Kitab Luqathah (Barang Temuan)

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى: ” أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ رَبِيعَةَ عَنْ يَزِيدَ مَوْلَى الْمُنْبَعِثِ عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَسَأَلَهُ عَنِ اللُّقَطَةِ فَقَالَ: ” اعْرِفْ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَشَأْنُكَ بِهَا ” وَعَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ نَحْوُ ذَلِكَ، قَالَ الشَّافِعِيُّ فَبِهَذَا أَقُولُ.

Imam Syafi‘i rahimahullah ta‘ala berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Rabi‘ah, dari Yazid maula al-Munba‘its, dari Zaid bin Khalid al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ﷺ lalu bertanya kepadanya tentang luqathah (barang temuan), maka beliau bersabda: ‘Kenalilah bungkus dan talinya, kemudian umumkan selama satu tahun. Jika datang pemiliknya, serahkan kepadanya. Jika tidak, maka terserah engkau terhadapnya.’ Dan dari Umar radhiyallahu ‘anhu juga diriwayatkan yang semisal itu. Imam Syafi‘i berkata: Maka dengan ini aku berpendapat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ وَهَذَا الْحَدِيثُ هُوَ الْأَصْلُ فِي اللُّقَطَةِ وَقَدْ رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ بِتَمَامِهِ وَأَنَّهُ سَأَلَهُ بَعْدَ قَوْلِهِ فَشَأْنُكَ بِهَا عَنْ ضَالَّةِ الْغَنَمِ فَقَالَ: لَكَ أَوْ لِأَخِيكَ أَوْ لِلذِّئْبِ فَقَالَ فَضَالَّةُ الْإِبِلِ قَالَ مَا لَكَ وَلَهَا مَعَهَا سِقَاؤُهَا وَحِذَاؤُهَا تَرِدُ الْمَاءَ وَتَأْكُلُ الشَّجَرَ حَتَّى يَلْقَاهَا رَبُّهَا أَمَّا قَوْلُهُ فِي ضَالَّةِ الْغَنَمِ هِيَ لَكَ يَعْنِي إِنْ أَخَذْتَهَا أَوْ لِأَخِيكَ إِنْ أَخَذَهَا غَيْرُكَ أَوْ لِلذِّئْبِ يَعْنِي إِنْ لَمْ تُؤْخَذْ أَكَلَهَا الذِّئْبُ، فَأَمَّا قَوْلُهُ فِي ضَالَّةِ الْإِبِلِ مَا لَكَ وَلَهَا أَيْ لَا تَأْخُذْهَا وَقَوْلُهُ مَعَهَا سِقَاؤُهَا يَعْنِي أَعْنَاقُهَا الَّتِي تَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى الْمَاءِ فَلَا تَحْتَاجُ إِلَى تَقْرِيبِ الرَّاعِي وَمَعُونَتِهِ وَقَوْلُهُ حِذَاؤُهَا يَعْنِي خِفَافَ أَرْجُلِهَا الَّتِي تَقْدِرُ بِهَا عَلَى السَّيْرِ وَطَلَبِ الْمَرْعَى وَتَمْتَنِعُ مِنْ صِغَارِ السِّبَاعِ فَخَالَفَتِ الْغَنَمَ مِنْ هَذِهِ الْوُجُوهِ الثَّلَاثَةِ. وَرَوَى مُطَرِّفُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نُصِيبُ هَوَامِّي الْإِبِلِ فَقَالَ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ حَرْقُ النَّارِ وَهَوَامِّي الْإِبِلِ: هِيَ الْمُهْمَلَةُ الَّتِي لَا رَاعِيَ لَهَا، وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا يَأْوِي الضَّالَّةَ إِلَّا ضَالٌّ ” وروى الشافعي يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنِ الثَّوْرِيِّ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ سُوَيْدِ بْنِ غَفْلَةَ أَنَّهُ سَأَلَ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عن سوط وجده فقال: إن وَجَدْتُ صُرَّةً فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِيهَا مِائَةُ دِينَارٍ فَذَكَرْتُهَا لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ لِي: عَرِّفْهَا حَوْلًا فَإِنْ وَجَدْتَ مَنْ يَعْرِفُهَا فَادْفَعْهَا إِلَيْهِ وَإِلَّا فَاسْتَمْتِعْ بِهَا.

Al-Mawardi berkata: Dan memang seperti itulah yang dikatakan, dan hadis ini adalah dasar dalam masalah luqathah. Hadis ini telah diriwayatkan oleh Imam Syafi‘i dalam al-Umm secara lengkap, bahwa setelah sabda beliau ‘maka terserah engkau terhadapnya’, beliau ditanya tentang hewan kambing yang tersesat, maka beliau bersabda: ‘Itu untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk serigala.’ Lalu beliau ditanya tentang unta yang tersesat, beliau bersabda: ‘Apa urusanmu dengannya? Ia bersama wadah airnya dan sandalnya, ia bisa mendatangi air dan memakan pohon sampai pemiliknya menemukannya.’ Adapun sabda beliau tentang kambing yang tersesat: ‘Itu untukmu’, maksudnya jika engkau mengambilnya; ‘atau untuk saudaramu’, maksudnya jika orang lain yang mengambilnya; ‘atau untuk serigala’, maksudnya jika tidak diambil maka akan dimakan serigala. Adapun sabda beliau tentang unta yang tersesat: ‘Apa urusanmu dengannya’, maksudnya jangan engkau ambil. Sabda beliau ‘bersama wadah airnya’, maksudnya lehernya yang dengannya ia bisa mencapai air, sehingga tidak membutuhkan penggembala dan bantuannya. Sabda beliau ‘sandalnya’, maksudnya adalah telapak kakinya yang dengannya ia mampu berjalan dan mencari rumput serta dapat melindungi diri dari binatang buas kecil, sehingga berbeda dengan kambing dalam tiga hal ini. Diriwayatkan dari Mutarrif bin Abdullah dari ayahnya, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah ﷺ: ‘Wahai Rasulullah, kami menemukan unta-unta liar’, maka beliau bersabda: ‘Hewan tersesat milik seorang mukmin adalah api neraka.’ Adapun unta-unta liar maksudnya adalah yang terabaikan dan tidak ada penggembalanya. Diriwayatkan pula dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: ‘Tidak ada yang menampung hewan tersesat kecuali orang yang sesat.’ Imam Syafi‘i meriwayatkan dari Yahya bin Sa‘id, dari ats-Tsauri, dari Salamah bin Kuhail, dari Suwaid bin Ghaflah, bahwa ia bertanya kepada Ubay bin Ka‘b radhiyallahu ‘anhu tentang cambuk yang ditemukannya, maka ia berkata: ‘Aku pernah menemukan sebuah kantong di masa Rasulullah ﷺ yang berisi seratus dinar, lalu aku sebutkan hal itu kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau bersabda kepadaku: Umumkan selama setahun, jika engkau menemukan orang yang mengenalinya maka serahkan kepadanya, jika tidak maka manfaatkanlah untuk dirimu.’

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ شَرِيكٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّهُ وَجَدَ دِينَارًا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَذَكَرَهُ لَهُ فَأَمَرَهُ أَنْ يُعَرِّفَهُ فَلَمْ يُعْرَفْ فَأَمَرَهُ بِأَكْلِهِ ثُمَّ جَاءَ صَاحِبُهُ فَأَمَرَهُ أَنْ يَغْرُمَهُ.

Dan Imam Syafi‘i meriwayatkan dari Abdul Aziz, dari Syarik, dari ‘Atha’ bin Yasar, dari Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam, bahwa ia menemukan satu dinar pada masa Rasulullah ﷺ, lalu ia menyebutkannya kepada beliau, maka beliau memerintahkannya untuk mengumumkannya. Ketika tidak ada yang mengenalinya, beliau memerintahkannya untuk memanfaatkannya. Kemudian datanglah pemiliknya, maka beliau memerintahkannya untuk menggantinya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ مَا رَوَيْنَا فَاللُّقَطَةُ وَالضَّوَالُّ مُخْتَلِفَانِ فِي الْجِنْسِ وَالْحُكْمِ. فَالضَّوَالُّ الْحَيَوَانُ لِأَنَّهُ يَضِلُّ بِنَفْسِهِ وَسَنَذْكُرُ حُكْمَهُ، وَاللُّقَطَةُ غَيْرُ الْحَيَوَانِ سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِالْتِقَاطِ وَاجِدِهَا لَهَا وَلَهَا حَالَتَانِ إِحْدَاهُمَا أَنْ تُوجَدَ فِي أَرْضٍ مَمْلُوكَةٍ فَلَا يَجُوزُ لِوَاجِدِهَا التَّعَرُّضُ لِأَخْذِهَا وَهِيَ فِي الظَّاهِرِ لِمَالِكِ الْأَرْضِ إِذَا ادَّعَاهَا.

Jika telah tetap apa yang kami riwayatkan, maka luqathah dan adl-dlawall (hewan tersesat) berbeda dalam jenis dan hukumnya. Adl-dlawall adalah hewan, karena ia tersesat dengan sendirinya, dan akan kami sebutkan hukumnya. Sedangkan luqathah adalah selain hewan, dinamakan demikian karena diambil oleh orang yang menemukannya. Luqathah memiliki dua keadaan: pertama, jika ditemukan di tanah milik seseorang, maka tidak boleh bagi yang menemukannya untuk mengambilnya, dan secara lahiriah barang itu menjadi milik pemilik tanah jika ia mengakuinya.

وَرَوَى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سُئِلَ عَنِ اللُّقَطَةِ فَقَالَ مَا كَانَ مِنْهَا فِي طَرِيقٍ مَيْتَاءَ فَعَرِّفْهَا حَوْلًا فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَهِيَ لَكَ وَمَا كَانَ مِنْهَا مِنْ خَرَابٍ فَفِيهَا وَفِي الرِّكَازِ الْخُمْسُ.

Diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa Nabi ﷺ pernah ditanya tentang luqathah (barang temuan), maka beliau bersabda: “Apa yang ditemukan di jalan yang ramai, maka umumkanlah selama setahun. Jika pemiliknya datang, serahkan kepadanya, jika tidak, maka itu menjadi milikmu. Dan apa yang ditemukan di reruntuhan, maka pada barang itu dan pada rikāz (harta terpendam) ada kewajiban seperlima.”

وَقَوْلُهُ فِي طَرِيقٍ مَيْتَاءَ يَعْنِي مَمْلُوكَةً قَدِيمَةً سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِإِتْيَانِ النَّاسِ إِلَيْهَا وَرُوِيَ فِي طَرِيقٍ مَأْتَى سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِإِتْيَانِ النَّاسِ إِلَيْهَا.

Adapun sabdanya ‘di jalan yang ramai’ maksudnya adalah jalan yang telah lama dimiliki dan dinamakan demikian karena banyak orang yang melaluinya. Dan diriwayatkan pula ‘di jalan yang didatangi’, dinamakan demikian karena banyak orang yang mendatanginya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تُوجَدَ فِي أَرْضٍ غَيْرِ مَمْلُوكَةٍ مِنْ مَسْجِدٍ أَوْ طَرِيقٍ أَوْ مَوَاتٍ فَلَا يَخْلُو ذَلِكَ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ تَكُونَ بِمَكَّةَ أَوْ بِغَيْرِ مَكَّةَ فَإِنْ كَانَتْ بِغَيْرِ مَكَّةَ مِنْ سَائِرِ الْبِلَادِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ ظَاهِرٍ وَمَدْفُونٍ فَإِنْ كَانَ ظَاهِرًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Keadaan kedua: Jika barang temuan itu ditemukan di tanah yang tidak dimiliki, seperti masjid, jalan, atau tanah mati (tidak bertuan), maka hal itu tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi ditemukan di Makkah atau di selain Makkah. Jika ditemukan di selain Makkah dari negeri-negeri lain, maka terbagi menjadi dua: yang tampak di permukaan dan yang terpendam. Jika yang tampak di permukaan, maka terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: مَا لَا يَبْقَى كَالطَّعَامِ الرَّطْبِ فَلَهُ حُكْمٌ نَذْكُرُهُ مِنْ بَعْدُ وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ مِمَّا يَبْقَى كَالدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ وَالثِّيَابِ وَالْحُلِيِّ وَالْقُمَاشِ فَهَذِهِ هِيَ اللُّقَطَةُ الَّتِي قَالَ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” اعْرِفْ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا وَعَرِّفْهَا حَوْلًا فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَشَأْنُكَ بِهَا ” فَعَلَيْهِ أَنْ يُقِيمَ لِشُرُوطِ تَعْرِيفِهَا ثُمَّ لَهُ بَعْدَ الْحَوْلِ إِنْ لَمْ يَأْتِ صَاحِبُهَا أَنْ يَتَمَلَّكَهَا، وَإِنْ كَانَ مَدْفُونًا فَضَرْبَانِ جَاهِلِيٌّ وَإِسْلَامِيٌّ فَإِنْ كَانَ إِسْلَامِيًّا فَلُقَطَةٌ أَيْضًا وَهِيَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا وَإِنْ كان جاهليا فهو ركاز يملكه واجده وعليه اخراج خمسه في مصارف الزكوات لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وفي الركاز الخمس وروي عنه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” وَفِي السِّيُوبِ الْخُمُسُ ” يَعْنِي الرِّكَازُ قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ وَلَا أَرَاهُ أُخِذَ إِلَّا مِنَ السَّيْبِ وَهُوَ الْعَطِيَّةُ.

Pertama: Barang yang tidak tahan lama seperti makanan basah, maka ada hukum tersendiri yang akan disebutkan kemudian. Kedua, barang yang tahan lama seperti dirham, dinar, pakaian, perhiasan, dan kain, maka inilah luqathah yang Rasulullah ﷺ bersabda tentangnya: “Kenalilah bungkus dan talinya, dan umumkanlah selama setahun. Jika pemiliknya datang, serahkan kepadanya. Jika tidak, maka terserah engkau.” Maka wajib baginya memenuhi syarat-syarat pengumuman, kemudian setelah setahun jika pemiliknya tidak datang, ia boleh memilikinya. Jika barang itu terpendam, maka terbagi menjadi dua: harta jahiliyah dan harta Islam. Jika harta Islam, maka itu juga luqathah dan hukumnya seperti yang telah disebutkan. Jika harta jahiliyah, maka itu rikāz yang dimiliki oleh orang yang menemukannya dan ia wajib mengeluarkan seperlimanya untuk pos-pos zakat, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Pada rikāz ada kewajiban seperlima.” Dan diriwayatkan dari beliau ﷺ bahwa beliau bersabda: “Pada as-siyūb ada seperlima,” maksudnya rikāz. Abu ‘Ubaid berkata: “Aku tidak mengetahui as-siyūb diambil kecuali dari as-sayb, yaitu pemberian.”

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ كَانَتِ اللُّقَطَةُ بِمَكَّةَ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّهُ لَيْسَ لِوَاجِدِهَا أَنْ يَتَمَلَّكَهَا وَعَلَيْهِ إِنْ أَخَذَهَا أَنْ يُقِيمَ بِتَعْرِيفِهَا أَبَدًا بِخِلَافِ سَائِرِ الْبِلَادِ.

Jika luqathah itu ditemukan di Makkah, maka menurut mazhab asy-Syafi‘i rahimahullah, orang yang menemukannya tidak boleh memilikinya. Jika ia mengambilnya, maka ia wajib terus-menerus mengumumkannya selamanya, berbeda dengan di negeri-negeri lain.

وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: مَكَّةُ وَغَيْرُهَا سَوَاءٌ فِي اللُّقَطَةِ اسْتِدْلَالًا بِعُمُومِ الْخَبَرِ وَهَذَا خَطَأٌ، لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ فَلَا يختلى خلاءها وَلَا يُعَضَدُ شَجَرُهَا وَلَا يُنَفَّرُ صَيْدُهَا وَلَا تَحِلُّ لُقَطَتُهَا إِلَّا لِمُنْشِدٍ ” وَفِي الْمُنْشِدِ تَأْوِيلَانِ أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عُبَيْدٍ أَنَّهُ صَاحِبُهَا الطَّالِبُ وَالنَّاشِدُ هُوَ الْمُعَرِّفُ الْوَاجِدُ لَهَا قَالَ الشاعر:

Sebagian ulama kami berkata: “Makkah dan selainnya sama saja dalam hukum luqathah, berdasarkan keumuman hadits.” Ini adalah pendapat yang keliru, karena diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan Makkah, maka tidak boleh dipotong rumputnya, tidak boleh ditebang pohonnya, tidak boleh diusir hewannya, dan tidak halal luqathah-nya kecuali bagi orang yang mengumumkannya.” Tentang makna al-munsyid ada dua penafsiran: salah satunya, menurut Abu ‘Ubaid, adalah pemilik barang yang mencarinya, sedangkan an-nāsyid adalah orang yang mengumumkan barang temuan itu. Penyair berkata:

(يصيح للنبأة أسماعه … إصاحة النَّاشِدِ لِلْمُنْشِدِ)

(Dia memasang telinganya untuk kabar, seperti orang yang mencari barang hilang kepada orang yang mengumumkannya.)

فَكَأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا إِلَّا صَاحِبُهَا الَّتِي هِيَ لَهُ دُونَ الْوَاجِدِ، وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْمُنْشِدَ الْوَاجِدُ الْمُعَرِّفُ وَالنَّاشِدَ هُوَ الْمَالِكُ الطَّالِبُ. وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَمِعَ رَجُلًا يُنْشِدُ ضَالَّةً فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ: ” أَيُّهَا النَّاشِدُ غَيْرُكَ الْوَاجِدُ ” مَعْنَاهُ لَا وَجَدْتَ كَأَنَّهُ دَعَا عَلَيْهِ فَعَلَى هَذَا التَّأْوِيلِ مَعْنَى قَوْلِهِ لَا تَحِلُّ لُقَطَتُهَا إِلَّا لِمُنْشِدٍ أَيْ لِمُعَرِّفٍ يُقِيمُ عَلَى تَعْرِيفِهَا وَلَا يَتَمَلَّكُهَا فَكَانَ فِي كِلَا التَّأْوِيلَيْنِ دَلِيلٌ عَلَى تَحْرِيمِ تَمَلُّكِهَا وَلِأَنَّ مَكَّةَ لَمَّا بَايَنَتْ غَيْرَهَا فِي تَحْرِيمِ صَيْدِهَا وَشَجَرِهَا تَغْلِيظًا لِحُرْمَتِهَا بَايَنَتْ غَيْرَهَا فِي مِلْكِ اللُّقَطَةِ وَلِأَنَّ مَكَّةَ لَا يَعُودُ الْخَارِجُ مِنْهَا غَالِبًا إِلَّا بَعْدَ حَوْلٍ إِنْ عَادَ فَلَمْ يَنْتَشِرْ إِنْشَادُهَا فِي الْبِلَادِ كُلِّهَا فَلِذَلِكَ وَجَبَ عَلَيْهِ إِدَامَةُ تَعْرِيفِهَا وَلَا فَرْقَ بَيْنَ مَكَّةَ وَبَيْنَ سَائِرِ الْحَرَمِ لِاسْتِوَاءِ جَمِيعِ ذَلِكَ فِي الْحُرْمَةِ فَأَمَّا عَرَفَةُ وَمُصَلَّى إِبْرَاهِيمَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَفِيهِ وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ حِلٌّ تَحِلُّ لُقَطَتُهُ قِيَاسًا عَلَى جَمِيعِ الْحِلِّ وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ كَالْحَرَمِ لَا تَحِلُّ لُقَطَتُهُ إِلَّا لِمُنْشِدٍ لِأَنَّ ذَلِكَ مَجْمَعُ الْحَاجِّ وَيَنْصَرِفُ النِّفَارُ مِنْهُ فِي سَائِرِ الْبِلَادِ كَالْحَرَمِ ثُمَّ اخْتَلَفُوا فِي جَوَازِ إِنْشَادِهَا فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ مَعَ اتِّفَاقِهِمْ عَلَى تَحْرِيمِ إِنْشَادِهَا فِي غَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ عَلَى وَجْهَيْنِ أَصَحُّهُمَا جَوَازُهُ اعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ وَأَنَّهُ مَجْمَعُ الناس.

Seakan-akan Nabi -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak halal bagi siapa pun untuk memilikinya kecuali pemiliknya, yaitu orang yang memang memilikinya, bukan orang yang menemukannya.” Tafsir kedua, yaitu pendapat asy-Syāfi‘ī, bahwa al-munsyid adalah orang yang menemukan dan mengumumkan, sedangkan an-nāsyid adalah pemilik yang sedang mencari. Diriwayatkan bahwa Nabi -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- mendengar seseorang mengumumkan barang hilang di masjid, lalu beliau bersabda: “Wahai pencari, bukan engkau yang menemukannya,” maksudnya: “Semoga engkau tidak menemukannya,” seakan-akan beliau mendoakan keburukan baginya. Maka menurut tafsir ini, makna sabda beliau “tidak halal barang temuan di sana kecuali bagi al-munsyid” adalah bagi orang yang mengumumkannya dan terus mengumumkannya, bukan untuk memilikinya. Maka dalam kedua tafsir tersebut terdapat dalil atas haramnya memiliki barang temuan itu. Karena Makkah berbeda dengan selainnya dalam keharaman berburu dan menebang pohonnya sebagai bentuk penegasan atas kehormatannya, maka ia juga berbeda dengan selainnya dalam kepemilikan barang temuan. Selain itu, orang yang keluar dari Makkah umumnya tidak kembali kecuali setelah setahun, jika pun kembali, pengumuman barang hilang itu tidak tersebar ke seluruh negeri. Oleh karena itu, wajib baginya untuk terus-menerus mengumumkannya. Tidak ada perbedaan antara Makkah dan seluruh wilayah ḥaram, karena semuanya sama dalam hal kehormatan. Adapun ‘Arafah dan Mushallā Ibrāhīm -‘alaihis salām-, terdapat dua pendapat: salah satunya, bahwa itu adalah wilayah halal, sehingga barang temuannya halal sebagaimana di seluruh wilayah halal; pendapat kedua, bahwa itu seperti ḥaram, sehingga barang temuannya tidak halal kecuali bagi al-munsyid, karena itu adalah tempat berkumpulnya para haji dan orang-orang yang pergi darinya menyebar ke seluruh negeri seperti di ḥaram. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang bolehnya mengumumkan barang hilang di Masjidil Haram, meskipun mereka sepakat atas haramnya mengumumkan barang hilang di masjid-masjid lain. Ada dua pendapat, yang paling kuat adalah bolehnya, dengan pertimbangan kebiasaan (‘urf) dan karena itu adalah tempat berkumpulnya manusia.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وبهذا أقول وَالْبَقَرُ كَالْإِبِلِ لِأَنَّهُمَا يَرِدَانِ الْمِيَاهَ وَإِنْ تَبَاعَدَتْ ويعيشان أكثر عيشهما بلا راع فليس له أن يعرض لواحد منهما والمال والشاة لا يدفعان عن أنفسهما فإن وجدهما في مهلكة فله أكلهما وغرمهما إذا جاء صاحبهما (وقال) فيما وضعه بخطه لا أعلمه بسمع منه والخيل والبغال والحمير كالبعير لأن كلها قوي ممتنع من صغار السباع بعيد الأثر في الأرض ومثلها الظبي للرجل والأرنب والطائر لبعده في الأرض وامتناعه في السرعة “.

Asy-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata: “Dan dengan ini aku berpendapat, bahwa sapi hukumnya seperti unta, karena keduanya mendatangi sumber air meskipun berjauhan, dan keduanya dapat hidup lebih banyak tanpa penggembala. Maka tidak boleh seseorang mengambil salah satu dari keduanya. Sedangkan harta dan kambing tidak dapat melindungi diri mereka sendiri. Jika seseorang menemukannya di tempat yang membinasakan, maka ia boleh memakannya dan wajib menggantinya jika pemiliknya datang. (Beliau juga berkata) dalam tulisan tangannya sendiri, aku tidak mengetahui ini didengar darinya: kuda, bagal, dan keledai hukumnya seperti unta, karena semuanya kuat, mampu melindungi diri dari hewan buas kecil, dan jejaknya jauh di tanah. Demikian pula kijang bagi laki-laki, kelinci, dan burung, karena jauhnya di tanah dan kemampuannya menghindar dengan cepat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ ضَوَالَّ الْحَيَوَانِ إِذَا وُجِدَتْ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أن توجد في مصر أو في صحراء فإن وجدت في مصر فيأتي وَإِنْ وُجِدَتْ فِي صَحْرَاءَ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ مِمَّا يَصِلُ بِنَفْسِهِ إِلَى الْمَاءِ وَالرَّعْيِ وَيَدْفَعُ عَنْ نَفْسِهِ صِغَارَ السِّبَاعِ إِمَّا لِقُوَّةِ جِسْمِهِ كَالْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْخَيْلِ وَالْبِغَالِ والحمير وأما لبعد أثره كالغزال والأرانب والطير فبهذا النَّوْعِ لَا يَجُوزُ لِوَاجِدِهِ أَنْ يَتَعَرَّضَ لِأَخْذِهِ إِذَا لَمْ يَعْرِفْ مَالِكَهُ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في ضوال الإبل مالك وَلَهَا مَعَهَا حِذَاؤُهَا وَسِقَاؤُهَا تَرِدُ الْمَاءَ وَتَأْكُلُ الشَّجَرَ ذَرْهَا حَتَّى تَلْقَى رَبَّهَا، وَلِأَنَّهَا تَحْفَظُ أَنْفُسَهَا فَلَمْ يَكُنْ لِصَاحِبِهَا حَظٌّ فِي أَخْذِهَا، فَإِنْ أَخَذَهَا لَمْ يَخْلُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَأْخُذَهَا لُقَطَةً لِيَمْتَلِكَهَا إِنْ لَمْ يأتي صَاحِبُهَا فَهَذَا مُتَعَدٍّ وَعَلَيْهِ ضَمَانُهَا فَإِنْ أَرْسَلَهَا لَمْ يَسْقُطِ الضَّمَانُ. وَقَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ قَدْ سَقَطَ الضَّمَانُ عَنْهُ بِالْإِرْسَالِ بِنَاءً عَلَى مَنْ تَعَدَّى فِي وَدِيعَةٍ ثُمَّ كَفَّ عَنِ التَّعَدِّي فَعِنْدَهُمَا يَسْقُطُ الضَّمَانُ عَنْهُ وَعِنْدَنَا لَا يَسْقُطُ فَإِنْ لَمْ يُرْسِلْهَا وَلَكِنْ دَفَعَهَا إِلَى مَالِكِهَا فَقَدْ سَقَطَ عَنْهُ ضَمَانُهَا بِأَدَائِهَا إِلَى مُسْتَحِقِّهَا وَإِنْ دَفَعَهَا إِلَى الْحَاكِمِ عِنْدَ تَعَذُّرِ الْمَالِكِ فَفِي سُقُوطِ الضَّمَانِ وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa hewan-hewan yang tersesat (ḍawāll al-ḥayawān) apabila ditemukan, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi ditemukan di pemukiman (miṣr) atau di padang pasir (ṣaḥrā’). Jika ditemukan di pemukiman, maka… Dan jika ditemukan di padang pasir, maka terbagi menjadi dua jenis. Pertama, hewan yang mampu mencapai air dan padang rumput sendiri serta dapat melindungi dirinya dari binatang buas kecil, baik karena kekuatan tubuhnya seperti unta, sapi, kuda, bagal, dan keledai, atau karena jejaknya yang sulit diikuti seperti kijang, kelinci, dan burung. Untuk jenis ini, tidak boleh bagi orang yang menemukannya untuk mengambilnya jika ia tidak mengetahui pemiliknya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ tentang unta yang tersesat: “Ia memiliki pemiliknya, dan bersamanya ada alas kakinya dan wadah minumnya, ia akan mendatangi air dan memakan pepohonan, biarkanlah ia hingga bertemu dengan Tuhannya.” Karena hewan-hewan ini dapat menjaga dirinya sendiri, maka pemiliknya tidak memiliki hak untuk mengambilnya. Jika seseorang mengambilnya, maka ada dua kemungkinan: jika ia mengambilnya sebagai luqaṭah (barang temuan) untuk dimiliki jika pemiliknya tidak datang, maka ia telah melampaui batas dan ia wajib menanggung (menjamin) hewan itu. Jika ia melepaskannya, kewajiban jaminan tidak gugur. Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa kewajiban jaminan gugur dengan melepaskannya, berdasarkan analogi dengan orang yang melampaui batas dalam menjaga titipan, lalu ia berhenti melampaui batas, maka menurut keduanya kewajiban jaminan gugur, sedangkan menurut kami tidak gugur. Jika ia tidak melepaskannya, tetapi mengembalikannya kepada pemiliknya, maka gugurlah kewajiban jaminannya karena telah diserahkan kepada yang berhak. Jika ia menyerahkannya kepada hakim karena pemiliknya tidak ditemukan, maka dalam hal gugurnya kewajiban jaminan terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَدْ سَقَطَ لِأَنَّ الْحَاكِمَ نَائِبٌ عَمَّنْ غَابَ وَالثَّانِي لَا يَسْقُطُ لِأَنَّهَا قَدْ تَكُونُ لِحَاضِرٍ لَا يولى عليه.

Pertama: gugur, karena hakim adalah wakil dari orang yang tidak hadir. Kedua: tidak gugur, karena bisa jadi hewan itu milik orang yang hadir yang tidak diangkat wali atasnya.

والحالة الثَّانِيَةُ: أَلَّا يَأْخُذَهَا لُقَطَةً وَلَكِنْ يَأْخُذُهَا حِفْظًا عَلَى مَالِكِهَا فَإِنْ كَانَ عَارِفًا بِمَالِكِهَا لَمْ يَضْمَنْ وَيَدُهُ يَدُ أَمَانَةٍ حَتَّى تَصِلَ إِلَى الْمَالِكِ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ عَارِفٍ لِلْمَالِكِ فَفِي وُجُوبِ الضَّمَانِ وَجْهَانِ، أَحَدُهُمَا: لَا ضَمَانَ لِأَنَّهُ مِنَ التَّعَاوُنِ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى، وَالْوَجْهُ الثَّانِي: عَلَيْهِ الضَّمَانُ لِأَنَّهُ لَا وِلَايَةَ لَهُ عَلَى غَائِبٍ فَإِنْ كَانَ وَالِيًا كَالْإِمَامِ أَوِ الْحَاكِمِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ فَقَدْ رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَتْ لَهُ حَظِيرَةٌ يَحْظُرُ فِيهَا ضَوَالَّ الْإِبِلِ فَهَذَا حُكْمُ أَحَدِ الضَّرْبَيْنِ.

Adapun keadaan kedua: ia tidak mengambilnya sebagai luqaṭah, tetapi mengambilnya untuk menjaga atas nama pemiliknya. Jika ia mengetahui pemiliknya, maka ia tidak wajib menanggungnya dan tangannya adalah tangan amanah hingga sampai kepada pemiliknya. Jika ia tidak mengetahui pemiliknya, maka dalam kewajiban jaminan terdapat dua pendapat. Pertama: tidak wajib jaminan, karena ini termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Kedua: ia wajib menanggungnya, karena ia tidak memiliki wewenang atas barang orang yang tidak hadir. Jika ia adalah wali seperti imam atau hakim, maka tidak ada kewajiban jaminan atasnya. Diriwayatkan bahwa Umar ra. memiliki kandang tempat ia menampung unta-unta yang tersesat. Inilah hukum salah satu dari dua jenis tersebut.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا لَا يَدْفَعُ عَنْ نَفْسِهِ وَيَعْجِزُ عَنِ الْوُصُولِ إِلَى الْمَاءِ وَالرَّعْيِ كَالْغَنَمِ وَالدَّجَاجِ فَلَوْ أَخَذَهُ فَأَكَلَهُ فِي الْحَالِ مِنْ غَيْرِ تَعْرِيفٍ غَنِيًّا كَانَ أَوْ فَقِيرًا فَعَلَيْهِ غُرْمُهُ لِمَالِكِهِ إِنْ وَجَدَهُ وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة وَقَالَ مَالِكٌ وَدَاوُدُ هُوَ غَيْرُ مَضْمُونٍ وَيَأْكُلُهُ أَكْلَ إِبَاحَةٍ وَلَا غُرْمَ عَلَيْهِ فِي اسْتِهْلَاكِهِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” هِيَ لَكَ أَوْ لِأَخِيكَ أَوْ لِلذِّئْبِ ” وَمَعْلُومٌ أَنَّ مَا اسْتَهْلَكَهُ الذِّئْبُ هَدَرٌ لَا يُضْمَنُ وَإِنَّمَا أَرَادَ بَيَانَ حُكْمِ الْأَخْذِ فِي سُقُوطِ الضَّمَانِ وَلِأَنَّ مَا اسْتَبَاحَ أَخْذَهُ مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ إِذَا لَمْ يَلْزَمْهُ تَعْرِيفُهُ لَمْ يَلْزَمْهُ غُرْمُهُ كَالدَّرَاهِمِ. وَدَلِيلُنَا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ ” وَلِأَنَّهَا لُقَطَةٌ يَلْزَمُهُ رَدُّهَا مَعَ بقائها فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ غُرْمُهَا عِنْدَ اسْتِهْلَاكِهَا قِيَاسًا عَلَى اللُّقَطَةِ فِي الْأَمْوَالِ وَلِأَنَّهَا ضَالَّةٌ فَوَجَبَ أَنْ تُضْمَنَ بِالِاسْتِهْلَاكِ كَالْإِبِلِ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” هِيَ لَكَ أَوْ لِأَخِيكَ أَوْ لِلذِّئْبِ ” فَهُوَ أَنَّهُ نَبَّهَ بِذَلِكَ عَلَى إِبَاحَةِ الْأَخْذِ وَجَوَازِ الْأَكْلِ دُونَ الْغُرْمِ وَأَمَّا الرِّكَازُ فَلِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُ رَدُّهُ فَلِذَلِكَ سَقَطَ غُرْمُهُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الشَّاةُ لِأَنَّ رَدَّهَا وَاجِبٌ فَصَارَ غُرْمُهَا وَاجِبًا.

Jenis kedua: yaitu hewan yang tidak dapat mempertahankan dirinya sendiri dan tidak mampu mencapai air dan rumput, seperti kambing dan ayam. Jika seseorang mengambilnya lalu langsung memakannya tanpa mengumumkannya, baik ia kaya maupun miskin, maka ia wajib menggantinya kepada pemiliknya jika pemiliknya ditemukan. Inilah pendapat Abū Ḥanīfah. Sedangkan Mālik dan Dāwūd berpendapat bahwa ia tidak wajib mengganti dan boleh memakannya sebagai bentuk kebolehan, serta tidak ada kewajiban ganti rugi atas konsumsi tersebut, dengan dalil sabda Nabi ﷺ: “Itu untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk serigala.” Telah diketahui bahwa apa yang dimakan serigala adalah sia-sia dan tidak wajib diganti, dan maksud Nabi adalah menjelaskan hukum pengambilan dalam hal gugurnya kewajiban ganti rugi. Dan karena sesuatu yang boleh diambil tanpa darurat, jika tidak wajib diumumkan, maka tidak wajib pula menggantinya, seperti dirham. Dalil kami adalah sabda Nabi ﷺ: “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.” Dan karena ia adalah luqaṭah yang wajib dikembalikan selama masih ada, maka wajib pula menggantinya jika telah dikonsumsi, qiyās dengan luqaṭah pada harta benda. Dan karena ia adalah hewan yang tersesat, maka wajib diganti jika dikonsumsi, seperti unta. Adapun jawaban atas sabda Nabi ﷺ: “Itu untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk serigala,” adalah bahwa beliau hanya menunjukkan kebolehan mengambil dan memakannya, bukan gugurnya kewajiban ganti rugi. Adapun rikāz, karena tidak wajib dikembalikan, maka tidak ada kewajiban ganti rugi. Tidak demikian halnya dengan kambing, karena wajib dikembalikan, sehingga wajib pula menggantinya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ أَخْذِ الشَّاةِ وَمَا لَا يَدْفَعُ عَنْ نَفْسِهِ وَإِبَاحَةِ أَكْلِهِ وَوُجُوبِ غرمه فَكَذَلِكَ صِغَارُ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ لِأَنَّهَا لَا تَمْنَعُ عَنْ أَنْفُسِهَا كَالْغَنَمِ ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُ وَاجِدِ الشَّاةِ وَمَا فِي مَعْنَاهَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ:

Jika telah tetap kebolehan mengambil kambing dan hewan yang tidak dapat mempertahankan dirinya sendiri serta kebolehan memakannya dan kewajiban menggantinya, maka demikian pula anak unta dan sapi, karena mereka juga tidak dapat mempertahankan dirinya seperti kambing. Kemudian, keadaan orang yang menemukan kambing dan yang semisal dengannya tidak lepas dari empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَأْكُلَهَا فَيَلْزَمَهُ غُرْمُ ثَمَنِهَا قَبْلَ الذَّبْحِ عِنْدَ الْأَخْذِ فِي اسْتِهْلَاكِهَا وَيَكُونُ ذَلِكَ مُبَاحًا لَا يَأْثَمُ بِهِ وَإِنْ غُرِمَ.

Pertama: Ia memakannya, maka ia wajib mengganti harganya sebelum disembelih, yaitu saat diambil untuk dikonsumsi, dan hal itu dibolehkan serta tidak berdosa meskipun ia wajib mengganti.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَتَمَلَّكَهَا لِيَسْتَبْقِيَهَا حَيَّةً لِدَرٍّ أَوْ نَسْلٍ فَذَلِكَ لَهُ لِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَبَاحَ تَمَلُّكَهَا مَعَ اسْتِهْلَاكِهَا فَأَوْلَى أَنْ يَسْتَبِيحَ تَمَلُّكَهَا مَعَ اسْتِبْقَائِهَا ثُمَّ فِي صِحَّةِ ضَمَانِهَا وَجْهَانِ كَالْعَارِيَةِ مَخْرَجًا وَفِي اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي ضَمَانِ الصَّدَاقِ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ ضَامِنٌ لِقِيمَتِهَا فِي الْوَقْتِ الَّذِي يَمْلِكُهَا فِيهِ، وَالثَّانِي أَنَّهُ ضَامِنٌ لِقِيمَتِهَا أكثر ما كانت من حين وقت التملك إِلَى وَقْتِ التَّلَفِ فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَهِيَ بَاقِيَةٌ وَقَدْ أَخَذَ الْوَاجِدُ دَرَّهَا وَنَسْلَهَا كَانَ الدَّرُّ وَالنَّسْلُ لِلْوَاجِدِ لِحُدُوثِهِ عَلَى مِلْكِهِ وَلِلْمَالِكِ أن يرجع بها دون قيمتها فإن بذلك لَهُ الْوَاجِدُ قِيمَتَهَا لَمْ يُجْبَرْ عَلَى أَخْذِهَا مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهَا إِلَّا أَنْ يَتَرَاضَيَا عَلَى ذَلِكَ فَيَجُوزُ فَلَوْ كَانَتِ الشَّاةُ حِينَ رَجَعَ الْمَالِكُ بِهَا زَائِدَةً فِي بَدَنِهَا أَوْ قِيمَتِهَا لَمْ يَكُنْ لِلْوَاجِدِ حَقٌّ فِي الزِّيَادَةِ وَكَانَتْ لِلْمَالِكِ تَبَعًا لِلْأَصْلِ وَلَوْ كَانَتْ نَاقِصَةً رَجَعَ الْمَالِكُ بِنَقْصِهَا عَلَى الْوَاجِدِ، لِأَنَّهَا مَضْمُونَةٌ بِالتَّلَفِ فَكَانَتْ مَضْمُونَةً بِالنَّقْصِ.

Keadaan kedua: Ia memilikinya untuk dipelihara hidup-hidup demi diambil susunya atau dikembangbiakkan. Maka itu boleh baginya, karena jika ia boleh memilikinya untuk dikonsumsi, maka lebih utama lagi boleh memilikinya untuk dipelihara. Kemudian, dalam hal kewajiban ganti rugi atasnya terdapat dua pendapat, seperti pada barang pinjaman, dan dalam perbedaan dua pendapat mengenai jaminan mahar: salah satunya, ia wajib menjamin nilainya pada waktu ia memilikinya; yang kedua, ia wajib menjamin nilai tertingginya sejak waktu kepemilikan hingga waktu rusaknya. Jika pemiliknya datang dan hewan itu masih ada, sedangkan si penemu telah mengambil susunya atau anaknya, maka susu dan anaknya menjadi milik penemu karena terjadi saat berada dalam kepemilikannya, dan pemilik boleh mengambil hewannya tanpa nilainya. Jika penemu telah memberikan nilainya, maka ia tidak dipaksa mengambil hewan itu selama masih ada kecuali jika keduanya sepakat, maka itu boleh. Jika kambing itu saat dikembalikan kepada pemiliknya menjadi lebih gemuk atau lebih mahal, maka penemu tidak berhak atas kelebihan itu dan semuanya menjadi milik pemilik sebagai bagian dari pokoknya. Jika hewan itu berkurang, maka pemilik menuntut kekurangannya dari penemu, karena ia wajib diganti jika rusak, maka wajib pula diganti jika berkurang.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَسْتَبْقِيَهَا فِي يَدِهِ أَمَانَةً لِصَاحِبِهَا فَذَلِكَ لَهُ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا عَلَى صَاحِبِهَا فَأَوْلَى أَنْ يَحْفَظَهَا لِصَاحِبِهَا وَلَا يَلْزَمُهُ تَعْرِيفُهَا لِأَنَّ مَا جَازَ تَمَلُّكُهُ سَقَطَ تَعْرِيفُهُ وَلَا يَلْزَمُهُ إِخْبَارُ الْحَاكِمِ بِهَا وَلَا الْإِشْهَادُ عَلَيْهَا بَلْ إِذَا وَجَدَ صَاحِبَهَا سَلَّمَهَا إِلَيْهِ وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ مُدَّةَ إِمْسَاكِهَا لِصَاحِبِهَا لَوْ تَلَفَتَ أَوْ نَقَصَتْ لِأَنَّ يَدَهُ يَدُ أَمَانَةٍ كَالْمُعَرِّفِ. وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا وَجْهًا آخَرَ إِنَّهُ يَضْمَنُهَا لِأَنَّ إِبَاحَةَ أَخْذِهَا مَقْصُورٌ عَلَى الْأَكْلِ الْمُوجِبِ لِلضَّمَانِ دُونَ الِائْتِمَانِ وَهَكَذَا الْقَوْلُ فِيمَا حَدَثَ مَنْ دَرِّهَا وَلَبَنِهَا عَلَى الْمَذْهَبِ لَا يَضْمَنُهُ، وَعَلَى هَذَا الْوَجْهِ يَضْمَنُهُ، فَإِنْ أَنْفَقَ عَلَيْهَا أَكْثَرَ مِنْ مُؤْنَةِ عُلُوفَتِهَا فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ مِنْهُ مَعَ وُجُودِ حِمًى لِلْمُسْلِمِينَ تَرْعَى فِيهِ فَهُوَ مُتَطَوِّعٌ بِالنَّفَقَةِ وَلَيْسَ لَهُ الرُّجُوعُ بِهَا، وَإِنْ كَانَ مَعَ عَدَمِ الْحِمَى فَإِنْ كَانَ عَنْ إِذْنِ الْحَاكِمِ رَجَعَ بِمَا أَنْفَقَ، وَإِنْ كَانَ عَنْ غَيْرِ إِذْنِهِ فَإِنْ كَانَ قَادِرًا عَلَى اسْتِئْذَانِهِ لَمْ يَرْجِعْ بِهَا، وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى اسْتِئْذَانِهِ فَإِنْ لَمْ يُشْهِدْ لَمْ يَرْجِعْ وَإِنْ أَشْهَدَ فَفِي رُجُوعِهِ بِهَا وَجْهَانِ:

Keadaan ketiga: Jika ia membiarkannya tetap di tangannya sebagai amanah untuk pemiliknya, maka itu dibolehkan baginya. Sebab, ketika ia diperbolehkan untuk memilikinya dari pemiliknya, maka menjaga barang itu untuk pemiliknya tentu lebih utama. Ia tidak wajib mengumumkannya, karena sesuatu yang boleh dimiliki, gugur kewajiban pengumumannya. Ia juga tidak wajib memberitahukan kepada hakim atau menghadirkan saksi atasnya. Namun, jika ia menemukan pemiliknya, ia harus menyerahkannya kepadanya. Ia tidak menanggung ganti rugi selama masa penyimpanan barang itu untuk pemiliknya, jika barang itu rusak atau berkurang, karena tangannya adalah tangan amanah seperti orang yang mengumumkan barang temuan. Sebagian ulama mazhab kami berpendapat lain, yaitu ia tetap menanggung ganti rugi, karena kebolehan mengambil barang itu hanya terbatas untuk dimakan, yang mewajibkan ganti rugi, bukan untuk disimpan sebagai amanah. Demikian pula hukum atas hasil yang muncul dari barang itu, seperti bulu dan susunya, menurut mazhab tidak wajib menggantinya, namun menurut pendapat lain ia wajib menggantinya. Jika ia mengeluarkan biaya lebih dari kebutuhan pakan biasanya, maka jika itu dilakukan padahal ada padang rumput milik kaum muslimin yang bisa digunakan, maka ia dianggap sukarela dalam menafkahi dan tidak berhak meminta kembali biaya tersebut. Namun jika tidak ada padang rumput, maka jika atas izin hakim, ia boleh meminta kembali biaya yang dikeluarkan. Jika tanpa izin hakim, dan ia mampu meminta izin, maka ia tidak boleh meminta kembali. Jika ia tidak mampu meminta izin, lalu ia tidak menghadirkan saksi, maka ia tidak boleh meminta kembali. Namun jika ia menghadirkan saksi, maka dalam hal boleh tidaknya meminta kembali ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَرْجِعُ لِلضَّرُورَةِ، وَالثَّانِي: لَا يَرْجِعُ لِئَلَّا يَكُونَ حَاكِمَ نَفْسِهِ. فَلَوْ أَرَادَ بَعْدَ إِمْسَاكِهَا أَمَانَةً أَنْ يَتَمَلَّكَهَا فَفِي جَوَازِهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا لَهُ ذَلِكَ كَالِابْتِدَاءِ وَالثَّانِي لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ لِاسْتِقْرَارِ حُكْمِهَا فَأَمَّا إِنْ أَرَادَ أَنْ يَتَمَلَّكَ دَرَّهَا وَنَسْلَهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَمَلَّكَ أَصْلَهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ وَجْهًا وَاحِدًا لِأَنَّهُ فَرْعٌ يَتْبَعُ أَصْلَهُ فَلَوْ أَرْسَلَهَا بَعْدَ إِمْسَاكِهَا أَمَانَةً لَزِمَهُ الضَّمَانُ إِلَّا أَنْ يَدْفَعَهَا إِلَى حَاكِمٍ فَلَا يَضْمَنُ وَلَوْ نَوَى تَمَلُّكَهَا ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَرْفَعَ مِلْكَهُ عَنْهَا لِتَكُونَ أَمَانَةً لِصَاحِبِهَا، لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ ضَمَانُهَا، وَفِي ارْتِفَاعِ مِلْكِهِ عَنْهَا وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا لَا يَرْتَفِعُ مِلْكُهُ لِأَنَّ الْمِلْكَ لَا يَزُولُ إِلَّا بِقَبُولِ الْمُتَمَلِّكِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ مَالِكًا لِمَا حَدَثَ مِنْ دَرِّهَا وَلَبَنِهَا لِبَقَائِهَا عَلَى مِلْكِهِ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَرْتَفِعُ مِلْكُهُ عَنْهَا مَعَ بَقَاءِ ضَمَانِهَا وَذَلِكَ أَحْوَطُ لِمَالِكِهَا فَوَجْهُ ذَلِكَ أَنَّهُ لَمَّا جَازَ أن يَتَمَلَّكَهَا مِنْ غَيْرِ بَذْلِ مَالِكِهَا جَازَ أَنْ يَزُولَ مِلْكُهُ عَنْهَا مِنْ غَيْرِ قَبُولِ مُتَمَلِّكِهَا. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْحَادِثُ مَنْ دَرِّهَا وَنَسْلِهَا مِلْكًا لِرَبِّهَا تَبَعًا لِأَصْلِهَا وَعَلَيْهِ ضَمَانُهُ كَالْأَصْلِ.

Pertama: Ia boleh meminta kembali karena darurat. Kedua: Ia tidak boleh meminta kembali agar tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri. Jika setelah menyimpannya sebagai amanah, ia ingin memilikinya, maka dalam kebolehannya terdapat dua pendapat: Pertama, ia boleh memilikinya seperti sejak awal; kedua, ia tidak boleh memilikinya karena hukum barang itu sudah tetap. Adapun jika ia ingin memiliki hasil seperti bulu dan anaknya tanpa memiliki induknya, maka itu tidak boleh menurut satu pendapat, karena hasil itu mengikuti induknya. Jika ia melepaskannya setelah menyimpannya sebagai amanah, maka ia wajib mengganti rugi kecuali jika ia menyerahkannya kepada hakim, maka ia tidak menanggung ganti rugi. Jika ia berniat memilikinya, lalu ingin melepaskan kepemilikannya agar menjadi amanah bagi pemiliknya, maka kewajiban ganti rugi tidak gugur darinya. Dalam hal lepasnya kepemilikan darinya terdapat dua pendapat: Pertama, kepemilikannya tidak lepas karena kepemilikan tidak hilang kecuali dengan penerimaan dari pihak yang akan memiliki. Dengan demikian, ia tetap menjadi pemilik atas hasil seperti bulu dan susunya selama barang itu masih menjadi miliknya. Kedua, kepemilikannya lepas darinya namun tetap wajib mengganti rugi, dan ini lebih hati-hati untuk pemilik barang. Alasannya, karena ketika ia boleh memilikinya tanpa pemberian dari pemilik, maka boleh pula kepemilikannya lepas tanpa penerimaan dari pihak yang akan memiliki. Dengan demikian, hasil seperti bulu dan anaknya menjadi milik pemilik asalnya mengikuti induknya, dan ia tetap wajib mengganti rugi seperti terhadap induknya.

فصل:

Fasal:

والحالة الرَّابِعَةُ: أَنْ يُرِيدَ بَيْعَهَا فَلَا يَخْلُو ذَلِكَ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَبِيعَهَا بَعْدَ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا، فَذَلِكَ لَهُ كَمَا لَوْ أَكَلَهَا وَيَكُونُ ضَامِنًا لِقِيمَتِهَا دُونَ ثَمَنِهَا، لِأَنَّهُ بَاعَهَا فِي حَقِّ نَفْسِهِ. فَلَوْ جَاءَ صَاحِبُهَا بَعْدَ الْبَيْعِ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي رَقَبَتِهَا حَقٌّ لِنُفُوذِ الْبَيْعِ وَرَجَعَ بِالْقِيمَةِ عَلَى الْوَاجِدِ. فَلَوْ كَانَ خِيَارُ الْمَجْلِسِ أَوْ خِيَارُ الشَّرْطِ فِي الْبَيْعِ بَاقِيًا فَأَرَادَ الْمَالِكُ أَنْ يَفْسَخَ وَأَرَادَ الْبَائِعُ الْإِمْضَاءَ فَفِيهِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ كَجٍّ:

Keadaan keempat: Jika ia ingin menjualnya, maka hal itu tidak lepas dari dua kemungkinan: Pertama, ia menjualnya setelah memilikinya, maka itu dibolehkan baginya sebagaimana jika ia memakannya, dan ia wajib mengganti nilainya, bukan harga jualnya, karena ia menjualnya untuk kepentingan dirinya sendiri. Jika pemiliknya datang setelah penjualan, maka ia tidak lagi memiliki hak atas barang itu karena penjualannya telah sah, dan ia berhak menuntut nilai barang itu kepada orang yang menemukannya. Jika masih ada hak khiyar majelis atau khiyar syarat dalam jual beli, lalu pemilik ingin membatalkan dan penjual ingin melanjutkan, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang dikemukakan oleh Abu al-Qasim bin Kajj:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمَالِكِ فِي الْفَسْخِ لِاسْتِحْقَاقِهِ الرُّجُوعَ بِعَيْنِ مَالِهِ مَعَ بَقَائِهِ.

Pertama: Pendapat pemilik lebih diutamakan dalam pembatalan, karena ia berhak untuk mengambil kembali barang miliknya selama barang itu masih ada.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْبَائِعِ فِي الْإِمْضَاءِ لِأَنَّ خِيَارَ الْعَقْدِ يَسْتَحِقُّهُ الْعَاقِدُ دُونَ غَيْرِهِ فَإِذَا أَمْضَى غَرِمَ الْقِيمَةَ دُونَ الثَّمَنِ وَإِنْ أَرَادَ بَيْعَهَا لِمَالِكِهَا جَازَ إِنْ كان البيع أحظ من الاستبقاء لِمَا يَلْزَمُ مِنَ الْإِنْفَاقِ عَلَيْهَا. وَجَازَ أَنْ يَكُونَ الْوَاجِدُ هُوَ الْمُتَوَلِّي لِبَيْعِهَا مِنْ غَيْرِ اسْتِئْذَانِ حَاكِمٍ بِخِلَافِ مَنْ أَرَادَ بَيْعَ مَالِ غَرِيمٍ جَاحِدٍ فَيَسْتَوْفِي مِنْهُ قَدْرَ دِينِهِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ لِأَنَّ صَاحِبَ الدَّيْنِ يَبِيعُهُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ فَمُنِعَ مِنْ تَفَرُّدِهِ بِهِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ وَهَذَا يَبِيعُهُ فِي حَقِّ الْمَالِكِ فَجَازَ كَالْوَكِيلِ فَإِنْ أَرَادَ الْمَالِكُ الْفَسْخَ فِي خِيَارِ الْعَقْدِ اسْتَحَقَّهُ وَجْهًا وَاحِدًا لِبَيْعِهَا فِي حَقِّهِ. فَلَوْ أَرَادَ بَعْدَ بَيْعِهَا لِمَالِكِهَا أَنْ يَتَمَلَّكَ ثَمَنَهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ وَجْهًا وَاحِدًا: بِخِلَافِ مَا لَوْ أَرَادَ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا بِعَيْنِهَا بَعْدَ إِمْسَاكِهَا أَمَانَةً فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ لِأَنَّ الثَّمَنَ قَدْ خَرَجَ عَنْ حُكْمِ الضَّوَالِّ وَلَمْ تَخْرُجْ هِيَ مَعَ بَقَائِهَا عَنْ أَنْ تَكُونَ ضَالَّةً.

Pendapat kedua: Bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat penjual dalam hal pelaksanaan (akad), karena hak khiyār atas akad itu menjadi hak pihak yang berakad, bukan selainnya. Maka jika ia melaksanakan (akad), ia wajib mengganti nilai barang, bukan harga (jualnya). Dan jika ia ingin menjualnya kepada pemiliknya, maka itu diperbolehkan jika penjualan lebih maslahat daripada mempertahankannya, karena ada kewajiban menafkahi (barang tersebut). Diperbolehkan pula bagi orang yang menemukan (barang) untuk langsung menjualnya tanpa meminta izin hakim, berbeda dengan orang yang ingin menjual harta milik orang yang berutang namun mengingkari (utang), maka ia hanya boleh mengambil sebesar nilai utangnya menurut salah satu pendapat, karena pemilik utang menjualnya untuk kepentingan dirinya sendiri sehingga dilarang untuk bertindak sendiri menurut salah satu pendapat. Sedangkan dalam kasus ini, ia menjualnya untuk kepentingan pemilik, maka diperbolehkan seperti halnya wakil. Jika pemilik ingin membatalkan akad dalam masa khiyār, maka ia berhak melakukannya secara mutlak karena penjualan itu untuk kepentingannya. Maka jika setelah barang itu dijual kepada pemiliknya, ia ingin memiliki harganya, maka ia tidak berhak atas hal itu secara mutlak; berbeda jika ia ingin memiliki barang itu secara langsung setelah menahannya sebagai amanah menurut salah satu pendapat, karena harga telah keluar dari hukum barang hilang, sedangkan barang itu sendiri selama masih ada tetap berstatus barang hilang.

فَلَوْ كَانَتِ الضَّالَّةُ عَبْدًا فَإِنْ كَانَ كَبِيرًا فَكَالْبَعِيرِ لَا يَتَعَرَّضُ لِأَخْذِهِ وَإِنْ كان صغيرا كالشاة يأخذه ويملكه إِنْ شَاءَ وَلَوْ كَانَتْ أَمَةً صَغِيرَةً فَفِي جَوَازِ تَمَلُّكِهِ لَهَا وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا يَجُوزُ كَالْعَبْدِ الصَّغِيرِ وَالثَّانِي لَا يَجُوزُ كَمَا لَا يَجُوزُ قَرْضُ الْإِمَاءِ وَإِنْ جَازَ قَرْضُ الْعَبْدِ لِأَنَّهَا ذَاتُ فَرْجٍ فَكَانَ حُكْمُهَا أَغْلَظُ فَعَلَى هَذَا تُبَاعُ عَلَى مَالِكِهَا إِنْ كَانَ الْبَيْعُ أَحَظَّ. ثُمَّ هَلْ يَجُوزُ لِلْوَاجِدِ أَنْ يَتَمَلَّكَ ثَمَنَهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika barang hilang itu adalah seorang budak, maka jika ia sudah dewasa, hukumnya seperti unta, tidak boleh diambil. Jika masih kecil seperti kambing, maka boleh diambil dan dimiliki jika ia menghendaki. Jika barang hilang itu adalah budak perempuan kecil, maka dalam kebolehan memilikinya terdapat dua pendapat: salah satunya membolehkan seperti budak laki-laki kecil, dan yang kedua tidak membolehkan sebagaimana tidak boleh meminjamkan budak perempuan, meskipun meminjamkan budak laki-laki diperbolehkan, karena ia memiliki kemaluan sehingga hukumnya lebih berat. Berdasarkan ini, maka ia dijual kepada pemiliknya jika penjualan lebih maslahat. Kemudian, apakah orang yang menemukan boleh memiliki harganya atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ كَالْأَصْلِ وَالثَّانِي: يَجُوزُ لِأَنَّ مَعْنَى الْأَصْلِ مَفْقُودٌ فِي الثَّمَنِ. فَلَوْ كَانَ عَبْدًا فَبَاعَهُ الْوَاجِدُ لَهُ ثُمَّ حَضَرَ الْمَالِكُ فَذَكَرَ أَنَّهُ كَانَ قَدْ أَعْتَقَهُ قَبْلَ الْبَيْعِ قَالَ الشَّافِعِيُّ الْقَوْلُ قَوْلُهُ وَعَلَيْهِ الْيَمِينُ إِنْ طَلَبَهَا الْمُشْتَرِي لِأَنَّهُ مُقِرٌّ فِي مِلْكٍ لَمْ يَزُلْ قَالَ الرَّبِيعُ وَفِيهِ قَوْلٌ آخَرُ إِنَّ قَوْلَهُ غَيْرُ مَقْبُولٍ لِأَنَّ بَيْعَ الْوَاجِدِ كَبَيْعِهِ فِي اللُّزُومِ: فَعَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ مِنْ قَبُولِ قَوْلِهِ يَكُونُ الْبَيْعُ بَاطِلًا وَيَصِيرُ الْعَبْدُ حُرًّا وَيَلْزَمُ بَائِعُهُ الْوَاجِدُ أَنْ يَرُدَّ ثَمَنَهُ عَلَى الْمُشْتَرِي سَوَاءٌ بَاعَهُ فِي حَقِّ الْمَالِكِ أَوْ فِي حَقِّ نَفْسِهِ، وَلَوْ كَانَ الْوَاجِدُ قَدْ بَاعَهُ فِي حَقِّ الْمَالِكِ وَضَاعَ الثَّمَنُ مِنْ يَدِهِ بِغَيْرِ تَفْرِيطٍ رَجَعَ الْمُشْتَرِي بِهِ عَلَى الْوَاجِدِ الْقَابِضِ لَهُ فَلَمْ يَكُنْ لِلْوَاجِدِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْمَالِكِ بِثَمَنِ مَا قَدْ حَكَمَ بِنُفُوذِ عِتْقِهِ، فَأَمَّا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي خَرَّجَهُ الرَّبِيعُ أَنَّ قَوْلَ الْمَالِكِ فِيهِ غَيْرُ مَقْبُولٍ فَيَكُونُ الْبَيْعُ نَافِذًا إِنْ حَلَفَ الْمُشْتَرِي عَلَيْهِ وَالْعَبْدُ عَلَى رِقِّهِ لِلْمُشْتَرِي ثُمَّ يَنْظُرُ فَإِنْ كَانَ الْوَاجِدُ قَدْ بَاعَهُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ فَلَهُ أَنْ يَتَمَلَّكَ الثَّمَنَ مَا لَمْ يَصْدُقِ المالك ولا يلزمه غرم القيمة لا دعاء الْمَالِكِ حُرِّيَّتَهُ الَّتِي يَسْقُطُ مَعَهَا اسْتِحْقَاقُ قِيمَتِهِ.

Salah satunya: tidak boleh, sebagaimana hukum asal; dan yang kedua: boleh, karena makna hukum asal tidak terdapat pada harga. Jika barang hilang itu adalah budak lalu orang yang menemukan menjualnya, kemudian datang pemiliknya dan menyatakan bahwa ia telah memerdekakannya sebelum dijual, menurut asy-Syāfi‘ī, pendapatnya diterima dan ia harus bersumpah jika diminta oleh pembeli, karena ia mengakui kepemilikan yang belum hilang. Ar-Rabī‘ berkata, ada pendapat lain bahwa pernyataannya tidak diterima, karena penjualan oleh orang yang menemukan sama dengan penjualan oleh pemilik dalam hal keharusan. Maka menurut pendapat asy-Syāfi‘ī yang menerima pernyataannya, penjualan menjadi batal dan budak itu menjadi merdeka, dan penjual (orang yang menemukan) wajib mengembalikan harga kepada pembeli, baik ia menjualnya untuk kepentingan pemilik maupun untuk dirinya sendiri. Jika orang yang menemukan telah menjualnya untuk kepentingan pemilik dan harga itu hilang dari tangannya tanpa kelalaian, maka pembeli menuntut harga itu dari orang yang menemukan yang telah menerima harga tersebut, dan orang yang menemukan tidak dapat menuntut pemilik atas harga barang yang telah diputuskan sah kemerdekaannya. Adapun menurut pendapat yang dikemukakan oleh ar-Rabī‘ bahwa pernyataan pemilik tidak diterima, maka penjualan menjadi sah jika pembeli bersumpah atasnya, dan budak itu tetap menjadi milik pembeli. Kemudian, jika orang yang menemukan telah menjualnya untuk kepentingan dirinya sendiri, maka ia boleh memiliki harga itu selama pemilik tidak membenarkannya dan ia tidak wajib mengganti nilai barang, karena pengakuan pemilik atas kemerdekaan budak yang menggugurkan hak atas nilainya.

وَإِنْ كَانَ الْوَاجِدُ قَدْ بَاعَهُ فِي حَقِّ الْمَالِكِ كَانَ الثَّمَنُ مَوْقُوفًا فِي يَدَيْهِ بَيْنَ المشتري والمالك فإن عَادَ الْمُشْتَرِي فَأَكْذَبَ نَفْسَهُ وَأَقَرَّ بِالْعِتْقِ فَلَهُ اسْتِرْجَاعُ الثَّمَنِ وَيُحْكَمُ بِحُرِّيَّةِ الْعَبْدِ، وَإِنَّ عَادَ الْمَالِكُ فَأَكْذَبَ نَفْسَهُ وَأَقَرَّ بِبَقَاءِ الرِّقِّ فَفِي قَبُولِ قَوْلِهِ فِي تَمَلُّكِ الثَّمَنِ وَجْهَانِ:

Jika orang yang menemukan telah menjualnya untuk kepentingan pemilik, maka harga itu ditahan di tangannya antara pembeli dan pemilik. Jika pembeli kemudian menarik kembali pengakuannya dan mengakui kemerdekaan budak tersebut, maka ia berhak mengambil kembali harga itu dan diputuskan budak itu merdeka. Jika pemilik kemudian menarik kembali pengakuannya dan mengakui bahwa budak itu tetap sebagai budak, maka dalam hal diterima atau tidaknya pengakuannya untuk memiliki harga itu terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي مِلْكِ الثَّمَنِ كَمَا لَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي اسْتِرْقَاقِ مَا أَقَرَّ بِحُرِّيَّتِهِ.

Salah satu pendapat: Tidak diterima pengakuannya dalam kepemilikan harga (barang), sebagaimana tidak diterima pengakuannya dalam memperbudak sesuatu yang telah ia akui sebagai orang merdeka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يُقْبَلَ قَوْلُهُ فِي تَمَلُّكِ الثَّمَنِ وَإِنْ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِي اسْتِرْقَاقِ مَا أَقَرَّ بِحُرِّيَّتِهِ لِبَقَاءِ الْمِلْكِ عَلَى الثَّمَنِ وَزَوَالِهِ عَنِ الْحُرِّ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: Diterima pengakuannya dalam memiliki harga (barang), meskipun tidak diterima pengakuannya dalam memperbudak sesuatu yang telah ia akui sebagai orang merdeka, karena kepemilikan tetap ada pada harga (barang) dan telah hilang dari orang merdeka. Dan Allah Maha Mengetahui.

مَسْأَلَةٌ: من ينتفع باللقطة.

Masalah: Siapa yang boleh memanfaatkan barang temuan (luqathah).

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَيَأْكُلُ اللُّقَطَةَ الْغَنِيُّ وَالْفَقِيرُ وَمَنْ تَحِلُّ لَهُ الصدقة وتحرم عليه قَدْ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أبي بن كعب رضي الله عنه وهو من أيسر أهل المدينة أو كأيسرهم وجد صرة فيها ثمانون دينارا أن يأكلها وأن عليا رضي الله عنه ذكر للنبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه وجد دينارا فأمره أن يعرفه فلم يعرف فأمره النبي بأكله فلما جاء صاحبه أمره بدفعه إليه وعلي رضي الله عنه ممن تحرم عليه الصدقة لأنه من صلبية بني هاشم “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Barang temuan (luqathah) boleh dimakan oleh orang kaya maupun orang miskin, dan juga oleh orang yang halal baginya menerima sedekah maupun yang haram baginya menerima sedekah. Rasulullah ﷺ pernah memerintahkan Ubay bin Ka‘b ra., yang termasuk orang paling sejahtera di Madinah atau salah satu yang paling sejahtera, ketika ia menemukan sebuah kantong berisi delapan puluh dinar, agar ia memakannya. Dan Ali ra. pernah menceritakan kepada Nabi ﷺ bahwa ia menemukan satu dinar, lalu Nabi memerintahkannya untuk mengumumkannya, namun tidak ada yang mengenalinya, maka Nabi memerintahkannya untuk memakannya. Ketika pemiliknya datang, Nabi memerintahkannya untuk mengembalikannya kepada pemiliknya. Ali ra. termasuk orang yang haram menerima sedekah karena ia berasal dari keturunan Bani Hasyim.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ يَجُوزُ لِوَاجِدِ اللُّقَطَةِ بَعْدَ تَعْرِيفِهَا حَوْلًا أَنْ يَتَمَلَّكَهَا وَيَأْكُلَهَا غَنِيًّا كَانَ أَوْ فَقِيرًا وَقَالَ أبو حنيفة يَجُوزُ لَهُ ذَلِكَ إِنْ كَانَ فَقِيرًا وَلَا يَجُوزُ لَهُ ذَلِكَ إِنْ كَانَ غَنِيًّا أَنْ يَتَمَلَّكَهَا وَيَكُونُ مُخَيَّرًا فِيهَا بَيْنَ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ تَكُونَ فِي يَدِهِ أَمَانَةً لِصَاحِبِهَا أَبَدًا كَالْوَدِيعَةِ وَإِمَّا أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهَا فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَأَمْضَى صَدَقَتَهُ فَلَهُ ثَوَابُهَا وَلَا غُرْمَ عَلَى الْوَاجِدِ وَإِنْ لَمْ يُمْضِ الصَّدَقَةَ فَثَوَابُهَا لِلْوَاجِدِ وَعَلَيْهِ غُرْمُهَا اسْتِدْلَالًا بِمَا رَوَاهُ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا تَصَدَّقْ بِهَا ” وَهَذَا نَصٌّ قَالَ وَلِأَنَّهُ مَالٌ يُعْتَبَرُ فِيهِ الْحَوْلُ فَوَجَبَ أَنْ يَخْتَلِفَ فِيهِ حَالُ الْغَنِيِّ وَالْفَقِيرِ كَالزَّكَاةِ وَلِأَنَّهُ مَالُ مُسْلِمٍ فَوَجَبَ أَلَّا يَحِلَّ إِلَّا لِلْمُضْطَرِّ قِيَاسًا عَلَى غَيْرِ اللُّقَطَةِ وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِوَاجِدِ اللُّقَطَةِ: ” فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَشَأْنُكَ بِهَا ” يَقْتَضِي التَّسْوِيَةَ بَيْنَ الْغَنِيِّ وَالْفَقِيرِ وَرُوِيَ أَنَّ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَجَدَ صُرَّةً فِيهَا ثَمَانُونَ دِينَارًا وَرُوِيَ مِائَةُ دِينَارٍ فَأَخْبَرَ بِهَا النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ: ” عَرِّفْهَا حَوْلًا فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَاسْتَمْتِعْ بِهَا ” قَالَ الشَّافِعِيُّ وَأُبَيٌّ مِنْ أَيْسَرِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ أَوْ كَانَ أَيْسَرَهُمْ وَلَوْ لَمْ يَكُنْ مُوسِرًا لَصَارَ بِعِشْرِينَ دِينَارًا مِنْهَا مُوسِرًا عَلَى قَوْلِ أبي حنيفة فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ الْفَقْرَ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فِيهَا وَأَنَّ الْغَنِيَّ لَا يُمْنَعُ مِنْهَا وَرَوَى عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عنه وَجَدَ دِينَارًا فَأَتَى بِهِ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَجَدْتُ هَذَا الدِّينَارَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَرِّفْهُ ثَلَاثًا فَعَرَّفَهُ ثَلَاثًا فَلَمْ يَجِدْ مَنْ يَعْرِفُهُ فَرَجَعَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ: كُلْهُ أَوْ سَائِلْ بِهِ فَابْتَاعَ مِنْهُ بِثَلَاثَةِ دَرَاهِمَ شَعِيرًا وَبِثَلَاثَةِ دَرَاهِمَ تَمْرًا وَقَضَى عَنْهُ ثَلَاثَةَ دَرَاهِمَ وَابْتَاعَ بِدِرْهَمٍ لَحْمَا وَبَدِرْهَمٍ زَيْتًا وَكَانَ الصَّرْفُ عَلَى أَحَدَ عَشَرَ دِرْهَمًا بِدِينَارٍ حَتَّى إِذَا أَكَلَهُ جَاءَ صَاحِبُ الدِّينَارِ يَتَعَرَّفُهُ فَقَالَ عَلِيٌّ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَدْ أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِأَكْلِهِ فَانْطَلَقَ صَاحِبُهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَذَكَرَ ذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِذَا جَاءَنَا شَيْءٌ أَدَّيْنَاهُ إِلَيْكَ ” وَكَانَ صَاحِبُ الدِّينَارِ يَهُودِيًّا.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang telah dikatakan, bahwa bagi orang yang menemukan luqathah, setelah mengumumkannya selama satu tahun, boleh baginya untuk memilikinya dan memakannya, baik ia kaya maupun miskin. Abu Hanifah berpendapat, hal itu boleh baginya jika ia miskin, dan tidak boleh baginya jika ia kaya untuk memilikinya. Ia diberi pilihan antara dua hal: boleh tetap memegangnya sebagai amanah untuk pemiliknya selamanya seperti titipan, atau boleh bersedekah dengannya. Jika pemiliknya datang dan merelakan sedekah tersebut, maka baginya pahala sedekah itu dan tidak ada kewajiban ganti rugi atas si penemu. Namun jika ia tidak merelakan sedekah itu, maka pahala sedekahnya untuk si penemu dan ia wajib mengganti nilainya. Ini berdasarkan dalil yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Jika pemiliknya datang, (serahkan), jika tidak, bersedekahlah dengannya.” Ini adalah nash. Dan karena ini adalah harta yang dalam fiqh diperhitungkan haul-nya, maka seharusnya berbeda status antara orang kaya dan miskin, sebagaimana zakat. Dan karena ini adalah harta milik seorang Muslim, maka tidak halal kecuali bagi orang yang benar-benar membutuhkan, dengan qiyās kepada selain luqathah. Dalil kami adalah keumuman sabda Nabi ﷺ kepada orang yang menemukan luqathah: “Jika pemiliknya datang, (serahkan), jika tidak, terserah engkau terhadapnya,” yang menunjukkan persamaan antara orang kaya dan miskin. Diriwayatkan bahwa Ubay bin Ka‘b menemukan sebuah kantong berisi delapan puluh dinar, dan ada riwayat lain seratus dinar. Ia memberitahukan hal itu kepada Nabi ﷺ, lalu beliau bersabda: “Umumkan selama setahun, jika pemiliknya datang (serahkan), jika tidak, nikmatilah.” Asy-Syafi‘i berkata: Ubay adalah salah satu orang yang paling kaya di Madinah, bahkan mungkin yang terkaya. Seandainya ia tidak kaya, maka dengan dua puluh dinar saja menurut pendapat Abu Hanifah, ia sudah menjadi orang kaya. Maka hal ini menunjukkan bahwa status miskin tidak diperhitungkan dalam masalah ini, dan orang kaya tidak dilarang mengambilnya. Diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Yasar dari Abu Sa‘id al-Khudri bahwa ‘Ali bin Abi Thalib ra. menemukan satu dinar, lalu membawanya kepada Nabi ﷺ dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku menemukan dinar ini.” Rasulullah ﷺ bersabda: “Umumkan selama tiga hari.” Maka ia pun mengumumkannya selama tiga hari, namun tidak menemukan siapa pun yang mengenalinya. Ia kembali kepada Rasulullah ﷺ dan memberitahukannya, lalu beliau bersabda: “Makanlah atau sedekahkanlah.” Maka ia membeli dengan tiga dirham darinya gandum, tiga dirham kurma, membayar utang tiga dirham, membeli satu dirham daging, dan satu dirham minyak. Nilai tukar saat itu adalah sebelas dirham untuk satu dinar. Setelah ia memakannya, datanglah pemilik dinar itu mencari-cari. ‘Ali berkata: “Rasulullah ﷺ telah memerintahkanku untuk memakannya.” Maka pemiliknya pergi kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu. Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika suatu saat kami mendapatkannya, akan kami serahkan kepadamu.” Dan ternyata pemilik dinar itu adalah seorang Yahudi.

قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَعَلِيٌّ مِمَّنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ الصَّدَقَةُ لِأَنَّهُ مِنْ طِينَةِ بَنِي هَاشِمٍ وَلَوْ كَانَتِ اللُّقَطَةُ تُسْتَبَاحُ بِالْفَقْرِ دُونَ الْغِنَى لَحَظَرَهَا عَلَيْهِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الِالْتِقَاطِ جَازَ أَنْ يَرْتَفِقَ بِالْأَكْلِ وَالتَّمَلُّكِ كَالْفَقِيرِ وَلِأَنَّ مَا ثَبَتَ لِلْفَقِيرِ فِي اللُّقَطَةِ ثَبَتَ لِلْغَنِيِّ كَالنُّسُكِ وَالصَّدَقَةِ. وَلِأَنَّ كُلَّ مَا اسْتَبَاحَ الْفَقِيرُ إِتْلَافَهُ بِشَرْطِ الضَّمَانِ اسْتَبَاحَ الْغَنِيُّ إِتْلَافَهُ بِشَرْطِ الضَّمَانِ كَالْقَرْضِ وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ طَعَامُ الْمُضْطَرِّ لِاسْتِوَائِهِمَا فِيهِ وَقَدْ جَعَلَ الْمُضْطَرَّ أَصْلًا فَيَقُولُ كُلُّ ارْتِفَاقٍ بِمَالِ الْغَيْرِ إِذَا كَانَ مَضْمُونًا اسْتَوَى فِيهِ الْغَنِيُّ وَالْفَقِيرُ كَأَكْلِ مَالِ الْغَيْرِ لِلْمُضْطَرِّ؛ وَلِأَنَّهُ اسْتَبَاحَ إِتْلَافَ مَالِ الْغَيْرِ لِمَعْنًى فِي الْمَالِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهِ حُكْمُ الْغَنِيِّ وَالْفَقِيرِ كَالنَّحْلِ الصَّائِلِ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ مَا اسْتُبِيحَ تَنَاوُلُهُ عِنْدَ الْإِيَاسِ فِي الْأَغْلَبِ مِنْ مَالِكِهِ اسْتَوَى فِيهِ حُكْمُ الْغَنِيِّ وَالْفَقِيرِ كَالرِّكَازِ وَلِأَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُ اللُّقَطَةِ فِي يَدِ وَاجِدِهَا مِنْ أَنْ تَكُونَ فِي حُكْمِ الْمَغْصُوبِ فَيَجِبُ انْتِزَاعُهَا قَبْلَ الْحَوْلِ وَبَعْدَهُ مِنَ الْغَنِيِّ وَالْفَقِيرِ أَوْ فِي حُكْمِ الْوَدَائِعِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا فَقِيرٌ وَلَا أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهَا غَنِيٌّ أَوْ حُكْمِ الْكَسْبِ فَيَجُوزُ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا الْغَنِيُّ وَالْفَقِيرُ. وَمَذْهَبُ أبي حنيفة فِيهَا مُخَالِفٌ لِأُصُولِ هَذِهِ الْأَحْكَامِ الثَّلَاثَةِ فَكَانَ فَاسِدًا.

Imam Syafi‘i berkata: Ali adalah termasuk orang yang diharamkan menerima sedekah karena ia berasal dari keturunan Bani Hasyim. Seandainya barang temuan (luqathah) itu boleh dimanfaatkan hanya karena kefakiran, bukan karena kekayaan, tentu Ali juga akan dilarang mengambilnya. Setiap orang yang termasuk golongan yang boleh mengambil barang temuan, boleh memanfaatkannya dengan cara memakan atau memilikinya seperti halnya orang fakir. Apa yang telah ditetapkan bagi orang fakir dalam masalah luqathah juga berlaku bagi orang kaya, sebagaimana dalam ibadah haji (nusuk) dan sedekah. Setiap hal yang boleh dimusnahkan oleh orang fakir dengan syarat mengganti (menjamin), maka orang kaya pun boleh melakukannya dengan syarat yang sama, seperti dalam kasus pinjaman (qardh). Tidak termasuk di dalamnya makanan bagi orang yang terpaksa (mudhthar), karena keduanya (fakir dan kaya) sama dalam hal ini, dan orang yang terpaksa dijadikan sebagai dasar. Maka dikatakan: setiap pemanfaatan harta orang lain yang dijamin, baik oleh orang kaya maupun fakir, hukumnya sama, seperti memakan harta orang lain bagi yang terpaksa; karena ia dibolehkan memusnahkan harta orang lain karena alasan yang berkaitan dengan harta itu, maka hukum antara orang kaya dan fakir harus sama, seperti dalam kasus lebah liar (an-nahl ash-sha’il). Setiap hal yang boleh dikonsumsi ketika putus asa (tidak ada harapan) dari pemiliknya pada umumnya, maka hukum antara orang kaya dan fakir sama, seperti rikaz (harta terpendam). Keadaan luqathah di tangan orang yang menemukannya tidak lepas dari tiga kemungkinan: dihukumi sebagai barang rampasan (maghshub), sehingga harus diambil sebelum dan sesudah satu tahun dari orang kaya maupun fakir; atau dihukumi sebagai titipan (wadi‘ah), sehingga tidak boleh dimiliki oleh fakir maupun disedekahkan oleh orang kaya; atau dihukumi sebagai hasil usaha (kasb), sehingga boleh dimiliki oleh orang kaya maupun fakir. Pendapat Abu Hanifah dalam masalah ini bertentangan dengan tiga kaidah hukum tersebut, maka pendapatnya dianggap rusak (tidak sah).

ثُمَّ يُقَالُ لأبي حنيفة، الثَّوَابُ إِنَّمَا يَسْتَحِقُّ عَلَى الْمَقَاصِدِ بِالْأَعْمَالِ لَا عَلَى أَعْيَانِ الْأَفْعَالِ لِأَنَّ صُوَرَهَا فِي الطَّاعَةِ وَالْمَعْصِيَةِ عَلَى سَوَاءٍ كَالْمُرَائِي بِصَلَاتِهِ ثُمَّ لَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ ثَوَابُ الْعَمَلِ مَوْقُوفًا عَلَى غَيْرِ الْعَامِلِ فِي اسْتِحْقَاقِهِ وَإِحْبَاطِهِ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” تَصَدَّقْ بِهَا ” فَمَحْمُولٌ عَلَى أَنَّ الْوَاجِدَ سَأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ فَأَذِنَ لَهُ فِيهِ.

Kemudian dikatakan kepada Abu Hanifah, pahala itu hanya diberikan atas tujuan dari amal perbuatan, bukan pada bentuk lahiriahnya, karena bentuk amal itu bisa sama dalam ketaatan maupun maksiat, seperti orang yang riya’ dalam shalatnya. Maka tidak sah jika pahala amal itu tergantung pada selain pelaku dalam hal hak memperoleh atau menggugurkannya. Adapun jawaban atas sabda Nabi ﷺ: “Sedekahkanlah barang itu,” maka itu dimaknai bahwa orang yang menemukan barang tersebut bertanya kepada beliau tentang hal itu, lalu beliau mengizinkannya.

وَأَمَّا الزَّكَاةُ فَلَا مَعْنَى لِلْجَمْعِ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللُّقَطَةِ لِأَنَّ الزكاة تملك غير مضمون ببدل واللقطة تأخذ مَضْمُونَةً بِبَدَلٍ فَكَانَ الْغَنِيُّ أَحَقَّ بِتَمَلُّكِهَا لِأَنَّهُ أَوْفَى ذِمَّةً وَأَمَّا مَا ذَكَرُوهُ مِنَ الْمُضْطَرِّ فَقَدْ جَعَلْنَاهُ أَصْلًا وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.

Adapun zakat, maka tidak ada alasan untuk mengqiyaskan antara zakat dan luqathah, karena zakat adalah kepemilikan tanpa jaminan pengganti, sedangkan luqathah diambil dengan jaminan pengganti. Maka orang kaya lebih berhak memilikinya karena ia lebih mampu menanggung tanggung jawab. Adapun yang mereka sebutkan tentang orang yang terpaksa, maka kami telah menjadikannya sebagai dasar. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَا أُحِبُّ لِأَحَدٍ تَرْكَ لُقَطَةٍ وَجَدَهَا إِذَا كَانَ أَمِينًا عَلَيْهَا “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Aku tidak suka seseorang meninggalkan barang temuan (luqathah) yang ditemukannya jika ia dapat dipercaya untuk menjaganya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. وَظَاهِرُ قَوْلِهِ هَا هُنَا وَلَا أُحِبُّ تَرْكَ اللقطة يقتضي اسْتِحْبَابَ أَخْذِهَا دُونَ إِيجَابِهِ وَقَالَ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” وَلَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ تَرْكَ اللُّقَطَةِ إِذَا وَجَدَهَا فَكَانَ ظَاهِرُ هَذَا الْقَوْلِ يَدُلُّ عَلَى إيجاب أخذها فاختلف أصحابنا لِاخْتِلَافِ هَذَيْنِ الظَّاهِرَيْنِ وَكَانَ أَبُو الْحَسَنِ بْنُ الْقَطَّانِ وَطَائِفَةٌ يُخْرِجُونَ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ، أَحَدُهُمَا: أَنَّ أَخْذَهَا اسْتِحْبَابٌ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ عَلَى ظَاهِرِ مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُؤْتَمَنٍ عَلَيْهَا وَلَا مُسْتَوْدِعٌ لَهَا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Lafaz zhahir dari ucapannya di sini, “Aku tidak suka meninggalkan luqathah,” menunjukkan anjuran untuk mengambilnya, bukan kewajiban. Namun dalam kitab “Al-Umm” beliau berkata: “Tidak boleh seseorang meninggalkan luqathah jika menemukannya.” Lafaz zhahir dari ucapan ini menunjukkan kewajiban untuk mengambilnya. Maka para ulama kami berbeda pendapat karena perbedaan dua lafaz zhahir ini. Abu al-Hasan bin al-Qatthan dan sekelompok ulama menilai hal ini sebagai perbedaan dua pendapat: salah satunya, mengambil luqathah itu dianjurkan dan tidak wajib, sesuai zhahir nash beliau di tempat ini, karena ia bukan orang yang dipercaya untuk menjaganya dan bukan pula penerima titipan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ أَخْذَهَا وَاجِبٌ وَتَرْكَهَا مَأْثَمٌ لِأَنَّهُ كَمَا وَجَبَ عَلَيْهِ حِرَاسَةُ نَفْسِ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ وَجَبَ عَلَيْهِ حِرَاسَةُ مَالِ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ.

Pendapat kedua: Mengambilnya adalah wajib dan meninggalkannya adalah dosa, karena sebagaimana ia wajib menjaga jiwa saudaranya sesama Muslim, maka ia juga wajib menjaga harta saudaranya sesama Muslim.

وَقَالَ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا: لَيْسَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ إِنَّمَا هُوَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَالْمَوْضِعُ الَّذِي لَا يَأْخُذُهَا إِذَا كَانَتْ تُؤْمَنُ عَلَيْهَا وَيَأْخُذُهَا غَيْرُهُ مِمَّنْ يُؤَدِّي الْأَمَانَةَ فِيهَا وَالْمَوْضِعُ الَّذِي أَوْجَبَ عَلَيْهِ أَخْذَهَا إِذَا كَانَتْ فِي مَوْضِعٍ لَا يُؤْمَنُ عَلَيْهَا وَيَأْخُذُهَا غَيْرُهُ مِمَّنْ لَا يُؤَدِّي الْأَمَانَةَ فِيهَا لِمَا فِي ذَلِكَ مِنَ التعاون وعلى كلا الحالتين لَا يُكْرَهُ لَهُ أَخْذُهَا إِذَا كَانَ أَمِينًا عَلَيْهَا وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُمَا كَرِهَا أخذها وروي أن شريح مَرَّ بِدِرْهَمٍ فَلَمْ يَعْرِضْ لَهُ وَفِي هَذَا الْقَوْلِ إِبْطَالُ التَّعَاوُنِ وَقَطْعُ الْمَعْرُوفِ وَقَدْ أَخَذَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ الصُّرَّةَ الَّتِي وَجَدَهَا وَأَخَذَ عَلِيٌّ عَلَيْهِ السَّلَامُ الدِّينَارَ وَأَخْبَرَا بِهِ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيْهِمَا وَلَا كَرِهَهُ لَهُمَا وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْمَحْكِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ عُمَرَ فِيمَنْ كَانَ غَيْرَ مَأْمُونٍ عَلَيْهَا أَوْ ضَعِيفًا عَنِ الْقِيَامِ بِهَا وَنَحْنُ نَكْرَهُ لِغَيْرِ الْأَمِينِ عَلَيْهَا وَلِلضَّعِيفِ عَنِ الْقِيَامِ بِهَا أَنْ يَتَعَرَّضَ لِأَخْذِهَا وَإِنَّمَا نَأْمُرُ بِهِ مَنْ كَانَ أَمِينًا قَوِيًّا فَلَوْ تَرَكَهَا الْقَوِيُّ الْأَمِينُ حَتَّى هَلَكَتْ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَإِنْ أَسَاءَ فَإِنْ أَخَذَهَا لَزِمَهُ الْقِيَامُ بِهَا وَإِنْ تَرَكَهَا بَعْدَ الْأَخْذِ لَزِمَهُ الضَّمَانُ وَلَوْ رَدَّهَا عَلَى الْحَاكِمِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ بِخِلَافِ الضَّوَالِّ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنْ أَخْذِ الضَّوَالِّ فَضَمِنَهَا وَغَيْرُ مَمْنُوعٍ مِنْ أَخْذِ اللُّقَطَةِ فَلَمْ يضمنها.

Dan mayoritas ulama mazhab kami berkata: Hal itu bukanlah perbedaan pendapat (qawlaini), melainkan perbedaan dua keadaan. Maka, pada keadaan di mana ia tidak mengambilnya jika barang itu aman di tempatnya dan ada orang lain yang dapat mengambilnya serta dapat menjaga amanah, maka ia tidak perlu mengambilnya. Namun, pada keadaan di mana ia diwajibkan untuk mengambilnya adalah jika barang itu berada di tempat yang tidak aman, dan jika diambil oleh orang lain yang tidak dapat menjaga amanah, maka ia harus mengambilnya, karena di dalamnya terdapat unsur tolong-menolong. Pada kedua keadaan tersebut, tidak makruh baginya untuk mengambilnya jika ia adalah orang yang amanah. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa keduanya memakruhkan mengambilnya. Diriwayatkan pula bahwa Syuraih melewati satu dirham, namun ia tidak mengambilnya. Pendapat ini (yang memakruhkan) akan menyebabkan hilangnya tolong-menolong dan terputusnya kebaikan. Ubay bin Ka‘b pernah mengambil kantong uang yang ditemukannya, dan ‘Ali ‘alaihis salam mengambil satu dinar, lalu keduanya memberitahukan hal itu kepada Nabi ﷺ, dan beliau tidak mengingkari atau memakruhkan perbuatan mereka. Boleh jadi, riwayat dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar itu berlaku bagi orang yang tidak amanah atau lemah dalam menjaga barang tersebut. Kami memakruhkan bagi orang yang tidak amanah atau lemah dalam menjaga barang tersebut untuk mengambilnya. Kami hanya memerintahkan orang yang amanah dan kuat untuk mengambilnya. Jika orang yang kuat dan amanah meninggalkannya hingga barang itu rusak, maka tidak ada tanggungan baginya, meskipun ia dianggap kurang baik. Namun jika ia mengambilnya, maka ia wajib menjaga dan menunaikan haknya. Jika ia meninggalkannya setelah diambil, maka ia wajib menanggungnya. Jika ia mengembalikannya kepada hakim, maka tidak ada tanggungan baginya, berbeda dengan barang hilang (dawall) menurut salah satu pendapat, karena ia dilarang mengambil barang hilang sehingga ia menanggungnya, sedangkan ia tidak dilarang mengambil barang temuan (luqathah), maka ia tidak menanggungnya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فَعَرَّفَهَا سَنَةً عَلَى أَبْوَابِ الْمَسَاجِدِ وَالْأَسْوَاقِ وَمَوَاضِعِ الْعَامَّةِ وَيَكُونُ أَكْثَرُ تَعْرِيفِهِ فِي الْجُمُعَةِ الَّتِي أَصَابَهَا فِيهَا فَيَعْرِفُ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا وَعَدَدَهَا وَوَزْنَهَا وَحِلْيَتَهَا وَيَكْتُبُهَا وَيُشْهِدُ عَلَيْهَا “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Maka hendaklah ia mengumumkannya selama satu tahun di depan pintu-pintu masjid, pasar-pasar, dan tempat-tempat umum, dan hendaknya pengumuman paling banyak dilakukan pada hari Jumat di mana ia menemukan barang itu. Maka ia harus mengetahui wadahnya, tali pengikatnya, jumlahnya, beratnya, dan perhiasannya, lalu menuliskannya dan menghadirkan saksi atasnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: وَاجِدُ اللُّقَطَةِ وَإِنْ كَانَ مُخَيَّرًا فِي أَخْذِهَا فَعَلَيْهِ بَعْدَ الْأَخْذِ الْقِيَامُ بِهَا وَالْتِزَامُ الشُّرُوطِ فِي حِفْظِهَا عَلَى مَالِكِهَا وَالشُّرُوطِ الَّتِي يُؤْمَرُ بِهَا أَخْذُ اللُّقَطَةِ سَبْعَةُ أَشْيَاءٍ جَاءَ النَّصُّ بِبَعْضِهَا وَالتَّنْبِيهُ عَلَى بَاقِيهَا.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan (asy-Syafi‘i): Orang yang menemukan barang temuan (luqathah), meskipun ia diberi pilihan untuk mengambilnya, maka setelah mengambilnya ia wajib menjaga dan memenuhi syarat-syarat dalam memeliharanya untuk pemiliknya. Syarat-syarat yang diwajibkan dalam mengambil barang temuan ada tujuh perkara; sebagian disebutkan secara nash dan sebagian lagi dengan isyarat.

أَحَدُهَا مَعْرِفَةُ عِفَاصِهَا وَهُوَ ظَرْفُهَا الَّذِي هِيَ فِيهِ عند التقاطها.

Pertama, mengetahui wadahnya, yaitu tempat barang itu berada ketika diambil.

والشرط التالي معرفة وكاءها وَهُوَ الْخَيْطُ الْمَشْدُودَةُ بِهِ وَبِهَذَيْنِ الشَّرْطَيْنِ جَاءَ النَّصُّ وَلِأَنَّهَا تَتَمَيَّزُ بِمَعْرِفَةِ هَذَيْنِ عَنْ جَمِيعِ أَمْوَالِهِ فَيَأْمَنُ اخْتِلَاطَهَا بِهَا.

Syarat berikutnya adalah mengetahui tali pengikatnya, yaitu tali yang mengikat barang tersebut. Kedua syarat ini disebutkan secara nash, karena dengan mengetahui keduanya, barang itu dapat dibedakan dari seluruh harta miliknya sehingga terhindar dari tercampur.

وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ مَعْرِفَةُ عَدَدِهَا تَنْبِيهًا بِالنَّصِّ لِأَنَّ مَعْرِفَةَ عَدَدِهَا أَحْوَطُ مِنْ تَمَيُّزِهَا عَنِ الظَّرْفِ لِأَنَّ الظَّرْفَ قَدْ يشتبه.

Syarat ketiga adalah mengetahui jumlahnya, sebagaimana disebutkan dalam nash, karena mengetahui jumlahnya lebih hati-hati daripada sekadar membedakannya dari wadahnya, sebab wadah bisa saja tertukar.

وَالشَّرْطُ الرَّابِعُ مَعْرِفَةُ وَزْنِهَا لِيَصِيرَ بِهِ مَعْلُومًا يُمْكِنُ الْحُكْمُ بِهِ أَنَّهُ وَجَبَ غُرْمُهَا.

Syarat keempat adalah mengetahui beratnya, agar menjadi jelas dan dapat diputuskan bahwa ia wajib menggantinya jika hilang.

وَالشَّرْطُ الْخَامِسُ أَنْ يَكْتُبَ بِمَا وَصَفْنَاهُ مِنْ أَوْصَافِهَا كِتَابًا وَأَنَّهُ الْتَقَطَهَا مِنْ مَوْضِعِ كَذَا فِي وَقْتِ كَذَا لِأَنَّهُ رُبَّمَا كَانَ ذَكَرَ الْمَكَانَ وَالزَّمَانَ مِمَّا يَذْكُرُهُ الطَّالِبُ مِنْ أَوْصَافِهَا.

Syarat kelima adalah menuliskan semua ciri-ciri yang telah kami sebutkan, serta menuliskan bahwa ia menemukan barang itu di tempat dan waktu tertentu, karena bisa jadi penyebutan tempat dan waktu merupakan bagian dari ciri-ciri yang akan disebutkan oleh orang yang mencari barang tersebut.

وَالشَّرْطُ السَّادِسُ أَنْ يَشْهَدَ عَلَى نَفْسِهِ بِهَا شَاهِدَيْنِ أَوْ شَاهِدًا وَامْرَأَتَيْنِ لِيَكُونَ وَثِيقَةً عَلَيْهِ خَوْفًا مِنْ حُدُوثِ طَمَعِهِ فِيهَا وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا مَاتَ وَلَمْ يَعْلَمْ وَارِثُهُ بِهَا أَوْ غُرَمَاؤُهُ وَلِئَلَّا يَحْدُثَ مِنَ الْوَرَثَةِ طَمَعٌ. وَقَدْ رُوِيَ فِي بَعْضِ الْأَخْبَارِ أَنَّهُ قَالَ لِوَاجِدِ اللُّقَطَةِ وَأَشْهِدْ ذَوَيْ عَدْلٍ.

Syarat keenam adalah ia harus menghadirkan dua orang saksi atas dirinya, atau satu orang saksi laki-laki dan dua orang perempuan, agar menjadi bukti yang kuat atas dirinya, untuk menghindari kemungkinan timbulnya keinginan terhadap barang tersebut, dan karena bisa jadi ia meninggal dunia sementara ahli warisnya atau para penagih utangnya tidak mengetahui tentang barang itu, serta agar tidak timbul keinginan dari para ahli waris. Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa Nabi berkata kepada orang yang menemukan barang temuan: “Dan persaksikanlah kepada dua orang yang adil.”

وَالشَّرْطُ السَّابِعُ أَنْ يُعَرِّفَهَا لِأَمْرِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – به لِوَاجِدِهَا وَلِأَنَّهُ لَا طَرِيقَ إِلَى عِلْمِ مَالِكِهَا إِلَّا بِالتَّعْرِيفِ لَهَا فَإِذَا أَكْمَلَ حَالَ هَذِهِ الشُّرُوطِ السَّبْعَةِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ مِنْ صِفَةِ التَّعْرِيفِ فَقَدْ أَقَامَ بِحُقُوقِهَا. وَرُبَّمَا اسْتَغْنَى عَنْ بَعْضِ هَذِهِ الشُّرُوطِ فِي بَعْضِ اللُّقَطَةِ لِأَنَّهُ رُبَّمَا وَجَدَ دِينَارًا أَوْ دِرْهَمًا فَلَا يَكُونُ لَهُ عِفَاصٌ وَلَا وِكَاءٌ فَلَا يَحْتَاجُ إِلَى مَعْرِفَتِهَا، وَالْوَاجِبُ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ شَرْطَانِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِمَا وَثَالِثٌ مُخْتَلَفٌ فِيهِ. أَحَدُ الشَّرْطَيْنِ الْمُتَّفَقُ عَلَيْهِمَا تَمْيِيزُهَا عَنْ أَمْوَالِهِ كُلِّهَا بِأَيِّ وَجْهٍ تَمَيَّزَتْ بِهِ سَوَاءٌ احْتَاجَ مَعَهُ إِلَى مَعْرِفَةِ عِفَاصٍ وَوِكَاءٍ أَوْ لَمْ يَحْتَجْ وَالثَّانِي التَّعْرِيفُ الَّذِي بِهِ يَصِلُ إِلَى مَعْرِفَةِ الْمَالِكِ وَإِعْلَامِهِ. وَأَمَّا الْمُخْتَلَفُ فِيهِ فَالْإِشْهَادُ عَلَيْهَا. وَلِأَصْحَابِنَا فِي وُجُوبِ الْإِشْهَادِ عَلَى اللُّقَطَةِ وَالْمَلْقُوطِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Syarat ketujuh adalah ia harus mengumumkan barang temuan tersebut, sebagaimana perintah Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- kepada orang yang menemukannya, dan karena tidak ada jalan untuk mengetahui pemiliknya kecuali dengan mengumumkannya. Apabila ia telah menyempurnakan ketujuh syarat ini sebagaimana akan kami sebutkan nanti tentang tata cara pengumumannya, maka ia telah menunaikan hak-haknya. Terkadang sebagian syarat ini tidak diperlukan pada sebagian barang temuan, karena bisa jadi seseorang menemukan satu dinar atau satu dirham yang tidak memiliki pembungkus atau ikatan, sehingga tidak perlu mengetahui ciri-cirinya. Dari semua syarat tersebut, yang wajib hanya dua syarat yang disepakati, dan satu syarat yang diperselisihkan. Salah satu dari dua syarat yang disepakati adalah membedakan barang temuan itu dari seluruh hartanya dengan cara apa pun yang dapat membedakannya, baik ia membutuhkan pengetahuan tentang pembungkus dan ikatannya atau tidak. Syarat kedua adalah pengumuman yang dengannya dapat diketahui pemilik barang dan memberitahukannya. Adapun yang diperselisihkan adalah persaksian atas barang temuan. Ulama mazhab kami memiliki tiga pendapat tentang kewajiban persaksian atas barang temuan dan anak temuan:

أَحَدُهَا: أَنَّ الْإِشْهَادَ فِيهِمَا وَاجِبٌ لِمَا فِيهِ مِنَ الْوَثِيقَةِ وَفِي تَرْكِهِ مِنَ التَّغْرِيرِ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْإِشْهَادَ فِيهِمَا مُسْتَحَبٌّ لِأَنَّ الْوَاجِدَ مُؤْتَمَنٌ فَلَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْإِشْهَادُ كَالْوَصِيِّ وَالْمُودِعِ. وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْإِشْهَادَ عَلَى الْتِقَاطِ الْمَنْبُوذِ وَاجِبٌ وَالْإِشْهَادُ عَلَى أَخْذِ اللُّقَطَةِ لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ اللُّقَطَةَ كَسْبُ مَالٍ فَكَانَ أَمْرُهَا أَخَفَّ وَاللَّقِيطُ يَتَعَلَّقُ بِهِ نَسَبٌ وَإِثْبَاتُ حُرِّيَّةٍ فَكَانَ أَمْرُهُ أَغْلَظَ. أَلَا تَرَى أَنَّ الْبَيْعَ لَمَّا كَانَ اكْتِسَابَ مَالٍ لَمْ يَجِبْ فيه الشهادة ولما كان النكاح مفضي إِلَى إِثْبَاتِ نَسَبٍ وَجَبَتْ فِيهِ الشَّهَادَةُ.

Pertama: bahwa persaksian atas keduanya adalah wajib karena di dalamnya terdapat unsur penguatan bukti, dan meninggalkannya mengandung unsur penipuan. Pendapat kedua: bahwa persaksian atas keduanya adalah sunnah, karena orang yang menemukan barang itu adalah orang yang dipercaya, sehingga tidak wajib baginya menghadirkan saksi, sebagaimana halnya washi (pelaksana wasiat) dan orang yang menerima titipan. Pendapat ketiga: bahwa persaksian atas pengambilan anak temuan adalah wajib, sedangkan persaksian atas pengambilan barang temuan tidak wajib. Perbedaannya adalah bahwa barang temuan merupakan perolehan harta, sehingga urusannya lebih ringan, sedangkan anak temuan berkaitan dengan nasab dan penetapan status kemerdekaan, sehingga urusannya lebih berat. Bukankah engkau melihat bahwa jual beli, karena merupakan perolehan harta, tidak diwajibkan adanya saksi, sedangkan nikah yang berujung pada penetapan nasab, diwajibkan adanya saksi?

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ شُرُوطِهَا فَسَنَشْرَحُ حَالَ الْمَقْصُودِ مِنْهَا وَهُوَ التَّعْرِيفُ وَالْكَلَامُ فِيهِ يَشْتَمِلُ عَلَى ثَلَاثَةِ فُصُولٍ:

Setelah jelas apa yang kami sebutkan tentang syarat-syaratnya, maka kami akan menjelaskan maksud utama dari syarat-syarat tersebut, yaitu pengumuman, dan pembahasan tentangnya mencakup tiga bagian:

أَحَدُهَا: فِي مُدَّةِ التَّعْرِيفِ.

Pertama: tentang lamanya masa pengumuman.

وَالثَّانِي: فِي مَكَانِ التَّعْرِيفِ.

Kedua: tentang tempat pengumuman.

وَالثَّالِثُ: فِي صفة التَّعْرِيفِ. فَأَمَّا مُدَّةُ التَّعْرِيفِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وأبي حنيفة وَمَالِكٍ وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ يُعَرِّفُهَا حَوْلًا كاملا ولا يلزمه الزيادة عليه ولا يجز به النُّقْصَانُ عَنْهُ وَقَالَ شَاذٌّ مِنَ الْفُقَهَاءِ يَلْزَمُهُ أَنْ يُعَرِّفَهَا ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ لَا يُجْزِيهِ أَقَلُّ مِنْهَا اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ أَمَرَ وَاجِدَ اللُّقَطَةِ أَنْ يُعَرِّفَهَا حَوْلًا ثُمَّ عَادَ إِلَيْهِ فَأَمَرَهُ أَنْ يُعَرِّفَهَا حَوْلًا وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ عَلَيْهِ تَعْرِيفُهَا شَهْرًا وَاحِدًا وَرَوَى فِي ذَلِكَ خَبَرًا. وَقَالَ آخَرُ يُعَرِّفُهَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ اسْتِدْلَالًا بِحَدِيثِ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَهُ بِتَعْرِيفِهَا ثَلَاثًا. وَالدَّلِيلُ عَلَى وُجُوبِ تَعْرِيفِهَا حَوْلًا حَدِيثُ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: اعْرِفْ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَشَأْنُكَ بِهَا وَحَدَّثَنَا أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَهُ بِتَعْرِيفِهَا حَوْلًا.

Ketiga: Tentang tata cara ta‘rīf (pemberitahuan). Adapun mengenai lama waktu ta‘rīf, menurut mazhab al-Syāfi‘ī, Abū Ḥanīfah, Mālik, dan jumhur fuqahā’, wajib melakukan ta‘rīf selama satu tahun penuh; tidak wajib menambah dari itu, dan tidak sah jika kurang dari itu. Ada pendapat syādz dari kalangan fuqahā’ yang mewajibkan ta‘rīf selama tiga tahun, tidak sah kurang dari itu, dengan berdalil pada riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau memerintahkan orang yang menemukan luqaṭah untuk melakukan ta‘rīf selama satu tahun, lalu orang itu kembali kepada beliau, maka beliau memerintahkannya lagi untuk melakukan ta‘rīf selama satu tahun. Aḥmad bin Ḥanbal berpendapat bahwa ta‘rīf dilakukan selama satu bulan, dan ia meriwayatkan khabar tentang hal itu. Ada pula pendapat lain yang mengatakan ta‘rīf dilakukan selama tiga hari, berdalil dengan hadis ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ memerintahkannya untuk melakukan ta‘rīf selama tiga hari. Dalil tentang wajibnya ta‘rīf selama satu tahun adalah hadis Zaid bin Khālid al-Juhanī bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Kenalilah ikatan dan pembungkusnya, lalu lakukanlah ta‘rīf selama satu tahun. Jika pemiliknya datang, maka serahkanlah kepadanya; jika tidak, maka terserah engkau.” Dan telah menceritakan kepada kami Ubay bin Ka‘b bahwa Nabi ﷺ memerintahkannya untuk melakukan ta‘rīf selama satu tahun.

وَلِأَنَّ الْحَوْلَ فِي الشَّرْعِ أَصْلٌ مُعْتَبَرٌ فِي الزَّكَاةِ وَالْحُرِّيَّةِ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ مُعْتَبَرًا فِي اللُّقَطَةِ وَلِأَنَّ الْحَوْلَ جَمِيعُ فُصُولِ الْأَزْمِنَةِ الْأَرْبَعَةِ وَيَنْتَهِي إِلَى مِثْلِ زَمَانِ وُجُودِهَا فَكَانَ الِاقْتِصَارُ عَلَى مَا دُونَهُ تَقْصِيرًا وَالزِّيَادَةُ عَلَيْهِ مَشَقَّةٌ. فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ الْأَوَّلُ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أمره أن يعرفها حولا ثم حولا ثمحولا فَعَنْهُ جَوَابَانِ:

Karena satu tahun dalam syariat merupakan dasar yang diperhitungkan dalam zakat dan kemerdekaan, maka lebih utama jika dijadikan acuan pula dalam perkara luqaṭah. Selain itu, satu tahun mencakup seluruh musim dari empat musim, dan berakhir pada waktu yang sama dengan waktu ditemukannya, sehingga membatasi kurang dari itu dianggap kekurangan, dan menambah dari itu merupakan kesulitan. Adapun dalil pertama yang menyatakan bahwa Nabi ﷺ memerintahkannya untuk melakukan ta‘rīf selama satu tahun, kemudian satu tahun lagi, lalu satu tahun lagi, maka ada dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى مَنِ اخْتَارَ ذَلِكَ فَسَأَلَهُ عَنِ الْجَوَازِ دُونَ الْوُجُوبِ. وَالثَّانِي: يُحْمَلُ عَلَى أَنَّهُ أَمَرَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ أَنْ يُعَرِّفَهَا حَوْلًا فَكَانَ الْحَوْلُ وَاحِدًا وَالْأَمْرُ بِهِ ثَلَاثًا.

Pertama: Hal itu ditujukan kepada orang yang memilih demikian dan menanyakan kebolehan, bukan kewajiban. Kedua: Maksudnya adalah Nabi ﷺ memerintahkannya tiga kali untuk melakukan ta‘rīf selama satu tahun, sehingga yang dimaksud adalah satu tahun, namun perintahnya diulang tiga kali.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُ أَحْمَدَ عَلَى الشَّهْرِ بِالْخَبَرِ الَّذِي رَوَاهُ عَنْهُ فَمَحْمُولٌ عَلَى مَنْ بَقِيَ مِنْ حَوْلِهِ شَهْرٌ. وَأَمَّا مَنِ اسْتَدَلَّ بِأَنَّهُ أَمَرَ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلَامُ بِأَنْ يُعَرِّفَهُ ثَلَاثًا فَعَنْهُ جَوَابَانِ: أَحَدُهُمَا: حَمْلُهُ عَلَى الْأَمْرِ ثَلَاثًا بِالتَّعْرِيفِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَمَرَهُ بِتَعْرِيفِهِ بِنَفْسِهِ ثَلَاثًا لِيَسْتَكْمِلَ غَيْرُهُ مُدَّةَ التَّعْرِيفِ.

Adapun dalil Aḥmad tentang satu bulan berdasarkan khabar yang diriwayatkan darinya, maka itu ditujukan kepada orang yang tersisa dari satu tahunnya hanya satu bulan. Sedangkan orang yang berdalil bahwa Nabi ﷺ memerintahkan ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhu untuk melakukan ta‘rīf selama tiga hari, maka ada dua jawaban: Pertama, maksudnya adalah perintah tiga kali untuk melakukan ta‘rīf, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Kedua, Nabi ﷺ memerintahkannya untuk melakukan ta‘rīf sendiri selama tiga hari agar orang lain dapat menyempurnakan masa ta‘rīf yang telah ditentukan.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ عَلِمَ مِنْ ضَرُورَتِهِ مَا أَبَاحَ لَهُ ذَلِكَ قَبْلَ بُلُوغِ أَجَلِهِ فَإِنَّ لِلْمُضْطَرِّ أَنْ يَسْتَبِيحَ مِنْ مَالِ غَيْرِهِ مَا يَدْفَعُ بِهِ ضَرُورَةَ وَقْتِهِ وَذَلِكَ ظَاهِرٌ مِنْ قَوْلِ بَعْضِ الشُّعَرَاءِ حَيْثُ قَالَ:

Ketiga: Boleh jadi ia mengetahui dari keadaan daruratnya sesuatu yang membolehkannya melakukan hal itu sebelum habis waktunya, karena bagi orang yang dalam keadaan darurat diperbolehkan mengambil dari harta orang lain sekadar untuk menghilangkan daruratnya pada saat itu. Hal ini tampak jelas dari perkataan sebagian penyair, di mana ia berkata:

(إِذَا صَادَفَ الْمَلِكَ دِينَارٌ … وَقَدْ حَلَّتْ لَهُ عِنْدَ الضَّرُورَاتِ اللُّقَطْ)

(Jika seorang raja menemukan dinar … maka dalam keadaan darurat, luqaṭah menjadi halal baginya)

(دِينَارُكَ اللَّهُ تَوَلَّى نَقْشَهُ … كَذَلِكَ الْحِنْطَةُ مِنْ خَيْرِ الْحِنَطْ)

(Dinarmu, Allah yang telah membuat ukirannya … demikian pula gandum, dari sebaik-baik gandum)

فَإِذَا وَجَبَ تَعْرِيفُهَا حَوْلًا بِمَا ذَكَرْنَا فَأَوَّلُ وَقْتِ الْحَوْلِ مِنِ ابْتِدَاءِ التَّعْرِيفِ لَا مِنْ وَقْتِ الْوُجُودِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَسْتَدِيمَ تَعْرِيفَهَا فِي جَمِيعِ نَهَارِهِ وَلَكِنَّ عَلَيْهِ أَنْ يَشِيعَ أَمْرَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ بِالنِّدَاءِ عَلَيْهَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا لَا سِيَّمَا فِي ابْتِدَاءِ الْأَمْرِ وَأَوَّلِهِ ثُمَّ يَصِيرُ التَّعْرِيفُ فِي كُلِّ أُسْبُوعٍ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا حَتَّى يَصِيرَ فِي الْأُسْبُوعِ مَرَّةً لَا يُقَصِّرُ عَنْهَا فَلَوْ عَرَّفَهَا سِتَّةَ أَشْهُرٍ ثُمَّ أَمْسَكَ عَنْ تَعْرِيفِهَا سِتَّةَ أَشْهُرٍ فَهُوَ غَيْرُ مُسْتَوْفٍ لِمُدَّةِ التَّعْرِيفِ وَعَلَيْهِ أَنْ يُعَرِّفَهَا سِتَّةَ أَشْهُرٍ أُخْرَى لِيَسْتَكْمِلَ الْحَوْلَ فِي تَعْرِيفِهَا ثُمَّ يَنْظُرَ حَالَهُ عِنْدَ إِمْسَاكِهِ لَهَا بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ تَعْرِيفِهَا فَإِنْ كَانَ قَدْ نَوَى تَمَلُّكَهَا فَقَدْ ضَمِنَهَا وَلَا يَصِيرُ مَالِكًا لَهَا وَإِنْ لَمْ يَنْوِ تَمَلُّكَهَا فَهَلْ يَصِيرُ ضَامِنًا لَهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: قَدْ ضَمِنَهَا لِأَنَّ إِمْسَاكَهُ عَنِ التَّعْرِيفِ تَقْصِيرٌ وَالثَّانِي: لَا يُضَمِّنُهَا لِأَنَّ إِتْيَانَهُ بِالتَّعْرِيفِ يُوجِبُ عَلَيْهِ اسْتِيفَاءَ جَمِيعِهِ وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ تَقْصِيرًا وَهَذَا قَوْلُ الْمُزَنِيِّ.

Apabila wajib memperkenalkan (barang temuan) selama satu tahun sebagaimana telah kami sebutkan, maka awal waktu satu tahun itu dimulai dari saat memperkenalkannya, bukan dari saat menemukannya. Tidak wajib baginya untuk terus-menerus memperkenalkannya sepanjang hari, tetapi ia wajib menyebarluaskan perihal barang itu setiap hari dengan mengumumkannya dua atau tiga kali, terutama pada permulaan dan awal waktu memperkenalkan. Kemudian, pengumuman itu dilakukan setiap pekan dua atau tiga kali, hingga akhirnya cukup satu kali dalam sepekan, dan tidak boleh kurang dari itu. Jika ia memperkenalkan barang itu selama enam bulan, lalu berhenti memperkenalkannya selama enam bulan berikutnya, maka ia belum memenuhi masa pengenalan yang ditetapkan. Ia harus memperkenalkannya lagi selama enam bulan tambahan agar genap satu tahun dalam memperkenalkannya. Setelah itu, dilihat keadaannya ketika ia menahan barang itu setelah enam bulan memperkenalkannya: jika ia berniat memilikinya, maka ia wajib menanggung (tanggung jawab) barang itu dan tidak menjadi pemiliknya. Jika ia tidak berniat memilikinya, apakah ia tetap wajib menanggungnya atau tidak? Ada dua pendapat: pertama, ia wajib menanggungnya karena menahan diri dari memperkenalkan adalah suatu kelalaian; kedua, ia tidak wajib menanggungnya karena telah melakukan pengenalan sesuai kewajiban dan hal itu bukanlah kelalaian. Ini adalah pendapat al-Muzani.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا مَكَانُ التَّعْرِيفِ فَفِي مَجَامِعِ النَّاسِ وَمَحَافِلِهِمْ مِنَ الْبَلَدِ الَّذِي وَجَدَهَا فِيهِ وَإِنْ وَجَدَهَا وَاجِدُهَا فِي صَحْرَاءَ قفرا أو على حادتها مِنَ الْبِلَادِ الْمُقَارِبَةِ لَهَا، وَلْيَكُنْ تَعْرِيفُهَا عَلَى أَبْوَابِ الْمَسَاجِدِ فَقَدْ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَجُلًا يَنْشُدُ ضَالَّتَهُ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاشِدُ غَيْرُكَ الْوَاجِدُ وَلْيُكْثِرْ مِنْ تَعْرِيفِهَا فِي مَحَاطِّ الرِّجَالِ وَمُنَاخِ الْأَسْفَارِ وَفِي الْأَسْوَاقِ فَأَمَّا الضَّوَاحِي الْخَالِيَةُ فَلَا يَكُونُ إِنْشَادُهَا فِيهِ تَعْرِيفًا.

Adapun tempat memperkenalkan (barang temuan) adalah di tempat-tempat berkumpulnya orang banyak dan di majelis-majelis mereka di kota tempat ia menemukannya. Jika seseorang menemukannya di padang pasir yang sepi atau di pinggiran negeri yang berdekatan dengannya, maka hendaknya pengumuman dilakukan di depan pintu-pintu masjid. Rasulullah ﷺ pernah mendengar seseorang mencari barang hilangnya di dalam masjid, maka beliau bersabda, “Wahai pencari, bukan engkau yang menemukannya.” Hendaknya ia memperbanyak pengumuman di tempat-tempat berkumpulnya laki-laki, di tempat peristirahatan para musafir, dan di pasar-pasar. Adapun di daerah pinggiran yang sepi, maka mengumumkannya di sana tidak dianggap sebagai pengenalan (yang sah).

وَرَوَى الْمُزَنِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَالَ وَيَكُونُ أَكْثَرُ تَعْرِيفِهَا فِي الْجُمُعَةِ الَّتِي أَصَابَهَا فِيهِ. وَرَوَى الرَّبِيعُ عَنْ أَنَّهُ قَالَ فِي الْجَمَاعَةِ الَّتِي أَصَابَهَا فِيهَا فَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَنْسِبُ المزني إِلَى الْغَلَطِ فِي رِوَايَتِهِ وَأَنَّ الْأَصَحَّ رِوَايَةُ الرَّبِيعِ لِأَنَّ الْجُمُعَةَ وَغَيْرَهَا مِنَ الْأَيَّامِ فِي التَّعْرِيفِ سَوَاءٌ وَإِنَّمَا يُؤْمَرُ بِتَعْرِيفِهَا فِي الْجَمَاعَةِ الَّتِي أَصَابَهَا فِيهِ لِأَنَّ مَنْ ضَاعَ مِنْهُ شَيْءٌ فِي جَمَاعَةٍ فَالْأَغْلَبُ أَنَّهُ يُلَازِمُ طَلَبَهُ فِي تِلْكَ الْجَمَاعَةِ. وَقَالَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِنَّ كلا الرِّوَايَتَيْنِ صَحِيحَةٌ وَلَهُمْ فِي اسْتِعْمَالِ رِوَايَةِ الْمُزَنِيِّ جَوَابَانِ: أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ إِنَّمَا خَصَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِكَثْرَةِ التَّعْرِيفِ فِيهِ عَلَى سَائِرِ الْأَيَّامِ لِاجْتِمَاعِ الْأَبَاعِدِ فِيهِ وإشهار مَا يَكُونُ فِيهِ. وَالثَّانِي: أَنَّ رِوَايَةَ الْمُزَنِيِّ مَحْمُولَةٌ عَلَى أَنَّ الْوَاجِدَ أَصَابَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَيَكُونُ أَكْثَرُ تَعْرِيفِهِ لَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ لِأَنَّهَا رُبَّمَا سَقَطَتْ مِمَّنْ كَانَ خَارِجَ الْمِصْرِ الَّذِي لَا يَأْتِيهِ إِلَّا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ وَرِوَايَةُ الرَّبِيعِ مَحْمُولَةٌ عَلَى أَنَّهُ وَجَدَهَا فِي جَمَاعَةٍ فَيَكُونُ أَكْثَرُ تَعْرِيفِهِ لَهَا فِي تِلْكَ الْجَمَاعَةِ لِأَنَّهَا الْأَغْلَبُ مِنْ بِقَاعِ طَالِبِهَا.

Al-Muzani meriwayatkan dari asy-Syafi‘i bahwa beliau berkata: “Kebanyakan pengumuman dilakukan pada hari Jumat di mana barang itu ditemukan.” Ar-Rabi‘ meriwayatkan bahwa beliau berkata: “Pada jamaah (keramaian) di mana barang itu ditemukan.” Sebagian sahabat kami menisbatkan kekeliruan kepada al-Muzani dalam riwayatnya, dan yang lebih sahih adalah riwayat ar-Rabi‘, karena hari Jumat dan hari-hari lainnya dalam hal pengumuman adalah sama. Hanya saja dianjurkan mengumumkannya pada jamaah di mana barang itu ditemukan, karena biasanya orang yang kehilangan sesuatu dalam suatu keramaian akan terus mencarinya di keramaian tersebut. Para sahabat kami yang lain berpendapat bahwa kedua riwayat itu benar, dan mereka memiliki dua jawaban dalam menggunakan riwayat al-Muzani: pertama, sebagaimana pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa hari Jumat dikhususkan dengan banyaknya pengumuman dibanding hari-hari lain karena banyaknya orang berkumpul dan tersebarnya berita pada hari itu; kedua, riwayat al-Muzani dimaknai bahwa penemu barang menemukannya pada hari Jumat, sehingga kebanyakan pengumumannya dilakukan pada hari Jumat, karena bisa jadi barang itu jatuh dari orang yang berasal dari luar kota yang hanya datang ke kota itu setiap hari Jumat. Sedangkan riwayat ar-Rabi‘ dimaknai bahwa ia menemukannya di suatu keramaian, sehingga kebanyakan pengumumannya dilakukan di keramaian itu, karena itulah tempat yang paling mungkin bagi pencari barang tersebut.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا صِفَةُ التَّعْرِيفِ فَهُوَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إما أن يقول من ضاع من شَيْءٌ وَلَا يَذْكُرُ جِنْسَهُ وَهَذَا أَوْلَى الْأَمْرَيْنِ وَإِمَّا أَنْ يُذْكَرَ الْجِنْسُ فَيَقُولُ مَنْ ضَاعَتْ مِنْهُ دَرَاهِمُ أَوْ مَنْ ضَاعَتْ مِنْهُ دَنَانِيرُ وَلَا يَصِفُهَا بِجَمِيعِ أَوْصَافِهَا فَيُنَازَعُ فِيهَا فَإِنْ وَصَفَهَا بِجَمِيعِ أَوْصَافِهَا مِنَ الْعَدَدِ وَالْوَزْنِ وَذِكْرِ الْعِفَاصِ وَالْوِكَاءِ فَفِيهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ لِأَنَّهَا لَا تُدْفَعُ إِلَى الطَّالِبِ بِمُجَرَّدِ الصِّفَةِ حَتَّى يُقِيمَ الْبَيِّنَةَ عَلَيْهَا. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: عَلَيْهِ الضَّمَانُ لِأَنَّهُ رُبَّمَا كَانَ الْحَاكِمُ مِمَّنْ يَرَى دَفْعَهَا بِالصِّفَةِ فَإِذَا سَمِعَهَا بِالتَّعْرِيفِ مَنْ تَقِلُّ أَمَانَتَهُ أَسْرَعَ إِلَى ادِّعَائِهَا وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْمُعَرِّفُ لَهَا مَأْمُونًا غَيْرَ مَشْهُورٍ بالخلاعة والمزاح حَتَّى لَا يُنْسَبَ عِنْدَ التَّعْرِيفِ إِلَى الْكَذِبِ وَالْمُجُونِ فَإِنْ وَجَدَ مُتَطَوِّعًا بِالتَّعْرِيفِ فَهُوَ أَوْلَى وإن لم يجد إلا مستجعلا فَإِنْ تَطَوَّعَ الْوَاجِدُ بِبَدَلٍ جَعَلَهُ مِنْ مَالِهِ كان محسنا وإن دفعه دينا عل صَاحِبِهَا اسْتَأْذَنَ فِيهِ حَاكِمًا لِيَصِحَّ لَهُ الرُّجُوعُ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَأْذِنْ وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى اسْتِئْذَانِهِ وَأَشْهَدَ بِالرُّجُوعِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Adapun tata cara melakukan ta‘rīf (pengumuman barang temuan), maka orang yang menemukan barang tersebut boleh memilih salah satu dari dua cara: Pertama, ia dapat mengatakan, “Barang siapa yang kehilangan sesuatu,” tanpa menyebutkan jenisnya, dan cara ini lebih utama di antara keduanya. Kedua, ia boleh menyebutkan jenisnya, misalnya dengan mengatakan, “Barang siapa yang kehilangan dirham” atau “Barang siapa yang kehilangan dinar,” namun ia tidak menyebutkan seluruh ciri-cirinya agar tidak terjadi perselisihan dalam pengakuan. Jika ia menyebutkan seluruh ciri-cirinya, seperti jumlah, berat, serta menyebutkan pembungkus dan pengikatnya, maka ada dua pendapat: Pertama, tidak ada tanggungan (dhamān) atasnya, karena barang tersebut tidak akan diserahkan kepada penuntut hanya berdasarkan ciri-ciri, kecuali setelah ia mendatangkan bukti. Kedua, ia tetap menanggung (dhamān), karena bisa jadi hakim termasuk orang yang membolehkan penyerahan barang hanya berdasarkan ciri-ciri, sehingga jika ada orang yang kurang amanah mendengar ciri-ciri tersebut saat pengumuman, ia akan segera mengakuinya. Sebaiknya orang yang melakukan ta‘rīf adalah orang yang terpercaya, tidak dikenal dengan kefasikan dan suka bercanda, agar ia tidak dituduh berdusta dan berbuat tidak senonoh saat melakukan pengumuman. Jika ia menemukan seseorang yang bersedia secara sukarela melakukan ta‘rīf, maka itu lebih utama. Namun jika tidak ada kecuali orang yang meminta upah, lalu si penemu bersedia membayar upah dari hartanya sendiri, maka itu adalah perbuatan baik. Jika ia membayarnya sebagai utang atas pemilik barang, maka ia harus meminta izin hakim agar ia berhak menagihnya kembali. Jika ia tidak meminta izin padahal mampu melakukannya, lalu ia menghadirkan saksi saat menagih, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَرْجِعُ.

Pertama: Ia boleh menagih kembali.

وَالثَّانِي: لَا يَرْجِعُ.

Kedua: Ia tidak boleh menagih kembali.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَلَوْ ضَاعَتِ اللُّقَطَةُ مِنَ الْوَاجِدِ لَهَا فَالْتَقَطَهَا آخَرُ ثُمَّ عَلِمَ الواجد الأول بها فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ بَعْدَ أَنْ تَمَلَّكَهَا الْأَوَّلُ عِنْدَ اسْتِكْمَالِ تَعْرِيفِهَا حَوْلًا فَالْمُلْتَقِطُ الْأَوَّلُ أَحَقُّ بِهَا مِنَ الثَّانِي لِاسْتِقْرَارِ مِلْكِهِ عَلَيْهَا وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ اسْتِكْمَالِ الْأَوَّلِ لِتَعْرِيفِهَا حَوْلًا فَفِي أَحَقِّهِمَا بِهَا وَجْهَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ كَجٍّ:

Jika barang temuan hilang dari orang yang menemukannya, lalu ditemukan oleh orang lain, kemudian penemu pertama mengetahui keberadaan barang tersebut, maka jika itu terjadi setelah penemu pertama memilikinya dengan menyempurnakan ta‘rīf selama satu tahun, maka penemu pertama lebih berhak atas barang tersebut daripada penemu kedua, karena kepemilikannya telah tetap atas barang itu. Namun jika itu terjadi sebelum penemu pertama menyempurnakan ta‘rīf selama satu tahun, maka mengenai siapa yang lebih berhak atas barang tersebut terdapat dua pendapat yang dinukil oleh Ibn Kajj:

أَحَدُهُمَا: الْأَوَّلُ لِتَقَدُّمِ يَدِهِ.

Pertama: Penemu pertama lebih berhak karena ia yang lebih dahulu memegangnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الثاني أحق بها لثبوت يده.

Pendapat kedua: Penemu kedua lebih berhak karena barang tersebut ada dalam genggamannya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَهِيَ لَهُ بَعْدَ سَنَةٍ عَلَى أَنَّهُ مَتَى جَاءَ صَاحِبُهَا فِي حَيَاتِهِ أَوْ بَعْدَ مَوْتِهِ فَهُوَ غَرِيمٌ إِنْ كَانَ اسْتَهْلَكَهَا “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika pemiliknya datang, maka barang itu dikembalikan kepadanya. Jika tidak, maka barang itu menjadi milik penemu setelah satu tahun, dengan ketentuan bahwa kapan pun pemiliknya datang, baik saat penemu masih hidup maupun setelah wafatnya, maka penemu menjadi pihak yang berutang jika barang itu telah habis digunakan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا اسْتَكْمَلَ تَعْرِيفَهَا حَوْلًا كَانَ بَعْدَهُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا وَبَيْنَ أَنْ تَكُونَ فِي يَدِهِ أَمَانَةً وَبَيْنَ أَنْ يَدْفَعَهَا إِلَى الْحَاكِمِ لِيَحْفَظَهَا عَلَى مَالِكِهَا بِأَنْ يَضَعَهَا فِي بَيْتِ الْمَالِ أَوْ عَلَى يَدِ أَمِينٍ. وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ لَا يَجُوزُ لِلْوَاجِدِ بَعْدَ تَعْرِيفِ الْحَوْلِ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا بَلْ عَلَيْهِ أَنْ يَضَعَهَا فِي بَيْتِ الْمَالِ وَقَالَ مَالِكٌ إِنْ كَانَ غَنِيًّا جَازَ لَهُ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا وَإِنْ كَانَ فَقِيرًا لَمْ يَجُزْ لِعَجْزِ الْفَقِيرِ عَنِ الْغُرْمِ وَقُدْرَةِ الْغَنِيِّ عَلَيْهِ وَقَالَ أبو حنيفة يَجُوزُ لِلْفَقِيرِ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا دُونَ الْغَنِيِّ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ وَالدَّلِيلُ عَلَى جَمِيعِهِمْ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَشَأْنُكَ بِهَا ” وَرُوِيَ فِي بَعْضِ الْأَخْبَارِ أَنَّهُ قَالَ: فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَهِيَ لَكَ وَقَدْ أَذِنَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِعَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنْ يَتَمَلَّكَ الدِّينَارَ وَهُوَ لَا يَجِدُ غُرْمَهُ حَتَّى غَرِمَهُ عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَبَطَلَ بِهِ قَوْلُ مَالِكٍ وَأَذِنَ لِأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنْ يَتَمَلَّكَ الصُّرَّةَ وَهُوَ غَنِيٌّ فَبَطَلَ بِهِ قَوْلُ أبي حنيفة، وَلِأَنَّ الْوَاجِدَ لَوْ مُنِعَ بَعْدَ الْحَوْلِ مِنْ تَمَلُّكِهَا أَدَّى ذَلِكَ إِلَى أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ لَا يَرْغَبَ الْوَاجِدُ فِي أَخْذِهَا وَإِمَّا أَنْ تَدْخُلَ الْمَشَقَّةُ عَلَيْهِ فِي اسْتِدَامَةِ إِمْسَاكِهَا فَكَانَ إِبَاحَةُ التَّمْلِيكِ لَهَا بَعْدَ التَّعْرِيفِ أَحَثُّ عَلَى أَخْذِهَا وَأَحْفَظُ عَلَى مَالِكِهَا لِثُبُوتِ غُرْمِهَا فِي ذِمَّتِهِ فَلَا تَكُونُ مُعَرَّضَةً لِلتَّلَفِ وَلِيَكُونَ ارْتِفَاقُ الْوَاجِدِ بِمَنْفَعَتِهَا فِي مُقَابَلَةِ مَا عَانَاهُ فِي حِفْظِهَا وَتَعْرِيفِهَا وَهَذِهِ كُلُّهَا مَعَانٍ اسْتَوَى فِيهَا الْغَنِيُّ وَالْفَقِيرُ.

Al-Mawardi berkata: Jika seseorang telah menyempurnakan pengumuman (ta‘rīf) atas barang temuan selama satu tahun, maka setelah itu ia memiliki pilihan antara: mengambil kepemilikan atas barang tersebut, membiarkannya tetap di tangannya sebagai amanah, atau menyerahkannya kepada hakim agar hakim menjaga barang itu untuk pemiliknya, baik dengan meletakkannya di Baitul Mal atau menyerahkannya kepada seorang yang terpercaya. Abdullah bin Umar berpendapat bahwa tidak boleh bagi orang yang menemukan barang tersebut untuk memilikinya setelah pengumuman selama satu tahun, melainkan ia harus meletakkannya di Baitul Mal. Malik berpendapat, jika orang yang menemukan itu kaya, maka boleh baginya untuk memilikinya, namun jika ia miskin, tidak boleh, karena orang miskin tidak mampu menanggung ganti rugi, sedangkan orang kaya mampu. Abu Hanifah berpendapat, boleh bagi orang miskin untuk memilikinya, tidak bagi orang kaya. Telah dijelaskan sebelumnya pendapat beliau. Dalil bagi semua pendapat ini adalah sabda Nabi ﷺ: “Jika datang pemiliknya (serahkan kepadanya), jika tidak, maka terserah engkau terhadapnya.” Dalam sebagian riwayat disebutkan: “Jika datang pemiliknya (serahkan kepadanya), jika tidak, maka itu menjadi milikmu.” Rasulullah ﷺ telah mengizinkan Ali ‘alaihis salam untuk memiliki satu dinar, padahal ia tidak mampu mengganti kerugian, hingga Rasulullah ﷺ sendiri yang menanggungnya, sehingga gugurlah pendapat Malik. Rasulullah ﷺ juga mengizinkan Ubay bin Ka‘b untuk memiliki sebuah kantong uang, padahal ia seorang yang kaya, sehingga gugurlah pendapat Abu Hanifah. Selain itu, jika orang yang menemukan barang itu dilarang memilikinya setelah satu tahun, maka hal itu akan menyebabkan dua kemungkinan: bisa jadi orang tidak berminat mengambil barang temuan, atau akan timbul kesulitan baginya dalam terus-menerus menyimpannya. Maka, membolehkan kepemilikan setelah pengumuman lebih mendorong orang untuk mengambilnya dan lebih menjaga hak pemiliknya, karena kewajiban ganti rugi tetap ada pada orang yang mengambil, sehingga barang itu tidak terancam rusak. Selain itu, orang yang menemukan dapat memperoleh manfaat dari barang itu sebagai imbalan atas usaha yang telah ia lakukan dalam menjaga dan mengumumkannya. Semua alasan ini berlaku sama baik bagi orang kaya maupun miskin.

ثُمَّ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ لَا فَرْقَ بَيْنَ الْمُسْلِمِ وَالذِّمِّيِّ فِي أَخْذِهَا لِلتَّعْرِيفِ وَتَمَلُّكِهَا بَعْدَ الْحَوْلِ لِأَنَّهَا كَسْبٌ يَسْتَوِي فِيهَا الْمُسْلِمُ وَالذِّمِّيُّ. وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا لَا حَقَّ لِلذِّمِّيِّ فِيهَا فَهُوَ مَمْنُوعٌ مِنْ أَخْذِهَا وَتَمَلُّكِهَا لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ التَّعْرِيفِ لِعَدَمِ وِلَايَتِهِ عَلَى مُسْلِمٍ وَلَا مِمَّنْ يَمْلِكُ مَرَافِقَ دَارِ الْإِسْلَامِ كَإِحْيَاءِ الْمَوَاتِ.

Kemudian, menurut mazhab al-Syafi‘i, tidak ada perbedaan antara Muslim dan dzimmi dalam mengambil barang temuan untuk diumumkan dan memilikinya setelah satu tahun, karena hal itu merupakan perolehan (kasb) yang sama-sama berlaku bagi Muslim maupun dzimmi. Namun sebagian ulama kami berpendapat bahwa dzimmi tidak memiliki hak atas barang temuan, sehingga ia dilarang mengambil dan memilikinya, karena ia bukan termasuk orang yang berhak melakukan pengumuman (ta‘rīf) akibat tidak adanya kewenangan atas seorang Muslim, dan juga bukan termasuk orang yang memiliki hak atas fasilitas di Darul Islam seperti dalam masalah menghidupkan tanah mati (ihyā’ al-mawāt).

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ تَمَلُّكِهَا بَعْدَ الْحَوْلِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْ غَنِيٍّ أَوْ فَقِيرٍ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا بِمَاذَا يَصِيرُ مَالِكًا عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ: أَحَدُهَا: أَنَّهُ يَصِيرُ مَالِكًا لَهَا بِمُضِيِّ الْحَوْلِ وَحْدَهُ إِلَّا أَنْ يَخْتَارَ أَنْ تَكُونَ أَمَانَةً فَلَا تَدْخُلُ فِي مِلْكِهِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي حَفْصِ بْنِ الْوَكِيلِ لِأَنَّهُ كَسْبٌ عَلَى غَيْرِ بَدَلٍ فَأَشْبَهَ الرِّكَازَ وَالِاصْطِيَادَ وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أنه يملكها بعض مُضِيِّ الْحَوْلِ بِاخْتِيَارِ التَّمَلُّكِ فَإِنْ لَمْ يَخْتَرِ التَّمَلُّكَ لَمْ يَمْلِكْ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَشَأْنُكَ بِهَا ” فَرَدَّ أَمْرَهَا إِلَى اخْتِيَارِهِ وَلِأَنَّهُ أُبِيحَ لَهُ التَّمَلُّكُ بَعْدَ الْحَوْلِ بَعْدَ أَنْ كَانَ مُؤْتَمَنًا فَاقْتَضَى أَلَّا يَنْتَقِلَ عَنْ مَا كَانَ عَلَيْهِ إِلَّا بِاخْتِيَارِ مَا أُبِيحَ لَهُ.

Jika telah tetap kebolehan memiliki barang temuan setelah satu tahun bagi setiap orang, baik kaya maupun miskin, maka para ulama kami berbeda pendapat tentang dengan apa seseorang menjadi pemilik barang tersebut, dengan tiga pendapat: Pertama, seseorang menjadi pemilik barang itu hanya dengan berlalunya satu tahun, kecuali jika ia memilih untuk menjadikannya sebagai amanah, maka barang itu tidak masuk dalam kepemilikannya. Ini adalah pendapat Abu Hafsh bin al-Wakil, karena hal itu merupakan perolehan tanpa pengganti, sehingga serupa dengan rikāz (harta karun) dan hasil buruan. Pendapat kedua, seseorang menjadi pemilik barang itu setelah berlalunya satu tahun dengan memilih untuk memilikinya; jika ia tidak memilih untuk memilikinya, maka ia tidak menjadi pemilik. Ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, karena Nabi ﷺ bersabda: “Jika datang pemiliknya (serahkan kepadanya), jika tidak, maka terserah engkau terhadapnya,” sehingga perkara itu dikembalikan kepada pilihannya. Selain itu, karena kepemilikan dibolehkan baginya setelah satu tahun, setelah sebelumnya ia hanya sebagai orang yang dipercaya (mu’taman), maka tidak seharusnya berpindah dari status sebelumnya kecuali dengan memilih apa yang telah dibolehkan baginya.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ لَا يَمْلِكُهَا بَعْدَ مُضِيِّ الْحَوْلِ إِلَّا بِالِاخْتِيَارِ وَالتَّصَرُّفِ وَهُوَ مَا لَمْ يَتَصَرَّفْ غَيْرُ مَالِكٍ لِأَنَّ التَّصَرُّفَ مِنْهُ كَالْقَبْضِ فَأَشْبَهَ الْهِبَةَ.

Penjelasan ketiga: Bahwa ia tidak memilikinya setelah berlalu satu tahun kecuali dengan pilihan dan tindakan, yaitu selama belum ada tindakan dari selain pemilik, karena tindakan darinya seperti halnya mengambil (barang), sehingga menyerupai hibah.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا صَارَ مَالِكُهَا كَمَا ذَكَرْنَا فَقَدْ ضَمِنَهَا لِصَاحِبِهَا فَمَنْ جَاءَ طَالِبًا لَهَا رَجَعَ بِهَا إِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً وَلَيْسَ لِلْمُتَمَلِّكِ أَنْ يَعْدِلَ بِهِ مَعَ بَقَائِهَا إِلَى بَدَلِهَا وَإِنْ كَانَتْ تَالِفَةً رَجَعَ بِبَدَلِهَا فَإِنْ كَانَتْ ذَا مَثَلٍ رَجَعَ بِمِثْلِهَا وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ ذِي مَثَلٍ رَجَعَ بِقِيمَتِهَا حِينَ تَمَلَّكَهَا لِأَنَّهُ إِذْ ذَاكَ صَارَ ضَامِنًا لَهَا فَإِنِ اخْتَلَفَا فِي الْقِيمَةِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ مُتَمَلِّكِهَا لِأَنَّهُ غَارِمٌ فَلَوْ كَانَتْ عِنْدَ مَجِيءِ صَاحِبِهَا بَاقِيَةً بِعَيْنِهَا لَكِنْ قَدْ حَدَثَ فِيهَا نَمَاءٌ مُنْفَصِلٌ رَجَعَ بِالْأَصْلِ دُونَ النَّمَاءِ لِحُدُوثِ النَّمَاءِ عَلَى مِلْكِ الْوَاجِدِ فَلَوْ عَرَفَ الْوَاجِدُ صَاحِبَهَا وَجَبَ عَلَيْهِ إِعْلَامُهُ بِهَا ثُمَّ يَنْظُرُ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ تَمَلُّكِهَا فَمُؤْنَةُ رَدِّهَا عَلَى صَاحِبِهَا دُونَ الْوَاجِدِ كَالْوَدِيعَةِ فَإِنْ كَانَ قَصَدَ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا الْوَاجِدُ فمؤنة رَدِّهَا عَلَيْهِ دُونَ صَاحِبِهَا لِبَقَائِهَا عَلَى مِلْكِهِ مَا لَمْ تَصِلْ إِلَى يَدِ صَاحِبِهَا وَقَالَ الْكَرَابِيسِيُّ إِذَا تَمَلَّكَ الْوَاجِدُ اللُّقَطَةَ فَلَا غُرْمَ عَلَيْهِ لِصَاحِبِهَا وَلَكِنْ لَهُ الرُّجُوعُ بِهَا بَعْدَ التَّمَلُّكِ وَإِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً بِعَيْنِهَا.

Apabila ia telah menjadi pemiliknya sebagaimana telah kami sebutkan, maka ia telah menanggungnya untuk pemilik aslinya. Maka siapa saja yang datang menuntut barang tersebut, ia berhak mengambilnya jika barang itu masih ada, dan pemilik baru tidak boleh menggantinya dengan barang lain selama barang itu masih ada. Jika barang itu telah rusak, maka ia berhak mendapatkan penggantinya. Jika barang itu termasuk barang yang ada padanannya, maka ia berhak mendapatkan padanannya; dan jika tidak ada padanannya, maka ia berhak mendapatkan nilainya pada saat barang itu dimiliki, karena pada saat itu ia telah menjadi penanggung barang tersebut. Jika terjadi perselisihan mengenai nilainya, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat pemilik baru, karena ia adalah pihak yang menanggung. Jika pada saat pemilik aslinya datang barang itu masih ada secara fisik, namun telah terjadi pertumbuhan (keuntungan) yang terpisah, maka yang dikembalikan hanyalah barang pokoknya tanpa pertumbuhannya, karena pertumbuhan itu terjadi di bawah kepemilikan penemu. Jika penemu mengetahui pemilik aslinya, maka wajib baginya untuk memberitahukan barang tersebut kepadanya, kemudian dilihat: jika itu terjadi sebelum ia memilikinya, maka biaya pengembalian barang ditanggung oleh pemilik aslinya, bukan oleh penemu, seperti halnya titipan. Namun jika penemu bermaksud untuk memilikinya, maka biaya pengembalian barang ditanggung oleh penemu, bukan oleh pemilik aslinya, selama barang itu masih dalam kepemilikannya sampai barang itu sampai ke tangan pemilik aslinya. Al-Karabisi berkata: Jika penemu telah memiliki barang temuan (luqathah), maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya kepada pemilik aslinya, namun pemilik aslinya berhak mengambilnya kembali setelah kepemilikan, jika barang itu masih ada secara fisik.

اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَشَأْنُكَ بِهَا ” وروي ” إلا فَهِيَ لَكَ ” فَلَمْ يَجْعَلْ عَلَيْهِ بَدَلًا وَلِأَنَّهُ تَمَلُّكٌ كَالرِّكَازِ فَلَمَّا مَلَكَ الرِّكَازَ بِغَيْرِ بَدَلٍ مَلَكَ اللُّقَطَةَ أَيْضًا بِغَيْرِ بَدَلٍ. وَهَذَا قَوْلٌ خَالَفَ فِيهِ نَصَّ الشَّافِعِيِّ وَجُمْهُورَ الْفُقَهَاءِ لِأَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلَامُ بِالْغُرْمِ فَلَمَّا أَعْسَرَ غَرَمَهُ عَنْهُ، وَلِأَنَّ مَقْصُودَ اللُّقَطَةِ حِفْظُهَا عَلَى مَالِكِهَا وَفِي إِسْقَاطِ الْغُرْمِ اسْتِهْلَاكٌ لَهَا. وَلِأَنَّ مِلْكَ الْمُسْلِمِ لَا يُسْتَبَاحُ مِنْ غَيْرِ اخْتِيَارِهِ إِلَّا بِبَدَلٍ كَأَكْلِ مَالِ الْغَيْرِ فَأَمَّا الرِّكَازُ فَلَيْسَ الْمَقْصُودُ بِهِ حِفْظَهُ عَلَى مَالِكِهِ وَلِذَلِكَ سَقَطَ تَعْرِيفُهُ وَصَارَ كَسْبًا مَحْضًا لِذَلِكَ وَجَبَ خمسه فافترقا.

Dengan berdalil bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Jika datang pemiliknya, (serahkan kepadanya), jika tidak, maka terserah engkau terhadapnya,” dan juga diriwayatkan: “Jika tidak, maka itu milikmu.” Maka tidak mewajibkan pengganti atasnya. Dan karena kepemilikan itu seperti rikaz (harta temuan dalam tanah), maka sebagaimana ia memiliki rikaz tanpa pengganti, ia juga memiliki luqathah tanpa pengganti. Ini adalah pendapat yang bertentangan dengan nash asy-Syafi‘i dan jumhur fuqaha, karena Nabi ﷺ memerintahkan Ali ra untuk menanggung (mengganti), maka ketika ia tidak mampu, Nabi menanggungnya untuknya. Dan karena tujuan dari luqathah adalah menjaga harta itu untuk pemiliknya, sedangkan menggugurkan kewajiban ganti rugi berarti menghilangkannya. Dan karena kepemilikan seorang muslim tidak boleh diambil tanpa kerelaannya kecuali dengan pengganti, seperti halnya memakan harta orang lain. Adapun rikaz, tujuannya bukan untuk menjaga harta itu bagi pemiliknya, oleh karena itu tidak diwajibkan untuk diumumkan dan menjadi murni hasil usaha, sehingga diwajibkan seperlimanya, maka keduanya berbeda.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وسواء قليل اللقطة وكثيرها فيقول من ذهبت له دنانير إن كانت دنانير ومن ذهبت له دراهم إن كانت دراهم ومن ذهب له كذا ولا يصفها فينازع في صفتها أو يقول جملة إن في يدي لقطة “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Baik sedikit maupun banyaknya luqathah, maka orang yang kehilangan dinar hendaknya mengatakan: ‘Saya kehilangan dinar’ jika memang dinar, atau ‘Saya kehilangan dirham’ jika memang dirham, atau ‘Saya kehilangan barang ini’, dan tidak menyebutkan ciri-cirinya sehingga terjadi perselisihan dalam cirinya, atau ia mengatakan secara umum: ‘Di tanganku ada luqathah (barang temuan)’.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ اللُّقَطَةَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Secara ringkas, luqathah terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: مَا كَانَ لَهُ قِيمَةٌ وَإِذَا ضَاعَ مِنْ مَالِكِهِ طَلَبَهُ كَالدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ فَهَذَا يَجِبُ تَعْرِيفُهُ عَلَى وَاجِدِهِ.

Pertama: Barang yang memiliki nilai, dan jika hilang dari pemiliknya maka ia akan mencarinya, seperti dinar dan dirham. Maka barang seperti ini wajib diumumkan oleh penemunya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَا كَانَ تَافِهًا حَقِيرًا لَا قِيمَةَ لَهُ كَالتَّمْرَةِ وَالْجَوْزَةِ فَهَذَا لَا يَجِبُ تَعْرِيفُهُ فَقَدْ رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَمِعَ رَجُلًا يُعَرِّفُ فِي الطَّوَافِ زَبِيبَةً فَقَالَ إِنَّ مِنَ الْوَرَعِ مَا يَمْقُتُهُ اللَّهُ وَأَخَذَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنَ الْحَسَنِ تَمْرَةً وَجَدَهَا وَقَالَ لَوْلَا أَنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُونَ مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ لَتَرَكْتُهَا.

Bagian kedua: Barang yang remeh dan tidak bernilai, seperti kurma dan kenari. Barang seperti ini tidak wajib diumumkan. Diriwayatkan bahwa Umar ra mendengar seseorang mengumumkan sebutir kismis di tengah thawaf, maka beliau berkata: “Sesungguhnya di antara sikap wara‘ ada yang dibenci Allah.” Nabi ﷺ juga pernah mengambil sebutir kurma dari al-Hasan yang menemukannya, lalu bersabda: “Seandainya aku tidak khawatir itu dari kurma sedekah, niscaya aku biarkan.”

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَا كَانَ لَهُ قِيمَةٌ إِلَّا أَنَّهُ لَا تَتْبَعُهُ نَفْسُ صَاحِبِهِ وَلَا يَطْلُبُهُ إِنْ ضَاعَ مِنْهُ كَالرَّغِيفِ وَالدَّانَقِ مِنَ الْفِضَّةِ فقد اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُجُوبِ تَعْرِيفِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: يَجِبُ لِكَوْنِهِ ذَا قِيمَةٍ وَالثَّانِي لَا يَجِبُ لِكَوْنِهِ غَيْرَ مَطْلُوبٍ ثُمَّ مَا وَجَبَ تَعْرِيفُهُ مِنْ قَلِيلِ ذَلِكَ أَوْ كَثِيرِهِ عَرَّفَهُ حولا كاملا لا يجز به أَقَلُّ مِنْ ذَلِكَ فِي الْقَلِيلِ وَلَا يَلْزَمُهُ أَكْثَرُ مِنْهُ فِي الْكَثِيرِ وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ صَالِحٍ تَعْرِيفُ الْحَوْلِ يَلْزَمُ فِي عَشَرَةِ دَرَاهِمَ فَصَاعِدًا وَمَا دُونُ الْعَشَرَةِ يُعَرِّفُهُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قال إسحاق بن راهويه ما دون الدنانير يُعَرِّفُهُ جُمُعَةً وَقَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ فِي الدِّرْهَمِ يُعَرِّفُهُ أَرْبَعَةَ أَيَّامٍ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَرِّفْهَا حَوْلًا وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ الْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ وأمر النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَجُلًا وَجَدَ سَوْطًا أَنْ يُعَرِّفَهُ حَوْلًا فَأَمَّا صِفَةُ التَّعْرِيفِ فَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيهَا وَاللَّهُ أعلم بالصواب.

Bagian ketiga: Yaitu barang yang memiliki nilai, namun pemiliknya tidak terlalu menginginkannya dan tidak akan mencarinya jika hilang darinya, seperti sepotong roti dan satu danak perak. Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai kewajiban mengumumkannya, ada dua pendapat: Pertama, wajib diumumkan karena ia memiliki nilai; kedua, tidak wajib diumumkan karena bukan sesuatu yang dicari. Kemudian, barang yang wajib diumumkan, baik sedikit maupun banyak, maka harus diumumkan selama satu tahun penuh; tidak cukup kurang dari itu untuk barang yang sedikit, dan tidak diwajibkan lebih dari itu untuk barang yang banyak. Al-Hasan bin Shalih berpendapat bahwa pengumuman selama satu tahun wajib untuk sepuluh dirham ke atas, sedangkan untuk yang kurang dari sepuluh dirham cukup diumumkan selama tiga hari. Ishaq bin Rahuyah berkata, untuk yang kurang dari satu dinar diumumkan selama satu Jumat. Sufyan ats-Tsauri berkata, untuk satu dirham diumumkan selama empat hari. Pendapat-pendapat ini tidak benar, karena sabda Nabi ﷺ: “Umumkanlah selama satu tahun,” dan beliau tidak membedakan antara yang sedikit dan yang banyak. Nabi ﷺ juga memerintahkan seseorang yang menemukan cambuk untuk mengumumkannya selama satu tahun. Adapun tata cara pengumuman, telah dijelaskan sebelumnya. Allah lebih mengetahui kebenaran.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فإن كان موليا عليه أو لِسَفَهٍ أَوْ صِغَرٍ ضَمَّهَا الْقَاضِيَ إِلَى وَلِيِّهِ وَفَعَلَ فِيهَا مَا يَفْعَلُ الْمُلْتَقِطُ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika yang menemukan adalah orang yang berada di bawah perwalian, baik karena kebodohan (safah) atau masih kecil, maka hakim menyerahkan barang temuan itu kepada walinya, dan wali melakukan terhadapnya sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang menemukan barang temuan (al-multaqith).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا وَجَدَ اللُّقَطَةَ مَحْجُورٌ عَلَيْهِ بِسَفَهٍ أَوْ صِغَرٍ أَوْ جُنُونٍ لَمْ يَجُزْ إِقْرَارُهَا فِي يَدِهِ لِأَنَّهُ مَنَعَهُ الْحَجْرُ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي مَالِ نَفْسِهِ فَأَوْلَى أَنْ يَمْنَعَهُ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي مَالِ غَيْرِهِ.

Al-Mawardi berkata: Dan demikianlah sebagaimana yang dikatakan: Jika barang temuan ditemukan oleh orang yang berada dalam perwalian karena kebodohan, masih kecil, atau gila, maka tidak boleh barang itu tetap berada di tangannya, karena perwalian itu telah mencegahnya untuk bertindak atas hartanya sendiri, maka lebih utama lagi untuk mencegahnya bertindak atas harta orang lain.

وَعَلَى الْوَلِيِّ أَنْ يَأْخُذَهَا مِنْ يَدِهِ لِيَقُومَ بِتَعْرِيفِهَا حَوْلًا فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا دَفَعَهَا الْوَلِيُّ إِلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَجِئْ صَاحِبُهَا فَلِلْوَلِيِّ أَنْ يَفْعَلَ بِهَا أَحَظَّ الْأَمْرَيْنِ لِلْمُوَلَّى عَلَيْهِ مِنْ تَمَلُّكِهَا لَهُ أَوْ تَرْكِهَا أَمَانَةً لِصَاحِبِهَا فَإِنْ رَأَى أَنْ يَتَمَلَّكَهَا لَهُ جَازَ لِأَنَّهَا كَسْبٌ لَهُ بِوُجُودِهِ لَهَا وَلَيْسَتْ كَسْبًا لِوَلِيِّهِ فَإِنْ كَانَ الْمُوَلَّى عَلَيْهِ صَغِيرًا أَوْ مَجْنُونًا كَانَ الْوَلِيُّ هُوَ الَّذِي يَتَمَلَّكُهَا لَهُ لِأَنَّ الصَّبِيَّ وَالْمَجْنُونَ لَا يَصِحُّ مِنْهُمَا قَبُولُ تَمَلُّكٍ وَلِذَلِكَ لَمْ يَصِحَّ مِنْهُمَا قَبُولُ وَصِيَّةٍ وَلَا هِبَةٍ وَإِنْ كَانَ سَفِيهًا كَانَ هُوَ الْمُتَمَلِّكَ لَهَا عَنْ إِذْنِ الْوَلِيِّ بَعْدَ اجْتِهَادِهِ فِي أَنَّ أَحَظَّ الْأَمْرَيْنِ هُوَ التَّمَلُّكُ لِأَنَّ السَّفِيهَ لَا يُمْنَعُ مِنْ قَبُولِ الْوَصِيَّةِ وَالْهِبَةِ بِخِلَافِ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ. ثُمَّ إِذَا جَاءَ صَاحِبُهَا فَغُرْمُهَا فِي مَالِ الْمُوَلَّى عَلَيْهِ لِدُخُولِهَا فِي مِلْكِ الْمُوَلَّى عَلَيْهِ دُونَ الْوَلِيِّ وَإِنْ رَأَى الْوَلِيُّ أَنْ أَحَظَّ الْأَمْرَيْنِ لِلْمُوَلّى عَلَيْهِ أَنْ تَكُونَ أَمَانَةً لِصَاحِبِهَا لَا يَكُونُ غُرْمُهَا مُسْتَحَقًّا فِي مَالِ الْمُوَلَّى عَلَيْهِ وَكَانَتْ عَلَى حَالِهَا أَمَانَةً مُقَرَّةً فِي يَدِ الْوَلِيِّ فَلَوْ بَلَغَ الصَّبِيُّ أَوْ أَفَاقَ الْمَجْنُونُ أَوْ فُكَّ الْحَجْرُ عَنِ السَّفِيهِ فَأَرَادَ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا وَيَنْزِعَهَا مِنْ وَلِيِّهِ بَعْدَ أَنْ نَوَى الْأَمَانَةَ فِيهَا كَانَ ذَلِكَ لِلْمُوَلَّى عَلَيْهِ لِأَنَّهَا مِنِ اكْتِسَابِهِ وَهُوَ الْآنَ أَقْوَمُ بِمَصَالِحِهِ فَهَذَا حُكْمُهَا إِنْ أَخْذَهَا الْوَلِيُّ مِنَ الْمُوَلَّى عَلَيْهِ.

Dan wajib bagi wali untuk mengambilnya dari tangannya agar dapat mengumumkannya selama satu tahun. Jika pemiliknya datang, maka wali menyerahkannya kepada pemiliknya. Jika pemiliknya tidak datang, maka wali boleh memilih yang lebih maslahat bagi yang berada dalam perwaliannya, antara memilikinya untuknya atau membiarkannya sebagai titipan untuk pemiliknya. Jika wali memandang bahwa yang lebih maslahat adalah memilikinya untuknya, maka itu boleh, karena itu merupakan hasil usahanya dengan menemukannya, dan bukan hasil usaha walinya. Jika yang berada dalam perwalian itu masih kecil atau gila, maka walilah yang memilikinya untuknya, karena anak kecil dan orang gila tidak sah menerima kepemilikan, sebagaimana tidak sah menerima wasiat dan hibah. Jika ia safih (bodoh), maka dialah yang memilikinya dengan izin wali, setelah wali berijtihad bahwa yang lebih maslahat adalah memilikinya, karena orang safih tidak dilarang menerima wasiat dan hibah, berbeda dengan anak kecil dan orang gila. Kemudian, jika pemiliknya datang, maka ganti rugi diambil dari harta orang yang berada dalam perwalian, karena barang itu telah masuk ke dalam kepemilikannya, bukan ke dalam kepemilikan wali. Jika wali memandang bahwa yang lebih maslahat adalah menjadikannya sebagai titipan untuk pemiliknya, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atas harta orang yang berada dalam perwalian, dan barang itu tetap sebagai titipan di tangan wali. Jika anak kecil telah baligh, orang gila telah sembuh, atau perwalian atas orang safih telah dicabut, lalu ia ingin memilikinya dan mengambilnya dari walinya setelah sebelumnya diniatkan sebagai titipan, maka itu menjadi haknya, karena itu merupakan hasil usahanya, dan kini ia lebih mampu mengurus kemaslahatannya. Inilah hukumnya jika wali mengambil barang itu dari orang yang berada dalam perwalian.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا أَنْ يَأْخُذَهَا الْوَلِيُّ مِنْ يَدِهِ فَلَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يَكُونَ قَدْ عَلِمَ بِهَا أَوْ لَمْ يَعْلَمْ بِهَا فَقَدْ ضَمِنَهَا لِمَالِكِهَا وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ بِهَا لَا يَلْزَمُهُ ضَمَانُهَا فَإِنْ تَلِفَتْ فِي يَدِ الْمُوَلَّى عَلَيْهِ لَمْ يَخْلُ تَلَفُهَا مِنْ أَنْ يَكُونَ بِجِنَايَةٍ مِنْهُ وَجَبَ غُرْمُهَا فِي مَالِهِ كَمَا يُؤْخَذُ مِنْ مَالِهِ غُرْمُ سَائِرِ جِنَايَاتِهِ وَإِنْ كَانَ تَلَفُهَا بِغَيْرِ جِنَايَةٍ مِنْهُ فَفِي وُجُوبِ غُرْمِهَا فِي مَالِهِ وَجْهَانِ:

Adapun jika wali mengambilnya dari tangannya, maka tidak lepas dari dua keadaan: apakah ia mengetahui tentang barang itu atau tidak. Jika ia mengetahuinya, maka ia wajib menanggungnya kepada pemiliknya. Namun jika ia tidak mengetahuinya, maka ia tidak wajib menanggungnya. Jika barang itu rusak di tangan orang yang berada dalam perwalian, maka kerusakannya tidak lepas dari dua kemungkinan: jika kerusakan itu disebabkan oleh kesalahannya, maka wajib menggantinya dari hartanya, sebagaimana ganti rugi atas kesalahan-kesalahan lainnya diambil dari hartanya. Namun jika kerusakannya bukan karena kesalahannya, maka dalam kewajiban menggantinya dari hartanya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجِبُ وَيَكُونُ أَخْذُهُ لَهَا عُدْوَانَا مِنْهُ.

Pertama: Wajib menggantinya, dan pengambilannya atas barang itu dianggap sebagai tindakan melampaui batas darinya.

وَالثَّانِي: لَا يَجِبُ الْغُرْمُ لِأَنَّ الْوَلِيَّ لَوْ أَخَذَهَا مِنْهُ لَمَا وَجَبَ فِي مَالِهِ غُرْمُهَا فَلَوْ لَمْ تَتْلَفْ وَكَانَتْ بَاقِيَةً فِي يَدِهِ حَتَّى انْفَكَّ الْحَجْرُ عَنْهُ وَصَارَ رَشِيدًا فَلَهُ تَعْرِيفُهَا وَهَلْ يَكُونُ ضَامِنًا لَهَا فِي مُدَّةِ التَّعْرِيفِ أَمْ لَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ فِي غُرْمِهَا قَبْلَ فَكِّ الْحَجْرِ لَوْ تَلِفَتْ ثُمَّ لَهُ بَعْدَ الْحَوْلِ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا إِنْ شاء.

Kedua: Tidak wajib menggantinya, karena jika wali mengambilnya darinya, tidak wajib baginya mengganti dari hartanya. Jika barang itu tidak rusak dan tetap berada di tangannya hingga status perwaliannya dicabut dan ia menjadi orang yang cakap, maka ia boleh mengumumkannya. Apakah ia wajib menanggungnya selama masa pengumuman atau tidak, hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah disebutkan mengenai kewajiban mengganti sebelum pencabutan perwalian jika barang itu rusak. Setelah satu tahun, ia boleh memilikinya jika ia menghendaki.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فَإِنْ كَانَ عَبْدًا أُمِرَ بِضَمِّهَا إِلَى سَيِّدِهِ فَإِنْ عَلِمَ بِهَا السَّيِّدُ فَأَقَرَّهَا فِي يَدَيْهِ فهو ضامن لها في رقبعة عَبْدِهِ (قَالَ) فِيمَا وَضَعَ بِخَطِّهِ لَا أَعْلَمُهُ سُمِعَ مِنْهُ لَا غُرْمَ عَلَى الْعَبْدِ حَتَى يعتق من قبل أن له أخذها ” (قال المزني) ” الأول أقيس إذا كانت في الذمة والعبد عندي ليس بذي ذمة ” (قال الشافعي) رحمه الله فإن لم يعلم بها السيد فهي في رقبته إن استهلكها قبل السنة وبعدها دون مال السيد لأن أخذه اللقطة عدوان إنما يأخذ اللقطة من له ذمة ” (قال المزني) ” هذا أشبه بأصله ولا يخلو سيده من أن يكون علمه فإقراره إياها في يده يكون تعديا فكيف لا يضمنها في جميع ماله أو لا يكون تعديا فلا تعدو رقبة عبده “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika yang mengambil adalah seorang budak, maka ia diperintahkan untuk menyerahkannya kepada tuannya. Jika tuannya mengetahui tentang barang itu lalu membiarkannya tetap di tangan budak tersebut, maka ia wajib menanggungnya pada diri budaknya.” (Beliau berkata) dalam tulisan tangannya: “Aku tidak mengetahui bahwa hal ini didengar darinya, tidak ada kewajiban ganti rugi atas budak hingga ia merdeka, karena ia berhak mengambil barang itu.” (Al-Muzani berkata): “Pendapat pertama lebih sesuai dengan qiyās jika berkaitan dengan tanggungan, dan menurutku budak bukanlah pihak yang memiliki tanggungan.” (Imam Syafi‘i berkata) rahimahullah: “Jika tuannya tidak mengetahui tentang barang itu, maka barang itu menjadi tanggungan budaknya jika ia menghabiskannya sebelum atau sesudah satu tahun, tanpa melibatkan harta tuannya, karena pengambilan barang temuan secara melampaui batas, dan hanya orang yang memiliki tanggungan yang boleh mengambil barang temuan.” (Al-Muzani berkata): “Ini lebih sesuai dengan asalnya, dan tidak lepas dari dua keadaan: jika tuannya mengetahui dan membiarkannya di tangan budak, maka itu merupakan tindakan melampaui batas, sehingga bagaimana mungkin ia tidak menanggungnya dari seluruh hartanya; atau jika bukan tindakan melampaui batas, maka tanggungannya hanya pada diri budaknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي عَبْدٍ أَخَذَ لُقَطَةً فَلَا يَخْلُو حَالُهُ فِي أَخْذِهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَأْخُذَهَا لِسَيِّدِهِ أَوْ لِنَفْسِهِ فَإِنْ أَخَذَهَا لِسَيِّدِهِ جَازَ وَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِأَخْذِهِ لَهَا ضَمَانٌ لِأَنَّهُ مُكْتَسِبٌ لِسَيِّدِهِ وَيَدُهُ يَدُ سَيِّدِهِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَعْلَمَ بِهَا سَيِّدُهُ لِيَضْمَنَهَا إِلَيْهِ: فَإِذَا عَلِمَ بِهَا أَخَذَهَا السَّيِّدُ مِنْ يَدِهِ وَعَرَّفَهَا حَوْلَا فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا.

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada budak yang mengambil barang temuan. Keadaannya dalam mengambil barang itu tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia mengambilnya untuk tuannya atau untuk dirinya sendiri. Jika ia mengambilnya untuk tuannya, maka hal itu diperbolehkan dan tidak ada kewajiban menanggung atas pengambilannya, karena ia memperoleh untuk tuannya dan tangannya adalah tangan tuannya. Namun, tuannya harus mengetahui tentang barang itu agar dapat menanggungnya. Jika tuannya telah mengetahui, maka tuan mengambilnya dari tangan budak dan mengumumkannya selama satu tahun. Jika pemiliknya datang, maka barang itu dikembalikan; jika tidak, maka tuan boleh memilikinya.

وَإِنْ أَقَرَّهَا السَّيِّدُ بَعْدَ عِلْمِهِ فِي يَدِ عَبْدِهِ لِيَقُومَ بِهَا وَبِتَعْرِيفِهَا نُظِرَ حَالُ الْعَبْدِ فَإِنْ كَانَ ثِقَةً عَلَيْهَا بِحَيْثُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مُؤْتَمَنًا عَلَيْهَا جَازَ وَلَا ضَمَانَ. وَإِنْ كَانَ غَيْرَ ثِقَةٍ فَالسَّيِّدُ مُتَعَدٍّ بِتَرْكِهَا فِي يَدِهِ وَعَلَيْهِ ضَمَانُهَا فِي مَالِهِ وَإِنْ كَانَ الْعَبْدُ حِينَ أَخَذَهَا لِنَفْسِهِ لَمْ يُعْلِمْهُ بِهَا حَتَّى تَلِفَتْ فَإِنْ كَانَ تَلَفُهَا بِجِنَايَةٍ مِنْهُ ضَمِنَهَا الْعَبْدُ فِي رَقَبَتِهِ كَسَائِرِ جِنَايَاتِهِ وَإِنْ كَانَ تَلَفُهَا بِغَيْرِ جِنَايَةٍ نُظِرَ فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى إِعْلَامِ سَيِّدِهِ حَتَّى تَلِفَتْ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَغُرْمُهَا هَدَرٌ وَإِنْ قَدَرَ عَلَى إِعْلَامِهِ ضَمِنَهَا الْعَبْدُ فِي رَقَبَتِهِ لِأَنَّهُ صَارَ بِتَرْكِ إِعْلَامِ سَيِّدِهِ بِهَا متعديا.

Jika tuan membiarkan barang itu tetap di tangan budaknya setelah mengetahui, agar budak mengurus dan mengumumkannya, maka dilihat keadaan budak tersebut. Jika budak itu dapat dipercaya sehingga boleh dijadikan orang yang amanah atas barang itu, maka hal itu diperbolehkan dan tidak ada kewajiban menanggung. Namun jika budak itu tidak dapat dipercaya, maka tuan dianggap melampaui batas dengan membiarkan barang itu di tangan budaknya, sehingga ia wajib menanggungnya dari hartanya. Jika budak mengambil barang itu untuk dirinya sendiri dan tidak memberitahukan tuannya hingga barang itu rusak, maka jika kerusakan itu karena kesalahannya, budak wajib menanggungnya pada dirinya sebagaimana kesalahan-kesalahan lainnya. Namun jika kerusakannya bukan karena kesalahannya, maka dilihat: jika ia tidak mampu memberitahukan tuannya hingga barang itu rusak, maka tidak ada kewajiban menanggung dan kerugiannya dianggap gugur. Namun jika ia mampu memberitahukan tuannya, maka budak wajib menanggungnya pada dirinya karena ia telah melampaui batas dengan tidak memberitahukan tuannya.

فصل:

Fasal:

فأما أَخْذُهَا الْعَبْدُ لِنَفْسِهِ لَا لِسَيِّدِهِ فَفِيهِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ لَهُ وَلَا يَصِيرُ بِهِ مُتَعَدِّيًا لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” ذَلِكَ مَالُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ” فَجَعَلَهَا كَسْبًا فَلَمْ يُمْنَعِ الْعَبْدُ مِنْهُ كَمَا لَا يُمْنَعُ مِنَ الِاصْطِيَادِ وَالْإِحْشَاشِ وَعَلَى هَذَا يُعَرِّفُهَا الْعَبْدُ حَوْلًا فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْعَبْدِ وَالسَّيِّدِ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا فَإِنْ تَمَلَّكَهَا الْعَبْدُ وَجَبَ غُرْمُهَا فِي ذِمَّتِهِ كَالْقَرْضِ وَلِلسَّيِّدِ أَخْذُهَا مِنْهُ لِأَنَّهَا مِنِ اكْتِسَابِهِ فَلَوْ كَانَ عَلَى الْعَبْدِ دَيْنٌ قَدْ تَعَلَّقَ بِذِمَّتِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ صَرْفُ اللُّقَطَةِ فِيهِ لِأَنَّ دُيُونَ الْعَبْدِ مُسْتَحِقَّةٌ مِنْ كَسْبِهِ بَعْدَ عتقه وإن تملكها السيد كان السيد لَهُ صَرْفُ اللُّقَطَةِ فِيهِ لِأَنَّ دُيُونَ الْعَبْدِ مُسْتَحِقَّةٌ مِنْ كَسْبِهِ بَعْدَ عِتْقِهِ وَإِنَّ تَمَلَّكَهَا السَّيِّدُ كَانَ السَّيِّدُ ضَامِنًا لِغُرْمِهَا فِي ذِمَّتِهِ دُونَ الْعَبْدِ وَإِنِ اتَّفَقَا أَنْ تَكُونَ أَمَانَةً لِصَاحِبِهَا فَلِلسَّيِّدِ الْخِيَارُ فِي أَنْ يَنْتَزِعَهَا مِنْ يَدِ عَبْدِهِ لِيَحْفَظَهَا فَلَوْ تَلِفَتْ فِي يَدِ الْعَبْدِ قَبْلَ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا وَاحِدٌ مِنْهُمَا لَمْ يَضْمَنْ أَمَانَةً وَإِنِ اسْتَهْلَكَهَا الْعَبْدُ لِنَفْسِهِ نُظِرَ فِي اسْتِهْلَاكِهِ لَهَا. فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الْحَوْلِ ضَمِنَهَا فِي رَقَبَتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ عُدْوَانٌ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْحَوْلِ ضَمِنَهَا فِي ذِمَّتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ مُبَاحٌ لَهُ فَهَذَا حُكْمُ أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ.

Adapun jika budak mengambil barang temuan (luqathah) untuk dirinya sendiri, bukan untuk tuannya, maka terdapat dua pendapat. Salah satunya: hal itu diperbolehkan baginya dan ia tidak dianggap melampaui batas, karena Nabi ﷺ bersabda: “Itu adalah harta Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki.” Maka beliau menjadikannya sebagai hasil usaha, sehingga budak tidak dilarang mengambilnya, sebagaimana ia tidak dilarang berburu atau mengumpulkan hasil alam. Berdasarkan pendapat ini, budak harus mengumumkan barang temuan itu selama satu tahun. Jika pemiliknya datang, maka barang itu dikembalikan; jika tidak, maka masing-masing, baik budak maupun tuan, berhak memilikinya. Jika budak yang memilikinya, maka ia wajib menanggung penggantiannya dalam tanggungannya, seperti utang. Tuan berhak mengambilnya dari budak karena itu termasuk hasil usahanya. Jika budak memiliki utang yang menjadi tanggungannya, maka ia tidak boleh menggunakan barang temuan itu untuk membayar utangnya, karena utang-utang budak hanya dapat diambil dari hasil usahanya setelah ia merdeka. Jika tuan yang memilikinya, maka tuan boleh menggunakan barang temuan itu untuk membayar utang budak, karena utang-utang budak hanya dapat diambil dari hasil usahanya setelah ia merdeka. Jika tuan yang memilikinya, maka tuanlah yang bertanggung jawab atas penggantiannya dalam tanggungannya, bukan budak. Jika keduanya sepakat untuk menjadikannya sebagai titipan (amanah) bagi pemiliknya, maka tuan berhak memilih untuk mengambilnya dari tangan budaknya untuk menjaganya. Jika barang itu rusak di tangan budak sebelum salah satu dari keduanya memilikinya, maka tidak ada tanggungan karena statusnya sebagai amanah. Jika budak menghabiskannya untuk dirinya sendiri, maka dilihat waktu penghabisannya. Jika sebelum satu tahun, maka ia wajib menggantinya dalam bentuk budaknya, karena itu merupakan pelanggaran darinya. Jika setelah satu tahun, maka ia wajib menggantinya dalam tanggungannya, karena itu sudah diperbolehkan baginya. Inilah hukum menurut salah satu dari dua pendapat.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلْعَبْدِ أَنْ يَأْخُذَ اللُّقَطَةَ لِنَفْسِهِ وَيَكُونُ بِأَخْذِهَا مُتَعَدِّيًا لِأَمْرَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ فِي أَخْذِ اللُّقَطَةِ وِلَايَةٌ عَلَى صَاحِبِهَا وَلَيْسَ الْعَبْدُ مِنْ أَهْلِ الْوِلَايَةِ. وَالثَّانِي: أَنَّ مَقْصُودَ اللُّقَطَةِ حِفْظُهَا عَلَى مَالِكِهَا بِالتَّعْرِيفِ فِي الْحَوْلِ وَبِالذِّمَّةِ الْمَرْضِيَّةِ إِنْ تَمَلَّكَتْ بَعْدَ الْحَوْلِ وَلَيْسَ الْعَبْدُ مِنْ هَذَيْنِ لأنه مقطوع لخدمة السيد عن ملازمته التَّعْرِيفَ وَلَيْسَ بِذِي ذِمَّةٍ فِي اسْتِحْقَاقِ الْغُرْمِ لِتَأْخِيرِهِ إِلَى مَا بَعْدَ الْعِتْقِ فَلِأَجْلِ ذَلِكَ صَارَ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهَا فَعَلَى هَذَا لِلسَّيِّدِ حَالَتَانِ حَالَةٌ يَعْلَمُ بِهَا وَحَالَةٌ لَا يَعْلَمُ بِهَا فَإِنْ لَمْ يَعْلَمِ السَّيِّدُ بِهَا فَالْعَبْدُ ضامن لِلُّقَطَةِ فِي رَقَبَتِهِ دُونَ ذِمَّتِهِ لِأَنَّ أَخْذَهُ لَهَا جِنَايَةٌ مِنْهُ وَسَوَاءٌ كَانَ تَلَفُهَا قَبْلَ الْحَوْلِ أَوْ بَعْدَهُ بِفِعْلِهِ أَوْ بِغَيْرِ فِعْلِهِ وَإِنْ عَلِمَ بِهَا السَّيِّدُ فَلَهُ حَالَتَانِ:

Pendapat kedua: Tidak diperbolehkan bagi budak untuk mengambil barang temuan (luqathah) untuk dirinya sendiri, dan dengan mengambilnya ia dianggap melampaui batas karena dua alasan. Pertama: dalam mengambil barang temuan terdapat unsur wewenang terhadap pemiliknya, sedangkan budak bukanlah orang yang layak untuk memegang wewenang. Kedua: tujuan dari barang temuan adalah menjaganya untuk pemiliknya dengan cara mengumumkannya selama satu tahun dan dengan tanggungan yang dapat dipercaya jika dimiliki setelah satu tahun, sedangkan budak tidak memenuhi kedua syarat ini, karena ia disibukkan untuk melayani tuannya sehingga tidak dapat terus-menerus mengumumkan, dan ia juga tidak memiliki tanggungan dalam hal kewajiban mengganti kerugian karena kewajiban itu baru berlaku setelah ia merdeka. Oleh karena itu, ia bukanlah orang yang berhak atas barang temuan. Berdasarkan hal ini, bagi tuan terdapat dua keadaan: keadaan di mana ia mengetahui dan keadaan di mana ia tidak mengetahui. Jika tuan tidak mengetahui, maka budak bertanggung jawab atas barang temuan itu dengan jaminan budaknya, bukan dengan tanggungannya, karena pengambilannya merupakan pelanggaran darinya, baik barang itu rusak sebelum atau sesudah satu tahun, baik karena perbuatannya maupun bukan. Jika tuan mengetahui, maka ada dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَنْتَزِعَهَا مِنْ يَدِهِ فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ سَقَطَ ضَمَانُهَا عَنِ الْعَبْدِ وَكَانَتْ أَمَانَةً فِي يَدِ السَّيِّدِ فَإِنْ قِيلَ فَلِمَ سَقَطَ ضَمَانُهَا عن العبد يدفعها إِلَى السَّيِّدِ وَلَيْسَ السَّيِّدُ مَالِكًا لَهَا وَضَمَانُ الْأَمْوَالِ بِالْعُدْوَانِ لَا يَسْقُطُ إِلَّا بِرَدِّهَا عَلَى الْمَالِكِ قِيلَ لِأَنَّ السَّيِّدَ مُسْتَحِقٌّ لِأَخْذِهَا أَلَا تَرَى أَنَّ الْعَبْدَ لَوْ أَخَذَهَا لِسَيِّدِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ الضَّمَانُ.

Pertama: tuan mengambil barang itu dari tangan budaknya. Jika ia melakukan hal itu, maka gugurlah tanggungan dari budak dan barang itu menjadi amanah di tangan tuan. Jika ada yang bertanya, “Mengapa gugur tanggungan dari budak padahal ia menyerahkannya kepada tuan, sedangkan tuan bukan pemiliknya, dan tanggungan atas harta karena pelanggaran tidak gugur kecuali dengan mengembalikannya kepada pemiliknya?” Maka dijawab: karena tuan berhak untuk mengambilnya. Bukankah jika budak mengambilnya untuk tuannya, ia tidak wajib menanggungnya?

فَإِذَا دَفَعَهَا إِلَى السَّيِّدِ سَقَطَ عَنْهُ الضَّمَانُ فَإِذَا صَحَّ أَنَّ ضَمَانَهَا قَدْ سَقَطَ عَنِ الْعَبْدِ بِأَخْذِ السَّيِّدِ لَهَا فَفِي يَدِ السَّيِّدِ حِينَئِذٍ وَجْهَانِ:

Jika budak menyerahkannya kepada tuan, maka gugurlah tanggungan darinya. Jika telah sah bahwa tanggungan itu telah gugur dari budak dengan diambilnya oleh tuan, maka di tangan tuan terdapat dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَدُ مُؤْتَمَنٍ لَا يَدُ مُلْتَقِطٍ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا بَعْدَ التَّعْرِيفِ لِأَنَّهُ غَيْرُ الْوَاجِدِ لَهَا فَأَشْبَهَ الْحَاكِمُ الَّذِي لَا يَجُوزُ لَهُ بَعْدَ التَّعْرِيفِ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا.

