتْ، فَلَا يَبْقَى رَهْنٌ يُمْكِنُ أَنْ يُسْتَوْفَى مِنْهُ الدَّيْنُ.

Cabang: Jika seseorang menggadaikan kepada orang lain atas utangnya berupa hak tinggal di sebuah rumah selama waktu tertentu, maka itu batal; karena hak tinggal tersebut akan hilang dengan berlalunya waktu, sehingga tidak ada lagi barang gadai yang dapat diambil untuk melunasi utang.

فَرْعٌ: إِذَا آجَرَهُ دَارًا سَنَةً جَازَ أَنْ يَأْخُذَ بِالْأُجْرَةِ رَهْنًا قَبْلَ مُضِيِّ السَّنَةِ، لِأَنَّ الْأُجْرَةَ وَاجِبَةٌ فِي الذِّمَّةِ.

Cabang: Jika seseorang menyewakan rumah selama satu tahun, maka boleh mengambil barang gadai sebagai jaminan atas pembayaran sewa sebelum berakhirnya tahun, karena sewa menjadi kewajiban dalam tanggungan.

فَرْعٌ: إِذَا اسْتَأْجَرَ مِنْهُ عَمَلًا مَعْلُومًا أَرَادَ أَنْ يَأْخُذَ بِالْعَمَلِ رَهْنًا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Cabang: Jika seseorang menyewa dari orang lain suatu pekerjaan tertentu dan ingin mengambil barang gadai atas pekerjaan tersebut, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ الْإِجَارَةُ معينة.

Pertama: Jika akad sewa tersebut bersifat tertentu.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ فِي الذِّمَّةِ فَإِنْ كَانَتِ الْإِجَارَةُ مُعَيَّنَةً وَهُوَ أَنْ يَسْتَأْجِرَ فِي عَيْنِهِ لِبِنَاءِ دَارٍ، أَوْ لِعَمَلٍ مَعْلُومٍ، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَأْخُذَ بِهِ رَهْنًا، لِأَنَّ الْمُسْتَحَقَّ عَلَيْهِ من العمل تعين عليه لا يَقُومُ غَيْرُهُ مَقَامَهُ فِيهِ، وَمَا يَتَعَلَّقُ بِالْأَعْيَانِ فَلَا يَجُوزُ أَخْذُ الرَّهْنِ كَالْعَوَارِي وَالْغُصُوبِ فَإِنْ كَانَتِ الْإِجَارَةُ فِي الذِّمَّةِ، وَهُوَ أَنْ يَسْتَأْجِرَ مِنْهُ فِي ذِمَّتِهِ بِنَاءُ دَارٍ أَوْ عَمَلٌ مَعْلُومٌ فَلَا يَخْلُو ذَلِكَ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ دَفَعَ الْأُجْرَةَ إِلَيْهِ أَوْ لَمْ يَدْفَعْهَا، فَإِنْ كَانَ لَمْ يَدْفَعْ إِلَيْهِ الْأُجْرَةَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ رِضًا، لِأَنَّ الرَّهْنَ وَثِيقَةٌ مِنَ الْحَقِّ الْمُسْتَحَقِّ وَالْعَمَلُ قَبْلَ دَفْعِ الْأُجْرَةِ غَيْرُ مُسْتَحَقٍّ، فَإِنْ كَانَ قَدْ دَفَعَ الْأُجْرَةَ إِلَيْهِ فَفِي جَوَازِ أَخْذِ الرَّهْنِ فِي الْعَمَلِ وَجْهَانِ:

Kedua: Jika akad sewa tersebut dalam bentuk tanggungan. Jika akad sewa bersifat tertentu, yaitu menyewa untuk membangun rumah tertentu atau pekerjaan tertentu, maka tidak boleh mengambil barang gadai atasnya, karena pekerjaan yang menjadi hak atasnya sudah tertentu dan tidak bisa digantikan oleh orang lain, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan barang tertentu tidak boleh dijadikan barang gadai seperti barang pinjaman dan barang hasil ghasab. Jika akad sewa dalam bentuk tanggungan, yaitu menyewa dalam tanggungan untuk membangun rumah atau pekerjaan tertentu, maka tidak lepas dari dua keadaan: apakah upah sudah dibayarkan atau belum. Jika upah belum dibayarkan, maka tidak boleh mengambil barang gadai darinya, karena rahn adalah jaminan atas hak yang sudah menjadi kewajiban, sedangkan pekerjaan sebelum upah dibayarkan belum menjadi kewajiban. Jika upah sudah dibayarkan, maka dalam hal kebolehan mengambil barang gadai atas pekerjaan tersebut terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ أَخْذُ الرَّهْنِ فِيهِ، لِأَنَّ اسْتِيفَاءَ الْعَمَلِ مِنَ الرَّهْنِ غَيْرُ مُمْكِنٍ.

Pertama: Tidak boleh mengambil barang gadai atasnya, karena mengambil pekerjaan dari barang gadai tidak mungkin dilakukan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ أَخْذَ الرَّهْنِ فِيهِ جَائِزٌ، لِأَنَّهُ حَقٌّ مُسْتَقِرٌّ فِي الذِّمَّةِ لَهُ قِيمَةٌ يُمْكِنُ اسْتِيفَاؤُهَا مِنَ الرَّهْنِ فَجَازَ فِيهِ كَالدَّيْنِ.

Pendapat kedua: Boleh mengambil barang gadai atasnya, karena itu adalah hak yang sudah tetap dalam tanggungan dan memiliki nilai yang dapat diambil dari barang gadai, sehingga diperbolehkan seperti utang.

(فَصْلٌ آخَرُ)

(Bagian Lain)

: إِذَا ضَمِنَ لَهُ أَلْفًا وَاسْتَقَرَّ ضَمَانُ الْأَلْفِ عَلَيْهِ جَازَ أَنْ يُعْطِيَهُ بِالْأَلْفِ الَّتِي ضَمِنَهَا رَهْنًا، لِأَنَّهُ حَقٌّ مُسْتَقِرٌّ.

Jika seseorang menjamin seribu dinar untuk orang lain dan jaminan tersebut telah tetap atasnya, maka boleh baginya memberikan barang gadai atas seribu dinar yang dijaminnya, karena itu adalah hak yang sudah tetap.

فَرْعٌ: وَلَوْ ضَمِنَهَا بِشَرْطِ أَنْ يُعْطِيَهُ بِهَا رَهْنًا مِثْلَ أَنْ يَقُولَ ضَمِنْتُ لَكَ عَنْ فُلَانٍ أَلْفًا عَلَى أَنَّنِي أُعْطِيكَ بِهَا رَهْنًا كَانَ فِي صِحَّةِ الضَّمَانِ وَجْهَانِ:

Cabang: Jika ia menjaminnya dengan syarat memberikan barang gadai atasnya, seperti ia berkata, “Aku menjamin untukmu dari si Fulan seribu dinar dengan syarat aku memberikan barang gadai atasnya,” maka dalam keabsahan jaminan tersebut terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ صَحِيحٌ؛ لِأَنَّهُ رَهْنُ شَرْطٍ مَعَ وُجُوبِ الْحَقِّ كَالْبَيْعِ، فَعَلَى هَذَا الضَّامِنُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِقْبَاضِ الرَّهْنِ وَمَنْعِهِ.

Pertama: Bahwa jaminan tersebut sah; karena itu adalah rahn yang disyaratkan bersamaan dengan kewajiban hak, seperti dalam jual beli. Dalam hal ini, penjamin memiliki pilihan antara menyerahkan barang gadai atau menahannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: الضَّمَانُ فَاسِدٌ، لِأَنَّهُ وَثِيقَةٌ فَإِذَا شَرَطَ فِيهِ الِاسْتِيثَاقَ بِالرَّهْنِ صَارَتْ وَثِيقَةُ الضَّمَانِ وَاهِيَةً فَبَطَلَتْ والله أعلم.

Pendapat kedua: Penjaminan (ḍamān) itu tidak sah, karena ia merupakan jaminan. Jika di dalamnya disyaratkan penguatan dengan gadai (rahn), maka jaminan penjaminan menjadi lemah sehingga batal. Allah lebih mengetahui.

فرع: فلو أعطاه رهن بِأَلْفٍ عَلَى أَنْ يَضْمَنَ الْأَلْفَ فُلَانٌ كَانَ فِي صِحَّةِ الرَّهْنِ وَجْهَانِ كَمَا ذَكَرْنَاهُ فِي الضَّمَانِ [لِأَنَّ شَرْطَ الضَّمَانِ فِي الرَّهْنِ كَشَرْطِ الرَّهْنِ فِي الضَّمَانِ] أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ: أَنَّ الرَّهْنَ صَحِيحٌ، وَالْمَشْرُوطُ ضَمَانُهُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَضْمَنَ أَوْ يَمْتَنِعَ.

Cabang: Jika seseorang memberikan barang gadai (rahn) atas utang seribu dengan syarat bahwa si Fulan menjadi penjamin (ḍāmin) atas seribu tersebut, maka dalam keabsahan gadai terdapat dua pendapat sebagaimana telah kami sebutkan dalam masalah penjaminan (ḍamān) [karena mensyaratkan penjaminan dalam gadai seperti mensyaratkan gadai dalam penjaminan]. Salah satu dari dua pendapat: gadai itu sah, dan syarat penjaminan tersebut bersifat opsional, yaitu antara menjadi penjamin atau menolak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الرَّهْنَ فَاسِدٌ لِوَهَاءِ الِاسْتِيثَاقِ بِهِ عِنْدَ شَرْطِ الضَّمَانِ فِيهِ.

Pendapat kedua: gadai itu tidak sah karena lemahnya penguatan (jaminan) dengan gadai tersebut ketika disyaratkan adanya penjaminan di dalamnya.

فَرْعٌ: وَلَوْ كَانَتْ عَلَيْهِ أَلْفٌ فَأَعْطَاهُ بِهَا رَهْنًا وَأَقَامَ لَهُ بِهَا ضَامِنًا جَازَ، لِأَنَّ الرَّهْنَ وَثِيقَةٌ، وَالضَّمَانَ وَثِيقَةٌ، فَلَمْ يَمْتَنِعِ اجْتِمَاعُهُمَا مِنْ حَقٍّ وَاحِدٍ كَاجْتِمَاعِ الشَّهَادَةِ وَالضَّمَانِ، فَإِذَا حَلَّ الْحَقُّ فَفِيهِ قَوْلَانِ حَكَاهُمَا أَبُو حَامِدٍ فِي جَامِعِهِ أَحَدُهُمَا أَنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مُطَالَبَةَ الضامن به، وَلَيْسَ لَهُ بَيْعُ الرَّهْنِ إِلَّا بَعْدَ اسْتِيفَائِهِ مِنَ الضَّمَانِ، لِأَنَّ مَا أَمْكَنَ اسْتِيفَاؤُهُ مِنَ الْحُقُوقِ مِنْ غَيْرِ إِزَالَةِ مِلْكٍ وَجَبَ اسْتِيفَاؤُهَا مِنْ غَيْرِ إِزَالَةِ مِلْكٍ.

Cabang: Jika seseorang memiliki utang seribu, lalu ia memberikan barang gadai (rahn) atas utang itu dan mengangkat seorang penjamin (ḍāmin) untuknya, maka hal itu diperbolehkan. Sebab, gadai adalah jaminan, dan penjaminan juga jaminan, sehingga tidak terlarang keduanya berkumpul atas satu hak, sebagaimana berkumpulnya kesaksian dan penjaminan. Apabila hak tersebut jatuh tempo, maka ada dua pendapat yang dinukil oleh Abū Ḥāmid dalam kitab Jāmi‘-nya. Salah satunya: pemilik hak boleh menuntut penjamin (ḍāmin) atas hak tersebut, dan ia tidak boleh menjual barang gadai kecuali setelah menagihnya dari penjamin, karena setiap hak yang bisa ditagih tanpa menghilangkan kepemilikan, maka wajib ditagih tanpa menghilangkan kepemilikan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ بَيْعَ الرَّهْنِ وَاسْتِيفَاءَ حَقِّهِ مِنْ صُلْبِهِ وَلَيْسَ لَهُ مُطَالَبَةُ الضَّامِنِ بِهِ إِلَّا بَعْدَ تَعَذُّرِ اسْتِيفَائِهِ مِنَ الرَّهْنِ؛ لِأَنَّ الرَّهْنَ عَيْنٌ بِيَدِهِ أَخْذُهَا لِاسْتِيفَاءِ حَقِّهِ وَالصَّحِيحُ عِنْدِي غَيْرُ هَذَيْنِ وَأَنَّ صَاحِبَ الْحَقِّ بِالْخِيَارِ فِي حَقِّهِ بَيْنَ مُطَالَبَةِ الضَّامِنِ بِهِ وَبَيْنَ بَيْعِ الرَّهْنِ فِيهِ لِأَنَّ ضَمَانَ الْحَقِّ لَا يَمْنَعُ مِنْ مُطَالَبَةِ غَيْرِهِ بِهِ وَمُطَالَبَةُ غَيْرِهِ بِهِ لَا تَمْنَعُ مِنْ مُطَالَبَةِ الضَّامِنِ بِهِ، أَلَا تَرَى أَنَّ مَنْ لَهُ عَلَى رَجُلٍ دَيْنٌ فَضَمِنَهُ ضَامِنٌ فَلَهُ مُطَالَبَةُ الضَّامِنِ وَالْمَضْمُونِ عَنْهُ وَلَا تَكُونُ مُطَالَبَةُ أَحَدِهِمَا مَانِعًا مِنْ مُطَالَبَةِ الْآخَرِ.

Pendapat kedua: pemilik hak boleh menjual barang gadai dan mengambil haknya dari barang tersebut, dan ia tidak boleh menuntut penjamin kecuali setelah tidak memungkinkan menagih dari barang gadai, karena barang gadai adalah benda yang ada di tangannya yang dapat diambil untuk menagih haknya. Namun, menurut pendapat yang benar menurutku bukan keduanya, melainkan pemilik hak memiliki pilihan dalam menagih haknya, antara menuntut penjamin atau menjual barang gadai, karena penjaminan atas suatu hak tidak menghalangi penagihan kepada selain penjamin, dan penagihan kepada selain penjamin tidak menghalangi penagihan kepada penjamin. Bukankah engkau melihat bahwa seseorang yang memiliki piutang atas orang lain, lalu dijamin oleh seorang penjamin, maka ia boleh menuntut penjamin maupun yang dijamin, dan penagihan kepada salah satu dari keduanya tidak menghalangi penagihan kepada yang lain.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

إِذَا كَانَ عَلَى رَجُلٍ أَلْفٌ فَأَحَالَ بِهَا عَلَى رَجُلٍ انْتَقَلَتِ الْأَلْفُ بِالْحَوَالَةِ مِنْ ذِمَّةِ الْمُحِيلِ إِلَى ذِمَّةِ الْمُحَالِ عَلَيْهِ، وَجَازَ أَنْ يَأْخُذَ بِهَا رَهْنًا مِنَ الْمُحَالِ عَلَيْهِ، لِأَنَّهَا دَيْنٌ مُسْتَقِرٌّ عَلَيْهِ.

Jika seseorang memiliki utang seribu, lalu ia mengalihkan (ḥawālah) utang itu kepada orang lain, maka utang seribu tersebut berpindah melalui ḥawālah dari tanggungan pengalih (muḥīl) kepada tanggungan orang yang dialihkan kepadanya (muḥāl ‘alayh), dan boleh baginya mengambil barang gadai (rahn) dari orang yang dialihkan kepadanya, karena utang itu telah tetap menjadi tanggungannya.

فَرْعٌ: وَلَوْ أَحَالَهُ بِالْأَلْفِ عَلَى أَنْ يُعْطِيَهُ الْمُحِيلُ بِهَا رَهْنًا لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّ الْحَوَالَةَ قَدْ نَقَلَتِ الْحَقَّ مِنْ ذِمَّتِهِ فَلَمْ يَبْقَ عَلَيْهِ مَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطَى رَهْنًا فِيهِ، وَلَيْسَ كَالضَّمَانِ الَّذِي لَا يَنْقُلُ الْحَقَّ وَيَجُوزُ أَنْ يُعْطَى فِيهِ رَهْنًا.

Cabang: Jika ia mengalihkan utang seribu dengan syarat pengalih (muḥīl) memberikan barang gadai (rahn) atas utang itu, maka tidak boleh; karena ḥawālah telah memindahkan hak dari tanggungannya sehingga tidak tersisa sesuatu yang boleh dijadikan barang gadai, dan ini tidak seperti penjaminan (ḍamān) yang tidak memindahkan hak dan boleh diberikan barang gadai di dalamnya.

فَرْعٌ: وَلَوْ أَحَالَهُ بِالْأَلْفِ عَلَى أَنْ يُعْطِيَهُ الْمُحَالُ عَلَيْهِ رَهْنًا بِهَا فَفِي جَوَازِهِ وَجْهَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي الْحَوَالَةِ، هَلْ هِيَ بَيْعٌ أَوْ عَقْدُ إِرْفَاقٍ

Cabang: Jika ia mengalihkan utang seribu dengan syarat orang yang dialihkan kepadanya (muḥāl ‘alayh) memberikan barang gadai (rahn) atas utang itu, maka dalam kebolehannya terdapat dua pendapat yang didasarkan pada perbedaan pendapat dalam ḥawālah, apakah ia merupakan jual beli atau akad tolong-menolong (irfāq).

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا بَيْعٌ، فَعَلَى هَذَا اشْتِرَاطُ الرَّهْنِ مِنْهَا جَائِزٌ.

Salah satunya: bahwa ḥawālah adalah jual beli, maka dengan demikian pensyaratan barang gadai di dalamnya diperbolehkan.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا عَقْدُ إِرْفَاقٍ فَعَلَى هَذَا اشْتِرَاطُ الرَّهْنِ فِيهَا بَاطِلٌ وَفِي بُطْلَانِ الْحَوَالَةِ وَجْهَانِ:

Yang kedua: bahwa ḥawālah adalah akad tolong-menolong (irfāq), maka dengan demikian pensyaratan barang gadai di dalamnya batal, dan dalam kebatalan ḥawālah terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَدْ بَطَلَتْ لِقَدْحِ الشَّرْطِ الْبَاطِلِ فِيهَا.

Salah satunya: ḥawālah menjadi batal karena adanya syarat yang rusak di dalamnya.

وَالثَّانِي: لَا تَبْطُلُ لِخُرُوجِهَا عَنْ عُقُودِ الْمُعَاوَضَاتِ وَلُحُوقِهَا بِعُقُودِ الْإِرْفَاقِ وَالْمَعُونَاتِ.

Yang kedua: tidak batal, karena ia keluar dari akad-akad pertukaran dan termasuk dalam akad tolong-menolong (irfāq) dan bantuan.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

إِذَا وَهَبَ لَهُ عَبْدًا فَرَهَنَهُ قَبْلَ قَبْضِهِ كَانَ رَهْنًا فَاسِدًا؟ لِأَنَّ الْهِبَةَ لَا تُمْلَكُ إِلَّا بِالْقَبْضِ، وَلَوْ رَهَنَهُ بَعْدَ قَبْضِهِ كَانَ رَهْنُهُ جَائِزًا سَوَاءٌ وَهَبَهُ مِمَّنْ يَجُوزُ لَهُ الرُّجُوعُ فِي هِبَتِهِ كَالْوَالِدِ أَمْ لِإِتْمَامِ الْمِلْكِ بِحُصُولِ الْقَبْضِ، فَلَوْ وَهَبَ لَهُ عَبْدًا وَأَذِنَ لَهُ فِي رَهْنِهِ صَحَّ الرَّهْنُ وَلَمْ تَتِمَّ الْهِبَةُ لِأَنَّ الْإِذْنَ بِالرَّهْنِ لَيْسَ بِقَبْضٍ فَتَتِمُّ بِهِ الْهِبَةُ. وَالرَّهْنُ وَإِنْ لَمْ يَمْلِكْهُ فَقَدْ رهنه بإذن مَالِكِهِ، فَلَمْ يَمْتَنِعْ مِنَ الصِّحَّةِ، فَإِنْ أَقْبَضَهُ الْمُرْتَهِنُ ثَمَّ الرَّهْنَ بِالْعَقْدِ السَّابِقِ عَنْ إِذْنِهِ، وَالْقَبْضِ الْحَادِثِ عَنْ إِذْنِهِ، وَلَمْ تَتِمَّ الْهِبَةُ، لِأَنَّ قَبْضَهُ رَهْنًا غَيْرُ قَبْضِهِ هِبَةً، وَيَكُونُ حُكْمُ هَذَا الْعَبْدِ كَحُكْمِ الْمُعَارِ فِي الرَّهْنِ.

Jika seseorang menghadiahkan seorang budak kepada orang lain, lalu ia menjadikannya sebagai barang gadai sebelum budak itu diterima, maka gadai tersebut adalah gadai yang tidak sah. Sebab, hibah (pemberian) tidak menjadi milik kecuali dengan penerimaan. Namun, jika ia menggadaikannya setelah penerimaan, maka gadai itu sah, baik ia menghadiahkannya kepada orang yang boleh baginya menarik kembali hibahnya seperti orang tua, maupun bukan, karena kepemilikan sempurna terjadi dengan adanya penerimaan. Maka, jika seseorang menghadiahkan seorang budak kepada orang lain dan mengizinkan penerima hibah untuk menggadaikannya, maka gadai itu sah, namun hibahnya belum sempurna, karena izin untuk menggadaikan bukanlah penerimaan sehingga hibah belum sempurna karenanya. Dan meskipun ia belum memilikinya, ia telah menggadaikannya dengan izin pemiliknya, sehingga tidak terhalang dari keabsahan. Jika penerima gadai menerima budak tersebut, maka gadai itu sah berdasarkan akad sebelumnya dengan izin pemilik dan penerimaan yang terjadi dengan izinnya, namun hibahnya belum sempurna, karena penerimaan sebagai barang gadai berbeda dengan penerimaan sebagai hibah. Hukum budak ini sama dengan hukum barang pinjaman dalam gadai.

فَرْعٌ: إِذَا ابْتَاعَ عَبْدًا وَرَهَنَهُ قَبْلَ قَبْضِهِ نُظِرَ.

Cabang: Jika seseorang membeli seorang budak dan menggadaikannya sebelum menerimanya, maka perlu diteliti lebih lanjut.

فَإِنْ كَانَ الْبَائِعُ لَمْ يَقْبِضْ عَنْهُ. فَالرَّهْنُ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّهُ مَحْبُوسٌ بِثَمَنِهِ فَصَارَ كَالْمَرْهُونِ فَلَمْ يَجُزْ رَهْنُهُ قَبْلَ فَكَاكِهِ وَإِنْ كَانَ قَبْلَ قَبْضِ ثَمَنِهِ فَفِي جَوَازِ رَهْنِهِ قَوْلَانِ:

Jika penjual belum menerima pembayaran darinya, maka gadai itu batal, karena budak tersebut masih tertahan oleh harganya sehingga statusnya seperti barang yang digadaikan, maka tidak boleh digadaikan sebelum dibebaskan. Namun, jika sebelum pembayaran diterima, terdapat dua pendapat mengenai kebolehan menggadaikannya:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ ظَاهِرُ نَصِّهِ. أَنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ لِتَمَامِ مِلْكِهِ.

Salah satunya, dan ini adalah pendapat yang tampak dari nash beliau, bahwa hal itu boleh karena kepemilikannya telah sempurna.

وَالثَّانِي: وَهُوَ مَحْكِيٌّ عَنْهُ فِي الْبُيُوعِ أَنَّ ذَلِكَ بَاطِلٌ كَالْبَيْعِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Pendapat kedua, yang dinukil darinya dalam masalah jual beli, bahwa hal itu batal seperti jual beli, dan Allah lebih mengetahui.

(كتاب التفليس)

(Kitab Taflis)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” حدثنا محمد بن عاصم قال سمعت المزني قال (قال الشافعي) أَخْبَرَنَا ابْنِ أَبِي فُدَيْكٍ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ قال حدثني أبو المعتمر بن عمر بْنِ نَافِعٍ عَنْ خَلْدَةَ أَوِ ابْنِ خَلْدَةَ الزرقي (الشك من المزني) عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا أَفْلَسَ فَقَالَ هَذَا الَذِي قَضَى فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَيُّمَا رَجُلٍ مَاتَ أَوْ أَفْلَسَ فَصَاحِبُ الْمَتَاعِ أَحَقُّ بِمَتَاعِهِ إِذَا وَجَدَهُ بِعَيْنِهِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَفِي ذَلِكَ بَيَانٌ أَنَّهُ جَعَلَ نَقْضَ الْبَيْعِ الْأَوَّلِ إِنْ شَاءَ إِذَا مَاتَ أَوْ أَفْلَسَ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Muhammad bin ‘Ashim telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku mendengar al-Muzani berkata (Imam Syafi‘i berkata): Ibnu Abi Fudayk telah mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Dhi’b, ia berkata: Abu al-Mu‘tamir bin ‘Umar bin Nafi‘ telah menceritakan kepadaku dari Khaldah atau Ibnu Khaldah al-Zurqi (keraguan dari al-Muzani) dari Abu Hurairah, bahwa ia melihat seorang laki-laki yang jatuh pailit, lalu ia berkata: ‘Inilah perkara yang diputuskan oleh Rasulullah ﷺ: Barang siapa yang meninggal dunia atau jatuh pailit, maka pemilik barang lebih berhak atas barangnya jika ia mendapatkannya dalam bentuk aslinya.’ (Imam Syafi‘i berkata): Dalam hal ini terdapat penjelasan bahwa beliau membolehkan pembatalan jual beli pertama jika ia menghendaki, ketika orang itu meninggal dunia atau jatuh pailit.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ كِتَابُ التَّفْلِيسِ، وَيُقَالُ كِتَابُ الْفَلَسِ قَالَ بَعْضَ أَصْحَابِنَا وَأَكْرَهُ أَنْ يُقَالَ كِتَابُ الْإِفْلَاسِ، لِأَنَّ الْإِفْلَاسَ مُسْتَعْمَلٌ فِي الْإِعْسَارِ بَعْدَ الْيَسَارِ وَالتَّفْلِيسُ يُسْتَعْمَلُ فِي حَجْرِ الْحَاكِمِ عَلَى الْمَدْيُونِ فَكَانَ أَلْيَقَ بِالْحَالِ، وَالْأَصْلُ فِي جَوَازِ الْحَجْرِ بِالْفَلَسِ مَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَجَرَ عَلَى مُعَاذٍ وَقَالَ لِغُرَمَائِهِ: خُذُوا مَا مَعَهُ فَلَيْسَ لَكُمْ إِلَّا مَا وَجَدْتُمْ وَرَوَى عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: أُصِيبَ رَجُلٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي ثِمَارٍ ابْتَاعَهَا فَكَثُرَ دَيْنَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِغُرَمَائِهِ: ” خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ لَيْسَ لَكُمْ إِلَّا ذَلِكَ ” وَرَوَى عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ بِلَالِ بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ رَجُلًا مِنْ جُهَيْنَةَ يُقَالُ لَهُ أُسَيْفِعُ أَفْلَسَ فَقَامَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ: أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ الْأُسَيْفِعَ أُسَيْفِعَ جُهَيْنَةَ وَكَانَ يُغَالِي بِالرَّوَاحِلِ رَضِيَ مِنَ أَمَانَتِهِ وَدِينِهِ بِأَنْ يُقَالَ سَبَقَ الْحَاجَّ فَأَدَانَ مَعْرِضًا فَأَصْبَحَ قَدْ دِينَ بِهِ فَمَنْ كَانَ لَهُ دَيْنٌ فَلْيَأْتِنَا فَإِنَّا آخِذُوا مَالَهُ وَقَاسِمُوهُ بَيْنَ غُرَمَائِهِ وَإِيَّاكُمْ وَالدَّيْنُ فَإِنَّ أُوَلَهُ هَمٌّ وَآخِرَهُ حَرْبٌ وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ الْحَجْرُ بِالْمَرَضِ لِأَجْلِ الْوَرَثَةِ لِأَنَّ الْمَالَ صَائِرٌ إِلَيْهِمْ وَإِنْ لَمْ يَمْلِكُوهُ فِي الْحَالِ فَأَوْلَى أَنْ يَجُوزَ الْحَجْرُ بِدُيُونِ الْغُرَمَاءِ لِأَنَّ الْمَالَ لهم وقد استحقوه في الحال.

Al-Mawardi berkata: “Ini sebagaimana disebutkan dalam Kitab at-Taflis, dan juga disebut Kitab al-Falas. Sebagian ulama kami berkata, ‘Aku tidak suka jika disebut Kitab al-Iflas, karena iflās digunakan untuk makna kesulitan setelah kecukupan, sedangkan taflīs digunakan untuk makna penetapan larangan (hajr) oleh hakim terhadap orang yang berutang, sehingga istilah ini lebih sesuai dengan keadaan.’ Dasar kebolehan hajr karena falas adalah riwayat bahwa Nabi ﷺ pernah menetapkan hajr atas Mu‘adz dan berkata kepada para krediturnya: ‘Ambillah apa yang ada padanya, tidak ada hak bagi kalian kecuali apa yang kalian temukan.’ ‘Iyadh bin ‘Abdillah meriwayatkan dari Abu Sa‘id al-Khudri, ia berkata: ‘Ada seorang laki-laki pada masa Rasulullah ﷺ yang mengalami kerugian dalam buah-buahan yang dibelinya, sehingga utangnya menjadi banyak. Maka Rasulullah ﷺ berkata kepada para krediturnya: “Ambillah apa yang kalian temukan, tidak ada hak bagi kalian selain itu.” ‘Umar bin ‘Abdurrahman meriwayatkan dari ayahnya, dari Bilal bin al-Harits, bahwa seorang laki-laki dari Juhainah yang bernama Usayfi‘ mengalami kebangkrutan. Maka ‘Umar ra. berdiri dan berkata: ‘Amma ba‘du, sesungguhnya Usayfi‘, Usayfi‘ Juhainah, ia biasa menaikkan harga kendaraan, ia rela dengan amanah dan agamanya hanya dengan dikatakan telah mendahului jamaah haji, lalu ia berutang dengan menunda pembayaran, hingga akhirnya ia terlilit utang. Maka siapa yang memiliki piutang atasnya, hendaklah datang kepada kami, karena kami akan mengambil hartanya dan membaginya di antara para krediturnya. Dan jauhilah utang, karena awalnya adalah kegelisahan dan akhirnya adalah permusuhan.’ Dan karena ketika hajr dibolehkan karena sakit demi kepentingan ahli waris—karena harta itu akan berpindah kepada mereka meskipun mereka belum memilikinya saat itu—maka lebih utama lagi hajr dibolehkan karena utang para kreditur, karena harta itu memang hak mereka dan telah menjadi milik mereka saat itu juga.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الْحَجْرِ بِالْفَلَسِ فَلَا يَجُوزُ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَبْتَدِئَهُ مِنْ غَيْرِ سُؤَالِ الْغُرَمَاءِ فَإِذَا سَأَلُوهُ الْحَجْرَ عَلَيْهِ بِدَيْنٍ لَهُمْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُوقِعَ الْحَجْرَ عَلَيْهِ إِلَّا بَعْدَ ثُبُوتِ دُيُونِهِمْ وَثُبُوتُهَا بِأَحَدِ وَجْهَيْنِ إِمَّا بِإِقْرَارِهِ وَإِمَّا بِقِيَامِ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ عِنْدَ إِنْكَارِهِ فَإِذَا ثَبَتَ دُيُونُ الْغُرَمَاءِ وَجَبَ عَلَى الْحَاكِمِ أَنْ يَنْظُرَ قَدْرَ مَالِهِ فَإِنَّهُ لَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يَعْجِزَ عَنْ دَيْنِهِ أَوْ يَكُونَ فِيهِ وَفَاءٌ بِدَيْنِهِ فَإِنْ عَجَزَ مَالُهُ عَنْ ديونه وجب على الحاكم أن يعجز عَلَيْهِ فِي مَالِهِ سَوَاءٌ سَأَلَهُ جَمِيعُ الْغُرَمَاءِ أَوْ بَعْضُهُمْ؛ لِأَنَّ فِي تَرْكِهِ مُتَصَرِّفًا فِي مَالِهِ إِضَاعَةً لِدُيُونِهِمْ وَإِبْطَالًا لِحُقُوقِهِمْ، وَأَنَّهُ رُبَّمَا عَجَّلَ قَضَاءَ بَعْضِهِمْ وَتَرَكَ دُيُونَ الْبَاقِينَ تَالِفَةً فكان الحجر عليه أولى ليمتنع من التبذير ويصل جَمِيعُ الْغُرَمَاءِ إِلَى حُقُوقِهِمْ بِالسَّوَاءِ، وَإِنْ كَانَ مَالُهُ يَفِي بِدُيُونِهِ أَوْ يَزِيدُ عَلَيْهَا لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أن تظهر منه إمارات الإفلاس أو لا يظهر فإن لم يظهر منه إمارات الإفلاس – بل كان مَالُهُ يَفِي بِدُيُونِهِ وَيَكْتَسِبُ قَدْرَ نَفَقَتِهِ وَلَمْ يَكُنْ مُبَذِّرًا لِمَالِهِ – لَمْ يَجُزِ الْحَجْرُ عَلَيْهِ بَلْ يَأْخُذُهُ الْحَاكِمُ بِقَضَاءِ دُيُونِهِ فَإِنْ أَبَى حَبَسَهُ بِهَا إِنْ سَأَلَ أَرْبَابُهَا وَإِنْ ظَهَرَتْ عَلَيْهِ أمَارَاتُ الْفَلَسِ وَذَلِكَ يَكُونُ فِي أَحَدِ وَجْهَيْنِ:

Apabila telah tetap kebolehan hajr karena falas, maka tidak boleh bagi hakim untuk memulainya tanpa permintaan para kreditur. Jika mereka meminta hajr atasnya karena utang mereka, maka tidak boleh menetapkan hajr atasnya kecuali setelah terbukti adanya utang-utang mereka, dan pembuktiannya dengan dua cara: pertama, dengan pengakuan dari yang bersangkutan; kedua, dengan adanya bukti (bayyinah) jika ia mengingkarinya. Jika telah terbukti utang para kreditur, maka wajib bagi hakim untuk meneliti jumlah hartanya. Keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: pertama, hartanya tidak cukup untuk membayar utangnya; kedua, hartanya cukup atau bahkan lebih dari utangnya. Jika hartanya tidak cukup untuk membayar utangnya, maka wajib bagi hakim untuk menetapkan ketidakmampuan membayar dari hartanya, baik semua kreditur maupun sebagian dari mereka yang meminta; karena jika ia dibiarkan bebas mengelola hartanya, itu akan menyebabkan hilangnya hak para kreditur dan membatalkan hak-hak mereka. Bisa jadi ia segera membayar sebagian kreditur dan membiarkan utang kepada yang lain menjadi hilang, maka penetapan hajr atasnya lebih utama agar ia terhindar dari pemborosan dan semua kreditur dapat memperoleh haknya secara adil. Jika hartanya cukup untuk membayar utangnya atau bahkan lebih, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: pertama, tampak tanda-tanda kebangkrutan pada dirinya; kedua, tidak tampak tanda-tanda itu. Jika tidak tampak tanda-tanda kebangkrutan—bahkan hartanya cukup untuk membayar utangnya, ia juga memperoleh penghasilan untuk kebutuhan hidupnya, dan tidak memboroskan hartanya—maka tidak boleh ditetapkan hajr atasnya, melainkan hakim mewajibkannya membayar utangnya. Jika ia menolak, maka hakim boleh memenjarakannya jika para kreditur memintanya. Jika tampak tanda-tanda kebangkrutan pada dirinya, itu terjadi dalam dua keadaan:

إِمَّا مِنْ عَجْزٍ عَنْ كَسْبِهِ عَنْ قَدَرِ حَاجَتِهِ وَإِمَّا مِنْ تَبْذِيرِهِ وَإِسْرَافِهِ فِي نَفَقَتِهِ فَهَلْ يَسْتَحِقُّ الْحَجْرَ عَلَيْهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pertama, karena ketidakmampuannya memperoleh penghasilan yang cukup untuk kebutuhannya; kedua, karena pemborosan dan sikap berlebih-lebihan dalam pengeluarannya. Apakah ia berhak dikenakan hajr atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: يَحْجُرُ عَلَيْهِ الْحَاكِمُ فِي مَالِهِ: لِأَنَّ فِي تَرْكِهِ مُتَصَرِّفًا فِيهِ إِضَاعَةً لَهُ وَإِبْطَالًا لِحُقُوقِ غُرَمَائِهِ وَيَسْتَدِلُّ قَائِلُ هَذَا الْوَجْهِ لِذَلِكَ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ بِقَوْلِهِ فِي اخْتِلَافِ الْمُتَبَايِعَيْنِ: إِذَا قَالَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لَا أَدْفَعُ حَتَى أَقْبِضَ أَنَّهُ يُجْبَرُ الْبَائِعُ عَلَى تَسْلِيمِ السِّلْعَةِ وَيُجْبَرُ الْمُشْتَرِي عَلَى دَفْعِ الثَّمَنِ فَإِنْ كَانَ مَالُهُ غَائِبًا حُجِرَ عَلَيْهِ فِي السِّلْعَةِ وَفِي جَمِيعِ مَالِهِ. فَقَدْ أَوْقَعَ الشَّافِعِيُّ الْحَجْرَ عَلَى مَنْ كَانَ مَالُهُ يَفِي بِدَيْنِهِ وَيَزِيدُ.

Salah satu pendapat: Hakim membatasi hak pengelolaan harta orang tersebut, karena jika dibiarkan ia tetap mengelola hartanya, maka akan menyebabkan kerugian pada harta itu dan menggugurkan hak para krediturnya. Pendukung pendapat ini berdalil dari mazhab Syafi‘i dengan pernyataannya dalam kasus perselisihan antara dua pihak yang berjual beli: jika masing-masing berkata, “Saya tidak akan menyerahkan (barang/uang) sebelum menerima (barang/uang),” maka penjual dipaksa untuk menyerahkan barang dan pembeli dipaksa untuk membayar harga. Jika harta pembeli tidak ada (tidak hadir), maka ia dibatasi dalam pengelolaan barang dan seluruh hartanya. Maka, Syafi‘i telah menetapkan pembatasan (ḥajr) atas orang yang hartanya cukup untuk membayar utangnya, bahkan lebih.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَحْجُرَ عَلَيْهِ لِقُدْرَتِهِ عَلَى أَدَاءِ دَيْنِهِ وَلِأَنَّ فِي إِيقَاعِ الْحَجْرِ عَلَيْهِ تَعْجِيلُ الْحُكْمِ لِعِلَّةٍ مَظْنُونَةٍ غَيْرِ مُتَحَقِّقَةٍ وَذَلِكَ غَيْرُ جَائِزٍ وما يخالف مِنْ تَبْذِيرِ مَالِهِ قَدْ يُمْكِنُ الِاحْتِرَازُ مِنْهُ بِأَنْ يُؤْخَذَ بِتَعْجِيلِ الْقَضَاءِ.

Pendapat kedua: Tidak boleh dilakukan pembatasan (ḥajr) atasnya karena ia mampu membayar utangnya, dan karena menetapkan ḥajr atasnya berarti mempercepat penetapan hukum atas dasar alasan yang masih diduga dan belum pasti, dan itu tidak diperbolehkan. Adapun penyimpangan dalam mengelola hartanya bisa diantisipasi dengan mempercepat proses penyelesaian utang.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْحَجْرَ بِالْفَلَسِ مُسْتَحِقٌّ بِمَا ذَكَرْنَا فَحَجَرَ الْحَاكِمُ عَلَى مَالِهِ لِغُرَمَائِهِ وَكَانَ فِيهِمْ مَنْ وَجَدَ عَيْنَ مَالِهِ قَبْلَ قَبْضِ ثَمَنِهِ فَأَرَادَ الرُّجُوعَ بِهِ فَإِنْ كَانَ الْحَجْرُ عَلَيْهِ لِعَجْزِ مَالِهِ عَنْ دُيُونِ غُرَمَائِهِ كَانَ لِكُلِّ مَنْ وَجَدَ عَيْنَ مَالِهِ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ فَإِنْ كَانَ الْحَجْرُ عَلَيْهِ مَعَ وَفَاءِ مَالِهِ بِدُيُونِهِ عَلَى أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ فَهَلْ لِمَنْ وَجَدَ عَيْنَ مَالِهِ الرُّجُوعُ بِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika telah tetap bahwa ḥajr karena pailit memang berhak diberlakukan sebagaimana telah kami sebutkan, lalu hakim membatasi pengelolaan harta orang tersebut demi para krediturnya, dan di antara mereka ada yang menemukan barang miliknya sebelum menerima harganya, lalu ia ingin mengambil kembali barangnya tersebut, maka jika ḥajr itu dilakukan karena ketidakmampuan hartanya untuk melunasi utang para krediturnya, setiap orang yang menemukan barang miliknya berhak mengambil kembali barang tersebut. Namun, jika ḥajr itu dilakukan padahal hartanya cukup untuk melunasi utangnya menurut salah satu pendapat, maka apakah orang yang menemukan barang miliknya boleh mengambil kembali barangnya atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهُ الرُّجُوعُ بِعَيْنِ مَالِهِ؛ لِأَنَّهُ مَحْجُورٌ عَلَيْهِ بِالْفَلَسِ كَالْعَاجِزِ.

Salah satunya: Ia boleh mengambil kembali barang miliknya, karena ia telah dikenai ḥajr karena pailit, sama seperti orang yang tidak mampu membayar utang.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا رُجُوعَ لَهُ؛ لِأَنَّهُ إِنَّمَا رَجَعَ بِعَيْنِ مَالِهِ فِي الْحَجْرِ بِالْعَجْزِ حَتَّى لَا يَلْحَقَهُ نَقْصٌ وَصَاحِبُ الْوَفَاءِ قَدْ يَصِلُ جَمِيعُ غُرَمَائِهِ إِلَى دُيُونِهِمْ فَلَمْ يَلْحَقْ أَرْبَابَ الْأَعْيَانِ بِتَرْكِهَا نَقْصٌ.

Pendapat kedua: Ia tidak boleh mengambil kembali barangnya, karena pengambilan kembali barang milik dalam kasus ḥajr karena ketidakmampuan bertujuan agar ia tidak mengalami kerugian, sedangkan orang yang hartanya cukup untuk membayar utang, para krediturnya bisa mendapatkan hak mereka secara penuh, sehingga para pemilik barang tidak mengalami kerugian jika barangnya tetap ditinggalkan.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَلَوْ كَانَ فِي يَدِ الْمُفْلِسِ أَعْيَانٌ لَمْ يُؤَدِّ أَثْمَانَهَا وَقَدْ زَادَتْ أَسْعَارُهَا فَإِنِ اسْتَرْجَعَهَا أَرْبَابُهَا عَجَزَ مَالُهُ عَنْ دَيْنِهِ وَإِنْ تَرَكُوهَا عَلَيْهِ كَانَ فِي مَالِهِ وَفَاءٌ بِدَيْنِهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْعَاجِزِ عَنْ دَيْنِهِ أَوْ حُكْمُ الْمَلِيءِ بِهِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika di tangan orang yang pailit terdapat barang-barang yang belum dibayar harganya dan harga barang-barang tersebut telah naik, maka jika para pemiliknya mengambil kembali barang-barang itu, hartanya tidak cukup untuk membayar utangnya. Namun jika mereka membiarkan barang-barang itu tetap padanya, maka hartanya cukup untuk membayar utangnya. Dalam hal ini, para ulama kami berbeda pendapat, apakah ia diperlakukan seperti orang yang tidak mampu membayar utang atau seperti orang yang mampu membayar utang? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْعَاجِزِ عَنْ دَيْنِهِ؛ لِأَنَّ تِلْكَ الْأَعْيَانَ مُسْتَحَقَّةُ الِاسْتِرْجَاعِ فَلَمْ تُعْتَبَرْ زِيَادَةُ أَثْمَانِهَا فِي مَالِهِ.

Salah satunya: Ia diperlakukan seperti orang yang tidak mampu membayar utang, karena barang-barang tersebut memang berhak untuk diambil kembali, sehingga kenaikan harga barang-barang itu tidak dianggap sebagai bagian dari hartanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْمَلِيءِ بِدَيْنِهِ؛ لِأَنَّ تِلْكَ الْأَعْيَانَ عَلَى مِلْكِهِ قَبْلَ الِاسْتِرْجَاعِ فَكَانَتْ زِيَادَةُ أَثْمَانِهَا مِلْكًا لَهُ فَعَلَى هَذَا إِنْ لَمْ تَظْهَرْ عَلَيْهِ أمَارَاتُ الْإِفْلَاسِ لَمْ يُحْجَرْ عَلَيْهِ وَإِنْ ظَهَرَتْ عَلَيْهِ أمَارَاتُ الْإِفْلَاسِ فَفِي وُجُوبِ الْحَجْرِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ.

Pendapat kedua: Ia diperlakukan seperti orang yang mampu membayar utang, karena barang-barang tersebut masih menjadi miliknya sebelum diambil kembali, sehingga kenaikan harga barang-barang itu menjadi miliknya. Berdasarkan pendapat ini, jika belum tampak tanda-tanda kepailitan padanya, maka tidak dilakukan ḥajr atasnya. Namun jika telah tampak tanda-tanda kepailitan, maka dalam kewajiban melakukan ḥajr atasnya terdapat dua pendapat.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا تَمَهَّدَ مَا ذَكَرْنَا فَكُلُّ غَرِيمٍ لِلْمُفْلِسِ ثَبَتَ دَيْنُهُ مِنْ ثَمَنِ مَبِيعٍ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْعَيْنِ الْمَبِيعَةِ إِذَا لَمْ يَقْبِضِ الْبَائِعُ ثَمَنَهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Jika telah dijelaskan sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka setiap kreditur orang yang pailit yang telah tetap utangnya dari harga barang yang dijual, keadaan barang yang dijual tersebut jika penjual belum menerima harganya tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ فِي يَدِ الْبَائِعِ لَمْ يُسَلِّمْهَا إِلَى الْمُشْتَرِي حَتَّى حُجِرَ عَلَيْهِ بِالْفَلَسِ فَلِلْبَائِعِ أَنْ يَفْسَخَ الْبَيْعَ فِيهَا وَيَأْخُذَ بِثَمَنِهَا وَلَهُ أَنْ يُمْضِيَ الْبَيْعَ وَيُسَلِّمَهَا وَيَضْرِبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِثَمَنِهَا وَهَذَا قَوْلٌ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ لَيْسَ يُعْرَفُ خِلَافٌ فِيهِ، وَعِنْدَ أبي حنيفة: يُقَدِّمُ بَائِعُهُ بِثَمَنِهَا.

Pertama: Barang itu masih di tangan penjual dan belum diserahkan kepada pembeli hingga pembeli dikenai ḥajr karena pailit. Dalam hal ini, penjual boleh membatalkan jual beli dan mengambil kembali barangnya, atau ia boleh melanjutkan jual beli, menyerahkan barangnya, dan menuntut pembayaran bersama para kreditur lainnya. Ini adalah pendapat yang disepakati, tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di dalamnya. Menurut Abu Hanifah: penjual didahulukan dalam menerima pembayaran barangnya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ الْمُشْتَرِي قَدْ قَبَضَهَا وَخَرَجَتْ عَنْ مِلْكِهِ بِبَيْعٍ أَوْ هِبَةٍ أَوِ اسْتِهْلَاكٍ فَالْبَائِعُ لَهَا أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ يَضْرِبُ بِثَمَنِهَا مَعَهُمْ كَأَحَدِهِمْ.

Keadaan kedua: Apabila pembeli telah menerima barang tersebut dan barang itu telah keluar dari kepemilikannya karena dijual, dihibahkan, atau dikonsumsi, maka penjual memiliki kedudukan yang sama dengan para kreditur lainnya; ia menuntut harga barang tersebut bersama mereka seperti salah satu dari mereka.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ الْمُشْتَرِي قَدْ قَبَضَهَا وَهِيَ قَائِمَةٌ فِي يَدِهِ وَبَاقِيَةٌ عَلَى مِلْكِهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ هَلْ يَسْتَحِقُّ الْبَائِعُ الرُّجُوعَ بِهَا أَمْ لَا؟ فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّ الْبَائِعَ أَحَقُّ بِهَا وَلَهُ أَنْ يَسْتَرْجِعَهَا بِثَمَنِهَا وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: عُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَابْنُ مَسْعُودٍ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ وَمِنَ التَّابِعِينَ، عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ.

Keadaan ketiga: Apabila pembeli telah menerima barang tersebut dan barang itu masih ada di tangannya serta masih menjadi miliknya, maka para ulama berbeda pendapat apakah penjual berhak untuk mengambil kembali barang tersebut atau tidak. Asy-Syafi‘i berpendapat bahwa penjual lebih berhak atas barang itu dan ia boleh mengambilnya kembali dengan mengembalikan harganya. Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat seperti ‘Utsmān, ‘Alī, Ibnu Mas‘ūd, dan Abū Hurairah, serta dari kalangan tabi‘in seperti ‘Urwah bin Zubair dan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz, dan dari kalangan fuqahā’ seperti Mālik, al-Awzā‘ī, Ahmad, dan Ishaq.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: الْبَائِعُ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ لَا حَقَّ لَهُ فِي الرُّجُوعِ بِعَيْنِ مَالِهِ. وَبِهِ قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ، اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَرُبَّمَا أَسْنَدُوهُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: أيما امرئ هلك وعنده متاع امرئ بعينه اقتضى منه شيئا أو لم يقتض فَهُوَ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ وَلِأَنَ الْبَائِعَ حَبَسَ الْمَبِيعَ عَلَى ثَمَنِهِ كَمَا أَنَّ لِلْمُرْتَهِنِ حَبْسَ الرَّهْنِ على حقه فلما كان المرتهن لورد الرَّهْنَ عَلَى رَاهِنِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ إِلَيْهِ عِنْدَ تَعَذُّرِ حَقِّهِ وَجَبَ إِذَا سَلَّمَ الْبَائِعُ الْمَبِيعَ إِلَى مُشْتَرِيهِ أَنْ لَا يَكُونَ له الرجوع إليه عند تعذر ثمنه، وتحديد ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ مَحْبُوسٌ لِاسْتِيفَاءِ الْحَقِّ مِنْهُ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ رَفْعُ الْيَدِ عَنْهُ مُسْقِطًا لِحَقِّ الِاسْتِيفَاءِ مِنْهُ كَالرَّهْنِ، وَلِأَنَّ الْبَائِعَ قَدْ وَجَبَ لَهُ بِعَقْدِ الْبَيْعِ حَقَّانِ:

Abū Hanīfah berpendapat bahwa penjual kedudukannya sama dengan para kreditur lainnya, ia tidak berhak mengambil kembali barang miliknya. Pendapat ini juga dipegang oleh al-Hasan al-Bashrī dan Ibrāhīm an-Nakha‘ī, dengan berdalil pada riwayat az-Zuhrī dari Abū Bakr bin ‘Abd ar-Rahmān bin al-Hārith bin Hisyām dari Nabi ﷺ, dan terkadang mereka meriwayatkannya dari Abū Hurairah dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda: “Barang siapa yang meninggal dunia dan di sisinya terdapat barang milik seseorang secara langsung, baik ia telah menagih sesuatu darinya atau belum, maka ia sama kedudukannya dengan para kreditur.” Dan karena penjual menahan barang yang dijual atas harga barang tersebut, sebagaimana pemegang gadai menahan barang gadai atas haknya. Maka ketika pemegang gadai tidak berhak mengambil kembali barang gadai dari pemberi gadai ketika haknya tidak terpenuhi, demikian pula ketika penjual telah menyerahkan barang yang dijual kepada pembelinya, ia tidak berhak mengambilnya kembali ketika harga barang tidak dapat terpenuhi. Penetapan hal ini berdasarkan qiyās, bahwa barang tersebut ditahan untuk memenuhi hak darinya, maka ketika penjual melepaskan barang tersebut, hak untuk mengambil kembali gugur sebagaimana pada barang gadai. Dan karena penjual, dengan akad jual beli, memperoleh dua hak:

أَحَدُهُمَا: ثُبُوتُ الثَّمَنِ فِي الذِّمَّةِ

Pertama: Tetapnya harga dalam tanggungan (utang) pembeli.

وَالثَّانِي: حَبْسُ الْمَبِيعِ عَلَى قَبْضِ ثَمَنِهِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ أَسْقَطَ حَقَّهُ مِنَ الثَّمَنِ الَّذِي فِي الذِّمَّةِ بِالْإِبْرَاءِ لَمْ يَعُدْ إِلَيْهِ لِحُدُوثِ الْفَلَسِ وَجَبَ إِذَا أَسْقَطَ حَقَّهُ مِنْ حَبْسِ الْمَبِيعِ بِالتَّسْلِيمِ أَنْ لَا يَعُودَ إِلَيْهِ لِحُدُوثِ الْفَلَسِ.

Kedua: Menahan barang yang dijual sampai menerima harganya. Kemudian telah tetap bahwa jika ia menggugurkan haknya atas harga yang ada dalam tanggungan dengan pembebasan utang, maka ia tidak dapat kembali menuntutnya karena terjadinya pailit. Maka wajib pula, jika ia menggugurkan haknya untuk menahan barang yang dijual dengan penyerahan barang, ia tidak dapat kembali menuntutnya karena terjadinya pailit.

وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهُ أَحَدُ نَوْعَيْ حَقٍّ يُسْتَحَقُّ بِالْعَقْدِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَعُودَ إِلَيْهِ بِالْفَلَسِ بَعْدَ سُقُوطِهِ بِالْعَفْوِ كَالثَّمَنِ، وَلِأَنَّ الْحُقُوقَ الْمُسْتَقِرَّةَ فِي الذِّمَمِ لَا تَنْتَقِلُ إِلَى الْأَعْيَانِ بِتَعَذُّرِ الِاسْتِيفَاءِ كَالْمُوسِرِ إِذَا مَطَلَ، وَلِأَنَّهُ تَسْلِيمٌ يَمْنَعُ حَقَّ الْإِمْسَاكِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَعُودَ إِلَيْهِ بِالْإِفْلَاسِ كَالْهِبَةِ إِذَا قُبِضَتْ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْمُشْتَرِي قَدْ مَلَكَ الْمَبِيعَ كَسَائِرِ أَمْوَالِهِ وَكَانَ الثَّمَنُ مُسْتَقِرًّا فِي ذِمَّتِهِ كَدُيُونِ غُرَمَائِهِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ حُكْمُ الْبَائِعِ كَحُكْمِ جَمِيعِ الْغُرَمَاءِ وَحُكْمُ الْمَبِيعِ كَحُكْمِ سَائِرِ الْأَمْوَالِ وَالدَّلَالَةُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا حَدِيثُ خَلْدَةَ أَوِ ابْنِ خَلْدَةَ الزُّرَقِيِّ قَاضِي الْمَدِينَةِ قَالَ: أَتَيْنَا أَبَا هُرَيْرَةَ فِي صَاحِبٍ لَنَا قَدْ أَفْلَسَ فَقَالَ: هَذَا الَذِي قَضَى فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَيُّمَا رَجُلٍ مَاتَ أَوْ أَفْلَسَ فَصَاحِبُ الْمَتَاعِ أَحَقُّ بِالْمَتَاعِ إِذَا وَجَدَهُ بِعَيْنِهِ ” فَإِنْ قَالُوا: هَذَا الْحَدِيثُ لَا يَصِحُّ الِاحْتِجَاجُ بِهِ، لِأَنَّ رَاوِيَهُ مَشْكُوكٌ فِيهِ هَلْ هُوَ خَلْدَةُ أَوِ ابْنُ خَلْدَةَ؟ فَعَنْهُ جَوَابَانِ:

Penjelasan hal ini secara qiyās: Bahwa ini adalah salah satu dari dua jenis hak yang diperoleh melalui akad, maka tidak boleh kembali kepadanya karena pailit setelah hak itu gugur dengan pengampunan, sebagaimana harga barang. Dan karena hak-hak yang tetap dalam tanggungan tidak berpindah kepada barang secara fisik ketika tidak dapat dipenuhi, sebagaimana orang yang mampu jika menunda pembayaran. Dan karena penyerahan barang itu menghalangi hak untuk menahan, maka tidak boleh kembali kepadanya karena pailit, sebagaimana hibah jika telah diterima. Dan karena ketika pembeli telah memiliki barang yang dibeli seperti harta miliknya yang lain, dan harga barang telah tetap dalam tanggungannya seperti utang-utang kepada kreditur lainnya, maka wajib hukumnya penjual diperlakukan seperti semua kreditur lainnya dan barang yang dijual diperlakukan seperti harta yang lain. Dalil atas apa yang kami sebutkan adalah hadis Khaldah atau Ibn Khaldah az-Zuraqī, qadhi Madinah, ia berkata: Kami mendatangi Abū Hurairah dalam perkara seorang teman kami yang telah pailit, maka ia berkata: “Inilah perkara yang diputuskan oleh Rasulullah ﷺ: Barang siapa yang meninggal dunia atau pailit, maka pemilik barang lebih berhak atas barang itu jika ia menemukannya secara langsung.” Jika mereka berkata: Hadis ini tidak sah dijadikan hujah, karena perawinya diperselisihkan, apakah Khaldah atau Ibn Khaldah? Maka ada dua jawaban atas hal itu:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ شَكَّ فِي اسْمِهِ لَا فِي عَيْنِهِ وَذَلِكَ غَيْرُ مَانِعٍ مِنَ الْأَخْذِ بِرِوَايَتِهِ.

Pertama: Ia ragu pada nama perawi, bukan pada identitas orangnya, dan hal itu tidak menghalangi untuk mengambil riwayat darinya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ شَكٌّ بَيْنَ ثِقَتَيْنِ، لِأَنَّ خَلْدَةَ ثِقَةٌ مَقْبُولُ الْحَدِيثِ وَابْنَ خَلْدَةَ ثِقَةٌ مَقْبُولُ الْحَدِيثِ وَالشَّكُّ بَيْنَ رَاوِيَيْنِ لَا يَمْنَعُ مِنَ الْأَخْذِ بِالْحَدِيثِ إِذَا كَانَا ثِقَتَيْنِ عَلَى أَنَّ الشَّافِعِيَّ قَدْ رَوَاهُ مِنْ طَرِيقٍ آخَرَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَيُّمَا رَجُلٍ أَفْلَسَ فَأَدْرَكَ الرَّجُلُ مَالَهَ بِعَيْنِهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ “.

Kedua: Keraguan itu antara dua perawi yang tsiqah, karena Khaldah adalah perawi tsiqah yang diterima hadisnya, dan Ibnu Khaldah juga perawi tsiqah yang diterima hadisnya. Keraguan antara dua perawi tidak menghalangi untuk mengambil hadis tersebut jika keduanya tsiqah. Selain itu, asy-Syafi‘i telah meriwayatkannya melalui jalur lain dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, dari ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, dari Abu Bakar bin ‘Abd ar-Rahman bin al-Harits bin Hisyam, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Siapa saja yang bangkrut, lalu seseorang mendapatkan kembali hartanya secara langsung, maka ia lebih berhak atas harta itu.”

فَإِنْ قَالُوا: هَذَا حديث تفرد به أبو هريرة ولم يساعده عَلَيْهِ غَيْرهُ وَذَلِكَ وَهَنٌ فِي الْحَدِيثِ يَمْنَعُ مِنَ الْأَخْذِ بِهِ؟ قُلْنَا: أَبُو هُرَيْرَةَ مِنْ جُمْلَةِ الصَّحَابَةِ وَلَيْسَ تَفَرُّدُهُ بِالْحَدِيثِ مَانِعًا مِنَ الْأَخْذِ بِهِ كَمَا تَفَرَّدَ بِالرِّوَايَةِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَنَّهُ نَهَى عَنِ الْجَمْعِ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَبَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا ” ثُمَّ قَدْ أَخَذَ الْمُسْلِمُونَ كُلُّهُمْ بِهِ وَعَمِلُوا وَكَمَا تَفَرَّدَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ ” بِالنَّهْيِ عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ ” وتفردت عائشة رحمها الله بأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَضَى أَنَّ الْخَرَاجَ بِالضَّمَانِ عَلَى أَنَّ غَيْرَ أَبِي هُرَيْرَةَ قَدْ وَافَقَهُ عَلَى الرِّوَايَةِ وَهُوَ مَا رَوَى فُلَيْحُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِذَا عَدِمَ الرَّجُلُ فَوَجَدَ الرَّجُلُ مَتَاعَهُ بِعَيْنِهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ “، وَإِنْ قَالُوا: فَقَوْلُهُ: ” صَاحِبُ الْمَتَاعِ أَحَقُّ بِمَتَاعِهِ ” لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَوَجَّهَ إِلَى الْبَائِعِ، لِأَنَّ الْمَتَاعَ لَيْسَ لَهُ وَإِنَّمَا هُوَ لِلْمُشْتَرِي وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى الْمُفْلِسِ إِذَا كَانَ مُودَعًا أَوْ غَاصِبًا لِيَصِحَّ كَوْنُ الْمَتَاعِ مِلْكًا لِمُسْتَرْجِعِهِ قُلْنَا: هَذَا التَّأْوِيلُ لَا يَصِحُّ لِأَنَّهُ جَعَلَهُ أَحَقَّ بِمَتَاعِهِ بِوُجُوبِ شَرْطٍ وَهُوَ حُدُوثُ الْفَلَسِ وَصَاحِبُ الْوَدِيعَةِ وَالْغَصْبِ مُسْتَحِقٌّ اسْتِرْجَاعَ مَالِهِ بِشَرْطٍ وَغَيْرِ شَرْطٍ وَفَلَسٍ وَغَيْرِ فَلَسٍ وَيَكُونُ مَعْنَى قَوْلِهِ: ” فَصَاحِبُ الْمَتَاعِ “. الَّذِي كَانَ صَاحِبَ الْمَتَاعِ كَمَا قَالَ (الله) تَعَالَى حَاكِيًا عَنْ يُوسُفَ: {اجْعَلُوا بِضَاعَتَهُمْ فِي رِحَالِهِمْ} [يوسف: 62] يَعْنِي الَّتِي كَانَتْ بِضَاعَتَهُمْ، لِأَنَّهَا خَرَجَتْ عَنْ مِلْكِهِمْ، وَقَالَ حَاكِيًا عَنْ إِخْوَتِهِ: {هَذِهِ بِضَاعَتُنَا رُدَّتْ إِلَيْنَا} [يوسف: 65] يَعْنِي: الَّتِي كَانَتْ بِضَاعَتَنَا، عَلَى أَنَّنَا قَدْ رُوِّينَا مَا ذَكَرْنَاهُ نَصًّا وَهُوَ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: أيما رجل باع متاعا فأفلس الذي ابْتَاعَهُ وَلَمْ يَقْبِضِ الَّذِي بَاعَهُ مِنْ ثَمَنِهِ شَيْئًا فَوَجَدَهُ بِعَيْنِهِ فَهُوَ أَحَقُّ فَإِنْ مَاتَ الْمُشْتَرِي فَصَاحِبُ الْمَتَاعِ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ ” ثُمَّ يَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ مِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى هُوَ أَنَّ عَقْدَ الْبَيْعِ قَدْ مَلَكَ بِهِ الْبَائِعُ الثَّمَنَ فِي الذِّمَّةِ كَمَا مَلَكَ بِهِ الْمُشْتَرِي الْعَيْنَ الْمَبِيعَةَ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الْمُشْتَرِيَ يَسْتَحِقُّ الْفَسْخَ بِوُجُودِ الْعَيْبِ فِي الْعَيْنِ الْمَبِيعَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَحِقَّ الْبَائِعُ الْفَسْخَ بِحُدُوثِ الْعَيْبِ فِي الْعَيْنِ المبيعة فوجب أن يستحق البائع الفسخ كَالْعَيْنِ، وَلِأَنَّ مَا فِي الذِّمَّةِ قَدْ يَتَنَوَّعُ نَوْعَيْنِ ثَمَنًا وَمُثَمَّنًا فَلَمَّا كَانَ الْعَجْزُ عَمَّا كَانَ فِي الذِّمَّةِ مِنَ الثَّمَنِ فِي عَقْدِ السَّلَمِ يَقْتَضِي الْفَسْخَ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْعَجْزُ عَمَّا فِي الذِّمَّةِ مِنَ الثَّمَنِ فِي عَقْدِ البيع يقتضي الفسخ، وتحديد ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهُ أَحَدُ نَوْعَيْ مَا ثَبَتَ فِي الذِّمَّةِ عَنْ عَقْدِ مُعَاوَضَةٍ فَجَازَ أَنْ يَسْتَحِقَّ الْفَسْخَ بِتَعَذُّرِهِ كَالثَّمَنِ فِي السَّلَمِ، وَلِأَنَّ الْمُشْتَرِيَ قَدْ مَلَكَ مَا ابْتَاعَهُ قَبْلَ الْقَبْضِ (كَمَا مَلَكَهُ بَعْدَ الْقَبْضِ) فَلَمَّا اسْتَحَقَّ الْبَائِعُ بِفَلَسِ الْمُشْتَرِي اسْتِرْجَاعَ مَا بَاعَهُ قَبْلَ الْقَبْضِ استحقه بعد القبض وتحديد ذَلِكَ أَنَّهُ مُشْتَرٍ أَفْلَسَ بِثَمَنِ مَا ابْتَاعَهُ فَجَازَ أَنْ يَسْتَحِقَّ بِهِ الْبَائِعُ اسْتِرْجَاعَ مَا بَاعَهُ – إِذَا كَانَ عَلَى مَالِهِ – قِيَاسًا عَلَى مَا قَبْلَ الْقَبْضِ، وَلِأَنَّ الثَّمَنَ فِي الْبَيْعِ مُسْتَوْفًى مِنْ ذِمَّةِ الْمُشْتَرِي كَمَا أَنَّ السُّكْنَى فِي الْإِجَارَةِ مُسْتَوْفَاةٌ مِنَ الدَّارِ الْمُسْتَأْجَرَةِ فَلَمَّا كَانَ خَرَابُ الدَّارِ يَقْتَضِي فَسْخَ الْإِجَارَةِ وَاسْتِرْجَاعَ الْأُجْرَةِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ خَرَابُ الذِّمَّةِ يَقْتَضِي فسخ البيع واسترجاع العين المبيعة، وتحديد ذَلِكَ أَنَّهُ حَقٌّ تَعَيَّنَ اسْتِيفَاؤُهُ مِنْ مَحَلٍّ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ خَرَابُ الْمَحَلِّ عِنْدَ اسْتِيفَاءِ الْحَقِّ مِنْهُ مُوجِبًا لِلْفَسْخِ كَالْإِجَارَةِ، وَلِأَنَّ عَقْدَ الْبَيْعِ قَدْ نَقَلَ مِلْكَ الْبَائِعِ عَنِ الْعَيْنِ الْمَبِيعَةِ إِلَى الثَّمَنِ فِي الذِّمَّةِ كَمَا أَنَّ عَقْدَ الْكِتَابَةِ قَدْ نَقَلَ مِلْكَ الْمُشْتَرِي عَنْ رَقَبَةِ الْعَبْدِ إِلَى مَا حَصَلَ لَهُ فِي ذِمَّتِهِ فَلَمَّا كَانَ عَجْزُ الْمَكَاتَبِ عَمَّا فِي ذِمَّتِهِ مُوجِبًا لِاسْتِرْجَاعِ الْعَيْنِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ عَجْزُ الْمُشْتَرِي عَمَّا فِي ذِمَّتِهِ مُوجِبًا لِاسْتِرْجَاعِ الْعَيْنِ وَتَحْرِيرُهُ أَنَّهُ نَوْعُ مُعَاوَضَةٍ يَنْتَقِلُ بِهِ حَقُّ الْمُعَاوَضِ مِنْ عَيْنٍ إِلَى ذِمَّةٍ فَجَازَ أَنْ يَعُودَ إِلَى الْعَيْنِ عِنْدَ خَرَابِ الذِّمَّةِ كَالْكِتَابَةِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ فَهُوَ مُرْسَلٌ لَا يَلْزَمُ الِاحْتِجَاجُ بِهِ وَقَدْ تَفَرَّدَ قَتَادَةُ بِنَقْلِهِ وَغَلِطَ فِيهِ وَالْمَشْهُورُ مَا رَوَيْنَا مِنَ الطُّرُقِ الْمُخْتَلِفَةِ وَلَوْ صَحَّ لَكَانَ مَحْمُولًا عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ:

Jika mereka berkata: “Ini adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan tidak ada sahabat lain yang mendukungnya, dan hal itu merupakan kelemahan dalam hadis yang menghalangi untuk diamalkan?” Kami katakan: Abu Hurairah termasuk di antara para sahabat, dan periwayatan tunggalnya terhadap suatu hadis tidak menghalangi untuk diamalkan, sebagaimana ia sendiri meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau melarang mengumpulkan antara seorang perempuan dengan bibinya dari pihak ayah, dan antara seorang perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, lalu seluruh kaum Muslimin menerima dan mengamalkannya. Demikian pula Abu Tsa‘labah al-Khushani sendiri meriwayatkan larangan memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan ‘Aisyah rahimahallah sendiri meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ memutuskan bahwa hasil (keuntungan) adalah dengan jaminan. Selain itu, ada selain Abu Hurairah yang mendukungnya dalam periwayatan, yaitu sebagaimana diriwayatkan oleh Fulaih bin Sulaiman dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika seseorang tidak mampu membayar dan orang lain menemukan barangnya secara persis, maka dia lebih berhak atas barang itu.” Jika mereka berkata: “Sabda beliau: ‘Pemilik barang lebih berhak atas barangnya’ tidak boleh diarahkan kepada penjual, karena barang itu bukan miliknya, melainkan milik pembeli. Jika demikian, maka harus diarahkan kepada orang yang pailit jika ia adalah orang yang dititipi atau perampas, agar sah kepemilikan barang itu bagi orang yang mengambilnya kembali.” Kami katakan: Penafsiran ini tidak sah, karena ia menjadikan seseorang lebih berhak atas barangnya dengan syarat terjadinya kepailitan, sedangkan pemilik titipan dan perampas berhak mengambil kembali hartanya baik dengan syarat maupun tanpa syarat, baik ada kepailitan maupun tidak. Maka makna sabda beliau: “Maka pemilik barang…” adalah orang yang dahulu menjadi pemilik barang, sebagaimana firman Allah Ta‘ala tentang Yusuf: {Letakkanlah barang-barang mereka di dalam karung-karung mereka} (Yusuf: 62), maksudnya barang-barang yang dahulu milik mereka, karena barang itu telah keluar dari kepemilikan mereka. Dan firman-Nya tentang saudara-saudara Yusuf: {Ini barang-barang kita telah dikembalikan kepada kita} (Yusuf: 65), maksudnya: barang-barang yang dahulu milik kita. Selain itu, kami telah meriwayatkan secara nash sebagaimana yang kami sebutkan, yaitu riwayat asy-Syafi‘i dari Malik dari Ibnu Syihab dari Abu Bakar bin ‘Abdurrahman bin al-Harits bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa pun yang menjual barang, lalu orang yang membelinya menjadi pailit dan penjual belum menerima sedikit pun dari harganya, lalu ia menemukan barang itu secara persis, maka ia lebih berhak. Jika pembeli meninggal, maka pemilik barang sama kedudukannya dengan para kreditur.” Kemudian, dalil dari sisi makna adalah bahwa akad jual beli menyebabkan penjual memiliki hak atas harga di dalam tanggungan (dzimmah), sebagaimana pembeli memiliki hak atas barang yang dibeli. Kemudian, telah tetap bahwa pembeli berhak membatalkan akad jika ditemukan cacat pada barang yang dibeli, maka wajib pula penjual berhak membatalkan akad jika terjadi cacat pada barang yang dijual, sehingga penjual berhak membatalkan akad sebagaimana pembeli. Dan karena apa yang ada dalam tanggungan bisa berupa dua jenis, yaitu harga dan barang, maka ketika ketidakmampuan atas apa yang ada dalam tanggungan berupa harga dalam akad salam menyebabkan pembatalan, maka wajib pula ketidakmampuan atas apa yang ada dalam tanggungan berupa harga dalam akad jual beli menyebabkan pembatalan. Penetapan hal itu secara qiyās: bahwa ia adalah salah satu dari dua jenis yang tetap dalam tanggungan dari akad mu‘āwadah (pertukaran), maka boleh untuk berhak membatalkan karena ketidakmampuannya, sebagaimana harga dalam akad salam. Dan karena pembeli telah memiliki apa yang dibelinya sebelum menerima (barang), sebagaimana ia memilikinya setelah menerima, maka ketika penjual berhak mengambil kembali barang yang dijual karena pembeli pailit sebelum menerima, maka ia juga berhak setelah menerima. Penetapan hal itu adalah bahwa seorang pembeli yang pailit atas harga barang yang dibelinya, maka penjual boleh mengambil kembali barang yang dijualnya jika masih ada pada harta pembeli, berdasarkan qiyās atas sebelum penerimaan. Dan karena harga dalam jual beli diambil dari tanggungan pembeli, sebagaimana tempat tinggal dalam akad sewa diambil dari rumah yang disewa, maka ketika kerusakan rumah menyebabkan pembatalan sewa dan pengembalian uang sewa, maka kerusakan tanggungan (dzimmah) menyebabkan pembatalan jual beli dan pengembalian barang yang dijual. Penetapan hal itu adalah bahwa ia adalah hak yang harus dipenuhi dari suatu tempat, maka kerusakan tempat ketika hak itu hendak dipenuhi menyebabkan pembatalan, sebagaimana dalam akad sewa. Dan karena akad jual beli telah memindahkan kepemilikan penjual dari barang yang dijual kepada harga dalam tanggungan, sebagaimana akad kitabah (pembebasan budak dengan pembayaran bertahap) memindahkan kepemilikan pembeli dari budak kepada apa yang ada dalam tanggungannya, maka ketika ketidakmampuan budak mukatab atas apa yang ada dalam tanggungannya menyebabkan pengambilan kembali barang, maka ketidakmampuan pembeli atas apa yang ada dalam tanggungannya menyebabkan pengambilan kembali barang. Penjelasannya adalah bahwa ia adalah jenis mu‘āwadah yang dengan itu hak pertukaran berpindah dari barang ke tanggungan, maka boleh kembali ke barang ketika tanggungan rusak, sebagaimana dalam kitabah. Adapun jawaban atas hadis (yang menjadi dalil mereka) adalah bahwa ia mursal, sehingga tidak wajib dijadikan hujjah, dan Qatadah sendiri yang meriwayatkannya dan ia keliru dalam hal itu. Yang masyhur adalah apa yang kami riwayatkan dari berbagai jalur. Andaikan hadis itu sahih, maka harus dipahami dalam salah satu dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ حِينَ مَاتَ مُوسِرًا.

Bisa jadi ketika ia meninggal, ia dalam keadaan mampu (membayar).

وَإِمَّا أَنْ يَرْضَى الْبَائِعُ أَنْ يَكُونَ أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ عَلَى أَنَّ أَبَا حَامِدٍ كَانَ يَقُولُ: إِنَّ الْغُرَمَاءَ ضَرْبَانِ مِنْهُمْ مَنْ يَرْجِعُ بِعَيْنِ مَالِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ لَا عَيْنَ لَهُ فَيُضْرَبُ بِدَيْنِهِ فِي مِلْكِهِ فَلَمْ يَكُنْ حَمْلُهُ عَلَى أَحَدِ الْفَرِيقَيْنِ بِأَوْلَى مِنْ حَمْلِهِ عَلَى الْفَرِيقِ الْآخَرِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الرَّهْنِ فَهُوَ أَنَّ الرَّهْنَ لَمَّا كَانَ عَقْدًا بَطَلَ بِفَسْخِهِ فَلَمْ يَعُدْ إِلَى الرَّهْنِ إِلَّا بِاسْتِيثَاقِهِ وَحَقُّ الْحَبْسِ هَاهُنَا كَانَ لِاسْتِيفَاءِ الثَّمَنِ وَهَذَا الْمَعْنَى بَاقٍ بَعْدَ رَفْعِ يَدَيْهِ فَجَازَ أَنْ يَعُودَ لِبَقَاءِ الْحَقِّ إِلَى آخِذِهِ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْإِبْرَاءِ مِنَ الثَّمَنِ فَالْإِبْرَاءُ لَمَّا أَسْقَطَ الْحَقَّ لَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ فِيهِ وَرَفْعُ يَدِهِ عَنِ الْمَبِيعِ لَمَّا لَمْ يُسْقِطِ الْحَقَّ جَازَ لَهُ الرُّجُوعُ فِيهِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْمُوسِرِ الْمُمَاطِلِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Atau penjual rela untuk diperlakukan sama dengan para kreditur, padahal Abu Hamid berkata: Sesungguhnya para kreditur itu ada dua golongan; di antara mereka ada yang dapat mengambil kembali barangnya secara langsung, dan ada pula yang tidak memiliki barang secara langsung sehingga haknya hanya dapat diambil dari harta milik si mayit. Maka tidak ada alasan yang lebih kuat untuk mengaitkan kasus ini pada salah satu dari dua golongan tersebut. Adapun jawaban atas qiyās mereka dengan rahn (gadai) adalah bahwa rahn itu merupakan akad yang batal dengan pembatalannya, sehingga tidak kembali kepada rahn kecuali dengan adanya jaminan, sedangkan hak penahanan (barang) di sini adalah untuk menagih pembayaran harga, dan tujuan ini tetap ada setelah penjual melepaskan tangannya dari barang, maka boleh saja hak itu kembali kepada penjual selama haknya masih ada. Adapun jawaban atas qiyās mereka dengan pembebasan (ibra’) dari harga adalah bahwa ibra’ itu, ketika telah menggugurkan hak, maka tidak ada hak untuk kembali padanya, sedangkan penjual yang melepaskan tangannya dari barang dagangan, selama tidak menggugurkan haknya, maka boleh baginya untuk kembali mengambilnya. Adapun jawaban atas dalil mereka dengan orang mampu yang menunda pembayaran (musir mumathil) adalah dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَطَلَ الْمُوسِرِ لَمْ تَخْرَبْ بِهِ الذِّمَّةُ فَلَمْ يَسْتَحِقَّ بِهِ الْفَسْخُ وَالْفَلَسُ قَدْ خَرِبَتْ بِهِ الذِّمَّةُ فَاسْتَحَقَّ بِهِ الْفَسْخَ.

Pertama: Penundaan pembayaran oleh orang yang mampu tidak menyebabkan tanggungan (dzimmah) menjadi rusak, sehingga tidak berhak untuk membatalkan akad, sedangkan dalam kasus pailit (muflis), tanggungan telah rusak sehingga berhak untuk membatalkan akad.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْمُوسِرَ إِذَا مَطَلَ أَمْكَنَ اسْتِيفَاءُ الْحَقِّ مِنْهُ جَبْرًا بِالْحَاكِمِ وَالْمُفْلِسُ لَا يُمْكِنُ اسْتِيفَاؤُهُ مِنْهُ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْهِبَةِ فَهُوَ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَلْحَقِ الْوَاهِبُ ضرر بفلس من وهب لَمْ يَسْتَحِقَّ الرُّجُوعَ عَلَيْهِ بِفَلَسِهِ وَلَمَّا لَحِقَ الْبَائِعُ ضَرَرٌ بِفَلَسِ الْمُشْتَرِي اسْتَحَقَّ الرُّجُوعَ عَلَيْهِ بِفَلَسِهِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِعَيْنِ الْبَائِعِ فَهُوَ أَنْ عَيْنَ الْبَائِعِ لَمَّا لَمْ يَتَعَلَّقْ حَقُّهُ بِعَيْنٍ لَمْ يَنْصَرِفْ دَيْنُهُ إِلَيْهَا وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْبَائِعُ فِي عَيْنِ مَالِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Kedua: Jika orang yang mampu menunda pembayaran, maka masih memungkinkan untuk menagih haknya secara paksa melalui hakim, sedangkan pada orang yang pailit tidak mungkin menagih darinya. Adapun jawaban atas qiyās mereka dengan hibah adalah bahwa ketika pemberi hibah tidak mengalami kerugian akibat kepailitan penerima hibah, maka ia tidak berhak untuk menarik kembali hibahnya karena kepailitan tersebut. Namun, ketika penjual mengalami kerugian akibat kepailitan pembeli, maka ia berhak untuk menarik kembali barangnya. Adapun jawaban atas dalil mereka dengan barang penjual adalah bahwa barang penjual, ketika haknya tidak terkait dengan barang secara langsung, maka hutangnya tidak kembali kepada barang tersebut, dan tidak demikian halnya dengan penjual terhadap barang miliknya sendiri. Allah Maha Mengetahui.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

إِذَا ثَبَتَ أَنَّ لِلْبَائِعِ الرُّجُوعَ بِعَيْنِ مَالِهِ عِنْدَ فَلَسِ الْمُشْتَرِي فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الْفَسْخِ وَاسْتِرْجَاعِهِ لِلْعَيْنِ وَبَيْنَ الْإِمْضَاءِ وَأَنْ يَكُونَ بِالثَّمَنِ أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ وَقَالَ أَبُو عُبَيْدِ بْنُ حَرْبَوَيْهِ مِنْ أَصْحَابِنَا: إِنَّمَا يَكُونُ الْبَائِعُ أَحَقَّ بِعَيْنِ مَالِهِ لِيَسْتَوْفِيَ حَقَّهُ مِنْ ثَمَنِهِ وَيَمْنَعَ الْغُرَمَاءَ مِنْ مُشَارَكَتِهِ فِيهِ كَالرَّهْنِ وَأَمَّا أَنْ يَسْتَحِقَّ الْفَسْخَ وَاسْتِرْجَاعَ السِّلْعَةِ إِلَى مِلْكِهِ فَلَا. وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ أَبُو عُبَيْدٍ خَطَأٌ خَالَفَ بِهِ الْإِجْمَاعَ، لِأَنَّ الْإِجْمَاعَ مُنْعَقِدٌ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْهُمْ مَنْ قَالَ: لَا حَقَّ لَهُ فِي عَيْنِ مَالِهِ. وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: يَسْتَحِقُّ الْفَسْخَ وَالرُّجُوعَ بِهِ. وَقَوْلُ أَبِي عُبَيْدٍ ثَالِثٌ يُخَالِفُهُمَا فَكَانَ مُطْرِحًا هَذَا مَعَ عُمُومِ قَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فَصَاحِبُ الْمَتَاعِ أَحَقُّ بِمَتَاعِهِ إِذَا وَجَدَهُ بِعَيْنِهِ “. فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ لَهُ الْفَسْخَ فَهَلْ يَكُونُ خِيَارُ الْفَسْخِ مُسْتَحِقًّا عَلَى الْفَوْرِ أَوْ عَلَى التَّرَاخِي؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika telah tetap bahwa penjual berhak untuk mengambil kembali barangnya secara langsung ketika pembeli mengalami pailit, maka penjual memiliki pilihan antara membatalkan akad dan mengambil kembali barangnya, atau melanjutkan akad dan menjadi seperti para kreditur lainnya dalam hal harga. Abu Ubaid bin Harbawaih dari kalangan ulama kami berkata: Penjual hanya lebih berhak atas barangnya agar dapat menagih haknya dari harga dan mencegah para kreditur lain untuk ikut serta dalam barang tersebut, seperti dalam kasus rahn. Adapun untuk berhak membatalkan akad dan mengambil kembali barang ke dalam kepemilikannya, maka tidak. Pendapat Abu Ubaid ini adalah keliru dan bertentangan dengan ijmā‘, karena ijmā‘ telah terjadi pada dua pendapat: di antara mereka ada yang mengatakan bahwa penjual tidak memiliki hak atas barangnya secara langsung, dan ada pula yang mengatakan bahwa ia berhak membatalkan akad dan mengambil kembali barangnya. Pendapat Abu Ubaid adalah pendapat ketiga yang bertentangan dengan keduanya, sehingga harus ditinggalkan, apalagi dengan adanya keumuman sabda Nabi ﷺ: “Pemilik barang lebih berhak atas barangnya jika ia mendapatkannya secara langsung.” Jika telah tetap bahwa penjual berhak membatalkan akad, maka apakah hak membatalkan akad itu harus segera dilakukan atau boleh ditunda? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى الْفَوْرِ كَالرَّدِّ بِالْعَيْبِ فَإِنْ أَخَّرَهُ مَعَ الْإِمْكَانِ بَطَلَ خِيَارُهُ.

Pertama: Harus segera dilakukan, seperti halnya pengembalian barang karena cacat. Jika ia menunda dengan kemampuan untuk melakukannya, maka hak pilihnya batal.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ عَلَى التَّرَاخِي مَا لَمْ يَعْزِمِ الْحَاكِمُ عَلَى بَيْعِ مَالِهِ كَالْقِصَاصِ الَّذِي لَا يَكُونُ عَلَى الْفَوْرِ بَلْ عَلَى التَّرَاخِي ثُمَّ لَا يَسْتَحِقُّ الْفَسْخَ إِلَّا بِحُكْمِ حَاكِمٍ، لِأَنَّهُ خِيَارٌ مُخْتَلَفٌ فِيهِ ثُمَّ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا بِمَاذَا يَكُونُ الْفَسْخُ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kedua: Boleh ditunda selama hakim belum memutuskan untuk menjual harta pembeli, seperti halnya qishāsh yang tidak harus segera dilakukan, melainkan boleh ditunda. Kemudian, penjual tidak berhak membatalkan akad kecuali dengan keputusan hakim, karena hak pilih ini diperselisihkan. Lalu para ulama kami berbeda pendapat, dengan apa pembatalan akad itu terjadi? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يكون بصريح القول أو بالفعل كما نفسخ فِي خِيَارِ الْمَجْلِسِ وَخِيَارِ الثَّلَاثِ بِالْقَوْلِ وَالْفِعْلِ.

Salah satu pendapat: Bahwa pembatalan dapat dilakukan dengan pernyataan tegas (sharīh) atau dengan perbuatan, sebagaimana kita membatalkan dalam khiyār al-majlis dan khiyār al-thalāth dengan ucapan maupun perbuatan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ – أَنَّهُ لَا يَصِحُّ الْفَسْخُ إِلَّا بِالْقَوْلِ الصَّرِيحِ دُونَ الْفِعْلِ بِخِلَافِ الْفَسْخِ فِي زَمَانِ الْخِيَارِ لِأَنَّ مِلْكَ الْمُشْتَرِي فِي زَمَانِ الْخِيَارِ غَيْرُ مُسْتَقِرٍّ فَجَازَ أَنْ يَفْسَخَ بِالْفِعْلِ وَمِلْكُ الْمُفْلِسِ مُسْتَقِرٌّ فَلَمْ يَصِحَّ أَنْ يَفْسَخَ إِلَّا بِالْقَوْلِ الصَّرِيحِ دُونَ الْفِعْلِ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih: Bahwa pembatalan tidak sah kecuali dengan pernyataan tegas, tidak cukup dengan perbuatan, berbeda dengan pembatalan pada masa khiyār, karena kepemilikan pembeli pada masa khiyār belum tetap sehingga boleh dibatalkan dengan perbuatan. Sedangkan kepemilikan orang yang bangkrut sudah tetap, maka tidak sah pembatalan kecuali dengan pernyataan tegas, tidak cukup dengan perbuatan.

(فصل)

(Pasal)

فأما ما إِنْ كَانَ عَيْنُ مَالِ الْبَائِعِ قَدْ تَعَلَّقَ بِهِ فِي يَدِ الْمُشْتَرِي حَقٌّ لِغَيْرِهِ فَلَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Adapun jika barang milik penjual yang ada di tangan pembeli telah terkait dengan hak orang lain, maka tidak lepas dari dua keadaan:

إِمَّا أَنْ يَمْنَعَ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي الرَّقَبَةِ.

Pertama, hak tersebut menghalangi untuk melakukan tindakan terhadap barang pokoknya.

أَوْ لَا يَمْنَعُ فَإِنْ لَمْ يَمْنَعْ مِنَ التَّصَرُّفِ لَمْ يَمْنَعْ مِنَ اسْتِرْجَاعِ الْبَائِعِ لَهُ وَذَلِكَ أَنْ يَكُونَ الْمُشْتَرِي قَدْ أَجَّرَهُ أَوْ يَكُونَ عَبْدًا قَدْ زَوَّجَهُ فَلِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ بَعْدَ إِجَارَتِهِ وتزويجه والإجازة عَلَى حَالِهَا وَالْأُجْرَةُ لِلْمُشْتَرِي تُقَسَّمُ بَيْنَ غُرَمَائِهِ دُونَ الْبَائِعِ، لِأَنَّ الْمُشْتَرِيَ قَدْ مَلَكَهَا بِعَقْدِ الْإِجَارَةِ وَكَذَلِكَ صَدَاقُ الْأَمَةِ الْمُزَوَّجَةِ وَإِنْ كَانَ الْحَقُّ الَّذِي تَعَلَّقَ بِهِ مَانِعًا مِنْ تَصَرُّفِ الْمُشْتَرِي فِي رَقَبَتِهِ مِثْلَ الرَّهْنِ وَالْكِتَابَةِ وَالْجِنَايَةِ مُنِعَ الْبَائِعُ مِنَ اسْتِرْجَاعِهِ وَضَرَبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِثَمَنِهِ فَإِذَا رَهَنَهُ الْمُشْتَرِي كَانَ الْمُرْتَهِنُ أَوْلَى بِثَمَنِهِ وَلَا حَقَّ لِمَانِعِهِ فِي اسْتِرْجَاعِهِ، لِأَنَّ الْبَائِعَ يَقُومُ فِي اسْتِرْجَاعِهِ مَقَامَ الْمُشْتَرِي فَلَمَّا كَانَ الْمُشْتَرِي مَمْنُوعًا مِنْهُ. فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ الْبَائِعُ مَمْنُوعًا مِنْهُ وَكَذَلِكَ لَوْ كَاتَبَهُ كِتَابَةً صَحِيحَةً لَمْ يَكُنْ لِلْبَائِعِ اسْتِرْجَاعُهُ، لِأَنَّ الْكِتَابَةَ قَيْدٌ أَزَالَتْ يَدَ الْمُشْتَرِي عَنْهُ فَأَوْلَى أَنْ يزيل يد البائع عنه وكذلك لو جنا جِنَايَةً تَعَلَّقَ أَرْشُهَا بِرَقَبَتِهِ كَانَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ أَوْلَى بِثَمَنِهِ كَالْمُرْتَهِنِ وَلَا حَقَّ لِلْبَائِعِ فِي اسْتِرْجَاعِهِ. فَلَوْ فُكَّ مِنَ الرَّهْنِ وَعَجَزَ فِي الْكِتَابَةِ وَأُبْرِئَ مِنَ الْجِنَايَةِ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ بَعْدَ أَنْ ضَرَبَ بِثَمَنِهِ الْبَائِعُ مِنَ الْغُرَمَاءِ فَلَا حَقَّ لَهُ فِي اسْتِرْجَاعِهِ وَإِنْ كَانَ قَبْلَ أَنْ يَضْرِبَ بِالثَّمَنِ مَعَ الْغُرَمَاءِ فَهَلْ لَهُ الْفَسْخُ وَاسْتِرْجَاعُهُ عَيْنَ مَالِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Atau tidak menghalangi. Jika tidak menghalangi untuk melakukan tindakan, maka tidak menghalangi penjual untuk mengambil kembali barangnya. Misalnya, pembeli telah menyewakannya atau jika barang itu adalah budak yang telah dinikahkan, maka penjual boleh mengambil kembali barang tersebut setelah disewakan atau dinikahkan, dan akad sewa tetap berlaku, serta upahnya menjadi milik pembeli dan dibagi di antara para krediturnya, bukan untuk penjual, karena pembeli telah memilikinya melalui akad sewa. Begitu juga mahar budak perempuan yang dinikahkan. Namun, jika hak yang terkait dengannya menghalangi pembeli untuk bertindak terhadap barang pokoknya, seperti gadai, mukatabah (perjanjian pembebasan budak), atau tindak pidana, maka penjual dilarang mengambil kembali barang tersebut dan ia menuntut harga barang bersama para kreditur. Jika pembeli telah menggadaikannya, maka penerima gadai lebih berhak atas harganya dan pihak yang menghalangi tidak berhak mengambil kembali barang tersebut, karena penjual dalam mengambil kembali barangnya menempati posisi pembeli. Maka, ketika pembeli dilarang mengambilnya, penjual lebih utama untuk dilarang mengambilnya. Demikian pula jika pembeli telah melakukan mukatabah yang sah, maka penjual tidak berhak mengambil kembali barang tersebut, karena mukatabah adalah ikatan yang telah menghilangkan kekuasaan pembeli atas barang itu, maka lebih utama lagi menghilangkan kekuasaan penjual atasnya. Demikian pula jika terjadi tindak pidana yang diyatnya terkait dengan barang tersebut, maka korban tindak pidana lebih berhak atas harganya seperti penerima gadai, dan penjual tidak berhak mengambil kembali barang tersebut. Jika barang tersebut telah bebas dari gadai, atau gagal dalam mukatabah, atau telah dibebaskan dari tanggungan tindak pidana, maka jika itu terjadi setelah penjual menuntut harga barang bersama para kreditur, maka penjual tidak berhak mengambil kembali barang tersebut. Namun, jika itu terjadi sebelum penjual menuntut harga barang bersama para kreditur, apakah penjual boleh membatalkan dan mengambil kembali barangnya atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا حَقَّ لَهُ فِي اسْتِرْجَاعِهِ وَيَضْرِبُ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِثَمَنِهِ، لِأَنَّهُ صَارَ إِلَى حَالٍ زَالَ عَنْهُ حُكْمُ الِاسْتِرْجَاعِ.

Salah satunya: Penjual tidak berhak mengambil kembali barang tersebut dan ia menuntut harga barang bersama para kreditur, karena barang tersebut telah berada dalam keadaan yang menghilangkan hukum pengambilan kembali.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ اسْتِرْجَاعُهُ بِالْفَسْخِ وَأَخْذُهُ بِالثَّمَنِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فَصَاحِبُ الْمَتَاعِ أَحَقُّ بِمَتَاعِهِ إِذَا وَجَدَهُ بِعَيْنِهِ ” فَلَوْ كَانَ الْمُشْتَرِي قَدْ بَاعَهُ وَكَانَ الْبَيْعُ قَدْ لَزِمَ بِالِافْتِرَاقِ وَتقضي زَمَنَ الْخِيَارِ مُنِعَ الْبَائِعُ مِنْهُ لِزَوَالِ مِلْكِ الْمُشْتَرِي عَنْهُ وَإِنْ كَانَ الْبَيْعُ لَمْ يَلْزَمْ بَعْدُ لِبَقَاءِ زَمَانِ خِيَارِ الْمَجْلِسِ أَوْ خِيَارِ الثَّلَاثِ كَانَ لِلْبَائِعِ اسْتِرْجَاعُهُ كَمَا كَانَ ذَلِكَ لِلْمُشْتَرِي الَّذِي بَاعَهُ فَلَوْ كَانَ الْمُشْتَرِي قَدْ وَهَبَهُ وَلَمْ يَقْبِضْهُ كَانَ لِلْبَائِعِ اسْتِرْجَاعُهُ، لِأَنَّ الْهِبَةَ قَبْلَ الْقَبْضِ لَا تَلْزَمُ وَلَوْ كَانَ قَدْ أَقْبَضَهُ لَمْ يَسْتَرْجِعْهُ الْبَائِعُ فَلَوْ كَانَ الْمُشْتَرِي قَدْ أَقْرَضَهُ وَأَقْبَضَهُ كَانَ لِلْبَائِعِ اسْتِرْجَاعُهُ مِنْ يَدِ مُقْرِضِهِ كما كان المشتري بَعْدَ قَرْضِهِ وَإِقْبَاضِهِ أَنْ يَسْتَرْجِعَهُ فَلَوْ كَانَ الْمُشْتَرِي قَدْ أَخْرَجَهُ عَنْ مِلْكِهِ بِبَيْعٍ أَوْ هِبَةٍ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مِلْكِهِ بِابْتِيَاعٍ أَوْ هِبَةٍ أَوْ إِرْثٍ فَهَلْ يَسْتَحِقُّ الْبَائِعُ اسْتِرْجَاعَهُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Penjual berhak mengambil kembali barangnya dengan pembatalan akad dan mengambilnya dengan harga, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Maka pemilik barang lebih berhak atas barangnya jika ia menemukannya masih ada.” Maka, jika pembeli telah menjualnya dan penjualan itu telah menjadi tetap karena berpisahnya kedua pihak dan telah habis masa khiyār, maka penjual tidak boleh mengambilnya kembali karena kepemilikan pembeli atas barang itu telah hilang. Namun, jika penjualan belum menjadi tetap karena masih dalam masa khiyār majlis atau khiyār tiga hari, maka penjual berhak mengambil kembali barangnya, sebagaimana hal itu juga berlaku bagi pembeli yang telah menjualnya. Jika pembeli telah menghadiahkannya namun belum menyerahkannya, maka penjual berhak mengambil kembali barang tersebut, karena hibah sebelum penyerahan belum mengikat. Namun, jika sudah diserahkan, penjual tidak dapat mengambilnya kembali. Jika pembeli telah meminjamkannya dan telah menyerahkannya, maka penjual berhak mengambil kembali dari tangan orang yang dipinjami, sebagaimana pembeli setelah meminjamkan dan menyerahkannya juga dapat mengambilnya kembali. Jika pembeli telah mengeluarkan barang itu dari kepemilikannya melalui penjualan atau hibah, kemudian barang itu kembali lagi ke dalam kepemilikannya melalui pembelian, hibah, atau warisan, maka apakah penjual berhak mengambil kembali barang itu atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا حَقَّ لَهُ فِي اسْتِرْجَاعِهِ، لِأَنَّهُ لَمَّا صَارَ إِلَى حَالٍ لَا يَصِحُّ اسْتِرْجَاعُهُ سَقَطَ حَقُّهُ مِنَ الرُّجُوعِ بِهِ.

Salah satunya: Penjual tidak berhak mengambil kembali barang tersebut, karena ketika barang itu telah sampai pada keadaan di mana pengambilan kembali tidak sah, maka gugurlah hak penjual untuk mengambilnya kembali.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ اسْتِرْجَاعُهُ لِوُجُودِهِ فِي مِلْكِ مُبْتَاعِهِ قَبْلَ دَفْعِ ثَمَنِهِ، فَلَوْ كَانَ الْمُشْتَرِي قَدْ بَاعَهُ ثُمَّ ابْتَاعَهُ بِثَمَنٍ لَمْ يَدْفَعْهُ حَتَّى فَلَسَ كَانَ الْبَائِعُ الثَّانِي أَحَقَّ بِاسْتِرْجَاعِهِ مِنَ الْأَوَّلِ فَإِنْ عَفَا الْبَائِعُ الثَّانِي عَنِ اسْتِرْجَاعِهِ وَضَرَبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِثَمَنِهِ فَهَلْ يَسْتَحِقُّ الْبَائِعُ الْأَوَّلُ اسْتِرْجَاعَهُ أَمْ لَا؟ عَلَى الْوَجْهَيْنِ الْمَاضِيَيْنِ. فَلَوْ كَانَ الْمُشْتَرِي قَدْ بَاعَهُ عَلَى ثَالِثٍ ثُمَّ ابْتَاعَهُ بِثَمَنٍ لَمْ يدفعه حَتَّى فَلَسَ فَحَضَرَ الْبَاعَةُ الثَّلَاثَةُ قَبْلَ قَبْضِ ثَمَنِهِ كَانَ الْبَائِعُ الثَّالِثُ أَحَقُّ بِاسْتِرْجَاعِهِ فَإِنْ عَفَا الثَّالِثُ عَنْهُ: فَهَلْ لِلْأَوَّلِ وَالثَّانِي حَقٌّ فِي اسْتِرْجَاعِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Pendapat kedua: Penjual berhak mengambil kembali barang tersebut karena barang itu masih berada dalam kepemilikan pembelinya sebelum harga dibayarkan. Jika pembeli telah menjualnya, lalu membelinya kembali dengan harga yang belum dibayarkan hingga ia bangkrut, maka penjual kedua lebih berhak mengambil kembali barang itu daripada penjual pertama. Jika penjual kedua memaafkan hak pengambilan kembali dan menuntut harga bersama para kreditur, maka apakah penjual pertama berhak mengambil kembali barang itu atau tidak? Ada dua pendapat sebagaimana telah disebutkan. Jika pembeli telah menjualnya kepada pihak ketiga, lalu membelinya kembali dengan harga yang belum dibayarkan hingga ia bangkrut, kemudian ketiga penjual hadir sebelum harga diterima, maka penjual ketiga lebih berhak mengambil kembali barang itu. Jika penjual ketiga memaafkan haknya, maka apakah penjual pertama dan kedua berhak mengambil kembali barang itu atau tidak? Ada tiga pendapat:

أحدهما: أَنَّهُ لَا حَقَّ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي اسْتِرْجَاعِهِ.

Pertama: Tidak ada hak bagi keduanya untuk mengambil kembali barang tersebut.

وَالثَّانِي: يَسْتَحِقُّهُ الثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ.

Kedua: Yang berhak adalah penjual kedua saja, karena ia lebih dekat.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُمَا يَسْتَرْجِعَانِهِ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ فَيَأْخُذُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفَهُ بِنِصْفِ الثَّمَنِ وَيَضْرِبُ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِالنِّصْفِ الْبَاقِي مِنَ الثَّمَنِ.

Ketiga: Keduanya mengambil kembali barang itu di antara mereka berdua secara setengah-setengah, sehingga masing-masing mengambil setengah barang dengan setengah harga, dan menuntut bersama para kreditur untuk setengah harga yang tersisa.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَلَوْ كَانَ الْمَبِيعُ شِقْصًا فَاسْتَحَقَّتْ فِيهِ الشُّفْعَةُ وَفَلَسَ الْمُشْتَرِي ثُمَّ حَضَرَ الْبَائِعُ وَالشَّفِيعُ وَتَنَازَعَا فِي أَخْذِ الشِّقْصِ فَاخْتَلَفَ فِيهِ أَصْحَابُنَا أَيُّهُمَا أَحَقُّ بِأَخْذِهِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika barang yang dijual adalah bagian (syu‘) lalu syuf‘ah berlaku padanya dan pembeli bangkrut, kemudian penjual dan pemilik hak syuf‘ah hadir dan berselisih dalam mengambil bagian tersebut, maka para ulama kami berbeda pendapat: siapakah yang lebih berhak mengambilnya? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْبَائِعَ أَحَقُّ بِهِ مِنَ الشَّفِيعِ لِأَنَّ مَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ مِنَ الضَّرَرِ أَكْثَرُ مِمَّا يَدْخُلُ عَلَى الشَّفِيعِ.

Salah satunya: Penjual lebih berhak atasnya daripada pemilik hak syuf‘ah, karena kerugian yang menimpa penjual lebih besar daripada yang menimpa pemilik hak syuf‘ah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ أَصَحُّ – أَنَّ الشَّفِيعَ أَوْلَى بِهِ لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua—dan ini yang lebih shahih—bahwa pemilik hak syuf‘ah lebih berhak atasnya karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ اسْتَحَقَّ الشُّفْعَةَ بِالْبَيْعِ الْمُتَقَدِّمِ وَالْبَائِعُ اسْتَحَقَّ الِاسْتِرْجَاعَ بِالْفَلَسِ الْحَادِثِ فَكَانَ الشَّفِيعُ أَوْلَى لِتَقَدُّمِ حَقِّهِ.

Pertama: Ia berhak atas syuf‘ah karena penjualan sebelumnya, sedangkan penjual berhak mengambil kembali karena kebangkrutan yang terjadi kemudian, sehingga pemilik hak syuf‘ah lebih berhak karena haknya lebih dahulu.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْمُشْتَرِي لَوْ بَاعَ الشِّقْصَ كَانَ الشَّفِيعُ أَوْلَى بِأَخْذِهِ فَأَوْلَى إِذَا أَفْلَسَ أَنْ يَكُونَ أَحَقَّ بِأَخْذِهِ فَعَلَى هَذَا إِذَا أَخَذَ الشَّفِيعُ الشِّقْصَ بِالشُّفْعَةِ. فَهَلْ يُقَدَّمُ الْبَائِعُ بِثَمَنِهِ أَوْ يَكُونَ أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ فِيهِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kedua: Jika pembeli menjual bagian tersebut, maka pemilik hak syuf‘ah lebih berhak mengambilnya, maka lebih utama lagi jika pembeli bangkrut, pemilik hak syuf‘ah lebih berhak mengambilnya. Berdasarkan hal ini, jika pemilik hak syuf‘ah mengambil bagian tersebut melalui syuf‘ah, maka apakah penjual didahulukan dalam menerima harga atau disamakan dengan para kreditur dalam hal itu? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْبَائِعَ يُقَدَّمُ بِثَمَنِهِ عَلَى جَمِيعِ الْغُرَمَاءِ كَمَا كَانَ مُقَدَّمًا بِاسْتِرْجَاعِهِ عَلَى جَمِيعِ الْغُرَمَاءِ.

Salah satu pendapat: Bahwa penjual didahulukan dalam mendapatkan harga (barang) atas seluruh para kreditur, sebagaimana ia juga didahulukan dalam mengambil kembali barangnya atas seluruh para kreditur.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْبَائِعَ أُسْوَةُ جَمِيعِ الْغُرَمَاءِ فِي ثَمَنِهِ لِفَوَاتِ الْعَيْنِ وَأَنَّ مَا دَفَعَ الشَّفِيعُ مِنَ الثَّمَنِ فِي حُكْمِ مُشْتَرٍ لَوِ اشْتَرَاهُ فَدَفَعَ الثَّمَنَ كَانَ جَمِيعُ الْغُرَمَاءِ فِيهِ أُسْوَةً فَكَذَلِكَ مَا دَفَعَ الشَّفِيعُ مِنَ الثَّمَنِ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ جَمِيعُ الْغُرَمَاءِ فِيهِ أُسْوَةً.

Pendapat kedua: Bahwa penjual diperlakukan sama dengan seluruh para kreditur dalam hal harga barang karena barangnya telah hilang, dan bahwa apa yang dibayarkan oleh syafī‘ (pemilik hak syuf‘ah) dari harga barang itu diposisikan seperti seorang pembeli; seandainya ia membeli lalu membayar harga barang, maka seluruh para kreditur diperlakukan sama dalam hal itu. Maka demikian pula, apa yang dibayarkan oleh syafī‘ dari harga barang, wajib untuk diperlakukan sama oleh seluruh para kreditur.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” ويقال لمن قبل الحديث في المفلس فِي الْحَيَاةِ دُونَ الْمَوْتِ قَدْ حَكَمَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِالشُّفْعَةِ عَلَى الْحَيِّ فَحَكَمْتُمْ بِهَا عَلَى وَرَثَتِهِ فَكَيْفَ لَمْ تَحْكُمُوا فِي الْمُفْلِسِ فِي مَوْتِهِ عَلَى وَرَثَتِهِ كَمَا حَكَمْتُمْ عَلَيْهِ فِي حَيَاتِهِ فَقَدْ جَعَلْتُمْ لِلْوَرَثَةِ أَكْثَرَ مِمَّا لِلْمُوَرِّثِ الَّذِي عَنْهُ مَلَكُوا وَأَكْثَرُ حَالِ الْوَارِثِ أَنْ لَا يكون له إلا ما للميت “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dan dikatakan kepada orang yang menerima hadis tentang orang yang bangkrut (muflis) hanya berlaku pada saat hidup, tidak pada saat meninggal: Nabi ﷺ telah memutuskan hak syuf‘ah atas orang yang masih hidup, lalu kalian memutuskan hak itu atas ahli warisnya. Maka mengapa kalian tidak memutuskan dalam kasus orang yang bangkrut ketika meninggal atas ahli warisnya sebagaimana kalian memutuskan atas dirinya ketika masih hidup? Dengan demikian, kalian telah memberikan kepada ahli waris lebih banyak daripada yang diberikan kepada orang yang mewariskan, padahal kebanyakan keadaan ahli waris adalah tidak memiliki kecuali apa yang dimiliki oleh si mayit.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ مَوْتَ الْمُشْتَرِي قَبْلَ دَفْعِ الثَّمَنِ مَعَ بَقَاءِ السِّلْعَةِ مَعَهُ لَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa kematian pembeli sebelum membayar harga barang, sementara barang masih ada padanya, tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَمُوتَ مُفْلِسًا.

Pertama, ia meninggal dalam keadaan muflis (bangkrut).

أَوْ مُوسِرًا فَإِنْ مَاتَ مُوسِرًا: كَانَ الْبَائِعُ أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ وَلَا حَقَّ لَهُ فِي اسْتِرْجَاعِ مَا بَاعَ، هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَجُمْهُورِ أَصْحَابِهِ، وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ: مَنْ يَتَّهِمُ أَنَّ لِلْبَائِعِ اسْتِرْجَاعَ مَالِهِ بِمَوْتِ الْمُشْتَرِي مُوسِرًا كَمَا لَهُ اسْتِرْجَاعُهُ بِمَوْتِ الْمُشْتَرِي مُفْلِسًا لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَيُّمَا رَجُلٍ مَاتَ أَوْ أَفْلَسَ فَصَاحِبُ الْمَتَاعِ أَحَقُّ بِمَتَاعِهِ إِذَا وَجَدَهُ بِعَيْنِهِ ” قَالَ وَلِأَنَّهُ لَمَّا رَجَعَ بِعَيْنِ مَالِهِ بِإِفْلَاسِ الْمُشْتَرِي لِخَرَابِ الذِّمَّةِ بِالْإِفْلَاسِ كَانَ رُجُوعُهُ بِعَيْنِ مَالِهِ بِمَوْتِ الْمُشْتَرِي أَوْلَى لِتَلَفِ ذِمَّتِهِ بِالْمَوْتِ. وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ رُجُوعَ الْبَائِعِ بِعَيْنِ مَالِهِ لَمَّا لَمْ يَلْحَقْهُ مِنَ الضَّرَرِ بِقَبْضِ الثَّمَنِ – وَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ فِي الْمُفْلِسِ الْحَيِّ وَمَعْدُومٌ فِي الْمُوسِرِ الْمَيِّتِ – فَلَا وَجْهَ لِلْجَمْعِ بَيْنَهُمَا فِي افْتِرَاقِ الْمَعْنَى فِيهِمَا وَيَكُونُ مَعْنَى قَوْلِهِ: ” أَيُّمَا رَجُلٍ مَاتَ أَوْ أَفْلَسَ ” بِمَعْنَى: مَاتَ مُفْلِسًا أَوْ أَفْلَسَ حَيًّا، وَتَلَفُ الذِّمَّةِ بِالْمَوْتِ لَيْسَ يَمْنَعُ عَنْ وُصُولِ الْبَائِعِ إِلَى حَقِّهِ وَخَرَابُهَا بِالْفَلَسِ فِي الْحَيَاةِ يَمْنَعُهُ مِنْ وُصُولِهِ إِلَى حَقِّهِ فلم يكن للاستدلال بهذا وجه.

Atau ia meninggal dalam keadaan mampu (mampu membayar). Jika ia meninggal dalam keadaan mampu, maka penjual diperlakukan sama dengan para kreditur lainnya dan tidak berhak untuk mengambil kembali barang yang telah dijualnya. Ini adalah mazhab Syafi‘i rahimahullah dan mayoritas pengikutnya. Abu Sa‘id al-Istakhri berkata: Ada yang berpendapat bahwa penjual berhak mengambil kembali barangnya ketika pembeli meninggal dalam keadaan mampu, sebagaimana ia berhak mengambilnya ketika pembeli meninggal dalam keadaan muflis, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa yang meninggal atau bangkrut, maka pemilik barang lebih berhak atas barangnya jika ia menemukannya masih ada.” Ia juga berkata: Karena ketika penjual dapat mengambil kembali barangnya akibat pembeli bangkrut karena hancurnya tanggungan (kewajiban) dengan kebangkrutan, maka mengambil kembali barangnya karena kematian pembeli lebih utama, karena tanggungannya hilang dengan kematian. Namun ini adalah kekeliruan, karena kembalinya penjual atas barangnya itu terjadi karena ia tidak mendapatkan kerugian akibat telah menerima harga barang—dan makna ini ada pada orang yang muflis yang masih hidup, namun tidak ada pada orang yang mampu yang telah meninggal—maka tidak ada alasan untuk menyamakan keduanya karena perbedaan makna di antara keduanya. Maka makna sabda Nabi: “Barang siapa yang meninggal atau bangkrut” adalah: meninggal dalam keadaan muflis atau bangkrut saat hidup. Dan hilangnya tanggungan karena kematian tidak menghalangi penjual untuk mendapatkan haknya, sedangkan hancurnya tanggungan karena kebangkrutan saat hidup menghalanginya untuk mendapatkan haknya. Maka tidak ada alasan untuk menjadikan hadis ini sebagai dalil.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا مَاتَ الْمُشْتَرِي مُفْلِسًا فَلِلْبَائِعِ اسْتِرْجَاعُ مَالِهِ، وَقَالَ مَالِكٌ: قَدْ سَقَطَ بِمَوْتِ الْمُشْتَرِي رُجُوعُ الْبَائِعِ بِعَيْنِ مَالِهِ فَلَا حَقَّ لَهُ فِيهِ وَيَضْرِبُ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِثَمَنِهِ. اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَتِهِ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” أيما رجل باع مِنْ ثَمَنِهِ شَيْئًا فَوَجَدَهُ بِعَيْنِهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ فَإِنْ مَاتَ الْمُشْتَرِي فَصَاحِبُ الْمَتَاعِ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ ” وَهَذَا نَصٌّ، قَالَ: وَلِأَنَّ الْمَبِيعَ بَعْدَ الْمَوْتِ قَدْ صَارَ مِلْكًا لِوَارِثِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُنْتَزَعَ مِنْهُ بِفَلَسِ غَيْرِهِ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُنْتَزَعَ مِمَّنِ انْتَقَلَ إِلَيْهِ بِبَيْعٍ أَوْ غَيْرِهِ قَالَ:

Jika pembeli meninggal dalam keadaan muflis, maka penjual berhak mengambil kembali barangnya. Malik berpendapat: Dengan meninggalnya pembeli, hak penjual untuk mengambil kembali barangnya telah gugur, sehingga ia tidak lagi berhak atasnya dan ia menuntut bersama para kreditur lainnya atas harga barang tersebut. Ini didasarkan pada riwayatnya dari az-Zuhri dari Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa yang menjual sesuatu dari harga barangnya, lalu ia menemukan barang itu masih ada, maka ia lebih berhak atasnya. Namun jika pembeli meninggal, maka pemilik barang diperlakukan sama dengan para kreditur lainnya.” Dan ini adalah nash. Ia juga berkata: Karena barang yang dijual setelah kematian telah menjadi milik ahli warisnya, maka tidak boleh diambil darinya karena kebangkrutan orang lain, sebagaimana tidak boleh diambil dari orang yang mendapatkannya melalui jual beli atau cara lain.

وَلِأَنَّ دُيُونَ الْمَيِّتِ قَدِ انْتَقَلَتْ بِالْمَوْتِ مِنْ ذِمَّتِهِ إِلَى عَيْنِ تَرِكَتِهِ، فَاسْتَوَى الْبَائِعُ وَجَمِيعُ الْغُرَمَاءِ فِي تَعَلُّقِ حُقُوقِهِمْ بِأَعْيَانِ تَرِكَتِهِ وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَيُّمَا رَجُلٍ مَاتَ أَوْ أَفْلَسَ فَصَاحِبُ الْمَتَاعِ أَحَقُّ بِمَتَاعِهِ إِذَا وَجَدَهُ بِعَيْنِهِ “. وَلِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَحَقَّ بِفَلَسِ الْحَيِّ أَنْ يَرْجِعَ بِعَيْنِ مَالِهِ مَعَ بَقَاءِ ذِمَّتِهِ فَرُجُوعُهُ بِفَلَسِ الْمَيِّتِ أَوْلَى ذِمَّتَهُ وَلِأَنَّ كُلَّ حَقٍّ تَعَلَّقَ بِالْعَيْنِ لَمْ يَبْطُلْ بِالْمَوْتِ مَعَ بَقَاءِ الْعَيْنِ كَالرَّهْنِ إِذَا مَاتَ رَاهِنُهُ وَالْعَبْدِ الْجَانِي إِذَا مَاتَ سَيِّدُهُ، وَأَيْضًا مِمَّا اسْتَدَلَّ بِهِ الشَّافِعِيُّ: مِنْ أَنَّ أَقْوَى أَحْوَالِ الْوَارِثِ أَنْ يَكُونَ مِثْلَ مَوْرُوثِهِ فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ لِلْمُفْلِسِ أَنْ يَمْنَعَ الْبَائِعَ مِنَ الرُّجُوعِ بِعَيْنِ مَالِهِ فَوَارِثُهُ أَوْلَى أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ مَنْعُ الْبَائِعِ مِنَ الرُّجُوعِ بعين ماله. اعترض الْمُزَنِيُّ عَلَى هَذَا الِاسْتِدْلَالِ فَقَالَ: قَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْحَبْسِ: إِذَا هَلَكَ أَهْلُهُ رَجَعَ إِلَى أَقْرَبِ النَّاسِ بِالْمَحْبَسِ. قَدْ جَعَلَ الْأَقْرَبَ بِالْمَحْبَسِ فِي حَيَاتِهِ مَا لَمْ يَجْعَلْ لِلْمَحْبَسِ يُرِيدُ: أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا وَقَفَ عَلَى أَوْلَادِهِ فَهَلَكُوا فِي حَيَاتِهِ كَانَ الْوَقْفُ رَاجِعًا إِلَى أَقْرَبِ النَّاسِ بِالْوَاقِفِ. وَلَا يَرْجِعُ إِلَى الْوَاقِفِ لَكِنْ رَوَى الْمُزَنِيُّ: أَنَّهُ يَرْجِعُ إِلَى أَقْرَبِهِمْ فَظَاهَرُ هَذَا اسْتِوَاءُ الْأَغْنِيَاءِ فِيهِ وَالْفُقَرَاءِ. وَرَوَى حَرْمَلَةُ: أَنَّهُ يَرْجِعُ إِلَى الْفُقَرَاءِ مِنْ قَرَابَتِهِ. وَلَيْسَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ كَمَا وَهِمَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا فِيهِ وَأَمَّا الْإِطْلَاقُ فِي رِوَايَةِ الْمُزَنِيِّ مَحْمُولٌ عَلَى الْمُقَيَّدِ فِي رِوَايَةِ حَرْمَلَةَ قَالَ الْمُزَنِيُّ: قَدْ جُعِلَ لِوَرَثَتِهِ مَا لَمْ يُجْعَلْ لَهُ فِي حَيَاتِهِ. فَأَجَابَ أَصْحَابُنَا عَنْ ذَلِكَ بِجَوَابِينَ:

Karena utang-utang mayit telah berpindah dengan kematiannya dari tanggungan pribadinya kepada harta peninggalannya secara langsung, maka kedudukan penjual dan seluruh para kreditur menjadi sama dalam kaitan hak-hak mereka terhadap harta peninggalan tersebut. Dalil atas apa yang kami sebutkan adalah sabda Nabi ﷺ: “Siapa saja yang meninggal dunia atau bangkrut, maka pemilik barang lebih berhak atas barangnya jika ia menemukannya secara langsung.” Dan karena ketika seseorang yang masih hidup dinyatakan bangkrut, ia berhak untuk mengambil kembali barangnya selama masih ada dalam bentuk aslinya, maka mengambil kembali barang pada kasus kebangkrutan mayit lebih utama, karena tanggungannya telah terputus. Dan setiap hak yang berkaitan dengan barang secara langsung tidak gugur dengan kematian selama barang itu masih ada, seperti gadai jika pemberi gadai meninggal dunia, atau budak yang melakukan pelanggaran jika tuannya meninggal dunia. Juga, di antara dalil yang digunakan oleh Imam Syafi‘i adalah bahwa keadaan terkuat seorang ahli waris adalah ketika ia seperti orang yang diwarisinya. Maka, jika orang yang bangkrut tidak berhak mencegah penjual untuk mengambil kembali barangnya, maka ahli warisnya lebih utama untuk tidak berhak mencegah penjual mengambil kembali barangnya. Al-Muzani mengkritik istidlal (argumentasi) ini dan berkata: Imam Syafi‘i berkata dalam masalah hibah: “Jika ahli hibah meninggal, maka hibah kembali kepada kerabat terdekat dari yang menerima hibah.” Ia menjadikan kerabat terdekat sebagai penerima hibah dalam hidupnya, bukan untuk yang menerima hibah itu sendiri. Maksudnya: jika seseorang mewakafkan kepada anak-anaknya, lalu mereka meninggal dalam hidupnya, maka wakaf itu kembali kepada kerabat terdekat dari pewakaf, dan tidak kembali kepada pewakaf. Namun, Al-Muzani meriwayatkan bahwa wakaf itu kembali kepada kerabat terdekat mereka, sehingga tampak bahwa baik orang kaya maupun fakir sama dalam hal ini. Harmalah meriwayatkan bahwa wakaf itu kembali kepada fakir miskin dari kerabatnya. Dan hal itu bukanlah dua pendapat sebagaimana disangka sebagian sahabat kami. Adapun lafaz mutlak dalam riwayat Al-Muzani harus dipahami sesuai dengan yang muqayyad dalam riwayat Harmalah. Al-Muzani berkata: “Telah dijadikan untuk ahli warisnya sesuatu yang tidak dijadikan untuknya semasa hidupnya.” Maka sahabat-sahabat kami menjawab hal itu dengan dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ جَوَابُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: أَنَّ الْوَاقِفَ أَخْرَجَ الْوَقْفَ لِلَّهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَعُودَ إِلَيْهِ لِهَذَا الْمَعْنَى وَهَذَا مَعْدُومٌ فِي قَرَابَتِهِ.

Pertama, yaitu jawaban Abu Ishaq Al-Marwazi: bahwa pewakaf telah mengeluarkan wakaf itu untuk Allah, sehingga tidak boleh kembali kepadanya karena alasan ini, dan hal ini tidak terdapat pada kerabatnya.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي: وَهُوَ جَوَابُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رُجُوعَ الْوَقْفِ إِلَى قُرَابَةِ الْوَاقِفِ لَيْسَ بِالْإِرْثِ لِأَنَّ الْحَيَّ لَا يُورَثُ، وَلِأَنَّ الْوَاقِفَ لَوْ تَرَكَ بِنْتَ بِنْتٍ وَعَمًّا رَجَعَ الْوَقْفُ إِلَى بِنْتِ الْبِنْتِ وإن لم تكون وَارِثَةً لِأَنَّهَا أَقْرَبُ وَلَمْ يَرْجِعْ إِلَى الْعَمِّ وَإِنْ كَانَ وَارِثًا لِأَنَّهُ أَبْعَدُ فَإِذَا لَمْ يَرْجِعِ الْوَقْفُ إِلَيْهِمْ بِالْإِرْثِ لَمْ يَقُومُوا فِيهِ مَقَامَهُ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ أَقْوَى مِنْهُ وَمَالُ الْمُفْلِسِ إِنَّمَا صَارَ إِلَى وَرَثَتِهِ بِالْمَوْتِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونُوا فِيهِ أَقْوَى مِنْهُ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا اسْتَدَلَّ بِهِ مَالِكٌ مِنْ الْخَبَرِ فَهُوَ أَنَّهُ مُرْسَلٌ وَالِاحْتِجَاجُ بِهِ لَا يَلْزَمُ، وَلَوِ الْتَزَمْنَاهُ لَكَانَ مَحْمُولًا عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ:

Jawaban kedua, yaitu jawaban Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: bahwa kembalinya wakaf kepada kerabat pewakaf bukanlah karena warisan, karena orang yang masih hidup tidak diwarisi. Dan jika pewakaf meninggalkan cucu perempuan dan paman, maka wakaf itu kembali kepada cucu perempuan meskipun ia bukan ahli waris, karena ia lebih dekat, dan tidak kembali kepada paman meskipun ia ahli waris, karena ia lebih jauh. Maka jika wakaf tidak kembali kepada mereka karena warisan, mereka tidak menempati posisinya, sehingga boleh jadi mereka lebih kuat darinya. Sedangkan harta orang yang bangkrut hanya berpindah kepada ahli warisnya karena kematian, sehingga tidak boleh mereka lebih kuat darinya. Adapun jawaban atas dalil yang digunakan oleh Malik dari hadis, maka hadis itu mursal dan tidak wajib berhujah dengannya. Andaipun kami menerimanya, maka hadis itu dapat dipahami dalam dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يُحْمَلَ عَلَى مَنْ مَاتَ مُوسِرًا.

Yaitu, bisa dipahami pada orang yang meninggal dalam keadaan mampu.

وَإِمَّا أَنْ يُحْمَلَ عَلَى الْبَائِعِ إِذَا لَمْ يُرِدِ الرُّجُوعَ بِعَيْنِ مَالِهِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إنَّهُ قَدِ انْتَقَلَ بِالْمَوْتِ إِلَى مِلْكِ وَارِثِهِ فَهُوَ أَنَّ الْمِلْكَ انْتَقَلَ بِالْمَوْتِ إِلَى مِلْكِ الْوَارِثِ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي كَانَ عَلَى مِلْكِ الْمُوَرَّثِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ مَاتَ عَنْ شِقْصٍ قَدِ اسْتَحَقَّ بِالشُّفْعَةِ كَانَ الشِّقْصُ مُنْتَقِلًا إِلَى الْوَارِثِ مَعَ مَا قَدْ تَعَلَّقَ بِهِ مِنَ اسْتِحْقَاقِ الشُّفْعَةِ كَذَلِكَ مَالُ الْمُفْلِسِ قَدِ انْتَقَلَ إِلَى الْوَارِثِ بِمَا قَدْ تَعَلَّقَ بِهِ مِنْ حَقِّ الِاسْتِرْجَاعِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ دُيُونَ الْمَيِّتِ قَدِ انْتَقَلَتْ بِتَلَفِ الذِّمَّةِ إِلَى عَيْنِ مَالِهِ فَاسْتَوَى الْبَائِعُ وَجَمِيعُ الْغُرَمَاءِ: فَهُوَ أَنَّ هَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّهُ لَوْ تَعَلَّقَتْ حُقُوقُهُمْ بِعَيْنِ مَالِهِ لَمَا جَازَ للورثة أن يفضوا دُيُونَهُمْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ عَلَى أَنَّنَا لَوْ سَلَّمْنَا هَذَا لَكَانَتْ مُتَعَلِّقَةً بِمَا سِوَى الْأَعْيَانِ الَّتِي بِيعَتْ عَلَيْهِ لِتَعَلُّقِ حُقُوقِ بَائِعِهَا بِهَا.

Atau bisa juga dimaknai bahwa hal itu berlaku bagi penjual jika ia tidak ingin mengambil kembali barangnya secara langsung. Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa kepemilikan telah berpindah kepada ahli waris karena kematian, maka jawabannya adalah bahwa kepemilikan itu memang berpindah kepada ahli waris dengan cara yang sama seperti kepemilikan si pewaris sebelumnya. Bukankah engkau melihat bahwa jika seseorang meninggal dunia dan ia memiliki bagian yang telah berhak diperoleh melalui hak syuf‘ah, maka bagian itu berpindah kepada ahli waris beserta hak syuf‘ah yang melekat padanya? Demikian pula harta orang yang bangkrut berpindah kepada ahli waris beserta hak penarikan kembali (istirjā‘) yang melekat padanya. Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa utang-utang si mayit telah berpindah karena hilangnya tanggungan (dzimmah) menjadi melekat pada harta bendanya sehingga penjual dan seluruh kreditur menjadi setara, maka hal ini tidak benar. Sebab, jika hak-hak mereka benar-benar melekat pada harta bendanya, niscaya tidak boleh bagi para ahli waris untuk melunasi utang-utang si mayit dari harta mereka sendiri. Bahkan, seandainya kita menerima pendapat tersebut, maka hak-hak itu hanya akan melekat pada selain barang-barang yang telah dijual kepadanya, karena hak penjual atas barang-barang tersebut tetap melekat padanya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ لِكُلِّ مَنْ وَجَدَ عَيْنَ مَالِهِ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ عَلَى الْمُفْلِسِ حَيًّا وَمَيِّتًا. فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمَيِّتِ مُفْلِسًا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika telah tetap bahwa setiap orang yang menemukan barang miliknya berhak untuk mengambil kembali dari orang yang bangkrut, baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal dunia, maka keadaan orang yang meninggal dalam keadaan bangkrut tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ بَعْدَ وُقُوعِ الْحَجْرِ عَلَيْهِ بِالْفَلَسِ.

Pertama, kematiannya terjadi setelah adanya keputusan hakim untuk memblokir hartanya karena kebangkrutan.

أَوْ يَكُونَ قَبْلَ وُقُوعِ الْحَجْرِ عَلَيْهِ بِالْفَلَسِ فَإِنْ كَانَ مَوْتُهُ بَعْدَ أَنْ حَجَرَ الْحَاكِمُ عَلَيْهِ بِالْفَلَسِ فَالْمَقْصُودُ بِالْحَجْرِ عَلَيْهِ شيئين:

Atau, kematiannya terjadi sebelum adanya keputusan hakim untuk memblokir hartanya karena kebangkrutan. Jika kematiannya terjadi setelah hakim memblokir hartanya karena kebangkrutan, maka tujuan dari pemblokiran tersebut ada dua:

أَحَدُهُمَا: حِفْظُ مَالِهِ عَلَى غُرَمَائِهِ لِيَصِلُوا إِلَى حُقُوقِهِمْ مِنْهُ.

Pertama: menjaga hartanya agar para kreditur dapat memperoleh hak mereka darinya.

وَالثَّانِي: رَدُّ الْأَعْيَانِ إِلَى بَائِعِهَا إِذَا لَمْ يَقْضُوا أَثْمَانَهَا وَإِنْ مَاتَ قَبْلَ حَجْرِ الْحَاكِمِ عَلَيْهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُوقَعَ الْحَجْرُ حَجْرَ الْمُفْلِسِ عَلَى مَالِهِ بَعْدَ الْمَوْتِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ عَاجِزًا عَنْ قَدْرِ الدَّيْنِ فَإِنْ كَانَ فِيهِ وَفَاءٌ بِالدَّيْنِ سَقَطَ حَجْرُ الْمُفْلِسِ عَنْهُ وَجْهًا وَاحِدًا وَإِنْ كَانَ فِي الْحَيِّ عَلَى وَجْهَيْنِ، لِأَنَّ الْحَيَّ يُخَافُ تَبْذِيرُهُ فَجَازَ الْحَجْرُ عَلَيْهِ مَعَ الْوَفَاءِ وَقَدْ أُمِنَ ذَلِكَ فِي حَالِ الْمَيِّتِ، لِأَنَّ الْوَرَثَةَ مَمْنُوعُونَ مِنَ التَّصَرُّفِ بِكُلِّ حَالٍ فِي تَرِكَةِ الْمَيِّتِ إِلَّا بَعْدَ قَضَاءِ دَيْنِهِ فَلَمْ يَجُزْ إِيقَاعُ حَجْرِ الْمُفْلِسِ عَلَى مَالِهِ مَعَ وُجُودِ الْوَفَاءِ ثُمَّ الْمَقْصُودُ بِهَذَا الْحَجْرِ عِنْدَ عَجْزِ الْمَالِ رَدُّ الْأَعْيَانِ عَلَى بَائِعِهَا إِذَا لَمْ يَقْبِضْ أَثْمَانَهَا فَأَمَّا حِفْظُ التَّرِكَةِ عَلَى الْغُرَمَاءِ فَذَلِكَ مُسْتَحَقٌّ مَعَ وُجُودِ الْفَلَسِ وَعَدَمِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Kedua: mengembalikan barang-barang kepada penjualnya jika harganya belum dibayar. Jika ia meninggal sebelum hakim memblokir hartanya, maka tidak boleh dilakukan pemblokiran harta seperti pemblokiran terhadap orang bangkrut setelah kematiannya, kecuali jika hartanya tidak cukup untuk melunasi utang. Jika hartanya cukup untuk melunasi utang, maka pemblokiran terhadap orang bangkrut gugur secara mutlak, berbeda dengan ketika masih hidup yang terdapat dua pendapat. Sebab, orang yang masih hidup dikhawatirkan akan menghambur-hamburkan harta, sehingga boleh dilakukan pemblokiran meskipun hartanya cukup, sedangkan pada orang yang telah meninggal, kekhawatiran tersebut tidak ada, karena para ahli waris dilarang melakukan tindakan apa pun terhadap harta warisan sebelum utangnya dilunasi. Oleh karena itu, tidak boleh dilakukan pemblokiran terhadap harta orang bangkrut jika hartanya cukup. Adapun tujuan dari pemblokiran ini ketika harta tidak mencukupi adalah untuk mengembalikan barang-barang kepada penjualnya jika harganya belum diterima. Adapun menjaga harta warisan untuk para kreditur, itu tetap menjadi hak mereka baik dalam keadaan bangkrut maupun tidak. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا أَجْعَلُ لِلْغُرَمَاءِ مَنْعَهُ بِدَفْعِ الثَّمَنِ وَلَا لِوَرَثَةِ الْمَيِّتِ وَقَدْ جَعَلَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أحق به منهم (قال المزني) قلت أنا وقال في المحبس إِذَا هَلَكَ أَهْلُهُ رَجَعَ إِلَى أَقْرَبِ النَّاسِ إلى المحبس فقد جعل لأقرب الناس بِالْمَحْبَسِ فِي حَيَاتِهِ مَا لَمْ يَجْعَلْ لِلْمَحْبَسِ وهذا عندي غير جائز “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Aku tidak memberikan hak kepada para kreditur untuk mencegah (penjual) dengan membayar harga, dan tidak pula kepada ahli waris si mayit, padahal Nabi ﷺ telah menjadikan penjual lebih berhak atas barang itu daripada mereka.” (Al-Muzani berkata:) Aku berkata, dan beliau juga berkata dalam masalah wakaf: ‘Jika ahli wakaf telah meninggal, maka kembali kepada kerabat terdekat dari orang yang mewakafkan.’ Maka beliau memberikan hak kepada kerabat terdekat dalam masa hidupnya yang tidak diberikan kepada orang yang mewakafkan. Menurutku, hal ini tidak diperbolehkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا كَانَ عَيْنُ مَالِ الْبَائِعِ زَائِدَ الْقِيمَةِ عَلَى ثَمَنِهِ فَبَذَلَ لَهُ غُرَمَاءُ الْمُفْلِسِ جَمِيعَ الثَّمَنِ وَافِيًا لِيَبِيعُوا السِّلْعَةَ مَعَ زِيَادَتِهَا لَمْ يَلْزَمْهُ ذَلِكَ وَكَانَ أَحَقَّ بِعَيْنِ مَالِهِ وَكَذَلِكَ وَرَثَةُ الْمَيِّتِ إِذَا بَذَلُوا لَهُ الثَّمَنَ مُوفَرًا مِنْ أَمْوَالِهِمْ، وَقَالَ مَالِكٌ: إِذَا بَذَلَ الْغُرَمَاءُ لِلْبَائِعِ ثَمَنَ سِلْعَتِهِ سَقَطَ حَقُّهُ مِنَ الرُّجُوعِ بِهَا اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ رُجُوعَهُ بِعَيْنِ مَالِهِ إِنَّمَا كَانَ لِإِزَالَةِ الضَّرَرِ عَنْهُ بِمَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ مِنَ النَّقْصِ مِنْ مُشَارَكَةِ الْغُرَمَاءِ وَلِذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ بِعَيْنِ مَالِهِ فِي غَيْرِ الْمُفْلِسِ لِفَقْدِ هَذَا الْمَعْنَى فَإِذَا بَذَلَ لَهُ الْغُرَمَاءُ الثَّمَنَ مُوفَرًا زَالَ عَنْهُ الضَّرَرُ فَسَقَطَ حَقُّهُ مِنَ الرُّجُوعِ كَمَا سَقَطَ فِي غَيْرِ الْمُفْلِسِ، وَلِأَنَّ تَعَلُّقَ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِالرَّهْنِ أَقْوَى مِنْ تَعَلُّقِ حَقِّ الْبَائِعِ بِالْعَيْنِ، لِأَنَّهُمَا إِذَا اجْتَمَعَا قُدِّمَ الْمُرْتَهِنُ عَلَى الْبَائِعِ فَلَمَّا ثَبَتَ أَنَّ الْغُرَمَاءَ لَوْ بَذَلُوا لِلْمُرْتَهِنِ دَيْنَهُ سَقَطَ حَقُّهُ مِنَ الرَّهْنِ وَجَبَ إِذَا بَذَلُوا لِلْبَائِعِ الثَّمَنَ أَنْ يَسْقُطَ حَقُّهُ مِنَ الْعَيْنِ، وَلِأَنَّ لِلْمُؤَجِّرِ أَنْ يَفْسَخَ الْإِجَارَةَ بِفَلَسِ الْمُسْتَأْجِرِ كَمَا لِلْبَائِعِ أَنْ يَفْسَخَ الْبَيْعَ بِفَلَسِ الْمُشْتَرِي فَلَمَّا كَانَ الْغُرَمَاءُ لَوْ بَذَلُوا لِلْمُؤَجِّرِ الْأُجْرَةَ سَقَطَ حَقُّهُ مِنَ الْفَسْخِ وَجَبَ إِذَا بَذَلُوا لِلْبَائِعِ الثَّمَنَ أَنْ يَسْقُطَ حَقُّهُ مِنَ الْفَسْخِ، وَدَلِيلُنَا: عُمُومُ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فَصَاحِبُ الْمَتَاعِ أَحَقُّ بِمَتَاعِهِ إِذَا وَجَدَهُ بِعَيْنِهِ “. وَلِأَنَّ حُدُوثَ الْعَيْبِ فِي ذِمَّةِ الْمُشْتَرِي كَوُجُودِ الْعَيْبِ فِي الْمَبِيعِ فَلَمَّا كَانَ بَذْلُ الْبَائِعِ أَرْشَ الْعَيْبِ لَا يَمْنَعُ الْمُشْتَرِي مِنَ الرَّدِّ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ بَذْلُ الْغُرَمَاءِ الثَّمَنَ لَا يَمْنَعُ الْبَائِعَ مِنَ اسْتِرْجَاعِ الْعَيْنِ، وَلِأَنَّ حَقَّ الْبَائِعِ فِي اسْتِرْجَاعِ الْعَيْنِ كَحَقِّ الشَّفِيعِ فِي انْتِزَاعِ الشِّقْصِ بِالشُّفْعَةِ فَلَمَّا كَانَ بَذْلُ الْغُرَمَاءِ الثَّمَنَ لِلشَّفِيعِ لَا يُسْقِطُ حَقَّهُ مِنَ الشُّفْعَةِ كَانَ بَذْلُ الْغُرَمَاءِ الثَّمَنَ لِلْبَائِعِ لَا يُسْقِطُ حَقَّهُ مِنَ اسْتِرْجَاعِ الْعَيْنِ، وَلِأَنَّ الْمَالَ الْمَبْذُولَ لِلْبَائِعِ لَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang ia katakan, yaitu apabila barang milik penjual secara fisik nilainya lebih tinggi dari harga jualnya, lalu para kreditur orang yang pailit menawarkan kepada penjual seluruh harga barang tersebut secara utuh agar mereka dapat menjual barang itu beserta kelebihannya, maka penjual tidak wajib menerima tawaran itu dan ia lebih berhak atas barang miliknya. Demikian pula para ahli waris orang yang meninggal, jika mereka menawarkan harga barang tersebut secara utuh dari harta mereka. Malik berkata: Jika para kreditur memberikan kepada penjual harga barangnya, maka gugurlah hak penjual untuk mengambil kembali barang tersebut, dengan alasan bahwa hak penjual untuk mengambil kembali barangnya hanyalah untuk menghilangkan mudarat yang menimpanya akibat kekurangan yang timbul karena adanya pembagian bersama para kreditur. Oleh karena itu, penjual tidak berhak mengambil kembali barangnya pada selain kasus pailit karena alasan tersebut tidak ada. Maka apabila para kreditur memberikan harga barang secara utuh, hilanglah mudarat itu darinya, sehingga gugurlah haknya untuk mengambil kembali barang tersebut sebagaimana gugur pada selain kasus pailit. Dan karena keterikatan hak pemegang gadai terhadap barang gadai lebih kuat daripada keterikatan hak penjual terhadap barang, sebab apabila keduanya bersamaan, maka pemegang gadai didahulukan atas penjual. Maka, ketika telah tetap bahwa jika para kreditur memberikan utang kepada pemegang gadai, gugurlah haknya atas barang gadai, maka wajib pula jika mereka memberikan harga kepada penjual, gugurlah haknya atas barang tersebut. Dan karena pemilik sewa berhak membatalkan akad sewa karena kepailitan penyewa sebagaimana penjual berhak membatalkan akad jual beli karena kepailitan pembeli, maka ketika para kreditur jika memberikan upah kepada pemilik sewa gugurlah haknya untuk membatalkan, maka wajib pula jika mereka memberikan harga kepada penjual, gugurlah haknya untuk membatalkan. Dalil kami adalah keumuman sabda Nabi ﷺ: “Pemilik barang lebih berhak atas barangnya jika ia mendapatkannya secara fisik.” Dan karena terjadinya cacat pada tanggungan pembeli sama seperti adanya cacat pada barang yang dijual, maka ketika penjual memberikan kompensasi cacat tidak menghalangi pembeli untuk mengembalikan barang, maka wajib pula bahwa pemberian harga oleh para kreditur tidak menghalangi penjual untuk mengambil kembali barangnya. Dan karena hak penjual untuk mengambil kembali barang seperti hak syafii‘ dalam mengambil bagian melalui hak syuf‘ah, maka ketika pemberian harga oleh para kreditur kepada syafii‘ tidak menggugurkan haknya atas syuf‘ah, maka pemberian harga oleh para kreditur kepada penjual tidak menggugurkan haknya untuk mengambil kembali barangnya. Dan karena harta yang diberikan kepada penjual tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ للمفلس.

Yaitu, apakah harta itu milik orang yang pailit.

أو للغرماء فَإِنْ كَانَ لِلْمُفْلِسِ لَمْ يَجُزْ بَذْلُهُ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُخَصَّ بَعْضُ الْغُرَمَاءِ بِالتَّوْفِيرِ عَلَيْهِ دُونَ بَعْضٍ وَأَنَّ الْبَائِعَ لَا يَأْمَنُ ظُهُورَ غَرِيمٍ لَمْ يَرْضَ وَإِنْ كَانَ الْمَبْذُولُ مِنْ مَالِ الْغُرَمَاءِ لَمْ يُجْبَرْ عَلَى قَبُولِهِ لِأَنَّهُ لَا مُعَامَلَةَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِزَوَالِ الضَّرَرِ عَنْهُ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Atau milik para kreditur. Jika harta itu milik orang yang pailit, maka tidak boleh diberikan karena tidak boleh mengkhususkan sebagian kreditur dengan pelunasan tanpa yang lain, dan penjual tidak merasa aman dari munculnya kreditur lain yang tidak rela. Jika harta yang diberikan berasal dari harta para kreditur, maka penjual tidak dipaksa untuk menerimanya karena tidak ada hubungan transaksi antara penjual dan mereka. Adapun jawaban atas argumentasi bahwa mudarat telah hilang darinya, maka dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: فَسَادَهُ بِبَذْلِ أَرْشِ الْعَيْبِ.

Pertama: rusaknya argumentasi tersebut dengan analogi kompensasi cacat.

وَالثَّانِي: أَنَّ الضَّرَرَ لَمْ يَزُلْ لِجَوَازِ حُدُوثِ غَرِيمٍ لَمْ يَرْضَ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِالرَّهْنِ فَهُوَ أَنَّ تَعَلُّقَ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِالرَّهْنِ عَلَى سَبِيلِ الِاسْتِيثَاقِ لَا عَلَى سَبِيلِ التَّمْلِيكِ فَإِذَا وَصَلَ إِلَى حَقِّهِ مِنْ غَيْرِ الرَّهْنِ فَقَدْ حَصَلَ لَهُ الِاسْتِيثَاقُ بِهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْبَائِعُ لِأَنَّ تَعَلُّقَ حَقِّهِ بِعَيْنِ مَالِهِ عَلَى وَجْهِ التَّمْلِيكِ لَهُ فَلَمْ يَسْقُطْ بِبَذْلِ الثَّمَنِ أَلَا تَرَى أَنَّ الْمُرْتَهِنَ لَيْسَ لَهُ أَخْذُ الرَّهْنِ بِحَقِّهِ وَلِلْبَائِعِ أَخْذُ الْعَيْنِ بِحَقِّهِ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِالْإِجَارَةِ: فَهُوَ أَنَّهُ مَتَى لَمْ يَكُنِ الشَّيْءُ الْمُسْتَأْجَرُ مَشْغُولًا بِزَرْعٍ لِلْمُفْلِسِ فَلِلْمُؤَجِّرِ فَسْخُ الْإِجَارَةِ وَلَا يَلْزَمُهُ الْإِمْسَاكُ بِبَذْلِ الْأُجْرَةِ وَإِنْ كَانَ مَشْغُولًا بِزَرْعِهِ وَاتَّفَقَ الْغُرَمَاءُ عَلَى بَذْلِ تَسْلِيمِ الْأُجْرَةِ فَلِلْمُؤَجِّرِ الْفَسْخُ وَأَخْذُ أُجْرَةِ الْمِثْلِ وَلَا يَسْتَرْجِعُ الْأَرْضَ قَبْلَ حَصَادِ الزَّرْعِ فَقَدْ فَسَخَ الْإِجَارَةَ وَإِنْ لَمْ يَسْتَرْجِعِ الْأَرْضَ وَإِنَّمَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَرْجِعَهَا إِذَا بَذَلَ لَهُ ثَمَنَ مَثَلِهَا وَجَازَ لِلْبَائِعِ اسْتِرْجَاعُ الْعَيْنِ وَإِنْ بَذَلَ لَهُ ثَمَنَ مِثْلِهَا أَنَّ بَذْلَ الْأُجْرَةِ مِنَ اسْتِصْلَاحِ مَالِ الْمُفْلِسِ فَيَقَعُ لَازِمًا لَا خِيَارَ فِيهِ لِمَنْ غَابَ مِنَ الْغُرَمَاءِ كَمَا يَبْذُلُ مِنْ مَالِهِ أُجُورَ حِفَاظِهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ بَذْلُ ثَمَنِ الْمَبِيعِ لِأَنَّهُ لَا يَقَعُ لَازِمًا وَلَا فِيهِ اسْتِصْلَاحٌ لِبَاقِي مَالِهِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.

Kedua: Bahwa mudarat itu belum hilang karena masih dimungkinkan adanya kreditur yang tidak rela. Adapun jawaban atas argumentasinya dengan rahn (gadai) adalah bahwa keterikatan hak murtahin (penerima gadai) terhadap barang gadai adalah dalam rangka penjaminan, bukan dalam rangka kepemilikan. Maka, jika ia telah mendapatkan haknya tanpa melalui barang gadai, berarti ia telah memperoleh penjaminan tersebut. Tidak demikian halnya dengan penjual, karena keterikatan haknya pada barang miliknya adalah dalam rangka kepemilikan, sehingga tidak gugur dengan pembayaran harga. Tidakkah engkau lihat bahwa murtahin tidak berhak mengambil barang gadai sebagai ganti haknya, sedangkan penjual berhak mengambil barangnya sebagai ganti haknya? Adapun jawaban atas argumentasinya dengan ijarah (sewa-menyewa): jika barang yang disewakan tidak sedang digunakan untuk menanam tanaman oleh orang yang pailit, maka pemilik berhak membatalkan akad ijarah dan tidak wajib menahan diri dengan menerima pembayaran sewa. Namun, jika barang tersebut sedang digunakan untuk menanam tanamannya dan para kreditur sepakat untuk membayar sewa, maka pemilik berhak membatalkan akad dan mengambil upah sewa yang sepadan, serta tidak boleh mengambil kembali tanah sebelum panen tanaman. Dengan demikian, ia telah membatalkan akad ijarah meskipun belum mengambil kembali tanahnya. Adapun alasan tidak bolehnya mengambil kembali tanah jika telah dibayar harga sepadannya, sedangkan penjual boleh mengambil kembali barangnya meskipun telah dibayar harga sepadannya, adalah karena pembayaran sewa merupakan bagian dari upaya memperbaiki harta orang yang pailit, sehingga menjadi kewajiban yang tidak bisa dipilih oleh kreditur yang tidak hadir, sebagaimana ia membayar dari hartanya untuk upah penjagaan. Tidak demikian halnya dengan pembayaran harga barang yang dijual, karena itu tidak menjadi kewajiban dan tidak ada unsur perbaikan bagi sisa hartanya. Allah lebih mengetahui kebenaran.

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَإِنْ تَغَيَّرَتِ السِّلْعَةُ بِنَقْصٍ فِي بَدَنِهَا بِعَوَرٍ أَوْ غَيْرِهِ أَوْ زَادَتْ فَسَوَاءٌ إِنْ شَاءَ أَخَذَهَا بِجَمِيعِ الثَّمَنِ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَهَا كَمَا تَنْقُصُ الشُّفْعَةُ بِهَدْمٍ مِنَ السَّمَاءِ إِنْ شَاءَ أَخَذَهَا بِجَمِيعِ الثَّمَنِ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَهَا “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika barang dagangan berubah dengan adanya kekurangan pada fisiknya, baik karena cacat atau sebab lain, atau bertambah, maka hukumnya sama saja: jika ia mau, ia boleh mengambilnya dengan membayar seluruh harga, dan jika ia mau, ia boleh meninggalkannya, sebagaimana hak syuf‘ah berkurang karena adanya kerusakan dari langit; jika ia mau, ia boleh mengambilnya dengan membayar seluruh harga, dan jika ia mau, ia boleh meninggalkannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا فَصْلٌ يَجِبُ تَفْصِيلُهُ. وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ السِّلْعَةَ الْمَبِيعَةَ إِذَا تَغَيَّرَتْ فِي يَدِ الْمُشْتَرِي لَمْ يَخْلُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ تَتَغَيَّرَ بِنَقْصٍ أَوْ بِزِيَادَةٍ فَإِنْ كَانَ تَغَيُّرُهَا بِنَقْصٍ فَالنَّقْصُ ضَرْبَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ini adalah bagian yang perlu dirinci. Secara umum, jika barang yang dijual berubah di tangan pembeli, maka tidak lepas dari dua keadaan: berubah karena kekurangan atau karena penambahan. Jika perubahannya karena kekurangan, maka kekurangan itu ada dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ نَقْصُهَا مُتَمَيِّزًا.

Pertama: Kekurangannya dapat dibedakan (terpisah).

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ نَقْصُهَا غَيْرَ مُمَيَّزٍ فَإِنْ كَانَ النَّقْصُ مُمَيَّزًا وَلَمْ يَكُنْ تَبَعًا لِمَا بَقِيَ كَعَبْدَيْنِ مَاتَ أَحَدُهُمَا أَوْ ثَوْبَيْنِ تَلِفَ أَحَدُهُمَا فَلِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِالْبَاقِي مِنْهُمَا بِحِسَابِهِ مِنَ الثَّمَنِ وَقِسْطِهِ لِأَنَّ الثَّمَنَ كَانَ مُقْسَطًا عَلَيْهِمَا وَيَضْرِبُ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِحِصَّةِ التَّالِفِ مِنْهُمَا وَيَكُونُ الثَّمَنُ مُقْسَطًا عَلَى قِيمَتِهِمَا، لِأَنَّهُمَا مُخْتَلِفَانِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ مُمَاثَلُ الْأَجْزَاءِ مِثْلَ: قَفِيزَيْنِ مِنْ طَعَامٍ يَتْلِفُ أَحَدُهُمَا وَيَبْقَى الْآخَرُ فَيَأْخُذُ الْبَاقِي مِنْهُمَا بِنِصْفِ الثَّمَنِ لِيَقْسِطَ ذَلِكَ عَلَى أَجْزَائِهِمَا وَيَضْرِبُ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِالنِّصْفِ الْبَاقِي مِنَ الثَّمَنِ وَسَوَاءٌ كَانَ التَّالِفُ مِنْهُمَا بِاسْتِهْلَاكٍ مِنْهُ أَمْ لَا فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَ فِيمَا يَأْخُذُ الْبَاقِي بِهِ قَوْلَانِ:

Kedua: Kekurangannya tidak dapat dibedakan. Jika kekurangan itu dapat dibedakan dan tidak mengikuti bagian yang tersisa, seperti dua budak lalu salah satunya mati, atau dua kain lalu salah satunya rusak, maka penjual berhak mengambil yang tersisa dengan perhitungan harga dan bagiannya, karena harga telah dibagi rata di antara keduanya. Penjual juga berhak menuntut bersama para kreditur atas bagian yang rusak, dan harga dibagi berdasarkan nilai keduanya, karena keduanya berbeda, kecuali jika keduanya serupa dalam bagian-bagiannya, seperti dua takaran makanan lalu salah satunya rusak dan yang lain masih ada, maka ia mengambil yang tersisa dengan setengah harga, agar pembagian itu sesuai dengan bagian-bagiannya, dan ia menuntut bersama para kreditur atas setengah harga yang tersisa. Sama saja apakah kerusakan itu karena dikonsumsi oleh pembeli atau tidak. Jika ada yang bertanya: Mengapa tidak ada dua pendapat dalam hal mengambil sisa barang tersebut?

أَحَدُهُمَا: بِجَمِيعِ الثَّمَنِ:

Pertama: Dengan membayar seluruh harga.

وَالثَّانِي: بِحِسَابِهِ كَمَا لَوْ تَلِفَ حِينَ الْعَقْدِ كَانَ فِيمَا يَأْخُذُهُ الْمُشْتَرِي بِهِ قَوْلَانِ؟ قِيلَ قَدْ كَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَغْلَطُ فَيَفْعَلُ ذَلِكَ وَيُخَرِّجُهُ عَلَى قَوْلَيْنِ وَامْتَنَعَ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا وَالْمُحَقِّقُونَ مِنْهُمْ أَنْ يُخَرِّجُوهُ عَلَى قَوْلَيْنِ وَفَرَّقُوا بَيْنَهُمَا بِأَنَّ أَوَائِلَ الْعُقُودِ تُؤَكَّدُ بِمَا لَا يُؤَكَّدُ بِهِ أَوَاخِرُهَا فَدَعَتِ الضَّرُورَةُ فِي تَفْرِيقِ الصفقة ليأكد الْعَقْدُ فِي أَوَّلِهِ أَنْ يُجْعَلَ الْبَاقِي بَيْنَهُمَا بِجَمِيعِ الثَّمَنِ عَلَى أَحَدِ قَوْلَيْنِ حَتَّى لَا يُوقِعَ جَهَالَةً فِي الثَّمَنِ فَبَطَلَ الْعَقْدُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي اسْتِرْجَاعِ الْبَائِعِ لَهُ بِفَلَسِ الْمُشْتَرِي لِأَنَّهُ لَمْ يَسْتَأْنِفْ عَقْدًا تَقَعُ الْجَهَالَةُ فِي ثَمَنِهِ، فَهَذَا حُكْمُ النَّقْصِ إِذَا تَمَيَّزَ وَانْفَصَلَ.

Yang kedua: dengan perhitungannya, sebagaimana jika barang itu rusak pada saat akad, terdapat dua pendapat mengenai apa yang diambil pembeli dengannya. Dikatakan bahwa sebagian sahabat kami pernah keliru dan melakukan hal itu, lalu mengeluarkannya berdasarkan dua pendapat. Namun mayoritas sahabat kami dan para muhaqqiq (ulama yang mendalam ilmunya) di antara mereka menolak untuk mengeluarkannya berdasarkan dua pendapat, dan mereka membedakan antara keduanya dengan alasan bahwa permulaan akad dikuatkan dengan sesuatu yang tidak dikuatkan pada akhirnya. Maka, kebutuhan mendesak dalam memisahkan transaksi menuntut agar akad pada permulaannya dikuatkan dengan menjadikan sisa antara keduanya dengan seluruh harga menurut salah satu dari dua pendapat, agar tidak menimbulkan ketidakjelasan dalam harga sehingga akad menjadi batal. Tidak demikian halnya dalam pengambilan kembali barang oleh penjual dengan harga pembeli yang bangkrut, karena ia tidak memulai akad baru yang menimbulkan ketidakjelasan pada harganya. Inilah hukum kekurangan apabila dapat dibedakan dan dipisahkan.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِنْ كَانَ النَّقْصُ غَيْرَ مُتَمَيِّزٍ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika kekurangan itu tidak dapat dibedakan, maka ada dua macam:

ضَرْبٌ يُمْكِنُ إِفْرَادُهُ، وَضَرْبٌ لَا يُمْكِنُ إِفْرَادُهُ بِالْعَقْدِ فَإِنْ كَانَ مِمَّا لَا يُمْكِنُ إِفْرَادُهُ بِالْعَقْدِ مِثْلَ عَوَرِ الْعَبْدِ أَوْ ذَهَابِ يَدِهِ أَوْ هُزَالِهِ بَعْدَ سِمَنِهِ لَمْ يَخْلُ ذَلِكَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Pertama, kekurangan yang masih mungkin dipisahkan; dan kedua, kekurangan yang tidak mungkin dipisahkan dalam akad. Jika kekurangan itu termasuk yang tidak mungkin dipisahkan dalam akad, seperti buta pada budak, atau hilangnya tangan, atau menjadi kurus setelah sebelumnya gemuk, maka hal itu tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ بِحَادِثٍ مِنَ السَّمَاءِ

Pertama: jika hal itu terjadi karena musibah dari langit (takdir Allah).

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بِجِنَايَةِ الْمُشْتَرِي.

Kedua: jika terjadi karena kesalahan (jinayah) pembeli.

وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ بِجِنَايَةِ أَجْنَبِيٍّ فَإِنْ كَانَ هَذَا النَّقْصُ بِحَادِثٍ مِنَ السَّمَاءِ فَلِلْبَائِعِ أَنْ يَأْخُذَهُ نَاقِصًا بِجَمِيعِ ثَمَنِهِ وَلَا يَرْجِعَ عَلَى الْمُفْلِسِ الْمُشْتَرِي بِأَرْشِ نَقْصِهِ لِأَنَّ الْمُشْتَرِيَ ضَمَنَهُ بِثَمَنِهِ وَمَنْ ضَمِنَ الشَّيْءَ بِثَمَنِهِ لَمْ يَضْمَنْ أَرْشَ نَقْصِهِ عِنْدَ اسْتِحْقَاقِ الْعَيْنِ مِنْ يَدِهِ كَالْبَائِعِ لَمَّا ضَمِنَ الْمَبِيعَ لِلْمُشْتَرِي بِثَمَنِهِ دُونَ قِيمَتِهِ لَمْ يَضْمَنْ أَرْشَ مَا حَدَثَ مِنْ نَقْصِهِ فِي يَدِهِ وَكَانَ ذَلِكَ مُخَالِفًا لِلْغَاصِبِ، لِأَنَّ الْغَاصِبَ لَمَّا كَانَ ضَامِنًا لِلشَّيْءِ الْمَغْصُوبِ بِقِيمَتِهِ دُونَ ثَمَنِهِ ضَمِنَ أَرْشَ مَا حَدَثَ مِنَ النَّقْصِ فِي يَدِهِ وَإِنْ كَانَ هَذَا النَّقْصُ بِجِنَايَةِ أَجْنَبِيٍّ فَأَرْشُهَا مَضْمُونٌ عَلَيْهِ بِجِنَايَتِهِ فَيَكُونُ لِلْبَائِعِ أَنْ يَأْخُذَهُ نَاقِصًا بِالثَّمَنِ وَيَرْجِعَ بِأَرْشِ النَّقْصِ لِأَنَّهُ مَضْمُونٌ عَلَى جِنَايَتِهِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ كَانَ فِي يَدِ بَائِعِهِ فَجَنَى عَلَيْهِ أَجْنَبِيٌّ أَخَذَهُ الْمُشْتَرِي بِثَمَنِهِ وَأَخَذَ أَرْشَ نَقْصِهِ وَإِذَا وَجَبَ لِلْبَائِعِ. – إِذِ اسْتَرْجَعَ الْعَبْدَ بِثَمَنِهِ – أَنْ يَرْجِعَ بِأَرْشِ نَقْصِهِ نَظَرَ فِي الْأَرْشِ فَإِنْ كَانَ بَاقِيًا عَلَى الْجَانِي لَمْ يَأْخُذْهُ الْمُشْتَرِي كَانَ لِلْبَائِعِ أَنْ يَخْتَصَّ بِأَخْذِهِ وَلَا يُشَارِكَ الْغُرَمَاءَ فِيهِ لِأَنَّهُ بَدَلٌ مِنْ عَيْنِ الَّذِي تَفَرَّدَ بِاسْتِرْجَاعِهَا فَإِنْ كَانَ الْأَرْشُ قَدْ أَخَذَهُ الْمُشْتَرِي وَاسْتَهْلَكَهُ ضَرَبَ الْبَائِعُ بِقَدْرِ الْأَرْشِ مَعَ الْغُرَمَاءِ وَلَمْ يَتَقَدَّمْ بِهِ عَلَيْهِمْ لِأَنَّهُ بَدَلٌ عَنْ مُسْتَهْلَكِهِ غَيْرُ مَوْجُودٍ وَإِنْ كَانَ هَذَا النَّقْصُ بِجِنَايَةِ الْمُشْتَرِي فَفِيهَا وَجْهَانِ: ذَكَرْنَاهُمَا فِي الْبُيُوعِ إِذَا جَنَى الْبَائِعُ عَلَى مَا فِي يَدِهِ مِنَ الْمَبِيعِ.

Ketiga: jika terjadi karena kesalahan (jinayah) orang lain (pihak ketiga). Jika kekurangan itu terjadi karena musibah dari langit, maka penjual berhak mengambilnya dalam keadaan kurang dengan seluruh harga, dan tidak boleh menuntut pembeli yang bangkrut atas kompensasi kekurangannya, karena pembeli telah menanggungnya dengan harga. Barang siapa menanggung sesuatu dengan harganya, maka ia tidak menanggung kompensasi kekurangannya ketika barang itu diambil darinya, sebagaimana penjual ketika menjamin barang yang dijual kepada pembeli dengan harga, bukan dengan nilainya, maka ia tidak menanggung kompensasi kekurangan yang terjadi pada barang itu di tangannya. Ini berbeda dengan ghashib (perampas), karena ghashib menanggung barang yang dirampas dengan nilainya, bukan dengan harganya, sehingga ia menanggung kompensasi kekurangan yang terjadi pada barang itu di tangannya. Jika kekurangan itu terjadi karena kesalahan (jinayah) orang lain (pihak ketiga), maka kompensasinya menjadi tanggungan pelaku jinayah tersebut. Maka penjual berhak mengambilnya dalam keadaan kurang dengan harga, dan menuntut kompensasi kekurangannya, karena itu menjadi tanggungan pelaku jinayah. Bukankah jika barang itu masih di tangan penjual lalu orang lain melakukan jinayah terhadapnya, maka pembeli mengambilnya dengan harga dan mengambil kompensasi kekurangannya? Jika penjual berhak mengambil kembali budak dengan harga, maka ia juga berhak menuntut kompensasi kekurangannya. Dalam hal kompensasi ini, jika kompensasi itu masih ada pada pelaku jinayah dan belum diambil pembeli, maka penjual berhak mengambilnya sendiri dan tidak berbagi dengan para kreditur, karena kompensasi itu sebagai pengganti dari barang yang ia sendiri mengambilnya kembali. Namun jika kompensasi itu telah diambil dan dihabiskan oleh pembeli, maka penjual menuntut kompensasi itu bersama para kreditur dan tidak didahulukan atas mereka, karena kompensasi itu sebagai pengganti dari barang yang telah habis dan tidak ada lagi. Jika kekurangan itu terjadi karena kesalahan (jinayah) pembeli, maka dalam hal ini ada dua pendapat, sebagaimana telah disebutkan dalam bab jual beli jika penjual melakukan jinayah terhadap barang yang ada di tangannya dari barang yang dijual.

أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ: أَنَّ أَرْشَ جِنَايَتِهِ غَيْرُ مَضْمُونٍ عَلَيْهِ – كَحَادِثٍ مِنَ السَّمَاءِ – فَعَلَى هَذَا لِلْبَائِعِ أَنْ يَسْتَرْجِعَهُ نَاقِصًا بِكُلِّ الثَّمَنِ إِنْ شَاءَ وَلَا أَرْشَ لَهُ.

Salah satu dari dua pendapat adalah bahwa kompensasi atas jinayahnya tidak menjadi tanggungannya—seperti musibah dari langit. Maka berdasarkan pendapat ini, penjual boleh mengambilnya kembali dalam keadaan kurang dengan seluruh harga jika ia menghendaki, dan tidak ada kompensasi baginya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ أَرْشَ جِنَايَتِهِ مَضْمُونٌ عَلَيْهِ كَجِنَايَةِ الْأَجْنَبِيِّ فَعَلَى هَذَا لِلْبَائِعِ أَنْ يَسْتَرْجِعَهُ نَاقِصًا بكل الثمن وضرب مَعَ الْغُرَمَاءِ بِأَرْشِ النَّقْصِ فَهَذَا حُكْمُ النَّقْصِ الْمُتَّصِلِ إِذَا لَمْ يُمْكِنْ إِفْرَادُهُ بِالْعَقْدِ.

Pendapat kedua: Bahwa diyat (ganti rugi) atas kerusakan yang ditimbulkan olehnya menjadi tanggungannya, sebagaimana kerusakan yang dilakukan oleh orang lain (pihak ketiga). Berdasarkan hal ini, penjual berhak mengambil kembali barang yang dijual dalam keadaan kurang (cacat) dengan seluruh harga, dan ia mendapat bagian bersama para kreditur sebesar diyat atas kekurangan tersebut. Inilah hukum kekurangan yang menyatu (dengan barang), apabila tidak memungkinkan untuk memisahkannya dalam akad.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِنْ كَانَ النَّقْصُ الْمُتَّصِلُ مِمَّا يُمْكِنُ إِفْرَادُهُ بِالْعَقْدِ كَدَارٍ انْهَدَمَتْ أَوْ بَعْضُهَا أَوْ كَأَرْضٍ غَرِقَ شَيْءٌ مِنْهَا فَرَوَى الْمُزَنِيُّ وَحَرْمَلَةُ: أَنَّ الْبَائِعَ يَأْخُذُ الْمَبِيعَ نَاقِصًا بِكُلِّ الثَّمَنِ وَرَوَى الرَّبِيعُ، وَالْبُوَيْطِيُّ، وَالزَّعْفَرَانِيُّ فِي الْقَدِيمِ فِي الشُّفْعَةِ: أَنَّ الشَّفِيعَ يَأْخُذُ ذَلِكَ نَاقِصًا بِحِسَابِهِ مِنَ الثَّمَنِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الشُّفْعَةِ وَالْفَلَسِ عَلَى أَرْبَعَةِ طُرُقٍ:

Jika kekurangan yang menyatu itu termasuk sesuatu yang dapat dipisahkan dalam akad, seperti rumah yang roboh seluruhnya atau sebagian, atau tanah yang sebagian tergenang air, maka menurut riwayat al-Muzani dan Harmalah: penjual mengambil barang yang dijual dalam keadaan kurang dengan seluruh harga. Sedangkan menurut riwayat ar-Rabi‘, al-Buwaiti, dan az-Za‘farani dalam pendapat lama mengenai syuf‘ah: bahwa syafi‘ (pemilik hak syuf‘ah) mengambil barang tersebut dalam keadaan kurang dengan perhitungan dari harga. Maka para ulama kami berbeda pendapat dalam masalah syuf‘ah dan kepailitan menjadi empat pendapat:

فَمِنْهُمْ مَنْ خَرَّجَ مَسْأَلَةَ الْمُفْلِسِ وَالشُّفْعَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ لِاخْتِلَافِ الرِّوَايَتَيْنِ. وَهَذِهِ طَرِيقَةُ أَبِي الطِّيِّبِ بْنِ سَلَمَةَ وَأَبِي حَفْصِ بْنِ الْوَكِيلِ.

Sebagian dari mereka mengaitkan masalah orang yang pailit dan syuf‘ah pada dua pendapat, karena perbedaan dua riwayat. Ini adalah metode Abu Thayyib bin Salamah dan Abu Hafsh bin al-Wakil.

أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: إنَّ لِلْبَائِعِ وَالشَّفِيعِ أَنْ يَأْخُذَاهُ نَاقِصًا بِكُلِّ الثَّمَنِ لِأَنَّ النَّقْصَ تَابِعٌ فَأَشْبَهَ الْعَوَرَ وَذَهَابَ الْيَدِ.

Salah satu dari dua pendapat: Bahwa penjual dan syafi‘ berhak mengambil barang tersebut dalam keadaan kurang dengan seluruh harga, karena kekurangan itu mengikuti (barang), sehingga disamakan dengan cacat mata atau hilangnya tangan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إنَّ لِلْبَائِعِ وَالشَّفِيعِ أَنْ يَأْخُذَاهُ نَاقِصًا بِحِسَابِهِ مِنَ الثَّمَنِ، لِأَنَّ النَّقْصَ لَمَّا صَحَّ إِفْرَادُهُ بِالْعَقْدِ جَرَى مَجْرَى الْعَبْدَيْنِ وَالثَّوْبَيْنِ إِذَا تَلِفَ أَحَدُهُمَا.

Pendapat kedua: Bahwa penjual dan syafi‘ berhak mengambil barang tersebut dalam keadaan kurang dengan perhitungan dari harga, karena kekurangan itu ketika sah untuk dipisahkan dalam akad, maka hukumnya seperti dua budak atau dua kain jika salah satunya rusak.

وَالطَّرِيقَةُ الثَّانِيَةُ: وَهِيَ طَرِيقَةُ طَائِفَةٍ مِنَ الْبَصْرِيِّينَ: أَنَّ فِي الْفَلَسِ يَرْجِعُ الْبَائِعُ بِهِ نَاقِصًا بِجَمِيعِ الثَّمَنِ إِنْ شَاءَ عَلَى ظَاهِرِ نَصِّهِ فِي رِوَايَةِ الْمُزَنِيِّ وَحَرْمَلَةَ وَفِي الشُّفْعَةِ إِذَا أَخَذَهَا الشَّفِيعُ نَاقِصًا عَلَى قَوْلَيْنِ عَلَى حَسَبِ اخْتِلَافِ الرِّوَايَتَيْنِ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat sekelompok ulama Basrah, bahwa dalam masalah kepailitan, penjual dapat mengambil barang tersebut dalam keadaan kurang dengan seluruh harga jika ia menghendaki, berdasarkan zahir nash dalam riwayat al-Muzani dan Harmalah. Adapun dalam syuf‘ah, jika syafi‘ mengambilnya dalam keadaan kurang, maka ada dua pendapat, sesuai dengan perbedaan dua riwayat.

وَالطَّرِيقَةُ الثَّالِثَةُ: وَهِيَ طَرِيقَةُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ: أَنَّ فِي الْفَلَسِ يَأْخُذُهُ الْبَائِعُ نَاقِصًا بِجَمِيعِ الثَّمَنِ كَمَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ وَحَرْمَلَةُ وَفِي الشُّفْعَةِ يَأْخُذُهُ الشَّفِيعُ نَاقِصًا بِحِسَابِهِ مِنَ الثَّمَنِ وَقِسْطِهِ كَمَا نَقَلَهُ الرَّبِيعُ وَالْبُوَيْطِيُّ وَنُسِبَ الْمُزَنِيُّ إِلَى الْخَطَأِ حِينَ نَقَلَ فِي الفلس وكذلك الشُّفْعَةُ وَكَانَ مِنْ فَرْقِهِ بَيْنَ الْفَلَسِ وَالشُّفْعَةِ أَنَّ الشَّفِيعَ فِي الشُّفْعَةِ يَحُلُّ مَحَلَّ الْمُشْتَرِي فَلَمَّا كَانَ الْمُشْتَرِي قَدْ لَزِمَهُ الثَّمَنُ فِي مُقَابَلَةِ جَمِيعِ الْمَبِيعِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَلْتَزِمَ الشَّفِيعُ الثَّمَنَ كُلَّهُ فِي مُقَابَلَةِ بَعْضِ الْمَبِيعِ وَالْبَائِعُ فِي الْفَلَسِ لَا يَحُلُّ مَحَلَّ الْمُشْتَرِي وَإِنَّمَا يَقْطَعُ الْعَقْدَ الْمُتَقَدِّمَ لِمَا لَحِقَهُ مِنَ الضَّرَرِ الْمُسْتَحْدَثِ فَلِذَلِكَ زَالَ بِقَطْعِ الْعَقْدِ جَمِيعُ الثَّمَنِ.

Pendapat ketiga: yaitu metode Abu al-‘Abbas bin Surayj, bahwa dalam masalah kepailitan, penjual mengambilnya dalam keadaan kurang dengan seluruh harga sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Muzani dan Harmalah. Sedangkan dalam syuf‘ah, syafi‘ mengambilnya dalam keadaan kurang dengan perhitungan dari harga dan bagiannya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh ar-Rabi‘ dan al-Buwaiti. Al-Muzani dianggap keliru ketika meriwayatkan dalam masalah kepailitan dan juga syuf‘ah. Perbedaan antara kepailitan dan syuf‘ah adalah bahwa syafi‘ dalam syuf‘ah menempati posisi pembeli, sehingga ketika pembeli telah wajib membayar harga untuk seluruh barang yang dijual, maka tidak boleh bagi syafi‘ untuk menanggung seluruh harga untuk sebagian barang yang dijual. Adapun penjual dalam masalah kepailitan tidak menempati posisi pembeli, melainkan ia membatalkan akad sebelumnya karena adanya kerugian baru yang menimpanya, sehingga dengan pembatalan akad, seluruh harga menjadi gugur.

وَالطَّرِيقَةُ الرَّابِعَةُ: وَهِيَ طَرِيقَةُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: أَنَّ اخْتِلَافَ الرِّوَايَتَيْنِ مَحْمُولٌ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَرِوَايَةُ الْمُزَنِيِّ وَحَرْمَلَةَ أَنَّهُ مَأْخُوذٌ بِكُلِّ الثَّمَنِ فِي الشُّفْعَةِ وَالْفَلَسِ إِذَا كَانَتِ الْآلَةُ بعد الهدم باقية لأن للنقص آثار غَيْرَ مُتَمَيِّزَةٍ كَالْعَوَرِ وَالْهُزَالِ وَرِوَايَةُ الرَّبِيعِ وَالْبُوَيْطِيِّ أَنَّهُ مَأْخُوذٌ بِحِسَابِهِ وَقِسْطِهِ مِنَ الثَّمَنِ فِي الشُّفْعَةِ وَالْفَلَسِ إِذَا كَانَتِ الْآلَةُ بَعْدَ الْهَدْمِ تَالِفَةً لِأَنَّهُ نَقْصٌ مُمَيَّزٌ وَقَدْ تَلِفَ بَعْضُ التميز أتلف بَعْض الْمَبِيعِ كَمَوْتِ أَحَدِ الْعَبْدَيْنِ وَتَلَفِ أَحَدِ الثَّوْبَيْنِ.

Pendapat keempat: yaitu metode Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa perbedaan dua riwayat itu tergantung pada dua keadaan. Riwayat al-Muzani dan Harmalah bahwa barang diambil dengan seluruh harga dalam syuf‘ah dan kepailitan jika alat (bangunan) setelah roboh masih ada, karena kekurangan itu memiliki pengaruh yang tidak dapat dibedakan, seperti cacat mata dan kurus. Sedangkan riwayat ar-Rabi‘ dan al-Buwaiti bahwa barang diambil dengan perhitungan dan bagiannya dari harga dalam syuf‘ah dan kepailitan jika alat (bangunan) setelah roboh telah rusak, karena kekurangan itu dapat dibedakan dan sebagian barang yang dijual telah rusak, seperti matinya salah satu dari dua budak atau rusaknya salah satu dari dua kain.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا إِذَا كَانَ الْمَبِيعُ قَدْ زَادَ فَالزِّيَادَةُ ضَرْبَانِ مُتَمَيِّزَةٌ وَغَيْرُ مُتَمَيِّزَةٍ فَإِنْ كَانَتْ الزِّيَادَةُ مُتَمَيِّزَةً كَالنِّتَاجِ وَالثَّمَرَةِ فَهِيَ لِلْمُشْتَرِي وَلِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِالْأَصْلِ دُونَ الزِّيَادَةِ لِأَنَّ مِنْ حُكْمِ الزِّيَادَةِ الْمُتَمَيِّزَةِ أَنْ تَتْبَعَ الْمِلْكَ دُونَ الْمَالِكِ أَلَا تَرَى أَنَّ رَدَّ الْأَصْلِ بِالْعَيْبِ لَا يُوجِبُ رَدَّ زِيَادَتِهِ الْمُتَمَيِّزَةِ كَذَلِكَ فِي الْفَلَسِ فَإِنْ كَانَتِ الزِّيَادَةُ غَيْرَ مُمَيَّزَةٍ كَالطُّولِ وَالسِّمَنِ فَلِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِالْأَصْلِ زَائِدًا لِأَنَّ الزِّيَادَةَ الْمُتَّصِلَةَ مِنْ حُكْمِهِمَا أَنْ تَتْبَعَ الْمِلْكَ دُونَ الْمَالِكِ أَلَا تَرَى أَنَّ رَدَّ الْأَصْلِ بِالْعَيْبِ يُوجِبُ رَدَّ زِيَادَتِهِ الْمُتَّصِلَةِ بِهِ، فَإِنْ قِيلَ: أَلَيْسَ الصَّدَاقُ إِذَا زَادَ زِيَادَةً مُتَّصِلَةً غَيْرَ مُتَمَيِّزَةٍ مُنِعَ الزَّوْجُ إِذَا طَلَّقَ قَبْلَ الدُّخُولِ أَنْ يَرْجِعَ بِنِصْفِ الصَّدَاقِ زَائِدًا وَرَجَعَ بِنِصْفِ الْقِيمَةِ لِحُدُوثِ الزِّيَادَةِ الْمُتَّصِلَةِ عَلَى مِلْكِ الزَّوْجَةِ فَهَلَّا كَانَ فِي الْفَلَسِ كَذَلِكَ؟ قِيلَ: قَدْ كَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ يُسَوِّي بَيْنَ الْمَوْضِعَيْنِ وَيَقُولُ: إِنَّمَا رَجَعَ الْبَائِعُ بِعَيْنِ مَالِهِ زَائِدًا فِي الْفَلَسِ لِتَعَذُّرِ الْبَذْلِ عَلَيْهِ وَإِعْوَازِهِ بِالْفَلَسِ وَالزَّوْجُ لَمَّا لَمْ يَتَعَذَّرْ عَلَيْهِ الرُّجُوعُ بِبَذْلِ الصَّدَاقِ لَمْ يَرْجِعْ بِنِصْفِ الصَّدَاقِ زَائِدًا وَلَوْ تَعَذَّرَ بَذْلُ الصَّدَاقِ مِنْ جِهَتِهَا بِحُدُوثِ فَلَسِهَا كَانَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِنِصْفِ الصَّدَاقِ زَائِدًا فَاسْتَوَى الْحُكْمُ فِيهِمَا مَعَ الْيَسَارِ فِي الْعُدُولِ عَنِ الْعَيْنِ فِي الْفَلَسِ فِي الرُّجُوعِ بِزِيَادَةِ الْعَيْنِ. وَفَرَّقَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا بَيْنَ الْمَوْضِعَيْنِ، فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ يُفَرِّقُ بَيْنَ الْفَلَسِ وَالصَّدَاقِ: بِأَنَّ الصَّدَاقَ لَمَّا كَانَ لَوْ تَلِفَ رَجَعَ الزَّوْجُ إِلَى قِيمَتِهِ الَّتِي لَا تَزِيدُ عَلَى الصَّدَاقِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَرْجِعَ مَعَ الْبَقَاءِ بِزِيَادَةِ الصَّدَاقِ وَلَمَّا كَانَ المبيع لَوْ تَلِفَ رَجَعَ الزَّوْجُ إِلَى قِيمَتِهِ الَّتِي لَا تَزِيدُ عَلَى الصَّدَاقِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَرْجِعَ مَعَ الْبَقَاءِ بِزِيَادَةِ الصَّدَاقِ وَلَمَّا كَانَ الْمَبِيعُ لَوْ تَلِفَ رَجَعَ الْبَائِعُ بِالثَّمَنِ الَّذِي قَدْ يَزِيدُ عَلَى قِيمَةِ الْمَبِيعِ كَانَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ مَعَ الْبَقَاءِ بِزِيَادَةِ الْمَبِيعِ. وَكَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يُفَرِّقُ بَيْنَهُمَا بفرق ثاني فَيَقُولُ: إِنَّمَا لَمْ يَرْجِعِ الزَّوْجُ بِزِيَادَةِ الصَّدَاقِ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَقٌّ قَبْلَ الطَّلَاقِ وَلَا تَعَلَّقَ بِالصَّدَاقِ وَإِنَّمَا اسْتُحْدِثَ الْحَقُّ بِالطَّلَاقِ بَعْدَ حُدُوثِ الزِّيَادَةِ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ حَقٌّ فِي الزِّيَادَةِ، وَفِي الْفَلَسِ لَمَّا كَانَ حَقُّ البائع مُتَقَدِّمًا عَلَى الْفَلَسِ وَكَانَ لَهُ تَعَلُّقٌ بِالْمَبِيعِ قَبْلَ الزِّيَادَةِ جَازَ أَنْ يَرْجِعَ بِالْمَبِيعِ بَعْدَ حُدُوثِ الزِّيَادَةِ وَكَانَ أَبُو الْفَيَّاضِ الْبَصْرِيُّ يُفَرِّقُ بَيْنَهُمَا بِفَرْقٍ ثَالِثٍ فَيَقُولُ: لَمَّا كَانَ سَبَبُ اسْتِحْقَاقِ الصَّدَاقِ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ بِطَلَاقِهِ صَارَ مُتَّهَمًا بِالطَّمَعِ فِي الزِّيَادَةِ فَكَذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ بِالصَّدَاقِ مَعَ حُدُوثِ الزِّيَادَةِ وَلَمَّا كَانَ سَبَبُ اسْتِحْقَاقِ الْبَائِعِ عَيْنَ مَالِهِ مِنْ جِهَةِ الْمُشْتَرِي بِفَلَسِهِ انْتَفَتِ التُّهْمَةُ عَنِ الْبَائِعِ بِالطَّمَعِ فِي الزِّيَادَةِ فَكَانَ لَهُ الرُّجُوعُ بِعَيْنِ مَالِهِ مَعَ حُدُوثِ الزِّيَادَةِ. وَكَانَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ يُفَرِّقُ بَيْنَهُمَا بِفَرْقٍ رَابِعٍ فَيَقُولُ: لَمَّا كَانَ لِلْبَائِعِ أَنْ يَعْدِلَ عَنْ عَيْنِ مَالِهِ إِذَا كَانَ مَوْجُودًا إِلَى الثَّمَنِ وَإِنْ كَانَ أَضْعَافَ الْقِيمَةِ كَانَ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ عَيْنَ مَالِهِ مَعَ حُدُوثِ الزِّيَادَةِ وَلَمَّا لَمْ يَكُنْ لِلزَّوْجِ أَنْ يَعْدِلَ عَنِ الصَّدَاقِ إِذَا كَانَ مَوْجُودًا لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهِ حَقٌّ إِذَا كان زائدا. والله أعلم.

Adapun jika barang yang dijual mengalami pertambahan, maka pertambahan itu ada dua macam: yang dapat dibedakan (mutamayyizah) dan yang tidak dapat dibedakan (ghayru mutamayyizah). Jika pertambahan itu dapat dibedakan seperti anak dari hewan atau buah dari pohon, maka pertambahan itu menjadi milik pembeli, dan penjual hanya berhak mengambil kembali barang pokoknya tanpa pertambahannya. Sebab, dalam hukum pertambahan yang dapat dibedakan adalah ia mengikuti kepemilikan, bukan pemiliknya. Bukankah engkau melihat bahwa pengembalian barang pokok karena cacat tidak mewajibkan pengembalian pertambahan yang dapat dibedakan? Demikian pula dalam kasus pailit (al-falas). Namun, jika pertambahan itu tidak dapat dibedakan seperti bertambah tinggi atau gemuk, maka penjual berhak mengambil kembali barang pokok beserta pertambahannya, karena hukum pertambahan yang menyatu (muttaṣilah) adalah ia mengikuti kepemilikan, bukan pemiliknya. Bukankah engkau melihat bahwa pengembalian barang pokok karena cacat mewajibkan pengembalian pertambahan yang menyatu dengannya? Jika dikatakan: Bukankah mahar (ṣadaq) jika mengalami pertambahan yang menyatu dan tidak dapat dibedakan, suami yang menceraikan sebelum berhubungan tidak boleh mengambil kembali setengah mahar beserta pertambahannya, melainkan hanya setengah nilainya, karena pertambahan yang menyatu itu terjadi dalam kepemilikan istri? Mengapa dalam kasus pailit tidak demikian? Dijawab: Abu al-‘Abbas Ibn Surayj menyamakan kedua kasus tersebut dan berkata: Penjual hanya mengambil kembali barangnya beserta pertambahannya dalam kasus pailit karena tidak memungkinkan untuk mengambil pengganti dan sulitnya mendapatkan harta dalam keadaan pailit. Adapun suami, karena ia tidak kesulitan untuk mengambil kembali mahar dengan memberikannya, maka ia tidak mengambil setengah mahar beserta pertambahannya. Jika memang terjadi kesulitan dalam memberikan mahar dari pihak istri karena ia pailit, maka suami boleh mengambil setengah mahar beserta pertambahannya, sehingga hukumnya sama pada keduanya jika ada kemampuan untuk beralih dari barang pokok dalam kasus pailit kepada pertambahan barang pokok. Para sahabat kami yang lain membedakan antara kedua kasus tersebut. Abu Ishaq al-Marwazi membedakan antara kasus pailit dan mahar: bahwa mahar, jika rusak, suami kembali kepada nilainya yang tidak melebihi mahar, dan tidak boleh mengambil kembali pertambahan mahar jika barangnya masih ada. Adapun barang yang dijual, jika rusak, penjual kembali kepada harga yang mungkin lebih besar dari nilai barang yang dijual, sehingga ia boleh mengambil kembali barang beserta pertambahannya jika barang itu masih ada. Abu ‘Ali Ibn Abi Hurairah membedakan keduanya dengan perbedaan lain, ia berkata: Suami tidak mengambil kembali pertambahan mahar karena sebelumnya ia tidak memiliki hak sebelum terjadi talak dan tidak ada keterkaitan dengan mahar, dan hak itu baru muncul setelah talak, setelah terjadi pertambahan, sehingga ia tidak berhak atas pertambahan itu. Sedangkan dalam kasus pailit, hak penjual sudah ada sebelum pailit dan sudah terkait dengan barang yang dijual sebelum terjadi pertambahan, maka boleh baginya mengambil kembali barang yang dijual beserta pertambahannya setelah terjadi pertambahan. Abu al-Fayyadh al-Bashri membedakan keduanya dengan perbedaan ketiga, ia berkata: Karena sebab berhaknya suami atas mahar berasal dari pihak suami dengan talaknya, maka ia dicurigai ingin mengambil pertambahan, sehingga tidak boleh baginya mengambil kembali mahar beserta pertambahannya. Sedangkan sebab berhaknya penjual atas barangnya berasal dari pihak pembeli karena pailitnya, maka tidak ada kecurigaan pada penjual ingin mengambil pertambahan, sehingga ia boleh mengambil kembali barangnya beserta pertambahannya. Abu Hamid al-Isfarayini membedakan keduanya dengan perbedaan keempat, ia berkata: Penjual boleh beralih dari barangnya jika masih ada kepada harga, meskipun harga itu berlipat-lipat dari nilai barang, maka ia boleh mengambil kembali barangnya beserta pertambahannya. Sedangkan suami tidak boleh beralih dari mahar jika masih ada, maka ia tidak berhak atas pertambahannya jika ada pertambahan. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ بَاعَهُ نَخْلًا فِيهِ ثَمْرٌ أَوْ طَلْعٌ قَدْ أُبِّرَ وَاسْتَثْنَاهُ الْمُشْتَرِي وَقَبَضَهَا وَأَكَلَ الثَّمَرَ أَوْ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ ثَمَّ فَلَسَ أَوْ مَاتَ فَإِنَّهُ يَأْخُذُ عَيْنَ مَالِهِ وَيَكُونُ أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ فِي حِصَّةِ الثَّمَرِ يَوْمَ قَبْضِهِ لَا يَوْمَ أَكْلِهِ وَلَا يَوْمَ أَصَابَتْهُ الْجَائِحَةُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menjual pohon kurma yang di atasnya terdapat buah atau mayang yang telah dibuahi, lalu pembeli mengecualikan buah tersebut, kemudian ia mengambil pohon itu dan memakan buahnya, atau buah itu terkena musibah, lalu pembeli jatuh pailit atau meninggal dunia, maka penjual berhak mengambil kembali barangnya (pohon kurma) dan ia diperlakukan sama seperti para kreditur lainnya dalam hal bagian buah pada hari ia menerima (pohon itu), bukan pada hari buah itu dimakan atau terkena musibah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ يَبْتَاعَ النَّخْلَ مَعَ الثَّمَرَةِ ثُمَّ فَلَسَ وَقَدْ بَقِيَتِ النَّخْلُ وَتَلِفَتِ الثَّمَرَةُ فَلَا تَخْلُو الثَّمَرَةُ وَقْتَ الْعَقْدِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Bentuk permasalahannya adalah seseorang membeli pohon kurma beserta buahnya, kemudian ia jatuh pailit sementara pohon kurma masih ada dan buahnya telah rusak. Maka, buah pada saat akad tidak lepas dari dua keadaan:

إِمَّا أَنْ تَكُونَ مُؤَبَّرَةً.

Pertama, buah tersebut telah dibuahi.

أَوْ غَيْرَ مُؤَبَّرَةٍ فَإِنْ كَانَتْ مُؤَبَّرَةً لَمْ تَدْخُلْ فِي الْعَقْدِ إِلَّا بِالشَّرْطِ فَيَصِيرُ الْعَقْدُ قَدْ تَضَمَّنَ شَيْئَيْنِ مَقْصُودَيْنِ بِهِ فَإِذَا أَفْلَسَ الْمُشْتَرِي بَعْدَ اسْتِهْلَاكِ الثَّمَرِ كَانَ لِلْبَائِعِ أَنْ يَأْخُذَ النَّخْلَ بِحِصَّتِهَا مِنَ الثَّمَنِ سَوَاءٌ تَلِفَتِ الثَّمَرَةُ بِاسْتِهْلَاكِ الْمُشْتَرِي أَوْ بِجَائِحَةٍ مِنَ السَّمَاءِ كَمَا لَوْ تَلِفَ أَحَدُ الْعَبْدَيْنِ كَانَ لِلْبَائِعِ أَخْذُ الْبَاقِي بِحِصَّتِهِ مِنَ الثَّمَنِ سَوَاءٌ كَانَ تَلَفُ التَّالِفِ بِحَادِثِ سَمَاءٍ أَوْ جِنَايَةِ آدَمِيٍّ، لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَقْصُودٌ بِالْعَقْدِ وَإِنْ كَانَتِ الثَّمَرَةُ وَقْتَ الْعَقْدِ غَيْرَ مُؤَبَّرَةٍ فَدُخُولُهَا فِي الْعَقْدِ عَلَى وَجْهِ التَّبَعِ لَا بِالشَّرْطِ فَعَلَى هَذَا لَا يَخْلُو تَلَفُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ بِجَائِحَةٍ مِنْ سَمَاءٍ أَوْ بِجِنَايَةٍ بِاسْتِهْلَاكِ آدَمِيٍّ فَإِنْ كَانَ تَلَفُهَا بِاسْتِهْلَاكِ آدَمِيٍّ فَلِلْبَائِعِ أَنْ يَأْخُذَ النَّخْلَ بِحِسَابِهِ مِنَ الثَّمَنِ وَقِسْطِهِ سَوَاءٌ كَانَ اسْتَهْلَكَهَا الْمُشْتَرِي أَوْ أَجْنَبِيٌّ لِأَنَّ الْمُشْتَرِيَ إِذَا اسْتَهْلَكَهَا فَقَدْ صَارَتْ مَضْمُونَةً عَلَيْهِ، وَإِذَا اسْتَهْلَكَهَا غَيْرُهُ فَقَدِ اسْتَحَقَّ عَلَيْهِ بَدَلُهَا فَصَارَتْ فِي الْحَالَيْنِ مَضْمُونَةً عَلَيْهِ بِقِسْطِهَا مِنَ الثَّمَنِ فَيَضْرِبُ بِهِ الْبَائِعُ مَعَ الْغُرَمَاءِ، وَإِنْ كَانَ تَلَفُهَا بِجَائِحَةٍ مِنَ السَّمَاءِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Atau belum dibuahi. Jika buah tersebut telah dibuahi, maka ia tidak termasuk dalam akad kecuali dengan syarat, sehingga akad tersebut mencakup dua hal yang dimaksudkan. Jika pembeli jatuh pailit setelah menghabiskan buahnya, maka penjual berhak mengambil pohon kurma sesuai bagiannya dari harga, baik buah itu rusak karena dikonsumsi pembeli atau karena musibah dari langit. Hal ini seperti jika salah satu dari dua budak rusak, maka penjual berhak mengambil sisanya sesuai bagiannya dari harga, baik kerusakan itu karena musibah dari langit atau karena perbuatan manusia, karena masing-masing dari keduanya adalah tujuan dari akad. Jika buah pada saat akad belum dibuahi, maka masuknya buah dalam akad adalah sebagai pengikut, bukan dengan syarat. Dalam hal ini, kerusakan buah tidak lepas dari dua keadaan: bisa jadi karena musibah dari langit atau karena perbuatan manusia dengan dikonsumsi. Jika kerusakannya karena dikonsumsi manusia, maka penjual berhak mengambil pohon kurma sesuai bagiannya dari harga, baik yang menghabiskan itu pembeli atau orang lain, karena jika pembeli yang menghabiskan maka menjadi tanggungannya, dan jika orang lain yang menghabiskan maka ia wajib menggantinya, sehingga dalam kedua keadaan itu menjadi tanggungan pembeli sesuai bagiannya dari harga, dan penjual menuntut haknya bersama para kreditur. Jika kerusakannya karena musibah dari langit, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ لِلْبَائِعِ أَنْ يَأْخُذَ النَّخْلَ إِنْ شَاءَ بِجَمِيعِ الثَّمَنِ لِأَنَّ الثَّمَرَةَ هَاهُنَا تَبَعٌ وَلَمْ يَصِلِ الْمُشْتَرِي إِلَى شَيْءٍ مِنْهَا فَلَمْ يلزمه غرمها.

Pertama: Penjual berhak mengambil pohon kurma jika ia mau dengan seluruh harga, karena buah di sini hanyalah pengikut dan pembeli belum mendapatkan apa pun darinya, sehingga ia tidak wajib menanggungnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ لِلْبَائِعِ أَنْ يَأْخُذَ النَّخْلَ بِحِسَابِهِ مِنَ الثَّمَنِ وَقِسْطِهِ، لِأَنَّ الثَّمَرَةَ التَّالِفَةَ مِمَّا يُمْكِنُ إِفْرَادُهَا بِالْعَقْدِ وَإِنْ كَانَتْ تَبَعًا.

Pendapat kedua: Penjual berhak mengambil pohon kurma sesuai bagiannya dari harga, karena buah yang rusak itu pada dasarnya bisa dijadikan objek akad tersendiri meskipun ia hanya sebagai pengikut.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ الْبَائِعَ يَأْخُذُ النَّخْلَ بِحِسَابِهِ مِنَ الثَّمَنِ فَاعْتِبَارُ ذَلِكَ أَنْ تَقُومَ النَّخْلُ مَعَ الثَّمَرَةِ فِي أَقَلِّ الْحَالَيْنِ قِيمَةً مِنْ وَقْتِ الْعَقْدِ إِلَى وَقْتِ الْقَبْضِ؛ لِأَنَّهُ إِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ وَقْتَ الْعَقْدِ أَقَلَّ فَمَا حَدَثَ بَعْدَ الْعَقْدِ مِنَ الزِّيَادَةِ فَهُوَ بِحَادِثٍ في ملك المشتري فلم يجز أن يقوم فِي حَقِّ الْبَائِعِ وَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ وَقْتَ الْعَقْدِ أَكْثَرَ فَنَقْصُهُ مَضْمُونٌ عَلَى الْبَائِعِ وَمَا كَانَ مِنْ ضَمَانِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَقُومَ عَلَى غَيْرِهِ فَلِذَلِكَ مَا وَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ فِيهِ أَقَلَّ الْقِيمَتَيْنِ مِنْ وَقْتِ الْعَقْدِ إِلَى وَقْتِ الْقَبْضِ فَالشَّافِعِيُّ وَإِنْ أَطْلَقَ الْقَوْلَ فِي أَنَّ اعْتِبَارَ قِيمَتِهِ وَقْتَ الْقَبْضِ فَإِنَّ مُرَادَهُ: أَنْ يُقَوَّمَ وَقْتَ الْقَبْضِ إِذَا كَانَتْ قِيمَتُهُ فِيهِ أَقَلَّ وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ وَجَبَ أَنْ تُقَوَّمَ وَقْتَ الْعَقْدِ فَتُقَوَّمَ النَّخْلُ مَعَ الثَّمَرَةِ فإذا قبل قِيمَتُهَا أَلْفُ دِرْهَمٍ قُوِّمَتِ النَّخْلُ، فَإِذَا قِيلَ قِيمَتُهَا تِسْعُمِائَةِ دِرْهَمٍ كَانَ قِسْطُ الثَّمَرَةِ عُشْرَ الْقِيمَةِ فَيَضْرِبُ الْبَائِعُ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِعُشْرِ الثَّمَنَ فَإِنْ كَانَ الثَّمَنُ أَلْفًا فَعُشْرُهَا مِائَةُ دِرْهَمٍ وَهُوَ الْقَدْرُ الَّذِي يَسْتَحِقُّهُ فَيَضْرِبُ بِهَا مَعَ الْغُرَمَاءِ وَإِنْ كَانَ الثَّمَنُ أَلْفًا وَخَمْسَمِائَةٍ فَعُشْرُهَا مِائَةٌ وَخَمْسُونَ وَهُوَ الْقَدْرُ الَّذِي يَسْتَحِقُّهُ فَيَضْرِبُ بِهَا مَعَ الْغُرَمَاءِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika telah dipastikan bahwa penjual mengambil pohon kurma dengan perhitungannya dari harga, maka pertimbangannya adalah pohon kurma bersama buahnya dinilai pada dua keadaan yang nilainya paling rendah, yaitu dari waktu akad hingga waktu penyerahan. Sebab, jika nilainya pada waktu akad lebih rendah, maka tambahan yang terjadi setelah akad adalah milik pembeli, sehingga tidak boleh dinilai untuk kepentingan penjual. Dan jika nilainya pada waktu akad lebih tinggi, maka kekurangannya menjadi tanggungan penjual, dan apa yang menjadi tanggungannya tidak boleh dinilai atas orang lain. Oleh karena itu, wajib dipertimbangkan nilai yang paling rendah antara dua waktu, yaitu dari waktu akad hingga waktu penyerahan. Adapun asy-Syāfi‘ī, meskipun beliau menyatakan secara umum bahwa penilaian nilainya adalah pada waktu penyerahan, maksudnya adalah: dinilai pada waktu penyerahan jika nilainya saat itu lebih rendah, dan jika lebih tinggi maka wajib dinilai pada waktu akad. Maka pohon kurma bersama buahnya dinilai, misalnya jika nilainya seribu dirham, lalu pohon kurma saja dinilai, jika dikatakan nilainya sembilan ratus dirham, maka bagian buahnya adalah sepersepuluh dari nilai tersebut. Maka penjual menuntut bersama para kreditur sebesar sepersepuluh dari harga. Jika harganya seribu, maka sepersepuluhnya adalah seratus dirham, itulah jumlah yang berhak ia dapatkan, dan ia menuntutnya bersama para kreditur. Jika harganya seribu lima ratus, maka sepersepuluhnya adalah seratus lima puluh, itulah jumlah yang berhak ia dapatkan, dan ia menuntutnya bersama para kreditur. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ بَاعَهَا مَعَ ثَمَرٍ فِيهَا قَدِ اخْضَرَّ ثُمَّ فَلَسُ وَالثَّمَرُ رُطَبٌ أَوْ تَمْرٌ “.

Asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika ia menjualnya bersama buah yang telah mulai hijau, lalu terjadi pailit dan buahnya telah menjadi ruthab (kurma basah) atau tamr (kurma kering).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا مِمَّا قَدْ دَخَلَ فِي التَّقْسِيمِ وَقَدْ تَقَدَّمُ الْجَوَابُ عَنْهُ: وَهُوَ أَنْ يَبِيعَهُ نَخْلًا مَعَ ثَمَرَةٍ وَالثَّمَرَةُ بَلَحٌ أَوْ خِلَالٌ أَخْضَرُ وَفَلَسَ الْمُشْتَرِي وَقَدْ صَارَتِ الثَّمَرَةُ رُطَبًا أَوْ تَمْرًا فَلِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِالنَّخْلِ مَعَ الثَّمَرَةِ، لِأَنَّ الزِّيَادَةَ فِي الثَّمَرَةِ غَيْرُ مُتَمَيِّزَةٍ فَصَارَتْ تَبَعًا لِلْمِلْكِ فَإِذَا رَجَعَ الْبَائِعُ بِعَيْنِ مَالِهِ لَمْ تَنْفَصِلِ الزِّيَادَةُ عَنْهُ وَرَجَعَ بِهِ زَائِدًا وَهَكَذَا لَوْ بَاعَهُ فَسِيلًا فَصَارَ الْفَسِيلُ نَخْلًا رَجَعَ بِهَا نَخْلًا زَائِدًا وَكَذَلِكَ أَشْبَاهُ ذلك.

Al-Māwardī berkata: Ini termasuk dalam pembagian yang telah disebutkan dan jawabannya telah dijelaskan sebelumnya, yaitu jika seseorang menjual pohon kurma beserta buahnya, dan buahnya masih balah (kurma muda) atau khilāl (kurma hijau), lalu pembeli pailit dan buahnya telah menjadi ruthab atau tamr, maka penjual berhak mengambil kembali pohon kurma beserta buahnya. Sebab, tambahan pada buah tersebut tidak dapat dipisahkan, sehingga menjadi bagian dari kepemilikan. Maka ketika penjual mengambil kembali barangnya secara utuh, tambahan tersebut tidak terpisah darinya, dan ia mengambilnya dalam keadaan bertambah. Demikian pula jika ia menjual bibit kurma lalu bibit itu menjadi pohon kurma, maka ia mengambilnya dalam keadaan telah menjadi pohon kurma yang bertambah, dan begitu pula hal-hal yang serupa dengan itu.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” أَوْ بَاعَهُ زَرْعًا مَعَ أَرْضٍ خَرَجَ أَوْ لَمْ يَخْرُجْ ثُمَّ أَصَابَهُ مُدْرَكًا أَخَذَهُ كُلَّهُ “.

Asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Atau ia menjual tanaman bersama tanah, baik tanaman itu sudah tumbuh atau belum, kemudian terjadi pailit, maka ia mengambil semuanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ وَجُمْلَةُ حَالِ الْأَرْضِ الْمَزْرُوعَةِ إِذَا بِيعَتْ مَعَ زَرْعِهَا أَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُ الزَّرْعِ الَّذِي فِيهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan. Secara umum, keadaan tanah yang ditanami jika dijual bersama tanamannya, maka keadaan tanaman di dalamnya tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بَذْرًا.

Pertama: Tanaman itu masih berupa benih.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بَقْلًا.

Kedua: Tanaman itu sudah berupa kecambah.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ سُنْبُلًا فَإِنْ كَانَ الزَّرْعُ بَذْرًا مَدْفُونًا لَمْ يَظْهَرْ بَعْدُ فَإِنْ جَهِلَا جِنْسَهُ وَقَدْرَهُ بَطَلَ الْبَيْعُ فِي الْبَذْرِ، وَهَلْ يَبْطُلُ فِي الْأَرْضِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ أَبْطَلَهُ قَوْلًا وَاحِدًا لِلْجَهَالَةِ بِثَمَنِ الْبَذْرِ وَإِنْ كَانَ الْبَذْرُ مَعْلُومَ الْجِنْسِ وَالْقَدَرِ لَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ مُفْرَدًا وَفِي جَوَازِ بَيْعِهِ مَعَ الْأَرْضِ وَجْهَانِ:

Ketiga: Tanaman itu sudah berupa bulir. Jika tanaman itu masih berupa benih yang tertanam dan belum tampak, lalu jenis dan ukurannya tidak diketahui, maka jual beli benih tersebut batal. Apakah jual beli tanahnya juga batal atau tidak? Ada dua pendapat: berdasarkan perbedaan akad. Sebagian ulama kami membatalkannya secara mutlak karena ketidaktahuan harga benih. Jika benihnya diketahui jenis dan ukurannya, maka tidak boleh dijual secara terpisah. Adapun kebolehan menjualnya bersama tanah, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ ظَاهِرُ قَوْلِهِ هَاهُنَا – جَوَازُهُ خَرَجَ أَوْ لَمْ يَخْرُجْ وَوَجْهُهُ أَنَّ مَا كَانَ تَبَعًا لِمَعْلُومٍ لَمْ تَضُرَّ الْجَهَالَةُ بِهِ كَأَسَاسِ الْبِنَاءِ وَاللَّبَنِ فِي الضَّرْعِ.

Pertama, dan ini adalah pendapat yang tampak dari perkataannya di sini—boleh, baik benih itu sudah tumbuh atau belum. Alasannya, sesuatu yang menjadi bagian dari sesuatu yang diketahui tidak mengapa jika tidak diketahui secara rinci, seperti pondasi bangunan dan susu dalam hewan perah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ ظَاهِرُ نَصِّهِ فِي كِتَابِ الْأُمِّ – أَنَّ بَيْعَهُ بَاطِلٌ، لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ تَبَعًا فَهُوَ مَقْصُودٌ بِخِلَافِ الْأَسَاسِ وَاللَّبَنِ فَإِنَّهُ لَا يَدْخُلُ فِي الْبَيْعِ إِلَّا بِشَرْطٍ وَتَأَوَّلَ مَنْ ذَهَبَ إِلَى هَذَا الْوَجْهِ قَوْلَ الشَّافِعِيِّ: ” خَرَجَ أَوْ لَمْ يَخْرُجْ ” لِمَعْنَى خَرَجَ سُنْبُلُهُ أَوْ لَمْ يَخْرُجْ سُنْبُلُهُ – فَعَلَى هَذَا فِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ قَوْلَانِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: يَكُونُ بَاطِلًا قَوْلًا وَاحِدًا، وَإِنْ كَانَ الزَّرْعُ بَقْلًا أَوْ قَصِيلًا فَبَيْعُهُ مُفْرَدًا يَجُوزُ بِشَرْطِ الْقَطْعِ وَمَعَ الْأَرْضِ مِنْ غَيْرِ اشْتِرَاطِ الْقَطْعِ لِأَنَّهُ يَصِيرُ تَبَعًا لِغَيْرِهِ كما يجوز بيع الثمرة على رؤوس نَخْلِهَا قَبْلَ بَدْوِّ صَلَاحِهَا مِنْ غَيْرِ شَرْطِ الْقَطْعِ وَإِنْ كَانَ الزَّرْعُ سُنْبُلًا مُشْتَدًّا فَلَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua – dan inilah yang tampak dari nash beliau dalam Kitab al-Umm – adalah bahwa jual belinya batal, karena meskipun ia merupakan bagian yang mengikuti (taba‘an), namun ia juga dimaksudkan secara khusus, berbeda dengan fondasi (al-asas) dan batu bata (al-laban), karena keduanya tidak termasuk dalam jual beli kecuali dengan syarat. Orang yang berpendapat dengan pendapat ini menafsirkan ucapan asy-Syafi‘i: “telah keluar atau belum keluar” dengan makna telah keluar bulirnya atau belum keluar bulirnya. Maka, menurut pendapat ini, dalam kebatalan jual beli terdapat dua pendapat. Di antara ulama mazhab kami ada yang mengatakan: batal secara mutlak. Adapun jika tanaman itu berupa sayuran muda (baql) atau rumput potong (qashil), maka menjualnya secara terpisah dibolehkan dengan syarat dipotong, dan jika dijual bersama tanahnya maka boleh tanpa syarat pemotongan, karena ia menjadi pengikut bagi selainnya, sebagaimana dibolehkan menjual buah di atas pohon kurmanya sebelum tampak tanda matangnya tanpa syarat pemotongan. Jika tanaman itu berupa bulir yang sudah mengeras, maka tidak lepas dari dua keadaan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ حبه بارزا لإكمام عَلَيْهِ كَالشَّعِيرِ.

Pertama, bijinya tampak keluar dari kelopaknya seperti jelai (syair).

وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ مُسْتَجْنًا بِكِمَامٍ كَالْحِنْطَةِ فَإِنْ كَانَ بَارِزًا بِغَيْرِ كِمَامٍ جَازَ بَيْعُهُ مُفْرَدًا وَجَازَ بَيْعُهُ مَعَ الْأَرْضِ وَإِنْ كَانَ مُسْتَجْنًا بِكِمَامٍ فَفِي جَوَازِ بَيْعِهِ مُفْرَدًا قولان:

Kedua, bijinya masih tersembunyi dalam kelopaknya seperti gandum (hintah). Jika bijinya tampak tanpa kelopak, maka boleh dijual secara terpisah dan boleh dijual bersama tanahnya. Namun jika masih tersembunyi dalam kelopaknya, maka dalam kebolehan menjualnya secara terpisah terdapat dua pendapat:

أحدهما: إن بيعه منفردا جَائِزٌ فَعَلَى هَذَا إِذَا بِيعَ مَعَ الْأَرْضِ فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ جَائِزًا.

Pertama: Menjualnya secara terpisah itu boleh. Maka berdasarkan pendapat ini, jika dijual bersama tanahnya, tentu lebih utama untuk dibolehkan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ بيعه منفردا بَاطِلٌ فَعَلَى هَذَا فِي بَيْعِهِ مَعَ الْأَرْضِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Menjualnya secara terpisah itu batal. Maka berdasarkan pendapat ini, dalam menjualnya bersama tanah terdapat dua wajah (pendapat):

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لِكَوْنِهِ تَبَعًا.

Pertama: Boleh, karena ia menjadi pengikut (taba‘an).

وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ مَقْصُودٌ وَإِنْ كَانَ تَبَعًا فَعَلَى هَذَا يَكُونُ فِي بَيْعِ الْأَرْضِ قَوْلَانِ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ أَبْطَلَ بِيعَ الْأَرْضِ قَوْلًا وَاحِدًا.

Kedua: Tidak boleh, karena ia dimaksudkan secara khusus, meskipun sebagai pengikut. Berdasarkan ini, dalam jual beli tanah terdapat dua pendapat dari perincian akad, dan di antara ulama mazhab kami ada yang membatalkan jual beli tanah secara mutlak.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا مِنْ بَيْعِ الْأَرْضِ مَعَ زَرْعِهَا وَقُلْنَا بِجَوَازِ بَيْعِهَا فَإِنْ كَانَ الزَّرْعُ بَذْرًا نُظِرَ حَالُهُ عِنْدَ فَلَسِ الْمُشْتَرِي فَإِنْ كَانَ بَذْرًا أَيْضًا لَمْ يَنْبُتْ فَلِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِالْأَرْضِ مَعَ بَذْرِهَا وَإِنْ كَانَ الْبَذْرُ قَدْ نَبَتَ وَصَارَ بَقْلًا أَوْ قَصِيلًا رَجَعَ بِالْأَرْضِ وَفِي رُجُوعِهِ بِالزَّرْعِ وَجْهَانِ:

Apabila telah tetap apa yang kami sebutkan tentang jual beli tanah beserta tanamannya, dan kami katakan kebolehannya, maka jika tanaman itu berupa benih, dilihat keadaannya saat pembeli mengalami pailit. Jika masih berupa benih yang belum tumbuh, maka penjual berhak mengambil kembali tanah beserta benihnya. Jika benih itu telah tumbuh dan menjadi sayuran muda (baql) atau rumput potong (qashil), maka penjual mengambil kembali tanahnya, dan dalam pengambilan kembali tanamannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَرْجِعُ بِالزَّرْعِ لِأَنَّهُ غَيْرُ الْبَذْرِ فَصَارَ الْبَذْرُ الْمَبِيعُ غَيْرَ مَوْجُودِ الْعَيْنِ فَيَرْجِعُ بِالْأَرْضِ وَيَضْرِبُ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِمَا قَابَلَ الْبَذْرَ – وَعَلَى هَذَا الْوَجْهِ لَوْ بَاعَهُ بَيْضًا فَحَضَنَهُ حَتَّى صَارَ فِرَاخًا لَمْ يَرْجِعِ الْبَائِعُ بِالْفِرَاخِ وَضَرَبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِثَمَنِ البيض.

Pertama: Tidak mengambil kembali tanamannya, karena ia bukan lagi benih, sehingga benih yang dijual tidak lagi ada wujudnya, maka penjual mengambil kembali tanahnya dan menuntut bersama para kreditur atas nilai benih tersebut. Berdasarkan pendapat ini, jika seseorang menjual telur lalu dierami hingga menjadi anak ayam, maka penjual tidak mengambil kembali anak ayam tersebut, melainkan menuntut bersama para kreditur atas harga telur.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُرْجِعُ بِالزَّرْعِ بَعْدَ نَبَاتِهِ، لِأَنَّ نَبَاتَ الزَّرْعِ هُوَ مِنْ عَيْنِ الْبَذْرِ وَلِذَلِكَ قُلْنَا إنَّ مَنْ غَصَبَ بَذْرًا فَزَرَعَهُ كَانَ الزَّرْعُ بَعْدَ نَبَاتِهِ لِلْمَغْصُوبِ مِنْهُ لِأَنَّهُ مِنْ عَيْنِ بَذْرِهِ وَكَذَلِكَ لَوْ غَصَبَ بَيْضًا فَحَضَنَهُ حَتَّى صَارَ فِرَاخًا كَانَتِ الْفِرَاخُ لِلْمَغْصُوبِ مِنْهُ وَعَلَى هَذَا الْوَجْهِ لِبَائِعِ الْبَيْضِ إِذَا صَارَ فِرَاخًا أَنْ يَرْجِعَ بِهِ، وَإِنْ كَانَ الزَّرْعُ حِينَ بِيعَ مَعَ الْأَرْضِ بَقْلًا نُظِرَ حَالُهُ عِنْدَ فَلَسِ الْمُشْتَرِي فَإِنْ كَانَ قَصِيلًا أَوْ سُنْبُلًا غَيْرَ مُنْعَقِدٍ كَانَ لِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ مَعَ الْأَرْضِ وَإِنْ كَانَ سُنْبُلًا مُشْتَدًّا فَفِي رُجُوعِ الْبَائِعِ بِهِ مَعَ الْأَرْضِ وَجْهَانِ عَلَى مَا مَضَى وَإِنْ كَانَ الزَّرْعُ حِينَ بِيعَ مَعَ الْأَرْضِ سُنْبُلًا مُشْتَدًّا فَلِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ مَعَ الْأَرْضِ سَوَاءٌ كَانَ الْحَبُّ بَاقِيًا فِي سُنْبُلِهِ أَوْ قَدْ صُفِّيَ وأخرج منه.

Pendapat kedua: Ia mengambil kembali tanamannya setelah tumbuh, karena pertumbuhan tanaman berasal dari benih itu sendiri. Oleh karena itu, kami katakan bahwa siapa yang merampas benih lalu menanamnya, maka tanaman yang tumbuh setelahnya menjadi milik orang yang dirampas, karena berasal dari benihnya. Demikian pula, jika seseorang merampas telur lalu dierami hingga menjadi anak ayam, maka anak ayam itu menjadi milik orang yang dirampas. Berdasarkan pendapat ini, penjual telur jika telah menjadi anak ayam, berhak mengambilnya kembali. Jika tanaman ketika dijual bersama tanahnya masih berupa sayuran muda (baql), maka dilihat keadaannya saat pembeli pailit. Jika sudah menjadi rumput potong (qashil) atau bulir yang belum mengeras, maka penjual berhak mengambilnya bersama tanah. Jika sudah berupa bulir yang mengeras, maka dalam pengambilan kembali oleh penjual bersama tanah terdapat dua pendapat sebagaimana telah lalu. Jika tanaman ketika dijual bersama tanahnya sudah berupa bulir yang mengeras, maka penjual berhak mengambilnya bersama tanah, baik bijinya masih di dalam bulir maupun sudah dipisahkan dan dikeluarkan darinya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ بَاعَهُ حَائِطًا لَا ثَمَرَ فِيهِ أَوْ أَرْضًا لَا زَرْعَ فِيهَا ثُمَّ فَلَسَ الْمُشْتَرِي فَإِنْ كَانَ النَّخْلُ قَدْ أُبِّرَ وَالْأَرْضُ قَدْ زُرِعَتْ كَانَ لَهُ الْخِيَارُ فِي النَّخْلِ وَالْأَرْضِ وَتَبْقَى الثِّمَارُ إِلَى الْجِدَادِ وَالزَّرْعُ إِلَى الْحَصَادِ إِنْ أَرَادَ الْغُرَمَاءُ تَأْخِيرَ ذَلِكَ وَإِنْ شَاءَ ضَرَبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Seandainya seseorang menjual kebun yang tidak ada buahnya atau tanah yang tidak ada tanamannya, kemudian pembeli jatuh pailit, maka jika pohon kurma telah dibuahi dan tanah telah ditanami, maka pembeli memiliki hak khiyār (pilihan) atas pohon kurma dan tanah tersebut, dan buahnya tetap berada di pohon sampai masa panen, serta tanaman tetap di tanah sampai masa panen, jika para kreditur menghendaki penundaan hal itu. Namun jika mereka mau, mereka dapat membagi bersama para kreditur.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِذَا كَانَ الْمَبِيعُ أَرْضًا بَيْضَاءَ لَا زَرْعَ فِيهَا فَزَرَعَهَا الْمُشْتَرِي ثُمَّ أَفْلَسَ وَالزَّرْعُ بَقْلٌ أَخْضَرُ فَلَا حَقَّ فِيهِ لِلْبَائِعِ لِأَنَّ الزَّرْعَ مُودَعٌ فِي الْأَرْضِ لِتَكَامُلِ مَنْفَعَتِهِ فَصَارَ مُنْفَصِلًا عَنِ الْبَيْعِ فَلَمْ يَكُنْ لِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ وَيَرْجِعُ بِالْأَرْضِ وَحْدَهَا الَّتِي هِيَ عَيْنُ مَالِهِ وَعَلَيْهِ إِذَا رَجَعَ بِالْأَرْضِ أَنْ يُقِرَّ الزَّرْعَ فِيهَا إِلَى وَقْتِ حَصَادِهِ إِذَا شَاءَ ذَلِكَ الْمُفْلِسُ وَالْغُرَمَاءُ؛ لِأَنَّ زَرْعَهَا كَانَ بِحَقٍّ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقْطَعَ وَلَزِمَ أَنْ يُقِرَّهُ ثُمَّ لَا أُجْرَةَ لِلْبَائِعِ فِي تَرْكِ الزَّرْعِ فِي أَرْضِهِ إِلَى وَقْتِ حَصَادِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ يَمْلِكُ الْمَنْفَعَةَ حِينَ زُرِعَ عَلَى غَيْرِ بَدَلٍ وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ قَدْ أَجَّرَهَا مُدَّةً ثُمَّ اسْتَرْجَعَهَا الْبَائِعُ بِفَلَسِهِ كَانَتِ الْإِجَارَةُ لَازِمَةً لِلْبَائِعِ إِلَى انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ فِي الْإِجَارَةِ وَالْأُجْرَةُ مِلْكٌ لِلْمُفْلِسِ الْمُشْتَرِي دُونَ الْبَائِعِ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ مَالِكًا لِمَنَافِعِهَا حِينَ أَجَّرَ فَكَذَلِكَ فِيمَا زَرَعَ.

Al-Māwardī berkata: Adapun jika yang dijual adalah tanah kosong yang tidak ada tanamannya, lalu pembeli menanaminya kemudian ia jatuh pailit, dan tanaman tersebut masih berupa tunas hijau, maka penjual tidak memiliki hak atas tanaman itu, karena tanaman tersebut ditanam di tanah untuk memperoleh manfaatnya secara sempurna, sehingga ia menjadi terpisah dari akad jual beli. Maka penjual tidak berhak mengambilnya kembali, dan ia hanya berhak mengambil kembali tanahnya saja yang merupakan pokok hartanya. Jika ia mengambil kembali tanahnya, maka ia wajib membiarkan tanaman tersebut tetap di tanah sampai waktu panennya, jika si pailit dan para kreditur menghendaki demikian; karena penanaman itu dilakukan secara sah, maka tidak boleh dicabut, dan wajib membiarkannya. Selanjutnya, penjual tidak berhak mendapatkan sewa atas dibiarkannya tanaman di tanahnya sampai waktu panen, karena pada saat ditanam, pembeli memang memiliki hak manfaat tanpa imbalan. Dan jika seandainya tanah itu disewakan untuk jangka waktu tertentu, lalu penjual mengambilnya kembali karena pailitnya pembeli, maka akad sewa tetap berlaku bagi penjual sampai habis masa sewanya, dan uang sewa menjadi milik pembeli yang pailit, bukan milik penjual, karena pada saat menyewakan, pembeli memang memiliki hak atas manfaatnya. Demikian pula halnya pada tanaman yang ditanam.”

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِنْ كَانَ الْمَبِيعُ نَخْلًا لَا ثَمَرَ عَلَيْهِ فَفَلَسَ الْمُشْتَرِي وَقَدْ أَثْمَرَتِ النَّخْلُ فَلَا يَخْلُو حَالُ الثَّمَرَةِ عِنْدَ فَلَسِ الْمُشْتَرِي مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Adapun jika yang dijual adalah pohon kurma yang belum berbuah, lalu pembeli jatuh pailit dan pohon kurma itu telah berbuah, maka keadaan buah pada saat pembeli pailit tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ تَكُونَ مُؤَبَّرَةً، أَوْ غَيْرَ مُؤَبَّرَةٍ فَإِنْ كَانَتِ الثَّمَرَةُ مُؤَبَّرَةً فَهِيَ لِلْمُشْتَرِي تُقْسَمُ بَيْنَ غُرَمَائِهِ وَيَرْجِعُ الْبَائِعُ بِالنَّخْلِ دُونَ الثَّمَرَةِ، لِأَنَّ الثَّمَرَةَ زِيَادَةٌ مُتَمَيِّزَةٌ وَعَلَى الْبَائِعِ تَرْكُ الثَّمَرَةِ عَلَى نَخْلِهِ إِلَى أَوَانِ الْجُذَاذِ وَلَا أُجْرَةَ لَهُ فِي تَرْكِهَا كَمَا قُلْنَا فِي الزَّرْعِ وَعَلَيْهِ التَّمْكِينُ مِنْ سَقْيِهَا وَكَذَلِكَ سَقْيُ الزَّرْعِ. وَإِنْ كَانَتِ الثَّمَرَةُ عِنْدَ فَلَسِ الْمُشْتَرِي غَيْرَ مُؤَبَّرَةٍ فَفِيهَا قَوْلَانِ:

Pertama, buah tersebut sudah dibuahi (mu’abbara), atau belum dibuahi. Jika buah tersebut sudah dibuahi, maka buah itu milik pembeli dan akan dibagi di antara para krediturnya, dan penjual mengambil kembali pohon kurmanya tanpa buahnya, karena buah itu merupakan tambahan yang terpisah. Penjual wajib membiarkan buah itu tetap di pohonnya sampai masa panen, dan ia tidak berhak meminta sewa atas dibiarkannya buah itu, sebagaimana telah dijelaskan pada kasus tanaman. Penjual juga wajib memberikan kesempatan untuk menyiraminya, demikian pula untuk menyirami tanaman. Namun jika buah pada saat pembeli pailit belum dibuahi, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: رَوَاهُ الْمُزَنِيُّ وَحَرْمَلَةُ: أَنَّ الثَّمَرَةَ لِلْبَائِعِ إِنْ رَجَعَ بِالنَّخْلِ تَبَعًا كَمَا يَكُونُ فِي الْبَيْعِ تَبَعًا لَهَا وَيَكُونُ الْفَرْقُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الزَّرْعِ فِي الْأَرْضِ أَنَّ الزَّرْعَ مُودَعٌ فِي الْأَرْضِ وَلَيْسَ بِحَادِثٍ مِنْ خِلْقَةِ الْأَصْلِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِهِ الْبَائِعُ كَمَا لَا يَدْخُلُ فِي البيع والثمرة الحادثة حادثة من خلقة الأصل يرجع بِهَا الْبَائِعُ كَمَا يَدْخُلُ فِي الْبَيْعِ.

Pertama, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Muzanī dan Harmalah: bahwa buah itu menjadi milik penjual jika ia mengambil kembali pohon kurma tersebut, sebagaimana dalam akad jual beli buah itu menjadi bagian dari pohon. Perbedaan antara buah dan tanaman di tanah adalah bahwa tanaman itu ditanam di tanah dan bukan merupakan bagian dari asal pohon, sehingga penjual tidak mengambilnya kembali, sebagaimana buah yang tumbuh dari asal pohon dapat diambil kembali oleh penjual karena ia termasuk dalam akad jual beli.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: رَوَاهُ الرَّبِيعُ: أنَّ الثَّمَرَةَ لِلْمُفْلِسِ لَا حَقَّ لِلْبَائِعِ فِيهَا وَيَرْجِعُ بِالنَّخْلِ دُونَهَا لِأَنَّ: الْبَائِعَ يَسْتَرْجِعُ الْمَبِيعَ جَبْرًا فَلَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ إِلَّا بِعَيْنِ مَالِهِ الَّذِي يَتَنَاوَلُهُ عَقْدُهُ، وَفَارَقَ ذَلِكَ حَالَ الْمَبِيعِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua, sebagaimana diriwayatkan oleh ar-Rabī‘: bahwa buah itu milik pembeli yang pailit, penjual tidak memiliki hak atasnya, dan ia hanya mengambil kembali pohon kurmanya tanpa buahnya, karena penjual mengambil kembali barang yang dijual secara paksa, sehingga ia hanya berhak mengambil kembali pokok hartanya yang tercakup dalam akad, dan hal ini berbeda dengan keadaan barang yang dijual dalam dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَقْدَ الْبَيْعِ عَنْ مُرَاضَاةٍ فَجَازَ أَنْ يَدْخُلَ فِيهِ تَوَابِعُ الْمَبِيعِ وَهَذَا عَنْ إِكْرَاهٍ فَلَمْ يَتَوَجَّهْ إِلَّا إِلَى مَا تَضَمَّنَهُ الْعَقْدُ.

Pertama, akad jual beli dilakukan atas dasar kerelaan, sehingga boleh saja mencakup hal-hal yang mengikuti barang yang dijual, sedangkan pengambilan kembali ini dilakukan secara paksa, sehingga hanya berlaku pada apa yang tercakup dalam akad saja.

وَالثَّانِي: أَنَّ عَقْدَ الْبَيْعِ لَمَّا كَانَ يَقْدِرُ الْبَائِعُ فِيهِ عَلَى اسْتِيفَاءِ الثَّمَرَةِ لَفْظًا دَخَلَتْ فِيهِ الثَّمَرَةُ إِطْلَاقًا وَلَيْسَ يُقَدَّرُ فِي فَلَسِ الْمُشْتَرِي عَلَى مِثْلِ ذَلِكَ فَافْتَرَقَا فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهَا لِلْمُفْلِسِ لَا يَرْجِعُ بِهَا الْبَائِعُ وَجَبَ عَلَى الْبَائِعِ تَرْكُهَا عَلَى النَّخْلِ إِلَى أَوَانِ الجذاذ.

Kedua: Bahwa dalam akad jual beli, ketika penjual masih dapat mengambil hasil buah secara lafazh, maka buah tersebut masuk dalam akad secara mutlak. Namun, dalam kasus kepailitan pembeli, tidak dapat diperkirakan seperti itu, sehingga keduanya berbeda. Maka apabila telah tetap bahwa buah itu milik orang yang pailit, penjual tidak dapat mengambilnya kembali, dan wajib bagi penjual untuk membiarkan buah itu tetap di pohon hingga waktu panen.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ أَرَادَ الْغُرَمَاءُ بَيْعَ الثَّمَرِ قَبْلَ الْجُذَاذِ وَالزَّرْعِ بَقْلًا فَذَلِكَ لَهُمْ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika para kreditur ingin menjual buah sebelum masa panen dan tanaman sebelum dipanen, maka itu hak mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا رَجَعَ الْبَائِعُ بِعَيْنِ مَالِهِ مِنَ الْأَرْضِ وَالنَّخْلِ فَصَارَتِ الثَّمَرَةُ وَالزَّرْعُ لِلْمُفْلِسِ فَلَهُ وَلِغُرَمَائِهِ أَرْبَعَةُ أحوال:

Al-Mawardi berkata: Jika penjual mengambil kembali barangnya berupa tanah dan pohon kurma, maka buah dan tanaman menjadi milik orang yang pailit. Maka bagi dia dan para krediturnya terdapat empat keadaan:

أحدهما: أَنْ يَتَّفِقُوا جَمِيعًا عَلَى تَرْكِ الثَّمَرَةِ إِلَى أَوَانِ الْجُذَاذِ وَالزَّرْعِ إِلَى أَوَانِ الْحَصَادِ فَذَلِكَ لَهُمْ وَعَلَى الْبَائِعِ تَرْكُ ذَلِكَ بِغَيْرِ أُجْرَةٍ عَلَى مَا مَضَى.

Pertama: Mereka semua sepakat untuk membiarkan buah hingga waktu panen dan tanaman hingga waktu panen, maka itu hak mereka, dan penjual wajib membiarkannya tanpa meminta upah, sebagaimana yang telah lalu.

وَالْحَالُ الثَّانِي: أَنْ يَتَّفِقُوا جَمِيعًا عَلَى بَيْعِ الثَّمَرَةِ فِي الْحَالِ بُسْرًا أَخْضَرَ وَبَيْعِ الزَّرْعِ فِي الْحَالِ بَقْلًا أَخْضَرَ فَذَلِكَ لَهُمْ لِيَتَعَجَّلُوا الْحَقَّ وَيَأْمَنُوا الْخَطَرَ.

Kedua: Mereka semua sepakat untuk menjual buah saat itu juga dalam keadaan masih mentah dan menjual tanaman dalam keadaan masih muda, maka itu hak mereka agar mereka dapat segera memperoleh haknya dan terhindar dari risiko.

وَالْحَالُ الثَّالِثُ: أَنْ يَدْعُوا الْغُرَمَاءَ إِلَى تَرْكِهَا إِلَى وقت الجذاذ والحصاد ليتوفر عليهم ثمنها ويدعو الْمُفْلِسَ إِلَى بَيْعِهَا فِي الْحَالِ لِيُأْمَنَ خَطَرُهَا فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُفْلِسِ وَتُبَاعُ فِي الْحَالِ لِأَنَّ ذِمَّتَهُ مُرْتَهِنَةٌ بِدَيْنِهِ وَلَا يُأْمَنُ تَلَفُ الثَّمَرَةِ وبقاء الدين.

Ketiga: Para kreditur menghendaki agar buah dan tanaman dibiarkan hingga waktu panen supaya harganya lebih maksimal, sedangkan orang yang pailit menghendaki agar dijual saat itu juga agar terhindar dari risiko kerusakan. Maka yang diikuti adalah pendapat orang yang pailit, dan buah serta tanaman dijual saat itu juga, karena tanggungannya tergadai dengan utangnya dan tidak ada jaminan buah itu tidak rusak sementara utang tetap ada.

والحال الرابع: أن يدعوا الْمُفْلِسُ إِلَى تَرْكِهَا إِلَى وَقْتِ الْجُذَاذِ وَالْحَصَادِ لِيَزِيدَ ثَمَنُهَا فَيَخِفَّ دَيْنُهُ وَيَدْعُوَ الْغُرَمَاءُ إِلَى بَيْعِهَا فِي الْحَالِ لِيَتَعَجَّلُوا حُقُوقَهُمْ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْغُرَمَاءِ وَتُبَاعُ فِي الْحَالِ، لِأَنَّ حُقُوقَهُمْ مُعَجَّلَةٌ فَلَا يَلْزَمُهُمْ تَأْخِيرُهَا وَهَكَذَا لَوْ رَضِيَ أَكْثَرُ الْغُرَمَاءِ وَالْمُفْلِسُ بِتَرْكِهَا وَكَرِهَ أَقَلُّهُمْ وَطَلَبُوا تَعْجِيلَ بَيْعِهَا كَانَ الْقَوْلُ فِيهَا قَوْلَ مَنْ دَعَا إِلَى تَعْجِيلِ الْبَيْعِ. وَلَوْ كَانَ وَاحِدًا لِأَنَّهُ لا يلزمه تأخير حقه برضى غيره.

Keempat: Orang yang pailit menghendaki agar buah dan tanaman dibiarkan hingga waktu panen supaya harganya naik sehingga utangnya berkurang, sedangkan para kreditur menghendaki agar dijual saat itu juga supaya mereka segera mendapatkan haknya. Maka yang diikuti adalah pendapat para kreditur, dan buah serta tanaman dijual saat itu juga, karena hak mereka harus segera dipenuhi sehingga mereka tidak wajib menunda haknya. Demikian pula jika mayoritas kreditur dan orang yang pailit setuju untuk membiarkannya, namun sebagian kecil kreditur tidak setuju dan meminta agar segera dijual, maka yang diikuti adalah pendapat pihak yang meminta percepatan penjualan, meskipun hanya satu orang, karena ia tidak wajib menunda haknya hanya karena persetujuan pihak lain.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَكَذَلِكَ لَوْ بَاعَهُ أَمَةً فَوَلَدَتْ ثُمَّ أَفْلَسَ كَانَتْ لَهُ الْأَمَةُ إِنْ شَاءَ وَالْوَلَدُ لِلْغُرَمَاءِ وَإِنْ كَانَتْ حُبْلَى كَانَتْ لَهُ حُبْلَى لِأَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَعَلَ الْإِبَارَ كَالْوِلَادَةِ وَإِذَا لَمْ تُؤْبَرْ فَهِيَ كَالْحَامِلِ لَمْ تَلِدْ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Demikian pula jika ia menjual seorang budak perempuan, lalu budak itu melahirkan dan kemudian pembeli mengalami pailit, maka budak perempuan itu kembali kepada penjual jika ia menghendaki, sedangkan anaknya menjadi milik para kreditur. Jika budak itu sedang hamil, maka ia kembali kepada penjual dalam keadaan hamil, karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyamakan kehamilan dengan kelahiran. Jika belum hamil, maka ia seperti perempuan hamil yang belum melahirkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَلِهَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مُقَدِّمَةٌ وَهِيَ: الْحَمْلُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ هَلْ يَكُونُ تَبَعًا أَوْ يَأْخُذُ مِنَ الثَّمَنِ قِسْطًا؟ وَفِيهِ لِلشَّافِعِيِّ قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Dalam masalah ini terdapat pengantar, yaitu: Apakah janin dalam kandungan ibunya dianggap sebagai bagian yang mengikuti ataukah ia mendapat bagian dari harga? Dalam hal ini, menurut Syafi‘i terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَكُونُ تَبَعًا كأعضائها، لأنها لو أعتقت سوى الْعِتْقُ إِلَى حَمْلِهَا كَمَا يَسْرِي إِلَى جَمِيعِ أَعْضَائِهَا.

Pertama: Bahwa janin dianggap sebagai bagian yang mengikuti anggota tubuhnya, karena jika budak itu dimerdekakan, maka kemerdekaan itu juga berlaku pada janinnya, sebagaimana berlaku pada seluruh anggota tubuhnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَأْخُذُ مِنَ الثَّمَنِ قِسْطًا كَاللَّبَنِ، لِأَنَّهُ لَوْ أَعْتَقَ حَمْلَهَا لَمْ يَسْرِ إِلَيْهَا عِتْقُهُ وَلَوْ كَانَ كَالْعُضْوِ مِنْهَا عُتِقَتْ بِعِتْقِهِ كَمَا تُعْتَقُ بِعِتْقِ أَعْضَائِهَا فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا وَكَانَ الْمَبِيعُ أَمَةً حَصَلَ مِنْهَا حَمْلٌ أَوْ وَلَدٌ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Pendapat kedua: Bahwa janin mendapat bagian dari harga seperti halnya susu, karena jika janinnya dimerdekakan, kemerdekaan itu tidak berlaku pada ibunya. Jika janin dianggap sebagai anggota tubuhnya, maka ibunya pun akan merdeka karena kemerdekaan janinnya, sebagaimana ia merdeka karena kemerdekaan anggota tubuhnya. Maka jika telah tetap demikian, dan yang dijual adalah budak perempuan yang kemudian mengandung atau melahirkan, maka keadaannya tidak lepas dari empat bagian:

أَحَدُهَا: – أَنْ تَكُونَ حَامِلًا وَقْتَ الْعَقْدِ وَوَقْتَ الْفَلَسِ فَإِنْ كَانَ الْحَمْلُ الَّذِي مَعَهَا وَقْتَ الْفَلَسِ هُوَ الْحَمْلُ الَّذِي كَانَ مَعَهَا وَقْتَ الْبَيْعِ فَلِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا حَامِلًا عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا، لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ تَبَعًا فَهُوَ فِي الْحَالَيْنِ تَبَعٌ وَإِنْ كَانَ يَأْخُذُ مِنَ الثَّمَنِ قِسْطًا فَلَهُ فِي الْحَالَيْنِ قِسْطٌ. وَإِنْ كَانَ الْحَمْلُ الَّذِي مَعَهَا وَقْتَ الْفَلَسِ غَيْرَ الْحَمْلِ الَّذِي كَانَ مَعَهَا وَقْتَ الْعَقْدِ. فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْحَمْلَ يَكُونُ تَبَعًا كَانَ لِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا حَامِلًا وَلَا حَقَّ لَهُ فِي الْوَلَدِ الَّذِي كَانَتْ بِهِ وَقْتَ الْبَيْعِ حَامِلًا وَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْحَمْلَ يَأْخُذُ مِنَ الثَّمَنِ قِسْطًا فَلِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا دُونَ حَمْلِهَا الَّذِي هُوَ وَقْتَ الْفَلَسِ مَعَهَا وَيَرْجِعُ بِالْوَلَدِ الَّذِي وَضَعَتْهُ وَكَانَتْ حَامِلًا بِهِ وَقْتَ بَيْعِهَا.

Salah satunya: Jika ia sedang hamil pada saat akad dan pada saat pailit. Jika janin yang ada bersamanya pada saat pailit adalah janin yang sama dengan yang ada bersamanya pada saat penjualan, maka penjual berhak mengambil kembali budak perempuan itu dalam keadaan hamil menurut kedua pendapat, karena meskipun janin itu dianggap sebagai pengikut, dalam kedua keadaan ia tetap sebagai pengikut, dan jika janin itu mendapatkan bagian dari harga, maka dalam kedua keadaan ia juga mendapat bagian. Namun, jika janin yang ada bersamanya pada saat pailit berbeda dengan janin yang ada bersamanya pada saat akad, maka jika dikatakan bahwa janin itu adalah pengikut, penjual berhak mengambil kembali budak perempuan itu dalam keadaan hamil, dan ia tidak berhak atas anak yang dikandungnya pada saat penjualan. Tetapi jika dikatakan bahwa janin itu mendapatkan bagian dari harga, maka penjual berhak mengambil kembali budak perempuan itu tanpa janin yang ada bersamanya pada saat pailit, dan ia berhak mengambil anak yang telah dilahirkan yang dikandungnya pada saat penjualan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ حَائِلًا وَقْتَ الْبَيْعِ وَحَامِلًا وَقْتَ الْفَلَسِ وَكَانَ حَمْلُهَا وَوَضْعُهَا مَا بَيْنَ الْبَيْعِ وَالْفَلَسِ فَلِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا دُونَ حَمْلِهَا عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا، لِأَنَّهُ لَمْ يَأْخُذْ مِنَ الثَّمَنِ قِسْطًا وَلَا كَانَ فِي الْحَالَيْنِ تَبَعًا فَإِذَا رَجَعَ الْبَائِعُ بِالْأَمَةِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ وَلَدِهَا ” لِنَهْيِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْهُ ” وَمِنْ أَصْحَابِنَا مِمَّنْ جَوَّزَ الْفُرْقَةَ بَيْنَهُمَا لِلضَّرُورَةِ عَلَى مِثْلِ مَا قَالَ فِي الْفُرْقَةِ بَيْنَهُمَا فِي الرَّهْنِ وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ، لِارْتِفَاعِ الضَّرُورَةِ إِذْ قَدْ يُمْكِنُ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا وَيَصِلُ كُلُّ وَاحِدٍ إِلَى حَقِّهِ مِنْهُمَا فَيُقَالُ لِلْبَائِعِ تُعْطِي ثَمَنَ الْوَلَدِ فَإِنْ دَفَعَ ثَمَنَ الْوَلَدِ أُجْبِرَ الْمُفْلِسُ وَالْغُرَمَاءُ عَلَى قَبُولِ الثَّمَنِ وَدَفْعِ الْوَلَدِ وَإِنِ امْتَنَعَ الْبَائِعُ أَنْ يَدْفَعَ ثَمَنَ الْوَلَدِ لَمْ يُمَكَّنْ مِنَ الْأُمِّ بَعْدَ اسْتِرْجَاعِهَا وَبِيعَتْ مَعَ وَلَدِهَا فَمَا حَصَلَ مِنْ ثَمَنِهَا دُفِعَ إِلَى الْبَائِعِ مِنْهُ مَا قَابَلَ الْأُمَّ ذَاتَ وَلَدٍ وَدُفِعَ إِلَى غُرَمَاءِ الْمُفْلِسِ مَا قَابَلَ الْوَلَدَ إِذَا كَانَ مَعَ أُمِّهِ. فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا دَفَعْتُمْ إِلَى الْبَائِعِ مَا قَابَلَ ثَمَنَ الْأُمِّ مُفْرَدَةً غَيْرَ ذَاتِ وَلَدٍ كَمَا دَفَعْتُمْ إِلَى مُرْتَهِنِ الْأَرْضِ إِذَا غَرَسَهَا الرَّاهِنُ بَعْدَ الرَّهْنِ نَخْلًا وَبِيعَا مَعًا ثَمَنَ الْأَرْضِ بَيْضَاءَ لَا نَخْلَ فِيهَا؟ . قُلْنَا: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الرَّاهِنَ لَمَّا كَانَ مُتَعَدِّيًا بِغَرْسِ النَّخْلِ فِي الْأَرْضِ الْمَرْهُونَةِ دَفَعَ ضَرُورَةَ تَعَدِّيهِ عَلَى الْمُرْتَهِنِ فَدَفَعَ إِلَيْهِ ثَمَنَ أَرْضٍ بَيْضَاءَ وَلَمَّا لَمْ يَكُنْ مِنَ المشتري تعد في إيلاد الْجَارِيَةِ لَمْ يَكُنْ دَفْعُ الضَّرُورَةِ عَنِ الْبَائِعِ بِأَوْلَى مِنْ دَفْعِهَا عَنِ الْمُشْتَرِي.

Bagian kedua: Jika ia tidak hamil pada saat penjualan dan hamil pada saat pailit, dan kehamilan serta kelahirannya terjadi di antara waktu penjualan dan pailit, maka penjual berhak mengambil kembali budak perempuan itu tanpa kehamilannya menurut kedua pendapat, karena janin itu tidak mendapatkan bagian dari harga dan tidak pula menjadi pengikut dalam kedua keadaan. Jika penjual mengambil kembali budak perempuan itu, tidak boleh dipisahkan antara ia dan anaknya, karena larangan Nabi ﷺ tentang hal itu. Namun, sebagian ulama kami membolehkan pemisahan antara keduanya karena darurat, sebagaimana pendapat mereka tentang pemisahan dalam kasus gadai, dan ini tidak benar, karena tidak ada lagi darurat, sebab masih mungkin untuk menggabungkan keduanya dan masing-masing mendapatkan haknya. Maka dikatakan kepada penjual: “Berikanlah harga anak itu.” Jika penjual membayar harga anak, maka pihak yang pailit dan para krediturnya dipaksa menerima harga tersebut dan menyerahkan anak itu. Jika penjual menolak membayar harga anak, maka ia tidak boleh mengambil ibu itu setelah dikembalikan, dan ibu itu dijual bersama anaknya. Hasil penjualannya dibagi: kepada penjual diberikan bagian yang sepadan dengan ibu yang memiliki anak, dan kepada kreditur pihak pailit diberikan bagian yang sepadan dengan anak jika bersama ibunya. Jika ada yang bertanya: “Mengapa kalian tidak memberikan kepada penjual bagian yang sepadan dengan harga ibu saja, tanpa anak, sebagaimana kalian memberikan kepada pemegang gadai tanah jika tanah itu ditanami pohon kurma oleh penggadai setelah digadaikan, lalu keduanya dijual bersama, maka harga tanah diberikan dalam keadaan kosong tanpa pohon kurma?” Kami jawab: Perbedaannya, penggadai ketika menanam pohon kurma di tanah yang digadaikan, ia telah melampaui batas terhadap pemegang gadai, sehingga kebutuhan untuk menghilangkan kerugian dari pemegang gadai lebih diutamakan, maka diberikan kepadanya harga tanah kosong. Sedangkan dalam kasus ini, pembeli tidak melampaui batas dalam menyebabkan kehamilan budak perempuan, sehingga kebutuhan untuk menghilangkan kerugian dari penjual tidak lebih utama daripada menghilangkannya dari pembeli.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ حَامِلًا وَقْتَ الْبَيْعِ حَائِلًا وَقْتَ الْفَلَسِ فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْحَمْلَ يَكُونُ تَبَعًا رَجَعَ بِالْأُمِّ دُونَ وَلَدِهَا لِأَنَّهُ بَعْدَ الِانْفِصَالِ لَا يَكُونُ تَبَعًا وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْحَمْلَ يَأْخُذُ مِنَ الثَّمَنِ قِسْطًا لَمْ يَخْلُ حَالُ الْوَلَدِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Bagian ketiga: Jika ia hamil pada saat penjualan dan tidak hamil pada saat pailit, maka jika kita katakan bahwa janin itu adalah pengikut, penjual mengambil kembali ibu tanpa anaknya, karena setelah terpisah, anak itu tidak lagi menjadi pengikut. Namun jika kita katakan bahwa janin itu mendapatkan bagian dari harga, maka keadaan anak tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ بَاقِيًا، أَوْ تَالِفًا فَإِنْ كَانَ الْوَلَدُ بَاقِيًا رَجَعَ الْبَائِعُ بِالْأُمِّ مَعَ وَلَدِهَا وَإِنْ كَانَ تَالِفًا رَجَعَ بِالْأُمِّ وَضَرَبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِمَا قَابَلَ الْوَلَدَ حَمْلًا فِي بَطْنِ أُمِّهِ حِينَ أُقْبِضَ لِأَنَّهُ بَعْدَ الْوِلَادَةِ أَكْثَرُ ثَمَنًا وَكَثْرَةُ ثَمَنِهِ حَادِثَةٌ فِي مِلْكِ الْمُشْتَرِي فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَوَّمَ فِي حَقِّ الْبَائِعِ فَتُقَوَّمُ الْأُمُّ حَامِلًا وَقْتَ الْقَبْضِ وَحَائِلًا وَيُنْظَرُ مَا بَيْنَهُمَا فَهُوَ الَّذِي يُقَابِلُ ثَمَنَ الْحَمَلِ فَإِنْ كَانَ الْعُشْرَ ضَرَبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِعُشْرِ الثَّمَنِ وَإِنْ كَانَ الْخُمْسَ ضَرَبَ بِخُمْسِ الثَّمَنِ.

Bisa jadi anak itu masih ada, atau telah tiada. Jika anak itu masih ada, maka penjual berhak mengambil kembali ibu beserta anaknya. Namun jika anak itu telah tiada, maka penjual hanya berhak mengambil kembali ibu, dan ia mendapatkan bagian bersama para kreditur sebesar nilai anak saat masih berupa janin dalam kandungan ibunya ketika diserahkan. Sebab, setelah lahir, nilainya menjadi lebih tinggi, dan kenaikan nilai tersebut terjadi dalam kepemilikan pembeli, sehingga tidak boleh dinilai untuk hak penjual. Maka, ibu dinilai saat sedang hamil pada waktu penyerahan dan saat tidak hamil, lalu dilihat selisih di antara keduanya; itulah yang mewakili nilai janin. Jika selisihnya sepersepuluh, maka ia mendapat bagian sepersepuluh dari harga bersama para kreditur; jika seperlima, maka ia mendapat bagian seperlima dari harga.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ تَكُونَ حَائِلًا وَقْتَ الْبَيْعِ حَامِلًا وَقْتَ الْفَلَسِ. فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْحَمْلَ يَكُونُ تَبَعًا رَجَعَ الْبَائِعُ بِالْأُمِّ حَامِلًا وَلَا حَقَّ لِلْمُشْتَرِي فِي حَمْلِهَا. وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْحَمْلَ يَأْخُذُ قِسْطًا مِنَ الثَّمَنِ كَانَ لَهُ الرُّجُوعُ بِالْأُمِّ دُونَ الْحَمْلِ وَكَانَ الْحَمْلُ لِلْمُشْتَرِي الْمُفْلِسِ وَلَا يَلْزَمُ تَسْلِيمُهَا إِلَيْهِ حَامِلًا لِحَقِّ الْمُفْلِسِ فِي الْحَمْلِ وَلَا يَلْزَمُ إِقْرَارُهَا فِي يَدِ الْمُفْلِسِ أَوْ غُرَمَائِهِ لِحَقِّ الْبَائِعِ فِي الْأُمِّ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُؤْخَذَ مِنَ الْبَائِعِ قِيمَةُ الْحَمْلِ، لِأَنَّ الْحَمْلَ لَا تَصِحُّ الْمُعَاوَضَةُ عَلَيْهِ دُونَ أُمِّهِ وَتُوضَعُ الْأَمَةُ الْحَامِلُ عَلَى يَدِ عَدْلٍ يَتَّفِقَانِ عَلَيْهِ فَإِنِ اخْتَلَفَا اخْتَارَ الْحَاكِمُ لَهُمَا عَدْلًا وَنَفَقَتُهَا عَلَى الْبَائِعِ مَالِكِ الْأُمِّ دُونَ الْمُفْلِسِ مَالِكِ الْحَمْلِ سَوَاءٌ قُلْنَا إِنَّ نَفَقَةَ الْحَامِلِ تَجِبُ لَهَا أَوْ لِحَمْلِهَا، لِأَنَّهَا نَفَقَةٌ تَجِبُ بِحَقِّ الْمِلْكِ فَاخْتَصَّتْ بِالْمِلْكِ الظَّاهِرِ الْمُتَحَقِّقِ.

Bagian keempat: Yaitu ketika pada saat penjualan ia tidak hamil, namun pada saat pailit ia hamil. Jika kita mengatakan bahwa janin itu mengikuti induknya, maka penjual berhak mengambil kembali ibu beserta janinnya, dan pembeli tidak memiliki hak atas janinnya. Namun jika kita mengatakan bahwa janin mendapat bagian dari harga, maka penjual hanya berhak mengambil kembali ibu tanpa janin, dan janin menjadi milik pembeli yang pailit. Tidak wajib menyerahkan ibu dalam keadaan hamil kepada pembeli pailit karena ada hak pembeli pailit atas janin, dan tidak wajib pula membiarkan ibu tetap di tangan pembeli pailit atau para krediturnya karena ada hak penjual atas ibu. Tidak boleh pula diambil dari penjual nilai janin, karena janin tidak sah untuk diperjualbelikan tanpa induknya. Maka, budak perempuan yang hamil ditempatkan di tangan seorang yang adil yang disepakati oleh kedua belah pihak; jika terjadi perselisihan, hakim memilihkan seorang yang adil untuk mereka. Nafkahnya menjadi tanggungan penjual sebagai pemilik ibu, bukan pembeli pailit sebagai pemilik janin, baik kita katakan bahwa nafkah ibu hamil wajib untuk dirinya atau untuk janinnya, karena nafkah itu wajib atas dasar hak kepemilikan, sehingga khusus bagi pemilik yang nyata dan sah.

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَوْ بَاعَهُ نَخْلًا لَا ثَمَرَ فِيهَا ثُمَّ أَثْمَرَتْ فَلَمْ تُؤَبَّرْ حَتَّى أَفْلَسَ فَلَمْ يَخْتَرِ الْبَائِعُ حَتَّى أُبِّرَتْ كَانَ لَهُ النَّخْلُ دُونَ الثَّمْرَةِ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ عَيْنَ مَالِهِ إِلَّا بِالتَّفْلِيسِ وَالِاخْتِيَارِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang menjual pohon kurma yang belum berbuah, lalu pohon itu berbuah namun belum dikawinkan (diserbuki) hingga pembeli menjadi pailit, dan penjual belum memilih untuk mengambil kembali barangnya hingga buah itu dikawinkan, maka penjual hanya berhak atas pohon kurma tanpa buahnya. Sebab, ia tidak memiliki barangnya kecuali setelah terjadi kepailitan dan ia memilih untuk mengambil kembali barangnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَالْجَوَابُ فِيهِ مَبْنِيٌّ عَلَى رِوَايَةِ الْمُزَنِيِّ وَحَرْمَلَةَ: أَنَّ الْمُشْتَرِيَ إِذَا أَفْلَسَ وَالثَّمَرَةُ غَيْرُ مُؤَبَّرَةٍ كَانَتْ لِلْبَائِعِ إِذَا رَجَعَ بِالنَّخْلِ فَأَمَّا عَلَى رِوَايَةِ الرَّبِيعِ: أَنَّهَا لِلْمُفْلِسِ فَلَا مَعْنَى لِتَفْرِيعِهَا فَإِذَا فَلَسَ الْمُشْتَرِي وَالثَّمَرَةُ غَيْرُ مُؤَبَّرَةٍ فَتَأخير اخْتِيَارُ الْبَائِعِ عَيْنَ مَالِهِ حَتَّى أُبِّرَتِ الثَّمَرَةُ ثُمَّ اخْتَارَ عَيْنَ مَالِهِ بَعْدَ التَّأْبِيرِ فَإِنَّهُ يَرْجِعُ بِالنَّخْلِ دُونَ الثَّمَرَةِ لِأَنَّ الْبَائِعَ لَيْسَ يَمْلِكُ عَيْنَ مَالِهِ بِحُدُوثِ الْفَلَسِ وَإِنَّمَا مَلَكَ بِحَجْرِ الْفَلَسِ أَنْ يَتَمَلَّكَ عَيْنَ مَالِهِ بِالِاخْتِيَارِ فَإِذَا اخْتَارَ عَيْنَ مَالِهِ صَارَ حِينَئِذٍ مِلْكًا لَهُ بِالِاخْتِيَارِ فَوَجَبَ أَنْ يَعْتَبِرَ حَالَ الثَّمَرَةِ وَعِنْدَ تَمَلُّكِهِ بِالِاخْتِيَارِ لَا وَقْتَ الْحَجْرِ بِالْفَلَسِ وَالثَّمَرَةُ وَقْتَ تَمَلُّكِهِ بِالِاخْتِيَارِ مُؤَبَّرَةٌ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهَا حَقٌّ والله أعلم.

Al-Mawardi berkata: Hal ini benar, dan jawabannya didasarkan pada riwayat al-Muzani dan Harmalah: bahwa jika pembeli menjadi pailit dan buahnya belum dikawinkan, maka buah itu menjadi milik penjual jika ia mengambil kembali pohon kurma tersebut. Adapun menurut riwayat ar-Rabi‘, buah itu milik pembeli yang pailit, sehingga tidak perlu ada rincian lebih lanjut. Maka, jika pembeli pailit dan buahnya belum dikawinkan, lalu penjual menunda memilih barangnya hingga buah itu dikawinkan, kemudian ia memilih barangnya setelah buah itu dikawinkan, maka ia hanya berhak atas pohon kurma tanpa buahnya. Sebab, penjual tidak memiliki barangnya hanya karena terjadi kepailitan, melainkan ia baru memiliki hak atas barangnya dengan adanya keputusan pailit dan pilihannya untuk mengambil kembali barangnya. Ketika ia memilih barangnya, saat itulah barang itu menjadi miliknya karena pilihannya, sehingga yang menjadi pertimbangan adalah keadaan buah pada saat ia memilikinya, bukan pada saat keputusan pailit. Jika pada saat ia memilikinya buah itu sudah dikawinkan, maka ia tidak berhak atas buah tersebut. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَكَذَلِكَ كُلُّ مَا كَانَ يَخْرُجُ مِنْ ثَمَرِ الشَّجَرِ فِي أَكْمَامٍ فَيَنْشَقُّ كَالْكُرْسُفِ وَمَا أَشْبَهَهُ فَإِذَا انْشَقَّ فَمِثْلُ النَّخْلِ يُؤَبَّرُ وَإِذَا لَمْ يَنْشَقَّ فَمِثْلُ النَّخْلِ لَمْ يُؤَبَّرْ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Demikian pula setiap buah pohon yang keluar dari kelopak lalu terbelah seperti kapas dan sejenisnya; jika sudah terbelah maka hukumnya seperti kurma yang telah dikawinkan, dan jika belum terbelah maka hukumnya seperti kurma yang belum dikawinkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا أَيْضًا يَتَفَرَّعُ عَلَى رِوَايَةِ الْمُزَنِيِّ وَحَرْمَلَةَ دُونَ الرَّبِيعِ. فَإِذَا كَانَ الْمَبِيعُ شَجَرًا غَيْرَ مُثْمِرٍ فَفَلَسَ الْمُشْتَرِي وَقَدْ أَثْمَرَ الشَّجَرُ فَإِنْ كَانَتِ الثَّمَرَةُ فِي حُكْمِ الْمُؤَبَّرَةِ لَا تَدْخُلُ فِي الْبَيْعِ لَمْ يُمْكِنْ لِلْبَائِعِ فِيهَا حَقٌّ إِذَا رَجَعَ بِالشَّجَرِ وَإِنْ كَانَتْ فِي حُكْمِ غَيْرِ الْمُؤَبَّرَةِ كَالْكُرْسُفِ الَّذِي لَمْ يَتَشَقَّقْ فِي جَوْزِهِ وَالْوِرْدِ الَّذِي لَمْ يَنْعَقِدْ فِي شَجَرِهِ وَمَا جَرَى ذَلِكَ مِمَّا اسْتَوْفَيْنَا تَفْصِيلَهُ فِي كِتَابِ الْبُيُوعِ، وَفِيهِ قَوْلَانِ كَالثَّمَرَةِ الَّتِي لَمْ تُؤَبَّرْ:

Al-Mawardi berkata: Masalah ini juga bercabang dari riwayat al-Muzani dan Harmalah, bukan dari ar-Rabi‘. Jika barang yang dijual adalah pohon yang belum berbuah, lalu pembeli jatuh pailit dan pohon itu telah berbuah, maka jika buah tersebut dalam hukum mu’abbirah (sudah dibuahi) sehingga tidak termasuk dalam akad jual beli, maka penjual tidak memiliki hak atas buah itu ketika ia mengambil kembali pohonnya. Namun jika buah tersebut dalam hukum selain mu’abbirah, seperti kapas yang belum terbelah kulitnya, atau mawar yang belum menguncup di pohonnya, dan semisalnya yang telah kami rinci dalam Kitab al-Buyu‘, maka dalam hal ini ada dua pendapat seperti halnya buah yang belum didebunga:

أَحَدُهُمَا: لِلْبَائِعِ إِذَا رَجَعَ بِعَيْنِ مَالِهِ وَهِيَ رِوَايَةُ الْمُزَنِيِّ وَحَرْمَلَةَ.

Salah satunya: Buah itu menjadi milik penjual jika ia mengambil kembali barangnya, dan ini adalah riwayat al-Muzani dan Harmalah.

وَالثَّانِي: لِلْمُفْلِسِ تُقَسَّمُ بَيْنَ غُرَمَائِهِ وَهِيَ رِوَايَةُ الرَّبِيعِ.

Yang kedua: Buah itu menjadi milik pihak yang pailit dan dibagi di antara para krediturnya, dan ini adalah riwayat ar-Rabi‘.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ الْبَائِعُ اخْتَرْتُ عَيْنَ مَالِي قَبْلَ الْإِبَارِ وَأَنْكَرَ الْمُفْلِسُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَعَلَى الْبَائِعِ الْبَيِّنَةُ وَإِنْ صَدَّقَهُ الْغُرَمَاءُ لَمْ أَجْعَلْ لَهُمْ مِنَ الثَّمَرِ شَيْئًا لِأَنَّهُمْ أَقَرُّوا بِهِ لِلْبَائِعِ وَأَجْعَلُهُ لِلْغَرِيمِ سِوَى مَنْ صَدَّقَ الْبَائِعَ وَيُحَاصُّهُمْ فِيمَا بَقِيَ إِلَّا أَنْ يَشْهَدَ من الغرماء عدلان فيجوز وإن صدقه المفلس وكذبه الغرماء فمن أجاز إقراره أجازه ومن لم يجزه لم يجزه وأحلف له الغرماء الذين يدفعونه “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika penjual berkata, ‘Aku memilih mengambil kembali barangku sebelum proses pembungaan,’ lalu pihak yang pailit mengingkarinya, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pihak yang pailit dengan sumpahnya, dan penjual wajib mendatangkan bukti. Jika para kreditur membenarkan penjual, maka aku tidak memberikan bagian dari buah itu kepada mereka, karena mereka telah mengakuinya untuk penjual. Aku akan memberikannya kepada kreditur selain yang membenarkan penjual, dan mereka akan berbagi dengan penjual atas sisa buah itu, kecuali jika ada dua orang saksi adil dari para kreditur yang bersaksi, maka itu boleh. Jika yang pailit membenarkan dan para kreditur mendustakan, maka siapa yang membolehkan pengakuan pihak yang pailit, ia membolehkannya, dan siapa yang tidak membolehkan, maka tidak membolehkannya. Aku akan meminta sumpah dari para kreditur yang menolaknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا التَّفْرِيعُ إِنَّمَا يَجِيءُ عَلَى رِوَايَةِ الْمُزَنِيِّ وَحَرْمَلَةَ حَيْثُ جَعَلَا لِلْبَائِعِ مَا لَمْ يُؤَبَّرْ مِنَ الثَّمَرَةِ فَإِذَا ادَّعَى الْبَائِعُ الرُّجُوعَ بِعَيْنِ مَالِهِ قَبْلَ تَأْبِيرِ الثَّمَرَةِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُفْلِسِ وَالْغُرَمَاءِ مِنْ سِتَّةِ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Cabang masalah ini hanya berlaku menurut riwayat al-Muzani dan Harmalah, yang menetapkan bahwa penjual berhak atas buah yang belum didebunga. Jika penjual mengaku mengambil kembali barangnya sebelum proses pembungaan, maka keadaan pihak yang pailit dan para kreditur tidak lepas dari enam kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُصَدِّقُوهُ جَمِيعًا عَلَى اسْتِرْجَاعِهِ النَّخْلَ قَبْلَ تَأْبِيرِ الثَّمَرَةِ فَتَكُونَ الثَّمَرَةُ لِلْبَائِعِ يَأْخُذُهَا مَعَ الْأَصْلِ.

Pertama: Mereka semua membenarkan penjual bahwa ia mengambil kembali pohon kurma sebelum proses pembungaan, maka buah itu menjadi milik penjual dan ia mengambilnya bersama pohonnya.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُكَذِّبُوهُ جَمِيعًا الْمُفْلِسُ وَالْغُرَمَاءُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُمْ وَعَلَى الْمُفْلِسِ الْيَمِينُ لِأَنَّ حُدُوثَ الثَّمَرَةِ عَلَى مِلْكِهِ فَلَمْ تُقْبَلْ دَعْوَى الْبَائِعِ أَنَّهُ قَدْ مَلَكَهَا عَلَيْهِ فَإِنْ حَلَفَ الْمُفْلِسُ كَانَتِ الثَّمَرَةُ لَهُ مَقْسُومَةً بَيْنَ غُرَمَائِهِ وَإِنْ نَكَلَ الْمُفْلِسُ عَنِ الْيَمِينِ فَهَلْ يَجُوزُ إِحْلَافُ الْغُرَمَاءِ عَلَيْهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Kedua: Mereka semua, baik pihak yang pailit maupun para kreditur, mendustakan penjual, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan mereka dan pihak yang pailit harus bersumpah, karena buah itu muncul dalam kepemilikannya. Maka klaim penjual bahwa ia telah memilikinya atas pihak yang pailit tidak diterima. Jika pihak yang pailit bersumpah, maka buah itu menjadi miliknya dan dibagi di antara para krediturnya. Jika pihak yang pailit enggan bersumpah, apakah para kreditur boleh diminta bersumpah atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَحْلِفُونَ لِأَنَّ الثَّمَرَةَ تَصِيرُ إِلَيْهِمْ فَعَلَى هَذَا إِنْ حَلَفُوا اقْتَسَمُوا الثَّمَرَةَ وَإِنْ نَكَلُوا أُحَلِفَ الْبَائِعُ عَلَيْهَا وَدُفِعَتْ إِلَيْهِ وَإِنْ حَلَفَ بَعْضُهُمُ اسْتَحَقُّوا بِأَيْمَانِهِمْ بِقِسْطِ دُيُونِهِمْ مِنَ الثَّمَرَةِ يَخْتَصُّونَ بِهِ دُونَ مَنْ لَمْ يَحْلِفْ وَحَلَفَ الْبَائِعُ عَلَى الْبَاقِي وَاسْتَحَقَّهُ.

Salah satunya: Mereka boleh bersumpah, karena buah itu akan menjadi milik mereka. Jika mereka bersumpah, maka mereka membagi buah itu. Jika mereka enggan bersumpah, maka penjual yang diminta bersumpah dan buah itu diberikan kepadanya. Jika sebagian dari mereka bersumpah, maka mereka berhak atas bagian buah sesuai dengan porsi utangnya, khusus bagi yang bersumpah, sedangkan penjual bersumpah atas sisanya dan berhak atasnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ إِحْلَافُ الْغُرَمَاءِ عَلَيْهَا، لِأَنَّهُمْ إِنَّمَا يَقْتَسِمُونَ مِلْكَ الْمُشْتَرِي الْمُفْلِسِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُمَلَّكَ أَحَدٌ بِيَمِينِ غَيْرِهِ مَالًا – فَعَلَى هَذَا تُرَدُّ الْيَمِينُ عَلَى الْبَائِعِ عِنْدَ نُكُولِ الْمُفْلِسِ فَإِنْ حَلَفَ اسْتَحَقَّ الثَّمَرَةَ فَلَوْ شَهِدَ لِلْمُفْلِسِ شَاهِدَانِ مِنْ غُرَمَائِهِ أَنَّ الثَّمَرَ أُبِّرَتْ عَلَى مِلْكِهِ رُدَّتْ شَهَادَتُهُمَا لِأَنَّهُمَا يَجُرَّانِ بِهَذِهِ الشَّهَادَةِ نَفْعًا إِلَى أَنْفُسِهِمَا لِأَنَّ الثَّمَرَةَ إِذَا حَصَلَتْ لِلْمُفْلِسِ قُسِّمَتْ بَيْنَ الْغُرَمَاءِ فَيُوَفَّوْنَ حُقُوقَهُمْ.

Pendapat kedua: Para kreditur tidak boleh diminta bersumpah, karena mereka hanya membagi milik pembeli yang pailit, dan tidak boleh seseorang memiliki harta dengan sumpah orang lain. Maka dalam hal ini, sumpah dikembalikan kepada penjual jika pihak yang pailit enggan bersumpah. Jika penjual bersumpah, maka ia berhak atas buah itu. Jika ada dua orang saksi dari para kreditur yang bersaksi untuk pihak yang pailit bahwa buah itu telah dibuahi dalam kepemilikannya, maka kesaksian mereka ditolak karena mereka menarik manfaat bagi diri mereka sendiri dengan kesaksian itu, sebab jika buah itu menjadi milik pihak yang pailit, maka akan dibagi di antara para kreditur sehingga hak-hak mereka terpenuhi.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُصَدِّقَهُ الْمُفْلِسُ وَيُكَذِّبَهُ الْغُرَمَاءُ فَيَقُولُ الْمُفْلِسُ لِلْبَائِعِ: اخْتَرْتَ عَيْنَ مَالِكَ قَبْلَ التَّأْبِيرِ فَالثَّمَرَةُ لَكَ فَيَقُولُ الْغُرَمَاءُ: بَلِ اخْتَرْتَ عَيْنَ مَالِكَ بَعْدَ التَّأْبِيرِ فَالثَّمَرَةُ لِلْمُفْلِسِ مَقْسُومَةٌ بَيْنَنَا فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Keadaan ketiga: Apabila orang yang pailit membenarkannya, sedangkan para kreditur mendustakannya. Maka orang yang pailit berkata kepada penjual: “Engkau memilih barangmu sebelum penyerbukan, maka buah itu milikmu.” Namun para kreditur berkata: “Bahkan engkau memilih barangmu setelah penyerbukan, maka buah itu milik orang yang pailit dan dibagi di antara kami.” Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُفْلِسِ وَتُدْفَعُ الثَّمَرَةُ إِلَى الْبَائِعِ وَلَا يَمِينَ عَلَى الْمُفْلِسِ لِغُرَمَائِهِ، لِأَنَّ ذَلِكَ إِقْرَارٌ مِنْهُ وَالْمُقِرُّ لَا يَمِينَ عَلَيْهِ فِيمَا أَقَرَّ بِهِ.

Salah satunya: Pendapat yang dipegang adalah pendapat orang yang pailit, dan buah itu diserahkan kepada penjual, serta tidak ada sumpah atas orang yang pailit terhadap para krediturnya, karena hal itu merupakan pengakuan darinya, dan orang yang mengakui tidak disumpah atas apa yang ia akui.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْغُرَمَاءِ مَعَ أَيْمَانِهِمْ لِأَنَّهُمْ مُنْكِرُونَ وَعَلَى الْمُنْكَرِ الْيَمِينُ – وَأَصْلُ هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ أَنَّ الْمُفْلِسَ إِذَا أَقَرَّ بَعْدَ الْحَجْرِ عَلَيْهِ بِمَالٍ كَانَ إِقْرَارُهُ لَازِمًا وَلَكِنْ هَلْ يَكُونُ الْمُقَرُّ لَهُ فِي مَالِ الْمُفْلِسِ مشاركا لجميع الغرماء إذا كذبوه؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي حَجْرِ الْمُفْلِسِ هَلْ يَجْرِي مَجْرَى حَجْرِ الْمَرَضِ أَوْ يَجْرِي مَجْرَى حَجْرِ السَّفَهِ – عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ مِنْ بَعْدُ – فَإِذَا حَلَفَ الْغُرَمَاءُ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ قُسِّمَتِ الثَّمَرَةُ بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ دُيُونِهِمْ وَكَانَتِ الثَّمَرَةُ دَيْنًا لِلْبَائِعِ عَلَى الْمُفْلِسِ يُؤَدِّيهِ إِلَيْهِ إِذَا فُكَّ الْحَجْرُ عَنْهُ.

Pendapat kedua: Pendapat yang dipegang adalah pendapat para kreditur dengan sumpah mereka, karena mereka adalah pihak yang mengingkari, dan atas pihak yang mengingkari wajib bersumpah. Dasar dari dua pendapat ini adalah bahwa apabila orang yang pailit mengakui setelah diberlakukan pembatasan (hajr) atasnya terhadap suatu harta, maka pengakuannya tetap mengikat. Namun, apakah orang yang diakui (sebagai pemilik) juga berhak atas harta orang yang pailit bersama seluruh kreditur jika mereka mendustakannya? Ada dua pendapat yang dibangun atas perbedaan pendapat dalam fiqh mengenai hajr atas orang pailit: apakah statusnya seperti hajr karena sakit atau seperti hajr karena kebodohan (safah), sebagaimana akan dijelaskan kemudian. Maka jika para kreditur bersumpah menurut pendapat ini, buah itu dibagi di antara mereka sesuai dengan besarnya utang mereka, dan buah itu menjadi utang penjual atas orang yang pailit, yang harus dibayarkan kepadanya apabila hajr telah dicabut darinya.

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يُكَذِّبَهُ الْمُفْلِسُ وَيُصَدِّقَهُ الْغُرَمَاءُ فَيَقُولَ الْمُفْلِسُ اخْتَرْتَ عَيْنَ مَالِكَ بَعْدَ التَّأْبِيرِ وَالثَّمَرَةُ لي ويقول الغرماء بل اخْتَرْتَ عَيْنَ مَالِكَ قَبْلَ التَّأْبِيرِ فَالثَّمَرَةُ لَكَ فَالْقَوْلُ فِيهَا قَوْلُ الْمُفْلِسِ مَعَ يَمِينِهِ لِحُدُوثِهَا عَلَى مِلْكِهِ، فَإِنْ شَهِدَ لِلْبَائِعِ عَدْلَانِ مِنَ الْغُرَمَاءِ سُمِعَتْ شَهَادَتُهُمْ عَلَى الْمُفْلِسِ وَحُكِمَ بِالثَّمَرَةِ لِلْبَائِعِ لِأَنَّهَا شَهَادَةٌ تَنْفِي عَنْهُمُ التُّهْمَةَ فِيهَا فَلَوْ شَهِدَ مِنْهُمْ عَدْلٌ وَاحِدٌ حُلِّفَ الْبَائِعُ مَعَهُ وَاسْتَحَقَّ الثَّمَرَةَ لِأَنَّهُ مَالٌ يُحْكَمُ فِيهِ بِالشَّاهِدِ وَالْيَمِينِ وَإِنْ كَانَ مَنْ شَهِدَ مِنَ الْغُرَمَاءِ غَيْرَ مَقْبُولِ الشَّهَادَةِ حُلِّفَ الْمُفْلِسُ وَكَانَتِ الثَّمَرَةُ لَهُ فَإِذَا امْتَنَعَ الْمُفْلِسُ مِنْ تَسْلِيمِ الثَّمَرَةِ إِلَى غُرَمَائِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ أَنْ يُطَالِبُوهُ بِهَا لِأَنَّهُمْ مُقِرُّونَ أَنَّهُ لَا يَمْلِكُهَا وَإِنْ بَذَلَهَا الْمُفْلِسُ لَهُمْ وَطَالَبَهُمْ بِأَخْذِهَا مِنْ دُيُونِهِمْ وَجَبَ عَلَيْهِمْ أَخْذُهَا لِأَنَّهُ قَدْ حُكِمَ بِأَنَّهَا مِلْكُهُ فِي الظَّاهِرِ فَكَانَ لَهُ أَنْ يُبْرِئَ ذِمَّتَهُ مِنْ دُيُونِهِمْ بِدَفْعِهَا إِلَيْهِمْ وَقِيلَ لِلْغُرَمَاءِ: إِمَّا أَنْ تَأْخُذُوا الثَّمَرَةَ مِنْ ديونكم أو تبرؤوه مِنْهَا فَإِذَا قُسِّمَتِ الثَّمَرَةُ بَيْنَ الْغُرَمَاءِ بِقَدْرِ دُيُونِهِمْ لَمْ يَخْلُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ تُقَسَّمَ عَيْنُ الثَّمَرَةِ عَلَيْهِمْ أَوْ ثَمَنُهَا فَإِنْ قُسِّمَتِ الثَّمَرَةُ عَلَيْهِمْ – لِأَنَّهَا كَانَتْ مِنْ جِنْسِ دُيُونِهِمْ – وَجَبَ عَلَيْهِمْ إِذَا قَبَضُوهَا مِنْ ديونهم أن يردوها على البائع لإقرارهم بأنه الثَّمَرَةَ مِلْكٌ لَهُ أَلَا تَرَى أَنَّ مَنْ شَهِدَ عَلَى رَجُلٍ بِعِتْقِ عَبْدِهِ فَرُدَّتْ شَهَادَتُهُ ثُمَّ إِنَّ الشَّاهِدَ اشْتَرَى الْعَبْدَ عُتِقَ عَلَيْهِ بِسَابِقِ إِقْرَارِهِ وَإِنْ كَانَتِ الثَّمَرَةُ بِيعَتْ وَقُسِّمَ فِيهِمْ ثَمَنُهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Keadaan keempat: Apabila orang yang pailit mendustakannya, sedangkan para kreditur membenarkannya. Maka orang yang pailit berkata: “Engkau memilih barangmu setelah penyerbukan, dan buah itu milikku.” Sedangkan para kreditur berkata: “Bahkan engkau memilih barangmu sebelum penyerbukan, maka buah itu milikmu.” Dalam hal ini, pendapat yang dipegang adalah pendapat orang yang pailit dengan sumpahnya, karena peristiwa itu terjadi di atas kepemilikannya. Jika ada dua orang adil dari para kreditur yang bersaksi untuk penjual, maka kesaksian mereka diterima terhadap orang yang pailit dan diputuskan buah itu milik penjual, karena kesaksian tersebut menafikan tuduhan terhadap mereka dalam hal ini. Jika hanya satu orang adil dari mereka yang bersaksi, maka penjual disumpah bersamanya dan berhak atas buah itu, karena ini adalah harta yang diputuskan dengan satu saksi dan sumpah. Jika yang bersaksi dari para kreditur adalah orang yang tidak diterima kesaksiannya, maka orang yang pailitlah yang disumpah dan buah itu menjadi miliknya. Jika orang yang pailit menolak menyerahkan buah itu kepada para krediturnya, maka mereka tidak berhak menuntutnya, karena mereka mengakui bahwa ia tidak memilikinya. Namun jika orang yang pailit menyerahkannya kepada mereka dan menuntut agar buah itu diambil sebagai pembayaran utang mereka, maka mereka wajib mengambilnya, karena telah diputuskan secara lahiriah bahwa buah itu adalah miliknya, sehingga ia berhak membebaskan dirinya dari utang mereka dengan menyerahkannya kepada mereka. Dikatakan kepada para kreditur: “Ambillah buah itu sebagai pembayaran utang kalian, atau bebaskanlah ia darinya.” Jika buah itu dibagi di antara para kreditur sesuai dengan besarnya utang mereka, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah buah itu sendiri yang dibagi kepada mereka atau harganya. Jika buah itu dibagi kepada mereka—karena ia sejenis dengan utang mereka—maka wajib bagi mereka, jika telah menerima buah itu sebagai pembayaran utang, untuk mengembalikannya kepada penjual karena pengakuan mereka bahwa buah itu adalah miliknya. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang bersaksi atas seorang laki-laki bahwa ia telah memerdekakan budaknya, lalu kesaksiannya ditolak, kemudian saksi itu membeli budak tersebut, maka budak itu menjadi merdeka atasnya karena pengakuan sebelumnya. Jika buah itu dijual dan harganya dibagi di antara mereka, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَلْزَمُهُمْ رَدُّ ثَمَنِهَا عَلَى الْبَائِعِ صَاحِبِ النَّخْلِ لِأَنَّ الثَّمَنَ بَدَلٌ مِنَ الثَّمَرَةِ فَكَانَ حُكْمُهُ كَحُكْمِ الثَّمَرَةِ.

Salah satunya: Mereka wajib mengembalikan harganya kepada penjual, pemilik pohon kurma, karena harga itu adalah pengganti dari buah, sehingga hukumnya sama dengan hukum buah itu sendiri.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُمْ رَدُّ الثَّمَنِ لِأَنَّ الْبَائِعَ لَا يَمْلِكُهُ وَلِأَنَّ الثَّمَرَةَ إِنْ كَانَتْ لَهُ فَالْبَيْعُ بَاطِلٌ وَالثَّمَنُ مَرْدُودٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَأْخُذَ ثَمَنَ مَا لَا يَمْلِكُهُ.

Pendapat kedua: Mereka tidak wajib mengembalikan harga (barang), karena penjual tidak memilikinya. Jika buah itu memang miliknya, maka jual beli tersebut batal dan harga harus dikembalikan. Namun jika bukan miliknya, maka lebih utama lagi untuk tidak mengambil harga atas sesuatu yang bukan miliknya.

وَالْحَالُ الْخَامِسَةُ: أَنْ يُصَدِّقَهُ الْمُفْلِسُ وَبَعْضُ الْغُرَمَاءِ وَيُكَذِّبَهُ بَاقِي الْغُرَمَاءِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُفْلِسِ فِي حِصَصِ الَّذِينَ تَابَعُوهُ فِي تَصْدِيقِ الْبَائِعِ وَهَلْ يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي حِصَصِ الَّذِينَ خَالَفُوهُ وَأَكْذَبُوا الْبَائِعَ عَلَى قَوْلَيْنِ مَضَيَا، فَإِنْ شَهِدَ عَدْلَانِ مِنَ الْغُرَمَاءِ الَّذِينَ تَابَعُوا الْمُفْلِسَ فِي تَصْدِيقِ الْبَائِعِ حُكِمَ بِشَهَادَتِهِمْ إِذَا لَمْ يُقْبَلْ إِقْرَارُ الْمُفْلِسِ بِهَا وَإِنْ قبل إقراره فَلَا مَعْنَى لِلشَّهَادَةِ.

Keadaan kelima: Apabila orang yang pailit dan sebagian kreditur membenarkannya, sedangkan sisa kreditur lainnya mendustakannya, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat orang yang pailit dalam bagian kreditur yang mengikuti dan membenarkan penjual. Adapun apakah pendapatnya diterima dalam bagian kreditur yang menentangnya dan mendustakan penjual, terdapat dua pendapat yang telah lalu. Jika ada dua orang adil dari kreditur yang mengikuti orang pailit dalam membenarkan penjual memberikan kesaksian, maka diputuskan berdasarkan kesaksian mereka jika pengakuan orang pailit tidak diterima. Namun jika pengakuannya diterima, maka tidak ada makna bagi kesaksian tersebut.

وَالْحَالُ السَّادِسَةُ: أَنْ يُكَذِّبَهُ الْمُفْلِسُ وَبَعْضُ الْغُرَمَاءِ وَيُصَدِّقَهُ الْبَاقُونَ مِنَ الْغُرَمَاءِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُفْلِسِ فِي التَّكْذِيبِ مَعَ يَمِينِهِ لِحُدُوثِ الثَّمَرَةِ عَلَى مِلْكِهِ فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ صَدَّقَ الْبَائِعَ مِنَ الْغُرَمَاءِ جَائِزُ الشَّهَادَةِ فَشَهِدُوا لَهُ بِالثَّمَرَةِ قُبِلَتْ شَهَادَتُهُمْ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِمْ مَنْ تَجُوزُ شَهَادَتُهُ حُلِّفَ الْمُفْلِسُ وَكَانَتِ الثَّمَرَةُ لَهُ يَقْسِمُهَا بَيْنَ مَنْ تَابَعَهُ فِي تَكْذِيبِ الْبَائِعِ مِنْ غُرَمَائِهِ وَلَا حَقَّ فِيهَا لِمَنْ صَدَّقَ الْبَائِعَ مِنْهُمْ فَإِنْ قَالَ الْمُفْلِسُ أُرِيدُ أَنْ أَقْسِمَ الثَّمَرَةَ بَيْنَ جَمِيعِ الْغُرَمَاءِ بِقِسْطِ دُيُونِهِمْ فَهَلْ يُجْبَرُ مَنْ صَدَّقَ الْبَائِعَ مِنَ الْغُرَمَاءِ عَلَى قَبُولِ ذَلِكَ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Keadaan keenam: Apabila orang yang pailit dan sebagian kreditur mendustakannya, sedangkan sisa kreditur lainnya membenarkannya, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat orang yang pailit dalam pendustaan dengan sumpahnya, karena buah itu terjadi dalam kepemilikannya. Jika di antara kreditur yang membenarkan penjual terdapat yang sah kesaksiannya, lalu mereka bersaksi untuk penjual atas buah tersebut, maka kesaksian mereka diterima. Namun jika tidak ada di antara mereka yang sah kesaksiannya, maka orang pailit disumpah, dan buah itu menjadi miliknya, lalu ia membaginya di antara kreditur yang mengikutinya dalam mendustakan penjual, dan tidak ada hak bagi kreditur yang membenarkan penjual atas buah tersebut. Jika orang pailit berkata, “Saya ingin membagi buah itu kepada seluruh kreditur sesuai porsi utang mereka,” apakah kreditur yang membenarkan penjual dipaksa menerima hal itu atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُجْبَرُونَ كَمَا لَوْ كَانَ الْكُلُّ مُصَدِّقِينَ فَمَا حَصَلَ مَعَ الْغُرَمَاءِ الْمُكَذِّبِينَ لِلْبَائِعِ مَلَكُوهُ وَمَا حَصَلَ مَعَ الْغُرَمَاءِ الْمُصَدِّقِينَ لِلْبَائِعِ رَدُّوهُ عَلَيْهِ لِاعْتِرَافِهِمْ بِأَنَّهُ مِلْكٌ لَهُ.

Pertama: Mereka dipaksa, sebagaimana jika seluruhnya membenarkan, maka apa yang didapatkan bersama kreditur yang mendustakan penjual menjadi milik mereka, dan apa yang didapatkan bersama kreditur yang membenarkan penjual dikembalikan kepada penjual karena pengakuan mereka bahwa itu adalah milik penjual.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ مَنْ صَدَّقَ الْبَائِعَ مِنَ الْغُرَمَاءِ لَا يُجْبَرُ عَلَى قَبُولِ الثَّمَرَةِ مِنْ دَيْنِهِ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْ إِجْبَارِهِمْ عَلَى قَبُولِ ذَلِكَ أَنْ تَبْرَأَ ذِمَّةُ الْمُفْلِسِ مِنْ دُيُونِهِ وَذِمَّتُهُ تَبْرَأُ مِنْ دُيُونِ الْمُكَذِّبِينَ بِدَفْعِ الثَّمَرَةِ إِلَيْهِمْ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ تَبْرَأَ ذِمَّةُ الْمُفْلِسِ مِنْ جَمِيعِ دُيُونِ بَعْضِ الْغُرَمَاءِ وَبَيْنَ أَنْ تَبْرَأَ مِنْ بَعْضِ دُيُونِ جَمِيعِ الْغُرَمَاءِ والله تعالى أعلم.

Pendapat kedua: Kreditur yang membenarkan penjual tidak dipaksa menerima buah tersebut sebagai pelunasan utangnya, karena tujuan memaksa mereka menerima hal itu adalah agar tanggungan orang pailit terbebas dari utangnya, dan tanggungannya telah bebas dari utang kreditur yang mendustakan dengan menyerahkan buah itu kepada mereka. Maka tidak ada perbedaan antara terbebasnya tanggungan orang pailit dari seluruh utang sebagian kreditur dengan terbebasnya dari sebagian utang seluruh kreditur. Allah Ta‘ala lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ وَجَدَ بَعْضَ مَالِهِ كَانَ لَهُ بِحِصَّتِهِ وَيَضْرِبُ مَعَ الْغُرَمَاءِ فِي بَقِيَّتِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia menemukan sebagian hartanya, maka ia berhak atas bagian tersebut dan ia tetap bersaing bersama para kreditur atas sisanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا مِمَّا تَقَدَّمَ الْجَوَابُ عَنْهُ لِدُخُولِهِ فِي التَّقْسِيمِ الْمَاضِي فَإِذَا بَاعَهُ شَيْئَيْنِ يَتَقَسَّطُ الثَّمَنَ عَلَيْهِمَا وَلَيْسَ أَحَدُهُمَا تَبَعًا لِصَاحِبِهِ كَعَبْدَيْنِ أَوْ ثَوْبَيْنِ فَتَلِفَ أَحَدُهُمَا وَبَقِيَ الْآخَرُ كَانَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِالْبَاقِي مِنْهُمَا، لِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَحَقَّ الرُّجُوعَ بِكُلِّ الْمَبِيعِ إِذَا كَانَ مَوْجُودًا فَأَوْلَى أَنْ يَجُوزَ لَهُ الرُّجُوعُ بِبَعْضِهِ إِذَا كَانَ الْبَاقِي مَعْدُومًا، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ تَعَلَّقَ حَقُّهُ بِعَيْنٍ وَجَبَ تَقْدِيمُهُ بِهَا عَلَى غَيْرِهِ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ وُجُودِ جَمِيعِ الْعَيْنِ أَوْ بَعْضِهَا كَالرَّهْنِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ لِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِالْبَاقِي فَإِنَّهُ يَأْخُذُهُ بِحِسَابِهِ مِنَ الثَّمَنِ وَقِسْطِهِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ غَلِطَ فَخَرَّجَهُ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالْبَائِعِ إِذَا تَلِفَ بَعْضُ الْمَبِيعِ فِي يَدِهِ فَإِنَّ الْمُشْتَرِيَ يَأْخُذُ مَا بَقِيَ عَلَى قَوْلَيْنِ – وَقَدْ ذَكَرْنَا مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَ الْمَوْضِعَيْنِ مَا يُوَضِّحُ هَذَا الْغَلَطَ – فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يَأْخُذُهُ بِحِسَابِهِ مِنَ الثَّمَنِ وَقِسْطِهِ فَقَدْ ذَكَرْنَا وَقْتَ اعْتِبَارِ الْقِيمَةِ وَذَلِكَ فِي أَقَلِّ الْحَالَيْنِ مِنْ وَقْتِ الْعَقْدِ أَوْ وَقْتِ الْقَبْضِ فَلَوِ اخْتَلَفَا فِي قِسْطِ مَا تَلِفَ مِنَ الثَّمَنِ وَلَا بَيِّنَةَ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْبَائِعِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ مَالِكًا لِجَمِيعِ الثَّمَنِ فَلَا يَسْقُطُ حَقُّهُ مِنْهُ إِلَّا بِمَا اعْتَرَفَ بِهِ.

Al-Mawardi berkata: Hal ini telah dijawab sebelumnya karena termasuk dalam pembagian yang telah lalu. Jika ia menjual kepadanya dua barang, maka harga dibagi rata di antara keduanya, dan tidak ada salah satu yang menjadi pengikut bagi yang lain, seperti dua budak atau dua kain. Jika salah satunya rusak dan yang lain masih ada, maka penjual berhak mengambil kembali yang tersisa dari keduanya. Sebab, ketika ia berhak mengambil kembali seluruh barang yang dijual jika semuanya masih ada, maka lebih utama lagi ia boleh mengambil kembali sebagian jika sisanya sudah tidak ada. Dan karena setiap orang yang haknya terkait dengan suatu barang, maka ia harus didahulukan atas yang lain, sehingga tidak ada perbedaan antara seluruh barang itu ada atau hanya sebagian, seperti dalam kasus rahn (gadai). Jika telah tetap bahwa penjual boleh mengambil kembali yang tersisa, maka ia mengambilnya sesuai dengan bagian harganya. Di antara ulama kami ada yang keliru, lalu mengeluarkan masalah ini menjadi dua pendapat, seperti penjual jika sebagian barang yang dijual rusak di tangannya, maka pembeli mengambil yang tersisa menurut dua pendapat—dan kami telah menyebutkan perbedaan antara kedua kasus tersebut yang menjelaskan kekeliruan ini. Jika telah tetap bahwa ia mengambilnya sesuai dengan bagian harganya, maka kami telah menyebutkan waktu penilaian harga, yaitu pada keadaan yang paling rendah antara waktu akad atau waktu penyerahan. Jika keduanya berselisih tentang bagian harga dari barang yang rusak dan tidak ada bukti, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan penjual dengan sumpahnya, karena ia sebelumnya adalah pemilik seluruh harga, sehingga haknya tidak gugur kecuali dengan apa yang ia akui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَتْ دَارًا فَبُنِيَتْ أَوْ أَرْضًا فَغُرِسَتْ خَيَّرْتُهُ بَيْنَ أَنْ يُعْطَى الْعِمَارَةَ وَيَكُونَ ذَلِكَ لَهُ أَوْ يَكُونَ لَهُ الْأَرْضُ وَالْعِمَارَةُ تُبَاعُ لِلْغُرَمَاءِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ الْمُفْلِسُ وَالْغُرَمَاءُ أَنْ يُقْلِعُوا وَيَضْمَنُوا مَا نَقَصَ الْقَلْعُ فَيَكُونَ لَهُمُ (وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ) إِنْ لَمْ يَأْخُذِ الْعِمَارَةَ وَأَبَى الْغُرَمَاءُ أَنْ يَقْلَعُوهَا لَمْ يَكُنْ له إلا الثمن يخاض به الغرماء (قال المزني) قلت أنا الأول عندي بقوله أشبه وأولى لأنه يجعل الثوب إذا صبغ لبائعه يكون به شريكا وكذلك الأرض تغرس لبائعها يكون بها شريكا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika yang dijual adalah rumah lalu dibangun, atau tanah lalu ditanami, maka aku memberikan pilihan kepadanya antara diberikan bangunan itu dan itu menjadi miliknya, atau ia memiliki tanahnya dan bangunannya dijual untuk para kreditur, kecuali jika orang yang bangkrut dan para kreditur menghendaki untuk mencabut (bangunan/tanaman) dan menanggung kerugian akibat pencabutan itu, maka itu menjadi milik mereka. (Dan beliau berkata di tempat lain:) Jika ia tidak mengambil bangunan itu dan para kreditur enggan mencabutnya, maka ia hanya berhak atas harga yang dibagi di antara para kreditur.” (Al-Muzani berkata:) Aku katakan, pendapat pertama menurutku lebih mirip dan lebih utama dengan perkataannya, karena ia menjadikan kain yang telah diwarnai oleh penjualnya, maka penjual menjadi sekutu di dalamnya, demikian pula tanah yang ditanami oleh penjualnya, maka penjual menjadi sekutu di dalamnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: صُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي رَجُلٍ بَاعَ أَرْضًا فَبَنَى فِيهَا الْمُشْتَرِي بِنَاءً وَغَرَسَ فِيهَا غِرَاسًا ثُمَّ أَفْلَسَ وَالْبِنَاءُ وَالْغِرَاسُ قَائِمٌ فِي الْأَرْضِ فَلِلْمُفْلِسِ وَلِغُرَمَائِهِ حَالَانِ: حَالٌ يَتَّفِقُوا عَلَى قَلْعِ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ فَلَهُمْ ذَلِكَ وَلِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِأَرْضِهِ بَيْضَاءَ فَإِنْ كَانَ قَلْعُ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ بَعْدَ رُجُوعِ الْبَائِعِ بِأَرْضِهِ وَكَانَ لِقَلْعِ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ نَقْصٌ قَدْ أَضَرَّ بِالْأَرْضِ فَإِنْ أَمْكَنَ إِزَالَةُ النَّقْصِ بِتَسْوِيَةٍ لِلْأَرْضِ وَتَعْدِيلِهَا فَعَلَيْهِمْ تَسْوِيَتُهَا وَإِزَالَةُ النَّقْصِ الدَّاخِلِ عَلَيْهَا وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ إِزَالَةُ النَّقْصِ بِتَسْوِيَتِهَا فَعَلَيْهِمْ غُرْمُ ما نقصت الأرض يرجع لكون البائع مُقَدَّمٌ عَلَى جَمِيعِ الْغُرَمَاءِ لِأَنَّهُ حَقٌّ ثَبَتَ لِاسْتِصْلَاحِ مَالِهِ بَعْدَ وُقُوعِ الْحَجْرِ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ قَلْعَ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ قَبْلَ رُجُوعِ الْبَائِعِ بِأَرْضِهِ فَهَلْ عَلَى الْمُشْتَرِي الْمُفْلِسِ غُرْمُ نَقْصِهِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ – مِنَ اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِيمَا حَدَثَ بِالْمَبِيعِ مِنْ نَقْصٍ بِفِعْلِ الْمُشْتَرِي هَلْ يَجْرِي مَجْرَى حَادِثٍ مِنْ سَمَاءٍ أَوْ مَجْرَى جِنَايَةِ أَجْنَبِيٍّ – أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ: لَا غُرْمَ عَلَيْهِ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى حَادِثٍ مِنْ سَمَاءٍ.

Al-Mawardi berkata: Bentuk masalah ini adalah seseorang menjual tanah, lalu pembeli membangun di atasnya sebuah bangunan dan menanam tanaman di atasnya, kemudian ia bangkrut, sementara bangunan dan tanaman masih ada di atas tanah itu. Maka bagi orang yang bangkrut dan para krediturnya ada dua keadaan: keadaan di mana mereka sepakat untuk mencabut tanaman dan bangunan, maka mereka berhak melakukannya, dan penjual berhak mengambil kembali tanahnya dalam keadaan kosong. Jika pencabutan tanaman dan bangunan itu dilakukan setelah penjual mengambil kembali tanahnya, dan pencabutan itu menyebabkan kerusakan yang merugikan tanah, maka jika kerusakan itu bisa dihilangkan dengan meratakan dan memperbaiki tanah, maka mereka wajib meratakannya dan menghilangkan kerusakan yang terjadi padanya. Jika tidak bisa dihilangkan dengan meratakannya, maka mereka wajib mengganti kerugian atas apa yang berkurang dari tanah tersebut, karena penjual didahulukan atas seluruh kreditur, sebab itu adalah hak yang ditetapkan untuk memperbaiki hartanya setelah terjadi pembatasan (hajr) atasnya. Jika pencabutan tanaman dan bangunan dilakukan sebelum penjual mengambil kembali tanahnya, apakah pembeli yang bangkrut wajib mengganti kerugiannya? Dalam hal ini ada dua pendapat—berdasarkan perbedaan pendapat tentang kerusakan yang terjadi pada barang yang dijual akibat perbuatan pembeli, apakah itu diperlakukan seperti kerusakan akibat bencana alam atau seperti kerusakan akibat perbuatan orang lain. Salah satu pendapat: tidak ada kewajiban ganti rugi jika dikatakan bahwa itu diperlakukan seperti kerusakan akibat bencana alam.

وَالثَّانِي: عَلَيْهِ الْغُرْمُ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى جِنَايَةِ آدَمِيٍّ. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْبَائِعُ بِقَدْرِ غَرَامَةِ النَّقْصِ أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ وَلَا يَتَقَدَّمُ بِهِ عَلَيْهِمْ لِأَنَّهُ حَقٌّ ثَبَتَ عَلَى اسْتِهْلَاكٍ. وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ مِنْ أَحْوَالِ الْمُفْلِسِ وَغُرَمَائِهِ أَنْ يَمْتَنِعُوا مِنْ قَلْعِ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ فَلَا يُجْبَرُوا عَلَى قَلْعِهِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ليس لعرق ظالم حق “.

Kedua: Penjual menanggung kerugian jika dikatakan bahwa hal ini diperlakukan seperti tindak pidana terhadap manusia. Berdasarkan hal ini, penjual mendapatkan bagian dari kerugian sebesar nilai kekurangan, sejajar dengan para kreditur lainnya, dan tidak didahulukan atas mereka karena hak tersebut timbul akibat konsumsi (barang). Keadaan kedua dari kondisi orang yang bangkrut dan para krediturnya adalah mereka menolak untuk mencabut tanaman dan bangunan, maka mereka tidak dipaksa untuk mencabutnya berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Tidak ada hak bagi akar yang zalim.”

فدل على غَيْر الظَّالِمِ لِعِرْقِهِ حَقٌّ، وَالْمُشْتَرِي حِينَ بَنَى وَغَرَسَ لَمْ يَكُنْ ظَالِمًا وَإِذَا لَمْ يُجْبَرُ عَلَى قَلْعِهِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْبَائِعِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَبْذُلَ لَهُمْ قِيمَةَ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ قَائِمًا أَوْ يَمْتَنِعَ. فَإِنْ بَذَلَ لَهُمْ قِيمَةَ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ قَائِمًا فَلِلْبَائِعِ – إِذَا بَذَلَ قِيمَةَ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ قَائِمًا أَنْ يَرْجِعَ بِأَرْشِهِ وَيُجْبِرَ الْمُفْلِسَ وَالْغُرَمَاءَ عَلَى أَخْذِ قِيمَةِ ذَلِكَ قَائِمًا أَوْ قَلْعِهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَمْتَنِعَ الْبَائِعُ مِنَ الرُّجُوعِ بِأَرْضِهِ وَإِنِ امْتَنَعَ الْبَائِعُ مِنْ بَذْلِ قِيمَةِ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ قَائِمًا وَامْتَنَعَ الْمُفْلِسُ وَغُرَمَاؤُهُ مِنْ قَلْعِهِمَا مَعًا فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي الْأُمِّ، وَنَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ عَنْهُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ مَا يَدُلُّ عَلَى: أَنَّ لِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِأَرْضِهِ. وَقَالَ بَعْدَهُ مَا يَدُلُّ عَلَى: أَنَّهُ يَكُونُ أُسْوَةً لِلْغُرَمَاءِ. وَلَا يَرْجِعُ بِأَرْضِهِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا، فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَطَائِفَةٌ يُخْرِجُونَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Ini menunjukkan bahwa selain yang zalim, ia memiliki hak atas akarnya. Pembeli ketika membangun dan menanam, ia tidak berbuat zalim. Jika ia tidak dipaksa untuk mencabutnya, maka keadaan penjual tidak lepas dari dua kemungkinan: pertama, ia memberikan kepada mereka nilai tanaman dan bangunan dalam keadaan masih berdiri, atau ia menolak. Jika ia memberikan kepada mereka nilai tanaman dan bangunan dalam keadaan masih berdiri, maka penjual—jika telah memberikan nilai tanaman dan bangunan dalam keadaan masih berdiri—berhak menuntut ganti rugi dan memaksa orang yang bangkrut dan para kreditur untuk menerima nilai tersebut dalam keadaan masih berdiri atau mencabutnya. Tidak boleh penjual menolak untuk mengambil kembali tanahnya. Jika penjual menolak memberikan nilai tanaman dan bangunan dalam keadaan masih berdiri, dan orang yang bangkrut serta para krediturnya juga menolak untuk mencabut keduanya, maka Imam Syafi‘i ra. dalam kitab al-Umm, sebagaimana dinukil oleh al-Muzani dalam masalah ini, menyatakan bahwa penjual berhak mengambil kembali tanahnya. Setelah itu, beliau juga menyatakan bahwa penjual diperlakukan sejajar dengan para kreditur dan tidak mengambil kembali tanahnya. Maka para ulama kami berbeda pendapat; Abu Ishaq al-Marwazi dan sekelompok ulama mengeluarkan dua pendapat dalam masalah ini:

أَحَدُهُمَا: وَبِهِ قَالَ الْمُزَنِيُّ: أَنَّ لِلْبَائِعِ الرُّجُوعَ بِأَرْضِهِ وَلَا يَكُونُ مَا حَصَلَ فِيهَا مِنْ مِلْكِ الْمُشْتَرِي مَانِعًا مِنَ الرُّجُوعِ بِهَا، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوِ اشْتَرَى ثَوْبًا فَصَبَغَهُ ثُمَّ أَفْلَسَ كَانَ لِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِالثَّوْبِ وَإِنْ كَانَ مَصْبُوغًا بِصَبْغِ الْمُشْتَرِي وَيَكُونُ الصَّبْغُ لِلْمُشْتَرِي وَالْأَرْضُ الْمَغْرُوسَةُ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ لِلْبَائِعِ الرُّجُوعُ بِهَا وَإِنْ كَانَ الْغِرَاسُ لِلْمُشْتَرِي.

Salah satunya—dan ini pendapat al-Muzani—bahwa penjual berhak mengambil kembali tanahnya dan apa yang ada di dalamnya yang menjadi milik pembeli tidak menghalangi penjual untuk mengambil kembali tanah tersebut. Bukankah jika seseorang membeli kain lalu mewarnainya, kemudian ia bangkrut, maka penjual berhak mengambil kembali kain tersebut meskipun sudah diwarnai dengan pewarna milik pembeli, dan pewarna itu tetap menjadi milik pembeli? Maka tanah yang telah ditanami lebih utama untuk dapat diambil kembali oleh penjual, meskipun tanaman tersebut milik pembeli.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا لِلْبَائِعِ يَضْرِبُ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِالثَّمَنِ وَلَا حَقَّ لَهُ فِي الرُّجُوعِ بِالْأَرْضِ لِأَنَّ فِي الرُّجُوعِ بِالْأَرْضِ مَعَ بَقَاءِ الْبِنَاءِ وَالْغِرَاسِ فِيهَا ضَرَرًا لَاحِقًا بِمَالِكِ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ لِأَنَّ حِيطَانَ الْبِنَاءِ وَسُقُوفَهُ تَزُولُ مَنَافِعُهَا إِذَا لَمْ يُمْكِنِ التَّصَرُّفُ فِي الْأَرْضِ وَالْغِرَاسِ فَلَا يُمْكِنُ الِاسْتِطْرَاقُ إِلَيْهِ إِلَّا بِالتَّصَرُّفِ فِي الْأَرْضِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُزِيلَ عَنِ الْبَائِعِ ضَرَرًا بِاسْتِرْجَاعِ الْأَرْضِ بِإِدْخَالِ ضَرَرٍ عَلَى الْمُفْلِسِ وَالْغُرَمَاءِ فِي الْبِنَاءِ وَالْغِرَاسِ كَمَا أَنَّ الْمُشْتَرِيَ إِذَا بَنَى وَغَرَسَ لَمْ يَكُنْ لِلشَّفِيعِ أَنْ يَأْخُذَ الشِّقْصَ إِلَّا بِقِيمَةِ الْبِنَاءِ وَالْغِرَاسِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُزِيلَ ضَرَرًا عَنِ الشَّفِيعِ بِإِدْخَالِ ضَرَرٍ عَلَى الْمُشْتَرِي وَمِنْ هَذَا الْوَجْهِ فَارَقَ الثَّوْبَ الْمَصْبُوغَ، لِأَنَّ الْبَائِعَ إِذَا رَجَعَ بِالثَّوْبِ لَمْ يَدْخُلْ عَلَى الْمُفْلِسِ ضَرَرٌ فِي الصَّبْغِ، لِأَنَّ الثَّوْبَ الْمَصْبُوغَ يَسْتَوْدِعُ أَمِينًا حَتَّى يُبَاعَ لَهُمَا فَلَا يُدْخِلُ ضَرَرًا عَلَيْهِمَا، وَكَانَ أَبُو الْفَيَّاضِ الْبَصْرِيُّ وَأَكْثَرُ الْبَصْرِيِّينَ يُخْرِجُونَ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ: فَالْمَوْضِعُ الَّذِي قَالَ فِيهِ بِأَنَّ لِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِأَرْضِهِ إِذَا كَانَ الْبِنَاءُ وَالْغِرَاسُ يَسِيرًا أَوْ أَكْثَرُ مَنَافِعِ الْأَرْضِ إِذَا اسْتُرْجِعَتْ بَاقِيًا لِبَقَاءِ الْمَقْصُودِ مِنْهَا وَالْمَوْضِعُ الَّذِي قَالَ إِنَّهُ يَضْرِبُ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِالثَّمَنِ وَلَا يَرْجِعُ بِالْأَرْضِ إِذَا كَانَ الْبِنَاءُ وَالْغِرَاسُ كَثِيرًا أَوْ أَكْثَرُ مَنَافِعِ الْأَرْضِ مَشْغُولًا لِفَوَاتِ الْمَقْصُودِ مِنْهَا وَزَوَالِ الِانْتِفَاعِ بِهَا فَتَصِيرَ مُسْتَهْلَكَةً.

Pendapat kedua: Bahwa tanah itu menjadi hak penjual, ia berhak mendapatkan bagian dari harga bersama para kreditur dan tidak berhak untuk mengambil kembali tanah tersebut. Sebab, pengambilan kembali tanah dengan tetap adanya bangunan dan tanaman di atasnya akan menimbulkan kerugian bagi pemilik tanaman dan bangunan, karena dinding dan atap bangunan akan kehilangan manfaatnya jika tidak memungkinkan untuk memanfaatkan tanah dan tanaman tersebut. Tidak mungkin pula mengaksesnya kecuali dengan memanfaatkan tanah, sehingga tidak boleh menghilangkan kerugian dari penjual dengan mengambil kembali tanah, namun justru menimbulkan kerugian bagi orang yang bangkrut dan para kreditur dalam hal bangunan dan tanaman. Sebagaimana jika pembeli telah membangun dan menanam, maka syafii‘ tidak boleh mengambil bagian kecuali dengan membayar nilai bangunan dan tanaman, karena tidak boleh menghilangkan kerugian dari syafii‘ dengan menimbulkan kerugian pada pembeli. Dari sisi inilah berbeda dengan kain yang telah diwarnai, karena jika penjual mengambil kembali kain tersebut, tidak menimbulkan kerugian pada orang yang bangkrut dalam hal pewarnaan, sebab kain yang telah diwarnai dapat dititipkan kepada orang yang dipercaya hingga dijual untuk keduanya, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi mereka. Abu al-Fayyadh al-Bashri dan mayoritas ulama Bashrah mengeluarkan pendapat ini dengan membedakan dua keadaan: pada kasus di mana penjual boleh mengambil kembali tanahnya jika bangunan dan tanaman sedikit atau sebagian besar manfaat tanah masih ada jika diambil kembali karena tujuan utamanya masih tetap; dan pada kasus di mana penjual hanya berhak mendapatkan bagian harga bersama para kreditur dan tidak boleh mengambil kembali tanah jika bangunan dan tanaman banyak atau sebagian besar manfaat tanah telah hilang karena tujuan utamanya telah lenyap dan tidak dapat lagi dimanfaatkan, sehingga tanah tersebut menjadi tidak bernilai.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَإِذَا قُلْنَا: إن لَا رُجُوعَ لِلْبَائِعِ بِالْأَرْضِ بِيعَتْ مَعَ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ فِي مِلْكِ الْمُفْلِسِ وَكَانَ الْبَائِعُ أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ فِي ثَمَنِهَا وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ لِلْبَائِعِ أن يرجع بالأرض فإذا رجع بها فإن رَضِيَ أَنْ تُبَاعَ مَعَ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ – بِيعَتْ مَعَ ذَلِكَ وَدُفِعَ إِلَى الْبَائِعِ مَا قَابَلَ ثَمَنَ الْأَرْضِ وَدُفِعَ إِلَى الْغُرَمَاءِ مَا قَابَلَ ثَمَنَ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ – وَهَلْ يُدْفَعُ إِلَى الْبَائِعِ نِصْفُ مَا قَابَلَ ثَمَنَ الْأَرْضِ بَيْضَاءَ أَوْ مَا قَابَلَ ثَمَنَهَا مَعَ الْبِنَاءِ وَالْغِرَاسِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ حَكَاهُمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ:

Setelah apa yang telah kami jelaskan menjadi jelas, maka apabila kami katakan: Penjual tidak berhak mengambil kembali tanah yang telah dijual bersama tanaman dan bangunan yang kini menjadi milik orang yang bangkrut, maka penjual diperlakukan sama dengan para kreditur dalam hal harga tanah tersebut. Namun jika kami katakan: Penjual berhak mengambil kembali tanah, maka jika ia mengambilnya kembali dan ia rela tanah itu dijual bersama tanaman dan bangunan, maka tanah itu dijual bersama keduanya dan penjual menerima bagian harga yang sepadan dengan harga tanah, sedangkan para kreditur menerima bagian harga yang sepadan dengan harga tanaman dan bangunan. Apakah penjual menerima setengah dari harga tanah dalam keadaan kosong, atau menerima harga tanah beserta bangunan dan tanaman? Ada dua pendapat yang dinukil oleh Ibn Abi Hurairah:

أَحَدُهُمَا: يُدْفَعُ إِلَيْهِ مَا قَابَلَ ثَمَنَ الْأَرْضِ مَعَ الْبِنَاءِ وَالْغِرَاسِ لِيَكُونَ النَّقْصُ دَاخِلًا عَلَيْهِمَا، لِأَنَّ الْمُشْتَرِيَ غَيْرُ مُتَعَدٍّ بِغَرْسِهِ وَبِنَائِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْفَرِدَ بِالنَّقْصِ دُونَ غَيْرِهِ.

Salah satunya: Penjual menerima bagian harga tanah beserta bangunan dan tanaman, sehingga kekurangan (kerugian) ditanggung bersama oleh keduanya, karena pembeli tidak melampaui batas dengan menanam dan membangun, maka tidak boleh ia menanggung kekurangan sendirian tanpa yang lain.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ – أَنَّهُ يَدْفَعُ إِلَى الْبَائِعِ مَا قَابَلَ ثَمَنَ الْأَرْضِ بَيْضَاءَ لِيَكُونَ النَّقْصُ إِنْ كَانَ دَاخِلًا عَلَى الْمُشْتَرِي كَمَا يَكُونُ النَّقْصُ فِي الثوب المصبوغ داخلا عليه لأن المشتري غير مدعو بغرس وبناء فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْفَرِدَ بِالنَّقْصِ دُونَ غَيْرِهِ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih: Penjual menerima bagian harga tanah dalam keadaan kosong, sehingga jika ada kekurangan, maka kekurangan itu ditanggung oleh pembeli, sebagaimana kekurangan pada kain yang telah diwarnai juga ditanggung oleh pembeli, karena pembeli tidak dituntut untuk menanam dan membangun, maka tidak boleh ia menanggung kekurangan sendirian tanpa yang lain.

والوجه الثاني: وهو أصح أن يدفع إلى البائع ما بلغت الْأَرْضِ بَيْضَاءَ لِيَكُونَ النَّقْصُ إِنْ كَانَ دَاخِلًا عَلَى الْمُشْتَرِي كَمَا يَكُونُ النَّقْصُ فِي الثَّوْبِ الْمَصْبُوغِ دَاخِلًا عَلَيْهِ، وَلِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَدْ قَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ وَالْغُرَمَاءَ إِنِ اتَّفَقُوا عَلَى قَلْعِ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ لَزِمَهُمْ أَنْ يُغَرَّمُوا نَقْصَ الْأَرْضِ بِقَلْعِ ذَلِكَ. فَأَمَّا إِنِ امْتَنَعَ الْبَائِعُ مِنْ بَيْعِ الْأَرْضِ مَعَ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ فَهَلْ يُجْبَرُ الْبَائِعُ عَلَى الْبَيْعِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ:

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih, adalah bahwa penjual menerima harga tanah dalam keadaan kosong, sehingga jika ada kekurangan, maka kekurangan itu ditanggung oleh pembeli, sebagaimana kekurangan pada kain yang telah diwarnai juga ditanggung oleh pembeli. Dan karena asy-Syafi‘i berkata: Jika orang yang bangkrut dan para kreditur sepakat untuk mencabut tanaman dan bangunan, maka mereka wajib menanggung kekurangan nilai tanah akibat pencabutan tersebut. Adapun jika penjual menolak menjual tanah bersama tanaman dan bangunan, apakah penjual dipaksa untuk menjual atau tidak? Ada dua pendapat yang dinukil oleh Ibn Surayj:

أَحَدُهُمَا: يُجْبَرُ عَلَى بَيْعِ الْأَرْضِ مَعَ الْغِرَاسِ وَالْبِنَاءِ كَمَا يُجْبَرُ عَلَى بَيْعِ الْجَارِيَةِ مَعَ وَلَدِهَا وَكَمَا يُجْبَرُ عَلَى بيع الثوب مع صبغه.

Salah satu pendapat: Penjual dipaksa untuk menjual tanah beserta tanaman dan bangunannya, sebagaimana dipaksa untuk menjual budak perempuan beserta anaknya, dan sebagaimana dipaksa untuk menjual kain beserta warnanya.

والقول الثاني: وهو أصح يُجْبَرُ عَلَى بَيْعِ الْأَرْضِ وَيُبَاعُ الْبِنَاءُ وَالْغِرَاسُ مُنْفَرِدًا لِإِمْكَانِ إِفْرَادِهِ بِالْبَيْعِ عَقْدًا بِخِلَافِ الصَّبْغِ – وَشَرْعًا – بِخِلَافِ الْوَلَدِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih shahih: Penjual dipaksa untuk menjual tanah, dan bangunan serta tanaman dijual secara terpisah karena memungkinkan untuk memisahkan akad penjualannya, berbeda dengan warna (pada kain) — dan secara syariat — berbeda dengan anak (pada budak perempuan). Wallāhu a‘lam.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا إِذَا اشْتَرَى أَرْضًا مِنْ رَجُلٍ وَغِرَاسًا مِنْ آخَرَ وَغَرَسَهُ فِيهَا ثُمَّ أَفْلَسَ وَحَضَرَ صَاحِبُ الْأَرْضِ وَصَاحِبُ الْغَرْسِ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يَرْجِعَ بِعَيْنِ مَالِهِ لِيَرْجِعَ صَاحِبُ الْأَرْضِ بِأَرْضِهِ وَصَاحِبُ الْغِرَاسِ بِغَرْسِهِ فَإِنْ أَحَبَّ صَاحِبُ الْغِرَاسِ قَلْعَ غَرْسِهِ فَلَهُ ذَلِكَ وَعَلَيْهِ غُرْمُ مَا نَقَصَتِ الْأَرْضُ بِقَلْعِ الْغَرْسِ، فَإِنِ امْتَنَعَ مِنْ قَلْعِهِ وَبَذَلَ صَاحِبُ الْأَرْضِ قِيمَةَ الْغَرْسِ قَائِمًا لَمْ يَكُنْ لِصَاحِبِ الْغِرَاسِ إِقْرَارُ غَرْسِهِ وَقِيلَ: أَنْتَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ قَلْعِ غَرْسِكَ أَوْ أَخْذِ قِيمَتِهِ قَائِمًا وَإِنِ امْتَنَعَ صَاحِبُ الْأَرْضِ مَنْ بَذْلِ قِيمَةِ الْغَرْسِ قَائِمًا وَامْتَنَعَ صَاحِبُ الْغَرْسِ مِنْ قَلْعِهِ – فَإِنْ رَضِيَ صَاحِبُ الْأَرْضِ بِإِقْرَارِ الْغَرْسِ فِي أَرْضِهِ كَانَ ذَلِكَ مُقَرًّا وَلَهُ أُجْرَةُ الْمِثْلِ مَا بَقِيَ الْغَرْسُ فِي أَرْضِهِ وَإِنْ مَنَعَ مِنْ إِقْرَارِهِ فِي أَرْضِهِ فَهَلْ يُجْبَرُ صَاحِبُ الْغَرْسِ عَلَى قَلْعِ غَرْسِهِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun jika seseorang membeli tanah dari seorang laki-laki dan tanaman dari orang lain, lalu ia menanam tanaman itu di tanah tersebut, kemudian ia bangkrut, dan pemilik tanah serta pemilik tanaman hadir, maka masing-masing dari keduanya berhak mengambil kembali barang miliknya; pemilik tanah mengambil tanahnya, dan pemilik tanaman mengambil tanamannya. Jika pemilik tanaman ingin mencabut tanamannya, maka ia berhak melakukannya, namun ia wajib menanggung kerugian yang terjadi pada tanah akibat pencabutan tanaman tersebut. Jika ia enggan mencabut tanamannya dan pemilik tanah menawarkan harga tanaman dalam keadaan berdiri, maka pemilik tanaman tidak berhak membiarkan tanamannya tetap ada. Ada juga pendapat: “Engkau diberi pilihan antara mencabut tanamanmu atau mengambil nilainya dalam keadaan berdiri.” Jika pemilik tanah menolak memberikan nilai tanaman dalam keadaan berdiri dan pemilik tanaman menolak mencabutnya — lalu jika pemilik tanah rela membiarkan tanaman tetap berada di tanahnya, maka tanaman itu tetap ada dan pemilik tanah berhak mendapat sewa yang sepadan selama tanaman itu masih berada di tanahnya. Namun jika ia tidak mengizinkan tanaman tetap berada di tanahnya, apakah pemilik tanaman dipaksa untuk mencabut tanamannya? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُجْبَرُ عَلَى قَلْعِهِ كَمَا لَا يُجْبَرُ الْمُفْلِسُ – لَوْ كَانَ الْغَرْسُ لَهُ – عَلَى قَلْعِهِ لِأَنَّهُ عِرْقٌ لَيْسَ بِظَالِمٍ.

Salah satunya: Ia tidak dipaksa untuk mencabutnya, sebagaimana orang yang bangkrut — jika tanaman itu miliknya — juga tidak dipaksa untuk mencabutnya, karena ia adalah akar yang tidak berbuat zalim.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُجْبَرُ عَلَى قَلْعِهِ وَإِنْ كَانَ الْمُفْلِسُ لَا يُجْبَرُ عَلَى قَلْعِهِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمُفْلِسَ قَدِ اسْتَقَرَّ مِلْكُهُ عَلَى غَرْسٍ نَامٍ وَقَلْعُهُ يُزِيلُ النَّمَاءَ فَلَحِقَهُ بِقَلْعِهِ ضَرَرٌ فَلَمْ يُجْبَرْ عَلَيْهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ بَائِعُ الْغَرْسِ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَامِيًا حِينَ كَانَ عَلَى مِلْكِهِ فَلَمْ يَلْحَقْهُ بَعْدَ قِلْعِهِ ضَرَرٌ فَلِذَلِكَ أجبر عليه. والله أعلم.

Pendapat kedua: Ia dipaksa untuk mencabutnya, meskipun orang yang bangkrut tidak dipaksa untuk mencabutnya. Perbedaannya adalah, orang yang bangkrut telah tetap kepemilikannya atas tanaman yang tumbuh, dan pencabutan akan menghilangkan pertumbuhan tersebut sehingga menimbulkan kerugian baginya, maka ia tidak dipaksa mencabutnya. Tidak demikian halnya dengan penjual tanaman, karena ketika masih dalam kepemilikannya, tanaman itu belum tumbuh, sehingga setelah dicabut tidak ada kerugian yang menimpanya, maka karena itu ia dipaksa mencabutnya. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَا عَبْدَيْنِ بِمَائَةٍ فَقَبَضَ نِصْفَ الثَّمَنِ وَبَقِيَ أَحَدُ الْعَبْدَيْنِ وَهُمَا سَوَاءٌ كَانَ لَهُ نِصْفُ الثَّمَنِ وَنِصْفُ الَّذِي قَبَضَ ثَمَنَ الْهَالِكِ كَمَا لَوْ رَهَنَهُمَا بِمَائَةٍ فَقَبَضَ تِسْعِينَ وَهَلَكَ أَحَدُهُمَا كَانَ الْآخَرُ رَهْنًا بِالْعَشَرَةِ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) قلت أنا أَصْلُ قَوْلِهِ أَنْ لَيْسَ الرَّهْنُ مِنَ الْبَيْعِ بسبيل لأن الرهن معنى واحد بمعنى واحد ما بقي من الحق شيء (قال) ولو بقي من ثمن السلعة في التفليس درهم لم يرجع في قوله من السلعة إلا بقدر الدرهم “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika keduanya adalah dua budak yang dijual seharga seratus, lalu pembeli menerima setengah harga dan salah satu dari dua budak itu masih tersisa, dan keduanya nilainya sama, maka penjual berhak atas setengah harga dan setengah dari harga budak yang telah hilang. Sebagaimana jika ia menggadaikan keduanya seharga seratus, lalu menerima sembilan puluh dan salah satunya hilang, maka yang lain menjadi gadai untuk sepuluh. (Al-Muzani berkata:) Aku berkata, asal pendapat beliau adalah bahwa gadai tidak termasuk dalam jual beli, karena gadai adalah satu makna dengan satu makna, selama masih ada sisa hak. (Beliau berkata:) Jika masih tersisa satu dirham dari harga barang dalam kasus kebangkrutan, maka penjual tidak dapat mengambil dari barang itu kecuali sebesar nilai satu dirham.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ لِنَقْصِ الثَّمَنِ أَوِ المبيع عند فلس المشتري ثلاثة أحوال:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa kekurangan harga atau barang ketika pembeli bangkrut memiliki tiga keadaan:

أحدهما: أَنْ يَكُونَ بَعْضُ الْمَبِيعِ قَدْ تَلِفَ وَالثَّمَنُ عَلَى حَالِهِ.

Pertama: Sebagian barang yang dijual rusak, sedangkan harga tetap utuh.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بَعْضُ الثَّمَنِ قَدْ قُبِضَ وَالْمَبِيعُ عَلَى حَالِهِ.

Kedua: Sebagian harga telah diterima, sedangkan barang tetap utuh.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ بَعْضُ الْمَبِيعِ قَدْ تَلِفَ وَبَعْضُ الثَّمَنِ قَدْ قُبِضَ.

Ketiga: Sebagian barang yang dijual rusak dan sebagian harga telah diterima.

فَأَمَّا الْأَوَّلُ مِنْ أَقْسَامِهِ فَهُوَ أَنْ يُفْلِسَ الْمُشْتَرِي قَبْلَ دَفْعِ شَيْءٍ مِنَ الثَّمَنِ وَقَدْ تَلِفَ أَحَدُ الْعَبْدَيْنِ الْمُبِيعَيْنِ وَبَقِيَ الْآخَرُ فَلِلْبَائِعِ أَنْ يَأْخُذَ الْعَبْدَ الْبَاقِيَ بِحِسَابِهِ مِنَ الثَّمَنِ فَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُمَا سَوَاءً أَخَذَهُ بِنِصْفِ الثَّمَنِ وَضَرَبَ بِالنِّصْفِ الْبَاقِي مِنَ الثَّمَنِ مَعَ الْغُرَمَاءِ وَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُمَا مُخْتَلِفَةً قَسَّطَ الثَّمَنَ عَلَى قِيمَتِهِمَا وَأَخَذَهُ بِقِسْطِهِ مِنَ الثَّمَنِ وَضَرَبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِبَاقِي الثَّمَنِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun keadaan pertama, yaitu pembeli bangkrut sebelum membayar sedikit pun dari harga, lalu salah satu dari dua budak yang dijual rusak dan yang lain masih ada, maka penjual berhak mengambil budak yang tersisa sesuai dengan bagiannya dari harga. Jika nilai keduanya sama, maka ia mengambilnya dengan setengah harga dan menuntut setengah harga yang tersisa bersama para kreditur. Jika nilai keduanya berbeda, maka harga dibagi sesuai nilai masing-masing, dan ia mengambil bagian sesuai nilainya dari harga, serta menuntut sisa harga bersama para kreditur. Wallāhu a‘lam.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَأَمَّا الثَّانِي مِنْ أَقْسَامِهِ: فَهُوَ أَنْ يُفْلِسَ الْمُشْتَرِي وَالْمَبِيعُ بَاقٍ وَقَدْ قَبَضَ الْبَائِعُ بَعْضَ ثَمَنِهِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ إِلَى أَنَّ لِلْبَائِعِ أَنْ يَأْخُذَ مِنَ الْمَبِيعِ بِقِسْطِ مَا بَقِيَ لَهُ مِنْ ثَمَنِهِ وَيَكُونَ بَاقِي الْمَبِيعِ لِلْمُفْلِسِ يُبَاعُ فِي حَقِّ غُرَمَائِهِ. وَقَالَ مَالِكٌ: إِذَا قَبَضَ الْبَائِعُ بَعْضَ الثَّمَنِ بَطَلَ حَقُّهُ مِنَ اسْتِرْجَاعِ الْمَبِيعِ وَضَرَبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِبَاقِي الثَّمَنِ وَحَكَى نَحْوَهُ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ. إِمَّا مَذْهَبًا لِنَفْسِهِ أَوْ حِكَايَةً عَنْ غَيْرِهِ تَعَلُّقًا بِمَا رَوَى مَالِكٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” أيما رجل باع سلعة بِعَيْنِهَا عِنْدَ رَجُلٍ قَدْ أَفْلَسَ وَلَمْ يَقْبِضْ مِنْ ثَمَنِهَا شَيْئًا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا وَإِنْ قَبَضَ مِنْ ثَمَنِهَا شَيْئًا فَهُوَ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ ” وَلِأَنَّ الْبَائِعَ إِنَّمَا يَرْجِعُ بِعَيْنِ مَالِهِ لِيُزِيلَ الضَّرَرَ عَنْ نَفْسِهِ وَفِي اسْتِرْجَاعِ بَعْضِ الْمَبِيعِ إِدْخَالُ ضَرَرٍ عَلَى الْمُشْتَرِي لِتَفْرِيقِ صَفْقَتِهِ وَسُوءِ مُشَارَكَتِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُزِيلَ ضَرَرًا عَنْ نَفْسِهِ بِإِدْخَالِ ضَرَرٍ عَلَى غَيْرِهِ. وَهَذَا خَطَأٌ، لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فَصَاحِبُ الْمَتَاعِ أَحَقُّ بِمَتَاعِهِ إِذَا وَجَدَهُ بِعَيْنِهِ ” وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ جَازَ أَنْ يَعُودَ إِلَى عَيْنِ مَالِهِ بِالْفَسْخِ جَازَ أَنْ يَعُودَ إِلَى بعضها بالفسخ كالمزوج يَعُودُ إِلَى جَمِيعِ الصَّدَاقِ بِالرِّدَّةِ قَبْلَ الدُّخُولِ وَإِلَى نِصْفِهِ بِالطَّلَاقِ قَبْلَ الدُّخُولِ. فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ فَهُوَ مُرْسَلٌ لَا يَلْزَمُ الِاحْتِجَاجُ بِهِ عَلَى أَنَّ قَوْلَهُ فَهُوَ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ بِمَعْنَى: أَنَّ الْبَائِعَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَا بَقِيَ مِنْ ثَمَنِهِ وَيُبَاعُ فِي حُقُوقِ الْغُرَمَاءِ مَا بَقِيَ فَيَصِيرَ وَافِيَهُ أُسْوَةً لِأَنَّهُ لَمْ يَخْتَصَّ الْبَائِعُ بِجَمِيعِهِ دُونَ الْغُرَمَاءِ. وَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا ذَكَرَهُ مِنْ إِدْخَالِ الضَّرَرِ عَلَى الْمُفْلِسِ بِتَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ وَسُوءِ الْمُشَارَكَةِ فَهُوَ إِنَّمَا يَكُونُ دَاخِلًا عَلَيْهِ بِذَلِكَ إِذَا كَانَ الْمَبِيعُ مُبْقَى عَلَى مِلْكِهِ وَالْمُفْلِسُ فَلَا يُسْتَبْقَى عَلَى مِلْكِهِ فَيَدْخُلُ عَلَيْهِ ضَرَرٌ بَلْ يُبَاعُ عَلَيْهِ لِغُرَمَائِهِ فَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ ضَرَرٌ لِتَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ وَلَا بِسُوءِ الْمُشَارَكَةِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ قَبْضَ بَعْضِ الْمَبِيعِ لَا يَمْنَعُ مِنْ أَنْ يَرْجِعَ مِنَ الْمَبِيعِ بِقِسْطِ بَاقِي الثَّمَنِ فَإِنْ كَانَ الْمَقْبُوضُ نِصْفَ الثَّمَنِ رَجَعَ بِنِصْفِ الْمَبِيعِ مَشَاعًا فَإِنْ كَانَ الْمَبِيعُ عَبْدًا وَاحِدًا اسْتَحَقَّ نِصْفَهُ وَإِنْ كَانَ عَبْدَيْنِ رَجَعَ بِنِصْفِهِمَا جَمِيعًا وَإِنْ كَانُوا ثَلَاثَةً رَجَعَ بِنِصْفِ الثَّلَاثَةِ، وَلَوْ كَانَ الْمَقْبُوضُ ثُلُثَ الثَّمَنِ وَالْبَاقِي الثُّلُثَانِ رَجَعَ بِثُلُثَيِ الثَّلَاثَةِ إِلَّا عبد مَشَاعًا، وَإِنْ كَانَ الْمَقْبُوضَ مِنَ الثَّمَنِ الثُّلْثَانِ رجع بثلث الثلاثة إلا عبد مَشَاعًا حَتَّى يَتَرَاضَوْا عَلَى الْقِسْمَةِ مِنْ بَعْدُ.

Adapun bagian kedua dari pembagiannya: yaitu apabila pembeli jatuh pailit sementara barang yang dijual masih ada, dan penjual telah menerima sebagian dari harganya, maka menurut mazhab al-Syafi‘i, penjual berhak mengambil bagian dari barang yang dijual sesuai dengan porsi sisa harga yang belum diterimanya, dan sisanya menjadi milik orang yang pailit untuk dijual demi kepentingan para krediturnya. Malik berkata: Jika penjual telah menerima sebagian harga, maka gugurlah haknya untuk mengambil kembali barang yang dijual, dan ia menuntut sisa harga bersama para kreditur lainnya. Pendapat serupa juga dinukil oleh al-Syafi‘i dalam pendapat lamanya, baik sebagai pendapat pribadinya atau menukil dari selainnya, terkait dengan riwayat Malik dari al-Zuhri dari Abu Bakr bin ‘Abd al-Rahman bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa menjual suatu barang tertentu kepada seseorang yang kemudian jatuh pailit, dan ia belum menerima sedikit pun dari harganya, maka ia lebih berhak atas barang itu. Namun jika ia telah menerima sebagian dari harganya, maka ia sama seperti para kreditur lainnya.” Karena penjual hanya boleh kembali mengambil barangnya untuk menghilangkan mudarat dari dirinya, sedangkan mengambil sebagian barang justru menimbulkan mudarat bagi pembeli karena memecah transaksi dan buruknya pembagian kepemilikan, sehingga tidak boleh menghilangkan mudarat dari dirinya dengan menimpakan mudarat kepada orang lain. Namun, ini adalah kekeliruan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Maka pemilik barang lebih berhak atas barangnya jika ia menemukannya dalam bentuk aslinya.” Dan karena siapa pun yang boleh kembali kepada barangnya secara keseluruhan melalui pembatalan (fasakh), maka boleh pula kembali kepada sebagian barang melalui pembatalan, seperti suami yang kembali kepada seluruh mahar karena murtad sebelum berhubungan, dan kepada setengahnya karena talak sebelum berhubungan. Adapun jawaban atas hadis tersebut adalah bahwa hadis itu mursal sehingga tidak wajib dijadikan hujjah, dan maksud sabdanya “ia sama seperti para kreditur lainnya” adalah bahwa penjual mendapatkan bagian dari barang sesuai sisa harga yang belum diterimanya, dan sisanya dijual untuk hak para kreditur, sehingga menjadi adil karena penjual tidak diistimewakan atas seluruh barang dibandingkan para kreditur. Adapun jawaban atas alasan yang disebutkan tentang menimbulkan mudarat kepada orang yang pailit karena memecah transaksi dan buruknya pembagian kepemilikan adalah, hal itu hanya terjadi jika barang yang dijual tetap menjadi miliknya, sedangkan orang yang pailit tidak dipertahankan kepemilikannya, melainkan barang itu dijual untuk para krediturnya, sehingga tidak ada mudarat baginya karena pemecahan transaksi atau buruknya pembagian kepemilikan. Maka, jika telah tetap bahwa menerima sebagian barang tidak menghalangi penjual untuk mengambil bagian dari barang sesuai sisa harga, maka jika yang diterima adalah setengah harga, penjual berhak atas setengah barang secara musya‘ (tidak ditentukan bagian fisiknya). Jika barang yang dijual adalah satu budak, maka ia berhak atas setengahnya; jika dua budak, ia berhak atas setengah dari keduanya; jika tiga, ia berhak atas setengah dari ketiganya. Jika yang diterima adalah sepertiga harga dan sisanya dua pertiga, maka ia berhak atas dua pertiga dari tiga budak kecuali satu budak secara musya‘. Jika yang diterima adalah dua pertiga harga, maka ia berhak atas sepertiga dari tiga budak kecuali satu budak secara musya‘, hingga mereka sepakat untuk membaginya setelah itu.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الثَّالِثُ مِنْ أَقْسَامِهِ – وَهُوَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ – فَصُورَتُهُ أَنْ يَكُونَ الْمَبِيعُ عَبْدَيْنِ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ فَيُفْلِسَ الْمُشْتَرِي بَعْدَ أَنْ قَبَضَ الْبَائِعُ نِصْفَ الْمِائَةِ وَمَاتَ أَحَدُ الْعَبْدَيْنِ قَالَ الشَّافِعِيُّ: كَانَ لِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِالْعَبْدِ الْبَاقِي بِمَا بَقِيَ لَهُ مِنْ نِصْفِ الثَّمَنِ إِذَا كَانَتْ قِيمَةُ الْعَبْدَيْنِ سَوَاءً وَيَكُونُ الْمَقْبُوضُ مِنَ الثَّمَنِ فِي مُقَابَلَةِ التَّالِفِ مِنَ الْعَبْدَيْنِ فَلَوْ كَانَ الْبَاقِي بِأَكْثَرِهِمَا ثَمَنًا اسْتَرْجَعَ مِنْهُ مَا قَابَلَ الْبَاقِيَ مِنَ الثَّمَنِ وَرَدَّ الْفَضْلَ عَلَى الْغُرَمَاءِ، وَلَوْ كَانَ الْبَاقِي أَقَلَّهُمَا ثَمَنًا اسْتَرْجَعَهُ بِحِسَابِهِ مِنَ الثَّمَنِ وَضَرَبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِبَاقِيهِ فَهَذَا عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْفَلَسِ، وَنَصَّ الشَّافِعِيُّ فِي الزَّوْجَةِ إِذَا طُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ – وَقَدْ تَلِفَ بَعْضُ الصَّدَاقِ فِي يَدِهَا – عَلَى قَوْلَيْنِ:

Adapun bagian ketiga dari pembagiannya—yaitu masalah kitab—gambaran kasusnya adalah: seseorang menjual dua budak dengan harga seratus dirham, lalu pembeli jatuh pailit setelah penjual menerima setengah dari seratus dirham tersebut, kemudian salah satu dari dua budak itu meninggal dunia. Imam Syafi‘i berkata: Penjual berhak mengambil kembali budak yang tersisa sebagai ganti dari sisa setengah harga, jika nilai kedua budak itu sama. Maka, uang yang telah diterima dianggap sebagai pengganti dari budak yang telah hilang. Jika budak yang tersisa nilainya lebih mahal, penjual mengambil kembali darinya sesuai dengan sisa harga yang belum dibayar dan mengembalikan kelebihannya kepada para kreditur. Jika budak yang tersisa nilainya lebih murah, penjual mengambilnya sesuai dengan perhitungannya dari harga dan menuntut sisa haknya bersama para kreditur. Inilah yang dinyatakan dalam masalah pailit. Adapun dalam masalah istri yang dicerai sebelum terjadi hubungan suami istri—dan sebagian mahar telah rusak di tangannya—Imam Syafi‘i memiliki dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَرْجِعَ بِمَا اسْتَحَقَّهُ مِنْ نِصْفِ الصَّدَاقِ بِمَا بَقِيَ مِنْهُ – كَمَا قَالَ فِي الْمُفْلِسِ.

Pertama: Suami berhak mengambil kembali bagian yang menjadi haknya dari setengah mahar dengan mengambil dari sisa mahar—sebagaimana pendapat beliau dalam kasus orang yang pailit.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَرْجِعُ بِنِصْفِ الْبَاقِي وَبِنِصْفِ قِيمَةِ التَّالِفِ – بِخِلَافِ مَا قَالَهُ فِي الْمُفْلِسِ – فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا: فَكَانَ بَعْضُهُمْ يُخْرِجُ مَسْأَلَةَ الْمُفْلِسِ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالصَّدَاقِ.

Kedua: Suami mengambil setengah dari sisa mahar dan setengah dari nilai mahar yang rusak—berbeda dengan pendapat beliau dalam kasus orang yang pailit. Para ulama kami pun berbeda pendapat: sebagian mereka mengeluarkan masalah orang pailit ini menjadi dua pendapat seperti dalam kasus mahar.

أَحَدُهُمَا: يَأْخُذُ نِصْفَ الْعَبْدِ الْبَاقِي بِنِصْفِ مَا بَقِيَ لَهُ مِنَ الثَّمَنِ وَذَلِكَ خَمْسَةٌ وَعِشْرُونَ دِرْهَمًا وَيَضْرِبُ بِمَا بَقِيَ مِنْهُ وَهُوَ خَمْسَةٌ وَعِشْرُونَ دِرْهَمًا مَعَ الْغُرَمَاءِ وَوَجْهُهُ أَنَّ الْخَمْسِينَ الْمَقْبُوضَةَ هِيَ مِنْ ثَمَنِ الْعَبْدَيْنِ الْمُبِيعَيْنِ جَمِيعًا بِدَلِيلِ أَنَّهُ لَوْ كَانَ الْعَبْدَانِ بَاقِيَيْنِ وَقَدْ قَبَضَ نِصْفَ الثَّمَنِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَرْجِعَ بِأَحَدِ الْعَبْدَيْنِ وَيَجْعَلَ الْمَقْبُوضَ مِنْ ثَمَنِ أَحَدِهِمَا بَلْ يَرْجِعُ بِنِصْفِ الْعَبْدَيْنِ وَيَكُونُ الْمَقْبُوضُ مِنْ ثَمَنِهِمَا فَإِذَا كَانَ الْمَقْبُوضُ – بِدَلِيلِ مَا ذَكَرْنَا – مِنْ ثَمَنِهِمَا مَعًا صَارَ نِصْفُ الْخَمْسِينَ الْمَقْبُوضَةِ مِنْ ثَمَنِ الْعَبْدِ التَّالِفِ وَنِصْفُهَا مِنْ ثَمَنِ الْعَبْدِ الْبَاقِي وَنِصْفُ الْخَمْسِينَ الْبَاقِيَةِ مِنْ ثَمَنِ الْعَبْدِ التَّالِفِ وَنِصْفُهَا مِنْ ثَمَنِ الْبَاقِي فَوَجَبَ أَنْ يَرْجِعَ بِنِصْفِ الْعَبْدِ الْبَاقِي لِبَقَاءِ نِصْفِ ثَمَنِهِ وَلَا يَرْجِعُ بِالنِّصْفِ الْبَاقِي لِقَبْضِ ثَمَنِهِ.

Salah satunya: Penjual mengambil setengah dari budak yang tersisa dengan setengah dari sisa harga yang menjadi haknya, yaitu dua puluh lima dirham, dan menuntut sisa haknya, yaitu dua puluh lima dirham, bersama para kreditur. Alasannya adalah bahwa lima puluh dirham yang telah diterima merupakan bagian dari harga kedua budak yang dijual secara keseluruhan. Buktinya, jika kedua budak masih ada dan penjual telah menerima setengah harga, maka tidak boleh ia mengambil salah satu budak dan menganggap uang yang diterima sebagai harga salah satu budak saja, melainkan ia mengambil setengah dari kedua budak dan uang yang diterima adalah harga dari keduanya. Maka, berdasarkan penjelasan ini, uang yang diterima adalah bagian dari harga keduanya, sehingga setengah dari lima puluh dirham yang diterima adalah harga budak yang telah hilang, dan setengahnya lagi adalah harga budak yang tersisa. Demikian pula, setengah dari lima puluh dirham yang belum diterima adalah harga budak yang telah hilang, dan setengahnya lagi adalah harga budak yang tersisa. Maka, penjual hanya berhak mengambil setengah dari budak yang tersisa karena setengah dari harganya masih ada, dan tidak berhak mengambil setengah sisanya karena harganya telah diterima.

وَالْقَوْلُ الثاني: وهو المنصوص عليه هاهنا – أن الباقي بجميع الْعَبْدِ الْبَاقِي بِمَا بَقِيَ لَهُ مِنْ نِصْفِ الثَّمَنِ وَيَكُونُ نِصْفُ الثَّمَنِ الْمَقْبُوضِ مِنْ ثَمَنِ الْعَبْدِ التَّالِفِ. وَوَجْهُ ذَلِكَ شَيْئَانِ:

Pendapat kedua—dan ini yang dinyatakan di sini—adalah bahwa penjual mengambil seluruh budak yang tersisa sebagai ganti dari sisa setengah harga yang belum diterima, dan setengah dari harga yang telah diterima dianggap sebagai harga budak yang telah hilang. Dasar pendapat ini ada dua:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُزِيلَ جَمِيعَ الثَّمَنِ مِنَ الذِّمَّةِ إِذَا كَانَ الْجَمِيعُ بَاقِيًا إِلَى جَمِيعِ الْعَيْنِ إِذَا كَانَ جَمِيعُهَا بَاقِيًا جَازَ أَنْ يَنْقُلَ بَعْضَ الثَّمَنِ مِنَ الذِّمَّةِ إِذَا كَانَ بَعْضُهُ بَاقِيًا إِلَى بَعْضِ الْعَيْنِ إِذَا كَانَ بَعْضُهَا بَاقِيًا لِيَكُونَ فِي الْحَالَيْنِ وَاصِلًا إِلَى حَقِّهِ بِعَيْنِ مَالِهِ وَلَا يَمْتَنِعُ أَنْ يَصِيرَ الْمَقْبُوضُ مِنْ ثَمَنِ الْجُمْلَةِ مُتَحَيِّزًا فِي بَعْضِهَا كَمَا لَوِ اشْتَرَى عَبْدَيْنِ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ فَقَبَضَهُمَا وَدَفَعَ مِنَ الثَّمَنِ خَمْسِينَ دِرْهَمًا فَمَاتَ أَحَدُ العبدين ووجد بالباقي عيبا فرده صارت الخمسين المقبوضة ثمنا للتالف فلا يرجع بها والخمسين الباقية ثمنا للمردود غير مطالب بِهَا وَكَذَلِكَ الْفَلَسُ.

Pertama: Jika boleh mengalihkan seluruh harga dari tanggungan (pembeli) kepada seluruh barang (budak) jika semuanya masih ada, maka boleh pula mengalihkan sebagian harga dari tanggungan kepada sebagian barang jika sebagian masih ada, sehingga dalam kedua keadaan tersebut penjual tetap mendapatkan haknya dari barangnya sendiri. Tidak mustahil pula bahwa uang yang telah diterima dari harga keseluruhan menjadi terfokus pada sebagian barang, sebagaimana jika seseorang membeli dua budak dengan seratus dirham, lalu ia menerima keduanya dan membayar lima puluh dirham, kemudian salah satu budak meninggal dan pada budak yang tersisa ditemukan cacat lalu dikembalikan, maka lima puluh dirham yang telah diterima menjadi harga bagi budak yang telah hilang, sehingga tidak bisa diambil kembali, dan lima puluh dirham yang tersisa menjadi harga bagi budak yang dikembalikan, sehingga tidak dituntut lagi. Demikian pula dalam kasus pailit.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ لِلْبَائِعِ أَنْ يَتَوَصَّلَ إِلَى حَقِّهِ بِاسْتِرْجَاعِ الْعَيْنِ كَمَا كَانَ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَتَوَصَّلَ إِلَى حَقِّهِ مِنَ الرَّهْنِ ثُمَّ كَانَ لَوِ ارْتَهَنَ عَبْدَيْنِ بِمِائَةٍ فَقَبْضَ مِنْهَا تِسْعِينَ وَمَاتَ أَحَدُهُمَا كَانَ الْعَبْدُ الْبَاقِي رَهْنًا بِالْعَشَرَةِ الْبَاقِيَةِ كَذَلِكَ الْبَائِعُ يَأْخُذُ مَا بَقِيَ مِنَ الْعَيْنِ بِمَا بَقِيَ مِنَ الثَّمَنِ وَهَذِهِ دَلَالَةُ الشَّافِعِيِّ. فَاعْتَرَضَ الْمُزَنِيُّ عَلَيْهَا وَقَالَ: لَيْسَ الرَّهْنُ مِنَ الْبَيْعِ بِسَبِيلٍ، لِأَنَّ جَمِيعَ الرَّهْنِ وَكُلَّ جُزْءٍ مِنْهُ مَرْهُونٌ بِالْحَقِّ وَبِكُلِّ جُزْءٍ مِنْهُ وَلَيْسَ جَمِيعُ الْمَبِيعِ وَكُلُّ جُزْءٍ مِنْهُ مَبِيعًا بِجَمِيعِ الثَّمَنِ وَبِكُلِّ جُزْءٍ مِنْهُ. وَهَذَا الَّذِي اعْتَرَضَ بِهِ الْمُزَنِيُّ لَا يَقْدَحُ فِي دَلَالَةِ الشَّافِعِيِّ. لِأَنَّ افتراقهما مِنَ الْوَجْهِ الَّذِي ذَكَرَهُ الشَّافِعِيِّ لِأَنَّ لِلْبَائِعِ أَنْ يَمْنَعَ الْغُرَمَاءَ مِنَ الْمَبِيعِ لِيَتَوَصَّلَ إِلَى حَقِّهِ مِنْهُ وَيَزُولَ عَنْهُ ضَرَرُ الْعَجْزِ بِهِ فَهَذَا تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ عَلَى طَرِيقَةِ مَنْ خَرَّجَ الْمَسْأَلَةَ عَلَى قَوْلَيْنِ وَقَالَ آخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا: إِنَّ الْمَسْأَلَةَ عَلَى قَوْلٍ وَاحِدٍ فِي الْفَلَسِ إنَّهُ يَأْخُذُ الْعَبْدَ الْبَاقِيَ بِمَا بَقِيَ مِنَ الثَّمَنِ وَإِنْ كَانَ الصَّدَاقُ عَلَى قَوْلَيْنِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّ رُجُوعَ الْبَائِعِ فِي الْفَلَسِ أَقْوَى مِنْ رُجُوعِ الزَّوْجِ فِي الصَّدَاقِ، لِأَنَّ لِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِالْمَبِيعِ زَائِدًا وَلَيْسَ لِلزَّوْجِ أَنْ يَرْجِعَ بِالصَّدَاقِ زَائِدًا فَجَازَ لِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِجَمِيعِ مَا بَقِيَ لِقُوَّةِ سَبَبِهِ وَلَمْ يَجُزْ لِلزَّوْجِ أَنْ يَرْجِعَ بِجَمِيعِ حَقِّهِ مِنَ الْبَاقِي لِضَعْفِ سَبَبِهِ وَالْفَرْقُ الثَّانِي أَنَّ الزَّوْجَ إِذَا رَجَعَ بِنِصْفِ الْمَوْجُودِ أَمْكَنَهُ الرُّجُوعُ بِقِيمَةِ الْبَاقِي لِأَنَّ ذِمَّةَ الزَّوْجَةِ مَلِيئَةٌ فَلَا يَلْحَقُهُ ضَرَرٌ وَالْبَائِعُ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْوُصُولِ إِلَى حَقِّهِ إِلَّا بِاسْتِرْجَاعِ مَا بَقِيَ لِأَنَّ ذِمَّةَ الْمُشْتَرِي بِالْفَلَسِ خَرِبَةٌ وَوِزَانُ ذَلِكَ أن تكون الزوجة مفلسة.

Kedua: Karena penjual memiliki hak untuk memperoleh kembali haknya dengan mengambil kembali barang (‘ayn) sebagaimana pemegang gadai (murtahin) dapat memperoleh haknya dari barang gadai (rahn). Kemudian, jika seseorang menggadaikan dua budak dengan harga seratus, lalu ia menerima dari harga itu sembilan puluh dan salah satu dari keduanya meninggal, maka budak yang tersisa menjadi barang gadai untuk sisa sepuluh. Demikian pula, penjual mengambil sisa barang (‘ayn) sesuai dengan sisa harga, dan inilah pendapat al-Syafi‘i. Lalu al-Muzani mengkritiknya dan berkata: “Gadai (rahn) tidak dapat disamakan dengan jual beli, karena seluruh barang gadai dan setiap bagiannya menjadi jaminan atas hak dan atas setiap bagian darinya, sedangkan seluruh barang yang dijual dan setiap bagiannya tidak dijual dengan seluruh harga dan setiap bagian darinya.” Kritik yang diajukan al-Muzani ini tidak merusak argumentasi al-Syafi‘i, karena perbedaan antara keduanya dari sisi yang disebutkan oleh al-Syafi‘i, yaitu bahwa penjual dapat mencegah para kreditur (ghurama’) dari barang yang dijual agar ia dapat memperoleh haknya darinya dan terhindar dari kerugian akibat ketidakmampuan (pembeli). Inilah penjelasan dua pendapat menurut metode orang yang mengeluarkan masalah ini atas dua pendapat. Sebagian lain dari ulama kami berkata: “Masalah ini hanya satu pendapat dalam kasus pailit (falas), yaitu penjual mengambil budak yang tersisa sesuai dengan sisa harga, meskipun dalam masalah mahar (shadaq) ada dua pendapat.” Perbedaannya dari dua sisi: Pertama, hak kembali penjual dalam kasus pailit lebih kuat daripada hak kembali suami dalam masalah mahar, karena penjual dapat mengambil barang yang dijual secara utuh, sedangkan suami tidak dapat mengambil mahar secara utuh. Maka boleh bagi penjual untuk mengambil seluruh sisa barang karena kuatnya sebabnya, sedangkan suami tidak boleh mengambil seluruh haknya dari sisa mahar karena lemahnya sebabnya. Perbedaan kedua, jika suami mengambil setengah dari yang ada, ia masih dapat menuntut nilai sisa mahar karena tanggungan istrinya masih kuat, sehingga tidak ada kerugian baginya. Sedangkan penjual tidak dapat memperoleh haknya kecuali dengan mengambil kembali sisa barang, karena tanggungan pembeli dalam kasus pailit telah rusak. Analogi dari hal ini adalah jika istri juga dalam keadaan pailit.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَكْرَاهُ أَرْضًا فَفَلَسَ وَالزَّرْعُ بَقْلٌ فِي أَرْضِهِ كَانَ لِصَاحِبِ الْأَرْضِ أَنْ يُحَاصَّ الْغُرَمَاءَ بِقَدْرِ مَا أَقَامَتِ الْأَرْضُ فِي يَدَيْهِ إِلَى أَنْ أَفْلَسَ وَيَقْلَعَ الزَّرْعَ عَنْ أَرْضِهِ إِلَّا أَنْ يَتَطَوَّعَ الْمُفْلِسُ وَالْغُرَمَاءُ بِأَنْ يَدْفَعُوا إِلَيْهِ إِجَارَةً مِثْلَ الْأَرْضَ إِلَى أَنْ يُسْتَحْصَدَ الزَّرْعُ لِأَنَّ الزَّارِعَ كَانَ غَيْرَ مُتَعَدٍّ “.

Al-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menyewakan tanah lalu penyewanya pailit, dan tanaman di tanah itu masih berupa tunas, maka pemilik tanah berhak menuntut bagian dari para kreditur sebesar masa tanah itu berada di tangan penyewa hingga ia pailit, dan ia berhak mencabut tanaman dari tanahnya, kecuali jika si pailit dan para kreditur rela membayar kepadanya sewa tanah sepadan hingga tanaman itu dapat dipanen, karena si penanam tidak melakukan pelanggaran.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ يَجُوزُ لِلْمُؤَاجِرِ أَنْ يَفْسَخَ الْإِجَارَةَ بِفَلَسِ الْمُسْتَأْجِرِ كَمَا جَازَ ذَلِكَ لِلْبَائِعِ، وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ: يَجُوزُ فَسْخُ الْبَيْعِ بِالْفَلَسِ وَلَا يَجُوزُ فَسْخُ الْإِجَارَةِ بِالْفَلَسِ مِنَ الْمُسْتَأْجِرِ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِنَّمَا جَعَلَ لَهُ الرَّجُوعَ بِسِلْعَتِهِ فِي الْمَبِيعِ دُونَ غَيْرِهِ وَمَا سِوَاهُ يَدْخُلُ فِي عُمُومِ قوله تعالى: {أوفوا بالعقود} . وَهَذَا خَطَأٌ، لِعُمُومِ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فَصَاحِبُ الْمَتَاعِ أَحَقُّ بِمَتَاعِهِ إِذَا وَجَدَهُ بِعَيْنِهِ “، وَلِأَنَّ الْمَنَافِعَ تَجْرِي مَجْرَى الْأَعْيَانِ، أَلَا تَرَى أَنَّهَا تُضَمَّنُ فِي الْعَقْدِ الصَّحِيحِ بِالْمُسَمَّى وَفِي الْفَاسِدِ بِالْمِثْلِ فَلَمَّا أَوْجَبَ الْفَلَسُ اسْتِرْجَاعَ مَا تَضَمَّنَهُ الْعَقْدُ إِذَا كَانَ عَيْنًا فَوَجَبَ اسْتِرْجَاعُهُ إِذَا كَانَ مَنْفَعَةً، وَلِأَنَّ عَقْدَ الْإِجَارَةِ لَيْسَ بِأَوْكَدَ مِنْ عَقْدِ الْبَيْعِ لِأَنَّ الْبَيْعَ يَمْلِكُ بِهِ الرَّقَبَةَ وَالْمَنْفَعَةَ فَلَمَّا جَازَ فَسْخُ الْبَيْعِ بِالْفَلَسِ فَأَوْلَى أَنْ يَجُوزَ فَسْخُ الْإِجَارَةِ بِالْفَلَسِ، وَلِأَنَّ مَا تَضَمَّنَهُ عَقْدُ الْإِجَارَةِ مِنَ الْمَنَافِعِ لَيْسَتْ مَوْجُودَةً فِي الْحَالِ وَإِنَّمَا تَحْدُثُ حَالًا بَعْدَ حَالٍ وَمَا تَضَمَّنَهُ عَقْدُ الْبَيْعِ مَوْجُودٌ فِي الْحَالِ فَلَمَّا جَازَ بِالْفَلَسِ فَسْخُ الْعَقْدِ عَلَى مَوْجُودٍ فِي الْحَالِ فَأَوْلَى أَنْ يَجُوزَ فِي فَسْخِ مَا لَيْسَ بِمَوْجُودٍ إِلَّا فِي ثَانِي الْحَالِ وَمَا اسْتَدَلُّوا بِهِ مِنَ الْعُمُومِ فَمَخْصُوصٌ بِمَا ذَكَرْنَا.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana pendapat yang menyatakan bahwa diperbolehkan bagi pemilik sewa untuk membatalkan akad ijarah karena kebangkrutan penyewa, sebagaimana hal itu juga diperbolehkan bagi penjual. Dawud bin Ali berpendapat: Diperbolehkan pembatalan jual beli karena kebangkrutan, namun tidak diperbolehkan pembatalan akad ijarah karena kebangkrutan penyewa, karena Nabi ﷺ hanya memberikan hak kepada penjual untuk mengambil kembali barangnya dalam akad jual beli, tidak pada akad lainnya, dan selain itu termasuk dalam keumuman firman Allah Ta‘ala: {Tepatilah akad-akad itu}. Pendapat ini keliru, karena keumuman sabda Nabi ﷺ: “Maka pemilik barang lebih berhak atas barangnya jika ia menemukannya dalam bentuk aslinya,” dan karena manfaat (manfa‘ah) diperlakukan seperti barang (‘ayn). Bukankah engkau melihat bahwa manfaat dijamin dalam akad yang sah dengan nilai yang disepakati, dan dalam akad yang rusak dengan nilai sepadan? Maka ketika kebangkrutan mewajibkan pengembalian apa yang dijamin oleh akad jika berupa barang, maka wajib pula pengembaliannya jika berupa manfaat. Selain itu, akad ijarah tidak lebih kuat daripada akad jual beli, karena dalam jual beli seseorang memiliki kepemilikan atas barang dan manfaatnya. Maka ketika diperbolehkan pembatalan jual beli karena kebangkrutan, maka lebih utama lagi diperbolehkan pembatalan akad ijarah karena kebangkrutan. Selain itu, manfaat yang dijamin dalam akad ijarah belum ada pada saat itu, melainkan akan terjadi secara bertahap, sedangkan barang dalam akad jual beli sudah ada pada saat itu. Maka ketika diperbolehkan pembatalan akad atas sesuatu yang sudah ada karena kebangkrutan, maka lebih utama lagi diperbolehkan pembatalan atas sesuatu yang belum ada kecuali pada waktu berikutnya. Adapun dalil yang mereka gunakan dari keumuman ayat, maka itu telah dikhususkan dengan apa yang telah kami sebutkan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ فَسْخَ الْإِجَارَةِ بِالْفَلَسِ جَائِزٌ لِمَا ذَكَرْنَا فَلَا يَخْلُو فَلَسُ الْمُسْتَأْجِرِ إِذَا لَمْ يَدْفَعِ الْأُجْرَةَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Jika telah tetap bahwa pembatalan akad ijarah karena kebangkrutan itu diperbolehkan sebagaimana telah kami sebutkan, maka kebangkrutan penyewa ketika ia belum membayar upah tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ قَبْلَ مُضِيِّ شَيْءٍ مِنَ الْمُدَّةِ.

Pertama: Terjadi sebelum berlalu sedikit pun dari masa sewa.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بَعْدَ تَقَضِّي جَمِيعِ الْمُدَّةِ.

Kedua: Terjadi setelah seluruh masa sewa berlalu.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ بَعْدَ مُضِيِّ بَعْضِ الْمُدَّةِ فَإِنْ كَانَ الْفَلَسُ قَبْلَ مُضِيِّ شَيْءٍ مِنَ الْمُدَّةِ كَانَ لِلْمُؤَاجِرِ أَنْ يَفْسَخَ عَقْدَ الْإِجَارَةِ وَيَسْتَرْجِعَ الْأَرْضَ الْمُؤَاجَرَةَ وَيَسْقُطَ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ جَمِيعُ الْأُجْرَةِ كَاسْتِرْجَاعِ الْمَبِيعِ بِالثَّمَنِ. فَلَوْ كَانَ الْمُسْتَأْجِرُ قَدْ أُقْبِضَ بَعْضَ الْأُجْرَةِ كَانَ لِلْمُؤَاجِرِ أَنْ يَفْسَخَ مِنَ الْمُدَّةِ بِقَدْرِ مَا بَقِيَ لَهُ مِنَ الْأُجْرَةِ وَكَانَ هَذَا بِمَنْزِلَةِ الْبَائِعِ إِذَا قَبَضَ بَعْضَ الثَّمَنِ وَإِنْ كَانَ الْفَلَسُ بَعْدَ تَقَضِّي جَمِيعِ الْمُدَّةِ فَقَدْ صَارَ الْمَعْقُودُ عليه مستهلك فَصَارَتِ الْأُجْرَةُ فِي ذِمَّةِ الْمُسْتَأْجِرِ مُسْتَقِرَّةً فَيَضْرِبُ بِهَا الْمُؤَاجِرُ مَعَ الْغُرَمَاءِ كَالْبَائِعِ إِذَا اسْتَهْلَكَ الْمُشْتَرِي عَيْنَ مَالِهِ وَإِنْ كَانَ الْفَلَسُ بَعْدَ مُضِيِّ بَعْضِ الْمُدَّةِ وَبَقِيَ بَعْضُهَا كَأَنْ قضى نِصْفهَا وَبَقِيَ نِصْفُهَا فَقَدِ اسْتَقَرَّ عَلَى الْمُسْتَأْجِرِ أُجْرَةُ مَا مَضَى مِنْ نِصْفِ الْمُدَّةِ وَكَانَ لِلْمُؤَاجِرِ أَنْ يَفْسَخَ الْإِجَارَةَ فِيمَا بَقِيَ مِنْ نِصْفِ الْمُدَّةِ وَكَانَ هَذَا بِمَنْزِلَةِ الْمَبِيعِ إِذَا اسْتَهْلَكَ الْمُشْتَرِي بَعْضَهُ وَبَقِيَ بَعْضُهُ فَإِذَا فَسَخَ الْمُؤَاجِرُ الْإِجَارَةَ فِيمَا بَقِيَ مِنَ الْمُدَّةِ وَضَرَبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِأُجْرَةِ مَا مَضَى مِنَ الْمُدَّةِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْأَرْضِ حِينَئِذٍ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Ketiga: Terjadi setelah berlalu sebagian masa sewa. Jika kebangkrutan terjadi sebelum berlalu sedikit pun dari masa sewa, maka pemilik sewa berhak membatalkan akad ijarah, mengambil kembali tanah yang disewakan, dan seluruh upah gugur dari penyewa, seperti pengembalian barang jualan dengan harga. Jika penyewa telah membayar sebagian upah, maka pemilik sewa berhak membatalkan akad untuk sisa masa sewa sesuai dengan sisa upah yang belum diterima, dan ini seperti penjual yang menerima sebagian harga. Jika kebangkrutan terjadi setelah seluruh masa sewa berlalu, maka objek akad telah habis digunakan, sehingga upah menjadi tanggungan tetap atas penyewa, dan pemilik sewa menagihnya bersama para kreditur, seperti penjual ketika pembeli telah menghabiskan barang miliknya. Jika kebangkrutan terjadi setelah berlalu sebagian masa sewa dan masih tersisa sebagian, misalnya telah berlalu setengah masa sewa dan tersisa setengahnya, maka telah tetap atas penyewa kewajiban membayar upah untuk masa yang telah berlalu, dan pemilik sewa berhak membatalkan akad ijarah untuk sisa masa sewa, dan ini seperti barang jualan yang telah dikonsumsi sebagian oleh pembeli dan masih tersisa sebagian. Maka jika pemilik sewa membatalkan akad ijarah untuk sisa masa sewa dan menagih bersama para kreditur upah untuk masa yang telah berlalu, maka keadaan tanah saat itu tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ تَكُونَ مَشْغُولَةً بِزَرْعِ الْمُفْلِسِ أَوْ خَالِيَةً مِنْ زَرْعِهِ فَإِنْ كَانَتْ خَالِيَةً مِنْ زَرْعِهِ اسْتَرْجَعَهَا الْمُؤَاجِرُ وَتَصَرَّفَ فِيهَا، وَإِنْ كَانَ فِيهَا زَرْعُهُ وَلَمْ يُسْتَحْصَدْ بَعْدُ فَلَا يَخْلُو حَالُ الزَّرْعِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِمَّا لَهُ قِيمَةٌ أَوْ لَا قِيمَةَ لَهُ فَإِنْ كَانَ مِمَّا لَا قِيمَةَ لَهُ فِي الْحَالِ لِكَوْنِهِ حَشِيشًا لَا مَنْفَعَةَ فِيهِ إِلَّا بَعْدَ كُبْرِهِ وَطُولِهِ فَهَذَا يَجِبُ أَنْ يُقَرَّ فِي الْأَرْضِ حَتَّى يَنْتَهِيَ إِلَى حَالِ الِانْتِفَاعِ بِهِ فَلَا يَجُوزُ قَلْعُهُ لِلْمُفْلِسِ وَلَا لِلْغُرَمَاءِ لِمَا فِيهِ مِنَ الِاسْتِهْلَاكِ لِعَيْنٍ نَامِيَةٍ وَإِتْلَافِ مَالٍ مَوْجُودٍ وَإِذَا أَقَرَّ اسْتَحَقَّ صَاحِبُ الْأَرْضِ أُجْرَةَ الْمِثْلِ – عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ – وَإِنْ كَانَ الزَّرْعُ قَصِيلًا لِمِثْلِهِ قِيمَةٌ وَفِيهِ إِنْ قُلِعَ مَنْفَعَةٌ فَلِلْمُفْلِسِ وَالْغُرَمَاءِ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:

Tanah itu bisa jadi sedang digunakan untuk menanam tanaman milik orang yang pailit, atau kosong dari tanamannya. Jika tanah itu kosong dari tanamannya, maka pemilik tanah (mu’ājir) dapat mengambil kembali tanahnya dan mengelolanya. Namun, jika di atasnya masih ada tanaman milik orang yang pailit dan belum dipanen, maka keadaan tanaman itu tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi tanaman itu masih memiliki nilai atau tidak memiliki nilai. Jika tanaman itu tidak memiliki nilai pada saat itu, karena masih berupa rumput yang belum bermanfaat kecuali setelah tumbuh besar dan panjang, maka tanaman itu harus dibiarkan tetap di tanah hingga mencapai kondisi yang dapat dimanfaatkan. Tidak boleh dicabut baik oleh orang yang pailit maupun para krediturnya, karena hal itu berarti menghilangkan benda yang sedang tumbuh dan merusak harta yang ada. Jika tanaman itu dibiarkan, maka pemilik tanah berhak mendapatkan upah sewa yang sepadan—sebagaimana akan dijelaskan. Namun, jika tanaman itu berupa rumput yang sudah memiliki nilai dan jika dicabut pun masih bermanfaat, maka bagi orang yang pailit dan para krediturnya terdapat empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَتَّفِقُوا عَلَى قَلْعِهِ فِي الْحَالِ فَذَلِكَ لَهُمْ وَيَتَسَلَّمُ صَاحِبُ الْأَرْضِ أَرْضَهُ بَيْضَاءَ.

Pertama: Mereka sepakat untuk mencabut tanaman itu saat ini juga, maka itu boleh bagi mereka, dan pemilik tanah menerima kembali tanahnya dalam keadaan bersih.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَتَّفِقُوا عَلَى تَرْكِهِ إِلَى وَقْتِ كَمَالِهِ وَحَصَادِهِ لِيَكُونَ أَوْفَرَ ثَمَنًا فَذَلِكَ لَهُمْ إِنْ بَذَلُوا لِصَاحِبِ الْأَرْضِ أُجْرَةَ مِثْلِ أَرْضِهِ وَلَيْسَ لِصَاحِبِ الْأَرْضِ أَنْ يُجْبِرَهُمْ عَلَى قَلْعِهِ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِعِرْقٍ ظَالِمٍ فَيُقْلَعُ وَإِنَّمَا هو زرع بحق فأقر فإذا أقر اسْتَحَقَّ صَاحِبُ الْأَرْضِ أُجْرَةَ مِثْلِ أَرْضِهِ مِنْ حِينِ الْفَسْخِ إِلَى وَقْتِ الْحَصَادِ فَإِنِ امْتَنَعُوا مِنْ بَذْلِ الْأُجْرَةِ لَهُ كَانَ لَهُ أَنْ يَأْخُذَهُمْ بِقَلْعِ الزَّرْعِ، لِأَنَّهُ إِنَّمَا فَسَخَ لِيَصِلَ إِلَى مَنَافِعِ أَرْضِهِ فَلَا يَلْحَقُهُ ضَرَرٌ بِفَوَاتِهَا عَلَيْهِ وَفِي إِقْرَارِ الزَّرْعِ بِغَيْرِ أُجْرَةٍ إِبْطَالٌ لِهَذَا الْمَعْنَى الَّذِي بِهِ اسْتَحَقَّ الْفَسْخَ وَقَدْ ذَكَرْنَا الْفَرْقَ بَيْنَ بَائِعِ الْأَرْضِ حَيْثُ لَمْ يَسْتَحِقَّ أُجْرَةً لِمَا بَقِيَ فِيهَا مِنْ زَرْعِ الْمُفْلِسِ وَبَيْنَ الْمُؤَاجِرِ حَيْثُ اسْتَحَقَّ الْأُجْرَةَ لِمَا يُسْتَبْقَى فِيهَا مِنْ زَرْعِ الْمُفْلِسِ وَهُوَ أَنَّ رَقَبَةَ الْأَرْضِ فِي الْمَبِيعِ هِيَ الْمَقْصُودَةُ بِالْعَقْدِ وَالْمُشْتَرِي غَيْرُ مُعَاوِضٍ عَلَى مَنْفَعَةِ الْأَرْضِ فَإِذَا اسْتَحَقَّ الْبَائِعُ الرَّقَبَةَ فَقَدْ وَصَلَ إِلَى حَقِّهِ الَّذِي عَارَضَ وَإِنِ اسْتَحَقَّتِ الْمَنْفَعَةُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْإِجَارَةُ لِأَنَّ الْمَنْفَعَةَ هِيَ الْمَعْقُودُ عَلَيْهَا وَفَسْخُ الْعَقْدِ بِالْفَلَسِ يُوجِبُ اسْتِرْجَاعَهَا فَقَدْ صَحَّ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فَهَذَا الْحُكْمُ فِي الزَّرْعِ: إِذَا اتَّفَقَ الْمُفْلِسُ وَالْغُرَمَاءُ عَلَى تَرْكِهِ.

Kedua: Mereka sepakat untuk membiarkan tanaman itu hingga waktu panen dan penyempurnaannya agar harganya lebih tinggi, maka itu boleh bagi mereka jika mereka memberikan kepada pemilik tanah upah sewa yang sepadan dengan tanahnya. Pemilik tanah tidak berhak memaksa mereka untuk mencabut tanaman itu, karena tanaman tersebut bukanlah tanaman yang tumbuh secara zalim sehingga harus dicabut, melainkan tanaman yang ditanam secara sah, sehingga dibiarkan. Jika dibiarkan, maka pemilik tanah berhak mendapatkan upah sewa yang sepadan sejak waktu pembatalan akad hingga waktu panen. Jika mereka menolak memberikan upah sewa tersebut, maka pemilik tanah berhak memaksa mereka untuk mencabut tanaman itu, karena pembatalan akad dilakukan agar ia dapat memperoleh manfaat dari tanahnya, sehingga ia tidak boleh dirugikan dengan kehilangan manfaat tersebut. Membiarkan tanaman tanpa upah sewa berarti meniadakan alasan yang membuatnya berhak membatalkan akad. Telah kami sebutkan perbedaan antara penjual tanah—yang tidak berhak atas upah sewa untuk sisa tanaman milik orang pailit di tanahnya—dan pemilik tanah yang menyewakan—yang berhak atas upah sewa untuk sisa tanaman milik orang pailit di tanahnya. Hal ini karena dalam jual beli, kepemilikan tanah adalah tujuan utama akad, dan pembeli tidak menuntut manfaat tanah. Jika penjual berhak atas tanah, maka ia telah mendapatkan haknya yang menjadi objek akad, meskipun manfaatnya belum didapatkan. Tidak demikian halnya dengan akad sewa, karena manfaat tanah adalah objek akad, dan pembatalan akad karena pailit mengharuskan pengembalian manfaat tersebut. Maka, jelaslah perbedaan antara keduanya. Inilah hukum terkait tanaman jika orang yang pailit dan para krediturnya sepakat untuk membiarkannya.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَدْعُوَ الْمُفْلِسُ إِلَى تَرْكِهِ إِلَى وقت الحصاد ليتوفر عليهم ثمنه ويدعوا الْغُرَمَاءُ إِلَى قَلْعِهِ فِي الْحَالِ. فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْغُرَمَاءِ فِي تَعْجِيلِ قَلْعِهِ فِي الْحَالِ وَبَيْعُهُ فِي حُقُوقِهِمْ، لِأَنَّ دُيُونَهُمْ مُعَجَّلَةٌ فَلَا يَلْزَمُهُمْ تَأْخِيرُهَا وَلِأَنَّ فِي اسْتِبْقَاءِ الزَّرْعِ خَطَرًا لِحُدُوثِ الْجَائِحَةِ بِهِ.

Ketiga: Orang yang pailit meminta agar tanaman dibiarkan sampai waktu panen agar harganya lebih tinggi, sedangkan para kreditur meminta agar tanaman dicabut saat ini juga. Maka, pendapat yang diikuti adalah pendapat para kreditur, yaitu mempercepat pencabutan tanaman saat ini juga dan menjualnya untuk memenuhi hak-hak mereka, karena utang mereka sudah jatuh tempo sehingga mereka tidak wajib menundanya. Selain itu, membiarkan tanaman tetap di tanah berisiko terkena bencana yang dapat merusaknya.

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَدْعُوَ الْمُفْلِسُ إِلَى قَلْعِهِ فِي الْحَالِ لِيَتَعَجَّلَ قَضَاءَ دَيْنِهِ وَيَدْعُوَ الْغُرَمَاءُ إِلَى اسْتِبْقَائِهِ إِلَى وَقْتِ حَصَادِهِ لِوُفُورِ ثَمَنِهِ فَالْقَوْلُ فِي تَعْجِيلِ قَلْعِهِ قَوْلُ الْمُفْلِسِ، لِأَنَّ ذِمَّتَهُ مُرْتَهِنَةٌ بِدَيْنٍ يَقْدِرُ عَلَى تَعْجِيلِ قَضَائِهِ فَلَمْ يَلْزَمْهُ تَأْخِيرُهُ وَلِمَا يُخَافُ عَلَى الزَّرْعِ مِنْ حُدُوثِ الْجَائِحَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Keempat: Orang yang pailit meminta agar tanaman dicabut saat ini juga agar ia dapat segera melunasi utangnya, sedangkan para kreditur meminta agar tanaman dibiarkan sampai waktu panen agar harganya lebih tinggi. Maka, pendapat yang diikuti adalah pendapat orang yang pailit untuk segera mencabut tanaman, karena tanggungannya terkait dengan utang yang ia mampu segera melunasinya, sehingga ia tidak wajib menundanya. Selain itu, ada kekhawatiran tanaman akan terkena bencana. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ لَا يَسْتَغْنِي عَنِ السَّقْيِ قِيلَ لِلْغُرَمَاءِ إِنْ تَطَوَّعْتُمْ بِأَنْ تُنْفِقُوا عَلَيْهِ حَتَى يُسْتَحْصَدَ الزَّرْعُ فَتَأْخَذُوا نَفَقَتَكُمْ مَعَ مَالِكُمْ بِأَنْ يرضاه صاحب الزرع وإن لم تشاؤوا وَشِئْتُمُ الْبَيْعَ فَبِيعُوهُ بِحَالِهِ “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika tanaman itu tidak bisa lepas dari kebutuhan untuk disiram, maka dikatakan kepada para kreditur: Jika kalian mau secara sukarela mengeluarkan biaya untuk menyiraminya sampai tanaman itu bisa dipanen, maka kalian boleh mengambil biaya yang kalian keluarkan bersama dengan harta kalian, dengan syarat pemilik tanaman merelakannya. Namun jika kalian tidak mau dan kalian memilih untuk menjualnya, maka juallah tanaman itu dalam kondisinya saat ini.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا اتَّفَقَ الْمُفْلِسُ وَالْغُرَمَاءُ عَلَى تَرْكِ الزَّرْعِ إِلَى وَقْتِ الْحَصَادِ وَكَانَ الزَّرْعُ يَحْتَاجُ إِلَى سَقْيٍ وَمُؤْنَةٍ فَإِنْ لَمْ تُوجَدِ النَّفَقَةُ – وَلَا وُجِدَ مَنْ يَبْذُلُهَا فَلَا مَعْنَى لِاسْتِيفَاءِ الزَّرْعِ مَعَ حَاجَتِهِ إِلَى السَّقْيِ الْمُعْوَزِّ لِمَا فِيهِ مِنْ تَلَفِهِ عَلَى الْمُفْلِسِ وَالْغُرَمَاءِ وَإِنْ وُجِدَ مَنْ يَبْذُلُ لَهُمْ نَفَقَةَ بَعْضِ السَّقْيِ ومؤونة الزَّرْعِ إِلَى وَقْتِ الْحَصَادِ أَنْفَقَ وَكَانَ الزَّرْعُ مُقَرًّا ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُ الْمُنْفِقِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يُنْفِقَ بِأَمْرٍ أَوْ بِغَيْرِ أَمْرٍ فَإِنْ أَنْفَقَ بِغَيْرِ أَمْرٍ كَانَ مُتَطَوِّعًا بِمَا أَنْفَقَ وَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ مِنْهُ وَإِنْ أَنْفَقَ بِأَمْرٍ فَلِلْآمِرِ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Hal ini benar apabila orang yang bangkrut dan para kreditur sepakat untuk membiarkan tanaman itu sampai waktu panen, dan tanaman tersebut membutuhkan penyiraman dan biaya perawatan. Jika tidak ada biaya—dan tidak ada yang bersedia menanggungnya—maka tidak ada gunanya mempertahankan tanaman itu sementara ia membutuhkan penyiraman yang tidak tersedia, karena hal itu akan menyebabkan kerusakan bagi orang yang bangkrut dan para kreditur. Namun jika ada yang bersedia menanggung biaya sebagian penyiraman dan perawatan tanaman sampai waktu panen, maka ia boleh mengeluarkan biaya tersebut dan tanaman itu tetap dipelihara. Kemudian, keadaan orang yang mengeluarkan biaya tidak lepas dari dua kemungkinan: pertama, ia mengeluarkan biaya atas perintah, atau tanpa perintah. Jika ia mengeluarkan biaya tanpa perintah, maka ia dianggap sukarela dan tidak berhak meminta kembali apa yang telah ia keluarkan. Jika ia mengeluarkan biaya atas perintah, maka pihak yang memerintahkan ada empat kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الْحَاكِمُ.

Pertama: Yang memerintahkan adalah hakim.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْمُفْلِسُ.

Kedua: Yang memerintahkan adalah orang yang bangkrut.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الْغُرَمَاءُ.

Ketiga: Yang memerintahkan adalah para kreditur.

وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الْمُفْلِسُ وَالْغُرَمَاءُ فَإِنْ كَانَ الْمُنْفِقُ قَدْ أَنْفَقَ بِأَمْرِ الْحَاكِمِ فَلَهُ الرُّجُوعُ بِمَا أَنْفَقَ فِي مَالِ الْمُفْلِسِ مُقَدَّمًا بِهِ عَلَى سَائِرِ الْغُرَمَاءِ لِأَنَّ أَمْرَ الْحَاكِمِ حُكْمٌ مِنْهُ يَلْزَمُ إِمْضَاؤُهُ وَإِنْ كَانَ قَدْ أَنْفَقَ بِأَمْرِ الْمُفْلِسِ وَحْدَهُ فَذَلِكَ دَيْنٌ فِي ذِمَّتِهِ لا يشارك الغرماء به ويكون كالديون الذي اسْتَحْدَثَهَا بَعْدَ وُقُوعِ الْحَجْرِ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ قَدْ أَنْفَقَ بِأَمْرِ الْغُرَمَاءِ فَذَلِكَ عَلَى الْغُرَمَاءِ الْآمِرِينَ لَهُ دُونَ الْمُفْلِسِ وَإِنْ كَانَ قَدْ أَنْفَقَ بِأَمْرِ الْغُرَمَاءِ وَالْمُفْلِسِ رَجَعَ بِهِ عَلَى الْمُفْلِسِ لِمَا فِيهِ مِنْ مُسْتَزَادِ مَالِهِ وَهَلْ تَتَقَدَّمُ نَفَقَتُهُ عَلَى جَمِيعِهِمْ أَوْ يَكُونُ بِهَا أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Keempat: Yang memerintahkan adalah orang yang bangkrut dan para kreditur. Jika orang yang mengeluarkan biaya itu melakukannya atas perintah hakim, maka ia berhak meminta kembali biaya yang ia keluarkan dari harta orang yang bangkrut, dan ia didahulukan atas para kreditur lainnya, karena perintah hakim adalah keputusan yang wajib dijalankan. Jika ia mengeluarkan biaya atas perintah orang yang bangkrut saja, maka itu menjadi utang dalam tanggungan orang yang bangkrut dan tidak disatukan dengan para kreditur lainnya, serta dianggap seperti utang yang timbul setelah terjadi pembatasan (ḥajr) atasnya. Jika ia mengeluarkan biaya atas perintah para kreditur, maka itu menjadi tanggungan para kreditur yang memerintahkannya, bukan tanggungan orang yang bangkrut. Jika ia mengeluarkan biaya atas perintah para kreditur dan orang yang bangkrut, maka ia boleh meminta kembali dari orang yang bangkrut, karena hal itu menambah nilai hartanya. Apakah biaya yang ia keluarkan itu didahulukan atas semuanya, atau disamakan dengan para kreditur? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ ظَاهِرُ نَصِّهِ – أَنَّهُ يَكُونُ أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ بِنَفَقَتِهِ وَلَا يَتَقَدَّمُ بِهَا عَلَيْهِمْ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ لَوْ أَرَادَ تَعْجِيلَ قَلْعِهِ اسْتَغْنَى عَنْ سَقْيِهِ.

Pertama—dan ini adalah pendapat yang tampak dari nash—bahwa ia disamakan dengan para kreditur dalam biaya yang ia keluarkan, dan tidak didahulukan atas mereka, karena seandainya ia ingin segera mencabut tanaman itu, maka tidak perlu lagi disiram.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَتَقَدَّمُ بِمَا أَنْفَقَ عَلَى سَائِرِ الْغُرَمَاءِ لِأَنَّهُ حَقٌّ ثَبَتَ بَعْدَ الْحَجْرِ فِيمَا فيه صلاح ما له فأشبه أجرة المنادي.

Pendapat kedua: Ia didahulukan dalam mengambil kembali biaya yang ia keluarkan atas para kreditur lainnya, karena itu adalah hak yang muncul setelah adanya pembatasan (ḥajr) yang berkaitan dengan kemaslahatan harta, sehingga serupa dengan upah juru lelang.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: رضي الله عنه: ” وَإِنْ بَاعَهُ زَيْتًا فَخَلَطَهُ بِمِثْلِهِ أَوْ أَرْدَأَ مِنْهُ فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَ مَتَاعَهُ بِالْكَيْلِ أَوِ الْوَزْنِ وَإِنْ خَلَطَهُ بِأَجْوَدَ مِنْهُ فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا لَا سَبِيلَ لَهُ إِلَّا لِأَنَّهُ لَا يَصِلُ إِلَى مَالِهِ إِلَّا زَائِدًا بِمَالِ غَرِيمِهِ وَهُوَ أَصَحُّ وَبِهِ أَقُولُ وَلَا يُشْبِهُ الثَّوْبَ يصبغ ولا السويق يلت لأن هذا عين ماله فيه زيادة والذائب إذا اختلط انقلب حتى لا يوجد عين ماله والقول الثاني أن ينظر إلى قيمة زيته والمخلوط به متميزين ثم يكون شريكا بقدر قيمة زيته أو يضرب مع الغرماء بزيته (قال المزني) قلت أنا هذا أشبه بقوله لأنه جعل زيته إذا خلط بأردأ وهولا يتميز عين ماله كما جعل الثوب يصبغ ولا يمكن فيه التمييز عين ماله فلما قدر على قسم الزيت بكيل أو وزن بلا ظلم قسمه ولما لم يقدر على قسم الثوب والصبغ أشركهما فيه بالقيمة فكذلك لا يمنع خلط زيته بأجود منه من أن يكون عين ماله فيه وفي قسمه ظلم وهما شريكان بالقيمة “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang menjual minyak, lalu pembeli mencampurnya dengan minyak sejenis atau yang kualitasnya lebih rendah, maka ia berhak mengambil barangnya dengan takaran atau timbangan. Namun jika ia mencampurnya dengan minyak yang kualitasnya lebih baik, maka ada dua pendapat. Salah satunya: ia tidak berhak mengambilnya, karena ia tidak bisa mendapatkan hartanya kecuali dengan tambahan dari harta kreditur lain, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat dan aku berpendapat demikian. Ini tidak sama dengan kain yang dicelup atau tepung yang diaduk, karena dalam kasus ini barangnya masih ada dengan tambahan, sedangkan barang yang meleleh jika tercampur akan berubah sehingga tidak bisa ditemukan lagi barang aslinya. Pendapat kedua: dilihat nilai minyaknya dan minyak campurannya secara terpisah, lalu ia menjadi sekutu sesuai nilai minyaknya, atau ia menuntut bersama para kreditur atas minyaknya. (Al-Muzani berkata): Menurutku, ini lebih sesuai dengan pendapatnya, karena ia menganggap jika minyaknya dicampur dengan yang kualitasnya lebih rendah dan tidak bisa dibedakan barang aslinya, sebagaimana kain yang dicelup dan tidak bisa dibedakan barang aslinya, maka ketika memungkinkan membagi minyak dengan takaran atau timbangan tanpa kezaliman, maka dibagi. Namun ketika tidak memungkinkan membagi kain dan pewarna, maka keduanya disekutukan dalam nilai. Demikian pula, pencampuran minyaknya dengan yang lebih baik tidak menghalangi bahwa barang aslinya masih ada, dan dalam pembagiannya ada kezaliman, sehingga keduanya menjadi sekutu dalam nilai.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنْ يَبِيعَ زَيْتًا أَوْ غَيْرَهُ مِنَ الْأَدْهَانِ أَوِ الْحُبُوبِ أَوِ الْأَدِقَّةِ فَيَخْلِطُهُ الْمُشْتَرِي بِغَيْرِهِ ثُمَّ يُفْلِسُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Bentuk masalah ini adalah seseorang menjual minyak atau selainnya dari jenis lemak, biji-bijian, atau tepung, lalu pembeli mencampurnya dengan barang lain, kemudian ia bangkrut. Maka kasus ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَخْلِطَهُ بِجِنْسِهِ.

Pertama: Ia mencampurnya dengan barang yang sejenis.

وَالثَّانِي: بِغَيْرِ جِنْسِهِ. فَإِنْ خَلَطَهُ بِغَيْرِ جِنْسِهِ كَالزَّيْتِ يَخْلِطُهُ بِدَهْنِ الْبَذْرِ وَدَهْنِ الْبَانِ أَوْ كَدَقِيقِ الْبُرِّ يُخْلَطُ بِدَقِيقِ الشَّعِيرِ أَوْ دَقِيقِ الْأُرْزِ فَقَدْ بَطَلَ حَقُّهُ مِنَ الرُّجُوعِ بِعَيْنِ مَالِهِ كَيْلًا بَعْدَ اخْتِلَاطِهِ، لِأَنَّهُ جِنْسٌ لَا يَتَمَيَّزُ فَيَصِيرُ مُسْتَرْجَعًا بِغَيْرِ ذَلِكَ الْجِنْسِ. وَهَلْ يَبْطُلُ حَقُّهُ مِنْ ثَمَنِهِ بَعْدَ اخْتِلَاطِهِ؟ عَلَى وجهين:

Kedua: dengan selain jenisnya. Jika ia mencampurnya dengan selain jenisnya, seperti minyak zaitun dicampur dengan minyak biji atau minyak ban, atau seperti tepung gandum dicampur dengan tepung jelai atau tepung beras, maka gugurlah haknya untuk mengambil kembali barangnya secara takaran setelah tercampur, karena ia telah menjadi jenis yang tidak dapat dibedakan sehingga menjadi barang yang diambil kembali bukan dari jenis yang sama. Apakah gugur pula haknya atas harga barang tersebut setelah tercampur? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ حَقَّهُ قَدْ بَطَلَ مِنْ ثَمَنِهِ أَنْ يَكُونَ مُقَدَّمًا بِهِ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ مُسْتَهْلَكًا وَيَضْرِبُ الْبَائِعُ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِثَمَنِهِ وَيُبَاعُ مَا اخْتَلَطَ عَلَى مِلْكِ الْمُفْلِسِ فِي حُقُوقِ الْغُرَمَاءِ كُلِّهِمْ وَلَا يَخْتَصُّ الْبَائِعُ بِشَيْءٍ مِنْهُ دُونَهُمْ.

Salah satunya: bahwa haknya atas harga barang tersebut telah gugur, sehingga ia tidak didahulukan dalam pembayaran karena barangnya telah menjadi musnah. Maka penjual berhak menuntut bersama para kreditur lainnya atas harga barang tersebut, dan barang yang tercampur dijual atas nama kepemilikan orang yang bangkrut untuk memenuhi hak seluruh kreditur, dan penjual tidak memiliki kekhususan atas bagian apapun darinya dibandingkan mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ – أَنَّ حَقَّ الْبَائِعِ لَا يَبْطُلُ مِنْهُ لِوُجُودِ الْعَيْنِ وَإِنْ لَمْ يَتَمَيَّزْ فَيُبَاعُ الْكُلُّ مُخْتَلِطًا وَيُدْفَعُ إِلَى الْبَائِعِ مَا قَابَلَ ثَمَنَ زَيْتِهِ وَإِلَى غُرَمَاءِ الْمُفْلِسِ مَا قَابَلَ ثَمَنَ مَا اخْتَلَطَ بِهِ. مِثَالُهُ: أَنْ يَكُونَ الْمَبِيعُ صَاعًا مِنْ زَيْتٍ يُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ فَيَخْلِطُهُ الْمُشْتَرِي بِصَاعٍ مِنْ زَيْتٍ يُسَاوِي دِرْهَمًا فيباع ذلك مختلطا ويدفع إلى البائع ثلثي ثَمَنِهِ وَإِلَى الْغُرَمَاءِ ثُلُثُ ثَمَنِهِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: bahwa hak penjual tidak gugur darinya karena barangnya masih ada meskipun tidak dapat dibedakan, sehingga seluruh barang yang tercampur dijual dan diberikan kepada penjual bagian yang sepadan dengan harga minyaknya, dan kepada para kreditur orang yang bangkrut bagian yang sepadan dengan harga barang yang tercampur dengannya. Contohnya: jika barang yang dijual adalah satu sha‘ minyak yang seharga dua dirham, lalu pembeli mencampurnya dengan satu sha‘ minyak yang seharga satu dirham, maka barang itu dijual dalam keadaan tercampur dan diberikan kepada penjual dua pertiga dari harganya, dan kepada para kreditur sepertiga dari harganya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِنْ خَلَطَهُ بِجِنْسِهِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ جِنْسًا يَجُوزُ بَيْعُ بَعْضِهِ بِبَعْضٍ كَالزَّيْتِ، أَوْ جِنْسًا لَا يَجُوزُ بَيْعُ بَعْضِهِ بِبَعْضٍ كَالدَّقِيقِ. فَإِنْ كَانَ مِمَّا يَجُوزُ بَيْعُ بَعْضِهِ بِبَعْضٍ كَالزَّيْتِ إِذَا خَلَطَهُ بالزيت فلا يخلو من ثلاثة أحوال:

Jika ia mencampurnya dengan sesama jenisnya, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi jenis yang boleh dijual sebagian dengan sebagian seperti minyak, atau jenis yang tidak boleh dijual sebagian dengan sebagian seperti tepung. Jika termasuk yang boleh dijual sebagian dengan sebagian seperti minyak, apabila ia mencampurnya dengan minyak maka tidak lepas dari tiga keadaan:

أحدهما: أَنْ يَخْلِطَهُ بِمِثْلِهِ.

Pertama: ia mencampurnya dengan yang sejenis.

وَالثَّانِي: أَنْ يَخْلِطَهُ بِأَرْدَأَ مِنْهُ.

Kedua: ia mencampurnya dengan yang kualitasnya lebih rendah.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَخْلِطَهُ بِأَجْوَدَ مِنْهُ فَإِنْ كَانَ قَدْ خَلَطَهُ بِمِثْلِهِ فِي الْجَوْدَةِ أَوِ الرَّدَاءَةِ فَلِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِمَكِيلَةِ زَيْتِهِ مِنْهُ لِوُجُودِ الْعَيْنِ وَإِمْكَانِ تَمْيِيزِهَا بِالْقِسْمَةِ قَالَ الشَّافِعِيُّ رضي الله عنه فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَ مَتَاعَهُ بِالْكَيْلِ أَوِ الْوَزْنِ. فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَأْوِيلِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Ketiga: ia mencampurnya dengan yang kualitasnya lebih baik. Jika ia mencampurnya dengan yang sejenis dalam kualitas baik atau buruk, maka penjual berhak mengambil takaran minyaknya dari campuran tersebut karena barangnya masih ada dan dapat dibedakan dengan pembagian. Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: maka ia boleh mengambil barangnya dengan takaran atau timbangan. Para sahabat kami berbeda pendapat dalam menafsirkan hal ini menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ إِنْ كَانَ مِمَّا يُكَالُ قَسَمَهُ بِالْكَيْلِ وَإِنْ كَانَ مِمَّا يُوزَنُ قَسَمَهُ بِالْوَزْنِ.

Salah satunya: jika barang itu ditakar, maka dibagi dengan takaran; dan jika ditimbang, maka dibagi dengan timbangan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ إِنْ كَانَ بَاعَهُ بِالْكَيْلِ أَخَذَهُ بِالْكَيْلِ وَإِنْ كَانَ بَاعَهُ بِالْوَزْنِ أَخَذَهُ بِالْوَزْنِ لِأَنَّ مَا أَصْلُهُ الْكَيْلُ يَجُوزُ أَنْ يُبَاعَ وَزْنًا وَمَا أَصْلُهُ الْوَزْنُ يَجُوزُ أَنْ يُبَاعَ كَيْلًا إِذَا كَانَ مَبِيعًا بِغَيْرِ جِنْسِهِ فَعَلَى التَّأْوِيلِ الْأَوَّلِ يَكُونُ الِاعْتِبَارُ فِي أَخْذِهِ وَقِسْمَتِهِ بِأَصْلِهِ فِي الْكَيْلِ أَوِ الْوَزْنِ وَعَلَى التَّأْوِيلِ الثَّانِي يَكُونُ الِاعْتِبَارُ فِي أَخْذِهِ وَقِسْمَتِهِ بِبَيْعِهِ بِالْكَيْلِ أَوِ الْوَزْنِ فَلَوْ قَالَ الْبَائِعُ لَسْتُ آخُذُ مَكِيلَةَ زَيْتِي مِنْهُ لِاخْتِلَاطِهِ بِغَيْرِهِ وَلَكِنْ بِيعُوا الْجَمِيعَ لِآخُذَ ثَمَنَ زَيْتِي مِنْ جُمْلَتِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Kedua: jika ia menjualnya dengan takaran, maka diambil dengan takaran; dan jika ia menjualnya dengan timbangan, maka diambil dengan timbangan. Karena sesuatu yang asalnya ditakar boleh dijual dengan timbangan, dan sesuatu yang asalnya ditimbang boleh dijual dengan takaran jika dijual dengan selain jenisnya. Maka menurut penafsiran pertama, yang menjadi acuan dalam pengambilan dan pembagiannya adalah asalnya, apakah dengan takaran atau timbangan; dan menurut penafsiran kedua, yang menjadi acuan adalah cara penjualannya, apakah dengan takaran atau timbangan. Jika penjual berkata, “Saya tidak mau mengambil takaran minyak saya darinya karena sudah tercampur dengan yang lain, tetapi juallah semuanya agar saya dapat mengambil harga minyak saya dari keseluruhannya,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ يَصِلُ إِلَى حَقِّهِ بِأَخْذِ مَكِيلَتِهِ فَكَانَتِ الْمُطَالَبَةُ بِبَيْعِهِ عَنتًا.

Salah satunya: ia tidak berhak melakukan itu, karena ia dapat memperoleh haknya dengan mengambil takaran miliknya, sehingga menuntut penjualan menjadi suatu kesulitan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ مُطَالَبَتُهُمْ بِالْبَيْعِ لِأَنَّ عَيْنَ مَالِهِ بِالِاخْتِلَاطِ غَيْرُ مُمَيَّزَةٍ وَإِنَّمَا هُوَ فِي التَّقْدِيرِ أَخْذٌ لِبَدَلِهَا فَلَمْ يَلْزَمْهُ وَاسْتَحَقَّ الْمُطَالَبَةَ بِالْمَبِيعِ لِيَتَوَصَّلَ بِهِ إِلَى حَقِّهِ.

Pendapat kedua: ia berhak menuntut penjualan, karena barang miliknya dengan tercampur menjadi tidak dapat dibedakan, dan pada hakikatnya itu adalah pengambilan pengganti barangnya, sehingga ia tidak wajib mengambilnya dan berhak menuntut penjualan agar dapat memperoleh haknya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا خَلَطَهُ بِأَرْدَأَ مِنْ زَيْتِهِ فَلِلْبَائِعِ الرُّجُوعُ بِهِ، لِأَنَّ اخْتِلَاطَهُ بِمَا هُوَ أَرْدَأُ نَقْصٌ لَا يَتَمَيَّزُ كَالْهُزَالِ وَلِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِعَيْنِ مَالِهِ نَاقِصًا وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي كَيْفِيَّةِ رُجُوعِ الْبَائِعِ. عَلَى وَجْهَيْنِ:

Apabila ia mencampurkan (minyak) tersebut dengan minyak lain yang kualitasnya lebih rendah dari minyaknya, maka penjual berhak untuk mengambil kembali (minyaknya), karena pencampuran dengan sesuatu yang lebih rendah merupakan kekurangan yang tidak dapat dibedakan, seperti kekurangan kualitas, dan penjual berhak mengambil kembali barangnya meskipun dalam keadaan berkurang. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai tata cara pengembalian penjual, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ ظَاهِرُ نَصِّهِ أَنَّهُ يَرْجِعُ بِمَكِيلَةِ زَيْتِهِ لَا غَيْرَ وَيَكُونُ النُّقْصَانُ دَاخِلًا عَلَيْهِ إِنْ شَاءَ الرُّجُوعَ كَمَا لَوْ كَانَ زَيْتُهُ مُتَمَيِّزًا فَتَغَيَّرَ وَنَقَصَتْ قِيمَتُهُ كَانَ لَهُ الرُّجُوعُ بِهِ إِنْ شَاءَ وَلَا حَقَّ لَهُ فِي الرُّجُوعِ بِنَقْصِهِ.

Pendapat pertama, yang merupakan zahir dari nash-nya, adalah bahwa penjual berhak mengambil kembali minyaknya sesuai takaran, tidak lebih, dan kekurangan itu menjadi tanggungannya jika ia ingin mengambil kembali, sebagaimana jika minyaknya masih dapat dibedakan lalu berubah dan nilainya berkurang, maka ia boleh mengambil kembali jika ia mau, dan ia tidak berhak menuntut kekurangan tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يُبَاعَ جَمِيعُ الزَّيْتِ وَيُقَسَّمَ عَلَى قِيمَةِ الزَّيَتَيْنِ فَيُدْفَعَ إِلَى الْبَائِعِ مَا قَابَلَ ثَمَنَ زَيْتِهِ وَإِلَى غُرَمَاءِ الْمُفْلِسِ مَا قَابَلَ ثَمَنَ زَيْتِهِ. مِثَالُهُ: أَنْ يَكُونَ زَيْتُ الْبَائِعِ صَاعًا يُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ وَزَيْتُ الْمُفْلِسِ صَاعًا يُسَاوِي دِرْهَمًا فَيُبَاعَ الصَّاعَانِ وَيُدْفَعَ إِلَى الْبَائِعِ ثُلُثَا الثَّمَنِ وَإِلَى غُرَمَاءِ الْمُفْلِسِ الثُّلُثُ الْبَاقِي وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّ الْبَائِعَ إِذَا أَمْكَنَهُ الرُّجُوعُ بِحَقِّهِ كَامِلًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ نَاقِصًا كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ زَائِدًا وَفِي قِسْمَةِ ثَمَنِهِ عَلَى قِسْمَيْنِ انْتِفَاءُ نَقْصٍ يَدْخُلُ عَلَى مَالِ الْبَائِعِ وَزِيَادَةٍ تُوجَدُ فِي مَالِ الْمُفْلِسِ.

Pendapat kedua: Seluruh minyak dijual, lalu hasil penjualannya dibagi berdasarkan nilai kedua jenis minyak tersebut. Penjual mendapatkan bagian yang sepadan dengan harga minyaknya, dan para kreditur muflis mendapatkan bagian yang sepadan dengan harga minyak mereka. Contohnya: minyak penjual satu sha‘ senilai dua dirham, dan minyak muflis satu sha‘ senilai satu dirham, maka kedua sha‘ tersebut dijual, penjual mendapat dua pertiga harga, dan kreditur muflis mendapat sepertiga sisanya. Hal ini karena jika penjual masih memungkinkan mengambil kembali haknya secara utuh, maka tidak boleh ia mengambilnya dalam keadaan berkurang, sebagaimana tidak boleh mengambilnya dalam keadaan bertambah. Dengan membagi hasil penjualan menjadi dua bagian, tidak ada kekurangan yang menimpa harta penjual dan tidak ada kelebihan yang masuk ke harta muflis.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِنْ خَلَطَهُ بِأَجْوَدَ مِنْ زَيْتِهِ فَفِيهِ قَوْلَانِ مَنْصُوصَانِ:

Jika ia mencampurkannya dengan minyak yang kualitasnya lebih baik dari minyaknya, maka terdapat dua pendapat yang dinyatakan secara eksplisit:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ – أَنَّ حَقَّ الْبَائِعِ مِنَ الرُّجُوعِ بِمَالِهِ بَاقٍ لَا يَبْطُلُ إِذَا اخْتَلَطَ بِأَجْوَدَ مِنْهُ لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat pertama, yang merupakan pilihan al-Muzani, adalah bahwa hak penjual untuk mengambil kembali barangnya tetap ada dan tidak gugur apabila tercampur dengan minyak yang lebih baik, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَبْطُلْ حَقُّهُ مِنَ الرُّجُوعِ إِذَا خَلَطَهُ بِأَرْدَأَ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَتَمَيَّزْ عَيْنُ مَالِهِ عَنْهُ لِأَنَّهُ كَالنَّقْصِ الَّذِي لَا يَتَمَيَّزُ وَجَبَ أَنْ لَا يَبْطُلَ حَقُّهُ مِنَ الرُّجُوعِ إِذَا خَلَطَهُ بِأَجْوَدَ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَتَمَيَّزْ عَيْنُ مَالِهِ عَنْهُ لِأَنَّهُ كَالزِّيَادَةِ الَّتِي لَا تَتَمَيَّزُ لِأَنَّ مَا حَدَثَ بِالْمَبِيعِ مِنْ زِيَادَةٍ لَا تَتَمَيَّزُ كَالْحَادِثِ بِهِ مِنْ نَقْصٍ لَا يَتَمَيَّزُ فِي أَنَّ لِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ بِزِيَادَتِهِ وَنَقْصِهِ،

Pertama, karena haknya untuk mengambil kembali tidak gugur ketika tercampur dengan minyak yang lebih rendah meskipun barangnya tidak dapat dibedakan, sebab hal itu seperti kekurangan yang tidak dapat dibedakan, maka seharusnya haknya juga tidak gugur ketika tercampur dengan minyak yang lebih baik meskipun barangnya tidak dapat dibedakan, sebab hal itu seperti kelebihan yang tidak dapat dibedakan. Apa yang terjadi pada barang berupa tambahan yang tidak dapat dibedakan, sama seperti kekurangan yang tidak dapat dibedakan, yaitu penjual berhak mengambil kembali barangnya beserta kelebihan dan kekurangannya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ صَبْغُ الثَّوْبِ لَمَّا كَانَ مِمَّا لَا يَتَمَيَّزُ مِنْهُ وَلَا يَنْفَصِلُ عَنْهُ لَا يَمْنَعُ مِنَ اسْتِرْجَاعِ الْبَائِعِ لَهُ وَيَكُونُ شَرِيكًا فِي ثَمَنِهِ مَصْبُوغًا وَكَذَا السَّوِيقُ إِذَا أَلَتَّهُ بِزَيْتٍ لَا يُسْتَخْرَجُ مِنْهُ أَنْ لَا يَمْنَعَ مِنَ اسْتِرْجَاعِ الْبَائِعِ لَهُ وَيَكُونَ شَرِيكًا فِي ثَمَنِهِ مَلْتُوتًا فَأَوْلَى فِي الزَّيْتِ إِذَا خَلَطَهُ بِجِنْسِهِ مِمَّا هُوَ أَجْوَدُ مِنْهُ أَنْ لَا يَمْنَعَ مِنَ اسْتِرْجَاعِ الْبَائِعِ لَهُ وَيَكُونَ شَرِيكًا فِيهِ مُخْتَلِطًا.

Kedua, karena mewarnai pakaian, yang tidak dapat dipisahkan dari pakaian tersebut, tidak menghalangi penjual untuk mengambil kembali barangnya dan ia menjadi sekutu dalam harga pakaian yang telah diwarnai. Demikian pula tepung jika diaduk dengan minyak yang tidak dapat dipisahkan, tidak menghalangi penjual untuk mengambil kembali barangnya dan ia menjadi sekutu dalam harga tepung yang telah diaduk. Maka lebih utama lagi pada minyak, jika dicampur dengan sesama jenisnya yang lebih baik, tidak menghalangi penjual untuk mengambil kembali barangnya dan ia menjadi sekutu dalam minyak yang telah tercampur.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إنَّهُ قَدْ بَطَلَ حَقُّ الْبَائِعِ مِنَ اسْتِرْجَاعِ مَالِهِ لِأَنَّهُ إِنِ اسْتَرْجَعَ مِنَ الْجُمْلَةِ مَكِيلَةَ زَيْتِهِ اسْتَفْضَلَ زِيَادَةً غَيْرَ مُسْتَحَقَّةٍ وَأَدْخَلَ بِهَا عَلَى الْغُرَمَاءِ مَضَرَّةً فَإِنْ أَخَذَ مِنَ الْمَكِيلَةِ بِقَدْرِ قِيمَةِ زَيْتِهِ صَارَ مُعَاوِضًا عَنْ صَاعٍ بِنِصْفِ صَاعٍ وَذَلِكَ رِبًا حَرَامٌ فَإِذَا لَمْ يُمْكِنِ الرُّجُوعُ بِالْعَيْنِ الْمَبِيعَةِ بَطَلَ حَقُّ الْبَائِعِ مِنْهَا وَصَارَ أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ فِيهَا.

Pendapat kedua: Hak penjual untuk mengambil kembali barangnya telah gugur, karena jika ia mengambil kembali minyak sesuai takaran dari keseluruhan campuran, ia akan mendapatkan kelebihan yang tidak berhak ia miliki dan hal itu akan merugikan para kreditur. Jika ia mengambil dari campuran sesuai nilai minyaknya, maka ia menukar satu sha‘ dengan setengah sha‘, dan itu adalah riba yang haram. Maka jika tidak memungkinkan mengambil kembali barang secara fisik, gugurlah hak penjual dan ia menjadi sama dengan para kreditur lainnya.

وَفَارَقَ الزَّيْتَ إِذَا خَلَطَهُ بِأَرْدَأَ مِنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Minyak yang dicampur dengan minyak yang lebih rendah berbeda dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ فِي أَخْذِ مَكِيلَتِهِ مِنَ الْأَرْدَأِ نَقْصٌ يَضُرُّ بِهِ وَلَا يَضُرُّ بِالْغُرَمَاءِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِذَا خَلَطَهُ بِأَجْوَدَ مِنْهُ.

Pertama, jika ia mengambil takaran minyaknya dari campuran yang lebih rendah, maka itu merupakan kekurangan yang merugikannya dan tidak merugikan para kreditur, dan tidak demikian halnya jika dicampur dengan minyak yang lebih baik.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْأَدْوَنَ تَبَعٌ لِلْأَعْلَى فَلَمْ يَسْقُطْ حق البائع من الأعلى بمخالطته الأدون وسقط حَقه مِنَ الْأَدْوَنِ بِمُخَالَطَةِ الْأَعْلَى لِأَنَّ الْأَعْلَى متبوع وليس تبيع. وَأَمَّا الثَّوْبُ إِذَا صُبِغَ وَالسَّوِيقُ إِذَا أُلِتَّ فَمُخَالِفٌ لِلزَّيْتِ إِذَا اخْتَلَطَ بِأَجْوَدَ مِنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Kedua: bahwa yang lebih rendah mengikuti yang lebih tinggi, sehingga hak penjual atas yang lebih tinggi tidak gugur karena tercampur dengan yang lebih rendah, sedangkan haknya atas yang lebih rendah gugur karena tercampur dengan yang lebih tinggi, karena yang lebih tinggi adalah yang diikuti, bukan yang mengikuti. Adapun kain jika diwarnai dan syaweeq jika diuleni, maka berbeda dengan minyak jika tercampur dengan yang lebih baik darinya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الثَّوْبَ أَصْلٌ وَدُخُولَ الصَّبْغِ عَلَيْهِ تَبَعٌ وَكَذَلِكَ السَّوِيقُ أَصْلٌ وَلَتُّهُ بِالزَّيْتِ تبع فلم يبطل استرجاع الأصل بحدوث البيع وَلَيْسَ كَذَلِكَ الزَّيْتُ لِأَنَّهُ خَالَطَهُ مَا صَارَ تَبَعًا لَهُ.

Pertama: bahwa kain adalah pokok dan masuknya pewarna hanyalah sebagai pengikut, demikian pula syaweeq adalah pokok dan pengulenannya dengan minyak hanyalah sebagai pengikut, sehingga tidak batal hak untuk mengambil kembali pokoknya karena terjadinya jual beli. Tidak demikian halnya dengan minyak, karena yang bercampur dengannya telah menjadi pengikut baginya.

وَالثَّانِي: أَنَّ عَيْنَ الثَّوْبِ وَالسَّوِيقِ مَوْجُودَةٌ وَإِنْ صَارَ الصَّبْغُ مُجَاوِرًا لِلثَّوْبِ وَالزَّيْتُ مُجَاوِرًا لِلسَّوِيقِ فَجَازَ الرُّجُوعُ بِهِمَا لِبَقَاءِ عَيْنِهِمَا وَلَيْسَ كَذَلِكَ الزَّيْتُ الْمُخْتَلِطُ لِأَنَّ عَيْنَهُ مُسْتَهْلَكَةٌ.

Kedua: bahwa zat kain dan syaweeq masih ada, meskipun pewarna menempel pada kain dan minyak menempel pada syaweeq, sehingga boleh diambil kembali karena zatnya masih ada. Tidak demikian halnya dengan minyak yang tercampur, karena zatnya telah habis.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِذَا ثَبَتَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ. فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ قَدْ بَطَلَ حَقُّهُ فِي الِاسْتِرْجَاعِ كَانَ أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ يَضْرِبُ مَعَهُمْ بِثَمَنِهِ وَيُبَاعُ الزَّيْتُ الْمُخْتَلِطُ فِي حُقُوقِ جَمِيعِهِمْ وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ عَلَى حَقِّهِ مِنَ اسْتِرْجَاعِ مَالِهِ فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يُبَاعَ الزَّيْتُ الْمُخْتَلِطُ فِي حَقِّهِ وَحَقِّ الْغُرَمَاءِ فَذَلِكَ لَهُ فَإِذَا كَانَ زَيْتُهُ صَاعًا يُسَاوِي دِرْهَمًا وَالْمُخْتَلِطُ بِهِ صَاعًا يُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ بيع ذلك مختلطا ودفع إلى البائع ثلثا ثمنه وإلى الغرماء ثلثي ثَمَنِهِ فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ بِقَدْرِ حَقِّهِ كَيْلًا عَلَى قَدْرِ الْقِيمَتَيْنِ فَيَأْخُذُ مِنَ الصَّاعَيْنِ الْمُخْتَلِطَيْنِ وَقِيمَتُهُمَا ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ ثُلُثَيْ صَاعٍ قِيمَتُهُ دِرْهَمٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika penjelasan kedua pendapat telah tetap, maka jika kita berkata: bahwa haknya untuk mengambil kembali telah gugur, maka ia sama dengan para kreditur lainnya, ia mendapat bagian bersama mereka dari harga barang, dan minyak yang tercampur dijual untuk memenuhi hak semua pihak. Namun jika kita berkata: bahwa ia masih berhak mengambil kembali hartanya, maka jika ia ingin minyak yang tercampur dijual untuk memenuhi haknya dan hak para kreditur, maka itu boleh baginya. Jika minyak miliknya satu sha‘ senilai satu dirham dan yang tercampur dengannya satu sha‘ senilai dua dirham, maka keduanya dijual dalam keadaan tercampur dan diberikan kepada penjual sepertiga harganya dan kepada para kreditur dua pertiga harganya. Jika ia ingin mengambil bagiannya sesuai haknya dengan takaran berdasarkan nilai keduanya, maka ia mengambil dari dua sha‘ yang tercampur dan nilainya tiga dirham, dua pertiga sha‘ yang nilainya satu dirham. Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أنه لا يجوز، لأنه يَصِيرُ آخِذًا لِثُلُثَيْ صَاعٍ بَدَلًا مِنْ صَاعٍ وَذَلِكَ رِبًا حَرَامٌ.

Pertama: yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa hal itu tidak boleh, karena berarti ia mengambil dua pertiga sha‘ sebagai ganti satu sha‘, dan itu adalah riba yang haram.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ جَائِزٌ قَالَ الشَّافِعِيُّ فَلَيْسَ ذَلِكَ بَيْعُ صَاعٍ بِثُلُثَيْ صَاعٍ وَإِنَّمَا هُوَ وَضْعُهُ فِي مَكِيلَةٍ وَنُقْصَانٍ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ. والله أعلم.

Pendapat kedua: dan ini adalah zahir dari perkataan asy-Syafi‘i, bahwa hal itu boleh. Asy-Syafi‘i berkata: Itu bukanlah jual beli satu sha‘ dengan dua pertiga sha‘, melainkan ia hanya mengambilnya dalam satu takaran dan kekurangan dari modalnya. Wallahu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” فَإِنْ كَانَ حِنْطَةً فَطَحَنَهَا فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا وَبِهِ أَقُولُ يَأْخُذُهَا وَيُعْطِي قِيمَةَ الطَّحْنِ لِأَنَّهُ زَائِدٌ عَلَى مَالِهِ (قَالَ) وَكَذَلِكَ الثَّوْبُ يَصْبُغُهُ أَوْ يُقَصِّرُهُ يأخذه وللغرماء زيادته فإن قصره بأجرة درهم فزاد خمسة دراهم كان القصار شريكا فيه بدرهم والغرماء بأربعة دراهم شركاء بها وبيع لهم فإن كانت أجرته خمسة دراهم وزاد درهما كان شريكا في الثوب بدرهم وضرب مع الغرماء بأربعة وبهذا أقول والقول الآخر أن القصار غريم بأجرة القصارة لأنها أثر لا عين (قال المزني) قلت أنا هذا أشبه بقوله وإنما البياض في الثوب عن القصارة كالسمن عن الطعام والعلف وكبر الودي عن السقي وهو لا يجعل الزيادة للبائع في ذلك عين ماله فكذلك زيادة القصارة ليست عين ماله وقد قال في الأجير يبيع في حانوت أو يرعى غنما أو يروض دواب فالأجير أسوة الغرماء فهذه الزيادات عن هذه الصناعات التي هي آثار ليست بأعيان مال حكمها عندي في القياس واحد إلا أن تخص السنة منها شيئا فيترك لها القياس “.

Asy-Syafi‘i ra berkata: “Jika berupa gandum lalu digiling, maka ada dua pendapat. Salah satunya, dan inilah yang aku pilih, ia mengambilnya dan memberikan nilai penggilingan karena itu tambahan atas hartanya. (Beliau berkata:) Demikian pula kain yang diwarnai atau dipendekkan, ia mengambilnya dan kelebihan nilainya untuk para kreditur. Jika ia memendekkan kain dengan upah satu dirham lalu nilainya bertambah lima dirham, maka tukang pemendek kain menjadi sekutu dalam satu dirham dan para kreditur menjadi sekutu dalam empat dirham, lalu dijual untuk mereka. Jika upahnya lima dirham dan bertambah satu dirham, maka ia menjadi sekutu dalam kain sebesar satu dirham dan mendapat bagian bersama para kreditur sebesar empat dirham. Inilah pendapatku. Pendapat lain, bahwa tukang pemendek kain adalah kreditur atas upah pemendekan karena itu adalah pengaruh, bukan zat (harta). (Al-Muzani berkata:) Aku berkata, ini lebih mirip dengan pendapatnya. Sesungguhnya warna putih pada kain karena pemendekan seperti lemak pada makanan dan pakan, atau besarnya buah karena penyiraman, dan ia tidak menjadikan tambahan itu sebagai bagian dari harta penjual, maka demikian pula tambahan karena pemendekan bukanlah bagian dari harta penjual. Ia juga berkata tentang pekerja yang menjual di toko, menggembalakan kambing, atau melatih hewan, bahwa pekerja itu sama dengan para kreditur. Maka tambahan dari pekerjaan-pekerjaan ini yang merupakan pengaruh, bukan zat harta, hukumnya menurutku dalam qiyās adalah satu, kecuali ada dalil khusus dari sunnah yang mengecualikannya, maka qiyās ditinggalkan untuknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ ابْتَاعَ حِنْطَةً فَطَحَنَهَا أَوْ ثَوْبًا فَخَاطَهُ أَوْ قَصَّرَهُ ثُمَّ فَلَسَ فَاخْتَارَ الْبَائِعُ عَيْنَ مَالِهِ فَهَلْ تَكُونُ الزِّيَادَةُ بِالطَّحْنِ وَالْخِيَاطَةِ وَالْقِصَارَةِ كَالْأَعْيَانِ الْمُتَمَيِّزَةِ مِنْ ثِمَارِ النَّخْلِ يَمْلِكُهَا الْمُشْتَرِي وَلَا يَرْجِعُ بِهَا الْبَائِعُ أَوْ يَكُونُ كَالْآثَارِ الْمُتَّصِلَةِ مِنَ السِّمَنِ وَالطُّولِ لَا يَنْفَرِدُ بِهَا الْمُشْتَرِي وَيَرْجِعُ بِهَا الْبَائِعُ فِيهِ قَوْلَانِ مَنْصُوصَانِ:

Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah seseorang membeli gandum lalu menggilingnya, atau membeli kain lalu menjahit atau memendekkannya, kemudian ia bangkrut, lalu penjual memilih untuk mengambil kembali barangnya. Apakah tambahan karena penggilingan, penjahitan, dan pemendekan itu seperti barang-barang yang terpisah, seperti buah kurma yang dimiliki pembeli dan tidak dapat diambil kembali oleh penjual, atau seperti pengaruh yang melekat seperti lemak dan tinggi badan, yang tidak dapat dimiliki sendiri oleh pembeli dan penjual dapat mengambilnya kembali? Dalam hal ini ada dua pendapat yang dinukilkan:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ – أَنَّهَا آثَارٌ يَرْجِعُ بِهَا الْبَائِعُ وَلَا يَنْفَرِدُ بِهَا الْمُشْتَرِي وَوَجْهُهُ شَيْئَانِ ذَكَرَهُمَا الْمُزَنِيُّ.

Pertama: yaitu pilihan al-Muzani, bahwa itu adalah pengaruh yang dapat diambil kembali oleh penjual dan tidak dapat dimiliki sendiri oleh pembeli. Alasannya ada dua, sebagaimana disebutkan oleh al-Muzani.

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ أَنَّ الطَّحْنَ وَالْخِيَاطَةَ وَالْقِصَارَةَ هِيَ آثَارٌ غَيْرُ مُتَمَيِّزَةٍ لِأَنَّ الطَّحْنَ تَفْرِيقُ أَجْزَاءٍ مُجْتَمِعَةٍ وَالْخِيَاطَةَ تَأْلِيفُ أَجْزَاءٍ مُتَفَرِّقَةٍ وَالْقِصَارَةَ إِزَالَةٌ كهد مِنْ لَوْنِهِ فَكَانَتْ كَتَعْلِيمِ الْعَبْدِ صَنْعَةً أَوْ خَطأ وَأَسْوَأَ مِنْ حُدُوثِ السِّمَنِ وَالْكُبْرِ حَالًا، لِأَنَّ السِّمَنَ وَالْكُبْرَ أَعْيَانٌ مُتَّصِلَةٌ وَالطَّحْنُ وَالْقِصَارَةُ أَعْيَانٌ مُتَمَيِّزَةٌ فَلَمَّا كَانَ السِّمَنُ الْحَادِثُ فِي الْغَنَمِ بِرَعْيِ الرَّاعِي وَالْكُبْرُ الْحَادِثِ فِي الْوَدِيِّ بِسَقْيِ السَّاقِي لَا تَكُونُ أَعْيَانًا يَنْفَرِدُ الْمُشْتَرِي بِمِلْكِهَا وَيَرْجِعُ الْأَجِيرُ عِنْدَ فَلَسِهِ بِهَا فَالطَّحْنُ وَالْقِصَارَةُ أَوْلَى أَنْ لَا تَكُونُ أَعْيَانًا يَنْفَرِدُ بِهَا الْمُشْتَرِي وَيَمْلِكُهَا وَيَرْجِعُ الْأَجْرُ عِنْدَ فَلَسِهِ بِهَا بَلْ تَكُونُ آثَارًا يَرْجِعُ بِهَا الْبَائِعُ مَعَ عَيْنِ مِلْكِهِ.

Pertama: Bahwa penumbukan, penjahitan, dan pemutihan adalah akibat-akibat yang tidak berdiri sendiri, karena penumbukan adalah memisahkan bagian-bagian yang menyatu, penjahitan adalah menyatukan bagian-bagian yang terpisah, dan pemutihan adalah menghilangkan sebagian warnanya. Maka hal itu seperti mengajarkan budak suatu keahlian atau kesalahan, dan lebih buruk keadaannya daripada terjadinya kegemukan dan kebesaran, karena kegemukan dan kebesaran adalah benda-benda yang bersifat menyatu, sedangkan penumbukan dan pemutihan adalah benda-benda yang terpisah. Ketika kegemukan yang terjadi pada kambing karena penggembalaan oleh penggembala, dan kebesaran yang terjadi pada tanaman karena penyiraman oleh penyiram, tidak menjadi benda yang dimiliki sendiri oleh pembeli, dan pekerja kembali kepadanya saat bangkrut, maka penumbukan dan pemutihan lebih utama untuk tidak menjadi benda yang dimiliki sendiri oleh pembeli dan dimilikinya, serta upah kembali kepadanya saat bangkrut, bahkan itu hanyalah akibat-akibat yang kembali kepada penjual bersama dengan barang miliknya.

وَالثَّانِي: أَنَّ مَا كَانَ فِي حُكْمِ الْأَعْيَانِ الْمُتَمَيِّزَةِ لَمْ يَسْتَحِقَّهُ الْمَغْصُوبُ إِذَا أَخَذَهُ الْغَاصِبُ كَالصَّبْغِ فَلَمَّا كَانَ الْغَاصِبُ لَوْ غَصَبَ حِنْطَةً فَطَحَنَهَا أَوْ ثَوْبًا فَقَصَّرَهُ ثُمَّ اسْتَحَقَّهُ الْمَغْصُوبُ لَمْ يَرْجِعِ الْغَاصِبُ بِالطَّحْنِ وَالْقِصَارَةِ كَمَا لَا يَرْجِعُ بِالسِّمَنِ وَالْكُبْرِ كَذَلِكَ فِي الْفَلَسِ.

Kedua: Bahwa apa yang termasuk dalam hukum benda-benda yang terpisah tidak berhak dimiliki oleh yang dirampas apabila diambil oleh perampas, seperti pewarnaan. Maka ketika perampas, jika ia merampas gandum lalu menumbuknya, atau kain lalu memutihkannya, kemudian yang dirampas berhak atasnya, maka perampas tidak kembali dengan penumbukan dan pemutihan, sebagaimana ia juga tidak kembali dengan kegemukan dan kebesaran, demikian pula dalam kasus bangkrut.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الطَّحْنَ وَالْخِيَاطَةَ وَالْقِصَارَةَ فِي حُكْمِ الْأَعْيَانِ الْمُتَمَيِّزَةِ يَمْلِكُهَا الْمُشْتَرِي وَلَا يَرْجِعُ بِهَا الْبَائِعُ وَوَجْهُهُ شَيْئَانِ:

Pendapat kedua: Bahwa penumbukan, penjahitan, dan pemutihan dalam hukum benda-benda yang terpisah, dimiliki oleh pembeli dan penjual tidak kembali dengannya, dan alasannya ada dua:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الطَّحْنَ وَالْقِصَارَةَ إِحَالَةُ صِفَةٍ إِلَى غَيْرِهَا كَالصَّبْغِ لِأَنَّهُ إِحَالَةُ لَوْنٍ إِلَى غَيْرِهِ فَلَمَّا كَانَ الصَّبْغُ فِي حُكْمِ الْأَعْيَانِ الْمُتَمَيِّزَةِ يَمْلِكُهَا الْمُشْتَرِي وَلَا يَرْجِعُ بِهَا الْبَائِعُ كَذَلِكَ الطَّحْنُ وَالْقِصَارَةُ.

Pertama: Bahwa penumbukan dan pemutihan adalah perubahan sifat menjadi sifat lain, seperti pewarnaan, karena itu adalah perubahan warna menjadi warna lain. Maka ketika pewarnaan dalam hukum benda-benda yang terpisah, dimiliki oleh pembeli dan penjual tidak kembali dengannya, demikian pula penumbukan dan pemutihan.

وَالثَّانِي: أَنَّ الطَّحْنَ وَالْقِصَارَةَ أُمُورٌ تُنْسَبُ إِلَى فَاعِلِهَا وَيَجُوزُ أَنْ يُفْرَدَ عَقْدُ الْإِجَارَةِ بِهَا فَيَسْتَأْجِرُهُ عَلَى الطَّحْنِ وَالْقِصَارَةِ فَجَرَى مَجْرَى الْأَعْيَانِ فِي أَنْ لَيْسَ لِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا وَخَالَفَ سِمَنَ الْغَنَمِ الَّذِي لَا يُنْسَبُ إِلَى الرَّاعِي وَكُبْرَ الْوَدِيِّ الَّذِي لَا يُنْسَبُ إِلَى السَّاقِي وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُفْرَدَ عَقْدُ الْإِجَارَةِ بِهِ وَلَا أَنْ يَسْتَأْجِرَهُ عَلَى سِمَنِ الْغَنَمِ وَكُبْرِ الْوَدِيِّ وَهَذَا اسْتِدْلَالٌ وَجَوَابٌ فَأَمَّا الْغَاصِبُ فَإِنَّمَا لَمْ يَرْجِعْ بِالطَّحْنِ وَالْقِصَارَةِ لِأَنَّهُ أَحْدَثُ ذَلِكَ فِي غَيْرِ مِلْكِهِ وَهُوَ مُتَعَدٍّ بِهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمُشْتَرِي.

Kedua: Bahwa penumbukan dan pemutihan adalah hal-hal yang dinisbatkan kepada pelakunya dan boleh dibuat akad ijarah (sewa jasa) secara khusus untuknya, sehingga seseorang dapat menyewa orang lain untuk menumbuk dan memutihkan, maka hal itu seperti benda-benda dalam hal bahwa penjual tidak boleh kembali dengannya. Hal ini berbeda dengan kegemukan kambing yang tidak dinisbatkan kepada penggembala, dan kebesaran tanaman yang tidak dinisbatkan kepada penyiram, serta tidak boleh dibuat akad ijarah secara khusus untuk itu, dan tidak boleh menyewa seseorang untuk membuat kambing menjadi gemuk atau tanaman menjadi besar. Ini adalah istidlāl (argumentasi) dan jawaban. Adapun perampas, maka ia tidak kembali dengan penumbukan dan pemutihan karena ia melakukan hal itu pada barang yang bukan miliknya dan ia melampaui batas dengannya, dan tidak demikian halnya dengan pembeli.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فَإِنْ قُلْنَا بِالْأَوَّلِ مِنْهُمَا وَإنَّهُمَا آثَارٌ فِي حُكْمِ النَّمَاءِ الَّذِي لَا يَتَمَيَّزُ مِنَ السِّمَنِ وَالْكُبْرِ فَلِلْبَائِعِ أَنْ يَأْخُذَ حِنْطَتَهُ دَقِيقًا مَطْحُونًا وَثَوْبَهُ مَخِيطًا وَمَقْصُورًا وَلَا شَيْءَ لَهُ فِي الطَّحْنِ وَالْخِيَاطَةِ إِذَا لم يخطه بخيوطه لَهُ وَلِلطَّحَّانِ وَالْخَيَّاطِ أَنْ يَرْجِعَا بِأُجْرَتِهِمَا عَلَى الْمُشْتَرِي يَضْرِبَانِ بِهَا مَعَ الْغُرَمَاءِ وَإِذَا قُلْنَا بِالْقَوْلِ الثَّانِي إنَّهَا فِي حُكْمِ الْأَعْيَانِ الْمُتَمَيِّزَةِ كَالثَّمَرَةِ يَمْلِكُهَا الْمُشْتَرِي وَلَا يَرْجِعُ بِهَا الْبَائِعُ فَلَا يَخْلُو حَالُ الطَّحْنِ وَالْقِصَارَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ تَكُونَ بِفِعْلِ الْمُشْتَرِي وَعَمَلِهِ أَوْ تَكُونَ بِعَمَلِ أَجِيرٍ قَدِ اسْتَأْجَرَهُ عَلَى عَمَلِهِ فَإِنْ كَانَ الْمُشْتَرِي هُوَ الَّذِي تَوَلَّى عَمَلَ ذَلِكَ بِنَفْسِهِ فَلَا يَخْلُو عَيْنُ الْمَالِ بَعْدَ حُدُوثِ الْعَمَلِ فِيهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الْعَمَلُ لَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ زيادة ولا نقصان مِثْلَ أَنْ يَشْتَرِيَ ثَوْبًا يُسَاوِي عَشَرَةً وَيُقَصِّرَهُ فيسوى بَعْدَ الْقِصَارَةِ عَشَرَةً فَالْعَمَلُ قَدْ صَارَ مُسْتَهْلِكًا وَلِلْبَائِعِ أَنْ يَأْخُذَ ثَوْبَهُ مَقْصُورًا وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَكُونَ الْعَمَلُ فِيهِ قَدْ نَقَصَ مِنْ قِيمَتِهِ مِثْلَ أَنْ يَشْتَرِيَ ثوبا يساوي عشرة ويقصره، فيسوى بَعْدَ الْقِصَارَةِ ثَمَانِيَةً فَقَدِ اسْتَهْلَكَ الْعَمَلُ وَنَقَصَ الثَّوْبُ فَيُقَالُ لِلْبَائِعِ هَذَا نَقْصٌ لَا يَتَمَيَّزُ فَلَكَ أَنْ تَأْخُذَ الثَّوْبَ بِجَمِيعِ الثَّمَنِ أَوْ تَضْرِبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِهِ وَالِاعْتِبَارُ بِزِيَادَتِهِ وَنَقْصِهِ بِقِيمَتِهِ لَا بِثَمَنِهِ، لِأَنَّ الثَّمَنَ قَدْ يَزِيدُ على القيمة وينقص والحال الثَّالِثَةُ أَنْ يَكُونَ الْعَمَلُ قَدْ زَادَ فِي قِيمَتِهِ مِثْلَ أَنْ يَشْتَرِيَ ثَوْبًا يُسَاوِي عَشَرَةً وَيُقَصِّرَهُ فَيُسَاوِي بَعْدَ الْقِصَارَةِ خَمْسَةَ عَشَرَ فَالزِّيَادَةُ للمشتري – وهي ثلثه – فَيَصِيرُ شَرِيكًا لِلْبَائِعِ بِهَا فِي الثَّوْبِ فَلَا يَلْزَمُ دَفْعُهُ إِلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَمَّا الْبَائِعُ فَلَحِقَ الْمُشْتَرِي فِيهِ وَأَمَّا الْمُشْتَرِي فَلِمِلْكِ الْبَائِعِ لَهُ وَيُوضَعُ عَلَى يَدِ عَدْلٍ حَتَّى يُبَاعَ فَيُعْطِيَ الْبَائِعَ ثُلُثَيْ ثَمَنِهِ قَلَّ الثَّمَنُ أَوْ أكثر وَيَكُونَ لِلْمُشْتَرِي ثُلُثُ الثَّمَنِ يَدْفَعُهُ إِلَى غُرَمَائِهِ قَلَّ الثَّمَنُ أَوْ كَثُرَ فَهَذَا حُكْمُ الْعَمَلِ إِذَا كَانَ الْمُشْتَرِي قَدْ تَوَلَّاهُ بِنَفْسِهِ وَأَمَّا إِذَا كَانَ الْمُشْتَرِي قَدِ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا عَلَى عمله. فلا يخلو أيضا حال الثوب مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Apabila penjelasan dua pendapat tersebut telah dijelaskan, maka jika kita memilih pendapat pertama di antaranya, yaitu bahwa keduanya (peningkatan nilai dan perubahan bentuk) dianggap sebagai efek dalam hukum pertumbuhan yang tidak dapat dibedakan dari kegemukan dan kebesaran, maka penjual berhak mengambil gandumnya dalam bentuk tepung yang telah digiling dan kainnya dalam keadaan telah dijahit dan dipendekkan, dan ia tidak berhak atas apa pun dari hasil penggilingan dan penjahitan jika penjahitan itu tidak menggunakan benangnya sendiri. Adapun tukang giling dan penjahit, mereka berhak menuntut upah mereka kepada pembeli, dan mereka menuntut bersama para kreditur lainnya. Namun jika kita memilih pendapat kedua, yaitu bahwa hal tersebut dihukumi sebagai benda yang dapat dibedakan seperti buah-buahan, maka pembeli memilikinya dan penjual tidak dapat menuntutnya kembali. Maka, keadaan penggilingan dan pemendekan kain tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi dilakukan oleh pembeli sendiri atau oleh pekerja yang diupahnya untuk melakukan pekerjaan tersebut. Jika pembeli sendiri yang melakukan pekerjaan itu, maka barang tersebut setelah mengalami perubahan tidak lepas dari tiga keadaan:
Pertama, pekerjaan tersebut tidak menambah atau mengurangi nilainya, seperti seseorang membeli kain seharga sepuluh lalu memendekkannya, dan setelah dipendekkan nilainya tetap sepuluh. Maka pekerjaan itu dianggap telah habis (tidak menambah nilai), dan penjual berhak mengambil kainnya yang telah dipendekkan tanpa ada kewajiban apa pun atasnya.
Kedua, pekerjaan tersebut mengurangi nilainya, seperti seseorang membeli kain seharga sepuluh lalu memendekkannya, dan setelah dipendekkan nilainya menjadi delapan. Maka pekerjaan itu telah menghabiskan dan mengurangi nilai kain. Maka dikatakan kepada penjual: ini adalah pengurangan yang tidak dapat dibedakan, maka engkau boleh mengambil kain itu dengan seluruh harga atau menuntut bersama para kreditur. Penilaian didasarkan pada penambahan atau pengurangan nilainya, bukan pada harganya, karena harga bisa saja lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai sebenarnya.
Ketiga, pekerjaan tersebut menambah nilainya, seperti seseorang membeli kain seharga sepuluh lalu memendekkannya, dan setelah dipendekkan nilainya menjadi lima belas. Maka tambahan nilai itu menjadi milik pembeli—yaitu sepertiga dari nilai kain—sehingga ia menjadi sekutu penjual dalam kain tersebut. Maka kain itu tidak wajib diserahkan kepada salah satu dari mereka saja; penjual berhak atas bagian pembeli di dalamnya, dan pembeli berhak atas bagian penjual. Kain itu diletakkan di tangan pihak yang adil hingga dijual, lalu diberikan kepada penjual dua pertiga dari harganya, baik harga itu sedikit maupun banyak, dan sepertiga harga menjadi milik pembeli yang ia serahkan kepada para krediturnya, baik harga itu sedikit maupun banyak. Inilah hukum pekerjaan jika pembeli melakukannya sendiri. Adapun jika pembeli mengupah seorang pekerja untuk melakukan pekerjaan itu, maka keadaan kain juga tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ لَمْ يؤثر فيه العمل زيادة ولا نقصان وَكَانَ يُسَاوِي قَبْلَ الْقِصَارَةِ عَشَرَةً وَيُسَاوِي بَعْدَ الْقِصَارَةِ تِلْكَ الْعَشَرَةَ فَيَكُونُ الْعَمَلُ مُسْتَهْلِكًا وَيَرْجِعُ الْبَائِعُ بِالثَّوْبِ مَقْصُورًا وَيَضْرِبُ الْقَصَّارُ بِأُجْرَتِهِ مَعَ الغرماء لاستهلاك عمله. فإنه قِيلَ فَإِذَا كَانَ الْعَمَلُ كَالْعَيْنِ فَهَلَّا كَانَ الْقَصَّارُ وَالْبَائِعُ شَرِيكَيْنِ فِي الثَّوْبِ بِقِيمَةِ الْعَمَلِ وَقِيمَةِ الثَّوْبِ؟ قُلْنَا: إِنَّمَا يَكُونُ كَالْعَيْنِ إِذَا كَانَ لِقِيمَتِهِ تَأْثِيرٌ فِي الثَّوْبِ فَأَمَّا مَعَ عَدَمِ تَأْثِيرِهِ فَيَصِيرُ مُسْتَهْلِكًا.

Pertama: pekerjaan tersebut tidak menambah atau mengurangi nilai kain, di mana sebelum dipendekkan nilainya sepuluh dan setelah dipendekkan tetap sepuluh. Maka pekerjaan itu dianggap telah habis (tidak menambah nilai), dan penjual mengambil kembali kainnya yang telah dipendekkan, dan tukang pemendek menuntut upahnya bersama para kreditur karena pekerjaannya telah habis nilainya. Jika dikatakan: jika pekerjaan itu seperti barang, mengapa tukang pemendek dan penjual tidak menjadi sekutu dalam kain berdasarkan nilai pekerjaan dan nilai kain? Kami katakan: pekerjaan itu hanya dianggap seperti barang jika nilainya berpengaruh pada kain, adapun jika tidak berpengaruh maka dianggap telah habis (tidak menambah nilai).

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَكُونَ الْقِصَارَةُ قَدْ نَقَصَتْ مِنْ قِيمَةِ الثَّوْبِ فَلِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِالثَّوْبِ مَقْصُورًا بِجَمِيعِ الثَّمَنِ إِنْ شَاءَ أَوْ يَضْرِبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِثَمَنِهِ وَلِلْقَصَّارِ أَنْ يَضْرِبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِأُجْرَتِهِ سَوَاءٌ أَخَذَ الْبَائِعُ ثَوْبَهُ أَوْ تَرَكَهُ لِأَنَّ عَمَلَ الْقَصَّارِ صَارَ مُسْتَهْلِكًا.

Keadaan kedua: pemendekan kain tersebut mengurangi nilai kain, maka penjual berhak mengambil kembali kainnya yang telah dipendekkan dengan seluruh harga jika ia menghendaki, atau menuntut bersama para kreditur dengan harga kainnya. Adapun tukang pemendek berhak menuntut upahnya bersama para kreditur, baik penjual mengambil kainnya atau meninggalkannya, karena pekerjaan tukang pemendek dianggap telah habis (tidak menambah nilai).

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تَكُونَ الْقِصَارَةُ قَدْ زَادَتْ فِي قِيمَةِ الثَّوْبِ لِأَنَّهُ كَانَ يُسَاوِي قَبْلَ الْقِصَارَةِ عَشْرَةً فَصَارَ يُسَاوِي بَعْدَ الْقِصَارَةِ خَمْسَةَ عَشَرَ فَالزِّيَادَةُ بِهَا قَدْرُ الثُّلُثُ فَيَكُونَ الْمُشْتَرِي شَرِيكًا لِلْبَائِعِ فِي الثَّوْبِ بِثُلُثِ ثَمَنِهِ ثُمَّ يُنْظَرُ فِي أُجْرَةِ الْقَصَّارِ فَلَا تَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Keadaan ketiga: Jika pekerjaan pemendekan (al-qisārah) telah menambah nilai kain, misalnya sebelum dipendekkan nilainya sepuluh, lalu setelah dipendekkan menjadi lima belas, maka penambahannya adalah sepertiga. Dalam hal ini, pembeli menjadi sekutu penjual dalam kain tersebut sebesar sepertiga dari harganya. Kemudian dilihat pada upah tukang pemendek (al-qassār), yang tidak lepas dari tiga keadaan:

إِمَّا أَنْ تَكُونَ بِقَدْرِ الزِّيَادَةِ أَوْ تَكُونَ أَقَلَّ مِنْهَا أَوْ تَكُونَ أَكْثَرَ مِنْهَا. فَإِنْ كَانَتْ أُجْرَتُهُ بِقَدْرِ الزِّيَادَةِ – خَمْسَةً – فَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِالزِّيَادَةِ لِأَنَّهَا كَالْعَيْنِ لَهُ فَيَصِيرُ الْقَصَّارُ شَرِيكًا لِلْبَائِعِ فِي الثَّوْبِ بِثُلُثِ ثَمَنِهِ وَلَا يُسَلَّمُ إِلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَتَّى يُبَاعَ فَيُعْطَى صَاحِبُ الثَّوْبِ ثُلُثَيِ الثَّمَنِ وَالْقَصَّارُ ثُلُثَ الثَّمَنِ. فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَ لِلْقَصَّارِ أَنْ يَحْبِسَ الثَّوْبَ بِيَدِهِ عَلَى قَبْضِ أُجْرَتِهِ؟ قُلْنَا: لَيْسَ لِلْقَصَّارِ ذَاكَ لَا مَعَ الْمُفْلِسِ وَلَا مَعَ غَيْرِهِ، لِأَنَّ حَقَّهُ فِي الْعَمَلِ لَا فِي الثَّوْبِ وَلَيْسَ لِصَاحِبِ الثَّوْبِ أَنْ يَأْخُذَهُ، لِأَنَّ الْعَمَلَ مُحْتَبَسٌ بِأُجْرَتِهِ وَلَكِنْ يُوضَعُ عَلَى يَدِ عَدْلٍ يَحْبِسُهُ لِلْقَصَّارِ عَلَى أُجْرَتِهِ وَيَنُوبُ عَنْ مَالِكِ الثَّوْبِ فِي حُصُولِ الْيَدِ على ثوبه، وإن كانت أُجْرَةُ الْقَصَّارِ أَقَلَّ مِنَ الزِّيَادَةِ فَكَانَتْ أُجْرَتُهُ درهمين ونصف وَالزِّيَادَةُ خَمْسَةٌ صَارَ فِي الثَّوْبِ مَقْصُورًا ثَلَاثَةُ شُرَكَاءَ فَالْبَائِعُ شَرِيكٌ فِيهِ بِثُلُثَيْ ثَمَنِهِ لِأَنَّ قِيمَةَ ثَوْبِهِ عَشَرَةٌ مِنْ جُمْلَةِ خَمْسَةَ عَشَرَ وَالْقَصَّارُ شَرِيكٌ فِيهِ بِسُدُسِ ثَمَنِهِ لِأَنَّ قَدْرَ أَجْرَتِهِ دِرْهَمَانِ وَنِصْفٌ مِنْ خَمْسَةَ عَشَرَ وَالْمُفْلِسُ شَرِيكٌ فِيهِ بِسُدُسِ ثَمَنِهِ لِأَنَّ الْفَاضِلَ مِنْ قِيمَةِ الثَّوْبِ مَقْصُورًا بَعْدَ قِيمَتِهِ وَأُجْرَتِهِ دِرْهَمَانِ وَنِصْفٌ فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَ لِلْقَصَّارِ أَنْ يَرْجِعَ بِجَمِيعِ الزِّيَادَةِ لِأَنَّهَا عَيْنُ مَالِهِ؟ قِيلَ: هِيَ وَإِنْ كَانَتْ فِي حُكْمِ الْعَيْنِ لَهُ فَقَدْ أُسْقِطَ حَقُّهُ مِنْهَا حِينَ رَضِيَ بِالْأُجْرَةِ الْمُقَدَّرَةِ ثُمَّ لَا يُسَلَّمُ الثَّوْبُ إِلَى وَاحِدٍ مِنَ الثَّلَاثَةِ لِحَقِّ الْآخَرِينَ فِيهِ وَيَكُونُ مَوْضُوعًا عَلَى يَدِ عَدْلٍ لِيُبَاعَ وَيُقَسَّمَ ثَمَنُهُ عَلَى مَا وَصَفْنَا وَتُدْفَعُ حِصَّةُ الْمُفْلِسِ إِلَى الْغُرَمَاءِ، وَإِنْ كَانَتْ أُجْرَةُ الْقَصَّارِ أَكْثَرَ مِنَ الزِّيَادَةِ فَكَانَتْ أُجْرَتُهُ عَشَرَةً وَالزِّيَادَةُ خَمْسَةً كَانَ الْقَصَّارُ شَرِيكًا لِلْبَائِعِ فِي الثَّوْبِ بِقَدْرِ الزِّيَادَةِ وَذَلِكَ الثُّلُث وَلِلْبَائِعِ الثُّلُثَانِ ثُمَّ يَضْرِبُ الْقَصَّارُ بِبَاقِي أُجْرَتِهِ وَهُوَ خَمْسَةٌ مَعَ الْغُرَمَاءِ. فَإِنْ قِيلَ: فإذا كَانَتِ الزِّيَادَةُ هِيَ عَيْنُ مَالِهِ فَهَلَّا أَخَذَهَا بِجَمِيعِ أُجْرَتِهِ؟ قِيلَ: لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَسْتَحِقَّهَا زَائِدَةً لَمْ يَقْتَصِرْ عَلَيْهَا نَاقِصَةً، لِأَنَّ أُجْرَتَهُ مُقَدَّرَةٌ – وَكَذَا الْجَوَابُ فِي الطَّحَّانِ وَالْخَيَّاطِ عَلَى هَذَا الْمِثَالِ – وَهَكَذَا إِذَا اشْتَرَى سَاجَةً فَعَمِلَهَا بَابًا أَوْ ذَهَبًا فَصَاغَهُ حُلِيًّا أَوْ صُفْرًا فَضَرَبَهُ إِنَاءً أَوْ غَزْلًا فَنَسَجَهُ ثَوْبًا فَالْقَوْلُ فِي جَمِيعِهِ عَلَى مَا مَضَى.

Yaitu: upahnya sebesar penambahan nilai, atau kurang darinya, atau lebih darinya. Jika upahnya sebesar penambahan nilai—lima—maka ia berhak mengambil penambahan itu, karena penambahan itu seperti barang miliknya. Maka tukang pemendek menjadi sekutu penjual dalam kain sebesar sepertiga dari harganya, dan kain itu tidak diserahkan kepada salah satu dari keduanya hingga dijual, lalu pemilik kain diberikan dua pertiga dari harga, dan tukang pemendek sepertiga dari harga. Jika dikatakan: Bukankah tukang pemendek berhak menahan kain di tangannya sampai menerima upahnya? Kami katakan: Tukang pemendek tidak berhak melakukan itu, baik terhadap orang yang bangkrut (al-muflis) maupun selainnya, karena haknya ada pada pekerjaan, bukan pada kain. Dan pemilik kain juga tidak berhak mengambilnya, karena pekerjaan itu masih tertahan oleh upahnya. Namun, kain itu diletakkan di tangan orang yang adil, yang menahan kain itu untuk tukang pemendek sampai ia menerima upahnya, dan orang itu mewakili pemilik kain dalam hal kepemilikan atas kainnya. Jika upah tukang pemendek kurang dari penambahan nilai, misalnya upahnya dua setengah dirham dan penambahannya lima, maka pada kain yang telah dipendekkan itu ada tiga sekutu: penjual menjadi sekutu sebesar dua pertiga dari harganya, karena nilai kainnya sepuluh dari total lima belas; tukang pemendek menjadi sekutu sebesar seperenam dari harganya, karena upahnya dua setengah dari lima belas; dan orang yang bangkrut menjadi sekutu sebesar seperenam dari harganya, karena sisa nilai kain yang telah dipendekkan setelah dikurangi nilai asal dan upahnya adalah dua setengah. Jika dikatakan: Bukankah tukang pemendek berhak mengambil seluruh penambahan karena itu adalah harta miliknya? Dijawab: Meskipun penambahan itu secara hukum adalah miliknya, haknya atas penambahan itu gugur ketika ia telah ridha dengan upah yang telah ditentukan. Kemudian kain itu tidak diserahkan kepada salah satu dari ketiganya karena hak yang lain atasnya, dan kain itu diletakkan di tangan orang yang adil untuk dijual dan hasil penjualannya dibagi sebagaimana yang telah dijelaskan, dan bagian orang yang bangkrut diberikan kepada para krediturnya. Jika upah tukang pemendek lebih besar dari penambahan nilai, misalnya upahnya sepuluh dan penambahannya lima, maka tukang pemendek menjadi sekutu penjual dalam kain sebesar penambahan nilai, yaitu sepertiga, dan penjual mendapat dua pertiga. Kemudian tukang pemendek menuntut sisa upahnya—lima—bersama para kreditur. Jika dikatakan: Jika penambahan itu adalah harta miliknya, mengapa ia tidak mengambilnya seluruhnya sebagai upahnya? Dijawab: Karena ketika ia tidak berhak atas penambahan itu secara penuh, maka ia juga tidak cukup dengan penambahan itu jika kurang dari upahnya, sebab upahnya telah ditentukan. Demikian pula jawabannya pada kasus tukang penggiling dan penjahit dalam contoh ini. Begitu pula jika seseorang membeli kayu lalu dijadikan pintu, atau emas lalu dijadikan perhiasan, atau tembaga lalu dijadikan bejana, atau benang lalu ditenun menjadi kain, maka hukum pada semuanya sebagaimana yang telah dijelaskan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا اشْتَرَى ثَوْبًا فَصَبَغَهُ لَمْ يَكُنْ لِلْبَائِعِ حَقٌّ فِي صَبْغِهِ قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّ الصَّبْغَ عَيْنٌ جَاوَزَتِ الثَّوْبَ وَحَلَّتْ فِيهِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الصَّبْغِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Adapun jika seseorang membeli kain lalu mewarnainya, maka penjual tidak memiliki hak apapun atas warna tersebut menurut satu pendapat, karena zat pewarna adalah barang yang berasal dari luar kain dan telah menyatu di dalamnya. Dalam hal ini, keadaan pewarnaan tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الْبَائِعُ قَدِ اشْتَرَاهُ مِنْهُ مَعَ الثَّوْبِ.

Pertama: Penjual telah membeli zat pewarna itu dari pembeli bersamaan dengan kain.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ لِأَجْنَبِيٍّ قَدِ اشْتَرَاهُ مِنْهُ.

Kedua: Zat pewarna itu milik orang lain yang telah membelinya dari pembeli.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ لِنَفْسِهِ فَإِنْ كَانَ قَدِ اشْتَرَى الصَّبْغَ مِنْ بَائِعِ الثَّوْبِ. مِثَالُهُ: أَنْ يَشْتَرِيَ ثَوْبًا يُسَاوِي عَشَرَةً وَصَبْغًا يُسَاوِي عَشَرَةً فَلَا يَخْلُو حَالُ الثَّوْبِ مَصْبُوغًا مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Ketiga: jika (pekerjaan itu) untuk dirinya sendiri. Jika ia membeli zat pewarna dari penjual kain. Contohnya: seseorang membeli kain seharga sepuluh (dirham) dan zat pewarna seharga sepuluh (dirham), maka keadaan kain yang telah diwarnai tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: إِمَّا أَنْ تَكُونَ قِيمَتُهُ لَمْ تَزِدْ عَلَى قِيمَةِ الثَّوْبِ وَالصَّبْغِ أَوْ تَكُونَ قَدْ زَادَتْ أَوْ تَكُونَ قَدْ نَقَصَتْ فَإِنْ كانت قيمته لم تزد ولم تنقص وكان يُسَاوِي بَعْدَ الصَّبْغِ عِشْرِينَ دِرْهَمًا فَالْعَمَلُ قَدْ صَارَ مُسْتَهْلِكًا وَلِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِثَوْبِهِ مَصْبُوغًا وَإِنْ كَانَتْ قَدْ نَقَصَتْ قِيمَتُهُ بَعْدَ الصَّبْغِ فَصَارَ يُسَاوِي خَمْسَةَ عَشَرَ فَالْعَمَلُ قَدْ صَارَ مُسْتَهْلِكًا وَقَدْ نَقَصَ الثَّوْبُ وَالصَّبْغُ نَقْصًا لَا يَتَمَيَّزُ فَيَكُونَ لِلْبَائِعِ الْخِيَارُ فِي أَنْ يَأْخُذَهُ مَصْبُوغًا بِجَمْعِ الثَّمَنَيْنِ وَذَلِكَ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ يَضْرِبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِهَا فَإِنْ كَانَ قَدْ زَادَتْ قِيمَتُهُ مَصْبُوغًا فَصَارَ يُسَاوِي بَعْدَ الصَّبْغِ ثَلَاثِينَ دِرْهَمًا فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْعَمَلَ يَجْرِي مَجْرَى الْآثَارِ دُونَ الْأَعْيَانِ كَانَ لِلْبَائِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ زَائِدًا وَلَا حَقَّ لِلْمُفْلِسِ فِيهِ وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْعَمَلَ يَجْرِي مَجْرَى الْأَعْيَانِ كَانَتِ الزِّيَادَةُ لِلْمُفْلِسِ يُشَارِكُ الْبَائِعَ بِهَا فِي الثَّوْبِ فَيَصِيرُ شَرِيكًا فِي ثُلُثِ الثَّوْبِ وَالْبَائِعُ شَرِيكًا فِي ثُلُثَيِ الثَّوْبِ وَإِنْ كَانَ الصَّبْغُ لِآخَرَ غَيْرِ بَائِعِ الثَّوْبِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الثَّوْبِ بَعْدَ الصَّبْغِ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَدْ زَادَ أَوْ نَقَصَ أَوْ لَمْ يَزِدْ وَلَمْ يَنْقُصْ وَإِنْ كَانَ لَمْ يَزِدْ وَلَمْ يَنْقُصْ وَذَلِكَ بِأَنْ يَكُونَ قِيمَةُ الثَّوْبِ عَشَرَةٌ وَقِيمَةُ الصَّبْغِ عَشَرَةٌ فَصَارَتْ قِيمَتُهُ مَصْبُوغًا عِشْرِينَ فَالْعَمَلُ مستهلك وبائع الثوب وبائع الصبغ نظيران شريكين فِيهِ نِصْفَيْنِ فَبَائِعُ الثَّوْبِ شَرِيكٌ بِنِصْفِهِ وَإِنْ نَقَصَتْ قِيمَتُهُ فَصَارَ بَعْدَ الصَّبْغِ يُسَاوِي خَمْسَةَ عَشَرَ فَهَذَا النُّقْصَانُ قَدْرُهُ خَمْسَةٌ وَهُوَ دَاخِلٌ عَلَى الصَّبْغِ دُونَ الثَّوْبِ لِأَنَّ عَيْنَ الثَّوْبِ لَمْ تَنْقُصْ وَلِأَنَّ عَيْنَ الصَّبْغِ تَبَعٌ لِلثَّوْبِ بِدُخُولِهِ عَلَيْهِ فَيُقَالُ لِصَاحِبِ الصَّبْغِ: قَدْ نَقَصَ عَيْنُ مَالِكَ نَقْصًا لَا يَتَمَيَّزُ فَإِنِ اخْتَرْتَ الرُّجُوعَ بِهِ نَاقِصًا صِرْتَ شَرِيكًا لِلْبَائِعِ بِثُلُثِ ثَمَنِهِ وَلَا شَيْءَ لَكَ غَيْرُهُ، وَإِنْ لَمْ تَخْتَرْ ضَرَبْتَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِثَمَنِ صَبْغِكَ وَكَانَ الْمُفْلِسُ شَرِيكًا لِبَائِعِ الثَّوْبِ بِثُلُثِ ثَمَنِهِ وَبِيعَ الثَّوْبُ مَصْبُوغًا فِي حَقِّهَا، وَإِنْ زَادَتْ قِيمَةُ الثَّوْبِ مَصْبُوغًا فَصَارَ يُسَاوِي ثَلَاثِينَ دِرْهَمًا – فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْعَمَلَ يَجْرِي مَجْرَى الْآثَارِ فَلَا حَقَّ لِلْمُفْلِسِ فِي هَذِهِ الزِّيَادَةِ وَيَكُونُ الثَّوْبُ بَيْنَ بَائِعِ الثَّوْبِ وَبَائِعِ الصَّبْغِ نِصْفَيْنِ فَتَعُودُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهِمَا، وَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْعَمَلَ يَجْرِي مَجْرَى الْأَعْيَانِ كَانَتِ الزِّيَادَةُ لِلْمُفْلِسِ وَصَارَ شَرِيكًا بِهَا فِي الثَّوْبِ فَيَصِيرُ بَائِعُ الثَّوْبِ شَرِيكًا فِي ثُلُثِهِ وَبَائِعُ الصَّبْغِ شَرِيكًا فِي ثُلُثِهِ وَالْمُفْلِسُ شَرِيكًا فِي ثُلُثِهِ وَإِنْ كَانَ الصَّبْغُ لِلْمُفْلِسِ إِنْ كَانَتْ قِيمَةُ الثَّوْبِ لَمْ تَزِدْ وَلَمْ تَنْقُصْ بِأَنْ كَانَتْ قِيمَةُ الثَّوْبِ عَشَرَةً وَقِيمَةُ الصَّبْغِ عَشَرَةً وَقِيمَتُهُ مَصْبُوغًا عِشْرِينَ فَهُمَا شَرِيكَانِ فِيهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُهُ وَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ قَدْ نَقَصَتْ فَصَارَ يُسَاوِي بَعْدَ الصَّبْغِ خَمْسَةَ عَشَرَ فَالنَّقْصُ دَاخِلٌ عَلَى الْمُفْلِسِ مَالِكِ الصَّبْغِ لِمَا ذَكَرْنَا وَيَصِيرُ شَرِيكًا فِي الثوب بالثلث وإن كانت قِيمَتُهُ قَدْ زَادَتْ فَصَارَ يُسَاوِي مَصْبُوغًا ثَلَاثِينَ فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْعَمَلَ يَجْرِي مَجْرَى الْآثَارِ فَالزِّيَادَةُ بَيْنَهُمَا وَيَكُونَانِ فِي الثَّوْبِ شَرِيكَيْنِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا النِّصْفُ، وَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْعَمَلَ جَارٍ مَجْرَى الْأَعْيَانِ فَالزِّيَادَةُ لِلْمُفْلِسِ بِحَقِّ عَمَلِهِ وَيَصِيرُ شَرِيكًا فِي الثوب وصار شريكا فِي الثَّوْبِ فَيَصِيرُ بَائِعُ الثَّوْبِ شَرِيكًا فِي ثُلُثِهِ وَبَائِعُ الصَّبْغِ شَرِيكًا فِي ثُلُثِهِ وَالْمُفْلِسُ شريكا في ثلثه وكان الصبغ للمفلس فإن كَانَتْ قِيمَةُ الثَّوْبِ لَمْ تَزِدْ وَلَمْ تَنْقُصْ، فإن كَانَتْ قِيمَةُ الثَّوْبِ عَشَرَةً وَقِيمَةُ الصَّبْغِ عَشَرَةً وَقِيمَتُهُ مَصْبُوغًا عِشْرِينَ فَهُمَا شَرِيكَانِ فِيهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُهُ وَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ قَدْ نقصت فصارت تساوي بعد الصبغ خمسة عشرة فالقصر دَاخِلٌ عَلَى الْمُفْلِسِ مَالِكِ الصَّبْغِ لِمَا ذَكَرْنَا ويصير شريكا في الثوب بالثلث وإن كانت قيمته قد زادت فصار يساوي مصبوغا بثلاثين فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْعَمَلَ يَجْرِي مَجْرَى الْآثَارِ فزيادتها بينهما فيكونان فِي الثَّوْبِ شَرِيكَيْنِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا النِّصْفُ وَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْعَمَلَ يَجْرِي مَجْرَى الْأَعْيَانِ فالزيادة للمفلس بحق عمله بثمن الصبغ وبالزيادة ويكون ثلثي الثمن للمفلس وثلثه للبائع.

Pertama: Keadaannya bisa jadi nilai barang tersebut tidak bertambah atas nilai kain dan pewarna, atau bisa jadi nilainya bertambah, atau bisa juga nilainya berkurang. Jika nilainya tidak bertambah dan tidak berkurang, dan setelah diwarnai nilainya sama dengan dua puluh dirham, maka pekerjaan (pewarnaan) dianggap telah menghabiskan barang, dan penjual berhak mengambil kembali kainnya yang telah diwarnai. Jika nilainya berkurang setelah diwarnai sehingga menjadi lima belas dirham, maka pekerjaan tersebut telah menghabiskan barang dan kain serta pewarna telah berkurang dengan pengurangan yang tidak dapat dibedakan, sehingga penjual memiliki hak khiyār, yaitu memilih untuk mengambil kain yang telah diwarnai dengan membayar gabungan kedua harga tersebut, yaitu dua puluh dirham, atau menuntut bersama para kreditur dengan nilai kainnya. Jika nilainya bertambah setelah diwarnai sehingga menjadi tiga puluh dirham, maka jika dikatakan bahwa pekerjaan (pewarnaan) dipandang seperti atsar (bekas) bukan seperti ‘ayn (zat), maka penjual berhak mengambil kembali kain tersebut beserta tambahan nilainya dan tidak ada hak bagi orang yang bangkrut (muflis) atas tambahan itu. Namun, jika dikatakan bahwa pekerjaan dipandang seperti ‘ayn (zat), maka tambahan nilai itu menjadi milik muflis, sehingga ia berbagi dengan penjual dalam kepemilikan kain, yakni muflis menjadi sekutu dalam sepertiga kain dan penjual menjadi sekutu dalam dua pertiga kain. Jika pewarna adalah milik orang lain selain penjual kain, maka keadaan kain setelah diwarnai tidak lepas dari tiga kemungkinan: nilainya bertambah, berkurang, atau tidak bertambah dan tidak berkurang. Jika nilainya tidak bertambah dan tidak berkurang, misalnya nilai kain sepuluh dan nilai pewarna sepuluh, lalu setelah diwarnai nilainya menjadi dua puluh, maka pekerjaan dianggap telah menghabiskan barang dan penjual kain serta penjual pewarna menjadi dua sekutu yang setara, masing-masing memiliki setengah bagian. Jika nilainya berkurang sehingga setelah diwarnai menjadi lima belas, maka pengurangan itu sebesar lima dan itu masuk pada pewarna, bukan pada kain, karena zat kain tidak berkurang, sedangkan zat pewarna mengikuti kain karena telah bercampur dengannya. Maka dikatakan kepada pemilik pewarna: “Zat hartamu telah berkurang dengan pengurangan yang tidak dapat dibedakan. Jika engkau memilih untuk mengambil kembali dalam keadaan berkurang, maka engkau menjadi sekutu penjual kain dalam sepertiga nilainya dan tidak ada hak lain bagimu. Jika tidak memilih, maka engkau menuntut bersama para kreditur dengan nilai pewarnamu, dan muflis menjadi sekutu penjual kain dalam sepertiga nilainya, lalu kain dijual dalam keadaan telah diwarnai untuk kepentingan mereka berdua.” Jika nilai kain setelah diwarnai bertambah menjadi tiga puluh dirham, maka jika dikatakan bahwa pekerjaan dipandang seperti atsar, maka muflis tidak memiliki hak atas tambahan itu dan kain dibagi antara penjual kain dan penjual pewarna, masing-masing setengah, sehingga tambahan nilai kembali kepada mereka berdua. Namun, jika dikatakan bahwa pekerjaan dipandang seperti ‘ayn, maka tambahan nilai itu menjadi milik muflis dan ia menjadi sekutu dalam kain, sehingga penjual kain menjadi sekutu dalam sepertiganya, penjual pewarna sekutu dalam sepertiganya, dan muflis sekutu dalam sepertiganya. Jika pewarna adalah milik muflis, jika nilai kain tidak bertambah dan tidak berkurang, misalnya nilai kain sepuluh, nilai pewarna sepuluh, dan setelah diwarnai nilainya menjadi dua puluh, maka keduanya menjadi sekutu dalam kain, masing-masing memiliki setengah. Jika nilainya berkurang setelah diwarnai menjadi lima belas, maka pengurangan itu masuk pada muflis pemilik pewarna sebagaimana telah dijelaskan, sehingga ia menjadi sekutu dalam kain sebesar sepertiga. Jika nilainya bertambah setelah diwarnai menjadi tiga puluh, maka jika dikatakan bahwa pekerjaan dipandang seperti atsar, maka tambahan itu dibagi antara keduanya dan mereka menjadi sekutu dalam kain, masing-masing setengah. Jika dikatakan bahwa pekerjaan dipandang seperti ‘ayn, maka tambahan itu menjadi milik muflis karena pekerjaannya, sehingga ia menjadi sekutu dalam kain, dan penjual kain menjadi sekutu dalam sepertiganya, penjual pewarna sekutu dalam sepertiganya, dan muflis sekutu dalam sepertiganya. Jika pewarna milik muflis, dan nilai kain tidak bertambah dan tidak berkurang, misalnya nilai kain sepuluh, nilai pewarna sepuluh, dan setelah diwarnai nilainya menjadi dua puluh, maka keduanya menjadi sekutu dalam kain, masing-masing memiliki setengah. Jika nilainya berkurang setelah diwarnai menjadi lima belas, maka pengurangan itu masuk pada muflis pemilik pewarna sebagaimana telah dijelaskan, sehingga ia menjadi sekutu dalam kain sebesar sepertiga. Jika nilainya bertambah setelah diwarnai menjadi tiga puluh, maka jika dikatakan bahwa pekerjaan dipandang seperti atsar, maka tambahan itu dibagi antara keduanya dan mereka menjadi sekutu dalam kain, masing-masing setengah. Jika dikatakan bahwa pekerjaan dipandang seperti ‘ayn, maka tambahan itu menjadi milik muflis karena pekerjaannya dengan harga pewarna dan tambahan nilainya, sehingga dua pertiga harga menjadi milik muflis dan sepertiganya milik penjual.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ تَبَايَعَا بِالْخِيَارِ ثَلَاثًا فَفَلَسَا أَوْ أَحَدُهُمَا فلكل واحد منهما إِجَازَةُ الْبَيْعِ وَرَدُّهُ دُونَ الْغُرَمَاءِ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِبَيْعٍ مُسْتَحْدَثٍ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika keduanya melakukan jual beli dengan syarat khiyar selama tiga hari, lalu keduanya atau salah satu dari mereka jatuh pailit, maka masing-masing dari keduanya berhak untuk meneruskan atau membatalkan jual beli itu tanpa campur tangan para kreditur, karena itu bukanlah jual beli baru.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا بَاعَ سِلْعَةً بِخِيَارٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ حُجِرَ عَلَيْهِ بِالْفَلَسِ فِي مُدَّةِ الْخِيَارِ كَانَ عَلَى خِيَارِهِ فِي الرَّدِّ وَالْإِجَازَةِ مِنْ غَيْرِ اعْتِرَاضٍ لِلْغُرَمَاءِ عَلَيْهِ وَإِنْ فَسَخَ جَازَ وَإِنْ كَانَ الْحَظُّ فِي الْإِجَازَةِ وَإِنْ أَجَازَ صَحَّ وَإِنْ كَانَ الْحَظُّ فِي الْفَسْخِ سَوَاءٌ قُلْنَا إِنَّ الْبَيْعَ قَدْ تَمَّ بِنَفْسِ الْعَقْدِ أَوْ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِالْعَقْدِ وَيَقْضِي الْخِيَارَ هَذَا مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ، وَمَا عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِهِ، لِأَنَّ تَأْثِيرَ الْحَجْرِ إِنَّمَا يَكُونُ فِي الْمَنْعِ مِنَ الْعُقُودِ الْمُسْتَحْدَثَةِ بَعْدَهُ فَأَمَّا الْعُقُودُ الْمُتَقَدِّمَةُ فَلَا تَأْثِيرَ لِلْحَجْرِ فِيهَا وَالْفَسْخِ فِي هَذَا الْعَقْدِ وَالْإِمْضَاءِ فِيهِ إِنَّمَا هُوَ بِعَقْدٍ مُتَقَدِّمٍ وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: إِنِ اخْتَارَ الْأَحَظَّ مِنَ الْإِجَازَةِ أَوِ الْفَسْخِ صَحَّ وَإِنِ اخْتَارَ مَا لَا حَظَّ فِيهِ بِأَنْ أَجَازَ الْبَيْعَ وَكَانَ مَغْبُونًا لَمْ يَجُزْ وَإِنَّ لِلْغُرَمَاءِ فَسْخَهُ عَلَيْهِ لِمَا فِيهِ مِنْ إِدْخَالِ الضَّرَرِ عَلَيْهِمْ بِنَقْصِ الْغَبِينَةِ الَّتِي يُمْكِنُ اسْتِدْرَاكُهَا إِلَّا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يُزْعَمُ فِيهِ أَنَّ الْمِلْكَ قَدِ انْتَقَلَ بِنَفْسِ الْعَقْدِ وَهَكَذَا لَوْ فَسَخَ الْمُفْلِسُ وَكَانَ غَائِبًا لَمْ يَجُزْ وَكَانَ لِلْغُرَمَاءِ إِجَازَةُ الْبَيْعِ عَلَيْهِ لِمَا فِيهِ مِنَ اسْتِيفَاءِ مِلْكِهِ عَلَى الزِّيَادَةِ الَّتِي قَدْ مَلَكَهَا بِعَقْدِهِ إِلَّا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يُزْعَمُ فِيهِ أَنَّ الْمِلْكَ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِالْعَقْدِ وَتَقْضِي الْخِيَارُ. وَهَذَا الْقَوْلُ لَا وَجْهَ لَهُ لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ أَنَّهُ يَفْعَلُ ذَلِكَ بِحَقِّ عَقْدٍ تَقَدَّمَ عَلَى الْحَجْرِ وَلَيْسَ لِلْحَجْرِ تَأْثِيرٌ فِيهِ وَلَا لِلْغُرَمَاءِ اعْتِرَاضٌ عَلَيْهِ، وَلِأَنَّ فِي ذَلِكَ إِجْبَارًا عَلَى تَمْلِيكِ مَالٍ لَمْ يَسْتَقِرَّ مِلْكُهُ عَلَيْهِ فَلَمْ يَصِحَّ إِجْبَارُهُ عَلَيْهِ كَمَا لَا يَصِحُّ إِجْبَارُهُ عَلَى قَبْضِ هِبَةٍ قَدْ قَبِلَهَا – وَهَكَذَا لَوْ وَقَعَ الْحَجْرُ عَلَى الْمُشْتَرِي فِي زَمَانِ الْخِيَارِ كَانَ عَلَى خِيَارِهِ فِي الْفَسْخِ وَالْإِجَازَةِ وَلَا يُجْبَرُ عَلَى أَحَظِّ الْأَمْرَيْنِ لَهُ، وَعَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يُجْبَرُ عَلَى أَحَظِّ الْأَمْرَيْنِ وَإِنْ كَانَ أَحَظَّهُمَا الْفَسْخُ – لِأَنَّهُ كَانَ مَغْبُونًا – أُجْبِرَ عَلَى الْفَسْخِ إِلَّا أَنْ يُقَالَ إن الْمِلْكَ قَدِ انْتَقَلَ بِنَفْسِ الْعَقْدِ وَإِنْ كَانَ أَحَظَّهُمَا الْإِجَازَةُ – لِأَنَّهُ كَانَ غَائِبًا – أُجْبِرَ عَلَى الْإِجَازَةِ إِلَّا أَنْ يُقَالَ إِنَّ الْمِلْكَ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِالْعَقْدِ وَتَقْضِي الْخِيَارُ. وَهُوَ كَمَا ذكرنا غير صحيح والله أعلم.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang beliau katakan, yaitu jika seseorang menjual barang dengan syarat khiyar selama tiga hari, kemudian ia dikenai pembatasan (hajr) karena pailit dalam masa khiyar, maka ia tetap memiliki hak khiyar untuk membatalkan atau meneruskan jual beli itu tanpa ada keberatan dari para kreditur terhadapnya. Jika ia membatalkan, maka itu sah, meskipun keuntungan ada pada penerusan jual beli; dan jika ia meneruskan, maka itu sah, meskipun keuntungan ada pada pembatalan, baik kita mengatakan bahwa jual beli telah sempurna dengan akad itu sendiri, atau belum sempurna kecuali dengan akad dan setelah masa khiyar selesai. Ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh Imam Syafi‘i rahimahullah dan menjadi pegangan mayoritas pengikutnya, karena pengaruh hajr hanya berlaku untuk mencegah akad-akad baru setelahnya, sedangkan akad-akad yang telah terjadi sebelumnya tidak terpengaruh oleh hajr. Pembatalan atau penerusan dalam akad ini adalah terhadap akad yang telah terjadi sebelumnya.

Abu ‘Ali bin Abi Hurairah ra. berkata: Jika ia memilih yang lebih menguntungkan antara meneruskan atau membatalkan, maka itu sah. Namun jika ia memilih yang tidak ada keuntungannya, misalnya ia meneruskan jual beli padahal ia dirugikan (maghbūn), maka itu tidak sah, dan para kreditur berhak membatalkannya karena hal itu menimbulkan kerugian bagi mereka akibat kekurangan harga yang masih bisa diperbaiki, kecuali menurut pendapat yang mengatakan bahwa kepemilikan telah berpindah dengan akad itu sendiri. Demikian pula, jika orang yang pailit membatalkan jual beli dan ia dalam keadaan tidak hadir, maka itu tidak sah, dan para kreditur berhak meneruskan jual beli tersebut karena di dalamnya terdapat pengambilan hak miliknya atas tambahan yang telah ia peroleh melalui akadnya, kecuali menurut pendapat yang mengatakan bahwa kepemilikan tidak sempurna kecuali dengan akad dan setelah masa khiyar selesai. Pendapat ini tidak memiliki dasar, sebagaimana yang telah kami sebutkan, karena tindakan tersebut dilakukan berdasarkan akad yang telah terjadi sebelum hajr, dan hajr tidak berpengaruh terhadapnya, serta para kreditur tidak berhak mengajukan keberatan atasnya. Selain itu, dalam hal ini terdapat pemaksaan untuk memiliki harta yang kepemilikannya belum tetap, sehingga tidak sah memaksanya, sebagaimana tidak sah memaksanya untuk menerima hibah yang telah ia terima. Demikian pula, jika hajr dijatuhkan kepada pembeli dalam masa khiyar, maka ia tetap memiliki hak khiyar untuk membatalkan atau meneruskan, dan tidak dipaksa untuk memilih yang paling menguntungkan baginya. Namun menurut pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, ia dipaksa untuk memilih yang paling menguntungkan, dan jika yang paling menguntungkan adalah pembatalan—karena ia dirugikan—maka ia dipaksa untuk membatalkan, kecuali jika dikatakan bahwa kepemilikan telah berpindah dengan akad itu sendiri. Jika yang paling menguntungkan adalah meneruskan—karena ia tidak hadir—maka ia dipaksa untuk meneruskan, kecuali jika dikatakan bahwa kepemilikan tidak sempurna kecuali dengan akad dan setelah masa khiyar selesai. Dan sebagaimana yang telah kami sebutkan, pendapat ini tidak benar. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ أَخَذَهُ دُونَ صِفَتِهِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهُ إِلَّا أَنْ يَرْضَى الْغُرَمَاءُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia mengambilnya tidak sesuai dengan sifat yang disepakati, maka itu tidak boleh baginya kecuali para kreditur merelakannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا أَسْلَمَ الرَّجُلُ سَلَمًا فَحَلَّ السَّلَمُ بَعْدَ الْحَجْرِ عَلَيْهِ بِالْفَلَسِ فَقَبَضَهُ دُونَ صِفَتِهِ: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ قَدْ أَسْلَمَ فِي طَعَامٍ حَدِيثٍ فَقُبِضَ عَتِيقًا أَوْ فِي جَيِّدٍ فَأُخِذَ رَدِيئًا فَلَا يَجُوزُ لَهُ ذَلِكَ مَا لَمْ يَرْضَ غُرَمَاؤُهُ بِهِ، لِأَنَّ قَبْضَهُ دُونَ صِفَتِهِ نَقْصٌ يَدْخُلُ عَلَى الْغُرَمَاءِ فِي حُقُوقِهِمْ، لأن نَقْصَ الصِّفَةِ كَنَقْصِ الْعَيْنِ فَإِنْ رَضِيَ الْغُرَمَاءُ بِقَبْضِهِ دُونَ صِفَتِهِ جَازَ لِأَنَّ الْمُفْلِسَ تَامُّ الْمِلْكِ بِدَلِيلِ أَنَّ الزَّكَاةَ تَجِبُ فِي مَالِهِ وَإِنَّمَا الْحَجْرُ وَاقِعٌ عَلَيْهِ لِحُقُوقِ الْغُرَمَاءِ فَإِذَا رَضُوا بِالنَّقْصِ الدَّاخِلِ عَلَيْهِمْ جَازَ فَلَوْ وَهَبَ المفلس مالا يَرْضَى بِهِ غُرَمَاؤُهُ فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar apabila seseorang melakukan akad salam, lalu jatuh tempo salam tersebut setelah ia dikenai status pailit, kemudian ia menerima barang salam itu tidak sesuai dengan sifat yang disepakati; yaitu misalnya ia melakukan akad salam atas makanan yang baru, lalu ia menerima makanan yang lama, atau atas barang yang baik lalu menerima barang yang buruk, maka tidak boleh baginya menerima hal itu kecuali para krediturnya rela, karena penerimaan barang yang tidak sesuai sifatnya merupakan kekurangan yang masuk ke dalam hak para kreditur, sebab kekurangan sifat itu seperti kekurangan zat barang. Jika para kreditur rela ia menerima barang yang tidak sesuai sifatnya, maka itu boleh, karena orang yang pailit tetap memiliki kepemilikan penuh, dengan dalil bahwa zakat tetap wajib atas hartanya, dan status pailit hanya berlaku untuk hak para kreditur. Maka jika mereka rela dengan kekurangan yang masuk kepada mereka, itu diperbolehkan. Namun jika orang pailit memberikan harta kepada seseorang tanpa kerelaan para krediturnya, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ كَنَقْصِ الْوَصْفِ.

Salah satunya: Boleh, seperti kekurangan sifat.

وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ قَبْضَ السَّلَمِ دُونَ صِفَتِهِ مُسَامَحَةٌ فِي عَقْدٍ تَقَدَّمَ الْفَلَسَ فَصَحَّ مِنْهُ مَعَ رِضَا الغرماء اعتبارا بعقد ما مَضَى وَالْهِبَةُ فِي الْفَلَسِ عَقْدٌ مُبْتَدَأٌ وَاسْتِهْلَاكُ مَالٍ مُسْتَأْنَفٍ فَلَمْ يَصِحَّ مَعَ رِضَا الْغُرَمَاءِ لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ لَهُ عَنْهُ غَائِبٌ لَمْ يرض به.

Dan yang kedua: Tidak boleh. Perbedaannya adalah bahwa menerima barang salam yang tidak sesuai sifatnya merupakan toleransi dalam akad yang terjadi sebelum pailit, sehingga sah dengan kerelaan para kreditur karena mempertimbangkan akad yang telah lalu. Sedangkan hibah pada saat pailit adalah akad baru dan konsumsi harta yang baru, sehingga tidak sah meskipun para kreditur rela, karena bisa jadi ada kreditur yang tidak hadir dan tidak rela.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَسْلَفَهُ فِضَّةً بِعَيْنِهَا فِي طَعَامٍ ثُمَّ فَلَسَ كَانَ أَحَقَّ بِفِضَّتِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menyerahkan perak tertentu dalam akad salam untuk makanan, lalu pihak yang menerima salam menjadi pailit, maka ia lebih berhak atas peraknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ أَسْلَمَ فِضَّةً فِي طَعَامٍ مَوْصُوفٍ فَفَلَسَ الْمُسَلَّمُ إِلَيْهِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْفِضَّةِ الَّتِي كَانَتْ ثَمَنًا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ تَكُونَ بَاقِيَةً أَوْ مُسْتَهْلَكَةً فَإِنْ كَانَتِ الْفِضَّةُ بَاقِيَةً فِي يَدِ الْمُفْلِسِ، فَلِلْمُسَلِّمِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah seseorang menyerahkan perak dalam akad salam atas makanan yang disifati, lalu pihak yang menerima salam menjadi pailit. Maka keadaan perak yang menjadi harga itu tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi perak itu masih ada, atau sudah habis. Jika perak itu masih ada di tangan orang yang pailit, maka pihak yang menyerahkan salam berhak mengambil kembali peraknya karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَرْجِعَ بِعَيْنِ مَالِهِ إِذَا كَانَ مُثَمَّنًا جَازَ أَنْ يَرْجِعَ بِعَيْنِ مَالِهِ إِذَا كَانَ ثَمَنًا.

Pertama: Karena jika boleh mengambil kembali barangnya sendiri apabila menjadi objek jual beli, maka boleh pula mengambil kembali barangnya sendiri apabila menjadi alat tukar (harga).

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا جَازَ بِالْفَلَسِ فَسْخُ الْبَيْعِ الْمُنْبَرِمِ فَأَوْلَى أَنْ يَجُوزَ بِهِ فَسْخُ السَّلَمِ الَّذِي لَيْسَ بِمُنْبَرِمٍ وَإِنْ كَانَتِ الْفِضَّةُ مُسْتَهْلَكَةً فَهَلْ يَسْتَحِقُّ بِحُدُوثِ الْفَلَسِ خِيَارًا فِي فَسْخِ السَّلَمِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kedua: Karena jika dengan status pailit boleh membatalkan akad jual beli yang telah sempurna, maka lebih utama boleh membatalkan akad salam yang belum sempurna. Jika perak itu sudah habis, apakah dengan terjadinya pailit ia berhak memilih untuk membatalkan akad salam atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ – لَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ السَّلَمِ، لِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَحَقَّ بِالْفَلَسِ خِيَارَ الْفَسْخِ بِتَعْجِيلِ الثَّمَنِ وَتَأْخِيرِ الْمُثَمَّنِ اسْتَحَقَّهُ بِتَعْجِيلِ الثَّمَنِ وَتَأْخِيرِ الْمُثَمَّنِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: Ia berhak memilih untuk membatalkan akad salam, karena ketika dengan status pailit ia berhak membatalkan akad dengan alasan harga sudah diserahkan dan barang belum diterima, maka ia juga berhak membatalkan akad salam dengan alasan harga sudah diserahkan dan barang belum diterima.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ وَبِهِ قَالَ الْجُمْهُورُ – أَنَّهُ لَا خِيَارَ لَهُ فِي الْفَسْخِ لِأَنَّ الْفَسْخَ بِالْفَلَسِ إِنَّمَا يُسْتَحَقُّ إِذَا ارْتَفَعَ بِهِ الضَّرَرُ عَنِ الْبَائِعِ فِي اسْتِرْجَاعِ عَيْنِ مَالِهِ حَتَّى لَا يُزَاحِمَهُ الْغُرَمَاءُ وَيَصِلَ إِلَى جَمِيعِ حَقِّهِ وَفَسْخُ السَّلَمِ لَا يُسْتَفَادُ بِهِ هَذَا الْمَعْنَى لِأَنَّهُ يُشَارِكُ الْغُرَمَاءَ بِهِ إِذَا فَسَخَ كَمَا يُشَارِكُهُمْ إِذَا لَمْ يَفْسَخْ فَالضَّرَرُ لَاحِقٌ بِهِ فِي الْحَالَيْنِ فَلَمْ يَكُنْ لِفَسْخِهِ مَعْنًى. فَإِذَا قيل بالوجه الأول عنه يَسْتَحِقُّ الْفَسْخَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُقِيمَ عَلَى السَّلَمِ وَيَضْرِبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِقِيمَةِ الطَّعَامِ وَبَيْنَ أَنْ يَفْسَخَ السَّلَمَ وَيَضْرِبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِالثَّمَنِ وَإِذَا قِيلَ بِالْوَجْهِ الثَّانِي: فَإِنَّهُ يَضْرِبُ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِقِيمَةِ الطَّعَامِ وَهُوَ أَنْ يُقَوِّمَ الطَّعَامَ الَّذِي أَسْلَمَ فِيهِ عَلَى صِفَتِهِ وَقَدْرِهِ بِسِعْرِ وَقْتِهِ فَإِذَا بَلَغَتْ قِيمَتُهُ أَلْفًا صَارَ حَقُّهُ أَلْفًا فَيَضْرِبُ بِهَا مَعَ الْغُرَمَاءِ فَإِذَا خَرَجَ قِسْطُهُ بِمُزَاحَمَةِ الْغُرَمَاءِ خَمْسُمِائَةٍ لِأَنَّ مَالَ الْمُفْلِسِ بِإِزَاءِ نِصْفِ دُيُونِهِ لَمْ يَدْفَعْ إِلَيْهِ الدَّرَاهِمَ وَاشْتَرَى لَهُ بِهَا طَعَامًا، لِأَنَّ قَبْضَهُ لِلدَّرَاهِمِ بَيْعٌ لِلطَّعَامِ قَبْلَ قَبْضِهِ وَذَلِكَ غَيْرُ جَائِزٍ فَيُوَلِّي الْحَاكِمُ شِرَاءَ الطَّعَامِ لَهُ بِالْخَمْسِمِائَةِ فَرُبَّمَا اشْتَرَى بِسِعْرِ مَا قُوِّمَ فَيَحْصُلَ لَهُ نِصْفُ طَعَامِهِ وَرُبَّمَا اشْتَرَى بِأَزْيَدَ مِنَ الْقِيمَةِ لِغَلَاءِ السِّعْرِ فَيَحْصُلَ لَهُ أَقَلُّ مِنَ النِّصْفِ وَرُبَّمَا اشْتَرَى بِأَنْقَصَ مِنَ الْقِيمَةِ لِرُخْصِ السِّعْرِ فَيَحْصُلَ لَهُ أَكْثَرُ مِنَ النِّصْفِ فَيُحْسَبُ عَلَيْهِ مِنْ طَعَامِهِ قَدْرُ مَا قَبَضَ بِالشِّرَاءِ مِنْ زِيَادَةٍ وَنَقْصٍ دُونَ مَا قَوَّمَهُ بِهِ حِينَ ضَرَبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِقِيمَتِهِ وَكَانَ مَا بَقِيَ أَنْ يَبْقَى دَيْنًا لَهُ عَلَيْهِ فِي ذِمَّةِ الْمُفْلِسِ عَلَى مَا يَسْتَفِيدُهُ مِنَ الْمَالِ فِيمَا بعده. والله أعلم.

Pendapat kedua—dan inilah yang paling sahih serta dianut oleh jumhur ulama—bahwa tidak ada hak khiyar baginya untuk membatalkan akad, karena pembatalan akad akibat pailit hanya dapat dilakukan jika dengan pembatalan itu kerugian penjual dapat dihilangkan dalam rangka mengambil kembali barang miliknya, sehingga ia tidak bersaing dengan para kreditur dan dapat memperoleh seluruh haknya. Adapun pembatalan akad salam tidak memberikan manfaat ini, karena jika ia membatalkan akad, ia tetap bersaing dengan para kreditur, sebagaimana jika ia tidak membatalkan akad, sehingga kerugian tetap menimpanya dalam kedua keadaan tersebut. Maka, pembatalan akad tidak memiliki makna. Jika dikatakan menurut pendapat pertama bahwa ia berhak membatalkan akad, maka ia diberi pilihan antara tetap pada akad salam dan menuntut bersama para kreditur dengan nilai barang (makanan), atau membatalkan akad salam dan menuntut bersama para kreditur dengan nilai harga (uang). Namun, jika dikatakan menurut pendapat kedua, maka ia menuntut bersama para kreditur dengan nilai barang (makanan), yaitu makanan yang menjadi objek salam itu dinilai sesuai sifat dan ukurannya dengan harga pada waktu itu. Jika nilainya mencapai seribu, maka haknya menjadi seribu, dan ia menuntut bersama para kreditur dengan nilai tersebut. Jika bagian yang ia dapatkan setelah bersaing dengan para kreditur adalah lima ratus, karena harta orang yang pailit hanya sebanding dengan setengah dari utangnya, maka tidak boleh diberikan kepadanya uang tersebut dan membelikannya makanan, karena menerima uang tersebut berarti menjual makanan sebelum menerimanya, dan itu tidak diperbolehkan. Maka, hakimlah yang membelikan makanan untuknya dengan lima ratus itu. Bisa jadi makanan dibeli dengan harga yang sama seperti yang telah dinilai, sehingga ia memperoleh setengah dari makanannya. Bisa juga makanan dibeli dengan harga lebih mahal karena harga naik, sehingga ia memperoleh kurang dari setengah. Atau makanan dibeli dengan harga lebih murah karena harga turun, sehingga ia memperoleh lebih dari setengah. Maka, yang dihitung dari makanannya adalah sebesar yang ia terima melalui pembelian, baik lebih maupun kurang, bukan berdasarkan nilai yang digunakan saat menuntut bersama para kreditur. Adapun sisanya tetap menjadi utang baginya atas orang yang pailit, sesuai dengan apa yang bisa ia dapatkan dari harta itu di kemudian hari. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَكْرَى دَارًا ثُمَّ فَلَسَ الْمُكْرِي فَالْكَرَاءُ لِصَاحِبِهِ فَإِذَا تَمَّ سُكْنَاهُ بِيعَتْ لِلْغُرَمَاءِ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menyewakan rumah, lalu si pemberi sewa jatuh pailit, maka uang sewa tetap menjadi milik pemiliknya. Setelah masa tinggalnya selesai, rumah itu dijual untuk para kreditur.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا اسْتَأْجَرَ دَارًا أَوْ عَبْدًا ثُمَّ أَفْلَسَ الْمُؤَجِّرُ أَوْ رَبُّ الدَّارِ دُونَ الْمُسْتَأْجِرِ فَالْإِجَارَةُ عَلَى حَالِهَا وَالْمُسْتَأْجِرُ أَحَقُّ بِالدَّارِ إِلَى انْقِضَاءِ مُدَّةِ إِجَارَتِهِ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Ini benar, jika seseorang menyewa rumah atau budak, lalu si pemberi sewa atau pemilik rumah jatuh pailit, bukan penyewanya, maka akad sewa tetap berlaku dan penyewa lebih berhak atas rumah tersebut hingga berakhirnya masa sewanya, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَقْدَ الْإِجَارَةِ قَدْ أَزَالَ مِلْكَ الْمُؤَاجِرِ عَنِ الْمَنْفَعَةِ إِلَى الْمُسْتَأْجِرِ وَحَجْرُ الْمُفْلِسِ إِنَّمَا يُؤَثِّرُ فِيمَا لَمْ تَزُلْ مِلْكِيَّةُ الْمُفْلِسِ عَنْهُ وَلَا يُؤَثِّرُ فِيمَا زَالَ عَنْهُ كَمَا لَوْ بَاعَ شَيْئًا قَبْلَ فَلَسِهِ لَمْ يُؤَثِّرْ حُدُوثُ فَلَسِهِ لِزَوَالِ مِلْكِهِ عَنْهُ.

Pertama: Akad sewa telah memindahkan hak pemanfaatan dari pemilik kepada penyewa, dan pembatasan terhadap orang yang pailit hanya berpengaruh pada apa yang kepemilikannya belum hilang darinya, dan tidak berpengaruh pada apa yang telah hilang dari kepemilikannya, sebagaimana jika ia telah menjual sesuatu sebelum jatuh pailit, maka terjadinya pailit tidak berpengaruh karena kepemilikannya telah hilang atas barang tersebut.

وَالثَّانِي: أَنَّ حَقَّ الْمُسْتَأْجِرِ قَدْ تَعَلَّقَ بِالْعَيْنِ الْمُسْتَأْجَرَةِ وَحُقُوقَ الْغُرَمَاءِ تعلق بِالذِّمَّةِ فَكَانَ تَقَدُّمُ مَا تَعَلَّقَ بِالْعَيْنِ أَوْلَى كَالرَّهْنِ فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ الْمُسْتَأْجِرَ أَوْلَى فَلَا حَقَّ لَهُ فِي الْفَسْخِ بِفَلَسِ الْمُؤَاجِرِ، لِأَنَّهُ مُمَكَّنٌ مِنَ اسْتِيفَاءِ حَقِّهِ مِنْ غَيْرِ فَسْخٍ فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا وَأَنَّ الدَّارَ مُقَرَّةٌ فِي يَدِ الْمُسْتَأْجِرِ إِلَى انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ نُظِرَ فَإِنْ رَضِيَ الْغُرَمَاءُ بِتَأْخِيرِ بَيْعِ الدَّارِ حَتَّى تَنْقَضِيَ مُدَّةُ إِجَارَتِهَا لِيَتَوَفَّرَ عَلَيْهِمْ ثَمَنُهَا بَعْدَ تَقَضِّي الْإِجَارَةِ فَذَاكَ أَوْلَى وَإِنْ سَأَلُوا بَيْعَهَا فِي الْحَالِ لِيُقْسَمَ ثَمَنُهَا فِيهِمْ جَازَ بَيْعُهَا عَلَى الْمُسْتَأْجِرِ قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّهُ لَيْسَ مَعَهُ حَائِلٌ يَمْنَعُ مِنَ التَّسْلِيمِ كَمَا يَجُوزُ بَيْعُ الشَّيْءِ الْمَغْصُوبِ عَلَى الْغَاصِبِ وَإِنْ لَمْ يَجُزْ ذَلِكَ عَلَى غَيْرِهِ، لِأَنْ لَيْسَ دُونَهُ حَائِلٌ يَمْنَعُ من رَدِّهِ وَكَمَا يَجُوزُ لِمَنِ اسْتَأْجَرَ دَارًا سَنَةً أَنْ يَسْتَأْجِرَهَا ثَانِيَةً وَإِنْ لَمْ يُجِزْ ذَلِكَ لغيره ذكرنَا فَأَمَّا بَيْعُهَا مِنْ غَيْرِ الْمُسْتَأْجِرِ فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Kedua: Bahwa hak penyewa telah melekat pada objek yang disewa, sedangkan hak para kreditur melekat pada tanggungan (dzimmah), sehingga yang lebih didahulukan adalah apa yang melekat pada objek, sebagaimana pada kasus rahn (gadai). Maka apabila telah dipastikan bahwa penyewa lebih berhak, maka ia tidak memiliki hak untuk membatalkan akad karena pailitnya pemilik, karena ia masih memungkinkan untuk mengambil haknya tanpa pembatalan. Jika telah ditetapkan demikian, dan rumah tetap berada di tangan penyewa hingga habis masa sewanya, maka dilihat: jika para kreditur rela menunda penjualan rumah hingga masa sewanya habis agar mereka dapat memperoleh harga rumah tersebut setelah masa sewa selesai, maka itu lebih utama. Namun jika mereka meminta agar rumah dijual segera agar hasil penjualannya dapat dibagi di antara mereka, maka boleh menjualnya kepada penyewa secara ijma‘, karena tidak ada penghalang baginya untuk menerima penyerahan, sebagaimana boleh menjual barang yang digasak kepada penggasak, meskipun tidak boleh kepada selainnya, karena tidak ada penghalang baginya untuk mengembalikannya. Demikian pula, boleh bagi orang yang telah menyewa rumah selama setahun untuk menyewanya kembali, meskipun tidak boleh bagi selainnya, sebagaimana telah kami sebutkan. Adapun menjualnya kepada selain penyewa, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ بَاطِلٌ وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة لِأَمْرَيْنِ:

Salah satunya: Bahwa penjualan itu batal, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ يَدَ الْمُسْتَأْجِرِ تَحُولُ بَيْنَ الْمُشْتَرِي وَبَيْنَ الدَّارِ الْمَبِيعَةِ فَكَانَ الْبَيْعُ باطلا كالمغصوب.

Pertama: Bahwa kepemilikan penyewa menghalangi pembeli untuk menguasai rumah yang dijual, sehingga penjualan itu batal seperti pada barang yang digasak.

والثاني: أنه يصير مستثنا لِمَنَافِعِ مَا بَاعَهُ وَلَوِ اسْتَثْنَى مَنَافِعَ مَا باعه شَهْرًا بِالشَّرْطِ لَمْ يَجُزْ، فَكَذَلِكَ إِذَا كَانَ مُسْتَثْنِيًا بِعَقْدِ الْإِجَارَةِ لَمْ يَجُزْ، لِأَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ مَسْلُوبَ الْمَنْفَعَةِ بِالشَّرْطِ أَوْ بِالْعَقْدِ.

Kedua: Bahwa hal itu berarti pengecualian manfaat dari barang yang dijual. Seandainya seseorang mengecualikan manfaat dari barang yang dijual selama sebulan dengan syarat, maka tidak sah. Demikian pula jika manfaat itu dikecualikan melalui akad sewa, maka tidak sah, karena tidak ada perbedaan antara manfaat yang hilang karena syarat atau karena akad.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْبَيْعَ صَحِيحٌ وَالْإِجَارَةُ بِحَالِهَا لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua: Bahwa penjualan itu sah dan akad sewa tetap berlaku karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَقْدَ الْإِجَارَةِ يَتَنَاوَلُ الْمَنْفَعَةَ دُونَ الرَّقَبَةِ وَعَقْدَ الْبَيْعِ يَتَنَاوَلُ الرَّقَبَةَ دُونَ الْمَنْفَعَةِ فَلَمْ يَمْتَنِعْ أَنْ يَكُونَ عَقْدُ الْبَيْعِ وَاقِعًا عَلَى رَقَبَةٍ مُسْتَحِقَّةِ الْمَنْفَعَةِ كَالْأَمَةِ الْمُزَوَّجَةِ وَالْعَبْدِ الْمُوصَى بِخِدْمَتِهِ.

Pertama: Bahwa akad sewa hanya mencakup manfaat, bukan kepemilikan barang, sedangkan akad jual beli mencakup kepemilikan barang, bukan manfaat. Maka tidak terlarang akad jual beli terjadi atas barang yang manfaatnya masih menjadi hak orang lain, seperti budak perempuan yang telah menikah atau budak laki-laki yang diwasiatkan untuk melayani.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا جَازَ بَيْعُ النَّخْلِ إِذَا كَانَتْ عَلَيْهَا ثَمَرَةٌ مُؤَبَّرَةٌ لِلْبَائِعِ وَإِنْ كَانَتْ مُسْتَحَقَّةَ الْمَنَافِعِ جَازَ بَيْعُ الدَّارِ إِذَا كَانَتْ مُسْتَحَقَّةَ الْمَنْفَعَةِ بِعَقْدِ الْإِجَارَةِ فَكَانَ أَوْلَى لِأَنَّ مُدَّةَ الْإِجَارَةِ مَعْلُومَةٌ وَمُدَّةُ بَقَاءِ الثَّمَرَةِ غَيْرُ مَعْلُومَةٍ.

Kedua: Karena diperbolehkan menjual pohon kurma yang masih ada buahnya yang telah dibuahi untuk penjual, meskipun manfaatnya masih menjadi hak orang lain, maka demikian pula boleh menjual rumah yang manfaatnya masih menjadi hak orang lain karena akad sewa, bahkan ini lebih utama, karena masa sewa sudah jelas, sedangkan masa keberadaan buah tidak jelas.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فإذا تقرر وجود الْقَوْلَيْنِ. فَإِنْ قُلْنَا بِصِحَّةِ الْبَيْعِ فَالْمُشْتَرِي إِنْ لَمْ يَكُنْ عَالِمًا بِعَقْدِ الْإِجَارَةِ مُخَيَّرٌ بَيْنَ الْمُقَامِ أَوِ الْفَسْخِ وَعَلَيْهِ إِنْ أَقَامَ تَمْكِينُ الْمُسْتَأْجِرِ مِنْهَا إِلَى انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ وَإِنْ قُلْنَا بِبُطْلَانِ الْبَيْعِ رُدَّ الثَّمَنُ عَلَى الْمُشْتَرِي وَكَانَتِ الدَّارُ فِي يَدِ الْمُسْتَأْجِرِ حَتَّى إِذَا انْقَضَتْ مُدَّةُ إِجَارَتِهِ بِيعَتْ فِي حُقُوقِ الْغُرَمَاءِ، وَلَوِ انْهَدَمَتِ الدَّارُ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ لَزِمَتِ الْإِجَارَةُ فِيمَا مَضَى عَلَى الصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ – وَاسْتَقَرَّ عَلَيْهِ الْأُجْرَةُ بِقِسْطِهِ وَبَطَلَتِ الْإِجَارَةُ فِيمَا بَقِيَ وَاسْتَرْجَعَ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقِسْطِهِ، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يُقَسَّمَ مَالُ الْمُفْلِسِ بَيْنَ غُرَمَائِهِ شَارَكَهُمْ فِيهِ وَضَرَبَ مَعَهُمْ بِقَدْرِ مَا بَقِيَ مِنَ الْأُجْرَةِ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ – أَعْنِي: انْهِدَامَ الدَّارِ – بَعْدَ قِسْمَةِ مَالِهِ بَيْنَ غُرَمَائِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika telah ditetapkan adanya dua pendapat tersebut, maka jika kita berpendapat bahwa penjualan itu sah, maka pembeli, jika ia tidak mengetahui adanya akad sewa, diberi pilihan antara tetap atau membatalkan, dan jika ia memilih tetap, maka ia wajib membiarkan penyewa memanfaatkan rumah tersebut hingga habis masa sewanya. Namun jika kita berpendapat bahwa penjualan itu batal, maka harga dikembalikan kepada pembeli dan rumah tetap berada di tangan penyewa hingga masa sewanya habis, lalu rumah itu dijual untuk memenuhi hak para kreditur. Jika rumah itu roboh sebelum masa sewa habis, maka akad sewa tetap berlaku untuk masa yang telah berlalu menurut pendapat yang sahih dalam mazhab, dan upah tetap menjadi hak sesuai bagiannya, sedangkan akad sewa untuk masa yang tersisa batal dan upah untuk masa yang tersisa dikembalikan. Jika hal itu terjadi sebelum harta orang yang pailit dibagi kepada para krediturnya, maka penyewa berhak ikut serta bersama mereka dan menuntut bagian dari sisa upah. Namun jika hal itu—yakni robohnya rumah—terjadi setelah harta orang yang pailit dibagi kepada para krediturnya, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقِسْمَةَ مَاضِيَةٌ وَيَكُونُ مَا اسْتَحَقَّهُ الْمُسْتَأْجِرُ مِنْ أُجْرَةِ مَا بَقِيَ مِنَ الْمُدَّةِ دَيْنًا فِي ذِمَّةِ الْمُفْلِسِ عَلَى مَا يَسْتَفِيدُهُ مِنْ بَعْدِ الْقِسْمَةِ لِأَنَّهُ حَقٌّ ثَبَتَ بَعْدَ الْقِسْمَةِ.

Salah satu pendapat: bahwa pembagian (harta) tetap berlaku dan apa yang menjadi hak penyewa berupa upah atas sisa masa sewa menjadi utang dalam tanggungan orang yang pailit, sesuai dengan apa yang didapatkannya setelah pembagian, karena itu adalah hak yang ditetapkan setelah pembagian.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ تُنْقَضُ الْقِسْمَةُ لِيَضْرِبَ الْمُسْتَأْجِرُ بِبَاقِي أُجْرَتِهِ مَعَ الْغُرَمَاءِ كَمَا تُنْقَضُ الْقِسْمَةُ إِذَا ظَهَرَ لَهُ غَرِيمٌ لَمْ يَعْلَمْ بِهِ وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ، لِأَنَّ رُجُوعَهُ بِبَاقِي الْأُجْرَةِ إِنَّمَا هُوَ مُسْتَحَقٌّ بِمَا تَقَدَّمَ مِنْ عَقْدِ الْإِجَارَةِ فَجَرَى مجرى من تقدم حقه من الغرماء. وهو أن الْوَجْهَيْنِ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ تَخْرِيجُهُمَا مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِيمَا مَلَكَهُ الْمُسْتَأْجِرُ مِنَ الْأُجْرَةِ هَلْ يَكُونُ مِلْكًا مُسْتَقِرًّا أَوْ مُرَاعَاةً. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: bahwa pembagian dibatalkan agar penyewa dapat menuntut sisa upahnya bersama para kreditur, sebagaimana pembagian dibatalkan jika muncul kreditur lain yang sebelumnya tidak diketahui. Hal ini karena hak penyewa atas sisa upahnya didasarkan pada akad sewa yang telah lalu, sehingga kedudukannya sama dengan kreditur yang haknya telah ada sebelumnya. Kedua pendapat ini seharusnya dikembalikan pada perbedaan pendapat mengenai status kepemilikan penyewa atas upah: apakah merupakan kepemilikan yang tetap atau hanya bersifat sementara. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَكْرَاهُ سَنَةً وَلَمْ يَقْبِضِ الْكِرَاءَ ثُمَّ فلس المكتري كان للمكري فسخ الكراء “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia menyewakan (sesuatu) selama setahun dan belum menerima upah sewa, kemudian penyewa jatuh pailit, maka pemilik berhak membatalkan akad sewa.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ إِذَا فَلَسَ مُسْتَأْجِرُ الْأَرْضِ وَكَانَ مُسْتَأْجِرُ الدَّارِ مِثْلَهُ. فَإِذَا اسْتَأْجَرَ دَارًا سَنَةً ثُمَّ فَلَسَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْأُجْرَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أحوال:

Al-Māwardī berkata: Telah dijelaskan sebelumnya masalah ini jika penyewa tanah jatuh pailit, dan penyewa rumah pun hukumnya sama. Jika seseorang menyewa rumah selama setahun kemudian jatuh pailit, maka keadaan upah sewa tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أحدهما: أَنْ يَكُونَ أُقْبِضَ جَمِيعُهَا فَلَا خِيَارَ لِلْمُؤَاجِرِ لِاسْتِيفَاءِ حَقِّهِ كَمَا لَا خِيَارَ لِلْبَائِعِ إِذَا قَبَضَ جَمِيعَ الثَّمَنِ وَالْوَاجِبُ أَنْ يُؤَاجِرَ الدَّارَ مَا بَقِيَ مِنْ مُدَّةِ إِجَارَتِهَا فَتَكُونَ الْأُجْرَةُ مَوْقُوفَةً لِتَمْضِيَ الْمُدَّةُ سَلِيمَةً خَوْفًا مِنَ اسْتِحْقَاقِ اسْتِرْجَاعِهَا بِانْهِدَامِ الدَّارِ قَبِلَ تَقَضِّي إِجَارَتِهَا. فَإِذَا مَضَتِ الْمُدَّةُ سَلِيمَةً قُسِّمَتِ الْأُجْرَةُ حِينَئِذٍ بَيْنَ الغرماء

Pertama: seluruh upah telah diterima, maka tidak ada hak khiyar (memilih) bagi pemilik karena haknya telah terpenuhi, sebagaimana penjual juga tidak memiliki hak khiyar jika telah menerima seluruh harga barang. Yang wajib adalah pemilik tetap menyewakan rumah selama sisa masa sewanya, dan upah sewa ditahan hingga masa sewa berakhir dengan selamat, karena dikhawatirkan ada hak untuk menarik kembali upah tersebut jika rumah rusak sebelum masa sewa habis. Jika masa sewa berakhir dengan selamat, maka upah sewa saat itu dibagi di antara para kreditur.

والحالة الثَّانِيَةُ: أَنْ تَكُونَ الْأُجْرَةُ بِكَمَالِهَا بَاقِيَةً عَلَى الْمُسْتَأْجِرِ فَلِلْمُؤَاجَرِ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْإِجَارَةِ وَاسْتِرْجَاعِ الدَّارِ الْمُؤَاجَرَةِ بِجَمِيعِ الْأُجْرَةِ أَوِ الْمَقَامِ عَلَيْهَا وَمُسَاهَمَةِ الْغُرَمَاءِ بِأُجْرَتِهَا فَإِنْ أَقَامَ عَلَى الْإِجَارَةِ وَجَبَ إِجَارَةُ الدَّارِ مَا يَبْقَى مِنْ مُدَّةِ الْإِجَارَةِ وَقَسَّمَ أَجْرَتَهَا بَعْدَ مُضِيِّ الْمُدَّةِ بَيْنَ جَمِيعِ الْغُرَمَاءِ وَيَكُونُ الْمُؤَاجَرُ أُسْوَتَهُمْ فَإِنْ قِيلَ هَلَّا اخْتَصَّ الْمُؤَاجَرُ بِجَمِيعِ هَذِهِ الْأُجْرَةِ لِأَنَّهَا عَيْنُ مَالِهِ؟ قِيلَ لَيْسَتِ الْأُجْرَةُ عَيْنَ مَالِهِ وَإِنَّمَا الْمَنْفَعَةُ عَيْنُ مَالِهِ وَالْأُجْرَةُ بَدَلٌ مِنْهَا فَصَارَ بِمَثَابَةِ بَائِعِ السِّلْعَةِ إِذَا اخْتَارَ إِمْضَاءَ الْبَيْعِ فَإِذَا بِيعَتِ السِّلْعَةُ لَمْ يَخْتَصَّ الْبَائِعُ بِثَمَنِهَا بَلْ كَانَ فِيهِ أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ، لِأَنَّهُ بدن مِنْ عَيْنِ مَالِهِ كَذَلِكَ الْأُجْرَةُ

Kedua: seluruh upah sewa masih menjadi tanggungan penyewa, maka pemilik berhak memilih antara membatalkan akad sewa dan mengambil kembali rumah yang disewakan beserta seluruh upah sewa, atau tetap melanjutkan akad dan ikut berbagi dengan para kreditur atas upah sewanya. Jika ia memilih melanjutkan akad, maka wajib menyewakan rumah selama sisa masa sewa, dan upah sewanya setelah masa sewa berakhir dibagi di antara seluruh kreditur, dan pemilik menjadi setara dengan mereka. Jika ada yang bertanya, mengapa pemilik tidak berhak atas seluruh upah sewa karena itu adalah harta miliknya? Maka dijawab: upah sewa bukanlah harta miliknya secara langsung, melainkan manfaat (rumah) itulah yang menjadi harta miliknya, sedangkan upah sewa adalah pengganti dari manfaat tersebut. Maka kedudukannya seperti penjual barang, jika ia memilih melanjutkan jual beli, maka ketika barang itu dijual, penjual tidak berhak atas seluruh harganya, melainkan ia setara dengan para kreditur, karena harga tersebut adalah pengganti dari harta miliknya, demikian pula upah sewa.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ الْمُسْتَأْجِرُ قَدْ أَقْبَضَ بَعْضَ الْأُجْرَةِ وَبَقِيَ بَعْضُهَا فَلَا فَسْخَ لِلْمُؤَاجَرِ فِيمَا قَبَضَ أُجْرَتَهُ مِنَ الْمُدَّةِ وَعَلَيْهِ الْمَقَامُ إِلَى انْقِضَائِهَا وَلَهُ الْفَسْخُ فِيمَا لَمْ يَقْبِضْ أُجْرَتَهُ مِنَ الْمُدَّةِ فَإِنِ اخْتَارَ الْفَسْخَ اسْتَرْجَعَ الدَّارَ بَعْدَ انْقِضَاءِ مَا قَابَلَ الْمَقْبُوضَ مِنَ الْمُدَّةِ بِمَا بَقِيَ مِنَ الْأُجْرَةِ فَإِنِ اخْتَارَ الْإِمْضَاءَ أَقَامَ عَلَى الْإِجَارَةِ إِلَى انْقِضَاءِ مُدَّتِهَا وَضَرَبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِبَاقِي الْأُجْرَةِ وَوَجَبَ إِجَارَةُ الدَّارِ بِمَا بَقِيَ مِنَ الْمُدَّةِ لِنقسمَ الْأُجْرَة بَيْنَ غُرَمَاءَ الْمُفْلِسِ عِنْدَ انْقِضَاءِ تِلْكَ الْمُدَّةِ.

Ketiga: penyewa telah membayar sebagian upah sewa dan sisanya belum dibayar, maka pemilik tidak berhak membatalkan akad atas masa sewa yang upahnya telah diterima, dan ia harus melanjutkan akad hingga masa tersebut berakhir. Namun ia berhak membatalkan akad atas masa sewa yang upahnya belum diterima. Jika ia memilih membatalkan, maka ia mengambil kembali rumah setelah berakhirnya masa yang telah dibayar upahnya, sesuai dengan sisa upah yang belum diterima. Jika ia memilih melanjutkan akad, maka ia tetap pada akad hingga masa sewanya habis, dan menuntut sisa upah bersama para kreditur. Wajib pula menyewakan rumah selama sisa masa sewa, agar upah sewa dibagi di antara para kreditur orang yang pailit setelah masa tersebut berakhir.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَسَّمَ الْحَاكِمُ مَالَهُ بَيْنَ غُرَمَائِهِ ثَمَّ قَدِمَ آخَرُونَ رَدَّهُ عَلَيْهِمْ بِالْحِصَصِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika hakim telah membagi hartanya di antara para krediturnya, kemudian datang kreditur lain, maka harta tersebut dikembalikan dan dibagi ulang secara proporsional.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَيَنْبَغِي لِلْحَاكِمِ أَنْ لَا يُعَجِّلَ بِقَسْمِ مَالِ الْمُفْلِسِ إِلَّا بَعْدَ الْبَحْثِ عَنْ جَمِيعِ غُرَمَائِهِ وَيُشْهِرُ فِي النَّاسِ أَمْرَهُ لِيَعْلَمَ بِهِ الْغَائِبُ فَإِنَّهُ قَدْ رُبَّمَا كَانَ لَهُ غَرِيمٌ غَائِبٌ لَا يُعْلَمُ بِحَالِهِ فِي الْغَيْبَةِ فَإِذَا تَوَقَّفَ وَبَحَثَ وَلَمْ يَعْلَمْ لَهُ غَرِيمًا غَيْرَ مَنْ حَضَرَ مِنْهُمْ قَسَّمَ حِينَئِذٍ مَالَهُ بَيْنَهُمْ وَلَيْسَ لِلْحَاكِمِ أَنْ يُكَلِّفَ الْغُرَمَاءَ إِقَامَةَ الْبَيِّنَةِ أَنْ لَا غَرِيمَ لَهُ سِوَاهُمْ. فَإِنْ قِيلَ أَلَيْسَ الْحَاكِمُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُقَسِّمَ تَرِكَةَ الْمَيِّتِ بَيْنَ وَرَثَتِهِ إِلَّا أَنْ يُقِيمُوا الْبَيِّنَةَ أَنْ لَا وَارِثَ لَهُ سِوَاهُمْ فَهَلَّا كَانَ الْغُرَمَاءُ كَذَلِكَ؟ قُلْنَا: الْفَرْقُ بَيْنَ الْوَارِثِ وَالْغَرِيمِ أَنَّ الْوَارِثَ لَا يَسْتَحِقُّ جَمِيعَ التَّرِكَةِ إِلَّا أَنْ لَا يَكُونَ لِلْمَيِّتِ وَارِثٌ سِوَاهُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَحْكُمَ لَهُ بِجَمِيعِ الْمَالِ إِلَّا أَنْ يُقِيمَ الْبَيِّنَةَ بِاسْتِحْقَاقِهِ لِجَمِيعِهِ وَالْغَرِيمُ مُسْتَحِقٌّ لِجَمِيعِ دَيْنِهِ إِلَّا أَنْ تَقُومَ الْبَيِّنَةُ بِأَنَّ لَهُ غَرِيمًا سِوَاهُ فَلَمَّا لَمْ تَقُمِ الْبَيِّنَةُ جَازَ الْحُكْمُ لَهُ بِهِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُصْرَفَ بِالشَّكِّ عَنْ حَقِّهِ يُوَضِّحُ مَعْنَى الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا أَنَّ بَعْضَ الْوَرَثَةِ لَوْ عَفَا عَنْ حَقِّهِ مِنَ التَّرِكَةِ لَمْ يُرَدَّ ذَلِكَ عَلَى مَنْ سِوَاهُ مِنَ الْوَرَثَةِ، لِأَنَّهُمْ قَدِ اسْتَوْفَوْا حُقُوقَهُمْ وَلَوْ عَفَا أَحَدُ الْغُرَمَاءِ عَنْ حَقِّهِ رُدَّ ذَلِكَ عَلَى مَنْ سِوَاهُ مِنْ غُرَمَائِهِ لِأَنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا قَدِ اسْتَوْفَوْا بِتِلْكَ الْقِسْمَةِ حُقُوقَهُمْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, dan seharusnya bagi hakim untuk tidak tergesa-gesa membagi harta orang yang pailit kecuali setelah mencari seluruh para krediturnya dan mengumumkan perkaranya di tengah masyarakat agar orang yang tidak hadir pun mengetahuinya. Sebab, bisa jadi ia memiliki kreditur yang sedang tidak hadir dan tidak diketahui keadaannya saat ia tidak ada. Maka, apabila hakim telah menunggu dan mencari, namun tidak mengetahui adanya kreditur selain yang hadir, barulah ia membagi hartanya di antara mereka. Hakim tidak boleh mewajibkan para kreditur untuk menghadirkan bukti bahwa tidak ada kreditur lain selain mereka. Jika dikatakan: Bukankah hakim tidak boleh membagi warisan mayit di antara para ahli warisnya kecuali setelah mereka menghadirkan bukti bahwa tidak ada ahli waris lain selain mereka? Mengapa para kreditur tidak diperlakukan seperti itu juga? Kami katakan: Perbedaan antara ahli waris dan kreditur adalah bahwa ahli waris tidak berhak atas seluruh warisan kecuali jika tidak ada ahli waris lain selain dia, sehingga tidak boleh diputuskan seluruh harta untuknya kecuali setelah ia menghadirkan bukti atas haknya atas seluruh harta. Adapun kreditur, ia berhak atas seluruh piutangnya kecuali ada bukti bahwa ada kreditur lain selain dia. Maka, ketika tidak ada bukti, boleh diputuskan haknya atas piutangnya dan tidak boleh dialihkan dari haknya hanya karena keraguan. Penjelasan makna perbedaan antara keduanya adalah bahwa jika sebagian ahli waris memaafkan haknya dari warisan, hal itu tidak dikembalikan kepada ahli waris lainnya, karena mereka telah menerima hak mereka. Namun, jika salah satu kreditur memaafkan haknya, maka bagian itu dikembalikan kepada kreditur lainnya, karena mereka belum menerima hak mereka secara penuh melalui pembagian tersebut. Dan Allah Maha Mengetahui.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا قَسَّمَ الْحَاكِمُ مَالَ الْمُفْلِسِ بَيْنَ غُرَمَائِهِ عِنْدَ ظُهُورِ أَمْرِهِ وَاجْتِمَاعِ مَالِهِ ثُمَّ حْضَرَ لَهُ غَرِيمٌ آخَرُ قَامَتْ لَهُ الْبَيِّنَةُ بِدَيْنِهِ وَجَبَ أَنْ يُشَارِكَهُمْ فِيمَا أَخَذُوهُ وَقَالَ مَالِكٌ: لَا حَقَّ لَهُ فِيمَا مَضَى بِالْقِسْمَةِ وَيَكُونُ حَقُّهُ بَاقِيًا فِي ذِمَّةِ الْمُفْلِسِ عَلَى مَا يَحْدُثُ لَهُ مِنْ مَالٍ قَالَ، لِأَنَّ قِسْمَةَ الْحَاكِمِ مَالَ الْمُفْلِسِ حُكْمٌ مِنْهُ نَفَذَ عَنِ اجْتِهَادٍ فَلَمْ يَجُزْ نَقْضُهُ بِاجْتِهَادٍ. وَالدَّلَالَةُ عَلَى فَسَادِ هَذَا الْقَوْلِ هُوَ أَنَّ حَجْرَ الْمُفْلِسِ إنما وقع لجميع غرمائه وقسم بالله إِنَّمَا يَسْتَحِقُّ بِقَدْرِ دُيُونِهِ كَمَا أَنَّ مَالَ الْمَيِّتِ مُنْتَقِلٌ إِلَى جَمِيعِ وَرَثَتِهِ وَمَقْسُومٌ بِقَدْرِ فَرَائِضِهِمْ مِنْ تَرِكَتِهُ فَلَوْ كَانَ قَسْمُ الْحَاكِمِ مَالَ الْمَيِّتِ بَيْنَ وَرَثَتِهِ ثُمَّ حَضَرَ وَارِثٌ كَانَ غَائِبًا نَقَضَ الْقِسْمَةَ وَاسْتَأْنَفَهَا بَيْنَ جَمِيعِ الْوَرَثَةِ وَجَبَ إِذَا قَسَّمَ مَالَ الْمُفْلِسِ بَيْنَ غُرَمَائِهِ ثُمَّ حَضَرَ غَرِيمٌ كَانَ غَائِبًا أَنْ ينقص الْقِسْمَةَ وَيَسْتَأْنِفَهَا بَيْنَ جَمِيعِهِمْ لِأَنَّهُ فِي الْحَالَيْنِ بِمَنْزِلَةِ الْحَاكِمِ إِذَا أَمْضَى الْحُكْمَ بِاجْتِهَادٍ خَالَفَ فِيهِ نَصًّا كَانَ حُكْمُهُ بِالِاجْتِهَادِ مَنْقُوضًا، وَلِأَنَّ الْغُرَمَاءَ قَدِ اسْتَحَقُّوا دُيُونَهُمْ مِنْ مَالِ الْمُفْلِسِ إذا كان حيا كما استحق دُيُونَهُمْ مِنْ تَرِكَتِهِ إِذَا كَانَ مَيِّتًا فَلَمَّا كَانَ لَوْ قَسَّمَ تَرِكَةَ الْمُفْلِسِ بَعْدَ مَوْتِهِ بَيْنَ مَنْ عَلِمَ مِنْ غُرَمَائِهِ ثُمَّ حَضَرَ قسم كان غائبا نقص تِلْكَ الْقِسْمَةَ وَشَارَكَهُمُ الْغَائِبُ بِقَدْرِ دَيْنِهِ وَجَبَ إِذَا قَسَّمَ مَالَ الْحَيِّ ثُمَّ حَضَرَ غَائِبٌ أَنْ يُشَارِكَهُمْ فَلَا يَسْقُطُ بِالْقِسْمَةِ حَقُّهُ مَعَهُمْ، وَلِأَنَّ الْغُرَمَاءَ شُرَكَاءُ فِي مَالِ الْمُفْلِسِ كَالشُّرَكَاءِ فِي الرَّهْنِ ثُمَّ كَانَ الرَّهْنُ لَوْ قَسَّمَ ثَمَنَهُ مَنْ يَسْتَحِقُّهُ مِنْ مُرْتَهِنِهِ فَمَنْ حَضَرَ لَمْ يَسْقُطْ مِنْهُ حَقُّ مَنْ غَابَ وَشَارَكَهُمْ فِيهِ إِذَا حَضَرَ فَكَذَلِكَ الْغُرَمَاءُ إِذَا اقْتَسَمُوا مَالَ الْمُفْلِسِ ثُمَّ حَضَرَ غَائِبٌ وَجَبَ أَنْ يُشَارِكَهُمْ فِيهِ فَأَمَّا اسْتِدْلَالُ مَالِكٍ بِأَنَّهُ حُكْمٌ مِنَ الْحَاكِمِ نَفَذَ بِاجْتِهَادٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُنْقَضَ بِاجْتِهَادٍ. فَهُوَ أَنَّنَا نَقَضْنَاهُ بِنَصٍّ لِأَنَّ اسْتِحْقَاقَ الْغَائِبِ بِحُضُورِهِ كَالنَّصِّ وَالِاجْتِهَادُ مَنْقُوضٌ بِالنَّصِّ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْغَرِيمَ الْغَائِبَ يُشَارِكُ الْحَاضِرِينَ فِيمَا أَخَذُوهُ فَفِي كَيْفِيَّةِ رُجُوعِهِ عَلَيْهِمْ وَجْهَانِ

Apabila hakim telah membagikan harta orang yang pailit di antara para kreditornya pada saat telah jelas keadaannya dan seluruh hartanya telah terkumpul, kemudian datang seorang kreditor lain yang dapat membuktikan piutangnya, maka ia wajib untuk ikut serta bersama mereka dalam apa yang telah mereka terima. Malik berpendapat: Ia tidak memiliki hak atas bagian yang telah dibagikan sebelumnya, dan haknya tetap menjadi tanggungan si pailit atas harta yang akan diperolehnya di kemudian hari. Malik berkata, karena pembagian harta pailit oleh hakim adalah suatu keputusan yang telah dijalankan berdasarkan ijtihad, maka tidak boleh dibatalkan dengan ijtihad lain. Dalil atas rusaknya pendapat ini adalah bahwa pelarangan terhadap orang pailit itu terjadi untuk seluruh kreditornya, dan pembagian itu hanya berhak diterima sesuai kadar utangnya, sebagaimana harta warisan berpindah kepada seluruh ahli waris dan dibagi sesuai bagian mereka dari harta peninggalan. Maka, jika hakim membagikan harta warisan kepada para ahli waris yang diketahui, lalu datang ahli waris lain yang sebelumnya tidak hadir, maka pembagian itu dibatalkan dan diulang kembali di antara seluruh ahli waris. Maka, jika hakim telah membagikan harta orang pailit kepada para kreditornya, lalu datang kreditor lain yang sebelumnya tidak hadir, maka pembagian itu harus dibatalkan dan diulang kembali di antara mereka semua. Karena dalam kedua keadaan tersebut, posisi hakim jika memutuskan dengan ijtihad yang bertentangan dengan nash, maka keputusannya dengan ijtihad itu dapat dibatalkan. Dan karena para kreditor telah berhak atas piutang mereka dari harta si pailit ketika ia masih hidup, sebagaimana mereka berhak atas piutang mereka dari harta peninggalannya jika ia telah meninggal. Maka, jika harta peninggalan si pailit setelah kematiannya telah dibagikan kepada para kreditor yang diketahui, lalu datang kreditor lain yang sebelumnya tidak hadir, maka pembagian itu dibatalkan dan kreditor yang tidak hadir itu ikut serta sesuai kadar piutangnya. Maka, jika harta orang yang masih hidup telah dibagikan, lalu datang kreditor yang tidak hadir, ia wajib ikut serta bersama mereka, sehingga haknya tidak gugur karena pembagian tersebut. Dan karena para kreditor adalah sekutu dalam harta si pailit sebagaimana para sekutu dalam barang gadai, maka jika harga barang gadai telah dibagikan kepada para pemegang gadai yang berhak, maka siapa pun yang hadir tidak menggugurkan hak yang tidak hadir, dan ia ikut serta bersama mereka jika ia hadir. Demikian pula para kreditor, jika mereka telah membagi harta si pailit lalu datang kreditor yang tidak hadir, maka ia wajib ikut serta bersama mereka. Adapun istidlal Malik bahwa itu adalah keputusan hakim yang telah dijalankan berdasarkan ijtihad, maka tidak boleh dibatalkan dengan ijtihad lain, maka kami membatalkannya dengan nash, karena hak kreditor yang tidak hadir dengan kehadirannya itu seperti nash, dan ijtihad dapat dibatalkan dengan nash. Maka, jika telah tetap bahwa kreditor yang tidak hadir ikut serta bersama yang hadir dalam apa yang telah mereka terima, maka dalam tata cara pengembaliannya kepada mereka terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقِسْمَةَ الْأُولَى تُنْقَضُ ثُمَّ يَسْتَأْنِفُهَا الْحَاكِمُ بَعْدَ دُخُولِ الْغَائِبِ فِيهِمْ، لِأَنَّ الْقِسْمَةَ الْأُولَى لَمَّا تَقَدَّمَتْ قَبْلَ وَقْتِهَا بَطَلَتْ،

Salah satunya: Pembagian pertama dibatalkan, kemudian hakim mengulang pembagian setelah kreditor yang tidak hadir itu masuk bersama mereka, karena pembagian pertama dilakukan sebelum waktunya sehingga menjadi batal.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ ظَاهِرُ مَنْصُوصِهِ – أَنَّ الْقِسْمَةَ الْأُولَى مُقَرَّةٌ عَلَى حَالِهَا، وَيَرْجِعُ هَذَا الْغَائِبُ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِقِسْطِ دَيْنِهِ وَلَا تَبْطُلُ الْقِسْمَةُ فِيمَا سِوَاهُ. مِثَالُهُ: أَنْ تَكُونَ دُيُونُ الْغُرَمَاءِ الْحَاضِرِينَ خَمْسَةَ آلَافٍ وَدَيْنُ هَذَا الْغَائِبِ أَلْفًا فَتَصِيرَ جَمِيعُ الدُّيُونِ سِتَّةَ آلَافٍ. فَيَكُونَ لِهَذَا الْغَائِبِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْحَاضِرِينَ بِسُدْسِ مَا فِي يَدِهِ لِأَنَّهُ بِقِسْطِ دَيْنِهِ وَيَبْقَى فِي يَدِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ خَمْسَةُ أَسْدَاسِ مَا قَبَضَهُ مِلْكًا لَهُ بِالْقِسْمَةِ الْأُولَى فَإِنَّمَا لَمْ تَبْطُلْ جَمِيعُ الْقِسْمَةِ لِأَنَّ مَا سِوَى حَقِّ الْغَائِبِ مَوْضُوعٌ فِي حَقِّهِ فَلَمْ يَكُنْ لِفَسْخِ الْقِسْمَةِ وَاسْتِئْنَافِهَا مِنْ بَعْدُ وَجْهٌ.

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat yang jelas dari nashnya, adalah bahwa pembagian pertama tetap berlaku sebagaimana adanya, dan kreditor yang tidak hadir itu menuntut kepada masing-masing dari mereka sesuai bagian utangnya, dan pembagian tidak batal untuk selain itu. Contohnya: Jika utang para kreditor yang hadir adalah lima ribu dan utang kreditor yang tidak hadir ini seribu, maka seluruh utang menjadi enam ribu. Maka kreditor yang tidak hadir ini dapat menuntut kepada masing-masing dari yang hadir seperenam dari apa yang ada di tangannya, karena itu adalah bagian dari utangnya, dan yang tersisa di tangan masing-masing dari mereka adalah lima perenam dari apa yang telah diterimanya sebagai miliknya berdasarkan pembagian pertama. Maka, tidak dibatalkannya seluruh pembagian itu karena selain hak kreditor yang tidak hadir telah ditempatkan pada haknya, sehingga tidak ada alasan untuk membatalkan dan mengulang pembagian setelahnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

إِذَا قَسَّمَ الْحَاكِمُ مَالَ الْمُفْلِسِ بَيْنَ غُرَمَائِهِ ثُمَّ وَجَدَ لَهُ بَعْدَ فَكِّ الْحَجْرِ عَنْهُ مَالًا كَانَ أَخْفَاهُ، فَجَمِيعُ تَصَرُّفِهِ فِيهِ بَعْدَ فَكِّ الْحَجْرِ عَنْهُ بَاطِلٌ مَرْدُودٌ، لِأَنَّ الْحَجْرَ لَمْ يَنْفَكْ عَنْ هَذَا الْمَالِ ثُمَّ يَسْتَأْنِفُ الْحَاكِمُ قَسْمَهُ بَيْنَ الْغُرَمَاءِ فِيمَا بَقِيَ مِنْ دُيُونِهِمْ وَلَا يَتَعَرَّضُ لِنَقْضِ الْقِسْمَةِ الْأُولَى لَا يَخْتَلِفُ فَلَوْ ظَهَرَ لِلْمُفْلِسِ بَعْدَ فَكِّ الْحَجْرِ عَنْهُ مَالٌ مُتَقَدِّمٌ وَاسْتَفَادَ مَالًا حَادِثًا وَظَهَرَ لَهُ غَرِيمٌ غَائِبٌ وَحَدَثَ لَهُ غَرِيمٌ مُسْتَحْدَثٌ فَالْمَالُ الْمُتَقَدِّمُ لَا حَقَّ فِيهِ لِمَنْ حَدَثَ مِنَ الْغُرَمَاءِ وَيَكُونُ بَيْنَ الْأَوَّلِينَ وَالْغَائِبِ فَإِنْ كَانَ بِقِسْطِ دَيْنِ الْغَائِبِ فَإِذَا قِيلَ إِنَّ الْقِسْمَةَ الْأُولَى قَبْلَ حُضُورِ الْغَائِبِ تَكُونُ بَاطِلَةً ضَمَّ الْحَاكِمُ مَا وَجَدَ مِنَ الْمَالِ الَّذِي كَانَ مُتَقَدِّمًا إِلَى مَا بِأَيْدِي الْغُرَمَاءِ بِالْقِسْمَةِ ثُمَّ اسْتَأْنَفَهَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْغَائِبِ وَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْقِسْمَةَ الْأُولَى لَا تَبْطُلُ دَفَعَ هَذَا الْمَوْجُودَ إِلَى الْغَرِيمِ الْغَائِبِ فَإِنْ كَانَ بِقَدْرِ مَا يَسْتَحِقُّهُ مِنْ قِسْطِ دَيْنِهِ مِنْهُ أُقِرَّتِ الْقِسْمَةُ الْأُولَى عَلَى حَالِهَا وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ دفع إليه قسطه منه وَرَدَّ فَاضِلَهُ عَلَى الْأَوَّلِينَ وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ أَخَذَهُ كُلَّهُ ثُمَّ اسْتَرَدَّ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِقَدْرِ مَا بَقِيَ مِنْ قِسْطِ دَيْنَهُ ثُمَّ يَسْتَأْنِفُ الْحَاكِمُ قِسْمَةَ الْمَالِ الَّذِي اسْتُحْدِثَ مِلْكُهُ بَعْدَ فَكِّ الْحَجْرِ عَنْهُ بَيْنَ جَمِيعِ الْغُرَمَاءِ الْمُتَقَدِّمِينَ وَالْمُسْتَحْدَثِينَ. (وَاللَّهُ أَعْلَمُ) .

Apabila hakim telah membagikan harta orang yang pailit di antara para krediturnya, kemudian setelah pencabutan status pencekalan darinya ditemukan harta yang sebelumnya disembunyikannya, maka seluruh tindakan yang dilakukannya terhadap harta tersebut setelah pencabutan pencekalan adalah batal dan ditolak, karena pencekalan belum terangkat dari harta ini. Selanjutnya, hakim memulai kembali pembagian harta tersebut di antara para kreditur sesuai sisa utang mereka, tanpa mengganggu pembagian pertama, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Jika setelah pencabutan pencekalan, ternyata orang yang pailit memiliki harta lama dan memperoleh harta baru, serta muncul kreditur lama yang sebelumnya tidak hadir dan kreditur baru, maka harta lama tidak menjadi hak bagi kreditur baru, melainkan dibagi antara kreditur lama dan kreditur yang baru hadir. Jika bagian kreditur yang baru hadir sesuai dengan porsi utangnya, maka jika dikatakan bahwa pembagian pertama sebelum kehadiran kreditur yang absen itu batal, hakim menggabungkan harta lama yang ditemukan dengan harta yang ada di tangan para kreditur dari hasil pembagian, lalu membaginya kembali di antara mereka dan kreditur yang baru hadir. Namun jika dikatakan bahwa pembagian pertama tidak batal, maka harta yang ditemukan itu diberikan kepada kreditur yang baru hadir. Jika jumlahnya sesuai dengan haknya dari porsi utangnya, maka pembagian pertama tetap seperti semula. Jika lebih, diberikan porsi haknya dan sisanya dikembalikan kepada kreditur lama. Jika kurang, ia mengambil seluruhnya, lalu diambil kembali dari masing-masing kreditur lama sesuai sisa porsi utangnya. Setelah itu, hakim memulai kembali pembagian harta yang diperoleh setelah pencabutan pencekalan di antara seluruh kreditur, baik yang lama maupun yang baru. (Wallāhu a‘lam).

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا أَرَادَ الْحَاكِمُ بَيْعَ مَتَاعِهِ أَوْ رَهْنَهُ أَحْضَرَهُ أَوْ وَكِيلَهُ لِيُحْصِي ثَمَنَ ذَلِكَ فَيَدْفَعَ منه حق الرهن مِنْ سَاعَتِهِ ” قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَإِنَّمَا يَخْتَارُ الْحَاكِمُ إِحْضَارَ الْمُفْلِسِ بَيْعَ مَتَاعِهِ لِمَعَانٍ:

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika hakim ingin menjual atau menggadaikan barang milik orang yang pailit, ia menghadirkan orang tersebut atau wakilnya untuk menghitung harga barang itu, lalu dari hasilnya dibayarkan hak gadai seketika itu juga.” Al-Mawardi berkata: Hal ini benar. Hakim memilih untuk menghadirkan orang yang pailit saat penjualan barangnya karena beberapa alasan:

أحدهما: أَنَّهُ أَعْرَفُ بِأَثْمَانِهَا فَلَا يَلْحَقُهُ غَبْنٌ.

Pertama: Karena ia lebih mengetahui harga barang-barangnya sehingga tidak terjadi kerugian (ghabn) padanya.

وَالثَّانِي: لِتَوَلِّي الْعَقْدَ بِنَفْسِهِ مِنْ غَيْرِ إِجْبَارٍ فَيَكُونَ الْمُشْتَرِي فِيهِ أَرْغَبَ وَنَفْسُ الْبَائِعِ بِهِ أَطْيَبَ.

Kedua: Agar ia sendiri yang melakukan akad tanpa paksaan, sehingga pembeli lebih berminat dan penjual pun lebih rela.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَعْلَمَ قَدْرَ مَا حَصَلَ مِنْ أَثْمَانِهَا وَمَا يَبْقَى مِنْ دَيْنِهِ بَعْدَهَا فَإِنْ تَعَذَّرَ حُضُورُ الْمُفْلِسِ أَحْضَرَ الْحَاكِمُ وَكِيلَهُ لِيَقُومَ فِي الْخُصُومَةِ مَقَامَهُ حَتَّى تَنْتَفِيَ التُّهْمَةُ عَنِ الْحَاكِمِ فِي شَيْءٍ مِنْهُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَكِيلٌ وَكَّلَ لَهُ الْحَاكِمُ وَكِيلًا يَنُوبُ عَنْهُ قَالَ أَصْحَابُنَا: وَيَخْتَارُ الْحَاكِمُ إِحْضَارَ الْغُرَمَاءِ أَيْضًا عِنْدَ الْبَيْعِ لِأَمْرَيْنِ:

Ketiga: Agar ia mengetahui berapa hasil penjualan barang-barangnya dan berapa sisa utangnya setelah itu. Jika kehadiran orang yang pailit tidak memungkinkan, hakim menghadirkan wakilnya untuk mewakilinya dalam perselisihan, sehingga tidak ada kecurigaan terhadap hakim dalam hal apapun. Jika ia tidak memiliki wakil, maka hakim menunjuk seorang wakil untuk mewakilinya. Para ulama kami berkata: Hakim juga disunnahkan menghadirkan para kreditur saat penjualan karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ رُبَّمَا رَغِبَ بَعْضُهُمْ فِي شَيْءٍ مِنَ الْمَبِيعِ فَأَخَذَهُ بِثَمَنٍ مَوْفُورٍ.

Pertama: Bisa jadi salah satu dari mereka berminat terhadap barang yang dijual dan membelinya dengan harga yang tinggi.

وَالثَّانِي: أَنْ يَعْلَمُوا قَدْرَ الْأَثْمَانِ الْحَاصِلَةِ لَهُمْ وَمَا يَخُصُّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ فَإِنْ أَمَرَ الْحَاكِمُ بِبَيْعِ الْمَتَاعِ مِنْ غَيْرِ حُضُورِ الْمُفْلِسِ وَغُرَمَائِهِ صَحَّ الْبَيْعُ لِأَنَّ حُضُورَهُمُ اسْتِحْبَابٌ فَلَمْ يَفْسُدْ بِغَيْبَتِهِمُ الْعَقْدُ كَاسْتِئْذَانِ الْأَبِ الْبِكْرَ.

Kedua: Agar mereka mengetahui jumlah hasil penjualan yang menjadi hak mereka dan bagian masing-masing. Jika hakim memerintahkan penjualan barang tanpa kehadiran orang yang pailit dan para krediturnya, maka penjualan tetap sah, karena kehadiran mereka hanya bersifat anjuran, sehingga akad tidak batal karena ketidakhadiran mereka, sebagaimana izin ayah terhadap pernikahan gadis perawan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

ثُمَّ إِنَّ أَوَّلَ مَا يَنْبَغِي لِلْحَاكِمِ أَنْ يَبْتَدِئَ بِبَيْعِهِ مِنْ مَالِ الْمُفْلِسِ الرَّهْنُ لِأَمْرَيْنِ:

Kemudian, hal pertama yang sebaiknya dilakukan hakim dalam menjual harta orang yang pailit adalah menjual barang yang digadaikan, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: تَعَلُّقُ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بِعَيْنِهِ.

Pertama: Karena hak penerima gadai terkait langsung dengan barang tersebut.

وَالثَّانِي: أَنْ يَعْلَمَ مَا فَضَلَ مِنْهُ فَيُرَدَّ عَلَى غُرَمَائِهِ وَكَذَا الْعَبْدُ الْجَانِي يُقَدَّمُ بَيْعُهُ كَالرَّهْنِ لِمَا ذَكَرْنَا فَإِذَا بِيعَ الرَّهْنُ فَإِنْ كَانَ ثَمَنُهُ بِقَدْرِ دَيْنِ الْمُرْتَهِنِ أَخَذَهُ بِدَيْنِهِ وَإِنْ كَانَ ثَمَنُهُ أَكْثَرَ مِنْ دَيْنِهِ أُخِذَ مِنْهُ قَدْرُ دَيْنِهِ وَيَرُدُّ بَاقِيَهُ عَلَى الْغُرَمَاءِ وَإِنْ كَانَ ثَمَنُهُ أَقَلَّ مِنْ دَيْنِهِ أَخَذَهُ كُلَّهُ وَضَرَبَ بِبَاقِي دَيْنِهِ مَعَ الْغُرَمَاءِ فَأَمَّا الْعَبْدُ الْجَانِي فَإِنْ فَضَلَ مِنْ ثَمَنِهِ شَيْءٌ رُدَّ عَلَى الْغُرَمَاءِ وَإِنْ عَجَزَ فَلَا شيء للمجني عليه سَوَاءٌ.

Kedua: hendaknya diketahui sisa dari (harga barang yang dijual), lalu dikembalikan kepada para krediturnya. Demikian pula budak yang melakukan pelanggaran, penjualan dirinya didahulukan seperti halnya barang gadai, sebagaimana telah kami sebutkan. Apabila barang gadai dijual, jika harganya sebesar utang pihak yang menerima gadai, maka ia mengambilnya untuk melunasi utangnya. Jika harganya lebih besar dari utangnya, maka diambil sebesar utangnya dan sisanya dikembalikan kepada para kreditur. Jika harganya lebih kecil dari utangnya, maka ia mengambil seluruhnya dan sisa utangnya digabungkan bersama para kreditur lainnya. Adapun budak yang melakukan pelanggaran, jika ada sisa dari hasil penjualannya, maka dikembalikan kepada para kreditur. Namun jika tidak mencukupi, maka tidak ada hak apa pun bagi pihak yang dirugikan, baik sedikit maupun banyak.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَيَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ لِغُرَمَاءِ الْمُفْلِسِ ارْتَضُوا بِمَنْ يَكُونُ عَلَى يَدَيْهِ الثَّمَنُ وَبِمَنْ يُنَادِي عَلَى متاعه فيمن يزيد ولا يقبل الزيادة إلا من ثِقَةٍ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Seyogianya dikatakan kepada para kreditur orang yang pailit: ‘Ridhailah siapa yang akan memegang uang hasil penjualan dan siapa yang akan mengumumkan barang-barangnya kepada para penawar, dan jangan menerima penawaran kecuali dari orang yang tepercaya.'”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الرَّهْنُ وَالْعَبْدُ الْجَانِي إِذَا بِيعَا عَلَى الْمُفْلِسِ لَمْ يَجُزْ حَبْسُ ثَمَنِهِمَا وَعُجِّلَ لِلْمُرْتَهِنِ حَقُّهُ مِنْ ثَمَنِ الرَّهْنِ وللمجني عليه أرشه من ثمن العبد الْجَانِي وَأَمَّا سَائِرُ أَمْوَالِ الْمُفْلِسِ إِذَا بِيعَتْ فلا يخلو أن يكون غريمه واحد أَوْ جَمَاعَةً. فَإِنْ كَانَ وَاحِدًا لَمْ يَحْبِسْ عَنْهُ ثَمَنَ مَا بِيعَ، لِأَنَّهُ لَا مُشَارَكَةَ لَهُ فِيهِ وَإِنْ كَانُوا جَمَاعَةً وَجَبَ أَنْ يَحْبِسَ أَثْمَانَ الْمَبِيعَاتِ حَتَّى تَتَكَامَلَ جَمِيعُهَا وَلَا يُعَجِّلُ بِقَسْمِ مَا حَصَلَ مِنْ أَثْمَانِ بَعْضِهَا لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Adapun barang gadai dan budak yang melakukan pelanggaran, jika keduanya dijual atas orang yang pailit, maka tidak boleh menahan hasil penjualannya, dan hak pihak yang menerima gadai segera diberikan dari hasil penjualan barang gadai, serta hak ganti rugi pihak yang dirugikan dari hasil penjualan budak yang melakukan pelanggaran. Adapun harta orang yang pailit lainnya, jika dijual, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: krediturnya satu orang atau lebih dari satu. Jika hanya satu orang, maka hasil penjualan tidak boleh ditahan darinya, karena tidak ada pihak lain yang berhak atasnya. Namun jika krediturnya lebih dari satu, maka wajib menahan hasil penjualan seluruh barang sampai semuanya terkumpul, dan tidak boleh segera membagi hasil penjualan sebagian barang karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَعْلَمَ قَدْرَ جَمِيعِهَا عَلَى دَيْنِهِ وَقَبْلَ تَكَامُلِهَا يَشق عَلَيْهِ.

Pertama: agar diketahui jumlah keseluruhan hasil penjualan dibandingkan dengan utangnya, dan sebelum semuanya terkumpul akan menyulitkan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ رُبَّمَا تَأَخَّرَ غَرِيمٌ لَهُ لَا يُعْلَمُ بِهِ فَيَحْضُرُ عِنْدَ عِلْمِهِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَيَنْبَغِي لِلْحَاكِمِ أَنْ يَضَعَهَا عَلَى يَدِ عَدْلٍ وَلَا يَضَعَهَا عِنْدَ نَفْسِهِ لِمَا فِيهِ مِنَ الْبِذْلَةِ ولحقوق التهمةوَيَنْبَغِي لِلْحَاكِمِ أَنْ يَبِيعَ مَتَاعَهُ فِيمَنْ يُزِيدُ فَإِنْ كَانَ أَشْهَرَ لِحَالِهِ وَأَقَرَّ لِثَمَنِهِ وَأَبْعَدَ مِنَ التُّهْمَةِ فَيَحْتَاجُ حِينَئِذٍ إِلَى مُنَادٍ ثِقَةٍ يُنَادِي عَلَى الْمَتَاعِ فِيمَنْ يُزِيدُ وَإِلَى عَدْلٍ يَجْمَعُ الْمَالَ عِنْدَهُ إِلَى حِينِ تَكَامُلِهِ فَيَقُولُ لِلْمُفْلِسِ وَالْغُرَمَاءِ اخْتَارُوا مُنَادِيًا يُنَادِي عَلَى مَتَاعِهِ وَعَدْلًا يَكُونُ الْمَالُ مَوْضُوعًا عَلَى يَدَيْهِ فَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى اخْتِيَارِ رَجُلٍ بِعَيْنِهِ نَظَرَ الْحَاكِمُ فِي عَدَالَتِهِ وَأَمَانَتِهِ فَإِنْ كَانَ أَمِينًا أَمْضَى اخْتِيَارَهُمْ لَهُ وَأَقَرَّ ذَلِكَ عَلَى يَدَيْهِ. وَإِنْ كَانَ غَيْرَ أَمِينٍ لَمْ يُمْضِ اخْتِيَارَهُمْ وَأَمَرَهُمْ بِاخْتِيَارِ غَيْرِهِ مِنَ الْأُمَنَاءِ الثِّقَاتِ. فَإِنْ قِيلَ أَلَيْسَ لَوِ اخْتَارَ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ أَنْ يَضَعَ الرَّهْنَ عَلَى يَدِ غَيْرِ أَمِينٍ لَمْ يَكُنْ لِلْحَاكِمِ عَلَيْهِمُ اعْتِرَاضٌ فَهَلَّا إِذَا اخْتَارَ الْمُفْلِسُ وَالْغُرَمَاءُ وَضْعَ الْمَالِ عَلَى يَدِ غَيْرِ أَمِينٍ أَنْ لَا يَكُونُ لِلْحَاكِمِ عَلَيْهِمُ اعْتِرَاضٌ؟ قُلْنَا: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Kedua: bisa jadi ada kreditur yang terlambat diketahui keberadaannya, lalu ia hadir setelah diketahui. Jika demikian, maka sebaiknya hakim meletakkan hasil penjualan pada tangan orang yang adil, dan tidak meletakkannya pada dirinya sendiri karena mengandung unsur pengorbanan dan potensi tuduhan. Hakim juga sebaiknya menjual barang-barangnya kepada siapa saja yang menawar lebih tinggi. Jika itu lebih dikenal dan lebih menguntungkan serta lebih jauh dari tuduhan, maka saat itu dibutuhkan seorang juru lelang yang tepercaya untuk mengumumkan barang-barang kepada para penawar, dan seorang yang adil untuk mengumpulkan uang hasil penjualan sampai semuanya terkumpul. Maka dikatakan kepada orang yang pailit dan para kreditur: “Pilihlah juru lelang yang akan mengumumkan barang-barangnya dan orang adil yang akan memegang uangnya.” Jika mereka sepakat memilih seseorang, maka hakim meneliti keadilan dan amanahnya. Jika ia amanah, maka hakim menetapkan pilihan mereka dan menyerahkan uang itu kepadanya. Jika ia tidak amanah, maka hakim tidak menetapkan pilihan mereka dan memerintahkan mereka memilih orang lain dari kalangan orang-orang yang amanah dan tepercaya. Jika dikatakan: Bukankah jika pihak yang menggadaikan dan pihak yang menerima gadai sepakat meletakkan barang gadai pada tangan orang yang tidak amanah, hakim tidak berhak mengintervensi mereka? Lalu mengapa jika orang yang pailit dan para kreditur sepakat meletakkan uang pada tangan orang yang tidak amanah, hakim tetap berhak mengintervensi mereka? Kami katakan: Perbedaannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ لِلْحَاكِمِ نَظَرٌ فِي الرَّهْنِ عَلَى الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ لَمْ يَكُنْ لَهُ اعْتِرَاضٌ عَلَيْهِمْ فِي الِاخْتِيَارِ وَلَمَّا كَانَ لِلْحَاكِمِ نَظَرٌ فِي مَالِ الْمُفْلِسِ اعْتَرَضَ عَلَيْهِمْ فِي الِاخْتِيَارِ.

Pertama: karena hakim tidak memiliki wewenang dalam urusan barang gadai antara pihak yang menggadaikan dan pihak yang menerima gadai, maka ia tidak berhak mengintervensi pilihan mereka. Namun karena hakim memiliki wewenang dalam harta orang yang pailit, maka ia berhak mengintervensi pilihan mereka.

وَالثَّانِي: أَنْ حَقَّ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ لَا يَتَجَاوَزُهُمَا فَلَمْ يَجُزْ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَعْتَرِضَ عَلَيْهِمَا فِي الِاخْتِيَارِ وَحَقُّ الْمُفْلِسِ وَالْغُرَمَاءِ قَدْ رُبَّمَا تَجَاوَزَهُمْ إِلَى غَرِيمٍ غَائِبٍ فَجَازَ لَحِقُهُ أَنْ يَعْتَرِضَ عَلَيْهِمْ فِي الِاخْتِيَارِ، وَأَمَّا إِنِ اخْتَلَفَ الْمُفْلِسُ وَالْغُرَمَاءُ فِي الِاخْتِيَارِ فَاخْتَارَ الْمُفْلِسُ رَجُلًا وَاخْتَارَ الْغُرَمَاءُ غيره فإن للحاكم أن يَنْظُر فِي الرَّجُلَيْنِ فَإِنْ وَجَدَ أَحَدَهُمَا أَمِينًا عَدْلًا وَالْآخَرَ غَيْرَ أَمِينٍ كَانَ الْأَمِينُ أَوْلَى وَأَقَرَّهُ الْحَاكِمُ عَلَى الِاخْتِيَارِ فَإِنْ كَانَا أَمِينَيْنِ مَعًا نَظَرَ: فَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا مُتَطَوِّعًا وَالْآخَرُ مُسْتَجْعِلًا كَانَ الْمُتَطَوِّعُ أَوْلَى وَإِنْ كَانَا مُتَطَوِّعَيْنِ أَوْ مُسْتَجْعِلَيْنِ فَإِنْ أَمْكَنَ أَنْ يَضُمَّ أَحَدَهُمَا إِلَى الْآخَرِ فَعَلَ فَإِنَّهُ أَوْلَى لِمَا فِيهِ مِنَ الِاخْتِلَاطِ وَإِقْرَارِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى الِاخْتِيَارِ وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ ضَمُّ أَحَدِهِمَا إِلَى الْآخَرِ اخْتَارَ الْحَاكِمُ أَوْثَقَهُمَا عِنْدَهُ وَأَعْدَلَهُمَا فِي نَفْسِهِ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَا يَقْبَلُ إِلَّا ثِقَةً. وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: وَلَا يَقْبَلُ إِلَّا مِنْ ثِقَةٍ. وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْكَلَامَيْنِ تَأْوِيلٌ فَمَعْنَى قَوْلِهِ: وَلَا يَقْبَلُ إِلَّا ثِقَةً: يُرِيدُ أَنَّ الْمُفْلِسَ وَالْغُرَمَاءَ إِذَا اتَّفَقُوا عَلَى اخْتِيَارِ رَجُلٍ لَمْ يَقْبَلِ الْحَاكِمُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ ثِقَةً. وَمَعْنَى قَوْلِهِ: وَلَا يَقْبَلُ إِلَّا مِنْ ثِقَةٍ: يَعْنِي بِهِ: الْمُتَوَلِّي لِبَيْعِ الْمَتَاعِ لَا يَقْبَلُ الزِّيَادَةَ مِمَّنْ يُزِيدُ فِي الثَّمَنِ عِنْدَ الْمُزَايَدَةِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ ثِقَةً لَا يَرْجِعُ عَنْ زِيَادَتِهِ لِمَا فِي رُجُوعِهِ مِنَ الْفَسَادِ (والله أعلم) .

Kedua: Hak pihak yang menggadaikan (rāhin) dan penerima gadai (murtahin) tidak melampaui mereka berdua, sehingga tidak boleh bagi hakim untuk mencampuri pilihan mereka. Adapun hak orang yang pailit (muflis) dan para kreditur (ghuramā’) terkadang melampaui mereka hingga kepada kreditur yang sedang tidak hadir, sehingga boleh bagi yang memiliki hak untuk mengajukan keberatan terhadap pilihan mereka. Jika terjadi perselisihan antara orang yang pailit dan para kreditur dalam memilih (pengelola), lalu orang yang pailit memilih seseorang dan para kreditur memilih orang lain, maka hakim boleh meneliti kedua orang tersebut. Jika ia mendapati salah satunya adalah orang yang terpercaya dan adil, sedangkan yang lain tidak terpercaya, maka yang terpercaya lebih berhak dan hakim menetapkannya atas dasar pilihan tersebut. Jika keduanya sama-sama terpercaya, maka dilihat lagi: jika salah satunya sukarela (tanpa upah) dan yang lain meminta upah, maka yang sukarela lebih berhak. Jika keduanya sama-sama sukarela atau sama-sama meminta upah, dan memungkinkan untuk menggabungkan keduanya, maka hakim melakukannya, karena hal itu lebih utama sebab adanya unsur saling mengawasi dan pengakuan masing-masing atas pilihan tersebut. Jika tidak memungkinkan untuk menggabungkan keduanya, maka hakim memilih yang paling dapat dipercaya dan paling adil menurut penilaiannya. Imam Syafi‘i berkata: “Tidak diterima kecuali yang terpercaya.” Dan di tempat lain beliau berkata: “Tidak diterima kecuali dari orang yang terpercaya.” Kedua pernyataan ini memiliki penafsiran: maksud dari ucapannya “tidak diterima kecuali yang terpercaya” adalah jika orang yang pailit dan para kreditur sepakat memilih seseorang, maka hakim tidak menerima kecuali orang itu memang terpercaya. Sedangkan maksud dari ucapannya “tidak diterima kecuali dari orang yang terpercaya” adalah bahwa pengelola penjualan barang tidak menerima penawaran harga dari siapa pun yang menambah harga dalam lelang kecuali dari orang yang terpercaya, yang tidak akan menarik kembali tambahannya, karena penarikan kembali itu menimbulkan kerusakan (kerugian). (Wallāhu a‘lam).

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وأحب أن يرزق من ولي هَذَا مِنْ بَيْتِ الْمَالِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ وَلَمْ يَعْمَلْ إِلَّا بِجُعْلٍ شَارَكُوهُ فَإِنْ لَمْ يَتَّفِقُوا اجْتَهَدَ لَهُمْ وَلَمْ يُعْطَ شَيْئًا وَهُوَ يَجِدُ ثِقَةً يَعْمَلُ بِغَيْرِ جُعْلٍ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Aku lebih suka jika orang yang mengelola urusan ini diberi nafkah dari Baitul Mal. Jika tidak ada (dana) dan ia hanya bekerja dengan imbalan tertentu, maka para kreditur ikut menanggungnya. Jika mereka tidak sepakat, maka ia berijtihad untuk mereka dan tidak diberi apa-apa, selama ia mendapatkan orang yang terpercaya yang mau bekerja tanpa imbalan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ – وَجُمْلَتُهُ أَنَّهُ مَتَى وَجَدَ الْحَاكِمُ مَنْ يَتَطَوَّعُ بِبَيْعِ الْمَتَاعِ وَحِفْظِ الثَّمَنِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْطِيَ أَحَدًا جُعْلًا عَلَيْهِ لَا مِنْ بَيْتِ الْمَالِ، لِأَنَّ مَا فِيهِ مَصْرُوفٌ في الْمَصَالِحِ وَلَا مِنْ مَالِ الْمُفْلِسِ لِأَنَّهُ مَوْقُوفٌ عَلَى الْغُرَمَاءِ إِلَّا مِنْ ضَرُورَةٍ وَإِنْ لَمْ يُجْدِ الْحَاكِمُ مُتَطَوِّعًا جَازَ أَنْ يُعْطِيَهُ جُعْلًا فَإِنْ رَأَى مِنَ الْأَصْلَحِ أَنْ يُشَارِطَهُ عَلَيْهِ فَعَلَ وَإِنْ رَأَى أَنْ لَا يُشَارِطَهُ لِيُعْطِيَهُ أُجْرَةَ مِثْلِهِ فَعَلَ وَكَانَتِ الْأُجْرَةُ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ إِنْ كَانَ فِيهِ مَالٌ لِمَا فِي ذَلِكَ الْمَصْلَحَةُ الْعَامَّةُ وَيَكُونُ مِنْ خُمْسِ الْخُمْسِ سَهْمِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْمُرْصَدِ لِمَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ وَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: وَلَا يَجُوزُ مِمَّا سِوَى ذَلِكَ مِنَ الْأَمْوَالِ. فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي بَيْتِ الْمَالِ مَالٌ أَوْ كَانَ فَلَمْ يَسْمَحْ بِهِ الْإِمَامُ إِمَّا لِعُذْرٍ أَوْ غَيْرِ عُذْرٍ دَفَعَ الْحَاكِمُ الْأُجْرَةَ مِنْ مَالِ الْمُفْلِسِ دُونَ الْغُرَمَاءِ، لِأَنَّ الْعَمَلَ فِي مَالِهِ كَمَا يَدْفَعُ أُجْرَةَ الْوَالِي عَلَى مال اليتيم من ماله.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Kesimpulannya, kapan pun hakim menemukan seseorang yang bersedia secara sukarela menjual barang dan menjaga uang hasil penjualan, maka tidak boleh memberinya imbalan, baik dari Baitul Mal—karena dana di dalamnya dialokasikan untuk kemaslahatan umum—maupun dari harta orang yang pailit—karena harta itu diperuntukkan bagi para kreditur—kecuali dalam keadaan darurat. Jika hakim tidak menemukan sukarelawan, maka boleh memberinya imbalan. Jika menurut pertimbangan yang lebih maslahat, hakim membuat kesepakatan imbalan dengannya, maka boleh dilakukan. Jika menurut pertimbangan lebih baik tidak membuat kesepakatan agar dapat memberinya upah sesuai standar, maka boleh juga. Upah itu diambil dari Baitul Mal jika di sana ada dana, karena hal itu merupakan kemaslahatan umum, dan diambil dari seperlima khumus bagian Rasulullah SAW yang dialokasikan untuk kemaslahatan umum kaum muslimin. Apakah boleh diambil dari empat perlima bagian fai’? Ada dua pendapat. Tidak boleh diambil dari selain itu dari harta-harta lain. Jika di Baitul Mal tidak ada dana, atau ada tetapi tidak diizinkan oleh imam, baik karena ada uzur atau tanpa uzur, maka hakim membayar upah dari harta orang yang pailit, bukan dari harta para kreditur, karena pekerjaan itu berkaitan dengan hartanya, sebagaimana upah wali anak yatim diambil dari harta anak yatim itu sendiri.

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَيُبَاعُ فِي مَوْضِعِ سُوقِهِ وَمَا فِيهِ صَلَاحُ ثَمَنِ الْمَبِيعِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Barang dijual di tempat pasar barang itu berada dan di tempat yang lebih baik bagi harga barang yang dijual.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ يَنْبَغِي لِلْحَاكِمِ أَنْ يَبِيعَ كُلَّ نَوْعٍ مِنَ الْمَتَاعِ فِي سُوقِهِ فيبيع البز في البزازين، ويبيع الْعِطْر فِي الْعَطَّارِينَ، وَيَبِيعُ الرَّقِيقَ فِي النَّخَّاسِينَ لِأَنَّ أَهْلَ سُوقِهِ فِيهِ أَرْغَبُ، وَلِأَنَّ الْمُشْتَرِيَ هُنَاكَ أَكْثَرُ، وَلِأَنَّهُ مِنَ التُّهْمَةِ أَبْعَدُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْمَتَاعُ كَثِيرًا يَلْزَمُ فِي نَقْلِهِ مؤونة فيرى الحاكم من الأصلح أنه لا يحمله إِلَى سُوقِهِ وَيَسْتَدْعِي أَهْلَ السُّوقِ إِلَيْهِ فَلَهُ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ بِحَسَبِ الْحَالِ الْمُشَاهَدَةِ وَالصَّلَاحِ الظاهر.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan, sebaiknya hakim menjual setiap jenis barang di pasar yang sesuai; maka kain dijual di pasar para penjual kain, parfum dijual di pasar para penjual parfum, dan budak dijual di pasar para penjual budak, karena para pelaku pasar tersebut lebih berminat, pembelinya di sana lebih banyak, dan hal itu lebih jauh dari tuduhan (kecurangan), kecuali jika barangnya sangat banyak sehingga memindahkannya ke pasar tersebut memerlukan biaya besar, maka hakim dapat memandang yang lebih maslahat adalah tidak membawanya ke pasar itu dan memanggil para pelaku pasar ke tempatnya. Maka ia boleh melakukan hal itu sesuai dengan kondisi nyata dan kemaslahatan yang tampak.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَدْفَعُ إِلَى مَنِ اشْتَرَى شَيْئًا حَتَى يَقْبِضَ الثَّمَنَ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dan tidak boleh diserahkan kepada orang yang membeli sesuatu hingga ia menerima pembayaran.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا فِي كِتَابِ الْبُيُوعِ أَنَّ مَنْ بَاعَ سِلْعَةً لَمْ يَلْزَمْهُ تَسْلِيمُهَا إِلَى الْمُشْتَرِي مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُ بَذْلُ الثَّمَنِ. فَإِنْ بَذَلَ الْمُشْتَرِي الثَّمَنَ وَقَالَ: لَا أَدْفَعُ حَتَّى أَقْبِضَ الْمَبِيعَ فِيهِ أَرْبَعَةُ أَقَاوِيلَ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan dalam Kitab al-Buyu‘ bahwa siapa yang menjual suatu barang, tidak wajib baginya menyerahkan barang itu kepada pembeli selama belum tampak dari pembeli penyerahan harga. Jika pembeli telah menyerahkan harga dan berkata, “Saya tidak akan menyerahkan (harga) hingga saya menerima barang yang dibeli,” maka dalam hal ini ada empat pendapat:

أَحَدُهَا: أنَّ الْحَاكِمَ يَأْمُرُهُمَا بِإِحْضَارِ الثَّمَنِ وَالْمُثَمَّنِ إِلَى مَجْلِسِهِ لِيَدْفَعَ كُلَّ وَاحِدٌ مِنْهُمَا بَعْدَ حُصُولِهِمْ إِلَى مُسْتَحِقِّهِ.

Pertama: Hakim memerintahkan keduanya untuk menghadirkan harga dan barang ke majelisnya, agar masing-masing dapat menyerahkan kepada yang berhak setelah keduanya hadir.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أنَّ الْحَاكِمَ يَنْصِبُ لَهُمَا عَدْلًا يَفْعَلُ ذَلِكَ.

Pendapat kedua: Hakim menunjuk seorang yang adil untuk melakukan hal itu.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أنَّ الْحَاكِمَ يَدَعُهُمَا وَلَا يُخَيَّرُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا لَكِنْ يَمْنَعُهُمَا مِنَ الْمُخَاصَمَةِ.

Pendapat ketiga: Hakim membiarkan keduanya dan tidak memberikan pilihan kepada salah satu dari mereka, namun mencegah mereka dari saling berselisih.

وَالْقَوْلُ الرَّابِعُ: أنَّهُ يُخَيِّرُ الْبَائِعَ أَوَّلًا ثُمَّ الْمُشْتَرِي بَعْدَهُ. فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا فَالْجَوَابُ فِي مَتَاعِ الْمُفْلِسِ إِذَا بِيعَ عَلَيْهِ أَنَّهُ مَتَى لَمْ يَظْهَرْ مِنَ الْمُشْتَرِي بَذْلٌ لَمْ يَجُزْ لِلْعَدْلِ تَسْلِيمُ الْمَبِيعِ إِلَيْهِ وَإِنْ ظَهَرَ مِنَ الْمُشْتَرِي بَذْلُ الثَّمَنِ وَقَالَ: لَا أَدْفَعُهُ حَتَّى أَقْبِضَ الثَّمَنَ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ الْبَغْدَادِيُّونَ مِنْهُمْ يُخْرِجُونَ ذَلِكَ عَلَى الْأَقَاوِيلِ كَالْمَبِيعِ إِذَا كَانَ عَلَى غَيْرِ مُفْلِسٍ لَكِنْ لَا يَجِيءُ هَاهُنَا إِلَّا ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

Pendapat keempat: Hakim memberikan pilihan kepada penjual terlebih dahulu, kemudian kepada pembeli setelahnya. Jika hal ini telah dijelaskan, maka jawaban dalam masalah barang milik orang yang pailit apabila dijual atasnya, adalah: selama belum tampak dari pembeli penyerahan harga, tidak boleh bagi orang yang adil menyerahkan barang yang dijual kepadanya. Jika telah tampak dari pembeli penyerahan harga dan ia berkata, “Saya tidak akan menyerahkannya hingga saya menerima harga,” maka para sahabat kami berbeda pendapat. Kaum Baghdadi dari mereka mengeluarkan masalah ini berdasarkan pendapat-pendapat seperti pada barang yang dijual bukan milik orang pailit, namun di sini hanya ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ يَأْمُرُهُمَا بِإِحْضَارِ ذَلِكَ إِلَى مَجْلِسِهِ.

Pertama: Hakim memerintahkan keduanya untuk menghadirkan hal itu ke majelisnya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَنْصِبَ لَهُمَا عَدْلًا غَيْرَ الْعَدْلِ الَّذِي يَتَوَلَّى مَالَ الْمُفْلِسِ.

Kedua: Hakim menunjuk seorang yang adil selain orang adil yang mengurus harta orang pailit.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ يُجْبِرُ بَائِعَ مَالِ الْمُفْلِسِ عَلَى التَّسْلِيمِ ثُمَّ الْمُشْتَرِي عَلَى الدَّفْعِ لِلثَّمَنِ.

Ketiga: Hakim memaksa penjual harta orang pailit untuk menyerahkan barang terlebih dahulu, kemudian memaksa pembeli untuk menyerahkan harga.

فَأَمَّا الْقَوْلُ الرَّابِعُ: أنَّ الحاكم يدعهما معا فلا يجئ هَاهُنَا قَالُوا وَمَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ: إنَّهُ لَا يدفع إلى من اشترى شيئا حتى يقبض الثَّمَنَ. يَعْنِي: حَتَّى يَظْهَرَ لَهُ بَذْلُ الثَّمَنِ. قَالُوا، لِأَنَّ الْحَاكِمَ وَإِنْ لَزِمَهُ الِاحْتِيَاطُ لِلْمُفْلِسِ فَلَيْسَ لَهُ إِجْبَارُ الْمُشْتَرِي عَلَى مَا لَا يَجُوزُ إِجْبَارُهُ عَلَيْهِ. وَقَالَ الْبَصْرِيُّونَ مِنْهُمْ: بَلْ لَا يَجُوزُ لِبَائِعِ مَالِ الْمُفْلِسِ أَنْ يَدْفَعَ الْمَبِيعَ إِلَّا بَعْدَ قَبْضِ الثَّمَنِ قَوْلًا وَاحِدًا بِخِلَافِ مَنْ لَيْسَ بِمُفْلِسٍ لِأَمْرَيْنِ:

Adapun pendapat keempat, yaitu hakim membiarkan keduanya, maka tidak berlaku di sini. Mereka berkata, makna perkataan Imam Syafi‘i: “Tidak boleh diserahkan kepada orang yang membeli sesuatu hingga ia menerima pembayaran,” maksudnya: hingga tampak dari pembeli penyerahan harga. Mereka berkata, karena meskipun hakim wajib berhati-hati untuk kepentingan orang pailit, namun ia tidak boleh memaksa pembeli melakukan sesuatu yang tidak boleh dipaksakan atasnya. Dan kaum Basrah dari mereka berkata: Bahkan tidak boleh bagi penjual harta orang pailit untuk menyerahkan barang yang dijual kecuali setelah menerima harga, menurut satu pendapat saja, berbeda dengan barang yang bukan milik orang pailit, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَالَ الْمُفْلِسِ يَلْزَمُهُ فِيهِ مِنَ الِاخْتِلَاطِ مَا لَا يَلْزَمُ فِي غَيْرِهِ وَالْمُشْتَرِي مَالُهُ دَاخِلٌ عَلَى بَصِيرَةٍ.

Pertama: Bahwa harta orang pailit mengandung unsur percampuran yang tidak terdapat pada selainnya, dan pembeli masuk dalam transaksi dengan penuh kesadaran.

وَالثَّانِي: أَنَّ بَيْعَ مَالِ الْمُفْلِسِ بِحُكْمِهِ فَالْمُشْتَرِي يَأْمَنُ فِي تَعْجِيلِ الثَّمَنِ بِحُكْمِ الْحَاكِمِ بِهِ مَا لَا يَأْمَنُ فِي غَيْرِهِ فَكَانَ مَا يَتَخَوَّفُهُ مَعَ غَيْرِ الْمُفْلِسِ مَأْمُونًا في ابتياع مال المفلس.

Kedua: Bahwa penjualan harta orang pailit dilakukan berdasarkan keputusan hakim, sehingga pembeli merasa aman untuk segera membayar harga berdasarkan keputusan hakim, yang tidak ia rasakan pada selainnya. Maka apa yang dikhawatirkan pada selain orang pailit menjadi aman dalam pembelian harta orang pailit.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَا ضَاعَ مِنَ الثَّمَنِ فَمِنْ مَالِ الْمُفْلِسِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dan apa yang hilang dari harga, maka diambil dari harta orang pailit.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. إِذَا وَضَعَ ثَمَنَ الْمَبِيعِ عَلَى يَدِ عَدْلٍ فَضَاعَ مِنْ يَدِهِ كَانَ مِنْ مَالِ الْمُفْلِسِ دُونَ غُرَمَائِهِ لِأَنَّهُ مَالِكُ الْمُبْدَلِ فَهَلَاكُ بَدَلِهِ مِنْ مَالِهِ كَالْوَكِيلِ. وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مَعَ أَبِي حَنِيفَةَ فِي كِتَابِ الرَّهْنِ بِمَا يغني عن الإعادة.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang telah dikatakan. Jika harga barang yang dijual diletakkan di tangan seorang yang adil lalu hilang dari tangannya, maka itu menjadi tanggungan harta orang yang pailit, bukan para krediturnya, karena ia adalah pemilik barang pengganti, sehingga kerusakan penggantinya menjadi tanggungannya, seperti halnya seorang wakil. Dan pembahasan mengenai masalah ini bersama Abu Hanifah telah dijelaskan dalam Kitab Ar-Rahn, sehingga tidak perlu diulangi lagi.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَبْدَأُ فِي الْبَيْعِ بِالْحَيَوَانِ وَيَتَأَنَّى بِالْمَسَاكِنِ بِقَدْرِ مَا يَرَى أَهْلُ الْبَصَرِ بِهَا أَنَّهَا قَدْ بلغت أثمانها “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dalam penjualan, dimulai dari hewan dan bersikap hati-hati dalam menjual tempat tinggal, sesuai dengan penilaian para ahli bahwa tempat tinggal itu telah mencapai harga yang layak.”

وَهَذَا صَحِيحٌ. يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ أَوَّلُ مَا يَبْدَأُ بِبَيْعِهِ مِنْ مَالِ الْمُفْلِسِ مَا كَانَ تَرْكُهُ أَخْوَفَ فَأَوَّلُ مَا يُقَدِّمُ بَيْعَهُ الْحَيَوَانُ، لِأَمْرَيْنِ:

Dan ini benar. Hendaknya yang pertama kali dijual dari harta orang yang pailit adalah apa yang paling dikhawatirkan jika ditinggalkan. Maka yang pertama didahulukan penjualannya adalah hewan, karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا نَفْسٌ يُخَافُ تَلَفُهَا.

Pertama: karena hewan adalah makhluk hidup yang dikhawatirkan akan binasa.

وَالثَّانِي: ما يحتاج إليه من مؤونة عَلَفٍ فِيهَا وَكَذَلِكَ كَرِهَ أَهْلُ الِاحْتِيَاطِ اقْتِنَاءَ الحيوان وقالوا: مؤونة ضِرْسٍ وَضَمَانُ نَفْسٍ. فَلِهَذَيْنِ أَوَّلُ مَا قُدِّمَ بِيعُ الْحَيَوَانِ فِي مَالِ الْمُفْلِسِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي مَالِهِ طَعَامٌ رَطْبٌ فَيُقَدِّمُ بَيْعَهُ عَلَى بَيْعِ الْحَيَوَانِ لِمَا يُعَجَّلُ إِلَيْهِ مِنَ الْفَسَادِ ثُمَّ يَبِيعُ الْحَيَوَانَ بَعْدَهُ ثُمَّ يَبِيعُ بَعْدَ الْحَيَوَانِ مَا كَانَ مَنْقُولًا مِنَ الْعُرُوضِ وَالْأَمْتِعَةِ وَيُقَدِّمُهَا عَلَى مَا لَا يُنْقَلُ مِنَ الدُّورِ وَالْعَقَارِ، لِأَنَّ الْمَنْقُولَ مُعَرَّضٌ لِلسَّرِقَةِ وَيَبْدَأُ فِي بَيْعِ الْمَنْقُولِ بِمَا يَخَافُ عَلَيْهِ الْفَسَادَ كَالثِّيَابِ وَيُقَدِّمُهَا فِي الْبَيْعِ عَلَى النُّحَاسِ وَالصُّفْرِ ثُمَّ يَتَأَنَّى فِي بَيْعِ الْعَقَارِ وَالْأَرْضِينَ حَتَّى يَظْهَرَ أَمْرُهَا وَيَتَأَهَّبَ الْمُشْتَرِي لَهَا وَيُقَدِّمُ بَيْعَ الْعَقَارِ عَلَى بَيْعِ الْأَرْضِينَ، وَلِأَنَّ الْعَقَارَ قَدْ يُخَافُ عَلَيْهِ مِنْ هَدْمٍ أَوْ حَرِيقٍ وَلَا يُبَاعُ الْعَقَارُ وَالْمَسَاكِنُ وَالْأَرْضُونَ إِلَّا أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهَا قَدْ بَلَغَتْ أَثْمَانَهَا وَكَذَلِكَ سَائِرُ أَمْوَالِهِ المبيعة عليه. والله أعلم.

Kedua: karena hewan membutuhkan biaya untuk pakan. Oleh karena itu, para ahli kehati-hatian tidak menyukai memelihara hewan dan mereka berkata: “Biaya untuk gigi dan jaminan atas nyawa.” Karena dua alasan inilah, penjualan hewan didahulukan dalam harta orang yang pailit, kecuali jika dalam hartanya terdapat makanan basah, maka penjualan makanan tersebut didahulukan atas penjualan hewan karena makanan tersebut cepat rusak. Setelah itu, baru dijual hewan, kemudian setelah hewan dijual barang-barang bergerak dan perabotan, dan itu didahulukan atas barang-barang yang tidak bergerak seperti rumah dan tanah, karena barang bergerak lebih rawan pencurian. Dalam penjualan barang bergerak, didahulukan yang dikhawatirkan cepat rusak seperti pakaian, dan itu didahulukan atas tembaga dan kuningan. Kemudian bersikap hati-hati dalam penjualan properti dan tanah sampai jelas keadaannya dan pembeli telah siap membelinya. Penjualan properti didahulukan atas penjualan tanah, karena properti dikhawatirkan rusak akibat roboh atau terbakar. Properti, rumah, dan tanah tidak dijual kecuali telah diketahui bahwa harganya telah mencapai nilai yang layak, demikian pula seluruh harta lainnya yang dijual. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ وَجَدَ الْإِمَامُ ثِقَةً يُسْلِفُهُ الْمَالَ حَالًّا لَمْ يَجْعَلْهُ أَمَانَةً “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika imam (hakim) menemukan orang tepercaya yang mau memberikan pinjaman tunai, maka tidak boleh menjadikannya sebagai titipan (amanah).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّ مَالَ الْمُفْلِسِ يَلْزَمُ الِاحْتِيَاطَ فِي حِفْظِهِ فَإِذَا وَجَدَ الْحَاكِمُ أَمِينًا يَأْخُذُ ثَمَنَ مَا بيع من ماله مَضْمُونًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَوْدِعَهُ إِيَّاهُ مُؤْتَمَنًا، لِأَنَّ مَا أَخَذَهُ قَرْضًا وَهُوَ مَضْمُونٌ بِالْغُرْمِ إِنْ تَلِفَ. وَمَا أَخَذَهُ وَدِيعَةً فَهُوَ مِنْ مَالِ الْمُفْلِسِ إِنْ تَلِفَ فَكَانَ الْقَرْضُ أَحْفَظُ لَهُ مِنَ التَّرْكِ إِلَّا أَنْ لَا يَجِدَ ثِقَةً مَلِيئًا فَتَرْكُهُ أَوْلَى فَإِنْ قِيلَ قَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ إِنْ وَجَدَ مَنْ يُسْلِفُهُ الْمَالَ حالا وهو لا يجيز القرض مؤجل فَلَمْ يَكُنْ لِهَذَا الشَّرْطِ تَأْثِيرٌ أَلَا تَرَى أن جواز القرض مؤجلا؟ قِيلَ قَدْ كَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَتَعَلَّقُ بِهَذِهِ اللَّفْظَةِ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ وَيُجِيزُ الْقَرْضَ مُؤَجَّلًا، وَيَجْعَلُهُ لِلشَّافِعِيِّ مَذْهَبًا، وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِلَى تَخْطِئَةِ هَذَا الْقَوْلِ وَفَسَادِ مَذْهَبِهِ لِأَنَّ نُصُوصَ الشَّافِعِيِّ تُبْطِلُهُ وَأُصُولَ مَذْهَبِهِ تَدْفَعُهُ، لِأَنَّ مِنْ أَصْلِ مَذْهَبِهِ أَنَّ الْأَجَلَ لَا يُلْزِمُ إِلَّا فِي عَقْدٍ لَازِمٍ وَلَيْسَ الْقَرْضُ بِلَازِمٍ وَتَأَوَّلُوا قَوْلَ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ: إِنْ وَجَدَ مَنْ يُسْلِفُهُ الْمَالَ حَالًّا أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ الْحَاكِمَ إِذَا رَأَى قَوْلَ مَالِكٍ فِي جَوَازِ الْقَرْضِ الْمُؤَجَّلِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَقْرِضَ مَالَ الْمُفْلِسِ إِلَى أَجَلٍ وَجَعَلَهُ قَرْضًا حَالًّا حَتَّى لَا يُدْخِلَهُ الْأَجَلُ عَلَى مَذْهَبِ أَحَدٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, karena harta orang yang pailit harus dijaga dengan penuh kehati-hatian. Jika hakim menemukan orang yang tepercaya yang mau menerima harga barang yang dijual dari hartanya dengan jaminan, maka tidak boleh menitipkannya sebagai amanah, karena apa yang diambilnya sebagai pinjaman adalah tanggungan jika rusak, sedangkan apa yang diambilnya sebagai titipan, jika rusak, maka itu tetap menjadi harta orang yang pailit. Maka pinjaman lebih menjaga harta tersebut daripada membiarkannya, kecuali jika tidak menemukan orang tepercaya yang mampu, maka membiarkannya lebih utama. Jika dikatakan: Syafi‘i telah berkata, “Jika menemukan orang yang mau memberikan pinjaman tunai,” padahal ia tidak membolehkan pinjaman dengan tempo, maka syarat ini tidak berpengaruh. Bukankah engkau melihat bahwa pinjaman dengan tempo itu boleh? Dijawab: Sebagian sahabat kami memang berpegang pada lafaz ini dari perkataan Syafi‘i dan membolehkan pinjaman dengan tempo, serta menjadikannya sebagai mazhab Syafi‘i. Namun mayoritas sahabat kami menganggap pendapat ini keliru dan mazhabnya rusak, karena nash-nash Syafi‘i membatalkannya dan prinsip-prinsip mazhabnya menolaknya, sebab dalam prinsip mazhabnya, tempo (ajal) tidak mengikat kecuali dalam akad yang mengikat, sedangkan pinjaman bukan akad yang mengikat. Mereka menafsirkan perkataan Syafi‘i rahimahullāh: “Jika menemukan orang yang mau memberikan pinjaman tunai,” maksudnya adalah hakim, jika ia mengikuti pendapat Malik tentang bolehnya pinjaman dengan tempo, maka tidak boleh meminjamkan harta orang yang pailit dengan tempo, tetapi harus menjadikannya pinjaman tunai, agar tempo tidak masuk dalam mazhab siapa pun. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَنْبَغِي إِذَا رُفِعَ إِلَيْهِ أَنْ يَشْهَدَ أَنَّهُ وَقَفَ مَالَهُ عَنْهُ فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ لَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ يَبِيعَ وَلَا يَهِبَ وَمَا فَعَلَ مِنْ هَذَا فَفِيهِ قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ مَوْقُوفٌ فَإِنْ فَضُلَ جَازَ فِيهِ مَا فَعَلَ والآخر أن ذلك باطل (قال المزني) قُلْتُ أَنَا قَدْ قَطَعَ فِي المكاتب إن كاتبه بعد الوقف فأدى لم يعتق بحال “.

Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Dan seharusnya apabila perkara itu diajukan kepadanya, ia bersaksi bahwa ia telah menahan hartanya darinya. Jika ia telah melakukan hal itu, maka tidak boleh baginya untuk menjual atau menghadiahkan (hartanya). Apa pun yang ia lakukan dari hal tersebut, terdapat dua pendapat: salah satunya bahwa itu dihentikan (tidak sah), maka jika ternyata ada kelebihan, maka apa yang ia lakukan menjadi sah; dan pendapat lain bahwa hal itu batal.” (Al-Muzani berkata:) “Aku berkata: Beliau telah memutuskan dalam masalah mukātab, bahwa jika seseorang memerdekakan budaknya setelah hartanya diwakafkan lalu budak itu melunasi (pembayaran), maka ia tidak merdeka dalam keadaan apa pun.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا فِي أَوَّلِ الْكِتَابِ مَا يَسْتَحِقُّ بِهِ حَجْرُ الْفَلَسِ فَإِذَا أَرَادَ الْحَاكِمُ أَنْ يَحْجُرَ عَلَى رَجُلٍ بِالْفَلَسِ فَلَا بُدَّ مِنْ أَنْ يَقُولَ الْحَاكِمُ قَوْلًا يَقَعُ بِهِ الْحُكْمُ وَاخْتَلَفَ الْأَصْحَابُ فِي اللَّفْظِ الَّذِي يَقَعُ بِهِ الْحَجْرُ فَقَالَ الْبَغْدَادِيُّونَ: هُوَ أَنْ يَقُولَ الْحَاكِمَ: قَدْ وَقَفْتُ مَالَكَ وَمَنَعْتُكَ مِنَ التَّصَرُّفِ فِيهِ، لِأَنَّ هَذَا هُوَ الْمَقْصُودُ بِالْحَجْرِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ ثُبُوتُهُ بِهِ. وَقَالَ الْبَصْرِيُّونَ: هُوَ أَنْ يَقُولَ لَهُ الْحَاكِمُ: قَدْ حَجَرْتُ عَلَيْكَ بِالْفَلَسِ. وَقَالُوا لِأَنَّ الْحَجْرَ قَدْ يَتَنَوَّعُ وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُ حُكْمٌ فَلَمْ يَكُنْ بُدٌّ مِنَ التَّصْرِيحِ بِهِ لِيَمْتَازَ عَنْ غَيْرِهِ، لِأَنَّ وَقْفَ الْمَالِ وَالْمَنْعَ مِنَ التَّصَرُّفِ إِنَّمَا هُوَ مِنْ أَحْكَامِ الْحَجْرِ فَلَمْ يَقَعْ بِهِ الْحَجْرُ فَإِذَا تَلَفَّظَ الْحَاكِمُ بِمَا يَقَعُ بِهِ الْحَجْرُ عَلَى حَسَبِ مَا ذَكَرْنَا مِنَ اخْتِلَافِ الْمَذْهَبَيْنِ أَشْهَرَ الْحَاكِمُ عَلَى نَفْسِهِ بِالْحَجْرِ عَلَيْهِ. وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلِ الْإِشْهَادُ شَرْطٌ فِي تَمَامِ الْحَجْرِ فَقَالَ الْبَغْدَادِيُّونَ: الْإِشْهَادُ لَيْسَ بِشَرْطٍ فِي ثُبُوتِ الْحَجْرِ، لِأَنَّ نُفُوذَ الْحُكْمِ لَا يَقِفُ عَلَى الْإِشْهَادِ فِيهِ فَإِنْ حَجَرَ عَلَيْهِ قَوْلًا وَلَمْ يُشْهِدْ صَحَّ. وَقَالَ الْبَصْرِيُّونَ: شَرْطُ ثُبُوتِ الْحَجْرِ الْإِشْهَادُ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِهَذَا الْحَجْرِ الشُّهْرَةُ وَإِظْهَارُ الْأَمْرِ فِيهِ وَلَا يَكُونُ مُشْتَهِرًا إِلَّا بِالشَّهَادَةِ وَجَرَى مَجْرَى اللَّعَّانِ الَّذِي يُقْصَدُ بِهِ الشُّهْرَةُ.

Al-Mawardi berkata: “Kami telah sebutkan di awal kitab ini tentang hal-hal yang menyebabkan seseorang dikenai ḥajr karena pailit. Apabila hakim ingin menetapkan ḥajr atas seseorang karena pailit, maka haruslah hakim mengucapkan suatu lafaz yang dengannya hukum tersebut berlaku. Para sahabat berbeda pendapat tentang lafaz yang menyebabkan ḥajr itu berlaku. Golongan Baghdadiyyun berpendapat: Hakim harus mengatakan, ‘Aku telah menahan hartamu dan melarangmu untuk bertindak atasnya,’ karena inilah maksud dari ḥajr, sehingga penetapannya harus dengan lafaz tersebut. Sedangkan golongan Basriyyun berpendapat: Hakim harus mengatakan kepadanya, ‘Aku telah menetapkan ḥajr atasmu karena pailit.’ Mereka berkata, karena ḥajr itu bermacam-macam dan masing-masing memiliki hukum tersendiri, maka haruslah dijelaskan secara tegas agar berbeda dari yang lain, sebab penahanan harta dan pelarangan bertindak hanyalah bagian dari hukum-hukum ḥajr, sehingga ḥajr tidak terjadi hanya dengan itu. Maka apabila hakim mengucapkan lafaz yang menyebabkan terjadinya ḥajr sesuai dengan perbedaan dua mazhab yang telah kami sebutkan, hakim kemudian mengumumkan kepada masyarakat bahwa ia telah menetapkan ḥajr atas orang tersebut. Para sahabat kami juga berbeda pendapat, apakah penyaksian (ishhād) merupakan syarat dalam kesempurnaan ḥajr. Golongan Baghdadiyyun berpendapat: Penyaksian bukanlah syarat dalam penetapan ḥajr, karena berlakunya hukum tidak bergantung pada penyaksian. Jika hakim menetapkan ḥajr hanya dengan ucapan tanpa menghadirkan saksi, maka itu sah. Sedangkan golongan Basriyyun berpendapat: Syarat sahnya penetapan ḥajr adalah adanya penyaksian, karena tujuan dari ḥajr ini adalah agar perkara tersebut menjadi masyhur dan diketahui, dan hal itu tidak akan menjadi masyhur kecuali dengan adanya kesaksian, sebagaimana halnya li‘ān yang juga bertujuan untuk kemasyhuran.”

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا وَقَعَ الْحَجْرُ عَلَيْهِ بِمَا ذَكَرْنَا فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِيهِ هَلْ يَجْرِي مَجْرَى حَجْرِ السَّفِيهِ أَوْ مَجْرَى حَجْرِ الْمَرَضِ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Apabila ḥajr telah ditetapkan atasnya sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka terdapat perbedaan pendapat dari Imam al-Syafi‘i tentang apakah ḥajr ini dipersamakan dengan ḥajr atas orang safīh (boros) ataukah seperti ḥajr karena sakit (menjelang wafat), terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى حَجْرِ السَّفِيهِ. لِأَمْرَيْنِ:

Salah satunya: Bahwa ḥajr ini dipersamakan dengan ḥajr atas orang safīh, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَقْصُودَ بِهِ الْمَنْعُ مِنْ تَبْذِيرِ الْمَالِ لِيَكُونَ مُوَفَّرًا كَالسَّفِيهِ الَّذِي يُقْصَدُ بِالْحَجْرِ عَلَيْهِ حِفْظُ الْمَالَ مِنَ التَّبْذِيرِ لِيَكُونَ مَوْفُورًا.

Pertama: Tujuan dari ḥajr ini adalah melarang pemborosan harta agar tetap terjaga, sebagaimana orang safīh yang dikenai ḥajr dengan tujuan menjaga harta dari pemborosan agar tetap utuh.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ حَجْرٌ لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِاجْتِهَادٍ وَحُكْمٍ فَشَابَهَ حَجْرَ السَّفِيهِ الَّذِي لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِاجْتِهَادٍ وَحُكْمٍ.

Kedua: Bahwa ḥajr ini tidak dapat ditetapkan kecuali dengan ijtihad dan keputusan hakim, sehingga menyerupai ḥajr atas orang safīh yang juga tidak dapat ditetapkan kecuali dengan ijtihad dan keputusan hakim.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أنَّ هَذَا الْحَجْرَ يَجْرِي مَجْرَى حَجْرِ الْمَرَضِ الْوَاقِعِ لِأَجْلِ الْوَرَثَةِ.

Pendapat kedua: Bahwa ḥajr ini dipersamakan dengan ḥajr karena sakit yang ditetapkan demi kepentingan para ahli waris.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فَعُقُودُ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ بِالْفَلَسِ وَتَصَرُّفُهُ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Setelah penjelasan tentang dua pendapat tersebut, maka akad-akad dan tindakan orang yang dikenai ḥajr karena pailit terbagi menjadi dua jenis:

أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا يَكُونَ مُتَعَلِّقًا بِعَيْنِ مَالِهِ الَّذِي وَقَعَ الْحَجْرُ عَلَيْهِ مِثْلَ أَنْ يَشْتَرِيَ سِلْعَةً فِي ذِمَّتِهِ أَوْ يَبِيعَ سَلَمًا مَضْمُونًا فِي ذِمَّتِهِ أَوْ يَضْمَنَ ضَمَانًا يَتَعَلَّقُ بِذِمَّتِهِ، فَكُلُّ هَذَا وَمَا شَاكَلَهُ مِمَّا يَتَعَلَّقُ بِذِمَّتِهِ وَلَا يَتَعَلَّقُ بِمَالِهِ الَّذِي فِي يَدِهِ نَافِذٌ مَاضٍ لَا اعْتِرَاضَ لِلْغُرَمَاءِ فِيهِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّ الْحَجْرَ عَلَيْهِ يَجْرِي مَجْرَى حَجْرِ السَّفَهِ أَوْ مَجْرَى حَجْرِ الْمَرَضِ، لِأَنَّ الْحَجْرَ عَلَيْهِ اخْتُصَّ بِمَالِهِ دُونَ ذِمَّتِهِ فَلَوِ ابْتَاعَ فِي حَالِ الْحَجْرِ سِلْعَةً بِثَمَنٍ فِي ذِمَّتِهِ فَأَرَادَ الْبَائِعُ لَهَا أَنْ يَرْجِعَ بِهَا لِفَلَسِهِ فإن كان البائع عَالِمًا بِفَلَسِهِ وَقْتَ الْبَيْعِ لَمْ يَكُنْ لَهُ اسْتِرْجَاعُهَا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَالِمًا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Salah satu di antaranya: bahwa transaksi tersebut tidak berkaitan langsung dengan harta bendanya yang sedang dikenai hajr (pembatasan), seperti membeli barang dengan utang (di dalam tanggungan), atau menjual akad salam yang dijamin dalam tanggungannya, atau menanggung suatu jaminan yang berkaitan dengan tanggungannya. Maka semua hal tersebut dan yang semisalnya, yang berkaitan dengan tanggungannya dan tidak berkaitan dengan harta yang ada di tangannya, hukumnya sah dan berlaku, para kreditur tidak berhak mengajukan keberatan menurut kedua pendapat, baik dikatakan bahwa hajr atasnya berlaku seperti hajr karena safih (ketidakcakapan) atau seperti hajr karena sakit, karena hajr atasnya khusus pada hartanya, bukan pada tanggungannya. Maka jika ia membeli barang pada saat sedang dikenai hajr dengan harga yang menjadi tanggungannya, lalu penjual ingin mengambil kembali barang tersebut karena pembeli dalam keadaan pailit, jika penjual mengetahui kepailitannya saat akad jual beli, maka ia tidak berhak mengambil kembali barang tersebut. Namun jika ia tidak mengetahui, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهُ اسْتِرْجَاعُهَا لِأَنَّ عَقْدَهُ قَبْلَ الْحَجْرِ أَقْوَى مِنْهُ بَعْدَهُ فَلَمَّا جَازَ اسْتِرْجَاعُ مَا ابْتَاعَهُ قَبْلَ الْحَجْرِ فَأَوْلَى أَنْ يَجُوزَ اسْتِرْجَاعُ مَا ابْتَاعَهُ بَعْدَ الْحَجْرِ.

Salah satunya: Penjual berhak mengambil kembali barang tersebut, karena akad yang terjadi sebelum hajr lebih kuat daripada setelahnya. Maka jika diperbolehkan mengambil kembali barang yang dibeli sebelum hajr, maka lebih utama lagi diperbolehkan mengambil kembali barang yang dibeli setelah hajr.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا حَقَّ لَهُ فِي اسْتِرْجَاعِ ذَلِكَ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ يَقْدِرُ عَلَى اسْتِعْلَامِ حَالِهِ قَبْلَ الْعَقْدِ فَصَارَ فِي حُكْمِ الْعَالمِ بِهِ وَلَا يَكُونُ تَقْصِيرُهُ فِي ذَلِكَ عُذْرًا وَالْوَجْهُ الْأَوَّلُ أَصَحُّ عِنْدِي، لِأَنَّ الْفَسْخَ بِالْفَلَسِ يَجْرِي مَجْرَى الْفَسْخِ بِالْعَيْبِ وَالرَّدُّ بِالْعَيْبِ يَجُوزُ وَإِنْ أَمْكَنَ أَنْ يَسْتَعْلِمَ قَبْلَ الْعَقْدِ فَكَذَلِكَ الْفَسْخُ بِالْفَلَسِ وَجَمِيعُ مَا مَلَكَهُ فِي حَالِ الْحَجْرِ بِابْتِيَاعٍ أَوِ اصْطِيَادٍ أَوْ قَبُولِ هِبَةٍ أَوْ وَصِيَّةٍ يَصِيرُ دَاخِلًا تَحْتَ الْحَجْرِ كَأَنَّهُ كَانَ مَوْجُودًا وَقْتَ الْحَجْرِ فَيَكُونُ تَصَرُّفُهُ فِيهِ كَتَصَرُّفِهِ فِي غَيْرِهِ مِنْ أَمْوَالِهِ الْمُتَقَدِّمَةِ فَهَذَا حُكْمُ عُقُودِهِ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِذِمَّتِهِ وَلَا يَتَعَلَّقُ بِمَا فِي يَدِهِ.

Pendapat kedua: Penjual tidak berhak mengambil kembali barang tersebut, karena ia sebenarnya mampu mencari tahu keadaan pembeli sebelum akad, sehingga ia dianggap seperti orang yang mengetahui keadaannya, dan kelalaiannya dalam hal itu tidak menjadi alasan. Namun pendapat pertama lebih kuat menurut saya, karena pembatalan akad karena pailit itu serupa dengan pembatalan akad karena cacat, dan pengembalian barang karena cacat diperbolehkan meskipun memungkinkan untuk mencari tahu sebelum akad, maka demikian pula pembatalan karena pailit. Segala sesuatu yang dimiliki oleh orang yang dikenai hajr pada saat hajr berlangsung, baik melalui pembelian, perburuan, penerimaan hibah, atau wasiat, maka semuanya masuk ke dalam lingkup hajr, seakan-akan sudah ada ketika hajr diberlakukan. Maka perlakuannya terhadap harta tersebut sama dengan perlakuannya terhadap harta-harta lainnya yang telah ada sebelumnya. Inilah hukum akad-akadnya yang berkaitan dengan tanggungannya dan tidak berkaitan dengan harta yang ada di tangannya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ تَصَرُّفُهُ وَعُقُودُهُ مُتَعَلِّقًا بِمَا فِي يَدِهِ. مِثْلَ أَنْ يَبِيعَ مِنْ مَالِهِ مَتَاعًا أَوْ يَهَبَ مَالًا أَوْ يُكَاتِبَ عَبْدًا أَوْ يُحْدِثَ عِتْقًا لَهُ فَقَدْ خَالَفَ مَا يَقْتَضِيهِ الْحَجْرُ مِنَ الْمَنْعِ مِنَ التَّصَرُّفِ وَفِي عُقُودِهِ قَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي مَعْنَى الْحَجْرِ.

Jenis kedua adalah apabila tindakan dan akad-akadnya berkaitan dengan harta yang ada di tangannya, seperti menjual barang miliknya, memberikan hartanya sebagai hibah, melakukan mukatabah terhadap budaknya, atau memerdekakan budaknya. Maka ia telah menyelisihi konsekuensi hajr yang melarang melakukan tindakan terhadap harta. Dalam akad-akadnya terdapat dua pendapat yang dibangun di atas perbedaan makna hajr yang telah kami sebutkan.

أَحَدُهُمَا: أَنَّ جَمِيعَهَا بَاطِلَةٌ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْحَجْرَ عَلَيْهِ جَارٍ مَجْرَى حَجْرِ السَّفَهِ لِبُطْلَانِ عُقُودِ السَّفِيهِ وَرَدِّ تَصَرُّفِهِ.

Salah satunya: Semua akad tersebut batal jika dikatakan bahwa hajr atasnya berlaku seperti hajr karena safih, karena batalnya akad-akad orang safih dan tertolaknya tindakannya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا جَائِزَةٌ وَتَكُونُ مَوْقُوفَةً إِذَا قِيلَ إِنَّ الْحَجْرَ عَلَيْهِ جَارٍ مَجْرَى حَجْرِ الْمَرَضِ لِصِحَّةِ عُقُودِ الْمَرِيضِ وَوُقُوفِهَا عَلَى إِجَازَةِ الْوَرَثَةِ. وَعَلَى هَذَا إِذَا كَانَ فِيمَا بَقِيَ مِنْ مَالِهِ بَعْدَ تَصَرُّفِهِ وَفَاءٌ لِدَيْنِهِ بِسِعْرٍ زَادَ أَوْ رِبْحٍ حَدَثَ أَوْ كَسْبٍ اسْتُفِيدَ كَانَ جَمِيعُ مَا فَعَلَهُ مِنْ بَيْعٍ وَكِتَابَةٍ وَعِتْقٍ مَاضِيًا نَافِذًا لَا اعْتِرَاضَ فِيهِ وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ فِي الْبَاقِي مِنْ مَالِهِ وَفَاءٌ لِدَيْنِهِ وَجَبَ أَنْ يُرَدَّ تَصَرُّفُهُ وَتُنْقَضَ عُقُودُهُ وَيَبْدَأَ مِنْهَا بِمَا لَيْسَ فِي مُقَابَلَتِهِ عِوَضٌ كَالْهِبَةِ وَالْعِتْقِ فَإِنْ كَانَ فِيهَا وَفَاءٌ لَمْ يَعْرِضْ لِفَسْخِ عُقُودِ الْمُعَاوَضَاتِ وَأُمْضِيَتْ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا وَفَاءٌ فُسِخَتِ الْكِتَابَةُ قَبْلَ الْبَيْعِ فَإِنْ كَانَ فِيهَا وَفَاءٌ لَمْ يَعْرِضْ لِفَسْخِ الْبَيْعِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا وَفَاءٌ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْمَبِيعِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Pendapat kedua: Akad-akad tersebut sah namun berstatus mauquf (tertunda) jika dikatakan bahwa hajr atasnya berlaku seperti hajr karena sakit, karena sahnya akad-akad orang sakit dan bergantungnya pada persetujuan ahli waris. Dalam hal ini, jika sisa hartanya setelah tindakan tersebut masih cukup untuk melunasi utangnya, baik karena harga yang naik, keuntungan yang didapat, atau penghasilan yang diperoleh, maka semua tindakan yang ia lakukan berupa jual beli, mukatabah, dan memerdekakan budak, hukumnya sah dan berlaku, tidak ada keberatan di dalamnya. Namun jika sisa hartanya tidak cukup untuk melunasi utangnya, maka tindakannya harus dibatalkan dan akad-akadnya dibatalkan, dimulai dari yang tidak ada kompensasi (imbal balik) seperti hibah dan memerdekakan budak. Jika dengan itu utangnya dapat dilunasi, maka tidak perlu membatalkan akad-akad mu‘āwadah (pertukaran/komersial) dan semuanya tetap berlaku. Jika belum cukup, maka mukatabah dibatalkan sebelum jual beli. Jika dengan itu utangnya dapat dilunasi, maka tidak perlu membatalkan jual beli. Jika belum cukup, maka keadaan barang yang dijual tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ بَاعَهُ بِأَقَلَّ مِنْ ثَمَنِهِ حَتَّى صَارَ مَغْبُونًا فَهَذَا يُفْسَخُ عَلَيْهِ وَيُسْتَرْجَعُ الْمَبِيعُ مِنْ مُشْتَرِيهِ.

Salah satunya: Jika ia telah menjual barangnya dengan harga lebih rendah dari nilai sebenarnya sehingga ia menjadi pihak yang dirugikan (maghbūn), maka jual beli ini dibatalkan atasnya dan barang yang dijual dikembalikan dari pembelinya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَدْ بَاعَهُ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِهِ حَتَّى صَارَ غَابِنًا فَهَذَا الْبَيْعُ مَاضٍ وَلَا مَعْنَى لِفَسْخِهِ لِأَنَّ إِمْضَاءَ الْبَيْعِ أَوْفَرُ لِحُقُوقِ الْغُرَمَاءِ لِلزِّيَادَةِ الْحَاصِلَةِ فِي ثَمَنِهِ فَلَمْ يَجُزْ إِبْطَالُهَا عَلَيْهِمْ بِالْفَسْخِ.

Yang kedua: Jika ia telah menjual barangnya dengan harga lebih tinggi dari nilai sebenarnya sehingga ia menjadi pihak yang menipu (ghābin), maka jual beli ini tetap sah dan tidak ada alasan untuk membatalkannya, karena melanjutkan jual beli lebih menguntungkan bagi hak-hak para kreditur (ghuramā’) disebabkan adanya tambahan harga, sehingga tidak boleh membatalkannya atas mereka dengan pembatalan.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ قَدْ بَاعَهُ بِمِثْلِ ثَمَنِهِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نَقْصٍ فهذا ينظر فيه فإن كان الثمن قد زَادَ قِيمَتُهُ أَوِ الْمَبِيعُ قَدْ نَقَصَ سِعْرُهُ أَمْضَى الْعَقْدَ وَلَمْ يُفْسَخْ عَلَيْهِ لِمَا فِي فَسْخِهِ مِنْ دُخُولِ النَّقْصِ وَإِنْ كَانَ عَلَى حَالِهِ لَمْ يَزِدِ الثَّمَنُ وَلَا يَنْقُصْ سِعْرُ الْمُثَمَّنَ فَهَذَا يُنْظَرُ فِيهِ: فَإِنْ كَانَ الثَّمَنُ قَدِ اسْتَهْلَكَهُ الْمُفْلِسُ حَتَّى صَارَ في ذمته فسخ البيع لأن يُسْتَفَادَ بِفَسْخِهِ بِبَيْعِ السِّلْعَةِ الْمَبِيعَةِ فِي حُقُوقِ الْغُرَمَاءِ وَمَا يَسْتَحِقُّهُ الْمُشْتَرِي مِنَ الرُّجُوعِ بِالثَّمَنِ هُوَ دَيْنٌ فِي ذِمَّةِ الْمُفْلِسِ عَلَى مَا يَسْتَفِيدُهُ مِنَ الْمَالِ بَعْدَ فَكِّ الْحَجْرِ عَنْهُ وَلَا يُشَارِكُ الْغُرَمَاءَ لِأَنَّهُ دَيْنٌ حَدَثَ عَنْ مُعَامَلَةٍ بَعْدَ فَلَسِهِ. وَهَكَذَا الْقَوْلُ فِيمَا ذَكَرْنَا إِذَا بَاعَ بِأَكْثَرَ مِنَ الثَّمَنِ وَكَانَ الثَّمَنُ مُسْتَهْلَكًا فُسِخَ الْبَيْعُ أَيْضًا وَأَمَّا إِذَا كَانَ الثَّمَنُ بَاقِيًا مُعَيَّنًا فَظَاهِرُ إِطْلَاقِ الشَّافِعِيِّ وَأَصْحَابِهِ يَقْتَضِي أَنْ يُفْسَخَ عَلَيْهِ، وَالصَّحِيحُ عِنْدِي: أَنَّهُ لَا يُفْسَخُ، لِأَنَّ فَسْخَ عُقُودِهِ إِنَّمَا يَكُونُ لِضَرُورَةٍ يُسْتَفَادُ بِهَا شَيْءٌ وَالْفَسْخُ هَاهُنَا لَا يُفِيدُ شَيْئًا لِأَنَّهُ إِنْ أَوْجَبَ اسْتِرْجَاعَ الْمَبِيعِ لِيُبَاعَ فِي حُقُوقِ الْغُرَمَاءِ أَوْجَبَ ذَلِكَ رَدَّ الثَّمَنِ إِلَى الْمُعَيَّنِ الْبَاقِي فِي يَدِ الْمُفْلِسِ وَهُمَا فِي الْقِيمَةِ سَوَاءٌ فَكَانَ إِمْضَاءُ الْبَيْعِ لِيَكُونَ الثَّمَنُ مُعَيَّنًا فِي حُقُوقِ الْغُرَمَاءِ كَفَسْخِ الْبَيْعِ لِيُبَاعَ الْمَبِيعُ فِي حُقُوقِ الْغُرَمَاءِ فَلَمْ يَكُنْ لِلْفَسْخِ تَأْثِيرٌ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُفْسَخَ عَلَيْهِ. فَإِنْ قِيلَ إِمْضَاءُ الْبَيْعِ الْأَوَّلِ وَبَيْعُ الثَّمَنِ قَدْ يَسْتَحِقُّ بِهِ دَرْكًا كَانَ هَذَا فَائِدَةَ الْفَسْخِ قِيلَ مَا لَمْ يَكُنْ مَوْجُودًا وَقْتَ الْعَقْدِ فَلَا مَعْنَى لِتَوَهُّمِهِ لِيُفْسَخَ بِهِ الْعَقْدُ وَلَوْ جَازَ هَذَا لَجَازَ فَسْخُ جَمِيعِ العقود لمعان متوهمة.

Keadaan yang ketiga: Jika ia telah menjual barangnya dengan harga yang sama dengan nilai sebenarnya, tanpa ada kelebihan atau kekurangan, maka hal ini perlu diteliti. Jika harga barang telah naik atau harga barang yang dijual telah turun, maka akad tetap dilanjutkan dan tidak dibatalkan atasnya, karena pembatalan akan menyebabkan kerugian. Namun, jika harga tetap sama, tidak naik dan tidak turun, maka hal ini juga perlu diteliti: jika harga (uang hasil penjualan) telah habis digunakan oleh orang yang pailit sehingga menjadi tanggungannya, maka jual beli dibatalkan agar dengan pembatalan itu barang yang dijual dapat dijual kembali untuk hak-hak para kreditur. Adapun hak pembeli untuk meminta kembali harga adalah berupa utang yang menjadi tanggungan orang yang pailit, sesuai dengan apa yang bisa ia dapatkan dari harta setelah pencabutan status pailitnya, dan ia tidak berhak untuk ikut serta bersama para kreditur, karena utang tersebut timbul dari transaksi setelah ia dinyatakan pailit. Demikian pula halnya dengan apa yang telah kami sebutkan, jika ia menjual dengan harga lebih tinggi dan harga tersebut telah habis digunakan, maka jual beli juga dibatalkan. Adapun jika harga masih ada dan ditentukan secara spesifik, maka menurut pendapat umum Imam Syafi‘i dan para pengikutnya, jual beli itu seharusnya dibatalkan atasnya. Namun, pendapat yang benar menurutku adalah: tidak dibatalkan, karena pembatalan akad-akadnya hanya dilakukan dalam keadaan darurat yang dapat memberikan manfaat, sedangkan pembatalan di sini tidak memberikan manfaat apa pun. Sebab, jika pembatalan mengharuskan pengembalian barang yang dijual agar dapat dijual untuk hak-hak para kreditur, maka hal itu juga mengharuskan pengembalian harga kepada pihak yang masih ada pada orang yang pailit, dan keduanya memiliki nilai yang sama. Maka, melanjutkan jual beli sehingga harga tetap ada secara spesifik untuk hak-hak para kreditur sama saja dengan membatalkan jual beli agar barang dijual untuk hak-hak para kreditur, sehingga pembatalan tidak memberikan pengaruh apa pun dan tidak boleh dilakukan. Jika dikatakan bahwa melanjutkan jual beli pertama dan menjual harga (uang) bisa saja menimbulkan tuntutan (darak), maka ini adalah manfaat dari pembatalan. Maka dijawab: selama hal itu tidak ada pada saat akad, maka tidak ada alasan untuk mengira-ngira kemungkinan tersebut sehingga akad dibatalkan karenanya. Jika hal ini dibolehkan, maka semua akad bisa dibatalkan karena alasan-alasan yang hanya diduga-duga.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا أَقَرَّ بِدَيْنٍ زَعَمَ أَنَّهُ لَزِمَهُ قَبْلَ الْوَقْفِ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا أَنَّهُ جَائِزٌ كَالْمَرِيضِ يَدْخُلُ مَعَ غُرَمَائِهِ وَبِهِ أَقُولُ وَالثَّانِي أَنَّ إِقْرَارَهُ لَازِمٌ لَهُ فِي مَالٍ إِنْ حَدَثَ لَهُ أَوْ يَفْضُلُ عَنْ غُرَمَائِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang mengakui adanya utang yang ia klaim telah menjadi tanggungannya sebelum status pailit, maka ada dua pendapat: salah satunya, pengakuan itu sah seperti orang sakit, sehingga ia masuk bersama para kreditur, dan inilah pendapatku. Yang kedua, pengakuannya hanya mengikatnya pada harta yang mungkin ia peroleh kemudian atau yang tersisa setelah hak-hak para kreditur terpenuhi.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ إِقْرَارَ الْمُفْلِسِ بِالدَّيْنِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa pengakuan orang yang pailit terhadap utang ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُقِرَّ بِدَيْنٍ لَزِمَهُ بَعْدَ الْحَجْرِ فَإِقْرَارُهُ لَازِمٌ فِي ذِمَّتِهِ عَلَى مَا يَسْتَفِيدُهُ مِنَ الْمَالِ بَعْدَ زَوَالِ حَجْرِهِ وَلَا يَكُونُ الْمُقَرُّ لَهُ مُشَارِكًا لِغُرَمَائِهِ، لِأَنَّ الْحَجْرَ عَلَيْهِ إِنَّمَا كَانَ لِمَنْ ثَبَتَ حَقُّهُ قَبْلَ الْحَجْرِ وَلِأَنَّ الْمُدَايِنَ لَهُ بَعْدَ فَلَسِهِ رَاضٍ بِخَرَابِ ذِمَّتِهِ.

Pertama: Ia mengakui utang yang timbul setelah status pailit, maka pengakuannya mengikat sebagai utang dalam tanggungannya atas apa yang ia peroleh dari harta setelah status pailitnya dicabut, dan pihak yang diakui tidak berhak ikut serta bersama para kreditur, karena status pailit hanya berlaku bagi mereka yang haknya telah tetap sebelum status pailit, dan karena pihak yang memberi utang setelah ia pailit telah rela dengan kondisi tanggungannya yang rusak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يُقِرَّ بِدَيْنٍ لَزِمَهُ قَبْلَ الْحَجْرِ فَإِقْرَارُهُ لَازِمٌ أَيْضًا وَهَلْ يَكُونُ الْمُقَرُّ لَهُ مُشَارِكًا لِغُرَمَائِهِ بِدَيْنِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْحَجْرِ:

Kedua: Ia mengakui utang yang timbul sebelum status pailit, maka pengakuannya juga mengikat. Apakah pihak yang diakui berhak ikut serta bersama para kreditur dengan utangnya atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat yang didasarkan pada perbedaan pendapat dalam masalah status pailit.

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يُشَارِكُهُمْ فِيهِ وَيَكُونُ الدَّيْنُ لَازِمًا فِي ذِمَّةِ الْمُفْلِسِ الْمُقِرِّ عَلَى ما يستفيده بعد فك الحجر وهنا إِذَا قِيلَ إِنَّ الْحَجْرَ عَلَيْهِ جَارٍ مَجْرَى السَّفَهِ. وَلِأَنَّ الْغُرَمَاءَ قَدْ تَعَلَّقَتْ حُقُوقُهُمْ بِأَعْيَانِ حاله كالرهق ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الْمُقَرَّ لَهُ لَا يَكُونُ شَرِيكًا فِي الْمَالِ الْمَرْهُونِ فَكَذَلِكَ لَا يَكُونُ شَرِيكًا فِي الْمَالِ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ.

Salah satu pendapat: Bahwa ia (yang diakui haknya) tidak ikut serta bersama para kreditur dalam harta tersebut, dan utang tetap menjadi tanggungan si pailit yang mengakui, atas apa yang akan diperolehnya setelah pencabutan status pailit. Dalam hal ini, jika dikatakan bahwa status pailit atasnya berlaku seperti status safih (orang yang tidak cakap bertindak hukum). Karena hak-hak para kreditur telah melekat pada harta yang ada padanya, seperti halnya barang gadai. Kemudian telah tetap bahwa orang yang diakui haknya tidak menjadi sekutu dalam harta yang digadaikan, maka demikian pula ia tidak menjadi sekutu dalam harta yang dikenai status pailit.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْمُقَرَّ لَهُ يُشَارِكُ الْغُرَمَاءَ وَيَكُونُ أُسْوَةً لَهُمْ فِي مَالِ الْمُفْلِسِ. وَهَذَا إِذَا قِيلَ إِنَّ الْحَجْرَ عَلَيْهِ جَارٍ مَجْرَى حَجْرِ الْمَرَضِ، وَلِأَنَّ الدَّيْنَ قَدْ لَزِمَ بِالْإِقْرَارِ كَلُزُومِهِ بِالْبَيِّنَةِ ثُمَّ لَوْ كَانَ ثُبُوتُهُ بِالْبَيِّنَةِ يُوجِبُ مُشَارَكَةَ الْغُرَمَاءِ فَكَذَلِكَ ثُبُوتُهُ بِالْإِقْرَارِ يُوجِبُ مُشَارَكَتَهُمْ وَبِهَذَا فارق الْمَالَ الْمَرْهُونَ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُشَارِكِ الْمُرْتَهِنَ فيه إذا ثبت بينة بِالْبَيِّنَةِ لَمْ يُشَارِكْهُ فِيهِ إِذَا ثَبَتَ بِالْإِقْرَارِ فلو كان إقرار المفلس حين قال فِي يَدِهِ أَقَرَّ بِغَصْبِهِ أَوِ اسْتِعَارَتِهِ أَوِ اسْتِئْجَارِهِ أَوْ كَانَ صَائِغًا أَوْ صَبَّاغًا فَأَقَرَّ بِحُلِيٍّ فِي يَدِهِ أَوْ ثِيَابٍ قَدْ صَبَغَهَا فَكُلُّ ذَلِكَ سَوَاءٌ وَفِي ذَلِكَ قَوْلَانِ:

Pendapat kedua: Bahwa orang yang diakui haknya ikut serta bersama para kreditur dan diperlakukan sama dengan mereka dalam harta si pailit. Ini jika dikatakan bahwa status pailit atasnya berlaku seperti status pailit karena sakit. Karena utang telah menjadi kewajiban dengan pengakuan, sebagaimana menjadi kewajiban dengan bukti (bayyinah). Kemudian, jika penetapan utang dengan bukti menyebabkan ikut sertanya bersama para kreditur, maka demikian pula penetapan dengan pengakuan menyebabkan ikut sertanya bersama mereka. Dengan ini, harta gadai berbeda, karena ketika orang yang menerima gadai tidak ikut serta di dalamnya jika haknya ditetapkan dengan bukti, maka ia juga tidak ikut serta jika haknya ditetapkan dengan pengakuan. Jika pengakuan si pailit atas barang yang ada di tangannya berupa pengakuan atas barang yang digelapkan, dipinjam, disewa, atau ia adalah tukang emas atau penjahit lalu mengakui ada perhiasan di tangannya, atau pakaian yang telah diwarnainya, maka semua itu sama hukumnya. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَازِمٌ كَالْبَيِّنَةِ فَيَدْفَعُ الْأَعْيَانَ إِلَى مَنْ أَقَرَّ لَهُ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُشَارِكَهُ الْغُرَمَاءُ فِيهَا. وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يُشَارِكُهُمْ في المال أو كَانَ دَيْنًا.

Salah satunya: Bahwa pengakuan itu bersifat mengikat seperti bukti, sehingga barang tersebut diserahkan kepada orang yang diakui haknya tanpa para kreditur ikut serta di dalamnya. Ini menurut pendapat yang membolehkan ia ikut serta bersama mereka dalam harta atau jika berupa utang.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أنَّ إِقْرَارَهُ لَا يَلْزَمُ فِي الْعَيْنِ بَلْ يَكُونُ مَوْقُوفًا وَيُبَاعُ سَائِرُ أَمْوَالِهِ سِوَى الْأَعْيَانِ الَّتِي أَقَرَّ بِهَا فَإِنْ وَفَتْ بِدَيْنِهِ دُفِعَتِ الْأَعْيَانُ حِينَئِذٍ إِلَى مَنْ أَقَرَّ لَهُ بِهَا وَإِنْ عَجَزَ مَالُهُ عن وفاء دَيْنِهِ بِيعَتِ الْأَعْيَانُ فِي حُقُوقِ الْغُرَمَاءِ، وَكَانَتْ قِيمَتُهَا دَيْنًا لِلْمُقَرِّ لَهُمْ بِهَا فِي ذِمَّةِ الْمُفْلِسِ يَبِيعُونَهُ بَعْدَ فَكِّ الْحَجْرِ عَنْهُ، فَلَوِ احْتَاجَ وَفَاءُ دَيْنِهِ إِلَى بَيْعِ الْبَعْضِ مِنْ تِلْكَ الْأَعْيَانِ فَإِنْ كَانَ الْإِقْرَارُ بِهَا لِوَاحِدٍ بِيعَ مِنْهَا بِقَدْرِ مَا بَقِيَ مِنْ دَيْنِهِ وَيَكُونُ قِيمَتُهُ فِي ذِمَّتِهِ وَدَفَعَ بَاقِيَ الْأَعْيَانِ إِلَى الْمُقَرِّ لَهُ بِهَا وَإِنْ كَانَ الْإِقْرَارُ بِهَا لِجَمَاعَةٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُفْرِدَ حَقَّ أَحَدِهِمْ بِالْبَيْعِ دُونَ الْبَاقِينَ وَبِيعَ كُلُّ عَيْنٍ أقر بها لشخص يقسط مَا بَقِيَ عَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ وَدَفَعَ بَاقِيَ الأعيان إلى أربابها لتقع التسوية بَيْنَ جَمِيعِهِمْ فِيمَا يُبَاعُ عَلَيْهِمْ وَيُدْفَعُ إِلَيْهِمْ.

Pendapat kedua: Bahwa pengakuannya tidak mengikat pada barang, melainkan bersifat ditangguhkan, dan seluruh hartanya selain barang yang diakui dijual. Jika hasil penjualannya cukup untuk melunasi utangnya, maka barang-barang tersebut diserahkan kepada orang yang diakui haknya. Namun jika hartanya tidak cukup untuk melunasi utangnya, maka barang-barang tersebut dijual untuk memenuhi hak para kreditur, dan nilainya menjadi utang bagi orang yang diakui haknya dalam tanggungan si pailit, yang akan dibayarkan setelah status pailit dicabut. Jika pelunasan utangnya membutuhkan penjualan sebagian dari barang-barang tersebut, maka jika pengakuan itu untuk satu orang, dijual sebagian sesuai sisa utangnya dan nilainya menjadi tanggungan si pailit, lalu sisa barang diserahkan kepada orang yang diakui haknya. Jika pengakuan itu untuk beberapa orang, tidak boleh mengkhususkan hak salah satu dari mereka dengan penjualan tanpa yang lain, dan setiap barang yang diakui untuk seseorang dijual sesuai sisa utangnya, lalu sisa barang diserahkan kepada para pemiliknya agar terjadi pemerataan di antara mereka dalam hal yang dijual dan yang diserahkan kepada mereka.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا ادُّعِيَ عَلَى الْمُفْلِسِ مَالٌ وَأَنْكَرَ وَعُرِضَتِ الْيَمِينُ عَلَيْهِ فَنَكَلَ وَحَلَفَ الْمُدَّعِي بَعْدَ نُكُولِهِ وَاسْتَحَقَّ فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ هَلْ يَكُونُ الْيَمِينُ بَعْدَ النُّكُولِ تَجْرِي مَجْرَى الْبَيِّنَةِ أَوْ مَجْرَى الْإِقْرَارِ؟ فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ:

Adapun jika seseorang menuntut harta kepada si pailit dan ia mengingkarinya, lalu sumpah ditawarkan kepadanya namun ia menolak, kemudian penggugat bersumpah setelah penolakannya dan berhak atas harta tersebut, maka terdapat perbedaan pendapat dari Imam Syafi‘i: Apakah sumpah setelah penolakan itu diperlakukan seperti bukti (bayyinah) atau seperti pengakuan? Salah satu dari dua pendapat:

أَنَّهَا تَجْرِي مَجْرَى الْبَيِّنَةِ – فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْمُدَّعِي بعد – عينه مُشَارِكًا لِلْغُرَمَاءِ بِدَيْنِهِ.

Bahwa sumpah itu diperlakukan seperti bukti (bayyinah) — maka berdasarkan ini, penggugat setelah penetapan haknya ikut serta bersama para kreditur dengan utangnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أنَّهَا تَجْرِي مَجْرَى الْإِقْرَارِ – فَعَلَى هَذَا هَلْ يَكُونُ مُشَارِكًا لِلْغُرَمَاءِ بِدَيْنِهِ أَمْ لَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ. والله أعلم.

Pendapat kedua: Bahwa sumpah itu diperlakukan seperti pengakuan — maka berdasarkan ini, apakah ia ikut serta bersama para kreditur dengan utangnya atau tidak, sesuai dengan dua pendapat yang telah disebutkan. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ الْمُفْتِينَ إِلَى أَنَّ دُيُونَ الْمُفْلِسِ إِلَى أَجَلٍ تَحِلُّ حُلُولَهَا عَلَى الْمَيِّتِ وَقَدْ يَحْتَمِلُ أَنْ يؤخر المؤخر عنه لأن له ذمة وقد يملك والميت بطلت ذمته ولا يملك بعد الموت (قال المزني) قلت أنا هذا أصح وبه قال في الإملاء “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Sebagian mufti berpendapat bahwa utang-utang si pailit yang jatuh tempo menjadi jatuh tempo seperti pada orang yang meninggal dunia. Namun, bisa jadi penundaan pembayaran masih dimungkinkan karena ia masih memiliki tanggungan dan bisa memiliki harta, sedangkan orang yang meninggal dunia telah gugur tanggungannya dan tidak lagi memiliki harta setelah kematian.” (Al-Muzani berkata): Saya katakan, pendapat ini lebih kuat dan inilah yang beliau katakan dalam kitab Al-Imla’.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الدُّيُونُ الْمُؤَجَّلَةُ فَإِنَّهَا تَحِلُّ بِالْمَوْتِ. وَهُوَ قَوْلُ فُقَهَاءِ الْأَمْصَارِ. وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَابْنُ أَبِي لَيْلَى: الدُّيُونُ الْمُؤَجَّلَةُ لَا تَحِلُّ بِالْمَوْتِ وَتَكُونُ عَلَى آجَالِهَا، لِأَنَّ مُدَّةَ الْأَجَلِ حَقٌّ ثَبَتَ لِلْمَيِّتِ مِثْلَ مُدَّةِ الْخِيَارِ فَلَمَّا لَمْ تَبْطُلْ مُدَّةُ الْخِيَارِ بِالْمَوْتِ لَمْ تَبْطُلْ مُدَّةُ الْأَجَلِ بِالْمَوْتِ. وَالدَّلَالَةُ عَلَى حُلُولِ دُيُونِهِ بِالْمَوْتِ أَنَّ مَالَهُ قَدْ يَنْتَقِلُ بَعْدَ مَوْتِهِ إِلَى الْغُرَمَاءِ بِدُيُونِهِمْ وَإِلَى الْوَرَثَةِ بِإِرْثِهِمْ فَلَمَّا كَانَ حَقُّ الْوَرَثَةِ يَنْتَقِلُ إِلَيْهِمْ حَالًا، لِأَنَّهُ لَا يَبْقَى لِلْمَيِّتِ مِلْكٌ بَعْدَ مَوْتِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حَقُّ الْغُرَمَاءِ يَنْتَقِلُ إِلَيْهِمْ حَالًّا، لِأَنَّهُ لَا يَبْقَى لَهُ أَيْضًا مِلْكٌ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَلِأَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُ التَّرِكَةِ فِي الدُّيُونِ الْمُؤَجَّلَةِ مِنْ أَحْوَالٍ ثَلَاثَةٍ.

Al-Mawardi berkata: Adapun utang-utang yang berjangka (utang yang jatuh tempo di masa mendatang), maka utang-utang tersebut menjadi jatuh tempo (harus segera dibayar) dengan kematian. Ini adalah pendapat para fuqaha di berbagai negeri. Sedangkan al-Hasan al-Bashri dan Ibnu Abi Laila berpendapat: utang-utang yang berjangka tidak menjadi jatuh tempo dengan kematian, melainkan tetap pada jatuh temponya masing-masing. Sebab, masa jatuh tempo adalah hak yang telah ditetapkan bagi si mayit, sebagaimana masa khiyar (hak memilih dalam akad). Maka, sebagaimana masa khiyar tidak batal karena kematian, demikian pula masa jatuh tempo tidak batal karena kematian. Dalil yang menunjukkan bahwa utang-utang menjadi jatuh tempo dengan kematian adalah bahwa harta si mayit dapat berpindah setelah kematiannya kepada para kreditur karena utang mereka dan kepada para ahli waris karena warisan mereka. Maka, ketika hak ahli waris berpindah kepada mereka secara langsung, karena tidak ada lagi kepemilikan bagi si mayit setelah kematiannya, maka wajib pula hak para kreditur berpindah kepada mereka secara langsung, karena tidak ada lagi kepemilikan bagi si mayit setelah kematiannya. Selain itu, keadaan harta peninggalan terhadap utang-utang yang berjangka tidak lepas dari tiga kemungkinan.

إِمَّا أَنْ تَكُونَ مَوْقُوفَةً إِلَى حُلُولِ الدَّيْنِ. وَهَذَا لَا يَجُوزُ لِمَا فِيهِ مِنَ الْإِضْرَارِ بِالْوَرَثَةِ فِي تَأْخِيرِ إِرْثِهِمْ وَالْإِضْرَارِ بِالْمَيِّتِ فِي تَأْخِيرِ دَيْنِهِ مَعَ قَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى “.

Pertama, harta peninggalan itu ditangguhkan sampai jatuh tempo utang. Ini tidak diperbolehkan karena akan menimbulkan mudarat bagi para ahli waris dengan menunda warisan mereka, dan mudarat bagi si mayit dengan menunda pelunasan utangnya, padahal Nabi ﷺ bersabda: “Jiwa seorang mukmin tergantung pada utangnya hingga utangnya dilunasi.”

وَإِمَّا أَنْ يُدْفَعَ إِلَى الْوَرَثَةِ وَهَذَا لَا يَجُوزُ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَضَى لَهُمْ بِالتَّرِكَةِ بَعْدَ قَضَاءِ الدَّيْنِ فَقَالَ تَعَالَى: {مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ} [النساء: 11] ، وَلِأَنَّهُ لَا يَخْلُو أَنْ يُقَسِّمُوا قَدْرَ الدَّيْنِ لِيَكُونَ فِي ذِمَّتِهِمْ أَوْ يَعْزِلُوهُ إِلَى وَقْتِ الْمَحَلِّ فَلَمْ يَجُزْ إِقْسَامُهُمْ بِهِ، لِأَنَّهُمْ لَمْ يَمْلِكُوهُ، وَلِأَنَّ أرباب الديون لم يرضوا بذمهم. ولم يجز أن يعزلوه، لأن فيه تعزيرا به وَتَعْلِيقًا لِنَفْسِ الْمَيِّتِ بِدَيْنِهِ وَعَدَمَ فَائِدَةٍ لَهُمْ وَلِلْمَيِّتِ بِعَزْلِهِ لَهُمْ فَلَمْ يَبْقَ وَجْهٌ إِلَّا أَنْ يَتَعَجَّلُوهُ لِيَبْرَأَ ذِمَّةُ الْمَيِّتِ مِنْهُ وَيَقْتَسِمَ الْوَرَثَةُ مَا فَضَلَ عَنْهُ.

Kedua, harta peninggalan itu diserahkan kepada para ahli waris. Ini juga tidak diperbolehkan, karena Allah Ta‘ala telah menetapkan bahwa warisan diberikan kepada mereka setelah utang dilunasi, sebagaimana firman-Nya: {setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (setelah dibayar) utangnya} (QS. an-Nisā’: 11). Selain itu, tidak lepas dari dua kemungkinan: mereka membagi harta sebesar jumlah utang sehingga menjadi tanggungan mereka, atau mereka memisahkannya sampai waktu jatuh tempo. Maka tidak boleh mereka membaginya, karena mereka belum memilikinya, dan para pemilik utang pun tidak rela utang itu menjadi tanggungan mereka. Tidak boleh pula mereka memisahkannya, karena hal itu berarti menunda hak para kreditur dan menggantungkan jiwa si mayit pada utangnya, serta tidak ada manfaat bagi mereka maupun bagi si mayit dengan pemisahan tersebut. Maka tidak ada jalan lain kecuali mempercepat pelunasan utang agar tanggungan si mayit terbebas darinya, dan para ahli waris membagi sisanya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا حُلُولُ الدَّيْنِ الْمُؤَجَّلِ بِحُدُوثِ الْفَلَسِ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Adapun jatuh temponya utang yang berjangka karena terjadinya pailit, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أنه يحل بالفلس كَمَا يَحِلُّ بِالْمَوْتِ وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ. وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَجْرِي حَجْرَ الْفَلَسِ مَجْرَى حَجْرِ الْمَرَضِ لِأَنَّ الْمُفْلِسَ يَنْتَقِلُ مَالُهُ بِالْفَلَسِ إِلَى غُرَمَائِهِ كَمَا يَنْتَقِلُ مَالُ الْمَرِيضِ بِالْمَوْتِ إِلَى وَرَثَتِهِ فَلَمَّا كَانَ الْمَوْتُ يُوجِبُ حُلُولَ الْأَجَلِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْفَلَسُ بِمَثَابَتِهِ يُوجِبُ حُلُولَ الْمُؤَجَّلِ، وَيُلَخِّصُ هَذَا الثُّلْثُ: أَنَّ خَرَابَ الذِّمَّةِ يُوجِبُ التَّسْوِيَةَ بَيْنَ الدُّيُونِ الْحَالَّةِ وَالْمُؤَجَّلَةِ كَالْمَوْتِ.

Pertama, utang itu menjadi jatuh tempo karena pailit sebagaimana menjadi jatuh tempo karena kematian, dan ini adalah mazhab Malik. Ini berlaku menurut pendapat yang menyamakan status pailit dengan status sakit (menjelang wafat), karena harta orang yang pailit berpindah kepada para krediturnya karena pailit, sebagaimana harta orang sakit berpindah kepada ahli warisnya karena kematian. Maka, sebagaimana kematian menyebabkan jatuh tempo utang, demikian pula pailit seharusnya menyebabkan jatuh tempo utang yang berjangka. Kesimpulannya adalah: rusaknya tanggungan (dzimmah) menyebabkan penyamaan antara utang yang sudah jatuh tempo dan yang berjangka, sebagaimana halnya kematian.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أنَّهَا عَلَى آجَالِهَا – لَا تَحِلُّ بِالْفَلَسِ – وَهُوَ مَذْهَبُ الْمُزَنِيِّ. وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَجْرِي مِنْهَا حَجْرُ الْمُفْلِسِ مَجْرَى حَجْرِ السَّفِيهِ، لِأَنَّ دُيُونَ السَّفِيهِ لَا تَحِلُّ لِبَقَاءِ مِلْكِهِ وَجَوَازِ اسْتِفَادَتِهِ فَكَذَلِكَ الْمُفْلِسُ لَمَّا كَانَ مِمَّنْ يَمْلِكُ وَيَجُوزُ أَنْ يَحْدُثَ لَهُ مِلْكٌ وَيَبْقَى لَهُ ذِمَّةٌ لَمْ تَحِلَّ دُيُونُهُ وَخَالَفَ الْمَيِّتَ الَّذِي لَا يَبْقَى لَهُ مِلْكٌ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَحْدُثَ لَهُ مِلْكٌ وَلَمْ يَبْقَ لَهُ ذِمَّةٌ حَيْثُ حَلَّتْ دُيُونُهُ، وَلِأَنَّ الْحَجْرَ عَلَى الْمُفْلِسِ إِنَّمَا كَانَ بِالدُّيُونِ الْحَالَّةَ دُونَ الْمُؤَجَّلَةِ بِدَلِيلِ أَنَّهُ لَوْ كَانَتْ دُيُونُهُ مُؤَجَّلَةً لَمْ يَجُزِ الْحَجْرُ عَلَيْهِ بِهَا وَالْمُفْلِسُ إِنَّمَا يَجِبُ صَرْفُ مَالِهِ فِيمَنْ كَانَ الْحَجْرُ عَلَيْهِ مِنْ أَجْلِهِ بِدَلِيلِ أَنَّ مَنْ حَدَثَ دَيْنُهُ بَعْدَ الْحَجْرِ لَمْ يَكُنْ مُشَارِكًا فِي مَالِهِ الَّذِي وَقَعَ عَلَيْهِ الْحَجْرُ فَكَذَلِكَ أَرْبَابُ الدُّيُونِ الْمُؤَجَّلَةِ.

Pendapat kedua: Bahwa utang-utang itu tetap pada jatuh temponya—tidak menjadi jatuh tempo karena kepailitan—dan ini adalah mazhab al-Muzani. Ini berdasarkan pendapat yang menyamakan status pelarangan (hajr) terhadap orang yang pailit dengan pelarangan terhadap orang safih (tidak cakap mengelola harta), karena utang-utang orang safih tidak menjadi jatuh tempo sebab kepemilikannya masih ada dan ia masih boleh memperoleh manfaat, maka demikian pula orang yang pailit, selama ia masih memiliki harta dan dimungkinkan baginya untuk memperoleh kepemilikan baru serta masih memiliki tanggungan, maka utang-utangnya tidak menjadi jatuh tempo. Berbeda dengan orang yang meninggal dunia, yang tidak lagi memiliki harta, tidak mungkin memperoleh kepemilikan baru, dan tidak lagi memiliki tanggungan, sehingga utang-utangnya menjadi jatuh tempo. Selain itu, pelarangan terhadap orang pailit hanya berlaku untuk utang-utang yang telah jatuh tempo, bukan yang masih bertempo, dengan dalil bahwa jika utang-utangnya masih bertempo maka tidak boleh dilakukan pelarangan terhadapnya. Orang yang pailit hanya wajib mengalokasikan hartanya untuk membayar utang-utang yang menjadi sebab pelarangan itu, dengan dalil bahwa orang yang berutang setelah pelarangan tidak berhak ikut serta dalam harta yang dikenai pelarangan, demikian pula para pemilik utang yang masih bertempo.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ. فَإِنْ قِيلَ بِأَنَّهَا إِلَى آجَالِهَا – لَا تَحِلُّ بِالْفَلَسِ – صُرِفَ مَالُهُ فِي الدُّيُونِ الْحَالَّةِ ثُمَّ يُحَالُ أَرْبَابُ الدُّيُونِ الْمُؤَجَّلَةِ إِذَا حَلَّتْ عَلَى مَا يَحْدُثُ لَهُ مِنْ مِلْكٍ.

Setelah penjelasan tentang argumentasi kedua pendapat tersebut, maka jika dipilih pendapat bahwa utang-utang itu tetap pada jatuh temponya—tidak menjadi jatuh tempo karena kepailitan—maka harta orang pailit digunakan untuk membayar utang-utang yang telah jatuh tempo, kemudian para pemilik utang yang masih bertempo akan menagih haknya jika telah jatuh tempo dari harta yang mungkin diperoleh orang pailit setelahnya.

فَإِنْ قِيلَ: بِأَنَّهَا تَحِلُّ بِالْفَلَسِ كَانَ أَرْبَابُ الدُّيُونِ الْمُؤَجَّلَةِ أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ فِي مَالِهِ وَيَرْجِعُ مَنْ كَانَ لَهُ عَيْنُ مَبِيعِهِ بِعَيْنِ مَالِهِ فَإِذَا تَقَرَّرَ قَدْرُ مَا يَخُصُّهُمْ مِنَ الدَّيْنِ بالعين فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Namun jika dipilih pendapat bahwa utang-utang itu menjadi jatuh tempo karena kepailitan, maka para pemilik utang yang masih bertempo diperlakukan sama dengan para kreditur lainnya dalam pembagian harta orang pailit, dan siapa saja yang memiliki barang yang dijual secara tunai dapat mengambil barangnya dari harta tersebut. Jika telah ditetapkan besaran bagian mereka dari utang berupa barang, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ ظَاهِرُ إِطْلَاقِ الشَّافِعِيِّ، وَمَا عَلَيْهِ مُتَقَدِّمُو الصَّحَابَةِ – أَنَّهُ يُدْفَعُ إِلَى أرباب يتملكونه كما يدفع ذلك إلى مثل دَيْنه حَال لِيَتَمَلَّكَهُ لِأَنَّ الْمُؤَجَّلَ قَدْ صَارَ بِالْفَلَسِ كَالْمُعَجَّلِ.

Pertama: Ini adalah pendapat yang tampak dari pernyataan Imam asy-Syafi‘i dan yang dianut oleh para sahabat terdahulu, yaitu bahwa barang tersebut diberikan kepada para pemiliknya untuk dimiliki, sebagaimana diberikan kepada pemilik utang yang telah jatuh tempo agar dapat dimilikinya, karena utang yang masih bertempo dengan adanya kepailitan menjadi seperti utang yang telah jatuh tempo.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وأبي علي بن أبي هريرة: أنه يكون باقيا على ملك الْمُفْلِسِ لَا يُدْفَعُ إِلَى غُرَمَائِهِ حَتَّى تَحِلَّ دُيُونُهُمْ وَيَكُونَ تَأْثِيرُ مُشَارَكَتِهِمْ لِبَاقِي الْغُرَمَاءِ وَرُجُوعِهِمْ بِأَعْيَانِ الْأَمْوَالِ أَنْ لَا يُصْرَفَ جَمِيعُ مَالِهِ في الديون الحالة وأنه ربما يكسب بَعْدَ الْحَجْرِ مَا لَا يَقْضِي بِهِ الدُّيُونَ الْمُؤَجَّلَةَ وَلَوِ اكْتَسَبَ لَشَقَّ عَلَيْهِمْ أَنْ يُقِيمُوا بِهِ الْبَيِّنَةَ ثُمَّ يُطْلَقُ تَصَرُّفُ الْمُفْلِسِ فِيهِ حَتَّى إِذَا حَلَّتِ الْآجَالُ صَرَفَ ذَلِكَ إِلَيْهِمْ وقسم فيهم.

Pendapat kedua: Ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, yaitu bahwa barang tersebut tetap menjadi milik orang pailit dan tidak diberikan kepada para krediturnya sampai utang mereka jatuh tempo. Pengaruh dari keterlibatan mereka bersama para kreditur lainnya dan hak mereka untuk mengambil barang secara langsung adalah bahwa tidak seluruh harta orang pailit digunakan untuk membayar utang-utang yang telah jatuh tempo, dan bisa jadi setelah pelarangan orang pailit memperoleh harta yang tidak cukup untuk membayar utang-utang yang masih bertempo. Jika ia memperoleh harta, maka akan memberatkan mereka untuk menghadirkan bukti, kemudian orang pailit dibebaskan untuk mengelola harta tersebut hingga jatuh tempo, lalu setelah jatuh tempo harta itu dibagikan kepada mereka.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ جَنَى عَلَيْهِ عَمْدًا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ أَخْذُ الْمَالِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang melakukan jinayah (kejahatan) terhadap orang pailit secara sengaja, maka tidak wajib baginya mengambil harta kecuali jika ia menghendaki.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْجِنَايَةَ عَلَى الْمُفْلِسِ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa jinayah terhadap orang pailit terbagi menjadi dua jenis:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ مُوجِبَةً لِلْمَالِ إِمَّا فِي الْخَطَأِ وَإِمَّا فِي الْعَمْدِ الَّذِي لَا قَوَدَ فِيهِ فَقَدْ مَلَكَ أَرْشَهَا وَتَعَلَّقَ حَقُّ الْغُرَمَاءِ بِهِ كَمَا يَتَعَلَّقُ بِمَا يُسْتَحْدَثُ مِلْكُهُ مِنْ إِرْثٍ وَغَيْرِهِ فَإِنْ أَبْرَأَ الْجَانِيَ مِنْهُ كَانَ كَمَا لَوْ وَهَبَ مَالًا فَيَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Pertama: Jinayah yang mewajibkan pembayaran harta, baik karena kesalahan maupun karena kesengajaan yang tidak ada qishash di dalamnya, maka orang pailit berhak atas diyatnya dan hak para kreditur terkait dengannya sebagaimana hak mereka terkait dengan harta yang diperoleh dari warisan dan selainnya. Jika orang pailit membebaskan pelaku jinayah dari diyat tersebut, maka hukumnya seperti ia memberikan harta sebagai hibah, sehingga dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْإِبْرَاءَ يَكُونُ بَاطِلًا. وَهَذَا إِذَا قِيلَ إِنَّ حَجْرَ الْمُفْلِسِ جَارٍ مَجْرَى حَجْرِ السَّفِيهِ.

Pertama: Pembebasan itu batal. Ini jika dikatakan bahwa pelarangan terhadap orang pailit disamakan dengan pelarangan terhadap orang safih.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا. فَإِنْ كَانَ فِي مَالِهِ وَفَاءٌ بِدَيْنِهِ صَحَّ الْإِبْرَاءُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي مَالِهِ وَفَاءٌ بِدَيْنِهِ بَطَلَ الْإِبْرَاءُ فِيمَا قَابَلَ بَقِيَّةَ الدَّيْنِ فَإِنْ كَانَ الْبَاقِي مِنْهُ مُقَابِلًا لِجَمِيعِ الدِّيَةِ بَطَلَ جَمِيعُ الْإِبْرَاءِ وَإِنْ كَانَ مُقَابِلًا لِبَعْضِهَا بَطَلَ مِنَ الْإِبْرَاءِ بِقَدْرِ مَا قَابَلَ الْبَاقِيَ مِنْ ثُلُثٍ أَوْ نِصْفٍ وَصَحَّ فِي الْبَاقِي. وَهَذَا إِذَا قِيلَ إِنَّ الْحَجْرَ بِالْفَلَسِ جَارٍ مَجْرَى حَجْرِ الْمَرَضِ.

Pendapat kedua: bahwa hal itu bersifat tergantung. Jika dalam hartanya terdapat kecukupan untuk melunasi utangnya, maka pembebasan utang itu sah. Namun jika dalam hartanya tidak terdapat kecukupan untuk melunasi utangnya, maka pembebasan utang itu batal terhadap bagian yang berhadapan dengan sisa utang. Jika sisa tersebut berhadapan dengan seluruh diyat, maka seluruh pembebasan utang menjadi batal. Jika berhadapan dengan sebagian diyat, maka pembebasan utang batal sebesar bagian yang berhadapan dengan sisa tersebut, baik sepertiga atau setengah, dan sah pada sisanya. Hal ini berlaku jika dikatakan bahwa status pailit karena kefakiran dipersamakan dengan status pailit karena sakit.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ الْجِنَايَةُ عَمْدًا تُوجِبُ الْقَوَدَ، فَالْمُفْلِسُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَقْتَصَّ أَوْ يَأْخُذَ الْمَالَ سَوَاءٌ كَانَتِ الْجِنَايَةُ عَلَيْهِ أَوْ عَلَى غَيْرِهِ فَانْتَقَلَ إِرْثًا إِلَيْهِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا} [الإسراء: 33] . فَإِنْ أَرَادَ الْقِصَاصَ لَمْ يَكُنْ لِلْغُرَمَاءِ عَلَيْهِ اعْتِرَاضٌ وَإِنْ أَرَادَ الْمَالَ كَانَ لَهُ وَقُسِّمَ بَيْنَ غُرَمَائِهِ، وَإِنْ عُفي عَنِ الْقِصَاصِ وَلَمْ يُصَرَّحْ بِالْعَفْوِ عَنِ الْمَالِ سَقَطَ الضَّمَانُ. وَفِي سُقُوطِ الْمَالِ قَوْلَانِ. مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي جِنَايَةِ الْعَمْدِ مَا الَّذِي تُوجِبُ؟

Jenis kedua adalah apabila tindak pidana (jinayah) dilakukan secara sengaja yang mewajibkan qishāsh. Maka orang yang pailit memiliki pilihan antara melakukan qishāsh atau mengambil harta, baik jinayah itu terjadi pada dirinya sendiri maupun pada orang lain lalu diwariskan kepadanya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya} [al-Isrā’: 33]. Jika ia menghendaki qishāsh, maka para kreditur tidak berhak mengajukan keberatan terhadapnya. Namun jika ia menghendaki harta, maka harta itu menjadi miliknya dan dibagikan kepada para krediturnya. Jika dimaafkan dari qishāsh tanpa secara tegas memaafkan harta, maka gugurlah jaminan (tanggungan). Terkait gugurnya harta, terdapat dua pendapat yang didasarkan pada perbedaan pendapat Imam Syafi‘i mengenai jinayah ‘amdan, apa yang menjadi kewajibannya?

فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: أنَّهَا تُوجِبُ الْقِصَاصَ، فَأَمَّا الْمَالُ فَإِنَّمَا يَجِبُ بِاخْتِيَارِ الْوَلِيِّ – فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ سَقَطَ حَقُّهُ مِنَ الْمَالِ إِذَا لَمْ يَخْتَرْهُ فِي الْحَالِ.

Salah satu dari dua pendapat: bahwa jinayah tersebut mewajibkan qishāsh, adapun harta hanya wajib jika dipilih oleh wali. Maka menurut pendapat ini, haknya atas harta gugur jika tidak memilihnya saat itu juga.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أنَّ جِنَايَةَ الْعَمْدِ تُوجِبُ أَحَدَ شَيْئَيْنِ إِمَّا الْقِصَاصَ أَوِ الْمَالَ – فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ لَا يَسْقُطُ الْمَالُ بِعَفْوِهِ عن القصاص فأما إن عفى الْمُفْلِسُ عَنِ الْأَمْرَيْنِ مَعًا مِنَ الْقِصَاصِ وَالْمَالِ وَصَرَّحَ بِهِمَا فِي عَفْوِهِ صَحَّ عَفْوُهُ عَنِ الْقِصَاصِ، وَفِي عَفْوِهِ عَنِ الْمَالِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

Pendapat kedua: bahwa jinayah ‘amdan mewajibkan salah satu dari dua hal, yaitu qishāsh atau harta. Maka menurut pendapat ini, harta tidak gugur hanya dengan pemaafan terhadap qishāsh. Adapun jika orang pailit memaafkan kedua-duanya sekaligus, baik qishāsh maupun harta, dan ia menegaskan keduanya dalam pemaafannya, maka pemaafannya terhadap qishāsh sah. Adapun pemaafannya terhadap harta, terdapat tiga pendapat:

أحدهما: أَنَّ عَفْوَهُ صَحِيحٌ وَقَدْ سَقَطَ الْمَالُ. وَهَذَا إِذَا قِيلَ إِنَّ جِنَايَةَ الْعَمْدِ تُوجِبُ الْقِصَاصَ وَحْدَهُ وَأَنَّ الْمَالَ لَا يَجِبُ إِلَّا بِاخْتِيَارِ الولي فيسقط المال يعفوه عَنْهُ، لِأَنَّ أَحَدًا لَا يُجْبَرُ عَلَى تَمَلُّكِ مَالٍ مِنْ مَحْجُورٍ عَلَيْهِ وَمُطْلَقٍ.

Pertama: bahwa pemaafannya sah dan harta tersebut gugur. Ini jika dikatakan bahwa jinayah ‘amdan hanya mewajibkan qishāsh saja dan harta tidak wajib kecuali jika dipilih oleh wali, maka harta gugur dengan pemaafan darinya, karena tidak seorang pun dipaksa untuk memiliki harta dari orang yang sedang dalam status pailit maupun yang bebas.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ عَفْوَهُ عَنِ الْمَالِ بَاطِلٌ وَتُؤْخَذُ الدِّيَةُ وَتُقَسَّمُ بينَ غُرَمَائِهِ وَهُنَا إِذَا قِيلَ إِنَّ جِنَايَةَ الْعَمْدِ تُوجِبُ الْقِصَاصَ أَوِ الْمَالَ وَإِنَّ حَجْرَ الْمُفْلِسِ يَجْرِي مَجْرَى حَجْرِ السَّفَهِ.

Pendapat kedua: bahwa pemaafannya terhadap harta tidak sah dan diyat diambil serta dibagikan kepada para krediturnya. Ini jika dikatakan bahwa jinayah ‘amdan mewajibkan qishāsh atau harta, dan bahwa status pailit orang yang muflis dipersamakan dengan status pailit karena kebodohan (safih).

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّ عَفْوَهُ مَوْقُوفٌ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْحَجْرَ عَلَيْهِ جَارٍ مَجْرَى حَجْرِ الْمَرَضِ لِيَنْظُرَ هَلْ فِي مَالِهِ وَفَاءٌ بِدَيْنِهِ فَيَصِحَّ أَوْ عجز عنه فيبطل.

Pendapat ketiga: bahwa pemaafannya bersifat tergantung, jika dikatakan bahwa status pailitnya dipersamakan dengan status pailit karena sakit, untuk melihat apakah dalam hartanya terdapat kecukupan untuk melunasi utangnya, maka pemaafan itu sah, atau jika tidak mampu, maka pemaafan itu batal.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَيْسَ عَلَى الْمُفْلِسِ أَنْ يُؤَاجِرَ وَذُو الْعُسْرَةِ يُنْظَرُ إِلَى مَيْسَرَةٍ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Orang yang pailit tidak wajib untuk menyewakan (dirinya/tenaganya), dan orang yang dalam kesulitan diberi tenggang waktu hingga mampu (membayar).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا فَضَلَتْ عَلَى الْمُفْلِسِ دُيُونٌ بَعْدَ قِسْمَةِ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُؤَاجِرَ بِهَا وَقَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ: يَجِبُ أَنْ يُؤَاجِرَهُ الْحَاكِمُ بِأُجْرَةٍ تُقْضَى بِهَا بَاقِي دُيُونِهِ. اسْتِدْلَالًا بِمَا رَوَى ابْنُ أَبِي أَوْفَى أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَاعَ سَرْقًا فِي دَيْنٍ وَالْحُرُّ لَا تُبَاعُ رَقَبَتُهُ ثَبَتَ أَنَّهُ بَاعَ مَنَافِعَهُ، وَبِمَا رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ” أَجَّرَ مُفْلِسًا ” وَلَيْسَ لَهُ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ، وَلِأَنَّ الْقُدْرَةَ عَلَى الْعَمَلِ كَالْقُدْرَةِ عَلَى الْمَالِ فِي تَحْرِيمِ الصَّدَقَةِ بِهِمَا فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي تَعَلُّقِ دُيُونِ الْمُفْلِسِ بِهِمَا وَلِأَنَّ الْمَنَافِعَ كَالْأَعْيَانِ فِي ضَمَانِهَا فِي الْعَقْدِ الصَّحِيحِ بِالْمُسَمَّى وَفِي الْفَاسِدِ بِعِوَضِ الْمِثْلِ ثُمَّ إِذَا كَانَتِ الْأَعْيَانُ مَبِيعَةً عَلَى الْمُفْلِسِ وَجَبَ أَنْ تَكُونَ الْمَنَافِعُ مَبِيعَةً عَلَيْهِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى مَا قُلْنَا قَوْله تَعَالَى: {وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ} [البقرة: 280] فَأَمَرَ بِإِطْلَاقِهِ بَعْدَ الْإِعْسَارِ، ولأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا حَجَرَ عَلَى مُعَاذٍ قَالَ لِغُرَمَائِهِ: ” خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ فَلَيْسَ لَكُمْ إِلَّا ذَلِكَ ” وَرُوِيَ ” لَا سَبِيلَ لَكُمْ عَلَيْهِ “، وَلِأَنَّ مَنَافِعَ الْحُرِّ لَيْسَتْ بِمَالٍ وَإِنَّمَا هِيَ أَسْبَابٌ إِلَى تَمَلُّكِ الْمَالِ وَالْإِنْسَانُ لَا يُجْبَرُ عَلَى أَسْبَابِ التَّمْلِيكِ إِذَا أَفْلَسَ كَمَا لَا يُجْبَرُ عَلَى قَبُولِ الْهِبَةِ وَالْوَصِيَّةِ وَعَلَى خُلْعِ الزَّوْجَةِ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ رِوَايَتِهِمْ أَنَّهُ بَاعَ سَرْقًا فِي دَيْنٍ: فَهُوَ أَنَّهُ مُنْقَطِعٌ لَا يَلْزَمُنَا الْأَخْذُ بِهِ وَلَوْ لَزِمَ لَجَازَ أَنْ يَكُونَ سَرَقَ عَبْدًا بَاعَهُ فِي دَيْنِ سَيِّدِهِ أَوْ حُرًّا أَجَّرَهُ بِاخْتِيَارِ نَفْسِهِ أَوْ بَاعَهُ فِي صَدْرِ الْإِسْلَامِ حِينَ كَانَ الشَّرْعُ وَارِدًا فِي الْحُرِّ بِجَوَازِ بَيْعِهِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عُمَرَ: فَهُوَ أَنَّهُ فَعَلَ ذَلِكَ بِاخْتِيَارِ الْمُفْلِسِ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ الْقُدْرَةَ عَلَى الْعَمَلِ كَالْقُدْرَةِ عَلَى الْمَالِ فِي تَحْرِيمِ الصَّدَقَةِ فَفَاسِدٌ بِذَاتِ الرُّوحِ فِي أَنَّ الرُّوحَ تَقُومُ مَقَامَ الْمَالِ فِي تَحْرِيمِ الصَّدَقَةِ وَلَا تَقُومُ مقام فِي قَضَاءِ الدَّيْنِ وَبِالْأَبَوَيْنِ كَالْمَالِ فِي تَحْرِيمِ الصَّدَقَةِ دُونَ الدَّيْنِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الصَّدَقَةِ أَنَّهُ يَسْتَبِيحُهَا الْمُحْتَاجُ وَالْقَادِرُ عَلَى الْكَسْبِ غَيْرَ مُحْتَاجٍ وَقَضَاءُ الدَّيْنِ يَتَعَلَّقُ بِالْمَالِ وَالْقُدْرَةُ عَلَى الكسب ليس بِمَالٍ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الِاسْتِدْلَالِ بِأَنَّ الْمَنَافِعَ كَالْأَعْيَانِ: فَهُوَ أَنَّهَا لَيْسَتْ بِمَالٍ وَإِنَّمَا يَجُوزُ أَنْ يَصِيرَ فِي الثَّانِي مَالًا وَلَوْ كَانَتْ مَالًا لَوَجَبَ عَلَى غَاصِبِ الْحُرِّ ضَمَانُ مَنَافِعِهِ والله أعلم.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, jika setelah pembagian harta seorang yang bangkrut (muflis) masih tersisa utang-utang atas dirinya, maka tidak boleh menyewakannya (untuk melunasi utang tersebut). Malik dan Ahmad berpendapat: Hakim wajib menyewakannya dengan upah yang digunakan untuk melunasi sisa utangnya. Mereka berdalil dengan riwayat dari Ibnu Abi Aufa bahwa Nabi ﷺ menjual “saraq” dalam utang, padahal orang merdeka tidak boleh dijual tubuhnya, maka yang tetap adalah beliau menjual manfaatnya. Juga dengan riwayat bahwa Umar bin Khattab ra. “menyewakan seorang muflis” dan tidak ada sahabat yang menentangnya. Karena kemampuan bekerja itu seperti kemampuan memiliki harta dalam hal larangan menerima sedekah dengan keduanya, maka keduanya harus disamakan dalam kaitannya dengan utang-utang muflis. Dan karena manfaat itu seperti barang (‘ayn) dalam hal jaminan pada akad yang sah dengan nilai yang disepakati, dan pada akad yang rusak dengan pengganti sepadan. Maka jika barang (‘ayn) dijual atas muflis, seharusnya manfaat pun dijual atasnya. Dalil atas apa yang kami katakan adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan maka berilah tangguh sampai dia lapang} (QS. Al-Baqarah: 280), maka Allah memerintahkan untuk membebaskannya setelah kesulitan. Dan karena Nabi ﷺ ketika membatasi harta Mu‘adz, beliau berkata kepada para krediturnya: “Ambillah apa yang kalian temukan, tidak ada hak bagi kalian kecuali itu,” dan diriwayatkan pula: “Tidak ada jalan bagi kalian atasnya.” Karena manfaat orang merdeka bukanlah harta, melainkan hanya sebab untuk memperoleh harta, dan manusia tidak dipaksa untuk melakukan sebab-sebab kepemilikan jika ia bangkrut, sebagaimana ia tidak dipaksa menerima hibah, wasiat, atau menceraikan istrinya dengan khulu‘. Adapun jawaban atas riwayat mereka bahwa beliau menjual “saraq” dalam utang: riwayat itu terputus, sehingga kami tidak wajib mengamalkannya. Andaikan wajib, bisa jadi “saraq” itu adalah budak yang dijual dalam utang tuannya, atau orang merdeka yang disewakan dengan pilihannya sendiri, atau dijual pada awal Islam ketika syariat masih membolehkan penjualan orang merdeka. Adapun jawaban atas hadis Umar: beliau melakukan itu dengan pilihan si muflis. Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa kemampuan bekerja seperti kemampuan memiliki harta dalam larangan sedekah, maka itu rusak dengan dalil ruh, karena ruh menempati posisi harta dalam larangan sedekah, tetapi tidak dalam pelunasan utang. Demikian pula orang tua, seperti harta dalam larangan sedekah, tetapi tidak dalam utang. Makna larangan sedekah adalah bahwa yang berhak menerima adalah yang membutuhkan, sedangkan yang mampu bekerja tidak membutuhkan. Adapun pelunasan utang berkaitan dengan harta, dan kemampuan bekerja bukanlah harta. Adapun jawaban atas dalil bahwa manfaat seperti barang (‘ayn): manfaat itu bukanlah harta, hanya saja bisa menjadi harta pada kondisi kedua. Jika manfaat itu harta, maka wajib atas orang yang merampas orang merdeka untuk menjamin manfaatnya. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُتْرَكُ لَهُ مِنْ مَالِهِ قَدْرَ مَا لَا غِنَى بِهِ عَنْهُ وَأَقَلُّ مَا يَكْفِيهِ وَأَهْلَهُ يَوْمَهُ مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَإِنْ كَانَ لِبَيْعِ مَالِهِ حَبْسٌ أَنْفَقَ مِنْهُ عَلَيْهِ وَعَلَى أَهْلِهِ كُلَّ يَوْمٍ أَقَلَّ مَا يَكْفِيهِمْ مِنْ نَفَقَةٍ وَكُسْوَةٍ كَانَ ذَلِكَ فِي شِتَاءٍ أَوْ صَيْفٍ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ قَسْمِ مَالِهِ بَيْنَ غُرَمَائِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dan dibiarkan untuknya dari hartanya sejumlah yang tidak bisa ia tinggalkan, dan paling sedikit yang mencukupi dirinya dan keluarganya pada hari itu berupa makanan dan minuman. Jika ada penundaan dalam penjualan hartanya, maka ia menafkahkan darinya untuk dirinya dan keluarganya setiap hari sekadar yang paling sedikit mencukupi mereka, baik berupa nafkah maupun pakaian, baik di musim dingin maupun panas, hingga selesai pembagian hartanya di antara para krediturnya.”

قال الماوردي: وهذا كما قال مؤونة الْمُفْلِسِ فِي زَمَانِ حَجْرِهِ وَاجِبَةٌ فِي مَالِهِ وكذلك مؤونة مَنْ يَلْزَمُهُ الْإِنْفَاقُ عَلَيْهِ مِنَ الْأَقَارِبِ وَالزَّوْجَاتِ يُقَدَّمُ بِهَا عَلَى الْغُرَمَاءِ وَأَصْحَابِ الدُّيُونِ لِقَوْلِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ابْدَأْ بِنَفْسِكَ ثُمَّ بِمَنْ تَعُولُ ” وَلِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِلْأَعْرَابِيِّ حِينَ قَالَ: إِنَّ مَعِي دِينَارًا. قَالَ: ” أَنْفِقْهُ عَلَى نَفْسِكَ ” قَالَ: إِنَّ مَعِي آخَرَ قَالَ: ” أَنْفِقْهُ عَلَى زَوْجَتِكَ “. قَالَ: إِنَّ مَعِيَ آخَرَ. قَالَ: أَنْفِقْهُ عَلَى وَلَدِكَ، وَلِأَنَّهُ بِالْحَجْرِ مَسْلُوبُ النَّفْعِ مُعَطَّلُ الْكَسْبِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَكُنْ ذَا مَالٍ لَوَجَبَ نَفَقَتُهُ عَلَى كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ فَوَجَبَ إِذَا كَانَ لَهُ مَالٌ أَنْ يَقَدَّمَ بِإِنْفَاقٍ مِنْهُ فَإِنْ قِيلَ إِنَّمَا يَتَقَدَّمُ بِنَفَقَةِ نَفْسِهِ فَأَمَّا نَفَقَةُ أَقَارِبِهِ الَّتِي هِيَ مواساة وهو بنفسه لَيْسَ مِنْ أَهْلِ الْمُوَاسَاةِ فَلَمْ يُقَدَّمْ بِهَا قِيلَ، لِأَنَّ نَفَقَاتِ الْأَقَارِبِ تَجْرِي قَبْلَ الْفَلَسِ مَجْرَى نَفَقَةِ نَفْسِهِ فَأُجْرِيَتْ عَلَى ذَلِكَ بَعْدَ فَلَسِهِ فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ مُسْتَحِقٌّ فِي مُدَّةِ حجرة تقدر مؤنته ومؤنة زوجته وأقاربه.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan bahwa nafkah bagi orang yang muflis (bangkrut) pada masa penahanan hartanya adalah wajib diambil dari hartanya. Demikian pula nafkah bagi orang-orang yang wajib dinafkahi dari kalangan kerabat dan istri-istrinya, didahulukan atas para kreditur dan pemilik piutang, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Mulailah dari dirimu sendiri, kemudian kepada orang yang menjadi tanggunganmu.” Dan juga sabda beliau ﷺ kepada seorang Arab Badui ketika berkata: “Sesungguhnya aku memiliki satu dinar.” Beliau bersabda: “Belanjakanlah untuk dirimu sendiri.” Ia berkata: “Aku masih punya satu lagi.” Beliau bersabda: “Belanjakanlah untuk istrimu.” Ia berkata: “Aku masih punya satu lagi.” Beliau bersabda: “Belanjakanlah untuk anakmu.” Karena dengan adanya penahanan (hajr), ia kehilangan manfaat dan terhalang untuk memperoleh penghasilan. Dan seandainya ia tidak memiliki harta, maka nafkahnya menjadi kewajiban seluruh kaum muslimin. Maka apabila ia memiliki harta, wajib didahulukan untuk dinafkahkan darinya. Jika dikatakan: “Yang didahulukan hanyalah nafkah untuk dirinya sendiri, adapun nafkah untuk kerabatnya yang sifatnya adalah bantuan, sedangkan ia sendiri bukan termasuk orang yang wajib dibantu, maka tidak didahulukan untuk itu.” Maka dijawab: Karena nafkah kerabat berlaku sebelum terjadi kebangkrutan sebagaimana nafkah untuk dirinya sendiri, maka demikian pula setelah ia bangkrut. Jika telah tetap bahwa ia berhak mendapatkan nafkah selama masa penahanan, maka ditentukan kebutuhan nafkah untuk dirinya, istrinya, dan kerabatnya.

فالمؤونة: هِيَ الْقُوتُ وَالْكُسْوَةُ، فَأَمَّا الْقُوتُ فَمُقَدَّرُ الزَّمَانِ بِمُدَّةِ حَجْرِهِ وَمُعْتَبَرُ الْقَدْرِ بِحَسَبِ كِفَايَتِهِ فَإِنْ كَانَتْ مُدَّةُ الْحَجْرِ يَوْمًا وَاحِدًا لَمْ يُنْفَقْ عَلَيْهِ أَكْثَرُ مِنْهُ وَإِنْ كَانَتْ شَهْرًا لَمْ يُقْصَرْ عَنْهُ وَلَا يُعْتَبَرْ فِي الْقُوتِ حَالُ شَهَوَاتِهِ وَمَلَاذِّهِ وَإِنَّمَا يُعْتَبَرُ قُوتُ مِثْلِهِ الَّذِي لَا يَسْتَغْنِي عَنْهُ وَأَمَّا الْكُسْوَةُ فَإِنْ كَانَتْ عَلَيْهِ كُسْوَةٌ مُتَمَاسِكَةٌ لَيْسَ فِيهَا سَرَفٌ تُرِكَتْ عَلَى حَالِهَا وَلَمْ يَكُنْ غَيْرُهَا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ كُسْوَةٌ أَوْ كَانَتْ قد أخلقت اشتهى لَهُ مِنْ مَالِهِ كُسْوَةَ مِثْلِهِ وَلَا يُعْتَبَرُ أَنْ تَكُونَ كَافِيَةً لِمُدَّةِ حَجْرِهِ كَمَا اعْتَبَرْنَا في الفوت لِأَمْرَيْنِ:

Adapun kebutuhan (al-mu’nah): adalah makanan pokok dan pakaian. Untuk makanan pokok, ditentukan sesuai dengan lamanya masa penahanan dan kadarnya disesuaikan dengan kebutuhannya. Jika masa penahanan hanya satu hari, maka tidak boleh dinafkahi lebih dari itu. Jika sebulan, maka tidak boleh dikurangi. Dalam makanan pokok tidak diperhitungkan keinginan dan kenikmatannya, melainkan yang diperhitungkan adalah makanan pokok yang biasa dikonsumsi orang sepertinya yang tidak bisa ditinggalkan. Adapun pakaian, jika ia sudah memiliki pakaian yang layak dan tidak berlebihan, maka dibiarkan sebagaimana adanya dan tidak diberikan yang lain. Jika ia tidak memiliki pakaian atau pakaiannya sudah rusak, maka dibelikan dari hartanya pakaian yang layak untuknya. Tidak disyaratkan pakaian itu cukup untuk seluruh masa penahanan sebagaimana pada makanan pokok, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ تَبْعِيضَ الْقُوتِ مُمْكِنٌ وَتَبْعِيضُ الْكُسْوَةِ عَلَى الزَّمَانِ غَيْرُ مُمْكِنٍ

Pertama: Makanan pokok bisa dibagi-bagi sesuai waktu, sedangkan pakaian tidak bisa dibagi-bagi menurut waktu.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَا بُدَّ بَعْدَ فَكِّ الْحَجْرِ عَنْهُ أَنْ يَكُونَ مَسْتُورَ الْعَوْرَةِ مُعَرَّضًا لِلْكَسْبِ بِمَا يَتَجَمَّلُ بِهِ مِنْ ثِيَابٍ فَإِنْ كَانَ الزَّمَانُ شِتَاءً فَكُسْوَةُ مِثْلِهِ فِي الشِّتَاءِ وَإِنْ كَانَ صَيْفًا فَكُسْوَةُ مِثْلِهِ فِي الصَّيْفِ وَلَا يَلْزَمُ أَنْ يَجْمَعَ لَهُ بَيْنَ كُسْوَةِ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ.

Kedua: Setelah penahanan atas dirinya dicabut, ia harus tetap menutup aurat dan siap untuk mencari nafkah dengan pakaian yang layak. Jika waktunya musim dingin, maka diberikan pakaian yang sesuai untuk musim dingin; jika musim panas, maka diberikan pakaian yang sesuai untuk musim panas. Tidak wajib mengumpulkan pakaian musim dingin dan musim panas sekaligus untuknya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن كانت ثيابه كلها عوالي مُجَاوِزَةَ الْقَدْرِ اشْتَرَى لَهُ مِنْ ثَمَنِهَا أَقَلَّ مَا يُلْبَسُ أَقْصِدُ مَا يَكْفِيهِ فِي مِثْلِ حَالِهِ وَمَنْ تَلْزَمُهُ مُؤْنَتُهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seluruh pakaiannya adalah pakaian mahal yang melebihi kebutuhan, maka dibelikan untuknya dari hasil penjualan pakaian tersebut pakaian yang paling sedikit yang cukup untuknya sesuai keadaannya dan orang-orang yang wajib ia nafkahi.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّهُ إِنَّمَا يَتْرُكُ عَلَيْهِ مَا لَا غَنَاءَ بِهِ عَنْهُ فَإِذَا كَانَتْ ثِيَابُهُ غَوَالِيَ كَثِيرَةَ الْأَثْمَانِ اسْتَغْنَى عَنْهَا بِمَا هُوَ أَقَلُّ ثَمَنًا مِنْهَا فَيُبَاعُ عَلَيْهِ وَيَشْتَرِي لَهُ مِنْهَا كُسْوَةَ مِثْلِهِ الَّتِي لَا يَسْتَغْنِي عَنْهَا وَيُقَسِّمُ فَاضِلَ ثَمَنِهَا بَيْنَ غُرَمَائِهِ فَلَوْ كَانَ قَدْ كسى أَقَارِبَهُ قَبْلَ الْحَجْرِ ثِيَابًا غَوَالِيَ وَهِيَ بَاقِيَةٌ عَلَيْهِمْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَبْدِلَ بِهَا مَا هُوَ أَدْوَنُ مِنْهَا، لِأَنَّهَا خَارِجَةٌ عَنْ مِلْكِهِ وَإِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ فِي كُسْوَةِ نَفْسِهِ لِبَقَائِهَا على ملكه.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, karena yang dibiarkan padanya hanyalah apa yang tidak bisa ia tinggalkan. Jika pakaiannya mahal dan bernilai tinggi, maka ia cukup dengan pakaian yang lebih murah, sehingga pakaian mahal itu dijual dan dibelikan untuknya pakaian yang layak yang tidak bisa ia tinggalkan, dan kelebihan hasil penjualannya dibagikan kepada para krediturnya. Jika ia telah memberikan pakaian mahal kepada kerabatnya sebelum penahanan dan pakaian itu masih ada pada mereka, maka tidak boleh diganti dengan yang lebih rendah, karena pakaian itu telah keluar dari kepemilikannya. Hal ini hanya berlaku pada pakaian dirinya sendiri karena masih menjadi miliknya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ مَاتَ كُفِّنَ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ قَبْلَ الْغُرَمَاءِ وَحُفِرَ قَبْرُهُ وَمُيِّزَ بِأَقَلِّ مَا يَكْفِيهِ وَكَذَلِكَ مَنْ يَلْزَمُهُ أَنْ يُكَفِّنَهُ ثُمَّ قَسَّمَ الْبَاقِي بَيْنَ غُرَمَائِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia meninggal dunia, maka ia dikafani dari harta pokoknya sebelum dibagikan kepada para kreditur, digali kuburnya, dan diberikan penanda dengan biaya paling sedikit yang mencukupi, demikian pula bagi orang yang wajib ia kafani, kemudian sisanya dibagikan kepada para krediturnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا مَاتَ الْمُفْلِسُ أَوْ مَاتَ مِنْ أَقَارِبِهِ من تلزمه مؤونته وجب أن يقدم تكفينه ومؤونة دَفْنِهِ مِنْ أَصْلِ مَالِهِ عَلَى سَائِرِ غُرَمَائِهِ لأنه لما قدم لمؤونته حَيًّا فَأَوْلَى أَنْ يُقَدَّمَ بِهَا مَيِّتًا، وَلِأَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ إِذَا حَضَرَ جِنَازَةً قَالَ: ” هَلْ عَلَى صَاحِبِكُمْ مِنْ دَيْنٍ ” فَإِنْ قَالُوا: نَعَمْ. قَالَ: صَلُّوا عَلَيْهِ ” وَيَمْتَنِعُ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَتْرُكْ وَفَاءً لِدَيْنِهِ مَعَ عِلْمِهِ بِأَنَّهُ في كفن ولم يوجب بيعه في دينه فإذا ثبت أن يُقَدَّمَ تَكْفِينُهُ فَهَلْ يَقْتَصِرُ بِهِ فِي الْكَفَنِ عَلَى ثَوْبٍ وَاحِدٍ أَوْ عَلَى ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar, apabila seorang yang muflis meninggal dunia atau salah satu dari kerabatnya yang wajib ia tanggung meninggal, maka wajib didahulukan kain kafan dan biaya pemakamannya dari harta pokoknya atas seluruh para krediturnya. Sebab, ketika ia masih hidup, kebutuhannya didahulukan, maka lebih utama lagi didahulukan ketika ia telah meninggal. Dan karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- apabila menghadiri jenazah, beliau bersabda: “Apakah sahabat kalian ini memiliki utang?” Jika mereka menjawab: “Ya,” beliau berkata: “Salatkanlah dia,” dan beliau menahan diri dari mensalatkan jenazah tersebut, karena ia tidak meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi utangnya, padahal beliau mengetahui bahwa ia dikafani dan tidak mewajibkan penjualan kain kafannya untuk membayar utangnya. Jika telah tetap bahwa kain kafannya harus didahulukan, maka apakah cukup dengan satu helai kain kafan atau tiga helai kain kafan? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُكَفَّنَ بِثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ كَمَا يُكَفَّنُ بِهَا إِذَا كَانَ حَيًّا.

Pertama: Dikafani dengan tiga helai kain, sebagaimana ia dikafani dengan tiga helai kain jika ia masih hidup.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يكفن في ثوب واحد، لأن الْقَدْرُ الْوَاجِبُ وَخَالَفَ الْحَيَّ لِأَنَّ الْحَيَّ مُحْتَاجٌ إِلَى التَّحَمُّلِ لِتَعَرُّضِهِ لِلْمَكَاسِبِ. وَأَمَّا الْحَنُوطُ فَفِيهِ وجهان أحدهما أن يشتري من ماله العرق الْجَارِيَ بِهِ وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَلْزَمُ، لِأَنَّهُ جَارٍ مَجْرَى الطِّيبِ فَلَمْ يَكُنْ فِي مَالِ الْمُفْلِسِ سَعَةٌ لَهُ – وَكَذَا الْحُكْمُ فِي كَفَنِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَقَارِبِهِ الَّذِينَ تَلْزَمُهُ نَفَقَاتُهُمْ فَأَمَّا كَفَنُ زَوْجَتِهِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا فِي مَالِهِ أَيْضًا وَالثَّانِي فِي مَالِهَا.

Pendapat kedua: Dikafani dengan satu helai kain saja, karena itu adalah kadar yang wajib. Berbeda dengan orang hidup, karena orang hidup membutuhkan perlindungan untuk mencari penghidupan. Adapun mengenai hanuth (wewangian untuk jenazah), terdapat dua pendapat: salah satunya, dibelikan dari hartanya dengan minyak yang biasa digunakan; pendapat kedua, tidak wajib, karena hanuth itu seperti parfum, sehingga tidak ada kelapangan dalam harta orang muflis untuk itu. Demikian pula hukum kafan bagi kerabatnya yang meninggal dan nafkahnya wajib ia tanggung. Adapun kafan untuk istrinya, ada dua pendapat: pertama, dari hartanya juga; kedua, dari harta istrinya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُبَاعُ عَلَيْهِ مَسْكَنُهُ وَخَادِمُهُ لِأَنَّ مِنْ ذَلِكَ بدا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Boleh dijual rumah dan pembantunya, karena itu termasuk hal yang tidak bisa tidak (harus dilakukan).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ يُبَاعُ عَلَى الْمُفْلِسِ فِي دَيْنِهِ مَسْكَنُهُ وَخَادِمُهُ وَإِنْ كَانَ إِلَيْهِمَا مُحْتَاجًا. وَقَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ: لَا يَجُوزُ بيعها عليه. ورووا عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ تَعَلُّقًا بِحَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” حَظُّ ابْنِ آدَمَ مِنَ الدُّنْيَا ثَلَاثٌ خِرْقَةٌ تُوَارِيهِ وَكُسْوَةٌ تَكْفِيهِ وَمَسْكَنٌ يُؤْوِيهِ ” قَالَ ابْنُ عُمَرَ: وَأَنَا أَزِيدُ فِيهِ وَزَوْجَةٌ يَسْكُنُ إِلَيْهَا. قَالُوا: وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزْ بَيْعُ ثِيَابِهِ الَّتِي عَلَيْهِ لِحَاجَتِهِ إِلَيْهَا لَمْ يَجُزْ بَيْعُ مَسْكَنِهِ وَخَادِمِهِ لِحَاجَتِهِ إِلَيْهِمَا قَالُوا وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ كَالْمُعْسِرِينَ فِي الْكَفَّارَةِ وَكَالْفُقَرَاءِ فِي أَخْذِ الزَّكَاةِ فَكَذَلِكَ فِي الْمُفْلِسِ وَدَلِيلُنَا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِغُرَمَاءِ مُعَاذٍ: ” خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ لَيْسَ لَكُمْ غَيْرُهُ “. وَلِأَنَّهُ لَا حَاجَةَ بِهِ إِلَى تَمَلُّكِ الْمَسْكَنِ وَالْخَادِمِ لِأَنَّهُ قَدْ يَقْدِرُ عَلَى مَسْكَنٍ يَكْرَى وَخَادِمٍ بِأُجْرَةٍ وَبِذَلِكَ قَدْ جَرَتِ الْعَادَةُ وَهِيَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ: لِأَنَّ مِنْ ذَلِكَ بُدًّا. أَيْ مِنْ مِلْكِ الْمَسْكَنِ دُونَ سُكْنَاهُ وَمِنْ مِلْكِ الْخَادِمِ دُونَ اسْتِخْدَامِهِ وَإِذَا كَانَ عَنْ ذَلِكَ مُسْتَغْنِيًا وَجَبَ بَيْعُهُ عَلَيْهِ كَسَائِرِ أَمْوَالِهِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا بِيعَ عَلَيْهِ ضَيَاعُهُ وَإِنْ كَانَ مُحْتَاجًا إِلَى اسْتِغْلَالِهَا جَازَ أَنْ يُبَاعَ عَلَيْهِ دَارُهُ فَإِنْ كَانَ مُحْتَاجًا إِلَى سُكْنَاهَا فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ فَهُوَ أَنَّهُ وَارِدٌ فِي غَيْرِ الْمُفْلِسِ لِأَنَّهُ قَالَ: ” حَظُّ ابْنِ آدَمَ مِنَ الدُّنْيَا ثَلَاثٌ “. وَالْمُفْلِسُ لَيْسَ لَهُ فِي الدُّنْيَا حَظٌّ وَلَا يَنْزِلُ عَلَيْهِ مِنْهَا نَصِيبٌ وَأَمَّا تَرْكُ ثِيَابِهِ عَلَيْهِ فَلِحَاجَتِهِ إِلَيْهَا وَأَنَّ الْعَادَةَ لَمْ تَجْرِ بِإِجَارَتِهَا وَهِيَ بِإِجَارَةِ الدُّورِ وَالْخَدَمِ جَارِيَةٌ وَأَمَّا الْكَفَّارَةُ فَالْفَرْقُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ دَيْنِ الْمُفْلِسِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, boleh dijual rumah dan pembantu orang muflis untuk membayar utangnya, meskipun ia membutuhkan keduanya. Ahmad dan Ishaq berkata: Tidak boleh dijual atasnya. Mereka meriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz, terkait dengan hadis Abdullah bin Umar bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Bagian anak Adam dari dunia ada tiga: kain yang menutupi tubuhnya, pakaian yang mencukupinya, dan rumah yang menaunginya.” Ibnu Umar berkata: “Dan aku menambahkan: istri yang ia tempati bersamanya.” Mereka berkata: Karena tidak boleh menjual pakaian yang dipakainya karena ia membutuhkannya, maka tidak boleh pula menjual rumah dan pembantunya karena ia membutuhkannya. Mereka juga berkata: Karena ia seperti orang yang tidak mampu dalam kafarat dan seperti orang fakir dalam menerima zakat, maka demikian pula dalam hal muflis. Dalil kami adalah sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada para kreditur Mu‘adz: “Ambillah apa yang kalian temukan, tidak ada lagi selain itu untuk kalian.” Dan karena tidak ada kebutuhan untuk memiliki rumah dan pembantu, karena ia bisa saja mendapatkan rumah sewaan dan pembantu dengan upah, dan demikianlah kebiasaan yang berlaku. Inilah maksud perkataan Imam Syafi‘i: “Karena itu termasuk hal yang tidak bisa tidak (harus dilakukan),” maksudnya dari kepemilikan rumah, bukan dari menempatinya, dan dari kepemilikan pembantu, bukan dari memanfaatkannya. Jika ia sudah tidak membutuhkan itu, maka wajib dijual seperti harta yang lain. Karena tanah miliknya saja boleh dijual meskipun ia membutuhkan hasilnya, maka boleh pula dijual rumahnya jika ia membutuhkan tempat tinggal. Adapun jawaban atas hadis tersebut adalah bahwa hadis itu berlaku untuk selain orang muflis, karena Nabi bersabda: “Bagian anak Adam dari dunia ada tiga.” Sedangkan orang muflis tidak memiliki bagian di dunia dan tidak mendapatkan bagian darinya. Adapun membiarkan pakaiannya tetap dipakai karena ia membutuhkannya dan kebiasaan tidak berlaku untuk menyewakannya, sedangkan menyewa rumah dan pembantu adalah hal yang biasa. Adapun kafarat, perbedaannya dengan utang orang muflis ada dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا حَقٌّ لِلَّهِ تَعَالَى يَتَّسِعُ لِلْمُسَامَحَةِ فَلَمْ يُبَعْ فِيهَا الْمَسْكَنُ وَالْخَادِمُ وَالدَّيْنُ حَقٌّ لِآدَمِيٍّ يَضِيقُ عَنِ الْمُسَامَحَةِ فَبِيعَ فِيهِ الْمَسْكَنُ وَالْخَادِمُ.

Pertama: Bahwa ia adalah hak Allah Ta‘ala yang memungkinkan adanya keringanan, sehingga dalam hal ini tidak dijual tempat tinggal, pembantu, dan utang adalah hak manusia yang sempit dari keringanan, maka dijual di dalamnya tempat tinggal dan pembantu.

وَالثَّانِي: أَنَّ لِلْكَفَّارَةِ بَدَلًا مِنَ الْمَالِ وَهُوَ الصِّيَامُ فَلَمْ يُبَعْ عَلَيْهِ مَسْكَنُهُ لِرُجُوعِهِ إِلَى بَدَلٍ وَلَيْسَ لِلْمَالِ فِي دَيْنِ الْآدَمِيِّ بَدَلٌ وَأَمَّا أَخْذُهُ لِلزَّكَاةِ كَالْفُقَرَاءِ مَعَ وُجُودِ الْخَادِمِ وَالْمَسْكَنِ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمَقْصُودَ بِأَخْذِ الزَّكَاةِ الِاسْتِغْنَاءُ بِهَا فَجَازَ أَنْ يَأْخُذَهَا وَإِنْ كَانَ لَهُ بَعْضُ الْغَنَاءِ وَفِي الْفَلَسِ قَضَاءُ الدَّيْنِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُؤَخِّرَ مَعَ وُجُودِ بَعْضِ الْغَنَاءِ.

Kedua: Bahwa untuk kafārah terdapat pengganti dari harta, yaitu puasa, sehingga tidak dijual tempat tinggalnya karena adanya pengganti tersebut. Sedangkan untuk harta dalam utang kepada manusia tidak ada penggantinya. Adapun menerima zakat seperti fakir miskin meskipun memiliki pembantu dan tempat tinggal, maka perbedaannya adalah bahwa tujuan dari menerima zakat adalah untuk mencukupi kebutuhan dengannya, sehingga boleh ia mengambilnya meskipun memiliki sebagian kecukupan. Sedangkan dalam kasus pailit adalah untuk melunasi utang, maka tidak boleh menunda pembayaran utang padahal masih memiliki sebagian kecukupan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ أَقَامَ شَاهِدًا عَلَى رَجُلٍ بِحَقٍّ وَلَمْ يَحْلِفْ مَعَ شَاهِدِهِ فَلَيْسَ لِلْغُرَمَاءِ أَنْ يَحْلِفُوا ليس لَهُمْ إِلَّا مَا تَمَّ مِلْكُهُ عَلَيْهِ دُونَهُمْ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang mendatangkan seorang saksi atas hak terhadap seseorang, namun ia tidak bersumpah bersama saksinya, maka para kreditur tidak boleh bersumpah. Mereka hanya berhak atas apa yang telah sempurna kepemilikannya atas orang itu, bukan yang lainnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي مُفْلِسٍ ادَّعَى عَلَى رَجُلٍ مَالًا وَأَقَامَ عَلَى دَعْوَاهُ شَاهِدًا فَإِنْ حَلَفَ مَعَ شَاهِدِهِ وَجَبَ لَهُ الْمَالُ وَإِنْ نَكَلَ وَأَجَابَ الْغُرَمَاءُ إِلَى الْيَمِينِ مَعَ شَاهِدِهِ لِعِلْمِهِمْ بِصِدْقِهِ وَأَنَّ الْمَالَ صَائِرٌ إِلَيْهِمْ فَفِيهِ قَوْلَانِ: وَهَكَذَا لَوِ ادَّعَى الْمُفْلِسُ مَالًا لَيْسَ لَهُ بِهِ شَاهِدٌ وَأَنْكَرَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ وَلَمْ يَحْلِفْ وَرُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَى الْمُفْلِسِ فَنَكَلَ وَأَرَادَ الْغُرَمَاءُ أَنْ يَحْلِفُوا فَفِيهِ قَوْلَانِ فَالْجَوَابُ فِي الْمَسْأَلَتَيْنِ وَاحِدٌ. وَفِي جَوَازِ إِحْلَافِ الْغُرَمَاءِ فِيهَا قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada seorang yang pailit yang menuntut seseorang atas sejumlah harta dan mendatangkan seorang saksi atas tuntutannya. Jika ia bersumpah bersama saksinya, maka harta itu menjadi wajib baginya. Jika ia enggan bersumpah dan para kreditur bersedia bersumpah bersama saksinya karena mereka mengetahui kebenarannya dan bahwa harta itu akan berpindah kepada mereka, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Demikian juga jika orang yang pailit menuntut harta yang tidak ada saksi atasnya, lalu orang yang dituntut mengingkari dan tidak bersumpah, kemudian sumpah dikembalikan kepada orang yang pailit, lalu ia enggan bersumpah dan para kreditur ingin bersumpah, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Jawaban dalam kedua masalah ini adalah sama. Dalam kebolehan para kreditur untuk bersumpah dalam kasus ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: وَهُوَ الْقَدِيمُ – يَجُوزُ لَهُمْ أَنْ يَحْلِفُوا لِأَمْرَيْنِ:

Salah satu dari dua pendapat—yaitu pendapat lama—membolehkan mereka untuk bersumpah karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَالَ الْمُفْلِسِ صَائِرٌ إِلَيْهِمْ كَمَا يَصِيرُ مَالُ الْمَيِّتِ إِلَى وَرَثَتِهِ فَلَمَّا جَازَ لِلْوَرَثَةِ أَنْ يَحْلِفُوا عَلَى مَالِ الْمَيِّتِ جَازَ لِلْغُرَمَاءِ أَنْ يَحْلِفُوا عَلَى مَالِ الْمُفْلِسِ.

Pertama: Bahwa harta orang yang pailit akan berpindah kepada mereka sebagaimana harta orang yang meninggal berpindah kepada ahli warisnya. Maka ketika ahli waris boleh bersumpah atas harta mayit, demikian pula para kreditur boleh bersumpah atas harta orang yang pailit.

وَالثَّانِي: أَنَّ حَقَّ الْغُرَمَاءِ فِي مَالِ الْمُفْلِسِ أَثْبَتُ مِنْ حَقِّ الْوَكِيلِ فِي مَالِ الْمُوَكِّلِ فَلَمَّا جَازَ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَحْلِفَ فِي إِثْبَاتِ مِلْكِ الْمُوَكِّلِ إِذَا اخْتَلَفَ الْوَكِيلُ وَالْبَائِعُ فِي ثَمَنِ الْمَبِيعِ وَلَيْسَ يَثْبُتُ لَهُمْ حَقٌّ فِي مَالِ الْمُوَكِّلِ فَأَوْلَى أَنْ يَجُوزَ إِحْلَافُ الْغُرَمَاءِ لِثُبُوتِ حُقُوقِهِمْ فِي مَالِ الْمُفْلِسِ.

Kedua: Bahwa hak para kreditur atas harta orang yang pailit lebih kuat daripada hak wakil atas harta orang yang diwakilkan. Maka ketika wakil boleh bersumpah dalam menetapkan kepemilikan orang yang diwakilkan jika terjadi perselisihan antara wakil dan penjual tentang harga barang yang dijual, padahal mereka tidak memiliki hak atas harta orang yang diwakilkan, maka lebih utama lagi membolehkan para kreditur bersumpah karena hak mereka telah tetap atas harta orang yang pailit.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ الْجَدِيدُ – أنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُمْ أَنْ يَحْلِفُوا لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua—yaitu pendapat barunya—bahwa mereka tidak boleh bersumpah karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَالَ يَمْلِكُهُ الْمُفْلِسُ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ تَلِفَ كَانَ تَالِفًا فِي حَقِّهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَمْلِكَ أَحَدٌ مَالًا بِيَمِينِ غَيْرِهِ لِأَنَّهَا تَكُونُ نِيَابَةٌ فِي الْأَيْمَانِ وَالنِّيَابَةِ فِي الْيَمِينِ لَا تَصِحُّ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَنُوبَ عَنْهُ غَيْرُ الْغُرَمَاءِ وَلَيْسَ تَعَلُّقُ حُقُوقِ الْغُرَمَاءِ بِمَالِهِ دَلِيلًا عَلَى جَوَازِ يَمِينِهِمْ عَنْهُ أَلَا تَرَى أَنَّ مُسْتَأْجِرَ الدَّارِ لَوْ غَصَبَ مِنْهُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَحْلِفَ عَلَى الْغَاصِبِ أَنَّهُ غَصَبَهَا مِنْهُ وَإِنْ تَعَلَّقَ حَقُّهُ بِهَا وَمُرْتَهِنُ الرَّهْنِ لَوْ غَصَبَ مِنْهُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَحْلِفَ عَلَيْهِ وَإِنْ تَعَلَّقَ حَقُّ اسْتِيفَائِهِ بِهِ.