Pertama: tangannya adalah tangan orang yang dipercaya (mu’taman), bukan tangan orang yang menemukan (multaqqith), sehingga ia tidak boleh memilikinya setelah mengumumkannya, karena ia bukanlah orang yang menemukannya. Maka ia seperti hakim yang tidak boleh memilikinya setelah mengumumkannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ يَدَهُ مُلْتَقِطٌ فَيَجُوزُ لَهُ بَعْدَ التَّعْرِيفِ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا لِأَنَّ يَدَ عَبْدِهِ كَيَدِهِ وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ لَا يَأْخُذَهَا السَّيِّدُ مِنْ يَدِ عَبْدِهِ بَعْدَ عِلْمِهِ بِهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Pendapat kedua: Jika barang tersebut berada di tangan seorang pemungut (muqallid), maka setelah dilakukan pengumuman, ia boleh memilikinya karena tangan budaknya sama dengan tangannya sendiri. Keadaan kedua adalah apabila tuan tidak mengambil barang itu dari tangan budaknya setelah ia mengetahuinya, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَأْمَرَهُ السَّيِّدُ بِإِقْرَارِهَا فِي يَدِهِ فَيَسْتَبْقِيهَا عَنْ إِذْنِ سَيِّدِهِ فَإِنْ كَانَ كَذَا نُظِرَ فِي الْعَبْدِ فَإِنْ كَانَ ثِقَةً أَمِينًا سَقَطَ ضَمَانُهَا عَنِ الْعَبْدِ بِإِذْنِ السَّيِّدِ لَهُ فِي التَّرْكِ لِأَنَّ يَدَ الْعَبْدِ كَيَدِ سَيِّدِهِ وَصَارَ كَأَخْذِ السَّيِّدِ فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ وَإِنْ كَانَ الْعَبْدُ غَيْرَ مَأْمُونٍ ضَمِنَهَا السَّيِّدُ وَهَلْ يَسْقُطُ ضَمَانُهَا عَنْ رَقَبَةِ الْعَبْدِ أَمْ لا على وجهين:

Pertama: Tuan memerintahkan budaknya untuk membiarkan barang itu tetap di tangannya, sehingga budak tersebut mempertahankannya atas izin tuannya. Jika demikian, maka dilihat keadaan budaknya: jika budak itu terpercaya dan amanah, maka gugurlah kewajiban jaminan dari budak tersebut karena adanya izin dari tuan untuk membiarkannya, sebab tangan budak sama dengan tangan tuannya, dan hal itu seperti pengambilan oleh tuan sendiri, sehingga hukumnya mengikuti dua pendapat yang telah lalu. Namun jika budak itu tidak dapat dipercaya, maka tuanlah yang menanggung jaminannya. Apakah gugur jaminan dari budak atau tidak, terdapat dua pendapat:

أحدهما: سَقَطَ لِتَصَرُّفِهِ عَنْ إِذْنِ السَّيِّدِ وَصَارَ ذَلِكَ تَفْرِيطًا مِنَ السَّيِّدِ.

Pertama: Gugur, karena tindakan itu atas izin tuan, sehingga dianggap sebagai kelalaian dari pihak tuan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ ضَمَانَهَا بَاقٍ فِي رَقَبَةِ الْعَبْدِ لِأَنَّهَا لَمْ تَخْرُجْ عَنِ الْيَدِ الْمُتَقَدِّمَةِ.

Pendapat kedua: Jaminan tetap ada pada budak, karena barang tersebut belum keluar dari tangan yang sebelumnya memegang.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُقِرَّهَا السَّيِّدُ فِي يَدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُ فِيهَا بَلْ يُمْسِكُ عَنْهَا عِنْدَ عِلْمِهِ لَهَا فَالَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ هَا هُنَا أَنَّ السَّيِّدَ يَكُونُ ضَامِنًا لَهَا فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ وَنَقَلَ الرَّبِيعُ فِي الْأُمِّ أَنَّ السَّيِّدَ يكون ضامنا لها في رقبته عَبْدِهِ وَسَائِرِ مَالِهِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا لِاخْتِلَافِ هَذَيْنِ النَّقْلَيْنِ فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ حَمَلَ ذَلِكَ عَلَى سَهْوِ الْمُزَنِيِّ وَغَلَطِهِ وَجَعَلَهَا مَضْمُونَةً عَلَى السَّيِّدِ فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ وَسَائِرِ مَالِهِ عَلَى مَا رَوَاهُ الرَّبِيعُ وَزَعَمَ أَنَّ الْمُزَنِيَّ قَدْ ذَكَرَ ذَلِكَ فِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ وَإِنْ كُنْتُ قَدْ قَرَأْتُهُ فَلَمْ أَجِدْ ذَلِكَ فِيهِ وَقَالَ آخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا إِنَّ اخْتِلَافَ هَذَا النَّقْلِ بَعْضُ اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فَيَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Keadaan kedua: Tuan membiarkan barang itu tetap di tangan budaknya tanpa memerintahkannya, melainkan ia hanya diam setelah mengetahui keberadaan barang itu. Menurut riwayat al-Muzani dari asy-Syafi‘i di sini, tuan menjadi penanggung jaminan atas barang itu pada budaknya. Al-Rabi‘ meriwayatkan dalam al-Umm bahwa tuan menjadi penanggung jaminan atas barang itu pada budaknya dan seluruh hartanya. Para ulama kami berbeda pendapat karena perbedaan dua riwayat ini. Abu Ishaq al-Marwazi menilai hal itu sebagai kekeliruan dan kesalahan al-Muzani, dan menetapkan bahwa barang itu dijamin oleh tuan pada budaknya dan seluruh hartanya sebagaimana riwayat al-Rabi‘. Ia mengklaim bahwa al-Muzani telah menyebutkan hal itu dalam al-Jami‘ al-Kabir, namun meskipun aku telah membacanya, aku tidak menemukannya di dalamnya. Sebagian ulama kami yang lain mengatakan bahwa perbedaan riwayat ini merupakan bagian dari perbedaan dua pendapat asy-Syafi‘i, sehingga terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّ ذَلِكَ مَضْمُونٌ فِي رَقَبَةِ الْعَبْدِ وَحْدَهُ لِأَنَّ رُؤْيَةَ السَّيِّدِ لِجِنَايَةِ عَبْدِهِ وَتَرْكِهِ لِمَنْعِهِ لَا يُوجِبُ عَلَيْهِ ضَمَانُ جِنَايَتِهِ أَلَا تَرَى أَنَّ السَّيِّدَ لَوْ شَاهَدَ عَبْدَهُ يَقْتُلُ رَجُلًا أَوْ يَسْتَهْلِكُ مَالًا وَقَدِرَ عَلَى مَنْعِهِ فَلَمْ يَمْنَعْهُ لَمْ يَضْمَنِ السَّيِّدُ قَاتِلًا وَلَا مُسْتَهْلِكًا وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَمْنَعْهُ غرم ولا ضمان كذلك في اللقطة.

Pertama: Barang itu dijamin pada budak saja, karena melihat tuan terhadap kesalahan budaknya dan membiarkannya tidak mewajibkan tuan menanggung jaminan atas kesalahan budaknya. Bukankah engkau melihat bahwa jika tuan menyaksikan budaknya membunuh seseorang atau menghabiskan harta dan ia mampu mencegahnya namun tidak melakukannya, maka tuan tidak menanggung jaminan sebagai pembunuh atau perusak, dan tidak wajib atasnya membayar ganti rugi atau jaminan jika ia tidak mencegahnya. Demikian pula dalam masalah barang temuan (luqathah).

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ ذَلِكَ مَضْمُونٌ عَلَى السَّيِّدِ في رقبة عبده وسائر أموال لِأَنَّ يَدَ السَّيِّدِ لَوْ عَادَتِ اللُّقَطَةُ إِلَيْهَا مُسْتَحِقَّةً لَهَا فَصَارَ تَرْكُهُ فِي يَدِهِ عُدْوَانًا مِنْهُ وَلَيْسَ كَالَّذِي يَجْنِي عَلَيْهِ عَبْدُهُ أَوْ يَسْتَهْلِكُ فَلِذَلِكَ ضَمِنَ اللُّقَطَةَ فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ وَسَائِرِ مَالِهِ وَلَمْ يَضْمَنْ جِنَايَةَ الْعَبْدِ وَإِنْ عَلِمَ بِهَا وَإِلَّا فَمَضْمُونَةٌ فِي رَقَبَتِهِ دُونَ سَيِّدِهِ.

Pendapat kedua: Barang itu dijamin oleh tuan pada budaknya dan seluruh hartanya, karena jika tangan tuan kembali memegang barang temuan itu secara sah, maka membiarkan barang itu tetap di tangan budaknya adalah bentuk pelanggaran dari tuan. Hal ini tidak sama dengan kesalahan yang dilakukan oleh budaknya atau penghabisan harta, sehingga karena itu tuan menanggung jaminan barang temuan pada budaknya dan seluruh hartanya, namun ia tidak menanggung jaminan atas kesalahan budak meskipun ia mengetahuinya. Jika tidak, maka barang itu dijamin pada budak saja, tidak pada tuannya.

فَإِنْ قِيلَ فَإِذَا كَانَتْ مَضْمُونَةً عَلَى السَّيِّدِ فِي سَائِرِ مَالِهِ فَلِمَ خَصَصْتُمْ رَقَبَةَ الْعَبْدِ بِهَا وَهِيَ مِنْ جُمْلَةِ مَالِهِ قُلْنَا لِأَنَّ تَعَلُّقَهَا بِرَقَبَةِ الْعَبْدِ مُعَيَّنٌ كَالْجِنَايَةِ حَتَّى لَوْ كَانَ عَلَى السَّيِّدِ دَيْنٌ كَانَ مَالِكُ اللُّقَطَةِ أَحَقُّ بِرَقَبَةِ الْعَبْدِ مِنْ سَائِرِ غُرَمَائِهِ كَمَا لَوْ جَنَى وَلَيْسَ كَذَلِكَ سَائِرُ أَمْوَالِهِ.

Jika dikatakan: Jika barang itu dijamin oleh tuan pada seluruh hartanya, mengapa kalian mengkhususkan jaminan pada budak, padahal budak termasuk bagian dari hartanya? Kami katakan: Karena keterkaitan jaminan dengan budak itu bersifat khusus seperti dalam kasus jinayah (tindak pidana), sehingga jika tuan memiliki utang, maka pemilik barang temuan lebih berhak atas budak dibandingkan para kreditur lainnya, sebagaimana dalam kasus jinayah. Tidak demikian halnya dengan seluruh harta tuan yang lain.

لِأَنَّ مِلْكَ اللُّقَطَةِ وَغَيْرِهَا فِي الْغُرْمِ فِيهَا سَوَاءٌ وَقَالَ آخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا لَيْسَ اخْتِلَافُ هَذَا النَّقْلِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ وَإِنَّمَا هُوَ اخْتِلَافُ حَالَيْهِ فَرِوَايَةُ الْمُزَنِيِّ أَنَّهَا مَضْمُونَةٌ فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ مَحْمُولَةٌ عَلَى أَنَّ الْعَبْدُ كَانَ بَالِغًا عَاقِلًا فَلَمْ يَتَعَلَّقْ ضَمَانُهَا إِلَّا بِرَقَبَتِهِ وَرِوَايَةُ الرَّبِيعِ أَنَّهَا مَضْمُونَةٌ فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ وَسَائِرِ مَالِهِ مَحْمُولَةٌ عَلَى أَنَّ الْعَبْدَ كَانَ صَبِيًّا أَوْ عَجَمِيًّا فَصَارَ فِعْلُهُ مَنْسُوبًا إِلَى سَيِّدِهِ بَعْدَ الْعِلْمِ بِهِ وَهَذَا حَكَاهُ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ تَكَلَّمَ عَلَى ذَلِكَ واختار منه ما أخذه.

Karena kepemilikan terhadap luqathah dan selainnya dalam hal tanggungan (gurm) adalah sama. Sebagian lain dari ulama kami berkata: Perbedaan riwayat ini bukanlah karena perbedaan dua pendapat, melainkan karena perbedaan dua keadaan. Riwayat al-Muzani yang menyatakan bahwa luqathah itu menjadi tanggungan pada leher budaknya, dimaknai bahwa budak tersebut telah baligh dan berakal, sehingga tanggungannya hanya terkait pada dirinya saja. Sedangkan riwayat ar-Rabi‘ yang menyatakan bahwa luqathah itu menjadi tanggungan pada leher budak dan seluruh hartanya, dimaknai bahwa budak tersebut masih anak-anak atau non-Arab, sehingga perbuatannya dinisbatkan kepada tuannya setelah diketahui olehnya. Hal ini juga dinukil oleh Abu ‘Ali bin Abi Hurairah. Adapun al-Muzani, ia telah membahas masalah ini dan memilih pendapat yang ia ambil.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا أَمَرَ السَّيِّدُ عَبْدَهُ بِأَخْذِ اللُّقَطَةِ فَأَخَذَهَا عَنْ أَمْرِ سَيِّدِهِ فَذَلِكَ جَائِزٌ لَا يَتَعَلَّقُ بِرَقَبَةِ الْعَبْدِ ضَمَانُهَا قَوْلًا وَاحِدًا ثُمَّ إِنْ كَانَ الْعَبْدُ مِنْ أَهْلِ الْأَمَانَاتِ لَمْ يَضْمَنْهَا السَّيِّدُ بِإِقْرَارِهَا فِي يَدِ الْعَبْدِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهَا ضَمِنَهَا فَأَمَّا إِذَا نَهَاهُ عَنْ أَخْذِهَا فَأَخَذَهَا بَعْدَ نَهْيِ السَّيِّدِ لَهُ فَقَدْ كَانَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ يَقُولُ يَضْمَنُهَا الْعَبْدُ فِي رَقَبَتِهِ قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّ نَهْيَ السَّيِّدِ قَدْ قَطَعَ اجْتِهَادَهُ فِي أَخْذِهَا وَقَالَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا بَلْ يَكُونُ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ كَمَا لَمْ يَنْهَهُ كَالْقَرْضِ الَّذِي لَوْ مَنَعَ السَّيِّدُ عَبْدَهُ مِنْهُ لَمَا كَانَ مَضْمُونًا عَلَيْهِ لَوْ فَعَلَهُ إِلَّا فِي ذِمَّتِهِ فَلَوْ كَانَ الْعَبْدُ مَأْذُونًا لَهُ في الجنازة وَالْكَسْبِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ أَخْذُ اللُّقَطَةِ دَاخِلًا فِي عُمُومِ إِذْنِهِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun jika tuan memerintahkan budaknya untuk mengambil luqathah, lalu budak itu mengambilnya atas perintah tuannya, maka hal itu diperbolehkan dan tidak ada tanggungan pada leher budak menurut satu pendapat. Kemudian, jika budak tersebut termasuk orang yang dapat dipercaya, maka tuan tidak menanggungnya dengan membiarkan luqathah itu di tangan budak. Namun jika budak itu bukan termasuk orang yang dapat dipercaya, maka tuan menanggungnya. Adapun jika tuan melarang budaknya mengambil luqathah, lalu budak itu tetap mengambilnya setelah dilarang, maka Abu Sa‘id al-Istakhri berpendapat bahwa budak menanggungnya pada lehernya menurut satu pendapat, karena larangan tuan telah memutus ijtihad budak dalam mengambilnya. Sedangkan para ulama kami yang lain berpendapat, tetap berlaku dua pendapat sebelumnya, sebagaimana jika tuan tidak melarangnya, seperti dalam kasus pinjaman yang jika tuan melarang budaknya untuk melakukannya, maka tidak menjadi tanggungan atasnya jika ia tetap melakukannya, kecuali dalam tanggungan pribadinya. Jika budak diizinkan untuk mengurus jenazah dan mencari nafkah, maka para ulama kami berbeda pendapat: apakah pengambilan luqathah termasuk dalam keumuman izin tersebut atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَكُونُ دَاخَلَا فِيهِ فَعَلَى هَذَا لَا يَضْمَنُهَا الْعَبْدُ إِنْ أَخَذَهَا قَوْلًا وَاحِدًا.

Pertama: Bahwa pengambilan luqathah termasuk dalam izin tersebut. Dengan demikian, budak tidak menanggungnya jika ia mengambilnya menurut satu pendapat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَكُونُ دَاخِلًا فِي إِذْنِهِ فَعَلَى هَذَا فِي ضَمَانِهِ لَهَا إِنْ أَخَذَهَا قَوْلَانِ.

Pendapat kedua: Tidak termasuk dalam izin tersebut. Dengan demikian, dalam hal tanggungannya jika ia mengambilnya, terdapat dua pendapat.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَلَوِ الْتَقَطَ الْعَبْدُ لقطة ثم عتق قبل الحول أَنَّهَا تَكُونُ كَسْبًا لِسَيِّدِهِ وَلَهُ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا دُونَهُ لِأَنَّ أَخْذَهُ لَهَا كَانَ وَهُوَ عَبْدٌ وَهِيَ تُمَلَّكُ بِالْأَخْذِ وَإِنَّمَا تَعْرِيفُ الْحَوْلِ شَرْطٌ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا تَكُونُ كَسْبًا لِلْعَبْدِ لِأَنَّهَا قَبْلَ التَّعْرِيفِ أَمَانَةٌ وَبَعْدَ التَّعْرِيفِ كَسْبٌ. وَاللَّهُ أعلم.

Jika seorang budak mengambil luqathah, kemudian ia dimerdekakan sebelum genap satu tahun, maka luqathah itu menjadi hasil usaha bagi tuannya, dan tuan berhak memilikinya, bukan budak. Sebab, pengambilan luqathah itu dilakukan saat ia masih berstatus budak, dan luqathah itu dimiliki dengan cara diambil, sedangkan penetapan satu tahun hanyalah syarat. Sebagian ulama kami berpendapat, luqathah itu menjadi hasil usaha bagi budak, karena sebelum diumumkan statusnya adalah amanah, dan setelah diumumkan statusnya menjadi hasil usaha. Wallāhu a‘lam.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِنْ كَانَ حُرًّا غَيْرَ مَأْمُونٍ فِي دِينِهِ فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنْ يَأْمُرَ بِضَمِّهَا إِلَى مَأْمُونٍ وَيَأْمُرَ الْمَأْمُونَ وَالْمُلْتَقِطَ بِالْإِنْشَادِ بِهَا. وَالْقَوْلُ الْآخَرُ لَا يَنْزِعُهَا مِنْ يَدَيْهِ وَإِنَّمَا مَنَعْنَا مِنْ هَذَا الْقَوْلِ لِأَنَّ صَاحِبَهَا لَمْ يَرْضَهُ ” (قال المزني) ” فإذا امتنع من هذا القول لهذه العلة فلا قول له إلا الأول وهو أولى بالحق عندي وبالله التوفيق ” (قال المزني) ” رحمه الله وقد قطع في موضع آخر بأن على الإمام إخراجها من يده لا يجوز فيها غيره وهذا أولى به عندي “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullāh berkata: “Jika orang yang menemukan luqathah adalah orang merdeka namun tidak dapat dipercaya dalam agamanya, maka ada dua pendapat: Pertama, hendaknya ia diperintahkan untuk menyerahkannya kepada orang yang dapat dipercaya, dan orang yang dapat dipercaya serta orang yang menemukan luqathah diperintahkan untuk mengumumkannya. Pendapat kedua, tidak dicabut dari tangannya. Kami melarang pendapat kedua ini karena pemilik luqathah tidak meridhainya.” (Al-Muzani berkata): “Jika pendapat kedua ini ditinggalkan karena alasan tersebut, maka tidak ada pendapat lain kecuali yang pertama, dan itu lebih berhak menurutku, dan hanya kepada Allah tempat memohon taufik.” (Al-Muzani berkata): “Rahimahullāh, dan beliau telah memutuskan di tempat lain bahwa imam wajib mengambil luqathah itu dari tangannya, dan tidak boleh selain itu, dan ini lebih utama menurutku.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا كَانَ وَاجِدُ اللُّقَطَةِ غَيْرَ مَأْمُونٍ عَلَيْهَا فَفِيهِ قَوْلَانِ مَنْصُوصَانِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, jika orang yang menemukan luqathah tidak dapat dipercaya terhadapnya, maka terdapat dua pendapat yang dinukil secara jelas:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا كَسْبٌ لِوَاجِدِهَا وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَأْمُونٍ كَالرِّكَازِ فَتُقَرُّ فِي يَدِهِ وَلَا تُنْتَزَعُ مِنْهُ فَعَلَى هَذَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَضُمُّ إِلَيْهِ أَمِينٌ يُرَاعِيهَا مَعَهُ حِفْظًا لَهَا أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ لَا اعْتِرَاضَ عَلَيْهِ فِيهَا بِحَالٍ وَيَكُونُ هُوَ الْمُقِيمُ بِحِفْظِهَا وَتَعْرِيفِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ لِغَيْرِهِ نَظَرٌ فِيهَا وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ الطَّبَرِيِّ فِي الْإِفْصَاحِ إِنَّ الْحَاكِمَ يَضُمُّ إِلَيْهِ أَمِينًا يُرَاعِي حِفْظَهَا فِي يَدِ الْوَاجِدِ اسْتِظْهَارًا لِلْمَالِكِ وَإِنْ لَمْ تُنْتَزَعْ لِمَا تَعَلَّقَ بِهَا مِنْ حَقِّ الْوَاجِدِ. وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ إِنَّ الْحَاكِمَ يَنْتَزِعُهَا مِنْ يَدِ الْوَاجِدِ إِذَا كَانَ غَيْرَ مَأْمُونٍ عَلَيْهَا وَيَدْفَعُهَا إِلَى مَنْ يُوثَقُ بِهِ مِنْ أُمَنَائِهِ لِأَنَّ الْحَاكِمَ مَنْدُوبٌ إِلَى حِفْظِ أَمْوَالِ مَنْ غَابَ وَلِأَنَّ مَالِكَهَا لَمْ يَرْضَ بِذِمَّةِ مَنْ هذه حالة ولأن الْوَصِيَّ لَمَّا وَجَبَ انْتِزَاعُ الْوَصِيَّةِ مِنْ يَدِهِ لِفِسْقِهِ مَعَ اخْتِيَارِ الْمَالِكِ لَهُ فَلِأَنْ يُخْرِجَ يَدَ الْوَاجِدِ الَّذِي لَمَّ يَخْتَرْهُ أَوْلَى. فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ إِذَا أَخْرَجَهَا الْحَاكِمُ مِنْ يَدِهِ إِلَى أَمِينٍ يَقُومُ بِحِفْظِهَا فَفِي الَّذِي يَقُومُ بِتَعْرِيفِهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا: رَوَاهُ الْمُزَنِيُّ أَنَّ الْأَمِينَ هُوَ الَّذِي يَقُومُ بِتَعْرِيفِهَا خَوْفًا مِنْ جِنَايَةِ الْوَاجِدِ فِي تَعْرِيفِهَا. وَالْقَوْلُ الثَّانِي فِي الْأُمِّ: إِنَّ الْوَاجِدَ هُوَ الْمُعَرِّفُ دُونَ الْأَمِينِ لِأَنَّ التعريف من حقوق التمليك وليس في تَقْرِيرٌ لِأَنَّهَا لَا تُدْفَعُ بِالصِّفَةِ فَإِذَا عَرَّفَهَا حَوْلًا وَلَمْ يَأْتِ صَاحِبُهَا فَإِنْ أَرَادَ الْوَاجِدُ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا سُلِّمَتْ إِلَيْهِ وَأَشْهَدَ الْحَاكِمُ عَلَيْهِ بِغُرْمِهَا إِذَا جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِنْ لَمْ يَخْتَرْ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا كَانَتْ فِي يَدِ الْأَمِينِ.

Salah satu pendapat: Bahwa barang temuan itu adalah hasil usaha bagi orang yang menemukannya, meskipun ia bukan orang yang terpercaya, seperti rikāz (harta karun), sehingga barang itu tetap berada di tangannya dan tidak diambil darinya. Berdasarkan hal ini, para ulama kami berbeda pendapat: Apakah perlu disertakan seorang yang terpercaya untuk mengawasi dan menjaga barang itu bersamanya atau tidak? Ada dua pendapat: Pertama, menurut Abu ‘Ali bin Abī Hurairah, tidak ada keberatan baginya dalam hal ini dalam keadaan apa pun, dan dialah yang bertanggung jawab menjaga dan mengumumkannya tanpa ada pihak lain yang ikut campur. Pendapat kedua, sebagaimana dikatakan Abu ‘Ali ath-Thabarī dalam kitab al-Ifshāh, hakim menyertakan seorang yang terpercaya untuk mengawasi penjagaan barang itu di tangan penemu, sebagai bentuk kehati-hatian terhadap hak pemilik, meskipun barang itu tidak diambil darinya karena penemu juga memiliki hak atas barang tersebut.

Pendapat kedua, yang lebih sahih dan dipilih oleh al-Muzanī, adalah bahwa hakim mengambil barang itu dari tangan penemu jika ia bukan orang yang terpercaya, lalu menyerahkannya kepada orang yang dapat dipercaya dari kalangan para amīn, karena hakim ditugaskan untuk menjaga harta orang yang tidak hadir, dan karena pemilik barang tidak rela barangnya dijaga oleh orang yang keadaannya seperti itu. Sebagaimana wasiat wajib diambil dari tangan orang yang berkhianat meskipun dipilih oleh pemilik harta, maka lebih utama lagi untuk mengambil barang dari tangan penemu yang tidak dipilih oleh pemiliknya. Berdasarkan pendapat ini, jika hakim telah mengambil barang itu dari tangan penemu dan menyerahkannya kepada seorang amīn yang bertugas menjaganya, maka dalam hal siapa yang bertugas mengumumkan barang itu terdapat dua pendapat: Pertama, sebagaimana diriwayatkan al-Muzanī, amīn-lah yang bertugas mengumumkan barang itu, karena dikhawatirkan penemu akan berbuat curang dalam pengumumannya. Kedua, sebagaimana dalam al-Umm, penemulah yang mengumumkan, bukan amīn, karena pengumuman adalah bagian dari hak kepemilikan dan tidak ada penetapan kepemilikan hanya dengan sifat barang. Jika penemu telah mengumumkan selama setahun dan pemiliknya tidak datang, maka jika penemu ingin memilikinya, barang itu diserahkan kepadanya dan hakim menjadi saksi atas kewajiban mengganti barang itu jika pemiliknya datang. Jika penemu tidak memilih untuk memilikinya, maka barang itu tetap berada di tangan amīn.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا كَانَ الْوَاجِدُ لَهَا مَأْمُونًا لَكِنَّهُ ضَعِيفٌ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْقِيَامِ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تُنْتَزَعُ مِنْ يَدِهِ وَلَكِنْ يَضُمُّ الْحَاكِمُ إِلَيْهِ أَمِينًا يَجْتَمِعُ مَعَهُ عَلَى الْقِيَامِ بِهَا ليقوى به على الحفظ والتعريف.

Adapun jika penemu barang itu adalah orang yang terpercaya, namun ia lemah dan tidak mampu mengurus barang tersebut, maka barang itu tidak diambil dari tangannya, tetapi hakim menyertakan seorang amīn untuk membantunya dalam mengurus barang itu, agar ia menjadi kuat dalam menjaga dan mengumumkannya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَالْمُكَاتَبُ فِي اللُّقَطَةِ كَالْحُرِّ لِأَنَّ مَالَهُ يُسَلَّمُ لَهُ “.

Imam asy-Syāfi‘ī rahimahullah berkata: “Orang mukatab dalam masalah barang temuan (luqathah) diperlakukan seperti orang merdeka, karena hartanya diserahkan kepadanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا هُوَ الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أَنَّ الْمُكَاتَبَ فِي اللُّقَطَةِ كَالْحُرِّ فِي جَوَازِ أَخْذِهَا وَتَمَلُّكِهَا وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ إِنَّهُ كَالْعَبْدِ فِي أَنَّهُ إِنْ أَخَذَهَا لِسَيِّدِهِ جَازَ وَإِنْ أَخَذَهَا لِنَفْسِهِ فَعَلَى قَوْلَيْنِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا لِاخْتِلَافِ هَذَيْنِ النَّصَّيْنِ فَبَعْضُهُمْ يُخْرِجُ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Inilah pendapat yang dinyatakan oleh asy-Syāfi‘ī dalam masalah ini, bahwa orang mukatab dalam masalah barang temuan diperlakukan seperti orang merdeka dalam hal kebolehan mengambil dan memilikinya. Namun dalam kitab al-Imlā’, beliau menyatakan bahwa mukatab seperti budak, yaitu jika ia mengambil barang itu untuk tuannya maka boleh, dan jika untuk dirinya sendiri maka ada dua pendapat. Para ulama kami pun berbeda pendapat karena perbedaan dua nash ini, sehingga sebagian mereka mengeluarkan dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ كَالْحُرِّ فِي جَوَازِ أَخْذِهَا وَصِحَّةِ تَمَلُّكِهَا لِنُفُوذِ عُقُودِهِ وَتَمَلُّكِ هِبَاتِهِ.

Pertama: Bahwa ia seperti orang merdeka dalam kebolehan mengambil dan keabsahan memiliki barang temuan, karena akad-akadnya sah dan ia berhak memiliki hibah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ كَالْعَبْدِ لِأَنَّ مَالِكَ اللُّقَطَةِ لَمْ يَرْضَ بِذِمَّةِ مَنْ لَهُ اسْتِرْقَاقٌ فِي نَفْسِهِ بِالتَّعْجِيزِ وَإِبْطَالِ ذِمَّتِهِ بِالْفَسْخِ وَهَذِهِ الطَّرِيقَةُ هِيَ اخْتِيَارُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَقَالَ آخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَالْمَوْضِعُ الَّذِي قَالَ فِيهِ هُوَ كَالْحُرِّ إِذَا كَانَتْ كِتَابَتُهُ صَحِيحَةً وَالْمَوْضِعُ الَّذِي قَالَ هُوَ كَالْعَبْدِ إِذَا كَانَتْ كِتَابَتُهُ فَاسِدَةً وَهَذَا اخْتِيَارُ أَبِي عَلِيٍّ الطَّبَرِيِّ لِأَنَّهُ فِي الْكِتَابَةِ الصَّحِيحَةِ كَالْحُرِّ فِي رَفْعِ يَدِ سَيِّدِهِ عَنْهُ وَفِي الْكِتَابَةِ الْفَاسِدَةِ كَالْعَبْدِ الْقِنِّ فِي تَصَرُّفِ سَيِّدِهِ فِيهِ.

Pendapat kedua: bahwa ia seperti budak, karena pemilik luqathah tidak rela dengan tanggungan orang yang masih memungkinkan untuk diperbudak pada dirinya sendiri dengan cara melemahkan dan membatalkan tanggungannya melalui pembatalan. Cara ini adalah pilihan Abu Ishaq al-Marwazi. Sebagian lain dari ulama kami berkata bahwa hal itu tergantung pada dua keadaan: tempat yang dikatakan ia seperti orang merdeka adalah jika kitabah-nya sah, dan tempat yang dikatakan ia seperti budak adalah jika kitabah-nya rusak. Ini adalah pilihan Abu ‘Ali ath-Thabari, karena dalam kitabah yang sah ia seperti orang merdeka dalam hal terangkatnya kekuasaan tuannya atas dirinya, dan dalam kitabah yang rusak ia seperti budak murni dalam hal pengelolaan tuannya terhadap dirinya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا الْمُدَبَّرُ فَهُوَ كَالْعَبْدِ الْقِنِّ فِي اللُّقَطَةِ وَأَمَّا أم الوالد فَكَالْعَبْدِ فِي اللُّقَطَةِ إِنْ أَخَذْتَهَا لِلسَّيِّدِ جَازَ وَإِنْ أَخَذْتَهَا لِنَفْسِهَا فَعَلَى قَوْلَيْنِ: أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ فَعَلَى هَذَا يَتَعَلَّقُ غُرْمُ اللُّقَطَةِ بِذِمَّتِهَا إِذَا أُعْتِقَتْ. وَالْقَوْلُ الثَّانِي. لَا يَجُوزُ فَعَلَى هَذَا إِنْ لَمْ يَعْلَمِ السَّيِّدُ بِهَا فَهَلْ يَتَعَلَّقُ غُرْمُهَا بِذِمَّةِ أُمِّ الْوَلَدِ أَمْ بِرَقَبَتِهَا عَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: بِذِمَّتِهَا وَلَا يَلْزَمُ السَّيِّدَ غُرْمُهَا. وَالثَّانِي: بِرَقَبَتِهَا وَعَلَى السَّيِّدِ غُرْمُهَا وَافْتِكَاكُ رَقَبَتِهَا كَمَا يَفْعَلُ فِي جَنَابَتِهَا وَإِنْ عَلِمَ السَّيِّدُ بِهَا فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ: أَحَدُهَا: فِي ذِمَّتِهَا بَعْدَ الْعِتْقِ. وَالثَّانِي: فِي رَقَبَتِهَا وَعَلَى السَّيِّدِ فكاكها بأقل الأمرين من قيمتها اللقطة أو قميتها. وَالثَّالِثُ: أَنَّهَا فِي ذِمَّةِ السَّيِّدِ يَغْرَمُهَا بِجَمِيعِ قيمتها.

Adapun mudabbar, maka ia seperti budak murni dalam hal luqathah. Adapun umm al-walad, maka ia seperti budak dalam hal luqathah; jika ia mengambilnya untuk tuannya, maka itu sah, dan jika ia mengambilnya untuk dirinya sendiri, maka ada dua pendapat: salah satunya, boleh; menurut pendapat ini, tanggungan luqathah terkait dengan tanggungannya jika ia dimerdekakan. Pendapat kedua, tidak boleh; menurut pendapat ini, jika tuan tidak mengetahuinya, maka apakah tanggungannya terkait dengan tanggungan umm al-walad atau dengan lehernya, ada dua wajah: pertama, dengan tanggungannya dan tidak wajib bagi tuan menanggungnya; kedua, dengan lehernya dan wajib bagi tuan menanggungnya dan menebus lehernya sebagaimana dilakukan pada kasus jinayah-nya. Jika tuan mengetahui hal itu, maka ada tiga wajah: pertama, pada tanggungannya setelah dimerdekakan; kedua, pada lehernya dan wajib bagi tuan menebusnya dengan nilai yang lebih rendah antara nilai luqathah atau nilai dirinya; ketiga, bahwa itu menjadi tanggungan tuan, ia wajib menanggung seluruh nilainya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَالْعَبْدُ نِصْفُهُ حُرٌّ وَنِصْفُهُ عَبْدٌ فَإِنِ الْتَقَطَ فِي الْيَوْمِ الَّذِي يَكُونُ فِيهِ مُخَلَّى لِنَفْسِهِ أُقِرَّتْ فِي يَدِهِ وَكَانَتْ بَعْدَ السَّنَةِ لَهُ كَمَا لَوْ كَسَبَ فِيهِ مَالَا كَانَ لَهُ وَإِنْ كَانَ فِي الْيَوْمِ الَذِي لِسَيِّدِهِ أَخَذَهَا مِنْهُ لِأَنَّ كَسْبَهُ فِيهِ لِسَيِّدِهِ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Budak yang setengahnya merdeka dan setengahnya budak, jika ia mengambil luqathah pada hari yang ia bebas untuk dirinya sendiri, maka luqathah itu tetap di tangannya dan setelah setahun menjadi miliknya, sebagaimana jika ia memperoleh harta pada hari itu, maka harta itu menjadi miliknya. Namun jika pada hari yang menjadi hak tuannya, maka tuannya mengambil luqathah itu darinya, karena penghasilannya pada hari itu menjadi milik tuannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي عَبْدٍ نِصْفُهُ حُرٌّ وَنِصْفُهُ مَمْلُوكٌ وَجَدَ لُقَطَةً فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ مُهَايَأَةً أَوْ غَيْرَ مُهَايَأَةٍ فَإِنْ كَانَ غير مهايأة فنصف أكسابه لَهُ بِحَقِّ حُرِّيَّتِهِ وَعَلَيْهِ نِصْفُ نَفَقَتِهِ وَنِصْفُ أَكْسَابِهِ لِسَيِّدِهِ وَعَلَيْهِ نِصْفُ نَفَقَتِهِ وَإِذَا كَانَ هَكَذَا فَنِصْفُ اللُّقَطَةِ لَهُ بِمَا فِيهِ مِنَ الْحُرِّيَّةِ يُقِيمُ عَلَى تَعْرِيفِهِ وَيَتَمَلَّكُهُ بَعْدَ حَوْلِهِ وَأَمَّا النِّصْفُ الْآخَرُ فَهُوَ فِيهِ كَالْعَبْدِ فَإِنْ أَخَذَهُ لِسَيِّدِهِ جَازَ وَلَمْ يَضْمَنْهُ وَإِنْ أَخَذَهُ لِنَفْسِهِ فَعَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ وَلِلسَّيِّدِ أَخْذُ ذَلِكَ النِّصْفِ مِنْهُ دُونَ النِّصْفِ الَّذِي أخذه بحريته ثم يصيران شريكين فيما يُقِيمَانِ عَلَى تَعْرِيفِهَا وَيَتَمَلَّكَانِهَا بَعْدَ حَوْلِهَا وَإِنْ كَانَ مُهَايَأَةً وَالْمُهَايَأَةُ أَنْ يَكْتَسِبَ لِنَفْسِهِ يَوْمًا وَعَلَيْهِ نَفَقَتُهُ وَلِسَيِّدِهِ يَوْمًا مِثْلَهُ وَعَلَيْهِ نَفَقَتُهُ فَيَدْخُلُ فِي الْمُهَايَأَةِ الْأَكْسَابُ الْمَأْلُوفَةُ وَهَلْ يَدْخُلُ فِيهَا مَا لَيْسَ بِمَأْلُوفٍ مِنَ الْأَكْسَابِ كَاللُّقَطَةِ والركاز أم عَلَى قَوْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Keadaannya pada budak yang setengahnya merdeka dan setengahnya milik, lalu ia menemukan luqathah, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia dalam keadaan muhayā’ah atau tidak. Jika tidak dalam keadaan muhayā’ah, maka setengah penghasilannya menjadi miliknya karena hak kemerdekaannya dan ia menanggung setengah nafkahnya, dan setengah penghasilannya menjadi milik tuannya dan ia menanggung setengah nafkahnya. Jika demikian, maka setengah luqathah menjadi miliknya karena bagian kemerdekaannya, ia tetap memperkenalkannya dan memilikinya setelah berlalu setahun, sedangkan setengah lainnya ia seperti budak; jika ia mengambilnya untuk tuannya, maka itu sah dan ia tidak menanggungnya, dan jika ia mengambilnya untuk dirinya sendiri, maka berlaku dua pendapat yang telah lalu, dan tuan berhak mengambil setengah bagian itu darinya, bukan setengah yang ia ambil dengan kemerdekaannya. Kemudian keduanya menjadi sekutu dalam memperkenalkan luqathah itu dan memilikinya setelah berlalu setahun. Jika dalam keadaan muhayā’ah, yaitu ia memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri pada suatu hari dan ia menanggung nafkahnya, dan pada hari lain untuk tuannya dan ia menanggung nafkahnya, maka dalam muhayā’ah masuk penghasilan yang biasa, dan apakah masuk pula penghasilan yang tidak biasa seperti luqathah dan rikaz, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَدْخُلُ فِيهَا وَهُوَ أَظْهَرُهُمَا لِأَنَّهُ نَوْعٌ مِنَ الْكَسْبِ فَعَلَى هَذَا إِنْ وَجَدَهَا فِي يَوْمِ نَفْسِهِ فَهُوَ فِيهِ كَالْحُرِّ يَجِبُ عَلَيْهِ تَعْرِيفُهَا وَيَجُوزُ لَهُ تَمَلُّكُهَا وَإِنْ وَجَدَهَا فِي يَوْمِ سَيِّدِهِ فَهُوَ فِيهَا كَالْعَبْدِ الْمَمْلُوكِ جَمِيعِهِ فَإِنْ أَخَذَهَا لِسَيِّدِهِ جَازَ وَإِنْ أَخَذَهَا لِنَفْسِهِ فَعَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ فَهَذَا حُكْمُ دُخُولِهَا فِي الْمُهَايَأَةِ.

Salah satu dari keduanya: Termasuk di dalamnya, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat di antara keduanya, karena ia merupakan salah satu jenis usaha (kasb). Berdasarkan hal ini, jika ia menemukannya pada hari bagiannya sendiri, maka ia dalam hal ini seperti orang merdeka: wajib baginya untuk mengumumkannya dan boleh baginya untuk memilikinya. Namun jika ia menemukannya pada hari bagian tuannya, maka ia dalam hal ini seperti budak murni seluruhnya. Jika ia mengambilnya untuk tuannya, maka itu boleh; dan jika ia mengambilnya untuk dirinya sendiri, maka hukumnya kembali kepada dua pendapat yang telah lalu. Inilah hukum masuknya (harta temuan) dalam al-muhāya’ah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا لَا تَدْخُلُ فِي الْمُهَايَأَةِ وَلَا الْمَكَاسِبِ النَّادِرَةِ لِأَنَّهَا قَدْ تُوجَدُ فِي أَحَدِ الزَّمَانَيْنِ دُونَ الْآخَرِ فَيَصِيرُ أَحَدُهُمَا مُخْتَصًّا فِي زَمَانِهِ بِمَا لَا يُسَاوِيهِ الْآخَرُ فِي زَمَانِهِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ فِي اللُّقَطَةِ كَغَيْرِ الْمُهَايَأَةِ عَلَى مَا مَضَى وَهَكَذَا حُكْمُهُ لَوْ كَانَ أَقَلَّهُ الحر أو أكثر مَمْلُوكًا فَأَمَّا الْمَمْلُوكُ بَيْنَ شَرِيكَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمَا فِيهِ مُهَايَأَةٌ اشْتَرَكَا فِي قِيمَةِ اللُّقَطَةِ وَإِنْ كَانَ بَيْنَهُمَا فِيهِ مُهَايَأَةٌ فَفِي دُخُولِ اللُّقَطَةِ فِي مُهَايَأَتِهِمَا قَوْلَانِ عَلَى مَا مضى.

Pendapat kedua: Bahwa ia tidak termasuk dalam al-muhāya’ah dan juga tidak termasuk dalam usaha-usaha yang jarang, karena bisa jadi ia ditemukan pada salah satu dari dua waktu dan tidak pada waktu yang lain, sehingga salah satunya menjadi khusus pada waktunya dengan sesuatu yang tidak didapatkan oleh yang lain pada waktunya. Berdasarkan hal ini, dalam hal luqathah (harta temuan) hukumnya seperti selain al-muhāya’ah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Demikian pula hukumnya jika yang lebih sedikit adalah orang merdeka atau yang lebih banyak adalah budak. Adapun budak yang dimiliki bersama oleh dua orang, jika di antara keduanya tidak ada al-muhāya’ah, maka keduanya berbagi dalam nilai luqathah. Namun jika di antara keduanya ada al-muhāya’ah, maka dalam hal masuknya luqathah ke dalam al-muhāya’ah mereka terdapat dua pendapat sebagaimana telah lalu.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَيُفْتِي الْمُلْتَقِطُ إِذَا عَرَفَ الرَّجُلُ الْعِفَاصَ وَالْوِكَاءَ وَالْعَدَدَ وَالْوَزْنَ وَوَقَعَ فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ صَادِقٌ أَنْ يُعْطِيَهُ وَلَا أُجْبِرُهُ عَلَيْهِ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ لِأَنَّهُ قَدْ يُصِيبُ الصِّفَةَ بِأَنْ يَسْمَعَ الْمُلْتَقِطَ يصفها ومعنى قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” اعرف عفاصها ووكاءها ” والله أعلم لأن يؤدي عفاصها ووكاءها معها وليعلم إذا وضعها في ماله أنه لقطة وقد يكون ليستدل على صدق المعرف أَرَأَيْتَ لَوْ وَصَفَهَا عَشَرَةٌ أَيُعْطُونَهَا وَنَحْنُ نَعْلَمُ أن كلهم كاذب إلا واحدا بغير عينه فيمكن أن يكون صادقا “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Orang yang menemukan barang (luqathah) boleh memberikan fatwa jika seseorang mengetahui ciri-ciri pembungkusnya, tali pengikatnya, jumlah dan beratnya, serta ia merasa yakin bahwa orang itu jujur, maka boleh memberikannya kepadanya. Namun, aku tidak mewajibkannya kecuali dengan adanya bukti (bayyinah), karena bisa jadi seseorang mengetahui ciri-cirinya dengan mendengar orang yang menemukan barang itu menyebutkannya. Makna sabda Nabi ﷺ: ‘Kenalilah pembungkus dan tali pengikatnya’—wallahu a‘lam—adalah agar ia menyerahkan barang itu beserta ciri-cirinya, dan agar ia mengetahui bahwa jika ia meletakkannya dalam hartanya, maka itu adalah luqathah. Bisa juga untuk mengetahui kejujuran orang yang mengakuinya. Bagaimana menurutmu jika ada sepuluh orang yang menyebutkan ciri-cirinya, apakah semuanya diberi? Padahal kita tahu bahwa semuanya dusta kecuali satu orang yang tidak diketahui siapa, maka bisa jadi ia adalah yang jujur.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ ادَّعَى لُقَطَةً فِي يَدِ وَاجِدِهَا فَإِنْ أَقَامَ الْبَيِّنَةَ الْعَادِلَةَ عَلَى مِلْكِهَا وَجَبَ تَسْلِيمُهَا لَهُ وَإِنْ لَمْ يُقِمْ بَيِّنَةً لَكِنْ وَصَفَهَا فَإِنْ أَخْطَأَ فِي وَصْفِهَا لَمْ يَجُزْ دَفْعُهَا إِلَيْهِ وَإِنْ أَصَابَ فِي جَمِيعِ صِفَاتِهَا مِنَ الْعِفَاصِ وَالْوِكَاءِ وَالْجِنْسِ وَالنَّعْتِ وَالْعَدَدِ وَالْوَزْنِ فَإِنْ لَمْ يَقَعْ فِي نَفْسِهِ صِدْقُهُ لَمْ يَدْفَعْهَا إِلَيْهِ وَإِنْ وَقَعَ فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ صَادِقٌ أَفْتَيْنَاهُ بِدَفْعِهَا إِلَيْهِ جَوَازًا لَا وَاجِبًا فَإِنِ امْتَنَعَ عَنِ الدَّفْعِ لَمْ يُجْبَرْ عَلَيْهِ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَقَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ يُجْبَرُ عَلَى دَفْعِهَا إِلَيْهِ بِالصِّفَةِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اعْرِفْ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً فَإِنْ جَاءَ طَالِبُهَا أَوْ قَالَ بَاغِيهَا فَادْفَعْهَا إِلَيْهِ. فَلَمَّا أَخْبَرَ بِمَعْرِفَةِ الْعِفَاصِ وَالْوِكَاءِ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ كَالْبَيِّنَةِ فِي الِاسْتِحْقَاقِ.

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada seseorang yang mengaku memiliki luqathah yang ada di tangan orang yang menemukannya. Jika ia mendatangkan bukti yang adil atas kepemilikannya, maka wajib diserahkan kepadanya. Jika ia tidak mendatangkan bukti, tetapi menyebutkan ciri-cirinya, maka jika ia salah dalam menyebutkan ciri-cirinya, tidak boleh diserahkan kepadanya. Namun jika ia benar dalam semua ciri-cirinya, baik pembungkus, tali pengikat, jenis, sifat, jumlah, maupun beratnya, lalu orang yang menemukan barang itu tidak merasa yakin akan kejujurannya, maka tidak boleh diserahkan kepadanya. Tetapi jika ia merasa yakin bahwa orang itu jujur, maka kami berfatwa boleh menyerahkannya kepadanya, namun tidak wajib. Jika ia menolak untuk menyerahkannya, maka tidak dipaksa. Inilah juga pendapat Abu Hanifah. Malik dan Ahmad berpendapat: Ia dipaksa untuk menyerahkannya berdasarkan ciri-ciri, dengan berdalil pada sabda Nabi ﷺ: ‘Kenalilah pembungkus dan tali pengikatnya, kemudian umumkan selama setahun. Jika ada yang mencarinya atau mengakuinya, maka serahkan kepadanya.’ Maka ketika Nabi menyebutkan pengetahuan tentang pembungkus dan tali pengikatnya, itu menunjukkan bahwa hal tersebut seperti bayyinah dalam penetapan hak kepemilikan.

وَرَوَى سُوَيْدُ بْنُ غَفْلَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” فَإِنْ جَاءَ بَاغِيهَا فَعَرَّفَكَ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا فَادْفَعْهَا إِلَيْهِ “. وَهَذَا نَصٌّ قَالُوا: وَلِأَنَّ كُلَّ أَمَارَةٍ غَلَبَ بِهَا فِي الشَّرْعِ صِدْقُ الْمُدَّعِي جَازَ أَنْ يُوجِبَ قَبُولَ قَوْلِهِ كَالْقَسَامَةِ قَالُوا: وَلِأَنَّ الْبَيِّنَاتِ فِي الْأُصُولِ مُخْتَلِفَةٌ وَمَا تَعَذَّرَ مِنْهَا فِي الْغَائِبِ مُخَفَّفٌ كَالنِّسَاءِ الْمُنْفَرِدَاتِ فِي الْوِلَادَةِ وَإِقَامَةُ الْبَيِّنَةِ عَلَى اللُّقَطَةِ مُتَعَذِّرَةٌ لَا سِيَّمَا عَلَى الدَّنَانِيرِ وَالدَّرَاهِمِ الَّتِي لَا تُضْبَطُ أَعْيَانُهَا فَجَازَ أَنْ تَكُونَ الصِّفَةُ الَّتِي هِيَ غَايَةُ الْأَحْوَالِ الْمُمْكِنَةِ أَنْ تَكُونَ بَيِّنَةً فِيهَا ودليلنا قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَوْ أُعْطِيَ النَّاسُ بِدَعَاوِيهِمْ لَادَّعَى قَوْمٌ دِمَاءَ قَوْمٍ وَأَمْوَالَهُمْ لَكِنَّ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ “، فَلَمْ يَجْعَلِ الدَّعْوَى حُجَّةً وَلَا جَعَلَ مُجَرَّدَ الْقَوْلِ حُجَّةً بَيِّنَةً وَلِأَنَّ صِفَةَ الْمَطْلُوبِ لَا تَكُونُ بَيِّنَةً لِلطَّالِبِ كَالْمَسْرُوقِ وَالْمَغْصُوبِ وَلِأَنَّ صِفَةَ الْمَطْلُوبِ مِنْ تَمَامِ الدَّعْوَى فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَكُونَ بَيِّنَةً لِلطَّالِبِ قِيَاسًا عَلَى الطَّلَبِ.

Diriwayatkan dari Suwaid bin Ghaflah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Jika pemiliknya datang dan ia dapat mengenalkan kepadamu wadah dan pengikatnya, maka serahkanlah kepadanya.” Ini adalah nash. Mereka berkata: Karena setiap tanda yang dalam syariat dapat menguatkan kebenaran pengakuan seseorang, maka boleh menjadikannya dasar untuk menerima ucapannya, seperti pada kasus qasāmah. Mereka juga berkata: Karena bukti-bukti dalam ushul berbeda-beda, dan apa yang sulit didapatkan darinya pada perkara yang gaib diringankan, seperti perempuan-perempuan yang sendirian dalam persalinan. Dan mendatangkan bukti atas barang temuan (luqathah) itu sulit, terutama pada dinar dan dirham yang tidak dapat dikenali bendanya secara pasti, maka boleh jadi sifat/ciri-ciri yang merupakan batas maksimal keadaan yang mungkin dijadikan sebagai bukti padanya. Dalil kami adalah sabda Nabi ﷺ: “Seandainya manusia diberi (hak) hanya dengan pengakuan mereka, niscaya akan ada sekelompok orang yang mengaku darah dan harta orang lain. Tetapi bukti itu atas pihak yang mengaku, dan sumpah atas pihak yang dituduh.” Maka beliau tidak menjadikan pengakuan sebagai hujjah, dan tidak pula menjadikan sekadar ucapan sebagai bukti yang sah. Dan karena sifat barang yang diminta tidak dapat menjadi bukti bagi penuntut, seperti pada barang curian dan barang yang dirampas. Dan karena sifat barang yang diminta adalah bagian dari sempurnanya pengakuan, maka tidak boleh dijadikan sebagai bukti bagi penuntut, qiyās dengan permintaan.

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ مُحْتَجًّا عَلَيْهِمْ: أَرَأَيْتَ لَوْ وَصَفَهَا عَشَرَةٌ أَيُعْطُونَهَا وَنَحْنُ نعلم أن كلهم كذبة إلا واحد بِعَيْنِهِ فَرَدَّ عَلَيْهِ ابْنُ دَاوُدَ فَقَالَ كَمَا لَوِ ادَّعَاهَا عَشَرَةٌ وَأَقَامَ كُلُّ وَاحِدٍ عَلَيْهَا بَيِّنَةً نُقَسِّمُهَا بَيْنَهُمْ وَإِنْ كَانَ صِدْقُ جَمِيعِهِمْ مُسْتَحِيلَا. كَذَلِكَ إِذَا وَصَفُوهَا كُلَّهُمْ. وَالْجَوَابُ عَنْ هَذَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, sebagai hujjah atas mereka: Bagaimana pendapatmu jika ada sepuluh orang yang menyebutkan ciri-cirinya, apakah semuanya diberi (barang itu), padahal kita tahu bahwa semuanya dusta kecuali satu orang saja? Ibnu Dawud menjawab kepadanya: Itu seperti jika ada sepuluh orang yang mengakuinya dan masing-masing mendatangkan bukti, maka kita membaginya di antara mereka, meskipun kebenaran seluruhnya mustahil. Demikian pula jika mereka semua menyebutkan ciri-cirinya. Jawaban atas hal ini dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ كَذِبَ الْمُدَّعِي أَسْقَطُ لِلدَّعْوَى مِنْ كَذِبِ الشُّهُودِ، أَلَا تَرَى أَنَّ إِكْذَابَ الْمُدَّعِي لِنَفْسِهِ مُبْطِلًا لِلدَّعْوَى وَإِكْذَابَ الشُّهُودِ لِأَنْفُسِهِمْ غَيْرُ مُبْطِلٍ لِلدَّعْوَى.

Pertama: Bahwa kedustaan pengaku (mudda‘i) lebih menggugurkan pengakuan daripada kedustaan para saksi. Tidakkah engkau melihat bahwa jika pengaku mendustakan dirinya sendiri, maka gugurlah pengakuannya, sedangkan jika para saksi mendustakan dirinya sendiri, itu tidak membatalkan pengakuan.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْبَيِّنَةَ هِيَ أَقْصَى مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ الْمُدَّعِي وَأَقْوَى مَا يَحْكُمُ بِهِ الْحَاكِمُ فَدَعَتْ ضَرُورَةُ الْحَاكِمِ فِي الْبَيِّنَةِ إِلَى مَا لَمْ تَدْعُهُ مِنَ الصِّفَةِ.

Kedua: Bahwa bukti (bayyinah) adalah batas maksimal yang dapat dilakukan oleh pengaku (mudda‘i) dan merupakan hal terkuat yang dapat dijadikan dasar keputusan hakim. Maka kebutuhan hakim terhadap bukti berbeda dengan kebutuhannya terhadap sifat/ciri-ciri.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ اعْرِفْ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا فَهُوَ أَنَّ ذَلِكَ لَا لِدَفْعِهَا بِصِفَةِ الْعِفَاصِ وَالْوِكَاءِ وَوُجُوبِ رَدِّهِ مَعَهُ وَلَكِنْ لَمَعَانٍ هِيَ أَخَصُّ بِمَقْصُودِ اللَّفْظِ مِنْهَا أَنَّهُ نَبَّهَ بِحِفْظِ الْعِفَاصِ وَالْوِكَاءِ وَوُجُوبِ رَدِّهِ مَعَ قِلَّتِهِ وَنَدَارَتِهِ عَلَى حِفْظِ مَا فِيهِ وَوُجُوبِ رَدِّهِ مَعَ كَثْرَتِهِ وَمِنْهَا أَنْ يَتَمَيَّزَ بِذَلِكَ عَنْ مَالِهِ وَمِنْهَا جَوَازُ دَفْعِهَا بِالصِّفَةِ وَإِنْ لَمْ يَجِبْ وَعَلَى هَذَا حَمْلُ حَدِيثِ سُوَيْدِ بْنِ غَفْلَةَ الذيَ جَعَلُوهُ نَصًّا وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِهِ فَنَحْنُ مَا جَعَلْنَا الْأَمَارَةَ عَلَى الصِّدْقِ حُجَّةً فِي قَبُولِ الدَّعْوَى وَإِنَّمَا الْأَيْمَانُ بَعْدَهَا حُجَّةٌ وَهُمْ لَا يَقُولُونَ بِذَلِكَ فِي اللُّقَطَةِ بَعْدَ الصِّفَةِ فَدَلَّ عَلَى اخْتِلَافِهَا.

Adapun jawaban atas ucapan mereka: “Kenalilah wadah dan pengikatnya,” maka maksudnya bukanlah untuk menyerahkan barang itu hanya dengan sifat wadah dan pengikatnya serta wajib mengembalikannya bersamaan dengan itu, tetapi karena beberapa makna yang lebih khusus dengan maksud lafaz tersebut. Di antaranya adalah bahwa beliau memberi isyarat dengan menjaga wadah dan pengikatnya serta wajib mengembalikannya meskipun sedikit dan langka, agar menjaga apa yang ada di dalamnya dan wajib mengembalikannya meskipun banyak. Di antaranya juga, agar dapat dibedakan dari hartanya sendiri. Dan di antaranya adalah bolehnya menyerahkan barang itu dengan sifat/ciri-ciri meskipun tidak wajib. Atas dasar inilah hadits Suwaid bin Ghaflah yang mereka jadikan sebagai nash dipahami. Adapun istidlal mereka dengannya, maka kami tidak menjadikan tanda-tanda atas kebenaran sebagai hujjah dalam menerima pengakuan, melainkan sumpah setelahnya yang menjadi hujjah. Dan mereka pun tidak mengatakan demikian dalam perkara luqathah setelah adanya sifat/ciri-ciri, maka ini menunjukkan adanya perbedaan.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ الْبَيِّنَاتِ فِي الْأُصُولِ مُخْتَلِفَةٌ فَصَحِيحٌ وَلَيْسَ مِنْ جَمِيعِهَا بَيِّنَةٌ تَكُونُ بِمُجَرَّدِ الصِّفَةِ وَلَا يَكُونُ تَعَذُّرُ الْبَيِّنَةِ مُوجِبًا أَنْ تَكُونَ الصِّفَةُ بَيِّنَةً أَلَا تَرَى أَنَّ السَّارِقَ تَتَعَذَّرُ إِقَامَةُ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ وَلَا يَكُونُ صِفَةُ مَا بِيَدِهِ لِمُدَّعِي سَرِقَتِهِ حُجَّةً.

Adapun istidlal mereka bahwa bukti-bukti dalam ushul itu berbeda-beda, maka itu benar. Namun tidak ada satu pun dari semuanya yang menjadi bukti hanya dengan sekadar sifat/ciri-ciri, dan tidak pula kesulitan mendatangkan bukti menjadikan sifat/ciri-ciri sebagai bukti. Tidakkah engkau melihat bahwa pada kasus pencuri, sulit untuk mendatangkan bukti atasnya, namun sifat barang yang ada di tangannya tidak menjadi hujjah bagi orang yang mengaku barang itu dicuri.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ دَفْعَهَا بِالصِّفَةِ لَا يَجِبُ فَدَفَعَهَا بِالصِّفَةِ وَسِعَهُ ذَلِكَ إِذَا لَمْ يَقَعْ فِي نَفْسِهِ كَذِبُهُ فَإِنْ أَقَامَ غَيْرُهُ الْبَيِّنَةَ عَلَيْهَا بِشَاهِدَيْنِ أَوْ شَاهِدٍ وَامْرَأَتَيْنِ أَوْ شَاهِدٍ وَيَمِينٍ كَانَ مُقِيمُ الْبَيِّنَةِ أَحَقَّ بِهَا مِنَ الْآخِذِ لَهَا بِالصِّفَةِ فَإِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً فِي يَدِ الْوَاصِفِ لَهَا انْتُزِعَتْ مِنْهُ لِمُقِيمِ الْبَيِّنَةِ وَإِنْ كَانَ قَدِ اسْتَهْلَكَهَا نُظِرَ فِي الدَّافِعِ لَهَا فَإِنْ كَانَ قَدْ دَفَعَهَا بِحُكْمِ حَاكِمٍ رَأَى ذَلِكَ مَذْهَبًا فَلَا ضَمَانَ عَلَى الدَّافِعِ وَرَجَعَ مُقِيمُ الْبَيِّنَةِ بِغُرْمِهَا عَلَى الْآخِذِ لَهَا بِالصِّفَةِ وَإِنْ كَانَ قَدْ دَفَعَهَا بِغَيْرِ حُكْمِ حَاكِمٍ فَلِصَاحِبِ الْبَيِّنَةِ الْخِيَارُ فِي الرُّجُوعِ بِغُرْمِهَا عَلَى مَنْ شَاءَ مِنَ الدَّافِعِ الْمُلْتَقِطِ أَوِ الْآخِذِ الْوَاصِفِ فَإِنْ رَجَعَ بِهَا عَلَى الْآخِذِ لَهَا بِالصِّفَةِ فَلَهُ ذَلِكَ لِضَمَانِهِ لَهَا بِالْيَدِ وَاسْتِحْقَاقِ غُرْمِهَا بِالْإِتْلَافِ وَقَدْ بَرِئَ الدَّافِعُ لَهَا مِنَ الضَّمَانِ لِوُصُولِ الْغُرْمِ إِلَى مُسْتَحِقِّهِ وَلَيْسَ لِلْغَارِمِ أَنْ يَرْجِعَ بِمَا غَرِمَهُ عَلَى الدَّافِعِ لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ مُسْتَحِقًّا عَلَيْهِ فَمَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ حَتَّى لَمْ يَرْجِعْ بِهِ عَلَى أَحَدٍ وَإِنْ كَانَ مَظْلُومًا بِهِ فَالْمَظْلُومُ بِالشَّيْءِ لَا يَجُوزُ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ عَلَى غَيْرِ ظَالِمِهِ وَإِنْ رَجَعَ مُقِيمُ الْبَيِّنَةِ بِغُرْمِهَا عَلَى الدَّافِعِ الْمُلْتَقِطِ نُظِرَ فِي الدَّافِعِ فَإِنْ كَانَ قَدْ صَدَقَ الْوَاصِفَ لَهَا عَلَى مِلْكِهَا وَأَكْذَبَ الشُّهُودَ لِصَاحِبِ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهَا فَلَيْسَ لَهُ الرُّجُوعُ بِغُرْمِهَا عَلَى الْآخِذِ لَهَا بِالصِّفَةِ لِأَنَّهُ مُقِرٌّ أَنَّهُ مَظْلُومٌ بِالْمَأْخُوذِ مِنْهُ فَلَا يَرْجِعُ بِهِ عَلَى غَيْرِ مَنْ ظَلَمَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ صَدَقَ الْوَاصِفَ وَلَا أَكْذَبَ الشُّهُودَ فَلَهُ الرُّجُوعُ بِالْغُرْمِ عَلَى الْآخِذِ لَهَا بِالصِّفَةِ لِضَمَانِهِ لَهَا بِالِاسْتِهْلَاكِ فَتَكُونُ الْبَيِّنَةُ مُوجِبَةً عَلَيْهِ وَلَهُ.

Apabila telah tetap bahwa menyerahkan barang tersebut dengan sifatnya (deskripsi) tidak wajib, maka jika ia menyerahkannya dengan sifatnya, hal itu diperbolehkan baginya selama tidak ada keraguan dalam dirinya tentang kebohongan. Jika ada orang lain yang mendatangkan bayyinah atas barang tersebut, baik dengan dua orang saksi, atau satu saksi dan dua perempuan, atau satu saksi dan sumpah, maka orang yang mendatangkan bayyinah lebih berhak atas barang itu daripada orang yang mengambilnya dengan sifatnya. Jika barang itu masih ada di tangan orang yang mendeskripsikannya, maka barang itu diambil darinya untuk diberikan kepada orang yang mendatangkan bayyinah. Jika barang itu telah habis digunakan, maka dilihat kepada orang yang menyerahkannya; jika ia menyerahkannya berdasarkan keputusan hakim yang berpendapat demikian, maka tidak ada tanggungan atas orang yang menyerahkan, dan orang yang mendatangkan bayyinah menuntut ganti rugi kepada orang yang mengambil barang itu dengan sifatnya. Jika ia menyerahkannya tanpa keputusan hakim, maka pemilik bayyinah memiliki pilihan untuk menuntut ganti rugi kepada siapa saja yang ia kehendaki, baik kepada orang yang menyerahkan (multeqith) atau orang yang mengambil dengan sifatnya. Jika ia menuntut kepada orang yang mengambil dengan sifatnya, maka itu boleh, karena ia menanggung barang itu dengan tangan dan berhak atas ganti rugi karena telah merusaknya, dan orang yang menyerahkan telah bebas dari tanggungan karena ganti rugi telah sampai kepada yang berhak. Orang yang menanggung ganti rugi tidak boleh menuntut kembali kepada orang yang menyerahkan, karena jika memang ia berhak menanggungnya, maka tanggungan itu memang wajib atasnya sehingga ia tidak boleh menuntut kembali kepada siapa pun; dan jika ia dizalimi dengan hal itu, maka orang yang dizalimi tidak boleh menuntut kepada selain orang yang menzaliminya. Jika orang yang mendatangkan bayyinah menuntut ganti rugi kepada orang yang menyerahkan (multeqith), maka dilihat kepada orang yang menyerahkan; jika ia membenarkan orang yang mendeskripsikan barang itu sebagai pemiliknya dan mendustakan para saksi pemilik bayyinah, maka ia tidak boleh menuntut ganti rugi kepada orang yang mengambil dengan sifatnya, karena ia mengakui bahwa ia dizalimi dengan barang yang diambil darinya, sehingga ia tidak boleh menuntut kepada selain orang yang menzalimnya. Jika ia tidak membenarkan orang yang mendeskripsikan maupun mendustakan para saksi, maka ia boleh menuntut ganti rugi kepada orang yang mengambil dengan sifatnya karena ia menanggung barang itu akibat menghabiskannya, sehingga bayyinah menjadi penentu kewajiban atasnya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِنْ كَانَتِ اللُّقَطَةُ طَعَامًا رَطْبًا لَا يَبْقَى فَلَهُ أَنْ يَأْكُلَهُ إِذَا خَافَ فَسَادَهُ وَيَغْرِمَهُ لِرَبِّهِ (وَقَالَ) فِيمَا وَضَعَهُ بِخَطِّهِ لَا أَعْلَمُهُ سُمِعَ مِنْهُ إِذَا خَافَ فَسَادَهُ أَحْبَبْتُ أَنْ يَبِيعَهُ وَيُقِيمَ عَلَى تَعْرِيفِهِ (قَالَ المزني) هذا أولى القولين بِهِ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لم يقل للملتقط شأنك بها إلا بعد سنة إلا أن يكون في موضع مهلكة كالشاة فيكون له أكله ويغرمه إذا جاء صاحبه “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika luqathah (barang temuan) berupa makanan basah yang tidak tahan lama, maka boleh baginya memakannya jika khawatir akan rusak, dan ia wajib menggantinya kepada pemiliknya. (Dan beliau berkata) dalam tulisan tangannya: Aku tidak mengetahui bahwa ini pernah didengar darinya, jika khawatir akan rusak, aku lebih suka ia menjualnya dan tetap mengumumkannya. (Al-Muzani berkata): Ini adalah pendapat yang lebih utama, karena Nabi ﷺ tidak berkata kepada orang yang menemukan barang temuan, ‘Terserah engkau terhadapnya’ kecuali setelah satu tahun, kecuali jika berada di tempat yang membahayakan seperti kambing, maka boleh baginya memakannya dan ia wajib menggantinya jika pemiliknya datang.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الطَّعَامُ الرَّطْبُ فَضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِمَّا يَيْبَسُ فَيَبْقَى كَالرُّطَبِ الَّذِي يَصِيرُ خَمْرًا وَالْعِنَبِ الَّذِي يَصِيرُ زَبِيبًا فَهَذَا حُكْمُهُ حُكْمُ غَيْرِ الطَّعَامِ فِي وُجُوبِ تَعْرِيفِهِ وَاسْتِبْقَائِهِ فَإِنِ احْتَاجَ تَجْفِيفُهُ إِلَى مُؤْنَةٍ كَانَتْ عَلَى مَالِكِهِ وَيَفْعَلُ الْحَاكِمُ أَحَظَّ الْأَمْرَيْنِ لِلْمَالِكِ مِنْ بَيْعِهِ أَوِ الْإِنْفَاقِ عَلَيْهِ.

Al-Mawardi berkata: Adapun makanan basah terbagi dua: Pertama, makanan yang bisa dikeringkan sehingga bisa bertahan, seperti ruthab (kurma basah) yang bisa menjadi khamr, dan anggur yang bisa menjadi kismis. Maka hukum makanan ini sama dengan selain makanan dalam hal wajib diumumkan dan disimpan. Jika pengeringannya membutuhkan biaya, maka biaya itu ditanggung oleh pemiliknya, dan hakim melakukan yang lebih maslahat bagi pemiliknya, antara menjualnya atau mengeluarkan biaya untuknya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مِمَّا لَا يَبْقَى كَالطَّعَامِ الَّذِي يَفْسُدُ بِالْإِمْسَاكِ كَالْهَرِيسَةِ وَالْفَوَاكِهِ وَالْبُقُولِ الَّتِي لَا تبقى على الأيام فقد حكى عَنِ الشَّافِعِيِّ هَا هُنَا أَنَّهُ قَالَ فِي مَوْضِعٍ يَأْكُلُهُ الْوَاجِدُ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ أَحْبَبْتُ أَنْ يَبِيعَهُ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَطَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا يُخْرِجُونَهُ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Bagian kedua: makanan yang tidak bisa bertahan, seperti makanan yang akan rusak jika disimpan, seperti harisah (bubur), buah-buahan, dan sayuran yang tidak tahan beberapa hari. Maka telah dinukil dari Imam Syafi‘i di sini bahwa beliau berkata di satu tempat: orang yang menemukannya boleh memakannya; dan di tempat lain beliau berkata: aku lebih suka ia menjualnya. Maka para ulama kami berbeda pendapat; Abu Ishaq al-Marwazi, Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, dan sekelompok ulama kami mengeluarkan dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لِوَاجِدِهِ أَكْلُهُ كَالشَّاةِ الَّتِي لَمَّا تَعَذَّرَ اسْتِبْقَاؤُهَا أُبِيحَ لِوَاجِدِهَا أَكْلُهَا.

Pertama: Bagi orang yang menemukannya boleh memakannya, seperti kambing yang ketika tidak mungkin dipelihara maka dibolehkan bagi orang yang menemukannya untuk memakannya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَيْسَ لِوَاجِدِهِ أَكْلُهُ بِخِلَافِ الشَّاةِ الَّتِي لَا يَجِبُ تَعْرِيفُهَا فَأُبِيحَ لَهُ أَكْلُهَا وَالطَّعَامُ وَإِنْ كَانَ رَطْبًا يَجِبُ تَعْرِيفُهُ فَلَمْ يَسْتَبِحْ وَاجِدُهُ أَكْلُهُ وَحَكَى أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ إِنْ كَانَ الْحَاكِمُ مَوْجُودًا يَقْدِرُ عَلَى بَيْعِهِ لَمْ يَكُنْ لِوَاجِدِهِ أَكْلُهُ وَإِنْ كَانَ مَعْدُومًا جَازَ أَكْلُهُ وَكَانَ أَبُو الْقَاسِمِ الصَّيْمَرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ يَقُولُ اخْتِلَافُ حَالَيْهِ فِي إِبَاحَةِ أَكْلِهِ مُعْتَبَرٌ بِحَالِ وَاجِدِهِ فَإِنْ كَانَ فَقِيرًا مُحْتَاجًا اسْتَبَاحَ أَكْلَهُ وَإِنْ كَانَ غَنِيًّا لَمْ يَسْتَبِحْهُ.

Pendapat kedua: Orang yang menemukan makanan tersebut tidak boleh memakannya, berbeda dengan kambing yang tidak wajib diumumkan sehingga diperbolehkan baginya untuk memakannya. Adapun makanan, meskipun basah, wajib diumumkan sehingga orang yang menemukannya tidak boleh memakannya. Abu ‘Ali bin Abi Hurairah meriwayatkan bahwa hal itu tergantung pada dua keadaan: jika ada hakim yang dapat menjualkannya, maka orang yang menemukannya tidak boleh memakannya; namun jika tidak ada hakim, maka boleh baginya memakannya. Abu al-Qasim ash-Shaymari rahimahullah berkata, perbedaan dua keadaan dalam kebolehan memakannya itu tergantung pada keadaan orang yang menemukannya; jika ia fakir dan membutuhkan, maka ia boleh memakannya, namun jika ia kaya, maka ia tidak boleh memakannya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا قُلْنَا بِجَوَازِ أَكْلِهِ فَأَكَلَهُ صَارَ ضَامِنًا لِقِيمَتِهِ وَعَلَيْهِ تَعْرِيفُ الطَّعَامِ حَوْلًا وَهَلْ يَلْزَمُهُ عَزْلُ قِيمَتِهِ مِنْ مَالِهِ عِنْدَ أَكْلِهِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika kita mengatakan bahwa boleh memakannya, lalu ia memakannya, maka ia wajib mengganti nilainya dan wajib mengumumkan makanan itu selama setahun. Apakah ia wajib memisahkan nilai makanan itu dari hartanya saat memakannya atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَلْزَمُهُ عَزْلُ الْقِيمَةِ لِئَلَّا يَصِيرَ مُتَمَلِّكًا لِلُقَطَةٍ يَجِبُ تَعْرِيفُهَا قَبْلَ حَوْلِهَا.

Pertama: Ia wajib memisahkan nilainya agar tidak menjadi pemilik luqathah yang wajib diumumkan sebelum berlalu setahun.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يَجِبُ عَلَيْهِ عَزْلُهَا لِأَنَّهُ لَوْ عَزَلَهَا فَهَلَكَتْ كَانَتْ مِنْ مَالِهِ فَكَانَتْ ذِمَّتُهُ أَحَظَّ لَهَا وَلَمْ يَكُنْ عَزْلُهَا مُفِيدًا وَمَنْ قَالَ بِالْأَوَّلِ جَعَلَ فَائِدَةَ عَزْلِهَا لَوْ أَفْلَسَ بَعْدَ عَزْلِ قِيمَتِهَا ثُمَّ حَضَرَ الْمَالِكُ كَانَ أَوْلَى بِالْمَعْزُولِ مِنْ قِيمَتِهَا مِنْ جَمِيعِ الْغُرَمَاءِ وَزَعَمَ أَنَّ تَلَفَهَا مِنْ يَدِهِ بَعْدَ وُجُوبِ عَزْلِهَا لَا يُوجِبُ عَلَيْهِ غُرْمَهَا فَصَارَ فِي ضَمَانِهِ لِلثَّمَنِ إِنْ تَلَفَ بَعْدَ وُجُوبِ عَزْلِهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ يَكُونُ مَضْمُونًا عَلَيْهِ وَالثَّانِي وَهُوَ أَشْبَهُ أَنَّهُ لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ لِأَنَّ الثَّمَنَ مَعَ وُجُوبِ عَزْلِهِ يَقُومُ مَقَامَ الْأَصْلِ مَعَ بَقَائِهِ.

Pendapat kedua: Ia tidak wajib memisahkannya, karena jika ia memisahkannya lalu nilainya hilang, maka itu menjadi bagian dari hartanya, sehingga tanggungannya lebih kuat untuk menjamin hak pemilik, dan pemisahan itu tidak memberikan manfaat. Orang yang berpendapat seperti pendapat pertama mengatakan bahwa manfaat dari pemisahan nilai itu adalah jika setelah memisahkan nilainya ia bangkrut, kemudian pemilik datang, maka pemilik lebih berhak atas nilai yang telah dipisahkan itu daripada para kreditur lainnya. Ia juga berpendapat bahwa jika nilai itu hilang dari tangannya setelah wajib dipisahkan, maka ia tidak wajib menggantinya. Maka dalam hal jaminan atas harga jika hilang setelah wajib dipisahkan, terdapat dua pendapat: pertama, yaitu pendapat Ibnu Abi Hurairah, bahwa ia tetap wajib menjaminnya; dan kedua, yang lebih kuat, bahwa ia tidak wajib menjaminnya karena harga tersebut, setelah wajib dipisahkan, menempati posisi barang asal selama masih ada.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا قُلْنَا لَا يَجُوزُ لَهُ أَكْلُهُ فَعَلَيْهِ أَنْ يَأْتِيَ الْحَاكِمَ حَتَّى يَأْذَنَ لَهُ فِي بَيْعِهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَوَلَّى بَيْعَهُ بِنَفْسِهِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى اسْتِئْذَانِ الْحَاكِمِ بِخِلَافِ الشَّاةِ إِذَا وَجَدَهَا وَأَرَادَ بَيْعَهَا لِأَنَّ يَدَهُ عَلَى الشَّاةِ أَقْوَى لِمَا اسْتَحَقَّهُ عَاجِلًا مِنْ أَكْلِهَا وَيَدَهُ عَلَى الطَّعَامِ أَضْعَفُ لِمَا وَجَبَ عَلَيْهِ مِنْ تَعْرِيفِهِ فَإِنْ أَعْوَزَهُ إِذْنُ الْحَاكِمِ جَازَ بَيْعُهُ لَهُ فَلَوْ بَاعَهُ بِإِذْنِ الْحَاكِمِ كَانَ الثَّمَنُ فِي يَدِهِ أَمَانَةً وَعَلَيْهِ تَعْرِيفُ الطَّعَامِ حَوْلًا فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهُ فَلَيْسَ لَهُ إِلَّا الثَّمَنُ دُونَ الْقِيمَةِ وَلَوْ لَمْ يَأْتِ صَاحِبُهُ فَلِلْوَاجِدِ أَنْ يَتَمَلَّكَ الثَّمَنَ وَلَوْ هَلَكَ الثَّمَنُ فِي يَدِهِ قَبْلَ الْحَوْلِ أَوْ بَعْدَهُ، وَقَبْلَ التَّمَلُّكِ لَوْ كَانَ تَالِفًا مِنْ مَالِ رَبِّهِ وَلَا ضَمَانَ عَلَى الْمُلْتَقِطِ وَهَكَذَا حُكْمُ الثَّمَنِ لَوْ كَانَ الْوَاجِدُ هُوَ الْبَائِعُ عِنْدَ إِعْوَازِ الْحَاكِمِ فَأَمَّا إِنْ بَاعَهُ مَعَ وُجُودِ الْحَاكِمِ فَبَيْعُهُ بَاطِلٌ وَلِلْمَالِكِ الْقِيمَةُ دُونَ الثَّمَنِ لِفَسَادِ الْعَقْدِ فَإِنْ تَلِفَ الثَّمَنُ مِنْ يَدِ الْوَاجِدِ قَبْلَ الْحَوْلِ كَانَ عَلَيْهِ غُرْمُهُ لِتَعَدِّيهِ بِقَبْضِهِ مَعَ فَسَادِ بَيْعِهِ فَإِنْ حَضَرَ الْمَالِكُ وَالثَّمَنُ بِقَدْرِ الْقِيمَةِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نَقْصٍ أَخَذَهُ وَهُوَ مُبَلِّغٌ حَقَّهُ وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ فَلَهُ الْمُطَالَبَةُ بِإِتْمَامِ الْقِيمَةِ وَيَرْجِعُ عَلَى الْمُشْتَرِي لِأَنَّ الْمُشْتَرِيَ لَمَّا اشْتَرَى شراءا فَاسِدًا فَكَانَ ضَامِنًا لِلْقِيمَةِ دُونَ الْمُسَمَّى إِلَّا أَنْ يَشَاءَ الْمَالِكُ أَنْ يُسَامِحَ بِفَاضِلِ الْقِيمَةِ فَيَكُونُ الْبَاقِي مِنْهُ مَرْدُودًا عَلَى الْمُشْتَرِي إِذْ ليس يلزمه إلا القيمة.

Jika kita mengatakan tidak boleh baginya memakannya, maka ia wajib mendatangi hakim agar hakim mengizinkannya untuk menjual makanan itu, dan tidak boleh ia sendiri yang menjualnya padahal ia mampu meminta izin hakim, berbeda dengan kambing yang jika ia menemukannya dan ingin menjualnya, maka kekuasaannya atas kambing itu lebih kuat karena ia berhak segera memakannya, sedangkan kekuasaannya atas makanan lebih lemah karena ia wajib mengumumkannya. Jika ia kesulitan mendapatkan izin hakim, maka boleh baginya menjual makanan itu. Jika ia menjualnya dengan izin hakim, maka uang hasil penjualan itu menjadi amanah di tangannya dan ia wajib mengumumkan makanan itu selama setahun. Jika pemiliknya datang, maka ia hanya berhak atas uang hasil penjualan, bukan nilainya. Jika pemiliknya tidak datang, maka orang yang menemukannya boleh memiliki uang itu. Jika uang itu hilang di tangannya sebelum atau sesudah setahun dan sebelum ia memilikinya, maka uang itu dianggap hilang dari harta pemiliknya dan tidak ada kewajiban ganti rugi atas orang yang menemukannya. Demikian pula hukum uang hasil penjualan jika orang yang menemukannya sendiri yang menjualnya karena tidak ada hakim. Namun, jika ia menjualnya padahal hakim ada, maka penjualannya batal dan pemilik berhak atas nilai barang, bukan uang hasil penjualan, karena akadnya rusak. Jika uang itu hilang dari tangan orang yang menemukannya sebelum setahun, maka ia wajib menggantinya karena ia telah melampaui batas dengan mengambil uang itu dalam akad yang rusak. Jika pemilik datang dan uang itu sesuai dengan nilai barang, tanpa lebih atau kurang, maka ia mengambilnya dan itu sudah memenuhi haknya. Jika kurang, maka ia berhak menuntut kekurangannya dan orang yang menemukannya menuntut kepada pembeli, karena pembeli telah membeli dengan akad yang rusak sehingga ia wajib mengganti nilai barang, bukan harga yang disepakati, kecuali jika pemilik rela dengan kelebihan nilai, maka sisanya dikembalikan kepada pembeli, karena yang wajib hanyalah nilai barang.

مسألة:

Masalah:

(وَقَالَ) فِيمَا وَضَعَ بِخَطِّهِ لَا أَعْلَمُهُ سُمِعَ مِنْهُ ” إِذَا وَجَدَ الشَّاةَ أَوِ الْبَعِيرَ أَوِ الدَّابَّةَ أَوْ مَا كَانَتْ بِالْمِصْرِ أَوْ فِي قَرْيَةٍ فَهِيَ لُقَطَةٌ يُعَرِّفُهَا سَنَةً “.

(Dan ia berkata) dalam apa yang ia tulis dengan tangannya sendiri, “Aku tidak mengetahuinya, apakah ini didengar darinya: ‘Apabila seseorang menemukan kambing, unta, hewan tunggangan, atau apa pun di kota atau di desa, maka itu adalah luqathah yang wajib diumumkan selama satu tahun.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى حُكْمُ ضَوَالِّ الْإِبِلِ وَالْغَنَمِ إِذَا وَجَدَهَا فِي الصَّحْرَاءِ فَأَمَّا إِذَا وَجَدَهَا فِي الْمِصْرِ أَوْ فِي قَرْيَةٍ فَالَّذِي حَكَاهُ الْمُزَنِيُّ فيما وجد بِخَطِّهِ أَنَّهَا لُقَطَةٌ لَهُ أَخْذُهَا وَعَلَيْهِ تَعْرِيفُهَا حَوْلًا وَحُكِيَ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي ” الْأُمِّ ” أَنَّهَا فِي الْمِصْرِ وَالصَّحْرَاءِ سَوَاءٌ يَأْكُلُ الْغَنَمَ وَلَا يَعْرِضُ لِلْإِبِلِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَمِنْهُمْ مَنْ خَرَّجَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya hukum hewan unta dan kambing yang hilang apabila ditemukan di padang pasir. Adapun jika ditemukan di kota atau di desa, maka sebagaimana yang dinukil oleh al-Muzani dalam tulisan tangannya, bahwa itu adalah luqathah yang boleh diambil dan wajib diumumkan selama setahun. Diriwayatkan dari asy-Syafi‘i dalam kitab “al-Umm” bahwa hukumnya di kota dan di padang pasir sama saja: kambing boleh dimakan dan tidak boleh mengambil unta. Para sahabat kami berbeda pendapat, di antara mereka ada yang mengeluarkan dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمِصْرَ كَالْبَادِيَةِ يَأْكُلُ الْغَنَمَ وَلَا يَعْرِضُ لِلْإِبِلِ، وَهُوَ الْمَحْكِيُّ عَنْهُ فِي ” الْأُمِّ ” لِعُمُومِ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ حَرْقُ النَّارِ “.

Pertama: Bahwa kota sama dengan padang pasir, kambing boleh dimakan dan tidak boleh mengambil unta, dan ini adalah pendapat yang dinukil darinya dalam “al-Umm” karena keumuman sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa kehilangan sesuatu milik orang mukmin, maka ia adalah bara api neraka.”

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهَا لقطة يأخذ الغنم والإبل جميعها ويعرفها كَسَائِرِ اللُّقَطِ حَوْلًا كَامِلًا وَهُوَ الَّذِي حَكَاهُ الْمُزَنِيُّ عَنْهُ وَفِيمَا لَمْ يُسْمَعْ مِنْهُ لِأَنَّ قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي ضَوَالِّ الْإِبِلِ مَعَهَا حِذَاؤُهَا وَسِقَاؤُهَا تَرِدُ الْمَاءَ وَتَأْكُلُ الشَّجَرَ يَخْتَصُّ بِالْبَادِيَةِ الَّتِي يَكُونُ فِيهَا الْمَاءُ وَالشَّجَرُ دُونَ الْمِصْرِ وَهِيَ تَمْنَعُ صِغَارَ السِّبَاعِ عَنْ أَنْفُسِهَا فِي الْبَادِيَةِ وَلَا تَقْدِرُ عَلَى مَنْعِ النَّاسِ فِي الْمِصْرِ. وَالشَّاةُ تُؤْكَلُ فِي الْبَادِيَةِ لِأَنَّ الذِّئْبَ يَأْكُلُهَا وَهُوَ لَا يَأْكُلُهَا فِي الْمِصْرِ فَاخْتَلَفَ مَعْنَاهُمَا فِي الْبَادِيَةِ وَالْمِصْرِ فَاخْتَلَفَ حُكْمُهُمَا، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ حَمَلَ جَوَازَ أَخْذِهَا عَلَى تَسْلِيمِهَا إِلَى الْإِمَامِ وَحَمَلَ الْمَنْعَ مِنْ أَخْذِهَا عَلَى سَبِيلِ التَّمَلُّكِ.

Pendapat kedua: Bahwa itu adalah luqathah, baik kambing maupun unta, keduanya boleh diambil dan wajib diumumkan seperti luqathah lainnya selama satu tahun penuh. Inilah yang dinukil oleh al-Muzani darinya dan dalam hal yang tidak didengar langsung darinya. Karena sabda Nabi ﷺ tentang unta yang hilang, “Bersama unta itu ada alas kakinya dan tempat minumnya, ia akan mendatangi air dan memakan pepohonan,” ini khusus untuk padang pasir yang terdapat air dan pepohonan, tidak berlaku di kota. Di padang pasir, unta dapat melindungi diri dari binatang buas kecil, sedangkan di kota tidak bisa melindungi diri dari manusia. Kambing boleh dimakan di padang pasir karena serigala akan memakannya, sedangkan di kota tidak. Maka berbeda makna antara padang pasir dan kota, sehingga berbeda pula hukumnya. Di antara sahabat kami ada yang menafsirkan bolehnya mengambil hewan tersebut dengan syarat menyerahkannya kepada imam, dan menafsirkan larangan mengambilnya sebagai larangan untuk memilikinya.

فصل:

Fasal:

فإذا قُلْنَا إِنَّ حُكْمَ الْبَادِيَةِ وَالْمِصْرِ سَوَاءٌ فَلَهُ أَخْذُ الْغَنَمِ وَأَكْلُهَا وَلَيْسَ يَتَعَرَّضُ لِلْإِبِلِ إِلَّا أَنْ يَعْرِفَ مَالِكَهَا وَإِذَا قُلْنَا إِنَّ حُكْمَ الْمِصْرِ يُخَالِفُ الْبَادِيَةَ لِلْمَعْنَى الَّذِي ذَكَرْنَا فَلَهُ أَخْذُ الْإِبِلِ وَالْغَنَمِ جَمِيعًا وَيَكُونَانِ لُقَطَةً يَلْزَمُ تَعْرِيفُهَا حَوْلًا فَإِنْ تَطَوَّعَ الْوَاجِدُ بِالْإِنْفَاقِ عَلَيْهَا لَمْ يَرْجِعْ بِمَا يُنْفِقُ، وَإِنْ أَبَى أَنْ يَتَطَوَّعَ بِهَا أَتَى الْحَاكِمَ حَتَّى يَجْتَهِدَ الْحَاكِمُ رَأْيَهُ فِي الْأَحَظِّ لِصَاحِبِهَا فِي أَحَدِ ثَلَاثَةِ أُمُورٍ: إِمَّا أَنْ يَرَى الِاقْتِرَاضَ عَلَى صَاحِبِهَا فِي الْإِنْفَاقِ عَلَيْهَا أَوْ يَرَى بَيْعَهَا لِصَاحِبِهَا لِيَكْفِيَ مُؤْنَةَ النَّفَقَةِ عَلَيْهَا أَوْ يُرْسِلَهَا فِي الْحِمَى إِنْ كَانَ لِضَوَالِّ الْمُسْلِمِينَ حِمًى ثُمَّ يَقُومُ الْوَاجِدُ عَلَى تَعْرِيفِهَا إِلَّا أَنْ يَدْفَعَهَا إِلَى الْإِمَامِ رَافِعًا لِيَدِهِ عَنْهَا فَيَسْقُطَ عَنْهُ حكم تَعْرِيفِهَا وَإِلَّا فَمَا كَانَ مُقِيمًا عَلَى الْتِقَاطِهَا فَتَعْرِيفُهَا حَوْلًا وَاجِبٌ عَلَيْهِ فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا سُلِّمَتْ إِلَيْهِ إِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً بَعْدَ أَنْ يَدْفَعَ النَّفَقَةَ إِنْ كَانَ بِأَمْرِ الْحَاكِمِ وَإِنْ بِيعَتْ سُلِّمَ إِلَيْهِ ثَمَنُهَا دُونَ الْقِيمَةِ إِنْ بَاعَهَا حَاكِمٌ أَوْ بِأَمْرِهِ وَإِنْ كَانَ الْوَاجِدُ هُوَ الْبَائِعُ لَهَا فَلِصَاحِبِهَا قِيمَتُهَا دُونَ الثَّمَنِ لِفَسَادِ بَيْعِهِ إِلَّا أَنْ يَقْدِرَ عَلَى اسْتِئْذَانِ حَاكِمٍ فَيَجُوزُ بَيْعُهُ وَإِنْ لَمْ يَأْتِ صَاحِبُهَا بَعْدَ الْحَوْلِ فَهَلْ لِوَاجِدِهَا أَنْ يَتَمَلَّكَهَا عَلَى ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ حَكَاهَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ:

Jika kita mengatakan bahwa hukum padang pasir dan kota sama, maka boleh mengambil kambing dan memakannya, dan tidak boleh mengambil unta kecuali untuk mencari tahu pemiliknya. Namun jika kita mengatakan bahwa hukum kota berbeda dengan padang pasir karena alasan yang telah disebutkan, maka boleh mengambil unta dan kambing sekaligus, dan keduanya menjadi luqathah yang wajib diumumkan selama satu tahun. Jika orang yang menemukan hewan itu rela menanggung biaya pemeliharaannya, maka ia tidak boleh menuntut ganti rugi atas biaya yang dikeluarkan. Jika ia enggan menanggung biaya tersebut, maka ia harus membawa perkara itu kepada hakim agar hakim berijtihad dalam menentukan yang terbaik bagi pemiliknya dengan salah satu dari tiga hal: boleh jadi hakim memutuskan untuk meminjamkan biaya atas nama pemiliknya untuk pemeliharaan, atau memutuskan untuk menjual hewan itu demi mencukupi biaya pemeliharaan, atau melepaskannya di kawasan perlindungan (hima) jika ada kawasan perlindungan untuk hewan-hewan hilang milik kaum muslimin. Kemudian orang yang menemukan tetap wajib mengumumkannya, kecuali jika ia menyerahkannya kepada imam dan melepaskan tanggung jawabnya, maka gugurlah kewajiban mengumumkannya. Jika ia tetap memeliharanya, maka wajib mengumumkannya selama satu tahun. Jika pemiliknya datang, maka hewan itu diserahkan kepadanya jika masih ada, setelah ia membayar biaya pemeliharaan jika itu atas perintah hakim. Jika hewan itu telah dijual, maka diserahkan kepadanya hasil penjualannya, bukan nilainya, jika yang menjual adalah hakim atau atas perintah hakim. Jika yang menjual adalah orang yang menemukannya, maka pemiliknya berhak atas nilai hewan itu, bukan hasil penjualannya, karena jual belinya tidak sah, kecuali jika ia mampu meminta izin hakim, maka jual belinya sah. Jika setelah satu tahun pemiliknya tidak datang, apakah orang yang menemukannya boleh memilikinya? Ada tiga pendapat yang dinukil oleh Ibnu Abi Hurairah:

أَحَدُهَا: يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا اعْتِبَارًا بِحُكْمِ اللُّقَطَةِ.

Pertama: Boleh baginya untuk memilikinya, berdasarkan hukum luqathah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ حَرْقُ النَّارِ “.

Pendapat kedua: Tidak boleh baginya untuk memilikinya, berdasarkan sabda Nabi -shallallāhu ‘alaihi wa sallam-: “Barang hilang milik orang mukmin adalah bara api neraka.”

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: إِنْ كَانَ قَدْ أَنْفَقَ عَلَيْهَا جَازَ لَهُ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا وَإِنْ لَمْ يُنْفِقْ عَلَيْهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا لِيَكُونَ ذَلِكَ أَحَثَّ عَلَى الْإِنْفَاقِ وَأَرْفَقَ بِالْفَرِيقَيْنِ.

Pendapat ketiga: Jika ia telah mengeluarkan biaya untuknya, maka boleh baginya untuk memilikinya. Namun jika ia tidak mengeluarkan biaya untuknya, maka tidak boleh baginya untuk memilikinya. Hal ini agar lebih mendorong untuk berinfak dan lebih memudahkan kedua belah pihak.

فَصْلٌ:

Fasal:

إِذَا تَرَكَ الرَّجُلُ الدَّابَّةَ أَوِ الْبَعِيرَ حَسْرًا فِي الصَّحْرَاءِ لِعَجْزِهِ عَنِ السَّيْرِ وَعَجْزِ الْمَالِكِ عَنْ حَمْلِهِ أَوِ الْمُقَامِ عَلَيْهِ فَمَرَّ بِهِ رَجُلٌ فَأَحْيَاهُ بِمُقَامِهِ عَلَيْهِ وَمُرَاعَاتِهِ حَتَّى عَادَ إِلَى حَالِهِ فِي السَّيْرِ وَالْعَمَلِ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي حُكْمِهِ. فَحُكِيَ عَنِ اللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ وَالْحَسَنِ بْنِ صَالِحٍ أَنَّهُ يَكُونُ لِآخِذِهِ وَمُحْيِيهِ دُونَ تَارِكِهِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ تَارِكُهُ تَرَكَهُ لِيَعُودَ إِلَيْهِ فَيَكُونُ التَّارِكُ أَحَقَّ بِهِ وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ إِنَّ آخِذَهُ الْمُحْيِيَ لَهُ أَحَقُّ مِنْ تَارِكِهِ بِكُلِّ حَالٍ سَوَاءٌ تَرَكَهُ ليعود إليه أم لا.

Apabila seseorang meninggalkan hewan tunggangan atau unta dalam keadaan kelelahan di padang pasir karena tidak mampu berjalan dan pemiliknya pun tidak mampu membawanya atau menetap bersamanya, lalu seseorang lewat dan menghidupkannya kembali dengan merawat dan menjaganya hingga hewan itu kembali sehat dan mampu berjalan serta bekerja, maka para fuqahā’ berbeda pendapat mengenai hukumnya. Diriwayatkan dari al-Laits bin Sa‘d dan al-Hasan bin Shalih bahwa hewan itu menjadi milik orang yang mengambil dan menghidupkannya, bukan milik orang yang meninggalkannya, kecuali jika orang yang meninggalkannya memang bermaksud untuk kembali mengambilnya, maka ia lebih berhak atas hewan tersebut. Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih berpendapat bahwa orang yang mengambil dan menghidupkannya lebih berhak atas hewan itu dalam segala keadaan, baik orang yang meninggalkannya bermaksud untuk kembali mengambilnya ataupun tidak.

وقال مالك هُوَ عَلَى مِلْكِ تَارِكِهِ دُونَ آخِذِهِ لَكِنْ لآخذه الرجوع بما أنفق ومذهب الشافعي رضي الله عنه أَنَّهُ عَلَى مِلْكِ تَارِكِهِ وَلَيْسَ لِوَاجِدِهِ الرُّجُوعُ بنفقته لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ ” وَلِأَنَّهُ لَوْ عَالَجَ عَبْدًا قَدْ أَشْرَفَ عَلَى الْهَلَاكِ بِالْمَرَضِ حَتَّى وَلَوِ اسْتَنْقَذَ مَالًا مِنْ غَرَقٍ أَوْ حَرِيقٍ لَمْ يَمْلِكْهُ فَكَذَا الْبَهِيمَةُ.

Imam Malik berpendapat bahwa hewan itu tetap menjadi milik orang yang meninggalkannya, bukan milik orang yang mengambilnya, namun orang yang mengambilnya berhak menuntut ganti atas biaya yang telah dikeluarkan. Sedangkan mazhab asy-Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu berpendapat bahwa hewan itu tetap menjadi milik orang yang meninggalkannya dan orang yang menemukannya tidak berhak menuntut ganti atas biaya yang telah dikeluarkan, berdasarkan sabda Nabi -shallallāhu ‘alaihi wa sallam-: “Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.” Karena jika seseorang mengobati budak yang hampir binasa karena sakit, atau menyelamatkan harta dari tenggelam atau kebakaran, ia tidak menjadi pemiliknya, demikian pula dengan hewan.

وَحُكِيَ عَنِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ أَنَّ مَنْ أَخْرَجَ مَتَاعًا قَدْ غَرِقَ مِنَ الْبَحْرِ فقد مَلَكَهُ عَلَى صَاحِبِهِ وَهَذَا شَاذٌّ مِنَ الْقَوْلِ مَدْفُوعٌ بِالْخَبَرِ وَالْإِجْمَاعِ وَلَكِنْ لَوْ وُجِدَ فِي الْبَحْرِ قِطْعَةُ عَنْبَرٍ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يَجُوزُ أَنْ يُوجَدَ فِيهِ كَانَتْ مِلْكًا لِوَاجِدِهَا فِي الْبَرِّ كَانَتْ لُقَطَةً لِعِلْمِنَا بِحُصُولِ الْيَدِ عَلَيْهَا قَبْلَهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ عَلَى السَّاحِلِ نَضَبَ الْمَاءُ عَنْهَا، فَتَكُونُ مِلْكًا لِوَاجِدِهَا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْمَاءُ قَدْ أَلْقَاهَا حِينَ نَضَبَ وَهَكَذَا لَوْ صَادَ سَمَكَةً مِنَ الْبَحْرِ فَوُجِدَ فِي جَوْفِهَا قِطْعَةُ عَنْبَرٍ كَانَتْ لِلصَّيَّادِ إِذَا كَانَ بَحْرًا قَدْ يَجُوزُ أَنْ يُوجَدَ فِيهِ الْعَنْبَرُ فَأَمَّا الْأَنْهَارُ وَمَا لَا يَكُونُ مِنَ الْبِحَارِ فَإِنَّهَا تَكُونُ لُقَطَةً وَهَكَذَا الْيَاقُوتُ وَالْمَرْجَانُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَصْنُوعًا أَوْ مَثْقُوبًا فَيَكُونُ لُقَطَةً فَأَمَّا اللُّؤْلُؤُ فَلَا يَكُونُ فِي الْبَحْرِ إِلَّا مَعَ صَدَفِهِ فَإِنْ وُجِدَ فِيهِ كَانَ مِلْكًا لِوَاجِدِهِ وَإِنْ وُجِدَ خَارِجًا عَنْ صَدَفِهِ كَانَ لقطة.

Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri bahwa siapa saja yang mengeluarkan barang yang tenggelam dari laut, maka ia menjadi pemilik barang tersebut dari pemilik aslinya. Pendapat ini ganjil dan tertolak oleh hadits dan ijmā‘. Namun, jika ditemukan sepotong ambar di laut pada tempat yang memang memungkinkan ditemukan di sana, maka itu menjadi milik orang yang menemukannya. Jika ditemukan di daratan, maka itu dihukumi sebagai luqathah, karena kita mengetahui bahwa sebelumnya telah ada yang memilikinya, kecuali jika ditemukan di tepi pantai setelah air surut darinya, maka itu menjadi milik orang yang menemukannya karena dimungkinkan air telah membawanya ke sana saat surut. Demikian pula jika seseorang menangkap ikan dari laut dan di dalam perutnya ditemukan sepotong ambar, maka itu menjadi milik si penangkap jika laut tersebut memang memungkinkan ditemukan ambar di dalamnya. Adapun di sungai atau tempat yang bukan laut, maka itu dihukumi sebagai luqathah. Begitu pula dengan yaqut dan marjan, kecuali jika sudah diolah atau dibolongi, maka itu dihukumi sebagai luqathah. Adapun mutiara, ia tidak ditemukan di laut kecuali masih dalam cangkangnya; jika ditemukan di dalam cangkangnya, maka itu menjadi milik orang yang menemukannya, namun jika ditemukan di luar cangkangnya, maka itu dihukumi sebagai luqathah.

مسالة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وإذا حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ضَوَالَّ الْإِبِلِ فَمَنْ أَخَذَهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا ضَمِنَ “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Apabila Rasulullah -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- telah mengharamkan mengambil unta yang tersesat, maka siapa pun yang mengambilnya lalu melepaskannya, ia wajib menanggung (kerugian atasnya).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا قَدْ مَضَى وَذَكَرْنَا أَنَّ ضَوَالَّ الْإِبِلِ فِي الصَّحْرَاءِ لَا يَجُوزُ لِوَاجِدِهَا أَخْذُهَا إِلَّا فِي إِحْدَى حَالَتَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ الْإِمَامُ قَدْ نَدَبَهُ لِأَخْذِ الضَّوَالِّ حِفْظًا لَهَا عَلَى أَرْبَابِهَا كَمَا يَفْعَلُهُ الْإِمَامُ فِي الْمَصَالِحِ مِنْ حِفْظِ الْأَمْوَالِ وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ الْوَاجِدُ عَارِفًا لِصَاحِبِهَا فَيَأْخُذُهَا لِيَرُدَّهَا عَلَيْهِ مِنْ غَيْرِ احْتِيَاجٍ إِلَى تَعْرِيفٍ فَيَجُوزُ حِينَئِذٍ لِلْوَاجِدِ في هاتين الحالتين أن يأخذها. أما الحالة الأولى فما عليه إلا العمل فيما ندب إليه وأما الحالة الثَّانِيَةُ فَمُسْتَحَبٌّ لِمَا أُمِرَ النَّاسُ بِهِ مِنَ التَّعَاوُنِ إِلَّا أَنْ يَقُولَ بِوُجُوبِ أَخْذِ اللُّقَطَةِ إِذَا خِيفَ هَلَاكُهَا فَيَصِيرُ حِينَئِذٍ وَاجِبًا فَإِنْ أَخَذَهَا الْوَاجِدُ فِي غَيْرِ هَاتَيْنِ الْحَالَتَيْنِ كَانَ مُتَعَدِّيًا وَصَارَ لِذَلِكَ ضَامِنًا فَإِنْ تَلِفَتْ وَجَبَ غُرْمُهَا عَلَيْهِ وَإِنْ رَفَعَ يَدَهُ عَنْهَا فَلَهُ فِي رَفْعِ يَدِهِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ أَحَدُهَا أَنْ يَرُدَّهَا عَلَى مَالِكِهَا فَيَسْقُطُ الضَّمَانُ عَنْهُ، وَالْحَالُ الثاني أَنْ يُرْسِلَهَا مِنْ يَدِهِ فَعَلَيْهِ الضَّمَانُ سَوَاءٌ أَرْسَلَهَا حَيْثُ وَجَدَهَا أَوْ فِي غَيْرِهِ.

Al-Mawardi berkata: Hal ini telah berlalu dan telah kami sebutkan bahwa barang hilang berupa unta di padang pasir tidak boleh diambil oleh orang yang menemukannya kecuali dalam dua keadaan: Pertama, apabila imam telah menugaskannya untuk mengambil barang-barang hilang demi menjaga hak pemiliknya, sebagaimana yang dilakukan imam dalam kemaslahatan umum berupa penjagaan harta; atau kedua, apabila orang yang menemukan itu mengetahui pemiliknya, maka ia mengambilnya untuk dikembalikan kepada pemiliknya tanpa perlu mengumumkannya. Maka dalam dua keadaan ini, orang yang menemukan boleh mengambilnya. Adapun pada keadaan pertama, ia hanya perlu melaksanakan tugas yang telah ditugaskan kepadanya. Sedangkan pada keadaan kedua, hukumnya dianjurkan (mustahabb) karena perintah untuk saling tolong-menolong, kecuali jika ada yang berpendapat wajib mengambil barang temuan jika dikhawatirkan akan rusak, maka saat itu menjadi wajib. Jika orang yang menemukan mengambilnya di luar dua keadaan tersebut, maka ia telah melampaui batas dan karena itu menjadi penanggung (dhamin). Jika barang itu rusak, ia wajib menggantinya. Jika ia melepaskan barang itu, maka dalam melepasnya ada tiga keadaan: Pertama, ia mengembalikannya kepada pemiliknya, maka gugurlah tanggung jawab darinya; kedua, ia melepaskannya dari tangannya, maka ia tetap bertanggung jawab, baik ia melepaskannya di tempat ia menemukannya maupun di tempat lain.

وَقَالَ مَالِكٌ وأبو حنيفة إِنْ أَرْسَلَهَا حَيْثُ وَجَدَهَا سَقَطَ الضَّمَانُ عَنْهُ وَلَا أَدْرِي مَا يَقُولَانِهِ فِي إِرْسَالِهَا فِي غَيْرِ مَوْضِعِ وُجُودِهَا وَبَنَيَا ذَلِكَ عَلَى أَصْلِهَا فِي ضَامِنَ الْوَدِيعَةِ بِالتَّقْصِيرِ إِذَا كَفَّ عَنْهُ زَالَ عَنْهُ ضَمَانُهَا.

Malik dan Abu Hanifah berkata: Jika ia melepaskannya di tempat ia menemukannya, maka gugurlah tanggung jawab darinya. Aku tidak tahu apa pendapat mereka berdua jika dilepaskan di selain tempat ditemukannya. Mereka mendasarkan hal itu pada prinsip mereka tentang penanggung titipan (wadi‘ah) karena kelalaian; jika ia telah berhenti menjaganya, maka gugurlah tanggung jawabnya.

وَاسْتِدْلَالًا بِأَنَّ ضَمَانَ الصَّيْدِ عَلَى الْمُحْرِمِ يَسْقُطُ بِإِرْسَالِهِ فَكَذَلِكَ ضَمَانُ الضَّوَالِّ بِالْأَخْذِ يَسْقُطُ بِالْإِرْسَالِ وَهَذَا جمع مفترق واستدلالا فاسدا وَأَصْلٌ مُنَازِعٌ لِأَنَّ الصَّيْدَ يُضْمَنُ عَلَى الْمُحْرِمِ فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى فَإِذَا أَرْسَلَهُ صَارَ كَعَوْدِهِ إِلَى مُسْتَحِقِّهِ وَلَيْسَ الضَّوَالُّ كَذَلِكَ لِأَنَّهَا تُضْمَنُ فِي حَقِّ آدَمِيٍّ فَلَمْ يَكُنْ إِرْسَالُهَا عود إِلَى مُسْتَحِقِّهَا أَلَا تَرَى أَنَّ الصَّيْدَ لَوْ كَانَ مِلْكًا لِآدَمِيٍّ فَضَمِنَهُ الْمُحْرِمُ ثُمَّ أَرْسَلَهُ سَقَطَ عَنْهُ حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى فِي الْجَزَاءِ وَلَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ حَقُّ الْآدَمِيِّ فِي الْغُرْمِ وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَى الْإِمَامِ أَوِ الْحَاكِمِ فَفِي سُقُوطِ الضَّمَانِ عَنْهُ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: يَسْقُطُ كَعَوْدِهَا إِلَى يَدِ النَّائِبِ عَنِ الْغَائِبِ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الضَّمَانَ لَا يَسْقُطُ لِتَعَدِّي الواجد والله أعلم.

Dan mereka berdalil bahwa tanggung jawab atas hewan buruan bagi orang yang berihram gugur dengan melepaskannya, maka demikian pula tanggung jawab atas barang hilang dengan mengambilnya gugur dengan melepaskannya. Ini adalah penggabungan dua hal yang berbeda dan dalil yang rusak serta prinsip yang diperselisihkan, karena hewan buruan itu dijamin atas orang yang berihram dalam hak Allah Ta‘ala, sehingga jika ia melepaskannya, maka seperti mengembalikannya kepada yang berhak. Adapun barang hilang tidak demikian, karena ia dijamin dalam hak manusia, sehingga melepaskannya tidak dianggap sebagai mengembalikannya kepada yang berhak. Tidakkah engkau melihat bahwa jika hewan buruan itu milik manusia lalu dijamin oleh orang yang berihram kemudian ia melepaskannya, maka gugurlah hak Allah Ta‘ala dalam bentuk denda, namun tidak gugur hak manusia dalam bentuk ganti rugi. Keadaan ketiga, ia menyerahkannya kepada imam atau hakim, maka dalam hal gugurnya tanggung jawab darinya ada dua pendapat: Pertama, gugur seperti mengembalikannya kepada tangan wakil dari orang yang tidak hadir. Kedua, tanggung jawab tidak gugur karena orang yang menemukan telah melampaui batas. Allah Maha Mengetahui.

باب الجعالة

Bab al-Ju‘ālah (Bab tentang upah penemuan)

مسألة:

Masalah:

قال وَلَا جُعْلَ لِمَنْ جَاءَ بِآبِقٍ وَلَا ضَالَّةٍ أَنْ يَجْعَلَ لَهُ وَسَوَاءٌ مَنْ عُرِفَ بِطَلَبِ الضَّوَالِّ وَمَنْ لَا يُعْرَفُ بِهِ “.

Dikatakan: Tidak ada ju‘ālah (upah penemuan) bagi siapa pun yang membawa kembali budak yang melarikan diri atau barang hilang, baik upah itu dijanjikan kepadanya atau tidak, dan sama saja apakah ia dikenal sebagai pencari barang hilang atau tidak dikenal.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ وَلَيْسَ يَخْلُو مَنْ رَدَّ آبِقًا أَوْ ضَالَّةً مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَرُدَّهَا بِأَمْرِ مَالِكِهَا أَوْ بِغَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنْ رَدَّ ذَلِكَ بِغَيْرِ أَمْرِ الْمَالِكِ فَقَدْ كَانَ ضَامِنًا بِالْيَدِ وَسَقَطَ عَنْهُ الضَّمَانُ بِالرَّدِّ وَلَا أُجْرَةَ لَهُ سَوَاءٌ كَانَ مَعْرُوفًا بِطَلَبِ الضَّوَالِّ وَمَنْ لَا يُعْرَفُ.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan. Tidaklah orang yang mengembalikan budak yang melarikan diri atau barang hilang itu lepas dari dua keadaan: Pertama, ia mengembalikannya atas perintah pemiliknya; atau kedua, tanpa perintah pemiliknya. Jika ia mengembalikannya tanpa perintah pemilik, maka ia telah menjadi penanggung karena memegangnya, dan gugurlah tanggung jawab itu dengan pengembalian, dan tidak ada upah baginya, baik ia dikenal sebagai pencari barang hilang maupun tidak dikenal.

وَقَالَ مَالِكٌ إِنْ كَانَ مَعْرُوفًا بِطَلَبِ الضَّوَالِّ فَلَهُ أُجْرَةُ الْمِثْلِ فِي الْعَبْدِ وَالْبَهِيمَةِ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَعْرُوفٍ بِذَلِكَ فَلَا شَيْءَ لَهُ.

Malik berkata: Jika ia dikenal sebagai pencari barang hilang, maka ia berhak mendapat upah yang sepadan baik dalam hal budak maupun hewan ternak. Namun jika ia tidak dikenal dengan hal itu, maka tidak ada apa-apa baginya.

وَقَالَ أبو حنيفة إِنْ كَانَ الْمَرْدُودُ عَبْدًا أَوْ أَمَةً فَلَهُ إن رد مِنْ مَسَافَةِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا أَرْبَعُونَ دِرْهَمًا وَإِنْ رَدَّهُ مِنْ أَقَلِّ مِنْ مَسَافَةِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فَلَهُ أُجْرَةُ الْمِثْلِ وَلَا شَيْءَ لَهُ فِي رَدِّ الْبَهِيمَةِ وَسَوَاءٌ كَانَ بِرَدِّ الضَّوَالِّ مَعْرُوفًا أَوْ غَيْرَ مَعْرُوفٍ اسْتِدْلَالًا مِنْهُمَا عَلَى اخْتِلَافِ مَذْهَبَيْهِمَا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ جَعَلَ لِمَنْ رَدَّ آبِقَا مِنْ خَارِجِ الْحَرَّةِ دِينَارًا وَرَوَى أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ تَارَةً مَوْقُوفًا عَلَى ابْنِ مَسْعُودٍ وَتَارَةً هَكَذَا عَنِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ رَدَّ آبِقَا فَلَهُ أَرْبَعُونَ دِرْهَمَا ” وَرُوِيَ أَنَّ رَجُلًا رَدَّ ضَالَّةً لِرَجُلٍ فَقَالَ النَّاسُ لَقَدْ حَازَ أَجْرًا عَظِيمًا فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ وَلَهُ مَعَ ذَلِكَ أَرْبَعُونَ دِرْهَمًا وَكَانَ مِنْ مَسِيرَةِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمَا أَنَّهُمَا قَالَا مَنْ رَدَّ آبِقًا فَلَهُ عَشَرَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ لَهُمْ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ فَصَارَ ذَلِكَ مِنْهُمَا إِجْمَاعًا عَلَى اسْتِحْقَاقِ الْجُعْلِ: قَالُوا وَلِأَنَّهُ حُكْمٌ مَوْضُوعٌ عَلَى مَا أَدَّى إِلَى حِفْظِهَا وَرِفْقِ أَرْبَابِهَا فِيهَا فَلَوْ مُنِعَ الرَّادُّ لَهَا مِنْ جُعْلٍ يَسْتَحِقُّهُ عَلَيْهَا لَامْتَنَعَ النَّاسُ مِنْ رَدِّهَا وَلَأَدَّى ذَلِكَ إِلَى تَلَفِهَا وَلُحُوقِ الْمَشَقَّةِ الْغَالِبَةِ فِي طَلَبِهَا.

Abu Hanifah berkata: Jika yang dikembalikan itu adalah budak laki-laki atau budak perempuan, maka bagi orang yang mengembalikannya dari jarak tiga hari perjalanan atau lebih, berhak mendapat empat puluh dirham. Jika ia mengembalikannya dari jarak kurang dari tiga hari perjalanan, maka ia berhak mendapat upah sesuai standar, dan tidak ada hak baginya atas pengembalian hewan ternak. Sama saja apakah pengembalian barang hilang itu sudah dikenal atau belum dikenal, sebagai dalil dari keduanya atas perbedaan mazhab mereka, berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau menetapkan bagi orang yang mengembalikan budak yang kabur dari luar Harrah satu dinar. Para sahabat Abu Hanifah kadang meriwayatkan secara mauquf kepada Ibnu Mas‘ud, dan kadang meriwayatkan seperti ini dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Barang siapa mengembalikan budak yang kabur, maka ia berhak mendapat empat puluh dirham.” Diriwayatkan pula bahwa ada seorang laki-laki mengembalikan barang hilang milik seseorang, lalu orang-orang berkata, “Sungguh ia telah mendapatkan pahala yang besar.” Maka Ibnu Mas‘ud berkata, “Dan ia juga berhak mendapat empat puluh dirham,” dan itu dari jarak tiga hari perjalanan. Diriwayatkan dari ‘Umar dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma bahwa keduanya berkata, “Barang siapa mengembalikan budak yang kabur, maka ia berhak mendapat sepuluh dirham,” dan tidak ada sahabat yang menyelisihi mereka, sehingga hal itu menjadi ijmā‘ dari keduanya atas berhaknya mendapatkan imbalan. Mereka berkata: Karena ini adalah hukum yang ditetapkan demi menjaga barang tersebut dan demi kebaikan pemiliknya, maka jika orang yang mengembalikannya tidak diberi imbalan yang layak ia terima, niscaya orang-orang akan enggan mengembalikannya, dan hal itu akan menyebabkan barang tersebut rusak dan menimbulkan kesulitan besar dalam mencarinya.

وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ ” وَلِأَنَّ الْمَنَافِعَ كَالْأَعْيَانِ بَلْ أَضْعَفُ فَلَمَّا كَانَ لَوِ اسْتَهْلَكَ أَعْيَانًا فِي رَدِّ ضَالَّةٍ مِنْ طَعَامٍ أَوْ عَلَفٍ لَمْ يَسْتَحِقَّ بِهِ عِوَضًا فَإِذَا اسْتَهْلَكَ مَنَافِعَ نَفْسِهِ فَالْأَوْلَى أَنْ لَا يَسْتَحِقَّ بِهَا عِوَضًا.

Dalil kami adalah keumuman sabda Nabi ﷺ: “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan hatinya,” dan karena manfaat itu seperti benda, bahkan lebih lemah. Maka ketika seseorang menghabiskan benda (miliknya) untuk mengembalikan barang hilang, seperti makanan atau pakan, ia tidak berhak mendapat ganti rugi karenanya. Maka jika ia menghabiskan manfaat dirinya sendiri, maka lebih utama lagi ia tidak berhak mendapat ganti rugi karenanya.

وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَنَّ مَا تَطَوَّعَ بِاسْتِهْلَاكِهِ فِي الضَّوَالِّ لَمْ يَرْجِعْ بِعِوَضِهِ كَالْأَعْيَانِ وَلِأَنَّهُ لَوْ أَوْصَلَ الْمَالِكَ إِلَى مِلْكِهِ لَمْ يَسْتَحِقَّ بِهِ عِوَضًا فَكَذَلِكَ إِذَا أَوْصَلَ الْمِلْكَ إِلَى مَالِكِهِ لَمْ يَسْتَحِقَّ بِهِ عِوَضًا لِتَطَوُّعِهِ فِي كِلَا الْحَالَيْنِ وَتَحْرِيرُهُ أَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَ الْمَالِكِ وَمِلْكِهِ تَطَوُّعًا فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْتَحِقَّ بِهِ عِوَضًا كَمَا لَوْ أَوْصَلَ الْمَالِكَ إِلَى مِلْكِهِ. وَالدَّلِيلُ عَلَى مَالِكٍ خَاصَّةً أَنَّ مِنْ تَطَوَّعَ بِاصْطِنَاعِ مَعْرُوفٍ لَمْ يَسْتَحِقَّ بِهِ جُعْلًا كَغَيْرِ الْمَعْرُوفِ. وَمِنَ الدَّلِيلِ عَلَى أبي حنيفة خَاصَّةً أَنَّ اسْتِحْقَاقَ الْجُعْلِ عَلَى رَدِّ الْعَبْدِ لَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يَكُونَ لِكَوْنِهِ مِلْكًا أَوْ لِكَوْنِهِ آدَمِيًّا فَإِنْ كَانَ لِكَوْنِهِ مِلْكًا بَطَلَ اسْتِحْقَاقُهُ وَذَلِكَ لِكَوْنِهِ مِلْكًا لِأَنَّهُ لَوْ رَدَّ بَهِيمَةً أَوْ لُقَطَةً لَمْ يَسْتَحِقَّ شَيْئًا وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَحِقَّ ذَلِكَ لِكَوْنِهِ آدَمِيًّا لِأَنَّهُ لَوْ رَدَّ صَبِيًّا قَدْ ضَاعَ لَمْ يَسْتَحِقَّ شَيْئًا فَبَطَلَ بِهَذَيْنِ أَنْ يَسْتَحِقَّ فِي رَدِّ الْعَبْدِ شَيْئًا قَالَ: أَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا رَوَاهُ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَوْ ذَكَرُوهُ مِنْ إِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَقَدْ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ لَمْ يَصِحَّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلَا عَنِ الصَّحَابَةِ شَيْءٌ مِنْهُ وَلَوْ صَحَّ لَكَانَ مَحْمُولًا عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ إِمَّا عَلَى اشْتِرَاطِ ذَلِكَ لِمَنْ جَاءَ بِهِ خَاصَّةً قَبْلَ الْمَجِيءِ لِيَصِيرَ مُسْتَحِقًّا لِلْجُعْلِ بِالشَّرْطِ وَإِمَّا لِتَقْرِيرٍ بِأُجْرَةِ الْمِثْلِ فِي الْجَعَالَةِ الْفَاسِدَةِ وَأَمَّا مَا ذَكَرُوهُ مِنَ الْإِرْفَاقِ وَالْمَصْلَحَةِ فَمُنْتَقَضٌ بِالطَّعَامِ وَالْعَلَفِ.

Penjelasan secara qiyās adalah bahwa siapa pun yang secara sukarela menghabiskan hartanya untuk binatang atau barang hilang, tidak berhak mendapatkan imbalan sebagaimana pada benda-benda (lain). Karena jika ia mengantarkan pemilik kepada miliknya, ia tidak berhak atas imbalan apa pun, maka demikian pula jika ia mengantarkan milik kepada pemiliknya, ia tidak berhak atas imbalan apa pun karena kesukarelaannya dalam kedua keadaan tersebut. Penjelasannya adalah bahwa ia telah mempertemukan antara pemilik dan miliknya secara sukarela, maka wajiblah ia tidak berhak atas imbalan, sebagaimana jika ia mengantarkan pemilik kepada miliknya. Dalil khusus untuk pendapat Mālik adalah bahwa siapa pun yang secara sukarela melakukan kebaikan, ia tidak berhak atas imbalan sebagaimana pada selain kebaikan. Adapun dalil khusus untuk Abū Ḥanīfah adalah bahwa hak atas imbalan (ju‘l) karena mengembalikan budak tidak lepas dari dua kemungkinan: karena statusnya sebagai milik atau karena statusnya sebagai manusia. Jika karena statusnya sebagai milik, maka gugurlah hak atas imbalan itu, sebab jika ia mengembalikan hewan atau barang temuan, ia tidak berhak atas apa pun. Dan tidak boleh pula ia berhak atas imbalan itu karena statusnya sebagai manusia, sebab jika ia mengembalikan anak kecil yang hilang, ia juga tidak berhak atas apa pun. Maka dengan dua alasan ini, gugurlah hak atas imbalan dalam pengembalian budak. Adapun jawaban atas riwayat yang dinukil dari Nabi ﷺ atau yang mereka sebut sebagai ijmā‘ para sahabat ra., maka Aḥmad bin Ḥanbal berkata: “Tidak ada satu pun yang sahih dari Nabi ﷺ maupun dari para sahabat tentang hal itu. Dan seandainya sahih, maka itu harus dipahami dalam salah satu dari dua kemungkinan: pertama, atas dasar adanya syarat khusus bagi orang yang membawanya sebelum ia datang, sehingga ia berhak atas ju‘l karena adanya syarat; atau kedua, sebagai penetapan upah sepadan dalam ja‘ālah yang fasid. Adapun apa yang mereka sebutkan tentang kemudahan dan kemaslahatan, maka itu tertolak dengan (perbandingan) makanan dan pakan.”

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا رَدُّ الضَّالَّةِ عَنْ أَمْرِ مَالِكِهَا فَضَرْبَانِ أَحَدُهُمَا أَنْ يَجْعَلَ لَهُ عِنْدَ الْأَمْرِ بِرَدِّهَا عِوَضًا فَذَلِكَ مُسْتَحِقٌّ فَإِنْ كَانَ عِوَضًا مَعْلُومًا وَعَقْدًا صَحِيحًا اسْتَحَقَّهُ وَإِنْ كَانَ عِوَضًا مَجْهُولًا وَعَقْدًا فَاسِدًا اسْتَحَقَّ أُجْرَةَ الْمِثْلِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ} [يوسف: 72] وَكَانَ حِمْلُ الْبَعِيرِ عِنْدَهُمْ مَعْلُومًا كَالْوَسْقِ وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا يُذْكَرَ مَعَ الْأَمْرِ بِالرَّدِّ عِوَضًا لَا صَحِيحًا وَلَا فَاسِدًا بَلْ قَالَ لَهُ فُلَانٌ جِئْنِي بِعَبْدِي الْآبِقِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَسْتَحِقُّ عَلَيْهِ أُجْرَةَ مِثْلِهِ بِمُجَرَّدِ الْأَمْرِ أَمْ لَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ:

Adapun mengembalikan barang hilang atas perintah pemiliknya, maka ada dua bentuk: Pertama, jika pemiliknya menetapkan imbalan ketika memerintahkan pengembaliannya, maka itu berhak ia terima. Jika imbalan itu jelas dan akadnya sah, maka ia berhak atas imbalan tersebut. Jika imbalan itu tidak jelas dan akadnya fasid, maka ia berhak atas upah sepadan. Allah Ta‘ala berfirman: {Mereka berkata, “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang mengembalikannya akan mendapat satu beban unta, dan aku menjamin itu.”} (Yūsuf: 72), dan beban unta pada mereka adalah ukuran yang jelas seperti wasq. Bentuk kedua, jika tidak disebutkan imbalan baik secara sah maupun fasid ketika memerintahkan pengembalian, melainkan ia hanya berkata, “Wahai Fulan, bawakan aku budakku yang kabur,” maka para ulama kami berbeda pendapat apakah ia berhak atas upah sepadan hanya dengan perintah tersebut atau tidak, dengan empat pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا أُجْرَةَ لَهُ سَوَاءٌ كَانَ مَعْرُوفًا بِأَخْذِ الْأُجْرَةِ عَلَى ذلك أولا لِتَرَدُّدِ الْأَمْرَيْنِ بَيْنَ احْتِمَالِ تَطَوُّعٍ وَاسْتِعْجَالٍ.

Pertama: Ini adalah mazhab al-Shāfi‘ī, bahwa ia tidak berhak atas upah, baik ia dikenal biasa mengambil upah atas hal itu maupun tidak, karena perintah tersebut masih mungkin bermakna kesukarelaan atau permintaan segera.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ الْمُزَنِيِّ لَهُ أُجْرَةُ الْمِثْلِ سَوَاءٌ كَانَ مَعْرُوفًا بِذَلِكَ أَوْ غَيْرَ مَعْرُوفٍ لِاسْتِهْلَاكِ مَنَافِعِهِ بِأَخْذِهِ.

Pendapat kedua: Ini adalah mazhab al-Muzanī, bahwa ia berhak atas upah sepadan, baik ia dikenal biasa melakukan itu atau tidak, karena manfaatnya telah digunakan dengan pengambilan tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ مَذْهَبُ ابْنِ سُرَيْجٍ إِنَّهُ إِنْ كَانَ مَعْرُوفًا بِذَلِكَ فَلَهُ أُجْرَةُ الْمِثْلِ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَعْرُوفٍ فَلَا أُجْرَةَ لَهُ اعْتِبَارًا.

Pendapat ketiga: Ini adalah mazhab Ibn Surayj, bahwa jika ia dikenal biasa melakukan itu, maka ia berhak atas upah sepadan, dan jika tidak dikenal, maka ia tidak berhak atas upah, sebagai pertimbangan.

وَالْوَجْهُ الرَّابِعُ: وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ إِنِ ابْتَدَأَهُ مَالِكُ الْعَبْدِ بِالْأَمْرِ فَعَلَيْهِ أُجْرَةُ الْمِثْلِ وَإِنِ استئذنه الْجَانِي بِالضَّالَّةِ فَأَذِنَ لَهُ فَلَا أُجْرَةَ لَهُ اقْتِصَارًا عَلَى حُكْمِ أَسْبَقِ الْحَالَيْنِ.

Pendapat keempat: Ini adalah mazhab Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa jika pemilik budak yang memulai perintah, maka ia berhak atas upah sepadan. Namun jika pencari barang hilang meminta izin kepada pemilik, lalu pemilik mengizinkannya, maka ia tidak berhak atas upah, cukup dengan mengikuti hukum keadaan yang lebih dahulu.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَلَوِ اخْتَلَفَ مَالِكُ الضَّالَّةِ وَمَنْ رَدَّهَا فِي الْإِذْنِ فقال المالك ردها بِغَيْرِ إِذْنٍ فَأَنْتَ مُتَطَوِّعٌ بِغَيْرِ أَجْرٍ وَقَالَ مَنْ رَدَّهَا بَلْ رَدَدْتُهَا عَنْ أَمْرِكَ بِأَجْرٍ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمَالِكِ مَعَ يَمِينِهِ لِبَرَاءَةِ ذمته ولو اتفقنا عَلَى الْإِذْنِ بِالْأَجْرِ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ الْمَأْذُونِ بِرَدِّهِ وَقَدْ رَدَّ عَلَيْهِ عَبَدَهُ سَالِمًا وَادَّعَى الْآخَرُ نَفْيَهُ فَقَالَ الْمَالِكُ بَلْ فَعَلْتُ ذَلِكَ فِي عَبْدِي غَانِمٌ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمَالِكِ مَعَ يَمِينِهِ وَلَا أُجْرَةَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ يُنْكِرُ الْإِذْنَ فيه وإن اعترف به في غيره.

Jika terjadi perselisihan antara pemilik barang hilang dan orang yang mengembalikannya terkait izin, misalnya pemilik berkata: “Kamu mengembalikannya tanpa izinku, maka kamu adalah orang yang berbuat sukarela tanpa upah,” sedangkan orang yang mengembalikannya berkata: “Justru aku mengembalikannya atas perintahmu dengan upah,” maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pemilik dengan sumpahnya, demi terbebasnya tanggungan. Namun, jika keduanya sepakat atas adanya izin dengan upah pada objek tertentu, yaitu budak yang diizinkan untuk dikembalikan, lalu orang itu telah mengembalikan budaknya dalam keadaan selamat, dan pihak lain mengingkari hal itu, misalnya pemilik berkata: “Justru aku melakukan itu pada budakku yang bernama Ghanim,” maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pemilik dengan sumpahnya, dan tidak ada upah atasnya, karena ia mengingkari izin pada kasus itu, meskipun ia mengakuinya pada kasus lain.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ قَالَ لِرَجُلٍ إِنْ جِئْتَنِي بِعَبْدِي فَلَكَ كَذَا وَلَآخَرَ مِثْلُ ذَلِكَ وَلِثَالِثٍ مِثْلُ ذَلِكَ فَجَاءُوا بِهِ جَمِيعًا فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ ثُلُثُ مَا جَعَلَهُ لَهُ اتَّفَقَتِ الْأَجْعَالُ أَوِ اخْتَلَفَتْ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berkata kepada seorang laki-laki: ‘Jika kamu membawakan budakku kepadaku, maka bagimu sekian,’ dan kepada orang lain juga seperti itu, dan kepada orang ketiga juga seperti itu, lalu mereka bertiga membawanya bersama-sama, maka masing-masing dari mereka mendapatkan sepertiga dari apa yang dijanjikan kepadanya, baik jumlah upahnya sama maupun berbeda.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْجَعَالَةُ فَمِنَ الْعُقُودِ الْجَائِزَةِ دُونَ اللَّازِمَةِ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ {وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زعيم} وَهِيَ تُفَارِقُ الْإِجَارَةَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ أَحَدُهَا جَوَازُ عَقْدِهَا عَلَى عَمَلٍ مَجْهُولٍ كَقَوْلِهِ مَنْ جَاءَ بِعَبْدِي الْآبِقِ فَلَهُ دِينَارٌ وَإِنْ كَانَ الْعَبْدُ مَجْهُولَ الْمَكَانِ وَفَسَادُ مِثْلِ ذَلِكَ فِي الْإِجَارَةِ وَالثَّانِي أَنَّ الْجَعَالَةَ غَيْرُ لَازِمَةٍ وَالْإِجَارَةَ لَازِمَةٌ وَالثَّالِثُ أَنَّهَا تَصِحُّ مِنْ غَيْرِ مُعَيَّنٍ كَقَوْلِهِ مَنْ جَاءَنِي بِعَبْدِي الْآبِقِ فَلَهُ دِينَارٌ وَإِنْ لَمْ يُعَيَّنِ الْجَائِي بِهِ فَأَيُّ النَّاسِ جَاءَ بِهِ فَلَهُ الدِّينَارُ وَالْإِجَارَةُ لَا تَصِحُّ إِلَّا مَعَ مَنْ يَتَعَيَّنُ الْعَقْدُ عَلَيْهِ وَإِنَّمَا فَارَقَتِ الْإِجَارَةَ مِنْ هَذِهِ الْوُجُوهِ الثَّلَاثَةِ لِأَنَّهَا مَوْضُوعَةٌ عَلَى التَّعَاوُنِ وَالْإِرْفَاقِ فَكَانَتْ شُرُوطُهَا أَخَفَّ وَحُكْمُهَا أَضْعَفَ.

Al-Mawardi berkata: Adapun ja‘ālah (upah penemuan) termasuk akad yang boleh (tidak mengikat), bukan yang wajib, sebagaimana telah kami sebutkan berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: {Dan barang siapa yang membawanya, maka baginya satu beban unta, dan aku menjamin itu} (QS. Yusuf: 72). Ja‘ālah berbeda dengan ijarah (sewa) dalam tiga hal: Pertama, bolehnya akad ja‘ālah atas pekerjaan yang tidak diketahui secara pasti, seperti ucapannya: “Siapa yang membawakan budakku yang kabur, maka baginya satu dinar,” meskipun budak itu tidak diketahui tempatnya, sedangkan hal seperti ini tidak sah dalam ijarah. Kedua, ja‘ālah tidak mengikat, sedangkan ijarah mengikat. Ketiga, ja‘ālah sah dilakukan tanpa penentuan pihak tertentu, seperti ucapannya: “Siapa saja yang membawakan budakku yang kabur, maka baginya satu dinar,” meskipun tidak ditentukan siapa yang membawanya; siapa saja dari manusia yang membawanya, maka baginya dinar itu. Sedangkan ijarah tidak sah kecuali dengan pihak yang ditentukan akadnya. Ja‘ālah berbeda dari ijarah dalam tiga hal ini karena ja‘ālah ditetapkan atas dasar tolong-menolong dan kemudahan, sehingga syarat-syaratnya lebih ringan dan hukumnya lebih lemah.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَلَوْ قَالَ مَنْ جَاءَنِي بِعَبْدِي الْآبِقِ فَلَهُ دِينَارٌ فَأَيُّ النَّاسِ جَاءَ بِهِ اسْتَحَقَّ الدِّينَارَ مِنْ رَجُلٍ أَوِ امْرَأَةٍ حر أو عبد مسلم أو كافر صغيرا أو كبيرا عاقلا أو مجنونا إِذَا كَانَ قَدْ سَمِعَ النِّدَاءَ أَوْ عَلِمَ بِهِ لِدُخُولِهِمْ فِي عُمُومِ قَوْلِهِ مَنْ جَاءَنِي فَلَوْ جَاءَ الْعَبْدُ بِنَفْسِهِ عِنْدَ عِلْمِهِ بِهَذَا الْقَوْلِ مِنْ سَيِّدِهِ لَمْ يَسْتَحِقَّ عَلَيْهِ شَيْئًا لِأَنَّ الْجُعْلَ عَلَيْهِ لَا لَهُ فَلَوْ جَاءَ بِهِ مَنْ لَمْ يَسْمَعِ النِّدَاءَ وَلَا عَلِمَ بِهِ كَانَ مُتَطَوِّعًا بِحَمْلِهِ عَلَى حُكْمِ الْأَصْلِ فَلَوْ عَلِمَ بِالنِّدَاءِ بَعْدَ الْمَجِيءِ بِهِ وَقَبْلَ دَفْعِهِ إِلَى سَيِّدِهِ اسْتَحَقَّ الدِّينَارَ لِأَنَّ السَّامِعَ لِلنِّدَاءِ لَوْ جَاءَ بِهِ مِنْ أَقْرَبِ الْمَوَاضِعِ أو أبعدها استحقه فكذلك فَلَوْ أَنْفَقَ عَلَيْهِ الْجَائِي بِهِ فِي طَعَامِهِ وَشَرَابِهِ كَانَ مُتَطَوِّعًا بِالنَّفَقَةِ وَلَيْسَ لَهُ غَيْرُ الدِّينَارِ فَلَوْ جَاءَ بِالْعَبْدِ وَهُوَ مَرِيضٌ أَوْ فِي قَبْضَةِ حَيَاتِهِ اسْتَحَقَّ الدِّينَارَ لِأَنَّهُ مَبْذُولٌ عَلَى حَمْلِهِ فَلَوِ اخْتَلَفَ الْعَبْدُ وَحَامِلُهُ فَقَالَ الْعَبْدُ جِئْتُ بِنَفْسِي وَقَالَ حَامِلُهُ بَلْ أَنَا جِئْتُ بِهِ رَجَعَ إِلَى تَصْدِيقِ السَّيِّدِ فَإِنْ صَدَّقَ الْحَامِلَ لَمْ يُعْتَبَرْ إِنْكَارُ الْعَبْدِ وَاسْتَحَقَّ الدِّينَارَ وَإِنْ صَدَقَ الْعَبْدُ حَلَفَ السَّيِّدُ، دُونَ الْعَبْدِ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَلَوِ اخْتَلَفَ السَّيِّدُ وَحَامِلُ الْعَبْدِ فَقَالَ السَّيِّدُ فَلَمَّا لَمْ تَسْمَعِ النِّدَاءَ فَلَا شَيْءَ لَكَ وَقَالَ الْحَامِلُ بَلْ سَمِعْتُهُ وَعَلِمْتُ بِهِ فَلِي الدِّينَارُ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الحامل وله الدينار لأن علمه بالشي يَرْجِعُ فِيهِ إِلَيْهِ لَا إِلَى غَيْرِهِ فَلَوْ قَالَ سَيِّدُ الْعَبْدِ مَنْ جَاءَنِي بِعَبْدِي مِنْ سَامِعِي نِدَائِي هَذَا فَلَهُ دِينَارٌ فَجَاءَ بِهِ مَنْ عَلِمَ بِنِدَائِهِ وَلَمْ يَسْمَعْهُ لَمْ يَسْتَحِقَّ شَيْئًا وَلَوْ قَالَ الْجَائِي بِهِ سَمِعْتُ النِّدَاءَ وَقَالَ السَّيِّدُ لَمْ تَسْمَعْهُ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْجَائِي بِهِ أَيْضًا.

Jika seseorang berkata, “Siapa yang membawakan budakku yang melarikan diri, maka baginya satu dinar,” maka siapa pun yang membawanya—baik laki-laki atau perempuan, merdeka atau hamba, Muslim atau kafir, kecil atau besar, berakal atau gila—selama ia telah mendengar pengumuman itu atau mengetahui tentangnya, maka ia berhak mendapatkan dinar tersebut, karena mereka termasuk dalam keumuman ucapannya: “Siapa yang membawakannya kepadaku.” Jika budak itu sendiri datang setelah mengetahui ucapan tuannya ini, maka ia tidak berhak mendapatkan apa pun, karena imbalan itu ditetapkan untuk orang lain, bukan untuk dirinya. Jika yang membawakan budak itu adalah orang yang tidak mendengar pengumuman dan tidak mengetahuinya, maka ia dianggap sukarela membawanya menurut hukum asal. Jika ia mengetahui pengumuman itu setelah membawanya, tetapi sebelum menyerahkannya kepada tuannya, maka ia berhak mendapatkan dinar, karena orang yang mendengar pengumuman, baik datang dari tempat terdekat maupun terjauh, tetap berhak mendapatkannya, demikian pula halnya. Jika orang yang membawakan budak itu mengeluarkan biaya untuk makan dan minumnya, maka ia dianggap sukarela dalam pengeluaran tersebut dan tidak berhak atas apa pun selain dinar itu. Jika ia membawakan budak dalam keadaan sakit atau sekarat, ia tetap berhak atas dinar itu karena imbalan itu diberikan atas usahanya membawakan budak tersebut. Jika terjadi perselisihan antara budak dan orang yang membawanya, budak berkata, “Aku datang sendiri,” sedangkan pembawanya berkata, “Justru aku yang membawanya,” maka keputusan kembali kepada kepercayaan tuan. Jika tuan membenarkan pembawa, maka penolakan budak tidak dianggap dan pembawa berhak atas dinar. Jika tuan membenarkan budak, maka tuan bersumpah, bukan budak, dan tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Jika terjadi perselisihan antara tuan dan pembawa budak, tuan berkata, “Karena kamu tidak mendengar pengumuman, maka tidak ada hak bagimu,” sedangkan pembawa berkata, “Justru aku mendengarnya dan mengetahuinya, maka aku berhak atas dinar,” maka yang dipegang adalah ucapan pembawa dan ia berhak atas dinar, karena pengetahuan seseorang atas suatu hal kembali kepadanya, bukan kepada orang lain. Jika tuan berkata, “Siapa yang membawakan budakku dari orang yang mendengar pengumumanku ini, maka baginya satu dinar,” lalu ada yang membawakannya karena mengetahui pengumuman itu namun tidak mendengarnya, maka ia tidak berhak atas apa pun. Jika orang yang membawakan berkata, “Aku mendengar pengumuman,” sedangkan tuan berkata, “Kamu tidak mendengarnya,” maka yang dipegang adalah ucapan orang yang membawakan budak itu juga.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَلَوْ أَمَرَ السَّيِّدُ عَبْدَهُ فَنَادَى مَنْ جَاءَ بِعَبْدِي فُلَانٍ فَلَهُ دِينَارٌ كَانَ نِدَاءُ الْمُنَادِي كَنِدَاءِ السَّيِّدِ فِي وُجُوبِ الدِّينَارِ عَلَيْهِ لِحَامِلِ عَبْدِهِ فَلَوْ أَنْكَرَ السَّيِّدُ أَمْرَ الْمُنَادِي بِذَلِكَ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ ثُمَّ يُنْظَرُ فِي الْمُنَادِي فَإِنْ قَالَ فِي نِدَائِهِ إِنَّ فُلَانًا قَالَ مَنْ جَاءَنِي بِعَبْدِي فَلَهُ دِينَارٌ فَلَا شَيْءَ عَلَى الْمُنَادِي لِأَنَّهُ جَاهِلٌ وَإِنْ كَانَ قَدْ قَالَ مَنْ جَاءَ بِعَبْدِي فُلَانٍ فَلَهُ دِينَارٌ فَعَلَى الْمُنَادِي دَفَعُ الدِّينَارِ لِأَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَنْزِلَ ذَلِكَ مِنْ مَالِ نَفْسِهِ أَوْ مِنْ مَالِ غَيْرِهِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْجَائِي بِالْعَبْدِ قَدْ صَدَّقَ الْمُنَادِي عَلَى أَمْرِ السَّيِّدِ لَهُ فَلَا يَرْجِعُ عَلَى الْمُنَادِي بِشَيْءٍ.

Jika tuan memerintahkan budaknya untuk mengumumkan, “Siapa yang membawakan budakku si Fulan, maka baginya satu dinar,” maka pengumuman yang dilakukan oleh si pengumum sama seperti pengumuman tuan dalam hal kewajiban membayar dinar kepada orang yang membawakan budaknya. Jika tuan mengingkari bahwa ia memerintahkan pengumuman tersebut, maka yang dipegang adalah ucapannya dengan sumpahnya. Kemudian dilihat pada si pengumum: jika dalam pengumumannya ia berkata, “Si Fulan berkata, siapa yang membawakan budakku maka baginya satu dinar,” maka tidak ada kewajiban apa pun atas si pengumum karena ia tidak tahu. Namun jika ia berkata, “Siapa yang membawakan budakku si Fulan, maka baginya satu dinar,” maka si pengumum wajib membayar dinar itu, karena tidak ada perbedaan antara ia mengeluarkan dari hartanya sendiri atau dari harta orang lain, kecuali jika orang yang membawakan budak itu membenarkan pengumum atas perintah tuan, maka ia tidak dapat menuntut apa pun dari si pengumum.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَلَوْ قَالَ السَّيِّدُ مَنْ جَاءَنِي بِعَبْدِي الْآبِقِ فَلَهُ دِينَارٌ فَجَاءَ بِهِ نَفْسَانِ كَانَ الدِّينَارُ بَيْنَهُمَا لِحُصُولِ الْمَجِيءِ بِهِمَا وَلَوْ جَاءَ بِهِ عَشَرَةً كَانَ الدِّينَارُ بَيْنَهُمْ بِالسَّوِيَّةِ سَوَاءٌ اتَّفَقَتْ أُجُورُهُمْ أَوِ اخْتَلَفَتْ لِاسْتِوَائِهِمْ فِي الْمَجِيءِ بِهِ فَلَوْ قَالَ يَا زَيْدُ إِنْ جِئْتَنِي بِعَبْدِي فَلَكَ دِينَارٌ فَجَاءَ بِهِ غَيْرُهُ لَمْ يَسْتَحِقَّ الدِّينَارَ وَلَوْ جَاءَ بِهِ زَيْدٌ وَعَمْرٌو، نُظِرَ فِي عَمْرٍو فَإِنْ قَالَ جِئْتُ بِهِ مُعَيَّنًا لِزَيْدٍ فَلِزَيْدٍ جَمِيعُ الدِّينَارِ وَلَا شَيْءَ لِعَمْرٍو لِأَنَّ لِزَيْدٍ أَنْ يَسْتَعِينَ فِي حَمْلِهِ بمن شَاءَ وَإِنْ قَالَ عَمْرٌو جِئْتُ بِهِ لِنَفْسِي طَلَبًا لِأُجْرَتِهِ فَلِزَيْدٍ نِصْفُ الدِّينَارِ لِأَنَّ لَهُ نِصْفَ الْعَمَلِ وَلَا شَيْءَ لِعَمْرٍو لِأَنَّهُ لَمْ يَبْذُلْ لَهُ عَلَى عَمَلِهِ شَيْءٌ فَلَوِ اخْتَلَفَ زَيْدٌ وَعَمْرٌو فَقَالَ زَيْدٌ جِئْتُ بِهِ مُعَيَّنًا لي وقال عمرو بل جئت به مستجعلا لِنَفْسِي رَجَعَ إِلَى السَّيِّدِ فَإِنْ صَدَّقَ زَيْدًا اسْتَحَقَّ الدِّينَارَ كُلَّهُ وَإِنْ صَدَّقَ عَمْرًا حَلَفَ السَّيِّدُ دُونَ عَمْرٍو لِأَنَّهُ الْغَارِمُ وَلَيْسَ عَلَيْهِ إِلَّا نِصْفُ الدِّينَارِ.

Jika seorang tuan berkata, “Siapa yang membawakan budakku yang melarikan diri, maka baginya satu dinar,” lalu ada dua orang yang membawakannya, maka dinar itu dibagi di antara keduanya karena keduanya telah sama-sama membawakannya. Jika yang membawakannya sepuluh orang, maka dinar itu dibagi rata di antara mereka, baik upah mereka sama ataupun berbeda, karena mereka sama-sama telah membawakannya. Jika ia berkata, “Wahai Zaid, jika engkau membawakan budakku, maka bagimu satu dinar,” lalu yang membawakan adalah orang lain, maka ia tidak berhak atas dinar tersebut. Jika yang membawakan adalah Zaid dan ‘Amr, maka dilihat pada ‘Amr: jika ia berkata, “Aku membawakannya khusus untuk Zaid,” maka seluruh dinar menjadi hak Zaid dan tidak ada bagian untuk ‘Amr, karena Zaid boleh meminta bantuan siapa saja dalam membawanya. Namun jika ‘Amr berkata, “Aku membawakannya untuk diriku sendiri demi memperoleh upahnya,” maka Zaid berhak atas setengah dinar karena ia melakukan setengah pekerjaan, dan ‘Amr tidak mendapat apa-apa karena tidak ada yang diberikan kepadanya atas pekerjaannya itu. Jika Zaid dan ‘Amr berselisih, Zaid berkata, “Aku membawakannya khusus untukku,” dan ‘Amr berkata, “Aku membawakannya untuk diriku sendiri dengan tergesa-gesa,” maka dikembalikan kepada tuan. Jika tuan membenarkan Zaid, maka seluruh dinar menjadi hak Zaid. Jika tuan membenarkan ‘Amr, maka tuan bersumpah (untuk mendukung klaimnya) tanpa ‘Amr, karena ia yang menanggung (pembayaran), dan ia hanya wajib membayar setengah dinar.

فَصْلٌ:

Bagian:

فَلَوْ قَالَ يَا زَيْدُ إِنْ جِئْتَنِي بِعَبْدِي فَلَكَ دِينَارٌ وَيَا عَمْرُو إِنْ جِئْتَنِي بِعَبْدِي فَلَكَ خَمْسَةُ دَنَانِيرَ وَيَا بَكْرُ إِنْ جِئْتَنِي بِهِ فَلَكَ عَشَرَةُ دَنَانِيرَ فَإِنْ جَاءَ بِهِ غَيْرُهُمْ فَلَا شَيْءَ له وإن جاء به أحدهم فله ما جعل له فإن جاؤا بِهِ جَمِيعًا فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ ثُلُثُ مَا جَعَلَ لَهُ لِأَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ ثُلُثَ الْعَمَلِ فَيَكُونُ لِزَيْدٌ ثُلُثُ الدِّينَارِ وَيَكُونُ لِعَمْرٍو ثُلُثُ الْخَمْسَةِ وَيَكُونُ لِبَكْرٍ ثُلُثُ الْعَشَرَةِ فَلَوْ قَالَ زَيْدٌ وَعَمْرٌو أَعَانَنَا بَكْرٌ فِي حَمْلِهِ فَلَهُ كُلُّ الْعَشَرَةِ فَقَوْلُهُمْ فِي ذَلِكَ مَقْبُولٌ لأن لهما أن يتركها الْعَمَلَ لِأَنْفُسِهِمَا وَيَتَطَوَّعَا بِهِ لِغَيْرِهِمَا.

Jika ia berkata, “Wahai Zaid, jika engkau membawakan budakku, maka bagimu satu dinar; wahai ‘Amr, jika engkau membawakan budakku, maka bagimu lima dinar; wahai Bakr, jika engkau membawakannya, maka bagimu sepuluh dinar,” lalu yang membawakannya adalah selain mereka, maka tidak ada hak bagi siapa pun. Jika salah satu dari mereka yang membawakannya, maka ia berhak atas apa yang telah dijanjikan kepadanya. Jika mereka bertiga membawakannya bersama-sama, maka masing-masing dari mereka mendapat sepertiga dari apa yang dijanjikan kepadanya, karena masing-masing dari mereka melakukan sepertiga pekerjaan. Maka Zaid mendapat sepertiga dinar, ‘Amr mendapat sepertiga dari lima dinar, dan Bakr mendapat sepertiga dari sepuluh dinar. Jika Zaid dan ‘Amr berkata, “Bakr membantu kami dalam membawanya, maka seluruh sepuluh dinar menjadi haknya,” maka ucapan mereka itu diterima, karena mereka berdua boleh saja meninggalkan pekerjaan itu untuk diri mereka sendiri dan memberikannya secara sukarela kepada orang lain.

فَصْلٌ:

Bagian:

وَإِذَا قَالَ مَنْ جَاءَنِي بِعَبْدِي فَلَهُ دِينَارٌ ثُمَّ رَجَعَ عَنْ ذَلِكَ فَعَلَيْهِ إِعْلَانُ الْإِذْنِ فَمَنْ جَاءَ بِهِ فَلَهُ الدِّينَارُ وَإِنْ أَعْلَنَهُ فَلَا شيء من جَاءَ بِهِ بَعْدَ إِعْلَانِ الْإِذْنِ سَوَاءٌ عَلِمَ بِرُجُوعِهِ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ إِذَا كَانَ قَدْ شَرَعَ فِي الْمَجِيءِ بِهِ لِأَنَّ إِعْلَامَ كُلِّ النَّاسِ بِرُجُوعِهِ مُتَعَذِّرٌ فَلَمْ يَلْزَمْهُ فِي الرُّجُوعِ أَكْثَرُ مِنَ الْإِعْلَانِ وَالْإِشَاعَةِ وَلَوْ كَانَ هَذَا الْجَائِي بِهِ شَرَعَ فِي حَمْلِهِ قَبْلَ الرُّجُوعِ فَلَهُ الدِّينَارُ مَا لَمْ يَعْلَمْ بِالرُّجُوعِ فَأَمَّا إِنْ قَالَ يَا زَيْدُ إِنْ جِئْتَنِي بِعَبْدِي فَلَكَ دِينَارٌ ثُمَّ رَجَعَ السَّيِّدُ فَعَلَيْهِ إِعْلَامُ زَيْدٍ بِرُجُوعِهِ مَا لَمْ يَشْرَعْ فِي حَمْلِهِ فإن لم يعلم فهو على حَقُّهِ سَوَاءٌ أَعْلَنَ السَّيِّدُ الرُّجُوعَ أَوْ لَمْ يُعْلِنْهُ لِأَنَّ إِعْلَامَ زَيْدٍ بِالرُّجُوعِ غَيْرُ مُتَعَذِّرٍ فَلَوْ شَرَعَ زَيْدٌ فِي حَمْلِهِ ثُمَّ أَعْلَمَهُ السَّيِّدُ بِرُجُوعِهِ قِيلَ لِلسَّيِّدِ أَنْتَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ تُمَكِّنَهُ مِنَ الْمَجِيءِ بِهِ فَيَسْتَحِقُّ كُلَّ الدينار أو تبذل له أجرة مثل ما فَوَّتَهُ مِنْ عَمَلِهِ لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ غَيْرُ لَازِمٍ لَكَ فَلَيْسَ لَكَ إِبْطَالُ عَمَلِهِ عَلَيْهِ كَالْمُضَارَبَةِ إِذَا رَجَعَ فِيهَا رَبُّ الْمَالِ بَعْدَ عَمَلِ الْعَامِلِ لَزِمَهُ تَمْكِينُ الْعَامِلِ مِنْ بَيْعِ مَا اشْتَرَاهُ لِئَلَّا يُفَوِّتَ عَلَيْهِ عَمَلَهُ بِالرُّجُوعِ وَإِنْ كَانَ الْعَقْدُ غَيْرَ لَازِمٍ.

Jika seseorang berkata, “Siapa yang membawakan budakku, maka baginya satu dinar,” lalu ia menarik kembali ucapannya, maka ia wajib mengumumkan pencabutan izin tersebut. Siapa pun yang membawakannya (setelah pengumuman), maka ia berhak atas dinar itu. Namun jika ia telah mengumumkan pencabutan izin, maka siapa pun yang membawakannya setelah pengumuman tersebut tidak berhak atas apa pun, baik ia mengetahui pencabutan itu atau tidak, selama ia telah mulai membawanya, karena mengumumkan kepada semua orang tentang pencabutan itu adalah hal yang sulit, sehingga tidak diwajibkan lebih dari sekadar pengumuman dan penyebaran. Jika orang yang membawakannya telah mulai membawanya sebelum pencabutan, maka ia berhak atas dinar itu selama ia belum mengetahui pencabutan tersebut. Adapun jika ia berkata, “Wahai Zaid, jika engkau membawakan budakku, maka bagimu satu dinar,” lalu tuan menarik kembali ucapannya, maka ia wajib memberitahu Zaid tentang pencabutan itu selama Zaid belum mulai membawanya. Jika Zaid tidak mengetahui, maka ia tetap berhak, baik tuan telah mengumumkan pencabutan atau belum, karena memberitahu Zaid tentang pencabutan itu tidaklah sulit. Jika Zaid telah mulai membawanya lalu tuan memberitahunya tentang pencabutan itu, maka tuan diberi pilihan: membiarkan Zaid menyelesaikan pekerjaannya sehingga ia berhak atas seluruh dinar, atau memberikan upah sepadan dengan pekerjaan yang telah ia lakukan, karena meskipun (perjanjian) itu tidak mengikat bagimu, engkau tidak boleh membatalkan pekerjaannya begitu saja, sebagaimana dalam mudhārabah jika pemilik modal menarik diri setelah pekerja melakukan pekerjaan, maka ia wajib membiarkan pekerja menjual barang yang telah dibelinya agar tidak merugikan pekerja atas pekerjaannya akibat penarikan diri, meskipun akadnya tidak mengikat.

فَصْلٌ:

Bagian:

وَلَوْ جَاءَ زَيْدٌ بِالْعَبْدِ وَقَدْ مَاتَ السَّيِّدُ كَانَ لَهُ الدِّينَارُ فِي تَرِكَتِهِ إِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى وَرَثَتِهِ وَلَوْ مَاتَ زَيْدٌ قَبْلَ وُصُولِ الْعَبْدِ إِلَى سَيِّدِهِ فَإِنْ تَمَّمَ وَارِثُ زَيْدٍ حَمْلَ الْعَبْدِ إِلَى سَيِّدِهِ فَلَهُ مِنَ الدِّينَارِ الْمُسْتَحَقِّ بِقِسْطِ عَمَلِ زَيْدٍ مِنْهُ لِأَنَّ عَمَلَهُ لَمْ يَفُتْ وَلَا شَيْءَ لِلْوَارِثِ مِنْهُ لِقِسْطِ عمل نَفْسِهِ لِأَنَّ مَا لَمْ يَلْزَمْ مِنَ الْعُقُودِ يُبْطَلُ بِالْمَوْتِ فَلَمْ يَقُمْ عَمَلُ الْوَارِثِ مَقَامَ عَمَلِ الْمَوْرُوثِ وَإِنْ لَمْ يَأْتِ الْوَارِثُ بِالْعَبْدِ فَالصَّحِيحُ أَنَّهُ لَا شَيْءَ لِوَارِثِ زَيْدٍ فِيمَا عمله من حمل العبد لأن زيد لَوْ كَانَ حَيًّا فَلَمْ يُتَمِّمْ حَمْلَهُ لَمْ يَسْتَحِقَّ شَيْئًا وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَلْزَمُ السَّيِّدُ مِنَ الدِّينَارِ بِقِسْطِ عَمَلِ زِيدٍ فِي حَمْلِهِ لِئَلَّا يُبْطِلَ عَمَلَهُ بِخِلَافِ الْحُرِّ الَّذِي بِاخْتِيَارِهِ فَاتَ عَلَيْهِ عَمَلُهُ وَهَذَا التَّعْلِيلُ غَيْرُ صَحِيحٍ لأن زيد لَوْ كَانَ عَلَى حَمْلِهِ فَهَرَبَ الْعَبْدُ مِنْهُ لَمْ يَسْتَحِقَّ لِمَاضِي عَمَلِهِ شَيْئًا وَإِنْ لَمْ يَخْتَرْ تَفْوِيتَ الْعَمَلِ عَلَيْهِ، فَلَوْ مَاتَ الْعَبْدُ قَبْلَ وُصُولِهِ إِلَى بَلَدِهِ فَلَا شَيْءَ لَهُ فِي حَمْلِهِ وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ فِي مَوْتِهِ وَهَكَذَا لَوْ مَاتَ بَعْدَ وُصُولِهِ إِلَى بَلَدِهِ وَقَبْلَ حُصُولِهِ فِي يَدِ سَيِّدِهِ وَهَذَا يُوَضِّحُ فَسَادَ ذَلِكَ التَّعْلِيلِ.

Dan jika Zaid datang membawa budak itu sementara tuannya telah wafat, maka Zaid berhak atas satu dinar dari harta warisan tuan tersebut apabila budak itu telah sampai kepada para ahli warisnya. Namun, jika Zaid meninggal sebelum budak itu sampai kepada tuannya, lalu ahli waris Zaid menyempurnakan pengantaran budak itu kepada tuannya, maka ahli waris Zaid berhak atas bagian dari satu dinar yang sepadan dengan porsi pekerjaan Zaid, karena pekerjaannya belum hilang. Sedangkan ahli waris tidak berhak atas bagian dari satu dinar yang sepadan dengan pekerjaannya sendiri, sebab akad yang belum menjadi kewajiban akan batal dengan kematian, sehingga pekerjaan ahli waris tidak menggantikan pekerjaan pewaris. Jika ahli waris tidak mengantarkan budak itu, maka pendapat yang sahih adalah bahwa ahli waris Zaid tidak berhak atas apa pun dari pekerjaan mengantarkan budak itu, karena jika Zaid masih hidup dan tidak menyempurnakan pengantaran, ia pun tidak berhak atas apa pun. Sebagian ulama kami berpendapat bahwa tuan tetap wajib membayar bagian dari satu dinar sepadan dengan pekerjaan Zaid dalam mengantarkan budak itu, agar tidak membatalkan pekerjaannya, berbeda dengan orang merdeka yang kehilangan pekerjaannya karena pilihannya sendiri. Namun, alasan ini tidak benar, karena jika Zaid sedang mengantarkan lalu budak itu melarikan diri darinya, Zaid tidak berhak atas apa pun dari pekerjaan yang telah lalu, meskipun ia tidak memilih kehilangan pekerjaannya. Jika budak itu meninggal sebelum sampai ke negerinya, maka Zaid tidak berhak atas apa pun dari pekerjaannya, dan tidak ada tanggungan atasnya karena kematian budak itu. Demikian pula jika budak itu meninggal setelah sampai ke negerinya namun sebelum sampai ke tangan tuannya, maka Zaid juga tidak berhak atas apa pun. Hal ini menjelaskan rusaknya alasan tersebut.

فَصْلٌ: وَلَوْ قَالَ وَهُوَ بِالْبَصْرَةِ يَا زَيْدُ إِنْ جِئْتَنِي بِعَبْدِي مِنْ بَغْدَادَ فَلَكَ دِينَارٌ فَجَاءَ بِهِ مِنْهَا اسْتَحَقَّ وَلَوْ جَاءَ بِهِ مِنْ أَبْعَدِ مِنْهَا كَالْمَوْصِلِ لَمْ يَسْتَحِقَّ أَكْثَرَ مِنَ الدِّينَارِ وَلَوْ جَاءَ بِهِ مَنْ أَقَلُّ مِنْهَا نَحْوَ وَاسِطٍ اسْتَحَقَّ مِنَ الدِّينَارِ بِقِسْطِهِ لِأَنَّ بَعْضَ الْعَمَلِ الَّذِي جعل الدِّينَارَ فِي مُقَابَلَتِهِ.

Fasal: Jika seseorang berkata saat berada di Bashrah, “Wahai Zaid, jika engkau membawakan budakku dari Baghdad, maka bagimu satu dinar,” lalu Zaid membawanya dari sana, maka ia berhak mendapatkannya. Jika ia membawanya dari tempat yang lebih jauh, seperti Mosul, ia tidak berhak atas lebih dari satu dinar. Jika ia membawanya dari tempat yang lebih dekat, seperti Wasith, maka ia berhak atas bagian dari satu dinar yang sepadan, karena sebagian pekerjaan yang menjadi imbalan satu dinar telah ia lakukan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ قَالَ إِنَّ مَنْ جَاءَنِي بِعَبْدِي فَلَهُ دِينَارٌ ثُمَّ قَالَ بَعْدَهُ مَنْ جَاءَنِي بِعَبْدِي فَلَهُ عَشَرَةُ دَنَانِيرَ كَانَ الْآخِرُ مِنْ قَوْلَيْهِ هُوَ الْمَعْمُولُ عَلَيْهِ وَيَكُونُ لِمَنْ جَاءَ بِهِ عَشَرَةُ دَنَانِيرَ وَبِعَكْسِ مَنْ قَالَ مَنْ جَاءَنِي بِهِ فَلَهُ عَشَرَةٌ ثُمَّ قَالَ مَنْ جَاءَنِي بِهِ فَلَهُ دِينَارٌ كَانَ لِلْجَائِي بِهِ دِينَارٌ وَاحِدٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.

Jika seseorang berkata, “Siapa yang membawakan budakku kepadaku, maka baginya satu dinar,” lalu setelah itu ia berkata, “Siapa yang membawakan budakku kepadaku, maka baginya sepuluh dinar,” maka ucapan terakhir yang berlaku, dan orang yang membawakannya berhak atas sepuluh dinar. Sebaliknya, jika ia berkata, “Siapa yang membawakannya kepadaku, maka baginya sepuluh dinar,” lalu ia berkata, “Siapa yang membawakannya kepadaku, maka baginya satu dinar,” maka orang yang membawakannya hanya berhak atas satu dinar. Allah lebih mengetahui kebenaran.

باب التقاط المنبوذ يوجد معه الشيء بما وضع بخطه لا أعلمه سمع منه، ومن مسائل شتى سمعتها منه لفظا

Bab tentang memungut anak yang dibuang, ditemukan bersamanya sesuatu, sebagaimana yang tertulis dengan tangannya—aku tidak mengetahui apakah ia mendengarnya langsung—dan dari berbagai masalah lain yang aku dengar langsung darinya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى فيما وضع بخطه: ” ما وُجِدَ تَحْتَ الْمَنْبُوذِ مِنْ شَيْءٍ مَدْفُونٍ مِنْ ضرب الإسلام أو كان قريبا منه فهو لُقَطَةٌ أَوْ كَانَتَ دَابَّةً فَهِيَ ضَالَّةٌ فَإِنْ وُجِدَ عَلَى دَابَّتِهِ أَوْ عَلَى فِرَاشِهِ أَوْ عَلَى ثَوْبِهِ مَالٌ فَهُوَ لَهُ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata dalam tulisannya: “Apa yang ditemukan tertanam di bawah anak yang dibuang, berupa sesuatu dari harta kaum Muslimin atau yang dekat dengannya, maka itu adalah luqathah (barang temuan). Jika yang ditemukan adalah hewan, maka itu adalah dhallah (hewan tersesat). Jika ditemukan harta di atas hewan, di atas tempat tidurnya, atau di atas pakaiannya, maka itu milik anak tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ أَمَّا الْمَنْبُوذُ فَهُوَ الطِّفْلُ يُلْقَى لِأَنَّ النَّبْذَ فِي كَلَامِهِمُ الْإِلْقَاءُ وَسُمِّيَ لَقِيطًا لِالْتِقَاطِ وَاجِدِهِ لَهُ وَقَدْ تَفْعَلُ الْمَرْأَةُ ذَلِكَ بِوَلَدِهَا لِأُمُورٍ: مِنْهَا أَنْ تَأْتِيَ بِهِ مِنْ فَاحِشَةٍ فَتَخَافُ الْعَارَ فَتُلْقِيهِ أَوْ تَأْتِي بِهِ مِنْ زَوْجٍ فَتَضْعُفُ عَنِ الْقِيَامِ بِهِ فَتُلْقِيهِ رَجَاءَ أَنْ يَأْخُذَهُ مَنْ يَقُومُ بِهِ. أَوْ تَمُوتُ الْأُمُّ فَيَبْقَى ضَائِعًا فَيَصِيرُ فَرْضَ كِفَايَةٍ وَالْقِيَامُ بِتَرْبِيَتِهِ عَلَى كَافَّةِ مَنْ عَلِمَ بِحَالِهِ حَتَّى يَقُومَ بِكَفَالَتِهِ مِنْهُمْ مَنْ فِيهِ كِفَايَةٌ كَالْجَمَاعَةِ إِذَا رَأَوْا غَرِيقًا يَهْلِكُ أَوْ مَنْ ظَفِرَ بِهِ سَبْعٌ فَعَلَيْهِمْ خَلَاصُهُ وَاسْتِنْقَاذُهُ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan. Adapun al-manbūdz adalah anak kecil yang dibuang, karena dalam bahasa mereka, “an-nabdz” berarti membuang. Ia disebut laqīth karena ditemukan oleh seseorang. Terkadang seorang wanita melakukan hal itu terhadap anaknya karena beberapa alasan: di antaranya, ia melahirkan dari perbuatan zina dan takut aib, lalu membuangnya; atau ia melahirkan dari suami, namun tidak mampu mengurusnya, lalu membuangnya dengan harapan ada yang akan mengurusnya; atau ibunya meninggal sehingga anak itu terlantar. Maka, mengurus anak tersebut menjadi fardhu kifayah, dan kewajiban membesarkannya berlaku atas seluruh orang yang mengetahui keadaannya, hingga ada di antara mereka yang mampu menanggungnya, sebagaimana sekelompok orang yang melihat seseorang tenggelam dan hampir binasa, atau seseorang yang ditemukan oleh binatang buas, maka mereka wajib menolong dan menyelamatkannya.

لِقَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: {وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا} [المائدة: 32] وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:

Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla: {Dan barang siapa yang memeliharanya, maka seakan-akan ia telah memelihara seluruh manusia} (QS. Al-Ma’idah: 32), dan dalam ayat ini terdapat dua penafsiran:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَلَى جَمِيعِ النَّاسِ شُكْرَهُ حَتَّى كَأَنَّهُ قَدْ أحياهم وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ نَابَ عَنْ جَمِيعِ النَّاسِ فِي إِحْيَائِهِ.

Salah satunya: bahwa seluruh manusia wajib bersyukur kepadanya, seakan-akan ia telah menghidupkan mereka semua. Dan yang kedua: bahwa ia telah mewakili seluruh manusia dalam menghidupkannya.

وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى} [المائدة: 2] وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَافْعَلُوا الْخَيْرَ} [الحج: 77] فَدَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى النَّدْبِ عَلَى أَخْذِهِ وَالتَّوَصُّلِ إِلَى حِرَاسَةِ نَفْسِهِ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى فِي قِصَّةِ مُوسَى – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: {فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ} [القصص: 8] طَلَبًا لِحِفْظِ نَفْسِهِ وَرَغْبَةً فِي ثَوَابِهِ.

Dan berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa} [al-Mā’idah: 2], serta firman-Nya: {Dan berbuatlah kebaikan} [al-Ḥajj: 77]. Maka ayat-ayat ini menunjukkan anjuran untuk mengambilnya dan berupaya menjaga jiwanya. Allah Ta‘ala juga berfirman dalam kisah Musa –shallallāhu ‘alaihi wa sallam–: {Maka keluarga Fir‘aun memungutnya} [al-Qaṣaṣ: 8], demi menjaga jiwanya dan mengharap pahala dari-Nya.

وَرُوِيَ أَنَّ مَنْبُوذًا وُجِدَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَاسْتَأْجَرَ لَهُ امْرَأَةً تَكْفُلُهُ وَاسْتَشَارَ الصَّحَابَةَ فِي النَّفَقَةِ فَأَشَارُوا أَنْ يُنْفَقَ عَلَيْهِ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ وَرَوَى الزُّهْرِيُّ عَنْ أَبَى جَمِيلَةَ أَنَّهُ قَالَ: أَخَذْتُ مَنْبُوذًا عَلَى عَهْدِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عنه فذكره عريفي عمر فَأَرْسَلَ إِلَيَّ فَدَعَانِي وَالْعَرِيفُ عِنْدَهُ قَالَ عَسَى الغوير أبو ساء فَقَالَ عَرِيفِي إِنَّهُ لَا يَفْهَمُ فَقَالَ عُمَرُ مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ فَقُلْتُ وَجَدْتُ نَفْسًا مُضَيَّعَةً فَأَحْبَبْتُ أَنْ يَأْجُرَنِي اللَّهُ عَزَ وَجَلَّ فِيهَا قَالَ هُوَ حُرٌّ وَوَلَاؤُهُ لَكَ وَعَلَيْنَا رَضَاعُهُ.

Diriwayatkan bahwa pada masa ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu ditemukan seorang anak terlantar, lalu beliau menyewa seorang perempuan untuk mengasuhnya dan bermusyawarah dengan para sahabat mengenai nafkahnya. Mereka pun memberi saran agar nafkahnya diambilkan dari Baitul Māl. Az-Zuhrī meriwayatkan dari Abū Jamīlah, ia berkata: Aku mengambil seorang anak terlantar pada masa ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu, lalu hal itu disebutkan kepada kepala kelompokku, maka ia mengabarkan kepada ‘Umar. Lalu ‘Umar memanggilku, dan kepala kelompokku juga hadir. Ia berkata: “Mungkin si kecil ini adalah Abū Sā’.” Kepala kelompokku berkata, “Ia tidak paham.” Maka ‘Umar bertanya, “Apa yang mendorongmu melakukan hal itu?” Aku menjawab, “Aku menemukan jiwa yang terlantar, maka aku ingin agar Allah ‘azza wa jalla memberiku pahala karenanya.” Beliau berkata, “Ia merdeka dan wala’-nya untukmu, dan kami yang menanggung susunya.”

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا وَجَدَ الرَّجُلُ لَقِيطًا فَلَا يَخْلُو أَنْ يَجِدَ مَعَهُ مَالًا أَوْ لَا يَجِدُ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَعَهُ مَالًا تطوع بأخذه والنفقة عليه وَإِنْ أَبَى أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهِ تَطَوُّعًا إِمَّا لِعَجْزٍ أَوِ شُحٍّ رُفِعَ أَمْرُهُ إِلَى الْحَاكِمِ عَلَى مَا ذَكَرَهُ وَإِنْ وَجَدَ مَعَهُ مَالًا لِأَنَّهُ رُبَّمَا فَعَلَ ذَلِكَ لِيَكُونَ بَاعِثًا عَلَى أخذه والقيام بِتَرْبِيَتِهِ فَذَلِكَ الْمَالُ مِلْكٌ لَهُ لِأَنَّهُ لَا يَمْتَنِعُ وَإِنْ كَانَ طِفْلًا أَنْ يَكُونَ مَالِكًا بميراث أو وصية وإنما بحكم ملكه فيما كان بيده لأن له يد توجب الملك كالكبير الذي ينسب إليه وَيَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ مِلْكِهِ كُلَّمَا كَانَ عَلَيْهِ مِنْ ثِيَابٍ أَوْ حُلِيٍّ أَوْ كَانَ تَحْتَهُ مِنْ فِرَاشٍ أَوْ حَصِيرٍ أَوْ كَانَ فِي يَدِهِ مِنْ دَرَاهِمَ أَوْ عِنَانِ فَرَسٍ أَوْ كَانَ رَاكِبًا لَهُ مِنْ بَعِيرٍ أَوْ فَرَسٍ فَكُلُّ ذَلِكَ مَنْسُوبٌ إِلَى يَدِهِ كَالْكَبِيرِ وَمَحْكُومٌ له به في ملكه.

Apabila seseorang menemukan seorang laqīṭ (anak terlantar), maka tidak lepas dari dua kemungkinan: ia menemukan bersama anak itu harta atau tidak. Jika tidak ditemukan harta bersamanya, maka mengambil dan menafkahinya hukumnya sunnah (sukarela). Jika ia enggan menafkahinya secara sukarela, baik karena tidak mampu atau karena kikir, maka urusannya diangkat kepada hakim sebagaimana telah disebutkan. Jika ditemukan harta bersamanya—karena bisa jadi hal itu dilakukan agar menjadi pendorong untuk mengambil dan membesarkannya—maka harta itu menjadi miliknya. Sebab, tidak mustahil meski ia masih anak-anak, ia bisa memiliki harta melalui warisan atau wasiat. Kepemilikannya atas apa yang ada di tangannya berlaku sebagaimana orang dewasa yang dinisbatkan kepadanya. Maka berlaku hukum kepemilikan atas segala yang melekat padanya, seperti pakaian, perhiasan, alas tidur, tikar, atau yang ada di tangannya berupa dirham, tali kekang kuda, atau ia sedang menunggang unta atau kuda, maka semua itu dinisbatkan kepada kepemilikannya sebagaimana orang dewasa, dan dihukumi sebagai miliknya.

فصل:

Fasal:

فما وُجِدَ مُنْفَصِلًا عَنْهُ فَضَرْبَانِ:

Adapun apa yang ditemukan terpisah darinya, maka terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَبْعُدَ عنه كالفرس المربو عَلَى بُعْدٍ أَوْ كِيسٍ مِنْ دَرَاهِمَ أَوْ ثَوْبٍ فَذَلِكَ غَيْرُ مَنْسُوبٍ إِلَى يَدِهِ كَمَا لَا يُنْسَبُ إِلَى يَدِ الْكَبِيرِ وَيَكُونُ لُقَطَةً.

Pertama: jika letaknya jauh darinya, seperti kuda yang diikat di tempat jauh, atau kantong berisi dirham, atau pakaian, maka itu tidak dinisbatkan kepada kepemilikannya, sebagaimana tidak dinisbatkan kepada kepemilikan orang dewasa, dan itu dihukumi sebagai luqaṭah (barang temuan).

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ قَرِيبًا مِنْهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: jika letaknya dekat dengannya, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْمَوْضِعُ آهِلًا كَثِيرَ الْمَارَّةِ فَهَذَا يَكُونُ لُقَطَةً أَيْضًا.

Pertama: jika tempatnya ramai dan banyak orang yang berlalu-lalang, maka itu juga dihukumi sebagai luqaṭah (barang temuan).

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْمَوْضِعُ مُنْقَطِعًا قَلِيلَ الْمَارَّةِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jenis kedua: jika tempatnya sepi dan jarang dilalui orang, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَالظَّاهِرُ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ أَنْ يَكُونَ لُقَطَةً كَالْكَبِيرِ الَّذِي لَا يَمْلِكُ مَا يُقَارِبُهُ مِنَ الْمَالِ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ عَلَيْهِ يَدٌ.

Pertama: yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī dan yang tampak dari perkataan asy-Syāfi‘ī, bahwa itu dihukumi sebagai luqaṭah, sebagaimana orang dewasa yang tidak memiliki apa yang ada di dekatnya jika tidak ada tangannya atas barang itu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّهُ يَكُونُ مِلْكًا لِلَّقِيطِ اعْتِبَارًا بِالظَّاهِرِ مِنْ حَالِهِ وَفَرَّقَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَبِيرِ بِأَنَّ الْكَبِيرَ يَقْدِرُ عَلَى إِمْسَاكِ مَا يُقَارِبُهُ مِنْ مَالٍ أَوْ فَرَسٍ فَإِذَا لَمْ يَفْعَلُ ارْتَفَعَتْ يَدُهُ فَزَالَ الْمِلْكُ وَالصَّغِيرُ يَضْعُفُ عَنْ إِمْسَاكِ مَا يُقَارِبُهُ فَجَازَ أَنْ يَنْتَسِبَ إِلَى مِلْكِهِ وَأَنَّهُ فِي حُكْمِ مَا فِي يَدِهِ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, bahwa itu menjadi milik laqīṭ, berdasarkan keadaan lahiriah yang tampak, dan ia membedakan antara laqīṭ dan orang dewasa, karena orang dewasa mampu memegang apa yang ada di dekatnya, baik harta maupun kuda. Jika ia tidak melakukannya, maka kepemilikannya gugur. Sedangkan anak kecil lemah untuk memegang apa yang ada di dekatnya, sehingga boleh dinisbatkan sebagai miliknya dan dihukumi seperti apa yang ada di tangannya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا مَا تَحْتَهُ مِنْ مَالٍ فَضَرْبَانِ مَدْفُونٌ وَغَيْرُ مَدْفُونٍ فَإِنْ كَانَ مَدْفُونًا فَلَيْسَ بِمِلْكٍ لِلَّقِيطِ لِأَنَّ الْكَبِيرَ لَوْ كَانَ جَالِسًا عَلَى أَرْضٍ تَحْتَهَا دَفِينٌ لَمْ يُحْكَمْ لَهُ بِمِلْكِهِ ثُمَّ يَنْظُرُ فَإِنْ كَانَ مِنْ ضَرْبِ الْإِسْلَامِ فَهُوَ لُقَطَةٌ وَإِنْ كَانَ مِنْ ضَرْبِ الْجَاهِلِيَّةِ فَهُوَ رِكَازٌ يَمْلِكُهُ الْوَاجِدُ عليه خُمُسُهُ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَدْفُونٍ فَضَرْبَانِ:

Adapun harta yang berada di bawahnya, terbagi menjadi dua: yang terpendam dan yang tidak terpendam. Jika harta itu terpendam, maka bukanlah milik laqīṭ, karena orang dewasa pun jika duduk di atas tanah yang di bawahnya terdapat harta terpendam, tidak serta-merta dihukumi memilikinya. Kemudian diperhatikan lagi: jika harta itu berasal dari masa Islam, maka ia termasuk luqaṭah; dan jika berasal dari masa jahiliah, maka ia adalah rikāz yang dimiliki oleh orang yang menemukannya, dengan kewajiban membayar seperlimanya. Jika harta itu tidak terpendam, maka terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ فَوْقَ بِسَاطِهِ وَتَحْتَ جَسَدِهِ فَهَذَا مِلْكٌ لِلَّقِيطِ لِكَوْنِهِ فِي يَدِهِ وَتَحْتَ جَسَدِهِ فهذا ملك للقيط لكونه في يده.