Pertama: Bahwa harta itu masih dimiliki oleh orang yang pailit. Tidakkah engkau melihat, jika harta itu rusak, maka kerusakannya menjadi tanggung jawabnya. Tidak boleh seseorang memiliki harta dengan sumpah orang lain, karena itu merupakan perwakilan dalam sumpah, dan perwakilan dalam sumpah tidak sah, sebagaimana tidak boleh selain para kreditur mewakilinya. Keterkaitan hak para kreditur dengan hartanya bukanlah dalil bolehnya mereka bersumpah atas namanya. Tidakkah engkau melihat bahwa penyewa rumah, jika rumah itu dirampas darinya, tidak boleh ia bersumpah atas perampas bahwa rumah itu dirampas darinya, meskipun haknya terkait dengan rumah itu. Demikian pula pemegang gadai, jika barang gadai dirampas darinya, tidak boleh ia bersumpah atas perampasnya, meskipun hak pemenuhan haknya terkait dengan barang gadai tersebut.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْيَمِينَ فِي إِثْبَاتِ دَعْوَى الْمُفْلِسِ كَالْيَمِينِ فِي نَفْيِ الدَّعْوَى عَنْهُ فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ لِلْغُرَمَاءِ أَنْ يَحْلِفُوا فِي نَفْيِ مَا ادَّعَى عَلَيْهِ إِذَا أَنْكَرَ وَنَكَلَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَحْلِفُوا فِي إِثْبَاتِ مَا ادَّعَاهُ إِذَا صَارَتِ الْيَمِينُ لَهُ فَنَكَلَ أَلَا تَرَى أَنَّ الْوَرَثَةَ لَمَّا جَازَ لَهُمْ أَنْ يَحْلِفُوا فِي إِثْبَاتِ الدَّعْوَى لِلْمَيِّتِ جَازَ أَنْ يَحْلِفُوا فِي نَفْيِ الدَّعْوَى عَنْهُ وَهَذَا تَوْجِيهٌ وَانْفِصَالٌ.

Kedua: Sumpah dalam menetapkan klaim si muflis (orang yang pailit) sama seperti sumpah dalam menolak klaim terhadapnya. Maka, ketika para kreditur tidak diperbolehkan bersumpah untuk menolak apa yang didakwakan terhadap si muflis apabila ia mengingkari dan menolak bersumpah, maka tidak diperbolehkan pula bagi mereka untuk bersumpah dalam menetapkan apa yang didakwakan olehnya apabila sumpah itu beralih kepadanya lalu ia menolak bersumpah. Tidakkah engkau melihat bahwa para ahli waris, ketika mereka diperbolehkan bersumpah untuk menetapkan klaim bagi si mayit, maka mereka juga diperbolehkan bersumpah untuk menolak klaim terhadapnya? Inilah penjelasan dan perinciannya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِنْ قِيلَ بِأَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ لَا يَجُوزُ لِلْغُرَمَاءِ أَنْ يَحْلِفُوا فَلَا مَسْأَلَةَ. وَإِنْ قِيلَ بِالْأَوَّلِ إنَّهُ يَجُوزُ لَهُمْ أَنْ يَحْلِفُوا حَلَفَ جَمِيعُهُمْ كَمَا يَحْلِفُ جَمِيعُ الْوَرَثَةِ فَإِنْ حَلَفَ بَعْضُهُمْ قضي لَهُ مِنَ الدَّعْوَى بِقَدْرِ حِصَّةِ دَيْنِهِ مِنْهَا وَلَا يَكُونُ نكول غيره بمسقط لِحَقِّهِ بَعْدَ يَمِينِهِ كَمَا لَوْ حَلَفَ بَعْضُ الْوَرَثَةِ وَنَكَلَ بَعْضُهُمْ قضي لَهُ بِقَدْرِ حِصَّتِهِ.

Jika dikatakan menurut pendapat yang paling sahih dari dua pendapat, para kreditur tidak boleh bersumpah, maka tidak ada masalah (yang perlu dibahas). Namun jika dikatakan menurut pendapat pertama bahwa mereka boleh bersumpah, maka seluruhnya harus bersumpah sebagaimana seluruh ahli waris bersumpah. Jika sebagian dari mereka bersumpah, maka diputuskan baginya dari klaim tersebut sebesar bagian utang yang menjadi haknya, dan penolakan bersumpah dari yang lain tidak menggugurkan haknya setelah ia bersumpah, sebagaimana jika sebagian ahli waris bersumpah dan sebagian lainnya menolak, maka diputuskan baginya sesuai dengan bagiannya.

(بَابٌ الدَّيْنُ عَلَى الْمَيِّتِ وَالْعُهْدَةُ فِي مَالِ المفلس)

(Bab: Utang atas orang yang telah meninggal dan tanggungan dalam harta orang yang pailit)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” مَنْ بِيعَ عَلَيْهِ فِي دَيْنٍ بَعْدَ مَوْتِهِ أَوْ فِي حَيَاتِهِ أَوْ تَفْلِيسِهِ فَهَذَا كُلُّهُ سَوَاءٌ وَالْعُهْدَةُ فِي مَالِ الْمَيِّتِ كَهِيَ فِي مَالِ الْحَيِّ لَا اخْتِلَافَ فِي ذَلِكَ عِنْدِي “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Barang siapa yang dijual hartanya karena utang setelah kematiannya, atau ketika masih hidupnya, atau karena dipailitkan, maka semuanya sama saja. Tanggungan (jaminan) dalam harta si mayit sama seperti dalam harta orang yang masih hidup; menurutku tidak ada perbedaan dalam hal ini.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا بِيعَتْ أَمْوَالُ الْمُفْلِسِ عَلَيْهِ وَضَاعَتْ مِنْ أَيْدِي الْأُمَنَاءِ عَلَيْهَا كَانَ تَلَفُهَا مِنْ مَالِ الْمُفْلِسِ دُونَ غرمائه وكذا ما باعه ولي على طِفْلٍ أَوْ وَصِيٌّ فِي تَرِكَةٍ أَوْ وُكل فِي بَيْعِ رَهْنٍ أَوْ عَلَى مُوَكَّلٍ وَقَالَ أبو حنيفة: الثَّمَنُ التَّالِفُ مِنْ مَالِ الْغُرَمَاءِ دُونَ الْمُفْلِسِ. وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ كَانَ الثَّمَنُ مِنْ جِنْسِ حُقُوقِهِمْ ذَهَبًا أَوْ وَرِقًا فَهُوَ تَالِفٌ مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ جنس حقهم سلعة أو عوضا فَهُوَ تَالِفٌ مِنْ مَالِ الْمُفْلِسِ. وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَ أَبِي حَنِيفَةَ فِي كِتَابِ الرَّهْنِ، وَصَارَ مَذْهَبُ مَالِكٍ فَاسِدًا بِالْحَجَاجِيزِ وَسَنَذْكُرُ مِنَ الدَّلَالَةِ عَلَيْهِ مَا يَكُونُ عَلَى طَرِيقِ التَّوْجِيهِ لِصِحَّةِ الْمَذْهَبِ فِيهِ فَنَقُولُ إِنَّ بَدَلَ كُلِّ شيء في حكم مبدله فإما كَانَ تَلَفُ الْمَبِيعِ مِنْ مَالِ الْمُفْلِسِ فَكَذَا تَلَفُ بَدَلِهِ، وَلِأَنَّ أَمِينَ الْحَاكِمِ فِي الْبَيْعِ يَنُوبُ عَنِ الْمُفْلِسِ فِيهِ وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ تَلَفَ الثَّمَنِ إِذَا كَانَ الْمُفْلِسُ هُوَ الْبَائِعُ مَضْمُونٌ عَلَيْهِ دُونَ غُرَمَائِهِ فَكَذَا تَلَفُهُ مِنَ النَّائِبِ عَنْهُ يُوجِبُ أَنْ يَكُونَ مَضْمُونًا عَلَيْهِ دون غرمائه.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, apabila harta si muflis dijual atasnya dan harta itu hilang dari tangan para penjaga yang dipercaya atasnya, maka kerugian tersebut ditanggung dari harta si muflis, bukan dari para krediturnya. Demikian pula apa yang dijual oleh wali atas anak kecil, atau washi (pelaksana wasiat) dalam harta warisan, atau orang yang diberi kuasa dalam penjualan barang gadai, atau atas orang yang diwakili. Abu Hanifah berkata: Harga yang hilang ditanggung dari harta para kreditur, bukan dari si muflis. Malik berkata: Jika harga itu sejenis dengan hak mereka, berupa emas atau perak, maka kerugiannya dari harta mereka; namun jika bukan sejenis hak mereka, berupa barang atau pengganti, maka kerugiannya dari harta si muflis. Telah dijelaskan pembahasan bersama Abu Hanifah dalam Kitab ar-Rahn, dan pendapat Malik menjadi rusak (tidak sah) karena adanya keberatan-keberatan, dan kami akan menyebutkan dalil yang menunjukkan penjelasan untuk menguatkan kebenaran mazhab dalam hal ini. Maka kami katakan: Sesungguhnya pengganti setiap sesuatu hukumnya sama dengan yang digantikan. Jika kerugian barang yang dijual ditanggung dari harta si muflis, maka demikian pula kerugian penggantinya. Dan karena penjaga yang ditunjuk hakim dalam penjualan mewakili si muflis dalam hal itu, dan telah tetap bahwa kerugian harga jika si muflis adalah penjualnya, maka tanggung jawab ada padanya, bukan pada para krediturnya. Maka demikian pula kerugian dari wakilnya mengharuskan tanggung jawab itu padanya, bukan pada para krediturnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ بِيعَتْ دَارُهُ بِأَلْفٍ وَقَبَضَ أَمِينُ الْقَاضِي الثَّمَنَ فَهَلَكَ مِنْ يَدِهِ وَاسْتُحِقَّتِ الدَّارُ فَلَا عُهْدَةَ عَلَى الْغَرِيمِ الَّذِي بِيعَتْ لَهُ وَأَحَقُّ النَّاسِ بِالْعُهْدَةِ الْمَبِيعُ عَلَيْهِ فَإِنْ وُجِدَ لَهُ مَالٌ بِيعَ ثُمَّ رُدَّ عَلَى الْمُشْتَرِي مَالُهُ لِأَنَّهُ مَأْخُوذٌ مِنْهُ بِبَيْعٍ وَلَمْ يُسَلَّمْ لَهُ فإن لم يوجد له شيء فلا ضمان على القاضي ولا أمينه ويقال للمشتري أنت غريم المفلس أو الميت كغرمائه سَوَاءٌ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika rumahnya dijual seharga seribu, lalu penjaga yang ditunjuk hakim menerima harga tersebut, kemudian uang itu hilang dari tangannya dan rumah itu ternyata harus dikembalikan (karena ada cacat atau sebab lain), maka tidak ada tanggungan pada kreditur yang rumah itu dijual kepadanya. Orang yang paling berhak menanggung adalah orang yang dijual hartanya. Jika ditemukan harta miliknya, maka dijual lalu dikembalikan kepada pembeli uangnya, karena uang itu diambil darinya melalui jual beli dan belum diserahkan kepadanya. Jika tidak ditemukan harta miliknya, maka tidak ada tanggungan atas hakim maupun penjaganya, dan dikatakan kepada pembeli: ‘Engkau adalah kreditur si muflis atau si mayit seperti para kreditur lainnya.'”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا بِيعَتْ دَارُ الْمُفْلِسِ عَلَيْهِ وَاسْتَحَقَّتِ الدَّارُ مِنْ يَدِ الْمُشْتَرِي اسْتَحَقَّ الرُّجُوعَ بِثَمَنِهَا فَإِنْ كَانَ الثَّمَنُ مَوْجُودًا رَجَعَ بِهِ الْمُشْتَرِي وَكَذَا لَوِ اقْتَسَمَهُ الْغُرَمَاءُ رَجَعَ بِهِ عَلَيْهِمْ فَأَمَّا إِنْ كَانَ الثَّمَنُ قَدْ تَلِفَ مِنْ يَدِ الْأَمِينِ فَالَّذِي رَوَاهُ الْمُزَنِيُّ أَنَّ الْمُشْتَرِيَ يَقْدَمُ بِالثَّمَنِ مِنْ مَالِ الْمُفْلِسِ عَلَى جَمِيعِ الْغُرَمَاءِ. وَرَوَى الرَّبِيعُ وَحَرْمَلَةُ أَنَّ الْمُشْتَرِيَ يَكُونُ فِي الرُّجُوعِ بِالثَّمَنِ أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ وَلَا يَتَقَدَّمُ بِهِ عَلَيْهِمْ. وَاخْتَلَفَ أصحابنا فَذَهَبَ بَعْضُهُمْ إِلَى أَنَّ الْمَسْأَلَةَ عَلَى قَوْلَيْنِ لِاخْتِلَافِ الرِّوَايَتَيْنِ.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana ia berkata, “Apabila rumah orang yang pailit dijual atasnya, lalu rumah itu ternyata berhak dimiliki oleh orang lain dan diambil dari tangan pembeli, maka pembeli berhak menuntut kembali harga rumah tersebut. Jika harga itu masih ada, maka pembeli dapat mengambilnya kembali. Demikian pula jika harga itu telah dibagi-bagikan kepada para kreditur, maka pembeli dapat menuntut kembali dari mereka. Namun, jika harga itu telah hilang dari tangan orang yang dipercaya (untuk memegangnya), maka menurut riwayat yang disampaikan oleh al-Muzani, pembeli didahulukan dalam mengambil harga tersebut dari harta orang yang pailit atas seluruh kreditur. Sedangkan menurut riwayat ar-Rabi‘ dan Harmalah, pembeli dalam menuntut kembali harga tersebut diperlakukan sama dengan para kreditur dan tidak didahulukan atas mereka. Para ulama kami berbeda pendapat; sebagian mereka berpendapat bahwa masalah ini memiliki dua pendapat karena perbedaan dua riwayat tersebut.

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمُشْتَرِيَ يَتَقَدَّمُ بِالثَّمَنِ عَلَى جَمِيعِ الْغُرَمَاءِ وَهُوَ الَّذِي رَوَاهُ الْمُزَنِيُّ وَوَجَّهَهُ أَنَّ الْمُشْتَرِيَ لَمْ يَرْضَ بِذِمَّةِ الْمُفْلِسِ أَنْ يَكُونَ حَقُّهُ ثَابِتًا فِيهَا إِلَّا أَنْ يتعجل مالا يصير حقه متعلقا بها أُجُور الْبَاعَةِ وَأَكْرِيَة الْخَانَاتِ.

Salah satunya: bahwa pembeli didahulukan dalam mengambil harga atas seluruh kreditur, dan inilah yang diriwayatkan oleh al-Muzani. Alasannya adalah bahwa pembeli tidak rela haknya tetap berada dalam tanggungan orang yang pailit kecuali jika ia segera mendapatkan harta yang menjadi haknya, sebagaimana upah para penjual dan sewa penginapan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أنَّ الْمُشْتَرِيَ يَكُونُ أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ بِالثَّمَنِ وَهُوَ الَّذِي رَوَاهُ الرَّبِيعُ وَحَرْمَلَةُ وَوَجْهُهُ أَنَّهُ حَقٌّ ثَبَتَ فِي ذِمَّةِ الْمُفْلِسِ فَسَاوَى الْغُرَمَاءَ فِيهِ لِاسْتِوَائِهِمْ فِي مَحَلِّ الْحَقِّ وَلَيْسَ ثُبُوتُ ذَلِكَ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ يُوجِبُ تَقْدِيمَهُ عَلَى غَيْرِهِ أَلَا تَرَى أَنَّ الْمُفْلِسَ لَوْ غَصَبَ مَالًا فَأَتْلَفَهُ كَانَ الْمَغْصُوبُ مِنْهُ أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ بِقِيمَتِهِ وَإِنْ كَانَ ثُبُوتُ ذَلِكَ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ وَخَالَفَ أُجُورَ الْبَاعَةِ وسائر المؤن التي هي مصلحة لماله لَا يَسْتَغْنِي الْمُفْلِسُ عَنْهَا. وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ حَمَلَ اخْتِلَافَ الرِّوَايَتَيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَجَعَلَ رِوَايَةَ الْمُزَنِيِّ فِي تَقْدِيمِ الْمُشْتَرِي عَلَى الْغُرَمَاءِ أَنْ يَكُونَ حُدُوثُ الِاسْتِحْقَاقِ قَبْلَ فَكِّ الْحَجْرِ عَنْهُ وَرِوَايَةَ الرَّبِيعِ وَحَرْمَلَةَ فِي مُشَارَكَةِ الْمُشْتَرِي لِلْغُرَمَاءِ إِذَا كَانَ حُدُوثُ الِاسْتِحْقَاقِ بَعْدَ فَكِّ الحجر عنه فإذا أحدث له حجر ثَانِيًا كَانَ الْمُشْتَرِي وَجَمِيعُ الْغُرَمَاءِ أُسْوَةً فِيمَا بيده.

Pendapat kedua: bahwa pembeli diperlakukan sama dengan para kreditur dalam menuntut kembali harga, dan inilah yang diriwayatkan oleh ar-Rabi‘ dan Harmalah. Alasannya adalah karena hak itu telah tetap dalam tanggungan orang yang pailit, sehingga ia setara dengan para kreditur karena mereka sama-sama memiliki hak pada tempat yang sama. Dan kenyataan bahwa hak itu tetap tanpa pilihannya tidak menyebabkan ia didahulukan atas yang lain. Tidakkah engkau lihat, jika orang yang pailit merampas harta lalu membinasakannya, maka orang yang dirampas hartanya diperlakukan sama dengan para kreditur dalam menuntut nilainya, meskipun hal itu terjadi tanpa pilihannya? Ini berbeda dengan upah para penjual dan seluruh biaya lain yang merupakan kemaslahatan bagi hartanya, yang tidak bisa ditinggalkan oleh orang yang pailit. Di antara ulama kami ada yang menafsirkan perbedaan dua riwayat itu berdasarkan perbedaan dua keadaan: mereka menjadikan riwayat al-Muzani tentang didahulukannya pembeli atas para kreditur jika terjadinya hak kepemilikan sebelum pencabutan status pailit darinya, dan riwayat ar-Rabi‘ dan Harmalah tentang pembeli diperlakukan sama dengan para kreditur jika terjadinya hak kepemilikan setelah pencabutan status pailit darinya. Maka jika kemudian ia kembali dipailitkan, maka pembeli dan seluruh kreditur diperlakukan sama atas apa yang ada di tangannya.

باب جواز حبس من عليه الدين

(Bab tentang bolehnya menahan orang yang berutang)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا ثَبَتَ عَلَيْهِ الدَّيْنُ بِيعَ مَا ظَهَرَ لَهُ وَدُفِعَ وَلَمْ يُحْبَسْ وَإِنْ لَمْ يَظْهَرْ حُبِسَ وَبِيعَ مَا قُدِرَ عَلَيْهِ مِنْ مَالِهِ فإن ذكر عسرة قبلت منه البينة لقول الله جل وعز {وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ} وأحلفه مع ذلك بالله وأخليه “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Apabila utang telah tetap atas seseorang, maka dijual apa yang tampak dari hartanya dan diserahkan (kepada kreditur), dan ia tidak ditahan. Namun, jika tidak tampak hartanya, maka ia ditahan dan dijual apa yang dapat diperoleh dari hartanya. Jika ia menyatakan dirinya dalam kesulitan, maka diterima sumpahnya dengan bukti, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai ia lapang} dan aku bersumpahkannya atas nama Allah dan membebaskannya.”

قال الماوردي: وهذا كما قال إذا حجر عَلَى الْمُفْلِسِ بِدُيُونِهِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَظْهَرَ لَهُ مَالٌ أَوْ لَا يَظْهَرَ فَإِنْ ظَهَرَ لَهُ مَالٌ بِيعَ فِي دَيْنِهِ وَالْأَوْلَى أَنْ يَتَوَلَّاهُ الْمُفْلِسُ إِنْ كَانَ حَاضِرًا لِيَقَعَ الْإِشْهَادُ عَلَيْهِ بَعْدَ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ الْحَاكِمُ فِيهِ وَلَيْسَ يَحْتَاجُ إِلَى إِثْبَاتِ الْبَيِّنَةِ عِنْدَ الْحَاكِمِ بِمِلْكِ مَا بَاعَ إِذَا كَانَ هُوَ الْمُتَوَلِّي لِبَيْعِهِ فَإِنْ لَمْ يَحْضُرْ بَيْعَ مَالِهِ أَوْ حَضَرَ فَامْتَنَعَ مِنْ بَيْعِهِ لَمْ يَجُزْ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَبِيعَهُ إِلَّا بَعْدَ ثُبُوتِ الْبَيِّنَةِ عِنْدَ تَمَلُّكِهِ لَهُ وَإِذَا ثَبَتَتْ بِهِ الْبَيِّنَةُ وَيُقَدَّمُ بِالْبَيْعِ إِلَى أَمِينٍ لَهُ وَأَجَازَ الْحَاكِمُ بَيْعَهُ فَإِذَا بِيعَتْ عَلَيْهِ أَمْوَالُهُ الظَّاهِرَةُ فَإِنْ كَانَ فِيهَا وَفَاءٌ بِدَيْنِهِ فَكَّ حَجْرَهُ فِي الْحَالِ لِزَوَالِ مَا يَسْتَحِقُّ بِهِ الْحَجْرَ وَالْحَجْرُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ يَرْتَفِعُ بِقَضَاءِ الدَّيْنِ وَلَا يَفْتَقِرُ إِلَى حُكْمِ الْحَاكِمِ بِرَفْعِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيمَا بِيعَ مِنْ مَالِهِ وَفَاءٌ بِدَيْنِهِ كَانَ فِيمَا بَقِيَ منه كمن لم يظهر له مال وإذا لم يظهر له مال سُئِلَ عَنْ مَالِهِ؟ فَإِنْ ذَكَرَ مَالًا حُكِمَ فِيهِ بِمَا ذَكَرْنَا فِي مَالِهِ الظَّاهِرِ، وَإِنْ لَمْ يَذْكُرْ لَهُ مَالًا وَادَّعَى الْعُسْرَةَ. سُئِلَ الْغُرَمَاءُ عَنْهُ فَإِنْ صَدَّقُوهُ فِي الْإِعْسَارِ خُلِّيَ عَنْهُ وَلَمْ يَحْبِسْهُ وَفَكَّ حَجْرَهُ لِيَكْتَسِبَ بِتَصَرُّفِهِ مَا يَكُونُ مَصْرُوفًا فِي قَضَاءِ دَيْنِهِ وَإِنْ كَذَّبُوهُ فِي الْإِعْسَارِ وَادَّعَوْا عَلَيْهِ الْيَسَارَ لَمْ تَخْلُ حَالُ الدُّيُونِ الَّتِي لَزِمَتْهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ تَكُونَ فِي مُقَابَلَتِهِ مَالٌ أَوْ لَا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي مُقَابَلَةِ مَالٍ كَأُرُوشِ الْجِنَايَاتِ وَصَدَاقِ الزَّوْجَاتِ وَغُرْمِ الْعَوَارِي وَالضَّمَانِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ فِي الْإِعْسَارِ مَعَ يَمِينِهِ، لِأَنَّ الْأَصْلَ فِي النَّاسِ الْإِعْسَارُ وَيُفَكُّ حَجْرُهُ وَيُطْلَقُ وَلَا يُحْبَسُ إِلَّا أَنْ يُقِيمَ الْغُرَمَاءُ الْبَيِّنَةَ بِيَسَارِهِ – فَإِنْ كَانَتْ دُيُونُهُ فِي مُقَابَلَةِ مال كأثمان المبيعات ويدل الْقَرْضِ فَلَا يُقْبَلُ مِنْهُ دَعْوَاهُ الْإِعْسَارَ لِثُبُوتِ يَسَارِهِ بِمَا صَارَ إِلَيْهِ فِي مُقَابَلَةِ دَيْنِهِ إِلَّا أَنْ يُقِيمَ الْبَيِّنَةَ بِإِعْسَارِهِ فَإِنْ أَقَامَ الْبَيِّنَةَ بِهِ نُظِرَ فِي الْبَيِّنَةِ فَإِنْ شَهِدَتْ بِهَلَاكِهِ وَتَلَفِهِ سُمِعَتْ سَوَاءٌ كَانَ الشُّهُودُ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ الْبَاطِنَةِ بِهِ أَمْ لَا لِأَنَّهَا بَيِّنَةٌ بِثُبُوتِ جَائِحَةٍ قَدْ يَعْلَمُهَا الْبَعِيدُ كَمَا يَعْلَمُهَا الْقَرِيبُ وَإِنْ شَهِدَتِ الْبَيِّنَةُ بِإِعْسَارِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَشْهَدُوا بِتَلَفِ مَالِهِ. فَإِنْ كَانُوا مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ الْبَاطِنَةِ فِيهِ قُبِلَتْ شَهَادَتُهُمْ وَإِنْ لَمْ يَكُونُوا مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ الْبَاطِنَةِ بِهِ لَمْ تُقْبَلْ شَهَادَتُهُمْ لِأَنَّ حُدُوثَ الْإِعْسَارِ لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا مَنْ يُخْبَرُ بَاطِنَ أَمْرِهِ فَإِذَا ثَبَتَتِ الْبَيِّنَةُ بِإِعْسَارِهِ عَلَى مَا وَصَفْنَا فَإِنْ سَأَلَ الْغُرَمَاءُ إِحْلَافَهُ عَلَى إِعْسَارِهِ بَعْدَ إِقَامَةِ الْبَيِّنَةِ عَلَى الْإِعْسَارِ أَحَلَفَ لَهُمْ، وَقَالَ أبو حنيفة لَا يَجُوزُ أَنْ يَحْلِفَ بَعْدَ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ بِإِعْسَارِهِ لِأَنَّ فِي ذَلِكَ جَمْعًا بَيْنَ الْبَيِّنَةِ وَالْيَمِينِ وَذَلِكَ غَيْرُ جَائِزٍ فِي الْأُصُولِ وَهَذَا غَلَطٌ لِأَنَّ مَا يُطَالَبُ بِالْيَمِينِ عَلَى نَفْيِهِ غَيْرُ مَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ بِهِ، لِأَنَّ شَهَادَةَ الْبَيِّنَةِ تَنْفِي مَا ظَهَرَ مِنَ الْمَالِ وَيَمِينُهُ يَنْفِي مَا خَفِيَ مِنَ الْمَالِ فَصَارَ الْمَنْفِيُّ بِالْبَيِّنَةِ غَيْرَ الْمَنْفِيِّ بِالْيَمِينِ وَجَرَى ذَلِكَ مَجْرَى رَجُلٍ ادَّعَى عَلَى رَجُلٍ مَالًا وَأَقَامَ بَيِّنَةً فَادَّعَى الْمَشْهُودُ عَلَيْهِ أَنَّهُ أَبْرَأَهُ مِنَ الدَّيْنِ وَأَنَّ الْمُدَّعِيَ يَحْلِفُ مَعَ الْبَيِّنَةِ بِاللَّهِ أَنَّهُ لَمْ يُبْرِئْهُ وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ جَمْعًا بَيْنَ الْبَيِّنَةِ وَالْيَمِينِ لِأَنَّ مَا أَثْبَتَهُ بِالْبَيِّنَةِ غَيْرُ مَا نَفَاهُ بِالْيَمِينِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يَحْلِفُ مَعَ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ فَحَلَفَ وَجَبَ أَنْ يُفَكَّ عَنْهُ الحجر ويخلى وبماذا يفك حجر عَلَى وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Sebagaimana telah disebutkan, apabila seseorang yang pailit dikenai pembatasan (ḥajr) karena utang-utangnya, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: pertama, harta miliknya tampak, atau kedua, tidak tampak. Jika ternyata ia memiliki harta, maka harta itu dijual untuk membayar utangnya. Yang utama, penjualan itu dilakukan oleh si pailit sendiri jika ia hadir, agar dapat dihadirkan saksi atasnya setelah hakim mengizinkan penjualan tersebut. Ia tidak perlu membuktikan kepemilikan barang yang dijual di hadapan hakim jika ia sendiri yang melakukannya. Namun, jika ia tidak hadir saat penjualan hartanya, atau hadir tetapi menolak menjualnya, maka hakim tidak boleh menjualnya kecuali setelah adanya bukti (bayyinah) atas kepemilikannya. Jika telah ada bukti, maka penjualan dilakukan oleh seorang amīn (orang kepercayaan) yang ditunjuk, dan hakim mengizinkan penjualannya. Jika harta yang tampak telah dijual, dan hasilnya cukup untuk melunasi utangnya, maka pembatasan (ḥajr) atas dirinya dicabut seketika karena hilangnya sebab yang mewajibkan pembatasan tersebut. Dalam hal ini, pembatasan (ḥajr) gugur dengan lunasnya utang, dan tidak memerlukan keputusan hakim untuk mencabutnya.

Namun, jika hasil penjualan hartanya tidak cukup untuk melunasi utangnya, maka sisanya diperlakukan seperti orang yang tidak tampak hartanya. Jika tidak tampak ia memiliki harta, maka ia ditanya tentang hartanya. Jika ia menyebutkan adanya harta, maka diputuskan sebagaimana yang telah dijelaskan pada harta yang tampak. Jika ia tidak menyebutkan adanya harta dan mengaku tidak mampu (‘usr), maka para kreditur (al-ghuramā’) ditanya tentang kebenaran pengakuannya. Jika mereka membenarkan bahwa ia memang tidak mampu, maka ia dibebaskan, tidak ditahan, dan pembatasan (ḥajr) atas dirinya dicabut agar ia dapat berusaha dan memperoleh penghasilan yang dapat digunakan untuk membayar utangnya. Namun, jika para kreditur mendustakan pengakuan tidak mampunya dan menuduhnya mampu, maka utang-utang yang membebaninya tidak lepas dari dua kemungkinan: pertama, ada harta yang sepadan dengannya, atau kedua, tidak ada. Jika tidak ada harta yang sepadan, seperti diyat (denda) jinayah, mahar istri, ganti rugi barang pinjaman, dan jaminan, maka pengakuannya tentang tidak mampu diterima dengan sumpahnya, karena asalnya manusia adalah tidak mampu (al-‘usr), sehingga pembatasan (ḥajr) atas dirinya dicabut, ia dibebaskan, dan tidak ditahan, kecuali jika para kreditur dapat menghadirkan bukti (bayyinah) atas kemampuannya.

Jika utangnya sepadan dengan harta, seperti harga barang dagangan atau piutang, maka pengakuan tidak mampunya tidak diterima karena telah tetap adanya kemampuan dengan harta yang diperolehnya dari utang tersebut, kecuali ia dapat menghadirkan bukti (bayyinah) atas ketidakmampuannya. Jika ia dapat menghadirkan bukti, maka bukti tersebut diperiksa. Jika saksi bersaksi bahwa hartanya telah musnah atau rusak, maka kesaksian itu diterima, baik saksi tersebut orang yang benar-benar mengenalnya atau tidak, karena ini adalah bukti atas terjadinya musibah yang bisa diketahui oleh orang jauh maupun dekat. Namun, jika bukti (bayyinah) hanya menyatakan ketidakmampuannya tanpa menyebutkan musnahnya harta, maka jika saksi adalah orang yang benar-benar mengenalnya, kesaksiannya diterima. Jika bukan, maka kesaksiannya tidak diterima, karena terjadinya ketidakmampuan hanya diketahui oleh orang yang mengetahui keadaan batinnya.

Jika telah ada bukti (bayyinah) atas ketidakmampuannya sebagaimana telah dijelaskan, lalu para kreditur meminta agar ia disumpah atas ketidakmampuannya setelah adanya bukti tersebut, maka ia wajib bersumpah. Abu Hanifah berpendapat tidak boleh bersumpah setelah adanya bukti atas ketidakmampuannya, karena hal itu berarti menggabungkan antara bukti dan sumpah, dan itu tidak dibolehkan dalam ushul. Namun, pendapat ini keliru, karena sumpah yang diminta untuk menafikan sesuatu berbeda dengan apa yang telah dibuktikan oleh bukti. Sebab, kesaksian bukti menafikan harta yang tampak, sedangkan sumpahnya menafikan harta yang tersembunyi. Maka, yang dinafikan dengan bukti berbeda dengan yang dinafikan dengan sumpah. Hal ini seperti seseorang menuntut orang lain atas utang, lalu menghadirkan bukti, kemudian yang dituduh mengaku bahwa ia telah dibebaskan dari utang itu, dan si penuntut bersumpah bersama bukti bahwa ia tidak membebaskannya. Ini tidak dianggap menggabungkan bukti dan sumpah, karena yang dibuktikan dengan bukti berbeda dengan yang dinafikan dengan sumpah. Jika telah tetap bahwa ia bersumpah bersama adanya bukti, lalu ia bersumpah, maka wajib dicabut pembatasan (ḥajr) atas dirinya dan ia dibebaskan. Adapun dengan apa pembatasan (ḥajr) itu dicabut, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ. أَنَّهُ يَنْفَكُّ الْحَجْرُ عَنْهُ بِقِيَامِ الْبَيِّنَةِ بِإِعْسَارِهِ مَعَ يَمِينِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَفْتَقِرَ فَكُّ الْحَجْرِ إِلَى حُكْمِ الْحَاكِمِ بِهِ، لِأَنَّ ثُبُوتَ إِعْسَارِهِ يُوجِبُ فَكَّ حَجْرِهِ كَمَا يُوجِبُ قَضَاءَ دَيْنُهُ ثُمَّ كَانَ قَضَاءُ الدَّيْنِ يَقَعُ بِهِ فَكُّ الْحَجْرِ مِنْ غَيْرِ حُكْمٍ فَكَذَلِكَ الْإِعْسَارُ.

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, menyatakan bahwa status hajr (pembatasan hak bertindak) atas dirinya terangkat dengan adanya bukti yang menunjukkan ia dalam keadaan tidak mampu (‘isār), disertai sumpahnya, tanpa memerlukan keputusan hakim untuk mencabut hajr tersebut. Sebab, terbuktinya keadaan tidak mampu mewajibkan dicabutnya hajr sebagaimana pelunasan utang juga mewajibkan dicabutnya hajr, dan pelunasan utang itu sendiri menyebabkan hajr terangkat tanpa keputusan hakim, maka demikian pula halnya dengan ‘isār.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَنْفَكُّ عَنْهُ الْحَجْرُ إِلَّا بِحُكْمِ الْحَاكِمِ لِأَنَّ تَعَلُّقَ حُقُوقِ الْغُرَمَاءِ بِذِمَّتِهِ يَقْتَضِي وُجُوبَ مُطَالَبَتِهِ فَلَمْ يَسْقُطْ حَقُّهُمْ مِنْ ذَلِكَ إِلَّا بِحُكْمٍ بِخِلَافِ الْمُؤَدِّي لِجَمِيعِ دَيْنِهِ وَيُوشِكُ أَنْ يَكُونَ هَذَانِ الْوَجْهَانِ مخرجان مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي مَعْنَى الْحَجْرِ – فَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى حَجْرِ الْمَرَضِ انْفَكَّ الحجر عنه بغير مرض كَالْمَرِيضِ وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى حَجْرِ السَّفَهِ لَمْ يَنْفَكَّ الْحَجْرُ عَنْهُ إِلَّا بِحُكْمٍ كَالسَّفِيهِ.

Pendapat kedua: hajr tidak akan terangkat darinya kecuali dengan keputusan hakim, karena keterkaitan hak para kreditur dengan tanggungannya menuntut kewajiban untuk menagihnya, sehingga hak mereka tidak gugur kecuali dengan keputusan (hakim), berbeda dengan orang yang telah melunasi seluruh utangnya. Kemungkinan dua pendapat ini bersumber dari perbedaan pendapat beliau mengenai makna hajr: jika dikatakan bahwa hajr ini serupa dengan hajr karena sakit, maka hajr terangkat darinya tanpa keputusan, sebagaimana pada orang sakit; namun jika dikatakan bahwa hajr ini serupa dengan hajr karena safah (ketidakdewasaan/boros), maka hajr tidak terangkat darinya kecuali dengan keputusan, sebagaimana pada orang safīh.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَأَمَّا إِنْ لَمْ تَقُمِ الْبَيِّنَةُ بِإِعْسَارِهِ وَجَبَ حَبْسُهُ بِدُيُونِهِ – إِنْ سَأَلَ الْغُرَمَاءُ حَبْسَهُ – وَحُكِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَاللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُحْبَسَ أَحَدٌ فِي دَيْنٍ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا حَبَسَ فِي دَيْنٍ! قَطُّ وَالدَّلَالَةُ عَلَى جَوَازِ الْحَبْسِ فِي الدَّيْنِ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ يَدًا وَمَقَالًا ” يَعْنِي بِالْيَدِ: الْحَبْسَ وَالْمُلَازَمَةَ وَبِالْمَقَالِ: الِاقْتِضَاءَ وَالْمُطَالَبَةَ وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَيُّ الْوَاجِدِ يُبِيحُ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ “. يَعْنِي بِإِبَاحَةِ الْعَرْضِ: الْمُطَالَبَةَ وَالتَّوْبِيخَ بِالْمُمَاطَلَةِ. وَبِالْعُقُوبَةِ: الْحَبْسَ، لِأَنَّ مَا سِوَى الْحَبْسِ مِنَ الضَّرْبِ وَغَيْرِهِ لَا يَجُوزُ وَقَوْلُهُ: ” لَيُّ الْوَاجِدِ “. يَعْنِي: مَنْعَهُ وَمُمَاطَلَتَهُ. وَمِنْهُ قَوْلُ ذِي الرُّمَّةِ:

Adapun jika tidak ada bukti yang menunjukkan ia dalam keadaan tidak mampu (‘isār), maka wajib ditahan karena utangnya—jika para kreditur meminta agar ia ditahan. Diriwayatkan dari ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz dan al-Layth bin Sa‘d bahwa tidak boleh menahan seseorang karena utang, karena Rasulullah ﷺ tidak pernah menahan seseorang karena utang sama sekali. Dalil yang menunjukkan bolehnya penahanan karena utang adalah sabda beliau ﷺ: “Sesungguhnya pemilik hak memiliki kekuasaan dan ucapan.” Maksud dari “kekuasaan” adalah penahanan dan pengawalan, sedangkan “ucapan” adalah penagihan dan tuntutan. Diriwayatkan pula dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Penundaan oleh orang yang mampu membayar membolehkan kehormatan dan hukumannya.” Maksud dari membolehkan kehormatan adalah penagihan dan teguran atas penundaan, sedangkan maksud dari hukuman adalah penahanan, karena selain penahanan seperti pemukulan dan lainnya tidak diperbolehkan. Sabda beliau: “Penundaan oleh orang yang mampu membayar,” maksudnya adalah menahan dan menunda pembayaran. Di antaranya adalah perkataan Dzu al-Rumma:

(تُطِيلِينَ ليالي وَأَنْتِ مُلِيَّةٌ … فَأَحْسِنْ بِآدَابِ الْوِسَاخِ التَّقَاضِيَا)

(Engkau memperpanjang malam-malamku padahal engkau mampu membayar… Maka berlakulah baik dalam adab menagih utang.)

ثُمَّ يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ الْحَبْسِ أَيْضًا مَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” حَبَسَ رَجُلًا يَوْمًا وَلَيْلَةً فِي تُهْمَةٍ ” فَلَمَّا جَازَ حَبْسُهُ فِي تُهْمَةٍ لَمْ تَثْبُتْ عَلَيْهِ فَأَوْلَى أَنْ يَجُوزَ حَبْسُهُ فِي دَيْنٍ ثَبَتَ عَلَيْهِ، وَلِأَنَّ الْحَبْسَ يُتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى اسْتِيفَاءِ الْحَقِّ وَمَا لَا يُتَوَصَّلُ إِلَى اسْتِيفَاءِ الْحَقِّ إِلَّا بِهِ كَانَ مُسْتَحَقًّا كَالْمُلَازَمَةِ فَإِذًا ثَبَتَ أَنَّهُ يُحْبَسُ بِدَيْنِهِ – فَإِذَا اتَّفَقَ غُرَمَاؤُهُ عَلَى حَبْسِهِ حُبِسَ وَإِنِ اتَّفَقُوا عَلَى تَرْكِهِ أُطْلِقَ وَإِنِ اتَّفَقُوا عَلَى مُلَازَمَتِهِ دُونَ حَبْسِهِ لُوزِمَ، لِأَنَّ الْمُلَازَمَةَ أَقَلُّ ضَرَرًا مِنَ الْحَبْسِ فَأَمَّا إِنْ سَأَلَ بَعْضُ غُرَمَائِهِ حَبْسَهُ وَرَضِيَ الْبَاقُونَ بِإِطْلَاقِهِ وَجَبَ أَنْ يُحْبَسَ لِمَنْ سَأَلَ حَبْسَهُ – وَلَوْ كَانَ وَاحِدًا وَأَقَلَّ جَمَاعَتِهِمْ حَقًّا – وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يَجُوزُ أَنْ يُحْبَسَ لِبَعْضِهِمْ إِذَا أَطْلَقَهُ الْبَاقُونَ حَتَّى يَجْتَمِعُوا عَلَى حَبْسِهِ. وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ حَبْسَهُ مُسْتَحَقٌّ فِي دَيْنِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْقُطَ حَقُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِعَفْوِ غَيْرِهِ كَالْيَمِينِ.

Selanjutnya, yang juga menunjukkan bolehnya penahanan adalah riwayat bahwa Nabi ﷺ pernah menahan seseorang sehari semalam karena tuduhan, maka jika penahanan karena tuduhan yang belum terbukti saja diperbolehkan, maka lebih utama lagi diperbolehkan penahanan karena utang yang telah terbukti. Selain itu, penahanan adalah sarana untuk memperoleh hak, dan sesuatu yang tidak dapat diperoleh kecuali dengan sarana tersebut maka sarana itu menjadi hak, sebagaimana pengawalan. Dengan demikian, telah tetap bahwa seseorang dapat ditahan karena utangnya. Jika para krediturnya sepakat untuk menahan, maka ia ditahan; jika mereka sepakat untuk membebaskannya, maka ia dilepaskan; jika mereka sepakat untuk mengawalnya tanpa menahan, maka ia dikawal, karena pengawalan lebih ringan mudaratnya daripada penahanan. Adapun jika sebagian kreditur meminta penahanan dan yang lain ridha untuk membebaskannya, maka wajib ditahan untuk yang meminta penahanan, meskipun hanya satu orang dan meskipun haknya paling sedikit di antara mereka. Mālik berpendapat: tidak boleh ditahan untuk sebagian mereka jika yang lain membebaskannya, kecuali mereka semua sepakat untuk menahan. Ini adalah pendapat yang keliru, karena penahanan adalah hak dalam setiap utang mereka, sehingga tidak boleh hak salah satu dari mereka gugur karena pemaafan yang lain, sebagaimana dalam masalah sumpah.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَأَمَّا نَفَقَتُهُ فِي مُدَّةِ حَبْسِهِ فَفِي مَالِهِ دُونَ غُرَمَائِهِ. وَذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى وُجُوبِهَا عَلَى غُرَمَائِهِ الْحَابِسِينَ لَهُ. وَحُكِيَ نَحْوُهُ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا. وهذا مذهب مطروح وَقَوْلٌ مَرْدُودٌ، لِأَنَّهُ حُبِسَ لِغُرَمَائِهِ لِيَتَوَصَّلُوا إِلَى حُقُوقِهِمْ بِحَبْسِهِ فَلَوْ لَزِمَتْهُمْ نَفَقَتُهُ لَأَضَرَّ الْحَبْسُ بهم دونه ولا ارتفق بِهِ دُونَهُمْ فَتَبْطُلُ فَائِدَةُ الْحَبْسِ وَالتَّوَصُّلِ إِلَى الْحَقِّ فَإِنْ كَانَ ذَا صَنْعَةٍ فَعَمِلَهَا فِي حَبْسِهِ فَفِي مَنْعِهِ مِنْهَا وَجْهَانِ:

Adapun nafkahnya selama masa penahanannya, maka diambil dari hartanya sendiri, bukan dari para krediturnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa nafkah tersebut wajib ditanggung oleh para kreditur yang menahannya. Pendapat serupa juga dinukil dari sebagian ulama mazhab kami. Namun, ini adalah mazhab yang tertolak dan pendapat yang ditolak, karena ia ditahan demi para krediturnya agar mereka dapat memperoleh hak-hak mereka dengan penahanannya. Jika nafkah itu dibebankan kepada mereka, maka penahanan itu justru akan merugikan mereka, bukan dia, dan mereka tidak akan mendapatkan manfaat darinya, sehingga tujuan penahanan dan upaya memperoleh hak menjadi batal. Jika ia memiliki keahlian lalu bekerja selama masa penahanannya, maka dalam hal melarangnya dari bekerja terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُمْنَعُ، لِأَنَّ فِي تَرْكِهِ وَعَمَلِهِ تَأْخِيرُ أَمْرِهِ وَيُطَاوَلُ، حَبْسُهُ اتِّكَالًا عَلَى عَمَلِهِ.

Pertama: Ia dilarang bekerja, karena jika ia dibiarkan bekerja, urusannya akan tertunda dan masa penahanannya akan diperpanjang dengan mengandalkan penghasilannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّهُ لَا يُمْنَعُ مِنَ الْعَمَلِ لِأَنَّهُ كَسْبٌ يُفْضِي إِلَى قَضَاءِ الدَّيْنِ – وَلَا يَلْزَمُ إِخْرَاجُهُ إِلَى الْجُمَعِ وَالْجَمَاعَاتِ وَلَا يَكُونُ عَاصِيًا بِتَأَخُّرِهِ عَنْهَا إِذَا كَانَ مُعْسِرًا وَلَا يَلْزَمُهُ الِاسْتِئْذَانُ فِي الْخُرُوجِ إِلَى الْجُمُعَةِ إِذَا عَلِمَ بِشَاهِدِ الْحَالِ وَغَالِبِ الْعَادَةِ أَنَّهُ لَوِ اسْتَأْذَنَ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ. وَأَوْجَبَ عَلَيْهِ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ اسْتِئْذَانَ الْمَانِعِ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ فَإِنْ مُنِعَهُ امْتَنَعَ، لِأَنَّ ابْنَ سِيرِينَ حُبِسَ فِي ثَمَنِ زَيْتٍ كَانَ عَلَيْهِ فَكَانَ يَغْتَسِلُ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ وَيَلْبَسُ ثِيَابَهُ وَيَسْتَأْذِنُ فَإِذَا مَنَعَهُ السَّجَّانُ رَجَعَ وَلَوِ اسْتَأْذَنَ صَاحِبَ الدَّيْنِ كَانَ حَسَنًا وَأَمَّا إِذْنُ السَّجَّانِ فَلَا يُؤَثِّرُ وَلَوْ تَمَكَّنُ مِنَ الْخُرُوجِ إِلَى الْجُمُعَةِ لَمْ يَتَأَخَّرْ.

Pendapat kedua, dan inilah yang benar, bahwa ia tidak dilarang bekerja, karena penghasilan itu dapat digunakan untuk membayar utangnya. Ia juga tidak wajib keluar untuk shalat Jumat dan jamaah, dan tidak berdosa jika tidak menghadirinya selama ia dalam keadaan tidak mampu. Ia juga tidak wajib meminta izin untuk keluar ke shalat Jumat jika berdasarkan kebiasaan dan situasi yang ada, diketahui bahwa jika ia meminta izin, tidak akan diizinkan. Sebagian fuqaha mewajibkan meminta izin dari pihak yang menahan setiap kali shalat Jumat, jika dilarang maka ia tidak boleh keluar, karena Ibnu Sirin pernah ditahan karena utang harga minyak, lalu setiap Jumat ia mandi, memakai pakaian, dan meminta izin; jika sipir melarangnya, ia kembali. Jika ia meminta izin kepada pemilik utang, itu adalah hal yang baik. Adapun izin dari sipir, maka itu tidak berpengaruh. Jika ia mampu keluar untuk shalat Jumat, maka ia tidak boleh menunda.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَلَوْ حُبِسَ لِرَجُلٍ بِحَقٍّ فَجَاءَ آخَرُ فَادَّعَى عَلَيْهِ عِنْدَ الْحَاكِمِ حَقًّا جَازَ لِلْحَاكِمِ إِخْرَاجُهُ مِنْ حَبْسِهِ لِاسْتِمَاعِ الدَّعْوَى عَلَيْهِ، وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يَجُوزُ إِخْرَاجُهُ مِنَ الْحَبْسِ لِسَمَاعِ الدَّعْوَى، لِمَا فِيهِ مِنْ إِسْقَاطِ حَقِّ الْأَوَّلِ مِنْ حَبْسِهِ. وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ لِأَنَّ الْحُقُوقَ إِذَا أَمْكَنَ اسْتِيفَاؤُهَا لَمْ يَجُزْ إِسْقَاطُ بَعْضِهَا بِبَعْضٍ وَقَدْ يُمْكِنُ أَنْ يَسْتَوْفِيَ فِي حَقِّ الثَّانِي مِنْ دَعْوَاهُ وَيَرُدَّ إِلَى حَقِّ الْأَوَّلِ فِي حَبْسِهِ وَلَوْ كَانَ مَا قَالَ مَالِكٌ صَحِيحًا لَكَانَ الْحَبْسُ نَافِعًا لَهُ فِي دَفْعِ الدَّعَاوَى عَنْهُ فَلَوْ مَاتَ الْمَحْبُوسُ وَجَبَ إِخْرَاجُهُ مِنْ حَبْسِهِ وَدَفْعُهُ إِلَى أَهْلِهِ لِيَتَوَلَّوْا كَفَنَهُ وَدَفْنَهُ وَلَيْسَ لِلْغُرَمَاءِ أَنْ يَمْنَعُوا مِنْ دَفْنِهِ فَإِنْ مَنَعُوا نُهُوا فَإِنِ انْتَهَوْا وَإِلَّا عُزِّرُوا.

Jika seseorang ditahan karena hak seseorang, lalu datang orang lain mengajukan gugatan hak atasnya di hadapan hakim, maka hakim boleh mengeluarkannya dari tahanan untuk mendengarkan gugatan terhadapnya. Malik berpendapat: Tidak boleh mengeluarkannya dari tahanan untuk mendengarkan gugatan, karena hal itu berarti menggugurkan hak orang pertama atas penahanannya. Pendapat ini tidak benar, karena jika hak-hak itu masih mungkin untuk dipenuhi, maka tidak boleh menggugurkan sebagian hak dengan hak yang lain. Bisa jadi hak orang kedua dapat dipenuhi dari gugatannya, lalu ia dikembalikan ke tahanan untuk hak orang pertama. Jika pendapat Malik benar, maka penahanan akan bermanfaat baginya untuk menolak gugatan-gugatan lain terhadapnya. Jika orang yang ditahan meninggal, maka ia wajib dikeluarkan dari tahanan dan diserahkan kepada keluarganya agar mereka mengurus kafan dan pemakamannya, dan para kreditur tidak berhak melarang pemakamannya. Jika mereka melarang, maka mereka dicegah; jika mereka berhenti, maka cukup, jika tidak, mereka diberi sanksi (ta‘zīr).

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَلَوْ هَرَبَ الْمَحْبُوسُ لَمْ يَجِبْ عَلَى الْحَاكِمِ طَلَبُهُ، لِأَنَّهُ قَدْ فَعَلَ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ مِنْ حَبْسِهِ وَكَانَ لِلْخَصْمِ أَنْ يَطْلُبَهُ فَإِنْ وَجَدَهُ فِي مَوْضِعٍ تَعَذَّرَ عَلَى الْخَصْمِ إِحْضَارُهُ مِنْهُ لَزِمَ الْحَاكِمَ إِحْضَارُهُ مِنْهُ إِذَا كَانَ الْمَوْضِعُ مِنْ عَمَلِهِ فَإِذَا حَضَرَ أَعَادَهُ إِلَى الْحَبْسِ إِذَا سَأَلَ ذَلِكَ الْخَصْمُ ثُمَّ سَأَلَ عَنْ سَبَبِ هَرَبِهِ؟ فَإِنْ قَالَ هَرَبْتُ لِإِعْسَارِي لم يعزر، لِأَنَّهَا شُبْهَةٌ – وَإِنْ لَمْ يَذْكُرِ الْإِعْسَارَ عَزَّرَهُ، وَلَا يُمْنَعِ الْمَحْبُوسُ مِنَ التَّطَلُّعِ إِلَى الطَّرِيقِ مِنْ كُوَّةٍ وَلَا مِنْ مُحَادَثَةِ مَنْ يَزُورُهُ، وَإِذَا وَجَبَ الْحَبْسُ عَلَى امْرَأَةٍ حُبِسَتْ عِنْدَ نِسَاءٍ ثِقَاتٍ أَوْ عِنْدَ ذِي مَحْرَمٍ وَمُنِعَ الزَّوْجُ مِنْهَا وَإِنْ كَانَتْ مُرْضِعًا حُمِلَ الطِّفْلُ إِلَيْهَا لِتُرْضِعَهُ مَا لَمْ تَجِدْ مِنْهُ بُدًّا.

Jika orang yang ditahan melarikan diri, hakim tidak wajib mencarinya, karena ia telah melakukan kewajibannya dengan menahan orang tersebut, dan pihak lawanlah yang berhak mencarinya. Jika pihak lawan menemukannya di tempat yang sulit baginya untuk membawanya, maka hakim wajib menghadirkannya dari tempat itu jika tempat tersebut berada dalam wilayah kekuasaannya. Jika ia telah hadir, maka hakim mengembalikannya ke tahanan jika pihak lawan memintanya. Kemudian hakim menanyakan alasan pelariannya; jika ia berkata, “Aku melarikan diri karena tidak mampu membayar,” maka ia tidak diberi sanksi, karena ada syubhat. Jika ia tidak menyebutkan alasan tidak mampu, maka ia diberi sanksi. Orang yang ditahan tidak dilarang untuk melihat ke jalan dari jendela atau berbicara dengan orang yang menjenguknya. Jika penahanan wajib dijatuhkan kepada seorang wanita, maka ia ditahan di rumah wanita-wanita terpercaya atau di rumah mahramnya, dan suaminya dilarang menggaulinya. Jika ia seorang ibu menyusui, maka anaknya dibawa kepadanya untuk disusui selama tidak ada alternatif lain.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَمُنِعَتْ غُرَمَاءُهُ مِنْ لُزُومِهِ حَتَى تَقُومَ بَيِّنَةٌ أَنْ قَدْ أَفَادَ مَالًا “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Dan para krediturnya dilarang terus-menerus menemaninya sampai ada bukti bahwa ia telah memperoleh harta.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا أَطْلَقَ الْحَاكِمُ الْمُفْلِسَ عِنْدَ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ بِإِعْسَارِهِ مُنِعَ غُرَمَاؤُهُ مِنْ مُلَازَمَتِهِ وَقَالَ أبو حنيفة لَهُمْ أَنْ يُلَازِمُوهُ لَا عَلَى جِهَةِ التَّعْطِيلِ عَنْ مَكَاسِبِهِ وَلَكِنْ لِحِفْظِهِ وَمَنْعِهِ مِنَ الْهَرَبِ اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ إِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ يَدًا وَمَقَالًا. وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ} [البقرة: 280] وَمُلَازَمَتُهُ تَمْنَعُ مِنْ إِنْظَارِهِ. وقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِغُرَمَاءِ مُعَاذٍ: ” لَيْسَ لَكُمْ إِلَّا مَا وَجَدْتُمْ ” وَرُوِيَ ” لَا سَبِيلَ لَكُمْ عَلَيْهِ “. وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ الْمُطَالَبَةُ بِدَيْنِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ الْمُلَازَمَةُ بِهِ كَالدَّيْنِ الْمُؤَجَّلِ. فَأَمَّا المخبر فَمَحْمُولٌ عَلَى الْمُوسِرِ لِأَنَّهُ جَمَعَ فِيهِ بَيْنَ الْيَدِ فِي الْمُلَازَمَةِ وَالْمَقَالِ فِي الْمُطَالَبَةِ فَلَمَّا اسْتَحَقَّتِ الْمُطَالَبَةُ عَلَى الْمُوسِرِ دُونَ الْمُعْسِرِ كَذَلِكَ الملازمة.

Al-Mawardi berkata: Ini sebagaimana beliau mengatakan, jika hakim membebaskan orang yang bangkrut setelah adanya bukti yang menunjukkan ia dalam keadaan kesulitan, maka para krediturnya dilarang untuk terus-menerus menagihnya. Abu Hanifah berpendapat bahwa mereka boleh menagihnya, bukan untuk menghalangi dia dari mencari penghasilan, tetapi untuk menjaga dan mencegahnya dari melarikan diri, dengan berdalil pada riwayat bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya pemilik hak memiliki kekuasaan dan ucapan.” Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia mampu membayar} (al-Baqarah: 280), dan menagihnya secara terus-menerus menghalangi penangguhan tersebut. Nabi ﷺ juga berkata kepada para kreditur Mu‘adz, “Kalian tidak berhak kecuali apa yang kalian temukan,” dan dalam riwayat lain, “Tidak ada jalan bagi kalian atas dirinya.” Dan karena setiap orang yang tidak berhak menuntut utangnya, maka ia juga tidak berhak menagihnya secara terus-menerus, seperti utang yang jatuh temponya masih di masa depan. Adapun hadis yang menjadi dalil, itu dibawa pada konteks orang yang mampu, karena di situ digabungkan antara kekuasaan dalam menagih secara terus-menerus dan ucapan dalam menuntut. Maka ketika penuntutan hanya berhak dilakukan kepada orang yang mampu, demikian pula penagihan secara terus-menerus.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ شَهِدُوا أَنَّهُمْ رَأَوْا فِي يَدَيْهِ مَالًا سَأَلْتُهُ فَإِنْ قَالَ مُضَارَبَةٌ قُبِلَتْ مِنْهُ مَعَ يَمِينِهِ “.

Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Jika mereka bersaksi bahwa mereka melihat ada harta di tangannya, aku akan menanyakannya. Jika ia berkata, ‘Itu adalah harta mudharabah,’ maka diterima darinya dengan sumpahnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا أُطْلِقَ الْمُفْلِسُ بَعْدَ ثُبُوتِ إِعْسَارِهِ فَادَّعَى غُرَمَاؤُهُ أَنَّهُ قَدْ أَيْسَرَ وَسَأَلُوا الْحَجْرَ عَلَيْهِ لَمْ يَجُزْ إِلَّا أَنْ يُقِيمُوا الْبَيِّنَةَ بِيَسَارِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ إِعْسَارُهُ فَلَمْ تُقْبَلْ دَعْوَى الْيَسَارِ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ كَمَا أَنَّهُ لَوِ ادَّعَى الْإِعْسَارَ بَعْدَ يَسَارٍ لَمْ تُقْبَلْ دَعْوَاهُ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ فَإِنْ لَمْ تَقُمِ الْبَيِّنَةُ بِيَسَارِهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ بِاللَّهِ أَنَّهُ عَلَى إِعْسَارِهِ وَهُوَ عَلَى إِطْلَاقِهِ – وَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ حَلَفَ الْغُرَمَاءُ عَلَى يَسَارِهِ وَحُبِسَ حَتَّى يَبِينَ أَمْرُهُ وَإِنْ كَانَ الْغُرَمَاءُ حِينَ ادَّعَوْا عَلَيْهِ الْيَسَارَ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْبَيِّنَةَ. نُظِرَ فِي الْبَيِّنَةِ – فَإِنْ قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّهُ قَدْ أَيْسَرَ لَمْ يُحْكَمْ بِهَذَا القول منهم حتى يذكروا وما بِهِ صَارَ مُوسِرًا وَيَصِفُوهُ إِنْ كَانَ غَائِبًا وَيُعَيِّنُوهُ إِن كَانَ حَاضِرًا فَإِنْ عَيَّنُوهُ أَوْ وصفوه نَظَرَ فِي شَهَادَتِهِمْ فَإِنْ شَهِدُوا لَهُ بِمِلْكِ ذَلِكَ الْمَالِ لَمْ يَحْتَجَّ الْحَاكِمُ إِلَى سُؤَالِهِ وَقَسَمَهُ بَيْنَ غُرَمَائِهِ فَإِنْ شَهِدُوا بِأَنَّهُمْ رَأَوُا الْمَالَ فِي يَدِهِ وَلَمْ يَشْهَدُوا لَهُ بِمِلْكٍ سئل المفلس عنه فإن ادعا إما مِلْكًا لِنَفْسِهِ قَسَمَهُ الْحَاكِمُ بَيْنَ غُرَمَائِهِ وَإِنْ لَمْ يَدَّعِهِ مِلْكًا سُئِلَ عَنْ مَالِكِهِ فَإِنْ لَمْ يَذْكُرْهُ أَحْلَفَ الْغُرَمَاءَ وَاسْتَحَقُّوا حَبْسَهُ دُونَ أَخْذِ الْمَالِ وَاسْتَكْشَفَ الْحَاكِمُ عَنْ حَالِهِ حَتَّى يَبِينَ فَإِنْ ذَكَرَ مَالِكَ الْمَالِ وَقَالَ هُوَ مُضَارَبَةٌ أَوْ وَدِيعَةٌ لِفُلَانٍ فَلَا يَخْلُو حَالُ فُلَانٍ الْمُقَرِّ لَهُ بِالْمِلْكِ مِنْ أَنْ يَكُونَ حَاضِرًا أَوْ غَائِبًا فَإِنْ كَانَ غَائِبًا فَالْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُ الْمُفْلِسِ مَعَ يَمِينِهِ فَإِنْ حَلَفَ فَهُوَ عَلَى إِطْلَاقِهِ وَإِنْ نَكَلَ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَى الْغُرَمَاءِ فَإِنْ حَلَفُوا لَمْ يَحْكُمْ لَهُمْ بِالْمَالِ وَلَكِنْ يَحْبِسُ لَهُمُ الْمُفْلِسَ حَتَّى يَنْكَشِفَ أَمْرُهُ لِأَنَّهُ قَدْ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ صَادِقًا وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ كَاذِبًا. فَإِنْ كَانَ الْمُقَرُّ له بالمال حَاضِرًا سُئِلَ عَنْهُ فَإِنْ أَنْكَرَ وَأَكْذَبَ الْمُفْلِسَ في إقراره نزع الْمَالُ مِنْ يَدِهِ وَقُسِمَ بَيْنَ غُرَمَائِهِ وَحُبِسَ لَهُمْ بِهِ وَإِنْ صَدَّقَهُ وَاعْتَرَفَ بِهِ فَهَلْ يَجِبُ عَلَى الْمُفْلِسِ فِيهِ الْيَمِينُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar apabila seorang muflis telah dibebaskan setelah terbukti ia dalam keadaan tidak mampu, kemudian para krediturnya mengklaim bahwa ia telah mampu dan meminta agar ia dikenai pembatasan, maka hal itu tidak boleh kecuali mereka mendatangkan bukti atas kemampuannya. Sebab, telah tetap ketidakmampuannya, sehingga klaim tentang kemampuannya tidak diterima kecuali dengan bukti, sebagaimana jika ia mengaku tidak mampu setelah sebelumnya mampu, maka pengakuannya tidak diterima kecuali dengan bukti. Jika tidak ada bukti atas kemampuannya, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataannya dengan sumpah atas nama Allah bahwa ia masih dalam keadaan tidak mampu, dan ia tetap bebas. Namun, jika ia enggan bersumpah, maka para kreditur bersumpah atas kemampuannya dan ia dipenjara sampai keadaannya menjadi jelas. Jika para kreditur ketika mengklaim kemampuannya telah mendatangkan bukti, maka bukti itu diperiksa. Jika mereka berkata, “Kami bersaksi bahwa ia telah mampu,” maka pernyataan mereka ini tidak dapat dijadikan dasar hukum sampai mereka menyebutkan sebab ia menjadi mampu dan mendeskripsikannya jika ia tidak hadir, atau menunjukkannya jika ia hadir. Jika mereka menunjukkannya atau mendeskripsikannya, maka kesaksian mereka diperiksa. Jika mereka bersaksi bahwa ia memiliki harta tersebut, maka hakim tidak perlu menanyakannya dan langsung membagi harta itu di antara para krediturnya. Jika mereka bersaksi bahwa mereka melihat harta itu di tangannya, namun tidak bersaksi bahwa ia memilikinya, maka muflis ditanya tentang harta itu. Jika ia mengaku memilikinya, maka hakim membaginya di antara para krediturnya. Jika ia tidak mengaku memilikinya, ia ditanya tentang pemiliknya. Jika ia tidak menyebutkan pemiliknya, para kreditur disuruh bersumpah dan mereka berhak menahannya tanpa mengambil hartanya, dan hakim menyelidiki keadaannya sampai jelas. Jika ia menyebutkan pemilik harta dan berkata bahwa itu adalah mudharabah atau titipan milik si Fulan, maka keadaan si Fulan yang diakui sebagai pemilik tidak lepas dari dua kemungkinan: hadir atau tidak hadir. Jika ia tidak hadir, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan muflis dengan sumpahnya. Jika ia bersumpah, maka ia tetap bebas. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada para kreditur. Jika mereka bersumpah, maka tidak diputuskan harta itu untuk mereka, tetapi muflis ditahan untuk mereka sampai keadaannya menjadi jelas, karena bisa jadi ia benar dan bisa jadi ia berdusta. Jika orang yang diakui sebagai pemilik harta itu hadir, maka ia ditanya tentang harta itu. Jika ia mengingkari dan mendustakan pengakuan muflis, maka harta itu diambil dari tangannya dan dibagi di antara para kreditur, dan ia ditahan untuk mereka karena harta itu. Jika ia membenarkan dan mengakuinya, maka apakah wajib bagi muflis untuk bersumpah atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ الْيَمِينُ لِاحْتِمَالِهِ كَمَا لَوْ أَقَرَّ بِهِ الْغَائِبُ.

Pertama: Ia wajib bersumpah karena masih ada kemungkinan, sebagaimana jika yang mengakuinya adalah orang yang tidak hadir.

وَالثَّانِي: لَا يَمِينَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَوْ رَجَعَ عَنْ إِقْرَارِهِ لَمْ يُقْبَلْ فَلَمْ يَكُنْ لِزَجْرِهِ بِالْيَمِينِ تَأْثِيرٌ. وَاللَّهُ أعلم.

Kedua: Ia tidak wajib bersumpah, karena jika ia menarik kembali pengakuannya, maka tidak diterima, sehingga tidak ada pengaruh untuk mencegahnya dengan sumpah. Dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا غَايَةَ لِحَبْسِهِ أَكْثَرَ مِنَ الْكَشْفِ عَنْهُ فمتى استقر عند الحاكم ما وصفت لم يكن له حبسه ولا يغفل المسئلة عَنْهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Tidak ada batas waktu maksimal penahanan selain untuk menyelidiki keadaannya. Maka kapan saja telah tetap menurut hakim sebagaimana yang telah aku sebutkan, maka tidak boleh lagi menahannya dan tidak boleh mengabaikan pertanyaan tentangnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا حُبِسَ الْمُفْلِسُ لِغُرَمَائِهِ لِعَدَمِ الْبَيِّنَةِ بِعُسْرَتِهِ اسْتَكْشَفَ الْحَاكِمُ أَمْرَهُ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَعْقِلَهُ. وَقَالَ مَالِكٌ: يَجِبُ أَنْ يَعْقِلَهُ حَتَّى تَقُومَ الْبَيِّنَةُ بِعُسْرَتِهِ وَلَا يَجُوزَ أَنْ يَتَوَلَّى الْحَاكِمُ الْكَشْفَ عَنْ حَالِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ مَيْلٌ وَإِسْقَاطُ الْحَقِّ. وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ. لِأَنَّ الْحَاكِمَ لَا يَلْزَمُهُ اسْتِيفَاءُ الْحَقِّ بَلْ يَلْزَمُهُ رَفْعُ الظُّلْمِ وَحَبْسُ الْمُفْلِسِ إِنْ كَانَ مُعْسِرًا ظُلْمٌ وَالْمَحْبُوسِ لَا يَقْدِرُ عَلَى إِقَامَةِ الْبَيِّنَةِ فَلَزِمَ الْحَاكِمَ أَنْ يَتَوَلَّى الْكَشْفَ عَنْ حَالِهِ لِيُقِرَّ الْحَقَّ مَقَرَّهُ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَمَتَى قَامَتْ عِنْدَهُ الْبَيِّنَةُ بِإِعْسَارِهِ بَعْدَ الْكَشْفِ عَنْ حَالِهِ وَجَبَ إِطْلَاقُهُ فِي الْحَالِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَظِرَ بِهِ بقضي مُدَّة وَقَالَ أبو حنيفة فِيمَا رَوَاهُ مُحَمَّدٌ عَنْهُ: يُحْبَسُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ثُمَّ يُخَلَّى. وَرَوَى الْحَسَنُ بْنُ زِيَادٍ: أَنَّهُ يُحْبَسُ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ ثُمَّ يُخَلَّى. وَرَوَى غَيْرُهُمَا: أَنَّهُ يُحْبَسُ أَرْبَعِينَ يوما ثم يخلى. وكل هذا فاسد لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ} [البقرة: 280] وَلِأَنَّ كُلَّ مَوْضِعٍ دَلَّتِ الْبَيِّنَةُ عَلَى صِدْقِ الْمُدَّعِي لَمْ يَجُزْ تَأْخِيرُهَا عَنْ تَأْخِيرِ الْحُكْمِ بِهَا كَسَائِرِ الدَّعَاوِي. وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ قِيَامُ الْبَيِّنَةِ بِعُسْرَتِهِ قَبْلَ الْحَبْسِ تُوجِبُ تَرْكَهُ فِي الْحَالِ كَذَلِكَ بَعْدَ الْحَبْسِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يُطْلَقُ فِي الْحَالِ عِنْدَ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ بِعُسْرَتِهِ فَإِنَّ الْحَاكِمَ يُحَلِّفُهُ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ لَهُ مَالٌ فَإِنْ حَلَفَ أَطْلَقَهُ وَإِنْ نَكَلَ فَعَلَى وَجْهَيْنِ حَكَاهُمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَحَدُهُمَا يُطْلِقُهُ بِالْبَيِّنَةِ الَّتِي هي ظاهر حاله. الوجه الثَّانِي أَنْ يُتْرَكَ مَحْبُوسًا حَتَّى يَحْلِفَ. وَاللَّهُ أعلم.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, apabila seorang yang bangkrut (muflis) ditahan untuk para krediturnya karena tidak adanya bukti atas kesulitannya, maka hakim harus menyelidiki keadaannya dan tidak boleh membelenggunya. Malik berkata: Wajib membelenggunya hingga ada bukti atas kesulitannya, dan tidak boleh hakim yang menyelidiki keadaannya karena hal itu merupakan keberpihakan dan penghilangan hak. Namun, pendapat ini tidak benar. Sebab, hakim tidak wajib menagih hak, melainkan yang wajib baginya adalah menghilangkan kezaliman. Menahan orang yang bangkrut padahal ia dalam kesulitan adalah kezaliman, sementara orang yang ditahan tidak mampu mendatangkan bukti. Maka, wajib bagi hakim untuk menyelidiki keadaannya agar hak dapat ditempatkan pada tempatnya. Jika demikian, kapan saja telah ada bukti di hadapan hakim tentang kesulitannya setelah penyelidikan, maka wajib segera membebaskannya tanpa menunggu waktu tertentu. Abu Hanifah, sebagaimana yang diriwayatkan Muhammad darinya, berpendapat: Ia ditahan selama enam bulan, lalu dibebaskan. Al-Hasan bin Ziyad meriwayatkan: Ia ditahan selama empat bulan, lalu dibebaskan. Ada pula yang meriwayatkan: Ia ditahan selama empat puluh hari, lalu dibebaskan. Semua pendapat ini rusak (lemah), berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia lapang} (QS. Al-Baqarah: 280). Dan karena setiap perkara yang bukti telah menunjukkan kebenaran penggugat, tidak boleh ditunda pelaksanaannya sebagaimana perkara-perkara lainnya. Dan karena jika bukti atas kesulitannya telah ada sebelum penahanan, maka wajib segera membebaskannya, demikian pula setelah penahanan. Maka, jika telah tetap bahwa ia harus segera dibebaskan ketika ada bukti atas kesulitannya, maka hakim harus menyuruhnya bersumpah karena bisa jadi ia masih memiliki harta. Jika ia bersumpah, maka dibebaskan; jika ia enggan bersumpah, maka ada dua pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Abi Hurairah: Pertama, ia dibebaskan dengan bukti yang merupakan penampakan keadaannya. Kedua, ia tetap ditahan hingga ia bersumpah. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا أَفَادَ مَالًا فَجَائِزٌ مَا صَنَعَ فِيهِ حَتَّى يُحْدِثَ لَهُ السُّلْطَانُ وَقْفًا آخَرَ لِأَنَّ الْوَقْفَ الْأُوَلَ لَمْ يَكُنْ لَهُ لِأَنَّهُ غَيْرُ رَشِيدٍ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia memperoleh harta, maka boleh baginya melakukan apa saja terhadap harta itu hingga penguasa menetapkan pencegahan (waqf) yang lain, karena pencegahan (waqf) yang pertama bukanlah miliknya, sebab ia bukan orang yang cakap (belum rusyd).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا أُطْلِقَ حَجْرُ الْمُفْلِسِ بَعْدَ ثُبُوتِ إِعْسَارِهِ كَانَ تَصَرُّفُهُ فِيمَا أَفَادَ مِنْ كَسْبِهِ وَمَلَكَ مِنْ مَالٍ جَائِزًا وَكَانَتْ عُقُودُهُ مَاضِيَةً وَعِتْقُهُ نَافِذًا وَهِبَتُهُ جَائِزَةً وَإِبْرَاؤُهُ صَحِيحًا وَإِقْرَارُهُ لَازِمًا لِأَنَّهُ عَادَ بَعْدَ فَكِّ الْحَجْرِ عَنْهُ إِلَى حَالِهِ قَبْلَ وُقُوعِ الْحَجْرِ عَلَيْهِ فَلَمَّا صَحَّ ذَلِكَ مِنْهُ قَبْلَ وُقُوعِ الْحَجْرِ وَجَبَ أَنْ يَصِحَّ بَعْدَ ارْتِفَاعِ الْحَجْرِ عَنْهُ فَإِنْ سَأَلَ الْغُرَمَاءُ أَنْ يَسْتَأْنِفَ لَهُ حَجْرًا ثَانِيًا جَازَ أَنْ يَحْجُرَ عَلَيْهِ ثَانِيَةً إِذَا حَدَثَ مَا يُوجِبُ الْحَجْرَ وَيُمْنَعُ مِنَ التَّصَرُّفِ بَعْدَ الْحَجْرِ الثَّانِي كَمَا كَانَ مَمْنُوعًا مِنْهُ بَعْدَ الْحَجْرِ الْأَوَّلِ وَيَسْتَأْنِفُ قِسْمَةَ مَالِهِ عَلَى مَنْ بَقِيَ مِنْ غُرَمَائِهِ الْمُتَقَدِّمِينَ وَعَلَى مَنِ اسْتُحْدِثَ مِنَ الْغُرَمَاءِ الْمُتَأَخِّرِينَ وَيَكُونُ جَمِيعُهُمْ أُسْوَةً فِي مَالِهِ بِقَدْرِ دُيُونِهِمْ. وَقَالَ مَالِكٌ: يَقَعُ الْحَجْرُ عَلَيْهِ لِغُرَمَائِهِ الْمُتَأَخِّرِينَ وَيَخْتَصُّونَ بِمَالِهِ دُونَ الْمُتَقَدِّمِينَ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ حَالَ مَا حَدَثَ بِيَدِهِ أَنَّهُ مَالُ مَنْ حَدَثَ مِنْ غُرَمَائِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونُوا أَحَقَّ بِهِ. وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ، لِاسْتِوَاءِ الْجَمِيعِ فِي ثُبُوتِ حُقُوقِهِمْ فِي ذِمَّتِهِ فَلَمِ يَكُنْ لِلْمُتَأَخِّرِينَ مَزِيَّةٌ عَلَى الْمُتَقَدِّمِينَ كَالْحَجْرِ الْأَوَّلِ لَا يكون لمن كان ثبوت حقه أقرب فصلا عَلَى مَنْ كَانَ ثُبُوتُ حَقِّهِ أَبْعَدَ فَهَذَا يُفْسِدُ مَا اسْتَدَلَّ بِهِ وَلَوْ جَازَ أَنْ يَكُونَ لِأَحَدِ الْحَقَّيْنِ فَضْلٌ عَلَى الْآخَرِ لَكَانَ تقديم المقدم أولى لسبقه.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, apabila larangan (hajr) terhadap orang yang pailit dicabut setelah terbukti ia dalam keadaan kesulitan, maka segala tindakan yang ia lakukan terhadap harta yang ia peroleh dari hasil usahanya dan harta yang ia miliki menjadi sah, akad-akadnya berlaku, pembebasan budaknya (‘itq) sah, hibahnya dibolehkan, pembebasan utangnya (ibra’) sah, dan pengakuannya (iqrar) menjadi mengikat. Sebab, setelah larangan itu dicabut, ia kembali kepada keadaan semula sebelum larangan itu diberlakukan atasnya. Maka, sebagaimana tindakan-tindakan tersebut sah sebelum larangan, wajib pula dinyatakan sah setelah larangan dicabut. Jika para kreditur meminta agar diberlakukan larangan kedua kalinya, maka boleh diberlakukan larangan kedua apabila terjadi sebab yang mewajibkan adanya larangan. Ia pun dilarang melakukan tindakan setelah larangan kedua sebagaimana ia dilarang setelah larangan pertama. Kemudian dilakukan pembagian harta kepada para kreditur terdahulu yang masih ada dan kepada kreditur baru yang muncul belakangan, dan semuanya diperlakukan sama dalam pembagian harta sesuai dengan besarnya piutang mereka. Malik berkata: Larangan diberlakukan untuk kreditur yang muncul belakangan dan mereka berhak atas hartanya, tidak untuk kreditur terdahulu, karena yang tampak dari keadaan harta yang baru diperoleh adalah bahwa itu merupakan milik kreditur yang baru, sehingga mereka lebih berhak atasnya. Namun, pendapat ini tidak benar, karena semua kreditur sama dalam hal penetapan hak mereka atas tanggungan (dzimmah) si pailit, sehingga kreditur baru tidak memiliki keistimewaan atas kreditur lama, sebagaimana pada larangan pertama tidak ada keutamaan bagi yang haknya lebih dekat waktunya atas yang haknya lebih lama. Maka, ini membatalkan dalil yang dijadikan pegangan. Seandainya boleh ada keutamaan bagi salah satu dari dua hak atas yang lain, tentu mendahulukan kreditur lama lebih utama karena mereka lebih dahulu.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا أَرَادَ الَّذِي عَلَيْهِ الدَّيْنُ إِلَى أَجَلٍ السَّفَرَ وَأَرَادَ غَرِيمُهُ مَنْعَهُ لِبُعْدِ سَفَرِهِ وَقُرْبِ أَجَلِهِ أَوْ يَأْخُذَ مِنْهُ كَفِيلًا بِهِ مُنِعَ مِنْهُ وَقِيلَ لَهُ حَقُّكَ حَيْثُ وَضَعْتَهُ وَرَضِيتَهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika orang yang memiliki utang yang jatuh tempo ingin bepergian, sedangkan krediturnya ingin mencegahnya karena jauhnya perjalanan dan dekatnya waktu jatuh tempo, atau ingin mengambil penjamin darinya, maka ia dicegah dari bepergian dan dikatakan kepadanya: ‘Hakmu ada di tempat engkau letakkan dan engkau ridai.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا أَرَادَ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ الْمُؤَجَّلُ أَنْ يُسَافِرَ لَمْ يَكُنْ لِصَاحِبِ الدَّيْنِ مَنْعُهُ وَلَا أَنْ يُطَالِبَهُ بِرَهْنٍ وَلَا كَفِيلٍ سَوَاءٌ كَانَ السَّفَرُ قَرِيبًا أَوْ بَعِيدًا وَسَوَاءٌ كَانَ الْأَجَلُ طَوِيلًا أَوْ قَصِيرًا حتى لو كان الباقي منه يوم أَوْ بَعْضَهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ عَلَيْهِ اعْتِرَاضٌ فَإِنْ تَعَرَّضَ لِمَنْعِهِ مَنَعَهُ الْحَاكِمُ مِنْهُ. وَقَالَ مَالِكٌ: لَهُ أَنْ يُطَالِبَهُ إِذَا أَرَادَ السَّفَرَ بِرَهْنٍ أَوْ كَفِيلٍ فَإِنْ أَعْطَاهُ بِدَيْنِهِ رَهْنًا أو كفيلا وإلا كان له يمنعه مِنَ السَّفَرِ قَالَ: لِأَنَّهُ إِذَا حَلَّ الدَّيْنُ وَهُوَ غَائِبٌ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْوُصُولِ إِلَيْهِ. ودلينا: أَنَّ كُلَّ مَا لَمْ يَسْتَحِقَّ مُطَالَبَةُ الْمُقِيمِ بِهِ لَمْ يَسْتَحِقَّ مُطَالَبَةُ الْمُسَافِرِ بِهِ كَالْأَدَاءِ، وَلِأَنَّ كُلَّ دَيْنٍ لَا يَسْتَحِقُّ أَدَاؤُهُ لَا يَسْتَحِقُّ التَّوَثُّقُ بِهِ كَالْحَاضِرِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ جَازَ أَنْ يَسْتَحِقَّ هَذِهِ الْمُطَالَبَةُ فِي الْمُدَايَنَاتِ لَجَازَ أَنْ يَسْتَحِقَّ فِي نَفَقَاتِ الزَّوْجَاتِ وَلَوْ جَازَ أَنْ يُطَالِبَهُ بِذَلِكَ إِذَا سَافَرَ لِبُعْدِ عَوْدِهِ جَازَ أَنْ يُطَالِبَهُ بِهِ إِذَا أَقَامَ خَوْفًا مِنْ هَرَبِهِ بَلْ يُقَالُ لَهُ: حَقُّكَ حَيْثُ وَضَعْتَهُ مِنَ الذِّمَمِ وَإِلَى الْوَقْتِ الَّذِي رَضِيتَهُ مِنَ الْأَجَلِ وَقَدْ كَانَ يُمْكِنُكَ الِاحْتِيَاطُ فِيهِ لِنَفْسِكَ بِاشْتِرَاطِ الْوَثِيقَةِ مِنَ الرَّهْنِ أَوِ الضَّمَانِ فِي وَقْتِ الْعَقْدِ فَتَأْمَنَ مَا اسْتُحْدِثَ خَوْفُهُ فَصِرْتَ بِتَرْكِ ذَلِكَ مُفَرِّطًا.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, apabila orang yang memiliki utang yang belum jatuh tempo ingin bepergian, maka kreditur tidak berhak mencegahnya, tidak pula menuntut jaminan atau penjamin, baik perjalanannya dekat maupun jauh, baik tempo utangnya lama maupun sebentar. Bahkan, jika sisa tempo tinggal sehari atau sebagian hari, kreditur tidak berhak mengajukan keberatan. Jika kreditur berusaha mencegahnya, maka hakim mencegah kreditur dari tindakan itu. Malik berkata: Kreditur berhak menuntut jaminan atau penjamin jika si berutang hendak bepergian. Jika ia memberikan jaminan atau penjamin atas utangnya, maka boleh bepergian, jika tidak, kreditur boleh mencegahnya bepergian. Malik berkata: Karena jika utang jatuh tempo sementara ia sedang bepergian, kreditur tidak dapat menagihnya. Dalil kami: Segala sesuatu yang tidak berhak dituntut dari orang yang menetap, tidak berhak pula dituntut dari orang yang bepergian, seperti pelunasan utang. Dan setiap utang yang belum wajib dibayar, tidak wajib pula dijamin, sebagaimana pada orang yang menetap. Jika boleh menuntut hal ini dalam transaksi utang-piutang, maka boleh pula menuntutnya dalam nafkah istri. Jika boleh menuntut jaminan ketika bepergian karena khawatir lambat kembali, maka boleh pula menuntutnya ketika menetap karena khawatir lari. Bahkan, dikatakan kepadanya: “Hakmu ada pada tempat engkau letakkan, pada tanggungan yang engkau pilih, dan pada waktu jatuh tempo yang engkau ridai. Dahulu engkau bisa berhati-hati dengan mensyaratkan jaminan atau penjamin saat akad, sehingga engkau aman dari kekhawatiran yang timbul kemudian. Maka, dengan tidak melakukannya, engkau telah lalai.”

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا نُظِرَ فِي سَفَرِهِ – فَإِنْ كَانَ لِتِجَارَةٍ أَوْ زِيَارَةٍ لَمْ يَعْرِضْ لَهُ فَإِنْ كَانَ سَفَرُ جِهَادٍ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika telah tetap apa yang telah kami sebutkan, maka dilihat tujuan perjalanannya—jika untuk berdagang atau berkunjung dan tidak ada halangan baginya, maka jika perjalanannya adalah untuk jihad, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا اعْتِرَاضَ عَلَيْهِ فِيهِ كَغَيْرِهِ مِنَ الْأَسْفَارِ.

Salah satunya: Tidak ada keberatan terhadapnya dalam hal ini sebagaimana dalam perjalanan lainnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ أَنْ يَعْتَرِضَ عَلَيْهِ وَيُطَالِبَهُ بِالْوَثِيقَةِ، لِأَنَّ فِي سَفَرِ الْجِهَادِ تَعْرِيضًا لِلشَّهَادَةِ فَخَالَفَ غَيْرَهُ مِنَ الْأَسْفَارِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan pendapat kedua: Boleh baginya untuk mengajukan keberatan dan menuntut jaminan darinya, karena dalam perjalanan jihad terdapat kemungkinan untuk mati syahid sehingga berbeda dengan perjalanan lainnya. Dan Allah lebih mengetahui.

(كتاب الحجر)

(Kitab al-Ḥajr)

أَمَّا الْحَجْرُ فَهُوَ مِنْ كَلَامِهِمُ الْمَنْعُ.

Adapun al-ḥajr, menurut istilah mereka adalah larangan.

سُمِّيَ بِهِ لِأَنَّ الْمَحْجُورَ عَلَيْهِ مَمْنُوعٌ مِنَ التَّصَرُّفِ باختياره.

Disebut demikian karena orang yang dikenai ḥajr dilarang melakukan tindakan secara pilihannya sendiri.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالْأَصْلُ فِيهِ قَوْله تَعَالَى: {وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ} [النساء: 6] . “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dasar hukumnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai apabila mereka telah cukup umur untuk nikah, maka jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas, serahkanlah kepada mereka harta-hartanya} (an-Nisā’: 6).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: فَمَعْنَى قَوْلِهِ (ابْتَلُوا) أَيِ اخْتَبِرُوا، وَقَوْلُهُ (الْيَتَامَى) هُمُ الصغار الذين ليس لهم آباء لأن اليتم فِي الْآدَمِيِّينَ بِمَوْتِ الْآبَاءِ وَفِي الْبَهَائِمِ بِمَوْتِ الْأُمَّهَاتِ لِأَنَّ الْبَهِيمَةَ تُنْسَبُ إِلَى أُمِّهَا فَكَانَ يُتْمُهَا بِمَوْتِ الْأُمِّ، وَالْآدَمِيُّ يُنْسَبُ إِلَى أَبِيهِ فَكَانَ يُتْمُهُ بِمَوْتِ الْأَبِ. وَقَوْلُهُ: {حَتَّى إِذَا بلغوا النكاح} [النساء: 6] يعني الاحتلام لأن بالاحتلام يَتَوَجَّهُ إِلَيْهِ التَّكْلِيفُ وَيَزُولُ عَنْهُ الْيُتْمُ.

Al-Māwardī berkata: Makna firman-Nya (ujilah) adalah uji dan periksalah, dan firman-Nya (anak-anak yatim) adalah anak-anak kecil yang tidak memiliki ayah, karena yatim pada manusia adalah karena wafatnya ayah, sedangkan pada hewan karena wafatnya induk, sebab hewan dinisbatkan kepada induknya sehingga yatimnya karena kematian induk, sedangkan manusia dinisbatkan kepada ayahnya sehingga yatimnya karena kematian ayah. Firman-Nya: {sampai apabila mereka telah cukup umur untuk nikah} (an-Nisā’: 6) maksudnya adalah mimpi basah (baligh), karena dengan mimpi basah itu mulai berlaku taklif (beban syariat) dan status yatim hilang darinya.

قَالَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (لَا يُتْمَ بَعْدَ حُلُمٍ) .

Nabi ﷺ bersabda: “Tidak ada status yatim setelah mimpi basah.”

وَقَوْلُهُ {فَإِنْ آنَسْتُمْ} أي علمتم منهم رشدا في الرُّشْدِ ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ:

Dan firman-Nya {maka jika menurut pendapatmu} maksudnya jika kalian mengetahui dari mereka adanya kecerdasan. Dalam hal kecerdasan (ar-rusyd) terdapat tiga penafsiran:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ الْعَقْلُ وَهُوَ قَوْلُ مُجَاهِدٍ وَالشَّعْبِيِّ.

Pertama: Bahwa yang dimaksud adalah akal, dan ini adalah pendapat Mujāhid dan asy-Sya‘bi.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ الْعَقْلُ وَالصَّلَاحُ فِي الدِّينِ وَهُوَ قَوْلُ السُّدِّيِّ.

Kedua: Bahwa yang dimaksud adalah akal dan kebaikan dalam agama, dan ini adalah pendapat as-Suddī.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ الصَّلَاحُ فِي الدِّينِ وَالصَّلَاحُ فِي الْمَالِ وَهُوَ قول ابن عباس. والحسن والبصري. وَإِلَيْهِ ذَهَبَ الشَّافِعِيُّ.

Ketiga: Bahwa yang dimaksud adalah kebaikan dalam agama dan kebaikan dalam mengelola harta, dan ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbās, al-Hasan, dan al-Bashri. Dan pendapat ini yang diikuti oleh Imam Syafi‘i.

ثُمَّ قَالَ تَعَالَى: {فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ} [النساء: 6] يَعْنِي الَّتِي تَحْتَ أَيْدِيكُمْ {ولا تأكلوها إسرافا وبدارا أن يكبروا} أَيْ لَا تَأْخُذُوهَا إِسْرَافًا يَعْنِي عَلَى غَيْرِ مَا أَبَاحَ اللَّهُ لَكُمْ وَأَصْلُ الْإِسْرَافِ: تَجَاوُزُ الْحَدِّ الْمُبَاحِ. {وَبِدَارًا أَنْ يكبروا} يَعْنِي تَأْكُلُ مَالَ الْيَتِيمِ مُبَادِرًا أَنْ يَبْلُغَ فَيَحُولَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَالِهِ.

Kemudian Allah Ta‘ala berfirman: {maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya} (an-Nisā’: 6), maksudnya harta yang ada di tangan kalian. {dan janganlah kamu makan harta mereka secara berlebih-lebihan dan tergesa-gesa sebelum mereka dewasa}, maksudnya janganlah kalian mengambilnya secara berlebihan, yaitu tidak sesuai dengan apa yang Allah halalkan bagi kalian. Asal makna israf adalah melampaui batas yang diperbolehkan. {dan tergesa-gesa sebelum mereka dewasa} maksudnya memakan harta anak yatim dengan tergesa-gesa sebelum ia baligh sehingga menghalangi antara dia dan hartanya.

ثُمَّ قَالَ تَعَالَى: {وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ} [النساء: 6] يَعْنِي بِمَالِ نَفْسِهِ عَنْ مَالِ الْيَتِيمِ {وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فليأكل بالمعروف} اخْتَلَفُوا فِي مَعْنَى هَذَا الْأَكْلِ الْمُبَاحِ لِلْفَقِيرِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقَاوِيلَ:

Kemudian Allah Ta‘ala berfirman: {Dan barang siapa yang kaya hendaklah ia menahan diri (tidak mengambil upah dari harta anak yatim)} (an-Nisā’: 6), maksudnya mencukupkan diri dengan hartanya sendiri dari harta anak yatim. {Dan barang siapa yang miskin maka bolehlah ia makan dengan cara yang patut}. Para ulama berbeda pendapat tentang makna makan yang diperbolehkan bagi yang miskin ini menjadi empat pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ الْقَرْضُ يَسْتَقْرِضُ ثُمَّ يَقْضِي إِذَا وَجَدَ وَهُوَ قَوْلُ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَجُمْهُورِ التَّابِعِينَ.

Pertama: Bahwa yang dimaksud adalah pinjaman, yaitu ia meminjam lalu mengembalikan jika telah mampu, dan ini adalah pendapat ‘Umar, Ibnu ‘Abbās, dan mayoritas tabi‘in.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَأْكُلُ مَا سَدَّ الْجَوْعَةَ وَيَلْبَسُ مَا وَارَى الْعَوْرَةَ وَلَا قَضَاءَ وَهُوَ قَوْلُ إِبْرَاهِيمَ. وَمَكْحُولٍ وَقَتَادَةَ.

Kedua: Bahwa ia boleh makan sekadar menghilangkan lapar dan memakai sekadar menutupi aurat, tanpa harus mengembalikan, dan ini adalah pendapat Ibrāhīm, Makḥūl, dan Qatādah.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَأْكُلَ مِنْ ثَمَرِهِ وَيَشْرَبَ مِنْ رَسْلِ مَاشِيَتِهِ مِنْ غَيْرِ تَعَرُّضٍ لِمَا سِوَى ذَلِكَ مِنْ فِضَّةٍ أَوْ ذَهَبٍ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَالِيَةِ وَالشَّعْبِيِّ.

Ketiga: Bahwa ia boleh makan dari hasil kebunnya dan minum dari susu ternaknya tanpa mengambil selain itu dari perak atau emas, dan ini adalah pendapat Abū al-‘Āliyah dan asy-Sya‘bi.

وَالرَّابِعُ: أَنْ يَأْخُذَ إِذَا كَانَ مُحْتَاجًا أُجْرَةَ عَمَلِهِ مَعْلُومَةً عَلَى قَدْرِ خِدْمَتِهِ وَهُوَ قَوْلُ عَطَاءٍ.

Keempat: Bahwa ia boleh mengambil upah kerjanya jika memang membutuhkan, dengan kadar yang diketahui sesuai dengan jasanya, dan ini adalah pendapat ‘Aṭā’.

وَمِنَ الدَّلَالَةِ عَلَى الْحَجْرِ أَيْضًا قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ: {فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يستطع أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ} [البقرة: 282] .

Di antara dalil tentang al-ḥajr juga adalah firman Allah Azza wa Jalla: {Jika orang yang berutang itu kurang akal atau lemah atau tidak mampu menyatakan sendiri, maka walinya hendaklah menyatakan dengan adil} (al-Baqarah: 282).

أَمَّا السَّفِيهُ فَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:

Adapun as-safīh, terdapat dua penafsiran:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ الْجَاهِلُ بِالصَّوَابِ فِيمَا لَهُ وَعَلَيْهِ، وَهَذَا قَوْلُ مُجَاهِدٍ.

Pertama: Bahwa yang dimaksud adalah orang yang tidak mengetahui kebenaran dalam hak dan kewajibannya, dan ini adalah pendapat Mujāhid.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ الْمُبَذِّرُ لِمَالِهِ الْمُفْسِدُ لَهُ فِي الْجِهَاتِ الْمُحَرَّمَةِ وَهَذَا أَصَحُّ وَإِلَيْهِ ذَهَبَ الشَّافِعِيُّ لِأَنَّهُ أَلْيَقُ بِمَعْنَى اللَّفْظِ.

Kedua: Bahwa yang dimaksud adalah orang yang memboroskan hartanya dan merusaknya pada hal-hal yang diharamkan, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat dan diikuti oleh Imam Syafi‘i karena lebih sesuai dengan makna lafaz tersebut.

أَمَّا الضَّعِيفُ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ:

Adapun makna “lemah” memiliki tiga penafsiran:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ الْأَحْمَقُ وَهُوَ قَوْلُ مُجَاهِدٍ وَالسُّدِّيِّ.

Pertama: bahwa yang dimaksud adalah orang dungu, dan ini adalah pendapat Mujahid dan As-Suddi.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ ضَعِيفُ الرَّأْيِ وَالتَّدْبِيرِ مِنْ صِغَرٍ أَوْ كِبَرٍ.

Kedua: bahwa yang dimaksud adalah orang yang lemah dalam berpikir dan mengatur, baik karena masih kecil maupun sudah tua.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ الصَّغِيرُ الَّذِي يَضْعُفُ عَنِ الْقِيَامِ بِأَمْرِهِ وَالتَّصَرُّفِ فِي مَالِهِ وَإِلَيْهِ ذَهَبَ الشَّافِعِيُّ.

Ketiga: bahwa yang dimaksud adalah anak kecil yang belum mampu mengurus urusannya sendiri dan mengelola hartanya, dan pendapat ini dipegang oleh Asy-Syafi‘i.

” أَمَّا الَذِي لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ ” فَفِيهِ ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ:

Adapun firman Allah: “Adapun orang yang tidak mampu untuk mengimlakkan sendiri,” maka terdapat tiga penafsiran:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ الْأَخْرَسُ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ.

Pertama: bahwa yang dimaksud adalah orang bisu, dan ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ الْمَمْنُوعُ بِحَبْسٍ أَوْ غَيْبَةٍ.

Kedua: bahwa yang dimaksud adalah orang yang terhalang karena dipenjara atau sedang tidak hadir.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ الْمَغْلُوبُ عَلَى عَقْلِهِ وَإِلَيْهِ ذَهَبَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِأَنَّ الْخَرَسَ وَالْغَيْبَةَ لَا يُوجِبَانِ الْحَجْرَ.

Ketiga: bahwa yang dimaksud adalah orang yang akalnya tidak berfungsi, dan pendapat ini dipegang oleh Asy-Syafi‘i ra., karena kebisuan dan ketidakhadiran tidak menyebabkan seseorang dikenai hajr (pembatasan hak bertindak).

وَأَمَّا قَوْله تَعَالَى: {فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ} [البقرة: 282] فَفِيهِ ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ:

Adapun firman Allah Ta‘ala: {Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan adil} [Al-Baqarah: 282], maka terdapat tiga penafsiran:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ يُرِيدُ وَلِيَّ الْحَقِّ وَهُوَ صَاحِبُهُ أَنْ يَعْدِلَ فِي إِمْلَائِهِ وَمُطَالَبَتِهِ بِالْحَقِّ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ.

Pertama: yang dimaksud adalah wali dari pihak yang berhak (atas harta), yaitu pemiliknya, agar ia berlaku adil dalam mengimlakkan dan menuntut haknya, dan ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ عَلَى وَلِيِّ مَنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ فِيمَا لَزِمَ مِنْ أَرْشِ جِنَايَةٍ أَوْ قِيمَةِ مُتْلَفٍ وَهَذَا قَوْلُ الضَّحَّاكِ.

Kedua: bahwa yang dimaksud adalah wali dari pihak yang memiliki kewajiban (membayar hak), dalam hal yang menjadi tanggungannya seperti denda jinayah atau ganti rugi barang yang rusak, dan ini adalah pendapat Adh-Dhahhak.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ مَعْنَى الْآيَةِ فِي قَوْله تَعَالَى: {فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ} [البقرة: 282] بِمَعْنَى الَّذِي لَهُ الْحَقُّ فَأَقَامَ عَلَيْهِ بِمَعْنَى لَهُ لِأَنَّ حُرُوفَ الْجَرِّ يَقُومُ بَعْضُهَا مَقَامَ بَعْضٍ. فَدَلَّتْ هَاتَانِ الْآيَتَانِ عَلَى الْحَجْرِ.

Ketiga: bahwa makna ayat pada firman Allah Ta‘ala: {Jika orang yang berutang} [Al-Baqarah: 282] bermakna orang yang memiliki hak, sehingga kata “‘alayhi” (atasnya) bermakna “lahu” (baginya), karena huruf-huruf jar kadang saling menggantikan. Maka kedua ayat ini menunjukkan adanya hajr (pembatasan hak bertindak).

أَمَّا الْآيَةُ الْأُولَى: فَوَجْهُ الدَّلِيلِ مِنْهَا أَنَّهُ لَمَّا أَمَرَ بِدَفْعِ أَمْوَالِ الْيَتَامَى بِوُجُودِ شَرْطَيْنِ وَهُمَا: الْبُلُوغُ وَالرُّشْدُ، اقْتَضَى أَنْ لَا يَدْفَعَ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ قَبْلَ وُجُودِ هَذَيْنِ الشَّرْطَيْنِ وَهَذَا هُوَ الْحَجْرُ.

Adapun ayat pertama: sisi pendalilannya adalah bahwa ketika Allah memerintahkan untuk menyerahkan harta anak yatim dengan dua syarat, yaitu baligh dan rusyd (kemampuan mengelola harta dengan baik), maka ini menuntut agar harta tidak diserahkan kepada mereka sebelum kedua syarat tersebut terpenuhi, dan inilah yang dimaksud dengan hajr.

وَأَمَّا الْآيَةُ الثَّانِيَةُ: فَوَجْهُ الدَّلِيلِ مِنْهَا أَنَّهُ لَمَّا أَمَرَ بِالْإِمْلَاءِ عَنِ السَّفِيهِ وَالضَّعِيفِ دَلَّ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ يَمْنَعُهُمْ مِنَ التَّصَرُّفِ وَاسْتِحْقَاقِ الْوِلَايَةِ عَلَيْهِمَا.

Adapun ayat kedua: sisi pendalilannya adalah bahwa ketika Allah memerintahkan agar imlak dilakukan oleh orang lain untuk orang safih (bodoh) dan lemah, hal itu menunjukkan bahwa keduanya terhalang dari bertindak dan tidak berhak menjadi wali atas diri mereka.

وَأَمَّا السُّنَّةُ فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (أَنَّهُ حَجَرَ عَلَى مُعَاذٍ بِدَيْنِهِ) فَلَمَّا أَوْقَعَ الْحَجْرَ لِحَقِّ الْغَيْرِ كَانَ وُقُوعُهُ لِنَفْسِهِ أَوْلَى.

Adapun dari sunnah, telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau pernah melakukan hajr terhadap Mu‘adz karena utangnya. Maka ketika hajr diberlakukan demi hak orang lain, maka lebih utama lagi diberlakukan demi kepentingan diri sendiri.

وَرُوِيَ أَنَّ قَوْمَ حِبَّانَ بْنِ مُنْقِذٍ سَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ يَحْجُرَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ كَانَ يَخْدَعُ فِي بِيَاعَاتِهِ، فَحَجَرَ عَلَيْهِ حَجْرَ مِثْلِهِ وَلَمْ يَجْعَلْ عقوده منبرمة وجعل له خيار ثلاث وَقَالَ لَهُ: ” إِذَا ابْتَعْتَ فَقُلْ لَا خِلَابَةَ فِي الْإِسْلَامِ ” وَأَمَّا الْإِجْمَاعُ فَهُوَ مَا كَانَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ حِينَ سَأَلَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ أَنْ يَحْجُرَ عَلَيْهِ وَإِجْمَاعُ بَاقِي الصَّحَابَةِ عَلَى جَوَازِ الْحَجْرِ حَتَّى كَانَ مِنْ شَأْنِ عَبْدِ اللَّهِ مَا سَنَذْكُرُهُ.

Dan diriwayatkan bahwa kaum dari Hibban bin Munqidz meminta Rasulullah ﷺ untuk melakukan hajr terhadapnya karena ia sering tertipu dalam jual beli, maka beliau melakukan hajr sebagaimana mestinya, tidak menganggap sah akad-akadnya, dan memberinya hak khiyar selama tiga hari. Beliau bersabda kepadanya: “Jika engkau berjual beli, katakanlah: Tidak ada penipuan dalam Islam.” Adapun ijmā‘, maka terdapat dalam kisah Abdullah bin Ja‘far ketika ‘Ali bin Abi Thalib ra. meminta ‘Utsman bin ‘Affan untuk melakukan hajr terhadapnya, dan ijmā‘ para sahabat lainnya atas bolehnya hajr, hingga terjadi peristiwa yang akan kami sebutkan terkait Abdullah.

فصل: القول في أسباب الحجر

(Fasal: Pembahasan tentang sebab-sebab hajr)

فَإِذَا ثَبَتَ اسْتِحْقَاقُ الْحَجْرِ بِمَا ذَكَرْنَا مِنْ دَلِيلِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ فَالْحَجْرُ مُسْتَحَقٌّ مِنْ ثمانية أوجه:

Jika telah tetap bahwa hajr itu berhak diberlakukan berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, sunnah, dan ijmā‘ yang telah kami sebutkan, maka hajr itu berhak diberlakukan karena delapan sebab:

أَحَدُهَا: حَجْرُ الصِّغَرِ.

Pertama: hajr karena masih kecil.

وَالثَّانِي: حَجْرُ الْجُنُونِ.

Kedua: hajr karena gila.

وَالثَّالِثُ: حَجْرُ السَّفَهِ.

Ketiga: hajr karena safih (bodoh).

وَالرَّابِعُ: حَجْرُ الْفَلَسِ.

Keempat: hajr karena muflis (bangkrut).

وَالْخَامِسُ: حَجْرُ الْمَرَضِ.

Kelima: hajr karena sakit.

وَالسَّادِسُ: حَجْرُ الرِّدَّةِ.

Keenam: hajr karena riddah (murtad).

وَالسَّابِعُ: حَجْرُ الرِّقِّ.

Ketujuh: hajr karena status budak.

والثامن: حجر الكتابة.

Kedelapan: hajr karena status mukatab (budak yang sedang menebus dirinya).

وينقسم الحجر إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Hajr terbagi menjadi tiga jenis:

قِسْمٌ لَا يَثْبُتُ الْحَجْرُ بِهِ إِلَّا بِحُكْمِ حَاكِمٍ وَهُوَ حَجْرُ الْفَلَسِ وَحَجْرُ السَّفَهِ.

Jenis yang tidak dapat diberlakukan kecuali dengan keputusan hakim, yaitu hajr karena muflis dan hajr karena safih.

وَقِسْمٌ يَثْبُتُ بِغَيْرِ حُكْمٍ وَهُوَ حَجْرُ الصِّغَرِ، وَحَجْرُ الْجُنُونِ وَحَجْرُ الْمَرَضِ وَحَجْرُ الرِّقِّ وَحَجْرُ الْكِتَابَةِ.

Jenis yang berlaku tanpa keputusan hakim, yaitu hajr karena masih kecil, hajr karena gila, hajr karena sakit, hajr karena status budak, dan hajr karena status mukatab.

وَقِسْمٌ مُخْتَلَفٌ فِيهِ وَهُوَ حجر الردة.

Jenis yang diperselisihkan, yaitu hajr karena riddah.

(أقسام الحجر باعتبار أثره)

(Pembagian hajr berdasarkan akibat hukumnya)

ثُمَّ هِيَ أَيْضًا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Kemudian, hajr juga terbagi menjadi tiga jenis:

قِسْمٌ يَثْبُتُ الْحَجْرُ فِي حَقِّ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ وَهُوَ حَجْرُ الصِّغَرِ وَالْجُنُونِ وَالسَّفَهِ.

Bagian yang penetapan hajr (pembatasan hak) berlaku atas orang yang dikenai hajr, yaitu hajr karena masih kecil, gila, dan safih (tidak cakap mengelola harta).

وَقِسْمٌ يَثْبُتُ الْحَجْرُ فِيهِ فِي حَقِّ غَيْرِهِ وَهُوَ حَجْرُ الْفَلَسِ وَالْمَرَضِ وَالرِّدَّةِ وَالرِّقِّ وَقِسْمٌ مُشْتَرَكٌ بَيْنَ حَقِّهِ وَحَقِّ غَيْرِهِ وَهُوَ الْكِتَابَةُ وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْ ذَلِكَ مَوْضِعٌ.

Dan bagian yang penetapan hajr berlaku demi kepentingan orang lain, yaitu hajr karena pailit, sakit, riddah (keluar dari Islam), dan perbudakan. Ada pula bagian yang bersifat gabungan antara hak dirinya dan hak orang lain, yaitu al-kitābah (perjanjian pembebasan budak dengan pembayaran bertahap), dan masing-masing dari hal tersebut memiliki tempatnya sendiri.

وَإِنَّمَا يَخْتَصُّ هَذَا الْكِتَابُ بِحَجْرِ الصِّغَرِ وَحَجْرِ السَّفَهِ.

Adapun kitab ini secara khusus membahas tentang hajr karena masih kecil dan hajr karena safih.

(الْقَوْلُ فِي عَلَامَاتِ وَزَمَانِ البلوغ)

(Pembahasan tentang tanda-tanda dan waktu baligh)

1 – البلوغ بالاحتلام:

1 – Baligh karena ihtilām (mimpi basah):

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالْبُلُوغُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً إِلَّا أَنْ يَحْتَلِمَ الغلام أو تحيض الجارية قبل ذلك وقال الله تبارك وتعالى {فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فليملل وليه بالعدل} فأثبت الولاية على السفيه والضعيف والذي لا يستطيع أن يمل هو وأمر وليه بالإملاء عنه لأنه أقامه فيما لا غنى به عنه في ماله مقامه وقيل الذي لا يستطيع يحتمل أن يكون المغلوب على عقله وهو أشبه معانيه به والله أعلم “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Baligh itu pada usia lima belas tahun, kecuali jika anak laki-laki mengalami ihtilām atau anak perempuan mengalami haid sebelum itu. Allah Ta‘ala berfirman: {Jika orang yang berutang itu safih, lemah, atau tidak mampu menyatakan sendiri, maka walinya hendaklah menyatakan dengan adil} (QS. Al-Baqarah: 282). Maka Allah menetapkan kewalian atas safih, orang lemah, dan orang yang tidak mampu menyatakan sendiri, serta memerintahkan walinya untuk menyatakan atas namanya, karena ia menempatkan wali pada posisi yang tidak bisa ditinggalkan dalam urusan hartanya. Ada pula yang mengatakan bahwa yang tidak mampu itu bisa jadi adalah orang yang akalnya terganggu, dan makna ini lebih mendekati maksudnya. Allah Maha Mengetahui.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: ثُمَّ بَدَأَ الشَّافِعِيُّ بِذِكْرِ الصِّغَرِ وَحَدِّ الصِّغَرِ إِلَى زَمَانِ الْبُلُوغِ وَالْبُلُوغُ يَكُونُ بِخَمْسَةِ أَشْيَاءَ، ثَلَاثَةٌ مِنْهَا يَشْتَرِكُ فِيهَا الرِّجَالُ والنساء وهي: الاحتلام، والإنبات، وَالسِّنُّ، وَشَيْئَانِ مِنْهَا يَخْتَصُّ بِهِمَا النِّسَاءُ دُونَ الرِّجَالِ وَهُمَا الْحَيْضُ وَالْحَمْلُ.

Al-Mawardi berkata: Kemudian Imam Syafi‘i memulai dengan menyebutkan tentang masa kecil dan batas masa kecil hingga waktu baligh. Baligh itu terjadi karena lima hal: tiga di antaranya berlaku bagi laki-laki dan perempuan, yaitu: ihtilām (mimpi basah), tumbuh bulu (di kemaluan), dan usia; dan dua hal khusus bagi perempuan, yaitu haid dan hamil.

فَأَمَّا الِاحْتِلَامُ فَإِنَّمَا كَانَ بُلُوغًا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَإِذَا بَلَغَ الأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا} [النور: 59]

Adapun ihtilām, maka itu menjadi tanda baligh berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan apabila anak-anak di antara kalian telah mencapai usia mimpi (baligh), maka hendaklah mereka meminta izin} (QS. An-Nur: 59).

وَلِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ ” وَذَكَرَ مِنْهَا الصَّبِيَّ حَتَّى يَحْتَلِمَ.

Dan berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Pena (pencatatan dosa dan pahala) diangkat dari tiga golongan,” dan beliau menyebutkan di antaranya anak kecil sampai ia mengalami ihtilām.

وَالِاحْتِلَامُ هُوَ إِنْزَالُ الْمَنِيِّ الدَّافِقِ مِنْ رَجُلٍ أَوِ امْرَأَةٍ مِنْ نَوْمٍ أَوْ جِمَاعٍ أَوْ غَيْرِهِمَا.

Ihtilām adalah keluarnya mani yang memancar dari laki-laki atau perempuan, baik karena tidur, hubungan suami istri, atau sebab lainnya.

وَأَقَلُّ زَمَانِ الِاحْتِلَامِ فِي الْغِلْمَانِ عَشْرُ سِنِينَ، وَفِي الْجَوَارِي تِسْعُ سِنِينَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Usia minimal ihtilām pada anak laki-laki adalah sepuluh tahun, dan pada anak perempuan sembilan tahun. Allah Maha Mengetahui.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْإِنْبَاتُ فَقَدْ مَنَعَ أبو حنيفة أَنْ يَكُونَ لَهُ بالبلوغ تعلق لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ ” وَذَكَرَ مِنْ ذَلِكَ الصَّبِيّ حَتَّى يَحْتَلِمَ. فَجَعَلَ الِاحْتِلَامَ حَدًّا لِبُلُوغِهِ. وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ إِنْبَاتُ شَعْرِ الْوَجْهِ بُلُوغًا فَأَوْلَى أَلَّا يَكُونَ إِنْبَاتُ شَعْرِ الْعَانَةِ بُلُوغًا.

Adapun tentang tumbuh bulu (di kemaluan), Abu Hanifah melarang menjadikannya sebagai tanda baligh, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Pena diangkat dari tiga golongan,” dan beliau menyebutkan di antaranya anak kecil sampai ia mengalami ihtilām. Maka beliau menjadikan ihtilām sebagai batas baligh. Dan karena tumbuhnya bulu di wajah tidak dianggap sebagai tanda baligh, maka lebih utama lagi tumbuhnya bulu di kemaluan tidak dianggap sebagai tanda baligh.

وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّهُ يَكُونُ بُلُوغًا أَنَّ سَبْيَ بَنِي قُرَيْظَةَ نَزَلُوا مِنْ حُصُونِهِمْ عَلَى حُكْمِ سَعْدِ ابْنِ مُعَاذٍ الْأَشْهَلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ سَعْدٌ حُكْمِي فِيهِمْ أَنَّ مَنْ جَرَتْ عَلَيْهِ الْمُوسَى قُتِلَ وَمَنْ لَمْ تَجْرِ عَلَيْهِ اسْتُرِقَّ.

Adapun dalil bahwa tumbuh bulu itu menjadi tanda baligh adalah bahwa tawanan Bani Quraizhah turun dari benteng-benteng mereka atas keputusan Sa‘d bin Mu‘adz al-Asyhali ra., lalu Sa‘d berkata: “Keputusanku atas mereka adalah siapa yang sudah tumbuh bulu (kemaluan) maka dibunuh, dan siapa yang belum tumbuh maka dijadikan budak.”

فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” هَذَا حُكْمُ اللَّهِ مِنْ فَوْقِ سَبْعَةِ أَرْقِعَةٍ ” لِأَنَّ السَّمَاءَ رُقَعٌ، وَلِأَنَّ شَعْرَ الْعَانَةِ وَالْإِنْزَالَ يَخْتَصَّانِ بِعُضْوٍ يَحْدُثَانِ عِنْدَ وَقْتِ الْبُلُوغِ بِالْإِنْزَالِ شَرْعًا وَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِالْإِنْبَاتِ شَرْعًا.

Maka Nabi ﷺ bersabda: “Itulah hukum Allah dari atas tujuh lapis langit,” karena langit itu berlapis-lapis. Dan karena bulu kemaluan dan keluarnya mani sama-sama terjadi pada anggota tubuh tertentu yang muncul pada waktu baligh secara syar‘i, maka wajib pula menjadikan tumbuh bulu sebagai tanda baligh secara syar‘i.

وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَنَّهُ أَحَدُ نَوْعَيْ مَا يَتَعَلَّقُ بِهِ الْبُلُوغُ عُرْفًا فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ الْبُلُوغُ شَرْعًا كَالْإِنْزَالِ. وَبِهَذَا الْمَعْنَى مِنَ الِاسْتِدْلَالِ فَرَّقْنَا بَيْنَ شَعْرِ الْوَجْهِ وَبَيْنَ شَعْرِ الْعَانَةِ.

Secara qiyās, hal ini dapat dirumuskan bahwa ia adalah salah satu dari dua jenis hal yang secara ‘urf (kebiasaan) dijadikan tanda baligh, maka wajib pula dijadikan tanda baligh secara syar‘i, sebagaimana keluarnya mani. Dengan makna istidlāl (penalaran) ini, kami membedakan antara bulu wajah dan bulu kemaluan.

فَأَمَّا الْخَبَرُ فَلَيْسَ فِي ظَاهِرِهِ مَعَ مَا ذَكَرْنَا مِنَ النَّصِّ وَالِاسْتِدْلَالِ حُجَّةٌ.

Adapun hadis tersebut, secara lahiriah tidak menjadi hujjah jika dibandingkan dengan nash dan istidlāl yang telah kami sebutkan.

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا وَأَنَّ الْإِنْبَاتَ يَتَعَلَّقُ بِهِ الْبُلُوغُ فِي الْمُشْرِكِينَ فَهَلْ يَكُونُ بُلُوغًا فِيهِمْ أَوْ دَلَالَةً عَلَى بُلُوغِهِمْ؟ فِيهِ قَوْلَانِ:

Jika telah jelas apa yang kami sebutkan, dan bahwa tumbuh bulu itu dijadikan tanda baligh pada orang musyrik, maka apakah itu menjadi baligh bagi mereka atau hanya sebagai tanda baligh mereka? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَكُونُ بُلُوغًا فِيهِمْ كَالْإِنْزَالِ. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ بُلُوغًا فِي الْمُسْلِمِ أَيْضًا.

Salah satunya: bahwa itu menjadi tanda baligh bagi mereka sebagaimana keluarnya mani. Maka dengan demikian, itu juga menjadi tanda baligh bagi seorang muslim.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ دلالة على بلوغهم، لأن سعد جَعَلَهُ دَلِيلًا عِنْدَ تَعَذُّرِ الْعِلْمِ بِسِنِّهِمْ.

Pendapat kedua: bahwa hal itu merupakan petunjuk telah balighnya mereka, karena Sa‘d menjadikannya sebagai dalil ketika tidak memungkinkan mengetahui usia mereka.

فَعَلَى هَذَا هَلْ هُوَ دَلَالَةٌ عَلَى بُلُوغِ الْمُسْلِمِينَ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Berdasarkan hal ini, apakah hal itu merupakan petunjuk telah balighnya kaum Muslimin atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَكُونُ دَلَالَةً عَلَى بُلُوغِ الْمُسْلِمِينَ، لِأَنَّ مَا تَعَلَّقَ بِهِ الْبُلُوغُ لَا فَرْقَ فِيهِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُشْرِكِينَ.

Salah satunya: bahwa hal itu merupakan petunjuk telah balighnya kaum Muslimin, karena perkara yang berkaitan dengan baligh tidak ada perbedaan antara kaum Muslimin dan kaum musyrik.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَكُونُ دَلَالَةً عَلَى بُلُوغِ الْمُسْلِمِينَ وَإِنْ كَانَ دَلَالَةً عَلَى بُلُوغِ الْمُشْرِكِينَ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: bahwa hal itu bukan merupakan petunjuk telah balighnya kaum Muslimin, meskipun menjadi petunjuk telah balighnya kaum musyrik, dan perbedaan antara keduanya dari dua sisi:

أحدهما: أن المشرك تغلظ أحكامه ببلوغه كوجوب قَتْلِهِ وَأَخْذِ جِزْيَتِهِ فَانْتَفَتْ عَنْهُ التُّهْمَةُ فِي مُعَالَجَةِ الْإِنْبَاتِ.

Pertama: bahwa hukum-hukum atas kaum musyrik menjadi lebih berat dengan balighnya, seperti kewajiban membunuhnya dan mengambil jizyah darinya, sehingga tidak ada lagi tuduhan terhadapnya dalam hal mengusahakan tumbuhnya rambut.

وَالْمُسْلِمُ تُخَفَّفُ أَحْكَامُهُ بِبُلُوغِهِ فِي فَكِّ حَجْرِهِ وَثُبُوتِ وِلَايَتِهِ وَقَبُولِ شَهَادَتِهِ فَصَارَ مُتَّهَمًا فِي مُعَالَجَةِ الْإِنْبَاتِ.

Sedangkan pada Muslim, hukum-hukumnya menjadi lebih ringan dengan balighnya, seperti dibebaskannya dari perwalian, ditetapkannya hak perwalian, dan diterimanya kesaksiannya, sehingga ia menjadi tertuduh dalam hal mengusahakan tumbuhnya rambut.

وَالثَّانِي: أَنَّ الضَّرُورَةَ دعت إلى جعل الإنبات بلوغا في المشرك لِأَنَّ سِنَّهُ لَا يُعْلَمُ إِلَّا بِخَبَرِهِ وَخَبَرُ الشركِ لَا يُقْبَلُ.

Kedua: bahwa kebutuhan mendesak menuntut dijadikannya tumbuhnya rambut sebagai tanda baligh pada kaum musyrik, karena usianya tidak diketahui kecuali dari pengakuannya, sedangkan pengakuan orang musyrik tidak diterima.

وَلَمْ تَدْعُ الضَّرُورَةُ إِلَى ذَلِكَ فِي الْمُسْلِمِ، لِأَنَّ خَبَرَهُ فِي سِنِّهِ مَقْبُولٌ. ثُمَّ لَا اعْتِبَارَ فِي الْإِنْبَاتِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ شَعْرًا قَوِيًّا فَأَمَّا إِنْ كَانَ زغبا فلا فلو أن غلاما من المسلمين نَبَتَ الشَّعْرُ عَلَى عَانَتِهِ فَشَهِدَ لَهُ عَدْلَانِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَنَّهُ لَمْ يَسْتَكْمِلْ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فَيَكُونُ بُلُوغُهُ عَلَى الْقَوْلَيْنِ إِنْ قِيلَ إِنَّ الْإِنْبَاتَ يَكُونُ بُلُوغًا حُكِمَ بِبُلُوغِهِ.

Sedangkan kebutuhan mendesak itu tidak ada pada Muslim, karena pengakuannya tentang usianya diterima. Kemudian, tidak dianggap tumbuhnya rambut kecuali jika berupa rambut yang kuat, adapun jika hanya berupa bulu halus maka tidak dianggap. Maka jika ada seorang anak laki-laki Muslim tumbuh rambut di kemaluannya, lalu dua orang Muslim yang adil bersaksi bahwa ia belum mencapai usia lima belas tahun, maka balighnya menurut dua pendapat: jika dikatakan bahwa tumbuhnya rambut merupakan tanda baligh, maka diputuskan ia telah baligh.

وَإِنْ كَانَ سِنُّهُ أَقَلَّ مِنْ خَمْسِ عَشْرَةَ سَنَةً وَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْإِنْبَاتَ دَلَالَةٌ عَلَى الْبُلُوغِ لَمْ يُحْكَمْ بِبُلُوغِهِ إِذَا عُلِمَ نُقْصَانُ سِنِّهِ، وَهَذِهِ فَائِدَةُ الْقَوْلَيْنِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan jika usianya kurang dari lima belas tahun, dan jika dikatakan bahwa tumbuhnya rambut hanya merupakan petunjuk baligh, maka tidak diputuskan ia telah baligh jika diketahui kurangnya usianya. Inilah faedah dari dua pendapat tersebut, dan Allah lebih mengetahui.

(فَصْلٌ)

(Pembahasan)

فَأَمَّا السِّنُّ فَقَدْ حُكِيَ عَنْ مَالِكٍ إِنَّهُ لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ الْبُلُوغُ بِحَالٍ وَإِنَّمَا يَكُونُ الْبُلُوغُ بالاحتلام وغلظ الصوت وانشقاق الغضروف لأن البلوغ يختلف بحسب اختلاف الحلق وَتَبَايُنِ النَّاسِ كَاخْتِلَافِ أَعْمَارِهِمْ. فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْعَلَ مَعَ اخْتِلَافِهِ حَدًّا.

Adapun usia, telah dinukil dari Malik bahwa baligh tidak dikaitkan dengannya dalam keadaan apa pun, dan baligh hanya terjadi dengan ihtilam, suara menjadi berat, dan pecahnya tulang rawan, karena baligh berbeda-beda sesuai perbedaan tenggorokan dan perbedaan manusia sebagaimana perbedaan usia mereka. Maka tidak boleh dijadikan sebagai batasan karena perbedaannya.

وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وأبو حنيفة وَسَائِرُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ الْبُلُوغَ يَكُونُ بِالسِّنِّ وَإِنِ اخْتَلَفُوا فِيمَا يَكُونُ بِهِ بَالِغًا مِنَ السِّنِّ وَفِيمَا نَذْكُرُهُ مِنَ الدَّلِيلِ عَلَى الِاخْتِلَافِ فِي قَدْرِهِ دَلِيلٌ عَلَى ثُبُوتِ أَصْلِهِ.

Sedangkan asy-Syafi‘i, Abu Hanifah, dan seluruh fuqaha berpendapat bahwa baligh dapat terjadi dengan usia, meskipun mereka berbeda pendapat mengenai usia berapa seseorang dianggap baligh. Dan apa yang kami sebutkan dari dalil atas perbedaan dalam kadarnya adalah dalil atas tetapnya asal hukum tersebut.

وَاخْتَلَفُوا فِي قَدْرِ الْبُلُوغِ بِالسِّنِّ فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى أَنَّ الْبُلُوغَ يَكُونُ بِخَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فِي الْغُلَامِ وَالْجَارِيَةِ.

Mereka berbeda pendapat mengenai batas usia baligh. Asy-Syafi‘i ra. berpendapat bahwa baligh terjadi pada usia lima belas tahun baik bagi anak laki-laki maupun perempuan.

وَقَالَ أبو حنيفة: يَكُونُ بُلُوغُ الْجَارِيَةِ بِسَبْعَ عَشْرَةَ سَنَةً وَبُلُوغُ الْغُلَامِ بِثَمَانِيَ عَشْرَةَ سَنَةً، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ نَصَّ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ يُوجِبَانِ اسْتِصْحَابَ الصِّغَرِ إِلَى الِاحْتِلَامِ وَتَعْلِيقِ التَّكْلِيفِ بِهِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَإِذَا بَلَغَ الأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا} [النور: 59] وَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ “.

Abu Hanifah berkata: baligh bagi perempuan pada usia tujuh belas tahun dan baligh bagi laki-laki pada usia delapan belas tahun, dengan alasan bahwa nash al-Qur’an dan sunnah mewajibkan tetapnya status anak-anak hingga ihtilam dan menggantungkan taklif padanya. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan apabila anak-anak di antara kamu telah sampai pada usia baligh (mimpi), maka hendaklah mereka meminta izin} (an-Nur: 59) dan Nabi ﷺ bersabda: “Pena (catatan amal) diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil hingga ia bermimpi (ihtilam)…”

ثُمَّ كَانَ هَذَا السِّنُّ مُجْمَعًا عَلَى الْبُلُوغِ بِهِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مَا دُونَهُ مردودا بظاهر الثمن. وَالدَّلَالَةُ عَلَى مَا قُلْنَا حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ رِوَايَةُ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: عُرِضْتُ عَلَى النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَامَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً فَرَدَّنِي وَلَمْ يَرَنِي بَلَغْتُ وَعُرِضْتُ عَلَيْهِ عَامَ الْخَنْدَقِ وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَأَجَازَنِي فِي الْمُقَاتِلَةِ.

Kemudian, usia tersebut telah menjadi ijma‘ sebagai batas baligh, sehingga apa yang di bawahnya tertolak secara lahiriah. Dalil atas apa yang kami katakan adalah hadis Ibnu ‘Umar, riwayat Ibnu Juraij dari ‘Ubaidullah dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: Aku pernah dihadapkan kepada Nabi ﷺ pada tahun Uhud, saat itu aku berusia empat belas tahun, maka beliau menolakku dan tidak menganggapku telah baligh. Aku dihadapkan lagi kepada beliau pada tahun Khandaq, saat itu aku berusia lima belas tahun, maka beliau mengizinkanku ikut berperang.

وَقَدْ رُوِيَ عَنْهُ أَيْضًا أَنَّهُ قَالَ: عُرِضْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَامَ بَدْرٍ وَأَنَا ابْنُ ثَلَاثَ عَشَرَةَ سَنَةً فَرَدَّنِي، وَعُرِضْتُ عَلَيْهِ عَامَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً فَرَدَّنِي ولم يرني بلغت وَعُرِضْتُ عَلَيْهِ عَامَ الْخَنْدَقِ وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشَرَةَ سَنَةً فَأَجَازَنِي فِي الْمُقَاتِلَةِ. فَالدَّلَالَةُ مِنْ هَذَيْنِ الْحَدِيثَيْنِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Diriwayatkan pula darinya bahwa ia berkata: “Aku pernah dihadapkan kepada Rasulullah ﷺ pada tahun Perang Badar, saat itu usiaku tiga belas tahun, lalu beliau menolakku. Aku dihadapkan lagi kepada beliau pada tahun Uhud, usiaku empat belas tahun, beliau pun menolakku karena belum melihatku telah baligh. Kemudian aku dihadapkan lagi kepada beliau pada tahun Khandaq, usiaku lima belas tahun, maka beliau mengizinkanku untuk ikut berperang.” Maka petunjuk dari dua hadis ini ada dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا رَدَّهُ سَنَةَ أَرْبَعَ عَشَرَةَ لِأَنَّهُ لَمْ يَبْلُغْ عَلِمَ أَنَّ إِجَازَتَهُ سَنَةَ خَمْسَ عَشَرَةَ، لِأَنَّهُ قَدْ بَلَغَ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَرُدَّهُ لِمَعْنًى ثُمَّ يُجِيزُهُ مَعَ وُجُودِ ذَلِكَ الْمَعْنَى.

Pertama: Ketika beliau menolaknya pada usia empat belas tahun karena belum baligh, maka diketahui bahwa ketika beliau mengizinkannya pada usia lima belas tahun, itu karena ia telah baligh. Sebab, tidak mungkin beliau menolaknya karena suatu alasan lalu mengizinkannya sementara alasan itu masih ada.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَجَازَهُ سَنَةَ خَمْسَ عَشْرَةَ فِي الْمُقَاتِلَةِ وَهُمُ الْبَالِغُونَ وَبِذَلِكَ كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ لِأُمَرَاءِ الْأَجْنَادِ أَنَّ هَذَا فَرْقُ مَا بَيْنَ الذُّرِّيَّةِ وَالْمُقَاتِلَةِ، فَإِنْ قِيلَ: فَيَجُوزُ أن يكون ابن عمر بلغ خمس عشرة سنة بِالِاحْتِلَامِ لَا بِالسِّنِّ قِيلَ هَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْحُكْمَ الْمَنْقُولَ مَعَ السَّبَبِ يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ مَحْمُولًا عَلَى ذَلِكَ السَّبَبِ. كَمَا نُقِلَ أَنَّ مَاعِزًا زَنَا فَرُجِمَ. وَالسَّبَبُ الْمَنْقُولُ هُوَ السِّنُّ فَعُلِمَ أَنَّ الْبُلُوغَ مَحْمُولٌ عَلَيْهِ.

Kedua: Beliau mengizinkannya pada usia lima belas tahun untuk ikut berperang, dan para peserta perang adalah orang-orang yang telah baligh. Dengan demikian, Umar bin Abdul Aziz menulis kepada para pemimpin pasukan bahwa inilah perbedaan antara anak-anak dan para pejuang. Jika dikatakan: Mungkin saja Ibnu Umar telah baligh pada usia lima belas tahun karena ihtilam (mimpi basah), bukan karena usia, maka dijawab: Ini keliru, karena hukum yang diriwayatkan beserta sebabnya menuntut agar hukum itu dikaitkan dengan sebab tersebut. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Ma’iz berzina lalu dirajam, dan sebab yang diriwayatkan adalah usia, maka diketahui bahwa baligh dikaitkan dengan usia.

فَإِنْ قِيلَ: يُحْتَمَلُ أَنَّ الرَّدَّ سَنَةَ أَرْبَعَ عَشْرَةَ لِلضَّعْفِ وَالْإِجَازَةَ سَنَةَ خَمْسَ عَشْرَةَ لِلْقُوَّةِ.

Jika dikatakan: Mungkin saja penolakan pada usia empat belas tahun karena kelemahan fisik, dan izin pada usia lima belas tahun karena kekuatan fisik.

كَمَا رُوِيَ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّهُ قَالَ: ” عُرِضْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَرَدَّنِي وَأَجَازَ غُلَامًا فَقُلْتُ رَدَدْتَنِي وَأَجَزْتَهُ وَلَوْ صَارَعْتُهُ لَصَرَعْتُهُ، فَقَالَ صَارِعْهُ فَصَارَعْتُهُ فَصَرَعْتُهُ فَأَجَازَنِي “.

Sebagaimana diriwayatkan dari Samurah bin Jundub bahwa ia berkata: “Aku dihadapkan kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau menolakku dan mengizinkan seorang anak laki-laki lain. Aku berkata, ‘Engkau menolakku dan mengizinkannya, padahal jika aku bergulat dengannya, aku pasti mengalahkannya.’ Maka beliau berkata, ‘Bergulatlah dengannya.’ Lalu aku bergulat dengannya dan aku mengalahkannya, maka beliau pun mengizinkanku.”

فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الرَّدَّ وَالْإِجَازَةَ إِنَّمَا يَتَعَلَّقُ بِالضَّعْفِ وَالْقُوَّةِ.

Ini menunjukkan bahwa penolakan dan izin itu berkaitan dengan kelemahan dan kekuatan fisik.

قِيلَ: قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الرَّدُّ فِي حَدِيثِ سَمُرَةَ لِلضَّعْفِ وَالْإِجَازَةُ لِلْقُوَّةِ حَمْلًا لَهُ عَلَى سَبَبِهِ، وَفِي حَدِيثِ ابْنِ عمر للسن حملا على سببه.

Dijawab: Boleh jadi penolakan dalam hadis Samurah karena kelemahan fisik dan izin karena kekuatan fisik, sesuai dengan sebabnya. Sedangkan dalam hadis Ibnu Umar, penolakan dan izin dikaitkan dengan usia, sesuai dengan sebabnya.

فإن قيل: لحديث ابْنِ عُمَرَ لَا يَصِحُّ لِأَنَّهُ نَقَلَ أَنَّ بَيْنَ أُحُدٍ وَالْخَنْدَقِ سَنَةً وَقَدْ رَوَى الْوَاقِدِيُّ وَأَهْلُ السِّيَرِ أَنَّ بَيْنَ أُحُدٍ وَالْخَنْدَقِ سَنَتَيْنِ. قُلْنَا: نَقْلُ ابْنِ عُمَرَ أَثْبَتُ مِنْ نَقْلِ الْوَاقِدِيِّ.

Jika dikatakan: Hadis Ibnu Umar tidak sahih, karena ia meriwayatkan bahwa antara Perang Uhud dan Khandaq hanya satu tahun, padahal al-Waqidi dan para ahli sejarah meriwayatkan bahwa antara keduanya dua tahun. Kami katakan: Riwayat Ibnu Umar lebih kuat daripada riwayat al-Waqidi.

وَقَدْ تَابَعَهُ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَلَى أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ عُرِضَ عَلَيْهِ عام أحد وهو في أول ستة أَرْبَعَ عَشْرَةَ وَعُرِضَ عَلَيْهِ عَامَ الْخَنْدَقِ وَهُوَ في آخر ستة خمس عشرة فصار بينهما سنتان فإن قيل إن ابن عُمَرَ لَا يَعْرِفُ سِنَّ نَفْسِهِ لِأَنَّهُ لَمْ ير قط وِلَادَته فَلَمْ يَصِحَّ إِخْبَارُهُ بِهِ، قُلْنَا لَوْ كَانَ هَذَا صَحِيحًا حَتَّى لَا يَجُوزَ الْإِخْبَارُ بِهِ لَمَا جَازَ لَهُ الْإِخْبَارُ بِنَسَبِهِ، وَلَمَا جَازَ بِأَنْ يَقُولَ أَنَا ابْنُ عُمَرَ لِأَنَّهُ لَمْ يَرَ وِلَادَةَ نَفْسِهِ عَلَى فِرَاشِ عُمَرَ.

Muhammad bin Ishaq juga mendukungnya, bahwa mungkin saja Ibnu Umar dihadapkan kepada Nabi pada tahun Uhud saat awal usia empat belas, dan dihadapkan lagi pada tahun Khandaq saat akhir usia lima belas, sehingga jarak antara keduanya dua tahun. Jika dikatakan bahwa Ibnu Umar tidak mengetahui usianya sendiri karena ia tidak pernah melihat kelahirannya, sehingga tidak sahih ia mengabarkan usianya, maka kami katakan: Jika hal ini benar sehingga tidak boleh mengabarkannya, tentu ia juga tidak boleh mengabarkan nasabnya, dan tidak boleh mengatakan “Aku adalah anak Umar”, karena ia juga tidak pernah melihat kelahirannya di atas ranjang Umar.

فإن قيل: فقد يعلم بنسبه بالاستعاضة قيل وقد يعلم بسنه بالاستعاضة. وَمِنَ الدَّلِيلِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِذَا اسْتَكْمَلَ الْمَوْلُودُ خَمْسَ عَشرَةَ سنة كتب ماله وَمَا عَلَيْهِ وَأُخِذَتْ مِنْهُ الْحُدُودُ “.

Jika dikatakan: Seseorang dapat mengetahui nasabnya melalui informasi orang lain, maka demikian pula usia dapat diketahui melalui informasi orang lain. Di antara dalil atas apa yang kami sebutkan adalah riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Jika seorang anak telah genap berusia lima belas tahun, maka dicatat hak dan kewajibannya, dan dijatuhkan atasnya hudud.”

وَهَذَا إِنْ ثَبَتَ نَصٌّ غَيْرُ مُحْتَمَلٍ وَبِمَا ذَكَرْنَا يَفْسُدُ وَجْهُ اسْتِدْلَالِهِمْ.

Jika hadis ini sahih, maka ia merupakan nash yang tidak mengandung kemungkinan lain. Dengan apa yang telah kami sebutkan, batal pula alasan istidlal mereka.

وَمِنَ الدَّلِيلِ عَلَى فَسَادِ مَا قَالُوا مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَ بُلُوغِ الْغُلَامِ وَالْجَارِيَةِ وَأَنَّ لِلسِّنِّ مَعْنًى يَثْبُتُ بِهِ الْبُلُوغُ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِيهِ كَالِاحْتِلَامِ. وَلِأَنَّ الضَّعْفَ مَعْنًى يُوجِبُ الْحَجْرَ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِيهِ كَالْجُنُونِ وَلِأَنَّ مَا يَكْمُلُ بِهِ تَصَرُّفُهُمَا يَجِبُ أَنْ يَسْتَوِيَا فِيهِ وَلَا يَتَفَاضَلَا كَالرُّشْدِ، وَلِأَنَّهُ حَالٌ لَوْ أَسْلَمَ فِيهَا صَحَّ إِسْلَامُهُ أَوْ تَصَرَّفَ فِيهَا بِبَيْعٍ أَوْ شِرَاءٍ صَحَّ تَصَرُّفُهُ فَوَجَبَ أَنْ يُحْكَمَ فِيهَا بِبُلُوغِهِ كَالثَّمَانِيَ عَشْرَةَ.

Dan di antara dalil atas rusaknya pendapat mereka yang membedakan antara balighnya anak laki-laki dan perempuan, serta bahwa usia memiliki makna yang dengannya baligh dapat ditetapkan, maka wajib keduanya disamakan dalam hal ini sebagaimana dalam hal ihtilām. Dan karena kelemahan adalah suatu makna yang mewajibkan adanya pembatasan (hajr), maka wajib pula keduanya disamakan sebagaimana dalam kasus kegilaan (junūn). Dan karena sesuatu yang menyempurnakan kecakapan bertindak keduanya, wajib pula keduanya disamakan dan tidak boleh ada keutamaan salah satu atas yang lain, sebagaimana dalam hal rusyd. Dan karena keadaan yang jika seseorang masuk Islam di dalamnya, maka sah keislamannya, atau melakukan transaksi jual beli di dalamnya, maka sah pula transaksinya, maka wajib pula dihukumi baligh di dalamnya, sebagaimana pada usia delapan belas tahun.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْبُلُوغَ يَكُونُ بِخَمْسَ عَشرَةَ سَنَةً فَإِنَّمَا يَعْنِي السِّنِينَ الْقَمَرِيَّةَ الَّتِي كُلُّ سَنَةٍ مِنْهَا اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا هِلَالًا.

Apabila telah tetap bahwa baligh itu terjadi pada usia lima belas tahun, maka yang dimaksud adalah tahun-tahun qamariyah, yaitu setiap tahunnya terdiri dari dua belas bulan hilal.

وَابْتِدَاؤُهَا مِنْ حِينِ أَنْ يَنْفَصِلَ الْمَوْلُودُ مِنْ بَطْنِ أُمِّهِ، وَكَذَا لَا مِيرَاثَ لَهُ حَتَّى يَنْفَصِلَ جَمِيعُهُ حَيًّا مِنَ الرَّحِمِ.

Permulaan hitungan usia tersebut adalah sejak bayi terpisah dari perut ibunya, demikian pula tidak ada hak waris baginya hingga seluruh tubuhnya terpisah dari rahim dalam keadaan hidup.

وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ، وَزُفَرُ وَالْحَسَنُ بْنُ صَالِحٍ إِذَا خَرَجَ أَكْثَرُ الْمَوْلُودِ مِنَ الرَّحِمِ فَحِينَئِذٍ تُعْتَبَرُ أَوَّلَ سَنَةٍ. وَإِذَا عُلِمَتْ حَيَاتُهُ عِنْدَ خُرُوجِ أَكْثَرِهِ ثُمَّ خَرَجَ بَاقِيهِ مَيِّتًا وَرِثَ.

Abu Yusuf, Muhammad, Zufar, dan al-Hasan bin Shalih berkata: Jika sebagian besar tubuh bayi telah keluar dari rahim, maka saat itulah dianggap sebagai awal tahun pertama. Dan jika diketahui ia hidup ketika sebagian besar tubuhnya keluar, kemudian sisanya keluar dalam keadaan mati, maka ia tetap berhak mewarisi.

وَمَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ أَوْلَى لِأَنَّ أُصُولَ الشَّرْعِ مُقَرَّرَةٌ عَلَى أَنَّ كُلَّ حَالٍ ثَبَتَ لَهَا حُكْمٌ لَمْ يَزَلْ حُكْمُهَا إِلَّا بِالِانْفِصَالِ عَنْهَا كَالْإِيمَانِ.

Pendapat yang dikemukakan oleh asy-Syāfi‘ī lebih utama, karena prinsip-prinsip syariat telah menetapkan bahwa setiap keadaan yang telah ditetapkan hukumnya, maka hukum tersebut tidak akan hilang kecuali dengan terpisahnya keadaan itu, sebagaimana dalam hal iman.

وَلِأَنَّ وَضْعَ الْحَمْلِ لَمَّا أَوْجَبَ انْقِضَاءَ الْعِدَّةِ لَمْ تَنْقَضِ إِلَّا بَعْدَ انْفِصَالِ جَمِيعِهِ صَارَ فِي حُكْمِ الْحَمْلِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُ الولادة لتنافيهما.

Dan karena kelahiran (keluarnya janin) ketika menyebabkan berakhirnya masa ‘iddah, maka ‘iddah tidak dianggap selesai kecuali setelah seluruh janin terpisah, sehingga ia tetap dalam hukum sebagai janin, maka tidak boleh diberlakukan hukum kelahiran atasnya karena keduanya saling bertentangan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

أَمَّا الْحَيْضُ فَهُوَ بُلُوغٌ فِي النِّسَاءِ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ فَلَا يَحِلُّ أَنْ يُنْظَرَ إِلَى شَيْءٍ مِنْ بَدَنِهَا إِلَّا إِلَى وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا ” فَجَعَلَهَا بِالْحَيْضِ عَوْرَةً يَحْرُمُ النَّظَرُ إِلَيْهَا فَدَلَّ عَلَى أَنَّهَا بِالْحَيْضِ صَارَتْ بَالِغَةً.

Adapun haid, maka itu adalah tanda baligh bagi perempuan, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– bahwa beliau bersabda: “Jika seorang wanita telah haid, maka tidak halal dilihat sesuatu pun dari tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.” Maka beliau menjadikan dengan haid itu seluruh tubuhnya sebagai aurat yang haram dilihat, sehingga hal ini menunjukkan bahwa dengan haid, ia telah menjadi baligh.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَا بِخِمَارٍ ” يَعْنِي بَلَغَتْ وَقْتَ الْحَيْضِ لَا أَنَّهُ أَرَادَ كَوْنَهَا فِي وَقْتِ الْحَيْضِ، لِأَنَّ الْحَائِضَ لَا تَصِحُّ مِنْهَا الصَّلَاةُ بِحَالٍ.

Dan diriwayatkan dari Nabi –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– bahwa beliau bersabda: “Allah tidak menerima shalat perempuan yang telah haid kecuali dengan khimār (kerudung).” Maksudnya adalah telah mencapai usia haid, bukan maksudnya ia sedang dalam keadaan haid, karena perempuan yang sedang haid tidak sah shalatnya dalam keadaan apa pun.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْحَمْلُ فَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى تَقَدُّمِ الْبُلُوغِ، وَلَيْسَ بِبُلُوغٍ فِي نَفْسِهِ كَمَا وَهِمَ فِيهِ بَعْضُ أَصْحَابِنَا، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ، لِأَنَّ الْوَلَدَ مَخْلُوقٌ مِنْ مَاءِ الرَّجُلِ وَمَاءِ الْمَرْأَةِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فَلْيَنْظُرِ الإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ خلق من ماء دافق يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ} [الطارق: 7، 8] ، يَعْنِي أَصْلَابَ الرِّجَالِ وَتَرَائِبَ النِّسَاءِ.

Adapun kehamilan, maka itu adalah dalil atas telah terjadinya baligh sebelumnya, dan bukanlah baligh itu sendiri sebagaimana yang disangka oleh sebagian sahabat kami. Hal itu karena anak diciptakan dari air mani laki-laki dan air mani perempuan. Allah Ta‘ala berfirman: {Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa dia diciptakan. Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan} [at-Thāriq: 7-8], maksudnya adalah tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.

وَقَالَ تَعَالَى: {إِنَّا خلقناه من نطفة أمشاج نبتليه} [الدهر: 2] أَيْ أَخْلَاطٍ فَإِذَا كَانَ الْوَلَدُ مَخْلُوقًا مِنْ ماءيهما دل الحمل على تقدم إنزالهما فصار دليلا على تقدم بلوغهما.

Dan Allah Ta‘ala berfirman: {Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, Kami hendak mengujinya} [al-Insān: 2], yaitu dari campuran. Maka jika anak diciptakan dari kedua air mani tersebut, maka kehamilan menunjukkan telah terjadinya keluarnya air mani dari keduanya, sehingga menjadi dalil atas telah terjadinya baligh sebelumnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْخُنْثَى الْمُشْكِلُ فَيَكُونُ بَالِغًا بِالسِّنِّ إِذَا اسْتَكْمَلَ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً.

Adapun khuntsā musykil, maka ia dianggap baligh dengan usia apabila telah genap lima belas tahun.

فَأَمَّا الْحَيْضُ وَالْإِنْزَالُ فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Adapun haid dan inzāl (keluarnya mani), maka bagi khuntsā musykil terdapat tiga keadaan:

حَالٌ يَنْفَرِدُ بِالْإِنْزَالِ.

Keadaan di mana hanya terjadi inzāl saja.

وَحَالٌ يَنْفَرِدُ بِالْحَيْضِ.

Keadaan di mana hanya terjadi haid saja.

وَحَالٌ يَجْمَعُ بَيْنَ الْحَيْضِ وَالْإِنْزَالِ.

Keadaan di mana terjadi keduanya, yaitu haid dan inzāl.

فَإِذَا أَنْزَلَ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ أَنْزَلَ مِنْ ذَكَرِهِ لَمْ يَكُنْ بَالِغًا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ امْرَأَةً فَلَا يَكُونُ إِنْزَالُهَا مِنْ غَيْرِ الْفَرْجِ بُلُوغًا.

Jika terjadi inzāl, maka diperhatikan: jika inzāl itu keluar dari zakarnya, maka belum dianggap baligh, karena mungkin saja ia adalah perempuan, sehingga inzāl dari selain farji tidak dianggap sebagai tanda baligh.

وَإِنْ كَانَ أَنْزَلَ مِنْ فَرْجِهِ لَمْ يَكُنْ بَالِغًا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ رَجُلًا فَلَا يَكُونُ إِنْزَالُهُ مِنْ غَيْرِ الْفَرْجِ بُلُوغًا.

Dan jika inzāl itu keluar dari farjinya, maka belum dianggap baligh, karena mungkin saja ia adalah laki-laki, sehingga inzāl dari selain farji tidak dianggap sebagai tanda baligh.

وَإِنْ كَانَ أَنْزَلَ مِنْ ذَكَرِهِ وَفَرْجِهِ جَمِيعًا كَانَ بَالِغًا لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ رَجُلًا فَقَدْ أَنْزَلَ مِنْ ذَكَرِهِ وَإِنْ كَانَتِ امْرَأَةً فَقَدْ أَنْزَلَتْ مِنْ فَرْجِهَا.

Jika ia mengeluarkan mani dari zakar dan farjinya sekaligus, maka ia dianggap telah baligh. Sebab, jika ia laki-laki, maka ia telah mengeluarkan mani dari zakarnya, dan jika ia perempuan, maka ia telah mengeluarkan mani dari farjinya.

فَإِنْ حَاضَ لَمْ يَكُنْ بُلُوغًا بِحَالٍ سَوَاءٌ خَرَجَ الدَّمُ مِنْ فَرْجَيْهِ مَعًا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا وَإِنْ أَنَزَلَ وَحَاضَ فَعَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Jika ia mengalami haid, maka itu sama sekali tidak dianggap sebagai tanda baligh, baik darah keluar dari kedua farjinya sekaligus maupun dari salah satunya. Jika ia mengeluarkan mani dan juga haid, maka terdapat empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الْحَيْضُ وَالْإِنْزَالُ مِنْ فَرْجِهِ فلا يكون بلوغا لجواز أن يكون رجلا

Pertama: Haid dan keluarnya mani berasal dari farjinya, maka itu tidak dianggap sebagai tanda baligh karena mungkin saja ia adalah laki-laki.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الدَّمُ وَالْإِنْزَالُ مِنْ ذَكَرِهِ فَلَا يَكُونُ بُلُوغًا لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ امْرَأَةً.

Kedua: Darah dan keluarnya mani berasal dari zakarnya, maka itu tidak dianggap sebagai tanda baligh karena mungkin saja ia adalah perempuan.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الْإِنْزَالُ مِنْ فَرْجِهِ وَالدَّمُ من ذكره فلا يكون بلوغا فجواز أَنْ يَكُونَ رَجُلًا فَلَا يَكُونُ خُرُوجُ الدَّمِ مِنْ ذَكَرِهِ بُلُوغًا.

Ketiga: Keluarnya mani dari farjinya dan darah dari zakarnya, maka itu tidak dianggap sebagai tanda baligh karena mungkin saja ia adalah laki-laki, sehingga keluarnya darah dari zakar tidak dianggap sebagai tanda baligh.

وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الْإِنْزَالُ مِنْ ذَكَرِهِ وَالْحَيْضُ مِنْ فَرْجِهِ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّهُ يَكُونُ بُلُوغًا لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ رَجُلًا فَقَدْ أَنْزَلَ مِنْ ذَكَرِهِ وَإِنْ كَانَتِ امْرَأَةً فَقَدْ حَاضَتْ مِنْ فَرْجِهَا.

Keempat: Keluarnya mani dari zakarnya dan haid dari farjinya, maka menurut mazhab asy-Syafi‘i rahimahullah, itu dianggap sebagai tanda baligh. Sebab, jika ia laki-laki, maka ia telah mengeluarkan mani dari zakarnya, dan jika ia perempuan, maka ia telah haid dari farjinya.

وَقَدْ حُكِيَ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي بَعْضِ الْمَوَاضِعِ أَنَّهُ قَالَ: وَلَوْ حَاضَ وَاحْتَلَمَ لَمْ يَكُنْ بَالِغًا وَلَيْسَ هَذَا قَوْلًا لَهُ ثَانِيًا كَمَا وَهِمَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا، وَلَكِنْ لَهُ أَحَدُ تَأْوِيلَيْنِ:

Telah dinukil dari asy-Syafi‘i di beberapa tempat bahwa beliau berkata: “Jika seseorang mengalami haid dan ihtilam (mimpi basah), maka ia belum dianggap baligh.” Ini bukanlah pendapat kedua beliau, sebagaimana disangka sebagian sahabat kami, melainkan memiliki dua kemungkinan penafsiran:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَالَ وَلَوْ حَاضَ أَوِ احْتَلَمَ فَأَسْقَطَ الْكَاتِبُ أَلِفًا.

Pertama: Beliau berkata, “Jika mengalami haid atau ihtilam,” namun penulis (naskah) telah menghilangkan satu huruf alif.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَرَادَ وَلَوْ حَاضَ وَاحْتَلَمَ مِنْ أَحَدِ فَرْجَيْهِ لَمْ يَكُنْ بُلُوغًا، فَأَمَّا بُلُوغُهُ بِالْإِنْبَاتِ فَإِنْ كَانَ عَلَى أَحَدِ الْفَرْجَيْنِ لَمْ يَكُنْ بُلُوغًا، وَإِنْ كَانَ عَلَى الْفَرْجَيْنِ جَمِيعًا كَانَ بُلُوغًا فِي الْمُشْرِكِينَ وَفِي المسلمين على ما ذكرنا.

Kedua: Maksud beliau adalah, “Jika mengalami haid dan ihtilam dari salah satu farjinya, maka itu tidak dianggap baligh.” Adapun baligh karena tumbuhnya rambut (pubis), jika hanya tumbuh pada salah satu farji, maka itu tidak dianggap baligh. Namun jika tumbuh pada kedua farji sekaligus, maka itu dianggap baligh baik pada orang musyrik maupun muslim sebagaimana telah kami sebutkan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فإذا أمر الله جل وعز بِدَفْعِ أَمْوَالِ الْيَتَامَى إِلَيْهِمْ بِأَمْرَيْنِ لَمْ يُدْفَعْ إليهم إلا بهما وهو الْبُلُوغُ وَالرُّشْدُ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَالرُّشْدُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ الصَّلَاحُ فِي الدِّينِ حَتَّى تَكُونَ الشَّهَادَةُ جَائِزَةً مَعَ إِصْلَاحِ الْمَالِ “.

Asy-Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Ketika Allah Yang Maha Agung memerintahkan untuk menyerahkan harta anak yatim kepada mereka dengan dua syarat, maka tidak boleh diserahkan kecuali dengan keduanya, yaitu baligh dan rusyd (kematangan/kemampuan mengelola harta). (Asy-Syafi‘i berkata:) Rusyd, wallāhu a‘lam, adalah kebaikan dalam agama, hingga kesaksiannya diterima bersamaan dengan kemampuan memperbaiki harta.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: الْيَتِيمُ لَا يَنْفَكُّ حَجْرُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَشِيدًا فِي دِينِهِ وَمَالِهِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Anak yatim tidak akan lepas dari status perwalian kecuali jika ia telah rusyd dalam agama dan hartanya.

وَقَالَ أبو حنيفة: إِذَا بَلَغَ غَيْرَ رَشِيدٍ فُكَّ حَجْرُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مُبَذِّرًا.

Abu Hanifah berkata: Jika telah baligh namun belum rusyd, maka status perwaliannya dicabut kecuali jika ia seorang yang boros.

فَيُسْتَدَامُ الْحَجْرُ عَلَيْهِ إِلَى خَمْسٍ وَعِشْرِينَ سَنَةً ثُمَّ يُفَكُّ حَجْرُهُ. وَإِنْ تَصَرَّفَ قَبْلَ اسْتِكْمَالِ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ سَنَةً بِبَيْعٍ أَوْ شِرَاءٍ صَحَّ تَصَرُّفُهُ. اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ} [النساء: 6] .

Maka perwalian tetap dipertahankan atasnya hingga usia dua puluh lima tahun, kemudian status perwaliannya dicabut. Jika ia melakukan transaksi sebelum genap dua puluh lima tahun, baik jual maupun beli, maka transaksinya sah. Hal ini berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {Hingga apabila mereka telah cukup umur untuk menikah, jika kalian melihat pada mereka kematangan (rusyd), maka serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka} (QS. an-Nisā’: 6).

فَذَكَرَ الرُّشْدَ مُنَكَّرًا فَاقْتَضَى رُشْدًا ” مَا ” وَصَلَاحُهُ لِمَالِهِ فِي حَالَة ” مَا ” نَوْعٌ مِنَ الرُّشْدِ.

Allah menyebutkan rusyd dalam bentuk nakirah (umum), sehingga mencakup “rusyd” dalam bentuk apa pun, dan kemampuannya mengelola harta dalam kondisi tertentu adalah salah satu jenis rusyd.

وَلِأَنَّهُ مُكَلَّفٌ غَيْرُ مُبَذِّرٍ فَوَجَبَ أَنْ يُفَكَّ حَجْرُهُ كَالرَّشِيدِ فِي دِينِهِ.

Karena ia telah mukallaf dan tidak boros, maka wajib dicabut status perwaliannya sebagaimana orang yang rusyd dalam agamanya.

وَلِأَنَّ بُلُوغَ الْكَافِرِ عَاقِلًا يُوجِبُ فَكَّ حَجْرِهِ مَعَ عَدَمِ الرَّشَادِ فِي دِينِهِ فَالْمُسْلِمُ إِذَا بَلَغَ عَاقِلًا أَوْلَى بِفَكِّ الْحَجْرِ عَنْهُ؛ وَلِأَنَّ الْيَتِيمَ مَحْجُورٌ عَلَيْهِ فِي مَالِهِ وَنِكَاحِهِ فَلَمَّا انْفَكَّ الْحَجْرُ عَنْ نِكَاحِهِ إِذَا بَلَغَ عَاقِلًا. وَجَبَ أَنْ يُفَكَّ الْحَجْرُ عَنْ مَالِهِ إِذَا بَلَغَ عَاقِلًا.

Karena balighnya seorang kafir yang berakal mewajibkan dicabutnya status perwaliannya meskipun ia tidak rusyd dalam agamanya, maka seorang muslim yang telah baligh dan berakal lebih utama untuk dicabut status perwaliannya. Karena anak yatim berada dalam perwalian dalam urusan harta dan nikahnya, maka ketika perwalian atas nikahnya dicabut saat ia baligh dan berakal, maka wajib pula dicabut perwalian atas hartanya ketika ia baligh dan berakal.

وَالدَّلَالَةُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ: قَوْله تَعَالَى: {حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ} [النساء: 6] فَأَمَرَ بِدَفْعِ أموالهم إليهم بشرطين: البلوغ والرشد.

Dalil atas apa yang kami sebutkan adalah firman Allah Ta‘ala: {Hingga apabila mereka telah cukup umur untuk menikah, jika kalian melihat pada mereka kematangan (rusyd), maka serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka} (QS. an-Nisā’: 6). Maka Allah memerintahkan penyerahan harta mereka dengan dua syarat: baligh dan rusyd.

فلم يجز أَنْ يُدْفَعَ إِلَيْهِمْ بِوُجُودِ الْبُلُوغِ دُونَ الرُّشْدِ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُدْفَعَ إِلَيْهِمْ بِوُجُودِ الرشد دون البلوغ فمن لَمْ يَكُنْ مُصْلِحًا فِي دِينِهِ لَا يَنْطَلِقُ اسْمُ الرُّشْدِ عَلَيْهِ.

Maka tidak boleh diserahkan (harta) kepada mereka hanya karena telah mencapai baligh tanpa adanya rasyid, sebagaimana juga tidak boleh diserahkan kepada mereka hanya karena adanya rasyid tanpa baligh. Maka barang siapa yang tidak memperbaiki agamanya, tidak dapat disebut sebagai rasyid.

فَإِنْ قِيلَ: فَالرُّشْدُ هُوَ الْعَقْلُ كَانَ الْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Jika dikatakan: rasyid itu adalah akal, maka jawabannya ada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أن الرشد عرفا مستعملا فِي صَلَاحِ الدِّينِ وَالْمَالِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْمَلَ عَلَى الْعَقْلِ وَإِنْ كَانَ بَعْضَ شَرَائِطِ الرُّشْدِ.

Pertama: bahwa rasyid menurut kebiasaan digunakan dalam makna perbaikan agama dan harta, sehingga tidak boleh dibawa hanya pada makna akal, meskipun akal merupakan salah satu syarat rasyid.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَمَرَ بِاخْتِبَارِهِ قَبْلَ الرُّشْدِ وَمَنْ لَا عَقْلَ لَهُ لَا يَحْتَاجُ إِلَى اخْتِبَارٍ لِظُهُورِ أَمْرِهِ فَكَانَ حَمْلُهُ عَلَى مَنْ يَشْتَبِهُ أَمْرُهُ لِيَحْتَاجَ إِلَى اخْتِبَارٍ أَوْلَى وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” اقْبِضُوا عَلَى أَيْدِي سُفَهَائِكُمْ “.

Kedua: bahwa (Allah) memerintahkan untuk menguji (seseorang) sebelum dinyatakan rasyid, dan orang yang tidak berakal tidak perlu diuji karena keadaannya sudah jelas. Maka membawa makna rasyid pada orang yang keadaannya masih samar sehingga perlu diuji adalah lebih utama. Dan telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tahanlah tangan-tangan orang-orang bodoh di antara kalian.”

وَالْعَادِمُ لِلرُّشْدِ سَفِيهٌ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَقْبُوضًا عَلَى يَدِهِ مَمْنُوعًا مِنْ تَصَرُّفِهِ فِي مَالِهِ وَلِأَنَّهُ بَلَغَ غَيْرَ رَشِيدٍ فَوَجَبَ أَنْ يُمْنَعَ مِنْ مَالِهِ كَالْمَجْنُونِ أَوِ الْمُبَذِّرِ قَبْلَ الْخَمْسِ وَالْعِشْرِينَ. وَلِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنْ مَالِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَنْفُذَ تَصَرُّفُهُ كَالصَّغِيرِ، وَلِأَنَّهُ يَمْلِكُ مَا نُدِبَ إِلَيْهِ مِنْ صَلَاحَيْ رُشْدِهِ وَهُمَا صَلَاحُ نَفْسِهِ بِالدِّينِ وَصَلَاحُ مَالِهِ بِالْقَصْدِ فَلَمَّا كَانَ صَلَاحُ مَالِهِ بِالْبُلُوغِ مُعْتَبَرًا فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ صَلَاحُ نَفْسِهِ مُعْتَبَرًا. فَأَمَّا الْآيَةُ فَقَدْ جَعَلْنَاهَا دَلِيلًا لَنَا وَمَا حَمَلُوهَا عَلَيْهِ مِمَّا انْطَلَقَ عَلَيْهِ اسْمُ رُشْدٍ. ” مَا ” غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ التَّلَفُّظَ بِالشَّهَادَتَيْنِ رُشْدٌ وَدَفْعُ الْأَذَى مِنَ الطَّرِيقِ رُشْدٌ. وَذَلِكَ مِمَّا لَا يُسْتَحَقُّ بِهِ فَكُّ الْحَجْرِ.

Orang yang tidak memiliki rasyid adalah safīh (bodoh), maka wajib untuk ditahan tangannya, dilarang melakukan tindakan terhadap hartanya. Karena ia telah baligh namun belum rasyid, maka wajib dicegah dari hartanya seperti orang gila atau orang yang boros sebelum usia dua puluh lima tahun. Dan karena ia dilarang dari hartanya, maka tidak sah tindakannya seperti anak kecil. Dan karena ia hanya memiliki apa yang dianjurkan kepadanya dari dua kebaikan rasyid, yaitu kebaikan dirinya dalam agama dan kebaikan hartanya dengan sikap pertengahan, maka ketika kebaikan hartanya dengan baligh dianggap penting, maka lebih utama lagi kebaikan dirinya juga dianggap penting. Adapun ayat (Al-Qur’an), maka kami telah menjadikannya sebagai dalil bagi kami, dan apa yang mereka pahami darinya yang dinamai rasyid tidaklah benar; karena mengucapkan dua kalimat syahadat adalah rasyid, dan menyingkirkan gangguan dari jalan juga rasyid, namun hal itu tidak cukup untuk mengangkat status hajr (larangan bertindak atas harta).

وَكَذَلِكَ مَا ذَكَرُوا لَا يَكُونُ رُشْدًا مُطْلَقًا وَالسَّفِيهُ لَيْسَ بِرَشِيدٍ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ} [النساء: 5] .

Demikian pula apa yang mereka sebutkan tidaklah menjadi rasyid secara mutlak, dan safīh bukanlah rasyid, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan janganlah kamu serahkan harta-hartamu kepada orang-orang safīh} (an-Nisā’: 5).

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الرَّشِيدِ فَالْمَعْنَى فِيهِ الْإِصْلَاحُ فِي الدِّينِ وَالْمَالِ.

Adapun qiyās mereka terhadap rasyid, maka maknanya adalah perbaikan dalam agama dan harta.

وَمَا ذَكَرُوهُ مِنَ النِّكَاحِ ” وَالْمَالِ ” فَهُمَا سَوَاءٌ مَتَى لَمْ يَنْفَكَّ الْحَجْرُ عَنْ مَالِهِ لَمْ يَنْفَكَّ عَنْ نِكَاحِهِ. وَأَمَّا الْكَافِرُ فَهُوَ رَشِيدٌ فِي دِينِ نَفْسِهِ، لِأَنَّ الرُّشْدَ هُوَ أَنْ يَنْتَهِيَ عَمَّا يَعْتَقِدُ تَحْرِيمَهُ وَيَفْعَلَ مَا يَعْتَقِدُ حُسْنَهُ وَوُجُوبَهُ، وَلَا اعْتِبَارَ فِي رُشْدِهِ بِمَا يَعْتَقِدُهُ الْغَيْرُ مِنْ قُبْحٍ وَحَظَرٍ فَكَانَ اسْمُ الرُّشْدِ مُنْطَلِقًا عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ كَافِرًا يُفَكُّ الْحَجْرُ عَنْهُ. وَلَا يَنْطَلِقُ اسْمُ الرُّشْدِ عَلَى الْمُسْلِمِ إِذَا كَانَ فَاسِقًا فَلَمْ يُفَكَّ الْحَجْرُ عَنْهُ. كَمَا يَلِي الْكَافِرُ عَلَى مَالِ وَلَدِهِ وَلَا يَلِي الْفَاسِقُ عَلَى مَالِ وَلَدِهِ.

Adapun apa yang mereka sebutkan tentang nikah dan harta, keduanya sama saja; selama hajr belum dicabut dari hartanya, maka hajr juga belum dicabut dari nikahnya. Adapun orang kafir, ia dianggap rasyid dalam agama dirinya, karena rasyid adalah meninggalkan apa yang ia yakini haram dan melakukan apa yang ia yakini baik dan wajib. Tidak diperhitungkan dalam rasyidnya berdasarkan keyakinan orang lain tentang keburukan dan larangan, maka nama rasyid tetap berlaku baginya, meskipun ia kafir, sehingga hajr dicabut darinya. Sedangkan pada muslim, nama rasyid tidak berlaku jika ia fāsiq, sehingga hajr tidak dicabut darinya. Sebagaimana orang kafir dapat menjadi wali atas harta anaknya, sedangkan orang fāsiq tidak dapat menjadi wali atas harta anaknya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَالرُّشْدُ الصَّلَاحُ فِي الدِّينِ حَتَّى تَكُونَ الشَّهَادَةُ جَائِزَةً مَعَ إِصْلَاحِ الْمَالِ. فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي قَوْلِهِ حَتَّى تَكُونَ الشَّهَادَةُ جَائِزَةً مَا الَّذِي أَرَادَ بِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun perkataan asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh: “Rasyid adalah perbaikan dalam agama hingga kesaksiannya diterima, bersamaan dengan perbaikan harta.” Maka para sahabat kami berbeda pendapat tentang maksud beliau dengan perkataan “hingga kesaksiannya diterima” dalam dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مُرَادَهُ بِهِ أَنْ يَكُونَ بِوَصْفِ مَنْ تَجُوزُ شَهَادَتُهُ فَلَا يَرْتَكِبُ مَحْظُورًا وَلَا يَأْتِي قَبِيحًا وَلَا يُخِلُّ بِوَاجِبٍ.

Pertama: maksud beliau adalah agar seseorang memiliki sifat yang dengannya kesaksiannya diterima, yaitu tidak melakukan hal yang dilarang, tidak melakukan perbuatan buruk, dan tidak meninggalkan kewajiban.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَرَادَ أَنْ يَكُونَ بِوَصْفِ مَنْ تَكُونُ الشَّهَادَةُ لَهُ بِالرُّشْدِ جَائِزَةً لِظُهُورِ أَفْعَالِهِ الْجَمِيلَةِ وَانْتِشَارِ سِدَادِهِ عِنْدَ أَكْفَائِهِ.

Kedua: maksud beliau adalah agar seseorang memiliki sifat yang dengannya kesaksian atas rasyidnya diterima, karena tampak perbuatan-perbuatan baiknya dan tersebarnya kebaikan di antara orang-orang yang setara dengannya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنَّمَا يُعْرَفُ إِصْلَاحُ الْمَالِ بِأَنْ يُخْتَبَرَ الْيُتْمَانُ وَالِاخْتِبَارُ يَخْتَلِفُ بِقَدْرِ حَالِ الْمُخْتَبَرِ فَمِنْهُمْ مَنْ يَبْتَذِلُ فَيُخَالِطُ النَّاسَ بِالشِّرَاءِ وَالْبَيْعِ قَبْلَ الْبُلُوغِ وَبَعْدَهُ فَيَقْرُبُ اخْتِبَارُهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يُصَانُ عَنِ الْأَسْوَاقِ فَاخْتِبَارَهُ أَبْعَدُ فَيُخْتَبَرُ فِي نَفَقَتِهِ فَإِنْ أَحْسَنَ إِنْفَاقَهَا عَلَى نَفْسِهِ وَشِرَاءَ مَا يُحْتَاجُ إِلَيْهِ أَوْ يُدْفَع إِلَيْهِ الشَّيْءُ الْيَسِيرُ فَإِذَا أَحْسَنَ تَدْبِيرَهُ وَتَوْفِيرَهُ وَلَمْ يُخْدَعْ عَنْهُ دُفِعَ إِلَيْهِ مَالُهُ “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Perbaikan pengelolaan harta hanya dapat diketahui dengan menguji para yatim, dan bentuk ujian itu berbeda-beda sesuai dengan keadaan yang diuji. Di antara mereka ada yang terbiasa bergaul dengan masyarakat dalam jual beli sebelum dan sesudah baligh, sehingga ujiannya lebih mudah. Ada pula yang dijaga dari pasar, sehingga ujiannya lebih sulit; maka ia diuji dalam hal pengeluarannya. Jika ia mampu membelanjakan hartanya dengan baik untuk dirinya sendiri dan membeli apa yang dibutuhkannya, atau diberikan kepadanya sejumlah kecil harta, lalu ia mampu mengelolanya, menghematnya, dan tidak tertipu, maka hartanya boleh diserahkan kepadanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَاخْتِبَارُ الْأَيْتَامِ يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: “Ini benar, dan pengujian terhadap anak yatim mencakup dua aspek:

أَحَدُهُمَا: فِي زَمَانِهِ.

Pertama: dari segi waktunya.

وَالثَّانِي: فِي صِفَتِهِ. فَأَمَّا زَمَانُ الِاخْتِبَارِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Kedua: dari segi sifatnya. Adapun waktu pengujian, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَعْدَ الْبُلُوغِ لِأَنَّهُ الْوَقْتُ الَّذِي يَنْفُذُ فِيهِ تَصَرُّفُهُ وَتَصِحُّ فِيهِ عُقُودُهُ وَيَثْبُتُ لِقَوْلِهِ حُكْمٌ.

Pertama: setelah baligh, karena saat itulah ia mulai sah melakukan tindakan hukum, akad-akadnya menjadi sah, dan ucapannya memiliki kekuatan hukum.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُخْتَبَرُ قَبْلَ الْبُلُوغِ لِيَصِلَ إِلَى قَبْضِ مَالِهِ عِنْدَ بُلُوغِهِ وَرُشْدِهِ وَلَا يَتَأَخَّرُ عَنْهُ بَعْدَ الْبُلُوغِ لِأَجْلِ الِاخْتِبَارِ.

Pendapat kedua: diuji sebelum baligh, agar ketika ia telah baligh dan mencapai kedewasaan (rushd), ia dapat langsung menerima hartanya dan tidak tertunda penyerahan hartanya setelah baligh hanya karena menunggu proses pengujian.

كَمَا لَزِمَ تَعْلِيمُ الصَّبِيِّ الطَّهَارَةَ وَالصَّلَاةَ قَبْلَ البلوغ حتىلا يَتَأَخَّرَ بَعْدَ الْبُلُوغِ عَنْ أَدَاءِ الْفَرْضِ تَشَاغُلًا بِالتَّعْلِيمِ. فَمَنْ قَالَ بِهَذَا فَفِي كَيْفِيَّةِ اخْتِبَارِهِ وَجْهَانِ:

Sebagaimana wajib mengajarkan anak kecil tentang thahārah dan shalat sebelum baligh, agar setelah baligh ia tidak terlambat menunaikan kewajiban karena sibuk belajar. Bagi yang berpendapat demikian, dalam tata cara pengujiannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْوَلِيَّ يُعْطِيهِ مَا يَنْفُذُ تَصَرُّفُهُ فِيهِ مِنْ يَسِيرِ الْمَالِ. فَيَبِيعُ بِهِ وَيَشْتَرِي وَيَصِحُّ ذَلِكَ مِنْهُ لِمَوْضِعِ الضَّرُورَةِ إِلَيْهِ.

Pertama: wali memberikan kepada anak yatim sejumlah kecil harta yang boleh ia kelola, lalu ia melakukan jual beli dengannya, dan hal itu sah karena adanya kebutuhan mendesak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْيَتِيمَ يُبَاشِرُ بِمَا دُفِعَ إِلَيْهِ مِنْ يَسِيرِ مَالِهِ الْمُسَاوَمَةَ وَتَقْدِيرَ الثَّمَنِ وَاسْتِصْلَاحَ الْعَقْدِ، فَإِذَا تَقَرَّرَ لَهُ ذَلِكَ تَوَلَّى الْوَلِيُّ الْعَقْدَ عَنْهُ وَلَا يَصِحُّ لِعَدَمِ بُلُوغِهِ الْعَقْدُ مِنْهُ.

Pendapat kedua: anak yatim melakukan tawar-menawar, menaksir harga, dan memperbaiki akad dengan sejumlah kecil hartanya yang diberikan kepadanya; jika ia telah mampu melakukan itu, maka wali yang akan melakukan akad atas namanya, dan akad dari anak yatim itu sendiri tidak sah karena ia belum baligh.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَأَمَّا صِفَةُ الِاخْتِبَارِ فَقَدْ يَكُونُ بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ:

Adapun sifat pengujian, maka dapat dilakukan dengan tiga hal:

أَحَدُهَا: مَا كَانَ اخْتِبَارًا لِدِينِهِ وَهُوَ لُزُومُ الْعِبَادَاتِ وَتَجَنُّبُ الْمَحْظُورَاتِ وَتُوَقِّي الشُّبُهَاتِ.

Pertama: pengujian dalam hal agamanya, yaitu konsistensi dalam beribadah, menjauhi hal-hal yang terlarang, dan menghindari perkara syubhat.

وَالثَّانِي: مَا كَانَ اخْتِبَارًا لِمَالِهِ وَهُوَ التَّوَصُّلُ إِلَى الِاكْتِسَابِ وَالْقَصْدِ فِي الْإِنْفَاقِ.

Kedua: pengujian dalam hal hartanya, yaitu kemampuan untuk memperoleh penghasilan dan bersikap hemat dalam pengeluaran.

وَالثَّالِثُ: مَا كَانَ مُشْتَرِكًا فِي اخْتِبَارِ دِينِهِ وَمَالِهِ وَهُوَ حَالُهُ فِيمَنْ يُصَاحِبُ مِنَ النَّاسِ أَوْ يُخَالِطُ، فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُولَى عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَكُونَ غُلَامًا أَوْ جَارِيَةً.

Ketiga: pengujian yang mencakup agama dan hartanya sekaligus, yaitu keadaannya dalam bergaul dan berinteraksi dengan orang lain. Jika demikian, maka keadaan anak yang berada dalam perwalian tidak lepas dari dua kemungkinan: laki-laki atau perempuan.

فَأَمَّا الْغُلَامُ فَلَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Adapun anak laki-laki, maka keadaannya tidak lepas dari dua hal:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يُسْتَبْذَلُ بِدُخُولِ الْأَسْوَاقِ.

Pertama, ia termasuk yang biasa masuk ke pasar.

أَوْ مِمَّنْ يُصَانُ عَنْهَا فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يَدْخُلُ الْأَسْوَاقَ أَذِنَ لَهُ الْوَلِيُّ فِي دُخُولِ السُّوقِ الَّتِي تَلِيقُ بِمِثْلِهِ وَدَفَعَ إِلَيْهِ يَسِيرًا مِنْ مَالِهِ وَرَاعَى مَا يَكُونُ مِنْ بَيْعِهِ وَشِرَائِهِ وَأَخْذِهِ وَعَطَائِهِ.

Atau ia termasuk yang dijaga dari pasar. Jika ia termasuk yang biasa masuk ke pasar, maka wali mengizinkannya masuk ke pasar yang sesuai dengan usianya, memberikan sejumlah kecil hartanya, dan mengamati bagaimana ia melakukan jual beli, menerima dan memberi.

فَإِنْ كَانَ شَدِيدًا فِيهَا حَسَنَ التَّدْبِيرِ لَهَا لَا يُغْبَنُ فِي شَيْءٍ مِنْهَا لَمْ يَقْنَعْ مِنْهُ بِدُفْعَةٍ وَاحِدَةٍ حَتَّى يُرَاعَى ذَلِكَ مِنْهُ ثَانِيَةً وَثَالِثَةً لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ الْأُولَى مِنْهُ اتِّفَاقًا لَا قَصْدًا، فَإِذَا تَكَرَّرَ ذَلِكَ مِنْهُ عَلِمَ صِحَّةَ قَصْدِهِ فِيهِ كَالْكَلْبِ إِذَا عُلِّمَ فَأَمْسَكَ مَرَّةً لَمْ يَصِرْ مُعَلَّمًا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ بِالِاتِّفَاقِ فَإِذَا تَكَرَّرَ مِنْهُ صَارَ قَصْدًا فَصَارَ مُعَلَّمًا. فَإِذَا رَآهُ الْوَلِيُّ مِرَارًا يَمْضِي عَلَى شَاكِلَتِهِ فِي الْقَصْدِ وَصَوَابِ التَّدْبِيرِ وَحُسْنِ التَّقْدِيرِ عَلِمَ رُشْدَهُ فِي الْمَالِ. وَإِنْ رَآهُ عَلَى خِلَافِ ذَلِكَ مِنْ فَسَادِ الْقَصْدِ وَحُصُولِ الْغَبْنِ عَلِمَ أَنَّهُ غَيْرُ رَشِيدٍ فِي الْمَالِ.

Jika ia cakap dalam hal itu, mampu mengelola dengan baik, tidak tertipu dalam urusan tersebut, maka tidak cukup hanya sekali ujian, tetapi harus diulang kedua dan ketiga kalinya, karena bisa jadi keberhasilan pertama hanya kebetulan, bukan karena kemampuannya. Jika ia berhasil berulang kali, maka diketahui bahwa ia memang memiliki tujuan dan kemampuan yang benar, sebagaimana anjing yang diajari berburu: jika ia hanya sekali berhasil menangkap, belum dianggap terlatih karena bisa jadi itu kebetulan, tetapi jika berulang kali, maka itu menunjukkan kesengajaan dan ia dianggap terlatih. Jika wali melihatnya berkali-kali mampu bertindak dengan baik, tepat, dan cermat, maka diketahui bahwa ia telah dewasa (rushd) dalam mengelola harta. Namun jika sebaliknya, terlihat dari buruknya pengelolaan dan sering tertipu, maka diketahui bahwa ia belum dewasa dalam mengelola harta.

وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يُصَانُ عَنِ الْأَسْوَاقِ فَاخْتِبَارُهُ أَشَدُّ فَيُدْفَعُ إِلَيْهِ نَفَقَةُ يَوْمٍ ثُمَّ مِنْ بعدها نفقة أسبوع ثم نفقة شهر. ورعاه الْوَلِيُّ فِي تَقْدِيرِهَا وَصَرْفِهَا فِي وُجُوهِهَا، وَإِنْ كَانَ صَاحِبَ ضَيْعَةٍ أَذِنَ لَهُ فِي تَدْبِيرِهَا. فَإِنْ رَآهُ مُصِيبَ الرَّأْيِ فِيهَا وَاضِعًا لِلْأُمُورِ مَوَاضِعَهَا يُقَدِّرُ النَّفَقَةَ عَلَى وَاجِبِهَا عَلِمَ رُشْدَهُ فِي مَالِهِ وَإِنْ رَآهُ بِخِلَافِ ذَلِكَ عَلِمَ أَنَّهُ غَيْرُ رَشِيدٍ فِيهِ فَهَذَا اخْتِبَارُ رُشْدِهِ فِي الْمَالِ.

Dan jika ia termasuk orang yang biasanya dijaga dari pasar, maka ujiannya lebih berat: diberikan kepadanya nafkah sehari, kemudian setelah itu nafkah seminggu, lalu nafkah sebulan. Wali memperhatikan dalam menaksir dan membelanjakannya pada pos-posnya. Jika ia memiliki lahan, diizinkan baginya untuk mengelolanya. Jika wali melihatnya tepat dalam mengambil keputusan, menempatkan urusan pada tempatnya, dan memperkirakan nafkah sesuai kewajibannya, maka diketahui kecakapannya dalam mengelola harta. Namun jika wali melihat sebaliknya, maka diketahui bahwa ia belum cakap dalam hal itu. Inilah cara menguji kecakapannya dalam harta.

وَأَمَّا اخْتِبَارُ رُشْدِهِ فِي دِينِهِ فَهُوَ بِمُرَاعَاةِ مَا هُوَ عَلَيْهِ مِنْ فِعْلِ الطَّاعَاتِ وَاجْتِنَابِ الْمَعَاصِي وَمُصَاحَبَةِ مَنْ يُخَالِطُ وَيُمَاشِي، فَإِنْ كَانَ مُقْبِلًا عَلَى عِبَادَاتِهِ فِي أَوْقَاتِهَا الرَّاتِبَةِ مُجَانِبًا لِلْمَعَاصِي وَالشُّبُهَاتِ مُمَاشِيًا لِأَهْلِ الْخَيْرِ وَالصَّلَاحِ مُحَافِظًا عَلَى مُرُوءَةِ مِثْلِهِ عَلِمَ رُشْدَهُ فِي دِينِهِ.

Adapun pengujian kecakapannya dalam agama adalah dengan memperhatikan bagaimana ia menjalankan ketaatan, menjauhi maksiat, serta dengan siapa ia bergaul dan berinteraksi. Jika ia rajin menjalankan ibadah pada waktunya, menjauhi maksiat dan hal-hal syubhat, bergaul dengan orang-orang baik dan saleh, serta menjaga kehormatan dirinya sebagaimana mestinya, maka diketahui kecakapannya dalam agama.

وَإِنْ كَانَ خِلَافَ هَذَا فَهُوَ غَيْرُ رَشِيدٍ فِي الدِّينِ.

Namun jika sebaliknya, maka ia belum cakap dalam agama.

فَإِذَا اجْتَمَعَ رُشْدُهُ فِي دِينِهِ وَمَالِهِ وَجَبَ فَكُّ حَجْرِهِ، فَإِنْ كَانَ الْوَلِيُّ أَبًا أَوْ جَدًّا انْفَكَّ الْحَجْرُ عَنْهُ بِرُشْدِهِ مِنْ غَيْرِ حُكْمِ حَاكِمٍ لِأَنَّ وِلَايَةَ الْأَبِ لَمَّا ثَبَتَتْ بِغَيْرِ حُكْمٍ ارْتَفَعَتْ بِالرُّشْدِ مِنْ غَيْرِ حُكْمٍ، وَإِنْ كَانَتِ الْوِلَايَةُ لِأَمِينِ حَاكِمٍ لَمْ تَرْتَفِعْ عَنْهُ إِلَّا بِحُكْمٍ لِأَنَّهُ لَمَّا ثَبَتَتْ وِلَايَتُهُ بِحُكْمٍ لَمْ تَرْتَفِعْ إِلَّا بِحُكْمٍ. وَإِنْ كَانَتِ الْوِلَايَةُ لِوَصِيِّ أَبٍ أَوْ جَدٍّ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Apabila telah terkumpul kecakapannya dalam agama dan harta, maka wajib dicabut status hajr (pembatasan haknya). Jika walinya adalah ayah atau kakek, maka hajr dicabut darinya karena kecakapannya tanpa perlu keputusan hakim, karena kewalian ayah ditetapkan tanpa keputusan hakim, maka berakhir pula tanpa keputusan hakim. Namun jika kewalian berada di tangan amin hakim, maka tidak dicabut kecuali dengan keputusan hakim, karena kewaliannya ditetapkan dengan keputusan hakim, maka tidak berakhir kecuali dengan keputusan hakim pula. Jika kewalian berada di tangan washi (pelaksana wasiat) ayah atau kakek, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تَرْتَفِعُ بِالرُّشْدِ مِنْ غَيْرِ حُكْمٍ كَالْأَبِ لِثُبُوتِهَا لِلْوَصِيِّ بِغَيْرِ حُكْمٍ.

Pertama: hajr dicabut karena kecakapannya tanpa keputusan hakim, seperti ayah, karena kewalian washi ditetapkan tanpa keputusan hakim.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا لَا تَرْتَفِعُ إِلَّا بِحُكْمٍ لِأَنَّ وِلَايَةَ الْوَصِيِّ لَمْ تَثْبُتْ إِلَّا بِغَيْرِهِ كَأَمِينِ الْحَاكِمِ.

Kedua: hajr tidak dicabut kecuali dengan keputusan hakim, karena kewalian washi tidak ditetapkan kecuali dengan keputusan hakim, seperti amin hakim.

فَإِذَا صَارَ مَفْكُوكَ الْحَجْرِ بِمَا ذَكَرْنَا وَجَبَ تَسْلِيمُ مَالِهِ إِلَيْهِ فَإِنْ مُنِعَ مِنْهُ صَارَ الْمَانِعُ لَهُ مِنْهُ مَعَ زَوَالِ الْعُذْرِ ضَامِنًا لَهُ فَإِنْ عَقَدَ لَهُ فِيهِ عَقْدًا مِنْ بَيْعٍ أَوْ شِرَاءٍ كَانَ عَقْدُهُ بَاطِلًا.

Apabila status hajr telah dicabut sebagaimana yang telah dijelaskan, maka wajib menyerahkan hartanya kepadanya. Jika ia dihalangi dari hartanya, maka pihak yang menghalangi setelah hilangnya uzur menjadi penjamin (bertanggung jawab) atasnya. Jika ia melakukan akad atas hartanya, baik jual beli maupun lainnya, maka akadnya batal.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِذَا أَرَادَ وَلِيُّ الْيَتِيمِ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ مَالِهِ أُجْرَةً بِحَقِّ قِيَامِهِ فَإِنْ كَانَ الْوَلِيُّ فَقِيرًا جَازَ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ مَالِهِ أَجْرَ مثله بحق قيامه عليه. لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ} [النساء: 6] . وَإِنْ كَانَ غَنِيًّا فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika wali yatim ingin mengambil upah dari hartanya karena telah mengurusnya, maka jika wali tersebut fakir, boleh baginya mengambil upah yang sewajarnya dari harta yatim karena pengurusannya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan barang siapa fakir, maka hendaklah ia makan dengan cara yang patut} (an-Nisā’: 6). Namun jika ia kaya, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ} [النساء: 6] يَعْنِي بِمَالِهِ عَنْ مَالِ الْيَتِيمِ.

Pertama: tidak boleh, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan barang siapa kaya, maka hendaklah ia menahan diri (dari mengambil harta yatim)} (an-Nisā’: 6), maksudnya mencukupkan diri dengan hartanya sendiri dan tidak mengambil dari harta yatim.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ وَإِنْ كَانَ غَنِيًّا أَنْ يَأْخُذَ الْأُجْرَةَ لِأَنَّهَا عِوَضٌ عَنْ قِيَامِهِ فَلَمْ يَخْتَصَّ بِهَا فَقِيرٌ دُونَ غَنِيٍّ كَسَائِرِ الْأُجُورِ. وَتَكُونُ الْآيَةُ مَحْمُولَةً عَلَى الِاسْتِحْبَابِ.

Pendapat kedua: boleh, meskipun ia kaya, untuk mengambil upah karena itu merupakan imbalan atas pengurusannya, sehingga tidak dikhususkan bagi fakir saja, seperti upah-upah lainnya. Dan ayat tersebut dipahami sebagai anjuran (bukan kewajiban).

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَاخْتِبَارُ الْمَرْأَةِ مَعَ عِلْمِ صَلَاحِهَا لِقِلَّةِ مُخَالَطَتِهَا فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ أَبْعَدُ فَتَخْتَبِرُهَا النِّسَاءُ وَذَوُو الْمَحَارِمِ بِمِثْلِ مَا وَصَفْتُ فَإِذَا أُونِسَ مِنْهَا الرُّشْدُ دُفِعَ إِلَيْهَا مَالُهَا تَزَوَّجَتْ أَمْ لَمْ تَتَزَوَّجْ كَمَا يُدْفَعُ إِلَى الْغُلَامِ نَكَحَ أَوْ لم ينكح لأن الله تبارك وتعالى سوى بينهما في دفع أموالهما إليهما بالبلوغ والرشد ولم يذكر تزويجا واحتج الشافعي في الحجر بعثمان وعلي والزبير رضي الله عنهم “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Pengujian terhadap perempuan, meskipun telah diketahui kebaikannya, lebih sulit karena sedikitnya interaksi mereka dalam jual beli. Maka hendaknya para wanita dan kerabat mahramnya mengujinya sebagaimana yang telah aku jelaskan. Jika telah tampak kecakapannya, maka hartanya diserahkan kepadanya, baik ia menikah maupun tidak, sebagaimana harta diserahkan kepada anak laki-laki, baik ia menikah atau belum, karena Allah Ta‘ala telah menyamakan keduanya dalam penyerahan harta dengan syarat baligh dan cakap, tanpa menyebutkan pernikahan. Imam Syafi‘i berhujah dalam masalah hajr dengan (kisah) Utsman, Ali, dan Zubair radhiyallahu ‘anhum.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ: وَاخْتِبَارُ الْجَارِيَةِ فِي رُشْدِهَا أَصْعَبُ مِنَ اخْتِبَارِ الْغُلَامِ؛ لِأَنَّ حَالَ الْغُلَامِ أَظْهَرُ وَحَالَ الْجَارِيَةِ أَخْفَى وَالَّذِي يَتَوَلَّى اخْتِبَارَهَا ذَوُو مَحَارِمِهَا وَنِسَاءُ أَهْلِهَا بِخِلَافِ الْغُلَامِ الَّذِي يَجُوزُ لِلْوَلِيِّ أَنْ يَتَوَلَّى اخْتِبَارَهُ وَإِنْ كَانَ أَجْنَبِيًّا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Menguji kecerdasan (rushd) seorang perempuan (jāriyah) lebih sulit daripada menguji seorang laki-laki (ghulām); karena keadaan laki-laki lebih tampak sedangkan keadaan perempuan lebih tersembunyi. Orang yang berhak mengujinya adalah para mahramnya dan perempuan-perempuan dari keluarganya, berbeda dengan laki-laki yang boleh diuji oleh wali, meskipun ia adalah orang asing.

وَحَالُ النِّسَاءِ أَيْضًا يَخْتَلِفُ فِي الْبُرُوزِ وَالْخُفْيِ فَيُدْفَعُ إِلَيْهما مِنْ مَالِهَا مَا تَتَوَلَّى إِنْفَاقَهُ عَلَى نَفْسِهَا وَفِي تَدْبِيرِ خَدَمِهَا وَمَنْزِلِهَا فَإِذَا وُجِدَ مِنْهَا الْقَصْدُ فِي جَمِيعِهِ وَأَصَابَتْ تَدْبِيرَ مَا يَتَوَلَّاهُ النِّسَاءُ مِنْ أُمُورِ الْمَنَازِلِ وَاسْتِغْزَالِ الْكِسْوَاتِ مَعَ صَلَاحِ رُشْدِهَا فِي الدِّينِ عُلِمَ رُشْدُهَا وَوَجَبَ فَكُّ حَجْرِهَا سَوَاءٌ تَزَوَّجَتْ أَوْ لَمْ تَتَزَوَّجْ.

Keadaan perempuan juga berbeda-beda dalam hal tampil di depan umum dan tersembunyi, maka diberikan kepadanya dari hartanya sejumlah yang ia kelola untuk pengeluaran dirinya sendiri, dalam mengatur pelayan dan rumahnya. Jika terlihat darinya sikap bijak dalam semua itu, dan ia mampu mengatur urusan rumah tangga yang biasa diurus perempuan serta mampu memintal pakaian, disertai dengan baiknya kecerdasan (rushd) dalam agama, maka diketahui bahwa ia telah mencapai kecerdasan (rushd) dan wajiblah dicabut status perwaliannya, baik ia telah menikah maupun belum.

وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يَجُوزُ أَنْ يُفَكَّ حَجْرُهَا حتى تتزوج، ولا يجوز تصرفها بعد التزويج إلا أن تصير عجوزا معنسة. إلا بإذن الزوج.

Malik berkata: Tidak boleh dicabut status perwaliannya sampai ia menikah, dan tidak boleh ia bertindak atas hartanya setelah menikah kecuali jika ia telah menjadi perempuan tua yang tidak diminati, kecuali dengan izin suami.

وَاسْتُدِلَّ عَلَى بَقَاءِ الْحَجْرِ عَلَيْهَا إِلَى أَنْ تَتَزَوَّجَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ} [النساء: 6] .

Dalil atas tetapnya status perwalian atasnya sampai ia menikah adalah firman Allah Ta‘ala: {Hingga apabila mereka telah mencapai usia nikah, maka jika kalian telah mengetahui adanya kecerdasan (rushd) pada mereka, serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka} (an-Nisā’: 6).

وَبُلُوغُ النِّكَاحِ هُوَ التَّزْوِيجُ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ شَرْطًا فِي فَكِّ الْحَجْرِ.

Dan yang dimaksud dengan “mencapai usia nikah” adalah menikah, sehingga hal itu menjadi syarat dalam pencabutan status perwalian.

وَاسْتُدِلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ تَصَرُّفُهَا بِغَيْرِ إِذْنِ الزَّوْجِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ} [النساء: 34] .

Dan dalil bahwa tidak boleh ia bertindak (atas hartanya) tanpa izin suami adalah firman Allah Ta‘ala: {Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan} (an-Nisā’: 34).

وَبِحَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تَتَصَرَّفَ فِي مَالِهَا بَعْدَ أَنْ ملك الزوج عصمتها بِإِذْنِهِ “.

Dan juga hadis dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bertindak atas hartanya setelah suaminya memiliki hak perwalian atas dirinya kecuali dengan izinnya.”

وَهَذَا نَصٌّ وَلِمَا رُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أَنَّهُ قَالَ: ” لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ عَطِيَّةُ شَيْءٍ إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا “.

Ini adalah nash, dan juga berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tidak halal bagi seorang perempuan memberikan sesuatu kecuali dengan izin suaminya.”

وَلِأَنَّ مَالَ الزَّوْجَةِ فِي الْغَالِبِ مَقْصُودٌ فِي عَقْدِ نِكَاحِهَا لِأَنَّ الْعَادَةَ جَارِيَةٌ بِزِيَادَةِ صَدَاقِهَا لِكَثْرَةِ مَالِهَا وَقِلَّتِهِ لِقِلَّةِ مَالِهَا وَهُوَ لَا يَمْلِكُ ذَلِكَ عَلَيْهَا فَاقْتَضَى أَنْ يَمْلِكَ فِيهِ مَنْعَهَا.

Karena harta istri pada umumnya menjadi tujuan dalam akad nikahnya, sebab kebiasaan yang berlaku adalah besarnya mahar karena banyaknya harta istri dan sedikitnya mahar karena sedikitnya harta istri. Dan suami tidak memiliki hak atas harta itu, maka sepatutnya ia memiliki hak untuk melarangnya (dari mengelola harta tersebut).

وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّهَا تَسْتَحِقُّ فَكَّ الْحَجْرِ بِالْبُلُوغِ وَالرُّشْدِ مِنْ غَيْرِ تَزْوِيجٍ قَوْله تَعَالَى: {حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ} [النساء: 6] . وَبُلُوغُ النِّكَاحِ إِنَّمَا هُوَ بُلُوغُ زَمَانِهِ كَالْغُلَامِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُضَمَّ إِلَى هَذَيْنِ الشَّرْطَيْنِ ثَالِثٌ لِمَا فِيهِ مِنْ إِسْقَاطِ فَائِدَةِ الشَّرْطِ وَالْغَايَةِ.

Adapun dalil bahwa perempuan berhak dicabut status perwaliannya dengan baligh dan kecerdasan (rushd) tanpa harus menikah adalah firman Allah Ta‘ala: {Hingga apabila mereka telah mencapai usia nikah, maka jika kalian telah mengetahui adanya kecerdasan (rushd) pada mereka, serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka} (an-Nisā’: 6). Dan yang dimaksud dengan “mencapai usia nikah” adalah mencapai masa baligh, sebagaimana pada laki-laki, sehingga tidak boleh ditambahkan syarat ketiga pada dua syarat ini karena hal itu akan menghilangkan manfaat dari syarat dan tujuan tersebut.

وَلِأَنَّ مَا انْفَكَّ بِهِ الْحَجْرُ بَعْدَ التَّزْوِيجِ انْفَكَّ بِهِ حَجْرُ الْجَارِيَةِ كَالْمُزَوَّجَةِ وَلِأَنَّ الْجَارِيَةَ قَبْلَ التَّزْوِيجِ أَشَحُّ لِمَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنْ مُؤْنَةِ جِهَازِهَا وَنَفَقَةِ نَفْسِهَا وَبَعْدَ التَّزْوِيجِ أَسْمَحُ لِسُقُوطِ الْجِهَادِ عَنْهَا وَوُجُوبِ النَّفَقَةِ عَلَى زَوْجِهَا.

Dan karena apa yang menyebabkan dicabutnya status perwalian setelah menikah juga menyebabkan dicabutnya status perwalian dari perempuan sebelum menikah, sebagaimana pada perempuan yang sudah menikah. Dan karena perempuan sebelum menikah lebih pelit (dalam membelanjakan harta) karena ia membutuhkan biaya perlengkapan dan nafkah dirinya, sedangkan setelah menikah ia lebih dermawan karena tidak lagi menanggung perlengkapan dan nafkah menjadi kewajiban suaminya.

وَالْغُلَامُ ضِدُّهَا، لِأَنَّهُ قَبْلَ التَّزْوِيجِ أَسْمَحُ لِقِلَّةِ مَؤُونَتِهِ وَبَعْدَ التَّزْوِيجِ أَشَحُّ لِكَثْرَةِ مَؤُونَتِهِ، فَلَمَّا جَازَ فَكُّ الْحَجْرِ عَنِ الْغُلَامِ قَبْلَ التَّزْوِيجِ فِي أَسْمَحِ حَالَيْهِ فَأَوْلَى أَنْ يُفَكَّ حَجْرُ الْجَارِيَةِ قَبْلَ التَّزْوِيجِ فِي أَشَحِّ حَالَيْهَا.

Sedangkan laki-laki sebaliknya, karena sebelum menikah ia lebih dermawan karena sedikit kebutuhannya, dan setelah menikah ia lebih pelit karena banyak kebutuhannya. Maka ketika boleh dicabut status perwalian dari laki-laki sebelum menikah dalam keadaan paling dermawan, maka lebih utama lagi dicabut status perwalian dari perempuan sebelum menikah dalam keadaan paling pelitnya.

وَالدَّلَالَةُ عَلَى جَوَازِ تَصَرُّفِهَا بِغَيْرِ إِذْنِ الزَّوْجِ مَا رُوِيَ: ” أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَطَبَ عَلَى النَّسَاءِ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ فَجَعَلَتِ الْمَرْأَةُ تَتَصَدَّقُ بِخَاتَمِهَا وَقُرْطِهَا. وَلَمْ يُعْتَبَرْ فِيهِ إِذْنُ زَوْجِهَا، وَلِأَنَّ مَنِ اسْتَحَقَّ تَسْلِيمَ مَالِهِ إِلَيْهِ اسْتَحَقَّ جَوَازَ تَصَرُّفِهِ فِيهِ كَالْغُلَامِ؛ وَلِأَنَّ لِلزَّوْجَةِ حَقًّا فِي يَسَارِ الزَّوْجِ فِي زيادة النفقة مَا لَيْسَ لِلزَّوْجِ فِي يَسَارِ الزَّوْجَةِ فَلَمَّا جَازَ تَصَرُّفُ الزَّوْجِ بِغَيْرِ إِذْنِ الزَّوْجَةِ مَعَ حَقِّهَا فِي يَسَارِهِ فَأَوْلَى أَنْ يَجُوزَ تَصَرُّفُ الزَّوْجَةِ بِغَيْرِ إِذْنِ الزَّوْجِ لِسُقُوطِ حَقِّهِ بِيَسَارِهَا فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَقَدْ ذَكَرْنَا وَجْهَ الِاسْتِدْلَالِ مِنْهَا فَكَانَ جَوَابًا عَنْهَا.

Dalil yang menunjukkan bolehnya seorang istri melakukan tindakan (atas hartanya) tanpa izin suami adalah riwayat: “Bahwa Nabi ﷺ berkhutbah kepada para wanita pada hari raya, lalu beliau bersabda: ‘Bersedekahlah kalian, meskipun dari perhiasan kalian.’ Maka para wanita pun mulai bersedekah dengan cincin dan anting-anting mereka. Dan tidak dipersyaratkan di situ adanya izin dari suaminya. Karena siapa pun yang berhak menerima penyerahan hartanya, maka ia juga berhak melakukan tindakan atas hartanya, seperti halnya seorang pemuda (yang sudah mumayyiz). Selain itu, istri memiliki hak atas kelapangan harta suami berupa tambahan nafkah, yang tidak dimiliki suami atas kelapangan harta istri. Maka, jika suami boleh bertindak atas hartanya tanpa izin istri padahal istri punya hak atas kelapangan hartanya, maka lebih utama lagi istri boleh bertindak atas hartanya tanpa izin suami, karena suami tidak punya hak atas kelapangan harta istri. Adapun jawaban atas ayat (yang dijadikan dalil), telah kami sebutkan sisi pengambilan dalil darinya, maka itu sudah menjadi jawaban atasnya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى: {الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ} [النساء: 34] فَهُوَ أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ أَنَّهُمْ أَهْلُ قِيَامٍ عَلَى نِسَائِهِمْ فِي تَأْدِيبِهِنَّ عَلَى مَا يَجِبُ عَلَيْهِنَّ.

Adapun jawaban atas firman Allah Ta‘ala: {Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan} [an-Nisā’: 34], maksudnya adalah bahwa mereka (laki-laki) adalah orang yang berhak membimbing istri-istri mereka dalam hal mendidik mereka atas kewajiban-kewajiban yang harus mereka tunaikan.

وَقَدْ رَوَى جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنِ الْحَسَنِ أَنَّ سَبَبَ ذَلِكَ أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ لَطَمَ امْرَأَتَهُ فَجَاءَتْ تَلْتَمِسُ الْقِصَاصَ فجعل النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَهُمَا الْقِصَاصَ فَنَزَلَتِ الْآيَةُ: {وَلا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ} [طه: 114] . ثُمَّ نَزَلَتْ {الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ} [النساء: 34] . فَلَمْ يَكُنْ فِي الْآيَةِ عَلَى مَا اسْتَدَلَّ بِهِ مَالِكٌ دَلِيلٌ.

Diriwayatkan oleh Jarir bin Hazim dari al-Hasan, bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah seorang laki-laki dari Anshar menampar istrinya, lalu istrinya datang meminta qishāsh. Maka Nabi ﷺ menetapkan qishāsh di antara keduanya, lalu turunlah ayat: {Dan janganlah kamu tergesa-gesa terhadap al-Qur’an sebelum disampaikan wahyunya kepadamu} [Thaha: 114]. Kemudian turunlah ayat: {Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain} [an-Nisā’: 34]. Maka tidak ada dalam ayat tersebut dalil sebagaimana yang dijadikan pegangan oleh Malik.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ فَهُوَ أَنَّهُ ضَعِيفٌ. وَلَوْ صَحَّ لَكَانَ مَحْمُولًا عَلَى الْمُبَذِّرَةِ إِذَا وَلِيَ الزَّوْجُ الْحَجْرَ عَلَيْهَا.

Adapun jawaban atas hadits ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya, maka hadits itu lemah. Dan seandainya pun shahih, maka itu dibawa pada kasus istri yang boros apabila suami menjadi wali yang membatasi (harta) atasnya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: ” لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ عَطِيَّةُ شَيْءٍ إِلَا بِإِذْنِ زَوْجِهَا ” فَهُوَ أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى مَالِ الزَّوْجِ.

Adapun jawaban atas sabdanya: “Tidak halal bagi seorang wanita memberikan sesuatu kecuali dengan izin suaminya,” maka maksudnya adalah pada harta suami.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ إِنَّ الْمَهْرَ يَزِيدُ بِزِيَادَةِ مَالِهَا وَيَنْقُصُ بِنُقْصَانِهِ فَهُوَ أَنَّهُ وَإِنْ كَانَ كَذَلِكَ فَلِأَجْلِ مَا يَعُودُ فِي الزَّوْجِ مِنْ تَوْفِيرِ الْمَالِ بِالْإِرْثِ وَسُقُوطِ نَفَقَةِ أَوْلَادِهِ عَنْهُ بِالْإِعْسَارِ.

Adapun jawaban atas pernyataan bahwa mahar bertambah dengan bertambahnya harta istri dan berkurang dengan berkurangnya harta istri, maka meskipun demikian, itu karena adanya manfaat yang kembali kepada suami berupa bertambahnya harta melalui warisan dan gugurnya kewajiban nafkah anak-anaknya atasnya ketika ia tidak mampu.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا كَانَ وَاجِبًا أَنْ يَحْجُرَ عَلَى مَنْ قَارَبَ الْبُلُوغَ وَقَدْ عَقَلَ نَظَرًا لَهُ وَإِبْقَاءً لِمَالِهِ فَكَانَ بَعْدَ الْبُلُوغِ أَشَدَّ تَضْيِيعًا لِمَالِهِ وأكثر إتلافا له لَا يَجِبُ الْحَجْرُ عَلَيْهِ وَالْمَعْنَى الَّذِي أَمَرَ بِالْحَجْرِ عَلَيْهِ بِهِ فِيهِ قَائِمٌ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika wajib membatasi (harta) atas orang yang mendekati baligh dan sudah berakal demi kebaikannya dan menjaga hartanya, maka setelah baligh, ketika ia lebih parah dalam menyia-nyiakan hartanya dan lebih banyak merusaknya, tidak wajib membatasi (harta) atasnya, padahal alasan yang memerintahkan pembatasan itu masih ada padanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: السَّفِيهُ الْمُبَذِّرُ لِمَالِهِ يَجِبُ الْحَجْرُ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ بَالِغًا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: Orang safih (bodoh) yang boros terhadap hartanya wajib dibatasi (harta) atasnya, meskipun ia sudah baligh.

وَقَالَ أبو حنيفة وزفر: لَا يَجُوزُ أَنْ يَبْتَدِئَ الْحَجْرُ عَلَى بَالِغٍ عَاقِلٍ وَإِنْ كَانَ سَفِيهًا مُبَذِّرًا.

Abu Hanifah dan Zufar berkata: Tidak boleh memulai pembatasan (harta) atas orang dewasa yang berakal, meskipun ia safih dan boros.

اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ: أَمَرَ بِالْإِنْفَاقِ وَنَهَى عَنِ الْإِمْسَاكِ فَقَالَ تَعَالَى: {وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ} [المنافقون: 10] .

Mereka berdalil bahwa Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk berinfak dan melarang menahan harta, sebagaimana firman-Nya: {Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu} [al-Munāfiqūn: 10].

وَقَالَ: {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ} [آل عمران: 92] .

Dan firman-Nya: {Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai} [Āli ‘Imrān: 92].

فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ فِعْلُ مَا نَدَبَ إِلَيْهِ يُوجِبُ الْحَجْرَ عَلَيْهِ، وَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ليس لك مِنْ مَالِكَ إِلَّا مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ ” فَكَانَ ذَلِكَ حَثًّا مِنْهُ عَلَى الْإِنْفَاقِ لِلْمَالِ وَتَرْكِ إِمْسَاكِهِ.

Maka tidak boleh perbuatan yang dianjurkan (berinfak) justru menyebabkan pembatasan (harta) atasnya. Nabi ﷺ bersabda: “Tidak ada bagian dari hartamu kecuali apa yang kamu makan lalu habis, atau kamu pakai lalu usang, atau kamu sedekahkan lalu menjadi milik (penerima).” Maka itu adalah anjuran untuk berinfak dan meninggalkan menahan harta.

وَرَوَى الْحَسَنُ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا حَجْرَ عَلَى حُرٍّ ” فَهَذَا نَصٌّ وَلِأَنَّهُ حُرٌّ مُكَلَّفٌ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْجَرَ عَلَيْهِ كَغَيْرِ الْمُبَذِّرِ؛ وَلِأَنَّ مَنْ حُجِرَ عَلَيْهِ فِي عُقُودِهِ حُجِرَ عَلَيْهِ فِي إِقْرَارِهِ كَالْمَجْنُونِ وَمَنْ لَمْ يُحْجَرْ عَلَيْهِ فِي إِقْرَارِهِ لَمْ يُحْجَرْ عَلَيْهِ فِي عُقُودِهِ كَالرَّشِيدِ.

Al-Hasan meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tidak ada hajr (pembatasan hak) atas orang merdeka.” Ini adalah nash (teks yang jelas), dan karena ia adalah orang merdeka yang mukallaf (berakal dan telah baligh), maka tidak boleh diberlakukan hajr atasnya seperti selain orang yang mubadzir (boros); dan karena siapa pun yang diberlakukan hajr dalam akad-akadnya, maka diberlakukan pula hajr dalam pengakuannya, seperti orang gila. Dan siapa yang tidak diberlakukan hajr dalam pengakuannya, maka tidak diberlakukan hajr dalam akad-akadnya, seperti orang yang rasyid (dewasa dan bijak).

فَلَمَّا صَحَّ إِقْرَارُهُ عَلَى نَفْسِهِ صَحَّ فِي مَالِهِ وَعُقُودِهِ.

Maka ketika pengakuannya atas dirinya sendiri sah, maka sah pula dalam hartanya dan akad-akadnya.

وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَنَّ مَنْ قُبِلَ إِقْرَارُهُ عَلَى نَفْسِهِ قُبِلَ إِقْرَارُهُ فِي مَالِهِ كَالرَّشِيدِ.

Dan penjelasannya secara qiyās adalah bahwa siapa yang diterima pengakuannya atas dirinya sendiri, maka diterima pula pengakuannya dalam hartanya, seperti orang yang rasyid.

وَلِأَنَّ تَصَرُّفَ الْإِنْسَانِ فِي مَالِ نَفْسِهِ أَقْوَى مِنْ تَصَرُّفِ غَيْرِهِ فِي مَالِهِ فَلَمَّا لَمْ يَصِحَّ مِنْهُ إِبْطَالُ عُقُودِهِ الْمُسْتَقْبَلَةِ. فَأَوْلَى أَنْ لَا يَصِحَّ فِي غَيْرِهِ أَنْ يُبْطِلَ عُقُودَهُ الْمُسْتَقْبَلَةَ.

Dan karena tindakan seseorang terhadap hartanya sendiri lebih kuat daripada tindakan orang lain terhadap hartanya, maka ketika tidak sah baginya untuk membatalkan akad-akadnya di masa depan, maka lebih utama lagi tidak sah bagi orang lain untuk membatalkan akad-akadnya di masa depan.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا} [النساء: 5] الْآيَة.

Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan janganlah kalian serahkan harta kalian kepada orang-orang safih (bodoh) yang Allah jadikan sebagai penopang kehidupan kalian, dan berilah mereka rezeki darinya} (an-Nisā’: 5).

وَالْمُرَادُ بِالسُّفَهَاءِ الْبَالِغُونَ الْعُقَلَاءُ، لأن السفه صفة قيام لَا تَتَوَجَّهُ إِلَّا عِلْمًا مُكَلَّف فَدَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى اسْتِحْقَاقِ الْحَجْرِ بِالسَّفَهِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Yang dimaksud dengan as-sufahā’ adalah orang-orang dewasa yang berakal, karena sifat safih adalah sifat yang hanya berlaku pada orang yang berilmu dan mukallaf. Maka ayat ini menunjukkan adanya hak hajr karena safih dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: قَوْله تَعَالَى: {الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا} [النساء: 5] أَنْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمُ الْقِيَامَ عَلَيْهَا.

Pertama: firman-Nya Ta‘ala: {yang Allah jadikan sebagai penopang kehidupan kalian} (an-Nisā’: 5), yakni Allah menjadikan kalian sebagai pengelola atasnya.

وَالثَّانِي: قَوْله تَعَالَى: {وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ} [النساء: 5] ، ولا يجوز أن يتولى ذلك الأولى.

Kedua: firman-Nya Ta‘ala: {dan berilah mereka rezeki darinya dan pakaikanlah mereka} (an-Nisā’: 5), dan tidak boleh yang mengurus itu adalah mereka sendiri.

وقوله تعالى: {أموالكم} يَعْنِي أَمْوَالَهُمْ وَإِنَّمَا أَضَافَ ذَلِكَ إِلَى الْأَوْلِيَاءِ لِتَصَرُّفِهِمْ فِيهِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ أَمَرَ بِالْإِنْفَاقِ عَلَيْهِمْ مِنْهَا وَلَا يَجِبُ الْإِنْفَاقُ مِنْ غَيْرِ أَمْوَالِهِمْ. وَقَدْ قَالَ سُبْحَانَهُ: {فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ} [البقرة: 282] .

Dan firman-Nya Ta‘ala: {harta kalian} maksudnya adalah harta mereka, dan penyandaran itu kepada para wali karena merekalah yang mengelolanya. Tidakkah engkau lihat bahwa Allah memerintahkan untuk menafkahi mereka dari harta itu, dan tidak wajib menafkahi dari selain harta mereka. Dan Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman: {Jika orang yang berutang itu safih, atau lemah, atau tidak mampu menuliskannya sendiri, maka hendaklah walinya menuliskannya dengan adil} (al-Baqarah: 282).

فَأَثْبَتَ الْوِلَايَةَ عَلَى السَّفِيهِ وَفَرَّقَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَجْنُونِ وَالصَّغِيرِ.

Maka Allah menetapkan adanya wilayah (perwalian) atas orang safih dan membedakannya dengan orang gila dan anak kecil.

وَرَوَى عَطَاءٌ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ رَجُلًا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَبْتَاعُ وَكَانَ فِي عُقْدَتِهِ ضَعْفٌ فَأَتَى أَهْلُهُ نَبِيَّ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: قَالُوا: يَا نَبِيَّ اللَّهِ احْجُرْ عَلَى فُلَانٍ فَإِنَّهُ يَبْتَاعُ وَفِي عُقْدَتِهِ ضَعْفٌ فَدَعَاهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَنَهَاهُ عَنِ الْبَيْعِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَا أَصْبِرُ عَنْهُ، فَقَالَ: إِنْ كُنْتَ غَيْرَ تَارِكٍ فَقُلْ لَا خِلَابَةَ. فَدَلَّ هَذَا الْحَدِيثُ عَلَى اسْتِحْقَاقِ الْحَجْرِ عَلَى الْبَالِغِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Atha’ meriwayatkan dari Sa‘id, dari Qatadah, dari Anas: Bahwa ada seorang laki-laki pada masa Rasulullah ﷺ yang biasa berjual beli, namun dalam akadnya terdapat kelemahan. Maka keluarganya mendatangi Nabi ﷺ dan berkata: “Wahai Nabi Allah, berlakukanlah hajr atas si Fulan, karena ia berjual beli dan dalam akadnya terdapat kelemahan.” Maka Nabi ﷺ memanggilnya dan melarangnya dari jual beli. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak bisa meninggalkannya.” Maka beliau bersabda: “Jika engkau tidak meninggalkannya, maka katakanlah: ‘Lā khilābah’ (tidak ada penipuan).” Hadis ini menunjukkan adanya hak hajr atas orang dewasa dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ حَجَرَ عَلَيْهِ حَجْرَ مِثْلِهِ بِأَنْ أَثْبَتَ لَهُ الْخِيَارَ فِي عُقُودِهِ وَلَمْ يَجْعَلْهَا مُنْبَرِمَةً.

Pertama: Nabi memberlakukan hajr atasnya sebagaimana mestinya, yaitu dengan menetapkan hak khiyar (pilihan) dalam akad-akadnya dan tidak menjadikannya mengikat.

وَالثَّانِي: سُؤَالُهُمُ الْحَجْرَ عَلَيْهِ وَإِمْسَاكُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنِ الْإِنْكَارِ.

Kedua: Permintaan mereka agar diberlakukan hajr atasnya dan sikap Nabi ﷺ yang tidak mengingkari permintaan itu.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” خُذُوا عَلَى أَيْدِي سُفَهَائِكُمْ ” وَلَا يُمْكِنُ الْأَخْذُ عَلَى أَيْدِيهِمْ إِلَّا بِالْحَجْرِ عَلَيْهِمْ.

Dan diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Ambillah tindakan terhadap orang-orang safih di antara kalian.” Dan tidak mungkin mengambil tindakan terhadap mereka kecuali dengan memberlakukan hajr atas mereka.

وروي أنه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: حَجَرَ عَلَى مُعَاذٍ لِأَجْلِ غُرَمَائِهِ فَكَانَ الْحَجْرُ عَلَى السَّفِيهِ لِحَقِّ نَفْسِهِ أَوْلَى، وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ، وَهُوَ مَا رُوِيَ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَرَّ بِأَرْضٍ سَبِخَةٍ فَقَالَ: لِمَنْ هَذِهِ؟ فَقَالُوا: كَانَتْ لِفُلَانٍ وَاشْتَرَاهَا عبد الله بن جعفر بسنين أَلْفَ دِرْهَمٍ فَقَالَ: مَا يَسُرُّنِي أَنْ تَكُونَ لِي بِنَعْلَيْنِ. ثُمَّ رَأَى عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ: لِمَ لَا تَقْبِضُ عَلَى يَدِ ابْنِ أَخِيكَ وَتَحْجُرُ عَلَيْهِ، فَعَلِمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ بِذَلِكَ فَلَقِيَ الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ وَذَكَرَ لَهُ الْحَالَ فَقَالَ شَارِكْنِي فِيهَا فَشَارَكَهُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلِيٌّ إِلَى عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَسْأَلُهُ الْحَجْرَ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ فَقَالَ عُثْمَانُ: كَيْفَ أَحْجُرُ عَلَى مَنْ شَرِيكُهُ الزُّبَيْرُ.

Diriwayatkan bahwa Nabi -ṣallā Allāh ‘alayhi wa sallam- pernah memberlakukan ḥajr terhadap Mu‘āż karena para penagih utangnya, maka penerapan ḥajr terhadap orang safīh demi kepentingan dirinya sendiri tentu lebih utama. Selain itu, hal ini juga merupakan ijmā‘ para sahabat, sebagaimana diriwayatkan bahwa ‘Uṡmān bin ‘Affān ra. pernah melewati sebidang tanah yang asin, lalu beliau bertanya: “Tanah siapa ini?” Mereka menjawab: “Dulu milik si Fulan, dan telah dibeli oleh ‘Abdullāh bin Ja‘far dengan harga seribu dirham selama beberapa tahun.” Maka ‘Uṡmān berkata: “Aku tidak suka tanah ini menjadi milikku walau hanya dengan dua sandal.” Kemudian ia bertemu dengan ‘Alī bin Abī Ṭālib, lalu berkata: “Mengapa engkau tidak menahan tangan keponakanmu dan memberlakukan ḥajr atasnya?” ‘Abdullāh bin Ja‘far pun mengetahui hal itu, lalu ia menemui az-Zubair bin al-‘Awwām dan menceritakan keadaannya. Az-Zubair berkata: “Berserikatlah denganku dalam tanah itu.” Maka ia pun berserikat dengannya. Setelah itu, ‘Alī mendatangi ‘Uṡmān ra. untuk meminta agar diberlakukan ḥajr atas ‘Abdullāh. Namun ‘Uṡmān berkata: “Bagaimana aku akan memberlakukan ḥajr atas seseorang yang berserikat dengan az-Zubair?”

وَكَانَ مَعْرُوفًا بِالْإِمْسَاكِ وَالِاسْتِصْلَاحِ فَصَارَتْ شَرِكَتُهُ شُبْهَةً تَنْفِي اسْتِحْقَاقَ الْحَجْرِ فَكَانَ ذَلِكَ مِنْهُمْ وَمِنْ بَاقِي الصَّحَابَةِ فِي إِمْسَاكِهِمْ إِجْمَاعًا مُنْعَقِدًا عَلَى اسْتِحْقَاقِ الْحَجْرِ عَلَى الْبَالِغِ وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّهُ لَمَّا بَلَغَهُ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا تُبَذِّرُ مَالَهَا في العطايا والصلاة وَالصَّدَقَاتِ فَقَالَ: لَتَنْتَهِيَنَّ عَائِشَةُ أَوْ لَأَحْجُرَنَّ عَلَيْهَا فَبَلَغَ ذَلِكَ عَائِشَةَ فَحَلَفَتْ أَنْ لَا تُكَلِّمَهُ حَتَى رَكِبَ إِلَيْهَا فَاعْتَذَرَ لَهَا وَكَفَّرَتْ عَنْ يَمِينِهَا وَكَلَّمَتْهُ. فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْحَجْرَ عَلَى الْبَالِغِ مَشْهُورٌ، فِيهِمْ وَإِنْ كَانَ ابْنُ الزُّبَيْرِ وهم في موجبه لأن عن مَنْ صَرَفَ مَالَهُ فِي الْقُرْبِ لَمْ يَسْتَحِقَّ بِهِ الْحَجْرَ.

Az-Zubair dikenal sebagai orang yang hemat dan pandai mengelola harta, sehingga kemitraannya menjadi syubhat yang menafikan alasan diberlakukannya ḥajr. Maka sikap mereka dan para sahabat lainnya dalam menahan diri (tidak memberlakukan ḥajr) merupakan ijmā‘ yang menunjukkan bolehnya memberlakukan ḥajr atas orang dewasa. Diriwayatkan pula dari ‘Abdullāh bin az-Zubair, bahwa ketika ia mendengar ‘Ā’isyah ra. membelanjakan hartanya secara berlebihan dalam pemberian, salat, dan sedekah, ia berkata: “‘Ā’isyah harus berhenti, atau aku akan memberlakukan ḥajr atasnya.” Hal itu sampai kepada ‘Ā’isyah, lalu ia bersumpah tidak akan berbicara dengannya sampai az-Zubair datang menemuinya, meminta maaf, dan membayar kafarat sumpahnya, lalu ‘Ā’isyah pun kembali berbicara dengannya. Ini menunjukkan bahwa ḥajr atas orang dewasa adalah perkara yang masyhur di kalangan mereka, meskipun az-Zubair keliru dalam sebabnya, karena siapa pun yang membelanjakan hartanya untuk mendekatkan diri kepada Allah tidak berhak dikenai ḥajr karenanya.

وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ مَرْوَانَ بْنَ الْحَكَمِ رَاسَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بِمِثْلِ ذَلِكَ وَلِأَنَّ عَدَمَ التَّدْبِيرِ وَوُجُودَ التَّبْذِيرِ يُوجِبُ ثُبُوتَ الْحَجْرِ كَالصَّغِيرِ: وَلِأَنَّ مَا يُسْتَدَامُ بِهِ الحجر لاستدامته وجب إذا طرأ أن يبتدئ الْحَجْرُ بِهِ كَالْجُنُونِ.

Diriwayatkan pula bahwa Marwān bin al-Ḥakam mengirim surat kepada ‘Ā’isyah ra. tentang hal serupa. Selain itu, kurangnya pengelolaan dan adanya pemborosan menyebabkan tetapnya ḥajr, sebagaimana pada anak kecil. Karena sesuatu yang menjadi alasan berlanjutnya ḥajr, maka jika muncul pada awalnya, wajib pula diberlakukan ḥajr, sebagaimana pada kasus kegilaan.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّهُ تَعَالَى أَمَرَ بِالْإِنْفَاقِ فِي الْآيَتَيْنِ الْمَذْكُورَتَيْنِ. فَهُوَ إِنَّهُ أَمَرَ بِالْإِنْفَاقِ فِي الطَّاعَاتِ دُونَ التَّبْذِيرِ وَالْإِنْفَاقِ فِي الْمَعَاصِي لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَأْمُرَ بِمَا نُهِي عَنْهُ وَدَلَّ عَلَى قُبْحِهِ، وَكَذَا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ.

Adapun jawaban atas pendapat mereka bahwa Allah Ta‘ālā memerintahkan berinfak dalam dua ayat yang disebutkan, maka maksudnya adalah perintah berinfak dalam ketaatan, bukan dalam pemborosan dan bukan pula dalam kemaksiatan, karena tidak mungkin Allah memerintahkan sesuatu yang telah dilarang-Nya dan telah menunjukkan keburukannya. Demikian pula jawaban atas hadis yang mereka kemukakan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا حَجْرَ عَلَى حُرٍّ “. فَحَدِيثٌ مُرْسَلٌ وَلَوْ صح لاحتمل حجر حَجْرَ عَلَيْهِ بِغَيْرِ حُكْمٍ. وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الرشيد فالمعنى فيه فيه وجود الإصلاح منه.

Adapun jawaban atas sabda Nabi -ṣallā Allāh ‘alayhi wa sallam-: “Tidak ada ḥajr atas orang merdeka,” maka hadis ini mursal. Andaikata sahih pun, bisa jadi maksudnya adalah ḥajr tanpa keputusan hukum. Adapun qiyās mereka terhadap orang yang rasyīd, maka alasannya adalah karena adanya perbaikan (kemaslahatan) darinya.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ بِعِلَّةِ أَنَّهُ مِمَّنْ يَصِحُّ إِقْرَارُهُ على نفسه فالمعنى فيه انتقاء التهمة عنه فيما يتعلق بنفسه ولحقوقها فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِمَالِهِ كَالْعَبْدِ.

Adapun qiyās mereka dengan alasan bahwa ia termasuk orang yang sah pengakuannya atas dirinya sendiri, maka alasannya adalah karena tidak adanya tuduhan padanya dalam hal yang berkaitan dengan dirinya dan hak-haknya, sebagaimana pada harta budak.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُبْطِلَ مَا يَسْتَقْبِلُ مِنْ عُقُودِ نَفْسِهِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَجُوزَ ذَلِكَ لِغَيْرِهِ فَهُوَ أَنَّ غَيْرَهُ لَمْ يُبْطِلْ عُقُودَهُ الْمُسْتَقْبَلَةَ وَإِنَّمَا وُقُوعُ الْحَجْرِ عَلَيْهِ مَنَعَ مِنْ صِحَّةِ الْعُقُودِ مِنْهُ.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa jika tidak boleh membatalkan akad-akad dirinya di masa mendatang, maka lebih utama lagi tidak boleh bagi orang lain, jawabannya adalah bahwa orang lain tidak membatalkan akad-akad masa depannya, melainkan diberlakukannya ḥajr atasnya mencegah keabsahan akad-akad darinya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الْحَجْرِ عَلَى الْكَبِيرِ بِالسَّرَفِ وَالتَّبْذِيرِ فَلَا يَخْلُو حَالُ ذِي الْمَالِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ:

Jika telah tetap bolehnya memberlakukan ḥajr atas orang dewasa karena boros dan pemborosan, maka keadaan orang yang memiliki harta tidak lepas dari empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مُصْلِحًا لِدِينِهِ مُصْلِحًا لِمَالِهِ فَهَذَا هُوَ الرَّشِيدُ الَّذِي يَجُوزُ أمره وتصح عقوده.

Pertama: Ia memperbaiki agamanya dan memperbaiki hartanya. Inilah orang yang rasyīd, yang boleh mengelola urusannya dan sah akad-akadnya.

والحال الثاني: أَنْ يَكُونَ مُفْسِدًا فِي دِينِهِ لِظُهُورِ فِسْقِهِ فِي مَالِهِ لِظُهُورِ تَبْذِيرِهِ فَهَذَا هُوَ السَّفِيهُ الَّذِي يَسْتَحِقُّ الْحَجْرَ عَلَيْهِ بِمَا نَذْكُرُهُ مِنْ أحوال التبذير.

Kedua: Ia merusak agamanya karena tampak kefasikannya, dan merusak hartanya karena tampak pemborosannya. Inilah orang safīh yang berhak dikenai ḥajr karena keadaan pemborosannya yang akan disebutkan.

والحال الثالث: أَنْ يَكُونَ مُصْلِحًا لِدِينِهِ مُفْسِدًا لِمَالِهِ بِالتَّبْذِيرِ لَهُ فَلَا يَخْلُو حَالُ تَبْذِيرِهِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Keadaan ketiga: yaitu seseorang yang memperbaiki agamanya namun merusak hartanya dengan memboroskan harta tersebut. Maka, keadaan pemborosannya tidak lepas dari empat bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بِالْغَبْنِ الَّذِي يَلْحَقُهُ فِي بَيُوعِهِ وَأَشْرِيَتِهِ فَهَذَا يَسْتَحِقُّ الْحَجْرَ بِهِ.

Pertama: yaitu pemborosan yang terjadi karena kerugian yang menimpanya dalam jual beli dan transaksi-transaksinya. Dalam hal ini, ia berhak untuk dikenai hajr (pembatasan hak mengelola harta).

الْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ التَّبْذِيرُ بِإِنْفَاقِ مَالِهِ فِي الْمَعَاصِي فَهَذَا أَيْضًا مِمَّا يُوجِبُ الْحَجْرَ عَلَيْهِ.

Bagian kedua: yaitu pemborosan dengan membelanjakan hartanya untuk maksiat. Ini juga merupakan sebab yang mewajibkan dikenakannya hajr atasnya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ التَّبْذِيرُ بِإِنْفَاقِ مَالِهِ فِي الطَّاعَاتِ وَالصِّلَاتِ فَلَيْسَ ذَلِكَ تَبْذِيرًا وَهُوَ فِيهِ مَأْجُورٌ وَالْحَجْرُ عَلَيْهِ غَيْرُ جَائِزٍ.

Bagian ketiga: yaitu pemborosan dengan membelanjakan hartanya untuk ketaatan dan silaturahmi. Ini tidak dianggap sebagai pemborosan, bahkan ia mendapat pahala atasnya, dan tidak boleh dikenakan hajr atasnya.

الْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ تَبْذِيرُهُ بِإِنْفَاقِ مَالِهِ فِي مَلَاذِّهِ وَالْإِسْرَافِ فِي مَلْبُوسِهِ وَالْإِنْفَاقِ فِي شَهَوَاتِهِ حَتَّى يَتَجَاوَزَ فِي جَمِيعِهَا الْحَدَّ الْمَأْلُوفَ وَالْقَدْرَ الْمَعْرُوفَ فَفِي وُجُوبِ الْحَجْرِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ:

Bagian keempat: yaitu pemborosannya dengan membelanjakan hartanya untuk kesenangan pribadi, berlebihan dalam pakaian, dan membelanjakan untuk syahwatnya hingga melampaui batas kewajaran dan ukuran yang dikenal. Dalam hal kewajiban hajr atasnya, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُحْجَرُ عَلَيْهِ بِذَلِكَ لِأَنَّهُ إِنْفَاقٌ فِي غَيْرِ حَقٍّ.

Salah satunya: ia dikenai hajr karena itu merupakan pembelanjaan yang tidak pada tempatnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا حَجْرَ عَلَيْهِ في ذلك لإباحته فهذا حكم الحال الثالث.

Pendapat kedua: tidak dikenakan hajr atasnya dalam hal ini karena hal tersebut dibolehkan. Inilah hukum keadaan ketiga.

وَأَمَّا الْحَالُ الرَّابِعَةُ: فَهُوَ أَنْ يَكُونَ مُصْلِحًا فِي مَالِهِ مُفْسِدًا فِي دِينِهِ لِفِسْقِهِ وَفُجُورِهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُجُوبِ الْحَجْرِ عَلَيْهِ. فَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ يَجِبُ الْحَجْرُ عَلَيْهِ بِفِسْقِهِ بأنْ كَانَ مُصْلِحًا فِي مَالِهِ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ فَسَادُ الدِّينِ شَرْطًا فِي اسْتِدَامَةِ الْحَجْرِ كَانَ شَرْطًا فِي ابْتِدَاءِ الْحَجْرِ كَالْفَسَادِ فِي الْمَالِ. وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ لَا يَجُوزُ الْحَجْرُ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ مُصْلِحًا فِي مَالِهِ لِعَدَمِ التَّأْثِيرِ بِهِ وَفَرْقٌ بَيْنَ الْكَبِيرِ وَالصَّغِيرِ فِي اسْتِدَامَةِ الْحَجْرِ عَلَى الصَّغِيرِ بِإِفْسَادِ الدِّينِ وَعَدَمِ ابْتِدَاءِ الْحَجْرِ عَلَى الْكَبِيرِ بِإِفْسَادِ الدِّينِ بِأَنَّ الصَّغِيرَ قَدْ ثَبَتَ الْحَجْرُ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرْتَفِعْ إِلَّا بِرُشْدٍ كَامِلٍ وَالْكَبِيرُ مَرْفُوعُ الْحَجْرِ فَلَمْ يَثْبُتْ عَلَيْهِ إِلَّا بِسَفَهٍ كامل.

Adapun keadaan keempat: yaitu seseorang yang memperbaiki hartanya namun merusak agamanya karena kefasikan dan keburukannya. Para ulama kami berbeda pendapat tentang kewajiban hajr atasnya. Abu al-‘Abbas bin Suraij berpendapat bahwa wajib dikenakan hajr atasnya karena kefasikannya, meskipun ia memperbaiki hartanya. Sebab, ketika kerusakan agama menjadi syarat dalam kelanjutan hajr, maka ia juga menjadi syarat dalam permulaan hajr, sebagaimana kerusakan dalam harta. Sedangkan Abu Ishaq al-Marwazi berpendapat bahwa tidak boleh dikenakan hajr atasnya jika ia memperbaiki hartanya, karena tidak ada pengaruhnya. Ada perbedaan antara orang dewasa dan anak-anak dalam kelanjutan hajr atas anak-anak karena kerusakan agama, dan tidak dimulainya hajr atas orang dewasa karena kerusakan agama. Sebab, pada anak-anak, hajr telah tetap atasnya dan tidak akan dicabut kecuali dengan kedewasaan yang sempurna, sedangkan pada orang dewasa, hajr telah dicabut dan tidak akan diberlakukan kecuali karena kebodohan yang nyata.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الشَّحِيحُ الَّذِي يَبْخَلُ عَلَى نَفْسِهِ فِي النَّفَقَةِ فَلَا يَأْكُلُ حَسْبَ كِفَايَتِهِ وَلَا يَلْبَسُ بِقَدْرِ حَالِهِ شُحًّا عَلَى نَفْسِهِ وَبُخْلًا وَحُبًّا لِلْمَالِ وَجَمْعًا، فَقَدْ كَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ وَأَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ يُوجِبَانِ الْحَجْرَ عَلَيْهِ بِالشُّحِّ وَالتَّقْصِيرِ كَمَا يُوجَبُهُ بِالسَّرَفِ وَالتَّبْذِيرِ.

Adapun orang yang kikir, yang pelit terhadap dirinya sendiri dalam nafkah, sehingga ia tidak makan sesuai kebutuhannya dan tidak berpakaian sesuai keadaannya karena kekikiran terhadap dirinya, sifat pelit, dan kecintaan terhadap harta serta keinginan mengumpulkannya, maka Abu al-‘Abbas bin Suraij dan Abu Sa‘id al-Istakhri mewajibkan dikenakannya hajr atasnya karena kekikiran dan kekurangannya, sebagaimana diwajibkan hajr karena berlebihan dan pemborosan.

لأن الله تعالى فقد نَهَى عَنْهُمَا فَقَالَ: {وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ} [الإسراء: 29]

Karena Allah Ta‘ala telah melarang keduanya, sebagaimana firman-Nya: {Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah engkau terlalu mengulurkannya} [al-Isra’: 29].

وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّهُ لَا حَجْرَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الْحَجْرَ يُفِيدُ جَمْعَ الْمَالِ وَإِمْسَاكَهُ لَا إِنْفَاقَهُ.

Adapun mayoritas ulama kami berpendapat bahwa tidak dikenakan hajr atasnya, karena hajr itu bermanfaat untuk mengumpulkan dan menahan harta, bukan untuk membelanjakannya.

وَلَيْسَ كُلُّ مَنْهِيٍّ عَنْهُ يُوجِبُ الْحَجْرَ. فَمَنْ قَالَ بِإِيجَابِ الْحَجْرِ عَلَيْهِ لَمْ يَمْنَعْ مِنْ عُقُودِهِ وَلَا كَفَّهُ عَنِ التَّصَرُّفِ فِي مَالِهِ. وَلَكِنْ يُنْفَقُ عَلَيْهِ جَبْرًا بِالْمَعْرُوفِ مِنْ مَالِهِ إِلَّا أَنْ يُخَافَ عَلَيْهِ إِخْفَاءُ مَالِهِ لِعِظَمِ شُحِّهِ فَيُمْنَعُ مِنَ التَّصَرُّفِ فِيهِ.

Tidak setiap perkara yang dilarang itu mewajibkan hajr. Barang siapa yang mewajibkan hajr atasnya, tidaklah melarangnya dari melakukan akad-akad dan tidak pula menahannya dari mengelola hartanya. Akan tetapi, nafkah diberikan kepadanya secara paksa dengan cara yang ma‘ruf dari hartanya, kecuali jika dikhawatirkan ia akan menyembunyikan hartanya karena sangat kikir, maka ia dicegah dari mengelolanya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا حَجَرَ الْإِمَامُ عَلَيْهِ لِسَفَهِهِ وَإِفْسَادِهِ مَالَهُ أَشْهَدَ عَلَى ذَلِكَ ” قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ حَجْرَ السَّفَهِ لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِحُكْمِ حَاكِمٍ بِخِلَافِ حَجْرِ الصِّغَرِ وَالْجُنُونِ لِأَنَّ ثُبُوتَ السَّفَهِ يَكُونُ بِاجْتِهَادٍ فَلَمْ يَثْبُتْ إِلَّا بِحُكْمِ حَاكِمٍ وَالصِّغَرُ وَالْجُنُونُ لَا اجْتِهَادَ فِيهِ وَهُوَ بِالنَّصِّ فَثَبَتَ بِغَيْرِ حُكْمٍ وَسَوَاءٌ كَانَ لِلسَّفِيهِ أَبٌ وَأُمٌّ فَإِذَا ثَبَتَ عِنْدَ الْحَاكِمِ مِنْ سَفَهِهِ مَا يَسْتَحِقُّ بِهِ الْحَجْرَ عَلَيْهِ حَجَرَ عَلَيْهِ.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Apabila imam mengenakan hajr atas seseorang karena kebodohannya dan kerusakannya dalam mengelola harta, maka hendaknya ia menghadirkan saksi atas hal itu.” Al-Mawardi berkata: Ini benar, karena hajr karena kebodohan tidak berlaku kecuali dengan keputusan hakim, berbeda dengan hajr karena masih kecil dan gila. Sebab, kebodohan itu ditetapkan dengan ijtihad, sehingga tidak berlaku kecuali dengan keputusan hakim, sedangkan masih kecil dan gila tidak membutuhkan ijtihad, karena sudah jelas, sehingga berlaku tanpa keputusan hakim. Baik si safih (orang yang bodoh dalam mengelola harta) itu memiliki ayah dan ibu atau tidak. Jika telah tetap di hadapan hakim bahwa kebodohannya layak dikenakan hajr, maka hakim menetapkan hajr atasnya.

وَحَجْرُ السَّفَهِ أَعَمُّ مِنْ حَجْرِ الْفَلَسِ لِأَنَّ حَجْرَ الْفَلَسِ يَخْتَصُّ بِمَالِهِ دُونَ عُقُودِهِ الَّتِي لَا تَعَلُّقَ لَهَا بِمَالِهِ وَحَجْرُ السَّفَهِ عَامٌّ فِي جَمِيعِ عُقُودِهِ. فَيَقُولُ فِي السَّفَهِ قد حجزت عَلَى فُلَانٍ بِخِلَافِ الْفَلَسِ فِي الْوَجْهَيْنِ الْمَاضِيَيْنِ لِأَنَّ لَفْظَ الْحَجْرِ أَعَمُّ.

Pembatasan (hajr) terhadap orang yang boros (safīh) lebih umum daripada pembatasan terhadap orang yang bangkrut (muflis), karena pembatasan terhadap orang yang bangkrut hanya khusus pada hartanya saja, tidak termasuk akad-akadnya yang tidak berkaitan dengan hartanya. Sedangkan pembatasan terhadap orang yang boros bersifat umum pada seluruh akad-akadnya. Maka dalam kasus safīh dikatakan: “Aku telah membatasi (hajr) terhadap si Fulan,” berbeda dengan kasus muflis pada dua pendapat sebelumnya, karena lafaz hajr itu lebih umum.

فَإِذَا حَجَرَ عَلَيْهِ قَوْلًا عَلَى مَا مَضَى أَشْهَدَ عَلَى نَفْسِهِ بِالْحَجْرِ عَلَيْهِ. وَهَلْ ذَلِكَ شَرْطٌ فِي ثُبُوتِ الحجر عليه أم لا على وجهين:

Apabila pembatasan (hajr) terhadapnya dilakukan secara lisan sebagaimana telah dijelaskan, maka ia harus menghadirkan saksi atas dirinya mengenai pembatasan tersebut. Apakah hal itu menjadi syarat dalam penetapan hajr atasnya atau tidak? Terdapat dua pendapat:

أحدهما: لَا يَفْتَقِرُ إِلَى الشَّهَادَةِ لِأَنَّ الْحَجْرَ حُكْمٌ وَثُبُوتُ الْحُكْمِ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى الْإِشْهَادِ كَسَائِرِ الْأَحْكَامِ.

Pendapat pertama: Tidak memerlukan kesaksian, karena hajr adalah suatu hukum, dan penetapan hukum tidak memerlukan penyaksian, sebagaimana hukum-hukum lainnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّ الْحَجْرَ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِالْإِشْهَادِ عَلَيْهِ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْحَجْرِ إِظْهَارُ مَنْعِهِ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي مَالِهِ لِيَتَحَفَّظَ النَّاسُ مِنْ مُعَامَلَتِهِ وَهَذَا الْمَعْنَى لَا يُحَصَّلُ إِلَّا بِالْإِشْهَادِ.

Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah: Hajr tidak sah kecuali dengan adanya penyaksian atasnya, karena tujuan dari hajr adalah menampakkan larangan baginya untuk melakukan pengelolaan harta, agar orang-orang berhati-hati dalam bertransaksi dengannya. Tujuan ini tidak akan tercapai kecuali dengan adanya penyaksian.

فَعَلَى هَذَا لَا يَتِمُّ الْحَجْرُ قَبْلَ الْإِشْهَادِ. وَيَكُونُ جَائِزَ التَّصَرُّفِ فَإِذَا أَشْهَدَ فَقَدْ تَمَّ الْحَجْرُ. وَيُخْتَارُ لَهُ بَعْدَ الْإِشْهَادِ أَنْ يُنَادِيَ فِي النَّاسِ بِإِيقَاعِ الْحَجْرِ عَلَيْهِ لِيَكُونَ أشهر لأمره.

Berdasarkan pendapat ini, hajr tidak sempurna sebelum adanya penyaksian. Ia masih diperbolehkan melakukan transaksi. Jika telah dihadirkan saksi, maka hajr telah sempurna. Setelah penyaksian, disunnahkan untuk mengumumkan kepada masyarakat tentang penetapan hajr atasnya agar urusannya menjadi lebih dikenal.

فَإِنْ لَمْ يُنَادِ فِيهِمْ بِالْحَجْرِ عَلَيْهِ جَازَ وكان تصرفه بعد الإشهاد مردود أو سواء أَظْهَرَ الشَّاهِدَانِ ذَلِكَ أَوْ كَتَمَاهُ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika tidak diumumkan kepada masyarakat tentang hajr atasnya, maka hal itu tetap sah, dan transaksi yang dilakukan setelah penyaksian menjadi batal, baik kedua saksi menampakkan hal itu atau menyembunyikannya. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَمَنْ بَايَعَهُ بَعْدَ الْحَجْرِ فَهُوَ الْمُتْلِفُ لِمَالِهِ ” قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ مُبَايَعَةُ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ بِالسَّفَهِ بَاطِلَةٌ. فَإِنْ كَانَ السَّفِيهُ هُوَ الْبَائِعُ انْتُزِعَ مَا بَاعَ مِنْ يَدِ مُشْتَرِيهِ لِفَسَادِ الْعَقْدِ فِيهِ فَإِنْ تَلِفَ الْمَبِيعُ فِي يده الْمُشْتَرِي كَانَ مَضْمُونًا عَلَيْهِ بِالْقِيمَةِ دُونَ الثَّمَنِ وَإِنْ كَانَ السَّفِيهُ هُوَ الْمُشْتَرِي كَانَ لِبَائِعِهِ انْتِزَاعُ ذَلِكَ مِنْ يَدِ السَّفِيهِ إِنْ كَانَ بَاقِيًا. وَإِنْ كَانَ تَالِفًا فَلَا ضَمَانَ عَلَى السَّفِيهِ لَا فِي الْحَالِ وَلَا بَعْدَ فَكِّ الْحَجْرِ. لِأَنَّ مَنْ عَامَلَهُ مَعَ ظُهُورِ حَالِهِ صَارَ هُوَ الْمُتْلِفُ لِمَالِهِ.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Barang siapa yang bertransaksi dengannya setelah hajr, maka dialah yang merusak hartanya sendiri.” Al-Māwardī berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa transaksi dengan orang yang dikenai hajr karena safīh adalah batal. Jika safīh itu sebagai penjual, maka barang yang dijual diambil dari tangan pembelinya karena akadnya rusak. Jika barang yang dijual rusak di tangan pembeli, maka pembeli wajib menggantinya dengan nilai barang, bukan dengan harga yang disepakati. Jika safīh sebagai pembeli, maka penjual berhak mengambil kembali barang tersebut dari tangan safīh jika masih ada. Jika barang itu telah rusak, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atas safīh, baik pada saat itu maupun setelah hajr dicabut, karena siapa pun yang bertransaksi dengannya padahal keadaannya sudah diketahui, maka dialah yang merusak hartanya sendiri.

وَلَكِنْ هَلْ يَلْزَمُهُ غُرْمُ ذَلِكَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى بَعْدَ فَكِّ الْحَجْرِ عَنْهُ فُتْيَا لَا حُكْمًا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Namun, apakah ia tetap wajib menanggung kerugian itu di hadapan Allah Ta‘ala setelah hajr dicabut darinya sebagai fatwa, bukan sebagai hukum, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَلْزَمُهُ لِأَنَّ اخْتِيَارَ الْمَالِكِ لِمُعَامَلَتِهِ رِضًا مِنْهُ بِاسْتِهْلَاكِهِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ.

Pendapat pertama: Ia tidak wajib menanggungnya, karena pilihan pemilik harta untuk bertransaksi dengannya menunjukkan kerelaannya atas kerusakan hartanya. Ini adalah pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَلْزَمُهُ غُرْمُهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى لِأَنَّهُ مُكَلَّفٌ اسْتِهْلَاكَ مَالٍ عَلَى طَرِيقِ الْمُعَاوَضَةِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي ثَوْرٍ.

Pendapat kedua: Ia wajib menanggung kerugian itu di hadapan Allah Ta‘ala, karena ia adalah mukallaf yang telah menyebabkan kerusakan harta melalui akad mu‘āwadah (pertukaran). Ini adalah pendapat Abū Tsaūr.

وَلَكِنْ لَوْ ضَمِنَ مَالًا بَطَلَ ضَمَانُهُ وَلَمْ يَلْزَمْهُ الْغُرْمُ حُكْمًا وَلَا فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى وَجْهًا وَاحِدًا. لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي الضَّمَانِ اسْتِهْلَاكٌ وَإِنَّمَا هُوَ مُجَرَّدُ الْتِزَامٍ إِذَا بَطَلَ سَقَطَ حُكْمُهُ.

Namun, jika ia menjamin suatu harta, maka jaminannya batal dan ia tidak wajib menanggung kerugian, baik secara hukum maupun di hadapan Allah Ta‘ala, menurut satu pendapat. Karena dalam jaminan tidak terdapat unsur perusakan, melainkan hanya sekadar komitmen, sehingga jika batal, maka gugurlah hukumnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

: فَأَمَّا عَقْدُ الْخُلْعِ فَيَصِحُّ مِنَ السَّفِيهِ وَإِنْ كَانَ مِنْ عُقُودِ الْمُعَاوَضَاتِ. لِأَنَّهُ لَمَّا صَحَّ مِنْهُ الطَّلَاقُ بِغَيْرِ عِوَضٍ فَأَحْرَى أَنْ يَصِحَّ مِنْهُ بِعِوَضٍ وَيَكُونُ ذَلِكَ اسْتِفَادَةُ مَالٍ مَحْضٍ كَمَا يَصِحُّ مِنْهُ قَبُولُ الْهِبَةِ وَالْوَصِيَّةِ لِأَنَّهُ اسْتِفَادَةُ مَالٍ مَحْضٍ. وَلَا يَجُوزُ لَهُ بَعْدَ خَلْعِهِ أَنْ تُسَلِّمَ الزَّوْجَةُ مَالَ الْخَلْعِ إِلَيْهِ وَتُسَلِّمُهُ إِلَى وَلِيِّهِ لِأَنَّهُ بِالْحَجْرِ قَدْ سَقَطَ حَقُّهُ مِنْ قَبْضِ مَالِهِ.

Adapun akad khulu‘, maka sah dilakukan oleh safīh, meskipun termasuk akad mu‘āwadah (pertukaran). Karena jika talak tanpa kompensasi sah dilakukan olehnya, maka lebih utama lagi talak dengan kompensasi juga sah. Hal itu merupakan perolehan harta murni, sebagaimana sah baginya menerima hibah dan wasiat, karena itu juga merupakan perolehan harta murni. Namun, setelah khulu‘, istri tidak boleh menyerahkan harta khulu‘ kepadanya, melainkan harus menyerahkannya kepada walinya, karena dengan adanya hajr, haknya untuk menerima harta telah gugur.

فَإِنْ قَبَضَهُ السَّفِيهُ فَبَادَرَ الْوَلِيُّ إِلَى أَخْذِهِ مِنْهُ سَقَطَ عَنِ الزَّوْجَةِ.

Jika safīh telah menerima harta tersebut, lalu wali segera mengambilnya darinya, maka tanggungan istri telah gugur.

وَإِنْ أَتْلَفَهُ السَّفِيهُ كَانَ الْحَقُّ بَاقِيًا فِي ذِمَّةِ الزَّوْجَةِ وَعَلَيْهَا دَفْعُهُ ثَانِيَةً إِلَى الْوَلِيِّ وَلَا رُجُوعَ لَهَا عَلَى السَّفِيهِ بِمَا دَفَعَتْ إِلَيْهِ إِذَا اسْتَهْلَكَهُ. وَهَكَذَا إِذَا قَبِلَ السَّفِيهُ الْهِبَةَ وَالْوَصِيَّةَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُسَلِّمَهَا إِلَيْهِ فَإِنْ سَلَّمَ ذَلِكَ إِلَيْهِ فَاسْتَهْلَكَهُ وَجَبَ عَلَى مَنْ أَقْبَضَهُ ذَلِكَ غُرْمُ الْوَصِيَّةِ دُونَ الْهِبَةِ لِأَنَّهُ قَدْ مَلَكَ الْوَصِيَّةَ بِقَبُولِهِ فَيُلْزَمُ غُرْمَهَا لَهُ وَلَمْ يَمْلِكِ الْهِبَةَ بِقَبُولِهِ فَلَمْ يَجِبْ غُرْمُهُ.

Jika barang itu dirusak oleh orang safih, maka hak tersebut tetap menjadi tanggungan istri dan ia wajib membayarnya kembali kepada wali, dan ia tidak berhak menuntut kembali kepada orang safih atas apa yang telah ia berikan kepadanya jika barang itu telah dihabiskan. Demikian pula, jika orang safih menerima hibah atau wasiat, tidak boleh diserahkan kepadanya. Jika diserahkan kepadanya lalu ia menghabiskannya, maka orang yang menyerahkan wasiat tersebut wajib menanggung kerugian wasiatnya, tidak untuk hibah. Sebab, ia telah memiliki wasiat itu dengan penerimaannya sehingga wajib mengganti kerugiannya untuknya, sedangkan hibah belum menjadi miliknya dengan penerimaannya, sehingga tidak wajib menggantinya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا عَقْدُ الْإِجَارَةِ فَلَا يَصِحُّ مِنْهُ مُسْتَأْجِرًا كَانَ أَوْ مُؤَجِّرًا لِأَنَّ الْإِجَارَةَ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ كَالْبَيْعِ.

Adapun akad ijarah (sewa-menyewa), maka tidak sah dilakukan olehnya, baik sebagai penyewa maupun sebagai pihak yang menyewakan, karena ijarah adalah akad mu‘āwadhah (pertukaran) seperti jual beli.

فَإِنْ أَجَّرَ نَفْسَهُ فَإِنْ كَانَ فِيمَا هُوَ مَقْصُودٌ مِنْ عَمَلِهِ مِثْلَ أَنْ يَكُونَ صَانِعًا وَعَمَلُهُ مَقْصُودٌ فِي كَسْبِهِ لَمْ يَصِحَّ ذَلِكَ مِنْهُ وَتَوَلَّى الْوَلِيُّ الْعَقْدَ عَلَيْهِ.

Jika ia menyewakan dirinya, maka jika pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan yang menjadi tujuan utama dari pekerjaannya, seperti ia adalah seorang pengrajin dan pekerjaannya memang menjadi sumber penghasilannya, maka hal itu tidak sah darinya dan wali yang melakukan akad atas namanya.

وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَقْصُودٍ مِثْلَ أَنْ يُؤَجِّرَ نَفْسَهُ فِي حَجٍّ أَوْ وَكَالَةٍ فِي عَمَلٍ وَلَيْسَ عَمَلُهُ مَقْصُودًا فِي كَسْبِهِ لِاسْتِغْنَائِهِ بِمَالِهِ صَحَّتِ الْإِجَارَةُ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَتَطَوَّعَ عَنْ غَيْرِهِ بهذا العمل فأولى أن يجوز منه بعضو.

Namun jika pekerjaannya bukan tujuan utama, seperti ia menyewakan dirinya untuk haji atau sebagai wakil dalam suatu pekerjaan, dan pekerjaannya itu bukan sumber penghasilannya karena ia sudah cukup dengan hartanya, maka akad ijarah tersebut sah. Karena jika ia boleh melakukan pekerjaan itu secara sukarela untuk orang lain, maka lebih utama lagi ia boleh melakukannya dengan imbalan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا هِبَتُهُ وَعِتْقُهُ وَكِتَابَتُهُ فَكُلُّ ذَلِكَ بَاطِلٌ لَا يَصِحُّ مِنْهُ وَلَكِنْ يَصِحُّ مِنْهُ التَّدْبِيرُ وَالْوَصِيَّةُ. لِأَنَّ تَأْثِيرَ ذَلِكَ بَعْدَ زَوَالِ الْحَجْرِ بِالْمَوْتِ.

Adapun hibah, memerdekakan budak, dan kitabah (perjanjian pembebasan budak dengan pembayaran cicilan) yang dilakukan oleh orang safih, semuanya batal dan tidak sah darinya. Namun, sah baginya melakukan tadbir (pembebasan budak yang berlaku setelah wafat) dan wasiat, karena pengaruhnya terjadi setelah hilangnya status hajr (pembatasan hak) dengan kematian.

فَلَوْ مَرِضَ السَّفِيهُ وَأَعْتَقَ فِي مَرَضِهِ ثُمَّ مَاتَ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَغْلِبُ عَلَيْهِ حَجْرُ السَّفَهِ أَوْ حَجْرُ الْمَرَضِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika orang safih sakit dan memerdekakan budak dalam sakitnya lalu ia meninggal, maka para ulama kami berbeda pendapat: apakah yang lebih kuat adalah hajr karena safih atau hajr karena sakit, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَغْلِبُ حَجْرُ السَّفَهِ لِأَنَّهُ أَسْبَقُ وَلِأَنَّ حُدُوثَ مَا يُوجِبُ الْحَجْرَ لَا يَرْفَعُ حُكْمَ الْحَجْرِ الْمُتَقَدِّمِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ عِتْقُهُ بَاطِلًا.

Pertama: Yang lebih kuat adalah hajr karena safih, karena itu lebih dahulu, dan karena terjadinya sebab yang mewajibkan hajr tidak menghapus hukum hajr yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian, pembebasan budaknya menjadi batal.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ حَجْرَ الْمَرَضِ أَغْلَبُ لِأَنَّهَا حَالٌ تَسْتَحِقُّ حِفْظَ الْمَالِ فِيهَا لِلْوَارِثِ. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ عِتْقُهُ مَاضِيًا فِي ثُلُثِهِ كَالْمَرِيضِ.

Pendapat kedua: Hajr karena sakit lebih kuat, karena itu adalah keadaan yang berhak untuk menjaga harta bagi ahli waris. Dengan demikian, pembebasan budaknya berlaku pada sepertiga hartanya seperti orang sakit pada umumnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا مُدَايَنَاتُهُ فَتَنْقَسِمُ ثلاثة أقسام:

Adapun utang-piutang yang dilakukan oleh orang safih terbagi menjadi tiga bagian:

[الأول] : قِسْمٌ يَسْتَقِرُّ وُجُوبُهُ بِاخْتِيَارِ أَرْبَابِهِ كَالْقَرْضِ وَمُهُورِ الزَّوْجَاتِ وَأَثْمَانِ الْمَبِيعَاتِ فَهَذَا لَا يَضْمَنُهُ وَغُرْمُهُ لا يلزمه.

[Bagian pertama]: Utang yang kewajibannya tetap karena pilihan para pemiliknya, seperti pinjaman, mahar istri, dan harga barang yang dijual. Maka ini tidak wajib ditanggung olehnya dan ia tidak berkewajiban menanggung kerugiannya.

[الثاني] وَقِسْمٌ يَسْتَقِرُّ وُجُوبُهُ بِلَا اخْتِيَارِ أَرْبَابِهِ كَأُرُوشِ الْجِنَايَاتِ وَقِيَمِ الْمَتْلَفَاتِ فَهَذَا يَجِبُ عَلَيْهِ ضَمَانُهُ.

[Bagian kedua]: Utang yang kewajibannya tetap tanpa pilihan para pemiliknya, seperti diyat (denda) atas tindak pidana dan ganti rugi atas barang yang dirusak. Maka ini wajib ditanggung olehnya.

وَيَلْزَمُهُ غُرْمُهُ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا لَزِمَ ذَلِكَ الصَّبِيَّ والمجنون، فأولى أن يجب على السفيه.

Dan ia wajib menanggung kerugiannya; karena jika hal itu diwajibkan atas anak kecil dan orang gila, maka lebih utama lagi diwajibkan atas orang safih.

[الثالث] : قِسْمٌ يَكُونُ السَّبَبُ فِيهِ بِاخْتِيَارِهِمْ وَحُصُولُ الْوُجُوبِ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِمْ كَالْوَدِيعَةِ إِذَا تَلِفَتْ وَالْعَارِيَةِ إِذَا اسْتُهْلِكَتْ فَلَا يَخْلُو تَلَفُ ذَلِكَ وَهَلَاكُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ بِفِعْلِ السَّفِيهِ أَوْ بِغَيْرِ فِعْلِهِ. فَإِنْ كَانَ تَلَفُهُ بِغَيْرِ فِعْلِهِ كَانَ ضَمَانُهُ هَدْرًا وَهُوَ تَالِفٌ مِنْ مَالِ مَالِكِهِ، لِأَنَّهُ بِتَسْلِيمِهِ قَدْ عَرَّضَهُ لِهَلَاكِهِ.

[Bagian ketiga]: Utang yang sebabnya terjadi karena pilihan mereka, namun kewajibannya terjadi tanpa pilihan mereka, seperti barang titipan jika rusak dan barang pinjaman jika habis digunakan. Maka kerusakan dan kehancurannya tidak lepas dari dua kemungkinan: terjadi karena perbuatan orang safih atau bukan karena perbuatannya. Jika kerusakannya bukan karena perbuatannya, maka tanggungannya gugur dan kerusakan itu menjadi tanggungan pemilik barang, karena dengan menyerahkannya ia telah menempatkan barang itu pada risiko kerusakan.

وَإِنْ كَانَ تَلَفُهُ بِفِعْلِهِ بِأَنْ أَتْلَفَ الْوَدِيعَةَ الَّتِي أُودِعَهَا أَوِ اسْتَهْلَكَ الْعَارِيَةَ الَّتِي اسْتَعَارَهَا فَفِي وُجُوبِ غُرْمِ ذَلِكَ وَجْهَانِ:

Namun jika kerusakannya karena perbuatannya, seperti ia merusak barang titipan yang dititipkan kepadanya atau menghabiskan barang pinjaman yang dipinjamnya, maka dalam kewajiban menanggung kerugian itu ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: غُرْمُهُ عَلَى السَّفِيهِ وَاجِبٌ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْإِتْلَافِ لِأَنَّهُ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ.

Pertama: Menanggung kerugian itu wajib atas orang safih, menguatkan hukum perusakan karena itu terjadi tanpa pilihan pemilik barang.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا غُرْمَ عَلَيْهِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ التَّسْلِيمِ لِأَنَّهُ كَانَ بِاخْتِيَارِهِ.

Pendapat kedua: Tidak ada kewajiban menanggung kerugian atasnya, menguatkan hukum penyerahan karena itu terjadi atas pilihan pemilik barang.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِقْرَارُهُ فَيَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: قِسْمٌ يَلْزَمُ. وَقِسْمٌ لَا يَلْزَمُ. وَقِسْمٌ مُخْتَلَفٍ فِي لُزُومِهِ. فَأَمَّا مَا يَلْزَمُ إِقْرَارُهُ فِيهِ فَهُوَ مَا تَعَلَّقَ بِبَدَنِهِ كَإِقْرَارِهِ بِمَا يُوجِبُ حَدًّا أَوْ قَوْدًا فَيسْتَوْفي ذَلِكَ مِنْهُ لِانْتِفَاءِ التُّهْمَةِ عَنْهُ وَلِتَعَلُّقِهِ بِمَا لَمْ يَقَعِ الْحَجْرُ عَلَيْهِ. فَلَوْ عَفَا مَنْ أَقَرَّ لَهُ بِالْقَوْدِ إِلَى الْمَالِ ثَبَتَ لَهُ الْمَالُ لِأَنَّهُ فَرْعٌ لِقَوْدٍ ثَبَتَ بِالْإِقْرَارِ. وَهَكَذَا لَوْ أَقَرَّ بِابْنٍ ثَبَتَ نَسَبُهُ بِإِقْرَارِهِ فَلَوْ أَقَرَّ بِابْنِ أَمَةٍ ثَبَتَ النَّسَبُ بِإِقْرَارِهِ وَصَارَ حُرًّا.

Adapun pengakuannya terbagi menjadi tiga bagian: bagian yang wajib (dilaksanakan), bagian yang tidak wajib, dan bagian yang diperselisihkan kewajibannya. Adapun pengakuan yang wajib dilaksanakan adalah yang berkaitan dengan tubuhnya, seperti pengakuannya terhadap sesuatu yang mewajibkan had atau qawad (qishash), maka hal itu diambil darinya karena tidak adanya tuduhan terhadapnya dan karena berkaitan dengan sesuatu yang tidak terkena pembatasan (hajr). Jika orang yang diakui berhak atas qawad memaafkan dengan menggantinya dengan harta, maka harta itu tetap menjadi haknya karena merupakan cabang dari qawad yang ditetapkan melalui pengakuan. Demikian pula, jika ia mengakui seorang anak, maka nasab anak itu ditetapkan melalui pengakuannya. Jika ia mengakui anak dari seorang budak perempuan, maka nasab anak itu juga ditetapkan melalui pengakuannya dan anak itu menjadi merdeka.

وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ: إِقْرَارُهُ بِهِ بَاطِلٌ لَا يُثْبِتُ نَسَبًا وَلَا يُوجِبُ عِتْقًا.

Abu Tsaur berkata: Pengakuannya itu batal, tidak menetapkan nasab dan tidak mewajibkan kemerdekaan.

وَقَالَ محمد بن الحسن: يَثْبُتُ نَسَبُهُ وَيَصِيرُ حُرًّا يَسْعَى فِي قِيمَتِهِ. وَمَا قُلْنَاهُ أَوْلَى لِأَنَّهُ لَوْ أَوْلَدَ أَمَتَهُ ثَبَتَ نَسَبُهُ وَصَارَ حُرًّا فَكَذَلِكَ إِذَا كَانَ بِهِ مُقِرًّا. وَأَمَّا مَا لَا يَلْزَمُ بِإِقْرَارِهِ فَهُوَ مَا تَعَلَّقَ بِالْمَالِ لِحُصُولِ التُّهْمَةِ فِيهِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَالُ عَنْ مُعَامَلَةٍ أَوْ إِتْلَافٍ، لَكِنْ إِنْ كَانَ عَنْ إِتْلَافٍ لَزِمَ بِقِيَامِ الْبَيِّنَةِ، وَإِنْ كَانَ عَنْ مُعَامَلَةٍ لَمْ يَلْزَمْ وَإِنْ قَامَتْ بِهِ الْبَيِّنَةُ، فَلَوْ فُكَّ حَجْرُهُ لَمْ يَلْزَمْهُ فِي الْحُكْمِ مَا كَانَ أَقَرَّ بِهِ. وَأَمَّا فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ كَانَ مَا أَقَرَّ بِهِ قَدْ لَزِمَهُ قَبْلَ حَجْرِهِ بِقَرْضٍ كَانَ اقْتَرَضَهُ أَوْ بَيْعٍ كَانَ ابْتَاعَهُ لَزِمَهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى أَدَاءُ ذَلِكَ بَعْدَ فَكِّ حَجْرِهِ. وَإِنْ كَانَ لُزُومُ ذَلِكَ فِي حَالِ الْحَجْرِ فَفِي لُزُومِ ذَلِكَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى وَجْهَانِ عَلَى مَا مَضَى. وَأَمَّا مَا اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي لُزُومِ إِقْرَارِهِ بِهِ فَشَيْئَانِ:

Muhammad bin al-Hasan berkata: Nasabnya ditetapkan dan ia menjadi merdeka, namun harus membayar nilai dirinya. Pendapat kami lebih utama, karena jika seseorang menghamili budak perempuannya, maka nasab anak itu ditetapkan dan ia menjadi merdeka, demikian pula jika ia mengakuinya. Adapun yang tidak wajib dengan pengakuannya adalah yang berkaitan dengan harta karena adanya tuduhan di dalamnya, baik harta itu berasal dari transaksi maupun perusakan. Namun, jika berasal dari perusakan, maka wajib (mengganti) dengan adanya bukti; dan jika berasal dari transaksi, tidak wajib meskipun ada bukti. Jika hajr (pembatasan) dicabut darinya, maka dalam hukum tidak wajib baginya apa yang telah ia akui. Adapun antara dia dan Allah Ta‘ala, jika apa yang ia akui telah menjadi kewajibannya sebelum hajr, baik berupa utang yang ia pinjam atau jual beli yang ia lakukan, maka wajib baginya antara dia dan Allah Ta‘ala untuk melunasi itu setelah hajr dicabut. Jika kewajiban itu muncul saat hajr, maka dalam hal ini ada dua pendapat sebagaimana telah dijelaskan. Adapun perkara yang diperselisihkan tentang kewajiban pengakuannya ada dua:

أَحَدُهُمَا: جِنَايَاتُ الْخَطَأِ عَلَى النُّفُوسِ فَفِي لُزُومِهَا بِإِقْرَارِهِ قَوْلَانِ:

Pertama: Jinayat (kejahatan) karena kesalahan terhadap jiwa, dalam hal ini ada dua pendapat tentang kewajibannya berdasarkan pengakuan:

أَحَدُهُمَا: لَا يَلْزَمُ لِتَعَلُّقِهَا بِالْمَالِ كَإِقْرَارِهِ بِاسْتِهْلَاكِ الْأَمْوَالِ.

Pertama: Tidak wajib karena berkaitan dengan harta, seperti pengakuannya atas perusakan harta.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهَا تَلْزَمُ بِإِقْرَارِهِ لِتَغْلِيظِ النُّفُوسِ وَإِنَّهُ لَمَّا ثَبَتَ عَمْدُهَا بِإِقْرَارِهِ ثَبَتَ خَطَؤُهَا بِإِقْرَارِهِ.

Pendapat kedua: Wajib berdasarkan pengakuannya karena jiwa itu sangat berharga, dan karena jika pembunuhan sengaja ditetapkan dengan pengakuan, maka pembunuhan karena kesalahan juga ditetapkan dengan pengakuan.

وَأَمَّا الثَّانِي: فَهُوَ السَّرِقَةُ يُقِرُّ بِهَا فَفِي لُزُومِهَا وَوُجُوبِ غُرْمِهَا بِإِقْرَارِهِ قَوْلَانِ:

Adapun yang kedua: Yaitu pencurian yang diakuinya, maka dalam hal kewajiban dan keharusan mengganti berdasarkan pengakuannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَلْزَمُ وَيَجِبُ غُرْمُهَا لِأَنَّهَا تُوجِبُ الْقَطْعَ الَّذِي يَنْفِي التُّهْمَةَ عَنْهُ فِي إِقْرَارِهِ بِهِ.

Pertama: Wajib dan harus menggantinya, karena pencurian mewajibkan potong tangan yang menghilangkan tuduhan dalam pengakuannya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا تَلْزَمُهُ لِأَنَّ أَصْلَ إِقْرَارِهِ إِنَّمَا هُوَ بِمَالٍ لَا يَثْبُتُ بِإِقْرَارِهِ. فَعَلَى هَذَا فِي وُجُوبِ قَطْعِهِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Tidak wajib baginya, karena pada dasarnya pengakuannya adalah terhadap harta yang tidak dapat ditetapkan dengan pengakuannya. Berdasarkan ini, dalam kewajiban pemotongan tangan terdapat dua pendapat:

فَأَمَّا إِقْرَارُ وَلَيِّهِ عَنْهُ فَلَا يَصِحُّ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْأَبْدَانِ وَلَا فِيمَا وَجَبَ فِي الْمَالِ عَنْ جِنَايَةٍ وَإِتْلَافٍ وَلَا فِيمَا تَوَلَّاهُ السَّفِيهُ مِنْ عُقُودِهِ.

Adapun pengakuan wali atas namanya, maka tidak sah dalam perkara yang berkaitan dengan badan, tidak pula dalam perkara yang mewajibkan harta akibat jinayat dan perusakan, dan tidak pula dalam akad-akad yang dilakukan oleh orang safih (tidak cakap).

وَيَصِحُّ فِيمَا تَوَلَّاهُ الْوَلِيُّ مِنَ الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ فِي مَالِهِ فَيُقِرُّ بِالْبَيْعِ وَقَبْضِ الثَّمَنِ وَبِالِابْتِيَاعِ وَقَبْضِ الْمَبِيعِ وَبِصِفَاتِ الْعَقْدِ مِنْ حُلُولٍ أَوْ تَأْجِيلٍ وَثُبُوتِ خِيَارٍ وَانْبِرَامِ عَقْدٍ عَنْ تَرَاضٍ وَعَلَى هَذَا يُحْمَلُ تَأْوِيلُ قَوْله تَعَالَى: {فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ} [البقرة: 282] .

Namun sah dalam hal yang dilakukan wali berupa jual beli dalam hartanya, seperti mengakui penjualan dan penerimaan harga, pembelian dan penerimaan barang, serta sifat-sifat akad seperti kontan atau tempo, adanya hak khiyar, dan terjadinya akad atas dasar kerelaan. Atas dasar inilah ditafsirkan firman Allah Ta‘ala: {Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan adil} (QS. al-Baqarah: 282).

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا عِبَادَاتُهُ فَتَصِحُّ مِنْهُ بِدُخُولِهِ فِيهَا فَرْضًا كَانَتْ أَوْ تَطَوُّعًا فَلَوْ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ انْعَقَدَ إِحْرَامُهُ فَإِنْ كَانَ الْحَجُّ تَطَوُّعًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْطي نَفَقَةَ الْحَجِّ مِنْ مَالِهِ. وَإِنْ كَانَ فَرْضًا وَجَبَ عَلَى وَلِيِّهِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهِ مِنْ مَالِهِ نَفَقَةَ حَجِّهِ.

Adapun ibadah-ibadahnya, maka sah darinya dengan masuk ke dalamnya, baik fardhu maupun sunnah. Jika ia berihram untuk haji, maka ihramnya sah. Jika hajinya sunnah, tidak boleh diberikan biaya haji dari hartanya. Jika hajinya fardhu, maka wajib bagi walinya untuk membiayai hajinya dari hartanya.

فَلَوْ أَفْسَدَهُ بِوَطْءٍ مَكَّنَهُ مِنْ نَفَقَةِ الْمُضِيِّ فِيهِ حتى ينهيه فأما نفقة لقضاء فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Maka jika ia merusaknya dengan melakukan hubungan suami istri, ia diberi nafkah untuk melanjutkan ibadah tersebut hingga selesai. Adapun nafkah untuk menqadha, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُعْطِيهِ لِوُجُوبِهِ وَهُوَ قَوْلُ محمد بن الحسن.

Salah satunya: ia diberi nafkah karena kewajibannya, dan ini adalah pendapat Muhammad bin al-Hasan.

وَالثَّانِي: لَا يُعْطِيهِ لِتَعَلُّقِهِ بِإِفْسَادِهِ وَأَنَّهُ لَا يُؤْمَنُ مِنْهُ فِي الثَّانِي مِثْلُ مَا كَانَ مِنْهُ فِي الْأَوَّلِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي ثَوْرٍ. فَلَوْ وَجَبَ عَلَيْهِ فِي زَمَانِ حَجْرِهِ كَفَّارَةٌ فَإِنْ كَانَتْ كَفَّارَةَ تَخْيِيرٍ بَيْنَ الصَّوْمِ وَغَيْرِهِ كَفَّرَ بِالصَّوْمِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُكَفِّرَ بِالْمَالِ.

Dan yang kedua: ia tidak diberi nafkah karena nafkah tersebut berkaitan dengan perbuatannya yang merusak, dan dikhawatirkan ia akan mengulangi perbuatan yang sama pada kesempatan kedua sebagaimana yang terjadi pada kesempatan pertama. Ini adalah pendapat Abu Tsaur. Maka jika ia diwajibkan membayar kafarat pada masa ia dalam keadaan mahjur (terhalang mengelola hartanya), jika kafarat tersebut berupa pilihan antara puasa dan selainnya, maka ia menunaikan kafarat dengan puasa dan tidak sah baginya menunaikan kafarat dengan harta.

وَإِنْ كَانَتْ كَفَّارَةَ تَرْتِيبٍ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُنْقَلَ إِلَى الصَّوْمِ إِلَّا بِالْإِعْسَارِ فَهَلْ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْيَسَارِ أَوِ الْإِعْسَارِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Dan jika kafarat tersebut berupa urutan (tertib), maka tidak boleh berpindah kepada puasa kecuali karena tidak mampu (miskin). Maka, apakah ia diperlakukan sebagai orang mampu atau tidak mampu? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْيَسَارِ لِوُجُودِ مِلْكِهِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُكَفِّرَ بِالصَّوْمِ وَيُكَفِّرُ بِالْمَالِ.

Salah satunya: ia diperlakukan sebagai orang mampu karena ia masih memiliki harta, sehingga tidak boleh menunaikan kafarat dengan puasa, melainkan harus dengan harta.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِعْسَارِ لِأَنَّهُ بِالْحَجْرِ أَسْوَأُ حَالًا مِنَ الْمُعْسِرِ فَيُكَفِّرُ بِالصَّوْمِ.

Dan pendapat kedua: ia diperlakukan sebagai orang tidak mampu, karena dengan adanya status mahjur, keadaannya lebih buruk daripada orang miskin, sehingga ia menunaikan kafarat dengan puasa.

فَعَلَى هَذَا لَوْ لَمْ يُكَفِّرْ بِالصَّوْمِ حَتَّى فُكَّ حَجْرُهُ. فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْمُرَاعَى بِالْكَفَّارَةِ حَالُ الْأَدَاءِ لَمْ يُجْزِهِ الصَّوْمُ. وَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْمُرَاعَى بِالْكَفَّارَةِ حَالُ الْوُجُوبِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Berdasarkan hal ini, jika ia belum menunaikan kafarat dengan puasa hingga status mahjurnya dicabut, maka jika dikatakan bahwa yang menjadi acuan dalam kafarat adalah keadaan saat pelaksanaan, maka puasanya tidak sah. Namun jika dikatakan bahwa yang menjadi acuan adalah keadaan saat kewajiban kafarat itu muncul, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجْزِيهِ الصَّوْمُ اعْتِبَارًا بِحَالِهِ عِنْدَ الْوُجُوبِ.

Salah satunya: puasanya sah, dengan mempertimbangkan keadaannya saat kewajiban itu muncul.

وَالثَّانِي: لَا يَجْزِيهِ إِلَّا الْمَالُ لِأَنَّهُ كَانَ مُوسِرًا وَإِنَّمَا ثُبُوتُ الْحَجْرِ عليه كان مانعا.

Dan yang kedua: tidak sah kecuali dengan harta, karena ia pada dasarnya adalah orang mampu, hanya saja status mahjur yang menjadi penghalang.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَتَى أُطْلِقَ عَنْهُ الْحَجْرُ ثُمَّ عَادَ إِلَى حَالِ الْحَجْرِ حُجِرَ عَلَيْهِ وَمَتَى رَجَعَ بَعْدَ الْحَجْرِ إِلَى حَالِ الْإِطْلَاقِ أُطْلِقَ عَنْهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Apabila status mahjur dicabut darinya, lalu ia kembali ke keadaan mahjur, maka ia kembali menjadi mahjur. Dan apabila ia kembali setelah mahjur ke keadaan bebas, maka status mahjurnya dicabut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. إِذَا حَجَرَ الْحَاكِمُ عَلَى رَجُلٍ بِالسَّفَهِ ثُمَّ ظَهَرَ رُشْدُهُ وَجَبَ على الحاكم أن يفك حجره وفي هذا الرُّشْدِ الَّذِي يُوجِبُ فَكَّ حَجْرِهِ وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Dan demikianlah sebagaimana yang beliau katakan. Jika hakim menetapkan seseorang sebagai mahjur karena safih (boros), lalu tampak adanya kedewasaan (rushd) pada dirinya, maka wajib bagi hakim untuk mencabut status mahjurnya. Dalam hal kedewasaan yang menyebabkan pencabutan status mahjur ini, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: الصَّلَاحُ فِي الدِّينِ وَالْإِصْلَاحُ فِي الْمَالِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ.

Salah satunya: perbaikan dalam agama dan perbaikan dalam pengelolaan harta, dan ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj.

فَإِنْ وُجِدَ مِنْهُ الصَّلَاحُ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُوجَدِ الصَّلَاحُ فِي الْمَالِ. أَوْ وُجِدَ مِنْهُ الْإِصْلَاحُ فِي الْمَالِ وَلَمْ يُوجَدْ مِنْهُ الْإِصْلَاحُ فِي الدِّينِ وَجَبَ اسْتِدَامَةُ الْحَجْرِ عَلَيْهِ.

Jika pada dirinya terdapat perbaikan dalam agama namun tidak dalam harta, atau terdapat perbaikan dalam harta namun tidak dalam agama, maka wajib untuk tetap mempertahankan status mahjurnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ الْإِصْلَاحُ فِي الْمَالِ وَحْدَهُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إسحاق المروزي.

Dan pendapat kedua: cukup dengan perbaikan dalam pengelolaan harta saja, dan ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi.

فَإِذَا ظَهَرَ رُشْدُهُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ لَمْ يَنْفَكَّ الْحَجْرُ عَنْهُ إِلَّا بِحُكْمِ الْحَاكِمِ.

Maka apabila telah tampak kedewasaannya menurut salah satu dari dua pendapat tersebut, status mahjurnya tidak akan dicabut kecuali dengan keputusan hakim.

لِأَنَّ مَا يُوجِبُ زَوَالَ الْحَجْرِ يَفْتَقِرُ إلى اجتهاد بخلاف الجنون لذي الْإِفَاقَةُ مِنْهُ ظَاهِرَةٌ وَلَا يَفْتَقِرُ إِلَى اجْتِهَادٍ.

Karena hal yang menyebabkan pencabutan status mahjur membutuhkan ijtihad, berbeda dengan kegilaan, di mana tanda-tanda kesembuhannya tampak jelas dan tidak membutuhkan ijtihad.

وَيَرْتَفِعُ الْحَجْرُ بِوُجُودِ الْإِفَاقَةِ مِنْ غَيْرِ حُكْمٍ. وَسَوَاءٌ كَانَتِ الْوِلَايَةُ عَلَى السَّفِيهِ مَرْدُودَةً إِلَى أَبِيهِ أَوْ غَيْرِهِ. بِخِلَافِ الصَّغِيرِ لِأَنَّ ابْتِدَاءَ الْحَجْرِ عَلَى السَّفِيهِ لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِحُكْمِ حَاكِمٍ فَلَمْ يَرْتَفِعْ إِلَّا بِحُكْمِ حَاكِمٍ، وَابْتِدَاءُ الْحَجْرِ عَلَى الصَّغِيرِ يَثْبُتُ بِغَيْرِ حُكْمِ حَاكِمٍ فَجَازَ أَنْ يَرْتَفِعَ مَعَ الْأَبِ بِغَيْرِ حُكْمٍ، فَإِذَا فَكَّ الْحَاكِمُ الْحَجْرَ عَنْهُ بِعَوْدَةٍ إِلَى حَالِ الرُّشْدِ جَازَ تَصَرُّفُهُ فَلَوْ عَادَ إِلَى حَالِ التَّبْذِيرِ وَالسَّفَهِ وَجَبَ عَلَى الْحَاكِمِ أَنْ يُعِيدَ الْحَجْرَ عَلَيْهِ.

Status mahjur dapat dicabut dengan adanya tanda-tanda kesembuhan tanpa keputusan hakim. Baik perwalian atas orang safih itu berada di tangan ayahnya atau selainnya. Berbeda dengan anak kecil, karena penetapan awal status mahjur pada orang safih tidak sah kecuali dengan keputusan hakim, maka pencabutannya pun tidak sah kecuali dengan keputusan hakim. Sedangkan penetapan awal status mahjur pada anak kecil dapat berlaku tanpa keputusan hakim, sehingga boleh dicabut oleh ayahnya tanpa keputusan hakim. Maka jika hakim mencabut status mahjur karena ia kembali ke keadaan dewasa (rushd), maka ia boleh bertindak (mengelola hartanya). Namun jika ia kembali ke keadaan boros dan safih, maka wajib bagi hakim untuk menetapkan kembali status mahjurnya.

فَإِنْ عَادَ إِلَى حَالِ الرُّشْدِ رَفَعَ الْحَجْرَ عَنْهُ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْحُكْمُ كُلَّمَا عَادَ إِلَى السَّفَهِ حُجِرَ عَلَيْهِ وَإِنْ عَادَ إِلَى الرُّشْدِ فُكَّ الْحَجْرُ عَنْهُ لِأَنَّ كُلَّ عِلَّةٍ أَوْجَبَتْ حُكْمًا اقْتَضَى أَنْ يَكُونَ زَوَالُ تِلْكَ الْعِلَّةِ مُوجِبًا لِزَوَالِ ذَلِكَ الحكم.

Jika ia kembali ke keadaan dewasa (rushd), maka status mahjurnya dicabut. Berdasarkan hal ini, setiap kali ia kembali ke keadaan safih, ia ditetapkan sebagai mahjur, dan jika ia kembali ke keadaan dewasa, status mahjurnya dicabut, karena setiap sebab yang menimbulkan suatu hukum, maka hilangnya sebab itu menuntut hilangnya hukum tersebut.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ قِيلَ فَلِمَ أَجَزْتَ إِطْلَاقَهُ عَنْهُ وَهُوَ إِتْلَافُ مَالٍ؟ قِيلَ لَيْسَ بِإِتْلَاف مَالٍ أَلَا تَرَى أَنَّهُ يَمُوتُ فَلَا تُورثُ عَنْهُ امْرَأَتُهُ وَلَا تَحِلُّ لَهُ فِيهَا هِبَةٌ وَلَا بَيْعَةٌ وَيُورَثُ وَيُبَاعُ عَلَيْهِ وَيُمْلَكُ ثَمَنُهُ فَالْعَبْدُ مَالٌ بِكُلِّ حَالٍ وَالْمَرْأَةُ لَيْسَتْ بِمَالٍ أَلَا تَرَى أَنَّ الْعَبْدَ يُؤْذَنُ لَهُ فِي التِّجَارَةِ وَالنِّكَاحِ فَيَكُونَ لَهُ الطَّلَاقُ وَالْإِمْسَاكُ دُونَ سَيِّدِهِ وَلِمَالِكِهِ أَخْذُ مَالِهِ كُلِّهِ دُونَهُ “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika ada yang bertanya, ‘Mengapa Anda membolehkan talak darinya (suami yang safīh) padahal itu merupakan pembinasaan harta?’ Dijawab: Itu bukanlah pembinasaan harta. Tidakkah engkau melihat bahwa jika ia meninggal, istrinya tidak mewarisinya, tidak halal baginya untuk menerima hibah atau jual beli darinya, namun ia (suami) dapat diwarisi, dijual hartanya, dan harga jualnya dimiliki. Maka, budak adalah harta dalam segala keadaan, sedangkan perempuan bukanlah harta. Tidakkah engkau melihat bahwa budak diizinkan berdagang dan menikah, sehingga ia memiliki hak talak dan menahan (istri) tanpa campur tangan tuannya, sedangkan pemiliknya berhak mengambil seluruh hartanya tanpa dirinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. طَلَاقُ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ بِالسَّفَهِ وَاقِعٌ وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan (oleh Imam Syafi‘i). Talak orang yang dibatasi haknya karena safīh tetap sah, dan ini adalah pendapat jumhur fuqahā’.

وَقَالَ ابْنُ أَبِي لَيْلَى وأبو يوسف طَلَاقُهُ لَا يَقَعُ لِأَنَّ الطَّلَاقَ إِتْلَافُ مَالٍ كَالْعِتْقِ لِأَنَّ الْبُضْعَ يُمْلَكُ بِالْمَالِ وَيَزُولُ عَنْهُ الْمِلْكُ بِالْمَالِ فَلَمَّا لَمْ يَصِحَّ عِتْقُهُ وَجَبَ أَنْ لَا يَصِحَّ طَلَاقُهُ، وَلِأَنَّ شَاهِدَيْنِ لَوْ شَهِدَا عَلَى رَجُلٍ بِالطَّلَاقِ الثَّلَاثِ وَمَضَى الْحُكْمُ بِشَهَادَتِهِمَا فَرَجَعَ الشَّاهِدَانِ لَزِمَهُمَا مَهْرُ الْمِثْلِ.

Ibnu Abī Lailā dan Abu Yusuf berkata: Talaknya tidak jatuh (tidak sah), karena talak adalah pembinasaan harta seperti halnya memerdekakan budak, sebab hubungan suami-istri dimiliki dengan harta dan kepemilikan itu hilang juga dengan harta. Maka, ketika tidak sah memerdekakan budak, seharusnya tidak sah pula talaknya. Dan karena jika dua orang saksi bersaksi bahwa seorang laki-laki telah mentalak tiga kali, lalu keputusan dijatuhkan berdasarkan kesaksian mereka, kemudian kedua saksi itu menarik kembali kesaksiannya, maka keduanya wajib membayar mahar mitsil.

فَلَوْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ إِتْلَافَ مَالٍ مَا لَزِمَهُمَا غُرْمُ الْمَالِ. وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ} [البقرة: 230] وقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الطَّلَاقُ لِمَنْ أَخَذَ بِالسَّاقِ “.

Maka, seandainya hal itu bukan merupakan pembinasaan harta, tentu keduanya tidak diwajibkan membayar ganti rugi harta. Dalil kami adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: {Jika dia menceraikannya (untuk ketiga kalinya), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum menikah dengan suami yang lain} [al-Baqarah: 230], dan sabda Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam: “Talak adalah hak bagi orang yang memegang kendali (suami).”

وَلِأَنَّ السَّفِيهَ أَحْسَنُ حَالًا مِنَ الْعَبْدِ لِحُرِّيَّتِهِ وَثُبُوتِ مِلْكِهِ فَلَمَّا صَحَّ طَلَاقُ الْعَبْدِ فَأَوْلَى أَنْ يَصِحَّ طَلَاقُ السَّفِيهِ.

Dan karena orang safīh (bodoh dalam mengelola harta) keadaannya lebih baik daripada budak karena ia merdeka dan kepemilikannya tetap, maka ketika talak budak sah, lebih utama lagi talak safīh juga sah.

وَلِأَنَّهُ يَسْتَفِيدُ بِطَلَاقِهِ سُقُوطَ النَّفَقَةِ إِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ وَنِصْفَ الْمَهْرِ إِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُمْنَعَ مِنْ هَذِهِ الْفَائِدَةِ وَيُجْبَرَ عَلَى التزام النفقة.

Dan karena dengan talaknya, ia memperoleh manfaat berupa gugurnya kewajiban nafkah jika talak terjadi setelah dukhūl (hubungan suami istri), dan setengah mahar jika sebelum dukhūl. Maka, tidak boleh ia dihalangi dari manfaat ini dan dipaksa untuk tetap menanggung nafkah.

وَقَوْلُهُمْ إِنَّهُ مَالٌ كَالْعَبْدِ غَلَطٌ لِأَنَّ الْعَبْدَ يصح بيعه ورهنه ويورث عنه ولا يصح ذلك في الزوجة.

Dan pernyataan mereka bahwa istri adalah harta seperti budak adalah keliru, karena budak sah untuk dijual, digadaikan, dan diwariskan, sedangkan itu semua tidak berlaku pada istri.

وَغُرْمُ الشَّاهِدَيْنِ الْمَهْرَ إِنَّمَا كَانَ لِأَجْلِ مَا أَوْقَعَا مِنَ الْحَيْلُولَةِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ وَتَفْوِيتِ الِاسْتِمْتَاعِ عليهما وإن لم يتلقا بِشَهَادَتِهِمَا مَالًا.

Dan kewajiban membayar mahar oleh dua saksi itu hanyalah karena mereka menyebabkan terhalangnya hubungan antara suami istri dan hilangnya kesempatan menikmati (istri) bagi suami, meskipun mereka tidak menerima harta dengan kesaksian mereka.

كَمَا لَوْ شَهِدَا بِمَا أَوْجَبَ الْقَوْدَ لَزِمَتْهُمَا الدِّيَةُ وَإِنْ لَمْ يَكُنِ الْحَقُّ مالا. والله أعلم بالصواب.

Sebagaimana jika mereka bersaksi atas sesuatu yang mewajibkan qawad (qishāsh), maka keduanya wajib membayar diyat, meskipun hak tersebut bukan berupa harta. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(كِتَابُ الصُّلْحِ)

(Kitab al-Ṣulḥ)

أُمْلِيَ عَلَيَّ كِتَابُ أَبِي يُوسُفَ وَمَا دَخَلَ فِيهِ مِنَ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى.

Kepadaku dibacakan Kitab Abū Yusuf dan apa yang terdapat di dalamnya berupa perbedaan pendapat antara Abū Ḥanīfah dan Ibnu Abī Lailā.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu bahwa ia berkata, ‘Ṣulḥ (perdamaian) itu boleh di antara kaum Muslimin kecuali ṣulḥ yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.'”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالْأَصْلُ فِي جَوَازِ الصُّلْحِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْأَثَرُ وَالِاتِّفَاقُ فَأَمَّا الْكِتَابُ فَقَوْلُهُ تَعَالَى: {لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ} [النساء: 114] .

Al-Mawardi berkata: Dasar kebolehan ṣulḥ adalah al-Kitāb, al-Sunnah, al-Atsar, dan ijmā‘. Adapun dalil dari al-Kitāb adalah firman Allah Ta‘ala: {Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali orang yang menyuruh (manusia) bersedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan ishlāḥ (perdamaian) di antara manusia} [an-Nisā’: 114].

وَقَالَ تَعَالَى: {وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا} [النساء: 128] الْآيَةَ.

Dan firman Allah Ta‘ala: {Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan berlaku nusyūz atau berpaling darinya, maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk mengadakan ishlāḥ (perdamaian) di antara mereka berdua} [an-Nisā’: 128].

وَقَالَ تَعَالَى: {وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا} [النساء: 35] .

Dan firman Allah Ta‘ala: {Dan jika kalian khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan; jika keduanya bermaksud ishlāḥ (perdamaian), niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya} [an-Nisā’: 35].

وَأَمَّا السُّنَّةُ فَمَا رَوَى عَبْدُ اللَّهِ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله: ” يَا أَبَا أَيُّوبَ أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى صَدَقَةٍ يَرْضَى اللَّهُ مَوْضِعَهَا. قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: تَسْعَى فِي صُلْحٍ بَيْنَ اثْنَيْنِ إِذَا تَفَاسَدُوا وَتُقَارِبُ بَيْنَهُمْ إِذَا تَبَاعَدُوا “.

Adapun dalil dari al-Sunnah adalah riwayat dari ‘Abdullah dari Abū Ayyūb al-Anṣārī, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Wahai Abū Ayyūb, maukah aku tunjukkan kepadamu sedekah yang Allah ridai tempatnya?” Aku menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Engkau berusaha melakukan ṣulḥ (perdamaian) antara dua orang yang berselisih, dan mendekatkan mereka jika mereka saling menjauh.”

وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا “.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Sulh (perdamaian) itu boleh di antara kaum Muslimin, kecuali sulh yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.”

وَرَوَى كَثِيرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: قَالَ لِبِلَالِ بْنِ الْحَرْثِ. ” اعْلَمْ أَنَّ الصُّلْحَ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا “.

Diriwayatkan dari Katsir bin ‘Abdillah bin ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi ﷺ bersabda kepada Bilal bin al-Harits: “Ketahuilah bahwa sulh itu boleh di antara kaum Muslimin, kecuali sulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum Muslimin terikat pada syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَرَّ بِكَعْبِ بْنِ مَالِكٍ وَهُوَ يُلَازِمُ غَرِيمًا لَهُ يُقَالُ لَهُ: ابْنُ أَبِي حَدْرَدٍ وَقَدِ ارْتَفَعَتْ بَيْنَهُمَا خُصُومَةٌ، فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِكَعْبٍ ” خُذْ مِنْهُ الشَّطْرَ وَدَعِ الشَّطْرَ.

Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ melewati Ka‘b bin Malik yang sedang menuntut piutang dari seseorang yang bernama Ibnu Abi Hadrad, dan telah terjadi perselisihan sengit di antara keduanya. Maka Nabi ﷺ berkata kepada Ka‘b: “Ambillah separuh darinya dan tinggalkan separuhnya.”

وَأَمَّا الْأَثَرُ فَمَا رَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّهُ قَالَ فِي عَهْدِهِ إِلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ: الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا.

Adapun atsar, sebagaimana yang diriwayatkan asy-Syafi‘i dari ‘Umar ra., bahwa ia berkata dalam surat wasiatnya kepada Abu Musa al-Asy‘ari: Sulh itu boleh di antara kaum Muslimin, kecuali sulh yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

وَرَوِيَ أَنَّ أَكْثَرَ قَضَايَا عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَتْ صُلْحًا.

Diriwayatkan bahwa kebanyakan keputusan hukum ‘Utsman ra. adalah dengan sulh.

وَقَدْ قِيلَ فِي تَأْوِيلِ قَوْله تَعَالَى: {وَآتَيْنَاهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْلَ الْخِطَابِ} [ص: 20] ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ:

Telah dikatakan dalam penafsiran firman Allah Ta‘ala: {Dan Kami anugerahkan kepadanya hikmah dan pemisahan dalam berbicara} [Shad: 20], terdapat tiga penafsiran:

أَحَدُهَا: الصُّلْحُ بَيْنَ الْخُصُومِ.

Pertama: sulh di antara para pihak yang berselisih.

وَالثَّانِي: فَصْلُ الْحُكْمِ بِنَفْسِهِ مِنْ غَيْرِ اسْتِخْلَافٍ فِيهِ.

Kedua: memutuskan perkara sendiri tanpa mewakilkan kepada orang lain.

وَالثَّالِثُ: سُرْعَةُ الْقَضَاءِ وَبَتِّ الْحُكْمِ.

Ketiga: cepat dalam memutus perkara dan menetapkan hukum.

وَأَمَّا الِاتِّفَاقُ فَهُوَ إِجْمَاعُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى جَوَازِ الصُّلْحِ وَإِبَاحَتِهِ بِالشَّرْعِ.

Adapun kesepakatan (ijmā‘), maka itu adalah ijmā‘ kaum Muslimin atas bolehnya sulh dan kebolehannya secara syar‘i.

وَإِنَّمَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ هُوَ: رُخْصَةٌ لِاسْتِثْنَائِهِ مِنْ جُمْلَةٍ مَحْظُورَةٍ. أَوْ هُوَ: مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ لِكَوْنِهِ أَصْلًا بِذَاتِهِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Para ulama kami berbeda pendapat, apakah sulh itu: keringanan karena dikecualikan dari perkara yang asalnya terlarang, ataukah dianjurkan karena ia merupakan asal tersendiri? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ ظَاهِرُ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّهُ رُخْصَةٌ لِأَنَّهُ فَرْعٌ لِأُصُولٍ يُعْتَبَرُ بِهَا فِي صِحَّتِهِ وَفَسَادِهِ وَلَيْسَ بِأَصْلٍ بِذَاتِهِ فَصَارَ لِاعْتِبَارِهِ بِغَيْرِ رُخْصَةٍ مُسْتَثْنَاةٍ مِنْ جُمْلَةٍ مَحْظُورَةٍ.

Pertama: dan ini adalah pendapat yang jelas dari Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa sulh adalah keringanan, karena ia merupakan cabang dari beberapa pokok yang dijadikan tolok ukur dalam keabsahan dan kebatilannya, dan bukan merupakan asal tersendiri. Maka, karena ia dipertimbangkan dengan selainnya, ia menjadi keringanan yang dikecualikan dari perkara yang asalnya terlarang.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَإِلَيْهِ ذَهَبَ أَبُو الطَّيِّبِ بْنُ سَلَمَةَ أَنَّهُ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ لِكَوْنِهِ أَصْلًا بِذَاتِهِ قَدْ جَاءَ الشَّرْعُ بِهِ وَجَرَى الْعَمَلُ عَلَيْهِ وَقَدْ أَشَارَ إِلَى الْقَوْلِ بِهِ أَبُو حَامِدٍ.

Pendapat kedua, yang dianut oleh Abu Thayyib bin Salamah, bahwa sulh itu dianjurkan karena ia merupakan asal tersendiri yang disyariatkan dan telah diamalkan, dan Abu Hamid juga mengisyaratkan kepada pendapat ini.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا قَوْلُهُ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ.

Adapun sabda beliau: “Sulh itu boleh di antara kaum Muslimin, kecuali sulh yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal,” para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini.

هَلْ هُوَ عَامٌّ أَوْ مُحْمَلٌ عَلَى وجهين:

Apakah ini bersifat umum atau dibawa pada dua kemungkinan:

أحدهما: أنه محمل وَهُوَ قَوْلُ مَنْ جَعَلَهُ مُعْتَبَرًا بِغَيْرِهِ وَلَمْ يَجْعَلْهُ أَصْلًا بِذَاتِهِ.

Pertama: bahwa itu bersifat khusus, yaitu pendapat orang yang menganggapnya dipertimbangkan dengan selainnya dan tidak menjadikannya sebagai asal tersendiri.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ عَامٌّ وَهَذَا قَوْلُ مَنْ جَعَلَهُ أَصْلًا بِذَاتِهِ.

Kedua: bahwa itu bersifat umum, dan ini adalah pendapat orang yang menganggapnya sebagai asal tersendiri.

فَأَمَّا الصُّلْحُ الَّذِي يُحَرِّمُ الْحَلَالَ فَهُوَ: أَنْ يُصَالِحَهُ عَلَى دَارٍ عَلَى أَنْ لَا يَسْكُنَهَا، أَوْ يُصَالِحَ زَوْجَتَهُ عَلَى أَنْ لَا يَتَزَوَّجَ عَلَيْهَا، أَوْ عَلَى أَنْ لَا يُطَلِّقَهَا فَيُحَرِّمُ عَلَى نَفْسِهِ بِالصُّلْحِ مَا أَحَلَّهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ مِنَ السُّكْنَى وَالنِّكَاحِ وَالطَّلَاقِ.

Adapun sulh yang mengharamkan yang halal adalah: seseorang berdamai dengan orang lain atas sebuah rumah dengan syarat tidak boleh menempatinya, atau berdamai dengan istrinya dengan syarat tidak menikah lagi atasnya, atau dengan syarat tidak menceraikannya, sehingga ia mengharamkan atas dirinya melalui sulh sesuatu yang telah Allah halalkan baginya berupa tempat tinggal, pernikahan, dan talak.

وَأَمَّا الصُّلْحُ الَّذِي يُحِلُّ الْحَرَامَ فَهُوَ: أَنْ يُصَالِحَهُ مِنَ الدَّرَاهِمِ عَلَى أَكْثَرَ مِنْهَا، أَوْ عَلَى دَنَانِيرَ مُؤَجَّلَةٍ أَوْ عَلَى خَمْرٍ أَوْ خِنْزِيرٍ.

Adapun sulh yang menghalalkan yang haram adalah: seseorang berdamai dengan orang lain atas sejumlah dirham dengan syarat lebih banyak dari jumlahnya, atau dengan dinar yang ditangguhkan, atau atas khamar atau babi.

فَيَسْتَحِلُّ بِالصُّلْحِ مَا حُرِّمَ عَلَيْهِ مِنَ الربا والخمر والخنزير.

Maka dengan sulh itu ia menghalalkan apa yang diharamkan atasnya berupa riba, khamar, dan babi.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَمَا جَازَ فِي الْبَيْعِ جَازَ فِي الصُّلْحِ وَمَا بَطَلَ فِيهِ بَطَلَ فِي الصُّلْحِ “.

Asy-Syafi‘i ra. berkata: “Apa yang boleh dalam jual beli, maka boleh pula dalam sulh, dan apa yang batal dalam jual beli, maka batal pula dalam sulh.”

قَالَ الماوردي: وهذا صَحِيحٌ وَجُمْلَةُ الصُّلْحِ ضَرْبَانِ: مُعَاوَضَةٌ، وَحَطِيطَةٌ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar. Secara umum, sulh itu ada dua macam: mu‘awadhah (pertukaran) dan hathithah (pengurangan).

فَأَمَّا الْمُعَاوَضَةُ: فَهُوَ أَنْ يُصَالِحَ عَلَى حَقِّهِ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ، مِثْلَ أَنْ يُصَالِحَ عَلَى دَرَاهِمَ بِدَنَانِيرَ أَوْ دَنَانِيرَ بِدَرَاهِمَ، فَهَذَا بَيْعٌ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمٌ فَإِنْ كَانَ مِمَّا يَدْخُلُهُ الرِّبَا كَالصُّلْحِ عَلَى الدَّرَاهِمِ بِالدَّنَانِيرِ أَوْ عَلَى الْبُرِّ بِالشَّعِيرِ لَزِمَ فِيهِ الْقَبْضُ قَبْلَ الِافْتِرَاقِ وَدَخَلَهُ خِيَارُ الْمَجْلِسِ دُونَ خِيَارِ الشَّرْطِ.

Adapun mu‘āwaḍah adalah seseorang melakukan ṣulḥ atas haknya dengan sesuatu yang bukan sejenis dengannya, seperti melakukan ṣulḥ atas dirham dengan dinar atau dinar dengan dirham. Ini adalah jual beli yang berlaku padanya hukum-hukum jual beli. Jika termasuk sesuatu yang terkena riba, seperti ṣulḥ atas dirham dengan dinar atau atas gandum dengan jelai, maka wajib dilakukan qabḍ (serah terima) sebelum berpisah, dan berlaku padanya khiyār majlis tanpa khiyār syarṭ.

وَإِنْ كَانَ مما لا ربا فيه جاز في الِافْتِرَاقُ قَبْلَ الْقَبْضِ وَثَبَتَ فِيهِ خِيَارُ الْمَجْلِسِ وَخِيَارُ الثَّلَاثِ. وَصَحَّ فِيهِ دُخُولُ الْأَجَلِ وَأَخْذُ الرَّهْنِ فِيهِ فَيُعْتَبَرُ فِي صِحَّتِهِ وَفَسَادِهِ مَا يُعْتَبَرُ فِي صِحَّةِ الْبَيْعِ وَفَسَادِهِ وَهُوَ الَّذِي بَدَأَ بِهِ الشَّافِعِيُّ.

Dan jika termasuk sesuatu yang tidak terkena riba, maka boleh berpisah sebelum qabḍ, dan berlaku padanya khiyār majlis dan khiyār tiga hari. Diperbolehkan pula adanya tempo (ajal) dan pengambilan rahn (jaminan) di dalamnya. Maka dalam keabsahan dan kebatalannya, berlaku ketentuan yang sama dengan keabsahan dan kebatalan jual beli, dan inilah yang dimulai oleh Imam Syafi‘i.

وَأَمَّا الْحَطِيطَةُ فَهُوَ أَنْ يُصَالِحَهُ مِنْ حَقِّهِ عَلَى بَعْضِهِ وَذَلِكَ ضَرْبَانِ:

Adapun ḥaṭīṭah adalah seseorang melakukan ṣulḥ atas sebagian haknya dari keseluruhan, dan hal itu terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْحَقُّ فِي الذِّمَّةِ.

Pertama: Hak tersebut berada dalam tanggungan (dzimmah).

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عَيْنًا قَائِمَةً.

Kedua: Hak tersebut berupa barang tertentu yang ada.

فَإِنْ كَانَ الْحَقُّ فِي الذِّمَّةِ فَصُورَتُهُ: أَنْ يَدَّعِيَ عَلَيْهِ مِائَةَ دِينَارٍ فَيَعْتَرِفُ بِهَا فَيُصَالِحَهُ مِنْهَا عَلَى خَمْسِينَ دِينَارًا فَهَذَا يَكُونُ إِبْرَاءً.

Jika hak tersebut berada dalam tanggungan, maka contohnya: seseorang menuntut seratus dinar kepada orang lain, lalu orang itu mengakuinya, kemudian dilakukan ṣulḥ atas lima puluh dinar dari jumlah tersebut, maka ini termasuk ibra’ (pembebasan utang).

فَإِنْ حَطَّ الْبَاقِيَ بَعْدَ الْخَمْسِينَ بِلَفْظِ الْإِبْرَاءِ فَقَالَ قَدْ صَالَحْتُكَ عَلَى خَمْسِينَ دِينَارًا وَأَبْرَأْتُكَ مِنَ الْبَاقِي صَحَّ. إِلَّا أَنْ يَخْرُجَ الْإِبْرَاءُ مَخْرَجَ الشَّرْطِ فَيَقُولُ: إِنْ أَعْطَيْتَنِي خَمْسِينَ دِينَارًا فَقَدْ أَبْرَأْتُكَ مِنَ الْبَاقِي. أَوْ يَقُولَ قَدْ أَبْرَأْتُكَ مِنْ خَمْسِينَ دِينَارًا إِنْ دَفَعْتَ إِلَيَّ خَمْسِينَ دِينَارًا فَلَا يَصِحُّ هَذَا الْإِبْرَاءُ.

Jika sisa setelah lima puluh dinar itu dihapuskan dengan lafaz ibra’, misalnya ia berkata, “Aku telah melakukan ṣulḥ denganmu atas lima puluh dinar dan aku bebaskan engkau dari sisanya,” maka itu sah, kecuali jika ibra’ tersebut dikaitkan dengan syarat, seperti ia berkata, “Jika engkau memberiku lima puluh dinar, maka aku bebaskan engkau dari sisanya,” atau ia berkata, “Aku bebaskan engkau dari lima puluh dinar jika engkau membayar kepadaku lima puluh dinar,” maka ibra’ seperti ini tidak sah.

وَكَذَلِكَ لَوْ قَالَ إِنْ أَقْرَرْتَ لِي بِحَقِّي فَقَدْ أَبْرَأْتُكَ مِنْ خَمْسِينَ دِينَارًا فَأَقَرَّ لَمْ يُبْرَأْ مِنْ شَيْءٍ لِأَنَّ تَعْلِيقَ الْبَرَاءَةِ بِشَرْطٍ لَا يَصِحُّ.

Demikian pula jika ia berkata, “Jika engkau mengakui hakku, maka aku bebaskan engkau dari lima puluh dinar,” lalu orang itu mengakuinya, maka ia tidak terbebas dari apa pun, karena menggantungkan pembebasan dengan syarat tidak sah.

فَإِنْ حَطَّ الْبَاقِيَ بِغَيْرِ لَفْظِ الْإِبْرَاءِ فَقَالَ: قَدْ صَالَحْتُكَ مِنَ الْمِائَةِ عَلَى خَمْسِينَ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika sisa tersebut dihapuskan tanpa lafaz ibra’, misalnya ia berkata, “Aku telah melakukan ṣulḥ denganmu dari seratus atas lima puluh,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قِيَاسُ قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لَا يَصِحُّ.

Pertama: Menurut qiyās pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, tidak sah.

وَالثَّانِي: وَهُوَ قِيَاسُ قَوْلِ أَبِي الطَّيِّبِ بْنِ سَلَمَةَ يَصِحُّ.

Kedua: Menurut qiyās pendapat Abu Thayyib bin Salamah, sah.

وتوجيه هذين القولين مَبْنِيٌّ عَلَى مَا نَذْكُرُهُ عَنْهُمَا فِيمَا بَعْدُ. وَإِنْ كَانَ الْحَقُّ عَيْنًا قَائِمَةً فَصُورَتُهُ:

Penjelasan kedua pendapat ini akan dijelaskan kemudian. Jika hak tersebut berupa barang tertentu yang ada, maka contohnya:

أَنْ يَدَّعِيَ دَارًا فِي يَدِ رَجُلٍ فَيَعْتَرِفَ لَهُ بِهَا وَيُصَالِحَهُ مِنْهَا عَلَى نِصْفِهَا فَهَذَا يَكُونُ هِبَةً.

Seseorang menuntut sebuah rumah yang ada di tangan seseorang, lalu orang itu mengakuinya, kemudian dilakukan ṣulḥ atas setengah dari rumah tersebut, maka ini termasuk hibah (pemberian).

فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ بِلَفْظِ الْهِبَةِ فَقَالَ بَعْدَ أَنْ أَقَرَّ لَهُ بِالدَّارِ قَدْ وَهَبْتُ لَكَ نِصْفَهَا صَحَّ. وَاعْتُبِرَ فِيهِ مَا يُعْتَبَرُ فِي صِحَّةِ الْهِبَةِ مِنَ الْقَبُولِ وَمُرُورِ زَمَانِ الْقَبْضِ. وَهَلْ يَحْتَاجُ إِلَى إِذْنِهِ فِي الْقَبْضِ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: وَإِنْ لَمْ يَذْكُرْهُ بِلَفْظِ الْهِبَةِ بَلْ قَالَ: صَالَحْتُكَ مِنْ هَذِهِ الدَّارِ عَلَى نِصْفِهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika hal itu dilakukan dengan lafaz hibah, misalnya setelah mengakui kepemilikan rumah ia berkata, “Aku hibahkan kepadamu setengahnya,” maka itu sah, dan berlaku padanya ketentuan yang berlaku dalam keabsahan hibah, yaitu adanya penerimaan dan berlalu waktu qabḍ (serah terima). Apakah membutuhkan izinnya dalam qabḍ? Ada dua pendapat. Jika tidak disebutkan dengan lafaz hibah, tetapi ia berkata, “Aku melakukan ṣulḥ denganmu dari rumah ini atas setengahnya,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ نَصُّ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لأنه مَالِكٌ لِجَمِيعِ الدَّارِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُصَالِحَهُ عَلَى بَعْضِهَا كَمَا لَا يَجُوزُ فِيمَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ أَنْ يُصَالِحَهُ عَلَى سُكْنَاهَا.

Pertama: Menurut nash pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, tidak boleh, karena ia adalah pemilik seluruh rumah, maka tidak boleh melakukan ṣulḥ atas sebagian darinya, sebagaimana tidak boleh menurut nash Imam Syafi‘i melakukan ṣulḥ atas hak tinggal di rumah tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الطِّيِّبِ بْنِ سَلَمَةَ أَنَّهُ يَجُوزُ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُصَالِحَهُ عَلَى مَا فِي الذِّمَّةِ عَلَى بَعْضِهِ جَازَ أَنْ يُصَالِحَهُ عَنِ الْأَعْيَانِ عَلَى بَعْضِهَا. وَمِنْ هَذَيْنِ يُخَرَّجُ الْوَجْهَانِ الْأَوَّلَانِ وَكُلُّ ذَلِكَ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ الْمَذْهَبَيْنِ فِي الصُّلْحِ هَلْ هُوَ فرع لغيره أو أصل بذاته.

Pendapat kedua: Menurut pendapat Abu Thayyib bin Salamah, boleh, karena sebagaimana boleh melakukan ṣulḥ atas hak dalam dzimmah dengan sebagian darinya, maka boleh pula melakukan ṣulḥ atas barang tertentu dengan sebagian darinya. Dari dua pendapat ini, keluar pula dua pendapat sebelumnya, dan semua itu didasarkan pada perbedaan dua mazhab dalam masalah ṣulḥ, apakah ia cabang dari akad lain atau berdiri sendiri sebagai akad tersendiri.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ صَالَحَ رَجُلٌ أَخَاهُ مِنْ مُوَرِّثِهِ فَإِنْ عَرَفَا مَا صَالَحَهُ عَلَيْهِ بِشَيْءٍ يَجُوزُ فِي الْبَيْعِ جَازَ “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang melakukan ṣulḥ dengan saudaranya dari harta warisan, lalu keduanya mengetahui apa yang menjadi objek ṣulḥ berupa sesuatu yang sah dalam jual beli, maka ṣulḥ tersebut sah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.

وَمَقْصُودُ الشَّافِعِيِّ بِهَا تَفْسِيرُ قَوْلِهِ فَمَا جَازَ فِي الْبَيْعِ جَازَ فِي الصُّلْحِ وَمَا بَطَلَ فِيهِ بَطَلَ فِي الصُّلْحِ، فَإِذَا وَرِثَ أَخَوَانِ تَرِكَةً صَالَحَ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ عَلَى مَالٍ مِنْ حَقِّهِ لِتَصِيرَ لَهُ التَّرِكَةُ كُلُّهَا بِإِرْثِهِ وَصُلْحِهِ فَهَذَا فِي حُكْمِ الْبَيْعِ لِأَنَّهُ يَصِيرُ مُشْتَرِيًا مِنْ أَخِيهِ نَصِيبَهُ مِنَ الْمِيرَاثِ فَيَصِحُّ بِثَلَاثَةِ شُرُوطٍ يُعْتَبَرُ بِهَا صِحَّةُ الْبَيْعِ:

Maksud Imam Syafi‘i dengan pernyataannya tersebut adalah penjelasan dari ucapannya: “Apa yang boleh dalam jual beli, maka boleh pula dalam shulh (perdamaian), dan apa yang batal dalam jual beli, maka batal pula dalam shulh.” Maka, jika dua orang bersaudara mewarisi suatu harta warisan, lalu salah satu dari keduanya melakukan shulh dengan saudaranya atas sebagian harta dari haknya agar seluruh warisan itu menjadi miliknya melalui warisan dan shulh, maka ini hukumnya seperti jual beli. Karena ia menjadi pembeli bagian warisan saudaranya, sehingga sah dengan tiga syarat yang juga menjadi syarat sahnya jual beli:

أَحَدُهَا: مَعْرِفَةُ التَّرِكَةِ بِالْمُشَاهَدَةِ لَهَا وَالْإِحَاطَةِ بِهَا.

Pertama: Mengetahui harta warisan dengan melihat dan menguasainya.

وَالثَّانِي: مَعْرِفَةُ قَدْرِ مَا يَسْتَحِقُّهُ الْمُصَالِحُ بِالْإِرْثِ مِنْهَا.

Kedua: Mengetahui kadar bagian yang menjadi hak pihak yang melakukan shulh dari warisan tersebut.

وَالثَّالِثُ: كَوْنُ الْعِوَضِ مَعْلُومًا تَنْتَفِي الْجَهَالَةُ عَنْهُ.

Ketiga: Imbalan (pengganti) harus diketahui secara jelas sehingga tidak ada unsur ketidakjelasan (jahalah) padanya.

فَإِنْ لَمْ يُشَاهِدِ التَّرِكَةَ أَوْ جَهِلَا حِصَّةَ الْمُصَالِحِ أَوْ قَدْرَ الْعِوَضِ بَطَلَ الصُّلْحُ.

Jika warisan tidak disaksikan, atau bagian pihak yang melakukan shulh tidak diketahui, atau kadar imbalannya tidak diketahui, maka shulh menjadi batal.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ ادَّعَى رَجُلٌ عَلَى رَجُلٍ حَقًّا فَصَالَحَهُ مِنْ دَعْوَاهُ وَهُوَ مُنْكِرٌ فَالصُّلْحُ بَاطِلٌ وَيَرْجِعُ الْمُدَّعِي عَلَى دَعْوَاهُ وَيَأْخُذُ مِنْهُ صَاحِبُهُ مَا أعطاه “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menuntut hak kepada orang lain, lalu ia melakukan shulh atas tuntutannya itu, padahal yang dituntut mengingkarinya, maka shulh tersebut batal. Penuntut dapat kembali kepada tuntutannya dan mengambil kembali apa yang telah diberikan oleh pihak lawan.”

قال الماوردي: وهذا كما قال بالصلح عَلَى الْإِنْكَارِ بَاطِلٌ حَتَّى يُصَالِحَ بَعْدَ الْإِقْرَارِ بِالدَّعْوَى.

Al-Mawardi berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa shulh atas dasar pengingkaran adalah batal, hingga shulh dilakukan setelah adanya pengakuan terhadap tuntutan.

وَقَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ يَجُوزُ الصُّلْحُ مَعَ الْإِنْكَارِ اسْتِدْلَالًا بِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَالصُّلْحُ خَيْرٌ} [النساء: 128] وَلِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” كُلُّ مَا وَقَى الْمَرْءُ بِهِ عِرْضَهُ فَهُوَ صَدَقَةٌ “.

Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa shulh boleh dilakukan meskipun ada pengingkaran, dengan dalil keumuman firman Allah Ta‘ala: {Dan perdamaian itu lebih baik} [an-Nisa: 128], serta riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Segala sesuatu yang digunakan seseorang untuk menjaga kehormatannya adalah sedekah.”

وَالصَّدَقَةُ تُسْتَحَبُّ لِبَاذِلِهَا وَتَحِلُّ لِآخِذِهَا فَهَكَذَا الصُّلْحُ. وَلِأَنَّهُ بَذَلَ مَالًا فِي الصُّلْحِ مُخْتَارًا فَصَحَّ كَالْمُقِرِّ بِهِ. وَلِأَنَّهُ مُدَّعٍ لَمْ يُعْلَمْ كَذِبُهُ فَصَحَّ صُلْحُهُ كَالْمُقَرِّ لَهُ.

Sedekah dianjurkan bagi yang memberikannya dan halal bagi yang menerimanya, demikian pula shulh. Karena ia telah memberikan harta dalam shulh secara sukarela, maka sah seperti orang yang mengakuinya. Dan karena ia adalah pihak yang menuntut yang belum diketahui kebohongannya, maka sah shulhnya sebagaimana sahnya shulh bagi orang yang diakui haknya.

وَلِأَنَّ اخْتِلَافَ الْأَسَامِي يُوجِبُ اخْتِلَافَ الْمَعَانِي، فَلَمَّا اخْتَصَّ الصُّلْحُ بِاسْمٍ غَيْرِ الْبَيْعِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُخَالِفًا لِحُكْمِ الْبَيْعِ وَلَوْ كَانَ لَا يَجُوزُ إِلَّا بَعْدَ الْإِقْرَارِ لَكَانَ بَيْعًا مَحْضًا وَلَمْ يَكُنْ لِاخْتِصَاصِهِ بِاسْمِ الصُّلْحِ مَعْنًى وَلِأَنَّ الِاعْتِبَارَ فِي الْأُصُولِ بِالْآخِذِ دُونَ الْبَاذِلِ. أَلَا تَرَى أَنَّ شَاهِدًا لَوْ شَهِدَ عَلَى رَجُلٍ بِعِتْقِ عَبْدِهِ فَرُدَّتْ شَهَادَتُهُ ثُمَّ ابْتَاعَهُ الشَّاهِدُ مِنْهُ حَلَّ لَهُ أَخْذُ ثَمَنِهِ لِاعْتِقَادِ إِحْلَالِهِ. وَإِنْ كَانَ الْبَاذِلُ مُعْتَقِدًا لِتَحْرِيمِهِ فَكَذَلِكَ الصُّلْحُ يَحِلُّ لِلْآخِذِ وَإِنْ كَانَ الْبَاذِلُ مُنْكِرًا.

Karena perbedaan nama menuntut adanya perbedaan makna, maka ketika shulh memiliki nama tersendiri yang berbeda dari jual beli, wajib hukumnya berbeda pula dengan hukum jual beli. Jika shulh hanya boleh dilakukan setelah adanya pengakuan, maka itu adalah jual beli murni dan tidak ada makna khusus bagi penamaan shulh. Selain itu, dalam ushul fiqh yang menjadi pertimbangan adalah pihak penerima, bukan pihak pemberi. Bukankah engkau melihat jika seorang saksi bersaksi atas seseorang bahwa ia telah memerdekakan budaknya, lalu kesaksiannya ditolak, kemudian saksi tersebut membeli budak itu darinya, maka halal baginya mengambil harganya karena ia meyakini kehalalannya, meskipun pihak pemberi meyakini keharamannya. Demikian pula shulh, halal bagi penerimanya meskipun pemberinya mengingkari.

وَلِأَنَّ فِي الْمَنْعِ مِنَ الصُّلْحِ مَعَ الْإِنْكَارِ مَنْعًا مِنَ الصُّلْحِ بِكُلِّ حَالٍ لِأَنَّهُ يُبْعِدُ الصُّلْحَ مَعَ الْإِقْرَارِ فَلَمْ يَبْقَ لَهُ مَحَلٌّ إِلَّا مَعَ الْإِنْكَارِ.

Selain itu, larangan melakukan shulh dengan pengingkaran berarti melarang shulh dalam segala keadaan, karena hal itu akan menjauhkan shulh dari pengakuan, sehingga tidak tersisa tempat bagi shulh kecuali dalam keadaan pengingkaran.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ} [البقرة: 188] وَالصُّلْحُ عَلَى الْإِنْكَارِ مِنْ أَكْلِ الْمَالِ بِالْبَاطِلِ. لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ لَهُ حَقٌّ يَجُوزُ أَنْ يُعَاوَضَ عَلَيْهِ.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil} [al-Baqarah: 188], dan shulh atas dasar pengingkaran termasuk memakan harta dengan cara yang batil, karena belum terbukti adanya hak yang boleh dijadikan objek tukar-menukar.

وَمَا رُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا “.

Dan diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Shulh itu boleh di antara kaum Muslimin, kecuali shulh yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.”

وَالصُّلْحُ عَلَى الْإِنْكَارِ مُحَرِّمٌ لِلْحَلَالِ وَمُحِلٌّ لِلْحَرَامِ لِأَنَّهُ يُحِلُّ الْمُعَاوَضَةَ عَلَى غَيْرِ حَقٍّ ثَابِتٍ وَذَلِكَ حَرَامٌ. وَيُحَرِّمُ عَلَى الْمُدَّعِي بَاقِيَ حَقِّهِ وَذَلِكَ حَلَالٌ.

Shulh atas dasar pengingkaran mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, karena ia membolehkan tukar-menukar atas sesuatu yang bukan hak yang tetap, dan itu adalah haram. Dan ia mengharamkan bagi penuntut sisa haknya, padahal itu halal.

وَلِأَنَّهُ صُلْحٌ عَلَى مُجَرَّدِ الدَّعْوَى فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بَاطِلًا كَمَا لَوِ ادَّعَى قَتْلَ عَمْدٍ فَصُولِحَ عَلَيْهِ مَعَ الْإِنْكَارِ. وَلِأَنَّهُ اعْتَاشَ عَنْ حَقٍّ لَمْ يَثْبُتْ لَهُ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَمْلِكَ عِوَضَهُ. أَصْلُهُ إِذَا ادَّعَى وَصِيَّةً فَصُولِحَ بِمَالٍ. وَلِأَنَّهُ صَالَحَ مَنْ لَمْ يَعْلَمْ صِدْقَهُ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَصِحَّ كَمَا لَوْ عَلِمَ كَذِبَهُ.

Karena hal itu merupakan shulḥ (perdamaian) atas sekadar klaim saja, maka wajib hukumnya batal, sebagaimana jika seseorang mengklaim pembunuhan sengaja lalu dilakukan shulḥ atasnya sementara pihak lain mengingkarinya. Dan karena ia mengambil manfaat dari suatu hak yang belum terbukti baginya, maka wajib ia tidak berhak atas kompensasinya. Dasarnya adalah jika seseorang mengklaim wasiat lalu dilakukan shulḥ dengan harta. Dan karena ia melakukan shulḥ dengan orang yang tidak diketahui kebenarannya, maka wajib hukumnya tidak sah, sebagaimana jika diketahui kebohongannya.

وَلِأَنَّهُ نَوْعُ مُعَاوَضَةٍ لَا يَصِحُّ مَعَ الْجَهَالَةِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَصِحَّ مَعَ الْإِنْكَارِ كَالْبَيْعِ.

Dan karena ini adalah jenis mu‘āwaḍah (pertukaran/kompensasi) yang tidak sah jika ada ketidaktahuan, maka wajib hukumnya tidak sah jika ada pengingkaran, sebagaimana dalam jual beli.

وَلِأَنَّ الصُّلْحَ لَمَّا لَمْ يَجُزْ عَلَى مَجْهُولِ الْوَصْفِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَجُوزَ عَلَى مَجْهُولِ الْعَيْنِ.

Dan karena shulḥ tidak diperbolehkan atas sesuatu yang tidak jelas sifatnya, maka lebih utama lagi tidak diperbolehkan atas sesuatu yang tidak jelas bendanya.

وَلِأَنَّ الْمَبْذُولَ بِالصُّلْحِ لا يخلو من أربعة أحوال:

Dan karena sesuatu yang diberikan dalam shulḥ tidak lepas dari empat keadaan:

[الأول] : إما أن يكون مبذولا لكف الأذى.

[pertama]: Bisa jadi diberikan untuk menahan gangguan.

[الثاني] : أو يكون مبذولا لقطع الدعوى.

[kedua]: Atau diberikan untuk menghentikan klaim.

[الثالث] : أو يكون مبذولا للإعفاء من اليمين.

[ketiga]: Atau diberikan untuk membebaskan dari sumpah.

[الرابع] : أَوْ يَكُونَ مَبْذُولًا لِلْمُعَاوَضَةِ. فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مَبْذُولًا لِدَفْعِ الْأَذَى لِأَنَّهُ مِنْ أَكْلِ الْمَالِ بِالْبَاطِلِ. وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ لِقَطْعِ الدَّعْوَى لِمَا فِيهِ مِنَ اعْتِبَارِ مَا يَمْنَعُ مِنَ الرِّبَا وَهُوَ: إِذَا كَانَ الْحَقُّ أَلْفًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُصَالِحَهُ عَلَى أَكْثَرَ مِنْهَا. وَلَوْ كَانَ دَرَاهِمَ صُولِحَ عَلَيْهَا بِدَنَانِيرَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُفَارِقَهُ قَبْلَ قَبْضِهَا وَلَوْ كَانَ لِقَطْعِ الدَّعْوَى لَجَازَ الِافْتِرَاقُ. وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ لِلْإِعْفَاءِ مِنَ الْيَمِينِ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْأَمْرَيْنِ فَثَبَتَ أَنَّهُ مَبْذُولٌ لِلْمُعَاوَضَةِ.

[keempat]: Atau diberikan sebagai kompensasi (mu‘āwaḍah). Maka tidak boleh diberikan untuk menahan gangguan karena itu termasuk memakan harta dengan cara batil. Dan tidak boleh diberikan untuk menghentikan klaim karena di dalamnya terdapat pertimbangan yang mencegah riba, yaitu: jika haknya seribu, tidak boleh melakukan shulḥ atas jumlah yang lebih banyak darinya. Dan jika haknya dirham lalu dilakukan shulḥ dengan dinar, tidak boleh berpisah sebelum menerima dinar tersebut, dan jika itu untuk menghentikan klaim, maka boleh berpisah. Dan tidak boleh diberikan untuk membebaskan dari sumpah karena dua alasan yang telah disebutkan, maka tetaplah bahwa itu diberikan sebagai kompensasi (mu‘āwaḍah).

وَالْمُعَاوَضَةُ تَصِحُّ مَعَ الْإِقْرَارِ وَتَبْطُلُ مَعَ الْإِنْكَارِ، لِأَنَّ مَا لَمْ يَجِبْ مِنَ الْحُقُوقِ لَمْ يَجُزِ الْمُعَاوَضَةُ عَلَيْهِ.

Dan mu‘āwaḍah sah dilakukan dengan pengakuan dan batal dengan pengingkaran, karena hak yang belum wajib tidak boleh dijadikan objek mu‘āwaḍah.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ [بِالْآيَةِ فَهُوَ أَنَّهَا مَخْصُوصَةٌ بِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الدَّلَائِلِ.

Adapun jawaban atas dalil mereka [dengan ayat] adalah bahwa ayat itu dikhususkan dengan dalil-dalil yang telah kami sebutkan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِقَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ] ” كُلُّ مال وفى الْمَرْءُ بِهِ عِرْضَهُ فَهُوَ صَدَقَةٌ “. فَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْمَقْصُودُ بِهِ الْبِرُّ لِأَنَّ بَذْلَ الْمَالِ لَا يَخْلُو الْمَقْصُودُ بِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Adapun jawaban atas dalil mereka dengan sabda Nabi ﷺ: “Setiap harta yang digunakan seseorang untuk menjaga kehormatannya maka itu adalah sedekah”, maka maksudnya adalah kebaikan, karena pemberian harta tidak lepas dari tiga keadaan:

[الأول] : إِمَّا أَنْ يُقْصَدَ بِهِ الْقُرْبَةُ وَهُوَ الصَّدَقَةُ.

[pertama]: Bisa jadi dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yaitu sedekah.

[الثاني] : أو الصلة وهو الهبة.

[kedua]: Atau untuk silaturahmi, yaitu hibah.

[الثالث] : أَوِ الْمُعَاوَضَةُ وَهُوَ الْبَيْعُ. وَلَيْسَ مَالُ الصُّلْحِ مَقْصُودًا بِهِ الْبِرُّ وَلَا الصِّلَةُ فَثَبَتَ أَنَّ الْمَقْصُودَ بِهِ الْمُعَاوَضَةُ وَالْخَبَرُ لَا يَتَنَاوَلُ الْمُعَاوَضَةَ فَلَمْ يَكُنْ فِيهِ دَلَالَةٌ.

[ketiga]: Atau sebagai mu‘āwaḍah, yaitu jual beli. Dan harta shulḥ tidak dimaksudkan untuk kebaikan maupun silaturahmi, maka tetaplah bahwa maksudnya adalah mu‘āwaḍah, dan hadis tersebut tidak mencakup mu‘āwaḍah, sehingga tidak menjadi dalil.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْمُقِرِّ فَهُوَ أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْمُقِرِّ أَنَّ الْعِوَضَ مَأْخُوذٌ عَمَّا ثَبَتَ لَهُ فَصَحَّ. وَفِي الْمُنْكِرِ عَمَّا لَمْ يَثْبُتْ لَهُ فَلَمْ يَصِحَّ.

Adapun jawaban atas qiyās mereka dengan orang yang mengakui (al-muqir) adalah bahwa pada al-muqir, kompensasi diambil dari sesuatu yang telah tetap haknya, maka sah. Sedangkan pada orang yang mengingkari, kompensasi diambil dari sesuatu yang belum tetap haknya, maka tidak sah.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ اخْتِلَافَ الْأَسَامِي يُوجِبُ اخْتِلَافَ الْمَعَانِي فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الصُّلْحُ مُخَالِفًا لِلْبَيْعِ.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa perbedaan nama menyebabkan perbedaan makna, sehingga shulḥ berbeda dengan jual beli.

فَهُوَ أَنَّ الْبَيْعَ مُخَالِفٌ لِلصُّلْحِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Bahwa jual beli berbeda dengan shulḥ dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الصُّلْحَ فِي الْغَالِبِ يَكُونُ بَعْدَ التَّنَازُعِ وَالْمُخَاصَمَةِ وَالْبَيْعُ بِخِلَافِهِ.

Pertama: Shulḥ pada umumnya terjadi setelah adanya perselisihan dan pertengkaran, sedangkan jual beli tidak demikian.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَقْصُودَ بِالصُّلْحِ الْإِرْفَاقُ وَبِالْبَيْعِ الْمُعَاوَضَةُ.

Kedua: Maksud dari shulḥ adalah memberikan kemudahan, sedangkan pada jual beli adalah mu‘āwaḍah (pertukaran).

فَكَانَ افْتِرَاقُهُمَا مِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ لَا مِنْ حَيْثُ مَا ذُكِرَ مِنَ الْإِقْرَارِ وَالْإِنْكَارِ.

Maka perbedaan keduanya dari dua sisi ini, bukan dari sisi yang disebutkan terkait pengakuan dan pengingkaran.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ الِاعْتِبَارَ بِالْآخِذِ دُونَ الْبَاذِلِ كَالشَّاهِدِ فَهُوَ أَنَّهُ لَيْسَ بِصَحِيحٍ. وَالشَّاهِدُ إِنَّمَا كَانَ لَهُ ابْتِيَاعُ مَنْ شَهِدَ بِعِتْقِهِ لِأَنَّهُ كَانَ مَحْكُومًا بِرِقِّهِ لِبَايِعِهِ. وَإِنْ قَصَدَ مُشْتَرِيهِ اسْتِنْقَاذَهُ مِنْ رِقِّهِ كَمَا أَنَّ قَصْدَ مَنِ اشْتَرَى عَبْدًا مُسْلِمًا مِنْ كَافِرٍ اسْتِنْقَاذَهُ مِنْ أَسْرِهِ.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa yang menjadi pertimbangan adalah penerima, bukan pemberi, seperti halnya saksi, maka itu tidak benar. Saksi hanya boleh membeli dari orang yang ia saksikan kemerdekaannya karena sebelumnya ia dihukumi sebagai budak bagi penjualnya. Dan jika pembelinya bermaksud membebaskannya dari perbudakan, sebagaimana seseorang yang membeli budak muslim dari orang kafir dengan maksud membebaskannya dari tawanan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ الْمَنْعَ مِنَ الصُّلْحِ مِنَ الْإِنْكَارِ يُفْضِي إِلَى الْمَنْعِ مِنَ الصُّلْحِ بِكُلِّ حَالٍ فَغَلَطٌ؛ لِأَنَّ الْمُقَرَّ لَهُ قَدْ يُصَالَحُ أَيْضًا إِمَّا لِكَوْنِ الْمُقِرِّ غَاصِبًا بِيَدِهِ وَإِمَّا لِكَوْنِهِ مُمَاطِلًا بِحَقِّهِ وَيَرَى أَنْ يَتَعَجَّلَ قَبْضَ الْبَعْضِ بِالصُّلْحِ وَلَا يُمْنَعُ مِنَ الْكُلِّ بِالْغَصْبِ أَوِ الْمَطلِ.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa larangan melakukan ishlāh (perdamaian) karena adanya pengingkaran akan menyebabkan larangan ishlāh dalam segala keadaan, maka itu adalah kekeliruan; karena pihak yang diakui haknya juga bisa melakukan ishlāh, baik karena pihak yang mengakui adalah seorang ghashib (perampas) yang menguasai harta tersebut, atau karena ia menunda-nunda pembayaran haknya, sehingga pihak yang diakui haknya memilih untuk segera menerima sebagian haknya melalui ishlāh. Maka tidaklah dilarang melakukan ishlāh secara keseluruhan baik karena ghashb (perampasan) maupun karena penundaan pembayaran.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bagian)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الصُّلْحَ مَعَ الْإِنْكَارِ لَا يَجُوزُ فَلَوْ صَالَحَهُ مَعَ إِنْكَارِهِ كَانَ الصُّلْحُ بَاطِلًا وَلَزِمَ رَدُّ الْعِوَضِ وَلَمْ يَقَعِ الْإِبْرَاءُ حَتَّى لَوْ صَالَحَهُ مِنْ أَلْفِ دِرْهَمٍ قَدْ أَنْكَرَهَا عَلَى خَمْسِمِائَةِ دِرْهَمٍ وَأَبْرَأَهُ مِنَ الْبَاقِي لَزِمَهُ فِي الْحُكْمِ رَدُّ مَا قَبَضَ وَلَمْ يُبْرَأْ مِمَّا بَقِيَ حَتَّى لَوْ أَقَامَ بِالْأَلْفِ بَيِّنَةً عَادِلَةً كَانَ لَهُ اسْتِيفَاءُ جَمِيعِهَا، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّ مَا قَبَضَهُ بِالصُّلْحِ الْفَاسِدِ لَا يَمْلِكُهُ كَالْمَقْبُوضِ بِالْبَيْعِ الْفَاسِدِ. وَالْإِبْرَاءُ كَانَ مَقْرُونًا بِمِلْكِ مَا صَالَحَ بِهِ فَلَمَّا لَزِمَهُ رَدُّهُ لِعَدَمِ مِلْكِهِ بَطَلَ إِبْرَاؤُهُ لِعَدَمِ صِفَتِهِ، وَكَمَنْ بَاعَ عَبْدًا بَيْعًا فَاسِدًا فَأَذِنَ لِمُشْتَرِيهِ فِي عِتْقِهِ فَأَعْتَقَهُ الْمُشْتَرِي بِإِذْنِهِ لَمْ يُعْتَقْ، لِأَنَّ إِذْنَهُ إِنَّمَا كَانَ مَضْمُونًا بِمِلْكِ الْعِوَضِ فَلَمَّا لَمْ يَمْلِكْهُ بِالْعَقْدِ الْفَاسِدِ لَمْ يُعْتَقْ عَلَيْهِ بِالْإِذْنِ، فَإِنْ قِيلَ أَفَيَسَعُ صَاحِبُ الْحَقِّ أَنْ يَأْخُذَ مَا بُذِلَ لَهُ بِالصُّلْحِ مع الإنكار إذا كان محقا قيل بسعة ذَلِكَ وَيَجُوزُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى فَأَمَّا فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ فَيَجِبُ عَلَيْهِ رَدُّهُ.

Jika telah tetap bahwa ishlāh dengan adanya pengingkaran tidak diperbolehkan, maka apabila seseorang melakukan ishlāh dengan pihak lain dalam keadaan ia mengingkari (hak tersebut), maka ishlāh itu batal dan wajib mengembalikan kompensasi (iwadh), serta tidak terjadi pembebasan (ibra’). Sehingga, jika seseorang melakukan ishlāh dari seribu dirham yang ia ingkari menjadi lima ratus dirham dan membebaskan sisanya, maka dalam hukum ia wajib mengembalikan apa yang telah diterima dan tidak terbebas dari sisa hak tersebut. Bahkan jika ia kemudian mendatangkan bukti yang adil atas seribu dirham itu, maka ia berhak menagih seluruhnya. Hal ini karena apa yang diterima melalui ishlāh yang fasid (rusak/batal) tidak menjadi miliknya, sebagaimana barang yang diterima melalui jual beli yang fasid. Pembebasan (ibra’) itu terkait dengan kepemilikan atas apa yang dijadikan sebagai kompensasi ishlāh, sehingga ketika ia wajib mengembalikannya karena tidak memilikinya, maka batal pula pembebasannya karena tidak terpenuhi syaratnya. Ini seperti seseorang yang menjual budak dengan akad yang fasid, lalu mengizinkan pembelinya untuk memerdekakannya, kemudian pembeli memerdekakan budak itu dengan izinnya, maka budak itu tidak menjadi merdeka. Karena izinnya itu hanya sah jika kompensasi telah dimiliki, dan ketika tidak dimiliki karena akad yang fasid, maka tidak sah memerdekakannya dengan izin tersebut. Jika ada yang bertanya: Apakah boleh bagi pemilik hak untuk mengambil apa yang diberikan kepadanya melalui ishlāh dengan adanya pengingkaran jika ia memang berhak? Maka dijawab: hal itu diperbolehkan dan sah di antara dia dengan Allah Ta‘ala, namun secara hukum lahiriah, ia wajib mengembalikannya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bagian)

فَلَوِ ادَّعَى عَلَيْهِ أَلْفًا فَأَنْكَرَهُ ثُمَّ أَبْرَأَهُ مِنْهَا قَبْلَ ثُبُوتِهَا عَلَيْهِ بِبَيِّنَةٍ أَوْ إِقْرَارٍ بَرِئَ مِنْهَا لِأَنَّ الْإِبْرَاءَ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَنْ عَقْدِ صُلْحٍ كَانَ مُطْلَقًا فَصَحَّ وَإِذَا كَانَ عَنْ عَقْدِ صُلْحٍ كَانَ مُقَيَّدًا بِصِحَّتِهِ فَبَطَلَ بِبُطْلَانِهِ وَلَكِنْ لَوْ لَمْ يُبْرِئْهُ مِنْهَا بِلَفْظِ الْإِبْرَاءِ وَقَالَ قَدْ حَطَطْتُهَا عَنْكَ فَفِيهِ وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا:

Jika seseorang menuntut orang lain seribu (dirham), lalu yang dituntut mengingkarinya, kemudian ia membebaskannya dari tuntutan itu sebelum terbukti atasnya dengan bukti atau pengakuan, maka ia terbebas dari tuntutan itu. Karena pembebasan (ibra’) jika tidak berasal dari akad ishlāh, maka ia bersifat mutlak dan sah. Namun jika berasal dari akad ishlāh, maka ia bergantung pada keabsahan akad tersebut, sehingga batal jika akadnya batal. Akan tetapi, jika ia tidak membebaskannya dengan lafaz ibra’ (pembebasan) melainkan berkata, “Aku telah menggugurkan (menjatuhkan) tuntutan itu darimu,” maka menurut para ulama kami ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَدْ سَقَطَتِ الْمُطَالَبَةُ بِهَا وَبَرِئَ مِنْهَا؛ لِأَنَّ الْحَطِيطَةَ أَحَدُ أَلْفَاظِ الْإِبْرَاءِ.

Pertama: Bahwa gugurnya tuntutan itu dan ia terbebas darinya, karena lafaz “pengguguran” (hathithah) adalah salah satu lafaz pembebasan (ibra’).

وَالثَّانِي: أَنَّ الْمُطَالَبَةَ بَاقِيَةٌ وَلَا يَبْرَأُ مِنْ شَيْءٍ لِأَنَّ الْحَطِيطَةَ إِسْقَاطٌ وَإِسْقَاطُ الشَّيْءِ إِنَّمَا يَصِحُّ بَعْدَ لُزُومِهِ.

Kedua: Bahwa tuntutan itu tetap ada dan ia tidak terbebas dari apa pun, karena “pengguguran” (hathithah) adalah bentuk penghapusan, dan penghapusan sesuatu hanya sah setelah kewajiban itu tetap (lazim).

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bagian)

فَلَوِ ادَّعَى عَلَيْهِ أَلْفًا أَقَرَّ بِهَا ثُمَّ صَالَحَهُ مِنْهَا عَلَى خَمْسِمِائَةٍ وَأَبْرَأَهُ مِنَ الْبَاقِي فَكَانَ مَا صَالَحَهُ عَلَيْهِ مِنَ الْخَمْسِمِائَةِ مُسْتَحِقًّا فَالصُّلْحُ صحيح والإبراء لازم. ويرجع على المقر ببذل مَا اسْتَحَقَّ مِنْ يَدِهِ وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّ مَا فِي الذِّمَمِ مِنَ الْحُقُوقِ إِذَا أُخِذَ بِهِ مَالٌ مُعَيَّنٌ لَمْ يَتَعَيَّنْ فِيهِ إلا بأحد أمرين:

Jika seseorang menuntut orang lain seribu (dirham), lalu yang dituntut mengakuinya, kemudian mereka melakukan ishlāh atasnya dengan membayar lima ratus dan membebaskan sisanya, lalu ternyata lima ratus yang dijadikan ishlāh itu memang menjadi haknya, maka ishlāh itu sah dan pembebasan (ibra’) menjadi wajib. Ia dapat menuntut kepada yang mengaku untuk memberikan apa yang memang menjadi haknya dari tangannya. Hal ini karena hak-hak yang ada dalam tanggungan (dzimmah) jika diambil dengan harta tertentu, maka harta itu tidak menjadi tertentu kecuali dengan salah satu dari dua hal:

[الأول] : إما الاستقرار بالقبض باستقرار الملك.

[Yang pertama]: Yaitu dengan tetapnya kepemilikan melalui penerimaan (qabdh) yang sah.

[الثاني] : وَإِمَّا لِتَعْيِينِهِ بِعَقْدٍ لَازِمٍ. وَهَذَا النَّوْعُ مِنَ الصُّلْحِ هُوَ إِبْرَاءٌ وَلَيْسَ بِعَقْدٍ مِنْ عُقُودِ الْمُعَوِّضَاتِ اللَّازِمَةِ. فَغَلَبَ حُكْمُ الْإِبْرَاءِ فِي صِحَّةِ الصُّلْحِ وَلَمْ يَغْلِبْ حُكْمُ الْمُعَاوَضَةِ فِي إِبْطَالِ الصُّلْحِ.