Pertama: jika harta itu berada di atas alasnya dan di bawah tubuhnya, maka itu menjadi milik laqīṭ karena berada dalam genggamannya dan di bawah tubuhnya, sehingga menjadi miliknya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ تَحْتَ بِسَاطِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jenis kedua: jika harta itu berada di bawah alasnya, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِلْكًا لَهُ كَالْبِسَاطِ إِذَا كَانَ تَحْتَهُ يَكُونُ مِلْكَهُ.

Pertama: harta itu menjadi miliknya, sebagaimana alas jika berada di bawahnya maka menjadi miliknya.

وَالثَّانِي: لَا يَكُونُ مِلْكَهُ وَيَكُونُ لُقَطَةً بِخِلَافِ الْبِسَاطِ لِأَنَّ الدَّرَاهِمَ لَمْ تَجْرِ الْعَادَةُ أَنْ تَكُونَ مَبْسُوطَةً عَلَى الْأَرْضِ تَحْتَ مَالِكِهَا وَجَرَتْ عَادَةُ الْبِسَاطِ أَنْ يُبْسَطَ عَلَى الْأَرْضِ تَحْتَ مَالِكِهِ.

Kedua: tidak menjadi miliknya dan dihukumi sebagai luqaṭah, berbeda dengan alas, karena tidak lazim dirham diletakkan di atas tanah di bawah pemiliknya, sedangkan alas memang biasa dibentangkan di atas tanah di bawah pemiliknya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْمَوْضِعُ الَّذِي هُوَ مَنْبُوذٌ فِيهِ فَإِنْ كان مواتا أو مسجدا أو طريقا مايلا فهو عَلَى حَالِهِ وَإِنْ كَانَ مِلْكًا فَضَرْبَانِ أَحَدُهُمَا مَا جَرَتِ الْعَادَةُ بِسُكْنَاهُ كَالدُّورِ فَيَكُونُ ذَلِكَ لَهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ غَيْرُهُ فِيهَا كَالْكَبِيرِ يَمْلِكُ مَا هُوَ فِيهَا مِنْ دَارٍ.

Adapun tempat di mana laqīṭ itu ditemukan, jika berupa tanah mati, masjid, atau jalan yang miring, maka tetap sebagaimana adanya. Jika berupa milik seseorang, maka terbagi menjadi dua: pertama, tempat yang biasa dihuni seperti rumah-rumah, maka menjadi miliknya jika tidak ada orang lain di dalamnya, sebagaimana orang dewasa memiliki rumah yang ia tempati.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَا لَمْ تَجْرِ الْعَادَةُ بِسُكْنَاهُ كَالْبَسَاتِينِ وَالضَّيَاعِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Jenis kedua: tempat yang tidak lazim dihuni seperti kebun dan lahan pertanian, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَحْكُمُ بِأَنَّهُ مِلْكُهُ مَا لَمْ يَكُنْ لِغَيْرِهِ عَلَيْهِ يَدٌ كَالدُّورِ.

Pertama: dihukumi sebagai miliknya selama tidak ada orang lain yang menguasainya, sebagaimana rumah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَحْكُمُ لَهُ بِذَلِكَ بِخِلَافِ الدَّارِ لِأَنَّ سُكْنَى الدَّارِ تَصَرُّفٌ وَلَيْسَ الْحُصُولُ فِي الْبَسَاتِينِ سُكْنَى وَلَا تَصَرُّفٌ.

Pendapat kedua: tidak dihukumi sebagai miliknya, berbeda dengan rumah, karena menempati rumah adalah bentuk pengelolaan, sedangkan berada di kebun bukanlah tempat tinggal maupun bentuk pengelolaan.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِنْ كَانَ مُلْتَقِطُهُ غَيْرَ ثِقَةٍ نَزَعَهُ الْحَاكِمُ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ ثِقَةً وَجَبَ أَنْ يَشْهَدَ بِمَا وُجِدَ لَهُ وَأَنَّهُ مَنْبُوذٌ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika orang yang memungutnya bukan orang yang tepercaya, maka hakim harus mengambilnya dari tangan orang tersebut. Jika ia tepercaya, maka wajib baginya untuk menghadirkan saksi atas apa yang ditemukan bersamanya dan bahwa ia adalah seorang laqīṭ.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا كَانَ مُلْتَقِطُ الْمَنْبُوذِ غَيْرُ مَأْمُونٍ عَلَيْهِ خَوْفًا مِنِ اسْتِرْقَاقِهِ وَلَا عَلَى مَالِهِ خَوْفًا مِنِ اسْتِهْلَاكِهِ نَزَعَهُ الْحَاكِمُ مِنْ يَدِهِ لِأَمْرَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّ غَيْرَ الْمَأْمُونِ ليس من أهل الولايات والثاني أنه لَا حَظَّ لِلْمَنْبُوذِ فِي تَرْكِهِ تَحْتَ يَدِهِ فَإِنْ قِيلَ أَفَلَيْسَ لَوْ كَانَ وَاجِدُ اللُّقَطَةِ غَيْرَ مَأْمُونٍ عَلَيْهَا أُقِرَّتْ فِي يَدِهِ عَلَى أحد القولين فهلا كان اللقيط كذلك قبل الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, jika pemungut laqīṭ bukan orang yang dapat dipercaya untuk mengasuhnya karena dikhawatirkan akan diperbudak, atau tidak dapat dipercaya menjaga hartanya karena dikhawatirkan akan disia-siakan, maka hakim mengambilnya dari tangannya karena dua alasan: pertama, orang yang tidak tepercaya bukanlah orang yang berhak mengasuh; kedua, tidak ada maslahat bagi laqīṭ jika dibiarkan di bawah pengasuhannya. Jika ada yang bertanya: Bukankah jika penemu luqaṭah bukan orang yang tepercaya, pada salah satu pendapat tetap dibiarkan di tangannya? Mengapa laqīṭ tidak diperlakukan sama? Perbedaannya ada pada dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ اللُّقَطَةَ اكْتِسَابٌ فَجَازَ أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهَا الْأَمِينُ وَغَيْرُهُ وَالْتِقَاطُ الْمَنْبُوذِ وِلَايَةٌ فَاخْتَلَفَ فِيهِ الْأَمِينُ وَغَيْرُهُ.

Pertama: luqaṭah adalah bentuk perolehan harta, sehingga boleh saja antara orang yang tepercaya dan tidak tepercaya disamakan. Sedangkan memungut laqīṭ adalah bentuk perwalian, sehingga antara orang yang tepercaya dan tidak tepercaya berbeda.

وَالثَّانِي: مَا يُخَافُ عَلَى الْمَنْبُوذِ مِنِ اسْتِرْقَاقِهِ وَإِضَاعَتِهِ أَغْلَظُ مِمَّا يُخَافُ عَلَى الْمَالِ مِنِ استهلاكه وتلفه لأن للمال بَدَلٌ وَلَيْسَ لِلْحُرِّيَّةِ بَدَلٌ.

Kedua: kekhawatiran terhadap laqīṭ akan diperbudak dan disia-siakan lebih besar daripada kekhawatiran terhadap harta yang akan habis atau rusak, karena harta ada gantinya, sedangkan kemerdekaan tidak ada gantinya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا لَمْ يَخْلُ حَالُ مُلْتَقِطِ الْمَنْبُوذِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ مَأْمُونًا عَلَيْهِ وَعَلَى ما له فَيُقَرَّانِ مَعًا فِي يَدِهِ وَهَلْ يَكُونُ لِلْحَاكِمِ عَلَيْهِ نَظَرٌ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Setelah penjelasan di atas, keadaan pemungut laqīṭ tidak lepas dari empat kategori: pertama, ia tepercaya dalam mengasuh laqīṭ dan menjaga hartanya, maka keduanya tetap berada di tangannya. Apakah hakim tetap harus mengawasinya atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ الطَّبَرِيِّ لَا نَظَرَ عليه لا اجتهاد له فيما إليه كَمَا أَنَّهُ لَا نَظَرَ فِي اللُّقَطَةِ عَلَى وَاجِدِهَا إِذَا كَانَ أَمِينًا.

Pertama, menurut pendapat Abū ‘Alī al-Ṭabarī, tidak ada pengawasan atasnya dan tidak ada ijtihad bagi hakim dalam urusan tersebut, sebagaimana tidak ada pengawasan terhadap penemu luqaṭah jika ia orang yang tepercaya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ إِنَّ لِلْحَاكِمِ عَلَيْهِ فِي الْمَنْبُوذِ نَظَرٌ وَلَهُ فِي كَفَالَتِهِ اجْتِهَادٌ لِأَنَّهُ الْوَالِي عَلَى الْأَطْفَالِ وَخَالَفَ حَالَ اللُّقَطَةِ لِأَنَّهَا كَسْبٌ وَهَكَذَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ الْمُلْتَقِطُ خَصْمًا فِيمَا نُوزِعَ فِيهِ الْمَنْبُوذُ مِنْ أَمْوَالِهِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Khairan, bahwa hakim memiliki wewenang dalam urusan anak yang dibuang (al-mambūdz), dan ia berijtihad dalam penjaminannya, karena ia adalah wali atas anak-anak. Hal ini berbeda dengan kasus luqathah (barang temuan), karena luqathah adalah hasil usaha (kasb). Demikian pula, para ulama kami berbeda pendapat: apakah orang yang menemukan (al-multaqith) menjadi pihak yang bersengketa dalam perkara harta milik al-mambūdz yang diperselisihkan, atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ خَصْمًا فِيهِ نِيَابَةً عَنِ الْمَنْبُوذِ لِمَكَانِ نَظَرِهِ عَلَيْهِ.

Salah satunya: ia menjadi pihak yang bersengketa atas nama al-mambūdz karena ia bertindak sebagai wali atasnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَكُونُ خَصْمًا إِلَّا بِإِذْنِ الْحَاكِمِ وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْمُلْتَقِطُ غَيْرَ أَمِينٍ عَلَيْهِ فَوَاجِبٌ عَلَى الْحَاكِمِ انْتِزَاعُهَا مِنْ يَدِهِ وَيَرْتَضِي لَهُ مَنْ يَقُومُ بِكَفَالَتِهِ وَحِفْظِ مَالِهِ. وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ أَمِينًا عَلَيْهِ فَلَا يُخَافُ مِنِ اسْتِرْقَاقِهِ لَهُ لَكِنَّهُ غَيْرُ أَمِينٍ عَلَى مَالِهِ خَوْفًا مِنِ اسْتِهْلَاكِهِ لَهُ فَهَذَا يُقَرُّ الْمَنْبُوذُ فِي يَدِهِ وَيُنْتَزَعُ الْمَالُ مِنْهُ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ لَهُ بِالْتِقَاطِهِ حَقٌّ فِي كَفَالَتِهِ فَمَا لَمْ يَخْرُجْ عَنْ حَدِّ الْأَمَانَةِ فِيهِ كَانَ مُقَرًّا مَعَهُ وَلَيْسَ تُرَاعَى فِيهِ الْعَدَالَةُ فَيَكُونُ جَرْحُهُ فِي شَيْءٍ جَرْحًا فِي كُلِّ شَيْءٍ وَإِنَّمَا يُرَاعَى فِيهِ الْأَمَانَةُ وَقَدْ يَكُونُ أَمِينًا فِي شَيْءٍ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُؤْتَمَنٍ فِي غَيْرِهِ فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَ الْمَالُ الَّذِي لَيْسَ بِمُؤْتَمَنٍ عَلَيْهِ لِأَنَّهُمَا فِي يَدِهِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ كَاللُّقَطَةِ لِأَنَّهَا جَمِيعًا مال بخلاف المنبوذ قلنا لأن مال اللقطة كَسْبُ الْمُلْتَقِطِ وَلَيْسَ مَالُ الْمَنْبُوذِ كَسْبًا لِلْمُلْتَقِطِ، وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ يَكُونَ أَمِينًا عَلَى مَالِهِ غير أمين على نفسه ما مِنِ اسْتِرْقَاقِهِ وَإِمَّا لِأَنَّهَا ذَاتُ فَرْجٍ لَا يُؤْمَنُ غَيْرُهُ فَيُنْتَزَعُ الْمَنْبُوذُ مِنْهُ وَفِي إِقْرَارِ الْمَالِ مَعَهُ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: ia tidak menjadi pihak yang bersengketa kecuali dengan izin hakim. Bagian kedua, apabila al-multaqith tidak amanah terhadapnya, maka wajib bagi hakim untuk mengambilnya dari tangan al-multaqith dan memilihkan seseorang yang dapat menjamin dan menjaga hartanya. Bagian ketiga, apabila ia amanah terhadap anak tersebut, sehingga tidak dikhawatirkan akan memperbudaknya, namun ia tidak amanah terhadap hartanya karena dikhawatirkan akan menghabiskannya, maka anak tersebut tetap berada di tangannya, namun hartanya diambil darinya. Sebab, dengan pengambilan (al-multaqith) ia telah memperoleh hak dalam penjaminan anak tersebut, sehingga selama ia tidak keluar dari batas amanah dalam hal itu, ia tetap diakui bersamanya. Dalam hal ini, keadilan tidak menjadi pertimbangan, sehingga cacat pada satu sisi dianggap cacat pada seluruh sisi. Yang menjadi pertimbangan hanyalah amanah, dan bisa jadi seseorang amanah dalam satu hal meskipun tidak amanah dalam hal lain. Jika ditanyakan: mengapa harta yang tidak amanah atasnya, padahal keduanya berada di tangannya, tidak disamakan dengan luqathah, karena keduanya sama-sama harta, berbeda dengan al-mambūdz? Kami jawab: karena harta luqathah adalah hasil usaha al-multaqith, sedangkan harta al-mambūdz bukanlah hasil usaha al-multaqith. Bagian keempat, apabila ia amanah terhadap hartanya namun tidak amanah terhadap dirinya, baik karena dikhawatirkan akan memperbudaknya, atau karena anak tersebut adalah perempuan yang tidak amanah selain dirinya, maka anak tersebut diambil darinya. Dalam hal penetapan harta bersamanya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُقَرُّ مَعَهُ وَإِنْ نُزِعَ الْمَنْبُوذُ مِنْهُ. كَمَا يُقَرُّ الْمَنْبُوذُ مَعَهُ وَإِنْ نُزِعَ الْمَالُ مِنْهُ.

Salah satunya: hartanya tetap diakui bersamanya meskipun anak tersebut diambil darinya, sebagaimana anak tersebut tetap diakui bersamanya meskipun hartanya diambil darinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُنْتَزَعُ الْمَالُ مِنْهُ مَعَ الْمَنْبُوذِ لِأَنَّ مَالَهُ تَبَعٌ لَهُ وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْمَنْبُوذِ وَبَيْنَ مَالِهِ أَنَّ لملتقط المنبوذ حق فِي كَفَالَتِهِ وَلَيْسَ لَهُ حَقٌّ فِي حِفْظِ مَالِهِ وَإِنَّمَا الْحَقُّ عَلَيْهِ فِي الْمَالِ وَلَهُ الْكَفَالَةُ فَافْتَرَقَا.

Pendapat kedua: hartanya diambil darinya bersamaan dengan anak tersebut, karena harta mengikuti anak tersebut. Perbedaan antara al-mambūdz dan hartanya adalah bahwa al-multaqith al-mambūdz memiliki hak dalam penjaminan anak tersebut, namun tidak memiliki hak dalam menjaga hartanya. Haknya hanya pada penjaminan, sehingga keduanya berbeda.

فَصْلٌ:

Fasal:

ثُمَّ الْحَاكِمُ مَنْدُوبٌ إِلَى الْإِشْهَادِ عَلَى مَنْ أَخَذَ الْمَنْبُوذَ وَمَالُهُ فِي يَدِهِ كَمَا كَانَ مَنْدُوبًا إِلَى الْإِشْهَادِ عَلَى مَنْ أَخَذَ الْمَنْبُوذَ وَمَالُهُ فِي يَدِ مُلْتَقِطِ الْمَالِ فَإِنْ كَانَ الْقَيِّمُ بِكَفَالَةِ الْمَنْبُوذِ وَحِفْظِ مَالِهِ غَيْرَ الْمُلْتَقِطِ لَهُ لِتَسْلِيمِ الْحَاكِمِ لَهُ إِلَى مَنِ ارْتَضَاهُ لِأَمَانَتِهِ عِنْدَ حَيَاةِ مُلْتَقِطِهِ فَالْإِشْهَادُ عَلَيْهِ مُسْتَحَبٌّ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ لِأَنَّ تَسْلِيمَ الْحَاكِمِ إِلَيْهِ ذَلِكَ حُكْمٌ يُغْنِي عَنِ الْإِشْهَادِ فَإِنْ كَانَ هُوَ الْمُلْتَقِطَ فَفِيهِ وَفِي اللُّقَطَةِ ثلاثة أوجه مضيا.

Kemudian, hakim dianjurkan untuk menghadirkan saksi atas orang yang mengambil al-mambūdz dan hartanya berada di tangannya, sebagaimana ia dianjurkan untuk menghadirkan saksi atas orang yang mengambil al-mambūdz dan hartanya berada di tangan al-multaqith harta. Jika yang mengurus penjaminan al-mambūdz dan menjaga hartanya bukanlah al-multaqith, karena hakim menyerahkannya kepada orang yang dipilih karena amanahnya pada saat al-multaqith masih hidup, maka menghadirkan saksi atasnya adalah mustahab (dianjurkan), tidak wajib. Sebab, penyerahan hakim kepadanya merupakan keputusan yang cukup tanpa harus menghadirkan saksi. Jika yang mengurus adalah al-multaqith, maka dalam hal ini dan dalam kasus luqathah terdapat tiga pendapat yang telah disebutkan.

أَحَدُهَا: أَنَّ الْإِشْهَادَ وَاجِبٌ فِي اللُّقَطَةِ وَالْمَنْبُوذِ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ غَيْرُ وَاجِبٍ فِيهِمَا جَمِيعًا.

Salah satunya: bahwa menghadirkan saksi adalah wajib dalam kasus luqathah dan al-mambūdz. Kedua: bahwa menghadirkan saksi tidak wajib pada keduanya.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ وَاجِبٌ فِي الْمَنْبُوذِ وَغَيْرُ وَاجِبٍ فِي اللُّقَطَةِ لِمَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا.

Ketiga: bahwa menghadirkan saksi wajib dalam kasus al-mambūdz dan tidak wajib dalam kasus luqathah, karena perbedaan yang telah kami sebutkan antara keduanya.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَيَأْمُرُهُ بِالْإِنْفَاقِ مِنْهُ عَلَيْهِ بِالْمَعْرُوفِ وَمَا أَخَذَ ثَمَنَهُ الْمُلْتَقِطُ وَأَنْفَقَ مِنْهُ عَلَيْهِ بِغَيْرِ أَمْرِ الْحَاكِمِ فَهُوَ ضَامِنٌ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Dan ia (hakim) memerintahkannya untuk menafkahkan dari harta itu kepada anak tersebut secara patut. Dan apa yang diambil oleh al-multaqith sebagai harga (barang) dan ia menafkahkan darinya kepada anak tersebut tanpa perintah hakim, maka ia wajib menggantinya (menjadi penjamin).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. إِذَا وَجَدَ مَعَ اللَّقِيطِ مَالٌ كَانَتْ نَفَقَتُهُ فِي مَالِهِ كَمَا يَجِبُ نَفَقَةُ الطِّفْلِ إِذَا كَانَ لَهُ مَالٌ فِي مَالِهِ دُونَ مَالِ أَبِيهِ فَإِنْ تَطَوَّعَ الْمُلْتَقِطُ وَأَنْفَقَ عَلَيْهِ، مِنْ مَالِ نَفْسِهِ كَانَ مُحْسِنًا كَالْأَبِ إِذَا تطوع بالإنفاق على ولده الغني وإن أرد الْمُلْتَقِطُ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهِ مِنْ مَالِهِ لَزِمَهُ اسْتِئْذَانُ الْحَاكِمِ فِيهِ سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّ لِلْحَاكِمِ عليه نظر فِي اللَّقِيطِ أَوْ لَيْسَ لَهُ لِأَنَّ لِلْحَاكِمِ نَظَرًا فِي مَالِهِ لَا يُخْتَلَفُ فِيهِ فَإِنْ أَنْفَقَ بِغَيْرِ إِذْنٍ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَادِرًا عَلَى اسْتِئْذَانِهِ أَوْ غَيْرَ قَادِرٍ فَإِنْ كَانَ قَادِرًا عَلَى اسْتِئْذَانِهِ كَانَ ضَامِنًا لِمَا أَنْفَقَ قَصْدًا أَوْ سَرَفًا لِأَنَّ الْحَاكِمَ هُوَ الْوَالِي عَلَى الْمَالِ دُونَهُ وَصَارَ ذَلِكَ وَإِنْ وَصَلَ إِلَى مَالِكِهِ كَمَنْ أَخَذَ عَلَفَ رَجُلٍ أَعَدَّهُ لِدَابَّتِهِ فَأَطْعَمَهَا إِيَّاهُ ضَمِنَهَا لَهُ وَإِنْ وَصَلَ إِلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى اسْتِئْذَانِ الْحَاكِمِ فَفِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang telah dikatakan. Jika ditemukan harta bersama anak terlantar (laqīṭ), maka nafkahnya diambil dari hartanya sendiri, sebagaimana wajibnya nafkah anak kecil jika ia memiliki harta, maka nafkahnya diambil dari hartanya sendiri, bukan dari harta ayahnya. Jika orang yang memungut (al-multaqiṭ) secara sukarela menafkahinya dari hartanya sendiri, maka ia berbuat baik, seperti seorang ayah yang secara sukarela menafkahi anaknya yang kaya. Dan jika al-multaqiṭ ingin menafkahinya dari hartanya (anak terlantar), maka ia wajib meminta izin kepada hakim, baik dikatakan bahwa hakim memiliki wewenang atas anak terlantar maupun tidak, karena hakim pasti memiliki wewenang atas hartanya, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Jika ia menafkahinya tanpa izin, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi ia mampu meminta izin atau tidak mampu. Jika ia mampu meminta izin, maka ia wajib mengganti apa yang telah ia keluarkan, baik dengan sengaja maupun berlebihan, karena hakim adalah wali atas harta itu, bukan dia. Maka hal itu, meskipun sampai kepada pemiliknya, seperti orang yang mengambil makanan ternak milik seseorang yang telah disiapkan untuk hewannya, lalu memberikannya kepada hewan itu, maka ia wajib menggantinya, meskipun telah sampai kepada hewannya. Jika ia tidak mampu meminta izin kepada hakim, maka dalam hal kewajiban mengganti terdapat dua pendapat.

كَالْجَمَّالِ إِذَا هَرَبَ مِنْ مُسْتَأْجِرِهِ فاكترى لنفسه عند إعواز الحاكم لِيَسْتَأْذِنَهُ أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ أَنْ يَسْتَرْجِعَ الْمُسْتَأْجِرُ وَلَا يَضْمَنُ الْمُلْتَقِطُ لِضَرُورَتِهَا وَالثَّانِي لَا يَرْجِعُ الْمُسْتَأْجِرُ ويضمن الملتقط لأن لا يَكُونَا حَاكِمَيْ أَنْفُسِهِمَا وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ هَرَبِ الْجَمَّالِ وَبَيْنَ مُلْتَقِطِ الْمَنْبُوذِ فَجَعَلَ لِلْمُسْتَأْجِرِ أَنْ يَرْجِعَ وَجَعَلَ الْمُلْتَقِطَ ضَامِنًا لِأَنَّ الْمُسْتَأْجِرَ مُضْطَرٌّ إِلَى اسْتِيفَاءِ حَقِّهِ وَلَيْسَ الْمُلْتَقِطُ مضطر إِلَى الْتِقَاطِهِ وَهَذَا لَا وَجْهَ لَهُ لِأَنَّهُ رُبَّمَا وَجَدَهُ ضَائِعًا فِي مَهْلَكَةٍ فَلَزِمَهُ أَخْذُهُ لِنَفْسِهِ.

Seperti halnya seorang pengemudi unta (jammāl) yang melarikan diri dari penyewanya, lalu ia menyewa untuk dirinya sendiri ketika tidak memungkinkan meminta izin kepada hakim. Salah satu dari dua pendapat adalah penyewa dapat meminta kembali (biaya) dan al-multaqiṭ tidak wajib mengganti karena adanya keadaan darurat. Pendapat kedua, penyewa tidak dapat meminta kembali dan al-multaqiṭ wajib mengganti, agar keduanya tidak menjadi hakim atas diri mereka sendiri. Di antara ulama mazhab kami ada yang membedakan antara larinya jammāl dan al-multaqiṭ anak terlantar, sehingga memberikan hak kepada penyewa untuk meminta kembali dan mewajibkan al-multaqiṭ untuk mengganti, karena penyewa dalam keadaan terpaksa untuk mengambil haknya, sedangkan al-multaqiṭ tidak terpaksa untuk memungutnya. Namun pendapat ini tidak tepat, karena bisa jadi ia menemukan anak terlantar itu dalam keadaan terancam bahaya, sehingga ia wajib mengambilnya untuk menyelamatkan dirinya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِنِ اسْتَأْذَنَ الْحَاكِمُ فَهَلْ يَأْذَنُ لَهُ فِي النَّفَقَةِ عَلَيْهِ بِنَفْسِهِ مِنْ يَدِهِ أَوْ يَتَوَلَّاهُ غَيْرُهُ مِنْ أُمَنَائِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika hakim telah dimintai izin, apakah ia mengizinkan al-multaqiṭ untuk menafkahinya secara langsung dari tangannya sendiri, ataukah hal itu dilakukan oleh orang lain dari para amanah (kepercayaan) hakim? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْأَصَحُّ: أَنَّهُ يَأْذَنُ لَهُ فِي النَّفَقَةِ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ أَمِينًا إِمَّا بِتَقْدِيرِ مِثَالِهِ فَإِنْ زَادَ عَلَى الْقَدْرِ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ ضَمِنَ وَإِمَّا بِأَنْ رَدَّ ذَلِكَ إِلَى اجْتِهَادِهِ فَمَا ادَّعَاهُ، فِيهَا عَنْ قَصْدٍ قُبِلَ مِنْهُ وَمَا تَجَاوَزَ الْقَصْدَ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ لِأَنَّهُ مُتَعَدٍّ بِهِ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا فِيهِ.

Salah satunya, dan ini yang paling sahih: bahwa hakim mengizinkan al-multaqiṭ untuk menafkahinya jika ia adalah orang yang terpercaya, baik dengan menentukan kadar yang sesuai, sehingga jika ia melebihi kadar tersebut tanpa kebutuhan maka ia wajib mengganti, atau dengan menyerahkan hal itu kepada ijtihadnya, maka apa yang ia klaim telah dikeluarkan dengan maksud yang benar diterima darinya, dan apa yang melebihi dari maksud tersebut tidak diterima darinya karena ia telah melampaui batas, meskipun ia benar dalam hal itu.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُؤْخَذُ مِنَ الْمُلْتَقِطِ مِنْ مَالِ الْمَنْبُوذِ الْقَدْرُ الَّذِي يَتَصَرَّفُ فِي نَفَقَتِهِ حتى يتولى ذَلِكَ غَيْرُهُ مِنْ أُمَنَاءِ الْحَاكِمِ لِمَا فِيهِ مِنْ فَضْلِ الِاحْتِيَاطِ لَهُ ثُمَّ فِيهِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: bahwa diambil dari al-multaqiṭ dari harta anak terlantar sejumlah yang dibutuhkan untuk nafkahnya, hingga hal itu dilakukan oleh orang lain dari para amanah hakim, karena hal itu lebih berhati-hati baginya. Kemudian dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأَمِينَ يَتَوَلَّى شِرَاءَ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ الْمَنْبُوذُ مِنْ طَعَامٍ وَكِسْوَةٍ ثُمَّ يَدْفَعُهُ إِلَى الْمُلْتَقِطِ حَتَّى يُطْعِمَهُ وَيَكْسُوَهُ لِأَنَّهُ أَحْوَطُ.

Salah satunya: bahwa orang yang dipercaya (amin) yang membeli apa yang dibutuhkan oleh anak terlantar berupa makanan dan pakaian, kemudian memberikannya kepada al-multaqiṭ agar ia memberinya makan dan pakaian, karena ini lebih berhati-hati.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَدْفَعُ قَدْرَ النَّفَقَةِ إِلَى الْمُلْتَقِطِ لِيَتَوَلَّى شِرَاءَ ذَلِكَ بِنَفْسِهِ لِمَا لَهُ حق الولاية عليه.

Pendapat kedua: bahwa diberikan sejumlah nafkah kepada al-multaqiṭ agar ia sendiri yang membeli kebutuhan tersebut, karena ia memiliki hak perwalian atasnya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فَإِنْ لَمْ يُوجَدْ لَهُ مَالٌ وَجَبَ عَلَى الْحَاكِمِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهِ مِنْ مَالِ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ حَرُمَ تَضْيِيعُهُ عَلَى مَنْ عَرَفَهُ حَتَّى يُقَامَ بِكَفَالَتِهِ فَيَخْرُجُ مَنْ بَقِيَ مِنَ الْمَأْثَمِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika tidak ditemukan harta baginya, maka wajib atas hakim untuk menafkahinya dari harta Allah Ta‘ala. Jika hakim tidak melakukannya, maka haram bagi siapa pun yang mengetahuinya untuk menelantarkannya hingga ada yang menanggungnya, sehingga orang yang masih tersisa terbebas dari dosa.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. إِذَا الْتَقَطَ الْمَنْبُوذَ فَقِيرًا لَا مَالَ لَهُ وَلَمْ يَتَطَوَّعْ أَحَدٌ بِالنَّفَقَةِ عَلَيْهِ وَجَبَ عَلَى الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ أَوْ مَنْ يَنُوبُ عَنْهُ مِنْ وَالٍ وَحَاكِمٍ أَنْ يَقُومَ بِنَفَقَتِهِ لِأَنَّهَا نَفْسٌ يَجِبُ حِرَاسَتُهَا وَيَحْرُمُ إِضَاعَتُهَا وَمِنْ أَيْنَ يُنْفِقُ الْإِمَامُ عَلَيْهِ فِيهِ قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang telah dikatakan. Jika seseorang memungut anak terlantar dalam keadaan miskin, tidak memiliki harta, dan tidak ada seorang pun yang secara sukarela menanggung nafkahnya, maka wajib bagi imam agung atau siapa pun yang mewakilinya, baik wali maupun hakim, untuk menanggung nafkahnya. Sebab, ia adalah jiwa yang wajib dijaga dan haram disia-siakan. Adapun dari mana imam menafkahinya, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الأصح: من بيت المال لأنه رصد لِلْمَصَالِحِ وَهَذَا مِنْهَا وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَنَّهُ قَالَ: ” لَئِنْ أَصَابَ النَّاسَ سَنَةٌ لِأُنْفِقَنَّ عَلَيْهِمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ حَتَى لَا أَجِدَ دِرْهَمًا فَإِذَا لَمْ أَجِدْ دِرْهَمًا أَلْزَمْتُ كُلَّ رَجُلٍ رَجُلًا ” وَقَدِ اسْتَشَارَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ الصَّحَابَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فِي النَّفَقَةِ عَلَى اللَّقِيطِ فَقَالُوا مِنْ بَيْتِ الْمَالِ فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ لَا رُجُوعَ بِمَا أَنْفَقَ عَلَيْهِ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ عَلَى اخْتِلَافِ مَا يَظْهَرُ مِنْ أَحْوَالِهِ لِوُجُوبِهَا فِيهِ.

Salah satunya, dan ini yang paling sahih: dari baitul mal, karena baitul mal diperuntukkan bagi kemaslahatan umum dan ini termasuk di dalamnya. Diriwayatkan dari Umar bin Khattab ra. bahwa beliau berkata: “Jika manusia tertimpa masa paceklik, sungguh aku akan menafkahi mereka dari harta Allah hingga aku tidak menemukan satu dirham pun. Jika aku tidak menemukan satu dirham pun, maka aku akan mewajibkan setiap laki-laki untuk menanggung satu orang.” Umar ra. juga pernah meminta pendapat para sahabat ra. mengenai nafkah untuk anak terlantar, lalu mereka berkata: dari baitul mal. Maka menurut pendapat ini, tidak ada tuntutan pengembalian atas apa yang telah dikeluarkan dari baitul mal, meskipun tampak perbedaan keadaan, karena kewajiban tersebut memang ada padanya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا لَا تَجِبُ فِي بَيْتِ الْمَالِ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا فَتَجِبُ عَلَى سَيِّدِهِ أَوْ حُرًّا لَهُ أَبٌ غَنِيٌّ فَتَجِبُ عَلَى أَبِيهِ وَبَيْتُ الْمَالِ لَا يَلْزَمُ فِيهِ إِلَّا مَا لَا وَجْهَ لَهُ سِوَاهُ فَعَلَى هَذَا يَجِبُ عَلَى الْإِمَامِ أَنْ يَقْتَرِضَ لَهُ مَا يُنْفِقُ عَلَيْهِ إِمَّا مِنْ بَيْتِ الْمَالِ أَوْ مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي بَيْتِ الْمَالِ مَالٌ وَلَمْ يَنْفَرِدْ أَحَدٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ بِهِ وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يَخُصَّ نَفْسَهُ وَمَنْ حَضَرَهُ مِنْ ذَوِي الْمَكِنَةِ وَجَعَلَهَا مُقَسَّطَةً عَلَيْهِمْ عَلَى عَدَدِهِمْ جَبْرًا وَلَا يَخُصُّ بِالْإِجْبَارِ عَلَيْهَا وَاحِدًا قَالَ الشَّافِعِيُّ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ حَرُمَ تَضْيِيعُهُ عَلَى مَنْ عَرَفَهُ حَتَّى يُقَامَ بِكَفَالَتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَاتِ ثُمَّ يَنْظُرُ فَإِنْ بَانَ عَبْدًا رَجَعَ بِهَا عَلَى سَيِّدِهِ وَإِنْ بَانَ لَهُ أَبٌ غَنِيٌّ أَخَذَهَا مِنْ أَبِيهِ فَإِنْ بَلَغَ وَلَا أَبَ لَهُ وَلَا سَيِّدَ فَإِنْ عَلِمَهُ مُكْتَسِبًا رَجَعَ عَلَيْهِ فِي كَسْبِهِ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُكْتَسِبٍ فَهُوَ مِنْ جُمْلَةِ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ فَيَقْضِي ذَلِكَ عَنْهُ مِنْ أَيِّ الْمَالَيْنِ يَرَاهُ فِيهَا مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ أَوِ الْمَسَاكِينِ أَوْ مِنْ سَهْمِ الْغَارِمِينَ والله أعلم.

Pendapat kedua: bahwa nafkah itu tidak wajib diambil dari baitul mal, karena bisa jadi anak tersebut adalah seorang budak sehingga kewajiban nafkah ada pada tuannya, atau ia seorang merdeka yang memiliki ayah kaya sehingga kewajiban nafkah ada pada ayahnya. Baitul mal tidak wajib menanggung kecuali jika tidak ada pihak lain yang bertanggung jawab. Maka menurut pendapat ini, imam wajib meminjamkan untuknya apa yang akan dinafkahkan kepadanya, baik dari baitul mal maupun dari salah satu kaum muslimin. Jika di baitul mal tidak ada harta dan tidak ada seorang muslim pun yang menanggungnya, maka wajib bagi imam untuk mengkhususkan dirinya dan orang-orang yang hadir bersamanya dari kalangan orang yang mampu, lalu membaginya secara adil di antara mereka sesuai jumlah mereka, secara paksa, dan tidak boleh memaksa hanya satu orang saja. Asy-Syafi‘i berkata: Jika hal itu tidak dilakukan, maka haram bagi siapa pun yang mengetahuinya untuk menelantarkannya hingga ada yang menanggungnya, karena itu termasuk fardhu kifayah. Kemudian, jika ternyata ia adalah seorang budak, maka biaya itu diambil dari tuannya; jika ternyata ia memiliki ayah yang kaya, maka diambil dari ayahnya; jika ia telah dewasa dan tidak memiliki ayah maupun tuan, dan diketahui ia mampu bekerja, maka biaya itu diambil dari penghasilannya; jika ia tidak mampu bekerja, maka ia termasuk golongan penerima sedekah, sehingga biaya itu diambilkan dari salah satu dari dua sumber yang dianggap layak, yaitu dari bagian fakir miskin atau dari bagian gharimīn (orang yang berutang). Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ أَمَرَهُ الْحَاكِمُ أَنْ يَسْتَسْلِفَ مَا أَنْفَقَ عَلَيْهِ يَكُونُ عَلَيْهِ دَيْنًا فَمَا ادَّعَى قُبِلَ مِنْهُ إِذَا كَانَ مِثْلُهُ قَصْدًا (قَالَ الْمُزَنِيُّ) لَا يَجُوزُ قَوْلُ أَحَدٍ فِيمَا يَتَمَلَّكُهُ عَلَى أَحَدٍ لِأَنَّهُ دَعْوَى وَلَيْسَ كَالْأَمِينِ يَقُولُ فَيَبْرَأُ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika hakim memerintahkannya untuk meminjam apa yang telah dinafkahkan kepadanya, maka itu menjadi utang atasnya. Apa yang ia klaim diterima darinya selama klaimnya itu sewajarnya (Al-Muzani berkata): Tidak boleh menerima klaim seseorang atas apa yang ia miliki dari orang lain, karena itu adalah pengakuan dan tidak seperti orang yang dipercaya yang ucapannya dapat membebaskannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي لَقِيطٍ فَقِيرٍ أَمَرَ الْحَاكِمُ مُلْتَقِطَهُ أَنْ يَسْتَقْرِضَ مَا يُنْفِقُهُ عَلَيْهِ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ يَأْمُرَهُ أَنْ يَسْتَقْرِضَ عَلَيْهِ مِنْ غَيْرِهِ فَهَذَا جَائِزٌ وَلَا يَأْخُذُ الْقَرْضَ جُمْلَةً وَلَكِنْ يَسْتَقْرِضُ لَهُ فِي كُلِّ يَوْمٍ أَوْ أَكْثَرَ فِي كُلِّ أُسْبُوعٍ قَدْرَ حَاجَتِهِ إِلَيْهِ وَيُقْبَلُ قَوْلُ الْمُلْتَقِطِ فِي إِنْفَاقِهِ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَا يَسْتَغْنِي عَنْ غِذَاءٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ فَإِذَا مَرَّتْ بِهِ الْأَيَّامُ عَلَى سَلَامَةٍ وَهُوَ فِيهَا نَامِي الْجَسَدِ مُسْتَقِيمُ الْأَحْوَالِ كَانَ الْأَظْهَرُ مِنْ حَالِهِ وَصُولُ النَّفَقَةِ إِلَيْهِ. وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَأْمُرَهُ أَنْ يَسْتَقْرِضَ مِنْ نَفْسِهِ فَهَلْ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَتَوَلَّى إِنْفَاقَهُ عَلَيْهِ بِنَفْسِهِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah pada anak terlantar yang miskin, hakim memerintahkan orang yang memungutnya untuk meminjam apa yang akan dinafkahkan kepadanya. Maka hal ini ada dua bentuk: Pertama, hakim memerintahkannya untuk meminjamkan atas nama anak itu dari orang lain, maka ini diperbolehkan dan tidak boleh mengambil pinjaman sekaligus, melainkan meminjamkan untuknya setiap hari atau paling banyak setiap minggu sesuai kebutuhannya. Ucapan orang yang memungut diterima dalam hal pengeluaran nafkahnya, karena anak itu tidak bisa lepas dari kebutuhan makan setiap hari. Jika hari-hari berlalu dengan selamat dan anak itu tumbuh sehat serta keadaannya baik, maka yang tampak adalah bahwa nafkah itu benar-benar sampai kepadanya. Bentuk kedua, hakim memerintahkannya untuk meminjamkan dari hartanya sendiri. Apakah boleh ia menanggung nafkahnya dari hartanya sendiri atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ نَصُّهُ هَا هُنَا: يَجُوزُ لِكَوْنِهِ أَمِينًا وَمَا ادَّعَاهُ مِنْ شَيْءٍ يَكُونُ مِثْلُهُ قَصْدًا قُبِلَ مِنْهُ. وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ إِنَّهُ لَا يَجُوزُ حَتَّى يَأْخُذَهَا مِنْ غَيْرِهِ مِنَ الْأُمَنَاءِ فَيُنْفِقَهَا عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَا يُقْبَلُ قَوْلُ أَحَدٍ فِيمَا يَدَّعِيهِ دَيْنًا عَلَى غَيْرِهِ.

Salah satu pendapat, yaitu pendapat yang dinyatakan secara eksplisit di sini, adalah: dibolehkan karena ia adalah orang yang terpercaya, dan apa pun yang ia klaim berupa sesuatu yang lazimnya disengaja, diterima darinya. Pendapat kedua, yang dipilih oleh al-Muzani, adalah tidak boleh sampai ia mengambilnya dari orang lain yang juga terpercaya, lalu ia membelanjakannya untuknya, karena tidak diterima ucapan seseorang atas apa yang ia klaim sebagai utang atas orang lain.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ وَجَدَهُ رَجُلَانِ فَتَشَاحَّاهُ أَقْرَعْتُ بَيْنَهُمَا فَمَنْ خَرَجَ سَهْمَهُ دَفَعْتُهُ إِلَيْهِ وَإِنْ كَانَ الْآخَرُ خَيْرًا لَهُ لَمْ يَكُنْ مُقَصِّرًا عَمَّا فِيهِ مَصْلَحَتُهُ “. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا اشْتَرَكَ نَفْسَانِ فِي الْتِقَاطِ الْمَنْبُوذِ وَهُمَا مِنْ أَهْلِ الْكَفَالَةِ لَهُ لِاسْتِوَائِهِمَا فِي الْإِسْلَامِ وَالْحُرِّيَّةِ وَالْأَمَانَةِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَنَازَعَاهُ وَيَتَشَاحَنَا عَلَيْهِ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَعَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِهِ أَنَّ الْحَاكِمَ يَقْرَعُ بَيْنَهُمَا لِأَنَّهُمَا لَمَّا اسْتَوَيَا وَلَمْ يُمْكِنْ أَنْ يَشْتَرِكَ بَيْنَهُمَا كَانَتِ الْقُرْعَةُ بَيْنَهُمَا لِيَتَمَيَّزَ بِهَا الْأَحَقُّ مِنْ غَيْرِ تُهْمَةٍ.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika dua orang menemukan (anak terlantar) lalu mereka berselisih tentangnya, maka aku mengundi di antara keduanya; siapa yang keluar undiannya, aku serahkan kepadanya. Dan jika yang lain lebih baik baginya, ia tidak dianggap lalai terhadap kemaslahatannya.” Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Jika dua orang sama-sama mengambil anak terlantar dan keduanya layak menjadi penanggungnya karena sama-sama muslim, merdeka, dan terpercaya, maka hal ini terbagi menjadi dua: Pertama, jika keduanya saling berselisih dan saling berebut, maka mazhab asy-Syafi‘i dan mayoritas pengikutnya adalah hakim mengundi di antara keduanya, karena keduanya sama derajatnya dan tidak mungkin keduanya bersama-sama, maka undian dilakukan agar yang paling berhak dapat dibedakan tanpa ada tuduhan.

قَالَ تَعَالَى: {وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُونَ أَقْلامَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ} [آل عمران: 44] الْآيَةَ ثُمَّ يَتَعَيَّنُ حَقُّ مَنْ قَرَعَ مِنْهُمَا فِي كَفَالَتِهِ فَإِنْ أَرَادَ رَفْعَ يَدِهِ عَنْهُ كَانَ لَهُ وَلَمْ يُجْبَرْ عَلَى إِمْسَاكِهِ وَيَتَسَلَّمُهُ الْحَاكِمُ مِنْهُ وَهَلْ يَصِيرُ شَرِيكُهُ أَوْلَى بِكَفَالَتِهِ مِنْ غَيْرِهِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Allah Ta‘ala berfirman: {Dan kamu tidak berada di sisi mereka ketika mereka melemparkan pena-pena mereka untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam} (Ali Imran: 44). Kemudian hak orang yang keluar undiannya di antara mereka menjadi pasti dalam penanggungannya. Jika ia ingin melepaskan tangannya darinya, maka itu haknya dan ia tidak dipaksa untuk tetap menanggungnya, dan hakim menerima anak itu darinya. Apakah rekannya atau orang lain lebih berhak menanggungnya, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: هُوَ أَوْلَى بِهِ مِنْ غَيْرِهِ لِاخْتِصَاصِهِ بِالْتِقَاطِهِ وَإِنْ تَقَدَّمَ الْآخَرُ بِالْقُرْعَةِ.

Pertama: Ia lebih berhak daripada yang lain karena ia yang mengambilnya, meskipun yang lain lebih dahulu keluar undiannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ بَطَلَتْ كَفَالَتُهُ لَمَّا قَرَعَهُ صَاحِبُهُ وَصَارَ غَيْرُهُ سَوَاءً فَيَجْتَهِدُ الْحَاكِمُ فِيهِ رَأْيَهُ فَهَذَا حُكْمُ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ مِنَ الْإِقْرَاعِ بَيْنَهُمَا عِنْدَ التَّنَازُعِ وَسَوَاءٌ كَانَ مَنْ خَرَجَ بِالْقُرْعَةِ أَنَفَعَ لَهُ إِذَا لَمْ يَكُنِ الَّذِي خَرَجَ قُرْعَتُهُ مُقَصِّرًا أَوْ كَانَا سَوَاءً، وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ لَا قُرْعَةَ بَيْنَهُمَا عِنْدَ التَّنَازُعِ وَلَكِنْ يَجْتَهِدُ الْحَاكِمُ فِيهِمَا رَأْيَهُ فَأَيُّهُمَا رَآهُ أَحَظَّ لَهُ كَانَ أَوْلَى بِكَفَالَتِهِ وَلِهَذَا الْقَوْلِ وَجْهٌ وَإِنْ خَالَفَ نَصَّ الشَّافِعِيِّ غَيْرَ أَنَّ تَسَاوِيَهُمَا يَمْنَعُ مِنْ تَغْلِيبِ أَحَدِهِمَا إِلَّا بِالْقُرْعَةِ كَالْبَيِّنَتَيْنِ إِذَا تَعَارَضَتَا.

Pendapat kedua: Hak penanggungannya gugur setelah rekannya keluar undiannya, sehingga ia sama dengan orang lain, maka hakim berijtihad dengan pendapatnya. Inilah hukum yang dipegang oleh asy-Syafi‘i tentang undian di antara keduanya saat terjadi perselisihan, baik yang keluar undiannya lebih bermanfaat baginya selama yang keluar undiannya tidak lalai atau keduanya sama. Abu ‘Ali bin Khairan berkata: Tidak ada undian di antara keduanya saat berselisih, tetapi hakim berijtihad dengan pendapatnya; siapa yang ia pandang lebih maslahat baginya, maka dialah yang lebih berhak menanggungnya. Pendapat ini juga memiliki dasar, meskipun berbeda dengan nash asy-Syafi‘i, hanya saja kesetaraan keduanya mencegah untuk mengunggulkan salah satunya kecuali dengan undian, seperti dua bukti jika keduanya saling bertentangan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَتَنَازَعَا وَيَتَّفِقَا عَلَى تَسْلِيمِهِ لِأَحَدِهِمَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian kedua: Jika keduanya tidak berselisih dan sepakat untuk menyerahkannya kepada salah satu dari mereka, maka ini terbagi menjadi dua:

أحدهما: أن يسلمه قبل استقراره يَدِهِ عَلَيْهِ فَهَذَا يَجُوزُ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ لَهُ بِمَثَابَةٍ مَنْ رَآهُ وَلَمْ يَلْتَقِطْهُ وَيَصِيرُ الْمُسْتَلِمُ أَوْلَى وَكَأَنَّهُ الْتَقَطَهُ وَحْدَهُ.

Pertama: Menyerahkannya sebelum benar-benar berada dalam genggamannya, maka ini boleh karena yang diserahi seakan-akan seperti orang yang melihatnya namun tidak mengambilnya, dan yang menerima menjadi lebih berhak, seolah-olah ia yang mengambilnya sendiri.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَسْتَقِرَّ أَيْدِيَهُمَا جَمِيعًا عَلَيْهِ حَتَّى يَصِيرَ الْمَلْقُوطُ مَعَهُمَا ثُمَّ يَتَسَلَّمُهُ أَحَدُهُمَا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Bagian kedua: Jika keduanya telah sama-sama memegangnya hingga anak terlantar itu bersama mereka, lalu salah satu dari mereka menerimanya, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لِأَنَّ الْحَقَّ لَهُمَا وَلَيْسَ يَتَجَاوَزُهُمَا كَالشَّقِيقَيْنِ إِذَا سَلَّمَ أَحَدَهُمَا لِصَاحِبِهِ.

Pertama: Boleh, karena hak itu milik mereka berdua dan tidak melampaui mereka, seperti dua saudara kandung jika salah satunya menyerahkan kepada yang lain.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ لِأَنَّ لِلْمُلْتَقِطِ حَقَّ الْكَفَالَةِ وَلَيْسَ لَهُ حَقُّ التَّسْلِيمِ كَمَا لَوْ كَانَ هُوَ الْوَاجِدُ وَحْدَهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَسْلِيمُهُ إِلَى غَيْرِهِ حَتَّى يَتَوَلَّى الْحَاكِمُ.

Pendapat kedua: Tidak boleh, karena bagi yang mengambil ada hak penjaminan (kafalah), namun tidak berhak menyerahkan, sebagaimana jika ia sendiri yang menemukannya, ia tidak boleh menyerahkannya kepada orang lain kecuali atas keputusan hakim.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوِ الْتَقَطَهُ رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ كَانَا فِي كَفَالَتِهِ سَوَاءً فَيَقْتَرِعَانِ وَلَا تُقَدَّمُ الْمَرْأَةُ كَتَقْدِيمِ الْأُمِّ عَلَى الْأَبِ فِي الْحَضَانَةِ لِأَنَّ فِي الِالْتِقَاطِ وِلَايَةً إِنْ لَمْ يَكُنِ الرَّجُلُ أَحَقَّ لَهَا لَمْ يَكُنْ أَنَقَصَ حضانة الأبوين.

Jika seorang laki-laki dan seorang perempuan sama-sama memungut seorang anak terlantar, maka keduanya memiliki hak yang sama dalam pengasuhan anak tersebut, sehingga dilakukan undian di antara keduanya. Perempuan tidak diutamakan sebagaimana ibu diutamakan atas ayah dalam hak hadhanah, karena dalam masalah pemungutan anak terlantar terdapat unsur wilayah (kewenangan), sehingga jika laki-laki tidak lebih berhak, maka ia juga tidak kurang dari kedua orang tua dalam hal hadhanah.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا مُقِيمًا بِالْمِصْرِ وَالْآخَرُ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِ دُفِعَ إِلَى الْمُقِيمِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika salah satu dari mereka adalah penduduk kota dan yang lainnya bukan penduduk kota tersebut, maka anak itu diserahkan kepada yang tinggal di kota.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا وَجَدَ اللَّقِيطَ فِي الْمِصْرِ رَجُلَانِ أَحَدُهُمَا مِنْ أَهْلِ الْمِصْرِ وَالْآخَرُ مِنْ أَهْلِ مِصْرٍ آخَرَ وَهُوَ غَرِيبٌ فِي هَذَا الْمِصْرِ فَالْوَاجِدُ لَهُ مِنْ أَهْلِ مِصْرِهِ أَحَقُّ بِكَفَالَتِهِ مِنَ الْغَرِيبِ الَّذِي لَيْسَ مِنْ أَهْلِهِ لِأَنَّ قِيَامَهُ فِي الْبَلَدِ الَّذِي وُجِدَ فِيهِ أَشْهَرُ لِحَالِهِ وَأَقْرَبُ إِلَى ظُهُورِ نَسَبِهِ وَلَكِنْ لَوِ انْفَرَدَ الْغَرِيبُ بِالْتِقَاطِهِ وَأَرَادَ إِخْرَاجَهُ مِنَ الْبَلَدِ الَّذِي وُجِدَ فِيهِ إِلَى بَلَدِهِ فَإِنْ كَانَ غَيْرَ أَمِينٍ أَوْ كَانَ الطَّرِيقُ غَيْرَ مَأْمُونٍ فَلَا حَقَّ لَهُ فِي كَفَالَتِهِ وَإِنْ كَانَ أَمِينًا وَالطَّرِيقُ مَأْمُونٌ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بَلَدُهُ قَرِيبًا عَلَى أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَهُوَ مُسْتَحِقٌّ لِكَفَالَتِهِ إِذَا تَسَاوَى الْبُلْدَانُ أو كان بلد الملتقط أصلح فأما إن كان بلد اللقيط مصر وَبَلَدُ الْمُلْتَقِطِ قَرْيَةً فَفِيهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: لَا حَقَّ لَهُ فِي كَفَالَتِهِ لِأَنَّ الْمِصْرَ أَنْفَعُ لَهُ مِنَ الْقَرْيَةِ لِمَا فِيهِ مِنْ كَثْرَةِ الْعُلُومِ وَالْآدَابِ وَوُفُورِ الصَّنَائِعِ وَالِاكْتِسَابِ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَسْتَحِقُّ كَفَالَتَهُ وَإِخْرَاجَهُ إِلَى قَرْيَتِهِ لِأَنَّ الْقَرْيَةَ رُبَّمَا كَانَتْ أَعَفَّ وَكَانَ أَهْلُهَا أَسْلَمَ وَمَعَايِشُهُمْ أَطْيَبَ وَلِأَنَّ حَالَهُ فِي الْقَرْيَةِ أَيْسَرُ مِنْهَا فِي الْمِصْرِ الْكَبِيرِ لِقِلَّةِ مَنْ فِيهَا وَكَثْرَةِ مَنْ فِي الْمِصْرِ وَقَلَّمَا يُمْكِنُ أَنْ يَشْعُرَ فِي الْقُرَى بِفَاحِشَةٍ تَخْفَى وَرِيبَةٍ تُكْتَمُ.

Al-Mawardi berkata: Jika dua orang laki-laki menemukan seorang anak terlantar di sebuah kota, salah satunya adalah penduduk kota tersebut dan yang lainnya adalah penduduk kota lain yang merupakan orang asing di kota itu, maka yang menemukan anak tersebut dari penduduk kota itu lebih berhak mengasuhnya daripada orang asing yang bukan penduduk kota tersebut. Sebab, keberadaannya di negeri tempat anak itu ditemukan lebih memungkinkan untuk diketahui keadaannya dan lebih dekat untuk diketahui nasabnya. Namun, jika orang asing itu sendiri yang memungut anak tersebut dan ingin membawanya keluar dari negeri tempat anak itu ditemukan ke negerinya sendiri, maka jika ia bukan orang yang terpercaya atau jalan yang akan dilalui tidak aman, maka ia tidak berhak mengasuhnya. Tetapi jika ia terpercaya dan jalannya aman, maka ada tiga keadaan: Pertama, jika negerinya dekat, kurang dari sehari semalam perjalanan, maka ia berhak mengasuhnya jika kedua negeri itu setara, atau jika negeri pemungut lebih baik. Adapun jika negeri anak terlantar adalah kota dan negeri pemungut adalah desa, maka ada dua pendapat: Pertama, ia tidak berhak mengasuhnya karena kota lebih bermanfaat baginya daripada desa, karena di kota banyak ilmu, adab, berbagai macam keahlian, dan peluang mencari nafkah. Pendapat kedua, ia berhak mengasuh dan membawanya ke desanya, karena bisa jadi desa lebih menjaga kehormatan, penduduknya lebih selamat, kehidupan mereka lebih baik, dan keadaannya di desa lebih mudah daripada di kota besar karena sedikitnya penduduk desa dan banyaknya penduduk kota, serta jarang terjadi perbuatan keji yang tersembunyi dan kecurigaan yang disembunyikan di desa.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بَلَدُهُ بَعِيدًا وَأَخْبَارُهُ مُنْقَطِعَةً وَالطَّارِئُ إِلَيْهِ أَوْ مِنْهُ نَادِرٌ.

Keadaan kedua: Jika negerinya jauh dan berita tentangnya terputus, serta orang yang datang ke atau dari negeri itu sangat jarang.

كَمَنْ بِالْعِرَاقِ إِذَا أَرَادَ نَقْلَهُ إِلَى الشَّرْقِ أَوِ الْغَرْبِ فَلَا حَقَّ لَهُ فِي كَفَالَتِهِ لِإِضَاعَةِ نَسَبِهِ وَخَفَاءِ حَالِهِ فَلَوْ قَالَ الْغَرِيبُ أَنَا أَسْتَوْطِنُ بَلَدَ اللَّقِيطِ قُلْنَا أَنْتَ حِينَئِذٍ أَحَقُّ بِكَفَالَتِهِ وَإِنَّمَا تُمْنَعُ مِنْهُ إِذَا أَرَدْتَ الْعَوْدَ إِلَى بَلَدِكَ.

Seperti seseorang yang berada di Irak jika ingin memindahkan anak itu ke wilayah timur atau barat, maka ia tidak berhak mengasuhnya karena akan menyebabkan hilangnya nasab dan tidak diketahui keadaannya. Jika orang asing itu berkata, “Saya akan menetap di negeri anak terlantar ini,” maka kami katakan, “Saat itu, engkau lebih berhak mengasuhnya, dan engkau hanya dilarang jika ingin kembali ke negerimu.”

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ بَلَدُهُ بَعِيدًا عَلَى أَكْثَرِ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَكِنَّ أَخْبَارَهُ مُتَّصِلَةٌ وَالْوَارِدُ مِنْهُ كَثِيرٌ كَالْبَصْرَةِ وَبَغْدَادَ فَفِي اسْتِحْقَاقِهِ لِكَفَالَتِهِ وَجْهَانِ:

Keadaan ketiga: Jika negerinya jauh, lebih dari sehari semalam perjalanan, tetapi berita tentangnya tetap tersambung dan banyak orang yang datang dari negeri itu, seperti Basrah dan Baghdad, maka dalam hal ini ada dua pendapat mengenai hak mengasuhnya:

أَحَدُهُمَا: لَا حَقَّ لَهُ فِي كَفَالَتِهِ لِأَنَّ حَظَّ اللَّقِيطِ فِي بَلَدِهِ أَكْثَرُ وَحَالَهُ فِيهِ أَشْهَرُ.

Pertama: Ia tidak berhak mengasuhnya karena kemaslahatan anak terlantar lebih besar di negerinya sendiri dan keadaannya di sana lebih dikenal.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ مُسْتَحِقٌّ لِكَفَالَتِهِ لِتَسَاوِي الْبَلَدَيْنِ فِي التَّعْلِيمِ وَالتَّأْدِيبِ وَرُبَّمَا كَانَ فِي غَيْرِ بَلَدِهِ أَنْفَعَ فَعَلَى هَذَا الْوَجْهِ يَتَعَيَّنُ لِحَاكِمِ بَلَدِ اللَّقِيطِ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى حَاكِمِ بَلَدِ الْمُلْتَقِطِ يَذْكُرُ حاله وإشهار أمره.

Pendapat kedua: Ia berhak mengasuhnya karena kedua negeri itu setara dalam hal pendidikan dan pembinaan, bahkan bisa jadi di negeri lain lebih bermanfaat. Dalam pendapat ini, hakim negeri anak terlantar harus menulis surat kepada hakim negeri pemungut, memberitahukan keadaannya dan mengumumkan perkaranya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِنْ كَانَ قَرَوِيًّا وَبَدَوِيًّا دُفِعَ إِلَى الْقَرَوِيِّ لِأَنَّ الْقَرْيَةَ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الْبَادِيَةِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika yang satu penduduk desa dan yang lainnya penduduk Badui, maka anak itu diserahkan kepada penduduk desa, karena desa lebih baik baginya daripada padang pasir.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا الْتَقَطَهُ رَجُلَانِ أَحَدُهُمَا قَرَوِيٌّ وَالْآخَرُ بَدَوِيٌّ فَالْقَرَوِيُّ أَوْلَى لَهُ مِنَ الْبَدَوِيِّ، سَوَاءٌ وَجَدَاهُ فِي قَرْيَةٍ أَوْ بَادِيَةٍ لِأَنَّ الْقَرْيَةَ أَمْكَنُ فِي التَّعْلِيمِ وَأَبْلَغُ فِي التَّأْدِيبِ وَأَحْسَنُ فِي الْمَنْشَأِ وَقَدْ رَوَى أَبُو حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ بَدَا جَفَا وَمَنِ اتَّبَعَ الصَّيْدَ غَفَلَ وَمَنِ اقْتَرَبَ مِنْ أَبْوَابِ السَّلَاطِينِ افْتَتَنَ “.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, apabila ada dua orang yang menemukan (anak terlantar), salah satunya orang desa (qarawi) dan yang lainnya orang Badui, maka orang desa lebih berhak atasnya daripada orang Badui, baik mereka menemukannya di desa maupun di padang pasir. Sebab desa lebih memungkinkan untuk pendidikan, lebih efektif dalam pengajaran adab, dan lebih baik sebagai tempat tumbuh kembang. Abu Hazim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa tinggal di pedalaman, ia akan menjadi kasar; barang siapa mengikuti perburuan, ia akan lalai; dan barang siapa mendekati pintu-pintu para penguasa, ia akan terkena fitnah.”

مَعْنَى قَوْلِهِ مَنْ بَدَا جَفَا أَيْ مَنْ سَكَنَ الْبَادِيَةَ صَارَ فِيهِ جَفَاءُ الْأَعْرَابِ وَقَوْلُهُ من اتبع السيد غَفَلَ يُرِيدُ مَنْ يَشْتَغِلُ بِهِ وَيَنْقَطِعُ إِلَيْهِ تَصِيرُ فِيهِ غَفْلَةٌ.

Maksud sabda beliau “barang siapa tinggal di pedalaman, ia akan menjadi kasar” adalah barang siapa tinggal di padang pasir, maka akan muncul pada dirinya kekasaran khas orang Arab Badui. Dan sabda beliau “barang siapa mengikuti perburuan, ia akan lalai” maksudnya adalah barang siapa sibuk dan terus-menerus dengan perburuan, maka akan timbul kelalaian pada dirinya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا انْفَرَدَ الْبَدَوِيُّ بِالْتِقَاطِهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Apabila orang Badui saja yang menemukan (anak terlantar), maka keadaannya terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَجِدَهُ فِي مِصْرٍ أَوْ قَرْيَةٍ فَلَا حَقَّ لَهُ فِي كَفَالَتِهِ لِأَنَّهُ لَا حَظَّ لَهُ فِي نُزُولِ الْبَادِيَةِ لِمَا ذَكَرْنَاهُ.

Pertama: Jika ia menemukannya di kota atau desa, maka ia tidak berhak mengasuhnya, karena ia tidak memiliki kepentingan untuk tinggal di padang pasir, sebagaimana telah kami sebutkan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَجِدَهُ فِي الْبَادِيَةِ فَلَا تَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Kedua: Jika ia menemukannya di padang pasir, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَسْكُنُ حُلَّةً مُقِيمًا فِيهَا وَلَا يَنْتَجِعُ عَنْهَا فَهُوَ مُسْتَحِقٌّ لِكَفَالَتِهِ لِأَنَّ وَجُودَهُ فِي الْبَادِيَةِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ مِنْ أَهْلِهَا. وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَنْتَجِعُ وَلَا يَلْزَمُ حُلَّةً وَلَا يُقِيمُ فِي مَكَانٍ فَفِي اسْتِحْقَاقِهِ لِكَفَالَتِهِ وَجْهَانِ:

Pertama: Ia termasuk orang yang tinggal menetap di suatu perkampungan dan tidak berpindah-pindah darinya, maka ia berhak mengasuhnya, karena keberadaannya di padang pasir menunjukkan bahwa ia termasuk penduduknya. Kedua: Ia termasuk orang yang berpindah-pindah dan tidak menetap di satu perkampungan serta tidak tinggal di satu tempat, maka dalam hal ini ada dua pendapat mengenai haknya untuk mengasuh:

أَحَدُهُمَا: يَسْتَحِقُّ لِأَنَّ هَذَا هُوَ الْأَغْلَبُ مِنْ حَالِ الْبَادِيَةِ.

Pertama: Ia berhak mengasuhnya, karena inilah yang paling umum terjadi di padang pasir.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا حَقَّ لَهُ فِيهَا لِأَنَّ مُدَاوَمَةَ النَّقْلَةِ وَمُلَازَمَةَ النُّجْعَةِ لَا يَشْتَهِرُ بِهَا حَالُهُ وَلَا يُعْرَفُ مَعَهَا مَكَانُهُ مما يَلْحَقُهُ مِنَ الْمَشَقَّةِ فِي بَدَنِهِ وَتَغَيُّرِ الْعَادَةِ في نقلته.

Pendapat kedua: Ia tidak berhak mengasuhnya, karena kebiasaan berpindah-pindah dan tidak menetap menyebabkan keadaannya tidak dikenal dan tempat tinggalnya tidak diketahui, sehingga akan menimbulkan kesulitan pada dirinya dan perubahan kebiasaan dalam perpindahannya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِنْ كَانَ عَبْدًا وَحُرًّا دُفِعَ إِلَى الْحُرِّ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika yang menemukan adalah seorang budak dan orang merdeka, maka diserahkan kepada orang merdeka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا اجْتَمَعَ عَلَى الْتِقَاطِهِ حُرٌّ وَعَبْدٌ فَالْحُرُّ أَوْلَى بِكَفَالَتِهِ مِنَ الْعَبْدِ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar, apabila yang menemukan adalah seorang merdeka dan seorang budak, maka orang merdeka lebih berhak mengasuhnya daripada budak karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعَبْدَ مُوَلًّى عَلَيْهِ فَلَمْ يَصِحَّ أَنْ يَكُونَ وَالِيًا.

Pertama: Budak berada di bawah kekuasaan orang lain, sehingga tidak sah menjadi wali.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْعَبْدَ مَمْنُوعٌ مِنْ كَفَالَتِهِ لِخِدْمَةِ سَيِّدِهِ، فَلَوِ انْفَرَدَ الْعَبْدُ بِالْتِقَاطِهِ فَإِنْ كَانَ بِإِذْنِ سَيِّدِهِ فَالسَّيِّدُ هُوَ الْمُلْتَقِطُ لِأَنَّ يَدَ الْعَبْدِ يَدٌ لَهُ وَهُوَ الْمُسْتَحِقُّ لِكَفَالَتِهِ وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ لَمْ يَجُزْ بِخِلَافِ اللُّقَطَةِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ لِأَنَّ اللُّقَطَةَ كَسْبٌ وَهَذِهِ وِلَايَةٌ فَلَوْ أَخَذَهُ السَّيِّدُ مِنْ عَبْدِهِ وَقَدِ الْتَقَطَهُ بِغَيْرِ إِذْنٍ فَإِنْ كَانَ بَعْدَ رَفْعِهِ إِلَى الْحَاكِمِ فَهُوَ أَوْلَى لِأَنَّ يَدَ الْعَبْدِ لَمَّا لَمْ تَكُنْ مُقَرَّةً لَمْ يَكُنْ لَهَا حُكْمٌ وَصَارَ كَأَنَّ السَّيِّدَ هُوَ الْمُلْتَقِطُ لَهُ وَهَكَذَا حُكْمُ الْمُدَبَّرِ فِي الْتِقَاطِهِ كَالْعَبْدِ وَأَمَّا الْمُكَاتَبُ فَإِنْ عَلَّلْنَا مَنْعَ الْعَبْدِ مِنْهُ بِأَنَّهُ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْوِلَايَةِ فَالْمُكَاتَبُ مَمْنُوعٌ فِيهِ وَإِنْ عَلَّلْنَاهُ بِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ فِيهِ لِخِدْمَةِ السَّيِّدِ فَالْمُكَاتَبُ مُسْتَحِقٌّ لِكَفَالَتِهِ لِأَنَّهُ أَمْلَكُ مِنَ السَّيِّدِ بِمَنَافِعِ نَفْسِهِ وَلَوْ شَارَكَهُ فِي الْتِقَاطِهِ حُرٌّ كَانَ الْحُرُّ أَوْلَى بِهِ مِنْهُ عَلَى الْعِلَّتَيْنِ لِكَمَالِ الْحُرِّ وَنَقْصِ الْمُكَاتَبِ وَأَمَّا الَّذِي نَصِفُهُ حُرٌّ وَنِصْفُهُ عَبْدٌ فَلَهُ حَالَتَانِ:

Kedua: Budak terhalang untuk mengasuhnya karena harus melayani tuannya. Jika budak saja yang menemukan, lalu dengan izin tuannya, maka tuannya lah yang dianggap sebagai penemu, karena tangan budak adalah tangan tuannya, dan dialah yang berhak mengasuhnya. Namun jika tanpa izin tuannya, maka tidak sah, berbeda dengan kasus luqathah menurut salah satu pendapat, karena luqathah adalah harta temuan sedangkan ini adalah wilayah (kekuasaan). Jika tuan mengambil anak itu dari budaknya yang menemukannya tanpa izin, maka jika setelah diserahkan kepada hakim, tuan lebih berhak karena tangan budak tidak dianggap sah, sehingga seolah-olah tuanlah yang menemukannya. Demikian pula hukum mudabbar dalam hal penemuan seperti budak. Adapun mukatab, jika alasan pelarangan budak adalah karena bukan ahli wilayah, maka mukatab juga dilarang. Namun jika alasannya karena budak harus melayani tuannya, maka mukatab berhak mengasuhnya karena ia lebih berhak atas manfaat dirinya daripada tuannya. Jika ada orang merdeka yang turut serta menemukannya bersama mukatab, maka orang merdeka lebih berhak atasnya menurut kedua alasan tersebut, karena kesempurnaan orang merdeka dan kekurangan mukatab. Adapun seseorang yang setengahnya merdeka dan setengahnya budak, maka ada dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مُهَايَأَةٍ فَهُوَ كَالْعَبْدِ لَا حَقَّ لَهُ فِي كَفَالَتِهِ مَا لَمْ يَأْذَنْ لَهُ الْمَالِكُ لِرِقِّهِ لِإِشْرَاكِ حُكْمِهِ وَأَنَّ الشَّرِكَةَ فِيهِ مَانِعَةٌ عَنْ كَفَالَتِهِ.

Pertama: Jika tidak ada perjanjian pembagian waktu (muhayā’ah), maka ia seperti budak, tidak memiliki hak dalam penjaminannya selama pemilik budak belum mengizinkannya, karena statusnya yang masih dalam perbudakan, dan keberadaan syirkah (kepemilikan bersama) padanya menjadi penghalang bagi penjaminannya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ مُهَايَأَةً فَلَا يَخْلُو حَالُ الْتِقَاطِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Keadaan kedua: Jika ada perjanjian pembagian waktu (muhayā’ah), maka dalam hal pengambilan (luqathah) tidak lepas dari dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَلْتَقِطَهُ فِي زَمَانِ السَّيِّدِ فَيَكُونَ فِيهِ كَالْعَبْدِ لَا حَقَّ لَهُ فِي كَفَالَتِهِ.

Pertama: Ia mengambilnya pada waktu bagian tuannya, maka statusnya seperti budak, tidak memiliki hak dalam penjaminannya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَلْتَقِطَهُ فِي زَمَانِ نَفْسِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Kedua: Ia mengambilnya pada waktu bagiannya sendiri, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ مُسْتَحِقٌّ لِكَفَالَتِهِ لِأَنَّهُ فِي زَمَانِهِ كَالْحُرِّ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا حَقَّ لَهُ فِي كَفَالَتِهِ لِنَقْصِهِ وَأَنَّهُ سَيَعُودُ إِلَى الْمَنْعِ في غير زمانه وعلى كلى الْوَجْهَيْنِ لَوْ شَارَكَهُ الْحُرُّ فِي الْتِقَاطِهِ كَانَ أَحَقَّ بِهِ مِنْهُ لِكَمَالِهِ عَلَى مَنْ قَصَّرَ عن حريته.

Pertama, ia berhak atas penjaminannya karena pada waktu bagiannya ia seperti orang merdeka. Pendapat kedua, ia tidak berhak atas penjaminannya karena kekurangannya dan karena ia akan kembali pada larangan di luar waktunya. Dan menurut kedua pendapat ini, jika ada orang merdeka yang turut serta dalam pengambilannya, maka orang merdeka lebih berhak atasnya daripada dia, karena kesempurnaan orang merdeka dibandingkan dengan yang kurang dari kemerdekaannya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِنْ كَانَ مُسْلِمًا وَنَصْرَانِيًّا فِي مِصْرٍ بِهِ أَحَدٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَإِنْ كَانَ الْأَقَلَّ دُفِعَ إِلَى الْمُسْلِمِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika yang mengambil adalah seorang Muslim dan seorang Nasrani di sebuah negeri yang di dalamnya terdapat seorang Muslim, meskipun jumlah Muslimnya lebih sedikit, maka diserahkan kepada Muslim.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا اشْتَرَكَ فِي الْتِقَاطِ الْمَنْبُوذِ مُسْلِمٌ وَكَافِرٌ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمَنْبُوذِ مِنْ أَنْ يُجْرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِسْلَامِ أَوْ حُكْمُ الْكُفْرِ عَلَى مَا سَنَصِفُهُ فَإِنْ جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِسْلَامِ فَالْمُسْلِمُ أَحَقُّ بِكَفَالَتِهِ وَهَكَذَا لَوْ تَفَرَّدَ الْكَافِرُ بِالْتِقَاطِهِ نُزِعَ مِنْ يَدِهِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا} [النساء: 141] وَلِأَنَّهُ غَيْرُ مَأْمُونٍ عَلَيْهِ فِي بَدَنِهِ أَنْ يَسْتَرِقَّهُ وَفِي دِينِهِ أَنْ يَفْتِنَهُ وَفِي مَالِهِ أَنْ يُتْلِفَهُ لِأَنَّ عَدَاوَةَ الدِّينِ تَبْعَثُ عَلَى ذَلِكَ كُلِّهِ وَإِنْ جَرَى عَلَى الْمَنْبُوذِ حُكْمُ الْكُفْرِ فَإِنِ انْفَرَدَ الْكَافِرُ بِالْتِقَاطِهِ أُقِرَّ فِي يَدِهِ لِأَنَّ الْكَافِرَ يَلِي عَلَى الْكَافِرِ وَإِنِ اشْتَرَكَ فِي الْتِقَاطِهِ مُسْلِمٌ وَكَافِرٌ فَعَلَى الظَّاهِرِ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ فِي إِقْرَاعِهِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِذَا اشْتَرَكَا فِي الْتِقَاطِهِ يُقْرَعُ بَيْنَ الْمُسْلِمِ وَالْكَافِرِ وَيَكُونُ فِي يَدِ مَنْ خَرَجَتْ لَهُ الْقُرْعَةُ وعلى مذهب أبي علي بن خيران يُسَلَّمَ إِلَى الْمُسْلِمِ دُونَ الْكَافِرِ لِأَنَّ كَفَالَةَ الْمُسْلِمِ أَصْلَحُ وَلِمَا يُرْجَى لَهُ بِاعْتِبَارِ الْإِسْلَامِ وَيَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ أَنْ يَمِيلَ إِلَيْهِ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, jika dalam pengambilan anak terlantar (al-mabnūdz) terdapat Muslim dan kafir, maka keadaan anak terlantar tidak lepas dari dua kemungkinan: diberlakukan hukum Islam atau hukum kekufuran atasnya, sebagaimana akan kami jelaskan. Jika diberlakukan hukum Islam, maka Muslim lebih berhak atas penjaminannya. Demikian pula jika kafir sendirian yang mengambilnya, maka diambil dari tangannya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin} [an-Nisā’: 141], dan karena ia tidak dapat dipercaya terhadap tubuhnya (dikhawatirkan diperbudak), agamanya (dikhawatirkan disesatkan), dan hartanya (dikhawatirkan dirusak), karena permusuhan agama mendorong semua itu. Jika diberlakukan hukum kekufuran atas anak terlantar, maka jika kafir sendirian yang mengambilnya, dibiarkan di tangannya, karena orang kafir berwenang atas orang kafir. Jika dalam pengambilannya turut serta Muslim dan kafir, maka menurut pendapat yang zahir dari mazhab Syafi‘i, dilakukan undian di antara keduanya; jika keduanya bersama-sama mengambil, maka diundi antara Muslim dan kafir, dan anak itu berada di tangan siapa yang keluar undiannya. Menurut pendapat Abū ‘Alī bin Khirān, diserahkan kepada Muslim, bukan kepada kafir, karena penjaminan Muslim lebih maslahat dan diharapkan kebaikan baginya dengan pertimbangan Islam, dan wajib condong kepadanya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَجَعَلْتُهُ مُسْلِمًا وَأَعْطَيْتُهُ مِنْ سُهْمَانِ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى يُعْرِبَ عَنْ نَفْسِهِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Aku menjadikannya sebagai Muslim dan memberinya bagian dari hak kaum Muslimin sampai ia dapat mengungkapkan jati dirinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. وَعِلَّتُهُ أَنَّ حُكْمَ اللَّقِيطِ فِي إِسْلَامِهِ وَكُفْرِهِ أَنَّهُ مُعْتَبَرٌ بِحُكْمِ الدَّارِ الَّتِي وُجِدَ فِيهَا فَهِيَ ضَرْبَانِ: دَارُ الْإِسْلَامِ وَدَارُ الشِّرْكِ. فَأَمَّا دَارُ الْإِسْلَامِ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar. Alasannya, status anak temuan (laqīṭ) dalam keislaman atau kekafirannya ditentukan berdasarkan hukum negeri tempat ia ditemukan. Negeri itu terbagi dua: Dār al-Islām dan Dār al-Syirk. Adapun Dār al-Islām, terbagi menjadi tiga macam:

أَحَدُهَا: أَنْ يَتَفَرَّدَ الْمُسْلِمُونَ بِهَا حَتَّى لَا يَدْخُلَهَا مُشْرِكٌ كَالْحَرَمِ فَالْمَنْبُوذُ إِذَا الْتُقِطَ فِي مِثْلِ هَذِهِ الدَّارِ مَحْكُومٌ بِإِسْلَامِهِ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ لِامْتِنَاعِ اجْتِمَاعِ الشِّرْكِ الظَّاهِرِ فِي أَبَوَيْهِ.

Pertama: Negeri yang sepenuhnya dikuasai oleh kaum Muslimin sehingga tidak ada seorang musyrik pun yang masuk ke dalamnya, seperti tanah haram (Makkah). Jika anak terlantar ditemukan di negeri seperti ini, maka dihukumi sebagai Muslim, baik secara lahir maupun batin, karena tidak mungkin ada orang tua musyrik secara lahir di negeri tersebut.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ دَارُ الْإِسْلَامِ قَدْ تَخْلِطُهُمْ فِيهَا أَهْلُ ذِمَّةٍ كَالْبَصْرَةِ وَبَغْدَادَ أَوْ مُعَاهَدُونَ كَأَمْصَارِ الثُّغُورِ فَإِذَا الْتُقِطَ الْمَنْبُوذُ فِيهَا كَانَ مُسْلِمًا فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ وَإِنَّمَا حَكَمْنَا بِإِسْلَامِهِ ظَاهِرًا تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الدَّارِ وَإِنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى ” وَلَمْ يُحْكَمْ بِإِسْلَامِهِ فِي الْبَاطِنِ قَطْعًا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ مِنْ ذِمِّيٍّ أَوْ مُعَاهَدٍ. وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ دَارُ الْإِسْلَامِ قَدْ تَفَرَّدَ أَهْلُ الذِّمَّةِ بِسُكْنَاهَا حَتَّى لَا يُسَاكِنَهُمْ فِيهَا مُسْلِمٌ وَلَا يَدْخُلَهَا مِثْلَ بَلَدٍ مِنْ بِلَادِ الشِّرْكِ فَتَحَهُ الْمُسْلِمُونَ صُلْحًا أَوْ عَنْوَةً فَأَقَرُّوا أَهْلَهُ فِيهِ عَلَى أَنْ لَا يُخَالِطَهُمْ غَيْرُهُمْ فَإِذَا الْتُقِطَ الْمَنْبُوذُ فِيهِ كَانَ كَافِرًا فِي الظَّاهِرِ لِأَنَّ أَهْلَ الدَّارِ كُفَّارٌ وَإِنْ كَانَتْ يَدُ الْمُسْلِمِينَ عَلَيْهِمْ غَالِبَةً وَأَحْكَامُ الْإِسْلَامِ فِيهِمْ جَارِيَةً.

Jenis kedua: yaitu apabila dār al-islām dihuni bersama oleh ahludz-dzimmah seperti Basrah dan Baghdad, atau oleh orang-orang yang terikat perjanjian (mu‘āhad) seperti kota-kota perbatasan. Maka jika ditemukan anak terlantar (al-mandzbūdz) di sana, ia dihukumi sebagai seorang Muslim secara lahiriah, bukan secara batiniah. Kami menetapkan keislamannya secara lahiriah karena mengedepankan hukum wilayah (dār), dan karena Nabi ﷺ bersabda: “Islam itu unggul dan tidak diungguli.” Namun, tidak dihukumi Muslim secara batiniah, karena mungkin saja ia berasal dari ahludz-dzimmah atau mu‘āhad. Jenis ketiga: yaitu apabila dār al-islām dihuni secara eksklusif oleh ahludz-dzimmah, sehingga tidak ada seorang Muslim pun yang tinggal bersama mereka, dan tidak ada Muslim yang masuk ke sana, seperti suatu negeri dari negeri-negeri kaum musyrik yang ditaklukkan oleh kaum Muslimin baik melalui perjanjian damai maupun peperangan, lalu penduduk aslinya tetap dibiarkan tinggal di sana dengan syarat tidak bercampur dengan selain mereka. Maka jika ditemukan anak terlantar di sana, ia dihukumi kafir secara lahiriah, karena penduduk wilayah tersebut adalah orang-orang kafir, meskipun kekuasaan kaum Muslimin dominan atas mereka dan hukum-hukum Islam berlaku di tengah mereka.

وَأَمَّا دَارُ الشِّرْكِ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ أَيْضًا:

Adapun dār asy-syirk juga terbagi menjadi tiga jenis:

أَحَدُهَا: مَا كَانَ مِنْ بِلَادِهِمُ الَّتِي لَيْسَ فِيهَا مُسْلِمٌ فَإِذَا الْتُقِطَ الْمَنْبُوذُ مِنْهَا جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الشِّرْكِ اعْتِبَارًا بِحُكْمِ الدَّارِ. وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا كَانَ مِنْ بِلَادِ الشِّرْكِ فِيهَا مُسْلِمُونَ وَلَوْ وَاحِدٌ كَبِلَادِ الرُّومِ فَإِذَا الْتُقِطَ الْمَنْبُوذُ فِيهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Pertama: yaitu negeri-negeri mereka yang sama sekali tidak ada seorang Muslim pun di dalamnya. Maka jika ditemukan anak terlantar di sana, berlaku atasnya hukum syirik, berdasarkan hukum wilayah tersebut. Jenis kedua: yaitu negeri-negeri syirik yang di dalamnya terdapat kaum Muslimin, meskipun hanya satu orang, seperti negeri Romawi. Maka jika ditemukan anak terlantar di sana, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مُشْرِكٌ فِي الظَّاهِرِ اعْتِبَارًا بِحُكْمِ الدَّارِ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَالظَّاهِرُ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ إِنَّهُ يَكُونُ مُسْلِمًا فِي الظَّاهِرِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْإِسْلَامِ. وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: كَانَ مِنْ بِلَادِ الْإِسْلَامِ الَّتِي غَلَبَ عَلَيْهَا الْمُشْرِكُونَ حَتَّى صَارَتْ دَارَ شِرْكٍ كَطَرَسُوسَ وَأَنْطَاكِيَةَ وَمَا جرى مجرى ذلك من الثغور والمملوكة عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَإِذَا الْتُقِطَ الْمَنْبُوذُ فِيهَا نُظِرَ فَإِنْ كَانَ فِيهَا أَحَدُ الْمُسْلِمِينَ وَلَوْ وَاحِدًا جَرَى عَلَى الْمَلْقُوطِ فِيهَا حُكْمُ الْإِسْلَامِ.

Pertama: ia dihukumi musyrik secara lahiriah, berdasarkan hukum wilayah tersebut. Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dan yang tampak dari perkataan asy-Syāfi‘ī, bahwa ia dihukumi Muslim secara lahiriah, dengan mengedepankan hukum Islam. Jenis ketiga: yaitu negeri-negeri Islam yang telah dikuasai oleh kaum musyrik sehingga menjadi dār asy-syirk, seperti Tharsus, Antakia, dan semisalnya dari kota-kota perbatasan dan wilayah yang direbut dari kaum Muslimin. Maka jika ditemukan anak terlantar di sana, dilihat dulu: jika di sana terdapat seorang Muslim, meskipun hanya satu orang, maka anak yang ditemukan di sana dihukumi menurut hukum Islam.

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا أَحَدٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ أُجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُ الشِّرْكِ فِي الظَّاهِرِ لِبُعْدِ الْمُسْلِمِينَ عَنْهَا وَامْتِنَاعِ حُكْمِهِمْ فِيهَا.

Namun jika tidak ada seorang pun Muslim di sana, maka ia dihukumi menurut hukum syirik secara lahiriah, karena jauhnya kaum Muslimin dari wilayah tersebut dan tidak berlakunya hukum mereka di sana.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِنْ أَجْرَيْنَا عَلَيْهِ حُكْمَ الْإِسْلَامِ فَقَدْ ذَكَرْنَا مِنْ أَيْنَ يُنْفِقُ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ فَقِيرًا وَهُوَعَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ وَإِنْ أَجْرَيْنَا عَلَيْهِ حُكْمَ الشِّرْكِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُنْفَقَ عَلَيْهِ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ إِذَا كَانَ فَقِيرًا لِأَنَّ مَا فِي بَيْتِ الْمَالِ مَصْرُوفٌ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ دُونَ الْمُشْرِكِينَ فَإِنْ تَطَوَّعَ أَحَدُ الْمُسْلِمِينَ أَوْ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ بِالنَّفَقَةِ عَلَيْهِ كَانَ مُحْسِنًا لِأَنَّهَا نَفْسٌ لَهَا حُرْمَةٌ وَإِنْ لَمْ يَتَطَوَّعْ أَحَدٌ بِالنَّفَقَةِ عَلَيْهِ جَمَعَ الْإِمَامُ أَهْلَ الذِّمَّةِ الَّذِينَ كَانَ الْمَنْبُوذُ بَيْنَ أَظْهُرِهِمْ وَجَعَلَ نَفَقَتَهُ مُقَسَّطَةً عَلَيْهِمْ لِيَكُونَ دَيْنًا لَهُمْ إِذَا ظَهَرَ أَمْرُهُ فَإِنْ ظَهَرَ لَهُ أَبٌ رَجَعُوا بِالنَّفَقَةِ عَلَيْهِ وَإِنْ ظَهَرَ لَهُ سَيِّدٌ رَجَعُوا بِهَا عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَظْهَرْ ذَلِكَ كَانَتْ دَيْنًا عَلَيْهِ يَرْجِعُونَ بِهَا فِي كَسْبِهِ إذا بلغ.

Jika kita menetapkan atasnya hukum Islam, maka telah kami sebutkan dari mana ia dinafkahi jika ia fakir, sesuai dengan dua pendapat yang telah lalu. Namun jika kita menetapkan atasnya hukum syirik, maka tidak boleh dinafkahi dari baitul mal jika ia fakir, karena apa yang ada di baitul mal diperuntukkan bagi kemaslahatan kaum Muslimin, bukan kaum musyrik. Jika ada salah seorang Muslim atau ahludz-dzimmah yang secara sukarela menafkahinya, maka ia telah berbuat baik, karena ia adalah jiwa yang memiliki kehormatan. Jika tidak ada yang menafkahinya secara sukarela, maka imam mengumpulkan ahludz-dzimmah yang di tengah-tengah mereka anak terlantar itu ditemukan, lalu membebankan nafkahnya secara proporsional kepada mereka, agar menjadi utang bagi mereka jika kelak status anak itu jelas. Jika kemudian diketahui siapa ayahnya, mereka dapat menagih nafkah itu kepada ayahnya; jika diketahui siapa tuannya, mereka dapat menagihnya kepada tuannya; dan jika tidak diketahui, maka nafkah itu menjadi utang atas anak tersebut yang dapat mereka tagih dari penghasilannya jika ia telah dewasa.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فَإِذَا أَعْرَبَ عَنْ نَفْسِهِ فَامْتَنَعَ مِنَ الْإِسْلَامِ لَمْ يَبِنْ لِي أَنْ أَقْتُلَهُ وَلَا أُجْبِرَهُ على الإسلام وإن وجد في مدينة أهل الذمة لا مسلم فيهم فهو ذمي في الظاهر حتى يصف الإسلام بعد البلوغ “.

Asy-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata: “Jika ia telah menampakkan jati dirinya dan menolak masuk Islam, maka menurutku tidak boleh aku membunuhnya dan tidak boleh memaksanya masuk Islam. Dan jika ia ditemukan di kota ahludz-dzimmah tanpa ada seorang Muslim pun di sana, maka ia dihukumi sebagai dzimmi secara lahiriah sampai ia menyatakan keislamannya setelah baligh.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ مَنْ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِسْلَامِ قَبْلَ بُلُوغِهِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa orang yang berlaku atasnya hukum Islam sebelum ia baligh terbagi menjadi empat golongan:

أَحَدُهَا: مَنْ يَجْرِي حُكْمُ الْإِسْلَامِ عَلَيْهِ بِإِسْلَامِ أَبَوَيْهِ فَيَصِيرُ بِإِسْلَامِهِمَا مُسْلِمًا. وَرَوَى أَبُو الْيَزِيدِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ وَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ كَمَا تَنَاقَحُ الْإِبِلُ مِنْ بَهِيمَةٍ جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ مِنْ جَدْعَاءَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ مَنْ يَمُوتُ وَهُوَ صَغِيرٌ قَالَ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا عَامِلِينَ ” فَمَعْنَى قَوْلِهِ: ” يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ” يُرِيدُ عَلَى الْإِقْرَارِ بِأَنَّ اللَّهَ خَالِقُهُ لِأَنَّ جَمِيعَ النَّاسِ عَلَى اخْتِلَافِ أَدْيَانِهِمْ يَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ خَالِقُهُمْ ثُمَّ يُهَوِّدُ الْيَهُودُ أَبْنَاءَهُمْ وَيُنَصِّرُ النَّصَارَى أَبْنَاءَهُمْ أَيْ يعلمونهم ذلك وضرب لهم مثلا بالإبل إِذَا نَتَجَتْ مِنْ بَهِيمَةٍ جَمْعَاءَ وَالْجَمْعَاءُ هِيَ السَّلِيمَةُ وَإِنَّمَا سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِاجْتِمَاعِ السَّلَامَةِ لَهَا فِي أَعْضَائِهَا فَتَجْدَعُ أُنُوفَ نِتَاجِهَا وَتَفْقَأُ عُيُونَهَا فَأَمَّا إِذَا أَسْلَمَ أَحَدُ الْأَبَوَيْنِ فَإِنْ كَانَ الْأَبُ مِنْهُمَا هُوَ الْمُسْلِمُ كَانَ ذَلِكَ إِسْلَامًا لَهُ وَإِنْ أَسْلَمَتِ الْأُمُّ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وأبي حنيفة أَنَّ إِسْلَامَهَا إِسْلَامٌ لَهُ كَالْأَبِ وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يَكُونُ إِسْلَامُ الْأُمِّ إِسْلَامًا لَهُ وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الإسلام يعلو لا يعلا ” ولقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ ” فَجَعَلَ اجْتِمَاعَهُمَا مُوجِبًا لِتَهَوُّدِهِ دُونَ انْفِرَادِهِمَا وَلِأَنَّهَا لَوْ أَسْلَمَتْ وَهِيَ حَامِلٌ كَانَ ذَلِكَ إِسْلَامًا لِحَمْلِهَا إِذَا وَضَعَتْ كَذَلِكَ إِذَا أَسْلَمَتْ بَعْدَ الْوَضْعِ وَلِأَنَّهَا أَحَدُ الْوَالِدَيْنِ فَصَارَ الطِّفْلُ بِهَا مُسْلِمًا كَالْأَبِ فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِالْحُرِّيَّةِ فَقَدْ يُعْتَبَرُ بِالْأَبِ كَمَا يُعْتَبَرُ بِالْأُمِّ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ وُلِدَ مِنْهُ كَانَ الْوَلَدُ حُرًّا فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ إِسْلَامَ أَحَدِ الْأَبَوَيْنِ يَكُونُ إِسْلَامًا لِغَيْرِ الْبَالِغِ مِنْ أَوْلَادِهِمَا فَكَذَلِكَ يَكُونُ إِسْلَامًا لِمَنْ بَلَغَ مِنْهُمْ مَجْنُونًا لِأَنَّ الْمَجْنُونَ تَبَعٌ لِغَيْرِهِ فَأَمَّا الْبَالِغُ الْعَاقِلُ فلا يَكُونُ إِسْلَامُ الْأَبَوَيْنِ أَوْ أَحَدُهُمَا إِسْلَامًا لَهُ لِأَنَّ الْإِسْلَامَ يَصِحُّ مِنْهُ وَأَمَّا إِذَا بَلَغَ الْكَافِرُ عَاقِلًا ثُمَّ جُنَّ فَهَلْ يَكُونُ إِسْلَامُ أَبَوَيْهِ إِسْلَامًا لَهُ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ.

Pertama: Orang yang berlaku atasnya hukum Islam karena kedua orang tuanya memeluk Islam, maka dengan keislaman keduanya, ia menjadi seorang Muslim. Abu Yazid meriwayatkan dari al-A‘raj dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, lalu kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani, sebagaimana unta yang lahir dari induk yang sempurna, apakah kalian melihat ada yang terpotong hidungnya?” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak yang meninggal saat masih kecil?” Beliau menjawab, “Allah lebih mengetahui apa yang akan mereka lakukan.” Makna sabda beliau “dilahirkan dalam keadaan fitrah” adalah dalam pengakuan bahwa Allah adalah Penciptanya, karena seluruh manusia, meskipun berbeda agama, mengetahui bahwa Allah adalah Pencipta mereka. Kemudian orang Yahudi mengajarkan anak-anak mereka menjadi Yahudi, dan orang Nasrani mengajarkan anak-anak mereka menjadi Nasrani, yakni mereka mengajarkan hal itu kepada anak-anaknya. Nabi memberikan perumpamaan dengan unta, jika lahir dari induk yang sempurna—dan “jamma’” adalah yang sehat sempurna, dinamakan demikian karena seluruh anggota tubuhnya sempurna—namun kemudian hidung anak-anaknya dipotong dan matanya dicongkel. Adapun jika salah satu dari kedua orang tua memeluk Islam, maka jika ayah yang menjadi Muslim, itu dianggap keislaman juga bagi anaknya. Jika ibunya yang memeluk Islam, menurut mazhab Syafi‘i dan Abu Hanifah, keislaman ibu juga dianggap keislaman bagi anaknya sebagaimana ayah. Malik berkata: Keislaman ibu tidak dianggap keislaman bagi anaknya, dan ini adalah pendapat yang keliru, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya,” dan sabda beliau ﷺ: “Kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani,” sehingga beliau menjadikan berkumpulnya kedua orang tua sebagai sebab anak menjadi Yahudi, bukan karena salah satunya saja. Dan jika ibu memeluk Islam saat hamil, maka keislaman itu berlaku juga bagi janinnya setelah lahir, demikian pula jika ia memeluk Islam setelah melahirkan. Karena ibu adalah salah satu dari kedua orang tua, maka anak menjadi Muslim karenanya sebagaimana karena ayah. Adapun dalil yang digunakan tentang kebebasan (status merdeka), maka itu juga bisa berlaku pada ayah sebagaimana pada ibu. Bukankah jika anak lahir dari ayah yang merdeka, maka anak itu juga merdeka? Maka jika telah tetap bahwa keislaman salah satu dari kedua orang tua dianggap keislaman bagi anak-anaknya yang belum baligh, demikian pula keislaman itu berlaku bagi anak-anak mereka yang sudah baligh namun gila, karena orang gila mengikuti status orang lain. Adapun anak yang sudah baligh dan berakal, maka keislaman kedua orang tua atau salah satunya tidak dianggap keislaman baginya, karena ia sendiri sudah sah memeluk Islam. Namun jika seorang kafir telah baligh dan berakal, lalu kemudian menjadi gila, apakah keislaman kedua orang tuanya dianggap keislaman baginya atau tidak? Ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: لَا يَكُونُ ذَلِكَ إِسْلَامًا لَهُ لِأَنَّهُ قَدْ فَعَلَ الْكُفْرَ بِنَفْسِهِ بَعْدَ بُلُوغِهِ فَاسْتَقَرَّ حكمه عليه.

Pertama: Tidak dianggap keislaman baginya, karena ia telah melakukan kekufuran sendiri setelah baligh, sehingga hukum kekufuran tetap berlaku atasnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ اخْتِيَارُ أَكْثَرِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ لَا يَصِيرُ مُسْلِمًا لِأَنَّهُ بِزَوَالِ الْعَقْلِ وَخُرُوجِهِ عَنْ حَدِّ التَّكْلِيفِ قَدْ صَارَ تَبَعًا فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَاهُ وَصَارَ الطِّفْلُ أَوِ الْمَجْنُونُ مُسْلِمًا بِإِسْلَامِ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا ثُمَّ بَلَغَ الصَّبِيُّ وَأَفَاقَ الْمَجْنُونُ فَإِنْ أَقَامَا عَلَى الْإِسْلَامِ فَقَدِ اسْتَدَامَ حُكْمُ إِسْلَامِهِمَا وَإِنْ رَضِيَا الْكُفْرَ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُمَا وَصَارَا بِذَلِكَ مُرْتَدَّيْنِ يُقْتَلَانِ إِذَا أَقَامَا عَلَى الرِّدَّةِ سَوَاءٌ أَقَرَّا بِالْإِسْلَامِ بَعْدَ الْبُلُوغِ وَالْإِفَاقَةِ أَوْ لَمْ يُقِرَّا بِهِ.

Pendapat kedua, yang merupakan pilihan mayoritas ulama kami, adalah: Ia tidak menjadi Muslim, karena dengan hilangnya akal dan keluarnya dari beban taklif, ia menjadi pengikut (tashabbub) orang lain. Jika telah tetap sebagaimana yang kami jelaskan, dan anak kecil atau orang gila menjadi Muslim karena keislaman kedua orang tuanya atau salah satunya, lalu anak kecil itu baligh atau orang gila itu sembuh, maka jika keduanya tetap dalam Islam, maka hukum Islam tetap berlaku atas mereka. Namun jika keduanya ridha pada kekufuran, maka tidak diterima dari mereka dan keduanya menjadi murtad, dan dibunuh jika tetap dalam kemurtadan, baik mereka mengakui Islam setelah baligh dan sembuh atau tidak mengakuinya.

وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إِنْ كَانَا بَعْدَ الْبُلُوغِ وَالْإِفَاقَةِ قَدْ أَقَرَّا بِالْإِسْلَامِ وَالْتَزَمَا حُكْمَهُ بِفِعْلِ عِبَادَتِهِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ جَعَلْتُهُمَا مُرْتَدَّيْنِ وَإِنْ لَمْ يُوجَدْ ذَلِكَ مِنْهُمَا لَمْ أَحْكُمْ بِرِدَّتِهِمَا لِأَنَّ جَرَيَانَ حُكْمِ الْإِسْلَامِ عَلَيْهِمَا تَبَعًا أَضْعَفُ مِنْ جَرَيَانِ حُكْمِهِ عَلَيْهِمَا إِقْرَارًا وَعَمَلًا وَهَذَا خطأ لقوله تعالى: {والذين آمنوا واتبعهم ذرياتهم بإيمان ألحقنا بهم ذرياتهم} [الطور: 21] فَأَخْبَرَ بِإِيمَانِ الذُّرِّيَّةِ تَبَعًا لِآبَائِهِمْ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْتَقِلَ حُكْمُ الْإِيمَانِ عَنْهُمْ وَلِأَنَّ مَا أَوْجَبَ إِسْلَامَهُ أَوْجَبَ إِلْزَامَهُ كَالْإِقْرَارِ فَهَذَا حُكْمُ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ.

Sebagian dari sahabat kami berkata: Jika keduanya setelah baligh dan sadar telah mengakui Islam dan berkomitmen terhadap hukumnya dengan melaksanakan ibadah seperti salat dan puasa, maka aku menetapkan keduanya sebagai murtad. Namun, jika hal itu tidak ditemukan pada keduanya, aku tidak memutuskan keduanya sebagai murtad, karena berlakunya hukum Islam atas keduanya secara ikut-ikutan lebih lemah daripada berlakunya hukum Islam atas keduanya secara pengakuan dan perbuatan. Ini adalah kekeliruan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang beriman dan diikuti oleh anak keturunan mereka dengan keimanan, Kami hubungkan anak keturunan mereka dengan mereka} [at-Thur: 21]. Maka Allah mengabarkan tentang keimanan anak keturunan secara ikut-ikutan kepada orang tua mereka, sehingga tidak boleh hukum keimanan berpindah dari mereka. Dan karena sebab yang mewajibkan keislaman juga mewajibkan komitmen terhadapnya, sebagaimana pengakuan. Maka inilah hukum bagian pertama.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يجري عليه حكم الإسم بِإِسْلَامِ السَّابِي لَهُ مِنْ بِلَادِ الشِّرْكِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian kedua adalah berlakunya hukum Islam atas seseorang karena Islamnya orang yang menawannya dari negeri syirik. Ini terbagi menjadi dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ السَّبْيُ بَعْدَ الْبُلُوغِ فَلَا يَكُونُ بِإِسْلَامِ سَابِيهِ مُسْلِمًا وَيَكُونُ حُكْمُ الْكُفْرِ عَلَيْهِ جَارِيًا.

Pertama: Jika penawanan itu terjadi setelah baligh, maka dengan Islamnya sang penawan, ia tidak menjadi Muslim, dan hukum kekafiran tetap berlaku atasnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ سَبْيُهُ قَبْلَ الْبُلُوغِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Macam kedua: Jika penawanannya terjadi sebelum baligh, maka ini terbagi menjadi dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَسْبِيًّا مَعَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فَلَا يَكُونُ حُكْمُهُ حُكْمَ سَابِيهِ لِأَنَّ إِلْحَاقَ حُكْمِهِ بِأَبَوَيْهِ أَقْوَى مِنْ إِلْحَاقِ حُكْمِهِ بِسَابِيهِ وَيَكُونُ عَلَى حُكْمِ الْكُفْرِ اسْتِصْحَابًا لِدِينِ أَبَوَيْهِ.

Pertama: Jika ia ditawan bersama kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya, maka hukumnya tidak mengikuti penawannya, karena penyandaran hukumnya kepada kedua orang tuanya lebih kuat daripada kepada penawannya. Maka ia tetap dalam hukum kekafiran, mengikuti agama kedua orang tuanya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُسْبَى وَحْدَهُ دُونَ أَبَوَيْهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ إِنَّهُ لَا يَتْبَعُ سَابِيَهُ فِي الْإِسْلَامِ وَيَكُونُ حُكْمُهُ فِي الشِّرْكِ حُكْمَ أَبَوَيْهِ لِأَنَّ يَدَ السَّابِي يَدُ اسْتِرْقَاقٍ فَلَمْ تُوجِبْ إِسْلَامَهُ كَالسَّيِّدِ.

Macam kedua: Jika ia ditawan sendirian tanpa kedua orang tuanya, maka ada dua pendapat: Pertama, dan ini yang tampak dari mazhab asy-Syafi‘i, bahwa ia tidak mengikuti penawannya dalam Islam, dan hukumnya dalam syirik mengikuti kedua orang tuanya, karena kekuasaan penawan adalah kekuasaan perbudakan, sehingga tidak mewajibkan keislamannya sebagaimana tuan (pemilik budak).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَتْبَعُ السَّابِيَ فِي إِسْلَامِهِ لِأَنَّهُ قَبْلَ الْبُلُوغِ تَبَعٌ لِغَيْرِهِ فَهُوَ أَخْرَجَهُ بِسَبْيِهِ عَنْ أَبَوَيْهِ مِنْ أَنْ يَكُونَ تَبَعًا لَهُمَا فَصَارَ تَبَعًا لِمَنْ صَارَ إِلَيْهِ بَعْدَهُمَا فَعَلَى هَذَا يَجْرِي عَلَيْهِ قَبْلَ بُلُوغِهِ أَحْكَامُ السَّابِي فِي الْعِبَادَاتِ وَالِاقْتِصَاصِ مِنَ الْمُسْلِمِ إِذَا جَنَى عَلَيْهِ وَإِذَا مَاتَ صُلِّيَ عَلَيْهِ وَدُفِنَ فِي مَقَابِرِ الْمُسْلِمِينَ وَإِنْ بَلَغَ وَاسْتَصْحَبَ الْإِسْلَامَ قَوْلًا وَعَمَلًا ثُمَّ رَجَعَ عَنْهُ صَارَ بِرُجُوعِهِ مُرْتَدًّا وَإِنْ وَصَفَ الْكُفْرَ عِنْدَ بُلُوغِهِ فَهَلْ يُحْكَمُ بِارْتِدَادِهِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ مَضَى تَوْجِيهُهُمَا فَهَذَا حُكْمُ الْقِسْمِ الثَّانِي.

Pendapat kedua: Ia mengikuti penawannya dalam Islam, karena sebelum baligh ia adalah pengikut bagi selain dirinya. Maka penawanan itu telah memisahkannya dari kedua orang tuanya sehingga ia tidak lagi menjadi pengikut mereka, lalu ia menjadi pengikut orang yang memilikinya setelah mereka. Berdasarkan pendapat ini, sebelum baligh berlaku atasnya hukum-hukum penawan dalam hal ibadah, qishāsh dari Muslim jika ia melakukan kejahatan terhadapnya, jika ia meninggal maka disalatkan dan dikuburkan di pemakaman Muslim. Jika ia baligh dan tetap dalam Islam secara ucapan dan perbuatan, lalu ia keluar dari Islam, maka dengan keluarnya itu ia menjadi murtad. Jika ia menampakkan kekafiran saat baligh, apakah dihukumi murtad atau tidak, terdapat dua pendapat yang telah dijelaskan alasannya. Inilah hukum bagian kedua.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِسْلَامِ بِنَفْسِهِ إِقْرَارًا بِهِ وَاعْتِرَافًا بِشُرُوطِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian ketiga adalah berlakunya hukum Islam atas seseorang karena dirinya sendiri, dengan pengakuan dan penerimaan terhadap syarat-syaratnya. Ini terbagi menjadi dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ بَعْدَ بُلُوغِهِ فَهَذَا مُسْلِمٌ لَهُ مَا لِلْمُسْلِمِينَ وَعَلَيْهِ مَا عَلَيْهِمْ.

Pertama: Jika itu terjadi setelah ia baligh, maka ia adalah seorang Muslim, baginya hak-hak kaum Muslimin dan atasnya kewajiban-kewajiban mereka.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ قَبْلَ بُلُوغِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ مِنْهُ فِي طُفُولَتِهِ وَعَدَمِ تَمْيِيزِهِ فَلَا يَكُونُ بِذَلِكَ مُسْلِمًا لِأَنَّهُ لَا حُكْمَ لِقَوْلِهِ وَلَا يَصِلُ إِلَى مَعْرِفَةِ حَقٍّ مِنْ بَاطِلٍ وَلَا صَحِيحٍ مِنْ فَاسِدٍ.

Macam kedua: Jika itu terjadi sebelum ia baligh, maka ini terbagi menjadi dua macam: Pertama, jika itu terjadi pada masa kanak-kanaknya dan saat ia belum bisa membedakan, maka dengan itu ia tidak menjadi Muslim, karena ucapannya tidak dianggap dan ia belum mampu membedakan antara yang benar dan yang batil, atau antara yang sah dan yang rusak.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُرَاهِقًا مُمَيِّزًا يَصِلُ بِذِهْنِهِ إِلَى مَعْرِفَةِ الْحَقِّ مِنَ الْبَاطِلِ وَيُمَيِّزُ مَا بَيْنَ الشُّبْهَةِ وَالدَّلِيلِ فَفِي الْحُكْمِ بِإِسْلَامِهِ إِذَا وَصَفَهُ عَلَى شُرُوطِهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Macam kedua: Jika ia sudah mendekati baligh dan sudah bisa membedakan, sehingga dengan akalnya ia dapat mengetahui yang benar dari yang batil dan membedakan antara syubhat dan dalil, maka dalam penetapan keislamannya jika ia mengucapkannya dengan syarat-syaratnya terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ إِنَّهُ لَا يَصِيرُ مُسْلِمًا لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَفِيقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَنْتَبِهَ ” فَرُفِعَ الْقَلَمُ عَنْهُ قَبْلَ الْبُلُوغِ في جميع أحواله وجميع بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَجْنُونِ فِي سُقُوطِ تَكْلِيفِهِ وَلِأَنَّ عُقُودَ الْمُعَامَلَاتِ أَخَفُّ حَالًا مِنْ شُرُوطِ الْإِسْلَامِ فَلَمَّا امْتَنَعَ قَبْلَ الْبُلُوغِ أَنْ تَصِحَّ مِنْهُ الْعُقُودُ فَأَوْلَى أَنْ يُمْنَعَ مِنْهُ شُرُوطُ الْإِسْلَامِ.

Pertama: Dan inilah pendapat yang tampak dari mazhab asy-Syafi‘i, bahwa ia tidak menjadi seorang Muslim, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Pena diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil hingga ia bermimpi (baligh), dari orang gila hingga ia sadar, dan dari orang tidur hingga ia bangun.” Maka pena (catatan dosa dan pahala) diangkat darinya sebelum baligh dalam seluruh keadaannya, dan tidak ada perbedaan antara dia dan orang gila dalam gugurnya taklif (beban hukum). Karena akad-akad mu‘āmalah (transaksi) lebih ringan keadaannya daripada syarat-syarat Islam, maka ketika sebelum baligh tidak sah darinya akad-akad tersebut, maka lebih utama lagi untuk dicegah darinya syarat-syarat Islam.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ أبي حنيفة أَنْ يَصِيرَ مُسْلِمًا لِأَنَّهُ قَدْ يَصِلُ إِلَى مَعْرِفَةِ الدَّلِيلِ كَمَا يَصِلُ إِلَيْهِ الْبَالِغُ وَخَالَفَ الطِّفْلَ وَالْمَجْنُونَ وَلِأَنَّ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلَامُ أَسْلَمَ قَبْلَ بُلُوغِهِ فَحُكِمَ بِصِحَّةِ إِسْلَامِهِ فَعَلَى هَذَا إِنْ بلغ فرجح عَنِ الْإِسْلَامِ صَارَ مُرْتَدًّا. وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ إِسْلَامَهُ يَكُونُ مَوْقُوفًا فَإِنِ اسْتَدَامَ ذَلِكَ بَعْدَ بُلُوغِهِ عُلِمَ أَنَّهُ تَقَدَّمَ إِسْلَامُهُ وَإِنْ فَارَقَهُ بَعْدَ الْبُلُوغِ عُلِمَ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مُسْلِمًا وَعَلَى هَذَا الْوَجْهِ يَحْتَمِلُ إِسْلَامُ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي قَوْلٍ مِنْ إِسْلَامِهِ إِلَى مَا قَبْلَ الْبُلُوغِ وَأَنَّهُ لَمَّا اسْتَدَامَهُ بَعْدَ الْبُلُوغِ عُلِمَ بِهِ صِحَّةُ مَا تَقَدَّمَ إِسْلَامُهُ فَهَذَا حُكْمُ الْقِسْمِ الثَّالِثِ.

Pendapat kedua: Dan ini adalah mazhab Abu Hanifah, bahwa ia menjadi Muslim, karena bisa jadi ia telah sampai pada pengetahuan tentang dalil sebagaimana orang dewasa, dan ia berbeda dengan anak kecil dan orang gila. Dan karena Ali ra. masuk Islam sebelum baligh, dan keislamannya dinyatakan sah. Maka berdasarkan pendapat ini, jika setelah baligh ia condong keluar dari Islam, ia menjadi murtad. Pendapat ketiga: Bahwa keislamannya dianggap mu‘allaq (tergantung); jika ia tetap dalam Islam setelah baligh, maka diketahui bahwa keislamannya telah sah sejak sebelumnya; dan jika ia keluar dari Islam setelah baligh, maka diketahui bahwa ia tidak pernah menjadi Muslim. Berdasarkan pendapat ini, keislaman Ali ra. dalam salah satu pendapat adalah keislamannya sebelum baligh, dan ketika ia tetap dalam Islam setelah baligh, maka dengan itu diketahui sahnya keislaman yang telah lalu. Inilah hukum bagian ketiga.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ يَجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِسْلَامِ بِالدَّارِ وَهَذَا هُوَ اللَّقِيطُ وَقَدْ قَسَّمْنَا أَحْوَالَهُ الَّتِي تَجْرِي عَلَيْهِ بِهَا حُكْمُ الْإِسْلَامِ أَوْ حُكْمُ الشِّرْكِ فَإِنْ أَجْرَيْنَا عَلَيْهِ أَحْكَامَ الشِّرْكِ فَبَلَغَ وَوَصَفَ الْإِسْلَامَ بَعْدَ بُلُوغِهِ اسْتَوْثَقَ بِهِ حُكْمُ الْإِسْلَامِ مِنْ حِينَئِذٍ وَإِنْ أَقَامَ عَلَى الشِّرْكِ أُقِرَّ عَلَيْهِ مِنْ غَيْرِ تَخْوِيفٍ وَلَا إِرْهَابٍ وَإِنْ جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِسْلَامِ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:

Bagian keempat adalah diberlakukannya hukum Islam atasnya karena tinggal di negeri Islam, dan inilah status laqīṭ (anak temuan). Kami telah membagi keadaannya yang dengannya diberlakukan hukum Islam atau hukum syirik atasnya. Jika kami berlakukan atasnya hukum-hukum syirik, lalu ia baligh dan memeluk Islam setelah baligh, maka sejak saat itu hukum Islam berlaku atasnya. Jika ia tetap dalam syirik, maka ia dibiarkan tanpa ancaman atau intimidasi. Jika diberlakukan atasnya hukum Islam, maka itu terbagi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ نُجْرِيَهُ عَلَيْهِ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنِ الْتِقَاطِهِ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ الَّتِي لَا يَدْخُلُهَا مُشْرِكٌ فَهَذَا لَا يُقْبَلُ مِنْهُ بَعْدَ الْبُلُوغِ الرُّجُوعُ عَنْهُ وَيَكُونُ إِنْ رَجَعَ عَنْهُ مُرْتَدًّا.

Pertama: Diberlakukan hukum Islam atasnya secara lahir dan batin, sebagaimana yang telah kami sebutkan tentang ditemukannya di negeri Islam yang tidak dimasuki oleh orang musyrik. Dalam hal ini, setelah baligh, tidak diterima darinya untuk kembali (murtad) dari Islam, dan jika ia kembali, maka ia dihukumi sebagai murtad.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِسْلَامِ فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ فَمَا لَمْ يَبْلُغْ فَحُكْمُ الْإِسْلَامِ جَارٍ عَلَيْهِ فَإِنْ مَاتَ غُسِّلَ وَصُلِّيَ عَلَيْهِ وَدُفِنَ فِي مَقَابِرِ الْمُسْلِمِينَ وَإِنْ قَتَلَهُ مُسْلِمٌ فَعَلَيْهِ دِيَةُ مُسْلِمٍ وَفِي وُجُوبِ الِاقْتِصَاصِ مِنْهُ قَوْلَانِ:

Kedua: Diberlakukan hukum Islam atasnya secara lahir saja, tidak secara batin. Selama ia belum baligh, hukum Islam tetap berlaku atasnya. Jika ia meninggal, maka ia dimandikan, dishalatkan, dan dikuburkan di pemakaman kaum Muslimin. Jika ia dibunuh oleh seorang Muslim, maka wajib membayar diyat (denda) seorang Muslim, dan dalam kewajiban qishāsh (balasan setimpal) terhadap pembunuhnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُقْتَصُّ مِنْهُ لِجَرَيَانِ حُكْمِ الْإِسْلَامِ عَلَيْهِ.

Pertama: Diberlakukan qishāsh terhadap pembunuhnya karena hukum Islam berlaku atasnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يُقْتَصُّ مِنْهُ لِاحْتِمَالِ حَالِهِ وَأَنَّهُ رُبَّمَا وَصَفَ الْكُفْرَ بَعْدَ بُلُوغِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُرَاقَ دَمٌ بِالشُّبْهَةِ فَإِنْ وَصَفَ الْإِسْلَامَ قَوْلًا وَأَقَامَ عَلَيْهِ فِعْلًا اسْتَقَرَّ حُكْمُ إِسْلَامِهِ وَجَرَى الْقِصَاصُ عَلَى قَاتِلِهِ وَإِنْ رَجَعَ عَنْهُ إِلَى الشِّرْكِ أُرْهِبَ وَخُوِّفَ لِرُجُوعِهِ عَنِ الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَبَى إلا أَنْ يَكُونَ مُشْرِكًا سُئِلَ عَنْ سَبَبِ شِرْكِهِ فإن قال لأن أبي مشركا وَصِرْتُ لِاتِّبَاعِ أَبِي مُشْرِكًا تُرِكَ لِمَا اخْتَارَهُ مِنَ الشِّرْكِ لِاحْتِمَالِهِ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ أَحْكَامُ الشِّرْكِ لِأَنَّنَا لَمْ نَكُنْ حَكَمْنَا بِإِسْلَامِهِ قَطْعًا وَإِنَّمَا حَكَمْنَا بِهِ تَغْلِيبًا.

Pendapat kedua: Tidak diberlakukan qishāsh terhadap pembunuhnya karena ada kemungkinan keadaannya, dan bisa jadi setelah baligh ia memilih kekufuran, sehingga tidak boleh menumpahkan darah karena adanya syubhat (keraguan). Jika ia memeluk Islam secara lisan dan tetap dalam Islam secara perbuatan, maka hukum Islam tetap berlaku atasnya dan qishāsh diberlakukan atas pembunuhnya. Jika ia kembali kepada syirik, maka ia ditakut-takuti dan diancam karena kemurtadannya dari Islam. Jika ia tetap menolak kecuali menjadi musyrik, maka ditanya sebab kemusyrikannya. Jika ia berkata, “Karena ayahku musyrik dan aku mengikuti ayahku menjadi musyrik,” maka ia dibiarkan sesuai pilihannya dalam syirik karena ada kemungkinan (keislamannya), dan diberlakukan atasnya hukum-hukum syirik, karena kita tidak pernah menetapkan keislamannya secara pasti, melainkan hanya berdasarkan dugaan kuat (ghalabah azh-zhann).

فَإِنْ قَالَ لَسْتُ أَعْرِفُ دِينَ أَبِي وَلَا أَعْلَمُهُ مُسْلِمًا وَلَا مُشْرِكًا وَلَكِنِّي أَخْتَارُ الشِّرْكَ مَيْلًا إِلَيْهِ وَرَغْبَةً فِيهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika ia berkata, “Aku tidak mengetahui agama ayahku, dan aku tidak tahu apakah ia Muslim atau musyrik, tetapi aku memilih syirik karena condong dan tertarik kepadanya,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُقْبَلُ مِنْهُ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مَقْطُوعًا بِإِسْلَامِهِ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ وَيُجْعَلُ إِنْ أَقَامَ عَلَيْهِ مُرْتَدًّا إِلَّا أَنْ يَدَّعِيَ شِرْكَ أَبِيهِ فَيُقْبَلُ مِنْهُ وَيُقَرُّ عَلَيْهِ لِيَكُونَ فِي الشِّرْكِ تبعا ولا يكون متبوعا.

Salah satu pendapat: diterima darinya karena belum dipastikan keislamannya. Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih, tidak diterima darinya dan jika ia tetap pada keyakinan itu maka dianggap sebagai murtad, kecuali jika ia mengaku bahwa ayahnya musyrik, maka diterima darinya dan ia dibiarkan tetap dalam kemusyrikan itu agar ia menjadi pengikut dalam kemusyrikan, bukan yang diikuti.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ أَرَادَ الَّذِي الْتَقَطَهُ الطَّعْنَ بِهِ فَإِنْ كَانَ يُؤْمَنُ أَنْ يَسْتَرِقَّهُ فَذَلِكَ لَهُ وَإِلَّا مَنْعُهُ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika orang yang memungutnya ingin membawanya bepergian, maka jika aman dari kemungkinan diperbudak, itu boleh baginya, jika tidak maka dilarang.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا الْتَقَطَهُ مُقِيمٌ ثُمَّ أَرَادَ بَعْدَ حُصُولِهِ فِي كفالته وإقراره في يده جَازَ أَنْ يُسَافِرَ بِهِ بِأَرْبَعَةِ شُرُوطٍ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Jika yang memungutnya adalah orang yang menetap, kemudian setelah anak itu berada dalam tanggungannya dan pengakuannya di tangannya, maka boleh membawanya bepergian dengan empat syarat:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ قَدِ اشْتَدَّ بَدَنُهُ بِحَيْثُ يَقْوَى عَلَى السَّيْرِ فَإِنْ كَانَ طِفْلًا لَا يَحْتَمِلُ السَّيْرَ لَمْ يَجُزْ.

Pertama: Tubuh anak itu sudah kuat sehingga mampu melakukan perjalanan. Jika masih anak kecil yang tidak mampu menempuh perjalanan, maka tidak boleh.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ السَّفَرُ مَأْمُونًا لَا يُخَافُ عَلَيْهِ مِنْ غَلَبَةِ مُسْتَرِقٍّ فَإِنْ خِيفَ ذَلِكَ عَلَيْهِ لَمْ يَجُزْ.

Kedua: Perjalanan itu aman, tidak dikhawatirkan anak itu akan dikuasai oleh orang yang memperbudak. Jika dikhawatirkan demikian, maka tidak boleh.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الْمُسَافِرُ مَأْمُونًا عَلَيْهِ فَلَا يَسْتَرِقُّهُ وَلَا يُسِيءُ إِلَيْهِ فَإِنْ خِيفَ ذَلِكَ لَمْ يجز.

Ketiga: Orang yang bepergian itu dapat dipercaya terhadap anak tersebut, tidak akan memperbudaknya dan tidak akan berbuat buruk kepadanya. Jika dikhawatirkan demikian, maka tidak boleh.

والرابع: أن يكون بينة الْعَوْدِ إِلَى بَلَدِهِ فَإِنْ لَمْ يُرِدِ الْعَوْدَ وَسَافَرَ مُتَنَقِّلًا فَفِي تَمْكِينِهِ مِنْهُ وَجْهَانِ:

Keempat: Ada niat untuk kembali ke negerinya. Jika tidak berniat kembali dan bepergian berpindah-pindah, maka dalam membolehkannya ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُمَكَّنُ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ فِي اسْتِحْقَاقِ كَفَالَتِهِ كَالْأَبِ الَّذِي يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَأْخُذَهُ مِنَ الْأُمِّ فِي سَفَرٍ نَقَلَتْهُ.

Salah satunya: Diperbolehkan, karena ia telah berhak menanggungnya seperti ayah yang boleh mengambil anak dari ibu dalam perjalanan yang dipindahkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ لِمَا فِي نَقْلِهِ مِنْ إِضَاعَةِ مَا كُنَّا نَرْجُوهُ مِنْ ظُهُورِ نَسَبِهِ وَلِهَذَا الْمَعْنَى جَعَلْنَا الْمُقِيمَ إِذَا شَارَكَ فِي الْتِقَاطِهِ مسافرا أولى به.

Pendapat kedua: Tidak diperbolehkan, karena dalam membawanya berpindah-pindah dapat menyebabkan hilangnya harapan kita untuk mengetahui nasabnya. Karena alasan ini pula, kami menganggap orang yang menetap lebih berhak atas anak yang dipungut jika bersaing dengan musafir.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وجنايته خَطَأً عَلَى جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ia melakukan tindak pidana karena kesalahan, maka tanggungannya atas seluruh kaum muslimin.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَجِنَايَتُهُ ضَرْبَانِ عَلَى نَفْسٍ أَوْ مَالٍ فَإِنْ كَانَتْ عَلَى مَالٍ فَهِيَ فِي مَالِهِ صَغِيرًا كَانَ اللَّقِيطُ أَوْ كَبِيرًا مُوسِرًا أَوْ مُعْسِرًا فَإِنْ كَانَ لَهُ مَالٌ دَفَعَ مِنْهُ غُرْمَ جِنَايَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ كَانَ دَيْنًا عَلَيْهِ إِذَا أَيْسَرَ أَدَّاهُ فَإِنْ كَانَتْ جِنَايَتُهُ عَلَى نَفْسِ آدَمِيٍّ فَضَرْبَانِ عَمْدٌ وَخَطَأٌ فَإِنْ كَانَتْ خَطَأً فَعَلَى عَاقِلَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ عَصَبَةٌ يَعْقِلُونَ عَنْهُ فَفِي بَيْتِ الْمَالِ لِأَنَّ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ عَاقِلَتُهُ. أَلَا تَرَاهُ لَوْ مَاتَ بِلَا وَارِثٍ كَانَ مِيرَاثُهُ لِبَيْتِ الْمَالِ لِجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ وَإِنْ كَانَتْ جِنَايَتُهُ عَمْدًا يُوجِبُ الْقَوَدَ فَلَهُ حَالَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بَالِغًا وَالْقَوَدُ وَاجِبٌ عَلَيْهِ فِي نَفْسٍ كَانَتِ الْجِنَايَةُ أَوْ فِي طَرَفٍ. وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ صَبِيًّا فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ لِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ عَنْهُ وَفِي مَحَلِّ الدِّيَةِ قَوْلَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي عَمْدِ الصَّبِيِّ هَلْ يَجْرِي مَجْرَى الْخَطَأِ أَوْ مَجْرَى الْعَمْدِ الصَّحِيحِ وَإِنْ سَقَطَ عَنْهُ الْقَوَدُ فَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ يُجْرَى مَجْرَى الْخَطَأِ كَانَتِ الدِّيَةُ فِي بَيْتِ الْمَالِ مُؤَجَّلَةً كَدِيَةِ الْخَطَأِ وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ عَمْدٌ صَحِيحٌ وَإِنْ سَقَطَ عَنْهُ الْقَوَدُ كَانَتِ الدِّيَةُ فِي مَالِهِ حَالَّةً فَإِنْ أَعْسَرَ بِهَا كَانَتْ دَيْنًا عَلَيْهِ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar. Tindak pidananya ada dua macam: terhadap jiwa atau harta. Jika terhadap harta, maka dibayar dari hartanya, baik ia masih kecil maupun sudah dewasa, kaya atau miskin. Jika ia memiliki harta, maka ganti rugi dibayar dari hartanya. Jika tidak memiliki harta, maka menjadi utang atasnya, dan jika ia mampu kelak, ia harus membayarnya. Jika tindak pidananya terhadap jiwa manusia, maka ada dua macam: sengaja dan tidak sengaja. Jika tidak sengaja, maka menjadi tanggungan ‘āqilah-nya. Jika ia tidak memiliki kerabat (‘āṣib) yang menanggungnya, maka menjadi tanggungan Baitul Māl, karena seluruh kaum muslimin adalah ‘āqilah-nya. Bukankah jika ia meninggal tanpa ahli waris, maka warisannya menjadi milik Baitul Māl untuk seluruh kaum muslimin? Jika tindak pidananya dilakukan dengan sengaja yang mewajibkan qishāsh, maka ada dua keadaan: Pertama, jika ia sudah baligh, maka qishāsh wajib atasnya, baik tindak pidananya terhadap jiwa maupun anggota tubuh. Kedua, jika ia masih anak-anak, maka tidak ada qishāsh atasnya karena belum terkena beban hukum, dan dalam hal diyat ada dua pendapat yang berbeda dalam kasus pembunuhan sengaja oleh anak-anak: apakah diperlakukan seperti kesalahan atau seperti sengaja yang sah. Jika qishāsh gugur darinya, maka jika dikatakan diperlakukan seperti kesalahan, maka diyatnya di Baitul Māl secara tangguh seperti diyat kesalahan. Jika dikatakan itu sengaja yang sah, meski qishāsh gugur, maka diyatnya wajib dari hartanya secara langsung. Jika ia tidak mampu membayar, maka menjadi utang atasnya.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَالْجِنَايَةُ عَلَيْهِ عَلَى عَاقِلَةِ الْجَانِي فَإِنْ قُتِلَ عَمْدًا فَلِلْإِمَامِ الْقَوَدُ أَوِ الْعَقْلُ وَإِنْ كَانَ جُرْحًا حُبِسَ لَهُ الْجَارِحُ حَتَى يَبْلُغَ فَيَخْتَارَ الْقَوَدَ أَوِ الْأَرْشَ فَإِنْ كَانَ مَعْتُوهَا فَقِيرًا أَحْبَبْتُ لِلْإِمَامِ أَنْ يَأْخُذَ الْأَرْشَ وَيُنْفِقَهُ عَلَيْهِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Tindak pidana terhadapnya menjadi tanggungan ‘āqilah pelaku. Jika ia dibunuh secara sengaja, maka imam berhak menuntut qishāsh atau diyat. Jika ia hanya dilukai, maka pelaku ditahan sampai anak itu dewasa, lalu ia memilih antara qishāsh atau ganti rugi. Jika anak itu cacat dan miskin, aku lebih suka imam mengambil ganti rugi dan membelanjakannya untuk anak itu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. لَا يَخْلُو حَالُ الْجِنَايَةِ عَلَى اللَّقِيطِ مِنْ أَنْ تَكُونَ عَمْدًا أَوْ خَطَأً فَإِنْ كَانَتْ خَطَأً فَهِيَ عَلَى عَاقِلَةِ الْجَانِي فِي نَفْسٍ كَانَتْ أَوْ طَرَفٍ وَدِيَتُهُ دِيَةُ حُرٍّ مُسْلِمٍ مَا كَانَ عَلَى حَالِهِ اعْتِبَارًا بِالْأَغْلَبِ مِنْ حُكْمِ الدَّارِ فِي الْحُرِّيَّةِ وَالْإِسْلَامِ. وَإِنْ كَانَتْ عَمْدًا فَضَرْبَانِ فِي نَفْسٍ أَوْ طَرَفٍ فَإِنْ كَانَتْ فِي نَفْسٍ اسْتَحَقَّ فِيهَا دِيَةَ حُرٍّ مُسْلِمٍ وَفِي اسْتِحْقَاقِ الْقَوَدِ إِنْ كَانَ الْقَاتِلُ حُرًّا مُسْلِمًا قَوْلَانِ أَصَحُّهُمَا عَلَيْهِ الْقَوَدُ اعْتِبَارًا بِالْأَغْلَبِ مِنْ حَالِهِ وَحَالِ الدِّيَةِ فِي قَتْلِهِ. وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا قَوَدَ لِأَنَّهُ حَدٌّ يُدْرَأُ بِالشُّبْهَةِ.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang telah dikatakan. Keadaan tindak pidana terhadap seorang laqīṭ tidak lepas dari dua kemungkinan: dilakukan dengan sengaja (‘amdan) atau tidak sengaja (khaṭa’an). Jika dilakukan tidak sengaja, maka diyatnya menjadi tanggungan ‘āqilah pelaku, baik mengenai jiwa maupun anggota tubuh, dan diyatnya adalah diyat seorang muslim merdeka, sesuai dengan keadaannya, berdasarkan mayoritas hukum negeri dalam hal status kemerdekaan dan keislaman. Jika dilakukan dengan sengaja, maka ada dua keadaan: mengenai jiwa atau anggota tubuh. Jika mengenai jiwa, maka ia berhak atas diyat seorang muslim merdeka. Adapun mengenai hak qawad (qishāṣ) jika pembunuhnya adalah seorang muslim merdeka, terdapat dua pendapat; yang paling sahih adalah wajib qawad atasnya, berdasarkan mayoritas keadaannya dan keadaan diyat dalam kasus pembunuhan tersebut. Pendapat kedua, tidak ada qawad, karena qawad adalah hudud yang gugur karena adanya syubhat.

وَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَحْمِلُ اخْتِلَافَ هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَيَقُولُ إِنْ كَانَ قَتْلُهُ قَبْلَ الْبُلُوغِ وَجَبَ الْقَوَدُ عَلَى قَاتِلِهِ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْبُلُوغِ فَلَا يَجِبُ لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى إِظْهَارِ حَالِهِ وَهَذَا الْفَرْقُ مَسْلُوبُ الْمَعْنَى لِأَنَّهُ إِنِ اعْتَبَرَ حَالَ الشُّبْهَةِ فَفِي الْحَالَيْنِ وَإِنِ اعْتَبَرَ حَالَ الظَّاهِرِ فَفِي الْحَالَيْنِ فَلَمْ يَكُنْ لِلْفَرْقِ بَيْنَهُمَا وَجْهٌ فَإِنْ قُلْنَا بِإِسْقَاطِ الْقَوَدِ أُخِذَتِ الدِّيَةُ لِبَيْتِ الْمَالِ وَإِنْ قُلْنَا بِوُجُوبِ الْقَوَدِ كَانَ لِلْإِمَامِ عَنْ كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ مُخَيَّرًا فِيمَا يَرَاهُ أَصْلَحُ لِجَمَاعَتِهِمْ مِنَ الْقَوَدِ لِئَلَّا يُسْرِعَ النَّاسُ إِلَى قَتْلِ النُّفُوسِ وَأَخْذِ الدِّيَةِ.

Sebagian sahabat kami mengaitkan perbedaan dua pendapat ini dengan perbedaan dua keadaan, yaitu: jika pembunuhan terjadi sebelum baligh, maka qawad wajib atas pembunuhnya; dan jika setelah baligh, maka tidak wajib, karena ia mampu menampakkan keadaannya. Namun perbedaan ini tidak bermakna, karena jika yang dipertimbangkan adalah keadaan syubhat, maka berlaku pada kedua keadaan; dan jika yang dipertimbangkan adalah keadaan lahiriah, juga berlaku pada kedua keadaan. Maka tidak ada alasan untuk membedakan antara keduanya. Jika kita berpendapat qawad gugur, maka diyat diambil untuk Baitul Mal. Jika kita berpendapat qawad wajib, maka imam atas nama seluruh kaum muslimin diberi pilihan untuk memilih yang lebih maslahat bagi mereka, antara qawad atau diyat, agar manusia tidak mudah membunuh jiwa dan mengambil diyat.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ عَلَيْهِ فِي طَرَفٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika tindak pidana terhadapnya mengenai anggota tubuh, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بَالِغًا فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَأْخُذَ الدِّيَةَ أَوْ يَقْتَصَّ لِنَفْسِهِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْقَوْلَيْنِ.

Pertama: Jika ia sudah baligh, maka ia berhak memilih antara mengambil diyat atau menuntut qishāṣ untuk dirinya sendiri, sebagaimana telah kami sebutkan dalam dua pendapat sebelumnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ غَيْرَ بَالِغٍ فَإِنْ قُلْنَا بِإِسْقَاطِ الْقَوَدِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ فَلَيْسَ لَهُ إِلَّا دِيَةُ الطَّرَفِ وَيَأْخُذُهَا الْإِمَامُ لَهُ لِيُنْفِقَ عَلَيْهِ مِنْهَا أَوْ يَضُمَّ إِلَى مَالِهِ إِنْ كَانَ غَنِيًّا. وَإِنْ قُلْنَا بِوُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ فَلِلَّقِيطِ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:

Kedua: Jika ia belum baligh, maka jika kita berpendapat qawad gugur menurut salah satu pendapat, maka ia hanya berhak atas diyat anggota tubuh, dan imam mengambilkannya untuk kemudian dinafkahkan kepadanya, atau digabungkan dengan hartanya jika ia kaya. Jika kita berpendapat qawad wajib menurut pendapat yang sahih dalam mazhab, maka laqīṭ memiliki empat keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ عَاقِلًا غَنِيًّا فَعَلَى الْإِمَامِ أَنْ يَحْبِسَ الْجَانِيَ عَلَيْهِ إِلَى أَنْ يَبْلُغَ فَيَخْتَارَ الْقَوَدَ أَوِ الدِّيَةَ وَلَا يَجُوزُ لِلْإِمَامِ أَنْ يَقْتَاتَ عَلَيْهِ فِي أَمْرِهَا كَمَا لَا يَجُوزُ لِأَبِ الطِّفْلِ أَنْ يَقْتَاتَ عَلَيْهِ فِيمَا اسْتَحَقَّهُ مِنْ قَوَدٍ أَوْ دِيَةٍ.

Pertama: Ia berakal dan kaya, maka imam wajib menahan pelaku hingga ia baligh, lalu ia memilih antara qawad atau diyat. Tidak boleh bagi imam untuk mengambil keputusan atasnya dalam perkara ini, sebagaimana ayah seorang anak tidak boleh mengambil keputusan atasnya dalam hak qawad atau diyat yang menjadi haknya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ مَعْتُوهًا فَقِيرًا فَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَأْخُذَ الدِّيَةَ مِنَ الْجَانِي لِيُنْفِقَ مِنْهَا عَلَيْهِ وَيَعْفُوَ عَنِ الْقَوَدِ لِأَمْرَيْنِ:

Kedua: Ia tidak berakal dan fakir, maka sebaiknya imam mengambil diyat dari pelaku untuk dinafkahkan kepadanya, dan memaafkan qawad karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: ظُهُورُ الْمَصْلَحَةِ بَعْدَ حَاجَتِهِ بِالْفَقْرِ.

Pertama: Tampaknya kemaslahatan setelah kebutuhannya karena kefakirannya.

وَالثَّانِي: بَقَاؤُهُ فِي الْأَغْلَبِ عَلَى عَتَهِهِ بَعْدَ الْبُلُوغِ.

Kedua: Pada umumnya ia tetap dalam keadaan tidak berakal setelah baligh.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ عَاقِلًا فَقِيرًا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Ketiga: Ia berakal namun fakir, dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَحْبِسُ قَاتِلَهُ لِيَخْتَارَ لِنَفْسِهِ مَا شَاءَ مِنْ قَوَدٍ أَوْ دِيَةٍ تَعْلِيلًا بِظُهُورِ عَقْلِهِ.

Pertama: Imam menahan pembunuhnya hingga ia memilih sendiri antara qawad atau diyat, dengan alasan tampaknya akalnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْإِمَامَ يَأْخُذُ لَهُ الدِّيَةَ وَيَعْفُو عَنِ الْقَوَدِ تَعْلِيلًا بِحَاجَتِهِ وَفَقْرِهِ وَلَوْ بَلَغَ فَاخْتَارَ الْقَوَدَ وَرَدَّ الدِّيَةَ فَفِيهِ وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا لَهُ ذَلِكَ وَالثَّانِي لَيْسَ لَهُ وَعَفْوُ الْإِمَامِ كَعَفْوِهِ وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى عَفْوِ الْوَلِيِّ عَنْ نَفَقَتِهِ هَلْ لَهُ الْمُطَالَبَةُ بِهَا بَعْدَ بُلُوغِهِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ.

Kedua: Imam mengambilkan diyat untuknya dan memaafkan qawad, dengan alasan kebutuhannya dan kefakirannya. Jika setelah baligh ia memilih qawad dan mengembalikan diyat, maka ada dua pendapat: pertama, ia berhak melakukannya; kedua, ia tidak berhak, dan pemaafan imam sama dengan pemaafannya. Kedua pendapat ini didasarkan pada perbedaan pendapat tentang pemaafan wali atas nafkahnya, apakah ia boleh menuntutnya setelah baligh atau tidak, juga terdapat dua pendapat.

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَكُونَ مَعْتُوهًا غَنِيًّا فَعَلَى وجهين: يَحْبِسُ قَاتِلَهُ لِيَخْتَارَ لِنَفْسِهِ بَعْدَ بُلُوغِهِ وَإِفَاقَتِهِ فَإِمَّا اعْتِبَارًا بِغِيَابِهِ عَنِ الدِّيَةِ.

Keadaan keempat: Jika ia adalah orang yang kurang akal (ma‘tūh) namun kaya, maka ada dua wajah: (1) Menahan pembunuhnya agar ia dapat memilih sendiri setelah ia baligh dan sembuh, atau (2) mempertimbangkan ketidakhadirannya dalam urusan diyat.

وَالثَّانِي: أَنَّ لِلْإِمَامِ أَنْ يَأْخُذَ الدِّيَةَ وَيَعْفُوَ عَنِ الْقَوَدِ اعْتِبَارًا بِعَتَهِهِ وَعَدَمِ إِفَاقَتِهِ فِي الْأَغْلَبِ.

Yang kedua: Imam berhak mengambil diyat dan memaafkan dari qawad, dengan mempertimbangkan kebodohannya dan karena pada umumnya ia tidak akan sembuh.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَهُوَ فِي مَعْنَى الْحُرِّ حَتَّى يَبْلُغَ فَيُقِرَّ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Ia (laki-laki yang ditemukan) dalam hukum seperti orang merdeka hingga ia baligh lalu mengaku (status dirinya).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لَا نَقْطَعُ بِحُرِّيَّةِ اللَّقِيطِ وَلَا نُغَلِّبُ فِيهِ أَحْكَامَ الْعَبْدِ أَمَّا عَدَمُ الْقَطْعِ بِحُرِّيَّتِهِ فَلِإِمْكَانِ مَا عَدَاهَا مِنَ الرِّقِّ. وَأَمَّا إِسْقَاطُهَا تَغْلِيبًا لِأَحْكَامِ الرِّقِّ فَلِأَنَّ الْأَغْلَبَ مِنْ دَارِ الْإِسْلَامِ الْحُرِّيَّةُ كَمَا كَانَ الْأَغْلَبُ فِيهَا الْإِسْلَامَ وَإِنَّمَا اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي ظَاهِرِ أَمْرِهِ فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ إِنَّهُ حُرٌّ فِي الظَّاهِرِ وَإِنْ جَازَ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا كَمَا أَجْرَيْنَا عَلَيْهِ حُكْمَ الْإِسْلَامِ فِي الظَّاهِرِ وَإِنْ جَازَ أَنْ يَكُونَ كَافِرًا وَلِأَنَّ الرِّقَّ طَارِئٌ وَالْحُرِّيَّةَ أَصْلٌ فَلِأَنْ يَجْرِيَ فِي الظَّاهِرِ عَلَى حُكْمِ الْأَصْلِ أَوْلَى. وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ مَجْهُولُ الْأَصْلِ لِإِمْكَانِ الْأَمْرَيْنِ وَإِنَّ الرِّقَّ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مُسْتَحِقًّا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ نَحْكُمَ بِتَغْلِيبِ غَيْرِهِ عَلَيْهِ وَلَيْسَ كَالْكُفْرِ الَّذِي هُوَ بَاطِلٌ فَجَازَ تَغْلِيبُ الْإِسْلَامِ عَلَيْهِ وَمِنْ هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ خُرِّجَ الْقَوْلَانِ فِي اسْتِحْقَاقِ الْقَوَدِ من الحر.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, kita tidak bisa memastikan kemerdekaan seorang laqīṭ (anak temuan), dan kita juga tidak menguatkan atasnya hukum-hukum budak. Adapun tidak memastikan kemerdekaannya, karena masih mungkin ia selain merdeka, yaitu budak. Adapun tidak menjatuhkan hukum budak secara dominan, karena yang lebih banyak di negeri Islam adalah kemerdekaan, sebagaimana yang lebih banyak di dalamnya adalah Islam. Perbedaan pendapat Imam Syafi‘i dalam hal ini, salah satu pendapatnya adalah bahwa ia dihukumi merdeka secara zhahir meskipun mungkin saja ia budak, sebagaimana kita berlakukan atasnya hukum Islam secara zhahir meskipun mungkin ia kafir. Karena perbudakan itu sifatnya insidental, sedangkan kemerdekaan adalah asal, maka lebih utama untuk diberlakukan hukum asal secara zhahir. Pendapat kedua, ia adalah majhūl al-aṣl (tidak diketahui asal-usulnya), karena memungkinkan dua keadaan itu, dan perbudakan bisa jadi memang haknya, sehingga tidak boleh kita menguatkan selainnya atasnya. Ia tidak seperti kekufuran yang batil, sehingga boleh menguatkan Islam atasnya. Dari dua pendapat ini, lahir pula dua pendapat dalam masalah berhak atau tidaknya ia atas qawad dari orang merdeka.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فَإِنْ أَقَرَّ بِالرِّقِّ قَبِلْتُهُ وَرَجَعْتُ عَلَيْهِ بِمَا أَخَذَهُ وَجَعَلْتُ جِنَايَتَهُ فِي عُنُقِهِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ia mengaku sebagai budak, aku terima dan aku kembalikan apa yang telah ia ambil, dan aku jadikan tindak kejahatannya sebagai tanggung jawabnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِقْرَارُ اللَّقِيطِ قَبْلَ بُلُوغِهِ فَغَيْرُ مَعْمُولٍ عَلَيْهِ لَا فِي حُرِّيَّةٍ وَلَا فِي رِقٍّ فَإِذَا بَلَغَ صَارَ إِقْرَارُهُ حِينَئِذٍ مُعْتَدًّا فَإِنِ ادَّعَى الْحُرِّيَّةَ وَأَنْكَرَ الرِّقَّ كَانَ قَوْلُهُ فِيهَا مَقْبُولًا وَصَارَ حُرًّا فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ مَا لَمْ يُقِمْ بَيِّنَةً بِرِقِّهِ وَلَا يُقْبَلُ مِنْهُ الْإِقْرَارُ بِالرِّقِّ بَعْدَ ادِّعَاءِ الْحُرِيَّةِ كَمَا لَوْ بَلَغَ فَأَقَرَّ بِالْإِسْلَامِ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ الرُّجُوعُ إِلَى الْكُفْرِ فَأَمَّا إِذَا أَقَرَّ بِالرِّقِّ فَإِنْ جَعَلْنَاهُ مَجْهُولَ الْأَصْلِ كَانَ إِقْرَارُهُ بِالرِّقِّ مَقْبُولًا وَإِنْ جَعَلْنَاهُ حُرًّا فِي الظَّاهِرِ فَفِي قَبُولِ إِقْرَارِهِ بِالرِّقِّ وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Adapun pengakuan laqīṭ sebelum baligh, maka tidak dianggap, baik dalam hal kemerdekaan maupun perbudakan. Jika ia telah baligh, maka pengakuannya saat itu baru dianggap. Jika ia mengaku merdeka dan mengingkari perbudakan, maka ucapannya diterima dan ia menjadi merdeka secara zhahir dan batin, selama tidak ada bukti yang menunjukkan ia budak. Tidak diterima pengakuan perbudakan darinya setelah ia mengaku merdeka, sebagaimana jika ia telah baligh lalu mengaku Islam, maka tidak diterima darinya kembali kepada kekufuran. Adapun jika ia mengaku sebagai budak, jika kita menganggapnya majhūl al-aṣl, maka pengakuannya sebagai budak diterima. Jika kita menganggapnya merdeka secara zhahir, maka dalam menerima pengakuan perbudakannya ada dua wajah:

أَحَدُهُمَا: لَا يُقْبَلُ مِنْهُ إلا أن تقوم بينة لأنه خلاف مَا أُجْرِيَ عَلَيْهِ مِنْ حُكْمِ الظَّاهِرِ وَحَكَاهُ أبو حامد المروروذي في جامعه.

Pertama: Tidak diterima kecuali ada bukti, karena itu bertentangan dengan hukum zhahir yang telah diberlakukan atasnya. Pendapat ini dinukil oleh Abu Hamid al-Marurudzi dalam kitabnya al-Jāmi‘.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ الظَّاهِرُ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ إِنَّ إِقْرَارَهُ بِهِ مَقْبُولٌ وَإِنْ كَانَ قَدْ أُجْرِيَ عَلَيْهِ فِي الظَّاهِرِ حُكْمُ الْحُرِّيَّةِ كَمَا يُقْبَلُ إِقْرَارُهُ بِالْكُفْرِ وَإِنْ أُجْرِيَ عَلَيْهِ فِي الظَّاهِرِ حُكْمُ الْإِسْلَامِ ثُمَّ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الرِّقِّ فِي الْمُسْتَقْبَلِ مِنْ أَمْرِهِ إِنْ جَنَى أَوْ جُنِيَ عَلَيْهِ فَأَمَّا فِي الْمَاضِي مِنْ أَمْرِهِ فَقَدْ ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ مَا سِوَى الْجِنَايَةِ فِيمَا بَعْدُ وَقَدَّمَ ذِكْرَ الْجِنَايَةِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ وَالنَّفَقَةِ عَلَيْهِ أَمَّا الْجِنَايَةُ فَالْكَلَامُ فِيهَا يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ أَحَدُهُمَا فِيمَا جُنِيَ عَلَيْهِ وَالثَّانِي فِيمَا جَنَاهُ عَلَى غَيْرِهِ.

Wajah kedua: Dan ini yang benar dan tampak dari perkataan Imam Syafi‘i, bahwa pengakuannya diterima meskipun telah diberlakukan hukum kemerdekaan secara zhahir atasnya, sebagaimana diterima pengakuannya atas kekufuran meskipun telah diberlakukan hukum Islam secara zhahir atasnya. Kemudian berlaku atasnya hukum perbudakan di masa mendatang, jika ia melakukan kejahatan atau dizalimi. Adapun untuk masa lalu, Imam Syafi‘i telah menyebutkan selain masalah jinayah (kejahatan) untuk setelahnya, dan mendahulukan penyebutan jinayah pada bagian ini serta nafkah atasnya. Adapun jinayah, pembahasannya mencakup dua bagian: pertama, jika ia menjadi korban kejahatan; kedua, jika ia melakukan kejahatan kepada orang lain.

فَأَمَّا الْجِنَايَةُ عَلَيْهِ فَلَا يَخْلُو مَا أَخَذَهُ مِنْ أَرْشِهَا بِالْحُرِّيَّةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun kejahatan yang menimpanya, maka tidak lepas dari tiga bagian terkait apa yang ia terima dari arsy (ganti rugi) karena status kemerdekaannya:

أَحَدُهَا: أَنْ يَسْتَوِيَ أَرْشُهَا بِالْحُرِّيَّةِ وَالرِّقِّ فَلَا يُرَاجَعُ فَإِنْ كانت عمدا وعرفها الْجَانِي مِنْ مَالِهِ فَقَدْ غَرِمَ مَا لَزِمَهُ وَإِنْ كَانَتْ خَطَأً تَحَمَّلَتْهَا عَاقِلَتُهُ فَفِي رُجُوعِ الْعَاقِلَةِ بِهَا قَوْلَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي تَحَمُّلِ الْعَاقِلَةِ بِالْجِنَايَةِ عَلَى الْعَبْدِ.

Pertama: Jika besaran arsy-nya sama antara dalam keadaan merdeka dan budak, maka tidak ada pengembalian. Jika dilakukan secara sengaja dan pelaku mengetahui, maka pelaku membayar dari hartanya sendiri apa yang menjadi kewajibannya. Jika dilakukan karena kesalahan, maka yang menanggung adalah ‘āqilah-nya. Dalam hal apakah ‘āqilah dapat meminta kembali pembayaran tersebut, terdapat dua pendapat, yang didasarkan pada perbedaan dua pendapat dalam masalah tanggungan ‘āqilah atas jināyah terhadap budak.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ أَرْشُهَا فِي الرِّقِّ أَقَلُّ مِنْ أَرْشِهَا فِي الْحُرِّيَّةِ كَأَنَّهَا فِي الْحُرِّيَّةِ أَلْفٌ وَفِي الرِّقِّ مِائَةٌ فَيَسْتَرْجِعُ مِنْهُ مَا زاد على أرش الرق وذلك بتسعمائة فَإِنْ كَانَتْ بِعَيْنِهَا فِي يَدِهِ أَوْ كَانَ بدلها موجودا من كسبه ليسترجعه الْجَانِي أَوْ عَاقِلَتُهُ وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مَوْجُودَةٍ فِي يَدِهِ وَلَا بُدَّ لَهَا مِنْ كَسْبِهِ نَظَرَ فَإِنْ كَانَ الْحَاكِمُ قَدْ أَنْفَقَهَا عَلَيْهِ فِي صِغَرِهِ اسْتَحَقَّ الْجَانِي الرُّجُوعَ بِهَا عَلَى سَيِّدِهِ كَمَا يَرْجِعُ عَلَيْهِ بِالْقَبْضِ فِي النَّفَقَةِ عَلَيْهِ وَهَكَذَا لَوْ كَانَ الْمُنْفِقُ لَهَا عَلَى نَفْسِهِ لِأَنَّ نَفَقَتَهُ وَاجِبَةٌ عَلَى سَيِّدِهِ وَإِنْ لَمْ يَتَصَرَّفْ فِي نَفَقَتِهِ لَمْ يَلْزَمِ السَّيِّدَ غُرْمُهَا لِأَنَّهَا لَمْ تَصِرْ فِي يَدَيْهِ وَلَا انْصَرَفَتْ فِي وَاجِبٍ عَلَيْهِ ثُمَّ يَنْظُرُ فَإِنْ كَانَ الْحَاكِمُ قَدْ أَخَذَ ذَلِكَ فِي صِغَرِهِ وَلَمْ تَصِرْ إِلَى يَدِهِ لِتَلَفِهِ لَمْ يَجِبْ غُرْمُهُ وَكَانَتِ الزِّيَادَةُ هَدَرًا وَإِنْ كَانَ هُوَ الْقَابِضُ لَهَا فِي كِبَرِهِ أَوْ دَفَعَهَا الْحَاكِمُ إِلَيْهِ بَعْدَ كِبَرِهِ تَعَلَّقَ غُرْمُهَا بِذِمَّتِهِ بَعْدَ عِتْقِهِ وَيَسَارِهِ لِغُرُورِهِ وَلَمْ تَتَعَلَّقْ بِرَقَبَتِهِ.

Bagian kedua: Jika besaran arsy-nya dalam keadaan budak lebih sedikit daripada dalam keadaan merdeka, misalnya dalam keadaan merdeka seribu dan dalam keadaan budak seratus, maka yang dikembalikan adalah kelebihan dari arsy budak, yaitu sembilan ratus. Jika barangnya masih ada di tangan pelaku atau penggantinya masih ada dari hasil usahanya, maka pelaku atau ‘āqilah-nya dapat mengambil kembali. Jika tidak ada di tangannya dan harus diambil dari hasil usahanya, maka dilihat lagi: jika hakim telah membelanjakannya untuknya ketika masih kecil, maka pelaku berhak meminta kembali kepada tuannya, sebagaimana ia berhak meminta kembali atas pengeluaran nafkah untuknya. Demikian pula jika yang membelanjakan untuknya adalah dirinya sendiri, karena nafkahnya wajib atas tuannya. Jika tidak digunakan untuk nafkahnya, maka tuan tidak wajib menggantinya, karena tidak sampai ke tangannya dan tidak digunakan untuk kewajiban atasnya. Kemudian dilihat lagi: jika hakim telah mengambilnya ketika masih kecil dan tidak sampai ke tangannya karena telah rusak, maka tidak wajib menggantinya dan kelebihan itu menjadi gugur. Jika ia sendiri yang menerima ketika dewasa atau hakim memberikannya setelah dewasa, maka kewajiban menggantinya menjadi tanggungan setelah ia merdeka dan mampu, karena ia telah tertipu, dan tidak menjadi tanggungan pada dirinya sebagai budak.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ أَرْشُهَا فِي الرِّقِّ أَكْثَرَ مِنْ أَرْشِهَا فِي الْحُرِّيَّةِ بِأَنْ كَانَتْ فِي الْحُرِّيَّةِ مِائَةٌ وَفِي الرِّقِّ أَلْفٌ فَفِي اسْتِحْقَاقِ الزِّيَادَةِ بِالرِّقِّ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: يَسْتَحِقُّ إِلَّا أَنْ يَعْتَرِفَ الْجَانِي بِهَا وَلَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِيهَا مَعَ الْإِنْكَارِ لَهَا لِمَكَانِ التُّهْمَةِ وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي نَجْعَلُهُ فِيهِ حُرًّا فِي الظَّاهِرِ.

Bagian ketiga: Jika besaran arsy-nya dalam keadaan budak lebih besar daripada dalam keadaan merdeka, misalnya dalam keadaan merdeka seratus dan dalam keadaan budak seribu, maka dalam hal berhaknya atas kelebihan karena status budak terdapat dua pendapat: salah satunya, ia berhak kecuali jika pelaku mengakuinya, dan tidak diterima pengakuan pelaku jika ia mengingkarinya karena adanya tuduhan, dan ini menurut pendapat yang menjadikannya sebagai orang merdeka secara zhahir.

فصل:

Fasal:

وأما الجناية عَلَى غَيْرِهِ فَلَا يَخْلُو مَا دَفَعَهُ فِي أَرْشِهَا بِالْحُرِّيَّةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: أَحَدُهَا: أَنْ يَسْتَوِيَ أَرْشُهَا فِي الْحُرِّيَّةِ وَالرِّقِّ فَلَيْسَ لِلْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ إِلَّا مَا أَخَذَهُ ثُمَّ يَنْظُرُ فَإِنْ كانت جنايته فَقَدْ أَدَّى أَرْشَهَا مِنْ مَالِهِ أَوْ كَسْبِهِ كَذَلِكَ وَإِنْ كَانَتْ خَطَأً أُخِذَتْ مِنْ بَيْتِ المال وجب رَدُّهَا فِيهِ لِأَنَّ جِنَايَةَ الْعَبْدِ فِي عُنُقِهِ دُونَ بَيْتِ الْمَالِ وَالسَّيِّدُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَغْرَمَهَا أَوْ يَبِيعَ رَقَبَتَهُ فِيهَا فَإِنْ ضَاقَتِ الرَّقَبَةُ عِنْدَ بَيْعِهَا عَنْ غُرْمِ جَمِيعِهَا لَمْ يَلْزَمِ السَّيِّدُ مَا بَقِيَ وَهَلْ يَرْجِعُ بِهِ عَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فِي حَقِّ بَيْتِ الْمَالِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ.

Adapun jināyah terhadap orang lain, maka apa yang telah dibayarkan untuk arsy-nya dalam keadaan merdeka tidak lepas dari tiga bagian: Pertama, jika besaran arsy-nya sama antara dalam keadaan merdeka dan budak, maka bagi korban hanya berhak atas apa yang telah diambilnya. Kemudian dilihat lagi: jika jināyah itu dilakukan secara sengaja, maka pelaku telah membayar arsy-nya dari hartanya atau hasil usahanya, demikian pula. Jika dilakukan karena kesalahan, diambil dari Baitul Māl, maka wajib dikembalikan ke sana, karena jināyah budak menjadi tanggungannya sendiri, bukan tanggungan Baitul Māl. Tuan memiliki pilihan antara menanggungnya atau menjual budaknya untuk membayar arsy tersebut. Jika harga budak saat dijual tidak cukup untuk menutupi seluruh arsy, maka tuan tidak wajib menanggung sisanya. Apakah ia dapat meminta kembali kepada korban untuk hak Baitul Māl atau tidak, terdapat dua pendapat.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ أَرْشُهَا بِالرِّقِّ أَكْثَرَ مِنْ أَرْشِهَا بِالْحُرِّيَّةِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian kedua: Jika besaran arsy-nya dalam keadaan budak lebih besar daripada dalam keadaan merdeka, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ رَقَبَةُ الْعَبْدِ تَتَّسِعُ لِلزِّيَادَةِ فَيَسْتَحِقُّ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ الرُّجُوعَ بِهَا فِي رَقَبَةِ الْعَبْدِ إِلَّا أَنْ يَفْدِيَهُ السيد منها.

Pertama: Jika harga budak cukup untuk menutupi kelebihan tersebut, maka korban berhak meminta kembali kelebihan itu dari harga budak, kecuali jika tuan menebusnya dari kelebihan itu.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ رَقَبَةُ الْعَبْدِ تَضِيقُ عَنِ الزِّيَادَةِ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: تَكُونُ هَدَرًا.

Bagian kedua: Jika harga budak tidak cukup untuk menutupi kelebihan tersebut, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: salah satunya, kelebihan itu gugur.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهَا مُسْتَحِقَّةٌ فَإِنْ فَدَاهُ السَّيِّدُ وَإِلَّا بِيعَ فِيهَا.

Pendapat kedua: Bahwa kelebihan itu tetap menjadi hak, maka jika tuan menebusnya, jika tidak, budak dijual untuk menutupi kelebihan itu.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ أَرْشُهَا بِالرِّقِّ أَقَلَّ مِنْ أَرْشِهَا بِالْحُرِّيَّةِ فَفِي قَبُولِ قَوْلِهِ فِي اسْتِرْجَاعِهَا قَوْلَانِ:

Bagian ketiga: Jika besaran arsy-nya dalam keadaan budak lebih sedikit daripada dalam keadaan merdeka, maka dalam hal diterimanya pengakuan pelaku untuk meminta kembali kelebihan itu terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُقْبَلُ قَوْلُهُ وَيَسْتَرْجِعُ وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي نَجْعَلُهُ فِيهِ مَجْهُولَ الْأَصْلِ.

Salah satunya: Pengakuannya diterima dan ia dapat meminta kembali, dan ini menurut pendapat yang menjadikannya tidak diketahui asal-usulnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِيهَا وَلَا يَسْتَرْجِعُ وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي نَجْعَلُهُ فِيهِ حُرًّا فِي الظَّاهِرِ.

Pendapat kedua: Perkataannya tidak diterima dalam hal ini dan ia tidak dapat mengambil kembali (nafkahnya), dan ini menurut pendapat yang menjadikannya sebagai orang merdeka secara zhahir.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا النَّفَقَةُ الَّتِي أَنْفَقَهَا الْحَاكِمُ عَلَيْهِ فِي صِغَرِهِ فَإِنْ كَانَتْ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ لَمْ تَسْتَرْجِعْ مِنَ السَّيِّدِ لِأَنَّهَا دُفِعَتْ مِنْ سَهْمِ الْمَصَالِحِ وَقَدْ جَعَلَ ذَلِكَ مُسْتَحِقًّا فِيهِ وَإِنْ كَانَتْ قَرْضًا اقْتَرَضَهُ الْحَاكِمُ مِنْ وَاحِدٍ أَوْ عَدَدٍ وَجَبَ عَلَى السَّيِّدِ غُرْمُهَا وَرَدَّهَا عَلَيْهِمْ لِوُجُوبِهَا بِحَقِّ الْمِلْكِ.

Adapun nafkah yang telah dikeluarkan oleh hakim untuknya ketika masih kecil, jika nafkah itu berasal dari baitul mal, maka tidak dapat diambil kembali dari tuannya karena nafkah tersebut diambil dari bagian kemaslahatan umum dan ia telah dijadikan sebagai pihak yang berhak atasnya. Namun jika nafkah itu berupa pinjaman yang dipinjam hakim dari seseorang atau beberapa orang, maka wajib atas tuannya untuk menanggung dan mengembalikannya kepada mereka, karena kewajiban tersebut terkait dengan hak kepemilikan.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ الله تعالى: ” وَلَوْ قَذَفَهُ قَاذِفٌ لَمْ أَجِدْ لَهُ حَتَى أسأله فإن قال أنا حر حددت “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ada seseorang yang menuduhnya (laqīṭ) berzina, aku tidak menemukan (hukum) baginya sampai aku menanyakannya. Jika ia berkata, ‘Aku adalah orang merdeka’, maka aku menetapkan had baginya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي لَقِيطٍ قَذَفَهُ قَاذِفٌ بِالزِّنَا فَإِنْ كَانَ اللَّقِيطُ صَغِيرًا فَلَا حَدَّ عَلَى قَاذِفِهِ وَإِنْ كَانَ كَبِيرًا لَمْ يَعْجَلْ إِلَى حَدِّ الْقَاذِفِ حَتَّى يَسْأَلَ اللَّقِيطَ الْمَقْذُوفَ لَا يُخْتَلَفُ فِيهِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ حُرًّا وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” جَنْبُ الْمُؤْمِنِ حِمًى ” فَإِنْ أَقَرَّ بِالرِّقِّ وَلَمْ يَدَّعِ الْحُرِّيَّةَ فَلَا حَدَّ عَلَى قَاذِفِهِ لِأَنَّ قَاذِفَ الْعَبْدِ لَا حَدَّ عَلَيْهِ فَإِنِ ادَّعَى الْحُرِّيَّةَ فَإِنْ صَدَّقَهُ عَلَيْهَا الْقَاذِفُ حُدَّ لَهُ حَدًّا كَامِلًا وَإِنْ كَذَّبَهُ وَادَّعَى رِقَّهُ فَعَلَى الْقَوْلِ الَّذِي نَجْعَلُ فِيهِ اللَّقِيطَ مَجْهُولَ الْأَصْلِ يَكُونُ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَ الْقَاذِفِ وَلَا حَدَّ عَلَيْهِ وَعَلَى الْقَوْلِ الَّذِي نَجْعَلُ اللَّقِيطُ فِيهِ حُرًّا فِي الظَّاهِرِ فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada seorang laqīṭ yang dituduh berzina oleh seseorang. Jika laqīṭ itu masih kecil, maka tidak ada had atas orang yang menuduhnya. Jika ia sudah dewasa, maka tidak segera ditegakkan had atas penuduhnya sampai ditanyakan terlebih dahulu kepada laqīṭ yang dituduh; tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini karena dimungkinkan ia adalah orang merdeka. Nabi ﷺ bersabda: “Jiwa seorang mukmin itu terjaga.” Jika ia mengakui sebagai budak dan tidak mengaku sebagai orang merdeka, maka tidak ada had atas penuduhnya, karena penuduh budak tidak dikenai had. Jika ia mengaku sebagai orang merdeka, lalu penuduhnya membenarkannya, maka ditegakkan had secara sempurna atas penuduhnya. Namun jika penuduhnya mendustakannya dan mengakuinya sebagai budak, maka menurut pendapat yang menjadikan laqīṭ sebagai majhūl al-aṣl (tidak diketahui asal-usulnya), perkataan yang dipegang adalah perkataan penuduh dan tidak ada had atasnya. Sedangkan menurut pendapat yang menjadikan laqīṭ sebagai orang merdeka secara zhahir, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat di kalangan ulama kami:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ اللَّقِيطِ وَيُحَدُّ قَاذِفُهُ كَمَا يَقْتُلُ هَذَا الْقَوْلُ قَاتِلَهُ.

Salah satunya: Perkataan yang dipegang adalah perkataan laqīṭ dan ditegakkan had atas penuduhnya, sebagaimana dalam kasus pembunuhan, pembunuhnya juga dihukum.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ قَاذِفِهِ وَلَا حَدَّ عَلَيْهِ وَإِنْ قُتِلَ قَاتِلُهُ وَفَرَّقَ قَائِلُ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ أَصْحَابِنَا بَيْنَ الْقَتْلِ وَالْقَذْفِ بِأَنَّ الْمَقْذُوفَ حَيٌّ يُمْكِنُهُ إِقَامَةُ الْبَيِّنَةِ عَلَى حُرِّيَّتِهِ فَإِذَا عَجَزَ عَنْهَا ضَعُفَ حَالُهُ وَالْمَقْتُولُ لَا يُقْدَرُ عَلَى إِقَامَةِ الْبَيِّنَةِ عَلَى حُرِّيَّتِهِ بَعْدَ قَتْلِهِ فَعَمِلَ فِيهِ عَلَى ظَاهِرِ حَالِهِ كَالدِّيَةِ؛ فَمَنْ قَالَ بِهَذَا اخْتَلَفُوا فِي قَبُولِ قَوْلِهِ فِي الْقَوَدِ إِذَا كَانَ فِي طَرَفٍ فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ أَجْرَاهُ مَجْرَى الْقَذْفِ وَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُ اللَّقِيطِ فِيهِ لِتَمَكُّنِهِ مِنْ إِقَامَةِ الْبَيِّنَةِ عَلَى حُرِّيَّتِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ أَجْرَاهُ مَجْرَى الْقَتْلِ فِي النَّفْسِ وَقَبِلَ قَوْلَهُ فِي حُرِّيَّتِهِ إِلْحَاقًا لَهُ بِالْقَتْلِ الذي هو من جنسه.

Pendapat kedua: Perkataan yang dipegang adalah perkataan penuduhnya dan tidak ada had atasnya, meskipun pembunuhnya tetap dihukum. Ulama yang berpendapat demikian membedakan antara kasus pembunuhan dan qadzaf (tuduhan zina), karena orang yang dituduh masih hidup dan memungkinkan baginya untuk mendatangkan bukti atas kemerdekaannya. Jika ia tidak mampu, maka kedudukannya menjadi lemah. Sedangkan orang yang terbunuh tidak mungkin lagi mendatangkan bukti atas kemerdekaannya setelah ia meninggal, sehingga dalam hal ini diperlakukan sesuai zhahir keadaannya, seperti dalam kasus diyat. Bagi yang berpendapat demikian, mereka berbeda pendapat dalam menerima pengakuan laqīṭ dalam kasus qishāṣ jika berkaitan dengan anggota tubuh; di antara ulama kami ada yang menyamakannya dengan kasus qadzaf sehingga pengakuan laqīṭ tidak diterima karena ia mampu mendatangkan bukti atas kemerdekaannya, dan ada pula yang menyamakannya dengan kasus pembunuhan jiwa sehingga pengakuannya diterima dalam hal kemerdekaannya, disamakan dengan kasus pembunuhan yang sejenis dengannya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” قاذفه وَإِنْ قَذَفَ حُرًّا حُدَّ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Penuduhnya, jika ia menuduh orang merdeka, maka ia dikenai had.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي لَقِيطٍ قَذَفَ حُرًّا بِالزِّنَا فَإِنْ كَانَ قَبْلَ بُلُوغِهِ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ لِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ عَنْهُ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ بُلُوغِهِ فَمَا لَمْ يَدَّعِ الْمَقْذُوفُ حُرِّيَّتَهُ لَمْ يُكْمِلْ حَدَّهُ وَإِنِ ادَّعَى حُرِّيَّتَهُ فَإِنِ اعْتَرَفَ لَهُ اللَّقِيطُ بِالْحُرِّيَّةِ حُدَّ لِقَذْفِهِ حَدًّا كَامِلًا ثَمَانِينَ وَإِنْ أَنْكَرَ الْحُرِّيَّةَ وَادَّعَى الرِّقَّ فَعَلَى الْقَوْلِ الَّذِي نَجْعَلُهُ فِيهِ مَجْهُولَ الْأَصْلِ الْقَوْلُ قَوْلُهُ وَلَيْسَ عَلَيْهِ إِلَّا حَدُّ الْعَبِيدِ نِصْفُ الْحَدِّ وَعَلَى الْقَوْلِ الَّذِي نَجْعَلُهُ فِيهِ حُرًّا فِي الظَّاهِرِ فِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada laqīṭ yang menuduh orang merdeka berzina. Jika ia menuduh sebelum baligh, maka tidak ada had atasnya karena belum terkena beban hukum. Jika setelah baligh, maka selama yang dituduh tidak mengaku sebagai orang merdeka, hadnya tidak sempurna. Jika yang dituduh mengaku sebagai orang merdeka, lalu laqīṭ mengakuinya, maka ditegakkan had qadzaf secara sempurna, yaitu delapan puluh (cambukan). Jika ia mengingkari kemerdekaan dan mengaku sebagai budak, maka menurut pendapat yang menjadikannya majhūl al-aṣl, perkataan yang dipegang adalah perkataannya dan hanya dikenai had budak, yaitu setengah had. Sedangkan menurut pendapat yang menjadikannya sebagai orang merdeka secara zhahir, terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمَقْذُوفِ وَيُحَدُّ لَهُ اللَّقِيطُ حَدًّا كَامِلًا تَغْلِيبًا لِظَاهِرِ حَالِهِ.

Pertama: Perkataan yang dipegang adalah perkataan yang dituduh dan laqīṭ dikenai had secara sempurna, mengedepankan zhahir keadaannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ اللَّقِيطِ الْقَاذِفِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ إِلَّا حَدُّ الْعَبِيدِ نِصْفُ الْحَدِّ لِأَنَّ الْحُدُودَ تُدْرَأُ بِالشُّبُهَاتِ.

Pendapat kedua: Perkataan yang dipegang adalah perkataan laqīṭ penuduh, dan ia hanya dikenai had budak, yaitu setengah had, karena hudūd digugurkan dengan adanya syubhat.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ إِنْ كَانَ عِنْدَ ادِّعَاءِ الرِّقِّ أَقَرَّ لِسَيِّدٍ بِعَيْنِهِ قُبِلَ قَوْلُهُ وَحُدَّ حَدَّ الْعَبِيدِ لِاسْتِقْرَارِ رِقِّهِ فَتَعَيَّنَ الْمَالِكُ وَإِنْ لَمْ يُعَيِّنْهُ وَادَّعَى رِقًّا مُطْلَقًا لِغَيْرِ سَيِّدٍ بِعَيْنِهِ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ وَحُدَّ حَدَّ الْأَحْرَارِ ثمانين.

Pendapat ketiga: Jika ketika mengaku sebagai budak, ia mengakui seorang tuan tertentu secara spesifik, maka pengakuannya diterima dan ia dijatuhi hukuman had seperti budak karena status perbudakannya telah tetap, sehingga pemiliknya menjadi pasti. Namun jika ia tidak menyebutkan secara spesifik dan hanya mengaku sebagai budak secara umum tanpa menyebut tuan tertentu, maka pengakuannya tidak diterima dan ia dijatuhi had orang merdeka, yaitu delapan puluh (cambukan).

مسألة:

Masalah:

قال المزني رحمه الله تعالى: ” وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ اللَّقِيطُ حُرٌّ لِأَنَّ أَصْلَ الْآدَمِيِّينَ الْحُرِّيَّةُ إِلَّا مَنْ ثَبَتَتْ عَلَيْهِ الْعُبُودِيَّةُ وَلَا وَلَاءَ عَلَيْهِ كَمَا لَا أَبَ لَهُ فَإِنْ مَاتَ فَمِيرَاثُهُ لِجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) هَذَا كله يوجب أنه حر (قال المزني) رحمه الله وقوله المعروف أنه لا يحد القاذف إلا أن تقوم بينة للمقذوف أنه حر لأن الحدود تدرأ بالشبهات “.

Al-Muzani rahimahullah berkata: “Aku mendengarnya berkata, ‘Anak temuan (lakiṭ) itu merdeka, karena asal manusia adalah kemerdekaan kecuali yang telah tetap atasnya status perbudakan. Dan tidak ada wala’ atasnya sebagaimana ia tidak memiliki ayah. Jika ia meninggal, maka warisannya untuk seluruh kaum muslimin.’ (Al-Muzani berkata:) Semua ini menunjukkan bahwa ia merdeka. (Al-Muzani berkata) rahimahullah: Dan pendapat yang dikenal, bahwa tidak dijatuhkan had kepada orang yang menuduh (qadzaf) kecuali jika ada bukti bahwa yang dituduh itu merdeka, karena hudud dihindari jika ada syubhat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لَا وَلَاءَ عَلَى اللَّقِيطِ لِمُلْتَقِطِهِ وَلَا لِغَيْرِهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ مَا لَمْ يَثْبُتْ عَلَيْهِ رِقٌّ. وَقَالَ أبو حنيفة الْوَلَاءُ ثَابِتٌ عَلَيْهِ لِمُلْتَقِطِهِ دُونَ غَيْرِهِ. إِذَا حَكَمَ لَهُ الْإِمَامُ بِوِلَايَةٍ وَقَالَ مَالِكٌ وَلَاؤُهُ ثَابِتٌ لِجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ. وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَثْبَتَ عَلَيْهِ الْوَلَاءَ بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” يجوز للمرأة ثلاثة مواريث عَتِيقِهَا وَمِيرَاثُ لَقِيطِهَا وَمِيرَاثُ وَلَدِهَا الَّذِي لَاعَنَتْ عَلَيْهِ ” وَبِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ لِرَجُلٍ الْتَقَطَ مَنْبُوذًا لَكَ وَلَاؤُهُ وَعَلَيْنَا نَفَقَتُهُ قَالَ وَلِأَنَّهُ مُنْعِمٌ فَجَازَ أَنْ يَسْتَحِقَّ الْوَلَاءَ كَالْمُعْتَقِ. وَدَلِيلُنَا قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ ” فَانْتَفَى الْوَلَاءُ بِذَلِكَ عَمَّنْ لَمْ يُعْتِقْ وَلِأَنَّ مَنْ لَمْ يَثْبُتْ عَلَيْهِ رِقٌّ لَمْ يَسْتَأْنِفْ عَلَيْهِ وَلَاءٌ كَالْحُرِّ الْأَصْلِيِّ وَلِأَنَّ مَا اسْتَحَقَّ بِالرِّقِّ انْتَفَى عَنْ غَيْرِ الرِّقِّ كَالْمِلْكِ وَلِأَنَّ مَنْ جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْحُرِّيَّةِ فِي أَصْلِهِ جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْحُرِّيَّةِ فِي فَرْعِهِ كَالْمَعْرُوفِ بِالْحُرِّيَّةِ طَرْدًا وَبِالْعُبُودِيَّةِ حُكْمًا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa tidak ada wala’ atas anak temuan (lakiṭ) bagi orang yang menemukannya maupun bagi selainnya dari kaum muslimin selama belum tetap atasnya status perbudakan. Abu Hanifah berpendapat, wala’ itu tetap atasnya bagi orang yang menemukannya saja, tidak bagi selainnya, jika imam telah menetapkan hak perwalian baginya. Malik berpendapat, wala’nya tetap untuk seluruh kaum muslimin. Adapun yang menetapkan adanya wala’ atasnya berdalil dengan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Seorang wanita berhak mendapatkan tiga warisan: warisan budaknya yang telah ia merdekakan, warisan anak temuan (lakiṭ)-nya, dan warisan anaknya yang ia lakukan li‘an atasnya.” Dan juga dengan riwayat dari Umar bin Khattab ra. bahwa ia berkata kepada seseorang yang menemukan anak terlantar: “Bagimu wala’-nya dan atas kami nafkahnya.” Mereka juga berdalil bahwa ia telah berbuat baik, maka boleh baginya mendapatkan wala’ sebagaimana orang yang memerdekakan budak. Dalil kami adalah sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya wala’ itu hanya bagi orang yang memerdekakan.” Maka dengan itu, wala’ tidak berlaku bagi siapa pun yang tidak memerdekakan. Dan karena siapa yang tidak tetap atasnya status perbudakan, tidak dimulai atasnya wala’, sebagaimana orang yang merdeka asli. Dan karena apa yang didapatkan karena perbudakan, tidak berlaku bagi selain budak, seperti kepemilikan. Dan karena siapa yang berlaku atasnya hukum kemerdekaan pada asalnya, maka berlaku pula hukum kemerdekaan pada cabangnya, sebagaimana yang dikenal pada orang merdeka secara konsisten dan pada budak secara hukum.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبِرِ إِنْ صَحَّ فَحَمْلُهُ عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ إِمَّا عَلَى مِيرَاثِهِ إِذَا ادَّعَتْهُ وَلَدًا أَوْ عَلَى مِيرَاثِهِ إِذَا ادَّعَتْهُ عَبْدًا وَأَمَّا قَوْلُ عُمَرَ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ لَكَ وَلَاؤُهُ وَعَلَيْنَا نَفَقَتُهُ فَيُحْمَلُ عَلَى الْكَفَالَةِ وَالْوِلَايَةِ دُونَ الْوَلَاءِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّهُ مُنْعِمٌ فَمُنْتَقِضٌ بِمَنِ اسْتَنْقَذَ غَرِيقًا أَوْ أَجَارَ مَظْلُومًا أَوْ مَنَحَ فَقِيرًا فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَمِيرَاثُهُ فِي بَيْتِ الْمَالِ كَالْحُرِّ الذي ولا وارث له.