[Yang kedua]: Atau dengan penentuan melalui akad yang lazim. Dan jenis ishlāh yang seperti ini adalah pembebasan (ibra’), bukan akad dari akad-akad mu‘awadhah (pertukaran) yang lazim. Maka yang lebih kuat adalah hukum pembebasan dalam keabsahan ishlāh, dan tidak lebih kuat hukum mu‘awadhah dalam membatalkan ishlāh.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bagian)

إِذَا أَقَرَّ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ بِالْحَقِّ ثُمَّ أَنْكَرَ جَازَ الصُّلْحُ، وَإِنْ أَنْكَرَ فَصُولِحَ ثُمَّ أَقَرَّ كَانَ الصُّلْحُ بَاطِلًا. لِأَنَّ الْإِقْرَارَ الْمُتَقَدِّمَ لَا يَبْطُلُ بِالْإِنْكَارِ الْحَادِثِ فَصَحَّ الصُّلْحُ إِذَا أَنْكَرَ بَعْدَ إِقْرَارِهِ لِوُجُودِهِ بَعْدَ لُزُومِ الْحَقِّ. وَلَمْ يَصِحَّ الصُّلْحُ إِذَا كَانَ عَقِيبَ إِنْكَارِهِ وَقَبْلَ إِقْرَارِهِ لِوُجُودِهِ قَبْلَ لُزُومِ الْحَقِّ.

Jika tergugat mengakui hak tersebut kemudian mengingkarinya, maka boleh dilakukan shulh (perdamaian). Namun jika ia mengingkari lalu dilakukan shulh, kemudian ia mengakui, maka shulh tersebut batal. Sebab pengakuan yang terdahulu tidak batal dengan pengingkaran yang terjadi setelahnya, sehingga shulh sah apabila pengingkaran terjadi setelah pengakuan karena adanya pengingkaran setelah hak menjadi wajib. Dan tidak sah shulh jika dilakukan setelah pengingkaran dan sebelum pengakuan, karena shulh terjadi sebelum hak menjadi wajib.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَلَوْ أَنْكَرَ الْحَقَّ فَقَامَتْ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ عَادِلَةٌ جَازَ الصُّلْحُ عَلَيْهِ لِلُزُومِ الْحَقِّ بِالْبَيِّنَةِ كَلُزُومِهِ بِالْإِقْرَارِ.

Jika ia mengingkari hak tersebut lalu ada bukti (bayyinah) yang adil menegakkannya atas dirinya, maka boleh dilakukan shulh atasnya, karena hak menjadi wajib dengan adanya bayyinah sebagaimana wajibnya dengan pengakuan.

فَلَوْ كَانَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ عَلَى إِنْكَارِهِ فَقَالَ صَالِحْنِي عَلَيْهِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ إِقْرَارًا فَلَا يَصِحُّ الصُّلْحُ مَعَهُ. وَلَوْ قَالَ مَلِّكْنِي ذَلِكَ كَانَ إِقْرَارًا يَصِحُّ الصُّلْحُ مَعَهُ.

Jika tergugat tetap pada pengingkarannya lalu berkata, “Berdamailah denganku atas perkara ini,” maka itu bukanlah pengakuan, sehingga tidak sah shulh bersamanya. Namun jika ia berkata, “Serahkanlah kepemilikan itu kepadaku,” maka itu adalah pengakuan dan sah shulh dengannya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ قَوْلَهُ صَالِحْنِي يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ أَرَادَ بِهِ قَطْعَ الْخُصُومَةِ وَكَفَّ الْأَذَى فلم يضره مُقِرًّا.

Perbedaan antara keduanya adalah: Ucapannya “Berdamailah denganku” masih mungkin dimaksudkan untuk mengakhiri perselisihan dan menolak gangguan, sehingga tidak merugikannya sebagai pengakuan.

وَقَوْلُهُ مَلِّكْنِي لَا يَحْتَمِلُ فَصَارَ بِهِ مقرا والله أعلم.

Sedangkan ucapannya “Serahkanlah kepemilikan itu kepadaku” tidak mengandung kemungkinan lain, sehingga ia menjadi pengakuan. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ صَالَحَ عَنْهُ رَجُلٌ يُقِرُّ عَنْهُ بِشَيْءٍ جَازَ الصُّلْحُ وَلَيْسَ لِلَّذِي أَعْطَى عَنْهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ تَطَوَّعَ بِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang berdamai atas nama orang lain yang ia akui atasnya sesuatu, maka shulh itu sah dan orang yang telah memberikan atas nama orang lain itu tidak berhak menuntut kembali darinya, karena ia telah melakukannya secara sukarela.”

قال الماوردي: وصورتها ما شرحه الشافعي فِي ” الْأُمِّ ” أَنْ يُرِيدَ الرَّجُلَانِ الصُّلْحَ وَيَكْرَهَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ الْإِقْرَارَ.

Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya sebagaimana dijelaskan oleh Syafi‘i dalam “al-Umm”, yaitu dua orang ingin melakukan shulh, namun tergugat tidak suka melakukan pengakuan.

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: فَلَا بَأْسَ أَنْ يُقِرَّ رَجُلٌ عَنِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ ثُمَّ يُؤَدِّي إِلَى الْمُدَّعِي مَا يَتَّفِقَانِ عَلَيْهِ فَيَكُونَ صَحِيحًا وَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Maka tidak mengapa seseorang mengakui atas nama tergugat, kemudian membayar kepada penggugat apa yang telah disepakati bersama, maka itu sah. Dan ini terbagi menjadi dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ الدَّعْوَى حَقًّا فِي الذِّمَّةِ.

Pertama: Jika gugatan itu berupa hak dalam tanggungan (dzimmah).

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ عَيْنًا قَائِمَةً.

Kedua: Jika gugatan itu berupa barang tertentu yang ada (‘ayn qā’imah).

فَإِنْ كَانَتِ الدَّعْوَى حَقًّا فِي الذِّمَّةِ جَازَ أَنْ يُصَالِحَ أَجْنَبِيًّا عَنْهُ بَعْدَ الْإِقْرَارِ عَنْهُ سَوَاءٌ أَذِنَ لَهُ فِي الصُّلْحِ عَنْهُ أَوْ لَمْ يَأْذَنْ.

Jika gugatan itu berupa hak dalam tanggungan, maka boleh seseorang yang asing berdamai atas nama tergugat setelah mengakui atas namanya, baik tergugat mengizinkan atau tidak mengizinkan shulh atas namanya.

لِأَنَّ هَذَا الصُّلْحَ إِنَّمَا يُوجِبُ إِسْقَاطَ الدَّيْنِ وَالْبَرَاءَ مِنْهُ وَذَلِكَ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى إِذْنِ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَضَى الدَّيْنُ عنه بغير إذنه صَحَّ فَكَذَلِكَ إِذَا صَالَحَ عَنْهُ بِغَيْرِ إِذْنِهِ صَحَّ.

Karena shulh ini hanya menyebabkan gugurnya utang dan terbebas darinya, dan hal itu tidak membutuhkan izin dari orang yang berutang. Bukankah jika utang itu dibayar oleh orang lain tanpa izinnya, maka sah? Begitu pula jika seseorang berdamai atas namanya tanpa izinnya, maka sah.

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَمِنْ شَرْطِ هَذَا الصُّلْحِ أَنْ يُقِرَّ عَنْهُ الْأَجْنَبِيُّ بِالْحَقِّ فَيَقُولُ حَقُّكَ ثَابِتٌ عَلَى فُلَانٍ فَصَالِحْنِي عَنْهُ.

Jika demikian, maka syarat shulh ini adalah orang asing tersebut mengakui hak atas nama tergugat, dengan mengatakan: “Hakmu tetap atas si Fulan, maka berdamailah denganku atas namanya.”

وَهَلْ يَحْتَاجُ أَنْ يَقُولَ وَقَدْ أَقَرَّ عِنْدِي بِهِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Apakah perlu ia mengatakan, “Dan ia telah mengakui kepadaku tentang hal itu?” Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَحْتَاجُ أَنْ يَقُولَ حَقُّكَ ثَابِتٌ عَلَى فُلَانٍ وَقَدْ أَقَرَّ عِنْدِي بِهِ لِيَصِحَّ أَنْ يَكُونَ عَالِمًا بِثُبُوتِ الْحَقِّ عَلَيْهِ.

Pertama: Ia perlu mengatakan, “Hakmu tetap atas si Fulan dan ia telah mengakui kepadaku tentang hal itu,” agar sah bahwa ia mengetahui tetapnya hak atas tergugat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَحْتَاجُ إِلَى ذَلِكَ لِأَنَّهُ قَدْ يَعْلَمُ بِذَلِكَ عَنْ إِقْرَارِهِ تَارَةً وَبِغَيْرِ إِقْرَارِهِ أُخْرَى. فَإِذَا أَقَرَّ فَصَالَحَ عَنْهُ صَحَّ الصُّلْحُ وَلَزِمَ الْمُصْلِحَ عَنْ غَيْرِهِ دَفْعُ مَا اتَّفَقَا عَلَى الصُّلْحِ بِهِ وَبَرِئَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ مِنَ الْمُدَّعِي وَلَمْ يَكُنْ لِلْمُصَالِحِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهِ بِمَا صَالَحَ بِهِ مَا لَمْ يَأْذَنْ لَهُ فِيهِ لِأَنَّهُ تَطَوَّعَ بِالْغُرْمِ عَنْهُ كَمَا لَوْ تَطَوَّعَ بِقَضَاءِ دَيْنِهِ. فَأَمَّا إِذَا أَذِنَ لَهُ فِي الصُّلْحِ عَنْهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: Tidak perlu demikian, karena bisa jadi ia mengetahui hal itu dari pengakuan tergugat kadang-kadang, dan kadang-kadang dari selain pengakuan. Maka jika ia telah mengakui lalu berdamai atas namanya, maka shulh itu sah dan orang yang berdamai atas nama orang lain wajib membayar apa yang disepakati dalam shulh, dan tergugat terbebas dari penggugat, serta orang yang berdamai tidak berhak menuntut kembali apa yang telah ia bayarkan selama tidak ada izin dari tergugat, karena ia telah sukarela menanggung beban atas namanya, sebagaimana jika ia sukarela membayar utangnya. Adapun jika tergugat mengizinkan shulh atas namanya, maka ini terbagi menjadi dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي الصُّلْحِ عَنْهُ دُونَ الْأَدَاءِ فَيَقُولُ صَالِحْ عَنِّي فَلَا رُجُوعَ لَهُ بِمَا أَدَّاهُ فِي الصُّلْحِ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَأْذُونٍ لَهُ فِي الْأَدَاءِ فَصَارَ مُتَطَوِّعًا.

Pertama: Ia mengizinkan shulh atas namanya tanpa mengizinkan pembayaran, dengan mengatakan, “Berdamailah atas namaku,” maka tidak ada hak baginya untuk menuntut kembali apa yang telah ia bayarkan dalam shulh, karena ia tidak diizinkan untuk membayar, sehingga ia menjadi sukarela.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي الْأَدَاءِ فَيُنْظَرُ فِي إِذْنِهِ بِالْأَدَاءِ فَإِنْ قَالَ لَهُ صالح وأدى لِتَرْجِعَ عَلَيَّ فَلَهُ الرُّجُوعُ عَلَيْهِ وَإِنْ قَالَ أَدِّ وَلَمْ يُصَرِّحْ بِالرُّجُوعِ فَفِي رُجُوعِهِ وَجْهَانِ:

Kedua: Ia mengizinkan pembayaran, maka dilihat pada izinnya dalam pembayaran. Jika ia berkata, “Berdamailah dan bayarkan agar kamu dapat menuntut kembali dariku,” maka ia berhak menuntut kembali. Namun jika ia berkata, “Bayarkanlah,” tanpa menegaskan hak menuntut kembali, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَرْجِعُ عَلَيْهِ لِإِذْنِهِ فِيهِ.

Salah satu pendapat: ia dapat menuntut kembali (kepada pihak lain) karena telah diberi izin dalam hal itu.

وَالثَّانِي: لَا يَرْجِعُ عَلَيْهِ لِأَنَّ أَمْرَهُ بِالْأَدَاءِ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ لِمَعْنَى التَّطَوُّعِ بِهِ وَيَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونُ لِمَعْنَى الرُّجُوعِ عَلَيْهِ فَلَمْ يَكُنِ الْإِذْنُ صَرِيحًا فِي الرُّجُوعِ بِهِ.

Dan pendapat kedua: ia tidak dapat menuntut kembali karena perintahnya untuk membayar dapat dimaknai sebagai bentuk sukarela atau dapat pula dimaknai sebagai izin untuk menuntut kembali, sehingga izinnya tidak secara tegas bermakna boleh menuntut kembali.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِنْ كَانَتِ الدَّعْوَى عَيْنًا قَائِمَةً فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُصَالِحِ عَنْهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika gugatan itu berupa barang tertentu yang masih ada, maka keadaan pihak yang melakukan ishlāh (perdamaian) atasnya tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يُصَالِحَ عَنْهَا لِنَفْسِهِ.

Pertama, ia melakukan ishlāh atas barang itu untuk dirinya sendiri.

أَوْ يُصَالِحَ عَنْهَا لِلْمُدَّعَى عَلَيْهِ.

Atau ia melakukan ishlāh atas barang itu untuk pihak tergugat.

فَإِنَّ صَالَحَ عَنْهَا لِلْمُدَّعَى عَلَيْهِ فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يُصَالِحَ عَنْهُ بِإِذْنِهِ أَوْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَإِنَّ صَالَحَ عَنْهُ بِإِذْنِهِ جَازَ وَهَلْ يَحْتَاجُ مَعَ الْإِذْنِ لِلْوَكِيلِ فِي الصُّلْحِ إِلَى الْإِقْرَارِ بِهَا عِنْدَهُ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika ia melakukan ishlāh atas barang itu untuk pihak tergugat, maka ada dua kemungkinan: apakah ia melakukan ishlāh atas nama tergugat dengan izinnya atau tanpa izinnya. Jika ia melakukan ishlāh atas nama tergugat dengan izinnya, maka hal itu diperbolehkan. Namun, apakah dengan izin tersebut wakil dalam ishlāh juga memerlukan pengakuan atas barang itu di hadapannya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَصِحُّ الصُّلْحُ عَنْهُ بِمُجَرَّدِ إِذْنِهِ لِلْوَكِيلِ حَتَّى يُقِرَّ بِهَا عِنْدَهُ لِلْمُدَّعِي ثُمَّ يُقِرُّ الْوَكِيلُ بِذَلِكَ عِنْدَ الْمُدَّعِي عِنْدَ صُلْحِهِ.

Salah satunya: ishlāh atas nama tergugat tidak sah hanya dengan izin kepada wakil, kecuali setelah tergugat mengakui barang itu di hadapan wakil untuk penggugat, kemudian wakil juga mengakui hal itu di hadapan penggugat saat melakukan ishlāh.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ أَنَّ الصُّلْحَ يَصِحُّ بِإِذْنِهِ لِلْوَكِيلِ وَلَا يَحْتَاجُ إِلَى إِقْرَارِهِ عِنْدَ الْوَكِيلِ لِأَنَّ وَكِيلَهُ فِي الصُّلْحِ نَائِبٌ عَنْهُ، فَإِقْرَارُهُ عِنْدَهُ كَإِقْرَارِهِ عِنْدَ نَفْسِهِ. وَإِنَّمَا يُقِرُّ الْوَكِيلُ عَنْهُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ قَبْلُ، وَيَزِيدُ فِيهِ أَنَّ فُلَانًا وَكَّلَنِي فِي الصُّلْحِ عَنْهُ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih kuat: ishlāh sah hanya dengan izin kepada wakil dan tidak memerlukan pengakuan di hadapan wakil, karena wakil dalam ishlāh adalah perwakilan darinya, sehingga pengakuannya di hadapan wakil sama dengan pengakuannya di hadapan dirinya sendiri. Adapun pengakuan wakil atas nama tergugat dilakukan sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, dan ditambah dengan pernyataan bahwa si fulan telah mewakilkan kepadaku untuk melakukan ishlāh atas namanya.

فَإِنْ لَمْ يَذْكُرْ ذَلِكَ فَهُوَ عَلَى مَا نَذْكُرُهُ مِنِ اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ هَلْ يَكُونُ إِذْنُهُ شَرْطًا فِي صِحَّةِ الصُّلْحِ أَمْ لَا؟ فَأَمَّا إِذَا صلح عَنْهُ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:

Jika ia tidak menyebutkan hal itu, maka kembali kepada perbedaan dua pendapat yang telah kami sebutkan: apakah izinnya menjadi syarat sahnya ishlāh atau tidak? Adapun jika ia melakukan ishlāh atas nama tergugat tanpa izinnya, maka menurut ulama kami terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي عَلِيٍّ الطَّبَرِيِّ وَأَبِي حَامِدٍ، إِنَّ الصُّلْحَ جَائِزٌ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُصَالِحَ عَمَّا فِي الذِّمَّةِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ جَازَ أَنْ يُصَالِحَ عَنِ الْعَيْنِ الْقَائِمَةِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj, Abu ‘Ali al-Thabari, dan Abu Hamid: ishlāh itu sah, karena jika diperbolehkan melakukan ishlāh atas apa yang menjadi tanggungan (dzimmah) tanpa izinnya, maka diperbolehkan pula melakukan ishlāh atas barang tertentu yang masih ada tanpa izinnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الطَّيِّبِ بْنِ سلمة وأبو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ إِنَّ الصُّلْحَ بَاطِلٌ مَا لَمْ يَكُنْ مِنَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ إِذْنٌ فِيهِ؛ لِأَنَّ فِي هَذَا النَّوْعِ مِنَ الصُّلْحِ تَمْلِيكَ عَيْنٍ فَلَمْ يَصِحَّ بِغَيْرِ إِذْنِ مَنْ تَمَلَّكَهَا كَمَنِ اشْتَرَى لِغَيْرِهِ شَيْئًا بِغَيْرِ أَمْرِهِ. وَبِهَذَا الْمَعْنَى فَارَقَ مَا فِي الذِّمَّةِ لِأَنَّ طَرِيقَهُ الْإِبْرَاءُ وَيَصِحُّ مِنَ الْإِنْسَانِ أَنْ يُبْرِئَ غَيْرَهُ بِغَيْرِ أَمْرِهِ وَإِذْنِهِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu al-Thayyib bin Salamah dan Abu Sa‘id al-Istakhri: ishlāh itu batal selama tidak ada izin dari pihak tergugat, karena dalam jenis ishlāh ini terdapat unsur pemindahan kepemilikan barang, sehingga tidak sah tanpa izin dari pemiliknya, sebagaimana orang yang membeli sesuatu untuk orang lain tanpa perintahnya. Dengan alasan inilah, ishlāh atas barang tertentu berbeda dengan ishlāh atas tanggungan (dzimmah), karena dalam perkara dzimmah jalurnya adalah pembebasan (ibra’), dan sah bagi seseorang membebaskan tanggungan orang lain tanpa perintah dan izinnya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَأَمَّا إِذَا صَالَحَ عَنْهَا لِنَفْسِهِ فَهَذَا فِي حُكْمِ مَنِ اشْتَرَى شَيْئًا مَغْصُوبًا فَيَحْتَاجُ أَنْ يَعْتَرِفَ لِلْمُدَّعِي بِالْمِلْكِ وَيُقِرَّ بِأَنَّهُ قَادِرٌ عَلَى انْتِزَاعِ ذَلِكَ مِنْ يَدِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ فَيَصِحَّ هَذَا وَيَكُونَ بَيْعًا مَحْضًا، فَإِنِ انْتَزَعَ ذَلِكَ مِنْ يَدِهِ بَرِئَ الْمُدَّعِي مِنْ ضَمَانِ الْعَقْدِ، وَإِنْ عَادَ فَذَكَرَ أَنَّهُ لَيْسَ يَقْدِرُ عَلَى انْتِزَاعِهَا مِنْ يَدِهِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ إِذَا كَذَّبَهُ الْمُدَّعِي وَلَهُ الرُّجُوعُ بِالْعِوَضِ الَّذِي بَذَلَهُ.

Adapun jika ia melakukan ishlāh atas barang itu untuk dirinya sendiri, maka hukumnya seperti orang yang membeli barang yang digelapkan, sehingga ia harus mengakui kepemilikan kepada penggugat dan mengakui bahwa ia mampu mengambil barang itu dari tangan tergugat. Maka hal ini sah dan dianggap sebagai jual beli murni. Jika ia berhasil mengambil barang itu dari tangan tergugat, maka penggugat terbebas dari tanggungan akad. Namun jika kemudian ia menyatakan bahwa ia tidak mampu mengambil barang itu dari tangan tergugat, maka pernyataannya diterima dengan sumpah jika penggugat mendustakannya, dan ia berhak menuntut kembali kompensasi yang telah ia berikan.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

إِذَا أَوْقَفَ رَجُلٌ دَارًا بِيَدِهِ ثُمَّ ادَّعَاهَا مُدَّعٍ فَأَقَرَّ لَهُ بِهَا كَانَ إِقْرَارُهُ مَرْدُودًا لِخُرُوجِهَا عَنْ حُكْمِ مِلْكِهِ بِالْوَقْفِ، وَهَكَذَا لَوْ صَدَّقَهُ الَّذِينَ وُقِفَتِ الدَّارُ عَلَيْهِمْ لَمْ يَبْطُلِ الْوَقْفُ لِمَا تعلق به من حقوق غيرهم من البطن الثَّانِي أَوِ الْفُقَرَاءِ لَكِنْ لَا حَقَّ لِمَنْ صَدَّقَ مِنْهُمْ فِي الْوَقْفِ. وَيَكُونُ ذَلِكَ لِغَيْرِهِمْ مِمَّنْ لَمْ يُصَدِّقْ. وَيَصِحُّ بِهَذَا الْإِقْرَارِ وَإِنْ لَمْ يَبْطُلْ بِهِ الْوَقْفُ أَنْ يُصَالِحَ الْمُدَّعِي الْمُقِرَّ لَهُ فَلَوْ أَنَّ رَجُلًا جَعَلَ دَارًا فِي يَدِهِ مَسْجِدًا وَخَلَّفَهَا وَأَذِنَ لِلنَّاسِ فِيهَا بِالصَّلَاةِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَلَفَّظَ بِتَسْبِيلِهَا لَمْ تَصِرْ سُبْلَةً بِهَذَا الْقَدْرِ.

Jika seseorang mewakafkan sebuah rumah yang ada di tangannya, kemudian ada orang yang mengakuinya (mengklaim rumah itu), lalu ia mengakui kepemilikan orang tersebut atas rumah itu, maka pengakuannya ditolak karena rumah tersebut telah keluar dari kepemilikannya akibat wakaf. Demikian pula, jika orang-orang yang menjadi penerima wakaf rumah itu membenarkan klaim tersebut, wakaf tidak batal karena masih ada hak orang lain yang terkait dengannya, seperti hak kelompok kedua atau para fakir miskin. Namun, orang yang membenarkan dari mereka tidak lagi memiliki hak dalam wakaf itu. Hak tersebut menjadi milik selain mereka yang tidak membenarkan. Dengan pengakuan ini, meskipun wakaf tidak batal karenanya, sah bagi orang yang diakui kepemilikannya untuk melakukan islah (perdamaian) dengan pengaku yang mengakuinya. Jika seseorang menjadikan sebuah rumah di tangannya sebagai masjid, lalu meninggalkannya dan mengizinkan orang-orang untuk shalat di dalamnya tanpa mengucapkan lafaz tasbil (menjadikannya sebagai wakaf masjid), maka rumah itu belum menjadi sabīlah (wakaf umum) hanya dengan perbuatan tersebut.

وَقَالَ بَعْضُ الْعِرَاقِيِّينَ: مَتَى خَلَّفَهَا وَجَعَلَهَا بِرَسْمِ الْمَسَاجِدِ خَرَجَتْ مِنْ مِلْكِهِ.

Sebagian ulama Irak berkata: Jika seseorang meninggalkan rumah itu dan menjadikannya untuk kepentingan masjid, maka rumah itu keluar dari kepemilikannya.

وَقَالَ آخَرُونَ: إِذَا صَلَّى فِيهَا الْمُسْلِمُونَ خَرَجَتْ مِنْ مِلْكِهِ وَكُلُّ هَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ إِزَالَةَ الْأَمْلَاكِ لَا تَكُونُ إِلَّا بِالْقَوْلِ كَالْعِتْقِ وَالْوَقْفِ وَالطَّلَاقِ.

Ulama lain berkata: Jika kaum Muslimin telah melaksanakan shalat di dalamnya, maka rumah itu keluar dari kepemilikannya. Semua pendapat ini keliru, karena pengalihan kepemilikan tidak terjadi kecuali dengan ucapan, sebagaimana dalam kasus pembebasan budak, wakaf, dan talak.

فَلَوْ فَعَلَ مَا ذَكَرْنَا فَادَّعَاهَا مُدَّعٍ فَأَقَرَّ لَهُ بِهَا لَزِمَهُ إِقْرَارُهُ وَلَوْ صَالَحَهُ عَلَيْهَا صَحَّ صُلْحُهُ، فَلَوْ سَبَّلَهَا مَسْجِدًا ثُمَّ أَقَرَّ بِهَا لِغَيْرِهِ لَمْ يَبْطُلِ التَّسْبِيلُ وَلَزِمَهُ غُرْمُ قِيمَتِهَا لِمَنْ أَقَرَّ لَهُ بِهَا فَلَوْ صَالَحَهُ عَلَى ذَلِكَ صَحَّ صُلْحُهُ.

Jika seseorang melakukan sebagaimana yang telah disebutkan, lalu ada yang mengakuinya (mengklaim rumah itu), kemudian ia mengakui kepemilikan orang tersebut, maka pengakuannya menjadi wajib baginya. Jika ia melakukan islah (perdamaian) atas rumah itu, maka islahnya sah. Jika ia telah menjadikan rumah itu sebagai masjid (tasbil), lalu mengakui kepemilikan orang lain atasnya, maka tasbil tidak batal dan ia wajib membayar ganti rugi senilai rumah itu kepada orang yang diakuinya. Jika ia melakukan islah atas hal tersebut, maka islahnya sah.

وَلَوْ صَالَحَهُ أَهْلُ الْمَحَلَّةِ وَجِيرَانُ الْمَسْجِدِ جَازَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ أَنْ يَرْجِعُوا عَلَى الْمُسَبِّلِ بِشَيْءٍ ما لم يأمرهم بالصلح عنه.

Jika penduduk lingkungan dan para tetangga masjid melakukan islah (perdamaian) dengannya, maka hal itu diperbolehkan dan mereka tidak berhak menuntut apa pun dari orang yang mensabīlkan (me-wakafkan) rumah itu, selama ia tidak memerintahkan mereka untuk melakukan islah atas namanya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَشْرَعَ جَنَاحًا عَلَى طَرِيقِ نَافِذَةٍ فَصَالَحَهُ السُّلْطَانُ أَوْ رَجُلٌ عَلَى ذَلِكَ لَمْ يَجُزْ وَنُظِرَ فَإِنْ كَانَ لَا يَضُرُّ تُرِكَ وَإِنْ ضَرَّ قُطِعَ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang membangun sayap (bangunan tambahan) di atas jalan yang dapat dilalui, lalu ia melakukan islah (perdamaian) dengan penguasa atau seseorang atas hal itu, maka tidak boleh (tidak sah), dan harus dilihat: jika tidak membahayakan, maka dibiarkan; jika membahayakan, maka harus dipotong (dihilangkan).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: صُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي رَجُلٍ أَشْرَعَ مِنْ دَارِهِ جَنَاحًا أَوْ سَابَاطًا عَلَى طَرِيقٍ فَلَا يَخْلُو حَالُ الطَّرِيقِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Bentuk masalah ini adalah seseorang membangun sayap atau serambi dari rumahnya di atas jalan. Maka, keadaan jalan itu tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ تَكُونَ نَافِذَةً أَوْ غَيْرَ نَافِذَةٍ. فَإِنْ كَانَتْ نَافِذَةً فَلَا يَخْلُو حَالُ الْجَنَاحِ مِنْ أَنْ يَكُونَ مُضِرًّا بِالْمَارَّةِ أَوْ غَيْرَ مُضِرٍّ.

Yaitu, apakah jalan itu dapat dilalui atau tidak. Jika jalan itu dapat dilalui, maka keadaan sayap tersebut juga tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah membahayakan orang yang lewat atau tidak membahayakan.

فَإِنْ كَانَ الْجَنَاحُ الْخَارِجُ غَيْرَ مُضِرٍّ بِالْمَارَّةِ وَالْمُجْتَازِينَ تُرِكَ عَلَى حَالِهِ. وَلَمْ يَكُنْ لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَعْتَرِضَ عَلَيْهِ فِيهِ. لِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَرَّ بِدَارِ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقُطِّرَ عَلَيْهِ مِنْ مِيزَابِهِ مَاءٌ فَأَمَرَ بِقَلْعِهِ فَخَرَجَ إِلَيْهِ الْعَبَّاسُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَقَالَ قَلَعْتَ مِيزَابًا نَصَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِيَدِهِ فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ لَا يُعَادُ إِلَّا عَلَى ظَهْرِي فَرَكِبَ الْعَبَّاسُ ظَهْرَهُ وَأَعَادَ الْمِيزَابَ فِي مَوْضِعِهِ.

Jika sayap yang menjorok keluar itu tidak membahayakan orang yang lewat dan yang melintas, maka dibiarkan sebagaimana adanya, dan tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang boleh memprotesnya. Hal ini sebagaimana riwayat dari Umar bin Khattab ra. bahwa beliau pernah melewati rumah Abbas bin Abdul Muthalib ra., lalu air menetes dari talang rumahnya ke atas Umar. Maka Umar memerintahkan agar talang itu dicabut. Abbas pun keluar menemui Umar dan berkata, “Engkau telah mencabut talang yang dipasang oleh Rasulullah ﷺ dengan tangannya sendiri.” Maka Umar berkata, “Demi Allah, talang itu tidak akan dipasang kembali kecuali di atas punggungku.” Maka Abbas naik ke punggung Umar dan memasang kembali talang itu di tempatnya.

وَلِأَنَّهُ لَمْ يَزَلِ النَّاسُ قَدِيمًا يَفْعَلُونَهُ وَرَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَمَنْ بَعْدَهُ مِنْ خُلَفَائِهِ يُشَاهِدُونَهُ فَلَا يُنْكِرُونَهُ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ شَرْعٌ مُسْتَقِرٌّ وَإِجْمَاعٌ مُنْعَقِدٌ.

Karena sejak dahulu orang-orang telah melakukan hal itu, dan Rasulullah ﷺ serta para khalifah setelah beliau menyaksikannya dan tidak mengingkarinya. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut merupakan syariat yang tetap dan ijmā‘ yang telah disepakati.

وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ لِلنَّاسِ الِارْتِفَاقُ بِالطُّرُقِ وَالْمَقَاعِدِ مِنْهَا جَازَ لَهُمُ الِارْتِفَاقُ بِهَوَائِهَا.

Karena ketika orang-orang diperbolehkan memanfaatkan jalan dan tempat duduk di pinggir jalan, maka mereka juga diperbolehkan memanfaatkan udara (ruang di atas) jalan tersebut.

فَإِنْ قِيلَ أَلَيْسَ الْإِنْسَانُ مَمْنُوعٌ مِنْ وَضْعِ سَارِيَةٍ فِي الطَّرِيقِ وَبِنَاءِ دَكَّةٍ وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ مُرْفَقًا وَالْعَمَلُ بِهِ جَارِيًا فَكَذَلِكَ الْجَنَاحُ.

Jika dikatakan: Bukankah seseorang dilarang menancapkan tiang di jalan atau membangun bangku, meskipun hal itu merupakan kemanfaatan dan telah menjadi kebiasaan? Maka demikian pula halnya dengan sayap (bangunan tambahan).

قِيلَ السَّارِيَةُ وَالدَّكَّةُ مُضِرٌّ بِالنَّاسِ لِمَا فِيهِ مِنْ تَضَايُقِ الطَّرِيقِ عَلَيْهِمْ.

Dijawab: Tiang dan bangku itu membahayakan orang-orang karena menyebabkan jalan menjadi sempit bagi mereka.

وَلِأَنَّهُمْ رُبَّمَا ازْدَحَمُوا فَأَضَرَّ بِهِمْ أَوْ سَقَطَ عَلَيْهِ ضَرِيرٌ لَا يُبْصِرُ فَتَأَذَّى وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْجَنَاحُ فِي الْهَوَاءِ، فَأَمَّا إِنْ كَانَ الْجَنَاحُ مُضِرًّا بِالْمَارَّةِ وَالْمُجْتَازِينَ قُلِعَ، وَلَمْ يُقَرَّ، وَأَمَرَ الْإِمَامُ بِهَدْمِهِ وَإِنْ لَمْ يَخْتَصِمِ النَّاسُ إِلَيْهِ فِيهِ.

Karena bisa jadi mereka berdesakan sehingga membahayakan mereka, atau seorang tuna netra yang tidak dapat melihat terjatuh menimpanya lalu ia pun terluka. Tidak demikian halnya dengan sayap (bangunan) yang berada di udara. Adapun jika sayap tersebut membahayakan para pejalan kaki dan orang yang melintas, maka harus dicabut dan tidak boleh dibiarkan, serta imam memerintahkan untuk merobohkannya meskipun orang-orang tidak mengadukan perkara itu kepadanya.

وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ خُوصِمَ فِيهِ إِلَى الْإِمَامِ قَلَعَهُ، وَإِنْ لَمْ يُخَاصَمْ تَرَكَهُ لِأَنَّ الْإِمَامَ حَاكِمٌ وَلَيْسَ بِخَصْمٍ، وَالْحَاكِمُ لَا يَحْكُمُ إِلَّا لِطَالِبٍ وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ خَطَأٌ لِأَمْرَيْنِ:

Abu Hanifah berkata: Jika perkara itu diadukan kepada imam, maka ia harus mencabutnya. Namun jika tidak diadukan, maka dibiarkan saja, karena imam adalah hakim dan bukan pihak yang bersengketa, dan hakim tidak memutuskan kecuali atas permintaan pihak yang bersengketa. Pendapat yang beliau sampaikan ini keliru karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْإِمَامَ مَنْدُوبٌ لِإِزَالَةِ الْمُنْكَرِ وَالنِّيَابَةِ عَنْ كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ فِي أَبْوَابِ الْمَصَالِحِ فَوَجَبَ أَنْ يَنْفَرِدَ بِإِزَالَةِ الْمُنْكَرِ.

Pertama: Imam dianjurkan untuk menghilangkan kemungkaran dan mewakili seluruh kaum muslimin dalam urusan kemaslahatan, maka wajib baginya untuk bertindak sendiri dalam menghilangkan kemungkaran.

وَالثَّانِي: أَنَّ مَا يَجُوزُ إِقْرَارُهُ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى الرِّضَا بِهِ فِي التَّرْكِ وَكَذَا مَا لَا يَجُوزُ إِقْرَارُهُ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى إِنْكَارِهِ فِي الْقَلْعِ. وَلَيْسَ هَذَا مِنْ طَرِيقِ الْحُكْمِ فَلَا يَحْكُمُ إِلَّا لِخَصْمٍ لِأَنَّ الخصم فيه لا يتعين فإنما كَافَّة النَّاسِ فِيهِ شَرْعٌ وَاحِدٌ.

Kedua: Sesuatu yang boleh dibiarkan tidak memerlukan kerelaan dalam membiarkannya, demikian pula sesuatu yang tidak boleh dibiarkan tidak memerlukan penolakan dalam mencabutnya. Ini bukan termasuk cara berhukum, sehingga tidak berlaku ketentuan bahwa hakim hanya memutuskan untuk pihak yang bersengketa, karena dalam hal ini pihak yang bersengketa tidak tertentu, melainkan seluruh masyarakat memiliki hukum yang sama di dalamnya.

فَإِذَا وَجَبَ قَلْعُهُ فَبَذَلَ صَاحِبُهُ مَالًا صُلْحًا عَلَى تَرْكِهِ لَمْ يَجُزْ لِأَمْرَيْنِ:

Jika wajib mencabutnya, lalu pemiliknya menawarkan uang sebagai ganti damai agar dibiarkan, maka tidak boleh diterima karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ صُلْحٌ عَلَى إِقْرَارِ مُنْكَرٍ.

Pertama: Itu merupakan perdamaian atas pengakuan terhadap kemungkaran.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ صُلْحٌ عَلَى الْهَوَى.

Kedua: Itu merupakan perdamaian atas dasar hawa nafsu.

فَأَمَّا حَدُّ مَا يَضُرُّ مِمَّا لَا يَضُرُّ فَمُعْتَبَرٌ بِالْعُرْفِ وَالْعَادَةِ وَمُخْتَلِفٌ بِاخْتِلَافِ الْبِلَادِ.

Adapun batasan antara yang membahayakan dan yang tidak membahayakan, maka diukur berdasarkan ‘urf (kebiasaan) dan adat, serta berbeda-beda sesuai dengan perbedaan daerah.

وَقَالَ أَبُو عُبَيْدِ بْنُ حَرْبَوَيْهِ مِنْ أَصْحَابِنَا: حَدُّ الضرر أن لا يمكن الفارس أن يحتاز تَحْتَهُ بِرُمْحٍ قَائِمٍ وَحُكِيَ نَحْوُهُ عَنْ شُرَيْحٍ.

Abu Ubaid bin Harbawaih dari kalangan sahabat kami berkata: Batas bahaya adalah apabila seorang penunggang kuda tidak dapat melintas di bawahnya dengan tombak yang tegak. Pendapat serupa juga dinukil dari Syuraih.

وَهَذَا التَّحْدِيدُ لَيْسَ بِصَحِيحٍ لِأَنَّ الرِّمَاحَ مُخْتَلِفَةٌ فِي الطُّولِ وَالْقِصَرِ. وَلِأَنَّ هَذَا يُؤَدِّي إِلَى أَنْ لَا يُخْرِجَ أَحَدٌ جَنَاحًا لِأَنَّ الرُّمْحَ قَدْ يَعْلُو عَلَى الْمَنَازِلِ فِي أَكْثَرِ الْبِلَادِ.

Batasan ini tidaklah benar, karena tombak itu berbeda-beda panjang dan pendeknya. Selain itu, hal ini akan menyebabkan tidak seorang pun dapat mengeluarkan sayap (bangunan), karena tombak bisa lebih tinggi dari rumah-rumah di sebagian besar negeri.

وَلِأَنَّهُ لَا مَضَرَّةَ عَلَى صَاحِبِ الرُّمْحِ فِي الِاجْتِيَازِ بِرُمْحِهِ مَائِلًا. وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ ذَلِكَ بِحَسَبَ الْبِلَادِ.

Selain itu, tidak ada bahaya bagi pemilik tombak jika ia melintas dengan tombaknya yang miring. Oleh karena itu, harus diukur sesuai dengan keadaan masing-masing daerah.

فَإِنْ كَانَ الْبَلَدُ قَدْ تَجْتَازُ فِي طُرُقِهِ الْجِمَالُ الَّتِي عَلَيْهَا الْكَبَائِسُ وَالْعَمَّارِيَّاتُ وَذَلِكَ أَعْلَى مَا يُجْتَازُ فِي الطُّرُقَاتِ فَحَدُّ الْإِضْرَارِ أَنْ لَا يُمْكِنَ اجْتِيَازُ الْكَبَائِسِ وَالْعَمَّارِيَّاتِ تَحْتَهُ وَإِنْ أَمْكَنَ اجْتِيَازُهَا فليس بمضر.

Jika di suatu daerah biasa melintas unta-unta yang membawa kabais dan ‘ammariyat di jalan-jalannya, dan itu adalah kendaraan tertinggi yang melintas di jalan, maka batas bahaya adalah apabila kabais dan ‘ammariyat tidak dapat melintas di bawahnya. Jika masih bisa melintas, maka tidak dianggap membahayakan.

فَإِنْ كَانَ الْبَلَدُ مِمَّا لَمْ تَجْرِ عَادَةُ الْكَبَائِسِ وَالْعَمَّارِيَّاتِ أَنْ تَجْتَازَ بِهِ وَجَرَتْ عَادَةُ الْجِمَالِ الْمُحَمَّلَةِ أَنْ تَجْتَازَ فِيهِ فَحَدُّ الْإِضْرَارِ فِيهَا أَنْ لَا يُمْكِنَ اجْتِيَازُ الْجِمَالِ الْمُحَمَّلَةِ تَحْتَهُ. وَإِنْ أَمْكَنَ فَلَيْسَ بِمُضِرٍّ.

Jika di suatu daerah tidak biasa kabais dan ‘ammariyat melintas, namun biasa unta-unta yang membawa muatan melintas, maka batas bahaya adalah apabila unta-unta bermuatan tidak dapat melintas di bawahnya. Jika masih bisa, maka tidak dianggap membahayakan.

وَإِنْ لَمْ تَجْرِ عَادَةُ الْبَلَدِ بِاجْتِيَازِ الْجِمَالِ الْمُحَمَّلَةِ فِيهِ وَجَرَتْ عَادَةُ الْفُرْسَانِ بِالِاجْتِيَازِ فِيهِ فَحَدُّ الْإِضْرَارِ فِيهِ أَنْ لَا يُمْكِنَ اجْتِيَازُ الْفَارِسِ تَحْتَهُ. فَإِنْ أَمْكَنَ فَلَيْسَ بِمُضِرٍّ.

Jika di suatu daerah tidak biasa unta bermuatan melintas, namun biasa para penunggang kuda melintas, maka batas bahaya adalah apabila penunggang kuda tidak dapat melintas di bawahnya. Jika masih bisa, maka tidak dianggap membahayakan.

وَإِنْ لَمْ تَجْرِ عَادَةُ الْبَلَدِ بِاجْتِيَازِ الْفُرْسَانِ فِيهِ فَحَدُّ الْإِضْرَارِ فِيهِ أَنْ لَا يُمْكِنَ اجْتِيَازُ الرَّجُلِ التَّامِّ إِذَا كَانَ عَلَى رَأْسِهِ حُمُولَةٌ مُسْتَعْلِيَةٌ فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا فَحَدُّ الْإِضْرَارِ مُعْتَبَرٌ بِمَا ذَكَرْنَا.

Jika di suatu daerah tidak biasa para penunggang kuda melintas, maka batas bahaya adalah apabila seorang laki-laki dewasa yang di atas kepalanya terdapat barang bawaan yang tinggi tidak dapat melintas di bawahnya. Dengan demikian, batas bahaya diukur sebagaimana yang telah kami sebutkan.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِنْ كَانَتِ الطَّرِيقُ غَيْرَ نَافِذَةٍ فَلَيْسَ لَهُ إِخْرَاجُ الْجَنَاحِ فِيهَا إِلَّا بِإِذْنِ جَمِيعِ أَهْلِهَا سَوَاءٌ كَانَ الْجَنَاحُ مُضِرًّا أَوْ غَيْرَ مُضِرٍّ.

Jika jalan tersebut bukan jalan tembus, maka tidak boleh seseorang mengeluarkan sayap (bangunan) di atasnya kecuali dengan izin seluruh penduduknya, baik sayap itu membahayakan maupun tidak.

لِأَنَّ الطَّرِيقَ الَّتِي لَا تَنْفُذُ مَمْلُوكَةٌ بَيْنَ جَمِيعِ أَهْلِهَا وَلَيْسَ لِأَحَدِهِمْ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيهَا إِلَّا بِحَقِّ الِاجْتِيَازِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُتَعَدَّى إِلَى إِخْرَاجِ الْجَنَاحِ كَالْأَرْضِ الْمُشْتَرَكَةِ أَوِ الطَّرِيقِ الْمُسْتَحَقَّةِ.

Karena jalan yang tidak tembus adalah milik bersama seluruh penduduknya, dan tidak seorang pun dari mereka boleh bertindak di dalamnya kecuali sebatas hak melintas. Maka tidak boleh melampaui hingga mengeluarkan sayap (bangunan), sebagaimana tanah bersama atau jalan yang menjadi hak bersama.

فَإِنْ صَالَحَ أَهْلَ الطَّرِيقِ عَلَى مَالٍ فِي إِقْرَارِ الْجَنَاح لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ صُلْحٌ عَلَى الْهَوَى. إِلَّا أَنْ يَتَّصِلَ بِالْعُرْضَةِ كَبِنَاءِ بَعْضِهِ فِي عُرْضَةِ الطَّرِيقِ ثُمَّ يَرْفَعُهُ فَيَجُوزَ.

Jika ia berdamai dengan para pemilik jalan atas sejumlah harta untuk mengakui keberadaan junnāḥ (bagian bangunan yang menjorok ke jalan), maka tidak boleh, karena itu merupakan perdamaian atas dasar hawa nafsu. Kecuali jika hal itu berkaitan dengan bagian lebar jalan, seperti membangun sebagian bangunan di atas lebar jalan, lalu ia mengangkatnya (menghilangkannya), maka itu boleh.

وَيَكُونَ ذَلِكَ بَيْعًا مِنْهُمْ بِقَدْرِ حُقُوقِهِمْ مِنَ الْعُرْضَةِ الَّتِي حَصَلَ فِيهَا الْبِنَاءُ فَلَوْ أَذِنُوا جَمِيعًا لَهُ فِي إِخْرَاجِ الْجَنَاحِ جَازَ مُضِرًّا كَانَ أَوْ غَيْرَ مُضِرٍّ.

Dan hal itu dianggap sebagai jual beli dari mereka sesuai dengan hak-hak mereka atas bagian lebar jalan yang telah dibangun di atasnya. Maka jika mereka semua mengizinkannya untuk mengeluarkan junnāḥ, maka itu boleh, baik hal itu menimbulkan mudarat maupun tidak.

لِأَنَّهُ حَقٌّ قَدْ تَعَيَّنَ لَهُمْ لَا يُشْرِكُهُمْ فِيهِ غَيْرُهُمْ وَلَيْسَ كَالطَّرِيقِ النَّافِذَةِ الَّتِي يَشْتَرِكُ فِيهَا الْكَافَّةُ فَلَوْ رَجَعُوا بَعْدَ إِذْنِهِمْ، فَإِنْ كَانَ رُجُوعُهُمْ بَعْدَ إِخْرَاجِ الْجَنَاحِ لَمْ يَكُنْ لِرُجُوعِهِمْ تَأْثِيرٌ وَكَانَ لَهُ إِقْرَارُ الْجَنَاحِ مَا بَقِيَ.

Karena itu adalah hak yang telah ditetapkan bagi mereka, tidak ada orang lain yang berhak atasnya bersama mereka, dan itu tidak seperti jalan umum yang digunakan oleh semua orang. Maka jika mereka menarik kembali izin mereka setelah mengizinkannya, jika penarikan itu terjadi setelah junnāḥ dikeluarkan, maka penarikan mereka tidak berpengaruh dan ia tetap berhak mempertahankan junnāḥ selama masih ada.

وَإِنْ كَانَ قَبْلَ إِخْرَاجِهِ بَطَلَ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْإِذْنِ فَكَانَ إِخْرَاجُ الْجَنَاحِ كَمَنْ أَخْرَجَ بِغَيْرِ إِذْنٍ وَكَذَا لَوْ رَجَعَ أَحَدُهُمْ.

Namun jika penarikan izin itu terjadi sebelum junnāḥ dikeluarkan, maka izin yang telah diberikan sebelumnya menjadi batal, sehingga pengeluaran junnāḥ itu seperti orang yang mengeluarkannya tanpa izin. Demikian pula jika salah satu dari mereka menarik kembali izinnya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَلَوْ أَنَّ رَجُلَيْنِ ادَّعَيَا دَارًا فِي يَدَيْ رَجُلٍ فَقَالَا وَرَثْنَاهَا عَنْ أَبِينَا فَأَقَرَّ لِأَحَدِهِمَا بِنِصْفِهَا فَصَالَحَهُ مِنْ ذَلِكَ الَّذِي أَقَرَّ لَهُ بِهِ عَلَى شَيْءٍ كَانَ لِأَخِيهِ أَنْ يَدْخُلَ مَعْهُ فِيهِ (قَالَ الْمَزَنِيُّ) قَلْتُ أَنَا يَنْبَغِي في قياس قوله أن يبطل الصلح أقرب فِي حَقِّ أَخِيهِ لِأَنَّهُ صَارَ لِأَخِيهِ بِإِقْرَارِهِ قَبْلَ أَنْ يُصَالِحَ عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ صَالَحَ بِأَمْرِهِ فَيَجُوزَ عَلَيْهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ada dua orang laki-laki mengklaim sebuah rumah yang ada di tangan seseorang, lalu keduanya berkata, ‘Kami mewarisinya dari ayah kami,’ kemudian orang yang memegang rumah itu mengakui setengahnya untuk salah satu dari mereka, lalu berdamai dengan orang yang diakui atas sesuatu, maka saudaranya berhak untuk ikut serta dalam perdamaian itu.” (Al-Muzani berkata:) Aku berkata, menurut qiyās pendapatnya, seharusnya perdamaian itu batal dalam hak saudaranya, karena bagian itu telah menjadi milik saudaranya melalui pengakuan sebelum terjadi perdamaian, kecuali jika perdamaian itu dilakukan atas persetujuannya, maka itu boleh baginya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي أَخَوَيْنِ ادَّعَيَا دَارًا فِي يَدِ رَجُلٍ مِيرَاثًا عَنْ أَبِيهِمَا أَوْ نَسَبَا ذَلِكَ إِلَى جِهَةٍ يَسْتَوِيَانِ فِيهَا غَيْرِ الْمِيرَاثِ كَقَوْلِهِمَا ابْتَعْنَاهَا مِنْ زَيْدٍ أَوِ اسْتَوْهَبْنَاهَا مِنْ عَمْرٍو فَيَكُونَ حُكْمُ هَذَا وَحُكْمُ الْمِيرَاثِ سَوَاءٌ لِأَنَّهُمَا نَسَبَا ذَلِكَ إِلَى جِهَةٍ وَاحِدَةٍ يَسْتَوِيَانِ فِيهَا. وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلِصَاحِبِ الْيَدِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Gambaran kasusnya adalah dua bersaudara mengklaim sebuah rumah yang ada di tangan seseorang sebagai warisan dari ayah mereka, atau mereka menisbatkannya kepada sebab lain yang keduanya sama-sama memilikinya selain warisan, seperti ucapan mereka, “Kami membelinya dari Zaid” atau “Kami mendapatkannya sebagai hibah dari Amr.” Maka hukum kasus ini dan hukum warisan adalah sama, karena keduanya menisbatkan klaimnya kepada satu sebab yang keduanya sama-sama memilikinya. Dalam hal ini, orang yang memegang rumah memiliki tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُصَدِّقَهُمَا وَيُقِرَّ لَهُمَا فَيَلْزَمُهُ بِإِقْرَارِهِ تَسْلِيمُ الدَّارِ إِلَيْهِمَا.

Pertama: Ia membenarkan keduanya dan mengakui hak mereka, maka ia wajib menyerahkan rumah itu kepada mereka berdua berdasarkan pengakuannya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُكَذِّبَهُمَا وَيُنْكِرَهُمَا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ مَا لَمْ يَكُنْ لِلْأَخَوَيْنِ بَيِّنَةٌ. فَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ رُدَّتْ عَلَى الْأَخَوَيْنِ فَإِنْ حَلَفَا كَانَتِ الدَّارُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ، وَإِنْ نَكَلَا أُقِرَّتِ الدَّارُ فِي يَدِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ. وَإِنْ حَلَفَ أَحَدُهُمَا وَنَكَلَ الْآخَرُ كَانَ نِصْفُ الدَّارِ لِلْحَالِفِ بِيَمِينِهِ لَا يُشَارِكُهُ أَخُوهُ فِي شَيْءٍ مِنْهَا وَالنِّصْفُ الْآخَرُ مُقَرٌّ فِي يَدِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ.

Kedua: Ia mendustakan keduanya dan mengingkari klaim mereka, maka perkataan dipegang olehnya dengan sumpah, selama kedua bersaudara itu tidak memiliki bukti. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada kedua bersaudara. Jika keduanya bersumpah, maka rumah itu dibagi dua di antara mereka. Jika keduanya enggan bersumpah, maka rumah tetap di tangan tergugat. Jika salah satu bersumpah dan yang lain enggan, maka setengah rumah menjadi milik yang bersumpah dengan sumpahnya, dan saudaranya tidak berhak atas bagian itu, sedangkan setengah lainnya tetap di tangan tergugat.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُصَدِّقَ أَحَدَهُمَا عَلَى نِصْفِهَا وَيُكَذِّبَ الْآخَرَ فَعَلَيْهِ الْيَمِينُ لِمَنْ أَنْكَرَهُ وَيُنْزَعُ النِّصْفُ الَّذِي أَقَرَّ بِهِ فَيَكُونُ بَيْنَ الْمُقَرِّ لَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ نِصْفَيْنِ.

Ketiga: Ia membenarkan salah satu dari mereka atas setengah rumah dan mendustakan yang lain, maka ia wajib bersumpah kepada yang didustakan, dan setengah yang diakui diambil darinya, sehingga menjadi milik bersama antara yang diakui dan saudaranya, masing-masing setengah.

وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّهُمَا نَسَبَا دَعْوَاهُمَا إِلَى جِهَةٍ يَسْتَوِيَانِ فِيهَا وَيَشْتَرِكَانِ فِيمَا مَلَكَاهُ بِهَا وَكَانَ إِنْكَارُهُ النِّصْفَ لِأَحَدِهِمَا يَجْرِي مَجْرَى غَصْبِهِ شَيْئًا مِنْ تَرِكَةِ أَبِيهِمَا.

Hal itu karena keduanya menisbatkan klaimnya kepada satu sebab yang keduanya sama-sama memilikinya, dan mereka berdua berbagi dalam apa yang mereka miliki melalui sebab itu. Pengingkaran atas setengah bagian untuk salah satu dari mereka sama dengan merampas sebagian dari warisan ayah mereka.

وَلَوْ غصب من تركة أبيهما قبل القسمة واحد مِنْ عَبْدَيْنِ أَوْ دَارًا مِنْ دَارَيْنِ كَانَتِ الدَّارُ الْبَاقِيَةُ وَالْعَبْدُ الْبَاقِي بَيْنَهُمَا وَالْمَغْصُوبُ بَيْنَهُمَا.

Jika seseorang merampas dari warisan ayah mereka sebelum pembagian, misalnya salah satu dari dua budak atau salah satu dari dua rumah, maka rumah yang tersisa dan budak yang tersisa menjadi milik bersama mereka berdua, dan yang dirampas juga menjadi milik bersama mereka berdua.

فَإِنْ قِيلَ أَلَيْسَ لَوْ أَنْكَرَهُمَا وَنَكَلَ فَحَلَفَ أَحَدُ الْأَخَوَيْنِ وَنَكَلَ الْآخَرُ كَانَ النِّصْفُ لِلْحَالِفِ لَا يُشَارِكُهُ فِيهِ النَّاكِلُ؟ .

Jika dikatakan: Bukankah jika ia mengingkari keduanya dan enggan bersumpah, lalu salah satu dari kedua bersaudara bersumpah dan yang lain enggan, maka setengahnya menjadi milik yang bersumpah dan yang enggan tidak berhak atasnya?

قِيلَ نَعَمْ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Dijawab: Benar, dan perbedaannya antara kedua kasus itu dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ النَّاكِلَ سَقَطَ حَقُّهُ بِنُكُولِهِ إِذْ قَدْ كَانَ يُمْكِنُهُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهِ بِيَمِينِهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي الْإِقْرَارِ.

Salah satunya: bahwa hak orang yang menolak bersumpah gugur karena penolakannya, sebab sebenarnya ia bisa memperoleh haknya dengan sumpahnya, dan hal ini tidak berlaku dalam kasus pengakuan (iqrār).

وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ تَقَرَّرَ فِي الْأُصُولِ أَنَّ أحد لَا يَسْتَحِقُّ بِيَمِينِ غَيْرِهِ شَيْئًا وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي الْإِقْرَارِ.

Dan yang kedua: telah ditetapkan dalam ushul bahwa seseorang tidak berhak mendapatkan sesuatu hanya dengan sumpah orang lain, dan hal ini tidak berlaku dalam kasus pengakuan (iqrār).

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ النِّصْفَ الْمُقَرَّ يَكُونُ بَيْنَ الْأَخَوَيْنِ مَعًا فَصَالَحَ الْأَخُ الْمُقَرُّ لَهُ بِالنِّصْفِ لِلْمُقِرِّ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika telah tetap bahwa setengah bagian yang diakui menjadi milik kedua saudara bersama, lalu saudara yang diakui haknya melakukan perdamaian (ṣulḥ) atas setengah bagian itu kepada yang mengakui, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُصَالِحَهُ عَلَى حَقِّهِ وَهُوَ الرُّبُعُ فَالصُّلْحُ جَائِزٌ وَالشُّفْعَةُ فِيمَا صَالَحَ مِنَ الرُّبُعِ وَاجِبَةٌ وَفِيهَا قَوْلَانِ:

Salah satunya: ia melakukan perdamaian atas haknya, yaitu seperempat bagian, maka perdamaian itu sah dan hak syuf‘ah atas seperempat bagian yang menjadi objek perdamaian itu wajib, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تَجِبُ لِأَخِيهِ الْمُشَارِكِ فِي نِصْفِ الدَّارِ دُونَ الْمُقِرِّ.

Salah satunya: bahwa hak syuf‘ah itu wajib bagi saudaranya yang turut memiliki setengah rumah, bukan bagi yang mengakui.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَجِبُ لِأَخِيهِ وَلِلْمُقِرِّ الَّذِي صُولِحَ. فَلَا يَكُونُ لِلْأَخِ أَنْ يَنْزِعَ مِنَ الْمَصَالَحِ إِلَّا قَدْرَ حَقِّهِ، وَفِي حَقِّهِ قَوْلَانِ: –

Pendapat kedua: bahwa hak syuf‘ah itu wajib bagi saudaranya dan juga bagi yang mengakui yang telah melakukan perdamaian. Maka saudara tersebut tidak berhak mengambil dari pihak yang berdamai kecuali sebesar haknya, dan terkait haknya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ بَيْنَهُمَا نِصْفَانِ.

Salah satunya: bahwa hak itu dibagi dua sama rata di antara mereka.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ بَيْنَهُمَا عَلَى قَدْرِ الْمَالَيْنَ أَثْلَاثًا.

Dan yang kedua: bahwa hak itu dibagi di antara mereka sesuai dengan nilai harta masing-masing, yaitu sepertiga-sepertiga.

وَسَنَذْكُرُ تَوْجِيهَ الْقَوْلَيْنِ فِي كِتَابِ الشُّفْعَةِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.

Dan kami akan menyebutkan penjelasan kedua pendapat ini dalam Kitab Syuf‘ah, insya Allah.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُصَالِحَهُ عَلَى جَمِيعِ النِّصْفِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Keadaan kedua: ia melakukan perdamaian atas seluruh setengah bagian, maka ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُصَالِحَهُ بِإِذْنِ أَخِيهِ فَالصُّلْحُ فِي النِّصْفِ كُلِّهِ جَائِزٌ وَيَكُونُ الْمَالُ الَّذِي وَقَعَ الصُّلْحُ بِهِ بَيْنَ الْأَخَوَيْنِ نِصْفَيْنِ.

Salah satunya: ia melakukan perdamaian dengan izin saudaranya, maka perdamaian atas seluruh setengah bagian itu sah, dan harta yang menjadi objek perdamaian dibagi dua antara kedua saudara.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُصَالِحَهُ بِغَيْرِ إِذْنِ أَخِيهِ فَيَكُونُ الصُّلْحُ فِي حَقِّ أَخِيهِ وَهُوَ الرُّبُعُ بَاطِلًا.

Keadaan kedua: ia melakukan perdamaian tanpa izin saudaranya, maka perdamaian atas hak saudaranya, yaitu seperempat bagian, batal.

وَهَلْ يَبْطُلُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ:

Apakah perdamaian itu juga batal atas hak dirinya sendiri atau tidak, terdapat dua pendapat dalam masalah tafriq ash-shafqah (pemisahan akad):

أَحَدُهُمَا: يَبْطُلُ.

Salah satunya: batal.

وَالثَّانِي: لَا يَبْطُلُ.

Dan yang kedua: tidak batal.

وَيَكُونُ الْمُصَالِحُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ فَسْخِ الصُّلْحِ وَاسْتِرْجَاعِ الْعِوَضِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ الْأَخُ إِلَى أَخْذِهِ بِالشُّفْعَةِ وَبَيْنَ أَنْ يُقِيمَ عَلَى الصُّلْحِ فِي حَقِّهِ وَبِمَاذَا يُقِيمُ عَلَيْهِ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Dan pihak yang berdamai memiliki pilihan antara membatalkan perdamaian dan mengambil kembali kompensasi, kecuali jika saudaranya mengizinkan untuk mengambilnya dengan syuf‘ah, atau tetap pada perdamaian atas haknya sendiri, dan dengan apa ia tetap pada perdamaian itu terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بِجَمِيعِ الْعِوَضِ وَإِلَّا فُسِخَ.

Salah satunya: dengan seluruh kompensasi, jika tidak maka dibatalkan.

وَالثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ يُقِيمُ عَلَيْهِ بِحِسَابِهِ وَقِسْطِهِ وَهُوَ النِّصْفُ.

Dan yang kedua, dan ini yang lebih sahih, ia tetap pada perdamaian itu sesuai bagiannya, yaitu setengah.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا الْإِمَامُ الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ نَقَلَ كَلَامًا مُحْتَمَلًا وَتَأَوَّلَهُ تَأْوِيلًا فَاسِدًا ثُمَّ اعْتَرَضَ عَلَيْهِ بِمَا لَوْ صَحَّ تَأْوِيلُهُ لَصَحَّ اعْتِرَاضُهُ وَهُوَ أَنَّهُ نَقَلَ عَنِ الشَّافِعِيِّ.

Adapun Imam al-Muzani, ia telah menukil suatu pernyataan yang masih mungkin ditafsirkan, lalu menafsirkannya dengan penafsiran yang keliru, kemudian mengkritiknya dengan sesuatu yang jika penafsirannya benar maka kritiknya pun benar, yaitu bahwa ia menukil dari asy-Syafi‘i.

إذ أَقَرَّ لِأَحَدِهِمَا بِنِصْفِهِ فَصَالَحَهُ مِنْ ذَلِكَ عَلَى شيء كان لأخيه أن يدخل معه فيه.

Yaitu, jika ia mengakui kepada salah satu dari mereka atas setengahnya, lalu melakukan perdamaian atas bagian itu, maka saudaranya berhak untuk turut serta dalam bagian itu.

فَتَأَوَّلَهُ عَلَى أَنَّ الشَّافِعِيَّ أَجَازَ صُلْحَهُ فِي جَمِيعِ النِّصْفِ ثُمَّ جَعَلَ أَخَاهُ شَرِيكًا لَهُ فِي مَالِ الصُّلْحِ، فَاعْتَرَضَ عَلَيْهِ بِأَنْ قَالَ: يَجِبُ أَنْ يَبْطُلَ الصُّلْحُ فِي حَقِّ أَخِيهِ، وَهَذَا وَهْمٌ مِنَ الْمُزَنِيِّ فِي تَأْوِيلِهِ، لِأَنَّ مُرَادَ الشَّافِعِيِّ بِقَوْلِهِ كَانَ لِأَخِيهِ أَنْ يَدْخُلَ مَعَهُ فِيهِ: يَعْنِي فِي النِّصْفِ مِنَ الدَّارِ لَا فِي النِّصْفِ مِنَ الْمَالِ وَالْجَوَابُ فِي الصُّلْحِ عَلَى مَا شَرَحْنَا. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Lalu ia menafsirkannya bahwa asy-Syafi‘i membolehkan perdamaian atas seluruh setengah bagian, kemudian menjadikan saudaranya sebagai sekutu dalam harta hasil perdamaian. Maka ia mengkritik dengan mengatakan: seharusnya perdamaian atas hak saudaranya batal. Ini adalah kekeliruan al-Muzani dalam penafsirannya, karena maksud asy-Syafi‘i dengan ucapannya “saudaranya berhak turut serta dalam bagian itu” adalah dalam setengah rumah, bukan dalam setengah harta. Dan jawaban mengenai perdamaian telah kami jelaskan sebelumnya. Wallāhu a‘lam.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَتِ الْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا وَادَّعَى كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهِمَا نِصْفَهَا فَأَقَرَّ لِأَحَدِهِمَا بِالنِّصْفِ وَجَحَدَ لِلْآخَرِ لَمْ يَكُنْ لِلْآخَرِ فِي ذَلِكَ حَقٌّ وَكَانَ على خصومته “.

Asy-Syafi‘i ra. berkata: “Seandainya masalahnya tetap seperti itu, lalu masing-masing dari keduanya mengklaim setengahnya, kemudian ia mengakui kepada salah satu dari mereka atas setengahnya dan mengingkari kepada yang lain, maka yang lain tidak memiliki hak dalam hal itu dan tetap dalam persengketaannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. إِذَا ادَّعَى أَخَوَانِ دَارًا فِي يَدِ رَجُلٍ وَلَمْ يَنْسُبَاهَا إِلَى أنهما مَلَكَاهَا بِسَبَبٍ وَاحِدٍ فَأَقَرَّ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ لِأَحَدِهِمَا بِالنِّصْفِ وَأَنْكَرَ الْآخَرَ فَعَلَيْهِ الْيَمِينُ لِمَنْ أَنْكَرَهُ وَيَنْفَرِدُ الْمُقَرُّ لَهُ بِالنِّصْفِ لَا يُشَارِكُهُ الْآخَرُ فِيهِ. لِأَنَّهُ لَا تَعَلُّقَ لِمِلْكِ أَحَدِهِمَا بِالْآخَرِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Jika dua saudara mengklaim sebuah rumah yang ada di tangan seseorang dan mereka tidak menyandarkan kepemilikannya pada satu sebab yang sama, lalu orang yang digugat mengakui kepada salah satu dari mereka atas setengahnya dan mengingkari yang lain, maka ia wajib bersumpah kepada yang diingkari, dan yang diakui berhak atas setengahnya secara sendiri, tidak disertai oleh yang lain. Karena kepemilikan salah satu dari mereka tidak terkait dengan yang lain.

وَهَكَذَا لَوِ ادَّعَيَاهَا مِيرَاثًا مَقْبُوضًا قَدِ اسْتَقَرَّ مِلْكُهُمَا عَلَيْهَا بِالْقِسْمَةِ وَالْقَبْضِ فَصَدَّقَ أَحَدَهُمَا عَلَى النِّصْفِ وَأَنْكَرَ الْآخَرَ تَفَرَّدَ الْمُقَرُّ لَهُ بِالنِّصْفِ وَلَمْ يُشَارِكْهُ الْآخَرُ فِيهِ.

Demikian pula, jika keduanya mengklaim harta warisan yang telah mereka terima dan kepemilikan mereka atasnya telah tetap melalui pembagian dan penerimaan, lalu salah satu dari mereka membenarkan (pengakuan) atas setengahnya dan yang lain mengingkarinya, maka orang yang diakui berhak atas setengahnya secara sendiri dan yang lain tidak berhak bersamanya atas bagian itu.

كَمَا لَوْ لَمْ يضيفا ذَلِكَ إِلَى سَبَبٍ وَاحِدٍ لِأَنَّ الْمِيرَاثَ إِذَا اسْتَقَرَّ مِلْكُهُ بِالْقِسْمَةِ وَالْقَبْضِ لَمْ يَتَعَلَّقْ مِلْكُ أَحَدِهِمَا بِالْآخَرِ. أَلَا تَرَى لَوِ اقْتَسَمَا دَارَيْنِ وَأَخَذَ كُلُّ وَاحِد مِنْهُمَا إِحْدَى الدَّارَيْنِ ثُمَّ غُصِبَتْ إِحْدَى الدَّارَيْنِ مِنْ أَحَدِهِمَا انْفَرَدَ الْآخَرُ بِالْبَاقِيَةِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُشَارِكَهُ فِيهَا أَخُوهُ. وَلَوْ غُصِبَتْ قَبْلَ الْقِسْمَةِ لَشَارَكَهُ فِيهَا كَذَلِكَ فِي الْإِقْرَارِ إِذَا صَدَّقَ أَحَدَهُمَا عَلَى النِّصْفِ قبل القسمة شاركه الآخرة فِيهِ. وَإِنْ صَدَّقَهُ بَعْدَ الْقِسْمَةِ لَمْ يُشَارِكْهُ الآخر فيه.

Sebagaimana jika keduanya tidak mengaitkan hal itu pada satu sebab, karena warisan apabila kepemilikannya telah tetap melalui pembagian dan penerimaan, maka kepemilikan salah satu dari mereka tidak terkait dengan yang lain. Tidakkah engkau melihat, jika keduanya membagi dua rumah dan masing-masing mengambil salah satu rumah, kemudian salah satu rumah itu dirampas dari salah satu dari mereka, maka yang lain berhak secara sendiri atas rumah yang tersisa tanpa saudaranya ikut serta di dalamnya. Namun jika perampasan terjadi sebelum pembagian, maka saudaranya ikut serta dalam hak atas rumah itu. Demikian pula dalam pengakuan, jika salah satu dari mereka membenarkan atas setengah sebelum pembagian, maka yang lain ikut serta dalam hak atasnya. Tetapi jika membenarkannya setelah pembagian, maka yang lain tidak ikut serta dalam hak atasnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَ أَقَرَّ لِأَحَدِهِمَا بِجَمِيعِ الدَّارِ فَإِنْ كَانَ لَمْ يُقِرَّ لِلْآخَرِ بِأَنَّ لَهُ النِّصْفَ فَلَهُ الْكُلُّ وَإِنْ كَانَ أَقَرَّ بِأَنَّ لَهُ النِّصْفَ وَلِأَخِيهِ النِّصْفَ كَانَ لِأَخِيهِ أَنْ يَرْجِعَ بِالنِّصْفِ عَلَيْهِ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang mengakui seluruh rumah untuk salah satu dari mereka, maka jika ia tidak mengakui kepada yang lain bahwa ia memiliki setengahnya, maka seluruhnya menjadi milik yang diakui. Namun jika ia mengakui bahwa ia memiliki setengah dan saudaranya memiliki setengah, maka saudaranya berhak menuntut setengahnya darinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. إِذَا ادَّعَى الْأخَوَانِ دَارًا فِي يَدِ رَجُلٍ فَاعْتَرَفَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ لِأَحَدِ الْأَخَوَيْنِ بِجَمِيعِ الدَّارِ وَأَنْكَرَ الْآخَرَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan. Jika dua bersaudara mengklaim sebuah rumah yang berada di tangan seseorang, lalu orang yang digugat mengakui seluruh rumah untuk salah satu dari dua bersaudara itu dan mengingkari yang lain, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَنْسُبَا تِلْكَ إِلَى جِهَةٍ وَاحِدَةٍ يَسْتَوِيَانِ فِيهَا فَتَكُونَ الدَّارُ لِلْأَخَوَيْنِ مَعًا.

Pertama: Keduanya mengaitkan rumah itu pada satu sebab yang sama, sehingga keduanya setara dalam hak, maka rumah itu menjadi milik kedua bersaudara bersama-sama.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَنْسُبَاهَا إِلَى جِهَةٍ يَتَسَاوَيَانِ فِيهَا فَلِلْمُقَرِّ لَهُ حَالَانِ:

Kedua: Keduanya tidak mengaitkan rumah itu pada satu sebab yang membuat mereka setara, maka bagi orang yang diakui (haknya) ada dua keadaan:

حَالٌ يَقْبَلُ الْإِقْرَارَ بِجَمِيعِهَا، وَحَالٌ لَا يَقْبَلُ. فَإِنْ لَمْ يَقْبَلِ الْإِقْرَارَ بِجَمِيعِهَا كَانَ لَهُ النِّصْفُ الَّذِي ادَّعَاهُ. فَأَمَّا النِّصْفُ الْآخَرُ الَّذِي أَقَرَّ لَهُ بِهِ وَلَمْ يَقْبَلْهُ فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Keadaan di mana ia menerima pengakuan atas seluruhnya, dan keadaan di mana ia tidak menerimanya. Jika ia tidak menerima pengakuan atas seluruhnya, maka ia hanya berhak atas setengah yang ia klaim. Adapun setengah lainnya yang diakui untuknya namun tidak ia terima, maka menurut para ulama kami terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ يَكُونُ مُقَرًّا فِي يَدِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ وَيَكُونَ الْمُكَذَّبُ خَصْمًا لَهُ فِيهِ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْتَحِقَّ أَخْذَهُ مَعَ أَنَّ يَدَهُ عَلَيْهِ.

Pertama: Setengah itu tetap berada di tangan tergugat dan yang tidak dibenarkan menjadi pihak lawan dalam perkara tersebut, karena ia tidak berhak mengambilnya meskipun ia menguasainya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُنْزَعُ النِّصْفُ مِنْ يَدِهِ وَيُوضَعُ عَلَى يَدِ حَاكِمٍ حَتَّى إِذَا ثَبَتَ عِنْدَهُ مُسْتَحِقُّهُ سَلَّمَهُ إِلَيْهِ لِأَنَّ إِقْرَارَهُ أَوْجَبَ رَفْعَ يَدِهِ.

Kedua: Setengah itu diambil dari tangannya dan diletakkan di tangan hakim, sehingga apabila telah jelas siapa yang berhak atasnya, maka hakim menyerahkannya kepadanya, karena pengakuannya menyebabkan hilangnya hak kepemilikan atasnya.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ يُدْفَعُ إِلَى مُدَّعِيهِ لِأَنَّهُ خَصْمٌ لَهُ فِيهِ. وَإِنْ قَبِلَ مُدَّعِي النِّصْفَ الْإِقْرَارَ بِالْكُلِّ انتزعه الْكُلُّ مِنَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ ثُمَّ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ الْمُقَرُّ لَهُ قَدْ حَفِظَ عَلَيْهِ تَصْدِيقَ أَخِيهِ فِي ادِّعَائِهِ النِّصْفَ إِمَّا قَبْلَ الْإِقْرَارِ لَهُ أَوْ بَعْدَهُ لَزِمَهُ تَسْلِيمُ النِّصْفِ إِلَى أَخِيهِ. بِمَا تَقَدَّمَ مِنْ إِقْرَارِهِ؛ لِأَنَّ إِقْرَارَهُ عَلَى غَيْرِهِ لَا يَلْزَمُ فَإِذَا صَارَ الْقَبْضُ إلى يده لزمه.

Ketiga: Setengah itu diserahkan kepada penggugatnya karena ia adalah pihak lawan dalam perkara tersebut. Jika penggugat setengah menerima pengakuan atas seluruhnya, maka seluruhnya diambil dari tergugat, kemudian dilihat: jika yang diakui telah membuktikan bahwa saudaranya membenarkannya dalam klaim setengah, baik sebelum pengakuan maupun sesudahnya, maka ia wajib menyerahkan setengah kepada saudaranya, berdasarkan pengakuan sebelumnya; karena pengakuan atas hak orang lain tidak mengikat, namun jika barang itu telah berada di tangannya, maka ia wajib menyerahkannya.

ألا ترى أن رَجُلًا لَوْ أَقَرَّ أَنَّ الدَّارَ الَّتِي فِي يَدِ فُلَانٍ مَغْصُوبَةٌ مِنْ فُلَانٍ لَمْ يَلْزَمْهُ إِقْرَارُهُ فَلَوْ صَارَتِ الدَّارُ إِلَيْهِ بِبَيْعٍ أَوْ هِبَةٍ أَوْ مِيرَاثٍ لَزِمَهُ إِقْرَارُهُ وَوَجَبَ عَلَيْهِ تَسْلِيمُ الدَّارِ إِلَى مَنْ أَقَرَّ بِغَصْبِهَا مِنْهُ فَأَمَّا إِنْ لَمْ يَكُنْ مُدَّعِي النِّصْفِ صَدَّقَ أَخَاهُ فِي دَعْوَاهُ فَلَهُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِجَمِيعِ الدَّارِ وَلَا حَقَّ فِيهَا لِأَخِيهِ إِلَّا أَنْ يَسْتَأْنِفَ الدَّعْوَى عَلَيْهِ فَيَصِيرَ خَصْمًا لَهُ فِيهَا.

Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang mengakui bahwa rumah yang ada di tangan si Fulan adalah hasil ghasab dari si Fulan, maka pengakuannya tidak mengikatnya. Namun jika rumah itu kemudian menjadi miliknya melalui jual beli, hibah, atau warisan, maka pengakuannya menjadi mengikat dan ia wajib menyerahkan rumah itu kepada orang yang ia akui telah digasabi darinya. Adapun jika penggugat setengah tidak membenarkan saudaranya dalam klaimnya, maka ia berhak memiliki seluruh rumah secara sendiri dan saudaranya tidak memiliki hak apa pun atasnya, kecuali jika ia mengajukan gugatan baru terhadapnya, sehingga ia menjadi pihak lawan dalam perkara tersebut.

فَإِنْ قِيلَ: فَهُوَ إِنَّمَا ادَّعَى النِّصْفَ فَكَيْفَ يَجُوزُ أَنْ يُدْفَعَ إِلَيْهِ الْكُلُّ وَيُزَادَ عَلَى مَا ادَّعَاهُ قِيلَ قَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا.

Jika dikatakan: Ia hanya mengklaim setengah, maka bagaimana boleh seluruhnya diserahkan kepadanya dan diberikan lebih dari yang ia klaim? Maka dijawab: Para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini.

فَكَانَ بَعْضُهُمْ لِأَجْلِ هَذَا السُّؤَالِ يَقُولُ: إِنَّ الْمَسْأَلَةَ مَقْصُورَةٌ عَلَى أَنَّهُ ادَّعَى نِصْفَهَا مِلْكًا وَبَاقِيهَا يَدًا. فَإِذَا أَقَرَّ لَهُ بِالْجَمِيعِ دُفِعَ إِلَيْهِ بِدَعْوَى الْمِلْكِ وَالْيَدِ وَلَوْ لَمْ يَدَّعِ هَذَا لَمْ يُدْفَعْ إِلَيْهِ إِلَّا النِّصْفُ.

Karena itu, sebagian dari mereka, disebabkan oleh pertanyaan ini, berkata: Sesungguhnya permasalahan ini terbatas pada bahwa ia mengklaim setengahnya sebagai milik dan sisanya berdasarkan penguasaan (yad). Maka jika ia diakui atas seluruhnya, maka seluruhnya diserahkan kepadanya berdasarkan klaim milik dan penguasaan, dan seandainya ia tidak mengklaim demikian, maka yang diserahkan kepadanya hanyalah setengahnya.

وَقَالَ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا: بَلْ يُدْفَعُ إِلَيْهِ جَمِيعُهَا وَإِنْ لَمْ يَدَّعِ سَابِقًا إِلَّا نِصْفَهَا لِأَنَّهُ لَيْسَ بِمُنْكَرٍ أَنْ يَكُونَ لَهُ جَمِيعُ الدَّارِ فَيَدَّعِ نِصْفَهَا لأمور:

Mayoritas ulama mazhab kami berkata: Bahkan seluruhnya diserahkan kepadanya, meskipun sebelumnya ia hanya mengklaim setengahnya, karena tidak mustahil baginya memiliki seluruh rumah itu lalu ia hanya mengklaim setengahnya, karena beberapa alasan:

منها: أن يكون نصفها مصدق عَلَيْهِ فَلَمْ يَدَّعِيهِ وَنِصْفُهَا مُنَازِعٌ فِيهِ فَادَّعَاهُ.

Di antaranya: Bisa jadi setengahnya telah diakui sebagai miliknya sehingga ia tidak perlu mengklaimnya, dan setengahnya lagi diperselisihkan sehingga ia mengklaimnya.

وَمِنْهَا: أَنْ يَكُونَ لَهُ بِنِصْفِهَا بَيِّنَةٌ حَاضِرَةٌ وَبِنِصْفِهَا بَيِّنَةٌ غَائِبَةٌ فَيَدَّعِيَ نِصْفَهَا لِتَشْهَدَ بِهِ الْبَيِّنَةُ الْحَاضِرَةُ وَيُؤَخِّرَ الدَّعْوَى فِي النِّصْفِ الْآخَرِ إِلَى أَنْ تَحْضُرَ الْبَيِّنَةُ الْغَائِبَةُ.

Dan di antaranya: Bisa jadi ia memiliki bukti (bayyinah) yang hadir untuk setengahnya, dan bukti yang tidak hadir untuk setengahnya lagi, maka ia mengklaim setengahnya agar bukti yang hadir dapat bersaksi, dan menunda klaim atas setengah yang lain hingga bukti yang tidak hadir itu datang.

وَمِنْهَا: أَنْ يَدَّعِيَ مَا لَا مُنَازَعَةَ لَهُ فِيهِ اسْتِثْقَالًا لِلْخُصُومَةِ وَهِيَ تَأْخِيرُ النِّزَاعِ.

Dan di antaranya: Ia mengklaim bagian yang tidak ada perselisihan padanya karena enggan berdebat, yaitu menunda persengketaan.

فَلِهَذِهِ الْأُمُورِ صَحَّ إِذَا ادَّعَى النِّصْفَ أَنْ يُدْفَعَ إِلَيْهِ الْجَمِيعُ.

Karena alasan-alasan ini, maka sah jika ia mengklaim setengah, seluruhnya dapat diserahkan kepadanya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ صَالَحَهُ عَلَى دَارٍ أَقَرَّ لَهُ بِهَا بِعَبْدٍ قَبَضَهُ فَاسْتَحَقَّ الْعَبْدَ رَجَعَ إِلَى الدَّارِ فَأَخَذَهَا مِنْهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia berdamai dengannya atas sebuah rumah yang ia akui miliknya dengan imbalan seorang budak yang telah ia terima, lalu ternyata budak itu ternyata milik orang lain (istihqāq), maka ia kembali kepada rumah itu dan mengambilnya darinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا ادَّعَى عَلَيْهِ دَارًا فِي يَدِهِ فَأَقَرَّ بِهَا ثُمَّ صَالَحَهُ مِنْهَا عَلَى عَبْدٍ فَاسْتَحَقَّ الْعَبْدَ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar, jika seseorang mengklaim rumah yang ada di tangan orang lain, lalu diakui olehnya, kemudian mereka berdamai atas rumah itu dengan imbalan seorang budak, lalu ternyata budak itu milik orang lain, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ مُعَيَّنًا فَالصُّلْحُ بَاطِلٌ كَمَا لَوِ ابْتَاعَ دَارًا بِعَبْدٍ فَاسْتَحَقَّ الْعَبْدَ. وَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِالدَّارِ كَمَا يَرْجِعُ بِهِ الْبَائِعُ.

Pertama: Jika budak itu tertentu (spesifik), maka perdamaian itu batal, sebagaimana jika seseorang membeli rumah dengan imbalan seorang budak lalu ternyata budak itu milik orang lain. Maka ia berhak kembali kepada rumah itu sebagaimana penjual berhak kembali kepada barangnya.

إِلَّا أَنْ يَسْتَأْنِفَ صُلْحًا ثَانِيًا وَكَذَا لَوْ كَانَ الْعَبْدُ مَرْهُونًا أَوْ مُكَاتَبًا أَوْ مَاتَ قَبْلَ قَبْضِهِ.

Kecuali jika mereka memulai perdamaian yang baru. Demikian pula jika budak itu sedang digadaikan, atau mukatab, atau meninggal sebelum diterima.

وَلَا يَبْطُلُ الصُّلْحُ لَوْ كَانَ مُدَبَّرًا أَوْ مُوصًى بِعِتْقِهِ أو معتقا بصفة.

Namun perdamaian tidak batal jika budak itu mudabbar, atau diwasiatkan untuk dimerdekakan, atau dimerdekakan dengan syarat tertentu.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ غَيْرَ مُعَيَّنٍ موصوف فِي الذِّمَّةِ، فَالصُّلْحُ لَا يَبْطُلُ بِاسْتِحْقَاقِهِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَأْتِيَ بِعَبْدٍ عَلَى مِثْلِ صِفَتِهِ كَمَا لو استحق العبد المقبوض في المسلم.

Keadaan kedua: Jika budak itu tidak tertentu, hanya disebutkan sifatnya dalam tanggungan, maka perdamaian tidak batal karena istihqāq, dan ia wajib mendatangkan budak lain yang sesuai sifatnya, sebagaimana jika budak yang diterima dalam akad salam ternyata milik orang lain.

وَلَوْ كَانَ الْعَبْدُ مُعَيَّنًا فَقُتِلَ قَبْلَ قَبْضِهِ فَفِي بُطْلَانِ الصُّلْحِ بِقَتْلِهِ قَوْلَانِ ذَكَرْنَاهُمَا فِي البيوع.

Jika budak itu tertentu lalu terbunuh sebelum diterima, maka dalam hal batalnya perdamaian karena kematiannya terdapat dua pendapat yang telah kami sebutkan dalam bab jual beli.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ صَالَحَهُ عَلَى أَنْ يَسْكُنَهَا الَّذِي هِيَ فِي يَدَيْهِ وَقْتًا فَهِيَ عَارِيَةٌ إِنْ شَاءَ أَخْرَجَهُ مِنْهَا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia berdamai dengannya agar yang rumah itu di tangannya dapat menempatinya untuk waktu tertentu, maka itu adalah pinjaman (‘āriyah), jika ia mau, ia boleh mengeluarkannya dari rumah itu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ: إِذَا ادَّعَى عَلَيْهِ دَارًا فَاعْتَرَفَ بِهَا ثُمَّ صَالَحَهُ عَلَى أَنْ يَسْكُنَهَا الْمُقِرُّ سَنَةً كَانَ الصُّلْحُ بَاطِلًا.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, jika seseorang mengklaim rumah atas orang lain, lalu diakui olehnya, kemudian mereka berdamai agar yang mengakui itu menempatinya selama setahun, maka perdamaian itu batal.

لِأَنَّ الصُّلْحَ إِنَّمَا يَصِحُّ إِذَا عَاوَضَ عَلَى مَا يَمْلِكُ بِمَا لَا يَمْلِكُ. وَهَذَا قَدْ عَاوَضَ عَلَى مِلْكِهِ بِمِلْكِهِ لِأَنَّ مَنْ مَلَكَ دَارًا مَلَكَ سُكْنَاهَا.

Karena perdamaian hanya sah jika ada pertukaran antara sesuatu yang dimiliki dengan sesuatu yang tidak dimiliki. Dalam kasus ini, ia menukar miliknya dengan miliknya sendiri, karena siapa yang memiliki rumah, ia juga memiliki hak menempatinya.

فَإِنْ قِيلَ أَفَلَيْسَ لَوْ صَالَحَهُ عَلَى نِصْفِهَا جَازَ، قِيلَ قَدْ ذَكَرْنَا فِيهِ وَجْهَيْنِ:

Jika dikatakan: Bukankah jika ia berdamai atas setengahnya itu boleh? Maka dijawab: Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لِلْعِلَّةِ الَّتِي ذَكَرْنَاهَا.

Pertama: Tidak boleh, karena alasan yang telah disebutkan.

وَالثَّانِي: يَجُوزُ.

Kedua: Boleh.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الصُّلْحَ عَلَى النِّصْفِ هِبَةٌ. وَالْهِبَةُ لَازِمَةٌ فَصَارَ الصُّلْحُ بِهَا لَازِمًا وَالصُّلْحُ عَلَى السُّكْنَى عَارِيَةٌ وَالْعَارِيَةُ غَيْرُ لَازِمَةٍ فَصَارَ الصُّلْحُ بِهَا غَيْرَ لَازِمٍ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ هَذَا الصُّلْحَ بَاطِلٌ فَلِمَالِكِ الدَّارِ أَنْ يُسْكِنَهُ إِيَّاهَا إِنْ شَاءَ وَلَهُ أَنْ يُخْرِجَهُ مِنْهَا مَتَى شَاءَ كَالدَّارِ الْعَارِيَةِ وَلَا أُجْرَةَ عَلَيْهِ.

Perbedaannya adalah bahwa perdamaian atas setengahnya adalah hibah, dan hibah itu mengikat, sehingga perdamaian dengannya menjadi mengikat. Sedangkan perdamaian atas hak menempati adalah pinjaman (‘āriyah), dan ‘āriyah itu tidak mengikat, sehingga perdamaian dengannya tidak mengikat. Maka jika telah tetap bahwa perdamaian ini batal, maka pemilik rumah boleh mempersilakan ia menempatinya jika ia mau, dan boleh mengeluarkannya kapan saja ia mau, seperti rumah yang dipinjamkan, dan tidak ada kewajiban sewa atasnya.

فَلَوْ جُعِلَ الصُّلْحُ عَلَى السُّكْنَى شَرْطًا فِي إِقْرَارِهِ فَقَالَ قَدْ أَقْرَرْتُ لَكَ بِهَذِهِ الدَّارِ عَلَى أَنْ أَسْكُنَهَا سَنَةً بَطَلَ اشْتِرَاطُ السُّكْنَى وَالصُّلْحُ عَلَيْهِ.

Jika perdamaian atas hak menempati dijadikan syarat dalam pengakuannya, lalu ia berkata: “Aku mengakui rumah ini untukmu dengan syarat aku menempatinya selama setahun,” maka syarat menempati dan perdamaian atasnya batal.

فَأَمَّا الْإِقْرَارُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ:

Adapun tentang pengakuan, para ulama kami berbeda pendapat mengenainya:

فَذَهَبَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ إِلَى بُطْلَانِهِ لِكَوْنِهِ إِقْرَارًا مُقَيَّدًا بِشَرْطٍ.

Abu ‘Ali bin Khairan berpendapat bahwa pengakuan tersebut batal karena merupakan pengakuan yang dibatasi dengan syarat.

وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِلَى صِحَّةِ الْإِقْرَارِ وَلُزُومِهِ لِأَنَّهُ إِقْرَارٌ بِشَرْطٍ فِي عَارِيَةٍ.

Sedangkan mayoritas ulama kami berpendapat bahwa pengakuan tersebut sah dan mengikat, karena merupakan pengakuan dengan syarat dalam pinjaman pakai (‘āriyah).

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” أو صَالَحَهُ مِنْهَا عَلَى خِدْمَةِ عَبْدٍ بِعَيْنِهِ سَنَةً فَبَاعَهُ الْمَوْلَى كَانَ لِلْمُشْتَرِي الْخِيَارُ فِي أَنْ يُجِيزَ الْبَيْعَ وَتَكُونَ الْخِدْمَةُ عَلَى الْعَبْدِ لِلْمُصَالَحِ أَوْ يَرُدَّ الْبَيْعُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Atau jika ia berdamai dengannya dengan imbalan berupa pelayanan seorang budak tertentu selama satu tahun, lalu tuannya menjual budak itu, maka pembeli memiliki hak memilih antara menyetujui jual beli dan pelayanan tetap menjadi kewajiban budak untuk pihak yang berdamai, atau membatalkan jual beli.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. إِذَا صَالَحَ الْمُقِرُّ بِالدَّارِ عَلَى خِدْمَةِ عَبْدٍ مُعَيَّنٍ سَنَةً جَازَ الصُّلْحُ. لِأَنَّ الْمُقِرَّ عَاوَضَ عَلَى الدَّارِ بِمَا مَلَكَهُ مِنْ خِدْمَةِ الْعَبْدِ.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan. Jika orang yang mengakui hak atas rumah itu berdamai dengan imbalan pelayanan seorang budak tertentu selama satu tahun, maka perdamaian itu sah. Karena orang yang mengakui telah menukar rumah dengan sesuatu yang ia miliki, yaitu pelayanan budak tersebut.

وَصَارَ الْمُقَرُّ لَهُ بِالدَّارِ مُسْتَأْجِرًا لِلْعَبْدِ سَنَةً بِالدَّارِ الَّتِي قَدْ مَلَكَهَا بِالْإِقْرَارِ.

Maka orang yang diakui haknya atas rumah itu menjadi penyewa budak selama satu tahun dengan rumah yang telah ia miliki melalui pengakuan.

فَلَوْ بَاعَ الْمَوْلَى عَبْدَهُ قَبْلَ مُضِيِّ السَّنَةِ كَانَ الصُّلْحُ عَلَى حَالِهِ وَفِي الْبَيْعِ قَوْلَانِ: –

Jika tuan budak menjual budaknya sebelum berlalu satu tahun, maka perdamaian tetap berlaku, dan dalam hal jual beli terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ لِأَنَّ تَسْلِيمَهُ غَيْرُ مُسْتَحَقٍّ كَالْبَيْعِ بِشَرْطِ تَأْخِيرِ الْقَبْضِ.

Salah satunya: batal, karena penyerahannya tidak berhak, seperti jual beli dengan syarat penundaan penyerahan barang.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ أَنَّ الْبَيْعَ جَائِزٌ لِأَنَّ اسْتِحْقَاقَ الْمَنْفَعَةِ لَا يَمْنَعُ بَيْعَ الرَّقَبَةِ كَالْأَمَةِ الْمُزَوَّجَةِ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih, bahwa jual beli itu boleh, karena hak atas manfaat tidak menghalangi penjualan badan (raqabah), seperti budak perempuan yang menikah.

فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ الْمُشْتَرِي عَالِمًا بِالْحَالِ فَلَا خِيَارَ لَهُ وَإِنْ كَانَ جَاهِلًا بِهَا فَلَهُ الْخِيَارُ بَيْنَ الْفَسْخِ وَالْمُقَامُ. وَيُمَكَّنُ الْمُصَالِحُ مِنْهُ إِلَى انْقِضَاءِ مُدَّةِ الْخِدْمَةِ. وَلَا رُجُوعَ لَهُ عَلَى الْبَائِعِ بِشَيْءٍ مِنْ أُجْرَتِهَا، لِأَنَّهَا مُسْتَحَقَّةٌ قَبْلَ عَقْدِهِ.

Berdasarkan hal ini, jika pembeli mengetahui keadaannya, maka ia tidak memiliki hak khiyar (memilih), namun jika ia tidak mengetahuinya, maka ia memiliki hak khiyar antara membatalkan atau tetap melanjutkan. Dan pihak yang berdamai tetap dapat memanfaatkan budak tersebut hingga berakhir masa pelayanan. Tidak ada hak bagi pembeli untuk meminta kembali dari penjual bagian dari upah pelayanan, karena pelayanan itu sudah menjadi hak sebelum akad jual beli.

أَمَّا إِذَا ابْتَاعَهُ الْمُصَالِحُ فَالْبَيْعُ جَائِزٌ قَوْلًا وَاحِدًا. إِلَّا أَنَّ فِي قَبْضِهِ وَانْفِسَاخِ الْإِجَارَةِ وَجْهَانِ:

Adapun jika yang membeli adalah pihak yang berdamai, maka jual beli itu sah menurut satu pendapat. Namun dalam hal penerimaan budak dan batalnya akad sewa, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تَنْفَسِخُ كَمَا لَوْ بَاعَهُ عَلَى غَيْرِهِ فَعَلَى هَذَا الصُّلْحُ عَلَى حَالِهِ.

Salah satunya: tidak batal, seperti jika budak itu dijual kepada orang lain, sehingga perdamaian tetap berlaku.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا قَدِ انْفَسَخَتْ كَمَا لَوْ تَزَوَّجَ أَمَتَهُ ثُمَّ ابْتَاعَهَا بَطَلَ النِّكَاحُ الْمُتَقَدِّمُ بِالْبَيْعِ الطَّارِئِ.

Pendapat kedua: batal, sebagaimana jika seseorang menikahi budak perempuannya lalu membelinya, maka pernikahan sebelumnya batal karena jual beli yang baru.

كَذَا تَبْطُلُ الْإِجَارَةُ السَّالِفَةُ بِالْبَيْعِ الْحَادِثِ فَعَلَى هَذَا قَدْ بَطَلَ الصُّلْحُ وَمُلِكَ الْعَبْدُ بِالْبَيْعِ.

Demikian pula akad sewa yang lalu batal karena jual beli yang baru, sehingga perdamaian batal dan kepemilikan budak berpindah melalui jual beli.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا أَعْتَقَ السَّيِّدُ عَبْدَهُ الَّذِي صَالَحَ بِخِدْمَتِهِ فَعِتْقُهُ نَافِذٌ.

Adapun jika tuan memerdekakan budaknya yang telah dijadikan imbalan pelayanan, maka kemerdekaannya sah.

لِأَنَّهُ صَادَفَ مِلْكًا تَامًّا فَلَمْ يُمْنَعِ اسْتِحْقَاقَ الْمَنْفَعَةِ كَعِتْقِ الْأَمَةِ الْمُزَوَّجَةِ، وَعَلَى الْعَبْدِ الْمُعْتَقِ خِدْمَةُ الْمُصَالَحِ بَاقِي السَّنَةِ، وَهَلْ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى سَيِّدِهِ الَّذِي أَعْتَقَهُ بِأُجْرَةِ الْخِدْمَةِ بَعْدَ عِتْقِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Karena kemerdekaan itu terjadi atas kepemilikan yang sempurna, sehingga tidak menghalangi hak atas manfaat, seperti memerdekakan budak perempuan yang menikah. Dan atas budak yang dimerdekakan tetap wajib melayani pihak yang berdamai selama sisa tahun tersebut. Apakah ia berhak menuntut kepada tuannya yang telah memerdekakannya atas upah pelayanan setelah ia merdeka? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَرْجِعُ عَلَيْهِ بِأُجْرَتِهِ فِيمَا بَقِيَ مِنَ الْمُدَّةِ بَعْدَ عِتْقِهِ لِأَنَّ نُفُوذَ عِتْقِهِ يَمْنَعُ مِنَ اسْتِحْقَاقِ مَنَافِعِهِ فَصَارَ كَالْآخِذِ لَهَا بِغَيْرِ حَقٍّ فَضَمِنَ كَالْغَاصِبِ.

Salah satunya: ia boleh menuntut upahnya untuk sisa waktu setelah ia merdeka, karena kemerdekaannya menghalangi hak atas manfaatnya, sehingga menjadi seperti orang yang mengambil manfaat tanpa hak, maka ia wajib mengganti seperti seorang ghasib (perampas).

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا رُجُوعَ لَهُ بِشَيْءٍ لِأَنَّ عِتْقَ السَّيِّدِ أَزَالَ مَا كَانَ مَالِكًا لَهُ وَخِدْمَةُ الْعَبْدِ، تِلْكَ السَّنَةَ لَمْ يَكُنِ السَّيِّدُ مَالِكًا لَهَا فَلَمْ يَتَعَلَّقْ حُكْمُ الْعِتْقِ بِهَا وَلَمْ يَسْتَحِقَّ الْعَبْدُ رُجُوعًا بِسَبَبِهَا كَالْأَمَةِ الْمُزَوَّجَةِ إِذَا عُتِقَتْ لَمْ تَسْتَحِقَّ الرُّجُوعَ عَلَى سَيِّدِهَا بِالْمَهْرِ.

Pendapat kedua: ia tidak berhak menuntut apa pun, karena kemerdekaan tuan telah menghilangkan kepemilikannya, dan pelayanan budak selama tahun itu bukan lagi milik tuan, sehingga hukum kemerdekaan tidak terkait dengannya, dan budak tidak berhak menuntut karena sebab itu, sebagaimana budak perempuan yang menikah jika dimerdekakan, ia tidak berhak menuntut mahar kepada tuannya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا كَاتَبَهُ السَّيِّدُ فَالْكِتَابَةُ بَاطِلَةٌ لِأَنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى التَّصَرُّفِ لِنَفْسِهِ وَلَا عَلَى تَمَلُّكِ كَسْبِهِ وَلَكِنْ لَوْ دَبَّرَهُ صَحَّ التَّدْبِيرُ. وَكَذَلِكَ لَوْ أَعْتَقَهُ بِصِفَةٍ.

Adapun jika tuan mengadakan akad mukatabah dengan budaknya, maka akad tersebut batal, karena ia tidak mampu bertindak untuk dirinya sendiri dan tidak dapat memiliki hasil usahanya. Namun jika ia mendebirkan budaknya, maka sah tadbir tersebut. Demikian pula jika ia memerdekakannya dengan syarat tertentu.

فَأَمَّا إِذَا أَجَّرَهُ مِنْ غَيْرِ الْمُصَالَحِ فَالْإِجَارَةُ بَاطِلَةٌ لِأَنَّ مَا تَوَجَّهَ إِلَيْهِ عَقْدُ الْإِجَارَةِ مُسْتَحَقٌّ مِنْ قَبْلُ، وَإِنْ عَقَدَ عَلَى مَا بَعْدَ السَّنَةِ فَهُوَ بَاطِلٌ، لِأَنَّهُ عَقْدٌ عَلَى عَيْنٍ بِشَرْطِ تَأْخِيرِ الْقَبْضِ.

Adapun jika ia menyewakannya tanpa adanya musālaḥah, maka akad ijārah tersebut batal, karena objek yang menjadi sasaran akad ijārah itu sudah menjadi hak orang lain sebelumnya. Dan jika akad dilakukan atas manfaat setelah satu tahun, maka akad tersebut batal, karena merupakan akad atas suatu objek dengan syarat penundaan penyerahan.

أَمَّا إِذَا رَهَنَهُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ، فَمِنْهُمْ مَنْ أَجْرَى الرَّهْنَ مَجْرَى الْبَيْعِ فَعَلَى هَذَا يُخَرَّجُ عَلَى قَوْلَيْنِ: –

Adapun jika ia menggadaikannya, maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian dari mereka memperlakukan akad rahn seperti akad jual beli, sehingga dalam hal ini terdapat dua pendapat:

وَمِنْهُمْ مَنْ أَجْرَى ذَلِكَ مَجْرَى الْإِجَارَةِ لِأَنَّهُ فِي الْحَالِ مُتَوَجِّهٌ إِلَى الْمَنْفَعَةِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ بَاطِلًا قَوْلًا وَاحِدًا فَأَمَّا إِذَا وَهَبَهُ فَفِيهِ قَوْلَانِ كَالْبَيْعِ سَوَاءٌ.

Dan sebagian dari mereka memperlakukan hal tersebut seperti akad ijārah, karena pada saat itu akad tersebut tertuju pada manfaat, sehingga menurut pendapat ini, akad tersebut batal secara mutlak. Adapun jika ia memberikannya sebagai hibah, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat, sama seperti dalam jual beli.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَلَوْ مَاتَ الْعَبْدُ جَازَ مِنَ الصُّلْحِ بِقَدْرِ مَا اسْتُخْدِمَ وَبَطَلَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَا بَقِيَ “.

Imam Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika budak itu meninggal, maka musālaḥah itu sah sebesar manfaat yang telah digunakan, dan batal sebesar sisa manfaat yang belum digunakan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا مَاتَ الْعَبْدُ الَّذِي صَالَحَهُ عَلَى الدَّارِ بِخِدْمَتِهِ سَنَةً لَمْ يَخْلُ حَالُ مَوْتِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Jika budak yang dijadikan objek musālaḥah atas rumah dengan imbalan pelayanannya selama satu tahun itu meninggal, maka keadaan kematiannya tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَمُوتَ فِي الْحَالِ قَبْلَ مُضِيِّ الْمُدَّةِ أَوْ شَيْءٍ مِنْهَا فَالصُّلْحُ قَدْ بَطَلَ لِتَلَفِ الْعِوَضِ فِيهِ قَبْلَ قَبْضِهِ كَتَلَفِ الثَّمَنِ الْمُعَيَّنِ قَبْلَ الْقَبْضِ، وَلِلْمُصَالَحِ أَنْ يَرْجِعَ بِالدَّارِ كَمَا يَرْجِعُ الْبَائِعُ بِالْبَيْعِ.

Pertama: Budak itu meninggal saat itu juga sebelum berlalunya masa atau sebagian dari masa tersebut, maka musālaḥah itu batal karena kompensasi dalam akad tersebut rusak sebelum diterima, seperti rusaknya harga tertentu sebelum diterima. Maka pihak yang melakukan musālaḥah berhak mengambil kembali rumah tersebut, sebagaimana penjual berhak mengambil kembali barang jualannya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَمُوتَ بَعْدَ مُضِيِّ السَّنَةِ كُلِّهَا فَالصُّلْحُ قَدْ تَمَّ وَحُكْمُهُ قَدِ انْبَرَمَ وَمَوْتُ الْعَبْدِ غَيْرُ مُؤَثِّرٍ فِيهِ لِاسْتِيفَاءِ الْمَعْقُودِ عَلَيْهِ قَبْلَ مَوْتِهِ.

Kedua: Budak itu meninggal setelah seluruh masa satu tahun berlalu, maka musālaḥah itu telah sempurna dan hukumnya telah tetap, dan kematian budak tidak berpengaruh karena objek akad telah terpenuhi sebelum kematiannya.

والحالة الثَّالِثَةُ: أَنْ يَمُوتَ بَعْدَ مُضِيِّ بَعْضِ الْمُدَّةِ وبقاء بعضهما فَالصُّلْحُ قَدْ بَطَلَ فِيمَا بَقِيَ مِنَ الْمُدَّةِ لِفَوَاتِ قَبْضِهِ بِالْمَوْتِ، وَأَمَّا فِيمَا مَضَى مِنَ الْمُدَّةِ الْمُسْتَوْفَاةِ فَهُوَ عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي الْفَسَادِ فِي بَعْضِ الصَّفْقَةِ إِذَا طَرَأَ بَعْدَ الْعَقْدِ هَلْ يَجْرِي مَجْرَى الْفَسَادِ الْمُقَارِنِ لِلْعَقْدِ.

Ketiga: Budak itu meninggal setelah berlalu sebagian masa dan masih tersisa sebagian lainnya, maka musālaḥah itu batal pada sisa masa yang belum dijalani karena tidak dapat diterima akibat kematian. Adapun pada masa yang telah berlalu dan telah dimanfaatkan, maka hal itu mengikuti perbedaan pendapat para sahabat kami mengenai kerusakan sebagian akad yang terjadi setelah akad, apakah diperlakukan seperti kerusakan yang terjadi bersamaan dengan akad.

فَذَهَبَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ أَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْفَسَادِ الْمُقَارِنِ لِلْعَقْدِ، فَجَعَلَ بُطْلَانَ الصُّلْحِ فِيمَا مَضَى مِنَ الْمُدَّةِ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ.

Abū Isḥāq al-Marwazī berpendapat bahwa hal itu diperlakukan seperti kerusakan yang terjadi bersamaan dengan akad, sehingga batalnya musālaḥah pada masa yang telah berlalu mengikuti dua pendapat dalam masalah pemisahan akad.

أَحَدُهُمَا: قَدْ بَطَلَ الصُّلْحُ فِيمَا بَقِيَ وَوَجَبَ عَلَى الْمُصَالَحِ أُجْرَةُ مَا اسْتَخْدَمَ فِيمَا مَضَى مِنَ الْمُدَّةِ وَلَهُ اسْتِرْجَاعُ الدَّارِ.

Salah satunya: Musālaḥah batal pada sisa masa, dan pihak yang melakukan musālaḥah wajib membayar upah atas manfaat yang telah digunakan pada masa yang telah berlalu, dan ia berhak mengambil kembali rumah tersebut.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يَبْطُلُ لَكِنْ يَكُونُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الْفَسْخِ وَالْمَقَامِ فَإِنْ فَسَخَ رَجَعَ بِالدَّارِ وَغُرِّمَ أُجْرَةَ مَا مَضَى مِنَ الْمُدَّةِ، فَإِنْ أَقَامَ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Pendapat kedua: Tidak batal, tetapi ia diberi pilihan antara membatalkan akad atau tetap melanjutkan. Jika ia membatalkan, maka ia mengambil kembali rumah dan dikenakan kewajiban membayar upah atas masa yang telah berlalu. Jika ia tetap melanjutkan, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُقِيمُ عَلَيْهِ بِجَمِيعِ الصُّلْحِ.

Salah satunya: Ia tetap melanjutkan dengan seluruh nilai musālaḥah.

وَالثَّانِي: بِحِسَابِهِ وَقِسْطِهِ.

Yang kedua: Dengan perhitungan dan proporsinya.

وَقَالَ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا إِنَّ الْفَسَادَ الْحَادِثَ بَعْدَ الْعَقْدِ مُخَالِفٌ لِلْفَسَادِ الْمُقَارِنِ لِلْعَقْدِ لِسَلَامَةِ الصَّفْقَةِ عِنْدَ عَقْدِهَا. فَيَكُونُ الصُّلْحُ فِيمَا مَضَى مِنَ الْمُدَّةِ جَائِزًا قَوْلًا وَاحِدًا.

Mayoritas sahabat kami berpendapat bahwa kerusakan yang terjadi setelah akad berbeda dengan kerusakan yang terjadi bersamaan dengan akad, karena akad pada saat pelaksanaannya dalam keadaan sah. Maka musālaḥah atas masa yang telah berlalu sah secara mutlak.

فَعَلَى هَذَا. هَلْ لِلْمُصَالَحِ خِيَارٌ فِيهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Berdasarkan hal ini, apakah pihak yang melakukan musālaḥah memiliki hak khiyār (pilihan) atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا خِيَارَ لَهُ لِاسْتِقْرَارِ قَبْضِهِ وَفَوَاتِ رَدِّهِ. فَعَلَى هَذَا يُقِيمُ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْمُدَّةِ بِحِسَابِهِ مِنَ الصُّلْحِ وَقِسْطِهِ وَيَرْجِعُ مِنَ الدَّارِ بِقِسْطِ مَا بَقِيَ مِنَ الْمُدَّةِ.

Salah satunya: Ia tidak memiliki hak khiyār karena manfaat telah diterima dan tidak mungkin dikembalikan. Maka dalam hal ini, ia tetap pada masa yang telah berlalu dengan perhitungan dan proporsi musālaḥah, dan ia mengambil kembali bagian rumah sesuai dengan sisa masa yang belum dijalani.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ الْخِيَارُ لِأَنَّهُ عَاوَضَ عَلَى مُدَّةٍ كَامِلَةٍ وَصَفْقَةٍ سَلِيمَةٍ فَكَانَ النَّقْصُ فِيهَا غَبْنًا مُوجِبًا لِلْخِيَارِ كَالنَّقْصِ فِي الْأَعْيَانِ. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَفْسَخَ الصُّلْحَ فِيمَا مَضَى وَبَيْنَ أَنْ يُقِيمَ.

Pendapat kedua: Ia memiliki hak khiyār karena ia melakukan akad atas masa penuh dan akad yang sempurna, sehingga kekurangan di dalamnya merupakan kerugian yang memberikan hak khiyār, seperti kekurangan pada barang. Maka dalam hal ini, ia boleh memilih antara membatalkan musālaḥah atas masa yang telah berlalu atau tetap melanjutkan.

فَإِنْ فَسَخَ فِيمَا مَضَى غُرِّمَ مِثْلَ أُجْرَةِ تِلْكَ الْمُدَّةِ وَاسْتَرْجَعَ الدَّارَ كُلَّهَا. وَإِنْ أَقَامَ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika ia membatalkan atas masa yang telah berlalu, maka ia wajib membayar upah yang setara dengan masa tersebut dan mengambil kembali seluruh rumah. Jika ia tetap melanjutkan, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُقِيمُ عَلَى مَا مَضَى بِجَمِيعِ الصُّلْحِ.

Salah satunya: tetap berdasarkan apa yang telah lalu dengan seluruh akad perdamaian.

وَالثَّانِي: بِحِسَابِهِ وَقِسْطِهِ.

Dan yang kedua: berdasarkan perhitungan dan bagiannya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا تَدَاعَى رَجُلَانِ جِدَارًا بَيْنَ دَارَيْهِمَا فَإِنْ كَانَ مُتَّصِلًا بِبِنَاءِ أَحَدِهِمَا اتِّصَالَ الْبُنْيَانِ الَّذِي لَا يَحْدُثُ مِثْلُهُ إِلَّا مِنْ أَوَّلِ الْبُنْيَانِ جَعَلْتُهُ لَهُ دُونَ الْمُنْقَطِعِ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ يَحْدُثُ مِثْلُهُ بَعْدَ كَمَالِ بُنْيَانِهِ مِثْلُ نَزْعِ طُوبَةٍ وَإِدْخَالِ أُخْرَى أَحْلَفْتُهُمَا بِاللَّهِ وَجَعَلْتُهُ بَيْنَهُمَا وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَوْصُولٍ بِوَاحِدٍ مِنْ بِنَائِهِمَا أَوْ مُتَّصِلًا بِبِنَائِهِمَا جَمِيعًا جَعَلْتُهُ بَيْنَهُمَا بَعْدَ أَنْ أُحْلِفَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Apabila dua orang saling mengklaim sebuah dinding yang berada di antara dua rumah mereka, maka jika dinding itu tersambung dengan bangunan salah satu dari mereka dengan sambungan bangunan yang tidak mungkin dibuat kecuali sejak awal pembangunan, maka aku menetapkannya untuk orang tersebut, bukan untuk yang terputus darinya. Namun jika dinding itu bisa dibuat setelah bangunan selesai, seperti mencabut satu batu bata dan memasukkan yang lain, maka aku akan meminta keduanya bersumpah atas nama Allah, lalu aku tetapkan dinding itu untuk keduanya. Jika dinding itu tidak tersambung dengan bangunan salah satu dari mereka, atau tersambung dengan bangunan keduanya, maka aku tetapkan dinding itu untuk keduanya setelah aku meminta masing-masing dari mereka bersumpah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي حَائِطٍ بَيْنَ دَارَيْنِ تَنَازَعَهُ الْمَالِكَانِ وَقَالَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا هُوَ لِي دُونَكَ وَلَا بَيِّنَةَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى دَعْوَاهُ.

Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah: pada sebuah dinding di antara dua rumah yang diperselisihkan oleh dua pemiliknya, masing-masing berkata, “Ini milikku, bukan milikmu,” dan tidak ada bukti bagi salah satu dari mereka atas klaimnya.

فَلَا يَخْلُو حَالُ الْحَائِطِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Maka keadaan dinding itu tidak lepas dari tiga bagian:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُتَّصِلًا بِبِنَائِهِمَا أَوْ يَكُونَ مُنْفَصِلًا عَنْ بِنَائِهِمَا أَوْ يَكُونَ مُتَّصِلًا بِبِنَاءِ أَحَدِهِمَا مُنْفَصِلًا عَنْ بِنَاءِ الْآخَرِ.

Yaitu, bisa jadi tersambung dengan bangunan keduanya, atau terpisah dari bangunan keduanya, atau tersambung dengan bangunan salah satu dari mereka dan terpisah dari bangunan yang lain.

فَإِنْ كَانَ مُتَّصِلًا ببنائهما أو منفصلا عن بنائهما فَهُمَا فِي الْحُكْمِ سَوَاءٌ عَلَى مَا نَذْكُرُهُ.

Jika dinding itu tersambung dengan bangunan keduanya atau terpisah dari bangunan keduanya, maka keduanya dalam hukum adalah sama, sebagaimana akan kami sebutkan.

وَإِنْ كَانَ مُتَّصِلًا بِبِنَاءِ أَحَدِهِمَا دُونَ الْآخَرِ وَاتِّصَالُهُ هُوَ أَنْ يَكُونَ بِنَاءُ أَحَدِهِمَا قَدِ اتَّصَلَ بِبِنْيَةِ الْحَائِطِ عَلَى مَا لَا يُمْكِنُ إِحْدَاثُ مِثْلِهِ بَعْدَ كَمَالِ الْبِنَاءِ فَصَارَتْ حَائِطَيْنِ أَحَدُهُمَا الْمُعَارَضَةُ مُسْنَدة بِالْحَائِطِ الْمُتَنَازَعِ فِيهِ سَوَاءٌ كَانَ اتِّصَالَ تَرْبِيعٍ أَمْ لَا.

Dan jika dinding itu tersambung dengan bangunan salah satu dari mereka saja, dan yang dimaksud dengan tersambung di sini adalah bangunan salah satu dari mereka menyatu dengan struktur dinding dengan cara yang tidak mungkin dibuat setelah bangunan selesai, maka dinding itu menjadi dua dinding, salah satunya bersandar pada dinding yang diperselisihkan, baik sambungannya berupa persegi maupun tidak.

وَقَالَ أبو حنيفة: اتِّصَالُ الْبِنَاءِ أَنْ يَكُونَ تَرْبِيعُ دَارِ أَحَدِهِمَا مُسْنِدَة بِالْحَائِطِ الْمُتَنَازَعِ فِيهِ وَلَا يَكُونَ اتِّصَالُ بَعْضِ الْحُدُودِ مُؤَثِّرًا.

Abu Hanifah berkata: Yang dimaksud dengan sambungan bangunan adalah jika sisi persegi rumah salah satu dari mereka bersandar pada dinding yang diperselisihkan, dan sambungan sebagian batas tidak dianggap berpengaruh.

وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ اتِّصَالَهُ بِبَعْضِ حُدُودِ الدَّارِ مِمَّا لَا يُمْكِنُ إِحْدَاثُهُ بَعْدَ كَمَالِ الْبِنَاءِ.

Ini adalah kesalahan, karena sambungan dengan sebagian batas rumah adalah sesuatu yang tidak mungkin dibuat setelah bangunan selesai.

كَمَا أَنَّ اتِّصَالَهُ بِجَمِيعِ الْحُدُودِ تَرْبِيعًا لَا يُمْكِنُ إِحْدَاثُهُ بَعْدَ كَمَالِ الْبِنَاءِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْحُكْمُ فِيهِمَا عَلَى سَوَاءٍ. فَأَمَّا إِنْ كَانَ عَلَى الْحَائِطِ لِأَحَدِهِمَا أَزِجٌّ أَوْ قُبَّةٌ نُظِرَ فِي الْحَائِطِ فَإِنْ كَانَ قَدْ بُنِيَ مِنْ أَسَاسِهِ مُتَعَرِّجًا عَلَى مَا جَرَتْ بِهِ عَادَةُ بَعْضِ الْقُبابِ وَالْأزاجِ فَهَذَا اتِّصَالٌ.

Sebagaimana sambungan dengan seluruh batas secara persegi juga tidak mungkin dibuat setelah bangunan selesai, maka wajib hukumnya keduanya diperlakukan sama. Adapun jika di atas dinding salah satu dari mereka terdapat azij (atap lengkung) atau kubah, maka dilihat pada dinding tersebut: jika dinding itu sejak dasarnya sudah dibuat berkelok-kelok sebagaimana kebiasaan sebagian kubah dan azij, maka ini dianggap sebagai sambungan.

لِأَنَّ هَذَا التَّعْرِيجَ لَا يُمْكِنُ إِحْدَاثُ مِثْلِهِ بَعْدَ كَمَالِ الْبِنَاءِ.

Karena kelokan ini tidak mungkin dibuat setelah bangunan selesai.

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِنَاءُ الْحَائِطِ مُتَعَرِّجًا فَالْأَزُجُّ الْمَبْنِيُّ عَلَيْهِ وَالْقُبَّةُ لَا يَكُونُ مُتَّصِلًا بِالْحَائِطِ كُلِّهِ لِأَنَّ إِحْدَاثَ مِثْلِ الْأَزُجِّ وَالْقُبَّةِ عَلَى الْحَائِطِ بَعْدَ كَمَالِ الْبِنَاءِ مُمْكِنٌ فَصَارَ كَالْأَجْذَاعِ. لَكِنْ مَا كَانَ مِنْ أَعْلَى الْحَائِطِ خَارِجًا عَنْ تَعْرِيجِ الْقُبَّةِ وَالْأَزُجِّ فَهُوَ لِصَاحِبِ الْقُبَّةِ وَالْأَزُجِّ، وَمَا انْحَدَرَ عَنْهُ مِنَ انْتِصَابِ الْحَائِطِ فِي حُكْمِ الْمُنْفَصِلِ غَيْرِ الْمُتَّصِلِ وَأَمَّا إِنْ كَانَ الْحَائِطُ الْمُتَنَازَعُ فِيهِ يَنْتَهِي طُولًا إِلَى أَنْ يَتَجَاوَزَ مِلْكَ أَحَدِهِمَا وَلَا يَتَجَاوَزُ مِلْكَ الْآخَرِ مِثْلَ أَنْ يَكُونَ طُولُ الْحَائِطِ عِشْرِينَ ذِرَاعًا وَعَرْصَةُ أَحَدِهِمَا عَشَرَةُ أَذْرُعٍ وَعَرْصَةُ الْآخَرِ عِشْرُونَ ذِرَاعًا فَيَتَنَازَعَانِ مِنَ الْحَائِطِ مَا كَانَ بَيْنَ عَرْصَتَيْهِمَا مَعًا دُونَ الْقَدْرِ الْمُجَاوِزِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ هَذَا فِي حُكْمِ الْمُتَّصِلِ أَوِ الْمُنْفَصِلِ، عَلَى وَجْهَيْنِ:

Namun jika bangunan dindingnya tidak berkelok, maka azij atau kubah yang dibangun di atasnya tidak dianggap tersambung dengan seluruh dinding, karena membuat azij dan kubah di atas dinding setelah bangunan selesai adalah mungkin, sehingga kedudukannya seperti balok kayu. Namun, bagian atas dinding yang berada di luar kelokan kubah dan azij adalah milik pemilik kubah dan azij, sedangkan bagian yang menurun dari tegaknya dinding dihukumi sebagai terpisah, tidak tersambung. Adapun jika dinding yang diperselisihkan itu memanjang hingga melebihi milik salah satu dari mereka dan tidak melebihi milik yang lain, seperti panjang dinding dua puluh hasta, sedangkan lahan salah satu dari mereka sepuluh hasta dan lahan yang lain dua puluh hasta, maka mereka berdua berselisih atas bagian dinding yang berada di antara kedua lahan mereka bersama-sama, bukan pada bagian yang melebihi. Dalam hal ini, para sahabat kami berbeda pendapat, apakah ini dihukumi sebagai tersambung atau terpisah, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ فِي حُكْمِ الْمُتَّصِلِ لِأَنَّ مَا اتَّصَلَ بِعَرْضِهِ فِي بِنَاءِ أَحَدِهِمَا بِمِثْلِ مَا اتَّصَلَ بِطُولِهِ.

Salah satunya: dihukumi sebagai tersambung, karena apa yang tersambung secara lebar pada bangunan salah satu dari mereka sama dengan yang tersambung secara panjang.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ مُتَّصِلًا وَيَكُونَ فِي حُكْمِ الْمُنْفَصِلِ لِأَنَّ اتِّصَالَ الْعَرْضِ لَا يُمْكِنُ إِحْدَاثُهُ بَعْدَ كَمَالِ الْبِنَاءِ وَاتِّصَالُ الطُّولِ يُمْكِنُ إِحْدَاثُهُ بَعْدَ كَمَالِ الْبِنَاءِ.

Pendapat kedua: bahwa ia tidak bersambung dan dianggap seperti terpisah, karena keterhubungan secara lebar tidak mungkin diadakan setelah bangunan selesai, sedangkan keterhubungan secara panjang masih mungkin diadakan setelah bangunan selesai.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الِاتِّصَالَ مَا ذَكَرْنَا وَكَانَ مُتَّصِلًا بِبِنَاءِ أَحَدِهِمَا دُونَ الْآخَرِ فَهُوَ لِمَنِ اتَّصَلَ بِبِنَائِهِ بَعْدَ أَنْ يَحْلِفَ لِصَاحِبِهِ وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَمْرَيْنِ:

Jika telah tetap bahwa keterhubungan itu sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan ia bersambung dengan bangunan salah satu dari keduanya saja, maka ia menjadi milik orang yang bangunannya bersambung dengannya setelah ia bersumpah kepada rekannya. Hal ini demikian karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ اتِّصَالَهُ بِمَا لَهُ تَصَرُّفٌ فِيهِ يَدٌ وَصَاحِبُ الْيَدِ الْمُتَصَرِّفَةِ أَحَقُّ مِنْ غَيْرِهِ كَمَنْ نُوزِعَ شَيْئًا فِي يَدِهِ.

Pertama: karena keterhubungannya dengan sesuatu yang ia memiliki hak untuk bertindak atasnya, dan pemilik hak bertindak lebih berhak daripada yang lain, seperti orang yang diperselisihkan atas sesuatu yang berada di tangannya.

وَالثَّانِي: أَنَّ اتِّصَالَهُ بِمِلْكِهِ دَلِيلٌ عَلَى تَمَلُّكِهِ كَمَنْ نُوزِعَ بِنَاءً فِي أَرْضِهِ كَانَ لِصَاحِبِ الْأَرْضِ دُونَ مُنَازَعَةٍ. ثُمَّ لَزِمَتْهُ الْيَمِينُ لِأَنَّ هَذَا دَالٌّ عَلَى الْمِلْكِ وَلَيْسَ بِمُوجِبٍ لَهُ فَلَزِمَتْ فِيهِ الْيَمِينُ كَالْيَدِ.

Kedua: karena keterhubungannya dengan miliknya merupakan bukti kepemilikannya, seperti orang yang diperselisihkan atas bangunan di tanahnya, maka itu menjadi milik pemilik tanah tanpa ada perselisihan. Kemudian ia diwajibkan bersumpah karena hal ini menunjukkan kepemilikan, namun tidak mewajibkannya, sehingga sumpah diwajibkan di dalamnya sebagaimana pada kasus tangan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إذا كان متصلا ببنائيهما أو منفصلا عن بنائيهما فَهُمَا فِيهِ سَوَاءٌ وَيَتَحَالَفَانِ عَلَيْهِ.

Adapun jika ia bersambung dengan bangunan keduanya atau terpisah dari bangunan keduanya, maka keduanya sama dalam hal itu dan keduanya saling bersumpah atasnya.

وَهَلْ يَكُونُ الْحَاكِمُ مُخَيَّرًا فِي الِابْتِدَاءِ بِإِحْلَافِ أَيِّهِمَا شَاءَ أَوْ يَقْرَعُ بَيْنَهُمَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Apakah hakim boleh memilih untuk memulai dengan menyuruh bersumpah siapa saja yang ia kehendaki, ataukah ia mengundi di antara keduanya? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ مُخَيَّرًا لِاسْتِوَائِهِمَا.

Pertama: hakim boleh memilih karena keduanya sama kedudukannya.

وَالثَّانِي: يَقْرَعُ بَيْنَهُمَا لِانْتِفَاءِ التُّهْمَةِ عَنْهُ.

Kedua: hakim mengundi di antara keduanya agar tidak timbul tuduhan terhadapnya.

وَفِي قَدْرِ مَا يَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَيْهِ وَجْهَانِ:

Dalam hal kadar apa yang harus disumpahkan oleh masing-masing dari keduanya, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ الْبَغْدَادِيِّينَ. أَنَّهُ يَحْلِفُ عَلَى نِصْفِهِ لِأَنَّهُ يَحْلِفُ عَلَى مَا يَصِيرُ إِلَيْهِ بِيَمِينِهِ وَالَّذِي يَصِيرُ إِلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا النِّصْفُ.

Pertama: dan ini adalah pendapat ulama Baghdad, bahwa ia bersumpah atas setengahnya, karena ia bersumpah atas apa yang akan menjadi miliknya dengan sumpahnya, dan yang menjadi milik masing-masing dari keduanya adalah setengahnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ يَحْلِفُ عَلَى جَمِيعِهِ لِأَنَّهُ يَحْلِفُ عَلَى مَا يَدَّعِيهِ وَهُوَ يَدَّعِي جَمِيعَهُ.

Pendapat kedua: dan ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama kami, bahwa ia bersumpah atas seluruhnya, karena ia bersumpah atas apa yang ia klaim, dan ia mengklaim seluruhnya.

ثُمَّ عَلَى كِلَا الْوَجْهَيْنِ لَا بُدَّ أَنْ يَتَضَمَّنَ يَمِينُهُ النَّفْيَ وَالْإِثْبَاتَ. لِأَنَّهُ يَنْفِي مِلْكَ غَيْرِهِ وَيُثْبِتُ مِلْكَ نَفْسِهِ.

Kemudian, menurut kedua pendapat tersebut, sumpahnya harus mencakup penafian dan penetapan, karena ia menafikan kepemilikan orang lain dan menetapkan kepemilikan dirinya sendiri.

وَلَكِنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يُحْتَاجُ إِلَى يَمِينٍ وَاحِدَةٍ لِلنَّفْيِ وَالْإِثْبَاتِ أَوْ يُحْتَاجُ إِلَى يَمِينَيْنِ أَحَدِهِمَا لِلنَّفْيِ وَالْأُخْرَى لِلْإِثْبَاتِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Namun, para ulama kami berbeda pendapat, apakah cukup dengan satu sumpah yang mencakup penafian dan penetapan, ataukah diperlukan dua sumpah, satu untuk penafian dan satu lagi untuk penetapan, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَحْلِفُ يَمِينًا وَاحِدًا تَتَضَمَّنُ النَّفْيَ وَالْإِثْبَاتَ لِأَنَّهُ أَفْضَلُ لِلْقَضَاءِ وَأَثْبَتُ لِلْحُكْمِ.

Pertama: bahwa ia bersumpah satu kali yang mencakup penafian dan penetapan, karena itu lebih baik untuk penyelesaian perkara dan lebih kuat untuk penetapan hukum.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ وَطَائِفَةٍ إِنَّهُ يَحْلِفُ يَمِينَيْنِ أَحَدهُمَا لِلنَّفْيِ لِأَنَّهُ مُنْكِرٌ بِهَا، وَالثَّانِيَةَ لِلْإِثْبَاتِ لِأَنَّهُ مُدَّعٍ بِهَا.

Pendapat kedua: dan ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas bin Suraij, Abu ‘Ali bin Khairan, dan sekelompok ulama, bahwa ia bersumpah dua kali: salah satunya untuk penafian karena ia mengingkari dengannya, dan yang kedua untuk penetapan karena ia mengklaim dengannya.

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا لَمْ يَخْلُ حَالُهُمَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ: –

Jika telah tetap apa yang kami jelaskan, maka keadaan keduanya tidak lepas dari tiga kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَحْلِفَا مَعًا فَيُجْعَلُ الْحَائِطُ بَيْنَهُمَا بِأَيْمَانِهِمَا.

Pertama, keduanya sama-sama bersumpah, maka tembok itu dibagi di antara keduanya berdasarkan sumpah mereka.

أَوْ يَنْكُلَا مَعًا فَيُمْنَعَانِ مِنَ التَّخَاصُمِ وَلَا يُحْكَمُ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا بِمِلْكِ شَيْءٍ مِنْهُ وَيَكُونُ الْحَائِطُ مَوْقُوفًا عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ مِنْ قَبْلُ.

Atau keduanya sama-sama enggan bersumpah, maka keduanya dilarang saling bersengketa dan tidak diputuskan kepemilikan salah satu dari mereka atas bagian apa pun darinya, dan tembok itu tetap dalam keadaan semula.

أَوْ يَحْلِفَ أَحَدُهُمَا وَيَنْكُلَ الْآخَرُ فَيُحْكَمُ بِهِ لِلْحَالِفِ مِنْهُمَا دُونَ النَّاكِلِ.

Atau salah satu dari keduanya bersumpah dan yang lain enggan, maka diputuskan untuk yang bersumpah di antara mereka dan bukan untuk yang enggan.

وَهَكَذَا لَوْ حَلَفَ أَحَدُهُمَا يَمِينَيْنِ عَلَى أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ وَحَلَفَ الْآخَرُ يَمِينًا وَاحِدَةً حُكِمَ بِهِ لِلْحَالِفِ بِيَمِينَيْنِ وَكَانَ الْحَالِفُ يَمِينًا بِمَثَابَةِ النَّاكِلِ لِأَنَّ يَمِينَهُ لَمْ تَكْمُلْ. فَلَوْ أَقَامَ النَّاكِلُ بَيِّنَةً كَانَ أحق ببينته من يمين صاحبه.

Demikian pula, jika salah satu dari keduanya bersumpah dua kali menurut salah satu pendapat, dan yang lain bersumpah satu kali, maka diputuskan untuk yang bersumpah dua kali, dan yang bersumpah satu kali dianggap seperti orang yang enggan, karena sumpahnya belum sempurna. Jika orang yang enggan itu kemudian mendatangkan bukti, maka bukti itu lebih diutamakan daripada sumpah rekannya.

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَا أَنْظُرُ إِلَى مَنْ إِلَيْهِ الْخَوَارِجُ وَلَا الدَّوَاخِلُ وَلَا أَنْصَافُ اللَّبْنِ وَلَا مَعَاقِدُ الْقِمْطِ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي شَيْءٍ مِنْ هَذَا دَلَالَةٌ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Aku tidak memperhatikan siapa yang memiliki bagian luar, bagian dalam, setengah bata, atau tempat ikatan tali, karena tidak ada satu pun dari hal-hal tersebut yang menjadi dalil.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. وَالدَّوَاخِلُ هِيَ وُجُوهُ الحيطان. والخوارج هي ظهور الحيطان وَأَنْصَافُ اللَّبْنِ فِيهِ تَأْوِيلَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Ad-dawākhil adalah sisi-sisi dalam dinding, sedangkan al-khawārij adalah sisi luar dinding. Adapun anṣāf al-labn (setengah bata) memiliki dua penafsiran yang dikemukakan oleh Ibn Abi Hurairah.

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ كُسُورُ أَنْصَافِ اللَّبْنِ إِلَى أَحَدِهِمَا وَالصَّحِيحُ مِنْهُ إِلَى الْآخَرِ.

Salah satunya: bahwa pecahan setengah bata itu menghadap ke salah satu dari keduanya, sedangkan bagian yang utuh menghadap ke yang lain.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ إِفْرِيزٌ يُخْرِجُهُ الْبِنَاءُ فِي أَعْلَى الْحَائِطِ نَحْوَ نِصْفِ لَبِنَةٍ لِيَكُونَ وِقَايَةً لِلْحَائِطِ مِنَ الْمَطَرِ وَغَيْرِهِ.

Yang kedua: bahwa itu adalah ifrīz, yaitu bagian bangunan yang menonjol di bagian atas dinding sekitar setengah bata, agar menjadi pelindung dinding dari hujan dan selainnya.

وَأَمَّا مَعَاقِدُ الْقَمْطِ فَتَكُونُ فِي الْأَخْصَاصِ وَهِيَ الْخُيُوطُ الَّتِي يُشَدُّ بِهَا الْخُصُّ. لِأَنَّ الْقَمْطَ جَمْعُ قِمَاطٍ وَهُوَ الْخَيْطُ.

Adapun mu‘āqid al-qamṭ, itu terdapat pada al-akhsāṣ, yaitu tali-tali yang digunakan untuk mengikat gubuk. Karena al-qamṭ adalah jamak dari qimāṭ, yaitu tali.

فَإِذَا تَنَازَعَ جَارَانِ حَائِطًا بَيْنَهُمَا وَكَانَ إِلَى أَحَدِهِمَا الدَّوَاخِلُ وَأَنْصَافُ اللَّبْنِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ دَلِيلًا عَلَى مِلْكِهِ.

Apabila dua tetangga berselisih tentang dinding di antara mereka, dan sisi dalam serta setengah bata menghadap ke salah satu dari mereka, maka hal itu tidak menjadi bukti kepemilikannya.

وَكَذَلِكَ لَوِ ادَّعَى خُصًّا وَكَانَ إِلَى أَحَدِهِمَا مُعَاقِدُ الْقَمْطِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ دَلِيلًا عَلَى مِلْكِهِ وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة.

Demikian pula, jika seseorang mengklaim kepemilikan gubuk dan mu‘āqid al-qamṭ menghadap ke salah satu dari mereka, maka itu juga tidak menjadi bukti kepemilikannya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah.

وَجَعَلَ أبو يوسف ومحمد هَذِهِ دَلَائِلَ عَلَى الْمِلْكِ وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ.

Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad menjadikan hal-hal tersebut sebagai bukti kepemilikan, dan ini adalah pendapat sebagian ahli Madinah.

اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ أَنَّ رَجُلَيْنِ تَنَازَعَا جِدَارًا بَيْنَهُمَا فأمر النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حُذَيْفَةَ أَنْ يَحْكُمَ فَحَكَمَ بِالْجِدَارِ لِمَنْ إِلَيْهِ مَعَاقِدُ الْقِمْطِ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَصَبْتَ.

Mereka berdalil dengan riwayat bahwa dua orang laki-laki berselisih tentang sebuah dinding di antara mereka, lalu Nabi ﷺ memerintahkan Hudzaifah untuk memutuskan perkara, maka Hudzaifah memutuskan dinding itu untuk orang yang di sisinya terdapat mu‘āqid al-qamṭ. Nabi ﷺ pun bersabda, “Engkau benar.”

قَالُوا: لِأَنَّ الْعَادَةَ جَارِيَةٌ فِي بِنَاءِ الْحَائِطِ أَنْ يَكُونَ وَجْهُهُ إِلَى مَالِكِهِ وَظُهُورُهُ إِلَى غَيْرِهِ وَمَعَاقِدُ الْخُصِّ تَكُونُ إِلَى مَالِكِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَحْكُمَ بِظَاهِرِ الْعَادَةِ.

Mereka berkata: Karena kebiasaan yang berlaku dalam pembangunan dinding adalah bahwa sisi depannya menghadap kepada pemiliknya dan sisi belakangnya menghadap ke selainnya, serta mu‘āqid al-khuṣ menghadap ke pemiliknya. Maka sudah seharusnya diputuskan berdasarkan kebiasaan yang tampak.

كَمَا يُحْكَمُ بِهَا فِي اتِّصَالِ الْبُنْيَانِ.

Sebagaimana diputuskan pula dalam keterhubungan bangunan.

وَهَذَا خَطَأٌ لِعُمُومِ قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ “.

Dan ini adalah kesalahan, karena keumuman sabda Nabi ﷺ: “Bukti atas orang yang mengklaim, dan sumpah atas orang yang dituduh.”

وَلِأَنَّ هَذِهِ أُمُورٌ قَدْ يُقْصَدُ بِهَا فِي الْبِنَاءِ الْجَمَالُ.

Dan karena hal-hal ini terkadang dimaksudkan dalam bangunan untuk keindahan.

فَرُبَّمَا أَحَبَّ الْإِنْسَانُ أَنْ يَجْعَلَ أَجْمَلَ بُنْيَانِهِ، وَأَحْسَنَهُ إِلَى مَنْزِلِهِ، وَرُبَّمَا أَحَبَّ أَنْ يَجْعَلَهُ خَارِجًا فِيمَا يَرَاهُ النَّاسُ.

Bisa jadi seseorang ingin menjadikan bangunannya yang paling indah dan terbaik menghadap ke rumahnya, dan bisa jadi ia ingin menjadikannya menghadap ke luar agar dilihat orang.

فَلَمْ يَجُزْ مَعَ اخْتِلَافِ الْعَادَةِ فِيهِ فِي سَائِرِ الْأَغْرَاضِ أَنْ يُجْعَلَ دَالًّا عَلَى الْمِلْكِ كَالتَّزَاوِيقِ وَالنَّقْشِ لَا يَكُونُ وُجُودُهُ مِنْ جَانِبِ أَحَدِهِمَا دَلِيلًا عَلَى مِلْكِهِ كَذَلِكَ مَا ذَكَرْنَاهُ.

Maka tidak boleh, dengan adanya perbedaan kebiasaan dalam berbagai tujuan, menjadikannya sebagai bukti kepemilikan, sebagaimana ornamen dan ukiran, keberadaannya di salah satu sisi tidak menjadi bukti kepemilikan, demikian pula hal yang telah kami sebutkan.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ فَهُوَ أَنَّهُ ضَعِيفٌ لِأَنَّ رَاوِيَهُ دَهْثَمُ بْنُ قِرَانٍ وَهُوَ مَرْغُوبٌ عَنْهُ. فَإِنْ صَحَّ لَمْ يَكُنْ فِيهِ دَلَالَةٌ. لِأَنَّهُ لَمْ يَجْعَلْ مَعَاقِدَ الْقَمْطِ عِلَّةً فِي الْحُكْمِ وَإِنَّمَا جُعِلَ تَعْرِيفًا لِمَنْ حُكِمَ لَهُ كَمَا لَوْ قِيلَ حُكِمَ لِلْأَسْوَدِ لَمْ يَدُلَّ عَلَى أَنَّ السَّوَادَ عِلَّةٌ لِلْحُكْمِ وَإِنَّمَا يَكُونُ سِمَةً وَتَعْرِيفًا لِمَنْ وَجَبَ لَهُ الْحُكْمُ. وَأَمَّا ادعاؤهم العرف لمعتاد فِيهِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ لِمَا ذَكَرْنَا مِنِ اخْتِلَافِ الأغراض فيه.

Adapun jawaban atas riwayat tersebut adalah bahwa ia lemah, karena perawinya adalah Dahtham bin Qiran, dan ia tidak dipercaya. Jika pun riwayat itu sahih, tetap tidak terdapat dalil di dalamnya, karena tidak menjadikan mu‘āqid al-qamṭ sebagai ‘illat (alasan) hukum, melainkan hanya sebagai penanda bagi siapa yang diputuskan untuknya, sebagaimana jika dikatakan “diputuskan untuk si hitam”, tidak berarti warna hitam menjadi alasan hukum, melainkan hanya sebagai ciri dan penanda bagi yang berhak atas keputusan itu. Adapun klaim mereka tentang kebiasaan yang berlaku, itu tidak benar karena adanya perbedaan tujuan sebagaimana telah kami sebutkan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَ لِأَحَدِهِمَا عَلَيْهِ جُذُوعٌ وَلَا شَيْءَ لِلْآخَرِ عَلَيْهِ أَحَلَفْتُهُمَا وَأَقْرَرْتُ الْجُذُوعَ بِحَالِهَا وَجَعَلْتُ الْجِدَارَ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ لِأَنَّ الرَّجُلَ قَدْ يَرْتَفِقُ بِجِدَارِ الرَّجُلَ بِالْجُذُوعِ بِأَمْرِهِ وَغَيْرِ أَمْرِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika salah satu dari mereka memiliki batang kayu di atasnya dan yang lain tidak memiliki apa-apa di atasnya, maka aku akan meminta keduanya bersumpah, dan aku biarkan batang kayu itu sebagaimana adanya, serta aku jadikan dinding itu milik bersama di antara mereka berdua, karena seseorang bisa saja memanfaatkan dinding orang lain dengan batang kayu atas izinnya atau tanpa izinnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا تَنَازَعَ الْجَارَانِ حَائِطًا بَيْنَهُمَا وَكَانَ لِأَحَدِهِمَا عَلَيْهِ جُذُوعٌ فَهُمَا فِيهِ سَوَاءٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Jika dua tetangga berselisih tentang dinding di antara mereka dan salah satu dari mereka memiliki batang kayu di atasnya, maka keduanya sama dalam hal itu.

قَالَ أبو حنيفة: صَاحِبُ الْجُذُوعِ أَحَقُّ بِهِ إِذَا كَانَتْ جُذُوعُهُ ثَلَاثَةً فَصَاعِدًا فَإِنْ كَانَتْ أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ وَكَانَ بَدَلُ الجذوع متصلا فيهما فِيهِ سَوَاءً اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ وَضْعَ الْجُذُوعِ أَوْكَدُ مِنَ اتِّصَالِ الْبِنَاءِ. لِأَنَّ وَضْعَ الْجُذُوعِ يُثْبِتُ يَدًا وَارْتِفَاقًا. وَاتِّصَالُ الْبِنَاءِ يُثْبِتُ أَحَدَهُمَا وَهُوَ الِارْتِفَاقُ دُونَ الْيَدِ فَلَمَّا كَانَ اتِّصَالُ الْبِنَاءِ إلا عَلَى الْمِلْكِ كَانَ وَضْعُ الْجُذُوعِ أَوْلَى بِأَنْ يَدُلَّ عَلَى الْمِلْكِ.

Abu Hanifah berkata: Pemilik batang kayu lebih berhak atasnya jika batang kayunya berjumlah tiga atau lebih. Namun, jika kurang dari tiga dan pengganti batang kayu itu sama-sama terhubung pada keduanya, maka kedudukannya sama, dengan alasan bahwa peletakan batang kayu lebih kuat daripada keterhubungan bangunan. Sebab, peletakan batang kayu menetapkan hak kepemilikan (‘yad’) dan kemanfaatan (‘irtifaq’), sedangkan keterhubungan bangunan hanya menetapkan salah satunya, yaitu kemanfaatan tanpa hak kepemilikan. Maka, karena keterhubungan bangunan hanya terjadi pada kepemilikan, peletakan batang kayu lebih utama untuk menunjukkan adanya kepemilikan.

وَلِأَنَّ وَضْعَ الْجُذُوعِ تَصَرُّفٌ فِي الْمِلْكِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ دَالًّا عَلَى الْمِلْكِ كَالْأَزُجِّ وَالْقُبَّةِ.

Karena peletakan batang kayu merupakan bentuk pengelolaan dalam kepemilikan, maka wajib dianggap sebagai penunjuk kepemilikan, sebagaimana atap dan kubah.

وَلِأَنَّ وَضْعَ الْجُذُوعِ هُوَ تَرْكِيبٌ عَلَى الْحَائِطَيْنِ يَجْرِي مَجْرَى رُكُوبِ الدَّابَّةِ وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ دَابَّةً لَوْ تَنَازَعَهَا رَاكِبُهَا وَأخذ بِلِجَامِهَا كَانَ رَاكِبُهَا أَحَقَّ بِهَا مِمَّنْ هُوَ آخِذٌ بِلِجَامِهَا فَكَذَلِكَ الْحَائِطُ إِذَا تَنَازَعَهُ صَاحِبُ الْجُذُوعِ وَغَيْرُهُ. كَانَ صَاحِبُ الْجُذُوعِ أَحَقَّ.

Karena peletakan batang kayu adalah pemasangan di atas dua dinding yang serupa dengan seseorang yang menaiki hewan tunggangan. Telah tetap bahwa jika seekor hewan diperebutkan antara penunggangnya dan orang yang memegang talinya, maka penunggangnya lebih berhak atas hewan itu daripada orang yang hanya memegang talinya. Demikian pula halnya dengan dinding, jika diperebutkan antara pemilik batang kayu dan selainnya, maka pemilik batang kayu lebih berhak.

وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ هُوَ أَنَّ كُلَّ مَا لَمْ يَكُنْ قَلِيلُهُ دَالًّا عَلَى الْمِلْكِ لَمْ يَكُنْ كَثِيرُهُ دَالًّا عَلَى الْمِلْكِ كَالْقَصَبِ وَالرُّفُوفِ.

Dan dalil atas kebenaran pendapat kami adalah bahwa segala sesuatu yang sedikitnya tidak menunjukkan kepemilikan, maka banyaknya pun tidak menunjukkan kepemilikan, seperti alang-alang dan rak.

وَلِأَنَّ مَا أَمْكَنَ إِحْدَاثُهُ بَعْدَ كَمَالِ الْبِنَاءِ لَمْ يَكُنْ دَالًّا عَلَى ذَلِكَ الْبِنَاءِ كَالْجِصِّ وَالنَّقْشِ.

Dan karena sesuatu yang mungkin dibuat setelah bangunan selesai tidak menunjukkan kepemilikan atas bangunan tersebut, seperti plester dan ukiran.

وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ بَيْنَ صَاحِبِ الْأَجْذَاعِ وَالْحَائِطِ طَرِيقٌ نَافِذَةٌ كَالسَّابَاطِ لَمْ يَكُنْ وَضْعُ أَجْذَاعِهِ فِيهِ دَلِيلًا عَلَى مِلْكِهِ لَهُ، كَذَلِكَ إِذَا اتَّصَلَ بِمِلْكِهِ.

Dan jika antara pemilik batang kayu dan dinding terdapat jalan yang tembus seperti sabath, maka peletakan batang kayunya di situ tidak menjadi bukti kepemilikan baginya, demikian pula jika terhubung dengan miliknya.

لِأَنَّ وَضْعَ الْجُذُوعِ لَوْ كَانَ يَدًا لَاسْتَوَى الْأَمْرَانِ فِي الِاتِّصَالِ بِالْمِلْكِ وَالِانْفِصَالِ عَنْهُ. وَلِأَنَّ وَضْعَ الْأَجْذَاعِ فِي الْحَائِطِ قَدْ يَكُونُ بِالْمِلْكِ تَارَةً وَبِالْإِذْنِ أُخْرَى وَبِالْحُكْمِ عَلَى مَا نَذْكُرُهُ تَارَةً. فَلَمْ يَجُزْ مَعَ اخْتِلَافِ أَسْبَابِهِ أَنْ يَكُونَ مَقْصُورًا عَلَى أَحَدِهَا فِي الِاسْتِدْلَالِ بِهِ عَلَى الْمِلْكِ.

Karena jika peletakan batang kayu dianggap sebagai hak kepemilikan (‘yad’), maka keduanya akan sama saja baik dalam keterhubungan dengan milik maupun terpisah darinya. Dan karena peletakan batang kayu pada dinding kadang terjadi atas dasar kepemilikan, kadang atas izin, dan kadang atas keputusan hukum sebagaimana akan kami sebutkan. Maka, karena sebab-sebabnya berbeda, tidak boleh dibatasi pada salah satunya saja dalam menjadikannya sebagai bukti kepemilikan.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِاتِّصَالِ الْبُنْيَانِ فَهُوَ أَنَّ ذَلِكَ مِمَّا لَا يُمْكِنُ حُدُوثُهُ بَعْدَ كَمَالِ الْبُنْيَانِ فَجَازَ أَنْ يَدُلَّ عَلَى الْمِلْكِ لِافْتِرَاقِهِ بِهِ. وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْجُذُوعُ.

Adapun jawaban atas dalil yang menggunakan keterhubungan bangunan adalah bahwa hal itu tidak mungkin terjadi setelah bangunan selesai, sehingga boleh dijadikan bukti kepemilikan karena perbedaannya dengan yang lain. Tidak demikian halnya dengan batang kayu.

وَبِمِثْلِهِ يَكُونُ الْجَوَابُ عَنِ الْأَزُجِّ وَالْقُبَّةِ إِنْ كَانَ مِمَّا لَا يُمْكِنُ حُدُوثُ مِثْلِهِ بَعْدَ الْبُنْيَانِ.

Demikian pula jawabannya terhadap atap dan kubah, jika memang tidak mungkin dibuat setelah bangunan selesai.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا اسْتَدَلُّوا بِهِ مِنْ رَاكِبِ الدَّابَّةِ وَقَائِدِهَا فَقَدِ اخْتَلَفَ فِيهِ أَصْحَابُنَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas dalil yang mereka gunakan tentang penunggang hewan dan penuntunnya, para ulama kami berbeda pendapat dalam dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّهُمَا فِي الدَّابَّةِ سَوَاءٌ تَكُونُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ الِاسْتِدْلَالُ بِهِ.

Pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa keduanya sama dalam hal hewan itu, sehingga haknya terbagi dua di antara mereka. Dengan demikian, dalil tersebut gugur.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الرَّاكِبَ أَحَقُّ بِهَا مِنَ الْآخِذِ بِلِجَامِهَا.

Pendapat kedua: bahwa penunggang lebih berhak atas hewan itu daripada orang yang memegang talinya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ ذَلِكَ وَبَيْنَ وَضْعِ الْجُذُوعِ وَتَرْكِيبِهَا عَلَى الْحَائِطِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Perbedaan antara hal itu dengan peletakan dan pemasangan batang kayu di atas dinding ada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الإجماع مانع من ركوب دابة الإنسان لا بِإِذْنِهِ، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ رُكُوبُهَا دَلِيلًا عَلَى مِلْكِهِ.

Pertama: bahwa ijmā‘ melarang seseorang menaiki hewan milik orang lain tanpa izinnya, sehingga boleh menjadikan penunggangannya sebagai bukti kepemilikan.

وَالْخِلَافُ مُنْتَشِرٌ فِي أَنَّ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَضَعَ أَجْذَاعَهُ جَبْرًا فِي حَائِطِ غَيْرِهِ فَلَمْ يَكُنْ وَضْعُهَا دَلِيلًا عَلَى مِلْكِهِ.

Sedangkan perbedaan pendapat tersebar mengenai apakah seseorang boleh meletakkan batang kayunya secara paksa di dinding milik orang lain, sehingga peletakannya tidak menjadi bukti kepemilikan.

وَالثَّانِي: أَنَّ الرُّكُوبَ لَمَّا كَانَ تَصَرُّفًا لَا يَخْتَلِفُ حُكْمُهُ بَيْنَ وُجُودِهِ فِي الْمِلْكِ وَغَيْرِ الْمِلْكِ جَازَ أَنْ يَكُونَ دَلِيلًا عَلَى الْمِلْكِ.

Kedua: bahwa penunggang, karena merupakan bentuk pengelolaan yang hukumnya tidak berbeda antara ada di milik sendiri atau bukan, maka boleh dijadikan bukti kepemilikan.

وَلَمَّا كَانَ وَضْعُ أَجْذَاعِ السَّابَاطِ الَّذِي لَا يَتَّصِلُ بِالْمِلْكِ لَا يَدُلُّ عَلَى الْمِلْكِ لَمْ يَكُنْ وَضْعُ الْأَجْذَاعِ دَالًّا عَلَى الْمِلْكِ.

Dan karena peletakan batang kayu pada sabath yang tidak terhubung dengan milik tidak menunjukkan kepemilikan, maka peletakan batang kayu tidak menjadi bukti kepemilikan.

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ وَضْعَ الْجُذُوعِ لَا يَدُلُّ عَلَى الْمِلْكِ فَإِنَّهُمَا يَتَحَالَفَانِ وَيُجْعَلُ بَيْنَهُمَا وَتُقَرُّ الْجُذُوعُ عَلَى مَا كَانَتْ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ وَضَعَهَا بِحَقٍّ وَإِنْ لَمْ يَمْلِكِ الْحَائِطَ.

Jika telah dipastikan bahwa meletakkan batang-batang kayu tidak menunjukkan kepemilikan, maka keduanya saling bersumpah dan perkara diletakkan di antara mereka, serta batang-batang kayu itu tetap pada keadaan semula. Karena boleh jadi ia meletakkannya dengan hak, meskipun ia tidak memiliki tembok tersebut.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَأَمَّا إِذَا تَنَازَعَا حَائِطًا فِي عَرْصَةٍ هِيَ لِأَحَدِهِمَا فَإِنَّهُ يَكُونُ لِصَاحِبِ الْعَرْصَةِ لِأَنَّ يَدَهُ عَلَيْهِ.

Adapun jika keduanya berselisih tentang sebuah tembok di atas sebidang tanah yang merupakan milik salah satu dari mereka, maka tembok itu menjadi milik pemilik tanah tersebut karena tangannya (penguasaannya) atas tanah itu.

وَهَكَذَا لَوْ تَنَازَعَا عُلُوَّ حَائِطٍ أَسْفَلُهُ لِأَحَدِهِمَا كَانَ لِصَاحِبِ السُّفْلِ مَعَ يَمِينِهِ لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ ثُبُوتِ الْيَدِ. وَلَكِنْ لَوْ تَنَازَعَا عَرْضه حَائِط هُوَ لِأَحَدِهِمَا فَفِيهِ وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا: –

Demikian pula, jika keduanya berselisih tentang bagian atas tembok yang bagian bawahnya milik salah satu dari mereka, maka bagian atas itu menjadi milik pemilik bagian bawah dengan sumpahnya, sebagaimana telah kami sebutkan tentang tetapnya penguasaan. Namun, jika keduanya berselisih tentang lebar tembok yang merupakan milik salah satu dari mereka, maka menurut para ulama kami ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تَكُونُ لِصَاحِبِ الْحَائِطِ لِأَنَّ تَصَرُّفَهُ فِيهَا أظهر.

Salah satunya: Bahwa lebar itu menjadi milik pemilik tembok karena penguasaannya atasnya lebih jelas.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُمَا فِيهَا سَوَاءٌ كَوَضْعِ الْجُذُوعِ.

Pendapat kedua: Keduanya sama dalam hal itu, seperti halnya meletakkan batang-batang kayu.

وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِيمَنْ أَقَرَّ لِرَجُلٍ بِحَائِطٍ هَلْ يَدْخُلُ قَرَارُهُ فِي إِقْرَارِهِ. أَوْ بَاعَ حَائِطًا هَلْ يَدْخُلُ قَرَارُهُ فِي بَيْعِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ.

Dua pendapat ini berasal dari perbedaan pendapat para ulama kami tentang orang yang mengakui kepemilikan tembok untuk seseorang, apakah pondasinya termasuk dalam pengakuannya. Atau jika ia menjual tembok, apakah pondasinya termasuk dalam penjualannya, juga terdapat dua pendapat.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِأَنَّ الرَّجُلَ قَدْ يَرْتَفِقُ بِجِدَارِ الرَّجُلِ بِأَمْرِهِ وَغَيْرِ أَمْرِهِ.

Adapun perkataan Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh bahwa seseorang boleh memanfaatkan tembok orang lain dengan izinnya maupun tanpa izinnya.

فَقَدْ رُوِيَ فِي الْقَدِيمِ حَدِيثٌ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يَمْنَعُ أَحَدُكُمْ جَارَهُ أَنْ يَضَعَ خَشَبَةً فِي جِدَارِهِ ” قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ مَا لِي أَرَاكُمْ عَنْهَا مُعْرِضِينَ. وَاللَّهِ لِأَرْمِيَنَّهَا بَيْنَ أَكْتَافِكُمْ.

Telah diriwayatkan dalam pendapat lama sebuah hadis dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian melarang tetangganya untuk meletakkan kayu di temboknya.” Abu Hurairah berkata, “Mengapa aku melihat kalian berpaling dari hal ini? Demi Allah, sungguh aku akan lemparkan kayu itu di antara pundak-pundak kalian.”

فَكَانَ يَذْهَبُ فِي الْقَدِيمِ إِلَى أَنَّ لِلْجَارِ أَنْ يَضَعَ أَجْذَاعَهُ فِي جِدَارِ جَارِهِ جَبْرًا بِأَمْرِهِ وَغَيْرِ أَمْرِهِ. وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ تَعَلُّقًا بِهَذَا الْحَدِيثِ.

Maka dalam pendapat lama, beliau (asy-Syafi‘i) berpendapat bahwa tetangga boleh meletakkan batang-batang kayunya di tembok tetangganya secara paksa, baik dengan izinnya maupun tanpa izinnya. Malik juga berpendapat demikian dengan berpegang pada hadis ini.

ثُمَّ رَجَعَ عَنْهُ فِي الْجَدِيدِ وَقَالَ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَضَعَ أَجْذَاعَهُ فِي جِدَارِ جَارِهِ إِلَّا بِأَمْرِهِ كَمَا لَيْسَ لَهُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَمْلَاكِ الَّتِي لِجَارِهِ إِلَّا بِأَمْرِهِ.

Kemudian beliau (asy-Syafi‘i) menarik pendapatnya dalam pendapat baru dan berkata, “Tidak boleh bagi tetangga meletakkan batang-batang kayunya di tembok tetangganya kecuali dengan izinnya, sebagaimana ia tidak boleh bertindak atas harta milik tetangganya yang lain kecuali dengan izinnya.”

وَلِأَنَّ الشَّرِيكَ فِي الْمِلْكِ أَقْوَى مِنْ جَارِ الْمِلْكِ وَلَيْسَ لِأَحَدِ الشَّرِيكَيْنِ أَنْ يَنْفَرِدَ بِالتَّصَرُّفِ، فَالْجَارُ أَوْلَى، وَهَذَا قَوْلُ أبي حنيفة. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ مَحْمُولًا عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ: –

Karena sesungguhnya sekutu dalam kepemilikan lebih kuat daripada tetangga dalam kepemilikan, dan tidak boleh bagi salah satu dari dua sekutu untuk bertindak sendiri, maka tetangga lebih utama (tidak boleh bertindak sendiri), dan ini adalah pendapat Abu Hanifah. Berdasarkan hal ini, hadis Abu Hurairah ditafsirkan dengan dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُحْمَلَ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ وَالنَّدْبِ لَا عَلَى الْوُجُوبِ وَالْحَتْمِ.

Salah satunya: Ditafsirkan sebagai anjuran dan sunnah, bukan sebagai kewajiban dan keharusan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى الْجَارَ لَيْسَ لَهُ مَنْعُ صَاحِبِ الْحَائِطِ مِنْ وَضْعِ أَجْذَاعِهِ فِي حَائِطِهِ وَإِنْ كَانَ مُضِرًّا بِالْجَارِ فِي مَنْعِ ضَوْءٍ أَوْ إِشْرَافٍ لِيَكُونَ مُوَافِقًا لِلْأُصُولِ.

Yang kedua: Bahwa hadis itu ditafsirkan bahwa tetangga tidak berhak melarang pemilik tembok untuk meletakkan batang-batang kayunya di temboknya, meskipun hal itu merugikan tetangga seperti menghalangi cahaya atau pandangan, agar sesuai dengan prinsip-prinsip dasar (al-uṣūl).

فَإِنْ قِيلَ لِمَ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ لِأَنَّ الرَّجُلَ قَدْ يَرْتَفِقُ بِجِدَارِ الرَّجُلِ بِأَمْرِهِ وَغَيْرِ أَمْرِهِ وَهُوَ فِي الْجَدِيدِ لَا يَقُولُ هَذَا، قُلْنَا فِيهِ تَأْوِيلَانِ:

Jika ditanyakan, “Mengapa asy-Syafi‘i dalam pendapat lama mengatakan bahwa seseorang boleh memanfaatkan tembok orang lain dengan izinnya maupun tanpa izinnya, sedangkan dalam pendapat baru beliau tidak mengatakan demikian?” Kami katakan, dalam hal ini ada dua penafsiran:

أَحَدُهُمَا: بأمره يعني مجاهرا وبغير أَمْرِهِ يَعْنِي سَاتِرًا.

Salah satunya: Dengan izinnya maksudnya secara terang-terangan, dan tanpa izinnya maksudnya secara diam-diam.

وَالثَّانِي: بِأَمْرِهِ يَعْنِي بِاخْتِيَارِهِ وبغير أَمْرِهِ يَعْنِي بِإِجْبَارِ مَنْ يَرَى ذَلِكَ مِنَ الْقُضَاةِ وَالْحُكَّامِ. فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا فَإِنْ قُلْنَا بِوُجُوبِ ذَلِكَ عَلَيْهِ عَلَى مَذْهَبِهِ فِي الْقَدِيمِ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَنْعُ جَارِهِ مِنْ وَضْعِ أَجْذَاعِهِ فِي جِدَارِهِ. وَكَانَ لِلْجَارِ أَنْ يَضَعَ فِي الْجِدَارِ مَا احْتَمَلَهُ مِنَ الْأَجْذَاعِ ولو صالحه من وضع الْأَجْذَاعِ عَلَى عِوَضٍ لَمْ يَجُزْ لِوُجُوبِ ذَلِكَ عَلَيْهِ وَمَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ حَقٌّ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَعْتَاضَ عَلَيْهِ.

Yang kedua: Dengan izinnya maksudnya dengan pilihannya, dan tanpa izinnya maksudnya dengan paksaan dari hakim atau penguasa yang memandang hal itu perlu. Jika telah dipastikan apa yang kami sebutkan, maka jika kami berpendapat wajib atasnya menurut mazhab lama, maka ia tidak boleh melarang tetangganya meletakkan batang-batang kayunya di temboknya. Dan tetangga boleh meletakkan di tembok tersebut sebanyak yang mampu ditanggung oleh tembok dari batang-batang kayu. Jika ia berdamai dengan memberikan imbalan atas peletakan batang-batang kayu, maka tidak boleh, karena hal itu wajib atasnya. Dan siapa yang wajib atasnya suatu hak, tidak boleh mengambil imbalan atasnya.

وَلَوِ انْهَدَمَ الْحَائِطُ لَمْ يَلْزَمْ مَالِكُهُ أَنْ يَبْنِيَهُ إِلَّا بِاخْتِيَارِهِ.

Jika tembok itu roboh, maka pemiliknya tidak wajib membangunnya kembali kecuali atas pilihannya sendiri.

فَإِنْ بناء كَانَ لِلْجَارِ أَنْ يُعِيدَ أَجْذَاعَهُ فِيهِ.

Jika ia membangunnya, maka tetangga berhak mengembalikan batang-batang kayunya ke dalam tembok itu.

وَلَوْ أَرَادَ الْجَارُ بِنَاءَ الْحَائِطِ عِنْدَ امْتِنَاعِ صَاحِبِهِ من بنائه كان له ذَلِكَ لِيَصِلَ بِذَلِكَ إِلَى حَقِّهِ مِنْ وَضْعِ أَجْذَاعِهِ فِيهِ، وَإِذَا قُلْنَا بِقَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَهُوَ الْقَوْلُ الصَّحِيحُ.

Dan jika tetangga ingin membangun dinding ketika pemiliknya enggan membangunnya, maka ia boleh melakukannya agar ia dapat memperoleh haknya untuk meletakkan balok-baloknya di atas dinding tersebut. Namun, jika kita mengikuti pendapat dalam al-Jadid bahwa hal itu tidak wajib, maka itulah pendapat yang benar.

فَلَيْسَ لِلْجَارِ أَنْ يَضَعَ أَجْذَاعَهُ فِي الْجِدَارِ إِلَّا بِإِذْنِ مَالِكِهِ وَاخْتِيَارِهِ وَيَجُوزُ لِلْمَالِكِ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِيهِ بِعِوَضٍ وَغَيْرِ عِوَضٍ، لِأَنَّ مَا لَا يَمْلِكُ عَلَيْهِ يَجُوزُ أَنْ يُعَاوِضَ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ مَعْلُومًا، فَإِنْ أَذِنَ فِيهِ بِغَيْرِ عِوَضٍ كَانَتْ عَارِيَةً وَجَازَ أَنْ لَا يَشْتَرِطَ عَدَدَ الْأَجْذَاعِ وَلَا يَعْلَمُ طُولَهَا وَلَا مَوْضِعَ تَرْكِيبِهَا، لِأَنَّ الْجَهْلَ بِمَنَافِعِ الْعَارِيَةِ لَا يَمْنَعُ مِنْ صِحَّتِهَا.

Maka, tetangga tidak boleh meletakkan balok-baloknya di dinding kecuali dengan izin dan kerelaan pemiliknya. Dan pemilik boleh mengizinkannya dengan imbalan atau tanpa imbalan, karena sesuatu yang tidak dimiliki atasnya boleh dijadikan objek imbalan jika diketahui kadarnya. Jika ia mengizinkan tanpa imbalan, maka itu termasuk ‘āriyah (pinjaman pakai), dan boleh tidak disyaratkan jumlah balok, tidak diketahui panjangnya, maupun tempat pemasangannya, karena ketidaktahuan terhadap manfaat ‘āriyah tidak menghalangi keabsahannya.

ثُمَّ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ فِي الْعَارِيَةِ مَا بَقِيَ الْحَائِطُ لِأَنَّ مَوْضِعَ الْأَجْذَاعِ يُرَادُ لِلِاسْتِدَامَةِ فَكَانَ إِطْلَاقُهُ الْإِذْنَ مَحْمُولًا عَلَيْهِ. كَمَنْ أَعَارَ أَرْضَهُ لِدَفْنِ مَيِّتٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ فِي عَارِيَتِهِ وَإِخْرَاجِ الْمَيِّتِ مِنْهَا بَعْدَ دَفْنِهِ وَلَكِنْ لَوِ انْهَدَمَ الْحَائِطُ وَأَعَادَهُ مَالِكُهُ فَهَلْ لِصَاحِبِ الْأَجْذَاعِ أَنْ يُعِيدَ وَضْعَهَا فِيهِ بِالْإِذْنِ الْمُتَقَدِّمِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kemudian, pemilik tidak boleh menarik kembali ‘āriyah tersebut selama dinding masih ada, karena tempat balok itu dimaksudkan untuk keberlanjutan, sehingga izin yang diberikan dianggap berlaku untuk itu. Seperti orang yang meminjamkan tanahnya untuk menguburkan mayat, maka ia tidak boleh menarik kembali pinjamannya dan mengeluarkan mayat setelah dikuburkan. Namun, jika dinding itu roboh lalu dibangun kembali oleh pemiliknya, apakah pemilik balok boleh mengembalikan baloknya ke dinding dengan izin yang lama atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ صَارَ مُسْتَحِقًّا عَلَى التَّأْيِيدِ كَمَا لَوْ كَانَ الْأَوَّلُ بَاقِيًا.

Pertama: Ia boleh melakukannya, karena ia telah menjadi berhak secara permanen, sebagaimana jika dinding yang pertama masih ada.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ إِلَّا بِإِذْنٍ مُسْتَحْدَثٍ. لِأَنَّ حُكْمَ الْعَارِيَةِ قَدِ انْقَطَعَ بِانْهِدَامِ الْحَائِطِ، وَلِأَنَّهُ إِنَّمَا اسْتَحَقَّ تَأْيِيدَ ذَلِكَ لِمَا فِي نَزْعِهَا مِنَ الْأَضْرَارِ بِهِ وَقَدْ لَحِقَهُ ذَلِكَ بِانْهِدَامِهِ. وَلَكِنْ لَوْ أَعَارَ أَرْضًا لِدَفْنِ مَيِّتٍ فَنَبَشَهُ سَبُعٌ أُعِيدَ دفنه فيها من غير إذن ستحدث وَجْهًا وَاحِدًا.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih: Ia tidak boleh melakukannya kecuali dengan izin baru, karena hukum ‘āriyah telah terputus dengan robohnya dinding, dan karena ia hanya berhak mempertahankan balok tersebut selama pencabutannya menimbulkan mudarat baginya, dan mudarat itu telah hilang dengan robohnya dinding. Namun, jika seseorang meminjamkan tanah untuk mengubur mayat, lalu mayat itu digali oleh binatang buas, maka mayat itu dikuburkan kembali di tanah itu tanpa perlu izin baru, menurut satu pendapat.

وَلَوْ أَكَلَهُ السَّبُعُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُدْفَنَ غَيْرُهُ فِيهَا إِلَّا بِإِذْنٍ جَدِيدٍ لِذَهَابِ مَنْ كَانَ مُسْتَحِقًّا لِمَنْفَعَةِ الْعَارِيَةِ.

Dan jika mayat itu dimakan binatang buas, maka tidak boleh menguburkan mayat lain di tanah itu kecuali dengan izin baru, karena orang yang berhak atas manfaat ‘āriyah telah tiada.

وَلَوْ كَانَ قَدْ أَذِنَ لَهُ فِي وَضْعِ جِذْعٍ فِي حَائِطِهِ فَانْكَسَرَ الْجِذْعُ كَانَ لَهُ إِعَادَةُ غَيْرِهِ.

Dan jika seseorang telah mengizinkan tetangganya meletakkan satu balok di dindingnya, lalu balok itu patah, maka ia boleh menggantinya dengan balok lain.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَيِّتِ أَنَّ الْمَنْعَ مِنَ الرُّجُوعِ فِي عَارِيَةِ الْقَبْرِ لِحُرْمَةِ الْمَيِّتِ. فَإِذَا أَكَلَهُ السَّبُعُ انْقَضَتْ حُرْمَتُهُ عَنِ الْمَكَانِ.

Perbedaan antara kasus ini dan kasus mayat adalah bahwa larangan menarik kembali ‘āriyah kuburan karena penghormatan terhadap mayat. Maka jika mayat itu dimakan binatang buas, hilanglah kehormatan tempat tersebut.

وَالْمَنْعُ مِنَ الرُّجُوعِ فِي مَوْضِعِ الْأَجْذَاعِ لِمَا يَلْحَقُهُ مِنَ الضَّرَرِ بِانْهِدَامِ السَّقْفِ وَهَذَا مَوْجُودٌ بَعْدَ انْكِسَارِ الْجِذْعِ، فَأَمَّا إِذَا أَخَذَ مِنْهُ عَلَى وَضْعِ أَجْذَاعِهِ عِوَضًا فَلَا يَصِحُّ إِلَّا بَعْدَ مَعْرِفَةِ عَدَدِ الْأَجْذَاعِ وَطُولِهَا وَامْتِلَائِهَا وَمَوْضِعِهَا مِنَ الْحَائِطِ وَقَدْرِ دُخُولِهَا فِيهِ.

Adapun larangan menarik kembali tempat balok karena adanya mudarat akibat robohnya atap, dan hal ini tetap ada meskipun baloknya patah. Adapun jika pemilik mengambil imbalan atas peletakan balok, maka tidak sah kecuali setelah diketahui jumlah balok, panjangnya, volumenya, tempatnya di dinding, dan seberapa dalam masuknya ke dinding.

لِأَنَّ الْمُعَاوَضَةَ تَحْرُسُ مِنَ الْجَهَالَةِ ثُمَّ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ إِذَا انْتَفَتِ الْجَهَالَةُ عَنْهُ هَلْ يَكُونُ بَيْعًا أَوْ إِجَارَةً، عَلَى وَجْهَيْنِ:

Karena transaksi imbalan harus terhindar dari ketidakjelasan. Kemudian, para ulama kami berbeda pendapat tentangnya: jika ketidakjelasan telah hilang, apakah itu dianggap sebagai jual beli atau sewa, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ بَيْعًا وَهَذَا قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَرُوذِيِّ. فَعَلَى هَذَا يَصِحُّ عَلَى التَّأْيِيدِ مِنْ غَيْرِ اشْتِرَاطِ مُدَّةٍ فِيهِ وَمَتَى انْهَدَمَ الْحَائِطُ ثُمَّ بُنِيَ أُعِيدَ وَجْهًا وَاحِدًا. بِخِلَافِ الْعَارِيَةِ الَّتِي لَا يَمْنَعُ مِنْ صِحَّتِهَا الْجَهَالَةُ بِمُدَّةِ مَنْفَعَتِهَا.

Pertama: Itu dianggap sebagai jual beli, dan ini adalah pendapat Abu Hamid al-Marwazī. Menurut pendapat ini, transaksi itu sah untuk selamanya tanpa mensyaratkan jangka waktu, dan jika dinding roboh lalu dibangun kembali, maka hak itu kembali secara otomatis, berbeda dengan ‘āriyah yang keabsahannya tidak terhalangi oleh ketidakjelasan masa manfaatnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ عِنْدِي أَصَحُّ أَنَّهُ يَكُونُ إِجَارَةً وَلَا يَكُونُ بَيْعًا.

Pendapat kedua, dan menurut saya ini yang lebih sahih, bahwa itu adalah sewa, bukan jual beli.

لِأَنَّهُ عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ لَا عَيْنٍ. فَعَلَى هَذَا لَا يَصِحُّ إِلَّا بِاشْتِرَاطِ مُدَّةٍ مَعْلُومَةٍ تَتَقَدَّرُ بِهَا الْمَنْفَعَةُ وَيُؤْخَذُ بِقَلْعِ ذَلِكَ عِنْدَ انْقِضَائِهَا.

Karena itu adalah akad atas manfaat, bukan atas benda. Maka, menurut pendapat ini, tidak sah kecuali dengan mensyaratkan jangka waktu tertentu yang dapat diukur manfaatnya, dan setelah masa itu habis, balok tersebut harus dicabut.

وَعَلَى الْوَجْهَيْنِ مَعًا إِنْ قَدَّرَ ذَلِكَ بِمُدَّةٍ صَحَّ وَكَانَتْ إِجَارَةً، وَهَكَذَا لَوْ صَالَحَهُ عَلَى إِجْرَاءِ مَسِيلِ مَاءٍ فِي أَرْضِهِ فَلَا بُدَّ مِنْ تَعْيِينِ مَوْضِعِهِ وَتَقْدِيرِ طُولِهِ وَعَرْضِهِ ثُمَّ إِنْ قَدَّرَ بِمُدَّةٍ صَحَّ وَكَانَتْ إِجَارَةً وَإِنْ لَمْ يُقَدِّرْهُ كَانَ عَلَى وَجْهَيْنِ.

Pada kedua pendapat tersebut, jika hal itu ditentukan dengan jangka waktu tertentu, maka sah dan dianggap sebagai akad ijarah (sewa-menyewa). Demikian pula, jika seseorang berdamai dengan pihak lain untuk mengalirkan air di tanahnya, maka harus ditentukan letak, panjang, dan lebarnya. Kemudian, jika ditentukan dengan jangka waktu tertentu, maka sah dan menjadi akad ijarah. Namun jika tidak ditentukan, maka ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَكُونُ بَيْعًا لِمَا حُدَّ مِنَ الْأَرْضِ لِإِجْرَاءِ الْمَاءِ فِيهِ عَلَى التَّأْيِيدِ.

Salah satunya: bahwa itu dianggap sebagai jual beli atas bagian tanah yang telah ditentukan untuk mengalirkan air di dalamnya secara permanen.

وَالثَّانِي: يَكُونُ بَاطِلًا إِذَا قِيلَ إِنَّهُ يَكُونُ إِجَارَةً.

Dan yang kedua: akad tersebut batal jika dikatakan sebagai akad ijarah.

وَأَمَّا إِنْ صَالَحَهُ عَلَى سَقْيِ مَاشِيَتِهِ مِنْ عَيْنٍ أَوْ بِئْرٍ مُدَّةً مَعْلُومَةً لَمْ يَجُزْ لِأَنَّ قَدْرَ مَا تَشْرَبُهُ الْمَاشِيَةُ مَجْهُولٌ. وَهَكَذَا الزَّرْعُ وَلَكِنْ لَوْ صَالَحَهُ عَلَى نِصْفِ الْعَيْنِ أَوْ ثُلُثِهَا جَازَ وَكَانَ بَيْعًا لَا يَحْتَاجُ إِلَى تَقْدِيرِ الْمُدَّةِ فِيهِ لِأَنَّهُ عَقْدٌ عَلَى عَيْنٍ. وَلَوْ قَدَّرَهُ بِمُدَّةٍ خَرَجَ عَنِ الْبَيْعِ إِلَى الْإِجَارَةِ فَكَانَ بَاطِلًا لِأَنَّ إِجَارَةَ عَيْنِ الْمَاءِ مِنْهَا لَا يَجُوزُ.

Adapun jika seseorang berdamai dengan pihak lain untuk memberi minum ternaknya dari mata air atau sumur dalam jangka waktu tertentu yang diketahui, maka tidak boleh, karena jumlah air yang diminum ternak tidak diketahui. Demikian pula untuk tanaman. Namun, jika berdamai atas setengah atau sepertiga mata air, maka boleh dan itu dianggap sebagai jual beli, sehingga tidak perlu menentukan jangka waktu karena akadnya atas suatu benda tertentu. Jika ditentukan dengan jangka waktu, maka keluar dari akad jual beli menjadi akad ijarah, dan itu batal, karena ijarah atas benda air itu sendiri tidak diperbolehkan.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَمْ أَجْعَلْ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يَفْتَحَ فِيهِ كَوَّةً وَلَا يَبْنِيَ عَلَيْهِ إِلَّا بِإِذْنِ صَاحِبِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Aku tidak membolehkan salah satu dari keduanya membuka lubang pada dinding itu atau membangun di atasnya kecuali dengan izin dari pemilik (mitra) yang lain.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا كَانَ الْحَائِطُ بَيْنَ شَرِيكَيْنِ لَمْ يَكُنْ لِأَحَدِهِمَا أَنْ يَفْتَحَ فِيهِ كَوَّةً وَلَا يَضَعَ فِيهِ جِذْعًا وَلَا يُسَمِّرَ فِيهِ وَتَدًا إِلَّا بِإِذْنِ شَرِيكِهِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Jika dinding itu milik dua orang yang berserikat, maka tidak boleh salah satu dari mereka membuka lubang di dalamnya, atau meletakkan balok, atau menancapkan paku di dalamnya kecuali dengan izin dari mitranya.

وَجَوَّزَ الْعِرَاقِيُّونَ لِأَحَدِ الشَّرِيكَيْنِ أَنْ يَفْعَلَ فِي الْحَائِطِ مَا لَا يَضُرُّ بِهِ مِنْ فَتْحِ كَوَّةٍ وَإِيتَادِ وَتَدٍ اعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ الْمُعْتَادِ فِيهِ بَيْنَ النَّاسِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَمْرَيْنِ:

Orang-orang Irak membolehkan salah satu dari dua orang yang berserikat untuk melakukan pada dinding apa yang tidak membahayakan, seperti membuka lubang atau menancapkan paku, dengan mempertimbangkan kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat. Dan ini adalah kesalahan karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ تَفَرُّدَ أَحَدِهِمَا بِالتَّصَرُّفِ فِي ذَلِكَ غَيْرُ جَائِزٍ.

Salah satunya: Bahwa tindakan sepihak salah satu dari mereka dalam hal itu tidak diperbolehkan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ هَدْمُ بَعْضِ الْحَائِطِ فَلَمْ يَجُزْ كَالْبَابِ.

Dan yang kedua: Karena itu berarti merusak sebagian dinding, sehingga tidak diperbolehkan seperti halnya membuat pintu.

فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَ كَوَضْعِ الْجُذُوعِ فِيهِ فَيَكُونَ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika dikatakan: Mengapa tidak disamakan dengan meletakkan balok di atasnya, sehingga menjadi dua pendapat?

قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْحَائِطَ مَوْضُوعٌ لِلْحَيْلُولَةِ وَوَضْعُ الْأَجْذَاعِ فِيهِ لَا يَمْنَعُ مِنَ الْحَيْلُولَةِ.

Dikatakan: Perbedaannya adalah bahwa dinding itu dibuat untuk menjadi penghalang, dan meletakkan balok di atasnya tidak menghalangi fungsi penghalang tersebut.

وَفَتْحُ الْكَوَّةِ يَمْنَعُ مِنْهَا. فَلَوْ أَذِنَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ فِي فَتْحِ كَوَّةٍ ثُمَّ أَرَادَ سَدَّهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ إِلَّا بِإِذْنِ شَرِيكِهِ. لِأَنَّهُ زِيَادَةُ بِنَاءٍ عَلَى حَائِطِهِ. وَالشَّرِيكَانِ فِي الْحَائِطِ لَا يَجُوزُ لِأَحَدِهِمَا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ إِلَّا بِإِذْنِ شَرِيكِهِ فِيهِ.

Sedangkan membuka lubang menghilangkan fungsi penghalang itu. Jika salah satu dari mereka mengizinkan mitranya membuka lubang, lalu ingin menutupnya kembali, maka ia tidak boleh melakukannya kecuali dengan izin mitranya, karena itu merupakan tambahan bangunan pada dindingnya. Dan dua orang yang berserikat dalam dinding tidak boleh salah satunya membangun di atasnya kecuali dengan izin mitranya.

وَكُلمَا لَمْ يَكُنْ لِلشَّرِيكِ أَنْ يَفْعَلَهُ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَكُونَ لِلْجَارِ أَنْ يَفْعَلَهُ. فَلَوْ صَالَحَ جَارَهُ عَلَى فَتْحِ كَوَّةٍ فِي حَائِطِهِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ صُلْحٌ عَلَى الْهَوَاءِ وَالضَّوْءِ وَلَوْ أَنَّ رَجُلًا فَتَحَ كَوَّةً فِي حَائِطِهِ فَأَرَادَ جَارُهُ أَنْ يَبْنِيَ فِي وَجْهِهَا حَائِطًا فِي مِلْكِهِ يَمْنَعُهُ الضَّوْءَ مِنَ الْكَوَّةِ جَازَ وَلَمْ يَكُنْ لِصَاحِبِ الْكَوَّةِ أَنْ يَمْنَعَهُ لِأَنَّهُ مُتَصَرِّفٌ فِي مِلْكِهِ.

Dan setiap kali seorang mitra tidak boleh melakukannya, maka lebih utama lagi bagi tetangga untuk tidak boleh melakukannya. Jika seseorang berdamai dengan tetangganya untuk membuka lubang pada dindingnya, maka tidak boleh, karena itu merupakan akad damai atas udara dan cahaya. Jika seseorang membuka lubang pada dindingnya, lalu tetangganya ingin membangun dinding di depan lubang itu di atas tanah miliknya sehingga menghalangi cahaya dari lubang tersebut, maka itu boleh dan pemilik lubang tidak boleh melarangnya, karena tetangganya berhak bertindak atas miliknya sendiri.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا كَانَ لِرَجُلٍ دَارٌ ظَهْرُهَا إِلَى زُقَاقٍ مَرْفُوعٍ فَأَرَادَ أَنْ يَفْتَحَ مِنْ ظَهْرِ دَارِهِ إِلَى الزُّقَاقِ كَوَّةً أو ينصب شباك لِلضَّوْءِ جَازَ وَلَمْ يُمْنَعْ لِأَنَّهُ مُتَصَرِّفٌ فِي مِلْكِهِ. وَلَوْ أَرَادَ فَتْحَ بَابٍ إِلَيْهِ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ فَتْحَهُ لِلِاسْتِطْرَاقِ فِيهِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ لَا حَقَّ لَهُ فِي اسْتِطْرَاقِ الزُّقَاقِ الْمَرْفُوعِ. وَإِنْ كَانَ يُرِيدُ فَتْحَهُ لِيَنْصِبَ عَلَيْهِ بَابًا وَلَا يَسْتَطْرِقُهُ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika seseorang memiliki rumah yang bagian belakangnya menghadap ke gang tertutup, lalu ia ingin membuka lubang atau memasang jendela di bagian belakang rumahnya yang menghadap ke gang itu untuk mendapatkan cahaya, maka itu boleh dan tidak dilarang karena ia bertindak di atas miliknya sendiri. Namun jika ia ingin membuka pintu ke arah gang itu, maka jika tujuannya untuk keluar-masuk melalui gang tersebut, tidak boleh karena ia tidak memiliki hak untuk melintasi gang tertutup itu. Tetapi jika ia ingin membuka pintu hanya untuk dipasang daun pintu dan tidak melintasinya, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لِأَنَّهُ لَوْ أَرَادَ هَدْمَ حَائِطِهِ كُلِّهِ جَازَ فَإِذَا أَرَادَ هَدْمَ بَعْضِهِ فَأَوْلَى بِالْجَوَازِ.

Salah satunya: Boleh, karena jika ia ingin merobohkan seluruh dindingnya, itu boleh, maka jika ia hanya ingin merobohkan sebagian saja, tentu lebih boleh lagi.

وَلِأَنَّهُ لو أراد يَحُولَ بَيْنَ دَارِهِ وَالزُّقَاقِ بِبِنَاءٍ جَازَ، فَكَذَلِكَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَحُولَ بَيْنَهُمَا بِبَابٍ.

Dan karena jika ia ingin menghalangi antara rumahnya dan gang dengan sebuah bangunan, itu diperbolehkan; maka demikian pula jika ia ingin menghalangi antara keduanya dengan sebuah pintu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ يُوهِمُ بِذَلِكَ عِنْدَ تَطَاوُلِ الزَّمَانِ أَنَّهُ مُسْتَحِقٌّ لِلِاسْتِطْرَاقِ.

Pendapat kedua: Tidak diperbolehkan, karena hal itu dapat menimbulkan dugaan, seiring berjalannya waktu, bahwa ia berhak atas jalan tersebut.

لِأَنَّ الْبَابَ مِنْ شَوَاهِدِ اسْتِحْقَاقِهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ هَدْمُ بَعْضِ الْحَائِطِ فِيهِ.

Karena pintu merupakan bukti atas hak kepemilikan, sedangkan merobohkan sebagian dinding di situ tidak demikian.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا كَانَ فِي الزُّقَاقِ الْمَرْفُوعِ دَارَانِ لِرَجُلَيْنِ إِحْدَاهُمَا فِي أَوَّلِهِ وَالْأُخْرَى في آخره فأراد صاحب الدار الأولى تَغْيِيرَ بَابِهِ وَنَقْلَهُ مِنْ مَوْضِعِهِ إِلَى غَيْرِهِ.

Apabila di dalam gang yang tertutup terdapat dua rumah milik dua orang, salah satunya di awal gang dan yang lainnya di ujungnya, lalu pemilik rumah yang pertama ingin memindahkan pintunya dari tempat semula ke tempat lain,

فَإِنْ أَرَادَ تَقْدِيمَهُ إِلَى بَابِ الزُّقَاقِ كَانَ لَهُ. لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ يَسْتَحِقُّ الِاسْتِطْرَاقَ إِلَى غَايَةٍ اقْتَصَرَ عَلَى بَعْضِهَا فَصَارَ تَارِكًا لِبَعْضِ حَقِّهِ.

maka jika ia ingin memindahkannya ke arah pintu gang, itu diperbolehkan baginya. Karena ia memang berhak menggunakan jalan hingga batas tertentu, lalu ia membatasi haknya hanya pada sebagian saja, sehingga ia meninggalkan sebagian haknya.

وَإِنْ أَرَادَ تَأْخِيرَ بَابِهِ إِلَى صَدْرِ الزُّقَاقِ لَمْ يَكُنْ لَهُ لِأَنَّهُ يَصِيرُ مُتَجَاوِزًا لِحَقِّهِ فِي الِاسْتِطْرَاقِ.

Namun jika ia ingin memundurkan pintunya ke bagian depan gang, maka itu tidak diperbolehkan baginya, karena ia telah melampaui haknya dalam penggunaan jalan.

وَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يُجَوِّزُ لَهُ ذَلِكَ وَيَجْعَلُ عَرْصَةَ الزُّقَاقِ كُلَّهَا مُشْتَرِكَةً بينهما تخريجا مِنْ عَرْصَةِ السُّفْلِ، إِذَا تَنَازَعَهَا صَاحِبُ الْعُلُوِّ وَالسُّفْلِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ.

Sebagian ulama kami membolehkan hal itu baginya dan menganggap seluruh lahan gang sebagai milik bersama di antara keduanya, berdasarkan analogi dengan lahan bagian bawah bangunan jika diperselisihkan oleh pemilik bagian atas dan bawah, sebagaimana akan kami sebutkan.

فَأَمَّا صَاحِبُ الدَّارِ الَّتِي فِي صَدْرِ الزُّقَاقِ إِنْ أَرَادَ تَقْدِيمَ بَابِهِ جَازَ إِنْ لَمْ يُرِدْ إِدْخَالَ مَا وَرَاءَ ذَلِكَ إِلَى دَارِهِ.

Adapun pemilik rumah yang berada di depan gang, jika ia ingin memajukan pintunya, itu diperbolehkan selama ia tidak bermaksud memasukkan apa yang ada di belakangnya ke dalam rumahnya.

وَإِنْ أَرَادَ إِدْخَالَ مَا وَرَاءَ الْبَابِ الْمُسْتَحْدَثِ إِلَى صَدْرِ الزُّقَاقِ فِي دَارِهِ فَهُوَ عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا: هَلْ عَرْصَةُ الزُّقَاقِ مُشْتَرِكَةٌ بَيْنَ الدَّارَيْنِ أَمْ لَا؟

Namun jika ia bermaksud memasukkan apa yang ada di belakang pintu baru ke dalam rumahnya yang berada di depan gang, maka hal itu diperselisihkan di antara ulama kami: apakah lahan gang itu milik bersama antara kedua rumah atau tidak?

فَمَنْ قَالَ إِنَّهَا مُشْتَرِكَةٌ مَنَعَ صَاحِبَ الصَّدْرِ مِنْ إِدْخَالِ ذَلِكَ فِي دَارِهِ.

Barang siapa yang berpendapat bahwa lahan itu milik bersama, maka ia melarang pemilik rumah di depan untuk memasukkan bagian tersebut ke dalam rumahnya.

وَمَنْ قَالَ إِنَّهَا لَيْسَتْ مُشْتَرِكَةً وَإِنَّ مَا يَتَجَاوَزُ بَابَ الْأَوَّلِ يَخْتَصُّ بِمِلْكِ صَاحِبِ الصَّدْرِ جَوَّزَ لَهُ ذَلِكَ.

Dan barang siapa yang berpendapat bahwa lahan itu bukan milik bersama, dan bahwa bagian yang melewati pintu pertama menjadi milik khusus pemilik rumah di depan, maka ia membolehkannya.

وَأَمَّا إِنْ أَرَادَ صَاحِبُ الدَّارِ الْأَوَّلِ أَنْ يُقِرَّ بَابَهُ فِي مَوْضِعِهِ وَيَفْتَحَ دُونَهُ بَابًا ثَانِيًا جَازَ وَلَمْ يُمْنَعْ.

Adapun jika pemilik rumah pertama ingin membiarkan pintunya di tempat semula dan membuka pintu kedua di depannya, itu diperbolehkan dan tidak dilarang.

وَقَالَ أبو حنيفة: أَمْنَعُهُ مِنْ فَتْحِ بَابٍ ثَانٍ لِأَنَّهُ يَسْتَحِقُّ مَدْخَلًا وَاحِدًا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَعَدَّى إِلَى مَدْخَلَيْنِ.

Abu Hanifah berkata: Aku melarangnya membuka pintu kedua, karena ia hanya berhak atas satu pintu masuk, maka tidak boleh baginya menambah menjadi dua pintu masuk.

وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّهُ مُسْتَحِقٌّ لِلِاسْتِطْرَاقِ فِيهِ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ مِنْ مَدْخَلٍ أَوْ مَدْخَلَيْنِ. وَلِأَنَّ مَوْضِعَ الْبَابِ الْمُسْتَحْدَثَ لَوْ أَرَادَ هَدْمَهُ لِغَيْرِ بَابٍ جَازَ فَكَذَا الْبَابُ.

Ini adalah kekeliruan, karena ia berhak menggunakan jalan tersebut, sehingga tidak ada perbedaan apakah dari satu pintu masuk atau dua. Dan karena jika ia ingin merobohkan tempat pintu baru itu tanpa membuat pintu, itu diperbolehkan, maka demikian pula dengan pintu.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا كَانَ لِرَجُلٍ دَارَانِ مُتَلَاصِقَانِ وباب كل واحدة منها إِلَى زُقَاقٍ مَرْفُوعٍ فَأَرَادَ هَدْمَ الْحَائِطِ الَّذِي بَيْنَ الدَّارَيْنِ جَازَ.

Apabila seseorang memiliki dua rumah yang berdempetan dan masing-masing pintunya menghadap ke gang tertutup, lalu ia ingin merobohkan dinding yang memisahkan kedua rumah tersebut, maka itu diperbolehkan.

وَلَوْ أَرَادَ فَتْحَ بَابٍ مِنْ إِحْدَى الدَّارَيْنِ إِلَى الْأُخْرَى غَيْرِ نَافِذٍ لِيَسْتَطْرِقَهُ لَمْ يَجُزْ.

Namun jika ia ingin membuka pintu dari salah satu rumah ke rumah lainnya yang tidak tembus, agar dapat melaluinya, maka itu tidak diperbolehkan.

وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة وَمَالِكٍ لِأَمْرَيْنِ:

Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Malik karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَصِيرُ مُسْتَطْرِقًا إِلَى كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الدَّارَيْنِ مِنَ الزُّقَاقِ الَّذِي لَا حَقَّ لَهَا فِي الِاسْتِطْرَاقِ مِنْهُ.

Pertama: Ia akan dapat melintasi ke masing-masing rumah dari gang yang tidak berhak ia gunakan untuk melintas ke sana.

وَالثَّانِي: أَنَّ الزُّقَاقَ مَرْفُوعٌ فَيَجْعَلُهُ بِفَتْحِ الْبَابِ مُسْتَطْرَقًا غَيْرَ مَرْفُوعٍ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ وَخَبَّرَنَا بِهِ الإمام أبو علي الحسين بْنُ صَالِحِ بْنِ خَيْرَانَ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ رضي الله عنه.

Kedua: Gang tersebut adalah gang tertutup, sehingga dengan membuka pintu itu, ia menjadikannya sebagai jalan yang dapat dilalui, padahal sebelumnya tidak demikian. Allah lebih mengetahui kebenaran, dan hal ini telah diberitakan kepada kami oleh Imam Abu Ali al-Husain bin Shalih bin Khairan dari kalangan sahabat Syafi’i, semoga Allah meridhainya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَقَسَّمْتُهُ بَيْنَهُمَا إِنْ شَاءَا إِنْ كَانَ عَرْضُهُ ذِرَاعًا أُعْطِيهِ شِبْرًا فِي طُولِ الْجِدَارِ ثُمَّ قُلْتُ لَهُ إِنْ شِئْتَ أَنْ تَزِيدَ مِنْ عَرْصَةِ دَارِكَ أَوْ بَيْتِكَ شِبْرًا آخَرَ لِيَكُونَ لَكَ جِدَارٌ خَالِصٌ فَذَلِكَ لَكَ “.

Imam Syafi’i, semoga Allah meridhainya, berkata: “Aku membaginya di antara keduanya jika mereka menghendaki, jika lebarnya satu hasta maka aku berikan satu jengkal pada panjang dinding, kemudian aku katakan kepadanya: Jika engkau ingin menambah dari lahan rumah atau kamarmu satu jengkal lagi agar engkau memiliki dinding yang murni milikmu, maka itu boleh bagimu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا كَانَ الْحَائِطُ بَيْنَ شَرِيكَيْنِ فَطَلَبَ أَحَدُهُمَا الْقِسْمَةَ وَأَرَادَ إِجْبَارَ شَرِيكِهِ عَلَيْهَا عِنْدَ امْتِنَاعِهِ مِنْهَا لَمْ يخل ذلك من ثلاثة أقسام:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Jika dinding itu berada di antara dua orang yang berserikat, lalu salah satunya meminta pembagian dan ingin memaksa rekannya untuk membagi ketika rekannya menolak, maka hal itu tidak lepas dari tiga keadaan:

أحدهما: أَنْ يَكُونَ بِنَاءً لَا عَرْصَةَ لَهُ.

Pertama: Dinding itu berupa bangunan tanpa lahan di bawahnya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عَرْصَةً لَا بِنَاءَ فِيهَا.

Kedua: Lahan tanpa bangunan di atasnya.

وَالثَّالِثُ: أن يكون مَعًا.

Ketiga: dilakukan secara bersamaan.

فَإِنْ كَانَ الْحَائِطُ بِنَاءً لَا عَرْصَةَ لَهُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَسَّمَ جَبْرًا لِأَنَّ الْبِنَاءَ لَا يُعْلَمُ مَا فِيهِ لِيَتَسَاوَيَا فِي الِاقْتِسَامِ بِهِ إِلَّا بَعْدَ هَدْمِهِ وَفِي هَدْمِهِ ضَرَرٌ فَلَمْ يَدْخُلْهُ إِجْبَارٌ فَإِنِ اصْطَلَحَا عَلَيْهِ جاز.

Jika dinding tersebut berupa bangunan tanpa lahan (tanah kosong) di bawahnya, maka tidak boleh dibagi secara paksa, karena isi bangunan tidak diketahui sehingga keduanya tidak dapat memperoleh bagian yang setara kecuali setelah bangunan itu dirobohkan. Namun, dalam perobohan itu terdapat mudarat, sehingga tidak boleh ada pemaksaan. Namun, jika keduanya sepakat, maka boleh.

وإن كان ذلك عرصة لأبناء فِيهَا دَخَلَهَا الْإِجْبَارُ فِي الْقِسْمَةِ فَإِنْ دَعَا الطَّالِبُ إِلَى قسْمَةِ عَرْصَة الْحَائِطِ طُولًا أُجِيبَ إِلَيْهَا وَمِثَالُهُ أَنْ يَكُونَ طُولُ الْعَرْصَةِ عَشَرَةَ أذرع وعرضها ذراع فيدعوا إِلَى قِسْمَةِ الطُّولِ لِيَكُونَ خَمْسَةَ أَذْرُعٍ مِنَ الْعَشَرَةِ فِي عَرْضِ ذِرَاعٍ فَهَذَا جَائِزٌ لِأَنَّ أَيَّ النِّصْفَيْنِ حَصَلَ لَهُ بِالْقُرْعَةِ نَفَعَهُ، فَإِنْ دعي إلى القسمة عرضا ليكون له شبرا مِنَ الْعَرْضِ فِي الطُّولِ كُلِّهِ فَفِي جَوَازِ الْجَبْرِ عَلَيْهَا وَجْهَانِ:

Jika yang dimaksud adalah lahan kosong untuk membangun di atasnya, maka pemaksaan dalam pembagian dapat dilakukan. Jika pihak yang meminta pembagian mengajukan agar lahan di bawah dinding dibagi secara memanjang, maka permintaan itu dikabulkan. Contohnya, jika panjang lahan adalah sepuluh hasta dan lebarnya satu hasta, lalu ia meminta pembagian secara memanjang sehingga masing-masing mendapat lima hasta dari sepuluh dalam lebar satu hasta, maka hal ini diperbolehkan, karena bagian mana pun yang didapatkan melalui undian (qur‘ah) tetap bermanfaat baginya. Namun, jika ia meminta pembagian secara lebar sehingga ia mendapat satu jengkal dari lebar dalam seluruh panjangnya, maka dalam kebolehan pemaksaan atas pembagian ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّهُ لَا يُجَابُ إِلَيْهَا وَلَا يُجْبَرُ الْمُمْتَنِعُ عَلَيْهَا، لِأَنَّ قِسْمَةَ الْإِجْبَارِ مَا دَخَلَتْهَا الْقُرْعَةُ.

Pertama: yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa permintaan tersebut tidak dikabulkan dan tidak boleh memaksa pihak yang menolak, karena pembagian secara paksa adalah pembagian yang melibatkan undian (qur‘ah).

وَدُخُولُ الْقُرْعَةِ فِي هَذِهِ الْقِسْمَةِ مُضِرٌّ، لِأَنَّهُ قَدْ يَحْصُلُ لِكُلٍّ مِنْهُمَا بِالْقُرْعَةِ مَا يَلِي صَاحِبَهُ، فَلَا يَنْتَفِعُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا بِشَيْءٍ مِمَّا صَارَ إِلَيْهِ، وَعَادَتْ بِالضَّرَرِ عَلَيْهِ، وَالْقِسْمَةُ إِذَا عَادَتْ بِضَرَرِ الشَّرِيكَيْنِ لَمْ يَدْخُلْهَا الْإِجْبَارُ.

Masuknya undian (qur‘ah) dalam pembagian ini menimbulkan mudarat, karena bisa jadi masing-masing dari keduanya mendapatkan bagian yang bersebelahan dengan milik pasangannya, sehingga tidak ada satu pun dari mereka yang dapat memanfaatkan bagian yang didapatkannya, bahkan justru menimbulkan mudarat bagi mereka. Jika pembagian menimbulkan mudarat bagi kedua pihak yang berserikat, maka tidak boleh ada pemaksaan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: إِنَّهُ يُجَابُ إِلَيْهَا، وَيُقْسَمُ عَرْضُ الْعَرْصَةِ بَيْنَهُمَا، وَيُدْفَعُ إِلَى كُلِّ وَاحِدٍ منهما النصف الذي يليه بغير ذرعه، لِأَنَّ الْقُرْعَةَ تَدْخُلُ فِي الْقِسْمَةِ لِتَمْيِيزِ مَا اشْتَبَهَ الِانْتِفَاعُ بِهِ وَالْأَنْفَعُ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يَأْخُذَ مَا يَلِيهِ، فَلَمْ يَكُنْ لِدُخُولِ الْقُرْعَةِ وَجْهٌ قَالَ الشَّافِعِيُّ: ثُمَّ قُلْتُ لَهُ إِنْ شِئْتَ أَنْ تَزِيدَ مِنْ عَرْصَةِ دَارِكَ أَوْ بَيْتِكَ شِبْرًا آخَرَ لِيَكُونَ لَكَ، جِدَارًا خَالِصًا فَذَلِكَ لَكَ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah, bahwa permintaan tersebut dikabulkan, dan lebar lahan dibagi di antara keduanya, lalu masing-masing diberikan setengah bagian yang bersebelahan dengannya tanpa pengukuran ulang, karena undian (qur‘ah) masuk dalam pembagian untuk membedakan bagian yang manfaatnya serupa, dan yang lebih bermanfaat bagi masing-masing adalah mengambil bagian yang bersebelahan dengannya. Maka, tidak ada alasan untuk memasukkan undian (qur‘ah) di sini. Imam Syafi‘i berkata: Kemudian aku katakan kepadanya, jika engkau ingin menambah satu jengkal lagi dari lahan rumahmu agar menjadi milikmu sendiri sebagai dinding yang utuh, maka itu boleh bagimu.

وَهَذَا لَمْ يَقُلْهُ مَشُورَةً كَمَا عَابَهُ مَنْ جَهِلَ مَعْنَى كَلَامِهِ، وَإِنَّمَا قَالَهُ لِيُبَيِّنَ أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا قَدْ يَنْتَفِعُ بِمَا صَارَ لَهُ.

Hal ini bukanlah saran, sebagaimana dikira oleh orang yang tidak memahami maksud perkataannya, melainkan beliau mengatakannya untuk menjelaskan bahwa masing-masing dari keduanya dapat mengambil manfaat dari bagian yang menjadi miliknya.

ثُمَّ ذَكَرَ وَجْهَ الْمَنْفَعَةِ، بِأَنْ يَضُمَّ إِلَى الْعَرْصَةِ شِبْرًا لِيَصِيرَ جِدَارًا كَامِلًا.

Kemudian beliau menyebutkan sisi kemanfaatannya, yaitu dengan menambahkan satu jengkal ke lahan tersebut agar menjadi dinding yang sempurna.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِنْ كَانَ الْحَائِطُ بِنَاءً وَعَرْصَةً نُظِرَ فِي طَالِبِ الْقِسْمَةِ، فَإِنْ دُعِيَ إليها عرضا لِيَكُونَ لَهُ شِبْرٌ مِنْ عَرْضِ الْبِنَاءِ، وَالْعَرِصَةِ مِنَ الطُّولِ كُلِّهِ، لَمْ يُجَبْ إِلَيْهَا جَبْرًا، وَلَا يَصِحُّ ذَلِكَ بَيْنَهُمَا تَرَاضِيًا وَاخْتِيَارًا، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّ مَا يَصِيرُ إِلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنْ نِصْفِ الْعَرْضِ مُضِرٌّ بِهِ وَبِصَاحِبِهِ.

Jika dinding tersebut berupa bangunan dan lahan, maka dilihat permintaan pihak yang ingin membagi. Jika ia meminta pembagian secara lebar agar ia mendapat satu jengkal dari lebar bangunan dan lahan sepanjang seluruh panjangnya, maka permintaan itu tidak dikabulkan secara paksa, dan tidak sah pula jika keduanya sepakat secara suka rela. Hal ini karena bagian setengah lebar yang didapatkan oleh masing-masing dari mereka akan menimbulkan mudarat bagi dirinya maupun pasangannya.

لِأَنَّهُ إِنْ أَرَادَ هَدْمَهُ لَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهِ إِلَّا بِهَدْمِ مَا لِشَرِيكِهِ أَوْ شَيْءٍ مِنْهُ وَإِنْ أَرَادَ وَضْعَ شَيْءٍ عَلَيْهِ، وَقَعَ الثِّقَلُ عَلَى مَا لِشَرِيكِهِ فَأَضَرَّ بِهِ.

Karena jika ia ingin merobohkannya, ia tidak dapat melakukannya kecuali dengan merobohkan bagian milik pasangannya atau sebagian darinya. Dan jika ia ingin meletakkan sesuatu di atasnya, maka beban tersebut akan menimpa bagian milik pasangannya sehingga menimbulkan mudarat baginya.

فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا جَازَ ذَلِكَ بِتَرَاضِيهِمَا؟ قِيلَ إِنْ تَرَاضَيَا بِهَدْمِهِ فِي الْحَالِ وَالِاقْتِسَامِ بِآلَتِهِ جَازَ.

Jika dikatakan: Mengapa hal itu tidak boleh dilakukan dengan kesepakatan keduanya? Maka dijawab: Jika keduanya sepakat untuk merobohkannya saat itu juga dan membagi dengan materialnya, maka itu boleh.

وَإِنْ تَرَاضَيَا بِقِسْمَتِهِ بِنَاءً قَائِمًا، وَتَحْدِيدَ مَا لكل واحد منهما متصلا لم يجز وإن لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ دُخُولِ الضَّرَرِ فِيمَا بَعْدُ.

Namun jika keduanya sepakat untuk membaginya dalam keadaan bangunan masih berdiri dan menentukan bagian masing-masing yang saling berhubungan, maka itu tidak diperbolehkan, karena sebagaimana telah disebutkan, hal itu akan menimbulkan mudarat di kemudian hari.

وَإِنْ كَانَ الطَّالِبُ يَدْعُو إِلَى قِسْمَتِهِ طُولًا، لِيَكُونَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُهُ طُولًا فِي الْعَرْضِ كُلِّهِ جَازَتْ بِالتَّرَاضِي.

Jika pihak yang meminta pembagian mengajukan agar pembagian dilakukan secara memanjang, sehingga masing-masing mendapat setengah bagian secara memanjang dalam seluruh lebar, maka hal itu boleh dilakukan dengan kesepakatan.

وَفِي جَوَازِ الْإِجْبَارِ عَلَيْهَا وَجْهَانِ:

Dan dalam kebolehan pemaksaan atas pembagian ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ ظَاهِرُ قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، لَا يُجَابُ إِلَيْهَا وَلَا يُجْبَرُ الْمُمْتَنِعُ عَلَيْهَا لِأَنَّهُ قَدْ لَا يَقْدِرُ عَلَى هَدْمِ النِّصْفِ الَّذِي صَارَ لَهُ إِلَّا بِهَدْمِ شَيْءٍ مِنْ نِصْفِ صَاحِبِهِ فَصَارَتْ ضَرَرًا عَلَيْهِمَا.

Salah satu pendapat, yang merupakan pendapat zahir dari Abu Ishaq al-Marwazi, adalah bahwa permintaan tersebut tidak dikabulkan dan pihak yang menolak tidak dipaksa untuk melakukannya, karena bisa jadi ia tidak mampu merobohkan setengah bagian yang menjadi miliknya kecuali dengan merobohkan sebagian dari setengah milik rekannya, sehingga hal itu menjadi mudarat bagi keduanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يُجْبِرُهُ عَلَى هَذِهِ الْقِسْمَةِ بِالْقُرْعَةِ، لِأَنَّ الضَّرَرَ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي هَدْمِ حِصَّتِهِ يَسِيرٌ فَلَمْ يَمْنَعْ مِنَ الْقِسْمَةِ. وَلِأَنَّهُ قَدْ يُمْكِنُ وَلَهُ إِزَالَةُ الضَّرَرِ بِقَطْعِ الْحَائِطِ بَيْنَهُمَا بِالْمِنْشَارِ، فَلَا يَنْهَدِمُ مِنْ حِصَّةِ الآخر شيء.

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah, adalah bahwa ia dipaksa untuk melakukan pembagian ini dengan cara undian, karena mudarat yang timbul pada masing-masing dari keduanya dalam merobohkan bagiannya sangat ringan sehingga tidak menghalangi pembagian. Dan karena mungkin saja mudarat itu dapat dihilangkan dengan memotong dinding di antara keduanya menggunakan gergaji, sehingga tidak ada bagian dari milik yang lain yang ikut roboh.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ هَدَمَاهُ ثُمَّ اصْطَلَحَا عَلَى أَنْ يَكُونَ لِأَحَدِهِمَا ثُلُثُهُ وَلِلْآخَرِ ثُلُثَاهُ عَلَى أَنْ يَحْمِلَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَا شَاءَ عَلَيْهِ إِذَا بَنَاهُ فَالصُّلْحُ فَاسِدٌ وَإِنْ شَاءَا أَوْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا قُسِّمَتْ أَرْضُهُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika keduanya telah merobohkannya, kemudian mereka sepakat bahwa sepertiganya menjadi milik salah satu dari mereka dan dua pertiganya menjadi milik yang lain, dengan syarat masing-masing dari mereka boleh meletakkan apa saja di atasnya ketika membangunnya, maka kesepakatan itu batal. Jika mereka berdua atau salah satu dari mereka menghendaki, maka tanahnya dibagi dua sama rata di antara mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. إِذَا هَدَمَ الشَّرِيكَانِ حَائِطًا بَيْنَهُمَا، ثُمَّ اصْطَلَحَا عِنْدَ بِنَائِهِ بِمَالِهِمَا أَنْ يَكُونَ لِأَحَدِهِمَا ثُلُثُهُ، وَلِلْآخَرِ ثُلُثَاهُ، عَلَى أَنْ يَحْمِلَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَيْهِ مَا شَاءَ مِنْ أَجْذَاعٍ وَغَيْرِهَا، فَهَذَا صُلْحٌ بَاطِلٌ لِثَلَاثَةِ مَعَانٍ:

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan. Jika dua orang sekutu merobohkan dinding di antara mereka, kemudian ketika membangunnya dengan harta mereka, mereka sepakat bahwa sepertiganya menjadi milik salah satu dari mereka dan dua pertiganya menjadi milik yang lain, dengan syarat masing-masing dari mereka boleh meletakkan di atasnya apa saja yang ia kehendaki, baik berupa batang kayu maupun selainnya, maka kesepakatan ini batal karena tiga alasan:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ بَذَلَ بِصُلْحِهِ عَلَى الثُّلُثِ بَعْدِ مِلْكِهِ النِّصْفَ سُدْسًا بِغَيْرِ عِوَضٍ. وَبَذْلُ الْمِلْكِ فِي الصُّلْحِ إِذَا كَانَ عَبَثًا بِغَيْرِ عِوَضٍ لَا يَصِحُّ.

Pertama: Ia telah memberikan dengan kesepakatannya atas sepertiga bagian, setelah sebelumnya memiliki setengah bagian, yakni seperenam tanpa imbalan. Memberikan kepemilikan dalam kesepakatan jika dilakukan secara sia-sia tanpa imbalan tidak sah.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ شَرَطَ فِيهِ الِانْتِقَالَ لِمِلْكِ صَاحِبِهِ مِنْ غَيْرِ عِوَضٍ وَذَلِكَ لَا يَصِحُّ.

Kedua: Ia mensyaratkan dalam kesepakatan itu perpindahan kepemilikan kepada rekannya tanpa imbalan, dan hal itu tidak sah.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ اشْتَرَطَ لِنَفْسِهِ ارْتِفَاقًا مَجْهُولًا وَذَلِكَ بَاطِلٌ، فَإِذَا ثَبَتَ بُطْلَانُ الصُّلْحِ لِمَا ذَكَرْنَا. وَكَانَا قَدْ عَمِلَا بِهِ وَوَضَعَا فَوْقَ الْحَائِطِ مَا شَاءَا فَالْمِلْكُ بَيْنَهُمَا نِصْفَانِ عَلَى مَا كَانَ مِنْ قَبْلُ، ثُمَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يأخذا صَاحِبَهُ بِقَلْعِ مَا وَضَعَهُ فِي الْحَائِطِ مِنْ أَجْذَاعِهِ.

Ketiga: Ia mensyaratkan untuk dirinya sendiri hak pemanfaatan yang tidak jelas, dan itu batal. Jika telah tetap batalnya kesepakatan karena alasan yang telah disebutkan, dan keduanya telah melaksanakannya serta meletakkan di atas dinding apa yang mereka kehendaki, maka kepemilikan tetap menjadi dua bagian sama rata seperti semula. Kemudian masing-masing dari mereka berhak meminta rekannya untuk mencabut apa yang telah diletakkannya di dinding dari batang kayunya.

وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ مِنْ شَرْطِ الزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ، لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ مَأْذُونًا فِيهِ فَهُوَ عَنْ عَقْدٍ فَاسِدٍ، فَفَسَدَ مَا تَضَمَّنَهُ مِنَ الْإِذْنِ.

Sama saja dalam hal ini, baik mensyaratkan penambahan maupun pengurangan, karena meskipun telah diizinkan, izin itu berasal dari akad yang batal, sehingga batal pula apa yang terkandung di dalamnya berupa izin.

وَلِأَنَّ الْإِذْنَ يَقْتَضِي وَضْعَ مَا يَسْتَأْنِفُهُ، كَمَا يَقْتَضِي وَضْعَ مَا تَقَدَّمَهُ ثُمَّ كَانَ مَمْنُوعًا مِنَ الْمُسْتَأْنِفِ، فَكَذَلِكَ مِنَ الْمُتَقَدِّمِ وَلَا وَجْهَ، لِأَنْ يُقِرَّ أَجْذَاعَ مَنْ شَرَطَ الزِّيَادَةَ لِنَفْسِهِ لِأَنَّ صَاحِبَهُ قَدْ شَرَطَ عَلَيْهِ مَا لَمْ يَحْصُلْ لَهُ مِنْ وَضْعِ مَا شَاءَ مِنْ أَجْذَاعِهِ.

Dan karena izin itu mengharuskan peletakan apa yang akan dilakukan kemudian, sebagaimana mengharuskan peletakan apa yang telah lalu, maka jika yang kemudian dilarang, demikian pula yang telah lalu. Tidak ada alasan untuk membiarkan batang kayu orang yang mensyaratkan penambahan untuk dirinya sendiri, karena rekannya telah mensyaratkan kepadanya sesuatu yang tidak ia peroleh berupa peletakan batang kayunya sesuka hati.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: فَإِنْ شَاءَا أَوْ أَحَدُهُمَا، قُسِّمَتْ أَرْضُهُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Jika keduanya atau salah satu dari mereka menghendaki, maka tanahnya dibagi dua sama rata di antara mereka.

وَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَأْوِيلِ هَذَا الْكَلَامِ بِحَسْبِ اخْتِلَافِهِمْ فِي كَيْفِيَّةِ قِسْمَةِ الْعَرْصَةِ جَبْرًا بَيْنَ الشَّرِيكَيْنِ.

Para sahabat kami berbeda pendapat dalam menafsirkan ucapan ini, sesuai dengan perbedaan mereka dalam tata cara pembagian tanah kosong secara paksa di antara dua orang sekutu.

فَذَهَبَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ إِلَى أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى إِيقَاعِهَا جَبْرًا إِذَا طَلَبَ أَحَدُهُمَا قِسْمَةَ الْعَرْصَةِ طُولًا لَا عَرْضًا.

Abu Ishaq al-Marwazi berpendapat bahwa hal itu dimaksudkan untuk dilakukan secara paksa jika salah satu dari mereka meminta pembagian tanah kosong secara memanjang, bukan melebar.

وَذَهَبَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ إِلَى أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى إِيقَاعِهَا جَبْرًا عَلَى الْأَمْرَيْنِ طُولًا وَعَرْضًا وَقَدْ مَضَى مشروحا.

Abu Ali bin Abi Hurairah berpendapat bahwa hal itu dimaksudkan untuk dilakukan secara paksa baik secara memanjang maupun melebar, dan penjelasannya telah lalu.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ الْبَيْتُ السُّفْلُ فِي يَدَيْ رَجُلٍ وَالْعُلُوُّ فِي يَدَيْ آخَرَ فَتَدَاعَيَا سَقْفَهُ فَهُوَ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ لِأَنَّ سَقْفَ السُّفْلِ تَابع لَهُ وَسَطْحَ الْعُلُوِّ أَرْضٌ لَهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika rumah bagian bawah berada di tangan seseorang dan bagian atas di tangan orang lain, lalu mereka berselisih tentang atapnya, maka atap itu menjadi milik bersama di antara mereka berdua, masing-masing setengah, karena atap bagian bawah mengikuti bagian bawah, sedangkan permukaan bagian atas adalah tanah milik bagian atas.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ: إِذَا كَانَ بَيْتٌ سُفْلُهُ لِرَجُلٍ وَعُلُوُّهُ لِآخَرَ، فَاخْتَلَفَا فِي السَّقْفِ الَّذِي بَيْنَهُمَا وَتَدَاعَيَاهُ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّهُمَا يَتَحَالَفَانِ وَيَكُونُ بَيْنَهُمَا نِصْفَانِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar: Jika ada sebuah rumah yang bagian bawahnya milik seseorang dan bagian atasnya milik orang lain, lalu mereka berselisih tentang atap yang berada di antara keduanya dan masing-masing mengklaimnya, maka menurut mazhab asy-Syafi‘i rahimahullah, keduanya saling bersumpah dan atap itu menjadi milik bersama dengan bagian setengah-setengah di antara mereka.

وَحُكِيَ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ يَكُونُ لِصَاحِبِ الْعُلُوِّ، لِأَنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى التَّصَرُّفِ فِي الْعُلُوِّ إِلَّا بِهِ.

Diriwayatkan dari Malik bahwa atap itu menjadi milik pemilik bagian atas, karena ia tidak dapat memanfaatkan bagian atas kecuali dengan atap tersebut.

وَحُكِيَ عَنْ أبي حنيفة أَنَّهُ يَكُونُ لِصَاحِبِ السُّفْلِ، لِأَنَّهُ مَوْضُوعٌ عَلَى مِلْكِهِ كَالْجِدَارِ الْمَبْنِيِّ فِي أَرْضِهِ.

Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa atap itu menjadi milik pemilik bagian bawah, karena atap itu diletakkan di atas miliknya, seperti halnya dinding yang dibangun di atas tanahnya.

وَكِلَا الْمَذْهَبَيْنِ غَلَطٌ وَكَوْنُ السَّقْفِ بَيْنَهُمَا أَصَحُّ. لِتَسَاوِي أَيْدِيهِمَا عَلَيْهِ وَتَصَرُّفِهِمَا فِيهِ، فَهُوَ لِصَاحِبِ السُّفْلِ سَقْفٌ وَمِرْفَقٌ، وَلِصَاحِبِ الْعُلُوِّ أَرْضٌ وَمَقْعَدٌ، وَلِأَنَّهُ مُتَّصِلٌ بِمَالِهِمَا وَمُجَاوِرٌ لِمِلْكَيْهِمَا فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِيهِ كَالْحَائِطِ إِذَا كَانَ بَيْنَ دَارَيْهِمَا.

Kedua pendapat tersebut keliru, dan yang benar adalah atap itu menjadi milik bersama di antara keduanya. Karena keduanya sama-sama memiliki kekuasaan dan hak pemanfaatan atas atap tersebut; bagi pemilik bagian bawah, atap itu adalah atap dan sarana kemanfaatan, sedangkan bagi pemilik bagian atas, atap itu adalah lantai dan tempat duduk. Selain itu, atap tersebut terhubung dengan harta keduanya dan bersebelahan dengan kepemilikan mereka, sehingga wajib bagi keduanya untuk sama-sama memiliki hak atasnya, sebagaimana dinding yang berada di antara dua rumah mereka.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يَكُونُ بَيْنَهُمَا، فَلِصَاحِبِ الْعُلُوِّ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيهِ كَمَا كَانَ يَتَصَرَّفُ مِنْ قَبْلُ بِالْجُلُوسِ عَلَيْهِ، وَإِحْرَازُ الْمَتَاعِ الْمُعْتَادِ فِيهِ مِنْ غَيْرِ تَجَاوُزٍ وَلَا تَعَدٍّ.

Jika telah tetap bahwa atap itu menjadi milik bersama di antara keduanya, maka pemilik bagian atas berhak memanfaatkan atap tersebut sebagaimana sebelumnya, seperti duduk di atasnya dan menyimpan barang-barang yang lazim di situ, selama tidak melampaui batas dan tidak melakukan pelanggaran.

كَالْحَائِطِ إِذَا اخْتَلَفَا فِيهِ وَكَانَتْ عَلَيْهِ جُذُوعٌ لِأَحَدِهِمَا جُعِلَ بَيْنَهُمَا وَأُقِرَّتِ الْأَجْذَاعُ عَلَى حَالِهَا.

Seperti halnya dinding, jika keduanya berselisih tentangnya dan terdapat balok-balok milik salah satu dari mereka di atasnya, maka dinding itu dijadikan milik bersama di antara mereka dan balok-balok tersebut tetap pada posisinya.

وَأَمَّا صَاحِبُ السُّفْلِ فَارْتِفَاقُهُ بِهِ أَنْ يَكُونَ مُسْتَظِلًّا بِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَجَاوَزَ ذَلِكَ إِلَى تَعْلِيقِ شَيْءٍ عَلَيْهِ، لِأَنَّ السَّقْفَ لَمْ يُوضَعْ غَالِبًا إِلَّا لِلِاسْتِظْلَالِ. وَلَا وَجْهَ لِمَا أَجَازَهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا مِنْ تَعْلِيقِ زِنْبِيلٍ عَلَيْهِ. وَوَضْعِ خُطَّافٍ فِيهِ.

Adapun pemilik bagian bawah, kemanfaatannya terhadap atap itu adalah dengan berteduh di bawahnya, tanpa melampaui hal tersebut dengan menggantung sesuatu di atasnya, karena atap pada umumnya memang dibuat hanya untuk berteduh. Tidak ada alasan bagi sebagian ulama kami yang membolehkan menggantung keranjang di atasnya atau memasang kait di dalamnya.

لِأَنَّ إِيتَادَ الْوَتَدِ فِي الْحَائِطِ الْمُشْتَرَكِ أَسْبَلُ وَهُوَ مَمْنُوعٌ مِنْهُ، كَمَا ذَكَرْنَا فِي السَّقْفِ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ مَمْنُوعًا مِنْهُ.

Karena menancapkan pasak pada dinding yang dimiliki bersama saja lebih ringan dan itu pun dilarang, sebagaimana telah kami sebutkan, maka pada atap lebih utama untuk dilarang.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَلَوْ تَنَازَعَا فِي حَائِطٍ السُّفْلَ، فَهُوَ لِصَاحِبِ السُّفْلِ إِلَى مُنْتَهَى وَضْعِ الْأَجْذَاعِ مَعَ يَمِينِهِ، لِأَنَّهُ فِي يَدِهِ وَتَحْتَ تَصَرُّفِهِ.

Jika keduanya berselisih tentang dinding bagian bawah, maka dinding itu menjadi milik pemilik bagian bawah hingga batas akhir peletakan balok, disertai sumpahnya, karena dinding itu berada dalam kekuasaannya dan di bawah pengelolaannya.

وَلَوْ تَنَازَعَا فِي حَائِط الْعُلُوّ، فَهُوَ لِصَاحِبِ الْعُلُوِّ مِمَّا فَوْقَ أَجْذَاعِ السَّقْفِ، لِأَنَّهُ فِي يَدَيْ صَاحِبِ الْعُلُوِّ وَتَحْتَ تَصَرُّفِهِ.

Dan jika keduanya berselisih tentang dinding bagian atas, maka dinding itu menjadi milik pemilik bagian atas untuk bagian yang berada di atas balok-balok atap, karena dinding itu berada dalam kekuasaan dan pengelolaan pemilik bagian atas.

وَمَا كَانَ مِنَ الْحَائِطِ بَيْنَ السُّفْلِ وَالْعُلُوِّ فِي خِلَالَ أَجْذَاعِ السَّقْفِ فَهُوَ بَيْنُهُمَا، لِأَنَّهُ تَبَعٌ للسقف المشترك بينهما.

Adapun bagian dinding yang berada di antara bagian bawah dan bagian atas, yang terletak di antara balok-balok atap, maka itu menjadi milik bersama di antara keduanya, karena ia mengikuti atap yang dimiliki bersama oleh keduanya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ سَقَطَ لَمْ يُجْبَرْ صَاحِبُ السُّفْلِ عَلَى بِنَائِهِ “.

Asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika atap itu roboh, maka pemilik bagian bawah tidak diwajibkan untuk membangunnya kembali.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.

إِذَا انْهَدَمَ الْبَيْتُ الَّذِي سُفْلُهُ لِرَجُلٍ وَعُلُوُّهُ لِآخَرَ، فَإِنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُهُمَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ:

Jika rumah yang bagian bawahnya milik seseorang dan bagian atasnya milik orang lain itu runtuh, maka keadaan mereka tidak lepas dari empat kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى تَرْكِهِ مَهْدُومًا فَلَا اعْتِرَاضَ عَلَيْهِمَا فِيهِ.

Pertama: Keduanya sepakat untuk membiarkannya dalam keadaan runtuh, maka tidak ada keberatan atas mereka dalam hal itu.

وَالثَّانِي: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى بِنَائِهِ فَذَلِكَ لَهُمَا، وَيَخْتَصُّ صَاحِبُ السُّفْلِ بِبِنَاءِ السُّفْلِ إِلَى انْتِهَاءِ وَضْعِ الْأَجْذَاعِ. وَصَاحِبُ الْعُلُوِّ بِبِنَاءِ الْعُلُوِّ إِلَى حَيْثُ كَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَزِيدَ عَلَيْهِ، وَلَا لِصَاحِبِ السُّفْلِ أَنْ يَأْخُذَهُ بِالنُّقْصَانِ عَنْهُ. فَلَوِ اخْتَلَفَا مَعَ اتِّفَاقِهِمَا أَنَّ ارْتِفَاعَ السُّفْلِ وَالْعُلُوِّ عِشْرُونَ ذِرَاعًا، فَقَالَ صَاحِبُ السُّفْلِ، السُّفْلُ خَمْسَةَ عَشَرَ ذِرَاعًا، وَارْتِفَاعُ الْعُلُوِّ خمسة أذرع، وَقَالَ صَاحِبُ الْعُلُوِّ بَلِ ارْتِفَاعُ السُّفْلِ خَمْسَةُ أَذْرُعٍ وَارْتِفَاعُ الْعُلُوِّ خَمْسَةَ عَشَرَ ذِرَاعًا.

Kedua: Keduanya sepakat untuk membangunnya kembali, maka itu menjadi hak mereka berdua. Pemilik bagian bawah khusus membangun bagian bawah hingga batas akhir peletakan balok, dan pemilik bagian atas membangun bagian atas sesuai dengan yang sebelumnya, tanpa menambah atau mengurangi. Jika mereka berselisih, padahal telah sepakat bahwa tinggi bagian bawah dan atas adalah dua puluh hasta, lalu pemilik bagian bawah berkata, “Bagian bawah lima belas hasta dan bagian atas lima hasta,” sedangkan pemilik bagian atas berkata, “Justru bagian bawah lima hasta dan bagian atas lima belas hasta.”

فَقَدِ اخْتَلَفَا عَلَى أَنَّ لِصَاحِبِ السُّفْلِ خَمْسَةَ أَذْرُعٍ لَا نِزَاعَ فِيهَا وَلِصَاحِبِ الْعُلُوِّ خَمْسَةَ أَذْرُعٍ لَا نِزَاعَ فِيهَا، وَاخْتَلَفَا فِي عَشَرَةِ أَذْرُعٍ ادَّعَاهَا كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَأَيْدِيهِمَا مَعًا عَلَيْهَا، فَوَجَبَ أَنْ يَتَحَالَفَا عَلَيْهَا وَيُجْعَلُ الْعَشَرَةُ الْمُخْتَلَفُ عَلَيْهَا بَعْدَ أَيْمَانِهِمَا مَعًا بَيْنَهُمَا نِصْفَانِ.

Keduanya telah sepakat bahwa pemilik bagian bawah berhak atas lima hasta tanpa ada perselisihan di dalamnya, dan pemilik bagian atas juga berhak atas lima hasta tanpa ada perselisihan di dalamnya. Namun, mereka berselisih mengenai sepuluh hasta yang masing-masing dari keduanya mengklaimnya, dan tangan keduanya sama-sama berada atasnya. Maka wajib bagi keduanya untuk saling bersumpah atasnya, lalu sepuluh hasta yang diperselisihkan itu, setelah keduanya bersumpah, dibagi rata di antara mereka berdua, masing-masing setengah.

فَيَصِيرُ لِصَاحِبِ السُّفْلِ عَشَرَةَ أَذْرُعٍ، وَلِصَاحِبِ الْعُلُوِّ عَشَرَةَ أَذْرُعٍ. ثُمَّ يَشْتَرِكَانِ فِي بِنَاءِ السُّفْلِ، بَعْدَ أَنْ يَخْتَصَّ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِبِنَاءِ حَقِّهِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ السَّقْفُ لِأَحَدِهِمَا، فَيَخْتَصُّ الَّذِي هُوَ لَهُ بِبِنَائِهِ دُونَ غَيْرِهِ.

Dengan demikian, pemilik bagian bawah memperoleh sepuluh hasta, dan pemilik bagian atas juga memperoleh sepuluh hasta. Kemudian keduanya bersama-sama dalam membangun bagian bawah, setelah masing-masing dari mereka membangun bagian yang menjadi haknya, kecuali jika atapnya milik salah satu dari mereka, maka yang memiliki atap tersebut berhak membangunnya sendiri tanpa melibatkan yang lain.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَمْتَنِعَ صَاحِبُ الْعُلُوِّ مِنَ الْبِنَاءِ، وَيَدْعُوَ صَاحِبُ السُّفْلِ إِلَيْهِ، فَلَهُ أَنْ يَخْتَصَّ بِبِنَاءِ سُفْلِهِ، وَلَيْسَ لَهُ مُطَالَبَةُ صَاحِبِ الْعُلُوِّ بِبِنَاءِ عُلُوِّهِ، لِأَنَّهُ لَا حَقَّ لَهُ فِي بِنَائِهِ، وَيَقْدِرُ عَلَى الِانْتِفَاعِ بِحَقِّهِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ السَّقْفُ بَيْنَهُمَا، فَيَكُونَ عَلَى مَا نَذْكُرُهُ مِنَ الْقَوْلَيْنِ فِي إِجْبَارِ الشَّرِيكَيْنِ عَلَى الْمُبَانَاةِ.

Keadaan ketiga: Jika pemilik bagian atas menolak untuk membangun, dan pemilik bagian bawah mengajaknya untuk membangun, maka pemilik bagian bawah berhak membangun bagian bawahnya sendiri, dan ia tidak berhak menuntut pemilik bagian atas untuk membangun bagian atasnya, karena ia tidak memiliki hak atas bangunan tersebut, dan ia tetap dapat memanfaatkan haknya, kecuali jika atapnya milik bersama, maka perkaranya mengikuti dua pendapat yang akan kami sebutkan mengenai kewajiban memaksa dua orang yang berserikat untuk melakukan pemisahan bangunan.

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ: أَنْ يَمْتَنِعَ صَاحِبُ السُّفْلِ مِنْ بِنَائِهِ وَيَدْعُوَ صَاحِبُ الْعُلُوِّ إِلَيْهِ لِيَبْنِيَ الْعُلُوَّ عَلَيْهِ فَفِي إِجْبَارِهِ قَوْلَانِ:

Keadaan keempat, yaitu masalah yang dibahas dalam kitab ini: Jika pemilik bagian bawah menolak membangun dan pemilik bagian atas mengajaknya untuk membangun agar ia dapat membangun bagian atas di atasnya, maka dalam hal memaksanya terdapat dua pendapat:

وَهَكَذَا الشَّرِيكَانِ فِي حَائِطٍ قَدِ انْهَدَمَ، إِذَا دُعِيَ أَحَدُهُمَا إِلَى الْبِنَاءِ وَامْتَنَعَ الْآخَرُ. هَلْ يُجْبَرُ الْمُمْتَنِعُ مِنْهُمَا عَلَى الْبِنَاءِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Demikian pula dua orang yang berserikat dalam sebuah dinding yang telah runtuh, apabila salah satu dari mereka diajak untuk membangun dan yang lain menolak, apakah yang menolak dapat dipaksa untuk membangun atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ: أَنَّهُ يُجْبَرُ الْمُمْتَنِعُ عَلَى الْبِنَاءِ لِيَصِلَ الْآخَرُ إِلَى حَقِّهِ. لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ مِنْ ضَارَّ أَضَرَّ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ “.

Salah satunya, yaitu pendapat dalam qaul qadīm dan juga pendapat Mālik, bahwa yang menolak dapat dipaksa untuk membangun agar yang lain dapat memperoleh haknya. Berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh saling membahayakan. Barang siapa yang membahayakan, Allah akan membahayakannya, dan barang siapa yang mempersulit, Allah akan mempersulitnya.”

فلما نفى لحقوق الْإِضْرَارِ دَلَّ عَلَى وُجُوبِ الْإِجْبَارِ. وَلِمَا رُوِيَ: أن الضحاك بن خليفة أنبع ماء بالعريص وَأَرَادَ أَنْ يُجْرِيَهُ إِلَى أَرْضِهِ فَلَمْ يَصِلْ إِلَيْهِ إِلَّا بَعْدَ إِمْرَارِهِ عَلَى أَرْضِ مُحَمَّدِ بْنِ سَلَمَةَ فَامْتَنَعَ مُحَمَّدٌ مِنْ ذَلِكَ وَتَخَاصَمَا إِلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ عُمَرُ لِمُحَمَّدِ بْنِ سَلَمَةَ لَيَمُرَّنَّ بِهِ أَوْ أُمِرُّهُ عَلَى بَطْنِكَ.

Ketika syariat meniadakan hak untuk membahayakan, hal itu menunjukkan wajibnya pemaksaan. Dan sebagaimana diriwayatkan bahwa Dlahhāk bin Khalīfah mengalirkan air di al-‘Arīsh dan ingin mengalirkannya ke tanahnya, namun tidak bisa sampai kecuali dengan melewati tanah Muhammad bin Salamah. Muhammad menolak, lalu mereka mengadukan perkara kepada ‘Umar ra., maka ‘Umar berkata kepada Muhammad bin Salamah: “Biarkan air itu mengalir, atau aku akan mengalirkannya di atas perutmu.”

وَرُوِيَ أَنَّهُ ” قُضِيَ عَلَى بَعْضِ الْأَنْصَارِ، بِمِثْلِ ذَلِكَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ “.

Dan diriwayatkan bahwa “telah diputuskan atas sebagian Anshar dengan hal yang serupa untuk ‘Abdurrahmān bin ‘Auf.”

وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” قَضَى بِمِثْلِ ذَلِكَ لِلْزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ عَلَى بَعْضِ الْأَنْصَارِ حَتَّى قَالَ الْأَنْصَارِيُّ: إِنْ كَانَ ابن عمتك فتعمر وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَنْزَلَ اللَّهُ: ” فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شجر بينهم “. فَلَمَّا جَاءَ الْخَبَرُ وَالْأَثَرُ بِمِثْلِ مَا ذَكَرْنَا لِزَوَالِ الضَّرَرِ عَنِ الْجَارِ دَلَّ عَلَى أَنَّ الضَّرَرَ يُزَالُ بِالْإِجْبَارِ.

Dan bahwa Rasulullah ﷺ “memutuskan hal yang serupa untuk az-Zubair bin al-‘Awwām atas sebagian Anshar, hingga seorang Anshar berkata: ‘Karena dia anak bibi Anda.’ Maka wajah Rasulullah ﷺ berubah, lalu Allah menurunkan ayat: ‘Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau hakim atas apa yang mereka perselisihkan.’ Maka ketika datang dalil dan riwayat sebagaimana yang kami sebutkan untuk menghilangkan bahaya dari tetangga, hal itu menunjukkan bahwa bahaya dihilangkan dengan pemaksaan.”

وَلِأَنَّهُ لَمَّا اسْتُحِقَّتِ الشُّفْعَةُ لِزَوَالِ الضَّرَرِ بِهَا وَوَجَبَتِ الْقِسْمَةُ إِذَا دُعِيَ إِلَيْهَا أَحَدُ الشَّرِيكَيْنِ لِيَنْتَفِيَ الْإِضْرَارُ مَعَهَا، كَانَ وُجُوبُ الْمُبَانَاةِ مَعَ مَا فِيهَا مِنْ تَضَاعُفِ الضَّرَرِ أَوْلَى.

Dan karena syuf‘ah disyariatkan untuk menghilangkan bahaya dengannya, dan pembagian wajib dilakukan jika salah satu dari dua orang yang berserikat diajak untuk itu agar tidak terjadi bahaya bersamanya, maka kewajiban melakukan pemisahan bangunan, padahal di dalamnya terdapat bahaya yang lebih besar, tentu lebih utama.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ وَهُوَ الصَّحِيحُ وبه قال أبي حنيفة أَنَّهُ لَا إِجْبَارَ فِي ذَلِكَ وَيُتْرَكُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِلَى أَنْ يَخْتَارَ الْبِنَاءَ لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ “.

Pendapat kedua, yaitu pendapat dalam qaul jadīd dan ini yang shahih serta menjadi pendapat Abū Hanīfah, bahwa tidak ada pemaksaan dalam hal itu dan masing-masing dibiarkan hingga memilih untuk membangun, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dari dirinya.”

وَلِأَنَّهُ لَا يُجْبَرُ عَلَى عِمَارَةِ مِلْكِهِ، وَلَا عِمَارَةِ مِلْكِ غَيْرِهِ فِي حَالِ الِانْفِرَادِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُجْبَرَ عَلَى عِمَارَتِهِ فِي حَالِ الِاشْتِرَاكِ كَالزَّرْعِ وَالْغِرَاسِ طَرْدًا وَكَنَفَقَةِ البهائم عكسا.

Dan karena seseorang tidak dipaksa untuk membangun (memperbaiki) miliknya sendiri, begitu pula tidak dipaksa membangun milik orang lain dalam keadaan sendiri, maka seharusnya ia juga tidak dipaksa membangunnya dalam keadaan bersama, seperti (halnya) pada tanaman dan pepohonan secara konsisten, dan seperti nafkah untuk hewan ternak secara kebalikan.

ولأنه لا يخلوا أَنْ يَكُونَ الْإِجْبَارُ لِمَصْلَحَةِ نَفْسِهِ، أَوْ لِمَصْلَحَةِ غَيْرِهِ وَقَدْ تَقَرَّرَ أَنَّهُ لَا يُجْبَرُ عَلَى واحد منهما.

Dan karena paksaan itu tidak lepas dari dua kemungkinan: untuk kemaslahatan dirinya sendiri atau untuk kemaslahatan orang lain, dan telah ditetapkan bahwa ia tidak dipaksa untuk salah satu dari keduanya.

فأما الجواب عن قوله ” لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ ” فَهُوَ أَنَّهُ لَيْسَ اسْتِعْمَالُهُ فِي نَفْيِ الضَّرَرِ عَنِ الطَّالِبِ بِإِدْخَالِهِ عَلَى الْمَطْلُوبِ، بِأَوْلَى مِنْ نَفْيِهِ عَنِ الْمَطْلُوبِ بِإِدْخَالِهِ عَلَى الطَّالِبِ.

Adapun jawaban atas ucapannya “lā ḍarar wa lā ḍirār” (tidak ada bahaya dan tidak membahayakan), maka penggunaannya untuk meniadakan bahaya dari pihak yang menuntut dengan membebankan kepada pihak yang dituntut, tidak lebih utama daripada meniadakan bahaya dari pihak yang dituntut dengan membebankan kepada pihak yang menuntut.

إِذْ لَيْسَ يُمْكِنُ نَفْيُهُ عَنْهُمَا، فَتَنَاوَبَ الْأَمْرَانِ فِيهِ فَسَقَطَ الِاسْتِدْلَالُ بِظَاهِرِهِ.

Karena tidak mungkin meniadakan bahaya dari keduanya sekaligus, maka kedua keadaan itu saling bergantian, sehingga istidlāl (pengambilan dalil) dengan zahirnya menjadi gugur.

وَأَمَّا حَدِيثُ عُمَرَ فَهُوَ قَضِيَّةٌ فِي عَيْنٍ لَا يَجُوزُ أَنْ يُسْتَدَلَّ بِعُمُومِهَا وَلَعَلَّ إِجْرَاءَ الْمَالِ قَدْ كَانَ مُسْتَحَقًّا مِنْ قَبْلُ.

Adapun hadis Umar, itu adalah kasus khusus yang tidak boleh dijadikan dalil secara umum, dan mungkin saja aliran harta tersebut memang sudah menjadi hak sebelumnya.

لِأَنَّ الإجماع لا يلزم أحد أَنْ يُجْرِيَ مَاءَ غَيْرِهِ عَلَى أَرْضِهِ وَكَذَلِكَ حَدِيثُ الزُّبَيْرِ.

Karena menurut ijmā‘, tidak wajib bagi seseorang untuk mengalirkan air milik orang lain di atas tanahnya, demikian pula hadis az-Zubair.

وَأَمَّا اسْتِحْقَاقُ الشُّفْعَةِ لِإِزَالَةِ الضَّرَرِ بِهَا، فَلِأَنَّهُ لَا يَدْخُلُ عَلَى الْغَيْرِ إِضْرَارٌ بِهَا. لِأَنَّهُ قَدْ يَأْخُذُ مَا قُدِّرَ وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي الْعِمَارَةِ وَالْمُبَانَاةِ.

Adapun hak syuf‘ah untuk menghilangkan bahaya dengannya, maka karena tidak ada bahaya yang menimpa orang lain karenanya. Sebab, ia hanya mengambil apa yang sudah ditetapkan, dan hal ini tidak sama dalam masalah pembangunan dan pemisahan.

وَأَمَّا الْقِسْمَةُ فَلَيْسَتْ غُرْمًا، وَإِنَّمَا هِيَ لِتَمْيِيزِ الْمِلْكَيْنِ وَإِقْرَارِ الْحَقَّيْنِ وَالْعِمَارَةُ غُرْمٌ مَحْضٌ فَافْتَرَقَا.

Adapun pembagian (qismah) bukanlah beban (ghurm), melainkan untuk membedakan antara dua kepemilikan dan menegaskan dua hak, sedangkan pembangunan adalah beban murni, maka keduanya berbeda.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ فَإِنْ قُلْنَا بِإِجْبَارِهِ عَلَى الْعِمَارَةِ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ. فَإِنْ كَانَ مُوسِرًا أَخَذَ بِالْعِمَارَةِ فِي الْحَالِ. فَإِنْ كَانَ فِي حَائِطٍ مُشْتَرَكٍ كَانَتِ النَّفَقَةُ بَيْنَهُمَا عَلَى قَدْرِ الْمِلْكَيْنِ. وَإِنْ كَانَ فِي سُفْلٍ وَعُلُوٍّ اخْتَصَّ صَاحِبُ السُّفْلِ بِعِمَارَةِ سُفْلِهِ وَانْفَرَدَ صَاحِبُ الْعُلُوِّ بِعِمَارَةِ عُلُوِّهِ، وَاشْتَرَكَا فِي السَّقْفِ الَّذِي بَيْنَهُمَا.

Jika telah jelas apa yang kami sebutkan dari dua pendapat, maka jika kita berpendapat dengan mewajibkan pembangunan menurut pendapat lama (qaul qadim), jika ia mampu maka ia harus segera melakukan pembangunan. Jika berkaitan dengan dinding bersama, maka biaya ditanggung bersama sesuai dengan bagian kepemilikan masing-masing. Jika berkaitan dengan bagian bawah dan atas, maka pemilik bagian bawah khusus menanggung pembangunan bagian bawahnya, dan pemilik bagian atas khusus menanggung pembangunan bagian atasnya, dan keduanya bersama-sama dalam biaya atap yang memisahkan keduanya.

وَإِنْ كَانَ الْمُمْتَنِعُ مُعْسِرًا قِيلَ لِلطَّالِبِ الدَّاعِي إِلَى الْعِمَارَةِ صَاحِبُكَ مُعْسِرٌ، وَأَنْتَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ تَعْمُرَ جَمِيعَهُ بِمَالِكَ وَتَرْجِعَ عَلَى صَاحِبِكَ إِذَا أَيْسَرَ بِقَدْرِ حِصَّتِهِ أَوْ تَكُفَّ.

Jika pihak yang menolak (membangun) adalah orang yang tidak mampu, maka kepada pihak yang menuntut pembangunan dikatakan: “Rekanmu tidak mampu, dan kamu berhak memilih antara membangun seluruhnya dengan hartamu lalu menagih kepada rekanmu ketika ia mampu sebesar bagiannya, atau kamu berhenti.”

فَإِنْ بَادَرَ الطَّالِبُ بِعِمَارَةِ ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ اسْتِئْذَانِ حَاكِمٍ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ الْمُمْتَنِعُ مُوسِرًا لَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ عَلَيْهِ بِشَيْءٍ، وَصَارَ مُتَطَوِّعًا بِالنَّفَقَةِ، وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا فَفِي رُجُوعِهِ وَجْهَانِ:

Jika pihak penuntut segera melakukan pembangunan tanpa izin hakim, maka dilihat keadaannya: jika pihak yang menolak adalah orang mampu, maka ia tidak berhak menagih apapun darinya, dan ia dianggap sukarela dalam menanggung biaya; namun jika pihak yang menolak tidak mampu, maka dalam hal penagihan terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَرْجِعُ عَلَيْهِ بِالنَّفَقَةِ إِذَا أَيْسَرَ بِهَا، لِأَنَّهَا مُسْتَحَقَّةٌ شَرْعًا وَإِنْ لَمْ يُؤْذَنْ فِيهَا حُكْمًا.

Pertama: ia boleh menagih biaya tersebut ketika rekannya telah mampu, karena biaya itu memang menjadi hak secara syar‘i meskipun tidak ada izin secara hukum.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَظْهَرُ لَا رُجُوعَ لَهُ بِهَا لِلِاخْتِلَافِ فِيهَا، فَلَمْ يَسْتَقِرَّ وُجُوبُهَا إِلَّا بِحُكْمٍ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih kuat: tidak ada hak baginya untuk menagih biaya tersebut karena adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini, sehingga kewajibannya tidak tetap kecuali dengan keputusan hukum.

فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ لَيْسَ لِلثَّانِي أَنْ يَمْنَعَ شَرِيكَهُ مِنْ بَيْعِ حِصَّتِهِ وَالِانْتِفَاعِ بِهَا إِلَّا بَعْدَ أَخْذِ نَفَقَتِهِ، فَيَصِيرَ كَالْمَرْهُونِ بِهَا وَهُوَ قَوْلُ أبو حَامِدٍ الْمَرْوَرُّوذِيِّ.

Menurut pendapat pertama, pihak kedua tidak boleh melarang rekannya untuk menjual bagiannya dan memanfaatkannya kecuali setelah mengambil biaya yang telah ia keluarkan, sehingga menjadi seperti barang yang digadaikan karenanya, dan ini adalah pendapat Abu Hamid al-Marwurudzi.

وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي لَيْسَ لَهُ مَنْعُهُ مِنَ الْبَيْعِ وَالِانْتِفَاعِ بِهِ، لِأَنَّهُ لَا رُجُوعَ لَهُ بِسَبَبِهَا وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ.

Menurut pendapat kedua, ia tidak berhak melarang rekannya dari menjual dan memanfaatkan bagiannya, karena ia tidak berhak menagih biaya tersebut, dan ini adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama).

وَإِذَا قُلْنَا بِقَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ إنَّهُ لَا إِجْبَارَ فِي الْعِمَارَةِ تَرْكًا وَمَنْعًا مِنَ الْمُخَاصَمَةِ، وَقِيلَ لِطَالِبِهَا إِنْ شِئْتَ أَنْ تَعْمُرَ مُتَطَوِّعًا لِتَصِلَ إِلَى حَقِّكَ لَمْ تُمْنَعْ، وَلَا رُجُوعَ لَكَ بِشَيْءٍ مِنْ نَفَقَتِكَ، وَلَا لَكَ مَنْعُ صَاحِبِكَ من بيع حصته والانتفاع بها.

Dan jika kita berpendapat dengan pendapat baru (qaul jadid) bahwa tidak ada paksaan dalam pembangunan, baik dalam bentuk membiarkan maupun melarang untuk menggugat, maka kepada pihak yang menuntut dikatakan: “Jika kamu ingin membangun secara sukarela untuk mendapatkan hakmu, maka tidak dilarang, namun kamu tidak berhak menagih apapun dari biaya yang kamu keluarkan, dan kamu juga tidak berhak melarang rekanmu dari menjual bagiannya dan memanfaatkannya.”

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ تَطَوَّعَ صَاحِبُ الْعُلُوِّ بِأَنْ يَبْنِيَ السُّفْلَ كَمَا كَانَ ثُمَّ يَبْنِيَ عُلُوَّهُ كَمَا كَانَ فَذَلِكَ لَهُ وَلَيْسَ لَهُ مَنْعُ صَاحِبِ السُّفْلِ مِنْ سُكْنَاهُ “.

Imam asy-Syafi‘i ra berkata: “Jika pemilik bagian atas secara sukarela membangun bagian bawah seperti semula, lalu membangun bagian atasnya seperti semula, maka itu haknya, dan ia tidak berhak melarang pemilik bagian bawah untuk menempatinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.

لَيْسَ لِصَاحِبِ السُّفْلِ مَنْعُ صَاحِبِ الْعُلُوِّ مِنْ بِنَاءِ السُّفْلِ وَالْعُلُوِّ لِأَنَّهُ لَا يَصِلُ إِلَى حَقِّهِ مِنَ الْعُلُوِّ إِلَّا بِبِنَاءِ السُّفْلِ، وَلَا رُجُوعَ لَهُ بِالنَّفَقَةِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ. لِأَنَّهُ صَرَّحَ بِالتَّطَوُّعِ بِهَا. وَلَا لَهُ إِذَا بَنَاهُ أَنْ يَمْنَعَ صَاحِبَ السُّفْلِ مِنْ سُكْنَى سُفْلِهِ، لِأَنَّهُ حَقٌّ لَهُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُمْنَعَ مِنْهُ.

Pemilik bagian bawah tidak berhak melarang pemilik bagian atas untuk membangun bagian bawah dan atas, karena ia tidak dapat memperoleh haknya atas bagian atas kecuali dengan membangun bagian bawah. Dan tidak ada hak baginya untuk menuntut penggantian biaya menurut dua pendapat, karena ia telah secara tegas menyatakan bahwa ia melakukannya secara sukarela. Dan jika ia telah membangunnya, ia juga tidak berhak melarang pemilik bagian bawah untuk menempati bagian bawahnya, karena itu adalah haknya sehingga tidak boleh dicegah darinya.

فَأَمَّا الِارْتِفَاقُ بِحَائِطِ السُّفْلِ، فَإِنْ كَانَ قَدْ بَنَاهُ صَاحِبُ الْعُلُوِّ بِآلَةِ صَاحِبِ السُّفْلِ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَنْعُهُ مِنَ الِارْتِفَاقِ بِحَائِطِهِ كَمَا جَرَتِ العادة به. وَإِنْ كَانَ قَدْ بَنَاهُ بِآلَةِ نَفْسِهِ فَلَهُ أَنْ يَمْنَعَهُ مِنَ التَّصَرُّفِ فِيهِ وَالِاسْتِنَادِ عَلَيْهِ.

Adapun pemanfaatan dinding bagian bawah, jika dinding itu dibangun oleh pemilik bagian atas dengan alat milik pemilik bagian bawah, maka ia tidak berhak melarangnya untuk memanfaatkan dindingnya sebagaimana kebiasaan yang berlaku. Namun jika ia membangunnya dengan alat miliknya sendiri, maka ia berhak melarangnya untuk menggunakan dan bersandar pada dinding tersebut.

وَلَا يَمْنَعُهُ مِنَ الْجُلُوسِ فِي الْقَرَارِ وَالِارْتِفَاقِ بِهِ فَلَوْ كَانَ لَهُ مِنْ قَبْلُ رَسْمٌ فِي وَضْعِ جِذْعٍ أَوْ نَصْبِ رَفٍّ أَوْ إِيتَادِ وَتِدٍ كَانَ لَهُ مَنْعُهُ مِنْ ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ الرَّسْمُ مِنْ قَبْلِ ذَلِكَ جَارِيًا بِهِ. لِأَنَّ رَسْمَهُ كَانَ فِي حَائِطِهِ الْمَبْنِيِّ بآلته.

Ia tidak boleh melarangnya untuk duduk di lantai dasar dan memanfaatkannya. Namun, jika sebelumnya ia memiliki kebiasaan untuk meletakkan balok, memasang rak, atau menancapkan pasak, maka ia berhak melarangnya dari hal-hal tersebut, meskipun kebiasaan itu telah berjalan sebelumnya, karena kebiasaan itu terjadi pada dinding miliknya yang dibangun dengan alatnya sendiri.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَنَقْضُ الْجُدْرَانِ لَهُ وَمَتَى شَاءَ أَنْ يَهْدِمَهَا هَدَمَهَا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dan merobohkan dinding adalah haknya, dan kapan saja ia ingin merobohkannya, ia boleh merobohkannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.

إِذَا تَطَوَّعَ صَاحِبُ الْعُلُوِّ بِبِنَاءِ السُّفْلِ، ثُمَّ أَرَادَ هدمه لم تخل الآلة التي بنا بِهَا السُّفْلَ مِنْ أَنْ تَكُونَ مِلْكًا لَهُ أَوْ مِلْكًا لِصَاحِبِ السُّفْلِ. فَإِنْ كَانَتْ مِلْكًا لِصَاحِبِ السُّفْلِ فَهُوَ مُتَطَوِّعٌ بِالنَّفَقَةِ وَلَيْسَ لَهُ هَدْمُ الْبِنَاءِ، لِأَنَّ النَّفَقَةَ أَثَرٌ لَا عَيْنٌ.

Jika pemilik bagian atas secara sukarela membangun bagian bawah, kemudian ia ingin merobohkannya, maka alat yang digunakan untuk membangun bagian bawah itu tidak lepas dari dua kemungkinan: milik dia sendiri atau milik pemilik bagian bawah. Jika alat itu milik pemilik bagian bawah, maka ia telah berbuat secara sukarela dengan biaya sendiri dan tidak berhak merobohkan bangunan tersebut, karena biaya itu adalah manfaat, bukan barang.

وَلَيْسَ لَهُ فِي هَدْمِ ذَلِكَ نَفْعٌ فَصَارَ كمن غصب نقرة فضربها دراهما، أَوْ غَزْلًا فَنَسَجَهُ ثَوْبًا، أَوْ طِيبًا فَضَرَبَهُ لَبِنًا، لَمْ يَكُنْ لَهُ إِعَادَةُ الدَّرَاهِمِ نَقْرَةً، وَالثَّوْبِ غَزْلًا، وَاللَّبَنِ طِينًا، لِأَنَّهُ عَيْبٌ لَا يَسْتَفِيدُ بِهِ نَفْعًا.

Ia juga tidak mendapatkan manfaat dari perobohan itu, sehingga keadaannya seperti orang yang merampas bongkahan perak lalu menempa menjadi dirham, atau benang lalu menenunnya menjadi kain, atau minyak wangi lalu mencampurnya menjadi batu bata; ia tidak berhak mengembalikan dirham menjadi bongkahan perak, kain menjadi benang, atau batu bata menjadi tanah liat, karena itu adalah cacat yang tidak memberikan manfaat baginya.

وَإِنْ كَانَتِ الْآلَةُ مِنَ الْآجُرِّ وَالْجِصِّ وَاللَّبِنِ وَالطِّينِ مِلْكًا لِصَاحِبِ الْعُلُوِّ فَلَهُ هَدْمُ ذَلِكَ وَاسْتِرْجَاعُ آلَتِهِ لِيَصِلَ بِذَلِكَ إِلَى عَيْنِ مَالِهِ.

Namun jika alatnya berupa batu bata, gips, batu bata tanah liat, dan tanah liat yang merupakan milik pemilik bagian atas, maka ia berhak merobohkan bangunan tersebut dan mengambil kembali alat miliknya, agar ia dapat mengambil barang miliknya secara langsung.

فَإِنْ بَذَلَ لَهُ صَاحِبُ السُّفْلِ قِيمَةَ ذَلِكَ، فَهَلْ يُجْبَرُ صَاحِبُ الْعُلُوِّ عَلَى قَبُولِهَا أَمْ لَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ.

Jika pemilik bagian bawah menawarkan nilai alat tersebut kepadanya, maka apakah pemilik bagian atas dipaksa untuk menerimanya atau tidak, hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah kami sebutkan.

إِنْ قِيلَ: إِنَّ صَاحِبَ السُّفْلِ يُجْبَرُ عَلَى الْبِنَاءِ إِذَا سَأَلَهُ صَاحِبُ الْعُلُوِّ.

Jika dikatakan: Pemilik bagian bawah dipaksa untuk membangun jika diminta oleh pemilik bagian atas.

يَجْبَرُ عَلَى أَخْذِ الْقِيمَةِ إِذَا بَذَلَهَا صَاحِبُ السُّفْلِ، لِأَنَّهُ بَذَلَ لَهُ مَا لَوْ طَالَبَ بِهِ مِنْ قَبْلُ لَلَزِمَهُ.

Maka ia dipaksa untuk menerima nilai alat tersebut jika pemilik bagian bawah menawarkannya, karena ia telah memberikan sesuatu yang jika diminta sebelumnya, ia wajib memberikannya.

وَإِنْ قِيلَ إِنَّ صَاحِبَ السُّفْلِ لَا يُجْبَرُ عَلَى الْبِنَاءِ.

Namun jika dikatakan bahwa pemilik bagian bawah tidak dipaksa untuk membangun.

لَمْ يُجْبَرْ صَاحِبُ الْعُلُوِّ عَلَى أَخْذِ الْقِيمَةِ إِذَا تَطَوَّعَ بِالْبِنَاءِ، لِأَنَّهُ بَذَلَ لَهُ مَا لَوْ طولب به لم يلزمه.

Maka pemilik bagian atas tidak dipaksa untuk menerima nilai alat tersebut jika ia membangun secara sukarela, karena ia telah memberikan sesuatu yang jika diminta sebelumnya, ia tidak wajib memberikannya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَكَذَلِكَ الشُّرَكَاءُ فِي نَهْرٍ أَوْ بِئْرٍ لَا يُجْبَرُ أَحَدُهُمْ عَلَى الْإِصْلَاحِ لِضَرَرٍ وَلَا غَيْرِهِ وَلَا يُمْنَعُ الْمَنْفَعَةَ فَإِنْ أَصْلَحَ غَيْرَهُ فَلَهُ عَيْنُ مَالِهِ مَتَى شَاءَ نَزَعَهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Demikian pula para sekutu dalam sungai atau sumur, tidak ada seorang pun di antara mereka yang dipaksa untuk memperbaiki karena adanya mudarat atau sebab lain, dan tidak boleh dicegah dari mengambil manfaat. Jika salah satu dari mereka memperbaiki, maka ia berhak mengambil barang miliknya kapan saja ia mau.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ فِي الشُّرَكَاءِ، إِذَا كَانَ بَيْنَهُمْ نَهْرٌ فأفسد أو عين فغارت أو بئر ما فَانْطَمَثَ وَدَعَا بَعْضُهُمْ إِلَى حَفْرِ ذَلِكَ وَإِصْلَاحِهِ وَامْتَنَعَ الْبَاقُونَ، فَهَلْ يُجْبَرُ الْمُمْتَنِعُونَ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sesuai dengan dua pendapat yang telah kami sebutkan mengenai para sekutu, yaitu jika di antara mereka terdapat sungai lalu rusak, atau mata air lalu kering, atau sumur lalu tertutup, kemudian sebagian dari mereka mengajak untuk menggali dan memperbaikinya sementara yang lain menolak, maka apakah yang menolak dipaksa atau tidak, terdapat dua pendapat:

عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ يُجْبَرُونَ وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ لَا يُجْبَرُونَ، فَإِنِ اخْتَارُوا جَمِيعًا حَفْرَهُ وَإِلَّا تُرِكُوا. وَإِذَا اجْتَمَعُوا عَلَى الْحَفْرِ جَبْرًا، أَوِ اخْتِيَارًا، فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي مَؤُونَةِ الْحَفْرِ كَيْفَ تَكُونُ بَيْنَهُمْ.

Menurut pendapat lama, mereka dipaksa; dan menurut pendapat baru, mereka tidak dipaksa. Jika mereka semua memilih untuk menggali, maka dilakukan; jika tidak, maka dibiarkan. Dan jika mereka sepakat untuk menggali, baik secara paksa maupun sukarela, maka para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana pembagian biaya penggalian di antara mereka.

فَذَهَبَ أبو حنيفة إِلَى أَنَّ أَهْلَ النَّهْرِ يَجْتَمِعُونَ مَعَ الْأَوَّلِ فَيَحْفِرُونَ مَعَهُ، حَتَّى إِذَا انْتَهَى الْأَوَّلُ إِلَى آخِرِ مِلْكِهِ. خَرَجَ وَحَفَرَ الْبَاقُونَ مَعَ الثَّانِي، وَخَرَجَ عِنْدَ آخِرِ مِلْكِهِ، وَحَفَرَ الْبَاقُونَ مَعَ الثَّالِثِ هَكَذَا حَتَّى يَنْتَهِيَ إِلَى الْأَخِيرِ، فَيَنْفَرِدَ وَحْدَهُ بِحَفْرِ مَا يَلِيهِ.

Abu Hanifah berpendapat bahwa para pemilik sungai berkumpul bersama orang pertama, lalu mereka menggali bersama-sama dengannya, hingga orang pertama itu sampai pada batas akhir kepemilikannya. Setelah itu ia keluar, dan sisanya menggali bersama orang kedua, lalu ia keluar di akhir kepemilikannya, dan sisanya menggali bersama orang ketiga, demikian seterusnya hingga sampai pada orang terakhir, maka ia menggali sendiri bagian yang menjadi bagiannya.

قَالَ وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ، لِأَنَّ مَاءَ أَهْلِ النَّهْرِ كُلَّهُ يَجْرِي عَلَى أَرْضِ الْأَوَّلِ فَوَجَبَ أَنْ يَشْتَرِكُوا جَمِيعًا فِي حَفْرِهِ وَلَيْسَ يَجْرِي مَاءُ الْأَوَّلِ عَلَى الثَّانِي، فَلَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يَحْفِرَ مَعَهُ.

Ia berkata, “Hal itu demikian karena air sungai seluruhnya mengalir di atas tanah orang pertama, maka wajib bagi mereka semua untuk bersama-sama menggali. Sedangkan air milik orang pertama tidak mengalir di atas tanah orang kedua, maka tidak wajib baginya untuk menggali bersama orang kedua.”

وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَالْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّ مَؤُونَةَ الْحَفْرِ مُقَسَّطَةٌ بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ أَمْلَاكِهِمْ، إِلَّا أَنَّ مِنْهُمْ مَنْ قَسَّطَهَا عَلَى مِسَاحَاتِ الْأَرَضِينَ وَقَدْرِ جَرَيَانِهَا.

Syafi‘i dan jumhur berpendapat bahwa biaya penggalian dibagi rata di antara mereka sesuai dengan kadar kepemilikan mereka, hanya saja sebagian dari mereka membaginya berdasarkan luas tanah dan kadar aliran airnya.

لِأَنَّ الْمَاءَ الْجَارِيَ فِيهِ يَسْبَحُ عَلَيْهَا عَلَى قَدْرِ مِسَاحَاتِهَا وَجَرَيَانِهَا وَمِنْهُمْ من قسطها على قدر مساحة وجوه الأرضين الَّتِي عَلَى النَّهْرِ وَهُوَ أَشْبَهُ بِمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وقول أصحابه لأن مؤنة الْحَفْرِ تَزِيدُ بِطُولِ مِسَاحَةِ الْوَجْهِ الَّذِي عَلَى النَّهْرِ، وَتَقِلُّ بِقِصَرِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُعْتَبَرًا بِهِ.

Karena air yang mengalir di dalamnya mengalir di atas tanah-tanah itu sesuai dengan luas dan aliran airnya, dan sebagian dari mereka membaginya berdasarkan luas permukaan tanah yang berada di tepi sungai, dan ini lebih sesuai dengan mazhab Syafi‘i dan pendapat para pengikutnya, karena biaya penggalian bertambah dengan panjang permukaan tanah yang berada di tepi sungai dan berkurang dengan pendeknya, maka sudah seharusnya hal itu dijadikan pertimbangan.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِذَا تَطَوَّعَ بَعْضُ الشُّرَكَاءِ فِي الْبِئْرِ أَوِ النَّهْرِ، بِحَفْرِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَنْعُ بَاقِي شُرَكَائِهِ مِنَ الِانْتِفَاعِ بِالسَّقْيِ مِنْهُ عَلَى مَا كَانَ مُسْتَحَقًّا لَهُ مِنْ قَبْلُ لِاشْتِرَاكِهِمْ فِيهِ.

Apabila sebagian dari para pemilik bersama dalam sumur atau sungai secara sukarela menggali, maka ia tidak berhak melarang para pemilik bersama lainnya untuk memanfaatkan air untuk pengairan sebagaimana hak mereka sebelumnya karena mereka adalah pemilik bersama.

وَإِنْ تَفَرَّدَ هَذَا بِآثَارِ الْحَفْرِ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ لَهُ آلَةٌ قَدْ نَصَبَهَا لاستسقاء الماء كالرشا ودلو عَلَى بِئْرٍ أَوْ دُولَابٍ وَبَكَرَةٍ عَلَى بِئْرٍ فَلَهُ مَنْعُ شُرَكَائِهِ مِنَ الِاسْتِسْقَاءِ بِآلَتِهِ، لِأَنَّهَا مِلْكٌ لَهُ لَا حَقَّ فِيهَا لِغَيْرِهِ.

Dan jika ia sendiri yang menanggung akibat dari penggalian itu, kecuali jika ia memiliki alat yang dipasang untuk mengambil air seperti tali timba dan ember pada sumur, atau alat penggerek dan katrol pada sumur, maka ia berhak melarang para pemilik bersama lainnya untuk mengambil air dengan alat miliknya, karena alat itu adalah miliknya dan tidak ada hak bagi orang lain atasnya.

فَإِذَا أَرَادُوا تَعْلِيقَ رِشَا وَدَلْوٍ، أَوْ نَصبَ دُولَابٍ وَبَكَرَةٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَمْنَعَهُمْ مِنْ ذَلِكَ، لِأَنَّ فِي مَنْعِهِمْ مِنْ ذَلِكَ مَنْعًا مِنَ اسْتِسْقَاءِ الْمَاءِ الَّذِي هُمْ فِيهِ شُرَكَاءُ.

Maka jika mereka ingin memasang tali dan ember, atau memasang alat penggerek dan katrol, ia tidak berhak melarang mereka dari hal itu, karena melarang mereka dari hal itu berarti melarang mereka mengambil air yang mereka miliki secara bersama.

فَإِنْ كَانَتِ الْبِئْرُ لَا تَحْتَمِلُ إِلَّا رِشَا وَدَلْوًا وَاحِدًا قِيلَ لَهُ أَنْتَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ تُمَكِّنَهُمْ مِنَ السَّقْيِ بِرِشَاكَ وَدَلْوِكَ، وَبَيْنَ أَنْ تَرْفَعَ رِشَاكَ وَدَلْوَكَ عِنْدَ اكْتِفَائِكَ لِيَنْصِبُوا لِأَنْفُسِهِمْ رِشَا وَدَلْوًا، فَإِنْ رَضِيَ بِتَمْكِينِهِمْ مِنَ السَّقْيِ بِرِشَاهُ، وَدَلْوِهِ. وَأَبَوْا أَنْ يَسْقُوا إِلَّا بِرِشَاهُمْ وَدَلْوِهِمْ، كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهَمْ فِي وَضْعِ دَلْوِهِمْ وَرِشَاهُمْ وَلَمْ يَلْزَمْهُمُ الِاسْتِقَاءُ بَدَلْوِهِ وَرِشَاهُ، لِأَنَّهَا عَارِيَةٌ مَضْمُونَةٌ فَلَمْ يَجِبْ عَلَيْهِمُ الْتِزَامُ ضمانها.

Jika sumur itu hanya cukup untuk satu tali dan satu ember saja, maka dikatakan kepadanya: “Kamu boleh memilih antara membiarkan mereka mengambil air dengan tali dan embermu, atau kamu mengangkat tali dan embermu setelah selesai mengambil air agar mereka dapat memasang tali dan ember sendiri.” Jika ia rela membiarkan mereka mengambil air dengan tali dan embernya, namun mereka menolak kecuali dengan tali dan ember mereka sendiri, maka pendapat mereka yang diikuti dalam memasang tali dan ember mereka, dan mereka tidak diwajibkan mengambil air dengan tali dan embernya, karena itu adalah pinjaman yang dijamin, sehingga mereka tidak wajib menanggung jaminannya.

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي كِتَابِ الدعوى والبينات على كتاب اختلاف أَبِي حَنِيفَةَ: ” فَإِذَا أَفَادَ صَاحِبُ السُّفْلِ مَالًا أَخَذَ مِنْهُ قِيمَةَ مَا أَنْفَقَ فِي السُّفْلِ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) قُلْتُ أَنَا الْأَوَّلُ أَوْلَى بِقَوْلِهِ لِأَنَّ الثَّانِي مُتَطَوِّعٌ فَلَيْسَ لَهُ أَخْذُهُ مِنْ غَيْرِهِ إِلَّا أَنْ يُرَاضِيَهُ عَلَيْهِ “.

Syafi‘i ra. berkata dalam Kitab ad-Da‘wa wa al-Bayyinat pada Kitab Ikhtilaf Abu Hanifah: “Jika pemilik bagian bawah memperoleh harta, maka ia mengambil dari harta itu senilai apa yang telah ia keluarkan untuk bagian bawah.” (Al-Muzani berkata:) “Saya berkata: ‘Saya yang lebih berhak dengan perkataannya, karena yang kedua itu sukarela, maka ia tidak berhak mengambil dari selainnya kecuali jika ia telah sepakat dengannya.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا كِتَابُ الدَّعْوَى عَلَى كِتَابِ أَبِي حَنِيفَةَ فَمِنْ كُتُبِ الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ.

Al-Mawardi berkata: “Adapun Kitab ad-Da‘wa ‘ala Kitab Abu Hanifah, maka itu termasuk kitab Syafi‘i dalam pendapat barunya.”

فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا قَالَهُ فِيهِ، فَذَهَبَ الْمُزَنِيُّ وَابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ إِلَى أَنَّهُ أَجْبَرَ فِيهِ عَلَى الْبِنَاءِ وَالْمُحَافَرَةِ، كَمَا أَجْبَرَ عَلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ.

Para ulama kami berbeda pendapat tentang apa yang dikatakannya di dalamnya. Al-Muzani dan Ibnu Abi Hurairah berpendapat bahwa ia mewajibkan dalam hal itu untuk membangun dan menggali, sebagaimana ia wajibkan dalam pendapat lamanya.

فَصَارَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ وَأَحَدُ قَوْلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ وُجُوبَ الْمُبَانَاةِ وَالْمُحَافَرَةِ.

Maka pendapatnya dalam pendapat lama dan salah satu dari dua pendapatnya dalam pendapat baru adalah wajibnya membangun dan menggali.

فَإِنْ أُعْسِرَ بِهَا الْمُمْتَنِعُ وَأَنْفَقَ الطَّالِبُ، رَجَعَ عَلَيْهِ عِنْدَ يَسَارِهِ بِمَا أَنْفَقَ إِذَا كَانَ قَدْ أَنْفَقَ بِحُكْمِ حَاكِمٍ.

Jika orang yang menolak tidak mampu, lalu yang menuntut mengeluarkan biaya, maka ia boleh menagihnya ketika yang menolak telah mampu, jika pengeluaran itu dilakukan berdasarkan keputusan hakim.

وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ حُكْمِ حَاكِمٍ فَعَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ.

Dan jika tanpa keputusan hakim, maka (hukumnya) sebagaimana yang telah kami sebutkan dari dua pendapat.

وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّهُ لَمْ يُرِدْ بِذَلِكَ الْإِجْبَارَ عَلَى الْمُبَانَاةِ وَالْمُحَافَرَةِ، وَإِنَّمَا هُوَ مَحْمُولٌ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ مَعَ سُقُوطِ الْإِجْبَارِ فِي ذَلِكَ عَلَى أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Dan mayoritas sahabat kami berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hal itu bukanlah pemaksaan untuk berpisah dan membangun, melainkan hal itu dibawa kepada pendapat beliau dalam qaul jadid dengan gugurnya kewajiban pemaksaan dalam hal tersebut atas salah satu dari dua keadaan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ صَاحِبُ السُّفْلِ قَدْ أَذِنَ لِصَاحِبِ الْعُلُوِّ أَنْ يَبْنِيَ لِيَرْجِعَ عَلَيْهِ بِمَا أَنْفَقَ، فَلِصَاحِبِ الْعُلُوِّ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهِ عِنْدَ يَسَارِهِ، بِمَا أَنْفَقَ، لِأَنَّهُ أَنْفَقَ بِإِذْنِهِ وَنَائِبًا عَنْهُ.

Pertama, jika pemilik bagian bawah telah mengizinkan pemilik bagian atas untuk membangun agar ia dapat menuntut kembali biaya yang telah dikeluarkan, maka pemilik bagian atas boleh menuntut kembali kepada pemilik bagian bawah ketika ia mampu, atas biaya yang telah dikeluarkan, karena ia mengeluarkan biaya tersebut dengan izinnya dan sebagai wakil darinya.

أَوْ يَكُونَ صَاحِبُ الْعُلُوِّ وَالسُّفْلِ اتَّفَقَا عَلَى الْهَدْمِ لِيَبْنِيَا ذَلِكَ مِنْ بَعْدُ، فَإِذَا هَدَمَاهُ أُجْبِرَ صَاحِبُ السُّفْلِ عَلَى الْبِنَاءِ، قَوْلًا وَاحِدًا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْأُمِّ.

Atau, pemilik bagian atas dan bawah telah sepakat untuk membongkar agar keduanya dapat membangun kembali setelahnya, maka jika keduanya telah membongkarnya, pemilik bagian bawah dipaksa untuk membangun, menurut satu pendapat yang dinyatakan secara tegas dalam kitab al-Umm.

وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ كَانَ يُخْرِجُ الْإِجْبَارَ فِي هَذَا عَلَى قَوْلَيْنِ كَالَّذِي مَضَى، وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ، بَلْ يُجْبَرُ عَلَى ذَلِكَ فِي الْقَوْلَيْنِ مَعًا، لِأَنَّهُمَا لَمَّا اصْطَلَحَا عَلَى الْهَدْمِ وَالْبِنَاءِ صَارَ الْبِنَاءُ مَضْمُونًا عَلَيْهِ بِالشَّرْطِ الَّذِي الْتَزَمَهُ، فَوَجَبَ أَنْ يُجْبَرَ عَلَيْهِ لِيَفِيَ بِشَرْطِهِ.

Sebagian sahabat kami ada yang mengeluarkan masalah pemaksaan dalam hal ini kepada dua pendapat sebagaimana yang telah lalu, namun itu tidak benar. Bahkan, ia wajib dipaksa dalam kedua pendapat tersebut, karena ketika keduanya telah sepakat untuk membongkar dan membangun, maka pembangunan menjadi tanggung jawabnya sesuai syarat yang telah ia sepakati, sehingga wajib dipaksa untuk melaksanakan syaratnya.

فَلَوْ أُعْسِرَ بِالْبِنَاءِ، كَانَ لِصَاحِبِ الْعُلُوِّ أَنْ يَبْنِيَ لِيَرْجِعَ عَلَى صَاحِبِ السُّفْلِ بِمَا أَنْفَقَ فِي بِنَاءِ السُّفْلِ، فَيَكُونُ الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ الدَّعْوَى عَلَى أبي حنيفة هُوَ مَا ذَكَرْنَا.

Jika pemilik bagian bawah tidak mampu membangun, maka pemilik bagian atas boleh membangun dan menuntut kembali kepada pemilik bagian bawah atas biaya yang telah dikeluarkan untuk membangun bagian bawah. Maka, yang dinyatakan dalam kitab ad-Da‘wā atas pendapat Abu Hanifah adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا كَانَتْ لِرَجُلٍ نَخْلَةٌ أَوْ شَجَرَةٌ فَاسْتَعْلَتْ وَانْتَشَرَتْ أَغْصَانُهَا عَلَى دَارِ رَجُلٍ فَعَلَيْهِ قَطْعُ مَا شَرَعَ فِي دَارِ غَيْرِهِ فَإِنْ صَالَحَهُ عَلَى تَرْكِهِ فَلَيْسَ بِجَائِزٍ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang memiliki pohon kurma atau pohon lain, lalu cabang-cabangnya tumbuh tinggi dan menjulur ke rumah orang lain, maka ia wajib memotong bagian yang menjulur ke rumah orang lain. Jika ia berdamai dengan pemilik rumah untuk membiarkannya, maka itu tidak boleh.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا كَانَ فِي دَارِ رَجُلٍ نَخْلَةٌ أَوْ شَجَرَةٌ، فَاسْتَعْلَتْ أَغْصَانُهَا وَانْتَشَرَتْ إِلَى دَارِ جَارِهِ، وَطَالَبَهُ الْجَارُ بِإِزَالَةِ مَا انْتَشَرَ فِي دَارِهِ مِنَ الْأَغْصَانِ فَذَلِكَ لَهُ.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan, jika di rumah seseorang terdapat pohon kurma atau pohon lain, lalu cabang-cabangnya tumbuh tinggi dan menjulur ke rumah tetangganya, kemudian tetangga tersebut menuntut agar cabang-cabang yang menjulur ke rumahnya dihilangkan, maka itu adalah haknya.

وَعَلَى صَاحِبِ الشَّجَرَةِ أَنْ يَتَوَصَّلَ إِلَى إِزَالَةِ ذَلِكَ عَنْهُ، لِأَنَّ مَنْ مَلَكَ دَارًا مَلَكَ الِارْتِفَاقَ بِعُلُوِّهَا وَالْهَوَاءَ فِيهَا، فَلَمْ يَكُنْ لِصَاحِبِ الشَّجَرَةِ إِسْقَاطُ حَقِّهِ فَإِنْ كَانَتِ الشَّجَرَةُ يَابِسَةً، قَطَعَ الْأَغْصَانَ الْمُنْتَشِرَةَ عَنْهَا.

Dan pemilik pohon wajib berusaha untuk menghilangkan cabang tersebut dari rumah tetangganya, karena siapa yang memiliki rumah maka ia berhak atas pemanfaatan bagian atas rumah dan udara di dalamnya. Maka, pemilik pohon tidak berhak menggugurkan hak tetangganya. Jika pohon tersebut kering, maka ia wajib memotong cabang-cabang yang menjulur darinya.

وَإِنْ كَانَتْ رَطْبَةً ثَنَاهَا وَشَدَّهَا إِلَى الشَّجَرَةِ أَوْ قَطَعَهَا إِنْ شَاءَ.

Dan jika pohon itu masih basah, maka ia harus melipat dan mengikat cabang tersebut ke pohonnya, atau memotongnya jika ia menghendaki.

فَإِنْ بَادَرَ صَاحِبُ الدَّارِ فَقَطَعَ مَا انْتَشَرَ فِي دَارِهِ مِنَ الْأَغْصَانِ، فَإِنْ كَانَتْ يَابِسَةً لَا تَنْثَنِي جَازَ وَلَمْ يَضْمَنْ إِذَا لَمْ يَتَعَدَّ.

Jika pemilik rumah segera memotong cabang yang menjulur ke rumahnya, maka jika cabang itu kering dan tidak bisa dilipat, maka itu boleh dan ia tidak menanggung ganti rugi selama tidak melampaui batas.

وَقَالَ بَعْضُ الْعِرَاقِيِّينَ يُضَمَّنُ إِذَا قَطَعَهَا بِغَيْرِ حُكْمِ حَاكِمٍ. وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّهُ مُسْتَحِقٌّ لِذَلِكَ اتِّفَاقًا فَلَمْ يَكُنْ حُكْمُ الْحَاكِمِ فِيهِ مُؤَثِّرًا.

Sebagian ulama Irak berpendapat bahwa ia wajib mengganti rugi jika memotongnya tanpa keputusan hakim. Namun, ini tidak benar, karena ia memang berhak melakukan hal itu secara ijma‘, sehingga keputusan hakim tidak berpengaruh dalam masalah ini.

فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الْأَغْصَانُ رَطْبَةً فَهُوَ ضَامِنٌ لِمَا نَقَصَ مِنْ قِيمَةِ الشَّجَرَةِ بِقِطَعِ الْغُصْنِ مِنْهَا، لِأَنَّ قَطْعَهُ غَيْرُ مُسْتَحَقٍّ، لِأَنَّهُ يُمْكِنُ إِزَالَةُ الضَّرَرِ عنه بأن يثني الغصن إلى الشجرة ويشد مَعَهَا فَصَارَ يَقْطَعُهُ مُتَعَدِّيًا،.

Adapun jika cabang itu masih basah, maka ia wajib mengganti kerugian atas berkurangnya nilai pohon akibat pemotongan cabang tersebut, karena pemotongan itu tidak berhak dilakukan. Sebab, kerugian dapat dihilangkan dengan cara melipat cabang ke pohonnya dan mengikatnya, sehingga jika ia tetap memotongnya, maka ia dianggap melampaui batas.

فَإِنْ طَالَبَ صَاحِبُ الْغُصْنِ أَنْ يُصَالِحَهُ الْجَارُ عَلَى تَرْكِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika pemilik cabang meminta agar tetangganya berdamai dengannya untuk membiarkan cabang itu, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْغُصْنُ فِي الْهَوَاءِ لَمْ يَسْتَنِدْ عَلَى حَائِطِهِ فَإِنْ كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَجُزِ الصُّلْحُ وَكَانَ بَاطِلًا.

Pertama: Jika cabang itu berada di udara dan tidak bersandar pada dinding rumah tetangga, maka dalam keadaan demikian tidak boleh dilakukan perdamaian dan perdamaian itu batal.

لِأَنَّهُ صُلْحٌ عَلَى الْهَوَاءِ، وَالصُّلْحُ عَلَى الْهَوَاءِ لَا يَجُوزُ، لِأَنَّهُ مِنْ تَوَابِعِ الْمِلْكِ فَلَمْ يَجُزْ إِفْرَادُهُ بِالْعَقْدِ كَالْمَرَافِقِ.

Karena itu adalah perdamaian atas udara, dan perdamaian atas udara tidak boleh, karena udara termasuk bagian dari hak milik, sehingga tidak boleh dipisahkan dalam akad seperti halnya fasilitas (marāfiq).

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْغُصْنُ قَدِ اسْتَنَدَ عَلَى حَائِطِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian kedua: Jika cabang itu bersandar pada dinding rumah tetangga, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْغُصْنُ يَابِسًا فَالصُّلْحُ عَلَى إِقْرَارِهِ جَائِزٌ كَمَا يَجُوزُ الصُّلْحُ عَلَى وَضْعِ جِزْعٍ فِي حَائِطِهِ. وَإِنْ كَانَ الْغُصْنُ رَطْبًا فَفِي الصُّلْحِ عَلَى إِقْرَارِهِ وَجْهَانِ:

Salah satu dari keduanya: Jika ranting itu kering, maka perdamaian (ṣulḥ) atas pengakuan (iqrār) terhadapnya diperbolehkan, sebagaimana diperbolehkan ṣulḥ atas meletakkan batang pohon di dindingnya. Namun jika ranting itu masih basah, maka dalam hal ṣulḥ atas iqrār terhadapnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَجُمْهُورِ الْبَغْدَادِيِّينَ إِنَّ الصُّلْحَ عَلَى إِقْرَارِهِ بَاطِلٌ، لأنه ينمى مَعَ الْأَوْقَاتِ فَصَارَ صُلْحًا عَلَى مَجْهُولٍ.

Salah satunya: yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dan mayoritas ulama Baghdad, bahwa ṣulḥ atas iqrār terhadapnya batal, karena ranting itu akan tumbuh seiring waktu sehingga menjadi ṣulḥ atas sesuatu yang tidak diketahui (majhūl).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الصُّلْحَ عَلَيْهِ جَائِزٌ، وَيَكُونُ مَا حَدَثَ فِيهِ مِنَ النَّمَاءِ تَبَعًا لَا يَبْطُلُ بِالْجَهَالَةِ، كَمَا لَا يَبْطُلُ الْعَقْدُ بِجَهَالَةِ مَا كَانَ تَبَعًا لَهُ مِنَ الْمَرَافِقِ وَالْأَسَاسِ وَهَذَا قَوْلُ أَكْثَرِ الْبَصْرِيِّينَ.

Pendapat kedua: bahwa ṣulḥ atasnya diperbolehkan, dan pertumbuhan yang terjadi padanya dianggap sebagai pengikut (tabi‘) yang tidak membatalkan karena ketidaktahuan (jahālah), sebagaimana akad tidak batal karena jahālah terhadap hal-hal yang menjadi pengikut seperti fasilitas dan fondasi. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Bashrah.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

إِذَا غَرَسَ الرَّجُلُ غَرْسًا فِي أَرْضِهِ، وَكَانَ يَعْلَمُ أَنَّ الْغَرْسَ إِذَا كَبُرَ وَطَالَ انْتَشَرَتْ أَغْصَانُهُ إِلَى دَارِ الْجَارِ، لَمْ يَكُنْ لِلْجَارِ أَنْ يَأْخُذَهُ بِقَلْعِهِ فِي الْحَالِ، لِأَنَّهُ إِنَّمَا يَسْتَحِقُّ قَلْعَ الْأَغْصَانِ الْمُنْتَشِرَةِ فِي دَارِهِ وَلَيْسَتْ فِي الْحَالِ مَوْجُودَةً.

Jika seseorang menanam tanaman di tanahnya, dan ia mengetahui bahwa ketika tanaman itu tumbuh besar dan tinggi, ranting-rantingnya akan menjulur ke rumah tetangganya, maka tetangga tidak berhak memaksanya untuk mencabutnya saat itu juga, karena ia hanya berhak mencabut ranting-ranting yang telah menjulur ke rumahnya, sedangkan saat ini ranting-ranting tersebut belum ada.

وَقَدْ لَا تُوجَدُ مِنْ بَعْدُ، وَإِنْ وُجِدَتْ فَقَدْ يَزُولُ مِلْكُ الْجَارِ فِيمَا بَعْدُ. وَهَكَذَا لَوْ أَرَادَ حَفْرَ بِئْرٍ فِي أَرْضِهِ، وَكَانَتْ تَصِلُ نَدَاوَةُ الْبِئْرِ إِلَى حَائِطِ جَارِهِ، لَمْ يَكُنْ لِلْجَارِ أَنْ يَمْنَعَهُ مِنْ حَفْرِهَا، لِأَنَّهُ مُتَصَرِّفٌ فِي مِلْكِهِ، كَمَا لَا يَمْنَعُهُ مِنْ وَقُودِ النَّارِ وَإِنْ تَأَذَّى بِالدُّخَانِ.

Bisa jadi ranting-ranting itu tidak akan ada di kemudian hari, dan jika pun ada, bisa jadi kepemilikan tetangga atas rumahnya telah hilang setelah itu. Demikian pula jika seseorang ingin menggali sumur di tanahnya, dan kelembapan sumur itu sampai ke dinding rumah tetangganya, maka tetangga tidak berhak melarangnya menggali sumur tersebut, karena ia berhak bertindak di atas miliknya, sebagaimana tetangga tidak berhak melarangnya menyalakan api meskipun ia terganggu oleh asapnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

إِذَا مَالَ حَائِطُ الرَّجُلِ إِلَى دَارِ جَارِهِ، فَطَالَبَهُ الْجَارُ بِإِزَالَةِ الْمَيْلِ عَنْ دَارِهِ فَذَلِكَ لَهُ، وَعَلَى صَاحِبِ الْحَائِطِ أَنْ يَهْدِمَهُ لِيَزُولَ الْمَيْلُ. أَوْ يَهْدِمَ مِنْهُ الْقَدْرَ الْمَائِلَ. لِيَتَصَرَّفَ الْجَارُ فِي هَوَاءِ دَارِهِ كُلِّهِ.

Jika dinding seseorang miring ke arah rumah tetangganya, lalu tetangga menuntut agar kemiringan itu dihilangkan dari rumahnya, maka itu adalah haknya, dan pemilik dinding wajib merobohkannya agar kemiringan itu hilang, atau merobohkan bagian yang miring saja, agar tetangga dapat memanfaatkan seluruh ruang udara rumahnya.

وَلَوْ كَانَ مَيْلُ الْحَائِطِ إِلَى دَارِ صَاحِبِهِ، وَكَانَ الْجَارُ خَائِفًا مِن انْهِدَامِهِ عَلَى نَفْسِهِ، أَوْ مَالِهِ لَمْ يَلْزَمْ هَدْمُهُ، لِأَنَّهُ لَمْ يُفَوِّتْ عَلَيْهِ فِي الْحَالِ حَقًّا وَلَا أتلف عليه ملكا، وانهدامه في الثاني مضنون وَقَدْ لَا يَكُونُ.

Namun jika kemiringan dinding itu ke arah rumah pemiliknya sendiri, dan tetangga khawatir dinding itu akan roboh menimpa dirinya atau hartanya, maka tidak wajib merobohkannya, karena saat ini dinding itu belum merugikan hak atau merusak kepemilikan tetangga, dan kemungkinan robohnya di kemudian hari masih dugaan dan bisa jadi tidak terjadi.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

حَكَى أَبُو بَكْرِ بن إدريس عن أبي حامد المروروذي أَنَّ أَبَا إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيَّ سُئِلَ عَنْ شَجَرَةِ الْأُتْرُجِّ إِذَا انْتَشَرَتْ أَغْصَانُهَا إِلَى مِلْكِ رَجُلٍ، وَدَخَلَ رَأَسُ الْغُصْنِ فِي بَرْنِيَّةٍ لَهُ وَانْعَقَدَتْ فِيهِ أُتْرُجَّةٌ وَكَبُرَتْ، وَلَمْ يُمْكِنْ إِخْرَاجُهَا إِلَّا بقطع الغصن والأترجة أو كسر البرنية ما الْوَاجِبُ؟

Abu Bakr bin Idris meriwayatkan dari Abu Hamid al-Marurudzi bahwa Abu Ishaq al-Marwazi pernah ditanya tentang pohon utrujj (citron) yang rantingnya menjulur ke milik seseorang, lalu ujung ranting itu masuk ke dalam kendi milik orang tersebut, kemudian tumbuhlah buah utrujj di dalamnya hingga besar, dan tidak mungkin mengeluarkannya kecuali dengan memotong ranting dan buah utrujj atau memecahkan kendi. Apa yang wajib dilakukan?

فَقَالَ الْوَاجِبُ قَطْعُ الْغُصْنِ وَالْأُتْرُجَّةِ لِتَسْلَمَ الْبَرْنِيَّةُ، لِأَنَّ الْغُصْنَ لَمَّا شَرَعَ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ كَانَ مَأْخُوذًا بِإِزَالَتِهِ، فَلَمَّا لَمْ يُزِلْهُ صَارَ مُسْتَعْدِيًا بِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَلْتَزِمَ حُكْمَ تَعَدِّيهِ. وَيَكُونُ الْقَطْعُ الْمُتَقَدِّمُ وَاجِبًا عَلَيْهِ، وَلَيْسَ مِنْ صَاحِبِ الْبَرْنِيَّةِ تَعَدٍّ فِي وَضْعِهَا فِي مِلْكِهِ.

Ia menjawab: Yang wajib adalah memotong ranting dan buah utrujj agar kendi tetap utuh, karena ketika ranting itu telah masuk ke dalam milik orang lain, maka wajib dihilangkan. Jika tidak dihilangkan, berarti ia telah melampaui batas, sehingga wajib menanggung akibat pelanggarannya. Maka pemotongan yang seharusnya dilakukan sebelumnya menjadi wajib atasnya, dan pemilik kendi tidak dianggap melampaui batas karena meletakkan kendi di dalam miliknya sendiri.

فَقِيلَ لِأَبِي حَامِدٍ مَا تَقُولُ فِي الْبَرْنِيَّةِ إِذَا كَانَتْ وَدِيعَةً. فِي بَيْتِ رَجُلٍ، فَوَضَعَهَا فِي سَطْحِهِ حَتَّى وَقَعَتْ فِيهَا أُتْرُجَّةٌ مِنْ غُصْنِ جَارِهِ فَقَالَ: يَقْطَعُ الْأُتْرُجَّةَ لِتَسْلَمَ الْبَرْنِيَّةُ.

Lalu Abu Hamid ditanya: Bagaimana jika kendi itu adalah titipan di rumah seseorang, lalu ia meletakkannya di atap rumahnya hingga kemudian buah utrujj dari ranting tetangganya jatuh ke dalam kendi tersebut? Ia menjawab: Buah utrujj itu dipotong agar kendi tetap utuh.

لِأَنَّ قَطْعَ الْغُصْنِ قَدْ كَانَ مُسْتَحَقًّا مِنْ قَبْلُ. وَذَلِكَ أَسْبَقُ مَنْ وَضْعِ الْبَرْنِيَّةِ، فَقِيلَ لَهُ فَمَا تَقُولُ إِنْ كَانَتِ الشَّجَرَةُ فِي دَارِهِ وَالْبَرْنِيَّةُ فِي يَدِهِ قَالَ يُقْطَعُ الْغُصْنُ أَيْضًا لِتَسْلَمَ الْبَرْنِيَّةُ. لِأَنَّهُ مُتَعَدٍّ بِوَضْعِ الْبَرْنِيَّةِ بِحَيْثُ يَدْخُلُ غُصْنُ الشَّجَرَةِ فِيهَا.

Karena pemotongan ranting sebenarnya sudah menjadi hak sejak sebelumnya, dan itu lebih dulu daripada peletakan kendi. Lalu ia ditanya lagi: Bagaimana jika pohon itu berada di rumahnya dan kendi itu di tangannya? Ia menjawab: Ranting juga dipotong agar kendi tetap utuh, karena ia telah melampaui batas dengan meletakkan kendi sedemikian rupa sehingga ranting pohon bisa masuk ke dalamnya.

فَقِيلَ لَهُ مَا تَقُولُ فِي حَيَوَانٍ بَلَعَ لُؤْلُؤَةً. قَالَ لَا آمُرُ بِذَبْحِهِ وَأَتْرُكُهُمْ حَتَّى يَصْطَلِحُوا عَلَيْهِ، لِأَنَّ لِلْحَيَوَانِ حُرْمَةً.

Lalu ia ditanya: Bagaimana jika ada hewan yang menelan mutiara? Ia menjawab: Aku tidak memerintahkan untuk menyembelihnya, tetapi membiarkan mereka berdamai (ṣulḥ) atasnya, karena hewan memiliki kehormatan (ḥurmah).

أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ غَصَبَ خَيْطًا وَخَاطَ بِهِ جُرْحَ حَيَوَانٍ لَمْ يُكَلَّفِ الرَّدَّ.

Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang merampas seutas benang lalu menjahit luka seekor hewan dengannya, ia tidak dibebani kewajiban mengembalikan (benang tersebut).

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ صَالَحَهُ عَلَى دَرَاهِمَ بِدَنَانِيرَ أَوْ عَلَى دَنَانِيرَ بِدَرَاهِمَ لَمْ يَجُزْ إِلَّا بِالْقَبْضِ فَإِنْ قَبَضَ بَعْضًا وَبَقِيَ بَعْضٌ جَازَ فِيمَا قَبَضَ وَانْتُقِضَ فِيمَا لَمْ يَقْبِضْ إِذَا رَضِيَ بِذَلِكَ الْمُصَالِحُ الْقَابِضُ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang berdamai dengan pihak lain atas sejumlah dirham dengan dinar, atau atas sejumlah dinar dengan dirham, maka tidak sah kecuali dengan serah terima (qabdh). Jika sebagian telah diserahterimakan dan sebagian lainnya belum, maka sah pada bagian yang telah diterima dan batal pada bagian yang belum diterima, apabila pihak yang menerima ridha dengan hal itu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. إِذَا ادَّعَى عَلَيْهِ مِائَةَ دِينَارٍ فَاعْتَرَفَ بِهَا وَصَالَحَهُ مِنْهَا عَلَى أَلْفِ دِرْهَمٍ أَوِ ادَّعَى عَلَيْهِ أَلْفَ دِرْهَمٍ فَصَالَحَهُ مِنْهَا عَلَى مِائَةِ دِينَارٍ فَالصُّلْحُ جَائِزٌ إِذَا تَقَابَضَا قَبْلَ الِافْتِرَاقِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Jika seseorang menuntut seratus dinar kepada orang lain, lalu yang dituntut mengakuinya dan berdamai dengannya atas seribu dirham, atau menuntut seribu dirham lalu berdamai atas seratus dinar, maka perdamaian itu sah jika keduanya telah melakukan serah terima sebelum berpisah.

لِأَنَّ أَخْذَ الدَّرَاهِمِ عِوَضًا عَنِ الدَّنَانِيرِ صَرْفٌ يَلْزَمُ فِيهِ التَّقَابُضُ قَبْلَ الِافْتِرَاقِ

Karena mengambil dirham sebagai pengganti dinar adalah sharf (pertukaran mata uang) yang mensyaratkan serah terima sebelum berpisah.

وَهَذَا يُوَافِقُنَا عَلَيْهِ أبو حنيفة فَلَزِمَهُ أَنْ يَجْعَلَ الصُّلْحَ مُعَاوَضَةً يَبْطُلُ بِالْإِنْكَارِ.

Dan dalam hal ini, Abu Hanifah sependapat dengan kami, sehingga ia wajib menjadikan perdamaian sebagai akad mu‘awadhah (pertukaran) yang batal dengan adanya pengingkaran.

وَلَوْ كَانَ لِإِسْقَاطِ الْخُصُومَةِ حَتَّى يَجُوزَ مَعَ الْإِنْكَارِ لَجَازَ فِيهِ إِسْقَاطُ حُكْمِ الرِّبَا وَإِنْ تَقَابَضَا بَعْدَ الِافْتِرَاقِ.

Seandainya perdamaian itu hanya untuk menggugurkan persengketaan sehingga boleh dilakukan meski ada pengingkaran, niscaya boleh pula di dalamnya menggugurkan hukum riba meskipun serah terima dilakukan setelah berpisah.

فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا لَمْ يَخْلُ حَالُهُمَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika hal ini telah tetap, maka keadaan keduanya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَتَقَابَضَا جَمِيعَ الْأَلْفِ قَبْلِ الِافْتِرَاقِ فَقَدِ انْتَجَزَ الصُّلْحُ وَانْبَرَمَ وَسَقَطَتِ الْمُطَالَبَةُ بِالدَّنَانِيرِ وَاسْتَوْفَى مَا تَضَمَّنَهُ عَقْدُ الصُّلْحِ مِنَ الدَّرَاهِمِ.

Pertama: Keduanya melakukan serah terima seluruh seribu (dirham) sebelum berpisah, maka perdamaian menjadi sah dan sempurna, gugurlah tuntutan atas dinar, dan terpenuhilah apa yang menjadi isi akad perdamaian berupa dirham.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَتَفَرَّقَا قَبْلَ الْقَبْضِ فَالصُّلْحُ بَاطِلٌ وَيَعُودُ الْمُصَالِحُ إِلَى حَقِّهِ مِنَ الدَّنَانِيرِ فَيُطَالِبُ بِهَا دُونَ الدَّرَاهِمِ الَّتِي صَالَحَ عَلَيْهَا.

Bagian kedua: Keduanya berpisah sebelum serah terima, maka perdamaian batal dan pihak yang berdamai kembali kepada haknya atas dinar, sehingga ia menuntut dinar tersebut tanpa dirham yang telah disepakati dalam perdamaian.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَتَقَابَضَا بَعْضَ الدَّرَاهِمِ قَبْلَ الِافْتِرَاقِ وَيَبْقَى بَعْضُهَا فَالصُّلْحُ بَاطِلٌ فِيمَا لَمْ يُقْبَضْ.

Bagian ketiga: Keduanya melakukan serah terima sebagian dirham sebelum berpisah dan sebagian lainnya masih tersisa, maka perdamaian batal pada bagian yang belum diterima.

فَأَمَّا فِي الْمَقْبُوضِ فَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّ الْفَسَادَ الطَّارِئَ بَعْدَ الْعَقْدِ بمثابة الفساد المقترن بالعقد، يكون الصُّلْحُ عَلَى قَوْلَيْنِ: مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ.

Adapun pada bagian yang telah diterima, menurut pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, kerusakan (fasad) yang terjadi setelah akad dipersamakan dengan kerusakan yang terjadi bersamaan dengan akad, sehingga perdamaian dalam hal ini ada dua pendapat: berdasarkan tafriq ash-shafqah (pemisahan transaksi).

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ لِبُطْلَانِهِ فِيمَا لَمْ يُقْبَضْ.

Salah satunya: batal karena batal pada bagian yang belum diterima.

وَالثَّانِي: جَائِزٌ.

Yang kedua: sah.

وَعَلَى قَوْلِ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا إِنَّ الْفَسَادَ الطَّارِئَ بَعْدَ الْعَقْدِ مُخَالِفٌ لِمَا فَارَقَ الْعَقْدَ. وَإِنَّ فَسَادَ بَعْضِ مَا تَضَمَّنَتْهُ الصَّفْقَةُ بِمَا يَأْتِي مِنَ الْفَسَادِ لَا يُوجِبُ فَسَادَ مَا بَقِيَ إِذَا عَرِيَ عَنِ الْفَسَادِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الصُّلْحُ فِي الْمَقْبُوضِ جَائِزًا قَوْلًا وَاحِدًا.

Menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama kami, kerusakan yang terjadi setelah akad berbeda dengan yang terjadi bersamaan dengan akad. Kerusakan pada sebagian isi transaksi karena sebab yang datang kemudian tidak menyebabkan rusaknya bagian yang tersisa jika bagian itu bebas dari kerusakan. Maka dalam hal ini, perdamaian pada bagian yang telah diterima sah menurut satu pendapat.

ثُمَّ يَنْظُرُ فِي الْمُصَالَحِ فَإِنْ كَانَ مَا اخْتَارَ الْفَسْخَ عِنْدَ فِرَاقِهِ قَبْلَ قَبْضِ الْبَقِيَّةِ فَلَا خِيَارَ لَهُ فِي الْفَسْخِ لِأَنَّ فِرَاقَهُ قَبْلَ قَبْضِ الْبَاقِي رِضًى مِنْهُ بِتَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ فَسْخُهَا بَعْدَ التَّرَاضِي.

Kemudian dilihat pada pihak yang berdamai, jika ia memilih membatalkan (fasakh) saat berpisah sebelum menerima sisa (pembayaran), maka ia tidak memiliki hak membatalkan, karena perpisahannya sebelum menerima sisa merupakan kerelaan darinya terhadap pemisahan transaksi, sehingga ia tidak berhak membatalkannya setelah terjadi kerelaan.

وَإِنْ كَانَ أَنْكَرَ فِرَاقَهُ قَبْلَ قَبْضِ الْبَاقِي فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُقِيمَ أَوْ يَفْسَخَ فَإِنْ فَسَخَ رَدَّ مَا قَبَضَ وَطَالَبَ بِالدَّنَانِيرِ الَّتِي كَانَتْ لَهُ.

Namun jika ia mengingkari perpisahan sebelum menerima sisa, maka ia berhak memilih antara melanjutkan atau membatalkan. Jika ia membatalkan, maka ia mengembalikan apa yang telah diterima dan menuntut dinar yang menjadi haknya.

وَإِنْ أَقَامَ فَعَلَى طَرِيقَةِ أَبِي إِسْحَاقَ يَجْعَلُ فِيمَا يَأْخُذُ بِهِ الْمَطْلُوبَ الْمَقْبُوضَ قَوْلَيْنِ:

Jika ia melanjutkan, maka menurut metode Abu Ishaq, dalam hal apa yang diambilnya, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَأْخُذُهُ بِكُلِّ الدَّنَانِيرِ.

Salah satunya: ia mengambilnya sebagai ganti seluruh dinar.

وَالثَّانِي: بِالْحِسَابِ وَالْقِسْطِ.

Yang kedua: sesuai perhitungan dan bagiannya.

وَعَلَى طَرِيقَةِ غَيْرِهِ يُجْعَلُ الْمَقْبُوضُ مَأْخُوذًا بحسابه وقسطه قولا واحدا.

Menurut metode selain Abu Ishaq, bagian yang telah diterima dianggap diambil sesuai perhitungan dan bagiannya menurut satu pendapat.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا صَالَحَهُ مِنْ مِائَةِ دِينَارٍ عَلَى نِصْفِهَا فَهَذَا حَطِيطَةٌ وَإِبْرَاءٌ يَجُوزُ أَنْ يُفَارِقَهُ فِيهَا قَبْلَ الْقَبْضِ.

Adapun jika seseorang berdamai dari seratus dinar dengan setengahnya, maka ini adalah pengurangan dan pembebasan (ibra’), sehingga boleh berpisah sebelum serah terima.

لِأَنَّ صِحَّةَ الْإِبْرَاءِ لَا تَكُونُ مَوْقُوفَةً عَلَى قَبْضِ مَا بَقِيَ.

Karena keabsahan ibra’ tidak tergantung pada serah terima sisa (pembayaran).

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَلَوْ صَالَحَهُ مِنَ الْمِائَةِ دِينَارٍ عَلَى ثَوْبٍ أَوْ عَبْدٍ فَفِي اسْتِحْقَاقِ قَبْضِهِ قَبْلَ الِافْتِرَاقِ وَجْهَانِ:

Jika seseorang berdamai dari seratus dinar dengan sehelai kain atau seorang budak, maka dalam hal kewajiban serah terima sebelum berpisah terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَسْتَحِقُّ وَيَجُوزُ الِافْتِرَاقُ فِيهِ قَبْلَ الْقَبْضِ. لِأَنَّهُ لَا رِبَا فِي بَيْعِ الدَّنَانِيرِ بِثَوْبٍ أَوْ عَبْدٍ.

Salah satu pendapat: Tidak berhak (menerima) dan boleh berpisah dalam akad itu sebelum penyerahan (barang), karena tidak ada riba dalam jual beli dinar dengan kain atau budak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَسْتَحِقُّ وَيَبْطُلُ الصُّلْحُ فِيهِ بِالتَّفَرُّقِ قَبْلَ الْقَبْضِ. لِأَنَّ تَأْخِيرَ الْقَبْضِ فِيهِ يَجْعَلُهُ بَيْعَ دَيْنٍ بدين.

Pendapat kedua: Berhak (menerima) dan akad sulh batal jika berpisah sebelum penyerahan (barang), karena penundaan penyerahan dalam hal ini menjadikannya sebagai jual beli utang dengan utang.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا أَقَرَّ أَحَدُ الْوَرَثَةِ فِي دَارٍ فِي أيديهم يحق لِرَجُلٍ ثُمَّ صَالَحَهُ مِنْهُ عَلَى شَيْءٍ بِعَيْنِهِ فَالصُّلْحُ جَائِزٌ وَالْوَارِثُ الْمُقِرُّ مُتَطَوِّعٌ لَا يَرْجِعُ عَلَى إِخْوَتِهِ بِشَيْءٍ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika salah satu ahli waris mengakui bahwa ada rumah di tangan mereka yang menjadi hak seseorang, lalu ia melakukan sulh dengannya atas sesuatu yang tertentu, maka sulh itu sah dan ahli waris yang mengakui tersebut adalah sukarela dan tidak boleh menuntut apa pun dari saudara-saudaranya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ مَاتَ وَتَرَكَ دَارًا عَلَى وَرَثَتِهِ فَادَّعَى رَجُلٌ أَنَّ الدَّارَ لَهُ وَأَنَّ الْمُتَوَفَّى كَانَ قَدْ أَخَذَهَا مِنْهُ إِمَّا بِغَصْبٍ أَوْ إِجَارَةٍ أَوْ عَارِيَةٍ فَصَدَّقَهُ أَحَدُ الْوَرَثَةِ عَلَى دَعْوَاهُ وَأَقَرَّ لَهُ بِالدَّارِ وَصَالَحَهُ مِنْهَا عَلَى مَالٍ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah seorang laki-laki meninggal dan meninggalkan sebuah rumah untuk para ahli warisnya, lalu ada seseorang yang mengklaim bahwa rumah itu miliknya dan bahwa si mayit telah mengambilnya darinya, baik dengan cara merampas, menyewa, atau meminjam. Kemudian salah satu ahli waris membenarkan klaimnya dan mengakui rumah itu untuknya, lalu melakukan sulh dengannya atas sejumlah harta. Maka kasus ini terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُصَالِحَهُ عَلَى قَدْرِ حِصَّتِهِ مِنَ الدَّارِ.

Pertama: Ia melakukan sulh atas bagian rumah sesuai dengan bagiannya.

وَالثَّانِي: أَنْ يُصَالِحَهُ عَلَى جَمِيعِ الدَّارِ عَنْ جَمِيعِ الْوَرَثَةِ.

Kedua: Ia melakukan sulh atas seluruh rumah atas nama seluruh ahli waris.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يُصَالِحَهُ عَنْ جَمِيعِ الدَّارِ لِنَفْسِهِ.

Ketiga: Ia melakukan sulh atas seluruh rumah untuk dirinya sendiri.

فَإِنْ صَالِحَهُ عَلَى قَدْرِ حِصَّتِهِ صَحَّ الصُّلْحُ فِيهَا وَكَانَ الْمُدَّعِي عَلَى مُطَالَبَتِهِ بَاقِي الْوَرَثَةِ وَلَمْ يَكُنْ لِبَاقِي الْوَرَثَةِ شُفْعَةٌ فِيمَا صَالَحَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُمْ بِإِنْكَارِ الدَّعْوَى مُعْتَرِفُونَ بِإِبْطَالِ الصُّلْحِ وَإِسْقَاطِ الشُّفْعَةِ، وَفِيهِ وَجْهٌ آخَرُ لِبَعْضِ أَصْحَابِنَا أَنَّ لَهُمُ الشُّفْعَةَ فِيمَا صَالَحَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ مُعْتَرِفٌ أَنَّهُ مَلَكَ ذَلِكَ بِالصُّلْحِ لَا بِالْإِرْثِ.

Jika ia melakukan sulh atas bagian sesuai bagiannya, maka sulh itu sah atas bagian tersebut, dan si pengklaim berhak menuntut sisa ahli waris, dan sisa ahli waris tidak memiliki hak syuf‘ah atas bagian yang telah disulhkan, karena dengan mengingkari klaim tersebut mereka mengakui pembatalan sulh dan menggugurkan hak syuf‘ah. Namun, ada pendapat lain dari sebagian ulama kami bahwa mereka tetap berhak atas syuf‘ah pada bagian yang telah disulhkan, karena ia mengakui bahwa ia memilikinya melalui sulh, bukan melalui warisan.

وَإِنْ صَالَحَهُ عَلَى جَمِيعِ الدَّارِ عَنْ جَمِيعِ الْوَرَثَةِ صَحَّ الصُّلْحُ إِنْ كَانَ بِإِذْنِهِمْ وَفِي حِصَّتِهِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ وَجْهَانِ مَضَيَا فِيمَنْ صَالَحَ عَنْ غَيْرِهِ.

Jika ia melakukan sulh atas seluruh rumah atas nama seluruh ahli waris, maka sulh itu sah jika dengan izin mereka, dan atas bagiannya sendiri tanpa izin mereka terdapat dua pendapat yang telah disebutkan pada kasus orang yang melakukan sulh atas nama selain dirinya.

أَحَدُهُمَا: يَصِحُّ أَيْضًا وَلَا يَرْجِعُ عَلَيْهِمْ بِشَيْءٍ.

Salah satunya: Sah juga dan ia tidak boleh menuntut apa pun dari mereka.

وَالثَّانِي: لَا يَصِحُّ فَعَلَى هَذَا يَبْطُلُ الصُّلْحُ فِي حِصَصِ بَاقِي الْوَرَثَةِ وَهَلْ يَبْطُلُ فِي حِصَّةِ الْمُصَالِحِ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ.

Yang kedua: Tidak sah, sehingga dalam hal ini sulh batal atas bagian sisa ahli waris. Adapun apakah batal juga atas bagian orang yang melakukan sulh, terdapat dua pendapat dalam masalah tafriq ash-shafqah (pemisahan akad).

وَإِنْ صَالَحَهُ عَنْ جَمِيعِ الدَّارِ لِنَفْسِهِ فَيَكُونُ فِي حُكْمِ مَنِ ابْتَاعَ دَارًا بَعْضُهَا فِي يَدِهِ وَبَعْضُهَا فِي يَدِ غَيْرِهِ. فَإِنْ أَقَرَّ بِأَنَّهُ قَادِرٌ عَلَى انْتِزَاعِ ذَلِكَ مِمَّنْ هُوَ فِي يَدِهِ صَحَّ الصُّلْحُ فِي الْجَمِيعِ. وَإِلَّا بَطَلَ الصُّلْحُ فِيمَا لَا يَقْدِرُ عَلَى انْتِزَاعِهِ. وَهَلْ يَبْطُلُ فِيمَا بيده على قولين.

Jika ia melakukan sulh atas seluruh rumah untuk dirinya sendiri, maka hukumnya seperti orang yang membeli rumah yang sebagian ada di tangannya dan sebagian lagi di tangan orang lain. Jika ia mengakui bahwa ia mampu mengambil bagian yang ada di tangan orang lain, maka sulh itu sah atas seluruhnya. Jika tidak, maka sulh batal atas bagian yang tidak mampu ia ambil. Adapun apakah batal juga atas bagian yang ada di tangannya, terdapat dua pendapat.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ ادَّعَى رَجُلٌ عَلَى رَجُلٍ بَيْتًا فِي يَدَيْهِ فَاصْطَلَحَا بَعْدَ الْإِقْرَارِ عَلَى أَنْ يَكُونَ لأحدهما سطحه والبناء على جدرانه بناء معلوم فَجَائِزٌ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) قُلْتُ أَنَا لَا يَجُوزُ أَقِيسُ عَلَى قَوْلِهِ فِي إِبْطَالِهِ أَنْ يُعْطَى رَجُلٌ مَالًا عَلَى أَنْ يَشْرَعَ فِي بِنَائِهِ حَقًّا فَكَذَلِكَ لَا يَجُوزُ الصُّلْحُ عَلَى أَنْ يَبْنِيَ عَلَى جُدْرَانِهِ بِنَاءً “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang mengklaim sebuah rumah yang ada di tangan orang lain, lalu setelah pengakuan mereka melakukan sulh bahwa salah satu dari mereka memiliki atapnya dan boleh membangun di atas dindingnya dengan bangunan tertentu, maka itu sah.” (Al-Muzani berkata:) Aku berkata, “Menurutku tidak sah, aku melakukan qiyās atas pendapatnya dalam membatalkan pemberian harta kepada seseorang agar ia membangun di atas miliknya sebagai hak, maka demikian pula tidak sah melakukan sulh agar ia membangun di atas dindingnya suatu bangunan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مُرَادِ الشَّافِعِيِّ بِمَسْطُورِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ.

Al-Mawardi berkata: Para ulama kami berbeda pendapat tentang maksud Imam Syafi‘i dalam masalah ini menjadi tiga mazhab.

أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهَا مُصَوَّرَةٌ فِي رَجُلٍ ادَّعَى بَيْتًا فِي يَد رَجُلٍ فَأَقَرَّ لَهُ صَاحِبُ الْيَدِ بِجَمِيعِ الْبَيْتِ. ثُمَّ إِنَّ الْمُقَرَّ لَهُ صالح المقر بِأَنْ وَهَبَ لَهُ عُلُوَّ الْبَيْتِ عَلَى أَنَّ لَهُ أَنْ يَبْنِيَ عَلَيْهِ بِنَاءً مَعْلُومًا فَهَذَا جَائِزٌ وَيَكُونُ صُلْحَ هِبَةٍ لَا صُلْحَ عَلَى مُعَاوَضَةٍ فَهَذَا قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ وَالْمَسْأَلَةُ تَقَدَّمَتْ مَعَ بَيَانِ آرَاءِ الْفُقَهَاءِ فِيهَا.

Pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa kasus ini adalah seseorang mengklaim sebuah rumah yang ada di tangan orang lain, lalu pemilik tangan mengakui seluruh rumah itu untuknya. Kemudian orang yang diakui haknya melakukan sulh dengan yang mengakui, yaitu dengan memberinya bagian atas rumah dengan syarat ia boleh membangun di atasnya bangunan tertentu. Maka ini sah dan merupakan sulh hibah, bukan sulh mu‘awadhah (pertukaran). Inilah pendapat Abu Ishaq, dan masalah ini telah dijelaskan beserta pendapat para fuqaha di dalamnya.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّهَا مُصَوَّرَةٌ فِي رَجُلٍ ادَّعَى بَيْتًا فِي يَدي رَجُلٍ فَأَقَرَّ لَهُ بِسُفْلِ الْبَيْتِ دُونَ عُلُوِّهِ. ثُمَّ صَالَحَهُ عَلَى السُّفْلِ الَّذِي أَقَرَّ لَهُ بِهِ بِالْعُلُوِّ الَّذِي لَمْ يُقِرَّ بِهِ لِيَبْنِيَ عَلَى الْعُلُوِّ بِنَاءً مَعْلُومًا.

Mazhab kedua: yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa kasus ini digambarkan pada seseorang yang mengklaim sebuah rumah yang berada di tangan orang lain, lalu orang tersebut mengakui kepemilikan bagian bawah rumah (sufl) kepadanya tanpa bagian atasnya (‘uluw). Kemudian ia melakukan akad shulh (perdamaian) dengannya atas bagian bawah yang telah diakui kepadanya dengan bagian atas yang belum diakui, agar ia dapat membangun di atas bagian atas tersebut sebuah bangunan tertentu.

[فهذا صلح جائز لأنه بيع سفل يعلو لِيَبْنِيَ عَلَيْهِ بِنَاءً مَعْلُومًا فَيَكُونُ صُلْحَ مُعَاوَضَةٍ] فَهَذَا قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ.

[Ini adalah shulh yang sah karena merupakan jual beli bagian bawah yang di atasnya akan dibangun bangunan tertentu, sehingga menjadi shulh mu‘āwaḍah (perdamaian dengan tukar-menukar)]. Inilah pendapat Abu ‘Ali.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قول أبي الطيب ابن سَلَمَةَ إِنَّهَا مُصَوَّرَةٌ فِيمَنِ ادَّعَى بَيْتًا فِي يَدَيْ رَجُلٍ فَاعْتَرَفَ لَهُ بِجَمِيعِهِ ثُمَّ إِنَّ الْمُقَرَّ لَهُ تَرَكَ لِلْمُقِرِّ سُفْلَ الْبَيْتِ تَرْكَ إِبْرَاءٍ لِيَبْنِيَ لِنَفْسِهِ عَلَى مَا بَقِيَ لَهُ مِنَ الْعُلُوِّ بِنَاءً مَعْلُومًا.

Mazhab ketiga: yaitu pendapat Abu Thayyib bin Salamah, bahwa kasus ini digambarkan pada seseorang yang mengklaim sebuah rumah yang berada di tangan orang lain, lalu orang tersebut mengakui seluruh rumah itu kepadanya. Kemudian orang yang diakui haknya itu melepaskan bagian bawah rumah (sufl) kepada orang yang mengakui, sebagai pelepasan hak (ibra’), agar ia dapat membangun untuk dirinya sendiri di atas sisa bagian atas rumah (uluw) sebuah bangunan tertentu.

فَهَذَا صُلْحٌ جَائِزٌ وَيَكُونُ صُلْحَ حَطِيطَةٍ وَإِبْرَاءٍ فَهَذَا قَوْلُ أَبِي الطَّيِّبِ.

Ini adalah shulh yang sah dan merupakan shulh haṭīṭah (perdamaian dengan pengurangan) dan ibra’ (pelepasan hak). Inilah pendapat Abu Thayyib.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ مَنَعَ جَوَازَ الصُّلْحِ عَلَى سَقْفِ بَيْتِهِ لِيَبْنِيَ عَلَيْهِ بِنَاءً مَعْلُومًا كَمَا لَا يَجُوزُ الصُّلْحُ عَلَى إِخْرَاجِ جَنَاحٍ وَإِنْ كَانَ مَعْلُومًا وَهَذَا خَطَأٌ.

Adapun al-Muzani, ia melarang bolehnya shulh atas atap rumah agar dibangun di atasnya sebuah bangunan tertentu, sebagaimana tidak boleh melakukan shulh atas pelepasan hak atas sayap rumah (bagian menjorok), meskipun sudah ditentukan ukurannya. Dan ini adalah kekeliruan.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا يَمْنَعُ مِنْ تَسَاوِي حُكْمِهِمَا وَذَلِكَ أَنَّ الصُّلْحَ عَلَى إِخْرَاجِ الْجَنَاحِ صُلْحٌ عَلَى الْهَوَاءِ الَّذِي لَا يَمْلِكُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَمْلِكَ بِهِ عِوَضًا.

Perbedaan antara keduanya mencegah penyamaan hukum keduanya, karena shulh atas pelepasan hak atas sayap rumah adalah shulh atas udara yang tidak dimiliki, sehingga tidak boleh dimiliki sebagai ganti (iwadh).

وَالصُّلْحُ عَلَى الْبِنَاءِ عَلَى السَّقْفِ صُلْحٌ عَلَى مَمْلُوكٍ فَجَازَ أَنْ يُمْلَكَ بِهِ عِوَضًا كَمَا لَوْ صَالَحَهُ عَلَى الْبِنَاءِ فِي قرار أرضه.

Sedangkan shulh atas pembangunan di atas atap adalah shulh atas sesuatu yang dimiliki, sehingga boleh dimiliki sebagai ganti, sebagaimana jika ia melakukan shulh atas pembangunan di dasar tanahnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ اشْتَرَى عُلُوَّ بَيْتٍ عَلَى أَنْ يَبْنِيَ عَلَى جُدْرَانِهِ وَيَسْكُنَ عَلَى سَطْحِهِ أَجَزْتُ ذَلِكَ إذا سمينا مُنْتَهَى الْبُنْيَانِ لِأَنَّهُ لَيْسَ كَالْأَرْضِ فِي احْتِمَالِ مَا يُبْنَى عَلَيْهَا (قَالَ الْمُزَنِيُّ) هَذَا عِنْدِي غَيْرُ مَنْعِهِ فِي كِتَابِ أَدَبِ الْقَاضِي أَنْ يَقْتَسِمَا دَارًا عَلَى أَنْ يَكُونَ لِأَحَدِهِمَا السُّفْلُ وَلِلْآخَرِ الْعُلُوُّ حَتَّى يَكُونَ السُّفْلُ وَالْعُلُوُّ لِوَاحِدٍ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang membeli bagian atas (uluw) sebuah rumah dengan syarat ia boleh membangun di atas dindingnya dan tinggal di atas atapnya, maka aku membolehkannya jika telah disebutkan batas akhir bangunannya, karena bagian atas rumah tidak seperti tanah dalam hal kemampuan menanggung beban bangunan di atasnya.” (Al-Muzani berkata:) “Menurutku, ini tidak bertentangan dengan apa yang disebutkan dalam Kitab Adab al-Qadhi, yaitu bahwa keduanya boleh membagi sebuah rumah dengan syarat salah satunya mendapatkan bagian bawah (sufl) dan yang lain bagian atas (uluw), hingga akhirnya bagian bawah dan atas menjadi milik satu orang.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. يَجُوزُ أَنْ يَشْتَرِيَ عُلُوَّ بَيْتٍ دُونَ سُفْلِهِ.

Al-Mawardi berkata: “Dan ini benar. Boleh membeli bagian atas (uluw) rumah tanpa bagian bawahnya (sufl).”

وَمَنَعَ أبو حنيفة مِنْ إِفْرَادِ الْعُلُوِّ بِالْعَقْدِ دُونَ السُّفْلِ لِأَنَّ الْعُلُوَّ تَبَعٌ يَجْرِي مَجْرَى الْمَرَافِقِ الَّتِي لَا يَجُوزُ إِفْرَادُهَا بِالْعَقْدِ.

Abu Hanifah melarang akad tersendiri atas bagian atas (uluw) tanpa bagian bawah (sufl), karena bagian atas adalah bagian yang mengikuti (tabi‘) yang kedudukannya seperti fasilitas-fasilitas (marafiq) yang tidak boleh diakadkan secara terpisah.

وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْعُلُوَّ عَيْنٌ مَمْلُوكَةٌ يَجُوزُ الِانْتِفَاعُ بِهَا فَجَازَ أَنْ يُفْرَدَ بِعَقْدِ الْبَيْعِ كَالسُّفْلِ.

Dan ini adalah kekeliruan, karena bagian atas (uluw) adalah benda yang dimiliki (‘ayn mamlukah) dan boleh dimanfaatkan, sehingga boleh diakadkan secara tersendiri sebagaimana bagian bawah (sufl).

وَلِأَنَّ الْبِنَاءَ تَبَعٌ لِلْعَرْصَةِ فِي الْبَيْعِ وَيَجُوزُ إِفْرَادُهَا بِالْعَقْدِ وَكَذَلِكَ الْعُلُوُّ وَهَذَا دَلِيلٌ وَانْفِصَالٌ.

Dan karena bangunan adalah bagian yang mengikuti tanah (‘arshah) dalam jual beli, dan boleh diakadkan secara terpisah, demikian pula bagian atas (uluw). Ini adalah dalil dan pemisahan (fasl).

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ بِيعِ الْعُلُوِّ مُنْفَرِدًا دُونَ السُّفْلِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُمَا إِذَا تَبَايَعَاهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika telah tetap bolehnya menjual bagian atas (uluw) secara terpisah tanpa bagian bawah (sufl), maka tidak lepas keadaan keduanya ketika melakukan jual beli dari tiga macam:

أَحَدُهَا: أَنْ يَشْتَرِطَا فِي الْعَقْدِ أَنْ يَبْنِيَ عَلَيْهِ.

Pertama: Keduanya mensyaratkan dalam akad agar boleh membangun di atasnya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَشْتَرِطَا فِيهِ أَنْ لَا يَبْنِيَ عَلَيْهِ.

Kedua: Keduanya mensyaratkan dalam akad agar tidak boleh membangun di atasnya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يُطْلِقَا الْعَقْدَ.

Ketiga: Keduanya membiarkan akad tanpa syarat (mutlak).

فَإِنِ اشْتَرَطَا أَنْ يَبْنِيَ عَلَيْهِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الشَّرْطِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika keduanya mensyaratkan agar boleh membangun di atasnya, maka keadaan syarat ini tidak lepas dari tiga macam:

أَحَدُهَا: أَنْ يَشْتَرِطَا عَلَيْهِ بِنَاءً مَعْلُومًا بِصِفَاتِهِ طُولًا وَعَرْضًا وَيَصِفَانِ آلَتَهُ آجُرٌّ وَجَصٌّ وَلَبِنٌ وَطِينٌ فَهَذَا بَيْعٌ جَائِزٌ وَشَرْطٌ لَازِمٌ.

Pertama: Keduanya mensyaratkan bangunan tertentu dengan sifat-sifatnya, panjang dan lebarnya, serta menyebutkan alat-alatnya seperti batu bata, kapur, batu bata tanah liat, dan tanah. Maka ini adalah jual beli yang sah dan syaratnya mengikat.

وَلَيْسَ لِلْمُشْتَرِي الزِّيَادَةُ عَلَيْهِ وَلَا لِلْبَائِعِ الْمَنْعُ مِنْهُ لِأَنَّهَا مَنْفَعَةٌ مَعْلُومَةٌ.

Pembeli tidak boleh menambah atas apa yang telah disepakati, dan penjual tidak boleh melarangnya, karena manfaatnya sudah jelas.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَشْتَرِطَا أَنْ يَبْنِيَ مَا شَاءَ فَهَذَا شَرْطٌ بَاطِلٌ لِلْجَهَالَةِ بِهِ وَبَيْعٌ بَاطِلٌ لِمَا تَضَمَّنَهُ مِنْ بُطْلَانِ الشَّرْطِ الْفَاسِدِ. وَخَالَفَ الْأَرْضَ إِذَا عَاوَضَهُ عَلَى الْبِنَاءِ فِيهَا. لِأَنَّ الْأَرْضَ تَحْتَمِلُ مَا يُبْنَى عَلَيْهَا فَلَمْ يَحْتَجْ إِلَى تَقْدِيرِهِ بِالشَّرْطِ. وَالْعُلُوُّ لَا يَحْتَمِلُ الْبِنَاءَ عَلَيْهِ إِلَّا إِلَى حَدٍّ مُقَدَّرٍ فَافْتَرَقَا.

Bagian kedua: Jika keduanya mensyaratkan agar ia membangun apa saja yang ia kehendaki, maka syarat ini batal karena ketidakjelasan padanya, dan jual belinya pun batal karena mengandung kebatalan syarat yang rusak. Hal ini berbeda dengan tanah jika ia melakukan akad tukar-menukar atas bangunan di atasnya, karena tanah dapat menanggung apa pun yang dibangun di atasnya sehingga tidak perlu ditentukan ukurannya dengan syarat. Adapun bagian atas (hak atas bangunan) tidak dapat menanggung pembangunan di atasnya kecuali sampai batas tertentu yang telah ditentukan, maka keduanya berbeda.

الْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَشْتَرِطَا الْبِنَاءَ وَلَا يَشْتَرِطَا قَدْرَهُ وَلَا وَصَفَا طُولَهُ وَعَرْضَهُ بَلْ يَكُونُ الشَّرْطُ مُطْلَقًا فَفِي الشَّرْطِ وَجْهَانِ:

Bagian ketiga: Jika keduanya mensyaratkan adanya bangunan namun tidak mensyaratkan ukurannya dan tidak pula menyebutkan panjang dan lebarnya, melainkan syaratnya bersifat mutlak, maka dalam syarat ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَازِمٌ وَيَبْنِي عَلَيْهِ مَا احْتَمَلَهُ لِأَنَّهُ قَدْ يَتَقَدَّرُ عِنْدَ أَهْلِ الْخِبْرَةِ بِالْمُعْتَادِ الْمَأْلُوفِ فَلَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى تَقْدِيرِهِ بِالشَّرْطِ.

Salah satunya: Syarat itu mengikat dan ia boleh membangun di atasnya sesuai yang dapat ditanggung, karena bisa jadi hal itu dapat ditentukan menurut kebiasaan yang dikenal oleh para ahli di bidangnya, sehingga tidak perlu ditentukan dengan syarat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الشَّرْطَ بَاطِلٌ لِأَنَّ الْعَادَاتِ فِيهِ مُخْتَلِفَةٌ وَأَهْلُ الْخِبْرَةِ لَا يَتَّفِقُونَ فِيهِ وَلِأَنَّهُ مَجْهُولٌ عِنْدَ الْمُتَعَاقِدَيْنِ فِي الْحَالِ وَهَذَا أَصَحُّ الْوَجْهَيْنِ.

Pendapat kedua: Syarat tersebut batal karena kebiasaan dalam hal ini berbeda-beda dan para ahli tidak sepakat mengenainya, serta karena hal itu tidak diketahui oleh kedua pihak yang berakad pada saat itu, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat di antara keduanya.

فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْبَيْعُ بَاطِلًا. لِفَسَادِ مَا ضُمِّنَ مِنَ الشَّرْطِ فَهَذَا الْكَلَامُ فِيهِ إِذَا تَبَايَعَاهُ بِشَرْطِ الْبِنَاءِ عَلَيْهِ.

Berdasarkan hal ini, jual beli menjadi batal karena rusaknya syarat yang terkandung di dalamnya. Inilah pembahasan mengenai jual beli dengan syarat membangun di atasnya.

فَأَمَّا إِذَا تَبَايَعَاهُ بِشَرْطِ أَنْ لَا يَبْنِيَ عَلَيْهِ فَالْبَيْعُ جَائِزٌ وَلَيْسَ لَهُ الْبِنَاءُ عَلَيْهِ وَلَهُ أَنْ يَسْكُنَ فِيهِ وَيَرْتَفِقَ بِهِ كَيْفَ شَاءَ بَعْدَ أَنْ لَا يَبْنِيَ.

Adapun jika keduanya berjual beli dengan syarat tidak membangun di atasnya, maka jual beli sah dan ia tidak berhak membangun di atasnya, namun ia boleh menempatinya dan memanfaatkannya sesuai keinginannya selama tidak membangun.

فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ صَحَّ هَذَا الْعَقْدُ وَقَدْ تَضَمَّنَهُ شَرْطٌ أَوْقَعَ عَلَيْهِ حَجْرًا فِي مِلْكِهِ فَصَارَ كَمَا لَوْ بَاعَهُ أَرْضًا عَلَى أَنْ لَا يَبْنِيَ فِيهَا.

Jika dikatakan: Mengapa akad ini sah padahal mengandung syarat yang membatasi kepemilikannya, sehingga menjadi seperti menjual tanah dengan syarat tidak membangun di atasnya?

قِيلَ الشَّرْطُ لَمْ يَتَضَمَّنْ حَجْرًا فِيمَا مَلَكَهُ بِالْعَقْدِ. وَإِنَّمَا تَضَمَّنَ الْمَنْعَ مِنْ إِحْدَاثِ مَا لَيْسَ عَلَى مِلْكِهِ فِي الْحَالِ.

Dijawab: Syarat tersebut tidak mengandung pembatasan terhadap apa yang dimilikinya melalui akad, melainkan hanya berisi larangan untuk membuat sesuatu yang bukan merupakan hak miliknya saat ini.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْعُلُوِّ حَيْثُ جَازَ بَيْعُهُ بِشَرْطِ أَنْ لَا يَبْنِيَ عَلَيْهِ وَبَيْنَ الْأَرْضِ حَيْثُ لَمْ يَجُزْ بَيْعُهَا بِشَرْطِ أَنْ لَا يَبْنِيَ فِيهَا أَنَّ الْأَرْضَ الْمَبِيعَةَ لَمْ يَبْقَ لِلْبَائِعِ فِيهَا حَقٌّ. وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ بِالْبُنْيَانِ فِيهَا ضَرَرٌ فَبَطَلَ الْعَقْدُ فِيهَا بِاشْتِرَاطِ مَا لَا يَتَعَلَّقُ بِحَقِّهِ. وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْعُلُوُّ لِأَنَّهُ مُتَّصِلٌ بِمِلْكِ الْبَائِعِ وَفِي الْبِنَاءِ عَلَيْهِ إِضْرَارٌ بِهِ فَصَارَ الشَّرْطُ فِيهِ مُتَعَلِّقًا بِحَقِّهِ فَافْتَرَقَا.

Perbedaan antara bagian atas (hak atas bangunan) yang boleh dijual dengan syarat tidak membangun di atasnya dan tanah yang tidak boleh dijual dengan syarat tidak membangun di atasnya adalah bahwa pada tanah yang dijual, penjual tidak lagi memiliki hak atasnya dan pembangunan di atasnya tidak menimbulkan kerugian baginya, sehingga akad batal jika mensyaratkan sesuatu yang tidak berkaitan dengan haknya. Tidak demikian halnya dengan bagian atas, karena ia masih terhubung dengan kepemilikan penjual dan pembangunan di atasnya dapat merugikannya, sehingga syarat tersebut berkaitan dengan haknya, maka keduanya berbeda.

فَهَذَا الْكَلَامُ فِيهِ إذا شرط أَنْ لَا يَبْنِيَ عَلَيْهِ.

Inilah pembahasan mengenai syarat tidak membangun di atasnya.

فَأَمَّا إِذَا تَبَايَعَاهُ مُطْلَقًا بِغَيْرِ شَرْطٍ فَهَلْ لِلْمُشْتَرِي أَنْ يَبْنِيَ عَلَيْهِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ: –

Adapun jika keduanya berjual beli secara mutlak tanpa syarat, apakah pembeli boleh membangun di atasnya atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَبْنِي عَلَيْهِ مَا احْتَمَلَهُ. لِأَنَّهَا مَنْفَعَةٌ مِنْ مَنَافِعِ مِلْكِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْجَرَ عَلَيْهِ فِيهَا.

Salah satunya: Ia boleh membangun di atasnya sesuai yang dapat ditanggung, karena itu merupakan salah satu manfaat dari kepemilikannya, sehingga tidak boleh dibatasi baginya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ لَيْسَ لَهُ الْبِنَاءُ لِمَا فِيهِ مِنَ الْإِضْرَارِ بِالسُّفْلِ وَتَكُونُ مَنْفَعَتُهُ مَقْصُورَةً عَلَى السُّكْنَى وَالِارْتِفَاقِ بِمَا تَضَمَّنَهُ الْعَقْدُ مِنْ غَيْرِ إِحْدَاثِ زِيَادَةٍ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih kuat: Ia tidak boleh membangun di atasnya karena hal itu dapat merugikan bagian bawah, sehingga manfaatnya terbatas pada menempati dan memanfaatkannya sesuai yang terkandung dalam akad tanpa menambah sesuatu yang baru.

فَأَمَّا الْبَيْعُ فَعَلَى الْوَجْهَيْنِ مَعًا لَازِمٌ وَإِنَّمَا الْوَجْهَانِ فِي جَوَازِ الْبِنَاءِ.

Adapun jual belinya, menurut kedua pendapat tetap sah, hanya saja perbedaan pendapat terdapat pada kebolehan membangun di atasnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ يَذْهَبُ إِلَى إِبْطَالِ بَيْعِ الْعُلُوِّ مُفْرَدًا عَنِ السُّفْلِ كَقَوْلِ أبي حنيفة.

Adapun al-Muzani berpendapat bahwa jual beli bagian atas (hak atas bangunan) secara terpisah dari bagian bawahnya adalah batal, sebagaimana pendapat Abu Hanifah.

وَتَعَلُّقًا بِمَا ذَكَرَهُ مِنَ الصُّلْحِ عَلَى إِشْرَاعِ الْجَنَاحِ الَّذِي قَدْ مَضَى الِانْفِصَالُ عَنْهُ.

Hal ini berkaitan dengan apa yang disebutkan mengenai perdamaian atas penjuluran sayap (bangunan) yang telah dijelaskan sebelumnya.

ثُمَّ لِمَا حَكَاهُ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي كِتَابِ أَدَبِ الْقَاضِي أَنَّهُ مَنَعَ مِنْ قِسْمَةِ دَارٍ عَلَى أَنْ يَكُونَ لِأَحَدِهِمَا سُفْلُهَا وَلِلْآخَرِ عُلُوُّهَا.

Kemudian, sebagaimana yang diriwayatkan dari asy-Syafi‘i dalam kitab Adab al-Qadhi, bahwa beliau melarang pembagian rumah dengan cara salah satu mendapatkan bagian bawah dan yang lain mendapatkan bagian atasnya.

فَجَعَلَ هَذَا مِنْ قَوْلِهِ دَلِيلًا عَلَى أَنَّ الْعُلُوَّ لَا يَجُوزُ إِفْرَادُهُ بِالْعَقْدِ وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ الْمُزَنِيُّ غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ إِنَّمَا مَنَعَ مِنْ قِسْمَةِ الدَّارِ أَنْ يَكُونَ عُلُوُّهَا لِأَحَدِ الشَّرِيكَيْنِ وَسُفْلُهَا لِلْآخَرِ إِجْبَارًا أَوْ كُرْهًا.

Lalu ia menjadikan hal ini dari ucapannya sebagai dalil bahwa bagian atas (al-‘uluw) tidak boleh diakadkan secara tersendiri. Namun, apa yang dikatakan oleh al-Muzani ini tidaklah benar, karena Imam al-Syafi‘i hanya melarang pembagian rumah dengan cara bagian atasnya untuk salah satu dari dua orang yang berserikat dan bagian bawahnya untuk yang lain secara paksaan atau tanpa kerelaan.

لِأَنَّ قِسْمَةَ الْإِجْبَارِ تُوجِبُ تَعْدِيلَ الْمِلْكِ بَيْنَ الشَّرِيكَيْنِ لِيَكُونَ شَطْرُ الدَّارِ عُلُوًّا وَسُفْلًا لِأَحَدِهِمَا وَشَطْرًا لِلْآخَرِ بِقَدْرِ السِّهَامِ فِي الْمِلْكِ.

Karena pembagian secara paksa (qismah al-ijbār) mengharuskan adanya penyeimbangan kepemilikan antara dua orang yang berserikat, sehingga setengah rumah, baik bagian atas maupun bawah, menjadi milik salah satu dari mereka, dan setengahnya lagi menjadi milik yang lain, sesuai dengan bagian kepemilikan mereka.

فَأَمَّا إِذَا تَرَاضَيَا الشَّرِيكَانِ بِقِسْمَةِ الدَّارِ عَلَى أَنْ يَكُونَ سُفْلُهَا لِأَحَدِهِمَا وَعُلُوُّهَا لِلْآخَرِ جَازَ.

Adapun jika kedua orang yang berserikat itu saling rela untuk membagi rumah dengan ketentuan bahwa bagian bawahnya untuk salah satu dari mereka dan bagian atasnya untuk yang lain, maka hal itu diperbolehkan.

وَالصُّلْحُ إِنَّمَا هُوَ عَقْدُ مُرَاضَاةٍ لَا يَصِحُّ مَعَ الْإِجْبَارِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُعْتَبَرَ فيه قسمة الإجبار.

Dan sulh (perdamaian) itu pada dasarnya adalah akad yang didasarkan pada kerelaan, tidak sah jika dilakukan dengan paksaan, sehingga tidak boleh dianggap sebagai qismah al-ijbār (pembagian secara paksa).

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَتْ مَنَازِلُ سُفْلٍ فِي يَدَيْ رَجُلٍ وَالْعُلُوُّ فِي يَدَيْ آخَرَ فَتَدَاعَيَا الْعَرْصَةَ فَهِيَ بَيْنَهُمَا “.

Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Jika bagian bawah rumah (manāzil sufli) berada di tangan seseorang dan bagian atasnya (al-‘uluw) di tangan orang lain, lalu keduanya saling mengklaim tanah (arsah) rumah itu, maka tanah tersebut menjadi milik bersama di antara mereka berdua.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.

وَصُورَتُهَا أَنْ يَكُونَ عُلُوُّهَا لِرَجُلٍ وَسُفْلُهَا لِغَيْرِهِ وَاخْتَلَفَا فِي عَرْصَةِ الدَّارِ فَادَّعَاهَا صَاحِبُ السُّفْلِ وَقَالَ هِيَ لِي وَادَّعَاهَا صَاحِبُ الْعُلُوِّ وَقَالَ هِيَ لِي، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْعَرْصَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Gambaran kasusnya adalah: bagian atas rumah dimiliki oleh seseorang dan bagian bawahnya dimiliki oleh orang lain, lalu mereka berselisih mengenai tanah rumah tersebut. Pemilik bagian bawah mengklaim, “Ini milikku,” dan pemilik bagian atas juga mengklaim, “Ini milikku.” Maka, keadaan tanah tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَلَيْهَا مَمَرٌّ لِصَاحِبِ الْعُلُوِّ أَوْ لَيْسَ لَهُ عَلَيْهَا مَمَرٌّ.

Yaitu, apakah di atas tanah itu terdapat jalan bagi pemilik bagian atas atau tidak ada jalan baginya.

فَإِنْ كَانَ عَلَيْهَا لِصَاحِبِ الْعُلُوِّ مَمَرٌّ وَاسْتِطْرَاقٌ لِأَنَّهُ يَصْعَدُ إِلَى عُلُوِّهِ بَعْدَ اجْتِيَازِهِ فِيهَا فَهِيَ بَيْنَهُمَا بَعْدَ أَنْ يَتَحَالَفَا عَلَيْهَا. لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُتَصَرِّفٌ فِيهَا فَصَارَتْ بِأَيْدِيهِمَا فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ بَيْنَهُمَا.

Jika di atas tanah itu terdapat jalan dan akses bagi pemilik bagian atas, karena ia naik ke bagian atasnya setelah melewati tanah tersebut, maka tanah itu menjadi milik bersama di antara mereka berdua setelah keduanya saling bersumpah atasnya. Karena masing-masing dari mereka berdua menggunakan tanah itu, maka tanah itu berada dalam kekuasaan mereka berdua, sehingga wajib menjadi milik bersama di antara mereka.

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا لِصَاحِبِ الْعُلُوِّ مَمَرٌّ وَلَا لَهُ فِيهَا اسْتِطْرَاقٌ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Namun, jika di atas tanah itu tidak terdapat jalan bagi pemilik bagian atas dan tidak ada akses baginya, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ محولة عن ممره وموضع استطراقه بِبَابٍ أَوْ بِنَاءٍ كَدَوَاخِلِ الْبُيُوتِ فَيَكُونَ ذَلِكَ لِصَاحِبِ السُّفْلِ لَا يَخْتَلِفُ لِأَنَّهُ قَدْ تَفَرَّدَ بِالتَّصَرُّفِ فِيهِ فَصَارَ مُنْفَرِدًا بِالْيَدِ عَلَيْهِ.

Pertama: Tanah itu terpisah dari jalan dan tempat aksesnya dengan pintu atau bangunan, seperti bagian dalam rumah, maka itu menjadi milik pemilik bagian bawah tanpa ada perbedaan, karena ia sendiri yang berhak mengelola dan menguasainya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُتَّصِلًا بِمَمَرِّهِ وَمَوْضِعِ اسْتِطْرَاقِهِ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ دُونَهُ مِثْلَ أَنْ يَكُونَ مَمَرُّهُ فِي بَعْضِ الصَّحْنِ وَبَاقِيهِ مُتَّصِلٌ بِهِ وَلَيْسَ لِصَاحِبِ الْعُلُوِّ اسْتِطْرَاقٌ فِيهِ. فَالْقَدْرُ الَّذِي يَسْتَحِقُّ فِيهِ مَمَرًّا أَوِ اسْتِطْرَاقًا يَكُونُ بَيْنَهُمَا نِصْفَانِ وَمَا وَرَاءَهُ مِمَّا لَا حَقَّ لَهُ فِي اسْتِطْرَاقِهِ وَلَا حَائِلَ دُونَهُ فِيهِ وَجْهَانِ: –

Kedua: Tanah itu terhubung dengan jalannya dan tempat aksesnya tanpa ada penghalang, seperti jalannya berada di sebagian halaman dan sisanya terhubung dengannya, namun pemilik bagian atas tidak memiliki akses di dalamnya. Maka, bagian yang berhak ia lalui atau akses, menjadi milik bersama di antara mereka berdua, sedangkan sisanya yang tidak berhak ia lalui dan tidak ada penghalang di dalamnya, terdapat dua pendapat:

أَصَحُّهُمَا: يَكُونُ لِصَاحِبِ السُّفْلِ لِتَفَرُّدِهِ بِالْيَدِ عَلَيْهِ.

Yang paling sahih: menjadi milik pemilik bagian bawah karena ia sendiri yang menguasainya.

وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ أَصْحَابِنَا الْمُتَأَخِّرِينَ إِنَّهُ يَكُونُ بَيْنَهُمَا. لِاتِّصَالِهِ بِمَا هَذَا حُكْمُهُ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat sebagian ulama kami dari kalangan muta’akhkhirīn, bahwa itu menjadi milik bersama di antara mereka berdua, karena terhubung dengan bagian yang hukumnya demikian.

وَمِنْ هذين الوجهين مضى تخريج الوجهين في عرضة الزقاق المرفوع.

Dari dua sisi inilah, ditetapkan pula dua pendapat dalam masalah tanah gang yang ditinggikan.

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَوْ كَانَ فِيهَا دَرَجٌ إِلَى عُلُوِّهَا فَهِيَ لِصَاحِبِ الْعُلُوِّ كَانَتْ مَعْقُودَةً أَوْ غَيْرَ مَعْقُودَةٍ لِأَنَّهَا تُتَّخَذُ مَمَرًّا وَإِنِ انْتُفِعَ بِمَا تَحْتَهَا “.

Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika di dalamnya terdapat tangga menuju bagian atasnya, maka itu menjadi milik pemilik bagian atas, baik tangga itu diakadkan secara tersendiri maupun tidak, karena tangga itu dijadikan sebagai jalan, meskipun bagian bawahnya dimanfaatkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. إِذَا اخْتَلَفَ صَاحِبُ السُّفْلِ وَصَاحِبُ الْعُلُوِّ فِي دَرَجَةٍ فَادَّعَاهَا كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Jika terjadi perselisihan antara pemilik bagian bawah dan pemilik bagian atas mengenai sebuah tangga, lalu masing-masing mengklaimnya, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ تَحْتَهَا مِرْفَقٌ لِصَاحِبِ السُّفْلِ أَمْ لَا.

Yaitu, apakah di bawah tangga itu terdapat fasilitas (mirsaf) untuk pemilik bagian bawah atau tidak.

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ تَحْتَهَا مِرْفَق لِصَاحِبِ السُّفْلِ بَلْ كَانَتْ صَمَّاءَ فَهِيَ لِصَاحِبِ الْعُلُوِّ لِأَنَّهَا لَا تُتَّخَذُ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ إِلَّا مَمَرًّا فَصَارَ صَاحِبُ الْعُلُوِّ أَحَقَّ بِهَا بِالتَّصَرُّفِ فِيهَا وَالْيَدِ عَلَيْهَا. فَكَانَ أَحَقَّ بِهَا وَسَوَاءٌ كَانَتْ مِنْ خَشَبٍ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ. وَإِنْ كَانَ تَحْتَهَا مِرْفَقٌ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika di bawahnya tidak terdapat tempat manfaat (mirfaq) bagi pemilik bagian bawah, melainkan berupa lantai yang tertutup rapat, maka lantai itu menjadi milik pemilik bagian atas. Sebab, lantai tersebut tidak dibuat dengan tujuan lain kecuali sebagai jalan lewat, sehingga pemilik bagian atas lebih berhak untuk memanfaatkannya dan menguasainya. Maka, ia lebih berhak atasnya, baik lantai itu terbuat dari kayu maupun dari bahan lain. Namun, jika di bawahnya terdapat tempat manfaat (mirfaq), maka keadaannya terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِرْفَقًا كَامِلًا كَبَيْتٍ أَوْ خِزَانَةٍ تَصْلُحُ لِلسُّكْنَى أَوْ إِحْرَازِ الْقِيَاسِ فَتَكُونُ الدَّرَجَةُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ. كَالسَّقْفِ لِأَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِيهَا تَصَرُّفًا وَلَهُ عَلَيْهَا يَدًا فَصَارَا فِيهَا سَوَاءً.

Pertama: Tempat manfaat itu berupa ruangan yang sempurna seperti kamar atau lemari yang layak untuk dihuni atau digunakan untuk menyimpan barang, maka tangga di antara keduanya menjadi milik bersama, masing-masing setengah. Seperti halnya atap, karena masing-masing dari keduanya memiliki hak memanfaatkan dan menguasai atap tersebut, sehingga keduanya sama-sama berhak atasnya.

إِلَّا أَنَّ صَاحِبَ السُّفْلِ مُخْتَصٌّ بِالتَّصَرُّفِ فِي سُفْلِهَا وَالِارْتِفَاقِ بِهِ وَلَيْسَ لَهُ الصُّعُودُ عَلَيْهَا.

Hanya saja, pemilik bagian bawah memiliki kekhususan dalam memanfaatkan bagian bawahnya dan mengambil manfaat darinya, namun ia tidak berhak naik ke atasnya.

وَصَاحِبُ الْعُلُوِّ مُخْتَصٌّ بِالصُّعُودِ عَلَيْهَا وَلَيْسَ لَهُ التَّصَرُّفُ فِيمَا تَحْتَهَا. كَالسَّقْفِ الْمَجْعُولِ بَيْنَ صَاحِبِ الْعُلُوِّ وَالسُّفْلِ لَيْسَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيهِ إِلَّا بِمَا هُوَ مُخْتَصٌّ بِهِ.

Sedangkan pemilik bagian atas memiliki kekhususan untuk naik ke atasnya, namun tidak berhak memanfaatkan bagian bawahnya. Seperti atap yang dibuat di antara pemilik bagian atas dan bawah, masing-masing dari keduanya tidak boleh memanfaatkannya kecuali sesuai dengan hak khusus yang dimilikinya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْمِرْفَقُ نَاقِصًا مِثْلَ أَنْ يَكُونَ تَحْتَهَا رَفٌّ أَوْ مَوْضِعُ جُبٍّ أَوْ مَا جَرَى مَجْرَاهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ بَيْتًا كَامِلًا فَفِيهَا وَجْهَانِ:

Bagian kedua: Jika tempat manfaat itu tidak sempurna, seperti di bawahnya hanya terdapat rak, tempat sumur, atau yang semisalnya dan bukan berupa ruangan yang sempurna, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تَكُونُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ كَالْبَيْتِ لِارْتِفَاقِهِمَا بِهَا وَهَذَا قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ.

Pertama: Bahwa tangga tersebut menjadi milik bersama, masing-masing setengah, seperti halnya ruangan, karena keduanya sama-sama mengambil manfaat darinya. Ini adalah pendapat Abu Ishaq dan Abu Ali bin Abi Hurairah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا لِصَاحِبِ الْعُلُوِّ لِأَنَّ تَصَرُّفَهُ فِيهَا أَكْمَلُ وَيَدَهُ عَلَيْهَا أقوى وهذا قول أبي حامد.

Pendapat kedua: Bahwa tangga tersebut menjadi milik pemilik bagian atas, karena pemanfaatannya terhadap tangga itu lebih sempurna dan penguasaannya lebih kuat. Ini adalah pendapat Abu Hamid.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ ادَّعَى عَلَى رَجُلٍ زَرْعًا فِي أَرْضٍ فَصَالَحَهُ مِنْ ذَلِكَ عَلَى دَرَاهِمَ فَجَائِزٌ لِأَنَّ لَهُ أَنْ يَبِيعَ زَرْعَهُ أَخْضَرَ مِمَّنْ يَقْصِلُهُ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang mengklaim tanaman di atas sebidang tanah milik orang lain, lalu ia berdamai dengan orang tersebut dengan memberikan sejumlah dirham, maka hal itu boleh, karena ia boleh menjual tanamannya yang masih hijau kepada orang yang akan memanennya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ بِيَدِهِ زَرْعٌ فِي أَرْضٍ ادَّعَاهُ مُدَّعٍ فَأَقَرَّ لَهُ بِهِ وَصَالَحَهُ عَلَيْهِ بِمَالٍ بَذَلَهُ لَهُ فَلَا يَخْلُو حَالُ الزَّرْعِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Adapun gambaran masalah ini adalah seseorang yang memiliki tanaman di atas sebidang tanah, lalu ada orang lain yang mengklaimnya, kemudian ia mengakui klaim tersebut dan berdamai dengan memberikan sejumlah harta. Maka, keadaan tanaman tersebut tidak lepas dari tiga kategori:

أَحَدُها: أَنْ يَكُونَ مِمَّا يَجُوزُ بَيْعُهُ بِكُلِّ حَالٍ.

Pertama: Tanaman yang boleh dijual dalam segala keadaan.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مِمَّا لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ بِحَالٍ.

Kedua: Tanaman yang tidak boleh dijual dalam keadaan apa pun.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ مِمَّا يَجُوزُ بَيْعُهُ بِشَرْطِ الْقَطْعِ وَلَا يَجُوزُ عَلَى الْإِطْلَاقِ.

Ketiga: Tanaman yang boleh dijual dengan syarat harus dipotong, dan tidak boleh dijual secara mutlak.

فَإِنْ كَانَ مِمَّا يَجُوزُ بَيْعُهُ بِكُلِّ حَالٍ كَالزَّرْعِ إِذَا اشْتَدَّ وَكَانَ بَارِزَ الْحَبِّ كَالشَّعِيرِ فَيَجُوزُ الصُّلْحُ عَلَيْهِ بِالدَّرَاهِمِ وَغَيْرِهَا مُطْلَقًا وَبِشَرْطِ الْقَطْعِ كَمَا يَجُوزُ فِي الْبَيْعِ. وَإِنْ كَانَ مِمَّا لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ مُفْرَدًا بِحَالٍ كَالْبَذْرِ قَبْلَ نَبَاتِهِ وَمَا اشْتَدَّ مِنَ الزَّرْعِ إِذَا كَانَ مَسْتُورًا فِي أَكْمَامِهِ كَالْحِنْطَةِ عَلَى أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ فَالصُّلْحُ بَاطِلٌ كَمَا أَنَّ بَيْعَهُ بَاطِلٌ.

Jika tanaman tersebut termasuk yang boleh dijual dalam segala keadaan, seperti tanaman yang sudah mengeras dan bijinya sudah tampak seperti jelai, maka boleh melakukan perdamaian atasnya dengan dirham atau selainnya secara mutlak, dan juga dengan syarat dipotong, sebagaimana diperbolehkan dalam jual beli. Namun, jika tanaman tersebut termasuk yang tidak boleh dijual secara terpisah dalam keadaan apa pun, seperti benih sebelum tumbuh atau tanaman yang sudah mengeras namun masih tertutup dalam kelopaknya seperti gandum—menurut pendapat yang lebih kuat—maka perdamaian atasnya batal, sebagaimana jual belinya juga batal.

وَإِنْ كَانَ مِمَّا يَجُوزُ بَيْعُهُ بِشَرْطِ الْقَطْعِ فَإِنْ صَالَحَ عَلَيْهِ بِشَرْطِ الْقَطْعِ صَحَّ الصُّلْحُ. وَإِنْ صَالَحَ عَلَيْهِ مُطْلَقًا لَمْ يَخْلُ حَالُ الْأَرْضِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika tanaman tersebut termasuk yang boleh dijual dengan syarat dipotong, maka jika perdamaian dilakukan dengan syarat dipotong, maka perdamaian itu sah. Namun, jika perdamaian dilakukan secara mutlak, maka keadaan tanahnya tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ تَكُونَ لِلْمُصَالِحِ بَاذِلِ الْمَالِ أَوْ لَا تَكُونَ.

Bisa jadi tanah itu milik pihak yang memberikan harta dalam perdamaian, atau bukan miliknya.

فَإِنْ لَمْ تَكُنِ الْأَرْضُ لَهُ بَطَلَ صُلْحُهُ عَلَى الزَّرْعِ بِغَيْرِ شَرْطِ الْقَطْعِ كَمَا يَبْطُلُ بَيْعُهُ بِغَيْرِ اشْتِرَاطِ الْقَطْعِ. وَإِنْ كَانَتِ الْأَرْضُ لَهُ فَفِي صُلْحِهِ وَجْهَانِ: –

Jika tanah itu bukan miliknya, maka perdamaian atas tanaman tanpa syarat dipotong batal, sebagaimana batal pula jual belinya tanpa syarat dipotong. Namun, jika tanah itu miliknya, maka dalam perdamaian tersebut terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَجُوزُ لِأَنَّهُ يَصِيرُ تَبَعًا لِلْأَرْضِ فَصَارَ كَمُشْتَرِي الزَّرْعِ مَعَ الْأَرْضِ.

Pertama: Boleh, karena tanaman itu menjadi pengikut tanah, sehingga seperti membeli tanaman beserta tanahnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ بَاطِلٌ حَتَّى يُشْتَرَطَ فِيهِ الْقَطْعُ لِأَنَّ عَقْدَ الصُّلْحِ قَدِ انْفَرَدَ بِالزَّرْعِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُجْعَلَ تَبَعًا لِمَا لَمْ يَدْخُلِ فِيهِ مِنَ الْأَرْضِ.

Pendapat kedua: Tidak sah, kecuali dengan syarat dipotong, karena akad perdamaian hanya terkait dengan tanaman saja, sehingga tidak boleh dijadikan sebagai pengikut sesuatu yang tidak termasuk dalam akad, yaitu tanah.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَ الزَّرْعُ بَيْنَ رَجُلَيْنِ فَصَالَحَهُ أَحَدُهُمَا عَلَى نِصْفِ الزَّرْعِ لَمْ يَجُزْ مِنْ قِبَلِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُقَسَّمَ الزَّرْعُ أَخْضَرَ وَلَا يُجْبَرُ شَرِيكُهُ عَلَى أَنْ يَقْلَعَ مِنْهُ شَيْئًا “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika tanaman berada di antara dua orang, lalu salah satu dari keduanya melakukan islah (perdamaian) dengan pihak lain atas setengah dari tanaman tersebut, maka itu tidak sah. Sebab, tidak boleh membagi tanaman yang masih hijau dan tidak boleh memaksa sekutunya untuk mencabut sebagian darinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. وَإِذَا كَانَ الزَّرْعُ فِي يَدَيْ رَجُلَيْنِ فَادَّعَاهُ رَجُلٌ فَصَدَّقَهُ أَحَدُهُمَا دُونَ الْآخَرِ وَصَالَحَهُ الْمُصَدِّقُ عَلَى نِصْفِهِ بِمَالٍ فَإِنْ كَانَ الزَّرْعُ مِمَّا يَصِحُّ الصُّلْحُ عَلَيْهِ بِغَيْرِ اشْتِرَاطِ الْقَطْعِ. كَسُنْبُلِ الشَّعِيرِ وَمَا بَرَزَ مِنَ الْحُبُوبِ الْمُشْتَدَّةِ جَازَ الصُّلْحُ.

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan. Jika tanaman berada di tangan dua orang, lalu ada seseorang yang mengakuinya, kemudian salah satu dari keduanya membenarkannya tanpa yang lain, dan yang membenarkan itu melakukan islah dengannya atas setengah dari tanaman tersebut dengan imbalan harta, maka jika tanaman itu termasuk yang sah dilakukan islah atasnya tanpa syarat pencabutan—seperti bulir jelai dan biji-bijian yang telah mengeras dan tampak—maka islah itu sah.

وَإِنْ كَانَ مِمَّا يَلْزَمُ اشْتِرَاطُ الْقَطْعِ فِيهِ كَالزَّرْعِ الَّذِي هُوَ بَقْلٌ لَمْ يَشْتَدَّ نُظِرَ.

Namun jika tanaman itu termasuk yang harus disyaratkan pencabutan, seperti tanaman yang masih berupa sayuran dan belum mengeras, maka perlu diteliti lebih lanjut.

فَإِنْ لَمْ تَكُنِ الْأَرْضُ لِلْمُقِرِّ الْمُصَالِحِ فَهَذَا الصُّلْحُ بَاطِلٌ لِأَنَّ اشْتِرَاطَ الْقَطْعِ فِي نِصْفِ الزَّرْعِ مُشَاعًا غَيْرُ مُمْكِنٍ وَقِسْمَتُهُ لَا تَلْزَمُ.

Jika tanahnya bukan milik pihak yang mengakui dan melakukan islah, maka islah tersebut batal, karena syarat pencabutan pada setengah tanaman secara musya‘ (tidak tertentu) tidak mungkin dilakukan dan pembagiannya tidak wajib.

وَإِنْ كَانَتِ الْأَرْضُ لِلْمُقِرِّ الْمُصَالِحِ فَفِي صِحَّةِ الصُّلْحِ وَجْهَانِ:

Jika tanahnya milik pihak yang mengakui dan melakukan islah, maka dalam keabsahan islah terdapat dua pendapat:

إِنْ قِيلَ إِنَّ اشْتِرَاطَ الْقَطْعِ فِيهِ لَازِمٌ بَطَلَ الصُّلْحُ لِتَعَذُّرِ اشْتِرَاطِهِ فِيهِ وَإِنْ قِيلَ إِنَّ اشْتِرَاطَ الْقَطْعِ فِيهِ غَيْرُ لَازِمٍ صَحَّ الصُّلْحُ.

Jika dikatakan bahwa syarat pencabutan itu wajib, maka islahnya batal karena tidak mungkin mensyaratkan pencabutan tersebut. Namun jika dikatakan bahwa syarat pencabutan tidak wajib, maka islahnya sah.

وَهَكَذَا لَوْ كَانَ الزَّرْعُ كُلُّهُ فِي يَدِ رَجُلٍ وَاحِدٍ فَأَقَرَّ لِمُدَّعِيهِ بِنِصْفِهِ وَصَالَحَهُ عَلَيْهِ كَانَ الصُّلْحُ فِيهِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ بُطْلَانِهِ إِنْ لَمْ تَكُنِ الْأَرْضُ لَهُ وَإِنْ كَانَتِ الْأَرْضُ لَهُ فَعَلَى وَجْهَيْنِ: لِأَنَّهُ يَصِيرُ مُصَالِحًا عَلَى نِصْفِهِ مُشَاعًا فَتَعَذَّرَ اشْتِرَاطُ قَطْعِهِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ وهو حسبي.

Demikian pula, jika seluruh tanaman berada di tangan satu orang, lalu ia mengakui kepada penuntutnya atas setengahnya dan melakukan islah dengannya atas bagian itu, maka hukum islahnya sebagaimana yang telah kami sebutkan: batal jika tanahnya bukan miliknya, dan jika tanahnya miliknya maka ada dua pendapat. Karena ia menjadi pihak yang melakukan islah atas setengahnya secara musya‘, sehingga tidak mungkin mensyaratkan pencabutannya. Allah Maha Mengetahui dan hanya kepada-Nya taufik, dan Dia adalah penolongku.

(Kitab al-Ḥawālah)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَإِذَا اتبعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Malik telah mengabarkan kepada kami dari Abu az-Zinād dari al-A‘raj dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Penundaan pembayaran oleh orang kaya adalah kezaliman. Jika salah seorang dari kalian dialihkan (piutangnya) kepada orang yang mampu, maka hendaklah ia mengikuti (pengalihan itu)’.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: الْأَصْلُ فِي جَوَازِ الْحَوَالَةِ السُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ.

Al-Māwardī berkata: Dasar kebolehan ḥawālah adalah sunnah dan ijmā‘.

فَأَمَّا السُّنَّةُ فَمَرْوِيَّةٌ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مِنْ ثَلَاثَةِ طُرُقٍ رَوَى الشَّافِعِيُّ مِنْهَا طَرِيقَيْنِ وَرَوَى الْعِرَاقِيُّونَ الثَّالِثَ.

Adapun sunnah, diriwayatkan dari Abu Hurairah melalui tiga jalur; asy-Syafi‘i meriwayatkan dua jalur di antaranya, dan orang-orang Irak meriwayatkan jalur ketiga.

أَحَدُهَا: مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ “.

Pertama: Diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari Malik dari Abu az-Zinād dari al-A‘raj dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Penundaan pembayaran oleh orang kaya adalah kezaliman. Jika salah seorang dari kalian dialihkan (piutangnya) kepada orang yang mampu, maka hendaklah ia mengikuti (pengalihan itu).’

وَالثَّانِي: مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ (مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَمَنْ أُتْبِعَ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ) .

Kedua: Diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari Sufyan bin ‘Uyainah dari Abu az-Zinād dari al-A‘raj dari Abu Hurairah dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda: ‘(Penundaan pembayaran oleh orang kaya adalah kezaliman. Barang siapa dialihkan (piutangnya) kepada orang yang mampu, maka hendaklah ia mengikuti (pengalihan itu)).’

وَالثَّالِثُ: تَفَرَّدَ بِهِ الْعِرَاقِيُّونَ، فَرَوَاهُ أَبُو بِشْرِ بْنُ أَبِي حُبَيْشٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” إِذَا أُحِيلَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَحْتَلْ ” وَأَمَّا الْإِجْمَاعُ فِيمَا نَحْكِيهِ عَنْ عَلِيٍّ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِيمَا بَعْدُ.

Ketiga: Diriwayatkan secara khusus oleh orang-orang Irak, yaitu Abu Bisyr bin Abi Hubaisy dari Abu Hurairah dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda: ‘Jika salah seorang dari kalian dialihkan (piutangnya) kepada orang yang mampu, maka hendaklah ia menerima pengalihan itu.’ Adapun ijmā‘, akan kami sebutkan dari ‘Ali dan ‘Utsmān raḍiyallāhu ‘anhumā setelah ini.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الْحَوَالَةِ، فَاعْلَمْ أَنَّهَا لَا تَتِمُّ إِلَّا بِأَرْبَعَةٍ بِمُحِيلٍ، وَمُحْتَالٍ، وَمُحَالٍ عَلَيْهِ وَمُحَالٍ بِهِ.

Jika telah tetap kebolehan ḥawālah, maka ketahuilah bahwa ḥawālah tidak sempurna kecuali dengan empat unsur: muḥīl (yang mengalihkan), muḥtāl (yang menerima pengalihan), muḥāl ‘alayh (pihak yang dialihkan kepadanya), dan muḥāl bih (hak/piutang yang dialihkan).

فَأَمَّا الْمُحِيلُ، فَهُوَ الَّذِي كَانَ الْحَقُّ عَلَيْهِ، فَنَقَلَهُ بِالْحَوَالَةِ إِلَى ذِمَّةِ غَيْرِهِ فَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ مُخْتَارًا لِنَقْلِ الْحَقِّ مِنْ ذِمَّتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَخْتَرْهَا لَمْ يُجْبَرْ عَلَيْهَا لِأَنَّ رِضَاهُ شَرْطٌ فِي صِحَّتِهِ، لِأَنَّ الْحَقَّ إِذَا لَزِمَهُ فَالْمُسْتَحَقُّ عَلَيْهِ أَدَاؤُهُ لَا نَقْلُهُ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ إِذَا سُئِلَ نَقْلَ الحق إلى عين يعطها بَدَلًا مِنَ الْحَقِّ لَمْ يَلْزَمْهُ وَكَذَا لَوْ سُئِلَ نَقْلَهُ إِلَى ذِمَّةٍ أُخْرَى لَمْ يَلْزَمْهُ.

Adapun al-muḥīl adalah orang yang memiliki kewajiban (hak orang lain atas dirinya), lalu ia memindahkan kewajiban tersebut melalui ḥawālah ke tanggungan orang lain. Maka haruslah ia memilih secara sukarela untuk memindahkan hak itu dari tanggungannya. Jika ia tidak memilihnya, maka ia tidak dipaksa untuk melakukannya, karena kerelaannya merupakan syarat sahnya (ḥawālah). Sebab, apabila suatu hak telah menjadi kewajibannya, maka yang wajib baginya adalah menunaikannya, bukan memindahkannya. Bukankah engkau melihat bahwa jika ia diminta untuk memindahkan hak itu ke suatu barang tertentu sebagai pengganti hak tersebut, ia tidak wajib melakukannya? Begitu pula jika ia diminta untuk memindahkannya ke tanggungan lain, ia juga tidak wajib melakukannya.

(فَصْلٌ)

(Faṣl/Bagian)

وَأَمَّا الْمُحْتَالُ فَهُوَ صَاحِبُ الْحَقِّ الَّذِي نَقَلَهُ مِنْ ذِمَّةِ الْمُحِيلِ إِلَى ذِمَّةٍ أُخْرَى وَرِضَاهُ بِنَقْلِ الْحَقِّ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الْحَوَالَةِ، وَلَيْسَ قَبُولُهَا وَاجِبًا عَلَيْهِ وَقَالَ دَاوُدُ وَأَبُو ثَوْرٍ قَبُولُهَا إِذَا أُحِيلَ عَلَى مَلِيءٍ وَاجِبٌ عليه لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إِذَا أُحِيلَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَحْتَلْ “. وَهَذَا أَمْرٌ يَقْتَضِي الْوُجُوبَ وَدَلِيلُنَا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ يَدًا وَمَقَالًا ” فَكَانَ عَامًّا.

Adapun al-muḥtāl adalah pemilik hak yang memindahkan haknya dari tanggungan al-muḥīl ke tanggungan lain, dan kerelaannya terhadap pemindahan hak merupakan syarat sahnya ḥawālah. Menerima ḥawālah tidaklah wajib baginya. Dawud dan Abu Ṯaur berpendapat bahwa menerima ḥawālah ketika dipindahkan kepada orang yang mampu (membayar) adalah wajib baginya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Apabila salah seorang di antara kalian dipindahkan (haknya) kepada orang yang mampu, maka hendaklah ia menerima ḥawālah.” Ini adalah perintah yang menunjukkan kewajiban. Dalil kami adalah sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya pemilik hak memiliki kekuasaan dan ucapan,” maka ini bersifat umum.

وَلِأَنَّ الْحُقُوقَ الَّتِي فِي الذِّمَمِ قَدْ تَنْتَقِلُ تَارَةً إِلَى ذِمَّةٍ بِالْحَوَالَةِ، وَتَارَةً إِلَى عَيْنٍ بِالْمُعَاوَضَةِ، فَلَمَّا ثَبَتَ أَنَّ نَقْلَهُ إِلَى الْعَيْنِ لَا يَلْزَمُ إِلَّا بِالتَّرَاضِي، فَنَقْلُهُ إِلَى الذِّمَّةِ أَوْلَى أَلَّا يَلْزَمَ إِلَّا بِالتَّرَاضِي، لِأَنَّهُ بِنَقْلِهِ إِلَى عَيْنٍ أُخْرَى قَدْ وَصَلَ إِلَى حَقِّهِ وَبِنَقْلِهِ إِلَى ذِمَّةٍ أُخْرَى لَمْ يَصِلْ إِلَى حَقِّهِ، وَلِأَنَّ مَا ثَبَتَ فِي الذِّمَّةِ قَدْ يَكُونُ تَارَةً سِلْمًا وَتَارَةً دَيْنًا فَلَمَّا لَمْ يَلْزَمْ قَبُولُ الْحَوَالَةِ فِي السِّلْمِ، لَمْ يَلْزَمْ قَبُولُ الْحَوَالَةِ فِي الدَّيْنِ أَمَّا الْخَبَرُ فَمَحْمُولٌ عَلَى الْإِبَاحَةِ لِأَنَّهُ وَارِدٌ بَعْدَ حَظْرٍ وَهُوَ نَهْيُهُ عَنْ بَيْعِ الدَّيْنِ بِالدَّيْنِ.

Karena hak-hak yang berada dalam tanggungan terkadang dipindahkan ke tanggungan lain melalui ḥawālah, dan terkadang dipindahkan ke barang tertentu melalui mu‘āwaḍah (pertukaran). Maka, ketika telah tetap bahwa pemindahan ke barang tertentu tidak wajib kecuali dengan kerelaan kedua belah pihak, maka pemindahan ke tanggungan lain lebih utama untuk tidak diwajibkan kecuali dengan kerelaan kedua belah pihak. Karena dengan memindahkan ke barang tertentu, ia telah sampai kepada haknya, sedangkan dengan memindahkan ke tanggungan lain, ia belum sampai kepada haknya. Dan karena apa yang telah tetap dalam tanggungan terkadang berupa salām dan terkadang berupa utang, maka ketika tidak diwajibkan menerima ḥawālah dalam salām, tidak pula diwajibkan menerima ḥawālah dalam utang. Adapun hadis tersebut dimaknai sebagai kebolehan, karena ia datang setelah adanya larangan, yaitu larangan Nabi dari jual beli utang dengan utang.

(فَصْلٌ)

(Faṣl/Bagian)

وَأَمَّا الْمُحَالُ عَلَيْهِ فَهُوَ مَنِ انْتَقَلَ الْحَقُّ بِالْحَوَالَةِ مِنْ ذِمَّةِ الْمُحِيلِ إِلَى ذِمَّتِهِ، وَظَاهِرُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ إِنَّ رِضَاهُ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فِي صِحَّةِ الْحَوَالَةِ، بَلْ تَتِمُّ بِرِضَا الْمُحِيلِ وَالْمُحْتَالِ سَوَاءٌ رَضِيَ بِذَلِكَ الْمُحَالُ عَلَيْهِ أَمْ لَمْ يَرْضَ وَبِهِ قَالَ مِنْ أَصْحَابِنَا أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ وَأَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَقَالَ أَبُو إِبْرَاهِيمَ الْمُزَنِيُّ وَأَبُو عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرِيُّ وَأَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ وَأَبُو حَفْصِ بْنُ الْوَكِيلِ الْحَوَالَةُ لَا تَتِمُّ إِلَّا بِرِضَا الْمُحَالِ عَلَيْهِ فَإِنْ لَمْ يَقْبَلْهَا وَلَمْ يَرْضَ بِهَا لَمْ تَصِحَّ، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ.

Adapun al-muḥāl ‘alayh adalah orang yang kepadanya hak dipindahkan melalui ḥawālah dari tanggungan al-muḥīl ke tanggungannya. Menurut pendapat yang tampak dalam mazhab al-Syāfi‘ī, kerelaannya tidak dianggap dalam sahnya ḥawālah, bahkan ḥawālah sah dengan kerelaan al-muḥīl dan al-muḥtāl, baik al-muḥāl ‘alayh rela maupun tidak. Pendapat ini juga dikemukakan oleh di antara ulama kami: Abu al-‘Abbās Ibn Surayj, Abu Isḥāq al-Marwazī, dan Abu ‘Alī Ibn Abī Hurayrah. Sedangkan Abu Ibrāhīm al-Muzanī, Abu ‘Abdullāh al-Zubayrī, Abu Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, dan Abu Ḥafṣ Ibn al-Wakīl berpendapat bahwa ḥawālah tidak sah kecuali dengan kerelaan al-muḥāl ‘alayh. Jika ia tidak menerimanya dan tidak rela, maka ḥawālah tidak sah. Pendapat ini juga dipegang oleh Abū Ḥanīfah dan Mālik.

اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ مَنْ كَانَ وَجُودُهُ فِي الْحَوَالَةِ شَرْطًا كَانَ رِضَاهُ فِيهَا شَرْطًا كَالْمُحِيلِ وَالْمُحْتَالِ.

Sebagai dalil bahwa siapa yang keberadaannya dalam ḥawālah merupakan syarat, maka kerelaannya juga menjadi syarat di dalamnya, sebagaimana al-muḥīl dan al-muḥtāl.

وَلِأَنَّ الدَّيْنَ قَدْ يَتَعَلَّقُ بِالذِّمَّةِ أَصْلًا وَبِالرَّهْنِ فَرْعًا، فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ لِصَاحِبِ الدَّيْنِ أَنْ يُوَلّى الرَّهْنَ غَيْرُهُ فَأَوْلَى أَلَّا يَكُونَ لَهُ أَنْ يُوَلّى الذِّمَّةَ غَيْرُهُ وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا كَانَ صَاحِبُ الدَّيْنِ أَسْهَلَ اقْتِضَاءً وَأَسْهَلَ مُعَامَلَةً وَأَسْمَحَ قَبْضًا، فَلَا يَرْضَى مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ بِمُعَامَلَةِ غَيْرِهِ، لِأَنَّهُ بِخِلَافِ مُعَامَلَتِهِ، فَلِذَلِكَ كَانَ بَقَاءُ الدَّيْنِ بِالْحَوَالَةِ مَوْقُوفًا عَلَى قَبُولِهِ، وَدَلِيلُنَا أَنَّ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ، مَمْلُوكُ الذِّمَّةِ، فَلَمْ يَكُنْ رِضَاهُ مُعْتَبَرًا فِي نَقْلِ الْمِلْكِ، كبيع العبد المملوك، ولأن بالحوالة يزول ملكه عَنِ الدَّيْنِ كَالْإِبْرَاءِ. فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ رِضَا الْمُبَرَّأِ مُعْتَبَرًا فِي صِحَّةِ الْبَرَاءَةِ، لَمْ يَكُنْ رِضَا الْمُحَالِ عَلَيْهِ مُعْتَبَرًا فِي صِحَّةِ الْحَوَالَةِ، وَلِأَنَّ مَالِكَ الدَّيْنِ مُخَيَّرٌ فِي اسْتِيفَائِهِ بِنَفْسِهِ وَبِغَيْرِهِ، كَالْوَكِيلِ وَكَذَلِكَ بِالْمُحْتَالِ.

Karena utang itu pada asalnya melekat pada tanggungan (dzimmah) dan pada gadai (rahn) hanya sebagai cabang, maka ketika pemilik utang tidak boleh menyerahkan gadai kepada selain dirinya, maka lebih utama lagi bahwa ia tidak boleh menyerahkan tanggungan kepada selain dirinya. Dan karena bisa jadi pemilik utang lebih mudah dalam menagih, lebih mudah dalam bertransaksi, dan lebih lapang dalam menerima pembayaran, sehingga orang yang berutang tidak rela bertransaksi dengan selainnya, karena berbeda dengan kebiasaannya bertransaksi dengan pemilik utang. Oleh karena itu, keberlangsungan utang melalui hawalah (pengalihan utang) bergantung pada penerimaan orang yang berutang. Dalil kami adalah bahwa orang yang berutang itu adalah milik dzimmah, sehingga kerelaannya tidak dianggap dalam perpindahan kepemilikan, seperti penjualan budak yang dimiliki. Dan karena dengan hawalah, kepemilikannya atas utang hilang sebagaimana dalam ibra’ (pembebasan utang). Maka ketika kerelaan orang yang dibebaskan utangnya tidak dianggap dalam keabsahan pembebasan utang, maka kerelaan orang yang dialihkan utangnya juga tidak dianggap dalam keabsahan hawalah. Dan karena pemilik utang diberi pilihan dalam menagihnya sendiri atau melalui orang lain, seperti wakil, demikian pula melalui muḥtāl (penerima pengalihan utang).

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا ذَكَرُوهُ مِنَ الْمُحِيلِ وَالْمُحْتَالِ فَالْمَعْنَى فِي الْمُحِيلِ أَنَّهُ مَالِكٌ فَكَانَ رِضَاهُ مُعْتَبَرًا فِي زَوَالِ مِلْكِهِ وَالْمُحَالُ عَلَيْهِ مَمْلُوكٌ، وَالْمَعْنَى فِي الْمُحْتَالِ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ تَتِمَّ الْبَرَاءَةُ مِنْ دَيْنِهِ إِلَّا بِرِضَاهُ، لَمْ تَتِمَّ الْحَوَالَةُ بِهِ إِلَّا عَنْ رِضَاهُ، وَلَمَّا تَمَّتِ الْبَرَاءَةُ عَنِ الدَّيْنِ الَّذِي عَلَى الْمُحَالِ عَلَيْهِ بِغَيْرِ رِضَاهُ تَمَّتِ الْحَوَالَةُ بِغَيْرِ رِضَاهُ.

Adapun jawaban atas apa yang mereka sebutkan tentang muḥīl (pengalih utang) dan muḥtāl (penerima pengalihan utang), maka maksud pada muḥīl adalah bahwa ia adalah pemilik (hak), sehingga kerelaannya dianggap dalam hilangnya kepemilikannya, sedangkan muḥāl ‘alaih (yang dialihkan utangnya kepadanya) adalah milik (dalam tanggungan). Dan maksud pada muḥtāl adalah bahwa ketika pembebasan dari utangnya tidak sempurna kecuali dengan kerelaannya, maka hawalah pun tidak sempurna kecuali dengan kerelaannya. Dan ketika pembebasan dari utang yang ada pada muḥāl ‘alaih telah sempurna tanpa kerelaannya, maka hawalah pun sempurna tanpa kerelaannya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الرَّهْنِ فَهُوَ إِنَّ الْمُرْتَهِنَ لَمَّا لَمْ يَمْلِكِ الرَّهْنَ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَنْقُلَهُ إِلَى غَيْرِهِ، وَلَمَّا كَانَ الْمُحِيلُ مَالِكًا لِلدَّيْنِ جَازَ أَنْ يَنْقُلَهُ إِلَى غَيْرَهُ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ لَمْ يَرْضَ إِلَّا بِمُعَامَلَتِهِ وَلَا دَخَلَ إِلَّا تَحْتَ مِلْكِهِ فَمُنْتَقَضٌ بِالْوَكِيلِ ثُمَّ يُقَالُ هُوَ كَمَا قَدْ مُلِكَتْ ذِمَّتُهُ كَالْعَبْدِ الْمَمْلُوكِ الَّذِي لَا خِيَارَ لَهُ فِي تَمْلِيكِ رَقَبْتِهِ أَشْبَهُ.

Adapun jawaban tentang gadai (rahn) adalah bahwa karena murtahin (penerima gadai) tidak memiliki gadai, maka ia tidak boleh memindahkannya kepada selain dirinya. Sedangkan muḥīl (pengalih utang) adalah pemilik utang, maka boleh baginya memindahkannya kepada selain dirinya. Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa orang yang berutang tidak rela kecuali bertransaksi dengan pemilik utang dan tidak masuk kecuali di bawah kepemilikannya, maka ini dapat dibantah dengan kasus wakil. Kemudian dikatakan: sebagaimana dzimmahnya telah dimiliki, seperti budak yang dimiliki yang tidak memiliki pilihan dalam penyerahan kepemilikan dirinya, maka demikian pula keadaannya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْمُحَالُ بِهِ فَهُوَ الْحَقُّ الَّذِي يَتَحَوَّلُ مِنْ ذِمَّةِ الْمُحِيلِ إِلَى ذِمَّةِ الْمُحَالِ عَلَيْهِ وَلِلْحَقِّ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ، أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ لَازِمًا مُسْتَقِرًّا، وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ غَيْرَ لَازِمٍ وَلَا مُسْتَقِرٍّ، وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ لَازِمًا غَيْرَ مُسْتَقِرٍّ فَإِنْ كَانَ الْحَقُّ لَازِمًا مُسْتَقِرًّا كَأُرُوشِ الْجِنَايَاتِ وَقِيَمِ الْمُتْلَفَاتِ وَأَثْمَانِ الْمَقْبُوضِ بِعُقُودِ الْمُعَاوَضَاتِ فَالْحَوَالَةُ بِهِ إِذَا كَانَتْ عَلَى مِثْلِ صِفَتِهِ جَائِزَةٌ فَلَوْ كَانَ الْحَقُّ دَرَاهِمَ لَمْ يَجُزْ أَنْ تَكُونَ الْحَوَالَةُ بِدَنَانِيرَ وَلَوْ كَانَ بِصِحَاحٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ تَكُونَ الْحَوَالَةُ بِمُكَسَّرَةٍ.

Adapun muḥāl bih (hak yang dialihkan), maka ia adalah hak yang berpindah dari dzimmah muḥīl (pengalih utang) ke dzimmah muḥāl ‘alaih (yang dialihkan utangnya kepadanya). Hak ini memiliki tiga keadaan: Pertama, hak tersebut bersifat wajib dan tetap; kedua, tidak wajib dan tidak tetap; ketiga, wajib namun tidak tetap. Jika hak tersebut wajib dan tetap, seperti diyat jinayah, nilai barang yang rusak, dan harga barang yang diterima melalui akad mu‘āwaḍah (pertukaran), maka hawalah dengan hak tersebut jika sesuai sifatnya adalah boleh. Maka jika hak tersebut berupa dirham, tidak boleh hawalah dengan dinar; dan jika berupa uang logam utuh, tidak boleh hawalah dengan uang pecahan.

وَلَوْ كَانَ حَالًّا لَمْ يَجُزْ أَنْ تَكُونَ بِمُؤَجَّلٍ، حَتَّى يُحِيلَهُ بِمِثْلِهِ مِنَ الدَّرَاهِمِ بِدَرَاهِمَ وَفِي الصِّحَاحِ بِصِحَاحٍ، وَفِي الْحَالِّ بِحَالٍّ، وَفِي الْمُؤَجَّلِ بِمُؤَجَّلٍ، فَإِنْ كَانَ الْحَقُّ الْمُسْتَقِرُّ مِنْ غَيْرِ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ كَالْبُرِّ وَالشَّعِيرِ فَلَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِمَّا يَجُوزُ الْمُعَاوَضَةُ عَلَيْهِ قَبْلَ قَبْضِهِ أَمْ لَا، فَإِنْ كَانَ مِمَّا تَجُوزُ الْمُعَاوَضَةُ عَلَيْهِ قَبْلَ قَبْضِهِ كَالْقَرْضِ وَمَا اسْتُهْلِكَ بِالْغَصْبِ فَالْحَوَالَةُ بِهِ جَائِزَةٌ.

Dan jika hak tersebut sudah jatuh tempo, tidak boleh dialihkan dengan yang belum jatuh tempo, hingga ia mengalihkannya dengan yang sejenis: dirham dengan dirham, uang logam utuh dengan uang logam utuh, yang sudah jatuh tempo dengan yang sudah jatuh tempo, dan yang belum jatuh tempo dengan yang belum jatuh tempo. Jika hak yang tetap itu bukan berupa dirham atau dinar, seperti gandum atau jelai, maka tidak lepas dari dua keadaan: boleh atau tidaknya dipertukarkan sebelum diterima. Jika termasuk yang boleh dipertukarkan sebelum diterima, seperti utang qardh dan barang yang dikonsumsi karena ghasab (perampasan), maka hawalah dengannya adalah boleh.

كَمَا تَجُوزُ بِالدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ وَإِنْ كَانَ مِمَّا لَا تَجُوزُ الْمُعَاوَضَةُ عَلَيْهِ قَبْلَ قَبْضِهِ كَالسَّلَمِ، فَقَدْ خَرَّجَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ فِي جَوَازِ الْحَوَالَةِ بِهِ وَجْهَيْنِ مِن اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي الْحَوَالَةِ، هَلْ هِيَ بَيْعٌ أَوْ عَقْدُ إِرْفَاقٍ، فَجَوَّزَ الْحَوَالَةَ بِهِ إِنْ قِيلَ إِنَّهَا عَقْدُ إِرْفَاقٍ وَأَبْطَلَهَا إِنْ قِيلَ إِنَّهَا بَيْعٌ فَإِنْ كَانَ الْحَقُّ غَيْرَ لَازِمٍ وَلَا مُسْتَقِرٍّ كَمَالِ الْجَعَالَةِ وَعِوَضِ الْكِتَابَةِ فَالْحَوَالَةُ بِهِ لَا تَصِحُّ لِأَنَّ مَا لَمْ يَجِبْ قَبْلَ الْحَوَالَةِ لَمْ يَصِرْ وَاجِبًا بِالْحَوَالَةِ، وَإِنْ كَانَ لَازِمًا غَيْرَ مُسْتَقِرٍّ كَالثَّمَنِ فِي مُدَّةِ الْخِيَارِ، فَفِي جَوَازِ الْحَوَالَةِ وَجْهَانِ:

Sebagaimana halnya boleh dilakukan dengan dirham dan dinar, meskipun termasuk sesuatu yang tidak boleh diperjualbelikan sebelum diterima seperti salam, maka Abul ‘Abbas Ibn Surayj telah mengemukakan dua pendapat mengenai kebolehan melakukan hawālah dengan hal tersebut, berdasarkan perbedaan dua pendapat dalam masalah hawālah: apakah ia merupakan jual beli atau akad irfāq (tolong-menolong). Maka, ia membolehkan hawālah dengannya jika dikatakan bahwa ia adalah akad irfāq, dan membatalkannya jika dikatakan bahwa ia adalah jual beli. Jika hak tersebut bukan hak yang wajib dan belum tetap, seperti upah ju‘ālah dan imbalan kitabah, maka hawālah dengannya tidak sah, karena sesuatu yang belum wajib sebelum hawālah tidak menjadi wajib dengan adanya hawālah. Namun, jika hak tersebut wajib tetapi belum tetap, seperti harga dalam masa khiyār, maka dalam kebolehan hawālah terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ تَجُوزُ إِنْ قِيلَ إِنَّهَا عَقْدُ إِرْفَاقٍ

Salah satunya: Boleh jika dikatakan bahwa ia adalah akad irfāq.

وَالثَّانِي: لَا تَجُوزُ إِنْ قِيلَ إِنَّهَا بَيْعٌ.

Dan yang kedua: Tidak boleh jika dikatakan bahwa ia adalah jual beli.

فَأَمَّا وُجُوبُ الْحَقِّ عَلَى الْمُحَالِ عَلَيْهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ هُوَ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الْحَوَالَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun kewajiban hak atas pihak yang dipindahkan (muhāl ‘alayh), maka para ulama kami berbeda pendapat, apakah itu merupakan syarat sahnya hawālah, menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الْحَوَالَةِ فَمَتَى لَمْ يَكُنْ لِلْمُحِيلِ عَلَى الْمُحَالِ عَلَيْهِ ذَلِكَ الْحَقُّ الَّذِي أَحَالَ بِهِ عَلَيْهِ، فَالْحَوَالَةُ بَاطِلَةٌ، لِأَنَّ الْحَوَالَةَ مِنْ تَحَوُّلِ الْحَقِّ فَلَا بُدَّ مِنْ أَنْ يَكُونَ الْحَقُّ وَاجِبًا عَلَى الْمُحَالِ عَلَيْهِ كَمَا كَانَ وَاجِبًا لِلْمُحْتَالِ.

Salah satunya: Itu adalah syarat sahnya hawālah. Maka, apabila pihak yang memindahkan (muhīl) tidak memiliki hak atas pihak yang dipindahkan (muhāl ‘alayh) berupa hak yang dipindahkan tersebut, maka hawālah batal, karena hawālah berarti pemindahan hak, sehingga haruslah hak itu wajib atas pihak yang dipindahkan sebagaimana ia wajib atas pihak yang meminta pemindahan (muhtāl).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَصِحُّ وَتَجْرِي مَجْرَى الضَّمَانِ لِأَنَّهَا وَثِيقَةٌ فَعَلَى هَذَا لَا تَتِمُّ إِلَّا بِقَبُولِ الْمُحَالِ عَلَيْهِ وَلَا رُجُوعَ لَهُ بِالْحَوَالَةِ قَبْلَ أَدَائِهَا، فَإِنْ أَدَّاهَا بِأَمْرٍ رَجَعَ بِهَا وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ أَمْرٍ لَمْ يَرْجِعْ بِهَا.

Pendapat kedua: Sah, dan berlaku seperti penjaminan (ḍamān), karena ia merupakan bentuk penjaminan. Dengan demikian, hawālah tidak sempurna kecuali dengan persetujuan pihak yang dipindahkan (muhāl ‘alayh), dan ia tidak dapat menuntut kembali melalui hawālah sebelum ia membayarnya. Jika ia membayarnya atas perintah, maka ia dapat menuntut kembali, namun jika tanpa perintah, maka ia tidak dapat menuntut kembali.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ صِحَّةَ الْحَوَالَةِ مُعْتَبَرَةٌ بِهَذِهِ الشُّرُوطِ الْأَرْبَعَةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ هِيَ بَيْعٌ أَوْ عَقْدُ إِرْفَاقٍ وَمَعُونَةٍ، عَلَى وَجْهَيْنِ

Jika telah tetap bahwa sahnya hawālah tergantung pada empat syarat ini, maka para ulama kami berbeda pendapat, apakah ia merupakan jual beli atau akad irfāq dan bantuan, menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ ظَاهِرُ نَصِّ الشَّافِعِيِّ فِي كِتَابِ السَّلَمِ إِنَّ الْحَوَالَةَ بَيْعٌ لِأَنَّ الْمُحْتَالَ قَدْ عَاوَضَ عَلَى ذِمَّةٍ بِذِمَّةٍ.

Salah satunya, dan ini adalah pendapat yang tampak dari nash Imam Syafi‘i dalam Kitab as-Salam, bahwa hawālah adalah jual beli, karena pihak yang meminta pemindahan (muhtāl) telah melakukan mu‘āwaḍah (pertukaran) antara dua tanggungan (dzimmah).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهَا عَقْدُ مَعُونَةٍ وَإِرْفَاقٍ لِأَنَّهَا تَخْرُجُ مِنَ الْبُيُوعِ بِمَا يَتَعَلَّقُ بِهَا مِنَ الْأَحْكَامِ.

Pendapat kedua: Ia adalah akad bantuan dan irfāq, karena ia keluar dari kategori jual beli dengan hukum-hukum yang berkaitan dengannya.

فَإِذَا قِيلَ إِنَّهَا بَيْعٌ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ هِيَ بَيْعُ دَيْنٍ بَدَيْنٍ يَخْتَصُّ بِالشَّرْعِ أَوْ بَيْعُ عَيْنٍ بِدَيْنٍ عَلَى وَجْهَيْنِ: ثُمَّ عَلَى كِلَا الْوَجْهَيْنِ لَا يَدْخُلُهَا خِيَارُ الثَّلَاثِ فَأَمَّا خِيَارُ الْمَجْلِسِ فَعَلَى الوجه الذي نقول إِنَّهَا عَقْدُ مَعُونَةٍ وَإِرْفَاقٍ لَا يَدْخُلُهَا خِيَارُ الْمَجْلِسِ لِأَنَّ خِيَارَ الْمَجْلِسِ مَوْضُوعٌ لِاسْتِدْرَاكِ الْغَبْنِ في عقود المعاوضات وعلى الوجه الذي نقول إِنَّهَا [عَقْدُ بَيْعٍ فَفِي خِيَارِ الْمَجْلِسِ وَجْهَانِ

Jika dikatakan bahwa ia adalah jual beli, maka para ulama kami berbeda pendapat, apakah ia merupakan jual beli utang dengan utang yang khusus dalam syariat, atau jual beli barang dengan utang, menjadi dua pendapat. Kemudian, pada kedua pendapat tersebut, tidak masuk di dalamnya khiyār tiga hari. Adapun khiyār majlis, maka pada pendapat yang mengatakan bahwa ia adalah akad bantuan dan irfāq, tidak masuk di dalamnya khiyār majlis, karena khiyār majlis ditetapkan untuk mengantisipasi kerugian dalam akad-akad mu‘āwaḍah. Dan pada pendapat yang mengatakan bahwa ia adalah akad jual beli, maka dalam hal khiyār majlis terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَدْخُلُ فِيهَا خِيَارُ الْمَجْلِسِ وَهَذَا على الوجه الذي نقول إِنَّهَا بَيْعُ دَيْنٍ بِدَيْنٍ.

Salah satunya: Tidak masuk di dalamnya khiyār majlis, dan ini pada pendapat yang mengatakan bahwa ia adalah jual beli utang dengan utang.

وَالثَّانِي: يَدْخُلُ فِيهَا خِيَارُ الْمَجْلِسِ إِذَا قِيلَ] إِنَّهَا بَيْعُ عَيْنٍ بِدَيْنٍ وَعَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ هَلْ يَصِحُّ اشْتِرَاطُ الرَّهْنِ فِيهَا وَالضَّمَانِ أَمْ لَا فِيهِ وَجْهَانِ.

Dan yang kedua: Masuk di dalamnya khiyār majlis jika dikatakan bahwa ia adalah jual beli barang dengan utang. Dan pada kedua pendapat ini, apakah sah mensyaratkan rahn (gadai) dan ḍamān (penjaminan) di dalamnya atau tidak, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: يَصِحُّ إِنْ قِيلَ إِنَّهَا بَيْعُ عَيْنٍ بِدَيْنٍ.

Salah satunya: Sah jika dikatakan bahwa ia adalah jual beli barang dengan utang.

وَالثَّانِي: لَا يَصِحُّ إِنْ قِيلَ إِنَّهَا بيع دين بدين.

Dan yang kedua: Tidak sah jika dikatakan bahwa ia adalah jual beli utang dengan utang.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَفِي هَذَا دَلَالَة أَنَّ الْحَقَّ يَتَحَوَّلُ عَلَى الْمُحَالِ عَلَيْهِ وَيَبْرَأُ مِنْهُ الْمُحِيلُ فَلَا يَرْجِعُ عليه أبدا كان المحال عَلَيْهِ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا أَفْلَسَ أَوْ مَاتَ مُعْدِمًا ” قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا قَبِلَ الْمُحْتَالُ الْحَوَالَةَ فَقَدِ انْتَقَلَ الْحَقُّ مِنْ ذِمَّةِ الْمُحِيلِ إِلَى ذِمَّةِ الْمُحَالِ عَلَيْهِ إِجْمَاعًا فَإِنْ أَفْلَسَ الْمُحَالُ عَلَيْهِ أَوْ جَحَدَ لَمْ يَكُنْ لِلْمُحْتَالِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمُحِيلِ بِشَيْءٍ وَقَالَ أبو حنيفة رَحِمَهُ اللَّهُ لِلْمُحْتَالِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمُحِيلِ إِذَا مَاتَ الْمُحَالُ عَلَيْهِ مُفْلِسًا أَوْ جَحَدَ الْحَقَّ حَيًّا، وَقَالَ أبو يوسف ومحمد: يَرْجِعُ عَلَيْهِ فِي هَذَيْنِ الْمَوْضِعَيْنِ وَإِذَا أَفْلَسَ حَيًّا وَاسْتَدَلُّوا بِحَدِيثِ شُعْبَةَ عَنْ خليد بن جعفر عن أبي إياس معونة بْنِ قُرَّةَ عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ فِي الْحَوَالَةِ أَوِ الْكَفَالَةِ يَرْجِعُ صَاحِبُهَا لَا تَوَى عَلَى مَالِ مُسْلِمٍ وَلِأَنَّ الْحُقُوقَ الْمُسْتَقِرَّةَ فِي الذِّمَمِ قَدْ تَنْتَقِلُ تَارَةً إِلَى ذِمَّةٍ أُخْرَى بِالْحَوَالَةِ وَتَارَةً إِلَى عَيْنٍ بِالْمُعَاوَضَةِ فَلَمَّا كَانَ تَلَفُ الْعَيْنِ قَبْلَ قَبْضِهَا يُوجِبُ عَوْدَ الْحَقِّ إِلَى الذِّمَّةِ الْأُولَى، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَلَفُ الذِّمَّةِ قَبْلَ قَبْضِ الْحَقِّ مِنْهَا. يُوجِبُ عَوْدَ الْحَقِّ إِلَى الذِّمَّةِ الْأُولَى. وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا إِنَّهُ حَقٌّ انْتَقَلَ مِنَ الذِّمَّةِ إِلَى جِهَةٍ فَاتَ اسْتِيفَاؤُهُ مِنْهَا، فَوَجَبَ أَنْ يَعُودَ إِلَى الذِّمَّةِ الَّتِي كَانَ ثَابِتًا فِيهَا. كَالْأَعْيَانِ التَّالِفَةِ قَبْلَ قَبْضِهَا.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Dalam hal ini terdapat petunjuk bahwa hak (piutang) berpindah kepada pihak yang dialihkan kepadanya (muhāl ‘alayh) dan terbebaslah pihak yang mengalihkan (muhīl), sehingga tidak boleh kembali menuntutnya lagi, baik pihak yang dialihkan kepadanya itu kaya maupun miskin, bangkrut atau meninggal dalam keadaan tidak memiliki apa-apa.” Al-Māwardī berkata: “Inilah sebagaimana yang beliau katakan, jika pihak yang menerima pengalihan (muḥtāl) telah menerima pengalihan tersebut, maka hak (piutang) telah berpindah dari tanggungan pihak yang mengalihkan (muhīl) ke tanggungan pihak yang dialihkan kepadanya (muhāl ‘alayh) secara ijmā‘. Jika pihak yang dialihkan kepadanya itu bangkrut atau mengingkari (utang), maka pihak yang menerima pengalihan tidak berhak kembali menuntut pihak yang mengalihkan sedikit pun.” Abu Ḥanīfah raḥimahullāh berpendapat bahwa pihak yang menerima pengalihan boleh kembali menuntut pihak yang mengalihkan jika pihak yang dialihkan kepadanya meninggal dalam keadaan bangkrut atau mengingkari hak tersebut semasa hidupnya. Abu Yūsuf dan Muḥammad berpendapat bahwa boleh kembali menuntut dalam dua keadaan ini dan juga jika pihak yang dialihkan kepadanya bangkrut semasa hidup. Mereka berdalil dengan hadis Syu‘bah dari Khalīd bin Ja‘far dari Abū Iyās Ma‘ūnah bin Qurrāh dari ‘Utsmān raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata tentang pengalihan utang (ḥawālah) atau penjaminan (kafālah): “Pemiliknya boleh kembali menuntut, tidak boleh mengambil harta seorang Muslim secara batil.” Dan karena hak-hak yang tetap dalam tanggungan (dzimmah) terkadang berpindah ke tanggungan lain melalui pengalihan (ḥawālah), dan terkadang berpindah ke barang (‘ayn) melalui transaksi mu‘āwaḍah (pertukaran). Maka, ketika barang itu rusak sebelum diterima, mengharuskan kembalinya hak ke tanggungan yang pertama, demikian pula rusaknya tanggungan sebelum hak diterima darinya, mengharuskan kembalinya hak ke tanggungan yang pertama. Penjelasannya secara qiyās: Hak itu telah berpindah dari satu tanggungan ke pihak lain, namun tidak dapat dipenuhi dari pihak tersebut, maka wajib kembali ke tanggungan semula, sebagaimana barang yang rusak sebelum diterima.

قَالُوا: وَلِأَنَّ خَرَابَ الذِّمَّةِ لَا يَخْلُو أَنْ يَجْرِيَ مَجْرَى الْعَيْبِ أَوِ الِاسْتِحْقَاقِ فَإِنْ جَرَى مَجْرَى الِاسْتِحْقَاقِ فَقَدْ عَادَ الْحَقُّ إِلَى الذِّمَّةِ الْأُولَى وَإِنْ جَرَى مَجْرَى الْعَيْبِ كَانَ مُخَيَّرًا فِي الرُّجُوعِ إِلَى الذِّمَّةِ الْأُولَى.

Mereka berkata: Karena rusaknya tanggungan (dzimmah) tidak lepas dari dua kemungkinan, yaitu seperti cacat (‘ayb) atau seperti istihqāq (hak orang lain). Jika seperti istihqāq, maka hak kembali ke tanggungan pertama; dan jika seperti cacat, maka ia diberi pilihan untuk kembali ke tanggungan pertama.

قَالُوا وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ خَرَابُ الذِّمَّةِ بِالْفَلَسِ يُوجِبُ عِنْدَكُمْ عَوْدَ الْحَقِّ إِلَى الْعَيْنِ الْمَبِيعَةِ كَانَ مَا يُوجِبُ عَوْدَهُ إِلَى الذِّمَّةِ الْأُولَى أَوْلَى وَالدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ قَوْله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ ” فَكَانَ الدَّلِيلُ فِيهِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Mereka berkata: Karena ketika kerusakan tanggungan (dzimmah) akibat bangkrut menurut kalian menyebabkan kembalinya hak kepada barang yang dijual, maka yang menyebabkan kembalinya hak ke tanggungan pertama tentu lebih utama. Dalil atas kebenaran pendapat kami adalah sabda Nabi ﷺ: “Jika salah seorang dari kalian dialihkan kepada orang yang mampu, maka hendaklah ia menerima pengalihan itu.” Maka dalil dalam hal ini dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ دَلِيلُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّهُ لَوْ كَانَ لَهُ الرُّجُوعُ لَمَا كَانَ لِاشْتِرَاطِ الْمُلَاءَةِ فَائِدَةٌ، لِأَنَّهُ إِنْ لَمْ يَصِلْ إِلَى حَقِّهِ رَجَعَ فَلَمَّا شَرَطَ الْمُلَاءَةَ عَلِمَ أَنَّ الْحَقَّ قَدِ انْتَقَلَ بِهَا انْتِقَالًا لَا رُجُوعَ لَهُ بِهِ فَاشْتَرَطَ الْمُلَاءَةَ حِرَاسَةً لِحَقِّهِ.

Pertama: Ini adalah dalil asy-Syafi‘i raḥimahullāh, bahwa jika memang boleh kembali menuntut, maka syarat kemampuan (al-mulā’ah) tidak ada manfaatnya, karena jika tidak mendapatkan haknya, ia bisa kembali menuntut. Maka ketika disyaratkan kemampuan, diketahui bahwa hak telah berpindah dengan pengalihan itu secara sempurna tanpa boleh kembali menuntut, sehingga syarat kemampuan itu sebagai penjagaan haknya.

وَالدَّلِيلُ الثَّانِي قَوْلُهُ: فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ فَأَوْجَبَ عُمُومُ الظَّاهِرِ اتِّبَاعَ الْمُحَالِ عَلَيْهِ أَبَدًا، أَفْلَسَ أَوْ لَمْ يُفْلِسْ، وَرُوِيَ أَنَّهُ كَانَ لِحَزْنٍ جَدِّ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَالٌ، فَأَحَالَهُ بِهِ عَلَى إِنْسَانٍ فَمَاتَ الْمُحَالُ عَلَيْهِ فَرَجَعَ حَزْنٌ إِلَى عَلِيٍّ، وَقَالَ: قَدْ مَاتَ مَنْ أَحَلْتَنِي عَلَيْهِ، فَقَالَ: قَدِ اخْتَرْتَ عَلَيْنَا غَيْرَنَا أَبْعَدَكَ اللَّهُ، وَلَمْ يُعْطِهِ شَيْئًا، فَلَوْ كَانَ لَهُ الرُّجُوعُ لَمَا اسْتَجَازَ عَلِيٌّ أَنْ يَمْنَعَهُ مِنْهُ وَهُوَ فِعْلٌ مُنْتَشِرٌ فِي الصَّحَابَةِ لَا نَعْرِفُ لَهُ مُخَالِفًا.

Dalil kedua adalah sabda beliau: “Jika salah seorang dari kalian dialihkan kepada orang yang mampu, maka hendaklah ia menerima pengalihan itu.” Maka keumuman lafaz zahirnya mewajibkan untuk selalu mengikuti pihak yang dialihkan kepadanya, baik ia bangkrut maupun tidak. Diriwayatkan bahwa Ḥazn, kakek Sa‘īd bin al-Musayyab, memiliki piutang pada ‘Alī bin Abī Ṭālib raḍiyallāhu ‘anhu, lalu ‘Alī mengalihkan piutang itu kepada seseorang. Kemudian orang yang dialihkan kepadanya itu meninggal, maka Ḥazn kembali kepada ‘Alī dan berkata: “Orang yang engkau alihkan kepadaku telah meninggal.” Maka ‘Alī berkata: “Engkau telah memilih selain kami, semoga Allah menjauhkanmu,” dan tidak memberinya apa-apa. Seandainya boleh kembali menuntut, niscaya ‘Alī tidak akan menolaknya, dan ini adalah perbuatan yang masyhur di kalangan para sahabat, dan kami tidak mengetahui ada yang menyelisihinya.

فَإِنْ عُورِضَ بِحَدِيثِ عُثْمَانَ، كَانَ الْجَوَابُ عَنْهُ مَا نَذْكُرُهُ، وَأَمَّا الْمَعْنَى فَهُوَ سُقُوطُ الْمُطَالَبَةِ عَمَّنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ مِنْ غَيْرِ بَقَاءِ عَلَقَةٍ يمنع مِنْ عَوْدِهِ كَمَا لَوْ سَقَطَ بِقَبْضٍ أَوْ إِبْرَاءٍ، وَلِأَنَّ تَعَذُّرَ اسْتِيفَاءِ الْحَقِّ مِنَ الْمُحَالِ عَلَيْهِ لَا يُوجِبُ فَسْخَ الْحَوَالَةِ كَمَا لَوْ أَفْلَسَ حَيًّا، وَلِأَنَّ مَنْ لَزِمَهُ حَقٌّ فِي ذِمَّتِهِ فَمَوْتُهُ لَا يُوجِبُ فَسْخَ الْعَقْدِ الَّذِي ثَبَتَ الْحَقُّ لِأَجْلِهِ كَالْمُشْتَرِي بِثَمَنٍ مُؤَجَّلٍ إِذَا مَاتَ لَمْ يُوجِبْ مَوْتُهُ فَسْخَ الشِّرَاءِ وَلِأَنَّ انْتِقَالَ الْحَقِّ مِنْ مَحَلٍّ إِلَى مِثْلِهِ لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِالْمُرَاضَاةِ قِيَاسًا عَلَى الْإِبْدَالِ فِي الْأَعْيَانِ وَلِأَنَّ الْحَوَالَةَ بِالْحَقِّ تَجْرِي مَجْرَى الْقَبْضِ بِدَلِيلَيْنِ:

Jika ada yang mengajukan keberatan dengan hadis ‘Utsman, maka jawabannya adalah sebagaimana yang akan kami sebutkan. Adapun maknanya adalah gugurnya tuntutan dari orang yang memiliki kewajiban tanpa ada lagi keterikatan yang menghalangi kembalinya hak tersebut, sebagaimana jika gugur karena telah diterima atau diikhlaskan. Karena ketidakmampuan untuk menagih hak dari pihak yang dialihkan kepadanya tidak menyebabkan pembatalan hawālah, sebagaimana jika ia jatuh miskin saat masih hidup. Dan karena siapa pun yang memiliki kewajiban dalam tanggungannya, kematiannya tidak menyebabkan pembatalan akad yang menjadi sebab timbulnya hak tersebut, seperti pembeli dengan harga yang ditangguhkan; jika ia meninggal, kematiannya tidak menyebabkan pembatalan jual beli. Dan karena perpindahan hak dari satu tempat ke tempat yang serupa tidak dapat terjadi kecuali dengan kerelaan kedua belah pihak, qiyās dengan penggantian pada barang-barang (‘ayn). Dan karena hawālah atas hak berjalan seperti penerimaan (qabdh) dengan dua dalil:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ صَرْفٌ يَجُوزُ الِافْتِرَاقُ فِيهِ، فَلَوْلَا أَنَّهُ قَبَضَ لَبَطَلَ بِالِافْتِرَاقِ.

Pertama: Ia adalah bentuk sharf (pertukaran uang) yang boleh berpisah di dalamnya. Seandainya bukan karena ia dianggap telah diterima, maka akad itu batal karena perpisahan.

وَالثَّانِي: إِنَّ الْمُحِيلَ لَوْ مَاتَ جَازَ لِوَرَثَتِهِ الِاقْتِسَامُ بِالتَّرِكَةِ لِبَقَاءِ حَقِّهِ فِيهَا فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ الْحَقَّ مَقْبُوضٌ وَالْحُقُوقُ الْمَقْبُوضَةُ إِذَا تَلِفَتِ الرُّجُوعُ بِهَا كَالْأَعْيَانِ الْمَقْبُوضَةِ وَلِأَنَّ الْحَوَالَةَ اسْمٌ مُشْتَقٌّ مِنْ مَعْنَاهُ، وَهُوَ تُحَوُّلُ الْحَقِّ بِهِ كَمَا أَنَّ الضَّمَانَ مُشْتَقٌّ مِنَ انْضِمَامِ ذِمَّةٍ إِلَى ذِمَّةٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَعُودَ الْحَقُّ بَعْدَ تَحَوُّلِهِ إِلَّا بِمِثْلِ مَا انْتَقَلَ بِهِ.

Kedua: Jika muḥīl (pihak yang mengalihkan) meninggal dunia, maka ahli warisnya boleh membagi warisan karena haknya masih ada di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa hak tersebut telah diterima, dan hak-hak yang telah diterima jika hilang, maka tidak ada hak untuk kembali menuntutnya, sebagaimana barang (‘ayn) yang telah diterima. Dan karena hawālah adalah istilah yang diambil dari maknanya, yaitu perpindahan hak dengannya, sebagaimana ḍamān diambil dari makna bergabungnya tanggungan satu pihak dengan pihak lain. Maka tidak boleh hak itu kembali setelah berpindah kecuali dengan cara yang sama seperti saat ia berpindah.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا اسْتَدَلُّوا بِهِ مِنْ حَدِيثِ عُثْمَانَ فَمِنْ وُجُوهٍ:

Adapun jawaban atas dalil yang mereka gunakan dari hadis ‘Utsman, maka ada beberapa sisi:

أَحَدُهَا: إِنَّهَا رِوَايَةُ خُلَيْدٍ وَهُوَ مَجْهُولٌ،

Pertama: Hadis tersebut adalah riwayat Khulaid, dan ia adalah perawi yang majhul (tidak dikenal).

وَالثَّانِي: إِنَّهُ مُنْقَطِعٌ لِأَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ قُرَّةَ لَمْ يَلْقَ عُثْمَانَ وَالْحَدِيثُ الْمُنْقَطِعُ غَيْرُ لَازِمٍ

Kedua: Hadis tersebut munqathi‘ (terputus sanadnya), karena Mu‘āwiyah bin Qurrah tidak pernah bertemu dengan ‘Utsman, dan hadis munqathi‘ tidak dapat dijadikan hujah.

وَالثَّالِثُ: إِنَّهُ قَالَ فِي الْحَوَالَةِ أَوِ الْكَفَالَةِ فَكَانَ شَكًّا يَمْنَعُ مِنْ صِحَّةِ الِاسْتِدْلَالِ لِأَنَّ فِي الْكَفَالَةِ يَرْجِعُ وَفِي الْحَوَالَةِ لَا يَرْجِعُ، وَالشَّكُّ يَمْنَعُ مِنْ تَعْيِينِهِ فِي الْحَوَالَةِ.

Ketiga: Dalam hadis tersebut disebutkan tentang hawālah atau kafālah, sehingga terdapat keraguan yang menghalangi keabsahan pengambilan dalil, karena dalam kafālah hak dapat kembali, sedangkan dalam hawālah tidak dapat kembali. Keraguan ini menghalangi penetapan bahwa hadis tersebut khusus tentang hawālah.

وَالرَّابِعُ: إِنَّهُ مُسْتَعْمَلٌ لِأَنَّهُ قَالَ لَا تَوَى عَلَى مَالِ مُسْلِمٍ، فَيُحْمَلُ أَنَّهُ لَا تَوَى عَلَى مَالِ الْمُحْتَالِ وَلَيْسَ أَحَدُ الِاسْتِعْمَالَيْنِ أَوْلَى وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْأَعْيَانِ التَّالِفَةِ فَهُوَ إِنَّ الْحَوَالَةَ قَبْضٌ لِلْحَقِّ بِدَلِيلِ مَا مَضَى وَمَا تَلِفَ بَعْدَ قَبْضِهِ لَمْ يَسْتَحِقَّ الرُّجُوعَ بِهِ كَالْأَعْيَانِ التَّالِفَةِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا قَالُوا: إِنَّهُ لَا يَخْلُو أَنْ يَجْرِيَ مَجْرَى الْعَيْبِ أَوِ الِاسْتِحْقَاقِ فَهُوَ أَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْعَيْبِ وَالْعُيُوبُ الْحَادِثَةُ بَعْدَ الْقَبْضِ لَا تَسْتَحِقُّ الرُّجُوعَ بِهَا كَالْأَعْيَانِ.

Keempat: Hadis tersebut bersifat umum, karena disebutkan “janganlah kamu menuntut harta seorang Muslim”, sehingga dapat dimaknai bahwa yang dimaksud adalah harta muḥtāl (pihak yang dialihkan), dan tidak ada salah satu dari dua penggunaan ini yang lebih utama. Adapun jawaban atas qiyās mereka dengan barang (‘ayn) yang rusak adalah bahwa hawālah merupakan qabdh (penerimaan) atas hak, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Apa yang rusak setelah diterima, maka tidak berhak untuk kembali menuntutnya, sebagaimana barang (‘ayn) yang rusak. Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa hal itu tidak lepas dari dua kemungkinan: mengikuti hukum cacat (‘ayb) atau istihqāq (klaim kepemilikan orang lain), maka jawabannya adalah bahwa ia mengikuti hukum cacat, dan cacat yang terjadi setelah qabdh tidak berhak untuk dikembalikan, sebagaimana barang (‘ayn).

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا أَلْزَمُوهُ عَلَى مَذْهَبِنَا مِنَ الرُّجُوعِ بِعَيْنِ الْمَبِيعِ عِنْدَ فَلَسِ الْمُشْتَرِي، فَهُوَ إِنَّنَا جَمِيعًا قَدِ اتَّفَقْنَا عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا لِأَنَّهُمْ أَوْجَبُوا الرُّجُوعَ فِي الْحَوَالَةِ دُونَ الْمَبِيعِ وَنَحْنُ نُوجِبُ الرُّجُوعَ فِي الْمَبِيعِ دُونَ الْحَوَالَةِ فَهَذَا فَرْقٌ مِنْ حَيْثُ الْإِجْمَاعُ. ثُمَّ الْفَرْقُ مِنْ حَيْثُ الْمَعْنَى إنَّ الْعَلَقَ فِي الْحَوَالَةِ مُنْقَطِعَةٌ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَعُودَ الْحَقُّ فِيهَا وَالْعَلَقُ فِي الْمَبِيعِ بَاقِيَةٌ لِبَقَاءِ عَيْنِهِ فَجَازَ أَنْ يَعُودَ الْحَقُّ إِلَى المبيع بالفلس الحادث.

Adapun jawaban atas keberatan mereka terhadap mazhab kami tentang kembalinya barang yang dijual ketika pembeli jatuh pailit, maka jawabannya adalah bahwa kita semua telah sepakat adanya perbedaan antara keduanya. Karena mereka mewajibkan hak untuk kembali dalam hawālah dan tidak pada barang yang dijual, sedangkan kami mewajibkan hak untuk kembali pada barang yang dijual dan tidak pada hawālah. Maka ini adalah perbedaan dari sisi ijmā‘. Kemudian perbedaan dari sisi makna adalah bahwa keterikatan dalam hawālah telah terputus sehingga tidak boleh hak itu kembali, sedangkan keterikatan pada barang yang dijual masih ada karena barangnya masih ada, sehingga hak itu boleh kembali kepada barang yang dijual karena adanya kepailitan yang baru terjadi.

مسألة

Masalah

: قال الشافعي رضي الله عنه: ” غرمنه أو لم يغرمنه ولو كان كما قال محمد بن الحسن إذا أفلس أو مات مفلسا رجع على المحيل لما صبر المحتال على من أحيل لأن حقه ثابت على المحيل ولا يخلو من أن يكون حقه قد تحول عني فصار إلى غيري فلم يأخذني بما برئت منه لأن أفلس غيري أو لا يكون حقه تحول عني فلم أبرأني منه قبل أن يفلس المحال عليه واحتج محمد بن الحسن بأن عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ فِي الْحَوَالَةِ أَوِ الْكَفَالَةِ يَرْجِعُ صَاحِبُهَا لَا تَوَى عَلَى مال مسلم وهو عندي يبطل من وجهين ولو صح ما كان له فيه شيء لأنه لا يدري قال ذلك في الحوالة أو الكفالة “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Ia menanggungnya atau tidak menanggungnya. Seandainya seperti yang dikatakan oleh Muḥammad bin al-Ḥasan, jika orang itu bangkrut atau meninggal dalam keadaan bangkrut, maka orang yang dihawalahkan kembali kepada muḥīl (pihak yang mengalihkan utang), tentu orang yang menerima hawalah akan bersabar terhadap orang yang dihawalahkan kepadanya, karena haknya tetap pada muḥīl. Tidak lepas dari dua kemungkinan: haknya telah berpindah dariku lalu menjadi milik orang lain, maka ia tidak bisa menuntutku atas apa yang aku telah bebas darinya karena kebangkrutan orang lain; atau haknya belum berpindah dariku, maka aku belum terbebas darinya sebelum orang yang dihawalahkan kepadanya bangkrut. Muḥammad bin al-Ḥasan berdalil dengan ucapan ‘Utsmān raḍiyallāhu ‘anhu tentang hawalah atau kafālah: ‘Pemiliknya boleh kembali, tidak boleh menuntut harta seorang Muslim.’ Menurutku, pendapat ini batal dari dua sisi. Andaipun benar, ia tidak memiliki hujjah di dalamnya, karena tidak diketahui apakah ucapan itu terkait hawalah atau kafālah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا أَحَالَهُ بِالْحَقِّ عَلَى رَجُلٍ فَكَانَ وَقْتَ الْحَوَالَةِ مُعْسِرًا لَمْ يَرْجِعِ الْمُحْتَالُ كَمَا لَوْ حَدَثَ إِعْسَارٌ سَوَاءٌ غَرَّهُ بِذِكْرِ يَسَارِهِ أَوْ لَمْ يَغُرَّهُ وقال مالك: إن غره بذكر يساره يَرْجِعْ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَغُرَّهُ لَمْ يَرْجِعْ عَلَيْهِ وَبِهِ قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ وَحْدَهُ مِنْ بَيْنِ أَصْحَابِنَا كُلِّهِمْ، قَالَ: لِأَنَّهُ لَمَّا رَجَعَ الْمُشْتَرِي فِي الْبَيْعِ بِالْغُرُورِ فِي الْعَيْبِ وَجَبَ أَنْ يَرْجِعَ الْمُحْتَالُ بِالْغُرُورِ فِي الْيَسَارِ.

Al-Māwardī berkata: “Dan ini sebagaimana yang dikatakan, jika seseorang mengalihkan haknya kepada seorang laki-laki, lalu pada saat hawalah itu orang tersebut dalam keadaan sulit (miskin), maka orang yang menerima hawalah tidak boleh kembali (menuntut) sebagaimana jika terjadi kesulitan setelahnya, baik ia telah ditipu dengan disebutkan kelapangan hartanya atau tidak. Imam Mālik berpendapat: Jika ia ditipu dengan disebutkan kelapangan hartanya, maka ia boleh kembali menuntut; jika tidak, maka tidak boleh kembali menuntut. Pendapat ini juga dipegang oleh Abū al-‘Abbās bin Surayj saja di antara seluruh sahabat kami. Ia berkata: Karena ketika pembeli boleh kembali dalam jual beli karena tertipu dalam cacat, maka seharusnya orang yang menerima hawalah juga boleh kembali karena tertipu dalam kelapangan harta.”

وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّا قَدْ دَلَّلْنَا عَلَى أَنَّ الْإِعْسَارَ لَا يَسْتَحِقُّ بِهِ الرُّجُوعَ إِذَا لَمْ يَكُنْ غُرُورًا وَكَذَا لَا يَسْتَحِقُّ الرُّجُوعَ مَعَ الْغُرُورِ وَالْعُيُوب لَمَّا رَجَعَ بِهَا مَعَ عَدَمِ الْغُرُورِ بِهَا رَجَعَ بِهَا مَعَ الْغُرُورِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ إِعْسَارَ الْمُحْتَالِ عَلَيْهِ قَدْ يصل إليه من غير المحيل فلم يكون لَهُ الرُّجُوعُ بِهَا مَعَ الْغُرُورِ، وَالْعُيُوبُ قَدْ لَا يَصِلُ إِلَيْهَا مِنْ غَيْرِ جِهَةِ الْبَائِعِ فَلِذَلِكَ رَجَعَ بِهَا مَعَ الْغُرُورِ فَصَحَّ أَنْ لَا رُجُوعَ لِلْمُحْتَالِ بِإِعْسَارِ الْمُحَالِ عَلَيْهِ سَوَاءٌ كَانَ إِعْسَارًا حَادِثًا أَوْ سَالِفًا مَغْرُورًا بِهِ أَوْ غَيْرَ مَغْرُورٍ.

Dan ini adalah kekeliruan; karena kami telah menjelaskan bahwa kesulitan (miskin) tidak berhak dijadikan alasan untuk kembali (menuntut) jika tidak ada unsur penipuan, demikian pula tidak berhak kembali meskipun ada penipuan. Adapun cacat, ketika boleh kembali karena cacat meskipun tanpa penipuan, maka lebih boleh lagi jika ada penipuan. Perbedaannya, kesulitan pada orang yang dihawalahkan kepadanya bisa saja terjadi tanpa campur tangan muḥīl, sehingga tidak ada hak untuk kembali meskipun ada penipuan. Sedangkan cacat, biasanya tidak terjadi kecuali dari pihak penjual, sehingga boleh kembali jika ada penipuan. Maka jelaslah bahwa tidak ada hak bagi orang yang menerima hawalah untuk kembali karena kesulitan orang yang dihawalahkan kepadanya, baik kesulitan itu terjadi setelah maupun sebelum hawalah, baik karena tertipu atau tidak.”

(مَسَائِلُ الْمُزَنِيِّ)

(Masā’il al-Muzanī)

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ المزني: ” هذه مسائل تحريت فيها معاني جوابات الشافعي في الحوالة (قال المزني) قلت أنا من ذَلِكَ وَلَوِ اشْتَرَى عَبْدًا بِأَلْفِ دِرْهَمٍ وَقَبَضَهُ ثُمَّ أَحَالَ الْبَائِعُ بِالْأَلْفِ عَلَى رَجُلٍ لَهُ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَلْفُ دِرْهَمٍ فَاحْتَالَ ثُمَّ إِنَّ الْمُشْتَرِيَ وَجَدَ بِالْعَبْدِ عَيْبًا فَرَدَّهُ بَطُلَتِ الْحَوَالَةُ وَإِنْ رَدَّ الْعَبْدَ بَعْدَ أَنْ قَبَضَ الْبَائِعُ مَا احْتَالَ بِهِ رَجَعَ بِهِ الْمُشْتَرِي عَلَى الْبَائِعِ وَكَانَ الْمُحَالُ عَلَيْهِ مِنْهُ بَرِيئًا “.

Al-Muzanī berkata: “Ini adalah beberapa masalah yang aku teliti makna jawaban-jawaban asy-Syafi‘i tentang hawalah. (Al-Muzanī berkata): Aku bertanya tentang hal itu: Seandainya seseorang membeli seorang budak dengan harga seribu dirham dan telah menerimanya, kemudian penjual mengalihkan piutang seribu itu kepada seseorang yang berutang seribu kepadanya, lalu dilakukan hawalah. Kemudian pembeli menemukan cacat pada budak itu dan mengembalikannya, maka hawalah menjadi batal. Jika ia mengembalikan budak itu setelah penjual menerima apa yang telah dihawalahkan, maka pembeli menuntut penjual dan orang yang dihawalahkan kepadanya terbebas darinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ اشْتَرَى مِنْ رَجُلٍ عَبْدًا بِأَلْفِ دِرْهَمٍ ثُمَّ إِنَّ الْمُشْتَرِيَ أَحَالَ الْبَائِعَ بِالْأَلْفِ عَلَى رَجُلٍ لِلْمُشْتَرِي عَلَيْهِ أَلْفٌ، فَكَانَ الْمُشْتَرِي مُحِيلًا وَالْبَائِعُ مُحْتَالًا وَالْأَجْنَبِيُّ مُحَالًا عَلَيْهِ، وَفِي مَذْهَبِنَا عَلَى مَا بَيَّنَّا إِنَّ الْحَوَالَةَ تَتِمُّ بِالْمُحِيلِ وَالْمُحْتَالِ وَلَيْسَ رِضَا

Al-Māwardī berkata: “Gambaran kasusnya adalah seseorang membeli budak dari orang lain seharga seribu dirham, lalu pembeli mengalihkan piutang seribu itu kepada seseorang yang berutang seribu kepadanya. Maka pembeli menjadi muḥīl, penjual menjadi muḥtāl, dan orang ketiga menjadi muḥāl ‘alayh. Dalam mazhab kami, sebagaimana telah kami jelaskan, hawalah menjadi sah dengan adanya muḥīl dan muḥtāl, dan tidak disyaratkan keridaan

(6/423)

(6/423)

المحال عليه شرطا فيها فصارت الحوالة هاهنا تَامَّةً بِالْبَائِعِ وَالْمُشْتَرِي.

muḥāl ‘alayh sebagai syarat di dalamnya. Maka hawalah di sini menjadi sempurna dengan adanya penjual dan pembeli.

ثُمَّ إِنَّ الْمُشْتَرِيَ بَعْدَ تَمَامِ الْحَوَالَةِ وَجَدَ بِالْعَبْدِ عَيْبًا مُتَقَدِّمًا فَرَدَّهُ عَلَى الْبَائِعِ بِعَيْبِهِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْبَائِعِ فِي الْحَوَالَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: –

Kemudian jika setelah hawalah sempurna, pembeli menemukan cacat lama pada budak itu lalu mengembalikannya kepada penjual karena cacat tersebut, maka keadaan penjual dalam hawalah tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ قَبَضَ الْأَلْفَ مِنَ الْمُحَالِ عَلَيْهِ أَوْ لَمْ يَقْبِضْهَا، فَإِنْ كَانَ قَدْ قَبَضَهَا مِنَ الْمُحَالِ عَلَيْهِ لَمْ تَبْطُلْ بِرَدِّ الْعَبْدِ وَبَرِئَ الْمُحَالُ عَلَيْهِ مِنْهَا لِأَنَّهُ دَفَعَهَا عَنْ أَمْرِ الْمَالِكِ، وَكَانَ لِلْمُشْتَرِي إِذَا رَدَّ الْعَبْدَ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْبَائِعِ بِهَا لِأَنَّ رَدَّ الْمَبِيعِ بِالْعَيْبِ يُوجِبُ اسْتِرْجَاعَ الثَّمَنِ.

Pertama, penjual telah menerima seribu dirham dari muḥāl ‘alayh atau belum menerimanya. Jika penjual telah menerimanya dari muḥāl ‘alayh, maka hawalah tidak batal dengan pengembalian budak dan muḥāl ‘alayh terbebas darinya, karena ia telah membayarkannya atas perintah pemilik (hak). Maka jika pembeli mengembalikan budak, ia boleh menuntut penjual, karena pengembalian barang karena cacat mewajibkan pengembalian harga.

فَإِنْ كَانَ الْبَائِعُ لَمْ يَقْبِضِ الْحَوَالَةَ قَبْلَ رَدِّ الْمُشْتَرَى عليه العبد بالعيب، فقد قال المزني هاهنا فِي جَامِعِهِ الصَّغِيرِ إِنَّ الْحَوَالَةَ قَدْ بَطَلَتْ.

Jika penjual belum menerima pembayaran hawalah sebelum pembeli mengembalikan budak karena cacat, maka al-Muzanī berkata dalam al-Jāmi‘ aṣ-Ṣaghīr bahwa hawalah telah batal.

وَهَكَذَا قَالَ فِي حِكَايَةٍ شَاذَّةٍ فِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ، وَقَدْ حُكِيَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي بَعْضِ النُّسَخِ مِنْ جَامِعِهِ الْكَبِيرِ: الْحَوَالَةُ ثَابِتَةٌ لَا تُبْطِلُ. فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ عَلَى أَرْبَعَةِ طُرُقٍ.

Demikian pula disebutkan dalam sebuah riwayat syādzdzah (ganjil) di al-Jāmi‘ al-Kabīr, dan telah dinukil darinya bahwa ia berkata dalam sebagian naskah al-Jāmi‘ al-Kabīr: al-ḥawālah (pengalihan utang) itu tetap dan tidak batal. Maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi empat pendapat.

أَحَدُهَا: أَنَّ الْحَوَالَةَ بَاطِلَةٌ، عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي جَامِعِهِ الصَّغِيرِ، وَجُمْهُورِ النُّسَخِ مِنْ جَامِعِهِ الْكَبِيرِ فَإِنَّ مَنْ حَكَى عَنِ الْجَامِعِ صِحَّةَ الْحَوَالَةِ خَاطِئٌ فِي النَّقْلِ.

Salah satunya: bahwa al-ḥawālah batal, sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Jāmi‘ al-Ṣaghīr dan mayoritas naskah al-Jāmi‘ al-Kabīr. Maka siapa yang menukil dari al-Jāmi‘ tentang sahnya al-ḥawālah, ia keliru dalam menukil.

وَهَذِهِ طَرِيقَةُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَكْثَرِ أَصْحَابِنَا، لِأَنَّ الْحَوَالَةَ تَمَّتْ بِالْبَائِعِ وَالْمُشْتَرِي، وَقَدِ اتَّفَقْنَا فِي الرَّدِّ بِالْعَيْبِ عَلَى إِبْطَالِ سَبَبِهَا فَوَجَبَ أَنْ تَبْطُلَ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَنْفَسِخَ الْبَيْعُ فِي الرَّدِّ بِالْعَيْبِ وَيَكُونَ الْبَائِعُ عَلَى حَقِّهِ مِنَ اسْتِيفَاءِ الثَّمَنِ.

Ini adalah pendapat Abū ‘Alī ibn Abī Hurairah dan mayoritas sahabat kami, karena al-ḥawālah terjadi antara penjual dan pembeli, dan kami telah sepakat dalam kasus pengembalian barang karena cacat bahwa sebabnya menjadi batal, maka wajiblah al-ḥawālah itu batal dan tidak boleh akad jual beli dibatalkan karena cacat, sementara penjual tetap berhak menagih harga.

وَالطَّرِيقَةُ الثَّانِيَةُ: إِنَّ الْحَوَالَةَ ثَابِتَةٌ لَا تَبْطُلُ عَلَى الْحِكَايَةِ الشَّاذَّةِ فِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ وَإِنَّ مَا قَالَهُ فِي الْجَامِعِ الصَّغِيرِ خَطَأٌ وَهَذِهِ طَرِيقَةُ أَبِي عَلِيٍّ الطَّبَرِيِّ وَهَذِهِ أَسْوَأُ الطُّرُقِ.

Pendapat kedua: bahwa al-ḥawālah tetap dan tidak batal, berdasarkan riwayat syādzdzah di al-Jāmi‘ al-Kabīr, dan apa yang disebutkan dalam al-Jāmi‘ al-Ṣaghīr adalah keliru. Ini adalah pendapat Abū ‘Alī al-Ṭabarī, dan ini adalah pendapat terburuk.

وَكَانَ مِنْ دَلِيلِهِ عَلَى صِحَّتِهَا مَعَ فَسَادِهَا بِالنَّقْلِ الصَّرِيحِ وَبُطْلَانِهَا بِالْحِجَاجِ الصَّحِيحِ أَنْ قَالَ أَخْذُ الْبَائِعِ بالثمن حوالة كأخذه بالثمن عوضا فَلَمَّا كَانَ إِذَا أَخَذَ بِالثَّمَنِ عِوَضًا أَوْ ثَوْبًا ثُمَّ تَرَادَّا بِعَيْبٍ لَمْ يَنْفَسِخْ مِلْكُ الْبَائِعِ عَنِ الْعِوَضِ الَّذِي أَخَذَهُ بِالثَّمَنِ وَلَزِمَهُ الثَّمَنُ دُونَ الْعِوَضِ، كَذَلِكَ إِذَا أَخَذَ بِالثَّمَنِ حَوَالَةً لَمْ تَبْطُلِ الْحَوَالَةُ وَكَانَ عَلَيْهِ رَدُّ بَدَلِهَا، وَهَذَا الِاسْتِدْلَالُ فَاسِدٌ، وَالْفَرْقُ بَيْنَ مَا ذكره إن أخذه بالثمن عوضا هو عقد بيع ثَانٍ فَلَمْ يَكُنْ فَسْخُ أَحَدِهِمَا مُوجِبًا لِفَسْخِ الْآخَرِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ أَخْذُ الْحَوَالَةِ بِالثَّمَنِ لِأَنَّهُ عَقْدٌ وَاحِدٌ فَإِذَا انْفَسَخَ بَطَلَ مَا تَفَرَّعَ عَنْهُ.

Di antara dalilnya atas keabsahan al-ḥawālah, meskipun rusak menurut riwayat yang jelas dan batal menurut argumentasi yang benar, adalah ucapannya: pengambilan harga oleh penjual melalui al-ḥawālah sama seperti pengambilan harga sebagai pengganti. Ketika penjual mengambil harga sebagai pengganti atau pakaian, lalu terjadi pengembalian karena cacat, maka kepemilikan penjual atas pengganti yang diambilnya dengan harga tidak batal, dan ia tetap wajib mengembalikan harga, bukan penggantinya. Demikian pula, jika ia mengambil harga melalui al-ḥawālah, maka al-ḥawālah tidak batal dan ia wajib mengembalikan penggantinya. Namun, argumentasi ini rusak, dan perbedaannya adalah bahwa pengambilan harga sebagai pengganti adalah akad jual beli kedua, sehingga pembatalan salah satunya tidak menyebabkan pembatalan yang lain. Tidak demikian halnya dengan pengambilan al-ḥawālah atas harga, karena itu adalah satu akad, sehingga jika batal, maka batal pula segala yang bercabang darinya.

وَالطَّرِيقُ الثَّالِثَةُ: إِنَّ كِلَا النَّقْلَيْنِ صَحِيحٌ، وَأَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ، فَالْمَوْضُوعُ الَّذِي أَبْطَلَ الْحَوَالَةَ إِذَا كَانَ رَدُّ الْعَبْدِ قَبْلَ قَبْضِهَا وَهَذِهِ طَرِيقَةُ كَثِيرٍ مِنْ أَصْحَابِنَا لِأَنَّ الْحَوَالَةَ بَعْدَ قَبْضِهَا قَدِ انْقَطَعَتْ عُلْقَتُهَا وَانْبَرَمَتْ وَلَمْ يَلْحَقْهَا الْفَسَادُ وَهِيَ قَبْلَ قَبْضِهَا مَوْقُوفَةٌ عليه وَأَصَحُّ هَذِهِ الطُّرُقِ إِنْ صَحَّ النَّقْلَانِ مَعًا الطَّرِيقَةُ الثَّالِثَةُ وَإِنْ لَمْ يَصِحَّ النَّقْلَانِ الطَّرِيقَةُ الْأُولَى.

Pendapat ketiga: bahwa kedua riwayat tersebut sahih, dan itu dibawa pada perbedaan dua keadaan. Maka, kasus yang membatalkan al-ḥawālah adalah jika pengembalian budak terjadi sebelum penerimaan al-ḥawālah, dan ini adalah pendapat banyak sahabat kami, karena al-ḥawālah setelah diterima telah terputus hubungannya dan telah sempurna, serta tidak terkena kerusakan. Sedangkan sebelum diterima, statusnya masih tergantung. Dan pendapat yang paling sahih di antara pendapat-pendapat ini, jika kedua riwayat itu benar, adalah pendapat ketiga. Namun jika kedua riwayat itu tidak sahih, maka pendapat pertama yang dipegang.

فَأَمَّا إِذَا خَرَجَ الْعَبْدُ حُرًّا، أَوْ مُسْتَحِقًّا فَالْحَوَالَةُ بَاطِلَةٌ – عِنْدَ كَافَّةِ أَصْحَابِنَا لِأَنَّ الْبَيْعَ وَقَعَ فَاسِدًا فَلَمْ تَصِحَّ الْحَوَالَةُ بِحَالٍ.

Adapun jika budak tersebut ternyata merdeka atau milik orang lain, maka al-ḥawālah batal menurut seluruh sahabat kami, karena jual belinya terjadi secara fasad (rusak), sehingga al-ḥawālah tidak sah dalam keadaan apa pun.

وَالطَّرِيقَةُ الرَّابِعَةُ: إِنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ عَلَى غَيْرِ هَذَا الْوَجْهِ فَالْمَوْضِعُ الَّذِي أَبْطَلَ الْحَوَالَةَ إِذَا كَانَ الْعَيْبُ مُتَقَدِّمًا فَلَا يَجُوزُ حُدُوثُ مِثْلِهِ بَعْدَ الْقَبْضِ وَالْمَوْضِعُ الَّذِي أَثْبَتَهَا إِذَا جَازَ حُدُوثُ مِثْلِ الْعَيْبِ بَعْدَ الْقَبْضِ وَكَانَ الْقَوْلُ فِي حُدُوثِهِ قَوْلَ الْبَائِعِ مَعَ يَمِينِهِ فَنَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ وَرُدَّتْ عَلَى الْمُشْتَرِي – وَحَلَفَ وَاسْتَحَقَّ الرَّدَّ، فَالْحَوَالَةُ ثَابِتَةٌ لَا تَبْطُلُ، لِأَنَّ الْحَوَالَةَ تَبْطُلُ بِاتِّفَاقِ الْمُحِيلِ وَالْمُحْتَالِ كَمَا كَانَ تَمَامُهَا بِهِمَا، – وَإِذَا أَنْكَرَ الْبَائِعُ تَقَدُّمَ الْعَيْبِ صَارَ بُطْلَانُهَا لَوْ أُبْطِلَتْ بِقَوْلِ الْمُحْتَالِ وَحْدَهُ وَهُوَ الْمُشْتَرِي، وَالْحَوَالَةُ لَا تَبْطُلُ بِقَوْلِهِ وحده وهذه طريقة أبي إسحاق المروزي.

Pendapat keempat: bahwa itu dibawa pada perbedaan dua keadaan dengan cara yang berbeda. Kasus yang membatalkan al-ḥawālah adalah jika cacatnya sudah ada sebelumnya, sehingga tidak boleh terjadi hal serupa setelah penerimaan. Sedangkan kasus yang menetapkan al-ḥawālah adalah jika memungkinkan terjadinya cacat setelah penerimaan, dan dalam hal ini ucapan penjual yang diterima dengan sumpahnya. Jika ia menolak bersumpah dan dikembalikan kepada pembeli, lalu pembeli bersumpah dan berhak atas pengembalian, maka al-ḥawālah tetap dan tidak batal, karena al-ḥawālah batal dengan kesepakatan antara muḥīl (pihak yang mengalihkan) dan muḥtāl (pihak yang menerima pengalihan), sebagaimana sempurnanya dengan keduanya. Jika penjual mengingkari adanya cacat sebelumnya, maka batalnya al-ḥawālah jika dibatalkan hanya dengan ucapan muḥtāl saja, yaitu pembeli, dan al-ḥawālah tidak batal hanya dengan ucapannya. Ini adalah pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī.

(قال المزني) وفي إبطال الحوالة نظر (قال) وَلَوْ كَانَ الْبَائِعُ أَحَالَ عَلَى الْمُشْتَرِي بِهَذِهِ الألف رجلا له عَلَيْهِ أَلْفُ دِرْهَمٍ ثُمَّ تَصَادَقَ الْبَائِعُ وَالْمُشْتَرِي أَنَّ الْعَبْدَ الَّذِي تَبَايَعَاهُ حُرُّ الْأَصْلِ فَإِنَ الْحَوَالَةَ لَا تَنْتَقِضُ لِأَنَّهُمَا يُبْطِلَانِ بِقَوْلِهِمَا حَقًّا لِغَيْرِهِمَا، فَإِنْ صَدَّقَهُمَا الْمُحْتَالُ أَوْ قَامَتْ بِذَلِكَ بَيِّنَةٌ انْتَقَضَتِ الْحِوَالَةُ “.

(Mazani berkata): Dalam pembatalan hawālah (pengalihan utang) terdapat perbedaan pendapat. (Ia berkata): Jika penjual telah mengalihkan kepada pembeli utang seribu dirham kepada seseorang yang memiliki hak atasnya sebesar seribu dirham, kemudian penjual dan pembeli sepakat bahwa budak yang mereka perjualbelikan itu asalnya adalah orang merdeka, maka hawālah tidak batal, karena dengan pernyataan mereka berdua, mereka membatalkan hak orang lain. Namun, jika orang yang menerima pengalihan (muḥtāl) membenarkan mereka berdua, atau ada bukti yang menunjukkan hal itu, maka hawālah menjadi batal.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ يَشْتَرِيَ رَجُلٌ مِنْ رَجُلٍ عَبْدًا بِأَلْفٍ وَيَكُونُ عَلَى الْبَائِعِ لِرَجُلٍ أَجْنَبِيٍّ أَلْفٌ فَيُحِيلُهُ عَلَى الْمُشْتَرِي بِالْأَلْفِ الَّتِي لَهُ عَلَيْهِ مِنْ ثَمَنِ الْعَبْدِ، فَيَصِيرُ الْبَائِعُ مُحِيلًا، وَالْأَجْنَبِيُّ الْغَرِيمُ مُحْتَالًا، وَالْمُشْتَرِي مُحَالًا عَلَيْهِ، وَالْحَوَالَةُ عَلَى مَا وَصَفْنَا تتم بالمحيل والمحتال فتصير حينئذ هاهنا تَامَّةً بِالْبَائِعِ وَالْغَرِيمِ الْأَجْنَبِيِّ.

Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah seorang laki-laki membeli seorang budak dari orang lain dengan harga seribu, dan penjual memiliki utang seribu kepada orang lain yang tidak terkait. Lalu penjual mengalihkan utang itu kepada pembeli dengan seribu yang menjadi haknya atas pembeli dari harga budak tersebut. Maka penjual menjadi muḥīl (yang mengalihkan), orang asing (pihak ketiga) menjadi gharīm (kreditur) sekaligus muḥtāl (penerima pengalihan), dan pembeli menjadi muḥāl ‘alayh (yang dialihkan kepadanya). Hawālah menurut penjelasan kami, sah dengan adanya muḥīl dan muḥtāl, sehingga dalam kasus ini hawālah menjadi sempurna dengan adanya penjual dan gharīm yang asing tersebut.

ثُمَّ إِنِ الْعَبْدُ الْمَبِيعُ بَانَ حُرَّ الْأَصْلِ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kemudian, jika ternyata budak yang dijual itu asalnya adalah orang merdeka, maka kasus ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَقُومَ بِحُرِّيَّتِهِ بَيِّنَةٌ عَادِلَةٌ فَتَبْطُلَ الْحَوَالَةُ لِأَنَّ الْبَيِّنَةَ مَقْبُولَةٌ عَلَى الْجَمِيعِ.

Pertama: Jika ada bukti yang adil tentang kemerdekaannya, maka hawālah batal, karena bukti tersebut diterima untuk semua pihak.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَلَّا تَقُومَ بَيِّنَةٌ وَإِنَّمَا يَتَصَادَقُ الْبَائِعُ وَالْمُشْتَرِي عَلَى حُرِّيَّتِهِ فَإِنْ صَدَّقَهُمَا الْغَرِيمُ الْأَجْنَبِيُّ عَلَى حُرِّيَّةِ الْعَبْدِ، وَأَنَّ الْحَوَالَةَ كَانَتْ بِثَمَنِهِ بَطَلَتِ الْحَوَالَةُ أَيْضًا، لِأَنَّ مَنْ تَمَّتْ بِهِ الْحَوَالَةُ قَدِ اعْتَرَفَ بِبُطْلَانِ الْحَوَالَةِ وَهُوَ الْبَائِعُ الْمُحِيلُ وَالْغَرِيمُ الْمُحْتَالُ، فَإِنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمَا عَلَى حُرِّيَّةِ الْعَبْدِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ، وَلَا تَبْطُلُ الْحَوَالَةُ، لِأَنَّ الْحَوَالَةَ تَمَّتْ بِالْبَائِعِ وَالْغَرِيمِ، فَلَمْ تَبْطُلْ بِالْبَائِعِ وَحْدَهُ.

Kedua: Jika tidak ada bukti, namun penjual dan pembeli sepakat tentang kemerdekaannya, lalu gharīm yang asing membenarkan mereka berdua tentang kemerdekaan budak itu dan bahwa hawālah dilakukan atas harga budak tersebut, maka hawālah juga batal. Sebab, pihak-pihak yang membuat hawālah telah mengakui batalnya hawālah, yaitu penjual (muḥīl) dan gharīm (muḥtāl). Namun, jika gharīm tidak membenarkan mereka berdua tentang kemerdekaan budak itu, maka keputusan ada pada gharīm dengan sumpahnya, dan hawālah tidak batal, karena hawālah telah sempurna dengan adanya penjual dan gharīm, sehingga tidak batal hanya dengan penjual saja.

وَهَكَذَا لَوْ صَدَّقَهُمَا عَلَى حُرِّيَّةِ الْعَبْدِ الَّذِي تَبَايَعَاهُ وَأَنْكَرَ أَنْ تَكُونَ الْحَوَالَةُ بِثَمَنِهِ وَذَكَرَ أَنَّهَا بِمَالِ غَيْرِهِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْغَرِيمِ أَيْضًا مَعَ يَمِينِهِ وَالْحَوَالَةُ بِحَالِهَا صَحِيحَةٌ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ التَّعْلِيلِ.

Demikian pula, jika gharīm membenarkan mereka berdua tentang kemerdekaan budak yang mereka perjualbelikan, namun ia mengingkari bahwa hawālah dilakukan atas harga budak tersebut dan menyatakan bahwa hawālah itu atas harta yang lain, maka keputusan tetap pada gharīm dengan sumpahnya, dan hawālah tetap sah sebagaimana adanya, berdasarkan alasan yang telah kami sebutkan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا رَدَّ الْمُشْتَرِي الْعَبْدَ بِعَيْبٍ وَتَفَاسَخَا الْبَيْعَ فَإِنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمَا الْغَرِيمُ عَلَى أَنَّ الْأَلْفَ ثَمَنُهُ لَمْ تَبْطُلِ الْحَوَالَةُ وَإِنْ صَادَقَهُمَا عَلَى أَنَّ الْأَلْفَ مِنْ ثَمَنِهِ فَإِنْ تَرَادَّا الْبَيْعَ وَتَفَاسَخَا بِالْعَيْبِ مِنْ غَيْرِ حُكْمِ حَاكِمٍ، لَمْ تَبْطُلِ الْحَوَالَةُ لِأَنَّهَا إِذَا تَمَّتْ لَمْ يَكُنْ فَسْخُهَا مَوْقُوفًا عَلَى خِيَارِ مَنْ لَمْ يَكُنْ تَمَامُهَا مُعْتَبَرًا بِهِ وَإِنْ تَفَاسَخَا بِحُكْمِ حَاكِمٍ، فَفِي بُطْلَانِ الْحَوَالَةِ وَجْهَانِ:

Adapun jika pembeli mengembalikan budak karena cacat dan kedua belah pihak membatalkan akad jual beli, maka jika gharīm tidak membenarkan mereka berdua bahwa seribu itu adalah harga budak tersebut, hawālah tidak batal. Namun jika gharīm membenarkan mereka berdua bahwa seribu itu dari harga budak tersebut, lalu mereka saling mengembalikan barang dan membatalkan akad karena cacat tanpa keputusan hakim, maka hawālah tidak batal, karena jika hawālah telah sempurna, pembatalannya tidak bergantung pada pilihan pihak yang kesempurnaannya tidak diperhitungkan. Namun jika pembatalan dilakukan dengan keputusan hakim, maka dalam pembatalan hawālah terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تَبْطُلُ الْحَوَالَةُ لِمَا عَلَّلْنَا.

Pertama: Hawālah tidak batal sebagaimana alasan yang telah kami sebutkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تَبْطُلُ لِأَنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ إِذَا نَفِذَ عَلَى الْمُتَبَايِعَيْنِ بِالْفَسْخِ ارْتَفَعَ حُكْمُ الْعَقْدِ فَلَمْ يَبْقَ له علقة.

Pendapat kedua: Hawālah batal, karena jika keputusan hakim telah berlaku atas kedua pihak yang berakad untuk membatalkan akad, maka hukum akad menjadi gugur dan tidak ada lagi keterkaitan.

(قال المزني) : ” ولو أَحَالَ رَجُلٌ عَلَى رَجُلٍ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ وَضَمِنَهَا ثُمَّ اخْتَلَفَا فَقَالَ الْمُحِيلُ أَنْتَ وَكِيلِي فِيهَا وَقَالَ الْمُحْتَالُ بَلْ أَنْتَ أَحَلْتَنِي بِمَالِي عَلَيْكَ وَتَصَادَقَا عَلَى الْحِوَالَةِ وَالضَّمَانِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُحِيلِ وَالْمُحْتَالُ مُدَّعٍ “.

(Mazani berkata): “Jika seseorang mengalihkan utang kepada orang lain sebesar seribu dirham dan menjaminnya, kemudian keduanya berselisih, lalu muḥīl berkata: ‘Engkau adalah wakilku dalam hal ini,’ dan muḥtāl berkata: ‘Bahkan engkau telah mengalihkan kepadaku hartaku yang ada padamu,’ dan keduanya sepakat atas adanya hawālah dan penjaminan, maka keputusan ada pada muḥīl, dan muḥtāl adalah pihak yang mengklaim.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي رَجُلٍ أَحَالَ رَجُلًا بِأَلْفٍ عَلَى رَجُلٍ، وَكَانَ لِلْمُحْتَالِ عَلَى الْمُحِيلِ مَالٌ، وَالْحَوَالَةُ مُطْلَقَةٌ لَمْ يُصَرِّحْ لَهُ الْمُحِيلُ بِأَنَّهَا مِنْ حَقِّكَ، وَلَا بِأَنَّكَ نَائِبٌ فِي قَبْضِهَا عَنِّي، وَلَيْسَتْ مِنْ حَقِّكَ بَلْ أَطْلَقَ لَفْظَ الْحَوَالَةِ ثُمَّ اخْتَلَفَا فَقَالَ الْمُحِيلُ: أَرَدْتَ الْوَكَالَةَ بِلَفْظِ الْحَوَالَةِ لِتَكُونَ نَائِبًا فِي قَبْضِهَا عَنِّي فَهِيَ لِي فِي يَدِكَ، وَلَيْسَتْ مِنْ حَقِّكَ، وَقَالَ الْمُحْتَالُ بَلْ هِيَ حَوَالَةٌ مِنْ حَقِّي، وَلَسْتُ نَائِبًا فِيهَا عَنْكَ وَلَا وَكِيلًا لَكَ، فَمَذْهَبُ الْمُزَنِيِّ، إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُحِيلِ لِأَنَّ الْمُحْتَالَ مُدَّعى عَلَيْهِ يَمْلِكُ الْحَوَالَةَ فَكَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُحِيلِ فِي بَقَائِهَا عَلَى مِلْكِهِ، وَصَارَ لَفْظُ الْحَوَالَةِ مُسْتَعَارًا فِي الْوَكَالَةِ.

Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah: Seorang laki-laki mengalihkan (utang) seorang laki-laki lain dengan nilai seribu kepada laki-laki ketiga, dan si muḥtāl (penerima pengalihan) memiliki harta pada muḥīl (pengalih), dan pengalihan (ḥawālah) tersebut bersifat mutlak, di mana muḥīl tidak secara tegas menyatakan kepadanya bahwa pengalihan itu adalah hakmu, dan juga tidak menyatakan bahwa engkau adalah wakilku dalam menerimanya, serta bukan pula merupakan hakmu, melainkan hanya mengucapkan kata pengalihan secara mutlak. Kemudian keduanya berselisih: muḥīl berkata, “Aku bermaksud memberikan kuasa (wakālah) dengan lafaz pengalihan agar engkau menjadi wakilku dalam menerimanya darinya, maka itu adalah milikku yang ada di tanganmu, dan bukan hakmu.” Sedangkan muḥtāl berkata, “Bahkan itu adalah pengalihan (ḥawālah) atas hakku, dan aku bukanlah wakilmu di dalamnya dan bukan pula agenmu.” Maka menurut mazhab al-Muzani, pendapat yang dipegang adalah pendapat muḥīl, karena muḥtāl adalah pihak yang didakwa atas pengalihan dan muḥīl tetap memiliki hak atas pengalihan tersebut, sehingga pendapat muḥīl yang dipegang dalam hal tetapnya pengalihan itu sebagai miliknya, dan lafaz ḥawālah di sini dianggap sebagai pinjaman makna dalam wakālah.

وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ الْقَوْلُ قَوْلُ الْمُحْتَالِ لِأَنَّ ظَاهِرَ اللَّفْظِ وَافَقَ دَعْوَاهُ فَكَانَ حَمْلُ الْحُكْمِ عَلَى مَا يَقْتَضِيهِ ظَاهِرُ اللَّفْظِ أَوْلَى مِنْ حَمْلِهِ عَلَى مَا يُخَالِفُهُ، فَعَلَى قَوْلِ الْمُزَنِيِّ، حَيْثُ جَعَلَ الْقَوْلَ قَوْلَ الْمُحِيلِ، لَا يَخْلُو حَالُ الْمُحْتَالِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: –

Abu al-‘Abbas bin Surayj berkata: Pendapat yang dipegang adalah pendapat muḥtāl, karena makna lahiriah lafaz tersebut sesuai dengan klaimnya, sehingga lebih utama untuk menetapkan hukum berdasarkan makna lahiriah lafaz daripada membawanya kepada makna yang bertentangan. Maka menurut pendapat al-Muzani, yang menjadikan pendapat muḥīl sebagai pegangan, keadaan muḥtāl tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ قَبَضَ الْحَوَالَةَ، أَوْ لَمْ يَقْبِضْهَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَبَضَهَا فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَقْبِضَهَا، لِأَنَّ الْمُحِيلَ وَإِنْ كَانَ مُقِرًّا بالْوَكَالَة، فَالْمُحْتَالُ مُنْكِرُهَا بِادِّعَاءِ الْحَوَالَةِ.

Yaitu, apakah ia telah menerima pengalihan (ḥawālah) tersebut atau belum menerimanya. Jika ia belum menerimanya, maka ia tidak berhak untuk menerimanya, karena meskipun muḥīl mengakui adanya wakālah, muḥtāl mengingkarinya dengan mengklaim adanya ḥawālah.

فإن خالف وَقَبَضَهَا فَهَلْ تَكُونُ مَضْمُونَةً عَلَيْهِ أَمْ لَا؟

Jika ia menyelisihi dan mengambilnya, maka apakah ia wajib menanggung (mengganti) atau tidak?

عَلَى وَجْهَيْنِ مِن اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا، هَلْ تَكُونُ حَوَالَةً فَاسِدَةً، أَوْ وَكَالَةً فَاسِدَةً؟ فَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ: إِنَّهَا تَكُونُ حَوَالَةً فَاسِدَةً فَعَلَى هَذَا تَكُونُ مَضْمُونَةً عَلَيْهِ.

Terdapat dua pendapat di kalangan para sahabat kami: Apakah itu dianggap sebagai ḥawālah yang fasid (rusak/tidak sah), atau sebagai wakālah yang fasid? Salah satu pendapat: Itu dianggap sebagai ḥawālah yang fasid, sehingga dalam hal ini ia wajib menanggung (mengganti).

وَالثَّانِي: تَكُونُ وَكَالَةً فَاسِدَةً فَعَلَى هَذَا لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ قَدْ قَبَضَهَا فَقَدْ بَرِئَ الْمُحَالُ عَلَيْهِ مِنْهَا، لِأَنَّهُ دَفَعَهَا عَنْ إِذْنِ مَالِكِهَا. ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَنْ تَكُونَ بَاقِيَةً أَوْ تَالِفَةً فَإِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً فِي يَدِ الْمُحْتَالِ كَانَ لِلْمُحِيلِ انْتِزَاعُهَا مِنْ يَدِهِ، وَلَمْ يَكُنْ لِلْمُحْتَالِ مَنْعُهُ مِنْهَا إِلَّا أَنْ لَا يَصِلَ إِلَى حَقِّهِ لِمَطْلِهِ إِلَّا بِهَا، فَيَجُوزُ لَهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى أَنْ يَحْبِسَهَا عَلَيْهِ لِيَسْتَوْفِيَ حَقَّهُ مِنْهَا، وَإِنْ كَانَتْ تَالِفَةً لَا تَرَاجُعَ بَيْنَهُمَا، لِأَنَّ الْمُحِيلَ يَقُولُ تَلِفَتْ عَلَى مِلْكِي أَمَانَةً فِي يَدِكَ فَهِيَ تَالِفَةٌ مِنْ مَالِي وَالْمُحْتَالُ يَقُولُ تَلِفَتْ بَعْدَ أَنْ أَخَذْتُهَا مِنْ حَقِّي فَقَدِ اسْتَوْفَيْتُ حَقِّي مِنْكَ.

Pendapat kedua: Itu dianggap sebagai wakālah yang fasid, sehingga dalam hal ini tidak ada kewajiban menanggung (mengganti) atasnya. Jika ia telah menerimanya, maka pihak yang dialihkan (muḥāl ‘alayh) telah bebas dari tanggungan, karena ia telah menyerahkannya atas izin pemiliknya. Selanjutnya, keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: masih ada atau telah rusak (hilang). Jika masih ada di tangan muḥtāl, maka muḥīl berhak mengambilnya dari tangannya, dan muḥtāl tidak berhak mencegahnya kecuali jika ia tidak dapat memperoleh haknya karena penundaan kecuali dengan itu, maka ia boleh menahannya antara dirinya dan Allah Ta‘ala untuk mengambil haknya darinya. Jika telah rusak (hilang), maka tidak ada saling tuntut di antara keduanya, karena muḥīl berkata, “Itu rusak atas kepemilikanku sebagai titipan di tanganmu, maka itu rusak dari hartaku.” Sedangkan muḥtāl berkata, “Itu rusak setelah aku menerimanya sebagai hakku, maka aku telah mengambil hakku darimu.”

فَأَمَّا عَلَى مَذْهَبِ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُحْتَالِ، فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أن تكون الْمُحْتَالُ قَدْ قَبَضَهَا، أَوْ لَمْ يَقْبِضْهَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَبَضَهَا، فَلَهُ أَنْ يَقْبِضَهَا مِنْ بَعْدُ، لِأَنَّ قَوْلَ الْمُحِيلِ لَمْ يُقْبَلْ فِي إِبْطَالِ الْحَوَالَةِ، وَإِنْ كَانَ قَدْ قَبَضَهَا فَقَدْ بَرِئَ الْمُحَالُ عَلَيْهِ مِنْهَا وَلَيْسَ لِلْمُحِيلِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا سَوَاءٌ كَانَتْ بَاقِيَةً أَوْ تَالِفَةً.

Adapun menurut mazhab Abu al-‘Abbas bin Surayj, bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat muḥtāl, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: muḥtāl telah menerimanya atau belum menerimanya. Jika belum menerimanya, maka ia berhak untuk menerimanya setelah itu, karena pendapat muḥīl tidak diterima dalam membatalkan ḥawālah. Jika ia telah menerimanya, maka pihak yang dialihkan (muḥāl ‘alayh) telah bebas dari tanggungan, dan muḥīl tidak berhak menariknya kembali, baik masih ada maupun telah rusak.

وَأَمَّا قَوْلُ الْمُزَنِيِّ: وَلَوْ أَحَالَ رَجُلٌ بِأَلْفٍ وَضَمِنَهَا لَهُ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ، وَضَمِنَهَا لَهُ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ: –

Adapun pendapat al-Muzani: “Seandainya seseorang mengalihkan (utang) dengan seribu dan menjaminnya untuknya,” para sahabat kami berbeda pendapat tentang makna ucapannya “dan menjaminnya untuknya” menjadi tiga mazhab:

أَحَدُهَا: إِنَّهُ قَالَ ذَلِكَ عَلَى سَبِيلِ التَّأْكِيدِ، وَلَيْسَ ضَمَانُ الْمُحَالِ عَلَيْهِ شَرْطًا فِي صِحَّةِ الْحَوَالَةِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَمَنْ قَالَ إِنَّ الْحَوَالَةَ تَتِمُّ بِالْمُحِيلِ وَالْمُحْتَالِ.

Salah satunya: Ia mengucapkan hal itu sebagai bentuk penegasan, dan jaminan dari muḥāl ‘alayh bukanlah syarat sahnya ḥawālah. Ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj, Abu Ishaq al-Marwazi, Ibn Abi Hurairah, dan mereka yang berpendapat bahwa ḥawālah menjadi sah dengan adanya muḥīl dan muḥtāl.

وَالثَّانِي: إِنَّهُ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الْحَوَالَةِ، وَهُوَ قَوْلُ الْمُزَنِيِّ وَالزُّبَيْرِيِّ وَالْإِصْطَخْرِيِّ وَمَنْ قَالَ إِنَّ الْحَوَالَةَ تَتِمُّ بِالْمُحِيلِ وَالْمُحْتَالِ وَرِضَا الْمُحَالِ عَلَيْهِ.

Kedua: Bahwa itu merupakan syarat sahnya al-ḥawālah, dan ini adalah pendapat al-Muzani, az-Zubairi, al-Iṣṭakhri, dan mereka yang berpendapat bahwa al-ḥawālah menjadi sempurna dengan adanya al-muḥīl, al-muḥtāl, dan kerelaan al-muḥāl ‘alaih.

وَالثَّالِثُ: إِنَّهَا مُصَوَّرَةٌ فِي حَوَالَةٍ عَلَى مَنْ لَا حَقَّ عَلَيْهِ لِلْمُحِيلِ، فَتَجْرِي مَجْرَى الضَّمَانِ وَلَا تَصِحُّ إلا برضاه وقبوله.

Ketiga: Bahwa hal itu digambarkan dalam al-ḥawālah atas orang yang tidak memiliki hak bagi al-muḥīl, sehingga hukumnya seperti ḍamān dan tidak sah kecuali dengan kerelaan dan penerimaannya.

(مسألة)

(Masalah)

(قال المزني) : ” وَلَوْ قَالَ الْمُحْتَالُ أَحَلْتَنِي عَلَيْهِ لِأَقْبِضَهُ لَكَ وَلَمْ تُحِلْنِي بِمَالِي عَلَيْكَ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَالْمُحِيلُ مُدَّعٍ لِلْبَرَاءَةِ مِمَّا عَلَيْهِ فَعَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ “.

(Al-Muzani berkata): “Jika al-muḥtāl berkata: ‘Engkau mengalihkan aku kepadanya untuk mengambilnya bagimu, dan engkau tidak mengalihkan aku dengan hartaku atasmu,’ maka yang dipegang adalah perkataannya dengan sumpahnya, dan al-muḥīl adalah orang yang mengklaim bebas dari kewajiban yang ada padanya, maka ia wajib mendatangkan bukti.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا بِعَكْسِ الْمَسْأَلَةِ الَّتِي تَقَدَّمَتْهَا وَهُوَ إِنَّهُمَا اخْتَلَفَا بَعْدَ الْحَوَالَةِ الْمُطْلَقَةِ فَقَالَ الْمُحِيلُ أَحَلْتُكَ بِمَالِكِ عَلَيَّ، وَقَالَ الْمُحْتَالُ بَلْ أَحَلْتَنِي لِأَقْبِضَهُ لَكَ نِيَابَةً عَنْكَ وَحَقِّي باقي فِي ذِمَّتِكَ، فَعَلَى مَذْهَبِ الْمُزَنِيِّ: الْقَوْلُ قَوْلُ المحتال، لأن المحيل مدعي للبراءة من حقه فكان فالقول قَوْلَ الْمُحْتَالِ:

Al-Mawardi berkata: “Gambaran masalah ini adalah kebalikan dari masalah sebelumnya, yaitu ketika keduanya berselisih setelah terjadi al-ḥawālah secara mutlak. Al-muḥīl berkata: ‘Aku mengalihkanmu dengan hartamu atasku,’ dan al-muḥtāl berkata: ‘Bahkan engkau mengalihkan aku untuk mengambilnya bagimu sebagai wakil darimu, dan hakku masih tetap dalam tanggunganmu.’ Maka menurut mazhab al-Muzani, yang dipegang adalah perkataan al-muḥtāl, karena al-muḥīl mengklaim bebas dari haknya, sehingga yang dipegang adalah perkataan al-muḥtāl.”

وَعَلَى مَذْهَبِ ابْنِ سُرَيْجٍ الْقَوْلُ قَوْلُ الْمُحِيلِ اعْتِبَارًا بِظَاهِرِ اللَّفْظِ، فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْمَذْهَبَيْنِ، فَإِذَا قِيلَ بِمَذْهَبِ الْمُزَنِيِّ إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُحْتَالِ، لَا يَخْلُو حَالُ الْحَوَالَةِ مِنْ أَنْ تَكُونَ قَدْ قُبِضَتْ أَوْ لَمْ تُقْبَضْ، فَإِنْ لَمْ يَكُنِ الْمُحْتَالُ قَبَضَهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَقْبِضَهَا مِنْ بَعْدُ، وَرَجَعَ بِحَقِّهِ عَلَى الْمُحِيلِ، وَهَلْ لِلْمُحِيلِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَى الْمُحَالِ عَلَيْهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Dan menurut mazhab Ibn Surayj, yang dipegang adalah perkataan al-muḥīl dengan mempertimbangkan zahir lafaz. Setelah dijelaskan kedua mazhab tersebut, jika dipilih mazhab al-Muzani bahwa yang dipegang adalah perkataan al-muḥtāl, maka keadaan al-ḥawālah tidak lepas dari dua kemungkinan: sudah diterima atau belum diterima. Jika al-muḥtāl belum menerimanya, maka tidak boleh ia menerimanya setelah itu, dan ia kembali menuntut haknya kepada al-muḥīl. Apakah al-muḥīl boleh menuntutnya kembali kepada al-muḥāl ‘alaih atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَرْجِعُ عَلَيْهِ بِهَا لِأَنَّهُ بِادِّعَاءِ الْحَوَالَةِ مُعْتَرِفٌ بِهَا لِلْمُحْتَالِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَرْجِعَ بِحَقٍّ قَدِ اعْتَرَفَ بِهِ لِغَيْرِهِ.

Pertama: Ia tidak boleh menuntutnya kembali, karena dengan mengklaim al-ḥawālah berarti ia mengakui hak itu untuk al-muḥtāl, sehingga tidak boleh ia menuntut kembali hak yang telah ia akui untuk orang lain.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَرْجِعُ بِهَا عَلَى الْمُحْتَالِ عليه، لأن اعترافه به لِلْمُحْتَالِ مَشْرُوطٌ بِسُقُوطِ حَقِّهِ مِنْ ذِمَّتِهِ فَلَمَّا لَمْ يَسْقُطْ مِنْ ذِمَّتِهِ كَانَ مَالُ الْحَوَالَةِ بَاقِيًا عَلَى مِلْكِهِ فَيَرْجِعُ بِهِ وَإِنْ كَانَ الْمُحْتَالُ قَدْ قَبَضَ الْحَوَالَةَ، فَلَا يَخْلُو مِنْ أَنْ تَكُونَ بَاقِيَةً، أَوْ تَالِفَةً، فَإِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً، فَهِيَ فِي الْحُكْمِ عَلَى مِلْكِ الْمُحِيلِ، وَيُقَالُ لِلْمُحْتَالِ اسْتَوْفِ حَقَّكَ مِنْهَا، لِأَنَّ ادِّعَاءَ الْمُحِيلِ أَنَّهُ أَحَالَهُ بِهَا مِنْ حَقِّهِ إِذْنٌ مِنْهُ بِقَبْضِهَا مِنْ حَقِّهِ.

Pendapat kedua: Ia boleh menuntutnya kembali kepada al-muḥāl ‘alaih, karena pengakuannya atas hak itu untuk al-muḥtāl bersyarat dengan gugurnya hak tersebut dari tanggungannya. Ketika hak itu tidak gugur dari tanggungannya, maka harta al-ḥawālah tetap menjadi miliknya, sehingga ia boleh menuntutnya kembali. Jika al-muḥtāl telah menerima al-ḥawālah, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: masih ada atau telah rusak. Jika masih ada, maka secara hukum tetap menjadi milik al-muḥīl, dan dikatakan kepada al-muḥtāl: “Ambillah hakmu darinya,” karena klaim al-muḥīl bahwa ia telah mengalihkan hak itu kepadanya merupakan izin untuk mengambilnya dari haknya.

وَإِنْ كَانَتْ تَالِفَةً كَانَ تَلَفُهَا مِنْ مَالِ الْمُحِيلِ، وَحَقُّ الْمُحْتَالِ بَاقٍ فِي ذِمَّةِ الْمُحِيلِ، وَلَيْسَ لِلْمُحِيلِ أَنْ يَرْجِعَ بِالْحَوَالَةِ عَلَى الْمُحَالِ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ دَفَعَهَا بِإِذْنِهِ.

Jika telah rusak, maka kerusakannya menjadi tanggungan harta al-muḥīl, dan hak al-muḥtāl tetap ada dalam tanggungan al-muḥīl, dan al-muḥīl tidak berhak menuntut al-ḥawālah kepada al-muḥāl ‘alaih, karena ia telah menyerahkannya dengan izinnya.

وَإِذَا قِيلَ بِمَذْهَبِ ابْنِ سُرَيْجٍ، إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُحِيلِ نُظِرَ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَبَضَ الْحَوَالَةَ فَلَهُ أَنْ يَقْبِضَهَا الْآنَ، وَلَا يَكُونُ إِنْكَارُهُ لَهَا مِنْ قَبْلُ بِمَانِعٍ لِقَبْضِهَا مِنْ بَعْدُ، وَيَصِيرُ كَالْمُبْتَدِئِ لَهَا بَعْدَ الْخِلَافِ.

Jika dipilih mazhab Ibn Surayj, bahwa yang dipegang adalah perkataan al-muḥīl, maka diperhatikan: jika al-muḥtāl belum menerima al-ḥawālah, maka ia boleh menerimanya sekarang, dan penolakannya sebelumnya tidak menjadi penghalang untuk menerimanya setelah itu, dan ia menjadi seperti orang yang memulai menerima setelah terjadi perselisihan.

وَإِنْ كَانَ قَدْ قَبَضَهَا فَقَدِ اسْتَقَرَّتْ وَبَرِئَ الْمُحِيلُ مِنْهَا، سَوَاءٌ كَانَتْ بَاقِيَةً فِي يَدِهِ أَوْ تَالِفَةً.

Jika ia telah menerimanya, maka hak itu telah tetap dan al-muḥīl telah bebas darinya, baik masih ada di tangannya maupun telah rusak.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَيَتَفَرَّعُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ اخْتِلَافِ الْمُزَنِيِّ وَابْنِ سُرَيْجٍ فِي هَاتَيْنِ الْمَسْأَلَتَيْنِ فَرْعَانِ:

Berdasarkan perbedaan pendapat antara al-Muzani dan Ibn Surayj dalam dua masalah ini, terdapat dua cabang hukum:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَقُولَ ضَمِنْتُ لَكَ مَالَكَ عَلَى فُلَانٍ، عَلَى أَنَّهُ بَرِئَ مِنْهُ، فَعَلَى قِيَاسِ مَذْهَبِ الْمُزَنِيِّ يَصِحُّ هَذَا، وَتَكُونُ حَوَالَةً بِلَفْظِ الضَّمَانِ، لِأَنَّ الْأَلْفَاظَ مُسْتَعَارَةٌ.

Pertama: Seseorang berkata, “Aku menjamin untukmu hartamu atas si Fulan, dengan syarat ia telah bebas darinya.” Maka menurut qiyās mazhab al-Muzani, hal ini sah, dan dianggap sebagai al-ḥawālah dengan lafaz ḍamān, karena lafaz-lafaz itu bersifat metaforis.

وَعَلَى قِيَاسِ مَذْهَبِ ابْنِ سُرَيْجٍ يَكُونُ ضَمَانًا بَاطِلًا اعْتِبَارًا بِظَاهِرِ اللَّفْظِ.

Dan menurut qiyās mazhab Ibn Surayj, hal itu menjadi ḍamān yang batal dengan mempertimbangkan zahir lafaz.

وَالثَّانِي: أَنْ يَقُولَ قَدْ أَحَلْتُكَ عَلَى زَيْدٍ، عَلَى أَنَّنِي ضَامِنٌ لِلْمَالِ حَتَّى تَقْبِضَهُ، فَعَلَى قِيَاسِ مَذْهَبِ الْمُزَنِيِّ يَكُونُ هَذَا ضَمَانًا بِلَفْظِ الْحَوَالَةِ، فَيَصِحُّ إِذَا قَبِلَ الْمُحَالُ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الْأَلْفَاظَ مُسْتَعَارَةٌ، وَعَلَى قِيَاسِ مَذْهَبِ ابْنِ سُرَيْجٍ تَكُونُ حَوَالَةً فَاسِدَةً اعْتِبَارًا بِظَاهِرِ اللَّفْظِ، وَمَا اقْتَرَنَ بِهِ مِنْ فَسَادِ الشرط.

Dan yang kedua: Jika seseorang berkata, “Aku telah mengalihkanmu kepada Zaid, dengan syarat aku tetap menjadi penjamin atas harta itu sampai engkau menerimanya,” maka menurut qiyās mazhab al-Muzani, ini dianggap sebagai penjaminan (ḍamān) dengan lafaz pengalihan (ḥawālah), sehingga sah apabila pihak yang dialihkan kepadanya menerima, karena lafaz-lafaz tersebut bersifat metaforis. Sedangkan menurut qiyās mazhab Ibn Surayj, ini merupakan pengalihan (ḥawālah) yang rusak, karena melihat pada zahir lafaz dan adanya syarat yang rusak bersamanya.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني: ” وَلَوْ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى رَجُلٍ أَلْفُ دِرْهَمٍ فَأَحَالَهُ الْمَطْلُوبُ بِهَا عَلَى رَجُلٍ لَهُ عَلَيْهِ أَلْفُ دِرْهَمٍ ثُمَّ أَحَالَهُ بِهَا الْمُحْتَالُ عَلَيْهِ عَلَى ثَالِثٍ لَهُ عَلَيْهِ أَلْفُ دِرْهِمٍ بَرِئَ الْأَوَّلَانِ وَكَانَتْ لِلطَّالِبِ عَلَى الثَّالِثِ “.

Al-Muzani berkata: “Jika seseorang mempunyai utang seribu dirham kepada orang lain, lalu orang yang berutang itu mengalihkan utangnya kepada seseorang yang juga berutang seribu dirham kepadanya, kemudian orang yang dialihkan kepadanya itu mengalihkan lagi utang tersebut kepada orang ketiga yang juga berutang seribu dirham kepadanya, maka dua orang yang pertama telah terbebas, dan hak penagihan berpindah kepada orang ketiga.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا أُحِيلَ بِدَيْنِهِ عَلَى رَجُلٍ، ثُمَّ إِنَّ الْمُحَالَ عَلَيْهِ أَحَالَهُ بِذَلِكَ عَلَى ثَالِثٍ، وَأَحَالَهُ الثَّالِثُ عَلَى رَابِعٍ، صَحَّ ذَلِكَ وَجَازَ لِأَنَّ الْحَوَالَةَ كَالْمُعَاوَضَةِ وَهَكَذَا لَوْ أُحِيلَ بِدَيْنِهِ عَلَى رَجُلٍ، ثُمَّ أَحَالَ الْمُحْتَالُ بِذَلِكَ الدَّيْنِ غَيْرَهُ، وَأَحَالَ ذَلِكَ الْغَيْرُ لِثَالِثٍ، وَأَحَالَ الثَّالِثُ رَابِعًا جَازَ أَيْضًا، فَيَكُونُ فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى بِنَقْلِ الْحَقِّ مِنْ ذِمَّةٍ إِلَى ذِمَّةٍ، وَالْمُحْتَالُ وَاحِدٌ، وَفِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ الْحَقُّ لَا يَنْتَقِلُ فِي ذِمَّةِ الْمُحَالِ عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا يَنْتَقِلُ اسْتِحْقَاقُهُ مِنْ مُحْتَالٍ إِلَى مُحْتَالٍ، وَالْمُحَالُ عَلَيْهِ وَاحِدٌ وَاللَّهُ أعلم.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan: Jika utangnya dialihkan kepada seseorang, kemudian orang yang dialihkan kepadanya itu mengalihkan lagi kepada orang ketiga, lalu orang ketiga mengalihkan lagi kepada orang keempat, maka hal itu sah dan boleh, karena ḥawālah seperti mu‘āwaḍah (pertukaran). Demikian pula jika utangnya dialihkan kepada seseorang, lalu orang yang mengalihkan utang itu mengalihkan lagi utang tersebut kepada orang lain, kemudian orang lain itu mengalihkan lagi kepada orang ketiga, lalu orang ketiga mengalihkan lagi kepada orang keempat, maka itu juga boleh. Maka dalam masalah pertama, hak berpindah dari satu tanggungan ke tanggungan lain, dan yang mengalihkan hanya satu orang. Sedangkan dalam masalah ini, hak tidak berpindah dalam tanggungan orang yang dialihkan kepadanya, melainkan hanya berpindah hak penagihannya dari satu pengalih ke pengalih berikutnya, dan orang yang dialihkan kepadanya tetap satu. Wallāhu a‘lam.

(كِتَابُ الضَّمَانِ)

(Kitab Ḍamān)

تَحَرَّيْتُ فِيهِ مَذْهَبَ الشَّافِعِيِّ وَقِيَاسَ قوله: –

Aku berusaha dalam kitab ini mengikuti mazhab al-Syafi‘i dan qiyās pendapatnya:

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني: ” قال الله جل ثناؤه {قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ} [يوسف: 72] وَقَالَ عز وجل {سَلْهُمْ أَيُّهُمْ بِذَلِكَ زَعِيمٌ} [القلم: 40] وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” وَالزَّعِيمُ غَارِمٌ ” وَالزَّعِيمُ فِي اللُّغَةِ هو الكفيل وروي عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي جِنَازَةٍ فَلَمَّا وُضِعَتْ قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” هل على صاحبكم من دين “؟ فقالوا نَعَمْ دِرْهَمَانِ قَالَ ” صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ” فَقَالَ علي رضوان الله عليه هُمَا عَلَيَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَأَنَا لَهُمَا ضَامِنٌ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فصلى عليه ثم أقبل على علي رضي الله عنه فَقَالَ ” جَزَاكَ اللَّهُ عَنِ الْإِسْلَامِ خَيْرًا وَفَكَّ رهانك كما فككت رهان أخيك ” (قال المزني) قلت أنا وفي ذلك دليل أن الدين الذي كان على الميت لزم غيره بأن ضمنه وروى الشافعي في قسم الصدقات أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال ” لا تحل الصدقة لغني إلا لثلاثة ” ذكر منها رجلا تحمل بحمالة فحلت الصدقة (قلت أنا) فكانت الصدقة محرمة قبل الحمالة فلما تحمل لزمه الغرم بالحمالة فخرج من معناه الأول إلى أن حلت له الصدقة “.

Al-Muzani berkata: “Allah Ta‘ala berfirman: {Mereka berkata, ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan mendapat satu beban unta, dan aku menjadi penjaminnya’} (Yusuf: 72), dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: {Tanyakanlah kepada mereka, siapakah di antara mereka yang menjadi penjamin atas itu?} (al-Qalam: 40). Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, ‘Penjamin itu menanggung (gharim)’. Dalam bahasa, za‘īm berarti kafīl (penjamin). Diriwayatkan dari Abu Sa‘id al-Khudri bahwa ia berkata, ‘Kami bersama Rasulullah ﷺ dalam suatu jenazah. Ketika jenazah itu diletakkan, Rasulullah ﷺ bertanya, “Apakah sahabat kalian ini punya utang?” Mereka menjawab, “Ya, dua dirham.” Beliau bersabda, “Salatkanlah sahabat kalian ini.” Maka Ali raḍiyallāhu ‘anhu berkata, “Dua dirham itu menjadi tanggunganku, wahai Rasulullah, dan aku menjadi penjaminnya.” Maka Rasulullah ﷺ berdiri dan menyalatinya, lalu beliau menghadap kepada Ali raḍiyallāhu ‘anhu dan bersabda, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas Islam, dan semoga Dia membebaskan jaminanmu sebagaimana engkau telah membebaskan jaminan saudaramu.”’ (Al-Muzani berkata:) Aku berkata, di dalamnya terdapat dalil bahwa utang yang ada pada mayit menjadi tanggungan orang lain karena ia menjaminnya. Al-Syafi‘i meriwayatkan dalam bab sedekah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sedekah tidak halal bagi orang kaya kecuali untuk tiga golongan,’ di antaranya disebutkan seseorang yang menanggung diyat (ḥamālah), maka sedekah menjadi halal baginya. (Aku berkata:) Maka sedekah itu sebelumnya haram sebelum adanya ḥamālah, lalu ketika ia menanggung diyat, ia wajib menanggungnya karena ḥamālah, sehingga ia keluar dari makna semula dan menjadi halal baginya sedekah.”

قال الماوردي: أما الضمان فهو أخذ الوثاق فِي الْأَمْوَالِ، لِأَنَّ الْوَثَائِقَ ثَلَاثَةٌ: الشَّهَادَةُ وَالرَّهْنُ وَالضَّمَانُ.

Al-Mawardi berkata: Adapun ḍamān adalah mengambil jaminan dalam harta, karena jaminan itu ada tiga: syahādah (kesaksian), rahn (gadai), dan ḍamān (penjaminan).

وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِ الضَّمَانِ وَصِحَّتِهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ، فَأَمَّا الْكِتَابُ، فَقَوْلُهُ تَعَالَى: {قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ} [يوسف: 72] فَإِنْ قِيلَ: فَالِاسْتِدْلَالُ بِهَذِهِ الْآيَةِ لَا يَصِحُّ مِنْ وُجُوهٍ ثَلَاثَةٍ: –

Dan dalil atas bolehnya ḍamān dan keabsahannya adalah al-Kitab dan as-Sunnah. Adapun al-Kitab, yaitu firman Allah Ta‘ala: {Mereka berkata, ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan mendapat satu beban unta, dan aku menjadi penjaminnya’} (Yusuf: 72). Jika dikatakan: Istidlāl (pengambilan dalil) dengan ayat ini tidak sah dari tiga sisi:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهَا حِكَايَةُ حَالٍ مُحَرَّفَةٍ وَنَقْلُ قِصَّةٍ غَيْرِ صَحِيحَةٍ. لِأَنَّ الصُّوَاعَ لَمْ يُفْقَدْ وَالْقَوْمَ لم يسرقوا.

Pertama: Bahwa ini adalah kisah tentang suatu keadaan yang telah diubah dan merupakan penukilan kisah yang tidak benar, karena piala itu sebenarnya tidak hilang dan mereka tidak mencurinya.

وإذا كان موضوعا كَذِبًا كَانَ الِاسْتِدْلَالُ بِهَا فَاسِدًا.

Dan jika hal itu merupakan kebohongan yang dibuat-buat, maka pengambilan dalil dengannya menjadi rusak.

فَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا: أَنَّ هَذَا مِنْ قَوْلِ الْمُنَادِي، وَلَمْ يَكُنْ يَعْلَمُ بِمَا فَعَلَ يُوسُفُ، فَلَمَّا فُقِدَ الصُّوَاعُ ظَنَّ أَنَّهُمْ قَدْ سَرَقُوهُ فَنَادَى بِهَذَا وَهُوَ يَعْتَقِدُ أَنَّهُ حَقٌّ وَصِدْقٌ.

Maka jawabannya ada dua sisi. Pertama: bahwa ini adalah ucapan sang penyeru, dan ia tidak mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Yusuf. Ketika cawan itu hilang, ia mengira bahwa mereka telah mencurinya, maka ia menyerukan hal itu dengan keyakinan bahwa hal tersebut benar dan nyata.

وَالثَّانِي: إنَّ يُوسُفَ فَعَلَ ذَلِكَ عُقُوبَةً لِإِخْوَتِهِ فَخَرَجَ مِنْ بَابِ الْكَذِبِ إِلَى حَدِّ الْعُقُوبَةِ وَالتَّأْدِيبِ، ثُمَّ رَغَّبَ النَّاسَ فِيمَا بَذَلَهُ لَهُمْ، بِمَا قَدِ اسْتَقَرَّ عِنْدَهُمْ لُزُومُهُ وَوُجُوبُهُ لِيَكُونَ أَدْعَى إِلَى طِلْبَتِهِمْ، وَتَحْقِيقِ الْقَوْلِ عَلَيْهِمْ زِيَادَةً فِي عُقُوبَتِهِمْ.

Kedua: Yusuf melakukan hal itu sebagai hukuman bagi saudara-saudaranya, sehingga perbuatannya keluar dari kategori dusta menuju batas hukuman dan pendidikan. Kemudian ia mendorong orang-orang untuk menerima apa yang ia tawarkan kepada mereka, berdasarkan apa yang telah menjadi kebiasaan mereka bahwa hal itu memang wajib dan harus dilakukan, agar mereka lebih terdorong untuk mencarinya dan mempertegas ucapan terhadap mereka sebagai tambahan dalam hukuman bagi mereka.

وَالسُّؤَالُ الثَّانِي: إِنَّ الْآيَةَ تَنَاوَلَتْ ضَمَانَ مَالٍ مَجْهُولٍ، لِأَنَّ حِمْلَ الْبَعِيرِ مَجْهُولٌ وَضَمَانُ الْمَجْهُولِ بَاطِلٌ.

Pertanyaan kedua: Sesungguhnya ayat tersebut mencakup jaminan atas harta yang tidak diketahui, karena muatan unta itu tidak diketahui, dan menjamin sesuatu yang tidak diketahui adalah batal.

فَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا: أَنَّ حِمْلَ الْبَعِيرِ كَانَ عِنْدَهُمْ عِبَارَةً عَنْ قَدْرٍ مَعْلُومٍ كَالْوَسْقِ كَانَ مَوْضُوعًا لِحِمْلِ النَّاقَةِ ثُمَّ صَارَ مُسْتَعْمَلًا فِي قَدْرٍ مَعْلُومٍ.

Jawabannya ada dua sisi. Pertama: bahwa muatan unta menurut mereka adalah istilah untuk ukuran tertentu seperti wasq, yang memang digunakan untuk muatan unta, kemudian menjadi istilah yang digunakan untuk ukuran tertentu.

وَالثَّانِي: إِنَّ الْآيَةَ دَالَّةٌ عَلَى أَمْرَيْنِ:

Kedua: bahwa ayat tersebut menunjukkan dua hal:

أَحَدُهُمَا: جَوَازُ الضَّمَانِ.

Pertama: bolehnya penjaminan (ḍamān).

وَالثَّانِي: صِحَّتُهُ فِي الْقَدْرِ الْمَجْهُولِ، فَلَمَّا خَرَجَ بِالدَّلِيلِ ضَمَانُ الْمَجْهُولِ كَانَ الْبَاقِي عَلَى مَا اقْتَضَاهُ التَّنْزِيلُ.

Kedua: sahnya penjaminan atas sesuatu yang tidak diketahui ukurannya. Maka ketika ada dalil yang mengecualikan penjaminan atas sesuatu yang tidak diketahui, maka sisanya tetap sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash.

وَالسُّؤَالُ الثَّالِثُ: إِنَّهُ ضَمَانُ مَالِ الْجَعَالَةِ، وَضَمَانُ مَالِ الْجَعَالَةِ بَاطِلٌ.

Pertanyaan ketiga: Sesungguhnya ini adalah penjaminan atas harta ja‘ālah, dan penjaminan atas harta ja‘ālah adalah batal.

وَالْجَوَابُ عَنْهُ: إِنَّ أَصْحَابَنَا قَدِ اخْتَلَفُوا فِي جَوَازِ ضَمَانِ مَالِ الْجَعَالَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jawabannya: Para ulama kami berbeda pendapat tentang bolehnya penjaminan atas harta ja‘ālah menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ ضَمَانُهُ فَعَلَى هَذَا سَقَطَ السُّؤَالُ.

Pertama: Boleh menjaminnya, maka dengan demikian gugurlah pertanyaan tersebut.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَصِحُّ، فَعَلَى هَذَا لَا يَمْتَنِعُ قِيَامُ الدَّلِيلِ عَلَى فَسَادِ ضَمَانِ مَالِ الْجَعَالَةِ مِنَ التَّعَلُّقِ بِبَاقِي الْآيَةِ، وَقَالَ تَعَالَى: {سَلْهُمْ أيهم بذلك زعيم} [القلم: 40] وهذا وَإِنْ كَانَ عَلَى طَرِيقِ التَّحَدِّي فَهُوَ دَالٌّ عَلَى جَوَازِ الضَّمَانِ وَالَزَّعِيمُ الضَّمِينُ وَكَذَلِكَ الْكَفِيلُ وَالْحَمِيلُ وَالصَّبِيرُ، وَمَعْنَى جَمِيعِهَا وَاحِدٌ غَيْرَ أَنَّ الْعُرْفَ جَارٍ بِأَنَّ الضَّمِينَ مُسْتَعْمَلٌ فِي الْأَمْوَالِ، وَالْحَمِيلَ فِي الدِّيَاتِ، وَالْكَفِيلَ فِي النُّفُوسِ، وَالزَّعِيمَ فِي الْأُمُورِ الْعِظَامِ، وَالصَّبِيرَ فِي الْجَمِيعِ، وَإِنْ كان الضمان يصح بكل واحد منهما وَيَلْزَمُ.

Kedua: Tidak sah, maka dengan demikian tidak terlarang adanya dalil yang menunjukkan rusaknya penjaminan atas harta ja‘ālah dari keterkaitan dengan sisa ayat. Allah Ta‘ala berfirman: {Tanyakanlah kepada mereka, siapakah di antara mereka yang bertanggung jawab atas hal itu} [al-Qalam: 40]. Meskipun ayat ini dalam konteks tantangan, namun ia menunjukkan bolehnya penjaminan, dan az-za‘īm adalah penjamin, demikian pula al-kafīl, al-ḥamīl, dan aṣ-ṣabīr, dan makna semuanya sama, hanya saja dalam kebiasaan, ad-ḍamīn digunakan untuk harta, al-ḥamīl untuk diyat, al-kafīl untuk jiwa, az-za‘īm untuk urusan-urusan besar, dan aṣ-ṣabīr untuk semuanya. Meskipun penjaminan itu sah dengan masing-masing istilah tersebut dan menjadi kewajiban.

وَأَمَّا السُّنَّةُ فَرَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ شُرَحْبِيلَ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقِّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ، لَا تُنْفِقُ الْمَرْأَةُ شَيْئًا مِنْ بَيْتِهَا إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا ” قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الطَّعَامَ قَالَ: ” ذَلِكَ أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا “، ثُمَّ قَالَ: ” الْعَارِيَةُ مَضْمُونَةٌ مُؤَدَّاةٌ، وَالْمِنْحَةُ مَرْدُودَةٌ وَالدَّيْنُ مَقْضِيٌّ وَالزَّعِيمُ غَارِمٌ “.

Adapun dari sunnah, Ibnu ‘Abbas meriwayatkan dari Syarahbil dari Abu Umamah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ala telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris. Seorang wanita tidak boleh membelanjakan sesuatu dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya.” Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, termasuk makanan juga?” Beliau menjawab: “Itu adalah harta terbaik kami.” Kemudian beliau bersabda: “Barang pinjaman (al-‘āriyah) wajib dijamin dan dikembalikan, hibah (al-minḥah) dikembalikan, utang (ad-dayn) harus dibayar, dan penjamin (az-za‘īm) adalah orang yang menanggung.”

وَرَوَى زَائِدَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا فَغَسَّلْنَاهُ، ثُمَّ كَفَّنَّاهُ، ثُمَّ أَتَيْتُ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، لِيُصَلِّيَ عَلَيْهِ، فَخَطَا خَطْوَةً، ثُمَّ قَالَ: أَعَلَيْهِ دَيْنٌ قُلْنَا: دِينَارَانِ، فَانْصَرَفَ فَتَحَمَّلَهَا أَبُو قَتَادَةَ، وَقَالَ: عَلَيَّ الدِّينَارَانِ، فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أعليك حَقُّ الْغَرِيمِ، وَبَرِئَ الْمَيِّتُ مِنْهُ، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ بَعْدَ ذَلِكَ بِيَوْمٍ: مَا فَعَلَ الدِّينَارَانِ؟ ، قَالَ: إِنَّمَا مَاتَ أَمْسِ، ثُمَّ عَادَ عَلَيْهِ بِالْغَدِ، فَقَالَ: قَدْ قَضَيْتُهَا قَالَ الْآنَ بَرَدَتْ عَلَيْهِ جِلْدُهُ، وَرَوَى أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي جِنَازَةٍ، فَلَمَّا وُضِعَتْ، قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: هَلْ عَلَى صَاحِبِكُمْ مِنْ دَيْنٍ قَالُوا: نَعَمْ دِرْهَمَانِ، قَالَ: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ، فَقَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ هُمَا عَلَيَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَأَنَا لَهُمَا ضَامِنٌ، فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَصَلَّى عَلَيْهِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى عَلِيٍّ فَقَالَ: جزاك الله عن الإسلام خيرا، وفك رهانك كَمَا فَكَكْتَ رِهَانَ أَخِيكَ، وَرَوَى عِكْرِمَةُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا لَزِمَ غَرِيمًا لَهُ بِعَشَرَةِ دَنَانِيرَ، وَحَلَفَ لَا يُفَارِقُهُ حَتَّى يَقْضِيَهُ، أَوْ يَأْتِيَهُ بِحَمِيلٍ، فَجَرَّهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ هَذَا لَزِمَنِي فَاسْتَنْظَرْتُهُ شَهْرًا فَأَبَى حَتَّى آتِيَهُ بِحَمِيلٍ، أَوْ أَقْضِيَهُ فَوَاللَّهِ مَا أَجِدُ حَمِيلًا وَمَا عِنْدِي قَضَاءٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: هَلْ تَسْتَنْظِرُها إِلَّا شَهْرًا قَالَ لَا قَالَ فَأَنَا أَتَحَمَّلُ بِهَا عَنْكَ فَتَحَمَّلَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فَذَهَبَ الرَّجُلُ فَأَتَاهُ بِقَدْرِ مَا وَعَدَهُ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: مِنْ أَيْنَ لَكَ هَذَا الذَّهَبُ؟ قَالَ مِنْ مَعْدِنٍ قَالَ: اذْهَبْ فَلَا حَاجَةَ لَنَا فِيهَا لَيْسَ فِيهَا خَيْرٌ وَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَرَوَى عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أُتِيَ بِجِنَازَةٍ فَقَالَ: صَلِّ عَلَيْهَا فَقَالَ أَلَيْسَ عَلَيْهِ دَيْنٌ؟ قَالُوا نَعَمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا يَنْفَعُكَ أَنْ أُصَلِّيَ عَلَى رَجُلٍ وَهُوَ مُرْتَهَنٌ فِي قَبْرِهِ فَلَوْ ضَمِنَ رَجُلٌ دَيْنَهُ قُمْتُ فَصَلَّيْتُ عَلَيْهِ فَإِنَّ صَلَاتِي تَنْفَعُهُ.

Diriwayatkan dari Za’idah, dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil, dari Jabir, ia berkata: Seorang laki-laki dari kami wafat, lalu kami memandikannya, kemudian mengafani, lalu aku mendatangi Nabi ﷺ agar beliau menshalatinya. Beliau melangkah satu langkah, lalu bertanya: “Apakah ia memiliki utang?” Kami menjawab: “Dua dinar.” Maka beliau berpaling, lalu Abu Qatadah menanggungnya dan berkata: “Dua dinar itu menjadi tanggunganku.” Maka Nabi ﷺ bersabda: “Apakah engkau benar-benar menanggung hak si penagih, dan si mayit terbebas darinya?” Ia menjawab: “Ya.” Maka beliau pun menshalatinya. Keesokan harinya, beliau bertanya: “Bagaimana dengan dua dinar itu?” Ia menjawab: “Ia baru saja wafat kemarin.” Keesokan harinya beliau bertanya lagi, dan ia menjawab: “Aku telah melunasinya.” Maka beliau bersabda: “Sekarang kulitnya telah menjadi sejuk karenanya.”

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: Kami bersama Nabi ﷺ dalam sebuah jenazah. Ketika jenazah diletakkan, beliau bersabda: “Apakah sahabat kalian ini memiliki utang?” Mereka menjawab: “Ya, dua dirham.” Beliau bersabda: “Shalatkanlah sahabat kalian.” Maka Ali ra. berkata: “Keduanya menjadi tanggunganku, wahai Rasulullah, dan aku menjamin keduanya.” Maka Rasulullah ﷺ berdiri dan menshalatinya, lalu beliau menghadap kepada Ali dan bersabda: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas Islam, dan semoga Allah membebaskan jaminanmu sebagaimana engkau telah membebaskan jaminan saudaramu.”

Diriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki menuntut seorang yang berutang kepadanya sepuluh dinar, dan ia bersumpah tidak akan berpisah darinya sampai ia melunasinya atau mendatangkan penanggung. Ia pun menyeretnya kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: “Wahai Rasulullah, orang ini menuntutku, aku telah meminta penangguhan sebulan, tetapi ia menolak kecuali aku mendatangkan penanggung atau melunasinya. Demi Allah, aku tidak menemukan penanggung dan tidak memiliki pelunasan.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Apakah engkau hanya meminta penangguhan sebulan?” Ia menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Aku yang akan menanggungnya untukmu.” Maka Rasulullah ﷺ menanggungnya. Lalu laki-laki itu pergi dan datang membawa sejumlah yang dijanjikan. Rasulullah ﷺ bertanya: “Dari mana engkau mendapatkan emas ini?” Ia menjawab: “Dari tambang.” Beliau bersabda: “Pergilah, kami tidak membutuhkannya, tidak ada kebaikan di dalamnya.” Dan Rasulullah ﷺ telah melunasi utangnya.

Diriwayatkan dari Abdul Hamid bin Abi Umayyah, dari Anas, bahwa Rasulullah ﷺ didatangkan jenazah, lalu beliau bersabda: “Shalatkanlah ia.” Mereka berkata: “Bukankah ia memiliki utang?” Mereka menjawab: “Ya.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Apa gunanya aku menshalati seseorang yang tergadai di kuburnya? Seandainya ada seseorang yang menjamin utangnya, niscaya aku akan berdiri dan menshalatinya, karena shalatku akan bermanfaat baginya.”

وَرَوَى ابْنُ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ، فَيَسْأَلُ: هَلْ تَرَكَ قَضَاءً، فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى عَلَيْهِ، وَإِلَّا قَالَ لِلْمُسْلِمِينَ: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ، فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْفُتُوحَ، قَامَ فَقَالَ: أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ مَنْ تُوُفِّيَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فَتَرَكَ دَيْنًا فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ.

Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ apabila didatangkan jenazah seseorang yang memiliki utang, beliau bertanya: “Apakah ia meninggalkan pelunasan?” Jika diberitahu bahwa ia meninggalkan harta untuk melunasi utangnya, beliau menshalatinya. Jika tidak, beliau berkata kepada kaum Muslimin: “Shalatkanlah sahabat kalian.” Ketika Allah membukakan kemenangan bagi beliau, beliau berdiri dan bersabda: “Aku lebih berhak terhadap orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. Siapa saja dari orang mukmin yang wafat dan meninggalkan utang, maka akulah yang melunasinya. Dan siapa yang meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya.”

وَفِي قَوْلِهِ ” مَنْ تَرَكَ دَيْنًا فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ ” تَأْوِيلَانِ:

Pada sabda beliau “Siapa yang meninggalkan utang, maka akulah yang melunasinya. Dan siapa yang meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya,” terdapat dua penafsiran:

أَحَدُهُمَا: مَعْنَاهُ مَنْ تَرَكَ دَيْنًا عَلَيْهِ وَلَا قَضَاءَ فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ مِنْ مَال الصَّدَقَاتِ وَسَهْمِ الْغَارِمِينَ، وَمَنْ تَرَكَ مَالًا لَا دَيْنَ عَلَيْهِ فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ.

Pertama: Maksudnya, barang siapa yang meninggalkan utang atas dirinya dan tidak ada pelunasan, maka akulah yang akan melunasinya dari harta zakat dan bagian gharimīn, dan barang siapa yang meninggalkan harta tanpa utang atas dirinya, maka harta itu untuk ahli warisnya.

وَالثَّانِي: مَعْنَاهُ: مَنْ تَرَكَ دَيْنًا لَهُ وَمَالًا فَعَلَيَّ اقْتِضَاءُ الدَّيْنِ وَاسْتِخْرَاجُهُ مِمَّنْ هُوَ عَلَيْهِ حَتَّى يَصِيرَ مَعَ مَالِهِ الَّذِي تَرَكَهُ إِلَى وَرَثَتِهِ.

Kedua: Maksudnya, barang siapa yang meninggalkan utang yang menjadi piutangnya dan juga harta, maka akulah yang akan menagih utang tersebut dan mengambilnya dari orang yang berutang hingga utang itu digabungkan dengan harta yang ditinggalkannya untuk ahli warisnya.

فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ كَانَ يَمْتَنِعُ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَى مَنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ إِذَا مَاتَ مُعْسِرًا، وَلَا يَمْتَنِعُ مِنَ الصَّلَاةِ إِذَا مَاتَ مُوسِرًا؟ وَالْمُعْسِرُ فِي الظَّاهِرِ مَعْذُورٌ، وَالْمُوسِرُ غَيْرُ مَعْذُورٍ؟ ، قِيلَ: لِأَنَّ الْمُوسِرَ يُمْكِنُ قَضَاءُ دَيْنِهِ مِنْ تَرِكَتِهِ وَالْمُعْسِرُ لَا يُمْكِنُ قَضَاءُ دَيْنِهِ، وَقَدْ قَالَ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى، فَلَمَّا كَانَ مُرْتَهَنًا بِدَيْنِهِ لَمْ تَنْفَعْهُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ وَلَا الدُّعَاءُ لَهُ إِلَّا بَعْدَ قَضَائِهِ، وَقِيلَ: بَلْ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ زَجْرًا عَنْ أَنْ يَتَسَرَّعَ النَّاسُ إِلَى أَخْذِ الدُّيُونِ لِيَكُفُّوا عَنْهَا، وَقِيلَ: بَلْ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ لِيُرَغِّبَ النَّاسَ فِي قَضَاءِ دَيْنِ الْمُعْسِرِ فَلَا يَضِيعَ لِأَحَدٍ دَيْنٌ وَلَا يَبْقَى عَلَى مُعْسِرٍ دَيْنٌ.

Jika dikatakan: Mengapa beliau menolak untuk menshalatkan jenazah orang yang meninggalkan utang ketika ia wafat dalam keadaan tidak mampu, namun tidak menolak menshalatkan jika ia wafat dalam keadaan mampu? Padahal secara lahiriah, orang yang tidak mampu itu dimaafkan, sedangkan yang mampu tidak dimaafkan? Maka dijawab: Karena orang yang mampu memungkinkan pelunasan utangnya dari harta peninggalannya, sedangkan orang yang tidak mampu tidak mungkin dilunasi utangnya. Dan telah dikatakan bahwa jiwa seorang mukmin tergantung pada utangnya hingga dilunasi. Maka ketika ia masih tergadai oleh utangnya, shalat atasnya dan doa untuknya tidak bermanfaat kecuali setelah utangnya dilunasi. Ada juga yang mengatakan: Bahkan beliau melakukan hal itu sebagai peringatan agar orang-orang tidak gegabah dalam berutang sehingga mereka menahan diri darinya. Ada pula yang mengatakan: Bahkan beliau melakukan hal itu agar mendorong orang-orang untuk melunasi utang orang yang tidak mampu, sehingga tidak ada utang yang hilang bagi siapa pun dan tidak ada utang yang tersisa atas orang yang tidak mampu.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الضَّمَانِ، بِمَا ذَكَرْنَاهُ، فَالضَّمَانُ يَتِمُّ بِأَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ: بِضَامِنٍ وَمَضْمُونٍ لَهُ وَمَضْمُونٍ عَنْهُ وَمَضْمُونٍ فِيهِ.

Jika telah tetap kebolehan penjaminan (ḍamān), sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka penjaminan itu sempurna dengan empat hal: penjamin, pihak yang dijamin untuknya, pihak yang dijamin darinya, dan objek yang dijamin.

وَالْمُغَلَّبُ فِيهِ الضَّامِنُ لِأَنَّ الضَّمَانَ لَازِمٌ مِنْ جِهَةِ الضَّامِنِ دُونَ الْمَضْمُونِ عَنْهُ، فَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ عَارِفًا بِالْحَقِّ الَّذِي ضَمِنَهُ فِي جِنْسِهِ وَصِفَتِهِ وَقَدْرِهِ.

Yang paling dominan di dalamnya adalah penjamin, karena penjaminan itu wajib dari pihak penjamin, bukan dari pihak yang dijamin darinya. Maka haruslah penjamin itu mengetahui hak yang ia jamin, baik jenisnya, sifatnya, maupun kadarnya.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَحْتَاجُ الضَّامِنُ إِلَى مَعْرِفَةِ الْمَضْمُونِ لَهُ، وَالْمَضْمُونِ عَنْهُ أم لا؟ على ثلاثة مذاهب:

Para ulama kami berbeda pendapat, apakah penjamin perlu mengetahui pihak yang dijamin untuknya dan pihak yang dijamin darinya atau tidak? Ada tiga pendapat:

أحدهما: إِنَّهُ لَا يَحْتَاجُ إِلَى مَعْرِفَتِهِمَا جَمِيعًا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ، لِأَنَّ عَلِيًّا وَأَبَا قَتَادَةَ ضَمِنَا عَمَّنْ عَرَفَاهُ وَلِمَنْ لَا يَعْرِفَاهُ مَعَ قَوْله تَعَالَى: {وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ} [يوسف: 72] وَمَنْ يَجِيءُ بِهِ غَيْرُ مَعْرُوفٍ.

Pertama: Bahwa tidak perlu mengetahui keduanya secara keseluruhan, dan ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj, karena Ali dan Abu Qatadah pernah menjamin orang yang mereka kenal dan juga untuk orang yang tidak mereka kenal, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Dan bagi siapa yang membawanya akan mendapat satu beban unta, dan aku menjadi penjaminnya} (Yusuf: 72), padahal orang yang membawanya itu tidak dikenal.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: إِنَّهُ لَا يَصِحُّ الضَّمَانُ إِلَّا بِمَعْرِفَةِ الْمَضْمُونِ لَهُ، وَالْمَضْمُونِ عَنْهُ، وَهُوَ: مَذْهَبُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ الْمُزَنِيِّ لِأَنَّهُ لَمَّا لَزِمَ مَعْرِفَةُ الْحَقِّ، لَزِمَ مَعْرِفَةُ مَنْ عَلَيْهِ وَلَهُ، وَلِأَنَّهُ قَدْ صَارَ مُعَامِلًا لِلْمَضْمُونِ لَهُ مُنْفَصِلًا عَنِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ فَاحْتَاجَ إِلَى مَعْرِفَةِ الْمَضْمُونِ لَهُ لِيَعْرِفَ حُسْنَ مُعَامَلَتِهِ وَإِلَى مَعْرِفَةِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ لِيَعْرِفَ هَلْ هُوَ مَوْضِعٌ لِمَا يَفْعَلُ بِهِ.

Pendapat kedua: Bahwa penjaminan tidak sah kecuali dengan mengetahui pihak yang dijamin untuknya dan pihak yang dijamin darinya, dan ini adalah pendapat Abu Ibrahim al-Muzani, karena ketika wajib mengetahui haknya, maka wajib pula mengetahui siapa yang memiliki dan siapa yang berkewajiban atas hak itu. Selain itu, karena penjamin telah menjadi pihak yang bertransaksi dengan pihak yang dijamin untuknya secara terpisah dari pihak yang dijamin darinya, maka ia perlu mengetahui pihak yang dijamin untuknya agar mengetahui baiknya muamalah dengannya, dan perlu mengetahui pihak yang dijamin darinya agar mengetahui apakah ia layak untuk diperlakukan demikian.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: إِنَّهُ يَحْتَاجُ إِلَى مَعْرِفَةِ الْمَضْمُونِ لَهُ وَلَا يَحْتَاجُ إِلَى مَعْرِفَةِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لِأَنَّ الْمُعَامَلَةَ مُنْقَطِعَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَضْمُونِ عَنْهُ فَلَمْ يَحْتَجْ إِلَى مَعْرِفَتِهِ وَالْمُعَامَلَةُ بَاقِيَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَضْمُونِ لَهُ فَاحْتَاجَ إِلَى مَعْرِفَتِهِ. ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُ الْمَضْمُونِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مَضْمُونَ الْأَصْلِ أَوْ غَيْرَ مَضْمُونِ الْأَصْلِ، فَإِذَا كان غير مَضْمُونِ الْأَصْلِ كَالْوَدَائِعِ وَالشِّرَكِ وَالْمُضَارَبَاتِ فَضَمَانُهُ بَاطِلٌ لِأَنَّ ضَمَانَ أَصْلِهِ غَيْرُ لَازِمٍ. وَإِنْ كَانَ مَضْمُونَ الْأَصْلِ، لَمْ يَخْلُ أَنْ يَكُونَ حَقًّا فِي الذِّمَّةِ أَوْ عَيْنًا قَائِمَةً فَإِنْ كَانَ حَقًّا فِي الذِّمَّةِ صَحَّ ضَمَانُهُ، عَلَى مَا سَنَشْرَحُهُ فِي اسْتِقْرَارِ لُزُومِهِ وَإِنْ كَانَ عَيْنًا قَائِمَةً كَالْمَغْصُوبِ، وَالْعَوَارِي، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ إِنَّ ضَمَانَهَا بَاطِلٌ إِلَّا أَنْ تَتْلَفَ فَيَسْتَقِرَّ غُرْمُهَا فِي الذِّمَّةِ.

Mazhab ketiga: Bahwa yang diperlukan adalah mengetahui pihak yang dijamin untuknya (al-madmun lahu), dan tidak perlu mengetahui pihak yang dijamin darinya (al-madmun ‘anhu). Ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, karena hubungan muamalah telah terputus antara penjamin dan pihak yang dijamin darinya, sehingga tidak perlu mengetahuinya. Sedangkan hubungan muamalah masih ada antara penjamin dan pihak yang dijamin untuknya, sehingga perlu mengetahuinya. Selanjutnya, keadaan objek yang dijamin (al-madmun) tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi ia adalah objek yang memang wajib dijamin sejak awal (madmun al-ashl) atau bukan. Jika bukan madmun al-ashl seperti titipan (al-wada’i‘), syirkah, dan mudharabah, maka penjaminannya batal karena penjaminan atas asalnya tidak wajib. Jika ia adalah madmun al-ashl, maka tidak lepas dari dua keadaan: hak dalam tanggungan (haqq fi al-dzimmah) atau barang tertentu yang masih ada (ayn qā’imah). Jika berupa hak dalam tanggungan, maka penjaminannya sah, sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan tentang tetapnya kewajiban. Jika berupa barang tertentu yang masih ada seperti barang hasil ghasab dan barang pinjaman (‘āriyah), maka menurut mazhab al-Syafi‘i penjaminannya batal kecuali jika barang itu rusak, maka kewajiban ganti rugi menjadi tetap dalam tanggungan.

وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ ضَمَانُ الْأَعْيَانِ جَائِزٌ كَضَمَانِ مَا فِي الذِّمَمِ، لِأَنَّ كِلَاهُمَا حَقٌّ قَدْ لَزِمَ وَحَكَاهُ قَوْلًا لِلشَّافِعِيِّ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ الْعَيْنَ إِذَا كَانَتْ بَاقِيَةً فَالْوَاجِبُ رَدُّهَا، وَذَلِكَ مِمَّا قَدْ يَعْجِزُ عَنْهُ الضَّامِنُ، فَإِنْ تَلِفَتْ لَزِمَ غُرْمُ قِيمَتِهَا وَذَلِكَ مِمَّا لَمْ يَضْمَنْهُ الضَّامِنُ مَعَ مَا فِيهَا مِنَ الْجَهَالَةِ.

Abu al-‘Abbas bin Surayj berkata, penjaminan atas barang (‘ayn) itu boleh sebagaimana penjaminan atas hak dalam tanggungan, karena keduanya adalah hak yang telah menjadi kewajiban. Ia menisbatkan pendapat ini sebagai salah satu pendapat al-Syafi‘i. Namun, ini tidak benar, karena jika barang itu masih ada, maka yang wajib adalah mengembalikannya, dan hal itu bisa jadi tidak mampu dilakukan oleh penjamin. Jika barang itu rusak, maka wajib mengganti nilainya, dan ini bukan sesuatu yang dijamin oleh penjamin, di samping adanya unsur ketidakjelasan (jahalah) pada barang tersebut.

فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ يَكُونُ ضَمَانُ الْأَعْيَانِ بَاطِلًا وَلَا يَلْزَمُ الضَّامِنَ مُطَالَبَةٌ بِسَبَبِهَا وَعَلَى مَذْهَبِ ابْنِ سُرَيْجٍ الضَّمَانُ لَهَا لَازِمٌ وَيُؤْخَذُ الضَّامِنُ بِتَسْلِيمِ الْعَيْنِ مَا كَانَتْ بَاقِيَةً فَإِنْ تَعَذَّرَ عَلَيْهِ تَسْلِيمُهَا صَارَ كَالْمُعْسِرِ بِالْحَقِّ يُؤَخَّرُ بِهِ إِلَى حِينِ قُدْرَتِهِ فَإِنْ تَلِفَتِ الْعَيْنُ فَقَدْ خَرَّجَ أَبُو الْعَبَّاسِ فِي ذَلِكَ وَجْهَيْنِ:

Maka menurut mazhab al-Syafi‘i, penjaminan atas barang (‘ayn) adalah batal dan penjamin tidak wajib dituntut karenanya. Sedangkan menurut mazhab Ibn Surayj, penjaminan atas barang itu wajib dan penjamin harus menyerahkan barang tersebut selama masih ada. Jika penyerahan barang itu tidak mungkin dilakukan, maka penjamin diperlakukan seperti orang yang tidak mampu membayar hak, yaitu diberi penangguhan hingga ia mampu. Jika barang itu rusak, Abu al-‘Abbas mengemukakan dua pendapat dalam hal ini:

أَحَدُهُمَا: قَدْ بَطَلَ كَمَنْ كَفَلَ بِنَفْسٍ فَتَلِفَتْ وَبَطَلَتِ الْكَفَالَةُ لِفَوَاتِ مَا تَعَلَّقَ بِهِ الضَّمَانُ

Pertama: Penjaminan menjadi batal, seperti orang yang menjamin jiwa seseorang lalu orang itu meninggal, maka batal pula penjaminannya karena hilangnya objek yang dijamin.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّ الضَّمَانَ يَنْتَقِلُ إِلَى الْقِيمَةِ، لِأَنَّ الْقِيمَةَ تَقُومُ مَقَامَ الْعَيْنِ عِنْدَ تَلَفِهَا وَلَا تَمْنَعُ جَهَالَةُ قَدْرِهَا مِنْ لُزُومِ ضَمَانِهَا لِأَنَّهَا تَفَرَّعَتْ عَنْ أَصْلٍ مَعْلُومٍ، وَخَالَفَتِ الْكَفَالَةَ لِأَنَّ تَلَفَ النَّفْسِ لَا يَنْقُلُهَا إِلَى بَدَلٍ.

Pendapat kedua: Penjaminan berpindah kepada nilai barang, karena nilai itu menggantikan posisi barang ketika barang tersebut rusak, dan ketidakjelasan nilai tidak menghalangi kewajiban penjaminan, karena nilai itu merupakan cabang dari sesuatu yang asalnya sudah jelas. Ini berbeda dengan penjaminan jiwa, karena kematian jiwa tidak dapat digantikan dengan sesuatu yang lain.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَلَا يَصِحُّ الضَّمَانُ إِلَّا بِلَفْظٍ مَسْمُوعٍ يُخَاطِبُ بِهِ الضَّامِنُ، أَحَدَ أَرْبَعَةِ أَنْفُسٍ، إِمَّا أَنْ يُخَاطِبَ بِهِ الْمَضْمُونَ لَهُ فَيَقُولَ قَدْ ضَمِنْتُ لَكَ عَنْ فُلَانٍ أَلْفَ دِرْهَمٍ أَوْ يُخَاطِبَ وَكِيلَ الْمَضْمُونِ لَهُ أَوْ يُقِرَّ بِهِ عِنْدَ الْحَاكِمِ أَوْ عِنْدَ شَاهِدٍ فَإِنْ خَاطَبَ بِهِ مَنْ سِوَى هَؤُلَاءِ الْأَرْبَعَةِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ شَيْئًا، وَإِنَّمَا اخْتُصَّ بِخِطَابِ أَحَدِ هَؤُلَاءِ الْأَرْبَعَةِ لِأَنَّ الْمَضْمُونَ لَهُ صَاحِبُ الْوَثِيقَةِ وَمُسْتَحِقُّ الْمُطَالَبَةِ، فَكَانَ عَقْدُ الضَّمَانِ مَعَهُ أَوْ كَسِبَهُ وَأَمَّا وَكِيلُ الْمَضْمُونِ لَهُ فَلِأَنَّهُ يَقُومُ مَقَامَهُ، وَأَمَّا الْحَاكِمُ فَلِأَنَّهُ مُسْتَوْفِي الْحُقُوقِ، وَالنَّائِبُ عَنِ الْغَائِبِ، وَلِأَنَّ عَلِيًّا وَأَبَا قَتَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ضَمِنَا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَخَاطَبَاهُ فَأَمْضَاهُ، وَأَمَّا الشَّاهِدُ فَلِأَنَّهُ مِمَّنْ يُحْفَظُ بِهِ الْحُقُوقُ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ، فَإِنْ خَاطَبَهُ الْمَضْمُونُ لَهُ فَتَمَامُ الضَّمَانِ مَوْقُوفٌ عَلَى الْمَضْمُونِ لَهُ، وَهَلْ يَكُونُ مَشْرُوطًا بِقَبُولِهِ أَوْ رِضَاهُ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Maka apabila telah jelas apa yang telah kami uraikan, maka tidak sah penjaminan (ḍamān) kecuali dengan lafaz yang terdengar yang diucapkan oleh penjamin (ḍāmin) kepada salah satu dari empat pihak: yaitu, bisa jadi ia berbicara kepada pihak yang dijamin (al-maḍmūn lahu) lalu berkata, “Aku telah menjamin untukmu dari si Fulan seribu dirham”; atau ia berbicara kepada wakil pihak yang dijamin; atau ia mengakui di hadapan hakim; atau di hadapan seorang saksi. Jika ia berbicara kepada selain dari keempat pihak ini, maka hal itu tidak dianggap apa-apa. Penetapan pembicaraan kepada salah satu dari keempat pihak ini karena pihak yang dijamin adalah pemilik hak dan yang berhak menuntut, sehingga akad penjaminan terjadi dengannya atau dengan wakilnya. Adapun wakil pihak yang dijamin, karena ia mewakili kedudukannya. Adapun hakim, karena ia adalah penegak hak-hak dan mewakili pihak yang tidak hadir, dan karena ‘Ali dan Abu Qatadah raḍiyallāhu ‘anhumā pernah menjamin di hadapan Rasulullah ﷺ, lalu mereka berbicara kepada beliau dan beliau membolehkannya. Adapun saksi, karena ia termasuk pihak yang menjaga hak-hak. Jika demikian, maka jika penjaminan itu ditujukan kepada pihak yang dijamin, maka kesempurnaan penjaminan bergantung pada pihak yang dijamin. Apakah hal itu disyaratkan dengan penerimaan atau kerelaannya? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ إنَّ تَمَامَ الضَّمَانِ مَشْرُوطٌ بِقَبُولِ الْمَضْمُونِ لَهُ فِي الْحَالِ لَفْظًا، لِأَنَّ الضَّمَانَ عُقَدُ وَثِيقَةٍ، يَفْتَقِرُ إِلَى لَفْظِ الضَّامِنِ بِالضَّمَانِ، فَاقْتَضَى أَنْ يَفْتَقِرَ إِلَى قَبُولِ الْمُرْتَهِنِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ تَرَاخَى الْقَبُولُ لَمْ يَصِحَّ الضَّمَانُ كَمَا لَا يَصِحُّ بِتَرَاخِي الْقَبُولِ فِي سَائِرِ الْعُقُودِ، وَقَدْ صَرَّحَ بِهَذَا الْقَوْلِ أَبُو عَلِيٍّ الطَّبَرِيُّ فِي إِفْصَاحِهِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas Ibn Surayj, bahwa kesempurnaan penjaminan disyaratkan dengan penerimaan pihak yang dijamin pada saat itu juga secara lafaz, karena penjaminan adalah akad kepercayaan yang membutuhkan lafaz penjamin dalam penjaminan, maka hal itu menuntut adanya penerimaan dari pihak yang menerima gadai. Berdasarkan pendapat ini, jika penerimaan itu tertunda maka penjaminan tidak sah, sebagaimana tidak sahnya penundaan penerimaan dalam akad-akad lainnya. Pendapat ini telah dinyatakan secara tegas oleh Abu ‘Ali al-Ṭabari dalam karyanya al-Ifṣāḥ.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: حَكَاهُ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ بَعْضِ شُيُوخِهِ إِنَّ رِضَا الْمَضْمُونِ لَهُ شَرْطٌ فِي لُزُومِ الضَّمَانِ، وَلَا يَفْتَقِرُ إِلَى الْقَبُولِ باللفظ، لأن الضمان لو كان كسائر كالعقود فِي أَنَّهُ مَشْرُوطٌ بِالْقَبُولِ، لَكَانَ مُوَاجَهَةُ الْمَضْمُونِ لَهُ شَرْطًا فِي صِحَّتِهِ، فَلَمَّا جَازَ أَنْ يَضْمَنَ لَهُ مَعَ غَيْبَتِهِ، دَلَّ عَلَى أَنَّ لَفْظَ الْقَبُولِ لَيْسَ بِشَرْطٍ، وَقَدْ ضَمِنَ عَلِيٌّ وأبو قتادة (رضوان الله عليهما) دَيْنَ الْمَيِّتِ مَعَ غَيْبَةِ صَاحِبِهِ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ مَوْقُوفٌ عَلَى الرِّضَا دُونَ الْقَبُولِ. فَعَلَى هَذَا إِذَا رَضِيَ الْمَضْمُونُ لَهُ بِالضَّمَانِ، بِقَوْلٍ صَرِيحٍ أَوْ مَا يَدُلُّ عَلَى الرِّضَا فِي مَجْلِسِ الضَّمَانِ جَازَ، وَإِنْ تَرَاضَيَا عَنْ مَالِ الضَّمَانِ فَإِنْ لَمْ يُوجَدْ مِنْهُ الرِّضَا بِالضَّمَانِ حَتَّى فَارَقَ الْمَجْلِسَ فَلَا ضَمَانَ، وَلِلضَّامِنِ أَنْ يَرْجِعَ فِي ضَمَانِهِ فَلَا رُجُوعَ لِلضَّامِنِ فِيهِ، لِأَنَّهُ قَدْ تَمَّ وَلَزِمَ.

Pendapat kedua, dinukil oleh Ibn Abi Hurayrah dari sebagian gurunya, bahwa kerelaan pihak yang dijamin adalah syarat dalam mengikatnya penjaminan, dan tidak disyaratkan penerimaan secara lafaz. Karena jika penjaminan itu seperti akad-akad lainnya yang mensyaratkan penerimaan, maka menghadapkan penjaminan kepada pihak yang dijamin menjadi syarat sahnya. Namun ketika diperbolehkan menjamin untuknya meskipun ia tidak hadir, hal itu menunjukkan bahwa lafaz penerimaan bukanlah syarat. Dan sungguh ‘Ali dan Abu Qatadah (raḍiyallāhu ‘anhumā) telah menjamin utang orang yang telah meninggal dunia padahal pemilik utang tidak hadir, maka hal itu menunjukkan bahwa yang menjadi syarat adalah kerelaan, bukan penerimaan. Maka berdasarkan pendapat ini, jika pihak yang dijamin rela dengan penjaminan, baik dengan ucapan yang jelas atau dengan sesuatu yang menunjukkan kerelaan dalam majelis penjaminan, maka itu sah. Jika keduanya telah sepakat atas harta penjaminan, namun tidak ditemukan kerelaan dari pihak yang dijamin hingga ia meninggalkan majelis, maka tidak ada penjaminan, dan penjamin boleh menarik kembali penjaminannya, sehingga tidak ada hak kembali bagi penjamin setelah itu, karena penjaminan telah sempurna dan mengikat.

فَهَذَا حُكْمُ الضَّمَانِ إِذَا خُوطِبَ بِهِ الْمَضْمُونُ لَهُ فَأَمَّا إِذَا خُوطِبَ بِهِ وَكِيلُ الْمَضْمُونِ لَهُ، وَهُوَ أَنْ يَقُولَ الضَّامِنُ لِلْوَكِيلِ قَدْ ضَمِنْتُ لِمُوَكِّلِكَ فَلَانِ ابْنِ فُلَانٍ أَلْفَ دِرْهَمٍ عَنْ فُلَانٍ، فَيُنْظَرُ فِي الْوَكِيلِ، فَإِنْ كَانَ مَأْذُونًا لَهُ فِي أَخْذِ الضَّمَانِ، تَمَّ الضَّمَانُ بِقَبُولِ الْوَكِيلِ عَلَى أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ، وَبِرِضَاهُ عَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي، وَلَا يَكُونُ تَمَامُهُ مَوْقُوفًا عَلَى الْمَضْمُونِ لَهُ، وَكَذَلِكَ فِي حَقِّ الْمُوَلًّى عَلَيْهِ بِصِغَرٍ، أَوْ جُنُونٍ، أَوْ سَفَهٍ وَإِنْ كَانَ الْوَكِيلُ غَيْرَ مَأْذُونٍ لَهُ فِي أَخْذِ الضَّمَانِ، كَانَ تَمَامُ الضَّمَانِ مَوْقُوفًا عَلَى عِلْمِ الْمُوَكِّلِ، ثُمَّ عَلَى مَا يَكُونُ مِنْ قَبُولِهِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ، أَوْ رِضَاهُ فِي الْوَجْهِ الثَّانِي.

Inilah hukum penjaminan apabila penjaminan itu ditujukan kepada pihak yang dijamin. Adapun jika penjaminan itu ditujukan kepada wakil pihak yang dijamin, yaitu penjamin berkata kepada wakil, “Aku telah menjamin untuk klienmu, si Fulan bin Fulan, seribu dirham dari si Fulan,” maka dilihat keadaan wakil tersebut. Jika ia diberi izin untuk menerima penjaminan, maka penjaminan sempurna dengan penerimaan wakil menurut salah satu pendapat, dan dengan kerelaannya menurut pendapat kedua, dan kesempurnaannya tidak bergantung pada pihak yang dijamin. Demikian pula dalam hal orang yang berada di bawah perwalian karena masih kecil, gila, atau bodoh (safīh). Namun jika wakil tidak diberi izin untuk menerima penjaminan, maka kesempurnaan penjaminan bergantung pada pengetahuan pemberi kuasa, kemudian pada penerimaannya menurut salah satu pendapat, atau kerelaannya menurut pendapat kedua.

فَهَذَا حُكْمُ الضَّمَانِ إِذَا خُوطِبَ بِهِ وَكِيلُ الْمَضْمُونِ لَهُ، فَأَمَّا إِذَا خُوطِبَ بِهِ الْحَاكِمُ، وَهُوَ أَنْ يَقُولَ الضَّامِنُ لِلْحَاكِمِ، قَدْ ضَمِنْتُ لِفُلَانِ ابْنِ فُلَانٍ عَنْ فُلَانِ ابْنِ فُلَانٍ أَلْفَ دِرْهَمٍ لِيَرْجِعَ عَلَيْهِ.

Inilah hukum ḍamān (penjaminan) apabila yang diajak bicara adalah wakil dari pihak yang dijamin (al-maḍmūn lahu). Adapun jika yang diajak bicara adalah hakim, yaitu ketika penjamin (al-ḍāmin) berkata kepada hakim, “Aku telah menjamin untuk Fulan bin Fulan dari Fulan bin Fulan sebesar seribu dirham agar ia dapat menuntut kepadanya.”

فَإِنْ كَانَ الْمَضْمُونُ لَهُ مُوَلًّى عَلَيْهِ لِصِغَرٍ، أَوْ سَفَهٍ، أَوْ جُنُونٍ، أَجَازَ الْحَاكِمُ ضَمَانَهُ فَإِذَا أَجَازَ صَارَ تَامًّا بِهِ، وَإِنْ كَانَ الْمَضْمُونُ رَشِيدًا لَا يُوَلَّى عَلَيْهِ، كَانَ تَمَامُهُ مَوْقُوفًا عَلَى عِلْمِهِ، ثُمَّ عَلَى مَا يَكُونُ مِنْ قَبُولِهِ أَوْ بِرِضَائِهِ، وَلَيْسَ لِلْحَاكِمِ أَنْ يُجِيزَ الضَّمَانَ عَلَيْهِ. وَإِنْ كَانَ الضَّمَانُ وَثِيقَةً لَهُ، لِأَنَّهُ عَقْدٌ فَلَا يَصِحُّ مِنْ غَيْرِهِ مَعَ سَلَامَةِ حَالِهِ. فَهَذَا حُكْمُ الضَّمَانِ إِذَا خُوطِبَ بِهِ الْحَاكِمُ، فَأَمَّا إِذَا خُوطِبَ بِهِ شَاهِدٌ أَشْهَدَهُ بِالضَّامِنِ عَلَى نَفْسِهِ بِالضَّمَانِ، فقال: قد ضمنت لفلان عن فلان ألف فَاشْهَدْ عَلَيَّ أَوْ لَمْ يَقُلْ فَاشْهَدْ عَلَيَّ فَتَمَامُ هَذَا الضَّمَانِ مَوْقُوفٌ عَلَى الْمَوْقُوفِ لَهُ إِنْ كَانَ غَيْرَ مُوَلًّى عَلَيْهِ، أَوْ عَلَى وَلِيِّهِ إِنْ كَانَ مُوَلًّى عَلَيْهِ، وَلَيْسَ لِلشَّاهِدِ أَنْ يُجِيزَ الضَّمَانَ عَلَى الْمُوَلَّى عَلَيْهِ بِخِلَافِ الْحَاكِمِ، لِأَنَّ الشَّاهِدَ لَا وِلَايَةَ لَهُ وَاللَّهُ أعلم.

Jika pihak yang dijamin (al-maḍmūn lahu) berada di bawah perwalian karena masih kecil, bodoh (safah), atau gila, maka hakim membolehkan penjaminannya. Jika hakim telah membolehkannya, maka penjaminan itu menjadi sempurna karenanya. Namun jika pihak yang dijamin adalah orang yang dewasa dan cakap (rasyid) yang tidak berada di bawah perwalian, maka kesempurnaan penjaminan itu bergantung pada pengetahuannya, kemudian pada penerimaan atau kerelaannya. Hakim tidak berwenang membolehkan penjaminan atas orang yang cakap. Jika penjaminan itu sebagai jaminan untuknya, karena ia adalah akad, maka tidak sah tanpa persetujuannya selama ia dalam keadaan sehat akal. Inilah hukum ḍamān apabila yang diajak bicara adalah hakim. Adapun jika yang diajak bicara adalah seorang saksi yang diminta menjadi saksi atas penjaminan dirinya, lalu ia berkata: “Aku telah menjamin untuk Fulan dari Fulan sebesar seribu dirham, maka saksikanlah atas diriku,” atau meskipun ia tidak berkata “saksikanlah atas diriku”, maka kesempurnaan penjaminan ini bergantung pada pihak yang dijamin jika ia bukan di bawah perwalian, atau pada walinya jika ia di bawah perwalian. Saksi tidak berwenang membolehkan penjaminan atas orang yang berada di bawah perwalian, berbeda dengan hakim, karena saksi tidak memiliki kekuasaan. Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا ضَمِنَ رَجُلٌ عَنْ رَجُلٍ حَقًّا فَلِلْمَضْمُونِ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ أَيَّهُمَا شَاءَ “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang menjamin hak orang lain, maka pihak yang dijamin berhak menagih kepada siapa saja yang ia kehendaki di antara keduanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الضَّمَانُ وَثِيقَةُ الْمَالِ لَا يَنْتَقِلُ مِنْ ذِمَّةِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ إِلَّا بِالْأَدَاءِ وَلِلْمَضْمُونِ لَهُ مُطَالَبَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الضَّامِنِ وَالْمَضْمُونِ عَنْهُ، حَتَّى يَقْضِيَ حَقَّهُ مِنْ أَحَدِهِمَا فيبرئان مَعًا، وَقَالَ ابْنُ أَبِي لَيْلَى وَدَاوُدُ قَدِ انْتَقَلَ الْحَقُّ بِالضَّمَانِ مِنْ ذِمَّةِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ، إِلَى ذِمَّةِ الضَّامِنِ كَالْحَوَالَةِ.

Al-Māwardī berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa ḍamān adalah jaminan harta, tidak berpindah dari tanggungan pihak yang dijamin (al-maḍmūn ‘anhu) kecuali dengan pelunasan. Pihak yang dijamin (al-maḍmūn lahu) berhak menuntut kepada siapa saja, baik penjamin maupun pihak yang dijamin, hingga haknya dilunasi oleh salah satu dari keduanya, maka keduanya terbebas bersama. Ibnu Abī Lailā dan Dāwūd berpendapat bahwa hak itu telah berpindah dengan adanya ḍamān dari tanggungan pihak yang dijamin kepada tanggungan penjamin, seperti halnya ḥawālah (pengalihan utang).

وَقَالَ زفر بن الهذيل الْحَوَالَةُ كَالضَّمَانِ لَا يَنْتَقِلُ بِهَا الْحَقُّ، وَاسْتَدَلَّ ابْنُ أَبِي لَيْلَى وَمَنْ تَابَعَهُ عَلَى أَنَّ الْحَقَّ يَنْتَقِلُ بِالضَّمَانِ كَالْحَوَالَةِ بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” وَالزَّعِيمُ غَارِمٌ ” فَلَمَّا خَصَّهُ بِالْغُرْمِ اقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الْمَضْمُونُ عَنْهُ بَرِيئًا مِنَ الْغُرْمِ وَبِأَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ لَمَّا ضَمِنَ دَيْنَ الْمَيِّتِ صَلَّى عَلَيْهِ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، ثُمَّ قَالَ لَعَلِيٍّ: جَزَاكَ اللَّهُ عَنِ الْإِسْلَامِ خيرا، وفك رهانك كما فككت رهان أخيك. فَكَانَ فِي هَذَا الْخَبَرِ دَلِيلَانِ عَلَى بَرَاءَةِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ بِالضَّمَانِ: –

Zufar bin al-Hudhayl berkata: ḥawālah itu seperti ḍamān, hak tidak berpindah karenanya. Ibnu Abī Lailā dan para pengikutnya berdalil bahwa hak berpindah dengan adanya ḍamān sebagaimana ḥawālah, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Penjamin itu wajib menanggung.” Ketika Nabi ﷺ mengkhususkan penjamin dengan kewajiban menanggung, maka itu menunjukkan bahwa pihak yang dijamin telah bebas dari kewajiban. Juga karena Ali bin Abi Thalib ketika menjamin utang orang yang telah wafat, Nabi ﷺ menyalatinya, lalu berkata kepada Ali: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas Islam, dan membebaskan jaminanmu sebagaimana engkau telah membebaskan jaminan saudaramu.” Dalam hadis ini terdapat dua dalil atas bebasnya pihak yang dijamin dari tanggungan dengan adanya ḍamān:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعْدَ أَنِ امْتَنَعَ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ صَلَّى عَلَيْهِ فَدَلَّ عَلَى بَرَاءَةِ ذِمَّتِهِ، وَلَوْ كَانَ الدَّيْنُ بَاقِيًا لَكَانَ الِامْتِنَاعُ قَائِمًا.

Pertama: Nabi ﷺ setelah sebelumnya menolak menyalatinya, kemudian menyalatinya, maka itu menunjukkan bahwa tanggungannya telah bebas. Jika utangnya masih ada, tentu penolakan itu tetap berlaku.

وَالثَّانِي: قَوْلُهُ: ” فَكَّ اللَّهُ رِهَانَكَ كَمَا فَكَكْتَ رِهَانَ أَخِيكَ ” فَلَمَّا أَخْبَرَ بِفَكِّ رِهَانِهِ دَلَّ عَلَى بَرَاءَةِ ذِمَّتِهِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَحَالَ أَنْ يَكُونَ الْجِسْمُ الْوَاحِدُ فِي مَجْلِسَيْنِ اسْتَحَالَ أَنْ يَكُونَ الدَّيْنُ الْوَاحِدُ ثَابِتًا فِي الذِّمَّتَيْنِ.

Kedua: Sabda beliau: “Semoga Allah membebaskan jaminanmu sebagaimana engkau telah membebaskan jaminan saudaramu.” Ketika beliau mengabarkan bahwa jaminannya telah dibebaskan, itu menunjukkan bahwa tanggungannya telah bebas. Karena sebagaimana mustahil satu tubuh berada di dua majelis sekaligus, demikian pula mustahil satu utang tetap berada di dua tanggungan sekaligus.

وَالدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ قَوْله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَبْرَأُ بِالضَّمَانِ حَتَّى يُقْضَى، وَلِأَنَّ أَبَا قَتَادَةَ حَثَّهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى قَضَاءِ مَا ضَمِنَهُ، فَلَمَّا قَضَاهُ، قَالَ لَهُ الْآنَ بَرَدَتْ عَلَيْهِ جِلْدُهُ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْمَيِّتَ لَمْ يَبْرَأْ مِنْهُ إِلَّا بِالْقَضَاءِ. فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأَبِي قَتَادَةَ حِينَ ضَمِنَ دَيْنَ الْمَيِّتِ عَنْهُ عَلَيْكَ حَقُّ الْغَرِيمِ، وَبَرِئَ الْمَيِّتُ مِنْهُ.

Dan dalil atas kebenaran pendapat yang kami pegangi adalah sabda Nabi ﷺ: “Jiwa seorang mukmin tergantung pada utangnya sampai utang itu dilunasi.” Maka ini menunjukkan bahwa ia tidak terbebas dengan adanya penjamin (ḍamān) sampai utang itu dilunasi. Dan karena Nabi ﷺ mendorong Abu Qatadah untuk melunasi utang yang ia jamin, lalu ketika ia telah melunasinya, Nabi bersabda kepadanya: “Sekarang kulitnya telah menjadi sejuk baginya.” Maka ini menunjukkan bahwa mayit tidak terbebas darinya kecuali dengan pelunasan. Jika dikatakan: Bukankah Nabi ﷺ pernah bersabda kepada Abu Qatadah ketika ia menjamin utang mayit: “Atasmu hak si kreditur, dan mayit telah terbebas darinya?”

قِيلَ: إِنَّمَا أَرَادَ بَرِئَ مِنْ رُجُوعِكَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ ضَمَانَهُ كَانَ بِغَيْرِ أَمْرِهِ، وَلِأَنَّ اسْمَ الْحَوَالَةِ وَالضَّمَانِ مُشْتَقَّانِ مِنْ مَعْنَاهُمَا فَالْحَوَالَةُ مُشْتَقَّةٌ مِنْ تَحَوُّلِ الْحَقِّ، وَالضَّمَانُ مُشْتَقٌّ مِنْ ضَمِّ ذِمَّةٍ إِلَى ذِمَّةٍ، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ اخْتِلَافُ أَسْمَائِهِمَا مِنَ اخْتِلَافِ مَعَانِيهِمَا مُوجِبًا لِاخْتِلَافِ أَحْكَامِهِمَا، وَلِأَنَّ الضَّمَانَ وَثِيقَةٌ فِي الْحَقِّ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْتَقِلَ بِهِ الْحَقُّ كَالرَّهْنِ.

Dijawab: Yang dimaksud adalah mayit terbebas dari tuntutanmu kepadanya, karena penjaminanmu dilakukan tanpa perintahnya. Dan karena istilah ḥawālah (pengalihan utang) dan ḍamān (penjaminan) diambil dari makna masing-masing; ḥawālah diambil dari makna berpindahnya hak, sedangkan ḍamān diambil dari makna bergabungnya tanggungan satu pihak ke pihak lain. Maka perbedaan nama keduanya yang berasal dari perbedaan maknanya menuntut adanya perbedaan hukum di antara keduanya. Dan karena ḍamān adalah jaminan dalam hak, maka tidak boleh hak itu berpindah dengannya seperti halnya rahn (gadai).

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ ” الزَّعِيمُ غَارِمٌ ” فَهُوَ إِنَّهُ لَا يَمْتَنِعُ أَنْ يَكُونَ غَيْرُهُ غَارِمًا، وَأَمَّا صَلَاتُهُ عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ امْتِنَاعِهِ مِنْهُمَا، فَلِأَنَّهُ بِالضَّمَانِ صَارَ كَمَنْ تَرَكَ وَفَاءً، فَلِذَلِكَ صَلَّى عَلَيْهِ، وَأَمَّا قَوْلُهُ: ” فَكَّ اللَّهُ رِهَانَكَ كَمَا فَكَكْتَ رِهَانَ أَخِيكَ “، فَمَعْنَى فَكَّ فِيمَا كَانَ مَانِعًا مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ، وَأَمَّا ادِّعَاؤُهُمُ اسْتِحَالَةَ ثُبُوتِ الدَّيْنِ فِي ذِمَّتَيْنِ، فَغَلَطٌ، لِأَنَّ مَعْنَى ثُبُوتِ الدَّيْنِ فِي الذِّمَّةِ إِنَّمَا هُوَ اسْتِحْقَاقُ الْمُطَالَبَةِ بِهِ، وَلَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ يَكُونَ الْحَقُّ الْوَاحِدُ يُسْتَحَقُّ الْمُطَالَبَةُ بِهِ لِشَخْصَيْنِ، أَلَا تَرَى أَنَّ مَنْ غَصَبَ شَيْئًا، ثُمَّ غَصَبَهُ مِنْهُ غَاصِبٌ آخَرُ، وَاسْتَهْلَكَهُ كَانَ لِلْمَالِكِ مُطَالَبَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِهِ، وَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مُسْتَحِيلًا، كَذَلِكَ فِي الضَّمَانِ.

Adapun jawaban atas sabda beliau “Penjamin adalah penanggung,” maka tidak mustahil orang lain juga menjadi penanggung. Adapun shalat Nabi atas mayit setelah sebelumnya menolak, itu karena dengan adanya penjaminan, mayit menjadi seperti orang yang meninggalkan pelunasan, sehingga Nabi pun menshalatinya. Adapun sabda beliau: “Semoga Allah membebaskan jaminanmu sebagaimana engkau telah membebaskan jaminan saudaramu,” maksudnya adalah membebaskan dari hal yang menghalangi shalat atasnya. Adapun klaim mereka tentang mustahilnya penetapan utang pada dua tanggungan, itu adalah kekeliruan. Karena makna penetapan utang pada tanggungan hanyalah hak untuk menuntutnya, dan tidak mustahil satu hak dapat dituntut dari dua orang. Bukankah engkau melihat bahwa seseorang yang merampas sesuatu, lalu barang itu dirampas lagi oleh orang lain dan kemudian dihabiskan, maka pemilik berhak menuntut keduanya, dan itu tidak mustahil. Demikian pula dalam hal penjaminan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الضَّمَانَ لَا يَنْقُلُ الْحَقَّ، فَالْمَضْمُونُ لَهُ بِالْخِيَارِ فِي مُطَالَبَةِ أَيِّهِمَا شَاءَ وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ لَا يَجُوزُ مُطَالَبَةُ الضَّامِنِ بِالْحَقِّ إِلَّا بَعْدَ عَجْزِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ، وَقَدْ جَعَلَهُ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ قَوْلًا مُحْتَمَلًا وَخَرَّجَهُ لِنَفْسِهِ وَجْهًا، وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ لَهُ الْخِيَارُ فِي أَنْ يَبْتَدِئَ بِمُطَالَبَةِ أَيِّهِمَا شَاءَ.

Apabila telah tetap bahwa ḍamān tidak memindahkan hak, maka pihak yang dijamin (al-maḍmūn lahu) memiliki pilihan untuk menuntut siapa saja yang ia kehendaki di antara keduanya. Abu Tsaur berpendapat tidak boleh menuntut penjamin kecuali setelah pihak yang dijamin tidak mampu membayar, dan Ibnu Abi Hurairah menjadikannya sebagai pendapat yang mungkin dan mengemukakan pendapat itu untuk dirinya sendiri. Muhammad bin Jarir ath-Thabari berpendapat bahwa ia (al-maḍmūn lahu) memiliki pilihan untuk memulai menuntut siapa saja yang ia kehendaki di antara keduanya.

فَإِذَا طَالَبَ أَحَدَهُمَا لَمْ تَكُنْ لَهُ مُطَالَبَةُ الْآخَرِ بِشَيْءٍ وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ ثُبُوتَ الْحَقِّ فِي ذِمَّةِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى مَا وَصَفْنَا يُوجِبُ مُطَالَبَةَ كُلِّ واحد منهما، وتمنع من إيقاع الحجر عليه مُطَالَبَتُهُ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ بِالْخِيَارِ فِي مُطَالَبَةِ أَيِّهِمَا شَاءَ فَحَجَرَ عَلَيْهِمَا بِالْفَلَسِ أَعْنِي الضَّامِنَ وَالْمَضْمُونَ عَنْهُ، وَأَرَادَ الْحَاكِمُ بَيْعَ أَمْوَالِهِمَا فِي دينهما، فقال: الضامن أبرأ بِبَيْعِ مَالِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ، فَإِنْ وَفَى بِدَيْنِهِ بَرِئْتُ مِنْ ضَمَانِهِ، وَإِنْ عَجَزَ بِيعَ مِنْ مَالِي بِقَدْرِهِ، وَقَالَ الْمَضْمُونُ لَهُ أُرِيدُ أَنْ أَبِيعَ مَالَ أَيِّكُمَا شِئْتُ بِدَيْنِي، قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي رِوَايَةِ حَرْمَلَةَ إِنْ كَانَ الضَّامِنُ ضَمِنَ بِأَمْرِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ، فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ، وَإِنْ ضَمِنَ بِغَيْرِ أَمْرِهِ فَالْخِيَارُ إِلَى الْمَضْمُونِ لَهُ فِي بَيْعِ مَالِ أَيِّهِمَا شَاءَ والله أعلم.

Jika ia menuntut salah satu dari keduanya, maka ia tidak berhak menuntut yang lain atas sesuatu pun. Ini adalah kekeliruan, karena penetapan hak pada tanggungan masing-masing sebagaimana telah dijelaskan mewajibkan bolehnya menuntut keduanya, dan tuntutan itu mencegah penjatuhan status pailit atasnya. Jika telah tetap bahwa ia bebas memilih menuntut siapa saja yang ia kehendaki, lalu keduanya dijatuhi status pailit, yaitu penjamin dan yang dijamin, dan hakim ingin menjual harta keduanya untuk membayar utang, lalu penjamin berkata: “Aku terbebas dengan penjualan harta pihak yang dijamin. Jika ia melunasi utangnya, aku terbebas dari penjaminan. Jika ia tidak mampu, maka hartaku dijual sebesar utang itu.” Dan pihak yang dijamin berkata: “Aku ingin menjual harta siapa saja di antara kalian yang aku kehendaki untuk membayar utangku.” Imam Syafi‘i ra. dalam riwayat Harmalah berkata: Jika penjamin menjamin atas perintah pihak yang dijamin, maka pendapatnya yang diambil. Jika ia menjamin tanpa perintahnya, maka pilihan ada pada pihak yang dijamin untuk menjual harta siapa saja di antara keduanya yang ia kehendaki. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ ضَمِنَ بِأَمْرِهِ وَغَرِمَ رَجَعَ بِذَلِكَ عَلَيْهِ وَإِنْ تَطَوَّعَ بِالضَّمَانِ لَمْ يَرْجِعْ “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang menanggung (jaminan) atas perintahnya dan menanggung kerugian, maka ia berhak menuntut kembali (dari orang yang dijamin). Namun jika ia menanggung secara sukarela, maka ia tidak berhak menuntut kembali.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَجُمْلَتُهُ أَنَّ مَنْ ضَمِنَ مَالًا عَنْ غَيْرِهِ وَأَدَّاهُ عَنْهُ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ فِيهِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Māwardī berkata: Dan ini benar. Kesimpulannya, siapa saja yang menanggung harta orang lain dan membayarkannya atas nama orang tersebut, maka keadaannya tidak lepas dari empat bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَضْمَنَ عَنْهُ بِغَيْرِ أَمْرِهِ وَيُؤَدِّيَهُ بِغَيْرِ أَمْرِهِ.

Pertama: Ia menanggung atas nama orang lain tanpa perintahnya dan membayarkannya juga tanpa perintahnya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الضَّمَانُ بِأَمْرِهِ وَالْأَدَاءُ بِأَمْرِهِ.

Kedua: Penjaminan dilakukan atas perintahnya dan pembayaran juga atas perintahnya.

وَالثَّالِثُ: أن يضمن بغير أمره ويؤديه به بِأَمْرِهِ.

Ketiga: Ia menanggung tanpa perintahnya, namun membayarkannya atas perintahnya.

وَالرَّابِعُ: أَنْ يَضْمَنَ عَنْهُ بِأَمْرِهِ وَيُؤَدِّيَهُ بِغَيْرِ أَمْرِهِ.

Keempat: Ia menanggung atas perintahnya, namun membayarkannya tanpa perintahnya.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَضْمَنَ عَنْهُ بِغَيْرِ أَمْرِهِ، وَيُؤَدِّيَهُ بِغَيْرِ أَمْرِهِ فَلَا رُجُوعَ لَهُ بِمَا أَدَّى بِحَالٍ، وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ قَصَدَ بِهِ خَلَاصَ الْمَضْمُونِ عَنْهُ لِمَوَدَّةٍ بَيْنَهُمَا، أَوْ صَرَّحَ بِالرُّجُوعِ عِنْدَ الْأَدَاءِ رَجَعَ عَلَيْهِ.

Adapun bagian pertama, yaitu menanggung atas nama orang lain tanpa perintahnya dan membayarkannya juga tanpa perintahnya, maka tidak ada hak baginya untuk menuntut kembali apa yang telah dibayarkan dalam keadaan apa pun. Malik berkata: Jika ia bermaksud membebaskan orang yang dijamin karena adanya hubungan persahabatan di antara keduanya, atau ia secara tegas menyatakan akan menuntut kembali saat pembayaran, maka ia boleh menuntut kembali.

وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ عَلِيًّا، وَأَبَا قَتَادَةَ لَوِ اسْتَحَقَّا الرُّجُوعَ بِمَا ضَمِنَا لَمَا كَانَ فِي ضَمَانِهِمَا فَكٌّ لِرِهَانِ الْمَيِّتِ، وَلِأَنَّهُ مُتَطَوِّعٌ بِالضَّمَانِ وَالْأَدَاءِ، فَصَارَ كَمَنْ أَنْفَقَ عَلَى رَقَبَةِ غَيْرِهِ أَوْ عَلَفِ بَهَائِمِهِ، لم يرجع بما أنفق لتطوعه.

Ini adalah pendapat yang keliru, karena seandainya ‘Ali dan Abu Qatadah berhak menuntut kembali atas apa yang mereka tanggung, maka penjaminan mereka tidak akan membebaskan gadai mayit. Selain itu, ia telah melakukan penjaminan dan pembayaran secara sukarela, sehingga keadaannya seperti orang yang mengeluarkan nafkah untuk budak orang lain atau memberi makan hewan ternaknya; ia tidak berhak menuntut kembali apa yang telah ia keluarkan karena dilakukan secara sukarela.

وأما القاسم الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَضْمَنَ عَنْهُ بِأَمْرِهِ وَيُؤَدِّيَ عَنْهُ بِأَمْرِهِ، فَلَهُ الرُّجُوعُ لَا يَخْتَلِفُ. لِأَنَّ الْأَمْرَ بِهِ فِي الْحَالَيْنِ يُخْرِجُهُ مِنْ حُكْمِ التَّطَوُّعِ.

Adapun bagian kedua, yaitu menanggung atas perintahnya dan membayar atas perintahnya, maka ia berhak menuntut kembali tanpa ada perbedaan pendapat, karena perintah dalam kedua keadaan tersebut mengeluarkannya dari hukum sukarela.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَضْمَنَ عَنْهُ بِغَيْرِ أَمْرِهِ وَيُؤَدِّيَهُ بِأَمْرِهِ، فَلَهُ فِي الْأَمْرِ بِالْأَدَاءِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ: حَالٌ يَقُولُ: أَدِّ مَا ضَمِنْتَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَقُولَ: أَدِّ عَنِّي ذَلِكَ فَهَذَا لَا رُجُوعَ لِلضَّامِنِ بِهِ لَا يَخْتَلِفُ. لِأَنَّ هَذَا أَمْرٌ بِمَا كَانَ لَازِمًا له بالضمان. الذي تطوع به.

Bagian ketiga, yaitu menanggung atas nama orang lain tanpa perintahnya dan membayarkannya atas perintahnya, maka dalam perintah pembayaran terdapat tiga keadaan: Keadaan pertama, ia berkata: “Bayarkan apa yang telah engkau tanggung,” tanpa mengatakan, “Bayarkan itu atas namaku.” Dalam hal ini, penjamin tidak berhak menuntut kembali, tanpa ada perbedaan pendapat, karena ini adalah perintah untuk sesuatu yang sudah menjadi tanggungannya karena penjaminan yang dilakukan secara sukarela.

والحال الثاني: أَنْ يَقُولَ: أَدِّ عَنِّي مَا ضَمِنْتَهُ لِتَرْجِعَ بِهِ عَلَيَّ، فَلَهُ الرُّجُوعُ بِذَلِكَ لَا يَخْتَلِفُ، لِأَنَّهُ قَدْ شَرَطَ لَهُ الرُّجُوعَ فِي أَمْرِهِ بالأداء.

Keadaan kedua: Ia berkata, “Bayarkan atas namaku apa yang telah engkau tanggung agar engkau dapat menuntut kembali dariku,” maka ia berhak menuntut kembali tanpa ada perbedaan pendapat, karena ia telah mensyaratkan hak penuntutan kembali dalam perintah pembayaran.

والحال الثالث: أَنْ يَقُولَ: أَدِّ عَنِّي مَا ضَمِنْتَهُ، فَفِي رُجُوعِهِ وَجْهَانِ:

Keadaan ketiga: Ia berkata, “Bayarkan atas namaku apa yang telah engkau tanggung,” maka dalam hal penuntutan kembali terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَرْجِعُ بِهِ، لِأَنَّهُ أَمَرَهُ بِالْغُرْمِ عَنْهُ.

Pertama: Ia berhak menuntut kembali, karena ia telah memerintahkannya untuk menanggung kerugian atas namanya.

وَالثَّانِي: لَا يَرْجِعُ بِهِ لِأَنَّ هَذَا الْأَمْرَ يُحْتَمَلُ أَنْ يُرَادَ بِهِ التَّطَوُّعُ، وَيُحْتَمَلُ أَنْ يُرَادَ بِهِ الرُّجُوعُ.

Kedua: Ia tidak berhak menuntut kembali, karena perintah ini bisa dimaksudkan sebagai sukarela, dan bisa juga dimaksudkan untuk penuntutan kembali.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ وَهُوَ أَنْ يَضْمَنَ عَنْهُ بِأَمْرِهِ وَيُؤَدِّيَهُ بغير أمره فهذا بنظر، فَإِنْ أَدَّاهُ بَعْدَ الْمُطَالَبَةِ لَهُ وَالتَّشْدِيدِ عَلَيْهِ وَمُحَاكَمَتِهِ فَلَهُ الرُّجُوعُ بِمَا أَدَّى، لِأَنَّهُ مُسْتَحَقٌّ عَلَيْهِ بِالضَّمَانِ الْمَأْمُورِ بِهِ، وَإِنْ أَدَّاهُ قَبْلَ الْمُطَالَبَةِ بِهِ، فَفِي رُجُوعِهِ بِهِ وَجْهَانِ:

Adapun bagian keempat, yaitu menanggung atas perintahnya dan membayarkannya tanpa perintahnya, maka hal ini perlu diperinci. Jika ia membayarkannya setelah ada tuntutan dan penekanan serta dibawa ke pengadilan, maka ia berhak menuntut kembali apa yang telah dibayarkan, karena itu memang menjadi haknya berdasarkan penjaminan yang diperintahkan. Namun jika ia membayarkannya sebelum ada tuntutan, maka dalam hal penuntutan kembali terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا رُجُوعَ لَهُ بِهِ، لِأَنَّهُ يَصِيرُ قَبْلَ الْمُطَالَبَةِ مُتَطَوِّعًا بِالْأَدَاءِ.

Pertama: Ia tidak berhak menuntut kembali, karena sebelum ada tuntutan ia dianggap melakukan pembayaran secara sukarela.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ وَبِهِ قَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَكْثَرُ أَصْحَابِنَا لَهُ الرُّجُوعُ، لِأَنَّ الْأَدَاءَ مُسْتَحَقٌّ بِالضَّمَانِ الْمَأْمُورِ بِهِ، فَصَارَ مُؤَدِّيًا مَا وَجَبَ بِالْأَمْرِ، وَهَكَذَا حَالُ الْوَكِيلِ فِي الشِّرَاءِ إِنْ أَذِنَ لَهُ الْمُوَكِّلُ فِي وَزْنِ الثَّمَنِ عَنْهُ، كَانَ لَهُ الرُّجُوعُ بِهِ وَإِنْ نَهَاهُ عَنْ وَزْنِ الثَّمَنِ عَنْهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ بِهِ، وَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ فِي وَزْنِهِ، وَلَمْ يَنْهَهُ عَنْهُ فَإِنْ وَزَنَهُ عَنْهُ بَعْدَ الْمُحَاكَمَةِ وَالْمُطَالَبَةِ فَلَهُ الرُّجُوعُ بِهِ، وَإِنْ وَزَنَهُ قَبْلَ الْمُطَالَبَةِ فَفِي الرُّجُوعِ بِهِ وَجْهَانِ.

Pendapat kedua, dan ini yang benar, serta dikatakan oleh Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dan mayoritas ulama kami, ia berhak menuntut kembali, karena pembayaran itu memang menjadi hak berdasarkan penjaminan yang diperintahkan. Maka ia dianggap telah membayar sesuatu yang wajib atas perintah. Demikian pula keadaan wakil dalam pembelian; jika pemberi kuasa mengizinkannya untuk membayar harga atas namanya, maka ia berhak menuntut kembali. Namun jika ia melarangnya membayar harga atas namanya, maka ia tidak berhak menuntut kembali. Jika ia tidak mengizinkan dan tidak pula melarang, lalu ia membayarnya setelah ada pengadilan dan tuntutan, maka ia berhak menuntut kembali. Namun jika ia membayarnya sebelum ada tuntutan, maka dalam hal penuntutan kembali terdapat dua pendapat.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا وَاسْتَحَقَّ الضَّامِنُ الرُّجُوعَ عَلَى مَا بَيَّنَّا فَلَهُ فِيمَا أَدَّاهُ حَالَتَانِ:

Jika telah tetap apa yang telah kami jelaskan dan penjamin berhak menuntut kembali sebagaimana telah kami terangkan, maka dalam apa yang telah ia bayarkan terdapat dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يُؤَدِّيَ مِنْ جِنْسِ مَا ضَمِنَ.

Pertama: Ia membayar dengan jenis yang sama dengan apa yang ia tanggung.

وَالثَّانِيَةُ: أَنْ يُؤَدِّيَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِ مَا ضَمِنَ. فَإِنْ كَانَ مَا أَدَّاهُ مِنْ غَيْرِ جِنْسِ مَا ضَمِنَهُ مِثَالُهُ أَنْ يَضْمَنَ عَنْهُ أَلْفَ دِرْهَمٍ فَيُعْطِي بِالْأَلْفِ عَبْدًا فَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِأَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ قِيمَةِ الْعَبْدِ أَوْ مِنَ الْأَلْفِ، فَإِنْ كَانَتْ قِيمَةُ الْعَبْدِ أَقَلَّ رَجَعَ بِهَا لِأَنَّهُ لَمْ يُغَرَّمْ غَيْرَهَا، وَإِنْ كَانَتْ قِيمَةُ الْعَبْدِ أَكْثَرَ رَجَعَ بِالْأَلْفِ لِأَنَّهُ مُتَطَوِّعٌ بِالزِّيَادَةِ وَإِنْ كَانَ مَا أَدَّاهُ مِنْ جِنْسِ مَا ضَمِنَهُ فَلَهُ فِيهِ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ حَالٌ يُؤَدِّيهِ عَلَى مِثْلِ صِفَتِهِ وَقَدْرِهِ وَحَالٌ يُؤَدِّيهِ عَلَى مِثْلِ صِفَتِهِ وَدُونَ قَدْرِهِ، وَحَالٌ يُؤَدِّيهِ عَلَى مِثْلِ قَدْرِهِ وَدُونَ صِفَتِهِ، وَحَالٌ يؤديه دون قدره دون صِفَتِهِ.

Kedua: yaitu apabila ia membayar dengan sesuatu yang bukan sejenis dengan apa yang dijaminnya. Jika yang dibayarkan bukan dari jenis yang dijaminnya—misalnya seseorang menjamin seribu dirham lalu ia membayar dengan seorang budak sebagai ganti seribu dirham itu—maka ia berhak menuntut kembali dari pihak yang dijamin dengan nilai yang lebih kecil antara harga budak atau seribu dirham. Jika harga budak lebih rendah, maka ia menuntut kembali sebesar harga budak, karena ia tidak menanggung lebih dari itu. Jika harga budak lebih tinggi, maka ia hanya menuntut kembali sebesar seribu dirham, karena kelebihan itu ia berikan secara sukarela. Adapun jika yang dibayarkan adalah dari jenis yang sama dengan yang dijamin, maka terdapat empat keadaan:
1) Ia membayar dengan sifat dan kadar yang sama;
2) Ia membayar dengan sifat yang sama namun kurang dari kadarnya;
3) Ia membayar dengan kadar yang sama namun kurang dari sifatnya;
4) Ia membayar kurang dari kadar dan kurang dari sifatnya.

فَأَمَّا الْحَالَةُ الْأُولَى وَهُوَ أَنْ يُؤَدِّيَهُ عَلَى مِثْلِ قَدْرِهِ وَصِفَتِهِ فَمِثَالُهُ أَنْ يَضْمَنَ عَنْهُ أَلْفَ دِرْهَمٍ بِيضًا صِحَاحًا فَيُؤَدِّيَ مِثْلَهَا أَلْفَ دِرْهَمٍ بِيضًا صِحَاحًا فَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِمِثْلِ ذَلِكَ وَأَمَّا الْحَالَةُ الثَّانِيَةُ وَهُوَ أَنْ يُؤَدِّيَهُ عَلَى مِثْلِ صِفَتِهِ وَدُونَ قَدْرِهِ، فَمِثَالُهُ أَنْ يَضْمَنَ عَنْهُ أَلْفَ دِرْهَمٍ بِيضًا صِحَاحًا فيؤدي عنها تسعماية درهم بيضا صحاحا فله أن يرجع بتسعماية وَهُوَ الْقَدْرُ الَّذِي أَدَّاهُ لِأَنَّ الْقَدْرَ الَّذِي سُومِحَ بِهِ هُوَ إِبْرَاءٌ وَلَيْسَ لِلضَّامِنِ أَنْ يَرْجِعَ بِمَا أُبْرِئُ مِنْهُ، ثُمَّ يَنْظُرُ فِي الْمِائَةِ الَّتِي سُومِحَ بِهَا الضَّامِنُ فَإِنْ كَانَ قَدْ أُبْرِئَ مِنْهَا وَحْدَهُ كَانَتْ بَاقِيَةً عَلَى الْمَضْمُونِ عَنْهُ يَلْزَمُهُ أَدَاؤُهَا إِذَا طُولِبَ بِهَا، وَإِنْ كَانَ قَدْ أَبْرَأَ مِنْهَا الضَّامِنَ وَالْمَضْمُونَ عَنْهُ بَرِئَا جَمِيعًا مِنْهَا، وَأَمَّا الْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: وَهُوَ أَنْ يُؤَدِّيَهُ عَلَى مِثْلِ قَدْرِهِ وَدُونَ صِفَتِهِ، فَمِثَالُهُ أَنْ يَضْمَنَ عَنْهُ أَلْفَ دِرْهَمٍ بِيضًا صِحَاحًا فَيُؤَدِّيَ عَنْهَا أَلْفَ دِرْهَمٍ سُودًا أَوْ مُنْكَسِرَةً فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ إِنَّ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِمِثْلِ مَا أَدَّى سُودًا أَوْ مُنْكَسِرَةً وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِمِثْلِ مَا ضَمِنَ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ بِيضًا صِحَاحًا لِأَنَّهُ سَامَحَ الضَّامِنَ بِهَا فَصَارَ ذَلِكَ كَهِبَةٍ لَهُ وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّهُ لَوْ وَهَبَ لَهُ جَمِيعَ الْمَالِ بِالْإِبْرَاءِ لَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ، فَإِذَا سَامَحَ بِدُونِ الصِّفَةِ فَأَوْلَى أَلَّا يَرْجِعَ بِهِ وَلَكِنْ لَوْ أَنَّ الْمَضْمُونَ لَهُ قَبَضَ الْمَالَ مِنَ الضَّامِنِ ثُمَّ وَهَبَهُ لَهُ بَعْدَ قَبْضِهِ، فَهَلْ لِلضَّامِنِ أَنْ يَرْجِعَ بِذَلِكَ عَلَى الْمَضْمُونِ عَنْهُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مُخَرَّجَيْنِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي الزَّوْجَةِ إِذَا وَهَبَتِ الصَّدَاقَ بَعْدَ قَبْضِهِ ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ هَلْ يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِنِصْفِ الصَّدَاقِ الَّذِي وَهَبَتْهُ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ وَأَمَّا الْحَالَةُ الرَّابِعَةُ وَهُوَ أَنْ يُؤَدِّيَهُ دُونَ قَدْرِهِ وَدُونَ صِفَتِهِ فَمِثَالُهُ. أَنْ يَضْمَنَ عَنْهُ أَلْفَ دِرْهَمٍ بيضا صحاحا فيؤدي عنها تسعماية سُودًا أَوْ مُكَسَّرَةً فَنُقْصَانُ الْقَدْرِ لَا يَرْجِعُ بِهِ، وَأَمَّا نُقْصَانُ الصِّفَةِ فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ يَرْجِعُ بِمِثْلِ الصِّفَةِ الَّتِي أَدَّاهَا سُودًا أَوْ مُكَسَّرَةً، وَعَلَى مَذْهَبِ ابْنِ سُرَيْجٍ يَرْجِعُ بِهَا بِيضًا صِحَاحًا.

Adapun keadaan pertama, yaitu membayar dengan kadar dan sifat yang sama, contohnya: seseorang menjamin seribu dirham putih yang utuh, lalu ia membayar seribu dirham putih yang utuh pula, maka ia berhak menuntut kembali yang serupa.
Keadaan kedua, yaitu membayar dengan sifat yang sama namun kurang dari kadarnya, contohnya: seseorang menjamin seribu dirham putih yang utuh, lalu ia membayar sembilan ratus dirham putih yang utuh, maka ia berhak menuntut kembali sembilan ratus dirham, yaitu sebesar yang telah ia bayarkan, karena kekurangan yang dimaafkan itu merupakan pelepasan (ibra’), dan penjamin tidak berhak menuntut kembali apa yang telah dilepaskan darinya. Kemudian, pada seratus dirham yang dimaafkan itu, jika hanya penjamin yang dibebaskan, maka sisanya tetap menjadi tanggungan pihak yang dijamin dan ia wajib membayarnya jika diminta. Namun jika pembebasan itu mencakup penjamin dan pihak yang dijamin, maka keduanya sama-sama terbebas darinya.
Keadaan ketiga, yaitu membayar dengan kadar yang sama namun kurang dari sifatnya, contohnya: seseorang menjamin seribu dirham putih yang utuh, lalu ia membayar seribu dirham hitam atau yang pecah. Menurut mazhab Syafi‘i, ia berhak menuntut kembali dengan yang serupa, yaitu seribu dirham hitam atau pecah. Abu al-‘Abbas Ibn Surayj berpendapat bahwa ia berhak menuntut kembali seperti yang dijaminnya, yaitu seribu dirham putih yang utuh, karena pihak yang dijamin telah memaafkan penjamin, sehingga hal itu seperti pemberian kepadanya. Namun pendapat ini keliru, sebab jika seluruh harta itu dihibahkan kepadanya melalui pelepasan, maka ia tidak berhak menuntut apa pun. Maka jika yang dimaafkan adalah kekurangan sifat, lebih utama lagi ia tidak berhak menuntutnya. Namun, jika pihak yang dijamin telah menerima harta dari penjamin lalu menghibahkannya setelah menerima, apakah penjamin berhak menuntut kembali kepada pihak yang dijamin atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang diambil dari perbedaan pendapat Imam Syafi‘i tentang istri yang menghibahkan mahar setelah menerimanya, lalu dicerai sebelum terjadi hubungan, apakah suami berhak menuntut kembali setengah mahar yang telah dihibahkan atau tidak? Ada dua pendapat.
Adapun keadaan keempat, yaitu membayar kurang dari kadar dan kurang dari sifatnya, contohnya: seseorang menjamin seribu dirham putih yang utuh, lalu ia membayar sembilan ratus dirham hitam atau pecah. Kekurangan kadar tidak dapat dituntut kembali, sedangkan kekurangan sifat, menurut mazhab Syafi‘i, ia menuntut kembali dengan sifat yang sama seperti yang dibayarkan, yaitu hitam atau pecah, dan menurut mazhab Ibn Surayj, ia menuntut kembali dengan putih yang utuh.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

إِذَا ضَمِنَ عَنْهُ كَرَّ حنطة من مسلم فَأَدَّى الضَّامِنُ الْكَرَّ الْحِنْطَةَ فَلَهُ الرُّجُوعُ عَلَى الْمَضْمُونِ عَنْهُ بِمِثْلِهِ، فَلَوْ أَنَّ الضَّامِنَ صَالَحَ الْمَضْمُونَ عَنْهُ عَلَى الْحِنْطَةِ عَلَى مَالٍ أَوْ عوض جَازَ إِذَا تَقَايَضَا قَبْلَ الِافْتِرَاقِ. وَإِنْ لَمْ يَتَقَايَضَاهُ حَتَّى تَفَرَّقَا قَبْلَ الْقَبْضِ كَانَ عَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا فِي الْبُيُوعِ وَلَوْ صَالَحَهُ عَنِ الْكَرِّ الْحِنْطَةِ عَلَى نِصْفِهِ فِي مِثْلِ تِلْكَ الصِّفَةِ جَازَ وَكَانَتْ حَطِيطَةً وَلَوْ صَالَحَهُ عَلَى نِصْفِ كَرِّ حِنْطَةٍ إِلَى أَجَلٍ جَازَ لِأَنَّهُ حِطَّةٌ وَأَجَّلَهُ أَيْضًا وَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ فِي الْأَجَلِ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ فِي الْحَطِيطَةِ ولو ضمن عنه كر حنطة من مسلم ثُمَّ إِنَّ الضَّامِنَ صَالَحَ الْمُسْلِمَ الْمَضْمُونَ لَهُ عَلَى رَأْسِ مَالٍ لَمْ يَجُزْ، وَلَوْ صَالَحَهُ الْمَضْمُونُ عَنْهُ جَازَ لِأَنَّ الصُّلْحَ عَلَى رَأْسِ الْمَالِ إِقَالَةٌ وَالضَّامِنُ لَا يَمْلِكُ الْإِقَالَةَ وَالْمَضْمُونُ عَنْهُ يَمْلِكُهَا ثُمَّ يَبْطُلُ الضَّمَانُ لِأَنَّ الْحِنْطَةَ الْمَضْمُونَةَ قَدْ بَطَلَتْ بِالْإِقَالَةِ وَرَأْسُ الْمَالِ الْمُسْتَحَقُّ لَمْ يَتَوَجَّهْ إِلَيْهِ الضَّمَانُ فَهَذَا الْكَلَامُ فِيمَا يَرْجِعُ بِهِ الضَّامِنُ وَمَا يَتَفَرَّعُ عَلَيْهِ فَصْلٌ آخَرُ.

Jika seseorang menanggung (menjadi penjamin) satu kar gandum dari seorang Muslim, lalu penjamin tersebut menyerahkan satu kar gandum itu, maka ia berhak kembali kepada pihak yang ditanggung (minta ganti) dengan yang semisal. Jika penjamin berdamai dengan pihak yang ditanggung atas gandum itu dengan harta atau imbalan lain, maka boleh selama keduanya melakukan tukar-menukar sebelum berpisah. Namun jika mereka belum melakukan tukar-menukar hingga berpisah sebelum penyerahan, maka ada dua pendapat sebagaimana dalam bab jual beli. Jika ia berdamai atas setengah kar gandum dalam kondisi seperti itu, maka boleh dan itu dianggap sebagai pengurangan (potongan hutang). Jika ia berdamai atas setengah kar gandum dengan tempo, maka boleh karena itu juga pengurangan dan penundaan, dan ia (penjamin) boleh menuntut dalam tempo tersebut, tetapi tidak boleh menuntut dalam pengurangan. Jika seseorang menanggung satu kar gandum dari seorang Muslim, lalu penjamin berdamai dengan Muslim yang menjadi pihak yang dijamin untuknya atas pokok modal, maka tidak boleh. Namun jika pihak yang ditanggung berdamai dengannya, maka boleh, karena perdamaian atas pokok modal adalah pembatalan akad, dan penjamin tidak berhak membatalkan akad, sedangkan pihak yang ditanggung berhak melakukannya. Setelah itu, jaminan menjadi batal karena gandum yang dijamin telah batal dengan pembatalan akad, dan pokok modal yang menjadi hak tidak lagi menjadi objek jaminan. Inilah pembahasan mengenai apa yang dapat dituntut kembali oleh penjamin dan cabang-cabang hukumnya, dan ada pembahasan lain setelahnya.

وَأَمَّا إِذَا عَجَّلَ الْمَضْمُونُ عَنْهُ إِلَى الضَّامِنِ مَا ضَمِنَهُ عَنْهُ بِأَمْرِهِ قَبْلَ أَنْ يُؤَدِّيَهُ الضَّامِنُ فَإِنْ جَعَلَهُ فِيمَا عَجَّلَهُ رَسُولًا لِيَدْفَعَهُ إِلَى الْمَضْمُونِ لَهُ جَازَ وَكَانَ أَمِينًا عَلَيْهِ لَا يَضْمَنُهُ بِالتَّلَفِ وَإِنْ دَفَعَهُ إِلَيْهِ قَضَاءً مِنْ ضَمَانِهِ فَفِيهِ قَوْلَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ.

Adapun jika pihak yang ditanggung mempercepat pembayaran kepada penjamin atas apa yang dijaminkan atas perintahnya sebelum penjamin membayarkannya, maka jika ia menjadikannya sebagai utusan untuk menyerahkannya kepada pihak yang dijamin, maka boleh dan ia menjadi orang yang dipercaya atasnya, tidak menanggung jika terjadi kerusakan. Namun jika ia menyerahkannya sebagai pelunasan dari jaminannya, maka ada dua pendapat sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Surayj.

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ كَمَا يَجُوزُ تَعْجِيلُ الزَّكَاةِ وَالدَّيْنِ الْمُؤَجَّلِ.

Salah satunya: Boleh, sebagaimana bolehnya mempercepat pembayaran zakat dan hutang yang bertempo.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ لِأَنَّ الضَّامِنَ لَا يَسْتَحِقُّ عَلَى الْمَضْمُونِ لَهُ شَيْئًا قَبْلَ غُرْمِهِ وَلِأَنَّهُ دَفْعٌ لَا يَبْرَأُ بِهِ لَكِنْ يَكُونُ مَا أَخَذَهُ مَضْمُونًا عَلَيْهِ لِأَنَّهُ أَخَذَهُ عَلَى أَنْ يَكُونَ عِوَضًا فِي حَقِّهِ.

Pendapat kedua: Tidak boleh, karena penjamin tidak berhak menuntut apapun dari pihak yang dijamin sebelum ia menanggung kerugian, dan karena penyerahan itu tidak membebaskan tanggungan, tetapi apa yang diterima menjadi tanggungan atasnya karena ia menerimanya dengan syarat sebagai pengganti haknya.

وَلَوْ كَانَ الْمَضْمُونُ عَنْهُ عَجَّلَ لِلضَّامِنِ بَدَلًا مِنَ الدَّرَاهِمِ الَّتِي ضَمِنَهَا عَنْهُ عَبْدًا أَوْ عِوَضًا لَمْ يَجُزْ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا لِأَنَّ هَذَا مُعَاوَضَةٌ عَلَى مَا لَمْ يَجِبْ وَذَلِكَ تَعْجِيلٌ ثُمَّ يَتَفَرَّعُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ فِي تَعْجِيلِ الْقَضَاءِ أَنْ يُبْرِئَ الضَّامِنُ الْمَضْمُونَ عَنْهُ مِنْ مَالِ الضَّمَانِ قَبْلَ أَدَائِهِ عَنْهُ فَيَكُونَ الْإِبْرَاءُ مُخَرَّجًا عَلَى هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ إِنْ قِيلَ بِجَوَازِ تَعْجِيلِ الْقَضَاءِ صَحَّ الْإِبْرَاءُ وَإِنْ قِيلَ تَعْجِيلُ الْقَضَاءِ لَا يَجُوزُ لَمْ يَجُزِ الْإِبْرَاءُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika pihak yang ditanggung mempercepat kepada penjamin sebagai ganti dari dirham yang dijaminkan kepadanya berupa budak atau imbalan lain, maka tidak boleh menurut kedua pendapat, karena ini merupakan pertukaran atas sesuatu yang belum wajib, dan itu adalah percepatan. Kemudian, cabang dari apa yang telah disebutkan dari dua pendapat dalam mempercepat pelunasan adalah jika penjamin membebaskan pihak yang ditanggung dari harta jaminan sebelum ia membayarkannya, maka pembebasan itu mengikuti dua pendapat tersebut: jika dikatakan boleh mempercepat pelunasan, maka pembebasan itu sah; dan jika dikatakan tidak boleh mempercepat pelunasan, maka pembebasan itu tidak sah. Allah lebih mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

(قَالَ الْمُزَنِيُّ) : ” قلت أنا وَكَذَلِكَ كُلُّ ضَامِنٍ فِي دَيْنٍ وَكَفَالَةٍ بِدَيْنٍ وَأُجْرَةٍ وَمَهْرٍ وَضَمَانِ عُهْدَةٍ وَأَرْشِ جُرْحٍ وَدِيَةِ نفس فإن أدى ذلك الضامن عن المضمون عنه بأمره رجع به عليه وإن أداه بغير أمره كان متطوعاً لا يرجع به “.

(Al-Muzani berkata): “Saya berkata: Demikian pula setiap penjamin dalam hutang, penjaminan hutang, upah, mahar, jaminan tanggungan, diyat luka, dan diyat jiwa; jika penjamin itu membayar atas nama pihak yang ditanggung atas perintahnya, maka ia boleh menuntut kembali darinya. Namun jika ia membayarnya tanpa perintah, maka ia dianggap sebagai relawan dan tidak boleh menuntut kembali.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْأَمْوَالَ ضَرْبَانِ أعيان وفي الذمم ومعنى الْكَلَامُ فِي الْأَعْيَانِ وَأَنَّ ضَمَانَهَا عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ لَا يَجُوزُ وَأَمَّا مَا فِي الذِّمَمِ فَضَرْبَانِ لَازِمٌ وَغَيْرُ لَازِمٍ فَأَمَّا اللَّازِمُ فَضَرْبَانِ: مُسْتَقِرٌّ وَغَيْرُ مُسْتَقِرٍّ، فَأَمَّا الْمُسْتَقِرُّ كَمِثْلِ قِيَمِ الْمُتْلَفَاتِ وَأُرُوشِ الْجِنَايَاتِ وَأَثْمَانِ الْمَقْبُوضِ مِنَ الْمَبِيعَاتِ فَضَمَانُ هَذَا كُلِّهِ جَائِزٌ وَأَمَّا غَيْرُ الْمُسْتَقِرِّ فَمِثْلُ ثَمَنِ الْمَبِيعِ فِي مُدَّةِ الْخِيَارِ فَالْمَذْهَبُ جَوَازُ ضَمَانِهِ لِلزَّوْجَةِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ لَا يَجُوزُ لِعَدَمِ اسْتِقْرَارِهِ. فَأَمَّا ثَمَنُ الْمَبِيعِ قَبْلَ الْقَبْضِ وَالْأُجْرَةُ قَبْلَ مُضِيِّ الْمُدَّةِ فَالصَّحِيحُ أَنَّهُ فِي حُكْمِ الْمُسْتَقِرِّ وَإِنْ جَازَ أَنْ يَتَعَقَّبَهُ الْفَسْخُ فَصَحَّ ضَمَانُهُ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ جَعَلَهُ كَالْمَبِيعِ فِي مُدَّةِ الْخِيَارِ، فَهَذَا حُكْمُ مَا كَانَ لَازِمًا فَأَمَّا مَا لَيْسَ بِلَازِمٍ فَضَرْبَانِ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa harta itu terbagi menjadi dua jenis: berupa benda (‘ayn) dan yang ada dalam tanggungan (dzimmah). Pembahasan ini mengenai benda (‘ayn), dan menurut mazhab al-Syafi‘i, penjaminan atasnya tidak diperbolehkan. Adapun yang ada dalam tanggungan (dzimmah), terbagi menjadi dua: yang wajib (lazim) dan yang tidak wajib. Yang wajib (lazim) pun terbagi lagi menjadi dua: yang sudah tetap (mustaqir) dan yang belum tetap. Yang sudah tetap, seperti nilai barang yang rusak, diyat jinayah, dan harga barang yang telah diterima dari transaksi jual beli, maka penjaminan atas semua ini diperbolehkan. Adapun yang belum tetap, seperti harga barang dalam masa khiyar, maka menurut mazhab, penjaminannya untuk istri diperbolehkan, namun sebagian ulama kami berpendapat tidak boleh karena belum tetapnya tanggungan tersebut. Adapun harga barang sebelum diterima dan upah sebelum masa sewa berlalu, pendapat yang sahih adalah ia dihukumi sebagai yang sudah tetap, meskipun masih mungkin terjadi pembatalan setelahnya, sehingga penjaminannya sah. Namun, sebagian ulama kami menyamakannya dengan barang yang dijual dalam masa khiyar. Inilah hukum mengenai yang wajib (lazim). Adapun yang tidak wajib (lazim), terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: مَا لَيْسَ بِلَازِمٍ وَلَا يُفْضِي إِلَى اللُّزُومِ كَمَالِ الْكِتَابَةِ فَضَمَانُهُ لَا يَصِحُّ لِأَنَّ لُزُومَ الضَّمَانِ فَرْعٌ لِلُزُومِ الدَّيْنِ الْمَضْمُونِ.

Pertama: Yang tidak wajib dan tidak berpotensi menjadi wajib, seperti ma’al al-kitābah (harta yang terkait akad pembebasan budak secara cicilan), maka penjaminannya tidak sah, karena kewajiban penjaminan merupakan cabang dari kewajiban utang yang dijamin.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا لَيْسَ بِلَازِمٍ وَلَكِنْ قَدْ يُفْضِي إِلَى اللُّزُومِ فِي ثَانِي حَالٍ كَمَالِ الْجَعَالَةِ فَفِي جَوَازِ ضَمَانِهِ وَجْهَانِ:

Jenis kedua: Yang tidak wajib, namun bisa berpotensi menjadi wajib pada keadaan berikutnya, seperti ma’al al-ja‘ālah (harta terkait akad ja‘ālah/imbalan atas suatu pekerjaan), maka dalam hal kebolehan penjaminannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَصِحُّ ضَمَانُهُ لِعَدَمِ لُزُومِهِ فِي الْحَالِ.

Pertama: Penjaminannya tidak sah karena belum wajib pada saat ini.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّ ضَمَانَهُ صَحِيحٌ لِأَنَّهُ قَدْ يُفْضِي إِلَى اللُّزُومِ فِي ثَانِي حَالٍ.

Pendapat kedua: Penjaminannya sah karena bisa berpotensi menjadi wajib pada keadaan berikutnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

إِذَا تَمَهَّدَ مَا وَصَفْنَا فِي هَذَا الْفَصْلِ فَالتَّفْرِيعُ مَحْمُولٌ عَلَيْهِ وَقَدْ ذَكَرَ الْمُزَنِيُّ سَبْعَةَ أَشْيَاءَ فَقَالَ كُلُّ ضَامِنٍ فِي دَيْنٍ يَعْنِي ضَمَانَ الدُّيُونِ الْمُسْتَقِرَّةِ ثُمَّ قَالَ وَكَفَالَةٍ بِدَيْنٍ يَعْنِي أَنَّ الضَّامِنَ لِدَيْنٍ مُسْتَقِرٍّ يَجُوزُ ضَمَانُ ذَلِكَ عَنْهُ، ثُمَّ قَالَ: وَأُجْرَةٍ وَمَهْرٍ يَعْنِي أُجُورَ الْمُسْتَأْجَرَاتِ وَمُهُورَ الزَّوْجَاتِ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ بَعْدَ تَقَضِّي مُدَّةِ الْإِجَارَةِ وَالدُّخُولِ بِالزَّوْجَةِ جَازَ ضَمَانُهُ لِاسْتِقْرَارِهِ وَإِنْ كَانَ قَبْلَ تَقَضِّي الْمُدَّةِ وَالدُّخُولِ بِالزَّوْجَةِ كَانَ ذَلِكَ كَثَمَنِ الْمَبِيعِ إِذَا لَمْ يُقْبَضْ لِمَا يَجُوزُ أَنْ يَتَعَقَّبَهُ مِنَ الْفَسْخِ فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ جَعَلَهُ كَالْمُسْتَقِرِّ يَجُوزُ ضَمَانُهُ وَمِنْهُمْ مَنْ جَعَلَهُ كَغَيْرِ الْمُسْتَقِرِّ كَالثَّمَنِ فِي مُدَّةِ الْخِيَارِ عَلَى مَا مَضَى.

Jika telah jelas apa yang kami uraikan dalam fasal ini, maka cabang-cabang hukum dibangun di atasnya. Al-Muzani telah menyebutkan tujuh perkara, ia berkata: “Setiap penjamin dalam utang,” maksudnya penjaminan atas utang yang sudah tetap. Kemudian ia berkata: “Dan kafālah dalam utang,” maksudnya bahwa penjamin atas utang yang sudah tetap boleh menjamin utang tersebut. Lalu ia berkata: “Dan upah serta mahar,” maksudnya upah atas barang sewaan dan mahar istri. Jika itu terjadi setelah masa sewa selesai dan setelah suami menggauli istri, maka penjaminannya boleh karena sudah tetap. Namun jika sebelum masa sewa selesai dan sebelum suami menggauli istri, maka hukumnya seperti harga barang yang belum diterima, karena masih mungkin terjadi pembatalan setelahnya. Sebagian ulama kami menyamakannya dengan yang sudah tetap sehingga penjaminannya boleh, dan sebagian lagi menyamakannya dengan yang belum tetap, seperti harga dalam masa khiyar, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

ثُمَّ قَالَ وَضَمَان عُهْدَةٍ يَعْنِي ضَمَانَ الدَّرَكِ فِي الْبَيْعِ وَهُوَ رَدُّ الثَّمَنِ عِنْدَ اسْتِحْقَاق الْمَبِيعِ وَضَمَانُ هَذَا جَائِزٌ إِلَّا مَا حُكِيَ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ مَنَعَ مِنْهُ لِأَنَّهُ ضَمَانُ مَا لَمْ يَجِبْ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الدَّارَ إِنْ لَمْ تُسْتَحَقَّ فَلَا ضَمَانَ وَإِنِ اسْتُحِقَّتْ بَانَ وُجُوبُ رَدِّ الثَّمَنِ وَصِحَّةُ الضَّمَانِ وَلَا يَلْزَمُ ضَامِنَ الدَّرَكِ شَيْءٌ إِلَّا إِذَا اسْتُحِقَّتْ فَأَمَّا إِذَا رُدَّتْ بِعَيْبٍ أَوْ تَقَابَلَا الْبَيْعَ فِيهَا فَلَا شَيْءَ عَلَى ضَامِنِ الدَّرَكِ فَلَوِ اسْتَحَقَّ نِصْفَهَا وَفَسَخَ الْمُشْتَرِي الْمَبِيعَ فِي النِّصْفِ الْبَاقِي لِتَبْعِيضِ الصَّفْقَةِ فِيهَا كَانَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِجَمِيعِ الثَّمَنِ عَلَى الْبَائِعِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى ضَامِنِ الدَّرَكِ إِلَّا بِنِصْفِهِ وَهُوَ ثَمَنُ الْمُسْتَحِقِّ دُونَ الْمَرْدُودِ بِالْفَسْخِ فَأَمَّا إِنْ ضَمِنَ مَعَ الْعُهْدَةِ قِيمَةَ مَا يُحْدِثُهُ مِنْ بِنَاءٍ وَغَرْسٍ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّ ذَلِكَ ضَمَانُ مَا لَمْ يَجِبْ وَلِأَنَّهُ مَجْهُولُ الْقَدْرِ فَأَمَّا إِنْ ضَمِنَ لَهُ أَرْشَ مَا يَظْهَرُ عَلَيْهِ مِنْ عَيْبٍ لَمْ يَجُزْ لِلْجَهَالَةِ بِقَدْرِهِ وَفِيهِ وَجْهٌ آخَرُ إِنَّهُ يَصِحُّ مُخَرَّجٌ مِنَ الْقَدِيمِ في ضمان نفقة الزوجة، وهو غلط لأن نفقة الزوجة محدودة الأكثر بخلاف أرش العيب لأنه غير محدود الأكثر وليس يَنْتَهِي إِلَى جَمِيعِ الثَّمَنِ وَإِذَا بَطَلَ الضَّمَانُ فِيمَا ذَكَرْنَا وَكَانَ مَشْرُوطًا فِي عَقْدِ الْبَيْعِ فَفِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ وَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِن اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ بِاشْتِرَاطِ الرَّهْنِ الْفَاسِدِ فِيهِ قَالَ الْمُزَنِيُّ وَأَرْش جُرْحٍ وَدِيَة نَفْسٍ، وَضَمَانُ ذَلِكَ إِنْ قُدِّرَ دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ جَائِزٌ فَأَمَّا الْإِبِلُ فَفِي جَوَازِ ضَمَانِهَا وَجْهَانِ، مُخَرَّجَانِ مِن اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي جَعْلِ إِبِلِ الدِّيَةِ صَدَاقًا، أَحَدُهُمَا ضَمَانُهَا بَاطِلٌ لِلْجَهْلِ بِصِفَتِهَا، والوجه الثاني ضَمَانهَا جَائِزٌ لِأَنَّ قَبِيصَةَ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي تَحَمَّلْتُ بِحَمَالَةٍ فَأَعِنِّي فَلَمْ يُنْكِرْ تَحَمُّلَهُ لَهَا، فَدَلَّ عَلَى صِحَّةِ ضَمَانِهَا، وَلِأَنَّهَا مَوْصُوفَةُ الْأَسْنَانِ.

Kemudian ia berkata: “Dan penjaminan tanggungan,” maksudnya adalah penjaminan tanggungan (dalam jual beli), yaitu penjaminan dārak dalam jual beli, yaitu pengembalian harga ketika barang yang dijual ternyata milik orang lain (istihqāq al-mabī‘). Penjaminan ini diperbolehkan, kecuali sebagaimana yang dinukil dari Abū al-‘Abbās Ibn Surayj yang melarangnya, karena menurutnya itu adalah penjaminan terhadap sesuatu yang belum wajib, dan ini adalah kekeliruan. Sebab, jika rumah itu tidak terbukti milik orang lain, maka tidak ada penjaminan, dan jika terbukti milik orang lain, maka wajiblah pengembalian harga dan sah penjaminannya. Penjamin dārak tidak berkewajiban apa pun kecuali jika barang itu benar-benar terbukti milik orang lain. Adapun jika barang dikembalikan karena cacat atau kedua belah pihak membatalkan jual beli, maka tidak ada kewajiban apa pun atas penjamin dārak. Jika yang terbukti milik orang lain hanya setengahnya, lalu pembeli membatalkan jual beli pada setengah sisanya karena akad menjadi terpecah, maka pembeli berhak menuntut seluruh harga dari penjual, namun ia tidak berhak menuntut dari penjamin dārak kecuali setengahnya, yaitu harga bagian yang terbukti milik orang lain, bukan bagian yang dikembalikan karena pembatalan. Adapun jika penjaminan itu mencakup bersama tanggungan, nilai bangunan atau tanaman yang ditanam oleh pembeli, maka itu tidak sah, karena itu adalah penjaminan terhadap sesuatu yang belum wajib dan juga tidak diketahui kadarnya. Jika penjaminan itu berupa ganti rugi (‘arsh) atas cacat yang mungkin muncul, maka itu juga tidak sah karena tidak diketahui kadarnya. Namun ada pendapat lain yang membolehkan, yang diqiyās-kan dari pendapat lama (al-qadīm) tentang penjaminan nafkah istri, namun ini keliru, karena nafkah istri ada batas maksimalnya, berbeda dengan ‘arsh cacat yang tidak ada batas maksimalnya dan tidak sampai seluruh harga. Jika penjaminan yang kami sebutkan tadi batal dan disyaratkan dalam akad jual beli, maka dalam batal atau tidaknya jual beli terdapat dua pendapat, yang diqiyās-kan dari perbedaan pendapat Imam Syafi‘i tentang batalnya jual beli dengan syarat rahn (gadai) yang fasid di dalamnya. Al-Muzani berkata: ‘arsh luka dan diyat jiwa, penjaminan terhadap keduanya jika ditentukan dalam bentuk dirham atau dinar maka sah. Adapun jika berupa unta, maka dalam kebolehan penjaminannya terdapat dua pendapat, yang diqiyās-kan dari perbedaan pendapat Imam Syafi‘i tentang menjadikan unta diyat sebagai mahar. Salah satunya, penjaminannya batal karena tidak diketahui sifatnya, dan pendapat kedua, penjaminannya sah karena Qabīshah berkata: “Wahai Rasulullah, aku menanggung diyat, maka bantulah aku,” dan Nabi tidak mengingkari penanggungannya, maka ini menunjukkan sahnya penjaminan tersebut. Selain itu, unta itu telah diketahui sifat umurnya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا ضَمَانُ مَالِ السَّبْقِ وَالرَّمْيِ فَإِنْ كَانَ بَعْدَ اسْتِحْقَاقِهِ جَازَ فَأَمَّا قَبْلَ اسْتِحْقَاقِهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي عَقْدِ السَّبْقِ وَالرَّمْيِ هَلْ يَجْرِي مَجْرَى عَقْدِ الْإِجَارَةِ فَيَصِحَّ ضَمَانُهُ. وَالثَّانِي أَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى عَقْدِ الْجَعَالَةِ فَيَكُونُ فِي صِحَّةِ ضَمَانِهِ وَجْهَانِ.

Adapun penjaminan terhadap harta perlombaan dan memanah, jika dilakukan setelah hak itu pasti, maka penjaminan itu sah. Namun jika sebelum hak itu pasti, maka terdapat perbedaan pendapat Imam Syafi‘i dalam akad perlombaan dan memanah, apakah hukumnya seperti akad ijarah sehingga penjaminannya sah, atau seperti akad ju‘ālah sehingga dalam sah tidaknya penjaminannya terdapat dua pendapat.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا ضَمَانُ نَفَقَةِ الزَّوْجَاتِ فَضَرْبَانِ:

Adapun penjaminan nafkah istri, terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: ضَمَانُ نَفَقَةِ مُدَّةٍ مَاضِيَةٍ فَضَمَانُهَا جَائِزٌ إِذَا عُرِفَ قَدْرُهَا لِأَنَّ وُجُوبَ مَا مَضَى مُسْتَقِرٌّ.

Pertama: Penjaminan nafkah untuk masa lalu, maka penjaminannya sah jika kadarnya diketahui, karena kewajiban atas masa lalu itu sudah tetap.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: ضَمَانُ نَفَقَةِ مُدَّةٍ آتِيَةٍ فَإِنْ أَطْلَقَ الْمُدَّةَ وَلَمْ يُقَدِّرْهَا بِزَمَانٍ مَعْلُومٍ بَلْ قَالَ عَلَيَّ ضَمَانُ نَفَقَتِكَ عَلَى زَوْجَتِكَ أَبَدًا أَوْ مَا بَقِيتَ عَلَى الزَّوْجَةِ أَوْ مَا مَكَّنْت مِنْ نَفْسِك فَهَذَا ضَمَانٌ بَاطِلٌ لِلْجَهَالَةِ بِهِ وَإِنْ قَدَّرَ الْمُدَّةَ وَضَمِنَ لَهَا نَفَقَةَ سَنَةٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: Penjaminan nafkah untuk masa yang akan datang. Jika jangka waktunya tidak ditentukan, misalnya ia berkata, “Aku menanggung nafkah istrimu selamanya,” atau “selama engkau masih menjadi istri,” atau “selama engkau masih memungkinkan untuk mendapatkan nafkah,” maka penjaminan ini batal karena tidak jelas. Namun jika jangka waktunya ditentukan, misalnya ia menjamin nafkah selama satu tahun, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَضْمَنَ لَهَا نَفَقَةَ مُعْسِرٍ فَفِي صِحَّةِ الضَّمَانِ قَوْلَانِ، مِن اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي نَفَقَةِ الزَّوْجَةِ بِمَاذَا وَجَبَتْ؟ فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ إِنَّهَا تَجِبُ بِالْعَقْدِ وَتَسْتَحِقُّ قَبْضَهَا بِالتَّمْكِينِ فَعَلَى هَذَا يَصِحُّ ضَمَانُهَا، لِأَنَّهُ ضَمَانُ مَا وَجَبَ، وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهَا تَجِبُ بِالْعَقْدِ وَالتَّمْكِينِ، فَعَلَى هَذَا ضَمَانُهَا بَاطِلٌ لِأَنَّهُ ضَمَانُ مَا لَمْ يجب.

Pertama: Ia menjamin nafkah dengan kadar orang yang tidak mampu, maka dalam sah tidaknya penjaminan itu terdapat dua pendapat, yang diqiyās-kan dari perbedaan pendapat Imam Syafi‘i tentang nafkah istri, dengan apa nafkah itu menjadi wajib? Menurut pendapat lama (al-qadīm), nafkah wajib dengan akad dan berhak diterima dengan adanya penyerahan diri (tamkīn), maka menurut pendapat ini penjaminannya sah, karena itu penjaminan terhadap sesuatu yang sudah wajib. Menurut pendapat baru (al-jadīd), nafkah wajib dengan akad dan penyerahan diri sekaligus, maka menurut pendapat ini penjaminannya batal, karena itu penjaminan terhadap sesuatu yang belum wajib.

الضرب الثَّانِي: أَنْ يَضْمَنَ لَهَا نَفَقَةَ مُوسِرٍ، فَضَمَانُ نَفَقَةِ الْقَدْرِ الزَّائِدِ لِيَسَارِهِ بَاطِلٌ لِأَنَّ بَقَاءَ الْيَسَارِ مَجْهُولٌ فَصَارَ ضَمَانُ مَا لَمْ يَجِبْ فَأَمَّا نَفَقَةُ الْمُعْسِرِ فَعَلَى الْجَدِيدِ ضَمَانُهَا بَاطِلٌ، وَعَلَى الْقَدِيمِ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ.

Jenis kedua: Jika seseorang menjamin nafkah seorang perempuan dengan kadar nafkah orang yang mampu, maka penjaminan atas kelebihan kadar nafkah karena kemampuannya adalah batal, karena keberlangsungan kemampuan itu tidak diketahui, sehingga menjadi penjaminan atas sesuatu yang belum wajib. Adapun nafkah orang yang tidak mampu, menurut pendapat jadid penjaminannya batal, sedangkan menurut pendapat qadim terdapat dua pendapat yang berasal dari perincian akad.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” فإن أخذ الضامن بالحق وكان ضمانه يأمر الَّذِي هُوَ عَلَيْهِ فَلَهُ أَخَذُهُ بِخَلَاصِهِ وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ أَمْرِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَخْذُهُ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Jika penjamin dituntut untuk membayar hak dan penjaminannya atas perintah orang yang dijamin, maka ia berhak menuntut orang tersebut untuk membebaskannya. Namun jika penjaminan itu tanpa perintahnya, maka ia tidak berhak menuntutnya menurut qiyās pendapatnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا ضَمِنَ رُجلٌ عَنْ رَجُلٍ مَالًا وَأَرَادَ الضَّامِنُ أَنْ يَأْخُذَ الْمَضْمُونَ عَنْهُ بِخَلَاصِهِ مِنَ الضَّمَانِ وَفِكَاكِهِ مِنَ الْمُطَالَبَةِ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ قَدْ ضَمِنَ عَنْهُ بِغَيْرِ أَمْرِهِ فَلَيْسَ لَهُ مُطَالَبَةُ الْمَضْمُونِ عَنْهُ بِخَلَاصِهِ لِأَنَّهُ تَطَوَّعَ بِالضَّمَانِ عَنْهُ صَارَ كَالْمُتَطَوِّعِ بِالْغُرْمِ عَنْهُ، وَإِنْ كَانَ قَدْ ضَمِنَ عَنْهُ بِأَمْرِهِ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ الضَّامِنُ قَدْ طُولِبَ بِغُرْمِ مَا ضَمِنَ كَانَ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ الْمَضْمُونَ عَنْهُ بِخَلَاصِهِ بِفِكَاكِهِ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ لَهُ أَنْ يَأْخُذَهُ بِالْغُرْمِ إِذَا غَرِمَ كَانَ لَهُ أَنْ يَأْخُذَهُ بِالْخَلَاصِ إِذَا طُولِبَ، وَإِنْ كَانَ الضَّامِنُ لَمْ يُطَالَبْ بِغُرْمِ مَا ضَمِنَهُ فَهَلْ لِلضَّامِنِ أَنْ يَأْخُذَ الْمَضْمُونَ عَنْهُ بِخَلَاصِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مُخَرَّجَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ القولين في تَعْجِيلِ الْقَضَاءِ قَبْلَ الْغُرْمِ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, jika seseorang menjamin harta atas nama orang lain dan penjamin ingin menuntut orang yang dijamin agar membebaskannya dari penjaminan dan tuntutan, maka dilihat: jika ia menjamin tanpa perintah orang yang dijamin, maka ia tidak berhak menuntut orang yang dijamin untuk membebaskannya, karena ia telah secara sukarela menjamin atas namanya, sehingga seperti orang yang secara sukarela menanggung kerugian untuknya. Namun jika ia menjamin atas perintahnya, maka dilihat: jika penjamin telah dituntut untuk membayar apa yang dijaminnya, maka ia berhak menuntut orang yang dijamin untuk membebaskannya dari penjaminan, karena ketika ia berhak menuntutnya atas kerugian jika sudah membayar, maka ia juga berhak menuntutnya untuk membebaskannya jika sudah dituntut. Namun jika penjamin belum dituntut untuk membayar apa yang dijaminnya, apakah penjamin berhak menuntut orang yang dijamin untuk membebaskannya atau tidak? Dalam hal ini ada dua wajah yang diambil dari perbedaan dua pendapat dalam masalah mempercepat pembayaran sebelum terjadi kerugian.

فَلَوْ كَانَ الْمَضْمُونُ عَنْهُ صَغِيرًا أَوْ كَانَ الضَّامِنُ قَدْ ضَمِنَ عَنْهُ بِإِذْنِ أَبِيهِ ثُمَّ طُولِبَ الضَّامِنُ بِالْغُرْمِ، فَإِنْ كَانَ الْمَضْمُونُ عَنْهُ عَلَى صِغَرِهِ لَمْ يَبْلُغْ فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَ الْأَب بِخَلَاصِهِ وَإِنْ كَانَ قَدْ بَلَغَ فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَ الْمَضْمُونَ عَنْهُ بِالْخَلَاصِ دُونَ الْأَبِ، وَلَوْ كَانَ غَيْرُ الْأَبِ قَدْ أَمَرَهُ بِالضَّمَانِ عَنْهُ فَلَيْسَ لِلضَّامِنِ أَنْ يَأْخُذَ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِخَلَاصِهِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَضْمُونُ عَنْهُ عَلَى صِغَرِهِ أَوْ قَدْ بَلَغَ، لِأَنَّهُ أَمَرَهُ مَنْ لَا وِلَايَةَ لَهُ.

Jika orang yang dijamin masih kecil atau penjamin menjamin atas perintah ayahnya, kemudian penjamin dituntut untuk membayar, maka jika orang yang dijamin masih kecil dan belum baligh, maka penjamin berhak menuntut ayahnya untuk membebaskannya. Namun jika sudah baligh, maka penjamin berhak menuntut orang yang dijamin untuk membebaskannya, bukan ayahnya. Jika selain ayah yang memerintahkannya untuk menjamin atas nama orang yang dijamin, maka penjamin tidak berhak menuntut kecuali kepada orang yang memerintahkannya untuk membebaskannya, baik orang yang dijamin masih kecil maupun sudah baligh, karena yang memerintahkannya adalah orang yang tidak memiliki wewenang.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

إِذَا طُولِبَ الضَّامِنُ بِأَدَاءِ مَا ضَمِنَهُ وَحُبِسَ بِهِ فَأَرَادَ الضَّامِنُ أَنْ يَحْبِسَ الْمَضْمُونَ عَنْهُ قَبْلَ أَدَاءِ الْمَالِ، وَكَانَ ضَمَانُهُ عَنْهُ بِأَمْرِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika penjamin dituntut untuk membayar apa yang dijaminnya dan ia dipenjara karenanya, lalu penjamin ingin menahan orang yang dijamin sebelum membayar harta, dan penjaminannya atas perintah orang yang dijamin, maka dalam hal ini ada dua wajah:

أَحَدُهُمَا: لَهُ ذَلِكَ لِأَنَّ لَهُ مِثْلَ مَا عَلَيْهِ.

Pertama: Penjamin boleh melakukan itu, karena ia memiliki hak yang sama dengan apa yang menjadi tanggungannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْتَحِقَّ قَبْلَ الْغُرْمِ مَالًا يَحْبِسُهُ بِهِ.

Wajah kedua: Penjamin tidak boleh melakukan itu, karena ia belum berhak atas harta sebelum terjadi kerugian yang dapat dijadikan alasan untuk menahan.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَأَمَّا صِفَةُ الْأَمْرِ بِالضَّمَانِ فَقَدْ يَكُونُ عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ إِمَّا أَنْ يَبْتَدِئَ الْمَضْمُونُ عَنْهُ فَيَقُولَ لِلضَّامِنِ اضْمَنْ عَنِّي لِفُلَانٍ كَذَا، فَيَكُونَ هَذَا أَمْرًا بِالضَّمَانِ، وَأَمَّا أَنْ يَبْتَدِئَ الضَّامِنُ، فَيَقُولَ لِلْمَضْمُونِ عَنْهُ أَضْمَنُ عَنْكَ لِفُلَانٍ كَذَا؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ فَيَكُونَ هَذَا أَمْرًا بِالضَّمَانِ أَيْضًا، وَقَالَ أبو حنيفة لَا يَكُونُ هَذَا أَمْرًا بِالضَّمَانِ وَيَكُونُ الْأَوَّلُ أَمْرًا بِهِ وَكِلَا الْأَمْرَيْنِ عِنْدِي سَوَاءٌ بَلِ الثَّانِي أَوْكَدُ.

Adapun bentuk perintah penjaminan, maka ada dua cara: Pertama, orang yang dijamin memulai dengan berkata kepada penjamin, “Jaminlah aku kepada si Fulan dengan sekian,” maka ini adalah perintah penjaminan. Kedua, penjamin yang memulai dengan berkata kepada orang yang dijamin, “Aku akan menjaminmu kepada si Fulan dengan sekian, apakah engkau setuju?” Lalu ia menjawab, “Ya,” maka ini juga merupakan perintah penjaminan. Abu Hanifah berpendapat bahwa ini bukan perintah penjaminan, sedangkan yang pertama adalah perintah penjaminan. Menurutku, kedua bentuk itu sama, bahkan yang kedua lebih kuat.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَلَوْ أَمَرَهُ بِالضَّمَانِ عَنْهُ بِجُعْلٍ جَعَلَهُ لَهُ لَمْ يَجُزْ، وَكَانَ الْجُعْلُ بَاطِلًا وَالضَّمَانُ إِنْ كَانَ بِشَرْطِ الْجُعْلِ فَاسِدًا بخلاف ما قاله إسحق بْنُ رَاهَوَيْهِ لِأَنَّ الْجُعْلَ إِنَّمَا يُسْتَحَقُّ فِي مُقَابَلَةِ عَمَلٍ، وَلَيْسَ الضَّمَانُ عَمَلًا فَلَا يُسْتَحَقُّ به جعلا.

Jika seseorang memerintahkannya untuk menjamin atas namanya dengan imbalan yang dijanjikan kepadanya, maka itu tidak sah, dan imbalan tersebut batal. Jika penjaminan itu disyaratkan dengan imbalan, maka penjaminan itu fasid (rusak), berbeda dengan pendapat Ishaq bin Rahawaih, karena imbalan hanya berhak diberikan sebagai ganti suatu pekerjaan, sedangkan penjaminan bukanlah pekerjaan, sehingga tidak berhak mendapatkan imbalan karenanya.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَلَوْ ضَمِنَ عَنِ الْأَوَّلِ بِأَمْرِهِ ضَامِنٌ ثُمَّ ضَمِنَ عَنِ الضَّامِنِ ضَامِنٌ بِأَمْرِهِ فَجَائِزٌ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Jika seseorang menjamin atas nama orang pertama dengan perintahnya, lalu ada penjamin lain yang menjamin atas nama penjamin pertama dengan perintahnya, maka itu boleh.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا ضَمِنَ رَجُلٌ مَالًا عَنْ رَجُلٍ ثُمَّ ضَمِنَ عَنِ الضَّامِنِ ضَامِنٌ آخَرُ مَا ضَمِنَهُ عَنِ الْأَوَّلِ جَازَ، وَكَانَ الضَّامِنُ الْأَوَّلُ فَرْعًا لِلْمَضْمُونِ عَنْهُ وَأَصْلًا لِلضَّامِنِ الثَّانِي.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, apabila seorang laki-laki menjamin harta dari seseorang, kemudian ada penjamin lain yang menjamin dari penjamin pertama apa yang dijaminnya dari orang pertama, maka hal itu boleh. Penjamin pertama menjadi cabang dari pihak yang dijamin darinya, dan menjadi asal bagi penjamin kedua.

فَإِنْ قِيلَ أَفَلَيْسَ الضَّمَانُ وَثِيقَةً كَالرَّهْنِ، ثُمَّ لَمْ يَجُزْ أَخْذُ الرَّهْنِ عَنِ الرَّهْنِ فَهَلَّا مَنَعْتُمْ مِنْ أَخْذِ ضَامِنٍ عَنْ ضَامِنٍ؟

Jika dikatakan: Bukankah penjaminan itu merupakan jaminan seperti rahn (gadai), sementara tidak boleh mengambil rahn atas rahn, maka mengapa kalian tidak melarang mengambil penjamin atas penjamin?

قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Dijawab: Perbedaan antara keduanya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الرَّهْنَ وَثِيقَةٌ وَأَخْذُ الرَّهْنِ عَلَى الْوَثِيقَةِ لَا يَجُوزُ وَالضَّمَانُ قَدْ أَوْجَبَ فِي الذِّمَّةِ دَيْنًا، وَأَخْذُ الضَّمَانِ فِي الدَّيْنِ يَجُوزُ.

Pertama: Rahn adalah jaminan, dan mengambil rahn atas jaminan tidak diperbolehkan. Sedangkan penjaminan telah mewajibkan adanya utang dalam tanggungan, dan mengambil penjaminan dalam utang diperbolehkan.

وَالثَّانِي: إِنَّ الرَّهْنَ عَيْنٌ وَأَخْذُ الرَّهْنِ فِي الْأَعْيَانِ لَا يَجُوزُ وَالْمَضْمُونُ دَيْنٌ فِي الذِّمَّةِ وَضَمَانُ مَا فِي الذِّمَّةِ يَجُوزُ، وَيَجُوزُ أَنْ يُؤْخَذَ مِنَ الضَّامِنِ رَهْنٌ بِمَا ضَمِنَهُ لِأَنَّهُ دَيْنٌ لَازِمٌ فَجَازَ أَخْذُ الرَّهْنِ بِهِ، فَأَمَّا الضَّامِنُ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْخُذَ مِنَ الْمَضْمُونِ عَنْهُ رَهْنًا بِمَا ضَمِنَهُ عَنْهُ فَإِنْ كَانَ بَعْدَ أَدَاءِ الضَّامِنِ الدَّيْنَ جَازَ لِأَنَّهُ قَدْ أَخَذَهُ عَلَى دَيْنٍ مُسْتَحَقٍّ وَإِنْ كَانَ قَبْلَ أَدَائِهِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْتَوْجِبْ حَقًّا يَأْخُذُ عَلَيْهِ رَهْنًا.

Kedua: Rahn adalah barang (ain), dan mengambil rahn atas barang tidak diperbolehkan. Sedangkan yang dijamin adalah utang dalam tanggungan, dan penjaminan atas apa yang ada dalam tanggungan diperbolehkan. Juga boleh diambil rahn dari penjamin atas apa yang dijaminnya, karena itu adalah utang yang wajib sehingga boleh diambil rahn atasnya. Adapun jika penjamin ingin mengambil rahn dari pihak yang dijamin darinya atas apa yang dijaminnya, maka jika itu setelah penjamin membayar utang, maka boleh, karena ia telah mengambilnya atas utang yang telah menjadi hak. Namun jika sebelum ia membayarnya, maka tidak boleh, karena ia belum berhak mengambil rahn atasnya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

إِذَا ضَمِنَ رَجُلٌ عَنْ رَجُلٍ مَالًا ثُمَّ ضَمِنَهُ عَنِ الضَّامِنِ ضَامِنٌ آخَرُ، فَأَرَادَ مَنْ عَلَيْهِ أَصْلُ الْمَالِ أَنْ يَضْمَنَ عَنِ الضَّامِنَيْنِ مَا ضَمِنَاهُ عَنْهُ لَمْ يَجُزْ وَكَذَا لَوْ ضَمِنَ عَنْ أَحَدِهِمَا إِمَّا عَنِ الْأَوَّلِ أَوْ عَنِ الثَّانِي لَمْ يَجُزْ وَإِنَّمَا لَمْ يَجُزْ لِأَمْرَيْنِ.

Apabila seseorang menjamin harta dari orang lain, kemudian ada penjamin lain yang menjamin dari penjamin tersebut, lalu pihak yang memiliki harta pokok ingin menjamin dari kedua penjamin apa yang telah mereka jamin darinya, maka hal itu tidak boleh. Demikian pula jika ia menjamin dari salah satu dari keduanya, baik dari yang pertama maupun yang kedua, maka tidak boleh. Hal itu tidak diperbolehkan karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا: إِنَّ الضَّمَانَ إِنَّمَا هُوَ إِثْبَاتُ حَقٍّ فِي الذِّمَّةِ لَمْ يكن ثابتا في الذمة والحق هاهنا قَدْ كَانَ قَبْلَ الضَّمَانِ ثَابِتًا فِي الذِّمَّةِ، وَالثَّانِي إِنَّ الْمَضْمُونَ عَنْهُ أَصلٌ وَالضَّامِنَ فَرْعُهُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَصِيرَ الْأَصْلُ فَرْعًا لِفَرْعِهِ.

Pertama: Penjaminan itu adalah penetapan hak dalam tanggungan yang sebelumnya belum tetap dalam tanggungan, sedangkan hak di sini sebelum penjaminan sudah tetap dalam tanggungan. Kedua, pihak yang dijamin darinya adalah asal, dan penjamin adalah cabangnya, maka tidak boleh asal menjadi cabang dari cabangnya.

فَأَمَّا إِذَا كَانَ عَلَى رَجُلٍ أَلْفٌ ضَمِنَهَا ضَامِنٌ ثُمَّ ضَمِنَهَا أَيْضًا ضَامِنٌ آخَرُ، عَمَّنْ عَلَيْهِ الْأَصْلُ جَازَ، وَكَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَرْعًا لِمَنْ عَلَيْهِ الْأَصْلُ وَلَيْسَ أَحَدُ الضَّامِنَيْنِ فَرْعًا لِصَاحِبِهِ فَإِنْ أَرَادَ مَنْ عَلَيْهِ الْأَصْلُ أَنْ يَضْمَنَ عَنْ أَحَدِ الضَّامِنَيْنِ مَا ضَمِنَهُ لَمْ يَجُزْ لِمَا ذَكَرْنَا، وَلَكِنْ لَوْ أَرَادَ أَحَدُ الضَّامِنَيْنِ أَنْ يَضْمَنَ عَنِ الضَّامِنِ الْآخَرِ مَا ضَمِنَهُ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَمَا عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا إِنَّ ضَمَانَهُ عَنْهُ بَاطِلٌ لِأَنَّهُ ضَامِنٌ لِذَلِكَ عَمَّنْ عَلَيْهِ الْأَصْلُ، فَلَمْ يَكُنْ فِي ضَمَانِهِ إِيَّاهُ عَنِ الضَّامِنِ فَائِدَةٌ، وَقَالَ ابْنُ سريج: يصح ضمانه فيصير ضامن لِلْأَلْفِ عَمَّنْ عَلَيْهِ الْأَصْلُ وَعَنِ الضَّامِنِ أَيْضًا لِأَنَّ الضَّامِنَ قَدْ صَارَ مَا ضَمِنَهُ دَيْنًا فِي ذِمَّتِهِ وَلَيْسَ أَحَدُ الضَّامِنَيْنِ فَرْعًا لِصَاحِبِهِ، فَجَازَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الضَّامِنَيْنِ أَنْ يَضْمَنَ عَنْ صَاحِبِهِ مَا ضَمِنَهُ مَعَهُ ثُمَّ إِذَا أَدَّاهُ كَانَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ عَلَى مَنْ عَلَيْهِ الْأَصْلُ وَأَنْ يَرْجِعَ بِهِ عَلَى الضَّامِنِ وَهَذَا خَطَأٌ لِمَا ذَكَرْنَا مَعَ عَدَمِ الْفَائِدَةِ فِيهِ وَلَيْسَ لَهُ إِذَا أَدَّاهُ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ إِلَّا عَلَى مَنْ عَلَيْهِ الأصل والله أعلم.

Adapun jika seseorang memiliki utang seribu, lalu dijamin oleh seorang penjamin, kemudian dijamin lagi oleh penjamin lain dari pihak yang memiliki utang pokok, maka hal itu boleh. Masing-masing dari keduanya menjadi cabang dari pihak yang memiliki utang pokok, dan tidak ada satu pun dari kedua penjamin yang menjadi cabang dari penjamin lainnya. Jika pihak yang memiliki utang pokok ingin menjamin dari salah satu penjamin atas apa yang dijaminnya, maka tidak boleh sebagaimana telah disebutkan. Namun, jika salah satu penjamin ingin menjamin dari penjamin lainnya atas apa yang dijaminnya, maka menurut mazhab Syafi‘i dan mayoritas ulama kami, penjaminannya atasnya batal, karena ia telah menjadi penjamin atas hal itu dari pihak yang memiliki utang pokok, sehingga tidak ada manfaat dalam penjaminannya atas penjamin lainnya. Ibnu Surayj berkata: Penjaminannya sah, sehingga ia menjadi penjamin atas seribu itu dari pihak yang memiliki utang pokok dan juga dari penjamin, karena penjamin telah menjadikan apa yang dijaminnya sebagai utang dalam tanggungannya, dan tidak ada satu pun dari kedua penjamin yang menjadi cabang dari penjamin lainnya. Maka boleh bagi masing-masing penjamin untuk menjamin dari penjamin lainnya atas apa yang dijaminnya bersamanya. Kemudian jika ia membayarnya, ia boleh memilih antara menagihnya kepada pihak yang memiliki utang pokok atau kepada penjamin. Namun ini adalah kesalahan sebagaimana telah disebutkan, karena tidak ada manfaat di dalamnya, dan jika ia telah membayarnya, maka ia hanya boleh menagihnya kepada pihak yang memiliki utang pokok. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

(قال المزني) : ” فَإِنْ قَبَضَ الطَّالِبُ حَقَّهُ مِنَ الَّذِي عَلَيْهِ أَصْلُ الْمَالِ أَوْ أَحَالَهُ بِهِ بَرِئُوا جَمِيعًا وَلَوْ قَبَضَهُ مِنَ الضَّامِنِ الْأَوَّلِ رَجَعَ بِهِ عَلَى الَّذِي عَلَيْهِ الْأَصْلُ وَبَرِئَ مِنْهُ الضَّامِنُ الْآخَرُ وَإِنْ قَبَضَهُ مِنَ الضَّامِنِ الثَّانِي رَجَعَ بِهِ عَلَى الضَّامِنِ الْأَوَّلِ وَرَجَعَ بِهِ الْأَوَّلُ عَلَى الَّذِي عَلَيْهِ الْأَصْلُ وَلَوْ كَانَتِ الْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا فَأَبْرَأَ الطَّالِبُ الضَّامِنَيْنِ جَمِيعًا بَرِئَا وَلَا يَبْرَأُ الَّذِي عَلَيْهِ الْأَصْلُ لِأَنَّ الضَّمَانَ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ لَيْسَ بِحَوَالَةٍ وَلَكِنَّ الْحَقَّ عَلَى أَصْلِهِ وَالضَّامِنُ مَأْخُوذٌ بِهِ “.

(Al-Muzani berkata): “Jika pihak yang menuntut mengambil haknya dari orang yang berkewajiban membayar pokok utang, atau ia mengalihkan haknya kepada orang tersebut, maka semuanya menjadi bebas dari tanggungan. Jika ia mengambilnya dari penjamin pertama, maka penjamin pertama dapat menuntut kembali kepada orang yang berkewajiban membayar pokok utang, dan penjamin kedua terbebas darinya. Jika ia mengambilnya dari penjamin kedua, maka penjamin kedua dapat menuntut kembali kepada penjamin pertama, dan penjamin pertama dapat menuntut kembali kepada orang yang berkewajiban membayar pokok utang. Jika kasusnya tetap seperti semula, lalu pihak yang menuntut membebaskan kedua penjamin sekaligus, maka keduanya bebas dari tanggungan, namun orang yang berkewajiban membayar pokok utang tidak terbebas, karena dalam pandangan Imam Syafi‘i, penjaminan (ḍamān) bukanlah pengalihan utang (ḥawālah), melainkan hak tetap pada asalnya dan penjamin hanya ikut bertanggung jawab atasnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَضْمَنَ عَنِ الضَّامِنِ ضَامِنٌ ثَانٍ، وَعَنِ الثَّانِي ثَالِثٌ، وَعَنِ الثَّالِثِ رَابِعٌ هَكَذَا أَبَدًا إِلَى مِائَةِ ضَامِنٍ فَأَكْثَرَ وَيَكُونُ لِلْمَضْمُونِ لَهُ مُطَالَبَةُ أَيِّهِمْ شَاءَ فَإِذَا ضَمِنَ ضَامِنٌ عَنْ ضَامِنٍ عَنْ مَضْمُونٍ عَنْهُ، فَلِلْمَضْمُونِ لَهُ مُطَالَبَةُ أَيِّ الثَّلَاثَةِ شَاءَ فَإِنْ سَقَطَ الْحَقُّ الْمَضْمُونُ فَلَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَدِ اسْتُوْفِيَ بِالْأَدَاءِ أَوْ سَقَطَ بِالْإِبْرَاءِ فَإِنِ اسْتَوْفَاهُ الْمَضْمُونُ له بالأداء فإن أَدَّاهُ الْمَضْمُونُ عَنْهُ بَرِئَ مِنْهُ وَبَرِئَ الضَّامِنَانِ عَنْهُ لِأَنَّ ضَمَانَهُمَا لِلْحَقِّ وَثِيقَةٌ فِيهِ، فَإِذَا اسْتُوفِيَ الْحَقُّ ارْتَفَعَتِ الْوَثِيقَةُ كَالرَّهْنِ إِذَا اسْتُوفِيَ مَا رُهِنَ فِيهِ بَطَلَ الرَّهْنُ، وَإِنْ أَدَّاهُ الضَّامِنُ الْأَوَّلُ بَرِئَ وَبَرِئَ الْمَضْمُونُ عَنْهُ، وَبَرِئَ الضَّامِنُ الثَّانِي، لِأَنَّهُ حَقٌّ وَاحِدٌ فَإِذَا أُدِّيَ سَقَطَ، ثُمَّ لِلضَّامِنِ الْأَوَّلِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمَضْمُونِ عَنْهُ إِنْ ضَمِنَ عَنْهُ بِأَمْرِهِ وَإِنْ أَدَّاهُ الضَّامِنُ الثَّانِي بَرِئَ وَبَرِئَ الضَّامِنُ الْأَوَّلُ برئ الْمَضْمُونُ عَنْهُ، ثُمَّ لِلضَّامِنِ الثَّانِي أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الضَّامِنِ الْأَوَّلِ إِنْ كَانَ ضَمَانُهُ عَنْهُ بِأَمْرِهِ وَلِلضَّامِنِ الْأَوَّلِ إِذَا غَرِمَ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمَضْمُونِ عَنْهُ إِنْ كَانَ ضَمَانُهُ عَنْهُ بِأَمْرِهِ فَلَوْ كَانَ الضَّامِنُ الثَّانِي ضَمِنَ عَنِ الْأَوَّلِ بِغَيْرِ أَمْرِهِ وَضَمِنَ الْأَوَّلُ عَنِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ بِأَمْرِهِ لَمْ يَكُنْ لِوَاحِدٍ مِنَ الضَّامِنَيْنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمَضْمُونِ عَنْهُ بِشَيْءٍ، أَمَّا الثَّانِي فَلِأَنَّهُ ضَمِنَ بِغَيْرِ أَمْرِ الْأَوَّلِ وَأَمَّا الْأَوَّلُ فَلِأَنَّهُ لَمْ يَغْرَمْ وَهَكَذَا لَوْ دَفَعَ أَحَدُهُمْ بِالْحَقِّ عِوَضًا أَوْ أَحَالَ بِهِ حَوَالَةً.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Kami telah sebutkan bahwa boleh ada penjamin kedua yang menjamin penjamin pertama, dan penjamin ketiga menjamin penjamin kedua, dan penjamin keempat menjamin penjamin ketiga, demikian seterusnya tanpa batas hingga seratus penjamin atau lebih. Pihak yang dijamin berhak menuntut siapa saja dari mereka yang ia kehendaki. Jika seorang penjamin menjamin penjamin atas pihak yang dijamin, maka pihak yang dijamin berhak menuntut siapa saja dari tiga orang tersebut yang ia kehendaki. Jika hak yang dijamin gugur, maka tidak lepas dari dua keadaan: bisa jadi telah dilunasi dengan pembayaran, atau gugur karena pembebasan (ibrā’). Jika pihak yang dijamin menerima pelunasan dengan pembayaran, dan yang membayar adalah pihak yang berkewajiban membayar pokok utang, maka ia bebas dari tanggungan, dan kedua penjamin juga bebas, karena penjaminan mereka hanyalah sebagai jaminan atas hak tersebut. Jika hak telah dipenuhi, maka jaminan pun hilang, seperti halnya barang gadai yang menjadi batal jika barang yang digadaikan telah dilunasi. Jika penjamin pertama yang membayar, maka ia bebas, pihak yang dijamin juga bebas, dan penjamin kedua juga bebas, karena itu adalah satu hak; jika telah dibayar, maka gugur. Kemudian penjamin pertama berhak menuntut kembali kepada pihak yang dijamin jika ia menjamin atas perintahnya. Jika penjamin kedua yang membayar, maka ia bebas, penjamin pertama juga bebas, dan pihak yang dijamin juga bebas. Kemudian penjamin kedua berhak menuntut kembali kepada penjamin pertama jika penjaminannya atas perintahnya, dan penjamin pertama, jika ia telah membayar, berhak menuntut kembali kepada pihak yang dijamin jika penjaminannya atas perintahnya. Jika penjamin kedua menjamin penjamin pertama tanpa perintahnya, dan penjamin pertama menjamin pihak yang dijamin atas perintahnya, maka tidak ada satu pun dari kedua penjamin yang berhak menuntut kembali kepada pihak yang dijamin, karena penjamin kedua menjamin tanpa perintah penjamin pertama, dan penjamin pertama tidak menanggung kerugian. Demikian pula jika salah satu dari mereka membayar hak tersebut sebagai pengganti atau mengalihkan hak itu melalui pengalihan utang (ḥawālah).

(فَصْلٌ)

(Bagian)

وَأَمَّا الْإِبْرَاءُ فَإِنْ أَبْرَأَ الْمَضْمُونَ عَنْهُ بَرِئَ، وَبَرِئَ الضَّامِنَانِ، لِأَنَّ الْحَقَّ قَدْ سَقَطَ فَزَالَتِ الْوَثِيقَةُ فِيهِ كَإِبْرَاءِ الرَّاهِنِ يُسْقِطُ الرَّهْنَ، وَإِنْ أَبْرَأَ الضَّامِنَ الْأَوَّلَ بَرِئَ وَبَرِئَ الضَّامِنُ الثَّانِي، لِأَنَّهُ فَرْعٌ لَهُ، وَلَمْ يَبْرَأِ الْمَضْمُونُ عَنْهُ لِأَنَّ بَرَاءَةَ الضَّامِنِ إِسْقَاطٌ لِلْوَثِيقَةِ، وَسُقُوطُ الْوَثِيقَةِ لَا يُبْطِلُ الْحَقَّ كَمَا لَوْ فَسَخَ الْمُرْتَهِنُ الرَّهْنَ، وَلَوْ أَبْرَأَ الضَّامِنَ الثَّانِي بَرِئَ وَحْدَهُ، وَلَمْ يَبْرَأِ الضَّامِنُ الْأَوَّلُ وَلَا الْمَضْمُونُ عَنْهُ.

Adapun pembebasan (ibrā’), jika pihak yang dijamin dibebaskan, maka ia bebas, dan kedua penjamin juga bebas, karena hak telah gugur sehingga jaminan pun hilang, sebagaimana pembebasan barang gadai menyebabkan gadai menjadi batal. Jika penjamin pertama yang dibebaskan, maka ia bebas dan penjamin kedua juga bebas, karena penjamin kedua merupakan cabang dari penjamin pertama, namun pihak yang dijamin tidak bebas, karena pembebasan penjamin hanya menggugurkan jaminan, dan hilangnya jaminan tidak membatalkan hak, sebagaimana jika pihak yang menerima gadai membatalkan gadai. Jika penjamin kedua yang dibebaskan, maka hanya ia saja yang bebas, sedangkan penjamin pertama dan pihak yang dijamin tidak bebas.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

فَلَوْ كَانَ الْمَالُ الْمَضْمُونُ مِنْ ثَمَنِ عَبْدٍ فَرَدَّهُ الْمَضْمُونُ عَنْهُ بِعَيْبٍ بَرِئَ، وبرئ الضامنان لو اسْتُحِقَّ، فَلَوْ مَاتَ الْمَضْمُونُ لَهُ فَوَرِثَهُ الْمَضْمُونُ عَنْهُ بَطَلَ الضَّمَانُ لِأَنَّهُ بِالْإِرْثِ قَدْ سَقَطَ عَنْهُ الْحَقُّ، وَسُقُوطُ الْحَقِّ يُبْطِلُ الضَّمَانَ، وَلَكِنْ لَوْ وَرِثَهُ الضَّامِنُ بَطَلَ الضَّمَانُ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ ضَامِنًا لِنَفْسِهِ إِنْ كَانَ مَا عَلَى الْمَضْمُونِ عَنْهُ بَاقِيًا بِحَالِهِ لِلضَّامِنِ إِرْثًا، فَلَوْ كَانَ الْمَالُ الْمَضْمُونُ صَدَاقًا فَفُسِخَ النِّكَاحُ بِعَيْبٍ قَبْلَ الدُّخُولِ سَقَطَ الْمَهْرُ، وَبَطَلَ الضَّمَانُ، فَلَوْ طَلَّقَ الزَّوْجُ قَبْلَ الدُّخُولِ سَقَطَ نِصْفُ الصَّدَاقِ وَبَطَلَ ضَمَانُهُ وَبَقِيَ نِصْفُهُ وَعَلَى الضَّامِنَيْنِ ضَمَانُهُ.

Jika harta yang dijamin itu berasal dari harga seorang budak, lalu budak itu dikembalikan oleh pihak yang dijamin darinya karena cacat, maka ia terbebas, dan kedua penjamin juga terbebas jika budak itu ternyata tidak sah menjadi milik. Jika pihak yang dijamin untuknya meninggal dunia, lalu yang mewarisinya adalah pihak yang dijamin darinya, maka jaminan batal, karena dengan warisan itu hak telah gugur darinya, dan gugurnya hak membatalkan jaminan. Namun, jika yang mewarisinya adalah penjamin, maka jaminan batal karena tidak boleh seseorang menjadi penjamin untuk dirinya sendiri, jika apa yang menjadi tanggungan pihak yang dijamin darinya tetap ada pada penjamin sebagai warisan. Jika harta yang dijamin itu adalah mahar, lalu pernikahan dibatalkan karena cacat sebelum terjadi hubungan suami istri, maka mahar gugur dan jaminan batal. Jika suami menceraikan sebelum terjadi hubungan suami istri, maka setengah mahar gugur dan jaminannya batal, sedangkan setengahnya lagi tetap ada dan menjadi tanggungan kedua penjamin.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا أَعْطَى الْمَضْمُونُ عَنْهُ بِالْحَقِّ عَبْدًا بَرِئَ، وَبَرِئَ الضَّامِنَانِ، فَلَوْ رَدَّهُ الْمَضْمُونُ لَهُ بِعَيْبٍ عَادَ حَقُّهُ عَلَى الْمَضْمُونِ عَنْهُ، وَلَمْ يَعُدْ إِلَى ضَمَانِ الضَّامِنَيْنِ، لِأَنَّ الضَّمَانَ قَدِ ارْتَفَعَ بِالِاسْتِيفَاءِ، فَلَمْ يَعُدْ إِلَّا بِاسْتِئْنَافِ عَقْدٍ، وَلَكِنْ لَوْ بَانَ الْعَبْدُ مُسْتَحِقًّا كَانَ الضَّمَانُ عَلَى حَالِهِ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْقُطْ.

Jika pihak yang dijamin darinya menyerahkan seorang budak sebagai pembayaran hak, maka ia terbebas, dan kedua penjamin juga terbebas. Jika budak itu dikembalikan oleh pihak yang dijamin untuknya karena cacat, maka haknya kembali kepada pihak yang dijamin darinya, dan tidak kembali kepada jaminan kedua penjamin, karena jaminan telah gugur dengan pelunasan, sehingga tidak kembali kecuali dengan akad baru. Namun, jika ternyata budak itu bukan miliknya (tidak sah menjadi milik), maka jaminan tetap berlaku karena belum gugur.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الْمُزَنِيُّ رضي الله عنه: ” قلت أنا وَلَوْ كَانَ لَهُ عَلَى رَجُلَيْنِ أَلْفُ دِرْهَمٍ وَكُلُّ وَاحِدٍ مَنْهُمَا كَفِيلٌ ضَامِنٌ عَنْ صَاحِبِهِ بِأَمْرِهِ فَدَفَعَهَا أَحَدُهُمَا رَجَعَ بِنِصْفِهَا عَلَى صَاحِبِهِ وَإِنْ أَبْرَأَ الطَّالِبُ أَحَدَهُمَا مِنَ الْأَلْفِ سَقَطَ عَنْهُ نِصْفُهَا الَّذِي عَلَيْهِ وَبَرِئَ مِنْ ضَمَانِ نِصْفِهَا الَّذِي عَلَى صَاحِبِهِ وَلَمْ يَبْرَأْ صَاحِبُهَا مِنْ نِصْفِهَا الَّذِي عَلَيْهِ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Saya berkata: Jika seseorang memiliki piutang seribu dirham atas dua orang, dan masing-masing dari keduanya menjadi kafīl (penjamin) atas temannya dengan seizinnya, lalu salah satu dari mereka membayarnya, maka ia boleh menuntut setengahnya kepada temannya. Jika penagih membebaskan salah satu dari mereka dari seribu itu, maka gugur darinya setengah yang menjadi tanggungannya dan ia terbebas dari jaminan atas setengah yang menjadi tanggungan temannya, namun temannya tidak terbebas dari setengah yang menjadi tanggungannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ لَهُ عَلَى رَجُلَيْنِ أَلْفُ دِرْهَمٍ مِنْ بَيْعٍ أَوْ قَرْضٍ، وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ضَامِنٌ لِمَا عَلَى صَاحِبِهِ بِأَمْرِهِ، فَلِصَاحِبِ الْحَقِّ أَنْ يُطَالِبَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِأَلْفٍ نِصْفُهَا مِمَّا عَلَيْهِ فِي الْأَصْلِ وَنَصِفُهَا مِمَّا ضَمِنَهُ عَنْ صَاحِبِهِ.

Al-Mawardi berkata: Gambaran kasus ini adalah seseorang memiliki piutang seribu dirham atas dua orang, baik dari jual beli maupun dari utang, dan masing-masing dari keduanya menjadi penjamin atas apa yang menjadi tanggungan temannya dengan seizinnya. Maka, pemilik hak boleh menuntut masing-masing dari mereka seribu dirham, setengahnya dari tanggungan asalnya dan setengahnya dari apa yang dijaminkan atas temannya.

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَهَا هُنَا فَصْلَانِ، فَصْلٌ فِي الْأَدَاءِ، وَفَصْلٌ فِي الْإِبْرَاءِ، فَأَمَّا الْأَدَاءُ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَحَدِهِمَا فَلَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يُؤَدِّيَ جَمِيعَ الْأَلْفِ، أَوْ نِصْفَهَا، فَإِنْ أَدَّى جَمِيعَ الْأَلْفِ بَرِئَا جَمِيعًا، وَكَانَ عَلَى الْمُؤَدِّي أَنْ يَرْجِعَ عَلَى صَاحِبِهِ بِنِصْفِ الْأَلْفِ، فَإِنْ أَدَّى نِصْفَهَا مِثْلَ أَنْ يؤدي خمسماية، فَلَا يَخْلُو حَالُهُ فِي هَذَا الَّذِي أَدَّاهُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ:

Jika demikian, maka di sini ada dua fasal: fasal tentang pembayaran dan fasal tentang pembebasan. Adapun pembayaran, jika dilakukan oleh salah satu dari mereka, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: membayar seluruh seribu, atau setengahnya. Jika ia membayar seluruh seribu, maka keduanya terbebas, dan yang membayar berhak menuntut setengah seribu kepada temannya. Jika ia membayar setengahnya, misalnya membayar lima ratus, maka keadaannya dalam pembayaran ini tidak lepas dari empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُؤَدِّيَهَا مِمَّا عَلَيْهِ مِنَ الْأَصْلِ، دُونَ مَا ضَمِنَهُ، فَيَبْرَأَ مما عليه من الأصل وهو خمسماية ويبرأ صاحبه من ضمانها، وبقي عليه خمسماية وَهِيَ الَّتِي ضَمِنَهَا عَنْ صَاحِبِهِ فَيَصِيرُ عَلَى كل واحد منهما خمسماية.

Pertama: Ia membayar dari tanggungan asalnya, bukan dari jaminan, maka ia terbebas dari tanggungan asalnya yaitu lima ratus, dan temannya terbebas dari jaminan atas jumlah itu. Namun, ia masih menanggung lima ratus yang merupakan jaminan atas temannya, sehingga masing-masing dari mereka menanggung lima ratus.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُؤَدِّيَهَا مِمَّا ضَمِنَهُ دُونَ مَا عَلَيْهِ مِنَ الْأَصْلِ فَيَبْرَأَ مِنْ ضَمَانِ الخمسماية الَّتِي عَلَى صَاحِبِهَا وَيَبْرَأَ صَاحِبُهُ مِنْهَا وَيَرْجِعَ عليه بها ويبقى عليه خمسماية الَّتِي عَلَيْهِ فِي الْأَصْلِ، وَعَلَى صَاحِبِهِ ضَمَانُهَا.

Kedua: Ia membayar dari jaminan, bukan dari tanggungan asalnya, maka ia terbebas dari jaminan lima ratus yang menjadi tanggungan temannya, dan temannya juga terbebas dari itu, lalu ia menuntut kembali kepada temannya, dan ia masih menanggung lima ratus yang merupakan tanggungan asalnya, dan temannya menanggung jaminannya.

وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُؤَدِّيَهَا مِنْ أَصْلِ مَا عليه ومن ضمانه فيبرأ من خمسماية نصفها من أصل ما عليه ونصفها من ضمانه وله الرجوع بها ويبقى عليه خمسماية نصفها من أصل ما عَلَيْهِ وَنِصْفُهَا مِنْ ضَمَانِهِ وَيَبْقَى عَلَى صَاحِبِهِ خمسمائة نصفها من أصل ما عليه ونصفها مِنْ ضَمَانِهِ.

Ketiga: Ia membayar dari sebagian tanggungan asalnya dan sebagian dari jaminannya, maka ia terbebas dari lima ratus, setengahnya dari tanggungan asal dan setengahnya dari jaminan, dan ia berhak menuntut kembali, dan ia masih menanggung lima ratus, setengahnya dari tanggungan asal dan setengahnya dari jaminan, dan temannya juga masih menanggung lima ratus, setengahnya dari tanggungan asal dan setengahnya dari jaminan.

وَالْحَالَةُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يُؤَدِّيَهَا مُطْلَقَةً مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْوِيَ بِهَا أَحَدَ الْمَالَيْنِ فَفِيهَا لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:

Keempat: Ia membayar secara mutlak tanpa meniatkan dari mana asal uang itu, maka dalam hal ini menurut para ulama kami ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّهَا تَكُونُ أَدَاءً مِنَ الْمَالَيْنِ نِصْفَيْنِ نَصِفُهَا مِنْ أَصْلِ مَا عَلَيْهِ وَنِصْفُهَا مِنْ ضَمَانِهِ لِاسْتِوَاءِ الْحَقَّيْنِ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ عَنْهُمَا نِصْفَيْنِ.

Salah satu pendapat: yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa pembayaran itu dilakukan dari kedua harta tersebut secara setengah-setengah; setengahnya dari pokok yang menjadi tanggungannya dan setengahnya lagi dari jaminannya, karena kedua hak tersebut sama, maka wajiblah pembayaran itu berasal dari keduanya secara setengah-setengah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ أَبُو عَلِيٍّ الطَّبَرِيُّ وَنَصَّ عَلَيْهِ فِي إِفْصَاحِهِ إِنَّهَا تَكُونُ مَوْقُوفَةً عَلَى خِيَارِهِ لِيَجْعَلَهَا أَدَاءً مِنْ أَيِّ الْمَالَيْنِ شَاءَ مِنْ أَصْلِ مَا عَلَيْهِ أَوْ مِنْ ضَمَانِهِ، لِأَنَّ التَّعْبِيرَ إِلَيْهِ قَبْلَ الْأَدَاءِ فَكَانَ إِلَى خِيَارِهِ بَعْدَ الْأَدَاءِ.

Pendapat kedua: dan ini adalah pendapat Abu ‘Ali at-Tabari, yang juga dinyatakan secara eksplisit dalam kitab Ifshah-nya, bahwa pembayaran itu digantungkan pada pilihannya, sehingga ia boleh menjadikannya sebagai pembayaran dari salah satu dari kedua harta yang ia kehendaki, baik dari pokok yang menjadi tanggungannya maupun dari jaminannya, karena penentuan itu berada di tangannya sebelum pembayaran, maka demikian pula setelah pembayaran tetap menjadi pilihannya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَأَمَّا الْإِبْرَاءُ فَلَهُ حَالَتَانِ حَالَةٌ يُبْرِئُ أَحَدَهُمَا مِنْ جَمِيعِ الْأَلْفِ، وَحَالَةٌ يُبْرِئُ مِنْ نِصْفِهَا، فَإِنْ أَبْرَأَهُ مِنْ جَمِيعِ الْأَلْفِ برئ منها كلها، وبرئ صاحبه من خمسمائة الَّتِي ضَمِنَهَا عَنْهُ لِسُقُوطِهَا بِالْإِبْرَاءِ، وَبَقِيَ خَمْسُمِائَةٍ مِنْ أَصْلِ مَا عَلَيْهِ لِأَنَّ إِبْرَاءَ ضَامِنِهَا لَا يَكُونُ إِبْرَاءً لِمَنْ عَلَيْهِ أَصْلُهَا.

Adapun ibra’ (pembebasan utang), maka ada dua keadaan: keadaan di mana ia membebaskan salah satu dari mereka dari seluruh seribu (dirham), dan keadaan di mana ia membebaskan dari setengahnya. Jika ia membebaskannya dari seluruh seribu, maka ia terbebas dari semuanya, dan temannya juga terbebas dari lima ratus yang ia jamin darinya karena gugur dengan adanya ibra’, dan tersisa lima ratus dari pokok yang menjadi tanggungannya, karena membebaskan penjamin tidak berarti membebaskan orang yang memiliki pokok utang.

وَإِنْ أَبْرَأَهُ مِنْ خَمْسِمِائَةٍ لَمْ يَخْلُ فِي هَذِهِ الْخَمْسِمِائَةِ الَّتِي أَبْرَأَهُ مِنْهَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ:

Jika ia membebaskannya dari lima ratus, maka dalam lima ratus yang ia bebaskan itu tidak lepas dari empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَجْعَلَهَا إِبْرَاءً مِنْ أَصْلِ مَا عَلَيْهِ، فَيَبْرَأَ مِنْ خَمْسِمِائَةٍ مِنْ أَصْلِ مَا عَلَيْهِ وَيَبْرَأَ صَاحِبُهُ مِنْ ضَمَانِهَا، وَيَبْقَى عَلَيْهِ خَمْسُمِائَةٍ مِنْ ضَمَانِهِ عَنْ صَاحِبِهِ.

Pertama: ia menjadikannya sebagai ibra’ dari pokok yang menjadi tanggungannya, maka ia terbebas dari lima ratus dari pokok yang menjadi tanggungannya dan temannya terbebas dari jaminannya, dan masih tersisa atasnya lima ratus dari jaminannya atas temannya.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُبْرِئَهُ مِمَّا ضَمِنَهُ دُونَ مَا عَلَيْهِ، مِنَ الْأَصْلِ، فَيَبْقَى عَلَيْهِ خَمْسُمِائَةٍ هِيَ مِنْ أَصْلِ مَا عَلَيْهِ، وَعَلَى صَاحِبِهِ أَلْفُ دِرْهَمٍ، مِنْهَا خَمْسُمِائَةٍ مِنْ أَصْلِ مَا عَلَيْهِ، وَخَمْسُمِائَةٍ مِنْ ضَمَانِهِ عَنْ صَاحِبِهِ.

Keadaan kedua: ia membebaskannya dari apa yang dijaminnya saja, bukan dari pokok yang menjadi tanggungannya, maka masih tersisa atasnya lima ratus yang berasal dari pokok yang menjadi tanggungannya, dan atas temannya seribu dirham, lima ratus di antaranya dari pokok yang menjadi tanggungannya, dan lima ratus dari jaminannya atas temannya.

وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَجْعَلَهَا إِبْرَاءً مِنَ الْمَالَيْنِ، نِصْفُهَا مِنْ أَصْلِ مَا عَلَيْهِ، وَنِصْفُهَا مِنْ ضَمَانِهِ فَيَبْقَى عَلَيْهِ خَمْسُمِائَةٍ مِنْهَا مِئَتَانِ وَخَمْسُونَ مِنْ أَصْلِ مَا عَلَيْهِ، وَمِئَتَانِ وَخَمْسُونَ مِنْ ضَمَانِهِ، وَيَبْقَى عَلَى صَاحِبِهِ سَبْعُمِائَةٍ وَخَمْسُونَ، خَمْسُمِائَةٍ مِنْهَا مِنْ أَصْلِ مَا عَلَيْهِ، وَمِئَتَانِ وَخَمْسُونَ مِنْ ضَمَانِهِ عَنْ صَاحِبِهِ، لِأَنَّهُ الْقَدْرُ الْبَاقِي عَلَيْهِ بَعْدَ الْإِبْرَاءِ.

Keadaan ketiga: ia menjadikannya sebagai ibra’ dari kedua harta tersebut, setengahnya dari pokok yang menjadi tanggungannya dan setengahnya dari jaminannya, maka masih tersisa atasnya lima ratus, dua ratus lima puluh di antaranya dari pokok yang menjadi tanggungannya, dan dua ratus lima puluh dari jaminannya, dan masih tersisa atas temannya tujuh ratus lima puluh, lima ratus di antaranya dari pokok yang menjadi tanggungannya, dan dua ratus lima puluh dari jaminannya atas temannya, karena itulah jumlah yang tersisa atasnya setelah ibra’.

وَالْحَالَةُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يُبْرِئَهُ مِنْ ذَلِكَ بَرَاءَةً مُطْلَقَةً فَيَكُونَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ، أَحَدُهُمَا يَكُونُ إِبْرَاءً مِنَ الْمَالَيْنِ عَلَى قَوْلِ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى، وَالثَّانِي يَكُونُ مَرْدُودًا إِلَى خِيَارِهِ لِيَجْعَلَهَا إِبْرَاءً مِنْ أَيِّ الْمَالَيْنِ شَاءَ عَلَى قَوْلِ الطَّبَرِيِّ فَإِذَا جَعَلَهَا مِنْ أَحَدِ الْمَالَيْنِ جَازَ عَلَى ما مضى.

Keadaan keempat: ia membebaskannya dari hal tersebut dengan pembebasan secara mutlak, maka berlaku sebagaimana yang telah kami sebutkan dari dua pendapat; salah satunya adalah menjadi ibra’ dari kedua harta menurut pendapat Ibnu Abi Hurairah, maka berlaku sebagaimana yang telah lalu, dan yang kedua dikembalikan kepada pilihannya untuk menjadikannya sebagai ibra’ dari salah satu dari kedua harta yang ia kehendaki menurut pendapat at-Tabari, maka jika ia menjadikannya dari salah satu dari kedua harta, maka berlaku sebagaimana yang telah lalu.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني: ” ولو أَقَامَ الرَّجُلُ بَيِّنَةً أَنَّهُ بَاعَ مِنْ هَذَا الرَّجُلِ وَمِنْ رَجُلٍ غَائِبٍ عَبْدًا وَقَبَضَاهُ مِنْهُ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا كَفِيلٌ ضَامِنٌ لِذَلِكَ عَلَى صَاحِبِهِ بِأَمْرِهِ قَضَى عَلَيْهِ وَعَلَى الْغَائِبِ بِذَلِكَ وَغَرِمَ الْحَاضِرُ جَمِيعَ الثَّمَنِ وَرَجَعَ بالنصف على الغائب (قال المزني) قلت أنا وَهَذَا مِمَّا يُجَامِعُنَا عَلَيْهِ مَنْ أَنْكَرَ الْقَضَاءَ عَلَى غَائِبٍ “.

Al-Muzani berkata: “Jika seseorang mendatangkan bukti bahwa ia telah menjual kepada orang ini dan kepada seorang laki-laki yang sedang tidak hadir (ghaib) seorang budak, dan keduanya telah menerima budak itu darinya dengan harga seribu dirham, dan masing-masing dari mereka menjadi penjamin atas yang lain atas perintahnya, maka diputuskan atasnya dan atas yang ghaib dengan hal itu, dan yang hadir menanggung seluruh harga, lalu ia menuntut setengahnya dari yang ghaib.” (Al-Muzani berkata:) Saya katakan, “Dan ini adalah perkara yang disepakati bersama kami oleh orang yang mengingkari keputusan atas orang yang ghaib.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ ادَّعَى عَلَى رَجُلٍ حَاضِرٍ، أَنَّهُ بَاعَ عَلَيْهِ وَعَلَى رَجُلٍ غَائِبٍ عَبْدًا بِأَلْفِ دِرْهَمٍ، وَأَقْبَضَهَا إِيَّاهُ، وَأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ضَامِنٌ مَا عَلَى صَاحِبِهِ بِأَمْرِهِ، فَصَارَ لَهُ عَلَى هَذَا الْحَاضِرِ بِشِرَائِهِ وَضَمَانِهِ أَلْفُ دِرْهَمٍ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْحَاضِرِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُقِرَّ، أَوْ يُنْكِرَ، فَإِنْ أَقَرَّ بِالدَّعْوَى لَزِمَهُ دَفْعُ الْأَلْفِ إِلَى الْمُدَّعِي، فَإِذَا قَدِمَ الْغَائِبُ فَلَا رُجُوعَ لَهُ عَلَيْهِ بِشَيْءٍ إِلَّا أَنْ يُقِرَّ بِمِثْلِ مَا أَقَرَّ لِأَنَّ إِقْرَارَهُ لَازِمٌ لَهُ وَلَيْسَ بِلَازِمٍ لِغَيْرِهِ وَإِنْ أَنْكَرَ وَكَانَ لِلْمُدَّعِي بَيِّنَةٌ سُمِعَتْ عَلَيْهِ وَقُضِيَ بها، فإن ذكرت البينة في شهادتها الْغَائِب بِاسْمِهِ وَنَسَبِهِ قُضِيَ عَلَى الْحَاضِرِ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ مِنْ شِرَائِهِ وَضَمَانِهِ، فَإِنْ لَمْ تَذْكُرِ الْغَائِبَ بِاسْمِهِ، سُمِعَتْ عَلَى الْحَاضِرِ بِالشِّرَاءِ، وَهَلْ تُسْمَعُ عَلَيْهِ بِالضَّمَانِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مِن اخْتِلَافِهِمْ فِي مَعْرِفَةِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ هَلْ يَكُونُ شَرْطًا فِي صِحَّةِ الضَّمَانِ أَمْ لَا؟ فَإِنْ قِيلَ إِنَّ مَعْرِفَتَهُ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الضَّمَانِ عَنْهُ لَمْ تُسْمَعِ الْبَيِّنَةُ عَلَى الْحَاضِرِ بالضمان وقضى عليه بخمسماية لِشِرَائِهِ دُونَ ضَمَانِهِ.

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah tentang seorang laki-laki yang menggugat seorang laki-laki lain yang hadir, bahwa ia telah menjual kepada orang tersebut dan kepada seorang laki-laki lain yang sedang tidak hadir (ghaib) seorang budak seharga seribu dirham, dan ia telah menyerahkan budak itu kepadanya, serta bahwa masing-masing dari keduanya menjadi penjamin atas kewajiban temannya atas perintahnya. Maka, orang yang hadir itu, karena pembelian dan jaminannya, menjadi memiliki kewajiban seribu dirham. Maka, keadaan orang yang hadir yang digugat tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia mengakui, atau ia mengingkari. Jika ia mengakui gugatan tersebut, maka ia wajib membayar seribu dirham kepada penggugat. Jika kemudian orang yang ghaib datang, maka tidak ada hak baginya untuk menuntut kembali apa pun darinya, kecuali jika orang yang ghaib itu juga mengakui seperti pengakuannya, karena pengakuan itu hanya mengikat dirinya sendiri dan tidak mengikat orang lain. Jika ia mengingkari dan penggugat memiliki bukti (bayyinah), maka bukti itu didengar dan diputuskan berdasarkan bukti tersebut. Jika bukti itu dalam kesaksiannya menyebutkan orang yang ghaib dengan nama dan nasabnya, maka diputuskan atas orang yang hadir untuk membayar seribu dirham karena pembelian dan jaminannya. Jika bukti itu tidak menyebutkan orang yang ghaib dengan namanya, maka bukti itu didengar atas orang yang hadir hanya dalam hal pembelian. Adapun apakah bukti itu juga didengar atasnya dalam hal jaminan atau tidak, terdapat dua pendapat yang berbeda di antara para ulama mengenai pengetahuan tentang pihak yang dijamin, apakah itu menjadi syarat sahnya jaminan atau tidak. Jika dikatakan bahwa pengetahuan tentang pihak yang dijamin adalah syarat sahnya jaminan, maka bukti tidak didengar atas orang yang hadir dalam hal jaminan, dan diputuskan atasnya untuk membayar lima ratus dirham karena pembelian saja tanpa jaminan.

وَإِنْ قِيلَ إِنَّ مَعْرِفَتَهُ لَيْسَتْ بِشَرْطٍ، سُمِعَتْ عَلَيْهِ، وَقَضَى عَلَيْهِ بِالْأَلْفِ لِشِرَائِهِ وَضَمَانِهِ فَإِذَا قَضَيْنَا بِالْأَلْفِ كُلِّهَا بِالْبَيِّنَةِ الْمَسْمُوعَةِ عَلَيْهِ، ثُمَّ قَدِمَ الْغَائِبُ فَأَرَادَ الْحَاضِرُ أن يرجع عليه بالخمسماية الَّتِي قَامَتْ بِهَا الْبَيِّنَةُ، فَإِنِ اعْتَرَفَ لَهُ الضَّامِنُ بِذَلِكَ رَجَعَ عَلَيْهِ وَإِنْ أَنْكَرَ نُظِرَ فِي الْحَاضِرِ، حِينَ أَنْكَرَ، فَإِنْ كَانَ أَنْكَرَ الشِّرَاءَ أَوِ الضَّمَانَ وَأَكْذَبَ الدَّعْوَى، لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْغَائِبِ بِشَيْءٍ، لِأَنَّهُ مُكَذِّبٌ لِبَيِّنَتِهِ، مُعْتَرِفٌ بِأَنَّ الْمَأْخُوذَ مِنْهُ ظُلْمٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ أَنْكَرَ الشِّرَاءَ وَالضَّمَانَ وَلَا أَكْذَبَ الْبَيِّنَةَ وَإِنَّمَا دَفَعَ الدَّعْوَى بِأَنَّ الْمُدَّعِيَ لَا يَسْتَحِقُّ الْمُطَالَبَةَ بِهَا، فَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْغَائِبِ بِمَا دَفَعَ عَنْهُ، وَتَكُونُ الْبَيِّنَةُ حُجَّةً عَلَيْهِ لِلْمُدَّعِي بِأَلْفٍ، وَحُجَّةً لَهُ عَلَى الغائب بخمسماية.

Dan jika dikatakan bahwa pengetahuan tentang pihak yang dijamin bukanlah syarat, maka bukti itu didengar atasnya, dan diputuskan atasnya untuk membayar seribu dirham karena pembelian dan jaminannya. Jika kami memutuskan seluruh seribu dirham berdasarkan bukti yang didengar atasnya, kemudian orang yang ghaib datang dan orang yang hadir ingin menuntut kembali lima ratus dirham yang telah dibuktikan oleh bayyinah, maka jika penjamin (orang ghaib) mengakuinya, ia dapat menuntut kembali darinya. Namun jika ia mengingkari, maka dilihat keadaan orang yang hadir ketika ia mengingkari. Jika ia mengingkari pembelian atau jaminan dan mendustakan gugatan, maka ia tidak berhak menuntut kembali apa pun dari orang yang ghaib, karena ia telah mendustakan bayyinahnya sendiri dan mengakui bahwa apa yang diambil darinya adalah kezaliman. Namun jika ia tidak mengingkari pembelian dan jaminan, dan tidak mendustakan bayyinah, melainkan hanya menolak gugatan dengan alasan bahwa penggugat tidak berhak menuntutnya, maka ia berhak menuntut kembali dari orang yang ghaib atas apa yang telah ia bayarkan untuknya. Dalam hal ini, bayyinah menjadi hujjah atasnya bagi penggugat sebesar seribu dirham, dan hujjah baginya atas orang ghaib sebesar lima ratus dirham.

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ لَمَّا رَأَى أبا حنيفة يُوَافِقُ عَلَى هَذَا مَعَ امْتِنَاعِهِ مِنَ الْقَضَاءِ عَلَى الْغَائِبِ جَعَلَ ذَلِكَ مِنْهُ قَضَاءً عَلَى الْغَائِبِ.

Adapun al-Muzani, ketika ia melihat Abu Hanifah menyetujui hal ini meskipun ia menolak untuk memutuskan perkara atas orang yang ghaib, ia menganggap bahwa hal tersebut dari Abu Hanifah merupakan keputusan atas orang yang ghaib.

فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَطَائِفَةٌ يَذْهَبُونَ إِلَى قَوْلِ الْمُزَنِيِّ إِنَّهُ قَضَاءٌ عَلَى الْغَائِبِ وَإِنَّ مَذْهَبَ أبي حنيفة بِهِ مُنْكَسِرٌ، لِأَنَّ فِيهَا إِلْزَامَ الشِّرَاءِ لِلْغَائِبِ لِيَلْزَمَ الْحَاضِرَ ضَمَانُهُ.

Para ulama kami berbeda pendapat; Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dan sekelompok ulama berpendapat sebagaimana pendapat al-Muzani, bahwa itu adalah keputusan atas orang yang ghaib, dan bahwa mazhab Abu Hanifah dalam hal ini menjadi lemah, karena di dalamnya terdapat kewajiban pembelian atas orang yang ghaib agar orang yang hadir wajib menanggung jaminannya.

وَكَانَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى مِنْ أَصْحَابِنَا تَمْنَعُ أَنْ يَكُونَ هَذَا قَضَاءً عَلَى الْغَائِبِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ لِأَنَّ مَا قُضِيَ عَلَى الْغَائِبِ أُحْلِفَ المدعي مع بينته والمدعي هاهنا لَا يَحْلِفُ فَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ قَضَاءً عَلَى الغائب والله أعلم.

Sedangkan kelompok lain dari ulama kami melarang bahwa hal ini dianggap sebagai keputusan atas orang yang ghaib—dan Allah lebih mengetahui kebenarannya—karena perkara yang diputuskan atas orang yang ghaib, penggugat harus bersumpah bersama bayyinahnya, sedangkan dalam kasus ini penggugat tidak bersumpah, maka hal itu tidak dianggap sebagai keputusan atas orang yang ghaib. Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني: ” وَلَوْ ضَمِنَ عَنْ رَجُلٍ بِأَمْرِهِ أَلْفَ دِرْهَمٍ عَلَيْهِ لِرَجُلٍ فَدَفَعَهَا بِمَحْضَرِهِ ثُمَّ أَنْكَرَ الطَّالِبُ أَنْ يَكُونَ قَبَضَ شَيْئًا حَلَفَ وَبَرِئَ وَقَضَى عَلَى الَّذِي عَلَيْهِ الدَّيْنُ بِدَفْعِ الْأَلْفِ إِلَى الطَّالِبِ وَيَدْفَعُ أَلْفًا إِلَى الضَّامِنِ لِأَنَّهُ دَفَعَهَا بِأَمْرِهِ وَصَارَتْ لَهُ دَيْنًا عَلَيْهِ فَلَا يُذْهِبُ حَقَّهُ ظُلْمُ الطَّالِبِ لَهُ وَلَوْ أَنَّ الطَّالِبَ طَلَبَ الضَّامِنَ فَقَالَ لَمْ تَدْفَعْ إِلَيَّ شَيْئًا قُضِيَ عَلَيْهِ بِدَفْعِهَا ثَانِيَةً وَلَمْ يَرْجِعْ عَلَى الْآمِرِ إِلَّا بِالْأَلْفِ الَّتِي ضَمِنَهَا عَنْهُ لِأَنَّهُ يُقِرُّ أَنَّ الثَّانِيَةَ ظُلْمٌ مِنَ الطَّالِبِ لَهُ فَلَا يَرْجِعُ عَلَى غَيْرِ مَنْ ظَلَمَهُ “.

Al-Muzani berkata: “Jika seseorang menanggung utang seribu dirham atas perintah seseorang untuk orang lain, lalu ia menyerahkannya di hadapan orang tersebut, kemudian pihak penagih mengingkari bahwa ia telah menerima sesuatu, maka ia (penanggung) bersumpah dan terbebas, dan diputuskan agar orang yang berutang membayar seribu dirham kepada penagih, dan ia (orang yang berutang) membayar seribu dirham kepada penanggung, karena ia telah membayarkannya atas perintahnya dan itu menjadi utang baginya, sehingga haknya tidak hilang karena kezaliman penagih terhadapnya. Jika penagih menuntut penanggung dan berkata, ‘Kamu belum membayar apa pun kepadaku,’ maka diputuskan agar ia membayar lagi, dan ia tidak boleh menuntut kepada pemberi perintah kecuali seribu dirham yang ia tanggung atas namanya, karena ia mengakui bahwa pembayaran kedua adalah kezaliman dari penagih terhadapnya, sehingga ia tidak boleh menuntut kepada selain orang yang menzaliminya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ ضَمِنَ عَنْ رَجُلٍ أَلْفًا بِأَمْرِهِ وَدَفَعَهَا إِلَى الْمَضْمُونِ لَهُ وَأَنْكَرَهَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الضَّامِنِ فِي دَفْعِهِ الْأَلْفَ إِلَى الطَّالِبِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُشْهِدَ عَلَيْهِ بِدَفْعِهَا إِلَيْهِ أَوْ لَا يُشْهِدَ عَلَيْهِ، فَإِنْ أَشْهَدْ عَلَيْهِ بِدَفْعِهَا إِلَيْهِ فَلَا يَخْلُو حَالُ مَنْ أَشْهَدَهُ عَلَيْهِ لِيَكُونَ بَيِّنَةً عِنْدَ إِنْكَارِهِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: “Gambaran kasus ini adalah seseorang menanggung utang seribu dirham atas perintah seseorang, lalu ia membayarkannya kepada pihak yang berhak menerima, namun pihak tersebut mengingkarinya. Maka, keadaan penanggung dalam membayar seribu dirham kepada penagih tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia menghadirkan saksi atas penyerahan itu atau tidak. Jika ia menghadirkan saksi atas penyerahan itu, maka keadaan saksi yang dihadirkan untuk menjadi bukti saat terjadi pengingkaran tidak lepas dari empat keadaan:”

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ بَيِّنَةً كَامِلَةَ الْعَدَدِ كَامِلَةَ الصِّفَةِ.

Pertama: Saksi tersebut merupakan bukti yang lengkap dari segi jumlah dan sifat.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ نَاقِصَةَ الْعَدَدِ نَاقِصَةَ الصِّفَةِ.

Kedua: Saksi tersebut kurang dari segi jumlah dan sifat.

وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ كَامِلَةَ الْعَدَدِ نَاقِصَةَ الصِّفَةِ.

Ketiga: Saksi tersebut lengkap dari segi jumlah namun kurang dari segi sifat.

وَالرَّابِعُ: أَنْ تَكُونَ نَاقِصَةَ الْعَدَدِ كَامِلَةَ الصِّفَةِ.

Keempat: Saksi tersebut kurang dari segi jumlah namun lengkap dari segi sifat.

فَإِنْ أَشْهَدَ بَيِّنَةً كَامِلَةَ الْعَدَدِ كَامِلَةَ الصِّفَةِ، مِثْلَ أن يشهد شاهدين عدلين أو شاهد وَامْرَأَتَيْنِ فَلَهُ الرُّجُوعُ بِالْأَلْفِ سَوَاءٌ بَقِيَ الشُّهُودُ عَلَى حَالِهِمْ أَوْ مَاتُوا، أَوْ فَسَقُوا، لِأَنَّ حُدُوثَ الْمَوْتِ وَالْفِسْقِ مِمَّا لَا يُمْكِنُ الِاحْتِرَازُ مِنْهُ، وَهَلْ يُرَاعَى فِيمَنْ أَشْهَدَهُ الْعَدَالَةُ الظَّاهِرَةُ كَشُهُودِ النِّكَاحِ، أَوْ تُرَاعَى فِيهِمُ الْعَدَالَةُ الظَّاهِرَةُ وَالْبَاطِنَةُ كَشُهُودِ الْقَاضِي إِذَا أَرَادَ إِنْفَاذَ الْحُكْمِ بِشَهَادَتِهِمْ.

Jika ia menghadirkan bukti yang lengkap dari segi jumlah dan sifat, seperti dua orang saksi yang adil atau satu orang saksi laki-laki dan dua perempuan, maka ia berhak menuntut kembali seribu dirham, baik para saksi itu masih hidup atau telah meninggal, atau menjadi fasik, karena terjadinya kematian dan kefasikan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Apakah dalam hal ini cukup dengan keadilan lahiriah seperti saksi dalam pernikahan, atau harus keadilan lahiriah dan batiniah seperti saksi di hadapan hakim ketika hendak menetapkan hukum dengan kesaksian mereka?

عَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا أَنَّهُ تُرَاعَى فِيهِمُ العدالة الظاهرة كالنكاح، لأن العدالة الباطنة يتعزز الْوُصُولُ إِلَيْهَا.

Ada dua pendapat: Pertama, yang diperhatikan adalah keadilan lahiriah seperti dalam pernikahan, karena keadilan batiniah sulit untuk dijangkau.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّ الْمُرَاعَى فِيمَنْ يَشْهَدُ الْعَدَالَةُ الْبَاطِنَةُ كَشُهُودِ الْحَاكِمِ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِهَا إِثْبَاتُ الشَّهَادَةِ عِنْدَ الْحَاكِمِ.

Pendapat kedua: Yang diperhatikan pada saksi adalah keadilan batiniah seperti saksi di hadapan hakim, karena tujuan dari kesaksian itu adalah untuk menetapkan kebenaran di hadapan hakim.

فعلى هذا إن شهد عدلين في الظاهر فاسقين فِي الْبَاطِنِ لَمْ يَرْجِعْ، فَكَانَ مُفَرِّطًا، وَإِنْ كَانَ مَنْ أَشْهَدَهُ نَاقِصَ الْعَدَدِ نَاقِصَ الصِّفَةِ مِثْلَ أَنْ يُشْهِدَ شَاهِدًا وَاحِدًا. . عَبَدَا أَوْ فَاسِقًا فَهَذَا كَمَنْ لَمْ يُشْهِدْ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالشَّهَادَةِ إِثْبَاتُ الْحَقِّ بِهَا عِنْدَ التَّنَازُعِ، وَهَذِهِ شَهَادَةٌ لَا يَثْبُتُ بِهَا حَقٌّ، فَكَانَ وُجُودُهَا كَعَدَمِهَا، وَإِنْ كَانَ مَنْ أَشْهَدَ، كَامِلَ الْعَدَدِ نَاقِصَ الصِّفَةِ مِثْلَ أَنْ يُشْهِدَ شَاهِدَيْنِ عَبْدَيْنِ أَوْ فَاسِقَيْنِ فَلَيْسَتْ هَذِهِ بَيِّنَةً، وَهِيَ كَمَنْ لَمْ يُشْهِدْ، لِأَنَّ الْحَقَّ لَا يَثْبُتُ بِهَا عِنْدَ التَّنَازُعِ، فَلَوْ أُعْتِقَ الْعَبْدَانِ أَوْ عُدِّلَ الْفَاسِقَانِ بَعْدَ إِشْهَادِهِمَا فَإِنْ ثَبَتَ الْحَقُّ بِشَهَادَتِهِمَا رَجَعَ بِهِ، وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ كَمَوْتِهِمَا قَبْلَ أَدَاءِ الشَّهَادَةِ فَلَا رُجُوعَ بِهِ لَهُ لِتَفْرِيطِهِ فِي الِابْتِدَاءِ حِينَ أَشْهَدَهُمَا. وَإِنْ كَانَ مَنْ أَشْهَدَهُ نَاقِصَ الْعَدَدِ كَامِلَ الصِّفَةِ مِثْلَ أَنْ يُشْهِدَ شَاهِدًا وَاحِدًا عَدْلًا، فَإِنِ اقْتَصَرَ عَلَى إِشْهَادِهِ وَلَمْ يُرِدْ أَنْ يَحْلِفَ مَعَهُ، فَلَيْسَتْ هَذِهِ بَيِّنَةً وَيَكُونُ حُكْمُهُ حُكْمَ مَنْ لَمْ يُشْهِدْ، وَإِنِ اقْتَصَرَ عَلَى إِشْهَادِهِ لِيَحْلِفَ مَعَهُ فَعَلَى وَجْهَيْنِ: –

Berdasarkan pendapat ini, jika dua saksi yang secara lahiriah adil namun secara batiniah fasik memberikan kesaksian, maka ia tidak dapat menuntut kembali, dan ia dianggap telah lalai. Jika saksi yang dihadirkan kurang dari segi jumlah dan sifat, seperti hanya satu orang saksi, budak atau fasik, maka ini sama seperti tidak menghadirkan saksi, karena tujuan dari kesaksian adalah untuk menetapkan hak ketika terjadi perselisihan, dan kesaksian seperti ini tidak dapat menetapkan hak, sehingga keberadaannya sama seperti tidak ada. Jika saksi yang dihadirkan lengkap dari segi jumlah namun kurang dari segi sifat, seperti dua orang saksi yang keduanya budak atau fasik, maka ini juga bukan bukti, dan sama seperti tidak menghadirkan saksi, karena hak tidak dapat ditetapkan dengan kesaksian seperti ini ketika terjadi perselisihan. Jika kedua budak itu dimerdekakan atau kedua fasik itu menjadi adil setelah dihadirkan sebagai saksi, maka jika hak itu dapat ditetapkan dengan kesaksian mereka, ia dapat menuntut kembali, namun jika tidak dapat ditetapkan, seperti jika keduanya meninggal sebelum memberikan kesaksian, maka ia tidak dapat menuntut kembali karena kelalaiannya sejak awal ketika menghadirkan mereka. Jika saksi yang dihadirkan kurang dari segi jumlah namun lengkap dari segi sifat, seperti satu orang saksi yang adil, maka jika ia hanya menghadirkan saksi itu dan tidak bermaksud untuk bersumpah bersamanya, maka ini bukan bukti dan hukumnya sama seperti tidak menghadirkan saksi. Namun jika ia hanya menghadirkan saksi itu untuk bersumpah bersamanya, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا بَيِّنَةٌ، وَلَهُ الرُّجُوعُ لِأَنَّ الشَّاهِدَ وَالْيَمِينَ بَيِّنَةٌ كَالشَّاهِدَيْنِ.

Salah satu pendapat: bahwa itu adalah bayyinah, dan ia (penjamin) berhak untuk kembali (menuntut), karena kesaksian dan sumpah adalah bayyinah seperti dua orang saksi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَكُونَ مُفَرِّطًا بِمَثَابَةِ مَنْ لَمْ يُشْهِدْ، لِأَنَّ مِنَ الْحُكَّامِ مَنْ لَا يَحْكُمُ بِالشَّاهِدِ واليمين إذا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا وَأَشْهَدَ مَنْ لَا يَكُونُ مُفَرِّطًا بِإِشْهَادِهِ عَلَى مَا بَيَّنَا، فَلَا يَخْلُو أَنْ يُثْبِتَ بِهِمُ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُنْكَرِ لِلْقَبْضِ أَمْ لَا، فَإِنْ ثَبَتَتِ الْبَيِّنَةُ عَلَيْهِ بِشَهَادَتِهِمْ، حُكِمَ عَلَيْهِ بِاسْتِيفَاءِ حَقِّهِ، وَبَرِئَ مِنْهُ الضَّامِنُ وَالْمَضْمُونُ عَنْهُ، وَكَانَ لِلضَّامِنِ أَنْ يَرْجِعَ بِمَا أَدَّاهُ، وَإِنْ لَمْ تَقُمِ الْبَيِّنَةُ لِمَوْتِهِمْ أَوْ حُدُوثِ فِسْقِهِمْ أَوْ بَعْدِ غَيْبَتِهِمْ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمَضْمُونِ لَهُ الْمُنْكِرُ مَعَ يَمِينِهِ، أَنَّهُ لَمْ يَقْبِضْ حَقَّهُ مِنَ الضَّامِنِ، ثُمَّ هُوَ عَلَى حَقِّهِ مِنْ مُطَالَبَةِ مَنْ شَاءَ مِنَ الضَّامِنِ وَالْمَضْمُونِ عَنْهُ، فَإِنْ رَجَعَ عَلَى الْمَضْمُونِ عَنْهُ فَأَخَذَ حَقَّهُ مِنْهُ بَرِئَ الضَّامِنُ وَالْمَضْمُونُ عَنْهُ مَعًا، وَكَانَ لِلضَّامِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمَضْمُونِ عَنْهُ بِمَا أَدَّاهُ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مِنْهُ تَفْرِيطٌ فَيَصِيرَ الْمَضْمُونُ عَنْهُ غَارِمًا لِأَلْفَيْنِ أَلْفًا مِنْهَا أَدَاءٌ إِلَى الْمَضْمُونِ لَهُ، وَأَلْفًا غَرِمَهَا لِلضَّامِنِ بِأَدَائِهَا عَنْهُ، وَإِنْ رَجَعَ الْمَضْمُونُ لَهُ حِينَ حَلَفَ عَلَى الضَّامِنِ كَانَ لِلضَّامِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمَضْمُونِ عَنْهُ بِالْأَلْفِ الْأُولَى دُونَ الثَّانِيَةِ، لِأَنَّهُ بِالثَّانِيَةِ مَظْلُومٌ فَلَا يَرْجِعَ بِهَا عَلَى غَيْرِ مَنْ ظَلَمَهُ، فَهَذَا حُكْمُ الضَّامِنِ إِذَا أَشْهَدَ فِيمَا دَفَعَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: bahwa ia dianggap telah melakukan kelalaian, seperti orang yang tidak menghadirkan saksi, karena di antara para hakim ada yang tidak memutuskan perkara dengan saksi dan sumpah jika telah tetap seperti yang telah kami jelaskan, dan ia menghadirkan saksi yang tidak dianggap lalai dalam menghadirkan saksi sebagaimana yang telah kami uraikan. Maka, tidak lepas dari kemungkinan bahwa bayyinah dapat ditegakkan dengan mereka atas orang yang mengingkari untuk penyerahan (hak), atau tidak. Jika bayyinah telah tegak atasnya dengan kesaksian mereka, maka diputuskan atasnya untuk memenuhi haknya, dan penjamin serta yang dijamin darinya terbebas darinya, dan penjamin berhak untuk kembali (menuntut) apa yang telah ia bayarkan. Namun, jika bayyinah tidak dapat ditegakkan karena kematian mereka, atau karena mereka menjadi fasiq, atau karena mereka tidak ada, maka perkataan yang dipegang adalah perkataan pihak yang dijamin untuknya yang mengingkari, disertai sumpahnya bahwa ia belum menerima haknya dari penjamin. Kemudian, ia tetap berhak menuntut siapa saja yang ia kehendaki, baik dari penjamin maupun dari yang dijamin darinya. Jika ia menuntut yang dijamin darinya lalu mengambil haknya darinya, maka penjamin dan yang dijamin darinya sama-sama terbebas, dan penjamin berhak untuk kembali menuntut yang dijamin darinya atas apa yang telah ia bayarkan, karena tidak ada kelalaian darinya, sehingga yang dijamin darinya menjadi wajib menanggung dua ribu: seribu di antaranya sebagai pembayaran kepada pihak yang dijamin untuknya, dan seribu lagi ia tanggung kepada penjamin karena penjamin telah membayarkannya atas namanya. Jika pihak yang dijamin untuknya, setelah bersumpah, kembali menuntut penjamin, maka penjamin berhak untuk kembali menuntut yang dijamin darinya atas seribu yang pertama saja, bukan yang kedua, karena pada seribu yang kedua ia telah dizalimi, maka ia tidak boleh menuntutnya kecuali kepada orang yang menzaliminya. Inilah hukum penjamin jika ia menghadirkan saksi atas apa yang ia bayarkan. Wallāhu a‘lam.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا لَمْ يُشْهِدِ الضَّامِنُ فِيمَا دَفَعَ عَلَى الْمَضْمُونِ لَهُ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ حِينَ دَفَعَهَا مِنْ أَنْ يَكُونَ الْمَضْمُونُ عَنْهُ حَاضِرًا عِنْدَ دَفْعِهَا أَوْ غَائِبًا، فَإِنْ كَانَ الْمَضْمُونُ عَنْهُ غَائِبًا لَمْ يَكُنْ لِلضَّامِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهِ بِشَيْءٍ، سَوَاءٌ صَدَّقَهُ أَوْ كَذَّبَهُ لِأَنَّهُ إِنْ كَذَّبَهُ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ عَلَيْهِ، وَإِنْ صَدَّقَهُ فَقَدْ فَرَّطَ حِينَ لَمْ يُشْهِدْ عَلَيْهِ وَيَكُونُ الْمَضْمُونُ لَهُ إِذَا حَلَفَ عَلَى حَقِّهِ من مُطَالَبَةَ مَنْ شَاءَ مِنَ الضَّامِنِ أَوِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ فَإِنْ طَالَبَ الْمَضْمُونَ عَنْهُ وَأَغْرَمُهُ بَرِئَ وَبَرِئَ الضَّامِنُ مَعَهُ وَلَمْ يَكُنْ لِلضَّامِنِ أَنْ يَرْجِعَ بِمَا كَانَ دَفَعَ لِأَنَّهُ مُفَرِّطٌ بِدَفْعِهِ حِينَ لَمْ يُشْهِدْ، وَإِنْ أُغْرِمَ الضَّامِنُ بَرِئَ وَبَرِئَ الْمَضْمُونُ عَنْهُ وَهَلْ لِلضَّامِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمَضْمُونِ عَنْهُ بِشَيْءٍ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun jika penjamin tidak menghadirkan saksi atas apa yang ia bayarkan kepada pihak yang dijamin untuknya, maka keadaannya ketika membayar tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah yang dijamin darinya hadir saat pembayaran atau tidak hadir. Jika yang dijamin darinya tidak hadir, maka penjamin tidak berhak menuntutnya sedikit pun, baik ia membenarkannya maupun mendustakannya, karena jika ia mendustakannya, maka perkataannya tidak diterima atasnya, dan jika ia membenarkannya, maka ia telah lalai karena tidak menghadirkan saksi atasnya. Dan pihak yang dijamin untuknya, jika ia bersumpah atas haknya, tetap berhak menuntut siapa saja yang ia kehendaki, baik dari penjamin maupun dari yang dijamin darinya. Jika ia menuntut yang dijamin darinya dan membebankannya, maka ia dan penjamin sama-sama terbebas, dan penjamin tidak berhak menuntut kembali apa yang telah ia bayarkan, karena ia telah lalai saat membayar tanpa menghadirkan saksi. Jika penjamin yang dibebankan, maka ia dan yang dijamin darinya sama-sama terbebas. Apakah penjamin berhak menuntut kembali kepada yang dijamin darinya atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَرْجِعُ بِشَيْءٍ لِأَنَّ الْأَلْفَ الْأُولَى لَمْ يَقَعْ بِهَا الْإِبْرَاءُ وَالْأَلْفُ الثَّانِيَةُ هُوَ مَظْلُومٌ بِهَا.

Salah satunya: ia tidak berhak menuntut kembali apa pun, karena seribu yang pertama tidak menyebabkan pembebasan, dan seribu yang kedua ia telah dizalimi dengannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ الرُّجُوعُ بِأَحَدِ الْأَلْفَيْنِ لِأَنَّهُ قَدْ أَسْقَطَهَا مِنْ ذِمَّةِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ بِالْأَدَاءِ فَعَلَى هَذَا بِأَيِّ الْأَلْفَيْنِ يَرْجِعُ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا يَرْجِعُ بِالْأَلْفِ الْأُولَى لِأَنَّ الْإِبْرَاءَ فِي الْبَاطِنِ كَانَ بِهَا، وَالثَّانِي يَرْجِعُ بِالْأَلْفِ الثَّانِيَةِ لِأَنَّ الْمُطَالَبَةَ سَقَطَتْ بِهَا.

Pendapat kedua: ia berhak menuntut kembali salah satu dari dua ribu tersebut, karena ia telah menggugurkan tanggungan yang dijamin darinya dengan pembayaran. Lalu, dari dua ribu itu, yang mana yang ia tuntut kembali? Ada dua pendapat: salah satunya, ia menuntut kembali seribu yang pertama karena pembebasan secara batin terjadi dengannya; pendapat kedua, ia menuntut kembali seribu yang kedua karena tuntutan telah gugur dengannya.

فَأَمَّا إِذَا كَانَ الْمَضْمُونُ عَنْهُ حَاضِرًا عِنْدَ دَفْعِهَا إِلَى الْمَضْمُونِ لَهُ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ لِلضَّامِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمَضْمُونِ عَنْهُ بِمَا أَدَّاهُ بِمَحْضَرِهِ، لِأَنَّ الِاسْتِيثَاقَ بِالْإِشْهَادِ إِذَا حَضَرَ الْمَضْمُونُ عَنْهُ إِلَيْهِ، دُونَ الضَّامِنِ، فَلَمَّا لَمْ يُشْهِدْ صَارَ هُوَ التَّارِكَ بِحَقِّهِ مِنَ الْوَثِيقَةِ دُونَ الضَّامِنِ، ثُمَّ لِلْمَضْمُونِ لَهُ إِذَا حَلَفَ أَنْ يَرْجِعَ بِحَقِّهِ عَلَى مَنْ شَاءَ مِنَ الْمَضْمُونِ عَنْهُ أَوِ الضَّامِنِ، فَإِنْ رَجَعَ بِهِ عَلَى الْمَضْمُونِ عَنْهُ فَأَخَذَ مِنْهُ أَلْفًا كَانَ لِلضَّامِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهِ فَيُغَرِّمَهُ أَلْفًا، وَإِنْ رَجَعَ عَلَى الضَّامِنِ فَأَغْرَمَهُ أَلْفًا ثَانِيَةً كَانَ لِلضَّامِنِ أَنْ يَرْجِعَ بِالْأَلْفِ الْأُولَى دُونَ الثَّانِيَةِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ إِنَّ حُضُورَ الْمَضْمُونِ عَنْهُ الدَّفْعَ لَا يُسْقِطُ عَنِ الضَّامِنِ حق الْوَثِيقَةِ بِالْإِشْهَادِ، لِأَنَّهُ أَمَرَهُ أَنْ يَدْفَعَ دَفْعًا مُبَرِّئًا، فَصَارَ ذَلِكَ مَقْرُونًا بِالْإِشْهَادِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْحُكْمُ فِيهِ كَمَا لَوْ لَمْ يَحْضُرِ الْمَضْمُونُ عَنْهُ الدَّفْعَ فَإِنْ رَجَعَ الْمَضْمُونُ لَهُ عَلَى الْمَضْمُونِ عَنْهُ لَمْ يَرْجِعِ الضَّامِنُ عَلَيْهِ بِشَيْءٍ وَإِنْ رَجَعَ عَلَى الضَّامِنِ فَهَلْ لِلضَّامِنِ أَنْ يَرْجِعَ بِإِحْدَى الْأَلْفَيْنِ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun jika orang yang dijamin (al-madmun ‘anhu) hadir pada saat pembayaran kepada pihak yang berhak menerima jaminan (al-madmun lahu), maka menurut mazhab al-Syafi‘i, penjamin (al-dhamin) berhak menuntut kembali dari orang yang dijamin (al-madmun ‘anhu) atas apa yang telah dibayarkannya di hadapannya. Sebab, penguatan dengan penyaksian (ishhad) itu, jika orang yang dijamin hadir, menjadi haknya, bukan hak penjamin. Maka ketika ia tidak menghadirkan saksi, berarti ia sendiri yang telah melepaskan haknya atas jaminan, bukan penjamin. Selanjutnya, pihak yang berhak menerima jaminan (al-madmun lahu), jika ia bersumpah, boleh menuntut haknya kepada siapa saja yang ia kehendaki, baik kepada orang yang dijamin (al-madmun ‘anhu) maupun kepada penjamin (al-dhamin). Jika ia menuntut kepada orang yang dijamin (al-madmun ‘anhu) lalu mengambil darinya seribu, maka penjamin berhak menuntut kembali seribu tersebut darinya. Namun jika ia menuntut kepada penjamin lalu membebankannya seribu yang kedua, maka penjamin hanya boleh menuntut kembali seribu yang pertama, bukan yang kedua. Di antara ulama mazhab kami ada yang berpendapat bahwa kehadiran orang yang dijamin (al-madmun ‘anhu) pada saat pembayaran tidak menggugurkan hak penjamin atas jaminan dengan penyaksian, karena ia memerintahkan penjamin untuk membayar dengan pembayaran yang membebaskan (dari tanggungan), sehingga hal itu harus disertai dengan penyaksian. Berdasarkan pendapat ini, hukumnya sama seperti jika orang yang dijamin tidak hadir pada saat pembayaran; jika pihak yang berhak menuntut kembali kepada orang yang dijamin, maka penjamin tidak dapat menuntut apapun darinya. Namun jika ia menuntut kepada penjamin, apakah penjamin boleh menuntut salah satu dari dua seribu tersebut atau tidak? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah kami sebutkan. Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ المزني رضي الله عنه: ” وَلَوْ ضَمِنَ لِرَجُلٍ مَا قَضَى بِهِ لَهُ عَلَى آخَرَ أَوْ مَا شَهِدَ بِهِ فُلَانٌ عَلَيْهِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) لَا يَجُوزُ هَذَا وَهَذِهِ مُخَاطَرَةٌ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Jika seseorang menjamin untuk seorang laki-laki apa yang diputuskan hakim untuknya atas orang lain, atau apa yang disaksikan oleh si Fulan atasnya (kata al-Syafi‘i) hal ini tidak boleh dan ini adalah bentuk spekulasi (muqatharah).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لَا يَصِحُّ ضَمَانُ الْمَالِ حَتَّى يَكُونَ وَاجِبًا مَعْلُومًا، وَلَا يَصِحُّ ضَمَانُ مَا لَمْ يَجِبْ وَلَا مَا كَانَ مَجْهُولًا وَلَا الْإِبْرَاءُ مِنْهُ وَقَالَ أبو حنيفة يَصِحُّ ضَمَانُ الْمَجْهُولِ، وَالْإِبْرَاءُ مِنْهُ وَالْهِبَةُ لَهُ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ ضَمَانَ الدَّرَكِ لَمَّا جَازَ اتِّفَاقًا مَعَ جَهَالَتِهِ فِي اسْتِحْقَاقِ كُلِّ الْمَبِيعِ أَوْ بَعْضِهِ دَلَّ عَلَى جَوَازِ ضَمَانِ الْمَجْهُولِ بِهِ حِجَاجًا وَكَذَلِكَ مَا لَمْ يَجِبْ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, tidak sah jaminan harta kecuali jika harta itu wajib dan diketahui (jelas), dan tidak sah jaminan atas sesuatu yang belum wajib, atau yang masih samar, begitu pula pembebasan darinya. Abu Hanifah berpendapat sah jaminan atas sesuatu yang tidak diketahui, begitu pula pembebasan darinya dan hibah atasnya, dengan alasan bahwa jaminan atas kerugian (darak) dibolehkan secara ijma‘ meskipun tidak diketahui secara pasti dalam hal hak atas seluruh barang yang dijual atau sebagian darinya, maka hal ini menunjukkan bolehnya jaminan atas sesuatu yang tidak diketahui, demikian pula atas sesuatu yang belum wajib.