Adapun jawaban atas hadis, jika sahih, maka ditafsirkan pada salah satu dari dua kemungkinan: yaitu pada warisannya jika ia diakui sebagai anak, atau pada warisannya jika ia diakui sebagai budak. Adapun perkataan Umar ra., “Bagimu wala’-nya dan atas kami nafkahnya,” maka itu ditafsirkan pada tanggungan dan perwalian, bukan pada wala’. Adapun jawaban atas argumen mereka bahwa ia telah berbuat baik, maka itu dapat dibantah dengan orang yang menyelamatkan orang tenggelam, atau melindungi orang yang dizalimi, atau memberi hadiah kepada orang miskin. Maka jika telah tetap demikian, warisannya berada di Baitul Mal seperti orang merdeka yang tidak memiliki ahli waris.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوِ ادَّعَاهُ الَذِي وَجَدَهُ أَلْحَقْتُهُ بِهِ فَإِنِ ادعاه آخَرُ أَرَيْتُهُ الْقَافَةَ فَإِنْ أَلْحَقُوهُ بِالْآخَرِ أَرَيْتُهُمُ الْأَوَّلَ فَإِنْ قَالُوا إِنَّهُ ابْنُهُمَا لَمْ نَنْسِبْهُ إِلَى أَحَدِهِمَا حَتَّى يَبْلُغَ فَيَنْتَسِبَ إِلَى مَنْ شَاءَ مِنْهُمَا وَإِنْ لَمْ يُلْحَقْ بِالْآخَرِ فَهُوَ ابْنُ الْأَوَّلِ “.

Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika orang yang menemukannya mengakuinya sebagai anak, maka aku nasabkan kepadanya. Jika ada orang lain yang mengakuinya, aku perlihatkan kepada para ahli qafah (pencocok ciri fisik). Jika mereka menasabkannya kepada orang lain itu, aku perlihatkan lagi kepada mereka orang yang pertama. Jika mereka berkata bahwa ia adalah anak keduanya, maka kita tidak menasabkannya kepada salah satu dari mereka sampai ia dewasa, lalu ia memilih nasab kepada siapa pun dari keduanya yang ia kehendaki. Jika tidak dinasabkan kepada orang lain, maka ia adalah anak orang yang pertama.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي رَجُلٍ وجد لقيطا فادعاه ولذا فَدَعْوَاهُ مَسْمُوعَةٌ وَقَوْلُهُ مَقْبُولٌ وَيُحْكَمُ لَهُ بِبُنُوَّتِهِ سَوَاءٌ ادَّعَاهُ مَعَ الْتِقَاطِهِ أَوْ بَعْدَهُ لِأَنَّهُ لَا مُنَازِعَ لَهُ لِيُمْنَعَ مِنْهُ وَيَنْبَغِيَ أَنْ يَسْأَلَهُ الْحَاكِمُ اسْتِظْهَارًا مِنْ أَيْنَ صَارَ وَلَدَكَ أَمِنْ أَمَةٍ أَوْ زَوْجَةٍ فِي نِكَاحٍ أَوْ شُبْهَةٍ فَإِنْ أَغْفَلَ كُلَّ ذَلِكَ جَازَ لِأَنَّ قَوْلَهُ فِيهِ مَقْبُولٌ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ بَعْدَ إِلْحَاقِهِ بِالْوَاجِدِ فَادَّعَاهُ وَلَدًا لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ بِمُجَرَّدِ الدَّعْوَى لِأَنَّ الْأَوَّلَ بِادِّعَائِهِ لَهُ قَدْ صَارَ دَافِعًا لِدَعْوَاهُ وَلَا يُمْنَعُ مِنْهَا لِاحْتِمَالِهَا وَأَنَّ إِلْحَاقَهُ بِالْأَوَّلِ إِنَّمَا كَانَ تَغْلِيبًا لِصِدْقِهِ عِنْدَ عَدَمِ الْمُنَازِعِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَجَبَ أَنْ يَرَى الثَّانِي مَعَ الْوَلَدِ الْقَافَةُ لِأَنَّ فيها بيان عِنْدَ التَّنَازُعِ فِي الْأَنْسَابِ فَإِنْ نَفَوْهُ عَنِ الثَّانِي اسْتَقَرَّ لُحُوقُهُ بِالْأَوَّلِ اسْتِصْحَابًا لِسَابِقِ الْحُكْمِ وَإِنْ أَلْحَقُوهُ بِالثَّانِي عَرَضَ عَلَيْهِمُ الْوَلَدَ مَعَ الْأَوَّلِ فَإِنْ نَفَوْهُ عَنِ الْأَوَّلِ لَحِقَ بِالثَّانِي وَانْتَفَى عَنِ الْأَوَّلِ لِأَنَّ الْقَافَةَ حُجَّةٌ فِي إِثْبَاتِ الْأَنْسَابِ وَكَالْبَيِّنَةِ فَكَانَتْ أَوْلَى مِنْ إِلْحَاقِهِ بِدَعْوَى الْأَوَّلِ فَإِنْ أَقَامَ الْأَوَّلُ بَعْدَ إِلْحَاقِ الْقَافَةِ لَهُ بِالثَّانِي بَيِّنَةً عَلَى الْفِرَاشِ بِأَرْبَعِ نِسْوَةٍ عُدُولٍ يَشْهَدْنَ أَنَّهُ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِهِ لَحِقَ بِالْأَوَّلِ بِبَيِّنَتِهِ وَكَانَ أَوْلَى مِنْ إِلْحَاقِ الْقَافَةِ لَهُ بِالثَّانِي بِشَبَهِهِ لِأَنَّ حُكْمَ الشَّبَهِ يَسْقُطُ مَعَ ثُبُوتِ الْفِرَاشِ أَلَا تَرَى لَوْ أَنَّ وَلَدًا عَلَى فِرَاشِ رَجُلٍ فَادَّعَاهُ آخَرُ وَأَلْحَقَتْهُ الْقَافَةُ بِهِ لَمْ يَلْحَقْ وَكَانَ وَلَدَ صَاحِبِ الْفِرَاشِ لِتَقْدِيمِ الْفِرَاشِ عَلَى حُكْمِ الشَّبَهِ.

Al-Mawardi berkata: Bentuk masalah ini adalah tentang seorang laki-laki yang menemukan seorang anak terlantar (lakiṭ) lalu mengakuinya sebagai anaknya. Dalam hal ini, pengakuannya didengar dan ucapannya diterima, serta diputuskan bahwa anak itu adalah anaknya, baik ia mengakuinya bersamaan dengan penemuan maupun setelahnya, karena tidak ada pihak lain yang bersengketa dengannya sehingga ia tidak dicegah dari pengakuan tersebut. Hendaknya hakim menanyakan kepadanya untuk memperjelas, dari mana anak itu menjadi anaknya, apakah dari seorang budak perempuan, atau dari istri dalam pernikahan, atau karena syubhat. Jika ia mengabaikan semua itu, tetap diperbolehkan karena ucapannya dalam hal ini diterima. Jika kemudian datang orang lain setelah anak itu dinisbatkan kepada penemu pertama, lalu mengakuinya sebagai anaknya, maka pengakuan orang kedua tidak diterima hanya dengan sekadar pengakuan, karena pengakuan orang pertama telah menjadi penolak bagi pengakuan orang kedua, dan tidak dicegah untuk mengaku karena masih ada kemungkinan. Penetapan anak itu kepada orang pertama hanyalah karena mengutamakan kebenarannya ketika tidak ada pihak yang bersengketa. Jika demikian, maka wajib bagi orang kedua untuk diperlihatkan anak itu bersama para ahli qāfah (ahli kemiripan fisik), karena dalam hal ini terdapat penjelasan ketika terjadi perselisihan nasab. Jika para ahli qāfah menafikan kemiripan anak itu dengan orang kedua, maka tetaplah anak itu dinisbatkan kepada orang pertama berdasarkan hukum sebelumnya. Namun jika para ahli qāfah menisbatkan anak itu kepada orang kedua, maka anak itu diperlihatkan pula kepada mereka bersama orang pertama. Jika para ahli qāfah menafikan kemiripan anak itu dengan orang pertama, maka anak itu dinisbatkan kepada orang kedua dan terlepas dari orang pertama, karena qāfah adalah hujjah dalam penetapan nasab dan kedudukannya seperti bayyinah (alat bukti), sehingga lebih utama daripada penetapan nasab hanya dengan pengakuan orang pertama. Jika orang pertama setelah penetapan qāfah kepada orang kedua mendatangkan bayyinah berupa empat perempuan adil yang bersaksi bahwa anak itu lahir di atas ranjangnya, maka anak itu dinisbatkan kepada orang pertama berdasarkan bayyinah tersebut, dan ini lebih utama daripada penetapan qāfah kepada orang kedua karena kemiripan, sebab hukum kemiripan gugur dengan adanya bukti kelahiran di atas ranjang. Bukankah jika ada seorang anak lahir di atas ranjang seorang laki-laki, lalu orang lain mengakuinya dan para ahli qāfah menisbatkannya kepada orang lain, maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya, melainkan tetap menjadi anak pemilik ranjang, karena ranjang lebih didahulukan daripada hukum kemiripan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ قَالَتِ الْقَافَةُ حِينَ رَأَوْهُ مَعَ الثَّانِي يُشْبِهُهُ كَشَبَهِهِ بِالْأَوَّلِ لَمْ يَلْحَقْ بِهِمَا وَلَا بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا لِعَدَمِ الْبَيَانِ فِي الْقَافَةِ وَوَجَبَ أَنْ يُوقَفَ أَمْرُهُ حَتَّى يَبْلُغَ الْوَلَدُ إِلَى زَمَانِ الِانْتِسَابِ فَيُنْسَبُ إِلَى أَحَدِهِمَا وَفِي زَمَانِ انْتِسَابِهِ قَوْلَانِ:

Jika para ahli qāfah ketika melihat anak itu bersama orang kedua berkata, “Anak ini mirip dengannya sebagaimana mirip dengan orang pertama,” maka anak itu tidak dinisbatkan kepada keduanya, ataupun kepada salah satu dari mereka, karena tidak ada kejelasan dari para ahli qāfah. Maka wajib untuk menangguhkan urusan anak itu hingga ia mencapai usia layak untuk menasabkan diri, lalu ia dinisbatkan kepada salah satu dari keduanya. Dalam menentukan waktu penetapan nasab ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: الْبُلُوغُ لِأَنَّهُ لَا حُكْمَ لِقَوْلِهِ قَبْلَهُ.

Pertama: Ketika anak itu telah baligh, karena sebelum baligh, ucapannya tidak dianggap.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِلَى أَنْ يميز باستكمال السَّبْعَ أَوِ الثَّمَانِ وَهِيَ الْحَالُ الَّتِي يُخَيَّرُ فِيهَا بَيْنَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ تَنَازُعِهِمَا فِي الْحَضَانَةِ فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا إِذَا عُدِمَ الْبَيَانُ فِي الْقَافَةِ أُقِرَّ عَلَى بُنُوَّةِ الْأَوَّلِ بِمَا تَقَدَّمَ من إِلْحَاقُهُ بِهِ إِذَا لَمْ يُقَابِلْ بِمَا يُوجِبُ لحوقه بغيره كالمال إِذَا نُوزِعَ صَاحِبُ الْيَدِ فِيهِ ثُمَّ تَعَارَضَتِ الْبَيِّنَتَانِ فَأَسْقَطْنَا حُكْمَ تَمَلُّكِهِ لِصَاحِبِ الْيَدِ: قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Hingga anak itu dapat membedakan, yaitu setelah sempurna usia tujuh atau delapan tahun, yaitu keadaan di mana anak diberi pilihan antara kedua orang tuanya ketika terjadi perselisihan dalam hak hadhanah (pengasuhan). Jika ada yang bertanya, “Mengapa ketika tidak ada kejelasan dari para ahli qāfah, anak itu tidak tetap dinisbatkan kepada orang pertama sebagaimana sebelumnya, selama tidak ada bukti yang mewajibkan penetapan nasab kepada selainnya, seperti harta yang jika diperselisihkan antara pemilik tangan lalu kedua belah pihak mendatangkan bayyinah, maka kita gugurkan hukum kepemilikan bagi pemilik tangan?” Maka dijawab: Perbedaannya ada pada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْيَدَ تَدُلُّ عَلَى الْمِلْكِ فَجَازَ عِنْدَ تَعَارُضِ الْبَيِّنَتَيْنِ أَنْ يَحْكُمَ بِهَا وَلَا تَدُلُّ عَلَى النَّسَبِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَحْكُمَ بِهَا وَإِنَّمَا حُكْمُنَا بِمَا سَبَقَ مِنَ الدَّعْوَى دُونَ الْيَدِ وَهَذَا فَرْقُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَفِيهِ دَخَلٌ لِأَنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يُقَالَ فَهَلَّا إِذَا كَانَتِ الدَّعْوَى فِي النَّسَبِ كَالْيَدِ فِي الْمِلْكِ وَجَبَ أَنْ يَحْكُمَ بِهَا عِنْدَ سُقُوطِ الْحُجَجِ بِالتَّعَارُضِ كَالْيَدِ وَالْفَرْقُ الثَّانِي أَنَّ الْأَمْوَالَ لَيْسَ لَهَا بَعْدَ تَعَارُضِ الْبَيِّنَاتِ بَيَانٌ يُنْتَظَرُ فَجَازَ أَنْ يَحْكُمَ بِالْيَدِ بِالضَّرُورَةِ عِنْدَ فَوَاتِ الْبَيَانِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ حَالُ النَّسَبِ لِأَنَّ انْتِسَابَ الْوَلَدِ عِنْدَ بُلُوغِهِ حَالٌ مُنْتَظَرَةٌ يَقَعُ الْبَيَانُ بِهَا فَلَمْ يَحْكُمْ بِمَا تَقَدَّمَ مِنَ الدَّعْوَى لِعَدَمِ الضَّرُورَةِ وَهَذَا فَرْقُ أَبِي الْحُسَيْنِ بْنِ الْقَطَّانِ وَيَدْخُلُ عَلَيْهِ فَوْتُ الْبَيَانِ بِمَوْتِ الْوَلَدِ.

Salah satu alasannya: bahwa kepemilikan tangan menunjukkan kepemilikan (mālik), sehingga ketika terjadi pertentangan dua bukti (bayyinah), boleh memutuskan berdasarkan kepemilikan tangan, sedangkan tangan tidak menunjukkan nasab, sehingga tidak boleh memutuskan berdasarkannya. Adapun keputusan kami sebelumnya adalah berdasarkan klaim (da‘wā) tanpa mempertimbangkan tangan, dan inilah perbedaan menurut Abu ‘Ali bin Abi Hurairah. Namun, dalam hal ini terdapat keberatan, karena bisa saja dikatakan: Mengapa jika klaim dalam masalah nasab diperlakukan seperti tangan dalam kepemilikan, maka seharusnya diputuskan berdasarkan klaim tersebut ketika dalil-dalil saling bertentangan, sebagaimana pada kasus tangan? Perbedaan kedua adalah bahwa harta, setelah terjadi pertentangan dua bayyinah, tidak ada lagi penjelasan yang bisa ditunggu, sehingga boleh memutuskan berdasarkan tangan karena darurat ketika penjelasan telah hilang. Tidak demikian halnya dengan nasab, karena penetapan nasab anak setelah ia baligh adalah keadaan yang masih bisa ditunggu, di mana penjelasan akan muncul dengannya. Maka, tidak diputuskan berdasarkan klaim sebelumnya karena tidak ada keadaan darurat. Inilah perbedaan menurut Abu al-Husain bin al-Qattan, namun pada pendapat ini juga terdapat kelemahan, yaitu jika penjelasan itu hilang karena kematian anak.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ النَّسَبَ مَوْقُوفٌ عَلَى بلوغ الولد لينسب إلى أحدهما أخذ به الولد بعد البلوغ فَإِذَا انْتَسَبَ صَارَ لَاحِقًا بِمَنِ انْتَسَبَ إِلَيْهِ مُنْتَفِيًا عَنِ الْآخَرِ فَلَوْ رَجَعَ فَانْتَسَبَ إِلَى الْآخَرِ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ لِلُحُوقِهِ بِالْأَوَّلِ بِانْتِسَابِهِ الْأَوَّلِ فَلَوْ وَقَفَ عَلَى الِانْتِسَابِ إِلَى أَحَدِهِمَا فَانْتَسَبَ بَعْدَ الْبُلُوغِ إِلَى غَيْرِهِمَا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Apabila telah tetap bahwa penetapan nasab ditangguhkan sampai anak tersebut baligh agar ia dapat menasabkan dirinya kepada salah satu dari keduanya, maka anak itu setelah baligh mengambil keputusan tersebut. Jika ia menasabkan diri, maka ia menjadi bagian dari orang yang ia nasabkan dirinya kepadanya dan terlepas dari yang lain. Jika kemudian ia menarik kembali dan menasabkan diri kepada yang lain, maka tidak diterima darinya, karena ia telah terhubung dengan yang pertama melalui penasabannya yang pertama. Jika ia menunda penasabannya kepada salah satu dari keduanya, lalu setelah baligh ia menasabkan diri kepada selain keduanya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُقْبَلُ مِنْهُ لِأَنَّ الْقَافَةَ قَدْ وَقَفَتْهُ عَلَيْهِمَا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَعْدِلَ بِالِانْتِسَابِ إِلَى غَيْرِهِمَا كَمَا لَوْ أَلْحَقَتْهُ الْقَافَةُ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَنْتَسِبَ إِلَى غَيْرِهِ.

Salah satunya: tidak diterima darinya, karena qāfah telah menetapkannya kepada keduanya, sehingga tidak boleh ia menasabkan diri kepada selain keduanya, sebagaimana jika qāfah telah menetapkannya kepada seseorang, maka ia tidak boleh menasabkan diri kepada selainnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُقْبَلُ مِنْهُ وَيَصِيرُ مُلْحَقًا بِمَنِ انْتَسَبَ إليه لأن وقفته بَيْنَهُمَا لَا يَمْنَعُ دَعْوَى غَيْرِهِمَا.

Pendapat kedua: diterima darinya dan ia menjadi terhubung dengan orang yang ia nasabkan dirinya kepadanya, karena penetapan qāfah antara keduanya tidak menghalangi klaim kepada selain keduanya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا تداعيا بُنُوَّةَ اللَّقِيطِ رَجُلَانِ وَلَمْ يَسْبِقْ أَحَدَهُمَا بِدَعْوَاهُ فَيَلْحَقُ بِهِ وَلَمْ يَكُنْ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا بَيِّنَةٌ تَشْهَدُ بِوِلَادَتِهِ عَلَى فِرَاشِهِ رَجَعَ فِيهِ إِلَى بَيَانِ الْقَافَةِ فَإِذَا أَلْحَقُوهُ بِأَحَدِهِمَا لَحِقَ بِهِ دُونَ الْآخَرِ.

Apabila dua orang laki-laki saling mengklaim sebagai ayah dari seorang anak terlantar (laqīṭ), dan tidak ada salah satu dari keduanya yang lebih dahulu mengajukan klaim, maka anak itu akan dinasabkan kepada salah satu dari mereka. Jika tidak ada salah satu dari mereka yang memiliki bayyinah yang membuktikan bahwa anak itu lahir di atas ranjangnya, maka dikembalikan kepada penjelasan qāfah. Jika qāfah menetapkannya kepada salah satu dari mereka, maka anak itu dinasabkan kepadanya dan tidak kepada yang lain.

وَقَالَ أبو حنيفة إِنْ وَصَفَ أَحَدُهُمَا عَلَامَةً غَامِضَةً فِي جَسَدِ الْمَوْلُودِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ لِأَنَّ عِلْمَهُ بِذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى صِدْقِهِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّهُ قَدْ يَرَى ذَلِكَ غَيْرُ الْوَالِدِ وَلَا يَرَاهُ الْوَالِدُ وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزْ أَنْ تُدْفَعَ اللُّقَطَةُ بِالصِّفَةِ فَالنَّسَبُ أولى أن لا يثبت بالصفة.

Abu Hanifah berkata: Jika salah satu dari mereka dapat menyebutkan tanda khusus yang samar pada tubuh anak tersebut, maka ia lebih berhak atas anak itu, karena pengetahuannya tentang hal itu adalah bukti kebenarannya. Namun, ini adalah kekeliruan, karena bisa saja orang lain selain ayah melihat tanda tersebut, sementara ayah tidak melihatnya. Selain itu, karena jika tidak boleh menyerahkan barang temuan (luqaṭah) hanya berdasarkan ciri-ciri, maka penetapan nasab lebih utama untuk tidak ditetapkan hanya dengan ciri-ciri.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوِ ادَّعَى اللَّقِيطَ رَجُلَانِ فَأَقَامَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بَيِّنَةً أَنَّهُ كَانَ فِي يَدِهِ جَعَلْتُهُ لِلَّذِي كَانَ فِي يَدِهِ أَوَّلًا وَلَيْسَ هَذَا كَمِثْلِ الْمَالِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika dua orang laki-laki mengklaim sebagai ayah dari seorang laqīṭ, lalu masing-masing dari mereka menghadirkan bayyinah bahwa anak itu pernah berada di tangannya, maka aku menetapkan anak itu bagi yang pertama kali memegangnya. Ini tidak sama dengan kasus harta.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلَيْنِ تَنَازَعَا كَفَالَةَ اللَّقِيطِ دُونَ نَسَبِهِ وَادَّعَى كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنَّهُ الْتَقَطَهُ دُونَ صَاحِبِهِ وَأَقَامَ كُلُّ وَاحِدٍ بِمَا ادَّعَاهُ بَيِّنَةً وَالْبَيِّنَةُ هَا هُنَا شَاهِدَانِ لَا غَيْرَ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ عَلَى مَالٍ وَإِنَّمَا هِيَ عَلَى اسْتِحْقَاقِ كَفَالَةٍ تَثْبُتُ بِهَا وِلَايَةٌ فَإِنْ شَهِدَتْ إِحْدَى الْبَيِّنَتَيْنِ لِأَحَدِهِمَا بتقديم يده كان المتقدم إِلَيْهِ أَوْلَاهُمَا بِهِ، قَالَ الشَّافِعِيُّ وَلَيْسَ كَالْمَالِ لِأَنَّ الْمُتَنَازِعَيْنِ فِي الْمَالِ إِذَا أَوْجَبَتْ بَيَّنَتَاهُمَا تقدم يد أحدهما كان فيه قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada dua orang laki-laki yang berselisih tentang hak kafalah (pemeliharaan) laqīṭ, bukan tentang nasabnya. Masing-masing dari mereka mengklaim bahwa dialah yang menemukan anak itu, bukan yang lain, dan masing-masing mendatangkan bayyinah atas klaimnya. Bayyinah di sini adalah dua orang saksi, tidak kurang, karena ini bukan perkara harta, melainkan tentang hak kafalah yang dengannya ditetapkan hak perwalian. Jika salah satu bayyinah bersaksi bahwa salah satu dari mereka lebih dahulu memegangnya, maka yang lebih dahulu berhak atasnya. Imam Syafi‘i berkata: Ini tidak sama dengan kasus harta, karena dalam sengketa harta, jika kedua bayyinah menunjukkan bahwa salah satu dari mereka lebih dahulu memegang, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمُتَقَدِّمَ إِلَيْهِ أَوْلَى كَالْمُتَنَازِعِينَ فِي الْكَفَالَةِ.

Salah satunya: bahwa yang lebih dahulu memegang lebih berhak, sebagaimana dalam sengketa kafalah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُمَا سَوَاءٌ وَيُقَدَّمُ فِي الْكَفَالَةِ مَنْ تَقَدَّمَتْ يَدُهُ. وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمَالَ قَدْ يَصِحُّ انْتِقَالُهُ بِحَقٍّ مِنْ يَدٍ إِلَى يَدٍ فَجَازَ أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهِ الْيَدُ الْمُتَقَدِّمَةُ وَالْيَدُ الْمُتَأَخِّرَةُ وَالْكَفَالَةُ لَا يَصِحُّ انْتِقَالُ اللَّقِيطِ فِيهَا بِحَقٍّ مِنْ يَدٍ إِلَى يَدٍ فَوَجَبَ أَنْ يَحْكُمَ بِهَا لِمُتَقَدِّمِ الْيَدِ، فَإِنْ تَعَارَضَتْ بَيَّنَتَاهُمَا أَوْ أَشْكَلَتَا لِعَدَمِ الْمُنَازِعِ فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Pendapat kedua: Keduanya (yakni dua orang yang berselisih) sama, dan dalam masalah kafālah didahulukan siapa yang lebih dahulu memegang (anak tersebut). Perbedaannya adalah bahwa harta bisa saja berpindah secara sah dari satu tangan ke tangan lain karena suatu hak, sehingga boleh saja tangan yang lebih dahulu dan tangan yang belakangan sama kedudukannya dalam hal ini. Adapun dalam kafālah, tidak sah perpindahan anak temuan secara hak dari satu tangan ke tangan lain, maka wajib diputuskan untuk yang lebih dahulu memegangnya. Jika bukti dari keduanya saling bertentangan atau keduanya tidak jelas karena tidak ada pihak yang menentang, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُقْرَعُ بَيْنَهُمَا وَيَسْتَحِقُّهُ مَنْ قرع.

Salah satunya: Diundi di antara keduanya, dan siapa yang keluar undiannya, dialah yang berhak.

والثاني: يسقطان ويتحالفا فَإِنْ حَلَفَا أَوْ نَكَّلَا فَقَدِ اسْتَوَيَا وَصَارَا كَالْمُلْتَقِطَيْنِ لَهُ مَعًا فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا يُقْرَعُ بَيْنَهُمَا وَيَسْتَحِقُّهُ مَنْ قَرَعَ مِنْهُمَا وَالثَّانِي يَجْتَهِدُ الْحَاكِمُ فِي أَحَظِّهِمَا.

Pendapat kedua: Keduanya gugur dan keduanya saling bersumpah. Jika keduanya bersumpah atau keduanya enggan bersumpah, maka keduanya sama kedudukannya dan menjadi seperti dua orang yang sama-sama menemukan anak tersebut. Maka, berlaku seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dari dua sisi: salah satunya diundi di antara keduanya dan siapa yang keluar undiannya, dialah yang berhak; dan yang kedua, hakim berijtihad dalam memilih siapa yang lebih berhak di antara keduanya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوِ ادَّعَى أَحَدُ الْمُتَنَازِعَيْنِ فِيهِ أَنَّهُ وَلَدُهُ وَتَفَرَّدَ الْآخَرُ بِادِّعَاءِ الْكَفَالَةِ دُونَ الْوِلَادَةِ حُكِمَ بِهِ وَلَدًا لِمُدَّعِي نَسَبِهِ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُنَازَعٍ فِي نَسَبِهِ وَصَارَ أَوْلَى بِكَفَالَتِهِ لِأَنَّ الْوَالِدَ أَحَقُّ بِالْكَفَالَةِ مِنَ الْمُلْتَقِطِ وَهَكَذَا لَوِ اسْتَقَرَّتْ يَدُ الْمُلْتَقِطِ فِي الْكَفَالَةِ ثُمَّ جَاءَ رَجُلٌ فَادَّعَاهُ وَلَدًا لَحِقَ بِهِ وَنُزِعَ مِنْ يَدِ مُلْتَقِطِهِ وَصَارَ مَنْ جَعَلْنَاهُ أَوْلَى بِكَفَالَتِهِ.

Jika salah satu dari dua orang yang berselisih mengaku bahwa anak itu adalah anaknya, sedangkan yang lain hanya mengaku sebagai penanggung kafālah tanpa mengaku sebagai orang tua, maka diputuskan anak itu sebagai anak dari yang mengaku nasabnya, karena tidak ada yang menentang nasabnya, dan ia lebih berhak untuk menanggung kafālahnya, sebab orang tua lebih berhak dalam kafālah daripada orang yang menemukan. Demikian pula jika tangan orang yang menemukan telah tetap dalam kafālah, lalu datang seseorang mengaku anak itu sebagai anaknya, maka anak itu dinisbatkan kepadanya dan diambil dari tangan orang yang menemukannya, dan orang yang kami tetapkan lebih berhak dalam kafālahnya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَدَعْوَةُ الْمُسْلِمِ وَالْعَبْدِ وَالذِّمِّيِّ سَوَاءٌ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Tuntutan orang Muslim, budak, dan dzimmi adalah sama.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا تَدَاعَى نَسَبُ اللَّقِيطِ حر وعبد ومسلم ذمي فَهُمَا فِي دَعْوَةِ النَّسَبِ سَوَاءٌ تَدَاعَى كَالْحُرَّيْنِ وَكَالْمُسْلِمَيْنِ، وَقَالَ أبو حنيفة يُقَدَّمُ الْحُرُّ عَلَى الْعَبْدِ وَالْمُسْلِمُ عَلَى الْكَافِرِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى ” فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَكَافَأَ الْمُسْلِمُ وَالذِّمِّيُّ فِي الدَّعْوَى قَالَ وَلِأَنَّهُ لَمَّا أَجْرَى عَلَى اللَّقِيطِ حُكْمَ الْحُرِّيَّةِ وَالْإِسْلَامِ صَارَ الْحُرُّ وَالْمُسْلِمُ أَقْوَى حَالًا مِنَ الْعَبْدِ وَالْكَافِرِ لِاتِّفَاقِهِمَا فِي الْحُكْمِ وَاشْتِرَاكِهِمَا فِي الصِّفَةِ وَدَلِيلُنَا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ ” فَأَثْبَتَ الْوَلَدَ لِلْفِرَاشِ وَدُونَ الِاشْتِرَاكِ فِي الْحُرِّيَّةِ وَالدِّينِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ سُمِعَتْ دَعْوَاهُ إِذَا كَانَ مُنْفَرِدًا لَمْ يُدْفَعْ عَنْهَا إِذَا كَانَ مُنَازِعًا كَالْحُرَّيْنِ وَالْمُسْلِمَيْنِ وَلِأَنَّ كُلَّ دَعْوَى لَا يُمْنَعُ الذِّمِّيُّ مِنْهَا مَعَ الْبَيِّنَةِ لَمْ يَدْفَعِ الذِّمِّيُّ عَنْهَا بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ كَالْمَالِ، فَأَمَّا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى ” فَمِنْ عُلُوِّهِ الِانْقِيَادُ لِحُقُوقِ أَهْلِ الذِّمَّةِ عَلَى أَنَّ عُلُوَّهُ بِالْيَدِ وَنُفُوذِ الْحُكْمِ وَنَحْنُ نُجْرِي عَلَى الْوَلَدِ وَإِنْ لَحِقَ بِهِ أَحْكَامَ الْإِسْلَامِ، وَأَمَّا قَوْلُهُ إِنَّهُ مُوَافِقٌ لِحَالِ الْحُرِّ وَالْمُسْلِمِ دُونَ الْعَبْدِ وَالْكَافِرِ فَهَذَا فَاسِدٌ بِتَفَرُّدِ الْعَبْدِ وَالْكَافِرِ بِادِّعَائِهِ وَبِمُسْلِمٍ وَكَافِرٍ تَنَازَعَا لَقِيطًا فِي دَارِ الْحَرْبِ فَقَدْ أَجْرَى عَلَيْهِ حُكْمَ الشِّرْكِ فَإِنَّهُمَا فِيهِ سَوَاءٌ وَلَا يَغْلِبُ الْكَافِرُ عَلَى الْمُسْلِمِ لِحُكْمِ الدَّارِ كَذَلِكَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ يَغْلِبُ الْمُسْلِمُ عَلَى الْكَافِرِ لِحُكْمِ الدَّارِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, jika nasab anak temuan diperselisihkan oleh orang merdeka, budak, Muslim, dan dzimmi, maka mereka dalam tuntutan nasab adalah sama, sebagaimana dua orang merdeka atau dua orang Muslim berselisih. Abu Hanifah berpendapat: Orang merdeka didahulukan atas budak dan Muslim didahulukan atas kafir, dengan dalil sabda Nabi ﷺ: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.” Maka tidak boleh Muslim dan dzimmi setara dalam tuntutan. Ia juga beralasan bahwa ketika hukum kemerdekaan dan Islam telah berlaku atas anak temuan, maka orang merdeka dan Muslim lebih kuat kedudukannya daripada budak dan kafir, karena keduanya sepakat dalam hukum dan berbagi sifat. Dalil kami adalah sabda Nabi ﷺ: “Anak itu milik pemilik ranjang, dan bagi pezina adalah batu (hukuman),” maka beliau menetapkan anak bagi pemilik ranjang tanpa mensyaratkan kesamaan dalam kemerdekaan dan agama. Dan setiap orang yang didengar tuntutannya jika sendirian, tidak ditolak tuntutannya jika berselisih, sebagaimana dua orang merdeka atau dua orang Muslim. Dan setiap tuntutan yang tidak dilarang bagi dzimmi jika disertai bukti, maka tidak boleh ditolak tuntutannya tanpa bukti, seperti dalam masalah harta. Adapun sabda Nabi ﷺ: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya,” maka makna ketinggiannya adalah tunduknya (non-Muslim) terhadap hak-hak ahludz-dzimmah, dan ketinggiannya adalah dalam kekuasaan dan berlakunya hukum. Kami memberlakukan hukum Islam atas anak tersebut jika ia dinisbatkan kepadanya. Adapun pendapat bahwa anak temuan itu sesuai dengan keadaan orang merdeka dan Muslim, bukan budak dan kafir, maka ini tidak benar, karena budak dan kafir pun bisa mengakuinya. Jika seorang Muslim dan kafir berselisih atas anak temuan di negeri perang, maka diberlakukan hukum syirik atasnya, sehingga keduanya sama, dan kafir tidak mengalahkan Muslim karena hukum negeri. Demikian pula di negeri Islam, Muslim mengalahkan kafir karena hukum negeri.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ الله تعالى: ” غَيْرَ أَنَّ الذِّمِّيَّ إِذَا ادَّعَاهُ وَوُجِدَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ فَأَلْحَقْتُهُ بِهِ أَحْبَبْتُ أَنْ أَجْعَلَهُ مُسْلِمًا فِي الصَّلَاةِ عَلَيْهِ وَأَنْ آمُرَهُ إِذَا بَلَغَ بِالْإِسْلَامِ مِنْ غَيْرِ إِجْبَارٍ (وَقَالَ) فِي كِتَابِ الدَّعْوَى إِنَّا نَجْعَلُهُ مُسْلِمًا لِأَنَّا لَا نعلمه كما قال قال المزني عندي هذا أولى بالحق لأن من ثبت له حق لم يزل حقه بالدعوى فقد ثبت للإسلام أنه من أهله وجرى حكمه عليه بالدار فلا يزول حق الإسلام بدعوى مشرك قال الشافعي رحمه الله تعالى فإن أقام بينة أنه ابنه بعد أن عقل ووصف الإسلام ألحقناه به ومنعناه أن ينصره فإذا بلغ فامتنع من الإسلام لم يكن مرتدا نقتله وأحبسه وأخيفه رجاء رجوعه قال المزني رحمه الله قياس من جعله مسلما أن لا يرده إلى النصرانية “. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي ذِمِّيٍّ ادَّعَى لَقِيطًا وَلَدًا وَأَلْحَقْنَاهُ بِهِ نَسَبًا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Namun, apabila seorang dzimmi mengakuinya dan ditemukan di Darul Islam lalu aku menisbatkannya kepadanya, aku ingin menjadikannya sebagai seorang Muslim dalam hal dishalatkan atasnya dan aku memerintahkannya, apabila telah baligh, untuk memeluk Islam tanpa paksaan. (Dan beliau berkata) dalam Kitab ad-Da‘wa: Sesungguhnya kami menjadikannya sebagai Muslim karena kami tidak mengetahuinya sebagaimana yang telah dikatakan. Al-Muzani berkata: Menurutku, ini lebih utama dengan kebenaran, karena siapa yang telah tetap baginya suatu hak, maka hak itu tidak hilang hanya karena adanya pengakuan. Maka telah tetap bagi Islam bahwa ia termasuk golongannya dan hukum Islam berlaku atasnya di negeri ini, sehingga hak Islam tidak hilang hanya karena pengakuan seorang musyrik. Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Jika ia mendatangkan bukti bahwa ia adalah anaknya setelah ia berakal dan menyebutkan keislaman, maka kami nisbatkan kepadanya dan kami larang ia untuk menasranikannya. Jika ia telah baligh lalu menolak Islam, maka ia tidak menjadi murtad sehingga kami membunuhnya, tetapi kami menahannya dan menakut-nakutinya dengan harapan ia kembali. Al-Muzani rahimahullah berkata: Qiyās dari yang menjadikannya Muslim adalah tidak mengembalikannya kepada agama Nasrani.” Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada seorang dzimmi yang mengaku seorang laqīṭ sebagai anaknya dan kami nisbatkan kepadanya secara nasab, maka ini ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَلْحَقَ بِهِ بَعْدَ مَا صَارَ مُسْلِمًا وَصَلَّى وَصَامَ وَالْتَزَمَ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ فَهَذَا يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِسْلَامِ وَإِنْ لَحِقَ نَسَبُهُ بِذِمِّيٍّ لِأَنَّ فِعْلَهُ لِلْإِسْلَامِ أَقْوَى مِنِ اتِّبَاعِهِ لِغَيْرِهِ فِي الْكُفْرِ فَهَلْ يَصِيرُ بِوَصْفِ الْإِسْلَامِ قَبْلَ الْبُلُوغِ مُسْلِمًا حَتَّى لَوْ رَجَعَ عَنْهُ بَعْدَ الْبُلُوغِ صَارَ مُرْتَدًّا أَمْ لَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوُجُوهِ الثَّلَاثَةِ.

Salah satunya: Ia dinisbatkan kepadanya setelah ia menjadi Muslim, telah melaksanakan shalat, puasa, dan berkomitmen terhadap syariat Islam. Maka berlaku atasnya hukum Islam, meskipun nasabnya dinisbatkan kepada seorang dzimmi, karena amalnya terhadap Islam lebih kuat daripada mengikuti selainnya dalam kekafiran. Maka, apakah dengan sifat Islam sebelum baligh ia menjadi Muslim, sehingga jika ia kembali (murtad) setelah baligh maka ia menjadi murtad, atau tidak, sebagaimana yang telah kami sebutkan dari tiga pendapat.

أَحَدُهَا: أَنَّهُ لَا يَصِيرُ بِذَلِكَ مُسْلِمًا وَسَوَاءٌ أُلْحِقَ بِالذِّمِّيِّ بِمُجَرَّدِ الدَّعْوَى أَوْ بِبَيِّنَةٍ شَهِدَتْ لَهُ بِأَنَّهُ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِهِ.

Salah satunya: Ia tidak menjadi Muslim dengan hal itu, baik ia dinisbatkan kepada dzimmi hanya dengan pengakuan atau dengan bukti yang menyatakan bahwa ia lahir di atas ranjangnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَلْحَقَ بِهِ فِي صِغَرِهِ وَطُفُولَتِهِ وَقَبْلَ صَلَاتِهِ وَصِيَامِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ يَلْحَقَ بِهِ بِبَيِّنَةٍ تَشْهَدُ بِأَنَّهُ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِهِ فَهَذَا تَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْكُفْرِ تَبَعًا لِأَبِيهِ لِأَنَّ قِيَامَ الْبَيِّنَةِ الْعَادِلَةِ لِوِلَادَتِهِ عَلَى فِرَاشِهِ تَأَصُّلٌ عَنْ حُكْمِ الْأَصْلِ فِي ظَاهِرِ الدَّارِ.

Bentuk kedua: Ia dinisbatkan kepadanya ketika masih kecil dan kanak-kanak, sebelum ia shalat dan puasa. Maka ini ada dua bentuk: Salah satunya, ia dinisbatkan kepadanya dengan bukti yang menyatakan bahwa ia lahir di atas ranjangnya, maka berlaku atasnya hukum kekafiran mengikuti ayahnya, karena adanya bukti yang adil atas kelahirannya di atas ranjangnya merupakan penguatan hukum asal secara lahir di negeri tersebut.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَلْحَقَ بِهِ بِمُجَرَّدِ الدَّعْوَى مِنْ غَيْرِ بَيِّنَةٍ فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Bentuk kedua: Ia dinisbatkan kepadanya hanya dengan pengakuan tanpa bukti, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُنْقَلُ مِنْ حُكْمِ الْإِسْلَامِ إِلَى حُكْمِ الْكُفْرِ لِأَنَّهُ صَارَ لَاحِقًا بِكَافِرٍ فَصَارَ الظَّاهِرُ غَيْرَ ذَلِكَ الظَّاهِرِ.

Salah satunya: Ia dipindahkan dari hukum Islam kepada hukum kekafiran karena ia telah dinisbatkan kepada orang kafir, sehingga yang tampak bukan lagi seperti yang tampak sebelumnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ إِنَّهُ يَكُونُ بَاقِيًا عَلَى حُكْمِ الْإِسْلَامِ وَلَا يُنْقَلُ عَنْهُ لِلُحُوقِهِ بِكَافِرٍ لِأَنَّ حُكْمَ الدَّارِ أَقْوَى مِنْ دَعْوَى مُحْتَمَلَةٍ فَعَلَى هَذَا إِنْ خِيفَ عَلَيْهِ مِنِ افْتِتَانِهِ بِدِينِ أَبِيهِ حِيلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَبِيهِ وَأُخِذَ بِنَفَقَتِهِ حَتَّى يَبْلُغَ فَإِنْ بَلَغَ وَوَصَفَ الْإِسْلَامَ تَحَقَّقَ حُكْمُهُ فِيهِ وَإِنْ وَصَفَ الْكُفْرَ وَمَالَ إِلَى دِينِ أَبِيهِ أُرْهِبَ وَخُوِّفَ رَجَاءَ عَوْدِهِ فَإِنْ أَبَى إِلَّا الْمُقَامَ عَلَى الْكُفْرِ فَبَعُدًا لَهُ وَلَا يَصِيرُ بِذَلِكَ مُرْتَدًّا وَيُقِرُّ عَلَى مَا اخْتَارَهُ لِنَفْسِهِ مِنَ الْكُفْرِ لِأَنَّ فِعْلَهُ أَقْوَى حُكْمًا مِنْ غَالِبِ الدَّارِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua, dan ini adalah pilihan al-Muzani: Ia tetap berada di atas hukum Islam dan tidak dipindahkan darinya hanya karena dinisbatkan kepada orang kafir, karena hukum negeri (darul Islam) lebih kuat daripada pengakuan yang masih mungkin (tidak pasti). Berdasarkan ini, jika dikhawatirkan ia akan terfitnah dengan agama ayahnya, maka dipisahkan antara dia dan ayahnya, dan nafkahnya diambil hingga ia baligh. Jika ia telah baligh dan menyatakan keislaman, maka hukum Islam benar-benar berlaku atasnya. Jika ia menyatakan kekafiran dan condong kepada agama ayahnya, maka ia ditakut-takuti dan diancam dengan harapan ia kembali. Jika ia tetap bersikeras untuk tetap dalam kekafiran, maka biarlah ia, dan dengan itu ia tidak menjadi murtad, dan ia dibiarkan atas pilihannya sendiri dalam kekafiran, karena perbuatannya lebih kuat secara hukum daripada dominasi negeri, dan Allah lebih mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ أَبُوهُ يَهُودِيًّا فَقَالَ وَقَدْ بَلَغَ لَسْتُ يَهُودِيًّا وَلَا مُسْلِمًا وَإِنَّمَا عَلَى غَيْرِ الْيَهُودِيَّةِ مِنَ الْمِلَلِ كَالنَّصْرَانِيَّةِ وَالْمَجُوسِيَّةِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Berdasarkan hal ini, jika ayahnya seorang Yahudi, lalu ia berkata setelah baligh, “Aku bukan Yahudi dan bukan pula Muslim, melainkan aku memeluk agama selain Yahudi, seperti Nasrani atau Majusi,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُقْبَلُ مِنْهُ وَيُقَرُّ عَلَيْهِ لِأَنَّ الْكُفْرَ كُلَّهُ مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ.

Salah satunya: Diterima darinya dan ia dibiarkan atas pilihannya, karena seluruh kekafiran itu adalah satu golongan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُقْبَلُ مِنْهُ مَا أَرَادَ الِانْتِقَالَ إِلَيْهِ مِنَ الْكُفْرِ وَلَا يُعَادُ إلى دين أبيه لإقراره بأنه ليس إلى عَلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَبَاهُ صَارَ مُرْتَدًّا.

Pendapat kedua: Tidak diterima darinya keinginan untuk berpindah kepada kekafiran lain, dan tidak pula dikembalikan kepada agama ayahnya karena ia telah mengakui bahwa ia tidak berada di atas Islam. Jika ayahnya, maka ia menjadi murtad.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا لَحِقَ اللَّقِيطُ بِمُدَّعِيهِ عِنْدَ عَدَمِ مُنَازِعٍ مِنْ مُسْلِمٍ أَوْ كَافِرٍ فَبَلَغَ وَأَنْكَرَ نَسَبَهُ وَادَّعَى نَسَبًا غَيْرَهُ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ تُثْبِتُ بِوِلَادَتِهِ عَلَى فِرَاشِ غَيْرِهِ لِأَنَّ لحوق نسبه لم يراعي فِيهِ قَبُولُ الْوَالِدِ فَيُؤَثِّرُ فِيهِ إِنْكَارَهُ وَإِنَّمَا يُرَاعَى ذَلِكَ مِنْهُ فِي ادِّعَاءِ نَسَبِهِ بَعْدَ الْبُلُوغِ فَلِذَلِكَ أَثَّرَ فِيهِ إِنْكَارُهُ بَعْدَ الْبُلُوغِ.

Apabila seorang laqīṭ (anak temuan) telah dinisbatkan kepada orang yang mengakuinya, tanpa ada pihak lain yang berselisih, baik dari kalangan Muslim maupun kafir, lalu ia telah dewasa dan mengingkari nasabnya serta mengaku memiliki nasab lain, maka pengakuannya itu tidak diterima kecuali dengan bukti yang menetapkan bahwa ia dilahirkan di atas ranjang orang lain. Sebab, penetapan nasabnya sebelumnya tidak mempertimbangkan persetujuan orang tua sehingga pengingkarannya tidak berpengaruh. Hal ini baru dipertimbangkan darinya ketika ia mengaku nasabnya setelah baligh. Oleh karena itu, pengingkarannya setelah baligh berpengaruh.

فَصْلٌ:

Fashl (Pembahasan):

فَإِذَا ادَّعَى الْعَبْدُ لَقِيطًا وَلَدًا فَإِنْ صَدَقَهُ سَيِّدُهُ فِي ادِّعَائِهِ لَحِقَ بِهِ وَإِنْ كَذَبَهُ فِيهِ فَفِي قَبُولِ دَعَوَاهُ وَإِلْحَاقِ نَسَبِهِ بِهِ وَجْهَانِ:

Apabila seorang budak mengaku bahwa seorang laqīṭ adalah anaknya, maka jika tuannya membenarkan pengakuannya, laqīṭ itu dinisbatkan kepadanya. Namun jika tuannya mendustakannya, maka dalam hal diterimanya pengakuan tersebut dan penetapan nasabnya kepadanya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُقْبَلُ كَمَا لَا يُقْبَلُ إِقْرَارُهُ بَأَبٍ لِمَا فِيهِ مِنْ إِزَاحَتِهِ عَنِ الْمِيرَاثِ بِالْوَلَاءِ لِمَنْ أَعْتَقَهُ.

Pendapat pertama: Tidak diterima, sebagaimana tidak diterimanya pengakuan budak terhadap seorang ayah, karena hal itu menyebabkan ia terhalang dari warisan dengan sebab walā’ kepada orang yang memerdekakannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُقْبَلُ مِنْهُ لِأَنَّهُ قَدْ أَدْخَلَهُ تَحْتَ وِلَايَتِهِ بِخِلَافِ الْأَبِ وَإِذَا لَحِقَ اللَّقِيطُ بِالْعَبْدِ لَمْ يَصِرْ بِذَلِكَ عَبْدًا لِأَنَّهُ فِي الفرق تَبَعًا لِأُمِّهِ دُونَ أَبِيهِ وَلَا يُسْمَعُ قَوْلُ العبد أنه من أمه لأنه لاحق لَهُ فِي رِقِّهِ وَإِنَّمَا يُسْمَعُ ذَلِكَ مِنْ سَيِّدِ أَمَةٍ تَدَّعِيهِ وَلَدًا لَهَا لِيَصِيرَ لَهُ بِهَذِهِ الدَّعْوَى عَبْدًا فَإِنْ حَضَرَ مَنِ ادَّعَى عَلَيْهِ هَذِهِ الدَّعْوَى كَانَ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ فِي ادِّعَاءِ رِقِّهِ فَلَوْ كَانَ الْعَبْدُ قَدْ أُعْتِقَ فَادَّعَى بَعْدَ عِتْقِهِ وَلَدًا فَإِنْ أَمْكَنَهُ أَنْ يَكُونَ مَوْلُودًا بَعْدَ عِتْقِهِ لَحِقَ بِهِ صَدَقَ السَّيِّدُ أَوْ كَذَبَ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ وِلَادَتُهُ بَعْدَ عِتْقِهِ فَفِي لُحُوقِهِ بِهِ مَعَ تكذيب السيد وجهان مضيا.

Pendapat kedua: Diterima darinya, karena ia telah memasukkannya ke dalam wilayah kekuasaannya, berbeda dengan ayah. Jika laqīṭ dinisbatkan kepada budak, maka laqīṭ itu tidak otomatis menjadi budak, karena dalam masalah perbudakan, ia mengikuti ibunya, bukan ayahnya. Tidak diterima pula ucapan budak bahwa laqīṭ itu adalah anak dari ibunya, karena laqīṭ itu telah mengikuti budak tersebut dalam status perbudakannya. Hal ini hanya didengar dari tuan seorang budak perempuan yang mengaku laqīṭ itu sebagai anaknya, agar dengan pengakuan tersebut laqīṭ itu menjadi budaknya. Jika hadir orang yang dituduh dalam pengakuan tersebut, maka berlaku sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan pengakuan perbudakan. Jika budak itu telah dimerdekakan, lalu setelah merdeka ia mengaku memiliki anak, maka jika memungkinkan anak itu lahir setelah ia merdeka, maka laqīṭ itu dinisbatkan kepadanya, baik tuannya membenarkan maupun mendustakan. Namun jika kelahirannya tidak mungkin setelah ia merdeka, maka dalam hal penetapan nasabnya dengan adanya pendustaan dari tuan terdapat dua pendapat yang telah lalu.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولا دعوى لِلْمَرْأَةِ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Tidak ada pengakuan bagi perempuan kecuali dengan bukti.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَأْوِيلِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ وَخِلَافُهُمْ فِيهَا قَدِيمٌ حَكَاهُ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَغَيْرُهُ.

Al-Māwardī berkata: Para ulama kami berbeda pendapat dalam menafsirkan masalah ini menjadi tiga pendapat, dan perbedaan mereka dalam hal ini sudah lama, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ishaq al-Marwazī dan lainnya.

فَأَحَدُ الْوُجُوهِ الثَّلَاثَةِ: أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ مِنْهَا ادِّعَاءُ اللَّقِيطِ وَلَدًا لِنَفْسِهَا إِلَّا بِبَيِّنَةٍ تَشْهَدُ لَهَا بِوِلَادَتِهِ سَوَاءٌ كَانَتْ ذَاتَ زَوْجٍ أَوْ لَمْ تَكُنْ بِخِلَافِ الرَّجُلِ الَّذِي يُقْبَلُ مِنْهُ دَعْوَى نَسَبِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ بِبَيِّنَةٌ وَالْفَرْقُ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ أَنَّ لُحُوقَ الْوَلَدِ بِالْمَرْأَةِ يُمْكِنُ أَنْ يُعْلَمَ يَقِينًا بِمُشَاهَدَتِهَا عِنْدَ وِلَادَتِهِ فَكَانَتْ دَعْوَاهَا أَضَعُفَ لِقُدْرَتِهَا عَلَى مَا هُوَ أَقْوَى وَالرَّجُلُ يَلْحَقُ بِهِ الْوَلَدُ بِغَلَبَةِ الظَّنِّ دُونَ الْيَقِينِ فَجَازَ لِضَعْفِ أَسْبَابِهِ أن يصير ولدا لها بِمُجَرَّدِ الدَّعْوَى.

Salah satu dari tiga pendapat tersebut: Tidak diterima dari perempuan pengakuan bahwa laqīṭ adalah anaknya kecuali dengan bukti yang menyaksikan bahwa ia melahirkan anak tersebut, baik ia memiliki suami maupun tidak. Berbeda dengan laki-laki yang diterima pengakuannya terhadap nasabnya meskipun tanpa bukti. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah bahwa penetapan anak pada perempuan dapat diketahui secara yakin dengan menyaksikan proses kelahirannya, sehingga pengakuannya menjadi lemah karena ia mampu menghadirkan bukti yang lebih kuat. Sedangkan pada laki-laki, penetapan anak kepadanya hanya berdasarkan dugaan kuat, bukan keyakinan, sehingga karena lemahnya sebab-sebabnya, cukup dengan sekadar pengakuan untuk menetapkan anak baginya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ ذَاتَ زَوْجٍ لَمْ يَصِرْ وَلَدًا لَهَا بِمُجَرَّدِ الدَّعْوَى حَتَّى تُقِيمَ بَيِّنَةً بِوِلَادَتِهِ وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ ذَاتِ زَوْجٍ قُبِلَ مِنْهَا وَأُلْحِقَ بِهَا لِأَنَّهَا إِذَا كَانَتْ ذَاتَ زَوْجٍ أَوْجَبَ لُحُوقُهُ بِهَا أَنْ يَصِيرَ لَاحِقًا بِزَوْجِهَا لِأَنَّهَا لَهُ فِرَاشٌ فَلَمْ يَثْبُتْ ذَلِكَ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ يَثْبُتُ بِهَا الْفِرَاشُ وَإِذَا لَمْ تَكُنْ ذَاتَ زَوْجٍ فَلُحُوقُهُ بِهَا لَا يَتَعَدَّاهَا إِلَى غَيْرِهَا كَالرَّجُلِ.

Pendapat kedua: Jika perempuan itu memiliki suami, maka tidak dapat dinisbatkan sebagai anaknya hanya dengan pengakuan, kecuali ia mendatangkan bukti kelahiran. Namun jika ia tidak bersuami, maka pengakuannya diterima dan laqīṭ itu dinisbatkan kepadanya. Sebab, jika ia bersuami, penetapan nasab laqīṭ kepadanya mengharuskan penetapan nasab kepada suaminya, karena ia adalah istri (firaasy) bagi suaminya, sehingga hal itu tidak dapat ditetapkan kecuali dengan bukti yang menetapkan adanya firaasy. Jika ia tidak bersuami, maka penetapan nasab laqīṭ kepadanya tidak berlanjut kepada selain dirinya, sebagaimana pada laki-laki.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ مُرَادَ الشَّافِعِيِّ بِذَلِكَ أَنَّهُ لَا دَعْوَةَ لَهَا فِي إِلْحَاقِهِ بِزَوْجِهَا وَلَا فِي ادِّعَائِهِ لِنَفْسِهَا إِلَّا بِبَيِّنَةٍ تُقِيمُهَا عَلَى وِلَادَتِهَا لَهُ رَدًّا عَلَى طَائِفَةٍ زَعَمَتْ أَنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا ادَّعَتْ وِلَادَةَ وَلَدٍ عَلَى فِرَاشِ الزَّوْجِ كَانَ قَوْلُهَا فِيهِ مَقْبُولًا وَصَارَ بِالزَّوْجِ لَاحِقًا فَأَمَّا إِذَا أَرَادَتْ أَنْ تَدْعُوَهُ لِنَفْسِهَا وَلَدًا فَإِنَّهُ يَلْحَقُ بِهَا بِمُجَرَّدِ الدَّعْوَى كَالرَّجُلِ.

Pendapat ketiga: Maksud Imam Syafi‘i dengan pernyataan tersebut adalah bahwa perempuan tidak memiliki hak pengakuan dalam penetapan nasab kepada suaminya maupun dalam pengakuan sebagai anaknya sendiri kecuali dengan bukti yang ia hadirkan atas kelahirannya, sebagai bantahan terhadap kelompok yang berpendapat bahwa jika seorang perempuan mengaku melahirkan anak di atas ranjang suaminya, maka pengakuannya diterima dan anak itu dinisbatkan kepada suaminya. Adapun jika ia ingin mengakuinya sebagai anaknya sendiri, maka laqīṭ itu dinisbatkan kepadanya hanya dengan pengakuan, sebagaimana pada laki-laki.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا لَحِقَ بِهَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ هَذِهِ الْوُجُوهِ الثَّلَاثَةِ لَمْ يَلْحَقْ بِزَوْجِهَا إِلَّا أَنْ يَصْدُقَهَا عَلَى وِلَادَتِهِ فَيَصِيرُ حِينَئِذٍ لَاحِقًا بِهِ بِتَصْدِيقِهِ، أَوْ بِبَيِّنَةٍ تُقِيمُهَا عَلَى وِلَادَتِهِ.

Maka apabila anak itu dinisbatkan kepadanya (ibu) dengan salah satu dari tiga cara yang telah kami sebutkan, maka anak itu tidak dinisbatkan kepada suaminya kecuali jika suaminya membenarkan bahwa anak itu adalah anaknya, maka pada saat itu anak tersebut menjadi dinisbatkan kepadanya karena pembenarannya, atau dengan adanya bukti yang didatangkan oleh istri atas kelahiran anak itu darinya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَلَوْ قَالَتِ الْمَرْأَةُ وَقَدْ أُلْحِقَ بِهَا الْوَلَدُ وَأَنْكَرَهَا الزَّوْجُ أَنْ تَكُونَ وَلَدَتْهُ عَلَى فِرَاشِهِ: أَنَا أُرِيهِ الْقَافَةَ مَعَكَ لِيُلْحِقُوهُ بِكَ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّ الْوِلَادَةَ لَا تَثْبُتُ بالقافة لإمكان البينة.

Jika seorang wanita berkata, setelah anak itu dinisbatkan kepadanya dan suaminya mengingkari bahwa ia melahirkan anak itu di atas ranjangnya: “Aku akan memperlihatkan anak ini kepada para qāfah bersamamu agar mereka menisbatkannya kepadamu,” maka hal itu tidak diperbolehkan, karena kelahiran tidak dapat ditetapkan dengan qāfah selama masih memungkinkan adanya bukti.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فَإِنْ أَقَامَتِ امْرَأَتَانِ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَيِّنَةٌ أنه ابنها لم أجعله ابن واحدة مِنْهُمَا حَتَّى أُرِيَهُ الْقَافَةَ فَإِنْ أَلْحَقُوهُ بِوَاحِدِةٍ لَحِقَ بِزَوْجِهَا وَلَا يَنْفِيهِ إِلَّا بِاللِّعَانِ قَالَ المزني رحمه الله مخرج قول الشافعي في هذا أن الولد للفراش وهو الزوج فلما ألحقته القافة بالمرأة كان زوجها فراشا يلحقه ولدها ولا ينفيه إلا بلعان “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika dua orang wanita masing-masing mendatangkan bukti bahwa anak itu adalah anaknya, maka aku tidak menetapkan anak itu sebagai anak salah satu dari keduanya sampai aku memperlihatkannya kepada para qāfah. Jika para qāfah menisbatkannya kepada salah satu dari keduanya, maka anak itu dinisbatkan kepada suaminya, dan tidak dapat dinafikan kecuali dengan li‘ān.” Al-Muzani rahimahullah berkata: Penjelasan dari pendapat Imam Syafi‘i dalam hal ini adalah bahwa anak itu menjadi milik ranjang, yaitu suami. Maka ketika para qāfah menisbatkannya kepada wanita, suaminya menjadi ranjang yang menisbatkan anak itu kepadanya, dan tidak dapat dinafikan kecuali dengan li‘ān.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي امْرَأَتَيْنِ تَنَازَعَتَا فِي لَقِيطٍ وَادَّعَتْهُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا وَلَدًا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Bentuk masalah ini adalah pada dua orang wanita yang berselisih mengenai seorang anak temuan (laqīṭ), dan masing-masing mengaku bahwa anak itu adalah anaknya. Maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا يَكُونَ لَهُمَا مَعَ التَّنَازُعِ بَيِّنَةٌ فَفِي سَمَاعِ دَعْوَاهُمَا مَا ذَكَرْنَا مِنَ الثَّلَاثَةِ الْأَوْجُهِ:

Pertama: Tidak ada bukti pada keduanya dalam perselisihan tersebut. Maka dalam mendengarkan pengakuan mereka, terdapat tiga pendapat sebagaimana telah kami sebutkan:

أَحَدُهَا: أَنَّهَا غَيْرُ مَسْمُوعَةٍ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ سَوَاءٌ كَانَتَا مِنْ ذَوَاتِ الْأَزْوَاجِ أَوْ مِنَ الْخَلَايَا.

Pertama: Pengakuan mereka tidak dapat diterima kecuali dengan bukti, baik keduanya adalah wanita bersuami maupun tidak bersuami.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُمَا إِنْ كَانَتَا مِنْ ذَوَاتِ الْأَزْوَاجِ لَمْ تُسْمَعْ دَعْوَاهُمَا إِلَّا بِبَيِّنَةٍ وَإِنْ كَانَتَا مِنَ الْخَلَايَا سُمِعَتْ دَعْوَاهُمَا بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ وَإِنْ كَانَتْ إِحْدَاهُمَا ذَاتَ زَوْجٍ وَالْأُخْرَى خَلِيَّةً كَانَتْ دَعْوَى الْخَلِيَّةِ مَسْمُوعَةً وَدَعْوَى ذَاتِ الزَّوْجِ مَدْفُوعَةً إِلَّا بِبَيِّنَةٍ.

Pendapat kedua: Jika keduanya adalah wanita bersuami, maka pengakuan mereka tidak diterima kecuali dengan bukti. Jika keduanya adalah wanita tidak bersuami, maka pengakuan mereka dapat diterima tanpa bukti. Jika salah satunya bersuami dan yang lainnya tidak bersuami, maka pengakuan wanita yang tidak bersuami diterima, sedangkan pengakuan wanita yang bersuami tidak diterima kecuali dengan bukti.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ دَعْوَاهُمَا مَعًا مسموعة سواء كانتا من ذوات الأزواج أو الْخَلَايَا فَعَلَى هَذَا إِذَا سُمِعَتْ دَعْوَاهُمَا وَأَقَامَتَا عَلَى تَنَازُعِهِمَا أَوْ عُدِمَتْ بَيِّنَتَاهُمَا فَفِي الَّذِي يَحْكُمُ بِهِ فِيهِمَا وَجْهَانِ:

Pendapat ketiga: Pengakuan keduanya dapat diterima, baik keduanya wanita bersuami maupun tidak bersuami. Berdasarkan pendapat ini, jika pengakuan keduanya didengar dan mereka tetap berselisih atau tidak ada bukti dari keduanya, maka dalam hal keputusan yang diambil terhadap mereka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُمَا يَرَيَانِ الْقَافَةَ مَعَ الْوَلَدِ فَبِأَيِّهِمَا أَلْحَقُوهُ أُلْحِقَ بِهَا وَفِي لُحُوقِهِ بِزَوْجِهَا وَجْهَانِ:

Pertama: Keduanya memperlihatkan anak itu kepada para qāfah. Kepada siapa pun para qāfah menisbatkannya, maka anak itu dinisbatkan kepadanya. Dalam hal penisbatan anak itu kepada suaminya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَلْحَقُ بِهِ إِلَّا أَنْ يَنْفِيَهُ بِاللِّعَانِ لِأَنَّ الْقَافَةَ كَالْبَيِّنَةِ بِخِلَافِ الدَّعْوَى الْمُجَرَّدَةِ.

Pertama: Anak itu dinisbatkan kepada suaminya kecuali jika suaminya menafikannya dengan li‘ān, karena qāfah seperti halnya bukti, berbeda dengan pengakuan semata.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَلْحَقُ بِهِ كَالدَّعْوَى الْمُجَرَّدَةِ إِلَّا أَنْ يَصْدُقَهَا عَلَى وِلَادَتِهِ فَيَصِيرُ لَاحِقًا بِهِ فَإِنْ عُدِمَتِ الْقَافَةُ كَانَ الْوَلَدُ مَوْقُوفًا بَيْنَهُمَا إِلَى أَنْ يَنْتَسِبَ عِنْدَ بُلُوغِهِ زَمَانَ الِانْتِسَابِ إِلَى إِحْدَاهُمَا وَيَكُونُ حُكْمُهُمَا فِيهِ كَحُكْمِ الرَّجُلَيْنِ إِذَا تَنَازَعَاهُ عَلَى العمل على القافة إن وجدوا أو انْتِسَابَ الْوَلَدِ إِنْ عَدِمُوا.

Kedua: Anak itu tidak dinisbatkan kepadanya, sebagaimana pengakuan semata, kecuali jika suaminya membenarkan bahwa anak itu adalah anaknya, maka anak itu menjadi dinisbatkan kepadanya. Jika tidak ada qāfah, maka anak itu tetap dalam status tergantung di antara keduanya sampai ia memilih salah satu dari mereka ketika telah mencapai usia memilih nasab, dan hukum keduanya dalam hal ini seperti hukum dua orang laki-laki yang berselisih atas seorang anak, yaitu mengikuti qāfah jika ada, atau pilihan anak jika tidak ada qāfah.

الْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّهُ لَا مَدْخَلَ للقافة في إلحاق الولد بأمه وإنما يَحْكُمُ بِهِمْ فِي إِلْحَاقِهِمْ بِالْأَبِ دُونَهَا وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Yaitu pendapat Ibn Abi Hurairah, bahwa tidak ada peran qāfah dalam penetapan nasab anak kepada ibunya, melainkan qāfah hanya berperan dalam penetapan nasab anak kepada ayahnya, bukan kepada ibunya. Perbedaan antara keduanya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْوَلَدَ يَعْرِفُ أُمَّهُ يَقِينًا فَلَمْ يَحْتَجْ إِلَى الْحُكْمِ بِالشَّبَهِ ولا يعرف أَبَاهُ ظَنًّا فَاحْتِيجَ إِلَى الْحُكْمِ بِالشَّبَهِ.

Pertama: Anak pasti mengetahui siapa ibunya, sehingga tidak perlu ada penetapan dengan kemiripan (syabah), sedangkan ayahnya hanya diketahui secara dugaan, sehingga diperlukan penetapan dengan kemiripan.

وَالْفَرْقُ الثَّانِي: وَهُوَ فَرْقُ اسْتِدْلَالٍ أَنَّ حُكْمَ الْقَافَةِ لِمَا فِيهِ مِنْ مُبَايَنَةِ الْأُصُولِ فَكَانَ مَقْصُورًا عَلَى مَا وَرَدَ فِيهِ النَّصُّ مِنْ إِلْحَاقِهِ بِالْأَبِ دُونَ الْأُمِّ وَيَكُونُ تَنَازُعُ الْمَرْأَتَيْنِ فِيهِ يُوجِبُ وُقُوفَهُ بَيْنَهُمَا حَتَّى يَنْتَسِبَ عِنْدَ الْبُلُوغِ إِلَى إِحْدَاهُمَا، وَالْوَجْهُ الْأَوَّلُ أَصَحُّ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: {إِنَّا خَلَقْنَا الإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ} [الإنسان: 2] يَعْنِي أَخْلَاطًا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى لِاخْتِلَاطِ مَاءِ الرَّجُلِ بِمَاءِ الْمَرْأَةِ وَقَالَ تَعَالَى: {خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ} [الطارق: 6، 7] يَعْنِي أَصْلَابَ الرِّجَالِ وَتَرَائِبَ النِّسَاءِ وَهِيَ الصُّدُورُ وَقِيلَ هِيَ الْأَضْلَاعُ وَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِذَا سَبَقَ مَاءُ الْمَرْأَةِ مَاءَ الرَّجُلِ كَانَ الشبه للخؤلة، وإذا سَبَقَ مَاءُ الرَّجُلِ كَانَ الشَّبَهُ لِلْعُمُومَةِ ” فَحَصَلَ لِلْأُمِّ فِي الْوَلَدِ شَبَهًا كَالْأَبِ، وَلِأَنَّ الْوَلَدَ بِالْأُمِّ أَخَصُّ وَكَانَ بِالشَّبَهِ أَحَقُّ.

Perbedaan kedua: yaitu perbedaan dalam metode istidlāl (pengambilan dalil), bahwa hukum al-qāfah (ilmu menelusuri garis keturunan melalui kemiripan fisik) karena adanya perbedaan dengan prinsip-prinsip pokok, maka hukum ini terbatas hanya pada kasus yang terdapat nash (teks syariat) tentang penyandaran anak kepada ayah, bukan kepada ibu. Jika terjadi perselisihan antara dua perempuan dalam hal ini, maka anak tersebut ditahan di antara keduanya hingga ia, ketika dewasa, memilih untuk menasabkan diri kepada salah satu dari mereka. Namun, pendapat pertama lebih kuat, karena Allah Ta‘ala berfirman: {Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur} [al-Insān: 2], maksudnya adalah campuran. Al-Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata: karena bercampurnya air mani laki-laki dengan air mani perempuan. Dan Allah Ta‘ala berfirman: {Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada} [at-Thāriq: 6-7], maksudnya adalah tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan, yaitu bagian dada, dan ada pula yang mengatakan tulang rusuk. Nabi ﷺ bersabda: “Jika air mani perempuan lebih dahulu daripada air mani laki-laki, maka kemiripan (anak) kepada pihak ibu, dan jika air mani laki-laki lebih dahulu, maka kemiripan kepada pihak ayah.” Maka, ibu pun memiliki kemiripan pada anak sebagaimana ayah, bahkan hubungan anak dengan ibu lebih khusus, sehingga ia lebih berhak dalam hal kemiripan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ لَهُمَا عِنْدَ التَّنَازُعِ فِيهِ بَيِّنَةٌ تَشْهَدُ عَلَى وِلَادَتِهِ بِأَرْبَعِ نِسْوَةٍ عُدُولٍ فَإِنْ كَانَتِ الْبَيِّنَةُ لِإِحْدَاهُمَا دُونَ الْأُخْرَى حُكِمَ بِهِ لِذَاتِ الْبَيِّنَةِ وَلَحِقَ بِزَوْجِهَا إِلَّا أَنْ يَنْفِيَهُ بِاللِّعَانِ وَإِنْ أَقَامَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَيِّنَةً عَلَى وِلَادَتِهِ قَالَ أبو حنيفة أَلْحَقْتُهُ بِهِمَا بِالْبَيِّنَةِ وَأَجْعَلُهُ ابْنًا لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا وَلِزَوْجِهَا وَأَجْعَلُ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا وَزَوْجَهَا أَمَّا لَهُ وَأَبًا قَالَ وَإِنَّمَا قُلْتُ ذَلِكَ لِأَنَّ الضَّرُورَةَ عِنْدَ امْتِنَاعِ الْمُمْتَنِعِينَ إِذَا لَمْ يَتَرَجَّحْ أَحَدُهُمَا يُوجِبُ الْحُكْمَ بِهِمَا كَاللِّعَانِ قَدِ امْتَنَعَ بِهِ صِدْقُهُمَا ثُمَّ حُكِمَ بِهِ بَيْنَهُمَا وَكَاخْتِلَافِ المتبايعين إذا تحالفا عليه وقد أَوْجَبَ فَسْخَ الْعَقْدِ بَيْنَهُمَا وَإِنْ عُلِمَ بِالضَّرُورَةِ أنه لأحداهما فَهَذَا الْقَوْلُ مَعَ خَطَئِهِ مُسْتَحِيلٌ وَمَعَ اسْتِحَالَتِهِ شَنِيعٌ وَاسْتِحَالَةُ لُحُوقِهِ بِالِاثْنَيْنِ أَعْظَمُ مِنِ اسْتِحَالَةِ لحوقه بالأبوين لأنه لا يمنع ماء الرجلين في رحم واحد ويمتنع خروق الْوَلَدِ الْوَاحِدِ فِي رَحِمَيْنِ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ} [المجادلة: 2] فَأَخْبَرَ أَنَّ أُمَّهُ هِيَ الَّتِي تَلِدُهُ، فَإِنْ لَحِقَ الْوَلَدُ بِهِمَا اقْتَضَى ذَلِكَ وِلَادَتَهَا وَفِي الْقَوْلِ بِهَذَا مِنَ الِاسْتِحَالَةِ مَا تَدْفَعُهُ بِذَاتِهِ العقول ويمنع منه الحسن الفطن وَلَا يَحْتَاجُ مَعَ الْمُلَاحَظَةِ إِلَى دَلِيلٍ وَلَا مَعَ التَّصَوُّرِ إِلَى تَعْلِيلٍ وَحَسْبُ مَا هَذِهِ حالة اطرادا واستقباحا لا سيما مع ما يَقْضِي هَذَا الْقَوْلُ إِمَّا مَذْهَبًا وَإِمَّا إِلْزَامًا إِلَى أَنْ يَصِيرَ الْوَلَدُ الْوَاحِدُ مُلْحَقًا بِنِسَاءِ الْقَبِيلَةِ وَرِجَالِهَا ثُمَّ بِنِسَاءِ الْمَدِينَةِ وَرِجَالِهَا ثُمَّ بِنِسَاءِ الدُّنْيَا وَرِجَالِهَا وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ قَوْلٍ هَذِهِ نَتِيجَتُهُ وَمَذْهَبٍ هَذِهِ قَاعِدَتُهُ فَأَمَّا اللِّعَانُ فما حكمنا فيه بصدقها مُسْتَحِيلٌ وَإِنَّمَا عَلَّقْنَا عَلَيْهِ حُكْمًا قَدْ أَسْمَاهُ الصَّادِقُ مِنْهُمَا اقْتَضَى ذَلِكَ نَفْيَهُ مِنْ أَحَدِهِمَا وَأَمَّا التَّحَالُفُ فِي اخْتِلَافِ الْمُتَبَايِعِينَ فَإِنَّمَا أَوْجَبَ إِبْطَالُ مَا اخْتَلَفَا فِيهِ دُونَ إِثْبَاتِهِ.

Jenis kedua: yaitu apabila keduanya (dua perempuan) dalam perselisihan tersebut memiliki bayyinah (alat bukti) berupa kesaksian empat perempuan adil atas kelahiran anak itu. Jika bayyinah itu dimiliki oleh salah satu dari keduanya, maka diputuskan anak itu miliknya berdasarkan bayyinah tersebut dan anak itu dinasabkan kepada suaminya, kecuali jika suaminya menolaknya dengan li‘ān (sumpah laknat). Jika masing-masing dari keduanya menghadirkan bayyinah atas kelahiran anak itu, Abu Hanifah berkata: “Aku menasabkan anak itu kepada keduanya berdasarkan bayyinah, dan menjadikannya sebagai anak bagi masing-masing dari mereka dan suaminya, serta menjadikan masing-masing dari mereka dan suaminya sebagai ibu dan ayah bagi anak itu.” Ia berkata: “Aku mengatakan demikian karena adanya keadaan darurat ketika tidak mungkin memilih salah satu di antara keduanya, maka wajib memutuskan bagi keduanya, sebagaimana dalam kasus li‘ān, di mana kebenaran keduanya tidak dapat dipastikan, lalu diputuskan di antara mereka, dan sebagaimana perbedaan antara dua orang yang berjual beli jika keduanya saling bersumpah, maka kontrak di antara mereka dibatalkan. Jika secara pasti diketahui bahwa anak itu milik salah satu dari mereka, maka pendapat ini, selain salah, juga mustahil, dan selain mustahil juga sangat buruk. Kemustahilan anak itu dinasabkan kepada dua ibu lebih besar daripada kemustahilan dinasabkan kepada dua ayah, karena tidak ada yang menghalangi air mani dua laki-laki dalam satu rahim, sedangkan mustahil satu anak keluar dari dua rahim. Allah Ta‘ala berfirman: {Ibu-ibu mereka hanyalah perempuan-perempuan yang melahirkan mereka} [al-Mujādilah: 2], maka Allah memberitakan bahwa ibu adalah yang melahirkan anak itu. Jika anak itu dinasabkan kepada dua ibu, maka itu berarti keduanya melahirkan anak tersebut, dan dalam pendapat ini terdapat kemustahilan yang dengan sendirinya ditolak oleh akal sehat dan dicegah oleh orang yang cerdas dan bijak. Tidak perlu dalil untuk menolaknya, dan tidak perlu penjelasan untuk memahaminya. Cukuplah bahwa keadaan seperti ini secara konsisten sangat buruk, apalagi jika pendapat ini, baik sebagai mazhab maupun sebagai kewajiban, mengharuskan satu anak dinasabkan kepada seluruh perempuan dan laki-laki dalam suatu kabilah, lalu kepada seluruh perempuan dan laki-laki di kota, lalu kepada seluruh perempuan dan laki-laki di dunia. Kita berlindung kepada Allah dari pendapat yang hasilnya demikian dan mazhab yang dasarnya seperti itu. Adapun li‘ān, maka keputusan kita di dalamnya dengan membenarkan salah satu pihak adalah mustahil, kita hanya menggantungkan hukum padanya, dan jika salah satu terbukti benar, maka itu menuntut penafian dari salah satu pihak. Adapun sumpah dalam perselisihan jual beli, maka yang diwajibkan hanyalah pembatalan atas apa yang diperselisihkan, bukan penetapan kepemilikan.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ لَا يَلْحَقُ بِهِمَا مَعَ تَعَارُضِ الْبَيِّنَتَيْنِ فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي تَعَارُضِ الْبَيِّنَتَيْنِ فِي الْأَمْلَاكِ هَلْ يُسْتَعْمَلَانِ أَوْ يَسْقُطَانِ وَلَهُ فِي ذَلِكَ قَوْلَانِ:

Jika telah dipastikan bahwa anak itu tidak dinasabkan kepada keduanya ketika terjadi pertentangan dua bayyinah, maka telah terjadi perbedaan pendapat dalam mazhab asy-Syāfi‘ī mengenai pertentangan dua bayyinah dalam masalah kepemilikan: apakah keduanya digunakan atau keduanya gugur? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: يُسْتَعْمَلَانِ بِقِسْمَةِ الْمِلْكِ بَيْنَ الْمُتَدَاعِيَيْنِ.

Salah satunya: digunakan dengan membagi kepemilikan di antara para pihak yang bersengketa.

وَالثَّانِي: يُسْتَعْمَلَانِ بِالْقُرْعَةِ بَيْنَ الْبَيِّنَتَيْنِ، فَإِنْ قُلْنَا بِاسْتِعْمَالِ الْبَيِّنَتَيْنِ فِي الأملاك استعملناهما في الانتساب وَلَمْ يَجُزْ أَنْ نَسْتَعْمِلَهُمَا بِالْقِسْمَةِ لِاسْتِحَالَةِ ذَلِكَ فِي النَّسَبِ وَلَا بِالْقُرْعَةِ مَعَ وُجُودِ الْقَافَةِ لِأَنَّ الْقَافَةَ أَقْوَى وَأَوْكَدُ وَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ استعمالهما بِتَمْيِيزِ الْقَافَةِ بَيْنَهُمَا فَيُنْظَرُ إِلَى الْوَلَدِ وَالْمَرْأَتَيْنِ فَإِنْ أَلْحَقُوهُ بِإِحْدَاهُمَا لَحِقَ بِهَا بِالْبَيِّنَةِ، وَكَانَ تَمْيِيزُ الْقَافَةِ تَرْجِيحًا فَعَلَى هَذَا يَصِيرُ لَاحِقًا بِهَا وَبِزَوْجِهَا إِلَّا أَنْ يَنْفِيَهُ بِاللِّعَانِ وَإِنْ قُلْنَا بِإِسْقَاطِ الْبَيِّنَتَيْنِ عِنْدَ تَعَارُضِهِمَا فِي الْأَمْلَاكِ فَهَلْ يَسْقُطَانِ عِنْدَ تَعَارُضِهِمَا فِي الْأَنْسَابِ أَمْ لَا فِيهِ وَجْهَانِ:

Dan yang kedua: digunakan dengan undian di antara dua bukti, maka jika kita mengatakan penggunaan dua bukti dalam masalah kepemilikan, kita juga menggunakannya dalam masalah nasab, dan tidak boleh menggunakan keduanya dengan pembagian karena hal itu mustahil dalam nasab, dan tidak pula dengan undian jika terdapat qāfah, karena qāfah lebih kuat dan lebih meyakinkan. Maka wajib penggunaan keduanya dengan membedakan qāfah di antara keduanya, yaitu dengan melihat kepada anak dan dua perempuan itu. Jika qāfah menetapkan anak itu kepada salah satu dari keduanya, maka anak itu dinisbatkan kepadanya dengan bukti, dan pembedaan qāfah menjadi faktor penguat. Dengan demikian, anak itu menjadi dinisbatkan kepadanya dan kepada suaminya, kecuali jika suaminya menafikannya dengan li‘ān. Dan jika kita mengatakan gugurnya dua bukti ketika keduanya bertentangan dalam masalah kepemilikan, maka apakah keduanya juga gugur ketika bertentangan dalam masalah nasab atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدِهِمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّهُمَا يَسْقُطَانِ كَالْأَمْلَاكِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ حُكْمُهُمَا كَمَا لَوْ تَدَاعَتَاهُ وَلَا بَيِّنَةَ لَهُمَا فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى.

Salah satunya: yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa keduanya gugur sebagaimana dalam masalah kepemilikan. Dengan demikian, hukumnya seperti ketika keduanya saling mengklaim tanpa ada bukti, maka kembali kepada ketentuan yang telah lalu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّهُمَا لَا يَسْقُطَانِ إِذَا تَعَارَضَتَا فِي الْأَنْسَابِ وَإِنْ سَقَطَتَا بِتَعَارُضِهِمَا فِي الْأَمْلَاكِ وَالْفَرْقِ بَيْنَهُمَا أَنَّهُمَا لَمَّا تَكَافَآ في الأملاك ولم يكن ما يترجح بِهِ إِحْدَاهُمَا جَازَ أَنْ يَسْقُطَا وَلَمَا أَمْكَنَ تَرْجِيحُ أَحَدِهِمَا فِي الْأَنْسَابِ بِالْقَافَةِ لَمْ يَسْقُطَا وَحُكِمَ لِمَنِ انْضَمَّ إِلَى بَيِّنَتِهِ بَيَانُ الْقَافَةِ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah, bahwa keduanya tidak gugur jika bertentangan dalam masalah nasab, meskipun gugur karena pertentangan dalam masalah kepemilikan. Perbedaannya adalah, ketika keduanya seimbang dalam masalah kepemilikan dan tidak ada yang dapat diunggulkan, maka boleh keduanya gugur. Namun, ketika memungkinkan untuk mengunggulkan salah satunya dalam masalah nasab dengan qāfah, maka keduanya tidak gugur, dan diputuskan bagi siapa yang didukung oleh penjelasan qāfah bersama buktinya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا وَوَجُدِتِ الْقَافَةُ فَأَلْحَقَتِ الْوَلَدَ بِإِحْدَاهُمَا صَارَ لَاحِقًا بِهَا بِالْبَيِّنَةِ لَا بِالدَّعْوَى فَإِنْ عُدِمَتِ الْقَافَةُ أَوْ أَشْكَلَ عَلَيْهِمْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَقْرَعَ بَيْنَ الْبَيِّنَتَيْنِ لِوُجُودِ مَا هُوَ أَقْوَى مِنَ الْقُرْعَةِ وَهُوَ انْتِسَابُ الْوَلَدِ إِذَا بَلَغَ زَمَانَ الِانْتِسَابِ وَفِيهِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: إِلَى اسْتِكْمَالِ سَبْعٍ أَوْ ثَمَانٍ. والثاني: إلى بلوغ فَإِذَا انْتَسَبَ إِلَى إِحْدَاهُمَا لَحِقَ بِهَا وَبِزَوْجِهَا لِأَنَّهُ صَارَ لَاحِقًا بِهَا بِالِانْتِسَابِ مَعَ الْبَيِّنَةِ وَصَارَ كَالْقَافَةِ مَعَ الْبَيِّنَةِ.

Jika telah tetap sebagaimana yang kami jelaskan dan terdapat qāfah, lalu qāfah menetapkan anak itu kepada salah satu dari keduanya, maka anak itu dinisbatkan kepadanya dengan bukti, bukan dengan klaim. Jika qāfah tidak ada atau qāfah bingung, maka tidak boleh mengundi antara dua bukti karena adanya sesuatu yang lebih kuat dari undian, yaitu penetapan nasab anak jika telah sampai pada usia penetapan nasab. Dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya, sampai sempurna tujuh atau delapan tahun; dan yang kedua, sampai baligh. Jika anak itu menisbatkan diri kepada salah satu dari keduanya, maka ia dinisbatkan kepadanya dan kepada suaminya, karena ia telah dinisbatkan kepadanya dengan penetapan nasab bersama bukti, dan ini seperti qāfah bersama bukti.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَلَوْ مَاتَتْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا قَبْلَ انْتِسَابِ الْوَلَدِ إِلَى إِحْدَاهُمَا وُقِفَ مِنْ تَرِكَةِ الْمَيِّتَةِ مِيرَاثُ ابْنٍ فَإِنِ انْتَسَبَ إِلَى الْمَيِّتَةِ أُخِذَ مَا وُقِفَ لَهُ مِنْ تَرِكَتِهَا وَهُوَ مِيرَاثُ ابْنٍ وَإِنِ انْتَسَبَ إِلَى الثَّانِيَةِ مِنْهَا رُدَّ مَا وُقِفَ لَهُ مِنْ مِيرَاثِ الْمَيِّتَةِ عَلَى وَرَثَتِهَا وَلَوْ مَاتَ زَوْجُ إِحْدَاهُمَا وُقِفَ مِنْ تَرِكَتِهِ مِيرَاثُ ابْنٍ لِجَوَازِ أَنْ يُنْسَبَ إِلَى زَوْجَتِهِ فَيَصِيرُ لَاحِقًا بِهَا فَإِنِ انْتَسَبَ إِلَى امْرَأَةِ الْمَيِّتِ أُخِذَ مَا وُقِفَ مِنْ تَرِكَةِ زَوْجِهَا وَإِنِ انْتَسَبَ إِلَى الْأُخْرَى رُدَّ مَا وُقِفَ لَهُ مِنْ مِيرَاثِ الْمَيِّتِ عَلَى وَرَثَتِهِ فَلَوْ مَاتَتْ إِحْدَى الْمَرْأَتَيْنِ وَزَوْجُ الْأُخْرَى وُقِفَ لَهُ مِنْ تَرِكَةِ الْمَيِّتَةِ مِيرَاثُ ابْنٍ وَمِنْ تَرِكَةِ زَوْجِ الْأُخْرَى مِيرَاثُ ابْنٍ فَإِنِ انْتَسَبَ إِلَى الْمَيِّتَةِ أُخِذَ مِيرَاثُهَا وَرُدَّ مِيرَاثُ زَوْجِ الْبَاقِيَةِ عَلَى وَرَثَتِهِ وَإِنِ انْتَسَبَ إِلَى الْبَاقِيَةِ أُخِذَ مِيرَاثُ زَوْجِهَا وَرُدَّ مِيرَاثُ الْمَيِّتَةِ عَلَى وَرَثَتِهَا.

Jika salah satu dari keduanya meninggal sebelum anak menisbatkan diri kepada salah satunya, maka dari harta peninggalan yang wafat ditahan bagian warisan seorang anak. Jika anak itu menisbatkan diri kepada yang telah wafat, maka ia mengambil bagian yang telah ditahan dari hartanya, yaitu warisan seorang anak. Jika ia menisbatkan diri kepada yang satunya, maka bagian yang ditahan dari warisan yang wafat dikembalikan kepada para ahli warisnya. Jika suami salah satu dari keduanya meninggal, maka dari hartanya ditahan bagian warisan seorang anak, karena mungkin saja anak itu dinisbatkan kepada istrinya sehingga menjadi dinisbatkan kepadanya. Jika anak itu menisbatkan diri kepada istri yang wafat, maka ia mengambil bagian yang ditahan dari harta suaminya. Jika ia menisbatkan diri kepada yang lain, maka bagian yang ditahan dari warisan yang wafat dikembalikan kepada para ahli warisnya. Jika salah satu dari dua perempuan itu dan suami yang lain meninggal, maka dari harta perempuan yang wafat ditahan warisan seorang anak, dan dari harta suami yang lain juga ditahan warisan seorang anak. Jika anak itu menisbatkan diri kepada yang wafat, maka ia mengambil warisannya dan bagian warisan suami yang masih hidup dikembalikan kepada para ahli warisnya. Jika ia menisbatkan diri kepada yang masih hidup, maka ia mengambil warisan suaminya dan bagian warisan perempuan yang wafat dikembalikan kepada para ahli warisnya.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِذَا ادَّعَى الرَّجُلُ اللَّقِيطَ أَنَّهُ عَبْدُهُ لَمْ أَقْبَلِ الْبَيِّنَةَ حَتَّى تَشْهَدَ أَنَّهَا رَأَتْ أَمَةَ فلان ولدته وأقبل أربع نسوة وإنما منعني أن أقبل شهوده أنه عبده لأنه قد يرى في يده فيشهد أنه عبده ” (وقال) في موضع آخر ” إن أقام بينة أنه كان في يده قبل التقاط الملتقط أرفقته له ” (قال المزني) ” هذا خلاف قوله الأول وأولى بالحق عندي من الأول “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Apabila seseorang mengklaim bahwa seorang laqīṭ adalah hambanya, aku tidak menerima kesaksian kecuali jika kesaksian itu menyatakan bahwa ia melihat budak perempuan si Fulan melahirkannya, dan aku menerima kesaksian dari empat perempuan. Alasan aku tidak menerima kesaksian bahwa ia adalah hambanya adalah karena bisa jadi ia melihatnya berada di tangannya lalu bersaksi bahwa ia adalah hambanya.” (Dan beliau berkata) di tempat lain: “Jika ia mendatangkan bukti bahwa laqīṭ itu berada dalam penguasaannya sebelum diambil oleh orang yang memungutnya, maka aku serahkan kepadanya.” (Al-Muzani berkata): “Ini bertentangan dengan pendapat beliau yang pertama, dan menurutku pendapat yang kedua ini lebih dekat kepada kebenaran.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ ادَّعَى رِقَّ إِنْسَانٍ مَجْهُولِ الْحَالِ وَأَنَّهُ عَبْدُهُ وَلَيْسَ عَلَيْهِ يد لسيده مُسْتَرِقٍّ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah ketika seseorang mengklaim status budak atas seseorang yang tidak diketahui keadaannya dan mengaku bahwa ia adalah hambanya, sementara tidak ada tanda kepemilikan dari tuannya yang memperbudaknya, maka kasus ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ الدَّعْوَى عَلَى بَالِغٍ فَيَرْجِعُ فِيهَا إِلَى الْمُدَّعِي بِالرِّقِّ فَإِنْ أَنْكَرَ حَلَفَ وَإِنْ أَقَرَّ صَارَ عَبْدًا لَهُ.

Pertama: Jika klaim tersebut ditujukan kepada orang yang sudah baligh, maka perkara ini dikembalikan kepada orang yang mengklaim status budak. Jika ia mengingkari, maka ia bersumpah; dan jika ia mengakui, maka ia menjadi budaknya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الدَّعْوَى عَلَى غَيْرِ بَالِغٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian kedua: Jika klaim tersebut ditujukan kepada orang yang belum baligh, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهُ لَقِيطٌ فَيَكُونُ قَوْلُ الْمُدَّعِي رِقَّهُ مَقْبُولًا وَيُحْكَمُ بِأَنَّهُ عَبْدُهُ مَا لَمْ تَكُنْ يَدٌ تَدْفَعُهُ أَوْ مُدَّعٍ يُقَابِلُهُ لِأَنَّ مَا جُهِلَ حَالُهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ مُنَازِعٌ لَمْ يَتَوَجَّهْ إِلَيْهِ اعْتِرَاضٌ كَمَنْ وَجَدَ مَالًا فَادَّعَاهُ مِلْكًا أُقِرَّ عَلَى دَعْوَاهُ مَا لَمْ يُنَازَعْ فِيهِ فَلَوْ بَلَغَ هَذَا الطِّفْلُ الَّذِي حُكِمَ بِرِقِّهِ لِمُدَّعِيهِ وَأَنْكَرَ الرِّقَّ وَادَّعَى الْحُرِّيَّةَ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ بَعْدَ الْحُكْمِ بِرِقِّهِ كَمَا لَا يُقْبَلُ مِنْهُ إِذَا أَنْكَرَ النَّسَبَ بَعْدَ الْحُكْمِ بِهِ فَإِنْ أَقَامَ بَيِّنَةً بِالْحُرِّيَّةِ حُكِمَ بِهَا وَرُفِعَ رِقُّ الْمُدَّعِي عَنْهُ فَإِنْ طَلَبَ عِنْدَ تَعَذُّرِ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ إِحْلَافَ الْمَحْكُومِ لَهُ بِرِقِّهِ كَانَ لَهُ ذَلِكَ لِأَنَّهَا دَعْوَى حُرِّيَّةٍ قَدِ اسْتَأْنَفَهَا عَلَى سَيِّدِهِ.

Pertama: Jika ia bukan termasuk orang yang diketahui sebagai laqīṭ, maka klaim orang yang mengakuinya sebagai budak dapat diterima dan diputuskan bahwa ia adalah hambanya selama tidak ada pihak lain yang menolaknya atau ada pihak lain yang juga mengklaimnya. Karena sesuatu yang tidak diketahui keadaannya, jika tidak ada yang bersengketa atasnya, maka tidak ada keberatan terhadapnya, seperti seseorang yang menemukan harta lalu mengklaimnya sebagai miliknya, maka klaimnya diterima selama tidak ada yang menentangnya. Jika anak kecil yang telah diputuskan sebagai budak bagi pengklaimnya itu telah baligh lalu mengingkari status budak dan mengaku sebagai orang merdeka, maka pengakuannya tidak diterima setelah diputuskan status budaknya, sebagaimana tidak diterima jika ia mengingkari nasab setelah diputuskan nasabnya. Namun, jika ia mendatangkan bukti tentang kemerdekaannya, maka diputuskan sesuai bukti tersebut dan status budak dari pengklaimnya diangkat darinya. Jika ia meminta sumpah dari pihak yang telah diputuskan sebagai tuannya karena tidak mampu mendatangkan bukti, maka ia berhak mendapatkannya, karena ini adalah klaim kemerdekaan yang diajukan kembali terhadap tuannya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الدَّعْوَى بِرِقِّ لَقِيطٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ يكون قبل ذلك الْتِقَاطُهُ فَفِي قَبُولِ دَعْوَى الْمُدَّعِي لِرِقِّهِ وَجْهَانِ:

Bagian kedua: Jika klaim status budak itu terhadap laqīṭ, maka ini terbagi menjadi dua: Pertama, jika klaim itu sebelum laqīṭ tersebut dipungut, maka dalam hal diterimanya klaim pengaku status budak atasnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُقْبَلُ كَمَا يُقْبَلُ مِنْهُ ادِّعَاءُ نَسَبِهِ.

Pertama: Diterima, sebagaimana diterima klaim nasab darinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ مِنْ أَصْحَابِنَا إِنَّ قَوْلَهُ لَا يُقْبَلُ فِي رِقِّهِ وَإِنْ قُبِلَ فِي نَسَبِهِ.

Pendapat kedua: Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama kami, bahwa klaimnya tidak diterima dalam hal status budak, meskipun diterima dalam hal nasab.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الرِّقِّ وَالنَّسَبِ مِنْ وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ فِي دَعْوَى النَّسَبِ حَقًّا لَهُ وَحَقًّا عَلَيْهِ وَدَعْوَى الرِّقِّ حَقٌّ لَهُ لَا عَلَيْهِ.

Perbedaan antara status budak dan nasab dari dua sisi: Pertama, dalam klaim nasab terdapat hak baginya dan hak atasnya, sedangkan klaim status budak hanya merupakan hak baginya, bukan atasnya.

الثَّانِي: أَنَّ النَّسَبَ لَا يَمْنَعُ مِنْهُ ظَاهِرُ الدَّارِ بَلْ يَقْتَضِيهِ وَالرِّقُّ يَمْنَعُ مِنْهُ ظَاهِرُ الدَّارِ وَيُنَافِيهِ وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ تَخْرِيجُ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ مِنَ اخْتِلَافِ قوليه فِي حُكْمِ اللَّقِيطِ فَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ حُرٌّ فِي الظَّاهِرِ لَمْ يُحْكَمْ بِرِقِّهِ لِلْمُدَّعِي وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ مَجْهُولُ الْأَصْلِ حُكِمَ بِهِ.

Kedua, nasab tidak dihalangi oleh keadaan lahiriah masyarakat, bahkan menuntutnya, sedangkan status budak dihalangi dan bertentangan dengan keadaan lahiriah masyarakat. Tampaknya dua pendapat ini muncul dari perbedaan pendapat beliau dalam hukum laqīṭ. Jika dikatakan bahwa ia secara lahiriah adalah orang merdeka, maka tidak diputuskan status budak bagi pengklaimnya. Namun jika dikatakan bahwa asal-usulnya tidak diketahui, maka diputuskan demikian.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ دَعْوَى رِقِّهِ بَعْدَ الْتِقَاطِهِ فَلَا تُسْمَعُ هَذِهِ الدَّعْوَى إِلَّا بِبَيِّنَةٍ لَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا فِيهِ سَوَاءٌ ادَّعَاهُ مُلْتَقِطُهُ أَوْ غَيْرُهُ وَفَرْقُ مَا قَبْلَ الْتِقَاطِهِ وَبَعْدَهُ أن قَبْلَ الِالْتِقَاطِ لَمْ تَسْتَقِرَّ عَلَيْهِ يَدٌ وَبَعْدَ الِالْتِقَاطِ قَدِ اسْتَقَرَّتْ عَلَيْهِ يَدٌ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian kedua: Jika klaim status budak itu setelah laqīṭ dipungut, maka klaim ini tidak dapat diterima kecuali dengan bukti, dan para ulama kami tidak berbeda pendapat dalam hal ini, baik yang mengklaim adalah orang yang memungutnya atau selainnya. Perbedaan antara sebelum dan sesudah dipungut adalah bahwa sebelum dipungut belum ada tangan yang menguasainya, sedangkan setelah dipungut sudah ada tangan yang menguasainya. Dalam hal ini, kasusnya terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُدَّعِي رِقِّهِ هُوَ الْمُلْتَقِطُ.

Pertama: Orang yang mengklaim status budak adalah orang yang memungutnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ غَيْرُهُ مِنَ الْأَجَانِبِ فَإِنْ كَانَ الْمُدَّعِي هُوَ الْمُلْتَقِطُ فَلَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ تَكُونَ لَهُ بَيِّنَةٌ أَوْ لَا تَكُونُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ بَيِّنَةٌ كَانَتْ دَعْوَاهُ مَرْدُودَةً وَاللَّقِيطُ عَلَى ظَاهِرِ الْحُرِّيَّةِ لَمْ يَثْبُتْ عَلَيْهِ رِقٌّ وَيُقَرُّ فِي يَدِهِ مَعَ مَالِهِ إِنْ كَانَ وَلَا يُنْزَعُ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ مُدَّعِيًا لَهُ لَمَا اسْتَحَقَّهُ مِنْ كَفَالَتِهِ بِالِالْتِقَاطِ هَذَا الَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ فِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ وَالَّذِي أَرَاهُ أَوْلَى أَنَّ انْتِزَاعَهُ مِنْ يَدِهِ وَاجِبٌ لِأَنَّهُ قَدْ خَرَجَ بِدَعْوَى رِقِّهِ مِنَ الْأَمَانَةِ فِي كَفَالَتِهِ وَرُبَّمَا صَارَتْ عَلَيْهِ اسْتِدَامَةُ يَدِهِ ذَرِيعَةً إِلَى تَحْقِيقِ رِقِّهِ وَإِنْ كَانَتْ لَهُ بَيِّنَةٌ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: Jika yang mengaku adalah orang lain dari kalangan orang asing (bukan keluarga), maka jika yang mengaku adalah orang yang menemukan (al-multaqiṭ), keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: ia memiliki bukti (bayyinah) atau tidak. Jika ia tidak memiliki bayyinah, maka klaimnya ditolak dan anak temuan (al-laqīṭ) tetap pada hukum asal kebebasan, tidak terbukti sebagai budak, dan ia tetap berada di tangan orang yang menemukannya beserta hartanya jika ada, dan tidak boleh diambil darinya. Jika ia mengakuinya karena haknya sebagai penanggung (kafālah) akibat menemukan, demikianlah yang dinukil oleh al-Muzani dalam al-Jāmi‘ al-Kabīr. Namun, menurut pendapat yang saya anggap lebih kuat, pengambilan anak temuan dari tangannya adalah wajib, karena dengan klaim perbudakan, ia telah keluar dari amanah dalam penanggungannya, dan bisa jadi kelanjutan penguasaannya menjadi jalan untuk menetapkan status budak. Jika ia memiliki bayyinah, maka ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَشْهَدَ لَهُ بِالْيَدِ فَلَا يُحْكَمُ بِهَا لِأَنَّ الْيَدَ شَاهِدَةٌ وَلَيْسَ يُحْكَمُ بِهَا لِلْعِلْمِ بِسَبَبِهَا فَلَمْ يَكُنْ لِلشَّهَادَةِ بِهَا تَأْثِيرٌ.

Pertama: Bayyinah bersaksi untuknya atas penguasaan (tangan), maka tidak diputuskan dengan itu, karena penguasaan (tangan) hanyalah penunjuk, dan tidak diputuskan dengannya karena diketahui sebab penguasaannya, sehingga kesaksian atas penguasaan tidak berpengaruh.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَشْهَدَ الْبَيِّنَةُ لَهُ بِالْمِلْكِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: Bayyinah bersaksi untuknya atas kepemilikan, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَصِفَ سَبَبَ الْمِلْكِ عَلَى وَجْهٍ يُوجِبُ الْمِلْكَ وَذَلِكَ مِنْ أَحَدِ خَمْسَةِ أَوْجُهٍ إِمَّا ابْتِيَاعٌ مِنْ مَالِكٍ أَوْ هِبَةٌ قَبَضَهَا مِنْ مَالِكٍ أَوْ مِيرَاثٌ عَنْ مَالِكٍ أَوْ بِسَبْيٍ سَبَاهُ فَمَلَكَهُ أَوْ وَلَدَتْهُ أَمَتُهُ فِي مِلْكِهِ فَإِنْ كَانَتِ الْبَيِّنَةُ عَلَى الْبَيْعِ أَوِ الْهِبَةِ أَوِ الْمِيرَاثِ أَوِ السَّبْيِ حُكِمَ فِيهَا بِشَاهِدَيْنِ أَوْ شَاهِدٍ وَامْرَأَتَيْنِ أَوْ شَاهِدٍ وَيَمِينٍ وَلَا يُحْكَمُ بِشَهَادَةِ النِّسَاءِ مُنْفَرِدَاتٍ وَإِنْ كَانَتِ الشَّهَادَةُ عَلَى أَنَّ أَمَتَهُ وَلَدَتْهُ سَمِعَ فِيهِ أَرْبَعَ نِسْوَةٍ يَشْهَدْنَ عَلَى وِلَادَتِهَا فِي مِلْكِهِ وَتَكُونُ شَهَادَتَيْنِ بِمِلْكِ الْأُمِّ عِنْدَ الْوِلَادَةِ تَبَعًا لِلشَّهَادَةِ بِالْوِلَادَةِ وَإِذَا لَمْ يَكُنْ فِي مِلْكِ الْأُمِّ نِزَاعٌ فَإِنْ نُوزِعَ فِي ملكه الأم لم تقبل شهادتين بِمِلْكِ الْأُمِّ حَتَّى يَشْهَدَ بِمِلْكِهَا شَاهِدَانِ أَوْ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ أَوْ شَاهِدٌ وَيَمِينٌ ثُمَّ إِنْ شَهِدْنَ بَعْدَ ذَلِكَ بِوِلَادَتِهَا فِي مِلْكِهِ قُبِلْنَ وَلَوْ شَهِدَ شَاهِدَانِ أَوْ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ بِالْمِلْكِ وَالْوِلَادَةِ فِيهِ قُبِلَ فَأَمَّا إِنْ شَهِدَتِ الْبَيِّنَةُ بِوِلَادَتِهِ مِنْ أَمَتِهِ وَلَمْ تَشْهَدْ بِأَنَّ الْوِلَادَةَ كَانَتْ فِي مِلْكِهِ فَهَذَا مِمَّا لَمْ يُذْكَرْ فِيهِ سَبَبُ مِلْكِهِ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ تكون أمه قَدْ وَلَدَتْهُ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا وَشَهِدَتِ الْبَيِّنَةُ لَهُ بِسَبَبِ الْمِلْكِ الْمُوجِبِ لِلْمِلْكِ حُكِمَ بِهَا وَصَارَ عَبْدًا لَهُ. وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَشْهَدَ الْبَيِّنَةُ لَهُ بِالْمِلْكِ وَلَا تذكر سَبَبُ الْمِلْكِ فَفِي وُجُوبِ الْحُكْمِ بِهَا قَوْلَانِ:

Pertama: Bayyinah menjelaskan sebab kepemilikan dengan cara yang mewajibkan kepemilikan, dan itu salah satu dari lima sebab: pembelian dari pemilik, hibah yang diterima dari pemilik, warisan dari pemilik, didapatkan melalui penawanan (saby) sehingga menjadi miliknya, atau budaknya melahirkan anak itu dalam kepemilikannya. Jika bayyinah atas jual beli, hibah, warisan, atau penawanan, maka diputuskan dengan dua orang saksi laki-laki, atau satu saksi laki-laki dan dua perempuan, atau satu saksi laki-laki dan sumpah. Tidak diputuskan dengan kesaksian perempuan saja. Jika kesaksian atas budaknya yang melahirkan, maka diterima kesaksian empat perempuan yang bersaksi atas kelahiran dalam kepemilikannya, dan dua kesaksian atas kepemilikan ibu saat kelahiran mengikuti kesaksian kelahiran. Jika tidak ada perselisihan atas kepemilikan ibu, namun jika diperselisihkan kepemilikan ibu, maka tidak diterima dua kesaksian atas kepemilikan ibu hingga ada dua saksi laki-laki, atau satu laki-laki dan dua perempuan, atau satu laki-laki dan sumpah. Setelah itu, jika mereka bersaksi atas kelahiran dalam kepemilikannya, maka diterima. Jika dua saksi laki-laki atau satu laki-laki dan dua perempuan bersaksi atas kepemilikan dan kelahiran, maka diterima. Adapun jika bayyinah bersaksi atas kelahiran dari budaknya namun tidak menyebutkan bahwa kelahiran itu terjadi dalam kepemilikannya, maka ini tidak disebutkan sebab kepemilikannya, karena bisa jadi ibunya melahirkan dalam kepemilikan orang lain. Jika telah tetap demikian dan bayyinah bersaksi untuknya dengan sebab kepemilikan yang mewajibkan kepemilikan, maka diputuskan dengannya dan anak itu menjadi budaknya. Jenis kedua: Bayyinah bersaksi untuknya atas kepemilikan namun tidak menyebutkan sebab kepemilikan, maka dalam kewajiban memutuskan dengan kesaksian ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُحْكَمُ بِهَا وَيُجْعَلُ اللَّقِيطُ عَبْدًا لَهُ وَلَا يَلْزَمُ أَنْ يَسْأَلُوا عَنْ سَبَبِ الْمِلْكِ كَمَا لَوْ شَهِدُوا بِمِلْكِ مَالٍ لَمْ يَذْكُرُوا سَبَبَ مِلْكِهِ كَانَ جَائِزًا فَكَذَلِكَ فِي مِلْكِ اللَّقِيطِ.

Pertama: Diputuskan dengannya dan anak temuan menjadi budaknya, dan tidak wajib menanyakan sebab kepemilikan, sebagaimana jika mereka bersaksi atas kepemilikan harta tanpa menyebutkan sebab kepemilikannya, maka itu dibolehkan, demikian pula dalam kepemilikan anak temuan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنْ لَا يُحْكَمَ بِهَذِهِ الشَّهَادَةِ فِي اللَّقِيطِ حَتَّى يَذْكُرُوا سَبَبَ مِلْكِهِ وَيُحْكَمَ بِهَا فِي غَيْرِهِ مِنَ الْأَمْوَالِ وَإِنْ لَمْ يَذْكُرُوا سَبَبَ مِلْكِهِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Tidak diputuskan dengan kesaksian ini dalam perkara anak temuan hingga mereka menyebutkan sebab kepemilikannya, namun diputuskan dalam selainnya dari harta walaupun tidak disebutkan sebab kepemilikannya. Perbedaannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ حُكْمَ اللَّقِيطِ أَغْلَظُ مِنْ سَائِرِ الْأَمْوَالِ لِمَا فِيهِ مِنْ نَقْلِهِ عَنْ ظَاهِرِ حَالِهِ فِي الْحُرِّيَّةِ إِلَى مَا تَشْهَدُ لَهُ الْبَيِّنَةُ مِنَ الرِّقِّ وَلَيْسَ كَذَلِكَ سَائِرُ الْأَمْوَالِ لِأَنَّهَا مَمْلُوكَةٌ فِي سَائِرِ الْأَحْوَالِ. وَالثَّانِي: أَنَّ الْيَدَ فِي الْأَمْوَالِ تَدُلُّ عَلَى الْمِلْكِ وَفِي اللَّقِيطِ لَا تَدُلُّ عَلَى الْمِلْكِ فَإِنْ قِيلَ فَيَجُوزُ لِلشُّهُودِ فِي الْأَمْوَالِ أَنْ يَشْهَدُوا فِيهَا بِالْمِلْكِ بِالْيَدِ وَحْدَهَا قِيلَ أَمَّا يَدٌ لَمْ يَقْتَرِنْ بِهَا تَصَرُّفٌ كَامِلٌ فَلَا تَجُوزُ الشَّهَادَةُ بِهَا فِي الْمِلْكِ وَأَمَّا إِذَا اقْتَرَنَ بِهَا تَصَرُّفٌ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَحَكَى أَبُو عَلِيٍّ الطَّبَرِيُّ فِي إِفْصَاحِهِ وَجْهَيْنِ عَنْ غَيْرِهِ وَوَجْهًا ثَالِثًا عَنْ نَفْسِهِ.

Salah satu alasannya: Hukum mengenai laqīṭ (anak temuan) lebih ketat dibandingkan dengan harta benda lainnya, karena dalam hal ini terdapat perpindahan status dari keadaan lahiriah yang menunjukkan kebebasan kepada apa yang dibuktikan oleh bayyinah berupa status budak. Hal ini tidak berlaku pada harta benda lainnya, karena pada umumnya harta benda memang dimiliki dalam segala keadaan. Alasan kedua: Kepemilikan atas harta benda dapat dibuktikan dengan penguasaan (yad), sedangkan pada laqīṭ, penguasaan tidak menunjukkan kepemilikan. Jika ada yang bertanya, “Apakah para saksi dalam perkara harta boleh bersaksi atas kepemilikan hanya berdasarkan penguasaan (yad) saja?” Maka dijawab: Adapun penguasaan yang tidak disertai dengan pengelolaan penuh, maka tidak boleh dijadikan dasar kesaksian atas kepemilikan. Namun, jika penguasaan itu disertai dengan pengelolaan, maka para ulama kami berbeda pendapat. Abu ‘Ali al-Ṭabarī dalam karyanya al-Ifṣāḥ meriwayatkan dua pendapat dari selain dirinya, dan satu pendapat dari dirinya sendiri.

أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ: يَجُوزُ كَمَا يَجُوزُ لِلْحَاكِمِ وَالْحُكْمُ أَوْكَدُ مِنَ الشَّهَادَةِ.

Salah satu dari dua pendapat tersebut: Diperbolehkan, sebagaimana diperbolehkan bagi hakim, dan keputusan hakim lebih kuat daripada kesaksian.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ ذَلِكَ لِلشُّهُودِ وَإِنْ جَازَ لِلْحَاكِمِ لِأَنَّ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَجْتَهِدَ وَلَيْسَ لِلشُّهُودِ أَنْ يَجْتَهِدُوا.

Pendapat kedua: Tidak diperbolehkan bagi para saksi, meskipun diperbolehkan bagi hakim, karena hakim boleh berijtihad, sedangkan para saksi tidak boleh berijtihad.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: الَّذِي حَكَاهُ عَنْ نَفْسِهِ أَنَّهُ إِنِ اقْتَرَنَ بِمُشَاهَدَةِ الْيَدِ وَالتَّصَرُّفِ سَمَاعٌ مِنَ النَّاسِ يَنْسِبُونَهُ إِلَى مِلْكِهِ جَازَ أَنْ يَشْهَدُوا بِالْمِلْكِ. وَإِنْ لَمْ يَسْمَعُوا النَّاسَ يَنْسِبُونَهُ إِلَى مِلْكِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَشْهَدُوا بِالْمِلْكِ وَشَهِدُوا بِالْيَدِ.

Pendapat ketiga, yang diriwayatkan dari dirinya sendiri: Jika penguasaan (yad) dan pengelolaan disertai dengan adanya keterangan dari masyarakat yang menisbatkan kepemilikan kepadanya, maka para saksi boleh memberikan kesaksian atas kepemilikan. Namun, jika mereka tidak mendengar masyarakat menisbatkan kepemilikan kepadanya, maka tidak boleh bersaksi atas kepemilikan, melainkan hanya bersaksi atas penguasaan (yad).

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ كَانَ الْمُدَّعِي لِرِقِّ اللَّقِيطِ أَجْنَبِيًّا غَيْرَ الْمُلْتَقِطِ فإن لم تكن له بينته رُدَّتْ دَعْوَاهُ وَإِنْ كَانَتْ لَهُ بَيِّنَةٌ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ تَشْهَدَ لَهُ بِالْمِلْكِ فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى فِي الشَّهَادَةِ لِلْمُلْتَقِطِ. وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَشْهَدَ لَهُ بِالْيَدِ قَبْلَ الْتِقَاطِهِ فَفِي الْحُكْمِ بِهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: لَا يُحْكَمُ بِهَا لِغَيْرِ الْمُلْتَقِطِ كَمَا لَا يُحْكَمُ بِهَا لِلْمُلْتَقِطِ وَلَا تَكُونُ الْيَدُ عَلَيْهِ مُوجِبَةً لِمِلْكِهِ لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ تَغْلِيظِ حَالِهِ فَعَلَى هَذَا لَا يُحْكَمُ بِهَا فِي مِلْكِهِ لِرِقِّهِ وَلَكِنْ يُحْكَمُ بِهَا فِي تَقَدُّمِ يَدِهِ وَاسْتِحْقَاقِ كَفَالَتِهِ لِأَنَّ بَيِّنَتَهُ تَشْهَدُ بِأَنَّ يَدَهُ كَانَتْ عَلَيْهِ قَبْلَ يَدِ مُلْتَقِطِهِ فَعَلَى مَا حَكَاهُ الْمُزَنِيُّ يُنْتَزَعُ مِنَ الْمُلْتَقِطِ وَيُسَلَّمُ إِلَيْهِ لِيَكْفُلَهُ وَعَلَى مَا أُرَاهُ أَوْلَى يُمْنَعُ مِنْهُ لِئَلَّا يَصِيرَ ذَرِيعَةً إِلَى اسْتِرْقَاقِهِ.

Jika orang yang mengaku bahwa laqīṭ itu adalah budaknya adalah orang asing (bukan orang yang menemukan), maka jika ia tidak memiliki bayyinah, gugurlah pengakuannya. Jika ia memiliki bayyinah, maka ada dua kemungkinan: Pertama, bayyinah itu bersaksi atas kepemilikan, maka hukumnya sama seperti yang telah dijelaskan dalam kesaksian untuk orang yang menemukan. Kedua, bayyinah itu bersaksi atas penguasaan (yad) sebelum ditemukan, maka dalam hal ini ada dua pendapat: Pertama, tidak diputuskan kepemilikan untuk selain orang yang menemukan, sebagaimana tidak diputuskan untuk orang yang menemukan, dan penguasaan (yad) atas laqīṭ tidak menyebabkan kepemilikan karena statusnya yang lebih berat, sebagaimana telah dijelaskan. Maka, menurut pendapat ini, tidak diputuskan kepemilikan atas laqīṭ karena status budaknya, namun diputuskan bahwa ia lebih berhak atas pengasuhannya, karena bayyinah-nya bersaksi bahwa penguasaannya atas laqīṭ lebih dahulu daripada orang yang menemukannya. Berdasarkan riwayat al-Muzanī, laqīṭ diambil dari orang yang menemukannya dan diserahkan kepadanya untuk diasuh. Namun menurut pendapat yang saya anggap lebih utama, ia tidak diserahkan kepadanya agar tidak menjadi celah untuk memperbudaknya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: ذَكَرَهُ الْمُزَنِيُّ فِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ إِنَّا نَحْكُمُ لَهُ بِرِقِّهِ مَعَ الشَّهَادَةِ لَهُ بِالْيَدِ بِخِلَافِ يَدِ الْمُلْتَقِطِ لِأَنَّ فِي إِقْرَارِ الْمُلْتَقِطِ بِأَنَّهُ لَقِيطٌ تَكْذِيبٌ لِشُهُودِهِ بِأَنَّ الْيَدَ مُوجِبَةٌ لِمِلْكِهِ وَلَيْسَ مِنْ غَيْرِ الْمُلْتَقِطِ إِقْرَارٌ يُوجِبُ هَذَا إِلَّا أَنَّ الْمُزَنِيَّ فِيمَا نَقَلَهُ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ أَنَّهُ قَالَ بَعْدَ الْحُكْمِ بِالشَّهَادَةِ لَهُ بِالْيَدِ وَيَحْلِفُ أَنَّهُ كَانَ فِي يَدِهِ رَقِيقًا لَهُ فَإِنْ لَمْ يَحْلِفْ لَمْ أَرِقَّهُ لَهُ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي إِحْلَافِهِ مَعَ الْبَيِّنَةِ هَلْ هُوَ وَاجِبٌ أَوِ اسْتِحْبَابٌ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua, yang disebutkan oleh al-Muzanī dalam al-Jāmi‘ al-Kabīr: Kami memutuskan bahwa laqīṭ itu adalah budaknya jika ada kesaksian atas penguasaan (yad), berbeda dengan penguasaan orang yang menemukannya. Sebab, pengakuan orang yang menemukan bahwa anak itu adalah laqīṭ merupakan penolakan terhadap kesaksian para saksinya bahwa penguasaan (yad) menyebabkan kepemilikan. Sedangkan pada selain orang yang menemukan, tidak ada pengakuan yang menyebabkan hal tersebut. Namun, al-Muzanī dalam riwayatnya dari al-Shāfi‘ī dalam al-Jāmi‘ al-Kabīr menyebutkan bahwa setelah diputuskan berdasarkan kesaksian atas penguasaan (yad), ia harus bersumpah bahwa laqīṭ itu memang budaknya ketika berada dalam penguasaannya. Jika ia tidak bersumpah, maka tidak diputuskan sebagai budaknya. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai kewajiban bersumpah bersama bayyinah, apakah wajib atau hanya dianjurkan, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ وَاجِبٌ لِيَنْفِيَ بِهَا احْتِمَالَ الْيَدِ أَنْ تَكُونَ بِغَيْرِ مِلْكٍ فَإِنْ نَكَلَ لَمْ يُحْكَمْ لَهُ بِرِقِّهِ.

Pertama: Wajib, agar menghilangkan kemungkinan bahwa penguasaan (yad) itu tanpa hak milik. Jika ia enggan bersumpah, maka tidak diputuskan sebagai budaknya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا اسْتِحْبَابٌ وَلَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ لِأَنَّ الْيَدَ إِنْ أَوْجَبَتِ الْمِلْكَ أَغْنَتْهُ عَنِ الْيَمِينِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مُنَازِعٌ وَإِنْ لَمْ تُوجِبِ الْمِلْكَ لَمْ يَكُنْ لِلشَّهَادَةِ بِهَا تَأْثِيرٌ وَلِأَنَّ فِي الْيَمِينِ مَعَ الْبَيِّنَةِ اعْتِلَالًا لِلشَّهَادَةِ.

Pendapat kedua: Hanya dianjurkan, tidak wajib, karena jika penguasaan (yad) sudah menunjukkan kepemilikan, maka tidak perlu lagi sumpah jika tidak ada pihak yang menentang. Jika penguasaan (yad) tidak menunjukkan kepemilikan, maka kesaksian atasnya tidak berpengaruh. Selain itu, sumpah bersama bayyinah dapat melemahkan kekuatan kesaksian.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَلَوِ ادَّعَى الْمُلْتَقِطُ بُنُوَّةَ اللَّقِيطِ أُلْحِقَ بِهِ وَلَمْ يُكَلَّفْ بِبَيِّنَةٍ فَلَوِ ادَّعَى غَيْرُهُ بَعْدَ ذَلِكَ رِقَّ اللَّقِيطِ لَمْ يُسْمَعْ مِنْهُ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَ الرِّقِّ وَالنَّسَبِ وَإِذَا أَقَامَهَا صَارَ ابْنًا لِلْمُلْتَقِطِ وَعَبْدًا لِلْآخَرِ لِإِمْكَانِ الْأَمْرَيْنِ وَيَكُونُ السَّيِّدُ أَوْلَى بِكَفَالَتِهِ مِنَ الْأَبِ.

Jika orang yang menemukan anak terlantar (al-multaqith) mengaku sebagai ayah dari anak terlantar (al-laqīṭ), maka anak tersebut dinasabkan kepadanya dan ia tidak dibebani kewajiban menghadirkan bukti. Namun, jika setelah itu ada orang lain yang mengaku bahwa anak terlantar tersebut adalah budaknya, maka pengakuan itu tidak diterima kecuali dengan bukti, karena perbedaan antara status budak dan nasab yang telah kami sebutkan. Jika ia dapat menghadirkan bukti, maka anak tersebut menjadi anak bagi orang yang menemukan dan menjadi budak bagi orang lain tersebut, karena kedua kemungkinan itu dapat terjadi. Dalam hal ini, tuan (pemilik budak) lebih berhak mengasuhnya daripada ayahnya.

مَسْأَلَةٌ:

Permasalahan:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِذَا بَلَغَ اللَّقِيطُ فَاشْتَرَى وَبَاعَ وَنَكَحَ وَأَصْدَقَ ثُمَّ أَقَرَّ بِالرِّقِّ لِرَجُلٍ أَلْزَمْتُهُ مَا يَلْزَمُهُ قبل إقراره وفي إلزامه الرق قولان أحدهما أَنَّ إِقْرَارَهُ يَلْزَمُهُ فِي نَفْسِهِ وَفِي الْفَضْلِ من ماله عما لزمه ولا يصدق في حق غيره ومن قال أصدقه في الكل قال لأنه مجهول الأصل ومن قال القول الأول قاله في امرأة نكحت ثم أقرت بملك لرجل لا أصدقها على إفساد النكاح ولا ما يجب عليها للزوج وأجعل طلاقه إياها ثلاثا وعدتها ثلاث حيَض وفي الوفاة عدة أمة لأنه ليس عليها في الوفاة حق يلزمها له وأجعل ولده قبل الإقرار ولد حرة وله الخيار فإن أقام على النكاح كان ولده رقيقا وأجعل ملكها لمن أقرت له بأنها أمته ” (قال المزني) رحمه الله ” أَجْمَعَتِ الْعُلَمَاءُ أَنَّ مَنْ أَقَرَّ بِحَقٍّ لَزِمَهُ ومن ادعاه لم يجب له بدعواه وقد لزمتها حقوق بإقرارها فليس لها إبطالها بدعواها “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika anak terlantar telah dewasa, lalu ia membeli, menjual, menikah, dan memberikan mahar, kemudian ia mengakui dirinya sebagai budak milik seseorang, maka aku mewajibkan kepadanya apa yang wajib baginya sebelum pengakuan tersebut. Dalam mewajibkan status budak kepadanya terdapat dua pendapat: salah satunya, bahwa pengakuannya itu mengikat dirinya sendiri dan kelebihan hartanya atas apa yang menjadi kewajibannya, namun tidak diterima untuk hak orang lain. Barang siapa yang mengatakan bahwa pengakuannya diterima secara keseluruhan, beralasan karena asal-usulnya tidak diketahui. Adapun yang berpendapat seperti pendapat pertama, ia juga berkata demikian pada seorang wanita yang menikah lalu mengakui dirinya sebagai budak milik seseorang; aku tidak mempercayainya dalam membatalkan pernikahan atau apa yang menjadi kewajibannya kepada suami, dan aku menganggap talak suaminya atasnya sebagai tiga kali talak dan masa iddahnya tiga kali haid, sedangkan dalam kematian masa iddahnya adalah iddah budak perempuan, karena dalam kematian tidak ada hak yang wajib baginya untuk suaminya. Aku menganggap anaknya sebelum pengakuan sebagai anak perempuan merdeka dan ia memiliki hak memilih; jika ia tetap dalam pernikahan, maka anaknya menjadi budak, dan aku menganggap kepemilikannya bagi orang yang ia akui sebagai tuannya.” (Al-Muzani rahimahullah berkata:) “Para ulama telah sepakat bahwa siapa saja yang mengakui suatu hak, maka hak itu wajib baginya, dan siapa yang mengklaimnya tidak wajib baginya hanya dengan klaimnya. Maka, hak-hak yang telah menjadi kewajibannya dengan pengakuannya tidak boleh ia batalkan dengan klaimnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي لَقِيطٍ بَلَغَ فَجَرَتْ عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْأَحْرَارِ فِي عُقُودِهِ وَأَفْعَالِهِ اعْتِبَارًا بِظَاهِرِ حَالِهِ فِي الْحُرِّيَّةِ لِأَنَّهُ مُمْكِنٌ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ وَلَا يُمْنَعُ مِنْهُ بِالْإِشْكَالِ سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّهُ حُرٌّ فِي الظَّاهِرِ أَوْ مَجْهُولُ الْأَصْلِ فَإِذَا وُجِدَ ذَلِكَ مِنْهُ وَجَرَتْ أَحْكَامُ الْحُرِّيَّةِ عَلَيْهِ ظَاهِرًا ثُمَّ جَاءَ رَجُلٌ فَادَّعَى رِقَّهُ وَأَنَّهُ عَبْدُهُ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ لَهُ بَيِّنَةٌ تَشْهَدُ لَهُ بِرِقِّهِ أَوْ لَا يَكُونُ فَإِنْ أَقَامَ بِرِقِّهِ بَيِّنَةً عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ وَصْفِ الْبَيِّنَةِ حَكَمْنَا لَهُ بِرِقِّهِ وَأَجْرَيْنَا عَلَيْهِ أَحْكَامَ الْعَبِيدِ فِي الْمَاضِي مِنْ حَالِهِ وَفِي الْمُسْتَقْبَلِ فَمَا بَطَلَ مِنْ عُقُودِهِ الْمَاضِيَةِ بِالرِّقِّ أَبْطَلْنَاهُ وَمَا وَجَبَ اسْتِرْجَاعُهُ مَنْ غُرْمٍ أَوْ مَالٍ اسْتَرْجَعْنَاهُ وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ مَا ضَرَّ غَيْرَهُ أَوْ نَفَعَهُ أَوْ نَفَعَ غَيْرَهُ وَضَرَّهُ لِأَنَّ الْبَيِّنَةَ حُجَّةٌ عَلَيْهِ وَعَلَى غَيْرِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلْمُدَّعِي بَيِّنَةٌ فَلَا يَخْلُو أَنْ يُقِرَّ اللَّقِيطُ لَهُ بِالرِّقِّ أَوْ يُنْكِرَهُ فَإِنْ أَنْكَرَهُ حَلَفَ لَهُ وَهُوَ عَلَى ظَاهِرِ حُرِّيَّتِهِ وَإِنْ أَقَرَّ لَهُ بِالرِّقِّ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ قَدِ اعْتَرَفَ قَبْلَ ذَلِكَ بِالْحُرِّيَّةِ أَوْ لَمْ يَعْتَرِفْ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ ذَلِكَ قَدِ اعْتَرَفَ بِالْحُرِّيَّةِ لَمْ يُقْبَلْ إِقْرَارُهُ بِالرِّقِّ إِلَّا أَنْ تَقُومَ بَيِّنَةٌ لِأَنَّ اعْتِرَافَهُ بِالْحُرِّيَّةِ قَدْ تَعَلَّقَ بِهِ حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى وَإِنْ تَضَمَّنَهُ حَقٌّ لِنَفْسِهِ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ إِبْطَالُ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى وَإِنْ أَبْطَلَ حَقَّ نَفْسِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدِ اعْتَرَفَ قَبْلَ ذَلِكَ بِالْحُرِّيَّةِ قُبِلَ إِقْرَارُهُ بِالرِّقِّ سَوَاءٌ قِيلَ بِجَهَالَةِ أَصْلِهِ أَوْ بِظَاهِرِ حُرِّيَّتِهِ لِأَنَّ إِقْرَارَهُ عَلَى نَفْسِهِ أَقْوَى مِنْ حُكْمِ الظَّاهِرِ وَلِأَنَّ الْكُفْرَ بِاللَّهِ تَعَالَى أَغْلَظُ مِنَ الرِّقِّ ثُمَّ كَانَ قَوْلُهُ لَوْ بَلَغَ مَقْبُولًا فِي الْكُفْرِ فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ مَقْبُولًا فِي الرِّقِّ.

Al-Mawardi berkata: Bentuk permasalahan ini adalah pada anak terlantar yang telah dewasa, lalu berlaku atasnya hukum-hukum orang merdeka dalam akad dan perbuatannya, berdasarkan keadaan lahiriyahnya sebagai orang merdeka, karena semua itu memungkinkan baginya dan tidak terhalangi oleh keraguan, baik dikatakan ia merdeka secara lahiriyah maupun tidak diketahui asal-usulnya. Jika hal itu terjadi padanya dan hukum-hukum kemerdekaan berlaku atasnya secara lahiriyah, lalu datang seseorang yang mengaku bahwa ia adalah budaknya, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia memiliki bukti yang menyatakan bahwa anak itu adalah budaknya, atau tidak. Jika ia dapat menghadirkan bukti tentang status budaknya sesuai dengan sifat bukti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka kami memutuskan bahwa ia adalah budaknya dan kami berlakukan atasnya hukum-hukum budak, baik pada masa lalu maupun masa yang akan datang. Maka, akad-akad masa lalunya yang batal karena status budak, kami batalkan, dan apa yang wajib dikembalikan berupa ganti rugi atau harta, kami kembalikan, baik hal itu merugikan orang lain atau menguntungkannya, atau menguntungkan orang lain dan merugikannya, karena bukti adalah hujjah atas dirinya dan atas orang lain. Jika pengaku (yang mengaku sebagai tuan) tidak memiliki bukti, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah anak terlantar itu mengakui dirinya sebagai budak atau mengingkarinya. Jika ia mengingkarinya, maka ia diminta bersumpah dan tetap pada status lahiriyahnya sebagai orang merdeka. Jika ia mengakui dirinya sebagai budak, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah sebelumnya ia telah mengakui dirinya sebagai orang merdeka atau belum. Jika sebelumnya ia telah mengakui dirinya sebagai orang merdeka, maka pengakuannya sebagai budak tidak diterima kecuali ada bukti, karena pengakuannya sebagai orang merdeka telah terkait dengan hak Allah Ta‘ala, meskipun di dalamnya terdapat hak untuk dirinya sendiri, maka ia tidak berhak membatalkan hak Allah Ta‘ala meskipun ia boleh membatalkan hak dirinya sendiri. Jika sebelumnya ia belum pernah mengakui dirinya sebagai orang merdeka, maka pengakuannya sebagai budak diterima, baik dikatakan asal-usulnya tidak diketahui maupun secara lahiriyah ia dianggap merdeka, karena pengakuannya atas dirinya sendiri lebih kuat daripada hukum lahiriyah, dan karena kekufuran kepada Allah Ta‘ala lebih berat daripada status budak, sementara pengakuan seseorang atas kekufurannya diterima setelah dewasa, maka lebih utama pengakuannya atas status budak juga diterima.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ إِقْرَارَهُ بِالرِّقِّ مَقْبُولٌ أُجْرِيَتْ عَلَيْهِ أَحْكَامُ الرِّقِّ فِي الْمُسْتَقْبَلِ وَفِي إِجْرَائِهَا عَلَيْهِ فِي الْمَاضِي قَوْلَانِ:

Jika telah tetap bahwa pengakuannya sebagai budak diterima, maka diberlakukan atasnya hukum-hukum perbudakan untuk masa yang akan datang. Adapun pemberlakuan hukum perbudakan atasnya untuk masa lalu, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: تَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُ الرِّقِّ فِي الْمَاضِي كَمَا تَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُهُ فِي الْمُسْتَقْبَلِ، وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي نَجْعَلُهُ فِيهِ مَجْهُولَ الْأَصْلِ وَوَجْهُهُ شَيْئَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ الرِّقَّ أَصْلٌ إِذَا ثَبَتَ تَعَلُّقٌ فِي فَرْعِهِ مِنْ أَحْكَامٍ فَإِذَا ثَبَتَ أَصْلُهُ فَأَوْلَى أَنْ تَثْبُتَ فُرُوعُهُ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ إِقْرَارُهُ بِالرِّقِّ مُوجِبًا لِإِجْرَاءِ أَحْكَامِ الرِّقِّ عَلَيْهِ فِي الْمُسْتَقْبَلِ كَالْبَيِّنَةِ اقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مُوجِبًا لِذَلِكَ فِي الْمَاضِي كَالْبَيِّنَةِ.

Salah satunya: Berlaku atasnya hukum-hukum perbudakan di masa lalu sebagaimana berlaku atasnya hukum-hukum tersebut di masa depan, dan ini menurut pendapat yang menjadikannya sebagai majhūl al-aṣl (asal-usulnya tidak diketahui), dan alasannya ada dua: Pertama, bahwa perbudakan adalah asal, sehingga jika telah tetap adanya keterkaitan hukum-hukum pada cabangnya, maka jika asalnya telah tetap, lebih utama lagi cabang-cabangnya juga tetap. Kedua, bahwa ketika pengakuannya terhadap status budak menyebabkan diberlakukannya hukum-hukum perbudakan atasnya di masa depan seperti halnya bukti, maka hal itu menuntut agar juga diberlakukan di masa lalu seperti halnya bukti.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجْرِي عَلَيْهِ فِي الْمَاضِي أَضَرُّ الْأَمْرَيْنِ بِهِ مِنْ أَحْكَامِ الْحُرِّيَّةِ أَوِ الرِّقِّ فَمَا نَفَعَهُ وَضَرَّ غَيْرَهُ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ وَمَا ضَرَّهُ وَنَفَعَ غَيْرَهُ قُبِلَ مِنْهُ وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي نَجْعَلُهُ فِيهِ حُرًّا فِي الظَّاهِرِ وَوَجْهُهُ شَيْئَانِ:

Pendapat kedua: Berlaku atasnya di masa lalu hukum yang paling merugikan baginya dari hukum-hukum kebebasan atau perbudakan. Maka apa yang menguntungkannya dan merugikan orang lain tidak diterima darinya, dan apa yang merugikannya dan menguntungkan orang lain diterima darinya. Ini menurut pendapat yang menjadikannya sebagai orang merdeka secara zhahir, dan alasannya ada dua:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ إِقْرَارَهُ فِيمَا ضر غيره متهوم فأمضى وإقراره فيما ينفعه متهوم فَرُدَّ.

Pertama: Bahwa pengakuannya dalam hal yang merugikan orang lain dicurigai (ada kemungkinan rekayasa), maka diberlakukan, dan pengakuannya dalam hal yang menguntungkannya dicurigai (ada kemungkinan rekayasa), maka ditolak.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ كَمَا لَمْ يَمْلِكْ إِبْطَالَهُ مِنَ الْعُقُودِ بِغَيْرِ الْإِقْرَارِ بِالرِّقِّ لَمْ يَمْلِكْهُ بِالْإِقْرَارِ لِأَنَّ لُزُومَهَا يَمْنَعُ مِنْ تَمَلُّكِ فَسْخِهَا.

Kedua: Sebagaimana ia tidak berhak membatalkan akad-akad selain dengan pengakuan sebagai budak, maka ia juga tidak berhak membatalkannya dengan pengakuan, karena keterikatan akad tersebut mencegahnya dari memiliki hak untuk membatalkannya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ تَفَرَّعَ عَلَيْهِمَا مَا مَضَى فَمِنْ ذَلِكَ هِبَاتُهُ وَعَطَايَاهُ فَإِنْ قيل بنفوذ إقراره فيهما بطلت واستحق السيد استرجاعها وإن قيل برد إقراره فيهما بطلت واستحق السيد استرجاعها أُمْضِيَتْ وَلَمْ يَسْتَرْجِعْ وَلَيْسَ لِلسَّيِّدِ إِحْلَافُ الْمَوْهُوبِ لَهُ وَالْمُعْطَى إِنْ أَنْكَرَ.

Apabila telah dijelaskan alasan kedua pendapat tersebut, maka cabang-cabang hukumnya mengikuti keduanya. Di antaranya adalah hibah dan pemberiannya: Jika dikatakan bahwa pengakuannya dalam hal ini sah, maka hibah dan pemberiannya batal dan tuannya berhak untuk menarik kembali. Jika dikatakan bahwa pengakuannya dalam hal ini ditolak, maka hibah dan pemberiannya tetap berlaku dan tuan tidak berhak menarik kembali. Tuan juga tidak berhak meminta sumpah dari penerima hibah atau pemberian jika ia mengingkarinya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَمِنْ ذَلِكَ بَيُوعُهُ وَإِجَارَاتُهُ إِنْ قِيلَ بِنُفُوذِ إِقْرَارِهِ فِيهِمَا بَطَلَتْ وَلَزِمَ التَّرَاجُعُ فِيهِمَا وَإِنْ قِيلَ بِرَدِّ إِقْرَارِهِ فِيهِمَا أُمْضِيَتْ وَلَا يُرَاجَعُ فِيهِمَا وَمَا حَصَلَ بِيَدِهِ مِمَّا اشْتَرَاهُ لَمْ يَكُنْ لِسَيِّدِهِ التَّصَرُّفُ فِيهِ لِأَنَّهُ مُقِرٌّ أَنَّهُ عَلَى مِلْكِ بَائِعِهِ وَلَهُ أَنْ يَتَوَصَّلَ إِلَى أَخْذِ ثَمَنِهِ مِنْهُ فَإِنْ فَضَلَ مِنْهُ لَمْ يَمْلِكْهُ.

Di antaranya juga adalah jual beli dan sewanya: Jika dikatakan bahwa pengakuannya dalam hal ini sah, maka jual beli dan sewanya batal dan wajib dilakukan pengembalian. Jika dikatakan bahwa pengakuannya dalam hal ini ditolak, maka jual beli dan sewanya tetap berlaku dan tidak ada pengembalian. Apa yang ada di tangannya dari hasil pembelian, maka tuannya tidak berhak menguasainya karena ia mengakui bahwa barang itu milik penjualnya, dan ia (si budak) berhak menuntut harga barang tersebut dari penjual. Jika ada kelebihan dari harga tersebut, maka ia tidak memilikinya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَمِنْ ذَلِكَ دُيُونُهُ الَّتِي لَزِمَتْهُ وَهِيَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Di antaranya juga adalah utang-utangnya yang wajib atasnya, dan utang itu ada dua jenis:

أَحَدُهُمَا: مَا وَجَبَ بِاسْتِهْلَاكٍ وَجِنَايَةٍ فَهِيَ مُتَعَلِّقَةٌ بِرَقَبَتِهِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا لِأَنَّ ذَلِكَ أضر بِهِ فَنَفَذَ إِقْرَارُهُ فِيهِ وَإِنْ ضَاقَتِ الرَّقَبَةُ عَنْ غُرْمِ جَمِيعِهِ فَفِي تَعَلُّقِ الْبَاقِي بِذِمَّتِهِ بَعْدَ عِتْقِهِ قَوْلَانِ إِنْ قِيلَ بِنُفُوذِ إِقْرَارِهِ سَقَطَ وَلَمْ يَلْزَمْ وَإِنْ قِيلَ بِرَدِّ إِقْرَارِهِ لَزِمَ فِي ذِمَّتِهِ بَعْدَ عِتْقِهِ.

Pertama: Utang yang wajib karena konsumsi atau tindak pidana, maka utang tersebut terkait dengan dirinya menurut kedua pendapat, karena hal itu lebih merugikannya sehingga pengakuannya dalam hal ini berlaku. Jika harga dirinya tidak cukup untuk menutupi seluruh utang, maka dalam hal sisa utang yang masih menjadi tanggungannya setelah ia merdeka terdapat dua pendapat: Jika dikatakan pengakuannya sah, maka utang tersebut gugur dan ia tidak wajib membayarnya. Jika dikatakan pengakuannya ditolak, maka utang tersebut tetap wajib atasnya setelah ia merdeka.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا وَجَبَ عَنْ مُعَامَلَةٍ مِنْ ثَمَنٍ أَوْ أُجْرَةٍ أَوْ صَدَاقٍ فَإِنْ قِيلَ بِنُفُوذِ إِقْرَارِهِ تَعَلَّقَ ذَلِكَ بِذِمَّتِهِ بَعْدَ عِتْقِهِ وَكَانَ السَّيِّدُ أَحَقَّ بِمَا فِي يَدِهِ وَإِنْ قِيلَ بِرَدِّ إِقْرَارِهِ كَانَ ذَلِكَ مُسْتَحِقًّا فِيمَا بِيَدِهِ فَمَا كَانَ بِإِزَائِهِ دَفَعَ جَمِيعَ مَا فِي يَدِهِ فِي دُيُونِهِ وَلَا شَيْءَ فِيهِ لِسَيِّدِهِ وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْهُ كَانَ الْبَاقِي بَعْدَهُ فِي ذِمَّتِهِ بَعْدَ عِتْقِهِ فَإِنْ كَانَ أَكْثَرُ الْفَاضِلِ مِنْهُ لِسَيِّدِهِ وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ إِقْرَارَهُ يَلْزَمُهُ فِي نَفْسِهِ وَفِي الْفَضْلِ مِنْ مَالِهِ عَمَّا لَزِمَهُ يَعْنِي مِنْ دُيُونِهِ.

Jenis kedua: Utang yang wajib karena transaksi, seperti harga barang, upah, atau mahar. Jika dikatakan pengakuannya sah, maka utang tersebut terkait dengan tanggungannya setelah ia merdeka dan tuan lebih berhak atas apa yang ada di tangannya. Jika dikatakan pengakuannya ditolak, maka utang tersebut menjadi hak atas apa yang ada di tangannya. Jika jumlahnya sama, maka seluruh harta yang ada di tangannya digunakan untuk membayar utangnya dan tidak ada hak bagi tuannya. Jika jumlah utang lebih kecil, maka sisanya tetap menjadi tanggungannya setelah ia merdeka. Jika jumlah utang lebih besar, maka kelebihannya menjadi milik tuannya. Inilah maksud dari perkataan Imam Syafi‘i bahwa pengakuannya menjadi tanggungannya secara pribadi dan pada kelebihan hartanya dari apa yang wajib ia bayarkan, yaitu dari utang-utangnya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَمِنْ ذَلِكَ نِكَاحُهُ وَذَلِكَ ضَرْبَانِ:

Di antaranya juga adalah pernikahannya, dan itu ada dua jenis:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ اللَّقِيطُ عَبْدًا فَيَنْكِحَ امْرَأَةً.

Pertama: Anak yang ditemukan (laqīṭ) berstatus budak lalu menikahi seorang perempuan.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ امْرَأَةً فَتَنْكِحَ رَجُلًا فَإِنْ كَانَ اللَّقِيطُ عَبْدًا فَنَكَحَ امْرَأَةً فَإِنْ قِيلَ بِنُفُوذِ إِقْرَارِهِ فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ مِنْ أَصْلِهِ لِأَنَّهُ مُقِرٌّ أَنَّهُ نَكَحَ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ فَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ دُونَ الْمُسَمَّى إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَهْرُ الْمِثْلِ أَكْثَرُ فَلَا تَسْتَحِقُّ إِلَّا الْمُسَمَّى لِأَنَّهَا تَدَّعِي الزِّيَادَةَ عَلَيْهِ وَإِنْ قِيلَ بِرَدِّ إقراره انفسخ النكاح من وقته لإقرارها بِتَحْرِيمِهَا عَلَيْهِ وَلَمْ يَنْفَسِخْ مِنْ أَصْلِهِ لِقَبُولِ إِقْرَارِهِ فِيهِ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَهَا نِصْفُ الْمُسَمَّى وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَلَهَا جَمِيعُهُ وَإِنْ كَانَ اللَّقِيطُ أَمَةً فَنَكَحَتْ رَجُلًا فَإِنْ قِيلَ بِنُفُوذِ إِقْرَارِهَا بَطَلَ النِّكَاحُ لِأَنَّهَا مَنْكُوحَةٌ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهَا سَوَاءٌ كَانَ الزَّوْجُ وَاجِدًا لِلطَّوْلِ أَوْ لَمْ يَكُنْ فَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فَلَا شَيْءَ لَهَا وَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ دُونَ الْمُسَمَّى وَكَانَ أَوْلَادُهَا مِنْهُ أَحْرَارًا لِأَنَّهُ أَصَابَهَا عَلَى حُرِّيَّةِ أَوْلَادِهَا فَصَارَتْ كَالْغَارَّةِ بَحُرِّيَّتِهَا لَكِنْ عَلَى الزَّوْجِ قِيمَتُهُمْ لِسَيِّدِهَا وَفِي رُجُوعِ الزَّوْجِ بَعْدَ ذَلِكَ عَلَيْهَا بَعْدَ عِتْقِهَا قَوْلَانِ كَالْمَغْرُورِ وَإِنْ قِيلَ بِرَدِّ إِقْرَارِهَا لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهَا فِي فَسْخِ النِّكَاحِ سَوَاءٌ كَانَ الزَّوْجُ وَاجِدًا لِلطَّوْلِ أَوْ لَمْ يَكُنْ لِأَنَّ الزَّوْجَ يَدَّعِي صِحَّةَ الْعَقْدِ عَلَى حُرَّةٍ وَجَمِيعُ أَوْلَادِهَا مِنْهُ قَبْلَ الْإِقْرَارِ وَبَعْدَهُ لِأَقَلِّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ أَحْرَارٌ لَا يَلْزَمُ الزَّوْجُ غُرْمَ قِيمَتِهِمْ وَلَهُ الْخِيَارُ فِي الْمُقَامِ مَعَهَا لِمَا اسْتَقَرَّ مِنْ حُكْمِ رِقِّهَا فَإِنْ أَقَامَ عَلَيْهَا رُقَّ أَوْلَادُهُ مِنْهَا إِذَا وَضَعَتْهُمْ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَقْتِ إِقْرَارِهِ ثُمَّ إِنْ لَزِمَتْهَا الْعِدَّةُ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ الَّذِي يَرُدُّ إِقْرَارَهَا فِيهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ: طَلَاقٌ أَوْ وَفَاةٌ فَإِنْ كَانَتْ وَفَاةً فَعِدَّةُ أَمَةٍ شَهْرَانِ وَخَمْسِ لَيَالٍ لِأَنَّهَا حَقُّ اللَّهِ تعالى فقيل قَوْلُهَا فِيهِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا، وَإِنْ كَانَتْ عِدَّةَ طَلَاقٍ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: Jika ia seorang perempuan, lalu menikah dengan seorang laki-laki. Jika laqīṭ itu adalah seorang budak lalu menikahi seorang perempuan, maka jika dikatakan pengakuannya sah, maka pernikahan itu batal sejak awal karena ia mengakui bahwa ia menikah tanpa izin tuannya. Jika belum terjadi hubungan suami istri, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Namun jika telah terjadi hubungan, maka perempuan itu berhak atas mahar mitsil, bukan mahar yang telah disebutkan, kecuali jika mahar mitsil lebih besar, maka ia hanya berhak atas mahar yang telah disebutkan karena ia mengklaim kelebihan atasnya. Jika dikatakan pengakuannya ditolak, maka pernikahan batal sejak saat itu karena pengakuannya bahwa ia haram baginya, dan tidak batal sejak awal karena pengakuannya diterima dalam hal itu. Jika sebelum terjadi hubungan, maka ia berhak atas setengah mahar yang telah disebutkan, dan jika setelah terjadi hubungan, maka ia berhak atas seluruhnya. Jika laqīṭ itu adalah seorang perempuan budak lalu menikah dengan seorang laki-laki, maka jika dikatakan pengakuannya sah, pernikahan batal karena ia dinikahi tanpa izin tuannya, baik suaminya mampu membayar mahar atau tidak. Jika belum terjadi hubungan, maka ia tidak berhak apa-apa, dan jika telah terjadi hubungan, maka ia berhak atas mahar mitsil, bukan mahar yang telah disebutkan, dan anak-anaknya dari suami itu adalah orang merdeka karena ia digauli dalam keadaan anak-anaknya merdeka, sehingga ia seperti perempuan yang tertipu dengan status kemerdekaannya. Namun, suami wajib membayar nilai anak-anak itu kepada tuannya. Dalam hal suami kembali kepadanya setelah ia merdeka, terdapat dua pendapat sebagaimana pada kasus perempuan yang tertipu. Jika dikatakan pengakuannya ditolak, maka pengakuannya dalam pembatalan pernikahan tidak diterima, baik suaminya mampu membayar mahar atau tidak, karena suami mengklaim keabsahan akad atas perempuan merdeka, dan seluruh anak-anaknya dari suami itu, baik sebelum maupun sesudah pengakuan, selama kurang dari enam bulan, adalah merdeka dan suami tidak wajib membayar nilai mereka, serta ia memiliki pilihan untuk tetap bersamanya karena telah tetap hukum status budaknya. Jika ia tetap bersamanya, maka anak-anaknya menjadi budak jika dilahirkan lebih dari enam bulan sejak pengakuan. Kemudian, jika ia wajib menjalani masa iddah menurut pendapat yang menolak pengakuannya, maka ada dua keadaan: karena talak atau karena wafat. Jika karena wafat, maka masa iddah budak adalah dua bulan lima malam karena itu adalah hak Allah Ta‘ala, maka pendapatnya diterima dalam kedua pendapat tersebut. Jika masa iddah karena talak, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَمْلِكَ فِيهَا الرَّجْعَةَ فَيَلْزَمُهَا ثَلَاثَةُ أَقْرَاءٍ لِأَنَّ حَقَّ الْآدَمِيِّ مِنْهَا أَقْوَى لِثُبُوتِ رَجْعَتِهِ فِيهَا.

Pertama: Suami masih memiliki hak rujuk, maka ia wajib menjalani tiga kali suci karena hak manusia di sini lebih kuat karena adanya kemungkinan rujuk.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَمْلِكَ فِيهَا الرَّجْعَةَ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Kedua: Suami tidak memiliki hak rujuk, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: عِدَّةُ أَمَةٍ كَالْوَفَاةِ لِأَنَّهُ لَا يَتَعَلَّقُ بِهَا لِلزَّوْجِ حَقٌّ.

Pertama: Masa iddah budak seperti masa iddah wafat, karena tidak ada hak suami yang terkait dengannya.

وَالثَّانِي: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَنْصُوصِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهَا ثَلَاثَةُ أَقْرَاءٍ كَمَا لَوْ فِيهَا الرَّجْعَةُ وَالْفَرْقُ بَيْنَ عِدَّةِ الطَّلَاقِ وَعِدَّةِ الْوَفَاةِ أَنَّ عِدَّةَ الطَّلَاقِ يَغْلِبُ فِيهَا حَقُّ الْآدَمِيِّ لِأَنَّهَا لَا تَجِبُ عَلَى صَغِيرَةٍ وَلَا غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهَا لِأَنَّ مَقْصُودَهَا الِاسْتِبْرَاءُ وَعِدَّةُ الْوَفَاةِ يَغْلِبُ فِيهَا حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى لوجوبها عَلَى الصَّغِيرَةِ وَغَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِهَا التَّعَبُّدُ، فَأَمَّا الْجِنَايَةُ مِنْهُ وَعَلَيْهِ فَقَدْ تَقَدَّمَ ذِكْرُهَا وَفِيمَا اسْتَوْفَيْنَاهُ مِنْ ذَلِكَ تَنْبِيهٌ عَلَى مَا أَغْفَلْنَا، فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ اخْتَارَ أَنْ لَا يَنْفُذَ إِقْرَارُهُ فِي الْمَاضِي وَإِنْ نَفَذَ فِي الْمُسْتَقْبَلِ وَكَانَ مِنِ اسْتِدْلَالِهِ أَنْ قَالَ أَجْمَعَتِ الْعُلَمَاءُ أَنَّ مَنْ أَقَرَّ بِحَقٍّ لَزِمَهُ وَمَنِ ادَّعَاهُ لَمْ يَجِبْ لَهُ بِدَعْوَاهُ.

Kedua: Dan ini yang tampak dari nash Imam Syafi‘i, yaitu tiga kali suci sebagaimana jika masih ada hak rujuk. Perbedaan antara masa iddah talak dan masa iddah wafat adalah bahwa pada masa iddah talak, hak manusia lebih dominan karena tidak wajib atas anak kecil dan perempuan yang belum digauli, karena tujuannya adalah memastikan rahim bersih. Sedangkan masa iddah wafat, hak Allah Ta‘ala lebih dominan karena wajib atas anak kecil dan perempuan yang belum digauli, dan tujuannya adalah ibadah. Adapun masalah jinayah darinya dan atasnya telah disebutkan sebelumnya, dan dalam penjelasan yang telah kami sampaikan terdapat isyarat terhadap apa yang belum kami sebutkan. Adapun al-Muzanī, ia memilih bahwa pengakuan tidak berlaku untuk masa lalu, meskipun berlaku untuk masa depan. Di antara dalilnya adalah ia berkata: “Para ulama telah berijma‘ bahwa siapa yang mengakui suatu hak, maka ia wajib menunaikannya, dan siapa yang mengklaim suatu hak, maka tidak wajib dipenuhi hanya dengan klaimnya.”

وَهَذَا الْقَوْلُ صَحِيحٌ غَيْرَ أَنَّ الِاسْتِدْلَالَ بِهِ فَاسِدٌ لِأَنَّ اللَّقِيطَ لَمْ يَكُنْ مِنْهُ إِقْرَارٌ بِالْحُرِّيَّةِ فَلَا يُقْبَلُ رُجُوعُهُ عَنْهُ وَإِنَّمَا حَمَلَ أَمْرَهُ فِي الْحُرِّيَّةِ عَلَى الظَّاهِرِ وَإِقْرَارُهُ عَلَى نَفْسِهِ أَقْوَى فَكَانَ الْحُكْمُ بِهِ أَوْلَى.

Dan pendapat ini benar, hanya saja istidlāl (pengambilan dalil) dengannya tidak tepat, karena laqīṭ itu tidak pernah mengakui dirinya sebagai orang merdeka sehingga tidak diterima penarikannya dari pengakuan tersebut. Ia hanya memperlakukan urusannya dalam hal kemerdekaan berdasarkan zhāhir (apa yang tampak), sedangkan pengakuannya atas dirinya sendiri lebih kuat, sehingga hukum berdasarkan pengakuan itu lebih utama.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَا أُقِرُّ اللَّقِيطَ بِأَنَّهُ عَبْدٌ لِفُلَانٍ وَقَالَ الفلان ما ملكته ثُمَّ أَقَرَّ لِغَيْرِهِ بِالرِّقِّ بَعْدُ لَمْ أَقْبَلْ إِقْرَارَهُ وَكَانَ حُرًّا فِي جَمِيعِ أَحْوَالِهِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Aku tidak menerima pengakuan laqīṭ bahwa ia adalah budak si Fulan, lalu si Fulan berkata: ‘Aku tidak memilikinya’, kemudian laqīṭ itu mengakui dirinya sebagai budak orang lain setelah itu, maka aku tidak menerima pengakuannya, dan ia tetap merdeka dalam seluruh keadaannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي لَقِيطٍ بَالِغٍ ابْتِدَاءً مِنْ غَيْرِ دَعْوَى فَأَقَرَّ بِرِقِّهِ لِزَيْدٍ فَأَنْكَرَ زَيْدٌ أن يكون مالكه فَأَقَرَّ اللَّقِيطُ بَعْدَ ذَلِكَ بِرِقِّهِ لِعَمْرٍو فَإِقْرَارُهُ مَرْدُودٌ وَهُوَ حُرٌّ فِي الظَّاهِرِ إِلَّا أَنْ تَقُومَ بَيِّنَةٌ بِرِقِّهِ لِمَالِكٍ فَيَحْكُمُ بِهَا دُونَ الْإِقْرَارِ.

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada laqīṭ yang telah baligh sejak awal tanpa ada klaim dari siapa pun, lalu ia mengakui dirinya sebagai budak Zaid, kemudian Zaid mengingkari bahwa ia adalah pemiliknya, lalu setelah itu laqīṭ mengakui dirinya sebagai budak ‘Amr, maka pengakuannya itu ditolak dan ia tetap dianggap merdeka secara zhāhir, kecuali jika ada bayyinah (bukti yang sah) yang menetapkan bahwa ia adalah budak seseorang, maka diputuskan berdasarkan bayyinah tersebut, bukan berdasarkan pengakuan.

وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ إِقْرَارُهُ مَقْبُولٌ لِلثَّانِي وَإِنْ رَدَّهُ الْأَوَّلُ كَمَا كَانَ إِقْرَارُهُ مَقْبُولًا لِلْأَوَّلِ وَهَكَذَا لَوْ أَنْكَرَهُ الثَّانِي فَأَقَرَّ الثَّالِثُ قُبِلَ مِنْهُ وَبِهِ قَالَ أَهْلُ الْعِرَاقِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ لَوْ أَقَرَّ بِنَسَبِهِ لِرَجُلٍ فَرَدَّهُ ثُمَّ أَقَرَّ بِنَسَبِهِ لِغَيْرِهِ جَازَ فَكَذَلِكَ إِذَا أَقَرَّ بِرِقِّهِ لِرَجُلٍ فَرَدَّهُ ثُمَّ أَقَرَّ بِهِ لِآخَرَ جَازَ وَهَكَذَا لَوْ أَقَرَّ بِدَارٍ فِي يَدِهِ لِرَجُلٍ فَرَدَّ إِقْرَارَهُ ثُمَّ أَقَرَّ بِهَا لِغَيْرِهِ نَفَذَ إِقْرَارُهُ، فَكَذَلِكَ فِي الرِّقِّ لِأَنَّهُ لَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يَجْرِيَ مَجْرَى النَّسَبِ وَقَدْ ذَكَرْنَا جَوَازَ ذَلِكَ فِيهِ أَوْ مَجْرَى الْمَالِ وَقَدْ ذَكَرْنَا جَوَازَهُ فِيهِ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ أَبُو الْعَبَّاسِ وَمَنْ وَافَقَهُ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا أَنَّ إِقْرَارَهُ بِالرِّقِّ لِلْأَوَّلِ إِقْرَارٌ بِأَنَّهُ لَا رِقَّ عَلَيْهِ لِغَيْرِ الْأَوَّلِ فَإِذَا رَدَّ الْأَوَّلُ الْإِقْرَارَ فَقَدْ رَفَعَ رِقَّهُ عَنْهُ بِالْإِنْكَارِ فَصَارَ إِقْرَارُهُ بِالرِّقِّ إِذَا رُدَّ كَالْعِتْقِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقِرَّ بَعْدَ الرِّقِّ وَالثَّانِي أَنْ فِي الْحُرِّيَّةِ حقا لله تعالى وحق لِلْآدَمِيِّ فَصَارَ أَغْلَظَ مِنْ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى إِذَا تَجَرَّدَ مِنْ حَقِّ الْآدَمِيِّ إِذَا انْفَرَدَ فَلَمْ يَكُنْ لِمَنْ جَرَى حُكْمُهُ عَلَيْهِ أَنْ يَدْفَعَهُ عَنْ نَفْسِهِ فَأَمَّا مَا اسْتَدَلَّ بِهِ مِنْ إِقْرَارِهِ بِالنَّسَبِ فَقَدْ كَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَضِيقُ عَلَيْهِ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فَيَجْعَلُ الْحُكْمَ فِيهِمَا سَوَاءً وَيَقُولُ إِذَا رَدَّ إِقْرَارَهُ بِالنَّسَبِ لَمْ أقبله إذا أقر به من بعد كَمَا لَوْ رَدَّ فِي الْعِتْقِ لَمْ أَقْبَلْهُ مِنْ بَعْدُ وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّهُ يُقْبَلُ فِي النَّسَبِ وَلَا يُقْبَلُ فِي الرِّقِّ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Abu al-‘Abbas bin Surayj berkata: Pengakuannya diterima untuk yang kedua, meskipun yang pertama menolaknya, sebagaimana pengakuannya diterima untuk yang pertama. Demikian pula, jika yang kedua mengingkarinya lalu ia mengakui kepada yang ketiga, maka pengakuannya diterima darinya. Pendapat ini juga dipegang oleh para ulama Irak, dengan dalil bahwa jika seseorang mengakui nasabnya kepada seorang laki-laki lalu ditolak, kemudian ia mengakui nasabnya kepada orang lain, maka itu sah. Begitu pula jika ia mengakui dirinya sebagai budak seseorang lalu ditolak, kemudian ia mengaku kepada orang lain, maka itu juga sah. Demikian pula jika ia mengakui sebuah rumah yang ada di tangannya milik seseorang lalu pengakuannya ditolak, kemudian ia mengakuinya untuk orang lain, maka pengakuannya berlaku. Maka demikian pula dalam masalah perbudakan, karena tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa disamakan dengan nasab—dan telah kami sebutkan kebolehannya dalam hal itu—atau disamakan dengan harta—dan telah kami sebutkan kebolehannya dalam hal itu. Namun, pendapat Abu al-‘Abbas dan para pengikutnya dari kalangan ulama Irak ini adalah keliru dari dua sisi: Pertama, pengakuannya sebagai budak kepada yang pertama berarti pengakuan bahwa tidak ada perbudakan atas dirinya untuk selain yang pertama. Maka jika yang pertama menolak pengakuan itu, berarti ia telah mengangkat perbudakan darinya dengan pengingkaran tersebut, sehingga pengakuannya sebagai budak jika telah ditolak, hukumnya seperti ‘itq (pembebasan budak), sehingga tidak boleh ia mengakui lagi setelah itu. Kedua, dalam masalah kemerdekaan terdapat hak Allah Ta‘ala dan hak manusia, sehingga menjadi lebih berat daripada hak Allah Ta‘ala saja jika terlepas dari hak manusia. Jika hanya hak Allah saja, maka tidak ada bagi siapa pun yang terkena hukumnya untuk menolaknya dari dirinya sendiri. Adapun dalil yang digunakan berupa pengakuan nasab, sebagian sahabat kami memang kesulitan membedakan antara keduanya, sehingga menetapkan hukum yang sama pada keduanya, dan berkata: Jika pengakuan nasabnya ditolak, maka aku tidak menerimanya jika ia mengaku lagi setelah itu, sebagaimana jika pengakuan pada ‘itq ditolak, maka aku tidak menerimanya setelah itu. Namun mayoritas sahabat kami berpendapat bahwa pengakuan nasab diterima, sedangkan pengakuan perbudakan tidak diterima. Perbedaannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ إِنْكَارَهُ الرِّقَّ يَقْتَضِي أَنْ لَا رِقَّ وَلَيْسَ إِنْكَارُهُ لِلنَّسَبِ مُوجِبًا لِرَفْعِ النَّسَبِ.

Pertama: Bahwa pengingkaran terhadap perbudakan mengharuskan tidak adanya perbudakan, sedangkan pengingkaran terhadap nasab tidak menyebabkan terhapusnya nasab.

وَالثَّانِي: أَنَّ مَنْ أَنْكَرَ شَيْئًا ثُمَّ أَقَرَّ بِهِ قُبِلَ مِنْهُ وَمَنْ أَنْكَرَ الرِّقَّ ثُمَّ أَقَرَّ بِهِ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ، وَأَمَّا الْإِقْرَارُ بِالدَّارِ فَإِذَا رَدَّهُ الْمُقِرُّ لَهُ لَمْ يُقْبَلْ إِقْرَارُ الْمُقِرِّ بِهَا لِغَيْرِهِ وَإِنَّمَا جَعَلَ الثَّانِي أَحَقَّ بِهَا مِنْ حَيْثُ أَنَّهُ لَا مُنَازِعَ لَهُ فِيهَا وَلَا بُدَّ لِكُلِّ مِلْكٍ مِنْ مَالِكٍ وَلَيْسَ كَذَلِكَ اللَّقِيطُ لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ حُرًّا وَلَيْسَ لَهُ مالك.

Kedua: Bahwa siapa yang mengingkari sesuatu lalu mengakuinya, maka pengakuannya diterima, sedangkan siapa yang mengingkari perbudakan lalu mengakuinya, maka pengakuannya tidak diterima. Adapun pengakuan terhadap rumah, jika orang yang diakui menolaknya, maka pengakuan pemilik rumah kepada orang lain tidak diterima. Hanya saja orang kedua lebih berhak atas rumah itu karena tidak ada yang menyainginya, dan setiap kepemilikan pasti ada pemiliknya. Tidak demikian halnya dengan laqīṭ, karena bisa jadi ia adalah orang merdeka dan tidak memiliki pemilik.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا قِيلَ لِلثَّانِي إِنْ أَقَمْتَ الْبَيِّنَةَ عَلَى رِقِّهِ حُكِمَ لَكَ بِهِ لِأَنَّ الْبَيِّنَةَ تُوجِبُ رِقَّهُ وَإِنْ كَانَ معترفا بالحرية فكانت إثبات رِقِّهِ فِي هَذِهِ الْحَالِ أَوْلَى.

Jika telah jelas apa yang kami jelaskan, maka dikatakan kepada orang kedua: Jika engkau mendatangkan bayyinah atas perbudakannya, maka diputuskan untukmu, karena bayyinah menetapkan perbudakannya, meskipun ia mengakui kemerdekaan, sehingga penetapan perbudakannya dalam keadaan ini lebih utama.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ أَنَّ لَقِيطًا أَقَرَّ بِالْبُنُوَّةِ لِرَجُلٍ ثُمَّ أَقَرَّ بِالرِّقِّ بَعْدَهُ لِآخَرَ قَبْلِنَا إِقْرَارَهُ لَهُمَا بِالْبُنُوَّةِ وَالرِّقِّ لِأَنَّهُ لَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ يَكُونَ ابْنًا لزيد وعبدا لعمر وَلَوِ ابْتَدَأَ فَأَقَرَّ بِالرِّقِّ لِرَجُلٍ ثُمَّ أَقَرَّ بَعْدَهُ بِالْبُنُوَّةِ لِآخَرَ نَفَذَ إِقْرَارُهُ بِالرِّقِّ الْمُتَقَدِّمِ فلم يَنْفَذْ إِقْرَارُهُ بِالْبُنُوَّةِ الْمُتَأَخِّرَةِ لِأَنَّ الْعَبْدَ لَا يُقْبَلُ إِقْرَارُهُ بِأَبٍ إِلَّا بِتَصْدِيقِ السَّيِّدِ لِمَا فِيهِ مِنْ إِبْطَالِ الْإِرْثِ بِالْوَلَاءِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِذَا قُدِّمَ الْإِقْرَارُ بِالْأَبِ ثُمَّ أَقَرَّ بَعْدَهُ بِالرِّقِّ.

Jika seorang laqīṭ mengakui sebagai anak dari seorang laki-laki, kemudian setelah itu ia mengakui dirinya sebagai budak bagi orang lain, maka kami menerima pengakuannya kepada keduanya, baik sebagai anak maupun sebagai budak. Sebab, tidak mustahil seseorang menjadi anak Zaid dan sekaligus budak ‘Amr. Namun, jika ia mula-mula mengakui dirinya sebagai budak bagi seseorang, lalu setelah itu mengakui sebagai anak dari orang lain, maka pengakuan pertamanya sebagai budak berlaku, dan pengakuan keduanya sebagai anak tidak berlaku. Sebab, seorang budak tidak diterima pengakuannya terhadap seorang ayah kecuali jika disetujui oleh tuannya, karena hal itu mengakibatkan pembatalan hak waris melalui wala’. Tidak demikian halnya jika pengakuan sebagai anak didahulukan, lalu setelah itu ia mengakui sebagai budak.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا تَنَازَعَ الرَّجُلَانِ طِفْلًا وَادَّعَاهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ابْنًا ثُمَّ سَلَّمَهُ أَحَدُهُمَا إِلَى الْآخَرِ وَاعْتَرَفَ لَهُ بِأُبُوَّتِهِ فَإِنْ كَانَ تَنَازُعُهُمَا فِي نَسَبِهِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الْفِرَاشِ لَمْ يُقْبَلْ تَسْلِيمُهُ إِلَيْهِ وَإِنْ كَانَ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الْتِقَاطِهِ قُبِلَ وَصَارَ ابْنًا لِمَنْ سُلِّمَ إِلَيْهِ دُونَ مَنْ سَلَّمَهُ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْحَادِثَ عَنِ الْفِرَاشِ مُلْحَقٌ بِغَيْرِ دَعْوَى وَاللَّقِيطُ لَا يُلْحَقُ إِلَّا بِالدَّعْوَى فَلَوْ رَجَعَ مَنْ سَلَّمَ إِلَيْهِ وَجَعَلَهُ ابْنًا لَهُ وَسَلَّمَهُ إِلَى غَيْرِهِ وَاعْتَرَفَ لَهُ بِأُبُوَّتِهِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ قَدْ حَكَمَ لَهُ بَعْدَ التَّسْلِيمِ بِأُبُوَّتِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَدْفَعَهُ عَنْ نَفْسِهِ وَلَا أَنْ يَنْفِيَهُ بِاللِّعَانِ لِاعْتِرَافِهِ بِهِ وَهَكَذَا لَوْ تَفَرَّدَ رَجُلٌ بِالْتِقَاطِهِ وَادَّعَى بُنُوَّتَهُ ثُمَّ سَلَّمَهُ بَعْدَ ادِّعَاءِ الْبُنُوَّةِ إِلَى غَيْرِهِ وَلَدًا لَمْ يَجُزْ وَصَارَ لَازِمًا لِلْأَوَّلِ لِإِلْحَاقِهِ بِهِ فَلَوْ تَنَازَعَ نَسَبَهُ رَجُلَانِ ثُمَّ تَرَكَاهُ مَعًا رَاجِعَيْنِ عَنِ ادِّعَاءِ نَسَبِهِ لَمْ يَجُزْ وَأَرَيْنَا فِيمَا رَأَيَاهُ لِلْقَافَةِ وَأَلْحَقْنَاهُ بِمَنْ أَلْحَقُوهُ بِهِ وَلَوْ سَلَّمَهُ الْمُتَنَازِعَانِ إِلَى ثَالِثٍ اسْتُحْدِثَ دَعْوَى نَسَبِهِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُمَا بِالتَّنَازُعِ الْأَوَّلِ قَدِ اتَّفَقَا عَلَى أَنَّ نَسَبَهُ لَا يَخْرُجُ عَنْهُمَا ثُمَّ يُنْظَرُ فِي الثَّالِثِ فَإِنْ أَلْحَقَتْهُ الْقَافَةُ بِهِ صَارَ بِإِلْحَاقِ القافة لاحقا به لا بالتسليم وإن تفوه عَنْهُ وَجَبَ إِلْحَاقُهُ بِأَحَدِ الْأَوَّلَيْنِ إِمَّا بِالْقَافَةِ أو بالتسليم والله أعلم.

Apabila dua orang laki-laki berselisih mengenai seorang anak kecil dan masing-masing mengakuinya sebagai anak, lalu salah satu dari keduanya menyerahkan anak itu kepada yang lain dan mengakui bahwa yang lain adalah ayahnya, maka jika perselisihan mereka terkait nasab anak itu karena keduanya sama-sama berhak atas ranjang (istri), penyerahan anak itu tidak diterima. Namun, jika perselisihan mereka karena keduanya sama-sama menemukan anak itu (laqīṭ), maka penyerahan itu diterima dan anak itu menjadi anak bagi orang yang diserahi, bukan bagi yang menyerahkan. Perbedaannya, anak yang lahir dari ranjang dinisbatkan tanpa perlu pengakuan, sedangkan laqīṭ tidak dinisbatkan kecuali dengan pengakuan. Jika orang yang telah menyerahkan anak itu kemudian menarik kembali dan mengakuinya sebagai anak, lalu menyerahkannya lagi kepada orang lain dan mengakui orang itu sebagai ayahnya, hal itu tidak diperbolehkan. Sebab, setelah penyerahan, ia telah menetapkan anak itu sebagai anaknya, sehingga tidak boleh lagi menolaknya atau menafikannya dengan li‘ān karena telah mengakuinya. Demikian pula, jika seseorang sendirian menemukan laqīṭ dan mengakuinya sebagai anak, lalu setelah itu menyerahkannya kepada orang lain sebagai anak, hal itu tidak diperbolehkan dan anak itu tetap menjadi anak yang pertama karena telah dinisbatkan kepadanya. Jika dua orang berselisih mengenai nasab anak itu, lalu keduanya sama-sama meninggalkannya dan menarik pengakuan nasab, maka hal itu tidak diperbolehkan. Kami akan melihat pendapat ahli qāfah (ilmu pencocokan fisik) dan menisbatkannya kepada orang yang ditetapkan oleh ahli qāfah. Jika kedua orang yang berselisih menyerahkan anak itu kepada orang ketiga dan muncul pengakuan baru atas nasabnya, maka hal itu tidak diperbolehkan. Sebab, dengan perselisihan pertama, keduanya telah sepakat bahwa nasab anak itu tidak keluar dari mereka berdua. Kemudian, dilihat pada orang ketiga: jika ahli qāfah menisbatkannya kepadanya, maka penetapan nasab itu berdasarkan keputusan ahli qāfah, bukan karena penyerahan. Jika tidak, maka wajib dinisbatkan kepada salah satu dari dua orang pertama, baik dengan keputusan ahli qāfah maupun dengan penyerahan. Allah Maha Mengetahui.

Kitab al-Farā’iḍ (Kitab Warisan)

حقيق بمن علم أن الدنيا منقرضة، وأن الرزايا قبل الغايات معترضة، وأن المال متروك لوارث، أو مصاب بحادث، أن يكون زهده فيه أقوى من رغبته، وتركه له أكثر من طلبته، فإن النجاة منها فوز، والاسترسال فيها عجز، أعاننا الله على العمل بما نقول، ووفقنا لحسن القبول إن شاء الله.

Selayaknya bagi orang yang mengetahui bahwa dunia pasti akan berakhir, bahwa berbagai musibah akan menghadang sebelum sampai pada tujuan, dan bahwa harta akan ditinggalkan untuk ahli waris atau musnah karena suatu peristiwa, hendaknya kezuhudannya terhadap dunia lebih kuat daripada keinginannya, dan sikap meninggalkannya lebih banyak daripada upayanya untuk mendapatkannya. Sebab, selamat darinya adalah kemenangan, sedangkan larut di dalamnya adalah kelemahan. Semoga Allah menolong kita untuk mengamalkan apa yang kita ucapkan, dan memberi taufik kepada kita untuk menerima dengan baik, insya Allah.

وَلَمَّا عَلِمَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ صَلَاحَ عِبَادِهِ فِيمَا اقْتَنَوْهُ مَعَ مَا جُبِلُوا عَلَيْهِ مِنَ الضَّنِّ بِهِ وَالْأَسَفِ عَلَيْهِ أَنْ يَكُونَ مَصْرِفَهُ بَعْدَهُمْ مَعْرُوفًا، وَقَسْمَهُ مُقَدَّرًا مَفْرُوضًا؛ لِيَقْطَعَ بَيْنَهُمُ التَّنَازُعَ وَالِاخْتِلَافَ، وَيَدُومَ لَهُمُ التَّوَاصُلُ وَالِائْتِلَافُ، جَعْلَهُ لِمَنْ تَمَاسَّتْ أَنْسَابهُمْ وَتَوَاصَلَتْ أَسْبَابُهُمْ لِفَضْلِ الْحُنُوِّ عَلَيْهِمْ، وَشِدَّةِ الْمَيْلِ إِلَيْهِمْ، حَتَّى يَقِلَّ عَلَيْهِ الْأَسَفُ، وَيَسْتَقِلَّ بِهِ الْخَلَفُ، فَسُبْحَانَ مَنْ قدر وهدى، وَدَبَّرَ فَأَحْكَمَ، وَقَدْ كَانَتْ كُلُّ أُمَّةٍ تَجْرِي مِنْ ذَلِكَ عَلَى عَادَتِهَا، وَكَانَتِ الْعَرَبُ فِي جَاهِلِيَّتِهَا يَتَوَارَثُونَ بِالْحِلْفِ وَالتَّنَاصُرِ كَمَا يَتَوَارَثُونَ بِالْأَنْسَابِ؛ طَلَبًا لِلتَّوَاصُلِ بِهِ، فَإِذَا تَحَالَفَ الرَّجُلَانِ مِنْهُمْ قَالَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِصَاحِبِهِ فِي عَقْدِ حِلْفِهِ هَدْمِي هَدْمُكَ، وَدَمِي دَمُكَ، وَسِلْمِي سِلْمُكَ، وحربي حربك، وتنصرني وأنصرك. فَإِذَا مَاتَ أَحَدُهُمَا وِرِثَهُ الْآخَرُ، فَأَدْرَكَ الْإِسْلَامَ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ فَرَوَى جُبَيْرُ بْنُ مُطْعِمٍ قَالَ: قال الرسول – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لا حلفا في الإسلام وإنما حِلْفٍ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَمْ يَزِدْهُ الْإِسْلَامُ إلا شدة “، فجعل الحلف فِي صَدْرِ الْإِسْلَامِ بِمَنْزِلَةِ الْأَخِ لِلْأُمِّ فَأعطى السدس، ونزل فيه مَا حَكَاهُ أَكْثَرُ أَهْلِ التَّفْسِيرِ فِي قَوْله تَعَالَى: {وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ} [النساء: 33] ثم نسخ ذلك بقوله عز وجل: {وأولوا الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إن الله بكل شيء عليم} [الأحزاب: 6] .

Dan ketika Allah ‘Azza wa Jalla mengetahui bahwa kebaikan bagi hamba-hamba-Nya dalam harta yang mereka miliki, dengan tabiat mereka yang cenderung kikir dan bersedih atas kehilangannya, adalah jika penyalurannya setelah mereka wafat telah diketahui, pembagiannya telah ditentukan dan diwajibkan, agar terputus perselisihan dan perbedaan di antara mereka, serta tetap terjaga hubungan dan persatuan di antara mereka, maka Allah menjadikan warisan itu untuk orang-orang yang memiliki hubungan nasab dan sebab-sebab kekerabatan, karena keutamaan kasih sayang terhadap mereka dan kuatnya kecenderungan kepada mereka, sehingga kesedihan atas harta itu menjadi berkurang, dan generasi penerus dapat berdiri sendiri dengannya. Maha Suci Allah yang telah menetapkan dan memberi petunjuk, mengatur dan menyempurnakan. Setiap umat dahulu berjalan sesuai kebiasaannya dalam hal ini. Orang-orang Arab di masa jahiliah mewariskan harta melalui perjanjian dan saling menolong, sebagaimana mereka mewariskan melalui nasab, demi menjaga hubungan tersebut. Jika dua orang dari mereka saling bersekutu, masing-masing berkata kepada yang lain dalam akad perjanjiannya: “Kehancuranku adalah kehancuranmu, darahku adalah darahmu, perdamaianmu adalah perdamaianku, peperanganmu adalah peperanganku, engkau menolongku dan aku menolongmu.” Jika salah satu dari mereka meninggal, yang lain mewarisinya. Sebagian dari mereka mendapati Islam, lalu Jubair bin Muth’im meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada persekutuan dalam Islam, kecuali persekutuan yang ada di masa jahiliah, yang tidak ditambah oleh Islam kecuali semakin kuat.” Maka persekutuan pada awal Islam diposisikan seperti saudara seibu, sehingga diberi bagian seperenam, dan turun ayat tentang hal itu sebagaimana diriwayatkan oleh mayoritas ahli tafsir dalam firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang telah kamu ikat sumpah dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya} [an-Nisā’: 33]. Kemudian hal itu dihapus dengan firman-Nya ‘Azza wa Jalla: {Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewaris) dalam Kitab Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu} [al-Ahzāb: 6].

فَصْلٌ:

Fasal:

وَكَانُوا فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَا يُوَرِّثُونَ النِّسَاءَ والأطفال، ولا يعطون المال إلا لمن حما وَغَزَا فَرَوَى ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ أم كجة وبنت كجة وَثَعْلَبَةَ وَأَوْسَ بْنَ سُوَيْدٍ وَهُمْ مِنَ الْأَنْصَارِ، وَكَانَ أَحَدُهُمَا زَوْجَهَا وَالْآخَرُ عَمَّ وَلَدِهَا، فَمَاتَ زوجها فقالت أم كجة: يا رسول الله توفي زوجي وتركني وبنيه فَلَمْ نُوَرَّثْ فَقَالَ عَمُّ وَلَدِهَا يَا رَسُولَ الله إن ولدها لا يركب فرسا ولا يحمل كلا ولا ينكأ عَدُوًّا يَكْسِبُ عَلَيْهَا وَلَا تَكْتَسِبُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا} [النساء: 7] .