وَدَلِيلُنَا أَنَّ كُلَّ جَهَالَةٍ تَبْطُلُ بِهَا الْأَثْمَانُ، فَإِنَّهُ يُبْطَلُ بِهَا الضَّمَانُ، قِيَاسًا عَلَى جَهَالَةِ الْجِنْسَيْنِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا لَمْ يَثْبُتْ فِي الذِّمَّةِ بِجَهَالَةِ جِنْسِهِ لَمْ يَثْبُتْ فِيهَا لِجَهَالَةِ قَدْرِهِ كَالْأَثْمَانِ، وَلِأَنَّ الضَّمَانَ وَثِيقَةٌ فَلَمْ يَجِبْ إِلَّا فِي مَعْلُومٍ، كَالرَّهْنِ وَلِأَنَّهُ ضَمَانُ مَالٍ مَجْهُولٍ فوجب أن يَكُونُ بَاطِلًا، قِيَاسًا عَلَيْهِ إِذَا قَالَ ضَمِنْتُ بَعْضَ مَالِكَ عَلَى فُلَانٍ، فَأَمَّا الدَّرَكُ فَهُوَ ضَمَانٌ وَاجِبٌ مَعْلُومٌ، لِأَنَّهُ يُوجِبُ ضَمَانَ الْحَقِّ وَالْحَقُّ مَعْلُومٌ، وَإِنَّمَا يَخْتَلِفُ مَا يُسْتَحَقُّ فِي الثَّانِي مِنْ كُلِّ الْمَبِيعِ أَوْ بَعْضِهِ.

Dalil kami adalah bahwa setiap ketidakjelasan yang membatalkan harga (dalam transaksi), maka ia juga membatalkan jaminan, qiyās atas ketidakjelasan jenis barang. Dan karena setiap sesuatu yang belum tetap dalam tanggungan (dzimmah) karena tidak jelas jenisnya, maka tidak tetap pula di dalamnya karena tidak jelas kadarnya, sebagaimana harga. Dan karena jaminan adalah bentuk penguatan (jaminan hukum), maka tidak wajib kecuali atas sesuatu yang jelas, seperti rahn (gadai). Dan karena ini adalah jaminan atas harta yang tidak diketahui, maka harus batal, qiyās atas kasus jika seseorang berkata, “Aku menjamin sebagian hartamu atas si Fulan.” Adapun darak (jaminan atas kerugian), maka itu adalah jaminan yang wajib dan jelas, karena ia mewajibkan jaminan atas hak, dan hak itu jelas, hanya saja yang berbeda adalah apa yang menjadi hak pada kasus kedua, apakah seluruh barang yang dijual atau sebagian darinya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا قَالَ قَدْ ضَمِنْتُ لَكَ مَا تُدَايِنُ بِهِ فُلَانًا، أَوْ مَا تُبَايِعُ بِهِ فُلَانًا مِنْ دِرْهَمٍ إِلَى مِائَةٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Adapun jika seseorang berkata, “Aku telah menjamin untukmu apa yang akan kamu pinjamkan kepada si Fulan, atau apa yang akan kamu jual kepada si Fulan, dari satu dirham sampai seratus,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ تَخْرِيجًا مِنْ تَجْوِيزِهِ ضَمَانِ نَفَقَةِ الزوجات على قول فِي الْقَدِيمِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنَ الرِّفْقِ بِالنَّاسِ.

Salah satunya: Boleh, berdasarkan analogi dengan bolehnya jaminan nafkah istri menurut salah satu pendapat lama, karena di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ أَنَّهُ ضَمَانٌ بَاطِلٌ، لِأَنَّهُ ضَمَانُ مَا لَمْ يَجِبْ وَلَا يَصِحُّ تَخْرِيجُهُ مِنْ ضَمَانِ نَفَقَةِ الزَّوْجَاتِ لِأَنَّهُ فِي الْقَدِيمِ كَانَ يَرَى وُجُوبَهَا بِالْعَقْدِ فَصَارَ ضَمَانُ مَا قَدْ وَجَبَ، وَهَذَا ضَمَانُ مَا لَمْ يَجِبْ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih, bahwa jaminan tersebut batal, karena itu adalah jaminan atas sesuatu yang belum wajib, dan tidak sah dianalogikan dengan jaminan nafkah istri, karena dalam pendapat lama nafkah istri dianggap wajib dengan akad, sehingga jaminan itu atas sesuatu yang telah wajib, sedangkan ini adalah jaminan atas sesuatu yang belum wajib.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا قَالَ هَذَا وَكِيلِي وَعَلَيَّ ضَمَانُ كُلِّ مَا تُعْطِيهِ أَوْ تُبَايِعُهُ، صَحَّ وَلَزِمَهُ ضَمَانُ كُلِّ مَا قَامَتْ بِهِ الْبَيِّنَةُ فِي مُبَايَعَتِهِ وَعَطَائِهِ، وَلَيْسَ لُزُومُ هَذَا مِنْ جِهَةِ الضَّمَانِ فَيَبْطُلَ بِالْجَهَالَةِ لَكِنْ لَمَّا جَعَلَهُ وَكِيلَهُ صَارَتْ يَدُهُ كَيْدِهِ فَلَوِ ادَّعَى الْمَضْمُونُ لَهُ مِنَ الْمُبَايَعَةِ وَالْعَطَاءِ مَا اعْتَرَفَ بِهِ الْوَكِيلُ وَأَنْكَرَهُ الْمُوَكِّلُ الضَّامِنُ وَلَمْ يُقِمْ لَهُ بَيِّنَةً فَفِيهِ وَجْهَانِ،

Adapun jika seseorang berkata, “Ini adalah wakilku dan aku bertanggung jawab atas segala sesuatu yang kamu berikan kepadanya atau yang kamu jual kepadanya,” maka hal itu sah dan ia wajib menanggung segala sesuatu yang dapat dibuktikan dengan keterangan dalam transaksi jual beli dan pemberian yang dilakukan oleh wakil tersebut. Kewajiban ini bukan berasal dari sisi penjaminan sehingga batal karena ketidakjelasan, tetapi karena ia telah menjadikannya sebagai wakilnya, maka tangan wakil itu menjadi seperti tangannya sendiri. Maka jika orang yang dijamin menuntut sesuatu dari transaksi jual beli dan pemberian yang diakui oleh wakil, namun diingkari oleh pemberi kuasa yang menjadi penjamin dan tidak ada bukti yang dapat didatangkan, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: لَا يُصَدَّقُ فِي دَعْوَاهُ حَتَّى تَقُومَ لَهُ بَيِّنَةٌ.

Salah satunya: Ia tidak dibenarkan dalam tuntutannya sampai ia dapat mendatangkan bukti.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُقْبَلُ قَوْلُ وَكِيلِهِ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ أَمِينٌ عَلَيْهِ قَدْ أَقَامَهُ مَقَامَ نَفْسِهِ.

Pendapat kedua: Diterima ucapan wakil terhadapnya karena ia adalah orang yang dipercaya dan telah ditempatkan pada posisi dirinya sendiri.

وَأَمَّا إِذَا قَالَ لَهُ: أَقْرِضْ زَيْدًا أَلْفَ دِرْهَمٍ وَعَلَيَّ ضَمَانُهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ،

Adapun jika ia berkata kepadanya, “Pinjamkan kepada Zaid seribu dirham dan aku yang menanggungnya,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ لِأَنَّهُ ضَمَانُ مَا لَمْ يَجِبْ بَعْدُ.

Salah satunya: Tidak sah, karena itu merupakan penjaminan atas sesuatu yang belum menjadi kewajiban.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ جَائِزٌ لِأَنَّهُ ضَمَانٌ مُقْتَرِنٌ بِالْقَرْضِ فَصَحَّ اجْتِمَاعُهُمَا.

Pendapat kedua: Itu diperbolehkan karena merupakan penjaminan yang bersamaan dengan akad pinjaman, sehingga keduanya sah untuk digabungkan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا قَبَضَ رَجُلٌ أَلْفَ دِرْهَمٍ مِنْ دَيْنٍ لَهُ عَلَى رَجُلٍ، فَضَمِنَ ضَامِنٌ نَقْصَهَا فِي الْوَزْنِ، أَوْ فِي الصِّفَةِ، صَحَّ وَجَرَى هَذَا مَجْرَى ضَمَانِ الدَّرَكِ، وَخَرَجَ مِنْ بَابِ ضَمَانِ الْمَجْهُولِ وَمَا لَمْ يَجِبْ.

Adapun jika seseorang menerima seribu dirham dari piutang yang dimilikinya atas seseorang, lalu ada penjamin yang menjamin kekurangannya baik dalam timbangan maupun dalam sifatnya, maka hal itu sah dan ini berlaku seperti penjaminan darak, dan keluar dari kategori penjaminan atas sesuatu yang tidak diketahui dan yang belum menjadi kewajiban.

وَإِذَا صَحَّ أَنَّ ضَمَانَ ذَلِكَ جَائِزٌ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الضَّمَانِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ،

Dan apabila telah sah bahwa penjaminan tersebut diperbolehkan, maka keadaan penjaminan tidak lepas dari empat keadaan.

أَحَدُهَا: أَنْ يَضْمَنَ لَهُ نَقْصَ الْوَزْنِ فَعَلَيْهِ ضَمَانُهُ فَلَوِ ادَّعَى الْقَابِضُ أَنَّهَا نَقَصَتْ عَلَيْهِ مِائَةَ دِرْهَمٍ، فَإِنْ صَدَّقَهُ الدَّافِعُ وَالضَّامِنُ، كَانَ بِالْخِيَارِ فِي الرُّجُوعِ عَلَى مَنْ شَاءَ مِنَ الدَّافِعِ أَوِ الضَّامِنِ، وَإِنْ كَذَّبَاهُ جَمِيعًا كَانَ قَوْلُهُ مَقْبُولًا عَلَى الدَّافِعِ مَعَ يَمِينِهِ، لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ دَيْنِهِ مَا لَمْ يُقِرَّ بِقَبْضِهِ، فَإِذَا حَلَفَ اسْتَحَقَّ الرُّجُوعَ عَلَيْهِ بِالنَّقْصِ وَهَلْ يُقْبَلُ قَوْلُهُ عَلَى الضَّامِنِ حَتَّى يَسْتَحِقَّ الرُّجُوعَ عَلَيْهِ بِالنَّقْصِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Salah satunya: Penjamin menjamin kekurangan timbangan, maka ia wajib menanggungnya. Jika penerima mengaku bahwa terdapat kekurangan seratus dirham, lalu penyerah dan penjamin membenarkannya, maka ia bebas memilih untuk menuntut kepada siapa saja yang ia kehendaki, baik kepada penyerah maupun penjamin. Jika keduanya sama-sama mendustakannya, maka ucapannya diterima terhadap penyerah dengan sumpahnya, karena asalnya adalah utangnya masih tetap selama ia belum mengakui telah menerimanya. Maka jika ia bersumpah, ia berhak menuntut kekurangan tersebut. Apakah ucapannya diterima terhadap penjamin sehingga ia berhak menuntut kekurangan tersebut darinya atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُقْبَلُ عَلَيْهِ مَعَ يَمِينِهِ كَمَا قُبِلَ قَوْلُهُ عَلَى الدَّافِعِ، وَيَكُونُ بِالْخِيَارِ فِي الرُّجُوعِ بِالنَّقْصِ عَلَى أَيِّهِمَا شَاءَ.

Salah satunya: Diterima terhadap penjamin dengan sumpahnya sebagaimana diterima terhadap penyerah, dan ia bebas memilih untuk menuntut kekurangan kepada siapa saja di antara keduanya yang ia kehendaki.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ، أَنَّ قَوْلَهُ عَلَى الضَّامِنِ غَيْرُ مَقْبُولٍ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهِ بِالنَّقْصِ إِلَّا أَنْ يُصَدِّقَهُ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الدَّافِعِ هُوَ أَنَّ الدَّيْنَ كَانَ ثَابِتًا فِي ذِمَّةِ الدَّافِعِ وَلَمْ يَكُنْ ثَابِتًا فِي ذِمَّةِ الضَّامِنِ فَلِذَلِكَ قُبِلَ قَوْلُهُ عَلَى الدَّافِعِ، وَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ عَلَى الضَّامِنِ.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih kuat: Ucapannya terhadap penjamin tidak diterima, dan ia tidak berhak menuntut kekurangan tersebut dari penjamin kecuali jika penjamin membenarkannya. Perbedaan antara penjamin dan penyerah adalah bahwa utang itu tetap menjadi tanggungan penyerah, sedangkan tidak tetap menjadi tanggungan penjamin. Oleh karena itu, ucapannya diterima terhadap penyerah dan tidak diterima terhadap penjamin.

فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ إِذَا رَجَعَ الْقَابِضُ عَلَى الضَّامِنِ بِالنَّقْصِ فَلَيْسَ لِلضَّامِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الدَّافِعِ، وَإِنْ كَانَ ضَمَانُهُ بأمره لأنه بإكذاب القابض مقرا بِأَنَّهُ مَظْلُومٌ بِهَا، فَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَى غَيْرِ مَنْ ظَلَمَهُ.

Menurut pendapat pertama, jika penerima menuntut kekurangan kepada penjamin, maka penjamin tidak berhak menuntut kepada penyerah, meskipun penjaminan itu atas perintah penyerah, karena dengan mendustakan penerima berarti ia mengakui bahwa ia telah dizalimi dengan kekurangan itu, sehingga ia tidak berhak menuntutnya kepada selain orang yang menzalimnya.

وَلَكِنْ إِنْ أَكْذَبَهُ الدَّافِعُ وَصَدَّقَهُ الضَّامِنُ كَانَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، لِأَنَّ قَوْلَهُ عَلَى الدَّافِعِ مَقْبُولٌ وَالضَّامِنُ قَدْ صَدَّقَهُ، فَإِنْ رَجَعَ عَلَى الضَّامِنِ لَمْ يَكُنْ لِلضَّامِنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الدَّافِعِ أَيْضًا، لِإِنْكَارِ الدَّافِعِ وَالْفَرْقُ بَيْنَ أَنْ يُقْبَلَ قَوْلُ الْقَابِضِ عَلَى الدَّافِعِ وَلَا يُقْبَلَ عَلَيْهِ قَوْلُ الضَّامِنِ، إِنَّهُ بَرِيءُ الذِّمَّةِ فِي حَقِّ الضَّامِنِ، فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ عَلَيْهِ، وَمُرْتَهَنُ الذِّمَّةِ بِحَقِّ الْقَابِضِ فَقُبِلَ قَوْلُهُ عَلَيْهِ، فَهَذَا إِذَا ضَمِنَ لَهُ نَقْصَ الْوَزْنِ.

Namun, jika penyerah mendustakannya dan penjamin membenarkannya, maka penerima berhak menuntut kepada masing-masing dari keduanya, karena ucapannya diterima terhadap penyerah dan penjamin telah membenarkannya. Jika ia menuntut kepada penjamin, maka penjamin juga tidak berhak menuntut kepada penyerah, karena penyerah mengingkarinya. Perbedaan antara diterimanya ucapan penerima terhadap penyerah dan tidak diterimanya terhadap penjamin adalah bahwa penyerah telah bebas dari tanggungan dalam hak penjamin, sehingga ucapannya tidak diterima terhadapnya, sedangkan tanggungan masih tetap dalam hak penerima sehingga ucapannya diterima terhadapnya. Inilah jika penjaminan itu atas kekurangan timbangan.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَضْمَنَ لَهُ نَقْصَ الصِّفَةِ وَهُوَ أَنْ يُبَدِّلَ لَهُ مِنْهَا مَا كَانَ رَدِيئًا فِيهَا فَإِذَا رَدَّ مِنْهَا شَيْئًا ذَكَرَ أَنَّهُ كَانَ فِيهَا فَإِنْ صَدَّقَهُ الدَّافِعُ وَالضَّامِنُ كَانَ بِالْخِيَارِ فِي أَنْ يُبَدِّلَهَا مِمَّنْ شَاءَ مِنَ الدَّافِعِ وَالضَّامِنِ فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَأْخُذَ بَدَلَهَا مِنَ الدَّافِعِ كَانَ لِلدَّافِعِ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ دَفْعِ الْبَدَلِ إِلَّا بَعْدَ اسْتِرْجَاعِ الرَّدِّ الْمُبْدَلِ وَإِنْ أَرَادَ أَخْذَ بَدَلِهَا مِنَ الضَّامِنِ لَمْ يَكُنْ لِلضَّامِنِ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ دَفْعِ الْبَدَلِ لِيَسْتَرْجِعَ الرَّدَّ الْمُبْدَلَ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُهُ وَالدَّافِعُ يَمْلِكُهُ، وَقِيلَ لِلضَّامِنِ لَكَ أَنْ تَفْسَخَ الْقَضَاءَ فِي الْقَدْرِ الْمَرْدُودِ وَتَدْفَعَ إِلَيْهِ بِوَزْنِهِ جَيِّدًا وَيَكُونُ الرَّدُّ مَعَ الْقَابِضِ لِيَتَوَلَّى رَدَّهُ عَلَى الدَّافِعِ.

Keadaan kedua: yaitu apabila ia menjamin kekurangan sifat, yakni ia mengganti dari barang tersebut apa yang sebelumnya buruk pada sifatnya. Maka apabila ia mengembalikan sebagian darinya, ia menyebutkan bahwa barang itu memang ada kekurangannya. Jika pihak yang menyerahkan dan penjamin membenarkannya, maka ia berhak memilih untuk menggantinya dari siapa saja yang ia kehendaki, baik dari pihak yang menyerahkan maupun penjamin. Jika ia ingin mengambil penggantinya dari pihak yang menyerahkan, maka pihak yang menyerahkan boleh menolak untuk memberikan pengganti kecuali setelah mengambil kembali barang yang dikembalikan tersebut. Namun jika ia ingin mengambil penggantinya dari penjamin, maka penjamin tidak boleh menolak untuk memberikan pengganti dengan alasan ingin mengambil kembali barang yang dikembalikan, karena penjamin tidak memilikinya, sedangkan pihak yang menyerahkan memilikinya. Ada pula pendapat bahwa penjamin boleh membatalkan pembayaran pada bagian yang dikembalikan dan memberikan kepadanya dengan takaran yang baik, dan barang yang dikembalikan tetap berada pada penerima agar ia sendiri yang mengembalikannya kepada pihak yang menyerahkan.

فَإِنْ قَبَضَ الضَّامِنُ الرَّدِيءَ كَانَ مَضْمُونًا عَلَيْهِ لِأَنَّهُ قَبَضَ مَالَ غَيْرِهِ مِنْ غَيْرِ إِذْنٍ، وَصَارَ بِقَبْضِهِ مُتَعَدِّيًا إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهُ الدَّافِعُ فِي اسْتِرْجَاعِهِ إِذْنًا صَرِيحًا فَلَا يَضْمَنُ.

Jika penjamin menerima barang yang buruk, maka ia bertanggung jawab atasnya karena ia telah menerima harta milik orang lain tanpa izin, dan dengan penerimaannya itu ia menjadi pelaku pelanggaran, kecuali jika pihak yang menyerahkan mengizinkannya secara tegas untuk mengambil kembali barang tersebut, maka ia tidak bertanggung jawab.

فَلَوْ أَحْضَرَ الْقَابِضُ رَدِيئًا زَعَمَ أَنَّهَا كَانَتْ فِي الدَّرَاهِمِ فَكَذَّبَهُ الدَّافِعُ وَالضَّامِنُ مَعًا فَإِنْ كَانَ رَدُّهَا عَيْبًا لَا يخرجها من جنس الدراهم كالعتق والصفة الجنسية لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُ الْقَابِضِ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَإِنْ كَانَ رَدُّهَا يُخْرِجُهَا مِنْ جِنْسِ الدَّرَاهِمِ كالزائفة وَالصُّفْرِ الْمَطْلِيِّ فَقَوْلُ الْقَابِضِ مَقْبُولٌ عَلَى الدَّافِعِ كَمَا لَوِ ادَّعَى نَقْصَ الْوَزْنِ، وَهَلْ يُقْبَلُ عَلَى الضَّامِنِ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمَعِيبَ إِذَا كَانَ مِنْ جِنْسِ الْفِضَّةِ جَازَ أَنْ يَكُونَ قَبْضًا مِنَ الْفِضَّةِ فَصَارَ بِقَبْضِهِ مُسْتَوْفِيًا فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِي ادِّعَاءِ الرَّدِّ، لِأَنَّهُ يَصِيرُ مُبْتَدِئًا لِإِثْبَاتِ حَقٍّ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِذَا كَانَ الْمَعِيبُ مِنْ غَيْرِ جِنْسِ الْفِضَّةِ لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ قَبْضًا مِنَ الْفِضَّةِ فَكَانَ حَقُّهُ ثَابِتًا لَا يَسْقُطُ بِقَبْضِهِ، فَلَمْ يَصِرْ بِادِّعَاءِ الرَّدِّ مُبْتَدِئًا بِإِثْبَاتِ حَقٍّ فَهَذَا فَرْقٌ بَيْنَهُمَا.

Jika penerima membawa barang yang buruk dan mengklaim bahwa barang itu memang ada dalam dirham, lalu pihak yang menyerahkan dan penjamin sama-sama mendustakannya, maka jika pengembalian itu berupa cacat yang tidak mengeluarkannya dari jenis dirham seperti rusak atau cacat sifat, maka klaim penerima tidak diterima terhadap keduanya. Namun jika pengembalian itu mengeluarkannya dari jenis dirham seperti palsu atau tembaga yang dilapisi, maka klaim penerima diterima terhadap pihak yang menyerahkan, sebagaimana jika ia mengklaim kekurangan berat. Apakah klaim itu diterima terhadap penjamin atau tidak? Hal ini sesuai dengan dua pendapat yang telah kami sebutkan. Perbedaannya adalah, jika cacat itu masih dari jenis perak, maka boleh jadi itu adalah penerimaan dari perak, sehingga dengan penerimaannya ia dianggap telah mengambil haknya, maka klaim pengembalian tidak diterima karena ia menjadi pihak yang memulai untuk menetapkan hak. Tidak demikian halnya jika cacat itu bukan dari jenis perak, karena bisa jadi itu adalah penerimaan dari perak, sehingga haknya tetap tidak gugur dengan penerimaannya, maka dengan klaim pengembalian ia tidak dianggap memulai untuk menetapkan hak. Inilah perbedaan antara keduanya.

وَلَوْ صَدَّقَهُ الضَّامِنُ وَكَذَّبَهُ الدَّافِعُ، كَانَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِبَدَلِهَا عَلَى الضَّامِنِ وَلِلضَّامِنِ هَاهُنَا أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ دَفْعِ الْمُبْدَلِ إِلَّا بِاسْتِرْجَاعِ الرَّدِّ بِخِلَافِ مَا ذَكَرْنَا إِذَا صَدَّقَهُ، لِأَنَّ الضَّامِنَ مَعَ تَكْذِيبِ الدَّافِعِ لَا يَقْدِرُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهِ بِالْبَدَلِ، فَكَانَ لَهُ اسْتِرْجَاعُ الرَّدِّ لِيَتَوَصَّلَ بِهَا إِلَى بَعْضِ حَقِّهِ فَهَذَا الْحُكْمُ فِيهِ إِذَا ضَمِنَ نَقْصَ الصِّفَةِ.

Jika penjamin membenarkannya dan pihak yang menyerahkan mendustakannya, maka ia boleh menuntut penggantinya dari penjamin. Dalam hal ini, penjamin boleh menolak memberikan pengganti kecuali setelah mengambil kembali barang yang dikembalikan, berbeda dengan yang telah kami sebutkan jika ia membenarkannya, karena penjamin dengan pendustaan pihak yang menyerahkan tidak dapat menuntut pengganti darinya, maka ia berhak mengambil kembali barang yang dikembalikan agar dapat memperoleh sebagian haknya. Inilah hukum dalam hal ini jika penjamin menjamin kekurangan sifat.

وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَضْمَنَ لَهُ نَقْصَ الْوَزْنِ، وَنَقْصَ الصِّفَةِ، فَيَصِيرَ ضَامِنًا لَهُمَا وَيَكُونَ الْحُكْمُ فِيهِ كَمَا لَوْ ضَمِنَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى انْفِرَادِهِ، فَيَجْتَمِعَ الْحُكْمَانِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ.

Keadaan ketiga: yaitu apabila ia menjamin kekurangan berat dan kekurangan sifat, maka ia menjadi penjamin untuk keduanya, dan hukumnya seperti jika ia menjamin masing-masing secara terpisah, sehingga kedua hukum tersebut berkumpul sebagaimana yang telah kami sebutkan.

وَالْحَالَةُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَضْمَنَ لَهُ نَقْصَ الدَّرَاهِمِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَذْكُرَ نَقْصَ الْوَزْنِ، أَوْ نَقْصَ الصِّفَةِ، فَيَكُونَ ضَامِنًا لِنَقْصِ الْوَزْنِ لَا يَخْتَلِفُ، وَهَلْ يَضْمَنُ نَقْصَ الصِّفَةِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ.

Keadaan keempat: yaitu apabila ia menjamin kekurangan dirham tanpa menyebutkan kekurangan berat atau kekurangan sifat, maka ia menjadi penjamin atas kekurangan berat tanpa ada perbedaan. Apakah ia juga menjamin kekurangan sifat? Ada dua pendapat yang diriwayatkan oleh Ibn Surayj.

أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُ لِإِطْلَاقِ النَّقْصِ عَلَى الْأَمْرَيْنِ.

Salah satunya: ia menjamin karena istilah kekurangan mencakup kedua hal tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَضْمَنُ لِأَنَّ عُرْفَ النَّاسِ فِي مِثْلِهِ خَارِجٌ عَنْ نَقْصِ الْوَزْنِ دون الصفة.

Pendapat kedua: ia tidak menjamin karena kebiasaan masyarakat dalam hal seperti ini hanya mencakup kekurangan berat, tidak termasuk sifat.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ ضَمِنَ دَيْنَ مَيِّتٍ بَعْدَ مَا يَعْرِفُهُ وَيَعْرِفُ لِمَنْ هُوَ فَالضَّمَانُ لَازِمٌ تَرَكَ الْمَيِّتُ شَيْئًا أَوْ لَمْ يَتْرُكْهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menjamin utang orang yang telah meninggal setelah ia mengetahuinya dan mengetahui kepada siapa utang itu, maka jaminan itu tetap wajib, baik si mayit meninggalkan harta atau tidak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا كَانَ عَلَى الْمَيِّتِ دَيْنٌ لَمْ يَسْقُطْ بِمَوْتِهِ سَوَاءٌ مَاتَ مُوسِرًا أَوْ مُعْسِرًا، وَيَصِحُّ ضَمَانُهُ عَنْهُ بَعْدَ مَوْتِهِ سَوَاءٌ تَرَكَ وَفَاءً أَوْ لَمْ يَتْرُكْ وَقَالَ أبو حنيفة إِذَا مَاتَ مُعْسِرًا سَقَطَ عَنْهُ دَيْنُهُ وَلَمْ يَصِحَّ ضَمَانُهُ عَنْهُ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْحُقُوقَ تَثْبُتُ فِي أَحَدِ مَحَلَّيْنِ إِمَّا فِي ذِمَّةٍ أَوْ عَيْنٍ وَالْمَيِّتُ لَا ذِمَّةَ لَهُ فَيَثْبُتُ الدَّيْنُ فِيهَا وَالْمُعْسِرُ لَيْسَ لَهُ عَيْنُ مَالٍ يَتَعَلَّقُ الْحَقُّ بِهَا فَثَبَتَ أَنَّ دَيْنَ الْمَيِّتِ إِذَا كَانَ مُعْسِرًا سَاقِطٌ لِعَدَمِ مَحَلٍّ يَتَعَلَّقُ بِهِ وَدَلِيلُنَا عَلَيْهِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana ia katakan, bahwa jika si mayit memiliki utang, maka utang itu tidak gugur karena kematiannya, baik ia wafat dalam keadaan mampu maupun tidak mampu. Dan sah penjaminan (ḍamān) atas utangnya setelah kematiannya, baik ia meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi utangnya atau tidak. Abu Hanifah berpendapat: Jika ia wafat dalam keadaan tidak mampu, maka utangnya gugur darinya dan tidak sah penjaminan atas utangnya. Ia berdalil bahwa hak-hak itu hanya dapat dibebankan pada dua tempat: pada tanggungan (dzimmah) atau pada harta benda (‘ayn). Sedangkan mayit tidak lagi memiliki dzimmah sehingga utang tidak dapat dibebankan padanya, dan orang yang tidak mampu tidak memiliki harta benda yang dapat dijadikan tempat melekatnya hak tersebut. Maka, terbukti bahwa utang si mayit jika ia tidak mampu, maka gugur karena tidak ada tempat yang dapat dijadikan sandaran. Adapun dalil kami terhadap hal ini ada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ دَيْنَ الْمَيِّتِ لَا يَسْقُطُ بِإِعْسَارِهِ.

Pertama: Bahwa utang si mayit tidak gugur karena ia tidak mampu.

وَالثَّانِي: جَوَازُ ضَمَانِ دَيْنِهِ مَعَ إِعْسَارِهِ، فَأَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ دَيْنَ الْمَيِّتِ لَا يَسْقُطُ بِإِعْسَارِهِ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ ” فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ وَلِأَنَّ مَنْ أُخِذَتْ دُيُونُهُ مِنْ مَالِهِ لَمْ تَسْقُطْ عَنْهُ بِإِعْسَارِهِ كَالْحَيِّ، وَلِأَنَّ مَنْ لَزِمَهُ الدَّيْنُ إِذَا كَانَ حَيًّا لَزِمَهُ إِذَا كَانَ مَيِّتًا كَالْمُوسِرِ، وَلِأَنَّ مَوْتَ الْمُعْسِرِ مُؤَثِّرٌ فِي تَأْخِيرِ الْحَقِّ، فَلَمْ يَمْنَعْ مِنْ ثُبُوتِهِ كَإِعْسَارِ الْحَيِّ، لِأَنَّ بَرَاءَةَ الْمَضْمُونِ عَنْهُ بَرَاءَةٌ لِلضَّامِنِ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ رَجُلًا لَوْ ضَمِنَ عَنْ رَجُلٍ مَالًا ثُمَّ مَاتَ الْمَضْمُونُ عَنْهُ مُعْسِرًا لَمْ يَبْرَأِ الضَّامِنُ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْحَقَّ لَازِمٌ. لِلْمَضْمُونِ عَنْهُ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ بِمَوْتِهِ مُعْسِرًا.

Kedua: Bolehnya penjaminan utangnya meskipun ia tidak mampu. Adapun dalil bahwa utang si mayit tidak gugur karena ia tidak mampu adalah sabda Nabi ﷺ: “Jiwa seorang mukmin tergantung pada utangnya hingga utang itu dilunasi untuknya.” Maka, hadits ini bersifat umum. Dan karena orang yang utangnya diambil dari hartanya, utangnya tidak gugur karena ia tidak mampu, sebagaimana halnya orang yang masih hidup. Dan karena orang yang wajib menanggung utang ketika hidup, maka ia juga wajib menanggungnya ketika sudah meninggal, sebagaimana orang yang mampu. Dan karena kematian orang yang tidak mampu hanya berpengaruh pada penundaan pelunasan hak, tidak mencegah tetapnya hak tersebut, sebagaimana ketidakmampuan orang yang masih hidup. Karena bebasnya orang yang dijamin dari utang berarti juga membebaskan penjaminnya. Kemudian, terbukti bahwa jika seseorang menjamin utang orang lain, lalu orang yang dijamin itu meninggal dalam keadaan tidak mampu, maka penjamin tidak menjadi bebas dari tanggungannya. Hal ini menunjukkan bahwa hak tersebut tetap melekat pada orang yang dijamin, dan tidak gugur karena kematiannya dalam keadaan tidak mampu.

وَأَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ ضَمَانَ دَيْنِ الْمَيِّتِ جَائِزٌ مَعَ إعساره فما رُوِّينَا عَنْ عَلِيٍّ وَأَبِي قَتَادَةَ أَنَّهُمَا ضَمِنَا دَيْنَ مَيِّتَيْنَ امْتَنَعَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنَ الصَّلَاةِ عَلَى جَنَائِزِهِمَا لِأَنَّهُمَا لَمْ يَتْرُكَا وَفَاءً، وَلَوْ تَرَكَا وَفَاءً لَمْ يَمْتَنِعْ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيْهِمَا بَلْ قَدْ كَانَ الَّذِي ضَمِنَ علي رضي الله عنه. رجل مِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ فَلَوْ كَانَ الدَّيْنُ يَسْقُطُ عَنْهُ بِالْمَوْتِ لَمْ يَمْتَنِعْ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ، وَلِأَخْبَرَ بِإِبْطَالِ الضَّمَانِ عَنْهُمَا وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ صَحَّ ضَمَانُ دَيْنِهِ مَعَ يَسَارِهِ صَحَّ ضَمَانُ دَيْنِهِ مَعَ إِعْسَارِهِ كَالْحَيِّ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ صَحَّ ضَمَانُ دَيْنِهِ إِذَا كَانَ حَيًّا صَحَّ ضَمَانُ دَيْنِهِ إِذَا كَانَ مَيِّتًا، كَالْمُوسِرِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا لَمْ يَكُنْ شَرْطًا فِي ضَمَانِ الدَّيْنِ عَنِ الْحَيِّ لَمْ يَكُنْ شَرْطًا فِي ضَمَانِ الدَّيْنِ عَنِ الْمَيِّتِ، أَصْلُهُ وُجُودُ عَيْنِ الْمَالِ الْمَضْمُونِ، لَمَّا لَمْ يَكُنْ شَرْطًا لَمْ يَكُنِ الْيَسَارُ بِهِ شَرْطًا.

Adapun dalil bahwa penjaminan utang si mayit dibolehkan meskipun ia tidak mampu adalah riwayat dari Ali dan Abu Qatadah, bahwa keduanya pernah menjamin utang dua orang mayit yang Rasulullah ﷺ menolak untuk menshalatkan jenazah mereka karena keduanya tidak meninggalkan harta untuk melunasi utangnya. Seandainya keduanya meninggalkan harta untuk melunasi utangnya, niscaya beliau tidak akan menolak untuk menshalatkan mereka. Bahkan, orang yang dijamin oleh Ali radhiyallahu ‘anhu adalah seorang dari Ahlus Shuffah. Seandainya utang itu gugur karena kematian, niscaya beliau tidak akan menolak untuk menshalatkan mereka, dan tentu beliau akan memberitahukan batalnya penjaminan atas mereka. Dan karena setiap orang yang sah penjaminan utangnya ketika ia mampu, maka sah pula penjaminan utangnya ketika ia tidak mampu, sebagaimana orang yang masih hidup. Dan karena setiap orang yang sah penjaminan utangnya ketika ia hidup, maka sah pula penjaminan utangnya ketika ia telah meninggal, sebagaimana orang yang mampu. Dan karena segala sesuatu yang bukan merupakan syarat dalam penjaminan utang atas orang yang hidup, maka bukan pula syarat dalam penjaminan utang atas orang yang telah meninggal. Dasarnya adalah keberadaan harta benda yang dijamin; ketika hal itu bukan syarat, maka kemampuan (kekayaan) juga bukan syarat.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّهُ لَمْ يَبْقَ لِدَيْنِ الْمَيِّتِ الْمُعْسِرِ محل، فهو أنه استدلال يدفع إِجْمَاعٌ لِأَنَّهُمْ أَجْمَعُوا أَنَّ الْمَيِّتَ يَلْقَى اللَّهَ تَعَالَى يَوْمَ يَلْقَاهُ بِوُجُوبِ الدَّيْنِ عَلَيْهِ وَيَسْتَحِقُّ صَاحِبُ الدَّيْنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عِوَضًا بِهِ، وَلَوْ كَانَ قَدْ سَقَطَ لَمَا اسْتُحِقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ، وَإِذَا كَانَ الْإِجْمَاعُ عَلَى هَذَا حَاصِلًا كَانَ مَا اسْتَدَلَّ بِهِ فَاسِدًا.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa utang si mayit yang tidak mampu tidak lagi memiliki tempat sandaran, maka itu adalah dalil yang tertolak oleh ijmā‘. Karena mereka telah sepakat bahwa si mayit akan menghadap Allah Ta‘ala pada hari kiamat dengan kewajiban utang atasnya, dan pemilik utang berhak mendapatkan ganti pada hari kiamat. Seandainya utang itu telah gugur, tentu hak tersebut tidak akan didapatkan darinya. Dan jika ijmā‘ telah tetap atas hal ini, maka dalil yang mereka gunakan menjadi batal.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

لَا يَخْلُو حَالُ الدَّيْنِ الْمَضْمُونِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ حَالًّا أَوْ مُؤَجَّلًا، فَإِنْ كَانَ حَالًّا جَازَ أَنْ يَضْمَنَهُ الضَّامِنُ حَالًّا، وَجَازَ أَنْ يَضْمَنَهُ مُؤَجَّلًا فَلَا يُسْتَحَقُّ مُطَالَبَةُ الضَّامِنِ إِلَّا عِنْدَ حُلُولِ الْأَجَلِ الَّذِي ضَمِنَهُ إِلَيْهِ لِأَنَّهُ لَمْ يَدْخُلْ فِي الضَّمَانِ إِلَّا بِاشْتِرَاطِ الْأَجَلِ وَيُطَالَبُ بِهِ الْمَضْمُونُ عَنْهُ حَالًّا وَهَذَا بِخِلَافِ الْحَوَالَةِ الَّتِي لَا يَجُوزُ أَنْ تَقَعَ مُؤَجَّلَةً فِي حَالٍّ، وَلَا حَالَّةً فِي مُؤَجَّلٍ لِأَنَّ الْحَوَالَةَ تُوجِبُ تَحَوُّلَ الْحَقِّ عَلَى مِثْلِ صِفَتِهِ، وَالضَّمَانُ وَثِيقَةٌ بِالْحَقِّ عَلَى مَا عُقِدَ بِهِ.

Keadaan utang yang dijamin tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi utang itu jatuh tempo (sudah harus dibayar) atau masih ditangguhkan (belum jatuh tempo). Jika utang itu sudah jatuh tempo, maka boleh penjamin menanggungnya dengan jatuh tempo juga, dan boleh pula menanggungnya dengan penangguhan, sehingga penagihan kepada penjamin tidak dapat dilakukan kecuali setelah tiba waktu yang telah disepakati dalam penjaminan, karena penjaminan itu hanya masuk dengan syarat adanya penangguhan. Sementara penagihan kepada pihak yang dijamin tetap dapat dilakukan segera. Hal ini berbeda dengan hawālah (pengalihan utang), yang tidak boleh dilakukan secara ditangguhkan pada utang yang sudah jatuh tempo, dan tidak boleh pula dilakukan secara segera pada utang yang masih ditangguhkan, karena hawālah mensyaratkan perpindahan hak dengan sifat yang sama, sedangkan penjaminan adalah jaminan atas hak sesuai dengan akadnya.

وَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ مُؤَجَّلًا جَازَ أَنْ يَضْمَنَهُ الضَّامِنُ إِلَى أَجَلِهِ وَجَازَ أَنْ يَضْمَنَهُ حَالًّا، وَلَا يُجْبَرُ الضَّامِنُ عَلَى التَّعْجِيلِ وَإِنْ كَانَ مَشْرُوطًا فِي ضَمَانِهِ وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ يُؤْخَذُ الضَّامِنُ بِتَعْجِيلِ مَا ضَمِنَهُ لِأَجْلِ شَرْطِهِ وَهَذَا غَلَطٌ لِأَنَّ حَالَ الضَّامِنِ أَضْعَفُ مِنْ حَالِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ فَلَمَّا لَمْ يَلْزَمُ الْمَضْمُونَ عَنْهُ تَعْجِيلُ الدَّيْنِ الْمُؤَجَّلِ إِنْ أَلْزَمَهُ نَفْسَهُ فَالضَّامِنُ أَوْلَى أَلَّا يَلْزَمَهُ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ قِيلَ لِلضَّامِنِ الْأَوْلَى لَكَ أَنْ تُعَجِّلَ مَا ضَمِنْتَ. لِتَفِيَ بِشَرْطِكَ، فَإِذَا أَبَيْتَ إِلَّا الْأَجَلَ الْمُسْتَحَقَّ لَمْ تُجْبَرْ عَلَيْهِ، وَيَكُونُ اشْتِرَاطُكَ التَّعْجِيلَ زِيَادَةَ تَطَوُّعٍ مِنْكَ لَا تُلْزِمُكَ إِلَّا بِالْقَبْضِ.

Jika utang itu masih ditangguhkan, maka boleh penjamin menanggungnya sampai waktu jatuh temponya, dan boleh juga menanggungnya secara segera. Penjamin tidak dapat dipaksa untuk mempercepat pembayaran meskipun dipersyaratkan dalam penjaminannya. Abu al-‘Abbas Ibn Surayj berpendapat bahwa penjamin dapat dipaksa untuk mempercepat pembayaran karena adanya syarat tersebut, namun pendapat ini keliru, karena posisi penjamin lebih lemah dibandingkan pihak yang dijamin. Jika pihak yang dijamin saja tidak diwajibkan mempercepat pembayaran utang yang masih ditangguhkan meskipun ia bersedia, maka penjamin lebih utama untuk tidak diwajibkan mempercepatnya. Oleh karena itu, dikatakan kepada penjamin: “Sebaiknya engkau mempercepat pembayaran yang engkau jamin agar memenuhi syaratmu, namun jika engkau menolak kecuali menunggu sampai waktu jatuh tempo yang telah ditentukan, maka engkau tidak dipaksa untuk itu.” Maka, persyaratanmu untuk mempercepat pembayaran hanyalah tambahan kerelaan darimu yang tidak mewajibkanmu kecuali jika sudah diterima.

فَلَوْ أَطْلَقَ الضَّامِنُ تَعْجِيلَ مَا ضَمِنَهُ أَوْ تَأْجِيلَهُ لَزِمَهُ الضَّمَانُ عَلَى صِفَةِ الدَّيْنِ فِي الْحُلُولِ وَالْأَجَلِ، فَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ حَالًّا لَزِمَهُ ضَمَانُهُ حَالًّا وَإِنْ كَانَ مُؤَجَّلًا لَزِمَهُ ضَمَانُهُ مُؤَجَّلًا. فَلَوْ كَانَ الدَّيْنُ مُؤَجَّلًا فَضَمِنَهُ إِلَى أَجَلِهِ أَوْ أَطْلَقَ فَلَزِمَهُ الضَّمَانُ إِلَى أَجَلِهِ ثُمَّ مَاتَ مَنْ عَلَيْهِ الْأَجَلُ حَلَّ دَيْنُهُ بِمَوْتِهِ، لِأَنَّ الدُّيُونَ الْمُؤَجَّلَةَ تَحِلُّ بِالْمَوْتِ عِنْدَ كَافَّةِ الفقهاء إلا طاووس وَالزُّهْرِيَّ لِمَا نَذْكُرُهُ فِي مَوْضِعِهِ.

Jika penjamin secara mutlak menyatakan mempercepat atau menangguhkan pembayaran yang dijaminnya, maka penjaminan berlaku sesuai dengan sifat utang dalam hal jatuh tempo dan penangguhannya. Jika utang itu sudah jatuh tempo, maka penjaminan berlaku secara segera. Jika utang itu masih ditangguhkan, maka penjaminan berlaku secara ditangguhkan. Jika utang itu masih ditangguhkan lalu penjamin menanggungnya sampai waktu jatuh temponya atau secara mutlak, maka penjaminan berlaku sampai waktu jatuh temponya. Kemudian jika orang yang memiliki utang itu meninggal dunia, maka utangnya menjadi jatuh tempo karena kematian, sebab seluruh fuqahā’ (ahli fiqh) berpendapat bahwa utang yang masih ditangguhkan menjadi jatuh tempo dengan kematian, kecuali Ṭāwūs dan al-Zuhrī, sebagaimana akan dijelaskan pada tempatnya.

وَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ عَلَى الْمَضْمُونِ عَنْهُ بِمَوْتِهِ كَانَ عَلَى الضَّامِنِ إِلَى أَجَلِهِ لَا يَحِلُّ عَلَيْهِ بِحُلُولِهِ عَلَى الْمَضْمُونِ عَنْهُ، وَلِلْمَضْمُونِ لَهُ مُطَالَبَةُ الضَّامِنِ عِنْدَ حُلُولِ أَجَلِهِ وَمُطَالَبَةِ وَرَثَةِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ حَالًّا مِنْ تَرَكْتِهِ فَلَوْ مَاتَ الضَّامِنُ حَلَّ مَا عَلَيْهِ وَكَانَ لِلْمَضْمُونِ لَهُ أَنْ يَتَعَجَّلَ أخذه من تركته وهو على المضمون عنه إِلَى أَجَلِهِ فَلَوْ تَعَجَّلَ الْمَضْمُونَ لَهُ ذَلِكَ مِنْ تَرِكَتِهِ الضَّامِنِ، لَمْ يَكُنْ لِوَرَثَتِهِ أَنْ يَرْجِعُوا بِهِ عَلَى الْمَضْمُونِ عَنْهُ إِلَّا عِنْدَ حُلُولِ الْأَجَلِ، لِأَنَّ إِذْنَهُ فِي الضَّمَانِ إِنَّمَا كَانَ عَلَى شَرْطِ أَلَّا يَرْجِعَ بِهِ إِلَّا عِنْدَ حُلُولِ الْأَجَلِ.

Jika utang menjadi jatuh tempo atas pihak yang dijamin karena kematiannya, maka atas penjamin tetap sampai waktu jatuh temponya, tidak menjadi jatuh tempo dengan jatuh temponya atas pihak yang dijamin. Pihak yang berhak (kreditur) dapat menagih penjamin ketika tiba waktu jatuh temponya, dan dapat menagih ahli waris pihak yang dijamin secara segera dari harta peninggalannya. Jika penjamin meninggal dunia, maka utang yang menjadi tanggungannya menjadi jatuh tempo, dan pihak yang berhak dapat segera mengambilnya dari harta peninggalan penjamin, sedangkan atas pihak yang dijamin tetap sampai waktu jatuh temponya. Jika pihak yang berhak telah mengambilnya dari harta peninggalan penjamin, maka ahli waris penjamin tidak dapat menuntut kembali kepada pihak yang dijamin kecuali setelah tiba waktu jatuh temponya, karena izin dalam penjaminan itu hanya berlaku dengan syarat bahwa penuntutan kembali hanya dapat dilakukan setelah tiba waktu jatuh tempo.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

لَا يَخْلُو حَالُ الْآجَالِ الَّتِي انْعَقَدَ الضَّمَانُ إِلَيْهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Keadaan waktu jatuh tempo yang menjadi dasar akad penjaminan tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: مَا تَعَيَّنَ وَقْتُهَا وَلَمْ يَخْتَلِفْ، كَشُهُورِ الْأَهِلَّةِ وَالسِّنِينَ الْهِلَالِيَّةِ فَالضَّمَانُ إِلَيْهَا جَائِزٌ، وَكَذَلِكَ تَأْجِيلُ الْأَثْمَانِ إِلَيْهَا.

Pertama: Waktu yang telah ditentukan dan tidak berubah, seperti bulan-bulan hijriyah dan tahun-tahun hijriyah, maka penjaminan sampai waktu tersebut hukumnya boleh, demikian pula penangguhan pembayaran harga sampai waktu tersebut.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَا عُرِفَتْ جُمْلَتُهَا وَلَمْ يَتَعَيَّنْ وَقْتُهَا، كَالنَّيْرُوزِ وَالْمَهْرَجَانِ وَفِصْحِ النَّصَارَى فَتَأْجِيلُ الْأَثْمَانِ إِلَيْهِ لَا يَجُوزُ.

Bagian kedua: Waktu yang diketahui secara umum namun tidak ditentukan secara pasti, seperti perayaan Nairuz, Mahrajan, dan Paskah Nasrani, maka penangguhan pembayaran harga sampai waktu tersebut tidak diperbolehkan.

وَفِي جَوَازِ تَأْجِيلِ الضَّمَانِ إِلَيْهِ قَوْلَانِ، حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ.

Dalam hal kebolehan menangguhkan penjaminan sampai waktu tersebut terdapat dua pendapat, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Surayj.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَا جُهِلَ وَقْتُهَا وَلَمْ يُعْرَفْ جُمْلَتُهَا كَمَجِيءِ الْمَطَرِ وَهُجُومِ الْبَرْدِ وَخُرُوجِ الْحَاجِّ وَقُدُومِ الْغُزَاةِ، فَلَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ هَذَا كُلُّهُ أَجَلًا فِي الْأَثْمَانِ وَلَا فِي الضَّمَانِ، فَإِنْ شُرِطَ فِي الْأَثْمَانِ بَطَلَ العقد وإن شرط في الضمان ففي بطلانه قَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الضَّمَانِ إِذَا شُرِطَ فِيهِ خِيَارُ الثَّلَاثِ بَطَلَ الْخِيَارُ وَفِي بُطْلَانِ الضَّمَانِ قَوْلَانِ.

Bagian ketiga: Yaitu sesuatu yang waktu terjadinya tidak diketahui dan keseluruhannya pun tidak diketahui, seperti turunnya hujan, datangnya cuaca dingin, keberangkatan jamaah haji, dan kedatangan pasukan perang. Maka, semua ini tidak sah dijadikan sebagai tenggat waktu (ajal) dalam pembayaran harga (atsman) maupun dalam penjaminan (dhaman). Jika disyaratkan dalam pembayaran harga, maka akadnya batal. Jika disyaratkan dalam penjaminan, maka ada dua pendapat mengenai batal atau tidaknya, yang dibangun di atas perbedaan dua pendapat dalam masalah penjaminan apabila disyaratkan di dalamnya adanya pilihan tiga hari (khiyar ats-tsalatsah): pilihan tersebut batal, dan dalam batalnya penjaminan terdapat dua pendapat.

وَأَمَّا الْأَجَلُ إِلَى الْحَصَادِ وَالدِّيَاسِ وَالْجُزَازِ فَضَرْبَانِ:

Adapun tenggat waktu sampai panen, pengirikan, dan pencukuran bulu domba, maka ada dua jenis:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُرَادَ بِهِ فِعْلُ الْآدَمِيِّينَ لَهُ فَبَاطِلٌ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَجَلًا فِي الْأَثْمَانِ وَلَا فِي الضَّمَانِ، كَالْعَطَاءِ وَخُرُوجِ الْحَاجِّ.

Pertama: Jika yang dimaksud adalah perbuatan manusia terhadapnya, maka batal dan tidak boleh dijadikan tenggat waktu dalam pembayaran harga maupun dalam penjaminan, seperti pemberian dan keberangkatan jamaah haji.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُرَادَ زَمَانُهُ الَّذِي يَصْلُحُ فِيهِ قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ فَهَذَا مِنَ الْقِسْمِ الَّذِي عُرِفَتْ جُمْلَتُهُ وَلَمْ يَتَعَيَّنْ وَقْتُهُ وَلَا يَصِحُّ تَأْجِيلُ الْأَثْمَانِ إِلَيْهِ وَفِي جَوَازِ تَأْجِيلِ الضَّمَانِ إِلَيْهِ قَوْلَانِ والله أعلم بالصواب.

Jenis kedua: Jika yang dimaksud adalah waktu terjadinya yang memang layak untuk itu. Abu al-‘Abbas berkata: Ini termasuk bagian yang diketahui keseluruhannya namun waktunya tidak ditentukan, sehingga tidak sah menangguhkan pembayaran harga sampai waktu tersebut. Adapun dalam penangguhan penjaminan sampai waktu tersebut, terdapat dua pendapat. Allah lebih mengetahui mana yang benar.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا تَجُوزُ كَفَالَةُ الْعَبْدِ الْمَأْذُونِ لَهُ بِالتَّجَارَةِ لِأَنَّ هَذَا اسْتِهْلَاكٌ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Tidak sah penjaminan (kafalah) budak yang diizinkan berdagang, karena hal itu merupakan tindakan menghabiskan (harta).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ ضَمَانَ الْعَبْدِ وَالضَّمَانَ عَنْهُ يَنْقَسِمُ إِلَى خَمْسَةِ فُصُولٍ، فَالْفَصْلُ الْأَوَّلُ وَهُوَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ أَنْ يَضْمَنَ الْعَبْدُ عَنْ رَجُلٍ أَجْنَبِيٍّ مَالًا لِرَجُلٍ أَجْنَبِيٍّ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْعَبْدِ مِنْ أَنْ يَكُونَ مَأْذُونًا لَهُ فِي التِّجَارَةِ أَوْ غَيْرَ مَأْذُونٍ لَهُ فِي التِّجَارَةِ.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa penjaminan budak dan penjaminan atasnya terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, yaitu masalah dalam kitab ini, adalah jika budak menjamin harta milik orang lain untuk orang lain. Maka, keadaan budak tidak lepas dari dua kemungkinan: diizinkan berdagang atau tidak diizinkan berdagang.

فَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَأْذُونٍ لَهُ فَلَا يَخْلُو ضَمَانُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ بِإِذْنِ سَيِّدِهِ أَوْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَإِنْ ضَمِنَ بِإِذْنِ سَيِّدِهِ صَحَّ ضَمَانُهُ، وَكَانَ فِي ذِمَّتِهِ يُؤَدِّيهِ بَعْدَ عِتْقِهِ – وَقَالَ أَبُو عَلِيٍّ الطَّبَرِيُّ فِي إِفْصَاحِهِ إِنَّ ضَمَانَهُ إِذَا كَانَ عَنْ إِذْنِ السَّيِّدِ فِي كَسْبِهِ كَمَا لَوْ أَذِنَ لَهُ السَّيِّدُ فِي التَّزْوِيجِ كَانَ الْمَهْرُ وَالنَّفَقَةُ فِي كَسْبِهِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ إِذْنَ السَّيِّدِ لَهُ بِالضَّمَانِ إِنَّمَا هُوَ إِذْنٌ بِالْمُعَامَلَةِ فَصَارَ كَمَا لَوْ أَذِنَ لَهُ بِالْمُبَايَعَةِ، ثُمَّ لَوِ ابْتَاعَ الْعَبْدُ مَالًا بِإِذْنِ سَيِّدِهِ كَانَ الثَّمَنُ فِي ذِمَّتِهِ دُونَ كَسْبِهِ، وَإِنْ كَانَ عَنْ إِذْنِ سَيِّدِهِ فَكَذَا الضَّمَانُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِذْنُهُ بِالتَّزْوِيجِ، لِأَنَّهُ اسْتِمْتَاعٌ لَا يَحْصُلُ لَهُ إِلَّا بِالْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ فَيَتَعَلَّقُ ذَلِكَ بِالْكَسْبِ.

Jika tidak diizinkan, maka penjaminannya tidak lepas dari dua kemungkinan: dengan izin tuannya atau tanpa izin tuannya. Jika ia menjamin dengan izin tuannya, maka penjaminannya sah dan menjadi tanggungannya yang harus ia tunaikan setelah ia merdeka. Abu ‘Ali ath-Thabari dalam karyanya al-Ifshah berkata: Penjaminannya, jika dengan izin tuan dalam penghasilannya, seperti halnya jika tuan mengizinkannya menikah, maka mahar dan nafkah menjadi tanggungan penghasilannya. Namun, ini tidak benar, karena izin tuan untuk penjaminan hanyalah izin untuk bermuamalah, sehingga sama seperti jika tuan mengizinkannya berjual beli. Jika budak membeli harta dengan izin tuannya, maka harga menjadi tanggungannya, bukan dari penghasilannya. Demikian pula penjaminan jika dengan izin tuan, dan tidak sama dengan izin menikah, karena menikah adalah kenikmatan yang tidak didapat kecuali dengan mahar dan nafkah, sehingga itu terkait dengan penghasilan.

وَإِنْ كَانَ ضَمَانُ الْعَبْدِ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ فَفِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ:

Jika penjaminan budak dilakukan tanpa izin tuannya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: هُوَ مَحْكِيٌّ عَنِ ابْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ أَنَّ ضَمَانَهُ بَاطِلٌ لِأَنَّ الضَّمَانَ عَقْدٌ فَبَطَلَ بِغَيْرِ إِذْنِ السيد كالبيع.

Pertama: Diriwayatkan dari Ibn Surayj dan Abu Sa‘id al-Istakhri bahwa penjaminannya batal, karena penjaminan adalah akad, sehingga batal tanpa izin tuan, seperti jual beli.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ ضَمَانَهُ صَحِيحٌ، وَيَتَعَلَّقُ الضَّمَانُ بِذِمَّتِهِ يُؤَدِّيهِ بَعْدَ عِتْقِهِ وَجْهًا وَاحِدًا لِأَنَّ إِذْنَ السَّيِّدِ يُعْتَبَرُ فِيمَا يَلْحَقُهُ ضَرَرٌ فِيهِ، وَمَا تَعَلَّقَ بِذِمَّتِهِ مِنَ الضَّمَانِ لَا يَدْخُلُ عَلَى السَّيِّدِ فِيهِ ضَرَرٌ فَجَازَ.

Pendapat kedua: Yaitu pendapat Ibn Abi Hurairah, bahwa penjaminannya sah dan penjaminan itu menjadi tanggungannya yang harus ia tunaikan setelah ia merdeka, menurut satu pendapat. Karena izin tuan dipertimbangkan dalam hal yang menimbulkan kerugian baginya, sedangkan penjaminan yang menjadi tanggungan budak tidak menimbulkan kerugian bagi tuan, maka itu diperbolehkan.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

وَإِذَا كَانَ الْعَبْدُ مَأْذُونًا لَهُ فِي التِّجَارَةِ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَضْمَنَ فِي ذِمَّتِهِ أَوْ فِي مَالِ التِّجَارَةِ فَإِنْ ضَمِنَ فِي ذِمَّتِهِ كَانَ عَلَى مَا مَضَى إِنْ كَانَ بِإِذْنِ السَّيِّدِ صَحَّ، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika budak diizinkan berdagang, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: ia menjamin dengan tanggungannya sendiri atau dengan harta perdagangan. Jika ia menjamin dengan tanggungannya sendiri, maka hukumnya seperti yang telah lalu: jika dengan izin tuan, maka sah; jika tanpa izin tuan, maka ada dua pendapat.

وَإِنْ ضَمِنَ فِي مَالِ التِّجَارَةِ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ بِإِذْنِ السَّيِّدِ أَوْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَضَمَانُهُ بَاطِلٌ لَا يَخْتَلِفُ، لِأَنَّ مَا بِيَدِهِ مَرْصَدٌ لِلرِّبْحِ وَالزِّيَادَةِ وَهَذَا اسْتِهْلَاكٌ.

Jika ia menjamin dengan harta perdagangan, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: dengan izin tuan atau tanpa izin tuan. Jika tanpa izin tuan, maka penjaminannya batal secara ijma‘, karena harta yang ada padanya diperuntukkan untuk memperoleh keuntungan dan pertambahan, sedangkan penjaminan adalah tindakan menghabiskan (harta).

وَإِنْ ضَمِنَ فِي مَالِ التِّجَارَةِ بِإِذْنِ سَيِّدِهِ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ عَلَيْهِ دَيْنٌ فِيمَا بِيَدِهِ أَوْ لَا دَيْنَ عَلَيْهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ صَحَّ ضَمَانُهُ، وَيُؤَدِّي مَا بِيَدِهِ فِيهِ فَإِنْ وَفَّى بِضَمَانِهِ، وَإِلَّا كَانَ الْبَاقِي مِنْهُ فِي الْمُسْتَقْبَلِ مِنْ كَسْبِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكْتَسِبْ حَتَّى عَتَقَ أَدَّاهُ بَعْدَ عِتْقِهِ.

Jika seorang budak menjamin (utang) dalam harta dagang dengan izin tuannya, maka tidak lepas dari dua keadaan: apakah ia memiliki utang atas apa yang ada di tangannya atau tidak. Jika ia tidak memiliki utang, maka jaminannya sah, dan ia membayar dari apa yang ada di tangannya tersebut. Jika ia telah melunasi jaminannya, maka selesai; namun jika belum, maka sisanya di masa mendatang diambil dari hasil usahanya. Jika ia tidak memperoleh penghasilan hingga ia merdeka, maka ia membayarnya setelah ia merdeka.

فَإِنْ قِيلَ فَالْحُرُّ إِنْ ضَمِنَ مَالًا عَيَّنَهُ بِيَدِهِ مَا حُكْمُهُ؟ قُلْنَا يَكُونُ الضَّمَانُ بَاطِلًا لأن الضمان مِنْ شَرْطِ صِحَّتِهِ أَنْ يَكُونَ ثَابِتًا فِي مَحَلٍّ يُؤْمَنُ تَلَفُهُ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْعَبْدِ أَنَّ التَّعْيِينَ فِيمَا بِيَدِ الْعَبْدِ إِنَّمَا يُصْرَفُ إِلَى الْأَدَاءِ دُونَ الضَّمَانِ، لِأَنَّ الضَّمَانَ مُتَعَلِّقٌ بِذِمَّتِهِ فَصَحَّ وَالتَّعْيِينَ فِي الْحُرِّ انْصَرَفَ إِلَى الضَّمَانِ فَبَطَلَ. وَإِنْ كَانَ عَلَى الْعَبْدِ دَيْنٌ فِيمَا بِيَدِهِ مِنْ مَالِ التِّجَارَةِ فَهَلْ يَصِيرُ الْعَبْدُ مَحْجُورًا عَلَيْهِ فِي الْمَالِ الَّذِي بِيَدِهِ لِأَجْلِ دُيُونِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ.

Jika ada yang bertanya: “Bagaimana hukum orang merdeka yang menjamin harta tertentu yang ada di tangannya?” Kami katakan: Jaminannya batal, karena syarat sahnya jaminan adalah harus tetap (ada) pada objek yang aman dari kerusakan. Perbedaan antara ini dan budak adalah bahwa penentuan (harta) pada apa yang ada di tangan budak hanya diarahkan untuk pembayaran, bukan untuk jaminan, karena jaminan terkait dengan tanggungan (dzimmah)-nya, sehingga sah. Sedangkan penentuan pada orang merdeka diarahkan untuk jaminan, sehingga batal. Jika budak memiliki utang atas harta dagang yang ada di tangannya, apakah budak tersebut menjadi dilarang (mahjur) dalam harta yang ada di tangannya karena utangnya atau tidak? Ada dua pendapat yang dinukil oleh Ibnu Surayj.

أَحَدُهُمَا: لَا حَجْرَ عَلَيْهِ فِيمَا بِيَدِهِ إِلَّا لِسَيِّدِهِ لِكَوْنِ ذَلِكَ عَلَى مِلْكِهِ وَهُوَ فِي حَقِّ مَنْ سِوَى السَّيِّدِ كَالْحُرِّ يَجُوزُ تَصَرُّفُهُ مَا لَمْ يُحْجَرْ عَلَيْهِ بِالْفَلَسِ فَعَلَى هَذَا يَصِحُّ ضَمَانُهُ وَلَوْ كَانَ السَّيِّدُ أَذِنَ لَهُ فِي هِبَةِ الْمَالِ صَحَّتْ هِبَتُهُ، لِأَنَّ إِذْنَ السَّيِّدِ يَدْفَعُ حَجْرَهُ وَلَيْسَ عَلَيْهِ لِمَنْ سِوَاهُ حَجْرٌ.

Salah satunya: Tidak ada larangan atasnya dalam harta yang ada di tangannya kecuali oleh tuannya, karena harta itu milik tuannya. Adapun terhadap selain tuannya, ia seperti orang merdeka, boleh melakukan transaksi selama belum dilarang karena bangkrut. Berdasarkan pendapat ini, jaminannya sah, dan jika tuan mengizinkannya untuk memberikan harta itu sebagai hibah, maka hibahnya sah, karena izin tuan menghilangkan larangan atasnya, dan tidak ada larangan dari selain tuannya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ الْعَبْدَ مَحْجُورٌ عَلَيْهِ فِيمَا بِيَدِهِ بِدَيْنِ غُرَمَائِهِ كَمَا كَانَ مَحْجُورًا عَلَيْهِ فِي حَقِّ سَيِّدِهِ لِأَنَّ الْعَبْدَ يُعَامَلُ بِمَا فِي يَدِهِ لِضَعْفِ ذِمَّتِهِ، بِخِلَافِ الْحَجْرِ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَفْعَلَ مَا يُدْخِلُ الضَّرَرَ عَلَى غُرَمَائِهِ، بِهِبَةٍ وَلَا غَيْرِهَا، وَإِنْ كَانَ عَنْ إِذْنِ سَيِّدِهِ فَعَلَى هَذَا فِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ.

Pendapat kedua: Budak itu dilarang (mahjur) dalam harta yang ada di tangannya karena utang para krediturnya, sebagaimana ia dilarang dalam hak tuannya. Karena budak diperlakukan dalam harta yang ada di tangannya karena lemahnya tanggungan (dzimmah)-nya, berbeda dengan larangan (hajr). Ia tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan para krediturnya, baik dengan hibah maupun selainnya, meskipun dengan izin tuannya. Berdasarkan pendapat ini, dalam jaminannya terdapat dua wajah (pendapat).

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ لِأَنَّهُ صَرَفَهُ إِلَى جِهَةٍ لَمْ يَثْبُتْ فِيهَا.

Salah satunya: Batal, karena diarahkan kepada sesuatu yang belum tetap (belum pasti).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ ضَمَانَهُ جَائِزٌ لِأَنَّ الضَّمَانَ لَا يَتَعَيَّنُ فِي الْمَالِ وَإِنَّمَا يَتَعَيَّنُ فِيهِ الْأَدَاءُ فَعَلَى هَذَا فِيهِ وَجْهَانِ.

Wajah kedua: Jaminannya boleh, karena jaminan tidak ditetapkan pada harta, melainkan hanya pada pembayaran. Berdasarkan ini, terdapat dua wajah (pendapat).

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَكُونُ فِيمَا اكْتَسَبَهُ بَعْدَ الضَّمَانِ، وَفِيمَا فَضَلَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنَ الْمَالِ الَّذِي كَانَ بِيَدِهِ قَبْلَ الضَّمَانِ.

Salah satunya: Bahwa (pembayaran) diambil dari apa yang ia peroleh setelah jaminan, dan dari sisa harta yang ada di tangannya sebelum jaminan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَكُونَ فِي ذِمَّتِهِ يُؤَدِّيهِ بَعْدَ عِتْقِهِ.

Wajah kedua: Bahwa (pembayaran) menjadi tanggungan (dzimmah)-nya dan ia membayarnya setelah ia merdeka.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالْفَصْلُ الثَّانِي هُوَ أَنْ يُضَمِنَ الْعَبْدُ مَالًا عَنْ سَيِّدِهِ لِأَجْنَبِيٍّ، فَيَصِحُّ ضَمَانُهُ إِذَا كَانَ بِأَمْرِ سَيِّدِهِ لِأَنَّ الْعَبْدَ قَدْ يَلْزَمُهُ دَيْنُهُ كَالْحُرِّ، فَصَارَ ضَمَانُهُ عَنْ سَيِّدِهِ كَضَمَانِ غَيْرِهِ وَلَيْسَ لِلسَّيِّدِ أَنْ يُجْبِرَ عَبْدَهُ عَلَى الضَّمَانِ عَنْهُ لِأَنَّ الضَّمَانَ عَقْدٌ لَا يَصِحُّ مَعَ الْإِجْبَارِ فَإِذَا أَدَّى الْعَبْدُ عَنْ سَيِّدِهِ مَالَ ضَمَانِهِ فِي حَالِ رِقِّهِ لَمْ يُسْتَحَقَّ عَلَى سَيِّدِهِ الرُّجُوعُ بِهِ، لِأَنَّ مَا بِيَدِ الْعَبْدِ مِلْكٌ لِسَيِّدِهِ فَلَمْ يَصِحَّ أَنْ يَجِبَ لَهُ فِي ذِمَّةِ سَيِّدِهِ مَالٌ، وَإِنْ أَدَّاهُ عَنِ السَّيِّدِ بَعْدَ عِتْقِهِ فَفِي رُجُوعِهِ بِذَلِكَ عَلَى سَيِّدِهِ وَجْهَانِ:

Fasal kedua adalah jika budak menjamin harta milik tuannya untuk orang lain (ajnad), maka jaminannya sah jika atas perintah tuannya, karena budak kadang-kadang wajib menanggung utangnya seperti orang merdeka. Maka jaminannya atas nama tuannya seperti jaminan atas nama selainnya. Tuannya tidak boleh memaksa budaknya untuk menjamin atas namanya, karena jaminan adalah akad yang tidak sah dengan paksaan. Jika budak membayar harta jaminan atas nama tuannya saat ia masih berstatus budak, maka tuannya tidak berhak menuntut kembali harta tersebut, karena apa yang ada di tangan budak adalah milik tuannya, sehingga tidak sah jika menjadi kewajiban harta bagi tuannya. Jika ia membayarnya atas nama tuannya setelah ia merdeka, maka dalam hal haknya menuntut kembali kepada tuannya terdapat dua wajah (pendapat):

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ لَهُ الرُّجُوعُ عَلَى سَيِّدِهِ بِمَا أَدَّى عَنْهُ بَعْدَ عِتْقِهِ، لِأَنَّهُ أَدَّاهُ فِي حَالٍ يَصِحُّ أَنْ يَثْبُتَ لَهُ فِي ذِمَّةِ سَيِّدِهِ دَيْنٌ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas: Ia berhak menuntut kembali kepada tuannya atas apa yang ia bayarkan setelah ia merdeka, karena ia membayarnya dalam keadaan yang sah untuk menjadi utang di tanggungan (dzimmah) tuannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: قَالَهُ أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ فِي جَامِعِهِ لَا رُجُوعَ لَهُ بِذَلِكَ عَلَى سَيِّدِهِ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ ضِمْنَهُ عَنْهُ فِي حَالٍ لَا يَثْبُتُ لَهُ حَقٌّ فِي ذِمَّةِ سَيِّدِهِ، فَاعْتَبَرَ أَبُو حَامِدٍ حَالَ الضَّمَانِ وَأَبُو الْعَبَّاسِ حَالَ الْأَدَاءِ.

Pendapat kedua: Dikatakan oleh Abu Hamid al-Marwazi dalam kitab Jāmi‘-nya, bahwa tidak ada hak untuk kembali kepada tuannya dalam hal itu, karena hal tersebut telah termasuk dalam jaminan darinya pada keadaan di mana tidak tetap hak apa pun bagi tuannya dalam tanggungan budaknya. Maka Abu Hamid mempertimbangkan keadaan saat penjaminan, sedangkan Abu al-‘Abbas mempertimbangkan keadaan saat pelunasan.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَالْفَصْلُ الثَّالِثُ هُوَ أَنْ يَضْمَنَ الْعَبْدُ مَالًا لِسَيِّدِهِ عَنْ أَجْنَبِيٍّ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ ضَمَانَهُ بَاطِلٌ لِأَنَّ السَّيِّدَ لَا يَثْبُتُ لَهُ عَلَى عَبْدِهِ مَالٌ وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ ضَمَانُهُ لِسَيِّدِهِ جَائِزٌ لِأَنَّ السَّيِّدَ إِنَّمَا لَا يَصِحُّ أَنْ يَثْبُتَ لَهُ فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ مَالٌ، لِأَنَّهُ يَمْلِكُ الرَّقَبَةَ، وَيَصِحُّ أَنْ يَثْبُتَ لَهُ فِي ذِمَّتِهِ مَالٌ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ الذِّمَّةَ ثُمَّ لَا يَكُونُ لِلسَّيِّدِ أَنْ يُطَالِبَ عَبْدَهُ بِالضَّمَانِ إِلَّا بَعْدَ عِتْقِهِ فَإِنْ كَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ يَقُولُ فِي مُبَايَعَةِ السَّيِّدِ لِعَبْدِهِ مِثْلَ مَا يَقُولُ فِي الضَّمَانِ، فَقَدْ جَرَى عَلَى الْقِيَاسِ وَكَانَ لِقَوْلِهِ وَجْهٌ وَإِنْ كَانَ يَمْنَعُ مِنْ مُبَايَعَتِهِ، فَقَدْ نَاقَضَ وَفَسَدَ مَذْهَبُهُ، وَلَسْتُ أَعْرِفُ عَنْهُ فِي الْبَيْعِ نَصًّا إِلَّا مَا حُكِيَ عَنْهُ، مِنْ تَجْوِيزِهِ بَيْعَ السَّيِّدِ عَبْدَهُ عَلَى نَفْسِهِ، فَيَصِيرُ الْعَبْدُ بِابْتِيَاعِ نَفْسِهِ حُرًّا، وَيُؤَدِّي عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ عِتْقِهِ، وَمَنَعَ غَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا مِنْ بَيْعِ السَّيِّدِ عَبْدَهُ عَلَى نَفْسِهِ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَبِيعَ عَلَيْهِ غَيْرَ نَفْسِهِ فَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ أَبُو الْعَبَّاسِ تَرَكَ الْقِيَاسَ وَتَخَيَّرَ الْأَمْرَيْنِ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يُفَرِّقَ بينهما بأن بيع نفسه عليه مفضي إِلَى عِتْقِهِ فَجَازِ، وَبَيْعَ غَيْرِ نَفْسِهِ عَلَيْهِ لَا يُفْضِي إِلَى عِتْقِهِ فَلَمْ يَجُزْ لِفَقْدِ مَزِيَّةِ الْعِتْقِ.

Pasal ketiga adalah apabila seorang budak menjamin harta untuk tuannya dari orang lain (pihak ketiga). Menurut mazhab al-Syafi‘i, penjaminan tersebut batal karena tuan tidak dapat memiliki harta atas budaknya. Abu al-‘Abbas berpendapat penjaminan budak untuk tuannya itu sah, karena yang tidak sah bagi tuan adalah menetapkan harta atas diri (fisik) budaknya, sebab ia memiliki diri budak tersebut. Namun, sah bagi tuan untuk menetapkan harta dalam tanggungan (dzimmah) budaknya, karena ia tidak memiliki dzimmah budaknya. Kemudian, tuan tidak boleh menuntut budaknya atas penjaminan itu kecuali setelah budak tersebut merdeka. Jika Abu al-‘Abbas berpendapat dalam jual beli tuan dengan budaknya seperti pendapatnya dalam penjaminan, maka itu sesuai dengan qiyās dan pendapatnya memiliki dasar. Namun, jika ia melarang jual beli tersebut, maka pendapatnya bertentangan dan menjadi rusak. Aku tidak mengetahui darinya dalam masalah jual beli kecuali apa yang dinukil darinya, yaitu membolehkan tuan menjual budaknya kepada dirinya sendiri, sehingga budak itu menjadi merdeka dengan membeli dirinya sendiri, dan ia membayar (harga dirinya) setelah merdeka. Adapun selainnya dari kalangan ulama kami melarang tuan menjual budaknya kepada dirinya sendiri, sebagaimana tidak boleh menjual kepada selain dirinya. Maka dimungkinkan Abu al-‘Abbas meninggalkan qiyās dan memilih salah satu dari dua perkara itu, dan dimungkinkan pula ia membedakan antara keduanya, bahwa jual beli budak kepada dirinya sendiri berujung pada kemerdekaannya sehingga dibolehkan, sedangkan jual beli selain dirinya kepada dirinya sendiri tidak berujung pada kemerdekaan sehingga tidak dibolehkan karena hilangnya keutamaan kemerdekaan.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَالْفَصْلُ الرَّابِعُ وَهُوَ أَنْ يَضْمَنَ السَّيِّدُ عَنْ عَبْدِهِ مَالًا لِأَجْنَبِيٍّ فَيَجُوزُ ضَمَانُهُ عَنْهُ لِأَنَّ الْعَبْدَ قَدْ يَلْزَمُهُ الدَّيْنُ كما لزم الحر والعبد لَا يَلْزَمُهُ دَيْنُ عَبْدِهِ فَجَازَ أَنْ يَلْتَزِمَهُ بضمانه فَإِنْ أَدَّاهُ السَّيِّدُ عَنْ عَبْدِهِ قَبْلَ عِتْقِهِ لَمْ يَرْجِعْ بِهِ عَلَيْهِ وَإِنْ أَدَّاهُ بَعْدَ عِتْقِهِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Pasal keempat adalah apabila tuan menjamin harta budaknya kepada orang lain (pihak ketiga), maka penjaminan itu sah, karena budak bisa saja terkena kewajiban utang sebagaimana orang merdeka, sedangkan tuan tidak terkena kewajiban utang budaknya, sehingga boleh baginya untuk menanggungnya dengan penjaminan. Jika tuan melunasi utang budaknya sebelum budak itu merdeka, maka ia tidak boleh menuntut kembali kepada budaknya. Namun jika ia melunasinya setelah budak itu merdeka, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ يَرْجِعُ بِهِ اعْتِبَارًا بِحَالِ الْأَدَاءِ.

Pertama, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas: ia boleh menuntut kembali, dengan mempertimbangkan keadaan saat pelunasan.

وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ لَا يَرْجِعُ عَلَيْهِ اعْتِبَارًا بِوَقْتِ الضَّمَانِ.

Kedua, yaitu pendapat Abu Hamid: ia tidak boleh menuntut kembali, dengan mempertimbangkan waktu penjaminan.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَالْفَصْلُ الْخَامِسُ أَنْ يَضْمَنَ السَّيِّدُ لِعَبْدِهِ مَالًا عَلَى أَجْنَبِيٍّ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْعَبْدِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَلَيْهِ دَيْنٌ مِنْ تِجَارَةٍ، مَأْذُونًا فِيهَا أَمْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ فَالضَّمَانُ بَاطِلٌ، لِأَنَّ مَالَ الْعَبْدِ لِسَيِّدِهِ فَصَارَ ضَمَانُ السَّيِّدِ لِعَبْدِهِ كَضَمَانِهِ لِنَفْسِهِ فَبَطَلَ.

Pasal kelima adalah apabila tuan menjamin harta untuk budaknya atas orang lain (pihak ketiga), maka keadaan budak tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia memiliki utang dari perdagangan yang diizinkan atau tidak. Jika budak tidak memiliki utang, maka penjaminan itu batal, karena harta budak adalah milik tuannya, sehingga penjaminan tuan untuk budaknya sama seperti penjaminan untuk dirinya sendiri, maka batal.

وَإِنْ كَانَ عَلَى الْعَبْدِ دَيْنٌ فَفِي ضَمَانِ السَّيِّدِ لَهُ وَجْهَانِ، مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي غُرَمَاءِ الْعَبْدِ هَلْ يَسْتَحِقُّونَ حَجْرًا عَلَيْهِ بِدُيُونِهِمْ أَمْ لَا فَإِنْ قِيلَ لَا حَجْرَ لَهُمْ عَلَيْهِ فَضَمَانُ السَّيِّدِ لَهُ بَاطِلٌ وَإِنْ قِيلَ لَهُمْ حَجْرٌ عَلَيْهِ فَضَمَانُ السَّيِّدِ لَهُ جَائِزٌ.

Jika budak memiliki utang, maka dalam penjaminan tuan untuk budaknya terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat mengenai para kreditur budak: apakah mereka berhak melakukan penyitaan (hajr) atas budak karena utang mereka atau tidak. Jika dikatakan mereka tidak berhak melakukan hajr, maka penjaminan tuan untuk budaknya batal. Namun jika dikatakan mereka berhak melakukan hajr, maka penjaminan tuan untuk budaknya sah.

فَإِنْ قَضَى الْعَبْدُ دَيْنَهُ بَرِئَ السَّيِّدُ مِنْ ضَمَانِهِ إِلَّا أَنْ يَقْضِيَهُ الْعَبْدُ بَعْدَ عِتْقِهِ فَلَا يَبْرَأَ السَّيِّدُ مِنْ ضَمَانِهِ وَعَلَيْهِ أَدَاءُ ذَلِكَ إِلَى الْعَبْدِ بَعْدَ عِتْقِهِ.

Jika budak melunasi utangnya, maka tuan bebas dari penjaminannya, kecuali jika budak melunasinya setelah ia merdeka, maka tuan tidak bebas dari penjaminannya dan ia wajib membayar itu kepada budak setelah budak itu merdeka.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَكَذَلِكَ ضَمَانُ الْمُدَبَّرِ وَأُمِّ الْوَلَدِ “.

Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Demikian pula penjaminan untuk mudabbar dan umm al-walad.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الْمُدَبَّرُ وَأُمُّ الْوَلَدِ فِي عَقْدَيْهِمَا كَالْعَبْدِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الرِّقِّ فَضَمَانُهُمَا وَالضَّمَانُ عَنْهُمَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْعَبْدِ فِي ضَمَانِهِ وَالضَّمَانِ عَنْهُ، فَأَمَّا ضَمَانُ الْمُكَاتَبِ فَضَرْبَانِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan tentang mudabbar dan umm al-walad, dalam akad keduanya sama seperti budak karena keduanya sama-sama berada dalam status perbudakan. Maka tanggungan mereka dan penjaminan atas mereka mengikuti apa yang telah kami sebutkan mengenai budak dalam hal penjaminan dan penjaminan atasnya. Adapun penjaminan oleh mukatab, maka ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَضْمَنَ فِي ذِمَّتِهِ فَضَمَانُهُ جَائِزٌ بِإِذْنِ السَّيِّدِ وَبِغَيْرِ إِذْنِهِ لِأَنَّ الْمُكَاتَبَ أَمْلَكُ لِذِمَّتِهِ مِنَ الْعَبْدِ.

Pertama: Jika ia menjamin dalam tanggungan (dzimmah)-nya, maka penjaminannya sah baik dengan izin tuannya maupun tanpa izinnya, karena mukatab lebih memiliki kekuasaan atas dzimmah-nya dibandingkan budak.

وَالثَّانِي: أَنْ يَضْمَنَ فِيمَا بِيَدِهِ فَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ. فَضَمَانُهُ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ بِإِذْنِهِ فَعَلَى قَوْلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ جَائِزٌ كَالْعَبْدِ، وَالثَّانِي لَا يَجُوزُ لِأَنَّ حَقَّ السَّيِّدِ فِي مَالِ الْمُكَاتَبِ لِأَجْلِ كِتَابَتِهِ فَلَمْ يَكُنْ إِذْنُهُ فِي غَيْرِ الكتابة مؤثرا.

Kedua: Jika ia menjamin atas harta yang ada di tangannya, maka jika tanpa izin tuannya, penjaminannya batal. Namun jika dengan izin tuannya, terdapat dua pendapat: salah satunya menyatakan sah seperti budak, dan yang kedua tidak sah karena hak tuan atas harta mukatab adalah karena akad kitabah, sehingga izinnya dalam selain kitabah tidak berpengaruh.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ ضَمِنَ عَنْ مُكَاتَبٍ أَوْ مَالًا فِي يَدَيْ وَصِيٍّ أَوْ مُقَارِضٍ وَضَمِنَ ذَلِكَ أَحَدٌ مِنْهُمْ عَنْ نَفْسِهِ فَالضَّمَانُ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ بَاطَلٌ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menjamin atas mukatab atau atas harta yang berada di tangan wali, atau muqaridh (pengelola mudharabah), lalu salah satu dari mereka menjamin itu atas dirinya sendiri, maka penjaminan dalam semua itu batal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الضَّمَانَ لَا يَصِحُّ إِلَّا لَمَّا كَانَ مَضْمُونًا فِي الذِّمَّةِ فَأَمَّا مَا عَلَى الْمُكَاتَبِ مِنْ مَالِ الْكِتَابَةِ فَلَا يَصِحُّ ضَمَانُهُ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِلَازِمٍ لِلْمُكَاتَبِ لِأَنَّ لَهُ تَعْجِيزَ نَفْسِهِ وَإِسْقَاطَ مَالِ الْكِتَابَةِ فَإِذَا كَانَ الْأَصْلُ غَيْرَ لَازِمٍ فَضَمَانُهُ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ غَيْرَ لَازِمٍ، وَكَذَا الْأَمْوَالُ الَّتِي فِي يَدِ مَنْ لَا يَضْمَنُهَا كَمَالِ الشِّرْكِ وَالْمُضَارَبَةِ وَالْوَدِيعَةِ وَمَا فِي يَدِ الْأَوْصِيَاءِ وَالْأُمَنَاءِ لَا يَصِحُّ ضَمَانُهُ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَضْمُونٍ عَلَى الَّذِي هُوَ فِي يَدِهِ إِلَّا أَنْ يَضْمَنُوهُ بِالِاسْتِهْلَاكِ فَيَسْتَقِرَّ ضَمَانُ بَدَلِهِ فِي ذِمَمِهِمْ فَيَجُوزُ حِينَئِذٍ ضَمَانُهُ عَنْهُمْ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Kami telah sebutkan bahwa penjaminan tidak sah kecuali atas sesuatu yang memang menjadi tanggungan dalam dzimmah. Adapun harta kitabah yang menjadi kewajiban mukatab, maka penjaminannya tidak sah karena itu bukan kewajiban yang melekat pada mukatab, sebab ia bisa saja memilih untuk melemahkan dirinya (tidak melunasi) dan menggugurkan harta kitabah. Jika asalnya saja tidak wajib, maka penjaminannya lebih utama untuk tidak wajib pula. Demikian pula harta-harta yang berada di tangan orang yang tidak menanggungnya, seperti harta syirkah, mudharabah, titipan (wadi‘ah), dan yang ada di tangan para washi (wali) dan orang-orang yang dipercaya, maka penjaminannya tidak sah karena tidak menjadi tanggungan bagi yang memegangnya, kecuali jika mereka menanggungnya karena telah menghabiskannya, maka penjaminan pengganti harta itu menjadi tanggungan mereka, sehingga pada saat itu penjaminan atas mereka menjadi sah.

فَأَمَّا الْأَعْيَانُ الْمَضْمُونَةُ كَالْمَغْصُوبِ وَالْعَوَارِي فَيَصِحُّ ضَمَانُ بَدَلِهَا بَعْدَ اسْتِهْلَاكِهَا فَأَمَّا ضَمَانُ أَعْيَانِهَا مَعَ بَقَائِهَا فَلَا يَصِحُّ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَجَوَّزَهُ ابْنُ سريج وقد تقدم الكلام معه.

Adapun barang-barang yang memang menjadi tanggungan, seperti barang yang digasak (maghsūb) dan barang pinjaman (al-‘āriyah), maka sah penjaminan atas penggantiannya setelah barang itu habis. Adapun penjaminan atas barangnya selama masih ada, maka menurut mazhab Syafi‘i tidak sah, namun Ibnu Surayj membolehkannya, dan telah dijelaskan sebelumnya pembahasan dengannya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَضَمَانُ الْمَرْأَةِ كَالرَّجُلِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Penjaminan perempuan sama seperti laki-laki.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ الضَّمَانَ عَقْدُ وَثِيقَةٍ فَيَصِحُّ مِنَ الْمَرْأَةِ كَالرَّهْنِ وَلِأَنَّهُ يُوجِبُ ثُبُوتَ مَالٍ فِي الذِّمَّةِ كَالْبَيْعِ وَيَجُوزُ ضَمَانُ الْمَرْأَةِ بِإِذْنِ زَوْجِهَا وَبِغَيْرِ إِذْنِهِ، وَأَنْ تَضْمَنَ الْمَرْأَةُ لِزَوْجِهَا وَالزَّوْجُ لِامْرَأَتِهِ وَالْأَبُ لِابْنِهِ وَالِابْنُ لِأَبِيهِ كَمَا يَصِحُّ بَيْنَ الأجنبيين والله أعلم.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, karena penjaminan adalah akad peneguhan, maka sah dilakukan oleh perempuan sebagaimana rahn (gadai). Dan karena penjaminan mewajibkan adanya harta dalam dzimmah sebagaimana jual beli. Penjaminan perempuan boleh dilakukan dengan izin suaminya maupun tanpa izinnya, dan boleh juga perempuan menjamin untuk suaminya, suami untuk istrinya, ayah untuk anaknya, dan anak untuk ayahnya, sebagaimana sah antara dua orang yang tidak ada hubungan keluarga. Wallahu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَجُوزُ ضَمَانُ مَنْ لَمْ يَبْلُغْ وَلَا مَجْنُونٍ وَلَا مُبَرْسَمٍ يَهْذِي وَلَا مُغْمًى عَلَيْهِ وَلَا أَخْرَسَ لَا يَعْقِلُ وَإِنْ كَانَ يَعْقِلُ الْإِشَارَةَ وَالْكِتَابَ فَضَمِنَ لَزِمَهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Tidak sah penjaminan oleh orang yang belum baligh, orang gila, orang yang menderita barasom (gangguan mental) yang mengigau, orang yang pingsan, dan orang bisu yang tidak berakal. Namun jika ia memahami isyarat dan tulisan, lalu ia menjamin, maka penjaminan itu menjadi wajib baginya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: ضَمَانُ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ لَا يَصِحُّ لِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ عَنْهُمَا وَكَذَلِكَ الْمُبَرْسَمُ وَالْمُغْمَى عَلَيْهِ لَا يَصِحُّ ضَمَانُهُمَا لِزَوَالِ عَقْلِهِمَا فَإِنْ قِيلَ فَلِمَ قَالَ الْمُزَنِيُّ وَلَا مُبَرْسَمٍ يَهْذِي؟ ؟ أَيَكُونُ الْهَذَيَانُ شَرْطٌ فِي بُطْلَانِ ضَمَانِهِ؟ قُلْنَا لَا اعْتِبَارَ بِالْهَذَيَانِ فَمَتَى كَانَ المبرسم ذابل الْعَقْلِ بَطَلَ ضَمَانُهُ وَسَائِرُ عُقُودِهِ سَوَاءٌ كَانَ يَهْذِي أَمْ لَا، وَلِأَصْحَابِنَا عَنْ قَوْلِهِ يَهْذِي جَوَابَانِ أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا زِيَادَةٌ ذَكَرَهَا الْمُزَنِيُّ لَغْوًا وَالْجَوَابُ الثَّانِي أَنَّ لَهَا فَائِدَةً، وَذَلِكَ أَنَّ الْمُبَرْسَمَ يَهْذِي فِي أَوَّلِ بِرْسَامِهِ مَعَ قُوَّةِ جنسه فَإِذَا تَطَاوَلَ بِهِ أَضْعَفَ جِسْمَهُ فَلَمْ يَهْذِ، فَأُبْطِلَ ضَمَانُهُ (فِي الْحَالِ الَّتِي يَهْذِي فِيهَا لينبه على بطلان ضمانه) في الحالة التي هي أغلظ منها وهي الحالة الَّتِي لَا يَهْذِي فِيهَا. فَأَمَّا الْأَخْرَسُ فَإِنْ كَانَ لَا يَعْقِلُ الْإِشَارَةَ بَطَلَ ضَمَانُهُ وَسَائِرُ عُقُودِهِ، وَإِنْ كَانَ يَعْقِلُ الْإِشَارَةَ وَالْكِتَابَةَ فَضَمِنَ بِكِتَابَتِهِ وَإِشَارَتِهِ (صَحَّ وَكَذَلِكَ سَائِرُ عُقُودِهِ وَإِنْ ضَمِنَ بِإِشَارَتِهِ دُونَ كِتَابَتِهِ) صَحَّ ضَمَانُهُ لِأَنَّ بالإشارة أُقِيمَتْ فِيهِ مَقَامَ نُطْقِهِ. وَإِنْ. . ضَمِنَ بِكِتَابَتِهِ دُونَ إِشَارَتِهِ لَمْ يَصِحَّ ضَمَانُهُ لِأَنَّ مُجَرَّدَ الْكِتَابَةِ لَمْ يَقُمْ فِيهِ مَقَامَ النُّطْقِ لِاحْتِمَالِهَا حتى تنضم إليه الإشارة فيزول إليه احْتِمَالُهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana beliau berkata: Jaminan (ḍamān) anak kecil dan orang gila tidak sah karena pena (taklif) telah terangkat dari keduanya. Demikian pula orang yang terkena bursa (mabuk berat karena sakit) dan orang yang pingsan, jaminan keduanya tidak sah karena hilangnya akal mereka. Jika dikatakan: Mengapa al-Muzani berkata, “dan tidak (sah jaminan) orang yang terkena bursa yang mengigau”? Apakah igauan menjadi syarat batalnya jaminannya? Kami katakan: Tidak ada pertimbangan pada igauan. Kapan saja orang yang terkena bursa hilang akalnya, maka batal jaminannya dan seluruh akadnya, baik ia mengigau atau tidak. Dan menurut para sahabat kami, terkait ucapan “mengigau” ada dua jawaban: Pertama, itu hanyalah tambahan yang disebutkan oleh al-Muzani sebagai lafaz sia-sia. Jawaban kedua, bahwa itu ada manfaatnya, yaitu bahwa orang yang terkena bursa biasanya mengigau pada awal sakitnya ketika fisiknya masih kuat. Jika sakitnya berlarut-larut, tubuhnya menjadi lemah sehingga ia tidak lagi mengigau. Maka, dibatalkan jaminannya pada keadaan ia mengigau (untuk menunjukkan batalnya jaminan) pada keadaan yang lebih berat darinya, yaitu keadaan di mana ia tidak lagi mengigau. Adapun orang bisu, jika ia tidak memahami isyarat, maka batal jaminan dan seluruh akadnya. Jika ia memahami isyarat dan tulisan, maka sah jaminannya dengan tulisan dan isyaratnya, demikian pula seluruh akadnya. Jika ia menjamin dengan isyarat saja tanpa tulisan, maka sah jaminannya karena isyarat itu menggantikan ucapan baginya. Namun jika ia menjamin dengan tulisan saja tanpa isyarat, maka tidak sah jaminannya karena tulisan semata tidak dapat menggantikan ucapan, sebab masih ada kemungkinan (tidak dimaksudkan sebagai akad), hingga disertai isyarat sehingga hilang kemungkinannya. Wallāhu a‘lam.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْمَرِيضُ فَضَمَانُهُ مُعْتَبَرٌ مِنْ ثُلُثِ مَالِهِ لِأَنَّهُ تَطَوُّعٌ، فَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ يُحِيطُ بِتَرِكَتِهِ بَطَلَ ضَمَانُهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ وَكَانَ قَدْرُ ضَمَانِهِ خَارِجًا مِنْ ثُلُثِهِ صَحَّ ضَمَانُهُ وَإِنْ كَانَ بَعْضُ مَا ضَمِنَهُ خَارِجًا مِنْ ثُلْثِهِ صَحَّ مِنْ ضَمَانِهِ قَدْرُ مَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ، وَبَطَلَ مِنْهُ مَا لَمْ يَحْتَمِلْهُ الثُّلُثُ، فَلَوْ ضَمِنَ مَالًا فِي مَرَضِهِ ثُمَّ أَقَرَّ بَعْدَ ضَمَانِهِ بِدَيْنٍ يُحِيطُ بِتَرِكَتِهِ فَإِنَّ الدَّيْنَ الَّذِي أَقَرَّ بِهِ أَحَقُّ بِمَا نَزَلَ مِنَ الضَّمَانِ لِأَنَّ الدَّيْنَ وَاجِبٌ وَالضَّمَانَ تُطَوُّعٌ، وَلَا يُؤَثِّرُ تَأْخِيرُ الْإِقْرَارِ بِالدَّيْنِ لِأَنَّهُ وَاجِبٌ تَقَدَّمَ الْإِقْرَارُ أَوْ تَأَخَّرَ، فَلَوْ ضَمِنَ مَالًا لِلْوَرَثَةِ بَطَلَ الضَّمَانُ، وَإِنِ احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ لِأَنَّ ضَمَانَهُ وَصِيَّةٌ لَا تَصِحُّ لِوَارِثٍ فَلَوْ ضَمِنَ فِي مَرَضِهِ مَالًا وَأَدَّاهُ فِي مَرَضِهِ وَمَاتَ وَلَا مَالَ لَهُ سِوَاهُ فَلِلْوَرَثَةِ أَنْ يَرْجِعُوا بِجَمِيعِ الْمَالِ إِنْ كَانَ الْمَضْمُونُ لَهُ وَارِثًا وَبِثُلُثَيْهِ إِنْ كَانَ الْمَضْمُونُ لَهُ أَجْنَبِيًّا.

Adapun orang sakit, maka jaminannya diperhitungkan dari sepertiga hartanya karena itu termasuk bentuk tathawwu‘ (sukarela). Jika ia memiliki utang yang menghabiskan seluruh warisannya, maka batal jaminannya. Jika ia tidak memiliki utang dan nilai jaminannya berada di luar sepertiga hartanya, maka sah jaminannya. Jika sebagian dari yang dijaminnya berada di luar sepertiga hartanya, maka yang sah dari jaminannya adalah sebesar yang dapat ditanggung oleh sepertiga harta, dan batal sisanya yang tidak ditanggung oleh sepertiga harta. Jika ia menjamin sejumlah harta saat sakitnya, lalu setelah itu ia mengakui adanya utang yang menghabiskan seluruh warisannya, maka utang yang diakuinya itu lebih berhak atas harta yang tersisa dari jaminan, karena utang itu wajib sedangkan jaminan adalah tathawwu‘ (sukarela). Tidak berpengaruh apakah pengakuan utang itu dilakukan belakangan, karena utang itu wajib baik diakui lebih dulu maupun belakangan. Jika ia menjamin harta untuk ahli waris, maka batal jaminannya, sekalipun sepertiga harta dapat menanggungnya, karena jaminan itu merupakan wasiat yang tidak sah untuk ahli waris. Jika ia menjamin harta saat sakitnya lalu membayarnya saat sakitnya dan ia wafat dan tidak ada harta lain selain itu, maka ahli waris berhak mengambil seluruh harta jika yang dijamin adalah ahli waris, dan berhak atas dua pertiga harta jika yang dijamin adalah orang lain (bukan ahli waris).

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْمَحْجُورُ عَلَيْهِ بِالسَّفَهِ فَضَمَانُهُ بَاطِلٌ لِبُطْلَانِ عُقُودِهِ وَأَمَّا الْمَحْجُورُ عَلَيْهِ بِالْفَلَسِ فَضَمَانُهُ صَحِيحٌ عَلَى الْقَوْلَيْنِ معا ولا يشارك الضمون لَهُ الْغُرَمَاءَ لِأَنَّ مَا اسْتَحَقَّهُ بِالضَّمَانِ مُسْتَحْدَثٌ بَعْدَ الْحَجْرِ وَيَكُونُ مَالُ الضَّمَانِ فِيمَا يَسْتَفِيدُهُ بَعْدَ فَكِّ الْحَجْرِ.

Adapun orang yang dibatasi (haknya) karena safih (boros), maka jaminannya batal karena seluruh akadnya batal. Adapun orang yang dibatasi (haknya) karena pailit, maka jaminannya sah menurut dua pendapat, dan pihak yang dijamin tidak berhak berbagi dengan para kreditur, karena hak yang didapatkan melalui jaminan itu muncul setelah adanya pembatasan (hajr), dan harta jaminan itu diambil dari apa yang ia peroleh setelah pembatasan dicabut.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا السَّكْرَانُ فَإِنْ كَانَ سُكْرُهُ مِنْ غَيْرِ مَعْصِيَةٍ فَضَمَانُهُ بَاطِلٌ كَالْمُغْمَى عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ سُكْرُهُ عَنْ مَعْصِيَةٍ فَضَمَانُهُ جَائِزٌ كَطَلَاقِهِ وَيَجِيءُ تَخْرِيجُ قَوْلٍ آخَرَ مِنَ الْقَدِيمِ إِنَّ ضَمَانَهُ بَاطِلٌ إِذَا قِيلَ عَلَى الْقَدِيمِ إِنَّ طَلَاقَهُ غَيْرُ وَاقِعٍ وَاللَّهُ أعلم.

Adapun orang mabuk, jika mabuknya bukan karena maksiat, maka jaminannya batal seperti orang yang pingsan. Namun jika mabuknya karena maksiat, maka jaminannya sah seperti talaknya. Ada pula pendapat lain dari qaul qadim bahwa jaminannya batal jika dikatakan menurut qaul qadim bahwa talaknya tidak jatuh. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني: ” وَضَعَّفَ الشَّافِعِيُّ كَفَالَةَ الْوَجْهِ فِي مَوْضِعٍ وَأَجَازَهَا فِي مَوْضِعٍ آخَرَ إِلَّا فِي الْحُدُودِ “.

Al-Muzani berkata: “Imam Syafi‘i melemahkan kafālah al-wajh (jaminan kehadiran) dalam satu tempat dan membolehkannya di tempat lain, kecuali dalam perkara hudūd.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَلَمَّا مَضَى ضَمَانُ الْأَمْوَالِ عَقَّبَهُ الْمُزَنِيُّ بِكَفَالَةِ الْأَبْدَانِ فَإِذَا تَكَفَّلَ رَجُلٌ بِنَفْسِ رَجُلٍ وَلَمْ يَكُنْ عَلَى الْمَكْفُولِ مُطَالَبَةٌ بِحَقٍّ فَالْكَفَالَةُ بَاطِلَةٌ وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ مَا يَسْتَحِقُّ الْمُطَالَبَةَ بِهِ فَقَدْ نَصَّ الشَّافِعِيُّ فِي ثَلَاثَةِ كُتُبٍ عَلَى جَوَازِهَا نُصَّ عَلَيْهِ فِي اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى وَفِي كِتَابِ الْإِقْرَارِ وَالْمَوَاهِبِ.

Al-Mawardi berkata: Setelah pembahasan tentang penjaminan harta, al-Muzani melanjutkannya dengan pembahasan tentang kafālah al-abdān (penjaminan jiwa). Jika seseorang menjamin jiwa orang lain, sementara orang yang dijamin tidak sedang dituntut atas suatu hak, maka kafālah tersebut batal. Namun jika atas dirinya terdapat sesuatu yang berhak untuk dituntut, maka asy-Syafi‘i telah menegaskan dalam tiga kitab tentang kebolehannya; beliau menegaskannya dalam pembahasan perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila, juga dalam Kitab al-Iqrār dan al-Mawāhib.

وَفِي كِتَابِ الدَّعْوَى وَالْبَيِّنَاتِ بَعْدَ أَنْ نَصَّ عَلَى جَوَازِهَا غَيْرَ أَنَّ الْكَفَالَةَ بِالنَّفْسِ ضَعِيفَةٌ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَلَا يَكْفُلُ رَجُلٌ فِي حَدٍّ وَلَا لِعَانٍ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ.

Dan dalam Kitab ad-Da‘wā wa al-Bayyinat, setelah menegaskan kebolehannya, hanya saja kafālah dengan jiwa itu lemah. Dan beliau berkata di tempat lain: “Seseorang tidak boleh menjamin dalam perkara hudūd maupun li‘ān.” Maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam mazhab asy-Syafi‘i rahimahullah.

لِاخْتِلَافِ مَا حَكَيْنَا عَنْهُ فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ يَقُولُونَ الْكَفَالَةُ فِي الْحُدُودِ بَاطِلَةٌ وَفِي الْأَمْوَالِ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Karena perbedaan yang telah kami sebutkan dari beliau, maka Abu Ishaq al-Marwazi, Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, dan Abu Hamid al-Marwazi berpendapat bahwa kafālah dalam perkara hudūd adalah batal, sedangkan dalam perkara harta ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: جَائِزَةٌ وَهُوَ مَذْهَبُ أبي حنيفة وَمَالِكٍ وَالْفُقَهَاءِ السَّبْعَةِ بِالْمَدِينَةِ وَدَلِيلُ جَوَازِهَا قَوْله تَعَالَى: {قَالَ لَنْ أُرْسِلَهُ مَعَكُمْ حَتَّى تُؤْتُونِ مَوْثِقًا مِنَ اللَّهِ لَتَأْتُنَّنِي بِهِ إِلا أَنْ يُحَاطَ بِكُمْ} [يوسف: 66] وَالْمَوْثِقُ الْكَفِيلُ فَامْتَنَعَ يَعْقُوبُ مِنْ إِرْسَالِ وَلَدِهِ مَعَ إِخْوَتِهِ إِلَّا بِكَفِيلٍ يَكْفُلُ بِهِ وَرُوِيَ أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ تَكَفَّلَ بِأَبِي سُفْيَانَ بْنِ حَرْبٍ عَامَ الْفَتْحِ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَرُوِيَ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَخَذَ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ كَفِيلًا بِنَفْسِهِ حِينَ تَوَقَّفَ عَنْ بَيْعَتِهِ.

Pertama: Boleh, dan ini adalah mazhab Abu Hanifah, Malik, dan tujuh fuqaha di Madinah. Dalil kebolehannya adalah firman Allah Ta‘ala: {Ya‘qub berkata: “Aku tidak akan mengirimkannya bersamamu sebelum kamu memberiku jaminan dari Allah bahwa kamu pasti akan membawanya kembali kepadaku, kecuali jika kamu dikepung (tidak berdaya).”} (Yusuf: 66). Yang dimaksud dengan “jaminan” di sini adalah kafīl (penjamin). Maka Ya‘qub menolak mengirimkan anaknya bersama saudara-saudaranya kecuali dengan adanya penjamin yang menjamin dirinya. Diriwayatkan bahwa al-‘Abbas bin ‘Abd al-Muththalib menjamin Abu Sufyan bin Harb pada tahun penaklukan untuk Rasulullah ﷺ. Diriwayatkan pula bahwa ‘Ali bin Abi Thalib ra. mengambil penjamin dari ‘Abdullah bin ‘Umar atas dirinya ketika ia menunda baiat kepadanya.

فَكَفَلَتْ بِهِ أُمُّ كُلْثُومٍ بِنْتُ عَلِيٍّ لِأَنَّهَا كَانَتْ زَوْجَةَ عُمَرَ وَقِيلَ بَلْ كَفَلَتْ بِهِ أُخْتُهُ حَفْصَةُ وَرُوِيَ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ فَقَالَ إِنِّي مَرَرْتُ بِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ نَوَّاحَةَ وَهُوَ يُؤَذِّنُ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ أَشْهَدُ أَنَّ مُسَيْلِمَةَ رَسُولُ اللَّهِ فَكَذَّبْتُ سَمْعِي وَوَقَفْتُ حَتَّى سَمِعْتُ أَهْلَ الْمَسْجِدِ يَضِجُّونَ بِهِ فَبَعَثَ ابْنُ مَسْعُودٍ إِلَى ابْنِ النَّوَّاحَةِ فَدَعَاهُ وَأَصْحَابَهُ فَقَالَ مَا صَنَعْتَ بِالْقُرْآنِ الَّذِي كُنْتَ تَتْلُوهُ قَالَ كُنْتُ أَتَّقِيكُمْ بِهِ فَأَمَرَ بِضَرْبِ عُنُقِهِ وَاسْتَشَارَ الصَّحَابَةَ فِي أَصْحَابِهِ فَقَالُوا يُسْتَتَابُونَ، وَيُكْفَلُونَ، فَاسْتَتَابَهُمْ فَتَابُوا، وَكَفَلَهُمْ عَنْ عَشَائِرِهِمْ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ إِجْمَاعَ الصَّحَابَةِ مُنْعَقِدٌ بِجَوَازِ الْكَفَالَةِ.

Lalu Ummu Kultsum binti ‘Ali menjaminnya karena ia adalah istri ‘Umar, dan ada pula yang mengatakan bahwa yang menjaminnya adalah saudara perempuannya, Hafshah. Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada ‘Abdullah bin Mas‘ud dan berkata: “Aku melewati ‘Abdullah bin Nawwahah saat ia mengumandangkan azan, lalu aku mendengarnya berkata: ‘Aku bersaksi bahwa Musailamah adalah utusan Allah.’ Aku tidak percaya dengan pendengaranku, lalu aku menunggu hingga aku mendengar penduduk masjid ramai membicarakannya.” Maka Ibnu Mas‘ud mengutus seseorang kepada Ibnu Nawwahah dan memanggilnya beserta para sahabatnya. Ia bertanya: “Apa yang kamu lakukan dengan al-Qur’an yang biasa kamu baca?” Ia menjawab: “Aku menggunakannya untuk melindungi diri dari kalian.” Maka Ibnu Mas‘ud memerintahkan agar ia dihukum mati, lalu bermusyawarah dengan para sahabat tentang para sahabat Ibnu Nawwahah. Mereka berkata: “Mereka diminta bertobat dan dijamin.” Maka Ibnu Mas‘ud meminta mereka bertobat, lalu mereka bertobat, dan mereka dijamin oleh kabilah mereka. Hal ini menunjukkan bahwa ijmā‘ para sahabat telah terjadi atas kebolehan kafālah.

وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ ضَمَانُ مَا فِي الذِّمَّةِ جَازَ ضَمَانُ ذِي الذِّمَّةِ، إِذْ لَا فَرْقَ بَيْنَ ضَمَانِ الْحَقِّ وَبَيْنَ ضَمَانِ مَنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ، وَلِأَنَّ الْكَفَالَةَ كَالْإِجَارَةِ وَلِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَقَدَ عَلَى عَيْنٍ، لِاسْتِيفَاءِ الْحَقِّ مِنْهَا فَلَمَّا جَازَتِ الْإِجَارَةُ وَجَبَ أَنْ تَجُوزَ الْكَفَالَةُ وَلِأَنَّ ضَمَانَ الْأَمْوَالِ إِنَّمَا كَانَ لِمَا فِيهِ مِنَ الرِّفْقِ وَالتَّوْسِعَةِ فَكَذَا كَفَالَةُ النُّفُوسِ لِمَا فِيهَا مِنَ الرِّفْقِ وَالتَّوْسِعَةِ وَهُوَ أَنْ يَرْتَفِقَ الْمَكْفُولُ بِهِ فِي الْإِطْلَاقِ لِيَسْهُلَ عَلَيْهِ طَلَبُ الْحَقِّ وَيَسْتَوْثِقَ الْمَكْفُولُ لَهُ فَيَسْهُلَ عَلَيْهِ الْتِمَاسُ مَنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ.

Karena ketika penjaminan atas apa yang ada dalam tanggungan (dzimmah) dibolehkan, maka penjaminan atas orang yang memiliki tanggungan juga dibolehkan, sebab tidak ada perbedaan antara penjaminan atas hak dan penjaminan atas orang yang menanggung hak. Kafālah itu seperti ijarah (sewa-menyewa), karena masing-masing merupakan akad atas sesuatu yang tertentu untuk memenuhi hak darinya. Maka ketika ijarah dibolehkan, kafālah pun seharusnya dibolehkan. Penjaminan harta dibolehkan karena mengandung kemudahan dan kelapangan, demikian pula kafālah jiwa karena mengandung kemudahan dan kelapangan, yaitu agar orang yang dijamin dapat memperoleh kemudahan dalam kebebasannya sehingga memudahkan penuntutan hak, dan pihak yang berhak pun merasa lebih terjamin sehingga lebih mudah mencari orang yang menanggung hak tersebut.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ كَفَالَةَ النُّفُوسِ بَاطِلَةٌ، وَدَلِيلُ بُطْلَانِهَا قَوْله تَعَالَى: {قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ أَنْ نَأْخُذَ إِلا مَنْ وَجَدْنَا مَتَاعَنَا عِنْدَهُ} [يوسف: 78] فَكَانَ قَوْلُهُ معاذ الله إِنْكَارًا لِلْكَفَالَةِ أَنْ تَجُوزَ حِينَ سَأَلَهُ إِخْوَتُهُ أَنْ يَأْخُذَ أَحَدَهُمْ كَفِيلًا مِمَّنْ وَجَدَ مَتَاعَهُ عِنْدَهُ وَلِأَنَّ مَا لَا يُضْمَنُ بِالْيَدِ لَا يُضْمَنُ بِالْعَقْدِ، كَالْمَيْتَةِ وَالْخَمْرِ وَلِأَنَّهُ عَقْدُ ضَمَانٍ لَا يُسْتَحَقُّ عَلَى الضَّامِنِ الْمُطَالَبَةُ بِمُقْتَضَاهُ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بَاطِلًا كَضَمَانِ الْقِصَاصِ.

Pendapat kedua: Sesungguhnya kafālah jiwa (penjaminan terhadap orang) adalah batal. Dalil kebatalannya adalah firman Allah Ta‘ala: {Dia berkata, “Aku berlindung kepada Allah untuk mengambil selain orang yang kami temukan barang kami padanya.”} (Yusuf: 78). Maka ucapannya “Aku berlindung kepada Allah” merupakan penolakan terhadap kafālah agar tidak dibolehkan, ketika saudara-saudaranya memintanya untuk mengambil salah satu dari mereka sebagai penjamin dari orang yang ditemukan barangnya padanya. Dan karena sesuatu yang tidak dapat dijamin dengan tangan, tidak dapat pula dijamin dengan akad, seperti bangkai dan khamr. Dan karena ini adalah akad penjaminan yang tidak berkonsekuensi tuntutan kepada penjamin sesuai dengan tuntutan akad, maka wajib hukumnya batal, seperti penjaminan terhadap qishāsh.

وَلِأَنَّ مَنْ لَمْ يَصِحَّ أَخْذُهُ بِمَقْصُودِ الْعَقْدِ لَمْ يَصِحَّ مِنْهُ ذَلِكَ الْعَقْدُ، كَبَيْعِ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ وَلِأَنَّهُ ضَمَانٌ عُيِّنَ فِي الذِّمَّةِ، فَوَجَبَ أَلَّا يَصِحَّ كالمسلم فِي الْأَعْيَانِ وَلِأَنَّهَا كَفَالَةٌ لَا تَصِحُّ بِغَيْرِ إِذْنِ الْمَكْفُولِ بِهِ فَوَجَبَ أَلَّا تَصِحَّ بِإِذْنِهِ، أَصْلُهُ إِذَا كَفَلَ بِالشُّهُودِ لِيُحْضِرَهُمْ لِلْأَدَاءِ وَلِأَنَّ الْمَكْفُولَ بِهِ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ تَسْلِيمُ نَفْسِهِ وَإِنَّمَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْخُرُوجُ مِنَ الْحَقِّ وَحَبْسُهُ إِنْ حُبِسَ لِيَخْرُجَ مِنَ الْحَقِّ فَلِأَنْ لَا يَجِبَ عَلَى الْكَفِيلِ تَسْلِيمُ الْمَكْفُولِ بِهِ أَوْلَى. لِأَنَّ مَا لَا يَلْزَمُ الْمَضْمُونَ عَنْهُ فَأَوْلَى أَلَّا يَلْزَمَ الضَّامِنَ وَلِأَنَّهُ إِنِ اسْتَحَقَّ إِحْضَارَهُ مَجْلِسَ الْحُكْمِ فَهُوَ عَلَى الْحَاكِمِ أَوْجَبُ، فَإِنْ عَجَزَ عَنْهُ الْحَاكِمُ فَالْكَفِيلُ عَنْهُ أَعْجَزُ فَهَذَا تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ وَهِيَ طَرِيقَةُ مَنْ ذَكَرْنَا مِنْ أَصْحَابِنَا.

Dan karena siapa yang tidak sah untuk diambil sesuai maksud akad, maka tidak sah pula akad tersebut darinya, seperti jual beli anak kecil dan orang gila. Dan karena ini adalah penjaminan yang ditetapkan dalam tanggungan, maka wajib tidak sah, seperti muslim dalam barang-barang tertentu. Dan karena ini adalah kafālah yang tidak sah tanpa izin dari yang dijamin, maka wajib pula tidak sah meskipun dengan izinnya. Dasarnya adalah jika seseorang menjamin dengan menghadirkan saksi untuk menghadirkan mereka dalam pelaksanaan. Dan karena orang yang dijamin tidak wajib menyerahkan dirinya, yang wajib baginya hanyalah keluar dari kewajiban dan penahanannya jika ia ditahan agar keluar dari kewajiban tersebut. Maka lebih utama lagi penjamin tidak wajib menyerahkan orang yang dijamin. Karena sesuatu yang tidak wajib atas yang dijamin, maka lebih utama tidak wajib atas penjamin. Dan jika memang wajib menghadirkannya ke majelis hakim, maka itu lebih wajib atas hakim. Jika hakim saja tidak mampu, maka penjamin lebih tidak mampu lagi. Inilah penjelasan kedua pendapat, dan ini adalah metode para ulama kami yang telah kami sebutkan.

وَكَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ وَطَائِفَةٌ مِنْ مُتَقَدِّمِي أَصْحَابِنَا يَقُولُونَ الْكَفَالَةُ بِالنُّفُوسِ جَائِزَةٌ فِي الْأَمْوَالِ، قَوْلًا وَاحِدًا وَفِي الْحُدُودِ عَلَى قَوْلَيْنِ،

Abu al-‘Abbās Ibn Surayj dan sekelompok ulama terdahulu dari kalangan sahabat kami berpendapat bahwa kafālah jiwa dibolehkan dalam perkara harta, menurut satu pendapat, dan dalam perkara hudūd terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: جَائِزَةٌ كَالْأَمْوَالِ.

Salah satunya: Dibolehkan seperti dalam perkara harta.

وَالثَّانِي: بَاطِلَةٌ، لِأَنَّ الْحُدُودَ تُدْرَأُ بِالشُّبُهَاتِ فَلَا مَعْنَى لِلتَّوَثُّقِ فِيهَا بِالْكَفَالَاتِ وَسَوَاءٌ فِي الْحُدُودِ مَا كَانَ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ كَالْقَذْفِ وَالْقِصَاصِ أَوْ مَا كَانَ لِلَّهِ كَالْخَمْرِ وَالزِّنَا وَتَأَوَّلُوا قَوْلَ الشَّافِعِيِّ غَيْرَ أَنَّهَا ضَعِيفَةٌ يَعْنِي غَيْرَ أَنَّ الْقِيَاسَ فِيهَا ضَعِيفٌ لَكِنْ لَمَّا اقْتَرَنَ بِهِ السُّنَّةُ وَالْأَثَرُ وَجَبَ الْمَصِيرُ إِلَيْهِ لَا أَنَّ ذَلِكَ قَوْلٌ ثَانٍ فِي إِبْطَالِهَا، كَمَا قَالَ فِي النَّائِمِ قَاعِدًا لَوْ صِرْنَا إِلَى النَّظَرِ تَوَضَّأْ بِأَيِّ حَالَاتِهِ كَانَ، فَأَسْقَطَ النَّظَرَ لِلْخَبَرِ فَلَمْ يَدُلَّ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِيهِ وَكَمَا قَالَ فِي الْقَدِيمِ آذَانُ الصُّبْحِ قَبْلَ الْوَقْتِ وَلَيْسَ ذَلِكَ بِقِيَاسٍ لَكِنِ اتَّبَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَمَّا قَوْلُهُ وَلَا يَكْفُلُ رَجُلٌ فِي حَدٍّ وَلَا لِعَانٍ فَمَنْ أَبْطَلَ الْكَفَالَةَ فِي الْحُدُودِ حَمَلَ ذَلِكَ عَلَى ظَاهِرِهِ وَمَنْ جَوَّزَهَا فِي الْحُدُودِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ تَأَوَّلَ ذَلِكَ عَلَى إِبْطَالِ الْكَفَالَةِ بِنَفْسِ الْحَدِّ وَاللِّعَانِ لَا بِنَفْسِ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَدُّ وَاللِّعَانُ.

Dan yang kedua: Batal, karena hudūd dapat gugur dengan adanya syubhat, sehingga tidak ada makna untuk memperkuatnya dengan kafālah. Sama saja dalam hudūd, baik yang merupakan hak manusia seperti qazaf dan qishāsh, maupun yang merupakan hak Allah seperti khamr dan zina. Mereka menafsirkan ucapan asy-Syāfi‘ī “hanya saja itu lemah”, maksudnya adalah qiyās dalam hal ini lemah, namun ketika telah disertai dengan sunnah dan atsar maka wajib mengikuti hal itu, bukan berarti itu adalah pendapat kedua dalam membatalkannya. Sebagaimana ia berkata tentang orang tidur dalam keadaan duduk: “Jika kita kembali pada pertimbangan, maka ia wajib berwudu dalam keadaan apapun,” lalu ia gugurkan pertimbangan karena adanya hadits, maka itu tidak menunjukkan adanya perbedaan pendapat darinya dalam hal ini. Dan sebagaimana ia berkata dalam pendapat lama: “Azan subuh sebelum waktunya,” dan itu bukanlah qiyās, namun kami mengikuti Rasulullah ﷺ. Adapun ucapannya: “Tidak boleh seseorang menjamin dalam perkara hudūd dan li‘ān,” maka siapa yang membatalkan kafālah dalam hudūd memaknainya secara zahir, dan siapa yang membolehkannya dalam hudūd menurut salah satu dari dua pendapat, menafsirkannya sebagai pembatalan kafālah terhadap inti hudūd dan li‘ān, bukan terhadap orang yang wajib atasnya hudūd dan li‘ān.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا وَقُلْنَا بِجَوَازِ الْكَفَالَةِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ فَصِحَّتُهَا مُعْتَبَرَةٌ بِثَلَاثَةِ شُرُوطٍ:

Jika telah tetap apa yang kami jelaskan dan kami berpendapat bolehnya kafālah menurut pendapat yang sahih dalam mazhab, maka keabsahannya tergantung pada tiga syarat:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ عَارِفًا بِالْمَكْفُولِ بِهِ كَمَا يَلْزَمُهُ مَعْرِفَةُ الْمَالِ الْمَضْمُونِ، لِيَعْلَمَ مَنْ يُسْتَحَقُّ عَلَيْهِ بِالْكَفَالَةِ الْمُطَالَبَةُ بِهِ وَهَلْ يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ عَارِفًا بِالْمَكْفُولِ لَهُ عَلَى وَجْهَيْنِ كَالْمَضْمُونِ لَهُ.

Salah satunya: Penjamin harus mengetahui siapa yang dijamin, sebagaimana ia wajib mengetahui harta yang dijamin, agar ia mengetahui siapa yang berhak menuntutnya dengan kafālah tersebut. Dan apakah wajib mengetahui pihak yang dijamin untuknya, terdapat dua pendapat sebagaimana dalam penjaminan harta.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عَلَى الْمَكْفُولِ بِهِ حَقٌّ يُسْتَحَقُّ مُطَالَبَتُهُ بِهِ وَهَلْ يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ عَارِفًا بِحَقِّهِ؟ ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Syarat kedua: Harus ada hak atas orang yang dijamin (makfūl bih) yang berhak untuk dituntut darinya. Apakah wajib bagi penjamin (kafīl) untuk mengetahui hak tersebut? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ لَا تَصِحُّ الْكَفَالَةُ إِلَّا بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْكَفِيلِ بِقَدْرِ مَا عَلَى الْمَكْفُولِ بِهِ مِنَ الدَّيْنِ لِأَنَّ مِنْ مَذْهَبِهِ أَنَّ مَوْتَ الْمَكْفُولِ بِهِ يُوجِبُ عَلَى الْكَفِيلِ غُرْمَ الدَّيْنِ.

Pertama: Ini adalah pendapat Abul ‘Abbās Ibn Surayj, bahwa kafālah tidak sah kecuali setelah penjamin mengetahui besaran utang yang menjadi tanggungan orang yang dijamin, karena menurut mazhab beliau, kematian orang yang dijamin mewajibkan penjamin untuk menanggung utangnya.

وَالثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ مَعْرِفَةَ الْكَفِيلِ بِقَدْرِ الدَّيْنِ لَا تَلْزَمُ وَأَنَّ جَهَالَتَهُ بِهِ لَا تَضُرُّ لِأَنَّ مِنْ مَذْهَبِهِ أَنَّ مَوْتَ الْمَكْفُولِ بِهِ لَا يُوجِبُ عَلَى الْكَفِيلِ غُرْمَ الدَّيْنِ.

Kedua: Ini adalah mazhab al-Syāfi‘ī, bahwa pengetahuan penjamin tentang besaran utang tidaklah wajib, dan ketidaktahuannya tidak membatalkan, karena menurut mazhab beliau, kematian orang yang dijamin tidak mewajibkan penjamin menanggung utangnya.

وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ الْكَفَالَةُ عَنْ أَمْرِ الْمَكْفُولِ بِهِ، وَإِذْنِهِ، فَإِنْ كَفَلَ مِنْ غَيْرِ إِذْنِهِ لَمْ تَصِحَّ وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ تَصِحُّ الْكَفَالَةُ بِغَيْرِ أَمْرِ الْمَكْفُولِ بِهِ كَمَا يَصِحُّ الضَّمَانُ بِغَيْرِ أَمْرِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ وَهَذَا خَطَأٌ وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْكَفَالَةِ وَالضَّمَانِ أَنَّ الضَّمَانَ يُوجِبُ غُرْمَ مَالٍ يُمْكِنُ اسْتِيفَاؤُهُ مِنَ الضَّامِنِ دُونَ الْمَضْمُونِ عَنْهُ وَالْكَفَالَةُ تُوجِبُ تَسْلِيمَ نَفْسٍ وَذَلِكَ لَا يُمْكِنُ إِلَّا بِتَمْكِينِ الْمَكْفُولِ بِهِ.

Syarat ketiga: Kafālah harus dilakukan atas perintah dan izin dari orang yang dijamin. Jika penjamin memberikan jaminan tanpa izinnya, maka tidak sah. Abul ‘Abbās Ibn Surayj berpendapat bahwa kafālah sah tanpa perintah dari orang yang dijamin, sebagaimana dhamān (penjaminan utang) juga sah tanpa perintah dari orang yang dijamin utangnya. Namun, ini adalah kekeliruan. Perbedaan antara kafālah dan dhamān adalah bahwa dhamān mewajibkan penjamin mengganti harta yang dapat diambil dari penjamin tanpa melibatkan orang yang dijamin utangnya, sedangkan kafālah mewajibkan penyerahan diri (fisik), dan itu tidak mungkin kecuali dengan persetujuan orang yang dijamin.

فَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي الْعَبَّاسِ تَصِحُّ الْكَفَالَةُ بِالصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ لِأَنَّهُمَا قَدْ تَلْزَمُهُمَا حُقُوقُ الْأَمْوَالِ فَصَحَّتِ الْكَفَالَةُ بِهِمَا، وَعَلَى الظَّاهِرِ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْكَفَالَةَ بِالصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ لَا تَصِحُّ لِأَنَّ أَمْرَهُمَا لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمٌ، فَلَوْ أَمَرَهُ الِابْنُ بِالْكَفَالَةِ لَمْ يَصِحَّ لِأَنَّ الْأَمْرَ لِلْأَبِ سُؤَالٌ وَطَلَبٌ لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمٌ.

Menurut mazhab Abul ‘Abbās, kafālah atas anak kecil dan orang gila adalah sah, karena keduanya dapat saja memiliki kewajiban harta, sehingga kafālah atas mereka pun sah. Namun menurut pendapat yang tampak dari mazhab al-Syāfi‘ī, kafālah atas anak kecil dan orang gila tidak sah, karena perintah mereka tidak memiliki konsekuensi hukum. Maka, jika seorang anak memerintahkan untuk dilakukan kafālah atas dirinya, tidak sah, karena perintah anak kepada ayahnya hanyalah permintaan dan permohonan yang tidak memiliki konsekuensi hukum.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِي صِحَّةِ الْكَفَالَةِ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الشُّرُوطِ، انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى بَيَانِ اللَّفْظِ الَّذِي تَنْعَقِدُ بِهِ الْكَفَالَةُ وَذَلِكَ أَنْ تَقُولَ كَفَلْتُ لَكَ بِنَفْسِ فُلَانٍ وَهَذَا عُرْفُ أَهْلِ الْعِرَاقِ أَوْ تَقُولَ كَفَلْتُ لَكَ بِوَجْهِ فُلَانٍ وَهَذَا عُرْفُ أَهْلِ الْحِجَازِ وَفِي مَعْنَى الْأَوَّلِ أَنْ تَقُولَ كَفَلْتُ بِرُوحِ فُلَانٍ وَفِي مَعْنَى الثَّانِي أَنْ تَقُولَ كَفَلْتُ لَكَ بِرَأْسِ فُلَانٍ فَتَصِحَّ الْكَفَالَةُ بِهَذَا كُلِّهِ.

Setelah dipastikan bahwa syarat-syarat yang telah disebutkan harus dipenuhi dalam sahnya kafālah, maka pembahasan selanjutnya adalah mengenai lafaz yang digunakan untuk mengadakan kafālah. Yaitu, dengan mengucapkan: “Aku menjamin untukmu atas diri Fulan,” dan ini adalah kebiasaan penduduk Irak. Atau dengan mengucapkan: “Aku menjamin untukmu atas wajah Fulan,” dan ini adalah kebiasaan penduduk Hijaz. Makna pertama juga dapat diungkapkan dengan: “Aku menjamin atas ruh Fulan,” dan makna kedua dengan: “Aku menjamin untukmu atas kepala Fulan.” Maka, kafālah sah dengan semua ungkapan tersebut.

وَهَكَذَا لَوْ قَالَ كَفَلْتُ لَكَ بِجِسْمِ فُلَانٍ، أَوْ بِبَدَنِ فُلَانٍ صَحَّتِ الْكَفَالَةُ فَأَمَّا إذا ذكر في الكفالة عضو مِنْ أَعْضَائِهِ، فَإِنْ كَانَ الْعُضْوُ مَا يُعَبَّرُ به عن الجملة لقوله (كَفَلْتُ لَكَ بِعَيْنِ فُلَانٍ صَحَّتِ الْكَفَالَةُ كَمَا لَوْ قَالَ كَفَلْتُ لَكَ بِوَجْهِ فُلَانٍ، فَإِنْ كَانَ الْعُضْوُ مِمَّا لَا يُعَبَّرُ بِهِ عَنِ الْجُمْلَةِ يُنْظَرُ، فَإِنْ كَانَ لا يحيى بِفَقْدِهِ مِثْلَ الْكَبِدِ وَالْفُؤَادِ، فَإِذَا قَالَ كَفَلْتُ لَكَ بِكَبِدِ فُلَانٍ أَوْ فُؤَادِ فُلَانٍ صَحَّتِ الْكَفَالَةُ وَجَرَى مَجْرَى قَوْلِهِ بِنَفْسِ فُلَانٍ، وَإِنْ كان العضو مما يحيى مَعَ فَقْدِهِ كَالْيَدِ وَالرِّجْلِ، فَإِذَا قَالَ كَفَلْتُ لَكَ بِيَدِ فُلَانٍ أَوْ بِرِجْلِ فُلَانٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ أَحَدُهُمَا يَصِحُّ كَالطَّلَاقِ وَالْعِتْقِ، وَالثَّانِي لَا يَصِحُّ لِأَنَّهُ قَدْ يَفْقِدُ ذَلِكَ الْعُضْوَ الَّذِي عُيِّنَ فِي الْكَفَالَةِ وَلَا يُؤَثِّرُ فِي الْحَقِّ. فَأَمَّا إِذَا قَالَ كَفَلْتُ لَكَ بِنِصْفِ فُلَانٍ أَوْ بِثُلُثِ فُلَانٍ أَوْ بِجُزْءٍ مِنْهُ صَحَّتِ الْكَفَالَةُ لِأَنَّ الْجُزْءَ الشَّائِعَ فِيهِ لَا يَنْفَصِلُ مِنْهُ فَكَانَ أَقْوَى فِي الْحُكْمِ مِنْ أَعْضَائِهِ.

Demikian pula jika ia berkata: “Aku menjamin untukmu atas tubuh Fulan,” atau “atas badan Fulan,” maka kafālah sah. Adapun jika dalam kafālah disebutkan salah satu anggota tubuhnya, maka jika anggota tersebut biasa digunakan untuk mewakili keseluruhan, seperti ucapan: “Aku menjamin untukmu atas mata Fulan,” maka kafālah sah, sebagaimana jika ia berkata: “Aku menjamin untukmu atas wajah Fulan.” Namun, jika anggota tersebut bukan yang biasa mewakili keseluruhan, maka perlu dilihat: jika kehilangan anggota itu menyebabkan kematian, seperti hati dan jantung, maka jika ia berkata: “Aku menjamin untukmu atas hati Fulan” atau “atas jantung Fulan,” maka kafālah sah dan hukumnya sama seperti ucapan “atas diri Fulan.” Tetapi jika anggota itu tidak menyebabkan kematian bila hilang, seperti tangan dan kaki, maka jika ia berkata: “Aku menjamin untukmu atas tangan Fulan” atau “atas kaki Fulan,” maka ada dua pendapat yang diriwayatkan oleh Ibn Surayj: pertama, sah seperti dalam kasus talāq dan ‘itq; kedua, tidak sah karena anggota yang disebutkan dalam kafālah itu bisa saja hilang dan tidak berpengaruh pada hak. Adapun jika ia berkata: “Aku menjamin untukmu atas setengah Fulan,” atau “sepertiga Fulan,” atau “sebagian darinya,” maka kafālah sah, karena bagian yang tidak spesifik itu tidak terpisah darinya, sehingga hukumnya lebih kuat daripada anggota tubuhnya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا صَحَّ مَا ذَكَرْنَا مِنْ بَيَانِ لَفْظِ الْكَفَالَةِ فَلَا فَرْقَ فِي صِحَّةِ الْكَفَالَةِ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ الْمَكْفُولُ بِهِ حَاضِرًا أَوْ غَائِبًا وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ مُطْلَقًا أَوْ مَحْبُوسًا لِأَنَّ تَعَسُّرَ إِحْضَارِهِ بِالْحَبْسِ وَالْغَيْبَةِ جَارٍ مَجْرَى إِعْسَارِ الضَّامِنِ بِالْمَالِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ إِعْسَارَ الضَّامِنِ بِالْمَالِ الَّذِي ضَمِنَهُ لَا يَمْنَعُ مِنْ صِحَّةِ ضَمَانِهِ فَكَذَا تَعَذُّرُ إِحْضَارِ الْمَكْفُولِ بِهِ لَا يَمْنَعُ مِنْ صِحَّةِ الْكَفَالَةِ ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُ الْكَفَالَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.

Jika telah sah apa yang telah kami sebutkan mengenai penjelasan lafaz kafālah, maka tidak ada perbedaan dalam keabsahan kafālah, baik orang yang dijamin itu hadir maupun tidak, dan tidak ada perbedaan apakah ia bebas atau sedang ditahan. Sebab, kesulitan menghadirkannya karena penahanan atau ketidakhadiran itu sama dengan kesulitan penjamin dalam menjamin harta. Kemudian telah tetap bahwa kesulitan penjamin dalam membayar harta yang dijaminnya tidak menghalangi keabsahan jaminannya, demikian pula kesulitan menghadirkan orang yang dijamin tidak menghalangi keabsahan kafālah. Selanjutnya, keadaan kafālah tidak lepas dari dua kemungkinan.

إِمَّا أَنْ تَكُونَ مُقَيَّدَةً بِزَمَانٍ وَمَكَانٍ أَوْ مُطْلَقَةً، فَإِنْ كَانَتْ مُطْلَقَةً اسْتَحَقَّ مُطَالَبَةَ الْكَفِيلِ عَاجِلًا فِي الْمَكَانِ الَّذِي تَكَفَّلَ فِيهِ، وَإِنْ كَانَتْ مُقَيَّدَةً بِزَمَانٍ وَمَكَانٍ فَتَقْيِيدُهَا بِالزَّمَانِ أَنْ تَقُولَ عَلَيَّ أَنَّنِي أُسَلِّمُهُ إِلَيْكَ بَعْدَ شَهْرٍ، فَلَا يَسْتَحِقُّ مُطَالَبَتَهُ قَبْلَ مُضِيِّ الشَّهْرِ وَتَقْيِيدُهَا بِالْمَكَانِ أَنْ تَقُولَ عَلَيَّ أَنَّنِي أُسَلِّمُهُ إِلَيْكَ بِالْبَصْرَةِ، أَوْ فِي مَجْلِسِ الْحُكْمِ فَلَا يَسْتَحِقُّ مُطَالَبَتَهُ بِهِ فِي غَيْرِ ذَلِكَ الْمَوْضِعِ، فَإِنْ سَلَّمَهُ الْكَفِيلُ قَبْلَ الشَّهْرِ فَإِنْ كَانَ الْحَقُّ الَّذِي عَلَيْهِ مُؤَجَّلًا لَا يَحِلُّ قَبْلَ الشَّهْرِ أَوْ كَانَتْ لَهُ بَيِّنَةٌ غَائِبَةٌ لَا تَحْضُرُ قَبْلَ شَهْرٍ لَمْ يَبْرَأْ بِتَسْلِيمِهِ إِلَّا عِنْدَ رَأْسِ الشَّهْرِ وَإِنْ كَانَ دَيْنُهُ حَالًّا وَبَيِّنَتُهُ حَاضِرَةً بَرِئَ بِتَسْلِيمِهِ فِي الْحَالِ لِأَنَّهُ لَا يَسْتَفِيدُ بِتَأْخِيرِهِ شَيْئًا، وَهَكَذَا لَوْ كَفَلَ بِهِ عَلَى أَنْ يُسَلِّمَهُ بِالْبَصْرَةِ فَسَلَّمَهُ فِي غَيْرِهَا فَإِنْ كَانَ يَخَافُ عَلَيْهِ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي سَلَّمَهُ مِنْ يَدٍّ غَالِبَةٍ أَوْ كَانَتْ لَهُ بَيِّنَةٌ بِالْبَصْرَةِ وَفِي حمله إلى البصرة مؤونة، لَمْ يَبْرَأْ بِتَسْلِيمِهِ إِلَّا بِالْبَصْرَةِ وَإِنْ كَانَ الْمَكَانُ آمِنًا وَالْبَيِّنَةُ حَاضِرَةً وَاسْتِيفَاءُ الْحَقِّ مُمْكِنًا بَرِئَ بِتَسْلِيمِهِ، لِأَنَّهُ لَا يَسْتَفِيدُ بِحَمْلِهِ إِلَى الْبَصْرَةِ شَيْئًا فَلَوْ كَفَلَ بِهِ إِلَى وَقْتٍ فَمَضَى الْوَقْتُ وَلَمْ يَأْتِ بِهِ فَإِنْ كَانَ الْمَكْفُولُ بِهِ حَاضِرًا مَقْدُورًا عَلَيْهِ حُبِسَ الْكَفِيلُ حَتَّى يَأْتِيَ بِهِ. وَإِنْ كَانَ غَائِبًا غَيْرَ مَقْدُورٍ عَلَيْهِ فَهُوَ فِي حُكْمِ الْمُعْسِرِ يَجِبُ إِنْظَارُهُ حَتَّى يَقْدِرَ عَلَيْهِ وَلَا يَجُوزُ حَبْسُهُ كَمَا لَا يَجُوزُ حَبْسُ مِنْ أُعْسِرَ بِالدَّيْنِ حَتَّى يُوسِرَ، فَلَوْ سَلَّمَ الْمَكْفُولُ بِهِ نَفْسَهُ بَرِئَ الْكَفِيلُ مِنْ كَفَالَتِهِ فَإِنْ أَبَى الْمَكْفُولُ لَهُ أَنْ يَقْبَلَهُ أَشْهَدَ الْمَكْفُولُ بِهِ الدَّافِعَ لِنَفْسِهِ أَنَّهُ قَدْ سَلَّمَ نَفْسَهُ فِي كَفَالَةِ فُلَانٍ وَبَرِئَ الْكَفِيلُ مِنْهَا وَهَكَذَا لَوْ أَحْضَرَهُ الْكَفِيلُ فَأَبَى الْمَكْفُولُ لَهُ أَنْ يَقْبَلَهُ أَشْهَدَ الْكَفِيلُ عَلَى تَسْلِيمِهِ فَأَبْرَأَهُ الْحَاكِمُ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَعَدْلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ أَبْرَأْ نَفْسَهُ مِنَ الكفالة برئ.

Yaitu, apakah kafālah itu dibatasi oleh waktu dan tempat, ataukah bersifat mutlak. Jika kafālah itu bersifat mutlak, maka penuntutan terhadap penjamin berhak dilakukan segera di tempat di mana ia melakukan kafālah. Jika kafālah itu dibatasi oleh waktu dan tempat, maka pembatasan waktu misalnya dengan mengatakan, “Saya akan menyerahkannya kepadamu setelah satu bulan,” maka tidak berhak menuntutnya sebelum berlalu satu bulan. Pembatasan tempat misalnya dengan mengatakan, “Saya akan menyerahkannya kepadamu di Basrah,” atau “di majelis pengadilan,” maka tidak berhak menuntutnya selain di tempat tersebut. Jika penjamin menyerahkannya sebelum satu bulan, lalu jika hak yang menjadi tanggungannya itu masih tertunda dan belum jatuh tempo sebelum satu bulan, atau ia memiliki bukti yang tidak dapat dihadirkan sebelum satu bulan, maka penjamin belum bebas dari tanggung jawab kecuali setelah genap satu bulan. Namun jika utangnya telah jatuh tempo dan buktinya telah hadir, maka penjamin bebas dari tanggung jawab dengan penyerahan saat itu juga, karena tidak ada manfaat dari penundaan. Demikian pula jika ia menjamin untuk menyerahkannya di Basrah, lalu menyerahkannya di tempat lain, jika dikhawatirkan terjadi sesuatu terhadapnya di tempat penyerahan atau ia memiliki bukti di Basrah dan membawa ke Basrah memerlukan biaya, maka penjamin belum bebas dari tanggung jawab kecuali dengan penyerahan di Basrah. Namun jika tempat itu aman, bukti telah hadir, dan pelunasan hak memungkinkan, maka penjamin bebas dari tanggung jawab dengan penyerahan tersebut, karena tidak ada manfaat membawa ke Basrah. Jika ia menjamin sampai waktu tertentu, lalu waktu itu berlalu dan ia tidak membawanya, jika orang yang dijamin itu hadir dan dapat dihadirkan, maka penjamin ditahan sampai ia membawanya. Jika orang yang dijamin itu tidak hadir dan tidak dapat dihadirkan, maka ia diperlakukan seperti orang yang kesulitan membayar utang, wajib diberi tenggang waktu sampai ia mampu, dan tidak boleh ditahan sebagaimana tidak boleh menahan orang yang kesulitan membayar utang sampai ia mampu. Jika orang yang dijamin itu menyerahkan dirinya sendiri, maka penjamin bebas dari kafālah-nya. Jika pihak yang berhak menolak untuk menerima, maka orang yang dijamin itu menghadirkan saksi bahwa ia telah menyerahkan dirinya dalam kafālah si fulan dan penjamin bebas darinya. Demikian pula jika penjamin menghadirkannya lalu pihak yang berhak menolak untuk menerima, maka penjamin menghadirkan saksi atas penyerahannya, lalu hakim membebaskannya. Jika tidak memungkinkan, maka seorang yang adil dari kaum Muslimin menjadi saksi. Jika ia membebaskan dirinya dari kafālah, maka penjamin bebas.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَلَوْ مَاتَ الْمَكْفُولُ بِهِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وأبي حنيفة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ لَا شَيْءَ عَلَى الْكَفِيلِ وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو الْعَبَّاسِ قَدْ وَجَبَ عَلَى الْكَفِيلِ مَا عَلَى الْمَكْفُولِ بِهِ مِنَ الْحَقِّ وَهَكَذَا يَقُولَانِ إِذَا تَطَاوَلَتْ غَيْبَتُهُ وَلَمْ يَعْرِفْ مَوْضِعَهُ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْكَفَالَةِ التَّوْثِيقُ فِي الدَّيْنِ الْمُسْتَحَقِّ فَلَوْ كَانَ مَوْتُ الْمَكْفُولِ بِهِ لَا يُوجِبُ عَلَى الْكَفِيلِ غُرْمًا لَبَطَلَتْ فَائِدَةُ الْكَفَالَةِ.

Jika orang yang dijamin itu meninggal dunia, menurut mazhab Syafi‘i dan Abu Hanifah ra., tidak ada kewajiban apa pun atas penjamin. Malik dan Abu al-‘Abbas berpendapat bahwa penjamin tetap menanggung apa yang menjadi kewajiban orang yang dijamin. Demikian pula pendapat mereka jika orang yang dijamin itu lama tidak diketahui keberadaannya dan tidak diketahui tempatnya, karena tujuan kafālah adalah sebagai jaminan dalam utang yang wajib dibayar. Jika kematian orang yang dijamin tidak menyebabkan penjamin menanggung beban, maka manfaat kafālah menjadi hilang.

وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْحَقَّ لَمْ يَضْمَنْهُ وَالْمَكْفُولُ بِهِ قَدْ مَاتَ فَلَيْسَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ وَلَوْ جَازَ إِذَا كَفَلَ بِالنَّفْسِ أَنْ يَضْمَنَ الْمَالَ لَجَازَ إِذَا ضَمِنَ الْمَالَ أَنْ يَصِيرَ كَفِيلًا وَلَكِنْ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يختص بحكمه فلماذا ثَبَتَ أَنْ لَا شَيْءَ عَلَى الْكَفِيلِ نَظَرْنَا فَإِنْ لَمْ يَلْزَمْ إِحْضَارُ الْمَيِّتِ إِلَى مَجْلِسِ الْحُكْمِ فَقَدْ بَطَلَتِ الْكَفَالَةُ بِمَوْتِهِ وَإِنْ لَزِمَ إِحْضَارُهُ مَجْلِسَ الْحُكْمِ لِأَنَّ عَلَيْهِ بَيِّنَةً تَشْهَدُ على عينه ولا تعرف وَلَا تُعْرَفُ اسْمُهُ وَلَا نَسَبُهُ فَلَا بَأْسَ بِإِحْضَارِ الْمَيِّتِ مَجْلِسَ الْحُكْمِ أَوْ يَحْضُرُ الْحَاكِمُ إِلَى مَوْضِعِ الْمَيِّتِ يَسْمَعُ الْبَيِّنَةَ عَلَى عَيْنِهِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ فِي الْكَفَالَةِ وَجْهَانِ:

Ini adalah kekeliruan, karena hak tersebut tidak dijamin olehnya, dan orang yang dijamin telah meninggal dunia sehingga ia tidak mampu menghadirkannya. Seandainya boleh, ketika seseorang menjamin dengan jiwa, lalu ia wajib menanggung harta, maka boleh pula ketika ia menanggung harta, ia menjadi penjamin jiwa. Namun, masing-masing dari keduanya memiliki hukum tersendiri. Maka, mengapa ditetapkan bahwa tidak ada kewajiban atas penjamin? Kita perhatikan: jika tidak wajib menghadirkan mayit ke majelis pengadilan, maka batalah kafālah karena kematiannya. Namun jika wajib menghadirkannya ke majelis pengadilan karena ada bukti yang bersaksi atas fisiknya, namun tidak diketahui nama dan nasabnya, maka tidak mengapa menghadirkan mayit ke majelis pengadilan, atau hakim mendatangi tempat mayit untuk mendengarkan bukti atas fisiknya. Berdasarkan hal ini, dalam kafālah terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاقِيَةٌ لَا تَبْطُلُ بِالْمَوْتِ وَيُؤْخَذُ الْكَفِيلُ بِإِحْضَارِ الْمَيِّتِ.

Pertama: Kafālah tetap berlaku dan tidak batal karena kematian, dan penjamin diwajibkan menghadirkan mayit.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: قَدْ بَطَلَتِ الْكَفَالَةُ بِالْمَوْتِ لِأَنَّ الْمَيِّتَ مَقْدُورٌ عَلَيْهِ لِإِقَامَةِ الشَّهَادَةِ عَلَيْهِ فلم يحتج إلى الكفل.

Pendapat kedua: Kafālah batal karena kematian, karena mayit dapat dihadirkan untuk penegakan kesaksian atas dirinya, sehingga tidak lagi membutuhkan penjamin.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَلَوْ مَاتَ الْكَفِيلُ فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْكَفَالَةَ قَدْ بَطَلَتْ وَلَا يَسْتَحِقُّ مُطَالَبَةَ الْوَارِثِ بِشَيْءٍ وَيَجِيءُ عَلَى مَذْهَبِ ابْنِ سُرَيْجٍ أَنْ لَا تَبْطُلَ الْكَفَالَةُ لِأَنَّهَا عَلَى مَذْهَبِهِ قَدْ تُفْضِي إِلَى مَالٍ يَتَعَلَّقُ بِالتَّرِكَةِ لَكِنْ لَمْ أَجِدْ نَصًّا فِيهِ، وَلَكِنْ لَوْ مَاتَ الْمَكْفُولُ لَهُ كَانَتِ الْكَفَالَةُ عَلَى حَالِهَا لَا تَبْطُلُ عَلَى قَوْلِ الْجَمَاعَةِ وَيَقُومُ وَارِثُهُ مَقَامَهُ فِي الْمُطَالَبَةِ بِالْمَكْفُولِ بِهِ.

Jika penjamin meninggal dunia, menurut mazhab Syafi‘i, kafālah batal dan ahli waris tidak berhak dituntut apa pun. Namun menurut mazhab Ibn Surayj, kafālah tidak batal, karena menurut pendapatnya, kafālah bisa berujung pada harta yang berkaitan dengan tirkah (harta warisan), namun saya tidak menemukan nash (teks) tentang hal ini. Namun, jika yang dijamin meninggal dunia, maka kafālah tetap berlaku menurut pendapat jumhur, dan ahli warisnya menggantikan posisinya dalam menuntut yang dijamin.

فَلَوْ كَانَ الْمَكْفُولُ لَهُ حِينَ مَاتَ خَلَّفَ وَرَثَةً وَغُرَمَاءَ فَوَصَّى بِإِخْرَاجِ ثُلُثِهِ إِلَى وَصِيٍّ فَإِنْ كَانَ الْمُسْتَحَقُّ عَلَى الْمَكْفُولِ بِهِ لَا تَعَلُّقَ لَهُ بِالْمَالِ كَانَ الْمُسْتَحِقُّ لِلْكَفَالَةِ الْوَارِثَ وَحْدَهُ دُونَ الْغُرَمَاءِ وَأَهْلِ الْوَصَايَا وَإِنْ كَانَ مَالًا لَمْ يَبْرَأِ الْكَفِيلُ إِلَّا بِتَسْلِيمِ الْمَكْفُولِ بِهِ إِلَى الْوَرَثَةِ وَالْغُرَمَاءِ وَالْوَصِيِّ وَكَذَا الْمَالُ الْمَضْمُونُ فَإِنْ سَلَّمَهُ إِلَى الْوَرَثَةِ دُونَ الْغُرَمَاءِ وَالْوَصِيِّ أَوْ إِلَى الْغُرَمَاءِ دُونَ الْوَرَثَةِ وَالْوَصِيِّ أَوْ إِلَى الْوَصِيِّ دُونَ الْوَرَثَةِ لَمْ يَبْرَأْ مِنَ الْكَفَالَةِ وَلَكِنْ لَوْ سَلَّمَهُ إِلَى الْوَرَثَةِ وَالْغُرَمَاءِ وَأَهْلِ الْوَصَايَا دُونَ الْوَصِيِّ فَفِي بَرَاءَتِهِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ، أَحَدُهُمَا يَبْرَأُ لِأَنَّهُ سَلَّمَهُ إِلَى مُسْتَحِقِّهِ وَإِنَّمَا الْوَصِيُّ نَائِبٌ وَوَسِيطٌ.

Jika yang dijamin ketika meninggal dunia meninggalkan ahli waris dan para kreditur, lalu ia berwasiat agar sepertiga hartanya diserahkan kepada seorang wasi, maka jika hak yang menjadi tanggungan yang dijamin tidak berkaitan dengan harta, maka yang berhak atas kafālah hanyalah ahli waris, bukan para kreditur dan ahli wasiat. Namun jika berupa harta, penjamin tidak terbebas kecuali dengan menyerahkan yang dijamin kepada ahli waris, para kreditur, dan wasi. Begitu pula dengan harta yang dijamin, jika ia menyerahkannya kepada ahli waris saja tanpa para kreditur dan wasi, atau kepada para kreditur saja tanpa ahli waris dan wasi, atau kepada wasi saja tanpa ahli waris, maka ia belum terbebas dari kafālah. Namun, jika ia menyerahkannya kepada ahli waris, para kreditur, dan ahli wasiat tanpa wasi, maka dalam hal terbebasnya terdapat dua pendapat yang diriwayatkan oleh Ibn Surayj: salah satunya, ia terbebas karena telah menyerahkannya kepada yang berhak, sedangkan wasi hanyalah sebagai wakil dan perantara.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَبْرَأُ حَتَّى يَكُونَ الْوَصِيُّ فِي جُمْلَةِ مَنْ تَسَلَّمَهُ لِأَنَّ لِلْوَصِيِّ وِلَايَةً عَلَى أَهْلِ الْوَصَايَا فَصَارَ كَوَلِيِّ الطِّفْلِ وَالْمَجْنُونِ.

Pendapat kedua: Ia tidak terbebas hingga wasi termasuk di antara yang menerima, karena wasi memiliki wewenang atas ahli wasiat, sehingga kedudukannya seperti wali anak kecil dan orang gila.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَلَوْ قَالَ كَفَلْتُ لَكَ بِنَفْسِ فُلَانٍ فَإِنْ مَاتَ فَأَنَا ضَامِنٌ لِمَا عَلَيْهِ صَحَّتِ الْكَفَالَةُ وَبَطَلَ الضَّمَانُ لِأَنَّهَا مُعَلَّقَةٌ بِشَرْطٍ وَلَوْ قَالَ كَفَلْتُ لَكَ بِنَفْسِ فُلَانٍ عَلَى أَنَّهُ إِنْ مَاتَ فَأَنَا ضَامِنٌ لِمَا عَلَيْهِ بَطَلَتِ الْكَفَالَةُ وَالضَّمَانُ مَعًا لِأَنَّهُ جَعَلَ الضَّمَانَ الْفَاسِدَ مَشْرُوطًا فِي الْكَفَالَةِ فَبَطَلَا جَمِيعًا وَلَكِنْ لَوْ قَالَ كَفَلْتُ لَكَ بِنَفْسِ فُلَانٍ وَضَمِنْتُ لَكَ مَا عليه وهو معلوم فبهذه كَفَالَةٌ صَحِيحَةٌ، وَضَمَانٌ صَحِيحٌ، وَبِالْعَكْسِ مِمَّا ذَكَرْنَا أَنْ يَقُولَ قَدْ ضَمِنْتُ لَكَ عَنْ فُلَانٍ أَلْفًا فَإِنْ لَمْ أُؤَدِّهَا فَأَنَا كَفِيلٌ بِنَفْسِهِ صَحَّ الضَّمَانُ وَبَطَلَتِ الْكَفَالَةُ وَلَوْ قَالَ ضَمِنْتُ لَكَ عَنْهُ أَلْفًا عَلَى أَنَّنِي إِنْ لَمْ أُؤَدِّهَا فَأَنَا كَفِيلٌ بِنَفْسِهِ بَطَلَ الضَّمَانُ وَالْكَفَالَةُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika seseorang berkata, “Aku menjamin untukmu jiwa si Fulan, jika ia mati maka aku menanggung apa yang menjadi tanggungannya,” maka kafālah sah dan dhamān batal, karena dhamān tersebut digantungkan pada syarat. Namun jika ia berkata, “Aku menjamin untukmu jiwa si Fulan dengan syarat jika ia mati maka aku menanggung apa yang menjadi tanggungannya,” maka kafālah dan dhamān keduanya batal, karena ia menjadikan dhamān yang fasid sebagai syarat dalam kafālah, sehingga keduanya batal. Namun jika ia berkata, “Aku menjamin untukmu jiwa si Fulan dan aku menanggung apa yang menjadi tanggungannya, dan itu diketahui,” maka ini adalah kafālah yang sah dan dhamān yang sah. Sebaliknya, jika ia berkata, “Aku menanggung untukmu dari si Fulan seribu, jika aku tidak membayarnya maka aku menjadi penjamin jiwanya,” maka dhamān sah dan kafālah batal. Jika ia berkata, “Aku menanggung untukmu darinya seribu dengan syarat jika aku tidak membayarnya maka aku menjadi penjamin jiwanya,” maka dhamān dan kafālah keduanya batal. Wallāhu a‘lam.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَلَوْ كَفَلَ رَجُلٌ بِرَجُلٍ لِرَجُلَيْنِ فَسَلَّمَهُ إِلَى أَحَدِهِمَا لَمْ يَبْرَأْ مِنْ حَقِّ الْآخَرِ وَبَرِئَ مِنْ حَقِّ مَنْ تَسَلَّمَهُ منه وكان الاتفاق على حق مُطَالَبَةِ الْكَفِيلِ بِهِ.

Jika seorang laki-laki menanggung (kafālah) seseorang untuk dua orang, lalu ia menyerahkan orang yang ditanggung itu kepada salah satu dari keduanya, maka ia belum terbebas dari hak yang lain, dan ia telah terbebas dari hak orang yang telah menerima penyerahan tersebut darinya, selama kesepakatan terjadi atas hak menuntut penjamin (kafīl) atasnya.

وَلَوْ كَفَلَ رَجُلَانِ بِرَجُلٍ مُجْتَمِعَيْنِ لَمْ يَسْتَحِقَّ الْمَكْفُولُ بِهِ مُطَالَبَةَ أَحَدِهِمَا بِالْمَكْفُولِ بِهِ وَكَانَ لَهُ مُطَالَبَتُهُمَا جَمِيعًا فَإِنْ سَلَّمَهُ إِلَى أَحَدِهِمَا بَرِئَا مِنْهُ جَمِيعًا.

Dan jika dua orang laki-laki bersama-sama menanggung (kafālah) seseorang, maka pihak yang berhak atas orang yang ditanggung itu tidak berhak menuntut salah satu dari mereka saja atas orang yang ditanggung, melainkan ia berhak menuntut keduanya sekaligus. Jika ia menyerahkan orang yang ditanggung itu kepada salah satu dari mereka, maka keduanya terbebas darinya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَلَكِنْ لَوْ كَفَلَ رَجُلٌ بِرَجُلٍ ثُمَّ كَفَلَ بِهِ ثَانٍ ثُمَّ كَفَلَ بِهِ ثَالِثٌ كَانَ لِلْمَكْفُولِ لَهُ مُطَالَبَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْكُفَلَاءِ عَلَى انْفِرَادٍ فَإِذَا سَلَّمَهُ أَحَدُهُمْ لَمْ يَبْرَأِ الْآخَرَانِ مِنْ كَفَالَتِهِ؟ بِخِلَافِ الضَّمَانِ إِذَا سَلَّمَ أَحَدُ الضُّمَنَاءِ الْمَالَ، لِأَنَّ أَدَاءَ أَحَدِهِمُ الْمَالَ يُبَرِّئُ الْمَضْمُونَ عَنْهُ مِنَ الْحَقِّ، فَبَرِئَ بَاقِي الضُّمَنَاءِ، وَتَسْلِيمُ أَحَدِ الْكُفَلَاءِ الْمَكْفُولَ بِهِ لَا يُبَرِّئُهُ مِنَ الْحَقِّ فَلَمْ يَبْرَأْ بَاقِي الْكُفَلَاءِ.

Namun, jika seorang laki-laki menanggung seseorang, lalu ada penjamin kedua yang menanggungnya, kemudian ada penjamin ketiga yang juga menanggungnya, maka pihak yang berhak atas orang yang ditanggung itu boleh menuntut masing-masing penjamin secara terpisah. Jika salah satu dari mereka menyerahkan orang yang ditanggung, maka dua penjamin lainnya belum terbebas dari tanggung jawab kafālah. Berbeda dengan dhamān (penjaminan utang), jika salah satu penjamin membayar harta, maka pembayaran salah satu dari mereka membebaskan pihak yang dijamin dari hak tersebut, sehingga penjamin lainnya pun terbebas. Sementara penyerahan orang yang ditanggung oleh salah satu penjamin tidak membebaskannya dari hak tersebut, sehingga penjamin lainnya pun belum terbebas.

فَلَوْ كَفَلَ رَجُلٌ بِرَجُلٍ ثُمَّ كَفَلَ بِالْكَفِيلِ آخَرُ ثُمَّ كَفَلَ بِالْكَفِيلِ الثَّانِي كَفِيلٌ ثَالِثٌ جَازَ وَكَانَ لِلْمَكْفُولِ لَهُ مُطَالَبَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِمَنْ تَكَفَّلَ بِهِ، فَلَوْ مَاتَ الْمَكْفُولُ به الأول برؤا جَمِيعًا، وَلَوْ مَاتَ الثَّانِي بَرِئَ مَنْ بَعْدَهُ مِنَ الْكُفَلَاءِ، وَلَوْ مَاتَ الثَّالِثُ بَرِئَ مَنْ بَعْدَهُ وَلَمْ يَبْرَأْ مَنْ قَبْلَهُ كَمَا قُلْنَا فِي بَرَاءَةِ الضُّمَنَاءِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Jika seorang laki-laki menanggung seseorang, lalu ada orang lain yang menanggung penjamin pertama, kemudian ada penjamin ketiga yang menanggung penjamin kedua, maka hal itu sah, dan pihak yang berhak atas orang yang ditanggung itu boleh menuntut masing-masing dari mereka sesuai dengan siapa yang ia tanggung. Jika orang yang pertama kali ditanggung meninggal, maka semuanya terbebas. Jika penjamin kedua meninggal, maka penjamin setelahnya terbebas. Jika penjamin ketiga meninggal, maka penjamin setelahnya terbebas, namun penjamin sebelumnya belum terbebas, sebagaimana telah dijelaskan dalam pembebasan para penjamin (dhamān). Allah Maha Mengetahui kebenaran.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

أَخْذُ السَّفَاتِجِ بِالْمَالِ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Pengambilan surat wesel (safātij) dengan harta ada dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بِدَيْنٍ ثَابِتٍ.

Pertama: dilakukan atas dasar utang yang sudah tetap.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بِقَرْضٍ حَادِثٍ، فَأَمَّا الدَّيْنُ الثَّابِتُ إِذَا سَأَلَ صَاحِبُهُ مَنْ هُوَ عَلَيْهِ أَنْ يَكْتُبَ لَهُ بِهِ سُفْتَجَةً إِلَى بَلَدٍ آخَرَ لَمْ يَلْزَمْهُ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ فَلَوِ اتَّفَقَا عَلَى كَتْبِ سُفْتَجَةٍ جَازَ.

Kedua: dilakukan atas dasar utang piutang (qarḍ) yang baru. Adapun utang yang sudah tetap, jika pemilik utang meminta kepada orang yang berutang agar menuliskan untuknya surat wesel (suftajah) ke negeri lain, maka ia tidak wajib melakukannya kecuali jika ia menghendaki. Jika keduanya sepakat untuk menulis surat wesel, maka hal itu boleh.

وَأَمَّا الْقَرْضُ فَضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ مَشْرُوطًا فِيهِ كَتْبُ السُّفْتَجَةِ، إِمَّا مِنْ جِهَةِ الْمُقْرِضِ فَيَقُولُ هُوَ ذَا أَقْرَضْتُكَ لِتَكْتُبَ لِي بِهِ سُفْتَجَةً إِلَى بَلَدِ كَذَا أَوْ مِنْ جِهَةِ الْمُقْتَرِضِ فَيَقُولُ: هُوَ ذَا أَقْتَرِضُ مِنْكَ لِأَكْتُبَ لَكَ فِي سُفْتَجَةٍ إِلَى بَلَدِ كَذَا فَهَذَا قَرْضٌ بَاطِلٌ لَا يَصِحُّ أَخْذُ السُّفْتَجَةِ بِهِ لِأَنَّهُ قَرْضٌ جَرَّ مَنْفَعَةً.

Adapun pinjaman (qarḍ), maka ada dua macam: Pertama, pinjaman yang disyaratkan di dalamnya penulisan surat wesel, baik dari pihak pemberi pinjaman yang berkata, “Aku meminjamkan kepadamu agar engkau menuliskan untukku surat wesel ke negeri tertentu,” atau dari pihak peminjam yang berkata, “Aku meminjam darimu agar aku menuliskan untukmu surat wesel ke negeri tertentu.” Maka ini adalah pinjaman yang batal, tidak sah mengambil surat wesel dengannya, karena itu merupakan pinjaman yang mendatangkan manfaat.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَرْضًا مُطْلَقًا ثُمَّ يَتَّفِقَانِ عَلَى كَتْبِ سُفْتَجَةٍ فَيَجُوزُ هَذَا كَالدَّيْنِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يَخْلُو حَالُ السُّفْتَجَةِ بِالدَّيْنِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ بِلَفْظِ الْحَوَالَةِ أَوْ بِلَفْظِ الْأَمْرِ وَالرِّسَالَةِ فَإِنْ كَانَتْ بِلَفْظِ الْحَوَالَةِ، فَإِذَا وَرَدَتِ السُّفْتَجَةُ إِلَى الْمَكْتُوبِ إِلَيْهِ لَزِمَهُ أَدَاؤُهَا بِأَرْبَعَةِ شُرُوطٍ.

Kedua, pinjaman yang bersifat mutlak, kemudian keduanya sepakat untuk menulis surat wesel, maka ini boleh seperti halnya utang. Dalam hal ini, keadaan surat wesel dengan utang tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa dengan lafaz ḥawālah (pengalihan utang), atau dengan lafaz perintah dan pesan. Jika dengan lafaz ḥawālah, maka ketika surat wesel sampai kepada orang yang dituju, ia wajib membayarnya dengan empat syarat.

أَحَدُهَا: أَنْ يَعْتَرِفَ بِدَيْنِ الْمَكَاتِبِ.

Pertama: mengakui adanya utang penulis surat.

وَالثَّانِي: أَنْ يَعْتَرِفَ بِدَيْنِ الْمَكْتُوبِ لَهُ.

Kedua: mengakui adanya utang kepada pihak yang dituju (penerima surat).

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَعْتَرِفَ بِأَنَّهُ كِتَابُ الْمُحِيلِ.

Ketiga: mengakui bahwa itu adalah surat dari pihak yang mengalihkan utang (muḥīl).

وَالرَّابِعُ: أَنْ يَعْتَرِفَ أَنَّهُ كَتَبَهُ مُرِيدًا أَنَّهُ الْحَوَالَةُ فَإِذَا اعْتَرَفَ بِهَذِهِ الْأَرْبَعَةِ لَزِمَهُ أَدَاءُ مَا فِي السُّفْتَجَةِ مِنَ الدَّيْنِ، سَوَاءٌ ضَمِنَهُ لَفْظًا أَمْ لَا وَإِنِ اعْتَرَفَ بِدَيْنِ الْكَاتِبِ وَأَنْكَرَ دَيْنَ الْمَكْتُوبِ لَهُ أَوِ اعْتَرَفَ بِدَيْنِهِمَا وَأَنْكَرَ الْكِتَابَ لَمْ تَلْزَمْهُ الْحَوَالَةُ.

Keempat: mengakui bahwa ia menulisnya dengan maksud sebagai pengalihan utang (ḥawālah). Jika ia mengakui keempat hal ini, maka ia wajib membayar utang yang tercantum dalam surat wesel, baik ia menjaminnya secara lisan maupun tidak. Jika ia mengakui utang penulis surat namun mengingkari utang kepada penerima, atau mengakui utang kepada keduanya namun mengingkari surat tersebut, maka pengalihan utang tidak wajib baginya.

وَلَوِ اعْتَرَفَ بِدَيْنِهِمَا وَبِالْكِتَابَةِ وَأَنْكَرَ أَنْ يَكُونَ الْمَكَاتِبُ أَرَادَ بِهِ الْحَوَالَةَ فَالْمَذْهَبُ الَّذِي يُوجِبُهُ الْقِيَاسُ أَنَّ الْحَوَالَةَ لَا تَلْزَمُهُ.

Jika ia mengakui utang kepada keduanya dan mengakui surat tersebut, namun mengingkari bahwa penulis surat bermaksud menjadikannya sebagai pengalihan utang (ḥawālah), maka pendapat yang didasarkan pada qiyās adalah bahwa pengalihan utang tidak wajib baginya.

وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ مَتَى اعْتَرَفَ بِالْكِتَابِ وَالدَّيْنِ لَزِمَتْهُ الْحَوَالَةُ وَإِنْ أَنْكَرَ الْإِرَادَةَ اعْتِمَادًا عَلَى الْعُرْفِ، وَأَنَّ الوصول إلى الإرادة متعذر، فَلَوْ لَمْ يَعْتَرِفْ بِالْكِتَابِ لَكِنْ أَجَابَ إِلَى دَفْعِ الْمَالِ لِيَكُونَ مَضْمُونًا عَلَيْهِ إِلَى أَنْ تَصِحَّ الْحَوَالَةُ جَازَ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَجُوزُ لَهُ اسْتِرْجَاعُ الْمَالِ مِنْهُ قَبْلَ صِحَّةِ الْحَوَالَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Dan sebagian dari ulama kami berpendapat: kapan saja seseorang mengakui adanya surat (kitāb) dan utang (dayn), maka hawālah menjadi wajib baginya, meskipun ia mengingkari adanya niat (irādah), dengan berpegang pada ‘urf (kebiasaan), serta karena sulitnya mengetahui niat tersebut. Maka, jika ia tidak mengakui adanya surat, tetapi bersedia menyerahkan harta agar menjadi tanggungannya sampai hawālah itu sah, maka hal itu diperbolehkan. Para ulama kami berbeda pendapat, apakah ia boleh menarik kembali harta tersebut sebelum hawālah itu sah, menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ اعْتِبَارًا بِالشَّرْطِ، وَأَنَّ لَهُ اسْتِرْجَاعَهُ بَعْدَ الْعِلْمِ بِبُطْلَانِ الْحَوَالَةِ.

Pertama: Tidak boleh, dengan mempertimbangkan adanya syarat, dan bahwa ia boleh menariknya kembali setelah mengetahui batalnya hawālah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرِيِّ يَجُوزُ لَهُ اسْتِرْجَاعُ الْمَالِ مِنْهُ مَتَى شَاءَ مَا لَمْ تَثْبُتْ صِحَّةُ الْحَوَالَةِ لِأَنَّ الْمَالَ لَا يَلْزَمُهُ إِلَّا بَعْدَ صِحَّةِ الْحَوَالَةِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abū ‘Abdillāh az-Zubairī: Ia boleh menarik kembali harta tersebut kapan saja ia mau selama hawālah itu belum sah, karena harta itu tidak menjadi kewajibannya kecuali setelah hawālah itu sah.

أَمَّا إِذَا كَانَتِ السُّفْتَجَةُ بِلَفْظِ الْأَمْرِ وَالرِّسَالَةِ لَمْ تَلْزَمِ الْمَكْتُوبَ إِلَيْهِ إِلَّا أَنْ يَضْمَنَهَا لَفْظًا سَوَاءٌ اعْتَرَفَ بِالْكِتَابِ وَالدَّيْنِ أَمْ لَا، وَهُوَ قَوْلُ محمد بن الحسن وَقَالَ أبو يوسف إِذَا قَرَأَهَا وَتَرَكَهَا تَرْكَ رِضًا لَزِمَتْهُ وَقَالَ غَيْرُهُ مِنَ الْعِرَاقِيِّينَ إِذَا أَثْبَتَهَا فِي حِسَابِهِ لَزِمَتْهُ.

Adapun jika suftajah itu dengan lafaz perintah dan pengiriman, maka tidak wajib bagi orang yang dituju kecuali jika ia menanggungnya secara lafaz, baik ia mengakui adanya surat dan utang maupun tidak. Ini adalah pendapat Muhammad bin al-Hasan. Abū Yūsuf berkata: Jika ia membacanya dan membiarkannya sebagai tanda ridha, maka menjadi kewajibannya. Ulama Irak lainnya berkata: Jika ia mencatatnya dalam pembukuannya, maka menjadi kewajibannya.

وَكُلُّ هَذَا عِنْدَنَا لَا يَلْزَمُ بِهِ السُّفْتَجَةُ وَكَذَلِكَ لَوْ كَتَبَ عَلَى ظَهْرِهَا أَنَّهَا صَحِيحَةٌ قَدْ قَبِلْتُهَا حَتَّى يَضْمَنَهَا لَفْظًا ثُمَّ لَا تَلْزَمُ الْكَاتِبَ إِلَّا أَنْ يَعْتَرِفَ بِهَا لَفَظًا فَلَا تَلْزَمُهُ بِاعْتِرَافِهِ بِالْخَطِّ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ إِنِ اعْتَرَفَ بِالْخَطِّ لَزِمَهُ وَهُوَ قَوْلُ مَنْ زَعَمَ أَنَّ الْمَكْتُوبَ إِلَيْهِ إِنِ اعْتَرَفَ بِالْخَطِّ فِي الْحَوَالَةِ لَزِمَتْهُ وَهُوَ غَيْرُ صَحِيحٍ فِي الْمَوْضِعَيْنِ آخَرُ كِتَابِ الضَّمَانِ بحمد الله ومنه وتوفيقه.

Semua ini menurut kami, suftajah tidak menjadi kewajiban karenanya. Demikian pula, jika ia menulis di belakangnya bahwa itu sah dan ia telah menerimanya, maka tidak menjadi kewajiban penulis kecuali jika ia mengakuinya secara lafaz. Maka, tidak menjadi kewajibannya hanya dengan pengakuan terhadap tulisan. Sebagian ulama kami berpendapat: Jika ia mengakui tulisan tersebut, maka menjadi kewajibannya. Ini adalah pendapat orang yang beranggapan bahwa orang yang dituju, jika mengakui tulisan dalam hawālah, maka menjadi kewajibannya. Namun, ini tidak benar pada kedua tempat tersebut. Tamat Kitāb adh-Dhamān dengan puji syukur kepada Allah, karunia, dan taufik-Nya.

(Kitāb asy-Syirkah)

تَحَرَّيْتُ فِيهَا مَذْهَبَ الشَّافِعِيِّ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْهِ:

Dalam pembahasan ini, aku mengikuti mazhab asy-Syāfi‘ī rahimahullāh:

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” الشَّرِكَةُ مِنْ وُجُوهٍ مِنْهَا الْغَنِيمَةُ أَزَالَ اللَّهُ عَزَ وَجَلَّ مِلْكَ الْمُشْرِكِينَ عَنْ خَيْبَرَ فَمَلَكَهَا رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَالْمُؤْمِنُونَ وَكَانُوا فِيهِ شُرَكَاءَ فَقَسَمَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَمْسَةَ أَجْزَاءٍ ثُمَّ أَقْرَعَ بَيْنَهَا فَأَخْرَجَ مِنْهَا خُمُسَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِأَهْلِهِ وَأَرْبَعَةَ أَخْمَاسِهَا لِأَهْلِهَا (قَالَ الْمُزَنِيُّ) وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى قَسْمِ الْأَمْوَالِ وَالضَّرْبِ عَلَيْهَا بِالسِّهَامِ وَمِنْهَا الْمَوَارِيثُ وَمِنْهَا الشَّرِكَةُ فِي الْهِبَاتِ وَالصَّدَقَاتِ فِي قَوْلِهِ وَمِنْهَا التِّجَارَاتُ وَفِي ذَلِكَ كُلِّهِ الْقَسْمُ إِذَا كَانَ مِمَّا يُقْسَمُ وَطَلَبَهُ الشَّرِيكُ وَمِنْهَا الشَّرِكَةُ فِي الصَّدَقَاتِ الْمُحَرَّمَاتِ فِي قَوْلِهِ وَهِيَ الْأَحْبَاسُ وَلَا وَجْهَ لِقَسْمِهَا فِي رِقَابِهَا لِارْتِفَاعِ الْمِلْكِ عَنْهَا فَإِنْ تَرَاضَوْا مِنَ السُّكْنَى سَنَةً بِسَنَةٍ فَلَا بَأْسَ “.

Al-Muzanī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Syirkah (persekutuan) itu bermacam-macam. Di antaranya adalah ghanīmah (harta rampasan perang), di mana Allah ‘azza wa jalla telah menghilangkan kepemilikan orang-orang musyrik atas Khaibar, lalu Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- dan kaum mukminin memilikinya, dan mereka menjadi sekutu di dalamnya. Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- membaginya menjadi lima bagian, lalu mengundi di antara bagian-bagian itu, kemudian mengeluarkan seperlima bagian untuk Allah Ta‘ālā dan para penerimanya, dan empat perlimanya untuk para penerimanya. (Al-Muzanī berkata): Dalam hal ini terdapat dalil tentang pembagian harta dan penetapan bagian-bagian dengan undian. Di antaranya juga adalah warisan, syirkah dalam hibah dan sedekah menurut pendapatnya, dan di antaranya syirkah dalam perdagangan. Dalam semua itu, berlaku pembagian jika memang termasuk sesuatu yang dapat dibagi dan diminta oleh sekutu. Di antaranya juga syirkah dalam sedekah yang diharamkan menurut pendapatnya, yaitu al-ahbās (harta wakaf), dan tidak ada alasan untuk membaginya dalam kepemilikannya karena kepemilikan telah terangkat darinya. Jika mereka sepakat untuk menempati secara bergiliran, misalnya setahun demi setahun, maka tidak mengapa.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالْأَصْلُ فِي إِحْلَالِ الشَّرِكَةِ وَإِبَاحَتِهَا – الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ.

Al-Māwardī berkata: Dasar kebolehan dan kehalalan syirkah adalah al-Kitāb dan as-Sunnah.

فَأَمَّا الْكِتَابُ فَقَوْلُهُ تَعَالَى: {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ} [الأنفال: 41] فَجَعَلَ اللَّهُ تَعَالَى خُمُسَ الْغَنَائِمِ مُشْتَرَكَةً بَيْنَ أَهْلِ الْخُمُسِ وَجَعَلَ الْبَاقِيَ مُشْتَرَكًا بَيْنَ الْغَانِمِينَ لِأَنَّهُ لَمَّا أَضَافَ الْمَالَ إِلَيْهِمْ وَبَيَّنَ الْخُمُسَ لِأَهْلِهِ عُلِمَ أَنَّ الْبَاقِيَ لَهُمْ كَمَا قَالَ {وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ} [النساء: 11] دَلَّ عَلَى أَنَّ الْبَاقِيَ بَعْدَ الثُّلُثِ لِلْأَبِ وَقَالَ تَعَالَى: {يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ} [النساء: 11] فَجَعَلَ التَّرِكَةَ شَرِكَةً بَيْنَ الْوَرَثَةِ.

Adapun dalil dari al-Kitab adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan ketahuilah, apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil} (al-Anfal: 41). Maka Allah Ta‘ala menjadikan seperlima dari harta rampasan perang sebagai bagian bersama bagi para penerima khumus, dan sisanya dijadikan sebagai bagian bersama bagi para peraih rampasan perang. Karena ketika Allah telah menisbatkan harta itu kepada mereka dan menjelaskan seperlima untuk para penerima khumus, maka diketahui bahwa sisanya adalah milik mereka, sebagaimana firman-Nya: {dan kedua orang tuanya mewarisinya, maka untuk ibunya sepertiga} (an-Nisa: 11), yang menunjukkan bahwa sisanya setelah sepertiga adalah untuk ayah. Dan Allah Ta‘ala berfirman: {Allah mewasiatkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu: bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan} (an-Nisa: 11), maka Allah menjadikan harta warisan sebagai milik bersama para ahli waris.

وَقَالَ تَعَالَى: {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ} [التوبة: 60] الْآيَةَ. فَجَعَلَ أَهْلَ السِّهَامِ شُرَكَاءَ فِي الصَّدَقَاتِ. وَقَالَ تَعَالَى: {وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ} [ص: 24] يَعْنِي الشُّرَكَاءَ.

Dan Allah Ta‘ala berfirman: {Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin} (at-Taubah: 60) dan seterusnya. Maka Allah menjadikan para penerima bagian sebagai sekutu dalam zakat. Dan Allah Ta‘ala berfirman: {Dan sesungguhnya kebanyakan dari para sekutu itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain} (Shad: 24), yang dimaksud adalah para sekutu.

وَأَمَّا السُّنَّةُ فَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ خَالِدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنِ السَّائِبِ بْنِ أَبِي السَّائِبِ وَكَانَ يُشَارِكُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الْجَاهِلِيَّةِ قَالَ فَقَدِمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ لَهُ مَرْحَبًا بِأَخِي لَا يُدَارِي وَلَا يماري.

Adapun dalil dari as-Sunnah, Imam asy-Syafi‘i meriwayatkan dari Muslim bin Khalid, dari Abdullah bin ‘Utsman, dari Mujahid, dari as-Sa’ib bin Abi as-Sa’ib—yang dahulu bermitra dengan Rasulullah ﷺ pada masa jahiliah—ia berkata: Lalu aku datang kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau bersabda kepadaku, “Selamat datang wahai saudaraku, yang tidak menipu dan tidak membantah.”

ثَمَّ قَالَ كَمْ يَا سَائِبُ كُنْتَ تَعْمَلُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَعْمَالًا لَا تُقْبَلُ مِنْكَ وَهِيَ اليوم تقبل وكان ذا سلف وصداقة.

Kemudian beliau bersabda, “Wahai Sa’ib, berapa banyak amalan yang dahulu engkau lakukan di masa jahiliah yang tidak diterima darimu, namun hari ini amalan itu diterima.” Dan Sa’ib adalah orang yang memiliki kebiasaan memberi pinjaman dan bersedekah.

وَرَوَى إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَيْسَرَةَ عَنْ مُجَاهِدٍ أَنَّ قَيْسَ بْنَ السَّائِبِ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ شَرِيكِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ خَيْرَ شَرِيكٍ لَا يُدَارِي وَلَا يُمَارِي.

Ibrahim bin Maisarah meriwayatkan dari Mujahid bahwa Qais bin as-Sa’ib berkata: “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ adalah mitraku pada masa jahiliah, dan beliau adalah sebaik-baik mitra, tidak menipu dan tidak membantah.”

وَرَوَى أَبُو حَيَّانَ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِنْ خَانَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا.

Abu Hayyan at-Taimi meriwayatkan dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ala berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang mitra selama salah satu dari keduanya tidak berkhianat kepada yang lain. Jika salah satu dari keduanya berkhianat kepada yang lain, maka Aku keluar dari antara mereka.’”

وَرَوَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” يَدُ اللَّهِ عَلَى الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَتَخَاوَنَا “.

Rasulullah ﷺ meriwayatkan bahwa beliau bersabda: “Tangan Allah berada di atas dua orang mitra selama keduanya tidak saling berkhianat.”

وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – شَرِكَ بَيْنَ أَصْحَابِهِ فِي سِهَامِ خَيْبَرَ وَفِي الْأَزْوَادِ فِي السَّفَرِ وَاشْتَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَبُو بَكْرٍ وَعَلِيٌّ فِي أَزْوَادِهِمْ يَخْلِطُونَهَا فِي سَفَرِهِمْ.

Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ membagi-bagi bagian di Khaibar di antara para sahabatnya, dan juga membagi-bagi bekal makanan dalam perjalanan. Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, dan Ali bermitra dalam bekal makanan mereka, mereka mencampurkannya dalam perjalanan mereka.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الشَّرِكَةِ فَقَدْ ينقسم ما تكون فيه الشركة أقسام أَرْبَعَةً:

Jika telah tetap kebolehan syarikah (kemitraan), maka hal-hal yang dapat menjadi objek syarikah terbagi menjadi empat bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ فِي الرِّقَابِ وَالْمَنَافِعِ.

Pertama: syarikah itu terjadi pada kepemilikan (‘raqāb’) dan manfaat (‘manāfi‘’).

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ فِي الرِّقَابِ دُونَ الْمَنَافِعِ.

Kedua: syarikah itu terjadi pada kepemilikan (‘raqāb’) saja tanpa manfaat (‘manāfi‘’).

وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ فِي الْمَنَافِعِ دُونَ الرِّقَابِ.

Ketiga: syarikah itu terjadi pada manfaat (‘manāfi‘’) saja tanpa kepemilikan (‘raqāb’).

وَالرَّابِعُ: أَنْ تَكُونَ فِي حُقُوقِ الرِّقَابِ.

Keempat: syarikah itu terjadi pada hak-hak kepemilikan (‘ḥuqūq ar-raqāb’).

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الشَّرِكَةُ فِي الرِّقَابِ وَالْمَنَافِعِ فَهُوَ أَنْ يَمْلِكَ الِاثْنَانِ أَوِ الْجَمَاعَةُ دَارًا أَوْ أَرْضًا أَوْ حَيَوَانًا أَوْ عَرْضًا بِابْتِيَاعٍ أَوْ مِيرَاثٍ أَوْ مَغْنَمٍ أَوْ هِبَةٍ فَيَكُونَا شَرِيكَيْنِ فِي رَقَبَةِ الشَّيْءِ أَوْ مَنْفَعَتِهِ.

Adapun bagian pertama, yaitu syarikah dalam kepemilikan dan manfaat, adalah ketika dua orang atau sekelompok orang memiliki sebuah rumah, tanah, hewan, atau barang melalui pembelian, warisan, rampasan perang, atau hibah, sehingga mereka menjadi mitra dalam kepemilikan barang tersebut atau manfaatnya.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الشَّرِكَةُ فِي الرِّقَابِ دُونَ الْمَنَافِعِ فَهُوَ أَنْ يُوصِيَ رَجُلٌ بِخِدْمَةِ عَبْدِهِ أَوْ سُكْنَى دَارِهِ أَوْ غَلَّةِ بُسْتَانِهِ لِرَجُلٍ فَيَكُونَ الْمُوصَى لَهُ الْمَنْفَعَةَ، وَيَكُونَ الْوَرَثَةُ شُرَكَاءَ فِي الرَّقَبَةِ.

Adapun bagian kedua, yaitu syarikah dalam kepemilikan saja tanpa manfaat, adalah ketika seseorang mewasiatkan pelayanan budaknya, atau tempat tinggal di rumahnya, atau hasil kebun miliknya kepada seseorang, sehingga orang yang menerima wasiat mendapatkan manfaatnya, sedangkan para ahli waris menjadi mitra dalam kepemilikannya.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الشَّرِكَةُ في المنافع دون الرقاب فأما المنافع على ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:

Adapun bagian ketiga, yaitu syarikah dalam manfaat saja tanpa kepemilikan, maka manfaat itu terbagi menjadi tiga jenis:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ الْمَنْفَعَةُ مَمْلُوكَةً من عين مملوكة كَالرَّجُلَيْنِ إِذَا اسْتَأْجَرَا دَارًا أَوْ أَرْضًا فَهُمَا شَرِيكَانِ فِي مَنَافِعِهَا دُونَ رِقَابِهَا وَالْوَقْفُ مِنْ هَذَا النَّوْعِ يَكُونُ أَرْبَابُهُ شُرَكَاءَ فِي مَنَافِعِهِ دُونَ رَقَبَتِهِ إِنْ قِيلَ إِنَّ رَقَبَةَ الْوَقْفِ لَا تُمْلَكُ وَإِنْ قِيلَ إِنَّ رَقَبَةَ الْوَقْفِ مَمْلُوكَةٌ كَانَ مِنَ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ يَكُونُ أَرْبَابُهُ شُرَكَاءَ فِي مَنَافِعِهِ دُونَ رَقَبَتِهِ وَإِنْ قِيلَ أن رقبة الوقف لا يملك.

Pertama: Manfaat itu dimiliki dari suatu benda yang dimiliki, seperti dua orang laki-laki yang menyewa sebuah rumah atau tanah, maka keduanya adalah sekutu dalam manfaatnya, bukan pada kepemilikan bendanya. Wakaf termasuk dalam jenis ini, para pemiliknya adalah sekutu dalam manfaatnya, bukan pada kepemilikan bendanya, jika dikatakan bahwa benda wakaf tidak dimiliki. Namun jika dikatakan bahwa benda wakaf itu dimiliki, maka ia termasuk dalam jenis pertama, yaitu para pemiliknya adalah sekutu dalam manfaatnya, bukan pada kepemilikan bendanya, jika dikatakan bahwa benda wakaf tidak dimiliki.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الْمَنْفَعَةُ مُبَاحَةً مِنْ عَيْنٍ غَيْرِ مَمْلُوكَةٍ بِالدُّهْنِ النَّجَسِ وَالرَّوْثِ وَالسَّمَادِ فَهَذَا غَيْرُ مَمْلُوكٍ وَإِنَّمَا يَكُونُ الْإِنْسَانُ أَوْلَى بِهِ لِثُبُوتِ يَدِهِ لِمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مِنْ إِبَاحَةِ الِانْتِفَاعِ بِهِ وَإِنَّمَا لَمْ تُمْلَكِ الْمَنْفَعَةُ وَإِنْ كَانَتْ مُبَاحَةً لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ الْمُعَاوَضَةُ عَلَيْهَا فَيَكُونَ الشُّرَكَاءُ فِي هَذَا النَّوْعِ شُرَكَاءَ فِي إِبَاحَةِ مَنَافِعِهِ.

Jenis kedua: Manfaat yang diperoleh dari benda yang tidak dimiliki, seperti minyak najis, kotoran, dan pupuk, maka ini bukanlah sesuatu yang dimiliki, melainkan seseorang hanya lebih berhak atasnya karena ia telah menguasainya, terkait dengan kebolehan memanfaatkannya. Manfaat tersebut tidak dimiliki meskipun dibolehkan, karena tidak boleh ada pertukaran atasnya. Maka para sekutu dalam jenis ini adalah sekutu dalam kebolehan memanfaatkan manfaatnya.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: مَا كَانَتِ الْمَنْفَعَةُ مَأْخُوذَةً مِنْ عَيْنٍ غَيْرِ مَمْلُوكَةٍ. وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْمَنْفَعَةِ مِنْهُ هَلْ تَكُونُ مَمْلُوكَةً أَوْ مُبَاحَةً وَهِيَ مَنْفَعَةُ الْكَلْبِ الْمُنْتَفَعِ بِهِ. فَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ: أَنَّهَا مُبَاحَةٌ غَيْرُ مَمْلُوكَةٍ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعَاوَضَ عَلَيْهَا.

Jenis ketiga: Manfaat yang diambil dari benda yang tidak dimiliki. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai manfaat dari hal ini, apakah ia termasuk manfaat yang dimiliki atau manfaat yang dibolehkan, yaitu manfaat dari anjing yang dimanfaatkan. Salah satu pendapat: manfaat tersebut adalah manfaat yang dibolehkan, bukan dimiliki, dan tidak boleh ada pertukaran atasnya.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا مَنْفَعَةٌ مَمْلُوكَةٌ وَإِنْ كَانَتِ الْعَيْنُ غَيْرَ مَمْلُوكَةٍ وَيَجُوزُ أَنْ يُعَاوَضَ عَلَيْهَا، وَهَذَا مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي جَوَازِ إِجَارَةِ الْكَلْبِ.

Pendapat kedua: manfaat tersebut adalah manfaat yang dimiliki meskipun bendanya tidak dimiliki, dan boleh ada pertukaran atasnya. Ini merupakan perbedaan pendapat di kalangan ulama kami tentang bolehnya menyewakan anjing.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الشَّرِكَةُ فِي حُقُوقِ رِقَابٍ وَذَلِكَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:

Adapun bagian keempat: yaitu adanya kemitraan dalam hak-hak atas benda, dan ini terbagi menjadi tiga jenis:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الْحَقُّ في الرقبة مفضيا للتمليك.

Pertama: Hak atas benda itu mengarah pada kepemilikan.

وَالثَّانِي: أَنْ يُفْضِيَ إِلَى الِاسْتِهْلَاكِ.

Kedua: Mengarah pada pemusnahan.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يُفْضِيَ إِلَى التَّأْدِيبِ.

Ketiga: Mengarah pada pemberian hukuman (ta’dib).

فَأَمَّا الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الشَّرِكَةُ فِيمَا يُسْتَحَقُّ بِهِ تَمَلُّكُ رِقَابٍ فَكَالشُّفْعَةِ يُسْتَحَقُّ بِهَا مِلْكُ مَا وَجَبَ فِيهِ الشُّفْعَةُ.

Adapun yang pertama: yaitu kemitraan dalam hal yang berhak untuk dimiliki atas suatu benda, seperti syuf‘ah, yang dengannya seseorang berhak memiliki apa yang wajib di dalam syuf‘ah.

وَأَمَّا الثَّانِي وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الشَّرِكَةُ فِيمَا يُسْتَحَقُّ بِهِ اسْتِهْلَاكُ رِقَابٍ فَكَالْقِصَاصِ يَجِبُ بِتَنَاوُلِهِ إِتْلَافُ مَا وَجَبَ فِيهِ الْقِصَاصُ. وَأَمَّا الثَّالِثُ أَنْ تَكُونَ الشَّرِكَةُ فِيمَا يُسْتَحَقُّ بِهِ تَأْدِيبُ رِقَابٍ كَحَدِّ الْقَذْفِ يَجِبُ بِهِ تَأْدِيبُ مَنْ كَانَ مِنْهُ الْقَذْفُ.

Adapun yang kedua, yaitu kemitraan dalam hal yang berhak untuk dimusnahkan atas suatu benda, seperti qishāsh, yang dengan pelaksanaannya mengharuskan pemusnahan apa yang wajib dalam qishāsh. Adapun yang ketiga, yaitu kemitraan dalam hal yang berhak untuk diberikan hukuman atas suatu benda, seperti had qazaf, yang dengannya wajib diberikan hukuman kepada pelaku qazaf.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

ثُمَّ إِنَّ الْمُزَنِيَّ ذَكَرَ أَحْوَالَ الْقِسْمَةِ فِي الْأَمْوَالِ الْمُشْتَرَكَةِ وجملة الأموال المشتركة أنها اقْتِسَامُ الشَّرِكَةِ بِهَا عَلَى أَصْنَافٍ أَرْبَعَةٍ:

Kemudian al-Muzani menyebutkan keadaan-keadaan pembagian dalam harta bersama. Secara umum, harta bersama adalah pembagian kemitraan atasnya menjadi empat jenis:

أَحَدُهَا: مَا تَصِحُّ فِيهِ الْقِسْمَةُ صُلْحًا وَجَبْرًا. وَهُوَ مَا تَسَاوَتْ أَجْزَاؤُهُ مِنَ الدُّورِ وَالْأَرَضِينَ وَالْأَدْهَانِ وَالْحُبُوبِ.

Pertama: Harta yang sah untuk dibagi baik secara damai maupun secara paksa, yaitu harta yang bagian-bagiannya setara seperti rumah, tanah, minyak, dan biji-bijian.

وَالثَّانِي: مَا لَا تَصِحُّ فِيهِ الْقِسْمَةُ صُلْحًا وَلَا جَبْرًا كَاللُّؤْلُؤِ وَالْجَوَاهِرِ لِمَا فِيهَا مِنَ اخْتِلَافِ قِيمَتِهِ وَاسْتِهْلَاكِ عَيْنِهِ.

Kedua: Harta yang tidak sah untuk dibagi baik secara damai maupun secara paksa, seperti mutiara dan permata, karena perbedaan nilainya dan karena jika dibagi akan menghilangkan bendanya.

وَالثَّالِثُ: مَا تَصِحُّ فِيهِ الْقِسْمَةُ صُلْحًا وَلَا تَصِحُّ جبرا الأرض وَالْعَقَارِ إِذَا اخْتَلَفَتْ قِيمَةُ أَمَاكِنِهِ وَدَخَلَ الرَّدُّ فِي قِسْمَتِهِ فَإِنْ تَرَاضَى الشَّرِيكَانِ فِي هَذَا النَّوْعِ الَّذِي يَدْخُلُهُ الرَّدُّ عَلَى إِدْخَالِ الْقُرْعَةِ وأخذ ما خرج بها فهل يلزمهما ذَلِكَ إِذَا خَرَجَتِ الْقُرْعَةُ أَمْ يَكُونَا عَلَى خِيَارِهِمَا. عَلَى قَوْلَيْنِ: وَهَكَذَا لَوِ اسْتَقَرَّتِ الْقِيمَةُ عَلَى فَصْلِ مِسَاحَةِ أَحَدِهِمَا أَنَّهُ لَا مَعْنَى للقرعة في التزام ما خرج بها ويكونا بَعْدَ خُرُوجِ الْقُرْعَةِ عَلَى خِيَارِهِمَا قَبْلَ الْقُرْعَةِ.

Ketiga: Harta yang sah untuk dibagi secara damai namun tidak sah secara paksa, seperti tanah dan bangunan jika nilai tempat-tempatnya berbeda dan terdapat pengembalian (kompensasi) dalam pembagiannya. Jika kedua sekutu sepakat dalam jenis ini yang mengandung pengembalian untuk memasukkan undian dan mengambil apa yang keluar dari undian itu, maka apakah keduanya wajib menerimanya jika undian telah keluar, ataukah keduanya tetap memiliki pilihan? Ada dua pendapat: Demikian pula jika nilai telah ditetapkan berdasarkan pemisahan luas salah satu dari keduanya, maka tidak ada arti undian dalam mewajibkan apa yang keluar darinya, dan keduanya setelah keluarnya undian tetap memiliki pilihan sebagaimana sebelum undian.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَدْ لَزِمَهُمَا ذَلِكَ لِمَا تَرَاضَيَا عَلَيْهِ.

Pendapat kedua: Keduanya telah terikat dengan hal itu karena telah saling merelakannya.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: مَا تَصِحُّ فِيهِ الْقِسْمَةُ صُلْحًا وَفِي دُخُولِ الْقِسْمَةِ فِيهِ جَبْرًا قَوْلَانِ. وَذَلِكَ مَا تَسَاوَتْ أَجْزَاؤُهُ وَتَمَاثَلَتْ قِيمَتُهُ مِنَ الثِّيَابِ وَالْعَبِيدِ إِنْ تَرَاضَوْا بِالْقِسْمَةِ عَلَيْهِ جَازَ وَإِنْ طَلَبَهَا أَحَدُهُمَا فَهَلْ يُجْبَرُ الْآخَرُ عَلَيْهَا فِيهِ قَوْلَانِ. فَأَمَّا الْوَقْفُ فَإِنْ كَانَ فِي الشركة وقفا لَمْ يَجُزْ قِسْمَتُهُ بَيْنَ أَرْبَابِهِ سَوَاءٌ قُلْنَا إن رقبة الوقف ملكا لِلَّهِ أَوْ عَلَى مِلْكِهِمْ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ ملكا لله قسمة مَا لَيْسَ فِي مِلْكِهِمْ لَا يَجُوزُ وَإِنْ كان ملكا لهم فهم إنما يملكوه مُدَّةَ حَيَاتِهِمْ ثُمَّ يَمْلِكُهُ الْبَطْنُ الثَّانِي بَعْدَهُمْ وَالْقِسْمَةُ مَا تَأَبَّدَتْ وَالتَّأْبِيدُ لَا يَسْتَحِقُّونَهُ. فَأَمَّا إِنْ كَانَ بَعْضُ الشَّيْءِ وَقْفًا وَبَعْضُهُ مِلْكًا فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْقِسْمَةَ بَيْعٌ لَمْ تَجُزْ قِسْمَتُهُ وَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا إِقْرَارٌ جَازَتْ قِسْمَتُهُ.

Bagian keempat: yaitu perkara yang sah dilakukan pembagian secara damai (ṣulḥ), dan mengenai masuknya pembagian secara paksa padanya terdapat dua pendapat. Hal ini berlaku pada barang-barang yang bagian-bagiannya setara dan nilainya sama, seperti pakaian dan budak; jika para pihak sepakat untuk membaginya, maka itu diperbolehkan. Namun jika salah satu dari mereka meminta pembagian, apakah yang lain boleh dipaksa untuk membaginya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Adapun harta wakaf, jika dalam suatu kemitraan terdapat harta wakaf, maka tidak boleh dibagi di antara para pemiliknya, baik kita mengatakan bahwa kepemilikan wakaf itu milik Allah atau masih dalam kepemilikan mereka. Sebab, jika itu milik Allah, maka membagi sesuatu yang bukan milik mereka tidak diperbolehkan. Dan jika itu milik mereka, maka mereka hanya memilikinya selama hidup mereka, kemudian setelah mereka wafat, kepemilikan berpindah ke generasi berikutnya, sedangkan pembagian itu bersifat permanen, dan keabadian itu bukan hak mereka. Adapun jika sebagian dari suatu barang adalah wakaf dan sebagian lagi adalah milik, maka jika dikatakan bahwa pembagian itu adalah jual beli, maka tidak boleh dibagi; namun jika dikatakan bahwa pembagian itu adalah pengakuan (iqrār), maka pembagian itu diperbolehkan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَالشَّرِكَةُ تَكُونُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Setelah dijelaskan apa yang telah kami uraikan, maka kemitraan (syirkah) itu ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ عَنْ عَقْدٍ وَاخْتِيَارٍ.

Pertama: terjadi karena akad dan pilihan.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ عَنْ غَيْرِ عَقْدٍ وَاخْتِيَارٍ فَأَمَّا مَا كَانَ عَنْ غَيْرِ عَقْدٍ وَاخْتِيَارٍ فَالشُّرَكَاءُ فِي الْمَوَارِيثِ وَالْمَغَانِمِ وَالْأَوْقَافِ. وَأَمَّا مَا كَانَ عَنْ عَقْدٍ وَاخْتِيَارٍ فَسَنَذْكُرُهُ مِنْ بعد على أقسامه.

Kedua: terjadi tanpa akad dan tanpa pilihan. Adapun yang terjadi tanpa akad dan tanpa pilihan, maka para mitra itu adalah dalam warisan, rampasan perang (maghānim), dan wakaf. Sedangkan yang terjadi karena akad dan pilihan, akan kami sebutkan setelah ini menurut pembagiannya.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَالَّذِي يُشْبِهُ قَوْلَ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا تَجُوزُ الشَّرِكَةُ فِي الْعَرْضِ وَلَا فِيمَا يَرْجِعُ فِي حال المفاصلة إِلَى الْقِيمَةِ لِتَغَيُّرِ الْقِيَمِ وَلَا أَنْ يُخْرِجَ أَحَدُهُمَا عَرْضًا وَالْآخَرُ دَنَانِيرَ وَلَا تَجُوزُ إِلَّا بِمَالٍ وَاحِدٍ بِالدَّنَانِيرِ أَوْ بِالدَّرَاهِمِ فَإِنْ أَرَادَا أَنْ يَشْتَرِكَا وَلَمْ يُمْكِنْهُمَا إِلَّا عَرْضٌ فَإِنَّ الْمَخْرَجَ فِي ذَلِكَ عِنْدِي أَنْ يَبِيعَ أَحَدُهُمَا نِصْفَ عَرْضِهِ بِنِصْفِ عَرْضِ صَاحِبِهِ وَيَتَقَابَضَانِ فَيَصِيرَ جَمِيعُ الْعَرْضَيْنِ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنَ وَيَكُونَا فِيهِ شَرِيكَيْنِ إن باعا أو حبسا أو عارضا لأفضل فِي ذَلِكَ لِأَحَدٍ مِنْهُمَا (قَالَ) وَشَرِكَةُ الْمُفَاوَضَةِ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ لَا تَجُوزُ بِحَالٍ “.

Al-Muzani raḥimahullāh berkata: “Pendapat yang sesuai dengan pendapat al-Syafi‘i adalah bahwa tidak sah kemitraan dalam barang (‘arḍ) dan tidak pula dalam sesuatu yang pada saat pemisahan kembali kepada nilai karena berubah-ubahnya harga, dan tidak boleh salah satu dari mereka mengeluarkan barang sementara yang lain mengeluarkan dinar, dan tidak sah kecuali dengan satu jenis harta, baik dinar maupun dirham. Jika mereka ingin bermitra dan tidak memungkinkan kecuali dengan barang, maka menurut saya solusinya adalah salah satu dari mereka menjual setengah barangnya dengan setengah barang milik temannya, lalu keduanya saling menerima, sehingga seluruh barang itu menjadi milik bersama antara keduanya masing-masing setengah, dan mereka menjadi mitra dalam barang tersebut, baik menjual, menahan, atau menukarnya, tanpa ada kelebihan bagi salah satu dari mereka. (Beliau berkata:) Dan syirkah mufāwaḍah menurut al-Syafi‘i tidak sah dalam keadaan apa pun.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ؛ اعْلَمْ أَنَّ مَا كَانَ بين الشريكين عَنْ عَقْدٍ وَاخْتِيَارٍ عَلَى سِتَّةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan; ketahuilah bahwa kemitraan antara dua orang yang terjadi karena akad dan pilihan terbagi menjadi enam jenis:

أَحَدُهَا: شَرِكَةُ الْعِنَانِ.

Pertama: syirkah ‘inān.

وَالثَّانِي: شَرِكَةُ الْعُرُوضِ.

Kedua: syirkah ‘urūḍ.

وَالثَّالِثُ: شَرِكَةُ الْمُفَاوَضَةِ.

Ketiga: syirkah mufāwaḍah.

وَالرَّابِعُ: شَرِكَةُ الْمُفَاضَلَةِ.

Keempat: syirkah mufāḍalah.

وَالْخَامِسُ: شَرِكَةُ الْجَاهِ.

Kelima: syirkah jāh.

وَالسَّادِسُ: شَرِكَةُ الْأَبْدَانِ.

Keenam: syirkah abdān.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ شَرِكَةُ الْعِنَانِ فَهِيَ: أَنْ يُخْرِجَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَالًا مِثْلَ مَالِ صَاحِبِهِ وَيَخْلِطَاهُ فَلَا يتميز وبإذن كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِصَاحِبِهِ أَنْ يَتَّجِرَ بِالْمَالِ فِيمَا رَأَى مِنْ صُنُوفِ الْأَمْتِعَةِ عَلَى أَنْ يَكُونَ الرِّبْحُ بَيْنَهُمَا عَلَى قَدْرِ الْمَالَيْنِ وَالْخُسْرَانُ كذلك فهذه أصح الشرك واختلف الناس لما سُمِّيَتْ شَرِكَةَ الْعِنَانِ. قَالَ قَوْمٌ: لِأَنَّهُمَا قَدِ اسْتَوَيَا فِي الْمَالِ مَأْخُوذًا مِنَ اسْتِوَاءِ عِنَانِ الْفَرَسَيْنِ إِذَا تَسَابَقَا وَقَالَ آخَرُونَ: إِنَّمَا سُمِّيَتْ شَرِكَةَ الْعِنَانِ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا قَدْ جعل لِصَاحِبِهِ أَنْ يَتَّجِرَ بِالْمَالِ فِيمَا رَأَى مِنْ صُنُوفِ الْأَمْتِعَةِ عَلَى أَنْ يَكُونَ الرِّبْحُ بَيْنَهُمَا عَلَى قَدْرِ الْمَالَيْنِ وَالْخُسْرَانُ كَذَلِكَ فَهَذِهِ أَصَحُّ الشرك واختلف الناس لما سُمِّيَتْ شَرِكَةَ الْعِنَانِ. قَالَ قَوْمٌ: لِأَنَّهُمَا قَدِ اسْتَوَيَا فِي الْمَالِ مَأْخُوذًا مِنَ اسْتِوَاءِ عِنَانِ الْفَرَسَيْنِ إِذَا تَسَابَقَا وَقَالَ آخَرُونَ: إِنَّمَا سُمِّيَتْ شَرِكَةَ الْعِنَانِ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا قَدْ جعل لصاحبه أن يتجر فيما عن له أي عَرَضَ.

Adapun jenis pertama, yaitu syirkah ‘inān, adalah: masing-masing dari keduanya mengeluarkan harta yang nilainya sama dengan harta milik temannya, lalu mereka mencampurkan harta itu sehingga tidak dapat dibedakan, dan masing-masing dari mereka mengizinkan temannya untuk melakukan usaha dengan harta tersebut dalam berbagai jenis barang dagangan sesuai yang ia kehendaki, dengan syarat keuntungan dibagi di antara mereka sesuai dengan proporsi modal, dan kerugian juga demikian. Inilah bentuk kemitraan yang paling sahih. Para ulama berbeda pendapat mengenai asal penamaan syirkah ‘inān. Sebagian mengatakan: karena keduanya setara dalam harta, diambil dari kesetaraan tali kekang dua ekor kuda ketika berlomba. Sebagian lain mengatakan: dinamakan syirkah ‘inān karena masing-masing dari keduanya memberikan hak kepada temannya untuk melakukan usaha dengan harta tersebut dalam apa yang ia kehendaki dari berbagai jenis barang, dengan syarat keuntungan dibagi sesuai proporsi modal dan kerugian juga demikian. Inilah bentuk kemitraan yang paling sahih. Para ulama berbeda pendapat mengenai asal penamaan syirkah ‘inān. Sebagian mengatakan: karena keduanya setara dalam harta, diambil dari kesetaraan tali kekang dua ekor kuda ketika berlomba. Sebagian lain mengatakan: dinamakan syirkah ‘inān karena masing-masing dari keduanya memberikan hak kepada temannya untuk melakukan usaha dalam hal yang ia kehendaki, yaitu apa pun yang ia inginkan.

وَقَالَ آخَرُونَ: إِنَّمَا سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَمْلِكُ التَّصَرُّفَ فِي جَمِيعِ الْمَالِ كَمَا يَمْلِكُ عِنَانَ فَرَسِهِ فَيَصْرِفُهُ كَيْفَ يشاء.

Dan sebagian lain berkata: Sesungguhnya dinamakan demikian karena masing-masing dari keduanya memiliki hak penuh untuk bertindak atas seluruh harta, sebagaimana ia memiliki kendali atas tali kekang kudanya, sehingga ia dapat mengarahkannya sesuai kehendaknya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ شَرِكَةُ الْعُرُوضِ فهو أن يخرج هذا متاعا فيقيمه ويخرج هذا متاعا فيقيمه ثُمَّ يَشْتَرِكَانِ بِالْقِيمَتَيْنِ لِيَكُونَ الْمَتَاعَانِ بَيْنَهُمَا إِنْ رَبِحَا فِيهِ كَانَ بَيْنَهُمَا وَإِنْ خَسِرَا فِيهِ كَانَ الْخُسْرَانُ عَلَيْهِمَا فَهَذِهِ شَرِكَةٌ بَاطِلَةٌ سَوَاءٌ كَانَ الْعَرْضَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ أَوْ مِنْ جنسين لأمرين:

Adapun bagian kedua, yaitu syirkah al-‘urūḍ, adalah ketika seseorang mengeluarkan barang dagangan lalu menilainya, dan yang lain juga mengeluarkan barang dagangan lalu menilainya, kemudian keduanya berserikat berdasarkan nilai barang tersebut sehingga kedua barang itu menjadi milik bersama di antara mereka. Jika mereka mendapatkan keuntungan dari barang itu, maka keuntungan tersebut dibagi di antara mereka, dan jika mereka mengalami kerugian, maka kerugian itu juga ditanggung bersama. Maka syirkah ini adalah syirkah yang batal, baik kedua barang itu sejenis maupun berbeda jenis, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَدْ يَزِيدُ قِيمَةُ الْعَرْضِ الْوَاحِدِ فَيَأْخُذُ الشَّرِيكُ مِنْ رِبْحِهِ قِسْطًا. وَيَنْقُصُ فَيَلْتَزِمُ مِنْ خُسْرَانِهِ قِسْطًا وَلَمْ يَمْلِكْ مِنْهُ شَيْئًا.

Pertama: Bisa jadi nilai salah satu barang meningkat sehingga salah satu mitra mengambil bagian dari keuntungannya, atau nilainya menurun sehingga ia menanggung bagian dari kerugiannya, padahal ia tidak memiliki apa pun dari barang tersebut.

والثاني: أنهما إن أرادا رد قيمته عنه فَصْلِ الشَّرِكَةِ فَقَدْ يَجُوزُ أَنْ تَزِيدَ قِيمَتُهُ زيادة تستوعب الربح كله وإن أرادا رَدَّ قِيمَتِهِ فَهِيَ غَيْرُ مَا اشْتَرَكَا فِيهِ فإذا ثبت ما ذكرناه مِنْ بُطْلَانِ شَرِكَةِ الْعُرُوضِ فَلِابْنِ أَبِي لَيْلَى كلاما فَقَدْ ذَكَرَ الْمُزَنِيُّ فِي صِحَّةِ الشَّرِكَةِ فِيهَا طَرِيقًا وَذَكَرَ الْبَغْدَادِيُّونَ مِنْ أَصْحَابِنَا طَرِيقًا ثَانِيًا وَذَكَرَ الْبَصْرِيُّونَ طَرِيقًا ثَالِثًا.

Kedua: Jika keduanya ingin mengembalikan nilai barangnya saat memisahkan syirkah, bisa jadi nilai barang itu telah meningkat sehingga seluruh keuntungan habis untuk menutupi kenaikan nilai tersebut. Dan jika mereka ingin mengembalikan nilai barangnya, maka nilai itu bukan lagi yang mereka sepakati saat berserikat. Jika telah tetap apa yang kami sebutkan tentang batalnya syirkah al-‘urūḍ, maka Ibnu Abi Laila memiliki pendapat, sebagaimana disebutkan oleh al-Muzani tentang sahnya syirkah dalam hal ini dengan satu cara, dan disebutkan oleh para ulama Baghdad dari kalangan mazhab kami cara kedua, dan disebutkan oleh para ulama Basrah cara ketiga.

فَأَمَّا طَرِيقَةُ الْمُزَنِيِّ: فَهُوَ أَنْ يَبِيعَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفَ عَرْضِهِ بِنِصْفِ عَرْضِ صَاحِبِهِ وَيَتَقَابَضَاهُ فَيَصِيرُ – كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْعَرْضَيْنِ شَرِكَةً بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ ثُمَّ يَأْذَنُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِصَاحِبِهِ فِي التِّجَارَةِ فَهَذِهِ طَرِيقَةُ صِحَّةِ الشَّرِكَةِ فِي الْعُرُوضِ إِذَا لَمْ يَتَبَايَعَا عَلَى شَرْطِ الشَّرِكَةِ.

Adapun cara al-Muzani: yaitu masing-masing dari keduanya menjual setengah barangnya dengan setengah barang milik temannya, lalu keduanya saling menerima barang tersebut, sehingga masing-masing dari kedua barang itu menjadi syirkah di antara mereka berdua, masing-masing setengah. Kemudian masing-masing mengizinkan temannya untuk berdagang. Inilah cara sahnya syirkah dalam al-‘urūḍ jika keduanya tidak melakukan jual beli dengan syarat syirkah.

وَأَمَّا طَرِيقَةُ الْبَغْدَادِيِّينَ فَهِيَ أَنْ يَشْتَرِكَا فِي شِرَاءِ مَتَاعٍ بِثَمَنٍ فِي ذِمَّتِهِمَا ثُمَّ يَدْفَعَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَرْضًا بِمَا عَلَيْهِ مِنْ ثَمَنِ الْمَتَاعِ وَهَذِهِ وَإِنْ كَانَتْ طَرِيقَةً إِلَى صِحَّةِ الشَّرِكَةِ فَلَيْسَتْ شَرِكَةً فِي الْعُرُوضِ وَإِنَّمَا هِيَ شَرِكَةٌ فِي الْمَتَاعِ بِثَمَنٍ فِي الذِّمَّةِ فَإِنَّ الْعَرْضَ عِوَضٌ فِيهِ.

Adapun cara ulama Baghdad: yaitu keduanya berserikat dalam membeli suatu barang dengan harga yang menjadi tanggungan mereka, kemudian masing-masing menyerahkan barang sebagai pembayaran atas bagian harga barang tersebut. Cara ini, meskipun merupakan jalan menuju sahnya syirkah, namun bukanlah syirkah dalam al-‘urūḍ, melainkan syirkah dalam barang dengan harga yang menjadi tanggungan, karena barang di sini hanyalah sebagai pengganti.

وَأَمَّا طَرِيقَةُ الْبَصْرِيِّينَ: فَهُوَ أَنْ يَشْتَرِيَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفَ عَرْضِ صَاحِبِهِ بِثَمَنٍ فِي ذِمَّتِهِ ثُمَّ يَتَقَابَضَانِ الثَّمَنَ أَوْ يَتَبَادَلَانِهِ. فَيَصِيرُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْعَرْضَيْنِ شَرِكَةً بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ وَهَذِهِ مُزَنِيَّةٌ مِنْ طَرِيقَةِ الْمُزَنِيِّ فَتَصِحُّ الشَّرِكَةُ فِي الْعُرُوضِ فِي هَذِهِ الطُّرُقِ الثَّلَاثَةِ وَلَكِنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا إِذَا اشْتَرَكَا فِي الْعُرُوضِ عَلَى الطَّرِيقَةِ الَّتِي ذَكَرْنَاهَا عَنِ الْمُزَنِيِّ هَلْ يُفْتَقَرُ إِلَى الْعِلْمِ بِقِيمَةِ الْعَرْضَيْنِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun cara ulama Basrah: yaitu masing-masing dari keduanya membeli setengah barang milik temannya dengan harga yang menjadi tanggungannya, kemudian keduanya saling menerima harga tersebut atau saling menukarnya. Maka masing-masing dari kedua barang itu menjadi syirkah di antara mereka berdua, masing-masing setengah. Cara ini adalah cara al-Muzani juga, sehingga syirkah dalam al-‘urūḍ sah dengan tiga cara ini. Namun, para ulama mazhab kami berbeda pendapat: jika keduanya berserikat dalam al-‘urūḍ dengan cara yang disebutkan dari al-Muzani, apakah disyaratkan harus mengetahui nilai kedua barang tersebut atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُمَا يَفْتَقِرَانِ إِلَى الْعِلْمِ بِالْقِيمَةِ لِيَعْلَمَا مَا يَحْصُلُ لَهُمَا مِنْ فَضْلٍ أَوْ يَرْجِعُ عَلَيْهِمَا مِنْ عَجْزٍ.

Pertama: Keduanya harus mengetahui nilainya agar mereka mengetahui kelebihan yang didapat atau kekurangan yang harus ditanggung.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُمَا لَا يَفْتَقِرَانِ إِلَى الْعِلْمِ بِقِيمَةِ الْعَرْضَيْنِ لِأَنَّهُمَا لَمَّا تَسَاوَيَا فِي مِلْكِهِ تَسَاوَيَا فِي رِبْحِهِ فَلَمْ يَكُنْ بِهِمَا حَاجَةٌ إِلَى تَمْيِيزِ الرِّبْحِ مِنَ الْأَصْلِ.

Pendapat kedua: Keduanya tidak harus mengetahui nilai kedua barang tersebut, karena ketika mereka telah setara dalam kepemilikan, maka mereka juga setara dalam keuntungan, sehingga tidak perlu membedakan antara keuntungan dan modal.

فَأَمَّا عَلَى الطَّرِيقَتَيْنِ الْأُخْرَيَيْنِ فَلَا يَلْزَمُ، لِأَنَّ رَأْسَ الْمَالِ هُوَ الثَّمَنُ الْمَعْقُودُ عَلَيْهِ بِهِ فَهَذَا فِيمَا لَا يَتَمَاثَلُ أَجْزَاؤُهُ، فَأَمَّا الَّذِي يَتَمَاثَلُ أَجْزَاؤُهُ وَلَا يَخْتَلِفُ مِثْلُ الْحُبُوبِ وَالْأَدْهَانِ الْمُتَّفِقَةِ فِي النَّوْعِ وَالصِّفَةِ إِذَا أَخْرَجَ أَحَدُهُمَا قَدْرًا فِيهَا كَأَنْ أَخْرَجَ كَذَا مِنْ حِنْطَةٍ عَلَى صِفَةٍ وَأَخْرَجَ الْآخَرُ كَذَا مِنْ حِنْطَةٍ عَلَى مِثْلِ تِلْكَ الصِّفَةِ وَخَلَطَاهَا لِيَكُونَ شَرِكَةً بَيْنَهُمَا وَيَرُدَّانِ مِثْلَهُ عِنْدَ الْمُفَاضَلَةِ فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:

Adapun menurut dua metode lainnya, maka tidak wajib, karena modal pokok adalah harga yang menjadi objek akad. Ini berlaku pada barang-barang yang bagian-bagiannya tidak seragam. Adapun barang yang bagian-bagiannya seragam dan tidak berbeda, seperti biji-bijian dan minyak yang sejenis dan sama sifatnya, apabila salah satu dari keduanya mengeluarkan sejumlah tertentu darinya, misalnya seseorang mengeluarkan sekian gandum dengan sifat tertentu, dan yang lain juga mengeluarkan sekian gandum dengan sifat yang sama, lalu keduanya mencampurnya agar menjadi syirkah di antara mereka dan masing-masing mengembalikan yang sepadan ketika terjadi perbedaan, maka dalam hal ini menurut mazhab kami terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا شَرِكَةٌ بَاطِلَةٌ لِأَنَّهُ مُعَرَّضٌ لِزِيَادَةِ الْقِيمَةِ وَنَقْصِهَا كالعروض.

Salah satunya: bahwa syirkah tersebut batal, karena berpotensi terjadi kenaikan atau penurunan nilai seperti pada barang dagangan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا: أَنَّهَا شَرِكَةٌ جَائِزَةٌ لِأَنَّهُ مِمَّا لَا يَتَمَيَّزُ عِنْدَ الِاخْتِلَاطِ وَيُمْكِنُ الرُّجُوعُ إِلَى مِثْلِهِ عِنْدَ الِانْفِصَالِ فأشبهه الدَّرَاهِمَ وَالدَّنَانِيرَ وَزِيَادَةَ السِّعْرِ تَرْجِعُ إِلَيْهَا. وَنَقْصُهُ يَعُودُ عَلَيْهَا وَلَكِنْ لَوْ كَانَ أَحَدُهُمَا أَعْلَى قِيمَةً مِنَ الْآخَرِ وَيُخَالِفُهُ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ لَمْ تَجُزِ الشَّرِكَةُ بِهِ وَجْهًا وَاحِدًا لِيَمُيِّزَهُ إِذَا خُلِطَ.

Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama mazhab kami: bahwa syirkah tersebut sah, karena barang tersebut tidak dapat dibedakan ketika bercampur dan memungkinkan untuk dikembalikan yang sepadan saat dipisahkan, sehingga menyerupai dirham dan dinar, dan kenaikan harga kembali kepada keduanya, begitu pula penurunannya. Namun, jika salah satunya lebih tinggi nilainya dari yang lain dan berbeda dalam salah satu sifatnya, maka syirkah dengan barang tersebut tidak sah menurut satu pendapat, agar dapat dibedakan jika tercampur.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ شَرِكَةُ الْمُفَاوَضَةِ فَهُوَ أَنْ يَشْتَرِكَا فِي الناض من أموالها كله دون العروض لِيَرُدَّ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ نِصْفَ كَسْبِهِ مِنَ الْمَالِ وَغَيْرِهِ – فَهَذِهِ شَرِكَةٌ بَاطِلَةٌ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى: لَا أَعْرِفُ شَيْئًا مِنَ الدُّنْيَا يَكُونُ بَاطِلًا إِنْ لَمْ تَكُنْ شَرِكَةُ الْمُفَاوَضَةِ بَاطِلَةً.

Adapun bagian ketiga, yaitu syirkah mufāwaḍah, yaitu dua orang berserikat dalam seluruh harta tunai mereka, tidak termasuk barang dagangan, sehingga masing-masing dari mereka mengembalikan kepada temannya setengah dari hasil usaha dari harta dan selainnya—maka syirkah ini batal. Imam Syafi‘i berkata dalam kitab Ikhtilāf Abī Ḥanīfah wa Ibn Abī Laylā: “Aku tidak mengetahui sesuatu pun di dunia ini yang lebih batal jika syirkah mufāwaḍah tidak batal.”

وَقَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ وَهُوَ قَوْلُ الْأَوْزَاعِيِّ وَالثَّوْرِيِّ إِنَّ شَرِكَةَ الْمُفَاوَضَةِ جَائِزَةٌ إِذَا اسْتَوَى الْمَالَانِ وَكَانَا مُسْلِمَيْنِ وَيَدْخُلُ فِيهَا جَمِيعُ الْكَسْبِ إِلَّا الْمِيرَاثَ وَيَلْزَمُ فِيهَا غُرْمُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهَا إِلَّا الْجِنَايَةَ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ} [المائدة: 1] وَهَذَا عَقْدٌ فَلَزِمَهُمَا بِظَاهِرِ هَذِهِ الْآيَةِ الْوَفَاءُ بِهِ.

Sedangkan Abū Ḥanīfah dan Mālik, dan ini juga pendapat al-Awzā‘ī dan ats-Tsaurī, berpendapat bahwa syirkah mufāwaḍah sah apabila kedua harta tersebut sama dan keduanya Muslim, serta seluruh hasil usaha masuk ke dalamnya kecuali warisan, dan masing-masing wajib menanggung kerugian kecuali jināyah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu} (al-Mā’idah: 1), dan ini adalah akad, maka wajib bagi keduanya untuk memenuhinya berdasarkan zahir ayat ini.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أَنَّهُ قَالَ ” الْمُؤْمِنُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ ” فَوَجَبَ أَنْ يلزمهما ما شرطاه قَالَ: وَلِأَنَّهُ نَوْعُ شَرِكَةٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنْهَا مَا يَصِحُّ كَشَرِكَةِ الْعِنَانِ وَلِأَنَّ شَرِكَةَ الْمُفَاوَضَةِ أَعَمُّ مِنْ شَرِكَةِ الْعِنَانِ فَعُمُومُ الشَّرِكَةِ لَا يَمْنَعُ مِنْ صِحَّتِهَا. أَلَا تَرَى أَنَّ شَرِكَةَ الْعِنَانِ قَدْ تَكُونُ خَاصَّةً فِي نَوْعٍ وَاحِدٍ، وَتَكُونُ تَارَةً عَامَّةً إِذَا تَشَارَطَا التِّجَارَةَ فِي كُلِّ نَوْعٍ فَلَمَّا جَازَتْ فِي حَالِ عُمُومِهَا كَجَوَازِهَا فِي حَالِ خُصُوصِهَا كَذَلِكَ شَرِكَةُ الْمُفَاوَضَةِ. تَجُوزُ وَإِنْ كَانَتْ عَامَّةً كَجَوَازِ غَيْرِهَا مِنَ الشِّرَكِ الْخَاصَّةِ وَلِأَنَّ الرِّبْحَ فِي الْأَمْوَالِ قَدْ يُقَابِلُ الْمَالَ تَارَةً كَالشَّرِكَةِ وَقَدْ يُقَابِلُ الْعَمَلَ تَارَةً كَالْمُضَارَبَةِ وَالرِّبْحُ فِي شَرِكَةِ الْمُفَاوَضَةِ لَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يَكُونَ مُقَابِلًا لِلْمَالِ أَوْ لِلْعَمَلِ – وَلِأَيِّهِمَا قَابَلَ وَجَبَ أَنْ يَجُوزَ.

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Orang-orang mukmin terikat dengan syarat-syarat mereka,” maka wajib bagi keduanya untuk memenuhi apa yang mereka syaratkan. Mereka berkata: Karena ini adalah salah satu jenis syirkah, maka harus ada bagian yang sah darinya seperti syirkah ‘inān. Dan karena syirkah mufāwaḍah lebih umum daripada syirkah ‘inān, maka keumuman syirkah tidak menghalangi keabsahannya. Bukankah engkau melihat bahwa syirkah ‘inān terkadang khusus pada satu jenis, dan terkadang umum jika keduanya mensyaratkan perdagangan pada semua jenis, maka ketika boleh dalam keadaan umum sebagaimana boleh dalam keadaan khusus, demikian pula syirkah mufāwaḍah, boleh meskipun bersifat umum sebagaimana syirkah khusus lainnya. Dan karena keuntungan dalam harta terkadang berhadapan dengan harta seperti pada syirkah, dan terkadang berhadapan dengan kerja seperti pada muḍārabah, dan keuntungan dalam syirkah mufāwaḍah tidak lepas dari berhadapan dengan harta atau kerja—dan pada keduanya, wajib hukumnya untuk dibolehkan.

ودليلنا ” نهيه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنِ الْغَرَرِ ” وَلَا غَرَرَ أَعْظَمُ مِنَ الْمُفَاوَضَةِ فِيمَا يَدْخُلُ كَسْبًا أَوْ يَخْرُجُ غُرْمًا لِأَنَّهَا شَرِكَةٌ لَا تَصِحُّ مَعَ تَفَاضُلِ الْمَالِ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَصِحَّ مَعَ تَسَاوِي أَصْلِهِ إِذَا كَانَ أَحَدُهُمَا مُكَاتَبًا أَوْ ذِمِّيًّا، وَلِأَنَّ كُلَّ شَرِكَةٍ لَا تَصِحُّ بَيْنَ الْمُسْلِمِ وَالذِّمِّيِّ ” وَالْحُرِّ وَالْمُكَاتَبِ ” لَا تَصِحُّ بَيْنَ الْحُرَّيْنِ الْمُسْلِمَيْنِ.

Dalil kami adalah larangan Nabi ﷺ terhadap gharar, dan tidak ada gharar yang lebih besar daripada mufaawadhah dalam hal yang bisa masuk sebagai keuntungan atau keluar sebagai kerugian, karena ini adalah bentuk syirkah yang tidak sah jika terdapat perbedaan jumlah modal, maka wajib pula tidak sah jika modalnya sama, apabila salah satu dari keduanya adalah mukatab atau dzimmi. Dan karena setiap syirkah yang tidak sah antara Muslim dan dzimmi, atau antara orang merdeka dan mukatab, maka tidak sah pula antara dua orang Muslim yang merdeka.

أَصْلُهُ: إِذَا تَفَاضَلَا فِي الْمَالِ وَلِأَنَّ مَا لَمْ يَتَفَرَّعْ عَنْ أَصْلٍ تَنَاوَلَهُ عَقْدُ الشَّرِكَةِ فَلَمْ تَصِحَّ فِيهِ الشَّرِكَةُ كَالْمِيرَاثِ وَلِأَنَّهَا شَرِكَةٌ لَا تَصِحُّ مَعَ مُخْتَلِفَيِ الدِّينَيْنِ فَلَمْ تَصِحَّ مَعَ مُتَّفِقَيِ الدِّينَيْنِ كَشَرِكَةِ الْعُرُوضِ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قوله تعالى: {أوفوا بالعقود} فَهُوَ أَنَّهَا مَخْصُوصَةٌ بِنَهْيِهِ عَنِ الْغَرَرِ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى شَرِكَةِ الْعِنَانِ فَهُوَ أَنَّهُ مُنْتَقَضٌ بِاشْتِرَاكِ الْجَمَاعَةِ فِي الْمَاءِ إِذَا كَانَ لِأَحَدِهِمْ جَمَلٌ وَلِلْآخَرِ سِقَاءٌ وَالثَّالِثُ عَامِلٌ بِيَدَيْهِ لِيَكُونُوا شُرَكَاءَ فِي الْكَسْبِ فَهُوَ نَوْعُ شَرِكَةٍ وَلَيْسَ فِيهِ مَا يَصِحُّ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي شَرِكَةِ الْعِنَانِ: جَوَازُهَا بَيْنَ مُخْتَلِفَيِ 7 الدِّينَيْنِ.

Dasarnya: jika keduanya berbeda dalam jumlah modal. Dan karena sesuatu yang tidak bercabang dari asal yang dicakup oleh akad syirkah, maka tidak sah syirkah padanya, seperti warisan. Dan karena ini adalah syirkah yang tidak sah antara dua orang yang berbeda agama, maka tidak sah pula antara dua orang yang seagama, seperti syirkah ‘urudh. Adapun jawaban atas firman Allah Ta‘ala: {Tepatilah akad-akad itu}, maka ayat ini dikhususkan dengan larangan terhadap gharar. Adapun jawaban atas qiyās mereka dengan syirkah ‘inan adalah bahwa qiyās itu batal dengan adanya kebersamaan sekelompok orang dalam air, jika salah satu dari mereka memiliki unta, yang lain memiliki wadah air, dan yang ketiga bekerja dengan tangannya, sehingga mereka menjadi sekutu dalam keuntungan; ini adalah jenis syirkah, namun tidak ada yang sah di dalamnya. Kemudian, makna dalam syirkah ‘inan adalah kebolehannya antara dua orang yang berbeda agama.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ عُمُومَهَا لَا يَمْنَعُ مِنْ صِحَّتِهَا. فَهُوَ أَنَّنَا لَمْ نَمْنَعْ مِنْهَا لِعُمُومِهَا وَإِنَّمَا مَنَعْنَا مِنْهَا لِدُخُولِ الْغَرَرِ فِيهَا. وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ الرِّبْحَ قَدْ يُقَابِلُ الْمَالَ تَارَةً وَالْعَمَلَ أُخْرَى فهو أنه يصح إذا انْفَرَدَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِعَقْدٍ فَأَمَّا إِذَا اجْتَمَعَا فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ فَلَا وَهَاهُنَا – وَقَدِ اجْتَمَعَا فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ فَبَطَلَ.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa keumumannya tidak menghalangi keabsahannya, maka kami tidak melarangnya karena keumumannya, melainkan kami melarangnya karena adanya unsur gharar di dalamnya. Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa keuntungan kadang berhadapan dengan modal dan kadang dengan kerja, maka itu sah jika masing-masing berdiri sendiri dalam satu akad. Adapun jika keduanya berkumpul dalam satu akad, maka tidak sah, dan di sini keduanya telah berkumpul dalam satu akad, maka batal.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ وَهُوَ شَرِكَةُ الْمُفَاضَلَةِ وَهُوَ أَنْ يَتَفَاضَلَا فِي الْمَالِ وَيَتَسَاوَيَا فِي الرِّبْحِ أَوْ يَتَسَاوَيَا فِي الْمَالِ وَيَتَفَاضَلَا فِي الرِّبْحِ فَهَذِهِ شَرِكَةٌ بَاطِلَةٌ.

Adapun bagian keempat, yaitu syirkah mufawadhah, yaitu jika keduanya berbeda dalam jumlah modal namun sama dalam pembagian keuntungan, atau sama dalam modal namun berbeda dalam pembagian keuntungan, maka syirkah ini adalah syirkah yang batil.

وَقَالَ أبو حنيفة: هِيَ شَرِكَةٌ جَائِزَةٌ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الْمُؤْمِنُونُ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ ” قَالَ: وَلِأَنَّ عَقْدَ الشَّرِكَةِ كالمضاربة، ولأن الْعَمَلَ فِي الْمُضَارَبَةِ بِمَنْزِلَةِ مَالِ أَحَدِ الشَّرِيكَيْنِ فِي الشَّرِكَةِ وَلِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي مُقَابَلَةِ جُزْءٍ مِنَ الرِّبْحِ فَلَمَّا جَازَ فِي الْمُضَارَبَةِ أَنْ يَشْتَرِطَ أَحَدُهُمَا مِنَ الرِّبْحِ أَكْثَرَ مِنَ الْآخَرِ كَذَلِكَ فِي الشَّرِكَةِ وَلِأَنَّ أَحَدَ الشَّرِيكَيْنِ قَدْ يَكُونُ أَكْثَرَ عَمَلًا فَيَسْتَحِقُّ مَعَ قِلَّةِ مَالِهِ لِأَجْلِ عَمَلِهِ أَكْثَرَ رِبْحًا. وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ التَّفَاضُلَ فِي الْمَالِ يَمْنَعُ مِنَ التَّسَاوِي فِي الرِّبْحِ أَصْلُهُ إِذَا أَطْلَقَا الْعَقْدَ. وَلِأَنَّ الشَّرِكَةَ قَدْ تُفْضِي إِلَى الرِّبْحِ تَارَةً وَإِلَى الْخُسْرَانِ تَارَةً أُخْرَى فَلَمَّا كَانَ الْخُسْرَانُ يُقَسَّطُ عَلَى الْمَالِ وَلَا يَتَغَيَّرُ بِالشَّرْطِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي الرِّبْحِ مِثْلُهُ يَتَقَسَّطُ عَلَى الْمَالِ وَلَا يَتَغَيَّرُ بِالشَّرْطِ وَقَدْ يَتَحَرَّرُ مِنِ اعْتِلَالِ هَذَا الِاسْتِدْلَالِ قِيَاسَانِ:

Abu Hanifah berkata: Ini adalah syirkah yang boleh, dengan dalil sabda Nabi ﷺ: “Orang-orang mukmin terikat dengan syarat-syarat mereka.” Ia berkata: Dan karena akad syirkah seperti mudharabah, dan karena kerja dalam mudharabah kedudukannya seperti modal salah satu dari dua sekutu dalam syirkah. Dan karena masing-masing dari keduanya berhadapan dengan bagian dari keuntungan, maka ketika dalam mudharabah boleh salah satu dari keduanya mensyaratkan bagian keuntungan lebih banyak dari yang lain, demikian pula dalam syirkah. Dan karena salah satu dari dua sekutu bisa jadi lebih banyak bekerja, sehingga ia berhak mendapatkan keuntungan lebih banyak meskipun modalnya sedikit, karena kerjanya. Dalil kami adalah bahwa perbedaan dalam modal mencegah kesamaan dalam pembagian keuntungan, dasarnya jika akad dilepas secara mutlak. Dan karena syirkah kadang menghasilkan keuntungan dan kadang kerugian, maka ketika kerugian dibagi sesuai modal dan tidak berubah dengan syarat, maka wajib pula keuntungan dibagi sesuai modal dan tidak berubah dengan syarat. Dan dari kelemahan istidlal ini dapat dirumuskan dua qiyās:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الرِّبْحَ أَحَدُ مُوجِبَيِ الْعَقْدِ فَوَجَبَ إِذَا كَانَ شَرْطُهُ مُخَالِفًا لِمُطْلَقِهِ أَنْ يَبْطُلَ الْعَقْدُ كَالْخُسْرَانِ.

Pertama: Bahwa keuntungan adalah salah satu akibat dari akad, maka jika syaratnya bertentangan dengan ketentuan asalnya, akad menjadi batal, sebagaimana pada kerugian.

وَالثَّانِي: أَنَّ كُلَّ شَرْطٍ لَوْ كَانَ فِي الْخُسْرَانِ بَطَلَ بِهِ الْعَقْدُ وَوَجَبَ إِذَا كَانَ فِي الرِّبْحِ أَنْ يَبْطُلَ بِهِ الْعَقْدُ، أَصْلُهُ إِذَا شرط بينهما الأجنبي وَلِأَنَّهُ نَمَاءُ مَالٍ مُودَعٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُقَسَّطًا عَلَى تَفَاضُلِ الْمَالِ كَالْمَاشِيَةِ وَالثَّمَرَةِ.

Kedua: Bahwa setiap syarat yang jika diterapkan pada kerugian membatalkan akad, maka jika diterapkan pada keuntungan juga membatalkan akad. Dasarnya adalah jika syarat itu diberikan kepada pihak ketiga di antara mereka. Dan karena keuntungan adalah pertumbuhan dari harta yang dititipkan, maka wajib dibagi sesuai perbedaan modal, seperti pada hewan ternak dan buah-buahan.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الْمُؤْمِنُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ ” فَقَدْ قَالَ فِيهِ إِلَّا شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا.

Adapun jawaban atas sabda Nabi ﷺ: “Orang-orang mukmin terikat pada syarat-syarat mereka,” maka beliau bersabda pula: “Kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.”

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْمُضَارَبَةِ فَالْمَعْنَى فِي الْمُضَارَبَةِ أَنَّهُ لَمَّا كَانَ إِطْلَاقُهَا يَقْتَضِي تَسَاوِيَهَا فِي الرِّبْحِ جَازَ أَنْ يَتَشَارَطَا التَّفَاضُلَ فِي الرِّبْحِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الشَّرِكَةُ. وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ عَمَلَ أَحَدِهِمَا قَدْ يَكُونُ أَكْثَرَ فَلَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِي الشَّرِكَةِ لَا يُقَابِلُ شَيْئًا مِنَ الرِّبْحِ أَلَا ترى أَنَّهُمَا لَوْ أَطْلَقَا الشَّرِكَةَ لَمْ يَتَقَسَّطِ الرِّبْحُ عَلَى الْعَمَلِ وَلَا اسْتَحَقَّ عِوَضًا فِيهِ فَبَطَلَ الِاسْتِدْلَالُ بِهِ فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا فَشَرِكَةُ الْمُفَاضَلَةِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:

Adapun dalil mereka dengan akad muḍārabah, maka maksud dalam muḍārabah adalah bahwa ketika akad tersebut secara mutlak menuntut adanya kesetaraan dalam pembagian laba, maka boleh bagi kedua belah pihak untuk mensyaratkan adanya perbedaan dalam pembagian laba. Namun, hal itu tidak berlaku dalam syirkah (persekutuan). Adapun dalil mereka bahwa pekerjaan salah satu pihak bisa jadi lebih banyak, maka itu tidak benar; karena dalam syirkah, pekerjaan tidak diperhitungkan sebagai imbalan dari laba. Tidakkah engkau melihat bahwa jika keduanya mengadakan syirkah secara mutlak, maka laba tidak dibagi berdasarkan pekerjaan dan tidak berhak mendapatkan imbalan karenanya? Maka batal-lah pendalilan dengan hal itu. Jika telah tetap apa yang kami sebutkan, maka syirkah mufāḍalah (persekutuan dengan perbedaan modal atau laba) terbagi menjadi tiga jenis:

أَحَدُهَا: أَنْ يَتَسَاوَيَا فِي الْمَالَيْنِ وَيَتَفَاضَلَا فِي الرِّبْحَيْنِ. مِثَالُهُ أَنْ يكون المال بينهما نصفين والربح بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ وَالرِّبْحُ بَيْنَهُمَا أَثْلَاثًا فَهَذِهِ شَرِكَةٌ بَاطِلَةٌ.

Pertama: Keduanya setara dalam modal, tetapi berbeda dalam pembagian laba. Contohnya, modal di antara mereka berdua dibagi dua, namun laba dibagi tiga, sehingga syirkah ini adalah syirkah yang batal.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَتَفَاضَلَا فِي الْمَالَيْنِ وَيَتَسَاوَيَا فِي الرِّبْحَيْنِ مِثَالُهُ. أَنْ يَكُونَ الْمَالُ بَيْنَهُمَا أَثْلَاثًا وَالرِّبْحُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ فَهُوَ شَرِكَةٌ بَاطِلَةٌ.

Jenis kedua: Keduanya berbeda dalam modal, tetapi setara dalam pembagian laba. Contohnya, modal di antara mereka dibagi tiga, namun laba dibagi dua, maka ini adalah syirkah yang batal.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: أَنْ يَتَفَاضَلَا فِي الْمَالَيْنِ وَيَتَفَاضَلَا بِحَسْبِهِ فِي الرِّبْحَيْنِ.

Jenis ketiga: Keduanya berbeda dalam modal, dan berbeda pula dalam pembagian laba sesuai dengan perbandingan modal masing-masing.

مِثَالُهُ: أَنْ يَكُونَ المال بينهما أثلاثا لأحدهما ثلثا وَلِلْآخَرِ ثُلْثُهُ وَيَكُونُ الرِّبْحُ بَيْنَهُمَا أَثْلَاثًا لِصَاحِبِ الثُّلُثَيْنِ ثُلُثَاهُ وَلِصَاحِبِ الثُّلُثِ ثُلُثُهُ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ جَوَازُ هَذِهِ الشَّرِكَةِ لِأَنَّ الرِّبْحَ فِيهَا مُقَسَّطٌ عَلَى قَدْرِ الْمَالَيْنِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ ذَهَبَ إِلَى بُطْلَانِهَا حَتَّى يَتَسَاوَى الشَّرِيكَانِ فِي رَأْسِ الْمَالِ وَتَعَلَّقَ بِقَوْلِ الْمُزَنِيِّ، وَالشَّرِكَةُ الصَّحِيحَةُ أَنْ يُخْرِجَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِثْلَ دَنَانِيرِ صَاحِبِهِ وَيَخْلِطَانِهَا فَيَكُونَانِ فِيهَا شَرِيكَيْنِ فَجُعِلَ قَوْلُهُ مِثْلَ دَنَانِيرِ صَاحِبِهِ مَحْمُولًا عَلَى مِثْلِهَا فِي الْقَدْرِ وَهَذَا تَأْوِيلٌ فَاسِدٌ لِأَنَّ مُرَادَهُ بِالْمِثْلِ إِنَّمَا هُوَ الْمِثْلُ فِي الْجِنْسِ وَالصِّفَةِ دُونَ الْعَقْدِ وَإِذَا لَمْ تَصِحَّ شَرِكَةُ الْمُفَاضَلَةِ فِي الضَّرْبَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ: فَهَلْ يَكُونُ شَرْطُ التَّفَاضُلِ فِيهَا مُوجِبًا لِبُطْلَانِ الشَّرِكَةِ بِمَعْنَى بُطْلَانِ الْإِذْنِ فِي التِّجَارَةِ بِالْمَالِ الْمُشْتَرَكِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Contohnya: Modal di antara mereka dibagi tiga, salah satunya memiliki dua pertiga dan yang lain sepertiganya, dan laba di antara mereka juga dibagi tiga, pemilik dua pertiga mendapat dua pertiga laba, dan pemilik sepertiga mendapat sepertiga laba. Menurut mazhab asy-Syāfi‘ī, syirkah seperti ini boleh, karena laba dibagi sesuai dengan besaran modal masing-masing. Namun, sebagian ulama kami berpendapat batalnya syirkah ini sampai kedua pihak setara dalam modal pokok, dan mereka berpegang pada pendapat al-Muzanī. Syirkah yang sah adalah apabila masing-masing mengeluarkan modal yang sama dengan rekannya, lalu menggabungkannya sehingga keduanya menjadi sekutu dalam modal tersebut. Maka, ucapan “seperti dinar rekannya” dimaknai sebagai “seperti dalam jumlahnya”, dan ini adalah penafsiran yang rusak, karena yang dimaksud dengan “seperti” di sini adalah kesamaan dalam jenis dan sifat, bukan dalam akad. Jika syirkah mufāḍalah tidak sah pada dua jenis pertama, maka apakah syarat perbedaan (dalam modal atau laba) menyebabkan batalnya syirkah dalam arti batalnya izin untuk berdagang dengan modal bersama atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَدْ بَطَلَ الْإِذْنُ لِبُطْلَانِ الشَّرْطِ فِيهِ فَلَا يَجُوزُ لِأَحَدِهِمَا أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي جَمِيعِ الْمَالِ فَإِنْ تَصَرَّفَ فِيهِ كَانَ كَمَنْ تَصَرَّفَ فِي مَالٍ مُشْتَرَكٍ عَنْ شَرِكَةٍ فَاسِدَةٍ.

Pertama: Izin menjadi batal karena syaratnya batal, sehingga tidak boleh salah satu dari mereka melakukan transaksi atas seluruh modal. Jika salah satu dari mereka melakukan transaksi, maka itu seperti orang yang melakukan transaksi atas harta bersama dari syirkah yang rusak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أن اشتراط التفاضل بِالشَّرْطِ لَا يُوجِبُ بُطْلَانَ الْإِذْنِ فَيَجُوزُ أَنْ يَتَّجِرَ كُلٌّ مِنْهُمَا بِجَمِيعِ الْمَالِ وَيَكُونُ الرِّبْحُ مَقْسُومًا بِالْحِصَصِ فَلَوْ كَانَ ثُلُثُ الْمَالِ لِأَحَدِ الشَّرِيكَيْنِ وَثُلُثَاهُ لِلْآخَرِ فَشَرَطَا أَنْ يَكُونَ الرِّبْحُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ عَلَى أَنْ يَنْفَرِدَ بِالتِّجَارَةِ صَاحِبُ الثُّلُثِ وَحْدَهُ جَازَ وَكَانَتْ هَذِهِ شَرِكَةً وَمُضَارَبَةً بِالْبَدَنِ لِأَنَّ الْعَامِلَ يَأْخُذُ الثُّلُثَ بِمُلْكِهِ وَتَمَامَ النِّصْفِ بِعَمَلِهِ وَخَرَجَ عَنْ حُكْمِ الْمُفَاضَلَةِ إِلَى حُكْمِ الْمُضَارَبَةِ.

Pendapat kedua: Syarat perbedaan (dalam modal atau laba) tidak menyebabkan batalnya izin, sehingga masing-masing boleh berdagang dengan seluruh modal, dan laba dibagi sesuai porsi modal. Jika sepertiga modal milik salah satu sekutu dan dua pertiganya milik yang lain, lalu mereka mensyaratkan laba dibagi dua dengan syarat yang memiliki sepertiga modal saja yang berdagang, maka itu boleh dan menjadi syirkah sekaligus muḍārabah dengan tenaga, karena pelaku usaha mengambil sepertiga dengan kepemilikannya dan sisanya untuk melengkapi setengahnya dengan kerjanya. Maka, akad ini keluar dari hukum mufāḍalah menuju hukum muḍārabah.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الْخَامِسُ: وَهُوَ شَرِكَةُ الْجَاهِ وَتُسَمَّى شَرِكَةَ الْوُجُوهِ فَهُوَ أَنْ يكون الرجل ذا جاه فَيَقُولَانِ عَلَى جَاهِنَا وَنَشْتَرِي مَتَاعًا وَالرِّبْحُ بَيْنَنَا فَهَذِهِ شَرِكَةُ الْجَاهِ وَتُسَمَّى شَرِكَةَ الْوُجُوهِ، وَمِنْ أصحابنا من جعل شركة الجاه من النَّوْعَ الْأَوَّلَ إِذَا كَانَ الْجَاهُ لِأَحَدِهِمَا وَشَرِكَةَ الْوُجُوهِ إِذَا كَانَ الْجَاهُ لَهُمَا، وَهَذَا خِلَافٌ فِي الْعِبَارَةِ وَالْحُكْمُ فِيهَا سَوَاءٌ وَهِيَ شَرِكَةٌ بَاطِلَةٌ وَقَالَ أبو حنيفة هِيَ شَرِكَةٌ جَائِزَةٌ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهَا نَوْعُ شَرِكَةٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنْهَا مَا يَصِحُّ كَشَرِكَةِ الْعِنَانِ.

Adapun bagian kelima: yaitu syirkah al-jāh, yang juga disebut syirkah al-wujūh, yaitu ketika seseorang memiliki kedudukan (pengaruh), lalu dua orang berkata, “Dengan kedudukan kita, kita membeli barang, dan keuntungannya dibagi di antara kita.” Inilah yang disebut syirkah al-jāh atau syirkah al-wujūh. Sebagian ulama dari mazhab kami menganggap syirkah al-jāh sebagai bagian dari jenis pertama jika kedudukan hanya dimiliki salah satu dari keduanya, dan syirkah al-wujūh jika kedudukan dimiliki oleh keduanya. Ini hanyalah perbedaan istilah, sedangkan hukumnya sama, yaitu syirkah ini batal. Abu Hanifah berpendapat bahwa syirkah ini boleh, dengan alasan bahwa ini adalah salah satu jenis syirkah, sehingga harus ada bagian yang sah sebagaimana syirkah al-‘inān.

وَدَلِيلُنَا أَنَّهَا شَرِكَةٌ فِي غَيْرِ مَالٍ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ بَاطِلَةً كَالشَّرِكَةِ فِي الِاصْطِيَادِ وَالِاحْتِشَاشِ عَلَى أَنَّهَا مَبْنِيَّةٌ عَلَى شَرِكَةِ الْأَبْدَانِ وَسَنَذْكُرُ الْحِجَاجَ فِيهَا، وَقَدْ مَضَى الْجَوَابُ عَنِ الْقِيَاسِ عَلَى شَرِكَةِ الْعِنَانِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ شَرِكَةَ الجاه لا تصح فلا يخلوا حَالُ مُشْتَرِي الْمَتَاعِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Dalil kami bahwa syirkah ini adalah syirkah dalam hal selain harta, sehingga harus dianggap batal, sebagaimana syirkah dalam perburuan dan pengumpulan hasil hutan. Selain itu, syirkah ini dibangun di atas syirkah al-abdān, dan kami akan menyebutkan argumentasi terkait hal ini. Jawaban atas qiyās terhadap syirkah al-‘inān telah dijelaskan sebelumnya. Jika telah tetap bahwa syirkah al-jāh tidak sah, maka keadaan pembeli barang tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَشْتَرِيَ لِنَفْسِهِ.

Pertama: membeli untuk dirinya sendiri.

وَالثَّانِي: أَنْ يَشْتَرِيَ لِصَاحِبِهِ.

Kedua: membeli untuk rekannya.

والثالث: أن يشتريه بينهما فإن اشتراه بنفسه صَحَّ شِرَاؤُهُ وَصَارَ مِلْكًا لَهُ إِنْ رَبِحَ فَالرِّبْحُ لَهُ وَإِنْ خَسِرَ فَالْخُسْرَانُ عَلَيْهِ وَلَا شَيْءَ لِلْآخَرِ فِي رِبْحِهِ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ فِي خُسْرَانِهِ وَإِنِ اشْتَرَاهُ كُلَّهُ لِصَاحِبِهِ لَمْ يَصِحَّ لِأَنَّهُ إِنَّمَا أَذِنَ لَهُ فِي شِرَاءِ نِصْفِهِ وَيَكُونُ الشِّرَاءُ لَازِمًا لَهُ فِي النِّصْفِ الزَّائِدِ عَلَى الْقَدْرِ الَّذِي أُذِنَ فِيهِ فَأَمَّا النِّصْفُ الْمَأْذُونُ فِيهِ فَيَلْزَمُ الْأَمْرُ عَلَى شُرُوطِهِ الَّتِي نَذْكُرُهَا وَلَا يَخْرُجُ عَلَى تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ؛ لِأَنَّ الصَّفْقَةَ لَمْ تَخْتَلِفْ فِي الصِّحَّةِ وَالْفَسَادِ وإن اشتراه بينهما فهو في النصف مشتري لِنَفْسِهِ فَلَزِمَهُ ذَلِكَ وَفِي النِّصْفِ الْآخَرِ فِي حُكْمِ الْمُشْتَرِي لِمُوَكِّلِهِ فَيَصِحُّ ذَلِكَ بِثَلَاثَةِ شُرُوطٍ:

Ketiga: membeli untuk keduanya. Jika ia membelinya untuk dirinya sendiri, maka pembeliannya sah dan barang itu menjadi miliknya. Jika ia mendapatkan untung, maka keuntungan itu miliknya, dan jika rugi, maka kerugian itu juga miliknya. Rekannya tidak berhak atas keuntungannya, dan tidak menanggung kerugiannya. Jika ia membelinya seluruhnya untuk rekannya, maka tidak sah, karena ia hanya diberi izin untuk membeli setengahnya saja. Maka pembelian itu menjadi tanggungannya untuk setengah yang melebihi batas yang diizinkan, sedangkan untuk setengah yang diizinkan, maka berlaku sesuai syarat-syarat yang akan kami sebutkan, dan tidak termasuk dalam kategori pemisahan transaksi, karena transaksi tersebut tidak berbeda dalam hal sah atau tidaknya. Jika ia membelinya untuk keduanya, maka untuk setengahnya ia membeli untuk dirinya sendiri, sehingga menjadi tanggungannya, dan untuk setengah lainnya ia berstatus sebagai pembeli untuk wakilnya, sehingga hal itu sah dengan tiga syarat:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ وَصَفَ لَهُ النَّوْعَ الَّذِي يَتَّجِرُ فِيهِ سَوَاءٌ، كَانَ نَوْعًا أَوْ أَنْوَاعًا لِأَنَّ الْإِذْنَ فِي شِرَاءِ مَا لَمْ يُوصَفْ بَاطِلٌ.

Pertama: ia telah menjelaskan jenis barang yang akan diperdagangkan, baik satu jenis maupun beberapa jenis, karena izin untuk membeli barang yang tidak dijelaskan jenisnya adalah batal.

وَالثَّانِي: أَنْ يُقَدِّرَ لَهُ الْمَالَ الَّذِي يَشْتَرِي بِهِ، لِأَنَّ مَا لَمْ يُقَدِّرْهُ فَلَا نِهَايَةَ لَهُ بِخِلَافِ شَرِكَةِ الْمَالِ وَالْمُضَارَبَةِ الْمُقَدَّرَتَانِ بِالْمَالِ فَلَمْ يَحْتَجْ إِلَى تَقْدِيرِهِمَا بِالذِّكْرِ.

Kedua: ia menentukan jumlah harta yang akan digunakan untuk membeli, karena jika tidak ditentukan maka tidak ada batasannya, berbeda dengan syirkah al-māl dan muḍārabah yang ditentukan dengan harta, sehingga tidak perlu penentuan secara eksplisit.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَنْوِيَ فِي عَقْدِ الشِّرَاءِ أَنَّهُ لَهُ وَلِصَاحِبِهِ؛ لِأَنَّ مِلْكَ الْمَبِيعِ لَا يَنْتَقِلُ عن المشتري إلى موكله إلا ببينة سَوَاءٌ كَانَ الْمَأْذُونُ فِي ابْتِيَاعِهِ مُعَيَّنًا أَوْ غَيْرَ مُعَيَّنٍ وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ كَانَ غَيْرَ مُعَيَّنٍ لَمْ يَصِحَّ الشِّرَاءُ لِلْمُوَكِّلِ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ وَإِنْ كَانَ مُعَيَّنًا كَقَوْلِهِ اشْتَرِ هَذَا الْعَبْدَ صَحَّ الشِّرَاءُ لِلْمُوكِّلِ بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ وَهَذَا فَرْقٌ يُوجِبُ الْقِيَاسَ لِلتَّسْوِيَةِ بَيْنَهُمَا إِلَّا أَنَّهُ اشْتَرَى لِغَيْرِ الْعَاقِدِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مِنْ شُرُوطِهِ النِّيَّةُ أَصْلُهُ مَا كَانَ غَيْرَ مُعَيَّنٍ وَأَمَّا مَا يَشْتَرِيهِ الْمُضَارِبُ وَالشَّرِيكُ فَيَحْتَاجُ إِلَى نِيَّةٍ فِي أَنَّهُ فِي حَالِ الْمُضَارَبَةِ وَالشَّرِكَةِ فَإِذَا صَحَّ الشِّرَاءُ لَهُمَا عَلَى الشُّرُوطِ الْمُعْتَبَرَةِ كَانَ الرِّبْحُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ وَالْخُسْرَانُ إِنْ كَانَ عَلَيْهِمَا نِصْفَيْنِ ثُمَّ لِلْمُشْتَرِي عَلَى شَرِيكِهِ نِصْفُ أُجْرَةِ مِثْلِهِ فِيمَا اشْتَرَى وَبَاعَ لِأَنَّهُ عُمِلَ فِي مَالِهِ وَمَالِ غَيْرِهِ وَكَذَلِكَ كُلُّ شَرِكَةٍ فَاسِدَةٍ إِذَا حَصَلَ الرِّبْحُ فِيهَا بَيْنَ الشَّرِيكَيْنِ عَلَى قَدْرِ الْمَالَيْنِ وَكَانَ الْعَمَلُ لَهُمَا رَجَعَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ بِنِصْفِ أُجْرَةِ مثله فإن تساويا تقاضا وَإِنْ تَفَاضَلَا تَرَادَّا الْفَضْلَ وَإِنْ كَانَ الْعَمَلُ لِأَحَدِهِمَا كَانَ لِلْعَامِلِ عَلَى الْآخَرِ نِصْفُ أُجْرَةِ مثله.

Ketiga: Berniat dalam akad pembelian bahwa barang itu untuk dirinya dan untuk rekannya; karena kepemilikan barang yang dijual tidak berpindah dari pembeli kepada wakilnya kecuali dengan bukti, baik orang yang diberi izin untuk membeli itu telah ditentukan maupun belum. Abu Hanifah berkata: Jika belum ditentukan, maka pembelian untuk wakil tidak sah kecuali dengan bukti; dan jika telah ditentukan, seperti ucapannya “belilah budak ini”, maka pembelian untuk wakil sah tanpa bukti. Ini adalah perbedaan yang menuntut qiyās untuk menyamakan keduanya, kecuali bahwa ia membeli untuk selain pihak yang berakad, sehingga disyaratkan adanya niat. Dasarnya adalah pada kasus yang belum ditentukan. Adapun barang yang dibeli oleh mudārib dan syarikat, maka diperlukan niat bahwa itu dalam keadaan mudārabah dan syirkah. Jika pembelian sah untuk keduanya dengan syarat-syarat yang dianggap, maka keuntungan dibagi dua sama rata di antara mereka, dan kerugian jika ada juga dibagi dua sama rata. Kemudian, pembeli berhak atas separuh upah sepadan dari rekannya atas apa yang ia beli dan jual, karena ia bekerja pada hartanya dan harta orang lain. Demikian pula pada setiap syirkah yang fasid, jika terjadi keuntungan di antara dua sekutu sesuai dengan porsi modal masing-masing dan pekerjaan dilakukan oleh keduanya, maka masing-masing dari mereka dapat menuntut kepada rekannya separuh upah sepadan. Jika keduanya seimbang, maka mereka saling menuntut; jika salah satu lebih banyak, maka kelebihan itu dikembalikan. Jika pekerjaan hanya dilakukan oleh salah satu dari mereka, maka yang bekerja berhak atas separuh upah sepadan dari rekannya.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَيْسَ لِوَاحِدٍ مِنَ الشَّرِيكَيْنِ عَلَى صَاحِبِهِ أُجْرَةٌ فِي عَمَلِهِ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِي الشَّرِكَةِ لَا يُقَابِلُ شَيْئًا مِنَ الرِّبْحِ فَلَمْ يَكُنْ لِوُجُودِهِ تَأْثِيرٌ وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ حُكْمَ الشَّرِكَةِ إِذَا زَالَ بِفَسَادِهَا غَلَبَ فِيهَا حُكْمُ الْوَكَالَةِ عَلَى عِوَضٍ فَاسِدٍ وَذَلِكَ مُوجِبٌ لِأُجْرَةِ الْمِثْلِ.

Abu Hanifah berkata: Tidak ada hak bagi salah satu dari dua sekutu atas upah dari rekannya atas pekerjaannya, karena pekerjaan dalam syirkah tidak mendapatkan bagian dari keuntungan, sehingga keberadaannya tidak berpengaruh. Ini adalah kekeliruan; karena hukum syirkah jika batal, maka hukum wakalah dengan imbalan yang fasid lebih dominan, dan itu menuntut adanya upah sepadan.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ السَّادِسُ وَهُوَ شَرِكَةُ الْأَبْدَانِ: وَهُوَ أَنْ يَشْتَرِكَ صَانِعَانِ لِيَعْمَلَا بِأَبْدَانِهِمَا وَيَشْتَرِكَانِ فِي كَسْبِهِمَا فَهَذِهِ شَرِكَةٌ بَاطِلَةٌ وَقَالَ مَالِكٌ: تَجُوزُ إِذَا كَانَا مُتَّفِقَيِ الصَّنْعَةِ ولا تجوز إذا كان مُخْتَلِفَيِ الصَّنْعَةِ وَقَالَ أبو حنيفة تَجُوزُ مَعَ اتِّفَاقِ الصَّنْعَةِ وَاخْتِلَافِهَا وَلَا تَجُوزُ فِي الْأَعْيَانِ الْمُسْتَفَادَةِ بِالْعَمَلِ كَالِاصْطِيَادِ وَالِاحْتِطَابِ.

Adapun bagian keenam, yaitu syirkah al-abdān: yaitu dua orang pekerja bersekutu untuk bekerja dengan tenaga mereka dan berbagi hasil usaha mereka. Ini adalah syirkah yang batil. Malik berkata: Diperbolehkan jika keduanya memiliki keahlian yang sama, dan tidak diperbolehkan jika keahlian mereka berbeda. Abu Hanifah berkata: Diperbolehkan baik keahlian mereka sama maupun berbeda, namun tidak diperbolehkan pada benda-benda yang diperoleh melalui kerja seperti berburu dan menebang kayu.

وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: تَجُوزُ فِي كُلِّ ذَلِكَ حَتَّى فِي الِاصْطِيَادِ وَالِاحْتِشَاشِ اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ أَنَّ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ وَعَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ. اشْتَرَكُوا فِيمَا يَغْنَمُونَهُ يَوْمَ بَدْرٍ. فَغَنِمَ سَعْدٌ بَعِيرَيْنِ وَقِيلَ بَلْ أَسَرَ أَسِيرَيْنِ وَلَمْ يَغْنَمِ الْآخَرَانِ شَيْئًا وَاقْتَسَمُوا هَذِهِ الشَّرِكَةَ فِي الْأَبْدَانِ لَا فِي الْأَمْوَالِ وَقَالُوا وَلِأَنَّ النَّاسَ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَإِلَى وَقْتِنَا هَذَا يَتَشَارَكُونَ بِأَبْدَانِهِمْ فَلَا يَتَنَاكَرُونَهُ وَلَا يُنْكَرُ عَلَيْهِمْ فَصَارَ ذَلِكَ إِجْمَاعًا مِنْهُمْ وَلِأَنَّهُ نَوْعُ شَرِكَةٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنْهَا مَا يَصِحُّ كَشَرِكَةِ الْأَمْوَالِ وَلِأَنَّ عَمَلَ الْبَدَنِ أَصْلًا قَدْ يُسْتَفَادُ بِهِ الْمَالُ إِذَا انْفَرَدَ وَالْمَالُ فَرْعٌ عَلَيْهِ لَا يُسْتَفَادُ بِهِ النَّمَاءُ إِلَّا مَعَ الْعَمَلِ فَلَمَّا صَحَّتِ الشَّرِكَةُ فِي الْأَمْوَالِ فَأَوْلَى أَنْ تَصِحَّ فِي أَعْمَالِ الْأَبْدَانِ ولأن العامل في القراص شَرِيكٌ بِبَدَنِهِ فِي مَالٍ غَيْرِ مُمَاثِلٍ لِعَمَلِهِ فَكَانَتِ الشَّرِكَةُ فِي أَعْمَالِ الْأَبْدَانِ الْمُمَاثِلَةِ أَوْلَى. ودليلنا نهيه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنِ الْغَرَرِ وَشَرِكَةُ الْأَبْدَانِ غَرَرٌ. لِأَنَّهُ قَدْ يَعْمَلُ أَحَدُهُمَا وَلَا يَعْمَلُ الْآخَرُ وَقَدْ يَعْمَلُ أَحَدُهُمَا أَقَلَّ مِنَ الْآخَرِ وَلِأَنَّهَا شَرِكَةٌ عَرِيَتْ عَنْ مُشْتَرِكٍ فِي الْحَالِ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ بَاطِلَةً أَصْلُهُ إِذَا اشْتَرَكَا فِيمَا يَسْتَوْهِبَانِهِ. وَلِأَنَّهَا شَرِكَةٌ فِي مَنَافِعِ أَعْيَانٍ مُتَمَيِّزَةٍ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ بَاطِلَةً إِذَا اشْتَرَكَا فِي بَعِيرَيْنِ لَا يُؤَجِّرَاهُمَا وَيَشْتَرِكَا فِي أُجْرَتِهِمَا. وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْ شَرِكَةِ الْأَبْدَانِ هُوَ الْعَمَلُ، كَمَا أَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْ شَرِكَةِ الْأَمْوَالِ هُوَ الْمَالُ فَلَمَّا كَانَتِ الْجَهَالَةُ بِقَدْرِ الْمَالِ فَوَجَبَ فَسَادُ الشَّرِكَةِ وَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ الْجَهَالَةُ بِالْعَمَلِ تُوجِبُ فَسَادَ الشَّرِكَةِ وَالْعَمَلُ مَجْهُولٌ بِكُلِّ حَالٍ لِأَنَّ مَا يَعْمَلُهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا غَيْرَ مُقَدَّرٍ. وَقَدْ يَمْرَضُ فَلَا يَعْمَلُ وَيَتَحَرَّرُ مِنِ اعْتِلَالِ هَذَا الِاسْتِدْلَالِ قِيَاسَانِ أَحَدُهُمَا هُوَ أَنَّ وُقُوعَ الْجَهَالَةِ بِحِصَّةِ كُلٍّ مِنْهُمَا يَمْنَعُ مِنْ صِحَّةِ الشَّرِكَةِ كَمَا لَوْ خَلَطَا مَالَيْنِ لَا يَعْرِفَانِ قَدْرَهُمَا وَالثَّانِي هُوَ أَنَّهَا مُعَاوَضَةٌ لَوْ كَانَتْ فِي الْأَمْوَالِ بَطَلَتْ بِالْجَهَالَةِ فَوَجَبَ إِذَا كَانَتْ فِي الْأَعْمَالِ أَنْ تَبْطُلَ بِالْجَهَالَةِ أَصْلُهُ إِذَا قَالَ قَدِ اسْتَأْجَرْتُكَ لِتَبْنِيَ لِي عَلَى أَلَّا أَضْبُعَ لَكَ.

Ahmad bin Hanbal berkata: “Hal itu dibolehkan dalam semua bentuk, bahkan dalam perburuan dan pengumpulan hasil alam, dengan berdalil pada riwayat bahwa Sa‘d bin Abi Waqqash, ‘Abdullah bin Mas‘ud, dan ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhum pernah bekerja sama dalam apa yang mereka peroleh pada hari Perang Badar. Sa‘d memperoleh dua ekor unta—dan ada yang mengatakan bahwa ia menawan dua orang tawanan—sedangkan dua orang lainnya tidak mendapatkan apa-apa, lalu mereka membagi hasil kerja sama ini pada usaha badan, bukan pada harta. Mereka berkata: “Karena orang-orang pada masa Rasulullah ﷺ hingga zaman kita ini saling bekerja sama dengan usaha badan mereka, sehingga tidak ada yang mengingkarinya dan tidak ada yang menolaknya, maka hal itu menjadi ijmā‘ dari mereka. Dan karena ini adalah salah satu jenis syarikah, maka harus ada bagian yang sah darinya sebagaimana syarikah pada harta. Dan karena kerja badan pada asalnya dapat menghasilkan harta jika dilakukan sendiri, sedangkan harta adalah cabang darinya yang tidak dapat menghasilkan pertumbuhan kecuali dengan kerja, maka ketika syarikah pada harta sah, maka lebih utama lagi syarikah pada kerja badan juga sah. Dan karena pekerja pada qiradh adalah mitra dengan badannya dalam harta yang tidak sejenis dengan pekerjaannya, maka syarikah pada kerja badan yang sejenis lebih utama lagi.” Dalil kami adalah larangan Rasulullah ﷺ terhadap gharar, sedangkan syarikah badan mengandung gharar, karena bisa jadi salah satu dari keduanya bekerja sementara yang lain tidak, atau salah satunya bekerja lebih sedikit dari yang lain. Dan karena ini adalah syarikah yang tidak memiliki unsur bersama pada saat itu, maka harus batal pada asalnya jika mereka bekerja sama dalam sesuatu yang mereka dapatkan secara cuma-cuma. Dan karena ini adalah syarikah dalam manfaat dari objek yang berbeda-beda, maka harus batal jika mereka bekerja sama dalam dua ekor unta tanpa menyewakannya dan berbagi hasil sewanya. Dan karena tujuan dari syarikah badan adalah kerja, sebagaimana tujuan dari syarikah harta adalah harta, maka ketika ketidaktahuan terhadap jumlah harta menyebabkan rusaknya syarikah, maka ketidaktahuan terhadap kerja juga menyebabkan rusaknya syarikah, dan kerja itu pada setiap keadaan tidak diketahui, karena apa yang dikerjakan masing-masing dari mereka tidak dapat ditentukan. Bisa jadi salah satunya sakit sehingga tidak bekerja. Dalil qiyās yang digunakan untuk menolak argumentasi ini ada dua: Pertama, bahwa ketidaktahuan terhadap bagian masing-masing dari mereka menghalangi keabsahan syarikah, sebagaimana jika mereka mencampur dua harta yang tidak diketahui jumlahnya. Kedua, bahwa ini adalah bentuk mu‘āwadah (pertukaran), yang jika terjadi pada harta akan batal karena ketidaktahuan, maka jika terjadi pada kerja juga harus batal karena ketidaktahuan, sebagaimana jika seseorang berkata: “Aku menyewamu untuk membangun untukku, tetapi aku tidak menentukan upah untukmu.”

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ فِي اشْتِرَاكِ سَعْدٍ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَعَمَّارٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فِيمَا يَغْنَمُونَ فَهُوَ أَنَّ حُكْمَ الْغَنِيمَةِ أَنَّ الشَّرِكَةَ فِيهَا وَاقِعَةٌ بِالْعَمَلِ دُونَ الشَّرْطِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ الْغَانِمِينِ شَرْطٌ كَانَتْ غَنِيمَةُ أَحَدِهِمْ شَرِكَةً بَيْنَهُمْ.

Adapun jawaban atas dalil mereka tentang kerja sama Sa‘d, Ibnu Mas‘ud, dan ‘Ammar radhiyallahu ‘anhum dalam apa yang mereka peroleh, maka sesungguhnya hukum ghanīmah adalah bahwa syarikah di dalamnya terjadi karena kerja, bukan karena syarat. Tidakkah engkau melihat bahwa ketika tidak ada syarat di antara para peraih ghanīmah, maka hasil ghanīmah salah satu dari mereka menjadi syarikah di antara mereka.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْإِجْمَاعِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ الْإِجْمَاعَ مَأْخُوذٌ مِنَ الْأَقْوَالِ لَا مِنَ الْأَفْعَالِ. كَمَا أَنَّ أبا حنيفة لَمْ يَجْعَلْ إِجْمَاعَ النَّاسِ عَلَى أَخْذِ أُجْرَةِ التَّعْلِيمِ فِي الْكَتَاتِيبِ دَلِيلًا عَلَى جَوَازِ أَخْذِ الْأُجْرَةِ فِي تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى شَرِكَةِ الْعِنَانِ فَقَدْ تَقَدَّمَ الْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ قَبْلُ وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ الْعَمَلَ فِي الْكَسْبِ أَصْلٌ وَالْمَالَ فَرْعٌ فَلَمَّا جَازَتِ الشَّرِكَةُ فِي الْفَرْعِ فَأَوْلَى أَنْ تَجُوزَ فِي الْأَصْلِ. فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ شَرِكَةَ الْأَبْدَانِ إِنَّمَا بَطَلَتْ لِجَهَالَةِ الْعَمَلِ وَهَذَا مُعْتَبَرٌ فِي شَرِكَةِ الْأَمْوَالِ لِأَنَّهَا بَطَلَتْ بِجَهَالَةِ الْمَالِ فَاسْتَوَيَا وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْقِرَاضِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّ الْعَمَلَ فِيهِ تَبَعٌ لِلْمَالِ وَجَهَالَةُ الْبَيْعِ لَا تَمْنَعُ مِنْ صِحَّةِ الْعَقْدِ إِذَا كَانَ الْأَصْلُ مَعْلُومًا وليس كذلك شركة الْأَبْدَانِ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيهَا – هُوَ الْأَصْلُ الْمَقْصُودُ فَبَطَلَتْ بِكَوْنِ الْعَمَلِ مَجْهُولًا فَإِذَا ثَبَتَ فَسَادُ شَرِكَةِ الْأَبْدَانِ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ عَمَلُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُتَمَيِّزًا أَوْ غَيْرَ مُتَمَيِّزٍ فَإِنْ كَانَ مُتَمَيِّزًا اخْتُصَّ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِأُجْرَةِ عَمَلِهِ وَإِنْ كَانَ الْعَمَلُ غَيْرَ مُتَمَيِّزٍ كَانَ مَا حَصَلَ لَهُمَا مِنَ الْكَسْبِ مَقْسُومًا بَيْنَهُمَا عَلَى قُدُورِ أُجُورِ أَمْثَالِهِمَا فَيَصْرِفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنَ الْكَسْبِ بِقِسْطِهِ مِنْ أُجْرَةِ مِثْلِهِ.

Adapun dalil mereka dengan ijmā‘, maka tidaklah benar, karena ijmā‘ itu diambil dari perkataan, bukan dari perbuatan. Sebagaimana Abū Ḥanīfah tidak menjadikan ijmā‘ orang-orang atas pengambilan upah mengajar di kuttāb sebagai dalil bolehnya mengambil upah dalam mengajarkan al-Qur’ān. Adapun qiyās mereka dengan syarikah ‘inān, jawabannya telah dijelaskan sebelumnya. Adapun dalil mereka bahwa pekerjaan dalam usaha adalah pokok dan harta adalah cabang, maka ketika syarikah pada cabang dibolehkan, maka lebih utama lagi dibolehkan pada pokoknya. Jawabannya adalah bahwa syarikah al-abdān batal karena ketidakjelasan pekerjaan, dan ini juga diperhitungkan dalam syarikah al-amwāl, karena ia batal sebab ketidakjelasan harta, sehingga keduanya sama. Adapun dalil mereka dengan al-muḍārabah, maka maksudnya adalah bahwa pekerjaan di dalamnya mengikuti harta, dan ketidakjelasan dalam penjualan tidak menghalangi sahnya akad jika pokoknya diketahui. Tidak demikian halnya dengan syarikah al-abdān, karena pekerjaan di dalamnya adalah pokok yang dimaksud, sehingga batal karena pekerjaan yang tidak jelas. Jika telah tetap rusaknya syarikah al-abdān, maka tidak lepas dari dua keadaan: pekerjaan masing-masing dari keduanya berbeda atau tidak berbeda. Jika berbeda, maka masing-masing berhak atas upah pekerjaannya. Jika pekerjaan tidak berbeda, maka hasil yang mereka peroleh dari usaha dibagi di antara mereka sesuai kadar upah orang sejenis mereka, sehingga masing-masing mengambil dari hasil usaha sesuai bagian dari upah sejenisnya.

(فَصْلٌ)

(Faṣl/Bagian)

فَلَوِ اشْتَرَكَ رَجُلَانِ فِي اصْطِيَادِ صَيْدٍ لَمْ تَصِحَّ الشَّرِكَةُ وَمَلَكَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَا انْفَرَدَ بِهِ مِنْ صَيْدِهِ. فَلَوِ اجْتَمَعَا عَلَى صَيْدٍ مَلَكَاهُ جَمِيعًا لِاسْتِوَاءِ أَيْدِيهِمَا عَلَيْهِ وَكَانَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ نِصْفُ أُجْرَةِ مِثْلِهِ. فَيَتَرَادَّانِ الْفَضْلَ إِنْ كَانَ وَإِلَّا تَقَاصَّا لِأَنَّ ذَلِكَ مَمْلُوكٌ عَنْ شَرِكَةٍ فَاسِدَةٍ وَلَوْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ عَنْ عَقْدِ شَرِكَةٍ مَلَكَاهُ وَلَا أُجْرَةَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ وَهَكَذَا لَوْ وَضَعَا شَبَكَةً أَوْ شِرْكًا بَيْنَهُمَا فَوَقَعَ فِيهِ صَيْدٌ مَلَكَاهُ مَعًا وَكَانَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ نِصْفُ أُجْرَةِ نصف حصته من الشبكة وذلك أجرة ربع الشبكة فلو وكل رجلان في اصطياد صَيْدٍ أَوِ احْتِشَاشِ حَشِيشٍ جَازَ وَمَلَكَ الْمُوَكِّلُ مَا حُصِّلَ مِنَ الصَّيْدِ وَالْحَشِيشِ بِفِعْلِ الْوَكِيلِ وَهَكَذَا لَوِ اسْتَأْجَرَ فِي اصْطِيَادِ صَيْدٍ مَلَكَهُ الْمُسْتَأْجِرُ بِإِجَارَتِهِ وَفَعَلَ فَعَلَيْهِ لِلْأَجِيرِ أُجْرَتُهُ الْمُسَمَّاةُ وَهَكَذَا لَوِ اسْتَأْجَرَهُمْ لِإِحْيَاءِ مَوَاتٍ صَحَّتِ الْإِجَارَةُ وَكَانَ لِلْأُجَرَاءِ فِيمَا أَحْيَوْهُ الْأُجْرَةُ وَمَلَكَ الْمُسْتَأْجِرُ الْأَرْضَ بِإِحْيَاءِ الْأَجِيرِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَحْصُلَ للأجير ملك ينتقل عنه.

Jika dua orang berserikat dalam menangkap buruan, maka syarikah tersebut tidak sah, dan masing-masing dari mereka memiliki apa yang ia peroleh sendiri dari buruannya. Jika mereka bersama-sama menangkap satu buruan, maka keduanya memilikinya bersama karena tangan mereka sama-sama menguasainya, dan masing-masing dari mereka berhak atas setengah upah sejenisnya dari rekannya. Maka mereka saling mengembalikan kelebihan jika ada, jika tidak maka dilakukan perhitungan, karena hal itu dimiliki dari syarikah yang rusak. Jika hal itu bukan berasal dari akad syarikah, maka keduanya memilikinya dan tidak ada upah bagi salah satu dari mereka atas rekannya. Demikian pula jika mereka memasang jaring atau perangkap bersama, lalu ada buruan yang masuk ke dalamnya, maka keduanya memilikinya bersama dan masing-masing dari mereka berhak atas setengah upah setengah bagian jaring dari rekannya, yaitu upah seperempat jaring. Jika dua orang mewakilkan untuk menangkap buruan atau mengumpulkan rumput, maka itu boleh dan yang mewakilkan memiliki apa yang diperoleh dari buruan dan rumput melalui perbuatan wakil. Demikian pula jika menyewa untuk menangkap buruan, maka yang menyewa memilikinya dengan sewanya dan perbuatannya, dan wajib baginya memberikan upah yang telah disepakati kepada pekerja. Demikian pula jika menyewa mereka untuk menghidupkan tanah mati, maka sewa itu sah dan para pekerja berhak atas upah dari apa yang mereka hidupkan, dan yang menyewa memiliki tanah itu karena dihidupkan oleh pekerja tanpa pekerja memperoleh kepemilikan yang berpindah darinya.

(فصل)

(Faṣl/Bagian)

وإذا اشتركا أَرْبَعَةٌ فِي زِرَاعَةِ أَرْضٍ عَلَى أَنْ تَكُونَ مِنْ أَحَدِهِمُ الْأَرْضُ وَمِنَ الْآخَرِ الْبَذْرُ وَمِنَ الْآخَرِ بَقَرُ الْحَرْثِ وَمِنَ الْآخَرِ الْعَمَلُ كَانَتْ شَرِكَةً فَاسِدَةً لِأَنَّ الشَّرِكَةَ إِنَّمَا تَصِحُّ فِيمَا لَا يَتَمَيَّزُ إِذَا خُلِطَ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الزَّرْعُ كُلُّهُ لِصَاحِبِ الْبَذْرِ لِأَنَّهُ نَمَاءُ مِلْكِهِ وَيَكُونُ عَلَيْهِ أُجْرَةُ مِثْلِ الْأَرْضِ وَالْبَقَرِ لِأَنَّهُمْ دَخَلُوا عَلَى عِوَضٍ فَاسِدٍ.

Jika empat orang berserikat dalam menanam tanah, dengan ketentuan salah satunya menyediakan tanah, yang lain menyediakan benih, yang lain menyediakan sapi pembajak, dan yang lain menyediakan tenaga kerja, maka syarikah tersebut adalah syarikah yang rusak, karena syarikah hanya sah pada sesuatu yang tidak dapat dibedakan jika dicampur. Dengan demikian, seluruh hasil tanaman menjadi milik pemilik benih karena itu adalah pertumbuhan dari miliknya, dan ia wajib membayar upah sewa yang sepadan untuk tanah dan sapi, karena mereka masuk dengan imbalan yang rusak.

(فَصْلٌ)

(Faṣl/Bagian)

فَلَوِ اشْتَرَكَ أَرْبَعَةٌ فِي طَحْنِ حِنْطَةٍ لِرَجُلٍ بِأُجْرَةٍ مُسَمَّاةٍ عَلَى أَنْ يَكُونَ مِنْ أَحَدِهِمُ الرَّحَا وَمِنَ الْآخَرِ الْبَغْلُ وَمِنَ الْآخَرِ الْبَيْتُ وَمِنَ الْآخَرِ الْعَمَلُ فَالْإِجَارَةُ صَحِيحَةٌ لِأَنَّهَا فِي ذِمَمِهِمْ وَالشَّرِكَةُ فَاسِدَةٌ. فَإِذَا طَحَنُوا فَالْأُجْرَةُ بَيْنَهُمْ أَرْبَاعًا وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْأَرْبَعَةِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى أَصْحَابِهِ بِثَلَاثَةِ أَرْبَاعِ أُجْرَةِ مَا كَانَ مِنْ جِهَتِهِ فَيَرْجِعُ صَاحِبُ الرَّحَى عَلَى الثَّلَاثَةِ بِثَلَاثَةِ أَرْبَاعِ رَحَاهُ وَعَلَى كُلِّ وَاحِدٍ بِالرُّبُعِ وَالرُّبُعُ الْآخَرُ يُقَسَّطُ لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ مَا حَصَلَ لَهُ مِنَ الْعَمَلِ هَكَذَا وَصَاحِبُ الْبَغْلِ، وَصَاحِبُ الْبَيْتِ، وَصَاحِبُ الْعَمَلِ، وَلَوْ تَوَلَّى أَحَدُهُمُ الْإِجَارَةَ لِنَفْسِهِ كَانَتِ الْأُجْرَةُ كُلُّهَا لَهُ وَعَلَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ جَمِيعُ أُجْرَةِ مَا كَانَ مِنْ جِهَتِهِ.

Jika empat orang bekerja sama menggiling gandum milik seseorang dengan upah tertentu, dengan ketentuan salah satu dari mereka menyediakan alat penggiling, yang lain menyediakan bagal, yang lain menyediakan rumah, dan yang lain lagi menyediakan tenaga kerja, maka akad ijarah (sewa-menyewa) tersebut sah karena berada dalam tanggungan mereka, namun syirkah (kerja sama) tersebut rusak (tidak sah). Apabila mereka telah menggiling, maka upah dibagi rata menjadi empat bagian di antara mereka. Setiap orang dari keempatnya berhak menuntut kepada rekan-rekannya tiga perempat dari upah atas apa yang berasal dari bagiannya. Maka pemilik alat penggiling dapat menuntut kepada tiga orang lainnya tiga perempat dari upah alat penggilingnya, dan kepada masing-masing seperempat, sedangkan seperempat sisanya dibagi karena itu sebagai imbalan atas tenaga kerja yang ia lakukan, demikian pula pemilik bagal, pemilik rumah, dan pemilik tenaga kerja. Jika salah satu dari mereka sendiri yang melakukan akad ijarah untuk dirinya, maka seluruh upah menjadi miliknya dan ia wajib membayar kepada masing-masing dari mereka seluruh upah atas apa yang berasal dari bagiannya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَلَوِ اشْتَرَكَ ثَلَاثَةٌ فِي اسْتِقَاءِ وَبَيْعِهِ لِيَكُونَ مِنْ أَحَدِهِمُ الْبَعِيرُ وَمِنَ الْآخَرِ السقاء والآخر عامل ببدنه فِي سَقْيِ الْمَاءِ فَرَوَى الرَّبِيعُ أَنَّ ثَمَنَ الْمَاءِ يَكُونُ لِصَاحِبِهِ الْآخِذِ لَهُ وَعَلَيْهِ لِصَاحِبِ الْبَعِيرِ وَالسِّقَاءِ أُجْرَةُ مِثْلِ الْبَعِيرِ وَالسِّقَاءِ وَرَوَى أبو علي الْبُوَيْطِيُّ أَنَّ ثَمَنَ الْمَاءِ يَكُونُ بَيْنَهُمْ عَلَى الشَّرِكَةِ أَثْلَاثًا وَيَكُونُ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الثَّلَاثَةِ عَلَى صَاحِبِهِ ثُلُثَا أُجْرَةِ مَا كَانَ مِنْ جِهَتِهِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي اخْتِلَافِ هَاتَيْنِ الرِّوَايَتَيْنِ فَكَانَ بَعْضُهُمْ يُخْرِجُهَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika tiga orang bekerja sama dalam mengambil air dan menjualnya, dengan ketentuan salah satu dari mereka menyediakan unta, yang lain menyediakan wadah air, dan yang lain lagi bekerja dengan tenaganya dalam mengambil air, maka ar-Rabi‘ meriwayatkan bahwa harga air menjadi milik orang yang mengambilnya, dan ia wajib membayar kepada pemilik unta dan pemilik wadah air upah sepadan dengan unta dan wadah air tersebut. Sedangkan Abu ‘Ali al-Buwaiti meriwayatkan bahwa harga air dibagi di antara mereka bertiga secara syirkah, dan masing-masing dari ketiganya berhak menuntut kepada rekannya dua pertiga dari upah atas apa yang berasal dari bagiannya. Para ulama kami berbeda pendapat dalam memahami perbedaan dua riwayat ini, sehingga sebagian mereka mengeluarkannya sebagai dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ ثَمَنَ الْمَاءِ يَكُونُ لِصَاحِبِهِ الْآخِذِ لَهُ كَالشُّرَكَاءِ فِي الزَّرْعِ يَكُونُ الزَّرْعُ بَيْنَهُمْ لِصَاحِبِ الْبَذْرِ.

Salah satunya: bahwa harga air menjadi milik orang yang mengambilnya, sebagaimana para syarik (sekutu) dalam pertanian, di mana hasil panen menjadi milik mereka, dan benih menjadi milik pemilik benih.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بَيْنَهُمْ أَثْلَاثًا عَلَى أصل الشركة لأن الماء بصير كَرَأْسِ مَالٍ تَسَاوَوْا فِيهِ. وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ لَيْسَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ وَإِنَّمَا اخْتِلَافُ النَّقْلَيْنِ مَحْمُولٌ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَرِوَايَةُ الرَّبِيعِ أَنَّ ثَمَنَ الْمَاءِ لِآخِذِهِ مَحْمُولَةٌ عَلَى أَنَّهُ قَصَدَ بِالْأَخْذِ لِنَفْسِهِ وَرِوَايَةُ الْبُوَيْطِيِّ أَنَّهُ يَكُونُ بَيْنَهُمْ أَثْلَاثًا عَلَى الشَّرِكَةِ مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ قَصَدَ بِهِ الْآخِذَ لِلشَّرِكَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: bahwa harga air dibagi di antara mereka bertiga atas dasar pokok syirkah, karena air tersebut menjadi seperti modal yang mereka samakan di dalamnya. Abu al-‘Abbas bin Surayj berkata, “Bukan itu dua pendapat, melainkan perbedaan dua riwayat itu disebabkan oleh perbedaan dua keadaan. Riwayat ar-Rabi‘ bahwa harga air menjadi milik pengambilnya, itu jika ia mengambil untuk dirinya sendiri. Sedangkan riwayat al-Buwaiti bahwa harga air dibagi bertiga atas dasar syirkah, itu jika ia mengambilnya untuk syirkah. Allah Maha Mengetahui.”

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَالشَّرِكَةُ الصَّحِيحَةُ أَنْ يُخْرِجَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا دَنَانِيرَ مِثْلَ دَنَانِيرِ صَاحِبِهِ وَيَخْلِطَاهُمَا فَيَكُونَانِ فِيهَا شَرِيكَيْنِ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Syirkah yang sah adalah apabila masing-masing dari keduanya mengeluarkan dinar sejumlah dinar rekannya, lalu keduanya mencampurkan harta itu, sehingga mereka berdua menjadi sekutu di dalamnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الشَّرِكَةَ إِنَّمَا تَصِحُّ فِيمَا يَتَخَلَّطُ فَلَا يَتَمَيَّزُ فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُخْرِجَ أَحَدُ الشَّرِيكَيْنِ دَرَاهِمَ وَالْآخَرُ دَنَانِيرَ، وَلَا يُخْرِجُ أَحَدُهُمَا دَنَانِيرَ مَغْرِبِيَّةً وَالْآخَرُ دَنَانِيرَ مَشْرِقِيَّةً وَلَا أَنْ يُخْرِجَ أَحَدُهُمَا دَنَانِيرَ صِحَاحًا وَالْآخَرُ دَنَانِيرَ مكسرة وَلَا أَنْ يُخْرِجَ أَحَدُهُمَا دَنَانِيرَ صِحَاحًا وَالْآخَرُ دراهم مُكَسَّرَةً وَلَا أَنْ يُخْرِجَ أَحَدُهُمَا دَرَاهِمَ عَلَى ضَرْبِ سِكَّةٍ وَنَقْشٍ يُخَالِفُهَا دَرَاهِمُ الْآخَرِ فِي السِّكَّةِ وَالنَّقْشِ لِأَنَّ هَذَا كُلَّهُ يَتَمَيَّزُ بَعْدَ خَلْطِهِ وَجَوَّزَ أبو حنيفة الشَّرِكَةَ فِي هَذَا كله لأنه مال ناض فلم يؤثر اخْتِلَافُ أَوْصَافِهِ فِي الشَّرِكَةِ بِهِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ مَا يَتَمَيَّزُ بَعْدَ خَلْطِهِ لَا تَصِحُّ الشَّرِكَةُ بِهِ كَالْعُرُوضِ فَعَلَى هَذَا لَا تَصِحُّ الشَّرِكَةُ بِالنِّقَادِ وَالسَّبَائِكِ لِتَمَيُّزِهَا وَأَنَّهَا تَجْرِي مَجْرَى الْعُرُوضِ لِمَا يَتَوَجَّهُ إِلَيْهَا مِنْ زِيَادَةِ السِّعْرِ وَنَقْصِهِ حَتَّى تَكُونَ الشَّرِكَةُ فِي دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ مُتَّفِقَةٍ فِي النَّوْعِ وَالصِّفَةِ لَا يخالف أحدها الْأُخْرَى بِصِفَةٍ تَتَمَيَّزُ بِهَا فَإِذَا حَصَلَ وَكَانَ مَالُهَا مُشْتَبِهًا لَا يَتَمَيَّزُ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ بِشَيْءٍ فَمِنْ تَمَامِ الشَّرِكَةِ أَنْ يَخْلِطَا الْمَالَيْنِ وَمَا لَمْ يَخْلِطَاهُ فَهُمَا غَيْرُ شَرِيكَيْنِ فِيهِ وَقَالَ أبو حنيفة تَصِحُّ الشَّرِكَةُ وَإِنْ كَانَ مَالُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُنْفَرِدًا مَعَهُ فِي كِيسٍ وَيَشْتَرِيَانِ مَعًا وَيَدْفَعُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنْ دَرَاهِمِهِ ثَمَنَ حِصَّتِهِ وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ إِنَّمَا هُوَ وَعْدٌ بِالشَّرِكَةِ ثُمَّ يَسْتَقِرُّ بِالشِّرَاءِ وَدَفْعِ الثَّمَنِ فَأَمَّا أَنْ تَكُونَ الشَّرِكَةُ فِي الْمَالِ فَلِأَنَّ الشَّرِكَةَ مَأْخُوذَةٌ مِنَ الِاشْتِرَاكِ وَالِاخْتِلَاطِ وَمَعَ تَمْيِيزِ الْمَالَيْنِ فَلَا تَكُونُ شَرِكَةٌ وَلَا خُلْطَةٌ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, dan telah kami sebutkan bahwa syarikah hanya sah pada sesuatu yang bercampur sehingga tidak dapat dibedakan. Berdasarkan hal ini, tidak boleh salah satu dari dua sekutu mengeluarkan dirham dan yang lain dinar, atau salah satu mengeluarkan dinar Maghribi dan yang lain dinar Mashriqi, atau salah satu mengeluarkan dinar utuh dan yang lain dinar pecahan, atau salah satu mengeluarkan dinar utuh dan yang lain dirham pecahan, atau salah satu mengeluarkan dirham dengan cetakan dan ukiran tertentu sementara dirham yang lain berbeda dalam cetakan dan ukirannya. Karena semua ini dapat dibedakan setelah dicampur. Abu Hanifah membolehkan syarikah dalam semua hal ini karena menurutnya itu adalah harta tunai sehingga perbedaan sifatnya tidak berpengaruh dalam syarikah. Namun, ini tidak benar, karena sesuatu yang bisa dibedakan setelah dicampur tidak sah dijadikan syarikah, seperti barang dagangan (‘urudh). Berdasarkan hal ini, tidak sah syarikah pada uang logam dan batangan karena dapat dibedakan dan kedudukannya seperti barang dagangan karena adanya kemungkinan naik-turunnya harga, sehingga syarikah hanya sah pada dirham atau dinar yang sejenis dan sama sifatnya, tidak ada salah satunya yang berbeda dari yang lain dengan sifat yang membedakannya. Jika sudah demikian dan hartanya serupa sehingga tidak dapat dibedakan antara satu dengan yang lain, maka kesempurnaan syarikah adalah dengan mencampurkan kedua harta tersebut. Selama keduanya belum mencampurkannya, maka keduanya bukanlah sekutu dalam harta itu. Abu Hanifah berkata: Syarikah sah meskipun harta masing-masing terpisah dalam kantongnya, lalu mereka membeli bersama-sama dan masing-masing membayar dari dirhamnya untuk bagian miliknya. Apa yang dikatakannya itu hanyalah janji untuk bersyarikah, lalu menjadi tetap dengan pembelian dan pembayaran harga. Adapun syarikah dalam harta, karena syarikah itu diambil dari makna kebersamaan dan percampuran, maka selama kedua harta itu masih terpisah, tidak ada syarikah dan tidak ada percampuran.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

إِذَا كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى رَجُلٍ أَلْفُ دِرْهَمٍ دَيْنًا فَقَالَ صَاحِبُ الدَّيْنِ لِمَنْ هِيَ عَلَيْهِ اجْعَلِ الدَّيْنَ الَّذِي لِي عَلَيْكَ شَرِكَةً بَيْنِي وَبَيْنَكَ تُخْرِجُ مِنْ مَالِكَ أَلْفًا بِإِزَائِهَا وَتَتَّجِرُ بِالْأَلْفَيْنِ لِيَكُونَ الرِّبْحُ بَيْنَنَا نِصْفَيْنِ لَمْ تَصِحَّ هَذِهِ الشَّرِكَةُ لِأَنَّهَا شَرِكَةٌ بِدَيْنٍ وَشَرِكَةُ الدَّيْنِ فَاسِدَةٌ حَتَّى يَقْبِضَ صَاحِبُ الدَّيْنِ مَالَهُ وَيُخْرِجَ الْآخَرُ مِثْلَهُ وَيَخْلِطَاهُ فَيَصِيرَا حِينَئِذٍ شَرِيكَيْنِ فَتَصِحُّ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika seseorang memiliki utang seribu dirham kepada orang lain, lalu pemilik piutang berkata kepada yang berutang, “Jadikanlah utang yang menjadi hakku atasmu itu sebagai syarikah antara aku dan engkau. Engkau keluarkan dari hartamu seribu dirham sebagai imbangannya, lalu kita berdagang dengan dua ribu dirham itu agar keuntungannya dibagi dua,” maka syarikah ini tidak sah, karena ini adalah syarikah dengan utang, dan syarikah dengan utang itu batal sampai pemilik piutang menerima hartanya dan yang lain mengeluarkan yang semisalnya lalu keduanya mencampurkannya, sehingga saat itu barulah keduanya menjadi sekutu dan syarikah itu sah. Wallahu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” فَإِنِ اشْتَرَيَا فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَبِيعَهُ أَحَدُهُمَا دُونَ صَاحِبِهِ فَإِنْ جَعَلَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِصَاحِبِهِ أَنْ يَتَّجِرَ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ بِمَا رَأَى مِنْ أَنْوَاعِ التِّجَارَاتِ قَامَ فِي ذَلِكَ مَقَامَ صَاحِبِهِ فَمَا رَبِحَا أَوْ خَسِرَا فَلَهُمَا وَعَلَيْهِمَا نِصْفَيْنِ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Jika keduanya telah membeli, maka tidak boleh salah satu dari mereka menjualnya tanpa izin temannya. Jika masing-masing dari mereka memberi izin kepada temannya untuk berdagang dengan seluruhnya menurut jenis perdagangan yang ia kehendaki, maka ia menempati posisi temannya dalam hal itu. Maka apa pun yang mereka peroleh berupa keuntungan atau kerugian, maka itu dibagi dua antara mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا خَلَطَ الشَّرِيكَانِ مَالَ الشَّرِكَةِ لَمْ يَجُزْ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي جَمِيعِهِ وَيَتَّجِرَ فِيهِ إِلَّا بِإِذْنِ صَاحِبِهِ وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ: إِذَا خَلَطَاهُ عَلَى الشَّرِكَةِ أَوِ ابْتَاعَا مَتَاعًا لِلشَّرِكَةِ جَازَ أَنْ يَتَصَرَّفَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي جَمِيعِهِ وَلَمْ يَحْتَجْ لِلْإِذْنِ اعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ فِي مَوْضُوعِ اللَّفْظِ وَمَقْصُودِ الشَّرِكَةِ وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ خَلْطَ الْمَالِ لَا يُفِيدُ أَكْثَرَ مِنَ الشَّرِكَةِ فِيهِ وَحُدُوثُ الشَّرِكَةِ فِي الْمَالِ لَا يُوجِبُ التَّصَرُّفَ فِي جَمِيعِهِ كَمَا لَوْ وَرِثَا مَالًا أَوِ اسْتَوْهَبَاهُ وَلِأَنَّ التَّصَرُّفَ فِي مِلْكِ الْغَيْرِ بِحَقِّ النِّيَابَةِ إِنَّمَا يَكُونُ وَكَالَةً وَالْوَكَالَةُ لَا تَصِحُّ إِلَّا بِلَفْظٍ صَرِيحٍ كَمَا لَوْ أَرَادَ التَّصَرُّفَ فِي مَالٍ غَيْرِ مُشْتَرَكٍ وَاسْتِشْهَادُ أَبِي الْعَبَّاسِ بِالْعُرْفِ بَاطِلٌ، لِأَنَّ الشَّرِكَةَ عَقْدٌ وَالْعُقُودُ لَا يُقْتَنَعُ فِيهَا بِالْعُرْفِ دُونَ التَّصْرِيحِ بِاللَّفْظِ فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَعَقْدُ الشَّرِكَةِ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْوَكَالَةِ فِي تَصَرُّفِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي مَالِ صَاحِبِهِ وَحُكْمُ الْمِلْكِ فِي تصرفه في مال نَفْسِهِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يَخْلُو حَالُ الشَّرِيكَيْنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, apabila dua orang sekutu mencampurkan harta syirkah, maka tidak boleh salah satu dari keduanya melakukan tindakan apa pun terhadap seluruh harta itu dan berdagang dengannya kecuali dengan izin dari rekannya. Abu al-‘Abbas bin Suraij berkata: Jika keduanya mencampurkan harta atas dasar syirkah atau membeli barang untuk syirkah, maka boleh bagi masing-masing dari keduanya untuk bertindak atas seluruh harta itu dan tidak memerlukan izin, dengan mempertimbangkan ‘urf dalam konteks lafaz dan maksud syirkah. Pendapat ini juga dipegang oleh Abu Hanifah. Namun, ini tidak benar, karena mencampurkan harta tidak memberikan konsekuensi lebih dari sekadar adanya syirkah di dalamnya, dan terjadinya syirkah dalam harta tidak mewajibkan hak bertindak atas seluruh harta, sebagaimana jika keduanya mewarisi harta atau mendapat hibah bersama. Selain itu, bertindak atas milik orang lain atas dasar perwakilan hanya sah jika melalui akad wakalah, dan wakalah tidak sah kecuali dengan lafaz yang jelas, sebagaimana jika seseorang ingin bertindak atas harta yang tidak berserikat. Dalil Abu al-‘Abbas dengan ‘urf adalah batil, karena syirkah adalah akad, dan dalam akad tidak cukup dengan ‘urf tanpa pernyataan yang jelas. Jika demikian, maka akad syirkah mengikuti hukum wakalah dalam tindakan masing-masing terhadap harta rekannya, dan hukum kepemilikan dalam tindakan terhadap harta miliknya sendiri. Dengan demikian, keadaan dua orang sekutu tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَأْذَنَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِصَاحِبِهِ فِي التَّصَرُّفِ وَالتِّجَارَةِ فَتَصِحُّ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا التِّجَارَةُ فِي جَمِيعِ الْمَالِ بِالْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ ثُمَّ الْإِذْنُ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Pertama: Masing-masing dari keduanya memberi izin kepada rekannya untuk bertindak dan berdagang, maka sah bagi masing-masing dari keduanya untuk berdagang atas seluruh harta dengan jual beli. Kemudian, izin itu terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ إِذْنًا عَامًّا فِيمَا رَأَى مِنْ أَنْوَاعِ التِّجَارَاتِ وَصُنُوفِ الْأَمْتِعَةِ فَيَقْتَصِرُ بِالْإِذْنِ عَلَى خُصُوصِهِ ثُمَّ لَيْسَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا مَعَ خُصُوصِ الْإِذْنِ وَعُمُومِهِ أَنْ يُسَافِرَ بِالْمَالِ إلا بِصَرِيحِ الْإِذْنِ لِمَا فِي السَّفَرِ مِنَ التَّغْرِيرِ بِهِ وَلَا أَنْ يُشَارِكَ غَيْرَهُ فِيهِ وَلَا أَنْ يُضَارِبَهُ لِمَا فِيهِ مِنْ مُجَاوَزَةِ إِذْنِهِ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَبِيعَ النَّسِيئَةَ لِأَنَّ فِيهِ مُخَالَفَةً لِمُطْلَقِ إِذْنِهِ وَجَوَّزَ أبو حنيفة ذَلِكَ، وَهَذَا خَطَأٌ لِمَا بَيَّنَّاهُ مِنْ أَنَّ أَحْكَامَ الْوَكِيلِ فِيهِ مُعْتَبَرَةٌ وَتَصَرُّفَ الْوَكِيلِ مَقْصُورٌ عَلَى مَا تَضَمَّنَهُ الْإِذْنُ الصَّرِيحُ.

Pertama: Izin yang bersifat umum terhadap berbagai jenis perdagangan dan macam-macam barang, maka izin itu terbatas pada kekhususannya. Namun, baik izin itu bersifat khusus maupun umum, tidak boleh salah satu dari keduanya melakukan perjalanan membawa harta kecuali dengan izin yang jelas, karena dalam perjalanan terdapat unsur risiko. Tidak boleh pula bermitra dengan orang lain dalam harta itu, atau melakukan mudharabah, karena hal itu melampaui batas izin. Ia juga tidak boleh menjual secara kredit karena itu bertentangan dengan izin yang bersifat mutlak. Abu Hanifah membolehkan hal tersebut, namun ini adalah kesalahan, sebagaimana telah dijelaskan bahwa hukum-hukum wakil berlaku dalam hal ini, dan tindakan wakil terbatas pada apa yang secara tegas tercakup dalam izin.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لا يَأْذَنَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِصَاحِبِهِ فِي التَّصَرُّفِ فَيَنْتَفِي عَنِ الشَّرِكَةِ حُكْمُ الْوَكَالَةِ وَيَصِيرُ تَصَرُّفُ كل واحد منهما مقصور عَلَى حِصَّتِهِ عَلَى حَسَبِ مَا يَجُوزُ التَّصَرُّفُ فِي الْمَالِ الْمُشْتَرَكِ.

Kedua: Masing-masing dari keduanya tidak memberi izin kepada rekannya untuk bertindak, maka hukum wakalah tidak berlaku dalam syirkah, dan tindakan masing-masing hanya terbatas pada bagiannya sendiri, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam harta bersama.

وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَأْذَنَ أَحَدُهُمَا فِي التَّصَرُّفِ وَلَا يَأْذَنَ الْآخَرُ فَيَكُونُ لِلْمَأْذُونِ لَهُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي جَمِيعِ الْمَالِ عَلَى حَسَبِ عُمُومِ الْإِذْنِ وَخُصُوصِهِ وَلَيْسَ لِلْآخَرِ أَنْ يَتَصَرَّفَ إِلَّا فِي قَدْرِ حِصَّتِهِ. كَمَا يَجُوزُ التَّصَرُّفُ فِي الْمَالِ الْمُشْتَرَكِ فَصَارَ مَجْمُوعُ مَا شَرَحْنَا أَنَّ عَقْدَ الشَّرِكَةِ يَنْتَظِمُ عَلَى ثَلَاثَةِ شُرُوطٍ:

Ketiga: Salah satu dari keduanya memberi izin untuk bertindak, sedangkan yang lain tidak, maka yang diberi izin boleh bertindak atas seluruh harta sesuai dengan keluasan atau kekhususan izin, sedangkan yang lain hanya boleh bertindak sebatas bagiannya saja, sebagaimana diperbolehkan bertindak dalam harta bersama. Dengan demikian, kesimpulan dari penjelasan ini adalah bahwa akad syirkah terdiri atas tiga syarat:

أَحَدُهَا: اتِّفَاقُ الْمَالَيْنِ فِي الْجِنْسِ وَالصِّفَةِ.

Pertama: Kesamaan kedua harta dalam jenis dan sifatnya.

وَالثَّانِي: خَلْطُ الْمَالَيْنِ حَتَّى لَا يَتَمَيَّزَ أَحَدُهُمَا عَنِ الْآخَرِ.

Kedua: Pencampuran kedua harta sehingga tidak dapat dibedakan satu sama lain.

وَالثَّالِثُ: الْإِذْنُ بِالتَّصَرُّفِ فِيهِ.

Ketiga: Adanya izin untuk bertindak atas harta tersebut.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا بِيعَ مِنْ مَالِ الشَّرِكَةِ عَرْضٌ عَلَى رَجُلٍ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ فِي ذِمَّتِهِ ثُمَّ إِنَّ أَحَدَ الشَّرِيكَيْنِ قَبَضَ مِنَ الْمُشْتَرِي حِصَّتَهُ من الألف وذلك خمسمائة وَكَانَ لَقَابِضِهَا أَنْ يَخْتَصَّ بِهَا وَيَبْطُلَ مِنَ الشَّرِكَةِ بِقَدْرِهَا، وَيَجُوزُ لِلشَّرِيكِ الْآخَرِ أَنْ يُطَالِبَ الْمُشْتَرِيَ بِحِصَّتِهِ وَهُوَ مَا بَقِيَ مِنَ الثَّمَنِ فإن أعسر فَلَا رُجُوعَ لِهَذَا الشَّرِيكِ عَلَى شَرِيكِهِ الْقَابِضِ أو لا بِشَيْءٍ مِمَّا كَانَ قَبَضَهُ.

Apabila dari harta syirkah dijual suatu barang kepada seseorang dengan harga seribu dirham yang menjadi tanggungannya, kemudian salah satu dari dua sekutu itu menerima dari pembeli bagian miliknya dari seribu tersebut, yaitu lima ratus, maka yang menerima itu berhak untuk mengkhususkan bagian tersebut untuk dirinya dan keluar dari syirkah sebesar bagian itu. Sekutu yang lain boleh menuntut pembeli untuk bagian miliknya, yaitu sisa dari harga tersebut. Jika pembeli tidak mampu membayar, maka sekutu yang ini tidak dapat kembali menuntut sekutunya yang telah menerima bagian, atau tidak berhak atas apa pun dari yang telah diterimanya.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَيْسَ لِوَاحِدٍ مِنَ الشَّرِيكَيْنِ أَنْ يَنْفَرِدَ بِقَبْضِ شَيْءٍ مِنْ حَقِّهِ إِلَّا وَلِلْآخَرِ أَنْ يُشَارِكَهُ فِيهِ فَلَوْ قَبَضَ شَيْئًا رَجَعَ عَلَيْهِ الشَّرِيكُ بِنِصْفِهِ وَلَوْ كَانَ الشَّرِيكُ الْقَابِضُ وَهَبَ مَا قَبَضَهُ لَمْ يَكُنْ لِلشَّرِيكِ الْآخَرِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمَوْهُوبِ لَهُ بِشَيْءٍ وَإِنْ كَانَ الْمَالُ بَاقِيًا فِي يَدِهِ وَرَجَعَ عَلَى الشَّرِيكِ الْوَاهِبِ بِمِثْلِ حِصَّتِهِ فِيمَا قَبَضَهُ وَكُلُّ هَذَا عِنْدَنَا فَاسِدٌ وَالْقَابِضٌ مَلَكَ لِمَا قَبَضَهُ إِذَا كَانَ قَابِضًا لَهُ مِنْ حِصَّتِهِ وَلَيْسَ لِشَرِيكِهِ عَلَيْهِ حَجْرٌ وَمَا فِي الذِّمَّةِ مَوْكُولٌ إِلَى خِيَارِ ذِي الذِّمَّةِ فِي تَقْدِيمِ مَنْ شَاءَ لِحَقِّهِ والله أعلم.

Abu Hanifah berkata: Tidak boleh bagi salah satu dari dua sekutu untuk secara mandiri menerima sebagian dari haknya kecuali sekutu yang lain boleh ikut serta dalam penerimaan itu. Jika ia menerima sesuatu, maka sekutunya dapat menuntut setengahnya. Jika sekutu yang menerima itu memberikan apa yang ia terima sebagai hibah, maka sekutu yang lain tidak dapat menuntut apa pun dari penerima hibah tersebut, meskipun harta itu masih ada di tangannya, dan ia hanya dapat menuntut kepada sekutu yang memberi hibah sebesar bagian miliknya dari apa yang telah diterima. Semua ini menurut kami adalah tidak sah, dan orang yang menerima itu menjadi pemilik atas apa yang ia terima jika ia menerimanya sebagai bagian dari haknya, dan sekutunya tidak memiliki hak untuk melarangnya. Adapun apa yang masih menjadi tanggungan, maka itu dikembalikan kepada pilihan pihak yang berutang dalam menentukan siapa yang akan didahulukan haknya. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَمَتَى فَسَخَ أَحَدُهُمَا الشَّرِكَةَ انْفَسَخَتْ وَلَمْ يَكُنْ لِصَاحِبِهِ أَنْ يَشْتَرِيَ وَلَا يَبِيعَ حَتَّى يَقْسِمَا “.

Al-Muzani ra. berkata: “Apabila salah satu dari keduanya membatalkan syirkah, maka syirkah itu batal, dan sekutunya tidak boleh membeli atau menjual sampai keduanya membagi (harta syirkah).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ عَقْدَ الشَّرِكَةِ يَجْرِي عَلَيْهِ فِي تَصَرُّفِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي حَقِّ شَرِيكِهِ حُكْمُ الْوَكَالَةِ فَيَصِيرُ عَقْدُ الشَّرِكَةِ مِنَ الْعُقُودِ الْجَائِزَةِ، دُونَ الْعُقُودِ اللَّازِمَةِ فَإِذَا فَسَخَ أَحَدُهُمَا الشَّرِكَةَ انْفَسَخَتْ لِأَنَّ الْعُقُودَ الْجَائِزَةَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْمُتَعَاقِدَيْنِ فَسْخُهَا وَمَعْنَى قَوْلِنَا إِنَّ الشَّرِكَةَ قَدِ انْفَسَخَتْ بِمَعْنَى أَنَّ الْإِذْنَ بِالتَّصَرُّفِ قَدْ بَطَلَ؛ لِأَنَّ المال المشترك قد تميز؛ لأن تَمْيِيزَ الْمَالِ الْمُشْتَرَكِ لَا يَكُونُ إِلَّا بِالْقِسْمَةِ وَلَيْسَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي جَمِيعِ الْمَالِ بِبَيْعٍ أَوْ غَيْرِهِ وَيَجُوزُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي قَدْرِ حَقِّهِ عَلَى الْإِشَاعَةِ – كَمَا يَجُوزُ التَّصَرُّفُ فِي الْمُشَاعِ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar. Kami telah sebutkan bahwa akad syirkah berlaku pada tindakan masing-masing dari keduanya terhadap hak sekutunya dengan hukum wakalah, sehingga akad syirkah menjadi termasuk akad yang jaiz (boleh dibatalkan), bukan akad yang lazim (mengikat). Maka apabila salah satu dari keduanya membatalkan syirkah, syirkah itu batal, karena akad yang jaiz boleh dibatalkan oleh masing-masing pihak yang berakad. Maksud dari ucapan kami bahwa syirkah telah batal adalah bahwa izin untuk bertindak telah gugur; karena harta bersama telah terpisah, dan pemisahan harta bersama tidak terjadi kecuali dengan pembagian. Tidak boleh bagi salah satu dari keduanya untuk bertindak atas seluruh harta dengan menjual atau selainnya, namun boleh bertindak atas bagian haknya secara musya‘ (tidak ditentukan bagian fisiknya), sebagaimana boleh bertindak atas harta musya‘.

فَإِنْ قِيلَ: أَلَيْسَ لِلْمَضَارِبِ – إِذَا فُسِخَتْ عَلَيْهِ الْمُضَارَبَةُ جَازَ لَهُ الْبَيْعُ بَعْدَ الْفَسْخِ فَهَلَّا جَازَ لِلشَّرِيكِ ذَلِكَ. قُلْنَا الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنْ حَقَّ الْمُضَارِبِ فِي الرِّبْحِ وَذَلِكَ لَا يُعَلَمُ إِلَّا بِالْبَيْعِ فَجَازَ أَنْ يَبِيعَ بَعْدَ الْفَسْخِ لِيَعْلَمَ قَدْرَ حَقِّهِ مِنَ الرِّبْحِ وَالشَّرِيكُ حَقُّهُ فِي عَيْنِ الْمَالِ مَعْلُومٌ قَبْلَ الْبَيْعِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَبِيعَ بَعْدَ الْفَسْخِ.

Jika dikatakan: Bukankah bagi mudharib—apabila akad mudharabah dibatalkan—boleh baginya menjual setelah pembatalan, maka mengapa sekutu tidak boleh demikian? Kami katakan: Perbedaannya adalah bahwa hak mudharib ada pada keuntungan, dan itu tidak diketahui kecuali dengan penjualan, maka diperbolehkan baginya menjual setelah pembatalan agar ia mengetahui besarnya haknya dari keuntungan. Sedangkan sekutu, haknya ada pada harta itu sendiri yang sudah diketahui sebelum penjualan, maka tidak boleh baginya menjual setelah pembatalan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

إِذَا كَانَ لِلشَّرِيكَيْنِ بَعْدَ فَسْخِ الشَّرِكَةِ دُيُونٌ مِنْ مَالِ الشَّرِكَةِ فِي ذِمَمٍ شَتَّى فَاقْتَسَمَ الشَّرِيكَانِ فِي الدُّيُونِ وَأَخَذَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِحِصَّتِهِ فِيهَا بَعْضَ الْمُتَعَامِلِينَ لَمْ يَجُزْ وَكَانَتْ قِسْمَةً بَاطِلَةً لِأَنَّ الْقِسْمَةَ إِنَّمَا تَصِحُّ فِي الْأَعْيَانِ دُونَ الذِّمَمِ وَاخْتَارَ ذَلِكَ الْحَسَنُ وَإِسْحَاقُ وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ لِمَا ذَكَرْنَا وَيَكُونُ مَا عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بَيْنَهُمَا عَلَى أَصْلِ الشَّرِكَةِ فَإِذَا نَقَصَ شَيْءٌ مِنْهُ اقْتَسَمَاهُ إِلَّا أَنْ يُقَدِّمَ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ أَحَدَهُمَا بِحَقِّهِ فَيَصِحُّ مَا لَمْ يُحْجَرْ عَلَيْهِ بِدُيُونِهِ والله أعلم.

Jika setelah pembatalan syirkah, kedua sekutu memiliki piutang dari harta syirkah pada beberapa orang yang berbeda, lalu kedua sekutu membagi piutang tersebut dan masing-masing mengambil bagiannya dari beberapa pihak yang bertransaksi, maka itu tidak sah dan pembagian tersebut batal, karena pembagian hanya sah pada barang nyata, bukan pada piutang. Pendapat ini dipilih oleh Al-Hasan dan Ishaq, namun tidak benar sebagaimana telah kami sebutkan. Apa yang menjadi tanggungan masing-masing dari mereka tetap menjadi milik bersama menurut asal syirkah. Jika ada kekurangan dari piutang itu, maka mereka membaginya, kecuali jika pihak yang berutang mendahulukan salah satu dari mereka untuk melunasi haknya, maka itu sah selama belum ada pembatasan atasnya karena utangnya. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَإِنْ مَاتَ أَحَدُهُمَا انْفَسَخَتِ الشَّرِكَةُ وَقَاسَمَ وَصِيُّ الْمَيِّتِ شَرِيكَهُ فَإِنْ كَانَ الْوَارِثُ بَالِغًا رَشِيدًا فَأَحَبَّ أَنْ يُقِيمَ عَلَى مِثْلِ شَرِكَتِهِ كَأَبِيهِ فَجَائِزٌ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Jika salah satu dari keduanya meninggal dunia, maka syirkah batal, dan wali dari yang meninggal membagi harta syirkah dengan sekutunya. Jika ahli warisnya sudah dewasa dan berakal, lalu ingin melanjutkan syirkah seperti yang dilakukan ayahnya, maka itu boleh.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ إِذَا مَاتَ أَحَدُ الشَّرِيكَيْنِ انْفَسَخَتِ الشَّرِكَةُ بِمَعْنَى بَطَلَ الْإِذْنُ بِالتَّصَرُّفِ لِأَنَّ الْعُقُودَ الْجَائِزَةَ تَبْطُلُ بِالْمَوْتِ كَالْوَكَالَةِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ عَلَى الْمُتَوَفَّى دُيُونٌ وَوَصَايَا أَوْ لَا يَكُونُ عَلَيْهِ دُيُونٌ وَلَا وَصَايَا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ دُيُونٌ وَلَا وَصَايَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْوَارِثِ مِنْ أَنْ يَكُونَ جَائِزَ الْأَمْرِ أَوْ غَيْرَ جَائِزٍ فَإِنْ كَانَ جَائِزَ الْأَمْرِ بِالْبُلُوغِ وَالرُّشْدِ فَهُوَ بِالْخِيَارِ فِي مَالِ الشَّرِكَةِ بَيْنَ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ إِمَّا أَنْ يُقَاسِمَ عَلَيْهَا فَتَمْتَازُ حِصَّتُهُ فَيَتَصَرَّفُ فِيهَا وَإِمَّا أَنْ يَتْرُكَ الْمَالَ مُشْتَرَكًا عَلَى حَالِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْذَنَ لِلشَّرِيكِ بِالتَّصَرُّفِ فِيهِ وَإِمَّا أَنْ يُقِيمَ عَلَى الشَّرِكَةِ وَيَأْذَنَ لِلشَّرِيكِ بِالتَّصَرُّفِ فِيهِ فَيَصِيرُ شَرِيكًا كَمَا كَانَ شَرِيكًا لِمُوَرِّثِهِ فَأَيُّ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ فَعَلَ كَانَ لَهُ ذَلِكَ سَوَاءٌ فِيهِ كَانَ فِيهِ الْحَظُّ أَوْ فِي غَيْرِهِ لِأَنَّ مَنْ جَازَ أَمْرُهُ نَفَذَتْ عُقُودُهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا حَظٌّ لَهُ وَيُخْتَارُ لِهَذَا الْوَارِثِ إِذَا أَحَبَّ الْمَقَامَ عَلَى الشَّرِكَةِ أَنْ يَعْلَمَ قَدْرَ الْمَالِ الَّذِي وَرِثَهُ عَنْ مَيِّتِهِ قَبْلَ الْإِذْنِ فِي التَّصَرُّفِ فِيهِ خَوْفًا مِنْ ظُهُورِ دَيْنٍ يَتَعَلَّقُ بِالشَّرِكَةِ فَيَعْلَمُ قَدْرَهُ لِيَمْتَازَ عَمَّا مَلَكَهُ الْوَارِثُ مِنْ رِبْحِهَا الَّذِي لَا يَتَعَلَّقُ بِالَّذِي لَهُ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ جاز لأن التخوف من ظهور الدين ملغا باعتبار الأصل بَرَاءَةِ الذِّمَّةِ. فَإِنْ قِيلَ الشَّرِكَةُ عَقْدٌ فَكَيْفَ يَصِحُّ مَعَ الْجَهْلِ بِقَدْرِ الْمَالِ الْمَعْقُودِ عَلَيْهِ قِيلَ إِنَّمَا يَلْزَمُ الْعِلْمُ بِقَدْرِ نَصِيبِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الشَّرِيكَيْنِ مِنْ جُمْلَةِ الْمَالِ مِنْ نِصْفٍ أَوْ ثُلُثٍ أَوْ رُبُعٍ وَلَا يَلْزَمُ مَعْرِفَةُ وَزْنِهِ أَلَا تَرَى لَوْ أَنَّ رَجُلَيْنِ اشْتَرَكَا وَوَضَعَ أَحَدُهُمَا دَرَاهِمَ فِي كِفَّةِ مِيزَانٍ وَوَضَعَ الْآخَرُ بِإِزَائِهَا وَاشْتَرَكَا بِهَا. وَاتَّجَرَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَعْلَمَا وَزْنَهَا صَحَّتِ الشَّرِكَةُ لِلْعِلْمِ بِحِصَّةِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنَ الْجُمْلَةِ كَذَلِكَ الْوَارِثُ فِي التَّرِكَةِ.

Al-Mawardi berkata: Dan memang sebagaimana yang beliau katakan, apabila salah satu dari dua sekutu meninggal dunia, maka syirkah (kemitraan) itu batal, dalam arti izin untuk melakukan tindakan menjadi gugur, karena akad-akad yang bersifat ja’iz (boleh) batal dengan kematian, seperti halnya wakalah. Jika demikian, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah pada pihak yang wafat terdapat utang dan wasiat, atau tidak ada utang dan wasiat atasnya. Jika tidak ada utang dan wasiat atasnya, maka keadaan ahli waris tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia sudah cakap bertindak atau belum. Jika ia sudah cakap bertindak karena telah baligh dan berakal, maka ia memiliki pilihan dalam harta syirkah antara tiga hal: pertama, membagi harta tersebut sehingga bagian miliknya menjadi jelas, lalu ia bebas bertindak atas bagiannya; kedua, membiarkan harta itu tetap dalam keadaan bersama tanpa memberi izin kepada sekutunya untuk bertindak atasnya; ketiga, tetap melanjutkan syirkah dan memberi izin kepada sekutunya untuk bertindak atasnya, sehingga ia menjadi sekutu sebagaimana dahulu pewarisnya menjadi sekutu. Pilihan mana pun dari tiga hal ini yang ia lakukan, itu sah baginya, baik di dalamnya terdapat maslahat (keuntungan) maupun tidak, karena siapa yang telah cakap bertindak, maka akad-akadnya sah walaupun tidak ada maslahat baginya. Dianjurkan bagi ahli waris ini, jika ia ingin tetap dalam syirkah, agar mengetahui kadar harta yang diwarisinya dari almarhum sebelum memberi izin untuk bertindak atasnya, karena khawatir munculnya utang yang berkaitan dengan syirkah, sehingga ia mengetahui kadarnya agar dapat membedakan antara apa yang ia miliki dari keuntungannya yang tidak berkaitan dengan hak orang lain. Jika ia tidak melakukannya, maka tetap sah, karena kekhawatiran akan munculnya utang dianggap gugur berdasarkan asal hukum bahwa tanggungan itu bebas dari utang. Jika dikatakan: Syirkah itu adalah akad, lalu bagaimana bisa sah padahal tidak diketahui kadar harta yang menjadi objek akad? Maka dijawab: Yang wajib diketahui hanyalah kadar bagian masing-masing sekutu dari keseluruhan harta, apakah setengah, sepertiga, atau seperempat, dan tidak wajib mengetahui berat atau jumlah pastinya. Bukankah engkau melihat, jika dua orang berserikat dan salah satunya meletakkan dirham di satu sisi timbangan dan yang lain meletakkan sejumlah yang sama di sisi lainnya, lalu mereka berserikat dengan itu dan berdagang tanpa mengetahui beratnya, maka syirkah itu sah karena masing-masing mengetahui bagiannya dari keseluruhan. Demikian pula halnya ahli waris dalam harta warisan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِنْ كَانَ الْوَارِثُ غير جائز التصرف إما بصغر أو جنون أو سفله فَلِوَلِيِّهِ أَنْ يَفْعَلَ فِي مَالِ الشَّرِكَةِ أَحَظَّ الْأُمُورِ الثَّلَاثَةِ لِلْوَارِثِ فَإِنْ كَانَ أَحَظُّ الْأُمُورِ لَهُ الْمُقَاسَمَةَ عَلَيْهَا قَاسَمَ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَدِيمَ الشَّرِكَةَ وَإِنْ كَانَ أَحَظُّهَا لَهُ أَنْ يَأْذَنَ بِالتَّصَرُّفِ أَذِنَ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَاسِمَ وَإِنْ كَانَ أَحَظُّهَا لَهُ أَنْ يُقِيمَ عَلَى الِاشْتِرَاكِ بِالْمَالِ مِنْ غَيْرِ قِسْمَةٍ وَلَا إِذْنٍ بِالتَّصَرُّفِ فَعَلَ فَإِنْ عَدَلَ عَنِ الْأَحَظِّ إِلَى مَا لَيْسَ فِيهِ حَظٌّ كَانَ فِعْلُهُ مَرْدُودًا.

Dan jika ahli waris belum cakap bertindak, baik karena masih kecil, gila, atau safih (boros), maka walinya boleh memilihkan dari tiga hal dalam harta syirkah tersebut mana yang paling maslahat bagi ahli waris. Jika yang paling maslahat baginya adalah membagi harta tersebut, maka wali wajib membaginya dan tidak boleh melanjutkan syirkah. Jika yang paling maslahat baginya adalah memberi izin untuk bertindak, maka wali boleh memberi izin dan tidak boleh membagi. Jika yang paling maslahat baginya adalah tetap membiarkan harta dalam keadaan bersama tanpa pembagian dan tanpa izin bertindak, maka wali boleh melakukannya. Namun, jika wali berpaling dari yang paling maslahat kepada sesuatu yang tidak ada maslahatnya, maka tindakannya itu batal.

فَأَمَّا إِنْ كَانَ عَلَى الْمُتَوَفَّى دَيْنٌ فَلَيْسَ لِلْوَارِثِ الرَّشِيدِ وَلَا لِوَلِيِّ مَنْ لَيْسَ بِرَشِيدٍ أَنْ يَأْذَنَ لِلشَّرِيكِ بِالتَّصَرُّفِ فِي الشَّرِكَةِ إِلَّا بَعْدَ قَضَاءِ الدَّيْنِ كُلِّهِ سَوَاءٌ كَانَ فِيمَا سِوَى الشَّرِكَةِ وَفَّى بِالدَّيْنِ أَمْ لَا لِأَنَّ الدَّيْنَ مُتَعَلِّقٌ بِجَمِيعِ التَّرِكَةِ وَلَيْسَ لِلْوَارِثِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي شَيْءٍ مِنْهَا إِلَّا بَعْدَ قَضَاءِ جَمِيعِ الدَّيْنِ وَإِنْ كَانَ الْمُتَوَفَّى قَدْ وَصَّى بِوَصِيَّةٍ فِي تَرِكَتِهِ فَإِنْ كَانَتِ الْوَصِيَّةُ مُعَيَّنَةً فِي شَيْءٍ مِنَ التَّرِكَةِ غَيْرِ الدَّيْنِ جَازَ لِلْوَارِثِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي التَّرِكَةِ وَيَأْذَنَ لِلشَّرِيكِ بِالتَّصَرُّفِ فِيهَا قَبْلَ وُصُولِ الْوَصِيَّةِ إِلَى أَرْبَابِهَا لِأَنَّ الْعَيْنَ الْمُوصَى بِهَا إِنْ بَقِيَتْ فَهِيَ الْمُسْتَحَقَّةُ فِي الْوَصِيَّةِ وَإِنْ تَلِفَتْ فَالْوَصِيَّةُ قَدْ بَطَلَتْ بِخِلَافِ الدَّيْنِ الَّذِي لَوْ بَقِيَ يَسِيرٌ مِنَ التَّرِكَةِ صُرِفَ فِيهِ وَإِنْ كَانَتِ الْوَصِيَّةُ بِجُزْءٍ شَائِعٍ فِي جَمِيعِ التَّرِكَةِ، فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ الْمُوصَى لَهُ مُعَيَّنًا أَوْ غَيْرَ مُعَيَّنٍ فَإِنْ كَانَ مُعَيَّنًا صَارَ بِقَبُولِ الْوَصِيَّةِ شَرِيكًا فِي مَالِ الشَّرِكَةِ وَكَانَ لَهُ وَلِلْوَارِثِ الْخِيَارُ فِي الْمُقَاسَمَةِ أَوِ الْمُقَامِ عَلَى الشَّرِكَةِ. وَإِنْ كَانَ الْمُوصَى لَهُ غَيْرَ مُعَيَّنٍ فَعَلَى الْوَارِثِ مُقَاسَمَةُ الشَّرِيكِ لِيُوصِلَ حِصَّةَ الشَّرِيكِ إِلَى مَنْ تَتَنَاوَلُهُمُ الْوَصِيَّةُ.

Adapun jika si mayit memiliki utang, maka tidak boleh bagi ahli waris yang sudah dewasa maupun wali dari ahli waris yang belum dewasa untuk mengizinkan sekutu (dalam harta warisan) melakukan tindakan dalam syirkah, kecuali setelah seluruh utang dilunasi, baik harta di luar syirkah cukup untuk melunasi utang atau tidak. Sebab, utang itu terkait dengan seluruh harta peninggalan, dan ahli waris tidak berhak melakukan tindakan apa pun terhadapnya kecuali setelah seluruh utang dilunasi. Jika si mayit berwasiat dengan wasiat tertentu atas sebagian hartanya selain utang, maka ahli waris boleh bertindak atas harta warisan dan mengizinkan sekutunya untuk bertindak atasnya sebelum wasiat tersebut sampai kepada yang berhak, karena barang yang diwasiatkan jika masih ada, maka itulah yang menjadi hak penerima wasiat, dan jika barang itu rusak, maka wasiatnya batal, berbeda dengan utang, yang mana jika masih tersisa sedikit saja dari harta warisan, maka harus digunakan untuk melunasi utang tersebut. Jika wasiat itu berupa bagian tertentu yang tidak spesifik dalam seluruh harta warisan, maka penerima wasiat bisa saja ditentukan atau tidak. Jika penerima wasiat sudah ditentukan, maka dengan menerima wasiat ia menjadi sekutu dalam harta syirkah, dan ia serta ahli waris memiliki pilihan untuk membagi harta atau tetap dalam syirkah. Jika penerima wasiat tidak ditentukan, maka ahli waris wajib membagi harta syirkah agar bagian sekutu sampai kepada orang-orang yang berhak menerima wasiat.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَلَوْ جُنَّ أَحَدُ الشَّرِيكَيْنِ أَوْ حُجِرَ عَلَيْهِ بِسَفَهٍ بَطَلَتِ الشَّرِكَةُ وفعل الولي أَحَظَّ الْأُمُورِ لَهُ مِنَ الْقِسْمَةِ أَوِ الْمَقَامِ عَلَى الشَّرِكَةِ لِأَنَّ الْعُقُودَ الْجَائِزَةَ تَبْطُلُ بِالْحَجْرِ فَأَمَّا الْإِغْمَاءُ فَإِنْ كَانَ يَسِيرًا لَمْ يَسْقُطْ مَعَهُ فَرْضُ عِبَادَةٍ كَانْتِ الشَّرِكَةُ عَلَى حَالِهَا لِأَنَّهُ فَرْضٌ قَدْ يَطْرَأُ كَثِيرًا وَإِنْ كَثُرَ الْإِغْمَاءُ حَتَّى أَسْقَطَ فَرْضَ صَلَاةٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ ورد وقتها بطلت الشركة.

Jika salah satu dari dua sekutu menjadi gila atau dikenai status tidak cakap hukum karena safih (boros), maka syirkah batal, dan wali harus memilihkan yang paling maslahat baginya, baik dengan membagi harta atau tetap dalam syirkah. Sebab, akad-akad yang boleh dibatalkan menjadi batal dengan adanya status tidak cakap hukum. Adapun jika sekadar pingsan, jika hanya sebentar dan tidak menggugurkan kewajiban ibadah, maka syirkah tetap berjalan sebagaimana adanya, karena pingsan adalah hal yang sering terjadi. Namun jika pingsan itu lama hingga menggugurkan kewajiban satu salat dan waktu salat berikutnya telah masuk, maka syirkah batal.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَلَوِ اشْتَرَيَا عَبْدًا وَقَبَضَاهُ فَأَصَابَا بِهِ عَيْبًا فأراد أَحَدُهُمَا الرَّدَّ وَالْآخَرُ الْإِمْسَاكَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) ذَلِكَ جَائِزٌ لِأَنَّ مَعْقُولًا أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا اشْتَرَى نِصْفَهُ بِنِصْفِ الثَّمَنِ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Jika dua orang membeli seorang budak dan telah menerima budak itu, lalu mereka menemukan cacat pada budak tersebut, kemudian salah satu dari mereka ingin mengembalikan (budak itu) dan yang lain ingin tetap memilikinya, (Imam al-Syafi‘i berkata): Hal itu boleh, karena secara logika, masing-masing dari mereka membeli setengah budak dengan setengah harga.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي كِتَابِ الْبُيُوعِ وَذَكَرْنَا أَنَّ الشَّرِيكَيْنِ فِي الْعَبْدِ إِذَا بَاعَاهُ صَفْقَةً مِنْ رَجُلٍ فَوَجَدَ بِهِ عَيْبًا فَلَهُ رَدُّ جَمِيعِهِ عَلَيْهِمَا وَلَهُ رَدُّ نَصِفِهِ عَلَى أَحَدِهِمَا وهذا ما وَافَقَ عَلَيْهِ أبو حنيفة فَأَمَّا إِنِ اشْتَرَى الرَّجُلَانِ عَبْدًا بَيْنَهُمَا صَفْقَةً مِنْ رَجُلٍ ثُمَّ وَجَدَاهُ مَعِيبًا فَلَهُمَا رَدُّ جَمِيعِهِ عَلَى بَائِعِهِ وَلِأَحَدِهِمَا رَدُّ نِصْفِهِ دُونَ شَرِيكِهِ وَمَنَعَ أبو حنيفة أَنْ يَرُدَّ أَحَدُ الشَّرِيكَيْنِ إِلَّا مَعَ شريكه وقد مضى الكلام عليه.

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dibahas dalam Kitab al-Buyu‘, dan kami telah sebutkan bahwa dua sekutu dalam kepemilikan budak, jika mereka menjualnya sekaligus kepada seseorang lalu ditemukan cacat pada budak itu, maka pembeli boleh mengembalikan seluruhnya kepada mereka berdua, atau mengembalikan setengahnya kepada salah satu dari mereka. Ini juga merupakan pendapat Abu Hanifah. Adapun jika dua orang membeli seorang budak bersama-sama sekaligus dari seseorang, lalu mereka menemukan cacat pada budak itu, maka keduanya boleh mengembalikan seluruhnya kepada penjualnya, dan salah satu dari mereka boleh mengembalikan setengahnya tanpa sekutunya. Namun Abu Hanifah melarang salah satu sekutu mengembalikan (bagiannya) kecuali bersama sekutunya. Hal ini telah dijelaskan sebelumnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا كَانَ أَحَدُ الْمُشْتَرِيَيْنِ قَدِ انْفَرَدَ بِعَقْدِ الشِّرَاءِ بِوَكَالَةِ صَاحِبِهِ ثُمَّ وَجَدَاهُ مَعِيبًا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُتَوَلِّي لِلشِّرَاءِ حِينَ الْعَقْدِ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَدْ ذَكَرَ لِلْبَائِعِ أَنَّهُ يَشْتَرِيهِ شَرِكَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَ غَيْرِهِ أَوْ لَمْ يَذْكُرْهُ فَلَيْسَ لِأَحَدِهِمَا أَنْ يَنْفَرِدَ بِرَدِّ النصف حتى يرد جميعه أو يمسكا جَمِيعَهُ لِأَنَّ الْمُشْتَرِيَ وَاحِدٌ فَكَانَتِ الصَّفْقَةُ وَاحِدَةً وَإِنْ ذُكِرَ أَنَّ الشِّرَاءَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ شَرِيكِهِ فَهَلْ لِأَحَدِهِمَا أَنْ يَنْفَرِدَ بِالرَّدِّ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun jika salah satu dari dua pembeli melakukan akad pembelian sendiri dengan mewakili temannya, lalu mereka berdua menemukan cacat pada barang tersebut, maka keadaan orang yang melakukan pembelian saat akad tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia menyebutkan kepada penjual bahwa ia membeli barang itu untuk syirkah antara dirinya dan orang lain, atau tidak menyebutkannya. Jika tidak disebutkan, maka tidak boleh salah satu dari mereka mengembalikan setengah barang itu sendiri, kecuali mengembalikan seluruhnya atau keduanya sama-sama menahan seluruhnya, karena pembelinya hanya satu orang, sehingga akadnya pun satu. Namun jika disebutkan bahwa pembelian itu untuk dirinya dan sekutunya, maka apakah salah satu dari mereka boleh mengembalikan sendiri atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أبي علي بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لَهُ ذَلِكَ لِأَنَّ ذِكْرَ ذَلِكَ كَالْمُبَاشَرَةِ.

Salah satunya adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, yaitu boleh, karena penyebutan hal itu dianggap seperti keterlibatan langsung.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ يَجْتَمِعَا عَلَى الرَّدِّ لِأَنَّ ذَلِكَ يُوجِبُ تَفْرِيقَ الصَّفْقَةِ بِخِلَافِ الْمُبَاشَرَةِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ أَنْكَرَ الْمَذْكُورُ أَنَّهُ أَمَرَهُ بِالشِّرَاءِ كَانَتِ الصَّفْقَةُ كُلُّهَا لَازِمَةً لِمُتَوَلِّي الشِّرَاءِ وَلَوْ كَانَتْ صَفْقَتَيْنِ لَتَفَرَّقَتْ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa tidak boleh melakukan hal itu kecuali jika keduanya sepakat untuk mengembalikan (barang), karena hal itu menyebabkan terpecahnya akad (ṣafqah), berbeda dengan akad langsung. Tidakkah engkau melihat bahwa jika pihak yang disebutkan mengingkari bahwa ia telah memerintahkannya untuk membeli, maka seluruh akad menjadi wajib atas pihak yang melakukan pembelian. Dan jika akad itu terdiri dari dua transaksi, niscaya akad itu akan terpisah.

(فَصْلٌ)

(Faṣl/Bagian)

فَلَوْ كَانَ الْعَبْدُ بَيْنَ رَجُلَيْنِ فَوَكَّلَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فِي الْبَيْعِ فَبَاعَهُ ثُمَّ وَجَدَ الْمُشْتَرِي بِهِ عَيْبًا فَأَرَادَ رَدَّ نِصْفِهِ عَلَى أَحَدِهِمَا نُظِرَ فَإِنْ كَانَ مُتَوَلِّيَ الْبَيْعِ ذَكَرَ لِلْمُشْتَرِي أَنَّهُ شَرِيكٌ فَلَهُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِرَدِّ نِصْفِهِ عَلَى أَحَدِهِمَا وَإِنْ لَمْ يَذْكُرْ لَهُ أَنَّهُ شَرِيكُهُ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika seorang budak dimiliki oleh dua orang laki-laki, lalu salah satu dari keduanya mewakilkan temannya untuk menjual (bagian kepemilikannya), kemudian budak itu dijual, lalu pembeli menemukan cacat pada budak tersebut dan ingin mengembalikan setengahnya kepada salah satu dari keduanya, maka perlu dilihat: jika pihak yang melakukan penjualan menyebutkan kepada pembeli bahwa ia adalah sekutu (dalam kepemilikan), maka pembeli boleh mengembalikan setengahnya hanya kepada salah satu dari keduanya. Namun jika ia tidak menyebutkan bahwa ia adalah sekutunya, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ أَنْ يُفَرِّقَ الصَّفْقَةَ بِرَدِّ النِّصْفِ حَتَّى يَرُدَّ جَمِيعَهُ إِنْ شَاءَ لِأَنَّ مُتَوَلِّي الْعَقْدِ وَاحِدٌ فَصَارَتِ الصَّفْقَةُ بِهِ وَاحِدَةً.

Pertama: Tidak boleh memisahkan akad dengan mengembalikan setengahnya, kecuali ia mengembalikan seluruhnya jika ia menghendaki, karena yang melakukan akad hanya satu orang, sehingga akad itu menjadi satu kesatuan.

وَالثَّانِي: لَهُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِرَدِّ النِّصْفِ عَلَى أَيِّهِمَا شَاءَ لِأَنَّ افْتِرَاقَ الْمِلْكِ مِنْ جِهَةِ الْبَائِعِ يُوجِبُ تَفْرِيقَ الصَّفْقَةِ. أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ أَنْكَرَ الْإِذْنَ لَتَفَرَّقَتِ الصَّفْقَةُ وَصَحَّ الْعَقْدُ فِي حِصَّةِ الْمُتَوَلِّي لِلْعَقْدِ دُونَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ الْإِذْنُ.

Kedua: Ia boleh mengembalikan setengahnya kepada siapa saja dari keduanya yang ia kehendaki, karena perbedaan kepemilikan dari pihak penjual menyebabkan terpisahnya akad. Tidakkah engkau melihat bahwa jika izin itu diingkari, maka akad pun terpisah dan akad sah hanya pada bagian pihak yang melakukan akad, bukan pada pihak yang didakwakan telah memberi izin.

(فَصْلٌ)

(Faṣl/Bagian)

وَإِذَا كَانَ لِرَجُلٍ عَبْدٌ رُومِيٌّ وَلِآخَرَ عَبْدٌ تُرْكِيٌّ فَوَكَّلَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا زَيْدًا فِي بَيْعِ عَبْدِهِ فَبَاعَ الْوَكِيلُ الْعَبْدَيْنِ صَفْقَةً وَاحِدَةً لِرَجُلٍ بِأَلْفٍ وَلَمْ يُمَيِّزْ ثَمَنَ كُلِّ وَاحِدٍ منهما فقد ذكر الشافعي في من تَزَوَّجَ أَرْبَعَةَ نِسْوَةٍ فِي عَقْدٍ عَلَى صَدَاقٍ بِأَلْفٍ وَلَمْ يَذْكُرْ قِسْطَ مَهْرِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ قَوْلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّ الصَّدَاقَ بَاطِلٌ وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ مَهْرُ مِثْلِهَا وَالثَّانِي أَنَّهُ جَائِزٌ وَتُقَسَّطُ الْأَلْفُ بَيْنَهُنَّ عَلَى قَدْرِ مُهُورِ أَمْثَالِهِنَّ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مَسْأَلَةِ الْبَيْعِ فَكَانَ ابْنُ سُرَيْجٍ يُسَوِّي بَيْنَهُمَا وَيُخَرَّجُ بَيْعُ الْعَبْدَيْنِ بِالثَّمَنِ الْوَاحِدِ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالصَّدَاقِ.

Jika seorang laki-laki memiliki seorang budak Romawi dan orang lain memiliki seorang budak Turki, lalu masing-masing dari keduanya mewakilkan Zaid untuk menjual budaknya, kemudian wakil tersebut menjual kedua budak itu dalam satu akad kepada seseorang dengan harga seribu, tanpa membedakan harga masing-masing dari keduanya, maka telah disebutkan oleh al-Syāfi‘ī dalam kasus seseorang menikahi empat wanita dalam satu akad dengan mahar seribu, dan tidak disebutkan bagian mahar masing-masing dari mereka, ada dua pendapat: salah satunya, maharnya batal dan masing-masing wanita berhak atas mahar mitsil (mahar yang sepadan); yang kedua, akad itu sah dan seribu tersebut dibagi di antara mereka sesuai kadar mahar wanita-wanita yang sepadan. Maka para ulama kami berbeda pendapat dalam masalah jual beli ini. Ibnu Surayj menyamakan keduanya dan mengqiyaskan jual beli dua budak dengan satu harga pada dua pendapat, sebagaimana dalam masalah mahar.