Dan pada masa jahiliah, mereka tidak mewariskan kepada perempuan dan anak-anak, dan tidak memberikan harta kecuali kepada orang yang melindungi dan berperang. Ibnu Juraij meriwayatkan dari ‘Ikrimah bahwa Ummu Kujjah, putri Kujjah, Tsa‘labah, dan Aus bin Suwaid—mereka dari kalangan Anshar, salah satunya adalah suaminya dan yang lain adalah paman anaknya—ketika suaminya meninggal, Ummu Kujjah berkata: “Wahai Rasulullah, suamiku wafat dan meninggalkan aku dan anak-anaknya, namun kami tidak mendapatkan warisan.” Maka paman anaknya berkata: “Wahai Rasulullah, anak-anaknya tidak bisa menunggang kuda, tidak bisa memikul beban, tidak bisa melukai musuh, tidak bisa mencari nafkah untuknya, dan ia pun tidak bisa mencari nafkah.” Maka Allah Ta‘ala menurunkan firman-Nya: {Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat, dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat, baik sedikit maupun banyak, sebagai bagian yang telah ditetapkan} [an-Nisā’: 7].

وَاخْتَلَفَ أَهْلُ التَّفْسِيرِ فِي قَوْله تَعَالَى: {لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ} [النساء: 32] على قولين:

Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai firman Allah Ta‘ala: {Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan} [an-Nisā’: 32] menjadi dua pendapat:

أحدهما: يعني: للرجال نصيب مِمَّا اكْتَسَبُوا مِنْ مِيرَاثِ مَوْتَاهُمْ، وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ منه؛ لأن الجاهلية لم يكونوا يورثوا النِّسَاءَ، وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ.

Pendapat pertama: Maksudnya, bagi laki-laki ada bagian dari warisan yang mereka peroleh dari orang yang meninggal dunia, dan bagi perempuan juga ada bagian darinya; karena pada masa jahiliah mereka tidak mewariskan kepada perempuan. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas.

وَالثَّانِي: لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِنَ الثَّوَابِ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ وَالْعِقَابِ على معصية اللَّهِ، وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِثْل ذَلِكَ فِي أَنَّ لِلْمَرْأَةِ بِالْحَسَنَةِ عَشْرُ أَمْثَالِهَا، وَلَا تجْزي بِالسَّيِّئَةِ إِلَّا مِثْلَهَا كَالرَّجُلِ وَهَذَا قَوْلُ قَتَادَةَ.

Pendapat kedua: Bagi laki-laki ada bagian dari pahala atas ketaatan kepada Allah dan hukuman atas maksiat kepada Allah, dan bagi perempuan juga ada bagian yang sama, yaitu bagi perempuan dengan satu kebaikan mendapat sepuluh kali lipatnya, dan tidak dibalas dengan satu keburukan kecuali sepadan, sebagaimana laki-laki. Ini adalah pendapat Qatadah.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ قَبْلَ الْهِجْرَةِ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَسَّمَ مَالَهُ بَيْنَ أَهْلِهِ وَأَقَارِبِهِ وَمَنْ حَضَرَهُ مِنْ غَيْرِهِمْ كَيْفَ شَاءَ وَأَحَبَّ، مِيرَاثًا وَوَصِيَّةً، وَفِيهِ نَزَلَ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ} [البقرة: 180] ، وَاخْتَلَفَ أَهْلُ التَّفْسِيرِ فِي قَوْله تعالى: {آت ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ} [الإسراء: 26] عَلَى قَوْلَيْنِ:

Dan kaum Muslimin sebelum hijrah, apabila salah seorang dari mereka menghadapi kematian, ia membagi hartanya kepada keluarga dan kerabatnya serta siapa saja yang hadir di sisinya, sesuai kehendak dan keinginannya, baik sebagai warisan maupun wasiat. Tentang hal ini turun firman Allah Ta‘ala: {Diwajibkan atas kamu, apabila kematian mendatangi salah seorang di antara kamu, jika ia meninggalkan kebaikan (harta), (agar) berwasiat kepada kedua orang tua dan kerabat dengan cara yang baik, sebagai kewajiban atas orang-orang yang bertakwa} [al-Baqarah: 180]. Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai firman Allah Ta‘ala: {Berikanlah kepada kerabat haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan} [al-Isrā’: 26] menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُمْ قَرَابَةُ الْمَيِّتِ مِنْ قِبَلِ أَبِيهِ وَمِنْ قِبَلِ أُمِّهِ فِيمَا يُعْطِيهِمْ مِنْ مِيرَاثِهِ، وَالْمِسْكِينُ وَابْنُ السَّبِيلِ فِيمَا يُعْطِيهِمْ من وصيته، وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ.

Pertama: Bahwa mereka adalah kerabat mayit dari pihak ayah dan dari pihak ibu dalam hal warisan yang diberikan kepada mereka, sedangkan miskin dan ibnu sabil dalam hal wasiat yang diberikan kepada mereka. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas.

وَالثَّانِي: إنَّهُمْ قَرَابَةُ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهَذَا قَوْلُ عَلِيِّ بْنِ الْحَسَنِ وَالسُّدِّيِّ، ثُمَّ تَوَارَثَ الْمُسْلِمُونَ بَعْدَ الْهِجْرَةِ بِالْإِسْلَامِ وَالْهِجْرَةِ، فَكَانَ إِذَا تَرَكَ الْمُهَاجِرُ أَخَوَيْنِ أَحَدُهُمَا مُهَاجِرٌ وَالْآخَرُ غَيْرُ مُهَاجِرٍ كَانَ مِيرَاثُهُ لِلْمُهَاجِرِ دُونَ مَنْ لَمْ يُهَاجِرْ، وَلَوْ تَرَكَ عَمًّا مُهَاجِرًا وَأَخًا غَيْرَ مُهَاجِرٍ كَانَ مِيرَاثُهُ لِلْعَمِّ دُونَ الْأَخِ.

Kedua: Bahwa mereka adalah kerabat Rasulullah ﷺ. Ini adalah pendapat ‘Ali bin al-Hasan dan as-Suddi. Kemudian kaum Muslimin setelah hijrah saling mewarisi berdasarkan Islam dan hijrah. Maka apabila seorang muhajir meninggalkan dua saudara, salah satunya muhajir dan yang lainnya bukan muhajir, maka warisannya diberikan kepada yang muhajir, bukan kepada yang tidak berhijrah. Dan jika ia meninggalkan seorang paman yang muhajir dan seorang saudara yang bukan muhajir, maka warisannya diberikan kepada pamannya, bukan kepada saudaranya.

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: وَفِي ذَلِكَ نَزَلَ قَوْله تَعَالَى: {إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا} [الأنفال: 72] . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: ثُمَّ أَكَّدَ اللَّهُ تَعَالَى ذَلِكَ بِقَوْلِهِ: {إِلا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ} [الأنفال: 73] يعني: أن لا تَتَوَارَثُوا بِالْإِسْلَامِ وَالْهِجْرَةِ فَكَانُوا عَلَى ذَلِكَ حَتَّى نسخ ذلك بقوله تعالى: {وأولوا الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا} [الأحزاب: 6] يَعْنِي: الْوَصِيَّةَ لِمَنْ لَمْ يرث {كان ذلك في الكتاب مسطورا} [الأحزاب: 6] وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:

Ibnu ‘Abbas berkata: Dalam hal itu turun firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat tinggal serta menolong (mereka), mereka itu saling melindungi satu sama lain. Dan orang-orang yang beriman tetapi tidak berhijrah, kalian tidak mempunyai kewalian apa pun terhadap mereka sampai mereka berhijrah} [al-Anfal: 72]. Ibnu ‘Abbas berkata: Kemudian Allah Ta‘ala menegaskan hal itu dengan firman-Nya: {Jika kalian tidak melakukannya, niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar} [al-Anfal: 73], maksudnya: jika kalian tidak saling mewarisi berdasarkan Islam dan hijrah. Maka mereka tetap seperti itu hingga hal itu di-nasakh dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan para pemilik hubungan rahim sebagian mereka lebih berhak terhadap yang lain dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan para muhajirin, kecuali jika kalian berbuat baik kepada wali-wali kalian} [al-Ahzab: 6], maksudnya: wasiat bagi orang yang tidak mendapat warisan. {Itu telah tertulis dalam Kitab} [al-Ahzab: 6]. Dalam hal ini ada dua tafsiran:

أَحَدُهُمَا: كَانَ تَوَارُثُكُمْ بِالْهِجْرَةِ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا.

Pertama: Bahwa pewarisan kalian berdasarkan hijrah telah tertulis dalam Kitab.

وَالثَّانِي: كَانَ نَسْخُهُ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا.

Kedua: Bahwa penghapusannya telah tertulis dalam Kitab.

فَصْلٌ:

Fasal:

ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى فَرَضَ المواريث وقدرها بين الْمُسْتَحِقِّينَ لَهَا فِي ثَلَاثِ آيٍ مِنْ سُورَةِ النِّسَاءِ، نَسَخَ بِهِنَّ جَمِيعَ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْمَوَارِيثِ، فَرَوَى دَاوُدُ بْنُ قَيْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ عن جابر بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ امْرَأَةَ سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ: إِنَّ سَعْدًا هَلَكَ وَتَرَكَ بِنْتَيْنِ وَقَدْ أَخَذَ عَمُّهُمَا مَالَهُمَا فَلَمْ يَدَعْ لَهُمَا مَالًا إِلَّا أَخَذَهُ، فَمَا ترى يا رسول الله؟ فوالله لا يَنْكِحَانِ أَبَدًا إِلَّا وَلَهُمَا مَالٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” يَقْضِي اللَّهُ فِي ذَلِكَ ” فَنَزَلَتْ سُورَةُ النِّسَاءِ: {يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ} [النساء: 11] الْآيَةِ. فَقَالَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ادعوا إلي الْمَرْأَةَ وَصَاحِبَهَا فَقَالَ لِلْعَمِّ: ” أعْطِهِمَا الثُّلْثَيْنِ وَأَعْطِ أُمَّهُمَا الثُّمُنَ وَمَا بَقِيَ فَلَكَ “. وَرَوَى ابْنُ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: مَرِضْتُ فَأَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَعُودُنِي هُوَ وَأَبُو بَكْرٍ مَاشِيَيْنِ وَقَدْ أُغْمِيَ عَلَيَّ فَلَمْ أُكَلِّمْهُ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَبَّهُ عَلَيَّ فَأَفَقْتُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ أَصْنَعُ فِي مَالِي وَلِي أَخَوَاتٌ قَالَ فَنَزَلَتْ: {يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ} [النساء: 176] إِلَى آخر السورة وقال ابْنُ سِيرِينَ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهُوَ يَسِيرُ وَإِلَى جَنْبِهِ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ فَبَلَغَهَا رَسُول اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حُذَيْفَة، وَبَلَغَهَا حُذَيْفَةُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَهُوَ يَسِيرُ خَلْفَهُ فَبَيَّنَ اللَّهُ تَعَالَى فِي هَذِهِ الْآيِ الثَّلَاثِ مَا كَانَ مرسلا، وفسر فبين مَا كَانَ مُجْمَلًا، وَقَدَّرَتِ الْفُرُوضُ مَا كَانَ مُبْهَمًا، ثُمَّ بَيَّنَ بِسُنَّتِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا احْتِيجَ إِلَى بَيَانِهِ، ثُمَّ قَالَ بَعْدَ ذلك ” إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهِ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ “، رَوَاهُ شُرَحْبِيل بن مسلم عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، ثُمَّ دَعَا إِلَى عِلْمِ الْفَرَائِضِ وَحَثَّ عَلَيْهِ؛ لأنهم كانوا على قرب عهد بغيره، ولأن لا يقطعهم عنه التَّشَاغُلُ بِعِلْمِ مَا هُوَ أَعَمُّ مِنْ عِبَادَاتِهِمُ الْمُتَرَادِفَةِ أَوْ مُعَامَلَاتِهِمُ الْمُتَّصِلَةِ فَيَؤولُ ذَلِكَ إِلَى انْقِرَاضِ الْفَرَائِضِ، فَرَوَى أَبُو الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ فَإِنَّهَا مِنْ دِينِكُمْ وَإِنَهُ نِصْفُ الْعِلْمِ وَإِنَّهُ أَوَّلُ مَا يُنْتَزَعُ مِنْ أُمَّتِي، وَإِنَّهُ يُنْسَى “. وَرَوَى أَبُو الْأَحْوَصِ عنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهَا النَّاسَ فَإِنِّي امْرُؤٌ مَقْبُوضٌ وَإِنَّ الْعِلْمَ سَيُقْبَضُ حَتَّى يَخْتَلِفَ الرَّجُلَانِ فِي الْفَرِيضَةِ لَا يَجِدَانِ مَنْ يُخْبِرُهُمَا بِهِ ” وَرَوَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ رَافِعٍ التَّنُوخِيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْعِلْمُ ثَلَاثَةٌ وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ فضل آية محكمة أو سنة ماضية وفريضة عادلة “.

Kemudian, Allah Ta‘ala telah mewajibkan pembagian warisan dan menetapkan kadarnya di antara para ahli waris dalam tiga ayat dari Surah an-Nisā’, yang dengan ayat-ayat itu Dia telah menghapus seluruh ketentuan warisan sebelumnya. Diriwayatkan oleh Dāwud bin Qais dari ‘Abdullāh bin Muhammad bin ‘Aqīl dari Jābir bin ‘Abdullāh bahwa istri Sa‘d bin ar-Rabī‘ berkata: “Wahai Rasulullah, Sa‘d telah wafat dan meninggalkan dua orang putri, dan paman mereka telah mengambil harta mereka, tidak menyisakan sedikit pun kecuali diambilnya. Maka bagaimana pendapatmu, wahai Rasulullah? Demi Allah, mereka tidak akan menikah selamanya kecuali mereka memiliki harta.” Maka Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Allah akan memutuskan perkara itu.” Lalu turunlah Surah an-Nisā’: {Allah mewasiatkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu} [an-Nisā’: 11] dan seterusnya. Maka Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Panggillah wanita itu dan walinya.” Lalu beliau berkata kepada sang paman: “Berikan kepada keduanya dua pertiga, dan berikan kepada ibu mereka seperdelapan, dan sisanya untukmu.”

Dan diriwayatkan oleh Ibn al-Munkadir dari Jābir bin ‘Abdullāh, ia berkata: “Aku sakit, lalu Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- datang menjengukku bersama Abū Bakr dengan berjalan kaki, dan aku dalam keadaan pingsan sehingga tidak bisa berbicara dengannya. Lalu beliau berwudu dan menuangkan airnya kepadaku, maka aku pun sadar. Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana aku harus berbuat terhadap hartaku, sementara aku memiliki saudari-saudari perempuan?’ Maka turunlah ayat: {Mereka meminta fatwa kepadamu. Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalālah} [an-Nisā’: 176] hingga akhir surah.” Ibn Sīrīn berkata: “Ayat ini turun kepada Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- ketika beliau sedang berjalan dan di sampingnya ada Hudzaifah bin al-Yamān. Maka Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- menyampaikannya kepada Hudzaifah, dan Hudzaifah menyampaikannya kepada ‘Umar bin al-Khattāb ra. yang berjalan di belakangnya.”

Maka Allah Ta‘ala dalam tiga ayat ini telah menjelaskan apa yang sebelumnya masih mursal (umum), menafsirkan dan menerangkan apa yang masih mujmal (global), dan menetapkan bagian-bagian yang sebelumnya masih samar. Kemudian, dengan sunnahnya -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, beliau menjelaskan apa yang membutuhkan penjelasan. Setelah itu beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ala telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” Diriwayatkan oleh Syarahbīl bin Muslim dari Abū Umāmah dari Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-.

Kemudian beliau menyeru untuk mempelajari ilmu faraidh dan menganjurkannya, karena mereka masih dekat dengan masa sebelum adanya ketentuan ini, dan agar mereka tidak terputus dari ilmu tersebut karena kesibukan dengan ilmu lain yang lebih umum, baik dari ibadah-ibadah mereka yang berulang maupun mu‘āmalah-mu‘āmalah mereka yang terus-menerus, sehingga hal itu dapat menyebabkan punahnya ilmu faraidh. Diriwayatkan oleh Abū az-Zinād dari al-A‘raj dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Pelajarilah ilmu faraidh, karena ia bagian dari agamamu, ia adalah setengah dari ilmu, dan ia adalah ilmu yang pertama kali akan dicabut dari umatku, dan ia akan dilupakan.”

Diriwayatkan oleh Abū al-Ahwash dari ‘Abdullāh bin Mas‘ūd, ia berkata: Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena aku adalah orang yang akan diwafatkan, dan ilmu itu akan dicabut, hingga dua orang akan berselisih dalam masalah warisan dan tidak menemukan seorang pun yang dapat memberitahukan kepada mereka.”

Diriwayatkan oleh ‘Abdurrahmān bin Rāfi‘ at-Tanūkhī dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āsh bahwa Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Ilmu itu ada tiga: ayat muhkamah, sunnah yang tetap, dan faraidh yang adil. Selain itu hanyalah keutamaan (tambahan).”

وقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَفْرَضُكُمْ زَيْدٌ ” فَاخْتَلَفَ النَّاسُ فِي تَأْوِيلِهِ عَلَى أَقَاوِيلَ:

Dan beliau -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Orang yang paling paham tentang faraidh di antara kalian adalah Zaid.” Maka para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan sabda ini menjadi beberapa pendapat.

أَحَدُهَا: إنَّهُ قَالَ ذَلِكَ حَثًّا لِجَمَاعَتِهِمْ عَلَى مُنَاقَشَتِهِ وَالرَّغْبَةِ فِيهِ كَرَغْبَتِهِ؛ لِأَنَّ زَيْدًا كان منقطعا إلى الْفَرَائِضِ بِخِلَافِ غَيْرِهِ.

Salah satunya: Sesungguhnya beliau mengatakan hal itu untuk mendorong kelompok mereka agar mendiskusikannya dan bersemangat terhadapnya sebagaimana semangat beliau; karena Zaid memang mengkhususkan diri dalam ilmu faraidh, berbeda dengan yang lainnya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَالَ لَهُ ذَلِكَ تَشْرِيفًا وَإِنْ شَارَكَهُ غَيْرُهُ فِيهِ كَمَا قَالَ أَقْرَؤُكُمْ أُبَيٌّ، وَأَعْرَفُكُمْ بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذٌ، وَأَصْدَقُكُمْ لَهْجَةً أَبُو ذَرٍّ، وَأَقْضَاكُمْ عَلِيٌّ وَمَعْلُومٌ أَنَّ أَعْرَفَ النَّاسِ هُوَ أَعْرَفُهُمْ بِالْفَرَائِضِ وَبِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ جُمْلَةِ الْقَضَاءِ.

Yang kedua: Sesungguhnya beliau mengatakan hal itu sebagai bentuk pemuliaan, meskipun ada selainnya yang juga memiliki keahlian tersebut, sebagaimana sabda beliau: “Yang paling mahir membaca Al-Qur’an di antara kalian adalah Ubay, yang paling mengetahui halal dan haram adalah Mu’adz, yang paling jujur lisannya adalah Abu Dzar, dan yang paling ahli dalam hukum adalah Ali.” Padahal diketahui bahwa orang yang paling mengetahui adalah yang paling paham tentang faraidh dan halal-haram, karena hal itu termasuk bagian dari hukum.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ أَشَارَ بِذَلِكَ إِلَى جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ كان أفرضهم زيد، وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ عَلَى عُمُومِ جَمَاعَتِهِمْ لَمَا اسْتَجَازَ أَحَدٌ مِنْهُمْ مُخَالَفَتَهُ.

Yang ketiga: Sesungguhnya beliau dengan ucapan itu menunjuk kepada sekelompok sahabat yang paling ahli di antara mereka dalam ilmu faraidh adalah Zaid. Seandainya hal itu berlaku untuk seluruh kelompok mereka, tentu tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani menyelisihinya.

وَالرَّابِعُ: أَنَّهُ أَرَادَ بذلك أنه أشد منهم عِنَايَةً بِهِ، وَحِرْصًا عَلَيْهِ، وَسُؤَالًا عَنْهُ.

Yang keempat: Maksud beliau dengan itu adalah bahwa Zaid lebih perhatian, lebih antusias, dan lebih sering bertanya tentangnya dibandingkan yang lain.

وَالْخَامِسُ: أَنَّهُ قَالَ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ كَانَ أَصَحَّهُمْ حِسَابًا، وَأَسْرَعَهُمْ جَوَابًا، وَلِأَجْلِ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ هَذِهِ المعاني أَخَذَ الشَّافِعِيُّ فِي الْفَرَائِضِ بِقَوْلِ زَيْدٍ.

Yang kelima: Beliau mengatakan demikian karena Zaid adalah yang paling tepat perhitungannya, paling cepat jawabannya, dan karena alasan-alasan yang telah kami sebutkan dari makna-makna ini, maka Imam Syafi’i dalam masalah faraidh mengambil pendapat Zaid.

فَصْلٌ: إذا وضح مَا ذَكَرْنَا فَالْمِيرَاثُ مُسْتَحَقٌّ بِنَسَبٍ وَسَبَبٍ، فَالنَّسَبُ الأبوة والبنوة وما تفرع عليهما، ولسبب نِكَاح وَوَلَاء.

Fashal: Jika telah jelas apa yang kami sebutkan, maka warisan itu berhak didapatkan karena nasab dan sebab. Nasab adalah ayah, anak, dan keturunan mereka, sedangkan sebab adalah karena pernikahan dan wala’.

وَالْوَارِثُونَ مِنَ الرِّجَالِ عَشَرَةٌ: الِابْنُ وَابْنُ الِابْنِ وَإِنْ سَفَلَ، وَالْأَبُ وَالْجَدُّ وَإِنْ عَلَا، وَالْأَخُ وَابْنُ الْأَخِ، وَالْعَمُّ وَابْنُ الْعَمِّ، وَالزَّوْجُ وَمَوْلَى النِّعْمَةِ، وَمَنْ لَا يَسْقُطُ مِنْهُمْ بحال ثلاثة: الابن والأب والزوج.

Ahli waris dari kalangan laki-laki ada sepuluh: anak laki-laki, cucu laki-laki (dari anak laki-laki) meskipun ke bawah, ayah, kakek (dari pihak ayah) meskipun ke atas, saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman, anak laki-laki dari paman, suami, dan maula ni‘mah. Dari mereka, yang tidak pernah gugur hak warisnya dalam keadaan apa pun ada tiga: anak laki-laki, ayah, dan suami.

والوارثات مِنَ النِّسَاءِ سَبْعٌ: الْبِنْتُ وَبِنْتُ الِابْنِ وَإِنْ سَفَلَتْ، وَالْأُمُّ وَالْجَدَّةُ وَإِنْ عَلَتْ، وَالْأُخْتُ وَالزَّوْجَةُ وَمَوْلَاةُ النِّعْمَةِ، وَمَنْ لَا يَسْقُطُ مِنْهُنَّ بِحَالٍ ثلاث: الْأُمُّ وَالْبِنْتُ وَالزَّوْجَةُ.

Ahli waris dari kalangan perempuan ada tujuh: anak perempuan, cucu perempuan (dari anak laki-laki) meskipun ke bawah, ibu, nenek (dari pihak ibu maupun ayah) meskipun ke atas, saudara perempuan, istri, dan maulah ni‘mah. Dari mereka, yang tidak pernah gugur hak warisnya dalam keadaan apa pun ada tiga: ibu, anak perempuan, dan istri.

وَأَمَّا مَنْ لَا يَرِثُ بِحَالٍ فَسَبْعَةٌ: الْعَبْدُ، وَالْمُدَبَّرُ، وَالْمُكَاتَبُ، وَأُمُّ الْوَلَدِ، وَقَاتِلُ الْعَمْدِ، وَالْمُرْتَدُّ، وَأَهْلُ مِلَّتَيْنِ وَسَنَذْكُرُ فِي نظم الكتاب ما يتعلق من خلاف وحكم.

Adapun yang sama sekali tidak mewarisi dalam keadaan apa pun ada tujuh: budak, mudabbar, mukatab, ummu walad, pembunuh dengan sengaja, murtad, dan orang yang berbeda agama. Kami akan sebutkan dalam susunan kitab ini hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan pendapat dan hukumnya.

فَصْلٌ:

Fashal:

وَالْوَرَثَةُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Para ahli waris terbagi menjadi empat golongan:

أَحَدُهَا: مَنْ يَأْخُذُ بِالتَّعْصِيبِ وَحْدَهُ فَلَا يَثْبُتُ لَهُمْ فَرْضٌ وَلَا يَتَقَدَّرُ لَهُمْ سَهْمٌ، وَهُمُ الْبَنُونَ وَبَنُوهُمْ، وَالْإِخْوَةُ وَبَنُوهُمْ، وَالْأَعْمَامُ وَبَنُوهُمْ، فَإِنِ انْفَرَدُوا بِالتَّرِكَةِ أخذوا جميعا، وَإِنْ شَارَكَهُمْ ذُو فَرْضٍ أَخَذُوا مَا بَقِيَ بَعْدَهُ، وَلَا تُعَوَّلُ فَرِيضَةٌ يَرِثُونَ فِيهَا.

Pertama: Mereka yang hanya mendapatkan warisan dengan ‘ashabah saja, sehingga tidak ditetapkan bagian tertentu untuk mereka dan tidak pula ditentukan jatah khusus, yaitu anak-anak laki-laki dan keturunannya, saudara-saudara laki-laki dan keturunannya, serta paman-paman dan keturunannya. Jika mereka sendirian dalam menerima warisan, maka mereka mengambil seluruhnya. Jika ada bersama mereka ahli waris yang memiliki bagian tertentu (dzawil furudh), maka mereka mengambil sisa setelahnya. Tidak terjadi ‘aul pada pembagian warisan yang hanya diwarisi oleh mereka.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَنْ يَأْخُذُ بِالْفَرْضِ وَحْدَهُ وَهُمْ خَمْسَةٌ: الزَّوْجُ وَالزَّوْجَةُ وَالْأُمُّ وَالْجَدَّةُ وَالْإِخْوَةُ لِلْأُمِّ.

Golongan kedua: Mereka yang hanya mendapatkan warisan dengan bagian tertentu (fardh) saja, yaitu lima: suami, istri, ibu, nenek, dan saudara-saudara seibu.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَنْ يَأْخُذُ بِالْفَرْضِ تَارَةً وَبِالتَّعْصِيبِ أُخْرَى وَهُمْ ثَلَاثَةُ أَصْنَافٍ: بَنَاتُ الصُّلْبِ، وَبَنَاتُ الِابْنِ، وَالْأَخَوَاتُ، يَأْخُذْنَ بِالْفَرْضِ إِذَا انْفَرَدْنَ وَبِالتَّعْصِيبِ إِذَا شَارَكَهُمُ الْإِخْوَةُ.

Golongan ketiga: Mereka yang kadang mendapatkan warisan dengan bagian tertentu (fardh) dan kadang dengan ‘ashabah, yaitu tiga kelompok: anak-anak perempuan kandung, cucu perempuan (dari anak laki-laki), dan saudara-saudara perempuan. Mereka mendapatkan bagian tertentu jika sendirian, dan dengan ‘ashabah jika bersama saudara laki-laki.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: مَنْ يَأْخُذُ بِالْفَرْضِ تَارَةً، وَبِالتَّعْصِيبِ تَارَةً أُخْرَى، وَبِهِمَا فِي الثَّالِثَةِ وَهُمُ الْآبَاءُ وَالْأَجْدَادُ يَأْخُذُونَ مَعَ ذُكُورِ الْأَوْلَادِ بِالْفَرْضِ، وَبِالتَّعْصِيبِ مَعَ عَدَمِهِمْ وَبِالْفَرْضِ وَالتَّعْصِيبِ مَعَ إِنَاثِهِمْ.

Golongan keempat: Mereka yang kadang mendapatkan warisan dengan bagian tertentu, kadang dengan ‘ashabah, dan kadang dengan keduanya sekaligus, yaitu ayah dan kakek. Mereka mendapatkan bagian tertentu bersama anak laki-laki, dengan ‘ashabah jika tidak ada anak laki-laki, dan dengan bagian tertentu serta ‘ashabah jika bersama anak perempuan.

فَصْلٌ:

Fashal:

أَرْبَعَةٌ مِنَ الذُّكُورِ يَعْصِبُونَ أَخَوَاتِهِمْ وَهُمُ الِابْنُ، وَابْنُ الِابْنِ، وَالْأَخُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، وَالْأَخُ لِلْأَبِ، وَأَرْبَعَةٌ يُسْقِطُونَ أخواتهم: ابْنُ الْأَخِ، وَالْعَمُّ، وَابْنُ الْعَمِّ، وَابْنُ الْمَوْلَى، وأربعة ذكور يرثون نساء لا يرثنهم بفرض ولا تعصيب: ابْنُ الْأَخِ يَرِثُ عَمَّتَهُ وَلَا تَرِثُهُ، وَالْعَمُّ يَرِثُ ابْنَةَ أَخِيهِ وَلَا تَرِثُهُ، وَابْنُ الْعَمِّ يَرِثُ بِنْتَ عَمِّهِ وَلَا تَرِثُهُ، وَالْمَوْلَى يَرِثُ عتيقه ولا يرثه، وامرأتان ترثان ذكران ولا يرثانهما بفرض ولا تعصيب: أم الابن تَرِثُ ابْنَ ابْنَتِهَا وَلَا يَرِثُهَا، وَالْمَوْلَاةُ تَرِثُ عَتِيقَهَا وَلَا يَرِثُهَا، وَالرَّجُلُ يَرِثُ مِنَ النِّسَاءِ وَمِنَ الرِّجَالِ تِسْعَةً؛ لِأَنَّ الزَّوْجَ لَا يَرِثُهُ رَجُلٌ وَالْمَرْأَةُ تَرِثُ مِنَ الرِّجَالِ عَشَرَةٌ وَمِنَ النساء ست؛ لِأَنَّ الزَّوْجَةَ لَا تَرِثُهَا امْرَأَةٌ.

Ada empat laki-laki yang menjadi ‘ashabah bagi saudari-saudari mereka, yaitu: anak laki-laki, cucu laki-laki (anak laki-laki dari anak laki-laki), saudara laki-laki seayah seibu, dan saudara laki-laki seayah. Dan ada empat laki-laki yang menggugurkan hak waris saudari-saudari mereka: anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman (saudara laki-laki ayah), anak laki-laki dari paman, dan anak laki-laki dari maula. Ada pula empat laki-laki yang mewarisi perempuan yang tidak mewarisi mereka, baik secara fardh maupun ‘ashabah: anak laki-laki dari saudara laki-laki mewarisi bibinya (saudari ayahnya) namun bibi tidak mewarisinya; paman mewarisi anak perempuan dari saudaranya namun ia tidak mewarisi pamannya; anak laki-laki dari paman mewarisi anak perempuan dari pamannya namun ia tidak mewarisinya; dan maula mewarisi mantan budaknya namun mantan budak tidak mewarisinya. Ada dua perempuan yang mewarisi laki-laki namun laki-laki tersebut tidak mewarisi mereka, baik secara fardh maupun ‘ashabah: ibu dari anak laki-laki mewarisi cucu laki-laki dari putrinya namun cucu tersebut tidak mewarisinya; dan maulah (mantan budak perempuan) mewarisi mantan budaknya namun mantan budak tidak mewarisinya. Seorang laki-laki dapat mewarisi dari sembilan orang laki-laki dan perempuan; karena suami tidak diwarisi oleh laki-laki mana pun. Sedangkan perempuan dapat mewarisi dari sepuluh laki-laki dan enam perempuan; karena istri tidak diwarisi oleh perempuan mana pun.

بَابُ مَنْ لَا يَرِثُ

Bab Orang-orang yang Tidak Berhak Mewarisi

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الْمُزَنِيُّ رحمه الله تعالى وهو من قول الشافعي: ” لَا تَرِثُ الْعَمَّةُ وَالْخَالَةُ وَبِنْتُ الْأَخِ وَبِنْتُ العم والجدة أم الأب الأم والخال وَابْنُ الْأَخِ لِلأُمّ وَالْعَمُّ أَخُو الْأَبِ لِلْأُمِّ وَالْجَدُّ أَبُو الْأُمَّ وَوَلَدُ الْبِنْتِ وَوَلَدُ الْأُخْتِ وَمَنْ هُوَ أَبْعَدُ مِنْهُمْ “.

Al-Muzani rahimahullah berkata, dan ini merupakan pendapat asy-Syafi‘i: “Bibi (saudari ayah atau ibu), paman dari pihak ibu, anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari paman, nenek dari pihak ayah, nenek dari pihak ibu, paman dari pihak ibu, anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, paman (saudara laki-laki ayah) seibu, kakek dari pihak ibu, anak dari putri, anak dari saudari perempuan, dan siapa saja yang lebih jauh dari mereka, tidak berhak mewarisi.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِنَّمَا بَدَأَ الشَّافِعِيُّ بِذَوِي الْأَرْحَامِ، لِأَنَّهُمْ عِنْدَهُ لَا يَرِثُونَ مَعَ وُجُودِ بَيْتِ الْمَالِ، فَبَدَأَ بِهِمْ لِتَقْدِيمِهِ ذِكْرَ مَنْ لَا يَرِثُ مِنَ الْكَافِرِينَ والمملوكين وذوو الأرحام هم: من ليس بعصبة ولا ذي فَرْضٍ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ مِنْ عَدَدِهِمْ وَتَفْصِيلِ أَحْوَالِهِمْ، وَقَدِ اخْتَلَفَ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ وَالْفُقَهَاءُ فِي توزيعهم إِذَا كَانَ بَيْتُ الْمَالِ مَوْجُودًا، فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إلى أنه لَا مِيرَاثَ لَهُمْ وَأَنَّ بَيْتَ الْمَالِ أَوْلَى مِنْهُمْ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَإِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا.

Al-Mawardi berkata: Asy-Syafi‘i memulai pembahasan dengan dzawil arham (kerabat yang memiliki hubungan rahim), karena menurut beliau mereka tidak berhak mewarisi selama masih ada baitul mal (kas negara), sehingga beliau mendahulukan penyebutan mereka sebelum menyebutkan orang-orang kafir dan budak yang tidak berhak mewarisi. Dzawil arham adalah mereka yang bukan ‘ashabah dan bukan pula ahli waris fardh, sebagaimana akan kami sebutkan jumlah dan rincian keadaan mereka. Para sahabat, tabi‘in, dan para fuqaha berbeda pendapat dalam pembagian warisan kepada mereka jika baitul mal masih ada. Asy-Syafi‘i berpendapat bahwa mereka tidak berhak mewarisi dan baitul mal lebih berhak daripada mereka. Pendapat ini juga dipegang oleh sahabat Zaid bin Tsabit dan salah satu riwayat dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhuma.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وَأَكْثَرُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَأَكْثَرُ أَهْلِ الشَّامِ وَدَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ.

Dan dari kalangan fuqaha: Malik, mayoritas penduduk Madinah, Al-Auza‘i, mayoritas penduduk Syam, dan Dawud bin ‘Ali.

وَقَالَ أبو حنيفة: ذَوُو الْأَرْحَامِ أَوْلَى بِالْمِيرَاثِ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ.

Abu Hanifah berkata: Dzawil arham lebih berhak terhadap warisan daripada baitul mal.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ، وَإِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ.

Pendapat ini juga dipegang oleh sahabat Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas‘ud, dan salah satu riwayat dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhum.

وَمِنَ التَّابِعِينَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَشُرَيْحٌ وَالشَّعْبِيُّ، وَطَاوُسٌ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ أَهْلُ الْعِرَاقِ، وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ غَيْرَ أَنَّ أبا حنيفة قَدَّمَ الْمَوْلَى عَلَى ذَوِي الْأَرْحَامِ وخالفه تَقَدّمهُ فَقَدَّمُوا ذَوِي الْأَرْحَامِ عَلَى الْمَوْلَى، وَاسْتَدَلُّوا على توريث ذوي الأرحام بقوله تعالى: {وأولوا الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ} [الأحزاب: 6] فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُدْفَعُوا عَنِ الْمِيرَاثِ وقد جعلهم الله تعالى أولى به، ولرواية طاوس عن عائشة رضي الله عنهما وَأَبِي أُمَامَةَ عَنْ عُمَرَ جَمِيعًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” اللَّهُ وَرَسُولُهُ مَوْلَى مَنْ لَا مَوْلَى لَهُ وَالْخَالُ وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثَ له “. وبرواية المقداد بن معد يكرب عن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” الخال وارث من ولا وارث له “.

Dari kalangan tabi‘in: Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan Al-Bashri, Syuraih, Asy-Sya‘bi, Thawus, dan dari kalangan fuqaha: penduduk Irak, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq bin Rahawaih. Namun Abu Hanifah mendahulukan maula daripada dzawil arham, sedangkan yang lain berbeda dengannya dan mendahulukan dzawil arham atas maula. Mereka berdalil tentang pewarisan dzawil arham dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) dalam Kitab Allah} [Al-Ahzab: 6], sehingga tidak boleh mereka dihalangi dari warisan, karena Allah telah menjadikan mereka lebih berhak. Juga berdasarkan riwayat Thawus dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma dan Abu Umamah dari Umar, semuanya dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Allah dan Rasul-Nya adalah maula bagi orang yang tidak memiliki maula, dan paman dari pihak ibu adalah pewaris bagi orang yang tidak memiliki ahli waris.” Dan juga riwayat Al-Miqdad bin Al-Aswad dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Paman dari pihak ibu adalah pewaris bagi orang yang tidak memiliki ahli waris.”

وَبِرِوَايَةِ وَاسِعِ بْنِ حَبَّانَ قَالَ: تُوُفِّيَ ثَابِتُ بن الدحداح وَلَمْ يَدَعْ وَارِثًا وَلَا عَصَبَةً فَرُفِعَ إِلَى النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَسَأَلَ عَنْهُ عَاصِمَ بْنَ عَدِيٍّ هَلْ تَرَكَ مِنْ أَحَدٍ؟ فَقَالَ مَا نَعْلَمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ تَرَكَ أَحَدًا فَدَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَالَهُ إِلَى ابْنِ أُخْتِهِ أَبِي لُبَابَةَ بْنِ عبد المنذر، ورواية الزُّهْرِيُّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْعَمُّ وَالِدٌ إِذَا لَمْ يَكُنْ دُونَهُ أَبٌ وَالْخَالَةُ وَالِدَةٌ إِذَا لَمْ يَكُنْ دُونَهَا أُمٌّ ” قَالُوا: وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ أَدْلَى بِوَارِثٍ كَانَ وَارِثًا كَالْعَصَبَاتِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ اخْتِصَاصَ ذَوِي الْأَرْحَامِ بِالرَّحِمِ لَا يُوجِبُ سُقُوطَ إِرْثِهِمْ كَالْجَدَّةِ، قالوا: ولأن ذوي الأرحام قد شَارَكُوا الْمُسْلِمِينَ فِي الْإِسْلَامِ وَفَضَّلُوهُمْ بِالرَّحِمِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونُوا أَوْلَى مِنْهُمْ بِالْمِيرَاثِ كَالْمُعْتِقِ لَمَّا سَاوَى كَافَّةَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْإِسْلَامِ وَفَضَّلَ عَلَيْهِمْ بِالْعِتْقِ وَصَارَ أَوْلَى مِنْهُمْ بِالْمِيرَاثِ وَكَالْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ لَمَّا سَاوَى الْأَخَ لِلْأَبِ وَفَضَّلَهُ بِالْأُمِّ كَانَ أَوْلَى بِالْإِرْثِ.

Dan dalam riwayat Wāsi‘ bin Ḥabbān disebutkan: Tsābit bin ad-Daḥdāḥ wafat dan tidak meninggalkan ahli waris maupun ‘aṣabah, lalu perkaranya diajukan kepada Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-. Beliau bertanya kepada ‘Āṣim bin ‘Adiyy: “Apakah ia meninggalkan seseorang?” Ia menjawab: “Kami tidak mengetahui, wahai Rasulullah, bahwa ia meninggalkan seseorang.” Maka Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- menyerahkan hartanya kepada keponakannya, Abū Lubābah bin ‘Abd al-Mundzir. Dan dalam riwayat az-Zuhrī disebutkan bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Paman adalah seperti ayah jika tidak ada ayah di bawahnya, dan bibi (dari pihak ibu) adalah seperti ibu jika tidak ada ibu di bawahnya.” Mereka berkata: Karena setiap orang yang memiliki hubungan dengan ahli waris maka ia juga menjadi ahli waris, seperti halnya ‘aṣabah. Mereka juga berkata: Karena kekhususan dzawī al-arḥām (kerabat karena hubungan rahim) dengan rahim tidak menyebabkan gugurnya hak waris mereka, sebagaimana nenek. Mereka berkata: Karena dzawī al-arḥām telah berbagi keislaman dengan kaum muslimin dan mereka memiliki keutamaan dengan hubungan rahim, maka sudah seharusnya mereka lebih berhak atas warisan daripada kaum muslimin lainnya, sebagaimana mu‘tiq (orang yang memerdekakan budak) yang disamakan dengan seluruh kaum muslimin dalam keislaman dan diutamakan atas mereka karena memerdekakan, sehingga ia lebih berhak atas warisan daripada mereka. Demikian pula saudara seayah dan seibu, ketika disamakan dengan saudara seayah dan diutamakan karena ibu, maka ia lebih berhak atas warisan.

وَدَلِيلُنَا: رِوَايَةُ شُرَحْبِيلَ بْنِ سلم عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهَ فَلَا وصية لوارث ” فأشار إلى ما في القرآن من الْمَوَارِيثِ وَلَيْسَ فِيهِ لِذَوِي الْأَرْحَامِ شَيْءٌ. وَرَوَى عطاء بن يسار أَتَى رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ رَجُلًا هَلَكَ وَتَرَكَ عَمَّة وَخَالَة فَقَالَ اللَّهُمَّ رَجُلٌ تَرَكَ عَمَّة وَخَالَة ثُمَّ سَكَتَ هُنَيْهَةً ثُمَّ قَالَ لَا أَرَى نزل علي شيء لا شَيْء لهما “.

Adapun dalil kami: Riwayat Syarāḥbīl bin Salm dari Abū Umāmah dari Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ālā telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” Maka beliau menunjuk kepada apa yang ada dalam al-Qur’an tentang pembagian warisan, dan di dalamnya tidak ada bagian untuk dzawī al-arḥām. ‘Aṭā’ bin Yasār meriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari penduduk ‘Āliyah datang dan berkata: “Wahai Rasulullah, ada seorang laki-laki wafat dan meninggalkan bibi dari pihak ayah dan bibi dari pihak ibu.” Maka beliau bersabda: “Ya Allah, seorang laki-laki meninggalkan bibi dari pihak ayah dan bibi dari pihak ibu.” Kemudian beliau diam sejenak, lalu bersabda: “Aku tidak melihat ada wahyu yang turun kepadaku tentang hal ini, maka tidak ada bagian untuk keduanya.”

وَرَوَى زِيدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ركب إلى قباء يستخير الله تعالى فِي الْعَمَّةِ وَالْخَالَةِ فَنَزَلَ عَلَيْهِ أَنْ لَا ميراث لهما.

Dan Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ‘Alī bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- pergi ke Qubā’ untuk memohon petunjuk kepada Allah Ta‘ālā mengenai (hukum waris) bibi dari pihak ayah dan bibi dari pihak ibu, lalu turunlah wahyu kepada beliau bahwa keduanya tidak mendapat warisan.

وروى عمران بن سليمان أَنَّ رَجُلًا مَاتَ فَأَتَتْ بِنْتُ أُخْتِهِ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الْمِيرَاثِ فَقَالَ لَا شَيْءَ لَكِ اللَّهُمَّ مَنْ مَنَعْتَ مَمْنُوعٌ اللَّهُمَّ مَنْ مَنَعْتَ مَمْنُوعٌ.

Dan ‘Imrān bin Sulaimān meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki wafat, lalu putri dari saudara perempuannya datang kepada Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- untuk menanyakan warisan. Maka beliau bersabda: “Tidak ada bagian untukmu. Ya Allah, siapa yang Engkau cegah, maka ia terhalang. Ya Allah, siapa yang Engkau cegah, maka ia terhalang.”

ثُمَّ الدَّلِيلُ مِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى هُوَ أَنَّ مشاركة الأنثى لأخيها أثبتت في الميراث في انْفِرَادِهَا. أَلَا تَرَى أَنَّ بَنَاتَ الِابْنِ يَسْقُطْنَ مع البنين وإن شاركهن ذكورهن وصرن به عصبة فلما كان بنات الإخوة والأعمام يسقطون مَعَ إِخْوَتِهِنَّ كَانَ أَوْلَى أَنْ يَسْقُطْنَ بِانْفِرَادِهِنَّ وتحريره قِيَاسًا أَنَّ كُلَّ أُنْثَى أَسْقَطَهَا مَنْ فِي درجتها بالإدلاء سَقَطَتْ بِانْفِرَادِهَا كَابْنَةِ الْمَوْلَى؛ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ أَسْقَطَهُ الْمَوْلَى لَمْ يَرِثْ بِانْفِرَادِهِ كَالْعَبْدِ وَالْكَافِرِ؛ ولأن كل ولادة لم يحجب بِهَا الزَّوْجَيْنِ إِلَى أَقَلِّ الْفَرْضَيْنِ لَمْ يُوَرثْ بِهَا كَالْوِلَادَةِ مِنْ زِنَا؛ وَلِأَنَّهُ وَارِثٌ فَوَجَبَ أن يكون من مناسبه مَنْ لَا يَرِثُ كَالْمَوْلَى يَرِثُ ابْنَهُ وَلَا يرث بِنْتَهُ؛ وَلِأَنَّ الْمُسْلِمِينَ يَعْقِلُونَ عَنْهُ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ بِهِمْ ذَوُو الْأَرْحَامِ كَالْمَوْلَى.

Kemudian dalil dari segi makna adalah bahwa keterlibatan perempuan bersama saudaranya dalam warisan telah ditetapkan ketika ia sendirian. Tidakkah engkau melihat bahwa anak-anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) gugur bersama anak-anak laki-laki (cucu laki-laki), meskipun saudara laki-laki mereka ikut serta dan mereka menjadi ‘aṣabah karenanya? Maka ketika anak-anak perempuan dari saudara laki-laki dan paman gugur bersama saudara-saudara laki-laki mereka, maka lebih utama lagi mereka gugur ketika sendirian. Penjelasannya secara qiyās adalah bahwa setiap perempuan yang digugurkan oleh orang yang setingkat dengannya melalui perantara, maka ia gugur pula ketika sendirian, seperti anak perempuan dari maulā (bekas budak). Dan setiap orang yang digugurkan oleh maulā tidak mewarisi sendirian, seperti budak dan orang kafir. Dan setiap kelahiran yang tidak menyebabkan suami istri terhalang hingga ke bagian warisan yang paling sedikit, maka tidak diwariskan dengannya, seperti kelahiran dari zina. Dan karena ia adalah ahli waris, maka wajiblah ada yang setara dengannya yang tidak mewarisi, seperti maulā yang mewarisi anak laki-lakinya tetapi tidak mewarisi anak perempuannya. Dan karena kaum muslimin menanggung diyat darinya, maka wajiblah dzawī al-arḥām gugur karena mereka, seperti maulā.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عن قوله تعالى: {وأولوا الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ} [الأنفال: 75] فَمِنْ أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ:

Adapun jawaban atas firman Allah Ta‘ālā: {Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi)} [al-Anfāl: 75] adalah dari empat sisi:

أَحَدُهَا: إنَّ الْمَقْصُودَ بِالْآيَةِ نَسْخُ التَّوَارُثِ بِالْحِلْفِ وَالْهِجْرَةِ وَلَمْ يُرِدْ بِهِمَا أَعْيَانَ مَنْ يستحق الميراث من المناسبين لنزولهما قبل أي المواريث.

Pertama: Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah penghapusan pewarisan berdasarkan sumpah setia dan hijrah, dan tidak dimaksudkan orang-orang tertentu yang berhak menerima warisan dari kerabat, karena ayat tersebut turun sebelum ayat-ayat warisan.

والثاني: أن قولهم: {بعضهم أولى ببعض} دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ مَا سِوَى ذَلِكَ الْبَعْضِ لَيْسَ بِأَوْلَى؛ لِأَنَّ التَّبْعِيضَ يَمْنَعُ مِنَ الِاسْتِيعَابِ.

Kedua: Ucapan mereka: {sebagian mereka lebih berhak daripada sebagian yang lain} adalah dalil bahwa selain dari sebagian itu tidak lebih berhak, karena adanya pembatasan (sebagian) mencegah keumuman (semua).

والثالث: أنه قال: {في كتاب الله} وكان ذَلِكَ مَقْصُورًا عَلَى مَا فِيهِ وَلَيْسَ لَهُمْ فِيهِ ذِكْرٌ فَدَلَّ عَلَى أَنْ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْمِيرَاثِ حَقٌّ.

Ketiga: Allah berfirman: {dalam Kitab Allah}, dan itu terbatas pada apa yang ada di dalamnya, sedangkan mereka (dzawī al-arḥām) tidak disebutkan di dalamnya, maka ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki hak dalam warisan.

وَالرَّابِعُ: أَنَّ قَوْلَهُ: {أَوْلَى} محمول على ما سوى الميراث من الحصانة وَمَا جَرَى مَجْرَاهَا دُونَ الْمِيرَاثِ إِذْ لَيْسَ فِي الْآيَةِ ذِكْرُ مَا هُمْ بِهِ أَوْلَى.

Keempat: bahwa firman Allah: {awlā} (lebih berhak) dimaknai pada selain warisan, seperti perlindungan dan hal-hal yang sejenis dengannya, bukan pada warisan. Sebab dalam ayat tersebut tidak disebutkan apa yang mereka lebih berhak atasnya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْخَالُ وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ ” فَمِنْ وجهين:

Adapun jawaban terhadap sabda Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-: “Paman dari pihak ibu adalah ahli waris bagi orang yang tidak memiliki ahli waris” maka ada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ هَذَا الْكَلَامَ مَوْضُوعٌ فِي لِسَانِ الْعَرَبِ لِلسَّلْبِ وَالنَّفْيِ لَا لِلْإِثْبَاتِ، وَتَقْدِيرُهُ أَنَّ الْخَالَ لَيْسَ بِوَارِثٍ كَمَا تَقُولُ الْعَرَبُ الْجُوعُ طَعَامُ مَنْ لَا طَعَامَ لَهُ وَالدُّنْيَا دَارُ مَنْ لَا دَارَ لَهُ وَالصَّبْرُ حِيلَةُ مَنْ لا حيلة له يعني أن ليس طعام وَلَا دَار وَلَا حِيلَة.

Pertama: bahwa ungkapan ini dalam bahasa Arab digunakan untuk meniadakan dan menafikan, bukan untuk menetapkan. Maksudnya, paman dari pihak ibu bukanlah ahli waris, sebagaimana orang Arab berkata: “Lapar adalah makanan bagi orang yang tidak punya makanan”, “dunia adalah rumah bagi orang yang tidak punya rumah”, dan “kesabaran adalah siasat bagi orang yang tidak punya siasat”, artinya tidak ada makanan, tidak ada rumah, dan tidak ada siasat.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّهُ جعل الميراث للحال الذي يعقل وإنما يَعْقِلُ إِذَا كَانَ عَصَبَةً وَنَحْنُ نُوَرِّثُ الْخَالَ إِذَا كَانَ عَصَبَةً وَإِنَّمَا الِاخْتِلَافُ فِي خَالٍ لَيْسَ بِعَصَبَةٍ فَكَانَ دَلِيلُ اللَّفْظِ يُوجِبُ سُقُوطَ ميراثه.

Jawaban kedua: bahwa warisan diberikan kepada paman dari pihak ibu jika ia termasuk ‘aṣabah (kerabat laki-laki yang berhak mewarisi karena tidak ada ahli waris lain), dan kami pun mewariskan kepada paman dari pihak ibu jika ia ‘aṣabah. Adapun perbedaan pendapat hanya terjadi pada paman dari pihak ibu yang bukan ‘aṣabah, sehingga dalil lafaz tersebut menunjukkan gugurnya hak warisnya.

فأما الجواب عن دفعه ميراث أبي الدَّحْدَاحِ إِلَى ابْنِ أُخْتِهِ فَهُوَ أَنَّهُ أَعْطَاهُ ذَلِكَ لِمَصْلَحَةٍ رَآهَا لَا مِيرَاثًا، لِأَنَّهُ لَمَّا قِيلَ لَا وَارِثَ لَهُ دَفَعَهُ إِلَيْهِ عَلَى أنها قضية عين قد يجوز أَنْ يُخْفَى سَبَبُهَا فَلَا يَجُوزُ ادِّعَاءُ الْعُمُومِ فِيهَا وَكَانَ ذَلِكَ كَالَّذِي رَوَاهُ عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عَوْسَجَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا مَاتَ وَلَمْ يَدَعْ وَارِثًا إِلَّا غُلَامًا له كان أعتق فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” هَلْ لَهُ أَحَدٌ ” قَالُوا: لَا إِلَّا غُلَامًا له كَانَ أَعْتَقَهُ فَجَعَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ميراثه له ومعلوم أنه لا يستحق مِيرَاثًا لَكِنْ فَعَلَ ذَلِكَ لِمَصْلَحَةٍ رَآهَا وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: مَاتَ رَجُلٌ مِنْ خُزَاعَةَ فأتى النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِمِيرَاثِهِ فَقَالَ: ” الْتَمِسُوا لَهُ وَارِثًا أَوْ ذَاتَ رَحِمٍ ” فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ وَارِثًا وَلَا ذَاتَ رَحِمٍ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أعطوه الكبر من خزاعة ” فميز – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَ الْوَارِثِ وَذِي الرَّحِمِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ غير وارث ثم دفع ميراثه إلى الكبر مِنْ قَوْمِهِ وَلَيْسَ ذَلِكَ بِمِيرَاثٍ مُسْتَحِقٍّ وَهَكَذَا مَا دَفَعَهُ إِلَى ابْنِ الْأُخْتِ وَالْخَالِ لِأَنَّهُ رَأَى الْمَصْلَحَةَ فِي إِعْطَائِهِمْ أَظْهَرَ مِنْهَا فِي إِعْطَاءِ غَيْرِهِمْ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الخالة وَالِدَةٌ إِذَا لَمْ يَكُنْ دُونَهَا أُمٌّ ” فَهُوَ أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى مَا سِوَى الْمِيرَاثِ مِنَ الْحَضَانَةِ وَإِلَّا فَلَيْسَتِ الْخَالَةُ كَالْأُمِّ عِنْدَ عَدَمِهَا فِي الْمِيرَاثِ إِذَا كَانَ هُنَاكَ وَارِثٌ فَعُلِمَ أن مراده به غير الميراث فأما قياسهم بِعِلَّةِ أَنَّهُ يُدْلِي بِوَارِثٍ فَمُنْتَقِضٌ بِبِنْتِ الْمَوْلَى ثم المعنى في العصبة تقديم عَلَى الْمَوْلَى.

Adapun jawaban atas penyerahan warisan Abu Dahdah kepada keponakannya, maka itu diberikan karena suatu maslahat yang beliau lihat, bukan sebagai warisan. Karena ketika dikatakan “tidak ada ahli waris baginya”, beliau menyerahkannya kepadanya sebagai kasus khusus yang mungkin sebabnya tersembunyi, sehingga tidak boleh mengklaim keumuman darinya. Hal itu seperti riwayat yang dibawakan oleh ‘Amr bin Dīnār dari ‘Awsajah dari Ibnu ‘Abbās bahwa ada seorang laki-laki meninggal dan tidak meninggalkan ahli waris kecuali seorang budak yang telah ia merdekakan. Maka Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Apakah ia memiliki kerabat?” Mereka menjawab: “Tidak, kecuali seorang budak yang telah ia merdekakan.” Maka Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- menjadikan warisannya untuk budak itu. Padahal diketahui bahwa budak tersebut tidak berhak mendapat warisan, namun beliau melakukan itu karena suatu maslahat yang beliau lihat. Dan diriwayatkan oleh ‘Abdullāh bin Buraydah dari ayahnya, ia berkata: Ada seorang laki-laki dari Khuza‘ah meninggal, lalu Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- didatangkan warisannya. Beliau bersabda: “Carilah untuknya ahli waris atau kerabat rahim.” Mereka tidak menemukan ahli waris maupun kerabat rahim. Maka Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Berikanlah kepada orang tertua dari Khuza‘ah.” Maka beliau membedakan antara ahli waris dan kerabat rahim, sehingga menunjukkan bahwa ia bukan ahli waris, lalu beliau menyerahkan warisannya kepada orang tertua dari kaumnya, dan itu bukanlah warisan yang berhak. Demikian pula apa yang beliau serahkan kepada keponakan dan paman dari pihak ibu, karena beliau melihat maslahat dalam memberikannya kepada mereka lebih besar daripada kepada yang lain. Adapun jawaban atas sabda Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-: “Bibi dari pihak ibu adalah seperti ibu jika tidak ada ibu di bawahnya”, maka itu dimaknai pada selain warisan, seperti hak pengasuhan. Adapun dalam warisan, bibi dari pihak ibu tidak seperti ibu ketika tidak ada ibu, jika masih ada ahli waris lain. Maka diketahui bahwa maksud beliau bukanlah warisan. Adapun qiyās mereka dengan alasan bahwa ia berhubungan dengan ahli waris, maka itu tertolak dengan anak perempuan dari maula, kemudian makna dalam ‘aṣabah lebih didahulukan daripada maula.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْجَدَّةِ فَالْمَعْنَى فِيهَا: أَنَّهَا لَمَّا شَارَكَتِ الْعَصَبَةَ كَانَتْ وَارِثَةً وليس ذووا الأرحام مثلها.

Adapun qiyās mereka dengan nenek, maka maknanya adalah: ketika nenek ikut serta dengan ‘aṣabah, ia menjadi ahli waris. Sedangkan dzawī al-arḥām (kerabat karena hubungan rahim) tidaklah seperti itu.

وأما الجواب عن قولهم إنهم سَاوَوْا جَمِيعَ الْمُسْلِمِينَ وَفَضَّلُوهُمْ بِالرَّحِمِ فَهُوَ أَنَّهُ اسْتِدْلَالٌ يَفْسُدُ بِبِنْتِ الْمَوْلَى، لِأَنَّهَا قَدْ فَضلتهُمْ مَعَ الْمُسَاوَاةِ ثُمَّ لَا تُقَدَّمُ عَلَيْهِمْ عَلَى أن المسلمين فضلوهم بالتعصب لأنهم يعقلون وكانوا أَوْلَى بِالْمِيرَاثِ، فَإِنْ قِيلَ: لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْمُسْلِمُونَ وَرَثَتَهُ لِجَوَازِ وَصِيَّتِهِ لَهُمْ وَالْوَصِيَّةُ لَا تَجُوزُ لِوَارِثٍ قِيلَ هَذَا بَاطِلٌ بِمَنْ لَا وَارِثَ لَهُ، لِأَنَّ الْمُسْلِمِينَ وَرَثَتُهُ بِإِجْمَاعٍ وَتَجُوزُ الْوَصِيَّةُ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ عَلَى أَنَّ الْوَصِيَّةَ إِنَّمَا لَا تَجُوزُ لِوَارِثٍ مُعَيَّنٍ وَلَيْسَ فِي الْمُسْلِمِينَ مَنْ يَتَعَيَّنُ فِي اسْتِحْقَاقِ مِيرَاثِهِ، لأنه معروف في مصالح جميعهم والله أعلم.

Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa mereka (dzawī al-arḥām) disamakan dengan seluruh kaum Muslimin dan diutamakan karena hubungan rahim, maka itu adalah istidlāl yang rusak dengan anak perempuan dari maula, karena ia telah diutamakan atas mereka meskipun ada persamaan, namun tidak didahulukan atas mereka. Selain itu, kaum Muslimin diutamakan karena ‘aṣabah, sebab mereka berakal dan lebih berhak atas warisan. Jika dikatakan: Tidak boleh kaum Muslimin menjadi ahli warisnya karena ia boleh berwasiat kepada mereka, sedangkan wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris, maka dijawab: Ini batal bagi orang yang tidak memiliki ahli waris, karena kaum Muslimin adalah ahli warisnya berdasarkan ijmā‘, dan boleh berwasiat kepada siapa pun dari mereka. Adapun wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris yang tertentu, sedangkan di antara kaum Muslimin tidak ada yang tertentu dalam berhak atas warisannya, karena itu diketahui untuk kemaslahatan seluruh mereka. Wallāhu a‘lam.

فصل:

Fasal:

القول في الرد

Pembahasan tentang ar-radd (pengembalian sisa warisan)

وَإِذْ قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي ذَوِي الْأَرْحَامِ فَالرَّدُّ مُلْحَقٌ بِهِ لِأَنَّ الْخِلَافَ فِيهِمَا وَاحِدٌ وكل مَنْ قَالَ بِتَوْرِيثِ ذَوِي الْأَرْحَامِ قَالَ بِالرَّدِّ وَكُلُّ مَنْ مَنَعَ مِنْ تَوْرِيثِ ذَوِي الْأَرْحَامِ مَنَعَ مِنَ الرَّدِّ.

Setelah pembahasan mengenai dzawil arham (kerabat dari jalur rahim), maka ar-radd (pengembalian sisa warisan) berkaitan dengannya, karena perbedaan pendapat dalam kedua masalah ini adalah satu. Setiap orang yang berpendapat tentang pewarisan dzawil arham, juga berpendapat tentang ar-radd, dan setiap orang yang menolak pewarisan dzawil arham, juga menolak ar-radd.

وَالرَّدُّ: هُوَ أَنْ تَعْجِزَ سِهَامُ الْفَرِيضَةِ عَنِ اسْتِيفَاءِ جَمِيعِ التَّرِكَةِ فَلَا يَكُونُ مَعَهُمْ عَصَبَةٌ كَالْبِنْتِ الَّتِي فَرْضُهَا النِّصْفُ إِذَا لَمْ يُشَارِكْهَا غَيْرُهَا وَقَدْ بَقِيَ النِّصْفُ بَعْدَ فَرْضِهَا فَهَلْ يُرَدُّ عَلَيْهَا أَمْ يَكُونُ لِبَيْتِ الْمَالِ وَلَيْسَ لَهَا غَيْرُ فَرْضِهَا اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ: أَنَّ الْبَاقِيَ مِنَ التَّرِكَةِ بَعْدَ سِهَامِ ذَوِي الْفُرُوضِ يَكُونُ لِبَيْتِ الْمَالِ وَلَا يُرَدُّ عَلَى ذَوِي الْفُرُوضِ إِذَا كَانَ بَيْتُ الْمَالِ مَوْجُودًا وَبِهِ قَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَدَاوُدَ.

Ar-radd adalah: apabila bagian-bagian warisan yang telah ditentukan tidak dapat menghabiskan seluruh harta peninggalan, dan tidak ada ‘ashabah (ahli waris laki-laki yang mengambil sisa warisan) bersama mereka, seperti kasus anak perempuan yang bagiannya setengah jika tidak ada yang berserikat dengannya, lalu setelah diberikan bagiannya masih tersisa setengah harta. Apakah sisa tersebut dikembalikan kepadanya atau diberikan kepada Baitul Mal, dan ia tidak mendapatkan selain bagiannya? Para fuqaha berbeda pendapat. Mazhab asy-Syafi‘i: sisa harta setelah bagian-bagian dzawil furudh (ahli waris dengan bagian tertentu) diberikan kepada Baitul Mal dan tidak dikembalikan kepada dzawil furudh jika Baitul Mal ada. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zaid bin Tsabit, dan merupakan mazhab Malik, penduduk Madinah, serta Dawud.

وَقَالَ أبو حنيفة: يُرَدُّ مَا فَضَلَ مِنْ سِهَامِ ذَوِي الْفُرُوضِ عَلَيْهِمْ وَهُمْ بِهِ أَوْلَى مِنْ بَيْتِ الْمَالِ وَبِهِ قَالَ عَلِيٌّ وَابْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَأَكْثَرُ التَّابِعِينَ وَالْفُقَهَاء على خلاف بينهم في مستحقي الرد منهم، واستدلوا جميعا بوجوب الرَّدِّ وَتَقْدِيمِهِمْ عَلَى بَيْتِ الْمَالِ بِمَا تَقَدَّمَ من عموم قوله تعالى: {وأولوا الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ} [الأنفال: 75] وَبِمَا رُوِيَ أن سَالِمًا مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ قُتِلَ يَوْمَ الْيَمَامَةِ فترك أُمَّهُ فَوَرَّثَهَا عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَالَهُ كُلَّهُ قَالُوا وَلِأَنَّ كُلَّ مُنَاسِبٍ وَرِثَ بَعْضَ الْمَالِ مَعَ غَيْرِهِ جَازَ أَنْ يَرِثَ جَمِيعَهُ إِذَا انْفَرَدَ بِنَفْسِهِ كَالْعَصَبَةِ، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ لَمَّا جاز أن ينفقوا من فروضهم بالعدل عِنْدَ زِيَادَةِ الْفُرُوضِ عَلَى التَّرِكَةِ جَازَ أَنْ يُزَادُوا بِالرَّدِّ عِنْدَ عَجْزِ الْفُرُوضِ عَنِ التَّرِكَةِ.

Abu Hanifah berpendapat: sisa bagian dzawil furudh dikembalikan kepada mereka, dan mereka lebih berhak atasnya daripada Baitul Mal. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ali dan Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhuma, mayoritas tabi‘in dan fuqaha, meskipun mereka berbeda pendapat mengenai siapa saja yang berhak menerima ar-radd di antara mereka. Mereka semua berdalil dengan kewajiban ar-radd dan mendahulukan mereka atas Baitul Mal berdasarkan keumuman firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) dalam Kitab Allah} (al-Anfal: 75), serta riwayat bahwa Salim maula Abu Hudzaifah terbunuh pada hari Yamamah dan meninggalkan ibunya, lalu Umar radhiyallahu ‘anhu mewariskan seluruh hartanya kepada ibunya. Mereka juga berkata: setiap kerabat yang mewarisi sebagian harta bersama yang lain, boleh mewarisi seluruhnya jika ia sendirian, seperti halnya ‘ashabah. Mereka juga berkata: sebagaimana mereka boleh dikurangi bagian mereka secara adil ketika bagian-bagian warisan melebihi harta peninggalan, maka boleh pula mereka ditambah melalui ar-radd ketika bagian-bagian warisan kurang dari harta peninggalan.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمَّا قَسمَ فُرُوضَ ذَوِي الْفُرُوضِ سَمَّاهُ فِي ثَلَاثِ آيٍ مِنْ كِتَابِهِ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” قَدْ أَعْطَى اللَّهُ كُلَّ ذِي حَقِّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ ” فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَنْ سَمَّى لَهُ فَرْضًا فَهُوَ قَدْرُ حَقِّهِ وَذَلِكَ يَمْنَعُ مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَمْ يُوَرَّثْ مَعَ غَيْرِهِ إِلَّا بِالْفَرْضِ لَمْ يُوَرَّثْ مَعَ عَدَمِ غَيْرِهِ إِلَّا ذَلِكَ الْفَرْضَ كَالزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ، لِأَنَّهُ لَا يُرَدُّ عَلَيْهِمَا بِوفاقٍ وَلِأَنَّ كُلَّ قَدْرٍ حُجِبَ عَنْهُ الشَّخْصُ مَعَ وُجُودِ مَنْ هُوَ أَبْعَدُ مِنْهُ حُجِبَ عَنْهُ وَإِنِ انْفَرَدَ بِهِ كَالْمَالِ الْمُسْتَحَقِّ بِالدَّيْنِ وَالْوَصِيَّةِ ولأن كل من تجردت رحمه عن تعصيب لما يَأْخُذْ بِهَا مِنْ تَرِكَةٍ حَقَّيْنِ كَالْأُخْتِ لِلْأَبِ والأم لا تأخذ النصف لأنها أخت الأب والسدس لأنها أخت الأم فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَقَدْ مَضَى.

Dalil kami adalah bahwa Allah Ta‘ala ketika membagi bagian-bagian dzawil furudh, Dia telah menyebutkannya dalam tiga ayat dalam Kitab-Nya. Nabi ﷺ bersabda: “Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” Ini menunjukkan bahwa siapa yang telah ditetapkan baginya bagian tertentu, maka itulah kadar haknya, dan hal itu mencegah adanya tambahan atasnya. Dan setiap orang yang tidak mewarisi bersama yang lain kecuali dengan bagian tertentu, maka ia tidak mewarisi selain bagian itu ketika sendirian, seperti suami dan istri, karena tidak ada ar-radd kepada mereka menurut kesepakatan. Dan setiap kadar yang terhalang dari seseorang karena adanya orang yang lebih jauh darinya, maka ia tetap terhalang meskipun ia sendirian, seperti harta yang menjadi hak karena utang dan wasiat. Dan setiap kerabat yang tidak menjadi ‘ashabah, maka ia tidak mengambil dari harta peninggalan kecuali satu hak, seperti saudara perempuan seayah dan seibu, ia tidak mengambil setengah karena sebagai saudara perempuan seayah dan seibu, dan sepertiga karena sebagai saudara perempuan seibu. Adapun jawaban atas ayat tersebut telah dijelaskan sebelumnya.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَعْطَى ميراث سالم إلى أمه فلمصلحة يراها مَنْ يَتَوَلَّى مَصَالِحَ بَيْتِ الْمَالِ كَمَا دَفَعَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ميراث الخزاعي إلى الكبر مِنْ خُزَاعَةَ.

Adapun dalil mereka bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu memberikan warisan Salim kepada ibunya, maka itu karena kemaslahatan yang dipandang oleh pengelola urusan Baitul Mal, sebagaimana Nabi ﷺ memberikan warisan al-Khuza‘i kepada orang tua dari Khuza‘ah.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْعَصَبَةِ فَالْمَعْنَى فيهم إنما يستحقونه غير مقدر وليس كذلك ذووا الْفُرُوضِ لِأَنَّهُ مُقَدَّرٌ.

Adapun qiyas mereka dengan ‘ashabah, maka makna pada ‘ashabah adalah mereka berhak atas warisan tanpa batasan tertentu, sedangkan dzawil furudh bagiannya sudah ditentukan.

وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهُ لَمَّا جاز أن ينفقوا بالعدل جاز أن يزادوا بالرد، فالجواب عنه للزيادة جهة يستحقها وَهِيَ بَيْتُ الْمَالِ فَلَمْ يَجُزْ رَدُّهَا وَلَمَّا لَمْ يَكُنْ لِلنَّقْصِ جِهَةَ تَمَامٍ جَازَ عَوْلُهَا أَلَا تَرَى أَنَّ أَهْلَ الدَّيْنِ وَالْوَصَايَا إِذَا ضاق بِهِمْ دَخَلَ الْعَوْلُ عَلَيْهِمْ، وَلَوْ زَادَ عَنْهُمْ لَمْ يَجُزِ الرَّدُّ عَلَيْهِمْ.

Adapun pernyataan mereka bahwa sebagaimana boleh dikurangi secara adil, maka boleh pula ditambah dengan ar-radd, maka jawabannya adalah bahwa tambahan itu ada pihak yang berhak menerimanya, yaitu Baitul Mal, sehingga tidak boleh dikembalikan kepada mereka. Sedangkan kekurangan tidak ada pihak yang dapat menyempurnakannya, maka boleh dilakukan ‘aul (pengurangan bagian). Tidakkah engkau melihat bahwa para pemilik utang dan wasiat jika harta tidak mencukupi, maka dilakukan ‘aul terhadap mereka, dan jika ada kelebihan, tidak boleh dikembalikan kepada mereka.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ بَيْتَ الْمَالِ أَحَقُّ مِنْ ذَوِي الْأَرْحَامِ وبالفاضل عن ذوي السهام وأنه يَصِيرُ إِلَى بَيْتِ الْمَالِ إِرْثًا لَا فَيْئًا وَهَكَذَا مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ لَهُ وَارِثٌ صَارَ مَالُهُ إِلَى بَيْتِ الْمَالِ مِيرَاثًا وَقَالَ بَعْضُ الناس يكون فيئا لا ميراثا لأمور.

Maka apabila telah tetap bahwa Baitul Mal lebih berhak daripada dzawil arham dan terhadap kelebihan dari dzawis saham, dan bahwa harta itu berpindah ke Baitul Mal sebagai warisan, bukan sebagai fai’, demikian pula barang siapa yang meninggal dan tidak memiliki ahli waris, maka hartanya berpindah ke Baitul Mal sebagai warisan. Namun sebagian orang berpendapat bahwa itu menjadi fai’, bukan warisan, karena beberapa alasan.

منهما: أَنَّهُ لَوْ كَانَ مِيرَاثًا لَوَجَبَ صَرْفُهُ إِلَى جَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ دُونَ بَعْضِهِمْ وَلَوَجَبَ أَنْ يُفَضَّلَ فيه الذكر على الأنثى ولا يفرد بِهِ أَهْلُ عَصْرِ الْمَيِّتِ دُونَ مَنْ تَأَخَّرَ، وَفِي جَوَازِ ذَلِكَ كُلِّهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ فَيْءٌ لَا مِيرَاثٌ وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ} [التوبة: 71] فَكَانَتِ الْمُوَالَاةُ بَيْنَهُمْ تَمْنَعُ مِنْ أَحْكَامِ مَنْ خَالَفَهُمْ، وَلِأَنَّ بَيْتَ الْمَالِ يَعْقِلُ عَنْهُ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ انْتِقَالُ مَالِهِ إِلَيْهِ بِالْمَوْتِ مِيرَاثًا كَالْعَصَبَةِ، وَلِأَنَّهُ مَالُ مُسْلِمٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ انْتِقَالُهُ إلى بيت المال فيئا كالزكاوات.

Di antaranya: jika itu dianggap sebagai warisan, maka wajib disalurkan kepada seluruh kaum Muslimin, bukan hanya sebagian dari mereka, dan wajib pula diutamakan laki-laki atas perempuan, serta tidak boleh dikhususkan bagi orang-orang yang hidup di masa si mayit saja tanpa yang datang kemudian. Adanya kebolehan dalam semua hal tersebut menjadi dalil bahwa itu adalah fai’, bukan warisan. Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain} [at-Taubah: 71], sehingga adanya hubungan perwalian di antara mereka mencegah berlakunya hukum-hukum yang berbeda dengan mereka. Dan karena Baitul Mal menanggung diyat darinya, maka wajib perpindahan hartanya ke Baitul Mal karena kematian sebagai warisan seperti halnya ‘ashabah. Dan karena itu adalah harta seorang Muslim, maka tidak boleh perpindahannya ke Baitul Mal sebagai fai’ seperti zakat.

وأما الجواب عن استدلالهم فهو أن تعيين الْوَارِث يَقْتَضِي مَا ذَكَرُوهُ وَإِذَا لَمْ يَتَعَيَّنْ لم يقتضيه.

Adapun jawaban atas dalil mereka adalah bahwa penetapan ahli waris menuntut apa yang mereka sebutkan, dan jika tidak ditetapkan, maka tidak menuntutnya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ بَيْتَ الْمَالِ أَحَقُّ إذا كان موجودا يصرف الْإِمَامُ الْعَدْلُ أَمْوَالَهُ فِي حُقُوقِهَا فَأَمَّا إِذَا كَانَ بَيْتُ الْمَالِ مَعْدُومًا بِالْجَوْرِ مِنَ الْوُلَاةِ وَفَسَادِ الْوَقْتِ وَصَرْفِ الْأَمْوَالِ فِي غَيْرِ حُقُوقِهَا وَالْعُدُولِ بِهَا عَنْ مُسْتَحِقِّيهَا يوجب توارث ذَوِي الْأَرْحَامِ وَرَدّ الْفَاضِل عَلَى ذَوِي السِّهَامِ وَهَذَا قَوْلٌ أَجْمَعَ عَلَيْهِ الْمُحَصِّلُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا وَتَفَرَّدَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ وَمَنْ جَذَبَهُ الْمَيْلُ إِلَى رَأْيِهِ فَأَقَامَ عَلَى مَنْعِ ذَوِي الْأَرْحَامِ وَالْمَنْعُ مِنْ رَدِّ الْفَاضِلِ عَلَى ذَوِي السِّهَامِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ مَا يَنْصَرِفُ إِلَى بَيْتِ الْمَالِ مُسْتَحِقٌّ فِي جِهَاتٍ بَاقِيَةٍ إِذَا عُدِمَ بَيْتُ المال لم يبطل استحقاق تلك الجهات ووجب صرف ذلك المال فيها كالزكوات الَّتِي لَمْ تَسْقُطْ بِعَدَمِ بَيْتِ الْمَالِ وَوَجَبَ صَرْفُهَا فِي جِهَاتِهَا، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ فَاسِدٌ من ثلاثة أوجه.

Maka apabila telah tetap bahwa Baitul Mal lebih berhak jika ia ada, maka imam yang adil menyalurkan hartanya pada hak-haknya. Adapun jika Baitul Mal tidak ada karena kezhaliman para penguasa, kerusakan zaman, penyaluran harta pada selain haknya, dan pengalihan harta dari yang berhak, maka hal itu mewajibkan terjadinya pewarisan oleh dzawil arham dan pengembalian kelebihan kepada dzawis saham. Ini adalah pendapat yang telah disepakati oleh para muhaqqiq dari kalangan sahabat kami, kecuali Abu Hamid al-Isfara’ini dan orang-orang yang condong pada pendapatnya, yang tetap melarang dzawil arham dan melarang pengembalian kelebihan kepada dzawis saham, dengan alasan bahwa apa yang dialihkan ke Baitul Mal adalah hak bagi pihak-pihak yang masih ada. Jika Baitul Mal tidak ada, maka hak pihak-pihak tersebut tidak gugur dan wajib menyalurkan harta itu kepada mereka seperti zakat yang tidak gugur karena tidak adanya Baitul Mal dan wajib disalurkan pada pihak-pihaknya. Namun pendapat ini batil dari tiga sisi.

أحدها: مَا يَسْتَحِقُّ صَرْفُهُ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ فِي جِهَاتٍ غَيْرِ مُعَيَّنَةٍ وَإِنَّمَا يَتَعَيَّنُ بِاجْتِهَادِ الْإِمَامِ فَإِذَا بَطَلَ التَّعْيِينُ سَقَطَ الِاسْتِحْقَاقُ وَإِنْ علمَ أَنَّ الْجِهَةَ لَا تُعْدَمُ كَالْعَرَبِيِّ إِذَا مَاتَ علمنا أن له عصبة ذكورا غَيْرَ أَنَّهُمْ إِذَا لَمْ يَتَعَيَّنُوا سَقَطَ حَقهم وَانْصَرَفَ ذَلِكَ إِلَى غَيْرِ جهتهم وَكَذَلِكَ جِهَاتُ بَيْتِ الْمَالِ إِذَا لَمْ تَتَعَيَّنْ سَقَطَ حَقُّهَا وانصرف ذلك إلى غيرها وليس كذلك الزكوات لتعيين جِهَاتِهَا وَقَطْعِ الِاجْتِهَادِ فِيهَا فَلَمْ يَسْقُطْ حَقُّهَا مَعَ التَّعْيِينِ وَإِنْ عُدِمَ مَنْ كَانَ يَقُومُ بِمَصْرِفِهَا.

Pertama: Harta yang wajib disalurkan dari Baitul Mal kepada pihak-pihak yang tidak tertentu, penentuannya hanya dilakukan melalui ijtihad imam. Jika penentuan itu batal, maka hak tersebut gugur, meskipun diketahui bahwa pihaknya tidak hilang. Seperti orang Arab jika meninggal, kita tahu ia memiliki ‘ashabah laki-laki, namun jika mereka tidak ditentukan, maka hak mereka gugur dan harta itu dialihkan kepada pihak lain. Demikian pula pihak-pihak Baitul Mal, jika tidak ditentukan, maka hak mereka gugur dan harta itu dialihkan kepada pihak lain. Tidak demikian halnya dengan zakat, karena pihak-pihaknya telah ditentukan dan ijtihad tidak berlaku padanya, sehingga haknya tidak gugur dengan penentuan, meskipun tidak ada orang yang menyalurkannya.

وَالثَّانِي: أَنَّ مَالَ الزَّكَاةِ لَهُ مَنْ يَقُومُ بِصَرْفِهِ مِنْ جِهَاتِهِ إِذَا عُدِمَ الْقَيِّمُ مِنَ الْوُلَاةِ وَهُمْ أَرْبَابُ الْأَمْوَالِ فَلَزِمَهُمُ الْقِيَامُ بِذَلِكَ مَا كَانَ لَازِمًا لِلْوُلَاةِ وَلَيْسَ لِمَالِ الْمَيِّتِ مَنْ يَقُومُ بِصَرْفِهِ فِي هَذِهِ الْجِهَاتِ وَلَيْسَ يَجُوزُ أَنْ يُسْتَحَقَّ مَالٌ بِجِهَةٍ لَا تتعين بوصف ولا باجتهاد باطن لِمَا فِيهِ مِنْ تَضْيِيعِ الْمَالِ عَنْ جِهَتِهِ فَاعْلَمْهُ.

Kedua: Harta zakat memiliki pihak yang menyalurkannya jika tidak ada pengelola dari para penguasa, yaitu para pemilik harta itu sendiri, sehingga mereka wajib menyalurkannya sebagaimana kewajiban para penguasa. Adapun harta mayit, tidak ada pihak yang menyalurkannya pada pihak-pihak tersebut, dan tidak boleh ada harta yang menjadi hak suatu pihak yang tidak dapat ditentukan dengan sifat atau ijtihad yang jelas, karena hal itu akan menyebabkan penyia-nyiaan harta dari pihak yang berhak. Maka ketahuilah hal ini.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ بَيْتَ الْمَالِ إِنَّمَا كَانَ أَحَقَّ بِمِيرَاثِهِ مِنْ ذَوِي الْأَرْحَامِ، لِأَنَّ بَيْتَ الْمَالِ يَعْقِلُ عَنْهُ فَصَارَ مِيرَاثُهُ لَهُ فَلَمَّا كان عدم بيت المال يسقط الْعَقْلَ عَنْهُ وَجَبَ أَنْ يُسْقِطَ الْمِيرَاثَ مِنْهُ وَإِذَا كَانَ مَا ذَكَرْنَاهُ ثَابِتًا وَكَانَ تَوْرِيثُ ذَوِي الْأَرْحَامِ عِنْدَ عَدَمِ بَيْتِ الْمَالِ وَاجِبًا فَهَكَذَا رَدُّ الْفَاضِلِ عَنْ ذَوِي السِّهَامِ، وَسَنَذْكُرُ كَيْفِيَّةَ تَوْرِيثِهِمْ وَالرَّدِّ عَلَى ذَوِي الْفُرُوضِ فِي بَابِ ذَوِي الْأَرْحَامِ فِي هَذَا الْكِتَابِ فَإِنَّ فِي ذَلِكَ دِقَّةً وَاسْتِصْعَابًا وَلَعَلَّهَا هِيَ الصَّارِفَةُ لِمَنْ مَنَعَهُمُ الْمِيرَاثُ عِنْدَ عُدْمِ بَيْتِ الْمَالِ.

Ketiga: Sesungguhnya Baitul Mal lebih berhak atas warisannya daripada dzawil arham, karena Baitul Mal menanggung diyat darinya, sehingga warisannya menjadi hak Baitul Mal. Maka ketika ketiadaan Baitul Mal menyebabkan gugurnya kewajiban diyat darinya, maka wajib pula menggugurkan hak waris dari Baitul Mal. Jika apa yang telah kami sebutkan itu tetap berlaku, dan mewariskan kepada dzawil arham ketika tidak ada Baitul Mal adalah wajib, maka demikian pula pengembalian sisa (harta warisan) kepada dzawil siham. Kami akan menyebutkan tata cara pewarisan mereka dan pengembalian (sisa warisan) kepada dzawil furudh dalam bab dzawil arham di kitab ini, karena dalam hal itu terdapat kerumitan dan kesulitan, dan barangkali inilah yang menjadi alasan bagi mereka yang menolak pemberian warisan kepada dzawil arham ketika tidak ada Baitul Mal.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَالْكَافِرُونَ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Dan orang-orang kafir.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الْكَافِرُ لَا يَرِثُ الْمُسْلِمَ وَالْمُسْلِمُ لَا يَرِثُ الْكَافِرَ وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَحُكِيَ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَمُعَاوِيَةَ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَرِثُ الْكَافِرَ وَلَا يرث الكافر المسلم وبه قال محمد ابن الْحَنَفِيَّةِ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيّبِ وَمَسْرُوقٌ وَالنَّخَعِيُّ وَالشَّعْبِيُّ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ عَنْ مُعَاذٍ أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يقول: ” الإسلام يزيد ولا ينقص ” قال وكما يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَنْكِحَ الذِّمِّيَّةَ وَلَا يَجُوزَ لِلذِّمِّيِّ أَنْ يَنْكِحَ الْمُسْلِمَةَ، وَلِأَنَّ أَمْوَالَ الْمُشْرِكِينَ يَجُوزُ أَنْ تَصِيرَ إِلَى المسلمين فَهَذَا أَوْلَى أَنْ تَصِيرَ إِلَيْهِمْ إِرْثًا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَصِيرَ أَمْوَالُ الْمُسْلِمِينَ إِلَى الْمُشْرِكِينَ قَهْرًا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَصِيرَ إِلَيْهِمْ إِرْثًا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa orang kafir tidak mewarisi dari muslim dan muslim tidak mewarisi dari orang kafir. Ini adalah pendapat jumhur. Diriwayatkan dari Mu‘adz bin Jabal dan Mu‘awiyah bahwa muslim mewarisi dari orang kafir, tetapi orang kafir tidak mewarisi dari muslim. Pendapat ini juga dipegang oleh Muhammad bin al-Hanafiyyah, Sa‘id bin al-Musayyib, Masruq, al-Nakha‘i, al-Sya‘bi, dan Ishaq bin Rahawaih, dengan berdalil pada riwayat dari Mu‘adz bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Islam itu bertambah dan tidak berkurang.” Mereka berkata: Sebagaimana diperbolehkan bagi muslim menikahi wanita dzimmah, dan tidak diperbolehkan bagi laki-laki dzimmi menikahi wanita muslimah, dan karena harta orang-orang musyrik boleh menjadi milik kaum muslimin, maka lebih utama lagi jika harta itu menjadi milik mereka melalui warisan. Dan tidak boleh harta kaum muslimin menjadi milik orang-orang musyrik secara paksa, maka tidak boleh pula menjadi milik mereka melalui warisan.

وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ عَنْ عَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ عَنْ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ ” وَرَوَى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَا يَتَوَارَثُ أَهْلُ مِلَّتَيْنِ “.

Dalil kami adalah riwayat dari Ali bin al-Husain dari ‘Amr bin ‘Utsman dari Usamah bin Zaid bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Seorang muslim tidak mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi dari muslim.” Dan diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya, Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Ahli dua agama yang berbeda tidak saling mewarisi.”

وَرُوِيَ عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ: كَانَ لَا يَرِثُ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ وَلَا المسلم الكافر فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلَا عَلَى عَهْدِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، فَلَمَّا وَلِيَ مُعَاوِيَةُ رحمه الله تعالى وَرَّثَ الْمُسْلِمَ مِنَ الْكَافِرِ وَأَخَذَ بِذَلِكَ الْخُلَفَاءُ حَتَّى قَامَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَرَاجَعَ السُّنَّةَ الْأُولَى ثُمَّ أَخَذَ بِذَلِكَ يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ فَلَمَّا قَامَ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ أَخَذَ بِسُّنَّةِ الْخُلَفَاءِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مِلَّتَيْنِ امْتَنَعَ الْعَقْلُ بَيْنَهُمَا امْتَنَعَ التَّوَارُثُ بَيْنَهُمَا كَالْكَافِرِ وَالْمُسْلِمِ، وَلِأَنَّ التَّوَارُثَ مُسْتَحَقٌّ بِالْوِلَايَةِ وَقَدْ قَطَعَ اللَّهُ الْوِلَايَةَ بَيْنَ الْمُسْلِمِ وَالذِّمِّيِّ فَوَجَبَ أَنْ يَنْقَطِعَ بِهِ التَّوَارُثَ وَلِأَنَّ بُعْدَ مَا بَيْنَ الْمُسْلِمِ وَالذِّمِّيِّ أَعْظَمُ مِمَّا بَيْنَ الذِّمِّيِّ وَالْحَرْبِيِّ فَلَمَّا لَمْ يَتَوَارَثِ الذِّمِّيُّ وَالْحَرْبِيُّ لِبُعْدِ مَا بَيْنَهُمَا كَانَ أَوْلَى أَنْ لَا يَتَوَارَثَ الْمُسْلِمُ وَالذِّمِّيُّ، فَأَمَّا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْإِسْلَامُ يَزِيدُ وَلَا يَنْقُصُ ” فَفِيهِ تَأْوِيلَانِ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا جَوَابٌ.

Diriwayatkan dari al-Zuhri, ia berkata: Pada masa Rasulullah ﷺ, orang kafir tidak mewarisi dari muslim dan muslim tidak mewarisi dari orang kafir, demikian pula pada masa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu ‘anhum. Ketika Mu‘awiyah rahimahullah menjadi khalifah, ia membolehkan muslim mewarisi dari orang kafir, dan para khalifah setelahnya mengikuti hal itu, hingga Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhu kembali kepada sunnah yang pertama. Kemudian Yazid bin Abdul Malik mengikuti pendapat tersebut, dan ketika Hisyam bin Abdul Malik berkuasa, ia kembali kepada sunnah para khalifah. Dan karena setiap dua agama yang berbeda tidak saling menanggung diyat, maka tidak pula saling mewarisi, seperti antara orang kafir dan muslim. Dan karena warisan itu didasarkan pada hubungan wala’, sedangkan Allah telah memutuskan hubungan wala’ antara muslim dan dzimmi, maka wajib pula terputusnya hak waris. Jarak perbedaan antara muslim dan dzimmi lebih besar daripada antara dzimmi dan harbi. Ketika dzimmi dan harbi tidak saling mewarisi karena jauhnya perbedaan di antara mereka, maka lebih utama lagi jika muslim dan dzimmi tidak saling mewarisi. Adapun sabda Nabi ﷺ: “Islam bertambah dan tidak berkurang,” maka ada dua penafsiran, dan masing-masing merupakan jawaban.

أَحَدُهُمَا: إنَّ الْإِسْلَامَ يَزِيدُ بِمَنْ أَسْلَمَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَلَا يَنْقُصُ بِالْمُرْتَدِّينَ.

Pertama: Islam bertambah dengan masuknya orang-orang musyrik ke dalam Islam dan tidak berkurang dengan adanya orang-orang yang murtad.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْإِسْلَامَ يَزِيدُ بِمَا يُفْتَحُ مِنَ الْبِلَادِ.

Kedua: Islam bertambah dengan dibukanya negeri-negeri (oleh kaum muslimin).

وَأَمَّا النِّكَاحُ فَغَيْرُ مُعْتَبَرٍ بِالْمِيرَاثِ أَلَا تَرَى أَنَّ الْمُسْلِمَ يَنْكِحُ الْحَرْبِيَّةَ وَلَا يَرِثُهَا، وَقَدْ يَنْكِحُ الْعَبْدُ الْحُرَّةَ وَلَا يَرِثُهَا، وَأَمَّا أَخْذُ أَمْوَالِهِمْ قَهْرًا فَلَا يُوجِبُ ذَلِكَ أَنْ تصير إِلَيْنَا إِرْثًا، لِأَنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَرِثُ الْحَرْبِيَّ وَإِنْ غَنِمَ مَالَهُ وَهُمْ يَقُولُونَ إِنَّهُ يَرِثُ الذِّمِّيَّ وَلَا يَغْنَمُ مَالَهُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَعْتَبِرَ أَحَدُهُمَا بِالْآخَرِ.

Adapun pernikahan, maka tidak dianggap dalam masalah warisan. Tidakkah engkau melihat bahwa seorang Muslim dapat menikahi wanita harbiyah (dari golongan yang memerangi Islam) namun tidak mewarisinya, dan seorang budak dapat menikahi wanita merdeka namun tidak mewarisinya. Adapun pengambilan harta mereka secara paksa, hal itu tidak menyebabkan harta tersebut menjadi warisan bagi kita, karena seorang Muslim tidak mewarisi orang harbi meskipun ia memperoleh hartanya sebagai rampasan. Sementara mereka (ulama lain) berpendapat bahwa seorang Muslim mewarisi dzimmi namun tidak merampas hartanya, maka tidak boleh salah satu dari keduanya dijadikan pertimbangan bagi yang lain.

فَصْلٌ:

Fashal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ لَا يَتَوَارَثُ أَهْلُ مِلَّتَيْنِ فَقَدِ اخْتَلَفُوا فِي الْكُفْرِ هَلْ يَكُونُ كُلُّهُ مِلَّةً وَاحِدَةً أَوْ يَكُونُ مِلَلًا فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْكُفْرَ كُلَّهُ مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ وَإِنْ تَنَوَّعَ أَهْلُهُ وَبِهِ قَالَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ مذهب أبي حنيفة وصاحبه.

Jika telah tetap bahwa tidak saling mewarisi antara pemeluk dua agama yang berbeda, maka para ulama berbeda pendapat tentang kekufuran: apakah seluruh bentuk kekufuran itu satu agama saja ataukah terdiri dari beberapa agama. Mazhab asy-Syafi‘i berpendapat bahwa seluruh kekufuran adalah satu agama, meskipun para pemeluknya beragam, dan ini juga pendapat ‘Umar bin al-Khaththab ra. serta merupakan mazhab Abu Hanifah dan sahabatnya.

وَقَالَ مَالِكٌ: الْكُفْرُ مِلَلٌ فَالْيَهُودِيَّةُ مِلَّةٌ، وَالنَّصْرَانِيَّةُ مِلَّةٌ وَالْمَجُوسِيَّةُ مِلَّةٌ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ.

Sedangkan Malik berkata: Kekufuran itu terdiri dari beberapa agama; Yahudi adalah satu agama, Nasrani adalah satu agama, dan Majusi adalah satu agama. Pendapat ini juga dikatakan oleh sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam.

وَمِنَ التَّابِعِينَ: الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَشُرَيْحٌ.

Dan dari kalangan tabi‘in: al-Hasan al-Bashri dan Syuraih.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: الزُّهْرِيُّ وَالثَّوْرِيُّ وَالنَّخَعِيُّ اسْتِدْلَالًا بِمَا أَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ التَّقَاطُعِ بَيْنَهُمْ حَيْثُ يَقُولُ فِي حِكَايَتِهِ عَنْهُمْ: {وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ} [البقرة: 113] وَتَقَاطُعُهُمْ يَمْنَعُ مِنْ تَوَارُثِهِمْ، وَلِأَنَّ اخْتِلَافَ شَرَائِعِهِمْ يُوجِبُ اخْتِلَافَ مِلَلِهِمْ، وَلِأَنَّ مَا بَيْنَهُمْ مِنَ التَّبَايُنِ كَالَّذِي بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ وَبَيْنَهُمْ مِنَ التَّبَايُنِ فَاقْتَضَى أَنْ تَكُونَ مِلَلُهُمْ مُخْتَلِفَةً.

Dan dari kalangan fuqaha: az-Zuhri, ats-Tsauri, dan an-Nakha‘i, dengan berdalil pada apa yang diberitakan Allah Ta‘ala tentang adanya permusuhan di antara mereka, sebagaimana firman-Nya dalam kisah mereka: {Orang-orang Yahudi berkata, “Orang-orang Nasrani itu tidak punya pegangan,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Orang-orang Yahudi itu tidak punya pegangan.”} (QS. al-Baqarah: 113). Permusuhan mereka itu mencegah terjadinya saling mewarisi di antara mereka. Juga karena perbedaan syariat mereka menyebabkan perbedaan agama mereka, dan karena perbedaan yang ada di antara mereka serupa dengan perbedaan antara kaum Muslimin dan mereka, sehingga hal itu menuntut agar agama-agama mereka berbeda.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ} [الأنفال: 73] وقال الله تَعَالَى: {وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ} [البقرة: 120] فَجَمَعَهُمَا وَرَوَى عَمْرُو بن مرة عن أبي البختري الطائي عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” الناس خير وأنا وأصحابي خير ” وَلِأَنَّهُمْ مُشْتَرِكُونَ فِي الْكُفْرِ وَإِنْ تَنَوَّعُوا كَمَا أن المسلمون مُشْتَرِكُونَ فِي الْحَقِّ وَإِنْ تَنَوَّعُوا وَلَيْسَ التَّبَايُنُ بَيْنَهُمْ بِمَانِعٍ مِنْ تَوَارُثِهِمْ كَمَا يَتَبَايَن أَهْلُ الْإِسْلَامِ فِي مَذَاهِبِهِمْ وَلَا يُوجِبُ ذَلِكَ اخْتِلَافَ تَوَارُثِهِمْ لِأَنَّ الْأَصْلَ إِسْلَامٌ أَوْ كُفْرٌ لَا ثَالِثَ لَهُمَا.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Orang-orang yang kafir, sebagian mereka adalah pelindung bagi sebagian yang lain} (QS. al-Anfal: 73), dan firman Allah Ta‘ala: {Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka} (QS. al-Baqarah: 120), maka Allah mengumpulkan mereka (dalam satu istilah). Diriwayatkan dari ‘Amru bin Murrah, dari Abu al-Bakhtari ath-Tha’i, dari Abu Sa‘id al-Khudri, dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Manusia itu baik, dan aku serta para sahabatku adalah yang terbaik.” Dan karena mereka sama-sama dalam kekufuran meskipun beragam, sebagaimana kaum Muslimin sama-sama dalam kebenaran meskipun beragam. Perbedaan di antara mereka tidak menghalangi terjadinya saling mewarisi, sebagaimana kaum Muslimin berbeda dalam mazhab mereka namun tidak menyebabkan perbedaan dalam warisan, karena asalnya hanya ada Islam atau kufur, tidak ada yang ketiga.

فَصْلٌ:

Fashal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْكُفْرَ كُلَّهُ مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي كَيْفِيَّةِ تَوَارُثِهِمْ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ أَهْلَ الذِّمَّةِ يتوارثون منهم وَأَهْل الْعَهْدِ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ عَلَى اخْتِلَافِ دِيَارِهِمْ وَأَهْلَ الْحَرْبِ يَتَوَارَثُونَ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ وإن اختلفت ديارهم وَلَا تَوَارُثَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ أَهْلِ الذِّمَّةِ.

Jika telah tetap bahwa seluruh kekufuran adalah satu agama, maka para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana cara mereka saling mewarisi. Mazhab asy-Syafi‘i berpendapat bahwa ahli dzimmah saling mewarisi di antara mereka, dan ahli ‘ahd (yang memiliki perjanjian) juga saling mewarisi di antara mereka meskipun negeri mereka berbeda, dan ahli harb juga saling mewarisi di antara mereka meskipun negeri mereka berbeda, dan tidak ada saling mewarisi antara mereka dengan ahli dzimmah.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَا تَوَارُثَ بَيْنَ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَأَهْلِ الْحَرْبِ وَكَذَلِكَ أَهْلُ الْعَهْدِ لَا تَوَارُثَ بَيْنِهُمْ وَبَيْنَ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَأَهْلُ الْحَرْبِ يَتَوَارَثُونَ ما لم يختلف بِهِمُ الدَّارُ، وَاخْتِلَافُ دَارِهِمْ يَكُونُ بِاخْتِلَافِ مُلُوكِهِمْ وَمُعَادَاةِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ فِي الدِّينِ كَالتُّرْكِ وَالرُّومِ فَلَا يُوَرَّثُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ.

Abu Hanifah berkata: Tidak ada saling mewarisi antara ahli dzimmah dan ahli harb, demikian pula ahli ‘ahd tidak saling mewarisi dengan ahli dzimmah, dan ahli harb saling mewarisi selama negeri mereka tidak berbeda. Perbedaan negeri mereka terjadi karena perbedaan raja-raja mereka dan permusuhan sebagian mereka terhadap sebagian yang lain dalam agama, seperti bangsa Turki dan Romawi, maka tidak diwariskan antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain.

فَصْلٌ:

Fashal:

فَعَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْمَذَاهِبِ إِذَا مَاتَ يَهُودِيٌّ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ فَتَرَكَ أُمًّا مِثْلَهُ يَهُودِيَّةً وَابْنًا مُسْلِمًا وَأَرْبَعَةَ إِخْوَةٍ أَحَدُهُمْ يَهُودِيٌّ ذِمِّيٌّ وَالْآخَرُ نَصْرَانِيٌّ ذِمِّيٌّ وَالْآخَرُ مَجُوسِيٌّ مُعَاهَدٌ وَالْآخَرُ وَثَنِيٌّ حَرْبِيٌّ فَعَلَى قَوْلِ مُعَاذٍ لِأُمِّهِ الْيَهُودِيَّةِ السُّدُسُ وَالْبَاقِي لِابْنِهِ الْمُسْلِمِ وَلَا شَيْءَ لِإِخْوَتِهِ، وَعَلَى قَوْلِ مَالِكٍ لِأُمِّهِ الْيَهُودِيَّةِ الثُّلُثُ وَالْبَاقِي لِأَخِيهِ الْيَهُودِيِّ لِمُوَافَقَتِهِ لَهُ فِي مِلَّتِهِ وَلَا يَحْجُبُ الْأُمَّ، لِأَنَّهُ وَاحِدٌ وَلَا شَيْءَ لِمَنْ سِوَاهُ، وَعَلَى قَوْلِ أبي حنيفة لِأُمِّهِ السُّدُسُ وَالْبَاقِي بَيْنَ أَخِيهِ الْيَهُودِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ، لِأَنَّهُمَا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَلَا شَيْءَ لِأَخِيهِ الْمَجُوسِيِّ، لِأَنَّهُ مُعَاهَدٌ وَلَا شَيْءَ لِأَخِيهِ الْوَثَنِيِّ، لِأَنَّهُ حَرْبِيٌّ، وَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ لِأُمِّهِ السُّدُسُ وَالْبَاقِي بَيْنَ إخوته الثلاثة اليهودي، والنصراني، والمجوسي المعاهد، لأنه أَهْلَ الْعَهْدِ يَرِثُونَ أَهْلَ الذِّمَّةِ عِنْدَهُ وَلَا شَيْءَ لِأَخِيهِ الْوَثَنِيِّ، لِأَنَّهُ حَرْبِيٌّ.

Berdasarkan mazhab-mazhab yang telah kami sebutkan, apabila seorang Yahudi dari kalangan ahludz-dzimmah meninggal dunia dan meninggalkan seorang ibu yang juga Yahudi, seorang anak laki-laki Muslim, serta empat saudara laki-laki—salah satunya Yahudi dzimmi, yang lain Nasrani dzimmi, yang lain lagi Majusi mu‘āhad, dan yang terakhir penyembah berhala harbi—maka menurut pendapat Mu‘ādz, untuk ibunya yang Yahudi mendapat seperenam dan sisanya untuk anak laki-lakinya yang Muslim, sedangkan saudara-saudaranya tidak mendapat apa-apa. Menurut pendapat Mālik, ibunya yang Yahudi mendapat sepertiga dan sisanya untuk saudaranya yang Yahudi karena seagama dengannya, dan ia tidak menghalangi ibunya (dari warisan) karena ia hanya satu orang, dan tidak ada bagian untuk selain mereka. Menurut pendapat Abū Hanīfah, ibunya mendapat seperenam dan sisanya dibagi antara saudaranya yang Yahudi dan yang Nasrani, karena keduanya termasuk ahludz-dzimmah, dan tidak ada bagian untuk saudaranya yang Majusi karena ia mu‘āhad, dan tidak ada bagian untuk saudaranya yang penyembah berhala karena ia harbi. Menurut mazhab Syāfi‘ī, ibunya mendapat seperenam dan sisanya dibagi antara tiga saudaranya: yang Yahudi, yang Nasrani, dan yang Majusi mu‘āhad, karena mereka adalah ahl al-‘ahd yang menurutnya dapat mewarisi ahludz-dzimmah, dan tidak ada bagian untuk saudaranya yang penyembah berhala karena ia harbi.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ مَاتَ نَصْرَانِيٌّ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَتَرَكَ زَوْجَةً وَثَنِيَّةً مِنْ أَهْلِ الْعَهْدِ وَأُمًّا يَهُودِيَّةً مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَابْنًا مُسْلِمًا وَبِنْتَ ابْنِ وَثَنِيَّةٍ تُؤَدِّي الْجِزْيَةَ وَأَخَوَيْنِ أَحَدُهُمَا مَجُوسِيٌّ يُؤَدِّي الْجِزْيَةَ وَالْآخَرُ وَثَنِيٌّ مَنْ أَهْلِ الْعَهْدِ وَعَمًّا نَصْرَانِيًّا منْ أَهْلِ الْجِزْيَةِ فَعَلَى قَوْلِ مُعَاذٍ لِلزَّوْجَةِ الثُّمُنُ وَلِلْأُمِّ السُّدُسُ وَالْبَاقِي لِلِابْنِ الْمُسْلِمِ، وَعَلَى قَوْلِ مَالِكٍ الْمَالُ كُلُّهُ لِلْعَمِّ النَّصْرَانِيِّ، وَعَلَى قَوْلِ أبي حنيفة لِأُمِّهِ السُّدُسُ وَلِبِنْتِ ابْنِهِ النِّصْفُ، لِأَنَّهُ يَقْبَلُ الْجِزْيَةَ مِنْ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ وَيَجْعَلُهُمْ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَالْبَاقِي لِأَخِيهِ الْمَجُوسِيِّ ولا شيء لزوجته ولا أخيه الوثني، لنه لَا يُوَرّثُ أَهْل الْعَهْدِ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ، وَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ لِزَوْجَتِهِ الرُّبُعُ، لِأَنَّهَا مُعَاهَدَةٌ وَلِأُمِّهِ السُّدُسُ وَالْبَاقِي لِأَخِيهِ الْمَجُوسِيِّ وَأَخِيهِ الْوَثَنِيِّ الْمُعَاهَدِ، وَلَا شَيْءَ لِبِنْتِ ابْنِهِ الْوَثَنِيَّةِ الَّتِي تُؤَدِّي الْجِزْيَةَ، لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَخْذُ الْجِزْيَةِ عنده من عبدة الأوثان.

Jika seorang Nasrani dari kalangan ahludz-dzimmah meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri penyembah berhala dari kalangan ahl al-‘ahd, seorang ibu Yahudi dari kalangan ahludz-dzimmah, seorang anak laki-laki Muslim, seorang cucu perempuan (putri dari anak laki-laki) penyembah berhala yang membayar jizyah, dua saudara laki-laki—salah satunya Majusi yang membayar jizyah dan yang lainnya penyembah berhala dari kalangan ahl al-‘ahd—serta seorang paman Nasrani dari kalangan pembayar jizyah, maka menurut pendapat Mu‘ādz, istri mendapat seperdelapan, ibu mendapat seperenam, dan sisanya untuk anak laki-laki Muslim. Menurut pendapat Mālik, seluruh harta untuk paman Nasrani. Menurut pendapat Abū Hanīfah, ibunya mendapat seperenam, cucu perempuannya mendapat setengah, karena ia menerima jizyah dari penyembah berhala dan menjadikan mereka sebagai ahludz-dzimmah, dan sisanya untuk saudaranya yang Majusi, sedangkan istri dan saudaranya yang penyembah berhala tidak mendapat apa-apa, karena ia tidak mewariskan ahl al-‘ahd dari ahludz-dzimmah. Menurut mazhab Syāfi‘ī, istrinya mendapat seperempat karena ia mu‘āhadah, ibunya mendapat seperenam, dan sisanya untuk saudaranya yang Majusi dan saudaranya yang penyembah berhala mu‘āhad, sedangkan cucu perempuannya yang penyembah berhala yang membayar jizyah tidak mendapat apa-apa, karena menurutnya tidak boleh mengambil jizyah dari penyembah berhala.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَلَوْ مَاتَ مُسْلِمٌ وَتَرَكَ ابْنًا مُسْلِمًا وَابْنًا نَصْرَانِيًّا أَسْلَمَ فَإِنْ كَانَ إِسْلَامُ النَّصْرَانِيِّ قَبْلَ مَوْتِ أَبِيهِ وَلَوْ بِطَرْفَةِ عَيْنٍ كَانَ الْمِيرَاثُ بَيْنَهُمَا وَهَذَا إِجْمَاعٌ وَإِنْ كَانَ إِسْلَامُهُ بَعْدَ مَوْتِ أَبِيهِ وَلَوْ بِطَرْفَةِ عَيْنٍ لَمْ يَرِثْهُ وَهَكَذَا لَوْ تَرَكَ الْمُسْلِمُ الْحُرُّ ابْنَيْنِ أَحَدُهُمَا حُرٌّ وَالْآخَرُ عَبْدٌ أُعْتِقَ فَإِنْ كَانَ عِتْقُهُ قَبْلَ مَوْتِ أَبِيهِ وَرثَهُ وَإِنْ كَانَ بَعْدَهُ لَمْ يَرِثْهُ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ أَبُو بَكْرٍ وَعَلِيٌّ وَزَيْدٌ وَابْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ.

Jika seorang Muslim meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki Muslim dan seorang anak laki-laki Nasrani yang masuk Islam, maka jika keislaman anak Nasrani tersebut terjadi sebelum kematian ayahnya, meskipun hanya sekejap mata, maka warisan dibagi di antara keduanya, dan ini merupakan ijmā‘. Namun jika keislamannya terjadi setelah kematian ayahnya, meskipun hanya sekejap mata, maka ia tidak mewarisinya. Demikian pula jika seorang Muslim merdeka meninggalkan dua anak laki-laki, salah satunya merdeka dan yang lainnya budak yang kemudian dimerdekakan, maka jika pembebasannya terjadi sebelum kematian ayahnya, ia mewarisinya, dan jika setelahnya, ia tidak mewarisinya. Pendapat ini dipegang oleh para sahabat seperti Abū Bakr, ‘Alī, Zayd, dan Ibnu Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhum.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: أبو حنيفة وَمَالِكٌ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ وَحُكِيَ عَنِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَقَتَادَةَ وَمَكْحُولٍ أَنَّهُمْ وَرثوا مَنْ أَسْلَمَ أَوْ أُعْتِقَ عَلَى مِيرَاثٍ قَبْلَ أَنْ يُقَسَّمَ وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَحُكِيَ عَنْ إِيَاسٍ وَعِكْرِمَةَ وَأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَإِسْحَاقَ بْنِ رَاهَوَيْهِ أَنَّهُمْ وَرَّثُوا مَنْ أَسْلَمَ قَبْلَ الْقِسْمَةِ وَلَمْ يُوَرِّثُوا مَنْ أُعْتِقَ قَبْلَ الْقِسْمَةِ اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ أَسْلَمَ عَلَى شَيْءٍ فَهُوَ لَهُ ” وَرَوَى أَبُو الشَّعْثَاءِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” كُلُّ قَسْمٍ قُسِمَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَهُوَ عَلَى ما قسم له وَكُلُّ قَسْمٍ أَدْرَكَهُ الْإِسْلَامُ فَإِنَهُ عَلَى قَسْمِ الْإِسْلَامِ ” وَدَلِيلُنَا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَا يَتَوَارَثُ أَهْلُ مِلَّتَيْنِ ” وَلِأَنَّ الْمِيرَاثَ يَنْتَقِلُ بالمورث إِلَى مِلْكِ الْوَارِثِ لَا بِالْقِسْمَةِ وَلِأَنَّ تَأْخِيرَ الْقِسْمَةِ لَا يُوجِبُ تَوْرِيثَ مَنْ لَيْسَ بِوَارِثٍ كَمَا أَنَّ تَقْدِيمَهَا لَا يُوجِبُ سُقُوطَ مَنْ هُوَ وَارِثٌ، وَلِأَنَّهُ إِنْ وُلِدَ لِلْمَيِّتِ إِخْوَةٌ قبل قسمة تركته لا يرثوه فهذا كما لَوْ أَسْلَمُوا لَمْ يَرِثُوهُ.

Di antara para fuqaha: Abu Hanifah, Malik, dan mayoritas fuqaha, serta dinukil dari al-Hasan al-Bashri, Qatadah, dan Mak-hul bahwa mereka mewariskan kepada orang yang masuk Islam atau dimerdekakan atas warisan sebelum warisan itu dibagi. Riwayat ini juga dinukil dari Umar dan Utsman radhiyallahu ‘anhuma. Dan dinukil dari Iyas, Ikrimah, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq bin Rahawaih bahwa mereka mewariskan kepada orang yang masuk Islam sebelum pembagian warisan, namun tidak mewariskan kepada orang yang dimerdekakan sebelum pembagian warisan, dengan berdalil pada riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Barang siapa masuk Islam atas sesuatu, maka itu menjadi miliknya.” Abu Sya’tsa’ meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap pembagian yang telah dibagi pada masa jahiliah, maka itu sesuai dengan pembagian yang telah dilakukan; dan setiap pembagian yang didapati oleh Islam, maka itu sesuai dengan pembagian Islam.” Dalil kami adalah sabda beliau ﷺ: “Tidak saling mewarisi antara penganut dua agama yang berbeda.” Karena warisan berpindah dari pewaris kepada kepemilikan ahli waris, bukan dengan pembagian. Dan menunda pembagian tidak menyebabkan orang yang bukan ahli waris menjadi ahli waris, sebagaimana mempercepat pembagian tidak menyebabkan gugurnya hak ahli waris. Dan jika si mayit memiliki saudara sebelum pembagian hartanya, mereka tidak mewarisinya; demikian pula jika mereka masuk Islam, mereka tidak mewarisinya.

فَأَمَّا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ أَسْلَمَ عَلَى شَيْءٍ فَهُوَ لَهُ ” فَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:

Adapun sabda beliau ﷺ: “Barang siapa masuk Islam atas sesuatu, maka itu menjadi miliknya,” terdapat dua penafsiran:

أَحَدُهُمَا: مَنْ أَسْلَمَ وَلَهُ مَالٌ فَهُوَ لَهُ لَا يَزُولُ عَنْهُ بِإِسْلَامِهِ.

Pertama: Barang siapa masuk Islam dan memiliki harta, maka harta itu tetap menjadi miliknya dan tidak hilang darinya karena keislamannya.

وَالثَّانِي: مَنْ أسلم قبل موت مورثه رَغْبَةً فِي الْمِيرَاثِ فَهُوَ لَهُ، وَأَمَّا حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ فَمَعْنَاهُ أَنَّ الْمُشْرِكِينَ إِذَا وَرِثُوا مَيِّتَهُمْ ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ فِي جَاهِلِيَّتِهِمْ كَانَ عَلَى جاهليتهم، وَلَوْ أَسْلَمُوا قَبْلَ قِسْمَتِهِ اقْتَسَمُوهُ عَلَى قِسْمَةِ الْإِسْلَامِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Kedua: Barang siapa masuk Islam sebelum wafat pewarisnya dengan tujuan memperoleh warisan, maka warisan itu menjadi miliknya. Adapun hadits Ibnu Abbas, maksudnya adalah bahwa jika orang-orang musyrik mewarisi mayit mereka lalu membaginya pada masa jahiliah, maka itu sesuai dengan hukum jahiliah mereka. Namun jika mereka masuk Islam sebelum pembagian, maka mereka membaginya sesuai dengan pembagian Islam. Wallahu a‘lam.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا مَاتَ ذِمِّيٌّ وَلَا وَارِثَ لَهُ كَانَ مَالُهُ لِبَيْتِ الْمَالِ فَيْئًا لَا مِيرَاثًا وَيُصْرَفُ مَصْرَفَ الْفَيْءِ فَلَوْ كَانَ لَهُ عَصَبَةٌ مُسْلِمُونَ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ فِيمَا صَارَ مِنْهُ إِلَى بَيْتِ المال حق وهكذا إذا كَانَ عَصَبَةُ الذِّمِّيِّ فِي دَارِ الْحَرْبِ لَيْسَ لَهُمْ عَهْدٌ فَلَا مِيرَاثَ لَهُمْ مِنْهُ، وَيَكُونُ مَالُهُ فَيْئًا وَلَوْ كَانَ لَهُمْ عَهْدٌ اسْتَحَقُّوا مِيرَاثَهُ.

Jika seorang dzimmi meninggal dunia dan tidak memiliki ahli waris, maka hartanya menjadi milik Baitul Mal sebagai fai’, bukan sebagai warisan, dan digunakan sesuai dengan penggunaan fai’. Jika ia memiliki kerabat laki-laki (ashabah) yang muslim, maka mereka tidak berhak atas harta yang masuk ke Baitul Mal. Demikian pula jika kerabat dzimmi itu berada di negeri perang dan tidak memiliki perjanjian (dengan kaum muslimin), maka mereka tidak berhak mewarisinya, dan hartanya menjadi fai’. Namun jika mereka memiliki perjanjian, maka mereka berhak mendapatkan warisannya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا تَحَاكَمَ أَهْلُ الْحَرْبِ إِلَيْنَا فِي مِيرَاثِ مَيِّتٍ مِنْهُمْ وَلَهُ وَرَثَةٌ مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ وَوَرَثَةٌ مِنْ أَهْلِ الْعَهْدِ وَوَرَثَةٌ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يُوَرَّثْ أَهْلُ الذِّمَّةِ مِنْهُمْ كَمَا لَا نُوَرِّثُهُمْ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَقَسَّمْنَا مِيرَاثَهُ بَيْنَ أَهْلِ الْحَرْبِ وَأَهْلِ الْعَهْدِ مع اتفاق دارهم واختلافا وتباين أناسهم واتفاقها كالروم والترك والهند وَالزِّنْجِ. وَقَطَعَ أبو حنيفة التَّوَارُثَ بَيْنَ الْمُخْتَلِفِينَ مِنْ أَجْنَاسِهِمْ وَالْمُتَبَايِنِينَ فِي دِيَارِهِمْ فَلَمْ يُوَرِّثِ التركي من الرومي ولا الزوجي مِنَ الْهِنْدِيِّ، وَهَذَا قَوْلٌ يَؤُولُ إِلَى أَنْ يُجْعَلَ الْكُفْر مِلَلًا وَهُوَ لَا يَقُولُهُ.

Jika orang-orang dari negeri perang mengajukan perkara kepada kita mengenai warisan mayit dari kalangan mereka, dan ia memiliki ahli waris dari kalangan ahli harb, ahli ‘ahd, dan ahli dzimmah, maka ahli dzimmah tidak diwariskan dari mereka, sebagaimana kita juga tidak mewariskan mereka dari ahli dzimmah. Kita membagi warisannya antara ahli harb dan ahli ‘ahd, baik negeri mereka sama maupun berbeda, dan baik bangsa mereka berbeda-beda maupun sama, seperti Romawi, Turki, India, dan Zinj. Abu Hanifah memutuskan tidak adanya saling mewarisi antara golongan yang berbeda bangsa dan berbeda negeri di antara mereka, sehingga tidak mewariskan Turki dari Romawi, atau Zinj dari India. Pendapat ini berujung pada menjadikan kekufuran sebagai beberapa agama, dan itu bukan pendapat beliau.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَالْمَمْلُوكُونَ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Dan para budak…”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ الْعَبْدُ لَا يَرِثُ وَلَا يُورَثُ فَإِذَا مَاتَ الْعَبْدُ كَانَ مَالُهُ لِسَيِّدِهِ مِلْكًا وَلَا حَقَّ فِيهِ لِأَحَدٍ مِنْ وَرَثَتِهِ وَهَذَا إِجْمَاعٌ فَأَمَّا إِذَا مَاتَ لِلْعَبْدِ أَحَدٌ مِنْ وَرَثَتِهِ لَمْ يَرِثْهُ الْعَبْدُ فِي قَوْلِ الْجَمِيعِ، وَحُكِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ إِذَا مَاتَ أَبُو الْعَبْدِ وأخوه اشْتَرَى الْعَبْدَ مِنْ تَرِكَتِهِ وَأَعْتَقَ وَجَعَلَ لَهُ ميراثه فاختلف أصحابنا هل قال ذلك استحبابا أو واجبا فقال بعضهم ذهبنا إلى استحبابه رأيا وقال آخرون: بل ذهبنا إِلَيْهِ وَاجِبًا وَقَالَاهُ مَذْهَبًا حَتْمًا، وَبِوُجُوبِ ذَلِكَ قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ وَفِي هَذَا الْقَوْلِ إِجْمَاعٌ عَلَى أَنَّ الْعَبْدَ لَا يُورثُ [فِي حَالِ رِقِّهِ وَهُوَ أَقْوَى دَلِيلٍ عَلَى أَنَّهُ] لَا يَمْلِكُ إِذَا مَلَكَ؛ لِأَنَّ الْمِلْكَ بِالْمِيرَاثِ أَقْوَى مِنْهُ بِالتَّمْلِيكِ وَإِنَّمَا أَوْجَبُوا ابتياعه وعتقه، وهذا غير لازم مِنْ وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, budak tidak mewarisi dan tidak diwarisi. Maka apabila budak meninggal dunia, hartanya menjadi milik tuannya secara penuh dan tidak ada hak bagi siapa pun dari ahli warisnya atas harta itu. Dan ini adalah ijmā‘. Adapun jika salah satu ahli waris budak meninggal dunia, maka budak tidak mewarisinya menurut pendapat seluruh ulama. Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib dan ‘Abdullah bin Mas‘ud radhiyallāhu ‘anhumā bahwa apabila ayah atau saudara budak meninggal, maka budak itu dibeli dari harta warisan, lalu dimerdekakan dan diberikan warisannya. Para sahabat kami berbeda pendapat, apakah hal itu dikatakan sebagai anjuran (mustahab) atau kewajiban (wājib). Sebagian mereka berkata: Kami berpendapat itu dianjurkan secara ra’yu (pendapat). Yang lain berkata: Bahkan kami berpendapat itu wajib dan mereka berdua (Ali dan Ibnu Mas‘ud) menjadikannya sebagai mazhab yang pasti. Tentang kewajiban itu, Hasan al-Bashri dan Ishaq bin Rahawaih juga berpendapat demikian. Dalam pendapat ini terdapat ijmā‘ bahwa budak tidak diwarisi selama ia dalam keadaan budak, dan ini adalah dalil terkuat bahwa ia tidak memiliki kepemilikan jika ia memiliki sesuatu; karena kepemilikan melalui warisan lebih kuat daripada kepemilikan melalui pemberian. Mereka hanya mewajibkan pembelian dan pembebasannya, dan ini tidaklah wajib dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ سَيِّدَ الْعَبْدِ لَا يَلْزَمُهُ بَيْعُ عَبْدِهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُجْبَرَ عَلَى إِزَالَةِ مِلْكِهِ.

Pertama: Bahwa tuan budak tidak wajib menjual budaknya dan tidak boleh dipaksa untuk melepaskan kepemilikannya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَوْ بِيعَ مِنْ سَيِّدِهِ لَكَانَ يَرِثُ مُعْتَقًا بَعْدَ الْمَوْتِ وهذا دليل عَلَى أَنَّ الْمُعْتَقَ بَعْدَ الْمَوْتِ لَا يَرِثُ.

Kedua: Jika budak itu dijual oleh tuannya, maka ia akan mewarisi sebagai orang yang merdeka setelah kematian, dan ini menjadi dalil bahwa orang yang dimerdekakan setelah kematian tidak mewarisi.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا الْمُدَبَّرُ فَكَالْعَبْدِ لَا يَرِثُ وَلَا يُورثُ وَكَذَلِكَ أُمُّ الْوَلَدِ لَا تَرِثُ وَلَا تُورثُ فَأَمَّا الْمُكَاتِبُ فَهُوَ عَبْدٌ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ دِرْهَمٌ لَا يَرْثِ وَلَا يُورثُ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَعَائِشَةُ وَأُمُّ سَلَمَةَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ.

Adapun mudabbar, maka seperti budak, tidak mewarisi dan tidak diwarisi. Demikian pula umm al-walad, tidak mewarisi dan tidak diwarisi. Adapun mukatab, ia tetap dianggap budak selama masih ada satu dirham yang harus dibayarkan, sehingga ia tidak mewarisi dan tidak diwarisi. Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat: ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit, ‘Aisyah, Ummu Salamah, dan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallāhu ‘anhum.

وَمِنَ التَّابِعِينَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيّبِ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ.

Dan dari kalangan tabi‘in: Sa‘id bin al-Musayyib dan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الزُّهْرِيُّ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ.

Dan dari kalangan fuqahā’: az-Zuhri dan Ahmad bin Hanbal.

وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ إِذَا كُتِبَتْ صَحِيفَةُ الْمُكَاتِبِ عَتقَ وَصَارَ حُرًّا يرث ويورث وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ يُعْتَقُ مِنْهُ بِقَدْرِ مَا أدى وَيَرِثُ بِهِ ويرق منه بقدر ما بقي ولا يرث به.

‘Abdullah bin ‘Abbas berkata: Jika telah ditulis akad mukatab, maka ia merdeka dan menjadi orang merdeka yang dapat mewarisi dan diwarisi. ‘Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salām berkata: Ia merdeka sesuai kadar yang telah dibayarkan dan mewarisi sesuai bagian itu, dan tetap menjadi budak sesuai kadar yang tersisa dan tidak mewarisi bagian itu.

وَقَالَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنْ أَدَّى قَدْرَ قِيمَتِهِ عَتَقَ وَوَرِثَ وَإِلَّا فَهُوَ عَبْدٌ لَا يَرِثُ وَقَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ: هُوَ عَبْدٌ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ دِرْهَمٌ وَاحِدٌ فَإِنْ مَاتَ لَهُ مَيِّتٌ لَمْ يَرِثْهُ.

‘Abdullah bin Mas‘ud radhiyallāhu ‘anhu berkata: Jika ia telah membayar senilai harga dirinya, maka ia merdeka dan mewarisi, jika tidak maka ia tetap budak dan tidak mewarisi. Abu Hanifah dan Malik berkata: Ia tetap budak selama masih ada satu dirham yang harus dibayarkan, maka jika ada yang meninggal dunia untuknya, ia tidak mewarisinya.

قَالَ: وَإِنْ مَاتَ أَدَّى مِنْ مَالِهِ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ مِنْ كِتَابَتِهِ وَجَعَلَ الْبَاقِي لِوَرَثَتِهِ إِلَّا أَنَّ أبا حنيفة يَجْعَلُ ذَلِكَ لِمَنْ كَانَ مَعَهُ فِي الْكِتَابَةِ وَمَنْ كَانَ حُرًّا.

Ia berkata: Jika ia meninggal dunia, maka dari hartanya dibayarkan sisa utang akad mukatabnya, dan sisanya diberikan kepada ahli warisnya, kecuali Abu Hanifah yang berpendapat bahwa sisa itu diberikan kepada orang yang bersamanya dalam akad mukatab dan yang telah merdeka.

وَقَالَ مَالِكٌ: يَكُونُ لِمَنْ كَانَ مَعَهُ فِي الْكِتَابَةِ دُونَ مَنْ كَانَ حُرًّا.

Malik berkata: Sisa itu diberikan kepada orang yang bersamanya dalam akad mukatab, bukan kepada yang telah merdeka.

وَالدَّلِيلُ عَلَى جَمِيعِهِمْ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ الْمُكَاتَبُ عَبْدٌ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ درهم؛ وَلِأَنَّ مَنْ مَنَعَهُ الرِّقُّ مِنْ أَنْ يَرِثَ منعه الرق أَنْ يُوَرَّثَ كَالْعَبْدِ.

Dalil bagi semuanya adalah riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Mukatab adalah budak selama masih ada satu dirham yang harus dibayarkan.” Dan karena siapa yang terhalang oleh status budak dari mewarisi, maka status budak juga menghalanginya untuk diwarisi, sebagaimana budak.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا الْمُعْتَقُ بَعْضُهُ فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ هَلْ يَرِثُ أَمْ لَا؟ فَحُكِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ يَرِثُ بِقَدْرِ مَا عَتَقَ منه ويحجب به، قَالَ الْمُزَنِيُّ وَعُثْمَانُ الْبَتِّيُّ وَحُكِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ يَرِثُ كُلَّ الْمَالِ كَالْأَحْرَارِ، وَبِهِ قَالَ أَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ، وَحُكِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رحمة الله عليهما أَنَّهُ لَا يَرِثُ بِحَالٍ، وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَمَالِكٌ؛ لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ تُكْمَلْ حُرِّيَّتُهُ فَأَحْكَامُ الرِّقِّ عَلَيْهِ جَارِيَةٌ، فَعَلَى هَذَا لَوْ مَاتَ حُرٌّ وَتَرَكَ ابْنًا حُرًّا وَابْنًا نَصْفُهُ حُرٌّ فَعَلَى قَوْلِ الْمُزَنِيِّ الْمَالُ بَيْنَهُمَا أَثْلَاثًا؛ لِأَنَّهُ مَقْسُومٌ عَلَى حُرِّيَّةٍ وَنِصْفٍ فَيَكُونُ لِلْحُرِّ ثُلُثَاهُ وَلِلَّذِي نِصْفُهُ حُرٌّ ثُلُثُهُ وَهُوَ الْمَرْوِيُّ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَعَلَى قَوْلِ أبي يوسف يَكُونُ الْمَالُ بَيْنَهُمَا بِالسَّوِيَّةِ لِاسْتِوَائِهِمَا فِي حُكْمِ الْحُرِّيَّةِ، وَهُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ الْمَالُ لِلْحُرِّ وَحْدَهُ وَهُوَ الْمَرْوِيُّ عَنْ عُمَرَ وَزَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، وَلَوْ تَرَكَ الْحُرُّ ابْنًا نِصْفُهُ حُرٌّ وَعَمًّا حُرًّا، على قَوْلِ الْمُزَنِيِّ لِلِابْنِ النِّصْفُ وَالْبَاقِي لِلْعَمِّ، وَعَلَى قَوْلِ أبي يوسف الْمَالُ كُلُّهُ لِلِابْنِ وَعَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ الْمَالُ كُلُّهُ لِلْعَمِّ، وَلَوْ تَرَكَ الْحُرُّ ابْنَيْنِ نِصْفُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حرا وَعَمًّا حُرًّا فَعَلَى قَوْلِ أبي يوسف الْمَالُ لِلِابْنَيْنِ، وَعَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ الْمَالُ لِلْعَمِّ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي قِيَاسِ قَوْلِ الْمُزَنِيِّ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun seseorang yang baru dimerdekakan sebagian (muktaq ba‘ḍuhu), para ulama berbeda pendapat apakah ia berhak mewarisi atau tidak. Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Ṭalib ra. bahwa ia mewarisi sesuai kadar yang telah dimerdekakan darinya dan dapat menghalangi (ahli waris lain) karenanya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh al-Muzani dan ‘Utsman al-Batti, serta diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas bahwa ia mewarisi seluruh harta seperti orang merdeka, dan ini pula pendapat Abu Yusuf dan Muhammad. Sedangkan dari ‘Umar bin al-Khattab dan Zaid bin Tsabit rahimahumallah, diriwayatkan bahwa ia sama sekali tidak mewarisi, dan ini pula pendapat asy-Syafi‘i dan Malik; karena apabila kemerdekaannya belum sempurna, maka hukum-hukum perbudakan masih berlaku atasnya. Berdasarkan hal ini, jika seorang merdeka meninggal dan meninggalkan seorang anak laki-laki merdeka dan seorang anak laki-laki yang setengahnya merdeka, menurut pendapat al-Muzani, harta dibagi tiga bagian; karena pembagian didasarkan pada kemerdekaan penuh dan setengah, sehingga yang merdeka mendapat dua pertiga dan yang setengah merdeka mendapat sepertiga, dan ini pula yang diriwayatkan dari ‘Ali as. Menurut pendapat Abu Yusuf, harta dibagi rata di antara keduanya karena keduanya sama dalam hukum kemerdekaan, dan ini pula yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas. Menurut pendapat asy-Syafi‘i, harta seluruhnya untuk yang merdeka saja, dan ini pula yang diriwayatkan dari ‘Umar dan Zaid ra. Jika orang merdeka meninggalkan seorang anak laki-laki yang setengahnya merdeka dan seorang paman yang merdeka, menurut pendapat al-Muzani, anak mendapat setengah dan sisanya untuk paman; menurut pendapat Abu Yusuf, seluruh harta untuk anak; dan menurut pendapat asy-Syafi‘i dan Malik, seluruh harta untuk paman. Jika orang merdeka meninggalkan dua anak laki-laki yang masing-masing setengahnya merdeka dan seorang paman yang merdeka, menurut pendapat Abu Yusuf, harta untuk kedua anak; menurut pendapat asy-Syafi‘i, harta untuk paman. Para ulama kami berbeda pendapat dalam qiyās atas pendapat al-Muzani menjadi dua wajah:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ لَهُمَا النِّصْفَ؛ لِأَنَّ لَهُمَا نِصْفَ الحرية والنصف الآخر للعم.

Pertama: Bahwa keduanya mendapat setengah; karena keduanya memiliki setengah kemerdekaan dan setengah lainnya untuk paman.

والوجه الثاني: أن يَجْمَعَ حُرِّيَّتَهُمَا فَيَكُونُ حُرِّيَّةُ ابْنٍ تَامٍّ فَيَكُونُ الْمَالُ بَيْنَهُمَا وَلَا شَيْءَ لِلْعَمِّ، فَلَوْ تَرَكَ الْحُرُّ ابْنًا وَبِنْتًا نَصِفُهَا حُرٌّ، فَعَلَى قَوْلِ أبي يوسف الْمَالُ بَيْنَهُمَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ، وَعَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ الْمَالُ كُلُّهُ لِلْحُرِّ من الابنين، وفيه على قَوْلِ الْمُزَنِيِّ وَجْهَانِ:

Wajah kedua: Menggabungkan kemerdekaan keduanya sehingga setara dengan satu anak yang sepenuhnya merdeka, maka harta dibagi di antara keduanya dan tidak ada bagian untuk paman. Jika orang merdeka meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang setengahnya merdeka, menurut pendapat Abu Yusuf, harta dibagi di antara keduanya dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan; menurut pendapat asy-Syafi‘i, seluruh harta untuk anak laki-laki yang merdeka penuh, dan dalam hal ini menurut pendapat al-Muzani ada dua wajah:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ لِلِابْنِ خَمْسَةَ أَسْدَاسِ الْمَالِ، وَلِلْبِنْتِ السُّدُسُ وَوَجْهُهُ أَنَّ الْبِنْتَ لَوْ كَانَتْ حُرَّةً لَكَانَ لِلِابْنِ الثُّلُثَانِ، وَلَهَا الثلث، ولو كانت أمة لكان لِلِابْنِ جَمِيعُ الْمَالِ، وَلَا شَيْءَ لَهَا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ لَهَا بِنِصْفِ الْحُرِّيَّةِ النِّصْفُ مِمَّا تَسْتَحِقُّهُ بِجَمِيعِ الْحُرِّيَّةِ، وَذَلِكَ السُّدُسُ وَيَرْجِعُ السُّدُسُ الْآخَرُ عَلَى الِابْنِ.

Pertama: Anak laki-laki mendapat lima per enam harta, dan anak perempuan mendapat seperenam. Alasannya, jika anak perempuan itu sepenuhnya merdeka, maka anak laki-laki mendapat dua pertiga dan ia sepertiga; jika ia budak, maka anak laki-laki mendapat seluruh harta dan ia tidak mendapat apa-apa. Maka, ia berhak atas separuh dari apa yang seharusnya ia dapatkan jika sepenuhnya merdeka, yaitu seperenam, dan seperenam sisanya kembali kepada anak laki-laki.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ لِلِابْنِ أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِ الْمَالِ وَلِلْبِنْتِ الْخُمُسُ.

Wajah kedua: Anak laki-laki mendapat empat per lima harta dan anak perempuan mendapat seperlima.

وَوَجْهُهُ: أَنَّ حُرِّيَّةَ الْبِنْتِ لَوْ كَمُلَتْ قَابَلَتْ نِصْفَ حُرِّيَّةِ الِابْنِ فَصَارَ نِصْفَ حُرِّيَّتِهَا يُقَابِلُ رُبُعَ حُرِّيَّةِ الِابْنِ، فَيُقَسِّمُ الْمَالَ عَلَى حُرِّيَّةٍ وَرُبُعٍ فَيَصِيرُ عَلَى خَمْسَةِ أَسْهُمٍ لِلِابْنِ أَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ وَلِلْبِنْتِ سَهْمٌ.

Alasannya, jika kemerdekaan anak perempuan sempurna, maka itu setara dengan setengah kemerdekaan anak laki-laki, sehingga setengah kemerdekaannya sebanding dengan seperempat kemerdekaan anak laki-laki. Maka, harta dibagi atas dasar satu kemerdekaan penuh dan seperempat, sehingga menjadi lima bagian: anak laki-laki mendapat empat bagian dan anak perempuan satu bagian.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا إِذَا مَاتَ هَذَا الْمُعْتَقُ نِصْفُهُ فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Adapun jika orang yang setengahnya merdeka itu meninggal, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ إِنَّهُ لَا يُوَرَّثُ، وَيَكُونُ لِسَيِّدِهِ لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَرِثْ بِحُرِّيَّتِهِ لَمْ يرث بهما.

Pertama: Ini adalah pendapatnya dalam qaul qadim dan juga pendapat Malik, bahwa ia tidak diwarisi, dan hartanya menjadi milik tuannya, karena jika ia tidak mewarisi karena kemerdekaannya, maka ia juga tidak diwarisi karenanya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ أَنَّهُ يكون مورثا عَنْهُ لِوَرَثَتِهِ دُونَ سَيِّدِهِ؛ لِأَنَّ السَّيِّدَ لَمْ يَكُنْ يَمْلِكُ ذَلِكَ عَنْهُ فِي حَيَاتِهِ فَكَذَلِكَ لَا يَمْلِكُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ.

Pendapat kedua: Ini adalah pendapatnya dalam qaul jadid, bahwa ia menjadi pewaris bagi ahli warisnya, bukan untuk tuannya; karena tuannya tidak memiliki hak atas harta itu semasa hidupnya, demikian pula setelah kematiannya.

وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ: يَكُونُ مَا كَانَ لَهُ بِالْحُرِّيَّةِ مُنْتَقِلًا إِلَى بَيْتِ الْمَالِ لَا يَمْلِكُهُ السَّيِّدُ لِأَنَّهُ لَا حَقَّ لَهُ فِي حُرِّيَّتِهِ وَلَا يُوَرَّثُ عَنْهُ لِبَقَاءِ أَحْكَامِ رِقِّهِ فَكَانَ أَوْلَى الْجِهَاتِ بِهِ بَيْتَ الْمَالِ وَلِهَذَا الْقَوْلِ عِنْدِي وَجْهٌ أراه والله أعلم.

Abu Sa’id al-Ishthakhri berkata: Harta yang dimiliki seseorang karena status kebebasannya berpindah ke Baitul Mal, tidak dimiliki oleh tuannya, karena tuannya tidak memiliki hak atas kebebasannya, dan tidak diwariskan darinya karena masih berlakunya hukum-hukum perbudakannya. Maka pihak yang paling berhak atas harta tersebut adalah Baitul Mal. Menurutku, pendapat ini memiliki dasar yang aku lihat, dan Allah lebih mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” والقاتلون عمدا أو خطأ ومن عمي موته كل هؤلاء “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Para pembunuh, baik sengaja maupun tidak sengaja, dan siapa saja yang kematiannya tidak jelas, semua mereka ini…”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لَا اخْتِلَافَ بَيْنَ الأمة أن قاتل العمد لا يرث عن مَقْتُولِهِ شَيْئًا مِنَ الْمَالِ وَلَا مِنَ الدِّيَةِ وإن ورث غيره الْخَوَارِجُ وَبَعْضُ فُقَهَاءِ الْبَصْرَةِ فَقَدْ حُكِيَ عَنْهُمْ توريث القاتل عمدا استصحابا لحاله قَبْلَ الْقَتْلِ، وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِمْ مَا رَوَاهُ مُجَاهِدٌ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” لَيْسَ لِقَاتِلٍ شَيْءٌ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, tidak ada perbedaan di antara umat bahwa pembunuh dengan sengaja tidak mewarisi sedikit pun dari harta atau diyat orang yang dibunuhnya. Meskipun sebagian kelompok seperti Khawarij dan sebagian fuqaha Basrah meriwayatkan bahwa pembunuh dengan sengaja tetap mewarisi berdasarkan keadaan sebelum pembunuhan, namun dalil yang membantah mereka adalah riwayat Mujahid dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada bagian apa pun bagi pembunuh.”

وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ الْقَاتِلُ لَا يَرِثُ.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Pembunuh tidak mewarisi.”

وَرَوَى عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا فَإِنَّهُ لَا يَرِثُهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَارِثٌ غَيْرُهُ وَإِنْ كَانَ والده أو ولده فليس لقاتل ميراث ” وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ رَاشِدٍ عَنْ مَكْحُولٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْقَاتِلُ عَمْدًا لَا يَرِثُ مِنْ أَخِيهِ وَلَا مِنْ ذِي قَرَابَتِهِ وَيَرِثُهُ أَقْرَبُ النَّاسِ إِلَيْهِ نسبا بعد القاتل “؛ لأن اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ اسْتِحْقَاقَ الْمِيرَاثِ تَوَاصُلًا بَيْنَ الأحياء والأموات لاجتماعهم على المولاة والقاتل قاطع للموالاة عَادِلٌ عَنِ التَّوَاصُلِ فَصَارَ أَسْوَأَ حَالًا مِنَ الْمُرْتَدِّ وَلِأَنَّهُ لَوْ وَرَّثَ الْقَاتِلَ لَصَارَ ذَلِكَ ذَرِيعَةً إِلَى قَتْلِ كُلِّ مُوَرِّثٍ رَغِبَ وَارِثُهُ فِي اسْتِعْجَالِ مِيرَاثِهِ، وَمَا أَفْضَى إِلَى مِثْلِ هَذَا فَالشَّرْعُ مَانِعٌ مِنْهُ.

Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang membunuh seseorang, maka ia tidak mewarisinya, meskipun tidak ada ahli waris lain selain dia, meskipun ia adalah ayah atau anaknya, maka pembunuh tidak mendapat warisan.” Muhammad bin Rasyid meriwayatkan dari Mak-hul, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Pembunuh dengan sengaja tidak mewarisi dari saudaranya maupun dari kerabatnya, dan yang mewarisinya adalah kerabat terdekat setelah pembunuh.” Karena Allah Ta‘ala menjadikan hak waris sebagai bentuk keterhubungan antara yang hidup dan yang mati karena adanya hubungan loyalitas, sedangkan pembunuh telah memutus loyalitas tersebut dan berpaling dari keterhubungan, sehingga ia menjadi lebih buruk keadaannya daripada murtad. Dan jika pembunuh tetap diwariskan, maka hal itu akan menjadi jalan bagi setiap ahli waris untuk membunuh pewarisnya demi mempercepat warisannya, dan segala sesuatu yang mengarah pada hal seperti ini, maka syariat melarangnya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا الْقَاتِلُ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَامِدًا فِي الْقَتْلِ قَاصِدًا لِلْإِرْثِ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِيهِ فَقَالَ مَالِكٌ: قَاتِلُ الْخَطَأِ يَرِثُ مِنَ الْمَالِ وَلَا يَرِثُ مِنَ الدِّيَةِ.

Adapun jika pembunuh tidak sengaja membunuh dan tidak berniat untuk mendapatkan warisan, maka para fuqaha berbeda pendapat tentangnya. Malik berkata: Pembunuh karena tidak sengaja mewarisi harta, tetapi tidak mewarisi diyat.

وَقَالَ الْحَسَنُ وَابْنُ سِيرِينَ: قَاتِلُ الْخَطَأِ يَرِثُ مِنَ الْمَالِ وَالدِّيَةِ جَمِيعًا.

Al-Hasan dan Ibnu Sirin berkata: Pembunuh karena tidak sengaja mewarisi baik harta maupun diyat seluruhnya.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَرِثُ قَاتِلُ الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ صَبِيًّا أَوْ مَجْنُونًا فَيَرِثُ وَكَذَلِكَ الْعَادِلُ إِذَا قَتَلَ بَاغِيًا وَرِثَهُ وَلَا يَرِثُ الْبَاغِي إِذَا قَتَلَ عادلا، ومال أبو يوسف ومحمد بن الحسن [إلى] إرث الْبَاغِي الْعَادِل كَمَا يَرِثُ الْعَادِلُ الْبَاغِي إِذَا كانا متأولين.

Abu Hanifah berkata: Pembunuh, baik sengaja maupun tidak sengaja, tidak mewarisi kecuali jika ia masih anak-anak atau gila, maka ia mewarisi. Begitu pula orang adil jika membunuh orang bughat (pemberontak), maka ia mewarisinya, dan pemberontak tidak mewarisi jika membunuh orang adil. Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan cenderung kepada pendapat bahwa pemberontak mewarisi orang adil sebagaimana orang adil mewarisi pemberontak jika keduanya bertindak berdasarkan penafsiran (ta’wil).

وقال الشافعي: كل قاتل يطلق عَلَيْهِ اسْمُ الْقَتْلِ مِنْ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ عَاقِلٍ أَوْ مَجْنُونٍ عَامِدٍ أَوْ خَاطِئٍ مُحِقٍّ أَوْ مُبْطِلٍ فَإِنَّهُ لَا يَرِثُ.

Syafi‘i berkata: Setiap pembunuh yang padanya berlaku istilah pembunuhan, baik kecil maupun besar, berakal maupun gila, sengaja maupun tidak sengaja, benar maupun salah, maka ia tidak mewarisi.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا مَالِكٌ فَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّ قَاتِلَ الْخَطَأِ يَرِثُ مِنَ الْمَالِ دُونَ الدِّيَةِ بِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ ” وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” يرث الزوج زَوْجَته مَالَهَا وَدِيَتَهَا وَتَرِثُ مِنْ زَوْجِهَا مَالَهُ وديته “.

Adapun Malik berdalil bahwa pembunuh karena tidak sengaja mewarisi harta tetapi tidak mewarisi diyat dengan sabda Nabi ﷺ: “Kesalahan, lupa, dan apa yang dipaksakan atas umatku telah diangkat (tidak dihukum).” Muhammad bin Sa‘id meriwayatkan dari Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Seorang suami mewarisi harta dan diyat istrinya, dan seorang istri mewarisi harta dan diyat suaminya.”

فإن قتله أحدهما عمدا لم يرثه وإن قتل خطأ ورث ماله دون ديته وَهَذَا نَصٌّ إِنْ صَحَّ، وَلِأَنَّ مَنْعَ الْقَاتِلِ مِنَ الْمِيرَاثِ عُقُوبَةٌ وَالْخَاطِئُ لَا عُقُوبَةَ عَلَيْهِ كَمَا لَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ عُمُومُ قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْقَاتِلُ لَا يَرِثُ ” وَرَوَى أَبُو قِلَابَةَ قَالَ: ” قَتَلَ رَجُلٌ أَخَاهُ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الْخُطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَلَمْ يُوَرِّثْهُ مِنْهُ “.

Jika salah satu dari keduanya membunuh pasangannya dengan sengaja, maka ia tidak mewarisinya. Jika membunuh karena tidak sengaja, ia mewarisi hartanya tetapi tidak diyatnya. Ini adalah nash jika sahih. Karena pencegahan pembunuh dari warisan adalah hukuman, sedangkan pelaku kesalahan tidak dikenai hukuman sebagaimana tidak ada qishash atasnya. Dalilnya adalah keumuman sabda Nabi ﷺ: “Pembunuh tidak mewarisi.” Abu Qilabah meriwayatkan: “Seorang laki-laki membunuh saudaranya pada masa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, maka Umar tidak mewariskannya dari saudaranya.”

وقال: ” يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّمَا قَتَلْتُهُ خَطَأً ” قَالَ: ” لَوْ قَتَلْتَهُ عَمْدًا لَأَقَدْنَاكَ بِهِ ” وَرَوَى خِلَاسٌ ” أَنَّ رَجُلًا قَذَفَ بِحَجَرٍ فَأَصَابَ أُمَّهُ فَقَتَلَهَا فَغَرَّمَهُ عَلِيُّ بِنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ الدِّيَةَ وَنَفَاهُ مِنَ الْمِيرَاثِ ” وَقَالَ: ” إِنَّمَا حَظُّكَ مِنْ مِيرَاثِهَا ذَاكَ الْحَجَرُ ” وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ سَقَطَ إِرْثُهُ عَنْ دِيَةِ مَقْتُولِهِ سَقَطَ عَنْ سائر ماله كالعامد لأن كُلَّ مَالٍ حُرِمَ إِرْثُهُ لَوْ كَانَ عَامِدًا حُرِمَ إِرْثُهُ وَإِنْ كَانَ خَاطِئًا كَالدِّيَةِ، فَأَمَّا قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” رفع عن أمتي الخطأ ” فَمَعْنَاهُ مَأْثَمُ الْخَطَأِ.

Ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku membunuhnya karena kesalahan.” Ali berkata, “Seandainya engkau membunuhnya dengan sengaja, niscaya kami akan menegakkan qishash atasmu.” Khilas meriwayatkan bahwa “ada seorang laki-laki melempar batu lalu mengenai ibunya hingga meninggal, maka Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam mewajibkan dia membayar diyat dan menafikannya dari warisan.” Ali berkata, “Sesungguhnya bagianmu dari warisannya hanyalah batu itu.” Karena setiap orang yang gugur hak warisnya dari diyat orang yang dibunuhnya, maka gugur pula haknya dari seluruh hartanya, seperti pembunuh sengaja. Sebab setiap harta yang diharamkan warisnya jika ia membunuh dengan sengaja, maka diharamkan pula warisnya meski ia membunuh karena kesalahan, seperti diyat. Adapun sabda Nabi ﷺ: “Diangkat dari umatku dosa karena kesalahan,” maksudnya adalah diangkat dosa kesalahan itu.

وَأَمَّا حَدِيثُ عَمْرِو بْنِ شعيب فمرسل وراوية مُحَمَّد بْن سَعِيدٍ الْمَصْلُوب صُلِبَ فِي الزَّنْدَقَةِ عَلَى مَا قِيلَ، ثُمَّ لَوْ سَلِمَ لَحُمِلَ عَلَى إِرْثِ مَا اسْتَحَقَّهُ مِنْ دَيْنٍ أَوْ صَدَاقٍ.

Adapun hadis ‘Amr bin Syu‘aib adalah mursal, dan perawinya, Muhammad bin Sa‘id al-Mashlub, menurut sebagian riwayat telah disalib karena tuduhan zindiq. Kemudian, seandainya hadis itu sahih pun, maka maksudnya adalah warisan atas hak yang memang menjadi miliknya, seperti piutang atau mahar.

وَأَمَّا قَوْلُهُمْ أنَّ الْخَاطِئَ لَا يُعَاقَبُ بِمَنْعِ الْمِيرَاثِ قُلْنَا هَلَّا أَنْكَرْتُمْ بِذَلِكَ وُجُوبَ الدِّيَةِ عَلَيْهِ وَالْكَفَّارَةِ.

Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku pembunuhan karena kesalahan tidak dihukum dengan pencegahan warisan, kami katakan: Mengapa kalian tidak mengingkari pula kewajiban membayar diyat dan kafarat atasnya?

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا أَبُو حَنِيفَةَ فَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْقَاتِلَ إِذَا كَانَ صَبِيًّا أَوْ مَجْنُونًا وَرِثَ وَهَكَذَا مَنْ قَتَلَ بِسَبَبٍ كَحَافِرِ الْبِئْرِ وَوَاضِعِ الْحَجَرِ بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يحتلم وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَفِيقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَنْتَبِهَ ” فَاقْتَضَى عُمُومُ ذَلِكَ رَفْعَ الْأَحْكَامِ عَنْهُ.

Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa pembunuh, jika ia masih anak-anak atau gila, tetap mewarisi. Begitu pula orang yang membunuh karena sebab, seperti penggali sumur atau orang yang meletakkan batu, berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Pena (catatan amal) diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil sampai ia baligh, dari orang gila sampai ia sadar, dan dari orang tidur sampai ia bangun.” Maka keumuman hadis ini menunjukkan diangkatnya hukum-hukum dari mereka.

قَالَ: وَلِأَنَّ كُلَّ عُقُوبَةٍ تَعَلَّقَتْ بِالْقَتْلِ سَقَطَتْ عَنِ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ كَالْقَوَدِ وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَيْسَ لِقَاتِلٍ شَيْءٌ “.

Ia berkata: Karena setiap hukuman yang berkaitan dengan pembunuhan gugur dari anak kecil dan orang gila, seperti qishash. Dalil kami adalah keumuman sabda Nabi ﷺ: “Tidak ada bagian bagi pembunuh.”

وَلِأَنَّ مَوَانِعَ الْإِرْثِ يَسْتَوِي فِيهَا الصَّغِيرُ وَالْكَبِيرُ وَالْمَجْنُونُ وَالْعَاقِلُ كَالْكُفْرِ وَالرِّقِّ، ولأنه قتل مضمون وجب أن يمنع الإرث كالبالغ العاقل ولأن كل فِعْل لَوْ صَدَرَ عَنِ الْكَبِيرِ قَطَعَ التَّوَارُثَ فَإِذَا صَدَرَ عَنِ الصَّغِيرِ وَجَبَ أَنْ يَقْطَعَ التَّوَارُثَ.

Karena penghalang waris berlaku sama bagi anak kecil dan dewasa, orang gila dan berakal, seperti kekufuran dan perbudakan. Dan karena pembunuhan yang mengharuskan jaminan (diyat) wajib mencegah warisan, sebagaimana orang dewasa yang berakal. Dan setiap perbuatan yang jika dilakukan oleh orang dewasa memutuskan pewarisan, maka jika dilakukan oleh anak kecil pun wajib memutuskan pewarisan.

أَصْلُهُ فَسْخُ النِّكَاحِ وَلِأَنَّ مَنْعَ الْقَاتِلِ من الإرث لا يخلو أن يكون بمكان الإرث فَهُوَ مَا يَقُولُهُ مَنْ مَنَعَ الْإِرْثَ لِكُلِّ مَنِ انْطَلَقَ عَلَيْهِ الِاسْمُ أَوْ يَكُونُ لِأَجْلِ التُّهْمَةِ فَقَدْ يَخْفَى ذَلِكَ مِنَ الْخَاطِئِ وَالْمَجْنُونِ وَالصَّبِيِّ لِاحْتِمَالِ قَصْدِهِمْ وَتظَاهِرهمْ بِمَا يَنْفِي التُّهْمَةَ عَنْهُمْ، فَلَمَّا خَفِيَ ذَلِكَ مِنْهُمْ صَارَ التَّحْرِيمُ عاما كالخمر التي حرمت ولأنها تَصُدُّ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَحَسَمَ اللَّهُ تَعَالَى الْبَابَ فِي تَحْرِيمِ قَلِيلِهَا وَكَثِيرِهَا وإن كان قليلا لا يصد لاشتباه الأمر بما يصد.

Dasarnya adalah pembatalan nikah. Dan karena pencegahan pembunuh dari warisan tidak lepas dari dua kemungkinan: karena status warisan itu sendiri—ini adalah pendapat yang melarang warisan bagi siapa saja yang terkena nama (pembunuh)—atau karena tuduhan, padahal hal itu bisa samar pada pelaku kesalahan, orang gila, dan anak kecil, karena kemungkinan adanya niat mereka dan penampakan mereka yang meniadakan tuduhan dari mereka. Maka ketika hal itu samar dari mereka, larangan menjadi umum, seperti khamar yang diharamkan karena dapat menghalangi dari mengingat Allah dan shalat, maka Allah menutup pintu dengan mengharamkan sedikit maupun banyaknya, meskipun sedikit tidak menghalangi, karena kemiripan perkara dengan yang menghalangi.

فأما قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” رفع القلم عن ثلاث ” فإنما أراد به رفع المأثم، وليس رفع الْإِرْثِ مُتَعَلِّقًا بِرَفْعِ الْمَأْثَمِ كَالْخَاطِئِ وَالنَّائِمِ لَا مَأْثَمَ عَلَيْهِمَا وَلَوِ انْقَلَبَ نَائِمٌ عَلَى مُوَرِّثِهِ فَقَتَلَهُ لَمْ يَرِثْهُ بِوِفَاقٍ مِنْ أبي حنيفة، وَهَكَذَا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ مَنْعَ الْإِرْثِ عُقُوبَةٌ فَأَشْبَهَ الْقَوَدَ، لِأَنَّ الْخَاطِئَ لَا عُقُوبَةَ عَلَيْهِ وَكَذَلِكَ الْمُسْلِمُ يُمْنَعُ مِنْ مِيرَاثِ الْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَحِقَّ الْعُقُوبَةَ.

Adapun sabda Nabi ﷺ: “Pena diangkat dari tiga golongan,” maksudnya adalah diangkatnya dosa, bukan diangkatnya warisan. Karena warisan tidak berkaitan dengan diangkatnya dosa, seperti pelaku kesalahan dan orang tidur, keduanya tidak berdosa. Seandainya orang tidur berbalik menindih pewarisnya lalu membunuhnya, ia tidak mewarisinya, menurut kesepakatan Abu Hanifah. Demikian pula jawaban atas pernyataan mereka bahwa pencegahan warisan adalah hukuman sehingga disamakan dengan qishash, padahal pelaku kesalahan tidak dikenai hukuman. Begitu pula seorang Muslim dapat dicegah dari mewarisi Muslim lain meskipun ia tidak layak mendapat hukuman.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَمَهَّدَ مَا وَصَفْنَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْقَتْلِ إِذَا حَدَثَ عَنِ الْوَارِثِ مِنْ أَنْ يَكُونَ عَنْ سَبَبٍ أَوْ مُبَاشَرَةٍ فَإِنْ كَانَ عَنْ سَبَبٍ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Setelah penjelasan di atas, maka keadaan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris tidak lepas dari dua kemungkinan: karena sebab atau secara langsung. Jika karena sebab, maka terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا يُوجِبَ الضَّمَانَ، كرجل حفرا بئرا في ملكه فسقط فيه أَخُوهُ أَوْ سَقَطَ حَائِطُ دَارِهِ عَلَى ذِي قرابته أو وضع في داره حجر فَعَثَرَ بِهِ فَإِذَا مَاتَ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ كُلِّهَا لَمْ يَسْقُطْ مِيرَاثُهُ بِشَيْءٍ مِنْهَا لِأَنَّهُ غَيْرُ مَنْسُوبٍ إِلَى الْقَتْلِ لَا اسْمًا وَلَا حُكْمًا.

Pertama: Tidak mewajibkan adanya tanggungan (dhamān), seperti seseorang yang menggali sumur di tanah miliknya lalu saudaranya jatuh ke dalamnya, atau tembok rumahnya roboh menimpa kerabatnya, atau ia meletakkan batu di rumahnya lalu ada yang tersandung olehnya. Jika dalam semua keadaan ini orang tersebut meninggal, maka warisannya tidak gugur karena salah satu dari sebab-sebab itu, karena hal tersebut tidak dinisbatkan sebagai pembunuhan, baik secara istilah maupun hukum.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ السَّبَبُ مُوجِبًا لِلضَّمَانِ كَوَضْعِهِ حَجَرًا فِي طَرِيقٍ أَوْ حَفْرِ بِئْرٍ فِي غَيْرِ مِلْكٍ أَوْ سُقُوطِ جَنَاحٍ مِنْ دَارِهِ فَإِذَا هَلَكَ بِذَلِكَ ذُو قَرَابَتِهِ لم يرثه عند الشافعي وورثه أبو حنيفة.

Jenis kedua: Sebab yang mewajibkan adanya tanggungan (dhamān), seperti meletakkan batu di jalan, atau menggali sumur di tanah yang bukan miliknya, atau robohnya bagian rumahnya ke luar. Jika kerabatnya meninggal karena sebab tersebut, menurut Imam Syafi‘i ia tidak mewarisinya, sedangkan menurut Abu Hanifah ia tetap mewarisinya.

وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ: مَا كَانَ فِيهِ مُتَّهَمًا لَمْ يَرِثْهُ بِهِ وَمَا كان منه غير متهم فيه ورثه هذا يَنْكَسِرُ بِالْخَاطِئِ.

Abu al-‘Abbas bin Surayj berkata: Jika dalam kasus tersebut ia dicurigai, maka ia tidak mewarisinya; dan jika ia tidak dicurigai, maka ia tetap mewarisinya. Namun pendapat ini menjadi lemah dalam kasus pembunuhan karena kesalahan (khatha’).

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْقَتْلُ مُبَاشَرَة فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: Pembunuhan yang dilakukan secara langsung, dan ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بَغَيْرِ حَقٍّ فَيَكُونُ مَانِعًا مِنَ الْمِيرَاثِ فِي جَمِيعِ الْأَحْوَالِ مِنْ عَمْدٍ أَوْ خَطَأٍ فِي صِغَرٍ أَوْ كِبَرٍ فِي عَقْلٍ أَوْ جُنُونٍ.

Pertama: Pembunuhan tanpa hak, maka ini menjadi penghalang warisan dalam semua keadaan, baik disengaja maupun tidak, baik saat kecil maupun dewasa, dalam keadaan berakal maupun gila.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بِحَقٍّ كَالْقِصَاصِ وَمَا فِي مَعْنَاهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: Pembunuhan dengan hak, seperti qishāsh dan yang semakna dengannya, maka ini juga terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَتْلًا هُوَ مُخَيَّرٌ فِي فِعْلِهِ وَتَرْكِهِ كالقود إذا أوجب لَهُ فَلَا يَرِثُ بِهِ.

Pertama: Pembunuhan yang pelakunya diberi pilihan untuk melakukannya atau tidak, seperti qishāsh jika telah ditetapkan untuknya, maka ia tidak mewarisinya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يكون قتلا واجبا كالحاكم والإمام إِذَا قَتَلَ أَخَاهُ قَوَدًا لِغَيْرِهِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ لَا مِيرَاثَ لَهُ اعْتِبَارًا بِالِاسْمِ.

Jenis kedua: Pembunuhan yang wajib dilakukan, seperti hakim atau imam yang membunuh saudaranya dalam rangka qishāsh untuk orang lain. Menurut mazhab Syafi‘i, ia tidak mendapatkan warisan karena mempertimbangkan nama (status) pembunuh.

وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ: إِنْ قَتَلَهُ بِالْبَيِّنَةِ لَمْ يَرِثْهُ؛ لِأَنَّهُ متهومٌ فِي تَعْدِيلِهَا وإن قتله بإقراره ورثه لأنه غير متهوم.

Abu al-‘Abbas bin Surayj berkata: Jika ia membunuhnya berdasarkan bukti (bayyinah), maka ia tidak mewarisinya karena ia dicurigai dalam penilaian bukti tersebut. Namun jika ia membunuhnya berdasarkan pengakuan, maka ia tetap mewarisinya karena ia tidak dicurigai.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَمِنْ فُرُوعِ مَا مَهَّدْنَاهُ أَنَّ ثَلَاثَةَ إِخْوَةٍ لَوْ قَتَلَ أَحَدُهُمْ أَبَاهُمْ عَمْدًا كَانَ مِيرَاثُ الْأَبِ لِلْأَخَوَيْنِ سِوَى الْقَاتِلِ، وَلَهُمَا قَتْلُ الْقَاتِلِ فَإِنْ قَتَلَاهُ قَوَدًا لَمْ يَرِثَاهُ فَلَوْ لَمْ يَقْتُلَاهُ حَتَّى مَاتَ أَحَدُهُمَا كَانَ مِيرَاثُهُ بين القاتل والثاني مِنْهُمَا؛ لِأَنَّ الْقَاتِلَ لَا يَرِثُ مَقْتُولَهُ، وَيَرِثُ غَيْرُهُ وَلَيْسَ لِلْأَخِ الْبَاقِي أَنْ يَقْتُلَ قَاتِلَ أَبِيهِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ وَرِثَ مِنْ أَخِيهِ نِصْفَ حق وَذَلِكَ رُبُعُ دَمِ نَفْسِهِ فَسَقَطَ عَنْهُ الْقَوَدُ لِأَنَّ مَنْ مَلَكَ بَعْضَ نَفْسِهِ سَقَطَ عَنْهُ الْقَوَدُ وَوَجَبَ عَلَيْهِ لِأَخِيهِ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ دَمِ أبيه نصفه لميراثه عَنْ أَبِيهِ وَرُبُعُهُ بِمِيرَاثِهِ عَنْ أَخِيهِ.

Di antara cabang dari apa yang telah kami jelaskan adalah: jika ada tiga bersaudara, lalu salah satu dari mereka membunuh ayahnya secara sengaja, maka warisan ayah diberikan kepada dua saudara lainnya selain si pembunuh, dan keduanya berhak membunuh si pembunuh. Jika keduanya membunuh si pembunuh dengan qishāsh, maka mereka tidak mewarisinya. Namun jika mereka tidak membunuhnya hingga salah satu dari keduanya meninggal, maka warisan orang yang meninggal itu dibagi antara si pembunuh dan saudara yang masih hidup; karena si pembunuh tidak mewarisi orang yang dibunuhnya, namun ia mewarisi selainnya. Saudara yang tersisa tidak berhak membunuh pembunuh ayahnya, karena ia telah mewarisi setengah hak dari saudaranya, yaitu seperempat darah dirinya sendiri, sehingga gugurlah hak qishāsh darinya. Barang siapa memiliki sebagian dari dirinya sendiri, maka gugur hak qishāsh darinya. Maka wajib bagi si pembunuh kepada saudaranya tiga perempat darah ayahnya: setengahnya karena warisan dari ayahnya, dan seperempatnya karena warisan dari saudaranya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَمِنْ فُرُوعِهِ أَيْضًا لَوْ أَنَّ أَخَوَيْنِ وَأُخْتًا لِأَبٍ وَأُمٍّ قَتَلَ أَحَدُ الْأَخَوَيْنِ أُمَّهُمْ عَمْدًا وَأَبُوهُمْ وَارِثُهَا كَانَ مِيرَاثُ الْأُمِّ بَيْنَ زَوْجِهَا وابنها وبنتها عَلَى أَرْبَعَةِ أَسْهُمٍ، وَعَلَى الْقَاتِلِ الْقَوَدُ لِأَبِيهِ وَأَخِيهِ وَأُخْتِهِ فَلَوْ لَمْ يَقْتَصُّوا مِنْهُ حَتَّى مَاتَتِ الْأُخْتُ كَانَ لِلْأَبِ وَالْأَخِ غَيْرِ الْقَاتِلِ أَنْ يَقْتُلَاهُ لِأَنَّ مِيرَاثَ الْأُخْتِ صَارَ إِلَى الأب فلم يرث القاتل منه شَيْئًا فَلَوْ مَاتَ الْأَبُ سَقَطَ الْقَوَدُ عَنِ الْقَاتِلِ، لِأَنَّ مِيرَاثَهُ صَارَ إِلَيْهِ وَإِلَى أَخِيهِ، وَصَارَ لِلْأَخِ عَلَى الْقَاتِلِ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ دَمِ الأم، لأن الأب قد كان ورث منهما بالزوجية الربع وورث عن بِنْتِهِ الرُّبُعَ فَصَارَ لَهُ بِالْمِيرَاثِ النِّصْفُ، وَلِلْأَخِ النِّصْفُ ثُمَّ مَاتَ الْأَبُ عَنِ النِّصْفِ فَصَارَ بين القاتل والأخ نصفين والله أعلم.

Di antara cabangnya juga: jika ada dua saudara laki-laki dan satu saudara perempuan seayah seibu, lalu salah satu saudara laki-laki membunuh ibu mereka secara sengaja, dan ayah mereka adalah ahli warisnya, maka warisan ibu dibagi antara suaminya, anak laki-lakinya, dan anak perempuannya menjadi empat bagian. Atas si pembunuh, qishāsh menjadi hak ayah, saudara laki-laki, dan saudara perempuannya. Jika mereka belum menuntut qishāsh hingga saudara perempuan meninggal, maka ayah dan saudara laki-laki selain si pembunuh berhak membunuhnya, karena warisan saudara perempuan telah berpindah kepada ayah, sehingga si pembunuh tidak mewarisi darinya sedikit pun. Jika ayah meninggal, maka gugurlah qishāsh dari si pembunuh, karena warisan ayah berpindah kepadanya dan kepada saudaranya, sehingga saudara laki-laki berhak atas si pembunuh tiga perempat darah ibu: karena ayah telah mewarisi seperempatnya sebagai suami, dan seperempat lagi dari anak perempuannya, sehingga ia memiliki setengahnya melalui warisan, dan saudara laki-laki setengahnya. Kemudian ayah meninggal atas setengah itu, lalu dibagi antara si pembunuh dan saudaranya masing-masing setengah. Wallahu a‘lam.

مسألة:

Masalah:

قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَمَنْ عَمِيَ مَوْتُهُ صنفان عرقى وَمَفْقُودُونَ. فَأَمَّا الْغَرْقَى وَمَنْ ضَارَعَهُمْ مِنَ الْمَوْتَى تَحْتَ هَدْمٍ أَوْ فِي حَرِيقٍ فَلَا يَخْلُو حالهم من أربعة أقسام:

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Orang yang tidak jelas kematiannya terbagi menjadi dua golongan: orang yang tenggelam dan orang yang hilang. Adapun orang yang tenggelam dan yang semisal dengan mereka dari orang-orang yang meninggal di bawah reruntuhan atau dalam kebakaran, maka keadaan mereka tidak lepas dari empat bagian:

أحدهما: أن يعلم ويتيقن مَوْتهُمْ فِيمَنْ تَقَدَّمَ مِنْهُمْ وَتَأَخَّرَ فَهَذَا يُوَرّثُ الْمُتَأَخِّر مِنَ الْمُتَقَدِّمِ، وَلَا يُوَرّثُ الْمُتَقَدِّمَ مِنَ الْمُتَأَخِّرِ وَهَذَا إِجْمَاعٌ.

Pertama: Diketahui dan diyakini kematian mereka, siapa yang lebih dahulu dan siapa yang belakangan, maka yang meninggal belakangan mewarisi dari yang meninggal lebih dahulu, dan yang meninggal lebih dahulu tidak mewarisi dari yang meninggal belakangan. Ini merupakan ijmā‘.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُعْلَمَ يَقِينُ مَوْتِهِمْ أَنَّهُ كَانَ فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ لَمْ يَتَقَدَّمْ بَعْضهم عَلَى بَعْضٍ فَهَذَا يُقْطَعُ فِيهِ التَّوَارُثُ بَيْنَهُمْ بِإِجْمَاعٍ.

Bagian kedua: Yaitu apabila diketahui secara yakin kematian mereka bahwa mereka berada dalam satu keadaan yang sama, tidak ada satu pun dari mereka yang mendahului yang lain, maka dalam hal ini terputuslah saling mewarisi di antara mereka berdasarkan ijmā‘.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يقطع أَيُّهُمْ مَاتَ قَبْلَ صَاحِبِهِ ثُمَّ يَطْرَأَ الْإِشْكَالُ بَعْدَ الْعِلْمِ بِهِ فَهَذَا يُوقِفُ مِنْ تَرِكَةِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مِيرَاثَ مَنْ كَانَ مَعَهُ وَيُقَسَّمُ مَا سِوَاهُ بَيْنَ الْوَرَثَةِ وَيَكُونُ الْمَوْقُوفُ مَوْضُوعًا حَتَّى يَزُولَ الشَّكُّ أَوْ يَقَعَ فِيهِ الصُّلْحُ.

Bagian ketiga: Yaitu apabila dipastikan siapa di antara mereka yang meninggal lebih dahulu dari yang lain, kemudian setelah diketahui hal itu timbul keraguan, maka dalam hal ini bagian warisan dari masing-masing mereka yang menjadi hak orang yang bersamanya ditahan, dan sisanya dibagikan kepada para ahli waris. Adapun bagian yang ditahan tetap dibiarkan hingga keraguan hilang atau tercapai kesepakatan (ṣulḥ) mengenai hal itu.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَقَعَ الشَّكُّ فِيهِمْ فَلَا يُعْلَمُ هَلْ مَاتُوا مَعًا أَوْ تَقَدَّمَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ ثُمَّ لَا يُعْلَمُ الْمُتَقَدِّمُ مِنَ الْمُتَأَخِّرِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يَقْطَعُ التَّوَارُثَ بَيْنَ بَعْضِهِمْ مِنْ بَعْضٍ. وَيَدْفَعُ مِيرَاثَ كُلِّ وَاحِدٍ إِلَى غَيْرِ مَنْ هَلَكَ مَعَهُ مِنْ وَرَثَتِهِ.

Bagian keempat: Yaitu apabila terjadi keraguan di antara mereka sehingga tidak diketahui apakah mereka meninggal bersamaan atau sebagian mendahului yang lain, dan tidak diketahui siapa yang lebih dahulu dan siapa yang belakangan, maka menurut mazhab Syafi‘i, terputuslah saling mewarisi di antara mereka. Warisan masing-masing diberikan kepada ahli warisnya selain yang meninggal bersamanya.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ أَبُو بَكْرٍ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَالْحُسْنُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ، وَأَصَحُّ الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.

Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat: Abu Bakar, Ibnu ‘Abbas, Zaid bin Tsabit, Mu‘adz bin Jabal, dan al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib raḍiyallāhu ‘anhum, serta riwayat yang paling sahih dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu.

وَمِنَ التَّابِعِينَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَخَارِجَةُ بْنُ زَيْدِ بْنِ ثابت وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وأبو حنيفة وَأَصْحَابُهُ وَالزُّهْرِيُّ.

Dari kalangan tabi‘in: ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz dan Khārijah bin Zaid bin Tsabit, dan dari kalangan fuqahā’: Mālik, Abu Ḥanīfah dan para pengikutnya, serta az-Zuhrī.

وقال إياس بن عبد الرحمن أُوَرِّثُ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ مِنْ تِلَادِ أَمْوَالِهِمْ ولا أورث ميتا من ميت مما وَرِثَهُ عَنْ ذَلِكَ الْمَيِّتِ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَإِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا.

Iyās bin ‘Abd ar-Raḥmān berkata, “Aku mewariskan sebagian dari mereka kepada sebagian yang lain dari harta asal mereka, dan aku tidak mewariskan orang yang mati dari orang mati lainnya dari apa yang diwarisinya dari mayit tersebut.” Pendapat ini juga dipegang oleh sahabat ‘Ali bin Abi Thalib dan salah satu riwayat dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhumā.

وَمِنَ التَّابِعِينَ شُرَيْحٌ وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ.

Dari kalangan tabi‘in: Syu‘raih dan al-Ḥasan al-Baṣrī.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الشَّعْبِيُّ وَالنَّخَعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ وَابْنُ أَبِي لَيْلَى وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ إِشْكَالَ التَّوَارُثِ لَا يَمْنَعُ مِنِ اسْتِحْقَاقِهِ كَالْخُنَاثَى.

Dari kalangan fuqahā’: asy-Sya‘bī, an-Nakha‘ī, ats-Tsaurī, Ibnu Abī Lailā, dan Isḥāq bin Rāhawayh, dengan alasan bahwa keraguan dalam pewarisan tidak menghalangi hak waris, sebagaimana pada kasus khuntsā.

وَالدَّلِيلُ عَلَى سُقُوطِ التوارث بينهم أن من أشكل استحقاقه لَمْ يُحْكُمْ لَهُ بِالْمِيرَاثِ كَالْجَنِينِ، وَكَمَا لَوْ أَعْتَقَ عَبْدًا مَاتَ أَخُوهُ وَأَشْكَلَ هَلْ كَانَ عتقه قبل موته أو بعده لم يرثه بِالْإِشْكَالِ، وَلِأَنَّ مَنْ لَمْ يَرِثْ بَعْضَ الْمَالِ لم يرث باقيه كالأجانب فأما الخناثى فَإِنَّمَا وَقَفَ أَمْرُهُ مَعَ الْإِشْكَالِ، لِأَنَّ بَيَانَهُ مَرْجُوٌّ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْغَرْقَى لِفَوَاتِ الْبَيَانِ.

Dalil atas gugurnya saling mewarisi di antara mereka adalah bahwa siapa pun yang status hak warisnya masih samar, tidak diputuskan baginya hak waris, seperti janin. Demikian pula jika seseorang memerdekakan budak, lalu saudaranya meninggal, dan tidak diketahui apakah pembebasan itu terjadi sebelum atau sesudah kematian saudaranya, maka ia tidak mewarisinya karena adanya keraguan. Dan karena siapa yang tidak mewarisi sebagian harta, maka ia juga tidak mewarisi sisanya, seperti orang luar (bukan ahli waris). Adapun khuntsā, statusnya ditangguhkan karena keraguan, sebab penjelasan (tentang statusnya) masih mungkin terjadi, berbeda dengan kasus orang yang tenggelam, karena penjelasan sudah tidak mungkin lagi.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَعَلَى هَذَا لَوْ غَرِقَ أَخَوَانِ أَحَدهُمَا مَوْلَى هَاشِمٍ وَالْآخَرُ مَوْلَى تَمِيمٍ وَلَمْ يُعْلَمْ أَيُّهُمَا مَاتَ قَبْلَ صَاحِبِهِ فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ يُقْطَعُ التَّوَارُثُ بَيْنَ الْأَخَوَيْنِ وَيُجْعَلُ ميراث الهاشمي لمولاه وميراث التميمي أولاه، وَعَلَى قَوْلِ إِيَاسٍ، وَمَنْ وَرَّثَ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ قَالَ: مِيرَاثُ الْهَاشِمِيِّ لِأَخِيهِ التَّمِيمِيِّ، ثُمَّ مات التميمي يورثه مولاه، وَمِيرَاثُ التَّمِيمِيِّ لِأَخِيهِ الْهَاشِمِيِّ ثُمَّ مَاتَ الْهَاشِمِيُّ فورثه مولاه ثم مات التميمي وورثه مَوْلَاهُ فَيَصِيرُ مَالُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِمَوْلَى أَخِيهِ، فَلَوْ خَلَّفَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا زَوْجَةً وَبِنْتًا: فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، وَمَنْ لَمْ يُوَرِّثْ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ: يَجْعَلُ مِيرَاثَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِزَوْجَتِهِ مِنْهُ الثُّمُنَ، وَلَبِنَتِهِ النِّصْفَ، وَالْبَاقِي لِمَوْلَاهُ، وَعَلَى قَوْلِ إِيَاسٍ وَمَنْ وَرَّثَ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ جَعَلَ مِيرَاثَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بَيْنَ زَوْجَتِهِ وَبِنْتِهِ وَأَخِيهِ عَلَى ثَمَانِيَةِ أَسْهُمٍ كل واحد منهما من زوجته وبنته وأخيه لِلزَّوْجَةِ الثُّمُنُ سَهْمٌ، وَلِلْبِنْتِ النِّصْفُ أَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ، وللأخ ثلاثة أسهم ثم تقسم أَسْهُمُ الْأَخِ الثَّلَاثَة بَيْنَ الْأَحْيَاءِ مِنْ وَرَثَتِهِ وَهُمْ زَوْجَةٌ، وَبِنْتٌ، وَمَوْلَى فَتَكُونُ عَلَى ثَمَانِيَةٍ، وهي غير منقسمة عليهم وَلَا مُوَافِقَةٍ، فَاضْرِبْ ثَمَانِيَةً فِي ثَمَانِيَةٍ تَكُنْ أَرْبَعَةً وَسِتِّينَ سَهْمًا، فَاقْسِمْ مَالَ كُلِّ وَاحِدٍ منهما على أربعة وستين، لزوجته ثمن ثَمَانِيَةُ أَسْهُمٍ، وَلِبِنْتِهِ النِّصْفُ اثْنَانِ وَثَلَاثُونَ سَهْمًا، وَلِأَخِيهِ أَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ سَهْمًا تُقَسَّمُ بَيْنَ الْأَحْيَاءِ من ورثته معهم زوجته وَبِنْتٌ وَمَوْلَى، فَيَكُونُ لِزَوْجَتِهِ مِنْهَا الثُّمُنُ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ، وَلَبِنَتِهِ النِّصْفُ اثْنَا عَشَرَ سَهْمًا، وَلِمَوْلَاهُ مَا بَقِيَ وَهُوَ تِسْعَةُ أَسْهُمٍ.