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْبَيْعَ فِيهَا بَاطِلٌ لِلْجَهْلِ بِثَمَنِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا.

Salah satunya: Jual beli tersebut batal karena tidak diketahui harga masing-masing dari keduanya.

وَالثَّانِي: جَائِزٌ وَيُقَسَّطُ الْأَلْفُ عَلَى قِيمَةِ الْعَبْدَيْنِ لِأَنَّ ثَمَنَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا قَدْ يَصِيرُ معلوما بعد الْعَقْدِ وَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ يُبْطِلُ بَيْعَ الْعَبْدَيْنِ لِلرَّجُلَيْنِ بِالثَّمَنِ الْوَاحِدِ قَوْلًا وَاحِدًا وَإِنْ كَانَ لِلصَّدَاقِ عَلَى قَوْلَيْنِ وَيُفَرِّقُ بَيْنَهُمَا بِأَنَّ الصَّدَاقَ بَيْعٌ لِعَقْدِ النِّكَاحِ الَّذِي لَمْ يَكُنْ لِلِاجْتِمَاعِ تَأْثِيرٌ فِي فَسَادِهِ فَكَانَ الصَّدَاقُ بِمَثَابَتِهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْبَيْعُ لِأَنَّ الثَّمَنَ فِيهِ هُوَ الْمَقْصُودُ وَالْجَهَالَةُ بِهِ تَمْنَعُ مِنْ صِحَّتِهِ فَإِذَا قِيلَ بِصِحَّةِ الْبَيْعِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ تَخْرِيجِ ابْنِ سُرَيْجٍ كَانَتِ الْأَلْفُ مُقَسَّطَةً عَلَى قِيمَةِ الْعَبْدَيْنِ وَهَكَذَا لَوْ كَانَ الْمَجْمُوعُ فِي الْعَقْدِ عَبْدًا أَوْ ثَوْبًا فَيَتَصَرَّفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْبَائِعَيْنِ فِي الْأَلْفِ بِالْقِسْطِ مِنْ قِيمَةِ عَبْدِهِ وَإِذَا قُلْنَا إِنَّ الْبَيْعَ بَاطِلٌ فَإِنْ صدق المشتري على ذلك أو قامت به بَيِّنَةٌ اسْتَرْجَعَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَبْدَهُ وَلَوْ أَنْكَرَ الْمُشْتَرِي أَنْ يَكُونَ الْعَبْدَيْنِ إِلَّا لِمَنْ بَاعَهُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ، لِأَنَّ قَوْلَ الْبَائِعِ بَعْدَ الْبَيْعِ أَنَّهُ غَيْرُ مَالِكٍ لِلْمَبِيعِ غَيْرُ مَقْبُولٍ فَإِذَا حَلَفَ الْمُشْتَرِي كَانَ الْبَيْعُ فِي الظَّاهِرِ صَحِيحًا وَإِنْ كَانَ فِي الْبَاطِنِ فَاسِدًا ثُمَّ قَدْ أُحِيلَ بَيْنَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْمَالِكَيْنِ وَبَيْنَ عَبْدِهِ فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَ قِيمَتَهُ فَإِنْ كَانَتِ الْأَلْفُ بِإِزَاءِ قِيمَةِ الْعَبْدَيْنِ اقْتَسَمَاهَا عَلَى الْقِيمَةِ وَإِنْ كَانَتْ أَقَلَّ فَهِيَ مُقَسَّطَةٌ بَيْنَهُمَا وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ لَمْ يَكُنْ لَهُمَا فِي الزِّيَادَةِ حَقٌّ وَلَيْسَ لِلْمُشْتَرِي اسْتِرْجَاعُهَا لِاعْتِرَافِهِ بِصِحَّةِ الْبَيْعِ وَأَنَّهَا مَمْلُوكَةٌ عَلَيْهِ فِي ثَمَنِ الْعَبْدَيْنِ وَلَكِنْ تُقَدَّرُ فِي يَدِ الْبَائِعَيْنِ وتدفع إِلَى الْحَاكِمِ لِيَحْفَظَهَا إِلَى أَنْ يَقَعَ التَّصَادُقُ أَوْ تَقُومَ الْبَيِّنَةُ بِحَقِيقَةِ الْأَمْرِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Kedua: Diperbolehkan dan seribu itu dibagi secara proporsional menurut nilai kedua budak, karena harga masing-masing dari keduanya dapat diketahui setelah akad. Abu Ishaq al-Marwazi membatalkan jual beli dua budak kepada dua orang dengan satu harga menurut satu pendapat, meskipun untuk mahar ada dua pendapat. Ia membedakan antara keduanya dengan alasan bahwa mahar adalah jual beli untuk akad nikah yang tidak dipengaruhi oleh penggabungan dalam kerusakannya, sehingga mahar tetap pada kedudukannya. Tidak demikian halnya dengan jual beli, karena harga di dalamnya adalah tujuan utama dan ketidaktahuan terhadapnya menghalangi keabsahannya. Maka jika dikatakan sahnya jual beli sebagaimana yang telah kami sebutkan menurut takhrīj Ibn Surayj, maka seribu itu dibagi secara proporsional menurut nilai kedua budak. Demikian pula jika yang dijual dalam akad adalah satu budak atau satu kain, maka masing-masing penjual berhak bertindak atas bagian dari seribu itu sesuai dengan nilai budaknya. Jika dikatakan bahwa jual beli itu batal, lalu pembeli mengakuinya atau ada bukti yang menegaskannya, maka masing-masing dari mereka mengambil kembali budaknya. Namun jika pembeli mengingkari bahwa kedua budak itu milik selain penjualnya, maka perkataan pembeli diterima dengan sumpahnya, karena pernyataan penjual setelah jual beli bahwa ia bukan pemilik barang yang dijual tidak dapat diterima. Jika pembeli telah bersumpah, maka secara lahiriah jual beli itu sah, meskipun secara batin rusak. Kemudian, jika antara masing-masing pemilik dan budaknya telah terhalang, maka ia berhak mengambil nilainya. Jika seribu itu sebanding dengan nilai kedua budak, maka keduanya membaginya menurut nilai. Jika kurang, maka seribu itu dibagi di antara mereka. Jika lebih, maka kelebihan itu bukan hak mereka berdua, dan pembeli tidak berhak memintanya kembali karena ia telah mengakui keabsahan jual beli dan bahwa uang itu menjadi miliknya sebagai harga kedua budak. Namun, uang itu dianggap berada di tangan kedua penjual dan diserahkan kepada hakim untuk dijaga hingga terjadi kesepakatan atau ada bukti yang menegaskan keadaan sebenarnya. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

(قال المزني) رضي الله عنه: ” وَلَوِ اشْتَرَى أَحَدُهُمَا بِمَا لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ كَانَ مَا اشْتَرَى لَهُ دُونَ صَاحِبِهِ وَلَوْ أَجَازَهُ شَرِيكُهُ مَا جَازَ لِأَنَّ شِرَاءَهُ كَانَ عَلَى غَيْرِ مَا يَجُوزُ عَلَيْهِ “.

(Al-Muzani) raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Jika salah satu dari mereka membeli dengan harga yang tidak biasa terjadi penipuan di antara manusia dengan harga seperti itu, maka apa yang dibelinya menjadi miliknya sendiri, bukan milik rekannya. Dan jika rekannya merelakannya, maka tidak sah, karena pembeliannya tidak sesuai dengan yang boleh dilakukan atasnya.”

قَالَ الماوردي: وهذا صحيح فقد ذَكَرْنَا أَنَّ الشَّرِيكَ فِي حَقِّ شَرِيكِهِ جَارٍ مَجْرَى الْوَكِيلِ وَالْغَبْنُ الْيَسِيرُ الَّذِي جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ أَنْ يَتَغَابَنُوا بِمِثْلِهِ مَعْفُوٌّ عَنْهُ فِي عَقْدِهِ لِأَنَّ الِاحْتِرَازَ مِنْهُ مُتَعَذِّرٌ فَأَمَّا مَا لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ فَغَيْرُ مَعْفُوٍّ عَنْهُ فِي بَيْعِ الْوَكِيلِ وَالشَّرِيكِ وَكُلِّ نَائِبٍ عَنْ غَيْرِهِ مِنْ وَصِيٍّ وَأَمِينٍ فَإِذَا اشْتَرَى الشَّرِيكُ بِمَا لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ لَمْ يَخْلُ الشِّرَاءُ مِنْ أَنْ يَكُونَ بِغَيْرِ الْمَالِ أَوْ فِي ذِمَّتِهِ فَإِنْ كَانَ الشِّرَاءُ فِي ذِمَّتِهِ كَانَ لَازِمًا لَهُ دُونَ شَرِيكِهِ وَإِنْ كَانَ الشِّرَاءُ بِغَيْرِ الْمَالِ كَانَ الشِّرَاءُ فِي حَقِّ شَرِيكِهِ بَاطِلًا لِخُرُوجِهِ عَنْ مُوجِبِ الْإِذْنِ سَوَاءٌ أَجَازَهُ الشَّرِيكُ أَوْ لم يجزه لأن العقد إذا وقع فاسد لَمْ يَصِحَّ بِالْإِجَازَةِ فَأَمَّا الشِّرَاءُ فِي حِصَّةِ الْعَاقِدِ فَعَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, karena telah kami sebutkan bahwa sekutu dalam hak sekutunya berlaku seperti wakil, dan kerugian kecil yang biasa terjadi di antara manusia dimaafkan dalam akadnya, karena menghindarinya sulit. Adapun kerugian yang tidak biasa terjadi di antara manusia, maka tidak dimaafkan dalam jual beli wakil, sekutu, dan setiap orang yang bertindak atas nama orang lain seperti washi dan amin. Jika sekutu membeli dengan harga yang tidak biasa terjadi penipuan di antara manusia, maka pembelian itu tidak lepas dari dua kemungkinan: dilakukan bukan dengan harta bersama atau atas tanggungannya sendiri. Jika pembelian atas tanggungannya sendiri, maka itu menjadi tanggung jawabnya sendiri, bukan sekutunya. Jika pembelian bukan dengan harta bersama, maka pembelian itu batal atas hak sekutunya karena keluar dari izin yang diberikan, baik sekutunya merelakan atau tidak, karena akad jika terjadi dalam keadaan fasid tidak menjadi sah dengan kerelaan. Adapun pembelian atas bagian pelaku akad, maka ada dua pendapat dalam masalah tafriq ash-shafqah.

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ وَالشَّرِكَةُ فِي الْمَالِ عَلَى حَالِهَا.

Salah satunya: batal dan kemitraan dalam harta tetap seperti semula.

وَالثَّانِي: جَائِزٌ فَعَلَى هَذَا تَبْطُلُ الشَّرِكَةُ فِي قَدْرِ ثَمَنِ النِّصْفِ لِيُمَيِّزَهُ عَنِ الْمَالِ الْمُشْتَرَكِ وَتَكُونُ الشَّرِكَةُ فِيمَا سِوَاهُ بَاقِيَةً.

Yang kedua: sah, sehingga dalam hal ini kemitraan pada bagian harga setengahnya batal agar dapat dibedakan dari harta bersama, dan kemitraan pada sisanya tetap ada.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا بَاعَ أَحَدُ الشَّرِيكَيْنِ شَيْئًا مِنْ مَالِ الشَّرِكَةِ مِمَّا لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ كَانَ الْبَيْعُ فِي حِصَّةِ الشَّرِيكِ الْآخَرِ بَاطِلًا لَا تَصِحُّ بِإِجَازَتِهِ وَهَلْ يَبْطُلُ فِي حِصَّةِ الْبَائِعِ عَلَى قَوْلَيْنِ أَحَدُهُمَا قَدْ بَطَلَتْ وَالشَّرِكَةُ فِيهِ عَلَى حَالِهَا.

Adapun jika salah satu dari dua sekutu menjual sesuatu dari harta syirkah yang tidak biasa terjadi penipuan harga di antara manusia pada barang sejenisnya, maka penjualan tersebut pada bagian sekutu yang lain adalah batal dan tidak sah meskipun disetujui olehnya. Adapun apakah penjualan itu juga batal pada bagian penjual, terdapat dua pendapat: salah satunya menyatakan bahwa penjualan itu telah batal dan status syirkah pada bagian tersebut tetap seperti semula.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْبَيْعَ يَصِحُّ فِي حِصَّتِهِ وَتَبْطُلُ الشَّرِكَةُ فِيهَا لَا غَيْرَ وَلَا يَكُونُ الشَّرِيكُ ضَامِنًا لِحِصَّةِ شَرِيكِهِ بِالْعَقْدِ فَإِنْ سَلَّمَ ضمنها بالتسليم ولو كان مودعا فباع.

Pendapat kedua: penjualan itu sah pada bagiannya dan syirkah pada bagian tersebut menjadi batal, tidak pada yang lain. Dan sekutu tidak menjadi penjamin atas bagian sekutunya hanya karena akad. Namun jika ia menyerahkan (barang) maka ia menanggungnya karena penyerahan, meskipun ia hanya sebagai titipan lalu menjualnya.

قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ: ضَمِنَ بِالْعَقْدِ وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا بِأَنَّ الْمُودَعَ غَيْرُ مَأْذُونٍ لَهُ فِي الْبَيْعِ فَلَمْ يُعْتَدَّ بِهِ فَكَانَ بَيْعُهُ تَعَدِّيًا وَهَذَا عِنْدِي لَيْسَ بِشَيْءٍ لِأَنَّ الشَّرِيكَ غَيْرُ مَأْذُونٍ لَهُ فِي بَيْعِ الْغَيْبَةِ كَالْمُودَعِ وَلَوْ كَانَ مَأْذُونًا فِيهِ لَزِمَ الْمَالِكَ فَصَارَ هُوَ وَالْمُودَعُ سَوَاءً فِي أَنْ لَا يَلْزَمَهُمَا الضَّمَانُ عِنْدِي إِلَّا بِالتَّسْلِيمِ لِأَنَّ فَسَادَ الْعَقْدِ يَرْفَعُ حُكْمَ لَفْظِهِ وَإِنَّمَا يَخْتَلِفَانِ فِي ضَمَانِهَا بِالتَّغَلُّبِ لَا بِالْعَقْدِ وَالْمُودَعُ يَضْمَنُ بِإِخْرَاجِهَا مِنَ الْحِرْزِ لِتَغْلِيبِ الْمُشْتَرِي لَهَا وَالشَّرِيكُ لَا يَضْمَنُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Abu Ishaq berkata: Ia menanggung (kerugian) karena akad, dan membedakan antara keduanya dengan alasan bahwa orang yang dititipi (mūda‘) tidak diberi izin untuk menjual, sehingga tidak dianggap (jual belinya), maka penjualannya dianggap sebagai tindakan melampaui batas. Menurutku, ini tidak ada nilainya, karena sekutu juga tidak diberi izin untuk menjual saat tidak ada (sekutunya), sebagaimana mūda‘. Jika ia diberi izin, maka tanggung jawabnya menjadi milik pemilik harta. Maka, keduanya (sekutu dan mūda‘) sama dalam hal tidak wajib menanggung kecuali karena penyerahan, menurutku, karena rusaknya akad menghilangkan hukum dari lafalnya. Perbedaan keduanya hanya dalam hal penjaminan karena tindakan menguasai, bukan karena akad. Mūda‘ menanggung karena mengeluarkan barang dari tempat aman untuk mengutamakan pembeli, sedangkan sekutu tidak menanggung. Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَأَيُّهُمَا ادَّعَى فِي يَدَيْ صَاحِبِهِ مِنْ شَرِكَتِهِمَا شَيْئًا فَهُوَ مُدَّعٍ وَعَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ وَعَلَى صَاحِبِهِ الْيَمِينُ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Siapa pun di antara keduanya yang mengklaim adanya sesuatu dari syirkah mereka di tangan temannya, maka ia adalah pengklaim dan wajib mendatangkan bukti, sedangkan temannya bersumpah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا كَانَ فِي يَدِ أَحَدِ الشَّرِيكَيْنِ مَالٌ وَادَّعَى صَاحِبُهُ أَنَّ مَا فِي يَدِهِ مِنْ هَذَا الْمَالِ هُوَ مِنْ مَالِ الشَّرِكَةِ وَادَّعَاهُ صَاحِبُ الْيَدِ مِلْكًا لِنَفْسِهِ فَالْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُ صَاحِبِ الْيَدِ مَعَ يَمِينِهِ إِلَّا أَنْ يُقِيمَ الْمُدَّعِي بَيِّنَةً لِأَنَّ الشَّرِكَةَ لَا تَرْفَعُ حُكْمَ الْيَدِ فِي ثُبُوتِ الْمِلْكِ بِهَا وَهَكَذَا لَوِ اشْتَرَى أَحَدُ الشريكين عبد فِي ثَمَنِهِ غَبَطَهُ فَادَّعَى الشَّرِيكُ الْآخَرُ أَنَّهُ اشْتَرَاهُ فِي الشَّرِكَةِ وَادَّعَى مُشْتَرِيهِ أَنَّهُ اشْتَرَاهُ لِنَفْسِهِ لَا فِي الشَّرِكَةِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ مُتَوَلِّي الشِّرَاءِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّ لَهُ أَنْ يَشْتَرِيَ لِنَفْسِهِ وَإِنْ كَانَ شَرِيكًا لِغَيْرِهِ وَلَوِ اشْتَرَى عَبْدًا حَدَثَ بِهِ نَقْصٌ فَذَكَرَ أَنَّهُ اشْتَرَاهُ فِي الشَّرِكَةِ وَأَنْكَرَ الْآخَرُ أَنْ يَكُونَ الَّذِي اشْتَرَاهُ إِلَّا لِنَفْسِهِ فَالْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُ الْمُشْتَرِي مَعَ يَمِينِهِ وَيَكُونُ الْعَبْدُ فِي مَالِ الشَّرِكَةِ والله أعلم.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, apabila salah satu dari dua sekutu memegang harta, lalu sekutunya mengklaim bahwa harta yang ada di tangannya itu adalah bagian dari harta syirkah, sedangkan yang memegang harta mengklaim bahwa itu adalah miliknya sendiri, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan pemegang harta dengan sumpahnya, kecuali jika pengklaim mendatangkan bukti. Karena syirkah tidak menghilangkan hukum kepemilikan atas dasar penguasaan. Demikian pula jika salah satu sekutu membeli seorang budak dengan harga yang menguntungkan, lalu sekutu lainnya mengklaim bahwa ia membelinya untuk syirkah, sedangkan pembelinya mengaku bahwa ia membelinya untuk dirinya sendiri, bukan untuk syirkah, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan orang yang melakukan pembelian dengan sumpahnya, karena ia berhak membeli untuk dirinya sendiri meskipun ia adalah sekutu orang lain. Jika ia membeli seorang budak lalu terjadi cacat pada budak itu, kemudian ia menyatakan bahwa ia membelinya untuk syirkah, sedangkan yang lain mengingkari bahwa budak itu dibeli kecuali untuk dirinya sendiri, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan pembeli dengan sumpahnya, dan budak itu menjadi milik syirkah. Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَأَيُّهُمَا ادَّعَى خِيَانَةَ صَاحِبِهِ فَعَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Siapa pun di antara keduanya yang mengklaim adanya pengkhianatan dari temannya, maka ia wajib mendatangkan bukti.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا دَعْوَاهُ الْخِيَانَةَ فَغَيْرُ مُقْنِعَةٍ حَتَّى يَصِفَهَا بِمَا يَصِيرُ خَائِنًا بِهَا ثُمَّ يَذْكُرُ قَدْرَهَا فَتَتِمُّ دَعْوَاهُمَا فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ وَأَنْكَرَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ إِلَّا أَنْ يُقِيمَ مُدَّعِي الْخِيَانَةِ بَيِّنَةً بِمَا يَدَّعِيهِ لِأَنَّهُ أَمِينٌ وَلِأَنَّهُ بَرِيءُ الذِّمَّةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Al-Mawardi berkata: Adapun klaim pengkhianatan, tidak dianggap cukup sampai ia menjelaskan bentuk pengkhianatan yang menjadikannya sebagai pengkhianat, lalu ia menyebutkan kadarnya, sehingga klaimnya menjadi sempurna. Jika ia telah melakukan itu dan pihak yang dituduh mengingkari, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan pihak yang dituduh dengan sumpahnya, kecuali jika pengklaim pengkhianatan mendatangkan bukti atas apa yang ia klaim, karena ia adalah orang yang dipercaya dan terbebas dari tanggungan. Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَأَيُّهُمَا زَعَمَ أَنَّ الْمَالَ قَدْ تَلِفَ فَهُوَ أمين وعليه اليمين “.

Al-Muzani ra. berkata: “Siapa pun di antara keduanya yang mengaku bahwa harta telah rusak (hilang), maka ia adalah orang yang dipercaya dan wajib bersumpah.”

قال الماوردي: بِسَبَبِ وَصْفِهِ أَوْ لَمْ يَصِفْهُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ إِذَا كَانَ مَا ادَّعَاهُ مِنَ التَّلَفِ مُمْكِنًا لِأَنَّهُ أَمِينٌ فَشَابَهَ الْمُودَعَ وَالْوَكِيلَ فَإِنْ ذَكَرَ تَلَفَهُ فِي يَوْمٍ مِنْ شَهْرٍ بِعَيْنِهِ وَحَلَفَ عَلَيْهِ ثُمَّ شَهِدَ شَاهِدَانِ أَنَّهُمَا رَأَيَا ذَلِكَ الْمَالَ فِي يَدِهِ بِعَيْنِهِ بَعْدَ ذَلِكَ الْيَوْمِ الَّذِي ادَّعَى تَلَفَهُ فِيهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Baik ia menyebutkan sebab kerusakan atau tidak, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapannya dengan sumpah, selama klaim kerusakan itu mungkin terjadi, karena ia adalah orang yang dipercaya, sehingga ia serupa dengan mūda‘ dan wakil. Jika ia menyebutkan bahwa kerusakan terjadi pada hari tertentu di bulan tertentu dan ia bersumpah atasnya, kemudian ada dua saksi yang bersaksi bahwa mereka melihat harta itu masih ada di tangannya setelah hari yang ia klaim sebagai hari kerusakan, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ يَمِينَهُ السَّالِفَةَ قَدْ بَطَلَتْ بِهَذِهِ الْبَيِّنَةِ الْحَادِثَةِ وَيُلْزَمُ غُرْمَ الْمَالِ الْمَشْهُودِ بِهِ لِأَنَّ الْبَيِّنَةَ الْعَادِلَةَ أَوْلَى مِنْ يَمِينِهِ.

Salah satu pendapat: Sumpahnya yang terdahulu telah gugur dengan adanya bukti baru ini, dan ia diwajibkan membayar ganti rugi atas harta yang dibuktikan tersebut, karena bukti yang adil lebih diutamakan daripada sumpahnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ أَبُو الْفَيَّاضِ إِنَّ يَمِينَهُ لَا تَبْطُلُ وَلَكِنْ يُسْأَلُ عَنْ ذَلِكَ الْيَوْمِ فَإِنْ ذَكَرَهُ مَعَ يَمِينِهِ الْمَاضِيَةِ لَمْ يَغْرَمْ وَإِنْ لَمْ يُبَيِّنْ غُرِّمَ وَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ يُغَرَّمُ بِالْبَيِّنَةِ وَلَا يُسْأَلُ.

Pendapat kedua, yang dikatakan oleh Abu al-Fayyāḍ: Sumpahnya tidak gugur, namun ia akan ditanya tentang hari itu. Jika ia menyebutkannya bersamaan dengan sumpahnya yang lalu, maka ia tidak wajib membayar ganti rugi. Namun jika ia tidak menjelaskannya, maka ia diwajibkan membayar ganti rugi. Menurut pendapat pertama, ia diwajibkan membayar ganti rugi berdasarkan bukti dan tidak ditanya lagi.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا اشْتَرَى الشَّرِيكَانِ سِلْعَةً وَقَبَضَاهَا فَتَلِفَتَ كَانَ التَّلَفُ مِنْ مَالِهِمَا وَالثَّمَنُ دَيْنٌ عَلَيْهِمَا فَإِنْ دَفَعَا الثَّمَنَ مِنْ مَالِ الشَّرِكَةِ بَطَلَتِ الشَّرِكَةُ فِي قَدْرِ الثَّمَنِ الْمَدْفُوعِ مِنْ ثَمَنِهَا وَلَوْ تَلِفَ الثَّمَنُ أَيْضًا مِنْهُمَا قَبْلَ دَفْعِهِ فِي ثَمَنِ السِّلْعَةِ التَّالِفَةِ كَانَ الثَّمَنُ دَيْنًا فِي ذِمَّتِهِمَا وَلِلْبَائِعِ أَنْ يَأْخُذَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِحِصَّتِهِ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ بِجَمِيعِ الثَّمَنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ ضَامِنًا عَنْ صَاحِبِهِ وَلَكِنْ لَوْ كَانَ أَحَدُهُمَا قَدْ تَوَلَّى الشِّرَاءَ دُونَ صَاحِبِهِ فَلِلْبَائِعِ أَنْ يَأْخُذَ بِجَمِيعِ الثَّمَنِ لِتَفَرُّدِهِ بِالْعَقْدِ فَإِذَا أَخَذَهُ مِنْهُ نُظِرَ فَإِنْ أَدَّاهُ مِنْ مَالِ الشَّرِكَةِ جَازَ وَلَا رُجُوعَ وَإِنْ أَدَّاهُ مِنْ مَالِ نَفْسِهِ نُظِرَ فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ لِأَنَّهُ لَمْ يَنِضَّ مِنْ مَالِ الشَّرِكَةِ مَا يُؤَدِّي فِي ذَلِكَ الثَّمَنَ كَانَ لَهُ الرُّجُوعُ عَلَى شَرِيكِهِ بِحِصَّتِهِ مِنْهُ وَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ مَعَ وُجُودِهِ نَاضًّا فِي مَالِ الشَّرِكَةِ فَفِي رُجُوعِهِ عَلَى شَرِيكِهِ وَجْهَانِ:

Apabila dua orang sekutu membeli suatu barang dan telah menerima barang tersebut, kemudian barang itu rusak, maka kerusakan itu menjadi tanggungan harta mereka berdua, dan harga barang menjadi utang atas mereka berdua. Jika mereka membayar harga barang dari harta syirkah, maka syirkah batal sebesar harga yang dibayarkan dari harta syirkah tersebut. Jika harga barang juga rusak dari harta mereka berdua sebelum dibayarkan untuk harga barang yang rusak itu, maka harga barang tetap menjadi utang dalam tanggungan mereka berdua, dan penjual berhak menagih bagian masing-masing dari mereka, dan tidak berhak menagih seluruh harga kecuali jika salah satu dari mereka menjadi penjamin bagi temannya. Namun, jika salah satu dari mereka melakukan pembelian tanpa temannya, maka penjual berhak menagih seluruh harga karena ia sendiri yang melakukan akad. Jika penjual telah menagihnya, maka dilihat: jika ia membayarnya dari harta syirkah, maka itu sah dan tidak ada hak untuk meminta kembali. Jika ia membayarnya dari hartanya sendiri, maka dilihat: jika ia melakukan itu karena tidak ada harta syirkah yang cukup untuk membayar harga tersebut, maka ia berhak menuntut kembali bagian temannya. Namun jika ia melakukannya padahal ada harta syirkah yang cukup, maka dalam hal haknya untuk menuntut kembali dari temannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَرْجِعُ عَلَيْهِ بِالنِّصْفِ مِنْهُ لِأَنَّهُ مِنْ مُوجِبَاتِ الشَّرِكَةِ.

Salah satunya: Ia berhak menuntut kembali setengah dari harga tersebut karena itu merupakan konsekuensi dari syirkah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَرْجِعُ لِأَنَّ مُوجِبَ الشَّرِكَةِ أَنْ يُؤَدِّيَهُ مِنْ مَالِهَا فَصَارَ عُدُولُهُ عَنْهُ إِلَى مَالِ نَفْسِهِ تَطَوُّعًا مِنْهُ فَلَمْ يَرْجِعْ بِهِ عَلَى شَرِيكِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: Ia tidak berhak menuntut kembali, karena konsekuensi syirkah adalah membayar dari harta syirkah, sehingga berpindahnya ia membayar dari hartanya sendiri merupakan tindakan sukarela darinya, maka ia tidak berhak menuntut kembali dari temannya. Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ المزني: رضي الله عنه: ” وَإِذَا كَانَ الْعَبْدُ بَيْنَ رَجُلَيْنِ فَأَمَرَ أَحَدُهُمَا صاحبه ببيعه فَبَاعَهُ مِنْ رَجُلٍ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ فَأَقَرَّ الشَّرِيكُ الَّذِي لَمْ يَبِعْ أَنَّ الْبَائِعَ قَدْ قَبَضَ الثَّمَنَ وَأَنْكَرَ ذَلِكَ الْبَائِعُ وَادَّعَاهُ الْمُشْتَرِي فَإِنَّ الْمُشْتَرِيَ يَبْرَأُ مِنْ نِصْفِ الثَّمَنِ وَهُوَ حِصَّةُ الْمُقِرِّ وَيَأْخُذُ الْبَائِعُ نِصْفَ الثَّمَنِ مِنَ الْمُشْتَرِي فَيُسَلَّمَ لَهُ وَيَحْلِفُ لِشَرِيكِهِ مَا قَبَضَ مَا ادَّعَى فَإِنْ نَكَلَ حَلَفَ صَاحِبُهُ وَاسْتَحَقَّ الدَّعْوَى “.

Al-Muzanī, raḥimahullāh, berkata: “Jika seorang budak dimiliki oleh dua orang, lalu salah satu dari mereka memerintahkan temannya untuk menjualnya, kemudian ia menjualnya kepada seseorang seharga seribu dirham, lalu sekutu yang tidak menjual mengakui bahwa penjual telah menerima harga, sedangkan penjual mengingkari hal itu dan pembeli mengaku telah membayarnya, maka pembeli bebas dari setengah harga, yaitu bagian orang yang mengakui, dan penjual mengambil setengah harga dari pembeli, lalu diserahkan kepadanya, dan ia bersumpah kepada sekutunya bahwa ia tidak menerima apa yang diklaim. Jika ia enggan bersumpah, maka temannya yang bersumpah dan ia berhak atas tuntutannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ: فِي عَبْدٍ بَيْنَ شَرِيكَيْنِ أَذِنَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ فِي بَيْعِهِ فَبَاعَهُ الْمَأْذُونُ لَهُ عَلَى رَجُلٍ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ ثُمَّ إِنَّ الْمُشْتَرِيَ ادَّعَى عَلَى الْبَائِعِ أَنَّهُ سَلَّمَ إِلَيْهِ الْأَلْفَ الثَّمَنَ وَأَنْكَرَهَا الْبَائِعُ وَصَدَّقَهُ عَلَيْهَا الشَّرِيكُ الَّذِي لَمْ يَبِعْ فَقَدْ بَرِئَ الْمُشْتَرِي بِتَصْدِيقِ الشَّرِيكِ الَّذِي لَمْ يَبِعْ مِنْ حِصَّتِهِ خَمْسَمِائَةِ دِرْهَمٍ لِأَنَّهُ مُعْتَرِفٌ بِقَبْضِ وَكِيلِهِ لَهَا ثُمَّ الْقَوْلُ قَوْلُ الشَّرِيكِ الْبَائِعِ مَعَ يَمِينِهِ أَنَّهُ لَمْ يَقْبِضْ فَإِذَا حَلَفَ فَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمُشْتَرِي بِحِصَّتِهِ وَهِيَ خَمْسُمِائَةِ دِرْهَمٍ يَخْتَصُّ بِهَا وَيَحْلِفُ لِشَرِيكِهِ بِاللَّهِ أَنَّهُ مَا قَبَضَ حِصَّتَهُ مِنَ الْمُشْتَرِي لِأَنَّ قَوْلَ الشَّرِيكِ الَّذِي لَمْ يَبِعْ قَدْ تَضَمَّنَ إِقْرَارًا عَلَى نَفْسِهِ وَدَعْوَى عَلَى شَرِيكِهِ فَكَانَ إِقْرَارُهُ عَلَى نَفْسِهِ مَقْبُولًا فِي بَرَاءَةِ الْمُشْتَرِي فِي حقه وادعائه عَلَى شَرِيكِهِ غَيْرُ مَقْبُولٍ فِي الرُّجُوعِ عَلَيْهِ بِحِصَّتِهِ فَإِنْ قِيلَ مَا قَبَضَهُ الْبَائِعُ بَعْدَ يَمِينِهِ يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ مَقْسُومًا بَيْنَ الشَّرِيكَيْنِ لِأَنَّهُ مَقْبُوضٌ مِنْ ثَمَنِ عَبْدٍ مُشْتَرَكٍ بَيْنَهُمَا لم يقتسما عليه قبل مَا قَبَضَهُ الْبَائِعُ حَقٌّ لَهُ لَا يَجُوزُ لِشَرِيكِهِ أَنْ يُقَاسِمَهُ عَلَيْهِ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَعْلِيلِ ذَلِكَ فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ يَقُولُ الْعِلَّةُ فِيهِ أَنَّ الَّذِي لَمْ يَبِعْ بِتَصْدِيقِ الْمُشْتَرِي مُقِرٌّ بِأَنَّ الْبَائِعَ ظَالِمٌ فِيمَا يَأْخُذُهُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُشَارِكَهُ فِيمَا يُقِرُّ بِأَنَّهُ ظَالِمٌ غَيْرُ مُسْتَحِقٍّ وَكَانَ أَبُو الْفَيَّاضِ وَطَائِفَةٌ مِنَ الْبَصْرِيِّينَ يَقُولُونَ الْعِلَّةُ فِيهِ أَنَّ الَّذِي لَمْ يَبِعْ لَمَّا أَبْرَأَ الْمُشْتَرِيَ بِتَصْدِيقِهِ صَارَ كَالْقَابِضِ لِحَقِّهِ فَكَانَ ذَلِكَ مِنْهُ فَسْخًا لِلشَّرِكَةِ فَلَمْ يَبْقَ لَهُ فِي الْمَقْبُوضِ حَقٌّ يُقَاسِمُ عَلَيْهِ فَلَوْ كَانَ الْمُشْتَرِي أَقَامَ عَلَى الْبَائِعِ بَيِّنَةً بِدَفْعِ الثَّمَنِ إِلَيْهِ بَرِئَ مِنْ جَمِيعِهِ بِالْبَيِّنَةِ وَكَانَ لِلشَّرِيكِ الَّذِي لَمْ يَبِعْ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْبَائِعِ بِحِصَّتِهِ بِبَيِّنَةِ الْمُشْتَرِي مِنْ غَيْرِ اسْتِئْنَافِ لَهَا لِأَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ بِهَا عَلَى الْبَائِعِ قَبْضُ الثَّمَنِ كُلِّهِ فَلَوْ شَهِدَ عَلَى الْبَائِعِ شَرِيكُهُ الَّذِي لَمْ يَبِعْ لِيَحْلِفَ الْمُشْتَرِي مَعَهُ فَفِي قَبُولِ شَهَادَتِهِ قَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي تَبْعِيضِ الشَّهَادَةِ إِذَا رُدَّ بَعْضُهَا هَلْ يُوجِبُ ذَلِكَ رَدَّ بَاقِيهَا لِأَنَّ شَهَادَتَهُ مَرْدُودَةٌ فِي حِصَّةِ نَفْسِهِ فَلَوْ عَدِمَ الْمُشْتَرِي الْبَيِّنَةَ وَنَكِلَ الْبَائِعُ عَنِ الْيَمِينِ فَرُدَّتْ عَلَى الْمُشْتَرِي فَحَلَفَ بَرِئَ مِنَ الثَّمَنِ كله وكان الَّذِي لَمْ يَبِعْ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْبَائِعِ بحصته يمين الْمُشْتَرِي وَحْدَهُ لِأَنَّ الْيَمِينَ بَعْدَ النُّكُولِ إِمَّا أَنْ تَجْرِيَ مَجْرَى الْبَيِّنَةِ أَوْ مَجْرَى الْإِقْرَارِ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يُثْبِتُ الرُّجُوعَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Al-Mawardi berkata: Bentuk masalah ini adalah tentang seorang budak yang dimiliki bersama oleh dua orang sekutu, kemudian salah satu dari keduanya memberi izin kepada temannya untuk menjualnya, lalu orang yang diberi izin itu menjual budak tersebut kepada seseorang dengan harga seribu dirham. Setelah itu, pembeli mengklaim kepada penjual bahwa ia telah menyerahkan seribu dirham harga tersebut kepadanya, namun penjual mengingkarinya, sementara sekutu yang tidak ikut menjual membenarkan klaim pembeli tersebut. Maka, pembeli terbebas dari kewajiban membayar bagian sekutu yang tidak ikut menjual, yaitu lima ratus dirham, karena sekutu tersebut telah mengakui bahwa wakilnya telah menerima bagiannya. Kemudian, pernyataan yang dipegang adalah pernyataan sekutu yang menjual, disertai sumpahnya bahwa ia belum menerima (bagiannya). Jika ia telah bersumpah, maka ia berhak menuntut pembeli atas bagiannya, yaitu lima ratus dirham yang menjadi hak khususnya, dan ia bersumpah kepada sekutunya dengan nama Allah bahwa ia tidak menerima bagiannya dari pembeli. Karena pernyataan sekutu yang tidak ikut menjual mengandung pengakuan atas dirinya sendiri dan klaim terhadap sekutunya; maka pengakuannya atas dirinya sendiri diterima dalam membebaskan pembeli dari kewajiban terhadap bagiannya, sedangkan klaimnya terhadap sekutunya tidak diterima untuk menuntut bagiannya. Jika dikatakan bahwa apa yang diterima penjual setelah sumpahnya seharusnya dibagi antara kedua sekutu, karena itu adalah hasil dari penjualan budak yang dimiliki bersama dan belum dibagi sebelumnya, maka jawabannya adalah bahwa apa yang diterima penjual setelah sumpahnya adalah hak khusus baginya, dan tidak boleh bagi sekutunya untuk membaginya. Para ulama kami berbeda pendapat dalam memberikan alasan tentang hal ini. Abu Ishaq al-Marwazi berpendapat bahwa alasannya adalah sekutu yang tidak menjual, dengan membenarkan pembeli, berarti mengakui bahwa penjual telah berbuat zalim dalam mengambil bagian tersebut, sehingga tidak boleh ia ikut serta dalam sesuatu yang ia akui sebagai kezaliman dan bukan haknya. Sedangkan Abu al-Fayyadh dan sekelompok ulama Basrah berpendapat bahwa alasannya adalah sekutu yang tidak menjual, ketika ia membebaskan pembeli dengan membenarkannya, maka ia dianggap telah menerima haknya, sehingga hal itu merupakan pembatalan syirkah dari pihaknya, dan ia tidak lagi memiliki hak dalam bagian yang diterima. Jika pembeli mendatangkan bukti (bayyinah) bahwa ia telah membayar harga kepada penjual, maka ia terbebas dari seluruh harga dengan bukti tersebut, dan sekutu yang tidak menjual berhak menuntut penjual atas bagiannya dengan menggunakan bukti dari pembeli tanpa perlu mengajukan bukti baru, karena dengan bukti tersebut telah tetap bahwa penjual telah menerima seluruh harga. Jika sekutu yang tidak menjual bersaksi atas penjual agar pembeli bersumpah bersamanya, maka dalam hal diterimanya kesaksiannya terdapat dua pendapat, yang didasarkan pada perbedaan pendapat tentang sebagian kesaksian: jika sebagian kesaksian ditolak, apakah itu menyebabkan penolakan seluruhnya, karena kesaksiannya ditolak untuk bagiannya sendiri. Jika pembeli tidak memiliki bukti dan penjual menolak bersumpah, lalu sumpah itu dikembalikan kepada pembeli dan ia bersumpah, maka ia terbebas dari seluruh harga, dan sekutu yang tidak menjual berhak menuntut penjual atas bagiannya dengan sumpah pembeli saja, karena sumpah setelah penolakan (nukūl) itu kedudukannya bisa seperti bayyinah atau seperti pengakuan, dan keduanya dapat menjadi dasar untuk menuntut kembali. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ولو كَانَ الشَّرِيكُ الَّذِي بَاعَ هُوَ الَّذِي أَقَرَّ بِأَنَّ شَرِيكَهُ الَّذِي لَمْ يَبِعْ قَبَضَ مِنَ الْمُشْتَرِي جَمِيعَ الثَّمَنِ وَأَنْكَرَ ذَلِكَ الَّذِي لَمْ يَبِعْ وَادَّعَى ذَلِكَ الْمُشْتَرِي فَإِنَّ الْمُشْتَرِيَ يَبْرَأُ مِنْ نِصْفِ الثَّمَنِ بِإِقْرَارِ الْبَائِعِ أَنَّ شَرِيكَهُ قَدْ قَبَضَ لِأَنَّهُ فِي ذَلِكَ أَمِينٌ وَيَرْجِعُ الْبَائِعُ عَلَى الْمُشْتَرِي بِالنِّصْفِ الْبَاقِي فَيُشَارِكُهُ فِيهِ صاحبه لأنه لا يصدق على حصة من الشركة تسلم إليه إنما يصدق في أن لا يضمن شيئا لصاحبه فأما أن يكون في يديه بعض مال بينهما فيدعي على شريكه مقاسمة يملك بها هذا البعض خاصة فلا يجوز ويحلف لشريكه فإن نكل حلف شريكه واستحق دعواه “.

Al-Muzani raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Jika sekutu yang menjual adalah orang yang mengakui bahwa sekutunya yang tidak ikut menjual telah menerima seluruh pembayaran dari pembeli, lalu sekutu yang tidak ikut menjual itu mengingkari hal tersebut dan pembeli mengklaim bahwa memang demikian kejadiannya, maka pembeli terbebas dari kewajiban membayar setengah harga karena pengakuan penjual bahwa sekutunya telah menerima (bagiannya), sebab dalam hal ini penjual dianggap sebagai orang yang dipercaya. Selanjutnya, penjual dapat menuntut pembeli untuk membayar setengah sisanya, dan sekutunya berhak mengambil bagian dari setengah itu, karena penjual tidak dapat dipercaya atas bagian harta bersama yang telah diterima olehnya; ia hanya dipercaya dalam hal tidak menanggung sesuatu untuk sekutunya. Adapun jika ada sebagian harta bersama di tangannya, lalu ia mengklaim kepada sekutunya untuk membagi harta itu sehingga ia hanya memiliki sebagian tersebut secara khusus, maka hal itu tidak diperbolehkan. Ia harus bersumpah kepada sekutunya; jika ia enggan bersumpah, maka sekutunya yang bersumpah dan berhak atas klaimnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا كَالْمَسْأَلَةِ الْأُولَى فِي الْعَبْدِ الْمُشْتَرَكِ إِذَا بَاعَهُ أَحَدُ الشَّرِيكَيْنِ بِإِذْنِ صَاحِبِهِ إِلَّا أَنَّ الْمُشْتَرِيَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ يَدَّعِي تَسْلِيمَ الثَّمَنِ إِلَى الشَّرِيكِ الَّذِي لَمْ يَبِعْ وَيُصَدِّقُهُ عَلَيْهِ الشَّرِيكُ الَّذِي بَاعَ وَيُنْكِرُ مَنْ لم يبع أَنْ يَكُونَ مَأْذُونًا لَهُ إِذْنَ أَحَدِ الشَّرِيكَيْنِ لِصَاحِبِهِ أَمْ لَا فَإِنْ كَانَ مَأْذُونًا لَهُ إِذْنَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِصَاحِبِهِ فَالْجَوَابُ فِيهِ مَا مَضَى فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى مِنْ بَرَاءَةِ الْمُشْتَرِي مِنْ نِصْفِ الثَّمَنِ بِتَصْدِيقِ الْبَائِعِ أَنَّ شَرِيكَهُ النَّائِبَ عَنْهُ قَبَضَ الثَّمَنَ مِنْهُ وَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَ مَنْ لَمْ يَبِعْ مَعَ يَمِينِهِ بِاللَّهِ أَنَّهُ مَا قَبَضَ وَلَهُ الرُّجُوعُ عَلَى الْمُشْتَرِي بِحِصَّتِهِ عَلَى مَا وَصَفْنَا مِنْ قَبْلُ سَوَاءٌ. وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَأْذُونٍ لَهُ فِي الْقَبْضِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ بِاللَّهِ أَنَّهُ لَمْ يَقْبِضْ ثُمَّ لَا يَبْرَأُ الْمُشْتَرِي مِنْ شَيْءٍ لِأَنَّ الْبَائِعَ وَإِنْ صَدَّقَهُ عَلَى تَسْلِيمِ حَقِّهِ إِلَى شَرِيكِهِ فَقَدْ سَلَّمَهُ إِلَى غَيْرِ مُسْتَحِقِّهِ ثُمَّ قَدْ بَطَلَتْ وَكَالَةُ الْبَائِعِ فِي حَقِّ الَّذِي لَمْ يَبِعْ لِأَنَّ إِقْرَارَهُ عَلَيْهِ بِالْقَبْضِ يَتَضَمَّنُ إِبْطَالَ وَكَالَتِهِ فِيهِ وَعَلَى الْمُشْتَرِي أَنْ يَسُوقَ إِلَيْهِمَا أَلْفًا، خَمْسَمِائَةٍ إِلَى الْبَائِعِ وَخَمْسَمِائَةٍ إِلَى الَّذِي لَمْ يَبِعْ فَإِنِ ابْتَدَأَ وَدَفَعَ إِلَى الَّذِي لَمْ يَبِعْ خَمْسَمِائَةٍ لَمْ يَكُنْ لِلْبَائِعِ أَنْ يُشَارِكَهُ فِيهَا لِأَنَّهُ يُقِرُّ بِأَنَّ الْمُشْتَرِيَ مَظْلُومٌ بِهَا وَإِنْ بَدَأَ الْمُشْتَرِي وَدَفَعَ إِلَى الْبَائِعِ خَمْسَمِائَةٍ كَانَ لِلَّذِي لَمْ يَبِعْ أَنْ يُشَارِكَهُ فِيهَا إِنْ شَاءَ وَلَهُ أَنْ لَا يُشَارِكَهُ فِيهَا وَيَرْجِعَ عَلَى الْمُشْتَرِي بكل حصته إِنْ شَاءَ فَإِنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمُشْتَرِي كَانَ لَهُ ذَلِكَ. وَيَكُونُ الْمُشْتَرِي دَافِعًا الْأَلْفَ خَمْسَمِائَةٍ مِنْهَا إِلَى الْبَائِعِ وَخَمْسَمِائَةٍ إِلَى الَّذِي لَمْ يَبِعْ وَإِنْ أَحَبَّ أَنْ يُشَارِكَهُ الْبَائِعُ فِيمَا أَخَذَ فَذَلِكَ لَهُ لِأَنَّ الْمَالَ مشتركا لَمْ يَقْتَسِمَا عَلَيْهِ وَالْبَائِعُ غَيْرُ مُصَدَّقٍ عَلَى شَرِيكِهِ فِي إِبْطَالِ الشَّرِكَةِ فِيهِ فَإِذَا أَخَذَ مِنَ الْبَائِعِ نِصْفَ مَا أَخَذَهُ وَذَلِكَ مِائَتَانِ وَخَمْسُونَ فَلَهُ أَنْ يَسْتَوْفِيَ مِنَ الْمُشْتَرِي تَمَامَ حَقِّهِ وَذَلِكَ مِائَتَانِ وَخَمْسُونَ تَمَامَ خَمْسِمِائَةٍ وَلَيْسَ لِلْبَائِعِ بَعْدَ رُجُوعِ شَرِيكِهِ عَلَيْهِ بِنِصْفِ مَا أَخَذَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمُشْتَرِي بِهِ لِأَنَّهُ مُقِرٌّ بِاسْتِيفَاءِ مَا عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْهُ بَعْدَ ذَلِكَ يَحْكُمُ فَيَصِيرُ الْمُشْتَرِي غَارِمًا لِسَبْعِمِائَةٍ وَخَمْسِينَ مِنْهَا خَمْسُمِائَةٍ دَفَعَهَا إِلَى الْبَائِعِ فَشَارَكَهُ فِيهَا الَّذِي لَمْ يَبِعْ وَمِائَتَانِ وَخَمْسُونَ دَفَعَهَا إِلَى الَّذِي لَمْ يَبِعْ فَلَوْ أَرَادَ الْمُشْتَرِي أَنْ يَسْتَشْهِدَ بِالْبَائِعِ عَلَى الَّذِي لَمْ يَبِعْ كَانَتْ شَهَادَتُهُ مَرْدُودَةً عَلَيْهِ لِأَنَّهُ فِيهَا مُتَّهَمٌ بِمَا يَدْفَعُ عَنْ نَفْسِهِ مِنْ رُجُوعِ شَرِيكِهِ عَلَيْهِ بِمَا يَأْخُذُهُ.

Al-Mawardi berkata: Bentuk permasalahannya sama seperti masalah pertama tentang budak yang dimiliki bersama, yaitu apabila salah satu dari dua orang yang berserikat menjualnya dengan izin rekannya. Namun, dalam permasalahan ini, pembeli mengklaim telah menyerahkan harga kepada rekan yang tidak menjual, dan penjual membenarkannya, sedangkan yang tidak menjual mengingkari bahwa ia telah diberi izin oleh rekannya atau tidak. Jika memang ia telah diberi izin oleh rekannya, yakni masing-masing dari keduanya memberi izin kepada rekannya, maka jawabannya sama seperti yang telah dijelaskan pada masalah pertama, yaitu pembeli terbebas dari setengah harga karena penjual membenarkan bahwa rekannya yang mewakilinya telah menerima harga dari pembeli. Dalam hal ini, yang dijadikan pegangan adalah pernyataan orang yang tidak menjual dengan sumpahnya atas nama Allah bahwa ia tidak menerima (harga), dan ia berhak menuntut pembeli atas bagiannya sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, baik keadaannya sama atau berbeda. Namun, jika ia tidak diberi izin untuk menerima (harga), maka pernyataannya yang dipegang dengan sumpahnya atas nama Allah bahwa ia tidak menerima, dan pembeli tidak terbebas dari apa pun. Sebab, meskipun penjual membenarkan bahwa haknya telah diserahkan kepada rekannya, namun ia telah menyerahkannya kepada yang bukan berhak, dan keagenan penjual atas hak orang yang tidak menjual menjadi batal, karena pengakuannya atas penerimaan (harga) berarti membatalkan keagenannya dalam hal itu. Maka, pembeli wajib menyerahkan seribu (dirham), lima ratus kepada penjual dan lima ratus kepada yang tidak menjual. Jika pembeli terlebih dahulu menyerahkan lima ratus kepada yang tidak menjual, maka penjual tidak berhak mengambil bagian darinya, karena ia mengakui bahwa pembeli telah terzalimi dengan pembayaran itu. Namun, jika pembeli terlebih dahulu menyerahkan lima ratus kepada penjual, maka yang tidak menjual boleh mengambil bagian darinya jika ia menghendaki, dan boleh juga tidak mengambil bagian darinya dan menuntut seluruh bagiannya kepada pembeli jika ia menghendaki. Jika ia ingin menuntut kepada pembeli, maka itu haknya. Dengan demikian, pembeli membayar seribu, lima ratus kepada penjual dan lima ratus kepada yang tidak menjual. Jika penjual ingin mengambil bagian dari apa yang diterima oleh yang tidak menjual, maka itu haknya, karena harta tersebut masih merupakan milik bersama yang belum dibagi, dan penjual tidak dapat dipercaya untuk membatalkan kemitraan atas bagian rekannya. Jika ia telah mengambil setengah dari apa yang diterima, yaitu dua ratus lima puluh, maka ia berhak menagih sisa haknya dari pembeli, yaitu dua ratus lima puluh, sehingga genap lima ratus. Penjual tidak berhak lagi menuntut pembeli setelah rekannya mengambil setengah dari apa yang diterimanya, karena ia telah mengakui bahwa haknya telah terpenuhi. Jika ia belum mengambil bagian tersebut, maka keputusan diambil, sehingga pembeli menjadi menanggung tujuh ratus lima puluh; lima ratus di antaranya telah dibayarkan kepada penjual lalu diambil bagiannya oleh yang tidak menjual, dan dua ratus lima puluh dibayarkan kepada yang tidak menjual. Jika pembeli ingin meminta kesaksian penjual terhadap yang tidak menjual, maka kesaksiannya tidak diterima, karena ia dianggap memiliki kepentingan dalam perkara ini, yaitu untuk membela dirinya dari tuntutan rekannya atas apa yang telah diterimanya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ نَقَلَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ الْمُشْتَرِيَ إِنْ صَدَّقَ الْبَائِعَ فِي دَفْعِ الْأَلْفِ إِلَى الَّذِي لَمْ يَبِعْ أَنَّهُ يَبْرَأُ مِنْ خَمْسِمِائَةٍ كَالْمَسْأَلَةِ الْأُولَى فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي نَقْلِهِ عَنْ هَذَا الْجَوَابِ فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ يَنْسُبُهُ إِلَى الْغَلَطِ وَأَنَّهُ نَقَلَ جَوَابَ محمد بن الحسن فِيهَا لِأَنَّ مِنْ مَذْهَبِهِ أَنَّ إِقْرَارَ الْوَكِيلِ عَلَى مُوَكِّلِهِ مَقْبُولٌ وَلَا يَجِيءُ هَذَا الْجَوَابُ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ لِأَنَّ إِقْرَارَ الْوَكِيلِ عَلَى مُوَكِّلِهِ غَيْرُ مَقْبُولٍ فَكَانَ ذَلِكَ غَلَطًا مِنَ الْمُزَنِيِّ وَسَهْوًا. وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ النَّقْلُ صَحِيحٌ وَالْجَوَابُ مُسْتَقِيمٌ وَتَأْوِيلُهُ أَنَّ الْمُشْتَرِيَ يَبْرَأُ مِنْ خَمْسِمِائَةٍ فِي مُطَالَبَةِ الْبَائِعِ بِهَا لِبُطْلَانِ وَكَالَتِهِ فِيهَا وَلَا يَبْرَأُ مِنْهَا فِي حَقِّ مَنْ لَمْ يَبِعْ فَكَانَ جَوَابُهُ فِي بَرَاءَةِ الْمُشْتَرِي مَحْمُولًا عَلَى هَذَا التَّأْوِيلِ وَالَّذِي عِنْدِي أَنَّ نَقْلَ الْمُزَنِيِّ صَحِيحٌ وَأَنَّ بَرَاءَةَ الْمُشْتَرِي مِنَ النِّصْفِ بَرَاءَةٌ تَامَّةٌ غَيْرَ أَنَّ مَسْأَلَةَ الْمُزَنِيِّ مَحْمُولَةٌ عَلَى الشَّرِيكَيْنِ الْمَأْذُونِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنْ صَاحِبِهِ فَيَبْرَأُ الْمُشْتَرِي بِإِقْرَارِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الشَّرِيكَيْنِ عَلَى صَاحِبِهِ بِالْقَبْضِ سَوَاءٌ كَانَ بَائِعًا أَوْ غير بائع فإن أمكن حمل جوابه على الصحة فلا وجهة لتخطئته فِيهِ كَمَا فَعَلَ أَبُو إِسْحَاقَ وَإِنْ أَمْكَنَ إِبْرَاءُ الْمُشْتَرِي مِنْهَا فَلَا وَجْهَ لِحَمْلِهِ عَلَى إِبْطَالِ الْوَكَالَةِ فِيهَا كَمَا نَقَلَ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Adapun al-Muzani, ia meriwayatkan dalam masalah ini bahwa jika pembeli membenarkan penjual dalam menyerahkan seribu (dirham) kepada orang yang tidak menjual, maka ia terbebas dari lima ratus (dirham) sebagaimana pada masalah pertama. Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai riwayatnya tentang jawaban ini. Abu Ishaq al-Marwazi menisbatkannya sebagai kekeliruan, dan bahwa ia telah meriwayatkan jawaban Muhammad bin al-Hasan dalam masalah ini, karena menurut madzhabnya pengakuan wakil atas nama muwakkilnya diterima, dan jawaban ini tidak sesuai dengan madzhab asy-Syafi‘i, karena pengakuan wakil atas nama muwakkilnya tidak diterima, sehingga hal itu merupakan kekeliruan dan kelalaian dari al-Muzani. Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata, riwayat tersebut benar dan jawabannya lurus, dan takwilnya adalah bahwa pembeli terbebas dari lima ratus (dirham) dalam tuntutan penjual atasnya karena batalnya perwakilan dalam hal itu, dan ia tidak terbebas darinya dalam hak orang yang tidak menjual. Maka jawaban tersebut mengenai kebebasan pembeli ditakwilkan atas makna ini. Menurut pendapat saya, riwayat al-Muzani adalah benar, dan kebebasan pembeli dari setengah (harga) adalah kebebasan yang sempurna, hanya saja masalah al-Muzani ditakwilkan pada dua orang sekutu yang masing-masing diberi izin oleh pasangannya, sehingga pembeli terbebas dengan pengakuan masing-masing sekutu atas pasangannya dalam hal penerimaan, baik ia penjual maupun bukan penjual. Jika memungkinkan menakwilkan jawabannya sebagai benar, maka tidak ada alasan untuk menyalahkannya sebagaimana dilakukan oleh Abu Ishaq. Dan jika memungkinkan pembeli dibebaskan darinya, maka tidak ada alasan untuk menakwilkannya sebagai pembatalan perwakilan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Hurairah. Allah lebih mengetahui mana yang benar.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الْمُزَنِيُّ رضي الله عنه: ” وَإِذَا كَانَ الْعَبْدُ بَيْنَ رَجُلَيْنِ فَغَصَبَ رَجُلٌ حِصَّةَ أَحَدِهِمَا ثُمَّ إِنَّ الْغَاصِبَ وَالشَّرِيكَ الْآخَرَ بَاعَا الْعَبْدَ مِنْ رَجُلٍ فَالْبَيْعُ جَائِزٌ فِي نَصِيبِ الشَّرِيكِ الْبَائِعِ وَلَا يَجُوزُ بَيْعُ الْغَاصِبِ وَلَوْ أَجَازَهُ الْمَغْصُوبُ لَمْ يَجُزْ إِلَّا بِتَجْدِيدِ بَيْعٍ فِي مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Jika seorang budak dimiliki bersama oleh dua orang, lalu seseorang merampas bagian salah satu dari keduanya, kemudian si perampas dan sekutu yang lain menjual budak itu kepada seseorang, maka jual beli itu sah pada bagian sekutu yang menjual, dan tidak sah pada bagian si perampas. Jika pemilik yang dirampas merelakannya, maka tidak sah kecuali dengan akad jual beli baru, menurut makna pendapat asy-Syafi‘i. Dan hanya kepada Allah pertolongan dimohon.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا كَانَ عَبْدٌ مُشْتَرَكٌ بَيْنَ نَفْسَيْنِ غَصَبَ رَجُلٌ حِصَّةَ أَحَدِهِمَا ثُمَّ اتَّفَقَ الْغَاصِبُ وَالشَّرِيكُ الْآخَرُ عَلَى بَيْعِ الْعَبْدِ صَفْقَةً عَلَى رَجُلٍ كَانَ الْبَيْعُ فِي الْحِصَّةِ الْمَغْصُوبَةِ بَاطِلًا لِأَنَّهُ بَاعَهَا فِيمَنْ لَا يَسْتَحِقُّ بَيْعَهَا بِمِلْكٍ وَلَا نِيَابَةٍ فَلَوْ أَجَازَهَا الْمَالِكُ لَمْ يَصِحَّ الْبَيْعُ فِيهَا إِلَّا بِتَجْدِيدِ عَقْدٍ عَلَيْهَا لِأَنَّ الْعَقْدَ إِذَا وَقَعَ فَاسِدًا لَمْ يَصِحَّ إِلَّا بِالْإِجَازَةِ وَأَمَّا الْبَيْعُ فِي حِصَّةِ الشَّرِيكِ الْآخَرِ فَجَائِزٌ قَوْلًا وَاحِدًا وَلَا يَخْرُجُ عَلَى تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ لِأَنَّ الْعَقْدَ مِنَ الِاثْنَيْنِ فِي حُكْمِ الْعَقْدِ بَيْنَ الْمُنْفَرِدَيْنِ وَإِذَا انْفَرَدَ الْعَقْدُ إِنْ لَمْ يَكُنْ فَسَادُ أَحَدِهِمَا مُوجِبًا لِفَسَادِ الْآخَرِ وَلَكِنْ لَوْ أَنَّ الْغَاصِبَ وَكَّلَ الشَّرِيكَ فِي بَيْعِةٍ فَانْفَرَدَ الشَّرِيكُ فِي بَيْعِهِ أَوْ كَانَ الشَّرِيكُ قَدْ وَكَّلَ الْغَاصِبَ فِي بَيْعِ حِصَّتِهِ فَانْفَرَدَ الْغَاصِبُ بِبَيْعِ جَمِيعِهِ كَانَ الْبَيْعُ فِي الْحِصَّةِ الْمَغْصُوبَةِ بَاطِلًا وَهَلْ يَبْطُلُ فِي حِصَّةِ الشَّرِيكِ الْمَمْلُوكَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, jika ada seorang budak yang dimiliki bersama oleh dua orang, lalu seseorang merampas bagian salah satu dari keduanya, kemudian si perampas dan sekutu yang lain sepakat menjual budak itu dalam satu transaksi kepada seseorang, maka jual beli pada bagian yang dirampas adalah batal karena ia menjual sesuatu yang bukan haknya, baik karena kepemilikan maupun perwakilan. Jika pemilik yang dirampas merelakannya, maka jual beli pada bagian itu tidak sah kecuali dengan akad baru, karena jika akad terjadi dalam keadaan rusak, maka tidak sah kecuali dengan persetujuan (ijazah). Adapun jual beli pada bagian sekutu yang lain maka sah menurut satu pendapat, dan tidak termasuk dalam pembahasan pemisahan transaksi, karena akad dari dua orang dalam hukum akad seperti akad dari dua orang yang berdiri sendiri. Jika akad berdiri sendiri, maka kerusakan salah satunya tidak menyebabkan rusaknya yang lain. Namun, jika si perampas mewakilkan sekutunya untuk menjual, lalu sekutu itu sendiri yang menjual, atau sekutu mewakilkan si perampas untuk menjual bagiannya, lalu si perampas sendiri yang menjual seluruhnya, maka jual beli pada bagian yang dirampas adalah batal. Apakah batal pula pada bagian sekutu yang dimiliki? Ada dua pendapat dalam masalah pemisahan transaksi. Allah lebih mengetahui mana yang benar.

(Kitab al-Wakālah / Kitab Perwakilan)

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنستم منهم رشدا} الآية فأمر بحفظ أموالهم حتى يؤنس منهم الرشد وهو عند الشافعي أن يكون بعد البلوغ مصلحا لماله عدلا في دينه وقال تَعَالَى {فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هو فليملل وليه بالعدل} ووليه عند الشافعي هو القيم بماله (قال المزني) فإذا جاز أن يقوم بماله بتوصية أبيه بذلك إليه وأبوه غير مالك كان أن يقوم فيه بتوكيل مالكه أجوز وقد وكل علي بن أبي طالب رضي الله عنه عقيلا (قال المزني) وذكر عنه أنه قال هذا عَقِيلٌ مَا قُضِيَ عَلَيْهِ فَعَلَيَّ وَمَا قُضِيَ لَهُ فَلِي (قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَلَا أَحْسَبُهُ كَانَ يوكله إلا عِنْدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَلَعَلَّهُ عِنْدَ أَبِي بكر رضي الله عنهما ووكل أيضا عنه عبد الله ابن جعفر عِنْدَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وعلي حاضر فقبل ذلك عثمان “.

Al-Muzani raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai apabila mereka telah cukup umur untuk nikah, maka jika kamu telah melihat pada mereka kecerdasan (rasyad)} (QS. an-Nisā’: 6). Maka Allah memerintahkan untuk menjaga harta mereka sampai tampak dari mereka kecerdasan, dan menurut asy-Syāfi‘ī, kecerdasan itu adalah setelah baligh, ia memperbaiki hartanya dan adil dalam agamanya. Allah Ta‘ālā juga berfirman: {Jika orang yang berutang itu kurang akal atau lemah atau tidak mampu menulis sendiri, maka walinya hendaklah menuliskannya dengan adil} (QS. al-Baqarah: 282). Menurut asy-Syāfi‘ī, walinya adalah pengelola hartanya.” (Al-Muzani berkata:) “Jika boleh seseorang mengelola hartanya karena wasiat ayahnya kepadanya, padahal ayahnya bukan pemilik harta, maka lebih boleh lagi jika ia mengelola harta itu atas dasar perwakilan dari pemiliknya. Ali bin Abi Thalib raḍiyallāhu ‘anhu pernah mewakilkan kepada ‘Aqīl.” (Al-Muzani berkata:) “Diriwayatkan darinya bahwa ia berkata: ‘Ini ‘Aqīl, apa pun yang diputuskan atasnya maka menjadi tanggunganku, dan apa pun yang diputuskan untuknya maka menjadi milikku.’ (Asy-Syāfi‘ī berkata:) Aku tidak menduga ia mewakilkan kecuali di hadapan ‘Umar bin al-Khaththāb, dan mungkin juga di hadapan Abū Bakr raḍiyallāhu ‘anhumā. Abdullah bin Ja‘far juga pernah diwakilkan olehnya di hadapan ‘Utsmān bin ‘Affān raḍiyallāhu ‘anhu, dan Ali hadir saat itu, lalu ‘Utsmān menerima hal tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Māwardī berkata: “Ini benar.”

وَالْأَصْلُ فِي جَوَازِ الْوَكَالَةِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْوِفَاقُ وَالْعِبْرَةُ فَأَمَّا الْكِتَابُ فَهُوَ مَا اسْتَشْهَدَ بِهِ الْمُزَنِيُّ مِنَ الْآيَتَيْنِ وَهُوَ قَوْله تَعَالَى: {وَابْتَلُوا الْيَتَامَى} [النساء: 6] .

Dasar kebolehan wakālah (perwakilan) adalah al-Kitāb (al-Qur’an), as-Sunnah, ijmā‘, dan pertimbangan (‘ibrah). Adapun dalil dari al-Kitāb adalah apa yang dijadikan dalil oleh al-Muzani dari dua ayat, yaitu firman Allah Ta‘ālā: {Dan ujilah anak-anak yatim itu} (QS. an-Nisā’: 6).

وَالثَّانِيَةُ قَوْله تَعَالَى: {فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ} [البقرة: 282] وَوَجْهُ الدَّلَالَةِ مِنْهَا أَنَّهُ لَمَّا جَازَ نَظَرُ الْأَوْلِيَاءِ وَنَظَرُهُمْ إِنَّمَا يَكُونُ بِتَوْصِيَةِ أَبٍ أَوْ تَوْلِيَةِ حَاكِمٍ وَهُمَا لَا يَمْلِكَانِ كَانَ تَوْكِيلُ الْمَالِكِ فِي مِلْكِهِ أَجْوَزَ.

Dan ayat kedua adalah firman Allah Ta‘ālā: {Jika orang yang berutang itu kurang akal atau lemah atau tidak mampu menulis sendiri, maka walinya hendaklah menuliskannya dengan adil} (QS. al-Baqarah: 282). Makna dalil dari ayat ini adalah, ketika diperbolehkan wali bertindak (mengurus), dan tindakan mereka itu hanya terjadi karena wasiat ayah atau pengangkatan hakim, padahal keduanya bukan pemilik harta, maka perwakilan dari pemilik harta dalam hartanya tentu lebih boleh.

وَمِنْهُ قَوْله تَعَالَى: {فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ} [الكهف: 19] فلما أضاف الورق إلى جميعهم رجل لَهُمُ اسْتِنَابَةَ أَحَدِهِمْ دَلَّ عَلَى جَوَازِ الْوَكَالَةِ وَصِحَّةِ الِاسْتِنَابَةِ وَفِي قَوْله تَعَالَى: {فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا} [الكهف: 19] ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ.

Termasuk juga firman Allah Ta‘ālā: {Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah ia mencari makanan yang lebih baik, lalu hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut} (QS. al-Kahfi: 19). Ketika Allah menisbatkan uang perak itu kepada mereka semua, lalu salah seorang dari mereka diutus sebagai wakil, hal ini menunjukkan bolehnya wakālah dan sahnya perwakilan. Dalam firman-Nya: {hendaklah ia mencari makanan yang lebih baik} (QS. al-Kahfi: 19) terdapat tiga tafsiran.

أَحَدُهَا: أَنَّهَا أَكْثَرُ طَعَامًا وَهَذَا قَوْلُ عِكْرِمَةَ.

Pertama: Maksudnya adalah makanan yang lebih banyak, dan ini adalah pendapat ‘Ikrimah.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا أَحَلُّ طَعَامًا وَهَذَا قَوْلُ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ.

Kedua: Maksudnya adalah makanan yang lebih halal, dan ini adalah pendapat Sa‘īd bin Jubair.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهَا خَيْرٌ طَعَامًا وَهَذَا قَوْلُ قَتَادَةَ.

Ketiga: Maksudnya adalah makanan yang lebih baik, dan ini adalah pendapat Qatādah.

وَفِي قَوْلِهِ فَلْيَتَلَطَّفْ تَأْوِيلَانِ:

Dalam firman-Nya {hendaklah ia berlaku lemah-lembut} terdapat dua tafsiran:

أَحَدُهُمَا: فَلْيَسْتَرْخِصْ.

Pertama: Hendaklah ia menawar harga.

وَالثَّانِي: وَلِيَتَلَطَّفَ فِي إِخْفَاءِ أَمْرِكُمْ فَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا.

Kedua: Hendaklah ia berhati-hati dalam menyembunyikan urusan kalian, sehingga tidak seorang pun mengetahui kalian.

وَمِنْهُ قَوْله تَعَالَى حِكَايَةً عَنْ قَوْلِ يُوسُفَ لِلْعَزِيزِ: {اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ} [يوسف: 55] أَيْ وَكِّلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ.

Termasuk juga firman Allah Ta‘ālā yang mengisahkan ucapan Yusuf kepada al-‘Azīz: {Jadikanlah aku bendahara negeri (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan} (QS. Yūsuf: 55), maksudnya: “Wakilkanlah aku atas perbendaharaan negeri.”

وَمِنْهُ قَوْله تَعَالَى: {فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا} [النساء:] وَالْحَكَمُ وَكِيلٌ وَأَمَّا السُّنَّةُ فَمَا رَوَاهُ قَتَادَةُ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا نَكَحَ الْوَلِيَّانِ فَالْأَوَّلُ أَحَقُّ وَإِذَا بَاعَ الْمُجِيزَانِ فَالْأَوَّلُ أَحَقُّ “.

Termasuk juga firman Allah Ta‘ālā: {Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan} (QS. an-Nisā’), dan hakam adalah wakil. Adapun dalil dari as-Sunnah adalah riwayat Qatādah dari al-Hasan dari ‘Uqbah bin ‘Āmir bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika ada dua wali menikahkan, maka yang pertama lebih berhak; dan jika ada dua orang yang memberi izin dalam jual beli, maka yang pertama lebih berhak.”

قَالَ الشَّافِعِيُّ: فِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ الْوَكَالَةَ فِي النِّكَاحِ وَالْبَيْعِ جَائِزَةٌ وَرَوَى شَبِيبُ بْنُ عُرْوَةَ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ عُرْوَةَ الْبَارِقِيِّ قَالَ أَعْطَاهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دِينَارًا لِيَشْتَرِيَ بِهِ أُضْحِيَّةً فَاشْتَرَى شَاتَيْنِ وَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ وَأَتَاهُ بِشَاةٍ وَدِينَارٍ فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ فَكَانَ لَوِ اشْتَرَى تُرَابًا لَرَبِحَ فِيهِ.

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa wakālah dalam nikah dan jual beli itu boleh.” Syabīb bin ‘Urwah meriwayatkan dari al-Hasan dari ‘Urwah al-Bāriqī, ia berkata: “Rasulullah ﷺ memberinya satu dinar untuk membeli hewan kurban, lalu ia membeli dua ekor kambing dan menjual salah satunya seharga satu dinar, kemudian ia datang kepada Rasulullah ﷺ dengan membawa seekor kambing dan satu dinar. Maka Rasulullah ﷺ mendoakannya agar diberkahi dalam jual belinya, sehingga seandainya ia membeli tanah pun, ia akan mendapat keuntungan darinya.”

وَرَوَى أَبُو الْحَصِينِ عَنْ شَيْخٍ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعَثَ مَعَهُ بِدِينَارٍ لِيَشْتَرِيَ لَهُ أُضْحِيَّةً فَاشْتَرَاهَا بِدِينَارٍ وَبَاعَهَا بِدِينَارَيْنِ فَرَجَعَ فَاشْتَرَى أُضْحِيَّةً بِدِينَارٍ وَجَاءَ بِدِينَارٍ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَتَصَدَّقَ بِهِ وَدَعَا لَهُ أَنْ يُبَارَكَ لَهُ فِي تِجَارَتِهِ.

Abu al-Ḥuṣain meriwayatkan dari seorang syekh dari penduduk Madinah, dari Ḥakīm bin Ḥizām, bahwa Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- mengutusnya dengan membawa satu dinar untuk membeli hewan kurban untuk beliau. Lalu ia membelinya dengan satu dinar, kemudian menjualnya dengan dua dinar. Ia kembali dan membeli hewan kurban lain dengan satu dinar, lalu membawa satu dinar kepada Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-. Maka beliau mensedekahkannya dan mendoakannya agar diberkahi dalam perdagangannya.

وَرَوَى أَبُو نُعَيْمٍ وَهْبُ بْنُ كَيْسَانَ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: أَرَدْتُ الْخُرُوجَ إِلَى خَيْبَرَ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقُلْتُ: إِنِّي أُرِيدُ الْخُرُوجَ إِلَى خَيْبَرَ فَقَالَ: إِذَا أَتَيْتَ وَكِيلِي فَخُذْ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسْقًا فَإِنِ ابْتَغَى مِنْكَ آيَةً فَضَعْ يَدَكَ على ترقوته.

Abu Nu‘aim meriwayatkan dari Wahb bin Kaysān, dari Jābir, ia berkata: Aku ingin pergi ke Khaybar, maka aku mendatangi Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- dan berkata: “Aku ingin pergi ke Khaybar.” Beliau bersabda: “Jika engkau mendatangi wakilku, ambillah darinya lima belas wasq. Jika ia meminta tanda darimu, letakkan tanganmu di tulang selangkanya.”

وَرُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَكَّلَ أَبَا رَافِعٍ فِي تَزْوِيجِ مَيْمُونَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ. وَوَكَّلَ عَمْرَو بْنَ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيَّ فِي تَزْوِيجِ أُمِّ حَبِيبَةَ بِنْتِ أَبِي سُفْيَانَ.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- mewakilkan Abu Rāfi‘ dalam pernikahan Maimūnah binti al-Ḥārith. Dan beliau mewakilkan ‘Amr bin Umayyah al-Ḍamrī dalam pernikahan Ummu Ḥabībah binti Abī Sufyān.

وَرُوِيَ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَكَّلَ أَخَاهُ عَقِيلًا وَقَالَ إِنَّ لِلْخُصُومَاتِ قُحَمًا وَإِنَّهَا لَتَخْلُفُ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُهَا وَإِنِّي إِنْ حضرت خفت وأن أغضب إن غَضِبْتُ خِفْتُ أَلَّا أَقُولَ حَقًّا وَقَدْ وَكَّلْتُ أَخِي عَقِيلًا فَمَا قُضِيَ عَلَيْهِ فَعَلَيَّ وَمَا قُضِيَ لَهُ فَلِي.

Diriwayatkan bahwa ‘Alī bin Abī Ṭālib ‘alaihis salām mewakilkan saudaranya, ‘Aqīl, dan berkata: “Sesungguhnya dalam perselisihan itu terdapat bahaya, dan ia sering berubah-ubah, dan setan hadir di dalamnya. Jika aku hadir, aku khawatir akan marah, dan jika aku marah, aku khawatir tidak mengatakan yang benar. Maka aku telah mewakilkan saudaraku ‘Aqīl. Apa pun yang diputuskan atasnya, maka berlaku atasku, dan apa pun yang diputuskan untuknya, maka itu untukku.”

قَالَ الشَّافِعِيُّ وَلَا أَحْسَبُهُ كَانَ تَوْكِيلُهُ إِلَّا عِنْدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَلَعَلَّ عِنْدَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ.

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Aku tidak mengira bahwa perwakilannya (‘Alī) itu kecuali pada masa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb, dan barangkali juga pada masa Abū Bakr aṣ-Ṣiddīq.”

وَرُوِيَ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَّلَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَعْفَرٍ عِنْدَ عُثْمَانَ لَمَّا كَبُرَ عَقِيلٌ فِي شِرْبٍ كَانَ يُنَازِعُ طَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ فَرَكِبَ عُثْمَانُ فِي نَفَرٍ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ إِلَى الْمَوْضِعِ الَّذِي كَانَا يَتَحَاكَمَانِ فِيهِ حَتَّى أَصْلَحَ بَيْنَهُمَا فِي الشِّرْبِ فَصَارَ هَذَا إِجْمَاعًا مِنْهُمْ عَلَى جَوَازِ الْوَكَالَةِ.

Diriwayatkan bahwa ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhu mewakilkan ‘Abdullāh bin Ja‘far pada masa ‘Utsmān, ketika ‘Aqīl telah tua, dalam perkara hak pengairan yang diperselisihkan dengan Ṭalḥah bin ‘Ubaidillāh. Maka ‘Utsmān bersama sekelompok sahabat raḍiyallāhu ‘anhum pergi ke tempat di mana keduanya bersengketa, hingga beliau mendamaikan keduanya dalam perkara pengairan tersebut. Maka hal ini menjadi ijmā‘ dari mereka atas bolehnya wakālah (perwakilan).

وَلِأَنَّ الْوَكَالَةَ مَعُونَةٌ إِمَّا لِمَنْ أَحَبَّ صِيَانَةَ نَفْسِهِ عَنِ الْبِذْلَةِ فِيهَا وَإِمَّا لِمَنْ عَجَزَ عَنِ الْقِيَامِ بِهَا وَكِلَا الْأَمْرَيْنِ مُبَاحٌ وَحَاجَةُ النَّاسِ إِلَيْهِ أَشَدُّ مَاسَّةً.

Karena wakālah merupakan bentuk bantuan, baik bagi orang yang ingin menjaga dirinya dari keterlibatan langsung di dalamnya, maupun bagi orang yang tidak mampu melakukannya sendiri. Kedua hal tersebut dibolehkan, dan kebutuhan manusia terhadapnya sangat mendesak.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الْوَكَالَةِ فَالْوَكَالَةُ فِي اللُّغَةِ اسْمٌ يَنْطَلِقُ عَلَى الْحِفْظِ وَالْمُرَاعَاةِ لِمَا عَلَى الْوَكِيلِ مِنْ حفظ كل فِيهِ وَمِنْهُ قَوْله تَعَالَى: {أَمْ مَنْ يَكُونُ عَلَيْهِمْ وَكِيلا} [النساء: 39] أَيْ حَفِيظًا.

Jika telah tetap kebolehan wakālah, maka secara bahasa, wakālah adalah nama yang digunakan untuk makna menjaga dan memperhatikan, karena seorang wakil berkewajiban menjaga segala sesuatu yang diwakilkan kepadanya. Di antaranya adalah firman Allah Ta‘ālā: {Atau siapakah yang menjadi wakil atas mereka?} [an-Nisā’: 39], maksudnya adalah penjaga.

وَقَالَ تَعَالَى: {حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ} [آل عمران: 173] أَيِ الْحَفِيظُ.

Dan firman Allah Ta‘ālā: {Cukuplah Allah bagi kami dan Dia sebaik-baik wakil} [Āli ‘Imrān: 173], maksudnya adalah penjaga.

وَلِأَنَّ الْوَكَالَةَ فِي الشَّرْعِ: إِنَّمَا هِيَ إِقَامَةُ الْوَكِيلِ مَقَامَ مُوَكِّلِهِ فِي الْعَمَلِ الْمَأْذُونِ فيه.

Adapun secara syar‘i, wakālah adalah menempatkan seorang wakil pada posisi muwakkilnya dalam melakukan pekerjaan yang diizinkan.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” فَلِلنَّاسِ أَنْ يُوَكِّلُوا فِي أَمْوَالِهِمْ وَطَلَبِ حُقُوقِهِمْ وَخُصُومَاتِهِمْ وَيُوصُوا بِتَرِكَاتِهِمْ “.

Al-Muzanī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Maka manusia boleh mewakilkan urusan harta mereka, menuntut hak-hak mereka, perselisihan mereka, dan berwasiat atas harta warisan mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Māwardī berkata: “Dan ini benar.”

وَجُمْلَةُ الْوَكَالَةِ أَنَّهَا لَا تَتِمُّ إِلَّا بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: – بِمُوَكِّلٍ، وَوَكِيلٍ، وَمُوَكَّلٍ فِيهِ.

Secara umum, wakālah tidak sah kecuali dengan tiga hal: muwakkil (pemberi kuasa), wakil (penerima kuasa), dan perkara yang diwakilkan.

فَبَدَأَ الْمُزَنِيُّ بِمَا يَصِحُّ فِيهِ التَّوَكُّلُ، فَيَبْدَأُ بِتَفْضِيلِهِ، ثُمَّ يَذْكُرُ الْفَصْلَيْنِ الْآخَرَيْنِ بَعْدَهُ، حَيْثُ ذَكَرَ.

Al-Muzanī memulai dengan perkara yang sah untuk diwakilkan, maka ia akan memulai dengan penjelasannya, kemudian menyebutkan dua bagian lainnya setelahnya, sebagaimana telah disebutkan.

وَجُمْلَةُ الْأَعْمَالِ أَنَّهَا تَنْقَسِمُ أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ: –

Secara umum, pekerjaan-pekerjaan itu terbagi menjadi empat bagian:

قِسْمٌ يَجُوزُ فِيهِ التَّوْكِيلُ مَعَ الْعَجْزِ وَالْقُدْرَةِ.

Bagian yang boleh diwakilkan baik dalam keadaan mampu maupun tidak mampu.

وَقِسْمٌ لَا يَجُوزُ التَّوْكِيلُ فِيهِ، مَعَ الْعَجْزِ وَالْقُدْرَةِ.

Bagian yang tidak boleh diwakilkan, baik dalam keadaan mampu maupun tidak mampu.

وَقِسْمٌ يَجُوزُ التَّوْكِيلُ فِيهِ مَعَ الْعَجْزِ، وَلَا يَجُوزُ مَعَ الْقُدْرَةِ.

Bagian yang boleh diwakilkan dalam keadaan tidak mampu, namun tidak boleh dalam keadaan mampu.

وَقِسْمٌ لَا يَجُوزُ التَّوْكِيلُ فِيهِ مَعَ الْقُدْرَةِ، وَاخْتَلَفُوا فِي جَوَازِ التَّوْكِيلِ فِيهِ مَعَ الْعَجْزِ.

Bagian yang tidak boleh diwakilkan dalam keadaan mampu, dan para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya dalam keadaan tidak mampu.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ، وَهُوَ مَا يَجُوزُ التَّوْكِيلُ فِيهِ، مَعَ الْقُدْرَةِ، وَالْعَجْزِ فَهُوَ مَا كَانَ مِنْ حُقُوقِ الْأَمْوَالِ، أَوْ مَا يَجْرِي مَجْرَى الْأَمْوَالِ.

Adapun bagian pertama, yaitu perkara yang boleh diwakilkan baik dalam keadaan mampu maupun tidak mampu, adalah segala sesuatu yang termasuk hak-hak harta atau yang diperlakukan seperti harta.

فَأَمَّا حُقُوقُ الْأَمْوَالِ فَمِنْهَا مَا كَانَ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى كَالزَّكَوَاتِ وَالْكَفَّارَاتِ يَجُوزُ التَّوْكِيلُ فِي إِخْرَاجِهَا، وَتَفْرِقَتِهَا.

Adapun hak-hak harta, di antaranya adalah hak-hak Allah Ta‘ala seperti zakat dan kafarat, maka boleh mewakilkan dalam mengeluarkan dan mendistribusikannya.

وَمِنْهَا مَا كَانَ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ فَتَارَةً تَكُونُ عَقْدًا كَالْبَيْعِ وَالْإِجَارَةِ وَتَارَةً تَكُونُ نَقْدًا كَالْقَرْضِ وَالْحَوَالَةِ وَتَارَةً يَكُونُ رِفْقًا كَالْعَارِيَّةِ وَالْوَدِيعَةِ، وتارة يكون تركا كالإبراء والمسامحة، وتارة يكون أخذا كالقبض والمطالبة وتارة يكون فضلا كالشركة والمضاربة وتارة يكون عَمَلًا كَالْبِنَاءِ وَالْعِمَارَةِ فَحُقُوقُ الْأَمْوَالِ تَتَنَوَّعُ عَلَى هَذِهِ الْأَحْوَالِ السَّبْعِ وَالتَّوْكِيلُ فِي جَمِيعِهَا جَائِزٌ.

Dan di antaranya adalah hak-hak manusia, terkadang berupa akad seperti jual beli dan sewa-menyewa, terkadang berupa pembayaran seperti utang piutang dan hawalah, terkadang berupa kebaikan seperti pinjam-meminjam dan titipan, terkadang berupa pelepasan seperti pembebasan utang dan saling memaafkan, terkadang berupa pengambilan seperti menerima dan menuntut, terkadang berupa keutamaan seperti syirkah dan mudharabah, dan terkadang berupa pekerjaan seperti membangun dan memperbaiki bangunan. Maka hak-hak harta terbagi dalam tujuh keadaan ini, dan dalam semuanya boleh dilakukan perwakilan (wakalah).

وأما ما يجري مجرى الأموال فتارة يكون عقدا كالنكاح والرجعة وتارة يكون حلا كالطلاق والعتق، وتارة يكون اسْتِيثَاقًا كَإِثْبَاتِ الْحُجَجِ وَالْبَيِّنَاتِ وَالدَّعَاوَى وَالْمُخَاصَمَاتِ فَهَذَا كُلُّهُ يَجُوزُ فِيهِ التَّوْكِيلُ إِلَّا اسْتِيفَاءَ الْحُدُودِ وَإِثْبَاتَهَا عَلَى مَا سَيَأْتِي بَيَانُهُ.

Adapun yang diperlakukan seperti harta, terkadang berupa akad seperti nikah dan ruju‘, terkadang berupa pelepasan seperti talak dan memerdekakan budak, dan terkadang berupa penguatan seperti penetapan bukti, kesaksian, gugatan, dan persengketaan. Semua ini boleh diwakilkan kecuali pelaksanaan dan penetapan hudud, sebagaimana akan dijelaskan nanti.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ مَا لَا يَجُوزُ التَّوْكِيلُ فِيهِ مَعَ الْقُدْرَةِ وَالْعَجْزِ، فَهُوَ مَا كَانَ مِنَ الْعِبَادَاتِ الَّتِي وُضِعَتْ إِخْلَاصًا كَالصَّلَاةِ أَوْ زَجْرًا كَالْأَيْمَانِ وَاللِّعَانِ.

Adapun bagian kedua, yaitu perkara yang tidak boleh diwakilkan baik dalam keadaan mampu maupun tidak mampu, adalah ibadah-ibadah yang ditetapkan untuk keikhlasan seperti shalat, atau sebagai pencegah seperti sumpah dan li‘an.

فَأَمَّا الطَّهَارَةُ فَتَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:

Adapun thaharah (bersuci) terbagi menjadi tiga bagian:

قِسْمٌ يَجُوزُ فِيهِ التَّوْكِيلُ وَالنِّيَابَةُ وَهُوَ إِزَالَةُ النَّجَاسَةِ.

Bagian yang boleh diwakilkan dan digantikan, yaitu menghilangkan najis.

وَقِسْمٌ لَا يَجُوزُ فِيهِ التَّوْكِيلُ وَهُوَ رَفْعُ الْحَدَثِ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُ الْإِخْلَاصُ وَالْعَمَلُ بِالنِّيَّةِ فَلَوْ أَنَّ رَجُلًا أُمِرَ عَلَى أَعْضَاءِ رَجُلٍ بِأَمْرٍ وَنَوَى الْمَغْسُولُ أَعْضَاؤُهُ الطَّهَارَةَ لِلصَّلَاةِ جَازَ وَلَمْ تَكُنْ هَذِهِ وَكَالَةً وَكَانَتْ مَعُونَةً كَمَا يُعَاوِنُهُ بِاسْتِقَاءِ الْمَاءِ وَبِإِعَارَةِ ثَوْبٍ.

Bagian yang tidak boleh diwakilkan, yaitu mengangkat hadats, karena tujuannya adalah keikhlasan dan pelaksanaan dengan niat. Jika seseorang memerintahkan orang lain untuk membasuh anggota tubuhnya dan orang yang dibasuh anggota tubuhnya berniat bersuci untuk shalat, maka itu sah dan tidak dianggap sebagai wakalah, melainkan bantuan, seperti membantunya mengambil air atau meminjamkan pakaian.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مِنَ الطَّهَارَةِ مَا سَقَطَ فَرْضُهُ بِفِعْلِ الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ وَكَالَةً وَهُوَ غُسْلُ الْمَيِّتِ وَهُوَ فَرْضٌ عَلَى الْكِفَايَةِ.

Bagian ketiga dari thaharah adalah yang gugur kewajibannya dengan dilakukan oleh orang lain tanpa harus berupa wakalah, yaitu memandikan jenazah, yang hukumnya fardhu kifayah.

فَإِذَا فَعَلَهُ أَحَدُهُمْ أَسْقَطَ بِهِ الْفَرْضَ عَنْ غَيْرِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ وَكِيلًا. وَمِنْ هَذَا القسم اختيار الزَّوْجَاتِ فِي مَنْ أَسْلَمَ عَنْ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ نِسْوَةٍ لَا تَصِحُّ فِيهِ الْوَكَالَةُ لِأَنَّهُ مَوْقُوفٌ عَلَى شَهَوَاتِ النُّفُوسِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika salah seorang telah melakukannya, maka gugurlah kewajiban dari yang lain meskipun bukan sebagai wakil. Termasuk dalam bagian ini adalah memilih istri bagi orang yang masuk Islam dan memiliki lebih dari empat istri; dalam hal ini tidak sah dilakukan wakalah karena tergantung pada keinginan jiwa. Dan Allah lebih mengetahui.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا يَجُوزُ فِيهِ التَّوْكِيلُ مَعَ الْعَجْزِ وَلَا يَجُوزُ مَعَ الْقُدْرَةِ وَهُوَ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ وَقَدْ مَضَى مِنْ حُكْمِ النِّيَابَةِ فِيهِمَا مَا يُغْنِي عَنْ زِيَادَةٍ فِيهِ وَيَكُونُ رَكْعَتَيِ الطَّوَافِ يَفْعَلُهَا النَّائِبُ تَبَعًا لِأَرْكَانِ الْحَجِّ وَإِنْ كَانَتِ الصَّلَاةُ مِمَّا لَا تَصِحُّ فِيهَا النِّيَابَةُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Bagian ketiga adalah perkara yang boleh diwakilkan ketika tidak mampu, namun tidak boleh ketika mampu, yaitu haji dan umrah. Hukum perwakilan dalam keduanya telah dijelaskan sebelumnya sehingga tidak perlu penjelasan tambahan. Adapun dua rakaat thawaf, maka dilakukan oleh wakil sebagai bagian dari rukun haji, meskipun shalat itu sendiri tidak sah dilakukan secara perwakilan. Dan Allah lebih mengetahui.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ وَهُوَ مَا لَا يَجُوزُ التَّوْكِيلُ مَعَ الْقُدْرَةِ وَاخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي جَوَازِ التَّوْكِيلِ فِيهِ مَعَ الْعَجْزِ فَهُوَ الصِّيَامُ فَإِنَّ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْفَرْضُ حَيًّا لَمْ يَجُزِ الصِّيَامُ عَنْهُ سَوَاءٌ كَانَ عَاجِزًا أَوْ مُطِيقًا، وَإِنْ كَانَ مَيِّتًا كَانَ الشَّافِعِيُّ يَقُولُ فِي الْقَدِيمِ يَجُوزُ الصِّيَامُ عَنْهُ لخير رُوِيَ فِيهِ وَرَجَعَ عَنْهُ فِي الْجَدِيدِ، وَمَنَعَ مِنَ الصِّيَامِ عَنْهُ لِضَعْفِ الْخَبَرِ وَاحْتِمَالِ التَّأْوِيلِ فِيهِ إِنْ صَحَّ.

Adapun bagian keempat, yaitu perkara yang tidak boleh diwakilkan ketika mampu, dan terdapat perbedaan pendapat tentang bolehnya diwakilkan ketika tidak mampu, yaitu puasa. Barang siapa yang wajib menunaikan puasa ketika masih hidup, maka tidak sah puasa dilakukan atas namanya, baik ia mampu maupun tidak mampu. Namun jika ia telah meninggal dunia, menurut pendapat lama Imam Syafi‘i, boleh dilakukan puasa atas namanya berdasarkan hadits yang diriwayatkan tentang hal itu, namun beliau menarik pendapat tersebut dalam pendapat barunya dan melarang puasa atas namanya karena kelemahan hadits tersebut dan kemungkinan adanya penafsiran jika memang sah.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَلَا بُدَّ فِي عَقْدِ الْوَكَالَةِ مِنْ لَفْظٍ تَنْعَقِدُ بِهِ الْوَكَالَةُ وَأَنْ يَكُونَ مُقَارِنًا لِذِكْرِ مَا وَقَعَتْ فِيهِ الْوَكَالَةُ ثُمَّ قَبُولُ الْوَكَالَةِ فَتَتِمُّ الْوَكَالَةُ بِهَذِهِ الشُّرُوطِ الثَّلَاثَةِ شَرْطَانِ مِنْهَا مِنْ جِهَةِ الْمُوَكِّلِ وَهُمَا: اللَّفْظُ بِالْوَكَالَةِ وَذِكْرُ الْمُوَكَّلِ فِيهِ.

Setelah jelas apa yang telah kami uraikan, maka dalam akad wakalah harus ada lafaz yang dengannya wakalah menjadi sah, dan harus bersamaan dengan penyebutan perkara yang diwakilkan, kemudian diterima oleh wakil. Maka sempurnalah wakalah dengan tiga syarat ini, dua di antaranya dari pihak muwakkil, yaitu: lafaz wakalah dan penyebutan perkara yang diwakilkan.

وَالثَّالِثُ: مِنْ جِهَةِ الْوَكِيلِ وَهُوَ الْقَبُولُ

Ketiga: Dari sisi wakil, yaitu penerimaan.

فَأَمَّا الشَّرْطُ الْأَوَّلُ وَهُوَ لَفْظُ الْعَقْدِ فَيَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: –

Adapun syarat pertama, yaitu lafaz akad, terbagi menjadi tiga bagian:

قِسْمٌ هُوَ صَرِيحُ الْعَقْدِ.

Bagian yang merupakan lafaz akad yang jelas.

وَقِسْمٌ هُوَ مَقْصُودُ الْعَقْدِ.

Bagian yang merupakan maksud dari akad.

وَقِسْمٌ يَخْرُجُ مِنَ الْأَمْرَيْنِ فَلَا يَكُونُ صَرِيحًا وَلَا مَقْصُودًا.

Dan bagian yang keluar dari kedua hal tersebut, sehingga tidak termasuk lafaz yang jelas maupun maksud.

فَأَمَّا صَرِيحُ الْعَقْدِ فَهُوَ أَنْ يَقُولَ قَدْ وَكَّلْتُكَ وَأَنْتَ وَكِيلِي أَوْ قَدْ جَعَلْتُكَ لِي وَكِيلًا فَيَصِحُّ عَقْدُ الْوَكَالَةِ بِهَذَا اللَّفْظِ لِكَوْنِهِ صَرِيحًا فِيهِ لِمَفْهُومِ الْمُرَادِ بِهِ.

Adapun lafaz akad yang jelas adalah ketika seseorang berkata: “Aku telah mewakilkanmu,” atau “Engkau adalah wakilku,” atau “Aku telah menjadikanmu sebagai wakilku.” Maka sah akad wakalah dengan lafaz ini karena ia jelas menunjukkan maksud yang dimaksudkan.

وَأَمَّا مَقْصُودُ الْعَقْدِ فَهُوَ أَنْ يَقُولَ قَدْ أَقَمْتُكَ مَقَامِي أَوْ قَدْ جَعَلْتُكَ نَائِبًا عَنِّي فَيَصِحُّ عَقْدُ الوكالة بهذا اللفظ أيضا لأن هُوَ الْمَقْصُودُ بِاللَّفْظِ، وَالصَّرِيحُ فِيهَا فَكَانَ أَحَقَّ بِصِحَّةِ الْعَقْدِ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ قَدِ اسْتَنَبْتُكَ صَحَّ الْعَقْدُ لِأَنَّ الْوَكَالَةَ نِيَابَةٌ، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ سَأُوَكِّلُكَ لَمْ يَصِحَّ لِأَنَّهُ مُحْتَمَلٌ وَهَكَذَا لَوْ قَالَ أُوَكِّلُكَ لِأَنَّهُ مَوْعِدٌ.

Adapun maksud dari akad adalah ketika seseorang berkata: “Aku telah menempatkanmu di posisiku,” atau “Aku telah menjadikanmu sebagai penggantiku.” Maka sah akad wakalah dengan lafaz ini juga karena itu adalah maksud dari lafaz tersebut, dan lafaz yang jelas dalam hal ini lebih utama untuk mensahkan akad. Demikian pula jika ia berkata: “Aku telah mengangkatmu sebagai penggantiku,” maka sah akadnya karena wakalah adalah perwakilan. Namun, jika ia berkata: “Aku akan mewakilkanmu,” maka tidak sah karena masih mengandung kemungkinan, demikian pula jika ia berkata: “Aku akan menjadikanmu wakil,” karena itu hanya janji.

وَأَمَّا الْخَارِجُ عَنِ الْأَمْرَيْنِ مِنْ صَرِيحٍ وَمَقْصُودٍ فَهُوَ أَنْ يَقُولَ: قَدْ عَوَّلْتُ عَلَيْكَ فَلَا يَصِحُّ عَقْدُ الْوَكَالَةِ لِاحْتِمَالِهِ أَنْ يَكُونَ مُعَوَّلًا عَلَى رَأْيِهِ أَوْ مَعُونَتِهِ أَوْ نِيَابَتِهِ.

Adapun lafaz yang keluar dari kedua hal, baik yang jelas maupun yang dimaksud, adalah jika seseorang berkata: “Aku telah bersandar kepadamu,” maka tidak sah akad wakalah karena masih mengandung kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah bersandar pada pendapatnya, atau bantuannya, atau perwakilannya.

وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: قَدِ اعْتَمَدْتُ عَلَيْكَ أَوِ اسْتَكْفَيْتُ إِلَى مَا جَرَى مَجْرَى ذَلِكَ مِنَ الْأَلْفَاظِ الْمُحْتَمِلَةِ لَا يَصِحُّ الْعَقْدُ بِهَا إِلَّا أَنْ يُضَمَّ إِلَيْهَا أَحَدُ أَلْفَاظِ الْقِسْمَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ فَيَصِحَّ.

Demikian pula jika ia berkata: “Aku telah bergantung kepadamu,” atau “Aku telah mencukupkan diri denganmu,” atau lafaz-lafaz lain yang serupa yang mengandung kemungkinan, maka tidak sah akad dengan lafaz tersebut kecuali jika digabungkan dengan salah satu lafaz dari dua bagian pertama, maka menjadi sah.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الشَّرْطُ الثَّانِي: وَهُوَ ذِكْرُ مَا وُكِّلَ فِيهِ فَيَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: –

Adapun syarat kedua, yaitu menyebutkan hal yang diwakilkan, maka terbagi menjadi tiga bagian:

قِسْمٌ يَكُونُ عَامًّا فِي الْأَحْوَالِ كُلِّهَا.

Bagian yang bersifat umum dalam seluruh keadaan.

وَقِسْمٌ يَكُونُ خَاصًّا فِي حَالٍ بِعَيْنِهَا.

Bagian yang bersifat khusus dalam keadaan tertentu.

وَقِسْمٌ يَكُونُ عَامًّا في وجه وخاصا فِي وَجْهٍ.

Bagian yang bersifat umum dari satu sisi dan khusus dari sisi lain.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ الْعَامُّ فِي الْأَحْوَالِ كُلِّهَا فَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ: قَدْ وَكَّلْتُكَ فِي كُلِّ شَيْءٍ أَوْ قَدْ وَكَّلْتُكَ بِكُلِّ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ أَوْ قَدْ وَكَّلْتُكَ فِي فِعْلِ مَا رَأَيْتَهُ صَلَاحًا فِي مَالِي. فَهَذِهِ وَكَالَةٌ بَاطِلَةٌ لِلْجَهْلِ بِهَا وَمُضَادَّةُ الِاحْتِمَالِ فِيهَا لِأَنَّهُ قَدْ يَحْتَمِلُ التَّوْكِيلَ فِي حِفْظِ الْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ وَيَحْتَمِلُ بَيْعَ الْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ وَهُمَا ضِدَّانِ مُتَبَايِنَانِ فَبَطَلَتِ الْوَكَالَةُ مِنْ أَجْلِهِ وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ الْخَاصُّ فِي حَالٍ بِعَيْنِهَا فَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ: قَدْ وَكَّلْتُكَ فِي بَيْعِ هَذَا الْعَبْدِ أَوْ فِي شِرَاءِ هَذِهِ الدَّارِ أَوْ فِي اقْتِضَاءِ هَذَا الدَّيْنِ أَوْ فِي تَثْبِيتِ هَذِهِ الْوَصِيَّةِ أَوْ فِي مُخَاصَمَةِ هَذَا الْمُدَّعِي فَتَصِحُّ الْوَكَالَةُ خُصُوصًا فِي الْمَأْذُونِ فِيهِ دُونَ غَيْرِهِ

Adapun bagian pertama, yaitu yang bersifat umum dalam seluruh keadaan, contohnya adalah jika seseorang berkata: “Aku telah mewakilkanmu dalam segala hal,” atau “Aku telah mewakilkanmu dalam segala perkara kecil dan besar,” atau “Aku telah mewakilkanmu untuk melakukan apa saja yang engkau pandang baik terhadap hartaku.” Maka ini adalah wakalah yang batal karena tidak jelas dan mengandung kemungkinan yang saling bertentangan, karena bisa jadi maksudnya adalah mewakilkan dalam menjaga perkara kecil dan besar, atau mewakilkan dalam menjual perkara kecil dan besar, padahal keduanya adalah dua hal yang bertentangan. Maka batal wakalah karena hal tersebut. Adapun bagian kedua, yaitu yang bersifat khusus dalam keadaan tertentu, contohnya adalah jika seseorang berkata: “Aku telah mewakilkanmu untuk menjual budak ini,” atau “untuk membeli rumah ini,” atau “untuk menagih utang ini,” atau “untuk menetapkan wasiat ini,” atau “untuk menggugat orang yang menuntut ini.” Maka sah wakalah secara khusus dalam hal yang diizinkan saja, tidak untuk selainnya.

وَهَذَا مَا وَافَقَ عَلَيْهِ أَبُو حَنِيفَةَ وَإِنْ خَالَفَ فِي الْوَصِيَّةِ فَإِنَّ أبا حنيفة يَجْعَلُ الْوَصِيَّ فِي شَيْءٍ وَصِيًّا فِي كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يَجْعَلُ الْوَكِيلَ فِي شَيْءٍ وَكِيلًا في كل شيء وعند الشافعي أنهما سواء في أن عملهما مقصور على المأذون فيه دون غيره.

Inilah yang disepakati oleh Abu Hanifah, meskipun beliau berbeda pendapat dalam hal wasiat. Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang diberi wasiat dalam suatu hal menjadi wasiat dalam segala hal, sedangkan wakil dalam suatu hal tidak otomatis menjadi wakil dalam segala hal. Menurut asy-Syafi‘i, keduanya sama saja, yaitu bahwa pekerjaan mereka terbatas pada hal yang diizinkan saja, tidak lebih.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ الْعَامُّ مِنْ وَجْهٍ الْخَاصُّ مِنْ وَجْهٍ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun bagian ketiga, yaitu yang bersifat umum dari satu sisi dan khusus dari sisi lain, maka terbagi menjadi dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يكون خصوصة بجعل العموم معلوما فتصبح فِيهِ الْوَكَالَةُ كَقَوْلِهِ قَدْ وَكَّلْتُكَ فِي بَيْعِ كُلِّ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ مِنْ مَالِي لِأَنَّ تَخْصِيصَ الْبَيْعِ قَدْ جَعَلَ الْمُرَادَ بِعُمُومِ مَالِهِ مَعْلُومًا.

Pertama: Khusus dengan menjadikan keumuman itu diketahui, maka sah wakalah di dalamnya, seperti ucapannya: “Aku telah mewakilkanmu untuk menjual segala sesuatu yang kecil dan besar dari hartaku,” karena pembatasan pada penjualan telah menjadikan maksud dari keumuman hartanya menjadi jelas.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَصِيرَ الْعُمُومُ بِمَا ذَكَرَهُ مِنَ التَّخْصِيصِ مَعْلُومًا فَالْوَكَالَةُ فِيهِ بَاطِلَةٌ كَقَوْلِهِ قَدْ وَكَّلْتُكَ فِي شِرَى مَا رَأَيْتَ بِكُلِّ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ مِنْ مَالِي لِأَنَّ جِنْسَ مَا يَشْتَرِيهِ بِمَالِهِ لَا يَصِيرُ مَعْلُومًا فَبَطَلَتِ الْوَكَالَةُ فِيهِ.

Macam kedua: Keumuman yang disebutkan tidak menjadi jelas dengan pembatasan tersebut, maka wakalah di dalamnya batal, seperti ucapannya: “Aku telah mewakilkanmu untuk membeli apa saja yang engkau kehendaki dengan segala sesuatu yang kecil dan besar dari hartaku,” karena jenis barang yang akan dibeli dengan hartanya tidak menjadi jelas, maka batal wakalah di dalamnya.

وَهَكَذَا لَوْ قَالَ اشْتَرِ لِي بِهَذَا الْأَلْفِ مَا رَأَيْتَ مِنَ الْعُرُوضِ أَوْ مَا عَلِمْتَ فِيهِ حَظًّا مِنَ الْإِبْرَاءِ كَانَتِ الْوَكَالَةُ فِيهِ بَاطِلَةً إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَقْصُودُهُ طَلَبَ الرِّبْحِ دُونَ التَّمْلِيكِ.

Demikian pula, jika seseorang berkata, “Belikanlah untukku dengan seribu ini apa saja yang kamu lihat dari barang-barang atau apa saja yang kamu ketahui ada keuntungan dari pembebasan utang,” maka akad wakalah tersebut batal, kecuali jika maksudnya adalah mencari keuntungan semata tanpa bermaksud kepemilikan.

فَيَجُوزُ كَالْمُضَارَبَاتِ فَإِنْ قِيلَ أَلَيْسَ لَوْ دَفَعَ فِي الْمُضَارَبَةِ مَالًا يَشْتَرِي بِهِ الْعَامِلُ مَا رَأَى فِيهِ صَلَاحًا جَازَ فَهَلَّا جَازَ مِثْلُهُ فِي الْوَكَالَةِ؟ قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمَقْصُودَ فِي الْمُضَارَبَةِ طَلَبُ الرِّبْحِ فَلَا يُؤَثِّرُ فِيهِ اخْتِلَافُ الْأَجْنَاسِ فَكَانَ الْمَقْصُودُ مَعْلُومًا فَصَحَّ. وَالْمَقْصُودُ فِي الْوَكَالَةِ تَمَلُّكُكَ الْعَيْنَ الْمُشْتَرَاةَ وَإِطْلَاقُ ذَلِكَ مَعَ اخْتِلَافِ الْأَجْنَاسِ لَا يَجْعَلُ الْمَقْصُودَ مِنْهَا مَعْلُومًا فبطل فعلى هذه الأصول يكون جواب ما تضمنه الموكل فاعتبره بها يتقرر لكل الحكم فيه فَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ لَهُ: قَدْ وَكَّلْتُكَ في شراء عَبْدٍ لَمْ يَصِحَّ حَتَّى يَصِفَهُ بِمَا يَتَمَيَّزُ لِلْوَكِيلِ مُرَادُهُ فِي الْعَبْدِ مِنْ ذِكْرِ جِنْسِهِ وَنَوْعِهِ وَلَا يَحْتَاجُ إِلَى ذِكْرِ صِفَتِهِ الْمُسْتَحَقَّةِ فِي السِّلْمِ لِأَنَّهُ يُضَيِّقُ عَلَى النَّاسِ فَلَوْ قال له قد وكلتك في شراء من رأيت من العبيد أو في شراء مَا رَأَيْتَ مِنَ الْخَيْلِ لَمْ يَجُزْ لِاخْتِلَافِ الْعَبِيدِ وَالْخَيْلِ وَجَهْلِ الْوَكِيلِ بِالْمَقْصُودِ مِنْهَا وَهَكَذَا لَوْ قَالَ:

Maka hal itu diperbolehkan seperti dalam mudārabah. Jika dikatakan, “Bukankah jika seseorang menyerahkan harta dalam mudārabah agar si ‘āmil membeli apa saja yang ia pandang baik, itu boleh? Lalu mengapa tidak boleh yang semisal dalam wakalah?” Maka dijawab: perbedaannya adalah bahwa tujuan dalam mudārabah adalah mencari keuntungan, sehingga perbedaan jenis barang tidak berpengaruh, dan tujuannya menjadi jelas sehingga sah. Sedangkan tujuan dalam wakalah adalah agar engkau memiliki barang yang dibeli, dan membiarkan hal itu tanpa penjelasan dengan adanya perbedaan jenis barang tidak menjadikan tujuan dari wakalah itu jelas, sehingga batal. Berdasarkan prinsip-prinsip ini, jawaban atas apa yang terkandung dalam permintaan muwakkil dapat ditetapkan hukumnya dengan memperhatikannya. Maka berdasarkan hal ini, jika seseorang berkata kepadanya, “Aku telah mewakilkan kepadamu untuk membeli seorang budak,” maka tidak sah hingga ia menyifatinya dengan sesuatu yang membedakan maksud muwakkil dalam budak tersebut, seperti menyebutkan jenis dan macamnya, dan tidak perlu menyebutkan sifat-sifat yang wajib dalam akad salam, karena hal itu akan memberatkan orang-orang. Maka jika ia berkata, “Aku telah mewakilkan kepadamu untuk membeli siapa saja dari para budak yang kamu lihat,” atau “untuk membeli apa saja dari kuda yang kamu lihat,” maka tidak sah karena perbedaan para budak dan kuda serta ketidaktahuan wakil terhadap maksud dari muwakkil. Demikian pula jika ia berkata:

بِعْ مَنْ رَأَيْتَ مِنْ عَبِيدِي أَوْ بِعْ مَا رَأَيْتَ مِنْ خَيْلِي، لَمْ يَجُزْ سَوَاءٌ ذَكَرَ الْعَدَدَ أَوْ لَمْ يَذْكُرْ حَتَّى يَتَمَيَّزَ الْمَبِيعُ وَالْمُشْتَرَى مِنْ غَيْرِهِ بِصِفَةٍ أَوْ إِشَارَةٍ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: يَجُوزُ أَنْ يوكله في شراء عبد أَوْ ثَوْبٍ وَإِنْ لَمْ يُشِرْ إِلَى صِفَاتِهِ اعْتِمَادًا عَلَى رَأْيِ وَكِيلِهِ الْمُوَكَّلِ وَلَا يَجُوزُ عَلَى الْمَذْهَبِ الْأَوَّلِ عَقْدُ الْوَكَالَةِ وَبَيَانُ الْوَكِيلِ حَتَّى يَقْتَرِنَ بِهِ عَلَى الْفَوْرِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ. “.

“Juallah siapa saja dari budak-budakku yang kamu lihat,” atau “juallah apa saja dari kudaku yang kamu lihat,” maka tidak sah, baik ia menyebutkan jumlahnya maupun tidak, hingga barang yang dijual dan dibeli itu dapat dibedakan dari yang lain dengan sifat atau isyarat. Sebagian ulama kami berkata: Boleh mewakilkan dalam pembelian seorang budak atau kain meskipun tanpa menyebutkan sifat-sifatnya, dengan bersandar pada pendapat wakil yang diberi kuasa. Namun menurut mazhab pertama, tidak sah akad wakalah dan penjelasan wakil kecuali disertakan secara langsung. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الشَّرْطُ الثَّالِثُ وَهُوَ قَبُولُ الْوَكِيلِ فَهُوَ عَلَى التَّرَاخِي مَا لَمْ يَتَعَيَّنْ زَمَانُ الْعَمَلِ الَّذِي وَكَّلَ فِيهِ فَإِنْ تَعَيَّنَ زَمَانُهُ وَخِيفَ فَوَاتُهُ كَانَ قَبُولُ الْوَكَالَةِ عَلَى الْفَوْرِ وَكَذَلِكَ لَوْ عَرَضَهَا الْحَاكِمُ عَلَيْهِ عِنْدَ ثُبُوتِهَا عِنْدَهُ صَارَ قَبُولُهَا عَلَى الْفَوْرِ أَيْضًا وَقَبُولُهَا فِيمَا سِوَى هَذَيْنِ عَلَى التَّرَاخِي.

Adapun syarat ketiga, yaitu penerimaan dari wakil, maka hal itu boleh dilakukan secara tertunda selama belum ditentukan waktu pelaksanaan pekerjaan yang diwakilkan. Jika waktunya telah ditentukan dan dikhawatirkan akan terlewat, maka penerimaan wakalah harus segera. Demikian pula jika hakim menawarkan wakalah kepadanya saat telah terbukti di hadapannya, maka penerimaannya juga harus segera. Adapun selain kedua keadaan tersebut, penerimaannya boleh secara tertunda.

وَقَالَ أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ: قَبُولُ الْوَكَالَةِ عَلَى الْفَوْرِ لِأَنَّهَا عَقْدٌ فَجَرَتْ مَجْرَى سَائِرِ الْعُقُودِ.

Abu Hamid al-Marwazi berkata: Penerimaan wakalah harus segera, karena ia adalah akad sehingga berlaku seperti akad-akad lainnya.

وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Ini adalah kesalahan dari tiga sisi:

أَحَدُهَا: أَنَّ الْوَكَالَةَ لَهُ إِذْنٌ بِالتَّصَرُّفِ فَلَمْ يَحْتَجْ إِلَى تَعْجِيلِ الْقَبُولِ كَمَا لَوْ أَذِنَ لَهُ فِي بَيْعٍ أَوْ شِرَاءٍ.

Pertama: Wakalah adalah izin untuk melakukan tindakan, sehingga tidak perlu disegerakan penerimaannya, sebagaimana jika seseorang mengizinkan orang lain untuk menjual atau membeli.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْوَكَالَةَ نِيَابَةٌ كَالْوَصِيَّةِ ثُمَّ جَازَ أَنْ يَكُونَ الْقَبُولُ فِي الْوَصِيَّةِ عَلَى التَّرَاخِي وَكَذَلِكَ الْوَكَالَةُ.

Kedua: Wakalah adalah perwakilan seperti wasiat, dan dalam wasiat boleh penerimaannya secara tertunda, demikian pula dalam wakalah.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ لَوْ وَكَّلَهُ بِمُكَاتَبَةٍ جَازَ لَوْ وَقَعَ فِي نَفْسِهِ صِحَّةُ الْكِتَابِ أَنْ يَكُونَ قَبُولُهُ عَلَى التَّرَاخِي فَكَذَلِكَ فِي الْمُشَافَهَةِ.

Ketiga: Jika seseorang mewakilkan dengan surat-menyurat, maka boleh jika dalam hatinya telah yakin akan keabsahan surat tersebut, penerimaannya boleh secara tertunda. Demikian pula dalam percakapan langsung.

فَإِذَا اسْتَكْمَلَ هَذِهِ الشُّرُوطَ فَقَدْ تَمَّتِ الْوَكَالَةُ سَوَاءٌ أَشَهِدَ الْمُوَكِّلُ عَلَى نَفْسِهِ بِهَا أَمْ لَا. لِأَنَّ الشَّهَادَةَ إِنَّمَا هِيَ حُجَّةٌ فِي ثُبُوتِ وَكَالَتِهِ وَلَيْسَتْ شَرْطًا في صحتها.

Jika telah terpenuhi syarat-syarat ini, maka wakalah telah sah, baik muwakkil menghadirkan saksi atas dirinya atau tidak. Karena kesaksian hanyalah sebagai bukti dalam menetapkan wakalah, dan bukan syarat sahnya.

فلو كَانَ الْوَكِيلُ غَائِبًا فِي وَقْتَ الْوَكَالَةِ، فَشَهِدَ بِوَكَالَتِهِ شَاهِدَانِ عِنْدَ الْحَاكِمِ فَإِنْ صَدَّقَهَا جَازَ لَهُ قَبُولُهَا وَالْعَمَلُ بِهَا وَإِنْ لَمْ يَقَعْ فِي نَفْسِهِ صِدْقُهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَعْمَلَ بها وليس قبول الحاكم لها بمعنى عَنْ تَصْدِيقِهِ.

Jika wakil sedang tidak hadir pada saat akad wakalah, lalu dua orang saksi memberikan kesaksian tentang wakalahnya di hadapan hakim, maka jika ia membenarkannya, boleh baginya untuk menerima dan menjalankan wakalah tersebut. Namun jika ia tidak meyakini kebenarannya, maka tidak boleh ia menjalankan wakalah itu. Dan penerimaan hakim terhadap wakalah tersebut bukan berarti ia membenarkannya.

وَلَوْ رَدَّهَا الْحَاكِمُ لِمَعْنًى أَوْجَبَ رَدَّ شَهَادَتِهِمَا وَوَقَعَ فِي نَفْسِ الْوَكِيلِ صِدْقُهُمَا جاز له قَبُولُهَا وَالْعَمَلُ بِهَا وَلَيْسَ رَدُّ الْحَاكِمِ لَهَا بِمَانِعٍ مِنْ عَمَلِ الْوَكِيلِ بِقَوْلِهِمَا لِأَنَّ قَوْلَهُمَا عِنْدَهُ خَبَرٌ وَعِنْدَ الْحَاكِمِ شَهَادَةٌ.

Dan jika hakim menolak (kesaksian) mereka berdua karena suatu alasan yang mewajibkan penolakan kesaksian mereka, namun dalam hati wakil terdapat keyakinan akan kebenaran keduanya, maka boleh baginya menerima dan beramal dengan kesaksian itu. Penolakan hakim atas kesaksian tersebut tidak menjadi penghalang bagi wakil untuk beramal dengan ucapan mereka, karena menurut wakil, ucapan mereka adalah berita, sedangkan menurut hakim, itu adalah kesaksian.

فَإِذَا سَأَلَ الْوَكِيلُ مُوَكِّلَهُ أَنْ يَشْهَدَ عَلَى نَفْسِهِ بِوَكَالَتِهِ نُظِرَ فَإِنْ كَانَتِ الْوَكَالَةُ فِيمَا إِذَا جَحَدَهَا الْمُوَكِّلُ تَعَلَّقَ بِالْوَكِيلِ فِيهَا زَائِدَةُ ضَمَانٍ كَالْبَيْعِ إِنْ لَزِمَهُ الْمُوَكِّلُ لَزِمَهُ الْوَكِيلُ ضَمَانُ مَا أُقْبِضَ مِنَ الْمَبِيعِ أَوْ كَالشِّرى إِنْ جَحَدَهُ الْمُوَكِّلُ لَزِمَ الْوَكِيلَ الْمُشْتَرِي أَوْ كَفِيلُ الْأَمْوَالِ يَلْزَمُهُ مَعَ الْجُحُودِ الضَّمَانُ أَوْ كَقَضَاءِ الدُّيُونِ يلزمه مع الجحود غرم مَا قُضِيَ. فَوَاجِبٌ عَلَى الْمُوَكِّلِ مَعَ بَقَائِهِ عَلَى الْوَكِيلِ أَنْ يَشْهَدَ عَلَى نَفْسِهِ بِالْوَكَالَةِ.

Apabila wakil meminta kepada muwakkil (pemberi kuasa) agar bersaksi atas dirinya sendiri mengenai keagenannya, maka hal itu perlu diteliti. Jika keagenan tersebut berkaitan dengan perkara yang apabila muwakkil mengingkarinya, maka akan timbul tambahan tanggungan bagi wakil, seperti dalam jual beli: jika muwakkil menanggungnya, maka wakil juga menanggung jaminan atas barang yang telah diterima dari barang yang dijual; atau seperti dalam pembelian: jika muwakkil mengingkarinya, maka wakil sebagai pembeli atau penjamin harta wajib menanggung jaminan bersama pengingkaran; atau seperti dalam pelunasan utang, ia wajib menanggung kerugian atas apa yang telah dibayarkan jika terjadi pengingkaran. Maka wajib bagi muwakkil, selama masih ada tanggungan pada wakil, untuk bersaksi atas dirinya sendiri mengenai keagenan tersebut.

وَإِنْ كَانَتِ الْوَكَالَةُ فِيمَا إِنْ جَحَدَهُ الْمُوَكِّلُ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِالْوَكِيلِ فِيهَا ضَمَانٌ كَالْوَكَالَةِ فِي إِثْبَاتِ الْحُقُوقِ وَالْمُطَالَبَةِ بِالشُّفْعَةِ وَمُقَاسَمَةِ الشُّرَكَاءِ لَمْ يَجِبْ عَلَى الْمُوَكِّلِ أَنْ يَشْهَدَ عَلَى نَفْسِهِ بِالْوَكَالَةِ ثُمَّ لَا يَجُوزُ عَقْدُ الْوَكَالَةِ عَلَى أَجَلٍ أَوْ شَرْطٍ لِأَنَّ تَعْلِيقَ الْوَكَالَةِ بِالشُّرُوطِ وَالْآجَالِ فَاسِدَةٌ. فَإِذَا قَالَ: إِذَا جَاءَ رَأْسُ الشَّهْرِ فَقَدْ وَكَّلْتُكَ فِي بَيْعِ دَارِي كَانَتِ الْوَكَالَةُ بَاطِلَةً لِعَقْدِهَا إِلَى أَجَلٍ وَلَوْ قَالَ قَدْ وَكَّلْتُكَ فِي بَيْعِ دَارِي إِذَا جَاءَ رَأْسُ الشَّهْرِ جَازَ، لِأَنَّهُ عَجَّلَ عَقْدَ الْوَكَالَةِ وَإِنَّمَا جَعَلَ رَأْسَ الشَّهْرِ مَحَلًّا لِوَقْتِ الْبَيْعِ.

Namun jika keagenan itu berkaitan dengan perkara yang apabila muwakkil mengingkarinya tidak menimbulkan tanggungan bagi wakil, seperti keagenan dalam penetapan hak, menuntut hak syuf‘ah, atau pembagian dengan para sekutu, maka tidak wajib bagi muwakkil untuk bersaksi atas dirinya sendiri mengenai keagenan tersebut. Selanjutnya, tidak boleh akad keagenan dilakukan dengan tenggat waktu atau syarat, karena menggantungkan keagenan pada syarat dan waktu adalah batal. Jika ia berkata: “Jika awal bulan tiba, maka aku mengangkatmu sebagai wakil dalam menjual rumahku,” maka keagenan itu batal karena akadnya digantungkan pada waktu. Namun jika ia berkata: “Aku mengangkatmu sebagai wakil dalam menjual rumahku jika awal bulan tiba,” maka itu boleh, karena ia mempercepat akad keagenan dan hanya menjadikan awal bulan sebagai waktu pelaksanaan penjualan.

وَهَكَذَا لَوْ قَالَ إِنْ شَاءَتْ زَيْنَبُ فَقَدْ وَكَّلْتُكَ فِي طَلَاقِهَا لَمْ يَجُزْ، وَلَوْ قَالَ وَكَّلْتُكَ فِي طَلَاقِ زَيْنَبَ إِنْ شَاءَتْ جَازَ.

Demikian pula, jika ia berkata: “Jika Zainab menghendaki, maka aku mengangkatmu sebagai wakil untuk menceraikannya,” maka itu tidak boleh. Namun jika ia berkata: “Aku mengangkatmu sebagai wakil untuk menceraikan Zainab jika ia menghendaki,” maka itu boleh.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَاهُ فَقَدْ يَنْقَسِمُ مَا تَضَمَّنَتْهُ الْوَكَالَةُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: –

Jika telah tetap apa yang telah kami uraikan, maka perkara yang terkandung dalam keagenan dapat dibagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: مَا كَانَ عَمَلُ الْوَكِيلِ فِيهِ مَقْصُورًا عَلَى مَا تَضَمَّنَتْهُ الْوَكَالَةُ دُونَ مَقْصُودِهِ، وَهُوَ مَا لَمْ يَكُنْ مَقْصُودُهُ وَاجِبًا عَلَى الْمُوَكِّلِ كَالتَّوْكِيلِ فِي إِثْبَاتِ الْحَدِّ وَالْقِصَاصِ فَلَا يَجُوزُ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَسْتَوْفِيَ الْحَدَّ وَالْقِصَاصَ بَعْدَ إِثْبَاتِهِ لِأَنَّ اسْتِيفَاءَهُ غَيْرُ وَاجِبٍ عَلَى مُوَكِّلِهِ.

Pertama: perkara di mana tindakan wakil terbatas pada apa yang tercantum dalam keagenan tanpa mencakup maksud akhirnya, yaitu perkara yang maksud akhirnya tidak wajib atas muwakkil, seperti keagenan dalam penetapan hudud dan qishāsh. Maka tidak boleh bagi wakil untuk menunaikan hudud dan qishāsh setelah penetapannya, karena pelaksanaannya bukanlah kewajiban muwakkil.

وَهَكَذَا لَوْ وَكَّلَهُ فِي الْمُطَالَبَةِ بِدَيْنٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ قَبْضُهُ بَعْدَ الْمُطَالَبَةِ وَإِنْ وَكُلَّهُ فِي الْمُخَاصَمَةِ فِي دَارٍ يَدَّعِيهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ قَبَضُهَا وَلَوْ وَكَّلَهُ فِي إِثْبَاتِ مَنْفَعَةٍ يَسْتَحِقُّهَا لَمْ يَكُنْ له انتزاعها وكان عمل الوكيل في هذا الْأَحْوَالِ كُلِّهَا مَقْصُورًا عَلَى مَا تَضَمَّنَهُ الْإِذْنُ.

Demikian pula, jika ia mengangkatnya sebagai wakil untuk menuntut utang, maka wakil tidak berhak menerima pembayaran utang setelah penuntutan. Jika ia mengangkatnya sebagai wakil untuk bersengketa atas rumah yang diklaim, maka wakil tidak berhak menerima rumah tersebut. Jika ia mengangkatnya sebagai wakil untuk menetapkan manfaat yang menjadi haknya, maka wakil tidak berhak mengambil manfaat itu. Dalam semua keadaan ini, tindakan wakil terbatas pada apa yang tercantum dalam izin (keagenan).

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: مَا كَانَ عَمَلُ الْوَكِيلِ فِيهِ مُتَجَاوِزًا إِلَى مَا تَضَمَّنَتْهُ الْوَكَالَةُ مِنْ مَقْصُودِهِ وَهُوَ مَا كَانَ مَقْصُودُهُ وَاجِبًا عَلَى الْمُوَكِّلِ كَالتَّوْكِيلِ فِي بَيْعٍ أَوْ شِرًى فَلَهُ إِذَا عَقَدَ الْبَيْعَ أَنْ يُسَلِّمَ الْمَبِيعَ وَيَتَسَلَّمَ الثَّمَنَ وَإِنْ لَمْ يُصَرِّحْ لَهُ الْمُوَكِّلُ بِهِ لِأَنَّ عَقْدَ الْبَيْعِ أَوْجَبَ عَلَيْهِ تَسْلِيمَ مَا بَاعَهُ وَهُوَ مَنْدُوبٌ إِلَى أَنْ لَا يُسَلِّمَ الْمَبِيعَ إِلَّا بَعْدَ قَبْضِ ثَمَنِهِ فَلِذَلِكَ جَازَ أَنْ يَتَجَاوَزَ مَا تَضَمَّنَهُ الْعَقْدُ إِلَى تَسْلِيمِ الْمَبِيعِ وَقَبْضِ ثَمَنِهِ.

Adapun bagian kedua: perkara di mana tindakan wakil melampaui apa yang tercantum dalam keagenan hingga mencakup maksud akhirnya, yaitu perkara yang maksud akhirnya wajib atas muwakkil, seperti keagenan dalam jual beli. Maka jika ia melakukan akad jual beli, ia berhak menyerahkan barang yang dijual dan menerima harganya, meskipun muwakkil tidak secara tegas memberinya izin, karena akad jual beli mewajibkan ia menyerahkan barang yang dijual. Dianjurkan agar ia tidak menyerahkan barang kecuali setelah menerima harganya. Oleh karena itu, boleh baginya melampaui apa yang tercantum dalam akad hingga menyerahkan barang dan menerima harganya.

وَهَكَذَا لَوْ وَكَّلَهُ فِي شِرَى سِلْعَةً جَازَ لَهُ أَنْ يَقْبِضَهَا وَيَدْفَعَ ثَمَنَهَا لِأَنَّ عَقْدَ الشِّرَى قَدْ أَوْجَبَ عَلَيْهِ دَفْعَ الثَّمَنِ وَهُوَ مَنْدُوبٌ إِلَى أَنْ لَا يَدْفَعَ الثَّمَنَ إِلَّا بَعْدَ قَبْضِ الْمَبِيعِ.

Demikian pula, jika ia mengangkatnya sebagai wakil untuk membeli barang, maka boleh baginya menerima barang tersebut dan membayar harganya, karena akad pembelian mewajibkan ia membayar harga. Dianjurkan agar ia tidak membayar harga kecuali setelah menerima barang yang dibeli.

فَإِنْ وَكَّلَهُ فِي بَيْعٍ عَلَى أَنْ لَا يَقْبِضَ الثَّمَنَ مِنَ الْمُشْتَرِي صَحَّتِ الْوَكَالَةُ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ قَبْضُ الثَّمَنِ. وَلَوْ وَكَّلَهُ فِيهِ عَلَى أَنْ لَا يُسَلِّمَ الْمَبِيعَ كَانَ فِي الْوَكَالَةِ وَجْهَانِ: ذَكَرَهُمَا أَبُو عَلِيٍّ الطَّبَرِيُّ فِي إِفْصَاحِهِ أَحَدُهُمَا تَصِحُّ الْوَكَالَةُ كَمَا لَوْ نَهَاهُ عَنْ قَبْضِ الثَّمَنِ فَإِذَا أُخِذَ بِتَسْلِيمِ الْمَبِيعِ أَخَذَ بِهِ الْمُوَكِّلُ.

Jika seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk menjual dengan syarat tidak menerima pembayaran dari pembeli, maka wakalah tersebut sah dan ia tidak berhak menerima pembayaran. Namun, jika ia mewakilkannya dengan syarat tidak menyerahkan barang yang dijual, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat dalam fiqh: keduanya disebutkan oleh Abu ‘Ali at-Tabari dalam kitab Ifshah-nya. Salah satunya, wakalah tetap sah, sebagaimana jika ia melarangnya menerima pembayaran; maka jika ia dituntut untuk menyerahkan barang yang dijual, yang bertanggung jawab adalah muwakkil (pemberi kuasa).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْوَكَالَةَ بَاطِلَةٌ لِأَنَّ إِقْبَاضَ الْمَبِيعِ مِنْ لَوَازِمِ الْبَيْعِ فَإِذَا نَهَاهُ عَنْهُ بَطَلَ التَّوْكِيلُ فِي سَبَبِهِ.

Pendapat kedua: wakalah tersebut batal, karena penyerahan barang yang dijual merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akad jual beli. Maka jika ia melarangnya melakukan hal itu, batal pula perwakilan dalam sebabnya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَا اخْتَلَفَ الْمَذْهَبُ فِيهِ هَلْ يَكُونُ عَمَلُ الْوَكِيلِ مَقْصُورًا عَلَى مَا تَضَمَّنَهُ الْإِذْنُ أَوْ تَجُوزُ لَهُ الْمُجَاوَزَةُ إِلَى مَا أَدَّى إِلَيْهِ وَهُوَ مَا لَا يَتَمَكَّنُ مِنْ عَمَلِ الْمَأْذُونِ فِيهِ إِلَّا بِهِ كَالْوَكَالَةِ فِي مُقَاسَمَةٍ فِي دَارٍ وَقَبْضِ الْحِصَّةِ مِنْهَا إِذَا جَحَدَ الشَّرِيكُ هَلْ يَجُوزُ لِلْوَكِيلِ الْمُخَاصَمَةُ فِيهَا وَإِثْبَاتُ الْحُجَجِ وَالْبَيِّنَاتِ عَلَيْهَا؟ وَكَالْوَكَالَةِ فِي قَبْضِ دَيْنٍ إِذَا جَحَدَهُ الْمَطْلُوبُ هَلْ يَجُوزُ لِلْوَكِيلِ مُخَاصَمَتُهُ وَإِثْبَاتُ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ؟ فِيهِ قَوْلَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ تَخْرِيجًا: أَحَدُهُمَا: لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ وَيَكُونُ مَقْصُودُ الْعَمَلِ عَلَى مَا تَضَمَّنَهُ صَرِيحُ الْإِذْنِ لِأَنَّ مَا يُجَاوِزُهُ لَيْسَ بِوَاجِبٍ فِيهِ فَشَابَهَ الْقِسْمَ الْأَوَّلَ.

Bagian ketiga: perkara yang diperselisihkan dalam mazhab, apakah tindakan wakil terbatas pada apa yang secara eksplisit diizinkan ataukah ia boleh melampaui itu kepada hal-hal yang menjadi konsekuensi dari izin tersebut, yaitu perkara yang tidak mungkin dilakukan tanpa hal itu. Contohnya seperti wakalah dalam pembagian rumah dan menerima bagian darinya jika ada penolakan dari rekan, apakah wakil boleh melakukan gugatan dan membuktikan dalil serta bukti atasnya? Atau seperti wakalah dalam penagihan utang, jika yang berutang mengingkarinya, apakah wakil boleh menggugatnya dan membuktikan dengan bukti atasnya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang dinukil oleh Ibn Surayj sebagai hasil istinbat: Pertama, ia tidak boleh melakukan hal itu dan tindakan wakil terbatas pada apa yang secara eksplisit diizinkan, karena apa yang melampaui izin tidak wajib baginya, sehingga serupa dengan bagian pertama.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَجُوزُ لَهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ لَا يَصِلُ إِلَى الْعَمَلِ الْمَأْذُونِ فِيهِ إِلَّا بِهِ فَصَارَ بِوَاجِبَاتِهِ أَشْبَهَ كَالْقِسْمِ الثاني والله أعلم.

Pendapat kedua: ia boleh melakukan hal itu, karena tidak mungkin mencapai tindakan yang diizinkan kecuali dengan hal tersebut, sehingga menjadi bagian dari kewajiban-kewajibannya, serupa dengan bagian kedua. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَلَا ضَمَانَ عَلَى الْوُكَلَاءِ وَلَا عَلَى الْأَوْصِيَاءِ وَلَا عَلَى الْمُودَعِينَ وَلَا عَلَى الْمُقَارِضِينَ إِلَّا أَنْ يَتَعَدَّوْا فَيَضْمَنُوا “.

Al-Muzani raḥimahullāh berkata: “Tidak ada tanggungan (jaminan) atas para wakil, washi, orang yang dititipi, dan muqaridh (pengelola mudharabah), kecuali jika mereka melakukan pelanggaran, maka mereka wajib menanggungnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الْأَيْدِي فِي أَمْوَالِ الْغَيْرِ ثَلَاثَةُ أَقْسَامٍ: – يَدٌ ضَامِنَةٌ وَيَدٌ أَمِينَةٌ وَيَدٌ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِيهَا هَلْ هِيَ ضَامِنَةٌ أَوْ أَمِينَةٌ. فَأَمَّا الْيَدُ الضَّامِنَةُ فَيَدُ الْغَاصِبِ وَالْمُسْتَعِيرِ وَالْمُسَاوِمِ وَالْمُشْتَرِي وَالْمُسْتَقْرِضِ وَكُلُّ هَؤُلَاءِ يَلْزَمُهُمْ ضَمَانُ مَا هَلَكَ بِأَيْدِيهِمْ وَإِنْ كَانَ هَلَاكُهُ بِغَيْرِ تَعَدِّيهِمْ لِأَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ مُتَعَدٍّ بِيَدِهِ أَوْ مُعَارِضٍ عَلَى مَا فِي يَدِهِ.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa tangan atas harta orang lain terbagi menjadi tiga: tangan yang menanggung (yad dhaminah), tangan yang amanah (yad aminah), dan tangan yang diperselisihkan menurut pendapat Imam Syafi‘i, apakah ia menanggung atau amanah. Adapun tangan yang menanggung adalah tangan perampas, peminjam, penawar, pembeli, peminjam uang, dan semua mereka wajib menanggung apa yang rusak di tangan mereka, meskipun kerusakannya bukan karena pelanggaran mereka, karena mereka antara pelaku pelanggaran dengan tangannya atau pelaku transaksi atas apa yang ada di tangannya.

وَأَمَّا الْيَدُ الْأَمِينَةُ فيه الْوَكِيلِ وَالْمَضَارِبِ وَالشَّرِيكِ وَالْمُودَعِ وَالْمُسْتَأْجِرِ وَالْمُرْتَهِنِ فَهَؤُلَاءِ كُلُّهُمْ لَا ضَمَانَ عَلَيْهِمْ مَا لَمْ يَتَعَدَّوْا وَيُفْرِطُوا لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهِمْ مُتَعَدٍّ بِيَدِهِ وَلَا مُعَاوِضٌ عَلَى غَيْرٍ وَأَمَّا الْيَدُ الْمُخْتَلَفُ فِيهَا قيد الْأَجِيرِ الْمُشْتَرَكِ إِذَا هَلَكَ بِيَدِهِ مَا اسْتُؤْجِرَ عَلَى عَمَلِهِ مِنْ غَيْرِ تَفْرِيطٍ فِيهِ وَلَا تَعَدٍّ عَلَيْهِ. فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Adapun tangan yang amanah adalah pada wakil, mudharib, syarik, orang yang dititipi, penyewa, dan pemegang gadai. Semua mereka tidak ada tanggungan atasnya selama tidak melakukan pelanggaran atau kelalaian, karena di antara mereka tidak ada yang melanggar dengan tangannya dan tidak melakukan transaksi atas hak orang lain. Adapun tangan yang diperselisihkan adalah tangan pekerja bersama (ajir musytarak), jika rusak di tangannya barang yang disewa untuk dikerjakan tanpa kelalaian atau pelanggaran darinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهَا يَدٌ ضَامِنَةٌ يَلْزَمُهَا ضَمَانُ مَا هَلَكَ فِيهَا كَالْمُسْتَعِيرِ.

Salah satunya: itu adalah tangan yang menanggung, ia wajib menanggung apa yang rusak di tangannya seperti peminjam.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهَا يَدٌ أَمِينَةٌ لَا ضَمَانَ فِيمَا هَلَكَ فِيهَا كَالْمُودَعِ.

Pendapat kedua: itu adalah tangan yang amanah, tidak ada tanggungan atas apa yang rusak di tangannya seperti orang yang dititipi.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا فَالْوَكِيلُ أَمِينٌ فِيمَا بِيَدِهِ لِمُوَكِّلِهِ وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ إِنْ هَلَكَ لِأَمْرَيْنِ:

Jika telah dipastikan demikian, maka wakil adalah orang yang amanah atas apa yang ada di tangannya milik muwakkil (pemberi kuasa), dan tidak ada tanggungan atasnya jika terjadi kerusakan karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمُوَكِّلَ قَدْ أَقَامَهُ فِيهِ مَقَامَ نَفْسِهِ وَهُوَ لَا يَلْتَزِمُ ضَمَانَ مَا بِيَدِهِ فَكَذَلِكَ الْوَكِيلُ الَّذِي هُوَ بِمَثَابَتِهِ.

Pertama: karena muwakkil telah menempatkannya pada posisi dirinya sendiri, dan ia (muwakkil) tidak berkewajiban menanggung apa yang ada di tangannya, maka demikian pula wakil yang kedudukannya sama dengan dirinya.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْوَكَالَةَ عَقْدُ إِرْفَاقٍ وَمَعُونَةٍ وَفِي تَعَلُّقِ الضَّمَانِ بِهَا مَا يَخْرُجُ عَنْ مَقْصُودِ الْإِرْفَاقِ وَالْمَعُونَةِ فِيهَا. وَسَوَاءٌ كَانَتِ الْوَكَالَةُ بَعِوَضٍ أَوْ غَيْرِ عِوَضٍ فَكَانَ أَبُو عَلِيٍّ الطَّبَرِيُّ يَقُولُ: إِذَا كَانَتْ بَعِوَضٍ جَرَتْ مَجْرَى الْأَجِيرِ الْمُشْتَرَكِ فَيَكُونُ وُجُوبُ الضَّمَانِ عَلَى قَوْلَيْنِ. وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ لِأَنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ عَنْ حُكْمِ الْإِجَارَةِ فِي اللُّزُومِ خَرَجَتْ عَنْ حُكْمِهَا فِي الضَّمَانِ وَاللَّهُ أعلم.

Kedua: Sesungguhnya wakālah adalah akad tolong-menolong dan bantuan, dan jika dikaitkan dengan tanggungan (ḍamān) maka hal itu keluar dari maksud tolong-menolong dan bantuan dalam akad tersebut. Baik wakālah itu dengan imbalan maupun tanpa imbalan, Abu ‘Ali al-Ṭabarī berpendapat: Jika dengan imbalan, maka hukumnya seperti ajīr musytarak (pekerja bersama), sehingga kewajiban tanggungan (ḍamān) ada dua pendapat. Namun, ini tidak benar, karena jika wakālah telah keluar dari hukum ijarah (sewa-menyewa) dalam hal keharusan, maka ia juga keluar dari hukumnya dalam hal tanggungan (ḍamān). Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَالتَّوْكِيلُ مِنْ كُلِّ مُوَكِّلٍ مِنْ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ تَخْرُجُ أَوْ لَا تَخْرُجُ بِعُذْرٍ أَوْ غَيْرِ عُذْرٍ “.

Al-Muzanī raḥimahullāh berkata: “Dan perwakilan (tawkīl) boleh dilakukan oleh setiap muwakkil, baik laki-laki maupun perempuan, baik ia keluar rumah atau tidak, baik karena uzur atau tanpa uzur.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْكَلَامَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa pembahasan dalam masalah ini mencakup dua bagian:

أَحَدُهُمَا: فِي الْخِلَافِ الْمُتَعَلِّقِ بِهَا.

Pertama: Tentang perbedaan pendapat yang berkaitan dengannya.

وَالثَّانِي: فِي شَرْحِ الْمَذْهَبِ فِيهَا.

Kedua: Penjelasan mazhab dalam masalah ini.

فَأَمَّا الْخِلَافُ الْمُتَعَلِّقُ بِهَا فَتَقْدِيمُهُ أَوْلَى لِيَتَمَهَّدَ عَلَيْهِ الْمَذْهَبُ مَشْرُوحًا وَالْخِلَافُ فِيهَا فِي فَصْلَيْنِ:

Adapun perbedaan pendapat yang berkaitan dengannya, maka mendahulukannya lebih utama agar penjelasan mazhab dapat dibangun di atasnya. Perbedaan pendapat dalam masalah ini ada pada dua bagian:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَرْأَةَ يَجُوزُ أَنْ تُوَكِّلَ في المخاصمة خضيرة كَانَتْ أَوْ بَرْزَةً وَقَالَ أبو حنيفة: يَجُوزُ الخضرة الَّتِي لَا تَبْرُزُ أَنْ تُوَكِّلَ وَلَا يَجُوزُ لِلْبَرْزَةِ الَّتِي تَظْهَرُ لِلنَّاسِ أَنْ تُوَكِّلَ.

Pertama: Bahwa perempuan boleh mewakilkan dalam perkara persengketaan, baik ia khadīrah (perempuan yang tinggal di rumah) maupun barzah (perempuan yang sering keluar rumah). Abu Ḥanīfah berpendapat: Boleh bagi khadīrah yang tidak keluar rumah untuk mewakilkan, namun tidak boleh bagi barzah yang tampak di hadapan orang banyak untuk mewakilkan.

وَالثَّانِي: أَنَّ الرَّجُلَ يَجُوزُ أَنْ يُوَكِّلَ فِي الْمُخَاصَمَةِ حَاضِرًا كَانَ أَوْ غَائِبًا مَعْذُورًا كَانَ أَوْ غَيْرَ مَعْذُورٍ.

Kedua: Bahwa laki-laki boleh mewakilkan dalam perkara persengketaan, baik ia hadir maupun tidak hadir, baik ada uzur maupun tidak ada uzur.

وَقَالَ أبو حنيفة: يَجُوزُ لِلْغَائِبِ وَالْحَاضِرِ الْمَعْذُورِ أَنْ يُوَكِّلَ وَلَا يَجُوزُ لِلْحَاضِرِ غَيْرِ الْمَعْذُورِ أَنْ يُوَكِّلَ.

Abu Ḥanīfah berpendapat: Boleh bagi yang tidak hadir dan yang hadir karena uzur untuk mewakilkan, namun tidak boleh bagi yang hadir tanpa uzur untuk mewakilkan.

وَاسْتَدَلَّ أبو حنيفة عليها لتقارب الخلاف بينهما يقول تَعَالَى: {وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ} [النور: 48] وَمَنِ امْتَنَعَ عَنِ الْحُضُورِ بِالْوَكَالَةِ كَانَ مُعْرِضًا عَنِ الْإِجَابَةِ.

Abu Ḥanīfah berdalil atasnya karena dekatnya perbedaan pendapat di antara keduanya, dengan firman Allah Ta‘ālā: {Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan perkara di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka berpaling} (an-Nūr: 48). Barang siapa yang enggan hadir dengan alasan wakālah, maka ia dianggap berpaling dari memenuhi panggilan.

وَبِمَا رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ فِي عَهْدِهِ إِلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ آسِ بَيْنَ النَّاسِ فِي وَجْهِكَ وَعَدْلِكَ وَمَجْلِسِكَ وَفِي مُقَابَلَةِ الْخَصْمِ بِالْوَكِيلِ عَدَمُ الْمُسَاوَاةِ بَيْنَ الْخَصْمَيْنِ وَلِأَنَّ حُضُورَ الْخَصْمِ حَقٌّ مِنْ حُقُوقِ الْمُدَّعِي بِدَلَالَةِ مَا يَسْتَحِقُّهُ مِنْ مُلَازَمَةٍ لِلْخُصُومَةِ وَمَنْعِهِ مِنَ اشْتِغَالِهِ وَفِي امْتِنَاعِهِ عَنِ الْحُضُورِ بِالتَّوْكِيلِ إِسْقَاطٌ لِحَقِّ الْمُدَّعِي مِنَ الْحُضُورِ وَلِأَنَّ جَوَابَ الدَّعْوَى مُسْتَحَقٌّ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ وَقَدْ يَكُونُ الْجَوَابُ تَارَةً إِقْرَارًا وتارة إِنْكَارًا وَالْوَكِيلُ يَقُومُ مَقَامَهُ فِي الْإِنْكَارِ دُونَ الْإِقْرَارِ. فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَبْطُلَ بِالتَّوْكِيلِ حَقُّهُ فِي أَحَدِ الْجَوَابَيْنِ وَمَا قَدْ يَسْتَحِقُّهُ مِنَ الْيَمِينِ الَّتِي لَا يَنُوبُ الْوَكِيلُ عَنْهُ فِيهَا وَلِأَنَّ الْوَكِيلَ فَرْعٌ لِمُوَكِّلِهِ كَالشَّهَادَةِ عَلَى الشَّهَادَةِ هِيَ فَرْعٌ عَلَى شُهُودِ الْأَصْلِ فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَسْمَعَ شُهُودَ الْفَرْعِ إِلَّا بَعْدَ الْعَجْزِ عَنْ شُهُودِ الْأَصْلِ وَجَبَ أَلَّا يَقْتَنِعَ بِالْوَكِيلِ إِلَّا بَعْدَ الْعَجْزِ عَنِ الْمُوَكِّلِ. وَلِأَنَّ الْوَكِيلَ نَائِبٌ عَنْ مُوَكِّلِهِ كَالْوَصِيِّ وَالْوَلِيِّ عَلَى الْيَتِيمِ فَلَمَّا ثَبَتَتِ الْوَلَايَةُ لِعَجْزِ الْمُوَلَّى عَلَيْهِ وَجَبَ أَنْ تَصِحَّ الْوَكَالَةُ لِعَجْزِ الْمُوَكِّلِ.

Dan juga berdasarkan riwayat bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu menulis pada masa pemerintahannya kepada Abū Mūsā al-Asy‘arī: “Samakanlah manusia dalam pandanganmu, keadilanmu, dan majlismu.” Dalam menghadapi lawan dengan wakil, terdapat ketidaksetaraan antara kedua pihak yang bersengketa. Karena kehadiran pihak yang bersengketa adalah hak dari pihak penggugat, sebagaimana ditunjukkan oleh kewajiban untuk selalu hadir dalam persengketaan dan mencegahnya dari kesibukan lain. Jika ia menolak hadir dengan alasan perwakilan, maka itu berarti menggugurkan hak penggugat atas kehadiran. Jawaban atas gugatan adalah kewajiban bagi tergugat, dan terkadang jawaban itu berupa pengakuan atau penolakan. Wakil hanya dapat menggantikan dalam penolakan, tidak dalam pengakuan. Maka tidak boleh dengan perwakilan haknya dalam salah satu jawaban menjadi batal, demikian pula hak untuk bersumpah yang tidak dapat diwakilkan oleh wakil. Wakil adalah cabang dari muwakkilnya, sebagaimana kesaksian atas kesaksian adalah cabang dari saksi asal. Ketika hakim tidak boleh mendengarkan saksi cabang kecuali setelah tidak mampu menghadirkan saksi asal, maka seharusnya tidak cukup dengan wakil kecuali setelah tidak mampu menghadirkan muwakkil. Wakil adalah pengganti muwakkilnya seperti washi (pelaksana wasiat) dan wali atas anak yatim. Ketika kewalian ditetapkan karena ketidakmampuan yang diwalikan, maka demikian pula wakālah menjadi sah karena ketidakmampuan muwakkil.

وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ سَمِعَ دَعْوَى حُوَيِّصَةَ وَمُحَيِّصَةَ عَلَى يَهُودِ خَيْبَرَ أَنَّهُمْ قَتَلُوا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَهْلٍ نِيَابَةً عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَهْلٍ وَوَلِيُّهُ كَانَ حَاضِرًا فَمَا أَنْكَرَ دَعْوَاهُمْ لَهُ مَعَ حضوره فلو كانت وَكَالَةُ الْحَاضِرِ غَيْرَ جَائِزَةٍ لِأَنْكَرَهَا حَتَّى يَبْتَدِئَ الْوَلِيُّ بِهَا أَلَا تَرَاهُ أَنْكَرَ عَلَى مُحَيِّصَةَ حِينَ ابْتَدَأَ بِالْكَلَامِ قَبِلَ حُوَيِّصَةَ وَقَالَ لَهُ كَبِّرْ كَبِّرْ وَلَيْسَ تَقْدِيمُ الْأَكْبَرِ بِوَاجِبٍ وَإِنَّمَا هُوَ أَدَبٌ فَكَيْفَ يَكُفُّ عَنْ إِنْكَارِ مَا هُوَ وَاجِبٌ؟

Dalil kami adalah riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau mendengar gugatan Huwaiṣah dan Muḥaiṣah terhadap orang-orang Yahudi Khaibar bahwa mereka telah membunuh ‘Abdullāh bin Sahl, sebagai wakil dari ‘Abdurraḥmān bin Sahl, sementara walinya hadir. Namun, Nabi tidak mengingkari gugatan mereka meskipun walinya hadir. Seandainya wakālah orang yang hadir tidak diperbolehkan, tentu beliau akan mengingkarinya hingga wali tersebut sendiri yang memulai gugatan. Tidakkah engkau melihat bahwa beliau mengingkari Muḥaiṣah ketika ia memulai berbicara sebelum Huwaiṣah, lalu beliau bersabda kepadanya, “Dahulukan yang lebih tua, dahulukan yang lebih tua.” Padahal mendahulukan yang lebih tua bukanlah kewajiban, melainkan adab. Maka bagaimana mungkin beliau tidak mengingkari sesuatu yang merupakan kewajiban?

وَرُوِيَ أَنَّ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَكَّلَ عَقِيلًا أَخَاهُ عِنْدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَلَعَلَّهُ عِنْدَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَعَلِيٌّ كَانَ حَاضِرًا وَوَكَّلَ أَيْضًا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَعْفَرٍ حِينَ أَسَنَّ عَقِيلٌ عِنْدَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ وَكَانَ عَلِيٌّ حَاضِرًا فَكَانَ ذَلِكَ مِنْهُمْ إِجْمَاعًا عَلَى وَكَالَةِ الْحَاضِرِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ صَحَّ تَوْكِيلُهُ إِذَا كَانَ غَائِبًا أَوْ مَرِيضًا صَحَّ تَوْكِيلُهُ وَإِنْ كَانَ حَاضِرًا صَحِيحًا كَالتَّوْكِيلِ فِي الْعُقُودِ وَاسْتِخْرَاجِ الدُّيُونِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ صَحَّ تَوْكِيلُهُ فِي الْعُقُودِ مَعَ الْغَيْبَةِ صَحَّ تَوْكِيلُهُ مَعَ الْحُضُورِ كَالْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ وَلِأَنَّهُ شَرْطٌ فِي صِحَّتِهِ لَا يَخْتَلِفُ بِمَرَضِ الْعَاقِدِ وَصِحَّتِهِ وَحُضُورِهِ وَغَيْبَتِهِ كَسَائِرِ الْعُقُودِ وَلِأَنَّ مَقْصُودَ الْوَكَالَةِ إِنَّمَا هُوَ مَعُونَةُ مَنْ كَانَ ضَعِيفًا أَوْ صِيَانَةُ مَنْ كَانَ مَهِيبًا وَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ فِي غَيْرِ الْمَعْذُورِ كَوُجُودِهِ فِي الْمَعْذُورِ.

Diriwayatkan pula bahwa ‘Alī bin Abī Ṭālib raḍiyallāhu ‘anhu mewakilkan saudaranya, ‘Aqīl, di hadapan ‘Umar bin al-Khaṭṭāb, dan mungkin juga di hadapan Abū Bakr raḍiyallāhu ‘anhumā, padahal ‘Alī hadir. Ia juga mewakilkan ‘Abdullāh bin Ja‘far ketika ‘Aqīl telah lanjut usia di hadapan ‘Uthmān bin ‘Affān, dan ‘Alī juga hadir. Maka hal itu merupakan ijmā‘ dari mereka tentang bolehnya wakālah orang yang hadir. Selain itu, setiap orang yang sah melakukan tawkil ketika ia tidak hadir atau sedang sakit, maka sah pula tawkilnya meskipun ia hadir dan sehat, seperti tawkil dalam akad dan penagihan utang. Dan setiap orang yang sah melakukan tawkil dalam akad ketika tidak hadir, maka sah pula tawkilnya ketika hadir, seperti orang sakit dan musafir. Sebab, syarat sahnya tidak berbeda antara sakit dan sehat, hadir dan tidak hadir, sebagaimana pada akad-akad lainnya. Tujuan wakālah adalah membantu orang yang lemah atau menjaga kehormatan orang yang terpandang, dan makna ini juga terdapat pada orang yang tidak berudzur sebagaimana pada orang yang berudzur.

فَأَمَّا جَوَابُهُ عَنِ الْآيَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas dalil ayat tersebut ada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَنْ وَكَّلَ عَنْ نَفْسِهِ لَمْ يَكُنْ مُعْرِضًا عَنِ الْإِجَابَةِ.

Pertama: Bahwa orang yang mewakilkan atas dirinya sendiri tidaklah berpaling dari menjawab.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ دَعَا إِلَى الدَّيْنِ وَذَلِكَ مِمَّا لَا يَصِحُّ فِيهِ التَّوْكِيلُ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِ عَمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَهُوَ أَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا الْوَكَالَةَ فَلَمْ يَكُنْ فِيهِ إِبْطَالُ التَّسَاوِي.

Kedua: Bahwa ia memanggil untuk urusan utang, dan itu termasuk perkara yang tidak sah diwakilkan. Adapun jawaban atas perkataan ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu adalah bahwa masing-masing dari keduanya berhak melakukan wakālah, sehingga tidak ada pembatalan atas kesetaraan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ حُضُورَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ مِنْ حُقُوقِ الْمُدَّعِي فَهُوَ غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ لَوْ خَرَجَ مِنَ الدَّعْوَى بِغَيْرِ حُضُورٍ سَقَطَتِ الْمُطَالَبَةُ عَنْهُ ولو حضر من بغير خروج لَمْ تَسْقُطْ عَنْهُ فَثَبَتَ أَنَّ حَقَّ الْمُدَّعِي فِي الْخُرُوجِ فِي الدَّعْوَى لَا فِي حُضُورِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ وَلَا يَجُوزُ لِلْحَاكِمِ وَلَا لِلْمُدَّعِي قَطْعُهُ عَنِ اشْتِغَالِهِ إِذَا خَرَجَ مِنَ الدَّعْوَى أَوْ وَكَّلَ.

Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa kehadiran tergugat merupakan hak penggugat, maka itu tidak benar. Sebab, jika tergugat keluar dari perkara tanpa hadir, gugatan terhadapnya gugur. Namun jika ia hadir tanpa keluar dari perkara, gugatan tidak gugur darinya. Maka terbukti bahwa hak penggugat adalah pada keluarnya tergugat dari perkara, bukan pada kehadiran tergugat. Tidak boleh bagi hakim maupun penggugat untuk menghalangi tergugat dari kesibukannya jika ia telah keluar dari perkara atau telah mewakilkan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ الْجَوَابَ قَدْ يَكُونُ إِقْرَارًا فَهُوَ مَنْ يَخْرُجُ فِي دَيْنِهِ بِالْإِقْرَارِ مَعَ حُضُورِهِ كَانَ مُتَخَرِّجًا بِالْخُرُوجِ مِنَ الْحَقِّ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ.

Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa jawaban terkadang merupakan pengakuan, maka siapa pun yang keluar dari perkara dengan pengakuan atas utangnya saat ia hadir, berarti ia telah keluar dari hak yang dituntut darinya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالشَّهَادَةِ عَلَى الشَّهَادَةِ فَهُوَ جَمْعٌ بِغَيْرِ مَعْنًى ثُمَّ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas dalil mereka dengan syahādah ‘ala syahādah (kesaksian atas kesaksian), maka itu adalah penggabungan tanpa makna. Kemudian, perbedaan antara keduanya ada pada dua sisi:

أحدها: أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزْ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَسْمَعَ شُهُودَ الْفَرْعِ بِرِضَا الْخَصْمِ إِذَا كَانَ قَادِرًا عَلَى شُهُودِ الْأَصْلِ وَإِنْ جَازَ أَنْ يَسْمَعَ مِنَ الْوَكِيلِ بِرِضَا الْخَصْمِ مَعَ زَوَالِ الْعُذْرِ دَلَّ عَلَى اعْتِبَارِ الضَّرُورَةِ فِي الشَّهَادَةِ عَلَى الشَّهَادَةِ وَأَنَّهُ لَا اعْتِبَارَ بِالضَّرُورَةِ فِي الْوَكَالَةِ.

Pertama: Ketika tidak diperbolehkan bagi hakim untuk mendengarkan saksi cabang dengan kerelaan pihak lawan jika masih memungkinkan menghadirkan saksi pokok, sedangkan diperbolehkan mendengarkan dari wakil dengan kerelaan pihak lawan meskipun udzurnya telah hilang, maka hal itu menunjukkan bahwa dalam syahādah ‘ala syahādah dipertimbangkan adanya kebutuhan mendesak, sedangkan dalam wakālah tidak dipertimbangkan adanya kebutuhan mendesak.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْحَاكِمَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَحْكُمَ بِالشَّهَادَةِ عَلَى الشَّهَادَةِ إِلَّا بَعْدَ الْكَشْفِ عَنْ أَحْوَالِ الشُّهُودِ فَمَا لَمْ يُضْطَرَّ إِلَيْهَا لَمْ يُكَلَّفْ سَمَاعَهَا. وَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَسْمَعَ مِنَ الْخَصْمِ وَلَا يَكْشِفُ عَنْ حَالِهِ فَجَازَ سَمَاعُهُ مِمَّنْ لَمْ يُضْطَرَّ إِلَى السَّمَاعِ مِنْهُ.

Kedua: Seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara berdasarkan kesaksian atas kesaksian kecuali setelah meneliti keadaan para saksi. Selama belum ada kebutuhan mendesak terhadapnya, ia tidak dibebani untuk mendengarkannya. Namun, ia boleh mendengarkan dari pihak lawan tanpa meneliti keadaannya, sehingga boleh baginya mendengarkan dari orang yang tidak ada kebutuhan mendesak untuk didengarkan darinya.

وَأَمَّا استدلالهم بالوصي والولي فذلك لأنه نائب عن من لَمْ يَخْتَرْهُ فَلَمْ يَجُزْ إِلَّا مَعَ الضَّرُورَةِ والوكيل نائب عن من اخْتَارَهُ فَجَازَ ارْتِفَاعُ الضَّرُورَةِ.

Adapun dalil mereka dengan washi (pelaksana wasiat) dan wali, hal itu karena keduanya adalah wakil dari orang yang tidak memilihnya, sehingga tidak diperbolehkan kecuali dalam keadaan darurat. Sedangkan wakil (wakil biasa) adalah wakil dari orang yang memilihnya, sehingga gugurnya keadaan darurat diperbolehkan.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الْوَكَالَةِ مِنَ الْمَرْأَةِ الْبَرْزَةِ وَغَيْرِ الْبَرْزَةِ وَمِنَ الرَّجُلِ الْمَعْذُورِ وَغَيْرِ الْمَعْذُورِ انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى فَصْلَيْنِ: –

Jika telah tetap bolehnya perwakilan (wakālah) dari perempuan yang berani tampil di muka umum maupun yang tidak, dan dari laki-laki yang berhalangan maupun yang tidak, maka pembahasan berpindah kepada dua bagian:

أَحَدُهُمَا: مَنْ يَجُوزُ أَنْ يُوَكِّلَ.

Pertama: Siapa saja yang boleh mewakilkan.

وَالثَّانِي: مَنْ يَجُوزُ أَنْ يَتَوَكَّلَ.

Kedua: Siapa saja yang boleh menjadi wakil.

فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ وَهُوَ مَنْ يَجُوزُ أَنْ يُوَكَّلَ فَهُوَ أَنَّ كُلَّ مَنْ جَازَ تَصَرُّفُهُ فِي شَيْءٍ تَصِحُّ فِيهِ. النِّيَابَةُ، جَازَ أَنْ يُوَكِّلَ غَيْرَهُ فِي ذَلِكَ الشَّيْءِ.

Adapun bagian pertama, yaitu siapa saja yang boleh mewakilkan, maka setiap orang yang sah tindakannya dalam suatu perkara yang membolehkan adanya perwakilan, maka boleh baginya mewakilkan orang lain dalam perkara tersebut.

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ انْقَسَمَتْ أَحْوَالُ النَّاسِ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: –

Dengan demikian, keadaan manusia terbagi menjadi tiga golongan:

قِسْمٌ يَجُوزُ تَصَرُّفُهُمْ عَلَى الْأَحْوَالِ كُلِّهَا وَهُمْ مَنْ كَانَ بَالِغًا عَاقِلًا حُرًّا رَشِيدًا فَتَصَرُّفُهُمْ فِي الْأَحْوَالِ كُلِّهَا جَائِزٌ عَلَى الْإِطْلَاقِ فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ لَهُمْ أَنْ يُوَكِّلُوا إِذَا كَانَ تَصَرُّفُهُمْ تَصَرُّفَ مِلْكٍ لَا نِيَابَةٍ. فَأَمَّا الْمُتَصَرِّفُ فِيهِ بِنِيَابَةٍ عَنْ غَيْرِهِ فَضَرْبَانِ:

Golongan yang sah tindakannya dalam segala keadaan, yaitu mereka yang telah baligh, berakal, merdeka, dan cerdas. Tindakan mereka dalam segala keadaan dibolehkan secara mutlak. Oleh karena itu, mereka boleh mewakilkan jika tindakannya merupakan tindakan kepemilikan, bukan perwakilan. Adapun yang bertindak atas nama orang lain sebagai wakil, maka terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ تَصَرُّفُهُ بِإِذْنِ مَنْ يَنُوبُ عَنْهُ كَالْوَكِيلِ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُوَكِّلَ عَنْ نَفْسِهِ فِيمَا وُكِّلَ فِيهِ إِلَّا بِإِذْنٍ مِنْ مُوَكِّلِهِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ مِنْ تَقْسِيمِ الْأَحْوَالِ فِيهِ.

Pertama: Tindakannya atas izin dari orang yang diwakilinya, seperti wakil (agen), maka ia tidak boleh mewakilkan atas namanya sendiri dalam perkara yang diwakilkan kepadanya kecuali dengan izin dari pemberi kuasa, sebagaimana akan dijelaskan dalam pembagian keadaannya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ تَصَرُّفُهُ بِغَيْرِ إِذْنِ مَنْ يَنُوبُ عَنْهُ كَالْوَصِيِّ وَوَلِيِّ الْيَتِيمِ وَأَبِ الطِّفْلِ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُوَكِّلَ عَنْ نَفْسِهِ إِنْ شَاءَ فَكِلَا الْأَمْرَيْنِ جَائِزٌ فَهَذَا قِسْمٌ.

Kedua: Tindakannya tanpa izin dari orang yang diwakilinya, seperti washi (pelaksana wasiat), wali anak yatim, dan ayah dari anak kecil, maka ia boleh mewakilkan atas namanya sendiri jika ia menghendaki. Kedua keadaan ini dibolehkan, inilah satu golongan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَنْ لَا يَجُوزُ تَصَرُّفُهُمْ عَلَى الْأَحْوَالِ كُلِّهَا وَهُمُ الصِّبْيَانُ وَالْمَجَانِينُ فَلَا يَجُوزُ تَوْكِيلُهُمْ وَإِنَّمَا يَجُوزُ لِوَلِيِّهِمْ أَنْ يُوَكِّلَ عَنْهُمْ فَلَوْ أَنَّ صَبِيًّا وَكَّلَ ثُمَّ بَلَغَ أَوْ مَجْنُونًا وَكَّلَ ثُمَّ أَفَاقَ كَانَتِ الْوَكَالَةُ بَاطِلَةً لِفَسَادِ وُقُوعِهَا فَلَمْ يَصِحَّ لِجَوَازِ الْأَمْرَيْنِ مِنْ بَعْدُ.

Golongan kedua: Mereka yang tidak sah tindakannya dalam segala keadaan, yaitu anak-anak dan orang gila. Tidak sah perwakilan dari mereka, namun wali mereka boleh mewakilkan atas nama mereka. Jika seorang anak menunjuk wakil lalu ia baligh, atau orang gila menunjuk wakil lalu ia sembuh, maka perwakilan tersebut batal karena rusaknya pelaksanaan pada saat itu, sehingga tidak sah meskipun kedua keadaan itu terjadi setelahnya.

فَأَمَّا الْعَاقِلُ إِذَا وَكَّلَ عَنْ نَفْسِهِ ثُمَّ جُنَّ بَعْدَ تَوْكِيلِهِ فَلَهُ حَالَتَانِ: –

Adapun orang berakal yang mewakilkan atas namanya sendiri lalu ia menjadi gila setelah mewakilkan, maka ada dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَطُولَ بِهِ الْجُنُونُ حَتَّى يَصِيرَ إِلَى حَالٍ يُوَلَّى عَلَيْهِ فَالْوَكَالَةُ قَدْ بَطَلَتْ لِأَنَّهُ لَمَّا صَارَ بِالْجُنُونِ بَاطِلَ التَّصَرُّفِ كَانَ تَصَرُّفُ مَنْ تَوَكَّلَ مِنْ جِهَتِهِ أَبْطَلَ.

Pertama: Gilanya berlangsung lama hingga ia berada dalam keadaan yang memerlukan wali, maka perwakilan tersebut batal, karena ketika ia menjadi tidak sah bertindak akibat gilanya, maka tindakan orang yang menjadi wakil darinya juga menjadi batal.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يَطُولَ بِهِ الْجُنُونُ حَتَّى يُفِيقَ مِنْهُ سَرِيعًا قَبْلَ أَنْ يُوَلَّى عَلَيْهِ فَالظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ بُطْلَانُ الْوَكَالَةِ لِلْمَعْنَى الَّذِي ذَكَرْنَا وَسَوَاءٌ صَارَ مَأْلُوفًا أَوْ غَيْرَ مَأْلُوفٍ.

Kedua: Gilanya tidak berlangsung lama, sehingga ia segera sembuh sebelum memerlukan wali, maka pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i adalah batalnya perwakilan karena alasan yang telah disebutkan, baik itu menjadi kebiasaan atau tidak.

وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ الْوَكَالَةُ صَحِيحَةٌ لَا تَبْطُلُ لَا سِيَّمَا إِذَا صَارَ مَأْلُوفًا لِأَنَّ قُصُورَ مُدَّتِهِ وَسُرْعَةَ إِفَاقَتِهِ تَجْعَلُهُ عَفْوًا كَأَوْقَاتِ النَّوْمِ لِانْتِفَاءِ الْخَوْفِ عَنْهُ.

Abu al-‘Abbas Ibn Surayj berpendapat bahwa perwakilan itu sah dan tidak batal, terutama jika sudah menjadi kebiasaan, karena singkatnya masa gila dan cepatnya kesembuhan menjadikannya seperti waktu tidur, sehingga tidak ada kekhawatiran darinya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَنْ يَجُوزُ تَصَرُّفُهُ عَلَى حَالٍ دُونَ حَالٍ وَفِي شَيْءٍ دُونَ شَيْءٍ وَهُمْ ثَلَاثَةٌ السَّفِيهُ وَالْمُفْلِسُ وَالْعَبْدُ.

Golongan ketiga: Mereka yang sah tindakannya dalam sebagian keadaan dan tidak sah dalam keadaan lain, serta dalam sebagian perkara dan tidak dalam perkara lain, yaitu tiga golongan: orang safih (boros), orang yang pailit, dan budak.

فَأَمَّا السَّفِيهُ فَيَجُوزُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِالطَّلَاقِ وَالْخُلْعِ وَالرَّجْعَةِ وَقَبُولِ الْوَصِيَّةِ وَالْهِبَةِ فَيَجُوزُ أَنْ يُوَكِّلَ مَنْ يَنُوبُ عَنْهُ فِي ذَلِكَ. وَلَا يَجُوزُ تَصَرُّفُهُ فِيمَا سِوَاهُ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُوَكِّلَ فِيهِ.

Adapun orang safih, maka ia boleh secara mandiri melakukan talak, khulu‘, rujuk, menerima wasiat, dan hibah, sehingga ia boleh mewakilkan orang lain untuk mewakilinya dalam hal-hal tersebut. Namun, tidak sah tindakannya dalam selain itu, dan tidak boleh mewakilkan dalam perkara selain itu.

وَأَمَّا الْمُفْلِسُ فَيَجُوزُ تَصَرُّفُهُ فِيمَا سِوَى الْمَالِ الَّذِي فِي يَدِهِ لِأَنَّ حَجْرَ الْمُفْلِسِ إِنَّمَا تَنَاوَلَ مَا بِيَدِهِ مِنَ الْمَالِ دُونَ غَيْرِهِ. فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُوَكِّلَ فِي الْمَالِ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ فِيهِ لِبُطْلَانِ تَصَرُّفِهِ فِيهِ وَيَجُوزُ أَنْ يُوَكَّلَ فِيمَا سِوَاهُ مِنْ عَقْدِ بَيْعٍ أَوْ نِكَاحٍ أَوْ غَيْرِهِ.

Adapun orang yang muflis, maka dibolehkan baginya melakukan tindakan (tasarruf) terhadap selain harta yang ada di tangannya, karena pembatasan terhadap orang muflis hanya mencakup harta yang ada di tangannya saja, tidak selainnya. Berdasarkan hal ini, tidak boleh baginya mewakilkan (mengangkat wakil) dalam harta yang dibatasi atasnya, karena batalnya tindakan atas harta tersebut. Namun, ia boleh mewakilkan dalam hal-hal selain itu, seperti akad jual beli, nikah, atau yang lainnya.

وَأَمَّا الْعَبْدُ فَتَصَرُّفُهُ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun budak, maka tindakannya terbagi menjadi dua jenis:

أَحَدُهُمَا: مَا لَا يَفْتَقِرُ فِيهِ إِلَى إِذْنِ السَّيِّدِ كَالطَّلَاقِ وَالْخُلْعِ وَالرَّجْعَةِ وَقَبُولِ الْوَصِيَّةِ وَالْهِبَةِ، فَيَجُوزُ أَنْ يُوَكِّلَ فِيهِ إِنْ بَاعَهُ السَّيِّدُ لَمْ تَبْطُلِ الْوَكَالَةُ وَكَذَلِكَ لَوْ أَعْتَقَهُ.

Pertama: perkara yang tidak membutuhkan izin tuan, seperti talak, khulu‘, ruju‘, menerima wasiat, dan hibah. Dalam hal ini, ia boleh mewakilkan. Jika tuannya menjual budak tersebut, maka wakalah (perwakilan) tidak batal, demikian pula jika ia dimerdekakan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا يَفْتَقِرُ إِلَى إِذْنِ السَّيِّدِ وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: perkara yang membutuhkan izin tuan, dan ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: مَا يَصِيرُ فِيهِ بِالْإِذْنِ مُتَصَرِّفًا فِي حَقِّ نَفْسِهِ دُونَ سَيِّدِهِ كَالنِّكَاحِ. فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُوَكِّلَ فِيهِ عَنْ نَفْسِهِ إِذَا أَذِنَ لَهُ السَّيِّدُ فِيهِ فَلَوْ بَاعَهُ السَّيِّدُ بَطَلَتِ الْوَكَالَةُ لِانْتِقَالِ الْحَقِّ إِلَى غَيْرِهِ وَلَوْ أَعْتَقَهُ لَمْ تَبْطُلِ الْوَكَالَةُ لِانْتِقَالِ الْحَقِّ إِلَى نفسه.

Pertama: perkara yang dengan izin, budak menjadi bertindak atas hak dirinya sendiri, bukan hak tuannya, seperti nikah. Maka ia boleh mewakilkan atas nama dirinya sendiri jika tuan mengizinkannya. Jika tuan menjualnya, maka batal wakalahnya karena hak berpindah kepada orang lain. Namun jika ia dimerdekakan, maka wakalah tidak batal karena hak berpindah kepada dirinya sendiri.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا يَكُونُ بِالْإِذْنِ مُتَصَرِّفًا فِي حَقِّ مُسْتَنِيبِهِ كَالْمَأْذُونِ لَهُ فِي التِّجَارَةِ فَيَكُونُ فِي التِّجَارَةِ الْمَأْذُونِ لَهُ فِيهَا بِمَثَابَةِ الْوَكِيلِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُوَكِّلَ فِيمَا يَقْدِرُ عَلَى التَّفَرُّدِ بِهِ إِلَّا بِصَرِيحِ إِذْنٍ مِنْ سَيِّدِهِ. فَإِنْ وَكَلَّهُ بِإِذْنِ السَّيِّدِ صَحَّ التَّوْكِيلُ فَلَوْ بَاعَهُ السَّيِّدُ بَطَلَتِ الْوَكَالَةُ وَكَذَلِكَ لَوْ أَعْتَقَهُ لِأَنَّهَا وَكَالَةٌ فِي نَفْسِهِ وَحَقِّ السَّيِّدِ.

Jenis kedua: perkara yang dengan izin, budak bertindak atas hak orang yang mewakilkannya, seperti budak yang diizinkan berdagang. Dalam perdagangan yang diizinkan ini, ia seperti seorang wakil. Maka tidak boleh ia mewakilkan dalam hal yang mampu ia lakukan sendiri kecuali dengan izin tegas dari tuannya. Jika ia mewakilkan dengan izin tuan, maka sah wakalahnya. Jika tuan menjualnya, maka batal wakalahnya, demikian pula jika ia dimerdekakan, karena ini adalah wakalah dalam hak dirinya dan hak tuannya.

فَأَمَّا الْمُكَاتَبُ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُوَكِّلَ بِإِذْنِ السَّيِّدِ وَغَيْرِ إِذْنِهِ لِجَوَازِ تَصَرُّفِهِ بِإِذْنٍ وَغَيْرِ إِذْنٍ. فلو وكل وكيلا عَجَزَ الْمُكَاتَبُ وَصَارَ رَقِيقًا بَطَلَتِ الْوَكَالَةُ لِأَنَّهَا وَكَالَةٌ فِي حَقِّ نَفْسِهِ. فَلَوْ أَدَّى وَعَتَقَ كَانَتِ الْوَكَالَةُ عَلَى حَالِهَا لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ اخْتِصَاصِهَا بِحُقِّ نَفْسِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun mukatab (budak yang sedang menebus dirinya), maka ia boleh mewakilkan dengan izin tuan maupun tanpa izin, karena sahnya tindakannya baik dengan izin maupun tanpa izin. Jika ia mewakilkan seorang wakil, lalu mukatab itu tidak mampu membayar dan kembali menjadi budak, maka batal wakalahnya karena ini adalah wakalah atas hak dirinya. Namun jika ia melunasi dan dimerdekakan, maka wakalah tetap berlaku sebagaimana sebelumnya, karena khusus berkaitan dengan hak dirinya. Allah Maha Mengetahui.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي وَهُوَ فِي مَنْ يَجُوزُ أَنْ يَتَوَكَّلَ لِغَيْرِهِ فَيَصِيرَ وَكِيلًا فَهُوَ أَنَّ كُلَّ مَنْ مَلَكَ التَّصَرُّفَ فِي شَيْءٍ تَصِحُّ فِيهِ النِّيَابَةُ، جَازَ أَنْ يَكُونَ وَكِيلَ غَيْرِهِ فِيهِ. وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَأَحْوَالُ النَّاسِ تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:

Adapun fasal kedua, yaitu tentang siapa yang boleh menjadi wakil bagi orang lain sehingga ia menjadi wakil, maka setiap orang yang memiliki hak bertindak dalam suatu perkara yang sah dilakukan perwakilan di dalamnya, boleh menjadi wakil bagi orang lain dalam perkara itu. Dengan demikian, keadaan manusia terbagi menjadi tiga golongan:

أَحَدُهَا: مَنْ يَجُوزُ تَصَرُّفُهُ فِي عُمُومِ الْأَحْوَالِ وَهُوَ الْبَالِغُ الْعَاقِلُ الْحُرُّ الرَّشِيدُ فَيَجُوزُ أَنْ يَتَوَكَّلَ فِي كُلِّ مَا تَصِحُّ فِيهِ الْوَكَالَةُ.

Pertama: orang yang sah tindakannya dalam seluruh keadaan, yaitu orang yang baligh, berakal, merdeka, dan rasyid (dewasa dan cakap). Maka ia boleh menjadi wakil dalam segala hal yang sah dilakukan wakalah.

فَأَمَّا الْفَاسِقُ فَتَصِحُّ وَكَالَتُهُ فِيمَا لَا وِلَايَةَ فِيهِ.

Adapun orang fasik, maka sah wakalahnya dalam perkara yang tidak mengandung wilayah (kekuasaan/hak perwalian).

فَأَمَّا مَا فِيهِ وِلَايَةٌ فَضَرْبَانِ: ضَرْبٌ تَكُونُ وِلَايَتُهُ عَلَى غَيْرِ الْإِذْنِ فِيمَا عليه وولي الْيَتِيمِ فَلَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا لَهُ وَلَا قَيِّمًا عَلَيْهِ.

Adapun perkara yang mengandung wilayah, maka terbagi menjadi dua: Pertama, wilayah yang tidak berdasarkan izin dari pihak yang diwakili, seperti wali yatim, maka tidak sah baginya menjadi wakil atau pengurus bagi anak yatim tersebut.

وَضَرْبٌ تَكُونُ وِلَايَتُهُ عَلَى الْإِذْنِ كَالنِّكَاحِ فَإِنْ كَانَ التَّوْكِيلُ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ جَازَ أَنْ يُوَكِّلَ فَاسِقًا لِأَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ فِي حَقِّ الزَّوْجِ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى وَلَايَةٍ عَلَيْهِ وَإِنَّمَا هِيَ نِيَابَةٌ عَنْهُ. وَإِنْ كَانَ التَّوْكِيلُ مِنْ جِهَةِ وَلِيِّ الزَّوْجَةِ فَفِي جَوَازِ تَوْكِيلِهِ الْفَاسِقَ وَجْهَانِ:

Kedua, wilayah yang berdasarkan izin, seperti nikah. Jika perwakilan berasal dari pihak suami, maka boleh ia mewakilkan kepada orang fasik, karena akad nikah bagi suami tidak membutuhkan wilayah atas dirinya, melainkan hanya sebagai perwakilan darinya. Namun jika perwakilan berasal dari wali pihak istri, maka dalam kebolehan mewakilkan kepada orang fasik terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ تَوْكِيلُهُ لِمَا فِيهِ فِي الْوَلَايَةِ الَّتِي يُنَافِيهَا الْفِسْقُ:

Pertama: tidak boleh mewakilkan kepadanya karena dalam wilayah tersebut terdapat unsur yang bertentangan dengan kefasikan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ تَوْكِيلُهُ لِأَنَّهُ مَأْمُورٌ وَلَيْسَ بِمُطْلَقِ الْوَلَايَةِ.

Pendapat kedua: boleh mewakilkan kepadanya karena ia hanya diperintah dan tidak memiliki wilayah secara mutlak.

فَأَمَّا الْكَافِرُ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَوَكَّلَ فِيمَا فِيهِ وِلَايَةٌ عَلَى مُسْلِمٍ وَلَا فِي نِكَاحِ مُسْلِمٍ لَا مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ وَلَا مِنْ جِهَةِ الزَّوْجَةِ لِأَنَّ نِكَاحَ الْمُسْلِمِ لَا يَنْعَقِدُ بِكَافِرٍ بِحَالٍ.

Adapun orang kafir, maka tidak boleh menjadi wakil dalam perkara yang mengandung wilayah atas seorang Muslim, dan tidak pula dalam pernikahan seorang Muslim, baik dari pihak suami maupun istri, karena pernikahan seorang Muslim tidak sah dengan perantaraan orang kafir dalam keadaan apa pun.

وَلَكِنْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا فِي نِكَاحِ كَافِرٍ. وَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا فِي طَلَاقِ مُسْلِمٍ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Namun, boleh menjadi wakil dalam pernikahan orang kafir. Apakah boleh menjadi wakil dalam talak seorang Muslim? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لِأَنَّهُ يَمْلِكُ الطَّلَاقَ.

Pertama: Boleh, karena ia memiliki hak untuk melakukan talak.

وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ طَلَاقَ مسلمة.

Kedua: Tidak boleh, karena ia tidak memiliki hak untuk menalak seorang Muslimah.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ تَصَرُّفُهُ فِي عُمُومِ الْأَحْوَالِ وَهُوَ الصَّبِيُّ وَالْمَجْنُونُ فَلَا يَصِحُّ أَنْ يَتَوَكَّلَا لِأَحَدٍ فَمَنْ وَكَّلَهُمَا كَانَتِ الْوَكَالَةُ بَاطِلَةً، فَلَوْ أَنَّ رَجُلًا وَكَّلَ عَاقِلًا ثُمَّ جُنَّ الْوَكِيلُ كَانَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فِي جُنُونِ الْمُوَكِّلِ إِنِ اسْتَدَامَ بِهِ إِلَى حَالٍ يَصِيرُ مُوَلًّى عَلَيْهِ بَطَلَ تَوْكِيلُهُ، وَإِنْ أَفَاقَ مِنْهُ قَرِيبًا بَطَلَتْ وَكَالَتُهُ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَجَازَتْ عَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ.

Bagian kedua: Tidak sah tindakannya dalam seluruh keadaan, yaitu anak kecil dan orang gila. Maka tidak sah keduanya menjadi wakil bagi siapa pun. Barang siapa mewakilkan kepada keduanya, maka wakalah tersebut batal. Jika seseorang mewakilkan kepada orang berakal, lalu si wakil menjadi gila, maka berlaku sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam kasus kegilaan muwakkil (pemberi kuasa): jika kegilaan itu berlanjut hingga ia menjadi orang yang berada di bawah perwalian, maka batal wakalahnya; namun jika ia segera sadar, maka batal wakalahnya menurut mazhab asy-Syafi‘i, dan tetap sah menurut pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَنْ يَجُوزُ تَصَرُّفُهُمْ فِي شَيْءٍ دُونَ شَيْءٍ وَهُمْ ضَرْبَانِ: –

Bagian ketiga: Orang yang sah tindakannya dalam sebagian perkara namun tidak dalam perkara lain, dan mereka terbagi menjadi dua kelompok:

أَحَدُهُمَا: مَنْ مُنِعَ التَّصَرُّفَ لِحَقِّ نَفْسِهِ كَالسَّفِيهِ يَجُوزُ أَنْ يَتَوَكَّلَ فِيمَا يَجُوزُ تَصَرُّفُهُ فِيهِ مِنَ الطَّلَاقِ وَالْخُلْعِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَوَكَّلَ فِيمَا لَا يَجُوزُ التَّصَرُّفُ فِيهِ مِنْ بَيْعٍ أَوْ نِكَاحٍ أَوْ غَيْرِهِ لِأَنَّهُ لَمَّا بَطَلَتْ عُقُودُهُ بِالسَّفَهِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ كَانَ أَوْلَى أَنْ تَبْطُلَ فِي حَقِّ غَيْرِهِ.

Pertama: Orang yang dilarang bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri, seperti orang safih (tidak cakap mengelola harta), maka boleh baginya menjadi wakil dalam perkara yang sah ia lakukan, seperti talak dan khulu‘, dan tidak boleh menjadi wakil dalam perkara yang tidak sah ia lakukan seperti jual beli, nikah, atau selainnya. Sebab, ketika akad-akadnya batal karena safih untuk dirinya sendiri, maka lebih utama lagi batal untuk orang lain.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَنْ مَنَعَ مِنْ إِطْلَاقِ التَّصَرُّفِ لِحَقِّ غَيْرِهِ كَالْعَبْدِ الْمَمْنُوعِ مِنَ التَّصَرُّفِ لِحَقِّ سَيِّدِهِ لَا لِعَدَمِ رُشْدِهِ فَلِلسَّيِّدِ مَنْعُهُ أَنْ يَتَوَكَّلَ لِغَيْرِهِ فِيمَا يَجُوزُ تَصَرُّفُهُ فِيهِ وَمَا لَا يَجُوزُ لِمَا فِي تَشَاغُلِهِ بِالْوَكَالَةِ فِي تَفْوِيتِ مَنَافِعِ السَّيِّدِ، فَإِنْ أَذِنَ لَهُ السَّيِّدُ جَازَ أَنْ يَتَوَكَّلَ لِسَيِّدِهِ وَغَيْرِ سَيِّدِهِ. ثُمَّ لَا يَخْلُو مَا يُوَكَّلُ فِيهِ مِنْ أَنْ يَكُونَ فِيهِ مَعْنًى مِنْ مَعَانِي الْوِلَايَاتِ كَعُقُودِ الْبِيَاعَاتِ وَالْإِجَازَةِ، وَالدَّعْوَى وَالْمُخَاصَمَاتِ فَيَجُوزُ أَنْ يَتَوَكَّلَ فِيهَا وَإِنْ كَانَ فِيهَا مِنْ مَعَانِي الْوِلَايَاتِ، فَإِنْ كَانَتْ عَلَى غَيْرِ الْمُوَكِّلِ كَالْوِلَايَةِ عَلَى طِفْلٍ أَوْ فِي مَالِ يَتِيمٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا فِيهِ، وَإِنْ كَانَتْ عَلَى الْمُوَكِّلِ كَالنِّكَاحِ فَإِنْ تَوَكَّلَ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ صَحَّ وَإِنْ تَوَكَّلَ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجَةِ كَانَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ فَلَوْ تَوَكَّلَ الْعَبْدُ فِيمَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا فِيهِ ثُمَّ بَاعَهُ السَّيِّدُ بَطَلَتِ الْوَكَالَةُ لِمَا قَدْ مَلَكَهُ الْمُشْتَرِي مِنْ مَنَافِعِهِ، وَسَوَاءٌ كَانَ قَدْ تَوَكَّلَ لِسَيِّدِهِ أَوْ لِغَيْرِهِ فَإِنْ جَدَّدَ لَهُ الْمُشْتَرِي إِذْنًا بِالْوَكَالَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ فَهَلْ يَحْتَاجُ إِلَى تَجْدِيدِ إِذْنٍ مِنَ الْمُوَكِّلِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kelompok kedua: Orang yang dilarang bertindak secara bebas demi kepentingan orang lain, seperti budak yang dilarang bertindak demi kepentingan tuannya, bukan karena kurangnya kecakapan. Maka tuan berhak melarangnya menjadi wakil bagi orang lain, baik dalam perkara yang boleh ia lakukan maupun yang tidak boleh, karena kesibukannya dengan wakalah dapat menyebabkan hilangnya manfaat bagi tuan. Jika tuan mengizinkannya, maka boleh ia menjadi wakil untuk tuannya maupun selain tuannya. Kemudian, perkara yang diwakilkan tidak lepas dari adanya unsur wilayah, seperti akad jual beli, ijazah, gugatan, dan persengketaan; maka boleh ia menjadi wakil dalam perkara-perkara tersebut meskipun mengandung unsur wilayah. Jika perkara itu berkaitan dengan selain muwakkil, seperti perwalian atas anak kecil atau harta yatim, maka tidak boleh ia menjadi wakil dalam hal itu. Namun jika berkaitan dengan muwakkil, seperti nikah, maka jika ia menjadi wakil dari pihak suami, sah; dan jika dari pihak istri, maka berlaku sebagaimana dua pendapat yang telah disebutkan. Jika budak menjadi wakil dalam perkara yang sah ia menjadi wakil, lalu tuannya menjualnya, maka batal wakalahnya karena pembeli telah memiliki manfaat dirinya, baik ia menjadi wakil untuk tuannya maupun untuk selainnya. Jika pembeli memperbarui izin untuk wakalah yang telah lalu, apakah perlu pembaruan izin dari muwakkil atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ لَا يَحْتَاجُ إِلَى تَجْدِيدِ إِذْنِهِ وَيَصِيرُ عَلَى وَكَالَتِهِ بِمَا تَقَدَّمَ مِنْ إِذْنِ مُوَكِّلِهِ إِذَا جَدَّدَ لَهُ الْمُشْتَرِي إِذْنًا بِالْوَكَالَةِ لِأَنَّ مَنْعَهُ مِنَ الْوَكَالَةِ إِنَّمَا كَانَ لِحَقِّ الْمُشْتَرِي فَارْتَفَعْ بِحُدُوثِ إِذْنِهِ وَحْدَهُ.

Pertama: Ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj, bahwa tidak perlu memperbarui izinnya, dan ia tetap pada wakalahnya berdasarkan izin muwakkil yang terdahulu jika pembeli telah memperbarui izin wakalah, karena larangan menjadi wakil itu semata-mata demi hak pembeli, sehingga larangan itu hilang dengan adanya izin dari pembeli saja.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ أَنَّ الْوَكَالَةَ قَدْ بَطَلَتْ فَلَا تَصِحُّ إِلَّا بِتَجْدِيدِ إِذْنٍ مِنْ جِهَةِ الْمُوَكِّلِ لِأَنَّ إِبْطَالَهَا قَدْ رَفَعَ أَسْبَابَهَا كَمَا أَنَّ الْعَقْدَ إِذَا بَطَلَ لَمْ يَصِحَّ بِالْإِجَازَةِ حَتَّى يَبْتَدِئَ عَقْدًا صَحِيحًا.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih kuat: Wakalah telah batal, sehingga tidak sah kecuali dengan pembaruan izin dari muwakkil, karena pembatalan tersebut telah menghapus sebab-sebabnya, sebagaimana akad yang batal tidak sah dengan ijazah kecuali dengan memulai akad yang sah dari awal.

فَأَمَّا إِنْ أَعْتَقَهُ السَّيِّدُ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا لِسَيِّدِهِ أَوْ غَيْرِ سَيِّدِهِ فَإِنْ كَانَ وَكِيلًا لِغَيْرِ سَيِّدِهِ لَمْ تَبْطُلِ الْوَكَالَةُ بِعِتْقِهِ وَإِنْ كَانَ وَكِيلًا لِسَيِّدِهِ فَفِي بُطْلَانِ الْوَكَالَةِ بِعِتْقِهِ وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا لَا تَثْبُتُ وَكَالَةُ غَيْرِهِ.

Adapun jika tuannya memerdekakannya, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: ia menjadi wakil bagi tuannya atau bagi selain tuannya. Jika ia menjadi wakil bagi selain tuannya, maka keagenan (wakalah) tidak batal dengan kemerdekaannya. Namun jika ia menjadi wakil bagi tuannya, maka dalam batal atau tidaknya keagenan karena kemerdekaannya terdapat dua pendapat; salah satunya adalah keagenan selain tuannya tidak tetap.

وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ تَبْطُلُ وَكَالَتُهُ لِأَنَّهَا مِنْ جِهَةِ السَّيِّدِ أَمْرٌ فَبَطَلَتْ كَسَائِرِ أَوَامِرِهِ الَّتِي تَبْطُلُ بِعِتْقِهِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas Ibn Surayj, keagenannya batal karena keagenan itu berasal dari pihak tuan, maka batal sebagaimana seluruh perintah tuan yang batal dengan kemerdekaannya.

فَأَمَّا الْمَرْأَةُ فَيَجُوزُ أَنْ تَتَوَكَّلَ لِزَوْجِهَا، فَأَمَّا غَيْرُ زَوْجِهَا فَلَا يَجُوزُ أَنْ تَتَوَكَّلَ إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا لِمَا قَدْ مَلَكَهُ الزَّوْجُ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا وَأَنَّ لَهُ مَنْعَهَا مِنَ الْخُرُوجِ لِتَصَرُّفِهَا. وَإِنَّ وَكَّلَهَا الزَّوْجُ أَوْ غَيْرُهُ جَازَ، فِيمَا سِوَى النِّكَاحِ وَالطَّلَاقِ. فَإِنْ وُكِّلَتْ فِي النِّكَاحِ كَانَ بَاطِلًا لِأَنَّ الْمَرْأَةَ لَا تَمْلِكُ عَقْدَ النِّكَاحِ. وَإِنْ وُكِّلَتْ فِي الطَّلَاقِ كَانَ فِي صِحَّةِ الْوَكَالَةِ وَجْهَانِ:

Adapun perempuan, maka boleh menjadi wakil bagi suaminya. Adapun bagi selain suaminya, maka tidak boleh menjadi wakil kecuali dengan izin suaminya, karena suami memiliki hak untuk menikmati dirinya dan berhak melarangnya keluar untuk melakukan suatu tindakan. Jika suami atau selain suami mewakilkannya, maka itu boleh, kecuali dalam hal nikah dan talak. Jika ia diangkat sebagai wakil dalam pernikahan, maka itu batal karena perempuan tidak memiliki hak untuk mengadakan akad nikah. Jika ia diangkat sebagai wakil dalam talak, maka dalam keabsahan keagenan terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلَةٌ لِأَنَّهَا لَا تَمْلِكُ الطَّلَاقَ.

Salah satunya: batal karena ia tidak memiliki hak untuk menjatuhkan talak.

وَالثَّانِي: جَائِزَةٌ لِأَنَّهَا لَوْ مَلَكَتْ طَلَاقَ نَفْسِهَا صَحَّ فَجَازَ أَنْ تَتَوَكَّلَ فِي طَلَاقِ غَيْرِهَا، فَلَوْ وَكَّلَتْ ثُمَّ طَلَّقَهَا الزَّوْجُ كَانَتِ الْوَكَالَةُ عَلَى حَالِهَا سَوَاءٌ تَوَكَّلَتْ لِلزَّوْجِ أَوْ لِغَيْرِهِ لِأَنَّهَا وَكَالَةٌ وَلَيْسَتْ أَمْرًا يَلْزَمُ امْتِثَالُهُ كَالسَّيِّدِ مَعَ عَبْدِهِ.

Pendapat kedua: boleh, karena jika ia memiliki hak untuk menalak dirinya sendiri, maka sah, sehingga boleh baginya menjadi wakil dalam menalak orang lain. Jika ia telah menjadi wakil, kemudian suaminya menalaknya, maka keagenan tetap berlaku, baik ia menjadi wakil untuk suaminya maupun untuk selainnya, karena itu adalah keagenan dan bukan perintah yang harus ditaati sebagaimana hubungan tuan dengan budaknya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الْمُزَنِيُّ رضي الله عنه: ” حَضَرَ خَصْمٌ أَوْ لَمْ يَحْضُرْ جَائِزٌ (قَالَ الشافعي) لَيْسَ الْخَصْمُ مِنَ الْوَكَالَةِ بِسَبِيلٍ وَقَدْ يُقْضَى لِلْخَصْمِ عَلَى الْمُوَكِّلِ فَيَكُونُ حَقًّا يَثْبُتُ لَهُ بِالتَّوْكِيلِ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Hadir atau tidaknya pihak lawan, keagenan tetap sah.” (Imam Syafi‘i berkata): “Pihak lawan bukanlah bagian dari keagenan, dan terkadang diputuskan untuk pihak lawan atas muwakkil sehingga menjadi hak yang tetap baginya melalui keagenan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: يَجُوزُ ثُبُوتُ الْوَكَالَةِ عِنْدَ الْحَاكِمِ وَإِنْ كَانَ الْخَصْمُ غَائِبًا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: sah tetapnya keagenan di hadapan hakim meskipun pihak lawan tidak hadir.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَصِحُّ ثُبُوتُ الْوَكَالَةِ عَلَى خَصْمٍ غَائِبٍ إِلَّا فِي ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مَرِيضًا أَوْ يُرِيدُ سَفَرًا أَوْ يُقِرُّ بِهَا الْمُوَكِّلُ عِنْدَ الْحَاكِمِ، فَأَمَّا بِالْبَيِّنَةِ فَلَا يَسْمَعُهَا إِلَّا بِحُضُورِ خَصْمٍ وَإِنْ كَانُوا جَمَاعَةً صَحَّ ثُبُوتُهَا بِحُضُورِ أَحَدِهِمْ، وَجَعَلَ امْتِنَاعَهُ فِي ثُبُوتِ الْوَكَالَةِ عَلَى غَيْرِ خَصْمٍ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي الْقَضَاءِ عَلَى الْغَائِبِ لَا يَجُوزُ وَفِي إِثْبَاتِ الْوَكَالَةِ عَلَيْهِ قَضَاءٌ عَلَى غَائِبٍ.

Abu Hanifah berkata: Tidak sah tetapnya keagenan atas pihak lawan yang tidak hadir kecuali dalam tiga keadaan: jika ia sakit, atau hendak bepergian, atau muwakkil mengakuinya di hadapan hakim. Adapun dengan bukti (saksi), maka tidak diterima kecuali dengan kehadiran pihak lawan. Jika mereka (pihak lawan) berkelompok, maka sah tetapnya keagenan dengan kehadiran salah satu dari mereka. Ia menjadikan ketidaksahannya dalam tetapnya keagenan atas selain pihak lawan berdasarkan pendapat asalnya dalam memutuskan perkara atas orang yang tidak hadir, yaitu tidak boleh, dan dalam menetapkan keagenan atasnya berarti memutuskan perkara atas orang yang tidak hadir.

وَدَلِيلُنَا عَلَيْهِ مَعَ مُخَالَفَتِنَا للأصل الَّذِي عَلَيْهِ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَّلَ عَقِيلًا وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَعْفَرٍ وَلَمْ يكن عنده تَوْكِيلِهِ إِيَّاهُمَا خَصْمٌ وَهَذِهِ حَالٌ مَشْهُورَةٌ فِي الصَّحَابَةِ وَكُلٌّ أَقَرَّ عَلَيْهَا وَلَمْ يُخَالِفْ فِيهَا. وَلِأَنَّهُ مُوَكَّلٌ فِي حَقِّ نَفْسِهِ فَلَمْ يُعْتَبَرْ فِيهِ حُضُورُ الْخَصْمِ كَالْوَكَالَةِ فِي اسْتِخْرَاجِ الدُّيُونِ ولأن ما يُشْتَرَطْ فِي عَقْدِ الْوَكَالَةِ عِنْدَ مَرَضِ الْمُوَكِّلِ وَسَفَرِهِ لَمْ يُشْتَرَطْ فِيهِ عِنْدَ حُضُورِهِ وَمَغِيبِهِ كَالشَّهَادَةِ طَرْدًا وَالْقَوْلِ عَكْسًا وَلِأَنَّهُ تَوْكِيلٌ فَوَجَبَ أَنْ يَتِمَّ بِالْمُوَكِّلِ وَالْوَكِيلِ كَالتَّوْكِيلِ فِي الْعُقُودِ وَلِأَنَّ مَا تَنْعَقِدُ بِهِ الْوَكَالَةُ فِي الْعُقُودِ تَنْعَقِدُ بِهِ الْوَكَالَةُ فِي مُطَالَبَةِ الْخُصُومِ كَوَكَالَةِ الْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ. وَلِأَنَّهُ تَوْكِيلٌ لَمْ يُشْتَرَطْ فِيهِ رِضَا الْخَصْمِ فَلَمْ يُشْتَرَطْ فِيهِ حُضُورُهُ. وَأَصْلُهُ إِذَا أَقَرَّ بِالْوَكَالَةِ أَوْ وُكِّلَ عَنْهُ حَاكِمٌ وَلِأَنَّهُ مُسْتَعَانٌ بِهِ فِي الْخُصُومَةِ فَلَمْ يُشْتَرَطْ فِيهِ حُضُورُ الْخَصْمِ كَإِشْهَادِ الشُّهُودِ.

Dalil kami atas hal ini, meskipun berbeda dengan pendapat asal mereka, adalah bahwa Ali ra. pernah mewakilkan kepada ‘Aqil dan Abdullah bin Ja‘far, dan pada saat itu tidak ada pihak lawan dalam pendelegasian tersebut, dan ini adalah keadaan yang masyhur di kalangan para sahabat, dan semuanya menyetujuinya serta tidak ada yang menentangnya. Karena ia adalah wakil dalam hak dirinya sendiri, maka tidak disyaratkan kehadiran pihak lawan di dalamnya, sebagaimana keagenan dalam penagihan utang. Dan apa yang disyaratkan dalam akad keagenan ketika muwakkil sakit atau bepergian tidak disyaratkan ketika ia hadir atau tidak hadir, sebagaimana dalam persaksian secara konsisten dan pernyataan secara sebaliknya. Karena itu adalah pendelegasian, maka cukup dengan adanya muwakkil dan wakil, sebagaimana pendelegasian dalam akad-akad. Dan apa yang menyebabkan keagenan sah dalam akad-akad, maka sah pula dalam menuntut pihak lawan, seperti keagenan orang sakit dan musafir. Karena itu adalah pendelegasian yang tidak disyaratkan kerelaan pihak lawan, maka tidak disyaratkan pula kehadirannya. Dan asalnya, jika ia mengakui keagenan atau diwakilkan atasnya oleh hakim. Karena ia adalah pihak yang dimintai bantuan dalam persengketaan, maka tidak disyaratkan kehadiran pihak lawan di dalamnya, sebagaimana dalam persaksian para saksi.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّهُ قَضَاءٌ عَلَى غَائِبٍ فَهُوَ أَنَّهَا دَعْوَى مَدْفُوعَةٌ، لِأَنَّ الْوَكَالَةَ حَقٌّ لِلْمُوَكِّلِ وَعَلَيْهِ وَلَيْسَ لِلْخَصْمِ فِيهَا حَقٌّ، وَلَا عَلَيْهِ فِيهَا حَقٌّ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَا يَثْبُتُ لَهُ بِحُضُورِ الْوَكَالَةِ حَقٌّ، وَلَا يَثْبُتُ عَلَيْهِ حَقٌّ. وَلِذَلِكَ قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَيْسَ الْخَصْمُ مِنَ الْوَكَالَةِ بِسَبِيلٍ.

Adapun jawaban terhadap dalil mereka bahwa hal itu merupakan putusan atas orang yang tidak hadir, maka itu adalah klaim yang tertolak, karena wakālah adalah hak bagi muwakkil dan atasnya, dan tidak ada hak bagi pihak lawan di dalamnya, serta tidak ada pula hak atasnya. Tidakkah engkau melihat bahwa dengan hadirnya wakālah, tidak ada hak yang tetap bagi pihak lawan, dan tidak ada pula hak yang tetap atasnya. Oleh karena itu, asy-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata: “Pihak lawan tidak ada sangkut pautnya dengan wakālah.”

فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَقَدْ يُقْضَى لِلْخَصْمِ عَلَى الْمُوَكِّلِ فَيَكُونُ حَقًّا ثَبَتَ لَهُ بِالتَّوْكِيلِ فَمَعْنَاهُ أَنَّ الْخَصْمَ لَوِ ادَّعَى الْبَرَاءَةَ مِنَ الْحَقِّ الَّذِي عَلَيْهِ عِنْدَ مُطَالَبَةِ الْوَكِيلِ لَهُ بِالتَّوْكِيلِ سُمِعَتْ بَيِّنَةُ الْخَصْمِ بِالْبَرَاءَةِ إِلَى الْمُوَكِّلِ مِنْ حَقِّهِ وَلَوْلَا الْوَكَالَةُ الَّتِي اسْتَحَقَّ الْوَكِيلُ بِهَا الْمُطَالَبَةَ لَمَا أَمْكَنَ الْخَصْمَ إِقَامَةُ الْبَيِّنَةِ بِالْبَرَاءَةِ.

Adapun perkataan asy-Syāfi‘ī: “Terkadang diputuskan untuk pihak lawan atas muwakkil, sehingga menjadi hak yang tetap baginya melalui perwakilan,” maknanya adalah jika pihak lawan mengklaim telah bebas dari hak yang menjadi tanggungannya ketika dituntut oleh wakil melalui wakālah, maka bukti pihak lawan tentang kebebasannya dari hak tersebut kepada muwakkil didengar. Kalau bukan karena wakālah yang memberikan hak kepada wakil untuk menuntut, niscaya pihak lawan tidak mungkin dapat mengajukan bukti tentang kebebasannya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْوَكَالَةَ فِي الْخُصُومَةِ يَصِحُّ ثُبُوتُهَا عِنْدَ الْحَاكِمِ عَلَى خَصْمٍ حَاضِرٍ وَغَائِبٍ ومن موكل حاضر وغائب فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُوَكِّلِ مِنْ أَنْ يَكُونَ حَاضِرًا مَعَ وَكِيلِهِ عِنْدَ الدَّعْوَى وَالْمُطَالَبَةِ أَمْ لَا فَإِنْ كَانَ حَاضِرًا جَازَ لِلْقَاضِي أَنْ يَسْمَعَ الدَّعْوَى مِنْ وَكِيلِهِ عَلَى الْخَصْمِ مَعَ حُضُورِهِ، وَهَذَا قَوْلُ أبي يوسف ومحمد بن الحسن.

Jika telah tetap bahwa wakālah dalam perkara sengketa sah keberadaannya di hadapan hakim, baik terhadap pihak lawan yang hadir maupun yang tidak hadir, dan baik dari muwakkil yang hadir maupun yang tidak hadir, maka keadaan muwakkil tidak lepas dari dua kemungkinan: hadir bersama wakilnya saat pengajuan gugatan dan tuntutan, atau tidak. Jika ia hadir, maka hakim boleh mendengarkan gugatan dari wakilnya terhadap pihak lawan dengan kehadirannya, dan ini adalah pendapat Abū Yūsuf dan Muhammad bin al-Hasan.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَجُوزُ لِلْقَاضِي مَعَ حُضُورِ الْمُوَكِّلِ أَنْ يَسْمَعَ دَعْوَى الْوَكِيلِ وَمُخَاصَمَتَهُ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ مَقْصُودَ الْوَكَالَةِ أنها معونة العاجز وصيانة المهيب، فَاسْتَوَى حَالُهُ مَعَ حُضُورِهِ وَمَغِيبِهِ، وَلِأَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَدْ بَيَّنَ فِي الْوَكَالَةِ أنها تقارب هذا المعنى فقال: إن الخصومات تحمل وَإِنَّهَا لَتَخْلُفُ. وَإِذَا صَحَّ سَمَاعُ الدَّعْوَى مِنْ وَكِيلِهِ مَعَ حُضُورِهِ فَسَوَاءٌ عَرَّفَهُ الْقَاضِي بِاسْمِهِ وَنَسَبِهِ أَمْ لَا. وَإِنْ كَانَ الْمُوَكِّلُ غَائِبًا عَنِ الدَّعْوَى، فَلَا يَخْلُو ثُبُوتُ الْوَكَالَةِ عِنْدَ الْقَاضِي مِنْ أَنْ يَكُونَ بِبَيِّنَةٍ أَوْ بِإِقْرَارٍ. فَإِنْ كَانَ ثُبُوتُهَا بِبَيِّنَةٍ تَشْهَدُ عَلَى الْمُوَكِّلِ بِهَا لَمْ يُحْكَمْ بِشَهَادَتِهِمْ حَتَّى يَشْهَدُوا بِمَعْرِفَتِهِ عَلَى اسْمِهِ وَنَسَبِهِ. فَحِينَئِذٍ يُحْكَمُ بِصِحَّةِ وَكَالَتِهِ. وَإِنْ كَانَ ثُبُوتُهَا بِإِقْرَارِ الْمُوَكِّلِ بِهَا فَإِنْ كَانَ الْقَاضِي يَعْرِفُهُ بِعَيْنِهِ وَاسْمِهِ وَنَسَبِهِ صَحَّتِ الْوَكَالَةُ مِنْهُ وَثَبَتَتْ بِإِقْرَارِهِ عِنْدَهُ وَإِنْ كَانَ لَا يَعْرِفُهُ لَمْ يَقْبَلْ ذَلِكَ مِنْهُ إِلَّا بِشَاهِدَيْنِ يَشْهَدَانِ عَلَى اسْمِهِ وَنَسَبِهِ لِئَلَّا يَدَّعِيَ نَسَبَ غَيْرِهِ.

Abū Hanīfah berkata: “Tidak boleh bagi hakim, ketika muwakkil hadir, untuk mendengarkan gugatan dan perlawanan dari wakilnya.” Pendapat ini tidak benar, karena tujuan wakālah adalah membantu yang lemah dan menjaga kehormatan yang terpandang, sehingga keadaannya sama baik saat hadir maupun tidak hadir. Dan karena ‘Alī radhiyallāhu ‘anhu telah menjelaskan dalam wakālah bahwa maknanya mendekati hal ini, beliau berkata: “Sengketa itu bisa diwakilkan dan sungguh ia dapat digantikan.” Jika sah mendengarkan gugatan dari wakilnya saat muwakkil hadir, maka sama saja apakah hakim mengenalnya dengan nama dan nasabnya atau tidak. Jika muwakkil tidak hadir dalam gugatan, maka penetapan wakālah di hadapan hakim tidak lepas dari dua kemungkinan: dengan bukti (bayyinah) atau dengan pengakuan. Jika penetapannya dengan bayyinah yang bersaksi atas muwakkil, maka tidak diputuskan berdasarkan kesaksian mereka hingga mereka bersaksi tentang pengetahuannya atas nama dan nasabnya. Saat itulah diputuskan keabsahan wakālahnya. Jika penetapannya dengan pengakuan muwakkil, maka jika hakim mengenalnya secara langsung, nama, dan nasabnya, maka wakālahnya sah dan tetap dengan pengakuannya di hadapan hakim. Jika hakim tidak mengenalnya, maka tidak diterima kecuali dengan dua orang saksi yang bersaksi atas nama dan nasabnya, agar ia tidak mengaku-aku nasab orang lain.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا ادَّعَى رَجُلٌ عِنْدَ حاكم دعوى على رجل فالمدعى عليه بالخيارين أَنْ يَحْضُرَ مَعَهُ مَجْلِسَ الْحُكْمِ وَبَيْنَ أَنْ يُوَكِّلَ عَنْ نَفْسِهِ وَكِيلًا يَحْضُرُ مَعَ الْمُدَّعِي فَيَقُومُ حُضُورُ وَكِيلِهِ مَقَامَ حُضُورِهِ، كَمَا كَانَ المدعي بالخيارين أَنْ يَدَّعِي بِنَفْسِهِ وَبَيْنَ أَنْ يُوَكِّلَ عَنْ نَفْسِهِ مَنْ يَنُوبُ عَنْهُ فِي الدَّعْوَى فَإِنْ أَقَامَ الْمُدَّعِي بَيِّنَةً وَجَبَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ أَنْ يَخْرُجَ إِلَيْهِ مِنْ حَقِّهِ إِمَّا بِنَفْسِهِ أَوْ بِاسْتِنَابَةِ وَكِيلِهِ فَإِنْ لَمْ يُقِمْ بَيِّنَةً وَسَأَلَ إِحْلَافَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ وَجَبَ عَلَيْهِ حِينَئِذٍ حُضُورُ مَجْلِسِ الْحُكْمِ لِلْيَمِينِ لِأَنَّ الْوَكِيلَ لَا يَنُوبُ عَنْهُ فِيهَا.

Apabila seseorang mengajukan gugatan terhadap orang lain di hadapan hakim, maka tergugat memiliki dua pilihan: hadir bersamanya di majelis pengadilan, atau mewakilkan seseorang sebagai wakilnya yang hadir bersama penggugat, sehingga kehadiran wakilnya menggantikan kehadirannya. Sebagaimana penggugat juga memiliki dua pilihan: menggugat sendiri atau mewakilkan seseorang untuk mewakilinya dalam gugatan. Jika penggugat mengajukan bukti, maka wajib atas tergugat untuk memenuhi haknya, baik secara langsung maupun melalui wakilnya. Jika penggugat tidak mengajukan bukti dan meminta agar tergugat disumpah, maka saat itu tergugat wajib hadir di majelis pengadilan untuk bersumpah, karena wakil tidak dapat mewakilinya dalam hal ini.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا وَكَّلَ الْمُدَّعِي رَجُلًا بِطَلَبِ دَيْنٍ قَامَتْ بِهِ الْبَيِّنَةُ فَادَّعَى الْمَطْلُوبُ أَنَّ الْمُوَكِّلَ قَدْ أَبْرَأَهُ وَاسْتَوْفَاهُ وَأَرَادَ يَمِينَهُ، قِيلَ لَهُ: إنه مَا ثَبَتَ عَلَيْكَ ثُمَّ اطْلُبْهُ بَعْدَ ذَلِكَ بِالْيَمِينِ إِذَا وَجَدْتَهُ وَلَيْسَ لَكَ أَنْ تَحْبِسَ مَا ثَبَتَ عَلَيْكَ مِنَ الْحَقِّ بِمَا اسْتَحْدَثْتَهُ مِنَ الدَّعْوَى. فَإِنْ سَأَلَ إِحْلَافَ الْمُدَّعِي بِاللَّهِ لَقَدْ شَهِدَ شُهُودُهُ بِحَقٍّ لَمْ يَحْلِفْ عَلَى ذَلِكَ لِمَا فِيهِ مِنْ جَرْحِ الشُّهُودِ، وَلِأَنَّ مَا ادَّعَاهُ مِنَ الْبَرَاءَةِ وَالِاسْتِيفَاءِ لَا يُنَافِي صِحَّةَ الشَّهَادَةِ وَلَكِنْ يَحْلِفُ بِحَسْبَ مَا ادَّعَاهُ الْمَطْلُوبُ مِنَ الْبَرَاءَةِ وَالِاسْتِيفَاءِ.

Apabila penggugat mewakilkan seseorang untuk menuntut utang yang telah dibuktikan dengan bayyinah, lalu pihak yang dituntut mengklaim bahwa pemberi kuasa telah membebaskannya dan telah menerima pelunasannya, serta meminta sumpahnya, maka dikatakan kepadanya: “Hal itu belum terbukti atasmu, maka mintalah setelah itu dengan sumpah jika engkau menemukannya, dan engkau tidak berhak menahan hak yang telah terbukti atasmu dengan dalih tuntutan baru yang engkau ajukan.” Jika ia meminta agar penggugat bersumpah dengan nama Allah bahwa para saksinya telah memberikan kesaksian yang benar, maka ia tidak bersumpah atas hal itu karena di dalamnya terdapat celaan terhadap para saksi, dan karena apa yang didakwakan berupa pembebasan dan pelunasan tidak bertentangan dengan kebenaran kesaksian. Namun, ia bersumpah sesuai dengan apa yang didakwakan oleh pihak yang dituntut berupa pembebasan dan pelunasan.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِذَا ادَّعَى رَجُلٌ عِنْدَ الْحَاكِمِ أَنَّهُ وَكِيلُ فُلَانٍ الْغَائِبِ عَلَيْهِ فَصَدَّقَهُ الْخَصْمُ عَلَى الْوَكَالَةِ وَلَمْ يُقِمْ بِهَا بَيِّنَةً فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُدَّعِي لِلْوَكَالَةِ مِنْ أَمْرَيْنِ: –

Apabila seseorang mengaku di hadapan hakim bahwa ia adalah wakil dari si Fulan yang sedang tidak hadir, lalu lawan perkara membenarkan pengakuan wakalah tersebut tanpa adanya bayyinah, maka keadaan orang yang mengaku sebagai wakil tidak lepas dari dua kemungkinan:

أَنْ يَدَّعِيَ الْوَكَالَةَ فِي الْمُخَاصَمَةِ أَوْ يَدَّعِيَ الْوَكَالَةَ فِي قَبْضِ مَالٍ.

Pertama, ia mengaku sebagai wakil dalam perkara persengketaan, atau kedua, ia mengaku sebagai wakil dalam menerima harta.

فَإِنِ ادَّعَى الْوَكَالَةَ فِي قَبْضِ مَالٍ لَمْ تُسْمَعْ دَعْوَاهُ وَإِنْ صَدَّقَهُ الْخَصْمُ فَلَا يَجِبُ عَلَى الْخَصْمِ دَفْعُ الْمَالِ إِلَيْهِ وَسَوَاءٌ كَانَ الْمَالُ عَيْنًا أَوْ دَيْنًا.

Jika ia mengaku sebagai wakil dalam menerima harta, maka pengakuannya tidak diterima, meskipun lawan perkara membenarkannya. Maka lawan perkara tidak wajib menyerahkan harta kepadanya, baik harta itu berupa barang (ain) maupun utang (dayn).

قَالَ أبو حنيفة: إِنْ كَانَ الْمَالُ عَيْنًا لَمْ يَلْزَمْهُ دَفْعُهُ وَإِنْ كَانَ دَيْنًا لَزِمَهُ وَسَيَأْتِي الْكَلَامُ عَلَيْهِ مَعَ الْمُزَنِيِّ فِي مَوْضِعِهِ.

Abu Hanifah berkata: Jika harta itu berupa barang (ain), maka tidak wajib menyerahkannya. Namun jika berupa utang (dayn), maka wajib menyerahkannya. Penjelasan mengenai hal ini akan dibahas bersama pendapat al-Muzani pada tempatnya.

وَإِنِ ادَّعَى الْوَكَالَةَ فِي الْمُخَاصَمَةِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْحَاكِمَ لَا يَقْبَلُ ذَلِكَ مِنْهُمَا وَيَسْمَعُ تَخَاصُمَهُمَا لِأَنَّ إِقْرَارَ الْوَكِيلِ عَلَى مُوَكِّلِهِ غَيْرُ مَقْبُولٍ فَلَمْ يَكُنْ إِضْرَارًا به. وإنما هو قامة بينة على المطلوب يجوز مع حضور الموكل وَغَيْبَتِهِ.

Jika ia mengaku sebagai wakil dalam perkara persengketaan, maka menurut mazhab asy-Syafi‘i, hakim tidak menerima hal itu dari keduanya, dan tetap mendengarkan persengketaan mereka. Sebab, pengakuan wakil atas nama pemberi kuasa tidak diterima, sehingga tidak menimbulkan mudarat baginya. Hal itu hanyalah sebagai pendirian bayyinah atas pihak yang dituntut, yang dibolehkan baik saat pemberi kuasa hadir maupun tidak.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِنِ اجْتَمَعَ الْخَصْمَانِ عَلَى أَنْ وَكَّلَا رَجُلًا وَاحِدًا وَكَانَ تَوْكِيلُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي مُخَاصَمَةِ صَاحِبِهِ. فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ فِي أَمْرَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ جَازَ وَإِنْ كَانَ فِي أَمْرٍ وَاحِدٍ فَفِيهِ قَوْلَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ:

Jika kedua pihak yang bersengketa sepakat menunjuk satu orang sebagai wakil, dan masing-masing dari mereka mewakilkan dalam perkara persengketaan terhadap lawannya, maka jika hal itu dalam dua perkara yang berbeda, hukumnya boleh. Namun jika dalam satu perkara yang sama, terdapat dua pendapat yang dinukil oleh Ibnu Surayj:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ جَائِزٌ لِأَنَّهُ إِنَّمَا يُثْبِتُ عَلَى كل واحد مِنْهُمَا حُجَّةَ صَاحِبِهِ.

Pertama: Hal itu diperbolehkan, karena ia hanya menetapkan hujjah masing-masing pihak terhadap lawannya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ يَصِيرُ وَكِيلًا فِي تَحْقِيقِ قَوْلِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَعَ مَا يُنَافِيهِ فَيُعَارِضُ بَعْضُ قَوْلِهِ بَعْضًا. وَلِأَنَّهُ يَصِيرُ مُخَاصِمَ نَفْسِهِ لِأَنَّهُ يَقُومُ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَقَامَ نَفْسِهِ.

Pendapat kedua, dan ini yang shahih: Hal itu tidak diperbolehkan, karena ia menjadi wakil dalam membenarkan pendapat masing-masing pihak yang saling bertentangan, sehingga sebagian ucapannya bertentangan dengan sebagian yang lain. Selain itu, ia menjadi seolah-olah bersengketa dengan dirinya sendiri, karena ia mewakili masing-masing pihak seakan-akan sebagai dirinya sendiri.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِذَا أَوْكَلَ الرَّجُلُ رَجُلًا في مخاصمة رجل عند قاضي لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُخَاصِمَهُ عِنْدَ غَيْرِهِ مِنَ الْقُضَاةِ، وَلَا لَهُ إِنْ عُزِلَ الْقَاضِي أَنْ يُخَاصِمَهُ عِنْدَ الْمُوَلَّى مَكَانَهُ. وَلَوْ أَطْلَقَ ذِكْرَ الْقَاضِي وَلَمْ يُعَيِّنْهُ جَازَ أَنْ يُخَاصِمَ عِنْدَ مَنْ صَلُحَ أَنْ يَنْظُرَ بَيْنَهُمَا مِنَ القضاة.

Jika seseorang mewakilkan orang lain untuk bersengketa dengan seseorang di hadapan seorang qadhi, maka ia tidak berhak bersengketa di hadapan qadhi lain. Jika qadhi tersebut diberhentikan, maka ia juga tidak berhak bersengketa di hadapan qadhi pengganti. Namun, jika penyebutan qadhi itu bersifat umum tanpa penunjukan tertentu, maka boleh bersengketa di hadapan qadhi mana pun yang berwenang memutus perkara di antara mereka.

فَلَوْ وَكَّلَهُ فِي مُخَاصَمَةِ كُلِّ خَصْمٍ يَحْدُثُ لَهُ وَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي صِحَّةِ الْوَكَالَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika ia mewakilkan dalam persengketaan dengan setiap lawan yang mungkin muncul, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai keabsahan wakalah tersebut menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ أَنَّهَا وَكَالَةٌ بَاطِلَةٌ لِمَا يَتَضَمَّنُهَا مِنَ الْجَهَالَةِ بِالْمُوَكَّلِ فِيهِ وَأَنَّهَا عَلَى غَيْرِ شَيْءٍ فِي الْحَالِ.

Pertama, menurut ulama Bashrah, wakalah tersebut batal karena mengandung unsur ketidakjelasan (jahalah) pada objek yang diwakilkan, dan pada saat itu tidak ada sesuatu yang pasti.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْبَغْدَادِيِّينَ وَمَذْهَبُ أَهْلِ الْعِرَاقِ أَنَّهَا وَكَالَةٌ جَائِزَةٌ، لِأَنَّ الْوَكَالَةَ مِنَ الْعُقُودِ الْجَائِزَةِ فَلَمْ تَبْطُلْ بِالْجَهَالَةِ.

Pendapat kedua, menurut ulama Baghdad dan mazhab ahli Irak, wakalah tersebut sah, karena wakalah termasuk akad yang boleh (jaiz), sehingga tidak batal karena ketidakjelasan.

وَلِمَا اتَّفَقُوا عَلَيْهِ مِنْ جَوَازِ الْوَصِيَّةِ بِالْحَادِثِ الْمَجْهُولِ.

Hal ini juga didasarkan pada kesepakatan tentang bolehnya wasiat terhadap sesuatu yang belum jelas dan belum terjadi.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِذَا قَالَ الْمُوَكِّلُ لِوَكِيلِهِ: قَدْ وَكَّلْتُكَ فِي اسْتِيفَاءِ مَالِي عَلَى زَيْدٍ فَمَاتَ زَيْدٌ جَازَ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ مِنْ وَارِثِهِ.

Jika pemberi kuasa berkata kepada wakilnya: “Aku telah mewakilkanmu untuk menagih hartaku dari Zaid,” lalu Zaid meninggal dunia, maka wakil boleh menagihnya dari ahli waris Zaid.

فَلَوْ قَالَ: قَدْ وَكَّلْتُكَ فِي اسْتِيفَاءِ مَالِي مِنْ زَيْدٍ فَمَاتَ زَيْدٌ. لَمْ يَجُزْ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ مِنْ وَارِثِهِ.

Jika seseorang berkata: “Aku telah mewakilkanmu untuk menagih hartaku dari Zaid,” lalu Zaid meninggal dunia, maka tidak boleh bagi wakil untuk menagihnya dari ahli waris Zaid.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْأَمْرَ بِاسْتِيفَائِهِ من ما على زَيْدٍ مُتَوَجِّهٌ إِلَى الْمَالِ فَجَازَ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ من ورثته، وإلا من استيفائه من زيد متوجه إِلَى زَيْدٍ أَنْ يَكُونَ هُوَ الْمُسْتَوْفَى مِنْهُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ مِنْ غَيْرِهِ.

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa perintah untuk menagih dari apa yang menjadi tanggungan Zaid itu tertuju kepada harta, sehingga boleh menagihnya dari ahli warisnya. Adapun perintah untuk menagih dari Zaid itu tertuju kepada Zaid secara pribadi, yaitu agar ia sendiri yang ditagih, sehingga tidak boleh menagihnya dari selain Zaid.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” فَإِنْ وَكَّلَهُ بِخُصُومَةٍ فَإِنْ شَاءَ قَبِلَ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ فَإِنْ قَبِلَ فَإِنْ شَاءَ فَسَخَ وَإِنْ شَاءَ ثَبَتَ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Jika ia mewakilkan seseorang untuk berperkara, maka jika ia mau, ia menerima, dan jika ia mau, ia meninggalkannya. Jika ia menerima, maka jika ia mau, ia membatalkan, dan jika ia mau, ia tetap melanjutkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَعَقْدُ الْوَكَالَةِ إِرْفَاقٌ وَمَعُونَةٌ فِي الْعُقُودِ الْجَائِزَةِ دُونَ اللَّازِمَةِ لِأَنَّ مَا لَزِمَ مِنْ عُقُودِ الْمَنَافِعِ افْتَقَرَ إِلَى مُدَّةٍ يَلْزَمُ الْعَقْدُ إِلَيْهَا وَصِفَةُ الْعَمَلِ الَّذِي يَسْتَوْفِي بِهَا كَالْإِجَارَةِ فَإِذَا لَمْ يَلْزَمْ تَقْرِيرُهَا بِمُدَّةِ الِاسْتِيفَاءِ مَا تَضَمَّنَهَا مِنْ صِفَةٍ دَلَّ عَلَى جَوَازِهَا دُونَ لُزُومِهَا. وسواء كانت تطوعا أَوْ بِعِوَضٍ، إِلَّا أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ تَطَوُّعًا فَهِيَ مَعُونَةٌ مَحْضَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ بَعِوَضٍ فَهِيَ في معنى الجعالة.

Al-Mawardi berkata: Ini benar. Akad wakalah adalah bentuk keringanan dan bantuan dalam akad-akad yang jaiz (boleh) bukan yang lazim (mengikat), karena akad manfaat yang mengikat membutuhkan masa tertentu yang mengikat akad tersebut dan sifat pekerjaan yang dapat diambil manfaatnya, seperti ijarah (sewa-menyewa). Maka jika tidak diwajibkan penetapan masa untuk pelaksanaan manfaat yang terkandung di dalamnya, hal itu menunjukkan kebolehannya tanpa keharusan. Baik wakalah itu bersifat sukarela maupun dengan imbalan, kecuali jika bersifat sukarela maka ia adalah bantuan murni, dan jika dengan imbalan maka ia serupa dengan ju‘ālah (akad imbalan atas suatu pekerjaan).

وإذا وكل رجل رجلا فالوكيل بالخيارين قَبُولِ الْوَكَالَةِ وَرَدِّهَا. وَقَبُولُهُ إِنْ قَبِلَ عَلَى التَّرَاخِي دُونَ الْفَوْرِ عَلَى مَا مَضَى فَإِذَا قَبِلَهَا فَهُوَ بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءَ ثَبَتَ عَلَى الْوَكَالَةِ وَإِنْ شَاءَ فَسَخَهَا. وَسَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ شُرُوعِهِ فِي الْمُخَاصَمَةِ وَالْعَمَلِ أَوْ بَعْدَهُ. وَسَوَاءٌ كَانَ الْمُوَكِّلُ حَاضِرًا أَوْ غَائِبًا.

Jika seseorang mewakilkan orang lain, maka wakil memiliki dua pilihan: menerima wakalah atau menolaknya. Jika ia menerima, maka ia boleh menerimanya secara tertunda, tidak harus langsung, sebagaimana telah dijelaskan. Jika ia telah menerima, maka ia tetap memiliki pilihan: jika ia mau, ia tetap pada wakalah, dan jika ia mau, ia membatalkannya. Sama saja apakah itu sebelum ia mulai berperkara dan bekerja, atau setelahnya. Sama saja apakah muwakkil (pemberi kuasa) hadir atau tidak.

وَقَالَ مَالِكٌ إِنْ كَانَ فِي رُجُوعِهِ إِضْرَارٌ بِالْمُوَكِّلِ لَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ إِلَّا بِحُضُورِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ إِضْرَارٌ جَازَ لَهُ الرُّجُوعُ بغير حضوره.

Malik berkata: Jika dalam penarikan kembali (wakalah) terdapat mudarat bagi muwakkil, maka tidak boleh baginya menarik kembali kecuali dengan kehadiran muwakkil. Namun jika tidak ada mudarat, maka boleh baginya menarik kembali tanpa kehadirannya.

وَقَالَ أبو حنيفة: إِذَا شَرَعَ فِي الْخُصُومَةِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَفْسَخَ إِلَّا بِحُضُورِ الْمُوَكِّلِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ شُرُوعَ الْوَكِيلِ فِي الْمُخَاصَمَةِ حَقٌّ لِلْمُوَكِّلِ، فَلَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ يَخْرُجَ مِنْهُ إِلَّا إِلَى مُسْتَحِقِّهِ كَالْوَدِيعَةِ لَيْسَ لَهُ وَإِنْ لَمْ يَلْزَمْهُ اسْتِدَامَتُهَا أَنْ يَخْرُجَ مِنْهَا إِلَّا إِلَى مُسْتَوْدَعِهِ.

Abu Hanifah berkata: Jika wakil telah memulai perkara, maka tidak boleh baginya membatalkan kecuali dengan kehadiran muwakkil, dengan alasan bahwa dimulainya perkara oleh wakil adalah hak muwakkil, sehingga tidak boleh keluar darinya kecuali kepada yang berhak, seperti halnya barang titipan (wadi‘ah), di mana meskipun tidak wajib baginya untuk terus menanggungnya, ia tidak boleh keluar darinya kecuali kepada pemilik titipan.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ كُلَّ مَنْ لَمْ يَكُنْ رِضَاهُ مُعْتَبَرًا فِي دَفْعِ الْعَقْدِ لَمْ يَكُنْ حُضُورُهُ مُعْتَبَرًا فِي رَفْعِهِ كَالْمُطَلَّقَةِ طَرْدًا وَكَالْإِقَالَةِ عَكْسًا وَكَانَ كُلُّ مَنْ صَحَّ مِنْهُ فَسْخُ الْوَكَالَةِ بِحُضُورِ صَاحِبِهِ صَحَّ مِنْهُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِفَسْخِهَا كَالْمُوَكِّلِ وَلِأَنَّهُ عَقْدُ وكالة يصح من الموكل أن ينفرد بفسخه فَصَحَّ مِنَ الْوَكِيلِ أَنْ يَنْفَرِدَ بِفَسْخِهِ كَالْوَكَالَةِ التي لم يشرع الوكيل في المخاصمة فيها.

Dalil kami adalah bahwa setiap orang yang kerelaannya tidak dianggap dalam penyerahan akad, maka kehadirannya juga tidak dianggap dalam pembatalannya, seperti halnya wanita yang ditalak (talak berlaku tanpa kehadiran istri), dan seperti halnya iqālah (pembatalan akad) secara kebalikan. Setiap orang yang sah membatalkan wakalah dengan kehadiran pihak lain, maka sah pula baginya membatalkannya sendiri, seperti muwakkil. Karena akad wakalah sah bagi muwakkil untuk membatalkannya sendiri, maka sah pula bagi wakil untuk membatalkannya sendiri, seperti wakalah yang belum dimulai oleh wakil dalam perkara.

وَلِأَنَّ عَقْدَ الْوَكَالَةِ لَا يَنْفَكُّ مِنْ أَنْ يَكُونَ كَالْعُقُودِ اللَّازِمَةِ فَلَا يَجُوزُ لِأَحَدِهِمَا أَنْ يُفْسَخَ إِلَّا بِرِضَا صَاحِبِهِ كَالْبَيْعِ أَوْ يَكُونَ كَالْعُقُودِ الْجَائِزَةِ فَيَجُوزُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِفَسْخِهِ كَالْجَعَالَةِ. فَلَمَّا لَمْ يَكُنِ الرِّضَا فِيهِ مُعْتَبَرًا كَانَ التَّفَرُّدُ بِفَسْخِهِ جَائِزًا.

Karena akad wakalah tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia seperti akad-akad yang lazim (mengikat), sehingga tidak boleh salah satu pihak membatalkannya kecuali dengan kerelaan pihak lain, seperti jual beli; atau seperti akad-akad yang jaiz (boleh), sehingga boleh salah satu pihak membatalkannya sendiri, seperti ju‘ālah. Maka ketika kerelaan tidak dianggap di dalamnya, maka membatalkannya sendiri menjadi boleh.

فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ فِي الْخُرُوجِ مِنْهُ إِلَى غَيْرِ مُسْتَحِقِّهِ إِضَاعَةً لِحَقِّهِ كَالْوَدِيعَةِ فَلَيْسَ بِصَحِيحٍ لِأَنَّهُ لَا يُضَيِّعُ بِالْخُرُوجِ مِنْهَا حَقًّا كَالْمُودَعِ الَّذِي بِيَدِهِ مَالٌ يَلْزَمُهُ أَدَاءُ الْأَمَانَةِ فِيهِ بِرَدِّهِ إِلَى مُسْتَحِقِّهِ. وَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَى الْحَاكِمِ عِنْدَ تَعَذُّرِهِ. وَكَذَلِكَ الْوَكِيلُ لَوْ كَانَ بِيَدِهِ مَالٌ.

Adapun dalil mereka bahwa keluar dari wakalah kepada selain yang berhak merupakan penyia-nyiaan hak, seperti barang titipan, maka itu tidak benar, karena dengan keluar dari wakalah tidak berarti menyia-nyiakan hak, berbeda dengan orang yang memegang barang titipan yang wajib menjaga amanah dengan mengembalikannya kepada yang berhak. Ia boleh menyerahkannya kepada hakim jika tidak memungkinkan mengembalikannya. Demikian pula wakil, jika ia memegang harta.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْوَكِيلِ وَالْمُوَكِّلِ أَنْ يَنْفَرِدَ بِالْفَسْخِ، فَسَخَ الْوَكِيلُ بِمُجَرَّدِ الْقَوْلِ: إِنِّي قَدْ فَسَخْتُ الْوَكَالَةَ أَوْ خَرَجْتُ مِنْهَا. سَوَاءٌ عَلِمَ الْمُوَكِّلُ بِالْفَسْخِ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ أَشْهَدَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ لَمْ يَشْهَدْ.

Jika telah tetap bahwa masing-masing dari wakil dan muwakkil (pemberi kuasa) berhak secara mandiri membatalkan akad wakalah, maka seorang wakil dapat membatalkannya hanya dengan ucapan: “Aku telah membatalkan wakalah ini” atau “Aku keluar darinya.” Baik muwakkil mengetahui pembatalan tersebut atau tidak, baik ia menghadirkan saksi atas dirinya atau tidak.

فَأَمَّا فَسْخُ الْمُوَكِّلِ فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Adapun pembatalan oleh muwakkil, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بِمُجَرَّدِ الْقَوْلِ إِنِّي قَدْ فَسَخْتُ الْوَكَالَةَ أَوْ عَزَلْتُ الْوَكِيلَ عَنْهَا أَوْ أَخْرَجْتُهُ مِنْهَا وَسَوَاءٌ أَعَلِمَ بِهِ الْوَكِيلَ أَمْ لَا.

Salah satunya: Cukup dengan ucapan saja, seperti “Aku telah membatalkan wakalah ini” atau “Aku telah memberhentikan wakil dari wakalah ini” atau “Aku telah mengeluarkannya dari wakalah ini”, baik wakil mengetahui hal itu atau tidak.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَصِحُّ مِنْهُ الْفَسْخُ إِلَّا بِقَوْلِهِ وَإِعْلَامِ الْوَكِيلِ بِفَسْخِهِ فَمَتَى لَمْ يَعْلَمُ فَهُوَ عَلَى صِحَّةِ الْوَكَالَةِ فِيمَا عَقَدَهُ الْمُوَكِّلُ لَهُ وَعَلَيْهِ وَهَذَا قَوْلُ أبي حنيفة لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ عِلْمُهُ مُعْتَبَرًا فِي عَقْدِهَا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ عِلْمُهُ مُعْتَبَرًا فِي حَلِّهَا.

Pendapat kedua: Tidak sah pembatalan darinya kecuali dengan ucapannya dan pemberitahuan kepada wakil tentang pembatalan tersebut. Maka, selama wakil belum mengetahuinya, wakalah tetap sah atas apa yang diakadkan muwakkil untuknya dan atasnya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, karena ketika pengetahuan wakil dianggap dalam akadnya, maka wajib pula pengetahuannya dianggap dalam pembatalannya.

وَدَلِيلُ ذَلِكَ الْقَوْلِ الْأَوَّلِ وَهُوَ أَقْيَسُ شَيْئَانِ: –

Dalil atas pendapat pertama, dan ini yang lebih sesuai dengan qiyās, ada dua:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ عِلْمُ الْمُوَكِّلِ مُعْتَبَرًا فِي فَسْخِ الْوَكَالَةِ لَمْ يَكُنْ عِلْمُ الْوَكِيلِ مُعْتَبَرًا فِي فَسْخِ الْوَكَالَةِ.

Pertama: Ketika pengetahuan muwakkil tidak dianggap dalam pembatalan wakalah, maka pengetahuan wakil pun tidak dianggap dalam pembatalan wakalah.

وَالثَّانِي: أَنَّ كُلَّ عَقْدٍ جَازَ لِأَحَدِ الْمُتَعَاقِدَيْنَ رَفْعُهُ بِغَيْرِ رِضَا صَاحِبِهِ جَازَ لَهُ رَفْعُهُ بِغَيْرِ عِلْمِهِ، كَالنِّكَاحِ يَجُوزُ رَفْعُهُ بِالطَّلَاقِ بِغَيْرِ عِلْمِ الْمُطَلَّقَةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْتَبَرَ حَالُ الْفَسْخِ بِحَالِ الْعَقْدِ لِأَمْرَيْنِ:

Kedua: Setiap akad yang boleh dibatalkan oleh salah satu pihak tanpa persetujuan pihak lainnya, maka boleh pula dibatalkan tanpa sepengetahuannya, seperti pernikahan yang boleh dibatalkan dengan talak tanpa sepengetahuan istri yang ditalak. Tidak boleh disamakan keadaan pembatalan dengan keadaan akad karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: فَسَادُهُ بِفَسْخِ الْوَكِيلِ.

Pertama: Rusaknya akad dengan pembatalan oleh wakil.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ رِضَاهُ مُعْتَبَرًا كَانَ عِلْمُهُ مُعْتَبَرًا. وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْفَسْخُ.

Kedua: Ketika ridha (persetujuan) dianggap, maka pengetahuan juga dianggap. Namun, hal ini tidak berlaku pada pembatalan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا وَكَّلَ الرَّجُلُ وَكِيلَيْنِ فِي الْخُصُومَةِ، لَمْ يَسْمَعِ الْقَاضِي الْخُصُومَةَ إِلَّا مِنْهُمَا حَتَّى يُوَكِّلَهُمَا وَكِيلٌ وَاحِدٌ مِنْهُمَا. فَلَوْ عَزَلَ الْمُوَكِّلُ أَحَدَهُمَا لَمْ يَكُنْ لِلْآخَرِ أَنْ يَنْفَرِدَ بِالْخُصُومَةِ إِلَّا بِتَجْدِيدِ إِذْنِ التَّفَرُّدِ فِيهَا.

Jika seseorang mewakilkan dua orang dalam perkara sengketa, maka hakim tidak akan mendengarkan perkara kecuali dari keduanya, hingga salah satu dari keduanya mewakilkan kepada yang lain. Jika muwakkil memberhentikan salah satu dari keduanya, maka yang lain tidak boleh bersengketa sendiri kecuali dengan pembaruan izin untuk bertindak sendiri dalam perkara tersebut.

فَلَوْ وَكَّلَهُمَا عَلَى الِاجْتِمَاعِ وَالِانْفِرَادِ ثُمَّ عَزَلَ أَحَدَهُمَا وَلَمْ يُعَيِّنْ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika ia mewakilkan keduanya untuk bertindak bersama-sama dan sendiri-sendiri, kemudian memberhentikan salah satu dari keduanya tanpa menentukan siapa, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى جَوَازِ تَصَرُّفِهِ مَا لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ الْمَعْزُولُ بِعَيْنِهِ.

Pertama: Masing-masing dari keduanya tetap boleh bertindak selama belum mengetahui bahwa dialah yang diberhentikan secara spesifik.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهَا مَمْنُوعٌ مِنَ التَّصَرُّفِ خَوْفًا مِنْ أَنْ يَكُونَ هُوَ الْمَعْزُولَ بِعَيْنِهِ.

Pendapat kedua: Masing-masing dari keduanya dilarang bertindak karena dikhawatirkan dialah yang diberhentikan secara spesifik.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا وَكَّلَ الرَّجُلُ رَجُلًا فِي دَعْوَى دَارٍ ثُمَّ عَزَلَهُ الْمُوَكِّلُ عَنْهَا، فَجَازَ الْوَكِيلُ لِيَشْهَدَ لِمُوَكِّلِهِ فَإِنْ كَانَتْ شَهَادَتُهُ بَعْدَ أَنْ خَاصَمَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ فِيهَا لَمْ تُقْبَلْ شَهَادَتُهُ، لِأَنَّهُ صَارَ فِيهَا خَصْمًا، وَإِنْ كَانَتْ شَهَادَتُهُ قَبْلَ الْخُصُومَةِ فِيهَا فَفِي قبول شَهَادَتَهُ بِهَا – قَوْلَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ تَخْرِيجًا:

Jika seseorang mewakilkan orang lain untuk menggugat sebuah rumah, lalu muwakkil memberhentikan wakil dari perkara tersebut, kemudian wakil itu datang untuk menjadi saksi bagi muwakkilnya, maka jika kesaksiannya setelah ia bersengketa dengan tergugat dalam perkara itu, kesaksiannya tidak diterima karena ia telah menjadi pihak dalam perkara tersebut. Namun jika kesaksiannya sebelum terjadi sengketa dalam perkara itu, maka dalam hal diterimanya kesaksiannya terdapat dua pendapat yang dinukil oleh Ibnu Surayj sebagai hasil istinbat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا غَيْرُ مَقْبُولَةٍ لِأَنَّهُ بِعَقْدِ الْوَكَالَةِ قَدْ صَارَ خَصْمًا.

Pertama: Kesaksiannya tidak diterima karena dengan akad wakalah ia telah menjadi pihak dalam perkara.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا مَقْبُولَةٌ لِأَنَّهُ مَا لَمْ يُخَاصِمْ لَمْ يَصِرْ خَصْمًا.

Pendapat kedua: Kesaksiannya diterima karena selama ia belum bersengketa, ia belum menjadi pihak dalam perkara.

وَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْجَوَابُ لَوِ ادَّعَى الْوَكِيلُ الدَّارَ لِنَفْسِهِ.

Demikian pula jawabannya jika wakil mengklaim rumah itu untuk dirinya sendiri.

فَإِنْ كَانَ بَعْدَ أَنِ ادَّعَاهَا لِمُوَكِّلِهِ، لَمْ يَجُزْ. وَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدَّعْوَى وَبَعْدَ قَبُولِ الْوَكَالَةِ فَعَلَى مَا مَضَى مِنَ القولين والله أعلم.

Jika klaim tersebut setelah ia mengklaimkannya untuk muwakkilnya, maka tidak diperbolehkan. Namun jika sebelum klaim dan setelah menerima wakalah, maka berlaku dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya. Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” فَإِنْ ثَبَتَ وَأَقَرَّ عَلَى مَنْ وَكَّلَهُ لَمْ يَلْزَمْهُ إِقْرَارُهُ لِأَنَّهُ لَمْ يُوَكِّلْهُ بِالْإِقْرَارِ وَلَا بالصلح ولا بالإبراء وكذلك قال الشافعي رحمه الله “.

Al-Muzani rahimahullah berkata: “Jika telah tetap dan ia mengakui atas nama orang yang mewakilkannya, maka pengakuannya tidak mengikat muwakkil karena ia tidak diberi kuasa untuk mengakui, tidak pula untuk berdamai, dan tidak pula untuk membebaskan (dari hak). Demikian pula pendapat asy-Syafi‘i rahimahullah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا وَكَّلَهُ فِي الْمُخَاصَمَةِ فَأَقَرَّ عَلَى مُوَكِّلِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ إِقْرَارُهُ وَسَوَاءٌ أَقَرَّ عَلَيْهِ فِي مَجْلِسِ الْحُكْمِ أَوْ غَيْرِهِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, jika ia diberi kuasa dalam perkara sengketa lalu ia mengakui atas nama muwakkilnya, maka pengakuannya tidak mengikat muwakkil, baik ia mengakui di majelis pengadilan maupun di luar majelis pengadilan.

وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ أَقَرَّ الْوَكِيلُ عَلَى مُوَكِّلِهِ فِي مَجْلِسِ الْحُكْمِ لَزِمَهُ إِقْرَارُهُ وَإِنْ أَقَرَّ عَلَيْهِ فِي غَيْرِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ وَقَالَ أبو يوسف إِقْرَارُهُ عَلَيْهِ لَازِمٌ فِي مَجْلِسِ الْحُكْمِ وَغَيْرِهِ وَاسْتَدَلَّ عَلَى لُزُومِ إِقْرَارِهِ لِمُوَكِّلِهِ، بِقَوْلِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حِينَ وَكَّلَ أَخَاهُ عَقِيلًا: وَهَذَا عَقِيلٌ مَا قُضِيَ عَلَيْهِ فَعَلَيَّ وما لَهُ فَلِي. فَجَعَلَ الْقَضَاءَ عَلَى الْوَكِيلِ قَضَاءً عَلَى الْمُوَكِّلِ، وَإِقْرَارُ الْوَكِيلِ يُوجِبُ الْقَضَاءَ عَلَيْهِ فَكَذَلِكَ عَلَى مُوَكِّلِهِ. وَلِأَنَّ فِي التَّوَكُّلِ بِالْمُخَاصَمَةِ إِذْنًا بِهَا وَبِمَا تَضَمَّنَهَا، وَقَدْ يَتَضَمَّنُ الْإِقْرَارَ تَارَةً وَالْإِنْكَارَ تَارَةً فَصَارَ الْإِقْرَارُ مِنْ مُتَضَمَّنِ إِذْنِهِ فَلَزِمَهُ. وَلِأَنَّ الْوَكِيلَ قَائِمٌ مُقَامَ مُوَكِّلِهِ فِي الْجَوَابِ وَالْجَوَابُ قَدْ يَكُونُ تَارَةً إِقْرَارًا وَتَارَةً إِنْكَارًا فَلَمَّا قَامَ إِنْكَارُهُ مَقَامَ إِنْكَارِ مُوَكِّلِهِ وَجَبَ أَنْ يَقُومَ إِقْرَارُهُ مَقَامَ إِقْرَارِ مُوَكِّلِهِ، وَتَحْرِيرُهُ أَنَّهُ أَحَدُ جَوَابَيِ الدَّعْوَى فَجَازَ أَنْ يَقُومَ فِيهِ مَقَامَ مُوَكِّلِهِ كَالْإِنْكَارِ وَلِأَنَّهُ مِمَّنْ يَمْلِكُ الْقَبْضَ فَوَجَبَ أَنْ يَمْلِكَ الْإِقْرَارَ بِالْقَبْضِ كَالْمُوَكِّلِ. وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ كُلَّ مَنْ نُدِبَ لِاسْتِيفَاءِ الْحَقِّ لَمْ يَكُنْ لَهُ إِسْقَاطُ الْحَقِّ كَالْوَصِيِّ. وَلِأَنَّ كُلَّ مَا لَمْ يَمْلِكْهُ الْوَكِيلُ مِنْ إِسْقَاطِ الْحَقِّ فِي غَيْرِ مَجْلِسِ الْحُكْمِ لَمْ يَلْزَمْهُ فِي مَجْلِسِ الْحُكْمِ كَالْإِبْرَاءِ طَرْدًا وَالْقَبْضِ عَكْسًا وَلِأَنَّ مَا لَمْ يَصِحَّ مِنَ الْوَكِيلِ الْإِبْرَاءُ مِنْهُ لَمْ يَصِحَّ مِنْهُ الْإِقْرَارُ بِهِ كَالْجِنَايَةِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ يَصِحُّ إِقْرَارُهُ مَعَ النَّهْيِ لَمْ يَصِحَّ إِقْرَارُهُ مَعَ التَّرْكِ كَالْمَحْجُورِ عَلَيْهِ. فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَلَيْسَ بِقَضَاءٍ عَلَى الْوَكِيلِ بِإِقْرَارِهِ عَلَى مُوَكِّلِهِ فَلَمْ يَصِرْ ذَلِكَ لِمُوَكِّلِهِ.

Abu Hanifah berkata: Jika seorang wakil mengakui atas nama orang yang mewakilkannya di majelis pengadilan, maka pengakuannya itu mengikat. Namun jika ia mengaku di luar majelis pengadilan, maka pengakuannya tidak mengikat. Abu Yusuf berpendapat bahwa pengakuan wakil atas nama orang yang mewakilkannya adalah mengikat baik di majelis pengadilan maupun di luar majelis pengadilan. Ia berdalil atas wajibnya pengakuan wakil bagi orang yang mewakilkannya dengan perkataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika mewakilkan saudaranya, Aqil: “Ini Aqil, apa pun yang diputuskan atasnya maka menjadi tanggunganku, dan apa yang menjadi miliknya adalah milikku.” Maka Ali menjadikan keputusan atas wakil sebagai keputusan atas orang yang mewakilkannya, dan pengakuan wakil menyebabkan adanya keputusan atasnya, maka demikian pula atas orang yang mewakilkannya. Karena dalam perwakilan untuk bersengketa terdapat izin untuk itu dan untuk segala yang terkandung di dalamnya, yang kadang-kadang mencakup pengakuan dan kadang-kadang penolakan, maka pengakuan menjadi bagian dari izin yang diberikan, sehingga menjadi mengikat. Dan karena wakil menempati posisi orang yang mewakilkannya dalam memberikan jawaban, dan jawaban itu kadang berupa pengakuan dan kadang berupa penolakan, maka ketika penolakannya menempati posisi penolakan orang yang mewakilkannya, wajib pula pengakuannya menempati posisi pengakuan orang yang mewakilkannya. Penjelasannya adalah bahwa pengakuan merupakan salah satu dari dua jawaban atas gugatan, sehingga boleh baginya menempati posisi orang yang mewakilkannya sebagaimana penolakan. Dan karena ia termasuk orang yang berhak menerima (harta), maka wajib pula ia berhak mengakui penerimaan itu sebagaimana orang yang mewakilkannya. Dalil kami adalah bahwa setiap orang yang ditugaskan untuk menagih hak tidak berhak menggugurkan hak tersebut, seperti halnya washi (pelaksana wasiat). Dan setiap hal yang tidak dimiliki oleh wakil berupa pengguguran hak di luar majelis pengadilan, maka tidak mengikat pula di majelis pengadilan, sebagaimana dalam kasus pembebasan utang secara mutlak, dan sebaliknya dalam hal penerimaan (harta). Dan apa yang tidak sah dilakukan oleh wakil berupa pembebasan utang, maka tidak sah pula pengakuan darinya, seperti dalam kasus jinayah (tindak pidana). Dan setiap orang yang sah pengakuannya ketika ada larangan, maka tidak sah pengakuannya ketika tidak ada larangan, seperti orang yang sedang dalam status mahjur ‘alaih (dilarang mengelola harta). Adapun jawaban atas hadis Ali ‘alaihis salam, maka itu bukanlah keputusan atas wakil dengan pengakuannya atas orang yang mewakilkannya, sehingga hal itu tidak berlaku bagi orang yang mewakilkannya.

وَأَمَّا ادِّعَاؤُهُمْ أَنَّ الْمُخَاصَمَةَ تَتَضَمَّنُ إِقْرَارًا وَإِنْكَارًا فَغَيْرُ صَحِيحٍ بَلْ يَتَضَمَّنُ مِنْ جِهَةِ الْوَكِيلِ الْإِنْكَارَ لِمَا عَلَيْهِ مِنَ الْمَعُونَةِ وَحِفْظِ الْحَقِّ وَمِنْ جِهَةِ الْمُوَكِّلِ الْإِقْرَارَ وَالْإِنْكَارَ.

Adapun klaim mereka bahwa persengketaan mencakup pengakuan dan penolakan, maka itu tidak benar. Justru, dari sisi wakil, persengketaan hanya mencakup penolakan karena ia berkewajiban membantu dan menjaga hak, sedangkan dari sisi orang yang mewakilkan, persengketaan bisa berupa pengakuan maupun penolakan.

وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهُ لَمَّا قَامَ فِي الْإِنْكَارِ مُقَامَ مُوَكِّلِهِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي الْإِقْرَارِ بِمَثَابَتِهِ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ فِي الْإِنْكَارِ مَعُونَةً لِمُوَكِّلِهِ وَحِفْظًا لِحَقِّهِ، فَصَحَّ مِنَ الْوَكِيلِ وَفِي الْإِقْرَارِ مَعُونَةٌ عَلَى مُوَكِّلِهِ، وَإِسْقَاطٌ لِحَقِّهِ، فَلَمْ يَصِحَّ مِنَ الْوَكِيلِ.

Adapun pernyataan mereka bahwa ketika wakil menempati posisi orang yang mewakilkannya dalam penolakan, maka ia juga harus menempati posisi yang sama dalam pengakuan, maka jawabannya adalah bahwa dalam penolakan terdapat bantuan kepada orang yang mewakilkan dan penjagaan terhadap haknya, sehingga hal itu sah dilakukan oleh wakil. Sedangkan dalam pengakuan terdapat bantuan terhadap lawan orang yang mewakilkan dan pengguguran haknya, sehingga hal itu tidak sah dilakukan oleh wakil.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمُوَكِّلِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَمَّا مَلَكَ الْإِبْرَاءَ مَلَكَ الْإِقْرَارَ وَلَمَّا لَمْ يَمْلِكِ الْوَكِيلُ الْإِبْرَاءَ لَمْ يَمْلِكِ الْإِقْرَارَ.

Adapun qiyās mereka terhadap orang yang mewakilkan, maka maksudnya adalah bahwa ketika orang yang mewakilkan memiliki hak untuk membebaskan utang, maka ia juga memiliki hak untuk mengakui. Namun ketika wakil tidak memiliki hak untuk membebaskan utang, maka ia pun tidak memiliki hak untuk mengakui.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ إِقْرَارَ الْوَكِيلِ غَيْرُ لَازِمٍ لِمُوَكِّلِهِ فَقَدْ صَارَ بِالْإِقْرَارِ خَارِجًا عَنِ الْوَكَالَةِ فِيمَا أَقَرَّ بِهِ فَأَمَّا إِبْرَاءُ الْوَكِيلِ فَغَيْرُ لَازِمٍ لِلْمُوَكِّلِ وَلَا يَصِيرُ خَارِجًا مِنَ الْوَكَالَةِ فِيمَا أَبْرَأَ مِنْهُ. وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْإِبْرَاءِ وَالْإِقْرَارِ أَنَّ مَضْمُونَ إِقْرَارِهِ أَنَّ مُوَكِّلَهُ ظَالِمٌ فِي مُطَالَبَتِهِ، فَلَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ يُطَالِبَ بِمَا يُقِرُّ بِأَنَّهُ ظُلْمٌ وَلَيْسَ فِي إِبْرَائِهِ اعْتِرَافٌ بِظُلْمِ مُوَكِّلِهِ، فَجَازَ أَنْ يُطَالِبَ. فَلَوْ صَدَّقَ لِلْمُوَكِّلِ وَكِيلُهُ فِي إِقْرَارِهِ عَلَيْهِ، صَارَ بِالتَّصْدِيقِ مُقِرًّا بِإِقْرَارِ الْوَكِيلِ فَلَوْ قَالَ الْمُوَكِّلُ: كُلُّ مَا أَقَرَّ بِهِ الْوَكِيلُ عَلَيَّ فَهُوَ صَادِقٌ فِيهِ لَمْ يَلْزَمْهُ مَا أَقَرَّ بِهِ الْوَكِيلُ لِلْجَهَالَةِ بِهِ وَهَكَذَا لَوْ قَالَ مَا شَهِدَ بِهِ فُلَانٌ عَلَيَّ فَهُوَ صَادِقٌ فِيهِ وَلَازِمٌ لِي لَمْ يَلْزَمْهُ مَا شَهِدَ بِهِ فُلَانٌ عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ عَدْلًا وَيَشْهَدَ مَعَهُ شَاهِدٌ آخَرُ فَيَصِيرَ بَيِّنَةً يَلْزَمُهُ مَا شَهِدَ عَنْهُ بِهِ، صَدَقَ أَوْ كَذَبَ:

Apabila telah tetap bahwa pengakuan wakil tidak mengikat bagi muwakkilnya, maka dengan pengakuan tersebut ia telah keluar dari wilayah perwakilan dalam perkara yang ia akui itu. Adapun pembebasan (ibra’) oleh wakil, maka itu tidak mengikat bagi muwakkil dan ia tidak keluar dari wilayah perwakilan dalam perkara yang ia bebaskan. Perbedaan antara ibra’ dan pengakuan adalah bahwa makna pengakuan adalah bahwa muwakkilnya zalim dalam menuntutnya, sehingga tidak boleh baginya menuntut sesuatu yang ia akui sebagai kezaliman. Sedangkan dalam ibra’, tidak terdapat pengakuan bahwa muwakkilnya berbuat zalim, sehingga ia boleh menuntut. Jika wakil membenarkan pengakuan yang dilakukan atas muwakkilnya, maka dengan pembenaran itu ia menjadi orang yang mengakui pengakuan wakil. Jika muwakkil berkata: “Segala sesuatu yang diakui oleh wakil terhadapku, maka ia benar dalam hal itu,” maka tidak wajib atasnya apa yang diakui oleh wakil karena ketidakjelasan perkara tersebut. Demikian pula jika ia berkata: “Apa yang disaksikan oleh si Fulan atas diriku, maka ia benar dan wajib bagiku,” maka tidak wajib atasnya apa yang disaksikan oleh si Fulan kecuali jika ia adalah seorang yang adil dan ada saksi lain bersamanya sehingga menjadi bayyinah, maka wajib atasnya apa yang disaksikan atasnya, baik ia benar maupun dusta.

وَهَكَذَا لَيْسَ لِلْوَكِيلِ أَنْ يُصَالِحَ عَلَى مَا وَكَّلَ فِي الْمُطَالَبَةِ بِهِ لِأَنَّ الصُّلْحَ إِمَّا أَنْ يَكُونَ بَيْعًا وَلَا يَجُوزُ بَيْعُهُ إِلَّا بِإِذْنِ مُوَكِّلِهِ أَوْ يَكُونَ إِبْرَاءً فَلَا يَصِحُّ وَلَمْ يَلْزَمْ إِقْرَارُ الْوَكِيلِ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ.

Demikian pula, wakil tidak berhak melakukan perdamaian atas perkara yang ia diberi kuasa untuk menuntutnya, karena perdamaian itu bisa berupa jual beli, dan tidak sah jual beli kecuali dengan izin muwakkilnya, atau berupa ibra’ sehingga tidak sah, dan pengakuan wakil pun tidak mengikat karena ia tidak memiliki hak kepemilikan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا وَكَّلَهُ فِي الْإِقْرَارِ عَنْهُ، فَإِنْ لَمْ يَذْكُرِ الْقَدْرَ الَّذِي يُقِرُّ بِهِ وَيَصِفُهُ، لَمْ يَصِحَّ التَّوْكِيلُ فِيهِ، وَلَمْ يَكُنْ إِقْرَارُهُ لَازِمًا لِلْمُوَكِّلِ. وَإِنْ ذَكَرَ قَدْرَهُ وَصِفَتَهُ فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:

Apabila seseorang mewakilkan kepada wakilnya untuk melakukan pengakuan atas namanya, jika ia tidak menyebutkan kadar dan sifat perkara yang akan diakui, maka tidak sah perwakilan dalam hal itu, dan pengakuan wakil tidak mengikat bagi muwakkil. Namun jika ia menyebutkan kadar dan sifatnya, maka menurut ulama kami terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ: أَنَّهُ لَا يَصِحُّ التَّوْكِيلُ فِيهِ وَلَا يَجُوزُ إِقْرَارُ الْوَكِيلِ بِهِ لِأَنَّ الْأَمْرَ بِالْإِقْرَارِ لَا يَكُونُ مِنَ الْآمِرِ إِقْرَارًا كَمَا لَمْ يَجْعَلْ قَوْلَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِعُمَرَ مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا أَمْرًا مِنَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَجَعَلَهُ أَمْرًا مِنْ عُمَرَ وَلَا يَكُونُ الْمَأْمُورُ إِلَّا خَبَرًا فَلَمْ يَلْزَمْ إِلَّا بِشَهَادَةِ آخَرَ مَعَهُ إِذَا كَانَا عَدْلَيْنِ.

Pendapat pertama, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas Ibn Surayj: Tidak sah perwakilan dalam hal itu dan tidak boleh wakil melakukan pengakuan, karena perintah untuk mengakui tidak berarti pengakuan dari pihak yang memerintah, sebagaimana sabda Nabi ﷺ kepada Umar: “Perintahkan dia agar merujuk istrinya,” tidak dianggap sebagai perintah dari Nabi ﷺ, melainkan sebagai perintah dari Umar, dan perintah itu hanya berupa pemberitahuan, sehingga tidak mengikat kecuali dengan adanya saksi lain bersamanya jika keduanya adil.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ تَصِحُّ الْوَكَالَةُ فِيهِ وَيَلْزَمُ الْإِقْرَارُ بِهِ لِأَنَّ الْإِقْرَارَ إِخْبَارٌ بِإِسْقَاطِ الْحَقِّ. فَلَمَّا صَحَّتِ الْوَكَالَةُ بِإِسْقَاطِ الْحَقِّ بِالْإِبْرَاءِ. كَانَ جَوَازُهَا فِي الْإِخْبَارِ بِسُقُوطِهِ أَوْلَى. وَلِأَنَّ فِعْلَ الْوَكِيلِ مَقْصُورٌ عَلَى إِذْنِ مُوَكِّلِهِ فَلَمَّا صَحَّ تَوْكِيلُهُ فِي الْإِنْكَارِ لِأَجْلِ إِذْنِهِ صَحَّ فِي الْإِقْرَارِ لِأَجْلِ إِذْنِهِ.

Pendapat kedua: Sah perwakilan dalam hal itu dan pengakuan menjadi mengikat, karena pengakuan adalah pemberitahuan tentang pengguguran hak. Maka, ketika sah perwakilan dalam menggugurkan hak melalui ibra’, maka bolehnya perwakilan dalam pemberitahuan tentang gugurnya hak lebih utama. Dan karena tindakan wakil terbatas pada izin muwakkilnya, maka ketika sah perwakilan dalam mengingkari karena izinnya, maka sah pula dalam pengakuan karena izinnya.

فَعَلَى هَذَا هَلْ يَلْزَمُ الْإِقْرَارُ بِمُجَرَّدِ الْوَكَالَةِ فِيهِ أَمْ بِإِقْرَارِ الْوَكِيلِ بِهِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Berdasarkan hal ini, apakah pengakuan menjadi mengikat hanya dengan adanya perwakilan dalam hal itu, ataukah dengan pengakuan wakil setelah adanya perwakilan? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَصِيرُ الْإِقْرَارُ لَازِمًا بِأَمْرِ الْمُوَكِّلِ بِهِ سَوَاءٌ أَقَرَّ بِهِ الْمُوَكِّلُ أَمْ لَا لِأَنَّ الْإِقْرَارَ إِخْبَارٌ وَأَمْرُهُ يَتَضَمَّنُ الْإِخْبَارَ فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَشْهَدَ عَلَى مُوَكِّلِهِ بِمَا وَكَّلَهُ فِي الْإِقْرَارِ بِهِ.

Pendapat pertama: Pengakuan menjadi mengikat dengan perintah muwakkil, baik muwakkil mengakuinya atau tidak, karena pengakuan adalah pemberitahuan dan perintahnya mengandung pemberitahuan. Dengan demikian, wakil boleh menjadi saksi atas muwakkil dalam perkara yang ia diberi kuasa untuk mengakuinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَصِيرُ إِقْرَارًا لَازِمًا إِلَّا بِإِقْرَارِ الْوَكِيلِ بَعْدَ أَمْرِ الْمُوَكِّلِ؛ لِأَنَّ مُجَرَّدَ الْأَمْرِ بِالْإِقْرَارِ لا يكون إقرار حَتَّى يَتَعَقَّبَهُ الْإِقْرَارُ فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَشْهَدَ عَلَى الْمُوَكِّلِ فِيمَا وَكَّلَهُ بِالْإِقْرَارِ لَهُ.

Pendapat kedua: Tidak menjadi pengakuan yang mengikat kecuali dengan pengakuan wakil setelah adanya perintah dari muwakkil, karena semata-mata perintah untuk mengakui tidak dianggap sebagai pengakuan sampai diikuti dengan pengakuan. Dengan demikian, wakil tidak boleh menjadi saksi atas muwakkil dalam perkara yang ia diberi kuasa untuk mengakuinya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا وَكَّلَهُ فِي الْإِبْرَاءِ فَإِنْ لَمْ يَذْكُرِ الْمُبْرَأَ وَلَا الْقَدْرَ الَّذِي يَقَعُ مِنْهُ الْإِبْرَاءُ لَمْ يَصِحَّ التَّوْكِيلُ فِيهِ وَإِنْ ذَكَرَ الْمُبْرَأَ وَالْقَدْرَ الَّذِي يُبْرَأُ مِنْهُ وَصِفَتَهُ صَحَّتِ الْوَكَالَةُ فِيهِ، وَلَا يَقَعُ الْإِبْرَاءُ مِنْهُ بِأَمْرِ الْمُوَكِّلِ بِهِ حَتَّى يَبْرَأَ مِنْهُ الْوَكِيلُ وَجْهًا وَاحِدًا، لِأَنَّهُ ابْتِدَاءُ إِسْقَاطٍ وَلَيْسَ بِإِخْبَارٍ كَالْإِقْرَارِ، فَلَوْ وَكَّلَهُ فِي إِبْرَاءِ نَفْسِهِ مِنْ حَقِّ مُوَكِّلِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَصِيرَ مُبْرِئًا لِنَفْسِهِ بِنَفْسِهِ، لِأَنَّهُ يَصِيرُ نَائِبًا لِنَفْسِهِ فِي دُيُونِ مُوَكِّلِهِ وَلِأَنَّ الْإِبْرَاءَ يَقْتَضِي مبرئا ومبرأ.

Adapun jika seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk melakukan pembebasan (ibra’), maka jika ia tidak menyebutkan pihak yang dibebaskan maupun jumlah yang akan dibebaskan darinya, maka tidak sah perwakilan tersebut. Namun jika ia menyebutkan pihak yang dibebaskan, jumlah yang akan dibebaskan, dan sifatnya, maka perwakilan itu sah. Pembebasan tersebut tidak terjadi atas perintah pemberi kuasa hingga sang wakil benar-benar membebaskan dalam satu bentuk tertentu, karena pembebasan adalah permulaan pelepasan (hak) dan bukan berupa pemberitahuan seperti pengakuan (iqrār). Maka, jika seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk membebaskan dirinya sendiri dari hak pemberi kuasa, tidak boleh baginya untuk menjadi pihak yang membebaskan dirinya sendiri dengan dirinya sendiri, karena ia menjadi wakil bagi dirinya sendiri dalam utang pemberi kuasa, dan karena pembebasan menuntut adanya pihak yang membebaskan (mubri’) dan pihak yang dibebaskan (mubra’).

وَفِيهِ وَجْهٌ آخَرُ قَالَهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: أَنَّهُ يَجُوزُ كَمَا يَجُوزُ أَنْ يَجْعَلَ إِلَى زَوْجَتِهِ طَلَاقَ نَفْسِهَا.

Dalam hal ini terdapat pendapat lain yang dikemukakan sebagian ulama kami: bahwa hal itu boleh, sebagaimana bolehnya seorang suami menyerahkan urusan talak kepada istrinya untuk dirinya sendiri.

فَأَمَّا إِذَا وَكَّلَهُ فِي شِرَاءِ سِلْعَةٍ وَصَفَهَا بِثَمَنٍ مِنْ جُمْلَةِ دَيْنٍ لَهُ فِي ذِمَّةِ وَكِيلِهِ فَاشْتَرَى الْوَكِيلُ تِلْكَ السِّلْعَةَ لِمُوَكِّلِهِ بِثَمَنٍ وَزَنَهُ مِنْ جُمْلَةِ دَيْنِهِ صَحَّ، وَبَرِئَ الْوَكِيلُ مِنْ ذَلِكَ الْقَدْرِ الَّذِي اشْتَرَاهَا بِهِ فَإِنْ تَلِفَتِ السِّلْعَةُ فَهِيَ تَالِفَةٌ مِنْ مَالِ الْمُوَكِّلِ وَالْوَكِيلُ بَرِيءٌ مِنْ ثَمَنِهَا وَسَوَاءٌ كَانَ مَا وُكِّلَ فِي ابْتِيَاعِهِ مُعَيَّنًا أَوْ مَوْصُوفًا.

Adapun jika seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk membeli suatu barang yang telah ia sebutkan sifatnya dengan harga tertentu dari sebagian utang yang dimiliki oleh wakilnya, lalu sang wakil membeli barang tersebut untuk pemberi kuasa dengan harga yang ia timbang dari sebagian utangnya, maka itu sah, dan sang wakil terbebas dari utang sebesar harga barang yang dibelinya itu. Jika barang tersebut rusak, maka kerusakannya menjadi tanggungan harta pemberi kuasa, dan sang wakil terbebas dari harga barang tersebut, baik barang yang diwakilkan untuk dibeli itu telah ditentukan secara spesifik maupun hanya disebutkan sifatnya.

وَقَالَ أبو حنيفة إِنْ كَانَ مُعَيَّنًا بَرِئَ مِنْ ثَمَنِهِ وَإِنْ تَلِفَ وَإِنْ كَانَ مَوْصُوفًا لَمْ يَبْرَأْ مِنْ ثَمَنِهِ إِذَا تَلِفَ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْوَكِيلَ مُقَرِّرٌ لِلثَّمَنِ عَنْ إِذْنِهِ فَاسْتَوَى حُكْمُ الْمَوْصُوفِ وَالْمُعَيَّنِ.

Abu Hanifah berkata: Jika barangnya telah ditentukan secara spesifik, maka sang wakil terbebas dari harga barang tersebut meskipun barang itu rusak. Namun jika hanya disebutkan sifatnya, maka ia tidak terbebas dari harga barang tersebut jika barang itu rusak. Pendapat ini keliru, karena sang wakil telah menetapkan harga atas izin pemberi kuasa, sehingga hukum antara barang yang disebutkan sifatnya dan yang ditentukan secara spesifik adalah sama.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا وَكَّلَهُ فِي الصُّلْحِ، فَإِنْ كَانَ صُلْحًا يَجْرِي مَجْرَى الْبَيْعِ جَازَ إِطْلَاقُ الْقَدْرِ فِيهِ وَكَانَ مُعْتَبَرًا بِمَا لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ كَالتَّوْكِيلِ فِي الْبَيْعِ يَصِحُّ مَعَ إِطْلَاقِ الثَّمَنِ بِمَا يُعْتَبَرُ فِيهِ مِنْ ثَمَنِ الْمِثْلِ الَّذِي لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِهِ.

Adapun jika seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk melakukan ishlāh (perdamaian), maka jika ishlāh tersebut berjalan seperti akad jual beli, boleh tidak disebutkan jumlahnya secara spesifik dan cukup dipertimbangkan dengan apa yang tidak dianggap merugikan secara umum oleh masyarakat, sebagaimana dalam perwakilan jual beli yang sah meskipun harga tidak disebutkan secara spesifik, asalkan sesuai dengan harga pasar yang tidak merugikan.

وَإِنْ كَانَ صُلْحًا يَجْرِي مَجْرَى الْإِبْرَاءِ لَمْ يَجُزْ إِلَّا بِذِكْرِ الْقَدْرِ الَّذِي يُصَالِحُ عَلَيْهِ كَمَا لَا يَصِحُّ التَّوْكِيلُ فِي الْإِبْرَاءِ إِلَّا بِذِكْرِ الْقَدْرِ الَّذِي يبرأ منه. فلو وكله أن يصالح عنه كَانَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ فِي تَوْكِيلِهِ لِإِبْرَاءِ نَفْسِهِ.

Namun jika ishlāh tersebut berjalan seperti pembebasan (ibra’), maka tidak boleh kecuali dengan menyebutkan jumlah yang akan dijadikan sebagai dasar ishlāh, sebagaimana tidak sah perwakilan dalam pembebasan kecuali dengan menyebutkan jumlah yang akan dibebaskan. Jika seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk melakukan ishlāh atas namanya, maka hukumnya sebagaimana telah kami sebutkan dalam dua pendapat terkait perwakilan pembebasan untuk dirinya sendiri.

فَلَوْ وَكَّلَهُ أَنْ يَهَبَ لِزَيْدٍ مَا رَأَى مِنْ أَمْوَالِهِ لَمْ يَجُزْ لِلْجَهْلِ بِهِ. فَلَوْ وَكَّلَهُ فِي هِبَةِ شَيْءٍ بِعَيْنِهِ مَعْلُومٍ مِنْ مَالِهِ كَانَ جَائِزًا. وَلَوْ وَكَّلَهُ فِي هِبَةِ ذَلِكَ لِنَفْسِهِ كَانَ عَلَى الْوَجْهَيْنِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Jika seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk memberikan harta yang ia kehendaki dari hartanya kepada Zaid, maka itu tidak boleh karena ketidakjelasan (objeknya). Namun jika ia mewakilkan untuk memberikan sesuatu yang jelas dan tertentu dari hartanya, maka itu boleh. Dan jika ia mewakilkan untuk memberikan hal tersebut kepada dirinya sendiri, maka hukumnya kembali kepada dua pendapat yang telah disebutkan. Allah lebih mengetahui mana yang benar.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الْمُزَنِيُّ رضي الله عنه: ” فَإِنْ وَكَّلَهُ بِطَلَبِ حَدٍّ لَهُ أَوْ قِصَاصٍ قُبِلَتِ الْوَكَالَةُ عَلَى تَثْبِيتِ الْبَيِّنَةِ فَإِذَا حَضَرَ الْحَدُّ أَوِ الْقِصَاصُ لَمْ أَحُدَّ وَلَمْ أُقِصَّ حَتَّى يَحْضُرَ الْمَحْدُودُ لَهُ وَالْمُقَصُّ لَهُ مِنْ قِبَلِ أَنَّهُ قَدْ يُقِرُّ لَهُ وَيُكَذِّبُ الْبَيِّنَةَ أَوْ يَعْفُو فَيُبْطِلُ الْحَدَّ وَالْقِصَاصَ “.

Al-Muzani rahimahullah berkata: “Jika seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk menuntut pelaksanaan had atau qishāsh baginya, maka perwakilan itu diterima untuk penetapan bukti. Namun ketika had atau qishāsh hendak dilaksanakan, aku tidak akan melaksanakan had atau qishāsh tersebut hingga orang yang berhak atas had atau qishāsh itu hadir, karena bisa jadi ia mengakui haknya dan membatalkan bukti, atau memaafkan sehingga had atau qishāsh itu gugur.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْوَكَالَةَ عَلَى تَثْبِيتِ الْحُدُودِ وَالْقِصَاصِ جَائِزَةٌ وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ وَقَالَ أبو يوسف لا يجوز الوكالة في إثبات الحدود اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ مَا لَا تَجُوزُ الْوَكَالَةُ فِي اسْتِيفَائِهِ لَمْ تُجِزِ الْوَكَالَةَ فِي إِثْبَاتِهِ كَحُدُودِ اللَّهِ تَعَالَى. وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ حَقُّ الْآدَمِيِّ يَجُوزُ التَّوْكِيلُ فِيهِ مَعَ حُضُورِ الْمُوَكِّلِ فَجَازَ مَعَ غَيْبَتِهِ كَسَائِرِ الْحُقُوقِ وَلِأَنَّ مَنْ جَازَ تَوْكِيلُهُ فِي غَيْرِ الْحُدُودِ جَازَ تَوْكِيلُهُ فِي الْحُدُودِ كَالْحَاضِرِ.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa perwakilan dalam penetapan had dan qishāsh adalah boleh, dan ini adalah pendapat mayoritas fuqahā’. Abu Yusuf berpendapat bahwa tidak boleh adanya perwakilan dalam penetapan had, dengan alasan bahwa sesuatu yang tidak boleh diwakilkan dalam pelaksanaannya, maka tidak boleh pula diwakilkan dalam penetapannya, seperti hudūd Allah Ta‘ālā. Dalil kami adalah bahwa itu merupakan hak manusia (haqq al-ādami) yang boleh diwakilkan selama pemberi kuasa hadir, maka boleh pula saat ia tidak hadir sebagaimana hak-hak lainnya. Dan karena siapa yang boleh diwakilkan dalam selain hudūd, maka boleh pula diwakilkan dalam hudūd, seperti halnya orang yang hadir.

وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ تَعَالَى فَالْمَعْنَى فِيهَا إِدْرَاؤُهَا بِالشُّبَهَاتِ فَلَمْ يَجُزْ تَأْكِيدُهَا بِالتَّوْكِيلِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ حُقُوقُ الْآدَمِيِّينَ.

Adapun qiyās terhadap hudud Allah Ta‘ala, maksudnya adalah bahwa dalam hudud tersebut dianjurkan untuk menggugurkannya dengan adanya syubhat, sehingga tidak boleh menegaskannya dengan perwakilan (wakalah). Hal ini berbeda dengan hak-hak manusia.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الْوَكَالَةِ فِي إِثْبَاتِ الْقِصَاصِ وَحَدِّ الْقَذْفِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُوَكِّلِ من ثلاثة أحوال: –

Jika telah tetap bolehnya wakalah dalam penetapan qishāsh dan had qadzaf, maka keadaan muwakkil (pemberi kuasa) tidak lepas dari tiga keadaan:

أحدهما: أَنْ يَنْهَاهُ فِي الْوَكَالَةِ عَنِ اسْتِيفَاءِ الْحَدِّ وَالْقِصَاصِ بَعْدَ إِثْبَاتِهِ فَلَا خِلَافَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُ بَعْدَ ثُبُوتِهِ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ.

Pertama: Ia melarang wakilnya dalam wakalah untuk menunaikan had dan qishāsh setelah penetapannya, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa setelah tetapnya (hukuman) tersebut, tidak boleh bagi wakil untuk menunaikannya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُطْلِقَ ذِكْرَ الْإِثْبَاتِ وَلَا يَذْكُرَ الِاسْتِيفَاءَ بِالنَّهْيِ عَنْهُ وَلَا بِالْأَمْرِ بِهِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وأبي حنيفة وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ.

Keadaan kedua: Ia hanya menyebutkan penetapan (hukuman) secara umum dan tidak menyebutkan pelaksanaan, baik dengan melarang maupun memerintahkannya. Maka menurut mazhab asy-Syafi‘i, Abu Hanifah, dan jumhur fuqahā’, tidak boleh bagi wakil untuk menunaikannya.

وَقَالَ ابْنُ أَبِي ليلى: يجوز له استيفاءه مَا لَمْ يُنْهَ عَنْهُ، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ مُقْتَضَى الْإِثْبَاتِ، فَجَازَ فِعْلُهُ مَعَ إِطْلَاقِ الْوَكَالَةِ كَالْمُوَكِّلِ فِي بَيْعٍ يَجُوزُ لِلْوَكِيلِ فِيهِ أَنْ يَقْبِضَ ثَمَنَهُ بِإِطْلَاقِ الْإِذْنِ. وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ إِثْبَاتَ الْقِصَاصِ لَا يَقْتَضِي تَفْوِيتَهُ إِلَّا بِالِاسْتِيفَاءِ كَوَصِيِّ الْيَتِيمِ وَأَبِ الطِّفْلِ. وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ اسْتِيفَاءُ الْقِصَاصِ مِنْ مُوجِبَاتِ إِثْبَاتِهِ لَكَانَ مِنْ شُرُوطِ وَكَالَتِهِ فَلَمَّا جَازَ لَهُ تَرْكُهُ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ فِعْلُهُ. فَأَمَّا الْبَيْعُ فَالْقَبْضُ مِنْ مُوجِبَاتِهِ وَلَوَازِمِهِ، وَخَالَفَ حَالَ الِاسْتِيفَاءِ لِلْقِصَاصِ مَعَ مَا فِي الْقِصَاصِ مِنْ فَوَاتِ الِاسْتِدْرَاكِ.

Ibnu Abi Laila berkata: Boleh bagi wakil untuk menunaikannya selama tidak dilarang, dengan alasan bahwa hal itu merupakan konsekuensi dari penetapan, sehingga boleh dilakukan bersamaan dengan keumuman wakalah, sebagaimana muwakkil dalam jual beli, di mana wakil boleh menerima harganya dengan izin yang bersifat umum. Namun ini adalah kekeliruan, karena penetapan qishāsh tidak meniscayakan pelaksanaannya kecuali dengan penunaian, seperti washi (wali) anak yatim dan ayah anak kecil. Dan jika pelaksanaan qishāsh merupakan konsekuensi dari penetapannya, tentu menjadi syarat dalam wakalahnya. Ketika boleh baginya untuk meninggalkannya, maka itu menunjukkan bahwa ia tidak berhak melakukannya. Adapun dalam jual beli, menerima (uang) adalah konsekuensi dan keharusan dari jual beli, berbeda dengan pelaksanaan qishāsh yang jika terlewat tidak dapat diperbaiki lagi.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُوَكِّلَهُ فِي الْحَدِّ وَالْقِصَاصِ بَعْدَ إِثْبَاتِهِ، فَإِنْ كَانَ الْمُوَكِّلُ حَاضِرًا عِنْدَ اسْتِيفَائِهِ صَحَّتِ الْوَكَالَةُ. وَإِنْ كَانَ غَائِبًا فَظَاهِرُ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ هَاهُنَا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ. وَقَالَ فِي كِتَابِ الْجِنَايَاتِ مَا يَدُلُّ عَلَى جَوَازِهِ وَهُوَ قَوْلُهُ: وَلَوْ أَذِنَ لَهُ أَنْ يقتص فتنحا بِهِ ثُمَّ عَفَا الْمُوَكِّلُ، وَقَتَلَ الْوَكِيلُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَعْلَمَ بِهِ فَفِيهِ قَوْلَانِ. فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ أَكْثَرُهُمْ يُخَرِّجُونَ الْمَسْأَلَةَ عَلَى قَوْلَيْنِ لِاخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ:

Keadaan ketiga: Ia mewakilkan kepada wakilnya untuk melaksanakan had dan qishāsh setelah penetapannya. Jika muwakkil hadir saat pelaksanaannya, maka wakalahnya sah. Namun jika muwakkil tidak hadir, maka secara lahiriyah pendapat asy-Syafi‘i di sini adalah tidak boleh. Namun dalam Kitab al-Jināyāt, beliau menyebutkan sesuatu yang menunjukkan bolehnya, yaitu ucapannya: “Jika ia mengizinkan wakilnya untuk melaksanakan qishāsh, lalu menjauh darinya, kemudian muwakkil memaafkan, dan wakil membunuh (pelaku) tanpa mengetahui adanya pemaafan tersebut, maka ada dua pendapat.” Para sahabat kami pun berbeda pendapat, kebanyakan mereka mengeluarkan masalah ini menjadi dua pendapat karena perbedaan pendapat asy-Syafi‘i di dua tempat tersebut:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ احْتِيَاطًا لِلدِّمَاءِ فِي فَوَاتِ اسْتِدْرَاكِهَا إِنْ حَدَثَ مِنَ الْمُوَكِّلِ عَفْوٌ عَنْهَا وَأَنَّهُ إِنْ حَضَرَ كَانَ أَرَقَّ قَلْبًا فِي الْعَفْوِ عَنْهَا.

Salah satunya: Tidak boleh, sebagai bentuk kehati-hatian terhadap darah (jiwa), karena jika terlewat tidak dapat diperbaiki lagi jika muwakkil memaafkan, dan jika ia hadir, hatinya lebih mudah untuk memaafkan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّهُمَا أَنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ لِأَنَّ مَا صَحَّ فِيهِ التَّوْكِيلُ مَعَ حُضُورِ الْمُوَكِّلِ صَحَّ فِيهِ التَّوْكِيلُ مَعَ غَيْبَةِ الْمُوَكِّلِ قِيَاسًا عَلَى تَثْبِيتِ الْقِصَاصِ، وَلِأَنَّ مَا صَحَّ التَّوْكِيلُ فِي إِثْبَاتِهِ صَحَّ التَّوْكِيلُ فِي اسْتِيفَائِهِ كَالْأَمْوَالِ.

Pendapat kedua, dan ini yang paling shahih, bahwa hal itu boleh, karena apa yang sah dilakukan dengan wakalah saat muwakkil hadir, juga sah dilakukan saat muwakkil tidak hadir, dengan qiyās terhadap penetapan qishāsh. Dan karena apa yang sah diwakilkan dalam penetapannya, juga sah diwakilkan dalam pelaksanaannya, sebagaimana dalam masalah harta.

وَقَالَ آخَرُونَ مِنْهُمْ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ: إِنَّ التَّوْكِيلَ فِي اسْتِيفَائِهِ يَجُوزُ قَوْلًا وَاحِدًا عَلَى مَا ذَكَرْنَا وَحَمَلَ مَا اقْتَضَاهُ ظَاهِرُ كَلَامِهِ هَاهُنَا عَلَى الْمَنْعِ إِذَا كَانَ التَّوْكِيلُ فِي إِثْبَاتِهِ وَحْدَهُ.

Sebagian lain dari mereka, seperti Abu Ishaq al-Marwazi, berkata: Wakalah dalam pelaksanaannya boleh menurut satu pendapat, sebagaimana yang telah kami sebutkan. Ia menafsirkan makna lahiriyah ucapan asy-Syafi‘i di sini sebagai larangan jika wakalah hanya dalam penetapannya saja.

وَقَالَ آخَرُونَ بَلْ لَا يَجُوزُ قَوْلًا وَاحِدًا وَحَمَلُوا كَلَامَ الشَّافِعِيِّ فِي الْجِنَايَاتِ عَلَى جَوَازِهِ مَعَ حُضُورِ مُوَكِّلِهِ. وَأَنَّ معنى قوله فتنحا بِهِ عَنْ قُرْبِ مُوَكِّلِهِ إِلَى حَيْثُ يُسْتَوْفَى لَهُ عَلَى بُعْدٍ مِنْهُ، وَهُوَ شَاهِدُهُ، فَيُمْكِنُ بِالْمُشَاهَدَةِ وَالْحُضُورِ اسْتِدْرَاكُ عَفْوِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Sebagian lain berkata: Bahkan tidak boleh menurut satu pendapat, dan mereka menafsirkan ucapan asy-Syafi‘i dalam al-Jināyāt sebagai bolehnya jika muwakkil hadir. Maksud ucapannya “lalu menjauh darinya” adalah menjauh dari dekat muwakkil ke tempat pelaksanaan yang agak jauh darinya, namun ia tetap menyaksikannya, sehingga dengan kehadiran dan penyaksian memungkinkan untuk memperbaiki jika terjadi pemaafan. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَلَيْسَ لِلْوَكِيلِ أَنْ يُوَكِّلَ إِلَّا أَنْ يَجْعَلَ ذَلِكَ إِلَيْهِ الْمُوَكِّلُ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Tidak boleh bagi wakil untuk mewakilkan lagi, kecuali jika muwakkil menyerahkan hal itu kepadanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ مَا تَضَمَّنَتْهُ الْوَكَالَةُ مِنَ الْعَمَلِ ضَرْبَانِ: ضَرْبٌ يُمْكِنُهُ التَّفَرُّدُ بِعَمَلِهِ. وَضَرْبٌ لَا يُمْكِنُهُ التَّفَرُّدُ بِعَمَلِهِ.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa pekerjaan yang terkandung dalam wakalah terbagi dua: Pertama, pekerjaan yang bisa dilakukan sendiri oleh wakil. Kedua, pekerjaan yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh wakil.

فَأَمَّا مَا لَا يُمْكِنُهُ التَّفَرُّدُ بِعَمَلِهِ فَكَرَجُلٍ وُكِّلَ فِي نَقْلِ حُمُولَةٍ أَوْ فِي عمارة ضيعة أو بناء. فَيَجُوزُ أَنْ يُوَكِّلَ فِيهِ مَنْ يَعْمَلُ مَعَهُ مَا لَمْ يُنْهَ عَنْهُ صَرِيحًا. وَيَكُونُ الثَّانِي وَالْأَوَّلُ وَكِيلَيْنِ لِلْمُوَكِّلِ لَا يَنْعَزِلُ الثَّانِي بِعَزْلِ الْأَوَّلِ. وَهَكَذَا لَوْ وُكِّلَ فِيمَا يُمْكِنُ الْوَاحِدُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِهِ إِلَّا أَنَّ الْوَكِيلَ لَا يُحْسِنُ عَمَلَهُ وَلَا يَعْرِفُ صُنْعَهُ كَرَجُلٍ وُكِّلَ فِي نِسَاجَةِ ثَوْبٍ وَهُوَ لَا يُحْسِنُ النَّسْجَ، أَوْ فِي صِيَاغَةِ حُلِيٍّ، فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُوَكِّلَ وَيَسْتَنِيبَ فِي عَمَلِهِ، وَيَكُونُ مَعْنَى تَوْكِيلِهِ فِيهِ وَهُوَ لَا يُحْسِنُ الصَّنْعَةَ اسْتِنَابَتَهُ فِي تَوْكِيلِ مَنْ يُحْسِنُهَا. وَهَكَذَا لَوْ وُكِّلَ فِيمَا لَمْ تَجْرِ عَادَتُهُ بِفِعْلِهِ، وَإِنْ كَانَ يُحْسِنُهُ، كَرَجُلٍ وُكِّلَ فِي النِّدَاءِ عَلَى ثَوْبٍ، وَلَمْ تَجْرِ عَادَتُهُ بِالنِّدَاءِ أَوْ وُكِّلَ فِي غُسْلٍ وَلَمْ تَجْرِ عَادَتُهُ بِالْغُسْلِ فَيَجُوزُ لَهُ اعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ فِيهِ أَنْ يُوَكِّلَ فِيمَا وُكِّلَ مَنْ جَرَتْ عَادَتُهُ بِهِ.

Adapun perkara yang tidak mungkin dikerjakan sendiri olehnya, seperti seseorang yang diberi kuasa untuk memindahkan muatan atau membangun lahan pertanian atau membangun bangunan, maka boleh baginya untuk mewakilkan kepada orang lain yang bekerja bersamanya selama tidak ada larangan secara tegas. Dalam hal ini, orang kedua dan pertama sama-sama menjadi wakil dari pemberi kuasa, dan pemberhentian wakil pertama tidak otomatis memberhentikan wakil kedua. Demikian pula jika seseorang diberi kuasa dalam perkara yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri, namun sang wakil tidak mahir atau tidak mengetahui pekerjaannya, seperti seseorang yang diberi kuasa untuk menenun kain padahal ia tidak pandai menenun, atau diberi kuasa untuk membuat perhiasan, maka boleh baginya untuk mewakilkan dan menunjuk orang lain dalam pekerjaannya. Makna dari pemberian kuasa kepadanya dalam hal yang tidak ia kuasai adalah agar ia menunjuk orang lain yang ahli dalam pekerjaan tersebut. Demikian pula jika seseorang diberi kuasa dalam perkara yang bukan kebiasaannya untuk melakukannya, meskipun ia mampu, seperti seseorang yang diberi kuasa untuk menawarkan kain, padahal bukan kebiasaannya melakukan penawaran, atau diberi kuasa untuk memandikan jenazah padahal bukan kebiasaannya, maka boleh baginya—berdasarkan ‘urf (kebiasaan)—untuk mewakilkan kepada orang yang memang biasa melakukan pekerjaan tersebut.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِنْ كَانَ مَا وكل فيه يمكنه التفرد بعمله وَعَادَتُهُ جَارِيَةٌ بِعَمَلِهِ كَرَجُلٍ وُكِّلَ فِي الْخُصُومَةِ، وَهُوَ مِنْ أَهْلِهَا أَوْ وُكِّلَ فِي عَقْدِ الْبَيْعِ وَهُوَ مِمَّنْ يَصِحُّ مِنْهُ الْعَقْدُ أَوْ وُكِّلَ فِي اقْتِضَاءِ دَيْنٍ أَوْ مُقَاسَمَةِ خَلِيطٍ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْقِسْمَةِ وَأَصْحَابِ الِاقْتِضَاءِ. فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُوَكِّلِ مَعَهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ.

Jika perkara yang dikuasakan itu memungkinkan untuk dikerjakan sendiri dan memang sudah menjadi kebiasaannya, seperti seseorang yang diberi kuasa untuk berperkara di pengadilan dan ia memang ahli dalam hal itu, atau diberi kuasa untuk melakukan akad jual beli dan ia termasuk orang yang sah melakukan akad, atau diberi kuasa untuk menagih utang, atau membagi harta bersama dan ia termasuk orang yang ahli dalam pembagian dan penagihan, maka keadaan pemberi kuasa terhadapnya tidak lepas dari tiga kemungkinan.

أَحَدُهَا: أَنْ يَنْهَاهُ فِي عَقْدِ وَكَالَتِهِ عَنْ تَوْكِيلِ غَيْرِهِ فَلَا يَجُوزُ لَهُ مَعَ النَّهْيِ أَنْ يُوَكِّلَ غَيْرَهُ فَإِنْ فَعَلَ كَانَ تَوْكِيلُهُ بَاطِلًا وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Pertama: Pemberi kuasa melarangnya dalam akad wakalah untuk mewakilkan kepada orang lain. Maka tidak boleh baginya, jika ada larangan, untuk mewakilkan kepada orang lain. Jika ia tetap melakukannya, maka perwakilannya batal, dan hal ini merupakan kesepakatan para ulama.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي عَقْدِ وَكَالَتِهِ فِي تَوْكِيلِ غَيْرِهِ وَاسْتِنَابَتِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: Pemberi kuasa mengizinkannya dalam akad wakalah untuk mewakilkan kepada orang lain dan menunjuk pengganti. Dalam hal ini ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُنَصِّبَهُ عَلَى تَوْكِيلِ رَجُلٍ بِعَيْنِهِ فَلَيْسَ لِلْوَكِيلِ تَوْكِيلُ غَيْرِهِ وَسَوَاءٌ. كَانَ مَنْ عَيَّنَ الْمُوَكِّلُ عَلَيْهِ أَمِينًا عَدْلًا أَوْ كَانَ خَائِنًا فَاسِقًا لِأَنَّ اخْتِيَارَ الْمُوَكِّلِ وَاقِعٌ عَلَيْهِ.

Pertama: Pemberi kuasa menunjuknya untuk mewakilkan kepada seseorang secara spesifik. Maka sang wakil tidak boleh mewakilkan kepada selain orang yang ditunjuk, baik orang yang ditunjuk itu orang yang amanah dan adil, maupun orang yang khianat dan fasik, karena pilihan pemberi kuasa memang jatuh pada orang tersebut.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يُنَصِّبَهُ عَلَى تَوْكِيلِ رَجُلٍ بِعَيْنِهِ، وَيَقُولُ: قَدْ جَعَلْتُ إِلَيْكَ الْخِيَارَ فَوَكِّلْ مَنْ رَأَيْتَ فَعَلَى الْوَكِيلِ إِذَا أَرَادَ التَّوْكِيلَ أَنْ يَخْتَارَ ثِقَةً أَمِينًا كَافِيًا فِيمَا يُوَكَّلُ فِيهِ – فَإِنْ وَكَّلَ خَائِنًا فَاسِقًا لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ مِمَّا لَا يُرَى تَوْكِيلُ مِثْلِهِ – فَلَوْ وَكَّلَ ثِقَةً أَمِينًا صَحَّ تَوْكِيلُهُ. فَإِنْ حَدَثَ فِسْقُهُ وَطَرَأَتْ خِيَانَتُهُ فَهَلْ يَجُوزُ لَهُ عَزْلُهُ قَبْلَ اسْتِئْذَانِ الْمُوَكِّلِ فِي عَزْلِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kedua: Pemberi kuasa tidak menunjuknya untuk mewakilkan kepada seseorang secara spesifik, melainkan berkata: “Aku serahkan kepadamu pilihan, maka wakilkanlah kepada siapa yang engkau anggap layak.” Maka sang wakil, jika ingin mewakilkan, wajib memilih orang yang terpercaya, amanah, dan cakap dalam perkara yang dikuasakan. Jika ia mewakilkan kepada orang yang khianat dan fasik, maka tidak sah, karena tidak layak mewakilkan kepada orang semacam itu. Namun jika ia mewakilkan kepada orang yang terpercaya dan amanah, maka sah perwakilannya. Jika kemudian orang tersebut menjadi fasik atau berkhianat, apakah boleh baginya memberhentikan tanpa meminta izin pemberi kuasa atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَيْسَ لَهُ عَزْلُهُ إِلَّا بِتَوْكِيلِ غَيْرِهِ حَتَّى يَسْتَأْذِنَ فِي عَزْلِهِ.

Pertama: Ia tidak boleh memberhentikannya kecuali dengan menunjuk orang lain, sampai ia meminta izin untuk memberhentikannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ لَهُ عَزْلُهُ وَإِنْ لَمْ يَسْتَأْذِنْ مُوَكِّلَهُ لِأَنَّ إِطْلَاقَ الْإِذْنِ يَقْتَضِي تَوْكِيلَ ثِقَةٍ عَدْلٍ.

Kedua: Ia boleh memberhentikannya meskipun tanpa meminta izin pemberi kuasa, karena izin yang diberikan secara mutlak mensyaratkan agar yang dikuasakan adalah orang yang terpercaya dan adil.

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ لِلْوَكِيلِ أَنْ يُوَكِّلَ إِذَا أَذِنَ لَهُ الْمُوَكِّلُ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُوَكِّلِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Jika telah ditetapkan bahwa seorang wakil boleh mewakilkan lagi jika diizinkan oleh pemberi kuasa, maka keadaan pemberi kuasa tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ أَنْ يَكُونَ تَوْكِيلُهُ عَنِ الْمُوكِّلِ. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْوَكِيلُ الْأَوَّلُ وَالثَّانِي وَكِيلَيْنِ لِلْمُوَكِّلِ فَإِنْ عُزِلَ الْأَوَّلُ كَانَ الثَّانِي عَلَى وَكَالَتِهِ.

Pertama: Pemberi kuasa mengizinkan agar perwakilan berikutnya atas nama pemberi kuasa. Dalam hal ini, wakil pertama dan kedua sama-sama menjadi wakil dari pemberi kuasa. Jika wakil pertama diberhentikan, maka wakil kedua tetap pada perwakilannya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ أَنْ يَكُونَ تَوْكِيلُهُ عَنِ الْوَكِيلِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْوَكِيلُ الثَّانِي وَكِيلًا لِلْوَكِيلِ الْأَوَّلِ. فَإِنْ عَزَلَ الْمُوَكِّلُ الْوَكِيلَ الْأَوَّلَ انْعَزَلَ الْوَكِيلُ الثَّانِي وَبَطَلَتْ وَكَالَتُهُ.

Kedua: Pemberi kuasa mengizinkan agar perwakilan berikutnya atas nama wakil. Dalam hal ini, wakil kedua menjadi wakil dari wakil pertama. Jika pemberi kuasa memberhentikan wakil pertama, maka wakil kedua juga otomatis diberhentikan dan batal perwakilannya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ إِذْنُهُ فِي التَّوْكِيلِ مُطْلَقًا من غير تصريح، من غَيْرِ أَنْ يَكُونَ عَنِ الْمُوَكِّلِ أَوْ عَنِ الْوَكِيلِ فَيُنْظَرُ فِيهِ فَلَوْ كَانَ الْمُوَكِّلُ قَدْ عَيَّنَ لِلْوَكِيلِ عَلَى مَنْ يُوَكِّلُهُ. كَانَ الثَّانِي الْمُعَيَّنُ وَكِيلًا لِلْمُوَكِّلِ دُونَ الْوَكِيلِ الْأَوَّلِ. لِأَنَّ فِي التَّعْيِينِ تَنْبِيهًا عَلَيْهِ. وَإِنْ لَمْ يُعَيِّنْهُ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Ketiga: Izin untuk melakukan perwakilan (tawkil) itu bersifat mutlak tanpa pernyataan eksplisit, baik dari pihak muwakkil (pemberi kuasa) maupun dari wakil (penerima kuasa). Dalam hal ini perlu diperhatikan: jika muwakkil telah menentukan kepada wakil siapa yang boleh ia wakilkan, maka orang kedua yang ditunjuk itu menjadi wakil bagi muwakkil, bukan wakil pertama. Karena dalam penunjukan itu terdapat penegasan atas hal tersebut. Namun, jika ia tidak menunjuk secara spesifik, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَكُونُ وَكِيلًا لِلْمُوَكِّلِ كَالْوَكِيلِ الْأَوَّلِ لَا يَنْعَزِلُ بِعَزْلِ الْأَوَّلِ لِأَنَّ جواز توكيله معتبر بإذنه.

Salah satunya: Ia menjadi wakil bagi muwakkil sebagaimana wakil pertama, sehingga ia tidak diberhentikan dengan pemberhentian wakil pertama, karena kebolehan mewakilkan itu bergantung pada izinnya.

والوجه الثاني: أنه يَكُونَ وَكِيلًا لِلْوَكِيلِ دُونَ الْمُوَكِّلِ يَنْعَزِلُ بِعَزْلِ الْأَوَّلِ لِأَنَّهُ مُفَوَّضٌ إِلَى رَأْيِهِ. فَعَلَى هَذَا يَنْعَزِلُ الثَّانِي بِأَحَدِ ثَلَاثَةِ أُمُورٍ: إِمَّا بِعَزْلِ الْأَوَّلِ، وَإِمَّا بِعَزْلِ الْأَوَّلِ لَهُ وَإِمَّا بِعَزْلِ الْمُوَكِّلِ لَهُ.

Pendapat kedua: Ia menjadi wakil bagi wakil, bukan bagi muwakkil, sehingga ia diberhentikan dengan pemberhentian wakil pertama, karena ia diserahkan pada pertimbangan wakil pertama. Dengan demikian, wakil kedua dapat diberhentikan dengan salah satu dari tiga hal: yaitu dengan pemberhentian wakil pertama, atau dengan pemberhentian wakil pertama terhadapnya, atau dengan pemberhentian muwakkil terhadapnya.

وَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ لَا يَنْعَزِلُ إِلَّا بِعَزْلِ الْمُوَكِّلِ وَحْدَهُ. وَهَذَا إِذَا صَرَّحَ الْمُوَكِّلُ لِوَكِيلِهِ بِالتَّوْكِيلِ فَأَمَّا إِذَا عَرَضَ لَهُ مِنْ غَيْرِ تَصْرِيحٍ كَقَوْلِهِ قَدْ وَكَّلْتُكَ وَجَعَلْتُ إِلَيْكَ أَنْ تَعْمَلَ بِرَأْيِكَ أَوْ مَا صَنَعْتَ فِي ذَلِكَ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ جَائِزٌ فَهَلْ يَكُونُ مُطْلَقُ التَّفْوِيضِ يَقْتَضِي جَوَازَ التَّوْكِيلِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ:

Menurut pendapat pertama, ia tidak diberhentikan kecuali hanya oleh pemberhentian muwakkil. Hal ini jika muwakkil secara eksplisit menyatakan kepada wakilnya untuk mewakilkan. Adapun jika hal itu terjadi tanpa pernyataan eksplisit, seperti ucapannya, “Aku telah mewakilkanmu dan menyerahkan kepadamu untuk bertindak menurut pertimbanganmu, atau apa pun yang kamu lakukan dalam hal itu, maka itu diperbolehkan.” Apakah penyerahan secara mutlak itu mengandung kebolehan untuk mewakilkan atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang diriwayatkan dari Ibn Surayj:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَقْتَضِيهِ وَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُوَكِّلَ فِيهِ اعْتِبَارًا بِعُمُومِ التَّفْوِيضِ.

Salah satunya: Bahwa hal itu mengandung kebolehan, dan ia boleh mewakilkan dalam hal tersebut, berdasarkan keumuman penyerahan wewenang.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَقْتَضِيهِ، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُوَكِّلَ غَيْرَهُ فِيهِ، لِأَنَّ ظَاهِرَ التَّفْوِيضِ يَنْصَرِفُ إِلَى فِعْلِهِ لَا إِلَى فِعْلِ غَيْرِهِ.

Pendapat kedua: Bahwa hal itu tidak mengandung kebolehan, sehingga ia tidak boleh mewakilkan kepada orang lain dalam hal tersebut, karena secara lahiriah penyerahan itu hanya berlaku untuk tindakannya sendiri, bukan tindakan orang lain.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تَكُونَ الْوَكَالَةُ مُطْلَقَةً لَا يَأْذَنُ لَهُ وَلَا يَنْهَاهُ عَنْهُ. فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلْوَكِيلِ أَنْ يُوَكِّلَ.

Keadaan ketiga: Jika akad wakalah (perwakilan) itu bersifat mutlak, tanpa izin maupun larangan baginya. Maka menurut mazhab Syafi‘i, tidak boleh bagi wakil untuk mewakilkan kepada orang lain.

وَقَالَ أبو حنيفة: يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُوَكِّلَ لِأَمْرَيْنِ:

Abu Hanifah berkata: Boleh baginya untuk mewakilkan karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا أَقَامَهُ فِيهِ مَقَامَ نَفْسِهِ جَازَ لَهُ التَّوْكِيلُ فِيهِ كَمَا يَجُوزُ لِنَفْسِهِ.

Pertama: Karena ketika ia telah ditempatkan dalam posisi muwakkil, maka ia boleh mewakilkan sebagaimana muwakkil boleh melakukannya untuk dirinya sendiri.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَقْصُودَ بِوَكَالَتِهِ حُصُولُ الْعَمَلِ الَّذِي وُكِّلَ فِيهِ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَتَوَلَّاهُ بِنَفْسِهِ وَبَيْنَ أَنْ يَسْتَعِينَ فِيهِ بِغَيْرِهِ، لِحُصُولِ الْعَمَلِ فِي الْحَالَيْنِ لِمُوَكِّلِهِ وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Kedua: Tujuan dari perwakilan itu adalah terlaksananya pekerjaan yang diwakilkan, sehingga tidak ada perbedaan antara ia melakukannya sendiri atau meminta bantuan orang lain, karena pekerjaan itu tetap terlaksana untuk muwakkil dalam kedua keadaan tersebut. Namun, ini adalah kekeliruan dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ فِعْلَ الْوَكِيلِ مُقْتَصِرٌ عَلَى مَا تَضَمَّنَهُ الْإِذْنُ مِنْ غَيْرِ مُجَاوَزَةٍ فِي التَّوْكِيلِ.

Pertama: Tindakan wakil terbatas pada apa yang tercakup dalam izin, tanpa melampaui batas dalam hal mewakilkan.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْمُوَكِّلَ يَسْكُنُ فِي عَمَلِهِ إِلَى أَمَانَةِ وَكَيْلِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُوَكِّلَ مَنْ لَمْ يَسْكُنِ الْمُوَكِّلُ إِلَى أَمَانَتِهِ كَالْوَدِيعَةِ الَّتِي لَا يَجُوزُ لِلْمُوَكِّلِ أَنْ يُودِعَهَا عِنْدَ غَيْرِهِ لِأَنَّ الْمَالِكَ لَمْ يَرْضَ إِلَّا بِأَمَانَتِهِ.

Kedua: Muwakkil mempercayakan pekerjaannya kepada amanah wakilnya, sehingga tidak boleh bagi wakil untuk mewakilkan kepada orang yang tidak dipercayai oleh muwakkil, sebagaimana dalam kasus titipan (wadi‘ah) yang tidak boleh bagi muwakkil menitipkannya kepada selain orang yang ia percayai, karena pemilik hanya rela dengan amanah orang tersebut.

فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ هَذَا أَقَامَهُ مَقَامَ نَفْسِهِ فَلَعَمْرِي أَنَّهُ كَذَلِكَ فِي فِعْلِ مَا وُكِّلَ فِيهِ، لَا فِي غَيْرِهِ. أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَهَبَ وَلَا يُبْرِئَ، وَإِنْ كَانَ لِلْمُوَكِّلِ أَنْ يَهَبَ وَيُبْرِئَ، لِأَنَّهُ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ فِيهِ فَكَذَلِكَ فِي التَّوْكِيلِ.

Adapun argumentasi bahwa ia telah ditempatkan pada posisi muwakkil, maka memang benar demikian dalam hal melakukan apa yang diwakilkan, bukan dalam hal lainnya. Bukankah engkau melihat bahwa ia tidak boleh memberikan hibah atau membebaskan utang, meskipun muwakkil boleh melakukan keduanya, karena ia tidak diberi izin untuk itu? Maka demikian pula dalam hal mewakilkan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ بِأَنَّ الْغَرَضَ حُصُولُ الْعَمَلِ فَهُوَ كَذَلِكَ، لَكِنْ قَدْ خَصَّهُ وَارْتَضَى أَمَانَتَهُ كَمَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا بِعَيْنِهِ لِعَمَلٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَسْتَأْجِرَ غَيْرَهُ فِي عَمَلِهِ لِأَنَّ قَصْدَ الْمُسْتَأْجِرِ إِنَّمَا هُوَ حُصُولُ الْعَمَلِ مِنْ جِهَةِ الأجير وفعله لا يفعل غيره كذلك ههنا.

Adapun jawaban atas pendapat mereka bahwa tujuannya adalah terlaksananya pekerjaan, maka memang demikian, tetapi muwakkil telah mengkhususkan dan meridhai amanah wakilnya, sebagaimana seseorang yang menyewa pekerja tertentu untuk suatu pekerjaan, maka ia tidak boleh menyewa orang lain untuk pekerjaan itu, karena maksud penyewa adalah agar pekerjaan itu dilakukan oleh pekerja tersebut, bukan oleh orang lain. Demikian pula dalam hal ini.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْقَاضِي إِذَا أَرَادَ أَنْ يَسْتَخْلِفَ عَلَى عَمَلِهِ، فَإِنْ نَهَاهُ الْإِمَامُ عَنِ الِاسْتِخْلَافِ، لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَسْتَخْلِفَ وَإِنْ أَذِنَ لَهُ صَرِيحًا بِالِاسْتِخْلَافِ جَازَ لَهُ أَنْ يَسْتَخْلِفَ، فَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ وَلَمْ يَنْهَهُ، اعْتُبِرَ حَالُ عَمَلِهِ، كَمَا ذَكَرْنَا فِي الْوَكَالَةِ، فَإِنْ كَانَ يُمْكِنُهُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِالْعَمَلِ بَيْنَ أَهْلِ عَمَلِهِ لَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ يَسْتَخْلِفَ فِيهِ. وَإِنْ كَانَ لَا يُمْكِنُهُ لِسَعَةِ عَمَلِهِ أَنْ يَنْظُرَ فِي جَمِيعِ أَهْلِهِ، جَازَ لَهُ أَنْ يَسْتَخْلِفَ فِيمَا لَا يَقْدِرُ عَلَى النَّظَرِ فِيهِ.

Adapun qādī (hakim) apabila ingin mengangkat pengganti atas tugasnya, maka jika imam (pemimpin) melarangnya untuk mengangkat pengganti, ia tidak boleh mengangkat pengganti. Jika imam secara tegas mengizinkannya untuk mengangkat pengganti, maka ia boleh melakukannya. Jika imam tidak mengizinkan dan tidak pula melarangnya, maka dilihat keadaan pekerjaannya, sebagaimana telah kami sebutkan dalam bab wakālah. Jika ia mampu melaksanakan tugasnya sendiri di antara masyarakat tempat ia bertugas, maka tidak boleh baginya mengangkat pengganti dalam tugas tersebut. Namun jika ia tidak mampu karena luasnya cakupan tugas sehingga tidak dapat menangani seluruh masyarakatnya, maka boleh baginya mengangkat pengganti untuk perkara yang tidak mampu ia tangani.

وَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يَسْتَخْلِفَ فِيمَا يَقْدِرُ عَلَى النَّظَرِ فِيهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Apakah boleh mengangkat pengganti dalam perkara yang sebenarnya mampu ia tangani sendiri atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لِتَمَكُّنِهِ وَقُدْرَتِهِ.

Pertama: Tidak boleh, karena ia mampu dan memiliki kekuatan untuk melakukannya.

وَالثَّانِي: يَجُوزُ اعْتِبَارًا بباقي عمله، والله أعلم.

Kedua: Boleh, dengan mempertimbangkan sisa pekerjaannya. Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَإِنْ وَكَّلَهُ بِبَيْعِ مَتَاعِهِ فَبَاعَهُ فَقَالَ الْوَكِيلُ قَدْ دَفَعْتُ إِلَيْكَ الثَّمَنَ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ “.

Al-Muzanī raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk menjual barangnya, lalu barang itu dijual, kemudian wakil berkata, ‘Aku telah menyerahkan uang hasil penjualan kepadamu,’ maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan wakil tersebut dengan sumpahnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ مَا يَدَّعِيهِ الْوَكِيلُ عَلَى مُوَكِّلِهِ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: قِسْمٌ يُقْبَلُ فِيهِ قَوْلُ الْوَكِيلِ، وَقِسْمٌ لَا يُقْبَلُ فِيهِ قَوْلُهُ، وَقِسْمٌ اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي قَبُولِ قَوْلِهِ فِيهِ.

Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa apa yang diklaim oleh wakil terhadap muwakkilnya terbagi menjadi tiga bagian: bagian yang diterima pernyataan wakil, bagian yang tidak diterima pernyataannya, dan bagian yang diperselisihkan pendapat tentang diterima atau tidaknya pernyataannya.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ مَا يُقْبَلُ فِيهِ قَوْلُ الْوَكِيلِ عَلَى الْمُوَكِّلِ فَهُوَ فِي رَدِّ مَا ائْتَمَنَهُ عَلَيْهِ. وَجُمْلَةُ الْأَيْدِي الَّتِي لَا يَتَعَلَّقُ بِهَا ضَمَانٌ أَنَّهَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun bagian pertama, yaitu perkara yang diterima pernyataan wakil terhadap muwakkil, adalah dalam pengembalian apa yang diamanahkan kepadanya. Dan secara umum, tangan-tangan (pihak yang memegang barang) yang tidak terkait dengan tanggungan (jaminan) terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: مَا يُقْبَلُ فِيهِ قَوْلُ صَاحِبِهَا فِي رَدِّ مَا مَعَهُ وَهُوَ مَنِ ائْتَمَنَهُ الْمَالِكُ عَلَى مَالِهِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ مِنْ غَيْرِ نَفْعٍ يَعُودُ فِي أَمَانَتِهِ كَالْمُودَعِ فَقَوْلُهُ فِي رَدِّ مَا بِيَدِهِ مِنَ الْوَدِيعَةِ عَلَى رَبِّهَا مَقْبُولٌ، لِأَنَّهُ لَمَّا أَقَامَهُ فِيهَا مَقَامَ نَفْسِهِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ قَوْلُهُ مَقْبُولًا كَقَوْلِهِ عَلَى نَفْسِهِ.

Pertama: Pihak yang diterima pernyataannya dalam mengembalikan barang yang ada padanya, yaitu orang yang diamanahi oleh pemilik atas hartanya untuk kepentingan pribadi tanpa ada manfaat yang kembali kepadanya dalam amanah tersebut, seperti orang yang dititipi barang (mūda‘). Maka pernyataannya dalam mengembalikan barang titipan kepada pemiliknya diterima, karena ketika pemilik menempatkannya pada posisi dirinya sendiri, maka wajib diterima pernyataannya sebagaimana pernyataan pemilik atas dirinya sendiri.

وَالثَّانِي: مَنْ لَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ، وَإِنْ كَانَ أَمِينًا فِي رَدِّ مَا بِيَدِهِ وَهُوَ مَنْ يَدُهُ لِحَقِّ نَفْسِهِ كَالْمُرْتَهِنِ فَلَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي رَدِّ الرَّهْنِ عَلَى رَاهِنِهِ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِنَائِبٍ عَنْهُ، فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ عَلَيْهِ.

Kedua: Pihak yang tidak diterima pernyataannya, meskipun ia seorang yang terpercaya, dalam mengembalikan barang yang ada padanya, yaitu orang yang memegang barang untuk kepentingan dirinya sendiri seperti pemegang gadai (murtahin). Maka tidak diterima pernyataannya dalam mengembalikan barang gadai kepada pemberi gadai, karena ia bukan wakil dari pemberi gadai, sehingga pernyataannya tidak diterima atasnya.

وَالثَّالِثُ: مَنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي قَبُولِ قَوْلِهِ عَلَى مُؤْتَمِنِهِ وَهُوَ مَنْ كَانَ نَائِبًا عَنِ الْمَالِكِ، لَكِنْ لِنَفْعٍ يَعُودُ عَلَيْهِ فِي نِيَابَتِهِ كَالْعَامِلِ فِي الْقِرَاضِ وَالْأَجِيرِ الْمُشْتَرَكِ. فَفِي قَبُولِ قَوْلِهِمْ وَجْهَانِ:

Ketiga: Pihak yang diperselisihkan oleh para ulama kami tentang diterima atau tidaknya pernyataannya terhadap orang yang mengamanahkannya, yaitu orang yang menjadi wakil dari pemilik, namun ada manfaat yang kembali kepadanya dalam perwakilan tersebut seperti pekerja dalam akad qirāḍ dan pekerja bersama (ajīr musytarak). Dalam hal diterima atau tidaknya pernyataan mereka, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ قَوْلَهُمْ مَقْبُولٌ فِي رَدِّ مَا بِأَيْدِيهِمْ لِنِيَابَتِهِمْ عَنِ الْمَالِكِ وَهُوَ أَظْهَرُ الْوَجْهَيْنِ وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ.

Pertama: Pernyataan mereka diterima dalam mengembalikan barang yang ada pada mereka karena mereka adalah wakil dari pemilik, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat dan merupakan pendapat jumhur (mayoritas ulama).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ الطَّبَرِيِّ: أَنَّ قَوْلَهُمْ غَيْرُ مَقْبُولٍ فِي رَدِّ مَا بِأَيْدِيهِمْ، لِأَنَّ عَوْدَ النَّفْعِ إِلَيْهِمْ يَجْعَلُهُمْ كَالْمُتَصَرِّفِينَ فِي حَقِّ أَنْفُسِهِمْ، فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُمْ كَالْمُرْتَهِنِ. فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا لِلْأَصْلِ فَالْوَكِيلُ إِنْ كَانَ مُتَطَوِّعًا فَقَوْلُهُ فِي رَدِّ مَا بِيَدِهِ مَقْبُولٌ عَلَى مُوَكِّلِهِ، وَإِنْ كَانَ بِأُجْرَةٍ فَفِي قَبُولِ قَوْلِهِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat Abū ‘Alī al-Ṭabarī: Pernyataan mereka tidak diterima dalam mengembalikan barang yang ada pada mereka, karena manfaat yang kembali kepada mereka menjadikan mereka seperti orang yang bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri, sehingga pernyataan mereka tidak diterima sebagaimana pemegang gadai (murtahin). Jika hal ini telah jelas sebagai kaidah, maka wakil, jika ia bekerja secara sukarela, pernyataannya dalam mengembalikan barang yang ada padanya diterima terhadap muwakkilnya. Namun jika ia bekerja dengan upah, maka dalam hal diterima atau tidaknya pernyataannya terdapat dua pendapat.

فَهَذَا مَا يَتَعَلَّقُ بِالْقِسْمِ الْأَوَّلِ مِمَّا يُقْبَلُ فِيهِ قَوْلُ الْوَكِيلِ عَلَى الْمُوَكِّلِ.

Inilah yang berkaitan dengan bagian pertama, yaitu perkara yang diterima pernyataan wakil terhadap muwakkil.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ مَا لَا يُقْبَلُ فِيهِ قَوْلُ الْوَكِيلِ عَلَى الْمُوَكِّلِ فَهُوَ أَنْ يَدَّعِيَ عَلَيْهِ إِذْنًا فِي تَصَرُّفٍ كَقَوْلِ الْوَكِيلِ: أَمَرْتَنِي بِبَيْعِ كذا، أو بإعطاء زيدا كَذَا، فَيُنْكِرُ الْمُوَكِّلُ ذَلِكَ. فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُوَكِّلِ دُونَ الْوَكِيلِ، لِأَنَّهُ فِي هَذِهِ الدَّعْوَى بِمَثَابَةِ مُدَّعِي عَقْدِ الْوَكَالَةِ، وَمُدَّعِي الْوَكَالَةِ لَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي ادِّعَائِهَا. فَكَذَلِكَ مُدَّعِي الْإِذْنِ لَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي ادِّعَائِهِ. وَكَذَلِكَ إِذَا اتَّفَقَا عَلَى الْإِذْنِ وَاخْتَلَفَا فِي صِفَتِهِ، كَقَوْلِ الْوَكِيلِ أَمَرْتَنِي بِإِعْطَاءِ زَيْدٍ أَلْفًا. فَقَالَ: بَلْ أَمَرْتُكَ بِإِعْطَائِهِ ثَوْبًا. وَكَقَوْلِهِ أَمَرْتَنِي بِبَيْعِ عَبْدِكَ بِأَلْفٍ فقال لا بَلْ أَمَرْتُكَ بِأَلْفَيْنِ. فَالْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُ الْمُوَكِّلِ فَلَا يُقْبَلُ فِيهِ دَعْوَى الْوَكِيلِ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ يُقِيمُهَا عَلَى ادِّعَائِهِ وَالْبَيِّنَةُ شَاهِدَانِ عَدْلَانِ لَا غَيْرَ، لِأَنَّهَا بَيِّنَةٌ فِي إِثْبَاتِ وَكَالَةٍ.

Adapun bagian kedua, yaitu perkara yang tidak diterima di dalamnya pernyataan wakil terhadap muwakkil, yaitu apabila wakil mengklaim adanya izin dalam suatu tindakan, seperti ucapan wakil: “Engkau memerintahkanku untuk menjual ini,” atau “untuk memberikan ini kepada Zaid,” lalu muwakkil mengingkari hal tersebut. Maka, yang dipegang adalah pernyataan muwakkil, bukan wakil, karena dalam klaim ini, wakil posisinya seperti orang yang mengklaim adanya akad wakalah, dan orang yang mengklaim adanya wakalah tidak diterima pernyataannya dalam klaim tersebut. Demikian pula, orang yang mengklaim adanya izin tidak diterima pernyataannya dalam klaimnya. Demikian pula jika keduanya sepakat tentang adanya izin, namun berselisih dalam sifat izinnya, seperti ucapan wakil: “Engkau memerintahkanku untuk memberikan seribu kepada Zaid,” lalu muwakkil berkata: “Bukan, aku memerintahkanmu untuk memberinya sebuah pakaian.” Atau seperti ucapannya: “Engkau memerintahkanku untuk menjual hambamu dengan harga seribu,” lalu muwakkil berkata: “Tidak, bahkan aku memerintahkanmu dengan harga dua ribu.” Dalam hal ini, yang dipegang adalah pernyataan muwakkil, sehingga tidak diterima klaim wakil kecuali dengan bukti (bayyinah) yang ia ajukan atas klaimnya, dan bayyinah itu adalah dua orang saksi yang adil, tidak kurang, karena itu adalah bayyinah dalam penetapan wakalah.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ مَا اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي قَبُولِ قَوْلِ الْوَكِيلِ فِيهِ عَلَى مُوَكِّلِهِ، فَهُوَ أَنْ يُوَكِّلَ فِي عَمَلِهِ فَيَدَّعِي الْوَكِيلُ إِيقَاعَهُ عَلَى الْوَجْهِ الْمَأْذُونِ فِيهِ، وَيُنْكِرُهُ الْمُوَكِّلُ، كَتَوْكِيلِهِ فِي بَيْعٍ أَوْ نِكَاحٍ أَوْ هِبَةٍ أَوْ عِتْقٍ أَوْ طَلَاقٍ أَوْ إِقْبَاضِ مَالٍ. فَيُنْكِرُ الْمُوَكِّلُ ذَلِكَ مَعَ تَصْدِيقِ الْبَائِعِ وَالْمَنْكُوحَةِ وَالْمَوْهُوبِ لَهُ وَالْمُطَلَّقَةِ وَالْقَابِضِ وَالْمُعْتَقِ فَفِيهِ قَوْلَانِ مَحْكِيَّانِ عَنِ الشَّافِعِيِّ وَوَجْهَانِ ذَكَرَهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ.

Adapun bagian ketiga, yaitu perkara yang terdapat perbedaan pendapat tentang diterimanya pernyataan wakil terhadap muwakkil, yaitu ketika seseorang mewakilkan suatu urusan, lalu wakil mengklaim telah melaksanakannya sesuai dengan izin yang diberikan, sementara muwakkil mengingkarinya, seperti dalam perwakilan untuk jual beli, nikah, hibah, pembebasan budak, talak, atau penyerahan harta. Lalu muwakkil mengingkari hal tersebut, meskipun dibenarkan oleh penjual, wanita yang dinikahi, penerima hibah, wanita yang ditalak, penerima harta, dan budak yang dibebaskan. Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang dinukil dari Imam asy-Syafi‘i dan dua wajah (pendapat) yang disebutkan oleh Ibnu Surayj.

فَأَحَدُ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْقَوْلَ فِي جَمِيعِ ذَلِكَ قَوْلُ الْمُوَكِّلِ إِلَّا أَنْ يُقِيمَ الْوَكِيلُ بَيِّنَةً عَلَى مَا ادَّعَاهُ، وَالْبَيِّنَةُ عَلَيْهِ مُعْتَبَرَةٌ بِالْمَشْهُودِ فِيهِ مِنْ كَوْنِهِ مَالًا أَوْ غَيْرَ مَالٍ وَإِنَّمَا كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُوَكِّلِ لِأَنَّهَا عُقُودٌ فَلَمْ تَلْزَمْ بِمُجَرَّدِ الدَّعْوَى.

Salah satu dari dua pendapat asy-Syafi‘i adalah bahwa dalam semua perkara tersebut, yang dipegang adalah pernyataan muwakkil kecuali jika wakil mendatangkan bayyinah atas apa yang ia klaim, dan bayyinah yang diperlukan disesuaikan dengan objek yang disaksikan, apakah berupa harta atau bukan harta. Yang menjadi alasan pernyataan muwakkil dipegang adalah karena perkara-perkara tersebut adalah akad, sehingga tidak menjadi wajib hanya dengan sekadar klaim.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ فِي جَمِيعِ ذَلِكَ قَوْلُ الْوَكِيلِ لِأَنَّ الْمُوَكِّلَ لَمَّا أَقَامَهُ مَقَامَ نَفْسِهِ نَفَذَ قَوْلُهُ عَلَيْهِ كَنُفُوذِ قَوْلِهِ عَلَى نَفْسِهِ. فَهَذَانِ قَوْلَا الشَّافِعِيِّ الْمَحْكِيَّانِ عَنْهُ.

Pendapat kedua: bahwa dalam semua perkara tersebut, yang dipegang adalah pernyataan wakil, karena ketika muwakkil telah menempatkan wakil pada posisinya sendiri, maka pernyataan wakil berlaku atas muwakkil sebagaimana pernyataan seseorang berlaku atas dirinya sendiri. Inilah dua pendapat asy-Syafi‘i yang dinukil darinya.

وَأَمَّا وَجْهَا أَبِي الْعَبَّاسِ فَإِنَّهُ ذَكَرَ فِي كِتَابِ الْوَكَالَةِ بَعْدَ حِكَايَةِ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَجْهَيْنِ ذَكَرَ احْتِمَالَهُمَا وَنَصَرَ تَوْجِيهَهُمَا.

Adapun dua wajah (pendapat) Abu al-‘Abbas, maka ia menyebutkan dalam Kitab al-Wakalah, setelah menukil dua pendapat asy-Syafi‘i, dua wajah yang ia anggap mungkin dan ia kuatkan argumentasinya.

أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ أَنَّهُ إِنْ كَانَ مَا أَقَرَّ بِهِ الْوَكِيلُ يَتِمُّ بِهِ وَحْدَهُ كَالْعِتْقِ وَالطَّلَاقِ وَالْإِبْرَاءِ، كَانَ قَوْلُهُ مَقْبُولًا فِيهِ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ يَصِحُّ مِنَ الْوَكِيلِ فِي الْحَالِ صَحَّ إِقْرَارُهُ بِهِ فِي تِلْكَ الْحَالِ. وَمَا كَانَ بِخِلَافِهِ لَمْ يُقْبَلْ إِقْرَارُهُ بِهِ.

Salah satu dari dua wajah tersebut adalah: jika perkara yang diakui oleh wakil dapat terlaksana hanya dengan pernyataannya saja, seperti pembebasan budak, talak, dan pelepasan hak, maka pernyataannya diterima dalam hal itu, karena jika sah dilakukan oleh wakil pada saat itu, maka sah pula pengakuannya dalam keadaan tersebut. Adapun selain itu, maka pengakuannya tidak diterima.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الَّذِي عَوَّلَ عَلَيْهِ وَاعْتَمَدَ عَلَى نُصْرَتِهِ: أَنَّ مَا كَانَ الْإِقْرَارُ بِهِ كَإِيقَاعِهِ قُبِلَ قَولُهُ فِيهِ وَمَا كَانَ بِخِلَافِهِ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِيهِ.

Wajah kedua, yang lebih diandalkan dan dijadikan pegangan: bahwa perkara yang pengakuan terhadapnya sama dengan pelaksanaannya, maka pernyataannya diterima dalam hal itu, dan selain itu tidak diterima pernyataannya.

وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ إِنَّمَا يَكُونُ لِلْقَوْلِ بِهِمَا وَجْهٌ إِذَا كَانَ الْوَكِيلُ عِنْدَ الِاخْتِلَافِ بَاقِيًا عَلَى الْوَكَالَةِ فَأَمَّا مَعَ عَزْلِهِ عَنْهَا فَلَا وَجْهَ لِتَخْرِيجِهِمَا لِمَا يَقْتَضِيهِ تَعْلِيلُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Kedua wajah ini hanya memiliki tempat untuk diterapkan apabila wakil, ketika terjadi perselisihan, masih tetap sebagai wakil. Adapun jika ia telah diberhentikan dari wakalah, maka tidak ada tempat untuk mengeluarkan kedua wajah tersebut, sesuai dengan alasan yang dikemukakan oleh masing-masing pendapat. Dan Allah Maha Mengetahui.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَاهُ مِنْ هَذِهِ الْجُمْلَةِ، كَانَ الْجَوَابُ فِي مَسْأَلَةِ الْكِتَابِ مَحْمُولًا عَلَيْهَا وَصُورَتُهَا فِي مَنْ أَمَرَ وَكِيلَهُ بِبَيْعِ مَتَاعِهِ وَقَبْضِ ثَمَنِهِ. فَادَّعَى الْوَكِيلُ الْبَيْعَ وَقَبْضَ الثَّمَنِ، وَتَسْلِيمَهُ إِلَى الْمُوَكِّلِ، فَإِنْ صَدَّقَهُ عَلَى الْبَيْعِ وَقَبْضِ الثَّمَنِ، وَأَنْكَرَ أَنْ يَكُونَ قَبَضَهُ مِنْهُ، كَانَ قَوْلُ الْوَكِيلِ مَقْبُولًا عَلَيْهِ لَكِنْ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّهُ اخْتِلَافٌ فِي الدَّفْعِ، وَلَوْ صَدَّقَهُ عَلَى الْبَيْعِ وَأَنْكَرَ قَبْضَ الْوَكِيلِ الثَّمَنَ مِنَ الْمُشْتَرِي، فَهُوَ عَلَى قَوْلَيْنِ. لِأَنَّ قَوْلَ الْوَكِيلِ يَدَّعِي عَمَلًا يُنْكِرُهُ الْمُوَكِّلُ. وَإِنْ كَذَّبَهُ فِي الْبَيْعِ وَقَبْضِ الثَّمَنِ فَهُوَ عَلَى قَوْلَيْنِ أَيْضًا لِمَا ذَكَرْنَا. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Apabila telah dipastikan apa yang telah kami uraikan dari rangkaian penjelasan ini, maka jawaban dalam permasalahan kitab ini didasarkan padanya. Bentuk kasusnya adalah seseorang memerintahkan wakilnya untuk menjual barang miliknya dan menerima harganya. Lalu wakil tersebut mengaku telah menjual dan menerima harga barang, serta telah menyerahkannya kepada pemberi kuasa (muwakkil). Jika muwakkil membenarkan pengakuan wakil tentang penjualan dan penerimaan harga, namun mengingkari bahwa ia telah menerima uang tersebut dari wakil, maka ucapan wakil diterima atasnya, tetapi dengan sumpah, karena ini adalah perselisihan dalam hal penyerahan. Jika ia membenarkan penjualan namun mengingkari bahwa wakil telah menerima harga dari pembeli, maka ada dua pendapat, karena ucapan wakil mengklaim suatu tindakan yang diingkari oleh muwakkil. Dan jika ia mendustakan wakil dalam penjualan dan penerimaan harga, maka juga ada dua pendapat sebagaimana yang telah kami sebutkan. Dan Allah Maha Mengetahui.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا أَمَرَ الرَّجُلُ وَكِيلَهُ بِشِرَى عَبْدٍ فَقَالَ الْوَكِيلُ: اشْتَرَيْتُهُ بِأَلْفٍ وَقَالَ الْمُوَكِّلُ بَلِ اشْتَرَيْتُهُ بِخَمْسِمِائَةٍ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَكِيلِ مَعَ يَمِينِهِ دُونَ الْمُوَكِّلِ.

Apabila seseorang memerintahkan wakilnya untuk membeli seorang budak, lalu wakil berkata, “Aku membelinya seharga seribu,” sedangkan muwakkil berkata, “Bahkan engkau membelinya seharga lima ratus,” maka ucapan yang diterima adalah ucapan wakil dengan sumpahnya, bukan ucapan muwakkil.

وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ كَانَتِ الْأَلْفُ بِيَدِ الْوَكِيلِ لِمُوَكِّلِهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَكِيلِ مَعَ يَمِينِهِ فِي شِرَى الْعَبْدِ بِالْأَلْفِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِيَدِهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُوَكِّلِ.

Abu Hanifah berkata: Jika uang seribu itu berada di tangan wakil untuk muwakkilnya, maka ucapan wakil diterima dengan sumpahnya dalam pembelian budak seharga seribu. Namun jika uang itu tidak berada di tangannya, maka ucapan yang diterima adalah ucapan muwakkil.

وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ بَلْ قَوْلُ الْوَكِيلِ أَوْلَى فِي الْحَالَيْنِ لِقَبُولِ قَوْلِهِ فِي أَصْلِ الشِّرَى وَكَذَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي قَدْرِ أَصْلِ ثَمَنِهِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat ini tidak benar, bahkan ucapan wakil lebih utama diterima dalam kedua keadaan, karena ucapan wakil diterima dalam pokok pembelian, demikian pula diterima dalam jumlah pokok harga. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” فإن طَلَبَ مِنْهُ الثَّمَنَ فَمَنَعَهُ مِنْهُ فَقَدْ ضَمِنَهُ إِلَّا فِي حَالٍ لَا يُمْكِنُهُ فِيهِ دَفْعُهُ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Jika muwakkil meminta harga (barang) dari wakil, lalu wakil menolak memberikannya, maka ia (wakil) wajib menanggungnya, kecuali dalam keadaan yang tidak memungkinkan baginya untuk menyerahkannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا حَصُلَ مَعَ الْوَكِيلِ ثَمَنُ مَا بَاعَ لِمُوَكِّلِهِ، فَطَلَبَهُ مِنْهُ فَمَنَعَهُ، فَلَا يَخْلُو حَالُ مَنْعِهِ فِي أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ بِعُذْرٍ أَوْ غَيْرِ عُذْرٍ. فَإِنْ كَانَ لِعُذْرٍ كَحُدُوثٍ مَرَضٍ أَوْ خَوْفٍ يَمْنَعُ مِنَ الْوُصُولِ إِلَى مَوْضِعِ الثَّمَنِ، أَوْ لِحُضُورِ فَرْضٍ مِنْ جُمُعَةٍ أَوْ مَكْتُوبَةٍ قَدْ ضَاقَ وَقْتُهَا، أَوْ لِضَيَاعِ مِفْتَاحٍ بِدِيَارِ غَيْرِهِ أَوْ لِمُلَازَمَةِ غَرِيمٍ لَهُ إِلَى مَا جَرَى مَجْرَى ذَلِكَ. فَهَذَا عُذْرٌ فِي تَأْخِيرِ الدَّفْعِ وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ إِنْ تَلِفَ قَبْلَ الدَّفْعِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, yaitu apabila harga barang yang dijual untuk muwakkil telah ada pada wakil, lalu muwakkil memintanya dan wakil menolak memberikannya, maka penolakan itu tidak lepas dari dua keadaan: bisa jadi karena ada uzur atau tanpa uzur. Jika karena uzur, seperti terjadi sakit, atau ada rasa takut yang menghalangi untuk sampai ke tempat uang, atau karena hadirnya kewajiban salat Jumat atau salat fardhu yang waktunya sudah sempit, atau karena kehilangan kunci di rumah orang lain, atau karena harus terus bersama penagih utang, atau hal-hal lain yang sejenis itu, maka ini adalah uzur yang membolehkan penundaan penyerahan dan tidak ada tanggungan (jaminan) atasnya jika uang itu rusak sebelum diserahkan.

وَإِنْ مَنَعَهُ لِغَيْرِ عُذْرٍ صَارَ ضَامِنًا لَهُ فَإِنْ تَلِفَ كَانَ عَلَيْهِ غُرْمُهُ. فَلَوْ مَنَعَهُ مِنْ دَفْعِهِ حَتَّى يَشْهَدَ عَلَى نَفْسِهِ بِقَبْضِهِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ لَهُ ذَلِكَ وَيَلْزَمُ الْمُوَكِّلَ الْإِشْهَادُ عَلَى نَفْسِهِ بِالْقَبْضِ أَمْ لَا؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ: –

Namun jika ia menolak tanpa uzur, maka ia menjadi penanggung (jamin) atas uang tersebut. Jika uang itu rusak, maka ia wajib menggantinya. Jika ia menolak menyerahkannya sampai muwakkil bersaksi atas dirinya bahwa ia telah menerima uang tersebut, maka para ulama kami berbeda pendapat, apakah ia berhak melakukan itu dan apakah muwakkil wajib bersaksi atas dirinya telah menerima uang atau tidak? Ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ، وَلَا يَلْزَمُ الْمُوَكِّلَ الْإِشْهَادُ عَلَى نَفْسِهِ بِالْقَبْضِ لِأَنَّ قَوْلَ الْوَكِيلِ مَقْبُولٌ فِي الدَّفْعِ. فَعَلَى هَذَا يَصِيرُ بِالْمَنْعِ ضَامِنًا وَعَلَيْهِ الْغُرْمُ إِنْ تَلِفَ.

Pertama, dan ini yang benar, bahwa ia tidak berhak melakukan itu, dan muwakkil tidak wajib bersaksi atas dirinya telah menerima uang, karena ucapan wakil diterima dalam hal penyerahan. Dengan demikian, dengan penolakan tersebut ia menjadi penanggung (jamin) dan wajib mengganti jika uang itu rusak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ الِامْتِنَاعُ مِنَ الدَّفْعِ إِلَّا بِالْإِشْهَادِ لِيَسْلَمَ مِنَ الْيَمِينِ مَعَ الْإِكْذَابِ فَعَلَى هَذَا لَا يَصِيرُ بِالْمَنْعِ ضَامِنًا وَلَا غَرْمَ عَلَيْهِ إِنْ تَلِفَ.

Pendapat kedua: Ia boleh menolak menyerahkan kecuali dengan adanya saksi, agar ia terhindar dari sumpah jika terjadi pendustaan. Dengan demikian, ia tidak menjadi penanggung (jamin) karena penolakan tersebut dan tidak wajib mengganti jika uang itu rusak.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ أَنَّهُ إِنْ قَبَضَ الْمَالَ بِالْإِشْهَادِ، لَمْ يَدْفَعْ إِلَّا بِالْإِشْهَادِ. وَإِنْ قَبَضَ بِغَيْرِ إِشْهَادٍ لَزِمَهُ الدَّفْعُ بِغَيْرِ إِشْهَادٍ.

Pendapat ketiga, yaitu mazhab Malik, bahwa jika ia menerima uang dengan disaksikan, maka ia tidak boleh menyerahkan kecuali dengan disaksikan pula. Namun jika ia menerima tanpa saksi, maka ia wajib menyerahkan tanpa saksi pula.

فَأَمَّا مَنْ كَانَ غَيْرَ مَقْبُولِ الْقَوْلِ فِي الدَّفْعِ فَلَا يَلْزَمُهُ الدَّفْعُ إِلَّا بِالْإِشْهَادِ، وَسَوَاءٌ كَانَ ضَامِنًا كَالْغَاصِبِ وَالْمُسْتَعِيرِ أَوْ كَانَ غَيْرَ ضَامِنٍ كَالْمُرْتَهِنِ.

Adapun orang yang ucapannya tidak diterima dalam hal penyerahan, maka ia tidak wajib menyerahkan kecuali dengan adanya saksi, baik ia penanggung (jamin) seperti ghashib (perampas) dan musta‘ir (peminjam), maupun bukan penanggung seperti murtahin (pemegang gadai).

فَأَمَّا الْمُضَارِبُ وَالْأَجِيرُ الْمُشْتَرِكُ فَإِنْ قُلْنَا بِأَحَدِ الْوَجْهَيْنِ إِنَّ قَوْلَهُ فِي الدَّفْعِ غَيْرُ مَقْبُولٍ، لَمْ يَلْزَمْهُمُ الدَّفْعُ إِلَّا بِالْإِشْهَادِ، وَإِنْ قُلْنَا بِالصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ: إِنَّ قَوْلَهُمْ فِي الدَّفْعِ مَقْبُولٌ، فَفِي وُجُوبِ الْإِشْهَادِ لَهُمْ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ عَلَى مَا ذَكَرْنَا.

Adapun mudārib dan ajīr musytarak, jika menurut salah satu pendapat bahwa pernyataan mereka dalam hal penyerahan tidak diterima, maka mereka tidak diwajibkan melakukan penyerahan kecuali dengan menghadirkan saksi. Namun jika menurut pendapat yang sahih dalam mazhab bahwa pernyataan mereka dalam penyerahan diterima, maka dalam hal kewajiban menghadirkan saksi bagi mereka terdapat tiga pendapat sebagaimana telah kami sebutkan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا مَنَعَ الْوَكِيلُ مُوَكِّلَهُ مِنَ الثَّمَنِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى دَفْعِهِ لَوْ كَانَ بَاقِيًا، وَكَانَ الثَّمَنُ قَدْ هَلَكَ قَبْلَ مَنْعِهِ، وَالْوَكِيلُ غَيْرُ عَالِمٍ بِهِ فَفِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ:

Adapun jika wakil menahan harga dari muwakkilnya padahal ia mampu menyerahkannya seandainya harga itu masih ada, dan harga tersebut telah rusak sebelum ia menahan, sementara wakil tidak mengetahuinya, maka dalam hal jaminan atasnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ: أَنَّهُ ضَامِنٌ لِمَا يَذْهَبُ إِلَيْهِ مِنْ أَنَّ الْوَدِيعَةَ تُضْمَنُ بِاعْتِقَادِ الِامْتِنَاعِ مِنَ الرَّدِّ.

Salah satunya, yaitu pendapat Ibn Surayj: bahwa ia wajib menjamin, berdasarkan pendapat bahwa titipan menjadi tanggungan dengan adanya keyakinan untuk menolak pengembalian.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّهُ لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ لِتَلَفِ ذَلِكَ قَبْلَ وُجُودِ السَّبَبِ الْمُوجِبِ لِلضَّمَانِ. وَاللَّهُ أعلم.