Berdasarkan hal ini, jika dua saudara tenggelam, salah satunya adalah maula (bekas budak) dari Bani Hasyim dan yang lainnya maula dari Bani Tamim, dan tidak diketahui siapa di antara keduanya yang meninggal lebih dahulu, maka menurut mazhab asy-Syafi‘i dan siapa saja yang mengikuti pendapatnya, terputuslah saling mewarisi antara kedua saudara tersebut. Warisan milik orang Hasyimi diberikan kepada maulanya, dan warisan milik orang Tamimi diberikan kepada maulanya. Sedangkan menurut pendapat Iyās dan siapa saja yang membolehkan sebagian mereka mewarisi dari sebagian yang lain, dikatakan: warisan orang Hasyimi diberikan kepada saudaranya yang Tamimi, lalu ketika Tamimi meninggal, warisan itu diwariskan kepada maulanya. Dan warisan orang Tamimi diberikan kepada saudaranya yang Hasyimi, lalu ketika Hasyimi meninggal, warisan itu diwariskan kepada maulanya, kemudian ketika Tamimi meninggal, warisan itu diwariskan kepada maulanya. Maka harta masing-masing dari keduanya akan berakhir pada maula saudaranya. Jika masing-masing dari mereka meninggalkan seorang istri dan seorang anak perempuan, maka menurut mazhab asy-Syafi‘i dan siapa saja yang tidak membolehkan sebagian mereka mewarisi dari sebagian yang lain, warisan masing-masing diberikan kepada istrinya seperdelapan, kepada anak perempuannya setengah, dan sisanya kepada maulanya. Sedangkan menurut pendapat Iyās dan siapa saja yang membolehkan sebagian mereka mewarisi dari sebagian yang lain, warisan masing-masing dibagi antara istrinya, anak perempuannya, dan saudaranya menjadi delapan bagian: untuk istri seperdelapan, satu bagian; untuk anak perempuan setengah, empat bagian; untuk saudara tiga bagian. Kemudian tiga bagian milik saudara dibagi lagi kepada ahli waris yang masih hidup, yaitu istri, anak perempuan, dan maula, sehingga menjadi delapan bagian, yang mana tidak dapat dibagi rata di antara mereka dan tidak ada kesesuaian. Maka kalikan delapan dengan delapan, hasilnya enam puluh empat bagian. Bagilah harta masing-masing dari mereka atas enam puluh empat bagian: untuk istrinya seperdelapan, delapan bagian; untuk anak perempuannya setengah, tiga puluh dua bagian; untuk saudaranya dua puluh empat bagian, yang kemudian dibagi lagi kepada ahli waris yang masih hidup, yaitu istri, anak perempuan, dan maula. Maka bagian istri dari tiga bagian itu seperdelapan, yaitu tiga bagian; bagian anak perempuan setengah, yaitu dua belas bagian; dan bagian maula sisanya, yaitu sembilan bagian.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْمَفْقُودُ إِذَا طَالَتْ غَيْبَتُهُ فَلَمْ يُعْلَمْ لَهُ مَوْتٌ وَلَا حَيَاةٌ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ عَلَى حُكْمِ الْحَيَاةِ حَتَّى تَمْضِيَ عَلَيْهِ مُدَّةٌ يُعْلَمُ قَطْعًا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَعِيشَ بَعْدَهَا، فَيُحْكَمُ حِينَئِذٍ بِمَوْتِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَقَدَّرَ ذلك بزمان محصور وهذا ظَاهِرُ مَذْهَبِ أبي حنيفة وَمَالِكٍ.

Adapun orang yang hilang (mafqūd), jika masa ketidakhadirannya berlangsung lama dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati, maka menurut mazhab asy-Syafi‘i, ia tetap dihukumi hidup sampai berlalu masa yang secara pasti diketahui tidak mungkin seseorang hidup setelahnya. Pada saat itu barulah diputuskan ia telah meninggal, tanpa ditentukan dengan waktu tertentu yang terbatas. Ini juga merupakan pendapat yang jelas dari Abu Hanifah dan Malik.

وَقَالَ أبو يوسف: يوقف تمام مائة وعشرون سَنَةً مَعَ سِنِّهِ يَوْمَ فُقِدَ لِأَنَّهُ أَكْثَرُ مَا يَبْلُغُهُ أَهْلُ هَذَا الزَّمَانِ مِنَ الْعُمُرِ.

Abu Yusuf berkata: Dihentikan (statusnya) hingga genap seratus dua puluh tahun ditambah usianya pada hari ia dinyatakan hilang, karena itu adalah usia paling panjang yang dapat dicapai oleh manusia di zaman ini.

وقال عبد الملك بن الماحشون يُوقِفُ تَمَامَ تِسْعِينَ سَنَةً مَعَ سِنِّهِ يَوْمَ فُقِدَ ثُمَّ يُحْكَمُ بِمَوْتِهِ.

Abdul Malik bin al-Mahsyun berkata: Dihentikan hingga genap sembilan puluh tahun ditambah usianya pada hari ia dinyatakan hilang, kemudian diputuskan ia telah meninggal.

وَقَالَ ابْنُ عَبْدِ الْحَكَمِ يُوقِفُ تَمَامَ سَبْعِينَ سَنَةً مَعَ سِنِّهِ يَوْمَ فُقِدَ ثُمَّ يُحْكَمُ بِمَوْتِهِ وَكُلُّ هَذِهِ الْمَذَاهِبِ فِي التَّحْدِيدِ فَاسِدَةٌ لِجَوَازِ الزِّيَادَةِ عَلَيْهَا وَإِمْكَانِ التَّجَاوُزِ لَهَا، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْكَمَ فِيهِ إِلَّا بِالْيَقِينِ، وَإِذَا كَانَ هَكَذَا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَالُهُ مَوْقُوفًا عَلَى مِلْكِهِ، فَإِذَا مَضَتْ عَلَيْهِ مُدَّةٌ لَا يَجُوزُ أَنْ يَعِيشَ إِلَيْهَا قَسَمَ مَالَهُ حِينَئِذٍ بَيْنَ مَنْ كَانَ حَيًّا مِنْ وَرَثَتِهِ، وَلَوْ مَاتَ لِلْمَفْقُودِ مَيِّتٌ يَرِثُهُ الْمَفْقُودُ وَجَبَ أَنْ يُوقِفَ مِنْ تَرِكَتِهِ مِيرَاثُ الْمَفْقُودِ حَتَّى يَتَبَيَّنَ أَمْرُهُ، فَإِنْ بَانَ حَيًّا كَانَ لَهُ وَارِثًا، وَإِنْ بَانَ مَوْتُهُ مِنْ قَبْلُ رُدَّ عَلَى الْبَاقِينَ مِنَ الْوَرَثَةِ، وَكَذَلِكَ لَوْ أَشْكَلَ حَالُ مَوْتِهِ.

Ibnu ‘Abdil Hakam berkata: Dihentikan hingga genap tujuh puluh tahun ditambah usianya pada hari ia dinyatakan hilang, kemudian diputuskan ia telah meninggal. Semua mazhab yang membatasi waktu ini adalah batil, karena dimungkinkan adanya usia yang lebih panjang dari itu dan kemungkinan seseorang melewati batas tersebut. Maka tidak boleh diputuskan kecuali dengan keyakinan. Jika demikian, maka hartanya harus tetap dianggap miliknya. Jika telah berlalu masa yang tidak mungkin seseorang hidup sampai waktu itu, barulah hartanya dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup. Jika ada seseorang yang meninggal dan orang yang hilang (mafqūd) mewarisinya, maka bagian warisan untuk orang yang hilang harus ditahan hingga keadaannya jelas. Jika ternyata ia masih hidup, maka ia berhak mewarisi. Jika ternyata ia telah meninggal sebelumnya, maka bagian itu dikembalikan kepada ahli waris yang lain. Demikian pula jika status kematiannya masih samar.

فَصْلٌ:

Fasal:

مِثَالُ ذَلِكَ امْرَأَةٌ مَاتَتْ وَخَلَّفَتْ أُخْتَيْنِ لِأَبٍ وَزَوْجًا مفقودا، وعصبة، فقال إِنْ كَانَ الزَّوْجُ الْمَفْقُودُ حَيًّا فَالتَّرِكَةُ مِنْ سَبْعَةِ أَسْهُمٍ: لِلزَّوْجِ النِّصْفُ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ، وَلِلْأُخْتَيْنِ الثُّلُثَانِ أَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ، وَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ الْمَفْقُودُ مَيِّتًا فَلِلْأُخْتَيْنِ الثُّلْثَانِ، وَالْبَاقِي لِلْعَصَبَةِ، وَتَصِحُّ مِنْ ثلاثة، فاضرب ثلاثة في سبعة تكن إحدى وَعِشْرِينَ، فَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ حَيًّا فَلَهُ تِسْعَةُ أَسْهُمٍ، وَلِلْأُخْتَيْنِ اثْنَا عَشَرَ سَهْمًا وَلَا شَيْءَ لِلْعَصَبَةِ، وَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ مَيِّتًا فَلِلْأُخْتَيْنِ أَرْبَعَةَ عَشَرَ سَهْمًا، وَالْبَاقِي لِلْعَصَبَةِ وَهُوَ سَبْعَةُ أَسْهُمٍ فَيُعْطى الْأُخْتَانِ أَقَلَّ الْفَرْضَيْنِ وَذَلِكَ اثْنَا عَشَرَ سهما، لأنه اليقين، ولا يدفع للعصبة شيئا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ حَيًّا فَإِنْ بَانَ الزوج حيا فالتعسة كُلُّهَا لَهُ، وَإِنْ بَانَ مَيِّتًا ردَّ عَلَى الْأُخْتَيْنِ سَهْمَانِ تَمَامُ أَرْبَعَةَ عَشَرَ سَهْمًا، وَدَفَعَ إِلَى الْعَصَبَةِ الْبَاقِي وَهُوَ سَبْعَةُ أَسْهُمٍ.

Contohnya adalah seorang wanita yang wafat dan meninggalkan dua saudari seayah, seorang suami yang hilang, serta ‘ashabah (ahli waris laki-laki). Maka dikatakan: Jika suami yang hilang itu masih hidup, maka harta warisan dibagi menjadi tujuh bagian: untuk suami setengahnya, yaitu tiga bagian; untuk dua saudari seayah dua pertiga, yaitu empat bagian. Jika suami yang hilang itu telah wafat, maka untuk dua saudari seayah dua pertiga, dan sisanya untuk ‘ashabah. Pembagian ini sah dari tiga bagian, maka kalikan tiga dengan tujuh menjadi dua puluh satu. Jika suami masih hidup, maka ia mendapat sembilan bagian, dua saudari mendapat dua belas bagian, dan tidak ada bagian untuk ‘ashabah. Jika suami telah wafat, maka dua saudari mendapat empat belas bagian, dan sisanya untuk ‘ashabah, yaitu tujuh bagian. Maka diberikan kepada dua saudari bagian yang paling sedikit dari dua kemungkinan, yaitu dua belas bagian, karena itu yang pasti, dan tidak diberikan apa pun kepada ‘ashabah karena masih mungkin suami itu hidup. Jika ternyata suami masih hidup, maka seluruh sembilan bagian diberikan kepadanya. Jika ternyata ia telah wafat, maka dikembalikan kepada dua saudari dua bagian sehingga genap menjadi empat belas bagian, dan diberikan kepada ‘ashabah sisanya, yaitu tujuh bagian.

فَلَوْ خلفت المرأة زوجا، وأما، وأختا لِأُمٍّ، وَأُخْتًا لِأَبٍ، وَأَخًا لِأَبٍ مَفْقُودًا فَالْعَمَلُ أن نقول: إذا كَانَ الْأَخُ الْمَفْقُودُ حَيًّا فَلِلزَّوْجِ النِّصْفُ وَلِلْأُمِّ السُّدُسُ وَلِلْأَخِ لِلْأُمِّ السُّدُسُ وَالْبَاقِي بَيْنَ الْأَخِ وَالْأُخْتِ مِنَ الْأَبِ عَلَى ثَلَاثَةٍ، وَتَصِحُّ الْمَسْأَلَةُ مِنْ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ، وَإِنْ كَانَ مَيِّتًا فَلِلزَّوْجِ النِّصْفُ، وَلِلْأُمِّ السُّدُسُ، وَلِلْأَخِ مِنَ الْأُمِّ السُّدُسُ، وَلِلْأُخْت لِلْأَبِ النِّصْفُ وَتَعُولُ إِلَى ثَمَانِيَةٍ، وَالثَّمَانِيَةُ تُوَافِقُ الثَّمَانِيَةَ عَشَرَ بِالْإِنْصَافِ، فَاضْرِبْ نِصْفَ إِحْدَاهُمَا فِي الْأُخْرَى تَكُن اثْنَيْنِ وَسَبْعِينَ، وَمِنْهَا تَصِحُّ فَمَنْ لَهُ شَيْءٌ مِنْ ثَمَانِيَةٍ يَأْخُذُهُ فِي نِصْفِ الثَّمَانِيَةَ عَشَرَ وَهُوَ تِسْعَةٌ، وَمِنْ لَهُ شَيْءٌ مِنْ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ يَأْخُذُهُ فِي نِصْفِ الثَّمَانِيَةِ وَهُوَ أَرْبَعَةٌ، فَلِلزَّوْجِ مِنَ الثَّمَانِيَةَ عَشَرَ تِسْعَةٌ فِي أَرْبَعَةٍ تَكُنْ سِتَّةً وَثَلَاثِينَ، وَلَهُ مِنَ الثَّمَانِيَةِ ثَلَاثَةٌ فِي تِسْعَةٍ تَكُنْ سَبْعَةً وَعِشْرِينَ فَأَعْطِهِ سَبْعَةً وَعِشْرِينَ، لِأَنَّهُ أَقَلُّ النَّصِيبَيْنِ وَلِلْأُمِّ مِنَ الثَّمَانِيَةَ عَشَرَ ثَلَاثَةٌ فِي أَرْبَعَةٍ تَكُنِ اثْنَيْ عَشَرَ وَلَهَا مِنَ الثَّمَانِيَةِ سَهْمٌ فِي تِسْعَةٍ فَأَعْطِهَا تِسْعَةَ أَسْهُمٍ، لِأَنَّهَا أَقَلُّ النصيبين وللأخ من الأم أَيْضًا تِسْعَةُ أَسْهُمٍ وَلِلْأُخْتِ مِنَ الثَّمَانِيَةَ عَشَرَ سَهْمٌ وَاحِدٌ فِي أَرْبَعَةٍ، وَلَهَا مِنَ الثَّمَانِيَةِ ثَلَاثَةٌ فِي تِسْعَةٍ تَكُنْ سَبْعَةً وَعِشْرِينَ فَأَعْطِهَا أربعة، لأنها أقلها وَيُوقِفُ الْبَاقِي بَعْدَ هَذِهِ السِّهَامِ وَهُوَ ثَلَاثَةٌ وَعِشْرُونَ سَهْمًا، فَإِنْ كَانَ الْأَخُ الْمَفْقُودُ حَيًّا أخذ ثلاثة أَسْهُمٍ ضِعْفَ مَا أَخَذَتْهُ أُخْتُهُ وَأُعْطِيَ الزَّوْجُ تِسْعَةَ أَسْهُمٍ تَمَامَ النِّصْفِ، وَأُعْطِيَتِ الْأُمُّ ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ تَمَامَ السُّدُسِ، وَأُعْطِيَ الْأَخُ لِلْأُمِّ ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ أَيْضًا وَإِنْ كَانَ الْمَفْقُودُ مَيِّتًا دَفَعْتَ مَا وَقَفْتَهُ عَلَيْهِ وَهُوَ ثَلَاثَةٌ وَعِشْرُونَ سَهْمًا إِلَى الْأُخْتِ حَتَّى يَتِمَّ لها تسعة وعشرون سهما هو تَمَامُ نَصِيبِهَا مِنْ مَسْأَلَةِ الْعَوْلِ، وَمَعْلُومٌ أَنَّ الْأَخَ إِنْ كَانَ حَيًّا فَإِنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّ مِنَ الثَّلَاثَةِ وَالْعِشْرِينَ الْمَوْقُوفَةِ أَكْثَرَ مِنْ ثَمَانِيَةِ أَسْهُمٍ، فَلَوِ اصْطَلَحَ الْوَرَثَةُ قَبْلَ أَنْ يُعْلَمَ المفقود على ما بقي مِنَ السِّهَامِ الْمَوْقُوفَةِ بَعْدَ نَصِيبِ الْمَفْقُودِ وَذَلِكَ خَمْسَةَ عَشَرَ سَهْمًا جَازَ الصُّلْحُ، لِأَنَّهَا مَوْقُوفَةٌ لهم وإن اصطلح عَلَى الثَّمَانِيَةِ الْمَوْقُوفَةِ لِلْمَفْقُوِدِ لَمْ يَجُزْ، لِأَنَّهَا لِغَيْرِهِمْ وَلَوْ خَلَّفت زَوْجًا وَأُخْتًا لِأَبٍ وَأُمٍّ، وَأُخْتًا لِأَبٍ، وَأَخًا لِأَبٍ مَفْقُودًا كَانَ لِلزَّوْجِ النِّصْفُ ثَلَاثَةُ أَسْبَاعٍ، وَلِلْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثَلَاثَةُ أَسْبَاعٍ، وَيُوقِفُ السُّبُعُ فَإِنْ ظَهَرَ الْمَفْقُودُ مَيِّتًا دُفِعَ إِلَى الْأُخْتِ لِلْأَبِ، وَإِنْ ظَهَرَ حَيًّا ردَّ عَلَى الزَّوْجِ وَالْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، وَيَجُوزُ لَهُمْ قَبْلَ ظُهُورِ حَالِ الْمَفْقُودِ أَنْ يَصْطَلِحُوا عَلَى السَّهْمِ الْمَوْقُوفِ، لِأَنَّهُ لَا حَقَّ فِيهِ للمفقود.

Jika seorang perempuan meninggalkan suami, ibu, saudari seibu, saudari seayah, dan saudara seayah yang hilang, maka menurut praktiknya kita katakan: Jika saudara seayah yang hilang itu masih hidup, maka untuk suami setengah, untuk ibu seperenam, untuk saudara seibu seperenam, dan sisanya dibagi antara saudara dan saudari seayah menjadi tiga bagian. Permasalahan ini sah dari delapan belas bagian. Jika ternyata saudara seayah yang hilang itu telah meninggal, maka untuk suami setengah, untuk ibu seperenam, untuk saudara seibu seperenam, dan untuk saudari seayah setengah, sehingga menjadi delapan bagian karena adanya ‘aul (penambahan bagian waris melebihi asal masalah). Delapan dan delapan belas dapat disesuaikan dengan membagi salah satunya menjadi dua, lalu kalikan setengah dari salah satunya dengan yang lain, maka hasilnya tujuh puluh dua, dan dari situ masalah menjadi sah. Siapa yang mendapat bagian dari delapan, maka ia mengambilnya pada setengah dari delapan belas, yaitu sembilan. Dan siapa yang mendapat bagian dari delapan belas, maka ia mengambilnya pada setengah dari delapan, yaitu empat. Maka untuk suami dari delapan belas ada sembilan, dikali empat menjadi tiga puluh enam, dan dari delapan ada tiga, dikali sembilan menjadi dua puluh tujuh, maka berikan dua puluh tujuh, karena itu bagian yang lebih kecil. Untuk ibu dari delapan belas ada tiga, dikali empat menjadi dua belas, dan dari delapan ada satu, dikali sembilan menjadi sembilan, maka berikan sembilan bagian, karena itu bagian yang lebih kecil. Untuk saudara seibu juga sembilan bagian. Untuk saudari seayah dari delapan belas ada satu, dikali empat, dan dari delapan ada tiga, dikali sembilan menjadi dua puluh tujuh, maka berikan empat, karena itu bagian yang lebih kecil. Sisa setelah pembagian ini, yaitu dua puluh tiga bagian, ditahan. Jika saudara seayah yang hilang itu ternyata hidup, ia mengambil tiga bagian, dua kali lipat dari yang diambil saudari seayah, dan suami diberikan sembilan bagian sebagai setengah yang sempurna, ibu diberikan tiga bagian sebagai seperenam yang sempurna, dan saudara seibu juga diberikan tiga bagian. Jika yang hilang itu ternyata telah meninggal, maka bagian yang ditahan untuknya, yaitu dua puluh tiga bagian, diberikan kepada saudari seayah hingga genap menjadi dua puluh sembilan bagian, yaitu bagian penuhnya dari masalah ‘aul. Diketahui bahwa jika saudara seayah itu hidup, ia tidak berhak dari dua puluh tiga bagian yang ditahan lebih dari delapan bagian. Jika para ahli waris berdamai sebelum diketahui keadaan yang hilang atas sisa bagian yang ditahan setelah bagian yang hilang, yaitu lima belas bagian, maka perdamaian itu sah, karena bagian itu ditahan untuk mereka. Namun jika berdamai atas delapan bagian yang ditahan untuk yang hilang, maka tidak sah, karena itu bukan hak mereka. Jika ia meninggalkan suami, saudari seayah-seibu, saudari seayah, dan saudara seayah yang hilang, maka untuk suami setengah dari tiga per tujuh, untuk saudari seayah-seibu tiga per tujuh, dan satu per tujuh ditahan. Jika yang hilang ternyata telah meninggal, satu per tujuh itu diberikan kepada saudari seayah. Jika ternyata hidup, dikembalikan kepada suami dan saudari seayah-seibu. Mereka boleh berdamai atas bagian yang ditahan sebelum diketahui keadaan yang hilang, karena tidak ada hak bagi yang hilang atas bagian itu.

مسألة:

Permasalahan:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” لَا يَرِثُونَ وَلَا يَحْجُبُونَ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Mereka tidak mewarisi dan tidak pula menghalangi (ahli waris lain).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ مَنْ لَمْ يَرِثْ بِرِقٍّ أَوْ كُفْرٍ أَوْ قَتْلٍ لَمْ يَحْجُبْ، فَلَا يَرِثُونَ وَلَا يَحْجُبُونَ، وَبِهِ قَالَ الْجَمَاعَةُ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa siapa yang tidak mewarisi karena status budak, kekufuran, atau pembunuhan, maka ia tidak menghalangi (ahli waris lain). Maka mereka tidak mewarisi dan tidak pula menghalangi, dan inilah pendapat jumhur ulama.

وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ: يَحْجُبُونَ ذَوِي الْفُرُوضِ إِلَى أَقَلِّ الْفَرْضَيْنِ، كَالزَّوْجِ مِنَ النِّصْفِ إِلَى الرُّبُعِ، وَالزَّوْجَةِ مِنَ الرُّبُعِ إِلَى الثُّمُنِ، وَالْأُمِّ مِنَ الثُّلُثِ إِلَى السُّدُسِ، وَلَا يُسْقِطُونَ الْعَصَبَةَ كَالِابْنِ الكافر لا يسقط ابن الابن، واختلف الرِّوَايَةُ عَنْهُ فِي إِسْقَاطِ ذَوِي الْفُرُوضِ عَنْ كُلِّ الْفُرُوضِ، كَإِسْقَاطِ الْإِخْوَةِ لِلْأُمِّ بِالْبِنْتِ الْكَافِرَةِ، وَبِهِ قَالَ النَّخَعِيُّ وَأَبُو ثَوْرٍ: اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْحَجْبَ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ بِالْمِيرَاثِ، كَالْإِخْوَةِ مَعَ الْأَبَوَيْنِ يَحْجُبُونَ الْأُمَّ إِلَى السُّدُسِ وَلَا يَرِثُونَ وَالدَّلِيلُ على إسقاط حجبهم قوله تعالى: {فإن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ} [النساء: 11] فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الْإِسْلَامُ شَرْطًا فِي حُكْمِ الْعَطْفِ كَمَا كَانَ شَرْطًا فِي الْمَعْطُوفِ عَلَيْهِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ سَقَطَ إرثه يعارض سَقَطَ حَجْبُهُ بِذَلِكَ الْعَارِضِ كَالْإِسْقَاطِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ ضَعُفَ بِوَصْفِهِ عَنْ حَجْبِ الْإِسْقَاطِ ضَعُفَ بِوَصْفِهِ عَنْ حَجْبِ النُّقْصَانِ، كَ ” ذَوِي الْأَرْحَامِ “، وَلِأَنَّ كُلَّ وَارِثٍ فَهُوَ لَا مَحَالَةَ يَحْجُبُ إِذَا وَرِثَ لِأَنَّ الِابْنَ إِذَا وَرِثَ مَعَ أَخِيهِ فَقَدْ حَجَبَهُ عَنِ الْكُلِّ إِلَى النِّصْفِ، فَلَمَّا ضَعُفَ الْكَافِرُ عَنْ حَجْبِ مَنْ يُساويهِ فِي النَّسَبِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يَضْعُفَ عَنْ حَجْبِ مَنْ يُخَالِفُهُ فِي النَّسَبِ.

Abdullah bin Mas‘ud berkata: Mereka (ahli waris non-Muslim) menghalangi para pemilik bagian fardhu hingga ke bagian yang lebih kecil dari dua bagian, seperti suami dari setengah menjadi seperempat, istri dari seperempat menjadi seperdelapan, ibu dari sepertiga menjadi seperenam, dan mereka tidak menggugurkan ‘ashabah seperti anak laki-laki kafir tidak menggugurkan anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki). Terdapat perbedaan riwayat darinya mengenai pengguguran para pemilik bagian fardhu dari seluruh bagian, seperti pengguguran saudara-saudara seibu oleh anak perempuan kafir. Pendapat ini juga dikemukakan oleh An-Nakha‘i dan Abu Tsaur, dengan alasan bahwa hajb (penghalangan waris) tidak dianggap dalam pembagian warisan, seperti saudara-saudara bersama kedua orang tua, mereka menghalangi ibu hingga ke bagian seperenam namun mereka sendiri tidak mewarisi. Dalil atas gugurnya hajb mereka adalah firman Allah Ta‘ala: {Jika dia (yang meninggal) seorang diri, maka baginya setengah, dan untuk kedua orang tuanya masing-masing seperenam} [An-Nisa: 11], sehingga dipahami bahwa Islam menjadi syarat dalam hukum ‘athaf sebagaimana menjadi syarat pada yang di-‘athaf-kan. Dan setiap orang yang gugur hak warisnya karena suatu penghalang, maka gugur pula hajb-nya karena penghalang tersebut, sebagaimana dalam kasus pengguguran. Dan setiap orang yang lemah karena sifatnya dari hajb isqath (pengguguran total), maka ia juga lemah dari hajb nuqshan (pengurangan bagian), seperti “dzawil arham”. Dan setiap ahli waris pasti menghalangi (ahli waris lain) jika ia mewarisi, karena anak laki-laki jika mewarisi bersama saudaranya, maka ia telah menghalanginya dari seluruh bagian kecuali setengah. Maka ketika orang kafir lemah dalam menghalangi yang setara dengannya dalam nasab, maka lebih utama lagi ia lemah dalam menghalangi yang berbeda nasab dengannya.

فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِحَجْبِ الْإِخْوَةِ لِلْأُمِّ مَعَ الْأَبِ فَلَمْ يَسْقُطُوا لِأَنَّهُمْ غَيْرُ وَرَثَةٍ، لَكِنَّ الْأَبَ حَجَبَهُمْ عَنْهُ، أَلَا تَرَى لَوْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُمْ أَبٌ لَوَرِثُوا فَبَانَ الْفَرْقُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun dalil mereka dengan hajb saudara-saudara seibu bersama ayah, maka mereka tidak gugur karena mereka bukan ahli waris, namun ayah menghalangi mereka dari warisan. Tidakkah engkau lihat, jika tidak ada ayah bersama mereka, niscaya mereka akan mewarisi? Maka jelaslah perbedaannya. Allah Maha Mengetahui.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولا ترث الْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ مَعَ الْجَدِّ وَإِنْ عَلَا وَلَا مَعَ الْوَلَدِ وَلَا مَعَ وَلَدِ الِابْنِ وَإِنْ سَفَلَ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Saudara-saudara laki-laki dan perempuan dari jalur ibu tidak mewarisi bersama kakek (meskipun kakek lebih tinggi), tidak pula bersama anak, dan tidak pula bersama anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki) meskipun lebih rendah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كما قال الإخوة والأخوات ثلاثة أصناف: صِنْفٌ يَكُونُونَ لِأَبٍ وَأُمٍّ وَيُسَمُّونَ بَنِي الْأَعْيَانِ. سُمُّوا بِذَلِكَ لِأَنَّهُمْ مِنْ عَيْنٍ وَاحِدَةٍ أَيْ مِنْ أَبٍ وَاحِدٍ وَأُمٍّ وَاحِدَةٍ وَمِنْهُ قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أعيان بني الأم يتوارثون دون بني العلات ” وَالصِّنْفُ الثَّانِي الْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ لِلْأَبِ يُسَمُّونَ بَنِي العلات، يسموا بِذَلِكَ، لِأَنَّ أُمَّ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ لَمْ تعِلَّ الْأُخْرَى، أَيْ لَمْ تسْقِهِ لَبَنَ رَضَاعِهَا، وَالْعَلَلُ الشُّرْبُ الثَّانِي وَالنَّهَلُ الْأَوَّلُ، وَقَدْ قَالَ الشاعر

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa saudara-saudara laki-laki dan perempuan terbagi menjadi tiga golongan: Golongan pertama adalah saudara-saudara seayah dan seibu, yang disebut Bani al-A‘yan. Mereka dinamakan demikian karena berasal dari satu sumber, yaitu dari satu ayah dan satu ibu. Dari golongan ini pula sabda Nabi ﷺ: “A‘yan Bani al-Um saling mewarisi, tidak seperti Bani al-‘Allat.” Golongan kedua adalah saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah, yang disebut Bani al-‘Allat. Mereka dinamakan demikian karena ibu masing-masing dari mereka tidak menyusui yang lain, maksudnya tidak memberikan air susu kepada yang lain. Al-‘Allal adalah minuman kedua, sedangkan an-nahal adalah minuman pertama. Sebagaimana dikatakan oleh penyair:

(والناس أبناء علات فمن علموا … أن قد أقل فمجفو ومحقور)

(Manusia adalah anak-anak ‘allat, maka siapa yang mereka ketahui sedikit, maka ia dijauhi dan direndahkan)

(وهم بنو أم من أمسى له نشب … فذاك بالغيب محظوظ وَمَنْصُورُ)

(Dan mereka adalah anak-anak ibu, siapa yang memiliki harta maka ia beruntung dan ditolong secara tidak tampak)

(وَالْخَيْرُ وَالشَّرُّ مَقْرُونَانِ فِي قَرْنِ … وَالْخَيْرُ متبع والشر محظور)

(Kebaikan dan keburukan berjalan beriringan, dan kebaikan diikuti sedangkan keburukan dijauhi)

والصنف الثالث الإخوة والأخوات للأم يسمون بني الأخياف، والأخياف الأخلاط، لأنهم مِنْ أَخْلَاطِ الرِّجَالِ، وَلَيْسَ هُمْ مِنْ رَجُلٍ وَاحِدٍ، وَلِذَلِكَ سُمِّيَ الْخَيْفُ مِنْ منى لِاجْتِمَاعِ أخلاط الناس فيه، وقيل: اختلاط الألوان الخافية وَقَدْ قَالَ الشَّاعِرُ:

Golongan ketiga adalah saudara-saudara laki-laki dan perempuan seibu, yang disebut Bani al-Akhyaf. Al-Akhyaf berarti campuran, karena mereka berasal dari campuran laki-laki, bukan dari satu laki-laki saja. Oleh karena itu dinamakan al-Khaif dari Mina karena berkumpulnya berbagai macam manusia di sana. Ada pula yang mengatakan: karena bercampurnya warna-warna yang samar. Sebagaimana dikatakan oleh penyair:

(النَّاسُ أَخْيَافٌ وَشَتَّى فِي الشِّيَمِ … وَكُلُّهُمْ يَجْمَعُهُمْ بَيْتُ الْأُدُمِ)

(Manusia adalah akhyaf dan beragam dalam tabiat, namun semuanya disatukan oleh rumah kulit)

يَعْنِي: أَنَّهُمْ أَخْلَاطٌ مِنْهُمُ الْجَيِّدُ، وَمِنْهُمُ الرَّدِيءُ، كَبَيْتِ الْأَدَمِ الَّذِي يَجْمَعُ الْجِلْدَ كُلَّهُ، فَمِنْهُ الْكُرَاعُ وَمِنْهُ الظَّهْرُ.

Maksudnya: mereka adalah campuran, di antara mereka ada yang baik dan ada yang buruk, seperti rumah kulit yang mengumpulkan seluruh bagian kulit, di dalamnya ada bagian kaki dan ada bagian punggung.

فَصْلٌ:

Fashal (Pembahasan):

فَأَمَّا الْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ لِلْأُمِّ فَيَسْقُطُونَ مَعَ أَرْبَعَةٍ: مَعَ الْأَبِ، وَمَعَ الْجَدِّ، وَمَعَ الْوَلَدِ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى، وَمَعَ وَلَدِ الِابْنِ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى، وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ قَوْله تَعَالَى: {وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ من ذلك فهم في شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ} [النساء: 12] وَقَدْ كَانَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقْرَأُ ” وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ مِنْ أُمٍّ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ “، وَهَذَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ قَالَهُ تَفْسِيرًا، وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ تِلَاوَةً، وَقَدْ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُمُ الْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ مِنَ الْأُمِّ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: {فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ من ذلك منهم شركاء في الثلث} .

Adapun saudara laki-laki dan perempuan seibu, maka mereka gugur (tidak mendapat warisan) bersama empat golongan: bersama ayah, bersama kakek, bersama anak baik laki-laki maupun perempuan, dan bersama anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki) baik laki-laki maupun perempuan. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan jika seseorang mati yang diwarisi secara kalalah, atau seorang perempuan, sedangkan ia mempunyai seorang saudara laki-laki atau saudara perempuan, maka bagi masing-masing dari keduanya seperenam; tetapi jika mereka lebih dari itu, maka mereka berserikat dalam sepertiga} (an-Nisā’: 12). Sa‘d bin Abī Waqqāṣ ra. dahulu membaca: “Dan jika seseorang mati yang diwarisi secara kalalah, atau seorang perempuan, dan ia mempunyai saudara laki-laki atau saudara perempuan dari ibu, maka bagi masing-masing dari keduanya seperenam.” Ini boleh jadi ia ucapkan sebagai tafsir, dan mungkin juga sebagai bacaan (tilawah). Telah terjadi ijmā‘ bahwa yang dimaksud adalah saudara laki-laki dan perempuan dari ibu, karena Allah Ta‘ala berfirman: {Jika mereka lebih dari itu, maka mereka berserikat dalam sepertiga}.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْكَلَالَةُ فَقَدْ رَوَى عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْهَا فَقَالَ تَكْفِيكَ آيَةُ الصَّيْفِ يَعْنِي: قَوْلَهُ فِي آخِرِ سُورَةِ النِّسَاءِ {يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ} [النساء: 176] لِأَنَّهَا نَزَلَتْ فِي يَوْمٍ صَائِفٍ فَلَمْ يَفْهَمْهَا عُمَرُ وَقَالَ لِحَفْصَةَ رضي الله عنهما إِذَا رَأَيْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – طيب نفسه فاسأليه، فرأت منه طيب نفس فسألته عنها فَقَالَ لَهَا: أَبُوكِ كَتَبَ لَكِ هَذَا مَا أَرَى أَبَاكِ يَعْلَمُهَا أَبَدًا، فَكَانَ عُمَرُ يَقُولُ: مَا أرَانِي أَعْلَمُهَا أَبَدًا وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا قَالَ، وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: ثلاث لأن يَكُونَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيَّنَهُنَّ أَحَبّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا الْكَلَالَةُ وَالْخِلَافَةُ وَالرِّبَا، وَإِنَّمَا لَمْ يَزِدْهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي بَيَانِ الْكَلَالَةِ، لِأَنَّ فِي الْآيَةِ مِنَ الْإِشَارَةِ مَا يَكْتَفِي بِهِ الْمُجْتَهِدُ، وَقَدْ كَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ، وَإِنْ قَصرَ عَنْ إِدْرَاكِهِ لِعَارِضٍ، وَقَدِ اخْتلفَ فِي الْكَلَالَةِ فَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي إِحْدَى الرُّوَايَتَيْنِ عَنْهُ أَنَّ الْكَلَالَةَ مَا دُونَ الْوَلَدِ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ} [النساء: 176] وَقَالَ قَوْمٌ: الْكَلَالَةُ وَلَدُ الْأُمِّ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امرأة وله أخ أو أخت} [النساء: 12] يعني في أُمٍّ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ هُوَ الْكَلَالَةَ.

Adapun tentang kalālah, telah diriwayatkan dari ‘Umar ra. bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi ﷺ tentang hal itu, lalu beliau bersabda: “Cukuplah bagimu ayat musim panas,” yakni firman Allah di akhir surah an-Nisā’: {Mereka meminta fatwa kepadamu. Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalālah} (an-Nisā’: 176), karena ayat itu turun pada hari musim panas. Namun ‘Umar tidak memahaminya, lalu berkata kepada Hafṣah ra.: “Jika engkau melihat Rasulullah ﷺ dalam keadaan senang, maka tanyakanlah kepadanya.” Maka ketika Hafṣah melihat beliau dalam keadaan senang, ia pun menanyakannya, lalu beliau bersabda kepadanya: “Ayahmu telah menuliskan untukmu hal ini. Aku tidak melihat ayahmu akan memahaminya selamanya.” Maka ‘Umar berkata: “Aku kira aku tidak akan pernah memahaminya, padahal Rasulullah ﷺ telah bersabda sebagaimana yang beliau sabdakan.” Diriwayatkan pula dari ‘Umar ra. bahwa ia berkata: “Ada tiga perkara yang seandainya Rasulullah ﷺ menjelaskannya, lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya: kalālah, khilāfah, dan riba.” Nabi ﷺ tidak menambah penjelasan tentang kalālah karena dalam ayat tersebut sudah terdapat isyarat yang cukup bagi mujtahid. Padahal ‘Umar ra. termasuk ahli ijtihād, meskipun ia tidak sampai memahaminya karena suatu sebab. Telah terjadi perbedaan pendapat tentang kalālah. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās dalam salah satu riwayat bahwa kalālah adalah selain anak, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Mereka meminta fatwa kepadamu. Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalālah, jika seseorang mati dan tidak mempunyai anak} (an-Nisā’: 176). Ada pula yang berpendapat bahwa kalālah adalah anak dari ibu, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan jika seseorang mati yang diwarisi secara kalalah, atau seorang perempuan, dan ia mempunyai saudara laki-laki atau saudara perempuan} (an-Nisā’: 12), yakni dari ibu, sehingga dipahami bahwa merekalah yang dimaksud dengan kalālah.

وَقَالَ الجمهور: إن الكلالة ما عَدَا الْوَلَدِ وَالْوَالِدَ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ وعلي ويزيد وَابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وأبو حنيفة وَمَالِكٌ.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa kalālah adalah selain anak dan orang tua. Ini adalah pendapat Abū Bakr, ‘Alī, Yazīd, dan Ibnu Mas‘ūd ra., dan juga pendapat asy-Syāfi‘ī, Abū Ḥanīfah, dan Mālik.

وَوَجْهُ ذَلِكَ أَنَّ ولد الأم لما سقطوا مع الوالد لسقوطهم مَعَ الْوَلَدِ دَلَّ عَلَى أَنَّ الْكَلَالَةَ مَنْ عدا الوالد والولد وَقَدْ ذَكَرَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ فِي شَرْحِهِ عن عمرو ابن شُعَيْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْأَخُ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ أَوْلَى مِنَ الْكَلَالَةِ ” وَلِأَنَّ الْكَلَالَةَ مَصْدَرٌ مِنْ تَكَلّلَ النَّسَب تَشبيهًا بِتَكَلُّلِ أَغْصَانِ الشَّجَرَةِ عَلَى عَمُودِهَا فَالْوَالِدُ أصلها والولد فرعها من سِوَاهُمَا مِنَ الْمُنَاسِبِينَ كَالْأَغْصَانِ الْمُتَكَلِّلَةِ عَلَيْهَا وَقِيلَ: إِنَّ الْكَلَالَةَ منْ تَكَلَّلَ طَرَفَاهُ فَخَلَا عَنِ الْآبَاءِ وَالْأَبْنَاءِ، وَقِيلَ إِنَّ الْكَلَالَةَ مَأْخُوذَةٌ مِنَ الْإِحَاطَةِ وَمِنْهُ سُمِّيَ الْإِكْلِيلُ لِإِحَاطَتِهِ بِالرَّأْسِ فَسُمِّيَ هَؤُلَاءِ كَلَالَةً لِإِحَاطَتِهِمْ بِالطَّرَفَيْنِ، وَقَدْ قَالَ الْفَرَزْدَقُ فِي سُلَيْمَانَ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ فِي وُصُولِ الْخِلَافَةِ إِلَيْهِمْ عَنْ آبَائِهِمْ لَا عَنْ غَيْرِهِمْ:

Penjelasannya adalah bahwa anak dari pihak ibu gugur bersama ayah karena mereka juga gugur bersama anak, hal ini menunjukkan bahwa kalālah adalah selain ayah dan anak. Abu Ishaq al-Marwazi dalam syarahnya meriwayatkan dari ‘Amr bin Syu‘aib bahwa Nabi -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Saudara seayah dan seibu lebih berhak daripada kalālah.” Dan karena kalālah adalah bentuk mashdar dari kata takallala nasab, yang dianalogikan dengan takallul (meliliti) dahan-dahan pohon pada batangnya; maka ayah adalah asalnya dan anak adalah cabangnya, sedangkan selain keduanya dari kerabat diibaratkan seperti dahan-dahan yang meliliti batangnya. Ada juga yang mengatakan: kalālah berasal dari kata takallala yang berarti kedua ujungnya melingkar, sehingga tidak ada ayah dan tidak ada anak. Ada pula yang mengatakan bahwa kalālah diambil dari makna melingkupi, dan dari kata ini pula berasal kata iklil (mahkota) karena melingkupi kepala, maka mereka disebut kalālah karena melingkupi dari kedua sisi. Al-Farazdaq berkata tentang Sulaiman bin ‘Abd al-Malik mengenai sampainya kekhalifahan kepadanya dari ayah-ayah mereka, bukan dari selain mereka:

(ورثتم قناة الملك غير كلالة … عن ابن مَنَافٍ عَبْد شَمْس وَهَاشِمِ)

(Kalian mewarisi tongkat kekuasaan bukan sebagai kalālah … dari keturunan Ibn Manaf, ‘Abd Syams, dan Hasyim)

وَقَالَ الْآخَرُ:

Dan yang lain berkata:

(فَإِنَّ أَبَا الْمَرْءِ أَحَمَى لَهُ … وَمَوْلَى الْكَلَالَةِ لَا يَغْضَبُ)

(Sesungguhnya ayah seseorang adalah pelindung baginya … sedangkan maulā kalālah tidak akan marah)

يَعْنِي: مَوْلَى غَيْرِ الْوَالِدِ وَالْوَلَدِ.

Maksudnya: maulā selain ayah dan anak.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْكَلَالَةَ مَنْ عَدَا الْوَالِدَ وَالْوَلَدَ فَقَدِ اخْتَلَفُوا هَلْ هُوَ اسْمٌ لِلْمَيِّتِ أَوْ لِلْوَرَثَةِ، فَقَالَ قَوْمٌ: الْكَلَالَةُ اسْمُ الْمَيِّتِ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَلَا وَالِدٌ، وبه قال أبو بكر وعلي وزيد ابن مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَإِلَيْهِ مَالَ الشَّافِعِيُّ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: {وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ} [النساء: 12] فَجَعَلَ ذَلِكَ صِفَةً لِلْمَوْرُوثِ وَلَوْ كَانَتْ صِفَةً لِلْوَارِثِ لَقَالَ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يَرِثُهُ كَلَالَةً وَلِأَنَّهُ يُقَالُ عَقِيمٌ لِمَنْ لَا وَلَدَ لَهُ، وَيَتِيمٌ لِمَنْ لَا وَالِدَ لَهُ، وَكَلَالَةٌ لِمَنْ لَا وَلَدَ لَهُ وَلَا وَالِدَ، وَقَالَ آخَرُونَ: الْكَلَالَةُ اسْمٌ لِلْوَرَثَةِ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِمْ وَلَدٌ وَلَا وَالِدٌ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَهَذَا أَيْضًا صَحِيحٌ.

Jika telah tetap bahwa kalālah adalah selain ayah dan anak, maka para ulama berbeda pendapat apakah kalālah itu nama bagi mayit atau bagi para ahli waris. Sebagian ulama berkata: kalālah adalah nama bagi mayit jika ia tidak memiliki anak maupun ayah, dan pendapat ini dikemukakan oleh Abu Bakar, ‘Ali, Zaid bin Mas‘ud radhiyallāhu ‘anhum, dan juga menjadi kecenderungan pendapat al-Syāfi‘ī, karena Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan jika seseorang yang diwarisi itu kalālah, atau seorang perempuan} [an-Nisā’: 12], maka Allah menjadikan kalālah sebagai sifat bagi yang diwariskan (mayit). Seandainya kalālah adalah sifat bagi ahli waris, tentu Allah akan berfirman: “Dan jika seseorang mewarisinya sebagai kalālah.” Dan juga karena disebut ‘aqīm (mandul) bagi yang tidak punya anak, yatim bagi yang tidak punya ayah, dan kalālah bagi yang tidak punya anak maupun ayah. Sebagian ulama lain berkata: kalālah adalah nama bagi para ahli waris jika di antara mereka tidak ada anak maupun ayah. Al-Syāfi‘ī berkata: pendapat ini juga benar.

وَإِنْ قِيلَ: لَمْ يَتَعَدَّ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قل: {يستفتونك قال اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ} [النساء: 176] فَكَانَتِ الْفُتْيَا عَنِ الْكَلَالَةِ مَا بَيَّنَهُ مِنَ الْحُكْمِ فِي وَلَدِ الْأَبِ.

Jika dikatakan: tidak melampaui (makna tersebut), karena Allah Ta‘ālā berfirman: {Mereka meminta fatwa kepadamu. Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalālah: Jika seseorang meninggal dunia dan dia tidak mempunyai anak, tetapi dia mempunyai seorang saudara perempuan, maka bagi saudara perempuan itu setengah dari harta yang ditinggalkan} [an-Nisā’: 176], maka fatwa tentang kalālah adalah sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hukum mengenai anak dari pihak ayah.

وقال آخرون: الكلالة من الأسماء المشتركة تنطلق على الميت إذا لم يترك ولد ولا والد وَعَلَى الْوَرَثَةِ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِمْ وَلَدٌ وَلَا وَالِدٌ، لِاحْتِمَالِ الْأَمْرَيْنِ.

Sebagian ulama lain berkata: kalālah adalah termasuk isim musytarak (kata yang memiliki makna ganda), bisa digunakan untuk mayit yang tidak meninggalkan anak maupun ayah, dan juga untuk para ahli waris jika di antara mereka tidak ada anak maupun ayah, karena kedua kemungkinan itu ada.

قَالُوا: فَالْكَلَالَةُ الَّتِي فِي قَوْله تَعَالَى: {وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ} [النساء: 12] اسْمٌ لِلْمَيِّتِ وَالَّتِي فِي قَوْله تَعَالَى: {قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ} اسم للورثة والله أعلم.

Mereka berkata: Maka kalālah yang terdapat dalam firman Allah Ta‘ālā: {Dan jika seseorang yang diwarisi itu kalālah, atau seorang perempuan} [an-Nisā’: 12] adalah nama bagi mayit, sedangkan yang terdapat dalam firman Allah Ta‘ālā: {Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalālah: Jika seseorang meninggal dunia dan dia tidak mempunyai anak} adalah nama bagi para ahli waris. Dan Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولا تَرِثُ الْإِخْوَةُ وَلَا الْأَخَوَاتُ مَنْ كَانُوا مَعَ الْأَبِ وَلَا مَعَ الِابْنِ وَلَا مَعَ ابْنِ الِابْنِ وَإِنْ سَفَلَ “.

Al-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata: “Saudara laki-laki maupun perempuan, siapapun mereka, tidak mewarisi bersama ayah, tidak pula bersama anak laki-laki, dan tidak pula bersama cucu laki-laki (anak dari anak laki-laki), meskipun cucu itu berada di tingkat bawah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ الْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ يَسْقُطُونَ مَعَ ثَلَاثَةٍ مَعَ الِابْنِ دُونَ الْبِنْتِ وَمَعَ ابْنِ الِابْنِ وَمَعَ الْأَبِ وَلَا يَسْقُطُونَ مَعَ الْجِدِّ عَلَى مَا نَذْكُرُهُ فِي بَابِ الْجَدِّ، وَحُكِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ فِي رِوَايَةٍ تَشِذُّ عَنْهُ أَنَّهُ إِذَا كَانَ مَعَ الْأَبَوَيْنِ إِخْوَةٌ حَجَبُوا الْأُمَّ مِنَ الثُّلُثِ إِلَى السُّدُسِ وَاسْتَحَقُّوا السُّدُسَ الَّذِي حَجَبُوا الْأُمَّ عَنْهُ، لِأَنَّ الْأَبَ لا يستحقه مع عدم الإخوة، ووجب أَنْ لَا يَسْتَحِقَّهُ بِوُجُودِ الْإِخْوَةِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ هَذَا الْقَوْلِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَوَرِثَهُ أبواه فلأمه الثلث} [النساء: 11] فكالباقي بَعْدَهُ لِلْأَبِ ثُمَّ قَالَ: {فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ} [النساء: 11] فَدَلَّ الظَّاهِرُ عَلَى أَنَّ الْبَاقِيَ أَيْضًا لِلْأَبِ.

Al-Mawardi berkata: “Ini benar, saudara laki-laki dan perempuan seayah dan seibu gugur (tidak mendapat warisan) bersama tiga pihak: bersama anak laki-laki (tetapi tidak dengan anak perempuan), bersama cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan bersama ayah. Mereka tidak gugur bersama kakek, sebagaimana akan kami sebutkan dalam bab kakek. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas dalam satu riwayat yang menyelisihi pendapat mayoritas, bahwa jika bersama kedua orang tua terdapat saudara-saudara, maka mereka menghalangi ibu dari sepertiga menjadi seperenam dan mereka berhak atas seperenam yang mereka halangi dari ibu, karena ayah tidak berhak atas bagian itu jika tidak ada saudara, maka seharusnya ia juga tidak berhak atasnya jika ada saudara. Dalil rusaknya pendapat ini adalah firman Allah Ta‘ala: {dan kedua orang tuanya mewarisinya, maka untuk ibunya sepertiga} [an-Nisā’: 11], maka sisanya setelah itu untuk ayah. Kemudian Allah berfirman: {jika ia mempunyai beberapa saudara, maka untuk ibunya seperenam} [an-Nisā’: 11], maka secara lahiriah menunjukkan bahwa sisanya juga untuk ayah.”

وَلِأَنَّ الْإِخْوَةَ لَا يَرِثُونَ مَعَ الْأَبِ وَحْدَهُ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ لَا يَرِثُوا مَعَهُ وَمَعَ الْأُمِّ، وَلِأَنَّ مَنْ أَدْلَى بِعَصَبَةٍ لَمْ يَرِثْ مَعَ وُجُودِ تِلْكَ الْعَصَبَةِ كَابْنِ الِابْنِ مَعَ الِابْنِ وَكَالْجَدِّ مَعَ الْأَبِ.

Karena saudara-saudara tidak mewarisi bersama ayah saja, maka lebih utama lagi mereka tidak mewarisi bersama ayah dan ibu. Dan karena siapa pun yang mendapatkan bagian melalui ‘ashabah (hubungan kekerabatan laki-laki) tidak mewarisi selama ‘ashabah itu masih ada, seperti cucu laki-laki dari anak laki-laki bersama anak laki-laki, dan seperti kakek bersama ayah.

فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيْسَ الْإِخْوَةُ لِلْأُمِّ يُدْلُونَ بِالْأُمِّ وَيَرِثُونَ مَعَهَا، فَهَلَّا كَانَ الْإِخْوَةُ مَعَ الْأَبِ وَإِنْ أَدْلَوْا بِهِ يَرِثُونَ مَعَهُ.

Jika dikatakan: Bukankah saudara-saudara seibu mendapatkan bagian melalui ibu dan mereka mewarisi bersamanya? Mengapa saudara-saudara bersama ayah, meskipun mereka mendapatkan bagian melalui ayah, tidak mewarisi bersamanya?

قِيلَ الفرق بينما مِنْ وَجْهَيْنِ:

Dijawab: Perbedaannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْإِخْوَةَ لِلْأَبِ عَصَبَةٌ يُدْلُونَ بِعَصَبَةٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَدْفَعُوهُ عَنْ حقه مع إدلائهم به، والإخوة للأم ذو فَرْضٍ لَا يَدْفَعُونَ الْأُمَّ عَنْ فَرْضِهَا فَجَازَ أَنْ يَرِثُوا مَعَهَا.

Pertama: Saudara-saudara seayah adalah ‘ashabah yang mendapatkan bagian melalui ‘ashabah, maka tidak boleh mereka menyingkirkan ayah dari haknya padahal mereka mendapatkan bagian melalui ayah. Sedangkan saudara-saudara seibu adalah dzawul furūdh (ahli waris dengan bagian tertentu) yang tidak menyingkirkan ibu dari bagiannya, sehingga mereka boleh mewarisi bersamanya.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْإِخْوَةَ لِلْأُمِّ لَا تَأْخُذُ الْأُمُّ فَرْضَهُمْ إِذَا عَدِمُوا فَلَمْ يدفعهم عَنْهُ إِذَا وَجَدُوا وَالْإِخْوَةَ لِلْأَبِ يَأْخُذُ الْأَبُ حقهم إذا عدموا فدفعهم عَنْهُ إِذَا وَجَدُوا.

Kedua: Saudara-saudara seibu, jika mereka tidak ada, ibu tidak mengambil bagian mereka, sehingga ibu tidak menyingkirkan mereka dari bagian itu jika mereka ada. Sedangkan saudara-saudara seayah, jika mereka tidak ada, ayah mengambil hak mereka, sehingga ayah menyingkirkan mereka dari hak itu jika mereka ada.

فَأَمَّا حَجْبُهُمُ الْأُمَّ عَنِ السُّدُسِ فَلَيْسَ كُلُّ مَنْ حَجَبَ عَنْ فَرْضٍ اسْتَحَقَّ ذَلِكَ الْحَجْبَ، أَلَا تَرَى أَنَّ فَرْضَ الْبِنْتِ النِّصْفُ لَوْ لَمْ تَحْجُبْ أَحَدًا وَلَوْ حَجَبَتِ الزَّوْجَ إِلَى الرُّبُعِ وَالزَّوْجَةَ إِلَى الثُّمُنِ وَالْأُمَّ إِلَى السُّدُسِ لَمْ يَعُدْ عَلَيْهَا مَا حَجَبَتْهُمْ عَنْهُ مِنَ الْفُرُوضِ وَكَذَلِكَ الْإِخْوَةُ.

Adapun penghalangan mereka terhadap ibu dari bagian seperenam, maka tidak setiap orang yang menghalangi dari suatu bagian, ia berhak atas bagian yang dihalangi itu. Tidakkah engkau melihat bahwa bagian anak perempuan adalah setengah, ia tidak menghalangi siapa pun, dan jika ia menghalangi suami menjadi seperempat, istri menjadi seperdelapan, dan ibu menjadi seperenam, maka tidak kembali kepadanya bagian yang ia halangi dari bagian-bagian tersebut? Demikian pula halnya dengan saudara-saudara.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا الْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ لِلْأَبِ فَيَسْقُطُونَ مَعَ مَنْ تَسْقُطُ مَعَهُ الْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ مِنَ الِابْنِ وَابْنِ الِابْنِ وَالْأَبِ وَيَسْقُطُونَ أَيْضًا مِعِ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أَعْيَانُ بَنِي الْأُمَّ يَتَوَارَثُونَ دُونَ بني العلات “.

Adapun saudara laki-laki dan perempuan seayah, maka mereka gugur bersama siapa saja yang menyebabkan gugurnya saudara laki-laki dan perempuan seayah-seibu, yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan ayah. Mereka juga gugur bersama saudara laki-laki dan perempuan seayah-seibu, berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Anak-anak satu ibu saling mewarisi, tidak demikian anak-anak satu ayah berlainan ibu.”

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَا يَرِثُ مَعَ الْأَبِ أَبَوَاهُ وَلَا مَعَ الأم جدة وهذا كله قول الشافعي ومعناه “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Tidak mewarisi bersama ayah kedua orang tuanya (kakek dan nenek), dan tidak bersama ibu nenek. Ini semua adalah pendapat Imam Syafi‘i dan maksudnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: لَا خِلَافَ أَنَّ الْجَدَّاتِ لَا يَرِثْنَ مَعَ الْأُمِّ سَوَاءٌ مَنْ كُنَّ مِنْهُنَّ مِنْ قِبَلِ الْأَبِ أَوْ مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ لِأَنَّهُنَّ يَرِثْنَ بِالْوِلَادَةِ فَكَانَتِ الْأُمُّ أَوْلَى مِنْهُنَّ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: “Ini sebagaimana yang dikatakan, tidak ada perbedaan pendapat bahwa para nenek tidak mewarisi bersama ibu, baik mereka dari jalur ayah maupun dari jalur ibu, karena mereka mewarisi karena kelahiran, maka ibu lebih utama dari mereka karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا مُبَاشِرَةٌ لِلْوِلَادَةِ بِخِلَافِهِنَّ.

Pertama: Karena ibu secara langsung melahirkan, berbeda dengan nenek-nenek.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْوِلَادَةَ فِيهَا مَعْلُومَةٌ وفي غيرها مظنونة فلفوتها بهذين أحجبت جَمِيعَ الْجَدَّاتِ.

Kedua: Karena kelahiran pada ibu itu pasti, sedangkan pada selainnya masih dugaan. Karena dua alasan ini, ibu menghalangi seluruh nenek dari warisan.

وَأَمَّا الْأَبُ فَلَا خِلَافَ أَنَّهُ يَحْجُبُ أَبَاهُ وَهُوَ الْجَدُّ وَلَا يَحْجُبُ الْجَدَّةَ مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ وَاخْتَلَفُوا فِي حَجْبِهِ لِأُمِّهِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ إِلَى أَنَّ الْجَدَّةَ أُمَّ الْأَبِ تَسْقُطُ بِالْأَبِ كَالْجَدِّ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَالزُّبَيْرُ وَسَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ وَمِنَ التَّابِعِينَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ وَابْنُ سِيرِينَ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وَالثَّوْرِيُّ وَالْأَوْزَاعِيُّ.

Adapun ayah, tidak ada perbedaan pendapat bahwa ia menghalangi ayahnya (kakek) dari warisan, dan tidak menghalangi nenek dari jalur ibu. Para ulama berbeda pendapat tentang penghalangan ayah terhadap ibunya (nenek dari jalur ayah). Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa nenek dari jalur ayah gugur (tidak mendapat warisan) karena adanya ayah, sebagaimana kakek. Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat: Utsman, Ali, Zubair, Sa‘d bin Abi Waqqash, Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhum, dan dari kalangan tabi‘in: Sa‘id bin al-Musayyib, Ibnu Sirin, serta dari kalangan fuqaha: Malik, ats-Tsauri, dan al-Auza‘i.

وَقَالَ أبو حنيفة: الْجَدَّةُ أُمُّ الْأَبِ تَرِثُ مَعَ الْأَبِ كَمَا تَرِثُ مَعَ أُمِّ الْأُمِّ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مسعود وعمران بن الحسين وَأَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، وَمِنَ التَّابِعِينَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَشُرَيْحٌ وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ عَطَاءُ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ وَأَهْلُ الْبَصْرَةِ اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ قَالَ فِي الْجَدَّةِ مَعَ ابْنِهَا إِنَّهَا أَوَّلُ جَدَّةٍ أَطْعَمَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سُدُسًا وَابْنُهَا حَيٌّ وَرَوَى الْحَسَنُ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ وَرَّثَ الْجَدَّةَ مَعَ ابْنِهَا وَروي أَنَّهُ ورث حسكة مَعَ ابْنِهَا وَلِأَنَّهُ لَمَّا ضَعُفَ الْأَبُ عَنْ حَجْبِ أُمِّ الْأُمِّ وَهِيَ بِإِزَائِهَا ضَعُفَ أَيْضًا عَنْ حَجْبِهَا، وَلِأَنَّ الْجَدَّةَ وَإِنْ أَدْلَتْ بِالْأَبِ فَهِيَ غَيْرُ مُضِرَّةٍ بِهِ لِأَنَّهَا تُشَارِكُ أُمَّ الْأُمِّ فِي فَرْضِهَا فَجَرَى مَجْرَى الْإِخْوَةِ لِلْأُمِّ لَمَّا لَمْ يَضُرُّوا بِالْأُمِّ لَمْ يَسْقُطُوا مَعَ الْأُمِّ.

Abu Hanifah berkata: Nenek dari pihak ayah mewarisi bersama ayah sebagaimana ia mewarisi bersama nenek dari pihak ibu. Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat seperti Umar bin al-Khattab, Abdullah bin Mas‘ud, Imran bin Husain, dan Abu Musa al-Asy‘ari radhiyallahu ‘anhum, serta dari kalangan tabi‘in seperti al-Hasan al-Bashri, Syuraih, dan ‘Urwah bin az-Zubair, dan dari para fuqaha seperti ‘Atha’ bin Abi Rabah, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, dan penduduk Bashrah. Mereka berdalil dengan riwayat dari Abdullah bin Mas‘ud bahwa ia berkata tentang nenek bersama anaknya: “Ia adalah nenek pertama yang diberi bagian seperenam oleh Rasulullah ﷺ, sementara anaknya masih hidup.” Al-Hasan meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau mewariskan kepada nenek bersama anaknya. Juga diriwayatkan bahwa beliau mewariskan kepada Hasakah bersama anaknya. Karena ketika ayah tidak mampu menghalangi nenek dari pihak ibu yang setara dengannya, maka ia juga tidak mampu menghalangi nenek dari pihak ayah. Dan karena nenek, meskipun ia sampai kepada pewaris melalui ayah, ia tidak membahayakan ayah, sebab ia berbagi bagian dengan nenek dari pihak ibu. Maka keadaannya seperti saudara-saudara seibu, yang tidak membahayakan ibu sehingga mereka tidak gugur bersama ibu.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ كُلَّ مَنْ أَدْلَى إِلَى الْمَيِّتِ بِأَبٍ وَارِثٍ سَقَطَ بِهِ كَالْجَدِّ وَالْإِخْوَةِ وَلِأَنَّ الْإِدْلَاءَ إِلَى الْمَيِّتِ بِمَنْ يَسْتَحِقُّ جَمِيعَ الْمِيرَاثِ يَمْنَعُ مِنْ مُشَارَكَتِهِ فِي الْمِيرَاثِ كَوَلَدِ الِابْنِ مَعَ الِابْنِ وَوَلَدِ الْإِخْوَةِ مَعَ الْإِخْوَةِ، وَلِأَنَّهَا جَدَّةٌ تُدْلِي بِوَلَدِهَا فَلَمْ يُجِزْ أَنْ تُشَارِكَ وَلَدَهَا فِي الْمِيرَاثِ كَالْجَدَّةِ أُمِّ الْأُمِّ مَعَ الْأُمِّ، وَأَمَّا الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ وَرَّثَ الْجَدَّةَ وَابْنُهَا حَيٌّ فَضَعِيفٌ لِأَنَّ صِحَّتَهُ تَمْنَعُ مِنِ اخْتِلَافِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عنهم فيه، ثم لو سلم لكان عليه ثلاثة أجوبة.

Adapun dalil kami adalah bahwa setiap orang yang sampai kepada mayit melalui ayah yang juga pewaris, maka ia gugur karenanya, seperti kakek dan saudara-saudara. Dan karena sampai kepada mayit melalui orang yang berhak atas seluruh warisan, maka tidak boleh berbagi warisan dengannya, seperti anak laki-laki dari anak bersama anak laki-laki, dan anak-anak saudara bersama saudara. Dan karena nenek yang sampai kepada pewaris melalui anaknya, maka tidak boleh ia berbagi warisan dengan anaknya, sebagaimana nenek dari pihak ibu bersama ibu. Adapun riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau mewariskan kepada nenek sementara anaknya masih hidup, maka itu lemah, karena jika sahih, tidak akan terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat radhiyallahu ‘anhum tentang hal itu. Kemudian, jika diterima, maka ada tiga jawaban atasnya.

أحدهما: أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى تَوْرِيثِ الْجَدَّةِ أُمِّ الْأُمِّ مَعَ ابْنِهَا الَّذِي هُوَ الْخَالُ.

Pertama: Bahwa itu dimaknai sebagai pewarisan nenek dari pihak ibu bersama anaknya, yaitu paman dari pihak ibu.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى تَوْرِيثِ أُمِّ الْأَبِ مَعَ ابْنِهَا وهو العم.

Kedua: Bahwa itu dimaknai sebagai pewarisan nenek dari pihak ayah bersama anaknya, yaitu paman dari pihak ayah.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَعَ الْأَبِ إِذَا كَانَ كَافِرًا أَوْ قَاتِلًا وَيُسْتَفَادُ بِذَلِكَ أن لا يسقط ميراثا بِسُقُوطِ مَنْ أَدْلَتْ بِهِ.

Ketiga: Bahwa hal itu mungkin terjadi bersama ayah jika ayahnya kafir atau pembunuh, dan dari situ dapat diambil faedah bahwa warisan tidak gugur hanya karena gugurnya orang yang menjadi perantara baginya.

فَأَمَّا أُمُّ الْأُمِّ فَإِنَّمَا لَمْ يَحْجُبْهَا الْأَبُ لِإِدْلَائِهَا بِغَيْرِهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ أُمُّهُ لِإِدْلَائِهَا بِهِ وَأَمَّا عَدَمُ إِضْرَارِهَا بالأب فقد تضر به، لأنها تأخذ فرضها من مال كان يستوعبه بالتعصب، ثُمَّ لَوْ لَمْ تَضُرَّ لِجَازَ أَنْ يُسْقِطَهَا كَمَا يُسْقِطُ الْإِخْوَةَ لِلْأُمِّ وَإِنْ لَمْ يَضُرُّوهُ والله أعلم.

Adapun nenek dari pihak ibu, maka ayah tidak menghalanginya karena ia sampai kepada pewaris bukan melalui ayah, dan tidak demikian halnya dengan ibunya, karena ia sampai kepada pewaris melalui ayah. Adapun alasan bahwa ia tidak membahayakan ayah, sebenarnya ia bisa saja membahayakannya, karena ia mengambil bagiannya dari harta yang seharusnya seluruhnya menjadi hak ayah sebagai ‘ashabah. Kemudian, jika ia tidak membahayakan, maka boleh saja ia digugurkan sebagaimana saudara-saudara seibu digugurkan, meskipun mereka tidak membahayakan. Wallahu a‘lam.

باب المواريث

Bab Warisan

قال المزني رحمه الله: ” وللزوج النصف فإن كان للميت ولد أو ولد ولد وَإِنْ سَفَلَ فَلَهُ الرُّبُعُ “.

Al-Muzani rahimahullah berkata: “Untuk suami mendapat setengah, namun jika si mayit memiliki anak atau cucu meskipun jauh, maka ia mendapat seperempat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ مَا نَصَّ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ مِنَ المواريث نوعان:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa apa yang Allah Ta‘ala tetapkan dalam masalah warisan ada dua jenis:

أحدهما: ما جعله مُرْسَلًا وَهُوَ مَوَارِيثُ الْعَصَبَاتِ يَسْتَوْعِبُونَ الْمَالَ إِذَا لَمْ يَكُنْ فَرْض وَيَأْخُذُونَ الْبَاقِيَ بَعْدَ الْفَرْضِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ} [النساء: 11] فَذَكَرَهُ بِلَفْظِ الْوَصِيَّةِ لِأَنَّهُمْ كَانُوا يَتَوَارَثُونَ قَبْلَ نُزُولِهَا بِالْوَصِيَّةِ وقال الله: {وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ} [النساء: 176] .

Pertama: Yang dijadikan bersifat umum, yaitu warisan para ‘ashabah yang mengambil seluruh harta jika tidak ada ahli waris dengan bagian tertentu (fardh), dan mereka mengambil sisa setelah bagian tertentu dibagikan. Allah Ta‘ala berfirman: {Allah mewasiatkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan} (an-Nisa: 11). Allah menyebutnya dengan lafaz wasiat karena mereka dahulu saling mewarisi dengan wasiat sebelum ayat ini turun. Allah juga berfirman: {Dan jika mereka (ahli waris) terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua perempuan} (an-Nisa: 176).

وَالنَّوْعُ الثَّانِي: جَعْلُهُ فَرْضًا مُقَدَّرًا وَالْفُرُوضُ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهَا فِي كِتَابِ اللَّهِ تعالى سنة نَصَّ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهَا فِي الْآيِ الثَّلَاثِ مِنْ سُورَةِ النِّسَاءِ وَهِيَ: النِّصْفُ وَالرُّبُعُ وَالثُّمُنُ والثلثان والثلث والسدس فكأنهما النصف ونصفه ونصف نصفه والثلثان ونصفهما ونصف نصفهما.

Jenis kedua: Allah menjadikannya sebagai bagian yang telah ditentukan. Bagian-bagian yang disebutkan secara tegas dalam Kitab Allah Ta‘ala dan sunnah, Allah tetapkan dalam tiga ayat dari surah an-Nisa, yaitu: setengah, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, dan seperenam. Seakan-akan itu adalah setengah, setengah dari setengah, setengah dari setengahnya lagi, dua pertiga, setengah dari dua pertiga, dan setengah dari setengahnya lagi.

فَأَمَّا النِّصْفُ فَفَرْضُ خَمْسَةٍ فَرْضُ الزَّوْجِ إِذَا لَمْ يُحْجَبْ، وَفَرْضُ الْبِنْتِ وَفَرْضُ بِنْتِ الِابْنِ وَفَرْضُ الْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ وَفَرْضُ الْأُخْتِ لِلْأَبِ.

Adapun setengah, maka itu adalah bagian wajib bagi lima pihak: bagian wajib suami jika tidak terhalang, bagian wajib anak perempuan, bagian wajib cucu perempuan dari anak laki-laki, bagian wajib saudari seayah-seibu, dan bagian wajib saudari seayah.

وَأَمَّا الرُّبُعُ فَفَرْضُ اثْنَيْنِ فَرْضُ الزَّوْجِ مَعَ الْحَجْبِ وَفَرْضُ الزَّوْجَةِ أَوِ الزَّوْجَاتِ مَعَ عَدَمِ الحجبة.

Adapun seperempat, maka itu adalah bagian wajib bagi dua pihak: bagian wajib suami jika terhalang, dan bagian wajib istri atau para istri jika tidak terhalang.

وأما الثمن فهو فرض واحد وَهُوَ فَرْضُ الزَّوْجَةِ وَالزَّوْجَاتِ مَعَ الْحَجْبِ.

Adapun seperdelapan, maka itu hanya satu bagian wajib, yaitu bagian wajib istri atau para istri jika terhalang.

وَأَمَّا الثُّلُثَانِ فَفَرْضُ أَرْبَعَةٍ فَرْضُ الْبِنْتَيْنِ فَصَاعِدًا وَفَرْضُ بنتي الابن فصاعدا وفرض الأخت مع الْأَبِ وَالْأُمِّ فَصَاعِدًا وَفَرْضُ الْأُخْتَيْنِ لِلْأَبِ فَصَاعِدًا فالثلثان فرض كل اثنين كَانَ فَرْضُ إِحْدَاهُمَا النِّصْفُ، وَأَمَّا الثُّلُثُ فَفَرْضُ فَرِيقَيْنِ فَرْضُ الْأُمِّ إِذَا لَمْ تُحْجَبْ وَفَرْضُ الابنين فصاعدا من ولد الأم.

Adapun dua pertiga, maka itu adalah bagian wajib bagi empat pihak: bagian wajib dua anak perempuan atau lebih, bagian wajib dua cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih, bagian wajib dua saudari seayah-seibu atau lebih, dan bagian wajib dua saudari seayah atau lebih. Maka dua pertiga adalah bagian wajib bagi setiap dua pihak yang salah satunya mendapat bagian setengah. Adapun sepertiga, maka itu adalah bagian wajib bagi dua kelompok: bagian wajib ibu jika tidak terhalang, dan bagian wajib dua anak laki-laki atau lebih dari saudara seibu.

وأما السدس فرض سَبْعَةٍ فَرْضُ الْأَبِ وَفَرْضُ الْجَدِّ وَفَرْضُ الْأُمِّ مَعَ الْحَجْبِ وَفَرْضُ الْجَدَّةِ أَوِ الْجَدَّاتِ وَفَرْضُ الواحد مع وَلَدِ الْأُمِّ، وَفَرْضُ بِنْتِ الِابْنِ مَعَ بِنْتِ الصُّلْبِ، وَفَرْضُ الْأُخْتِ مِنَ الْأَبِ مَعَ الْأُخْتِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَجْتَمِعَ ثُلُثَانِ وَثُلُثَانِ وَلَا ثُلُثٌ وَثُلُثٌ وَلَا نِصْفٌ ولا نصف إِلَّا فِي زَوْجٍ وَأُخْتٍ، فَأَمَّا فِي بِنْتٍ وَأُخْتٍ فَلَيْسَ نِصْفُ الْأُخْتِ مَعَ الْبِنْتِ فَرْضًا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَجْتَمِعَ رُبُعَانِ وَلَا رُبُعٌ وثمن.

Adapun seperenam, maka itu adalah bagian wajib bagi tujuh pihak: bagian wajib ayah, bagian wajib kakek, bagian wajib ibu jika terhalang, bagian wajib nenek atau para nenek, bagian wajib satu orang dari anak saudara seibu, bagian wajib cucu perempuan dari anak laki-laki bersama anak perempuan kandung, dan bagian wajib saudari seayah bersama saudari seayah-seibu. Tidak boleh berkumpul dua bagian dua pertiga, tidak pula dua bagian sepertiga, tidak pula dua bagian setengah kecuali pada suami dan saudari, adapun pada anak perempuan dan saudari maka setengah bagian saudari bersama anak perempuan bukanlah bagian wajib. Tidak boleh pula berkumpul dua bagian seperempat, atau seperempat dan seperdelapan.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْفُرُوضِ فَقَدْ بَدَأَ الشَّافِعِيُّ بِفَرْضِ الزَّوْجِ وَفَرْضُهُ النِّصْفُ إِنْ لَمْ يَكُنْ لِلْمَيِّتَةِ وَلَدٌ وَلَا وَلَدُ ابْنٍ فَإِنْ كَانَ لَهَا وَلَدٌ أَوْ وَلَدُ ابْنٍ فَفَرْضُهُ الرُّبُعُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بها أو دين} [النساء: 12] فصار فَرْضُ الزَّوْجِ النِّصْفَ وَقَدْ يَأْخُذُهُ تَارَةً كَامِلًا وتارة عائلا وأقل فرض الرُّبُعُ، وَقَدْ يَأْخُذُهُ تَارَةً كَامِلًا وَتَارَةً عَائِلًا وَلَا فَرْقَ فِي حَجْبِ الزَّوْجِ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ الْوَلَدُ مِنْهُمَا أَوْ مِنْهَا دُونَهُ سَوَاءٌ كَانَ ذَكَرًا أَوْ أُنْثَى، صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا، وهكذا ولد الابن يحجب الزوج ما يَحْجُبُهُ الْوَلَدُ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَحْجُبُ بِالِاسْمِ أَوْ بِالْمَعْنَى، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: يَحْجُبُ بِالِاسْمِ، لِأَنَّهُ يُسَمَّى وَلَدًا.

Setelah dijelaskan bagian-bagian waris yang telah disebutkan, maka Imam Syafi‘i memulai dengan bagian suami. Bagian suami adalah setengah jika si mayitah (istri yang meninggal) tidak memiliki anak atau cucu laki-laki. Jika ia memiliki anak atau cucu laki-laki, maka bagian suami adalah seperempat. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan bagi kalian (para suami) setengah dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka mempunyai anak, maka bagi kalian seperempat dari harta yang mereka tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) utang} (an-Nisā’: 12). Maka bagian suami adalah setengah, terkadang ia mendapatkannya secara penuh, terkadang secara ‘aul (berkurang), dan bagian paling sedikit adalah seperempat, terkadang ia mendapatkannya secara penuh, terkadang secara ‘aul. Tidak ada perbedaan dalam hal penghalang bagi suami, baik anak itu dari keduanya atau hanya dari istri saja, baik laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar. Demikian pula cucu laki-laki dari anak laki-laki menghalangi suami sebagaimana anak menghalanginya. Ulama kami berbeda pendapat, apakah penghalangan itu karena nama atau karena makna. Sebagian mereka berkata: penghalangan itu karena nama, karena ia disebut anak.

وَقَالَ آخَرُونَ: يَحْجُبُ بِالْمَعْنَى لَا بِالِاسْمِ لِأَنَّ حَقِيقَةَ الْوَلَدِ يَنْطَلِقُ عَلَى وَلَدِ الصلب، فلذلك قُلْنَا إِنَّ مَنْ وَقَفَ عَلَى وَلَدِهِ لَمْ يَكُنْ لِوَلَدِ وَلَدِهِ فِيهِ حَقٌّ فَأَمَّا فِي الْحَجْبِ فَقَدْ أَجْمَعُوا أَنَّهُ يَقُومُ فِيهِ مَقَامَ الْوَلَدِ إِلَّا مَا يُحْكَى عَنْ مُجَاهِدٍ حِكَايَةً شَاذَّةً أَنَّ الزَّوْجَ وَالزَّوْجَةَ لَا يُحْجَبَانِ بِوَلَدِ الْوَلَدِ، وَهَذَا قَوْلٌ مَدْفُوعٌ بِالْإِجْمَاعِ، وَالْمَعْنَى إِنْ نَازَعَ فِي الِاسْمِ، فَعَلَى هَذَا لَا فَرْقَ في ولد الابن بين ذكورهم وإناثهم للواحد وَالْجَمَاعَةُ فِيهِ سَوَاءٌ.

Sebagian lain berkata: penghalangan itu karena makna, bukan karena nama, karena hakikat anak adalah anak kandung. Oleh karena itu, kami katakan bahwa jika seseorang mewasiatkan hartanya kepada anaknya, maka cucunya tidak mendapat bagian darinya. Adapun dalam hal penghalangan waris, para ulama telah sepakat bahwa cucu laki-laki menempati posisi anak, kecuali riwayat yang ganjil dari Mujahid bahwa suami dan istri tidak terhalang oleh cucu, dan pendapat ini tertolak oleh ijmā‘. Adapun makna jika ada yang memperdebatkan dalam penamaan, maka berdasarkan hal ini tidak ada perbedaan pada cucu laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan, satu orang maupun banyak, semuanya sama.

فَأَمَّا وَلَدُ الْبِنْتِ فَلَا يَحْجُبُ لِأَنَّهُ مِنْ ذَوِي الْأَرْحَامِ، وَقَوْلُ الشَّافِعِيِّ فإن كان للميت ولد أو ولد ولد إِنَّمَا أَرَادَ بِهِ وَلَدَ الِابْنِ دُونَ وَلَدِ البنت، وليس كما جهل بعض الناس فعابه خطأه فيه.

Adapun anak perempuan dari anak perempuan (cucu dari anak perempuan), maka tidak menghalangi, karena ia termasuk dzawī al-arḥām. Adapun perkataan Imam Syafi‘i: “Jika si mayit memiliki anak atau cucu,” yang dimaksud adalah cucu dari anak laki-laki, bukan cucu dari anak perempuan, tidak seperti yang disalahpahami sebagian orang sehingga mereka mencelanya karena kesalahannya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلِلْمَرْأَةِ الرُّبُعُ فَإِنْ كَانَ لَلْمَيِّتِ وَلَدٌ أَوْ ولد ولد وإن سفل فلها الثمن والمرأتان والثلاث والأربع شركاء في الربع إذا لم يكن ولد وفي الثمن إذا كان ولد “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Bagi perempuan (istri) bagian seperempat. Jika si mayit memiliki anak atau cucu, meskipun jauh, maka bagi istri bagian seperdelapan. Dua, tiga, atau empat istri bersama-sama dalam seperempat jika tidak ada anak, dan bersama-sama dalam seperdelapan jika ada anak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: لِلزَّوْجَةِ فَرْضَانِ أَعْلَى وَأَدْنَى فَأَمَّا الْأَعْلَى فَهُوَ الرُّبُعُ يُفْرَضُ لَهَا إِذَا لَمْ يَكُنْ لِلْمَيِّتِ وَلَدٌ وَلَا ولد ابن فأعلى فرضها هو أدنى فرض الزَّوْجِ، لِأَنَّ مِيرَاثَ الْمَرْأَةِ عَلَى النِّصْفِ مِنْ مِيرَاثِ الرَّجُلِ إِلَّا فِي مَوْضِعَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: bagi istri ada dua bagian, yang tertinggi dan yang terendah. Adapun yang tertinggi adalah seperempat, diberikan kepadanya jika si mayit tidak memiliki anak atau cucu laki-laki. Maka bagian tertinggi istri adalah bagian terendah suami, karena warisan perempuan setengah dari warisan laki-laki kecuali pada dua tempat:

أَحَدُهُمَا: الْأَبَوَانِ معهم الِابْن.

Salah satunya: kedua orang tua bersama anak.

وَالثَّانِي: الْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ لِلْأُمِّ فَإِنَّهُ يَسْتَوِي فِيهِمَا الذُّكُورُ وَالْإِنَاثُ وَيَتَفَاضَلُونَ فِيمَا سِوَاهُمَا.

Dan yang kedua: saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, di mana laki-laki dan perempuan sama dalam hal ini, dan mereka saling berbeda dalam selain keduanya.

ثُمَّ هَذَا الرُّبُعُ قَدْ تَأْخُذُهُ تَارَةً كَامِلًا وَتَارَةً عَائِلًا فَإِنْ كَانَ لِلْمَيِّتِ وَلَدٌ أَوْ وَلَدُ ابن وإن سفل منهما أو منه دونها فَلَهَا الثُّمُنُ ثُمَّ قَدْ تَأْخُذُ الثُّمُنَ تَارَةً كَامِلًا وَتَارَةً عَائِلًا ثُمَّ هَذَانِ الْفَرْضَانِ أُخِذَا من نص الكتاب قال الله تَعَالَى: {وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ} [النساء: 12] فَإِنْ كُنَّ أَكْثَرَ مِنْ وَاحِدَةٍ اشْتَرَكْنَ وَلَوْ كُنَّ أَرْبَعًا فِي الرُّبُعِ، إِذَا لَمْ يُحْجَبْنَ.

Kemudian, seperempat ini kadang diambil secara utuh dan kadang secara ‘ā’il (berkurang karena harus dibagi dengan ahli waris lain). Jika si mayit memiliki anak atau cucu laki-laki, baik dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan, atau dari keduanya, maka untuknya (istri) seperdelapan. Kemudian, kadang ia mengambil seperdelapan secara utuh dan kadang secara ‘ā’il. Kedua bagian ini diambil dari nash Al-Qur’an, Allah Ta‘ala berfirman: {Dan bagi mereka (para istri) seperempat dari harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak, maka bagi mereka seperdelapan dari harta yang kalian tinggalkan} (QS. An-Nisa: 12). Jika mereka (istri) lebih dari satu, maka mereka berbagi, meskipun mereka empat orang, dalam seperempat, selama mereka tidak terhalang (oleh ahli waris lain).

وَفِي الثُّمُنِ إذا حجبن وصرن والجدات سواء يشتركن فِي الْفَرْضِ الْوَاحِدِ وَإِنْ كَثُرْنَ وَلَا يَزِيدُ بزيادتهن.

Dan dalam hal seperdelapan, jika mereka terhalang dan menjadi nenek-nenek, maka mereka sama-sama berbagi dalam satu bagian warisan, meskipun jumlah mereka banyak, dan tidak bertambah dengan bertambahnya jumlah mereka.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلِلْأُمِّ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لِلْمَيِّتِ وَلَدٌ أَوْ وَلَدُ وَلَدٍ أَوِ اثْنَانِ مِنَ الْإِخْوَةِ أَوِ الْأَخَوَاتِ فَصَاعِدًا فَلَهَا السُّدُسُ إِلَّا فِي فَرِيضَتَيْنِ إِحْدَاهُمَا زَوْجٌ وَأَبَوَانِ وَالْأُخْرَى امْرَأَةٌ وَأَبَوَانِ فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي هَاتَيْنِ الْفَرِيضَتَيْنِ لِلْأُمِّ ثُلُثُ مَا يَبْقَى بَعْدَ نَصِيبِ الزَّوْجِ أَوِ الزَّوْجَةِ وَمَا بَقِيَ فَلِلْأَبِ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Dan bagi ibu sepertiga. Jika si mayit memiliki anak atau cucu, atau dua orang saudara laki-laki atau perempuan atau lebih, maka bagi ibu seperenam, kecuali dalam dua kasus: salah satunya suami dan kedua orang tua, dan yang lainnya istri dan kedua orang tua. Dalam dua kasus ini, bagi ibu sepertiga dari sisa setelah bagian suami atau istri, dan sisanya untuk ayah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ لِلْأُمِّ فِي مِيرَاثِهَا ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa ibu dalam warisannya memiliki tiga keadaan:

إِحْدَاهُنَّ: أَنْ يُفْرَضَ لَهَا الثُّلُثُ وَهُوَ أَكْمَلُ أَحْوَالِهَا وَذَلِكَ إِذَا لَمْ يَكُنْ لِلْمَيِّتِ وَلَدٌ وَلَا وَلَدُ ابْنٍ وَلَا اثْنَانِ فَصَاعِدًا مِنَ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ قَالَ اللَّهِ تَعَالَى: {وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ} [النساء: 11] فَاقْتَضَى الْكَلَامُ أَنَّ الْبَاقِيَ بَعْدَ ثُلُثِ الْأُمِّ للابن وهذا الثلث قد تأخذه تارة كاملا وقد تأخذه تارة عائلا.

Salah satunya: ditetapkan baginya sepertiga, dan ini adalah keadaan terbaiknya, yaitu jika si mayit tidak memiliki anak, tidak pula cucu laki-laki, dan tidak pula dua orang saudara laki-laki atau perempuan atau lebih. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan kedua orang tuanya mewarisinya, maka bagi ibunya sepertiga} (QS. An-Nisa: 11). Maka, makna ayat ini adalah bahwa sisa setelah sepertiga ibu adalah untuk anak laki-laki, dan sepertiga ini kadang diambilnya secara utuh dan kadang secara ‘ā’il.

والحالة الثَّانِيَةُ: أَنْ يُفْرَضَ لَهَا السُّدُسُ وَذَلِكَ أَقَلُّ أَحْوَالِهَا إِذَا حُجِبَتْ عَنِ الثُّلُثِ وَحَجْبُهَا عَنِ الثُّلُثِ إِلَى السُّدُسِ يَكُونُ بِصِنْفَيْنِ:

Keadaan kedua: ditetapkan baginya seperenam, dan ini adalah keadaan terendahnya, jika ia terhalang dari sepertiga. Penghalangannya dari sepertiga menjadi seperenam terjadi karena dua sebab:

أَحَدُهُمَا: الْوَلَدُ أَوْ وَلَدُ الِابْنِ يَحْجُبُ الْأُمَّ عَنِ الثُّلُثِ إِلَى السُّدُسِ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى كَمَا قُلْنَا فِي حَجْبِ الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ وَسَوَاءٌ فِي ذلك الولد أو ولد الِابْنِ بِالْإِجْمَاعِ إِلَّا مَا خَالَفَ فِيهِ مُجَاهِدٌ وَحْدَهُ حَيْثُ لَمْ يَحْجُبْ بِوَلَدِ الِابْنِ وَقَدْ تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ.

Salah satunya: anak atau cucu laki-laki menghalangi ibu dari sepertiga menjadi seperenam, baik laki-laki maupun perempuan, sebagaimana telah kami sebutkan dalam penghalangan suami dan istri. Dan sama saja dalam hal ini, anak atau cucu laki-laki menurut ijmā‘, kecuali pendapat Mujahid saja yang tidak menghalangi dengan cucu laki-laki, dan telah disebutkan sebelumnya.

وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ قَوْله تَعَالَى: {وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ} [النساء: 11] .

Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan jika dia seorang diri, maka baginya setengah, dan bagi kedua orang tuanya masing-masing seperenam} (QS. An-Nisa: 11).

وَالصِّنْفُ الثَّانِي: حَجْبُهَا بالإخوة والأخوات فالواحد منهم لا يحجها إِجْمَاعًا وَالثَّلَاثَةُ مِنَ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ يَحْجُبُونَهَا عَنِ الثُّلُثِ إِلَى السُّدُسِ إِجْمَاعًا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ} [النساء: 11] وَسَوَاءٌ كَانَ الْإِخْوَةُ لِأَبٍ وَأُمٍّ أَوْ لِأَبٍ أو أم وسواء كان الإخوة ذُكُورًا أَوْ إِنَاثًا وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ لَا أَحْجُبُ الْأُمَّ بِالْأَخَوَاتِ الْمُنْفَرِدَاتِ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ} [النساء: 11] .

Sebab kedua: penghalangan oleh saudara laki-laki dan perempuan. Satu orang dari mereka tidak menghalangi menurut ijmā‘, sedangkan tiga orang saudara laki-laki atau perempuan menghalangi ibu dari sepertiga menjadi seperenam menurut ijmā‘, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan kedua orang tuanya mewarisinya, maka bagi ibunya sepertiga. Jika dia mempunyai saudara-saudara, maka bagi ibunya seperenam} (QS. An-Nisa: 11). Sama saja apakah saudara-saudara itu seayah dan seibu, atau seayah saja, atau seibu saja, dan sama saja apakah mereka laki-laki atau perempuan. Al-Hasan al-Bashri berkata: Aku tidak menghalangi ibu dengan saudara-saudara perempuan saja, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Jika dia mempunyai saudara-saudara, maka bagi ibunya seperenam} (QS. An-Nisa: 11).

وَاسْمُ الْإِخْوَةِ لَا يَنْطَلِقُ عَلَى الْأَخَوَاتِ بِانْفِرَادِهِنَّ وإنما يتأولهن الْعُمُومُ إِذَا دَخَلْنَ مِعِ الْإِخْوَةِ تَبَعًا، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِنَّمَا أَرَادَ بِذَلِكَ الْجِنْسَ وَإِذَا كَانَ الْجِنْسُ مُشْتَمِلًا عَلَى الْفَرِيقَيْنِ غَلَبَ فِي اللَّفْظِ حُكْمُ التَّذْكِيرِ، عَلَى أَنَّ الإجماع يدفع قول الْحَسَنِ عَنْ هَذَا الْقَوْلِ.

Nama “ikhwah” (saudara-saudara) tidak berlaku untuk saudara-saudara perempuan saja, melainkan mereka diikutkan dalam keumuman jika bergabung dengan saudara-saudara laki-laki. Ini adalah kekeliruan, karena Allah Ta‘ala menghendaki jenis (kelompok) tersebut, dan jika jenis itu mencakup kedua kelompok (laki-laki dan perempuan), maka dalam lafaz didahulukan hukum laki-laki. Selain itu, ijmā‘ membantah pendapat al-Hasan mengenai hal ini.

فَأَمَّا حَجْبُ الْأُمِّ بِالِاثْنَيْنِ مِنَ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ فَالَّذِي عَلَيْهِ الْجُمْهُورُ أَنَّهَا تَحْجُبُ بِهِمَا إِلَى السُّدُسِ وَهُوَ قَوْلُ عمرو وعلي وزيد بن مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَالشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ وأبي حنيفة وجماعة الفقهاء وانفرد عبد الله ابن عَبَّاسٍ فَخَالَفَ الصَّحَابَةَ بِأَسْرِهِمْ فَلَمْ يَحْجُبْهَا إِلَّا بِالثَّلَاثَةِ مِنَ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ فَصَاعِدًا وَهِيَ إِحْدَى مسائله الأربعة الَّتِي خَالَفَ فِيهَا جَمِيعَ الصَّحَابَةِ اسْتِدْلَالًا بِظَاهِرِ قوله تعالى: {فإن كن لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ} [النساء: 11] فَذَكَرَ الْإِخْوَةَ بِلَفْظِ الْجَمْعِ، وَأَقَلُّ الْجَمْعِ الْمُطْلَقِ ثَلَاثَةٌ وَرُوِيَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ دَخَلَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فقال ما بال الأخوات يحجبن الْأُمَّ عَنِ الثُّلُثِ وَاللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ {فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ} [النساء: 11] فَقَالَ عُثْمَانُ: مَا كُنْتُ لِأُغَيِّرَ شَيْئًا تَوَارَثَ النَّاسُ عَلَيْهِ وَصَارَ فِي الْآفَاقِ فَدَلَّ هَذَا الْقَوْلُ مِنْ عُثْمَانَ عَلَى انْعِقَادِ الْإِجْمَاعِ وَإِنْ لَمْ يَنْقَرِضِ الْعَصْرُ عَلَى أَنَّ الْأَخَوَيْنِ يَحْجُبَانِهَا، وَلَمْ يَأْخُذْ بِقَوْلِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَحَدٌ مِمَّنْ تَأَخَّرَ إِلَّا دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ.

Adapun mengenai terhalangnya (terhijabnya) ibu oleh dua orang saudara laki-laki atau perempuan, maka pendapat mayoritas ulama adalah bahwa ibu terhalang oleh keduanya sehingga hanya mendapat sepertiga, dan ini adalah pendapat ‘Umar, ‘Ali, Zaid bin Mas‘ud radhiyallāhu ‘anhum, serta asy-Syāfi‘ī, Mālik, Abū Hanīfah, dan sekelompok fuqahā’. Sementara ‘Abdullāh bin ‘Abbās menyendiri dengan pendapat yang berbeda dari seluruh sahabat, yaitu beliau berpendapat bahwa ibu tidak terhalang kecuali oleh tiga orang saudara laki-laki atau perempuan atau lebih. Ini adalah salah satu dari empat masalah di mana beliau menyelisihi seluruh sahabat, dengan berdalil pada zahir firman Allah Ta‘ālā: {Jika ia mempunyai beberapa saudara, maka untuk ibunya seperenam} (an-Nisā’: 11), di mana Allah menyebutkan “ikhwah” (saudara-saudara) dengan lafaz jamak, dan jumlah minimal jamak secara mutlak adalah tiga. Diriwayatkan bahwa ‘Abdullāh bin ‘Abbās pernah masuk menemui ‘Utsmān bin ‘Affān radhiyallāhu ‘anhumā, lalu berkata, “Mengapa para saudari menghalangi ibu dari sepertiga, padahal Allah Ta‘ālā berfirman: {Jika ia mempunyai beberapa saudara} (an-Nisā’: 11)?” Maka ‘Utsmān menjawab, “Aku tidak akan mengubah sesuatu yang telah diwarisi manusia dan telah tersebar di berbagai negeri.” Perkataan ‘Utsmān ini menunjukkan terjadinya ijmā‘, meskipun masa itu belum berakhir, bahwa dua orang saudara dapat menghalangi ibu, dan tidak ada seorang pun dari generasi setelahnya yang mengambil pendapat Ibnu ‘Abbās kecuali Dāwūd bin ‘Alī.

وَالدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبَ إليه إِجْمَاعُ مَنْ حَجَبَهَا بِالِاثْنَيْنِ مِنَ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ هو أن كل عدد روعي في تغيير الْفَرْضِ فَالِاثْنَانِ مِنْهُمْ يَقُومَانِ مَقَامَ الْجَمْعِ كَالْأُخْتَيْنِ في الثلثين وكالأخوين من الأم في الثلث، فَكَذَلِكَ فِي الْحَجْبِ وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” الِاثْنَانِ فَمَا فَوْقَهُمَا جَمَاعَةٌ ” وَقَدْ جَاءَ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فِي الْعِبَارَةِ عَنِ الِاثْنَيْنِ بِلَفْظِ الْجَمْعِ فِي قَوْله تَعَالَى: {إِذْ دَخَلُوا عَلَى دَاوُدَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ قَالُوا لا تَخَفْ خَصْمَانِ بَغَى بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ} [ص: 22] فَذَكَرَهُمْ بِلَفْظِ الْجَمْعِ وَهُمُ اثْنَانِ وَقَالَ تعالى: {وداود وسليمان إذا يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ} [الأنبياء: 78] فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا لَمْ يَمْتَنِعْ ذَلِكَ فِي ذِكْرِ الْإِخْوَةِ فِي الْحَجْبِ بِلَفْظِ الْجَمْعِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَجَبَ حَجْبُهَا بِمَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ الْجُمْهُورُ مِنَ الِاثْنَيْنِ فَصَاعِدًا سَوَاءٌ كَانَا أَخَوَيْنِ أَوْ أُخْتَيْنِ أَوْ أَخٍ وَأُخْتٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ أَوْ لِأَبٍ أو لأم.

Dalil atas kebenaran pendapat yang dipegang oleh mereka yang menghalangi ibu dengan dua orang saudara laki-laki atau perempuan adalah bahwa setiap jumlah yang diperhitungkan dalam perubahan bagian waris, maka dua orang di antaranya menempati posisi jamak, seperti dua saudari yang mendapat dua pertiga, dan dua saudara seibu yang mendapat sepertiga. Maka demikian pula dalam hal hijab (penghalangan). Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Dua orang atau lebih adalah jamā‘ah (kelompok).” Dalam Kitab Allah Ta‘ālā juga terdapat ungkapan tentang dua orang dengan lafaz jamak, seperti firman-Nya: {Ketika mereka masuk menemui Dāwūd, lalu ia terkejut karena mereka. Mereka berkata: Jangan takut, (kami adalah) dua orang yang berselisih…} (Shād: 22), di mana Allah menyebut mereka dengan lafaz jamak padahal mereka hanya dua orang. Dan firman-Nya: {Dan (ingatlah kisah) Dāwūd dan Sulaimān ketika keduanya memutuskan perkara tentang ladang, ketika kambing-kambing kaum itu masuk ke dalamnya pada malam hari, dan Kami menjadi saksi atas hukum mereka} (al-Anbiyā’: 78). Jika hal ini telah tetap, maka tidak terlarang menyebut saudara-saudara dalam konteks hijab dengan lafaz jamak. Oleh karena itu, wajib menghalangi ibu dengan dua orang atau lebih, sebagaimana disepakati oleh mayoritas, baik keduanya dua saudara laki-laki, dua saudari perempuan, atau seorang saudara laki-laki dan seorang saudari perempuan, baik dari ayah dan ibu, dari ayah saja, atau dari ibu saja.

فصل:

Fasal:

من فُرُوضِ الْأُمِّ أَنْ تَكُونَ الْفَرِيضَةُ زَوْجًا وَأَبَوَيْنِ فيكون للأم الثلث مَا بَقِيَ بَعْدَ فَرْضِ الزَّوْجِ أَوِ الزَّوْجَةِ وَالْبَاقِي لِلْأَبِ وَبِهِ قَالَ جُمْهُورُ الصَّحَابَةِ وَتَفَرَّدَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِخِلَافِهِمْ وَهِيَ الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ مِنَ الْمَسَائِلِ الْأَرْبَعِ الَّتِي خَالَفَهُمْ فِيهَا، فَقَالَ لِلْأُمِّ ثلث جميع المال من الزوج والأبوين وفي الزوجة والأبوين استدلالا بقوله تعالى: {وورثه أبواه فلأمه الثلث} [النساء: 11] فَلَمْ يُجِزْ أَنْ تَأْخُذَ أَقَلَّ مِنْهُ، وَحُكِيَ عن محمد بن سيرين مذهب خالف به القولين فقال أعطيها ثلث ما بقي من زوج وأبوين كقول الجماعة لأنها لا تفضل على الأب وأعطيها من زَوْجَةٍ وَأَبَوَيْنِ ثُلُثَ جَمِيعِ الْمَالِ كَقَوْلِ ابْنِ عَبَّاسٍ لِأَنَّهَا لَا تُفَضَّلُ بِذَلِكَ عَلَى الْأَبِ.

Di antara bagian waris ibu adalah jika ahli waris terdiri dari suami dan kedua orang tua, maka ibu mendapat sepertiga dari sisa setelah bagian suami atau istri, dan sisanya untuk ayah. Inilah pendapat mayoritas sahabat. Namun Ibnu ‘Abbās menyendiri dengan pendapat yang berbeda, dan ini adalah masalah kedua dari empat masalah di mana beliau menyelisihi mereka. Ia berpendapat bahwa ibu mendapat sepertiga dari seluruh harta, baik dalam kasus suami dan kedua orang tua, maupun istri dan kedua orang tua, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ālā: {Dan kedua orang tuanya mewarisinya, maka untuk ibunya sepertiga} (an-Nisā’: 11), sehingga beliau tidak membolehkan ibu mengambil kurang dari itu. Diriwayatkan pula dari Muhammad bin Sīrīn pendapat yang berbeda dari kedua pendapat tersebut, yaitu beliau berkata: “Aku memberinya sepertiga dari sisa (setelah bagian) suami dan kedua orang tua, sebagaimana pendapat jumhur, karena ibu tidak boleh lebih dari ayah; dan aku memberinya sepertiga dari seluruh harta dalam kasus istri dan kedua orang tua, sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbās, karena dengan itu ia tidak lebih dari ayah.”

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ لَهَا فِي الْمَسْأَلَتَيْنِ مَعًا ثُلُثَ الْبَاقِي بَعْدَ فَرْضِ الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ قَوْله تعالى: {وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ} [النساء: 11] فَجُعِلَ لِلْأُمِّ الثُّلُثُ مِنْ مِيرَاثِ الْأَبَوَيْنِ وَمِيرَاثُهُمَا هُوَ مَا سِوَى فَرْضِ الزَّوْجِ أَوِ الزَّوْجَةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُزَادَ عَلَى ثُلُثِ مَا وَرِثَهُ الْأَبَوَانِ، وَلِأَنَّ الْأَبَوَيْنِ إِذَا انْفَرَدَا كَانَ الْمَالُ بَيْنَهُمْ أَثْلَاثًا لِلْأُمِّ ثُلُثُهُ وَلِلْأَبِ ثُلُثَاهُ فَوَجَبَ إِذَا زاحمها ذوو فَرْضٍ أَنْ يَكُونَ الْبَاقِي مِنْهُ بَيْنَهُمَا لِلْأُمِّ ثُلُثُهُ وَلِلْأَبِ ثُلُثَاهُ وَلِأَنَّ الْأَبَ أَقْوَى مِنَ الْأُمِّ لِأَنَّهُ يُسَاوِيهَا فِي الْفَرْضِ وَيَزِيدُ عَلَيْهَا بِالتَّعْصِيبِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَكُونَ أَزْيَدَ سَهْمًا مِنْهُ بِمُجَرَّدِ الرَّحِمِ.

Dalil bahwa ibu mendapatkan sepertiga sisa setelah bagian suami atau istri dalam kedua permasalahan adalah firman Allah Ta‘ala: {dan kedua orang tuanya mewarisinya, maka untuk ibunya sepertiga} [an-Nisā’: 11]. Maka Allah menetapkan bagi ibu sepertiga dari warisan kedua orang tua, dan warisan keduanya adalah sisa setelah bagian suami atau istri. Maka tidak boleh diberikan lebih dari sepertiga dari apa yang diwarisi kedua orang tua. Dan karena jika kedua orang tua saja yang mewarisi, maka harta dibagi menjadi tiga bagian: sepertiga untuk ibu dan dua pertiga untuk ayah. Maka wajib jika ada ahli waris lain yang memiliki bagian tertentu, sisa harta dibagi antara keduanya: sepertiga untuk ibu dan dua pertiga untuk ayah. Dan karena ayah lebih kuat dari ibu, sebab ia setara dengannya dalam bagian tertentu dan melebihi dengan ‘aṣabah (hak sebagai kerabat laki-laki), maka tidak boleh bagian ibu lebih banyak darinya hanya karena hubungan rahim.

فَإِنْ قِيلَ فَالْجَدُّ يُسَاوِي الْأَبَ إِذَا كَانَ مَعَ الْأُمِّ عِنْدَ عَدَمِ الْأَبِ ثُمَّ لِلْأُمِّ مَعَ الزَّوْجِ وَالْجَدِّ ثُلُثُ جميع المال، وإن صارت فيه أقل من الجد كذلك مع الأب قبل الْأَبُ أَقْوَى مِنَ الْجَدِّ لِإِدْلَاءِ الْجَدِّ بِالْأَبِ، وَلِإِسْقَاطِ الْأَبِ مَنْ لَا يَسْقُطُ بِالْجَدِّ، وَلِأَنَّهُ مُسَاوٍ لِلْأُمِّ فِي دَرَجَتِهِ مَعَ فَضْلِ التَّعْصِيبِ، وَالْجَدُّ أَبْعَدُ مِنْهَا فِي الدَّرَجَةِ وَإِنْ زاد الأب فِي التَّعْصِيبِ فَلِقُوَّةِ الْأَبِ عَلَى الْجَدِّ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُسَاوِيَ بَيْنَهُمَا فِي التَّفْضِيلِ عَلَى الأم والله أعلم.

Jika dikatakan: “Kakek setara dengan ayah ketika bersama ibu jika ayah tidak ada, lalu ibu bersama suami dan kakek mendapat sepertiga dari seluruh harta. Jika bagian ibu menjadi lebih sedikit dari kakek, demikian pula dengan ayah sebelumnya.” Maka jawabannya: ayah lebih kuat dari kakek karena kakek mendapatkan hak waris melalui ayah, dan karena ayah dapat menggugurkan ahli waris yang tidak gugur dengan adanya kakek, serta karena ayah setara dengan ibu dalam derajatnya dengan kelebihan sebagai ‘aṣabah, sedangkan kakek lebih jauh derajatnya dari ibu. Jika ayah lebih unggul dalam ‘aṣabah, maka karena kekuatan ayah atas kakek, tidak boleh disamakan keduanya dalam keutamaan atas ibu. Dan Allah lebih mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وللبنت النصف وللابنتين فَصَاعِدًا الثُّلُثَانِ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Bagi anak perempuan satu orang setengah, dan bagi dua anak perempuan atau lebih dua pertiga.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، أَمَّا الْبِنْتُ الْوَاحِدَةُ إِذَا انْفَرَدَتْ فَفَرْضُهَا النِّصْفُ بنص الكتاب قال الله تعالى: {فإن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ} [النساء: 11] فَإِنْ كُنَّ اثنتين فصاعدا ففرضها الثُّلُثَانِ وَبِهِ قَالَ جُمْهُورُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَسَائِرُ الْفُقَهَاءِ وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ فِي رِوَايَةٍ عَنْهُ شَاذَّةٍ إِنَّ فَرْضَ الْبِنْتَيْنِ النِّصْفُ كَالْوَاحِدَةِ وَفَرْضَ الثَّلَاثِ فَصَاعِدًا الثُّلُثَانِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ} [النساء: 11] فجعل الثلثين فرضا لمن زاد على الاثنين وَالدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْجُمْهُورُ وَهُوَ مَرْوِيٌّ عَنْهُ أَيْضًا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى صَرَّحَ فِي الْأَخَوَاتِ بِأَنَّ فَرْضَ الِاثْنَتَيْنِ فَصَاعِدًا الثُّلُثَانِ وَقَالَ فِي الْبَنَاتِ: {فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ} [النساء: 11] فاحتمل أن يكون هذا العمل محمولا على ذلك التصريح الْمُقَيَّدِ فِي الْأَخَوَاتِ وَاحْتَمَلَ أَنْ يَكُونَ بِخِلَافِهِ عَلَى مَا حُكِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فَكَانَ حَمْلُهُ عَلَى الْوَجْهَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ أَوْلَى مِنْ حَمْلِهِ على ما قال ابن عباس لأمرين ترجيح واستدلال.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan. Adapun satu anak perempuan jika sendirian, maka bagiannya adalah setengah berdasarkan nash al-Qur’an, Allah Ta‘ala berfirman: {Jika anak itu perempuan saja, maka baginya setengah} [an-Nisā’: 11]. Jika mereka dua orang atau lebih, maka bagiannya adalah dua pertiga. Inilah pendapat jumhur sahabat radhiyallāhu ‘anhum dan mayoritas fuqahā’. Abdullah bin ‘Abbas dalam satu riwayat yang syadz (ganjil) berpendapat bahwa bagian dua anak perempuan adalah setengah seperti satu orang, dan bagian tiga orang atau lebih adalah dua pertiga, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {Allah mewasiatkan kepadamu tentang anak-anakmu, bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Jika mereka perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari apa yang ditinggalkan} [an-Nisā’: 11]. Maka Allah menjadikan dua pertiga sebagai bagian bagi yang lebih dari dua. Dalil atas kebenaran pendapat jumhur, yang juga diriwayatkan dari beliau (‘Abbas), adalah bahwa Allah Ta‘ala menegaskan pada saudara perempuan bahwa bagian dua orang atau lebih adalah dua pertiga, dan berfirman tentang anak perempuan: {Jika mereka perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari apa yang ditinggalkan} [an-Nisā’: 11]. Maka bisa jadi ketentuan ini diambil dari penegasan yang terikat pada saudara perempuan, dan bisa jadi sebaliknya sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas. Maka mengambil makna pada dua kemungkinan pertama lebih utama daripada mengambilnya sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas, karena dua alasan penguat dan dalil.

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا اسْتَوَى فَرْضُ الْبِنْتِ وَالْأُخْتِ فِي النِّصْفِ اقْتَضَى أَنْ يَسْتَوِيَ فَرْضُ الْبِنْتَيْنِ وَالْأُخْتَيْنِ.

Pertama: Karena ketika bagian anak perempuan dan saudara perempuan sama-sama setengah, maka sudah seharusnya bagian dua anak perempuan dan dua saudara perempuan juga sama.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْبَنَاتَ أَقْوَى فِي الْمِيرَاثِ مِنَ الْأَخَوَاتِ، لِأَنَّهُنَّ يَرِثْنَ مَعَ مَنْ يُسْقِطُ الْأَخَوَاتِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ فَرْضُ الْأُخْتَيْنِ مَعَ ضَعْفِهِنَّ الثُّلُثَيْنِ وَيَكُونُ فَرْضُ الْبِنْتَيْنِ مَعَ قُوَّتِهِنَّ النِّصْفُ، وَلَيْسَ يَمْنَعُ أَنْ يَكُونَ قَوْلُهُ (فَوْقَ) صِلَةً زَائِدَةً كَمَا قَالَ تَعَالَى: {فَاضْرِبُوا فَوْقَ الأَعْنَاقِ} [الأنفال: 12] ثُمَّ يَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ مِنْ طَرِيقِ السُّنَّةِ مَا رَوَاهُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ عَنْ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَعْطَى بِنْتَيْ سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ مَعَ أُمِّهِمَا وَعَمِّهِمَا الثُّلُثَيْنِ وَالَأُمَّ الثُّمُنَ وَالْبَاقِيَ لِلْعَمِّ وَهَذَا نص قد رَوَيْنَا الْخَبَرَ بِكَمَالِهِ فِي صَدْرِ الْكِتَابِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ فَرْضُ الْبِنْتِ الْوَاحِدَةِ مَعَ بِنْتِ الابن الثلثين النصف والسدس، فلا يَكُونَ الثُّلُثَانِ فَرْضَ الْبِنْتَيْنِ أَوْلَى.

Kedua: Bahwa para anak perempuan lebih kuat dalam hal warisan dibandingkan para saudari, karena mereka mewarisi bersama orang yang dapat menggugurkan hak waris para saudari. Maka tidaklah pantas bagian dua saudari yang lebih lemah adalah dua pertiga, sementara bagian dua anak perempuan yang lebih kuat hanya setengah. Tidak mengapa kata “fawqa” (di atas) menjadi kata tambahan, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {maka penggallah di atas leher-leher itu} [al-Anfal: 12]. Hal ini juga didukung oleh sunnah, sebagaimana riwayat dari Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil dari Jabir bin Abdullah: bahwa Nabi ﷺ memberikan kepada dua anak perempuan Sa‘d bin ar-Rabi‘ bersama ibu dan paman mereka dua pertiga, kepada ibu seperdelapan, dan sisanya kepada paman. Ini adalah nash, dan kami telah meriwayatkan hadis ini secara lengkap di awal kitab. Karena bagian satu anak perempuan bersama anak perempuan dari anak laki-laki adalah setengah dan seperenam, maka tidaklah dua pertiga menjadi bagian dua anak perempuan lebih utama.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” فَإِذَا اسْتَكْمَلَ الْبَنَاتُ الثُّلُثَيْنِ فَلَا شَيْءَ لِبَنَاتِ الِابْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ لِلْمَيِّتِ ابْنُ ابْنٍ فَيَكُونُ مَا بَقِيَ لَهُ وَلِمَنْ فِي دَرَجَتِهِ أَوْ أَقْرَبَ إِلَى الْمَيِّتِ مِنْهُ مِنْ بَنَاتِ الابن ما بقي لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika para anak perempuan telah memenuhi bagian dua pertiga, maka tidak ada bagian bagi anak-anak perempuan dari anak laki-laki, kecuali jika si mayit memiliki anak laki-laki dari anak laki-laki, maka sisa harta menjadi milik dia dan orang yang setingkat dengannya atau yang lebih dekat kepada mayit darinya dari anak-anak perempuan dari anak laki-laki, dengan ketentuan laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari perempuan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ مَتَى اسْتَكْمَلَ بَنَاتُ الصُّلْبِ الثُّلُثَيْنِ فَلَا شَيْءَ لِبَنَاتِ الِابْنِ إِذَا انْفَرَدْنَ عَنْ ذَكَرٍ فِي دَرَجَتِهِنَّ أَوْ أَسْفَلَ مِنْهُنَّ وَسَقَطْنَ إِجْمَاعًا، فَإِنْ كَانَ مَعَهُنَّ ذَكَرٌ فِي دَرَجَتِهِنَّ كبنت ابْنٍ وَابْنِ ابْنٍ مِنْ أَبٍ وَاحِدٍ أَوْ مِنْ أَبَوَيْنِ أَوْ كَانَ الذَّكَرُ أَسْفَلَ مِنْهُنَّ بِأَنْ يَكُونَ مَعَ بِنْتِ الِابْنِ ابْنُ ابْنٍ فَإِنَّهُ يُعَصِّبُهُنَّ وَيَكُونُ الْبَاقِي بَعْدَ الثُّلُثَيْنِ فَرْضَ الْبَنَاتِ بَيْنَ بَنَاتِ الِابْنِ وَابْنِ الِابْنِ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ، وَهَكَذَا إِذَا كَانَ الذَّكَرُ أَسْفَلَ مِنْهُنَّ وَهَذَا قَوْلُ الْجَمَاعَةِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالْفُقَهَاءِ وَتَفَرَّدَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ فَجَعَلَ الْبَاقِيَ بَعْدَ الثُّلُثَيْنِ لِابْنِ الِابْنِ دُونَ بَنَاتِ الِابْنِ وَهِيَ إِحْدَى مَسَائِلِهِ الَّتِي تَفَرَّدَ فِيهَا بِمُخَالَفَةِ الصَّحَابَةِ وَوَافَقَهُ عَلَى ذَلِكَ أَبُو ثَوْرٍ وَدَاوُدُ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ فَرْضَ الْبَنَاتِ الثُّلُثَانِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَزِدْنَ عَلَيْهِ فإذا استكمله بَنَاتُ الصُّلْبِ سَقَطَ بِهِنَّ بَنَاتُ الِابْنِ لِاسْتِيعَابِ الْفَرْضِ وَصَارَ الْفَاضِلُ عَنْهُ إِلَى ابْنِ الِابْنِ بِالتَّعْصِيبِ.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan, yaitu apabila anak-anak perempuan kandung telah memenuhi dua pertiga, maka tidak ada bagian bagi anak-anak perempuan dari anak laki-laki jika mereka sendirian tanpa laki-laki yang setingkat atau di bawah mereka, dan mereka gugur berdasarkan ijmā‘. Namun, jika bersama mereka ada laki-laki yang setingkat, seperti anak perempuan dari anak laki-laki dan anak laki-laki dari anak laki-laki dari ayah yang sama atau dari kedua orang tua, atau laki-laki tersebut lebih rendah dari mereka, seperti bersama anak perempuan dari anak laki-laki terdapat anak laki-laki dari anak laki-laki, maka ia menjadikan mereka ‘ashabah dan sisa setelah dua pertiga bagian anak-anak perempuan dibagikan di antara anak-anak perempuan dari anak laki-laki dan anak laki-laki dari anak laki-laki, dengan ketentuan laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari perempuan. Demikian pula jika laki-laki tersebut lebih rendah dari mereka. Inilah pendapat jumhur sahabat dan para fuqaha, kecuali Abdullah bin Mas‘ud yang berpendapat bahwa sisa setelah dua pertiga diberikan kepada anak laki-laki dari anak laki-laki saja, tidak kepada anak-anak perempuan dari anak laki-laki. Ini adalah salah satu masalah yang ia berbeda pendapat dengan para sahabat, dan pendapatnya diikuti oleh Abu Tsaur dan Dawud, dengan alasan bahwa bagian anak-anak perempuan adalah dua pertiga, maka tidak boleh melebihi itu. Jika anak-anak perempuan kandung telah memenuhi bagian tersebut, maka anak-anak perempuan dari anak laki-laki gugur karena bagian telah terpenuhi, dan sisa harta diberikan kepada anak laki-laki dari anak laki-laki sebagai ‘ashabah.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ} [النساء: 11] فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ وَلِأَنَّ الذَّكَرَ مِنَ الْوَلَدِ إِذَا كَانَ فِي دَرَجَتِهِ أُنْثَى عَصَّبَهَا وَلَمْ يُسْقِطْهَا كَأَوْلَادِ الصُّلْبِ، وَلِأَنَّ كُلَّ أُنْثَى تُشَارِكُ أَخَاهَا إذا لم يزاحمها ذو فرض تشاركه مَعَ مُزَاحَمَةِ ذِي الْفَرْضِ كَمُزَاحَمَةِ الزَّوْجِ.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Allah mewasiatkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan} [an-Nisa: 11], maka ayat ini berlaku secara umum. Dan karena anak laki-laki jika setingkat dengan perempuan, maka ia menjadikan perempuan tersebut sebagai ‘ashabah dan tidak menggugurkannya, sebagaimana anak-anak kandung. Setiap perempuan yang bersama saudaranya, jika tidak ada yang berhak atas bagian tertentu (dzawil furudh) yang menghalangi, maka ia mendapat bagian bersama saudaranya, meskipun ada yang berhak atas bagian tertentu, seperti suami.

فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ فَرْضَ الْبَنَاتِ الثُّلُثَانِ فَهُوَ كَذَلِكَ وَنَحْنُ لَمْ نُعْطِ بِنْتَ الِابْنِ فَرْضًا وَإِنَّمَا أعطيناها بالتعصيب والله أعلم.

Adapun dalil mereka bahwa bagian anak-anak perempuan adalah dua pertiga, maka memang demikian, dan kami tidak memberikan bagian tertentu kepada anak perempuan dari anak laki-laki, melainkan kami memberikannya melalui ‘ashabah. Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فإن لم يكن للميت إلا ابنة واحدة وبنت ابن أو بنات ابن فللابنة النِّصْفُ وَلِبِنْتِ الِابْنِ أَوْ بَنَاتِ الِابْنِ السُّدُسُ تكملة الثلثين وتسقط بنات ابن الابن إذا كُنَّ أَسْفَلَ مِنْهُنَّ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَعَهُنَّ ابْنُ ابْنٍ فِي دَرَجَتِهِنَّ أَوْ أَبْعَدَ مِنْهُنَّ فَيَكُونُ مَا بَقِيَ لَهُ وَلِمَنْ فِي دَرَجَتِهِ أَوْ أَقْرَبَ إِلَى الْمَيِّتِ مِنْهُ مِنْ بَنَاتِ الابن ممن لم يأخذ من الثلثين شيئا للذكر مثل حظ الأنثيين ويسقط من أسفل من الذكر فإن لم يكن إلا ابنة واحدة وكان مع بنت الابن أو بنات الابن ابن ابن في درجتهن فلا سدس لهن ولكن ما بقي له ولهن لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika si mayit hanya memiliki satu orang anak perempuan dan satu atau beberapa cucu perempuan dari anak laki-laki, maka untuk anak perempuan mendapat setengah, dan untuk cucu perempuan dari anak laki-laki (atau cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki) mendapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga. Adapun cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki yang lebih jauh derajatnya dari mereka gugur (tidak mendapat warisan), kecuali jika bersama mereka ada cucu laki-laki dari anak laki-laki yang setingkat atau lebih jauh derajatnya dari mereka, maka sisa harta menjadi milik dia dan siapa pun yang setingkat dengannya atau lebih dekat kepada si mayit dari kalangan cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki yang belum mendapatkan bagian dari dua pertiga, dengan ketentuan laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan. Sedangkan yang lebih jauh derajatnya dari cucu laki-laki tersebut gugur (tidak mendapat warisan). Jika hanya ada satu anak perempuan dan bersama cucu perempuan dari anak laki-laki atau cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki terdapat cucu laki-laki dari anak laki-laki yang setingkat dengan mereka, maka tidak ada bagian seperenam untuk mereka, melainkan sisa harta menjadi milik dia dan mereka, dengan ketentuan laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا تَرَكَ الْمَيِّتُ بِنْتًا وَبِنْتَ ابْنٍ كَانَ لِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَلِبِنْتِ الِابْنِ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ لِرِوَايَةِ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي قَيْسٍ الْأَوْدِيِّ عَنْ هُذَيلِ بْنِ شُرَحْبِيلَ الْأَوْدِيِّ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ وَسَلْمَانَ بن ربيعة يسألهما عن ابنة وابنة ابن وأخت لأب وأم فقالا لابنته النصف وللأخت من الأب وَالْأُمِّ النِّصْفُ وَلَمْ يُوَرِّثَا بِنْتَ الِابْنِ شَيْئًا، وأما ابْن مَسْعُودٍ فَإِنَّهُ سَيُتَابِعُنَا فَأَتَاهُ الرَّجُلُ فَسَأَلَهُ وَأَخْبَرَهُ بِقَوْلِهِمَا، فَقَالَ لَقَدْ ضَلَلْتُ إِذًا وَمَا أنا من المهتدين ولكن سَأَقْضِي فِيهَا بِقَضَاءِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لابنته النصف، ولابنة الابن سهم تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ، وَمَا بَقِيَ فَلِلْأُخْتِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang telah dikatakan: Jika si mayit meninggalkan seorang anak perempuan dan seorang cucu perempuan dari anak laki-laki, maka untuk anak perempuan mendapat setengah dan untuk cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga, berdasarkan riwayat al-A‘mash dari Abu Qais al-Audi dari Hudzail bin Syurahbil al-Audi, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Abu Musa al-Asy‘ari dan Salman bin Rabi‘ah menanyakan tentang (pembagian warisan) anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan saudari seayah seibu. Keduanya berkata: Untuk anak perempuan setengah, untuk saudari seayah seibu setengah, dan mereka tidak memberikan warisan apa pun kepada cucu perempuan dari anak laki-laki. Adapun Ibnu Mas‘ud, ia akan mengikuti kami. Maka laki-laki itu mendatangi Ibnu Mas‘ud, menanyakan dan memberitahukan perkataan keduanya. Ibnu Mas‘ud berkata: “Kalau begitu aku telah sesat dan bukan termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk. Akan tetapi aku akan memutuskan perkara ini sesuai keputusan Rasulullah ﷺ: untuk anak perempuan setengah, untuk cucu perempuan dari anak laki-laki bagian sebagai pelengkap dua pertiga, dan sisanya untuk saudari seayah seibu.”

وَهَكَذَا لَوْ كَانَتِ الْفَرِيضَةُ بِنْتًا وَعَشْرَ بَنَاتِ ابْنٍ كَانَ لِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَلِعَشْرِ بَنَاتِ الِابْنِ السُّدُسُ وَإِنْ كَثُرْنَ وَهَكَذَا لَوْ كَانَتِ الْفَرِيضَةُ بِنْتًا وَعَشْرَ بَنَاتِ ابْنِ ابْنٍ أَسْفَلَ مِنْ بِنْتِ الصُّلْبِ بِثَلَاثِ دُرَجٍ كَانَ لَهُنَّ السُّدُسُ، كَمَا لَوْ عَلَوْنَ فَإِنْ كَانَ مَعَهُنَّ ذَكَرٌ سَقَطَ فَرْضُ السُّدُسِ لَهُنَّ، وَكَانَ الْبَاقِي بعد نصيب البنت بين بنات الابن وأختهن لِلذِّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ، لِأَنَّهُ عَصَّبَهُنَّ وَهَذَا قَوْلُ الْجَمَاعَةِ وَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: وهي ثان مَسَائِلِهِ الَّتِي تَفَرَّدَ فِيهَا بِخِلَافِ الصَّحَابَةِ إِنَّ لِبَنَاتِ الِابْنِ إِذَا شَارَكَهُنَّ ذَكَرٌ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنَ السُّدُسِ الْبَاقِي مِنْ فَرْضِ الْبَنَاتِ بَعْدَ نِصْفِ الْبِنْتِ أَوِ الْمُقَاسَمَةِ.

Demikian pula jika dalam pembagian warisan terdapat seorang anak perempuan dan sepuluh cucu perempuan dari anak laki-laki, maka untuk anak perempuan setengah dan untuk sepuluh cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam, meskipun jumlah mereka banyak. Demikian pula jika dalam pembagian warisan terdapat seorang anak perempuan dan sepuluh cucu perempuan dari anak laki-laki yang lebih jauh tiga derajat dari anak perempuan kandung, maka mereka mendapat seperenam, sebagaimana jika mereka lebih dekat. Jika bersama mereka terdapat laki-laki, maka bagian seperenam gugur bagi mereka, dan sisa setelah bagian anak perempuan dibagi antara cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara laki-laki mereka, dengan ketentuan laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan, karena ia telah menjadikan mereka sebagai ‘ashabah. Inilah pendapat jumhur. Ibnu Mas‘ud berkata: Ini adalah masalah kedua yang ia berbeda pendapat dengan para sahabat, yaitu bahwa untuk cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki, jika bersama mereka ada laki-laki, maka mereka mendapat bagian yang lebih sedikit dari dua kemungkinan: seperenam sisa dari bagian anak perempuan setelah setengah atau dengan cara muqāsamah (pembagian bersama).

فَإِنْ كَانَتْ مُقَاسَمَةُ الذكر الذي في درجتهن أنقص لسهمين من السدس قاسمهن ثم مَا بَقِيَ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ، وَإِنْ كَانَتِ الْمُقَاسَمَةُ أَزْيَدَ مِنَ السُّدُسِ فُرِضَ لَهُنَّ السُّدُسُ، وَجُعِلَ الْبَاقِي بَعْدَ الثُّلُثَيْنِ لِلذُّكُورِ مِنْ بَنِي الِابْنِ، وَتَابَعَهُ عَلَى ذَلِكَ أَبُو ثَوْرٍ وَدَاوُدُ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ فَرْضَ الْبَنَاتِ الثُّلُثَانِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَزِدْنَ عَلَيْهِ، وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وجهين:

Jika pembagian bersama (muqāsamah) dengan laki-laki yang setingkat dengan mereka menghasilkan bagian yang lebih sedikit dari seperenam, maka mereka membagi bersama, lalu sisa harta dibagi dengan ketentuan laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan. Jika pembagian bersama lebih banyak dari seperenam, maka ditetapkan untuk mereka seperenam, dan sisa setelah dua pertiga diberikan kepada laki-laki dari cucu-cucu laki-laki. Pendapat ini diikuti oleh Abu Tsaur dan Dawud, dengan alasan bahwa bagian anak-anak perempuan adalah dua pertiga, sehingga tidak boleh melebihi itu. Namun pendapat ini rusak dari dua sisi:

أحدهما: أن اشتراك البنتين وَالْبَنَاتِ فِي الْمِيرَاثِ يُوجِبُ الْمُقَاسَمَةَ دُونَ الْفَرْضِ قِيَاسًا عَلَى وَلَدِ الصُّلْبِ.

Pertama: Bahwa keterlibatan dua anak perempuan atau lebih dalam warisan mengharuskan pembagian bersama (muqāsamah) bukan bagian tertentu (fardh), sebagaimana pada anak kandung.

وَالثَّانِي: أَنَّ الذَّكَرَ إِذَا دَفَعَ أُخْتَهُ عَنِ الْمُقَاسَمَةِ أَسْقَطَهَا كَوَلَدِ الإخوة وإذا لم يسقطها شاركته كالولد، وفي قول أبي مَسْعُودٍ دَفْعٌ لِهَذَيْنِ الْأَصْلَيْنِ وَقَوْلُهُ إِنَّ فَرْضَ الْبَنَاتِ لَا يَزِيدُ عَلَى الثُّلُثَيْنِ فَهُوَ عَلَى مَا قَالَ غَيْرَ أَنَّنَا نُسْقِطُ مَعَ مُشَارَكَةِ الذكر فرضهن فيما يأخذنه بالتعصيب دُونَ الْفَرْضِ.

Kedua: Bahwa jika laki-laki mencegah saudara perempuannya dari pembagian bersama, maka ia menggugurkannya sebagaimana pada anak-anak saudara, dan jika tidak menggugurkannya maka ia ikut serta dalam pembagian sebagaimana anak kandung. Dalam pendapat Abu Mas‘ud terdapat penolakan terhadap dua prinsip ini. Adapun ucapannya bahwa bagian anak-anak perempuan tidak boleh melebihi dua pertiga, maka itu benar, hanya saja kami menggugurkan bagian mereka (cucu perempuan dari anak laki-laki) jika bersama laki-laki dalam hal yang mereka dapatkan melalui ‘ashabah, bukan pada bagian tertentu (fardh).

فَصْلٌ:

Fasal:

فَلَوْ تَرَكَ بِنْتًا وَبِنْتَ ابْنٍ وَابْنَ ابْنِ ابْنٍ كَانَ لِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَلِبِنْتِ الِابْنِ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ وَالْبَاقِي لِابْنِ ابن الابن لا يُعَصِّبُ عَمَّتَهُ إِذَا كَانَ لَهَا فَرْضٌ كَمَا أَنَّ ابْنَ الِابْنِ لَا يُعَصِّبُ الْبِنْتَ لِأَنَّهَا ذات فرض فلو كانت المسألة بحالها بِنْتًا وَبِنْتَ ابْنٍ وَبِنْتَ ابْنِ ابْنٍ مَعَهَا أَخُوهَا كَانَ لِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَلِبنت الِابْنِ السُّدُسُ تكملة الثلثين والباقي بين السلفي وَأَخِيهَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَهَكَذَا لَوْ كَانَ الذَّكَرُ أَسْفَلَ مِنْهَا بِدَرَجَةٍ فَكَانَ ابْنَ ابْنَ ابْنِ ابْنِ كَانَ الْبَاقِي بَعْدَ نِصْفِ البنت وسدس بنت الابن مع بنت ابن الابن وبين ابن أَخِيهَا الَّذِي هُوَ ابْنُ ابْنِ ابْنٍ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَعَصَّبَهَا مَعَ نُزُولِهِ عَنْ درجتها لأنها ليست ذات فرض والله أعلم.

Seandainya seseorang meninggalkan (ahli waris) berupa seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki, dan seorang cicit laki-laki dari anak laki-laki, maka anak perempuan mendapat setengah, cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga, dan sisanya untuk cicit laki-laki dari anak laki-laki. Ia tidak menjadikan bibinya sebagai ‘ashabah (ahli waris sisa) jika bibinya memiliki bagian fardhu, sebagaimana cucu laki-laki dari anak laki-laki tidak menjadikan anak perempuan sebagai ‘ashabah karena ia memiliki bagian fardhu. Jika kasusnya tetap sama, yaitu ada anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan cicit perempuan dari anak laki-laki bersama saudara laki-lakinya, maka anak perempuan mendapat setengah, cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga, dan sisanya dibagi antara cicit perempuan dan saudara laki-lakinya, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Demikian pula jika laki-laki itu satu derajat di bawahnya, misalnya cicit laki-laki dari anak laki-laki, maka sisa setelah setengah untuk anak perempuan dan seperenam untuk cucu perempuan dari anak laki-laki, dibagi antara cicit perempuan dari anak laki-laki dan saudara laki-lakinya yang merupakan cicit laki-laki dari anak laki-laki, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, dan ia menjadikannya sebagai ‘ashabah meskipun derajatnya lebih rendah, karena ia bukan pemilik bagian fardhu. Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وإن كَانَ مَعَ الْبِنْتِ أَوِ الْبَنَاتِ لِلصُّلْبِ ابْنٌ فلا نصف ولا ثلثين ولكن المال بينهم للذكر مثل حظ الأنثيين ويسقط جميع ولد الابن “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika bersama anak perempuan atau anak-anak perempuan kandung ada anak laki-laki, maka tidak ada bagian setengah atau dua pertiga, melainkan harta dibagi di antara mereka dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, dan seluruh anak dari anak laki-laki gugur (tidak mendapat warisan).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا كَانَ مع البنت أو البنات اللاتي للصلب ابن سقط به فرض البنات وأخذنا الْمَالَ مَعَهُ بِالتَّعْصِيبِ لِلذِّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حظ الأنثيين} [النساء: 11] إلا شيئين فسَقَطَ بِالِابْنِ جَمِيعُ أَوْلَادِ الِابْنِ سَوَاءٌ كَانُوا مِنْهُ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ كَمَا سَقَطَ بِالْإِخْوَةِ بنو الإخوة وبالأعمام بنو الأعمام لرواية بن طاوس عن أبيه عن بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” اقْسِمِ الْمَالَ بَيْنَ أَهْلِ الْفَرَائِضِ عَلَى كِتَابِ الله فما تركت الفرائض فللأولى رجل ذكر “.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Jika bersama anak perempuan atau anak-anak perempuan kandung ada anak laki-laki, maka bagian fardhu anak-anak perempuan gugur, dan kita membagi harta bersamanya secara ‘ashabah, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Allah mewasiatkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan} (an-Nisā’: 11), kecuali dua hal: maka dengan adanya anak laki-laki, seluruh anak dari anak laki-laki gugur, baik dari anak laki-laki tersebut maupun dari selainnya, sebagaimana dengan adanya saudara laki-laki, anak-anak dari saudara laki-laki gugur, dan dengan adanya paman, anak-anak paman gugur. Berdasarkan riwayat Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Bagilah harta di antara ahli waris yang memiliki bagian fardhu sesuai dengan Kitab Allah, maka apa yang tersisa setelah pembagian bagian fardhu, maka untuk laki-laki yang paling dekat (hubungan nasabnya).”

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَوَلَدُ الِابْنِ بِمَنْزِلَةِ وَلَدِ الصُّلْبِ فِي كُلٍّ إذا لم يكن ولد صلب “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Anak dari anak laki-laki kedudukannya seperti anak kandung dalam segala hal jika tidak ada anak kandung.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَهَذَا مِمَّا قَدِ انْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ عَلَيْهِ أَنَّ وَلَدَ الِابْنِ يَقُومُونَ مَقَامَ وَلَدِ الصُّلْبِ إِذَا عُدِمَ وَلَدُ الصُّلْبِ فِي فَرْضِ النِّصْفِ لِإِحْدَاهُنَّ وَالثُّلُثَيْنِ لِمَنْ زَادَ وَفِي مُقَاسَمَةِ إِخْوَتِهِنَّ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَفِي حَجْبِ الْأُمِّ وَالزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ إِلَّا مُجَاهِدًا فَإِنَّهُ خَالَفَ فِي الْحَجْبِ بِهِمْ وَوَافَقَ فِيمَا سِوَى ذَلِكَ مِنْ أَحْكَامِهِمْ وَهُوَ مَعَ دَفْعِ قَوْلِهِ بِالْإِجْمَاعِ مَحْجُوجٌ بِمُوَافَقَتِهِ عَلَى مَا سِوَى الْحَجْبِ أَنْ يَكُونَ دَلِيلًا عَلَيْهِ فِي الْحَجْبِ ثُمَّ إِذَا كَانَتْ بِنْتُ الِابْنِ تَقُومُ مَقَامَ بنت الصلب عند عدمها كانت بنت الِابْنِ مَعَهَا فِي اسْتِحْقَاقِ السُّدُسِ قَائِمَةً مَقَامَ بِنْتِ الِابْنِ مَعَ ابْنَةِ الصُّلْبِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, dan hal ini telah menjadi ijmā‘ (konsensus) bahwa anak dari anak laki-laki menempati posisi anak kandung jika anak kandung tidak ada, baik dalam bagian setengah untuk salah satu dari mereka, dua pertiga untuk lebih dari satu, dalam pembagian bersama saudara-saudaranya dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, maupun dalam menutup (menghalangi) ibu, suami, dan istri, kecuali Mujahid yang berbeda pendapat dalam masalah penutupan (hijab) oleh mereka, namun ia sepakat dalam selain itu dari hukum-hukum mereka, dan dengan menolak pendapatnya berdasarkan ijmā‘, ia tetap dikalahkan dengan kesepakatannya dalam selain masalah penutupan, sehingga itu menjadi dalil atasnya dalam masalah penutupan. Kemudian, jika cucu perempuan dari anak laki-laki menempati posisi anak perempuan kandung ketika anak perempuan kandung tidak ada, maka cucu perempuan dari anak laki-laki bersama cucu perempuan dari anak laki-laki lainnya dalam berhak atas seperenam, menempati posisi cucu perempuan dari anak laki-laki bersama anak perempuan kandung. Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَعَلَى هَذَا لَوْ تَرَكَ ثَلَاثَ بَنَاتٍ ابْنُ بَعْضِهِنَّ أَسْفَلُ مِنْ بَعْضٍ فَتَنْزِيلُهُنَّ أَنَّ الْعُلْيَا مِنْهُنَّ هِيَ بِنْتُ ابْنٍ وَالْوُسْطَى هِيَ بِنْتُ ابْنِ ابْنٍ وَالسُّفْلَى مِنْهُنَّ هِيَ بِنْتُ ابْنِ ابْنِ ابْنٍ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ لِلْعُلْيَا النِّصْفُ وَلِلْوُسْطَى السُّدُسُ وَتَسْقُطُ السُّفْلَى فَإِنْ كَانَ مَعَ السُّفْلَى أَخُوهَا كَانَ الْبَاقِي بَعْدَ النِّصْفِ وَالسُّدُسِ بَيْنَ السُّفْلَى وَأَخِيهَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَهَكَذَا لَوْ كَانَ مَعَ السُّفْلَى ابْنُ عَمِّهَا كَانَ فِي دَرَجَتِهَا وَعَصَّبَهَا فَأَخَذَ الْبَاقِي مَعَهَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَهَكَذَا لَوْ كَانَ مَعَ الْوُسْطَى ابْنُ أَخِيهَا فَهُوَ فِي دَرَجَةِ السُّفْلَى فَيُعَصِّبُهَا فِيمَا بَقِيَ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَلَوْ كَانَ مَعَ السُّفْلَى ابْنُ أَخِيهَا وَكَانَ أَسْفَلَ مِنْهَا بِدَرَجَةٍ فَيُعَصِّبُهَا أَيْضًا فِيمَا بَقِيَ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ لِأَنَّ وَلَدَ الِابْنِ يُعَصِّبُ أُخْتَهُ وَمَنْ عَلَا عَمَّاتِهِ اللَّاتِي لَيْسَ لَهُنَّ فَرْضٌ مُسَمًّى وَيُعَصِّبُ مَنْ كَانَ فِي دَرَجَتِهِ وَإِنْ كَانَ لَهَا فَرْضٌ مُسَمًّى فَلَوْ تَرَكَ أَرْبَعَ بَنَاتِ ابْنٍ بَعْضُهُنَّ أَسْفَلُ مِنْ بَعْضٍ مَعَ السُّفْلَى مِنْهُنَّ أَخُوهَا أَوِ ابْنُ عَمِّهَا أَوِ ابْنُ أَخِيهَا فَلِلْعُلْيَا النِّصْفُ وَلِلثَّانِيَةِ السُّدُسُ وَالْبَاقِي بَيْنَ الثَّالِثَةِ وَالرَّابِعَةِ وَالذَّكَرُ الَّذِي فِي دَرَجَةِ السُّفْلَى أَوْ أَسْفَلَ مِنْهَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَلَوْ تَرَكَ بِنْتَيِ ابْنٍ وَبِنْتَ ابْنِ ابْنٍ وَبِنْتَ ابْنِ ابْنِ ابْنٍ مَعَهَا أَخُوهَا كَانَ لِبِنْتَيِ الِابْنِ الثُّلُثَانِ وَالْبَاقِي بَيْنَ بِنْتِ ابْنِ الِابْنِ وَبَيْنَ بِنْتِ ابْنِ ابْنِ الِابْنِ وَأَخِيهَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ لِأَنَّ اسْتِيفَاءَ بِنْتَيِ الِابْنِ الثُّلُثَيْنِ يسقط فرض من بعدهما ويأخذ الْبَاقِي بِمُشَارَكَةِ الذَّكَرِ الَّذِي فِي دَرَجَتِهِنَّ أَوْ أَسْفَلَ مِنْهُنَّ بِالتَّعْصِيبِ فَلَوْ تَرَكَ بِنْتَ صُّلْبٍ وَثَلَاثَ بَنَاتِ ابْنٍ بَعْضُهُنَّ أَسْفَلُ مِنْ بَعْضٍ كَانَ لِبِنْتِ الصُّلْبِ النِّصْفُ وَلِبِنْتِ الِابْنِ الْعُلْيَا السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ وَسَقَطَتِ الْوُسْطَى وَالسُّفْلَى مِنْ بَنَاتِ الِابْنِ فَإِنْ كَانَ مَعَ السُّفْلَى أَخُوهَا أَوِ ابْنُ عَمِّهَا أَوِ ابْنُ أَخِيهَا عَصَّبَهَا وَعَصَّبَ الْوُسْطَى الَّتِي هِيَ أَعْلَى مِنْهَا وَكَانَ الْبَاقِي بَعْدَ النِّصْفِ وَالسُّدُسِ بَيْنَ الْوُسْطَى وَالسُّفْلَى وَأَخِيهَا أَوِ ابْنِ أَخِيهَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنثيين فلو ترك بنات ابن بعضهن أسفل من بعض مع كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ أَخُوهَا كَانَ الْمَالُ كُلُّهُ بَيْنَ الْعُلْيَا وَأَخِيهَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَسَقَطَ مَنْ بَعْدَهُمَا فَلَوْ كَانَ مَعَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْ بَنَاتِ الِابْنِ الثَّلَاثِ ابْنُ أَخِيهَا كَانَ لِلْعُلْيَا مِنْهُنَّ النِّصْفُ لِأَنَّ ابْنَ أَخِيهَا فِي دَرَجَةِ الْوُسْطَى وَكَانَ الْبَاقِي بَعْدَ نِصْفِهَا لِلْوُسْطَى وَابْنِ أَخِي الْعُلْيَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَلَوْ كَانَ مَعَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْ بَنَاتِ الِابْنِ الثُّلَاثِ ابْنُ عَمِّهَا كَانَ كَالْأَخِ لِأَنَّهُ فِي دَرَجَةِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ فَيَكُونُ المال كله بين العليا وبين ابن عَمِّهَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَلَوْ كَانَ مع كل واحدة من بنات الابن الثلاث خَالُهَا فَخَالُ بَنَاتِ الِابْنِ أَجْنَبِيٌّ مِنَ الْمَيِّتِ فَيَكُونُ وُجُودُهُ كَعَدَمِهِ فَلَوْ كَانَ مَعَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ عَمُّ ابْنِ أَخِيهَا فَهُوَ أَخُوهَا فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى الْمَالُ كُلُّهُ بَيْنَ العليا وعم ابْنِ أَخِيهَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَلَوْ كان مع العليا ثلاث بنات أعمام مفترقين ومع السفلى ثلاثة بنات أعمام متفرقين.

Berdasarkan hal ini, jika seseorang meninggalkan tiga orang anak perempuan, di mana anak laki-laki dari sebagian mereka lebih rendah derajatnya dari sebagian yang lain, maka urutannya adalah: yang paling atas di antara mereka adalah binti ibn (anak perempuan dari anak laki-laki), yang tengah adalah binti ibn ibn (anak perempuan dari cucu laki-laki), dan yang paling bawah adalah binti ibn ibn ibn (anak perempuan dari cicit laki-laki). Dalam hal ini, yang paling atas mendapat setengah, yang tengah mendapat seperenam, dan yang paling bawah gugur (tidak mendapat warisan). Jika bersama yang paling bawah ada saudara laki-lakinya, maka sisa setelah setengah dan seperenam dibagi antara yang paling bawah dan saudara laki-lakinya, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Demikian pula, jika bersama yang paling bawah ada anak laki-laki dari paman sepupunya, maka ia berada pada derajat yang sama dan menjadi ‘ashabah (penguat) baginya, sehingga sisa dibagi bersama dia, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Demikian juga, jika bersama yang tengah ada anak laki-laki dari saudaranya, maka ia berada pada derajat yang sama dengan yang paling bawah, sehingga ia juga menjadi ‘ashabah baginya dalam sisa harta, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Jika bersama yang paling bawah ada anak laki-laki dari saudaranya dan ia lebih rendah satu derajat darinya, maka ia juga menjadi ‘ashabah baginya dalam sisa harta, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, karena anak laki-laki dari anak laki-laki menjadi ‘ashabah bagi saudara perempuannya dan bibi-bibinya yang lebih tinggi derajatnya yang tidak memiliki bagian tertentu, dan ia juga menjadi ‘ashabah bagi yang sederajat dengannya, meskipun mereka memiliki bagian tertentu. Jika seseorang meninggalkan empat orang binti ibn (anak perempuan dari anak laki-laki), sebagian mereka lebih rendah dari sebagian yang lain, dan bersama yang paling bawah ada saudara laki-lakinya, atau anak laki-laki dari paman sepupunya, atau anak laki-laki dari saudaranya, maka yang paling atas mendapat setengah, yang kedua mendapat seperenam, dan sisa dibagi antara yang ketiga dan keempat, dan laki-laki yang sederajat dengan yang paling bawah atau lebih rendah darinya mendapat bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Jika seseorang meninggalkan dua binti ibn, satu binti ibn ibn, dan satu binti ibn ibn ibn, bersama mereka ada saudara laki-lakinya, maka dua binti ibn mendapat dua pertiga, dan sisa dibagi antara binti ibn ibn, binti ibn ibn ibn, dan saudara laki-lakinya, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, karena terpenuhinya dua pertiga untuk dua binti ibn menggugurkan bagian yang setelahnya, dan sisa diambil bersama laki-laki yang sederajat atau lebih rendah dari mereka dengan cara ta‘ṣīb (penguatan). Jika seseorang meninggalkan satu binti ṣulb (anak perempuan kandung) dan tiga binti ibn, sebagian mereka lebih rendah dari sebagian yang lain, maka binti ṣulb mendapat setengah, binti ibn yang paling atas mendapat seperenam untuk melengkapi dua pertiga, dan yang tengah serta yang paling bawah dari binti ibn gugur. Jika bersama yang paling bawah ada saudara laki-lakinya, atau anak laki-laki dari paman sepupunya, atau anak laki-laki dari saudaranya, maka ia menjadi ‘ashabah baginya dan juga bagi yang tengah yang lebih tinggi darinya, dan sisa setelah setengah dan seperenam dibagi antara yang tengah, yang paling bawah, dan saudara laki-lakinya atau anak laki-laki dari saudaranya, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Jika seseorang meninggalkan binti ibn, sebagian mereka lebih rendah dari sebagian yang lain, dan bersama masing-masing dari mereka ada saudara laki-lakinya, maka seluruh harta dibagi antara yang paling atas dan saudara laki-lakinya, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, dan yang setelah mereka gugur. Jika bersama masing-masing dari tiga binti ibn ada anak laki-laki dari saudaranya, maka yang paling atas mendapat setengah karena anak laki-laki dari saudaranya berada pada derajat yang sama dengan yang tengah, dan sisa setelah setengah dibagi antara yang tengah dan anak laki-laki dari saudara yang paling atas, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Jika bersama masing-masing dari tiga binti ibn ada anak laki-laki dari paman sepupunya, maka keadaannya seperti saudara laki-laki, karena ia berada pada derajat yang sama dengan masing-masing dari mereka, sehingga seluruh harta dibagi antara yang paling atas dan anak laki-laki dari paman sepupunya, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Jika bersama masing-masing dari tiga binti ibn ada paman dari pihak ibu, maka paman dari pihak ibu adalah orang asing bagi mayit, sehingga kehadirannya dianggap tidak ada. Jika bersama masing-masing dari mereka ada paman dari anak laki-laki saudaranya, maka ia adalah saudara laki-lakinya, sehingga berlaku seperti sebelumnya, yaitu seluruh harta dibagi antara yang paling atas dan paman dari anak laki-laki saudaranya, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Jika bersama yang paling atas ada tiga binti ‘am (anak perempuan dari paman) yang berbeda-beda, dan bersama yang paling bawah ada tiga binti ‘am yang berbeda-beda.

فَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ رَجُلًا كَانَ لِلْعُلْيَا وَبِنْتِ عَمِّهَا لِأَبِيهَا وَأُمِّهَا وَبِنْتِ عَمِّهَا لِأَبِيهَا الثُّلُثَانِ وتسقط بنت عمها لأنها بنت أم الْمَيِّتِ وَكَانَ الْبَاقِي بَيْنَ الْوُسْطَى وَالسُّفْلَى وَابْنِ عَمِّهَا لِأَبِيهَا وَأُمِّهَا وَابْنِ عَمِّهَا لِأَبِيهَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَيَسْقُطُ ابْنُ عَمِّ السُّفْلَى لِأُمِّهَا وَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ امْرَأَةً كَانَ الثُّلُثَانِ بَيْنَ الْعُلْيَا وَبِنْتِ عَمِّهَا لِأَبِيهَا وَأُمِّهَا وَبِنْتِ عَمِّهَا لِأُمِّهَا وَتَسْقُطُ بِنْتُ عَمِّهَا لِأَبِيهَا لِأَنَّهَا بِنْتُ زَوْجِ الْمَيِّتَةِ فَلَوْ كَانَ مَعَ الْعُلْيَا ثَلَاثُ عَمَّاتٍ مُتَفَرِّقَاتٍ وَمَعَ السُّفْلَى عَمٌّ وَعَمَّةُ ابن أخيها وخال وخالة ابن أخيها فإن كان الميت رجلا فلعمته الْعُلْيَا لِأَبِيهَا وَأُمِّهَا وَعَمَّتِهَا لِأَبِيِهَا الثُّلُثَانِ لِأَنَّهَا بنت الميت ولا شيء لعمتها لِأُمِّهَا لِأَنَّهَا بِنْتُ امْرَأَتِهِ وَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ امْرَأَةً فَلِعَمَّتِهَا لِأَبِيهَا وَأُمِّهَا وَعَمَّتِهَا لِأُمِّهَا الثُّلُثَانِ وَلَا شَيْءَ لِعَمَّتِهَا لِأَبِيهَا لِأَنَّهَا بِنْتُ زَوْجِ الْمَيِّتَةِ ثُمَّ يَكُونُ مَا بَقِيَ بَعْدَ الثُّلُثَيْنِ فِي الْحَالَيْنِ جَمِيعًا بَيْنَ الْعُلْيَا وَالْوُسْطَى وَالسُّفْلَى وَعَمٍّ وَعَمَّةِ ابْنِ أَخِيهَا وَخَالٍ وَخَالَةِ ابْنِ أخيها لِأَنَّ كُلَّ هَؤُلَاءِ فِي دَرَجَتِهَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ثُمَّ عَلَى قِيَاسِ هَذَا جَمِيعُ مسائل هذا الفصل.

Jika yang meninggal adalah laki-laki, maka untuk al-‘ulyā dan putri paman sepupunya dari pihak ayah dan ibunya, serta putri paman sepupunya dari pihak ayah, mendapat dua pertiga. Putri paman sepupunya dari pihak ibu gugur (tidak mendapat warisan) karena ia adalah putri ibu si mayit. Sisanya dibagi antara al-wusṭā, as-suflā, putra paman sepupunya dari pihak ayah dan ibu, serta putra paman sepupunya dari pihak ayah, dengan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Putra paman sepupunya dari pihak ibu as-suflā gugur (tidak mendapat warisan). Jika yang meninggal adalah perempuan, maka dua pertiga dibagi antara al-‘ulyā, putri paman sepupunya dari pihak ayah dan ibu, serta putri paman sepupunya dari pihak ibu. Putri paman sepupunya dari pihak ayah gugur karena ia adalah putri suami si mayit perempuan. Jika bersama al-‘ulyā terdapat tiga bibi dari jalur berbeda, dan bersama as-suflā ada paman, bibi dari putra saudaranya, paman dari pihak ibu, serta bibi dari pihak ibu dari putra saudaranya, maka jika yang meninggal adalah laki-laki, maka untuk bibinya al-‘ulyā dari pihak ayah dan ibu, serta bibinya dari pihak ayah, mendapat dua pertiga karena ia adalah putri si mayit. Tidak ada bagian untuk bibinya dari pihak ibu karena ia adalah putri istrinya. Jika yang meninggal adalah perempuan, maka untuk bibinya dari pihak ayah dan ibu, serta bibinya dari pihak ibu, mendapat dua pertiga, dan tidak ada bagian untuk bibinya dari pihak ayah karena ia adalah putri suami si mayit perempuan. Kemudian, sisa setelah dua pertiga pada kedua keadaan tersebut dibagi antara al-‘ulyā, al-wusṭā, as-suflā, paman, bibi dari putra saudaranya, paman dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ibu dari putra saudaranya, karena semuanya berada pada derajat yang sama, dengan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Kemudian, seluruh permasalahan bab ini mengikuti qiyās seperti ini.

مسألة:

Permasalahan:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَبَنُو الْإِخْوَةِ لَا يَحْجُبُونَ الْأُمَّ عَنِ الثُلُثِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Anak-anak saudara tidak menghalangi ibu dari mendapatkan sepertiga.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لَا اخْتِلَافَ فِيهِ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ أَنَّ بَنِي الْإِخْوَةِ لَا يَحْجُبُونَ الْأُمَّ عَنِ الثُّلُثِ إِلَى السُّدُسِ بِخِلَافِ آبَائِهِمْ وَإِنْ حَجَبَهَا وَلَدُ الْوَلَدِ كَآبَائِهِمْ وَالْفَرْقُ بَيْنَ بَنِي الْإِخْوَةِ وَبَيْنَ بَنِي الِابْنِ فِي الْحَجْبِ من ثلاثة أوجه.

Al-Māwardī berkata: Ini benar, tidak ada perbedaan pendapat di antara para fuqahā’ bahwa anak-anak saudara tidak menghalangi ibu dari mendapatkan sepertiga menjadi seperenam, berbeda dengan ayah-ayah mereka. Namun, anak dari anak (cucu) dapat menghalangi ibu sebagaimana ayah-ayah mereka. Perbedaan antara anak-anak saudara dan anak-anak laki-laki dalam hal penghalangan (ḥijb) ada pada tiga sisi.

أحدهما: أَنَّ بَنِي الْإِخْوَةِ لَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِمُ اسْمَ الْإِخْوَةِ وَبَنِي الِابْنِ يَنْطَلِقُ عَلَيْهِمُ اسْمَ الِابْنِ.

Pertama: Anak-anak saudara tidak disebut sebagai saudara, sedangkan anak-anak laki-laki disebut sebagai anak.

وَالثَّانِي: أَنَّ بَنِي الْإِخْوَةِ لَمَّا ضَعُفُوا عَنْ تَعْصِيبِ أَخَوَاتِهِمْ بِخِلَافِ آبَائِهِمْ ضَعُفُوا عَنْ حَجْبِ الْأُمِّ بِخِلَافِ آبَائِهِمْ وَبَنُو الِابْنِ لَمَّا قَوُوا عَلَى تَعْصِيبِ أَخَوَاتِهِمْ كَآبَائِهِمْ قَوُوا عَلَى حَجْبِ الْأُمِّ كَآبَائِهِمْ

Kedua: Anak-anak saudara, karena lemahnya mereka dalam men‘aṣib (menguatkan hak waris) saudari-saudari mereka, berbeda dengan ayah-ayah mereka, maka mereka juga lemah dalam menghalangi ibu, berbeda dengan ayah-ayah mereka. Sedangkan anak-anak laki-laki, karena mereka kuat dalam men‘aṣib saudari-saudari mereka sebagaimana ayah-ayah mereka, maka mereka juga kuat dalam menghalangi ibu sebagaimana ayah-ayah mereka.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ الْوَلَدَ أَقْوَى فِي الحجب من الإخوة لأنهم يحجبون مع الأم الزَّوْجَ وَالزَّوْجَةَ بِخِلَافِ الْإِخْوَةِ فَكَانَ وَلَدُ الْوَلَدِ أقوى في الحجب من أولاد الإخوة والله تعالى أعلم.

Ketiga: Anak (langsung) lebih kuat dalam menghalangi (ḥijb) daripada saudara, karena mereka dapat menghalangi suami atau istri bersama ibu, berbeda dengan saudara. Maka anak dari anak (cucu) lebih kuat dalam menghalangi daripada anak-anak saudara. Allah Ta‘ala lebih mengetahui.

مسألة:

Permasalahan:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَا يَرِثُونَ مَعَ الْجَدِّ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Dan mereka (anak-anak saudara) tidak mewarisi bersama kakek.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّهُ إِجْمَاعٌ لَا يُعْرَفُ فِيهِ خِلَافٌ أَنَّ بَنِي الْإِخْوَةِ لَا يَرِثُونَ مَعَ الْجَدِّ وإن ورث معه آبائهم لِأَمْرَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Ini benar, karena merupakan ijmā‘ (konsensus) yang tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di dalamnya, bahwa anak-anak saudara tidak mewarisi bersama kakek, meskipun ayah-ayah mereka mewarisi bersama kakek, karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْجَدَّ أَقْرَبُ إِلَى أَبِ الْمَيِّتِ مِنْ بَنِي الْإِخْوَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ أَحَقَّ بِمِيرَاثِهِ مَنْ بَنِي الْإِخْوَةِ.

Pertama: Kakek lebih dekat kepada ayah si mayit daripada anak-anak saudara, sehingga ia lebih berhak atas warisannya daripada anak-anak saudara.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْجَدَّ كَالْإِخْوَةِ فِي الْمُقَاسَمَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ مَعَهُ بَنُو الْإِخْوَةِ كَمَا يَسْقُطُونَ بالإخوة.

Kedua: Kakek seperti saudara dalam hal pembagian, sehingga anak-anak saudara gugur (tidak mendapat warisan) bersamanya sebagaimana mereka gugur bersama saudara.

مسألة:

Permasalahan:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلِوَاحِدِ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ السُّدُسُ وللاثنين فصاعدا الثلث ذكرهم وأنثاهم فيه سواء “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Untuk satu orang saudara laki-laki atau perempuan dari pihak ibu mendapat seperenam, dan untuk dua orang atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan, mendapat sepertiga, dan bagian mereka sama.”

قال المارودي: وَهَذَا كَمَا قَالَ: فَرْضُ الْوَاحِدِ مِنَ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ لِلْأُمِّ السُّدُسُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ} [النساء: 12] وَكَانَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ يَقْرَأُ وَكَانَ لَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ مِنْ أُمِّهِ فَإِنْ كَانُوا اثْنَيْنِ فَصَاعِدًا فَفَرْضُهُمُ الثُّلُثُ نَصًّا وَإِجْمَاعًا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ} [النساء: 12] ثم يستوي فيه ذكورهم وإناثهم وروى ابن عباس رواية شاذة أنهم يقسمون الثُّلُثَ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ قِيَاسًا عَلَى وَلَدِ الْأَبِ وَالْأُمِّ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الِاشْتِرَاكَ في الشيء يوجب التَّسَاوِي إِلَّا أَنْ يَرِدَ نَصٌّ بِالتَّفَاضُلِ وَلِأَنَّ الْإِخْوَةَ وَالْأَخَوَاتِ لِلْأُمِّ يَرِثُونَ بِالرَّحِمِ وَالْأَبَوَانِ إِذَا وَرِثَا فَرْضًا بِالرَّحِمِ تَسَاوَيَا فِيهِ وَأَخَذَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا سُدُسًا مِثْلَ سُدُسِ صَاحِبِهِ كَذَلِكَ ولد الأم لميراثهم بالرحم.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang telah dikatakan: bagian wajib bagi satu orang dari saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu adalah seperenam. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan jika seseorang yang diwarisi itu, baik laki-laki maupun perempuan, tidak mempunyai anak atau ayah, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau saudara perempuan, maka bagi masing-masing dari keduanya seperenam} [an-Nisā’: 12]. Sa‘d bin Abi Waqqash membaca: “dan dia mempunyai saudara laki-laki atau saudara perempuan dari ibunya.” Jika mereka dua orang atau lebih, maka bagian mereka adalah sepertiga, berdasarkan nash dan ijmā‘. Allah Ta‘ala berfirman: {Jika mereka lebih dari itu, maka mereka bersama-sama dalam sepertiga} [an-Nisā’: 12]. Maka, laki-laki dan perempuan di antara mereka mendapat bagian yang sama. Ibnu ‘Abbas meriwayatkan riwayat yang syadz bahwa mereka membagi sepertiga itu untuk laki-laki dua kali bagian perempuan, dengan qiyās kepada anak-anak dari ayah dan ibu. Ini adalah kesalahan, karena kebersamaan dalam suatu hal mewajibkan kesetaraan, kecuali ada nash yang menunjukkan adanya perbedaan. Dan karena saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu mewarisi karena hubungan rahim, dan kedua orang tua jika mewarisi bagian karena rahim, maka keduanya mendapat bagian yang sama, masing-masing seperenam, sebagaimana seperenam yang didapatkan oleh pasangannya. Demikian pula anak-anak dari ibu, karena mereka mewarisi melalui rahim.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلِلْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ النِّصْفُ وَلِلْأُخْتَيْنِ فَصَاعِدًا الثلُثَانِ فإذا استوفى الأخوات للأب والأم الثلثين فلا شيء للأخوات للأب إلا أن يكون معهن أخ فيكون له ولهن ما بقي للذكر مثل حظ الأنثيين فإن لم يكن إلا أخت واحدة لأب وأم وأخت أو أخوات لأب فللأخت للأب والأم النصف وللأخت أو الأخوات للأب السدس تكملة الثلثين وإن كان مع الأخت أو الأخوات للأب والأم أخ لأب فلا سدس لهن ولهن وله مَا بَقِيَ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَإِنْ كان مع الأخوات للأب والأم أخ للأب والأم فلا نصف ولا ثلثين ولكن المال بينهم للذكر مثل حظ الأنثيين وتسقط الإخوة والأخوات للأب الإخوة وَالْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ بِمَنْزِلَةِ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ وَالْأُمُّ إِذَا لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنَ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ للأب والأم إلا في فريضة وهي زوج وأم وإخوة لأم وإخوة لأب وأم فيكون للزوم النِّصْفُ وَلِلْأُمِّ السُّدُسُ وَلِلْإِخْوَةِ مِنَ الْأُمِّ الثُّلُثُ ويشاركهم الإخوة للأب والأم في ثلثهم ذكرهم وأنثاهم سواء فإن كان معهم إخوة لأب لم يرثوا “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Bagi saudara perempuan seayah dan seibu, bagian setengah; dan bagi dua saudara perempuan atau lebih, bagian dua pertiga. Jika saudara-saudara perempuan seayah dan seibu telah mengambil dua pertiga, maka tidak ada bagian bagi saudara-saudara perempuan seayah, kecuali jika bersama mereka ada saudara laki-laki, maka baginya dan bagi mereka sisanya, dengan ketentuan bagi laki-laki dua kali bagian perempuan. Jika hanya ada satu saudara perempuan seayah dan seibu, serta ada satu atau beberapa saudara perempuan seayah, maka saudara perempuan seayah dan seibu mendapat setengah, dan saudara perempuan seayah atau saudara-saudara perempuan seayah mendapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga. Jika bersama saudara perempuan seayah dan seibu ada saudara laki-laki seayah, maka tidak ada seperenam bagi mereka, dan bagian yang tersisa dibagi antara mereka dengan ketentuan bagi laki-laki dua kali bagian perempuan. Jika bersama saudara-saudara perempuan seayah dan seibu ada saudara laki-laki seayah dan seibu, maka tidak ada bagian setengah atau dua pertiga, tetapi harta dibagi di antara mereka dengan ketentuan bagi laki-laki dua kali bagian perempuan, dan saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah gugur. Saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah kedudukannya seperti saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah dan seibu jika tidak ada seorang pun dari saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah dan seibu, kecuali dalam satu kasus, yaitu: suami, ibu, saudara-saudara seibu, dan saudara-saudara seayah dan seibu. Maka, untuk suami setengah, untuk ibu seperenam, untuk saudara-saudara seibu sepertiga, dan saudara-saudara seayah dan seibu ikut serta dalam sepertiga bagian saudara-saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan sama saja. Jika bersama mereka ada saudara-saudara seayah, maka mereka tidak mewarisi.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: حُكْمُ الْأَخَوَاتِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ حُكْمُ بَنَاتِ الصُّلْبِ وَحُكْمُ الْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ حُكْمُ بَنَاتِ الِابْنِ فَفَرْضُ الْأُخْتِ الْوَاحِدَةِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ النِّصْفُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ} [النساء: 176] وَفَرْضُ الْأُخْتَيْنِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ فَصَاعِدًا الثُّلُثَانِ إِجْمَاعًا وَوَافَقَ عَلَيْهِ ابْنُ عَبَّاسٍ وَإِنْ خَالَفَ فِي الثلثين لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مما ترك} [النساء: 176] فإن كَانَ مَعَ الْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ أَخٌ لِأَبٍ وأم سقط به فرضهن وكان المال بينهن لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ} [النساء: 176] فَإِنْ لَمْ يَكُنْ أَخَوَاتٌ لِأَبٍ وَأُمٍّ قَامَ الْأَخَوَاتُ مِنَ الأب مقامهن كما يقوم بنات الابن مقام بنات الصلب عند عدمهم فيكون للأخت الواحدة للأب النصف وللاثنين فَصَاعِدًا الثُّلُثَانِ فَإِنْ كَانَ مَعَهُنَّ ذَكَرٌ سَقَطَ فَرْضُهُنَّ وَعَصَّبَهُنَّ فَكَانَ الْمَالُ بَيْنَهُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حظ الأنثيين.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang telah dikatakan: hukum saudara-saudara perempuan seayah dan seibu sama dengan hukum anak-anak perempuan kandung, dan hukum saudara-saudara perempuan seayah sama dengan hukum anak-anak perempuan dari anak laki-laki. Maka, bagian saudara perempuan seayah dan seibu yang satu adalah setengah, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Jika seseorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai seorang saudara perempuan, maka bagi saudara perempuan itu setengah dari harta yang ditinggalkan} [an-Nisā’: 176]. Bagian dua saudara perempuan seayah dan seibu atau lebih adalah dua pertiga berdasarkan ijmā‘, dan Ibnu ‘Abbas pun menyetujuinya meskipun beliau berbeda pendapat dalam dua pertiga, karena firman-Nya Ta‘ala: {Jika mereka dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan} [an-Nisā’: 176]. Jika bersama saudara-saudara perempuan seayah dan seibu ada saudara laki-laki seayah dan seibu, maka bagian mereka gugur, dan harta dibagi di antara mereka dengan ketentuan bagi laki-laki dua kali bagian perempuan, berdasarkan firman-Nya Ta‘ala: {Jika mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, maka bagi laki-laki dua kali bagian perempuan} [an-Nisā’: 176]. Jika tidak ada saudara-saudara perempuan seayah dan seibu, maka saudara-saudara perempuan seayah menggantikan posisi mereka, sebagaimana anak-anak perempuan dari anak laki-laki menggantikan posisi anak-anak perempuan kandung jika mereka tidak ada. Maka, untuk satu saudara perempuan seayah mendapat setengah, dan untuk dua orang atau lebih mendapat dua pertiga. Jika bersama mereka ada laki-laki, maka bagian mereka gugur dan mereka menjadi ‘ashabah, sehingga harta dibagi di antara mereka dengan ketentuan bagi laki-laki dua kali bagian perempuan.

فصل:

Fasal:

فإن كانت أُخْت لِأَبٍ وَأُمٍّ وَأُخْت لِأَبٍ أَوْ أَخَوَاتٍ لِأَبٍ فَلِلْأُخْتِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ النِّصْفُ وَلِلْأُخْتِ أَوِ الْأَخَوَاتِ مِنَ الْأَبِ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ كبنت الصلب وبنت ابن فَلَوْ كَانَ مَعَ الْأَخَوَاتِ مِنَ الْأَبِ ذَكَرٌ لَمْ يُفْرَضْ لَهُنَّ السُّدُسُ وَكَانَ مَا بَعْدَ النِّصْفِ بَيْنَهُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ يُعْطِي الْأَخَوَاتِ مِنَ الْأَبِ مَعَ الذَّكَرِ أَقَلَّ الْأَمْرَيْنِ مِنَ السُّدُسِ أَوِ الْمُقَاسَمَةِ لأن لا يَزِيدَ فَرْضُ الْأَخَوَاتِ عَلَى الثُّلُثَيْنِ كَمَا قَالَ فِي بِنْتِ الِابْنِ إِذَا شَارَكَهَا أَخُوهَا مَعَ الْبِنْتِ وَوَافَقَهُ عَلَى هَذَا أَبُو ثَوْرٍ وَخَالَفَهُ دَاوُدُ فِي الْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ وَإِنْ وَافَقَهُ فِي بنات الابن وفيما قد بيناه عَلَيْهِ دَلِيلٌ مُقْنِعٌ.

Jika terdapat saudari seayah-seibu dan saudari seayah atau beberapa saudari seayah, maka untuk saudari seayah-seibu mendapat setengah, dan untuk saudari atau para saudari seayah mendapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga, seperti halnya anak perempuan kandung dan anak perempuan dari anak laki-laki. Jika bersama para saudari seayah terdapat laki-laki, maka tidak ditetapkan bagian seperenam untuk mereka, dan sisa setelah setengah dibagi di antara mereka, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Ibnu Mas‘ūd berpendapat: diberikan kepada para saudari seayah bersama laki-laki bagian yang lebih sedikit antara seperenam atau pembagian bersama, agar bagian para saudari tidak melebihi dua pertiga, sebagaimana yang dikatakan dalam kasus anak perempuan dari anak laki-laki jika ia bersama saudaranya dan ada anak perempuan kandung. Pendapat ini disetujui oleh Abū Tsaūr, namun Dāwūd berbeda pendapat dalam hal saudari seayah, meskipun ia setuju dalam kasus anak perempuan dari anak laki-laki dan dalam hal yang telah kami jelaskan. Terdapat dalil yang meyakinkan atas pendapat ini.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَلَوْ تَرَكَ أُخْتَيْنِ لِأَبٍ وَأُمٍّ وَأُخْتًا لِأَبٍ كَانَ لِلْأُخْتَيْنِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ الثُّلُثَانِ وَسَقَطَتِ الْأُخْتُ مِنَ الْأَبِ إذا لم يكن معها ذكرا وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: يُفْرَضُ لَهَا السُّدُسُ كَمَا يُفْرَضُ لَهَا إِذَا انْفَرَدَتِ الْأُخْتُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ وهذا يقول في بنت الابن مع بنت الصُّلْبِ يُفْرَضُ لَهَا السُّدُسُ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ فَرْضَ الْأَخَوَاتِ وَالْبَنَاتِ لَا يُزَادُ عَلَى الثُّلُثَيْنِ فَإِذَا انْفَرَدَتِ الْأُخْتُ الْوَاحِدَةُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ بِالنِّصْفِ فُرِضَ لِلْأُخْتِ لِلْأَبِ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ لِبَقَائِهِ مِنْ فَرْضِهِنَّ.

Jika seseorang meninggalkan dua saudari seayah-seibu dan satu saudari seayah, maka untuk dua saudari seayah-seibu mendapat dua pertiga, dan saudari seayah gugur jika tidak ada laki-laki bersamanya. Al-Hasan al-Bashri berpendapat: ditetapkan untuknya bagian seperenam sebagaimana ditetapkan jika ia sendirian bersama saudari seayah-seibu. Pendapat ini juga ia katakan dalam kasus anak perempuan dari anak laki-laki bersama anak perempuan kandung, yaitu ditetapkan baginya seperenam. Namun ini adalah kekeliruan, karena bagian para saudari dan anak perempuan tidak boleh melebihi dua pertiga. Jika hanya ada satu saudari seayah-seibu yang mendapat setengah, maka ditetapkan untuk saudari seayah bagian seperenam sebagai pelengkap dua pertiga, karena masih tersisa dari bagian mereka.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَلَوْ كَانَ مَعَ الْأُخْتَيْنِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ أُخْتٌ لِأَبٍ مَعَهَا أَخُوهَا كَانَ الْبَاقِي بَعْدَ الثُّلُثَيْنِ بَيْنَ الْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأَخِ لِلْأَبِ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ يَكُونُ الْبَاقِي لِلْأَخِ لِلْأَبِ دُونَ الْأُخْتِ كما يجعل الباقي بعد بنتي الصلب لأن الابن دون أخته لأن لا يَزِيدَ فَرْضُ الْبَنَاتِ وَالْأَخَوَاتِ عَلَى الثُّلُثَيْنِ وَقَدْ مضى الدليل.

Jika bersama dua saudari seayah-seibu terdapat saudari seayah yang bersama saudaranya, maka sisa setelah dua pertiga dibagi antara saudari seayah dan saudara seayah, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Ibnu Mas‘ūd berpendapat: sisa tersebut hanya untuk saudara seayah, bukan untuk saudari seayah, sebagaimana sisa setelah dua anak perempuan kandung hanya untuk anak laki-laki, bukan untuk saudari perempuannya, agar bagian anak perempuan dan saudari tidak melebihi dua pertiga. Dalilnya telah dijelaskan sebelumnya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَلَوْ تَرَكَ أُخْتَيْنِ لِأَبٍ وَأُمٍّ وَأُخْتًا لأب وابن أخ لأب كان لِلْأُخْتَيْنِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ الثُّلُثَانِ وَالْبَاقِي لِابْنِ الْأَخِ لِلْأَبِ وَسَقَطَتِ الْأُخْتُ لِلْأَبِ لِاسْتِكْمَالِ الثُّلُثَيْنِ بِالْأُخْتَيْنِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ فَلَا يُعَصِّبُ ابْنُ الْأَخِ فِيهِ بِخِلَافِ مَا ذَكَرْنَا فِي بَنَاتِ الِابْنِ لِأَنَّ ابْنَ الْأَخِ لَمَّا ضَعُفَ عَنْ تَعْصِيبِ أُخْتِهِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يَضْعُفَ عَنْ تَعْصِيبِ عَمَّتِهِ وليس كذلك أولاد البنين لأن الذكور مِنْهُمْ يُعَصِّبُ أُخْتَهُ فَجَازَ أَنْ يُعَصِّبَ عَمَّتَهُ والله أعلم.

Jika seseorang meninggalkan dua saudari seayah-seibu, satu saudari seayah, dan seorang anak laki-laki dari saudara seayah, maka untuk dua saudari seayah-seibu mendapat dua pertiga, dan sisanya untuk anak laki-laki dari saudara seayah, sedangkan saudari seayah gugur karena dua pertiga telah terpenuhi oleh dua saudari seayah-seibu. Maka anak laki-laki dari saudara seayah tidak menjadi ‘ashabah (ahli waris sisa) dalam hal ini, berbeda dengan apa yang telah kami sebutkan dalam kasus anak perempuan dari anak laki-laki, karena anak laki-laki dari saudara seayah, ketika ia tidak mampu menjadi ‘ashabah bagi saudarinya, maka lebih utama lagi ia tidak mampu menjadi ‘ashabah bagi bibinya. Tidak demikian halnya dengan anak-anak laki-laki dari anak laki-laki, karena laki-laki di antara mereka dapat menjadi ‘ashabah bagi saudarinya, maka boleh juga ia menjadi ‘ashabah bagi bibinya. Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ لِلْأَبِ يَقُومُونَ مَقَامَ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ عِنْدَ عَدَمِهِمْ إِلَّا فِي مسألة المشتركة وهي زَوْجٍ وَأُمٍّ وَأَخَوَانِ لِأُمٍّ وَأَخَوَانِ لِأَبٍ وَأُمٍّ فَيَكُونُ لِلزَّوْجِ النِّصْفُ وَلِلْأُمِّ السُّدُسُ وَلِلْإِخْوَةِ مِنَ الْأُمِّ الثُّلُثُ يُشَارِكُهُمْ فِيهِ الْإِخْوَةُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ لِاسْتِوَائِهِمَا فِي الْإِدْلَاءِ بِالْأُمِّ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ مِنَ الْخِلَافِ فِيهِ وَلَوْ كَانَ مَكَانَ الْإِخْوَةِ للأب والأم إخوة لأب لَا يُشَارِكُونَ الْإِخْوَةَ لِلْأُمِّ لِعَدَمِ إِدْلَائِهِمْ بِالْأُمِّ والله أعلم.

Saudara dan saudari seayah menempati posisi saudara dan saudari seayah-seibu ketika mereka tidak ada, kecuali dalam masalah al-musytarakah, yaitu: suami, ibu, dua saudara seibu, dan dua saudara seayah-seibu. Maka suami mendapat setengah, ibu mendapat seperenam, dan saudara-saudara dari ibu mendapat sepertiga, yang mana saudara-saudara seayah-seibu ikut serta dalam bagian ini karena keduanya sama-sama berhubungan dengan ibu, sebagaimana akan kami sebutkan perbedaan pendapat dalam hal ini. Jika yang ada adalah saudara-saudara seayah, maka mereka tidak ikut serta dengan saudara-saudara seibu karena tidak berhubungan dengan ibu. Allah Maha Mengetahui.

فصل:

Fasal:

ثلاث أخوات متفرقات مَعَ كُلِّ وَاحِدَةٍ أَخٌ لِأَبٍ فَلِلْأُخْتِ مِنَ الْأُمِّ السُّدُسُ وَأَخُوهَا أَجْنَبِيٌّ، وَأَمَّا الْأُخْتُ مِنَ الأب فيحتمل أن يكون أخاها لِأَبِيهَا أَخَا الْمَيِّتِ لِأَبِيهِ وَأُمِّهِ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ أَخَاهُ لِأَبِيهِ فَإِنْ كَانَ أَخَاهُ لِأَبِيهِ وَأُمِّهِ فَإِنَّ الْبَاقِيَ بَعْدَ سُدُسِ الْأُخْتِ مِنَ الْأُمِّ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْأُخْتِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَسَقَطَتِ الأخت من الأب وأخوا الأخت من الأب والأم النصف وكان الباقي بين الأخت وأخيها وأخي الأخت من الأب والأم وابنها للذكر مثل حظ الأنثيين لأن كلهم إخوة وأخوات لأب

Tiga saudari yang berbeda-beda, masing-masing bersama seorang saudara seayah. Maka untuk saudari seibu mendapat seperenam, dan saudaranya adalah orang asing (tidak berhak waris). Adapun saudari seayah, mungkin saja saudaranya itu adalah saudara si mayit seayah dan seibu, dan mungkin juga hanya seayah saja. Jika ia adalah saudara seayah dan seibu, maka sisa setelah seperenam bagian saudari seibu dibagi antara dia dan saudari seayah-seibu, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Saudari seayah gugur (tidak mendapat warisan), dan kedua saudara dari saudari seayah-seibu mendapat setengah, dan sisanya dibagi antara saudari dan saudaranya serta anak saudari seayah-seibu, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, karena semuanya adalah saudara-saudari seayah.

فصل:

Fasal:

ثلاث أخوات متفرقات مَعَ كُلِّ وَاحِدَةٍ أَخٌ لِأُمٍّ فَلِلْأُخْتِ مِنَ الْأَبِ أَخُوهَا لِأُمِّهَا أَجْنَبِيٌّ وَالْأُخْتُ مِنَ الْأُمِّ أخوها لأمها يحتمل أن يكون أخا الميتة لِأَبِيهِ وَأُمِّهِ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ أَخَاهُ لِأُمِّهِ فَإِنْ كَانَ أَخَاهُ لِأَبِيهِ وَأُمِّهِ كَانَ لِلْأُخْتِ من الأم وأخت الأخت من الأب والأم الثُّلُثُ بَيْنَهُمَا بِالسَّوِيَّةِ وَالْبَاقِي بَيْنَ الْأُخْتِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ وَأَخِي الْأُخْتِ مِنَ الْأُمِّ لِأَنَّهُ أَخٌ لِأَبٍ وَأُمٍّ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَتَسْقُطُ الْأُخْتُ مِنَ الْأَبِ وَإِنْ كَانَ أَخًا لِأُمٍّ كَانَ الثُّلُثُ لِلْأُخْتِ مِنَ الْأُمِّ وَأَخِيهَا من أمها وأخي الأخت للأب والأم من الأمر أَثْلَاثًا بِالسَّوِيَّةِ لِأَنَّ جَمِيعَهُمْ إِخْوَةٌ وَأَخَوَاتٌ لِأُمٍّ وَكَانَ لِلْأُخْتِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ النِّصْفُ وَلِلْأُخْتِ للأب السدس.