Pendapat kedua, dan ini yang sahih, bahwa tidak ada kewajiban jaminan atasnya karena kerusakan itu terjadi sebelum adanya sebab yang mewajibkan jaminan. Dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” فَإِنْ أَمْكَنَهُ فَمَنَعَهُ ثُمَّ جَاءَ لِيُوصِّلَهُ إِلَيْهِ فَتَلِفَ ضَمِنَهُ وَلَوْ قَالَ بَعْدَ ذَلِكَ قَدْ دَفَعْتُهُ إِلَيْكَ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Jika ia mampu menyerahkannya namun menahan, lalu setelah itu ia hendak menyerahkannya namun barang itu rusak, maka ia wajib menggantinya. Dan jika setelah itu ia berkata, ‘Aku telah menyerahkannya kepadamu,’ maka pernyataannya tidak diterima.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا مَنَعَ الْوَكِيلُ مِنْ دَفْعِ الثَّمَنِ إِلَى مُوَكِّلِهِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ لَهُ فِي الْمَنْعِ صَارَ ضَامِنًا. فَلَوْ حَمَلَهُ بَعْدَ ذَلِكَ لِيَدْفَعَهُ إِلَيْهِ، فَتَلِفَ كَانَ عَلَيْهِ غُرْمُهُ لِأَنَّ مَا صَارَ مَضْمُونًا لَزِمَ غُرْمُهُ بِالتَّلَفِ، فَلَوِ ادَّعَى بَعْدَ امْتِنَاعِهِ مِنَ الدَّفْعِ بِغَيْرِ عُذْرٍ، أَنَّهُ قَدْ دَفَعَ الثَّمَنَ إِلَى مُوَكِّلِهِ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ لِتَعَلُّقِ الضَّمَانِ بِذِمَّتِهِ. فَلَوْ طَلَبَ الْإِشْهَادَ عَلَى مُوَكِّلِهِ بِالدَّفْعِ لَزِمَهُ ذَلِكَ، فَلَوْ أَبْرَأَهُ الْمُوَكِّلُ مِنَ الضَّمَانِ فَإِنْ كَانَ بَعْدَ تَلَفِ الشَّيْءِ، فِي يَدِهِ وَتَعَلُّقِ الْغُرْمِ بِذِمَّتِهِ صَحَّتِ الْبَرَاءَةُ وَإِنْ كَانَ مَعَ بَقَاءِ الشَّيْءِ الْمَضْمُونِ فِي يَدِ الْوَكِيلِ فَفِي صِحَّةِ الْبَرَاءَةِ وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, jika wakil menahan penyerahan harga kepada muwakkilnya tanpa uzur, maka ia menjadi penanggung. Jika setelah itu ia membawa harga tersebut untuk diserahkan, lalu barang itu rusak, maka ia wajib menggantinya, karena sesuatu yang telah menjadi tanggungan wajib diganti jika rusak. Jika setelah menolak penyerahan tanpa uzur ia mengaku telah menyerahkan harga kepada muwakkilnya, maka pernyataannya tidak diterima karena jaminan telah melekat pada tanggungannya. Jika ia meminta agar penyerahan itu disaksikan kepada muwakkilnya, maka ia wajib melakukannya. Jika muwakkil membebaskannya dari jaminan, maka jika pembebasan itu setelah barang tersebut rusak di tangannya dan jaminan telah melekat pada tanggungannya, maka pembebasan itu sah. Namun jika pembebasan itu dilakukan saat barang yang dijamin masih ada di tangan wakil, maka dalam keabsahan pembebasan tersebut terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَصِحُّ كَالْإِبْرَاءِ مِمَّا تَعَلَّقَ بِذِمَّتِهِ – فَعَلَى هَذَا إِذَا ادَّعَى رَدَّهُ بَعْدَ ذَلِكَ قُبِلَ مِنْهُ.

Salah satunya: pembebasan itu sah, sebagaimana pembebasan dari sesuatu yang telah melekat pada tanggungannya—dengan demikian, jika setelah itu ia mengaku telah mengembalikannya, maka pernyataannya diterima.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْبَرَاءَةَ مِنْهُ لَا تَصِحُّ لِأَنَّهَا عَيْنٌ مَضْمُونَةٌ كَالْغَصْبِ لَا يَسْقُطُ ضَمَانُهُ بِالْإِبْرَاءِ مِنْهُ – فَعَلَى هَذَا إِنِ ادَّعَى رَدَّهُ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Kedua: pembebasan darinya tidak sah, karena itu adalah barang yang dijamin seperti barang hasil ghasab, yang jaminannya tidak gugur dengan pembebasan—dengan demikian, jika ia mengaku telah mengembalikannya, maka pernyataannya tidak diterima. Dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ صَاحِبُهُ لَهُ قَدْ طَلَبْتُهُ مِنْكَ فَمَنَعْتَنِي فَأَنْتَ ضَامِنٌ فَهُوَ مُدَّعٍ أَنَّ الْأَمَانَةَ تَحَوَّلَتْ مَضْمُونَةً وَعَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ وَعَلَى الْمُنْكِرِ الْيَمِينُ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Jika pemilik barang berkata kepadanya, ‘Aku telah memintanya darimu namun engkau menolakku, maka engkau wajib menjamin,’ maka ia adalah penggugat yang mengklaim bahwa amanah telah berubah menjadi tanggungan, dan ia wajib mendatangkan bukti, sedangkan yang mengingkari wajib bersumpah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا مَنَعَهُ مِنْ دَفْعِ الثَّمَنِ إِلَيْهِ حَتَّى هَلَكَ ثُمَّ اخْتَلَفَا. فَقَالَ الْوَكِيلُ: مَنَعْتُكَ مَعْذُورًا فَلَا ضَمَانَ عَلَيَّ. وَقَالَ الْمُوَكِّلُ: مَنَعَتْنِي غَيْرَ مَعْذُورٍ فَعَلَيْكَ الضَّمَانُ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَكِيلِ مَعَ يَمِينِهِ، إِذَا كَانَ مَا قَالَهُ مُمْكِنًا، وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ عَلَى أَصْلِ أَمَانَتِهِ فَلَا تُقْبَلُ دَعْوَى الْمُوَكِّلِ عَلَيْهِ فِي انْتِقَالِهِ عَنِ الْأَمَانَةِ إِلَى الضمان. وبالله التوفيق.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: Jika ia menahan penyerahan harga kepadanya hingga barang itu rusak, lalu keduanya berselisih. Wakil berkata, ‘Aku menolaknya karena ada uzur, maka tidak ada jaminan atasku.’ Sedangkan muwakkil berkata, ‘Engkau menolakku tanpa uzur, maka engkau wajib menjamin.’ Maka pernyataan diterima dari wakil dengan sumpahnya, jika apa yang dikatakannya memungkinkan, dan tidak ada jaminan atasnya karena ia tetap pada asal amanahnya. Maka klaim muwakkil atasnya bahwa amanah telah berubah menjadi tanggungan tidak diterima. Dan hanya kepada Allah-lah pertolongan.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ وَكَّلْتُكَ بِبَيْعِ مَتَاعِي وَقَبَضْتَهُ مِنِّي فَأَنْكَرَ ثُمَّ أَقَرَّ أَوْ قَامَتِ الْبَيِّنَةُ عَلَيْهِ بِذَلِكَ ضَمِنَ لِأَنَّهُ خَرَجَ بِالْجُحُودِ مِنَ الْأَمَانَاتِ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Jika ia berkata, ‘Aku telah mewakilkanmu untuk menjual barangku dan engkau telah menerimanya dariku,’ lalu ia mengingkari kemudian mengakui atau ada bukti yang menegaskan hal itu, maka ia wajib menjamin karena dengan pengingkaran itu ia telah keluar dari status amanah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ ادَّعَى عَلَى رَجُلٍ أَنَّهُ وَكَّلَهُ بِبَيْعِ مَتَاعِهِ وَأَقْبَضَهُ إِيَّاهُ فَأَنْكَرَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ الْوَكَالَةَ وَقَبْضَ الْمَتَاعِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّهُ مُنْكِرٌ. فَإِنْ أَقَامَ الْمُدَّعِي بَيِّنَةً بِالْوَكَالَةِ وَقَبْضِ الْمَتَاعِ، صَارَ ضَامِنًا لِأَنَّهُ خَرَجَ بِالْجُحُودِ عَنِ الْأَمَانَةِ فَصَارَ كَجَاحِدِ الْوَدِيعَةِ، فَلَوِ ادَّعَى بَعْدَ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ تَلَفَهَا أَوْ رَدَّهَا عَلَى مَالِكِهَا لَمْ تُقْبَلْ دَعْوَاهُ، لِأَنَّ مَنْ ضَمِنَ مَالًا لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِي ادِّعَاءِ الْبَرَاءَةِ مِنْهُ. وَلِأَنَّهُ صَارَ بِالْإِنْكَارِ الْأَوَّلِ مُكَذِّبًا لِهَذِهِ الدَّعْوَى مِنْهُ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, dan contohnya adalah pada seorang laki-laki yang mengklaim terhadap laki-laki lain bahwa ia telah mewakilkannya untuk menjual barang miliknya dan telah menyerahkan barang itu kepadanya, lalu orang yang dituduh menyangkal adanya wakalah dan penyerahan barang tersebut. Maka, perkataan yang diterima adalah perkataannya (yang dituduh) disertai sumpahnya, karena ia adalah seorang yang mengingkari. Jika penggugat mendatangkan bukti (bayyinah) atas adanya wakalah dan penyerahan barang, maka ia (yang dituduh) menjadi penanggung (dhamin), karena dengan pengingkarannya ia telah keluar dari sifat amanah, sehingga ia menjadi seperti orang yang mengingkari titipan (wadi‘ah). Maka, jika setelah adanya bayyinah atas dirinya, ia mengaku bahwa barang itu telah rusak atau telah dikembalikan kepada pemiliknya, pengakuannya tidak diterima, karena siapa yang telah menjadi penanggung suatu harta, tidak diterima pengakuannya dalam mengklaim telah bebas darinya. Dan karena dengan pengingkaran pertamanya, ia telah mendustakan klaim tersebut dari dirinya.

وَهَكَذَا لَوْ عَادَ بَعْدَ إِنْكَارِهِ فَأَقَرَّ بِقَبْضِ الْمَتَاعِ فَادَّعَى تَلَفَهُ أَوْ رَدَّهُ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ، وَكَانَ ضَامِنًا لَهُ لِقِيَامِ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ بِقَبْضِهِ، فَلَوْ أَقَامَ الْبَيِّنَةَ بِرَدِّهِ عَلَى مُوَكِّلِهِ أَوْ بِتَلَفِ ذَلِكَ فِي يَدِهِ قَبْلَ جُحُودِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Demikian pula, jika setelah pengingkarannya ia kembali lalu mengakui telah menerima barang tersebut, kemudian ia mengklaim bahwa barang itu telah rusak atau telah dikembalikan, maka klaimnya tidak diterima, dan ia tetap menjadi penanggung atasnya karena telah ada bayyinah atas dirinya tentang penerimaan barang itu. Namun, jika ia mendatangkan bayyinah bahwa ia telah mengembalikannya kepada muwakkilnya atau bahwa barang itu telah rusak di tangannya sebelum ia mengingkari, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهَا بَيِّنَةٌ مَرْدُودَةٌ لِأَنَّهُ قَدْ أَكْذَبَهَا بِسَابِقِ إِنْكَارِهِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa bayyinah tersebut tertolak karena ia telah mendustakannya dengan pengingkaran sebelumnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْقَاسِمِ الصَّيْمَرِيِّ وَحَكَاهُ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ أَنَّ بَيِّنَتَهُ مَقْبُولَةٌ لِتَقَدُّمِ مَا شَهِدَ بِهِ عَلَى الْجُحُودِ الْمُوجِبِ لِلضَّمَانِ. وَالْوَجْهُ الأول أصح.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu al-Qasim al-Saimari dan dinukil oleh Abu Hamid al-Isfara’ini, bahwa bayyinahnya diterima karena yang disaksikan terjadi sebelum pengingkaran yang menyebabkan kewajiban menanggung. Dan pendapat pertama adalah yang lebih sahih.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ وَكَّلْتُكَ بِبَيْعِ مَتَاعِي فَبِعْتَهُ فَقَالَ مالك عندي شَيْءٌ فَأَقَامَ الْبَيِّنَةَ عَلَيْهِ بِذَلِكَ فَقَالَ صَدَقُوا وَقَدْ دَفَعْتُ إِلَيْهِ ثَمَنَهُ فَهُوَ مُصَدَّقٌ لِأَنَّ مَنْ دَفَعَ شَيْئًا إِلَى أَهْلِهِ فَلَيْسَ هُوَ عِنْدَهُ وَلَمْ يُكَذِّبْ نَفْسَهُ فَهُوَ عَلَى أَصْلِ أَمَانَتِهِ وَتَصْدِيقِهِ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Aku telah mewakilkanmu untuk menjual barangku, lalu engkau telah menjualnya,’ kemudian ia (muwakkil) berkata: ‘Engkau masih memiliki hakku,’ lalu ia (wakil) mendatangkan bayyinah atas hal itu, kemudian ia berkata: ‘Mereka benar, dan aku telah menyerahkan harganya kepadanya,’ maka ia dibenarkan, karena siapa yang telah menyerahkan sesuatu kepada pemiliknya, maka barang itu tidak lagi ada padanya, dan ia tidak mendustakan dirinya sendiri, sehingga ia tetap pada asal amanah dan kejujurannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا ادَّعَى عَلَيْهِ تَوْكِيلَهُ فِي مَتَاعٍ أَقْبَضَهُ إِيَّاهُ لِيَبِيعَهُ، فَقَالَ الْوَكِيلُ: مَا لَكَ عِنْدِي شَيْءٌ أَوْ لَيْسَ لَكَ فِي يَدِي حَقٌّ. فَهَذَا جَوَابٌ مُقْنِعٌ فِي الدَّعْوَى، وَالْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينٍ لِأَنَّهُ مُنْكِرٌ. وَكُلُّ مَنِ ادَّعَى عليه مال فِي يَدَيْهِ وَذَكَرَ الْمُدَّعِي سَبَبَ اسْتِحْقَاقِهِ كَالْوَدِيعَةِ وَالْغَصْبِ، فَلِلْمُدَّعَى عَلَيْهِ إِذَا كَانَ مُنْكِرًا أَنْ يُجِيبَ بِأَحَدِ جَوَابَيْنَ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, jika seseorang mengklaim bahwa ia telah mewakilkannya dalam suatu barang dan telah menyerahkannya kepadanya untuk dijual, lalu sang wakil berkata: “Engkau tidak memiliki apa-apa padaku,” atau “Engkau tidak memiliki hak di tanganku.” Maka ini adalah jawaban yang memadai dalam gugatan, dan perkataan yang diterima adalah perkataannya disertai sumpah, karena ia adalah pengingkar. Setiap orang yang digugat atas harta yang ada di tangannya dan penggugat menyebutkan sebab haknya seperti wadi‘ah (titipan) atau ghasb (perampasan), maka pihak yang digugat jika ia mengingkari, boleh menjawab dengan salah satu dari dua jawaban.

إِمَّا أَنْ يَقُولَ: مَا أَخَذْتُ مِنْكَ هَذِهِ الْوَدِيعَةَ وَلَا غَصَبْتُكَ هَذَا الْمَالَ، وَإِمَّا أَنْ يَقُولَ: مَا لَكَ قِبَلِي حَقٌّ. فَكِلَا الْجَوَابَيْنَ مُقْنِعٌ فِي إِنْكَارِ الدَّعْوَى وَعَلَيْهِ الْيَمِينُ وَصِفَةُ إِحْلَافِهِ مُخْتَلِفَةٌ بِحَسْبَ اخْتِلَافِ الْجَوَابِ:

Yaitu, ia bisa berkata: “Aku tidak pernah menerima titipan ini darimu dan tidak pernah merampas hartamu,” atau ia bisa berkata: “Engkau tidak memiliki hak apapun terhadapku.” Kedua jawaban ini cukup untuk mengingkari gugatan dan ia harus bersumpah, dan bentuk sumpahnya berbeda sesuai dengan perbedaan jawaban:

فَإِنْ كَانَ جَوَابُهُ بِأَنْ قَالَ لَيْسَ لَكَ قِبَلِي حَقٌّ. أُحْلِفَ عَلَى مَا أَجَابَ بِاللَّهِ أَنَّ مَا لَهُ قَبَلَهُ حَقٌّ، وَلَا يَجُوزُ لِلْحَاكِمِ أَنْ يُحْلِفَهُ مَا أَخَذَ وَدِيعَتَهُ أَوْ مَا غَصَبَهُ، لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ قَدْ مَلَّكَهُ عَلَيْهِ بَعْدَ الْوَدِيعَةِ وَالْغَصْبِ بِهِبَةٍ أَوْ بَيْعٍ اسْتَوْفَى ثَمَنَهُ فَلَا يَكُونَ لَهُ قِبَلَهُ حَقٌّ وَيَحْنَثُ إِنْ حَلَفَ مَا اسْتَوْدَعَ وَلَا غَصَبَ.

Jika jawabannya adalah dengan berkata: “Engkau tidak memiliki hak apapun terhadapku,” maka ia disumpah sesuai jawabannya, yaitu: “Demi Allah, tidak ada hak baginya atas diriku.” Dan tidak boleh bagi hakim untuk menyumpahkannya dengan: “Aku tidak pernah menerima titipannya” atau “Aku tidak pernah merampasnya,” karena bisa jadi setelah titipan atau perampasan itu, ia telah menjadi miliknya dengan hibah atau jual beli yang telah dilunasi harganya, sehingga tidak ada lagi hak baginya atasnya, dan ia akan berdosa jika bersumpah bahwa ia tidak pernah menerima titipan atau tidak pernah merampas.

وَإِنْ كَانَ جَوَابُهُ أَنْ قَالَ: مَا غَصَبْتُكَ أَوْ قَالَ: مَا أَخَذْتُ وَدِيعَتَكَ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي صِفَةِ إِحْلَافِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Dan jika jawabannya adalah: “Aku tidak pernah merampasmu,” atau: “Aku tidak pernah menerima titipanmu,” maka para ulama kami berbeda pendapat tentang bentuk sumpahnya menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَحْلِفُ بِاللَّهِ مَا لَهُ قِبَلَهُ حَقٌّ احْتِرَازًا مِمَّا ذَكَرْنَا.

Salah satunya: Ia bersumpah dengan: “Demi Allah, tidak ada hak baginya atas diriku,” sebagai bentuk kehati-hatian dari apa yang telah kami sebutkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَحْلِفَ عَلَى مَا أَجَابَ بِاللَّهِ مَا غَصَبَهُ وَلَا أَخَذَ وَدِيعَتَهُ لِأَنَّ تَرْكَهُ الِاحْتِرَازَ فِي جَوَابِهِ يَنْفِي التَّوَهُّمَ عَنْهُ فِيمَا ذَكَرْنَا.

Pendapat kedua: Ia bersumpah sesuai jawabannya, yaitu: “Demi Allah, aku tidak pernah merampasnya dan tidak pernah menerima titipannya,” karena tidak adanya kehati-hatian dalam jawabannya meniadakan kemungkinan seperti yang telah kami sebutkan.

(فَصْلٌ) فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ جَوَابَهُ بِمَا ذَكَرْنَا مُقْنِعٌ، فَحَلَفَ ثُمَّ قَامَتِ الْبَيِّنَةُ عَلَيْهِ بِقَبْضِ الْمَالِ أَوْ عَادَ فَأَقَرَّ بِهِ ثُمَّ ادَّعَى تَلَفَهُ أَوْ رَدَّ ثَمَنِهِ لَمْ يَضْمَنْ وَكَانَ قَوْلُهُ مَقْبُولًا لِأَمْرَيْنِ: –

(Bagian) Jika telah tetap bahwa jawabannya sebagaimana yang telah kami sebutkan itu memadai, lalu ia bersumpah, kemudian datang bukti (bayyinah) atasnya bahwa ia telah menerima harta tersebut, atau ia kembali lalu mengakuinya, kemudian mengaku bahwa harta itu telah rusak atau telah mengembalikan harganya, maka ia tidak menanggung (tanggung jawab) dan ucapannya diterima karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَا ادَّعَاهُ فِي الثَّانِي مُطَابِقٌ لِمَا أَجَابَ بِهِ فِي الْأَوَّلِ، لِأَنَّ مَنْ رَدَّ الشَّيْءَ عَلَى مَالِكِهِ فَلَيْسَ لَهُ شَيْءٌ فِي يَدِهِ.

Pertama: Apa yang ia klaim pada kali kedua sesuai dengan apa yang ia jawab pada kali pertama, karena siapa yang telah mengembalikan sesuatu kepada pemiliknya, maka tidak ada lagi sesuatu di tangannya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ فِي جَوَابِهِ الْأَوَّلِ تَكْذِيبُ الشُّهُودِ وَبِهَذَيْنِ الْمَعْنَيَيْنِ فِي هَاتَيْنِ الْمَسْأَلَتَيْنِ، فَلَوْ قَامَتْ عَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ بِأَنَّ الْمَتَاعَ كَانَ فِي يَدِهِ بَعْدَ أَنْ أَجَابَ بِأَنْ لَا شَيْءَ لَكَ عِنْدِي، صَارَ ضَامِنًا، وَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِي الرَّدِّ أَوِ التَّلَفِ لِأَنَّ هَذَا الْجَوَابَ مِنْهُ مَعَ بَقَاءِ الشَّيْءِ فِي يَدِهِ كَذِبٌ وَجُحُودٌ، فَصَارَ ضَامِنًا.

Kedua: Dalam jawabannya yang pertama tidak terdapat pendustaan terhadap para saksi. Dengan dua makna ini dalam dua permasalahan tersebut, maka jika datang bayyinah atasnya dalam masalah ini bahwa barang tersebut masih ada di tangannya setelah ia menjawab, “Tidak ada sesuatu pun milikmu padaku,” maka ia menjadi penanggung (dhamin), dan ucapannya tentang pengembalian atau kerusakan tidak diterima, karena jawaban tersebut darinya sementara barang masih ada di tangannya adalah dusta dan penolakan, sehingga ia menjadi penanggung.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه ” وإن أمر الموكل الوكيل أن يدفع مالا إِلَى رَجُلٍ فَادَّعَى أَنَّهُ دَفَعَهُ إِلَيْهِ لَمْ يقبل منه إلا ببينة واحتج الشافعي في ذلك بقول الله تعالى {فإذا دفعتم إليهم أموالهم فأشهدوا عليهم} وبأن الذي زعم أنه دفعه إليه ليس هو الذي ائتمنه على المال كما أن اليتامى ليسوا الذين ائتمنوه على المال وقال الله جل ثناؤه {فإذا دفعتم إليهم أموالهم} الآية وبهذا فرق بين قوله لمن ائتمنه قد دفعته إليك يقبل لأنه ائتمنه وبين قوله لمن لم يأتمنه عليه قد دفعته إليك فلا يقبل لأنه الذي ليس ائتمنه “.

Al-Muzani ra. berkata: “Jika pemberi kuasa (muwakkil) memerintahkan wakil untuk menyerahkan harta kepada seseorang, lalu ia mengaku telah menyerahkannya kepadanya, maka tidak diterima kecuali dengan bayyinah. Asy-Syafi‘i berdalil dalam hal ini dengan firman Allah Ta‘ala: {Maka apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, hendaklah kamu adakan saksi-saksi atas mereka} dan karena orang yang ia klaim telah menyerahkan harta kepadanya itu bukanlah orang yang mempercayakan harta tersebut kepadanya, sebagaimana anak yatim bukanlah orang yang mempercayakan harta kepadanya. Allah Ta‘ala berfirman: {Maka apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka…} dan dengan ini dibedakan antara ucapannya kepada orang yang mempercayakan, ‘Aku telah menyerahkannya kepadamu,’ maka diterima karena ia telah mempercayakannya, dan ucapannya kepada orang yang tidak mempercayakan, ‘Aku telah menyerahkannya kepadamu,’ maka tidak diterima karena ia bukan orang yang mempercayakan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ أَمَرَ وَكِيلَهُ بِدَفْعِ مَالٍ إِلَى رَجُلٍ فَادَّعَى الْوَكِيلُ الدَّفْعَ وَأَنْكَرَ الْمَدْفُوعُ إِلَيْهِ الْقَبْضَ فَلَا يَخْلُو ذَلِكَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ: –

Al-Mawardi berkata: “Gambaran kasusnya adalah seseorang memerintahkan wakilnya untuk menyerahkan harta kepada seseorang, lalu wakil tersebut mengaku telah menyerahkannya, dan orang yang diklaim menerima harta itu mengingkari telah menerima, maka hal itu tidak lepas dari empat bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ دَيْنًا فِي ذِمَّةِ الْمُوَكِّلِ، فَقَوْلُ الْوَكِيلِ فِي الدَّفْعِ غَيْرُ مَقْبُولٍ عَلَى الْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ، لِأَنَّ الْمُوَكِّلَ لَوِ ادَّعَى دَفْعًا لَمْ تُقْبَلْ دَعْوَاهُ، فَوَكِيلُهُ فِي دَفْعِهِ أَوْلَى أَنْ لَا تُقْبَلَ دَعْوَاهُ. وَيَكُونُ صَاحِبُ الدَّيْنِ عَلَى حَقِّهِ فِي مُطَالَبَةِ الْمُوَكِّلِ بِدَيْنِهِ. وَلَيْسَ لَهُ مُطَالَبَةُ الْوَكِيلِ بِهِ.

Pertama: Jika itu adalah utang dalam tanggungan muwakkil, maka ucapan wakil tentang penyerahan tidak diterima atas orang yang diklaim menerima, karena jika muwakkil sendiri mengaku telah menyerahkan, klaimnya tidak diterima, maka wakilnya dalam penyerahan lebih utama untuk tidak diterima klaimnya. Maka pemilik utang tetap berhak menuntut muwakkil atas utangnya, dan ia tidak berhak menuntut wakil atas utang itu.

فَأَمَّا قَبُولُ قَوْلِ الْوَكِيلِ عَلَى الْمُوَكِّلِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُوَكِّلِ مِنْ أَنْ يُصَدِّقَهُ عَلَى الدَّفْعِ أَوْ يُكَذِّبَهُ. فَإِنْ كَذَّبَهُ عَلَى مَا ادَّعَاهُ مِنَ الدَّفْعِ، لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ عَلَيْهِ. وَكَانَ ضَامِنًا لَهُ. لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ أَمِينًا لَهُ فَقَوْلُهُ غَيْرُ مَقْبُولٍ فِي الدَّفْعِ إِلَى غَيْرِهِ. أَلَا تَرَى أَنَّ الْوَصِيَّ أَمِينٌ لِلْمُوصِي وَلَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ عَلَى الْيَتِيمِ فِي دَفْعِ مَالِهِ إِلَيْهِ لِأَنَّهُ يَدَّعِي دَفْعًا إِلَى غَيْرِ مَنِ ائْتَمَنَهُ وَلِذَلِكَ أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى بِالْإِشْهَادِ عَلَى الْيَتِيمِ فِي دَفْعِهِ مَالَهُ إِلَيْهِ بِقَوْلِهِ {فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ} [النساء: 6] لِأَنَّ غَيْرَ الْأَيْتَامِ ائْتَمَنُوهُمْ.

Adapun penerimaan ucapan wakil atas muwakkil, maka keadaan muwakkil tidak lepas dari dua kemungkinan: membenarkannya dalam penyerahan atau mendustakannya. Jika ia mendustakannya atas apa yang ia klaim dari penyerahan, maka ucapannya tidak diterima atasnya, dan ia menjadi penanggung baginya. Karena jika ia adalah orang yang dipercaya, maka ucapannya tidak diterima dalam penyerahan kepada selainnya. Tidakkah engkau melihat bahwa washi (pelaksana wasiat) adalah orang yang dipercaya oleh pewasiat, namun ucapannya tidak diterima atas anak yatim dalam penyerahan harta kepadanya, karena ia mengaku telah menyerahkan kepada selain orang yang mempercayakannya, dan karena itu Allah Ta‘ala memerintahkannya untuk menghadirkan saksi atas anak yatim dalam penyerahan hartanya kepadanya dengan firman-Nya: {Maka apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, hendaklah kamu adakan saksi-saksi atas mereka} (an-Nisa: 6), karena selain anak yatimlah yang mempercayakan mereka.

وَقَالَ تَعَالَى فِي غَيْرِ الْأَوْصِيَاءِ {فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ} [البقرة: 283] فَأَمَرَهُ بِأَدَاءِ الْأَمَانَةِ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَهُ مِنْ غَيْرِ إِشْهَادٍ، لِأَنَّ قَوْلَهُمْ فِي الدَّفْعِ غَيْرُ مَقْبُولٍ.

Dan Allah Ta‘ala berfirman tentang selain para washi: {Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya} (al-Baqarah: 283), maka Allah memerintahkannya untuk menunaikan amanat kepada orang yang mempercayakannya tanpa menghadirkan saksi, karena ucapan mereka dalam penyerahan tidak diterima.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ قَوْلَ الْوَصِيِّ غَيْرُ مَقْبُولٍ فِي دَفْعِ مال يتيم إِلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ مُؤْتَمَنًا، لِأَنَّ الِائْتِمَانَ مِنْ جِهَةِ غَيْرِهِ. فَكَذَا قَوْلُ الْوَكِيلِ غَيْرُ مَقْبُولٍ فِي دَفْعِ الْمَالِ إِلَى غَيْرِ مُوَكِّلِهِ وَإِنْ كَانَ مُؤْتَمَنًا، لِأَنَّهُ دَفَعَ إِلَى غَيْرِ مُؤْتَمَنِهِ. إِذْ لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ الْمُؤْتَمَنُ مُوصِيًا مَاتَ أَوْ مُوَكِّلًا بَاقِيًا.

Maka jika telah tetap bahwa ucapan washi tidak diterima dalam penyerahan harta anak yatim kepadanya, meskipun ia adalah orang yang dipercaya, karena kepercayaan itu berasal dari selain dirinya, maka demikian pula ucapan wakil tidak diterima dalam penyerahan harta kepada selain muwakkilnya, meskipun ia adalah orang yang dipercaya, karena ia menyerahkan kepada selain orang yang mempercayakannya. Tidak ada perbedaan antara orang yang dipercaya itu adalah pewasiat yang telah wafat atau muwakkil yang masih hidup.

فَأَمَّا إِنْ صَدَّقَ الْمُوَكِّلُ وَكِيلَهُ فِي الدَّفْعِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُوَكِّلِ مِنْ أَنْ يَكُونَ حَاضِرًا لِلدَّفْعِ أَوْ غَائِبًا عَنْهُ. فَإِنْ كَانَ غَائِبًا عَنْهُ فَالْوَكِيلُ ضَامِنٌ مَعَ تَصْدِيقِ الْمُوَكِّلِ كَمَا كَانَ ضَامِنًا مَعَ تَكْذِيبِهِ لِأَنَّهُ وَإِنْ صَدَّقَهُ عَلَى الدَّفْعِ فَقَدْ فَرَّطَ بِتَرْكِ الْإِشْهَادِ، لِأَنَّ أَمْرَهُ بِالدَّفْعِ يَقْتَضِي دَفْعًا يُبْرِئُهُ مِنَ الْمُطَالَبَةِ، وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ مَعَ جَوَازِ الْجَحُودِ إِلَّا بِالْإِشْهَادِ فَصَارَ الْوَكِيلُ بِتُرْكِ الْإِشْهَادِ مُفَرِّطًا فَيَضْمَنُ بِهِ كَمَا يَضْمَنُ بِالْخِيَانَةِ.

Adapun jika muwakkil membenarkan wakilnya dalam hal penyerahan (barang), maka keadaan muwakkil tidak lepas dari dua kemungkinan: hadir saat penyerahan atau tidak hadir. Jika ia tidak hadir, maka wakil tetap bertanggung jawab (menanggung) meskipun muwakkil membenarkannya, sebagaimana ia juga bertanggung jawab jika didustakan, karena meskipun ia dibenarkan dalam penyerahan, ia telah lalai dengan tidak menghadirkan saksi. Sebab, perintah muwakkil untuk menyerahkan mengharuskan adanya penyerahan yang membebaskannya dari tuntutan, dan hal itu tidak dapat terwujud jika masih dimungkinkan adanya pengingkaran kecuali dengan menghadirkan saksi. Maka, dengan tidak menghadirkan saksi, wakil dianggap lalai sehingga ia menanggung akibatnya sebagaimana ia menanggung akibat pengkhianatan.

وَإِنْ كَانَ الْمُوَكِّلُ حَاضِرًا لِدَفْعِ الْوَكِيلِ فَفِي وُجُوبِ الضَّمَانِ عَلَى الْوَكِيلِ وَجْهَانِ:

Dan jika muwakkil hadir saat penyerahan oleh wakil, maka dalam hal kewajiban tanggungan atas wakil terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَالْإِشْهَادُ غَيْرُ لَازِمٍ لَهُ لِأَنَّ الْمُوَكِّلَ إِذَا حَضَرَ كَانَ هُوَ الْمُسْتَوْفِيَ الْمُسْتَوْثِقَ لِنَفْسِهِ بِالْإِشْهَادِ فَلَمْ يَكُنْ مِنَ الْوَكِيلِ تَفْرِيطٌ يَضْمَنُ بِهِ.

Salah satunya: Tidak ada tanggungan atasnya dan menghadirkan saksi tidak wajib baginya, karena jika muwakkil hadir, dialah yang menerima dan menjaga haknya sendiri dengan menghadirkan saksi, sehingga tidak ada kelalaian dari wakil yang menyebabkan ia harus menanggung.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: عَلَيْهِ الضَّمَانُ وَيَلْزَمُهُ فِي الدفع الإشهاد لأن ما كان من شروطه مَعَ غَيْبَةِ الْمُوَكِّلِ، كَانَ مِنْ شُرُوطِهِ مَعَ حُضُورِهِ، وَلَيْسَ مَا أَنْفَقَ مِنْ حُضُورِ الْمُوَكِّلِ بِمُسْقِطٍ لِحَقِّ الِاسْتِيثَاقِ عَنِ الْوَكِيلِ.

Pendapat kedua: Wakil tetap menanggung dan wajib menghadirkan saksi dalam penyerahan, karena apa yang menjadi syarat saat muwakkil tidak hadir, juga menjadi syarat saat ia hadir. Kehadiran muwakkil bukanlah alasan yang menggugurkan hak pengamanan dari pihak wakil.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْمَدْفُوعُ عَيْنًا مَضْمُونَةً فِي يد الموكل كالعواري والغصوب، فيدعي الْمَأْمُورُ بِالدَّفْعِ أَنَّهُ قَدْ دَفَعَهَا إِلَى رَبِّهَا وينكر بها ذَلِكَ. فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ، وَقَوْلُ الْوَكِيلِ غَيْرُ مَقْبُولٍ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي الدَّفْعِ. وَلِصَاحِبِ الْعَارِيَّةِ وَالْمَالِ الْمَغْصُوبِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى مَنْ شَاءَ مِنَ الْمُوَكِّلِ وَالْوَكِيلِ، بِخِلَافِ الدَّيْنِ الَّذِي لَا يَرْجِعُ صَاحِبُهُ عَلَى الْوَكِيلِ لِأَنَّ الْوَكِيلَ فِي قَضَاءِ الدَّيْنِ تَثْبُتُ لَهُ يَدٌ عَلَى عَيْنِ مَالٍ لِرَبِّ الدَّيْنِ، وَقَدْ ثَبَتَ لِلْوَكِيلِ فِي رَدِّ الْعَارِيَّةِ وَالْغَصْبِ يَدٌ عَلَى عَيْنِ مَالِ رَبِّ الْعَارِيَّةِ وَالْغَصْبِ فَكَانَتْ يَدُ الْوَكِيلِ فِي وُجُوبِ الضَّمَانِ كَالْمُوَكِّلِ. فَإِنْ رَجَعَ رَبُّ الْعَارِيَّةِ بِالْغُرْمِ عَلَى الْمُوَكِّلِ رَجَعَ الْمُوَكِّلُ بِهِ عَلَى الْوَكِيلِ إِنْ لَمْ يُصَدِّقْهُ عَلَى الدَّفْعِ.

Bagian kedua: Jika barang yang diserahkan adalah barang tertentu yang wajib dijamin dalam tangan muwakkil, seperti barang pinjaman (al-‘āriyah) dan barang hasil ghasab (al-ghushb), lalu orang yang diperintah menyerahkan mengaku telah menyerahkannya kepada pemiliknya, namun pemiliknya mengingkari. Maka, yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pemilik barang dengan sumpahnya, dan pernyataan wakil tidak diterima dari keduanya dalam hal penyerahan. Pemilik barang pinjaman dan barang ghasab berhak menuntut siapa saja yang ia kehendaki dari muwakkil atau wakil, berbeda dengan utang, di mana pemilik utang tidak dapat menuntut wakil, karena wakil dalam pelunasan utang memiliki kekuasaan atas barang tertentu milik pemilik utang, dan demikian pula wakil dalam pengembalian barang pinjaman dan ghasab memiliki kekuasaan atas barang tertentu milik pemilik barang pinjaman dan ghasab, sehingga kedudukan wakil dalam kewajiban menanggung sama dengan muwakkil. Jika pemilik barang pinjaman menuntut ganti rugi kepada muwakkil, maka muwakkil dapat menuntutnya kepada wakil jika ia tidak membenarkannya dalam penyerahan.

وَإِنْ صَدَّقَهُ وَكَانَ غَائِبًا عَنِ الدَّفْعِ، رَجَعَ بِهِ أَيْضًا، وَإِنْ كَانَ حَاضِرًا فَعَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ.

Dan jika ia membenarkannya dan ia tidak hadir saat penyerahan, maka ia juga dapat menuntutnya. Namun jika ia hadir, maka berlaku sebagaimana dua pendapat yang telah disebutkan.

وَإِنْ رَجَعَ رَبُّ الْعَارِيَّةِ بِالْغُرْمِ عَلَى الْوَكِيلِ لَمْ يَرْجِعِ الْوَكِيلُ بِهِ عَلَى الْمُوَكِّلِ إِنْ كَذَّبَهُ وَلَا إِنْ صَدَّقَهُ وَكَانَ غَائِبًا. وَهَلْ يَرْجِعُ بِهِ إِنْ كَانَ حَاضِرًا مَعَهُ عَلَى الْوَجْهَيْنِ.

Dan jika pemilik barang pinjaman menuntut ganti rugi kepada wakil, maka wakil tidak dapat menuntutnya kepada muwakkil jika muwakkil mendustakannya, dan juga tidak jika muwakkil membenarkannya namun tidak hadir. Adapun jika muwakkil hadir bersamanya, maka berlaku dua pendapat sebagaimana telah disebutkan.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

الْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ وَدِيعَةً فِي يَدِ الموكل فلا يخلو حال رب الوديعة أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Bagian ketiga: Jika barang tersebut adalah titipan (wadi‘ah) di tangan muwakkil, maka keadaan pemilik titipan tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ أَذِنَ المودع أَنْ يُوَكِّلَ فِي رَدِّهَا وَإِمَّا لَا.

Pertama, pemilik titipan telah mengizinkan untuk mewakilkan dalam pengembaliannya, atau tidak.

فَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ فِي التَّوْكِيلِ فِي رَدِّ الْوَدِيعَةِ عَلَيْهِ، فَقَوْلُ الْوَكِيلِ غَيْرُ مَقْبُولٍ فِي الرَّدِّ وَالْمُودَعُ ضَامِنٌ لِلْوَدِيعَةِ. وَهَلْ يَكُونُ الْوَكِيلُ ضَامِنًا لَهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي الْوَكِيلِ فِي رَدِّ الْوَدِيعَةِ، هَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ الْإِشْهَادُ عَلَى رَدِّهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ: وَإِنْ أَذِنَ لَهُ أَنْ يُوَكِّلَ فِي رَدِّهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ: –

Jika ia tidak mengizinkan untuk mewakilkan dalam pengembalian titipan kepadanya, maka pernyataan wakil tidak diterima dalam pengembalian, dan pihak yang dititipi (muwadda‘) bertanggung jawab atas titipan tersebut. Apakah wakil juga bertanggung jawab atasnya atau tidak? Ini terdapat dua pendapat yang didasarkan pada perbedaan pendapat dalam masalah wakil dalam pengembalian titipan, apakah wajib menghadirkan saksi atas pengembaliannya atau tidak? Ada dua pendapat: Jika ia mengizinkan untuk mewakilkan dalam pengembaliannya, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُصَدِّقَهُ عَلَى التَّوْكِيلِ فَيَكُونُ قَوْلُ الْوَكِيلِ فِي هَذَا مَقْبُولًا عَلَى رَبِّ الْوَدِيعَةِ فِي رَدِّهَا عَلَيْهِ لِأَنَّهُ صَارَ وَكِيلًا لَهُ وَقَوْلُ الْوَكِيلِ مَقْبُولٌ عَلَى مُوَكِّلِهِ.

Pertama: Jika ia membenarkannya dalam perwakilan, maka pernyataan wakil dalam hal ini diterima terhadap pemilik titipan dalam pengembaliannya, karena ia telah menjadi wakilnya, dan pernyataan wakil diterima terhadap muwakkilnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُكَذِّبَهُ فِي التَّوْكِيلِ مَعَ اعْتِرَافِهِ بِالْإِذْنِ فِيهِ. فَهَلْ يُقْبَلُ قَوْلُ الْمُودَعِ فِي الْوَكَالَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kedua: Jika ia mendustakannya dalam perwakilan meskipun mengakui izinnya. Apakah pernyataan pihak yang dititipi diterima dalam hal perwakilan atau tidak? Terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: يُقْبَلُ قَوْلُهُ لِأَنَّ التَّوْكِيلَ مِنْ جِهَتِهِ فَعَلَى هَذَا تَصِحُّ وَكَالَةُ الْوَكِيلِ عَنْ رَبِّ الْوَدِيعَةِ وَيَصِيرُ قَوْلُ الْوَكِيلِ مَقْبُولًا عَلَيْهِ فِي الرَّدِّ.

Salah satu pendapat: Ucapannya diterima karena perwakilan berasal darinya. Berdasarkan hal ini, sah perwakilan seorang wakil dari pemilik titipan, dan ucapan wakil diterima atasnya dalam hal pengembalian.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ قَوْلَ الْمُودَعِ غَيْرُ مَقْبُولٍ فِي الْوَكَالَةِ لِأَنَّهُ مُدَّعٍ عَقْدَ تَوْكِيلٍ عَلَى غَيْرِهِ. فَعَلَى هَذَا لَا يُقْبَلُ قَوْلُ الْوَكِيلِ فِي الرَّدِّ وَيَصِيرُ الْمُودَعُ ضَامِنًا، وَلَيْسَ لَهُ إِذَا غَرِمَ الْوَدِيعَةَ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَى الْوَكِيلِ لِأَنَّ الْمُودَعَ مُفَرِّطٌ بِتَرْكِ الْإِشْهَادِ فِي التَّوْكِيلِ، فَصَارَ ضَامِنًا لِتَفْرِيطِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ عَلَى غَيْرِهِ.

Pendapat kedua: Ucapan orang yang dititipi tidak diterima dalam perwakilan karena ia mengklaim adanya akad perwakilan atas orang lain. Berdasarkan hal ini, ucapan wakil dalam pengembalian tidak diterima dan orang yang dititipi menjadi penanggung (dhamin), dan jika ia menanggung kerugian atas titipan tersebut, ia tidak berhak menuntutnya kepada wakil, karena orang yang dititipi telah lalai dengan tidak menghadirkan saksi dalam perwakilan, sehingga ia menjadi penanggung akibat kelalaiannya dan tidak boleh menuntutnya kepada orang lain.

(فَصْلٌ) الْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ وَدِيعَةً لِلْمُوَكِّلِ وَيَأْمُرَ وَكَيْلَهُ بِإِيدَاعِهَا عِنْدَ رَجُلٍ، فَيَدَّعِيَ الْوَكِيلُ تَسْلِيمَهَا إِلَيْهِ فَيُكَذَّبَ فِي دَعْوَاهُ فَلَا يَخْلُو ذَلِكَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

(Fashl) Bagian keempat: Yaitu apabila barang itu merupakan titipan milik pemberi kuasa, lalu ia memerintahkan wakilnya untuk menitipkannya kepada seseorang, kemudian wakil mengaku telah menyerahkannya kepadanya, namun pengakuannya itu didustakan. Maka, hal ini tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُكَذِّبَهُ الْمَالِكُ الْمُوَكِّلُ فِي الدَّفْعِ، وَيُكَذِّبَهُ الْمُودَعُ فِي الْقَبْضِ فَفِيهِ وَجْهَانِ مِنَ اخْتِلَافِهِمْ فِي وُجُوبِ الْإِشْهَادِ عَلَيْهِ عِنْدَ الدَّفْعِ: أَحَدُهُمَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْإِشْهَادُ كَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ فِي قَضَاءِ الدَّيْنِ. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْوَكِيلُ بِتُرْكِ الْإِشْهَادِ مُفَرِّطًا وَقَوْلُهُ فِي الدَّفْعِ بَعْدَ ضَمَانِهِ بِالتَّفْرِيطِ غَيْرُ مَقْبُولٍ

Salah satunya: Pemilik (pemberi kuasa) mendustakannya dalam penyerahan, dan orang yang dititipi juga mendustakannya dalam penerimaan. Dalam hal ini terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat tentang wajibnya menghadirkan saksi saat penyerahan: Salah satunya, ia wajib menghadirkan saksi sebagaimana wajib menghadirkan saksi dalam pelunasan utang. Berdasarkan pendapat ini, wakil yang tidak menghadirkan saksi dianggap lalai, dan ucapannya dalam penyerahan setelah ia menanggung akibat kelalaiannya tidak diterima.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْإِشْهَادَ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ فِي دَفْعِ الْوَدِيعَةِ لِأَنَّ الْمُودَعَ عِنْدَهُ لَوِ ادَّعَى تَلَفَهَا، بَعْدَ الْإِشْهَادِ عَلَيْهِ، كَانَ مَقْبُولَ الْقَوْلِ فِيهِ. فَعَلَى هَذَا لَا يَكُونُ مُفَرِّطًا وَقَوْلُهُ فِي الدَّفْعِ مَقْبُولٌ.

Pendapat kedua: Bahwa menghadirkan saksi tidak wajib baginya dalam penyerahan titipan, karena jika orang yang dititipi mengaku barang itu rusak setelah dihadirkan saksi, maka ucapannya tetap diterima. Berdasarkan pendapat ini, ia tidak dianggap lalai dan ucapannya dalam penyerahan diterima.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُصَدِّقَهُ الْمَالِكُ الْمُوَكِّلُ وَيُكَذِّبَهُ الْمُودَعُ فَلَا ضَمَانَ عَلَى الْوَكِيلِ، وَقَوْلُهُ بِتَصْدِيقِ الْمُوَكِّلِ مَقْبُولٌ عَلَيْهِ فِي سُقُوطِ الضَّمَانِ عَنْهُ، وَغَيْرُ مَقْبُولٍ عَلَى الْمُودَعِ. فَإِذَا حَلَفَ الْمُودَعُ مَا تَسَلَّمَ مِنْهُ الْوَدِيعَةَ بَرِئَ مِنَ الدَّعْوَى.

Bagian kedua: Pemilik (pemberi kuasa) membenarkannya, namun orang yang dititipi mendustakannya. Maka tidak ada tanggungan atas wakil, dan ucapannya yang dibenarkan oleh pemberi kuasa diterima dalam gugurnya tanggungan darinya, namun tidak diterima atas orang yang dititipi. Jika orang yang dititipi bersumpah bahwa ia tidak menerima titipan darinya, maka ia terbebas dari tuntutan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُصَدِّقَهُ الْمُودَعُ عَلَى قَبْضِهَا مِنْهُ، وَيَدَّعِيَ تَلَفَهَا وَيُكَذِّبَهُ الْمَالِكُ الْمُوَكِّلُ، فَقَوْلُ الْوَكِيلِ مَقْبُولٌ، وَهُوَ مِنْ ضَمَانِهَا بَرِيءٌ لِأَنَّ إِقْرَارَ الْمُودَعِ بِالْقَبْضِ أَقْوَى مِنَ الْإِشْهَادِ عَلَيْهِ. فَلَمَّا بَرِئَ بِالْإِشْهَادِ عَلَيْهِ فَأَوْلَى أَنْ يَبْرَأَ بِالْإِقْرَارِ.

Bagian ketiga: Orang yang dititipi membenarkannya atas penerimaan barang darinya, lalu ia mengaku barang itu rusak dan pemilik (pemberi kuasa) mendustakannya. Maka ucapan wakil diterima, dan ia terbebas dari tanggungan, karena pengakuan orang yang dititipi atas penerimaan lebih kuat daripada kesaksian atasnya. Maka jika ia terbebas dengan kesaksian atasnya, terlebih lagi ia terbebas dengan pengakuan.

(فَصْلٌ)

(Fashl)

فَأَمَّا وَلِيُّ الطِّفْلِ فِيمَا يَدَّعِيهِ عَلَيْهِ مِنْ مَالٍ صَرَفَهُ إِلَيْهِ فَلَا يَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun wali anak kecil dalam klaimnya atas harta yang telah ia serahkan kepadanya, maka hal itu tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَما: أَنْ يَكُونَ أَبًا أَوْ أَمِينَ حَاكِمٍ أَوْ وَصِيَّ أَبٍ. فإن كان الولي آبا يَلِي بِنَفْسِهِ فَهُوَ مَقْبُولُ الْقَوْلِ عَلَى وَلَدِهِ إِذَا بَلَغَ رَشِيدًا فِيمَا أَنْفَقَهُ عَلَيْهِ مِنْ مَالِهِ، وَفِيمَا دَفَعَهُ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ، لِانْتِفَاءِ التُّهْمَةِ عَنْهُ، فَكَانَ بِقَبُولِ قَوْلِهِ عَلَى وَلَدِهِ أَوْلَى مِنْ وَكِيلِ الْحَيِّ.

Salah satunya: Wali itu adalah ayah, atau orang terpercaya yang diangkat hakim, atau wasiat dari ayah. Jika wali itu adalah ayah yang langsung mengurus sendiri, maka ucapannya diterima atas anaknya ketika anak telah baligh dan berakal, baik dalam hal nafkah yang telah ia keluarkan dari hartanya, maupun dalam hal penyerahan harta kepada anaknya, karena tidak ada tuduhan terhadapnya. Maka, penerimaan ucapannya atas anaknya lebih utama daripada wakil orang yang masih hidup.

وَإِنْ كَانَ الْوَلِيُّ أَمِينَ حَاكِمٍ، فَقَوْلُهُ فِيمَا أَنْفَقَهُ عَلَيْهِ مَقْبُولٌ، وَفِيمَا رَدَّهُ عَلَيْهِ مِنْ مَالِهِ غَيْرُ مَقْبُولٍ لِمَا نُدِبَ إِلَيْهِ مِنَ الْإِشْهَادِ عَلَيْهِ.

Jika wali itu adalah orang terpercaya yang diangkat hakim, maka ucapannya dalam hal nafkah yang telah ia keluarkan diterima, namun dalam hal pengembalian harta kepada anaknya tidak diterima, karena ia dianjurkan untuk menghadirkan saksi atasnya.

وَقَالَ ابْنُ الْمَرْزُبَانِ مِنْ أَصْحَابِنَا الْبَغْدَادِيِّينَ: إِنَّ قَوْلَهُ فِي رَدِّ مَالِهِ عَلَيْهِ مَقْبُولٌ كَقَبُولِهِ فِي النَّفَقَةِ. وَهَذَا خَطَأٌ وَالْفَرْقُ بَيْنَ النَّفَقَةِ وَرَدِّ الْمَالِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Ibnu al-Marzuban dari kalangan ulama kami di Baghdad berkata: Ucapannya dalam pengembalian harta kepada anaknya diterima sebagaimana diterima dalam hal nafkah. Ini adalah kekeliruan, dan perbedaan antara nafkah dan pengembalian harta ada pada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ النَّفَقَةَ عَلَيْهِ فِي حَالِ الصِّغَرِ وَحِينَ الْوَلَايَةِ يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِيهَا وَرَدَّ مَالِهِ عَلَيْهِ بَعْدَ الْبُلُوغِ وَالرُّشْدِ فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِيهِ.

Salah satunya: Nafkah diberikan saat anak masih kecil dan dalam masa perwalian, maka ucapannya diterima dalam hal itu. Sedangkan pengembalian harta kepada anaknya setelah baligh dan berakal, maka ucapannya tidak diterima dalam hal itu.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْإِشْهَادَ عَلَى النَّفَقَةِ مُتَعَذِّرٌ، فَكَانَ قَوْلُهُ فِيهَا مَقْبُولًا، وَالْإِشْهَادُ عَلَى رَدِّ الْمَالِ مُمْكِنٌ فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِيهِ.

Kedua: Bahwa menghadirkan saksi atas nafkah itu sulit, maka ucapannya dalam hal ini diterima. Sedangkan menghadirkan saksi atas pengembalian harta itu memungkinkan, maka ucapannya dalam hal ini tidak diterima.

وَهَكَذَا حَالُ وَلِيِّ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ بِالسَّفَهِ يَسْتَوِي فِيهِ مَالُ الْأَبِ وَوَلِيِّ الْحَاكِمِ يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي النَّفَقَةِ وَلَا يُقْبَلُ فِي رَدِّ الْمَالِ بَعْدَ الرُّشْدِ.

Demikian pula keadaan wali bagi orang yang dibatasi haknya karena safih (tidak cakap mengelola harta), baik itu harta ayah maupun wali yang ditunjuk oleh hakim, ucapannya diterima dalam hal nafkah dan tidak diterima dalam hal pengembalian harta setelah mencapai kedewasaan (rusyd).

وَإِنْ كَانَ وَلِيُّ الطِّفْلِ وَصِيًّا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika wali anak kecil adalah washi (pelaksana wasiat), maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ كَأَمِينِ الْحَاكِمِ يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي النَّفَقَةِ، وَلَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي رَدِّ الْمَالِ لِأَنَّ وَلَايَتَهُ بِغَيْرِهِ.

Pertama: Ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, Abu Ali bin Abi Hurairah, dan mayoritas ulama mazhab kami, bahwa ia seperti amin (kepercayaan) hakim, ucapannya diterima dalam hal nafkah dan tidak diterima dalam hal pengembalian harta, karena kewenangannya berasal dari orang lain.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ كَالْأَبِ مَقْبُولُ الْقَوْلِ فِي النَّفَقَةِ وَرَدِّ الْمَالِ. لِأَنَّ الْأَبَ قَدْ أَقَامَهُ مَقَامَ نَفْسِهِ. وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ أَمِينَ الْحَاكِمِ قَائِمٌ مَقَامَ الْحَاكِمِ وَقَوْلَهُ فِي رَدِّ الْمَالِ غَيْرُ مَقْبُولٍ بِخِلَافِ الْحَاكِمِ فَكَذَا الوصي والله أعلم.

Pendapat kedua: Bahwa ia seperti ayah, ucapannya diterima baik dalam hal nafkah maupun pengembalian harta. Karena ayah telah menempatkannya pada posisinya sendiri. Namun ini adalah kekeliruan, sebab amin hakim itu menempati posisi hakim, dan ucapannya dalam pengembalian harta tidak diterima, berbeda dengan hakim. Maka demikian pula washi, dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَوْ جَعَلَ لِلْوَكِيلِ فِيمَا وَكَّلَهُ جُعْلًا فَقَالَ لِلْمُوَكِّلِ جُعْلِي قِبَلَكَ وَقَدْ دَفَعْتُ إِلَيْكَ مَالَكَ فَقَالَ بَلْ خُنْتَنِي فَالْجُعْلُ مَضْمُونٌ لَا تُبَرِّئُهُ مِنْهُ دَعْوَاهُ الْخِيَانَةَ عَلَيْهِ “.

Al-Muzani rahimahullah berkata: “Jika seseorang memberikan imbalan (ju‘l) kepada wakil atas apa yang diwakilkan kepadanya, lalu wakil berkata kepada muwakkil: ‘Imbalanku ada padamu dan aku telah menyerahkan hartamu kepadamu,’ namun muwakkil berkata: ‘Justru kamu telah mengkhianatiku,’ maka imbalan itu tetap menjadi tanggungannya dan pengakuan wakil atas pengkhianatan tidak membebaskannya dari kewajiban membayar imbalan tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْوَكَالَةَ تَجُوزُ بِجُعْلِ وَبِغَيْرِ جُعْلٍ وَلَا يَصِحُّ الْجُعْلُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَعْلُومًا. فَلَوْ قَالَ: قَدْ وَكَّلْتُكَ فِي بَيْعِ هَذَا الثَّوْبِ عَلَى أَنَّ جُعْلَكَ عُشْرُ ثَمَنِهِ أَوْ مِنْ كُلِّ مِائَةِ دِرْهَمٍ فِي ثَمَنِهِ دِرْهَمٌ لَمْ يَصِحَّ لِلْجَهْلِ بِمَبْلَغِ الثَّمَنِ وَلَهُ أُجْرَةُ مِثْلِهِ. فَلَوْ وَكَّلَهُ فِي بَيْعِ ثَوْبٍ بِجُعْلٍ مَعْلُومٍ فَبَاعَهُ بَيْعًا فَاسِدًا فَلَا جُعْلَ لَهُ لِأَنَّ مُطْلَقَ الْإِذْنِ بِالْبَيْعِ يَقْتَضِي مَا صَحَّ مِنْهُ. فَصَارَ الْفَاسِدُ غَيْرَ مَأْذُونٍ فِيهِ، فَلَمْ يَسْتَحِقَّ جُعْلًا عليه.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan. Telah kami sebutkan bahwa akad wakalah boleh dengan imbalan (ju‘l) maupun tanpa imbalan, dan imbalan itu tidak sah kecuali jika diketahui (jelas jumlahnya). Jika ia berkata: “Aku mewakilkanmu untuk menjual kain ini dengan imbalanmu sepersepuluh dari harganya, atau dari setiap seratus dirham dari harganya satu dirham,” maka itu tidak sah karena tidak diketahui jumlah harganya, dan ia hanya berhak atas upah yang sepadan. Jika ia mewakilkan untuk menjual kain dengan imbalan yang jelas, lalu ia menjualnya dengan jual beli yang fasid (rusak/tidak sah), maka tidak ada imbalan baginya, karena izin mutlak untuk menjual mengharuskan jual beli yang sah. Maka jual beli yang fasid dianggap tidak diizinkan, sehingga ia tidak berhak atas imbalan tersebut.

فَلَوْ بَاعَهُ بَيْعًا صَحِيحًا وَقَبَضَ ثَمَنَهُ وَتَلِفَ الثَّمَنُ فِي يَدِهِ فَلَهُ الْأُجْرَةُ لِوُجُودِ الْعَمَلِ. وَهَذَا بِخِلَافِ الصَّانِعِ إِذَا اسْتُؤْجِرَ عَلَى خِيَاطَةِ ثَوْبٍ أَوْ قُصَارَتِهِ فَتَلِفَ فِي يَدِهِ بَعْدَ عَمَلِهِ فَلَا أُجْرَةَ لَهُ إِنْ كَانَ مُشْتَرَكًا.

Jika ia menjualnya dengan jual beli yang sah, menerima harganya, lalu harga itu rusak (hilang) di tangannya, maka ia berhak atas upah karena pekerjaan telah dilakukan. Ini berbeda dengan tukang (shani‘) jika disewa untuk menjahit atau mencuci kain, lalu kain itu rusak di tangannya setelah pekerjaannya selesai, maka ia tidak berhak atas upah jika pekerjaannya bersifat musytarak (bersama).

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ الْأَجِيرِ تَسْلِيمُهُ الْعَمَلَ الْمُسْتَحَقَّ فِي مُقَابَلَةِ الْعِوَضِ فَمَا لَمْ يَحْصُلِ التَّسْلِيمُ لَمْ يَجِبْ مَا فِي مُقَابَلَتِهِ مِنَ الْعِوَضِ. وَالْمَقْصُودُ مِنَ الْوَكِيلِ وُجُودُ الْعَمَلِ الْمَأْذُونِ فِيهِ، فَلَوْ بَاعَ الْوَكِيلُ الثَّوْبَ فَتَلِفَ الثَّوْبُ فِي يَدِهِ، قَبْلَ تَسْلِيمِهِ إِلَى مُسْتَحِقِّهِ بَطَلَ الْبَيْعُ، وَلَمْ يَبْطُلْ جُعْلُ الْوَكِيلِ، لِأَنَّ بُطْلَانَهُ بِمَعْنًى حَادِثٍ بَعْدَ صِحَّتِهِ فَصَارَ بِالْعَمَلِ مَوْجُودًا مِنْهُ وَكَانَ بِخِلَافِ وُقُوعِ الْبَيْعِ فَاسِدًا. فَلَوْ سَلَّمَ الثَّوْبَ إِلَى مُشْتَرِيهِ وَقَبَضَ ثَمَنَهُ فَتَلِفَ فِي يَدِهِ ثُمَّ اسْتَحَقَّ الثَّوْبَ فِي يَدِ الْمُشْتَرِي كَانَ الْبَيْعُ فَاسِدًا وَلِلْوَكِيلِ جُعْلُهُ لِأَنَّ بُطْلَانَهُ لَيْسَ مِنْ جِهَةِ الْوَكِيلِ. فَصَارَ مَقْصُودُهُ بِالْإِذْنِ مُجَرَّدَ الْعَمَلِ عَلَى وَجْهِ الصِّحَّةِ دُونَ الصِّحَّةِ وَقَدْ وَجَدَ مِنَ الْوَكِيلِ ذَلِكَ الْعَمَلَ.

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa maksud dari ajir (pekerja) adalah menyerahkan hasil pekerjaan yang menjadi hak sebagai imbalan, sehingga selama penyerahan belum terjadi, maka imbalan atasnya belum wajib. Sedangkan maksud dari wakil adalah adanya pekerjaan yang diizinkan, sehingga jika wakil menjual kain lalu kain itu rusak di tangannya sebelum diserahkan kepada yang berhak, maka jual belinya batal, namun imbalan wakil tidak batal, karena batalnya jual beli itu disebabkan oleh sesuatu yang terjadi setelah sahnya akad, sehingga pekerjaan telah dilakukan olehnya. Ini berbeda dengan terjadinya jual beli yang fasid. Jika ia telah menyerahkan kain kepada pembeli dan menerima harganya, lalu harga itu rusak di tangannya, kemudian kain itu ternyata milik orang lain (bukan penjual) di tangan pembeli, maka jual belinya fasid, namun wakil tetap berhak atas imbalannya, karena batalnya bukan dari pihak wakil. Maka maksud dari izin itu adalah semata-mata pekerjaan yang sah, bukan sahnya hasil, dan pekerjaan itu telah dilakukan oleh wakil.

أَمَّا رُجُوعُ الْمُشْتَرِي بِالثَّمَنِ فَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ بِالْوَكَالَةِ، فَلَهُ الرُّجُوعُ عَلَى الْوَكِيلِ، وَيَرْجِعُ الْوَكِيلُ بِهِ عَلَى الْمُوَكِّلِ. وَإِنْ عَلِمَ بِالْوَكَالَةِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Adapun mengenai pembeli yang ingin meminta kembali harga (uangnya), jika ia tidak mengetahui adanya wakalah, maka ia berhak menuntut kepada wakil, dan wakil dapat menuntut kepada muwakkil. Jika ia mengetahui adanya wakalah, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَزِيِّ ذَكَرَهُ فِي جَامِعِهِ: أَنَّهُ يُرْجِعُ بِهِ عَلَى الْمُوَكِّلِ، دُونَ الْوَكِيلِ، لِأَنَّهُ مَبِيعٌ عَلَيْهِ كَالْمَبِيعِ عَلَى الْمُفْلِسِ.

Pertama: Ini adalah pendapat Abu Hamid al-Marwazi yang disebutkan dalam kitab Jami‘-nya: bahwa pembeli menuntut kepada muwakkil, bukan kepada wakil, karena barang itu dijual atas nama muwakkil, sebagaimana barang yang dijual atas nama orang yang bangkrut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى مَنْ شَاءَ مِنَ الْمُوَكِّلِ وَالْوَكِيلِ لِأَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي الْعَقْدِ تَأْثِيرًا.

Pendapat kedua: Bahwa ia (pihak yang menuntut) boleh menuntut siapa saja yang ia kehendaki, baik dari pihak muwakkil (pemberi kuasa) maupun wakil (penerima kuasa), karena masing-masing dari keduanya memiliki pengaruh dalam akad tersebut.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا مِنْ جَوَازِ الْوَكَالَةِ بِالْجُعْلِ وَاسْتِحْقَاقِهِ بَعْدَ الْعَمَلِ فَطَالَبَ الْوَكِيلُ الْمُوَكِّلَ بِجُعْلِهِ وَاسْتِحْقَاقِهِ بَعْدَ الْعَمَلِ وَادَّعَى أَنَّهُ قَدْ بَاعَ مَا وُكِّلَ فِي بَيْعِهِ وَأَنَّهُ قَدْ رَدَّ ثَمَنَهُ عَلَى مُوَكِّلِهِ فَلِلْمُوَكِّلِ حَالَتَانِ:

Apabila telah tetap apa yang telah kami jelaskan tentang bolehnya wakalah (perwakilan) dengan imbalan (al-ju‘l) dan berhaknya mendapatkan imbalan itu setelah pekerjaan selesai, lalu wakil menuntut muwakkil atas imbalannya dan menuntut haknya setelah pekerjaan selesai, serta mengklaim bahwa ia telah menjual barang yang diwakilkan untuk dijual dan telah menyerahkan harganya kepada muwakkilnya, maka muwakkil memiliki dua keadaan:

حَالَةٌ يُنْكِرُ الْعَمَلَ الَّذِي ادَّعَاهُ مِنَ الْبَيْعِ وَقَبْضِ الثَّمَنِ.

Keadaan di mana ia (muwakkil) mengingkari pekerjaan yang diklaim oleh wakil berupa penjualan dan penerimaan harga.

وَحَالَةٌ يَعْتَرِفُ بِهِ.

Dan keadaan di mana ia mengakuinya.

فَإِنْ أَنْكَرَ الْمُوَكِّلُ ذَلِكَ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ. وَلَا جُعْلَ لِلْوَكِيلِ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ يُقِيمُهَا عَلَى الْبَيْعِ، سَوَاءٌ قُبِلَ قَوْلُهُ فِي الْبَيْعِ أَمْ لَا. لِأَنَّهُ يَدَّعِي عَمَلًا يَسْتَحِقُّ بِهِ جُعْلًا فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِي دَعْوَاهُ.

Jika muwakkil mengingkari hal tersebut, maka perkataan muwakkil yang diterima disertai sumpahnya. Dan tidak ada imbalan bagi wakil kecuali dengan bukti (bayyinah) yang ia ajukan atas penjualan tersebut, baik perkataannya diterima dalam masalah penjualan maupun tidak. Karena ia mengklaim telah melakukan pekerjaan yang karenanya ia berhak mendapat imbalan, maka tidak diterima klaimnya dalam hal ini.

وَإِنْ صَدَّقَهُ الْمُوَكِّلُ عَلَى ذَلِكَ، وَادَّعَى دَفْعَ الْجُعْلِ إِلَيْهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَكِيلِ مَعَ يَمِينِهِ. وَلَهُ الْجُعْلُ لِأَنَّ الْمُوَكِّلَ مُدَّعٍ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ مِنْ جُعْلٍ تَعَلَّقَ بِهَا. فَلَوْ قَالَ لَهُ الْمُوَكِّلُ بَعْدَ تَصْدِيقِهِ عَلَى الْبَيْعِ إِنَّكَ خُنْتَنِي فِي عَمَلِكَ بِقَدْرِ جُعْلِكَ فَبَرِئْتَ عَنْهُ بِخِيَانَتِكَ وَأَنْكَرَ الْوَكِيلُ الخيانة فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَكِيلِ مَعَ يَمِينِهِ أَنَّهُ لَمْ يَخُنْ، وَلَهُ الْمُطَالَبَةُ بِجُعْلِهِ لِأَمْرَيْنِ:

Dan jika muwakkil membenarkan hal itu, lalu mengklaim telah membayar imbalan kepadanya, maka perkataan wakil yang diterima disertai sumpahnya. Dan ia berhak atas imbalan itu, karena muwakkil adalah pihak yang mengklaim telah bebas dari tanggungan imbalan yang masih melekat padanya. Maka jika muwakkil berkata kepadanya setelah membenarkan penjualan: “Engkau telah berkhianat dalam pekerjaanmu sebesar imbalanmu, maka engkau telah bebas darinya karena pengkhianatanmu,” dan wakil mengingkari pengkhianatan itu, maka perkataan wakil yang diterima disertai sumpahnya bahwa ia tidak berkhianat, dan ia berhak menuntut imbalannya karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ جُعْلَهُ ثَابِتٌ وَالْمُوَكِّلُ يَدَّعِي الْبَرَاءَةَ مِنْهُ فَلَمْ تُقْبَلْ دَعْوَاهُ.

Pertama: Bahwa imbalannya telah tetap, dan muwakkil mengklaim telah bebas darinya, maka klaimnya tidak diterima.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَمِينٌ لِمُوَكِّلِهِ وَالْمُوَكِّلُ يَدَّعِي حُدُوثَ خِيَانَةٍ فَلَمْ تُقْبَلْ دَعْوَاهُ وَاللَّهُ أعلم.

Kedua: Bahwa ia adalah orang yang dipercaya oleh muwakkilnya, dan muwakkil mengklaim telah terjadi pengkhianatan, maka klaimnya tidak diterima. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَلَوْ دَفَعَ إِلَيْهِ مَالًا يَشْتَرِي لَهُ بِهِ طَعَامًا فَسَلَّفَهُ ثُمَّ اشْتَرَى لَهُ بِمِثْلِهِ طَعَامًا فَهُوَ ضَامِنٌ لِلْمَالِ وَالطَّعَامِ لَهُ لِأَنَّهُ خَرَجَ مِنْ وَكَالَتِهِ بِالتَّعَدِّي وَاشْتَرَى بِغَيْرِ مَا أَمَرَهُ بِهِ “.

Al-Muzani rahimahullah berkata: “Jika seseorang menyerahkan harta kepadanya untuk dibelikan makanan, lalu ia meminjamkannya (kepada orang lain), kemudian ia membeli makanan untuknya dengan jumlah yang sama, maka ia bertanggung jawab atas harta dan makanan itu. Karena ia telah keluar dari tugas perwakilannya dengan bertindak melampaui batas dan membeli bukan dengan cara yang diperintahkan kepadanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ لِهَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مُقَدِّمَةً لَا يُسْتَغْنَى عَنْ شَرْحِهَا وَتَقْرِيرِ الْمَذْهَبِ فِيهَا لِيَكُونَ الْجَوَابُ فِي الْمَسْأَلَةِ مَبْنِيًّا عَلَيْهَا. وَهُوَ أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا وَكَّلَ رَجُلًا فِي ابْتِيَاعِ مَتَاعٍ لَهُ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَدْفَعَ إِلَيْهِ الثَّمَنَ وأم لَا.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa masalah ini memiliki pengantar yang tidak bisa dilewatkan penjelasannya dan penetapan mazhab di dalamnya, agar jawaban atas masalah ini dibangun di atasnya. Yaitu bahwa jika seseorang mewakilkan seseorang untuk membeli barang untuknya, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia menyerahkan harga barang kepadanya atau tidak.

فَإِنْ لَمْ يَدْفَعِ الثَّمَنَ إِلَيْهِ، جَازَ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَشْتَرِيَهُ بِثَمَنٍ فِي ذِمَّتِهِ، نَاوِيًا بِهِ أَنَّهُ لِمُوَكِّلِهِ فَيَكُونُ الْمِلْكُ بِالْعَقْدِ وَاقِعًا لِلْمُوَكِّلِ دُونَ الْوَكِيلِ.

Jika ia tidak menyerahkan harga barang kepadanya, maka boleh bagi wakil untuk membelinya dengan harga yang menjadi tanggungannya, dengan niat bahwa itu untuk muwakkilnya, sehingga kepemilikan atas barang itu berdasarkan akad jatuh kepada muwakkil, bukan kepada wakil.

وَقَالَ أبو حنيفة: يَقَعُ الْمِلْكُ بِالْعَقْدِ لِلْوَكِيلِ ثُمَّ يَنْتَقِلُ إِلَى الْمُوَكِّلِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ مَا مَلَكَهُ الْإِنْسَانُ بِعَقْدِ غَيْرِهِ وَقَعَ الْمِلْكُ لِلْعَاقِدِ ثُمَّ انْتَقَلَ عَنْهُ إِلَى مُتَمَلِّكِهِ كَالشُّفْعَةِ يَقَعُ الْمِلْكُ إِلَى الْمُشْتَرِي ثُمَّ يَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى الشَّفِيعِ. وَلِأَنَّ الْوَكِيلَ يَلْزَمُهُ الثَّمَنُ بِعَقْدِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَقَعَ لَهُ الْمِلْكُ بِعَقْدِهِ لِأَنَّ الثَّمَنَ فِي مُقَابَلَةِ الْمُثَمَّنِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ مِنْ شُرُوطِ الْعَقْدِ وَالِافْتِرَاقِ مُعْتَبَرًا بِالْعَاقِدَيْنِ اقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مُوجِبُهُ مِنَ الْمِلْكِ وَاقِعًا لِلْعَاقِدَيْنِ.

Abu Hanifah berkata: Kepemilikan atas barang itu berdasarkan akad jatuh kepada wakil, kemudian berpindah kepada muwakkil, dengan alasan bahwa apa yang dimiliki seseorang melalui akad orang lain, maka kepemilikan itu jatuh kepada pelaku akad, lalu berpindah darinya kepada pemilik sebenarnya, seperti dalam kasus syuf‘ah, di mana kepemilikan jatuh kepada pembeli, lalu berpindah darinya kepada orang yang berhak syuf‘ah. Dan karena wakil wajib membayar harga barang dengan akadnya, maka seharusnya kepemilikan itu jatuh kepadanya dengan akadnya, karena harga adalah imbalan dari barang yang dibeli. Dan karena salah satu syarat akad dan perpisahan adalah memperhatikan kedua pelaku akad, maka hal itu menuntut agar akibat dari akad berupa kepemilikan jatuh kepada kedua pelaku akad.

وَدَلِيلُنَا أَنَّ كُلَّ مَا عَقَدَ الْوَكِيلُ لِلْمُوَكِّلِ اقْتَضَى وُقُوعَ الْمِلْكِ بِالْعَقْدِ لِلْمُوَكِّلِ كَالنِّكَاحِ. وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ نَابَ فِي الْعَقْدِ عَنْ غَيْرِهِ وَقَعَ الْمِلْكُ بِهِ لِلْمَعْقُودِ لَهُ دُونَ عَاقِدِهِ قِيَاسًا عَلَى وَلِيِّ الْيَتِيمِ وَأَبِي الطِّفْلِ. وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْوَكِيلُ فِي الْبَيْعِ لَا يَمْلِكُ الثَّمَنَ، وَيَكُونُ الثَّمَنُ بِالْعَقْدِ مِلْكًا لِلْمُوَكِّلِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْوَكِيلُ فِي الشِّرَى لَا يَمْلِكُ الْمَبِيعَ الْمُثَمَّنَ وَيَكُونُ الْعَقْدُ بِالْمِلْكِ لِلْمُوَكِّلِ. وَتَحْرِيرُهُ أَنَّهُ أَحَدُ الْمَمْلُوكَيْنِ بِالْعَقْدِ فَوَجَبَ أَنْ يَمْلِكَهُ الْمُوَكِّلُ بِالْعَقْدِ قِيَاسًا عَلَى الثَّمَنِ.

Dalil kami adalah bahwa setiap akad yang dilakukan oleh wakil untuk muwakkil (pemberi kuasa) mengharuskan terjadinya kepemilikan melalui akad itu bagi muwakkil, seperti dalam akad nikah. Dan karena setiap orang yang mewakili pihak lain dalam akad, maka kepemilikan melalui akad itu jatuh kepada pihak yang diwakili, bukan kepada yang melakukan akad, berdasarkan qiyās kepada wali anak yatim dan ayah anak kecil. Dan karena ketika wakil dalam jual beli tidak memiliki hak atas harga (barang), dan harga itu melalui akad menjadi milik muwakkil, maka wajib pula bahwa wakil dalam pembelian tidak memiliki barang yang dibeli, dan akad itu menjadikan kepemilikan bagi muwakkil. Penjelasannya adalah bahwa barang yang dibeli merupakan salah satu dari dua hal yang menjadi milik melalui akad, maka wajib agar muwakkil memilikinya melalui akad, berdasarkan qiyās kepada harga.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالشُّفْعَةِ فَمُنْتَقَضٌ بِوَلِيِّ الْيَتِيمِ وَأَبِ الطِّفْلِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الشَّفِيعِ أَنَّهُ يَمْلِكُ الْمَبِيعَ بِالشُّفْعَةِ دُونَ الْعَقْدِ.

Adapun jawaban atas dalil mereka dengan syuf‘ah, maka dapat dibantah dengan (kasus) wali anak yatim dan ayah anak kecil. Kemudian makna dalam syuf‘ah adalah bahwa syafī‘ (pemilik hak syuf‘ah) memiliki barang yang dijual melalui syuf‘ah, bukan melalui akad.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالثَّمَنِ فَسَنَذْكُرُ مِنْ شَرْحِ الْمَذْهَبِ فِيهِ مَا يَكُونُ انْفِصَالًا عَنْهُ.

Adapun jawaban atas dalil mereka dengan harga, maka kami akan sebutkan dalam penjelasan mazhab mengenai hal itu apa yang menjadi pemisah darinya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ تَمَامَ الْعَقْدِ بِالْمُتَعَاقِدَيْنِ فكذا موجبه في الملك واقعا لِلْمُتَعَاقِدَيْنِ فَهُوَ أَنَّهُ مُنْتَقَضٌ بِالْحَاكِمِ وَوَلِيِّ الْيَتِيمِ وَأَبِ الطِّفْلِ وَبِعَقْدِ النِّكَاحِ. وَلَيْسَ لَهُمُ اسْتِدْلَالٌ فِي الْمَسْأَلَةِ يَسْلَمُ مِنَ الْكَسْرِ.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa sempurnanya akad dengan dua pihak yang berakad, maka demikian pula konsekuensinya dalam kepemilikan jatuh kepada kedua pihak yang berakad, maka ini dapat dibantah dengan (kasus) hakim, wali anak yatim, ayah anak kecil, dan akad nikah. Tidak ada satu pun dalil mereka dalam masalah ini yang selamat dari bantahan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْمِلْكَ يَكُونُ وَاقِعًا بِالْعَقْدِ لِلْمُوَكِّلِ دُونَ الْوَكِيلِ فَلِلْوَكِيلِ حَالَتَانِ:

Jika telah tetap bahwa kepemilikan terjadi melalui akad bagi muwakkil, bukan bagi wakil, maka bagi wakil ada dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ مُوَكِّلِهِ فِي الْعَقْدِ فَيَقُولُ: قَدِ اشْتَرَيْتُ هَذَا الْعَبْدَ لِفُلَانٍ بِأَمْرِهِ فَيَكُونَ الثَّمَنُ وَاجِبًا عَلَى الْمُوَكِّلِ. وَهَلْ يَكُونُ الْوَكِيلُ ضَامِنًا لَهُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ. أَحَدُهُمَا عَلَيْهِ ضَمَانُهُ لِأَنَّهُ عَاقِدٌ. وَالثَّانِي لَا يلزمه ضمانه لأنه غير مالكه.

Pertama: Wakil menyebutkan nama muwakkilnya dalam akad, lalu ia berkata: “Aku membeli budak ini untuk Fulan atas perintahnya,” maka harga menjadi kewajiban atas muwakkil. Apakah wakil menjadi penjamin atas harga itu atau tidak? Ada dua pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Surayj. Pertama, ia wajib menanggungnya karena ia adalah pihak yang berakad. Kedua, ia tidak wajib menanggungnya karena ia bukan pemiliknya.

والحالة الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يَذْكُرَ الْوَكِيلُ اسْمَ مُوَكِّلِهِ فِي الْعَقْدِ، وَلَكِنْ يَنْوِي بِقَلْبِهِ أَنَّ الشِّرَى لِمُوَكِّلِهِ. فَعَلَى الْوَكِيلِ ضَمَانُ الثَّمَنِ بِالْعَقْدِ. وَهَلْ يَصِيرُ الثَّمَنُ وَاجِبًا عَلَى الْمُوَكِّلِ بِالْعَقْدِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ.

Keadaan kedua: Wakil tidak menyebutkan nama muwakkilnya dalam akad, tetapi ia meniatkan dalam hatinya bahwa pembelian itu untuk muwakkilnya. Maka atas wakil wajib menanggung harga dengan akad tersebut. Apakah harga itu menjadi kewajiban atas muwakkil dengan akad atau tidak? Ada dua pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Surayj.

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَكُونُ الثَّمَنُ وَاجِبًا عَلَيْهِ بِالْعَقْدِ لِوُقُوعِ الْمِلْكِ لَهُ بِالْعَقْدِ. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْبَائِعُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ مُطَالَبَةِ الْوَكِيلِ بِهِ أَوِ الْمُوَكِّلِ. فَإِذَا أَخَذَهُ مِنْ أَحَدِهِمَا بَرِئَا مَعًا.

Pertama: Harga menjadi kewajiban atas muwakkil dengan akad karena kepemilikan jatuh kepadanya melalui akad. Dalam hal ini, penjual memiliki pilihan untuk menuntut harga kepada wakil atau muwakkil. Jika penjual telah mengambil harga dari salah satu dari keduanya, maka keduanya terbebas dari tanggungan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الثَّمَنَ غَيْرُ وَاجِبٍ عَلَى الْمُوَكِّلِ بِالْعَقْدِ وَإِنَّمَا يَلْزَمُ الْوَكِيلَ وَحْدَهُ لِتَفَرُّدِهِ بِالْعَقْدِ. فَعَلَى هَذَا يُطَالِبُ الْبَائِعُ الْوَكِيلَ وَحْدَهُ بِالثَّمَنِ دُونَ الْمُوَكِّلِ. وَهَلْ يَسْتَحِقُّ الْوَكِيلُ الثَّمَنَ عَلَى الْمُوَكِّلِ قَبْلَ أَدَائِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ:

Pendapat kedua: Harga tidak menjadi kewajiban atas muwakkil dengan akad, melainkan hanya menjadi kewajiban atas wakil saja karena ia sendiri yang melakukan akad. Dalam hal ini, penjual hanya menuntut harga kepada wakil, bukan kepada muwakkil. Apakah wakil berhak menuntut harga kepada muwakkil sebelum ia membayarkannya atau tidak? Ada dua pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Surayj:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّهُ عَلَيْهِ إِلَّا بَعْدَ أَدَائِهِ عَنْهُ، فَإِنْ أَدَّاهُ الْوَكِيلُ عَنْهُ رَجَعَ بِهِ عَلَيْهِ حِينَئِذٍ وَإِنْ أَبْرَأَهُ الْبَائِعُ مِنْهُ لَمْ يَرْجِعْ بِهِ عَلَى الْمُوَكِّلِ فَصَارَ الْمُوَكِّلُ مَالِكًا لِلْعَبْدِ بِغَيْرِ بَدَلٍ.

Pertama: Ia tidak berhak menuntut harga kepada muwakkil kecuali setelah ia membayarkannya atas nama muwakkil. Jika wakil telah membayarkannya atas nama muwakkil, maka ia boleh menuntut kembali kepada muwakkil pada saat itu. Jika penjual membebaskan wakil dari kewajiban harga, maka wakil tidak dapat menuntut kembali kepada muwakkil, sehingga muwakkil menjadi pemilik budak tanpa memberikan ganti.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْوَكِيلَ قَدِ اسْتَحَقَّ الثَّمَنَ عَلَى الْمُوَكِّلِ بِمَا وَجَبَ عَلَى الْوَكِيلِ مِنْ ضَمَانِهِ بِالْعَقْدِ وَلَهُ مُطَالَبَةُ الْمُوَكِّلِ بِهِ قَبْلَ أدائه، وإن أبرء الْوَكِيلَ مِنْهُ لَمْ يَرْجِعْ بِهِ عَلَى الْمُوَكِّلِ. وَلَوْ دَفَعَ بِالثَّمَنِ عَرْضًا رَجَعَ عَلَى الْمُوَكِّلِ بِالثَّمَنِ دُونَ قِيمَةِ الْعَرْضِ. وَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ إِذَا دَفَعَ الْوَكِيلُ بِالثَّمَنِ عَرْضًا رَجَعَ عَلَى الْمُوَكِّلِ بِأَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ مِنَ الثَّمَنِ أَوْ قِيمَةِ الْعَرْضِ.

Pendapat kedua: Sesungguhnya wakil telah berhak atas harga (barang) dari muwakkil karena kewajiban yang dibebankan kepada wakil berupa jaminan melalui akad, dan ia berhak menuntut muwakkil atas harga tersebut sebelum ia membayarnya. Jika wakil dibebaskan dari kewajiban itu, maka ia tidak dapat menuntutnya kembali kepada muwakkil. Jika ia membayar harga dengan barang (bukan uang), maka ia hanya dapat menuntut muwakkil sebesar harga, bukan nilai barang yang diberikan. Menurut pendapat pertama, jika wakil membayar harga dengan barang, maka ia hanya dapat menuntut muwakkil sebesar yang lebih kecil antara harga atau nilai barang tersebut.

فَلَوْ أَرَادَ الْوَكِيلُ أَنْ يَمْنَعَ الْمُوَكِّلَ مِنَ الْعَبْدِ إِلَّا بَعْدَ قَبْضِ ثَمَنِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ عَلَى الْوَجْهَيْنِ مَعًا لِأَنَّ الْبَائِعَ لَمْ يَبْتَعْهُ مِنْهُ.

Jika wakil ingin mencegah muwakkil dari mengambil budak kecuali setelah menerima harganya, maka ia tidak berhak melakukan hal itu menurut kedua pendapat, karena penjual tidak membelinya dari wakil.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِنْ جَحَدَ الْمُوَكِّلُ إِذْنَهُ لِلْوَكِيلِ بِالشِّرَى فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ مَا لَمْ يُقِمْ عَلَيْهِ بَيِّنَةً بِهِ وَلَا يَلْزَمُ الشِّرَى. ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُ الْوَكِيلِ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَدْ ذَكَرَ الْمُوَكِّلَ فِي عَقْدِ الشِّرَى أَمْ لَا. فَإِنْ كَانَ ذَكَرَهُ نُظِرَ حَالُ الْبَائِعِ فَإِنْ صَدَّقَ الْوَكِيلَ عَلَى مَا ادَّعَاهُ مِنْ إِذْنِ الْمُوَكِّلِ كَانَ الْبَيْعُ بَاطِلًا. وَإِنْ كَذَّبَ الْوَكِيلَ فَهَلْ يَصِيرُ الشِّرَى لَازِمًا لِلْوَكِيلِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي الْوَكِيلِ هَلْ يَكُونُ ضَامِنًا لِلثَّمَنِ مَعَ تَسْمِيَةِ الْمُوَكِّلِ لَهُ أم لا.

Jika muwakkil mengingkari telah memberi izin kepada wakil untuk membeli, maka yang dipegang adalah pernyataan muwakkil dengan sumpahnya, selama tidak ada bukti yang menentangnya, dan pembelian tidak menjadi wajib. Kemudian, keadaan wakil tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia telah menyebut nama muwakkil dalam akad pembelian atau tidak. Jika ia menyebutnya, maka dilihat keadaan penjual: jika penjual membenarkan klaim wakil tentang izin dari muwakkil, maka jual beli batal. Jika penjual mendustakan wakil, maka apakah pembelian menjadi wajib atas wakil atau tidak? Ada dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat tentang apakah wakil menjadi penjamin harga ketika ia menyebut nama muwakkil atau tidak.

فَإِنْ لَمْ يَكُنِ الْوَكِيلُ قَدْ ذَكَرَ مُوَكِّلَهُ فِي عَقْدِ الشِّرَى نُظِرَ فِي حَالِ الْبَائِعِ. فَإِنْ كَذَّبَ الْوَكِيلَ عَلَى مَا ادَّعَاهُ مِنْ إِذْنِ الْمُوَكِّلِ فَالشِّرَى لَازِمٌ لِلْوَكِيلِ. وَإِنْ صَدَّقَهُ عَلَى الْإِذْنِ فَفِي بُطْلَانِ الْعَقْدِ وَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي الْمُوَكِّلِ هَلْ يَصِيرُ مُشَارِكًا لِلْوَكِيلِ فِي الْتِزَامِ الثَّمَنِ بِالْعَقْدِ فَإِذَا قِيلَ يَبْطُلُ الشِّرَى سَقَطَ الثَّمَنُ عَنِ الْوَكِيلِ إِنْ كَانَ فِي ذِمَّتِهِ وَرَجَعَ بِهِ عَلَى الْبَائِعِ إِنْ كَانَ قَدْ أَدَّاهُ. وَإِذَا قِيلَ بلزوم الشِّرَى لِلْوَكِيلِ فَهَلْ يَصِيرُ مَالِكًا لِلْعَبْدِ الْمُشْتَرَى أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika wakil tidak menyebut nama muwakkil dalam akad pembelian, maka dilihat keadaan penjual. Jika penjual mendustakan klaim wakil tentang izin dari muwakkil, maka pembelian menjadi wajib atas wakil. Jika penjual membenarkan adanya izin, maka dalam pembatalan akad terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat tentang apakah muwakkil menjadi turut serta dengan wakil dalam kewajiban membayar harga melalui akad. Jika dikatakan bahwa pembelian batal, maka gugurlah kewajiban harga dari wakil jika masih menjadi tanggungannya, dan ia dapat menuntut kembali kepada penjual jika telah membayarnya. Jika dikatakan bahwa pembelian tetap wajib atas wakil, maka apakah ia menjadi pemilik budak yang dibeli atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَدْ صَارَ مَالِكًا لَهُ كَسَائِرِ أَمْلَاكِهِ يَمْلِكُ كَسْبَهُ وَزِيَادَةَ ثَمَنِهِ.

Pertama: Ia telah menjadi pemilik budak tersebut seperti kepemilikan atas harta lainnya; ia berhak atas hasil kerja dan kenaikan harga budak itu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَمْلِكُهُ وَإِنَّمَا يَكُونُ فِي يَدِهِ لِيَسْتَوْفِيَ مِنْ ثَمَنِهِ مَا أَدَّاهُ فِي ثَمَنِهِ. فَإِنْ زَادَ الثَّمَنُ لَمْ يَمْلِكِ الزِّيَادَةَ وَلَا فَاضِلَ الْكَسْبِ.

Pendapat kedua: Ia tidak memilikinya, melainkan budak itu berada di tangannya untuk mengambil kembali dari harga budak tersebut sebesar yang telah ia bayarkan. Jika harga budak itu naik, ia tidak berhak atas kelebihan harga maupun kelebihan hasil kerja.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا أَبُ الطِّفْلِ وَوَلِيُّ الْيَتِيمِ إِذَا اشْتَرَيَا شَيْئًا لِلطِّفْلِ أَوِ الْيَتِيمِ، فَإِنْ لَمْ يَذْكُرَا فِي الْعَقْدِ اسْمَ الطِّفْلِ، كَانَ الْأَبُ وَالْوَلِيُّ ضَامِنَيْنِ لِلثَّمَنِ، وَلَا يَضْمَنُهُ الطِّفْلُ فِي ذِمَّتِهِ وَيُؤَدِّيَا ذلك من ماله، وإن ذكر اسْمَهُ فِي الْعَقْدِ لَمْ يَلْزَمْهُمَا ضَمَانٌ بِخِلَافِ الْوَكِيلِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ.

Adapun ayah dari anak kecil dan wali anak yatim, jika mereka membeli sesuatu untuk anak kecil atau anak yatim, maka jika mereka tidak menyebut nama anak kecil dalam akad, maka ayah dan wali menjadi penjamin harga, dan anak kecil tidak menanggungnya dalam tanggungannya, dan mereka membayar dari harta anak kecil. Jika nama anak kecil disebutkan dalam akad, maka keduanya tidak wajib menjamin, berbeda dengan wakil menurut salah satu pendapat.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْوَلِيِّ وَالْوَكِيلِ أَنْ شِرَى الْوَلِيِّ لَازِمٌ لِلْمُوَلَّى عَلَيْهِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَلَمْ يَلْزَمِ الْوَلِيَّ ضَمَانُهُ. وَشِرَى الْوَكِيلِ يَلْزَمُ بِإِذْنِ مُوَكِّلِهِ فَلَزِمَ الْوَكِيلَ ضَمَانُهُ.

Perbedaan antara wali dan wakil adalah bahwa pembelian yang dilakukan wali menjadi wajib atas anak yang diwalikan tanpa izinnya, sehingga wali tidak wajib menanggungnya. Sedangkan pembelian yang dilakukan wakil menjadi wajib dengan izin muwakkil, sehingga wakil wajib menanggungnya.

فَهَذَا أَحَدُ فَصْلَيِ الْمُقَدِّمَةِ.

Inilah salah satu dari dua pasal dalam pendahuluan.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي مِنَ الْمُقَدِّمَةِ وَهُوَ أَنْ يَدْفَعَ الْمُوَكِّلُ مَالًا إِلَى وَكِيلِهِ لِيَشْتَرِيَ لَهُ عَبْدًا بِهِ. فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun pasal kedua dari pendahuluan, yaitu apabila muwakkil menyerahkan sejumlah harta kepada wakilnya untuk membelikan budak dengan harta tersebut. Maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَأْمُرَهُ أَنْ يَشْتَرِيَ بِعَيْنِ الْمَالَ عَبْدًا فَوَجَبَ عَلَى الْوَكِيلِ أَنْ يَشْتَرِيَ الْعَبْدَ بِعَيْنِ مَالِ مُوَكِّلِهِ. فَإِنِ اشْتَرَاهُ فِي ذِمَّتِهِ لَمْ يَلْزَمْ لِلْمُوَكِّلِ وَكَانَ الشِّرَى لَازِمًا لِلْوَكِيلِ.

Pertama: Muwakkil memerintahkan wakil untuk membeli budak dengan harta tertentu, maka wajib bagi wakil untuk membeli budak dengan harta muwakkil yang telah ditentukan. Jika ia membelinya atas tanggungannya sendiri, maka tidak menjadi tanggungan muwakkil dan pembelian itu menjadi wajib atas wakil.

وَقَالَ أبو حنيفة: الْوَكِيلُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَشْتَرِيَ الْعَبْدَ بِعَيْنِ الْمَالِ وَبَيْنَ أَنْ يَشْتَرِيَهُ فِي ذِمَّتِهِ. وَهُوَ في كلا الحالين لازم للموكل. وبنا ذَلِكَ عَلَى أَصْلِهِ أَنَّ الدَّرَاهِمَ وَالدَّنَانِيرَ لَا يَتَعَيَّنَانِ عِنْدَهُ وَهَذَا خَطَأٌ لِتَعْيِينِ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ عِنْدَنَا فِي الْعُقُودِ كَمَا تَتَعَيَّنُ فِي الْغُصُوبُ. وَقَدْ دَلَّلْنَا عَلَى ذَلِكَ فِي كِتَابِ الْبُيُوعِ وَلِأَنَّ يَدَ الْوَكِيلِ كَيَدِ الْمُودَعِ وَمَالُ الْوَدِيعَةِ مُتَعَيَّنٌ وَكَذَا مَا بِيَدِ الْوَكِيلِ مُتَعَيَّنٌ. وَإِذَا تَعَيَّنَ مَا بِيَدِهِ لِمُوَكِّلِهِ حَتَّى لَا يَجُوزَ أَنْ يَرُدَّ عَلَيْهِ عَيْنَ مَالِهِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الشِّرَى مَحْمُولًا عَلَى مُوجِبِ إِذْنِهِ.

Abu Hanifah berkata: Seorang wakil memiliki pilihan antara membeli budak dengan uang yang ditentukan atau membelinya atas tanggungan dirinya (dalam tanggungan). Dalam kedua keadaan tersebut, transaksi itu tetap mengikat bagi muwakkil (pemberi kuasa). Ia mendasarkan hal ini pada prinsipnya bahwa dirham dan dinar tidak menjadi tertentu menurut pendapatnya, dan ini adalah kekeliruan, karena menurut kami dirham dan dinar menjadi tertentu dalam akad sebagaimana menjadi tertentu dalam kasus ghasab (perampasan). Kami telah menjelaskan hal ini dalam Kitab al-Buyu‘, dan karena tangan wakil itu seperti tangan orang yang dititipi, dan harta titipan itu tertentu, demikian pula apa yang ada di tangan wakil itu tertentu. Apabila apa yang ada di tangannya telah menjadi tertentu untuk muwakkilnya sehingga tidak boleh mengembalikan selain harta yang sama, maka wajib bahwa pembelian itu dilakukan sesuai dengan izin yang diberikan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَأْمُرَهُ أَنْ يَشْتَرِيَ فِي ذِمَّتِهِ ويفقد الْمَالَ فِي ثَمَنِهِ. فَإِنِ اشْتَرَاهُ فِي الذِّمَّةِ صَحَّ، وَكَانَ لَازِمًا لِلْمُوَكِّلِ. وَإِنِ اشْتَرَاهُ بِعَيْنِ الْمَالِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Bagian kedua: Yaitu apabila ia memerintahkannya untuk membeli atas tanggungan dirinya dan tidak mensyaratkan penggunaan harta tersebut dalam pembayaran. Jika ia membelinya atas tanggungan, maka sah dan mengikat bagi muwakkil. Namun jika ia membelinya dengan harta yang ditentukan, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ الطَّبَرِيِّ ذَكَرَهُ فِي إِفْصَاحِهِ: أَنَّ الشِّرَى جَائِزٌ وَهُوَ لِلْمُوَكِّلِ لَازِمٌ لِأَنَّ الْعَقْدَ عَلَى الْمُعَيَّنِ أَحْوَطُ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu ‘Ali al-Thabari yang disebutkan dalam karyanya al-Ifshah: Bahwa pembelian itu sah dan mengikat bagi muwakkil, karena akad atas barang yang tertentu lebih hati-hati.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ اخْتِيَارُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ أَنَّ الشِّرَى بَاطِلٌ، لَا يَلْزَمُ الْوَكِيلَ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَالِكٍ لِلْعَيْنِ وَلَا يَلْزَمُ الْمُوَكِّلَ لِأَنَّ الْوَكِيلَ قَدْ فَوَّتَ عَلَيْهِ غَرَضًا لِأَنَّ الْعَقْدَ فِي الذِّمَّةِ لَا يَبْطُلُ بِتَلَفِ الثَّمَنِ. فَصَارَ فِعْلُ الْوَكِيلِ مُخَالِفًا لِأَمْرِ الْمُوَكِّلِ. فَلَوِ امْتَثَلَ الْوَكِيلُ أَمْرَ مُوَكِّلِهِ وَاشْتَرَى الْعَبْدَ بِثَمَنٍ فِي ذِمَّتِهِ ثم نقد الثمن من عنده بري الْوَكِيلُ وَالْمُوَكِّلُ مِنْهُ. وَلَمْ يَكُنْ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمُوَكِّلِ لِأَنَّ أَمْرَهُ بِنَقْدِ هَذَا المال في الثمن يتضمن نَهْيًا عَنْ نَقْدِهِ مِنْ غَيْرِهِ.

Pendapat kedua, yaitu pilihan Abu Hamid al-Isfara’ini, bahwa pembelian itu batal, tidak mengikat bagi wakil karena ia bukan pemilik barang, dan tidak mengikat bagi muwakkil karena wakil telah menggagalkan maksudnya, sebab akad dalam tanggungan tidak batal dengan hilangnya harga. Maka perbuatan wakil bertentangan dengan perintah muwakkil. Jika wakil melaksanakan perintah muwakkil dan membeli budak dengan harga atas tanggungan dirinya lalu membayar harga itu dari hartanya sendiri, maka wakil dan muwakkil terbebas darinya. Dan wakil tidak berhak menuntut muwakkil, karena perintahnya untuk membayar harga dengan harta tersebut mengandung larangan membayar dengan harta selain itu.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُطْلِقَ الْإِذْنَ فِي الشِّرَى عِنْدَ دَفْعِ الْمَالِ. فَيَقُولُ: خُذْ هَذَا الْمَالَ فَاشْتَرِ لِي عَبْدًا. فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ إِطْلَاقُهُ مُقْتَضِيًا لِلتَّعْيِينِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Bagian ketiga: Yaitu apabila izin untuk membeli diberikan secara mutlak ketika menyerahkan harta. Ia berkata: “Ambillah harta ini dan belikan untukku seorang budak.” Maka para sahabat kami berbeda pendapat, apakah kemutlakan itu menuntut penentuan (harta) atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ الطَّبَرِيِّ: أَنَّهُ يَقْتَضِيهِ لِأَنَّ تَقْدِيمَ الثَّمَنِ عَلَى الْعَبْدِ شَاهِدٌ فِيهِ. فَعَلَى هَذَا إِنِ اشْتَرَى فِي ذِمَّتِهِ كَانَ الشِّرَى لَازِمًا لِلْوَكِيلِ دُونَ الْمُوَكِّلِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu ‘Ali al-Thabari: Bahwa kemutlakan itu menuntut penentuan, karena penyerahan harga sebelum budak menjadi bukti dalam hal ini. Maka menurut pendapat ini, jika ia membeli atas tanggungan dirinya, maka pembelian itu mengikat bagi wakil, bukan bagi muwakkil.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ: أَنَّهُ لَا يَقْتَضِي التَّعْيِينَ لِأَنَّ الْإِطْلَاقَ عَلَى الْعُمُومِ. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْوَكِيلُ مُخَيَّرًا بَيْنَ الْعَقْدِ عَلَى الْعَيْنِ أَوْ فِي الذِّمَّةِ. فَهَذَا شَرْحُ الْمُقَدِّمَةِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat ulama Basrah: Bahwa kemutlakan itu tidak menuntut penentuan, karena kemutlakan berlaku umum. Maka menurut pendapat ini, wakil boleh memilih antara melakukan akad atas barang tertentu atau atas tanggungan. Inilah penjelasan muqaddimah.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَصُورَةُ مَسْأَلَةِ الْكِتَابِ فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا لِيَشْتَرِيَ لَهُ بِهِ طَعَامًا، فَتَسَلَّفَ الْمَالَ قَرْضًا ثُمَّ اشْتَرَى لَهُ بِمِثْلِهِ مِنْ مَالِهِ طَعَامًا. فَالشِّرَى غَيْرُ لَازِمٍ لِلْمُوَكِّلِ سَوَاءٌ كَانَ الْمُوَكِّلُ قَدْ أَذِنَ فِي الشِّرَى بِعَيْنِ الْمَالِ أَوْ فِي الذِّمَّةِ.

Jika telah jelas apa yang kami uraikan, maka gambaran masalah dalam kitab ini adalah tentang seorang laki-laki yang menyerahkan harta kepada orang lain agar membelikan makanan untuknya dengan harta itu, lalu ia meminjam harta itu sebagai utang, kemudian membelikan makanan untuknya dengan harta miliknya sendiri yang sepadan. Maka pembelian itu tidak mengikat bagi muwakkil, baik muwakkil mengizinkan pembelian dengan harta yang tertentu maupun atas tanggungan.

وَقَالَ أبو حنيفة: الشِّرَى لَازِمٌ لِلْمُوَكِّلِ سَوَاءٌ كَانَ الْإِذْنُ بِالْعَيْنِ أَوْ فِي الذِّمَّةِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْوَكَالَةَ بِتَلَفِ الْمَالِ وَاسْتِهْلَاكِهِ بَاطِلَةٌ لِانْعِقَادِهَا بِهِ. وَإِذَا بَطَلَتِ الْوَكَالَةُ وَانْعَزَلَ الْوَكِيلُ فَعَقْدُهُ لَازِمٌ لِنَفْسِهِ دُونَ مُوَكِّلِهِ.

Abu Hanifah berkata: Pembelian itu mengikat bagi muwakkil, baik izinnya dengan harta tertentu maupun atas tanggungan. Ini adalah kekeliruan, karena wakalah (perwakilan) untuk membinasakan dan menghabiskan harta adalah batal, sebab akadnya terjadi dengan harta itu. Jika wakalah batal dan wakil terlepas dari tugasnya, maka akadnya mengikat bagi dirinya sendiri, bukan bagi muwakkilnya.

فَلَوْ أَنَّ الْوَكِيلَ لَمْ يَسْتَهْلِكِ الْمَالَ وَلَكِنْ تَعَدَّى فِيهِ تَعَدِّيًا صَارَ لَهُ بِهِ ضَامِنًا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَنْعَزِلُ بِتَعَدِّيهِ عَنِ الْوَكَالَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika wakil tidak menghabiskan harta, tetapi melakukan pelanggaran terhadapnya sehingga ia menjadi penanggung jawab atasnya, maka para sahabat kami berbeda pendapat, apakah ia otomatis terlepas dari tugas wakalah karena pelanggarannya atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَنْعَزِلُ عَنِ الْوَكَالَةِ بِالتَّعَدِّي لِأَنَّهُ مُؤْتَمَنٌ كَالْمُودَعِ الَّذِي يَنْعَزِلُ بِالتَّعَدِّي عَنِ الْوَدِيعَةِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الشِّرَى لَازِمًا لِلْوَكِيلِ دُونَ مُوَكِّلِهِ.

Salah satu pendapat: seseorang terlepas dari status wakalah karena melakukan pelanggaran, sebab ia adalah orang yang dipercaya seperti penerima titipan (muwadda‘) yang juga terlepas dari titipan (wadi‘ah) jika melakukan pelanggaran. Berdasarkan hal ini, maka pembelian (syirā’) menjadi tanggungan wakil, bukan pemberi kuasa (muwakkil)-nya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ الطَّبَرِيِّ أَنَّهُ عَلَى الْوَكَالَةِ لَا يَنْعَزِلُ عَنْهَا بِالتَّعَدِّي مَعَ بَقَاءِ الْمِلْكِ كَالْمُرْتِهَنِ لَا يَبْطُلُ الرَّهْنُ بِتَعَدِّيهِ وَإِنْ كَانَ مُؤْتَمَنًا. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الشِّرَى لَازِمًا لِلْوَكِيلِ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu ‘Ali al-Tabari, bahwa dalam wakalah tidak terlepas dari statusnya karena pelanggaran selama kepemilikan masih ada, sebagaimana orang yang menerima gadai (murtahin) tidak batal hak gadai karena pelanggarannya, meskipun ia adalah orang yang dipercaya. Berdasarkan hal ini, maka pembelian (syirā’) tetap menjadi tanggungan wakil.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَلَوْ قَالَ الرَّجُلُ لِوَكِيلِهِ: ابْتَعْ لِي مِنْ مَالِكِ عَشَرَةَ أَقْفِزَةِ حِنْطَةٍ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ جَازَ ثُمَّ فِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ حَكَاهُمَا أَبُو الْقَاسِمِ الصَّيْمَرِيُّ:

Jika seseorang berkata kepada wakilnya: “Belikan untukku dari hartamu sepuluh qafiz gandum seharga seratus dirham,” maka hal itu boleh. Kemudian dalam masalah ini, menurut para ulama kami terdapat dua pendapat yang dikemukakan oleh Abu al-Qasim ash-Shaymari:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَرْضٌ فِيهِ وَكَالَةٌ. فَعَلَى هَذَا إِنْ لَمْ يَنُصَّ عَلَى قَدْرِ الثَّمَنِ كَانَ فَاسِدًا لِأَنَّ الْقَرْضَ الْمَجْهُولَ بَاطِلٌ.

Salah satunya: bahwa itu adalah pinjaman (qardh) sekaligus wakalah. Berdasarkan pendapat ini, jika tidak disebutkan secara tegas jumlah harga, maka akadnya rusak, karena pinjaman yang tidak diketahui jumlahnya adalah batal.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ عَقْدُ وَكَالَةٍ فِيهِ قَرْضٌ. فَعَلَى هَذَا لَوْ لَمْ يَنُصَّ عَلَى قَدْرِ الثَّمَنِ كَانَ جَائِزًا، لِجَوَازِ الْوَكَالَةِ فِيمَا لَمْ يَنُصَّ الْمُوَكِّلُ عَلَى قَدْرِ ثَمَنِهِ.

Pendapat kedua: bahwa itu adalah akad wakalah yang di dalamnya terdapat unsur pinjaman. Berdasarkan pendapat ini, jika tidak disebutkan secara tegas jumlah harga, maka akadnya tetap sah, karena wakalah boleh dilakukan meskipun pemberi kuasa tidak menyebutkan secara tegas jumlah harganya.

وَيَتَفَرَّعُ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِغَيْرِهِ: قَدْ أقرضتك ألف على أن ما رزق الله تعالى فيها من ربح فهو بيننا نصفين.

Dari dua pendapat ini, bercabang pula kasus jika seseorang berkata kepada orang lain: “Aku telah meminjamkan kepadamu seribu (dirham) dengan syarat bahwa apa pun rezeki yang Allah berikan berupa keuntungan, maka itu dibagi dua antara kita.”

فَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ: أَنَّهُ قَرْضٌ فَاسِدٌ فَيَكُونُ ضَامِنًا لِلْمَالِ وَلَهُ الرِّبْحُ دُونَ الْمُقْرِضِ.

Salah satu pendapat: bahwa itu adalah pinjaman (qardh) yang rusak, sehingga ia wajib menanggung harta tersebut dan keuntungan hanya menjadi miliknya, bukan milik pemberi pinjaman.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا مُضَارَبَةٌ فَاسِدَةٌ. فَعَلَى هَذَا لَيْسَ عَلَيْهِ ضَمَانُ الْمَالِ وَالرِّبْحُ لَهُ وَلِلْعَامِلِ أُجْرَةُ مِثْلِهِ.

Pendapat kedua: bahwa itu adalah mudharabah yang rusak. Berdasarkan pendapat ini, ia tidak wajib menanggung harta tersebut, dan keuntungan menjadi milik pemilik harta, sedangkan pekerja (amil) mendapatkan upah yang sepadan.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِغَيْرِهِ: بِعْ عَبْدَكَ هَذَا عَلَى زَيْدٍ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ عَلَيَّ دُونَهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika seseorang berkata kepada orang lain: “Juallah budakmu ini kepada Zaid seharga seribu dirham, dan (pembayaran) itu menjadi tanggunganku, bukan tanggungannya,” maka kasus ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ هَذَا الْقَابِلُ هُوَ الْمُتَوَلِّيَ لِلْعَقْدِ، فَيَصِحَّ وَيَكُونَ مُشْتَرِيًا لِغَيْرِهِ بِثَمَنٍ فِي ذِمَّتِهِ، فَيُعْتَبَرَ حَالُ زَيْدٍ الْمُشْتَرَى لَهُ، فَإِنْ كَانَ مُوَلًّى عَلَيْهِ وَأَذِنَا فِيهِ كَانَ الشِّرَى لِلْعَاقِدِ عَلَى مَا وَصَفْنَا.

Pertama: jika pihak yang menerima (akad) adalah pelaksana akad, maka akadnya sah dan ia menjadi pembeli untuk orang lain dengan harga yang menjadi tanggungannya. Maka yang diperhitungkan adalah keadaan Zaid sebagai orang yang dibelikan. Jika Zaid adalah orang yang berada di bawah perwalian dan kami mengizinkannya, maka pembelian itu menjadi milik pelaksana akad sebagaimana telah dijelaskan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ زِيدٌ هُوَ الْعَاقِدَ دُونَ الْقَابِلِ الضَّامِنِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Kedua: jika Zaid yang melakukan akad, bukan penerima yang menjamin, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ: أَنَّهُ جَائِزٌ وَيَكُونُ الْعَبْدُ لِزَيْدٍ الْمُشْتَرِي بِغَيْرِ ثَمَنٍ، وَالثَّمَنُ عَلَى الضَّامِنِ. وَهَذَا قَوْلُ أبي حنيفة لِأَنَّ لِلثَّمَنِ مَحَلًّا قَدْ ثَبَتَ فِيهِ فَلَمْ يَفْتَرِقْ حُكْمُ ثُبُوتِهِ في ذمة المشتري.

Salah satunya, yaitu pendapat Ibn Surayj: bahwa hal itu sah, dan budak menjadi milik Zaid sebagai pembeli tanpa membayar harga, dan harga menjadi tanggungan penjamin. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, karena harga telah memiliki tempat yang tetap, sehingga tidak berbeda hukum penetapannya dalam tanggungan pembeli.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّ الشِّرَى بَاطِلٌ لِأَنَّ عَقْدَ الْبَيْعِ مَا أَوْجَبَ بِتَمْلِيكِ الْمَبِيعِ عِوَضًا. وَهَذَا عَقْدٌ قَدْ خَلَا عَنْ عِوَضٍ عَلَى الْمَالِكِ بِهِ فَكَانَ بَاطِلًا. فَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ بِعْ عَبْدَكَ هَذَا بِأَلْفِ دِرْهَمٍ عَلَى زَيْدٍ وَبِخَمْسِمِائَةٍ عَلَيَّ دُونَهُ فَفَعَلَ كَانَ الْعَقْدُ جَائِزًا عَلَى قَوْلِ ابْنِ سُرَيْجٍ وأبي حنيفة وَيَلْزَمُ الْمُشْتَرِي أَلْفٌ وَالضَّامِنَ خَمْسُمِائَةٍ.

Pendapat kedua, dan ini yang shahih, bahwa pembelian (syirā’) tersebut batal, karena akad jual beli mensyaratkan kepemilikan barang dengan adanya imbalan. Sedangkan akad ini tidak terdapat imbalan dari pemiliknya, maka batal. Berdasarkan hal ini, jika dikatakan: “Juallah budakmu ini seharga seribu dirham kepada Zaid dan lima ratus dirham menjadi tanggunganku, bukan tanggungannya,” lalu dilakukan, maka akadnya sah menurut pendapat Ibn Surayj dan Abu Hanifah, dan pembeli wajib membayar seribu, sedangkan penjamin wajib membayar lima ratus.

وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي بَاطِلٌ وَلَكِنْ لَوْ قَالَ بِعْ عَبْدَكَ هَذَا عَلَى زَيْدٍ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ وَأَنَا ضَامِنٌ بِخَمْسِمِائَةٍ مِنْهَا فَبَاعَهُ عَلَيْهِ صَحَّ الْبَيْعُ لِزَيْدٍ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ عَلَيْهِ. وَهَلْ يَكُونُ الضَّمَانُ في الْخَمْسِمِائَةِ لَازِمًا لِلضَّامِنِ، عَلَى وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ: إن يَلْزَمُهُ ضَمَانُهَا. وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ ضَمَانَهَا بَاطِلٌ لِأَنَّهُ ضَمِنَهَا قَبْلَ اسْتِحْقَاقِهَا.

Menurut pendapat kedua, akadnya batal. Namun, jika dikatakan: “Juallah budakmu ini kepada Zaid seharga seribu dirham, dan aku menjamin lima ratus darinya,” lalu ia menjualnya, maka jual beli itu sah untuk Zaid dengan harga seribu dirham atas tanggungannya. Adapun apakah penjaminan atas lima ratus tersebut menjadi tanggungan penjamin, terdapat dua pendapat: salah satunya, yaitu pendapat Ibn Surayj, bahwa penjamin wajib menanggungnya. Pendapat kedua, penjaminan itu batal karena ia menjaminnya sebelum hak itu menjadi wajib.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا قَالَ رَجُلٌ لَعَبْدِ غَيْرِهِ: اشْتَرِ لِي نَفْسَكَ مِنْ سَيِّدِكَ فَاشْتَرَى الْعَبْدُ نَفْسَهُ مِنْ سَيِّدِهِ لِأَمْرِهِ. قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ الشِّرَاءُ جَائِزٌ وَيَصِيرُ الْعَبْدُ مِلْكًا لِلْآمِرِ. وَهَذَا قَوْلُ أبي حنيفة، وَهُوَ دَلِيلٌ عَلَيْهِ فِي أَنَّ الْمِلْكَ يَقَعُ بِالْعَقْدِ لِلْمُوَكِّلِ دُونَ الْوَكِيلِ وَلَوْ كَانَ وَاقِعًا لِلْوَكِيلِ لَعَتَقَ الْعَبْدُ لِأَنَّهُ مَلَكَ نَفْسَهُ وَهُوَ لَا يُعْتِقُهُ.

Apabila seseorang berkata kepada budak milik orang lain: “Belilah dirimu sendiri dari tuanmu untukku,” lalu budak itu membeli dirinya sendiri dari tuannya atas perintah orang tersebut, Abu al-‘Abbas berkata: “Pembelian itu sah dan budak tersebut menjadi milik orang yang memerintah.” Ini adalah pendapat Abu Hanifah, dan ini menjadi dalil baginya bahwa kepemilikan terjadi melalui akad untuk pihak yang memberi kuasa (al-muwakkil), bukan untuk wakil (al-wakil). Seandainya kepemilikan jatuh kepada wakil, niscaya budak itu akan merdeka karena ia telah memiliki dirinya sendiri, padahal ia tidak memerdekakannya.

وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّ هَذَا الشِّرَاءَ بَاطِلٌ لِأَنَّ فِعْلَ الْعَبْدِ مَنْسُوبٌ إِلَى سيده فصار السيد مبايعا لنفسه.

Adapun mazhab asy-Syafi‘i rahimahullah, pembelian seperti ini batal, karena perbuatan budak itu dinisbatkan kepada tuannya, sehingga tuan tersebut seakan-akan bertransaksi dengan dirinya sendiri.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَلَا يَجُوزُ لِلْوَكِيلِ وَلَا الْوَصِيِّ أَنْ يَشْتَرِيَ مِنْ نَفْسِهِ “.

Al-Muzani raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Tidak boleh bagi wakil maupun wasi untuk membeli dari dirinya sendiri.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ النِّيَابَةَ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ قَدْ تَكُونُ فِي أَرْبَعَةِ أوجه: –

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa perwakilan dalam jual beli dapat terjadi dalam empat bentuk:

أحدهما: مِنْ جِهَةِ النَّسَبِ وَهُوَ الْأَبُ وَالْجَدُّ عَلَى ابْنِهِ الطِّفْلِ.

Pertama: Berdasarkan hubungan nasab, yaitu ayah dan kakek terhadap anak kecilnya.

وَالثَّانِي: مِنْ جِهَةِ الْحُكْمِ وَهُوَ لِلِحَاكِمْ أَوْ أَمِينِهِ عَلَى الْمُوَلَّى عَلَيْهِ لِصِغَرٍ أَوْ سَفَهٍ.

Kedua: Berdasarkan hukum, yaitu untuk hakim atau orang kepercayaannya terhadap orang yang berada di bawah perwaliannya karena masih kecil atau bodoh.

وَالثَّالِثُ: مِنْ جِهَةِ الْوَصِيَّةِ وَهُوَ وَصِيُّ الْأَبِ وَالْجَدِّ عَلَى الطِّفْلِ.

Ketiga: Berdasarkan wasiat, yaitu wasi ayah atau kakek terhadap anak kecil.

وَالرَّابِعُ: مِنْ جِهَةِ الْوَكَالَةِ وَهُوَ وَكِيلُ الْمُوَكِّلِ الرَّشِيدِ.

Keempat: Berdasarkan wakalah, yaitu wakil dari muwakkil yang berakal sehat.

فَاخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ هَلْ يَجُوزُ لِهَؤُلَاءِ أَنْ يَبِيعُوا لِأَنْفُسِهِمْ مَا لَهُمْ بَيْعُهُ وَيَشْتَرُوا مِنْ أَنْفُسِهِمْ مَا لهم شراؤه على أربعة مذاهب: –

Para fuqaha berbeda pendapat, apakah boleh bagi mereka ini menjual kepada diri mereka sendiri apa yang boleh mereka jual, dan membeli dari diri mereka sendiri apa yang boleh mereka beli, menjadi empat mazhab:

أحدهما: وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَالْأَوْزَاعِيِّ أَنَّهُ يَجُوزُ لِجَمِيعِهِمْ أَنْ يَبِيعُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ مَا لَهُمْ بَيْعُهُ وَيَشْتَرُوا مِنْ أَنْفُسِهِمْ.

Pertama: Mazhab Malik dan al-Awza‘i, bahwa boleh bagi semuanya untuk menjual kepada diri mereka sendiri apa yang boleh mereka jual, dan membeli dari diri mereka sendiri.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ زفر بن الهذيل أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِجَمِيعِهِمْ أَنْ يَبِيعُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَا أَنْ يَشْتَرُوا مِنْ أَنْفُسِهِمْ.

Mazhab kedua: Pendapat Zufar bin al-Hudzail, bahwa tidak boleh bagi semuanya untuk menjual kepada diri mereka sendiri maupun membeli dari diri mereka sendiri.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ: أَنَّهُ يَجُوزُ ذَلِكَ لَهُمْ إِلَّا الْوَكِيلَ وَحْدَهُ.

Mazhab ketiga: Pendapat Abu Hanifah, bahwa hal itu boleh bagi mereka kecuali untuk wakil saja.

وَالْمَذْهَبُ الرَّابِعُ: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ ذَلِكَ لِجَمِيعِهِمْ إِلَّا الْأَبَ وَحْدَهُ وَالْجَدُّ مِثْلُهُ.

Mazhab keempat: Mazhab asy-Syafi‘i, bahwa hal itu tidak boleh bagi semuanya kecuali ayah saja, dan kakek juga demikian.

وَاسْتَدَلَّ مَنْ ذَهَبَ إِلَى جَوَازِهِ لِجَمِيعِهِمْ بِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ الْبَيْعِ حُصُولُ الثَّمَنِ وفي الشِّرَى حُصُولُ الْمُشْتَرِي وَلِذَلِكَ لَمْ يَلْزَمْ ذِكْرُ مَنْ لَهُ الْبَيْعُ وَالشِّرَى بِخِلَافِ النِّكَاحِ. فَلَمْ يَقَعِ الْفَرْقُ بَيْنَ حُصُولِ الثَّمَنِ مِنَ النَّائِبِ وغيره الحصول الْمَقْصُودِ فِي الْحَالَيْنِ وَقِيَاسُهُ عَلَى الْأَبِ بِعِلَّةِ أن كل من جاز له بَيْعُ مَالِ غَيْرِهِ جَازَ لَهُ بَيْعُهُ عَلَى نَفْسِهِ كَالْأَبِ.

Orang yang membolehkan hal itu bagi semuanya berdalil bahwa tujuan dari jual beli adalah memperoleh harga, dan dalam pembelian adalah memperoleh barang yang dibeli. Oleh karena itu, tidak disyaratkan menyebutkan siapa yang berhak menjual dan membeli, berbeda dengan nikah. Maka tidak ada perbedaan antara harga yang diperoleh dari perwakilan atau selainnya, karena tujuan tercapai pada kedua keadaan tersebut. Dan qiyās-nya terhadap ayah adalah karena setiap orang yang boleh menjual harta orang lain, maka boleh baginya menjual kepada dirinya sendiri seperti ayah.

وَاسْتَدَلَّ مَنْ مَنَعَ جَوَازَهُ لِجَمِيعِهِمْ بِأَنَّ الْإِنْسَانَ مَجْبُولٌ عَلَى تَغْلِيبِ حَظِّ نَفْسِهِ عَلَى حَظِّ غَيْرِهِ وَالنَّائِبَ مَنْدُوبٌ إِلَى طَلَبِ الْحَظِّ لِمُسْتَنِيبِهِ فَإِذَا بَاعَ مِنْ نَفْسِهِ انْصَرَفَ بِجِبِلَّةِ الطَّبْعِ إِلَى حَظِّ نَفْسِهِ، فَصَارَ الْمَقْصُودُ بِالنِّيَابَةِ مَعْدُومًا فَلَمْ يَجُزْ. وَقِيَاسًا عَلَى الْوَكِيلِ لِأَنَّهُ نَائِبٌ فِي الْعَقْدِ عَنْ غَيْرِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَعْقِدَ مَعَ نَفْسِهِ كَالْوَكِيلِ.

Orang yang melarang kebolehan itu bagi semuanya berdalil bahwa manusia secara fitrah cenderung mengutamakan kepentingan dirinya atas kepentingan orang lain, sedangkan perwakilan ditugaskan untuk mencari kepentingan orang yang diwakilinya. Jika ia menjual kepada dirinya sendiri, maka secara naluri ia akan condong kepada kepentingan dirinya sendiri, sehingga tujuan dari perwakilan menjadi hilang dan tidak boleh dilakukan. Dan qiyās-nya terhadap wakil, karena ia adalah perwakilan dalam akad atas nama orang lain, maka tidak boleh ia berakad dengan dirinya sendiri seperti wakil.

وَاسْتَدَلَّ مَنْ مَنَعَ مِنْهُ لِلْوَكِيلِ وَحْدَهُ وَأَجَازَ لِمَنْ سِوَاهُ بِأَنَّ نِيَابَةَ الْوَكِيلِ عَنْ جَائِزِ الْأَمْرِ فَكَانَ مَأْذُونًا لَهُ مِنْ غَيْرِ وِلَايَةٍ. فَصَارَ أَنْقَصَ حَالًا مِنْ ذِي الْوَلَايَةِ، فَجَازَ لِلْوَلِيِّ مُبَايَعَةُ نَفْسِهِ لِقُوَّةِ سَبَبِهِ كَالْأَبِ. وَلَمْ يَجُزْ لِغَيْرِ ذِي الْوَلَايَةِ مِنَ الْوَكِيلِ مُبَايَعَةُ نَفْسِهِ لِضَعْفِ سَبَبِهِ كَالْأَجْنَبِيِّ.

Orang yang melarang hanya untuk wakil saja dan membolehkannya bagi selainnya berdalil bahwa perwakilan wakil berasal dari izin yang diberikan tanpa adanya kekuasaan (wilayah). Maka kedudukannya lebih rendah daripada yang memiliki kekuasaan, sehingga wali boleh bertransaksi dengan dirinya sendiri karena kuatnya sebab yang dimilikinya seperti ayah. Sedangkan selain yang memiliki kekuasaan, seperti wakil, tidak boleh bertransaksi dengan dirinya sendiri karena lemahnya sebab yang dimilikinya seperti orang asing.

وَدَلِيلُنَا أَنَّ غَيْرَ الْأَبِ لَا يَجُوزُ لَهُ مُبَايَعَةُ نَفْسِهِ هُوَ مَا رُوِيَ أَنَّ رَجُلًا أَوْصَى إِلَى رَجُلٍ بِوَصِيَّةٍ فَأَرَادَ الْوَصِيُّ بَيْعَ فَرَسٍ مِنَ التَّرِكَةِ عَلَى نَفْسِهِ فَسَأَلَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ عَنْ جَوَازِهِ فَقَالَ لَهُ لَا. وَلَيْسَ نَعْرِفُ لَهُ مخالف مِنَ الصَّحَابَةِ. وَلِأَنَّ جِبِلَّةَ الطَّبْعِ تَصْرِفُهُ عَنْ حَظِّ غَيْرِهِ إِلَى حَظِّ نَفْسِهِ. وَلِأَنَّ كُلَّ من كانت ولايته بِغَيْرِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ مُبَايَعَةُ نَفْسِهِ كَالْوَكِيلِ.

Dalil kami bahwa selain ayah tidak boleh melakukan jual beli dengan dirinya sendiri adalah riwayat bahwa seorang laki-laki berwasiat kepada seseorang dengan suatu wasiat, lalu orang yang diberi wasiat itu ingin membeli seekor kuda dari harta warisan untuk dirinya sendiri. Ia pun bertanya kepada ‘Abdullah bin Mas‘ud tentang kebolehannya, maka beliau menjawab: “Tidak boleh.” Dan kami tidak mengetahui adanya sahabat yang berbeda pendapat dengannya. Selain itu, tabiat manusia cenderung mengutamakan kepentingan dirinya sendiri daripada kepentingan orang lain. Dan setiap orang yang kekuasaannya atas harta bukan miliknya sendiri, maka ia tidak boleh melakukan jual beli dengan dirinya sendiri, seperti halnya wakil.

وَدَلِيلُنَا عَلَى أَنَّ الْأَبَ يَجُوزُ لَهُ مُبَايَعَةُ نَفْسِهِ هُوَ أَنَّ الْأَبَ مَجْبُولٌ بِحُنُوَّةِ الْأُبُوَّةِ وَشِدَّةِ الْمَيْلِ وَالْمَحَبَّةِ عَلَى طَلَبِ الْحَظِّ لِوَلَدِهِ وَالشُّحِّ عَلَى نَفْسِهِ فِي الْجَمْعِ وَالِاسْتِكْثَارِ لِوَلَدِهِ وَلِذَلِكَ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْوَلَدُ مَبْخَلَةٌ مَحْزَنَةٌ مَجْبَنَةٌ فَانْتَفَتِ التُّهْمَةُ عَنْهُ فِي مُبَايَعَةِ نَفْسِهِ وَهَذَا الْمَعْنَى مَفْقُودٌ فِيمَنْ عَدَاهُ فَصَارَ هَذَا الْحُكْمُ لِاخْتِصَاصِهِ بِمَعْنَاهُ مَقْصُورًا عَلَيْهِ مُنْتَفِيًا عَمَّنْ سِوَاهُ. وَهَذَا دَلِيلٌ وَانْفِصَالٌ فَلَوْ وَكَّلَ الِابْنُ الْبَالِغُ أَبَاهُ فِي بَيْعِ سِلْعَةٍ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَجُوزُ لَهُ بَيْعُهَا عَلَى نَفْسِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ: –

Dalil kami bahwa ayah boleh melakukan jual beli dengan dirinya sendiri adalah karena ayah secara fitrah memiliki kasih sayang kebapakan, kecenderungan dan cinta yang kuat untuk mengutamakan kepentingan anaknya, serta sifat kikir terhadap dirinya sendiri dalam mengumpulkan dan memperbanyak harta untuk anaknya. Oleh karena itu, Nabi ﷺ bersabda: “Anak itu menyebabkan seseorang menjadi kikir, sedih, dan penakut.” Maka tuduhan (berbuat curang) terhadap ayah dalam jual beli dengan dirinya sendiri menjadi gugur. Makna ini tidak terdapat pada selain ayah, sehingga hukum ini menjadi khusus baginya dan tidak berlaku bagi selainnya. Ini adalah dalil dan penjelasan. Jika anak yang sudah baligh mewakilkan ayahnya untuk menjual suatu barang, maka para ulama kami berbeda pendapat: apakah ayah boleh menjual barang itu kepada dirinya sendiri atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ كَمَا لَوْ كَانَ فِي حَجْرِهِ وَتَغْلِيبًا لَحُكْمِ الْأُبُوَّةِ.

Pertama: Boleh, sebagaimana jika anak masih dalam perwaliannya, dengan mengedepankan hukum kebapakan.

وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ لِأَنَّ ارْتِفَاعَ الْحَجْرِ يَقْتَضِي تَغْلِيبَ الْوَكَالَةِ.

Kedua: Tidak boleh, karena hilangnya perwalian mengharuskan mengedepankan hukum wakalah (perwakilan).

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْوَصِيُّ وَالْوَكِيلُ إِذَا أَرَادَا بَيْعَ مَا يَتَوَلَّيَاهُ بِالْوَصِيَّةِ وَالْوَكَالَةِ عَلَى ابْنِ نَفْسِهِ، أَوْ عَلَى أَبِ نَفْسِهِ. فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ: –

Adapun washi (pelaksana wasiat) dan wakil, jika keduanya ingin menjual harta yang mereka kelola melalui wasiat atau wakalah kepada anaknya sendiri, atau kepada ayahnya sendiri, maka menurut ulama kami ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ: أَنَّهُ يَجُوزُ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُبَايِعٍ لِنَفْسِهِ.

Pertama, menurut pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri: Boleh, karena ia tidak melakukan jual beli untuk dirinya sendiri.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ مَتْهُومٌ فِي الْمَيْلِ إِلَى وَلَدِهِ، كَمَا كَانَ مَتْهُومًا فِي الْمَيْلِ إِلَى نَفْسِهِ وَلِذَلِكَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَشْهَدَ لِوَلَدِهِ، كَمَا لَا تَصِحُّ مِنْهُ الشَّهَادَةُ لِنَفْسِهِ. فَلَمْ تَجُزْ مُبَايَعَةُ وَلَدِهِ بِمَالِ غَيْرِهِ كَمَا لَمْ تَجُزْ مُبَايَعَةُ نَفْسِهِ.

Pendapat kedua, menurut Abu Ishaq al-Marwazi: Tidak boleh, karena ia dituduh akan condong kepada anaknya, sebagaimana ia juga dituduh condong kepada dirinya sendiri. Oleh karena itu, tidak sah baginya menjadi saksi untuk anaknya, sebagaimana tidak sah menjadi saksi untuk dirinya sendiri. Maka tidak boleh melakukan jual beli untuk anaknya dengan harta orang lain, sebagaimana tidak boleh melakukan jual beli untuk dirinya sendiri.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا جَعَلَ الْمُوَكِّلُ إِلَى وَكِيلِهِ أَنْ يَبِيعَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ يَشْتَرِيَ مِنْ نَفْسِهِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ غَيْرُ جَائِزٍ لِمَا فِيهِ مِنَ التَّنَاقُضِ الْمَقْصُودِ وَتَنَافِي الْغَرَضَيْنِ. لِأَنَّ عَقْدَ الْوَكَالَةِ قَدْ أَوْجَبَ عَلَيْهِ الِاسْتِقْصَاءَ لِمُوَكِّلِهِ وَإِذَا كَانَ هُوَ الْمُشْتَرِيَ انْصَرَفَ إِلَى الِاسْتِقْصَاءِ لِنَفْسِهِ.

Adapun jika pemberi kuasa (muwakkil) memberikan kuasa kepada wakilnya untuk menjual kepada dirinya sendiri atau membeli dari dirinya sendiri, maka menurut mazhab asy-Syafi‘i ra., hal itu tidak boleh karena terdapat kontradiksi tujuan dan pertentangan antara dua kepentingan. Sebab akad wakalah mewajibkan wakil untuk mengutamakan kepentingan muwakkil, sedangkan jika ia sendiri yang menjadi pembeli, maka ia akan mengutamakan kepentingan dirinya sendiri.

وَقَالَ ابْنُ سُرَيْجٍ يَجُوزُ ذَلِكَ كَمَا يَجُوزُ أَنْ يَجْعَلَ إِلَى زَوْجَتِهِ الطَّلَاقَ لِنَفْسِهَا أَوْ، إِلَى أَمَتِهِ عِتْقَهَا. وَهَذَا خَطَأٌ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَ الْبَيْعِ والطلاق والعتق في ثلاثة أوجه:

Ibnu Surayj berpendapat bahwa hal itu boleh, sebagaimana boleh bagi seseorang memberikan hak talak kepada istrinya untuk dirinya sendiri atau memberikan hak memerdekakan kepada budaknya untuk dirinya sendiri. Namun, ini adalah kekeliruan karena adanya perbedaan antara jual beli, talak, dan ‘itq (pembebasan budak) dalam tiga hal:

أحدهما: أَنَّ فِي الْبَيْعِ ثَمَنًا يَخْتَلِفُ بِالزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ، فَصَارَ بِالْمَيْلِ إِلَى نَفْسِهِ مَتْهُومًا فِيهِ، وَلَيْسَ فِي الطَّلَاقِ وَالْعِتْقِ ثَمَنٌ تَصِيرُ بِالْمَيْلِ إِلَى نَفْسِهَا مَتْهُومَةً فِيهِ.

Pertama: Dalam jual beli terdapat harga yang bisa berbeda-beda antara lebih mahal dan lebih murah, sehingga dengan kecenderungan kepada dirinya sendiri, ia bisa dicurigai (tidak adil). Sedangkan dalam talak dan ‘itq tidak ada harga yang menyebabkan seseorang dicurigai karena kecenderungan kepada dirinya sendiri.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْعِتْقَ وَالطَّلَاقَ أوسع لوقوعها بالصفات وتعليقها عَلَى الْغَرَرِ وَالْجَهَالَاتِ وَالْبَيْعِ أَضْيَقُ حُكْمًا مِنْهُ.

Kedua: ‘Itq dan talak lebih luas karena bisa terjadi dengan sifat-sifat tertentu dan bisa digantungkan pada unsur ketidakpastian dan ketidaktahuan, sedangkan jual beli lebih sempit hukumnya daripada keduanya.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ لَيْسَ فِي الطَّلَاقِ وَالْعِتْقِ قَبُولٌ مُعْتَبَرٌ، وَفِي الْبَيْعِ قَبُولٌ مُعْتَبَرٌ. فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ الْبَاذِلُ قَابِلًا.

Ketiga: Dalam talak dan ‘itq tidak ada syarat adanya penerimaan yang dianggap sah, sedangkan dalam jual beli ada syarat penerimaan yang sah. Maka tidak boleh pihak yang menawarkan sekaligus menjadi pihak yang menerima.

فَأَمَّا إِذَا وَكَّلَهُ فِي بَيْعِ عَبْدِهِ وَوَكَّلَهُ الْآخَرُ فِي شِرَى الْعَبْدِ الْمُوَكَّلِ فِي بَيْعِهِ لَمْ يَجُزْ لِتَنَافِي الْمَقْصُودِ فِي الْعَقْدَيْنِ. وَكَانَ لَهُ أَنْ يُقِيمَ عَلَى إِحْدَى الْوَكَالَتَيْنِ. فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يُقِيمَ عَلَى أَسْبَقِهِمَا فِي بَيْعٍ أَوْ شِرَاءٍ جَازَ. وَإِنْ أَرَادَ أَنْ يُقِيمَ عَلَى الثَّانِيَةِ مِنْهُمَا كَانَ بَيْعًا أَوْ شِرَاءً احْتَمَلَ وَجْهَيْنِ:

Adapun jika seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk menjual budaknya, dan orang lain itu juga diwakilkan untuk membeli budak yang telah diwakilkan untuk dijual, maka hal itu tidak sah karena maksud dari kedua akad tersebut saling bertentangan. Ia boleh tetap pada salah satu dari dua wakalah tersebut. Jika ia ingin tetap pada yang lebih dahulu di antara keduanya, baik dalam penjualan maupun pembelian, maka itu boleh. Namun jika ia ingin tetap pada yang kedua, baik itu penjualan atau pembelian, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَصِحُّ لِأَنَّ شَرْطَ الْأُولَى يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ الثَّانِيَةِ.

Salah satunya: Tidak sah, karena syarat pada wakalah yang pertama mencegah bolehnya yang kedua.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ لِأَنَّ الْوَكَالَةَ لا تلزم فلم يكن للمتقدمة منهما تأثيرا وتبطل بقبول الثانية.

Pendapat kedua: Boleh, karena wakalah tidak bersifat mengikat, sehingga yang terdahulu di antara keduanya tidak berpengaruh dan batal dengan diterimanya yang kedua.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَمَنْ بَاعَ بِمَا لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ فَبَيْعُهُ مَرْدُودٌ لِأَنَّ ذَلِكَ تَلَفٌ عَلَى صَاحِبِهِ فَهَذَا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَمَعْنَاهُ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Barang siapa menjual dengan harga yang tidak wajar menurut kebiasaan manusia, maka jual belinya tertolak, karena hal itu merupakan kerugian bagi pemiliknya. Inilah pendapat asy-Syafi‘i dan maknanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. وَلِلْمُوَكِّلِ فِيمَا أَذِنَ لَهُ بِبَيْعِهِ حَالَتَانِ: حَالَةُ إِطْلَاقٍ وَحَالَةُ تَقْيِيدٍ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Bagi muwakkil (pemberi kuasa) dalam hal yang ia izinkan untuk dijual terdapat dua keadaan: keadaan mutlak dan keadaan terbatas.

فَأَمَّا حَالَةُ الْإِطْلَاقِ فَهُوَ أَنْ يَأْذَنَ لِوَكِيلِهِ فِي الْبَيْعِ إِذْنًا مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُقَيِّدَهُ بِشَرْطٍ أَوْ عَلَى صِفَةٍ. فَعَلَى الْوَكِيلِ فِي بَيْعِهِ ثَلَاثَةُ شروط.

Adapun keadaan mutlak adalah ketika ia mengizinkan wakilnya untuk menjual dengan izin yang mutlak tanpa membatasinya dengan syarat atau sifat tertentu. Maka atas wakil dalam penjualannya terdapat tiga syarat.

أَحَدُهَا: أَنْ يَبِيعَهُ بِغَالِبِ نَقْدِ الْبَلَدِ. فَإِنْ عَدَلَ إِلَى غَيْرِهِ لَمْ يَجُزْ.

Pertama: Menjualnya dengan mata uang yang umum berlaku di negeri tersebut. Jika ia berpindah kepada selainnya, maka tidak sah.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ يَبِيعَهُ بِثَمَنِ مِثْلِهِ فَإِنْ بَاعَهُ بِمَا لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ لَمْ يَجُزْ.

Syarat kedua: Menjualnya dengan harga yang sepadan. Jika ia menjualnya dengan harga yang tidak wajar menurut kebiasaan manusia, maka tidak sah.

وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ: أَنْ يَبِيعَهُ بِثَمَنٍ حَالٍّ. فَإِنْ بَاعَهُ بِمُؤَجَّلٍ لَمْ يَجُزْ.

Syarat ketiga: Menjualnya dengan harga tunai. Jika ia menjualnya secara tangguh, maka tidak sah.

وَقَالَ أبو حنيفة: هَذِهِ الشُّرُوطُ الثَّلَاثَةُ فِي بَيْعِ الْوَكِيلِ غَيْرُ مُعْتَبَرَةٍ. فَإِنْ بَاعَهُ بِغَيْرِ نَقْدِ الْبَلَدِ وَبِمَا لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ وَإِلَى أَجَلٍ كَانَ بَيْعُهُ نَافِذًا وَلِمُوَكِّلِهِ لَازِمًا اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ إِطْلَاقَ الْإِذْنِ يَشْتَمِلُ عَلَى عُمُومِ الْبَيْعِ وَتَخْصِيصُ الْمُطْلَقِ لَا يَكُونُ إِلَّا بِدَلِيلٍ كَالْمُطْلَقِ مِنْ عُمُومِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ. فَلَمَّا كَانَ اسْمُ الْبَيْعِ يَنْطَلِقُ عَلَى الْبَيْعِ بِغَيْرِ نَقْدِ الْبَلَدِ وَبِمَا لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِهِ وَعَلَى الْمُؤَجَّلِ وَجَبَ أَنْ يَصِحَّ لِأَنَّهُ عَقْدٌ مَأْذُونٌ فِيهِ كَمَا لَوْ بَاعَهُ بِنَقْدِ الْبَلَدِ وَبِثَمَنِ الْمِثْلِ وَبِالْمُعَجَّلِ ثُمَّ اسْتَدَلَّ عَلَى جَوَازِ الْبَيْعِ بِغَيْرِ نَقْدِ الْبَلَدِ بِأَنَّهُ بَيْعٌ بِجِنْسِ الْأَثْمَانِ فَصَحَّ كَالْمَبِيعِ بِنَقْدِ الْبَلَدِ.

Abu Hanifah berkata: Tiga syarat ini dalam penjualan oleh wakil tidak dianggap. Jika ia menjualnya dengan selain mata uang negeri, dengan harga yang tidak wajar menurut kebiasaan manusia, atau secara tangguh, maka jual belinya tetap sah dan mengikat bagi muwakkilnya. Hal ini didasarkan pada bahwa izin mutlak mencakup seluruh bentuk penjualan, dan pembatasan terhadap yang mutlak tidak boleh kecuali dengan dalil, sebagaimana yang mutlak dari keumuman al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena istilah “jual beli” mencakup penjualan dengan selain mata uang negeri, dengan harga yang tidak wajar menurut kebiasaan manusia, dan secara tangguh, maka wajib hukumnya sah, karena itu adalah akad yang diizinkan, sebagaimana jika ia menjualnya dengan mata uang negeri, dengan harga sepadan, dan secara tunai. Kemudian ia berdalil atas bolehnya penjualan dengan selain mata uang negeri karena itu adalah jual beli dengan jenis alat tukar, maka sah sebagaimana penjualan dengan mata uang negeri.

وَاسْتَدَلَّ عَلَى جَوَازِهِ بِأَقَلَّ مِنْ ثَمَنِ الْمِثْلِ بِأَنَّ كُلَّ مَا جَازَ بِبَيْعِ الْمُوَكِّلِ بِهِ جاز البيع الْوَكِيلِ الْمُطْلَقِ بِهِ، قِيَاسًا عَلَى ثَمَنِ الْمِثْلِ، وَاسْتَدَلَّ عَلَى جَوَازِهِ إِلَى أَجَلٍ بِأَنَّ الْأَجَلَ مدة ملحقة بالعقد فجاز أن يملكها قياسا الوكيل على خيار الثلاث.

Ia juga berdalil atas bolehnya menjual dengan harga di bawah harga sepadan bahwa setiap hal yang sah dilakukan oleh muwakkil dalam jual beli, maka sah pula bagi wakil mutlak, dengan qiyās kepada harga sepadan. Ia juga berdalil atas bolehnya menjual secara tangguh bahwa tenggang waktu adalah masa yang melekat pada akad, maka boleh dimiliki oleh wakil dengan qiyās kepada khiyār selama tiga hari.

وهذا خطأ كله والدليل على ما قلنا في الشَّرْطِ الْأَوَّلِ وَهُوَ أَنَّ بَيْعَهُ بِغَيْرِ نَقْدِ الْبَلَدِ لَا يَجُوزُ هُوَ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَصِحَّ مِنَ الْوَكِيلِ فِي الشِّرَاءِ أَنْ يَشْتَرِيَ بغير نقد البلد، ولم يَصِحَّ مِنَ الْوَكِيلِ فِي الْبَيْعِ أَنْ يَبِيعَ بِغَيْرِ نَقْدِ الْبَلَدِ. وَتَحْرِيرُهُ أَنَّهُ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ بِوَكَالَةٍ مُطْلَقَةٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَصِحَّ بِغَيْرِ نَقْدِ الْبَلَدِ قِيَاسًا عَلَى الشِّرَاءِ. وَلِأَنَّ كُلَّ جِنْسٍ لَا يَجُوزُ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَبْتَاعَ بِهِ لَمْ يَجُزْ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَبِيعَ بِهِ قِيَاسًا عن الْبَيْعِ بِغَيْرِ جِنْسِ الْأَثْمَانِ وَبِالْمُحَرَّمَاتِ. فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ غَالِبُ نَقْدِ الْبَلَدِ دَرَاهِمَ لَمْ يجز بيعه بالدنانير. ولو كلا كل النَّقْدَيْنِ سَوَاءً، وَلَيْسَ أَحَدُهُمَا غَالِبًا لَزِمَ الْوَكِيلَ بَيْعُهَا بِأَحَظِّهِمَا لِلْمُوَكِّلِ فَإِنِ اسْتَوَيَا كَانَ حِينَئِذٍ مُخَيَّرًا فِي بَيْعِهِ بِأَيِّهِمَا شَاءَ.

Ini semua adalah kekeliruan. Dalil atas apa yang kami katakan dalam syarat pertama, yaitu bahwa menjual dengan selain mata uang negeri tidak sah, adalah karena tidak sah bagi wakil dalam pembelian untuk membeli dengan selain mata uang negeri, maka tidak sah pula bagi wakil dalam penjualan untuk menjual dengan selain mata uang negeri. Penjelasannya adalah bahwa ini merupakan akad mu‘āwadah (pertukaran) dengan wakalah mutlak, maka wajib tidak sah dengan selain mata uang negeri, dengan qiyās kepada pembelian. Dan karena setiap jenis yang tidak boleh dibeli oleh wakil, maka tidak boleh pula dijual oleh wakil, dengan qiyās kepada penjualan dengan selain jenis alat tukar dan dengan barang-barang yang haram. Berdasarkan hal ini, jika mata uang yang umum di negeri adalah dirham, maka tidak boleh dijual dengan dinar. Jika kedua mata uang sama-sama berlaku dan tidak ada yang lebih dominan, maka wakil wajib menjual dengan yang paling menguntungkan bagi muwakkil. Jika keduanya sama, maka ia boleh memilih menjual dengan salah satunya sesuai kehendaknya.

فَإِنْ بَاعَهُ بِكِلَا النَّقْدَيْنِ مِنَ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ. فَإِنْ كَانَ فِي عَقْدَيْنِ صَحَّا جَمِيعًا إِذَا كَانَ مِمَّا يَجُوزُ تَفْرِيقُ الصَّفْقَةِ فِي بَيْعِهِ. وَإِنْ كَانَ فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika ia menjualnya dengan kedua jenis mata uang, yaitu dirham dan dinar, maka jika dilakukan dalam dua akad, keduanya sah selama barang yang dijual memang boleh dipisahkan transaksinya. Namun jika dilakukan dalam satu akad, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ النَّقْدَيْنِ ” كَمَا جَازَ إِفْرَادُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ النَّقْدَيْنِ “.

Pertama: Boleh menggabungkan kedua jenis mata uang tersebut, sebagaimana boleh memperlakukan masing-masing secara terpisah.

وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ لِأَنَّ غَالِبَ الْبِيَاعَاتِ تَتَنَاوَلُ جِنْسًا وَاحِدًا مِنَ الْأَثْمَانِ. فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَعْدِلَ إِلَى غَالِبِهَا. وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.

Kedua: Tidak boleh, karena umumnya transaksi jual beli hanya menggunakan satu jenis mata uang saja. Maka tidak boleh menyelisihi kebiasaan mayoritas transaksi. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالدَّلِيلُ عَلَى الشَّرْطِ الثَّانِي وَأَنَّ بَيْعَهُ بِمَا لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ لَا يَجُوزُ هُوَ أَنَّهُ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ عَنْ وَكَالَةٍ مُطْلَقَةٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَصِحَّ بِأَقَلَّ مِنْ ثَمَنِ الْمِثْلِ قِيَاسًا عَلَى الشِّرَاءِ. وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَمْ يَمْلِكِ الْهِبَةَ لَمْ يَمْلِكِ الْمُحَابَاةَ فِيهِ كَالْوَصِيِّ وَالْعَبْدِ الْمَأْذُونِ لَهُ فِي التِّجَارَةِ. وَلِأَنَّ الْمُحَابَاةَ كَالْهِبَةِ لِاعْتِبَارِهَا مِنَ الثُّلُثِ. فَلَمَّا لَمْ تَصِحَّ مِنَ الْوَكِيلِ فِي الْبَيْعِ هِبَةُ المال أو بَعْضِهِ. لَمْ تَصِحَّ مِنْهُ الْمُحَابَاةُ فِيهِ. وَتَحْرِيرُهُ أَنَّهُ عَقْدٌ اسْتَهْلَكَ بِهِ شَيْئًا مِنْ مَالِ مُوَكِّلِهِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بَاطِلًا كَالْهِبَةِ.

Dalil untuk syarat kedua, yaitu bahwa menjual dengan harga yang tidak lazim terjadi penipuan (ghabn) di antara manusia tidak diperbolehkan, adalah karena akad ini merupakan akad mu‘āwaḍah (pertukaran) atas dasar wakalah secara mutlak, sehingga tidak sah dilakukan dengan harga di bawah harga standar (tsaman al-mitsl) berdasarkan qiyās dengan akad pembelian. Dan karena siapa pun yang tidak berhak memberikan hibah, maka ia juga tidak berhak melakukan muḥābah (memberi keuntungan berlebih) di dalamnya, seperti washi (wali) dan budak yang diizinkan berdagang. Dan karena muḥābah itu seperti hibah, karena dianggap sebagai bagian dari sepertiga harta. Maka ketika wakil dalam jual beli tidak sah memberikan hibah atas harta atau sebagian darinya, maka tidak sah pula melakukan muḥābah. Penjelasannya adalah bahwa ini merupakan akad yang menghabiskan sebagian harta muwakkil tanpa izinnya, sehingga harus dianggap batal seperti hibah.

فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا وَأَنَّ الْمِثْلَ مُعْتَبَرٌ وَأَنَّ الْبَيْعَ بِمَا لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بمثله باطل فالاعتبار بالغبن عُرْفُ النَّاسِ فِي مِثْلِ الْمَبِيعِ وَلَيْسَ لَهُ حَدٌّ مُقَدَّرٌ.

Jika telah tetap apa yang kami sebutkan, bahwa harga standar (mitsl) menjadi tolok ukur, dan bahwa jual beli dengan harga yang tidak lazim terjadi penipuan di antara manusia adalah batal, maka tolok ukurnya adalah penipuan menurut ‘urf (kebiasaan) manusia pada barang sejenis, dan tidak ada batasan nominal yang pasti.

وَقَالَ مَالِكٌ حَدُّ الْغَبْنِ فِي البيوع والثلث فصاعدا لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ.

Imam Malik berkata, batas penipuan (ghabn) dalam jual beli adalah sepertiga atau lebih, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Sepertiga dan sepertiga itu banyak.”

وَقَالَ أبو حنيفة حَدُّ الْغَبْنِ نِصْفُ الْعُشْرِ فَصَاعِدًا لِأَنَّهُ أَقَلُّ مَا يَجِبُ فِي زِكْوَاتِ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ.

Abu Hanifah berkata, batas penipuan adalah setengah dari sepersepuluh atau lebih, karena itu adalah kadar paling sedikit yang wajib pada zakat tanaman dan buah-buahan.

وَكِلَا الْمَذْهَبَيْنِ فَاسِدٌ لِأَنَّ عُرْفَ النَّاسِ فِيمَا يَكُونُ غَبْنًا كثيرا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَجْنَاسِ، فَمِنَ الْأَجْنَاسِ مَا يَكُونُ رُبُعُ الْعُشْرِ فِيهِ غَبْنًا كَثِيرًا وَهُوَ الْحِنْطَةُ وَالشَّعِيرُ وَالذَّهَبُ وَالْوَرِقُ وَمِنْهَا مَا يَكُونُ نِصْفُ الْعُشْرِ فِيهِ غَبْنًا يَسِيرًا كَالرَّقِيقِ وَالْجَوْهَرِ وَالطُّرَفِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَحُدَّ ذَلِكَ بِقَدْرٍ مَعَ اخْتِلَافِهِ فِي عُرْفِهِمْ وَوَجَبَ الرُّجُوعُ فِيهِ إِلَيْهِمْ فما كان في عرفهم غبنا كثيرا بطلنا وما كان فيه غبنا يسيرا أمضين أن البيوع لا تنفك من يسير المفانيات لِأَنَّهَا أَرْبَاحُ التِّجَارَاتِ.

Kedua pendapat tersebut tidak tepat, karena ‘urf manusia dalam menilai suatu penipuan besar berbeda-beda tergantung jenis barang. Ada jenis barang yang seperempat dari sepersepuluh saja sudah dianggap penipuan besar, seperti gandum, jelai, emas, dan perak. Ada pula yang setengah dari sepersepuluh hanya dianggap penipuan kecil, seperti budak, permata, dan barang-barang mewah. Maka tidak boleh menetapkan batas tertentu padahal berbeda-beda menurut ‘urf mereka. Maka harus dikembalikan pada kebiasaan mereka; apa yang menurut mereka penipuan besar, maka batal, dan apa yang menurut mereka penipuan kecil, maka tetap sah, karena jual beli tidak lepas dari sedikit kerugian, sebab itu adalah keuntungan perdagangan.

فَإِذَا بَاعَ الْوَكِيلُ بِمَا لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ كَانَ بَيْعُهُ بَاطِلًا. وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُسَلِّمِ الْمَبِيعَ فَإِنْ سَلَّمَهُ صَارَ بِالتَّسْلِيمِ ضَامِنًا وَلَزِمَهُ اسْتِرْجَاعُ الْمَبِيعِ إِنْ كَانَ بَاقِيًا. فَإِنْ هَلَكَ فِي يَدِ الْمُشْتَرِي كَانَ كُلٌّ مِنَ الْوَكِيلِ وَالْمُشْتَرِي ضَامِنًا.

Jika wakil menjual dengan harga yang tidak lazim terjadi penipuan di antara manusia, maka jual belinya batal. Tidak ada tanggungan atasnya selama belum menyerahkan barang. Jika sudah diserahkan, maka dengan penyerahan itu ia menjadi penanggung jawab dan wajib mengembalikan barang jika masih ada. Jika barang tersebut rusak di tangan pembeli, maka baik wakil maupun pembeli sama-sama menanggung kerugian.

أَمَّا الْمُشْتَرِي فَضَامِنٌ لِجَمِيعِ الْقِيمَةِ لِأَنَّهُ قَابِضٌ عَنْ عَقْدِ بَيْعٍ فَاسِدٍ. وَأَمَّا الْوَكِيلُ فَفِي قَدْرِ مَا يَضْمَنُهُ قَوْلَانِ ذَكَرَهُمَا الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الرَّهْنِ الصَّغِيرِ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَضْمَنُ جَمِيعَ الْقِيمَةِ لِتَعَدِّيهِ بِالتَّسْلِيمِ وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَضْمَنُ مَا غَبَنَ فِيهِ مِنْ قَدْرِ الْمُحَابَاةِ لأنه بد فَسَدَ الْعَقْدُ وَلَزِمَ الضَّمَانُ. وَقَدْ مَضَى فِي التَّفْرِيعِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ وَكِتَابِ الرَّهْنِ مَا يُقْنِعُ.

Adapun pembeli, ia menanggung seluruh nilai barang karena ia menerima barang dari akad jual beli yang fasid (rusak/batal). Adapun wakil, dalam hal berapa yang harus ia tanggung, terdapat dua pendapat yang disebutkan oleh Imam Syafi‘i dalam Kitab ar-Rahn ash-Shaghir. Salah satunya, ia menanggung seluruh nilai barang karena ia telah melampaui batas dengan menyerahkan barang. Pendapat kedua, ia menanggung sebesar nilai muḥābah (keuntungan berlebih) yang terjadi, karena akad telah rusak dan wajib ada tanggungan. Penjelasan tentang kedua pendapat ini telah disebutkan dalam Kitab ar-Rahn dan sudah memadai.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالدَّلِيلُ عَلَى الشَّرْطِ الثَّالِثِ وَأَنَّ بَيْعَهُ بِالثَّمَنِ الْمُؤَجَّلِ لَا يَجُوزُ هُوَ أَنَّ الْأَجَلَ فِي الْبَيْعِ يَدْخُلُ تَارَةً فِي الْمُثَمَّنِ فَيَصِيرُ سِلْمًا وَتَارَةً فِي الثَّمَنِ فَيَصِيرُ دَيْنًا. فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ لِلْوَكِيلِ أَنْ يُدْخِلَ الْأَجَلَ فِي الْمُثَمَّنِ فَيَجْعَلَهُ سِلْمًا. لَمْ يَجُزْ أَنْ يُدْخِلَ الْأَجَلَ فِي الثَّمَنِ فَيَجْعَلَهُ دَيْنًا.

Dalil untuk syarat ketiga, yaitu bahwa menjual dengan harga yang ditangguhkan (tidak tunai) tidak diperbolehkan, adalah karena penangguhan dalam jual beli terkadang masuk pada objek yang dijual sehingga menjadi akad salam, dan terkadang masuk pada harga sehingga menjadi utang. Maka ketika wakil tidak boleh memasukkan penangguhan pada objek yang dijual sehingga menjadi akad salam, maka tidak boleh pula memasukkan penangguhan pada harga sehingga menjadi utang.

وَتَحْرِيرُهُ أَنَّهُ تَأْجِيلُ أَحَدِ الْمَوْضِعَيْنِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَصِحَّ مِنَ الْوَكِيلِ مَعَ إِطْلَاقِ الْإِذْنِ قِيَاسًا عَلَى تَأْجِيلِ الْمُثَمَّنِ.

Penjelasannya adalah bahwa hal itu merupakan penangguhan pada salah satu dari dua tempat, sehingga tidak sah bagi wakil untuk melakukannya dengan izin yang bersifat umum, berdasarkan qiyās terhadap penangguhan harga (al-mutsamman).

وَلِأَنَّ الْأَجَلَ لَمَّا لَمْ يَلْزَمِ الْمَالِكَ فِي عَقْدِهِ إِلَّا بِشَرْطٍ صَرِيحٍ لَمْ يَلْزَمِ الْمُوَكِّلَ إِلَّا بِإِذْنٍ صَرِيحٍ. لِأَنَّ إِطْلَاقَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْعَقْدَيْنِ مُعْتَبَرٌ بِالْآخَرِ وَسَوَاءٌ طَالَ الْأَجَلُ أَوْ قَصُرَ.

Karena tenggang waktu (ajal) tidak wajib bagi pemilik dalam akadnya kecuali dengan syarat yang tegas, maka tidak wajib pula bagi muwakkil kecuali dengan izin yang tegas. Sebab, keumuman setiap akad diukur dengan akad yang lain, baik tenggang waktu itu lama maupun singkat.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ إِطْلَاقَ الْإِذْنِ يَقْتَضِي الْعُمُومَ فَهُوَ أَنَّهُ خَطَأٌ فِي الْقَوْلِ وَارْتِبَاكٌ فِي الدَّعْوَى بَلِ الْإِطْلَاقُ فِي الْإِذْنِ يَقْتَضِي الْعُرْفَ بِدَلِيلِ أَنَّ إِطْلَاقَ الْإِذْنِ بِالشِّرَاءِ لَا يَقْتَضِي عُمُومَ الْأَشْرِيَةِ وَكَذَلِكَ إِطْلَاقُ الْإِذْنِ بِالْبَيْعِ لَا يَقْتَضِي عموم البيوع.

Adapun jawaban terhadap dalil mereka bahwa izin yang bersifat umum menuntut keumuman, maka itu adalah kekeliruan dalam ucapan dan kerancuan dalam klaim. Justru, keumuman dalam izin mengikuti ‘urf (kebiasaan), dengan dalil bahwa izin umum untuk membeli tidak menuntut keumuman seluruh pembelian, demikian pula izin umum untuk menjual tidak menuntut keumuman seluruh penjualan.

وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى نَقْدِ الْبَلَدِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّ الْعُرْفَ الْمَعْهُودَ يَقْتَضِيهِ. وَأَمَّا قِيَاسُهُ فِي الْغَبْنِ عَلَى ثَمَنِ الْمِثْلِ فَالْمَعْنَى فِيهِ جَوَازُهُ فِي الشِّرَاءِ وَالْغَبْنُ غَيْرُ جَائِزٍ فِي الشِّرَاءِ فَكَذَا فِي الْبَيْعِ.

Adapun qiyās terhadap mata uang negeri, maka maknanya adalah bahwa ‘urf yang berlaku menuntut hal itu. Dan qiyās dalam hal penipuan (ghabn) terhadap harga yang sepadan, maknanya adalah bolehnya dalam pembelian, sedangkan ghabn tidak boleh dalam pembelian, maka demikian pula dalam penjualan.

وَأَمَّا قِيَاسُهُ فِي الْأَجَلِ عَلَى خِيَارِ الثَّلَاثِ فَلِأَصْحَابِنَا فِي جَوَازِهِ لِلْوَكِيلِ وَجْهَانِ:

Adapun qiyās dalam hal tenggang waktu (ajal) terhadap khiyār selama tiga hari, maka menurut pendapat ulama kami tentang kebolehannya bagi wakil terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَصِحُّ مِنَ الْوَكِيلِ فَعَلَى هَذَا سَقَطَ الدَّلِيلُ.

Pertama: Tidak sah dilakukan oleh wakil, maka dengan demikian dalil tersebut gugur.

وَالثَّانِي: يَصِحُّ مِنْهُ وَالْقِيَاسُ عَلَيْهِ مُنْتَقَضٌ بِالْأَجَلِ فِي الثَّمَنِ ثُمَّ فِي الْمَعْنَى فِي خِيَارِ الثَّلَاثِ أَنَّهُ لَمَّا مَلَكَ الْوَكِيلُ فِي الشِّرَاءِ مَلَكَهُ الْوَكِيلُ فِي الْبَيْعِ.

Kedua: Sah dilakukan oleh wakil, namun qiyās terhadapnya tertolak dengan adanya tenggang waktu pada harga. Kemudian, dalam makna khiyār tiga hari adalah bahwa ketika wakil memiliki hak itu dalam pembelian, maka ia juga memilikinya dalam penjualan.

فَهَذَا حُكْمُ الْعَقْدِ مَعَ إِطْلَاقِ إِذْنِ الْمُوَكِّلِ وَمَا يَلْزَمُ مِنَ الشُّرُوطِ فِي عَقْدِ الْوَكِيلِ.

Inilah hukum akad dengan izin muwakkil yang bersifat umum dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad wakil.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا حَالَةُ التَّقْيِيدِ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ إِذْنُ الْمُوَكِّلِ فِي الْبَيْعِ مُقَيَّدًا بِشَرْطٍ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun keadaan pembatasan, yaitu apabila izin muwakkil dalam penjualan dibatasi dengan suatu syarat, maka hal itu terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الشَّرْطُ الَّذِي شَرَطَهُ الْمُوَكِّلُ فِي بَيْعِ وَكِيلِهِ مُبْطِلًا لِلْعَقْدِ كَالْأَجَلِ الْمَجْهُولِ وَكَالْخِيَارِ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثٍ وَكَالثَّمَنِ الْمُحَرَّمِ إِلَى مَا جَرَى هَذَا الْمَجْرَى مِنَ الشُّرُوطِ الَّتِي يَبْطُلُ الْعَقْدُ مَعَهَا. فَقَدْ صَارَ الْمُوَكِّلُ بِهَا آذِنًا لِوَكِيلٍ بِالْبَيْعِ الْفَاسِدِ. فَإِنْ بَاعَ الْوَكِيلُ ذَلِكَ عَلَى الشَّرْطِ الَّذِي أَذِنَ فِيهِ الْمُوَكِّلُ كَانَ الْبَيْعُ بَاطِلًا لِأَنَّ الْعَقْدَ الْفَاسِدَ لَا يَصِحُّ وَإِنْ رَضِيَ الْمَالِكُ بِفَسَادِهِ.

Pertama: Syarat yang ditetapkan muwakkil dalam penjualan oleh wakilnya membatalkan akad, seperti tenggang waktu yang tidak jelas, khiyār lebih dari tiga hari, harga yang haram, dan syarat-syarat lain yang menyebabkan akad menjadi batal. Maka muwakkil dengan itu berarti mengizinkan wakil untuk melakukan penjualan yang fasad (rusak). Jika wakil menjual dengan syarat yang diizinkan muwakkil tersebut, maka penjualannya batal, karena akad yang fasad tidak sah meskipun pemilik ridha dengan kerusakannya.

فَإِنْ أَقْبَضَ الْوَكِيلُ ذَلِكَ بِالْعَقْدِ الْفَاسِدِ لَمْ يَضْمَنْ لِأَنَّهُ إِقْبَاضٌ مَأْذُونٌ فِيهِ فَسَقَطَ الضَّمَانُ عَنْهُ لِلْإِذْنِ بِهِ.

Jika wakil menerima sesuatu berdasarkan akad yang fasad tersebut, maka ia tidak menanggung (ganti rugi), karena penerimaan itu atas izin, sehingga gugurlah kewajiban ganti rugi darinya karena adanya izin tersebut.

وَإِنْ بَاعَ الْوَكِيلُ ذَلِكَ بَيْعًا جَائِزًا لِإِسْقَاطِ الشَّرْطِ الْمُفْسِدِ لَهُ كَانَ بَيْعُهُ بَاطِلًا.

Jika wakil menjual dengan penjualan yang sah dengan menghilangkan syarat yang merusak akad, maka penjualannya batal.

وَقَالَ أبو حنيفة: بَيْعُهُ جَائِزٌ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْبَيْعَ مَأْذُونٌ فِيهِ فَلَمَّا لَمْ يَصِحَّ عَقْدُهُ بِالشُّرُوطِ الْفَاسِدَةِ سَقَطَتْ مِنْ إِذْنِهِ وَصَارَ الْإِذْنُ مُجَرَّدًا عَنِ الشَّرْطِ الْفَاسِدِ.

Abu Hanifah berkata: Penjualannya sah, dengan alasan bahwa penjualan itu diizinkan, maka ketika akadnya tidak sah karena syarat yang rusak, syarat tersebut gugur dari izinnya dan izinnya menjadi murni tanpa syarat yang rusak.

وَالدَّلَالَةُ عن بُطْلَانِ بَيْعِهِ أَنَّ الْإِذْنَ بِالْبَيْعِ الْفَاسِدِ لَا يَقْتَضِي زَوَالَ الْمِلْكِ فَإِذَا بَاعَهُ بَيْعًا صَحِيحًا صَارَ مُزِيلًا لِمِلْكِهِ عَمَّا لَمْ يَأْذَنْ بِإِزَالَةِ مِلْكِهِ عَنْهُ. فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بَاطِلًا كَمَا لَوْ أَوْدَعَهُ وَدِيعَةً فَوَهَبَهَا أَوْ أَعَارَهُ عَارِيَةً فَبَاعَهَا.

Dalil tentang batalnya penjualan tersebut adalah bahwa izin untuk penjualan yang fasad tidak menuntut hilangnya kepemilikan, sehingga jika ia menjualnya dengan penjualan yang sah, berarti ia telah menghilangkan kepemilikannya atas sesuatu yang tidak diizinkan untuk dihilangkan kepemilikannya. Maka wajib penjualannya batal, sebagaimana jika seseorang menitipkan barang lalu dihibahkan atau dipinjamkan lalu dijual.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الشَّرْطُ الَّذِي شَرَطَهُ الْمُوَكِّلُ فِي بَيْعِ وَكِيلِهِ يَصِحُّ مَعَهُ الْعَقْدُ وَلَا يَبْطُلُ بِهِ الْبَيْعُ. فَعَلَى الْوَكِيلِ أَنْ يَعْقِدَ الْبَيْعَ عَلَى الشَّرْطِ الْمَأْذُونِ فِيهِ وَلَا يَتَجَاوَزَهُ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ الشَّرْطُ بِالْمُجَاوَزَةِ مَوْجُودًا مَعَ زِيَادَةٍ فَيَصِحُّ الْبَيْعُ حِينَئِذٍ عَلَى مَا سَنَشْرَحُهُ. وَلَا تَكُونُ الزِّيَادَةُ مَانِعَةً مِنْ صِحَّتِهِ.

Bagian kedua: Syarat yang ditetapkan muwakkil dalam penjualan oleh wakilnya, akad tetap sah dan penjualan tidak batal karenanya. Maka wajib bagi wakil untuk melakukan akad penjualan sesuai dengan syarat yang diizinkan dan tidak melampauinya, kecuali jika syarat pelampauan itu ada dengan tambahan, maka penjualannya sah sebagaimana akan dijelaskan, dan tambahan tersebut tidak menjadi penghalang sahnya akad.

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالشَّرْطُ عَلَى ضربين:

Jika demikian, syarat itu terbagi menjadi dua jenis:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَخْتَصَّ بِأَحْوَالِ الْعَقْدِ وَالثَّانِي أَنْ يَخْتَصَّ بِصِفَاتِ الْعَقْدِ.

Pertama: yang berkaitan dengan keadaan akad, dan kedua: yang berkaitan dengan sifat-sifat akad.

فَأَمَّا الْمُخْتَصُّ بِأَحْوَالِ الْعَقْدِ فثلاثة أشياء:

Adapun yang berkaitan dengan keadaan akad, maka ada tiga hal:

أحدهما: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي بَيْعِهِ عَلَى رَجُلٍ بِعَيْنِهِ.

Pertama: memberi izin kepadanya untuk menjual kepada seseorang tertentu.

وَالثَّانِي: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي بَيْعِهِ فِي زَمَانٍ بِعَيْنِهِ.

Kedua: memberi izin kepadanya untuk menjual pada waktu tertentu.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي بَيْعِهِ فِي مَكَانٍ بِعَيْنِهِ.

Ketiga: memberi izin kepadanya untuk menjual di tempat tertentu.

فَأَمَّا إِذْنُهُ بِبَيْعِهِ عَلَى رَجُلٍ بِعَيْنِهِ فَلَازِمٌ وَلَا يَجُوزُ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَعْدِلَ إِلَى بَيْعِهِ عَلَى غَيْرِهِ لِأَنَّهُ الْمَقْصُودُ بِالتَّمْلِيكِ، فَلَمْ يَصِحَّ عُدُولُ الْوَكِيلِ عَنْهُ كَالْهِبَةِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ مَاتَ ذَلِكَ الرَّجُلُ بَطَلَتِ الْوَكَالَةُ بِالْبَيْعِ وَلَمْ يَجُزْ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَبِيعَهُ عَلَى وَارِثِهِ وَلَا عَلَى غَيْرِ وَارِثِهِ وَلَوْ كَانَ حَيًّا وَامْتَنَعَ مِنَ ابْتِيَاعِهِ لَمْ تَبْطُلِ الْوَكَالَةُ لِجَوَازِ أَنْ يَرْغَبَ فِيهِ مِنْ بَعْدُ.

Adapun izinnya untuk menjual kepada seseorang tertentu, maka itu bersifat mengikat dan tidak boleh bagi wakil untuk beralih menjual kepada selain orang tersebut, karena dialah yang dimaksudkan dalam pemberian kepemilikan, sehingga tidak sah bagi wakil untuk beralih darinya, seperti dalam hibah. Berdasarkan hal ini, jika orang tersebut meninggal dunia, maka batalah perwakilan dalam penjualan dan tidak boleh bagi wakil untuk menjual kepada ahli warisnya maupun kepada selain ahli warisnya. Namun, jika orang tersebut masih hidup dan menolak untuk membeli, maka perwakilan tidak batal karena masih dimungkinkan ia akan berminat di kemudian hari.

وَأَمَّا إِذْنُهُ بِبَيْعِهِ فِي زَمَانٍ بِعَيْنِهِ، فَلَازِمٌ وَلَا يَجُوزُ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَبِيعَهُ قَبْلَ ذَلِكَ الزَّمَانِ وَلَا بَعْدَهُ. أَمَّا قَبْلَهُ فَلِأَنَّ وَقْتَ الْإِذْنِ لَمْ يَأْتِ. وَأَمَّا بَعْدَهُ فَلِبُطْلَانِ الْوَكَالَةِ بِالْفَوَاتِ. وَقَدْ يَكُونُ لِلْإِنْسَانِ غَرَضٌ صَحِيحٌ فِي اسْتِيفَاءِ مِلْكِهِ إِلَى زَمَانٍ بِعَيْنِهِ.

Adapun izinnya untuk menjual pada waktu tertentu, maka itu bersifat mengikat dan tidak boleh bagi wakil untuk menjual sebelum waktu tersebut maupun sesudahnya. Adapun sebelum waktu itu, karena waktu izin belum tiba. Sedangkan sesudahnya, karena perwakilan batal dengan lewatnya waktu. Seseorang bisa saja memiliki tujuan yang benar untuk mempertahankan kepemilikannya hingga waktu tertentu.

فَأَمَّا إِذْنُهُ بِبَيْعِهِ فِي مَكَانٍ بِعَيْنِهِ، فَإِنْ كَانَ فِيهِ غَرَضٌ صَحِيحٌ لِاخْتِلَافِ الْأَسْعَارِ بِاخْتِلَافِ الْأَمَاكِنِ أَوْ جَوْدَةِ النُّقُودِ. فَهُوَ شَرْطٌ لَازِمٌ لَا يَجُوزُ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَبِيعَهُ فِي غَيْرِ ذَلِكَ الْمَكَانِ. فَإِنْ فَعَلَ وَسَلَّمَهُ فَالْبَيْعُ بَاطِلٌ فهو بِالتَّسْلِيمِ ضَامِنٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ الْمَكَانِ غَرَضٌ صَحِيحٌ. وَلَا مَعْنًى مُسْتَفَادٌ نُظِرَ فِي صِفَةِ إِذْنِهِ فَإِنْ كَانَ قَالَ: لَا تَبِيعُوا إِلَّا فِي مَكَانِ كَذَا أَوْ فِي سُوقِ كَذَا لَزِمَ وَكَانَ الْبَيْعُ فِي غَيْرِ ذَلِكَ الْمَكَانِ بَاطِلًا لِصَرِيحِ النَّهْيِ عَنْهُ.

Adapun izinnya untuk menjual di tempat tertentu, jika memang ada tujuan yang benar karena perbedaan harga di berbagai tempat atau karena kualitas uang yang berbeda, maka itu merupakan syarat yang mengikat dan tidak boleh bagi wakil untuk menjual di selain tempat tersebut. Jika ia melakukannya dan menyerahkan barangnya, maka jual belinya batal dan dengan penyerahan itu ia menjadi penanggung jawab. Namun, jika di tempat tersebut tidak ada tujuan yang benar dan tidak ada makna yang dapat diambil manfaatnya, maka dilihat pada redaksi izinnya. Jika ia berkata: “Jangan jual kecuali di tempat ini” atau “di pasar ini”, maka itu mengikat dan jual beli di selain tempat tersebut batal karena adanya larangan yang jelas.

وَإِنْ قَالَ بِعْهُ فِي سُوقِ كَذَا أَوْ فِي مَكَانِ كَذَا وَلَمْ يُصَرِّحْ بِالنَّهْيِ عَمَّا سِوَاهُ. فَفِي لُزُومِ اشْتِرَاطِهِ وَجْهَانِ: –

Namun jika ia berkata: “Juallah di pasar ini” atau “di tempat ini” tanpa menegaskan larangan terhadap selainnya, maka dalam hal kewajiban memenuhi syarat tersebut terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ شَرْطٌ لَازِمٌ لَا يَجُوزُ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَبِيعَهُ فِي غَيْرِهِ لِأَنَّهُ أَمْلَكُ بِأَحْوَالِ إِذْنِهِ.

Pertama: itu adalah syarat yang mengikat, sehingga tidak boleh bagi wakil untuk menjual di selain tempat tersebut, karena ia lebih berhak menentukan keadaan izinnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ شَرْطٌ غَيْرُ لَازِمٍ لِفَسَادِ الْغَرَضِ الْمَقْصُودِ بِهِ. وَالْأَوَّلُ أَشْبَهُ.

Pendapat kedua: itu adalah syarat yang tidak mengikat karena tujuan yang dimaksud telah rusak. Namun, pendapat pertama lebih kuat.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْمُخْتَصُّ بِصِفَاتِ الْعَقْدِ فَثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ:

Adapun yang berkaitan dengan sifat-sifat akad, maka ada tiga hal:

أَحَدُهَا: مَا اخْتَصَّ بِجِنْسِ الثَّمَنِ.

Pertama: yang berkaitan dengan jenis harga.

وَالثَّانِي: مَا اخْتَصَّ بِقَدْرِهِ.

Kedua: yang berkaitan dengan jumlahnya.

وَالثَّالِثُ: مَا اخْتَصَّ بِزَمَانِهِ فِي حُلُولِهِ وَأَجَلِهِ.

Ketiga: yang berkaitan dengan waktu pembayarannya, baik tunai maupun tempo.

فَأَمَّا الْمُخْتَصُّ بِجِنْسِ الثَّمَنِ فَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ: بِعْ عَبْدِي بِدَرَاهِمَ فَلَا يَجُوزُ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَبِيعَهُ بِغَيْرِ الدَّرَاهِمِ مِنْ دَنَانِيرَ أَوْ عُرُوضٍ سَوَاءٌ كَانَتِ الدَّرَاهِمُ مِنْ غَالِبِ النُّقُودِ أَمْ لَا فَلَوْ قَالَ: بِعْ عَبْدِي هَذَا بِحِنْطَةٍ فَبَاعَهُ بِدَرَاهِمَ وَاشْتَرَى بِالدَّرَاهِمِ حِنْطَةً. لَمْ يَجُزْ لِأَنَّ الْبَيْعَ بِالدَّرَاهِمِ غَيْرُ مَأْذُونٍ فِيهِ. وَشِرَاءَ الْحِنْطَةِ بِالدَّرَاهِمِ غَيْرُ مَأْذُونٍ فِيهِ.

Adapun yang berkaitan dengan jenis harga, contohnya adalah jika ia berkata: “Juallah budakku dengan dirham”, maka tidak boleh bagi wakil untuk menjualnya dengan selain dirham, baik berupa dinar maupun barang dagangan, baik dirham itu merupakan mata uang yang umum atau tidak. Jika ia berkata: “Juallah budakku ini dengan gandum”, lalu ia menjualnya dengan dirham dan membeli gandum dengan dirham tersebut, maka tidak boleh, karena penjualan dengan dirham tidak diizinkan, dan pembelian gandum dengan dirham juga tidak diizinkan.

فَلَوْ قَالَ: بِعْ عَبْدِي هَذَا بِدَرَاهِمَ وَاشْتَرِ بِالدَّرَاهِمِ حِنْطَةً فَبَاعَ الْعَبْدَ بِالْحِنْطَةِ. لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ جِنْسٌ لَمْ يَأْذَنْ بِبَيْعِ الْعَبْدِ فِيهِ وَهَكَذَا لَوْ قال بع عبدي بماية درهم فباعه بماية دِينَارٍ لَمْ يَجُزْ.

Jika ia berkata: “Juallah budakku ini dengan dirham dan belilah gandum dengan dirham itu”, lalu ia menjual budak tersebut dengan gandum, maka tidak boleh, karena itu adalah jenis yang tidak diizinkan untuk menjual budak tersebut. Demikian pula jika ia berkata: “Juallah budakku dengan seratus dirham”, lalu ia menjualnya dengan seratus dinar, maka tidak boleh.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْمُخْتَصُّ بِقَدْرِ الثَّمَنِ فَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ: بِعْ عَبْدِي بِمِائَةِ دِرْهَمٍ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَبِيعَهُ بِأَقَلَّ مِنْهَا وَلَوْ بِقِيرَاطٍ فَإِنْ فَعَلَ كَانَ الْبَيْعُ بَاطِلًا. وَلَوْ بَاعَهُ بِأَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ دِرْهَمٍ كَانَ الْبَيْعُ جَائِزًا لِحُصُولِ الْمِائَةِ الَّتِي أَرَادَهَا، وَالزِّيَادَةُ عَلَيْهَا زِيَادَةُ حَظٍّ لَهُ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ أَمَرَهُ أَنْ يَبِيعَهُ بِالْمِائَةِ عَلَى رَجُلٍ بِعَيْنِهِ. فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَبِيعَهُ عَلَيْهِ بِأَكْثَرَ مِنْ مِائَةٍ، كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَبِيعَهُ عَلَى غَيْرِهِ. لِأَنَّهُ لَمَّا نَصَّ عَلَى الْقَدْرِ صَارَ مُسَامِحًا لَهُ بِالزِّيَادَةِ عَلَيْهِ. فَلَوْ بَاعَ نصف العبد بماية دِرْهَمٍ صَحَّ الْبَيْعُ. لِأَنَّ بَقَاءَ نِصْفِ الْعَبْدِ مَعَ حُصُولِ الْمِائَةِ الَّتِي أَرَادَهَا أَحَظُّ.

Adapun yang khusus berkaitan dengan kadar harga, bentuknya adalah seperti seseorang berkata: “Juallah hambaku dengan seratus dirham.” Maka tidak boleh menjualnya dengan kurang dari itu, meskipun hanya satu qirath. Jika ia melakukannya, maka jual belinya batal. Namun jika ia menjualnya dengan lebih dari seratus dirham, maka jual belinya sah karena telah tercapai seratus yang diinginkan, dan kelebihan di atasnya merupakan tambahan keuntungan baginya. Kecuali jika ia memerintahkannya untuk menjual dengan seratus kepada seseorang tertentu, maka tidak boleh menjualnya kepada orang itu dengan lebih dari seratus, sebagaimana tidak boleh menjualnya kepada selain orang tersebut. Karena ketika ia telah menetapkan kadar harga, berarti ia telah merelakan adanya tambahan di atasnya. Jika ia menjual setengah hamba dengan seratus dirham, maka jual belinya sah, karena sisa setengah hamba dengan tercapainya seratus yang diinginkan lebih menguntungkan.

فَلَوْ بَاعَ نِصْفَ الْعَبْدِ بِأَقَلَّ مِنْ مِائَةِ دِرْهَمٍ وَلَوْ بِقِيرَاطٍ لَمْ يَجُزْ لِتَفْوِيتِ مَا أَرَادَهُ مِنْ كَمَالِ الثَّمَنِ وَتَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ.

Jika ia menjual setengah hamba dengan kurang dari seratus dirham, meskipun hanya satu qirath, maka tidak sah, karena menghilangkan tujuan yang diinginkan berupa sempurnanya harga dan memecah transaksi.

فَلَوْ وَكَّلَهُ فِي بَيْعِ عَبِيدٍ فَبَاعَ كُلَّ عَبْدٍ فِي عَقْدٍ. فَإِنْ لَمْ يَذْكُرْ لَهُ قَدْرَ الثَّمَنِ جَازَ لِأَنَّ الْعَادَةَ فِي بَيْعِ الْعَبِيدِ جَارِيَةٌ بِإِفْرَادِهِمْ فِي الْعُقُودِ. وَلَوْ ذَكَرَ قَدْرَ الثَّمَنَ فَقَالَ: بِعْ هَؤُلَاءِ الْعَبِيدَ الثَّلَاثَةَ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ فَإِنْ بَاعَ أَوَّلَ صَفْقَةٍ مِنَ الْعَبِيدِ بِأَقَلَّ مِنْ أَلْفِ دِرْهَمٍ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ قَدْ لَا يَشْتَرِي الْعَبْدَيْنِ الْآخَرَيْنِ بِمَا بَقِيَ مِنْ تَكْمِلَةِ الْأَلْفِ. وَإِنْ بَاعَ أَوَّلَ صَفْقَةٍ مِنَ الْعَبِيدِ بِأَكْثَرَ مِنْ أَلْفِ دِرْهَمٍ جَازَ. وَهَلْ يَجُوزُ بَيْعُ الْعَبْدَيْنِ الْآخَرَيْنِ بَعْدَ حُصُولِ الْأَلْفِ؟ على وجهين:

Jika ia mewakilkan kepadanya untuk menjual beberapa hamba, lalu ia menjual setiap hamba dalam satu akad, maka jika ia tidak menyebutkan kadar harga, hal itu diperbolehkan karena kebiasaan dalam penjualan hamba adalah dengan memisahkan mereka dalam akad. Namun jika ia menyebutkan kadar harga, misalnya ia berkata: “Juallah tiga hamba ini dengan seribu dirham,” lalu ia menjual transaksi pertama dari para hamba dengan kurang dari seribu dirham, maka tidak sah, karena bisa jadi dua hamba yang tersisa tidak dapat dibeli dengan sisa pelengkap seribu. Jika ia menjual transaksi pertama dari para hamba dengan lebih dari seribu dirham, maka sah. Adapun apakah boleh menjual dua hamba yang tersisa setelah tercapainya seribu, terdapat dua pendapat:

أحدهما: لا يجوز لأنه مَقْصُودَهُ بِالْبَيْعِ حُصُولُ الْأَلْفِ مِنْ ثَمَنِهِ فَصَارَتِ الْوَكَالَةُ مَقْصُورَةً عَلَيْهَا وَبَاطِلَةً فِيمَا سِوَاهَا.

Pendapat pertama: Tidak boleh, karena maksudnya dalam penjualan adalah tercapainya seribu dari hasil penjualan, sehingga wakalah terbatas pada itu saja dan batal untuk selainnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجُوزُ لَهُ بَيْعُ مَا بَقِيَ مِنَ الْعَبِيدِ لِانْعِقَادِ الْوَكَالَةِ بِبَيْعِهِمْ. وَلَا يَكُونُ حُصُولُ الثَّمَنِ بِكَمَالِهِ مِنْ بَعْضِهِمْ بِمَانِعٍ مِنْ بَيْعِ بَاقِيهِمْ كَمَا لَوْ بَاعَ أَحَدَهُمْ بِأَكْثَرَ مِنْ أَلْفٍ وَلَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يَبِيعَ مِنْهُ بِقَدْرِ الْأَلْفِ وَيَكُفَّ عَنْ بَيْعِ بَاقِيهِ بِالزِّيَادَةِ عَلَى الْأَلْفِ.

Pendapat kedua: Boleh baginya menjual sisa hamba, karena akad wakalah telah terjadi untuk menjual mereka. Dan tercapainya harga secara penuh dari sebagian mereka tidak menjadi penghalang untuk menjual sisanya, sebagaimana jika ia menjual salah satu dari mereka dengan lebih dari seribu, maka tidak wajib baginya menjual dari yang lain sebesar seribu dan berhenti dari menjual sisanya dengan kelebihan atas seribu.

فَأَمَّا الْعَدَدُ مِنَ الثِّيَابِ إِذَا وَكَّلَهُ فِي بَيْعِهَا، وَأَمْكَنَ أَنْ تُبَاعَ صَفْقَةً وَتَفَارِيقَ فَعَلَى الْوَكِيلِ أَنْ يَعْمَلَ عَلَى أَحَظِّ الْأَمْرَيْنِ لِمُوَكِّلِهِ مِنْ بَيْعِ جَمِيعِهَا صَفْقَةً أَوْ أَفْرَادٍ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِعَقْدٍ فَإِنْ عَدَلَ عَنْ أَحَظِّهِمَا لَمْ يَجُزْ مَا لَمْ يَكُنْ مِنَ الْمُوَكِّلِ تَصْرِيحٌ بِهِ.

Adapun jumlah pakaian, jika ia mewakilkan kepadanya untuk menjualnya, dan memungkinkan untuk dijual sekaligus atau terpisah, maka wajib bagi wakil untuk memilih yang paling menguntungkan bagi muwakkilnya, baik dengan menjual semuanya sekaligus dalam satu transaksi atau masing-masing dalam akad tersendiri. Jika ia berpaling dari yang lebih menguntungkan tanpa ada pernyataan tegas dari muwakkil, maka tidak sah.

(فَصْلٌ) فَأَمَّا الْمُخْتَصُّ بِزَمَانِ الثَّمَنِ مِنْ حُلُولٍ وَتَأْجِيلٍ فَلِلْمُوَكِّلِ فِيهِ ثلاثة أحوال: –

(Fashl) Adapun yang khusus berkaitan dengan waktu pembayaran harga, baik tunai maupun tempo, maka bagi muwakkil terdapat tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ بِبَيْعِهِ نَقْدًا فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَبِيعَهُ مُؤَجَّلًا قَلَّ الْأَجَلُ أَوْ كثر وسواء كان البيع النسبة أَضَرَّ أَوْ أَنَفَعَ فَلَوْ بَاعَهُ بِأَجَلٍ ثُمَّ احْتَبَسَ الْمَبِيعَ حَتَّى حَلَّ الْأَجَلُ وَقَبَضَ الثَّمَنَ لم يجز لوقوع العقد فاسدا.

Pertama: Ia mengizinkannya untuk menjual secara tunai, maka tidak boleh menjualnya secara tempo, baik jangka waktunya pendek maupun panjang, baik penjualan secara tempo itu lebih merugikan atau lebih menguntungkan. Jika ia menjualnya secara tempo, kemudian menahan barang hingga jatuh tempo dan menerima pembayaran, maka tidak sah karena akadnya fasid.

والحالة الثَّانِيَةُ: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي بَيْعِهِ بِالنَّسِيئَةِ فَإِنْ قَدَّرَ لَهُ أَجَلًا لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِ. وَإِنْ لَمْ يُقَدِّرْ لَهُ أَجَلًا فَمِنْ أَصْحَابِنَا مِنْ قَدَّرَ أَكْثَرَهُ بِحَوْلِ الدَّيْنِ وَالَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُهُمْ أَنَّهُ غَيْرُ مَحْدُودِ الْأَكْثَرِ بِالْحَوْلِ. وَإِنَّمَا هُوَ مُعْتَبَرٌ بِالْعُرْفِ أَنْ لَا يَصِيرَ الْأَجَلُ خَارِجًا عَنْ غَالِبِ الْعَادَةِ فِي ذَلِكَ الْجِنْسِ. فَإِنَّ عُرْفَ النَّاسِ فِي حَالِ الْأَثْمَانِ مُخْتَلِفٌ بِحَسْبِ اخْتِلَافِ الْأَجْنَاسِ لَوْ عَدَلَ عَنْ بَيْعِهِ بِالنَّسِيئَةِ وَبَاعَهُ نَقْدًا. فَإِنْ كَانَ حِينَ أَمَرَهُ بالنسبة نَهَاهُ عَنِ النَّقْدِ لَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ. وَإِنْ لَمْ يَنْهَهُ نُظِرَ فَإِنْ بَاعَهُ نَقْدًا بِمَا يُسَاوِي نِسْبَةً جَازَ لِأَنَّهُ قَدْ حَصَلَتْ لَهُ الزِّيَادَةُ مَعَ التَّعْجِيلِ وَإِنْ بَاعَهُ بِمَا يُسَاوِي نَقْدًا أَوْ أَقَلَّ مِنْ ثَمَنِ النَّسِيئَةِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ قَدْ فَوَّتَ عَلَيْهِ فَضْلَ النَّسِيئَةِ.

Keadaan kedua: Jika ia mengizinkannya untuk menjual dengan pembayaran tangguh (nasī’ah), maka jika ia telah menentukan batas waktu, tidak boleh melebihi waktu tersebut. Jika ia tidak menentukan batas waktu, sebagian ulama kami membatasi maksimalnya dengan satu tahun (haul) utang, namun mayoritas mereka berpendapat bahwa tidak ada batas maksimal dengan haul. Yang menjadi pertimbangan adalah kebiasaan (‘urf), yaitu agar tenggat waktu tersebut tidak keluar dari kebiasaan yang umum berlaku pada jenis barang tersebut. Karena kebiasaan masyarakat dalam hal harga berbeda-beda sesuai dengan perbedaan jenis barang, seandainya ia beralih dari menjual dengan nasī’ah lalu menjualnya secara tunai (naqdan), maka jika saat ia memerintahkannya untuk menjual dengan nasī’ah ia juga melarangnya dari menjual secara tunai, maka tidak sah penjualannya. Namun jika ia tidak melarangnya, maka dilihat: jika ia menjual secara tunai dengan harga yang setara dengan harga nasī’ah, maka itu boleh, karena ia telah mendapatkan tambahan dengan percepatan pembayaran. Namun jika ia menjualnya dengan harga setara tunai atau lebih rendah dari harga nasī’ah, maka tidak boleh, karena ia telah menghilangkan keutamaan dari pembayaran tangguh (nasī’ah).

والحالة الثَّالِثَةُ: إِطْلَاقُ الْإِذْنِ وَهِيَ الْمُخْتَلَفُ فِيهَا فَيَلْزَمُهُ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ نَقْدًا وَيَجُوزُ لَهُ عِنْدَ أبي حنيفة أَنْ يَبِيعَهُ نَسِيئَةً.

Keadaan ketiga: Izin yang diberikan secara mutlak, dan inilah yang diperselisihkan. Menurut al-Syafi‘i, wajib dijual secara tunai, sedangkan menurut Abu Hanifah, boleh baginya menjual dengan pembayaran tangguh (nasī’ah).

(فَصْلٌ)

(Bab)

وَإِذَا بَاعَ الْوَكِيلُ عَبْدَ مُوَكِّلِهِ ثُمَّ أَقَرَّ الْوَكِيلُ أَنَّهُ بَاعَهُ بِغَيْرِ أَمْرِ مُوَكِّلِهِ فَفِي الْبَيْعِ قَوْلَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ:

Apabila seorang wakil menjual budak milik muwakkilnya, kemudian wakil tersebut mengakui bahwa ia menjualnya tanpa perintah dari muwakkilnya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang diriwayatkan oleh Ibn Surayj:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَازِمٌ لَا يُنْتَقَضُ حَتَّى يُعْرَفَ أَنَّهُ لَمْ يَأْمُرْهُ بِذَلِكَ.

Salah satunya: Penjualan tersebut tetap sah dan tidak dapat dibatalkan kecuali diketahui bahwa muwakkil memang tidak memerintahkannya untuk itu.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ غَيْرُ لَازِمٍ إِلَّا أَنْ يُقَدِّمَ بَيِّنَةً أَنَّ الْمُوَكِّلَ أَمَرَ بِذَلِكَ. فَيَتَفَرَّعُ عَلَى هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ: إِذَا تَصَادَقَ الْمُوَكِّلُ وَالْوَكِيلُ عَلَى الْبَيْعِ بِإِذْنٍ وَأَنْكَرَ الْمُشْتَرِي أَنْ يَكُونَ قَدْ أُمِرَ بِذَلِكَ. فَعَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ، الْقَوْلُ قَوْلُ الْوَكِيلِ وَالْمُوَكِّلِ وَالْبَيْعُ لَازِمٌ لِلْمُشْتَرِي.

Pendapat kedua: Penjualan tersebut tidak sah kecuali jika ia dapat menghadirkan bukti bahwa muwakkil memang memerintahkannya untuk itu. Maka, dari dua pendapat ini bercabang: jika muwakkil dan wakil sepakat bahwa penjualan dilakukan dengan izin, namun pembeli mengingkari bahwa ia telah diperintahkan demikian, maka menurut pendapat pertama, yang dipegang adalah pernyataan wakil dan muwakkil, dan penjualan tersebut mengikat bagi pembeli.

وَعَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي: إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُشْتَرِي وَالْبَيْعُ غَيْرُ لَازِمٍ لَهُ إِلَّا أَنْ يُقِيمَ الْمُوَكِّلُ وَالْوَكِيلُ بَيِّنَةً بِتَقَدُّمِ الْإِذْنِ.

Sedangkan menurut pendapat kedua: yang dipegang adalah pernyataan pembeli, dan penjualan tersebut tidak mengikat baginya kecuali jika muwakkil dan wakil dapat menghadirkan bukti atas adanya izin sebelumnya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الْمُزَنِيُّ رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ أَمَرْتُكَ أَنْ تَشْتَرِيَ لِي هَذِهِ الْجَارِيَةَ بِعَشَرَةٍ فَاشْتَرَيْتَهَا بِعِشْرِينَ فَقَالَ الْوَكِيلُ بَلْ أَمَرْتَنِي بِعِشْرِينَ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْآمِرِ مَعَ يَمِينِهِ وتكون الجارية في الحكم للوكيل (قال المزني) والشافعي يحب في مثل هذا أن يرفق الحاكم بالآمر للمأمور فيقول إن كنت أمرته أن يشتريها بعشرين فقل بعته إياها بعشرين ويقول الآخر قد قبلت ليحل له الفرج ولمن يبتاعه منه “.

Al-Muzani ra. berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Aku memerintahkanmu untuk membelikan budak perempuan ini untukku seharga sepuluh, lalu engkau membelinya seharga dua puluh.’ Kemudian wakil berkata: ‘Justru engkau memerintahkanku untuk membelinya seharga dua puluh.’ Maka yang dipegang adalah pernyataan orang yang memberi perintah dengan sumpahnya, dan budak perempuan itu dalam hukum menjadi milik wakil. (Al-Muzani berkata:) Dan al-Syafi‘i menyukai dalam kasus seperti ini agar hakim bersikap lemah lembut kepada pemberi perintah untuk kepentingan yang diperintah, lalu berkata: ‘Jika engkau memang memerintahkannya untuk membelinya seharga dua puluh, maka katakanlah: Aku telah menjualnya kepadamu seharga dua puluh.’ Dan yang lain berkata: ‘Aku telah menerima,’ agar halal baginya hubungan suami-istri dan bagi siapa pun yang membelinya darinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي رَجُلٍ أَمَرَ وَكِيلَهُ بِشِرَاءِ جَارِيَةٍ بِعَيْنِهَا بِثَمَنٍ مُقَدَّرٍ، فاشتراها بعشرين دينار ثُمَّ اخْتَلَفَا فَقَالَ الْمُوَكِّلُ: أَمَرْتُكَ أَنْ تَشْتَرِيَهَا بعشرة فاشتريتها بعشرين فالشرى لَا يَلْزَمُنِي وَالثَّمَنُ وَاجِبٌ عَلَيْكَ دُونِي. وَقَالَ الْوَكِيلُ: بَلْ أَمَرْتَنِي أَنْ أَشْتَرِيَهَا بِعِشْرِينَ، فَالشِّرَاءُ لَازِمٌ لَكَ وَالثَّمَنُ وَاجِبٌ عَلَيْكَ.

Al-Mawardi berkata: Bentuk masalah ini adalah seorang laki-laki memerintahkan wakilnya untuk membeli seorang budak perempuan tertentu dengan harga yang telah ditentukan, lalu wakil membelinya seharga dua puluh dinar. Kemudian mereka berselisih, muwakkil berkata: “Aku memerintahkanmu untuk membelinya seharga sepuluh, lalu engkau membelinya seharga dua puluh, maka pembelian itu tidak mengikatku dan harga menjadi tanggunganmu, bukan aku.” Sedangkan wakil berkata: “Justru engkau memerintahkanku untuk membelinya seharga dua puluh, maka pembelian itu mengikatmu dan harga menjadi tanggunganmu.”

فَإِنْ أَقَامَ الْوَكِيلُ بَيِّنَةً بِمَا ادَّعَاهُ حُكِمَ لَهُ بِهَا. وَالْبَيِّنَةُ شَاهِدَانِ عَدْلَانِ لِأَنَّهَا فِي صِفَةِ الْإِذْنِ الَّذِي لَا يَثْبُتُ أَصْلُهُ إِلَّا بِشَاهِدَيْنِ.

Jika wakil dapat menghadirkan bukti atas apa yang ia klaim, maka diputuskan sesuai dengan bukti tersebut. Bukti itu adalah dua orang saksi yang adil, karena ini berkaitan dengan sifat izin yang asalnya tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dua saksi.

فَإِنْ لَمْ يُقِمِ الْوَكِيلُ بَيِّنَةً فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُوَكِّلِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّ قَوْلَهُ لَمَّا كَانَ مَقْبُولًا فِي أَصْلِ الْإِذْنِ كَانَ مَقْبُولًا فِي صِفَتِهِ كَالطَّلَاقِ لَمَّا كَانَ قَوْلُ الزَّوْجِ مَقْبُولًا فِي أَصْلِهِ كَانَ قَوْلُهُ مَقْبُولًا فِي عَدَدِهِ. فَإِذَا حَلَفَ الْمُوَكِّلُ صَارَ الْوَكِيلُ بِمَثَابَةِ الْمُشْتَرِي لِمُوَكِّلِهِ بِغَيْرِ أَمْرِهِ. وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ شِرَائِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ بِعَيْنِ الْمَالِ أَوْ فِي الذِّمَّةِ.

Jika wakil tidak dapat menghadirkan bukti, maka pernyataan muwakkil (pemberi kuasa) yang diterima dengan sumpahnya. Sebab, ketika pernyataannya diterima dalam pokok izin, maka diterima pula dalam sifatnya, sebagaimana dalam kasus talak: ketika pernyataan suami diterima dalam pokok talak, maka diterima pula dalam jumlahnya. Jika muwakkil telah bersumpah, maka posisi wakil menjadi seperti pembeli untuk muwakkilnya tanpa perintahnya. Dalam hal ini, pembelian yang dilakukan tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi dengan harta yang ditentukan, atau dalam tanggungan (dzimmah).

فَإِنْ كَانَ بِعَيْنِ الْمَالِ كَانَ الشِّرَاءُ بَاطِلًا لِأَنَّهُ عَيْنُ مَالٍ لَمْ يَأْذَنْ مَالِكُهُ بِالْعَقْدِ عَلَيْهِ.

Jika pembelian dilakukan dengan harta yang ditentukan, maka pembelian itu batal karena ia adalah harta tertentu yang pemiliknya tidak mengizinkan akad atasnya.

وَإِنْ كَانَ الشِّرَاءُ فِي ذِمَّةِ الْوَكِيلِ فَالشِّرَاءُ لَازِمٌ لِلْوَكِيلِ إِنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ مُوَكِّلِهِ فِي الْعَقْدِ وَإِنْ ذَكَرَهُ فَعَلَى وَجْهَيْنِ: وَقَدْ ذَكَرْنَا ذَلِكَ مَشْرُوحًا مِنْ قَبْلُ.

Dan jika pembelian dilakukan dalam tanggungan wakil, maka pembelian itu menjadi tanggungan wakil jika ia tidak menyebut nama muwakkilnya dalam akad. Namun jika ia menyebutkannya, maka ada dua kemungkinan; dan hal ini telah kami jelaskan sebelumnya secara rinci.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِذَا صَارَ شِرَاءُ الْجَارِيَةِ لَازِمًا لِلْوَكِيلِ عَلَى مَا وَصَفْنَا. نُظِرَ فَإِنْ كَانَ الْوَكِيلُ قَدْ دَفَعَ مِنْ مَالِ مُوَكِّلِهِ، كَانَ ضَامِنًا لَهُ وَرَدَّ مِثْلَهُ. وَإِنْ كَانَ بَاقِيًا مُنِعَ الْوَكِيلُ مِنْ دَفْعِ الْمَالِ الْمُوَكَّلِ فِيهِ وَأُلْزِمَ دَفْعَهُ مِنْ خَالِصِ مَالِهِ. لِحُصُولِ الشِّرَاءِ لَهُ.

Apabila pembelian budak perempuan menjadi tanggungan wakil sebagaimana telah kami jelaskan, maka dilihat: jika wakil telah membayar dari harta muwakkilnya, maka ia wajib menanggungnya dan mengembalikan yang semisalnya. Jika harta itu masih ada, wakil dilarang membayarkan harta yang dikuasakan kepadanya dan ia diwajibkan membayar dari hartanya sendiri, karena pembelian itu terjadi untuk dirinya.

قَالَ الْمُزَنِيُّ: وَالشَّافِعِيُّ يَسْتَحِبُّ فِي مِثْلِ هَذَا أَنْ يَرْفُقَ الْحَاكِمُ بِالْوَكِيلِ حَتَّى يَقُولَ لِلْوَكِيلِ إِنْ كُنْتُ أَمَرْتُكَ أَنْ تَشْتَرِيَهَا بِعِشْرِينَ فَقَدْ بِعْتُهَا عَلَيْكَ بِعِشْرِينَ. وَيَقُولُ لِلْوَكِيلِ: اقْبَلْ مِنْهُ الشِّرَاءَ بِعِشْرِينَ لِيَحِلَّ لَكَ الْفَرْقُ بِيَقِينٍ وَلِمَنْ يَبْتَاعُهَا مِنْكَ.

Al-Muzani berkata: Imam asy-Syafi‘i menganjurkan dalam kasus seperti ini agar hakim bersikap lemah lembut kepada wakil, hingga ia berkata kepada wakil: “Jika aku memang telah memerintahkanmu untuk membelinya dengan harga dua puluh, maka aku telah menjualnya kepadamu dengan harga dua puluh.” Dan ia berkata kepada wakil: “Terimalah pembelian darinya dengan harga dua puluh, agar perbedaan itu menjadi halal bagimu dengan keyakinan, dan juga bagi orang yang membelinya darimu.”

وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ الْوَكِيلَ إِنْ كَانَ صَادِقًا صَارَ بِهَذَا الِابْتِيَاعِ مَالِكًا. وَإِنْ كَانَ كَاذِبًا لَمْ يَسْتَضِرَّ بِهَذَا الْقَوْلِ فَإِنْ قِيلَ: فَهَذَا مِنَ الْمُوَكِّلِ بَيْعُ مَا هُوَ شَاكٌّ فِي تَمَلُّكِهِ فَكَانَ بَاطِلًا، وَلَمْ يَصِرْ بِهَذَا الْقَوْلِ مُحْتَاطًا كَمَنْ شَكَّ فِي إِرْثِ مَالٍ فَبَاعَهُ وَبَانَ أَنَّهُ كَانَ قَدْ وَرِثَهُ كَانَ بَيْعُهُ بَاطِلًا لِلشَّكِّ. قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الشَّكَّ فِي مَسْأَلَتِنَا وَاقِعٌ فِي مِلْكِ الْمُتَعَاقِدَيْنِ وَفِي الْمِيرَاثِ مِنَ الْعَاقِدِ وَغَيْرِهِ.

Hal ini benar, karena jika wakil jujur, maka dengan pembelian ini ia menjadi pemilik. Jika ia berdusta, maka ia tidak dirugikan dengan pernyataan ini. Jika ada yang berkata: “Ini berarti muwakkil menjual sesuatu yang ia ragu kepemilikannya, sehingga batal, dan pernyataan ini tidak membuatnya menjadi sikap kehati-hatian, sebagaimana orang yang ragu terhadap warisan suatu harta lalu menjualnya, kemudian ternyata ia memang mewarisinya, maka penjualannya batal karena keraguan.” Maka dijawab: Perbedaannya adalah bahwa keraguan dalam masalah kita terjadi pada kepemilikan kedua pihak yang berakad, sedangkan dalam warisan terjadi pada pihak yang berakad dan selainnya.

فَإِنْ قِيلَ فَبَيْعُ الْمُوَكِّلِ مَعْقُودٌ بِشَرْطٍ وَهُوَ قَوْلُهُ: إِنْ كُنْتُ قَدْ أَمَرْتُكَ أَنْ تَشْتَرِيَهَا بِعِشْرِينَ فَقَدْ بِعْتُهَا عَلَيْكَ بِعِشْرِينَ وَهَذَا شَرْطٌ يَفْسُدُ مَعَهُ الْبَيْعُ. فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا ذَكَرَهُ الْمُزَنِيُّ مِنْ ذَلِكَ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika dikatakan: “Penjualan muwakkil ini dilakukan dengan syarat, yaitu ucapannya: ‘Jika aku telah memerintahkanmu membelinya dengan dua puluh, maka aku telah menjualnya kepadamu dengan dua puluh’, dan ini adalah syarat yang merusak akad jual beli.” Maka para ulama kami berbeda pendapat tentang apa yang disebutkan oleh al-Muzani dalam hal ini menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمُزَنِيَّ إِنَّمَا اخْتَارَ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَقُولَ ذَلِكَ لَهُمَا تَنْبِيهًا عَلَى مَعْنَى هَذَا الْعَقْدِ وَالسَّبَبُ الْمَعْقُودُ بِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَذْكُرَاهُ فِي نَفْسِ الْعَقْدِ فَإِذَا ذَكَرَاهُ فِيهِ لَمْ يَصِحَّ بَلْ يَعْقِدَاهُ مُطْلَقًا مِنْ هَذَا الشَّرْطِ. وَهَذَا قَوْلُ أَكْثَرِ الْبَصْرِيِّينَ.

Pertama: Al-Muzani hanya memilih agar hakim mengucapkan hal itu kepada keduanya sebagai penjelasan tentang makna akad ini dan sebab yang menjadi dasar akad, tanpa menyebutkannya dalam akad itu sendiri. Jika keduanya menyebutkannya dalam akad, maka tidak sah, bahkan hendaknya mereka mengakadkannya secara mutlak tanpa syarat ini. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Bashrah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَجُمْهُورِ الْبَغْدَادِيِّينَ: أَنَّهُ يَجُوزُ لَهُمَا أَنْ يَعْقِدَاهُ كَذَلِكَ لأنه هكذا يَكُونُ فِي الْحُكْمِ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ مَلْفُوظًا بِهِ فِي الْعَقْدِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dan mayoritas ulama Baghdad: Boleh bagi keduanya mengakadkannya dengan syarat tersebut, karena memang demikianlah hukumnya, maka boleh pula diucapkan secara eksplisit dalam akad.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وصفنا فللموكل حالتان:

Jika telah tetap sebagaimana yang kami jelaskan, maka muwakkil memiliki dua keadaan:

أحدهما: أَنْ يُجِيبَ إِلَى بَيْعِهَا عَلَى الْوَكِيلِ إِنْ كَانَ صَادِقًا فَيَصِيرَ الْوَكِيلُ مَالِكًا لَهَا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا وَيَجُوزُ لَهُ إِمْسَاكُهَا وَالِاسْتِمْتَاعُ بِهَا وَبَيْعُهَا وأخذ الفضل عن ثمنها.

Pertama: Ia menyetujui penjualan budak itu kepada wakil jika ia jujur, maka wakil menjadi pemiliknya secara lahir dan batin, dan ia boleh menahan, memanfaatkan, menjual, serta mengambil kelebihan dari harganya.

والحالة الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يُجِيبَ إِلَى بَيْعِهَا فَلَا يُجْبَرُ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِمَالِكٍ وَلَوْ كَانَ مَالِكًا لَمْ يُجْبَرْ عَلَى بَيْعِ مِلْكِهِ. وَهَلْ يَكُونُ الْوَكِيلُ مَالِكًا لَهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kedua: Ia tidak menyetujui penjualannya, maka ia tidak dipaksa untuk itu, karena ia bukan pemiliknya. Seandainya ia pemilik, ia pun tidak dipaksa menjual miliknya. Apakah wakil menjadi pemiliknya atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أبي سعيد الإصطخري: أَنَّهُ قَدْ مَلَكَهَا مِلْكًا تَامًّا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا. لِأَنَّ الْمِلْكَ قَدِ انْتَقَلَ عَنِ الْمُوَكِّلِ بِيَمِينِهِ فَاقْتَضَى أَنْ يَنْتَقِلَ إِلَى الْوَكِيلِ بِعَقْدِهِ. فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ لِلْوَكِيلِ أَنْ يُمْسِكَهَا وَيَسْتَمْتِعَ بِهَا. وَإِنْ بَاعَهَا مَلَكَ الْفَضْلَ مِنْ ثَمَنِهَا.

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Sa‘id al-Ishthakhri, menyatakan bahwa ia telah memilikinya secara penuh, baik secara lahir maupun batin. Sebab, kepemilikan telah berpindah dari pemberi kuasa dengan sumpahnya, sehingga menuntut agar berpindah kepada wakil melalui akadnya. Berdasarkan pendapat ini, wakil boleh menahan dan memanfaatkan barang tersebut. Jika ia menjualnya, maka ia berhak atas kelebihan dari harga penjualannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: إِنَّهُ لَا يَصِيرُ مَالِكًا لَهَا وَإِنَّمَا لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ ثَمَنِهَا مَا غَرِمَ فِيهِ لِأَنَّهُ مُقِرٌّ بِأَنَّهَا مِلْكٌ لِمُوَكِّلِهِ. فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِهَا وَإِذَا كَانَ فِي ثَمَنِهَا فَضْلٌ لَمْ يَمْلِكْهُ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, menyatakan bahwa ia tidak menjadi pemilik barang tersebut, melainkan hanya berhak mengambil dari hasil penjualannya sebesar yang telah ia keluarkan, karena ia mengakui bahwa barang itu adalah milik pemberi kuasa. Berdasarkan pendapat ini, ia tidak boleh memanfaatkan barang tersebut, dan jika ada kelebihan dari hasil penjualan, maka ia tidak berhak atas kelebihan itu.

وَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِبَيْعِهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ وجهي أصحابنا في من لَهُ دَيْنٌ لَا يَقْدِرُ عَلَى أَخْذِهِ وَقَدْ ظَفِرَ بِمَالٍ لِغَرِيمِهِ. هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَبِيعَهُ بنفسه أو الحاكم؟ على وجهين: أحدهما يبيعه بنفسه.

Apakah boleh ia sendiri yang menjual barang tersebut atau tidak? Ada dua pendapat yang didasarkan pada perbedaan pendapat para ulama kami mengenai orang yang memiliki piutang namun tidak mampu mengambilnya, lalu ia mendapatkan harta milik orang yang berutang kepadanya. Apakah boleh ia sendiri yang menjualnya atau harus hakim yang melakukannya? Ada dua pendapat: salah satunya, ia boleh menjualnya sendiri.

والثاني: يَتَوَلَّاهُ الْحَاكِمُ. وَإِنْ كَانَ الثَّمَنُ بِقَدْرِ مَا دَفَعَ نَقْدًا اسْتَوْفَاهُ. وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ فَلَا رُجُوعَ لَهُ بِبَاقِيهِ. وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ فَلَا حَقَّ لَهُ فِي الزِّيَادَةِ.

Pendapat kedua: hakim yang menangani penjualannya. Jika harga penjualan sesuai dengan jumlah yang telah ia keluarkan secara tunai, maka ia boleh mengambilnya. Jika kurang, ia tidak boleh menuntut sisanya. Jika lebih, ia tidak berhak atas kelebihannya.

وَهَلْ يَجُوزُ إِقْرَارُهَا فِي يَدِهِ لِأَنَّهُ لَا خَصْمَ لَهُ فِيهَا أَوْ يَنْزِعُهَا الْحَاكِمُ مِنْهُ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Apakah boleh barang tersebut tetap berada di tangannya karena tidak ada pihak yang bersengketa dengannya, ataukah hakim harus mengambilnya darinya? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُقِرُّهَا فِي يَدِهِ لِأَنَّهُ لَا خَصْمَ لَهُ فِيهَا.

Salah satunya: barang tersebut tetap berada di tangannya karena tidak ada pihak yang bersengketa dengannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَنْزِعُهَا مِنْهُ لِأَنَّهُ مَالٌ قَدْ جُهِلَ مُسْتَحِقُّهُ فَصَارَ كَأَمْوَالِ الْغَيْبِ ثُمَّ يَكُونُ مُشْتَرِي الْجَارِيَةِ مَالِكَهَا عَلَى الْوَجْهَيْنِ جَمِيعًا. وَلَا يَكُونُ عَدَمُ مِلْكِ الْبَائِعِ لَهَا بِمَانِعٍ مِنَ اسْتِقْرَارِ مِلْكِ الْمُشْتَرِي عَلَيْهَا كَالْمُشْتَرِي مِنْ وكيل في بيعها.

Pendapat kedua: hakim mengambilnya darinya karena harta tersebut tidak diketahui siapa yang berhak memilikinya, sehingga statusnya seperti harta orang yang tidak hadir. Kemudian, pembeli budak perempuan itu menjadi pemiliknya menurut kedua pendapat tersebut. Tidak adanya kepemilikan penjual atas barang tersebut tidak menjadi penghalang bagi tetapnya kepemilikan pembeli atas barang itu, sebagaimana pembeli dari seorang wakil dalam penjualannya.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَمَرَهُ أَنْ يَشْتَرِيَ لَهُ جَارِيَةً فَاشْتَرَى غَيْرَهَا أَوْ أَمَرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهُ جَارِيَةً فَزَوَّجَهُ غَيْرَهَا بَطَلَ النِّكَاحُ وَكَانَ الشِّرَاءُ لِلْمُشْتَرِي لَا للآمر “.

Al-Muzani ra. berkata: “Jika seseorang memerintahkan wakilnya untuk membelikan seorang budak perempuan untuknya, lalu wakil itu membeli selain yang dimaksud, atau ia memerintahkannya untuk menikahkan dirinya dengan seorang budak perempuan, lalu wakil itu menikahkannya dengan selain yang dimaksud, maka akad nikahnya batal dan pembelian itu menjadi milik pembeli, bukan milik orang yang memberi perintah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا أَمَرَ الرَّجُلُ وَكِيلَهُ أَنْ يَشْتَرِيَ لَهُ جَارِيَةً فَاشْتَرَى غَيْرَهَا أَوْ عَلَى صِفَةٍ فَاشْتَرَاهَا بِخِلَافِهَا فَالشِّرَاءُ بَاطِلٌ إِنْ كَانَ بِعَيْنِ الْمَالِ. وَإِنْ كَانَ فِي الذِّمَّةِ فَهُوَ غَيْرُ لَازِمٍ لِلْمُوَكِّلِ ثُمَّ يَنْظُرُ فَإِنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ الْمُوَكِّلِ فِي الْعَقْدِ فَالشِّرَى لَازِمٌ لِلْوَكِيلِ وَإِنْ ذَكَرَهُ فَعَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ وَلَوْ أَمَرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهُ امْرَأَةً فَزَوَّجَهُ غَيْرَهَا كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا. وَلَمْ يَصِرِ النِّكَاحُ لِلْوَكِيلِ بِخِلَافِ الشِّرَاءِ. لِأَنَّ الْمَقْصُودَ فِي النِّكَاحِ أَعْيَانُ الْمُتَنَاكِحِينَ وَلِذَلِكَ لَمْ يَصِحَّ الْعَقْدُ إِلَّا بِتَسْمِيَةِ الزَّوْجِ. وَلَمْ يَبْطُلِ النِّكَاحُ بِالْجَهْلِ بِقَدْرِ الصَّدَاقِ. وَلَيْسَ الْمَقْصُودُ فِي البيع أعيان الْمُتَبَايِعَيْنِ. وَإِنَّمَا الْمَقْصُودُ مِلْكُ الْمَبِيعِ وَلِذَلِكَ صَحَّ الْعَقْدُ وَإِنْ لَمْ يُسَمَّ الْمُشْتَرِي لَهُ وَصَارَ مِلْكًا لَهُ إِذَا نَوَاهُ الْوَكِيلُ. وَبَطَلَ الْبَيْعُ بِالْجَهْلِ بِالثَّمَنِ.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, yaitu jika seseorang memerintahkan wakilnya untuk membelikan seorang budak perempuan untuknya, lalu wakil itu membeli selain yang dimaksud, atau dengan sifat tertentu namun dibeli dengan sifat yang berbeda, maka pembelian itu batal jika menggunakan harta tertentu. Jika pembelian dilakukan atas tanggungan (bukan harta tertentu), maka tidak wajib bagi pemberi kuasa. Kemudian, jika dalam akad tidak disebutkan nama pemberi kuasa, maka pembelian itu menjadi tanggungan wakil. Jika disebutkan, maka berlaku sebagaimana dua pendapat yang telah lalu. Jika seseorang memerintahkan wakilnya untuk menikahkannya dengan seorang wanita, lalu wakil itu menikahkannya dengan wanita lain, maka akad nikahnya batal. Dan akad nikah itu tidak menjadi milik wakil, berbeda dengan pembelian. Karena tujuan dalam akad nikah adalah pada individu kedua mempelai, sehingga akad tidak sah kecuali dengan menyebutkan nama suami. Akad nikah tidak batal karena tidak diketahui jumlah mahar. Sedangkan dalam jual beli, tujuan utamanya bukan pada individu penjual dan pembeli, melainkan pada kepemilikan barang yang dijual. Oleh karena itu, akad jual beli sah meskipun pembeli tidak disebutkan namanya, dan barang itu menjadi miliknya jika wakil meniatkannya untuknya. Adapun jual beli batal jika tidak diketahui harga barang.

وَصِفَةُ خِطْبَةِ الْوَكِيلِ فِي النِّكَاحِ أَنْ يَقُولَ: إِنَّ فُلَانًا وَكَّلَنِي فِي تَزْوِيجِهِ بِفُلَانَةَ. فَيَقُولُ الْوَلِيُّ: قَدْ زَوَّجْتُ فُلَانًا مُوَكِّلَكَ بِفُلَانَةَ. فَيَقُولُ الْوَكِيلُ: قَدْ قَبِلْتُ نِكَاحَهَا لِفُلَانٍ. ولا يصح العقد الْوَكِيلِ النِّكَاحَ إِلَّا هَكَذَا. فَصَحَّ فِي الْبَيْعِ أَنْ يُنَوِّهَ وَإِنْ لَمْ يُسَمِّهِ لِأَنَّ مِلْكَ الْبَيْعِ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَنْتَقِلَ عَنْ شَخْصٍ إلى غيره. وعقد النكاح لا يَجُوزُ أَنْ يَنْتَقِلَ عَنْ شَخْصٍ إِلَى غَيْرِهِ.

Adapun tata cara khutbah (pengajuan) wakil dalam akad nikah adalah dengan mengatakan: “Sesungguhnya Fulan telah mewakilkan kepadaku untuk menikahkannya dengan Fulanah.” Lalu wali berkata: “Aku telah menikahkan Fulan, orang yang engkau wakili, dengan Fulanah.” Kemudian wakil berkata: “Aku telah menerima akad nikahnya untuk Fulan.” Akad nikah oleh wakil tidak sah kecuali dengan cara demikian. Adapun dalam jual beli, sah jika hanya dengan meniatkan (untuk pemberi kuasa) meskipun tidak menyebutkan namanya, karena kepemilikan dalam jual beli boleh berpindah dari satu orang ke orang lain. Sedangkan akad nikah tidak boleh berpindah dari satu orang ke orang lain.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا بَطَلَ عَقْدُ النِّكَاحِ بِمُخَالَفَتِهِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْوَكِيلِ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَدْ ضَمِنَ الصَّدَاقَ عَنْ مُوَكِّلِهِ أَمْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ ضَمِنَهُ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ النِّكَاحَ يَكُونُ بَاطِلًا. وَلَيْسَ عَلَى الْوَكِيلِ ضَمَانُ الْمُسَمَّى مِنَ الصَّدَاقِ.

Apabila akad nikah menjadi batal karena pelanggaran terhadapnya, maka keadaan wakil tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia telah menjamin mahar atas nama pihak yang mewakilkannya atau tidak. Jika ia belum menjaminnya, maka menurut mazhab Syafi‘i, nikah tersebut menjadi batal dan wakil tidak berkewajiban menanggung mahar yang telah disebutkan.

وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ: يَكُونُ الْوَكِيلُ ضَامِنًا لِنِصْفِ الصَّدَاقِ لِقَبُولِهِ الْعَقْدَ كَمَا يَضْمَنُ الثَّمَنَ.

Abu al-‘Abbas Ibn Surayj berkata: Wakil wajib menanggung setengah mahar karena ia telah menerima akad, sebagaimana ia menanggung harga dalam jual beli.

وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الشراء قد يحصل له فَجَازَ أَنْ يَلْزَمَهُ الثَّمَنُ وَالنِّكَاحُ لَا يَحْصُلُ لَهُ فَلَمْ يَلْزَمْهُ الصَّدَاقُ.

Ini adalah kekeliruan, karena dalam jual beli, barang bisa saja berpindah kepadanya sehingga wajar jika ia wajib membayar harga, sedangkan dalam nikah, tidak terjadi perpindahan (istri) kepadanya sehingga ia tidak wajib membayar mahar.

وَإِنْ كَانَ الْوَكِيلُ قَدْ ضَمِنَ الصَّدَاقَ وَهُوَ مُقِرٌّ أَنَّ الْمُوَكِّلَ قَدْ أَمَرَهُ بِإِنْكَاحِ هَذِهِ الَّتِي قَدْ أَنْكَرَهَا كَانَ الْوَكِيلُ غَارِمًا لِمَا تَقَدَّمَ مِنْ ضَمَانِ صَدَاقِهَا. وَفِي قَدْرِ مَا يَضْمَنُهُ وَجْهَانِ:

Jika wakil telah menjamin mahar dan ia mengakui bahwa pihak yang mewakilkannya telah memerintahkannya untuk menikahkan perempuan yang kemudian diingkari itu, maka wakil wajib menanggung mahar tersebut sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Mengenai besaran yang wajib ditanggung, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُ جَمِيعَهُ لِاسْتِحْقَاقِهِ بِالْعَقْدِ.

Pertama: Ia wajib menanggung seluruhnya karena mahar itu menjadi hak istri dengan adanya akad.

وَالثَّانِي: يَضْمَنُ نِصْفَهُ لِعَدَمِ الدُّخُولِ فِيهِ.

Kedua: Ia wajib menanggung setengahnya karena tidak terjadi hubungan suami istri (dalam pernikahan tersebut).

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا أَمَرَ الرَّجُلُ وَكِيلَهُ بِشِرَاءِ عَبْدٍ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Jika seseorang memerintahkan wakilnya untuk membeli seorang budak, maka terdapat empat kemungkinan keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُعَيِّنَ الْعَبْدَ وَيُعَيِّنَ ثَمَنَهُ.

Pertama: Ia menentukan budak yang akan dibeli dan menentukan harganya.

وَالثَّانِي: أَنْ لَا يُعَيِّنَ الْعَبْدَ وَلَا يُعَيِّنَ ثَمَنَهُ.

Kedua: Ia tidak menentukan budaknya dan tidak menentukan harganya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يُعَيِّنَ الْعَبْدَ وَلَا يعين ثمنه.

Ketiga: Ia menentukan budaknya namun tidak menentukan harganya.

وَالرَّابِعُ: أَنْ لَا يُعَيِّنَ الْعَبْدَ وَيُعَيِّنَ ثَمَنَهُ.

Keempat: Ia tidak menentukan budaknya namun menentukan harganya.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يُعَيِّنَ الْعَبْدَ وَيُعَيِّنَ ثَمَنَهُ.

Adapun bagian pertama, yaitu ia menentukan budak dan menentukan harganya,

كَقَوْلِهِ اشْتَرِ لِي سَالِمًا بِمِائَةِ دينار. فَلَا يَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ: –

seperti ucapannya: “Belikan untukku Salim dengan harga seratus dinar.” Maka terdapat tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَشْتَرِيَهُ بِالْمِائَةِ.

Pertama: Ia membelinya dengan harga seratus dinar.

وَالثَّانِي: أَنْ يَشْتَرِيَهُ بِأَقَلَّ مِنْهَا.

Kedua: Ia membelinya dengan harga kurang dari seratus dinar.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَشْتَرِيَهُ بِأَكْثَرَ مِنْهَا.

Ketiga: Ia membelinya dengan harga lebih dari seratus dinar.

فَإِنِ اشْتَرَاهُ بِالدَّنَانِيرِ لَكِنْ بِأَقَلَّ مِنْ مِائَةِ دِينَارٍ كَأَنِ اشْتَرَاهُ بِخَمْسِينَ دِينَارًا، صَحَّ وَلَزِمَ الْمُوَكِّلَ. لِأَنَّ حُصُولَ الْعَبْدِ لَهُ بِبَعْضِ الثَّمَنِ أَحَظُّ لَهُ. فَإِنْ قِيلَ أَفَلَيْسَ لَوْ وَكَّلَهُ فِي بَيْعِ عَبْدِهِ عَلَى زَيْدٍ بِمِائَةِ دِينَارٍ فَبَاعَهُ عَلَيْهِ بِأَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ دِينَارٍ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ وَكَّلَهُ فِي مُحَابَاتِهِ. فَمَثَلًا إِذَا وَكَّلَهُ فِي شِرَاءِ عَبْدٍ بِمِائَةِ دِينَارٍ أَنْ لَا يَجُوزَ الشِّرَاءُ بِأَقَلَّ مِنْهَا لِأَنَّهُ قَدْ وَكَّلَهُ فِي مُحَابَاتِهِ.

Jika ia membelinya dengan dinar namun kurang dari seratus dinar, misalnya ia membelinya dengan lima puluh dinar, maka transaksi itu sah dan menjadi tanggungan pihak yang mewakilkan. Sebab, mendapatkan budak dengan sebagian harga lebih menguntungkan baginya. Jika ada yang bertanya: Bukankah jika seseorang mewakilkan penjualan budaknya kepada Zaid dengan harga seratus dinar, lalu dijual dengan harga lebih dari seratus dinar, maka tidak sah karena ia mewakilkan untuk memberikan keringanan harga? Maka, apakah jika ia mewakilkan pembelian budak dengan seratus dinar, tidak boleh membeli dengan harga kurang dari itu karena ia mewakilkan untuk memberikan keringanan harga?

قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّهُ إِذَا وَكَّلَهُ فِي الْبَيْعِ بِالْمِائَةِ لَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ بِأَكْثَرَ مِنْهَا لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنْ قَبْضِ الزِّيَادَةِ. وَلَيْسَ لِلْوَكِيلِ قَبْضُ مَا مُنِعَ مِنْ قَبْضِهِ. وَإِذَا وُكِّلَ فِي الشِّرَاءِ بِالْمِائَةِ جَازَ الشِّرَاءُ بِأَقَلَّ مِنْهَا لِأَنَّهُ مَأْمُورٌ بِدَفْعِ الزِّيَادَةِ وَدَفْعُ الْوَكِيلِ الْبَعْضَ جَائِزٌ وَإِنْ مَنَعَ الزِّيَادَةَ.

Dijawab: Perbedaannya, jika ia mewakilkan penjualan dengan harga seratus dinar, maka tidak boleh menjualnya dengan harga lebih dari itu karena ia dilarang menerima kelebihan harga, dan wakil tidak berhak menerima sesuatu yang dilarang untuk diterima. Sedangkan jika ia mewakilkan pembelian dengan seratus dinar, maka boleh membeli dengan harga kurang dari itu karena ia diperintahkan untuk membayar kelebihan harga, dan membayar sebagian oleh wakil dibolehkan meskipun kelebihan harga dilarang.

وَلَوْ أَمَرَهُ أَنْ يَشْتَرِيَهُ بِمِائَةِ دِينَارٍ، وَلَا يَشْتَرِيَهُ بِأَقَلَّ مِنْهَا فَاشْتَرَاهُ بِأَقَلَّ مِنَ الْمِائَةِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ أَعْلَمُ بِصَلَاحِ نَفْسِهِ.

Jika ia memerintahkan untuk membeli dengan seratus dinar dan tidak boleh membeli dengan harga kurang dari itu, lalu wakil membelinya dengan harga kurang dari seratus dinar, maka tidak sah karena ia lebih mengetahui kemaslahatan dirinya.

وَلَوْ قَالَ اشْتَرِهِ بِمِائَةِ دِينَارٍ وَلَا تَشْتَرِيهِ بِخَمْسِينَ دِينَارًا جَازَ أن يشتريه بالمائة ربما بَيْنَ الْخَمْسِينَ وَالْمِائَةِ. وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَشْتَرِيَهُ بِخَمْسِينَ لِلنَّهْيِ عَنْهَا. وَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يَشْتَرِيَهُ بِأَقَلَّ مِنْ خَمْسِينَ عَلَى وَجْهَيْنِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ:

Jika ia berkata: “Belilah dengan seratus dinar dan jangan beli dengan lima puluh dinar,” maka boleh membelinya dengan seratus dinar atau dengan harga di antara lima puluh dan seratus dinar. Tidak boleh membelinya dengan lima puluh dinar karena adanya larangan. Adapun apakah boleh membelinya dengan harga kurang dari lima puluh dinar, terdapat dua pendapat yang diriwayatkan dari Ibn Surayj:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لِأَنَّ الْوَكِيلَ مَنْدُوبٌ إِلَى الِاسْتِرْخَاصِ إِلَّا مَا نَهَاهُ عَنْهُ مِنَ الْقَدْرِ لِمَعْنًى هُوَ أَعْلَمُ بِهِ مِنْ يَمِينٍ حَلَفَ عَلَيْهَا أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ أُمُورٍ.

Pertama: Boleh, karena wakil dianjurkan untuk mencari harga yang lebih murah kecuali pada kadar yang dilarang oleh pihak yang mewakilkan karena alasan tertentu yang hanya ia ketahui, seperti sumpah atau alasan lainnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ لِأَنَّ الْإِذْنَ بِالْمِائَةِ لَمَّا دَخَلَ فِيهِ مَا هُوَ أَقَلُّ مِنْهَا كَانَ النَّهْيُ عَنِ الْخَمْسِينَ دَاخِلًا فِيهِ مَا هُوَ أَقَلُّ مِنْهَا.

Pendapat kedua: Tidak boleh, karena izin membeli dengan seratus dinar ketika mencakup harga yang lebih rendah, maka larangan terhadap lima puluh dinar juga mencakup harga yang lebih rendah dari itu.

فَهَذَا حُكْمُ الْعَبْدِ إِذَا اشْتَرَاهُ بِأَقَلَّ مِنَ الْمِائَةِ، فَأَمَّا إِذَا اشْتَرَاهُ بِأَكْثَرَ من المائة كأن اشتراه بماية وَخَمْسِينَ دِينَارًا أَوْ مِائَةِ دِينَارٍ وَقِيرَاطٍ، فَالشِّرَاءُ غَيْرُ لَازِمٍ لِلْمُوَكِّلِ وَهُوَ لَازِمٌ لِلْوَكِيلِ إِنْ لَمْ يَشْتَرِهِ بِعَيْنِ الْمَالِ. هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.

Inilah hukum seorang budak apabila dibeli dengan harga kurang dari seratus. Adapun jika dibeli dengan harga lebih dari seratus, seperti membelinya dengan seratus lima puluh dinar atau seratus dinar dan satu qirath, maka pembelian tersebut tidak wajib bagi muwakkil, namun wajib bagi wakil jika ia tidak membelinya dengan harta yang ditentukan. Ini adalah mazhab asy-Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu.

وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ: الشِّرَاءُ لَازِمٌ لِلْمُوَكِّلِ بِالْمِائَةِ دِينَارٍ الَّتِي عُيِّنَ عَلَيْهَا وَالْوَكِيلُ ضَامِنٌ لِلزِّيَادَةِ فِي مَالِهِ. وَعَلَيْهِ غُرْمُهَا لِلْبَائِعِ لأنه يصير لمجاوزته القدر المعين مُتَطَوِّعًا بِهَا وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الزِّيَادَةَ فِي جُمْلَةِ الثَّمَنِ الَّذِي لَزِمَ بِالْعَقْدِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَبَعَّضَ حُكْمُهُ. وَلَوْ جَازَ أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ بِقَدْرِ الْمُغَابَنَةِ فِي الشِّرَاءِ مَضْمُونَةً عَلَى الْوَكِيلِ مَعَ صِحَّةِ الشِّرَاءِ لِلْمُوَكِّلِ لَكَانَ النُّقْصَانُ بِقَدْرِ الْمُغَابَنَةِ فَيَ الْبَيْعِ مَضْمُونًا عَلَى الْوَكِيلِ مَعَ لُزُومِ الْبَيْعِ لِلْمُوَكِّلِ. وَهَذَا مِمَّا لَمْ يَرَ بِهِ أَبُو الْعَبَّاسِ فِي الْبَيْعِ. فَبَطَلَ المذهب إليه في الشراء.

Abu al-‘Abbas bin Suraij berkata: Pembelian itu wajib bagi muwakkil dengan seratus dinar yang telah ditentukan, dan wakil bertanggung jawab atas kelebihan harga tersebut dari hartanya sendiri. Ia wajib menanggungnya kepada penjual karena dengan melebihi jumlah yang telah ditentukan, ia telah bertindak secara sukarela, dan ini adalah kesalahan. Sebab, tambahan itu termasuk dalam keseluruhan harga yang menjadi kewajiban berdasarkan akad, sehingga tidak boleh hukumnya dipisah-pisahkan. Jika boleh tambahan sebesar kadar penipuan dalam pembelian dijamin oleh wakil sementara pembelian itu sah bagi muwakkil, maka kekurangan sebesar kadar penipuan dalam penjualan juga harus dijamin oleh wakil sementara penjualan itu tetap wajib bagi muwakkil. Dan ini bukanlah pendapat Abu al-‘Abbas dalam masalah penjualan. Maka, pendapat tersebut batal untuk diikuti dalam masalah pembelian.

فَإِنِ اشْتَرَاهُ بالمائة دينار صح ولزم الموكل. وإن اشتراه بمائة درهم لم يلزم الموكل وإن كانت الدراهم أقل من قيمته لأن عدوله عن جنس الثمن كعدوله عن عين العبد.

Jika ia membelinya dengan seratus dinar, maka sah dan wajib bagi muwakkil. Namun jika membelinya dengan seratus dirham, maka tidak wajib bagi muwakkil, meskipun dirham itu nilainya lebih rendah dari harga budak tersebut, karena beralih dari jenis harga yang ditentukan sama seperti beralih dari objek budak yang ditentukan.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ لَا يعين العبد ولا يعين ثمنه كقوله اشتر لِي عَبْدًا فَإِنْ وَصَفَهُ صِفَةً يَتَمَيَّزُ بِهَا مُرَادُهُ مِنَ الْعَبِيدِ صَحَّ. وَإِنْ لَمْ يَصِفْهُ فَالظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ بُطْلَانُ الْوَكَالَةِ فِي شِرَائِهِ. وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ أَجَازَ الْوَكَالَةَ فِي شِرَاءِ أَيِّ عَبْدٍ كَانَ. وَقَدْ ذَكَرْنَا فِي أَوَّلِ الْكِتَابِ فَإِذَا اشْتَرَى عَبْدًا عَلَى الصِّفَةِ الَّتِي ذَكَرْنَا بِثَمَنِ مِثْلِهِ فَمَا دُونَ صَحَّ وَلَزِمَ الْمُوَكِّلَ. وَإِنِ اشْتَرَاهُ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِ مِثْلِهِ بِقَدْرٍ لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ فَالشِّرَاءُ غَيْرُ لَازِمٍ لِلْمُوَكِّلِ وَيَكُونُ لِلْوَكِيلِ إِنْ لَمْ يَكُنْ بِعَيْنِ الْمَالِ بِوِفَاقِ أَبِي الْعَبَّاسِ هَاهُنَا. وَهُوَ حُجَّةٌ عَلَيْهِ فِيمَا ارْتَكَبَهُ هُنَاكَ.

Adapun bagian kedua: yaitu apabila tidak menentukan budak dan tidak menentukan harganya, seperti ucapannya, “Belikan aku seorang budak.” Jika ia menyebutkan sifat yang membedakan keinginannya dari para budak lainnya, maka sah. Namun jika tidak menyebutkan sifatnya, maka pendapat yang tampak dari mazhab asy-Syafi‘i adalah batalnya wakalah dalam pembelian tersebut. Sebagian ulama kami membolehkan wakalah dalam pembelian budak mana pun. Sebagaimana telah kami sebutkan di awal kitab, jika ia membeli budak dengan sifat yang telah disebutkan dengan harga yang sepadan atau kurang, maka sah dan wajib bagi muwakkil. Namun jika membelinya dengan harga lebih tinggi dari harga sepadan dengan kadar yang tidak wajar menurut kebiasaan manusia, maka pembelian itu tidak wajib bagi muwakkil dan menjadi tanggung jawab wakil jika tidak menggunakan harta yang ditentukan, sesuai dengan pendapat Abu al-‘Abbas di sini. Dan ini menjadi hujjah atas apa yang ia lakukan di tempat lain.

فَلَوْ وَكَّلَهُ فِي شِرَاءِ عَشَرَةِ أَعْبُدٍ جَازَ أَنْ يَشْتَرِيَهُمْ صَفْقَةً وَتَفَارِيقَ عَلَى حَسَبِ مَا يَتَيَسَّرُ لَهُ فَإِنْ قَالَ اشْتَرِهِمْ صَفْقَةً وَاحِدَةً لَمْ يَجُزْ أَنْ يَشْتَرِيَهُمْ تَفَارِيقَ. فَلَوْ كَانُوا بَيْنَ شَرِيكَيْنِ فَاشْتَرَاهُمُ الْوَكِيلُ مِنْهُمَا صَفْقَةً وَاحِدَةً. فَإِنْ كَانَ مِلْكُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُتَمَيِّزًا عَنْ صَاحِبِهِ، مِثْلَ أَنْ يَكُونَ لِأَحَدِهِمَا خَمْسَةٌ مِنَ الْعَبِيدِ بِكَمَالِهِمْ وَلِلْآخَرِ خَمْسَةٌ، لَمْ يَلْزَمِ الْمُوَكِّلَ هَذَا الْعَقْدُ لِأَنَّهُمَا صَفْقَتَانِ وَهُوَ إِنَّمَا أَمَرَ بِصَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ.

Jika ia mewakilkan untuk membeli sepuluh budak, maka boleh membelinya sekaligus atau terpisah sesuai dengan kemudahan yang didapat. Namun jika ia berkata, “Belilah mereka sekaligus,” maka tidak boleh membelinya secara terpisah. Jika para budak itu milik dua orang yang berserikat, lalu wakil membelinya dari keduanya sekaligus, maka jika kepemilikan masing-masing dari keduanya terpisah, seperti salah satunya memiliki lima budak secara penuh dan yang lain juga lima, maka akad ini tidak wajib bagi muwakkil karena itu dianggap dua transaksi, sedangkan ia hanya memerintahkan satu transaksi.

ثُمَّ يُنْظَرُ فَإِنْ كَانَ سَمَّى فِي الْعَقْدِ لِكُلِّ خَمْسَةٍ ثَمَنًا لَزِمَ الْوَكِيلَ لِصِحَّةِ الْعَقْدِ إِنْ لَمْ يَكُنْ بِعَيْنِ الْمَالِ. وَإِنْ لَمْ يُسَمِّ لِكُلِّ خَمْسَةٍ مِنْهُمْ ثَمَنًا وَاحِدًا فَالْبَيْعُ بَاطِلٌ. وَخَرَّجَ ابْنُ سُرَيْجٍ فِيهِ قَوْلًا: أَنَّهُ يَصِحُّ وَيَلْزَمُ الْوَكِيلُ مِنَ اخْتِلَافِ قوليه في من تَزَوَّجَ أَرْبَعًا عَلَى صَدَاقٍ بِأَلْفِ مُبْهَمَةٍ بَيْنَهُنَّ. وَلَا يَصِحُّ هَذَا التَّخْرِيجُ لِمَا ذَكَرْنَاهُ فِي الْبُيُوعِ.

Kemudian dilihat lagi, jika dalam akad disebutkan harga untuk masing-masing lima budak, maka itu menjadi tanggung jawab wakil karena akadnya sah, jika tidak menggunakan harta yang ditentukan. Namun jika tidak disebutkan harga untuk masing-masing lima budak, maka jual belinya batal. Ibn Suraij mengeluarkan satu pendapat dalam hal ini: bahwa akadnya sah dan menjadi tanggung jawab wakil, berdasarkan perbedaan pendapatnya dalam kasus seseorang menikahi empat wanita dengan mahar seribu yang tidak dibagi di antara mereka. Namun pendapat ini tidak sah untuk diterapkan di sini, sebagaimana telah kami sebutkan dalam bab jual beli.

وَإِنْ كَانَ الْعَشَرَةُ كُلُّهُمْ شَرِكَةً بَيْنَ الشَّرِيكَيْنِ فَفِي لُزُومِ هَذَا الشِّرَاءِ لِلْمُوَكِّلِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ:

Jika kesepuluh budak itu semuanya merupakan milik bersama antara dua orang yang berserikat, maka dalam hal wajibnya pembelian ini bagi muwakkil terdapat dua pendapat yang dinukil oleh Ibn Suraij:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَازِمٌ لِحُصُولِ جَمِيعِهِمْ بِالْعَقْدِ الْوَاحِدِ.

Salah satunya: bahwa itu wajib karena seluruh budak tersebut didapatkan dalam satu akad.

وَالثَّانِي: غَيْرُ لَازِمٍ لَهُ، وَالْعَقْدُ صَحِيحٌ إِنْ لَمْ يَكُنْ بِعَيْنِ الْمَالِ وَهُوَ لَازِمٌ لِلْوَكِيلِ لِأَنَّ الْعَقْدَ إِذَا كَانَ فِي أَحَدِ طَرَفَيْهِ عَاقِدَانِ جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ العقدين.

Kedua: Tidak wajib baginya, dan akadnya sah selama bukan dengan barang yang sama persis, dan akad itu menjadi wajib bagi wakil, karena jika dalam salah satu pihak akad terdapat dua orang yang berakad, maka berlaku atasnya hukum dua akad.

فأما إن اشترى الوكيل في شراء الْعَبْدِ الْوَاحِدِ نِصْفَهُ لَمْ يَلْزَمِ الْمُوَكِّلَ عَقْدُهُ لِمَا دَخَلَ عَلَيْهِ مِنَ الْمُشَارَكَةِ الَّتِي يَسْتَضِرُّ بِهَا. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun jika wakil dalam pembelian seorang budak membeli setengahnya saja, maka akadnya tidak wajib bagi muwakkil (pemberi kuasa), karena di dalamnya terdapat unsur kemitraan yang dapat merugikannya. Dan Allah lebih mengetahui.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يُعَيِّنَ الْعَبْدَ وَلَا يُعَيِّنَ ثَمَنَهُ. كَقَوْلِهِ: اشْتَرِ لِي سَالِمًا. فَعَلَى الْوَكِيلِ أَنْ يَشْتَرِيَهُ بِثَمَنِ الْمَثَلِ فَمَا دُونَ. فَإِنِ اشْتَرَاهُ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِ الْمِثْلِ بِمَا لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ، فَالشِّرَاءُ غَيْرُ لَازِمٍ لِلْمُوَكِّلِ بِوِفَاقِ أَبِي الْعَبَّاسِ وَبِخِلَافِ مَا قَالَهُ فِي الْعَبْدِ الْمُعَيَّنِ بِالثَّمَنِ الْمُقَدَّرِ.

Adapun bagian ketiga: yaitu jika ia menentukan budaknya namun tidak menentukan harganya, seperti ucapannya: “Belikan untukku Salim.” Maka wajib bagi wakil untuk membelinya dengan harga pasar atau kurang dari itu. Jika ia membelinya dengan harga lebih tinggi dari harga pasar dengan selisih yang tidak biasa terjadi penipuan di antara manusia, maka pembelian itu tidak wajib bagi muwakkil, sesuai kesepakatan Abu al-‘Abbas, dan berbeda dengan apa yang ia katakan pada budak yang ditentukan dengan harga tertentu.

وَهُوَ أَيْضًا حُجَّةٌ عَلَيْهِ. فَإِنْ فَرَّقَ أَبُو الْعَبَّاسِ بِأَنَّ الْمُعَيَّنَ عَلَى ثَمَنِهِ لَيْسَ لِلْوَكِيلِ اجْتِهَادٌ فِي الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ فَصَارَ مُتَطَوِّعًا بِهَا. وَلَهُ فِي غَيْرِ الْمُعَيَّنِ عَلَى ثَمَنِهِ اجْتِهَادٌ فِيهِ فَلَمْ يَكُنْ مُتَطَوِّعًا بِهَا. كَانَ فَرْقُهُ مُنْتَقَضًا بِالْبَيْعِ حَيْثُ بَطَلَ بِنُقْصَانِ الثَّمَنِ فِي الْمُقَدَّرِ وَغَيْرِ الْمُقَدَّرِ.

Dan ini juga menjadi hujjah atasnya. Jika Abu al-‘Abbas membedakan bahwa pada budak yang ditentukan dengan harganya, wakil tidak memiliki ijtihad dalam menambah harga sehingga ia menjadi sukarela dalam hal itu. Sedangkan pada selain yang ditentukan dengan harganya, wakil memiliki ijtihad dalam hal itu sehingga ia tidak dianggap sukarela. Maka perbedaannya menjadi batal dengan adanya penjualan, di mana akad menjadi batal karena pengurangan harga baik pada harga yang ditentukan maupun yang tidak ditentukan.

فَلَوْ قَالَ الْمُوَكِّلُ لِوَكِيلِهِ وَقَدِ اشْتَرَى الْعَبْدَ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِهِ قَدْ أَجَزْتُهُ وَقَبِلْتُ الشِّرَاءَ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِهِ، لَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ لِأَنَّ الشِّرَاءَ بِالْمُخَالَفَةِ قَدْ صَارَ لِلْوَكِيلِ فَلَمْ يَنْتَقِلْ إِلَى الْمُوَكِّلِ بِالْإِجَازَةِ وَالْقَبُولِ.

Seandainya muwakkil berkata kepada wakilnya, setelah ia membeli budak dengan harga lebih mahal dari seharusnya: “Aku mengizinkannya dan menerima pembelian dengan harga lebih mahal,” maka hal itu tidak sah baginya, karena pembelian yang dilakukan dengan menyelisihi perintah telah menjadi milik wakil, sehingga tidak berpindah kepada muwakkil dengan izin dan penerimaan.

وَقَالَ ابْنُ سُرَيْجٍ: لِلْمُوَكِّلِ قَبُولُ الشِّرَاءِ بِالثَّمَنِ الزَّائِدِ وَيَصِيرُ الْمِلْكُ لَهُ بِالْقَبُولِ وَلَيْسَ لِلْوَكِيلِ مَنْعُهُ مِنْهُ لِأَنَّهُ إِنَّمَا صَرَفَ عَقْدَ الشِّرَاءِ عَنْهُ بِالثَّمَنِ الزَّائِدِ نَظَرًا لَهُ فَلَمَّا سَامَحَ فِي النَّظَرِ بِالزِّيَادَةِ كَانَ أَحَقَّ بِهِ، قِيلَ: أَلَيْسَ لَوْ كَانَتِ الْوَكَالَةُ فِي الْبَيْعِ فَبَاعَ بِأَقَلَّ مِنَ الثَّمَنِ كَانَ الْعَقْدُ بَاطِلَا وَلَمْ يَصِحَّ بِإِجَازَةِ الْمُوَكِّلِ؟ قَالَ: نَعَمْ وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ أَنَّ بَيْعَ الْوَكِيلِ بِمُخَالَفَتِهِ يَكُونُ فَاسِدًا فَلَمْ يَصِحَّ بِالْإِجَازَةِ. وَشِرَاءَ الْوَكِيلِ مَعَ مُخَالَفَتِهِ يَكُونُ صَحِيحًا لِنَفْسِهِ فَصَحَّتْ فِيهِ الْإِجَازَةُ.

Ibnu Surayj berkata: Muwakkil boleh menerima pembelian dengan harga yang lebih tinggi, dan kepemilikan menjadi miliknya dengan penerimaan tersebut, dan wakil tidak berhak melarangnya, karena wakil hanya mengalihkan akad pembelian dari muwakkil dengan harga lebih tinggi demi kemaslahatan muwakkil. Maka ketika muwakkil memaafkan dalam kemaslahatan dengan tambahan harga, ia lebih berhak atasnya. Dikatakan: Bukankah jika wakalah dalam penjualan, lalu wakil menjual dengan harga lebih rendah, maka akadnya batal dan tidak sah dengan izin muwakkil? Ia menjawab: Benar, dan perbedaan antara penjualan dan pembelian adalah bahwa penjualan wakil dengan menyelisihi perintah menjadi fasid (rusak), sehingga tidak sah dengan izin. Sedangkan pembelian wakil dengan menyelisihi perintah menjadi sah untuk dirinya sendiri, sehingga sah pula izin di dalamnya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ وَهُوَ أَنْ لَا يُعَيِّنَ الْعَبْدَ وَيُعَيِّنَ ثمنه.

Adapun bagian keempat, yaitu tidak menentukan budak namun menentukan harganya.

فكقوله: اشتر لي عبدا بماية دِرْهَمٍ. فَإِنْ وَصَفَ الْعَبْدَ بِمَا يَتَمَيَّزُ بِهِ مُرَادُهُ مِنَ الْعَبِيدِ صَحَّ وَإِنْ لَمْ يَصِفْهُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَقُومُ ذِكْرُ الثَّمَنِ مَقَامَ الصِّفَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Seperti ucapannya: “Belikan untukku seorang budak dengan seratus dirham.” Jika ia menyebutkan sifat budak yang membedakan maksudnya dari budak-budak lain, maka sah. Namun jika ia tidak menyebutkan sifatnya, maka para ulama kami berbeda pendapat, apakah penyebutan harga dapat menggantikan sifat atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَقُومُ مَقَامَ الصِّفَةِ لِتَمْيِيزِ الْعَبْدِ بِهِ عَنْ غَيْرِهِ، فَعَلَى هَذَا تَصِحُّ الْوَكَالَةُ فِي ابْتِيَاعِهِ.

Pertama: Bahwa penyebutan harga dapat menggantikan sifat, karena dengan itu budak dapat dibedakan dari yang lain, sehingga dalam hal ini wakalah dalam pembelian sah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَقُومُ مَقَامَ الصِّفَةِ لِأَنَّ ذِكْرَ الثَّمَنِ لَا يَدُلُّ عَلَى جِنْسٍ مِنَ الْعَبِيدِ دُونَ غَيْرِهِ فِي الْأَجْنَاسِ. فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الْوَكَالَةُ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ بَاطِلَةً. وَعَلَى مَذْهَبِ مَنْ أَجَازَ إِطْلَاقَهَا مِنْ أَصْحَابِنَا جَائِزَةً. فَإِذَا اشْتَرَى الْعَبْدَ بِالْمِائَةِ الَّتِي عَيَّنَهَا وَنَصَّ عَلَيْهَا وَهُوَ يُسَاوِي مِائَةً صَحَّ. وَإِنْ كَانَ لَا يُسَاوِي مِائَةً لَمْ يَلْزَمِ الْمُوَكِّلَ. وَلَوِ اشْتَرَاهُ لَهُ بِأَكْثَرَ مِنْ مِائَةٍ وَلَوْ بِقِيرَاطٍ، وَهُوَ يُسَاوِي مَا اشْتَرَاهُ بِهِ لَمْ يَلْزَمِ الْمُوَكِّلَ لِلْمُخَالَفَةِ فِيهِ.

Pendapat kedua: Tidak dapat menggantikan sifat, karena penyebutan harga tidak menunjukkan jenis budak tertentu di antara berbagai jenis. Maka menurut pendapat ini, wakalah menurut mazhab asy-Syafi‘i adalah batal. Namun menurut mazhab yang membolehkan keumumannya dari kalangan ulama kami, maka boleh. Jika ia membeli budak dengan seratus yang telah ditentukan dan disebutkan, dan budak itu memang seharga seratus, maka sah. Namun jika budak itu tidak seharga seratus, maka tidak wajib bagi muwakkil. Dan jika ia membelikannya dengan harga lebih dari seratus, meskipun hanya satu qirath, padahal budak itu memang seharga harga yang dibelikan, maka tidak wajib bagi muwakkil karena adanya penyelisihan dalam hal itu.

وَلَوِ اشْتَرَاهُ بِأَقَلَّ مِنْ مِائَةٍ، فَإِنْ كَانَ يُسَاوِي مَا اشْتَرَاهُ بِهِ وَلَا يُسَاوِي الْمِائَةَ لَمْ يَلْزَمِ الْمُوَكِّلَ لِأَنَّهُ إِنَّمَا أَمَرَ بِشِرَاءِ عَبْدٍ يُسَاوِي مِائَةً. فَإِنْ كَانَ يُسَاوِي الْمِائَةَ فَهُوَ لَازِمٌ لِلْمُوَكِّلِ لِأَنَّهُ لَمَّا الْتَزَمَهُ بِالْمِائَةِ كَانَ بِمَا دُونَهَا أَلْزَمَ لَهُ.

Dan jika ia membelinya dengan harga kurang dari seratus, maka jika nilainya setara dengan harga yang dibelinya namun tidak setara dengan seratus, maka tidak wajib bagi muwakkil (pemberi kuasa), karena ia hanya memerintahkan untuk membeli budak yang nilainya setara seratus. Namun jika nilainya setara seratus, maka itu wajib bagi muwakkil, karena ketika ia berkomitmen dengan seratus, maka dengan harga di bawahnya lebih layak lagi untuk menjadi kewajibannya.

فَلَوْ قَالَ لَهُ: اشْتَرِ لِي عَبْدًا بِمِائَةٍ فَاشْتَرَى لَهُ عَبْدَيْنِ بِمِائَةٍ. فَإِنْ كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْعَبْدَيْنِ لَا يُسَاوِي مِائَةً فَهُوَ غَيْرُ لَازِمٍ للموكل. وإن كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يُسَاوِي مِائَةً فَفِيهِ قَوْلَانِ نَصَّ عَلَيْهِمَا فِي كِتَابِ الْإِجَارَاتِ:

Maka jika ia berkata kepadanya: “Belikan untukku seorang budak dengan harga seratus,” lalu ia membelikan dua budak dengan harga seratus. Jika masing-masing dari kedua budak itu tidak setara dengan seratus, maka tidak wajib atas muwakkil. Namun jika masing-masing dari keduanya setara dengan seratus, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang dinyatakan dalam Kitab al-Ijārat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ شِرَاءَ الْعَبْدَيْنِ بِالْمِائَةِ لَازِمٌ لِلْمُوَكِّلِ لِأَنَّهُ لَمَّا رَضِيَ أَحَدُهُمَا بِالْمِائَةِ كَانَ بِهِمَا أَرْضَى. وَلِحَدِيثِ عُرْوَةَ الْبَارِقِيِّ حَيْثُ وَكَّلَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي شِرَاءِ شَاةٍ بِدِينَارٍ فَاشْتَرَى بِهِ شَاتَيْنِ.

Salah satunya: Bahwa pembelian dua budak dengan seratus itu wajib atas muwakkil, karena ketika ia rela dengan salah satunya seharga seratus, maka dengan keduanya ia lebih rela lagi. Dan berdasarkan hadis ‘Urwah al-Bariqi, di mana Nabi ﷺ mewakilkannya untuk membeli seekor kambing dengan satu dinar, lalu ia membeli dua ekor kambing dengan satu dinar.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْمُوَكِّلَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَأْخُذَهُمَا بِالْمِائَةِ وَبَيْنَ أَنْ يَأْخُذَ أَحَدَهُمَا بِقِسْطِ ثَمَنِهِ مِنَ الْمِائَةِ لِأَنْ لَا يَلْتَزِمَ بِمِلْكِ مَا لَمْ يَأْذَنْ فِيهِ.

Pendapat kedua: Bahwa muwakkil memiliki pilihan antara mengambil keduanya dengan harga seratus, atau mengambil salah satunya dengan bagian dari harga seratus, agar ia tidak terikat memiliki sesuatu yang tidak ia izinkan.

فَلَوْ كَانَ أَحَدُ الْعَبْدَيْنِ يُسَاوِي مِائَةً وَالْآخَرُ يُسَاوِي أَقَلَّ. فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ يَأْخُذُهُمَا جَمِيعًا بِالْمِائَةِ.

Jika salah satu dari kedua budak itu setara dengan seratus dan yang lainnya kurang dari itu, maka salah satu dari dua pendapat adalah ia mengambil keduanya sekaligus dengan harga seratus.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: هُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَأْخُذَهُمَا بِالْمِائَةِ وَبَيْنَ أَنْ يَأْخُذَ الْعَبْدَ الَّذِي يُسَاوِي الْمِائَةَ بِحِصَّتِهِ مِنَ الثَّمَنِ.

Dan pendapat kedua: Ia memiliki pilihan antara mengambil keduanya dengan harga seratus, atau mengambil budak yang nilainya setara seratus dengan bagian harganya.

فَلَوْ كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لَا يُسَاوِي مِائَةً فَالشِّرَاءُ غَيْرُ لَازِمٍ لِلْمُوَكِّلِ.

Jika masing-masing dari keduanya tidak setara dengan seratus, maka pembelian itu tidak wajib atas muwakkil.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ وَكَّلَنِي فُلَانٌ بِقَبْضِهِ مِنْكَ فَصَدَّقَهُ وَدَفَعَهُ وَتَلِفَ وَأَنْكَرَ رَبُّ الْحَقِّ أَنْ يَكُونَ وَكَّلَهُ فَلَهُ الْخِيَارُ فَإِذَا أُغْرِمَ الدَّافِعُ لَمْ يَرْجِعِ الدَّافِعُ عَلَى الْقَابِضِ لِأَنَّهُ يَعْلَمُ أَنَّهُ وَكِيلٌ بَرِيءٌ وَإِنْ أُغْرِمَ الْقَابِضُ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الدَّافِعِ لِأَنَّهُ يَعْلَمُ أنه مظلوم بريء “.

Al-Muzani ra. berkata: “Dan jika seseorang memiliki hak atas orang lain, lalu ada seseorang berkata kepadanya, ‘Fulan telah mewakilkan aku untuk mengambilnya darimu,’ lalu ia membenarkannya dan menyerahkannya, kemudian barang itu rusak, dan pemilik hak mengingkari bahwa ia telah mewakilkannya, maka ia (pemilik hak) memiliki hak memilih. Jika yang menyerahkan itu diwajibkan mengganti, maka ia tidak boleh menuntut kepada penerima, karena ia tahu bahwa ia adalah wakil yang tidak bersalah. Dan jika penerima diwajibkan mengganti, maka ia tidak boleh menuntut kepada yang menyerahkan, karena ia tahu bahwa ia adalah orang yang dizalimi dan tidak bersalah.”

قال الماوردي: وصورتها في من غَابَ وَلَهُ مَالٌ عَلَى رَجُلٍ أَوْ فِي يَدِهِ فَحَضَرَ رَجُلٌ ادَّعَى وَكَالَةَ الْغَائِبِ فِي قَبْضِ مَالِهِ. فَإِنْ أَقَامَ عَلَى مَا ادَّعَاهُ فِي الْوَكَالَةِ بَيِّنَةً عَادِلَةً حُكِمَ بِهَا. وَالْبَيِّنَةُ شَاهِدَانِ عَدْلَانِ فَإِنْ كَانَ فِيهِمَا ابْنُ مُدَّعِي الْوَكَالَةِ لَمْ تُقْبَلْ شَهَادَتُهُ لِأَنَّهُ يَشْهَدُ لِأَبِيهِ. وَكَذَا لَوْ كَانَ فِيهِمَا ابْنُ مِنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ لَمْ تُقْبَلْ لِأَنَّهُ يَشْهَدُ لِأَبِيهِ بِالْبَرَاءَةِ مِنْ حَقِّ صَاحِبِ الْحَقِّ بِهَذَا الدَّفْعِ. وَلَكِنْ لَوْ كَانَ فِيهِمَا ابْنُ صَاحِبِ الْحَقِّ قُبِلَتْ شَهَادَتُهُ لِأَنَّهُ يَشْهَدُ عَلَى أَبِيهِ لَا لَهُ.

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada seseorang yang bepergian dan memiliki harta pada seseorang atau di tangannya, lalu datang seseorang yang mengaku sebagai wakil orang yang bepergian itu untuk mengambil hartanya. Jika ia mendatangkan bukti yang adil atas pengakuan wakalahnya, maka diputuskan dengan bukti itu. Bukti tersebut adalah dua orang saksi yang adil. Jika di antara keduanya terdapat anak dari orang yang mengaku sebagai wakil, maka kesaksiannya tidak diterima karena ia bersaksi untuk ayahnya. Begitu pula jika di antara keduanya terdapat anak dari orang yang memiliki kewajiban (yang memegang harta), maka kesaksiannya tidak diterima karena ia bersaksi untuk ayahnya agar terbebas dari hak pemilik harta dengan penyerahan ini. Namun jika di antara keduanya terdapat anak dari pemilik hak, maka kesaksiannya diterima karena ia bersaksi atas ayahnya, bukan untuknya.

فَإِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ بِالْوَكَالَةِ أَجْبَرَ الْحَاكِمُ مِنْ عَلَيْهِ الْمَالُ عَلَى دَفْعِهِ إِلَى الْوَكِيلِ. لِأَنَّ لصاحب الحق أن يستوفيه بنفسه إن شاءه أو بوكيله إن شاءا وليس لمن هو عليه أن يمتنع في تَسْلِيمِهِ إِلَى وَكِيلِ مَالِكِهِ.

Jika telah tegak bukti atas wakalah, maka hakim memaksa orang yang memegang harta untuk menyerahkannya kepada wakil. Karena pemilik hak berhak mengambilnya sendiri jika ia mau, atau melalui wakilnya jika ia mau, dan orang yang memegang harta tidak berhak menolak untuk menyerahkannya kepada wakil pemilik harta.

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِمُدَّعِي الْوَكَالَةِ بَيِّنَةٌ يُثْبِتُ بِهَا الْوَكَالَةَ لَمْ يَلْزَمْ مَنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَى مُدَّعِي الْوَكَالَةِ. سَوَاءٌ صَدَّقَهُ عَلَى الْوَكَالَةِ أَوْ كَذَّبَهُ.

Dan jika orang yang mengaku sebagai wakil tidak memiliki bukti yang dapat menetapkan wakalah, maka orang yang memegang hak tidak wajib menyerahkannya kepada orang yang mengaku sebagai wakil, baik ia membenarkan pengakuan wakalahnya maupun mendustakannya.

وَقَالَ أبو حنيفة وَالْمُزَنِيُّ إِنْ صَدَّقَهُ عَلَى الْوَكَالَةِ لَزِمَهُ دَفْعُ الْمَالِ إِلَيْهِ كَالْمُصَدِّقِ لِمُدَّعِي مِيرَاثِ رَبِّ الْمَالِ يَلْزَمُهُ دَفْعُ الْمَالِ إِلَيْهِ. وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Abu Hanifah dan al-Muzani berkata: Jika ia membenarkan pengakuan wakalahnya, maka wajib baginya menyerahkan harta itu kepadanya, sebagaimana orang yang membenarkan pengakuan ahli waris pemilik harta, maka wajib baginya menyerahkan harta itu kepadanya. Dan ini adalah kesalahan dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ تَعْلِيلُ أَبِي إِسْحَاقَ أَنَّهُ دَفْعٌ لَا يُبَرِّئُهُ مِنْ حَقِّ الْوَكِيلِ عِنْدَ إِنْكَارِ الْوَكَالَةِ وَمَنْ لَمْ يَبْرَأْ بِالدَّفْعِ عِنْدَ إِنْكَارٍ لَمْ يَجْرِ عَلَيْهِ. أَلَا تَرَى أَنَّ مَنْ عَلَيْهِ حَقٌّ بِوَثِيقَةٍ فَلَهُ الِامْتِنَاعُ عَنِ الدَّفْعِ إِلَّا بِإِشْهَادِ صَاحِبِ الْحَقِّ عَلَى نَفْسِهِ. وَلَوْ لَمْ تَكُنْ عَلَيْهِ وَثِيقَةٌ فَفِي جَوَازِ امْتِنَاعِهِ مِنَ الدَّفْعِ لِأَجْلِ الشَّهَادَةِ وَجْهَانِ: –

Salah satunya: yaitu alasan Abu Ishaq bahwa penyerahan (harta) itu tidak membebaskan dari hak wakil jika terjadi pengingkaran terhadap akad wakalah, dan siapa yang tidak terbebas dengan penyerahan saat terjadi pengingkaran, maka penyerahan itu tidak berlaku atasnya. Tidakkah engkau melihat bahwa seseorang yang memiliki kewajiban dengan bukti yang kuat, maka ia berhak menolak untuk menyerahkan (harta) kecuali dengan menghadirkan pemilik hak untuk bersaksi atas dirinya. Dan jika tidak ada bukti yang kuat atasnya, maka dalam hal kebolehan menolak penyerahan demi menghadirkan saksi terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ لَهُ أَنْ يَمْتَنِعَ لأن لا يَتَوَجَّهَ عَلَيْهِ يَمِينٌ عِنْدِ ادِّعَائِهِ بَعْدَ دَفْعِهِ.

Salah satunya: yaitu pendapat Abu Ishaq, bahwa ia boleh menolak agar tidak diarahkan sumpah kepadanya jika pemilik hak mengklaim setelah penyerahan.

وَالثَّانِي: لَيْسَ لَهُ أَنْ يَمْتَنِعَ وَلَا يَلْزَمُ صَاحِبَ الْحَقِّ الْإِشْهَادُ لِأَنَّهُ إِذَا أَنْكَرَ الْحَقَّ بَعْدَ أَدَائِهِ حَلَفَ بَارًّا.

Dan yang kedua: ia tidak boleh menolak, dan tidak wajib bagi pemilik hak untuk menghadirkan saksi, karena jika ia mengingkari hak setelah penyerahan, maka ia cukup bersumpah dengan sumpah yang benar.

وَالتَّعْلِيلُ الثَّانِي هُوَ تَعْلِيلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ. أَنَّهُ مُقِرٌّ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ وَمُدَّعٍ عَقْدَ وَكَالَةٍ لِغَيْرِهِ فَلَمْ تُقْبَلْ دَعْوَاهُ وَلَمْ يَلْزَمْ إِقْرَارُهُ. أَلَا تَرَى أَنَّ مَنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ لَوْ أَقَرَّ بِمَوْتِ صَاحِبِ الْحَقِّ وَأَنَّ هَذَا الْحَاضِرَ وَصِيُّهُ فِي قَبْضِ دَيْنِهِ لَمْ يَلْزَمْ دَفْعُ الْمَالِ إِلَيْهِ، وَإِنْ أَقَرَّ بِاسْتِحْقَاقِ قَبْضِهِ فَكَذَا الْوَكِيلُ فَأَمَّا اعْتِرَافُهُ لِلْوَارِثِ بِمَوْتِ صَاحِبِ الْحَقِّ فَيَلْزَمُهُ دَفْعُ الْمَالِ إِلَيْهِ. وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْوَكِيلِ أَنَّهُ مُقِرٌّ لِلْوَارِثِ بِالْمِلْكِ فَيَلْزَمُهُ الدَّفْعُ لِأَنَّهُ لَيْسَ يَبْرَأُ بِهِ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَصِيرُ الْوَكِيلُ مَالِكًا وَلَا يَبْرَأُ بِقَبْضِهِ مِنَ الْحَقِّ.

Alasan kedua adalah alasan Abu Ali bin Abi Hurairah, yaitu bahwa ia mengakui kepemilikan pada orang lain dan mengklaim adanya akad wakalah untuk orang lain, maka klaimnya tidak diterima dan pengakuannya tidak mengikat. Tidakkah engkau melihat bahwa seseorang yang memiliki kewajiban, jika ia mengakui kematian pemilik hak dan bahwa orang yang hadir ini adalah washi-nya dalam menerima piutangnya, maka tidak wajib baginya menyerahkan harta kepadanya, meskipun ia mengakui bahwa orang tersebut berhak menerima. Demikian pula halnya dengan wakil. Adapun jika ia mengakui kepada ahli waris tentang kematian pemilik hak, maka wajib baginya menyerahkan harta kepadanya. Perbedaannya dengan wakil adalah bahwa ia mengakui kepemilikan kepada ahli waris, sehingga wajib baginya menyerahkan, karena dengan itu ia tidak terbebas dari hak dan wakil tidak menjadi pemilik, serta tidak terbebas dengan penyerahan kepada wakil dari hak tersebut.

فَأَمَّا إِنْ أَقَرَّ مَنْ عَلَيْهِ الْمَالُ بِأَنَّ صَاحِبَهُ قَدْ أَحَالَ هَذَا الْحَاضِرَ بِهِ. فَهَلْ يَلْزَمُهُ دَفْعُ الْمَالِ إِلَيْهِ بِإِقْرَارِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun jika orang yang memiliki kewajiban mengakui bahwa pemilik harta telah mengalihkan (piutang) kepada orang yang hadir ini, maka apakah wajib baginya menyerahkan harta kepadanya berdasarkan pengakuannya atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَلْزَمُهُ لِأَنَّهُ مُقِرٌّ بِالْمِلْكِ فَصَارَ كَإِقْرَارِهِ لِلْوَارِثِ.

Salah satunya: wajib baginya, karena ia mengakui kepemilikan, sehingga sama seperti pengakuannya kepada ahli waris.

وَالثَّانِي: لَا يُلْزِمُهُ لِأَنَّهُ لَا يَبْرَأُ بِالدَّفْعِ عِنْدَ الْجُحُودِ فَصَارَ كَإِقْرَارِهِ بِالتَّوْكِيلِ.

Dan yang kedua: tidak wajib baginya, karena ia tidak terbebas dengan penyerahan saat terjadi pengingkaran, sehingga sama seperti pengakuannya tentang adanya wakalah.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا لَمْ يَخْلُ حَالُ مَنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ مِنْ أَنْ يُصَدِّقَ الْوَكِيلَ أَوْ يُكَذِّبَهُ. فَإِنْ كَذَّبَهُ عَلَى الْوَكَالَةِ وَأَنْكَرَهُ فَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ. وَعَلَيْهِ عِنْدَ أبي حنيفة وَالْمُزَنِيِّ الْيَمِينُ لِوُجُوبِ الدَّفْعِ عِنْدَهُمَا مَعَ التَّصْدِيقِ.

Jika telah jelas apa yang kami uraikan, maka keadaan orang yang memiliki kewajiban tidak lepas dari dua kemungkinan: membenarkan wakil atau mendustakannya. Jika ia mendustakan wakil dalam akad wakalah dan mengingkarinya, maka tidak ada sumpah atasnya. Namun menurut Abu Hanifah dan al-Muzani, ia wajib bersumpah karena menurut keduanya penyerahan wajib dilakukan jika membenarkan (wakil).

وَلَا يَجُوزُ مَعَ تَكْذِيبِهِ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَدْفَعَ إِلَيْهِ الْمَالَ. وَإِنْ صَدَّقَهُ عَلَى الْوَكَالَةِ لَمْ يَلْزَمْهُ دَفْعُ الْمَالِ إِلَيْهِ لِمَا ذَكَرْنَا، لَكِنْ يَجُوزُ لَهُ فِي الْحُكْمِ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَيْهِ. فَإِنْ دَفَعَهُ إِلَيْهِ وَقَدِمَ صَاحِبُ الْحَقِّ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَعْتَرِفَ بِالْوَكَالَةِ أَوْ يُنْكِرَهَا، فإن اعترف بها بريء مَنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ بِالدَّفْعِ سَوَاءٌ وَصَلَ الْمُوَكِّلُ إِلَى حَقِّهِ مِنْ وَكِيلِهِ أَوْ لَمْ يَصِلْ إِلَيْهِ بِتَلَفِهِ.

Dan tidak boleh baginya menyerahkan harta kepada wakil jika ia mendustakannya. Jika ia membenarkan adanya wakalah, maka tidak wajib baginya menyerahkan harta kepada wakil sebagaimana telah kami sebutkan, namun dalam hukum ia boleh menyerahkannya. Jika ia telah menyerahkan harta kepada wakil, lalu pemilik hak datang, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia mengakui adanya wakalah atau mengingkarinya. Jika ia mengakuinya, maka orang yang memiliki kewajiban terbebas dengan penyerahan tersebut, baik muwakkil (pemilik hak) telah menerima haknya dari wakil atau belum karena harta tersebut rusak.

فَإِنْ أَنْكَرَ الْوَكَالَةَ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ. فَإِذَا حَلَفَ فَلَهُ الْمُطَالَبَةُ بِحَقِّهِ ثُمَّ لَا تَخْلُو حَالَةُ حَقِّهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَيْنًا أَوْ دَيْنًا. فَإِنْ كَانَ حَقُّهُ عَيْنًا قَائِمَةً كَالْغُصُوبِ وَالْعَوَارِيِّ وَالْوَدَائِعِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْقَابِضِ وَالدَّافِعِ ضَامِنٌ لَهَا. أَمَّا الدَّافِعُ فَلِتَعَدِّيهِ بِالدَّفْعِ. وَأَمَّا الْقَابِضُ فَلِيَدِهِ عِنْدَ إِنْكَارِ تَوْكِيلِهِ. وَيَكُونُ رَبُّهَا بِالْخِيَارِ في المطالبة مَنْ شَاءَ بِهَا مِنَ الدَّافِعِ أَوِ الْقَابِضِ سَوَاءٌ كَانَتْ بَاقِيَةً أَوْ تَالِفَةً، إِلَّا أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً فَلَهُ مُطَالَبَةُ الْقَابِضِ بِهَا وَمُطَالَبَةُ الدَّافِعِ بِاسْتِرْجَاعِهَا وَإِنْ كَانَتْ تَالِفَةً كَانَ لَهُ مُطَالَبَةُ أَيِّهِمَا شَاءَ بِالْقِيمَةِ. فَإِنْ طَالَبَ بِهَا الدَّافِعَ وَأَغْرَمَهُ بَرِئَا. وَلَمْ يَرْجِعِ الدَّافِعُ عَلَى الْقَابِضِ بِغُرْمِهَا لِأَنَّهُ مُقِرٌّ أَنَّ الْقَابِضَ وَكَيْلٌ بَرِيءٌ مِنْهَا وَأَنَّهُ مَظْلُومٌ بِهَا وَإِنْ طَالَبَ الْقَابِضَ فَأَغْرَمَهُ بَرِئَا وَلَمْ يَرْجِعِ الْقَابِضُ عَلَى الدَّافِعِ بِغُرْمِهَا لِأَنَّهُ مُقِرٌّ بِبَرَاءَتِهِ مِنْهَا وَأَنَّهُ هُوَ الْمَظْلُومُ بِهَا.

Jika seseorang mengingkari adanya wakālah, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataannya dengan sumpahnya. Apabila ia telah bersumpah, maka ia berhak menuntut haknya. Kemudian, keadaan haknya tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi berupa ‘ayn (barang tertentu) atau berupa dayn (utang/piutang). Jika haknya berupa ‘ayn yang masih ada, seperti barang hasil ghashb (perampasan), ‘āriyah (pinjaman pakai), dan wadī‘ah (titipan), maka masing-masing dari pihak yang menerima (qābid) dan yang menyerahkan (dāfi‘) bertanggung jawab atas barang tersebut. Adapun dāfi‘, ia bertanggung jawab karena telah melampaui batas dengan menyerahkan barang. Sedangkan qābid, ia bertanggung jawab karena barang itu berada di tangannya saat ia mengingkari adanya wakālah. Pemilik barang berhak memilih untuk menuntut siapa saja yang ia kehendaki, baik dari dāfi‘ maupun qābid, baik barangnya masih ada maupun telah rusak. Namun, jika barang itu masih ada, ia berhak menuntut qābid untuk mengembalikannya, dan menuntut dāfi‘ untuk mengambilnya kembali. Jika barang itu telah rusak, ia berhak menuntut siapa saja di antara keduanya untuk mengganti nilainya. Jika ia menuntut dāfi‘ dan dāfi‘ telah membayar ganti rugi, maka keduanya telah bebas dari tanggungan, dan dāfi‘ tidak dapat menuntut qābid atas ganti rugi tersebut, karena ia mengakui bahwa qābid adalah wakil yang bebas dari tanggungan dan ia telah dizalimi dalam hal ini. Jika ia menuntut qābid dan qābid telah membayar ganti rugi, maka keduanya telah bebas dari tanggungan, dan qābid tidak dapat menuntut dāfi‘ atas ganti rugi tersebut, karena ia mengakui bahwa dāfi‘ bebas dari tanggungan dan ia sendiri yang dizalimi dalam hal ini.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِنْ كَانَ الْحَقُّ دَيْنًا فِي ذِمَّةِ الدَّافِعِ فَالدَّافِعُ ضَامِنٌ لَهُ لِبَقَائِهِ فِي ذِمَّتِهِ. وَهَلْ يَكُونُ الْقَابِضُ ضَامِنًا لَهُ وَيَجُوزُ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مُطَالَبَتُهُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika hak tersebut berupa dayn (utang/piutang) yang menjadi tanggungan dāfi‘, maka dāfi‘ bertanggung jawab atasnya karena utang itu masih menjadi tanggungannya. Apakah qābid juga bertanggung jawab atasnya dan bolehkah pemilik hak menuntutnya? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ يَكُونُ ضَامِنًا لَهُ وَلِصَاحِبِهِ مُطَالَبَةُ أَيِّهِمَا شَاءَ بِهِ لِأَنَّهُ مُقِرٌّ بِقَبْضِ حَقِّهِ.

Pendapat pertama, yaitu pendapat Abū Ishāq al-Marwazī: Qābid bertanggung jawab atasnya dan pemilik hak boleh menuntut siapa saja di antara keduanya yang ia kehendaki, karena qābid mengakui telah menerima haknya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ الطَّبَرِيِّ وَأَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ رَحِمَهُمَا اللَّهُ أَنَّ الْقَابِضَ غَيْرُ ضَامِنٍ لَهُ وَلَيْسَ لِصَاحِبِ الدَّيْنِ مُطَالَبَةُ الْقَابِضِ بِهِ. لِأَنَّ دَيْنَهُ فِي ذِمَّةِ الدَّافِعِ وَلَمْ يَتَبَيَّنْ حَقُّهُ فِي مَا صَارَ بِيَدِ الْقَابِضِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُطَالِبَ الْقَابِضَ بِهِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abū ‘Alī al-Ṭabarī dan Abū Ḥāmid al-Isfarāyīnī rahimahumallāh: Qābid tidak bertanggung jawab atasnya dan pemilik utang tidak boleh menuntut qābid atasnya, karena utangnya masih menjadi tanggungan dāfi‘ dan belum jelas haknya pada apa yang telah berada di tangan qābid, sehingga tidak boleh menuntut qābid atasnya.

فَعَلَى هَذَا إِذَا رَجَعَ صَاحِبُ الدَّيْنِ وَطَالَبَ مَنْ هُوَ عَلَيْهِ بِدَيْنِهِ وَاسْتَوْفَاهُ مِنْهُ. نُظِرَ فَإِنْ كَانَ مَا دَفَعَهُ إِلَى الْوَكِيلِ قَائِمًا فِي يَدِهِ رَجَعَ بِهِ. وَإِنْ كَانَ تَالِفًا لَمْ يَرْجِعْ بِهِ عَلَيْهِ بِغُرْمِهِ. لِأَنَّهُ مُقِرٌّ بأنه وكيل بريء مِنْهَا وَأَنَّهُ هُوَ الْمَظْلُومُ بِهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.

Berdasarkan pendapat ini, jika pemilik utang kembali dan menuntut orang yang berutang kepadanya, lalu ia mengambil pelunasan darinya, maka dilihat: jika apa yang telah diserahkan kepada wakil masih ada di tangannya, maka ia boleh mengambilnya kembali. Jika telah rusak, maka ia tidak dapat menuntut ganti rugi dari qābid, karena ia mengakui bahwa qābid adalah wakil yang bebas dari tanggungan dan ia sendiri yang dizalimi dalam hal ini. Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَإِنْ وَكَّلَهُ بِبَيْعِ سِلْعَةٍ فَبَاعَهَا نَسِيئَةً كَانَ لَهُ نَقْضُ الْبَيْعِ بَعْدَ أَنْ يَحْلِفَ مَا وَكَّلَهُ إِلَّا بِالنَّقْدِ “.

Al-Muzanī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Jika seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk menjual barang, lalu ia menjualnya secara kredit, maka ia berhak membatalkan penjualan tersebut setelah ia bersumpah bahwa ia tidak mewakilkan kecuali untuk penjualan tunai.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْوَكِيلَ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَبِيعَ بِالنَّسِيئَةِ إِلَّا بِصَرِيحِ إِذْنٍ مِنْ مُوَكِّلِهِ وَأَنَّ إِطْلَاقَ إِذْنِ الْمُوَكِّلِ يَقْتَضِي تَعْجِيلَ الثَّمَنِ بِخِلَافِ قَوْلِ أبي حنيفة.

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan. Telah kami sebutkan bahwa wakil tidak boleh menjual secara kredit kecuali dengan izin tegas dari muwakkilnya, dan bahwa izin muwakkil yang bersifat umum menuntut pembayaran harga secara tunai, berbeda dengan pendapat Abū Ḥanīfah.

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ تَعَلَّقَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ بِأَرْبَعَةِ فُصُولٍ:

Jika demikian, maka masalah ini berkaitan dengan empat bagian:

فَالْفَصْلُ الْأَوَّلُ: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي بَيْعِهِ بِالنَّقْدِ فَيَبِيعَهُ بِالنَّسِيئَةِ.

Bagian pertama: Muwakkil mengizinkan menjual secara tunai, lalu wakil menjualnya secara kredit.

وَالْفَصْلُ الثَّانِي: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي بَيْعِهِ بِالنَّسِيئَةِ فَيَبِيعَهُ بِالنَّقْدِ.

Bagian kedua: Muwakkil mengizinkan menjual secara kredit, lalu wakil menjualnya secara tunai.

وَالْفَصْلُ الثَّالِثُ: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي الشِّرَاءِ بِالنَّقْدِ فَيَشْتَرِيَ بالنسيئة.

Bagian ketiga: Muwakkil mengizinkan membeli secara tunai, lalu wakil membelinya secara kredit.

وَالْفَصْلُ الرَّابِعُ: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي الشِّرَاءِ بِالنَّسِيئَةِ فَيَشْتَرِيَ بِالنَّقْدِ.

Bagian keempat: Muwakkil mengizinkan membeli secara kredit, lalu wakil membelinya secara tunai.

فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي الْبَيْعِ بِالنَّقْدِ فَيَبِيعَ بالنسيئة فللوكيل والمشتري أربعة أحوال:

Adapun bagian pertama, yaitu muwakkil mengizinkan menjual secara tunai, lalu wakil menjualnya secara kredit, maka bagi wakil dan pembeli terdapat empat keadaan:

أحدهما: أَنْ يُصَدِّقَاهُ عَلَى أَنَّ إِذْنَهُ كَانَ بِالنَّقْدِ فلا يميز عَلَى الْمُوَكِّلِ لِتَصْدِيقِهِمَا لَهُ بِذَلِكَ وَيَكُونَ الْبَيْعُ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ: وَالصَّحِيحِ مِنْ مَذْهَبِهِ الْقَدِيمِ بَاطِلًا. أَجَازَهُ الْمُوَكِّلُ أَوْ لَمْ يُجِزْهُ لِوُقُوعِهِ عَلَى غَيْرِ الْوَجْهِ الْمَأْذُونِ فِيهِ. فَعَلَى هَذَا إِنْ لَمْ يَكُنْ مِنَ الْوَكِيلِ التَّسْلِيمُ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَلَا عَلَى الْمُشْتَرِي. وَإِنْ سَلَّمَ ذَلِكَ إِلَى الْمُشْتَرِي كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْوَكِيلِ وَالْمُشْتَرِي ضَامِنًا. أَمَّا الْوَكِيلُ فَلِتَعَدِّيهِ بِالدَّفْعِ. وَأَمَّا الْمُشْتَرِي فَلِعِلَّتَيْنِ:

Pertama: Jika keduanya membenarkannya bahwa izinnya adalah untuk pembayaran tunai, maka tidak ada keistimewaan atas muwakkil karena keduanya telah membenarkannya dalam hal itu, dan jual beli tersebut menurut mazhab Syafi‘i dalam pendapat baru serta pendapat yang sahih dari mazhab lamanya adalah batal, baik muwakkil mengizinkannya atau tidak, karena terjadi pada selain cara yang diizinkan. Maka dalam hal ini, jika wakil tidak melakukan penyerahan, maka tidak ada tanggungan atasnya maupun atas pembeli. Namun jika ia telah menyerahkannya kepada pembeli, maka masing-masing dari wakil dan pembeli menjadi penanggung. Adapun wakil, karena ia telah melampaui batas dengan melakukan penyerahan. Sedangkan pembeli, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: حُصُولُ يَدِهِ عَلَى مَا لَزِمَ ضَمَانُهُ.

Pertama: Karena barang tersebut berada dalam genggamannya yang mewajibkan adanya tanggungan.

وَالثَّانِيَةُ: قَبْضُهُ عَنْ بَيْعٍ فَاسِدٍ. فَإِنْ كَانَ الْمَبِيعُ بَاقِيًا اسْتَرْجَعَهُ الْمُوَكِّلُ مِنْ يَدِ الْمُشْتَرِي وَلَهُ أَنْ يَأْخُذَ الْوَكِيلَ بِاسْتِرْجَاعِهِ. وَإِنْ كَانَ تَالِفًا فَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِالْقِيمَةِ دُونَ الثَّمَنِ عَلَى مَنْ شَاءَ مِنَ الْوَكِيلِ أَوِ الْمُشْتَرِي فَإِنْ رَجَعَ بِهَا عَلَى الْوَكِيلِ رَجَعَ الْوَكِيلُ بِهَا عَلَى الْمُشْتَرِي لِحُصُولِ التَّلَفِ فِي يَدِهِ وَإِنْ رَجَعَ بِهَا عَلَى الْمُشْتَرِي لَمْ يَرْجِعِ الْمُشْتَرِي بِهَا عَلَى الْوَكِيلِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ دَفَعَ إِلَيْهِ الثَّمَنَ فَيَرْجِعَ بِهِ. وَكَانَ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يُخَرِّجُ فِي صِحَّةِ الْبَيْعِ وَجْهًا فِي الْقَدِيمِ. حَيْثُ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِيهِ: إِنَّ الْغَاصِبَ إِذَا أَجَّرَ مَا غَصَبَهُ كَانَ الْمَالِكُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْإِجَارَةِ وَأَخْذِ الْمُسَمَّى وَبَيْنَ فَسْخِهَا وَالْمُطَالَبَةِ بِأُجْرَةِ الْمِثْلِ. فَجَعَلَ الْمُوَكِّلَ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ مُخَيَّرًا بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ وَمُطَالَبَةِ الْمُشْتَرِي بِالثَّمَنِ وَبَيْنَ فَسْخِهِ وَاسْتِرْجَاعِ الْمَبِيعِ إِنْ كَانَ بَاقِيًا أَوِ الْقِيمَةِ إِنْ كَانَ تَالِفًا. فَإِنْ أَمْضَيَا الْبَيْعَ فَلَهُ مُطَالَبَةُ الْمُشْتَرِي بِهِ دُونَ الْمُوَكِّلِ وَإِنْ فُسِخَ فَلَهُ مُطَالَبَةُ أَيِّهِمَا شَاءَ بالقيمة وأنكر باقي أصحابنا هذا التخريج.

Kedua: Karena ia menerima barang dari jual beli yang fasid. Jika barang yang dijual masih ada, maka muwakkil berhak mengambilnya kembali dari tangan pembeli dan ia juga berhak menuntut wakil untuk mengembalikannya. Jika barang tersebut telah rusak, maka ia berhak menuntut nilai barang, bukan harga, dari siapa saja yang ia kehendaki, baik dari wakil maupun pembeli. Jika ia menuntut nilai barang dari wakil, maka wakil dapat menuntutnya kembali dari pembeli karena kerusakan terjadi di tangannya. Jika ia menuntut nilai barang dari pembeli, maka pembeli tidak dapat menuntutnya kembali dari wakil kecuali jika ia telah membayarkan harga kepada wakil, maka ia dapat menuntut kembali harga tersebut. Ibnu Abi Hurairah pernah mengemukakan satu pendapat dalam mazhab lama tentang sahnya jual beli ini. Di mana Imam Syafi‘i berkata dalam mazhab lama: Jika seorang perampas menyewakan barang rampasannya, maka pemilik barang berhak memilih antara melanjutkan sewa dan mengambil upah yang telah disepakati, atau membatalkannya dan menuntut upah sewa yang sepadan. Maka, menurut pendapat ini, muwakkil diberi pilihan antara melanjutkan jual beli dan menuntut harga dari pembeli, atau membatalkannya dan mengambil kembali barang jika masih ada, atau nilai barang jika sudah rusak. Jika keduanya melanjutkan jual beli, maka muwakkil hanya berhak menuntut harga dari pembeli, bukan dari wakil. Jika dibatalkan, maka muwakkil berhak menuntut nilai barang dari siapa saja yang ia kehendaki. Namun mayoritas ulama kami menolak pendapat ini.

والحالة الثَّانِيَةُ: أَنْ يُكَذِّبَهُ الْوَكِيلُ وَالْمُشْتَرِي وَيَزْعُمَانِ أَنَّهُ أَذِنَ فِي بَيْعِ النَّسِيئَةِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُوَكِّلِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّ الْإِذْنَ مِنْ جِهَتِهِ فَكَانَ الرُّجُوعُ إِلَيْهِ فِي صِفَتِهِ. وَيَحْلِفُ لَهُمَا يَمِينًا وَاحِدَةً لِأَنَّهُمَا أَكْذَبَاهُ فِي شَيْءٍ وَاحِدٍ.

Keadaan kedua: Jika wakil dan pembeli mendustakannya dan mengklaim bahwa ia mengizinkan jual beli secara kredit, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan muwakkil dengan sumpahnya, karena izin berasal darinya, sehingga kembali kepadanya dalam penetapan sifatnya. Ia bersumpah kepada keduanya dengan satu sumpah, karena keduanya mendustakannya dalam satu perkara yang sama.

فَإِذَا حَلَفَ فَإِنْ كَانَ الْمَبِيعُ بَاقِيًا اسْتَرْجَعَهُ وَإِنْ كان تالفا يرجع القيمة عَلَى مَنْ شَاءَ مِنَ الْوَكِيلِ وَالْمُشْتَرِي لِكَوْنِهِمَا ضَامِنَيْنِ بِمَا بَيَّنَّا. فَإِنْ رَجَعَ بِالْقِيمَةِ عَلَى الْمُشْتَرِي رَجَعَ الْمُشْتَرِي عَلَى الْوَكِيلِ بِالثَّمَنِ إِنْ كَانَ قَدْ أَقْبَضَهُ إِيَّاهُ. سَوَاءٌ زَادَ عَلَى الْقِيمَةِ أَوْ نَقَصَ مِنْهَا. وَإِنْ رَجَعَ الْمُوَكِّلُ بِالْقِيمَةِ عَلَى الْوَكِيلِ. فَإِنْ كَانَتْ أَقَلَّ مِنَ الثَّمَنِ رَجَعَ بِهَا عَلَى الْمُشْتَرِي. وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنَ الثَّمَنِ لَمْ يَرْجِعْ عَلَى الْمُشْتَرِي بما زَادَ فِي الْقِيمَةِ عَلَى قَدْرِ الثَّمَنِ لِأَنَّهُ مقر الْمُوَكِّلَ ظَالِمٌ بِهَا. فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَى غَيْرِ مَنْ ظَلَمَهُ.

Jika ia telah bersumpah, maka jika barang yang dijual masih ada, ia mengambilnya kembali. Jika barang tersebut telah rusak, ia menuntut nilai barang dari siapa saja yang ia kehendaki, baik dari wakil maupun pembeli, karena keduanya adalah penanggung sebagaimana telah dijelaskan. Jika ia menuntut nilai barang dari pembeli, maka pembeli dapat menuntut harga dari wakil jika memang telah membayarkannya, baik harga tersebut lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai barang. Jika muwakkil menuntut nilai barang dari wakil, dan nilai tersebut lebih rendah dari harga, maka wakil dapat menuntut selisihnya dari pembeli. Namun jika nilai barang lebih tinggi dari harga, maka wakil tidak dapat menuntut kelebihan tersebut dari pembeli, karena muwakkil telah menzalimi pembeli dengan kelebihan nilai tersebut, sehingga tidak boleh menuntutnya dari selain orang yang menzaliminya.

والحالة الثَّالِثَةُ: أَنْ يُصَدِّقَهُ الْوَكِيلُ وَيُكَذِّبَهُ الْمُشْتَرِي. فَإِنْ كَانَ الْمَبِيعُ بَاقِيًا فَلَيْسَ لَهُ الرُّجُوعُ بِهِ إِلَّا بَعْدَ يَمِينِهِ لِأَنَّهُ فِي يَدِ الْمُشْتَرِي الْمُكَذِّبِ، وَإِنْ كَانَ تَالِفًا فَلَهُ الْقِيمَةُ. وَإِنْ أَرَادَ الرُّجُوعَ بِهَا عَلَى الْوَكِيلِ لَمْ يَحْتَجْ إِلَى يَمِينٍ لِتَصْدِيقِهِ لَهُ. وَإِنْ أَرَادَ الرُّجُوعَ بِهَا عَلَى الْمُشْتَرِي فَلَا بُدَّ مِنَ الْيَمِينِ لتكذيبه له.

Keadaan ketiga: Jika wakil membenarkannya dan pembeli mendustakannya. Jika barang yang dijual masih ada, maka muwakkil tidak berhak mengambilnya kecuali setelah bersumpah, karena barang tersebut berada di tangan pembeli yang mendustakan. Jika barang tersebut telah rusak, maka muwakkil berhak menuntut nilai barang. Jika ia ingin menuntut nilai barang dari wakil, maka tidak perlu bersumpah karena wakil telah membenarkannya. Namun jika ia ingin menuntut dari pembeli, maka harus bersumpah karena pembeli mendustakannya.

والحالة الرَّابِعَةُ: أَنْ يُصَدِّقَهُ الْمُشْتَرِي وَيُكَذِّبَهُ الْوَكِيلُ. فَإِنْ كَانَ الْمَبِيعُ بَاقِيًا فَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ لِأَنَّهَا فِي يَدِ الْمُشْتَرِي الْمُصَدِّقِ لَهُ. وَإِنْ كَانَ تَالِفًا فَلَهُ الْقِيمَةُ. فَإِنْ أَرَادَ الرُّجُوعَ بِهَا عَلَى الْمُشْتَرِي لَمْ يَحْتَجْ إِلَى يَمِينٍ لِتَصْدِيقِهِ لَهُ. وَإِنْ أَرَادَ الرُّجُوعَ بِهَا عَلَى الْوَكِيلِ فَلَا بُدَّ مِنْ يَمِينٍ لِتَكْذِيبِهِ لَهُ. هَذَا حُكْمُ الْفَصْلِ الْأَوَّلِ.

Keadaan keempat: yaitu apabila pembeli membenarkannya dan wakil mendustakannya. Jika barang yang dijual masih ada, maka tidak ada sumpah atasnya karena barang itu berada di tangan pembeli yang membenarkannya. Namun jika barang itu telah rusak, maka ia berhak atas nilainya. Jika ia ingin menuntut nilai tersebut dari pembeli, ia tidak memerlukan sumpah karena pembeli telah membenarkannya. Namun jika ia ingin menuntutnya dari wakil, maka harus ada sumpah karena wakil mendustakannya. Inilah hukum pada bagian pertama.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

فَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ أُذِنَ لَهُ فِي الْبَيْعِ بِالنَّسِيئَةِ فَيَبِيعُ بِالنَّقْدِ فَلَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ خَرَجَ بِالنَّهْيِ عَنْ بَيْعِ النَّقْدِ أَمْ لَا. فَإِنْ نَهَاهُ صَرِيحًا عَنْ بَيْعِ النَّقْدِ كَانَ بَيْعُهُ بَاطِلًا. ثُمَّ الْكَلَامُ فِي التَّصْدِيقِ وَالتَّكْذِيبِ عَلَى مَا مَضَى.

Adapun bagian kedua: yaitu apabila ia diberi izin untuk menjual secara tempo (nasī’ah), lalu ia menjual secara tunai (naqdan), maka ada dua kemungkinan: apakah larangan menjual secara tunai telah dinyatakan secara tegas atau tidak. Jika ia secara tegas dilarang menjual secara tunai, maka jual belinya batal. Kemudian pembahasan tentang pembenaran dan pendustaan kembali kepada penjelasan sebelumnya.

وَإِنْ لَمْ يُصَرِّحْ بِالنَّهْيِ عَنْ بَيْعِ النَّقْدِ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika larangan menjual secara tunai tidak dinyatakan secara tegas, maka ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَبِيعَهُ نَقْدًا بِمَا يُسَاوِي بِالنَّقْدِ. فَالْبَيْعُ بَاطِلٌ لِأَنَّهُ قَدْ فَوَّتَ عَلَيْهِ فَضْلَ النَّسِيئَةِ.

Pertama: ia menjual secara tunai dengan harga yang sama dengan harga tunai. Maka jual belinya batal karena ia telah menghilangkan keutamaan dari transaksi tempo (nasī’ah).

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أن يبيعه نقدا بما يساوي نسيئة كأن يُسَاوِيَ بِالنَّقْدِ مِائَةً وَبِالنَّسِيئَةِ مِائَةً وَخَمْسِينَ فَيَبِيعَهُ بِمِائَةً وَخَمْسِينَ نَقْدًا.

Bentuk kedua: ia menjual secara tunai dengan harga yang sama dengan harga tempo, misalnya harga tunai seratus dan harga tempo seratus lima puluh, lalu ia menjualnya seratus lima puluh secara tunai.

فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْبَيْعَ جَائِزٌ لِحُصُولِ الزِّيَادَةِ مَعَ التَّعْجِيلِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ لَهُ غَرَضٌ فِي ثُبُوتِ الثَّمَنِ فِي ذِمَّةِ مَلِيٍّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِبَيْعِ النَّسِيئَةِ أَحَدُ أَمْرَيْنِ: إِمَّا تَخْرِيجُ الْبَيْعِ لِلْكَسَادِ أَوْ عَيْبٍ. وَإِمَّا طَلَبُ الْفَضْلِ فِي الثَّمَنِ وقد حصل الْأَمْرَانِ لَهُ بِهَذَا الْبَيْعِ. فَأَمَّا مَا ذَكَرَهُ مِنْ ثُبُوتِ الثَّمَنِ فِي ذِمَّةِ مَلِيٍّ فَلَا وَجْهَ لَهُ لِأَنَّ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ الْمُؤَجَّلُ إِذَا عَجَّلَهُ لَزِمَهُ قَبُولُهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Menurut mazhab Syafi‘i, jual beli tersebut sah karena adanya tambahan harga dengan pembayaran dipercepat. Namun sebagian ulama kami berpendapat: tidak sah jual belinya karena mungkin ada tujuan tertentu dalam menetapkan harga pada tanggungan orang yang mampu membayar, dan pendapat ini benar. Sebab tujuan dari jual beli tempo (nasī’ah) ada dua: pertama, untuk mengeluarkan barang dari kondisi lesu atau cacat; kedua, untuk mencari tambahan harga. Kedua tujuan tersebut telah tercapai dengan jual beli ini. Adapun alasan yang disebutkan tentang penetapan harga pada tanggungan orang yang mampu, maka tidak ada dasarnya, karena orang yang memiliki utang yang jatuh tempo, jika ia mempercepat pembayarannya, maka wajib diterima, dan Allah Maha Mengetahui.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي الشِّرَاءِ بِالنَّقْدِ وَيَشْتَرِيَ بِالنَّسِيئَةِ. فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun bagian ketiga: yaitu apabila ia diberi izin untuk membeli secara tunai, lalu ia membeli secara tempo (nasī’ah). Maka ini ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُعَيِّنَ بِهِ الثَّمَنَ الَّذِي يَشْتَرِي بِهِ. فَالشِّرَاءُ غَيْرُ لَازِمٍ لِلْمُوَكِّلِ لِأَنَّهُ إِذَا اشْتَرَى بِغَيْرِ الْعَيْنِ كَانَ مُخَالِفًا وَلَزِمَ الْوَكِيلَ. وَإِنِ اشْتَرَى بِالْعَيْنِ إِلَى أَجَلٍ كَانَ بَاطِلًا وَلَمْ يَلْزَمِ الْمُوَكِّلَ وَلَا الْوَكِيلَ.

Pertama: ia menentukan harga yang akan digunakan untuk membeli. Maka pembelian tersebut tidak mengikat bagi muwakkil (pemberi kuasa), karena jika ia membeli bukan dengan harga yang ditentukan, berarti ia menyelisihi, sehingga menjadi tanggungan wakil. Jika ia membeli dengan harga yang ditentukan namun secara tempo, maka batal dan tidak mengikat baik bagi muwakkil maupun wakil.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يُعَيِّنَ لَهُ الثَّمَنَ الَّذِي يَشْتَرِي بِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bentuk kedua: ia tidak menentukan harga yang akan digunakan untuk membeli, maka ini ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يشتري بما يساوي نسيئا وَبِأَكْثَرَ مِمَّا يُسَاوِي نَقْدًا. فَالشِّرَاءُ غَيْرُ لَازِمٍ لِلْمُوَكِّلِ لِمَا فِيهِ مِنَ الْتِزَامِ فَضْلِ النَّسَاءِ وَالشِّرَاءُ لَازِمٌ لِلْوَكِيلِ وَإِنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ مُوَكِّلِهِ. وَإِنْ ذَكَرَهُ فَعَلَى وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا بَاطِلٌ. وَالثَّانِي لَازِمٌ لِلْوَكِيلِ.

Pertama: ia membeli dengan harga tempo yang setara atau lebih tinggi dari harga tunai. Maka pembelian tersebut tidak mengikat bagi muwakkil karena mengandung komitmen kelebihan harga tempo, dan pembelian itu menjadi tanggungan wakil, meskipun ia tidak menyebutkan nama muwakkilnya. Jika ia menyebutkan nama muwakkil, maka ada dua pendapat: pertama, batal; kedua, menjadi tanggungan wakil.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَشْتَرِيَهُ نَسِيئَةً بِمَا يُسَاوِي نَقْدًا أَوْ بِأَقَلَّ مِنْ ثَمَنِ النَّسَاءِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ الشِّرَاءَ لَازِمٌ لِلْمُوَكِّلِ لِأَنَّهُ قَدْ حَصَلَ لَهُ غَرَضُهُ فِي الِاسْتِصْلَاحِ مَعَ تَأْجِيلِ الثَّمَنِ. وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ الشِّرَاءُ غَيْرُ لَازِمٍ لِلْمُوَكِّلِ لِمُخَالَفَتِهِ وَبَقَاءِ الثَّمَنِ فِي ذِمَّتِهِ. وَهُوَ قَوْلُ مَنْ زَعَمَ أَنَّ الْوَكِيلَ فِي بَيْعِ النَّسَاءِ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ نَقْدًا.

Bentuk kedua: ia membeli secara tempo dengan harga yang sama dengan harga tunai atau lebih rendah dari harga tempo. Menurut mazhab Syafi‘i radhiyallāhu ‘anhu, pembelian tersebut mengikat bagi muwakkil karena telah tercapai tujuan perbaikan dengan penundaan pembayaran. Namun sebagian ulama kami berpendapat bahwa pembelian tersebut tidak mengikat bagi muwakkil karena adanya penyelisihan dan sisa harga tetap menjadi tanggungan muwakkil. Ini adalah pendapat orang yang beranggapan bahwa wakil dalam jual beli tempo tidak sah menjual secara tunai.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

وَأَمَّا الْفَصْلُ الرَّابِعُ: وَهُوَ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي الشِّرَاءِ بِالنَّسِيئَةِ فَيَشْتَرِيَ بِالنَّقْدِ فَالشِّرَاءُ غَيْرُ لَازِمٍ لِلْمُوَكِّلِ لَا يَخْتَلِفُ فِيهِ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَسَائِرِ أَصْحَابِهِ سَوَاءٌ اشْتَرَاهُ بِمَا يُسَاوِي نَقْدًا أَوْ نَسِيئَةً لِمَا فِيهِ مِنَ الْتِزَامِهِ تَعْجِيلَ ثَمَنٍ لَمْ يَأْذَنْ بِهِ.

Adapun bagian keempat: yaitu apabila ia memberi izin kepada wakilnya untuk membeli secara pembayaran tangguh (kredit), lalu wakil itu membeli secara tunai, maka pembelian tersebut tidak mengikat bagi muwakkil (pemberi kuasa). Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab Syafi‘i dan seluruh pengikutnya, baik ia membelinya dengan harga yang sama secara tunai maupun secara kredit, karena di dalamnya terdapat komitmen untuk mempercepat pembayaran harga yang tidak diizinkan oleh muwakkil.

وَهَكَذَا لَوْ أَذِنَ لَهُ أَنْ يَشْتَرِيَ إِلَى أَجَلٍ فَاشْتَرَاهُ إِلَى أَجَلٍ هُوَ أَقْرَبُ لَمْ يَلْزَمِ الْمُوَكِّلَ. وَلَوِ اشْتَرَاهُ إِلَى أَجَلٍ هُوَ أَبْعَدُ كَانَ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَعَلَى مَذْهَبِ بَعْضِ أَصْحَابِهِ غَيْرُ لَازِمٍ.

Demikian pula, jika ia mengizinkan wakilnya untuk membeli dengan tempo tertentu, lalu wakil itu membelinya dengan tempo yang lebih dekat, maka tidak mengikat bagi muwakkil. Namun, jika ia membelinya dengan tempo yang lebih jauh, menurut mazhab Syafi‘i ra dan sebagian pengikutnya, maka pembelian itu tidak mengikat.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

فَأَمَّا خِيَارُ الشَّرْطِ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun khiyār syarat dalam jual beli, maka terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ أَذِنَ لِوَكِيلِهِ فِي اشْتِرَاطِ خِيَارِ الثلاث في عقده فَلَا يَشْتَرِطُهُ فَالْبَيْعُ بَاطِلٌ وَالشِّرَاءُ غَيْرُ لَازِمٍ عقده لازما وقد أذن له في عقده غَيْرُ لَازِمٍ.

Pertama: jika ia mengizinkan wakilnya untuk mensyaratkan khiyār selama tiga hari dalam akadnya, lalu wakil itu tidak mensyaratkannya, maka jual belinya batal dan pembeliannya tidak mengikat, karena akadnya menjadi mengikat padahal ia telah mengizinkan akad yang tidak mengikat.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي تَرْكِهِ وَعَدَمِ اشْتِرَاطِهِ فَإِنْ شَرَطَهُ فَالْبَيْعُ بَاطِلٌ وَالشِّرَاءُ غَيْرُ لَازِمٍ لِأَنَّهُ عَقَدَهُ غَيْرَ لَازِمٍ وَقَدْ أَذِنَ لَهُ فِي عَقْدٍ لَازِمٍ.

Bagian kedua: jika ia mengizinkan untuk meninggalkan dan tidak mensyaratkannya, lalu wakil itu mensyaratkannya, maka jual belinya batal dan pembeliannya tidak mengikat, karena ia mengadakan akad yang tidak mengikat, padahal ia telah diizinkan untuk akad yang mengikat.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ إِذْنُهُ مُطْلَقًا فَإِنْ عَقَدَهُ الْوَكِيلُ نَاجِزًا مِنْ غَيْرِ خِيَارٍ صَحَّ الْبَيْعُ وَلَزِمَ الْمُوَكِّلَ. وَإِنْ عَقَدَهُ بِخِيَارِ الثَّلَاثِ فَفِي صِحَّةِ الْعَقْدِ وَلُزُومِهِ لِلْمُوَكِّلِ وَجْهَانِ:

Bagian ketiga: jika izinnya bersifat mutlak, maka jika wakil mengadakan akad secara langsung tanpa khiyār, maka jual belinya sah dan mengikat bagi muwakkil. Namun jika ia mengadakan akad dengan khiyār tiga hari, maka dalam keabsahan akad dan keharusannya bagi muwakkil terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَصِحُّ الْعَقْدُ وَيَلْزَمُ الْمُوَكِّلَ لِأَنَّ اشْتِرَاطَهُ الْخِيَارَ زِيَادَةُ نَظَرٍ لَهُ

Salah satunya: akadnya sah dan mengikat bagi muwakkil, karena mensyaratkan khiyār merupakan tambahan kehati-hatian baginya.

وَالثَّانِي: لَا يَصِحُّ الْعَقْدُ وَلَا يَلْزَمِ الْمُوَكِّلَ لِأَنَّ الْعَقْدَ بِالْخِيَارِ يَصِيرُ غير لازم.

Yang kedua: akadnya tidak sah dan tidak mengikat bagi muwakkil, karena akad dengan khiyār menjadi tidak mengikat.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَلَوْ وَكَّلَهُ بِشِرَاءِ سِلْعَةٍ فَأَصَابَ بِهَا عَيْبًا كَانَ لَهُ الرَّدُّ بِالْعَيْبِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَحْلِفَ مَا رَضِيَ بِهِ الْآمِرُ وَكَذَلِكَ الْمُقَارِضُ وهو قَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَمَعْنَاهُ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ “.

Al-Muzani ra berkata: “Jika seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk membeli suatu barang, lalu didapati barang itu cacat, maka ia berhak mengembalikannya karena cacat tersebut, dan ia tidak wajib bersumpah bahwa pemberi kuasa tidak ridha dengan cacat itu. Demikian pula halnya dengan muqaridh (pengelola modal dalam mudharabah), dan ini adalah pendapat Syafi‘i serta maknanya. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ لِلْمُوَكِّلِ إِذَا أَمَرَ وَكِيلَهُ بِشِرَاءِ عَبْدٍ حَالَتَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa bagi muwakkil, apabila ia memerintahkan wakilnya untuk membeli seorang budak, terdapat dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يُعَيِّنَهُ.

Pertama: ia menentukannya secara spesifik.

وَالثَّانِيَةُ: أَنْ يَصِفَهُ وَلَا يُعَيِّنَهُ. فَإِنْ وَصَفَهُ وَلَمْ يُعَيِّنْهُ لَزِمَهُ أَنْ يَشْتَرِيَهُ سَلِيمًا مِنَ الْعُيُوبِ لِأَنَّ إِطْلَاقَ الصِّفَةِ يَقْتَضِيهِ وَيَجُوزُ لِلْعَامِلِ فِي الْقِرَاضِ أَنْ يَشْتَرِيَ السَّلِيمَ وَالْمَعِيبَ.

Kedua: ia hanya menyebutkan sifatnya tanpa menentukannya secara spesifik. Jika ia hanya menyebutkan sifatnya dan tidak menentukannya, maka wajib baginya untuk membelinya dalam keadaan bebas dari cacat, karena penyebutan sifat secara mutlak menuntut demikian. Dan boleh bagi ‘amil dalam qiradh (mudharabah) untuk membeli yang sehat maupun yang cacat.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ شِرَاءَ الْوَكِيلِ لِلْقِنْيَةِ وَلَيْسَ فِي الْمَعِيبِ صَلَاحٌ لِلْمُقْتَنِي وَشِرَاءَ الْعَامِلِ فِي الْقِرَاضِ طَلَبًا لِلرِّبْحِ. وَقَدْ يُوجَدُ الرِّبْحُ فِي الْمَعِيبِ كَوُجُودِهِ فِي السَّلِيمِ.

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pembelian oleh wakil untuk kepemilikan pribadi, sedangkan pada yang cacat tidak ada kemaslahatan bagi pemilik, sedangkan pembelian oleh ‘amil dalam qiradh bertujuan untuk mencari keuntungan. Dan terkadang keuntungan dapat ditemukan pada barang cacat sebagaimana pada barang yang sehat.

فَإِنِ اشْتَرَى الْوَكِيلُ عَبْدًا عَلَى الصِّفَةِ وَكَانَ مَعِيبًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika wakil membeli budak sesuai dengan sifat yang disebutkan, namun ternyata cacat, maka terdapat dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَشْتَرِيَهُ عَالِمًا بِعَيْبِهِ. فَالشِّرَاءُ غَيْرُ لَازِمٍ لِلْمُوَكِّلِ لِإِقْدَامِهِ عَلَى ابْتِيَاعِ مَا لَمْ يَقْتَضِهِ الْإِذْنُ. وَهُوَ لَازِمٌ لِلْوَكِيلِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنَ اعْتِبَارِ صِفَةِ الْإِذْنِ فِي الْعَقْدِ.

Pertama: ia membelinya dengan mengetahui cacatnya. Maka pembelian itu tidak mengikat bagi muwakkil, karena ia telah melakukan pembelian atas sesuatu yang tidak dituntut oleh izin. Namun, pembelian itu mengikat bagi wakil, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mengenai pertimbangan sifat izin dalam akad.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَشْتَرِيَهُ غَيْرَ عَالِمٍ بِعَيْبِهِ فَلِلْمُوَكِّلِ إِذَا عَلِمَ بِعَيْبِهِ أَنْ يُبَادِرَ إِلَى رَدِّهِ وَلَا يَلْزَمَهُ اسْتِئْذَانُ مُوَكِّلِهِ لِأَنَّ رَدَّ الْمَعِيبِ فِي حُقُوقِ عَقْدِهِ. فَلَوْ قَالَ الْبَائِعُ: قَدْ أَمْهَلْتُكَ فِي رَدِّهِ فَطَالِعْ مُوَكِّلَكَ بِعَيْبٍ لَمْ تَلْزَمْهُ الْمُطَالَعَةُ وَكَانَ لَهُ تَعْجِيلُ الرَّدِّ لِمَا ذَكَرْنَا فَإِنْ رَدَّهُ ثُمَّ جَاءَ الْمُوَكِّلُ رَاضِيًا بِعَيْبِهِ لَمْ يَكُنْ لِرِضَاهُ بَعْدَ الرَّدِّ تَأْثِيرٌ لِفَسْخِ الْبَيْعِ بِالرَّدِّ قَبْلَ الرِّضَا. وَلَوْ رَضِيَ بِعَيْبِهِ قَبْلَ رَدِّ الْوَكِيلِ، لَزِمَ الْبَيْعُ وَلَمْ يَكُنْ لِلْوَكِيلِ الرَّدُّ. وَلَوْ رَضِيَ رَبُّ الْمَالِ فِي الْقِرَاضِ بِعَيْبِ الْعَبْدِ الْمُشْتَرَى كَانَ لِلْعَامِلِ أَنْ يَرُدَّ بِخِلَافِ الْوَكِيلِ.

Jenis kedua: yaitu apabila yang membeli adalah orang yang tidak mengetahui cacatnya, maka bagi wakil, apabila ia mengetahui adanya cacat tersebut, boleh segera mengembalikannya dan tidak wajib meminta izin kepada muwakkilnya, karena pengembalian barang cacat adalah bagian dari hak-hak akadnya. Jika penjual berkata: “Aku telah memberimu waktu untuk mengembalikannya, maka konsultasikanlah dahulu kepada muwakkilmu tentang cacat ini,” maka tidak wajib baginya untuk berkonsultasi, dan ia boleh segera mengembalikannya sebagaimana telah kami sebutkan. Jika ia telah mengembalikannya, lalu muwakkil datang dan ternyata ridha dengan cacat tersebut, maka keridhaan muwakkil setelah pengembalian tidak berpengaruh, karena akad telah dibatalkan dengan pengembalian sebelum adanya keridhaan. Namun, jika muwakkil ridha dengan cacat tersebut sebelum wakil mengembalikannya, maka jual beli menjadi tetap dan wakil tidak berhak mengembalikannya. Jika pemilik modal dalam akad qiradh ridha dengan cacat budak yang dibeli, maka bagi ‘amil tetap boleh mengembalikannya, berbeda dengan wakil.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ لِلْعَامِلِ فِي الْقِرَاضِ شِرْكًا فِي الرِّبْحِ. وَلَيْسَ لِلْوَكِيلِ فِيهِ شِرْكٌ، فَإِنِ ادَّعَى الْبَائِعُ عَلَى الْوَكِيلِ حين أراد الرد أن موكله راض بِالْعَيْبِ فَلَا يَمِينَ لَهُ عَلَى الْوَكِيلِ. فَإِنِ ادَّعَى عَلَيْهِ أَنَّهُ قَدْ عَلِمَ بِرِضَا مُوَكِّلِهِ بِالْعَيْبِ وَكَانَ عَلَيْهِ أَنْ يَحْلِفَ بِاللَّهِ تَعَالَى أنه ما علم موكله مُوَكِّلُهُ بِالْعَيْبِ. وَلَهُ الرَّدُّ وَاسْتِرْجَاعُ الثَّمَنِ ثُمَّ لِلْبَائِعِ إِذَا رَدَّ الثَّمَنَ عَلَى الْوَكِيلِ وَظَفِرَ بِالْمُوَكِّلِ أَنْ يَحْلِفَ بِاللَّهِ أَيْضًا مَا رَضِيَ بِعَيْبِ الْعَبْدِ الَّذِي ابْتَاعَهُ مُوَكِّلُهُ قَبْلَ رَدِّهِ. فَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ حَلَفَ الْبَائِعُ وَحُكِمَ لَهُ بِلُزُومِ الْبَيْعِ وَاسْتِحْقَاقِ الثَّمَنِ. فَهَذَا حُكْمُ الْوَكِيلِ إِذَا رَدَّ بِالْعَيْبِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa ‘amil dalam qiradh memiliki bagian dalam keuntungan, sedangkan wakil tidak memiliki bagian di dalamnya. Jika penjual menuduh wakil ketika hendak mengembalikan barang bahwa muwakkilnya telah ridha dengan cacat tersebut, maka tidak ada sumpah atas wakil. Namun, jika penjual menuduh bahwa wakil telah mengetahui keridhaan muwakkilnya terhadap cacat tersebut, maka wakil harus bersumpah atas nama Allah Ta‘ala bahwa ia tidak mengetahui muwakkilnya ridha terhadap cacat itu. Wakil berhak mengembalikan barang dan mengambil kembali harga. Kemudian, jika penjual telah mengembalikan harga kepada wakil dan bertemu dengan muwakkil, penjual juga boleh meminta muwakkil bersumpah atas nama Allah bahwa ia tidak ridha dengan cacat budak yang dibeli oleh wakilnya sebelum pengembalian. Jika muwakkil enggan bersumpah, maka penjual yang bersumpah dan diputuskan jual beli tetap berlaku dan harga menjadi hak penjual. Inilah hukum wakil jika mengembalikan barang karena cacat. Allah Maha Mengetahui.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِنْ رَضِيَ الْوَكِيلُ بِالْعَيْبِ نُظِرَ فِي الْمُوَكِّلِ فَإِنْ رَضِيَ بِالْعَيْبِ كَانَ الشِّرَاءُ لَازِمًا لَهُ. وَإِنْ لَمْ يَرْضَ بِالْعَيْبِ نُظِرَ فِي عَقْدِ الْبَائِعِ فَإِنْ كَانَ قَدْ سَمَّى مُوَكِّلَهُ فِيهِ فَلَهُ الرَّدُّ. لِأَنَّ مَالِكَ الشِّرَاءِ لَا يَلْتَزِمُ عَيْبًا لَمْ يَرْضَ بِهِ وَإِنْ لَمْ يُسَمِّ الْمُوَكِّلَ فِي عَقْدِهِ نُظِرَ فِي الْبَائِعِ فَإِنْ صَدَّقَ الْوَكِيلَ أَنَّ عَقْدَ الشِّرَاءِ لِمُوَكِّلِهِ كَانَ لَهُ الرَّدُّ. وَإِنْ لَمْ يُصَدِّقْهُ حَلَفَ لَهُ وَلَا رَدَّ لِلْوَكِيلِ عَلَى الْبَائِعِ لِمَا تَقَدَّمَ مِنْ رِضَاهُ.

Adapun jika wakil ridha dengan cacat, maka dilihat keadaan muwakkil: jika muwakkil juga ridha dengan cacat tersebut, maka pembelian menjadi tetap baginya. Jika muwakkil tidak ridha dengan cacat tersebut, maka dilihat akad penjual: jika dalam akadnya penjual telah menyebutkan nama muwakkil, maka muwakkil berhak mengembalikan barang, karena pemilik barang tidak wajib menerima cacat yang tidak ia ridai. Jika muwakkil tidak disebutkan dalam akad, maka dilihat penjual: jika penjual membenarkan keterangan wakil bahwa akad pembelian untuk muwakkilnya, maka muwakkil berhak mengembalikan barang. Namun, jika penjual tidak membenarkannya, maka penjual bersumpah dan tidak ada hak bagi wakil untuk mengembalikan barang kepada penjual, karena sebelumnya ia telah ridha.

فَأَمَّا الْمُوَكِّلُ فَلَا رَدَّ لَهُ عَلَى الْوَكِيلِ لِأَنَّ الرَّدَّ بِالْعَيْبِ مُسْتَحَقٌّ عَلَى الْبَائِعِ الْمَالِكِ لِلثَّمَنِ، وَلَكِنَّ لَهُ أَنْ يرجع عليه بنقصان العيب لأنه قد صَارَ كَالْمُسْتَهْلِكِ لَهُ بِمَا تَقَدَّمَ مِنْ رِضَاهُ.

Adapun muwakkil, maka ia tidak berhak mengembalikan barang kepada wakil, karena pengembalian barang cacat adalah hak terhadap penjual sebagai pemilik harga. Namun, muwakkil berhak menuntut ganti rugi kepada wakil atas kekurangan akibat cacat, karena ia telah dianggap seperti orang yang menghabiskan barang tersebut dengan keridhaannya yang telah lalu.

وَفِي كَيْفِيَّةِ رُجُوعِ الْمُوَكِّلِ بِهِ وَجْهَانِ:

Adapun mengenai tata cara muwakkil menuntut ganti rugi, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي يَحْيَى الْبَلْخِيِّ أَنَّهُ يَرْجِعُ عَلَيْهِ بِقَدْرِ النَّقْصِ مِنْ ثَمَنِهِ فَأَمَّا إِنْ كَانَ يُسَوِّي مَعِيبًا بِمِثْلِ مَا اشْتَرَاهُ فَلَا شَيْءَ لَهُ عَلَى الْوَكِيلِ لِعَدَمِ النَّقْصِ فِي الثَّمَنِ. اسْتِشْهَادًا بِأَنَّ مَنِ ادَّعَى بَيْعَ عَبْدِهِ عَلَى رَجُلٍ بِأَلْفٍ وَأَنْكَرَ وَأَقَامَ الْمُدَّعِي بَيِّنَةً بِالْبَيْعِ فَحُكِمَ لَهُ بِالثَّمَنِ ثُمَّ رَجَعَ الشُّهُودُ فَإِنْ كَانَ ثَمَنُ الْعَبْدِ أَلْفًا فَلَا غُرْمَ عَلَى الشُّهُودِ. وَإِنْ كَانَ ثَمَنُهُ أَقَلَّ مِنْ أَلْفٍ غُرِّمَ الشُّهُودُ بِرُجُوعِهِمْ قَدْرَ النَّقْصِ مِنْ ثَمَنِهِ.

Pertama, yaitu pendapat Abu Yahya al-Balkhi, bahwa muwakkil menuntut ganti rugi kepada wakil sebesar kekurangan dari harga barang. Namun, jika barang cacat itu memang sepadan dengan harga yang dibayarkan saat pembelian, maka muwakkil tidak berhak menuntut apa pun kepada wakil, karena tidak ada kekurangan pada harga. Hal ini diqiyaskan dengan kasus seseorang yang mengaku telah menjual budaknya kepada orang lain seharga seribu, lalu orang itu mengingkari, kemudian penggugat mendatangkan bukti atas penjualan tersebut, sehingga diputuskan baginya harga tersebut. Jika para saksi kemudian menarik kesaksiannya, dan harga budak itu memang seribu, maka para saksi tidak menanggung apa-apa. Namun, jika harga budak itu kurang dari seribu, maka para saksi menanggung kekurangan harga tersebut karena penarikan kesaksian mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا: أَنَّهُ يَرْجِعُ عَلَى الْوَكِيلِ بِأَرْشِ الْعَيْبِ سَوَاءٌ كَانَ يَسْوَى قَدْرَ ثَمَنِهِ مَعِيبًا أَمْ لَا. لِأَنَّ الْعَيْبَ إِذَا كان معه الرد مقدرا بالأرش ولم يَكُنْ مُعْتَبَرًا بِنَقْصِ الثَّمَنِ. وَلَيْسَ كَالَّذِي اسْتَشْهَدَ بِهِ مِنْ رُجُوعِ الشُّهُودِ لِأَنَّ غَارِمَ الثَّمَنِ بِشَهَادَتِهِمْ إِنَّمَا يَسْتَحِقُّ الرُّجُوعَ بِمَا غَرِمَ، فَإِذَا وَصَلَ إِلَيْهِ مِنَ الثَّمَنِ لَمْ يَبْقَ لَهُ حَقٌّ يَغْرَمُهُ. فَهَذَا حُكْمُ التَّوْكِيلِ فِي شِرَاءِ عَبْدٍ مَوْصُوفٍ.

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama mazhab kami, adalah bahwa ia dapat menuntut ganti rugi (‘arsy al-‘ayb) kepada wakil, baik nilai ganti rugi tersebut setara dengan harga barang dalam keadaan cacat maupun tidak. Sebab, jika cacat itu disertai hak pengembalian, maka nilainya ditetapkan dengan ‘arsy dan tidak dipertimbangkan berdasarkan pengurangan harga. Hal ini tidak sama dengan analogi yang diambil dari kasus kembalinya para saksi, karena pihak yang menanggung harga akibat kesaksian mereka hanya berhak menuntut kembali sebesar apa yang telah ia tanggung. Maka, jika ia telah menerima dari harga tersebut, tidak ada lagi hak baginya untuk menuntut ganti rugi. Inilah hukum perwakilan dalam pembelian budak yang telah ditentukan sifatnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا كَانَ الْعَبْدُ مَعِيبًا فَهَلْ لِلْوَكِيلِ عِنْدَ ظُهُورِ الْعَيْبِ أَنْ يَرُدَّهُ قَبْلَ اسْتِئْذَانِ مُوَكِّلِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun jika budak tersebut cacat, apakah wakil boleh mengembalikannya ketika cacat itu diketahui sebelum meminta izin dari muwakkil (pemberi kuasa) atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا: لَا رَدَّ لَهُ إِلَّا بَعْدَ اسْتِئْذَانِ مُوَكِّلِهِ فِيهِ لِأَنَّهُ بِالتَّعْيِينِ فِيهِ قَدْ قَطَعَ اجْتِهَادَهُ فِيهِ وَلَعَلَّهُ قَدْ أَمَرَهُ بِشِرَائِهِ مَعَ عِلْمِهِ بِعَيْبِهِ.

Pendapat pertama, yang merupakan pendapat jumhur ulama mazhab kami, adalah bahwa wakil tidak boleh mengembalikannya kecuali setelah meminta izin dari muwakkil, karena dengan penunjukan secara spesifik, muwakkil telah memutuskan ijtihad wakil dalam hal ini, dan bisa jadi muwakkil memang memerintahkan untuk membelinya meskipun mengetahui cacatnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ. لَهُ الرَّدُّ مِنْ غَيْرِ اسْتِئْذَانٍ لِأَنَّ الرَّدَّ من حقوق عقده ولأن لا يكون مأخوذا به إن لم يرضى الْمُوَكِّلُ بِعَيْبِهِ.

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat Abu Hamid al-Isfarayini, adalah bahwa wakil boleh mengembalikannya tanpa meminta izin, karena pengembalian adalah bagian dari hak-hak akad, dan agar wakil tidak terbebani jika muwakkil tidak ridha dengan cacat tersebut.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْوَكِيلُ فِي بَيْعِ عَبْدٍ إِذَا أَرَادَ الْمُشْتَرِي أَنْ يَرُدَّهُ عَلَيْهِ بِعَيْبٍ فَإِنْ كَانَ الْعَيْبُ مِمَّا لَا يُمْكِنُ حُدُوثُ مِثْلِهِ فَرَدَّهُ عَلَى الْوَكِيلِ بِيَمِينِهِ إِنْ لَمْ يَعْلَمْ بِعَيْبِهِ أَوْ بِتَصْدِيقِ الْوَكِيلِ مِنْ غَيْرِ يَمِينٍ فَلِلْوَكِيلِ أَنْ يَرُدَّهُ عَلَى الْمُوَكِّلِ لِأَنَّهُ بِالْعَيْبِ الَّذِي كَانَ بِهِ مِنْ قَبْلِ بَيْعِهِ. وَإِنْ كَانَ الْعَيْبُ مِمَّا يُمْكِنُ حُدُوثُ مِثْلِهِ. فَإِنْ رَدَّهُ الْمُشْتَرِي بِبَيِّنَةٍ أَقَامَهَا عَلَى تَقَدُّمِ عَيْبِهِ كَانَ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَرُدَّهُ عَلَى الْمُوَكِّلِ. وَإِنْ رَدَّهُ عَلَى الْمُشْتَرِي بِتَصْدِيقِ الْوَكِيلِ عَلَى تَقَدُّمِ عَيْبِهِ فَلَيْسَ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَرُدَّهُ عَلَى الْمُوَكِّلِ. لِأَنَّ تَصْدِيقَ الْوَكِيلِ غَيْرُ مَقْبُولٍ عَلَى مُوَكِّلِهِ. وَإِنْ رَدَّهُ الْمُشْتَرِي بِيَمِينِهِ عِنْدَ نُكُولِ الْوَكِيلِ فَهَلْ لِلْوَكِيلِ رَدُّهُ عَلَى الْمُوَكِّلِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْيَمِينِ بَعْدَ النُّكُولِ هَلْ يَقُومُ مَقَامَ الْبَيِّنَةِ أَوِ الْإِقْرَارِ؟

Adapun wakil dalam penjualan budak, jika pembeli ingin mengembalikannya kepada wakil karena cacat, maka jika cacat tersebut merupakan sesuatu yang mustahil terjadi setelah akad, pembeli dapat mengembalikannya kepada wakil dengan sumpah jika wakil tidak mengetahui cacatnya, atau dengan pengakuan wakil tanpa sumpah. Dalam hal ini, wakil boleh mengembalikannya kepada muwakkil, karena cacat tersebut sudah ada sebelum penjualan. Namun jika cacat tersebut memungkinkan terjadi setelah akad, lalu pembeli mengembalikannya dengan bukti yang menunjukkan cacat itu sudah ada sebelumnya, maka wakil boleh mengembalikannya kepada muwakkil. Tetapi jika pengembalian dilakukan hanya berdasarkan pengakuan wakil atas adanya cacat sebelumnya, maka wakil tidak boleh mengembalikannya kepada muwakkil, karena pengakuan wakil tidak diterima atas nama muwakkilnya. Jika pembeli mengembalikannya dengan sumpahnya sendiri karena wakil menolak bersumpah, maka apakah wakil boleh mengembalikannya kepada muwakkil atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat, yang didasarkan pada perbedaan pendapat tentang apakah sumpah setelah penolakan dapat menggantikan posisi bukti atau pengakuan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا دَفَعَ الرَّجُلُ إِلَى وَكِيلِهِ دَرَاهِمَ لِيَدْفَعَهَا سِلْمًا فِي طَعَامٍ، وَأَسْلَمَهَا الْوَكِيلُ فِي طَعَامٍ ثُمَّ إِنَّ المسلم إليه رد من الدراهم ردية وَصَدَّقَهُ عَلَيْهَا الْوَكِيلُ فَأَكْذَبَهُ الْمُوَكِّلُ فَهِيَ لَازِمَةٌ لِلْوَكِيلِ دُونَ الْمُوَكِّلِ. وَفِيهَا قَوْلَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ.

Jika seseorang menyerahkan sejumlah dirham kepada wakilnya untuk dibayarkan sebagai pembayaran salam dalam pembelian makanan, lalu wakil menyerahkan uang tersebut untuk membeli makanan secara salam, kemudian pihak yang menerima salam mengembalikan sebagian dirham karena rusak dan wakil membenarkannya, namun muwakkil mendustakannya, maka tanggung jawab itu tetap pada wakil, bukan pada muwakkil. Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang diriwayatkan oleh Ibn Surayj.

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَرْجِعُ بِبَدَلِهَا عَلَى الْوَكِيلِ وَيَكُونُ الطَّعَامُ فِي ذِمَّتِهِ لِلْمُوَكِّلِ. وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَقُولُهُ الشَّافِعِيُّ فِي مُشْتَرِي الدَّرَاهِمِ بِغَيْرِ أَعْيَانِهَا إِذَا أَصَابَ بِهَا بَعْدَ الْقَبْضِ عَيْبًا إنَّهُ يُبَدِّلُهَا.

Pendapat pertama, bahwa muwakkil dapat menuntut pengganti dari wakil, dan makanan tersebut menjadi tanggungan wakil untuk muwakkil. Ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh asy-Syafi‘i tentang pembeli dirham yang bukan barang tertentu, jika setelah menerima ternyata ada cacat, maka ia wajib menggantinya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَرُدُّهَا عَلَى الْوَكِيلِ. فَإِذَا أَدَّى الطَّعَامَ إِلَى الْمُوَكِّلِ رجع على الوكيل بحصة مَا رَدَّهُ عَلَيْهِ مِنَ الطَّعَامِ. مِثَالُهُ أَنْ يَكُونَ قَدْ رَدَّ عَلَيْهِ عُشْرَ الثَّمَنِ فَيَرْجِعُ عَلَيْهِ بِعُشْرِ الطَّعَامِ. وَهَذَا عَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ: إنَّ مُشْتَرِيَ الدَّرَاهِمِ إِذَا وَجَدَ بِهَا عَيْبًا رَدَّهَا وَلَمْ تُبَدَّلْ. فَعَلَى هَذَا لِلْوَكِيلِ أَنْ يَسْتَوْفِيَ قِيمَةَ مَا دَفَعَ مِنْ عُشْرِ الطَّعَامَ مِنَ الدَّرَاهِمِ الْمَعِيبَةِ الَّتِي رُدَّتْ عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَتْ بِإِزَاءِ حَقِّهِ اسْتَوْفَاهُ. وَإِنْ كَانَتْ أَقَلَّ مِنْ حَقِّهِ فَلَيْسَ لَهُ غَيْرُهَا وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ حَقِّهِ رَدَّ الزِّيَادَةَ وَلَمْ يَأْخُذْهَا. فَلَوْ أَبْرَأَ الْمُوَكِّلُ الْمُسْلَمَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّعَامِ بِقِسْطِ الْمَعِيبِ فَلَيْسَ لِلْمُوَكِّلِ أَنْ يَرْجِعَ بِمَا فِي يَدِ الْوَكِيلِ فِي الدَّرَاهِمِ الْمَعِيبَةِ. لِأَنَّهُ يُقِرُّ أَنَّهَا لَيْسَتْ لَهُ. وَلَا لِلْمُسْلَمِ إِلَيْهِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا. لِأَنَّهُ يُقِرُّ أَنَّهَا لَيْسَتْ لَهُ. فَإِنْ عَادَ الْمُوَكِّلُ فَصَدَّقَ الْمُسْلَمَ إِلَيْهِ عليها أَنَّهَا مِنْ دَرَاهِمِهِ رَجَعَ الْمُسْلَمُ إِلَيْهِ بِهَا عَلَى الْوَكِيلِ. لِأَنَّهُ يَقُولُ هِيَ لِي وَقَدْ أَبْرَأَنِي الْمُوَكِّلُ مِنْ طَعَامِهِ فَبَرِئْتُ. وَإِنْ قَالَ الْمُوَكِّلُ: هِيَ دَرَاهِمِي فَلِي الرُّجُوعُ بِهَا. فَلِلَّذِي يَسْبِقُ مِنْهُمَا صَاحِبَهُ الرُّجُوعُ بِهَا عَلَى الْوَكِيلِ.

Pendapat kedua: Bahwa ia mengembalikannya kepada wakil. Maka jika makanan telah diserahkan kepada muwakkil, ia (muwakkil) dapat menuntut kepada wakil sebesar bagian makanan yang dikembalikan kepadanya. Contohnya adalah jika yang dikembalikan kepadanya adalah sepersepuluh dari harga, maka ia menuntut kepada wakil sepersepuluh dari makanan. Ini menurut pendapat asy-Syāfi‘ī: bahwa pembeli dirham, jika menemukan cacat pada dirham tersebut, maka ia mengembalikannya dan tidak diganti. Berdasarkan hal ini, wakil berhak mengambil nilai dari sepersepuluh makanan yang telah diserahkan dari dirham cacat yang dikembalikan kepadanya. Jika nilai itu sebanding dengan haknya, maka ia mengambilnya. Jika kurang dari haknya, maka ia tidak berhak atas selain itu. Jika lebih dari haknya, maka ia mengembalikan kelebihannya dan tidak mengambilnya. Jika muwakkil membebaskan orang yang menerima salam dari makanan sebesar bagian yang cacat, maka muwakkil tidak berhak menuntut apa yang ada di tangan wakil berupa dirham cacat, karena ia mengakui bahwa itu bukan miliknya. Demikian pula orang yang menerima salam tidak berhak menuntutnya, karena ia mengakui bahwa itu bukan miliknya. Jika kemudian muwakkil kembali dan membenarkan orang yang menerima salam bahwa itu adalah dari dirham miliknya, maka orang yang menerima salam dapat menuntut kepada wakil. Karena ia berkata, “Itu milikku dan muwakkil telah membebaskanku dari makanannya, maka aku telah bebas.” Jika muwakkil berkata, “Itu adalah dirhamku,” maka ia berhak menuntutnya. Maka siapa di antara keduanya yang lebih dahulu menuntut, dialah yang berhak menuntut kepada wakil.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

إِذَا وَكَّلَ الرَّجُلُ وَكِيلًا فِي شِرَاءِ عَبْدٍ فَاشْتَرَاهُ الْوَكِيلُ وَدَفَعَ ثَمَنَهُ مِنْ مَالِ مُوَكِّلِهِ ثُمَّ اسْتَحَقَّ الْعَبْدَ فَهَلْ يَكُونُ الْوَكِيلُ خَصْمًا فِي الرُّجُوعِ بَدَرْكِ الثَّمَنِ عَلَى الْبَائِعِ بِالْوَكَالَةِ الْأُولَى أَمْ لَا؟ ذَكَرَ أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ كَجٍّ وَجْهَيْنِ:

Jika seseorang mewakilkan kepada wakil untuk membeli seorang budak, lalu wakil tersebut membelinya dan membayar harganya dari harta muwakkil, kemudian budak tersebut ternyata tidak sah menjadi miliknya (karena ada pihak lain yang lebih berhak), apakah wakil menjadi pihak yang berhak menggugat penjual untuk mengembalikan harga budak berdasarkan wakalah pertama atau tidak? Abu al-Qāsim Ibn Kajj menyebutkan dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ خَصْمًا فِيهِ لِأَنَّهُ مِنْ أَحْكَامِ عَقْدِهِ.

Salah satunya: Wakil menjadi pihak yang berhak menggugat karena hal itu termasuk dalam konsekuensi akadnya.

وَالثَّانِي: لَا يَكُونُ خَصْمًا إِلَّا بِاسْتِئْنَافِ وَكَالَةٍ. لِأَنَّ مَا اقْتَضَتْهُ الْوَكَالَةُ قَدْ تَقَضَّى وَالصَّحِيحُ عِنْدِي غَيْرُ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ وَهُوَ أَنْ نَنْظُرَ، فَإِنِ اسْتَحَقَّ مِنْ يَدِ الْوَكِيلِ قَبْلَ وُصُولِهِ إِلَى الْمُوَكِّلِ، كَانَ الْوَكِيلُ خَصْمًا فِي الرُّجُوعِ بِدَرَكِهِ.

Yang kedua: Wakil tidak menjadi pihak yang berhak menggugat kecuali dengan memperbarui wakalah, karena apa yang menjadi konsekuensi wakalah telah selesai. Pendapat yang benar menurutku bukan kedua pendapat tersebut, yaitu kita melihat: jika budak tersebut ternyata tidak sah menjadi milik dari tangan wakil sebelum sampai kepada muwakkil, maka wakil menjadi pihak yang berhak menggugat untuk mengembalikan harga budak.

وَإِنِ اسْتَحَقَّ فِي يَدِ الْمُوَكِّلِ لَمْ يَكُنْ خَصْمًا فِيهِ إِلَّا بِاسْتِئْنَافِ وَكَالَةٍ، لِأَنَّ بِحُصُولِهِ فِي يَدِ الْمُوَكِّلِ قَدْ نُقِضَتْ أَحْكَامُ وَكَالَتِهِ وَانْقَطَعَتْ عَلَقُهُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ قَبْلَ وُصُولِهِ.

Dan jika ternyata tidak sah menjadi milik ketika sudah di tangan muwakkil, maka wakil tidak menjadi pihak yang berhak menggugat kecuali dengan memperbarui wakalah, karena dengan sampainya (budak) ke tangan muwakkil, maka hukum-hukum wakalah telah berakhir dan hubungan wakil telah terputus, dan tidak demikian halnya sebelum sampai ke muwakkil.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الْمُزَنِيُّ رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ رَجُلٌ لِفُلَانٍ عَلَيَّ دَيْنٌ وَقَدْ وُكِّلَ هَذَا بِقَبْضِهِ لَمْ يَقْضِ الشَّافِعِيُّ عَلَيْهِ بِدَفْعِهِ لِأَنَّهُ مُقِرٌّ بِتَوْكِيلِ غَيْرِهِ فِي مَالٍ لَا يَمْلِكُهُ وَيَقُولُ لَهُ إِنْ شِئْتَ فَادْفَعْ أَوْ دَعْ وَلَا أَجْبُرُكَ عَلَى أَنْ تَدْفَعَ (قال) وللوكيل وللمقارض أن يردا ما اشتريا بالعيب وليس للبائع أن يحلفهما ما رضي رب المال وقال ألا ترى أنهما لو تعديا لم ينتقض البيع ولزمهما الثمن وكانت التباعة عليهما لرب المال “.

Al-Muzanī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Si Fulan memiliki utang atas diriku dan orang ini telah diwakilkan untuk menerimanya,’ maka asy-Syāfi‘ī tidak memutuskan agar ia wajib membayarnya, karena ia mengakui bahwa yang diwakilkan adalah orang lain dalam harta yang bukan miliknya. Ia berkata kepadanya, ‘Jika engkau mau, bayarlah, atau tinggalkan, dan aku tidak memaksamu untuk membayar.’ (Beliau berkata:) Dan bagi wakil dan muḍārib boleh mengembalikan barang yang dibeli karena cacat, dan penjual tidak boleh meminta keduanya bersumpah selama pemilik harta telah ridha. Tidakkah engkau melihat, jika keduanya melampaui batas, maka jual beli tidak batal dan keduanya tetap wajib membayar harga, dan tanggung jawab ada pada keduanya kepada pemilik harta.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ وَذَكَرْنَا أَنَّ مُدَّعِيَ وَكَالَةِ الْغَائِبِ فِي قَبْضِ دَيْنِهِ لَا يَلْزَمُ دَفْعَ الْمَالَ إِلَيْهِ مَا لَمْ يُقِمْ بَيِّنَةً بِهِ وَسَوَاءٌ صَدَّقَ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ أَنَّهُ وَكِيلُ الْغَائِبِ فِي قَبْضِهِ أَوْ كَذَّبَ وَيَجُوزُ لَهُ مَعَ تَصْدِيقِهِ أَنْ يَدْفَعَ الْمَالَ إِلَيْهِ جَوَازًا لَا وُجُوبًا. وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ. آخِرُ كِتَابِ الْوَكَالَةِ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العالمين كثيرا يتلوه كتاب الإقرار.

Al-Māwardī berkata: Masalah ini telah berlalu dan kami telah menyebutkan bahwa orang yang mengaku sebagai wakil dari orang yang ghaib dalam menerima utangnya, tidak wajib diberikan harta kepadanya kecuali ia mendatangkan bukti. Baik orang yang berutang membenarkan bahwa ia adalah wakil orang yang ghaib dalam menerima utang tersebut, maupun mendustakannya, tetap boleh baginya (yang berutang), dengan membenarkannya, untuk menyerahkan harta kepadanya secara boleh, bukan wajib. Allah lebih mengetahui kebenaran. Akhir dari Kitāb al-Wakālah. Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam, sebanyak-banyaknya. Setelah ini adalah Kitāb al-Iqrār.