Tiga saudari yang berbeda-beda, masing-masing bersama seorang saudara seibu. Maka untuk saudari seayah, saudaranya seibu adalah orang asing (tidak berhak waris). Saudari seibu, saudaranya seibu, mungkin saja adalah saudara si mayit seayah dan seibu, dan mungkin juga hanya seibu saja. Jika ia adalah saudara seayah dan seibu, maka untuk saudari seibu dan saudari seayah-seibu sepertiga bagian dibagi rata, dan sisanya untuk saudari seayah-seibu dan saudara dari saudari seibu, karena ia adalah saudara seayah dan seibu, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Saudari seayah gugur (tidak mendapat warisan). Jika ia adalah saudara seibu, maka sepertiga bagian untuk saudari seibu dan saudaranya seibu serta saudara dari saudari seayah-seibu, dibagi tiga sama rata, karena semuanya adalah saudara-saudari seibu. Untuk saudari seayah-seibu mendapat setengah, dan untuk saudari seayah mendapat seperenam.

فصل:

Fasal:

ثلاث أخوات متفرقات مَعَ كُلِّ وَاحِدَةٍ أَخٌ لِأَبٍ وَأُمٍّ فَلِلْأُخْتِ مِنَ الْأُمِّ وَأَخِيهَا لِأَبِيهَا وَأُمِّهَا الثُّلُثُ وَالْبَاقِي لِلْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ وَأَخِيهَا لِأَبِيهَا وَأُمِّهَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَتَسْقُطُ الْأُخْتُ لِلْأَبِ وَأَخُوهَا والله أعلم.

Tiga saudari yang berbeda-beda, masing-masing bersama seorang saudara seayah dan seibu. Maka untuk saudari seibu dan saudaranya seayah-seibu sepertiga bagian, dan sisanya untuk saudari seayah-seibu dan saudaranya seayah-seibu, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Saudari seayah dan saudaranya gugur (tidak mendapat warisan). Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

أُخْتٌ لِأَبٍ مَعَهَا ثَلَاثَةُ بَنِي إِخْوَةٍ متفرقين أَمَّا ابْنُ أَخِيهَا لِأُمِّهَا فَأَجْنَبِيٌّ وَأَمَّا ابن أخيها لأبيها وأمها فابن أخ لابن وَأَمَّا ابْنُ أَخِيهَا لِأَبِيهَا فَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ رجلا احتمل ثلاثة أوجه:

Seorang saudari seayah bersama tiga anak saudara yang berbeda-beda. Adapun anak saudara seibunya, maka ia adalah orang asing (tidak berhak waris). Adapun anak saudara seayah-seibu, maka ia adalah anak saudara seayah. Adapun anak saudara seayah, jika si mayit laki-laki, maka ada tiga kemungkinan:

أحدهما: أَنْ يَكُونَ ابْنَ الْمَيِّتِ فَيَكُونُ الْمَالُ كُلُّهُ لَهُ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ ابْنَ أَخٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ فَيَكُونُ لِلْأُخْتِ لِلْأَبِ النِّصْفُ وَالْبَاقِي لَهُ وَسَقَطَ ابْنُ الْأَخِ لِلْأَبِ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ ابْنَ أَخٍ لِأَبٍ فَيَكُونُ لِلْأُخْتِ النِّصْفُ وَالْبَاقِي بينه وبين ابن الأخ للأب لأن كلاهما وَلَدُ أَخٍ لِأَبٍ وَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ امْرَأَةً احْتَمَلَ أَنْ يَكُونَ ابْنَ أَخٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ فَيَكُونُ الْبَاقِي بَعْدَ نِصْفِ الْأُخْتِ لَهُ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ ابْنَ أَخٍ لِأَبٍ فَيَكُونُ الْبَاقِي بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْآخَرِ الَّذِي هُوَ ابْنُ أَخٍ لِأَبٍ وَلَا يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ ابْنَ الْمَيِّتَةِ، لِأَنَّهُ مِنْ أُخْتِ الْمَيِّتَةِ ابْنُ أَخٍ وَلَيْسَ ابن أخت والله أعلم.

Pertama: Ia adalah anak si mayit, maka seluruh harta menjadi miliknya. Kedua: Ia adalah anak saudara seayah-seibu, maka saudari seayah mendapat setengah dan sisanya untuknya, dan anak saudara seayah gugur (tidak mendapat warisan). Ketiga: Ia adalah anak saudara seayah, maka saudari seayah mendapat setengah dan sisanya dibagi antara dia dan anak saudara seayah, karena keduanya adalah anak saudara seayah. Jika si mayit perempuan, maka mungkin ia adalah anak saudara seayah-seibu, maka sisanya setelah setengah bagian saudari seayah menjadi miliknya. Atau ia adalah anak saudara seayah, maka sisanya dibagi antara dia dan yang lain yang juga anak saudara seayah. Tidak mungkin ia adalah anak si mayit perempuan, karena ia adalah anak saudara perempuan si mayit, bukan anak perempuan. Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلِلْأَخَوَاتِ مَعَ الْبَنَاتِ مَا بَقِيَ إِنْ بَقِيَ شَيْءٌ وَإِلَّا فَلَا شَيْءَ لَهُنَّ وَيُسَمَّيْنَ بِذَلِكَ عَصَبَةَ الْبَنَاتِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Bagi para saudari bersama anak-anak perempuan, mereka mendapat sisa (harta warisan) jika masih ada sisa, jika tidak maka mereka tidak mendapat apa-apa. Mereka disebut dengan istilah ‘ashabah al-banāt (kelompok yang mengambil sisa warisan bersama anak perempuan).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: الْأَخَوَاتُ مَعَ الْبَنَاتِ عَصَبَةٌ لَا يُفْرَضُ لَهُنَّ وَيَرِثْنَ مَا بَقِيَ بَعْدَ فَرْضِ الْبَنَاتِ فَإِنْ كَانَ بِنْتٌ وَأُخْتٌ فَلِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَالْبَاقِي لِلْأُخْتِ وَإِنْ كَانَ بِنْتَانِ وَأُخْتٌ فَلِلْبِنْتَيْنِ الثُّلُثَانِ وَالْبَاقِي لِلْأُخْتِ وَلَوْ كَانَ مَعَ الْبِنْتَيْنِ عَشْرُ أَخَوَاتٍ كَانَ الْبَاقِي بَعْدَ الثُّلَثَيْنِ بَيْنَ الْأَخَوَاتِ بِالسَّوِيَّةِ سَوَاءٌ كان لِأَبٍ وَأُمٍّ أَوْ لِأَبٍ وَبِهَذَا قَالَ الْخُلَفَاءُ الْأَرْبَعَةُ وَجَمِيعُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ إِلَّا ابْنَ عَبَّاسٍ فَإِنَّهُ تَفَرَّدَ بِخِلَافِهِمْ وَهِيَ الْمَسْأَلَةُ الثَّالِثَةُ الَّتِي تَفَرَّدَ بِخِلَافِ الصَّحَابَةِ فِيهَا فَأَسْقَطَ الْأَخَوَاتِ مَعَ الْبَنَاتِ وَبِهِ قَالَ دَاوُدُ، وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ يَذْهَبُ إِلَى هَذَا حَتَّى أَخْبَرَهُ الْأَسْوَدُ بْنُ يَزِيدَ أَنَّ مُعَاذًا قَضَى بِالْيَمَنِ فِي بِنْتٍ وَأُخْتٍ جَعَلَ الْمَالَ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ وَرَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَيٌّ فَرَجَعَ عَنْ قَوْلِهِ وَقَالَ إِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ: إِنْ كَانَ مَعَ الْبَنَاتِ عَصَبَةٌ غَيْرُ الْأَخَوَاتِ كَالْأَعْمَامِ وَبَنِي الْإِخْوَةِ سَقَطَ الْأَخَوَاتُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُنَّ غَيْرُ الْأَخَوَاتِ صِرْنَ إِذَا انْفَرَدْنَ مَعَهُنَّ عَصَبَةً يَأْخُذْنَ مَا بَقِيَ بَعْدَ فَرْضِهِنَّ وَاسْتَدَلَّ ابْنُ عَبَّاسٍ وَقَدْ بَلَغَهُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَعْطَى الأخت مع البنت النصف فقال أأنتم أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ} [النساء: 176] وَأَنْتُمْ تَقُولُونَ لَهَا النِّصْفُ وَإِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ وَبِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” اقْسِمُوا الْمَالَ بَيْنَ أَهْلِ الْفَرَائِضِ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ فَمَا تَرَكَتِ الْفَرَائِضُ فَلِأَوْلَى رجل ذَكَرٍ ” وَلِأَنَّهَا لَوْ كَانَتْ عَصَبَةً مَعَ الْبَنَاتِ لَكَانَتْ عَصَبَةً تَسْتَوْجِبُ جَمِيعَ الْمَالِ فِي الِانْفِرَادِ كَالْإِخْوَةِ وَفِي إِبْطَالِ ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى عَدَمِ تَعْصِيبِهِنَّ وَلِأَنَّهَا لَوْ كَانَتْ عَصَبَةً لَوَرِثَ وَلَدُهَا كَمَا يَرِثُ وَلَدُ الْأَخِ لِأَنَّهُ عَصَبَةٌ وَلِأَنَّهَا لَوْ كَانَتْ عَصَبَةً لَعُقِلَتْ وَزُوِّجَتْ وَالدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْجَمَاعَةُ قَوْله تَعَالَى: {للرجل نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا} [النساء: 32] فَكَانَ عَلَى عمومه.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: Para saudari bersama para anak perempuan menjadi ‘ashabah, tidak ditetapkan bagian tertentu untuk mereka, dan mereka mewarisi sisa harta setelah bagian anak perempuan diberikan. Jika ada seorang anak perempuan dan seorang saudari, maka anak perempuan mendapat setengah dan sisanya untuk saudari. Jika ada dua anak perempuan dan seorang saudari, maka kedua anak perempuan mendapat dua pertiga dan sisanya untuk saudari. Bahkan jika bersama dua anak perempuan ada sepuluh saudari, maka sisa setelah dua pertiga dibagi rata di antara para saudari, baik mereka saudari seayah-seibu maupun seayah saja. Inilah pendapat keempat khalifah dan seluruh sahabat radhiyallahu ‘anhum kecuali Ibnu ‘Abbas, karena ia menyendiri dalam pendapat yang berbeda dari mereka. Ini adalah masalah ketiga yang ia menyendiri dalam menyelisihi para sahabat, yaitu ia menggugurkan hak para saudari bersama anak perempuan, dan pendapat ini juga dipegang oleh Dawud. Abdullah bin Zubair juga condong kepada pendapat ini sampai Al-Aswad bin Yazid memberitahunya bahwa Mu‘adz pernah memutuskan di Yaman dalam kasus seorang anak perempuan dan seorang saudari, ia membagi harta di antara keduanya masing-masing setengah, dan saat itu Rasulullah ﷺ masih hidup, maka Abdullah bin Zubair pun kembali dari pendapatnya. Ishaq bin Rahawaih berkata: Jika bersama anak-anak perempuan ada ‘ashabah selain para saudari, seperti para paman dan anak-anak laki-laki dari saudara, maka para saudari gugur (tidak mendapat warisan). Namun jika tidak ada bersama mereka selain para saudari, maka para saudari menjadi ‘ashabah bersama mereka, mengambil sisa setelah bagian mereka. Ibnu ‘Abbas berdalil, ketika sampai kepadanya bahwa ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu memberikan kepada saudari bersama anak perempuan setengah, ia berkata: “Apakah kalian lebih tahu atau Allah?” Allah ‘azza wa jalla berfirman: {Jika seseorang wafat dan ia tidak mempunyai anak, dan ia mempunyai seorang saudari, maka baginya setengah dari apa yang ditinggalkan} (QS. an-Nisa: 176), sedangkan kalian mengatakan baginya setengah meskipun ia mempunyai anak. Dan juga berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Bagilah harta di antara ahli waris sesuai dengan ketentuan Allah dalam Kitab-Nya, dan apa yang tersisa setelah bagian-bagian itu maka untuk laki-laki terdekat.” Dan seandainya para saudari menjadi ‘ashabah bersama anak perempuan, niscaya mereka menjadi ‘ashabah yang berhak atas seluruh harta jika sendirian, sebagaimana saudara laki-laki. Dan dengan tidak berlakunya hal itu, menunjukkan bahwa mereka bukan ‘ashabah. Dan seandainya mereka ‘ashabah, tentu anak-anak mereka juga mewarisi sebagaimana anak-anak saudara laki-laki, karena mereka juga ‘ashabah. Dan seandainya mereka ‘ashabah, tentu mereka juga berhak menerima diyat dan dinikahkan (oleh wali). Dalil atas kebenaran pendapat jumhur adalah firman Allah Ta‘ala: {Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat, dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat, baik sedikit maupun banyak, sebagai bagian yang telah ditetapkan} (QS. an-Nisa: 32), maka ayat ini berlaku secara umum.

وروى الأعمش عن ابن قيس عن هذيل بْنِ شُرَحْبِيلَ قَالَ: ” جَاءَ رَجُلٌ إِلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ وَسَلْمَانَ بْنِ رَبِيعَةَ فَسَأَلَهُمَا عَنْ بنت وبنت ابن وأخت لأب وأم فقالا للبنت النصف والباقي للأخت فأت ابْنَ مَسْعُودٍ فَإِنَّهُ سَيُوَافِقُنَا فَأَتَاهُ الرَّجُلُ فَسَأَلَهُ وَأَخْبَرَه بِقَوْلِهِمَا فَقَالَ لَقَدْ ضَلَلْتُ إِذَنْ وَمَا أنا من المهتدين ولكن سَأَقْضِي فِيهَا بِقَضَاءِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – للبنت النصف ولبنت الابن السدس تكملة الثلثين وَمَا بَقِيَ فَلِلْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ” وَهَذَا نَصٌّ وَلِأَنَّ الْأَخَوَاتِ لَمَّا أَخَذْنَ الْفَاضِلَ عَنْ فَرْضِ الزَّوْجِ وَتَقَدَّمْنَ بِهِ عَلَى بَنِي الْإِخْوَةِ وَالْأَعْمَامِ كَالْإِخْوَةِ أَخَذْنَ الْفَاضِلَ عَنْ فَرْضِ الْبَنَاتِ وَتَقَدَّمْنَ بِهِ عَلَى بَنِي الْإِخْوَةِ وَالْأَعْمَامِ كَالْإِخْوَةِ وَلِأَنَّ لِلْأَخَوَاتِ مُدْخَلًا فِي التَّعْصِيبِ مَعَ الْإِخْوَةِ فَكَانَ لَهُمْ مُدْخَلٌ فِي التَّعْصِيبِ مَعَ الْبَنَاتِ لِأَنَّ جَمِيعَهُمْ مِنْ وَلَدِ الْأَبِ وَلِأَنَّ الْإِخْوَةَ أَقْوَى تَعْصِيبًا مِنْ بَنِي الْإِخْوَةِ فَلَمَّا لَمْ تَسْقُطِ الْأُخْتُ مَعَ الْإِخْوَةِ فِي الْفَاضِلِ بَعْدَ فَرْضِ البنات فأولى أن لا يسقط مَعَ بَنِي الْإِخْوَةِ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَهُوَ أَنَّ الْآيَةَ مَنَعَتْ مِنْ إِعْطَائِهَا فَرْضًا ونحن نعطيها تعصيبا وأما الخير فعموم خص مِنْهُ الْأَخَوَاتِ بِدَلِيلِ أَخْذِهِنَّ مَعَ عَدَمِ الْبَنَاتِ.

Al-A‘mash meriwayatkan dari Ibn Qais dari Hudzail bin Syurahbil, ia berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Abu Musa al-Asy‘ari dan Salman bin Rabi‘ah, lalu bertanya kepada keduanya tentang (pembagian warisan) untuk seorang anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, dan saudari seayah seibu. Maka keduanya berkata: untuk anak perempuan setengah, dan sisanya untuk saudari. Lalu mereka berkata: Datangilah Ibn Mas‘ud, karena ia pasti akan sependapat dengan kami. Maka laki-laki itu mendatanginya, bertanya kepadanya, dan memberitahukan pendapat keduanya. Ibn Mas‘ud berkata: “Kalau begitu, aku benar-benar telah sesat dan bukan termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk. Akan tetapi, aku akan memutuskan perkara ini sebagaimana keputusan Rasulullah ﷺ: untuk anak perempuan setengah, untuk anak perempuan dari anak laki-laki seperenam sebagai pelengkap dua pertiga, dan sisanya untuk saudari seayah seibu.” Ini adalah nash (teks yang jelas), dan karena para saudari, ketika mereka mengambil sisa dari bagian suami dan didahulukan atas anak-anak laki-laki dari saudara dan paman sebagaimana saudara laki-laki, maka mereka juga mengambil sisa dari bagian anak-anak perempuan dan didahulukan atas anak-anak laki-laki dari saudara dan paman sebagaimana saudara laki-laki. Dan karena para saudari memiliki peran dalam ta‘ṣīb bersama saudara laki-laki, maka mereka juga memiliki peran dalam ta‘ṣīb bersama anak-anak perempuan, karena semuanya adalah keturunan ayah. Dan karena saudara laki-laki lebih kuat dalam ta‘ṣīb daripada anak-anak laki-laki dari saudara, maka ketika saudari tidak gugur bersama saudara laki-laki dalam sisa setelah bagian anak-anak perempuan, maka lebih utama lagi ia tidak gugur bersama anak-anak laki-laki dari saudara. Adapun jawaban terhadap ayat (Al-Qur’an), maka ayat itu melarang memberinya bagian fardhu, sedangkan kami memberinya bagian ta‘ṣīb. Adapun kata “khair” (kebaikan) maka keumumannya dikhususkan darinya para saudari dengan dalil bahwa mereka mendapat bagian ketika tidak ada anak perempuan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ لَوْ كَانَتْ عَصَبَةً لَأَخَذَتْ جَمِيعَ الْمَالِ إِذَا انْفَرَدَتْ وَلَكَانَ وَلَدُهَا وَارِثًا هُوَ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مَانِعًا مِنْ أَنْ تَكُونَ عَصَبَةً مَعَ الْإِخْوَةِ لَمْ يَمْنَعْ أَنْ تَكُونَ عَصَبَةً مَعَ الْبَنَاتِ.

Adapun jawaban atas pernyataannya: “Seandainya ia adalah ‘aṣabah, tentu ia mengambil seluruh harta jika sendirian, dan tentu anaknya juga menjadi ahli waris,” maka jawabannya adalah: ketika hal itu tidak menjadi penghalang baginya untuk menjadi ‘aṣabah bersama saudara laki-laki, maka tidak pula menjadi penghalang baginya untuk menjadi ‘aṣabah bersama anak-anak perempuan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ أَنَّهَا لَوْ كَانَتْ عَصَبَةً لَعُقِلَتْ وَزُوِّجَتْ وَوَرِثَتْ فَهُوَ أَنَّ هَذَا لَوْ كَانَ مَانِعًا مِنْ مِيرَاثِهَا مَعَ الْبَنَاتِ لَمَنَعَ مِنْ مِيرَاثِهَا مَعَ عَدَمِ الْبَنَاتِ ثُمَّ قَدْ نجد الْعَصَبَاتِ يَنْقَسِمُونَ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ قِسْمٌ يَعْقِلُونَ وَيُزَوِّجُونَ وَهُمُ الْأَعْمَامُ وَالْإِخْوَةُ وَقِسْمٌ لَا يُزَوِّجُونَ وَلَا يَعْقِلُونَ وَهُمُ الْبَنُونَ وَقِسْمٌ يُزَوِّجُونَ وَلَا يَعْقِلُونَ وَهُمُ الْآبَاءُ ثُمَّ جَمِيعُهُمْ مَعَ اخْتِلَافِهِمْ فِي الْعَقْلِ وَالتَّزْوِيجِ وَارْثٌ بالتعصيب وكذلك الأخوات.

Adapun jawaban atas pernyataan bahwa “seandainya ia adalah ‘aṣabah, tentu ia menanggung diyat, dinikahkan, dan mewarisi,” maka jawabannya adalah: jika hal itu menjadi penghalang bagi warisannya bersama anak-anak perempuan, tentu juga menjadi penghalang bagi warisannya ketika tidak ada anak-anak perempuan. Kemudian, kita dapati bahwa para ‘aṣabah terbagi menjadi tiga kelompok: kelompok yang menanggung diyat dan menikahkan, yaitu para paman dan saudara laki-laki; kelompok yang tidak menikahkan dan tidak menanggung diyat, yaitu anak-anak laki-laki; dan kelompok yang menikahkan tetapi tidak menanggung diyat, yaitu para ayah. Kemudian, semuanya, meskipun berbeda dalam hal menanggung diyat dan menikahkan, tetap menjadi ahli waris dengan ta‘ṣīb, demikian pula para saudari.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلِلْأَبِ مَعَ الْوَلَدِ وَوَلَدِ الِابْنِ السُّدُسُ فَرِيضَةً وما بقي بعد أهل الْفَرِيضَةِ فَلَهُ وَإِذَا لَمْ يَكُنْ وَلَدٌ وَلَا وَلَدُ ابْنٍ فَإِنَّمَا هُوَ عَصَبَةٌ لَهُ الْمَالُ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Bagi ayah bersama anak dan cucu laki-laki (dari anak laki-laki) mendapat seperenam sebagai bagian fardhu, dan apa yang tersisa setelah ahli waris fardhu, maka itu untuknya. Jika tidak ada anak dan tidak ada cucu laki-laki, maka ia menjadi ‘aṣabah yang berhak atas seluruh harta.”

قال الماوردي: وهذا كما قال: للأب في ميراثه ثلاثة أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: ayah dalam warisan memiliki tiga keadaan:

حَالٌ يَرِثُ فِيهَا بِالتَّعْصِيبِ وَذَلِكَ مَعَ عدم الولد وولد الابن فإن لم يكن معه ذوو فَرْضٍ لَا يَسْقُطُ بِالْأَبِ كَالْأُمِّ أَخَذَتِ الْأُمُّ فَرْضَهَا كَامِلًا إِنْ لَمْ يَحْجُبْهَا الْإِخْوَةُ وَهُوَ الثلث وكان الباقي للأب لقوله تَعَالَى: {وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ} [النساء: 11] فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ الْبَاقِي لِلْأَبِ وَإِنْ حَجَبَ الْأُمَّ إِخْوَةٌ كَانَ لَهَا السُّدُسُ وَكَانَ الْبَاقِي بعد سدس الأم للأب لقوله تعالى: {وإن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ} [النساء: 11] وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ فِي رِوَايَةٍ شَاذَّةٍ عَنْهُ يَجْعَلُ السدس للذي حَجَبَهُ الْإِخْوَةُ عَنِ الْأُمِّ لَهُمْ وَلَا يَرُدُّهُ عَلَى الْأَبِ وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ مَعَهُ، فَلَوْ كَانَ مَعَ الْأَبَوَيْنِ زَوْجٌ أَوْ زَوْجَةٌ فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ لِلْأُمِّ ثُلُثَ مَا بَقِيَ بَعْدَ فَرْضِ الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ وَالْبَاقِي لِلْأَبِ فَهَذِهِ حَالٌ.

Keadaan di mana ia mewarisi dengan ta‘ṣīb, yaitu ketika tidak ada anak dan tidak ada cucu laki-laki. Jika tidak ada bersamanya ahli waris fardhu yang tidak gugur karena ayah seperti ibu, maka ibu mengambil bagiannya secara penuh jika tidak terhalang oleh saudara-saudara, yaitu sepertiga, dan sisanya untuk ayah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {dan ia diwarisi oleh kedua orang tuanya, maka untuk ibunya sepertiga} (an-Nisa: 11). Maka hal itu menunjukkan bahwa sisanya untuk ayah. Jika ibu terhalang oleh saudara-saudara, maka baginya seperenam, dan sisanya setelah seperenam ibu untuk ayah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {dan jika ia mempunyai beberapa saudara, maka untuk ibunya seperenam} (an-Nisa: 11). Ibn ‘Abbas dalam satu riwayat yang syadz (ganjil) darinya menjadikan seperenam yang menghalangi ibu karena saudara-saudara itu untuk mereka dan tidak mengembalikannya kepada ayah, dan telah dijelaskan pembahasan dengannya. Jika bersama kedua orang tua ada suami atau istri, maka telah kami sebutkan bahwa bagi ibu sepertiga dari sisa setelah bagian suami atau istri, dan sisanya untuk ayah. Inilah satu keadaan.

فصل:

Fasal:

والحال الثانية: أن يرث الفرض وَحْدَهُ وَذَلِكَ مَعَ الْوَلَدِ وَوَلَدِ الِابْنِ فيأخذ السُّدُس قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ} [النساء: 11] وَإِنْ كَانَ مَعَهُ ابْنٌ لَمْ يَأْخُذِ السُّدُسَ إِلَّا كَامِلًا فَيَكُونُ لِلْأَبِ السُّدُسُ والباقي للابن ولو كان معها زَوْجٌ كَانَ لِلزَّوْجِ الرُّبُعُ وَلِلْأَبِ السُّدُسُ وَالْبَاقِي لِلِابْنِ وَإِنْ كَانَ مَعَ الْبَنَاتِ فَقَدْ يَأْخُذُ السُّدُسَ تَارَةً كَامِلًا وَتَارَةً عَائِلًا فَالْكَامِلُ يَأْخُذُهُ فِي أَبَوَيْنِ وَابْنَتَيْنِ فَيَكُونُ لِلْأَبَوَيْنِ السُّدُسَانِ وَلِلْبِنْتَيْنِ الثُّلُثَانِ وَالْعَائِلُ جَدَّةٌ وَزَوْجٌ وَأَبٌ وَبِنْتَانِ أَوْ زَوْجٌ وَأَبَوَانِ وَبِنْتَانِ فَيَكُونُ لِلزَّوْجِ الرُّبُعُ وَلِلْأُمِّ السُّدُسُ وَلِلْأَبِ السُّدُسُ وَلِلْبِنْتَيْنِ الثُّلُثَانِ وَتَعُولُ إِلَى خَمْسَةَ عَشَرَ وَفِي زَوْجَةٍ وَأَبَوَيْنِ وَابْنَتَيْنِ يَكُونُ لِلزَّوْجَةِ الثُّمُنُ وَلِلْأَبَوَيْنِ السُّدُسَانِ وَلِلْبِنْتَيْنِ الثُّلُثَانِ وَتَعُولُ إلى سبعة وعشرين وهذه هي المسألة الْمِنْبَرِيَّةُ سُئِلَ عَنْهَا عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَهُوَ فِي طَرِيقِهِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَبَدْأَهُ السَّائِلُ فَسَأَلَهُ عَنْ زَوْجَةٍ وَأَبَوَيْنِ وَبِنْتٍ فَقَالَ لِلزَّوْجَةِ الثُّمُنُ وَلِلْأَبَوَيْنِ السُّدُسَانِ وَلِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَالْبَاقِي لِلْأَبِ ثُمَّ صَعِدَ إِلَى مِنْبَرِهِ فَعَادَ السَّائِلُ فَقَالَ: كَانَ مَعَ الْبِنْتِ أُخْرَى فَقَالَ: صَارَ ثُمُنُهَا تُسْعُهَا لِأَنَّهَا لَمَّا عَالَتْ صَارَ الثُّمُنُ ثَلَاثَةً مِنْ سَبْعَةٍ وَعِشْرِينَ وَذَلِكَ التُّسْعُ بَعْدَ أَنْ كَانَ الثُّمُنُ وَهَذَا مِنْ أحسن جواب صدر عن سرعة وإنجاز فسميت لأجل ذلك المنبرية فهذه حال ثَانِيَةٌ.

Keadaan kedua: yaitu ketika ia mewarisi bagian fardh saja, dan itu terjadi bersama anak atau cucu laki-laki, maka ia mendapat seperenam. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan untuk kedua orang tuanya, masing-masing mendapat seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika ia mempunyai anak} (QS. an-Nisā’: 11). Jika bersamanya ada anak laki-laki, maka ia tidak mengambil seperenam kecuali secara penuh, sehingga ayah mendapat seperenam dan sisanya untuk anak laki-laki. Jika bersamanya ada suami, maka suami mendapat seperempat, ayah mendapat seperenam, dan sisanya untuk anak laki-laki. Jika bersamanya ada anak-anak perempuan, maka kadang ia mengambil seperenam secara penuh dan kadang secara ‘aīl (berkurang karena pembagian melebihi asal masalah). Seperenam penuh diambil dalam kasus kedua orang tua dan dua anak perempuan, sehingga kedua orang tua mendapat dua seperenam, dan dua anak perempuan mendapat dua pertiga. Adapun yang ‘aīl, misalnya nenek, suami, ayah, dan dua anak perempuan, atau suami, kedua orang tua, dan dua anak perempuan, maka suami mendapat seperempat, ibu mendapat seperenam, ayah mendapat seperenam, dan dua anak perempuan mendapat dua pertiga, sehingga pembagian menjadi lima belas bagian. Dalam kasus istri, kedua orang tua, dan dua anak perempuan, maka istri mendapat seperdelapan, kedua orang tua masing-masing seperenam, dan dua anak perempuan dua pertiga, sehingga pembagian menjadi dua puluh tujuh bagian. Inilah yang disebut masalah al-minbariyyah. Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu pernah ditanya tentang hal ini ketika beliau dalam perjalanan menuju masjid. Penanya memulai dengan bertanya tentang istri, kedua orang tua, dan seorang anak perempuan. Beliau menjawab: istri mendapat seperdelapan, kedua orang tua masing-masing seperenam, anak perempuan mendapat setengah, dan sisanya untuk ayah. Kemudian beliau naik ke mimbar, penanya kembali bertanya: bagaimana jika bersama anak perempuan ada satu lagi? Beliau menjawab: seperdelapan menjadi sepersembilan, karena ketika terjadi ‘aīl, seperdelapan menjadi tiga dari dua puluh tujuh, dan itu adalah sepersembilan setelah sebelumnya seperdelapan. Ini adalah salah satu jawaban terbaik yang keluar dengan cepat dan tepat, sehingga dinamakan al-minbariyyah. Inilah keadaan kedua.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَرِثَ بِالْفَرْضِ وَالتَّعْصِيبِ وَذَلِكَ مَعَ الْبَنَاتِ أَوْ بَنَاتِ الِابْنِ كأبوين وبنت فللأبوين السُّدُسَانِ وَلِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَالْبَاقِي لِلْأَبِ بِالتَّعْصِيبِ أَوْ أَبٌ وَبِنْتَانِ فَيَكُونُ لِلْأَبِ السُّدُسُ وَلِلْبِنْتَيْنِ الثُّلُثَانِ وَمَا بَقِيَ لِلْأَبِ أَوْ بِنْتٌ وَبِنْتُ ابْنٍ وَأَبٍ فَيَكُونُ لِلْأَبِ السُّدُسُ وَلِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَلِبِنْتِ الِابْنِ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ وَالْبَاقِي لِلْأَبِ وَالْجَدُّ أبو الأب يَقُومُ مَقَامَ الْأَبِ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ كُلِّهَا في ميراثه بالتعصيب تارة وبالفرض أخرى وَبِهِمَا مَعًا فِي أُخْرَى غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَقُومُ مَقَامَ الْأَبِ فِي حَجْبِ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ اللذين يَحْجُبُهُمُ الْأَبُ إِلَّا عَلَى قَوْلِ مَنْ يُسْقِطُ الْإِخْوَةَ وَالْأَخَوَاتِ مَعَ الْجَدِّ وَلِذَلِكَ بَابٌ يُسْتَوْفى فيه بعد.

Keadaan ketiga: yaitu ketika ia mewarisi dengan bagian fardh dan ‘aṣabah sekaligus, yaitu bersama anak-anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Misalnya, kedua orang tua dan seorang anak perempuan, maka kedua orang tua mendapat dua seperenam, anak perempuan mendapat setengah, dan sisanya untuk ayah sebagai ‘aṣabah. Atau ayah dan dua anak perempuan, maka ayah mendapat seperenam, dua anak perempuan mendapat dua pertiga, dan sisanya untuk ayah. Atau seorang anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan ayah, maka ayah mendapat seperenam, anak perempuan mendapat setengah, cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga, dan sisanya untuk ayah. Adapun kakek (ayah dari ayah) menempati posisi ayah dalam seluruh keadaan ini dalam warisan sebagai ‘aṣabah kadang, dengan bagian fardh kadang, dan dengan keduanya sekaligus pada keadaan lain. Hanya saja, ia tidak menempati posisi ayah dalam menghalangi saudara-saudara laki-laki dan perempuan yang dihalangi oleh ayah, kecuali menurut pendapat yang menggugurkan saudara-saudara bersama kakek. Untuk hal ini, ada bab tersendiri yang akan dijelaskan kemudian.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وللجدة والجدتين السدس “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullāh berkata: “Untuk nenek dan dua nenek, bagian mereka adalah seperenam.”

قال الماوردي: الأصل فِي مِيرَاثِ الْجَدَّةِ السُّنَّةُ وَأَنَّهُ لَيْسَ لَهَا في كتاب الله عز وجل فَرْضٌ مُسَمًّى رَوَى عُثْمَانُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ خَرَشَةَ عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ قَالَ: جَاءَتِ الْجَدَّةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا فَقَالَ مَا لَكِ فِي كِتَابِ الله عز وجل شَيْءٌ وَمَا عَلِمْتُ لَكِ فِي سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – شَيْئًا فَارْجِعِي حَتَّى أَسْأَلَ النَّاسَ فَسَأَلَ النَّاسَ فَقَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ حَضَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَعْطَاهَا السُّدُسَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ هَلْ مَعَكَ غَيْرُكَ فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ فَقَالَ مَا قَالَ الْمُغِيرَةُ فَأَنْفَذَهُ لَهَا أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ جَاءَتِ الْجَدَّةُ الْأُخْرَى إِلَى عُمَرَ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا فَقَالَ مَا لَكِ فِي كِتَابِ اللَّهِ شَيْءٌ وَمَا كَانَ الْقَضَاءُ الَّذِي قُضِيَ بِهِ إِلَّا لِغَيْرِكِ وَمَا أَنَا بِزَائِدٍ في الفرائض ولكن هو ذلك السدس فإن اجتمعتما فيه فَهُوَ بَيْنَكُمَا وَأَيَّتُكُمَا خَلَتْ بِهِ فِهُوَ لَهَا وَحُكِيَ أَنَّ الْجَدَّةَ الَّتِي وَرَّثَهَا أَبُو بَكْرٍ أُمُّ الْأُمِّ وَالْجَدَّةَ الَّتِي جَاءَتْ إِلَى عُمَرَ فَتَوَقَّفَ عَنْهَا أُمُّ الْأَبِ فَقَالَتْ أَوْ قَالَ بَعْضُ مَنْ حَضَرَهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ وَرَّثْتُمُ الَّتِي لَوْ مَاتَتْ لَمْ يَرِثْهَا وَلَا تُوَرِّثُونَ مَنْ لَوْ مَاتَتْ وَرِثَهَا فَحِينَئِذٍ وَرَّثَهَا عُمَرُ وَرَوَى سُلَيْمَانُ بْنُ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَعَلَ لِلْجَدَّةِ السُدُسَ إِذَا لَمْ يَكُنْ دُونَهَا أم وأجمعوا عَلَى تَوْرِيثِ الْجَدَّاتِ وَأَنَّ فَرْضَ الْوَاحِدَةِ وَالْجَمَاعَةِ منهن السدس لا ينقصن منه ولا يزيدن عَلَيْهِ إِلَّا مَا حُكِيَ عَنْ طَاوُسٍ أَنَّهُ جَعَلَ لِلْجَدَّةِ الثُّلُثَ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي تَرِثُ فِيهِ الْأُمُّ الثُّلُثَ تَعَلُّقًا بِقَوْلِ ابْنِ عَبَّاسٍ الْجَدَّةُ بِمَنْزِلَةِ الْأُمِّ إِذَا لَمْ تَكُنْ أُمٌّ فَمِنْهُمْ مَنْ جَعَلَ هَذَا مَذْهَبًا لِابْنِ عَبَّاسٍ أَيْضًا وَمِنْهُمْ مَنْ مَنَعَ أَنْ يَكُونَ لَهُ مَذْهَبًا وَتَأَوَّلَ قَوْلَهُ إِنَّهَا بِمَنْزِلَةِ الْأُمِّ فِي الْمِيرَاثِ لَا فِي قَدْرِ الْفَرْضِ لِمَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَرَّثَ الْجَدَّةَ السُّدُسَ وَهُوَ لَا يُخَالِفُ مَا رَوَاهُ وَلِأَنَّ قَضِيَّةَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِي إِعْطَائِهَا السُّدُسَ مَعَ سُؤَالِ النَّاسِ عَنْ فَرْضِهَا وَرِوَايَةِ الْمُغِيرَةِ وَمُحَمَّدِ بْنِ مَسْلَمَةَ ذَلِكَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَبُولِ الصَّحَابَةِ ذَلِكَ مِنْهُمَا مَعَ الْعَمَلِ بِهِ إِجْمَاعٌ مُنْعَقِدٌ لَا يَسُوغُ خِلَافُهُ وَرَوَى قَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ: جَاءَتْ جَدَّتَانِ إِلَى أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَأَعْطَى الَّتِي مِنْ قبل الأم السدس فقال عبد الله بن شرحبيل أَخُو بَنِي حَارِثَةَ: يَا خَلِيفَةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدْ وَرَّثْتَ الَّتِي لَوْ مَاتَتْ لَمْ يَرِثْهَا فجعله أبو بكر بينهما والله أعلم.

Al-Mawardi berkata: Dasar dalam warisan nenek adalah sunnah, dan bahwa tidak ada bagian tertentu untuknya dalam Kitab Allah ‘Azza wa Jalla. Diriwayatkan dari ‘Utsman bin Ishaq bin Kharasyah dari Qabisah bin Dzu’aib, ia berkata: Seorang nenek datang kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu meminta bagian warisannya. Maka Abu Bakar berkata, “Engkau tidak memiliki bagian apa pun dalam Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, dan aku tidak mengetahui adanya bagian untukmu dalam sunnah Rasulullah ﷺ. Kembalilah hingga aku bertanya kepada orang-orang.” Lalu ia bertanya kepada orang-orang, maka al-Mughirah bin Syu‘bah berkata, “Aku pernah menghadiri Rasulullah ﷺ, beliau memberinya sepertiga.” Abu Bakar bertanya, “Adakah orang lain bersamamu?” Maka berdirilah Muhammad bin Maslamah dan berkata, “Seperti yang dikatakan al-Mughirah.” Maka Abu Bakar menetapkan bagian itu untuknya. Kemudian nenek yang lain datang kepada ‘Umar radhiyallahu ‘anhu meminta bagian warisannya. Maka ‘Umar berkata, “Engkau tidak memiliki bagian apa pun dalam Kitab Allah, dan keputusan yang telah diputuskan itu bukan untukmu. Aku tidak akan menambah bagian dalam faraidh, tetapi itulah sepertiga. Jika kalian berdua berkumpul dalam bagian itu, maka itu untuk kalian berdua, dan siapa di antara kalian yang sendirian, maka itu untuknya.” Diriwayatkan bahwa nenek yang diwarisi oleh Abu Bakar adalah ibu dari ibu, dan nenek yang datang kepada ‘Umar lalu ia menangguhkan keputusannya adalah ibu dari ayah. Maka ia berkata, atau sebagian yang hadir berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Anda mewariskan kepada yang jika ia wafat tidak diwarisi olehnya, dan Anda tidak mewariskan kepada yang jika ia wafat akan diwarisi olehnya.” Maka saat itulah ‘Umar mewariskan kepadanya. Diriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya bahwa Nabi ﷺ memberikan kepada nenek sepertiga jika tidak ada ibu di atasnya. Dan para ulama sepakat tentang pewarisan para nenek, dan bahwa bagian satu orang atau beberapa orang dari mereka adalah sepertiga, tidak dikurangi dan tidak ditambah, kecuali riwayat dari Thawus bahwa ia memberikan kepada nenek sepertiga pada tempat di mana ibu mewarisi sepertiga, berdasarkan perkataan Ibnu ‘Abbas: “Nenek kedudukannya seperti ibu jika tidak ada ibu.” Di antara mereka ada yang menjadikan ini sebagai madzhab Ibnu ‘Abbas juga, dan di antara mereka ada yang menolak bahwa itu sebagai madzhabnya, dan menafsirkan perkataannya bahwa kedudukannya seperti ibu dalam hal warisan, bukan dalam kadar bagian, karena diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi ﷺ mewariskan kepada nenek sepertiga, dan ia tidak menyelisihi apa yang ia riwayatkan. Dan karena keputusan Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dalam memberikan sepertiga kepada nenek dengan bertanya kepada orang-orang tentang bagiannya, dan riwayat al-Mughirah dan Muhammad bin Maslamah dari Nabi ﷺ, serta diterimanya hal itu oleh para sahabat dan diamalkan, maka itu adalah ijmā‘ yang telah tetap dan tidak boleh diselisihi. Diriwayatkan dari Qasim bin Muhammad, ia berkata: Dua nenek datang kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, lalu ia memberikan kepada nenek dari jalur ibu sepertiga. Maka ‘Abdullah bin Syarhabil, saudara Bani Haritsah, berkata: “Wahai Khalifah Rasulullah ﷺ, engkau telah mewariskan kepada yang jika ia wafat tidak diwarisi olehnya.” Maka Abu Bakar membagi bagian itu di antara keduanya. Wallahu a‘lam.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ فَرْضَ الْجَدَّةِ أَوِ الْجَدَّاتِ السُّدُسُ فَالْجَدَّةُ الْمُطْلَقَةُ هِيَ أُمُّ الْأُمِّ لِأَنَّ الْوِلَادَةَ فِيهَا مُتَحَقِّقَةٌ وَالِاسْمُ فِي الْعُرْفِ عَلَيْهَا مُنْطَلِقٌ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْجَدَّةِ أُمِّ الْأَبِ هَلْ هِيَ جَدَّةٌ عَلَى الْإِطْلَاقِ أَمْ بِالتَّقْيِيدِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هِيَ جَدَّةٌ عَلَى الْإِطْلَاقِ أَيْضًا كَأُمِّ الْأُمِّ وَقَالَ آخَرُونَ بَلْ هِيَ جَدَّةٌ بِالتَّقْيِيدِ وَعَلَى هَذَا اخْتَلَفُوا فِيمَنْ سَأَلَ عَنْ مِيرَاثِ جَدَّةٍ هَلْ يَسْأَلُ عَنْ أَيِّ الجدتين أراد أم لا فقال: من جعلهما جَدَّةً عَلَى الْإِطْلَاقِ إِنَّهُ لَا يُجَابُ حَتَّى يَسْأَلَ عَنْ أَيِّ الْجَدَّتَيْنِ أَرَادَ وَقَالَ مَنْ جَعَلَهَا جَدَّةً بِالتَّقْيِيدِ إِنَّهُ يُجَابُ عَنْ أُمِّ الْأُمِّ حَتَّى يَذْكُرَ أَنَّهُ أَرَادَ أُمَّ الْأَبِ وَالْأَصَحُّ أَنْ يَنْظُرَ فَإِنْ كَانَ مِيرَاثُهَا يَخْتَلِفُ فِي الْفَرِيضَةِ بِوُجُودِ الْأَبِ الَّذِي يَحْجُبُ أُمَّهُ لَمْ يُجِبْ عَنْ سُؤَالِهِ حَتَّى يَسْأَلَ عَنْ أي الجدتين سأل وإن كان ميراثها لَا يَخْتَلِفُ أُجِيبَ وَلَمْ يَسْأَلْ ثُمَّ اخْتَلَفُوا فِي عَدَدٍ مَنَ يَرِثُ مِنَ الْجَدَّاتِ فَقَالَ مَالِكٌ لَا أُوَرِّثُ أَكْثَرَ مِنْ جَدَّتَيْنِ أُمِّ الْأُمِّ وَأُمِّ الْأَبِ وَأُمَّهَاتِهِمَا وَإِنْ عَلَوْنَ وَلَا أُوَرِّثُ أُمَّ الْجَدِّ وَإِنِ انْفَرَدَتْ وَبِهِ قَالَ الزُّهْرِيُّ وَابْنُ أَبِي ذِئْبٍ وَدَاوُدُ وَرَوَاهُ أَبُو ثَوْرٍ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ اسْتِدْلَالًا بِقَضِيَّةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي تَوْرِيثِ جَدَّتَيْنِ وَكَمَا لَا يَرِثُ أَكْثَرُ مِنْ أَبَوَيْنِ وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ لَا أُوَرِّثُ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثِ جَدَّاتٍ وَبِهِ قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ مَنْصُورٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَطْعَمَ ثَلَاثَ جَدَّاتٍ قَالَ مَنْصُورٌ فَقُلْتُ لِإِبْرَاهِيمَ مَنْ هُنَّ فَقَالَ جَدَّتَا الْأَبِ أُمُّ أَبِيهِ وَأُمُّ أُمِّهِ وَجَدَّةُ الْأُمِّ أُمُّ أُمِّهَا.

Apabila telah ditetapkan bahwa bagian warisan nenek atau para nenek adalah sepertiga, maka nenek mutlak adalah ibu dari ibu, karena kelahiran (hubungan nasab) padanya benar-benar terwujud dan penamaan dalam kebiasaan juga berlaku untuknya. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai nenek dari pihak ayah, apakah ia termasuk nenek secara mutlak atau dengan pembatasan. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa ia juga termasuk nenek secara mutlak seperti halnya ibu dari ibu, sementara yang lain berpendapat bahwa ia adalah nenek dengan pembatasan. Berdasarkan hal ini, mereka juga berbeda pendapat mengenai orang yang bertanya tentang warisan seorang nenek, apakah ia harus menanyakan nenek yang mana yang dimaksud atau tidak. Maka, siapa yang menganggap keduanya sebagai nenek secara mutlak, ia tidak menjawab hingga penanya menjelaskan nenek yang mana yang dimaksud. Sedangkan yang menganggapnya sebagai nenek dengan pembatasan, ia menjawab tentang ibu dari ibu hingga penanya menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah ibu dari ayah. Pendapat yang paling benar adalah melihat terlebih dahulu: jika warisannya berbeda dalam pembagian karena adanya ayah yang menghalangi ibunya (untuk mewarisi), maka tidak dijawab pertanyaannya hingga ditanyakan nenek yang mana yang dimaksud. Namun jika warisannya tidak berbeda, maka dijawab tanpa perlu menanyakan lebih lanjut. Kemudian, para ulama juga berbeda pendapat mengenai jumlah nenek yang berhak mewarisi. Malik berpendapat tidak mewariskan kepada lebih dari dua nenek, yaitu ibu dari ibu dan ibu dari ayah beserta ibu-ibu mereka yang lebih tinggi (nenek buyut dan seterusnya), dan tidak mewariskan kepada ibu dari kakek walaupun ia sendirian. Pendapat ini juga dikemukakan oleh az-Zuhri, Ibnu Abi Dzi’b, dan Dawud, serta diriwayatkan Abu Tsaur dari asy-Syafi‘i dalam pendapat lamanya, dengan berdalil pada kasus Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu yang mewariskan kepada dua nenek, dan sebagaimana tidak diwariskan kepada lebih dari dua orang tua. Ahmad bin Hanbal berpendapat tidak mewariskan kepada lebih dari tiga nenek, demikian pula al-Auza‘i, dengan berdalil pada riwayat dari Manshur dari Ibrahim bahwa Nabi ﷺ memberikan bagian kepada tiga nenek. Manshur berkata: Aku bertanya kepada Ibrahim, “Siapa saja mereka?” Ia menjawab: Dua nenek dari pihak ayah, yaitu ibu dari ayahnya dan ibu dari ibunya, serta nenek dari pihak ibu, yaitu ibu dari ibunya.

وَذَهَبُ الشَّافِعِيُّ وأبو حنيفة إِلَى تَوْرِيثِ الْجَدَّاتِ وَإِنْ كَثُرْنَ وَبِهِ قَالَ جُمْهُورُ الصَّحَابَةِ وَالْفُقَهَاءِ لِاشْتِرَاكِهِنَّ في الولادة ومحادتهن فِي الدَّرَجَةِ وَتَسَاوِيهِنَّ فِي الْإِدْلَاءِ بِوَارِثٍ وَهَذِهِ الْمَعَانِي الثَّلَاثُ تُوجَدُ فِيهِنَّ وَإِنْ كَثُرْنَ.

Asy-Syafi‘i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa para nenek berhak mewarisi meskipun jumlah mereka banyak, demikian pula pendapat mayoritas sahabat dan para fuqaha, karena mereka sama-sama memiliki hubungan kelahiran, berada pada tingkatan yang sama, dan setara dalam penyampaian hak waris melalui ahli waris. Ketiga makna ini terdapat pada mereka, meskipun jumlah mereka banyak.

فَأَمَّا تَوْرِيثُ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمَا الْجَدَّتَيْنِ فَإِنَّمَا وَرَّثَا مَنْ حَضَرَهُمَا مِنَ الْجَدَّاتِ وَلَمْ يُرْوَ عَنْهُمَا مَنْعُ مَنْ زَادَ عَلَيْهِمَا وَهَكَذَا الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه أطعم ثلاث جدات ولا يَمْنَعُ مِنْ إِطْعَامِ مَنْ زَادَ عَلَيْهِنَّ وَلَيْسَ بممتنع أَنْ يُوَرِّثَ أَكْثَرَ مِنْ أَعْدَادِ الْأَبَوَيْنِ لِأَنَّهُنَّ يَكْثُرْنَ إِذَا عَلَوْنَ.

Adapun pewarisan oleh Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma kepada dua nenek, sesungguhnya mereka hanya mewariskan kepada nenek-nenek yang hadir di hadapan mereka, dan tidak diriwayatkan dari keduanya adanya larangan untuk mewariskan kepada lebih dari dua nenek. Demikian pula riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau memberikan bagian kepada tiga nenek, dan tidak melarang memberikan bagian kepada lebih dari tiga nenek. Tidaklah mustahil mewariskan kepada lebih dari jumlah kedua orang tua, karena jumlah nenek bisa lebih banyak jika nasabnya lebih tinggi.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُنَّ يَرِثْنَ وَإِنْ كَثُرْنَ فَلَا مِيرَاثَ مِنْهُنَّ لِأُمِّ أَبِي الْأُمِّ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الْمَيِّتِ أَبٌ بَيْنَ أُمَّيْنِ.

Apabila telah tetap bahwa para nenek berhak mewarisi meskipun jumlah mereka banyak, maka tidak ada warisan bagi ibu dari ayahnya ibu, yaitu apabila di antara mereka dan mayit terdapat seorang ayah di antara dua ibu.

وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ سيرين أم أبي الأم وراثة وإن أدلت بذكر لا يرث لِمَا فِيهَا مِنَ الْوِلَادَةِ وَبِهِ قَالَ عَطَاءٌ وَجَابِرُ بْنُ زَيْدٍ.

Muhammad bin Sirin berpendapat bahwa ibu dari ayahnya ibu tetap berhak mewarisi, meskipun ia sampai kepada mayit melalui seorang laki-laki yang tidak berhak mewarisi, karena di dalamnya terdapat hubungan kelahiran. Pendapat ini juga dikemukakan oleh ‘Atha’ dan Jabir bin Zaid.

وَاخْتُلِفَ فِي ذَلِكَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَابْنِ مَسْعُودٍ فَكَانَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ يَقُولُ بِهِ ثُمَّ رَجَعَ عَنْهُ.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu Mas‘ud. Al-Hasan al-Bashri dahulu berpendapat demikian, kemudian ia menarik kembali pendapatnya.

وَرُوِيَ أَنَّ ابْنَ سِيرِينَ بَلَغَهُ أَنَّ أربع جدات ترافعن إِلَى مَسْرُوقٍ فَوَرَّثَ ثَلَاثًا وَأَطْرَحَ وَاحِدَةً هِيَ أُمُّ أَبِي الْأُمِّ فَقَالَ أَخْطَأَ أَبُو عَائِشَةَ لها السُّدُسُ لِلْجَدَّاتِ طُعْمَةً وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وأبو حنيفة إِلَى أَنَّ أُمَّ أَبِي الْأُمِّ لَا تَرِثُ وهو قول الجمهور من الصحابة والتابعين لإدلائهما بِمَنْ لَا يَرِثُ وَقَدْ تَمَهَّدَ فِي الْأُصُولِ أَنَّ حُكْمَ الْمُدْلَى بِهِ أَقْوَى فِي الْمِيرَاثِ مِنْ حُكْمِ الْمُدْلِي لِأَنَّ الْأَخَوَاتِ يَرِثْنَ وَلَا يَرِثُ مَنْ أَدْلَى بِهِنَّ وَلَيْسَ يُوجَدُ وَارِثٌ يُدْلِي بِغَيْرِ وَارِثٍ فَلَمَّا كَانَ أَبُو الْأُمِّ غَيْرَ وَارِثٍ كَانَتْ أُمُّهُ الَّتِي أَدْلَتْ بِهِ أَوْلَى أَنْ تَكُونَ غَيْرَ وَارِثَةٍ.

Diriwayatkan bahwa Ibnu Sirin mendengar bahwa ada empat nenek yang mengadukan perkara mereka kepada Masruq, lalu ia mewariskan kepada tiga orang dan menggugurkan satu, yaitu ibu dari ayah ibu (nenek dari pihak ayah ibu). Maka dikatakan, “Abu Aisyah telah keliru, baginya (nenek tersebut) sepertiga, bagi para nenek sebagai bagian makanan.” Asy-Syafi‘i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa ibu dari ayah ibu tidak mewarisi, dan ini adalah pendapat mayoritas sahabat dan tabi‘in, karena keduanya (nenek dari jalur ayah ibu dan nenek dari jalur ibu ayah) menisbatkan kepada orang yang tidak mewarisi. Telah dijelaskan dalam ushul bahwa hukum orang yang dinisbatkan kepadanya (al-mudlā bih) lebih kuat dalam warisan daripada hukum orang yang menisbatkan (al-mudlī), karena para saudari mewarisi sedangkan orang yang menisbatkan kepada mereka tidak mewarisi, dan tidak ditemukan ahli waris yang menisbatkan kepada selain ahli waris. Maka ketika ayah ibu bukan ahli waris, maka ibunya yang menisbatkan kepadanya lebih utama untuk tidak menjadi ahli waris.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِنْ قَرُبَ بَعْضُهُنَّ دُونَ بَعْضٍ فَكَانَتِ الْأَقْرَبَ مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ فِهِيَ أَوْلَى وَإِنْ كَانَتِ الأبعد شاركت في السدس وأقرب اللائي مِنْ قِبَلِ الْأَبِ تَحْجُبُ بُعْدَاهُنَّ وَكَذَلِكَ تَحْجُبُ أقرب اللائي من قبل الأم بعداهن “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika sebagian dari mereka (nenek) lebih dekat (nasabnya) daripada yang lain, maka yang paling dekat dari jalur ibu lebih berhak, dan jika yang lebih jauh ikut serta dalam sepertiga, dan yang paling dekat dari jalur ayah menghalangi yang lebih jauh dari jalur ayah, demikian pula yang paling dekat dari jalur ibu menghalangi yang lebih jauh dari jalur ibu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا تَحَاذَى الجدات في الزوج ورث جميعهن إلا التي تدلى بأبي الْأُمِّ فَأَمَّا إِذَا اخْتَلَفَتْ دَرَجَتُهُنَّ فَقَدِ اخْتُلِفَ فِي تَوْرِيثِهِنَّ فَحُكِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّهُ وَرَّثَ الْقُرْبَى دُونَ الْبُعْدَى، وَبِهِ قَالَ الْحَسَنُ وَابْنُ سِيرِينَ وأبو حنيفة وَأَصْحَابُهُ وَدَاوُدُ بن علي، وقد حكاه الكوفيون والشعبي وَالنَّخَعِيُّ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، وَحُكِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ وَرَّثَ الْقُرْبَى والبعدى إلا أن يكون إِحْدَاهُمَا أُمُّ الْأُخْرَى، وَبِهِ قَالَ إِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ وَأَبُو ثَوْرٍ، وَحَكَى الْحِجَازِيُّونَ عَنْ سَعِيدِ بن المسيب وعطاء وخارجة بن زيد عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ وَهُوَ الْمَعْمُولُ عَلَيْهِ مِنْ قَوْلِهِ إِنَّهُ إِنْ كَانَتِ الَّتِي مِنْ قبل الأب أَقْرَبَ فَالسُّدُسُ لها وَسَقَطَتِ الَّتِي مِنْ قِبَلِ الْأَبِ وَإِنْ كَانَتِ الَّتِي مِنْ قِبَلِ الْأَبِ أَقْرَبَ فَالسُّدُسُ بَيْنَهُمَا وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَمَالِكٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَاسْتَدَلَّ مَنْ وَرَّثَ الْقُرْبَى دُونَ الْبُعْدَى بِأَنَّ اشْتِرَاكَ مَنْ تَسَاوَتْ دَرَجَتُهُمْ فِي الْمِيرَاثِ تُوجِبُ سُقُوطَ أَبْعَدِهِمْ عَنِ الْمِيرَاثِ كَالْعَصَبَاتِ وَاسْتَدَلَّ مَنْ وَرَّثَ الْقُرْبَى وَالْبُعْدَى بِأَنَّ الْجَدَّاتِ يَرِثْنَ بِالْوِلَادَةِ كَالْأَجْدَادِ فَلَمَّا كَانَ الْجَدُّ الْأَبْعَدُ مُشَارِكًا للجد الْأَقْرَبِ فِي مُقَاسَمَةِ الْإِخْوَةِ كَانَتِ الْجَدَّةُ الْبُعْدَى مُشَارِكَةً لِلْجَدَّةِ الْقُرْبَى فِي الْفَرْضِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, jika para nenek sejajar dalam hubungan dengan suami, maka semuanya mewarisi kecuali yang menisbatkan kepada ayah ibu. Adapun jika derajat mereka berbeda, maka terdapat perbedaan pendapat dalam mewariskan mereka. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ‘alaihissalam bahwa ia mewariskan kepada yang lebih dekat saja, tidak kepada yang lebih jauh. Pendapat ini juga dikatakan oleh al-Hasan, Ibnu Sirin, Abu Hanifah dan para pengikutnya, serta Dawud bin Ali. Hal ini juga diriwayatkan oleh kalangan Kufah, asy-Sya‘bi, dan an-Nakha‘i dari Zaid bin Tsabit. Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Mas‘ud bahwa ia mewariskan kepada yang dekat dan yang jauh, kecuali jika salah satunya adalah ibu dari yang lain. Pendapat ini juga dikatakan oleh Ishaq bin Rahawaih dan Abu Tsaur. Sementara kalangan Hijaz meriwayatkan dari Sa‘id bin al-Musayyab, ‘Atha’, dan Kharijah bin Zaid dari Zaid bin Tsabit—dan inilah yang diamalkan dari perkataannya—bahwa jika nenek dari jalur ayah lebih dekat, maka sepertiga untuknya dan yang dari jalur ayah gugur; dan jika nenek dari jalur ayah lebih dekat, maka sepertiga dibagi di antara mereka. Pendapat ini juga dikatakan oleh asy-Syafi‘i, Malik, dan al-Auza‘i. Orang yang mewariskan kepada yang dekat saja berdalil bahwa keterlibatan mereka yang setara derajatnya dalam warisan menyebabkan gugurnya yang lebih jauh dari warisan, sebagaimana dalam kasus ‘ashabah. Sedangkan yang mewariskan kepada yang dekat dan yang jauh berdalil bahwa para nenek mewarisi karena kelahiran sebagaimana para kakek, maka ketika kakek yang lebih jauh dapat ikut serta dengan kakek yang lebih dekat dalam pembagian bersama saudara, maka nenek yang lebih jauh pun ikut serta dengan nenek yang lebih dekat dalam bagian warisan.

وَالدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ هُوَ أَنَّ الجدات يرثن بالولادة كالأب فَلَمَّا كَانَتِ الْأُمُّ تُسْقِطُ جَمِيعَ الْجَدَّاتِ وَإِنْ كُنَّ مِنْ قِبَلِ الْأَبِ لِقُرْبِهَا وَبُعْدِهِنَّ وَلَا يسقط الأب ومن بَعُدَ مِنْ جَدَّاتِ الْأُمِّ مَعَ قُرْبِهِ وَبُعْدِهِنَّ وَجَبَ أَنْ تَكُونَ الْقُرْبَى مِنْ جَدَّاتِ الْأُمِّ تَحْجُبُ الْبُعْدَى مِنْ جَدَّاتِ الْأَبِ كَالْأُمِّ وَلَا تَكُونُ الْقُرْبَى مِنْ جَدَّاتِ الْأَبِ تَحْجُبُ الْبُعْدَى مِنْ جَدَّاتِ الْأُمِّ كَالْأَبِ وَهَذَا دَلِيلٌ وَانْفِصَالٌ.

Dalil atas kebenaran pendapat asy-Syafi‘i adalah bahwa para nenek mewarisi karena kelahiran sebagaimana ayah, maka ketika ibu menggugurkan seluruh nenek, meskipun mereka dari jalur ayah, karena kedekatannya dan jauhnya mereka, dan ayah tidak menggugurkan nenek-nenek dari jalur ibu meskipun dekat atau jauh, maka wajiblah bahwa nenek yang lebih dekat dari jalur ibu menghalangi nenek yang lebih jauh dari jalur ayah sebagaimana ibu, dan nenek yang lebih dekat dari jalur ayah tidak menghalangi nenek yang lebih jauh dari jalur ibu sebagaimana ayah. Dan ini adalah dalil dan pemisahan (perbedaan).

فصل:

Fasal:

وإذا قَدْ وَضَحَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ أَحْكَامِ الْجَدَّاتِ فسنصف دَرَجَتَهُنَّ لِيُعْرَفَ بِهِ الْوَارِثَاتُ مِنْهُنَّ فَأَوَّلُ دَرَجَتِهِنَّ جدتان متحاذيتان وارثتان أحدهما أم الأم والأخرى أم الأب ثم جَدَّاتٌ وَارِثَاتٌ فُضَّلْنَ مِنْ أَرْبَعِ جَدَّاتٍ بَعْدَ ثَلَاثِ دُرَجٍ.

Dan apabila telah jelas apa yang kami sebutkan tentang hukum-hukum para nenek, maka kami akan menjelaskan derajat-derajat mereka agar diketahui siapa saja di antara mereka yang menjadi ahli waris. Maka derajat pertama mereka adalah dua nenek yang sejajar dan menjadi ahli waris, salah satunya adalah ibu dari ibu dan yang lainnya adalah ibu dari ayah. Kemudian para nenek ahli waris yang diutamakan dari empat nenek setelah tiga derajat.

إِحْدَاهُنَّ: مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ وَهِيَ أُمُّ أُمِّ الْأُمِّ وَاثْنَتَانِ مِنْ قِبَلِ الْأَبِ إحداهما أم أم الأب والأخرى أم أبي الْأَبِ وَتَسْقُطُ الرَّابِعَةَ وَهِيَ مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ لأنها أم أبي الْأُمِّ ثُمَّ أَرْبَعُ جَدَّاتٍ مُتَحَاذِيَاتٍ يَرِثْنَ مِنْ جُمْلَةِ ثَمَانِي جَدَّاتٍ بَعْدَ أَرْبَعِ دُرَجٍ وَاحِدَةٌ مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ وَهِيَ أُمُّ أُمِّ أُمِّ الْأُمِّ وَثَلَاثٌ مِنْ قِبَلِ الْأَبِ إِحْدَاهُنَّ أُمُّ أم أم الأب والأخرى أم أم أبي أب والأخرى أم أبي أبي الْأَبِ ثُمَّ خَمْسُ جَدَّاتٍ مُتَحَاذِيَاتٍ يَرِثْنَ مِنْ جُمْلَةِ سِتَّ عَشْرَةَ جَدَّةً بَعْدَ خَمْسِ دُرَجٍ واحدة من قبل الأم وهي أم أم أُمِّ أُمِّ الْأُمِّ وَأَرْبَعٍ مِنْ قِبَلِ الْأَبِ إِحْدَاهُنَّ أُمُّ أُمِّ أُمِّ أُمِّ الْأَبِ وَالْأُخْرَى أم أم أب أبي الأب والأخرى أم أبي أبي أبي الْأَبِ ثُمَّ تَرِثُ سِتُّ جَدَّاتٍ مُتَحَاذِيَاتٍ مِنْ جملة اثنين وَثَلَاثِينَ جَدَّةً وَتَرِثُ سَبْعُ جَدَّاتٍ مُتَحَاذِيَاتٍ مِنْ جُمْلَةِ أَرْبَعٍ وَسِتِّينَ جَدَّةً وَتَرِثُ ثَمَانِي جَدَّاتٍ متحاذيات من جملة مائة وثمانية وَعِشْرِينَ جَدَّةً وَلَيْسَ فِي الْوَارِثَاتِ مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ إِلَّا وَاحِدَةٌ وَالْبَاقِيَاتُ مِنْ قِبَلِ الْأَبِ لِأَنَّ الْأُمَّ لَا يَخْلُصُ مِنْ جَدَّاتِهَا مَنْ لا يدلى بأبي أُمٍّ وَلَا يَكُونُ دُونَهَا أُمٌّ إِلَّا وَاحِدَةً فلذلك لم يرث مِنْ جَدَّاتِهَا إِلَّا وَاحِدَةٌ وَتَكْثُرُ الْوَارِثَاتُ مِنْ قبل الأب لأنهن أمهات الأجداد اللائي لَيْسَ دُونَهُنَّ أَبٌ بَيْنَ أُمَّيْنِ فَإِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَزِيدَ فِي الْجَدَّاتِ الْوَارِثَاتِ وَاحِدَةً صعدت إلى درجة هي أعلى ليحصل لَكَ أُمُّ جَدٍّ أَعْلَى وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ إلا بتضاعيف أعدادهن لتزيد لك وَارِثَةٌ مِنْهُنَّ تَسْلَمُ مِنَ الشُّرُوطِ الْمَانِعَةِ مِنْ ميراثهن فإذا كانت الْوَارِثَاتُ سِتَّةً مُتَحَاذِيَاتٍ فَوَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ إِلَى سِتِّ دُرَجٍ مِنَ الْأُمَّهَاتِ وَخَمْسٌ مِنْ قِبَلِ الْأَبِ وَاحِدَةٍ هِيَ جَدَّةُ الْأَبِ إِلَى خَمْسِ دُرَجٍ مِنْ أُمَّهَاتِهِ.

Salah satunya: dari jalur ibu, yaitu nenek dari ibu ibu, dan dua dari jalur ayah, salah satunya adalah nenek dari ibu ayah, dan yang lainnya adalah nenek dari ayah ayah. Nenek keempat gugur, yaitu dari jalur ibu karena dia adalah nenek dari ayah ibu. Kemudian, ada empat nenek sejajar yang mewarisi dari total delapan nenek setelah empat tingkatan: satu dari jalur ibu, yaitu nenek dari ibu ibu ibu, dan tiga dari jalur ayah; salah satunya nenek dari ibu ibu ayah, yang lain nenek dari ibu ayah ayah, dan yang lainnya nenek dari ayah ayah ayah. Kemudian, ada lima nenek sejajar yang mewarisi dari total enam belas nenek setelah lima tingkatan: satu dari jalur ibu, yaitu nenek dari ibu ibu ibu ibu, dan empat dari jalur ayah; salah satunya nenek dari ibu ibu ibu ayah, yang lain nenek dari ibu ibu ayah ayah, yang lainnya nenek dari ibu ayah ayah ayah, dan yang lainnya nenek dari ayah ayah ayah ayah. Kemudian, enam nenek sejajar mewarisi dari total tiga puluh dua nenek, dan tujuh nenek sejajar mewarisi dari total enam puluh empat nenek, dan delapan nenek sejajar mewarisi dari total seratus dua puluh delapan nenek. Tidak ada dari para pewaris dari jalur ibu kecuali satu saja, dan sisanya dari jalur ayah, karena dari nenek-nenek ibu tidak ada yang tidak berhubungan dengan ayah ibu, dan tidak ada di bawahnya ibu kecuali satu saja. Oleh karena itu, tidak ada yang mewarisi dari nenek-neneknya kecuali satu saja. Jumlah pewaris dari jalur ayah lebih banyak karena mereka adalah ibu-ibu dari para kakek yang tidak ada ayah di antara dua ibu. Jika engkau ingin menambah satu nenek pewaris, engkau naik satu tingkatan lebih tinggi sehingga engkau mendapatkan nenek dari kakek yang lebih tinggi, dan itu tidak terjadi kecuali dengan melipatgandakan jumlah mereka agar bertambah satu pewaris di antara mereka yang selamat dari syarat-syarat yang menghalangi warisan mereka. Jika para pewaris itu enam nenek sejajar, maka satu dari mereka dari jalur ibu sampai enam tingkatan ibu, dan lima dari jalur ayah, satu di antaranya adalah nenek ayah sampai lima tingkatan ibu-ibunya.

وَالثَّانِيَةُ: هِيَ جَدَّةُ الْجَدِّ إِلَى أَرْبَعِ دُرَجٍ مِنْ أُمَّهَاتِهِ.

Yang kedua: yaitu nenek dari kakek sampai empat tingkatan ibu-ibunya.

والثالثة: هي جدة أبي الْجَدِّ إِلَى ثَلَاثِ دُرَجٍ مِنْ أُمَّهَاتِهِ.

Yang ketiga: yaitu nenek dari ayah kakek sampai tiga tingkatan ibu-ibunya.

وَالرَّابِعَةُ: هِيَ جَدَّةُ جَدِّ الْجَدِّ إِلَى دَرَجَتَيْنِ مِنْ أمهاته.

Yang keempat: yaitu nenek dari kakek kakek sampai dua tingkatan ibu-ibunya.

والخامسة: هي أم أبي جَدِّ الْجَدِّ بَعْدَ دَرَجَةٍ مِنْهُ فَتَصِيرُ الْخَمْسُ جَدَّاتٍ مُدْلِيَاتٍ بِخَمْسَةِ آبَاءٍ لَيْسَ فِيهِنَّ أُمُّ أبي أُمٍّ فَتَصَوَّرْ ذَلِكَ تَجِدْهُ صَحِيحًا وَاعْتَبِرْهُ فِيمَا زَادَ تَجِدْهُ مُسْتَمِرًّا.

Yang kelima: yaitu ibu dari ayah kakek kakek setelah satu tingkatan darinya, sehingga menjadi lima nenek yang berhubungan dengan lima ayah, tidak ada di antara mereka ibu dari ayah ibu. Pahamilah hal itu, niscaya engkau akan menemukannya benar, dan jadikanlah itu sebagai acuan untuk penambahan selanjutnya, niscaya engkau akan menemukannya konsisten.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا اخْتَلَفَتْ دَرَجَتُهُنَّ فَقَدْ ذَكَرْنَا اخْتِلَافَ النَّاسِ فِي تَوْرِيثِهِنَّ فعلى هذا أم أم وأم أم الأب فَعَلَى قَوْلِ عَلِيٍّ وَزَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا هُوَ لِأُمِّ الْأُمِّ وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وأبي حنيفة وَعَلَى قَوْلِ ابْنِ مَسْعُودٍ هُوَ لَهُمَا ولو ترك أم أم أم وأم أم الأب وأم أب أبي الْأَبِ فَعَلَى قَوْلِ عَلِيٍّ وَرِوَايَةِ الْكُوفِيِّينَ عَنْ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا هُوَ لِأُمِّ أُمِّ الْأَبِ لِأَنَّهَا أَقْرَبُهُنَّ دَرَجَةً وَعَلَى قَوْلِ ابْنِ مَسْعُودٍ هُوَ بَيْنَ ثَلَاثِهِنَّ وَعَلَى رِوَايَةِ الْحِجَازِيِّينَ عَنْ زَيْدٍ وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ هُوَ بَيْنَ أُمِّ أم الْأُمِّ وَأُمُّ أُمِّ الْأَبِ وَتَسْقُطُ أم أبي أبي الْأَبِ لِأَنَّهَا وَإِنْ سَاوَتِ الَّتِي مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ فِي الدَّرَجَةِ فَقَدْ تَقَدَّمَتْهَا أُمُّ أُمِّ الْأَبِ فَسَقَطَتْ بِهَا ثُمَّ عَلَى هَذَا الْمِثَالِ يَرِثْنَ.

Adapun jika tingkatan mereka berbeda, maka telah kami sebutkan perbedaan pendapat ulama dalam mewariskan mereka. Berdasarkan hal ini, jika ada ibu dari ibu dan ibu dari ibu ayah, menurut pendapat Ali dan Zaid radhiyallahu ‘anhuma, warisan itu untuk ibu dari ibu, dan ini adalah mazhab Syafi‘i dan Abu Hanifah. Menurut pendapat Ibnu Mas‘ud, warisan itu untuk keduanya. Jika yang ditinggalkan adalah ibu dari ibu ibu, ibu dari ibu ayah, dan ibu dari ayah ayah, maka menurut pendapat Ali dan riwayat Kufiyyin dari Zaid radhiyallahu ‘anhuma, warisan itu untuk ibu dari ibu ayah karena dia yang paling dekat tingkatannya. Menurut pendapat Ibnu Mas‘ud, warisan itu untuk ketiganya. Menurut riwayat Hijaziyyin dari Zaid, yang juga merupakan mazhab Syafi‘i, warisan itu antara ibu dari ibu ibu dan ibu dari ibu ayah, sedangkan ibu dari ayah ayah gugur karena meskipun setara dengan yang dari jalur ibu dalam tingkatan, namun telah didahului oleh ibu dari ibu ayah, sehingga ia gugur karenanya. Kemudian, dengan contoh seperti ini, mereka mewarisi.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا الْجَدَّةُ الْوَاحِدَةُ إِذَا أَدْلَتْ بسببين وبولادة من جهتين كامرأة تزوج ابن ابنها بنت بِنْتِهَا فَإِذَا وُلِدَ لَهُمَا مَوْلُودٌ كَانَتِ الْمَرْأَةُ جدته من وجهين فكانت أم أبي أَبِيهِ وَأُمَّ أُمِّ أُمِّهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهَا مِنَ الْجَدَّاتِ غَيْرُهَا فَالسُّدُسُ لَهَا فَإِنْ كَانَتْ مَعَهَا جَدَّةٌ أُخْرَى هِيَ أُمُّ أُمِّ أَبٍ فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ هَلْ تَرِثُ بِالْوَجْهَيْنِ وَتَأْخُذُ سَهْمَ جَدَّتَيْنِ.

Adapun nenek satu orang yang memiliki hubungan dengan si mayit melalui dua sebab dan kelahiran dari dua jalur, seperti seorang wanita yang dinikahi oleh cucu laki-lakinya (anak laki-laki dari anak laki-lakinya) dengan cucu perempuannya (anak perempuan dari anak perempuannya), maka jika keduanya melahirkan seorang anak, wanita tersebut menjadi nenek dari dua jalur: ia adalah ibu dari ayah ayahnya dan ibu dari ibu ibunya. Jika tidak ada nenek lain bersamanya, maka bagian sepertiga untuknya. Namun, jika bersamanya ada nenek lain yang merupakan ibu dari ibu ayah, maka para ulama berbeda pendapat: apakah ia mewarisi dari dua jalur dan mengambil bagian dua nenek.

فَقَالَ محمد بن الحسن وزفر بن الهذيل وَالْحَسَنُ بْنُ صَالِحٍ: تَرِثُ بِالْوَجْهَيْنِ وَتَأْخُذُ سَهْمَ جَدَّتَيْنِ وَحَكَاهُ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفِرَايِينِيُّ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَاخْتَارَهُ مَذْهَبًا لِنَفْسِهِ وَقَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وأبو يوسف ترث بأحد الجهتين وَتَأْخُذُ سَهْمَ جَدَّةٍ وَاحِدَةٍ وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مذهب الشافعي ومالك رضي الله عنهما لأنها يد واحدة فَلَمْ تَكُنْ إِلَّا جَدَّةً وَاحِدَةٌ وَلِأَنَّ الشَّخْصَ الْوَاحِدَ لَا يَرِثُ فَرْضَيْنِ مِنْ تَرِكَةٍ وَإِنَّمَا يَصِحُّ أَنْ يَرِثَ بِفَرْضٍ وَتَعْصِيبٍ كَزَوْجٍ هُوَ ابْنُ عَمٍّ وَرُبَّمَا أَدْلَتِ الْجَدَّةُ الْوَاحِدَةُ بِثَلَاثَةِ أَسْبَابٍ وَحَصَلَتْ لَهَا الْوِلَادَةُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ مِثْلَ أَنْ تَكُونَ أُمَّ أُمِّ أُمِّ الْمَيِّتِ وأم أبي أبيه وأم أم أبي أَبِيهِ فَإِذَا اجْتَمَعَتْ مَعَهَا جَدَّةٌ أُخْرَى فَعَلَى قَوْلِ محمد بن الحسن تَرِثُ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعٍ السُّدُسِ كَأَنَّهَا ثَلَاثُ جَدَّاتٍ مِنْ أَرْبَعٍ وَعَلَى قَوْلِ أبي يوسف وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ تَرِثُ نِصْفَ السُّدُسِ لِأَنَّهَا إِحْدَى جَدَّتَيْنِ والله أعلم بالصواب.

Muhammad bin al-Hasan, Zufar bin al-Hudzail, dan al-Hasan bin Shalih berkata: Ia mewarisi dari dua jalur dan mengambil bagian dua nenek. Hal ini juga dinukil oleh Abu Hamid al-Isfirayini dari Abu al-Abbas bin Surayj dan ia memilih pendapat ini untuk dirinya sendiri. Sufyan ats-Tsauri dan Abu Yusuf berkata: Ia mewarisi dari salah satu jalur saja dan mengambil bagian satu nenek, dan inilah pendapat yang tampak dari mazhab asy-Syafi‘i dan Malik rahimahumallah, karena ia adalah satu tangan (satu orang) sehingga tidak dianggap kecuali sebagai satu nenek saja. Juga karena satu orang tidak mewarisi dua bagian fardhu dari satu warisan, melainkan hanya sah mewarisi dengan satu bagian fardhu dan sisanya sebagai ‘ashabah, seperti seorang suami yang juga merupakan anak paman. Kadang-kadang seorang nenek satu orang memiliki tiga sebab dan memperoleh kelahiran dari tiga jalur, seperti menjadi ibu dari ibu ibu si mayit, ibu dari ayah ayahnya, dan ibu dari ibu ayah ayahnya. Jika bersamanya ada nenek lain, maka menurut pendapat Muhammad bin al-Hasan, ia mewarisi tiga perempat dari sepertiga, seakan-akan ia adalah tiga nenek dari empat. Sedangkan menurut pendapat Abu Yusuf, yang merupakan pendapat yang tampak dari mazhab asy-Syafi‘i, ia mewarisi setengah dari sepertiga karena ia adalah salah satu dari dua nenek. Allah lebih mengetahui kebenarannya.

باب أقرب العصبة

Bab Urutan ‘Ashabah Terdekat

قال المزني رحمه الله وأقرب الْعَصَبَةِ الْبَنُونَ ثُمَّ بَنُو الْبَنِينَ ثُمَّ الْأَبُ ثم الإخوة للأب والأم إن لم يكن جد فإن كان جد شاركهم في باب الجد ثُمَّ الْإِخْوَةُ لِلْأَبِ ثُمَّ بَنُو الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ والأم ثم بنو الإخوة للأب فإن لم يكن أحد من الإخوة ولا من بينهم ولا بني بنيهم وإن سفلوا فالعم للأب والأم ثم العم للأب ثم بنو العم للأب والأم ثم بنو العم للأب فإن لم يكن أحد من العمومة ولا بنيهم ولا بني بنيهم وإن سفلوا فعم الأب للأب والأم فإن لم يكن فعم الأب للأب فإن لم يكن فبنوهم وبنو بنيهم على ما وصفت من العمومة وبنيهم وبني بنيهم فإن لم يكونوا فعم الجد للأب والأم فإن لم يكن فعم الجد للأب فإن لم يكن فبنوهم وبنو بنيهم على ما وصفت عمومة الأب فإن لم يكونوا فأرفعهم بطنا وكذلك نفعل في العصبة إذا وجد أحد من ولد الميت وإن سفل لم يورث أحد من ولد ابنه وإن قرب وإن وجد أحد من ولد ابنه وإن سفل لم يورث أحد من ولد جده وإن قرب وإن وجد أحد من ولد جده وإن سفل لم يورث أحد من ولد أبي جده وإن قرب وإن كان بعض العصبة أقرب بأب فهو أولى لأب كان أو أم وإن كانوا في درجة واحدة إلا أن يكون بعضهم لأب وأم فالذي لأب وأم أولى فإذا استوت قرابتهم فهم شركاء في الميراث “.

Al-Muzani rahimahullah berkata: ‘Ashabah terdekat adalah anak-anak laki-laki, kemudian anak-anak laki-laki dari anak laki-laki, kemudian ayah, kemudian saudara laki-laki seayah dan seibu jika tidak ada kakek. Jika ada kakek, maka ia ikut serta dalam bab kakek. Kemudian saudara laki-laki seayah, lalu anak-anak laki-laki dari saudara seayah dan seibu, kemudian anak-anak laki-laki dari saudara seayah. Jika tidak ada seorang pun dari saudara-saudara tersebut, tidak dari mereka, tidak dari anak-anak mereka, dan tidak dari cucu-cucu mereka meskipun jauh, maka paman seayah dan seibu, lalu paman seayah, kemudian anak-anak laki-laki dari paman seayah dan seibu, lalu anak-anak laki-laki dari paman seayah. Jika tidak ada seorang pun dari para paman dan anak-anak mereka, tidak dari cucu-cucu mereka meskipun jauh, maka paman ayah dari pihak ayah dan ibu, lalu paman ayah dari pihak ayah. Jika tidak ada, maka anak-anak mereka dan cucu-cucu mereka sebagaimana telah dijelaskan pada paman-paman dan anak-anak mereka serta cucu-cucu mereka. Jika tidak ada, maka paman kakek dari pihak ayah dan ibu, lalu paman kakek dari pihak ayah. Jika tidak ada, maka anak-anak mereka dan cucu-cucu mereka sebagaimana telah dijelaskan pada paman-paman ayah. Jika tidak ada, maka naikkan ke jalur yang lebih tinggi. Demikian pula dilakukan dalam pembagian ‘ashabah: jika ditemukan salah satu dari keturunan si mayit, meskipun jauh, maka tidak diwariskan kepada keturunan anaknya meskipun dekat. Jika ditemukan salah satu dari keturunan anaknya meskipun jauh, maka tidak diwariskan kepada keturunan kakeknya meskipun dekat. Jika ditemukan salah satu dari keturunan kakeknya meskipun jauh, maka tidak diwariskan kepada keturunan ayah kakeknya meskipun dekat. Jika sebagian ‘ashabah lebih dekat melalui ayah, maka ia lebih berhak, baik dari pihak ayah maupun ibu. Jika mereka berada pada satu derajat yang sama, kecuali jika sebagian mereka dari ayah dan ibu, maka yang dari ayah dan ibu lebih berhak. Jika kedekatan mereka sama, maka mereka adalah sekutu dalam warisan.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَاخْتَلَفُوا فِي الْعَصَبَةِ لِمَ سُمُّوا عَصَبَةً؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ سُمُّوا عَصَبَةً لِالْتِفَافِهِمْ عَلَيْهِ فِي نَسَبِهِ كَالْتِفَافِ الْعَصَائِبِ عَلَى يَدِهِ وَقَالَ آخَرُونَ بَلْ سُمُّوا عَصَبَةً لِقُوَّةِ نفسه بهم ولقوة جِسْمِهِ بِعَصَبِهِ فَأَقْرُبُ عَصِبَاتِ الْمَيِّتِ إِلَيْهِ بَنَوْهُ لِأَنَّهُمْ بَعْضُهُ وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدَّمَهُمْ فِي الذِّكْرِ وَحَجَبَ بِهِمُ الْأَبَ عَنِ التَّعْصِيبِ حَتَّى صَارَ ذَا فَرْضٍ ثُمَّ بَنُو الْبَنِينَ لِأَنَّهُمْ بعض البنين لأن الْأَبَ مَعَهُمْ ذُو فَرْضٍ كَهُوَ مَعَ الْبَنِينَ وَلِأَنَّهُمْ يَعْصِبُونَ أَخَوَاتِهِمْ كَالْبَنِينَ ثُمَّ بَنُو بَنِي الْبَنِينَ وَإِنْ سَفَلُوا فَإِنْ قِيلَ أَفَلَيْسَ الْأَبُ مُقَدَّمًا عَلَى الِابْنِ فِي الصَّلَاةِ عَلَيْهِ بَعْدَ الْوَفَاةِ وَالتَّزْوِيجِ فِي حَالِ الْحَيَاةِ لِأَنَّهُ أَقْوَى الْعَصَبَاتِ فَهَلَّا كَانَ مُقَدَّمًا فِي الْمِيرَاثِ قِيلَ إِنَّمَا يُقَدَّمُ فِي الصَّلَاةِ وَالتَّزْوِيجِ بِمَعْنَى الْوِلَايَةِ وَالْوِلَايَةُ فِي الْآبَاءِ دُونَ الْأَبْنَاءِ وَفِي الْمِيرَاثِ يُقَدَّمُ بِقُوَّةِ التَّعْصِيبِ وَذَلِكَ فِي الْأَبْنَاءِ أَقْوَى مِنْهُ فِي الْآبَاءِ فَإِذَا عَدِمُوا فَلَمْ يَكُنْ وَلَدٌ وَلَا وَلَدُ وَلَدٍ وَإِنْ سَفَلَ فَالْأَبُ حِينَئِذٍ أَقْرَبُ الْعَصَبَاتِ بَعْدَهُمْ، لِأَنَّ الْمَيِّتَ بَعْضُهُ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ أَقْرَبَهُمْ مِنْ وَلَدِهِ الْمَيِّتِ كَانَ الْأَقْرَبَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِنْ وَلَدِ الْمَيِّتِ وَلِأَنَّ سَائِرَ الْعَصَبَاتِ بِالْأَبِ يُدْلُونَ وَإِلَيْهِ يُنْسَبُونَ فَكَانَ مُقَدَّمًا عَلَى جَمِيعِهِمْ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ بَعْدَ الْأَبِ إِخْوَةٌ فَالْجَدُّ وَإِنْ كَانَ إِخْوَةٌ فَعَلَى خِلَافٍ يُذْكَرُ فِي بِابِ الْجَدِّ ثُمَّ بَعْدَ الْجَدِّ أَبُو الْجَدِّ ثُمَّ جَدُّ الْجَدِّ ثُمَّ أَبُو جَدِّ الْجَدِّ ثُمَّ جَدُّ جَدِّ الْجَدِّ ثُمَّ هَكَذَا أَبَدًا حَتَّى لَا يَبْقَى أَحَدٌ مِنْ عَمُودِ الْآبَاءِ لِمَا فِيهِمْ مِنَ الْوِلَادَةِ وَالتَّعْصِيبِ، ثُمَّ الْإِخْوَةُ إِذَا لَمْ يَكُنْ جَدٌّ لِأَنَّهُمْ وَالْمَيِّتُ بَنُو أَبٍ قَدْ شَارَكُوهُمْ فِي الصُّلْبِ وَرَاكَضُوهُمْ فِي الرَّحِمِ وَلِأَنَّهُمْ يَأْخُذُونَ شَبَهًا مِنَ الْبَنِينِ فِي تَعْصِيبِ أَخَوَاتِهِمْ فَيُقَدَّمُ مِنْهُمُ الْأَخُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ عَلَى الْأَخِ لِلْأَبِ لقوته بالسببين على من تفرد بإحداهما وَلِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” وأعيان بني الأم يتوارثون دون بني العلات ” وأصل ميراثهما مَأْخُوذٌ مِنْ قَوْله تَعَالَى: {يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ} [النساء: 176] فَيَكُونُ حُكْمُ الْإِخْوَةِ مَعَ الْأَخَوَاتِ كَحُكْمِ الْبَنِينَ مَعَ الْبَنَاتِ فِي اقْتِسَامِهِمُ الْمَالَ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ بَعْدَ فَرْضٍ إِنْ كَانَ مُسْتَحِقًّا ثُمَّ بَعْدَ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ الْأَخُ لِلْأَبِ وَهُوَ مُقَدَّمٌ عَلَى ابْنِ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ لِقُرْبِ دَرَجَتِهِ، ثُمَّ بَنُو الْإِخْوَةِ وَهُمْ مُقَدَّمُونَ عَلَى الْأَعْمَامِ وَإِنْ سَفَلُوا، لِأَنَّهُمْ من بني أبي الْمَيِّتِ وَالْأَعْمَامُ بَنُو جَدِّهِ فَيُقَدَّمُ مِنْ بَنِي الْإِخْوَةِ مَنْ كَانَ لِأَبٍ وَأُمٍّ، ثُمَّ مَنْ كَانَ لِأَبٍ ثُمَّ بَنُو بَنِيهِمْ وَإِنْ سَفَلُوا يُقَدَّمُ مَنْ كَانَ أَقْرَبَ فِي الدَّرَجَةِ وَإِنْ كَانَ لِأَبٍ عَلَى مَنْ بَعُدَ وَإِنْ كَانَ لِأَبٍ وَأُمٍّ فَإِنِ اسْتَوَتْ دَرَجَتُهُمْ قُدِّمَ مَنْ كَانَ مِنْهُمْ لِأَبٍ وَأُمٍّ عَلَى مَنْ كَانَ لِأَبٍ ثُمَّ الْأَعْمَامُ لِأَنَّهُمْ بَنُو الْجَدِّ وَلِأَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَرَّثَ عَمَّ سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ مَا فَضَلَ عَنْ فَرْضِ زَوْجَتِهِ وَبِنْتَيْهِ فَيُقَدَّمُ الْعَمُّ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ عَلَى الْعَمِّ لِلْأَبِ لِإِدْلَائِهِ بِالسَّبَبَيْنِ ثُمَّ الْعَمُّ لِلْأَبِ ثُمَّ ابْنُ الْعَمِّ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثم ابني الْعَمِّ لِلْأَبِ ثُمَّ بَنُو بَنِيهِمْ عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ وَإِنْ سَفَلُوا مُقَدَّمِينَ عَلَى أَعْمَامِ الْأَبِ ثُمَّ أَعْمَامُ الْأَبِ يُقَدَّمُ مِنْهُمْ مَنْ كَانَ لِأَبٍ وَأُمٍّ عَلَى مَنْ كَانَ لِأَبٍ ثُمَّ بَنُوهُمْ وَبَنُو بَنِيهِمْ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فِي بَنِي الْأَعْمَامِ ثُمَّ أَعْمَامُ الْجَدِّ ثُمَّ بَنُوهُمْ ثم أعمام ابن الْجَدِّ ثُمَّ بَنُوهُمْ ثُمَّ أَعْمَامُ جَدِّ الْجَدِّ ثم بنوهم ثم أعمام أبي جَدِّ الْجَدِّ ثُمَّ بَنُوهُمْ هَكَذَا أَبَدًا حَتَّى يستنفذ جَمِيعُ الْعَصَبَاتِ لَا يُقَدَّمُ بَنُو أَبٍ أَبْعَدَ على بنو أب هو أقرب وإن نزلت درجتهم وَإِذَا اسْتَوَوْا قُدِّمَ مِنْهُمْ مَنْ كَانَ لِأَبٍ وَأُمٍّ عَلَى مَنْ كَانَ لِأَبٍ وَلَيْسَ الْإِخْوَةُ لِلْأُمِّ مِنَ الْعَصَبَةِ لِإِدْلَائِهِمْ بِالْأُمِّ الَّتِي لَا مَدْخَلَ لَهَا فِي التَّعْصِيبِ وَلَا الْأَعْمَامُ لِلْأُمِّ من الورثة لأنهم ذوو أرحام والله أعلم.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Para ulama berbeda pendapat mengenai ‘ashabah, mengapa mereka dinamakan ‘ashabah? Sebagian dari mereka mengatakan, mereka dinamakan ‘ashabah karena mereka mengelilingi seseorang dalam nasabnya, seperti lilitan ikatan di tangan. Yang lain mengatakan, bahkan mereka dinamakan ‘ashabah karena kekuatan jiwa seseorang dengan keberadaan mereka, dan karena kekuatan jasadnya dengan urat-uratnya (‘ashab-nya). Maka, ‘ashabah yang paling dekat dengan mayit adalah anak-anaknya, karena mereka adalah bagian dari dirinya, dan karena Allah Ta‘ala mendahulukan mereka dalam penyebutan, serta menjadikan mereka sebagai penghalang bagi ayah dari mendapatkan bagian ‘ashabah sehingga ayah menjadi ahli waris dengan bagian tertentu (dzawul furudh). Kemudian anak-anak dari anak laki-laki, karena mereka adalah bagian dari anak-anak, sebab ayah bersama mereka menjadi ahli waris dengan bagian tertentu sebagaimana ia bersama anak-anak, dan karena mereka (‘ashabah) dapat meng‘ashabi saudari-saudari mereka sebagaimana anak-anak. Kemudian anak-anak dari anak laki-laki, meskipun ke bawah (cucu dan seterusnya). Jika dikatakan: Bukankah ayah didahulukan atas anak dalam shalat jenazah setelah wafat dan dalam perwalian pernikahan semasa hidup, karena ia adalah ‘ashabah yang paling kuat? Mengapa ia tidak didahulukan dalam warisan? Maka dijawab: Sesungguhnya ayah didahulukan dalam shalat dan perwalian pernikahan karena makna wilayah, dan wilayah itu pada ayah-ayah, bukan pada anak-anak. Sedangkan dalam warisan, yang didahulukan adalah yang lebih kuat dalam hal ‘ashabah, dan itu pada anak-anak lebih kuat daripada pada ayah-ayah. Jika anak-anak tidak ada, tidak ada anak dan tidak ada anak dari anak (cucu) meskipun ke bawah, maka ayah saat itu adalah ‘ashabah yang paling dekat setelah mereka, karena mayit adalah bagian darinya, dan karena ketika ia adalah yang paling dekat dari anak-anak mayit, maka ia adalah yang paling dekat setelah mereka dari anak-anak mayit. Dan karena seluruh ‘ashabah melalui ayah, mereka bersandar dan dinisbatkan kepadanya, maka ia didahulukan atas semuanya. Jika setelah ayah tidak ada saudara, maka kakek. Jika ada saudara, maka ada perbedaan pendapat yang akan disebutkan dalam bab kakek. Kemudian setelah kakek adalah ayah dari kakek, lalu kakek dari kakek, lalu ayah dari kakek dari kakek, lalu kakek dari kakek dari kakek, dan seterusnya terus-menerus hingga tidak tersisa seorang pun dari garis ayah, karena di dalam mereka terdapat unsur kelahiran dan ‘ashabah. Kemudian saudara-saudara jika tidak ada kakek, karena mereka dan mayit adalah anak dari satu ayah, mereka berserikat dalam garis keturunan dan bertemu dalam rahim, dan karena mereka mengambil kemiripan dari anak-anak dalam meng‘ashabi saudari-saudari mereka. Maka didahulukan dari mereka saudara seayah dan seibu atas saudara seayah saja karena kekuatannya dengan dua sebab atas yang hanya memiliki salah satunya. Dan berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Anak-anak seibu saling mewarisi tanpa anak-anak dari ayah yang berbeda ibu.” Dan asal-usul warisan mereka diambil dari firman Allah Ta‘ala: {Mereka meminta fatwa kepadamu. Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah. Jika seseorang wafat dan tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai seorang saudara perempuan, maka bagi saudara perempuan itu setengah dari harta yang ditinggalkannya; dan ia (saudara laki-laki) mewarisi dari saudara perempuan itu jika ia tidak mempunyai anak} (an-Nisa: 176). Maka hukum saudara-saudara bersama saudari-saudari seperti hukum anak laki-laki bersama anak perempuan dalam pembagian harta, yaitu bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, setelah bagian tertentu jika memang berhak. Kemudian setelah saudara seayah dan seibu adalah saudara seayah, dan ia didahulukan atas anak saudara seayah dan seibu karena kedekatan derajatnya. Kemudian anak-anak saudara, dan mereka didahulukan atas paman-paman meskipun ke bawah, karena mereka dari anak-anak ayah mayit, sedangkan paman-paman adalah anak-anak kakeknya. Maka didahulukan dari anak-anak saudara siapa yang seayah dan seibu, kemudian yang seayah, lalu anak-anak mereka meskipun ke bawah, didahulukan yang lebih dekat derajatnya meskipun hanya seayah atas yang lebih jauh meskipun seayah dan seibu. Jika derajat mereka sama, didahulukan yang seayah dan seibu atas yang seayah saja. Kemudian paman-paman, karena mereka adalah anak-anak kakek, dan karena Nabi ﷺ mewariskan kepada paman Sa‘d bin ar-Rabi‘ apa yang tersisa dari bagian istri dan kedua putrinya. Maka didahulukan paman seayah dan seibu atas paman seayah karena ia memiliki dua sebab, lalu paman seayah, kemudian anak paman seayah dan seibu, lalu anak-anak paman seayah, kemudian anak-anak mereka meskipun ke bawah, didahulukan atas paman-paman ayah. Kemudian paman-paman ayah, didahulukan dari mereka yang seayah dan seibu atas yang seayah saja, lalu anak-anak mereka dan anak-anak dari anak-anak mereka sebagaimana telah disebutkan pada anak-anak paman. Kemudian paman-paman kakek, lalu anak-anak mereka, kemudian paman-paman anak kakek, lalu anak-anak mereka, kemudian paman-paman kakek dari kakek, lalu anak-anak mereka, kemudian paman-paman ayah dari kakek dari kakek, lalu anak-anak mereka, demikian seterusnya hingga seluruh ‘ashabah habis, tidak didahulukan anak-anak dari ayah yang lebih jauh atas anak-anak dari ayah yang lebih dekat meskipun derajatnya turun. Jika mereka setara, didahulukan dari mereka yang seayah dan seibu atas yang seayah saja. Dan saudara-saudara seibu bukan termasuk ‘ashabah karena mereka bersandar pada ibu yang tidak memiliki peran dalam ‘ashabah, dan paman-paman seibu juga bukan ahli waris karena mereka adalah dzawul arham. Dan Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَيْسَ يَرِثُ مَعَ أَحَدٍ مِنْ هَؤُلَاءِ الْعَصِبَاتِ أُخْتٌ لَهُ إِلَّا أَرْبَعَةٌ فَإِنَّهُمْ يُعَصِّبُونَ أخواتهم ويرثون معهم الِابْنُ يُعَصِّبُ أُخْتَهُ وَتَرِثُ مَعَهُ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ بِنَصِّ الْكِتَابِ وَابْنُ الِابْنِ يُعَصِّبُ أُخْتَهُ وَإِنْ سَفَلَ وَيُعَصِّبُ مَنْ لَا فَرْضَ لَهُ مِنْ عَمَّاتِهِ فَيَشْتَرِكُونَ فِي الْمِيرَاثِ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَالْأَخُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ يُعَصِّبُ أُخْتَهُ وَيُقَاسِمُهَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَالْأَخُ لِلْأَبِ كَذَلِكَ أَيْضًا يُعَصِّبُهَا وَيُقَاسِمُهَا وَمَنْ سِوَى هَؤُلَاءِ الْأَرْبَعَةِ مِنَ الْعَصَبَاتِ كُلِّهِمْ يُسْقِطُونَ أَخَوَاتِهِمْ وَيَخْتَصُّونَ بِالْمِيرَاثِ كَبَنِي الْإِخْوَةِ وَالْأَعْمَامِ مِنْ جَمِيعِ الْعَصَبَاتِ.

Tidak ada seorang pun dari para ‘ashabah ini yang mewarisi bersama seorang saudara perempuan kecuali empat orang; karena mereka menjadikan saudara perempuan mereka sebagai ‘ashabah dan mewarisi bersama mereka. Anak laki-laki menjadikan saudara perempuannya sebagai ‘ashabah dan ia mewarisi bersamanya, bagi laki-laki bagian dua kali lipat perempuan sebagaimana nash dalam Al-Qur’an. Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki) juga menjadikan saudara perempuannya sebagai ‘ashabah, meskipun ia berada di tingkat bawah, dan ia juga menjadikan bibi-bibinya yang tidak memiliki bagian fardhu sebagai ‘ashabah, sehingga mereka bersama-sama dalam warisan, bagi laki-laki bagian dua kali lipat perempuan. Saudara laki-laki seayah seibu menjadikan saudara perempuannya sebagai ‘ashabah dan membaginya, bagi laki-laki bagian dua kali lipat perempuan. Saudara laki-laki seayah juga demikian, menjadikan saudara perempuannya sebagai ‘ashabah dan membaginya. Selain empat orang ini dari seluruh ‘ashabah, semuanya menggugurkan saudara perempuan mereka dan mereka khusus mendapatkan warisan, seperti anak-anak saudara laki-laki dan paman-paman dari seluruh ‘ashabah.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا تَرَكَ ابْنَيْ عَمٍّ أَحَدُهُمَا أَخٌ لِأُمٍّ فَلِلَّذِي هُوَ أَخٌ لِلْأُمِّ السُّدُسُ فَرْضًا بِالْأُمِّ وَالْبَاقِي بَيْنَهُمَا بِالتَّعْصِيبِ وَبِهِ قَالَ عَلِيٌّ وَزَيْدٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ قَوْلِ عُمَرَ وَقَوْلِ أبي حنيفة وَمَالِكٍ وَالْفُقَهَاءِ.

Adapun jika seseorang meninggalkan dua orang anak paman, salah satunya adalah saudara seibu, maka yang saudara seibu mendapat seperenam sebagai bagian fardhu karena ibunya, dan sisanya dibagi di antara keduanya dengan cara ta‘ṣīb. Pendapat ini dikatakan oleh ‘Ali dan Zaid radhiyallāhu ‘anhumā, dan ini juga pendapat yang tampak dari perkataan ‘Umar, serta pendapat Abū Ḥanīfah, Mālik, dan para fuqahā’.

وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: الْمَالُ كُلُّهُ لِابْنِ الْعَمِّ الَّذِي هُوَ أَخٌ لِأُمٍّ وَبِهِ قَالَ شُرَيْحٌ وَعَطَاءٌ وَالْحَسَنُ وَابْنُ سِيرِينَ وَالنَّخَعِيُّ وَأَبُو ثَوْرٍ اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” وبنو الْأُمِّ يَتَوَارَثُونَ دُونَ بَنِي الْعَلَّاتِ ” وَلِأَنَّهُمَا قَدِ اسْتَوَيَا فِي الْإِدْلَاءِ بِالْأَبِ وَاخْتَصَّ أَحَدُهُمَا بِالْإِدْلَاءِ بالأم فصار كالأخوين أحدهما لأب وأم وآخر لِأَبٍ فَوَجَبَ أَنْ يُقَدَّمَ مَنْ زَادَ إِدْلَاءُهُ بِالْأُمِّ عَلَى مَنْ تَفَرَّدَ بِالْأَبِ.

Diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu bahwa ia berkata: “Seluruh harta untuk anak paman yang juga saudara seibu.” Pendapat ini juga dikatakan oleh Syu’raih, ‘Aṭā’, al-Ḥasan, Ibn Sīrīn, al-Nakha‘ī, dan Abū Thaur, dengan berdalil pada riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Dan anak-anak dari satu ibu saling mewarisi tanpa anak-anak dari ayah yang berbeda.” Karena keduanya sama-sama memiliki hubungan melalui ayah, namun salah satunya memiliki keistimewaan hubungan melalui ibu, maka keadaannya seperti dua saudara, salah satunya seayah seibu dan yang lain hanya seayah. Maka wajib didahulukan yang memiliki kelebihan hubungan melalui ibu atas yang hanya memiliki hubungan melalui ayah.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ} [النساء: 12] فَأَوْجَبَ هَذَا الظَّاهِرُ أَن لا يزاد بِهَذِهِ الْأُخوَّةِ عَلَى السُّدُسِ وَلِأَنَّ السَّبَبَ الْمُسْتَحِقَّ بِهِ الْفَرْضَ لَا يُوجِبُ أَنْ يُقَوَّى بِهِ التَّعْصِيبُ بَعْدَ أَخْذِ الْفَرْضِ كَابْنَيْ عَمٍّ أَحَدُهُمَا زَوْجٌ، وَلِأَنَّ وِلَادَةَ الْأُمِّ تُوجِبُ أَحَدَ الْأَمْرَيْنِ إما استحقاقا بالفرض أو تقديما بالجميع ولا توجب كِلَا الْأَمْرَيْنِ مِنْ فَرْضٍ وَتَقْدِيمٍ أَلَا تَرَى أَنَّ الْإِخْوَةَ الْمُتَفَرِّقِينَ إِذَا اجْتَمَعُوا اخْتَصَّ الْإِخْوَةُ للأم بالفرض واختص الإخوة للأب والأم بالتقديم فِي الْبَاقِي عَلَى الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ وَلَمْ يَجُزْ أن يشاركوا باقيهم الْإِخْوَةَ لِلْأُمِّ لِتَنَافِي اجْتِمَاعِ الْأَمْرَيْنِ فِي الْإِدْلَاءِ بالأم وكذلك ابن العم إذا كان أخا لأم لما استحق بأمه فرضا لم يستحق بها تقديمه عَلَى ابْنِ الْعَمِّ وَلِأَنَّ اجْتِمَاعَ الرَّحِمِ وَالتَّعْصِيبِ إِذَا كَانَا مِنْ جِهَةٍ وَاحِدَةٍ أوجَبَ التَّقْدِيمُ كَالْإِخْوَةِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ فِي تَقْدِيمِهِمْ عَلَى الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ وَإِنْ كَانَا مِنْ جِهَتَيْنِ لَمْ يُوجِبَا التَّقْدِيمَ وَالْأَخُ لِلْأُمِّ إِذَا كَانَ ابْنَ عَمٍّ فَيُعَصِّبُهُ مِنْ جِهَةِ الْإِدْلَاءِ بِالْجَدِّ وَرَحِمِهِ بِوِلَادَةِ الأم فلم يوجب التقدم، وَفِي هَذَا انْفِصَالٌ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْإِخْوَةِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Dan jika seseorang yang diwarisi itu kalalah, atau seorang perempuan, dan ia mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan, maka bagi masing-masing dari keduanya seperenam} (QS. an-Nisā’: 12). Maka ayat ini secara zahir mewajibkan bahwa dengan hubungan persaudaraan ini tidak boleh melebihi seperenam. Dan sebab yang menjadikan seseorang berhak mendapat bagian fardhu tidak menyebabkan ia menjadi ‘ashabah setelah mengambil bagian fardhu, seperti dua anak paman, salah satunya adalah suami. Dan karena kelahiran dari ibu hanya menyebabkan salah satu dari dua hal: berhak atas bagian fardhu atau didahulukan dalam seluruh harta, dan tidak menyebabkan keduanya sekaligus, yaitu bagian fardhu dan didahulukan. Tidakkah engkau melihat bahwa jika para saudara yang berbeda-beda berkumpul, maka saudara seibu khusus mendapat bagian fardhu, dan saudara seayah seibu khusus didahulukan dalam sisa harta atas saudara seayah, dan tidak boleh mereka (saudara seayah seibu) ikut serta dengan saudara seibu dalam sisa harta, karena tidak mungkin menggabungkan kedua hal tersebut dalam hubungan melalui ibu. Demikian pula anak paman yang juga saudara seibu, ketika ia berhak mendapat bagian fardhu karena ibunya, maka ia tidak berhak didahulukan atas anak paman lainnya. Dan karena berkumpulnya hubungan rahim dan ta‘ṣīb jika berasal dari satu jalur menyebabkan didahulukan, seperti saudara seayah seibu yang didahulukan atas saudara seayah. Namun jika berasal dari dua jalur, maka tidak menyebabkan didahulukan. Saudara seibu jika juga anak paman, maka ia menjadi ‘ashabah dari jalur hubungan dengan kakek, dan hubungan rahimnya dari jalur ibu, maka itu tidak menyebabkan didahulukan. Dalam hal ini terdapat penjelasan terhadap dalil mereka dengan kasus saudara seayah seibu.

فَأَمَّا الْخَبَرُ فَمَحْمُولٌ عَلَى الْإِخْوَةِ لِأَنَّ الرِّوَايَةَ ” أَعْيَانُ بَنِي الْأُمِّ يَتَوَارَثُونَ دُونَ بَنِي الْعَلَّاتِ ” فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُمَا فِي الْبَاقِي بَعْدَ السدس سواء وإنما ذلك فِي الْمَالِ فَأَمَّا وَلَاءُ الْمَوَالِي فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أن ابن الْعَمِّ الَّذِي هُوَ أَخٌ لِأُمٍّ يُقَدَّمُ بِهِ عَلَى ابْنِ الْعَمِّ الَّذِي لَيْسَ بِأَخٍ لِأُمٍّ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَرِثْ بِأُمِّهِ مِنَ الْوَلَاءِ فَرْضًا اسْتَحَقَّ بِهِ تَقْدِيمًا لِأَنَّ الْإِدْلَاءَ بِالْأُمِّ إِذَا انْضَمَّ إِلَى التَّعْصِيبِ أوجَبَ قُوَّةً عَلَى مُجَرَّدِ التَّعْصِيبِ إِمَّا فِي فَرْضٍ أَوْ تَقْدِيمٍ فَلَمَّا سَقَطَ الْفَرْضُ فِي الْوَلَاءِ ثَبَتَ التَّقْدِيمُ.

Adapun hadis tersebut diarahkan kepada saudara-saudara seibu, karena dalam riwayat disebutkan: “Anak-anak seibu saling mewarisi, tidak demikian dengan anak-anak seayah.” Maka jika telah dipastikan bahwa keduanya setara dalam sisa setelah sepertiga, maka hal itu hanya berlaku pada harta. Adapun dalam hal wala’ (hubungan perwalian) para mawali, menurut mazhab Syafi‘i, anak paman yang juga saudara seibu didahulukan atas anak paman yang bukan saudara seibu. Sebab, ketika ia tidak mewarisi dari ibunya dalam hal wala’ secara fardhu, maka ia berhak didahulukan. Karena hubungan dengan ibu, jika digabungkan dengan ‘ashabah (hubungan kekerabatan laki-laki), memberikan kekuatan dibandingkan sekadar ‘ashabah, baik dalam hal fardhu maupun dalam hal didahulukan. Maka ketika hak fardhu dalam wala’ gugur, tetaplah hak didahulukan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ تَرَكَ ابْنَيْ عَمٍّ أَحَدُهُمَا أَخٌ لِأُمٍّ وَأَخَوَيْنِ لِأُمٍّ أَحَدُهُمَا ابْنُ عَمٍّ فَعَلَى قَوْلِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ الْمَالُ بَيْنَ ابْنِ الْعَمِّ الَّذِي هُوَ أَخٌ لِأُمٍّ وبين أخ الأم الَّذِي هُوَ ابْنُ عَمٍّ لِاسْتِوَائِهِمَا فِي التَّعْصِيبِ وَالْإِدْلَاءِ بِالْأُمِّ وَلَا شَيْءَ لِلْأَخِ لِلْأُمِّ الَّذِي ليس بابن عم ولا ابن الْعَمِّ الَّذِي لَيْسَ بِأَخٍ لِأُمٍّ وَعَلَى قَوْلِ الْجَمَاعَةِ الثُّلُثُ لِثَلَاثَةٍ لِلْأَخِ لِلْأُمِّ الَّذِي هُوَ ابْنُ عَمٍّ وَلِابْنِ الْعَمِّ الَّذِي هُوَ أَخٌ لِأُمٍّ وَلِلْأَخِ لِلْأُمِّ الَّذِي لَيْسَ بِابْنِ عَمٍّ لِأَنَّ جَمِيعَهُمْ إِخْوَةٌ لِأُمٍّ وَالْبَاقِي بَعْدَ الثُّلُثِ بين الثلاثة بَيْنَ ابْنِ الْعَمِّ الَّذِي هُوَ أَخٌ لِأُمٍّ وَالْأَخُ لِلْأُمِّ الَّذِي هُوَ ابْنُ عَمٍّ وَابْنُ الْعَمِّ الَّذِي لَيْسَ بِأَخٍ لِأُمٍّ فَلَوْ تَرَكَ بِنْتًا وَابْنَيْ عَمِّ أَحَدُهُمَا أَخٌ لِأُمٍّ فَعَلَى قياس قول ابْنِ مَسْعُودٍ لِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَالْبَاقِي لِابْنِ الْعَمِّ الَّذِي هُوَ أَخٌ لِأُمٍّ وَحُكِيَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ أَنَّ الْبَاقِيَ بَعْدَ نِصْفِ الْبِنْتِ لِابْنِ الْعَمِّ الَّذِي لَيْسَ بِأَخٍ لِأُمٍّ لِأَنَّ الْأَخَ لِلْأُمِّ لَا يَرِثُ مَعَ الْبِنْتِ وَعَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَالْجَمَاعَةِ إِنَّ الْبَاقِيَ بَعْدَ فَرْضِ البنت بينهما لأن البنت تسقط بورثته بالأم ولا تسقط ميراثه بِالتَّعْصِيبِ كَالْإِخْوَةِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ فَلَوْ تَرَكَ ابْنَ عَمٍّ لِأَبٍ وَأُمٍّ وَابْنَ عَمٍّ لِأَبٍ هُوَ أَخٌ لِأُمٍّ فَعَلَى قَوْلِ ابْنِ مَسْعُودٍ الْمَالُ لابن العم للأب الذي هو أخ لأم وَعَلَى قَوْلِ الْجَمَاعَةِ لِابْنِ الْعَمِّ لِلْأَبِ الَّذِي هو أخ للأم السُّدُسُ بِأَنَّهُ أَخٌ لِأُمٍّ وَالْبَاقِي لِابْنِ الْعَمِّ للأب والأم والله أعلم.

Jika seseorang meninggalkan dua anak paman, salah satunya adalah saudara seibu, dan dua saudara seibu, salah satunya adalah anak paman, maka menurut pendapat Ibn Mas‘ud ra., harta dibagi antara anak paman yang juga saudara seibu dan saudara seibu yang juga anak paman, karena keduanya sama-sama memiliki hubungan ‘ashabah dan hubungan dengan ibu. Tidak ada bagian bagi saudara seibu yang bukan anak paman, dan juga tidak ada bagian bagi anak paman yang bukan saudara seibu. Menurut pendapat jumhur, sepertiga harta diberikan kepada tiga orang: saudara seibu yang juga anak paman, anak paman yang juga saudara seibu, dan saudara seibu yang bukan anak paman, karena semuanya adalah saudara seibu. Sisa setelah sepertiga dibagi antara tiga orang: anak paman yang juga saudara seibu, saudara seibu yang juga anak paman, dan anak paman yang bukan saudara seibu. Jika seseorang meninggalkan seorang putri dan dua anak paman, salah satunya saudara seibu, maka menurut qiyās pendapat Ibn Mas‘ud, setengah untuk putri dan sisanya untuk anak paman yang juga saudara seibu. Diriwayatkan dari Sa‘id bin Jubair bahwa sisa setelah setengah untuk putri diberikan kepada anak paman yang bukan saudara seibu, karena saudara seibu tidak mewarisi bersama putri. Menurut pendapat Syafi‘i dan jumhur, sisa setelah bagian putri dibagi antara keduanya, karena putri menggugurkan warisan saudara seibu, tetapi tidak menggugurkan warisan ‘ashabah, sebagaimana saudara seayah dan seibu. Jika seseorang meninggalkan anak paman dari pihak ayah dan ibu, dan anak paman dari pihak ayah yang juga saudara seibu, maka menurut pendapat Ibn Mas‘ud, harta diberikan kepada anak paman dari pihak ayah yang juga saudara seibu. Menurut pendapat jumhur, anak paman dari pihak ayah yang juga saudara seibu mendapat seperenam karena ia saudara seibu, dan sisanya untuk anak paman dari pihak ayah dan ibu. Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَصَبَةً بِرَحِمٍ يَرِثُ فَالْمَوْلَى المعتق فإن لم تكن فَأَقْرَبُ عَصَبَةٍ مَوْلَاهُ الذُّكُورُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَبَيْتُ الْمَالِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika tidak ada ‘ashabah kerabat yang mewarisi, maka (warisan diberikan kepada) mawla mu‘tiq (mantan tuan yang memerdekakan). Jika tidak ada, maka kepada ‘ashabah terdekat dari pihak mawla, yaitu laki-laki. Jika tidak ada juga, maka (warisan) masuk ke Baitul Mal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. وَالْوَلَاءُ يُورَثُ بِهِ كَالتَّعْصِيبِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ} [النساء: 33] وَرُوِيَ عَنِ النَّبِي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَوْلَى الْقَوْمِ مِنْهُمْ “، وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” الْوَلَاءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ ” وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” من تولى إلى غير مواليه فقد خلع رقبة الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ “. وَأَعْتَقَتْ بِنْتُ حَمْزَةَ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عَبْدًا فَمَاتَ وَتَرَكَ بِنْتًا فَجَعَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نِصْفَ مَالِهِ لِبِنْتِهِ وَالْبَاقِي لِبِنْتِ حَمْزَةَ مُعْتِقَتِهِ فإذا بت هَذَا فَكُلُّ مَنْ أَعْتَقَ عَبْدَهُ فَلَهُ وَلَاؤُهُ مُسْلِمًا كَانَ الْمُعْتِقُ أَوْ كَافِرًا وَقَالَ مَالِكٌ: لَا وَلَاءَ لِلْكَافِرِ إِذَا أَعْتَقَ عَبْدًا مُسْلِمًا لِقَطْعِ اللَّهِ تَعَالَى الْمُوَالَاةَ بَيْنَهُمَا بِاخْتِلَافِ الدِّينِ وهذا فاسد بقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَضَاءُ اللَّهِ أَحَقُّ وَشَرْطُ اللَّهِ أَوْثَقُ وَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْوَلَاءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ ” فَلَمَّا كَانَ النَّسَبُ ثَابِتًا بَيْنَ الْكَافِرِ وَالْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَتَوَارَثَا كَانَ الْوَلَاءُ بَيْنَهُمَا ثَابِتًا وَلَا يَتَوَارَثَانِ بِهِ، فَإِنْ أَسْلَمَ وَرِثَ فَإِذَا ثَبَتَ اسْتِحْقَاقُ الْمِيرَاثِ بِالْوَلَاءِ فَعَصَبَةُ النَّسَبِ تَتَقَدَّمُ فِي الْمِيرَاثِ عَلَى عَصَبَةِ الْوَلَاءِ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – شَبَّهَ عَصَبَةَ الْوَلَاءِ بِعَصَبَةِ النَّسَبِ وَمَعْلُومٌ أَنَّ مَا أُلْحِقَ بِأَصْلٍ فَإِنَّهُ مُتَأَخِّرٌ عَنْ ذَلِكَ الْأَصْلِ. أَلَا تَرَى أَنَّ ابْنَ الِابْنِ لَمَّا كَانَ فِي الْمِيرَاثِ مُلْحَقًا بِالِابْنِ تَأَخَّرَ عَنْهُ وَالْجَدُّ لَمَّا كَانَ مُلْحَقًا بِالْأَبِ تَأَخَّرَ عَنْهُ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَمَتَى كَانَ لِلْمُعْتَقِ عَصَبَةٌ مُنَاسِبٌ كَانَ أَوْلَى بِالْمِيرَاثِ مِنَ الْمَوْلَى وَإِنْ لم يكن له عصبة وكان له ذو فرض تقدموا بفروضهم على الموالي لِأَنَّهُمْ يَتَقَدَّمُونَ بِهَا عَلَى الْعَصَبَةِ فَكَانَ تَقْدِيمُهُمْ بِهَا عَلَى الْمَوْلَى أَوْلَى فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَصَبَةُ نَسَبٍ وَلَا ذُو فَرْضٍ يَسْتَوْعِبُ بِفَرْضِهِ جميع التركة كانت للتركة أَوْ مَا بَقِيَ مِنْهَا بَعْدَ فَرْضِ ذِي الْفَرْضِ لِلْمَوْلَى يَتَقَدَّمُ بِهِ عَلَى ذَوِي الْأَرْحَامِ في قول من ورث ذَوِي الْأَرْحَامِ مِنَ الْمُتَأَخِّرِينَ إِلَّا مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ قَدَّمُوا ذَوِي الْأَرْحَامِ عَلَى الْمَوَالِي وَفِيمَا مَضَى مِنْ إسقاط ميراث ذوي الأرحام دليل كاف والله أعلم.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang telah dikatakan. Al-walā’ diwariskan sebagaimana ‘aṣabah. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan bagi setiap orang telah Kami tetapkan para ahli waris terhadap apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabatnya} (QS. An-Nisā’: 33). Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Mawlā suatu kaum adalah bagian dari mereka.” Dan diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Al-walā’ adalah ikatan seperti ikatan nasab.” Dan diriwayatkan pula dari beliau ﷺ bahwa beliau bersabda: “Barang siapa berwala’ kepada selain mawlā-nya, maka ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya.” Putri Hamzah bin ‘Abdul Muṭṭalib pernah memerdekakan seorang budak, lalu budak itu meninggal dan meninggalkan seorang anak perempuan. Maka Rasulullah ﷺ memberikan setengah hartanya kepada anak perempuannya dan sisanya kepada putri Hamzah, yaitu yang memerdekakannya. Jika hal ini telah diputuskan, maka setiap orang yang memerdekakan budaknya, maka ia berhak atas walā’-nya, baik yang memerdekakan itu seorang Muslim maupun kafir. Malik berkata: Tidak ada walā’ bagi orang kafir jika ia memerdekakan budak Muslim, karena Allah Ta‘ala telah memutus hubungan wala’ di antara mereka karena perbedaan agama. Namun pendapat ini rusak (lemah) berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Hukum Allah lebih berhak dan syarat Allah lebih kuat, dan sesungguhnya walā’ itu bagi siapa yang memerdekakan.” Dan Nabi ﷺ bersabda: “Al-walā’ adalah ikatan seperti ikatan nasab.” Maka ketika nasab tetap ada antara orang kafir dan Muslim meskipun mereka tidak saling mewarisi, maka walā’ antara mereka juga tetap ada, namun mereka tidak saling mewarisi karenanya. Jika orang kafir itu masuk Islam, maka ia berhak mewarisi. Jika telah tetap hak waris karena walā’, maka ‘aṣabah nasab didahulukan dalam warisan daripada ‘aṣabah walā’, karena Nabi ﷺ menyamakan ‘aṣabah walā’ dengan ‘aṣabah nasab, dan sudah diketahui bahwa sesuatu yang disamakan dengan asal, maka ia berada di bawah asal tersebut. Tidakkah engkau melihat bahwa cucu laki-laki, ketika dalam warisan disamakan dengan anak laki-laki, maka ia berada di bawah anak laki-laki, dan kakek, ketika disamakan dengan ayah, maka ia berada di bawah ayah. Jika demikian, maka kapan pun mu‘tiq (orang yang memerdekakan) memiliki ‘aṣabah nasab, maka mereka lebih berhak atas warisan daripada mawlā. Jika tidak ada ‘aṣabah, tetapi ada dzū farḍ, maka mereka didahulukan dengan bagian mereka atas mawlā, karena mereka memang didahulukan atas ‘aṣabah, maka mendahulukan mereka atas mawlā lebih utama. Jika tidak ada ‘aṣabah nasab dan tidak ada dzū farḍ yang mengambil seluruh harta dengan bagiannya, maka harta warisan atau sisa setelah bagian dzū farḍ diberikan kepada mawlā, yang didahulukan atas dzawī al-arḥām menurut pendapat yang mewariskan dzawī al-arḥām dari kalangan ulama muta’akhkhirīn, kecuali apa yang diriwayatkan dari ‘Umar, Ibnu Mas‘ūd, Ibnu ‘Abbās, dan Mu‘ādz bin Jabal raḍiyallāhu ‘anhum, bahwa mereka mendahulukan dzawī al-arḥām atas mawlā. Dan dalam penjelasan sebelumnya tentang gugurnya warisan dzawī al-arḥām terdapat dalil yang cukup. Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَوْلًى فَعَصَبَةُ الْمَوْلَى يَقُومُونَ فِي الْمِيرَاثِ مَقَامَ الْمَوْلَى لِأَنَّهُمْ لَمَّا قَامُوا مَقَامَهُ فِي مَالِهِ قَامُوا مَقَامَهُ فِي وَلَائِهِ فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْأَبْنَاءُ أَحَقُّ بِوَلَاءِ الْمَوَالِي مِنَ الْآبَاءِ فَإِذَا كَانَ أَبٌ مَوْلَى وَابْنٌ مَوْلَى فَابْنُ الْمَوْلَى أَوْلَى مِنْ أَبِ الْمَوْلَى وَكَذَلِكَ ابْنُ الِابْنِ وَإِنْ سَفَلَ وَبِهَذَا قَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ وَجُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ.

Jika tidak ada mawlā, maka ‘aṣabah mawlā menempati posisi mawlā dalam warisan, karena ketika mereka menempati posisinya dalam harta, maka mereka juga menempati posisinya dalam walā’. Dengan demikian, anak-anak lebih berhak atas walā’ mawlā daripada ayah-ayah. Jika ada ayah mawlā dan anak mawlā, maka anak mawlā lebih utama daripada ayah mawlā, demikian pula cucu laki-laki meskipun ke bawah. Inilah pendapat Abu Hanifah, Malik, dan mayoritas fuqahā’.

وقال أبو يوسف: لأب الْمَوْلَى سُدُسُ الْوَلَاءِ وَالْبَاقِي لِلِابْنِ كَالْمَالِ وَهَكَذَا الْجَدُّ وَإِنْ عَلَا يَجْعَلُونَ لَهُ مَعَ الِابْنِ سُدُسَ الْوَلَاءِ وَبِهِ قَالَ النَّخَعِيُّ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَأَحْمَدُ وإسحاق وهذا خطأ لأن الولاء مستحق لمجرد التَّعْصِيبِ وَتَعْصِيبُ الِابْنِ أَقْوَى مِنْ تَعْصِيبِ الْأَبِ لِتَقَدُّمِهِ عَلَيْهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ أَحَقَّ بِالْوَلَاءِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْأَبْنَاءَ أَوْلَى بِالْوَلَاءِ مِنَ الْآبَاءِ فَهُوَ لِلذُّكُورِ مِنْهُمْ دُونَ الْإِنَاثِ فَيَكُونُ لِابْنِ الْمَوْلَى دُونَ بِنْتِ الْمَوْلَى وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ. وَقَالَ طَاوُسٌ: هُوَ بَيْنَ الِابْنِ وَالْبِنْتِ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ كَالْمَالِ وَهَكَذَا قَالَ فِي الْأَخِ وَالْأُخْتِ يَرِثَانِ الْوَلَاءَ لِلذكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَحُكِيَ نَحْوُ هَذَا عَنْ شُرَيْحٍ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ النِّسَاءَ إِذَا تَرَاخَى نَسَبُهُنَّ لَمْ يَرِثْنَ بِتَعْصِيبِ النَّسَبِ كَبَنَاتِ الْإِخْوَةِ وَبَنَاتِ الْأَعْمَامِ وَتَعْصِيبُ الْوَلَاءِ أَبْعَدُ مِنْ تَعْصِيبِ النَّسَبِ فكان بسقوط ميراث النساء أحق.

Abu Yusuf berkata: Bagi ayah dari seorang mawlā (tuan yang memerdekakan) mendapat seperenam dari hak walā’ (hak perwalian karena memerdekakan), dan sisanya untuk anak laki-laki, sebagaimana dalam pembagian harta. Demikian pula halnya dengan kakek, meskipun lebih tinggi derajatnya; mereka memberikan kepadanya bersama anak laki-laki seperenam dari walā’. Pendapat ini juga dikatakan oleh al-Nakha‘ī, al-Awzā‘ī, Ahmad, dan Ishaq. Namun, ini adalah kekeliruan, karena walā’ itu berhak diberikan semata-mata karena ‘aṣabah (hubungan kekerabatan laki-laki), dan ‘aṣabah anak laki-laki lebih kuat daripada ‘aṣabah ayah karena kedudukannya yang lebih utama, sehingga ia lebih berhak atas walā’. Jika telah tetap bahwa anak-anak laki-laki lebih berhak atas walā’ daripada ayah-ayah mereka, maka walā’ itu hanya untuk laki-laki di antara mereka, bukan perempuan. Maka, hak itu untuk anak laki-laki mawlā, bukan untuk anak perempuan mawlā, dan inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama). Ṭāwūs berkata: Hak itu dibagi antara anak laki-laki dan anak perempuan, untuk laki-laki bagian dua kali perempuan, sebagaimana dalam pembagian harta. Demikian pula ia berkata tentang saudara laki-laki dan saudara perempuan, mereka mewarisi walā’ dengan bagian laki-laki dua kali perempuan. Pendapat serupa juga dinukil dari Suraīḥ. Namun, ini adalah kekeliruan, karena perempuan jika hubungan nasabnya jauh tidak mewarisi dengan ‘aṣabah nasab, seperti anak-anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak-anak perempuan dari paman. Sementara ‘aṣabah walā’ lebih jauh daripada ‘aṣabah nasab, maka dengan gugurnya hak waris perempuan, laki-laki lebih berhak.

فصل:

Fasal:

فإذا لَمْ يَكُنِ ابْنَ مَوْلًى فَأَبُو الْمَوْلَى بَعْدَهُ أَحَقُّ بِالْوَلَاءِ مِنَ الْجَدِّ وَالْإِخْوَةِ لِإِدْلَائِهِمْ بِهِ ثُمَّ اخْتَلَفُوا بَعْدَ الْأَبِ فِي مُسْتَحِقِّ الْوَلَاءِ فَقَالَ أبو حنيفة: الْجَدُّ أَحَقُّ بِهِ مِنَ الْإِخْوَةِ، وَبِهِ قَالَ أَبُو ثَوْرٍ.

Jika tidak ada anak laki-laki mawlā, maka ayah mawlā setelahnya lebih berhak atas walā’ daripada kakek dan saudara-saudara, karena mereka terhubung melalui ayah tersebut. Kemudian para ulama berbeda pendapat setelah ayah tentang siapa yang berhak atas walā’. Abu Hanifah berkata: Kakek lebih berhak daripada saudara-saudara, dan pendapat ini juga dikatakan oleh Abu Tsaur.

وَقَالَ مَالِكٌ: الْإِخْوَةُ أَحَقُّ بِهِ مِنَ الْجَدِّ.

Malik berkata: Saudara-saudara lebih berhak daripada kakek.

وَقَالَ أبو يوسف ومحمد: إِنَّهُ بَيْنَ الْجَدِّ وَالْأَخِ نِصْفَيْنِ وَبِهِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَلِلشَّافِعِيِّ فِيهِ قَوْلَانِ:

Abu Yusuf dan Muhammad berkata: Hak itu dibagi antara kakek dan saudara laki-laki, masing-masing setengah. Pendapat ini juga dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal. Sedangkan menurut al-Syafi‘i ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ لِلْإِخْوَةِ دُونَ الْجَدِّ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ؛ لِأَنَّ الْإِخْوَةَ أَقْرَبُ إِلَى الْأَبِ مِنَ الْجَدِّ كَمَا أَنَّ ابْنَ الِابْنِ أَحَقُّ مِنَ الْأَبِ فَعَلَى هَذَا يُقَدَّمُ الْأَخُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ عَلَى الْأَخِ لِلْأَبِ وَلَا حَقَّ فِيهِ لِلْأَخِ لِلْأُمِّ.

Salah satunya: Hak itu untuk saudara-saudara, bukan untuk kakek, dan ini adalah pendapat Malik; karena saudara-saudara lebih dekat kepada ayah daripada kakek, sebagaimana anak laki-laki lebih berhak daripada ayah. Berdasarkan ini, saudara seayah dan seibu didahulukan atas saudara seayah, dan tidak ada hak bagi saudara seibu.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ الْجَدَّ وَالْإِخْوَةَ فِيهِ سَوَاءٌ كَقَوْلِ أبي يوسف؛ لِأَنَّهُ يُقَاسِمُ الْإِخْوَةَ فِي الْمَالِ فَقَاسَمَهُمْ فِي الْوَلَاءِ فعَلَى هَذَا لَوْ نَقَصَتْهُ مُقَاسَمَةُ الْإِخْوَةِ مِنْ ثُلُثِ الْوَلَاءِ لَمْ يُفْرَضْ لَهُ الثُّلُثُ بِخِلَافِ الْمَالِ لِأَنَّ الْوَلَاءَ لَا يُسْتَحَقُّ بِالْفَرْضِ وَإِنَّمَا يُسْتَحَقُّ بِالتَّعْصِيبِ الْمَحْضِ.

Pendapat kedua: Kakek dan saudara-saudara sama dalam hal ini, sebagaimana pendapat Abu Yusuf; karena kakek membagi harta bersama saudara-saudara, maka ia juga membagi walā’ bersama mereka. Berdasarkan ini, jika pembagian bersama saudara-saudara mengurangi bagian kakek dari sepertiga walā’, maka tidak ditetapkan baginya sepertiga, berbeda dengan harta, karena walā’ tidak diperoleh dengan bagian tertentu, melainkan hanya dengan ‘aṣabah murni.

فَلَوْ كَانُوا خَمْسَةَ إِخْوَةٍ وَجَدًّا كَانَ الْوَلَاءُ بَيْنَهُمْ أَسْدَاسًا عَلَى عَدَدِهِمْ لِلْجَدِّ منه السدس ولا يقاسم الجد الإخوة لِلْأَبِ مَعَ الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ بِخِلَافِ الْمَالِ ثم الإخوة مع أبي الجد وجد الجد وإن علا كلهم مع الجد الأخير فَأَمَّا بَنُو الْإِخْوَةِ وَالْجَدُّ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika mereka terdiri dari lima saudara dan seorang kakek, maka walā’ dibagi di antara mereka menjadi enam bagian sesuai jumlah mereka, kakek mendapat seperenam. Kakek tidak membagi bagian dengan saudara seayah bersama saudara seayah dan seibu, berbeda dengan harta. Kemudian saudara-saudara bersama ayah kakek dan kakek dari pihak ayah, meskipun lebih tinggi derajatnya, semuanya bersama kakek terakhir. Adapun anak-anak saudara dan kakek, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ بَنِي الْإِخْوَةِ أَحَقُّ بِالْوَلَاءِ مِنَ الْجَدِّ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ، وَكَذَلِكَ بَنُوهُمْ وَإِنْ سَفَلُوا.

Salah satunya: Anak-anak saudara lebih berhak atas walā’ daripada kakek, dan ini adalah mazhab Malik, demikian pula anak-anak mereka meskipun lebih rendah derajatnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ الْجَدَّ أَوْلَى مِنْ بَنِي الإخوة، لقرب درجته، ولا يحجب اشتراك بني الإخوة مع الجد، وَيُقَدَّمُ مِنْ بَنِي الْإِخْوَةِ مَنْ كَانَ لِأَبٍ ولأم عَلَى مَنْ كَانَ لِأَبٍ، ثُمَّ بَنُوهُمْ وَبَنُو بَنِيهِمْ وَإِنْ سَفَلُوا عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ يَتَقَدَّمُونَ عَلَى الْأَعْمَامِ وَبَنِيهِمْ، وَيَتَقَدَّمُ الْجَدُّ بِالْوَلَاءِ عَلَى الْأَعْمَامِ لِأَنَّهُمْ بَنُوهُ فَأَمَّا أَبُو الْجَدِّ وَالْعَمِّ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

Pendapat kedua: Kakek lebih berhak daripada anak-anak saudara, karena kedudukannya lebih dekat, namun keberadaan anak-anak saudara bersama kakek tidak menghalangi. Didahulukan dari anak-anak saudara, yang berasal dari saudara seayah dan seibu atas yang hanya seayah, kemudian anak-anak mereka dan cucu-cucu mereka, meskipun lebih rendah derajatnya, sesuai urutan ini, mereka didahulukan atas paman dan anak-anaknya. Kakek didahulukan dalam walā’ atas paman, karena paman adalah anaknya. Adapun ayah kakek dan paman, maka dalam hal ini ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: إِنَّ أَبَا الْجَدِّ أَوْلَى بِالْوَلَاءِ لِوِلَادَتِهِ.

Salah satunya: Ayah kakek lebih berhak atas walā’ karena ia adalah asal keturunan.

وَالثَّانِي: إِنَّ الْعَمَّ أَوْلَى بِالْوَلَاءِ لِقُرْبِهِ.

Kedua: Paman lebih berhak atas walā’ karena kedekatannya.

وَالثَّالِثُ: إِنَّ أَبَا الْجَدِّ وَالْعَمِّ سَوَاءٌ يَشْتَرِكَانِ فِي الْوَلَاءِ يَتَرَتَّبُونَ بَعْدَ ذَلِكَ تَرْتِيبَ الْعَصَبَاتِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلْمَوْلَى عَصَبَةٌ فَمَوْلَى الْمَوْلَى، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَعَصَبَتُهُ ثُمَّ مَوْلَاهُ كَذَلِكَ أَبَدًا مَا وُجِدُوا، فَإِنْ لَمْ يُوجَدُوا وَوُجِدَ مَوْلَى عَصَبَتِهِ: فَإِنْ كَانَ مَوْلَى آبَائِهِ وَأَجْدَادِهِ وَرَّثَ؛ لِأَنَّ الْوَلَاءَ يَسْرِي إِلَيْهِ مِنْ أَبِيهِ وَجَدِّهِ، وإن كان مولى أبنائه أو أخواته لَمْ يَرِثْ لِأَنَّ وَلَاءَ الِابْنِ لَا يَسْرِي إِلَى أَبِيهِ وَلَا إِلَى أَخِيهِ، فَإِنْ لَمْ يكن له إِلَّا مَوْلًى مِنْ أَسْفَلَ قَدْ أَنْعَمَ عَلَيْهِ بِالْعِتْقِ لَمْ يَرِثْهُ فِي قَوْلِ الْجَمَاعَةِ.

Ketiga: Sesungguhnya kakek dari pihak ayah dan paman (dari pihak ayah) adalah setara, keduanya sama-sama berbagi dalam hak wala’, lalu mereka diurutkan setelah itu sesuai urutan para ‘ashabah. Jika sang mawla (orang yang memerdekakan) tidak memiliki ‘ashabah, maka hak berpindah kepada mawla dari mawla tersebut. Jika tidak ada juga, maka kepada ‘ashabah dari mawla itu, kemudian kepada mawla mereka, dan demikian seterusnya selama mereka masih ada. Jika mereka tidak ditemukan, namun ditemukan mawla dari ‘ashabahnya: jika ia adalah mawla dari ayah atau kakeknya, maka ia berhak mewarisi, karena hak wala’ mengalir kepadanya dari ayah atau kakeknya. Namun jika ia adalah mawla dari anak-anaknya atau saudara-saudaranya, maka ia tidak mewarisi, karena hak wala’ anak tidak mengalir kepada ayah atau saudaranya. Jika tidak ada baginya kecuali seorang mawla dari bawah (yakni yang dimerdekakan oleh orang yang lebih rendah derajatnya) yang telah berbuat baik kepadanya dengan memerdekakan, maka ia tidak mewarisinya menurut pendapat jumhur.

وَقَالَ طَاوُسٌ: لَهُ الْمِيرَاثُ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ عَوْسَجَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا مَاتَ وَلَمْ يَدَعْ وَارِثًا إِلَّا غُلَامًا لَهُ كَانَ أعتقَه فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” هَلْ لَهُ أَحَدٌ ” قَالُوا: لَا إِلَّا غُلَامًا له كَانَ أَعْتَقَهُ فَجَعَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِيرَاثَهُ لَهُ وَالدَّلِيلُ عَلَى أن لَا مِيرَاثَ لَهُ: قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ “.

Tawus berkata: Mawla tersebut berhak mendapatkan warisan, dengan berdalil pada riwayat ‘Ausajah dari Ibnu ‘Abbas bahwa ada seorang laki-laki meninggal dunia dan tidak meninggalkan ahli waris kecuali seorang budak yang telah ia merdekakan. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Apakah ia memiliki kerabat?” Mereka menjawab: “Tidak, kecuali seorang budak yang telah ia merdekakan.” Maka Rasulullah ﷺ menjadikan warisannya untuk budak tersebut. Adapun dalil yang menunjukkan bahwa ia tidak berhak mewarisi adalah sabda Nabi ﷺ: “Hak wala’ adalah bagi orang yang memerdekakan.”

وَرُوِيَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بن عمر كان يورث مَوَالِيَ عُمَرَ دُونَ بَنَاتِهِ لِأَنَّ الْمَوْلَى الْأَعْلَى وَرِثَ لِإِنْعَامِهِ فَصَارَ مِيرَاثُهُ كَالْجَزَاءِ، وَالْمَوْلَى الْأَسْفَلُ غَيْرُ مُنْعِمٍ فَلَمْ يَسْتَحِقَّ مِيرَاثًا وَلَا جَزَاءً، فأما إعطاء النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ذَلِكَ لَهُ فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ طُعْمَةً مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ كَانَ أَوْلَى بِمَالِ بَيْتِ الْمَالِ أَنْ يَضَعَهُ حَيْثُ يَرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar mewariskan kepada para mawali (budak yang telah dimerdekakan) milik Umar, bukan kepada anak-anak perempuannya, karena mawla yang lebih tinggi (yakni yang memerdekakan) mewarisi karena kebaikannya, sehingga warisannya menjadi sebagai balasan. Adapun mawla yang lebih rendah (yakni yang dimerdekakan) tidak berbuat kebaikan, maka ia tidak berhak mendapatkan warisan maupun balasan. Adapun pemberian Nabi ﷺ kepada budak tersebut, boleh jadi itu adalah pemberian khusus dari beliau, karena beliau lebih berhak terhadap harta Baitul Mal untuk menempatkannya di mana beliau kehendaki. Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْوَلَاءُ لِلْمُعْتَقِ فِي النَّسَبِ، وَصُورَتُهُ أَنْ يُعْتِقَ الرَّجُلُ عَبْدًا ثُمَّ يَمُوتُ السَّيِّدُ وَيُخْلِفُ ابْنَيْنِ فَيَرِثَانِ مَالَهُ بَيْنَهُمَا ثُمَّ يَمُوتُ أَحَدُ الِابْنَيْنِ ويخلف ابنا فينتقل ميراث ابنه عَنِ الْجَدِّ إِلَيْهِ فَإِذَا مَاتَ بَعْدَ ذَلِكَ الْعَبْدُ الْمُعْتَقُ وَرِثَهُ ابْنُ الْمَوْلَى دُونَ ابْنِ ابْنِهِ وَقَالَ شُرَيْحٌ وَابْنُ الزُّبَيْرِ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ وَطَاوُسٌ يَنْتَقِلُ الْوَلَاءُ انْتِقَالَ الْمِيرَاثِ فَيَصِيرُ وَلَاءُ الْمُعْتَقِ بَيْنَ الِابْنِ وَابْنِ الِابْنِ؛ لِأَنَّ مِيرَاثَ السَّيِّدِ الْمُعْتِقِ صَارَ إِلَيْهِمَا وَلَمْ يَجْعَلُوا الولاء للكبير اعْتِبَارًا بِمُسْتَحِقِّ الْوَلَاءِ عِنْدَ مَوْتِ الْمَوْلَى الْأَعْلَى ومن جعل الولاء للكبير اعْتُبِرَ مُسْتَحِقُّ الْوَلَاءِ عِنْدَ مَوْتِ الْمَوْلَى الْأَسْفَلِ وبتوريث الكبير قَالَ جُمْهُورُ الصَّحَابَةِ وَالْفُقَهَاءِ تَعَلُّقًا بِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْوَلَاءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ ” فَلَوْ جُعِلَ كَالْمَالِ صَارَ مَوْرُوثًا؛ وَلِأَنَّ الْمَالَ يَنْتَقِلُ بِمَوْتِ الْمَوْلَى الْأَسْفَلِ إِلَى عَصَبَةِ مَوْلَاهُ الْأَعْلَى وَلَيْسَ يَنْتَقِلُ إِلَى الْمَوْلَى بَعْدَ مَوْتِهِ فَيَنْتَقِلُ إِلَيْهِمْ كَالْمَالِ فَلِذَلِكَ صَارَ مُخَالِفًا لِلْمَالِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ مَاتَ المولى الأعلى فترك أَخًا لِأَبٍ وِأُمٍّ، وَأَخًا لِأَبٍ فَأَخَذَ الْأَخُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ مِيرَاثَهُ دُونَ الْأَخِ لِلْأَبِ ثُمَّ مات الأخ للأب والأم فترك ابْنًا ثُمَّ مَاتَ الْمَوْلَى الْمُعْتَقُ فَعَلَى مَذْهَبِ الشافعي ومن جعل الولاء للكبير فجعله لِلْأَخِ لِلْأَبِ دُونَ ابْنِ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ؛ لِأَنَّهُ الْآنَ أَقْرَبُهُمَا إِلَى الْمَوْلَى الْأَعْلَى وَمَنْ جَعَلَهُ مَوْرُوثًا كَالْمَالِ جَعَلَهُ لِابْنِ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ؛ لِأَنَّهُ صَارَ أَحَقَّ بِمِيرَاثِ الْمَوْلَى الْأَعْلَى، وَلِلْوَلَاءِ كِتَابٌ يَسْتَوْفِي فُرُوعَهُ فِيهِ مَعَ جَرِّ الْوَلَاءِ وَمَا يَتَعَلَّقُ عَلَيْهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تعالى.

Hak wala’ adalah bagi orang yang memerdekakan dalam hubungan nasab. Contohnya adalah seorang laki-laki memerdekakan seorang budak, lalu sang tuan meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak laki-laki, maka keduanya mewarisi hartanya. Kemudian salah satu dari kedua anak itu meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki, maka warisan anaknya berpindah dari kakeknya kepadanya. Jika setelah itu budak yang telah dimerdekakan meninggal dunia, maka yang mewarisinya adalah anak laki-laki dari mawla, bukan cucunya. Syuraih, Ibnu Zubair, Sa’id bin al-Musayyib, dan Tawus berpendapat bahwa hak wala’ berpindah sebagaimana warisan, sehingga hak wala’ budak yang dimerdekakan menjadi milik anak dan cucu, karena warisan tuan yang memerdekakan telah menjadi milik keduanya. Mereka tidak menjadikan hak wala’ hanya untuk yang lebih tua, dengan mempertimbangkan siapa yang berhak atas hak wala’ saat kematian mawla yang lebih tinggi. Sedangkan yang menjadikan hak wala’ untuk yang lebih tua, mempertimbangkan siapa yang berhak atas hak wala’ saat kematian mawla yang lebih rendah. Dengan mewariskan kepada yang lebih tua, jumhur sahabat dan fuqaha’ berpendapat berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Hak wala’ adalah seperti hubungan nasab, tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan.” Jika hak wala’ disamakan dengan harta, maka ia menjadi warisan; padahal harta berpindah dengan kematian mawla yang lebih rendah kepada ‘ashabah dari mawla yang lebih tinggi, dan tidak berpindah kepada mawla setelah kematiannya, sehingga hak wala’ berpindah kepada mereka sebagaimana harta. Oleh karena itu, hak wala’ berbeda dengan harta. Berdasarkan hal ini, jika mawla yang lebih tinggi meninggal dunia dan meninggalkan saudara kandung dan saudara seayah, maka saudara kandunglah yang mengambil warisannya, bukan saudara seayah. Kemudian jika saudara kandung itu meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki, lalu budak yang dimerdekakan meninggal dunia, maka menurut mazhab Syafi’i dan yang menjadikan hak wala’ untuk yang lebih tua, hak wala’ diberikan kepada saudara seayah, bukan kepada anak saudara kandung, karena saat ini ia lebih dekat kepada mawla yang lebih tinggi. Sedangkan yang menjadikan hak wala’ sebagai warisan seperti harta, maka hak wala’ diberikan kepada anak saudara kandung, karena ia lebih berhak atas warisan mawla yang lebih tinggi. Untuk pembahasan hak wala’ terdapat kitab tersendiri yang membahas cabang-cabangnya, termasuk peralihan hak wala’ dan hal-hal yang berkaitan dengannya, insya Allah Ta’ala.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا وَلَاءُ الْمُوَالَاةِ وَصُورَتُهُ: فِي رَجُلٍ لَا يُعْرَفُ لَهُ نَسَبٌ وَلَا وَلَاءٌ فَيُوَالِي رجلا يعاقده وَيُحَالِفُهُ وَيُنَاصِرُهُ فَهَذَا عِنْدَ الشَّافِعِيِّ وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ لَا يَتَوَارَثَانِ بِهِ.

Adapun wala’ al-muwalat dan bentuknya: yaitu pada seorang laki-laki yang tidak diketahui nasab maupun wala’-nya, lalu ia melakukan muwalat (perjanjian loyalitas) dengan seorang laki-laki, mengadakan akad dan perjanjian serta saling menolong. Maka menurut Imam Syafi‘i dan mayoritas fuqaha, keduanya tidak saling mewarisi karena muwalat tersebut.

وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ: يَتَوَارَثَانِ بِهَذِهِ الْمُوَالَاةِ وَلَيْسَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا نَقْضُهَا، وَقَالَ أبو حنيفة يَتَوَارَثَانِ بِهَا وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نَقْضُهَا مَا لَمْ يعقل عنه صاحبه، فإن عقل له لم يكن له نقضها فاستدل عَلَى اسْتِحْقَاقِ التَّوَارُثِ بِهَا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ} [النساء: 33] وَبِرِوَايَةِ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ أَنَّ رَجُلًا وَالَى رَجُلًا فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أنت أحق الناس بِمَحْيَاهُ وَمَمَاتِهِ “.

Ibrahim an-Nakha‘i berpendapat: keduanya saling mewarisi karena muwalat ini, dan tidak ada dari keduanya yang boleh membatalkannya. Abu Hanifah berpendapat: keduanya saling mewarisi karena muwalat ini, namun masing-masing dari mereka boleh membatalkannya selama belum menanggung diyat (pembayaran) atas temannya. Jika sudah menanggung diyat, maka tidak boleh membatalkannya. Mereka berdalil atas hak waris karena muwalat ini dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang telah kamu buat perjanjian dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya} (an-Nisa’: 33), dan dengan riwayat Tamim ad-Dari bahwa ada seorang laki-laki melakukan muwalat dengan laki-laki lain, lalu Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Engkau adalah orang yang paling berhak atas hidup dan matinya.”

وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ مَا ذَهَبَا إِلَيْهِ قَوْله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ ” فَأَثْبَتَهُ لِلْمُعْتِقِ وَنَفَاهُ عَنْ غَيْرِ الْمُعْتِقِ.

Dalil atas rusaknya pendapat mereka adalah sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya wala’ itu hanya bagi orang yang memerdekakan.” Maka beliau menetapkan wala’ bagi orang yang memerdekakan dan menafikannya dari selainnya.

وَرَوَى جُبَيْرُ بْنُ مُطْعِمٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا حِلْفَ فِي الْإِسْلَامِ وَأَيُّمَا حِلْفٍ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَمْ يَزِدْهُ الْإِسْلَامُ إِلَّا شِدَّةً ” وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لِمَالِهِ جِهَةٌ يَنْصَرِفُ إِلَيْهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْقُلَهُ بِالْمُوَالَاةِ إِلَى غَيْرِهَا كَالَّذِي لَهُ نَسَبٌ أَوْ عَلَيْهِ وَلَاءٌ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ جِهَةٍ لَا يَتَوَارَثُ بِهَا مَعَ النَّسَبِ وَالْوَلَاءِ لَا يَتَوَارَثُ بِهَا مَعَ عَدَمِ النَّسَبِ وَالْوَلَاءِ كَالنِّكَاحِ الْفَاسِدِ، فَأَمَّا الْآيَةُ فَمَنْسُوخَةٌ حِينَ نُسِخَ التَّوَارُثُ بِالْحِلْفِ وَقَدْ ذَكَرْنَاهُ.

Jubair bin Muth‘im meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tidak ada persekutuan (hilf) dalam Islam, dan setiap persekutuan yang ada pada masa jahiliah, Islam hanya menambahkannya kekuatan.” Dan karena setiap orang yang hartanya telah memiliki sebab yang jelas, tidak boleh dialihkan kepada selainnya dengan muwalat, seperti orang yang memiliki nasab atau memiliki wala’. Dan karena setiap sebab yang tidak menyebabkan waris bersama nasab dan wala’, maka tidak menyebabkan waris pula ketika tidak ada nasab dan wala’, seperti pernikahan fasid. Adapun ayat tersebut telah mansukh (dihapus hukumnya) ketika waris karena persekutuan dihapus, dan telah kami sebutkan sebelumnya.

وأما قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أنت أحق بمحياه ومماته ” فمعناه أحق بنفسه دون ماله في نصرته فِي حَيَاتِهِ وَدَفْنِهِ وَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ بَعْدَ وَفَاتِهِ والله أعلم بالصواب.

Adapun sabda Nabi ﷺ: “Engkau lebih berhak atas hidup dan matinya,” maksudnya adalah lebih berhak atas dirinya, bukan atas hartanya, yaitu dalam menolongnya di masa hidupnya, serta dalam menguburkan dan menshalatinya setelah wafatnya. Allah-lah yang lebih mengetahui kebenaran.

آخر كتاب العصبة.

Akhir dari Kitab al-‘Ashabah.

باب ميراث الجد

Bab Warisan Kakek

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَالْجَدُّ لَا يَرِثُ مَعَ الْأَبِ فَإِنْ لَمْ يكن أب فَالْجَدُّ بِمَنْزِلَةِ الْأَبِ إِنْ لَمْ يَكُنِ الْمَيِّتُ تَرَكَ أَحَدًا مِنْ وَلَدِ أَبِيهِ الْأَدْنَيْنِ أَوْ أحدا من أمهات أبيه وَإِنْ عَالَتِ الْفَرِيضَةُ إِلَّا فِي فَرِيضَتَيْنِ زَوْجٍ وأبوين أو امرأة وأبوين فإنه إذا كال فِيهِمَا مَكَانَ الْأَبِ جَدٌّ صَارَ لِلْأُمِّ الثُّلُثُ كَامِلًا وَمَا بَقِيَ فَلِلْجَدِّ بَعْدَ نَصِيبِ الزَّوْجِ أَوِ الزَّوْجَةِ وَأُمَّهَاتُ الْأَبِ لَا يَرِثْنَ مَعَ الْأَبِ وَيَرِثْنَ مَعَ الْجَدِّ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Kakek tidak mewarisi bersama ayah. Jika tidak ada ayah, maka kakek menempati posisi ayah, selama mayit tidak meninggalkan seorang pun dari anak-anak ayahnya yang terdekat atau salah satu dari ibu-ibu ayahnya, meskipun faridah (pembagian warisan) menjadi ‘alat, kecuali pada dua faridah: suami dan kedua orang tua, atau istri dan kedua orang tua. Jika pada keduanya posisi ayah digantikan oleh kakek, maka ibu mendapat sepertiga penuh, dan sisanya untuk kakek setelah bagian suami atau istri. Ibu-ibu ayah tidak mewarisi bersama ayah, namun mereka mewarisi bersama kakek.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الجد المطلق فهو أبو الأب لا غير، فأما أبي الْأُمِّ فَهُوَ جَدٌّ بِتَقْيِيدٍ، ثُمَّ الْجَدُّ يَجْمَعُ رَحِمًا وَتَعْصِيبًا كَالْأَبِ، فَيَرِثُ تَارَةً بِالرَّحِمِ فَرْضًا مُقَدَّرًا وَيَرِثُ بِالتَّعْصِيبِ تَارَةً مُرْسَلًا، وَيَجْمَعُ بَيْنَ الْفَرْضِ وَالتَّعْصِيبِ فِي مَوْضِعٍ وَلَا خِلَافَ أَنَّ الْجَدَّ لَا يَسْقُطُ إِلَّا بِالْأَبِ وَحْدَهُ، وَلَهُ في ميراثه ثلاثة أحوال أَجْمَعُوا أَنَّهُ فِيهَا كَالْأَبِ، وَحَال أَجْمَعُوا أَنَّهُ فِيهَا بِخِلَافِ الْأَبِ، وَحَالٌ اخْتَلَفُوا هَلْ هُوَ فِيهَا كَالْأَبِ أَمْ لَا؟ .

Al-Mawardi berkata: Adapun kakek mutlak adalah ayah dari ayah, bukan yang lain. Adapun ayah dari ibu, maka ia adalah kakek dengan pembatasan. Kemudian, kakek menggabungkan hubungan rahim dan ‘ashabah seperti ayah; kadang ia mewarisi karena rahim dengan bagian tertentu, dan kadang mewarisi sebagai ‘ashabah secara mutlak. Ia juga dapat menggabungkan antara bagian tertentu dan ‘ashabah dalam satu keadaan. Tidak ada khilaf bahwa kakek tidak gugur kecuali hanya karena ayah. Dalam waris, kakek memiliki tiga keadaan yang para ulama sepakat bahwa ia seperti ayah, satu keadaan yang mereka sepakat bahwa ia berbeda dengan ayah, dan satu keadaan yang mereka perselisihkan apakah ia seperti ayah atau tidak.

فَأَمَّا الْحَالُ الَّتِي أجمعوا على أنه فيها كَالْأَبِ فَمَعَ الْبَنِينَ وَبَنِيهِمْ يَأْخُذُ بِالْفَرْضِ وَحْدَهُ وَمَعَ الْبَنَاتِ وَبَنَاتِ الِابْنِ يَأْخُذُ بِالْفَرْضِ وَالتَّعْصِيبِ إن بقي شيء كالأب ويسقط سَائِرُ الْعَصَبَاتِ سِوَى الْإِخْوَةِ مِنَ الْأَعْمَامِ وَبَنِيهِمْ وَبَنِي الْإِخْوَةِ إِلَّا فِي رِوَايَةٍ شَاذَّةٍ حَكَاهَا إسماعيل بن أبي خالد عن علي عليه السلام أنه قاسم الجد مع بني الإخوة وليست ثابتة، ويسقط الْإِخْوَةُ لِلْأُمِّ فَهَذِهِ حَالٌ هُوَ وَالْأَبُ فِيهَا سواء، وأما ما أجمعوا عليه على أنه فيه مخالف للأب ففي فَرِيضَتَيْنِ هُمَا زَوْجٌ وَأَبَوَانِ، أَوْ زَوْجَةٌ وَأَبَوَانِ، فَإِنَّ لِلْأُمِّ ثُلُثَ مَا يَبْقَى بَعْدَ فَرْضِ الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ، فَإِنْ كَانَ مَكَانُ الْأَبِ جَدٌّ: فَلِلْأُمِّ ثُلُثُ جَمِيعِ الْمَالِ فِي الْفَرِيضَتَيْنِ أَمَّا مَعَ الزَّوْجَةِ فَبِاتِّفَاقٍ، وَأَمَّا مَعَ الزَّوْجِ فَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ، وَحُكِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ جَعَلَ لِلْأُمِّ ثُلُثَ ما بقي والباقي للجد للأب، وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ جَعَلَ لِلزَّوْجِ النِّصْفَ، وَالْبَاقِي بَيْنَ الْجَدِّ وَالْأُمِّ نِصْفَيْنِ، وَهِيَ إحدى مربعاته؛ لأنه جعل المال أَرْبَاعًا، وَالَّذِي عَلَيْهِ الْجُمْهُورُ مَا ذَكَرْنَا، وَالْجَدُّ يَحْجُبُ أُمَّ نَفْسِهِ دُونَ أُمَّهَاتِ الْأَبِ، فَهَذِهِ حَالٌ ذَهَبُوا إِلَى أَنَّهُ فِيهَا مُخَالِفٌ لِلْأَبِ، وَأَمَّا مَا اخْتَلَفُوا هَلِ الْجَدُّ فِيهِ كَالْأَبِ أَمْ لَا؟ فَمَعَ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ، وَقَدْ كَانَتِ الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ لِاشْتِبَاهِ الْأَمْرِ فِيهِ تَكْرَهُ الْقَوْلَ فِيهِ حَتَّى رَوَى سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أجرأكم على قسم الجد أجرأكم على النار “.

Adapun keadaan di mana mereka sepakat bahwa kedudukan kakek sama seperti ayah adalah: bersama anak laki-laki dan cucu laki-laki (dari anak laki-laki), kakek hanya mengambil bagian fardh saja; dan bersama anak perempuan serta cucu perempuan (dari anak laki-laki), kakek mengambil bagian fardh dan juga ‘ashabah (sisa warisan) jika masih ada sisa, seperti halnya ayah. Semua ‘ashabah selain saudara-saudara dari paman dan anak-anak mereka serta anak-anak saudara laki-laki gugur, kecuali dalam satu riwayat yang syadz (ganjil) yang diriwayatkan oleh Isma‘il bin Abi Khalid dari ‘Ali ‘alaihis salam bahwa beliau membagi warisan antara kakek dan anak-anak saudara laki-laki, namun riwayat ini tidak kuat. Saudara-saudara seibu juga gugur. Maka ini adalah keadaan di mana kakek dan ayah sama. Adapun perkara yang mereka sepakati bahwa kakek berbeda dengan ayah adalah pada dua kasus: suami dan kedua orang tua, atau istri dan kedua orang tua. Dalam hal ini, ibu mendapat sepertiga dari sisa setelah bagian suami atau istri diambil. Jika posisi ayah digantikan oleh kakek, maka ibu mendapat sepertiga dari seluruh harta pada kedua kasus tersebut; bersama istri menurut kesepakatan, dan bersama suami menurut pendapat mayoritas. Diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau memberikan kepada ibu sepertiga dari sisa, dan sisanya untuk kakek dari pihak ayah. Diriwayatkan pula dari Ibnu Mas‘ud bahwa beliau memberikan kepada suami setengah, dan sisanya dibagi dua antara kakek dan ibu, yaitu salah satu dari empat pembagiannya, karena beliau membagi harta menjadi empat bagian. Adapun pendapat jumhur adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan. Kakek menghalangi (menggugurkan) ibunya sendiri, tetapi tidak menggugurkan nenek-nenek dari pihak ayah. Inilah keadaan di mana mereka berpendapat bahwa kakek berbeda dengan ayah. Adapun perkara yang diperselisihkan, apakah kakek dalam hal itu sama dengan ayah atau tidak, adalah bersama saudara-saudara laki-laki dan perempuan. Para sahabat radhiyallahu ‘anhum, karena perkara ini samar, enggan berbicara tentangnya, hingga Sa‘id bin al-Musayyib meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang yang paling berani membagi warisan antara kakek dan saudara-saudara adalah orang yang paling berani terhadap api neraka.”

وقال علي عليه السلام: ” من سره أن يقتحم جَرَاثِيمَ جَهَنَّمَ فَلْيَقْضِ بَيْنَ الْإِخْوَةِ وَالْجَدِّ “.

Dan ‘Ali ‘alaihis salam berkata: “Barang siapa yang ingin menerjunkan dirinya ke dalam dasar-dasar Jahannam, hendaklah ia memutuskan perkara antara saudara-saudara dan kakek.”

وَقَالَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ” سَلُونَا عَنْ عَضَلِكُمْ وَدَعُونَا مِنَ الْجَدِّ لَا حياه الله “. فَاخْتَلَفَ الصَّحَابَةُ وَمَنْ بَعْدَهُمْ فِي سُقُوطِ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ بِالْجَدِّ: فَرُوِيَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ وَعَائِشَةَ وَأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ وَأَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّ الْجَدَّ يُسْقِطُ الْإِخْوَةَ وَالْأَخَوَاتِ كَالْأَبِ، وَعَنْ عُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ مِثْلُهُ، ثُمَّ رَجَعُوا عَنْهُ بَلْ رُوِيَ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ لَمْ يَخْتَلِفُوا فِيهِ أَيَّامَ أَبِي بَكْرٍ حَتَّى مَاتَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.

Dan ‘Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Tanyalah kami tentang masalah-masalah sulit kalian, dan tinggalkanlah (pertanyaan) tentang kakek, semoga Allah tidak memberinya kehidupan.” Maka para sahabat dan generasi setelah mereka berselisih pendapat tentang gugurnya saudara-saudara laki-laki dan perempuan karena adanya kakek: Diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Aisyah, Ubay bin Ka‘b, Mu‘adz bin Jabal, Abu Darda’, Abu Musa al-Asy‘ari, Abu Hurairah, dan ‘Abdullah bin az-Zubair radhiyallahu ‘anhum bahwa kakek menggugurkan saudara-saudara laki-laki dan perempuan seperti ayah. Dari ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum juga demikian, kemudian mereka menarik kembali pendapat itu. Bahkan diriwayatkan dari mereka bahwa mereka tidak berselisih dalam hal ini pada masa Abu Bakar hingga beliau wafat radhiyallahu ‘anhu.

وَبِهَذَا قَالَ مِنَ التَّابِعِينَ عَطَاءٌ وَطَاوُسٌ وَالْحَسَنُ وَقَالَ بِهِ مِنَ الْفُقَهَاءِ أبو حنيفة وَالْمُزَنِيُّ وَأَبُو ثَوْرٍ وَإِسْحَاقُ وَابْنُ سُرَيْجٍ وَدَاوُدُ وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ وَعِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّ الْجَدَّ يُقَاسِمُ الْإِخْوَةَ وَالْأَخَوَاتِ وَلَا يُسْقِطُهُمْ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ مِنْ كَيْفِيَّةِ مُقَاسَمَتِهِ لَهُمْ.

Pendapat ini juga dipegang oleh para tabi‘in seperti ‘Atha’, Thawus, dan al-Hasan, serta dari kalangan fuqaha seperti Abu Hanifah, al-Muzani, Abu Tsaur, Ishaq, Ibnu Surayj, dan Dawud. Diriwayatkan pula dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu Mas‘ud, Zaid bin Tsabit, dan ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhum bahwa kakek membagi warisan bersama saudara-saudara laki-laki dan perempuan, dan tidak menggugurkan mereka, sebagaimana akan kami sebutkan tentang tata cara pembagiannya.

وَبِهِ قَالَ مِنَ التَّابِعِينَ شُرَيْحٌ وَالشَّعْبِيُّ وَمَسْرُوقٌ وَعَبِيدَةُ السَّلْمَانِيُّ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الشَّافِعِيُّ وَمَالِكٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ وأبو يوسف ومحمد وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَسْقَطَ الْإِخْوَةَ وَالْأَخَوَاتِ بِالْجَدِّ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَائِي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ} [يوسف: 38] وَقَالَ تَعَالَى: {مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ} [الحج: 78] فَسَمَّاهُ أَبًا وَإِذَا كَانَ اسْمُ الْأَبِ مُنْطَلِقًا عَلَى الْجَدِّ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي الْحُكْمِ كَالْأَبِ وَلِأَنَّ لِلْمَيِّتِ طَرَفَيْنِ أَعْلَى وَأَدْنَى فَالْأَعْلَى الْأَبُ وَمَنْ عَلَا وَالْأَدْنَى الِابْنُ وَمَنْ سَفَلَ فَلَمَّا كَانَ ابْنُ الِابْنِ كَالِابْنِ في حجب الإخوة ووجب أَنْ يَكُونَ أَبُو الْأَبِ كَالْأَبِ فِي حَجْبِ الْإِخْوَةِ. وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَنَّهُ أَحَدُ الطَّرَفَيْنِ فَاسْتَوَى حكم أوله وآخره كالطرف الآخر قالوا وَلِأَنَّ الْجَدَّ عَصَبَةٌ لَا يَعْقِلُ فَوَجَبَ أَنْ يُسْقِطَ الْعَصَبَةَ الَّتِي تَعْقِلُ كَالِابْنِ، وَلِأَنَّ مَنْ جَمَعَ الْوِلَادَةَ وَالتَّعْصِيبَ أَسْقَطَ مَنْ عَدَم الْوِلَادَةِ وتفرد بالتعصيب كالابن؛ وَلِأَنَّ لِلْجَدِّ تَعْصِيبًا وَرَحِمًا يَرِثُ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُنْفَرِدًا فَكَانَ أَقْوَى مِنَ الْأَخِ الَّذِي ليس يدلي إلا بالتعصيب وحده قالوا: ولأن الجد يدلي بابن والأخ يدلي بالأب، وَالِابْنُ أَقْوَى مِنَ الْأَبِ، فَكَانَ الْإِدْلَاءُ بِالِابْنِ أَقْوَى مِنَ الْإِدْلَاءِ بِالْأَبِ، وَلِأَنَّ لِلْجَدِّ وِلَايَةً يَسْتَحِقُّهَا بِقُوَّتِهِ فِي نِكَاحِ الصَّغِيرَةِ وَعَلَى مَالِهَا وَيَضْعُفُ الْأَخُ بِمَا قَصَّرَ فِيهَا.

Pendapat ini juga dipegang oleh para tabi’in seperti Syuraih, asy-Sya’bi, Masruq, dan ‘Ubaidah as-Salmani, serta dari kalangan fuqaha seperti asy-Syafi‘i, Malik, al-Auza‘i, ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad, dan Ahmad bin Hanbal. Orang-orang yang berpendapat bahwa saudara laki-laki dan perempuan gugur karena adanya kakek berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan aku mengikuti agama nenek moyangku, Ibrahim dan Ishaq} [Yusuf: 38] dan firman-Nya: {Agama bapakmu Ibrahim} [al-Hajj: 78]. Maka Allah menyebut kakek sebagai “bapak”. Jika nama “bapak” berlaku juga untuk kakek, maka dalam hukum ia harus disamakan dengan bapak. Karena bagi mayit ada dua jalur, atas dan bawah; yang atas adalah bapak dan ke atasnya, yang bawah adalah anak dan ke bawahnya. Ketika anak dari anak (cucu) diperlakukan seperti anak dalam menghalangi saudara, maka kakek (ayah dari ayah) juga harus diperlakukan seperti bapak dalam menghalangi saudara. Penjelasannya secara qiyās adalah bahwa ia merupakan salah satu dari dua jalur, sehingga hukumnya sama antara awal dan akhirnya, sebagaimana jalur yang lain. Mereka juga berkata: kakek adalah ‘ashabah yang tidak menerima ‘aqilah, maka ia harus menggugurkan ‘ashabah yang menerima ‘aqilah sebagaimana anak; dan karena siapa yang menggabungkan nasab (kelahiran) dan ‘ashabah, ia menggugurkan yang tidak memiliki nasab dan hanya sendiri dalam ‘ashabah seperti anak; dan karena kakek memiliki ‘ashabah dan hubungan rahim, ia mewarisi dengan masing-masing secara terpisah, maka ia lebih kuat daripada saudara yang hanya memiliki ‘ashabah saja. Mereka berkata: kakek bersandar pada anak (sebagai jalur nasab), sedangkan saudara bersandar pada bapak, dan anak lebih kuat daripada bapak, maka bersandar pada anak lebih kuat daripada bersandar pada bapak. Dan karena kakek memiliki hak perwalian yang ia peroleh karena kekuatannya dalam pernikahan anak perempuan yang masih kecil dan atas hartanya, sedangkan saudara menjadi lemah karena kekurangan dalam hal itu.

قَالُوا: وَلِأَنَّ الْأَخَ لَوْ قَاسَمَ الْجَدَّ كَالْأَخَوَيْنِ لَوَجَبَ أَنْ يقتسمها فِي كُلِّ فَرِيضَةٍ وَرِثَ فِيهَا جَدٌّ كَمَا يُقَاسِمُ الْأَخُ الْأَخَ فِي كُلِّ فَرِيضَةٍ وَرِثَ فِيهَا أَخٌ، فَلَمَّا لَمْ يُقَاسِمْهُ فِي غَيْرِ هَذَا الْمَوْضِعِ لَمْ يُقَاسِمْهُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ. قَالُوا: وَلِأَنَّ الْجَدَّ فِي مُقَاسَمَةِ الْإِخْوَةِ لَا يَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ كَالْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، أَوْ كَالْأَخِ لِلْأَبِ أَوْ أَقْوَى مِنْهُمَا، وَلَيْسَ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَضْعَفَ مِنْهُمَا؛ لِأَنَّهُ لَا يَسْقُطُ بِهِمَا، فَلَوْ كَانَ كَالْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ لَمْ يَرْثِ مَعَهُ الْأَخُ لِلْأَبِ وَلَوْ كَانَ كَالْأَخِ لِلْأَبِ لَمَا وَرِثَ مَعَ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، وَإِذَا امْتَنَعَ بِمَا ذَكَرْنَا أَنْ يَكُونَ كَأَحَدِهِمَا ثَبَتَ أَنَّهُ أَقْوَى منهما. والله أعلم.

Mereka berkata: Jika saudara membagi warisan bersama kakek seperti dua saudara, niscaya ia harus membaginya dalam setiap kasus warisan yang melibatkan kakek, sebagaimana saudara membagi warisan dengan saudara dalam setiap kasus warisan yang melibatkan saudara. Ketika ternyata ia tidak membagi warisan dengan kakek kecuali dalam kasus tertentu ini, maka ia juga tidak membaginya dalam kasus ini. Mereka berkata: Dalam pembagian warisan antara kakek dan saudara, tidak lepas dari tiga keadaan: apakah kakek seperti saudara seayah dan seibu, atau seperti saudara seayah, atau lebih kuat dari keduanya. Tidak mungkin kakek lebih lemah dari keduanya, karena ia tidak gugur karena keduanya. Jika kakek seperti saudara seayah dan seibu, maka saudara seayah tidak akan mewarisi bersamanya. Jika kakek seperti saudara seayah, maka ia tidak akan mewarisi bersama saudara seayah dan seibu. Ketika telah terbukti dengan penjelasan di atas bahwa kakek tidak sama dengan salah satu dari keduanya, maka tetaplah bahwa ia lebih kuat dari keduanya. Dan Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَاسْتَدَلَّ مَنْ وَرَّثَ الْإِخْوَةَ وَالْأَخَوَاتِ مَعَ الْجَدِّ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الوالدان والأقربون} [النساء: 7] وبقوله تعالى: {وأولوا الأرحام بعضهم أولى ببعض} [النساء: 6] وَالْجَدُّ وَالْإِخْوَةُ يَدْخُلُونَ فِي عُمُومِ الْآيَتَيْنِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَخُصَّ الْجَدَّ بِالْمَالِ دُونَ الْإِخْوَةِ؛ وَلِأَنَّ الْأَخَ عَصَبَةٌ يُقَاسِمُ أُخْتَهُ فَلَمْ يَسْقُطْ بالجد كَالِابْنِ طَرْدًا وَبَنِي الْإِخْوَةِ وَالْعَمِّ عَكْسًا.

Adapun yang berpendapat bahwa saudara laki-laki dan perempuan tetap mewarisi bersama kakek, mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat} [an-Nisa: 7] dan firman-Nya: {Dan para kerabat itu sebagian mereka lebih berhak terhadap sebagian yang lain} [an-Nisa: 6]. Kakek dan saudara-saudara termasuk dalam keumuman kedua ayat ini, maka tidak boleh mengkhususkan kakek saja dengan harta warisan tanpa saudara. Dan karena saudara adalah ‘ashabah yang membagi warisan dengan saudari perempuannya, maka ia tidak gugur karena adanya kakek sebagaimana anak secara mutlak, dan juga tidak seperti anak-anak saudara dan paman secara kebalikan.

فَإِنْ قِيلَ: هَذَا تَعْلِيلٌ فَاسِدٌ، لِأَنَّ الْأَخَ وَإِنْ عَصَّبَ أُخْتَهُ يَسْقُطُ بِالْأَبِ وَهُوَ لَا يُعَصِّبُ أخته فكذلك لا يمتنع أن تسقط بِالْجَدِّ الَّذِي لَا يُعَصِّبُ أُخْتَهُ.

Jika dikatakan: Ini adalah alasan yang lemah, karena meskipun saudara menjadi ‘ashabah bagi saudari perempuannya, ia tetap gugur karena adanya bapak, dan ia tidak menjadi ‘ashabah bagi saudari perempuannya. Maka demikian pula tidak mustahil ia gugur karena adanya kakek yang juga tidak menjadi ‘ashabah bagi saudari perempuannya.

قِيلَ: إِنَّمَا سَقَطُوا بِالْأَبِ لِمَعْنًى عُدِمَ فِي الْجَدِّ وَهُوَ إدلائهم بِالْأَبِ دُونَ الْجَدِّ، وَلِأَنَّ قُوَّةَ الْأَبْنَاءِ مُكْتَسَبَةٌ مِنْ قُوَّةِ الْآبَاءِ، فَلَمَّا كَانَ بَنُو الْإِخْوَةِ لَا يَسْقُطُونَ مَعَ بَنِي الْجَدِّ فَكَذَلِكَ الْإِخْوَةُ لَا يَسْقُطُونَ مَعَ الْجَدِّ.

Dijawab: Mereka gugur karena adanya bapak karena suatu alasan yang tidak ada pada kakek, yaitu karena mereka bersandar pada bapak, bukan pada kakek. Dan karena kekuatan anak-anak diperoleh dari kekuatan bapak-bapak, maka ketika anak-anak saudara tidak gugur bersama anak-anak kakek (paman), demikian pula saudara tidak gugur bersama kakek.

فَإِنْ قِيلَ: فَهَذَا الجمع يقضي أَنْ يَكُونَ الْإِخْوَةُ يُسْقِطُونَ الْجَدَّ كَمَا أَنَّ بَنِي الْإِخْوَةِ يُسْقِطُونَ بَنِي الْجَدِّ وَهُمُ الْأَعْمَامُ.

Jika dikatakan: Maka penggabungan ini mengharuskan bahwa saudara-saudara menggugurkan kakek sebagaimana anak-anak saudara menggugurkan anak-anak kakek, yaitu para paman.

قِيلَ: إِنَّمَا اسْتَدْلَلْنَا بِهَذَا عَلَى مِيرَاثِ الْإِخْوَةِ لَا عَلَى مَنْ سَقَطَ بِالْإِخْوَةِ وَقَدْ دَلَّ عَلَى مِيرَاثِهِمْ فَصَحَّ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَا يَحْجُبُ الْأُمَّ إِلَى ثُلُثِ الْبَاقِي لَا يَحْجُبُ الْإِخْوَةَ كَالْعَمِّ طَرْدًا وَكَالْأَبِ عَكْسًا، وَلِأَنَّ كُلَّ سببين يدليان إلى الميت لشخص واحد لم يَسْقُطْ أَحَدُهُمَا بِالْآخَرِ كَالْأَخَوَيْنِ وَكَابْنَيِ الِابْنِ، لِأَنَّ الْأَخَ وَالْجَدَّ كِلَاهُمَا يُدْلِيَانِ بِالْأَبِ، وَلِأَنَّ تَعْصِيبَ الإخوة كتعصيب الأولاد، لأنهم يعصبون أخواتهم ويحجب الأم عن أعلى الوجهين، وَيَفْرِضُ النِّصْفَ لِلْأُنْثَى مِنْهُمْ وَالْجَدُّ فِي هَذِهِ الأحوال كُلِّهَا بِخِلَافِهِمْ فَكَانُوا بِمُقَاسَمَةِ الْجَدِّ أَوْلَى مِنْ سُقُوطِهِمْ بِهِ، وَلِأَنَّ كُلَّ شَخْصَيْنِ إِذَا اجْتَمَعَا فِي دَرَجَةٍ وَاحِدَةٍ وَكَانَ أَحَدُهُمَا يَجْمَعُ بَيْنَ التعصيب والرحم والآخر يتفرد بالتعصيب دون الرحم: كان المتفرد بِالتَّعْصِيبِ وَحْدَهُ أَقْوَى كَالِابْنِ إِذَا اجْتَمَعَ مَعَ الْأَبِ فَلَمَّا كَانَ الْجَدُّ جَامِعًا لِلْأَمْرَيْنِ وَالْأَخُ مُخْتَصٌّ بِأَحَدِهِمَا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ أَقْوَى، لِأَنَّ الْجَدَّ وَالْأَخَ كِلَاهُمَا يُدْلِيَانِ بِالْأَبِ وَالْجَدِّ يَقُولُ: أَنَا أَبُو أَبِي الْمَيِّتِ، وَالْأَخُ يَقُولُ: أَنَا ابْنُ أَبِي الْمَيِّتِ فَصَارَ الْأَخُ أَقْوَى مِنَ الْجَدِّ لِثَلَاثَةِ مَعَانٍ مِنْهَا: أَنَّ الْأَخَ يُدْلِي بِالْبُنُوَّةِ وَالْجَدَّ يُدْلِي بِالْأُبُوَّةِ، وَالْإِدْلَاءُ بِالْبُنُوَّةِ أَقْوَى، وَمِنْهَا أَنَّ مَنْ يُدْلِيَانِ بِهِ وَهُوَ الْأَبُ لَوْ كَانَ هُوَ الْمَيِّتُ لَكَانَ لِلْجَدِّ مِنْ تَرِكَتِهِ السُّدُسُ وَخَمْسَةُ أَسْدَاسِهَا لِلِابْنِ، وَمِنْهَا أَنَّ الْأَخَ قَدْ شَارَكَ الْمَيِّتَ فِي الصُّلْبِ وَرَاكَضَهُ فِي الرَّحِمِ، وَإِذَا كَانَ الْأَخُ أَقْوَى مِنَ الْجَدِّ بِهَذِهِ الْمَعَانِي الثَّلَاثَةِ كَانَ أَقَلُّ أَحْوَالِهِ أَنْ يَكُونَ مُشَارِكًا لَهُ فِي مِيرَاثِهِ، ثُمَّ يَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ مَا جَرَى مِنْ نَظَرِ الصَّحَابَةِ فِيهِ، فَرُوِيَ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يَكْرَهُ أَنْ يَذْكُرَ فَرِيضَةً فِي الْجَدِّ حَتَّى صَارَ هُوَ جَدًّا وَذَلِكَ أَنَّ ابْنَهُ عَاصِمًا مَاتَ وَتَرَكَ أَوْلَادًا ثُمَّ مَاتَ أحد الأولاد فترك جَدَّهُ عُمَرَ وَإِخْوَتَهُ فَعَلِمَ أَنَّهُ أَمْرٌ لَا بُدَّ مِنَ النَّظَرِ فِيهِ، فَقَامَ فِي النَّاسِ فَقَالَ هَلْ فِيكُمْ مِنْ أَحَدٍ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ فِي الْجَدِّ شَيْئًا؟ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يسئل عَنْ فَرِيضَةِ الْجَدِّ فَأَعْطَاهُ السُّدُسَ فَقَالَ مَنْ كَانَ مَعَهُ مِنَ الْوَرَثَةِ؟ فَقَالَ لَا أَدْرِي قَالَ لَا دَرَيْتَ ثُمَّ قَالَ آخَرُ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عن فريضة الْجَدِّ فَأَعْطَاهُ الثُّلُثَ فَقَالَ مَنْ كَانَ مَعَهُ مِنَ الْوَرَثَةِ؟ قَالَ: لَا أَدْرِي قَالَ: لَا دَرَيْتَ؟ ثُمَّ دَعَا زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ فَقَالَ إِنَّهُ كَانَ مِنْ رَأْيِي وَرَأْيِ أَبِي بَكْرٍ قبلي أن أجعل الْجَدَّ أَوْلَى مِنَ الْأَخِ فَمَاذَا تَرَى؟ فَقَالَ يا أمير المؤمنين لا يجعل شَجَرَةٌ خَرَجَ مِنْهَا غُصْنٌ ثُمَّ خَرَجَ مِنَ الغصن غصنان فيم تَجْعَلُ الْجَدَّ أَوْلَى مِنَ الْأَخِ وَهُمَا خَرَجَا مِنَ الْغُصْنِ الَذِي خَرَجَ مِنْهُ الْجَدُّ؟ ثُمَّ دَعَا عَلِيَّ بْنَ أَبَى طَالِبٍ وَقَالَ: لَهُ مِثْلَ مَقَالَتِهِ لِزَيْدٍ فَقَالَ عَلِيٌّ يَا أَمِيرَ المؤمنين لا تجعل واد سال فانشعبت منه شعبة ثم انشعبت مِنَ الشُّعْبَةِ شُعْبَتَانِ فَلَوْ رَجَعَ مَاءُ إِحْدَى الشعبتين دخل في الشعبتين جميعا فيم تَجْعَلُ الْجَدَّ أَوْلَى مِنَ الْأَخِ؟ فَقَالَ عُمَرُ: لولا رأيكما أجمع مَا رَأَيْتُ أَنْ يَكُونَ ابْنِي وَلَا أَنْ أَكُونَ أَبَاهُ.

Dikatakan: Sesungguhnya kami hanya berdalil dengan hal ini untuk menunjukkan hak waris saudara, bukan untuk yang gugur karena adanya saudara, dan telah ada dalil tentang warisan mereka maka itu sah. Dan karena setiap orang yang tidak menghalangi ibu mendapatkan sepertiga dari sisa harta, juga tidak menghalangi saudara, seperti paman secara analogi, dan seperti ayah secara kebalikan. Dan karena setiap dua sebab yang menghubungkan kepada mayit melalui satu orang, maka salah satunya tidak gugur karena yang lain, seperti dua saudara laki-laki dan dua cucu laki-laki, karena baik saudara maupun kakek sama-sama terhubung melalui ayah. Dan karena ‘ashabah (hak waris karena hubungan laki-laki) saudara seperti ‘ashabah anak-anak, karena mereka meng-‘ashabah-kan saudara perempuan mereka dan menghalangi ibu dari bagian tertinggi, dan menetapkan setengah bagian untuk perempuan di antara mereka, sedangkan kakek dalam semua keadaan ini berbeda dengan mereka. Maka mereka lebih berhak untuk berbagi dengan kakek daripada gugur karena kakek. Dan karena setiap dua orang jika berkumpul dalam satu derajat dan salah satunya menggabungkan antara ‘ashabah dan rahim, sedangkan yang lain hanya khusus ‘ashabah tanpa rahim, maka yang khusus dengan ‘ashabah saja lebih kuat, seperti anak laki-laki jika berkumpul dengan ayah. Maka ketika kakek menggabungkan dua hal dan saudara hanya khusus dengan salah satunya, wajiblah ia lebih kuat. Karena baik kakek maupun saudara sama-sama terhubung melalui ayah, dan kakek berkata: “Aku adalah ayah dari ayah si mayit,” dan saudara berkata: “Aku adalah anak dari ayah si mayit.” Maka saudara lebih kuat daripada kakek karena tiga alasan: di antaranya, bahwa saudara terhubung melalui hubungan anak (bunuwwah) dan kakek melalui hubungan ayah (ubuwwah), dan hubungan melalui bunuwwah lebih kuat; di antaranya lagi, bahwa orang yang menjadi perantara keduanya, yaitu ayah, jika ia yang wafat, maka kakek mendapat seperenam dari warisannya dan lima perenamnya untuk anak laki-laki; dan di antaranya, bahwa saudara telah berbagi dengan si mayit dalam tulang sulbi dan bersaing dengannya dalam rahim. Jika saudara lebih kuat dari kakek karena tiga alasan ini, maka keadaan paling minimal adalah ia menjadi sekutu dalam warisannya. Kemudian hal itu juga ditunjukkan oleh apa yang terjadi dari ijtihad para sahabat dalam masalah ini. Diriwayatkan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu dahulu tidak suka menyebutkan pembagian waris kakek hingga ia sendiri menjadi kakek, yaitu ketika putranya ‘Ashim wafat dan meninggalkan anak-anak, lalu salah satu anak itu wafat dan meninggalkan kakeknya, Umar, dan saudara-saudaranya. Maka Umar tahu bahwa ini perkara yang harus dipertimbangkan. Ia pun berdiri di hadapan orang banyak dan berkata: “Adakah di antara kalian yang pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda sesuatu tentang warisan kakek?” Maka berdirilah seorang laki-laki dan berkata: “Aku mendengar Rasulullah ﷺ ditanya tentang warisan kakek, lalu beliau memberinya seperenam.” Umar bertanya: “Siapa saja ahli waris yang bersamanya?” Ia menjawab: “Aku tidak tahu.” Umar berkata: “Semoga engkau tidak tahu.” Lalu yang lain berkata: “Rasulullah ﷺ ditanya tentang warisan kakek, lalu beliau memberinya sepertiga.” Umar bertanya: “Siapa saja ahli waris yang bersamanya?” Ia menjawab: “Aku tidak tahu.” Umar berkata: “Semoga engkau tidak tahu.” Kemudian Umar memanggil Zaid bin Tsabit dan berkata: “Dahulu pendapatku dan pendapat Abu Bakar sebelumku adalah menjadikan kakek lebih utama daripada saudara. Bagaimana pendapatmu?” Zaid berkata: “Wahai Amirul Mukminin, tidaklah sebatang pohon yang darinya tumbuh satu dahan, lalu dari dahan itu tumbuh dua dahan, engkau jadikan kakek lebih utama daripada saudara, padahal keduanya berasal dari dahan yang darinya kakek juga berasal?” Lalu Umar memanggil Ali bin Abi Thalib dan berkata kepadanya seperti perkataannya kepada Zaid. Ali berkata: “Wahai Amirul Mukminin, janganlah engkau jadikan sungai yang mengalir lalu bercabang menjadi satu cabang, kemudian dari cabang itu bercabang lagi menjadi dua cabang, maka jika air dari salah satu cabang kembali, ia akan masuk ke dua cabang itu seluruhnya. Maka bagaimana engkau jadikan kakek lebih utama daripada saudara?” Umar berkata: “Kalau bukan karena pendapat kalian berdua, aku tidak akan melihat bahwa ia adalah anakku dan aku adalah ayahnya.”

قَالَ الشَّعْبِيُّ: فَجَعَلَ الْجَدَّ أَخًا مع الأخوين ومع الأخ والأخت فإذا كَثُرُوا تَرَكَ مُقَاسَمَتَهُمْ وَأَخَذَ الثُّلُثَ، وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَوَّلَ جَدٍّ وَرِثَ مَعَ الْإِخْوَةِ فِي الْإِسْلَامِ، فَهَذِهِ الْقِصَّةُ وَإِنْ طَالَ الِاحْتِجَاجُ بِهَا تَجْمَعُ خَبَرًا، وَاحْتِجَاجًا، وَمَثَلًا، فَلِذَلِكَ اسْتَوْفَيْنَاهَا.

Asy-Sya‘bi berkata: Maka ia menjadikan kakek sebagai saudara bersama dua saudara laki-laki, dan bersama saudara laki-laki dan saudara perempuan; jika mereka banyak, ia meninggalkan pembagian bersama mereka dan mengambil sepertiga. Umar radhiyallāhu ‘anhu adalah kakek pertama yang mewarisi bersama saudara-saudara dalam Islam. Maka kisah ini, meskipun panjang dalam penggunaannya sebagai dalil, mengandung informasi, argumentasi, dan contoh, oleh karena itu kami paparkan secara lengkap.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى سَمَّى الْجَدَّ أَبًا فَهُوَ أَنَّ اسْمَ الْأَبِ انْطَلَقَ عَلَيْهِ تَوَسُّعًا أَلَا تَرَى أَنَّ تَسْمِيَتَهُ بِالْجَدِّ أَخَصُّ مِنْ تَسْمِيَتِهِ بِالْأَبِ، وَلَوْ قَالَ قَائِلٌ هَذَا جَدٌّ وَلَيْسَ بِأَبٍ لَمْ يَكُنْ مُضِلًّا، وَالْأَحْكَامُ تَتَعَلَّقُ بِحَقَائِقِ الْأَسْمَاءِ دُونَ مجازها، ولا يتعلق عليه حكم الْأَبِ، وَكَمَا تُسَمَّى الْجَدَّةُ أُمًّا وَلَا يَنْطَلِقُ عليها أحكام الْأُمِّ.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa Allah Ta‘ālā menyebut kakek sebagai ayah adalah bahwa nama “ayah” digunakan untuk kakek secara luas. Tidakkah engkau melihat bahwa penyebutan “kakek” lebih khusus daripada penyebutan “ayah”? Jika seseorang berkata, “Ini adalah kakek, bukan ayah,” maka ia tidak dianggap keliru. Hukum-hukum itu berkaitan dengan hakikat nama, bukan maknanya yang majazi (kiasan), dan tidak berlaku atasnya hukum ayah. Sebagaimana nenek disebut “ibu”, namun hukum-hukum ibu tidak berlaku atasnya.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ طَرَفَهُ الْأَدْنَى يَسْتَوِي حُكْمُ أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ فَكَذَلِكَ طَرَفُهُ الْأَعْلَى فَالْجَوَابُ عَنْهُ: أَنَّ ابْنَ الِابْنِ لَمَّا كَانَ كَالِابْنِ في الحجب الْأُمَّ كَانَ كَالِابْنِ فِي حَجْبِ الْإِخْوَةِ، وَلَمَّا كان الجد مخالفا للأب في حجب الأم إِلَى ثُلُثِ الْبَاقِي كَانَ مُخَالِفًا لِلْأَبِ فِي حَجْبِ الْإِخْوَةِ فَيَكُونُ الْفَرْقُ بَيْنَ الطَّرَفَيْنِ فِي حجب الأم هُوَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فِي حَجْبِ الْإِخْوَةِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الِابْنِ بِعِلَّةِ أَنَّهُ عَصَبَةٌ لَا يَعْقِلُ.

Adapun dalil mereka bahwa pada jalur keturunan bawah, hukum awal dan akhirnya sama, maka demikian pula pada jalur keturunan atas, jawabannya adalah: Bahwa cucu laki-laki, ketika kedudukannya seperti anak dalam menghalangi ibu, maka ia juga seperti anak dalam menghalangi saudara-saudara. Dan ketika kakek berbeda dengan ayah dalam menghalangi ibu hingga sepertiga sisa, maka ia juga berbeda dengan ayah dalam menghalangi saudara-saudara. Maka perbedaan antara kedua jalur itu dalam menghalangi ibu adalah perbedaan antara keduanya dalam menghalangi saudara-saudara. Adapun qiyās mereka terhadap anak dengan alasan bahwa ia adalah ‘ashabah, itu tidak dapat diterima.

فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ اسْتِحْقَاقَ الْعَقْلِ دَلَّ عَلَى قُوَّةِ التَّعْصِيبِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْعَلَ دَلِيلًا عَلَى ضَعْفِهِ، أَلَا تَرَى أَنَّ أَقْرَبَ العصبات اختص بِتَحَمُّلِ الْعَقْلِ مِنَ الْأَبَاعِدِ، لِقُوَّةِ تَعْصِيبِهِمْ وَضَعْفِ الْأَبَاعِدِ، وَلَيْسَ خُرُوجُ الْآبَاءِ وَالْأَبْنَاءِ عَنِ الْعَقْلِ عَنْهُ لِمَعْنًى يَعُودُ إِلَى التَّعْصِيبِ فَيُجْعَلَ دَلِيلًا عَلَى الْقُوَّةِ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُجْعَلَ دَلِيلًا عَلَى الضَّعْفِ وَذَلِكَ لِأَجْلِ التَّعْصِيبِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الِابْنِ أَنَّهُ لَمَّا كَانَ أَقْوَى مِنَ الْأَبِ أَسْقَطَ الْإِخْوَةَ الْمُدْلِينَ بِالْأَبِ فَلَمَّا لَمْ يَكُنِ الْجَدُّ أَقْوَى مِنَ الْأَبِ لَمْ يُسْقِطِ الْإِخْوَةَ الْمُدْلِينَ بِالْأَبِ.

Jawabannya adalah bahwa hak untuk menanggung diyat (al-‘aql) menunjukkan kuatnya status ‘ashabah, sehingga tidak boleh dijadikan dalil atas lemahnya. Tidakkah engkau melihat bahwa kerabat laki-laki terdekatlah yang khusus menanggung diyat dibandingkan kerabat yang lebih jauh, karena kuatnya status ‘ashabah mereka dan lemahnya yang jauh. Tidak keluarnya ayah dan anak dari kewajiban diyat bukan karena alasan yang kembali pada status ‘ashabah sehingga dijadikan dalil atas kekuatan, sebagaimana tidak boleh dijadikan dalil atas kelemahan, dan itu karena status ‘ashabah. Kemudian, makna pada anak adalah bahwa ketika ia lebih kuat dari ayah, ia menggugurkan hak saudara-saudara yang hubungannya melalui ayah. Maka ketika kakek tidak lebih kuat dari ayah, ia tidak menggugurkan hak saudara-saudara yang hubungannya melalui ayah.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ الْجَدَّ قَدْ جَمَعَ الْوِلَادَةَ وَالتَّعْصِيبَ كَالْأَبِ فَهُوَ أَنَّ الْأَبَ إِنَّمَا أَسْقَطَهُمْ لِإِدْلَائِهِمْ بِهِ لَا لِرَحِمِهِ وَعَصَبَتِهِ أَلَا تَرَى أَنَّ الِابْنِ وَإِنِ انْفَرَدَ بِالتَّعْصِيبِ وَحْدَهُ أَقْوَى مِنَ الْأَبِ وَالْجَدِّ، وَهَكَذَا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ يَجْمَعُ تَعْصِيبًا وَرَحِمًا.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa kakek mengumpulkan hubungan kelahiran dan status ‘ashabah seperti ayah, maka ayah menggugurkan mereka (saudara-saudara) karena hubungan mereka melalui dirinya, bukan karena rahim dan status ‘ashabahnya. Tidakkah engkau melihat bahwa anak, meskipun hanya sendiri sebagai ‘ashabah, lebih kuat daripada ayah dan kakek. Demikian pula jawaban atas pernyataan mereka bahwa kakek mengumpulkan status ‘ashabah dan rahim.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ إِدْلَاءَ الْجَدِّ بِابْنٍ وَإِدْلَاءَ الْأَخِ بِأَبٍ فَهُوَ مَا قَدَّمْنَاهُ دَلِيلًا مِنْ أَنَّ إِدْلَاءَ الْأَخِ بِالْبُنُوَّةِ وَإِدْلَاءَ الْجَدِّ بِالْأُبُوَّةِ لِإِدْلَائِهِمَا جَمِيعًا بِالْأَبِ فَكَانَ إِدْلَاءُ الْأَخِ أَقْوَى.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa kakek sampai kepada pewarisan melalui anak laki-laki dan saudara sampai melalui ayah, maka sebagaimana telah kami kemukakan sebelumnya sebagai dalil bahwa saudara sampai melalui hubungan anak, dan kakek sampai melalui hubungan ayah, karena keduanya sama-sama sampai melalui ayah, maka hubungan saudara lebih kuat.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِوِلَايَةِ الْجَدِّ فِي الْمَالِ وَالتَّزْوِيجِ فَلَيْسَ ذَلِكَ مِنْ دَلَائِلِ الْقُوَّةِ فِي الْمِيرَاثِ، أَلَا تَرَى أَنَّ الِابْنَ لَا يَلِي وَلَا يُزَوِّجُ وَهُوَ أَقْوَى مِنَ الْأَبِ وَإِنْ وَلِيَ وَزَوَّجَ.

Adapun dalil mereka dengan kewenangan kakek dalam harta dan pernikahan, maka itu bukan termasuk dalil kekuatan dalam warisan. Tidakkah engkau melihat bahwa anak tidak berwenang (menjadi wali) dan tidak menikahkan, padahal ia lebih kuat daripada ayah, meskipun ayah berwenang dan menikahkan.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّهُ لَوْ شَارَكَهُ فِي مَوْضِعٍ لَشَارَكَهُ فِي كُلِّ مَوْضِعٍ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ أن كل موضع ورث الجد فيه بالتعصيب الذي شارك فيه فإنه يشاركه في ميراثه لا لميراثهما فِي نَسَبِهِ، وَإِنَّمَا لَا يُشَارِكُهُ فِي الْمَوْضِعِ الذي لا يَرِثُ الْجَدُّ فِيهِ بِالرَّحِمِ، لِأَنَّهُ لَيْسَ لِلْأَخِ رَحِمٌ يُسَاوِيهِ فِيهَا.

Adapun dalil mereka bahwa jika kakek dapat berbagi dalam satu keadaan, maka ia dapat berbagi dalam semua keadaan, jawabannya adalah: Setiap keadaan di mana kakek mewarisi dengan status ‘ashabah yang ia berbagi di dalamnya, maka ia berbagi dalam warisannya, bukan karena hubungan nasab mereka. Ia tidak berbagi dalam keadaan di mana kakek tidak mewarisi karena rahim, karena saudara tidak memiliki hubungan rahim yang menyamainya di situ.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ الْجَدَّ لا يخلو من أحوال ثلاثة: فالجواب عنه أن الجد والإخوة مجتمعون على الْإِدْلَاءِ بِالْأَبِ فَلَمْ يَضْعُفْ عَنْهُ الْأَخُ لِلْأَبِ بعد الْأُمِّ لِمُسَاوَاتِهِ فِيمَا أَدْلَى بِهِ، كَمَا لَمْ يَقْوَ عَلَيْهِ الْأَخُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ بِأُمِّهِ، وَلَيْسَ كذلك حال الإخوة حالهم بَعْضُهُمْ مَعَ بَعْضٍ، لِأَنَّهُمْ يُدْلُونَ بِكُلِّ وَاحِدٍ من الأبوين فكان من جمعهما أقوى من انْفَرَدَ بِأَحَدِهِمَا، وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Adapun dalil mereka bahwa kakek tidak lepas dari tiga keadaan, maka jawabannya adalah bahwa kakek dan saudara-saudara berkumpul dalam hal sama-sama memiliki hubungan nasab melalui ayah, sehingga saudara seayah tidak lebih lemah dari kakek setelah ibu karena kedudukannya sama dalam hal hubungan nasab tersebut, sebagaimana saudara seayah dan seibu tidak lebih kuat dari kakek melalui ibunya. Keadaan saudara-saudara satu sama lain tidaklah demikian, karena mereka masing-masing memiliki hubungan nasab dengan kedua orang tua, sehingga siapa yang menggabungkan keduanya lebih kuat daripada yang hanya memiliki salah satunya. Allah lebih mengetahui kebenaran.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” وكل جد وإن علا فكالجد إِذَا لَمْ يَكُنْ جَدٌّ دُونَهُ فِي كُلِّ حَالٍ إِلَّا فِي حَجْبِ أُمَّهَاتِ الْجَدِّ وَإِنْ بَعُدْنَ فَالْجَدُّ يَحْجُبُ أُمَّهَاتِهِ وَإِنْ بَعُدْنَ وَلَا يحجب أمهات من هو أقرب منه اللاتي لَمْ يَلِدْنَهُ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Setiap kakek, meskipun lebih tinggi (nasabnya), kedudukannya seperti kakek (terdekat) jika tidak ada kakek di bawahnya dalam setiap keadaan, kecuali dalam hal menghalangi nenek-nenek dari jalur kakek meskipun mereka jauh. Maka kakek menghalangi nenek-neneknya meskipun mereka jauh, dan tidak menghalangi nenek-nenek dari kakek yang lebih dekat darinya yang bukan ibu kandungnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لَا فَرْقَ بَيْنَ الْجَدِّ الْأَدْنَى وَالْجَدِّ الْأَبْعَدِ في مقاسمة الإخوة والأخوات، فأبعدهم فيه كأقربهم، كما كان الْأَبْعَدُ فِي الْإِدْلَاءِ كَأَقْرَبِهِمْ، فَإِنْ قِيلَ فَإِذَا جَعَلْتُمُ الْجَدَّ الْأَعْلَى كَالْجَدِّ الْأَدْنَى فِي مُقَاسَمَةِ الإخوة فهلا جعلتم بني الإخوة معهم كَالْإِخْوَةِ؟ قِيلَ الْمَعْنى فِي تَوْرِيثِ الْجَدِّ مَا فِيهِ مِنَ التَّعْصِيبِ وَالْوِلَادَةِ، وَهَذَا مَوْجُودٌ فِي الْبَعِيدِ كَوُجُودِهِ فِي الْقَرِيبِ، كَمَا أَنَّ مَعْنَى الِابْنِ فِي التَّعْصِيبِ وَالْحَجْبِ مَوْجُودٌ فِي ابْنِ الِابْنِ وَإِنْ سَفَلَ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ حَالُ الْإِخْوَةِ وَبَنِيهِمْ، لِأَنَّ مُقَاسَمَةَ الْإِخْوَةِ لِلْجَدِّ إِنَّمَا كَانَ بِقُوَّتِهِمْ عَلَى تَعْصِيبِ أَخَوَاتِهِمْ وَحَجْبِ أُمِّهِمْ، وَبَنُو الْإِخْوَةِ قَدْ عَدِمُوا هَذَيْنِ الْمَعْنَيَيْنِ فَلَا يَحْجُبُونَ الْأُمَّ وَلَا يُعَصِّبُونَ الْأَخَوَاتِ، فَلِذَلِكَ قَصَّرُوا عَنِ الإخوة في مقاسمة الجد ولم يقصروا في الْجَدِّ عَنْ مُقَاسَمَةِ الْإِخْوَةِ كَالْجَدِّ، فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَحُكْمُ الْجَدِّ الْأَعْلَى فِي الْمِيرَاثِ وَالْحَجْبِ وَمُقَاسِمَةِ الْإِخْوَةِ كَالْجَدِّ الْأَدْنَى إِلَّا فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ وَهِيَ أَنَّ الْجَدَّ الْأَدْنَى يُسْقِطُ سَائِرَ أُمَّهَاتِ الْأَجْدَادِ، لِأَنَّهُنَّ وَلَدْنَهُ، وَالْجَدُّ الْأَعْلَى لَا يُسْقِطُ أُمَّهَاتِ الْجَدِّ الْأَدْنَى، لِأَنَّهُنَّ لَمْ يَلِدْنَهُ، وإنما يسقط أمهات نفسه اللاتي وَلَدْنَهُ، ثُمَّ هُوَ فِيمَا سِوَى ذَلِكَ وَفِي حَجْبِ الْإِخْوَةِ لِلْأُمِّ كَالْجَدِّ الْأَدْنَى، وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, tidak ada perbedaan antara kakek terdekat dan kakek yang lebih jauh dalam hal pembagian warisan dengan saudara laki-laki dan perempuan; yang lebih jauh kedudukannya sama dengan yang lebih dekat, sebagaimana yang lebih jauh dalam hubungan nasab sama dengan yang lebih dekat. Jika dikatakan: Jika kalian menyamakan kakek yang lebih tinggi dengan kakek yang lebih dekat dalam pembagian warisan dengan saudara, mengapa kalian tidak menyamakan anak-anak saudara dengan saudara? Maka dijawab: Makna dalam mewariskan kepada kakek adalah karena adanya unsur ‘ashabah (penguat hak waris) dan kelahiran, dan ini terdapat pada kakek yang jauh sebagaimana pada yang dekat, sebagaimana makna anak dalam ‘ashabah dan penghalangan (hijab) juga terdapat pada cucu meskipun jauh. Tidak demikian halnya dengan saudara dan anak-anak mereka, karena pembagian warisan saudara dengan kakek hanya terjadi karena kekuatan mereka dalam meng-‘ashabah-kan saudari-saudari mereka dan menghalangi ibu mereka, sedangkan anak-anak saudara tidak memiliki kedua makna tersebut, sehingga mereka tidak menghalangi ibu dan tidak meng-‘ashabah-kan saudari-saudari, oleh karena itu mereka lebih rendah dari saudara dalam pembagian warisan dengan kakek, dan kakek tidak lebih rendah dari saudara dalam pembagian warisan sebagaimana kakek. Jika hal ini telah tetap, maka hukum kakek yang lebih tinggi dalam warisan, penghalangan, dan pembagian dengan saudara adalah sama dengan kakek terdekat kecuali dalam satu keadaan, yaitu bahwa kakek terdekat menggugurkan seluruh nenek-nenek dari jalur kakek karena mereka adalah ibu kandungnya, sedangkan kakek yang lebih tinggi tidak menggugurkan nenek-nenek dari kakek terdekat karena mereka bukan ibu kandungnya, melainkan hanya menggugurkan nenek-nenek yang melahirkannya saja. Selain itu, dalam hal lain dan dalam penghalangan saudara terhadap ibu, kedudukannya sama dengan kakek terdekat. Allah lebih mengetahui kebenaran.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وإذا كان مع الجد أحد من الإخوة أو الأخوات لِلْأَبِ وَالْأُمِّ وَلَيْسَ مَعَهُنَّ مَنْ لَهُ فَرْضٌ مُسَمًّى قَاسَمَ أَخًا أَوْ أُخْتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا أَوْ أَخًا وَأُخْتًا فَإِنْ زَادُوا كَانَ لِلْجَدِّ ثُلُثُ الْمَالِ وَمَا بَقِيَ لَهُمْ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika bersama kakek terdapat salah satu dari saudara laki-laki atau perempuan seayah dan seibu, dan tidak ada bersama mereka yang memiliki bagian waris tertentu (ashhabul furudh), maka kakek membagi warisan dengan satu saudara laki-laki, atau dua saudara perempuan, atau tiga, atau satu saudara laki-laki dan satu saudara perempuan. Jika jumlah mereka lebih banyak, maka kakek mendapat sepertiga harta dan sisanya untuk mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا مِنْ أَنَّ الْجَدَّ يُقَاسِمُ الْإِخْوَةَ وَالْأَخَوَاتِ وَلَا يُسْقِطُهُمْ فَقَدِ اخْتَلَفَ مَنْ قَالَ بِتَوْرِيثِهِ مَعَهُمْ فِي كَيْفِيَّةِ مُقَاسَمَتِهِ لَهُمْ، فَالْمَرْوِيُّ عَنْ عُمَرَ وَعُثْمَانَ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ وَابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّهُ يُقَاسِمُهُمْ مَا لَمْ تَنْقُصْهُ الْمُقَاسَمَةُ مِنَ الثُّلُثِ، فَإِنْ نَقَصَتْهُ فُرِضَ لَهُ الثُّلُثُ، وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ، وَرُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ: أَنَّهُ قَاسَمَ بِالْجَدِّ إِلَى السُّدُسِ، فَإِنْ نَقَصَتْهُ الْمُقَاسَمَةُ مِنَ السُّدُسِ فُرِضَ لَهُ السُّدُسُ، فَيُقَاسِمُ بِهِ إِلَى خَمْسَةِ إِخْوَةٍ، وَيَفْرِضُ لَهُ مَعَ السِّتَّةِ السُّدُسَ، هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ عَنْهُ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar jika telah tetap sebagaimana yang kami jelaskan bahwa kakek membagi warisan dengan saudara laki-laki dan perempuan dan tidak menggugurkan mereka. Maka para ulama yang berpendapat tentang pewarisan bersama mereka berbeda pendapat tentang cara pembagiannya. Diriwayatkan dari Umar, Utsman, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhum bahwa kakek membagi warisan bersama mereka selama pembagian itu tidak mengurangi bagian kakek dari sepertiga, jika kurang dari sepertiga maka ditetapkan untuknya sepertiga, dan ini adalah pendapat Syafi‘i. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam bahwa beliau membagi warisan dengan kakek hingga seperenam, jika pembagian itu mengurangi bagian kakek dari seperenam maka ditetapkan untuknya seperenam, sehingga kakek membagi warisan dengan lima saudara, dan jika enam saudara maka kakek mendapat seperenam, inilah yang masyhur dari beliau.

وَحُكِيَ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ أَنَّهُ قَاسَمَ بِالْجَدِّ إِلَى نِصْفِ السُّدُسِ، فَإِنْ نَقَصَتْهُ مِنْهُ فَرَضَ لَهُ نِصْفَ السُّدُسِ، فَكَأَنَّهُ قَاسَمَ بِهِ إِلَى أَحَدَ عَشَرَ أَخًا، وَفَرَضَ لَهُ نِصْفَ السُّدُسِ مَعَ الثَّانِيَ عَشَرَ، وَهَذَا الْقَوْلُ ظَاهِرُ الْخَطَأِ، لِأَنَّهُ لَيْسَ الْجَدُّ مَعَ الْإِخْوَةِ أَضْعَفَ مِنْهُ مَعَ الْبَنِينَ، وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مَعَ الِابْنِ مِنَ السُّدُسِ فَكَيْفَ يَجُوزُ أَنْ يَنْقُصَ مع الإخوة من السدس، وأما مُقَاسَمَةُ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ بِهِ إِلَى السُّدُسِ: فَاسْتَدَلَّ لَهُ بِأَنَّ الْجَدَّ لَيْسَ بِأَقْوَى مِنَ الْأَبِ وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ الْأَبَ إِذَا فَرَضَ لَهُ لَمْ يَزِدْ فِي فَرْضِهِ عَلَى السُّدُسِ فكان الجد إذا فرض له أولى أن لا يُزَادَ عَلَى السُّدُسِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ الْجَدَّ يُفْرَضُ لَهُ الثُّلُثُ مَعَ الْإِخْوَةِ إِنْ نَقَصَتْهُ المقاسمة هُوَ أَنَّ فِي الْجَدِّ رَحِمًا وَتَعْصِيبًا فَمِيرَاثُهُ مَعَ الِابْنِ بِرَحِمِهِ فَيَأْخُذُ بِهِ السُّدُسَ، وَمِيرَاثُهُ مَعَ الْإِخْوَةِ بِتَعْصِيبِهِ كَمَا أَنَّهُمْ بِالتَّعْصِيبِ يَرِثُونَ، فلو فرض له السدس لا يسقط تَعْصِيبُهُ وَوَرِثَ بِرَحِمِهِ، وَلَيْسَ فِي الْإِخْوَةِ مَا يَدْفَعُونَ الْجَدَّ عَنْ تَعْصِيبِهِ فَلِذَلِكَ فَرَضَ لَهُ الثُّلُثَ لِيَكُونَ السُّدُسُ بِالرَّحِمِ.

Diriwayatkan dari ‘Imrān bin al-Ḥuṣayn bahwa ia membagi warisan dengan keberadaan kakek hingga setengah dari sepertiga, maka jika bagian kakek kurang dari itu, ia menetapkan bagi kakek setengah dari sepertiga. Seolah-olah ia membagi warisan dengan kakek hingga sebelas saudara, dan menetapkan bagi kakek setengah dari sepertiga bersama saudara yang kedua belas. Pendapat ini jelas keliru, karena kakek bersama saudara-saudara tidak lebih lemah dibandingkan dengan kakek bersama anak-anak, dan telah tetap bahwa kakek tidak berkurang bagiannya dari sepertiga ketika bersama anak laki-laki, maka bagaimana mungkin boleh bagiannya berkurang dari sepertiga ketika bersama saudara-saudara? Adapun pembagian ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhu dengan kakek hingga sepertiga, maka dalilnya adalah bahwa kakek tidak lebih kuat dari ayah, dan telah tetap bahwa ayah, jika ditetapkan baginya bagian, tidak lebih dari sepertiga, maka kakek jika ditetapkan baginya bagian, lebih utama untuk tidak ditambah dari sepertiga. Adapun dalil bahwa kakek ditetapkan baginya sepertiga bersama saudara-saudara jika pembagian tidak mencukupinya adalah karena pada kakek terdapat hubungan rahim dan juga ‘aṣabah (hak waris karena kekerabatan laki-laki), sehingga warisannya bersama anak laki-laki karena rahimnya, maka ia mengambil sepertiga karenanya, dan warisannya bersama saudara-saudara karena ‘aṣabahnya sebagaimana mereka juga mewarisi dengan ‘aṣabah. Maka jika ditetapkan baginya sepertiga, tidak gugur hak ‘aṣabahnya dan ia tetap mewarisi karena rahimnya. Tidak ada pada saudara-saudara sesuatu yang dapat menghalangi kakek dari hak ‘aṣabahnya, oleh karena itu ditetapkan baginya sepertiga agar sepertiga itu karena rahim.

وَالسُّدُسُ بِالتَّعْصِيبِ الَّذِي أَقَلُّ أَحْوَالِهِ أَنْ يَكُونَ كَالرَّحِمِ، وَلِأَنَّ الْجَدَّ يَحْجُبُهُ الْأَخَوَانِ إِلَى الثُّلُثِ، وَقَدِ اسْتَقَرَّ فِي أصول الحجب أن الابنين إِذَا حَجَبَا إِلَى فَرْضٍ كَانَ مَنْ زَادَ عليهما في حكمها فِي اسْتِقْرَارٍ ذَلِكَ الْفَرْضِ بَعْدَ الْحَجْبِ، وَلَا يَحْجُبُ الثَّالِثُ زِيَادَةً عَلَى حَجْبِ الثَّانِي، كَالْأَخَوَيْنِ لَمَّا حَجَبَا الْأُمَّ إِلَى السُّدُسِ لَمْ يَزِدْهَا الثلث حجبا على الثاني حتى ينقص بِهِ مِنَ السُّدُسِ، كَذَلِكَ الْجَدُّ لَا يَنْقُصُهُ الثَّالِثُ مِنَ الثُّلُثِ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقُلْتُ إِنِّي قَدْ رَأَيْتُ أَنْ أَنْقُصَ الجد للإخوة فقال عمر لو كنت مستنقصا أحدا لأحد لأنقصت الإخوة للجد، أليس بنو عبد الله يرثون دون أخوتي فمالي لَا أَرِثُهُمْ دُونَ إِخْوَتِهِمْ، لَإِنْ أَصْبَحْتُ لَأَقُولَنَّ فِي الْجَدِّ قَوْلًا فَمَاتَ مِنْ لَيْلَتِهِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ.

Dan sepertiga karena ‘aṣabah, yang paling sedikit keadaannya adalah seperti rahim. Dan karena kakek dihalangi oleh dua saudara hingga sepertiga, dan telah tetap dalam kaidah fiqh tentang ḥijb (penghalangan waris) bahwa jika dua anak laki-laki menghalangi hingga pada bagian tertentu, maka siapa pun yang lebih dari keduanya tetap dalam hukum yang sama setelah penghalangan itu, dan yang ketiga tidak menambah penghalangan atas yang kedua, sebagaimana dua saudara menghalangi ibu hingga sepertiga, maka saudara yang ketiga tidak menambah penghalangan atas yang kedua hingga mengurangi bagian ibu dari sepertiga. Demikian pula kakek, tidak berkurang bagiannya oleh saudara ketiga dari sepertiga. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsābit raḍiyallāhu ‘anhu bahwa ia berkata: Aku masuk menemui ‘Umar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu lalu aku berkata, “Aku berpendapat untuk mengurangi bagian kakek karena saudara-saudara.” Maka ‘Umar berkata, “Seandainya aku mengurangi bagian seseorang karena orang lain, tentu aku akan mengurangi bagian saudara-saudara karena kakek. Bukankah anak-anak Abdullah mewarisi tanpa saudara-saudaraku, lalu mengapa aku tidak mewarisi mereka tanpa saudara-saudara mereka? Sungguh, jika aku masih hidup, aku akan berkata tentang kakek suatu pendapat.” Maka ia wafat pada malam itu, raḥimahullāh.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ مَعَ الْإِخْوَةِ وَالْجَدِّ ذُو فَرْضٍ أَمْ لَا فَإِنْ كَانَ مَعَهُمْ ذُو فَرْضٍ فَسَيَأْتِي، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُمْ ذُو فَرْضٍ فَلَا يَخْلُو حَالُ مَنْ شَارَكَ الْجَدَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ.

Jika telah tetap apa yang kami jelaskan, maka tidak lepas dari keadaan bersama saudara-saudara dan kakek ada ahli waris dengan bagian tertentu (dzū farḍ) atau tidak. Jika bersama mereka ada dzū farḍ, maka akan dijelaskan kemudian. Jika tidak ada dzū farḍ bersama mereka, maka keadaan orang yang bersama kakek terbagi menjadi tiga bagian.

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونُوا إِخْوَةً مُنْفَرِدِينَ، فَإِنَّ الْجَدَّ يُقَاسِمُ أَخَوَيْنِ وَلَا يُقَاسِمُ مَنْ زَادَ، فَإِنْ كَانَتِ الْفَرِيضَةُ جَدًّا وَأَخًا: كَانَ الْمَالُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ، وَإِنْ كَانَتْ جَدًّا وَأَخَوَيْنِ: كَانَ الْمَالُ بَيْنَهُمْ أَثْلَاثًا، وَإِنْ كَانَتْ جَدًّا وَثَلَاثَةَ إِخْوَةٍ فُرِضَ لِلْجَدِّ الثُّلُثُ وَكَانَ الْبَاقِي بَيْنَ الْإِخْوَةِ عَلَى ثَلَاثَةٍ وَتَصِحُّ مِنْ تِسْعَةٍ وَهَكَذَا يُفْرَضُ لَهُ الثُّلُثُ مَعَ مَنْ زَادَ عَلَى الثَّلَاثَةِ.

Pertama: Mereka adalah saudara-saudara saja. Maka kakek membagi warisan bersama dua saudara, dan tidak membagi bersama lebih dari itu. Jika ahli warisnya adalah kakek dan satu saudara, maka harta dibagi dua sama rata. Jika kakek dan dua saudara, maka harta dibagi tiga. Jika kakek dan tiga saudara, maka kakek mendapat sepertiga dan sisanya dibagi antara saudara-saudara secara tiga bagian, dan pembagian ini sah dari sembilan bagian. Demikian pula, kakek ditetapkan mendapat sepertiga bersama lebih dari tiga saudara.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَعَ الْجَدِّ أَخَوَاتٌ متفرقات فَقَدْ حُكِيَ عَنْ عَلِيٍّ وَابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أنهما كانا يفرضان للأخوات المتفرقات مَعَ الْجِدِّ وَيَجْعَلَانِ الْبَاقِيَ بَعْدَ فَرْضِهِنَّ لِلْجَدِّ إِلَّا أَنْ يَكُونَ أَقَلَّ مِنَ السُّدُسِ فَيُفْرَضُ له السدس، ونحوه عنه عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَكَانَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ لَا يَفْرِضُ لِلْأَخَوَاتِ الْمُنْفَرِدَاتِ مَعَ الْجَدِّ إلا في الأكدرية ونحوها، وترك الفرض لهن مع الجد أولى كَالْأَخِ، فَلَمَّا لَمْ يَفْرِضْ لَهُنَّ مَعَ الْأَخِ لم يفرض لهن مع الجد، لأن كُلَّ مَنْ قَاسَمَ الذُّكُورَ قَاسَمَ مَنْ فِي دَرَجَتِهِ مِنَ الْإِنَاثِ كَالِابْنِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَتِ الْفَرِيضَةُ جَدًّا وَأُخْتًا فَالْمَالُ بَيْنَهُمَا أَثْلَاثًا للذكر مثل حظ الأنثيين كالأخ والأخت، ولم كَانَتْ جَدًّا وَأُخْتَيْنِ: كَانَ الْمَالُ بَيْنَهُمْ عَلَى أَرْبَعَةٍ لِلْجَدِّ سَهْمَانِ، وَلِكُلِّ أُخْتٍ سَهْمٌ، فَلَوْ كَانَتْ جَدًّا وَثَلَاثَ أَخَوَاتٍ كَانَ الْمَالُ بَيْنَهُمْ عَلَى خَمْسَةٍ لِلْجَدِّ سَهْمَانِ، وَلِكُلِّ أُخْتٍ سَهْمٌ، فَلَوْ كَانَتْ جَدًّا وَأَرْبَعَ أَخَوَاتٍ كَانَ الْمَالُ بَيْنَهُمْ عَلَى سِتَّةٍ لِلْجَدِّ سَهْمَانِ وَلِكُلِّ أُخْتٍ سهم وتستوي المقاسمة والثلث ولو كانت جدا وَخَمْسَ أَخَوَاتٍ فَرَضَ لِلْجَدِّ الثُّلُثَ، لِأَنَّ الْمُقَاسَمَةَ تَنْقُصُهُ مِنَ الثُّلُثِ فَيَكُونُ الْبَاقِي بَعْدَ ثُلُثِ الْجَدِّ بَيْنَهُنَّ عَلَى أَعْدَادِهِنَّ.

Bagian kedua: Jika bersama kakek terdapat saudari-saudari kandung yang terpisah-pisah, telah dinukil dari Ali dan Ibnu Mas‘ud radhiyallāhu ‘anhumā bahwa keduanya menetapkan bagian untuk saudari-saudari kandung yang terpisah-pisah bersama kakek, dan menjadikan sisa setelah bagian mereka untuk kakek, kecuali jika sisanya kurang dari sepertiga, maka ditetapkan untuknya sepertiga. Demikian pula riwayat dari Umar radhiyallāhu ‘anhu. Sedangkan Zaid bin Tsabit tidak menetapkan bagian untuk saudari-saudari yang sendirian bersama kakek kecuali dalam kasus Akdariyyah dan yang semisalnya. Tidak menetapkan bagian untuk mereka bersama kakek lebih utama, sebagaimana halnya dengan saudara laki-laki. Maka ketika tidak ditetapkan bagian untuk mereka bersama saudara laki-laki, tidak pula ditetapkan bersama kakek. Karena setiap orang yang membagi warisan bersama laki-laki, maka ia juga membagi bersama perempuan yang setingkat dengannya, seperti halnya anak laki-laki. Berdasarkan hal ini, jika ahli warisnya adalah kakek dan seorang saudari, maka harta dibagi menjadi tiga bagian: untuk laki-laki dua bagian, untuk perempuan satu bagian, sebagaimana saudara laki-laki dan saudari perempuan. Jika ahli warisnya adalah kakek dan dua saudari, maka harta dibagi menjadi empat bagian: untuk kakek dua bagian, dan untuk masing-masing saudari satu bagian. Jika ahli warisnya adalah kakek dan tiga saudari, maka harta dibagi menjadi lima bagian: untuk kakek dua bagian, dan untuk masing-masing saudari satu bagian. Jika ahli warisnya adalah kakek dan empat saudari, maka harta dibagi menjadi enam bagian: untuk kakek dua bagian, dan untuk masing-masing saudari satu bagian. Dalam hal ini, pembagian secara muqāsamah dan sepertiga menjadi sama. Jika ahli warisnya adalah kakek dan lima saudari, maka ditetapkan untuk kakek sepertiga, karena pembagian secara muqāsamah mengurangi bagiannya dari sepertiga. Maka sisa setelah sepertiga kakek dibagi di antara mereka sesuai jumlah mereka.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ مَعَ الْجَدِّ إِخْوَةٌ وَأَخَوَاتٌ فَيُقَاسِمُهُمْ إِلَى الثُّلُثِ ثُمَّ يَفْرِضُ لَهُ الثُّلُثَ إِنْ نَقَصَتْهُ الْمُقَاسَمَةُ مِنْهُ، فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَتِ الْفَرِيضَةُ جَدًّا وَأَخًا وَأُخْتًا كَانَ الْمَالُ بَيْنَهُمْ عَلَى خَمْسَةٍ لِلْجَدِّ سَهْمَانِ وَلِلْأَخِ سَهْمَانِ وَلِلْأُخْتِ سَهْمٌ وَلَوْ كَانَتْ جَدًّا وَأَخًا وَأُخْتَيْنِ: كَانَ الْمَالُ بَيْنَهُمْ عَلَى سِتَّةٍ لِلْجَدِّ سَهْمَانِ، وَلِلْأَخِ سَهْمَانِ، وللأختين سهمان، وَتَسْتَوِي الْمُقَاسَمَةُ وَالثُّلُثُ، وَلَوْ كَانَتْ جَدًّا، وَأَخَوَيْنِ، وَأُخْتًا فَرَضَ لَهُ الثُّلُثَ، لِأَنَّ الْمُقَاسَمَةَ تَنْقُصُهُ مِنْهُ، لِأَنَّهُ يَحْصُلُ لَهُ بِهَا سَهْمَانِ مِنْ سَبْعَةٍ، فَلِذَلِكَ فَرَضَ لَهُ الثُّلُثَ، وَكَانَ الْبَاقِي بين الأخوين والأخت للذكر مثل حظ الأنثيين، وَهَكَذَا يَفْرِضُ لَهُ الثُّلُثَ مَعَ أَخٍ وَثَلَاثِ أَخَوَاتٍ، لِأَنَّ الْمُقَاسَمَةَ تَنْقُصُهُ مِنْهُ ثُمَّ هَكَذَا من زاد.

Bagian ketiga: Jika bersama kakek terdapat saudara-saudara laki-laki dan saudari-saudari perempuan, maka ia membagi bersama mereka hingga sepertiga, kemudian ditetapkan untuknya sepertiga jika pembagian secara muqāsamah mengurangi bagiannya dari sepertiga. Berdasarkan hal ini, jika ahli warisnya adalah kakek, seorang saudara laki-laki, dan seorang saudari, maka harta dibagi menjadi lima bagian: untuk kakek dua bagian, untuk saudara laki-laki dua bagian, dan untuk saudari satu bagian. Jika ahli warisnya adalah kakek, seorang saudara laki-laki, dan dua saudari, maka harta dibagi menjadi enam bagian: untuk kakek dua bagian, untuk saudara laki-laki dua bagian, dan untuk dua saudari dua bagian. Dalam hal ini, pembagian secara muqāsamah dan sepertiga menjadi sama. Jika ahli warisnya adalah kakek, dua saudara laki-laki, dan seorang saudari, maka ditetapkan untuk kakek sepertiga, karena pembagian secara muqāsamah mengurangi bagiannya dari sepertiga, sebab ia hanya memperoleh dua bagian dari tujuh. Oleh karena itu, ditetapkan untuknya sepertiga, dan sisanya antara dua saudara laki-laki dan saudari, untuk laki-laki dua bagian seperti bagian dua perempuan. Demikian pula, ditetapkan untuknya sepertiga bersama seorang saudara laki-laki dan tiga saudari, karena pembagian secara muqāsamah mengurangi bagiannya dari sepertiga, dan demikian seterusnya jika jumlahnya bertambah.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وإن كان معهن مَنْ لَهُ فَرْضٌ مُسَمًّى زَوْجٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ أُمٌّ أَوْ جَدَّةٌ أَوْ بَنَاتُ ابْنٍ وَكَانَ ذَلِكَ الْفَرْضُ الْمُسَمَّى النِّصْفَ أَوْ أَقَلَّ مِنَ النِّصْفِ بَدَأْتُ بِأَهْلِ الْفَرَائِضِ ثُمَّ قَاسَمَ الجد ما يبقى أختا أَوْ أُخْتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا أَوْ أَخًا وَأُخْتًا وإن زادوا كان للجد ثلث ما يبقى وَمَا بَقِيَ فَلِلْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنثيين وإن كَثُرَ الْفَرْضُ الْمُسَمَّى بِأَكْثَرَ مِنَ النِّصْفِ وَلَمْ يجاوز الثلثين قاسم أختا أو أختين فإن زادوا فللجد السدس وإن زَادَتِ الْفَرَائِضُ عَلَى الثُّلُثَيْنِ لَمْ يُقَاسِمِ الْجَدُّ أَخًا وَلَا أُخْتًا وَكَانَ لَهُ السُّدُسُ وَمَا بَقِيَ فَلِلْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullāh berkata: “Jika bersama mereka terdapat ahli waris yang memiliki bagian tertentu, seperti suami, istri, ibu, nenek, atau anak perempuan dari anak laki-laki, dan bagian tertentu tersebut setengah atau kurang dari setengah, maka aku dahulukan ahli waris yang memiliki bagian tertentu, kemudian kakek membagi sisa harta bersama seorang saudari, dua saudari, tiga saudari, atau seorang saudara laki-laki dan seorang saudari. Jika jumlah mereka lebih banyak, maka untuk kakek sepertiga dari sisa harta, dan sisanya untuk saudara-saudara laki-laki dan perempuan, untuk laki-laki dua bagian seperti bagian dua perempuan. Jika bagian tertentu lebih dari setengah dan tidak melebihi dua pertiga, maka kakek membagi bersama seorang saudari atau dua saudari. Jika jumlah mereka lebih banyak, maka untuk kakek seperenam. Jika bagian-bagian tertentu melebihi dua pertiga, maka kakek tidak membagi bersama seorang saudara laki-laki atau perempuan, dan ia memperoleh seperenam, dan sisanya untuk saudara-saudara laki-laki dan perempuan, untuk laki-laki dua bagian seperti bagian dua perempuan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي تَفَرُّدِ الْجَدِّ وَالْإِخْوَةِ بِالْمِيرَاثِ، فَأَمَّا إِذَا شَارَكَهُمْ ذُو فَرْضٍ فَلِلْجَدِّ مَعَهُمْ عِنْدَ دُخُولِ ذَوِي الْفُرُوضِ عَلَيْهِمُ الْأَكْثَرُ مِنْ أَحَدِ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: إِمَّا الْمُقَاسَمَةُ، أَوْ ثُلُثُ مَا بَقِيَ، أَوْ سُدُسُ جَمِيعِ الْمَالِ، فَإِنْ كَانَتِ الْمُقَاسَمَةُ أَكْثَرَ قَاسَمَ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الدَّلِيلِ عَلَى مُقَاسَمَتِهِ لَهُمْ، فإن كان الثلث الْبَاقِي أَكْثَرَ فَرْضٍ لَهُ ثُلُثُ الْبَاقِي لما ذكرناه من أنهم لا يحجبون إلى أقل من الثُّلُثِ، وَإِنْ كَانَ السُّدُسُ أَكْثَرَ فَرَضَ لَهُ السُّدُسَ، لِأَنَّهُ لَا يَنْقُصُ بِرَحِمِهِ عَنِ السُّدُسِ، فَلِذَلِكَ جَعَلْنَا لَهُ الْأَكْثَرَ مِنَ الْمُقَاسَمَةِ، أَوْ ثُلُثَ الْبَاقِي، أَوْ سُدُسَ الْجَمِيعِ، فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَلَا يَخْلُو حَالُ مَنْ دَخَلَ عَلَيْهِ مِنْ ذَوِي الْفُرُوضِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ.

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya pembahasan tentang kakek dan saudara yang sendirian mendapatkan warisan. Adapun jika bersama mereka terdapat ahli waris yang memiliki bagian tertentu (dzū farḍ), maka bagi kakek bersama mereka, ketika para dzū al-furūḍ masuk bersamanya, ia mendapatkan bagian terbesar dari tiga kemungkinan: yaitu pembagian bersama (al-muqāsamah), atau sepertiga sisa harta, atau seperenam dari seluruh harta. Jika pembagian bersama lebih besar, maka ia mengambil dengan cara pembagian bersama, sebagaimana telah kami sebutkan dalil tentang pembagian bersama mereka. Jika sepertiga sisa harta lebih besar, maka bagian kakek adalah sepertiga sisa harta, karena sebagaimana telah kami sebutkan, mereka (dzū al-furūḍ) tidak menghalangi kakek hingga kurang dari sepertiga. Jika seperenam lebih besar, maka bagian kakek adalah seperenam, karena hubungan kekerabatannya tidak mengurangi bagian kakek dari seperenam. Oleh karena itu, kami menetapkan bagi kakek bagian terbesar dari pembagian bersama, atau sepertiga sisa, atau seperenam seluruh harta. Jika telah jelas apa yang kami uraikan, maka keadaan orang yang bersama kakek dari kalangan dzū al-furūḍ tidak lepas dari empat bagian.

الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: أَنْ يَكُونَ الْفَرْضُ أَقَلَّ مِنَ النِّصْفِ: فَيُعْطِي الْجَدَّ الْأَكْثَرَ مِنَ الْمُقَاسَمَةِ، أَوْ ثُلُثَ الْبَاقِي، لِأَنَّهُ أَكْثَرُ مِنْ سُدُسِ الْجَمِيعِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ تَرَكَ زَوْجَةً، وَأَخًا، وَجَدًّا، كَانَ لِلزَّوْجَةِ الرُّبُعُ، وَالْبَاقِي بَيْنَ الْجَدِّ وَالْأَخِ نِصْفَيْنِ، لِأَنَّ الْمُقَاسَمَةَ أَوْفَرُ لَهُ، وَلَوْ تَرَكَ زَوْجَةً، وَجَدًّا، وَأَخًا، وأختا، كَانَ لِلزَّوْجَةِ الرُّبُعُ، وَالْبَاقِي بَيْنَ الْجَدِّ وَالْأَخِ نِصْفَيْنِ، لِأَنَّ الْمُقَاسَمَةَ أوفر له، ولو ترك زوجة، وأخا، وجدا، وأختا، كَانَ لِلزَّوْجَةِ الرُّبُعُ، وَالْبَاقِي بَيْنَ الْجَدِّ وَالْأَخِ والأخت على خمسة أسهم والْمُقَاسَمَةَ أَوْفَرُ وَلَوْ تَرَكَ أما، وَأَخًا، وأختين، وَجَدًّا، كَانَ للأم السدس، وَالْبَاقِي بَيْنِ الْجَدِّ وَالْأَخِ وَالْأُخْتين عَلَى ستةِ أَسْهُمٍ، وَالْمُقَاسَمَةُ وَثُلُثُ الْبَاقِي سَوَاءٌ، وَلَوْ تَرَكَ أُمًّا، وَأَخَوَيْنِ، وَأُخْتًا، وَجَدًّا، كَانَ للأم السدس، وللجد ثلث ما بقي، لأنه أكثر الْمُقَاسَمَةِ وَمَا بَقِيَ بَيْنَ الْأَخَوَيْنِ وَالْأُخْتِ لِلذّكرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ، وَلَوْ تَرَكَ زَوْجَةً، وَأُمًّا، وَأَخًا، وَأُخْتًا، وَجَدًّا، كَانَ لِلزَّوْجَةِ الرُّبُعُ، وَلِلْأُمِّ السُّدُسُ، وَالْبَاقِي بَيْنَ الْجَدِّ وَالْأَخِ وَالْأُخْتِ عَلَى خمسة أسهم وَالْمُقَاسَمَةُ أَكْثَرُ مِنْ ثُلُثِ مَا بَقِيَ.

Bagian pertama: Jika bagian dzū al-furūḍ kurang dari setengah, maka kakek diberikan bagian terbesar dari pembagian bersama atau sepertiga sisa, karena itu lebih besar dari seperenam seluruh harta. Berdasarkan hal ini, jika seseorang meninggalkan istri, saudara laki-laki, dan kakek, maka istri mendapat seperempat, dan sisanya dibagi antara kakek dan saudara laki-laki masing-masing setengah, karena pembagian bersama lebih menguntungkan bagi kakek. Jika meninggalkan istri, kakek, saudara laki-laki, dan saudara perempuan, maka istri mendapat seperempat, dan sisanya dibagi antara kakek dan saudara laki-laki masing-masing setengah, karena pembagian bersama lebih menguntungkan bagi kakek. Jika meninggalkan istri, saudara laki-laki, kakek, dan saudara perempuan, maka istri mendapat seperempat, dan sisanya dibagi antara kakek, saudara laki-laki, dan saudara perempuan menjadi lima bagian, dan pembagian bersama lebih menguntungkan. Jika meninggalkan ibu, saudara laki-laki, dua saudara perempuan, dan kakek, maka ibu mendapat seperenam, dan sisanya dibagi antara kakek, saudara laki-laki, dan dua saudara perempuan menjadi enam bagian, dan pembagian bersama serta sepertiga sisa sama besar. Jika meninggalkan ibu, dua saudara laki-laki, saudara perempuan, dan kakek, maka ibu mendapat seperenam, kakek mendapat sepertiga sisa, karena itu lebih besar dari pembagian bersama, dan sisanya dibagi antara dua saudara laki-laki dan saudara perempuan, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Jika meninggalkan istri, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan, dan kakek, maka istri mendapat seperempat, ibu mendapat seperenam, dan sisanya dibagi antara kakek, saudara laki-laki, dan saudara perempuan menjadi lima bagian, dan pembagian bersama lebih besar dari sepertiga sisa.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْفَرْضُ النِّصْفَ لَا غَيْرَ: وَذَلِكَ فَرْضَانِ: فَرْضُ الزَّوْجِ وَفَرْضُ الْبِنْتِ، فَإِنْ كَانَ لِلزَّوْجِ فَكَانَتِ الْفَرِيضَةُ زَوْجًا، وَأَخًا، وَجَدًّا، كَانَ لِلزَّوْجِ النِّصْفُ، وَالْبَاقِي بَيْنَ الْجَدِّ وَالْأَخِ نِصْفَيْنِ، وَالْمُقَاسَمَةُ أَوْفَرُ، فَلَوْ كَانَتْ زَوْجًا، وَأَخًا، وَأُخْتًا، وَجَدًّا، كَانَ لِلزَّوْجِ النِّصْفُ، وَالْبَاقِي بَيْنَ الْأَخِ وَالْجَدِّ وَالْأُخْتِ عَلَى خَمْسَةٍ، وَالْمُقَاسَمَةُ أَوْفَرُ، فَلَوْ كَانَتْ زَوْجًا، وَأَخَوَيْنِ، وَجَدًّا، كَانَ لِلزَّوْجِ النِّصْفُ، وَالْبَاقِي بَيْنَ الْجَدِّ وَالْأَخَوَيْنِ عَلَى ثَلَاثَةٍ، وَالْمُقَاسَمَةُ وَثُلُثُ الْبَاقِي وَسُدُسُ جَمِيعِ الْمَالِ سَوَاءٌ، فَلَوْ كَانَتْ زَوْجًا، وَأَخْوِيَنِ، وَأُخْتًا، وَجَدًّا، كَانَ لِلزَّوْجِ النِّصْفُ، وَلِلْجَدِّ ثُلُثُ مَا يَبْقَى، وَهُوَ سُدُسُ الْجَمِيعِ أَيْضًا وَالْبَاقِي بَيْنَ الْأَخَوَيْنِ وَالْأُخْتِ لا يقاسمهم الجد، لتساويه بِالْمُقَاسِمَةِ عَنْ ثُلُثِ مَا يَبْقَى وَسُدُسِ الْجَمِيعِ، وَإِنْ كَانَ النِّصْفُ فَرْضَ الْبِنْتِ: فَقَدْ حُكِيَ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّهُ لَا يَزِيدُ الْجَدُّ عَلَى السُّدُسِ مَعَ الْبِنْتِ، أَوْ بِنْتِ الِابْنِ، وَعَلَى قَوْلِ الْجَمَاعَةِ إِنَّ الْجَدَّ يُقَاسِمُ الْإِخْوَةَ مَعَ الْبِنْتِ كَمَا يقاسم مَعَ غَيْرِ الْبِنْتِ، لِأَنَّ الْجَدَّ لَا يَضْعُفُ عَنِ الْأَخِ وَالْأُخْتِ، فَلَمَّا اقْتَسَمَ الْأَخُ وَالْأُخْتُ مَا فَضَلَ عَنْ فَرْضِ الْبِنْتِ اقْتَسَمَهُ الْأَخُ وَالْجَدُّ، فَعَلَى هَذَا لَوْ تَرَكَ بِنْتًا، وَأَخًا، وَجَدًّا، كَانَ لِلْبِنْتِ النِّصْفُ، والباقي بين الأخت والجد على ثلاثة، ولو ترك بنتا وأخوين، وأختا، وجدا، كان للبنت النصف، وَلِلْجَدِّ ثُلُثُ مَا يَبْقَى وَهُوَ السُّدُسُ، لِأَنَّ الْمُقَاسَمَةَ تَنْقُصُهُ عَنْهُ وَالْبَاقِيَ بَيْنَ الْأَخَوَيْنِ وَالْأُخْتِ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ.

Bagian kedua: yaitu apabila bagian yang wajib adalah setengah, tidak lebih. Dan itu ada dua: bagian suami dan bagian anak perempuan. Jika bagian itu untuk suami, maka jika ahli warisnya adalah suami, saudara laki-laki, dan kakek, maka suami mendapat setengah, dan sisanya dibagi antara kakek dan saudara laki-laki masing-masing setengah, dan pembagian secara muqāsamah (pembagian bersama) lebih banyak. Jika ahli warisnya adalah suami, saudara laki-laki, saudari perempuan, dan kakek, maka suami mendapat setengah, dan sisanya dibagi antara saudara laki-laki, kakek, dan saudari perempuan menjadi lima bagian, dan muqāsamah lebih banyak. Jika ahli warisnya adalah suami, dua saudara laki-laki, dan kakek, maka suami mendapat setengah, dan sisanya dibagi antara kakek dan dua saudara laki-laki menjadi tiga bagian, dan muqāsamah, sepertiga dari sisa, dan seperenam dari seluruh harta adalah sama. Jika ahli warisnya adalah suami, dua saudara laki-laki, saudari perempuan, dan kakek, maka suami mendapat setengah, kakek mendapat sepertiga dari sisa, yang juga merupakan seperenam dari seluruh harta, dan sisanya dibagi antara dua saudara laki-laki dan saudari perempuan, kakek tidak ikut membagi bersama mereka, karena hasil muqāsamah sama dengan sepertiga sisa dan seperenam seluruh harta. Jika setengah adalah bagian anak perempuan: telah dinukil dari Ali ‘alaihis salam bahwa kakek tidak mendapat lebih dari seperenam bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Menurut pendapat jumhur, kakek membagi bersama saudara-saudara dengan adanya anak perempuan sebagaimana ia membagi bersama selain anak perempuan, karena kakek tidak lebih lemah dari saudara laki-laki dan saudari perempuan. Maka ketika saudara laki-laki dan saudari perempuan membagi sisa dari bagian anak perempuan, saudara laki-laki dan kakek pun membaginya. Berdasarkan ini, jika pewaris meninggalkan anak perempuan, saudara laki-laki, dan kakek, maka anak perempuan mendapat setengah, dan sisanya dibagi antara saudara laki-laki dan kakek menjadi tiga bagian. Jika pewaris meninggalkan anak perempuan, dua saudara laki-laki, saudari perempuan, dan kakek, maka anak perempuan mendapat setengah, kakek mendapat sepertiga dari sisa, yaitu seperenam, karena muqāsamah mengurangi bagian kakek dari itu, dan sisanya dibagi antara dua saudara laki-laki dan saudari perempuan, untuk laki-laki dua kali bagian perempuan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الْفَرْضُ يَزِيدُ عَلَى النِّصْفِ وَلَا يَزِيدُ عَلَى الثُّلُثَيْنِ فَيَكُونُ لِلْجَدِّ الْأَكْثَرُ مِنَ الْمُقَاسَمَةِ أَوْ سُدُسُ جَمِيعِ الْمَالِ، لِأَنَّ ثُلُثَ الْبَاقِي أَقَلُّ مِنْهُ، فعلى هذا لو ترك زوجة، وأما، وأختا، وَجَدًّا، كَانَ لِلزَّوْجَةِ الرُّبُعُ، وَلِلْأُمِّ الثُّلُثُ، وَالْبَاقِي بَيْنَ الْجَدِّ وَالْأَخِ، لِأَنَّهُ أَكْثَرُ لَهُ مِنَ السُّدُسِ، وَتُفَضَّلُ الْأُمُّ بِسَهْمِهَا عَلَى الْجَدِّ، وَحُكِيَ عَنْ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُمَا كَانَا لَا يُفَضِّلَانِ أُمًّا عَلَى جَدٍّ، وَفَضَّلَهَا زَيْدٌ؛ لِأَنَّ الْأُمَّ أَقْوَى وِلَادَةً وَأَقْرَبَ دَرَجَةً فَلَمْ يَمْتَنِعْ تَفْضِيلُهَا عَلَى الْجَدِّ، فَلَوْ تَرَكَ بِنْتًا، وَأُمًّا، وَأُخْتًا، وَجَدًّا، كَانَ لِلْبِنْتِ النِّصْفُ، وَلِلْأُمِّ السُّدُسُ، وَالْبَاقِي بَيْنَ الْجَدِّ وَالْأُخْتِ عَلَى ثَلَاثَةٍ، وَالْمُقَاسَمَةُ أَوْفَرُ، وَلَوْ تَرَكَ بِنْتًا وَبِنْتَ ابْنٍ، وَأَخًا، وَجَدًّا كَانَ لِلْبِنْتِ النِّصْفُ، وَلِبِنْتِ الِابْنِ السُّدُسُ، وَالْبَاقِي بَيْنَ الْجَدِّ وَالْأَخِ نِصْفَيْنِ، وَالْمُقَاسَمَةُ وَالسُّدُسُ سَوَاءٌ وَلَوْ كَانَ مَعَ الأخ أخت فرض للجد سدس، لِأَنَّ الْمُقَاسَمَةَ أَقَلُّ.

Bagian ketiga: yaitu apabila bagian yang wajib lebih dari setengah tetapi tidak lebih dari dua pertiga, maka kakek mendapat bagian yang lebih banyak antara muqāsamah atau seperenam dari seluruh harta, karena sepertiga sisa lebih sedikit dari itu. Berdasarkan ini, jika pewaris meninggalkan istri, ibu, saudari perempuan, dan kakek, maka istri mendapat seperempat, ibu mendapat sepertiga, dan sisanya dibagi antara kakek dan saudara laki-laki, karena itu lebih banyak bagi kakek daripada seperenam, dan ibu diutamakan dengan bagiannya atas kakek. Diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Mas‘ud radhiyallāhu ‘anhumā bahwa keduanya tidak mengutamakan ibu atas kakek, sedangkan Zaid mengutamakannya, karena ibu lebih kuat hubungan kelahirannya dan lebih dekat derajatnya, maka tidak terlarang mengutamakannya atas kakek. Jika pewaris meninggalkan anak perempuan, ibu, saudari perempuan, dan kakek, maka anak perempuan mendapat setengah, ibu mendapat seperenam, dan sisanya dibagi antara kakek dan saudari perempuan menjadi tiga bagian, dan muqāsamah lebih banyak. Jika pewaris meninggalkan anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara laki-laki, dan kakek, maka anak perempuan mendapat setengah, cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat seperenam, dan sisanya dibagi antara kakek dan saudara laki-laki masing-masing setengah, dan muqāsamah dan seperenam sama. Jika bersama saudara laki-laki ada saudari perempuan, maka bagian kakek adalah seperenam, karena muqāsamah lebih sedikit.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الفرض أكثر من الثلثين: لِلْجَدِّ السُّدُسُ، وَرُبَّمَا اسْتَوَى السُّدُسُ وَالْمُقَاسَمَةُ، فَإِذَا كَانَتِ الْفَرِيضَةُ زَوْجًا وَبِنْتًا وَأَخًا وَجَدًّا كَانَ لِلزَّوْجِ الرُّبُعُ، وَلِلْبِنْتِ النِّصْفُ، وَلِلْجَدِّ السُّدُسُ، وَالْبَاقِي للأخ سهم من اثني عشر، فَلَوْ كَانَتْ زَوْجَةً، وَأَمًّا، وَبِنْتًا، وَأَخًا، وَجَدًّا، كَانَ لِلزَّوْجَةِ الثُّمُنُ، وَلِلْأُمِّ السُّدُسُ، وَلِلْبِنْتِ النِّصْفُ، وَلِلْجَدِّ السُّدُسُ، وَالْبَاقِي لِلْأَخِ سَهْمٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ وعشرين سهما فلو كانت زوجا، وبنتا، وأخا، وجدا، فللزوج الربع، وللبنت النصف، وسدس للجد وَالْمُقَاسَمَةُ سَوَاءٌ، فَيُقَاسِمُ بِهِ لِأَنَّ الْمُقَاسَمَةَ مَا لَمْ تَنْقُصْهُ عَنْ فَرْضِهِ أَوْلَى فَيَكُونُ الْمَالُ بَيْنَهُمْ عَلَى ثَلَاثَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Bagian keempat: Yaitu apabila bagian fardhu lebih dari dua pertiga: untuk kakek mendapat seperenam, dan kadang-kadang antara seperenam dan muqāsamah (pembagian bersama) itu sama. Jika dalam suatu pembagian warisan terdapat suami, anak perempuan, saudara laki-laki, dan kakek, maka suami mendapat seperempat, anak perempuan mendapat setengah, kakek mendapat seperenam, dan sisanya untuk saudara laki-laki, yaitu satu bagian dari dua belas. Jika yang ada adalah istri, ibu, anak perempuan, saudara laki-laki, dan kakek, maka istri mendapat seperdelapan, ibu mendapat seperenam, anak perempuan mendapat setengah, kakek mendapat seperenam, dan sisanya untuk saudara laki-laki, yaitu satu bagian dari dua puluh empat bagian. Jika yang ada adalah suami, anak perempuan, saudara laki-laki, dan kakek, maka suami mendapat seperempat, anak perempuan mendapat setengah, dan seperenam untuk kakek, sedangkan muqāsamah (pembagian bersama) sama saja, sehingga kakek ikut membagi karena muqāsamah selama tidak mengurangi bagian fardhunya lebih utama. Maka harta dibagi di antara mereka menjadi tiga bagian. Allah Maha Mengetahui.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” فإن عالت الفريضة فالسدس للجد والعول يَدْخُلُ عَلَيْهِ مِنْهُ مَا يَدْخُلُ عَلَى غَيْرِهِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika pembagian warisan mengalami ‘aul (penambahan bagian fardhu sehingga melebihi harta), maka seperenam untuk kakek, dan ‘aul juga berlaku atasnya sebagaimana berlaku atas yang lain.”

قال الماوردي: وأما الْعَوْلُ فَهُوَ زِيَادَةُ الْفُرُوضِ فِي التَّرِكَةِ حَتَّى تَعْجِزَ التَّرِكَةُ عَنْ جَمِيعِهَا فَيَدْخُلُ النَّقْصُ عَلَى الْفُرُوضِ بِالْحِصَصِ، وَلَا يُخَصُّ بِهِ بَعْضُ ذَوِي الفروض من دُون بَعْضٍ، فَهَذَا هُوَ الْعَوْلُ، وَبِهِ قَالَ جُمْهُورُ الصَّحَابَةِ، وَأَوَّلُ مَنْ حَكَمَ بِهِ عَنْ رَأْيِ جَمِيعِهِمْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رِضْوَانُ اللَّهِ عليه، وأشار بِهِ عَلَيْهِ عَلِيٌّ، وَالْعَبَّاسُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، ثُمَّ اتَّفَقُوا جَمِيعًا عَلَيْهِ إِلَّا ابْنَ عَبَّاسٍ وَحْدَهُ فَإِنَّهُ خَالَفَهُمْ فِي الْعَوْلِ، وَأَظْهَرَ خِلَافَهُ بَعْدَ مَوْتِ عُمَرَ، وَهِيَ الْمَسْأَلَةُ الرَّابِعَةُ الَّتِي تَفَرَّدَ ابْنُ عَبَّاسٍ فِيهَا بِخِلَافِ الصَّحَابَةِ، وَقَالَ أكمل فرض من نقله الله تَعَالَى مِنْ فَرْضٍ إِلَى فَرْضٍ كَالزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ والأم، وأدخل النقص على من نقله الله مِنْ فَرْضٍ إِلَى غَيْرِ فَرْضٍ كَالْبَنَاتِ وَالْأَخَوَاتِ لِانْتِقَالِهِنَّ مَعَ إِخْوَتِهِنَّ مِنْ فَرْضٍ إِلَى غَيْرِ فرض.

Al-Mawardi berkata: Adapun ‘aul adalah bertambahnya bagian-bagian fardhu dalam harta warisan sehingga harta tidak cukup untuk memenuhi semuanya, maka kekurangan itu masuk ke dalam bagian-bagian fardhu secara proporsional, dan tidak dikhususkan kepada sebagian ahli waris fardhu saja tanpa yang lain. Inilah yang disebut ‘aul, dan pendapat ini dipegang oleh jumhur sahabat. Orang pertama yang memutuskan dengan pendapat ini atas dasar kesepakatan mereka adalah ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dan hal ini juga disetujui oleh ‘Ali dan Al-‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, kemudian mereka semua sepakat atasnya kecuali Ibnu ‘Abbas seorang diri, karena ia menyelisihi mereka dalam masalah ‘aul, dan ia menampakkan perbedaannya setelah wafatnya ‘Umar. Ini adalah masalah keempat yang Ibnu ‘Abbas bersendirian dalam menyelisihi para sahabat. Ia berkata: Sempurnakan bagian fardhu bagi siapa yang Allah pindahkan dari satu bagian fardhu ke bagian fardhu lain, seperti suami, istri, dan ibu; dan masukkan kekurangan kepada siapa yang Allah pindahkan dari bagian fardhu ke selain bagian fardhu, seperti anak-anak perempuan dan saudara-saudara perempuan, karena mereka berpindah bersama saudara-saudara laki-lakinya dari bagian fardhu ke selain bagian fardhu.

وروى عَطَاءُ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ: أَتَرَوْنَ الَّذِي أَحْصَى رَمْلَ عَالِجٍ عددا لم يحصي في مال قسمه نصفا ونصفا وثلثا، فبهذان النصفان قد ذهبنا بِالْمَالِ فَأَيْنَ مَوْضِعُ الثُّلُثِ قَالَ عَطَاءٌ: فَقُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ يَا أَبَا عَبَّاسٍ إِنَّ هَذَا لَا يُغْنِي عَنْكَ وَلَا عَنِّي شَيْئًا لَوْ مِتُّ أَوْ مِتَّ قُسِّمَ مِيرَاثُنَا عَلَى مَا قاله اليوم من خلاف رأيك قال فقال إن شاؤا فلندع أبناءنا وأبنائهم، ونسائنا ونسائهم، وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَهُمْ، ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ مَا جَعَلَ اللَّهُ فِي مَالٍ نِصْفًا وَنِصْفًا وَثُلُثًا.

Diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, ia berkata: Aku mendengar Ibnu ‘Abbas berkata: Apakah kalian mengira bahwa Dzat yang menghitung butiran pasir ‘Alij dengan teliti tidak mampu menghitung harta yang dibagi setengah, setengah, dan sepertiga? Dengan dua setengah itu saja, kita sudah menghabiskan harta, lalu di mana letak sepertiganya? ‘Atha’ berkata: Maka aku berkata kepada Ibnu ‘Abbas, “Wahai Abu ‘Abbas, ini tidak bermanfaat bagimu maupun bagiku. Jika aku atau engkau wafat, warisan kita akan dibagi sesuai dengan apa yang dikatakan hari ini, meskipun bertentangan dengan pendapatmu.” Ia berkata, “Jika mereka mau, mari kita ajak anak-anak kita dan anak-anak mereka, istri-istri kita dan istri-istri mereka, diri kita dan diri mereka, lalu kita bermubahalah (bersumpah laknat), dan kita jadikan laknat Allah atas orang-orang yang berdusta. Allah tidak pernah menjadikan dalam suatu harta bagian setengah, setengah, dan sepertiga.”

وَروي الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ قَالَ أَتَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ أنا وزفر بن أوس وما كنت ألقى رجلا من العرب يحيك فِي صَدْرِي أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ ذَلِكَ الرَّجُلِ قَالَ: فَقَالَ لَهُ زُفَرُ: يَا أَبَا عَبَّاسٍ مَنْ أَوَّلُ مَنْ أَعَالَ الْفَرَائِضَ؟ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ قَدَّمَ مَنْ قدم الله مَا عَالَتْ فَرِيضَةٌ، قَالَ فَقَالَ لَهُ يا أبا العباس وَأَيُّهَا الَتِي قَدَّمَهَا اللَّهُ وَأَيُّهَا الَّتِي أَخَّرَ؟ فقال كل فريضة لم تزول عن فريضة إلا إلى فريضة هي التي قدمها الله، وكل فريضتين عالت عَنْ فَرِيضَتِهَا لَمْ يَكُنْ لَهَا إِلَّا مَا بَقِيَ فَهِيَ الَّتِي أَخَّرَ، فَأَمَّا الَّتِي قَدَّمَ اللَّهُ فَالزَّوْجُ فَلَهُ النِّصْفُ، فَإِذَا دَخَلَ عَلَيْهِ مَنْ يُزِيلُهُ فَلَهُ الرُّبُعُ لَا يُزِيلُهُ عَنْهُ شَيْءٌ، وَالْمَرْأَةُ لَهَا الرُّبُعُ فَإِذَا زَالَتْ عَنْهُ صَارَ لَهَا الثُّمُنُ لَا يُزِيلُهَا عَنْهُ شَيْءٌ، والأم لها الثلث فإذا زالت عنه صار لها السدس لَا يُزِيلُهَا عَنْهُ شَيْءٌ، فَهَذِهِ الْفَرَائِضُ الَّتِي قَدَّمَ اللَّهُ، وَالَّتِي أَخَّرَ فَرِيضَةُ الْبَنَاتِ وَالْأَخَوَاتِ النصف والثلثان، فإذا أزالتهما الفرائض عن ذلك لم يكن لهم إلا ما يبقى، فَإِذَا اجْتَمَعَ مَا قَدَّمَ اللَّهُ وَمَا أَخَّرَهُ بدئ بما قدمه الله ولم تعل فريضة، فقال له البصري فَمَا مَنَعَكَ أَنْ تَسِيرَ بِهَذَا الرَّأْيِ عَلَى عمر قال هبته وكان امرءا وَرِعًا فَقَالَ الزُّهْرِيُّ: وَاللَّهِ لَوْلَا أَنَّهُ تَقَدَّمَ ابْنَ عَبَّاسٍ إِمَامٌ عَدْلٌ فَأَمْضَى أَمْرًا فَمَضَى وكان امرءا وَرِعًا لَمَا اخْتَلَفَ عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ اثْنَانِ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فَهَذَا مَذْهَبُ ابْنِ عَبَّاسٍ في إسقاط العول واحتجاجه فيه فلم يُتَابِعْهُ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ إِلَّا مُحَمَّدُ ابْنُ الْحَنَفِيَّةِ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ بْنِ علي عليهم السلام.

Diriwayatkan dari az-Zuhri, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah, ia berkata: Aku bersama Zufar bin Aus mendatangi Ibnu ‘Abbas. Tidaklah aku pernah bertemu dengan seorang Arab yang lebih menenangkan hatiku selain laki-laki itu. Zufar berkata kepadanya: Wahai Abu ‘Abbas, siapakah orang pertama yang menerapkan ‘aul (penambahan bagian waris)? Ia menjawab: ‘Umar bin al-Khaththab. Demi Allah, seandainya ia mendahulukan siapa yang didahulukan Allah, niscaya tidak akan terjadi ‘aul pada satu pun bagian waris. Ia berkata lagi: Wahai Abu ‘Abbas, bagian mana yang didahulukan Allah dan bagian mana yang diakhirkan? Ia menjawab: Setiap bagian waris yang tidak berpindah dari satu bagian kecuali kepada bagian lain, itulah yang didahulukan Allah. Setiap dua bagian yang terkena ‘aul dari bagiannya sehingga hanya mendapatkan sisa, itulah yang diakhirkan. Adapun bagian yang didahulukan Allah: suami, ia mendapat separuh; jika ada yang masuk yang mengurangi bagiannya, maka ia mendapat seperempat, dan tidak ada yang dapat menguranginya lagi. Istri mendapat seperempat; jika berkurang, maka menjadi seperdelapan, dan tidak ada yang dapat menguranginya lagi. Ibu mendapat sepertiga; jika berkurang, maka menjadi seperenam, dan tidak ada yang dapat menguranginya lagi. Inilah bagian-bagian yang didahulukan Allah. Adapun yang diakhirkan adalah bagian anak perempuan dan saudara perempuan, yaitu setengah dan dua pertiga. Jika bagian-bagian lain mengurangi bagian mereka, maka mereka hanya mendapat sisa. Jika bagian yang didahulukan Allah dan yang diakhirkan berkumpul, maka dimulai dengan yang didahulukan Allah dan tidak terjadi ‘aul pada bagian waris. Orang Bashrah bertanya kepadanya: Lalu apa yang menghalangimu untuk berpegang pada pendapat ini di hadapan ‘Umar? Ia menjawab: Aku segan kepadanya, dan ia adalah orang yang wara‘. Az-Zuhri berkata: Demi Allah, seandainya tidak ada seorang imam yang adil mendahului Ibnu ‘Abbas dan telah menetapkan suatu perkara sehingga perkara itu berjalan, dan ia adalah orang yang wara‘, niscaya tidak ada dua orang ahli ilmu pun yang berbeda pendapat dengan Ibnu ‘Abbas. Inilah madzhab Ibnu ‘Abbas dalam menolak ‘aul dan argumentasinya dalam hal itu. Tidak ada yang mengikuti pendapat ini kecuali Muhammad bin al-Hanafiyyah dan Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali ‘alaihimussalam.

ومن الفقهاء داود بن علي دليل ذَلِكَ مَعَ مَا أَشَارَ إِلَيْهِ ابْنُ عَبَّاسٍ مِنَ الِاحْتِجَاجِ أَنَّهُ لَيْسَ الْبَنَاتُ وَالْأَخَوَاتُ بِأَقْوَى مِنَ الْبَنِينَ وَالْإِخْوَةِ فَلَمَّا أَخَذَ الْبَنُونَ وَالْإِخْوَةُ ما بقي بعد ذوي الفروض وإن قيل كَانَ أَوْلَى أَنْ يَأْخُذَهُ الْبَنَاتُ وَالْأَخَوَاتُ.

Di antara para fuqaha adalah Dawud bin ‘Ali. Dalilnya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Ibnu ‘Abbas dalam argumentasinya, adalah bahwa anak perempuan dan saudara perempuan tidak lebih kuat daripada anak laki-laki dan saudara laki-laki. Ketika anak laki-laki dan saudara laki-laki mengambil sisa setelah para pemilik bagian (dzawil furudh), maka seharusnya anak perempuan dan saudara perempuan lebih berhak untuk mengambil sisa itu.

وَالدَّلِيلُ على استعمال العول وإدخال النقص على الْجَمَاعَةِ بِقَدْرِ فُرُوضِهِمْ قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ألحقوا الفرائض بأهلها ” وكان الْأَمْرُ لِجَمِيعِهِمْ عَلَى سَوَاءٍ فَامْتَنَعَ أَنْ يَخْتَصَّ بَعْضُهُمْ بِالنَّقْصِ دُونَ بَعْضٍ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ قُصُورُ التَّرِكَةِ عَنِ الدَّيْنِ وَضِيقِ الثُّلُثِ عَنِ الوصية توجب توزيع ذلك بالحصص وإدخال النَّقْصِ عَلَى الْجَمِيعِ بِالْقِسْطِ وَلَا يُخَصُّ بِهِ الْبَعْضُ مَعَ تَسَاوِي الْكُلِّ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فرض التركة بمثابة في إدخال النقص على جميعها بالحصص، ولأن لَوْ جَازَ نَقْصُ بَعْضِهِمْ تَوْفِيرًا عَلَى الْبَاقِينَ لكان نقص الزوج والزوجة ولإدلائهما بِسَبَبٍ أَوْلَى مِنْ نَقْصِ الْبَنَاتِ وَالْأَخَوَاتِ مَعَ إدلائهما بنسب ولأن الزوج والزوجة والأم وإن أُعْطَوْا مَعَ كَثْرَةِ الْفُرُوضِ وَضِيقِ التَّرِكَةِ أَعْلَى الْفَرْضَيْنِ كَمَّلَا وَإِدْخَالُ النَّقْصِ عَلَى غَيْرِهِمْ ظُلْمٌ من شاركهم وجعلوا أعلى في الحالة الأدنى وَإِنْ أُعْطَوْا أَقَلَّ الْفَرْضَيْنِ فَقَدْ حُجِبُوا بِغَيْرِ مَنْ حَجَبَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ وَكِلَا الْأَمْرَيْنِ فاسد، وإذا فسد الأمران وجب العول.

Dalil atas digunakannya ‘aul dan diberlakukannya pengurangan bagian kepada semua ahli waris sesuai bagian mereka adalah sabda Nabi ﷺ: “Sampaikanlah bagian waris kepada yang berhak menerimanya.” Maka ketetapan itu berlaku sama bagi semuanya, sehingga tidak boleh sebagian mereka dikhususkan dengan pengurangan tanpa yang lain. Karena ketika kekurangan harta warisan terhadap utang dan sempitnya sepertiga untuk wasiat mewajibkan pembagian secara proporsional dan pengurangan kepada semuanya secara adil, tidak boleh hanya sebagian yang mendapatkannya padahal semuanya setara, maka wajib pula bagian warisan dibagi dengan cara yang sama, yaitu pengurangan secara proporsional kepada semuanya. Dan jika dibolehkan pengurangan sebagian demi mencukupi yang lain, maka seharusnya yang dikurangi adalah suami dan istri karena sebab mereka lebih kuat daripada pengurangan bagian anak perempuan dan saudara perempuan yang hanya berdasarkan nasab. Dan karena suami, istri, dan ibu, meskipun mereka diberi bagian tertinggi ketika banyaknya bagian dan sempitnya harta warisan, mereka tetap mendapat bagian tertinggi secara penuh, dan mengurangi bagian yang lain adalah kezaliman terhadap yang turut serta, serta menjadikan mereka lebih tinggi dalam keadaan yang lebih rendah. Jika mereka diberi bagian yang lebih sedikit, berarti mereka terhalang oleh selain yang Allah jadikan sebagai penghalang. Kedua keadaan ini rusak, maka jika keduanya rusak, wajiblah diterapkan ‘aul.

فأما اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ ضَعْفَ الْبَنَاتِ وَالْأَخَوَاتِ يَمْنَعُ مِنْ أَنْ يُفَضَّلُوا عَلَى الْبَنِينَ وَالْإِخْوَةِ.

Adapun argumentasinya bahwa lemahnya posisi anak perempuan dan saudara perempuan mencegah mereka untuk diutamakan atas anak laki-laki dan saudara laki-laki.

فَالْجَوَابُ عَنْهُ: أنَّ فِي إِعْطَائِهِنَّ الْبَاقِي تَسْوِيَةً بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْبَنِينَ وَالْإِخْوَةِ وَقَدْ فَرَّقَ اللَّهُ تَعَالَى بَيْنَهُمَا فِيمَا قَدَّرَهُ لِأَحَدِهِمَا وَأَرْسَلَهُ لِلْآخَرِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسَوَّى بَيْنَ الْمُقَدَّرِ وَالْمُرْسَلِ.

Jawabannya: Bahwa dalam memberikan sisa kepada mereka berarti menyamakan mereka dengan anak laki-laki dan saudara laki-laki, padahal Allah Ta‘ala telah membedakan antara keduanya dalam hal yang ditetapkan untuk salah satu dan yang dibiarkan untuk yang lain. Maka tidak boleh disamakan antara yang ditetapkan dan yang dibiarkan.

وأما ضيق المال عن نِصْفَيْنِ وَثُلُثٍ: فَلَعَمْرِي إِنَّهُ يَضِيقُ عَنْ ذَلِكَ مع عدم العول، ويتبع لَهُ مَعَ وُجُودِ الْعَوْلِ فَلَمْ يَمْتَنِعْ، وَأَمَّا قَوْلُهُ إِنَّهُ يُقَدِّمُ مَنْ قَدَّمَ اللَّهُ فَكُلُّهُمْ مقدم لأمرين:

Adapun keterbatasan harta terhadap dua pertiga dan sepertiga: Demi Allah, memang harta itu tidak cukup untuk itu tanpa adanya ‘aul (penambahan bagian sehingga bagian-bagian waris melebihi harta), dan menjadi cukup dengannya jika terdapat ‘aul, maka hal itu tidaklah mustahil. Adapun ucapannya bahwa hal itu mendahulukan siapa yang didahulukan oleh Allah, maka semuanya didahulukan karena dua hal:

أحدهما: أنه لَيْسَ يَحْجُبُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، وَفِيمَا قَالَهُ ابْنُ عباس حجب بعضهم ببعض.

Pertama: Bahwa sebagian dari mereka tidak menghalangi sebagian yang lain, sedangkan menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, sebagian mereka menghalangi sebagian yang lain.

وَالثَّانِي: أَنَّ فَرْضَ جَمِيعِهِمْ مُقَدَّرٌ وَفِيمَا قَالَهُ ابن عباس إبطال التقدير فَرْضَهُمْ فَثَبَتَ مَا قُلْنَاهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Kedua: Bahwa bagian seluruh mereka telah ditentukan, sedangkan menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, penetapan bagian mereka dibatalkan. Maka tetaplah apa yang kami katakan, dan Allah Maha Mengetahui.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَيْسَ يُعَالُ لِأَحَدٍ مِنَ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ مَعَ الْجَدِّ إِلَّا فِي الْأَكْدَرِيَّةِ وَهِيَ زَوْجٌ وَأُمٌّ وَأُخْتٌ لِأَبٍ وَأُمٍّ أَوْ لِأَبٍ وَجَدٌّ فَلِلزَّوْجِ النِّصْفُ وَلِلْأُمِّ الثُلُثُ وَلِلْجَدِّ السُّدُسُ وَلَلْأُخْتِ النِّصْفُ يُعَالُ بِهِ ثُمَّ يُضَمُّ الْجَدُّ سُدُسُهُ إِلَى نِصْفِ الْأُخْتِ فَيُقْسَمَانِ ذَلِكَ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ أَصْلُهَا مِنْ سِتَّةٍ وَتَعُولُ بِنِصْفِهَا وَتَصِحُّ مِنْ سَبْعَةٍ وَعِشْرِينَ لِلزَّوْجِ تِسْعَةٌ وَلِلْأُمِّ سِتَّةٌ وَلِلْجَدِّ ثَمَانِيَةٌ وَلِلْأُخْتِ أَرْبَعَةٌ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Tidak terjadi ‘aul bagi salah satu dari saudara laki-laki dan perempuan bersama kakek kecuali dalam kasus al-Akdariyyah, yaitu: suami, ibu, saudari seayah dan seibu atau seayah, dan kakek. Maka untuk suami setengah, untuk ibu sepertiga, untuk kakek seperenam, dan untuk saudari setengah. Terjadi ‘aul pada bagian ini, kemudian bagian kakek yang seperenam digabungkan dengan setengah bagian saudari, lalu keduanya membagi bagian itu, laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan. Asal perhitungannya dari enam, lalu menjadi ‘aul dengan setengahnya, dan sah dari dua puluh tujuh: untuk suami sembilan, untuk ibu enam, untuk kakek delapan, dan untuk saudari empat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ لِزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ فِي مَسَائِلِ الْجَدِّ ثَلَاثَةَ أُصُولٍ.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa Zaid bin Tsabit dalam masalah waris kakek memiliki tiga prinsip dasar.

أَحَدُهَا: أَنَّهُ لَا يَفْرِضُ لِلْأَخَوَاتِ الْمُنْفَرِدَاتِ مَعَ الْجَدِّ وَحُكِيَ عَنْ عَلِيٍّ وَابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُمَا فَرَضَا لِلْأَخَوَاتِ الْمُنْفَرِدَاتِ مَعَ الْجَدِّ وَقَدْ دَلَّلْنَا عَلَيْهِ فِيمَا تقدم.

Pertama: Ia tidak menetapkan bagian untuk saudari yang sendirian bersama kakek. Diriwayatkan dari ‘Ali dan Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhuma bahwa keduanya menetapkan bagian untuk saudari yang sendirian bersama kakek, dan kami telah menjelaskan hal itu sebelumnya.

والثاني: أنه يُفَضِّلَ أُمًّا عَلَى جَدٍّ، وَحُكِيَ عَنْ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُمَا كَانَا لَا يُفَضِّلَانِ أُمًّا عَلَى جَدٍّ وَقَدْ دَلَّلْنَا عليه.

Kedua: Ia mengutamakan ibu atas kakek. Diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhuma bahwa keduanya tidak mengutamakan ibu atas kakek, dan kami telah menjelaskannya.

والثالث: أنه لا يُعِيلَ مَسَائِلَ الْجَدِّ، وَحُكِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ يُعِيلُونَ مَسَائِلَ الْجَدِّ، وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهَا لَا تَعُولُ شَيْئَانِ:

Ketiga: Ia tidak melakukan ‘aul pada masalah waris kakek. Diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali, dan Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka melakukan ‘aul pada masalah waris kakek. Dalil bahwa masalah ini tidak mengalami ‘aul ada dua:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْجَدَّ يَرِثُ مَعَ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ بِالتَّعْصِيبِ وَمَسَائِلُ الْعَصِبَاتِ لَا تَعُولُ.

Pertama: Bahwa kakek mewarisi bersama saudara laki-laki dan perempuan dengan ‘ashabah (sebagai ahli waris sisa), dan masalah ‘ashabah tidak mengalami ‘aul.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ اجْتِمَاعُ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ يَمْنَعُ من عول مسائل الجد فإن انفراد الأخوات مانعا من العول فهذه ثلاثة أصول لزيد عَمِلَ عَلَيْهَا فِي مَسَائِلِ الْجَدِّ وَلَمْ يُخَالِفْ شَيْئًا مِنْهَا إِلَّا فِي الْأَكْدَرِيَّةِ فَإِنَّهُ فَارَقَ فِيهَا أَصْلَيْنِ مِنْهَا، وَالْأَكْدَرِيَّةُ هِيَ: زَوْجٌ، وَأُمٌّ، وَأُخْتٌ، وَجَدٌّ، اخْتَلَفَ النَّاسُ فِيهَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَقَاوِيلَ.

Kedua: Bahwa berkumpulnya saudara laki-laki dan perempuan mencegah terjadinya ‘aul dalam masalah waris kakek. Jika hanya ada saudari saja, itu juga mencegah terjadinya ‘aul. Maka inilah tiga prinsip dasar Zaid yang ia terapkan dalam masalah waris kakek, dan ia tidak menyelisihi salah satunya kecuali dalam al-Akdariyyah, karena dalam kasus itu ia menyelisihi dua prinsip darinya. Al-Akdariyyah adalah: suami, ibu, saudari, dan kakek. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi empat pendapat.

أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ تَابَعَهُ، إنَّ لِلزَّوْجِ النِّصْفَ، وَلِلْأُمِّ الثُّلُثَ، وَلِلْجَدِّ السُّدُسَ، وَتَسْقُطُ الْأُخْتُ، وَقَدْ حَكَى هَذَا الْقَوْلَ قَبِيصَةُ بْنُ ذُؤَيْبٍ عَنْ زَيْدٍ.

Pertama: Yaitu pendapat Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dan orang-orang yang mengikutinya, bahwa untuk suami setengah, untuk ibu sepertiga, untuk kakek seperenam, dan saudari gugur. Pendapat ini diriwayatkan oleh Qabishah bin Dzu’aib dari Zaid.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ عُمَرَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ لِلزَّوْجِ النِّصْفَ، وَلِلْأُمِّ السُّدُسَ، وَلِلْأُخْتِ النِّصْفَ، وَلِلْجَدِّ السُّدُسَ، لِأَنَّهُمَا لَا يُفَضِّلَانِ أُمًّا عَلَى جَدٍّ وَعَالَتْ بِثُلُثِهَا إلى ثمانية.

Pendapat kedua: Yaitu pendapat ‘Umar dan ‘Abdullah bin Mas‘ud, bahwa untuk suami setengah, untuk ibu seperenam, untuk saudari setengah, dan untuk kakek seperenam, karena keduanya tidak mengutamakan ibu atas kakek, dan terjadi ‘aul dengan sepertiganya menjadi delapan.

والقسم الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّ للزوج النصف، وللأم الثلث، وللأخت النصف، وللجد السدس، وتعول بنصفها إلى تسعة وتقسيم بَيْنَهُمَا عَلَى ذَلِكَ.

Pendapat ketiga: Yaitu pendapat ‘Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam, bahwa untuk suami setengah, untuk ibu sepertiga, untuk saudari setengah, untuk kakek seperenam, dan terjadi ‘aul dengan setengahnya menjadi sembilan, lalu pembagiannya di antara mereka sesuai itu.

وَالْقَوْلُ الرَّابِعُ: وَهُوَ قَوْلُ زيد بن ثابت والمشهور عنه للزوج النصف، وللأم الثلث، وللأخت النصف، وللجد السدس، ويعول نصفها إِلَى تِسْعَةٍ ثُمَّ تَجْمَعُ سِهَامَ الْأُخْتِ وَالْجَدِّ وَهِيَ أَرْبَعَةٌ فَتَجْعَلُهَا بَيْنَهُمَا عَلَى ثَلَاثَةٍ فَلَا تقسم فَاضْرِبْ ثَلَاثَةً فِي تِسْعَةٍ تَكُنْ سَبْعَةً وَعِشْرِينَ، لِلزَّوْجِ ثَلَاثَةٌ فِي ثَلَاثَةٍ تِسْعَةٌ، وَلِلْأُمِّ سَهْمَانِ في ثلاثة ستة، ويبقى اثْنَا عَشَرَ لِلْأُخْتِ ثُلُثُهَا أَرْبَعَةٌ، وَلِلْجَدِّ ثُلُثَاهَا ثَمَانِيَةٌ، فَفَارَقَ زِيدٌ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَصْلَيْنِ:

Pendapat keempat: yaitu pendapat Zaid bin Tsabit dan yang masyhur darinya, bahwa untuk suami setengah, untuk ibu sepertiga, untuk saudari perempuan setengah, untuk kakek seperenam. Lalu setengahnya menjadi sembilan, kemudian jumlahkan bagian saudari dan kakek, yaitu empat, lalu jadikan di antara keduanya atas tiga, maka tidak bisa dibagi, maka kalikan tiga dengan sembilan menjadi dua puluh tujuh. Untuk suami, tiga kali tiga, yaitu sembilan; untuk ibu, dua bagian kali tiga, yaitu enam; dan tersisa dua belas untuk saudari, sepertiganya empat, dan untuk kakek dua pertiganya delapan. Maka Zaid berbeda dalam masalah ini dari dua prinsip:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ فَرَضَ لِلْأُخْتِ مَعَ الْجَدِّ وَهُوَ لَا يَرَى الْفَرْضَ لَهَا.

Pertama: bahwa ia menetapkan bagian untuk saudari bersama kakek, padahal ia tidak berpendapat adanya bagian untuknya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَعَالَ مُقَاسَمَة الْجَدِّ وَهُوَ لَا يُعِيلُهَا وَأَقَامَ عَلَى أَصْلِهِ الثَّالِثِ فِي جَوَازِ تَفْضِيلِ الْأُمِّ عَلَى الْجَدِّ، وَإِنَّمَا فَارَقَ فِيهَا أَصْلَيْهِ فِي الْفَرْضِ وَالْعَوْلِ، لِأَنَّ الْبَاقِيَ بَعْدَ فَرْضِ الزَّوْجِ وَالْأُمِّ السُّدُسُ فَإِنْ دَفَعَهُ إِلَى الْجَدِّ أَسْقَطَ الْأُخْتَ وَهُوَ لَا يُسْقِطُهَا، لِأَنَّهُ قَدْ عَصَّبَهَا وَالذَّكَرُ إِذَا عَصَّبَ أُنْثَى فَأَسْقَطَهَا سَقَطَ مَعَهَا كَالْأَخِ إِذَا عَصَّبَ أُخْتَهُ وَأَسْقَطَهَا سَقَطَ مَعَهَا، وَلَوْ كَانَ مَكَانُ الْأُخْتِ أَخٌ أَسْقَطَهُ الْجَدُّ، لِأَنَّهُ لم يتعصب بالجد كالأخت فجاز أن يسقطه الجد وَيَرِثَ دُونَهُ فَلِهَذَا الْمَعْنَى لَمْ يَفْرِضْ لِلْجَدِّ وَتَسْقُطُ الْأُخْتُ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَفْرِضَ لِلْأُخْتِ وَيَسْقُطُ الْجَدُّ لِأَنَّ الْجَدَّ لَا يَسْقُطُ مَعَ الوالد الَّذِي هُوَ أَقْوَى مِنَ الْأُخْتِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْقُطَ بِالْأُخْتِ فَدَعَتْهُ الضَّرُورَةُ إِلَى أَنْ فَرَضَ لَهُمَا وَأَعَالَ ثُمَّ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُقِرَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى مَا فَرَضَ لَهُ، لِأَنَّ فِيهِ تَفْضِيلَ الْأُخْتِ عَلَى الْجَدِّ وَالْجَدُّ عِنْدَهُ كَالْأَخِ الَّذِي يُعَصِّبُ أُخْتَهُ وَكُلُّ ذَكَرٍ عَصَّبَ أُنْثَى قَاسَمَهَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنثيين فلذلك ما فَرَضَ زَيْدٌ وَأَعَالَ وَقَاسَمَ، وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ واختلفوا في تسمية هذه المسألة بالأكدرية فَقَالَ الْأَعْمَشُ: سُمِّيَتْ بِذَلِكَ، لِأَنَّ عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ مَرْوَانَ سَأَلَ عَنْهَا رَجُلًا يُقَالُ لَهُ الْأَكْدَرُ فَأَخْطَأَ فِيهَا فَنُسِبَتْ إِلَيْهِ، وَقَالَ آخَرُونَ سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّ الْجَدَّ كَدَّرَ عَلَى الْأُخْتِ فَرْضَهَا، وَقَالَ آخَرُونَ سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّهَا كَدَّرَتْ عَلَى زَيْدٍ مَذْهَبَهُ فِي أَنْ فَارَقَ فِيهَا أَصْلَيْنِ لَهُ وَقَدْ يُلْقِي الْفَرْضِيُّونَ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ فِي مُعَايَاةِ الْفَرَائِضِ فَيَقُولُونَ: أَرْبَعَةٌ وَرِثُوا تَرِكَةً فَجَاءَ أَحَدُهُمْ فَأَخَذَ ثُلُثَهَا، ثُمَّ جَاءَ الثَّانِي فَأَخَذَ ثُلُثَ الْبَاقِي، ثُمَّ جَاءَ الثَّالِثُ فَأَخَذَ ثُلُثَ الْبَاقِي، ثُمَّ جَاءَ الرَّابِعُ فَأَخَذَ الْبَاقِي، لِأَنَّ الزَّوْجَ يَأْخُذُ ثُلُثَهَا ثُمَّ الْأُمُّ تَأْخُذُ ثُلُثَ الْبَاقِي ثُمَّ الْأُخْتُ تَأْخُذُ ثُلُثَ بَاقِيهَا.

Kedua: bahwa ia melakukan ‘aul (penambahan bagian karena kekurangan harta warisan) dalam pembagian antara kakek dan saudari, padahal ia tidak melakukan ‘aul di situ, dan ia tetap pada prinsip ketiganya dalam membolehkan ibu lebih diutamakan dari kakek. Ia hanya berbeda dalam dua prinsipnya dalam hal bagian dan ‘aul, karena sisa setelah bagian suami dan ibu adalah seperenam. Jika diberikan kepada kakek, maka saudari gugur, padahal ia tidak menggugurkannya, karena ia telah menjadikannya sebagai ‘ashabah (ahli waris pengganti), dan jika laki-laki menjadikan perempuan sebagai ‘ashabah lalu menggugurkannya, maka ia pun gugur bersamanya, seperti saudara laki-laki jika menjadikan saudari sebagai ‘ashabah lalu menggugurkannya, maka ia pun gugur bersamanya. Jika di tempat saudari adalah saudara laki-laki, maka kakek akan menggugurkannya, karena ia tidak menjadi ‘ashabah dengan kakek seperti saudari, sehingga boleh kakek menggugurkannya dan mewarisi tanpanya. Oleh karena itu, tidak boleh menetapkan bagian untuk kakek dan menggugurkan saudari, dan tidak boleh menetapkan bagian untuk saudari dan menggugurkan kakek, karena kakek tidak gugur bersama ayah yang lebih kuat dari saudari, maka tidak boleh ia gugur karena saudari. Maka kebutuhan menuntut untuk menetapkan bagian bagi keduanya dan melakukan ‘aul, kemudian tidak boleh menetapkan masing-masing dari keduanya atas bagian yang telah ditetapkan, karena di situ terdapat pengutamaan saudari atas kakek, dan kakek menurutnya seperti saudara laki-laki yang menjadikan saudari sebagai ‘ashabah, dan setiap laki-laki yang menjadikan perempuan sebagai ‘ashabah maka ia membaginya, bagi laki-laki dua bagian perempuan. Oleh karena itu, Zaid menetapkan bagian, melakukan ‘aul, dan membagi, dan ini juga pendapat asy-Syafi‘i. Mereka berbeda pendapat dalam penamaan masalah ini dengan al-Akhdariyyah. Al-A‘mash berkata: dinamakan demikian karena ‘Abdul Malik bin Marwan bertanya tentangnya kepada seorang laki-laki bernama al-Akhdar lalu ia salah dalam menjawabnya, maka dinisbatkan kepadanya. Yang lain berkata: dinamakan demikian karena kakek mengurangi bagian saudari. Yang lain lagi berkata: dinamakan demikian karena masalah ini mengaburkan mazhab Zaid dalam dua prinsip yang ia tinggalkan. Para ahli faraidh (ilmu waris) kadang-kadang melemparkan masalah ini dalam teka-teki warisan, mereka berkata: Empat orang mewarisi harta, lalu salah satu dari mereka mengambil sepertiganya, kemudian yang kedua mengambil sepertiga sisanya, lalu yang ketiga mengambil sepertiga sisanya, lalu yang keempat mengambil sisanya. Karena suami mengambil sepertiganya, lalu ibu mengambil sepertiga sisanya, lalu saudari mengambil sepertiga dari sisa bagiannya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَلَوْ كَانَ فِي الْأَكْدَرِيَّةِ مَكَانَ الْأُخْتِ أَخًا سَقَطَ بِالْجَدِّ وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْأَخِ وَالْأُخْتِ ما قدمناه من أن الأخت تعصيبها بِالْجَدِّ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسْقِطَهَا وَلَا يَسْقُطَ مَعَهَا، وَالْأَخُ لَمْ يَتَعَصَّبْ بِالْجَدِّ بَلْ بِنَفْسِهِ فَجَازَ أَنْ يُسْقِطَهُ الْجَدُّ وَيَأْخُذَ بِالرَّحِمِ، فَلَوْ كَانَتْ زَوْجًا، وَأُمًّا، وَأَخًا، وَجَدًّا، وَأُخْتًا، كَانَ لِلزَّوْجِ النِّصْفُ، وَلِلْأُمِّ السُّدُسُ، وَلِلْجَدِّ السُّدُسُ، وَالْبَاقِي وَهُوَ السُّدُسُ بَيْنَ الْأَخِ وَالْأُخْتِ عَلَى ثَلَاثَةٍ، فَلَوْ كَانَتْ زَوْجًا، وَأُمًّا، وَبِنْتًا، وَأُخْتًا، وَجَدًّا كَانَ لِلزَّوْجِ الرُّبُعُ، وَلِلْأُمِّ السُّدُسُ، وَلِلْبِنْتِ النِّصْفُ، وللجد السدس، تعول إِلَى ثَلَاثَةَ عَشَرَ، وَتَسْقُطُ الْأُخْتُ، لِأَنَّهَا تَعَصَّبَتْ بِالْبِنْتِ فَلَمْ يُوجِبْ سُقُوطَهَا سُقُوطَ الْجَدِّ مَعَهَا، ولم يمتنع عَوْلُهَا، لِأَنَّ الْجَدَّ لَمْ يَرِثْ فِيهَا بِالتَّعْصِيبِ، وَإِنَّمَا لَا تَعُولُ مَسَائِلُ الْجَدِّ الَّتِي يُقَاسِمُ فِيهَا الْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ وَهِيَ الْمَنْسُوبَةُ إِلَى مَسَائِلِ الْجَدِّ، وَقَدْ تَعُولُ فِي غَيْرِهَا كَمَا تَعُولُ مَعَ الْأَبِ.

Seandainya dalam kasus al-Akhdariyyah, posisi saudari digantikan oleh saudara laki-laki, maka ia gugur karena adanya kakek. Perbedaan antara saudara laki-laki dan saudari telah kami jelaskan sebelumnya, yaitu bahwa saudari menjadi ‘ashabah (ahli waris pengganti) bersama kakek, sehingga tidak boleh kakek menggugurkannya dan tidak pula ia gugur bersamanya. Adapun saudara laki-laki tidak menjadi ‘ashabah bersama kakek, melainkan dengan dirinya sendiri, sehingga kakek boleh menggugurkannya dan mengambil bagian kerabat. Jika terdapat suami, ibu, saudara laki-laki, kakek, dan saudari, maka suami mendapat setengah, ibu mendapat seperenam, kakek mendapat seperenam, dan sisanya, yaitu seperenam, dibagi antara saudara laki-laki dan saudari dengan perbandingan tiga bagian. Jika terdapat suami, ibu, anak perempuan, saudari, dan kakek, maka suami mendapat seperempat, ibu mendapat seperenam, anak perempuan mendapat setengah, kakek mendapat seperenam, sehingga menjadi ‘aul (penambahan bagian) menjadi tiga belas bagian, dan saudari gugur, karena ia menjadi ‘ashabah bersama anak perempuan, sehingga gugurnya kakek bersamanya tidak menyebabkan ia gugur, dan tidak terhalang terjadinya ‘aul, karena kakek tidak mewarisi di sini sebagai ‘ashabah. Adapun yang tidak mengalami ‘aul adalah masalah-masalah kakek di mana ia berbagi dengan saudara-saudari, yaitu yang dinisbatkan kepada masalah-masalah kakek, dan bisa saja terjadi ‘aul pada selainnya sebagaimana terjadi ‘aul bersama ayah.

فَصْلٌ: فِي مُلَقَّبَاتِ الْجَدِّ

Bagian: Tentang Masalah-Masalah Kakek yang Memiliki Julukan Khusus

مِنْهَا الْخَرْقَاءُ وَهِيَ أُمٌّ، وَأُخْتٌ، وَجَدٌّ، وَاخْتَلَفَ الصَّحَابَةُ فِيهَا عَلَى سِتَّةِ أَقَاوِيلَ:

Di antaranya adalah al-Kharqā’ (yang robek), yaitu kasus ibu, saudari, dan kakek. Para sahabat berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi enam pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ وَمَنْ تَابَعَهُ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ الله عنهم والفقهاء: أن للأم الثلث، وَالْبَاقِي لِلْجَدِّ.

Pertama: yaitu pendapat Abu Bakar dan para sahabat serta fuqaha yang mengikutinya, bahwa ibu mendapat sepertiga, dan sisanya untuk kakek.

وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ لِلْأُمِّ السُّدُسَ وَلِلْأُخْتِ النِّصْفَ، وَالْبَاقِي لِلْجَدِّ، لِأَنَّهُ لَا يُفَضِّلُ أُمًّا عَلَى جَدٍّ.

Kedua: yaitu pendapat ‘Umar bin al-Khaththab ra., bahwa ibu mendapat seperenam, saudari mendapat setengah, dan sisanya untuk kakek, karena beliau tidak mengutamakan ibu atas kakek.

وَالثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ لِلْأُمِّ الثُّلُثَ، وَلِلْأُخْتِ الثُّلُثَ، وَلِلْجَدِّ الثُّلُثَ.

Ketiga: yaitu pendapat ‘Utsman ra., bahwa ibu mendapat sepertiga, saudari mendapat sepertiga, dan kakek mendapat sepertiga.

وَالرَّابِعُ: وَهُوَ قَوْلُ عَلِيٍّ عليه السلام: أَنَّ لِلْأُمِّ الثُّلُثَ، وَلِلْأُخْتِ النِّصْفَ، وَالْبَاقِي لِلْجَدِّ، لأنه لا يُفَضِّلُ أُمًّا عَلَى جَدٍّ.

Keempat: yaitu pendapat ‘Ali as., bahwa ibu mendapat sepertiga, saudari mendapat setengah, dan sisanya untuk kakek, karena beliau tidak mengutamakan ibu atas kakek.

وَالْخَامِسُ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ لِلْأُخْتِ النِّصْفَ وَالْبَاقِي بَيْنَ الْأُمِّ وَالْجَدِّ نِصْفَانِ.

Kelima: yaitu pendapat Ibnu Mas‘ud ra., bahwa saudari mendapat setengah dan sisanya dibagi antara ibu dan kakek, masing-masing separuh.

وَالسَّادِسُ: وَهُوَ قَوْلُ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِلْأُمِّ الثُّلُثُ وَالْبَاقِي بَيْنَ الْأُخْتِ وَالْجَدِّ عَلَى ثَلَاثَةٍ وَتَصِحُّ مِنْ تِسْعَةٍ وَبِهَذَا يَقُولُ الشَّافِعِيُّ وَقَدْ قَدَّمْنَا مِنَ الدَّلَائِلِ مَا يُوَضِّحُ هَذَا الْجَوَابَ، وَسُمِّيَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ الْخَرْقَاءَ، لِأَنَّ أقاويل الصحابة رضي الله عنهم تخرقها، وَسُمِّيَتْ مُثَلَّثَةَ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، لِأَنَّهُ جَعَلَ الْمَالَ بَيْنَهُمْ أَثْلَاثًا، وَسُمِّيَتْ مُرَبَّعَةَ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، لِأَنَّهُ جَعَلَ الْمَالَ بَيْنَهُمْ أَرْبَاعًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Keenam: yaitu pendapat Zaid bin Tsabit ra., bahwa ibu mendapat sepertiga dan sisanya dibagi antara saudari dan kakek dengan perbandingan tiga bagian, dan masalah ini sah dari sembilan bagian. Inilah pendapat asy-Syafi‘i, dan telah kami sebutkan dalil-dalil yang menjelaskan jawaban ini. Masalah ini dinamakan al-Kharqā’ karena pendapat para sahabat ra. “merobek” (berbeda-beda) padanya. Ia juga dinamakan Musallasah ‘Utsman ra. karena beliau membagi harta menjadi tiga bagian di antara mereka, dan dinamakan Murabba‘ah Ibnu Mas‘ud ra. karena beliau membagi harta menjadi empat bagian di antara mereka. Allah lebih mengetahui kebenarannya.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” والإخوة والأخوات للأب والأم يعادون الجد والأخوات بالإخوة للأب ولا يصير في أيدي الذين للأب شَيْءٌ إِلَّا أَنْ تَكُونَ أُخْتٌ وَاحِدَةٌ لِأَبٍ وَأُمٍّ فَيُصِيبُهَا بَعْدَ الْمُقَاسَمَةِ أَكْثَرُ مِنَ النِّصْفِ فيرد مَا زَادَ عَلَى الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ وَالْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ بِمَنْزِلَةِ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ وَالْأُمُّ مَعَ الْجَدِّ إِذَا لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنَ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Saudara-saudari seayah dan seibu menyaingi kakek dan saudari dengan saudara-saudara seayah, dan tidak ada bagian bagi saudara-saudara seayah kecuali jika hanya ada satu saudari seayah dan seibu, maka setelah pembagian, ia mendapat lebih dari setengah, sehingga kelebihan bagian tersebut dikembalikan kepada saudara-saudara seayah. Saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah diposisikan seperti saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah dan seibu bersama kakek, jika tidak ada seorang pun dari saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah dan seibu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: لَا اخْتِلَافَ بَيْنَ مَنْ قَاسَمَ الْجَدَّ بالإخوة والأخوات في أَنَّهُ مَتَى انْفَرَدَ مَعَهُ الْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ قَاسَمُوهُ، وَإِذَا انْفَرَدَ مَعَهُ الْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ قَاسَمُوهُ كَمُقَاسَمَةِ وَلَدِ الْأَبِ وَالْأُمِّ، وَاخْتَلَفُوا فِي اجْتِمَاعِ الْفَرِيقَيْنِ مَعَهُ فَحُكِيَ عَنْ عَلِيٍّ وَابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ وَلَدَ الْأَبِ يَسْقُطُونَ بِوَلَدِ الْأَبِ وَالْأُمِّ فِي مُقَاسَمَةِ الْجَدِّ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ وَلَدُ الْأَبِ وَالْأُمِّ أُنْثَى وَاحِدَةً وَوَلَدُ الْأَبِ إِنَاثًا وَلَا ذَكَرَ مَعَهُنَّ فَيُفْرَضُ لَهُنَّ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ، فَإِنْ كَانَ مَعَهُنَّ ذَكَرٌ سَقَطْنَ به مع ولد الأب والأم استدلالا بأنه وَلَد الْأَبِ لَمَّا سَقَطُوا بِوَلَدِ الْأَبِ وَالْأُمِّ عَنِ الْمِيرَاثِ مَعَ الْجَدِّ سَقَطُوا فِي مُقَاسَمَةِ الْجَدِّ، لِأَنَّ الْمُقَاسَمَةَ سَبَبٌ لِلِاسْتِحْقَاقِ فَسَقَطَتْ بِسُقُوطِ الِاسْتِحْقَاقِ، وَذَهَبَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ إِلَى أَنَّ وَلَدَ الْأَبِ يُقَاسِمُونَ الْجَدَّ مَعَ وَلَدِ الْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ يَرُدُّونَ مَا حَصَلَ لَهُمْ عَلَى وَلَدِ الْأَبِ وَالْأُمِّ إِلَّا أَنْ يَكُونَ وَلَدُ الْأَبِ وَالْأُمِّ أُنْثَى وَاحِدَةً فَلَا تُزَادُ فِيمَا يَرُدُّ عَلَيْهَا عَلَى النِّصْفِ، فَإِنْ وَصَلَ بَعْدَ النِّصْفِ شَيْءٌ تَقَاسَمَهُ وَلَدُ الْأَبِ بَيْنَهُمْ لِلذَّكَرِ مثل حظ الأنثيين، وحكي نحوه عن عمر رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَمَالِكٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang telah dikatakan: tidak ada perbedaan di antara para ulama yang membagi warisan antara kakek dengan saudara-saudara laki-laki dan perempuan, bahwa kapan pun kakek hanya bersama saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah-seibu, maka mereka membaginya bersamanya. Dan jika kakek hanya bersama saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah, maka mereka juga membaginya sebagaimana pembagian anak-anak seayah-seibu. Namun, mereka berbeda pendapat ketika kedua kelompok itu berkumpul bersama kakek. Diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Mas‘ud bahwa anak-anak seayah gugur karena adanya anak-anak seayah-seibu dalam pembagian warisan bersama kakek, kecuali jika anak seayah-seibu hanya satu perempuan dan anak-anak seayah semuanya perempuan tanpa ada laki-laki di antara mereka, maka ditetapkan bagi mereka bagian seperenam untuk melengkapi dua pertiga. Jika di antara mereka ada laki-laki, maka mereka gugur bersama anak-anak seayah-seibu, dengan alasan bahwa anak-anak seayah ketika gugur karena adanya anak-anak seayah-seibu dalam warisan bersama kakek, maka mereka juga gugur dalam pembagian bersama kakek, karena pembagian adalah sebab untuk memperoleh hak, maka gugur pula dengan gugurnya hak tersebut. Sedangkan Zaid bin Tsabit berpendapat bahwa anak-anak seayah membagi warisan bersama kakek dengan anak-anak seayah-seibu, kemudian apa yang mereka peroleh dikembalikan kepada anak-anak seayah-seibu, kecuali jika anak seayah-seibu hanya satu perempuan, maka tidak ditambah pada apa yang dikembalikan kepadanya melebihi setengah. Jika setelah setengah masih tersisa sesuatu, maka anak-anak seayah membaginya di antara mereka, untuk laki-laki dua kali bagian perempuan. Pendapat serupa juga diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu, dan ini pula pendapat Syafi‘i dan Malik.

وَالدَّلِيلُ عَلَى مُقَاسَمَةِ الْجَدِّ بِوَلَدِ الْأَبِ مَعَ وَلَدِ الْأَبِ وَالْأُمِّ: هُوَ أَنَّ مُقَاسَمَةَ الْإِخْوَةِ لِلْجَدِّ إِنَّمَا كَانَ لِإِدْلَاءِ جَمِيعِهِمْ بِالْأَبِ فَلَمَّا ضَعُفَ الْجَدُّ عَنْ دَفْعِ الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ بِانْفِرَادِهِمْ كَانَ أَوْلَى أَنْ يَضْعُفَ عَنْ دَفْعِهِمْ إِذَا اجْتَمَعُوا مَعَ مَنْ هُوَ أَقْوَى مِنْهُمْ فَلِذَلِكَ ما اسْتَوَى الْفَرِيقَانِ فِي مُقَاسَمَتِهِ، ثُمَّ لَمَّا كَانَ الْإِخْوَةُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ أَقْوَى سَبَبًا مِنَ الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ دَفَعُوهُمْ عَمَّا صَارَ إِلَيْهِمْ حِينَ ضَعُفَ الْجَدُّ عَنْ دَفْعِهِمْ فَلِذَلِكَ عَادَ مَا أَخَذَهُ الْإِخْوَةُ لِلْأَبِ عَلَيْهِمْ، وَلَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ يَحْجُبَ الأخوة شخصا ثم يَعُودُ مَا حَجَبُوهُ عَلَى غَيْرِهِمْ، أَلَا تَرَى أن الأخ للأب يحجب الأم مع الخ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ يَعُودُ السُّدُسُ الَّذِي حَجَبَهَا عَنْهُ عَلَى الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، فَهَكَذَا فِي مُقَاسَمَةِ الْجَدِّ، وَهَكَذَا الْأَخَوَانِ يَحْجُبَانِ الْأُمَّ مَعَ الْأَبَوَيْنِ ثُمَّ يَعُودُ الْحَجْبُ عَلَى الْأَبِ دُونَ الأخوين.

Dalil tentang pembagian warisan antara kakek dengan anak-anak seayah bersama anak-anak seayah-seibu adalah bahwa pembagian saudara-saudara dengan kakek itu terjadi karena semuanya memiliki hubungan dengan ayah. Maka ketika kakek tidak mampu menyingkirkan saudara-saudara seayah jika mereka sendirian, maka lebih utama lagi ia tidak mampu menyingkirkan mereka jika mereka berkumpul dengan yang lebih kuat dari mereka. Oleh karena itu, kedua kelompok tidaklah sama dalam pembagian warisan dengannya. Kemudian, karena saudara-saudara seayah-seibu memiliki sebab yang lebih kuat daripada saudara-saudara seayah, maka mereka menyingkirkan saudara-saudara seayah dari apa yang telah menjadi hak mereka ketika kakek tidak mampu menyingkirkan mereka. Karena itu, apa yang telah diambil oleh saudara-saudara seayah dikembalikan kepada saudara-saudara seayah-seibu. Tidaklah mustahil bahwa saudara-saudara dapat menyingkirkan seseorang, lalu apa yang mereka singkirkan itu kembali kepada selain mereka. Tidakkah engkau melihat bahwa saudara laki-laki seayah menyingkirkan ibu bersama saudara laki-laki seayah-seibu, lalu seperenam yang ia singkirkan dari ibu itu kembali kepada saudara laki-laki seayah-seibu? Begitu pula dalam pembagian warisan bersama kakek. Demikian pula dua saudara laki-laki menyingkirkan ibu bersama kedua orang tua, lalu penghalangan itu kembali kepada ayah saja, bukan kepada kedua saudara laki-laki.

فأما الجواب عن الاستدلال بأن المقاسمة إنما تحجب الاستحقاق بِهَا فَهُوَ أَنَّ الِاسْتِدْلَالَ بِهِ صَحِيحٌ وَقَدِ اسْتَحَقَّهُ الْإِخْوَةُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ فَصَارَتِ الْمُقَاسَمَةُ لِلِاسْتِحْقَاقِ لَا لِغَيْرِهِ.

Adapun jawaban atas argumentasi bahwa pembagian warisan hanya menghalangi hak karena pembagian itu sendiri, maka argumentasi tersebut benar, dan memang saudara-saudara seayah-seibu telah berhak atasnya, sehingga pembagian itu menjadi sebab memperoleh hak, bukan untuk selainnya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَعَلَى هَذَا لَوْ تَرَكَ أَخًا لِأَبٍ وَأُمٍّ، وَأَخًا لِأَبٍ، وَجَدًّا، كَانَ الْمَالُ بَيْنَهُمْ أَثْلَاثًا، ثُمَّ يَرُدُّ الْأَخُ لِلْأَبِ سَهْمَهُ عَلَى الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ فَيَصِيرُ لِلْأَخِ للأب والأم سهمين، وَلِلْجَدِّ سَهْمٌ، وَلَوْ تَرَكَ أُخْتًا لِأَبٍ وَأُمٍّ، وَأُخْتًا لِأَبٍ، وَجَدًّا، كَانَ الْمَالُ بَيْنَهُمْ عَلَى أربعة، ثم ترد الأخت للأب سهما عَلَى الْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ فَيَصِيرُ لِلْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ سَهْمَانِ، وَلِلْجَدِّ سَهْمَانِ، وَلَوْ تَرَكَ أَخًا لِأَبٍ وَأُمٍّ، وَأُخْتًا لِأَبٍ وَجَدًّا، كَانَ الْمَالُ بَيْنَهُمْ عَلَى خَمْسَةٍ ثُمَّ تَرُدُّ الْأُخْتُ لِلْأَبِ على الأخ للأب والأم سهما فيصير للأخ للأب وَالْأُمِّ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ، وَلِلْجَدِّ سَهْمَانِ، وَلَوْ تَرَكَ أَخًا لِأَبٍ وَأُمٍّ، وَأُخْتَيْنِ لِأَبٍ وَجَدًّا، كان المال بينهم على ستة ثم ترد الأختان سهما عَلَى الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ فَيَصِيرُ لَهُ أَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ وَلِلْجَدِّ سَهْمَانِ، وَلَوْ تَرَكَ أُخْتًا لِأَبٍ وَأُمٍّ، وَأَخًا لِأَبٍ وَجَدًّا، كَانَ الْمَالُ بَيْنَهُمْ عَلَى خَمْسَةٍ، ثُمَّ يَرُدُّ الْأَخُ لِلْأَبِ مِنْ سَهْمِهِ عَلَى الْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ تَمَامَ النِّصْفِ سَهْمًا وَنِصْفًا فَيَصِيرُ مَعَ الْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ سَهْمَانِ وَنِصْفٌ، وَمَعَ الْأَخِ لِلْأَبِ نِصْفُ سَهْمٍ، وَمَعَ الْجَدِّ سَهْمَانِ، وَتَصِحُّ مِنْ عَشَرَةٍ، فَلَوْ تَرَكَ أُخْتًا لِأَبٍ وَأُمٍّ، وَأُخْتَيْنِ لِأَبٍ، وَجَدًّا، كَانَ الْمَالُ بَيْنَهُمْ عَلَى خَمْسَةٍ ثُمَّ تَرُدُّ الْأُخْتَانِ مِنَ الْأَبِ عَلَى الْأُخْتِ مِنَ الْأَبِ والأم تمام النصف لينتقل إِلَى عَشَرَةٍ وَتَصِحُّ مِنْ عِشْرِينَ، فَلَوْ تَرَكَ أُخْتًا لِأَبٍ وَأُمٍّ، وَثَلَاثَ أَخَوَاتٍ لِأَبٍ، وَجَدًّا، كان المال بينهم على ستة هم تَرُدُّ الْأَخَوَاتُ لِلْأَبِ عَلَى الْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ تمام النصف سهمين ويقتسمون السهم الباقي وتصح من ثمانية عشر.

Maka berdasarkan hal ini, jika seseorang meninggalkan saudara laki-laki seayah seibu, saudara laki-laki seayah, dan kakek, maka harta dibagi di antara mereka menjadi tiga bagian. Kemudian saudara laki-laki seayah mengembalikan bagiannya kepada saudara laki-laki seayah seibu, sehingga saudara laki-laki seayah seibu memperoleh dua bagian, dan kakek memperoleh satu bagian. Jika yang ditinggalkan adalah saudari perempuan seayah seibu, saudari perempuan seayah, dan kakek, maka harta dibagi di antara mereka menjadi empat bagian. Kemudian saudari perempuan seayah mengembalikan satu bagian kepada saudari perempuan seayah seibu, sehingga saudari perempuan seayah seibu memperoleh dua bagian, dan kakek memperoleh dua bagian. Jika yang ditinggalkan adalah saudara laki-laki seayah seibu, saudari perempuan seayah, dan kakek, maka harta dibagi di antara mereka menjadi lima bagian. Kemudian saudari perempuan seayah mengembalikan satu bagian kepada saudara laki-laki seayah seibu, sehingga saudara laki-laki seayah seibu memperoleh tiga bagian, dan kakek memperoleh dua bagian. Jika yang ditinggalkan adalah saudara laki-laki seayah seibu, dua saudari perempuan seayah, dan kakek, maka harta dibagi di antara mereka menjadi enam bagian. Kemudian kedua saudari perempuan seayah mengembalikan satu bagian kepada saudara laki-laki seayah seibu, sehingga ia memperoleh empat bagian, dan kakek memperoleh dua bagian. Jika yang ditinggalkan adalah saudari perempuan seayah seibu, saudara laki-laki seayah, dan kakek, maka harta dibagi di antara mereka menjadi lima bagian. Kemudian saudara laki-laki seayah mengembalikan dari bagiannya kepada saudari perempuan seayah seibu sebanyak setengah bagian, sehingga saudari perempuan seayah seibu memperoleh dua setengah bagian, saudara laki-laki seayah memperoleh setengah bagian, dan kakek memperoleh dua bagian. Pembagian ini sah dari sepuluh bagian. Jika yang ditinggalkan adalah saudari perempuan seayah seibu, dua saudari perempuan seayah, dan kakek, maka harta dibagi di antara mereka menjadi lima bagian. Kemudian kedua saudari perempuan seayah mengembalikan kepada saudari perempuan seayah seibu hingga genap setengah, sehingga menjadi sepuluh bagian dan sah dari dua puluh bagian. Jika yang ditinggalkan adalah saudari perempuan seayah seibu, tiga saudari perempuan seayah, dan kakek, maka harta dibagi di antara mereka menjadi enam bagian. Kemudian para saudari perempuan seayah mengembalikan kepada saudari perempuan seayah seibu hingga genap setengah, yaitu dua bagian, lalu mereka membagi sisa satu bagian, dan pembagian ini sah dari delapan belas bagian.

فلو تَرَكَ أُخْتَيْنِ لِأَبٍ وَأُمٍّ، وَأُخْتَيْنِ لِأَبٍ، وَجَدًّا، كان المال بينهم على ستة ثم ترد الْأُخْتَانِ لِلْأَبِ سَهْمَيْهِمَا عَلَى الْأُخْتَيْنِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، لِأَنَّ ذَلِكَ تَمَامُ الثُّلُثَيْنِ فَيَصِيرُ مَعَ الْأُخْتَيْنِ أربعة ومع الجد سهمان، ويرجع إلى ثلاثة وَلَوْ تَرَكَ أُمًّا، وَأُخْتًا لِأَبٍ وَأُمٍّ، وَأَخَوَيْنِ وَأُخْتًا لِأَبٍ وَجَدًّا، كَانَ لِلْأُمِّ السُّدُسُ وَلِلْجَدِّ ثُلُثُ مَا يَبْقَى، لِأَنَّهُ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الْمُقَاسَمَةِ وَمِنْ سُدُسِ جَمِيعِ الْمَالِ فَاضْرِبْ ثَلَاثَةً فِي سِتَّةٍ تَكُنْ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ سُدُسُهَا لِلْأُمِّ ثلاثة، والباقي لِلْجَدِّ خَمْسَةٌ، وَلِلْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ تَمَامُ النِّصْفِ تِسْعَةٌ، وَيَبْقَى سَهْمٌ وَاحِدٌ لِوَلَدِ الْأَبِ عَلَى خَمْسَةٍ فَاضْرِبْهَا فِي ثَمَانِيَةَ عَشَرَ تَكُنْ تِسْعِينَ وَمِنْهَا تَصِحُّ، وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ يُسَمِّيهَا الْفَرْضِيُّونَ تِسْعِينِيَّةَ زيد، ولو ترك أما، وأختا لأب ولأم، وَأَخًا، وَأُخْتًا لِأَبٍ وَجَدًّا، كَانَ لِلْأُمِّ السُّدُسُ وَالْبَاقِي بَيْنَهُمْ عَلَى سِتَّةٍ، لِأَنَّ الْمُقَاسَمَةَ وَثُلُثَ الباقي سواء فإن عملها عَلَى الْمُقَاسَمَةِ كَمَّلَتْ لِلْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ النِّصْفَ، وَجَعَلَتِ الْبَاقِيَ بَيْنَ وَلَدِ الْأَبِ عَلَى ثَلَاثَةٍ وَيَصِحُّ عَمَلُهَا مِنْ مِائَةٍ وَثَمَانِيَةٍ، وَإِنْ عَمِلْتَهَا على إعطاء الجد ثلث الباقي أخذنا عَدَدًا تَصِحُّ مِنْهُ مَخْرَجَ السُّدُسِ وَثُلُثَ الْبَاقِي وأصله ثَمَانِيَةَ عَشَرَ لِلْأُمِّ مِنْهَا السُّدُسُ وَلِلْجَدِّ ثُلُثُ الْبَاقِي خَمْسَةٌ، وَلِلْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ النِّصْفُ تِسْعَةٌ، وَالْبَاقِي وَهُوَ سَهْمٌ بَيْنَ وَلَدِ الْأَبِ عَلَى ثَلَاثَةٍ فَاضْرِبْهَا فِي ثَمَانِيَةَ عَشَرَ تَكُنْ أَرْبَعَةً وَخَمْسِينَ فَتَصِحُّ مِنْهَا عَلَى هَذَا الْعَمَلِ الْمُخْتَصَرِ، وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ يُسَمِّيهَا الْفَرْضِيُّونَ مُخْتَصَرَةَ زَيْدٍ.

Jika seseorang meninggalkan dua saudari seayah-seibu, dua saudari seayah, dan seorang kakek, maka harta dibagi di antara mereka atas enam bagian, kemudian dua saudari seayah mengambil bagian mereka dan diberikan kepada dua saudari seayah-seibu, karena itu adalah penyempurna dua pertiga, sehingga bersama dua saudari itu menjadi empat bagian dan bersama kakek dua bagian, lalu kembali menjadi tiga. Jika seseorang meninggalkan ibu, seorang saudari seayah-seibu, dua saudara laki-laki dan seorang saudari seayah, serta seorang kakek, maka untuk ibu seperenam, untuk kakek sepertiga sisa, karena itu lebih baik baginya daripada muqāsamah dan daripada seperenam seluruh harta. Kalikan tiga dengan enam, hasilnya delapan belas; seperenamnya untuk ibu tiga, sisanya untuk kakek lima, dan untuk saudari seayah-seibu setengahnya sembilan, dan tersisa satu bagian untuk anak-anak laki-laki seayah atas lima, kalikan dengan delapan belas menjadi sembilan puluh, dan dari situ pembagian menjadi sah. Masalah ini oleh para ahli faraidh disebut “tis‘īniyyah Zaid”. Jika seseorang meninggalkan ibu, seorang saudari seayah-seibu, seorang saudara laki-laki, seorang saudari seayah, dan seorang kakek, maka untuk ibu seperenam dan sisanya dibagi di antara mereka atas enam bagian, karena muqāsamah dan sepertiga sisa itu sama. Jika pembagiannya dengan muqāsamah, maka saudari seayah-seibu mendapatkan setengah, dan sisanya dibagi antara anak-anak laki-laki seayah atas tiga, dan pembagiannya sah dari seratus delapan. Jika pembagiannya dengan memberikan kakek sepertiga sisa, maka kita ambil angka yang sah untuk keluarannya seperenam dan sepertiga sisa, asalnya delapan belas; untuk ibu seperenam, untuk kakek sepertiga sisa lima, untuk saudari seayah-seibu setengah sembilan, dan sisanya satu bagian dibagi antara anak-anak laki-laki seayah atas tiga, kalikan dengan delapan belas menjadi lima puluh empat, dan pembagian menjadi sah dengan cara ringkas ini. Masalah ini oleh para ahli faraidh disebut “mukhtasharah Zaid”.

وَالْجَوَابُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ كُلِّهَا عَلَى قَوْلِ زَيْدٍ الَّذِي يَذْهَبُ إِلَيْهِ وَيَعْمَلُ عَلَيْهِ وَقَدْ حَذَفْنَا الجواب على قول من سِوَاهُ كَرَاهَةَ الْإِطَالَةِ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.

Jawaban dalam seluruh masalah ini mengikuti pendapat Zaid yang beliau anut dan amalkan, dan kami telah menghilangkan jawaban menurut selain pendapat beliau karena menghindari kepanjangan. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَأَكْثَرُ مَا تَعُولُ بِهِ الْفَرِيضَةُ ثُلُثَاهَا “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Pembagian warisan yang paling banyak mengalami ‘aul adalah dua pertiganya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ هَذَا الْكِتَابَ مَقْصُورٌ عَلَى فِقْهِ الْفَرَائِضِ دُونَ الْعَمَلِ، غَيْرَ أَنَّنَا لَا نُحِبُّ أَنْ نُخْلِهِ مِنْ فُصُولٍ تَشْتَمِلُ عَلَى أُصُولِ الْحِسَابِ وَطَرِيقِ الْعَمَلِ لِيَكُونَ الْكِتَابُ كَافِيًا، وَلِمَا قَصَدْنَا حَاوِيًا.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa kitab ini dikhususkan untuk fiqh faraidh (ilmu waris) tanpa praktiknya, namun kami tidak ingin mengosongkannya dari beberapa bab yang mencakup dasar-dasar hisab dan cara praktiknya, agar kitab ini mencukupi dan sesuai dengan tujuan kami sebagai kitab yang komprehensif.

فَأَوَّلُ الْفُصُولِ أُصُولُ الْمَسَائِلِ: قد ذَكَرْنَا جَمْعًا وَتَفْصِيلًا أَنَّ الْفُرُوضَ سِتَّةٌ، النِّصْفُ، وَالرُّبُعُ، وَالثُّمُنُ، وَالثُّلُثَانِ، وَالثُّلُثُ، وَالسُّدُسُ، وَمَخْرَجُ حِسَابِهَا مِنْ سَبْعَةِ أُصُولٍ، أَرْبَعَةٌ مِنْهَا لَا تَعُولُ، وَثَلَاثَةٌ تَعُولُ، فَالْأَرْبَعَةُ الَّتِي لَا تَعُولُ مَا أَصْلُهُ مِنِ اثْنَيْنِ، وَمِنْ ثَلَاثَةٍ، وَمِنْ أَرْبَعَةٍ، وَمِنْ ثَمَانِيَةٍ، فَإِذَا كَانَ فِي الْمَسْأَلَةِ نِصْفٌ وَمَا بَقِيَ أَوْ نِصْفَانِ فَأَصِلُهَا مِنِ اثْنَيْنِ وَلَا تَعُولُ، لِأَنَّهُ لَا بُدَّ أَنْ يَرِثَ فيها عصبة إلا في فريضة واحدة وهي زَوْجٌ وَأُخْتٌ، وَإِذَا كَانَ فِي الْمَسْأَلَةِ ثُلُثٌ أو ثلثان أقرهما فَأَصْلُهَا مِنْ ثَلَاثَةٍ وَلَا تَعُولُ، لِأَنَّهُ لَا بد أن ترث فيها عصبة الأخ فَرِيضَة وَاحِدَة وَهِيَ أُخْتَانِ لِأَبٍ وَأُخْتَانِ لِأُمٍّ وإذا كان في المسألة ربع أو نصف وربع فَأَصْلُهَا مِنْ أَرْبَعَةٍ وَلَا تَعُولُ لِأَنَّهُ لَا بُدَّ أَنْ يَرِثَ فِيهَا عَصَبَةٌ وَإِذَا كَانَ فِي الْمَسْأَلَةِ ثُمُنٌ أَوْ كَانَ مَعَ الثُّمُنِ نِصْفٌ فَأَصْلُهَا مِنْ ثَمَانِيَةٍ وَلَا تَعُولُ لِأَنَّهُ لَا بُدَّ أَنْ يَرِثَ فِيهَا عَصَبَةٌ فَهَذِهِ أَرْبَعَةُ أُصُولٍ لَا تَعُولُ.

Bab pertama adalah tentang asal-usul masalah: Telah kami sebutkan secara ringkas dan rinci bahwa bagian-bagian warisan itu ada enam: setengah, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, dan seperenam. Dasar perhitungan bagian-bagian ini berasal dari tujuh asal, empat di antaranya tidak mengalami ‘aul, dan tiga mengalami ‘aul. Empat asal yang tidak mengalami ‘aul adalah yang asalnya dari dua, tiga, empat, dan delapan. Jika dalam suatu masalah terdapat setengah dan sisanya, atau dua setengah, maka asalnya dari dua dan tidak mengalami ‘aul, karena pasti ada ‘ashabah yang mewarisi di dalamnya kecuali pada satu kasus, yaitu suami dan saudari. Jika dalam masalah terdapat sepertiga atau dua pertiga, maka asalnya dari tiga dan tidak mengalami ‘aul, karena pasti ada ‘ashabah yang mewarisi, yaitu satu kasus, yaitu dua saudari seayah dan dua saudari seibu. Jika dalam masalah terdapat seperempat atau setengah dan seperempat, maka asalnya dari empat dan tidak mengalami ‘aul, karena pasti ada ‘ashabah yang mewarisi di dalamnya. Jika dalam masalah terdapat seperdelapan atau bersama seperdelapan ada setengah, maka asalnya dari delapan dan tidak mengalami ‘aul, karena pasti ada ‘ashabah yang mewarisi di dalamnya. Maka inilah empat asal yang tidak mengalami ‘aul.

وَأَمَّا الثَّلَاثَةُ الَّتِي تَعُولُ فَمَا أَصْلُهُ مِنْ سِتَّةٍ وَمِنِ اثْنَيْ عَشَرَ وَمِنْ أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ فَإِذَا كَانَ فِي الْمَسْأَلَةِ سُدُسٌ أَوْ كَانَ مَعَ السُّدُسِ ثُلُثٌ أَوْ نِصْفٌ فَأَصْلُهَا مِنْ سِتَّةٍ وَتَعُولُ إِلَى سَبْعَةٍ وَإِلَى ثَمَانِيَةٍ وَإِلَى تِسْعَةٍ وَإِلَى عَشَرَةٍ وَهُوَ أَكْثَرُ الْعَوْلِ وَلَهُ أَرَادَ الشَّافِعِيُّ بِقَوْلِهِ وَأَكْثَرُ مَا تَعُولُ بِهِ الْفَرِيضَةُ ثُلُثَاهَا لِأَنَّهَا عَالَتْ بِأَرْبَعَةٍ هِيَ ثُلُثَا السِّتَّةِ فَانْتَهَى عَوْلُهَا إِلَى عَشَرَةٍ وَكُلُّ فَرِيضَةٍ عَالَتْ إِلَى عَشَرَةٍ لَمْ يَكُنِ الْمَيِّتُ إِلَّا امْرَأَةٌ لِأَنَّهُ لَا بُدَّ أَنْ يَرِثَ فِيهَا زَوْجٌ وَلَا يَرِثَ فِيهَا أَبٌ لِأَنَّهُ لَا بُدَّ أَنْ يَرِثَ فِيهَا أَخَوَاتٌ وَلَا يَرِثَ فِيهَا جَدٌّ لِأَنَّهُ لَا بُدَّ أَنْ يَرِثَ فِيهَا وَلَدُ الْأُمِّ وَهَذِهِ الْفَرِيضَةُ الَّتِي تَعُولُ إلى عشرة يسميها الفرضيون أم القروح وَمَا تَعُولُ إِلَى تِسْعَةٍ فَلَا يَكُونُ الْمَيِّتُ إِلَّا امْرَأَةً وَلَا يَرِثُ فِيهَا أَبٌ وَيَجُوزُ أَنْ يَرِثَ فِيهَا جَدٌّ وَهُوَ أَكْثَرُ مَا تَعُولُ إِلَيْهِ مَسَائِلُ الْجَدِّ وَيُسَمِّيهَا الْفَرْضِيُّونَ الْغَرَّاءَ وَمَا تَعُولُ إِلَى ثَمَانِيَةٍ فَلَا يَكُونُ الْمَيِّتُ إلا امْرَأَةً وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَرِثَ فِيهَا أَبٌ وَلَا جَدٌّ وَيُسَمِّيهَا الْفَرْضِيُّونَ الْمُبَاهَلَةَ فَهَذَا أَحَدُ الْأُصُولِ الثَّلَاثَةِ الَّتِي تَعُولُ.

Adapun tiga asal yang mengalami ‘aul (penambahan bagian sehingga bagian-bagian waris melebihi asal masalah), maka asalnya adalah dari enam, dua belas, dan dua puluh empat. Jika dalam suatu masalah terdapat bagian seperenam, atau bersama seperenam terdapat sepertiga atau setengah, maka asalnya dari enam dan bisa mengalami ‘aul menjadi tujuh, delapan, sembilan, dan sepuluh, dan sepuluh adalah ‘aul terbanyak. Inilah yang dimaksud oleh asy-Syafi‘i dengan ucapannya: “Dan bagian waris yang paling banyak mengalami ‘aul adalah dua pertiga dari asalnya,” karena ia mengalami ‘aul dengan empat bagian, yaitu dua pertiga dari enam, sehingga ‘aul-nya mencapai sepuluh. Setiap masalah waris yang mengalami ‘aul hingga sepuluh, maka mayitnya pasti perempuan, karena harus ada suami yang mewarisi dan tidak ada ayah yang mewarisi, sebab harus ada saudari-saudari yang mewarisi, dan tidak ada kakek yang mewarisi, karena harus ada anak dari ibu yang mewarisi. Masalah waris yang mengalami ‘aul hingga sepuluh ini oleh para ahli faraidh disebut “Umm al-Qurūh”. Adapun yang mengalami ‘aul hingga sembilan, maka mayitnya pasti perempuan, dan tidak ada ayah yang mewarisi, namun boleh jadi ada kakek yang mewarisi. Ini adalah ‘aul terbanyak dalam masalah-masalah kakek, dan oleh para ahli faraidh disebut “al-Gharrā’”. Adapun yang mengalami ‘aul hingga delapan, maka mayitnya pasti perempuan, dan tidak boleh ada ayah atau kakek yang mewarisi, dan oleh para ahli faraidh disebut “al-Mubāhalah”. Inilah salah satu dari tiga asal yang mengalami ‘aul.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فِي الْمَسْأَلَةِ رُبُعٌ مَعَ سُدُسٍ أَوْ ثُلُثٍ وثلثين فأصلها من اثني عشرة وَلَا تَعُولُ إِلَى الْأفْرَادِ إِلَى ثَلَاثَةَ عَشَرَ وَإِلَى خَمْسَةَ عَشَرَ وَإِلَى سَبْعَةَ عَشَرَ وَلَا تَعُولُ إِلَى أَكْثَرِ مِنْ ذَلِكَ وَلَا إِلَى الأزواج فيما ذَلِكَ وَمَا عَالَ إِلَى سَبْعَةَ عَشَرَ لَمْ يَكُنِ الْمَيِّتُ فِيهِ إِلَّا رَجُلًا وَلَا يَرِثُ فِيهِ أَبٌ وَلَا جَدٌّ وَمَا عَالَ إِلَى خمسة وَإِلَى ثَلَاثَةَ عَشَرَ جَازَ أَنْ يَكُونَ الْمَيِّتُ رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً وَجَازَ أَنْ يَرِثَ فِيهِ أَبٌ أَوْ جَدٌّ فَهَذَا ثَانِي الْأُصُولِ الَّتِي تَعُولُ.

Yang kedua: Jika dalam suatu masalah terdapat seperempat bersama seperenam atau sepertiga atau dua pertiga, maka asalnya dari dua belas, dan tidak mengalami ‘aul pada bilangan ganjil kecuali menjadi tiga belas, lima belas, dan tujuh belas, dan tidak mengalami ‘aul lebih dari itu, serta tidak terjadi pada kasus suami-istri dalam hal tersebut. Masalah yang mengalami ‘aul hingga tujuh belas, maka mayitnya pasti laki-laki, dan tidak ada ayah atau kakek yang mewarisi. Adapun yang mengalami ‘aul hingga lima atau tiga belas, boleh jadi mayitnya laki-laki atau perempuan, dan boleh jadi ada ayah atau kakek yang mewarisi. Inilah asal kedua dari asal-asal yang mengalami ‘aul.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ فِي الْمَسْأَلَةِ ثُمُنٌ مع سدس أو ثلث أو ثلثين فأصلها مِنْ أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ وَتَعُولُ إِلَى سَبْعَةٍ وَعِشْرِينَ وَهِيَ الْمِنْبَرِيَّةُ وَلَا يَكُونُ الْمَيِّتُ فِيهَا إِلَّا رَجُلًا وَلَا بُدَّ أَنْ يَرِثَ فِيهَا الْأَبَوَانِ مَعَ الْبَنَاتِ وَكُلُّ مَسْأَلَةٍ عَالَتْ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُورَثَ فِيهَا بِالتَّعْصِيبِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Yang ketiga: Jika dalam suatu masalah terdapat seperdelapan bersama seperenam atau sepertiga atau dua pertiga, maka asalnya dari dua puluh empat, dan mengalami ‘aul menjadi dua puluh tujuh, dan ini disebut “al-Minbariyyah”. Dalam masalah ini, mayitnya pasti laki-laki, dan harus ada kedua orang tua yang mewarisi bersama anak-anak perempuan. Setiap masalah yang mengalami ‘aul, maka tidak boleh diwariskan dengan cara ta‘ṣīb (bagian sisa). Allah lebih mengetahui mana yang benar.

الْفَصْلُ الثَّانِي فِي تَصْحِيحِ الْمَسَائِلِ.

Bab Kedua: Dalam Menyelesaikan Permasalahan (Faraidh).

وَوَجْهُ تَصْحِيحِهَا إِذَا اجْتَمَعَ فِي سِهَامِ الْفَرِيضَةِ عَدَدَانِ فَإِنَّهُ لَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يَكُونَ جِنْسًا وَاحِدًا أو أجناسا فإن كان جِنْسًا وَاحِدًا لَمْ تَخْلُ سِهَامُ فَرِيضَتِهِمُ الْمَقْسُومَةُ عَلَى أَعْدَادِ رُؤُوسِهِمْ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ إِمَّا أن تكون منقسمة على عدد رؤوسهم عَلَيْهِمْ أَوْ مُوَافِقَةً لِعَدَدِهِمْ أَوْ غَيْرَ مُنْقَسِمَةٍ وَلَا مُوَافِقَةٍ.

Adapun cara penyelesaiannya, jika dalam bagian-bagian warisan terdapat dua bilangan, maka tidak lepas dari kemungkinan: apakah keduanya sejenis atau berbeda jenis. Jika sejenis, maka bagian-bagian warisan yang dibagi kepada jumlah kepala ahli waris tidak lepas dari tiga keadaan: bisa jadi terbagi habis kepada jumlah kepala mereka, atau sesuai (muwāfaqah) dengan jumlah mereka, atau tidak terbagi habis dan tidak pula sesuai.

فَالْقِسْمُ الْأَوَّلُ: أَنْ تَكُونَ سِهَامُ فَرِيضَتِهِمْ مُنْقَسِمَةً عَلَى عَدَدِ رُؤُوسِهِمْ فَالْمَسْأَلَةُ تَصِحُّ مِنْ أَصْلِهَا.

Bagian pertama: Jika bagian-bagian warisan terbagi habis kepada jumlah kepala ahli waris, maka masalahnya sah dari asalnya.

مِثَالُهُ: زَوْجٌ وَثَلَاثَةُ بَنِينَ أَصْلُهَا مِنْ أَرْبَعَةٍ لِلزَّوْجِ الرُّبُعُ سَهْمٌ وَمَا بَقِيَ وَهُوَ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ بَيْنَ الْبَنِينَ الثَّلَاثَةِ.

Contohnya: Suami dan tiga anak laki-laki, asalnya dari empat; untuk suami seperempat, yaitu satu bagian, dan sisanya, yaitu tiga bagian, dibagikan kepada tiga anak laki-laki.

وَهَكَذَا زَوْجَةٌ وَابْنَانِ وَثَلَاثُ بَنَاتٍ أَصْلُهَا مِنْ ثَمَانِيَةٍ لِلزَّوْجَةِ الثُّمُنُ سَهْمٌ وَمَا بَقِيَ وَهُوَ سَبْعَةُ أسهم بين البنين وَالْبَنَاتِ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ عَلَى سَبْعَةِ أَسْهُمٍ مُنْقَسِمَةٍ عَلَيْهِمْ لِكُلِّ ابْنٍ سَهْمَانِ وَلِكُلِّ بِنْتٍ سَهْمٌ فَهَذَا قِسْمٌ.

Demikian pula, istri, dua anak laki-laki, dan tiga anak perempuan, asalnya dari delapan; untuk istri seperdelapan, yaitu satu bagian, dan sisanya, yaitu tujuh bagian, dibagikan kepada anak laki-laki dan perempuan, dengan ketentuan laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan, sehingga tujuh bagian tersebut terbagi kepada mereka: setiap anak laki-laki mendapat dua bagian, dan setiap anak perempuan mendapat satu bagian. Inilah salah satu bagian (dari pembagian masalah).

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أن لا تنقسم سهامهم عليهم ولا يوافق عَدَدُ رُؤُوسِهِمْ لِعَدَدِ سِهَامِهِمْ إِمَّا لِزِيَادَةِ عَدَدِ الرُّؤُوسِ عَلَى عَدَدِ السِّهَامِ وَإِمَّا لِزِيَادَةِ السِّهَامِ عَلَى عَدَدِ الرؤوس فَتَضْرِبُ عَدَدَ الرؤوس فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ فَمَا خَرَجَ صَحَّتْ مِنْهُ الْمَسْأَلَةُ.

Bagian kedua: Yaitu apabila bagian-bagian warisan mereka tidak dapat dibagi rata kepada mereka, dan jumlah kepala (ahli waris) tidak sesuai dengan jumlah bagian mereka, baik karena jumlah kepala lebih banyak daripada jumlah bagian, atau karena jumlah bagian lebih banyak daripada jumlah kepala. Maka, kalikan jumlah kepala dengan asal masalah, dan hasilnya adalah asal masalah yang sah.

مِثَالُهُ: أُمٌّ وَثَلَاثَةُ إِخْوَةٍ أَصْلُهَا مِنْ سِتَّةٍ لِلْأُمِّ السُّدُسُ سَهْمٌ وَالْبَاقِي وَهُوَ خَمْسَةُ أَسْهُمٍ بين الإخوة الثلاثة لا ينقسم عَلَيْهِمْ وَلَا تُوَافِقُ عَدَدَهُمْ فَاضْرِبْ عَدَدَ رؤوسهِمْ وَهُوَ ثَلَاثَةٌ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ وَهُوَ سِتَّةٌ تَكُنْ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ فَتَصِحُّ مِنْهَا فَهَذَا قِسْمٌ ثَانٍ.

Contohnya: Seorang ibu dan tiga saudara. Asal masalahnya dari enam; untuk ibu seperenam, yaitu satu bagian, dan sisanya, yaitu lima bagian, untuk tiga saudara. Bagian ini tidak dapat dibagi rata kepada mereka dan jumlah mereka tidak sesuai. Maka, kalikan jumlah kepala mereka, yaitu tiga, dengan asal masalah, yaitu enam, menjadi delapan belas. Maka, masalah ini sah dari delapan belas. Inilah bagian kedua.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أن لا تَنْقَسِمَ سِهَامُهُمْ عَلَى عَدَدِهِمْ وَلَكِنْ يُوَافِقُ عَدَدَ سِهَامِهِمْ لِعَدَدِ رؤوسهم والموافقة أن يناسب أحد الفردين الْآخَرَ بِجُزْءٍ صَحِيحٍ مِنْ نِصْفٍ أَوْ ثُلُثٍ أَوْ رُبُعٍ أَوْ خُمُسٍ أَوْ سُدُسٍ أَوْ سُبُعٍ أَوْ ثُمُنٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الأجزاء الصحيحة على ما سنذكره من الطريق إِلَى مَعْرِفَتِكَ لِمَا يُوَافِقُ بِهِ أَحَدَ الْعَدَدَيْنِ الْآخَرَ فَرُدَّ عَدَدَ الرؤوس إِلَى مَا يُوَافِقُ بِهِ عَدَدَ سِهَامِهَا مِنْ نِصْفٍ أَوْ ثُلُثٍ أَوْ رُبُعٍ ثُمَّ تَضْرِبُ وَفْقَ عَدَدِهَا فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ وَعَوْلِهَا إِنْ عَالَتْ فَتَصِحُّ مِنْهُ ويجعل مَنْ كَانَ لَهُ شَيْءٌ مِنْ أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ مَضْرُوبًا فِي وَفْقِ الْعَدَدِ الَّذِي ضَرَبْتَهُ فِي أصل المسألة.

Bagian ketiga: Yaitu apabila bagian-bagian warisan mereka tidak dapat dibagi rata kepada jumlah mereka, namun jumlah bagian mereka sesuai dengan jumlah kepala mereka. Yang dimaksud dengan “sesuai” adalah adanya kesesuaian antara salah satu dari dua bilangan dengan yang lain dalam bagian yang tepat, seperti setengah, sepertiga, seperempat, seperlima, seperenam, sepertujuh, sepertelapan, atau bagian-bagian tepat lainnya, sebagaimana akan dijelaskan nanti tentang cara mengetahui kesesuaian antara dua bilangan. Maka, kembalikan jumlah kepala kepada bagian yang sesuai dengan jumlah bagian mereka, baik setengah, sepertiga, atau seperempat, kemudian kalikan angka kesesuaian itu dengan asal masalah dan aul-nya jika ada aul, maka masalah menjadi sah dari hasil tersebut. Dan setiap orang yang memiliki bagian dari asal masalah, dikalikan dengan angka kesesuaian yang telah dikalikan dengan asal masalah.

مثاله: زوج وستة بنين أصلها من أربعة للزوج منها الربع سهم والباقي ثلاثة على ستة لا ينقسم وَلَكِنَّ السِّتَّةَ تُوَافِقُ الثَّلَاثَةَ بِالْأَثْلَاثِ لِأَنَّ لِكُلِّ واحد منهما ثُلُثٌ صَحِيحٌ فَتَرُدُّ السِّتَّةَ إِلَى وَفْقِهَا وَهُوَ اثْنَانِ ثُمَّ تَضْرِبُ الِاثْنَيْنِ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ وَهُوَ أَرْبَعَةٌ تَكُنْ ثَمَانِيَةً وَمِنْهُ تَصِحُّ فَهَذَا إِذَا كَانَتِ السِّهَامُ الْمُنْكَسِرَةُ عَلَى جِنْسٍ وَاحِدٍ فَأَمَّا إِذَا انْكَسَرَتِ السِّهَامُ عَلَى أَجْنَاسٍ مُخْتَلِفَةٍ فَأَكْثَرَ مَا تَنْكِسِرُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَجْنَاسٍ فَإِنْ كَانَ الْمُنْكَسِرُ عَلَى جِنْسَيْنِ فَلَا يَخْلُو عَدَدُ الْجِنْسَيْنِ الَّذِينَ قَدِ انْكَسَرَ عَلَيْهِمَا سِهَامُهُمَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ.

Contohnya: Seorang suami dan enam anak laki-laki. Asal masalahnya dari empat; untuk suami seperempat, yaitu satu bagian, dan sisanya tiga bagian untuk enam anak laki-laki, yang tidak dapat dibagi rata. Namun, enam sesuai dengan tiga dalam sepertiga, karena masing-masing memiliki sepertiga yang tepat. Maka, kembalikan enam kepada angka kesesuaiannya, yaitu dua, lalu kalikan dua dengan asal masalah, yaitu empat, menjadi delapan. Dari delapan inilah masalah menjadi sah. Ini jika bagian-bagian yang tidak terbagi rata itu dari satu jenis. Adapun jika bagian-bagian itu tidak terbagi rata pada beberapa jenis, maka paling banyak terbagi pada empat jenis. Jika bagian yang tidak terbagi rata itu pada dua jenis, maka jumlah kedua jenis yang tidak terbagi rata itu tidak lepas dari empat bagian.

أَحَدُهَا؛ أَنْ يَكُونَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُسَاوِيًا لِلْآخَرِ.

Salah satunya: Masing-masing dari keduanya sama dengan yang lain.

وَالثَّانِي: أن لا يُسَاوِيَهُ وَلَكِنْ يَدْخُلُ فِيهِ.

Kedua: Salah satunya tidak sama dengan yang lain, tetapi masuk ke dalamnya.

وَالثَّالِثُ؛ أن لا يُسَاوِيَهُ وَلَا يَدْخُلَ فِيهِ وَلَكِنْ يُوَافِقُهُ.

Ketiga: Salah satunya tidak sama dengan yang lain dan tidak masuk ke dalamnya, tetapi sesuai dengannya.

وَالرَّابِعُ: أن لا يُسَاوِيَهُ وَلَا يَدْخُلَ فِيهِ وَلَا يُوَافِقَهُ.

Keempat: Salah satunya tidak sama dengan yang lain, tidak masuk ke dalamnya, dan tidak sesuai dengannya.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ أَحَدُ العددين مساويا للآخر فتقتصر عَلَى أَحَدِ الْعَدَدَيْنِ وَتَضْرِبُهُ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ وَعَوْلِهَا فَتَصِحُّ مِنْهُ وَيَنُوبُ أَحَدُ الْعَدَدَيْنِ عَنِ الْآخَرِ.

Adapun bagian pertama, yaitu apabila salah satu dari dua bilangan sama dengan yang lain, maka cukup menggunakan salah satu dari kedua bilangan itu dan kalikan dengan asal masalah dan aul-nya, maka masalah menjadi sah dari hasil tersebut, dan salah satu bilangan itu mewakili yang lain.

مِثَالُهُ: أُمٌّ وَخَمْسُ أَخَوَاتٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ وَخَمْسُ أَخَوَاتٍ لِأُمٍّ أَصْلُهَا مِنْ سِتَّةٍ وَتَعُولُ إِلَى سَبْعَةٍ لِلْأُمِّ السُّدُسُ سَهْمٌ وَلِلْخَمْسِ الْأَخَوَاتِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ الثُّلُثَانِ أَرْبَعَةٌ لَا تَنْقَسِمُ عليهن ولأولاد الأم الثلث سهمان لا ينقسمان عَلَيْهِنَّ فَاضْرِبْ أَحَدَ الْجِنْسَيْنِ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ وَعَوْلِهَا وَهُوَ سَبْعَةٌ تَكُنْ خَمْسَةً وَثَلَاثِينَ وَمِنْهُ تَصِحُّ لِلْأُمِّ سَهْمٌ مِنْ سَبْعَةٍ مَضْرُوبٌ لَهَا فِي خَمْسَةٍ وَلِلْأَخَوَاتِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ أَرْبَعَةٌ من سبعة مضروب لهن في خمسة يكن عشرين وللأخوات من الأم سهمان مضروبان فِي خَمْسَةٍ تَكُنْ عَشَرَةً.

Contohnya: Seorang ibu, lima saudara perempuan seayah dan seibu, dan lima saudara perempuan seibu. Asal masalahnya dari enam dan menjadi aul menjadi tujuh; untuk ibu seperenam, yaitu satu bagian, untuk lima saudara perempuan seayah dan seibu dua pertiga, yaitu empat bagian, yang tidak dapat dibagi rata kepada mereka, dan untuk saudara perempuan seibu sepertiga, yaitu dua bagian, yang juga tidak dapat dibagi rata kepada mereka. Maka, kalikan salah satu dari kedua jenis itu dengan asal masalah dan aul-nya, yaitu tujuh, menjadi tiga puluh lima. Dari tiga puluh lima inilah masalah menjadi sah; untuk ibu satu bagian dari tujuh dikalikan lima menjadi lima; untuk saudara perempuan seayah dan seibu empat dari tujuh dikalikan lima menjadi dua puluh; dan untuk saudara perempuan seibu dua dikalikan lima menjadi sepuluh.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يكون أحد العددين لا يساوي الآخر ولكن يَدْخُلُ فِيهِ كَدُخُولِ الِاثْنَيْنِ فِي الْأَرْبَعَةِ وَالسِّتَّةِ وَكَدُخُولِ الثَّلَاثَةِ فِي السِّتَّةِ وَالتِّسْعَةِ وَكَدُخُولِ الْعَشَرَةِ في العشرين والثلاثين ومعرفتك بِدُخُولِ أَحَدِهِمَا فِي الْآخَرِ يَصِحُّ مِنْ أَحَدِ ثلاثة أوجه:

Bagian kedua: Yaitu apabila salah satu dari dua bilangan tidak sama dengan yang lain, tetapi masuk ke dalamnya, seperti dua masuk ke dalam empat dan enam, tiga masuk ke dalam enam dan sembilan, dan sepuluh masuk ke dalam dua puluh dan tiga puluh. Cara mengetahui bahwa salah satunya masuk ke dalam yang lain dapat diketahui dengan tiga cara:

أحدها: إما أن تقسم الأكثر على الأقل فتصح القسمة.

Pertama: Bisa saja yang lebih banyak dibagi dengan yang lebih sedikit, maka pembagian itu sah.

والثاني: إما أن تضاعف الأقل فيفنى به الأكثر.

Kedua: Bisa juga yang lebih sedikit digandakan sehingga yang lebih banyak habis karenanya.

والثالث: إما أَنْ يَنْقُصَ الْأَقَلُّ مِنَ الْأَكْثَرِ فَلَا يَبْقَى شَيْءٌ مِنَ الْأَكْثَرِ فَإِذَا دَخَلَ أَحَدُ الْعَدَدَيْنِ فِي الْآخَرِ كَانَ الْأَقَلُّ مُوَافِقًا لِلْأَكْثَرِ بِجَمِيعِ أَجْزَائِهِ كَدُخُولِ الثَّمَانِيَةِ فِي السِّتَّةَ عَشَرَ تُوَافِقُهَا بِالْأَثْمَانِ وَالْأَرْبَاعِ وَالْأَنْصَافِ وَكَدُخُولِ الِاثْنَيْ عَشَرَ فِي الستة والثلاثين توافقها بأجزاء اثني عشر وبالأسداس والأثلاث والأنصاف فيجعل ذلك ويقاس عَدَدُ الرؤوس وَعَدَدُ السِّهَامِ بِأَقَلِّ الْأَجْزَاءِ وَلَا يُسْتَعْمَلُ ذَلِكَ فِي الْجِنْسَيْنِ مِنْ رؤوس الْوَرَثَةِ لِأَنَّ دُخُولَ أَحَدِهِمَا فِي الْآخَرِ يُغْنِيكَ عَنِ الْوَفْقِ بَيْنَهُمَا فَاقْتَصِرْ عَلَى ضَرْبِ الْعَدَدِ الْأَكْثَرِ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ وَعَوْلِهَا إِنْ عَالَتْ.

Ketiga: Bisa juga yang lebih sedikit dikurangkan dari yang lebih banyak sehingga tidak tersisa apa pun dari yang lebih banyak. Jika salah satu dari kedua bilangan masuk ke dalam bilangan yang lain, maka yang lebih sedikit sesuai dengan yang lebih banyak dalam seluruh bagiannya, seperti delapan masuk ke dalam enam belas; delapan sesuai dengannya dalam kedelapan, seperempat, dan setengah. Demikian pula dua belas masuk ke dalam tiga puluh enam; dua belas sesuai dengannya dalam bagian dua belas, seperenam, sepertiga, dan setengah. Maka hal itu dijadikan ukuran dan dihitung jumlah kepala dan jumlah saham dengan bagian yang paling kecil. Cara ini tidak digunakan pada dua jenis dari kepala ahli waris, karena masuknya salah satu ke dalam yang lain sudah cukup tanpa perlu mencari kesesuaian di antara keduanya. Maka cukup dengan mengalikan bilangan yang lebih banyak dengan asal masalah dan ‘aul-nya jika terjadi ‘aul.

مِثَالُهُ: زوجتان وأربعة إخوة للزوجتين الربع سهم ولا يَنْقَسِمُ عَلَيْهِمَا وَالْبَاقِي وَهُوَ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ بَيْنَ الْإِخْوَةِ عَلَى أَرْبَعَةٍ لَا يَنْقَسِمُ عَلَيْهِمْ وَالِاثْنَانِ يَدْخُلَانِ فِي الْأَرْبَعَةِ فَاضْرِبِ الْأَرْبَعَةَ الَّتِي هِيَ عَدَدُ الْإِخْوَةِ فِي الْأَرْبَعَةِ الَّتِي هِيَ أَصْلُ الْمَسْأَلَةِ تَكُنْ سِتَّةَ عَشَرَ وَمِنْهَا تَصِحُّ.

Contohnya: Dua istri dan empat saudara laki-laki; untuk kedua istri seperempat saham, yang tidak dapat dibagi kepada mereka, dan sisanya, yaitu tiga saham, untuk para saudara, yang juga tidak dapat dibagi kepada mereka berempat. Dua masuk ke dalam empat, maka kalikan empat (jumlah saudara) dengan empat (asal masalah), hasilnya enam belas, dan dari situlah pembagian menjadi sah.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الْعَدَدَيْنِ لَا يُسَاوِي الْآخَرَ وَلَا يَدْخُلُ فِيهِ وَلَكِنْ يُوَافِقُهُ بِجُزْءٍ صَحِيحٍ مِنْ نِصْفٍ أَوْ ثُلُثٍ أَوْ رُبُعٍ وَمَعْرِفَتُكَ لِمَا بَيْنَ الْعَدَدَيْنِ مِنَ الْمُوَافَقَةِ يَكُونُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Bagian ketiga: Yaitu jika salah satu dari kedua bilangan tidak sama dengan yang lain dan tidak masuk ke dalamnya, tetapi sesuai dengannya pada sebagian yang benar, seperti setengah, sepertiga, atau seperempat. Pengetahuanmu tentang kesesuaian antara kedua bilangan itu dapat diketahui dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: مِنْ دُخُولِ أَحَدِهِمَا فِي الْآخَرِ فَيَصِيرُ الْعَدَدَانِ مُتَّفِقِينَ بِجَمِيعِ أَجْزَاءِ الْأَقَلِّ منها غَيْرَ أَنَّكَ لَا تَسْتَعْمِلُهُ فِي وَفْقِ مَا بَيْنَ الْجِنْسَيْنِ لِمَا ذَكَرْنَا مِنِ اسْتِغْنَائِكَ عَنْهُ بالاقتصار على ضرب الأكثر في الأقل.

Salah satunya: Dari masuknya salah satu ke dalam yang lain, sehingga kedua bilangan itu menjadi sesuai dalam seluruh bagian dari yang lebih sedikit. Namun, cara ini tidak digunakan dalam kesesuaian antara dua jenis, sebagaimana telah disebutkan, karena sudah cukup dengan hanya mengalikan yang lebih banyak dengan yang lebih sedikit.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أن لا يَدْخُلَ الْأَقَلُّ فِي الْأَكْثَرِ فَيَنْبَغِي أَنْ تَعُدَّ بِهِ الْأَكْثَرَ ثُمَّ تنظر به الْبَاقِي مِنَ الْأَكْثَرِ فَتَعُدُّ بِهِ الْأَقَلَّ فَإِنْ عَدَّهُ عَدًّا صَحِيحًا حَتَّى صَارَ دَاخِلًا فِيهِ والباقي مِنْ عَدَدِ الْأَكْثَرِ هُوَ الْوَفْقُ بَيْنَ الْعَدَدَيْنِ فَإِنْ كَانَ ثَلَاثَةً كَانَ اتِّفَاقُهُمَا بِالْأَثْلَاثِ وَإِنْ كان أربعة فبالأرباع وإن كان خَمْسَةً فَبِالْأَخْمَاسِ مِثْلَ أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الْعَدَدَيْنِ ثَمَانِيَةً وَالْآخَرُ ثَمَانِيَةً وَعِشْرِينَ فَإِذَا عَدَدْتَ الثَّمَانِيَةَ وَالْعِشْرِينَ بِالثَّمَانِيَةِ بَقِيَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ فَإِذَا عَدَدْتَ الثمانية بالأربعة استوفتها ودخلت فيها فيعلم أَنَّهُمَا مُتَّفِقَانِ بِالْأَرْبَاعِ فَإِنْ كَانَ بَقِيَّةُ الْأَكْثَرِ لا تعد الأقل عددا صحيحا يستوفيه وَبَقِيَتْ بَقِيَّةٌ عَدَدْتَ بِهَا بَقِيَّةَ الْأَكْثَرِ فَإِنْ عدتها عدا صحيحا واستوفتها ففيه أقاويل هو وفق العددين وإن تَجِدَ عَدَدًا يُعَدُّ مَا قَبْلَهُ وَيَسْتَوْفِيهِ عَدَدًا صَحِيحًا فَيَكُونُ ذَلِكَ الْعَدَدُ هُوَ الْوَفْقُ بَيْنَ الْعَدَدَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْبَاقِي وَاحِدًا فَرْدًا فَيُعْلَمُ بِهِ أَنَّ الْعَدَدَيْنِ لَا يَتَّفِقَانِ بِشَيْءٍ فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ أَحَدُ الْعَدَدَيْنِ سِتَّةً وَخَمْسِينَ وَالْآخَرُ سَبْعَةً وَسَبْعِينَ فَيَبْقَى بَعْدَ إِسْقَاطِ الأقل من الأكثر أحد وعشرين فنعد بها الأقل يبقى أربعة عشر فنعد الْأَحَدَ وَالْعِشْرِينَ بِالْأَرْبَعَةَ عَشَرَ يَبْقَى سَبْعَةٌ فَتَعُدُّ الْأَرْبَعَةَ عَشَرَ بِالسَّبْعَةِ تَعُدُّ بِهَا وَتَسْتَوْفِيهَا فَيُعْلَمُ أن العددين يَتَّفِقَانِ بِالْأَسْبَاعِ وَلَوْ كَانَ أَحَدُ الْعَدَدَيْنِ أَحَدًا وَعِشْرِينَ وَالْآخرُ خَمْسَةً وَعِشْرِينَ فَإِذَا أَسْقَطْتَ الْأَحَدَ وَالْعِشْرِينَ مِنَ الْخَمْسَةِ وَالْعِشْرِينَ بَقِيَتْ أَرْبَعَةً فَتَعُدُّ بِالْأَرْبَعَةِ الْأَحَدَ وَالْعِشْرِينَ يَبْقَى وَاحِدٌ فَتَعْلَمُ أَنَّ الْعَدَدَيْنِ لَا يَتَّفِقَانِ فَهَذَا أَصْلٌ فَافْهَمْهُ ثُمَّ عُدْنَا إِلَى جَوَابِ الْقِسْمِ الثَّالِثِ فَإِذَا كَانَ أَحَدُ الْعَدَدَيْنِ مُوَافِقًا لِلْآخَرِ ضَرَبْتَ وَفْقَ أَحَدِهِمَا فِي الْآخَرِ فَإِنْ شِئْتَ ضَرَبْتَ وفق الأقل في الأكثر وإن شئت ضرب وفق الأكثر في الأقل قل فَهُمَا سَوَاءٌ ثُمَّ ضَرَبْتَ مَا حَصَلَ بِيَدِكَ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ وَعَوْلِهَا إِنْ عَالَتْ.

Penjelasan kedua: Jangan sampai bilangan yang lebih kecil masuk ke dalam bilangan yang lebih besar. Maka seharusnya engkau menghitung bilangan yang lebih besar dengan bilangan yang lebih kecil, lalu perhatikan sisa dari bilangan yang lebih besar tersebut, kemudian hitung sisa itu dengan bilangan yang lebih kecil. Jika bilangan yang lebih kecil dapat menghitungnya secara tepat hingga masuk ke dalamnya, maka sisa dari bilangan yang lebih besar itulah yang disebut sebagai “wafq” (kesesuaian) antara dua bilangan. Jika sisa itu tiga, maka kesesuaian keduanya adalah dengan pertigaan; jika empat, maka dengan perempatan; jika lima, maka dengan perlimaan. Contohnya, jika salah satu bilangan adalah delapan dan yang lain dua puluh delapan, maka jika engkau menghitung dua puluh delapan dengan delapan, sisanya adalah empat. Lalu jika engkau menghitung delapan dengan empat, maka habis dan masuk ke dalamnya, sehingga diketahui bahwa keduanya sesuai dengan perempatan. Jika sisa dari bilangan yang lebih besar tidak dapat dihitung oleh bilangan yang lebih kecil secara tepat dan masih tersisa, maka hitunglah sisa itu dengan sisa dari bilangan yang lebih besar. Jika sisa itu dapat dihitung secara tepat dan habis, maka ada beberapa pendapat: itu adalah “wafq” antara dua bilangan. Jika engkau menemukan suatu bilangan yang dapat menghitung bilangan sebelumnya secara tepat, maka bilangan itu adalah “wafq” antara dua bilangan, kecuali jika sisanya satu, maka diketahui bahwa kedua bilangan itu tidak memiliki kesesuaian apapun. Berdasarkan ini, jika salah satu bilangan adalah lima puluh enam dan yang lain tujuh puluh tujuh, maka setelah mengurangi yang lebih kecil dari yang lebih besar, sisanya dua puluh satu. Lalu kita hitung dua puluh satu dengan bilangan yang lebih kecil, sisanya empat belas. Kemudian kita hitung dua puluh satu dengan empat belas, sisanya tujuh. Lalu kita hitung empat belas dengan tujuh, habis dan tepat, sehingga diketahui bahwa kedua bilangan itu sesuai dengan pertujuhan. Jika salah satu bilangan adalah dua puluh satu dan yang lain dua puluh lima, maka jika engkau mengurangi dua puluh satu dari dua puluh lima, sisanya empat. Lalu engkau hitung dua puluh satu dengan empat, sisanya satu. Maka engkau ketahui bahwa kedua bilangan itu tidak memiliki kesesuaian. Inilah kaidahnya, maka pahamilah. Kemudian kita kembali ke jawaban bagian ketiga: jika salah satu bilangan sesuai dengan yang lain, maka kalikan “wafq” salah satunya dengan bilangan yang lain. Jika engkau mau, kalikan “wafq” yang lebih kecil dengan yang lebih besar, atau sebaliknya, keduanya sama saja. Kemudian kalikan hasil yang didapat dengan asal masalah dan ‘aul-nya jika terjadi ‘aul.

مِثَالُهُ: زَوْجٌ وَسِتُّ جَدَّاتٍ وَتِسْعُ أَخَوَاتٍ تَعُولُ إِلَى ثَمَانِيَةٍ لِلزَّوْجِ النِّصْفُ ثَلَاثَةٌ وَلِلْجَدَّاتِ السُّدُسُ سَهْمٌ على ستة لا ينقسم وَلِلْأَخَوَاتِ الثُّلُثَانِ أَرْبَعَةٌ عَلَى تِسْعَةٍ لَا تَنْقَسِمُ عليها ولا توافقها وعدد الجدات وهو ست يوافق عدد الأخوات وهو تسع بِالْأَثْلَاثِ فَاضْرِبْ وَفْقَ أَحَدِهِمَا فِي الْآخَرِ فَإِنْ شِئْتَ ضَرَبْتَ وَفْقَ السِّتَّةِ وَهُوَ اثْنَانِ فِي التسعة يكن ثَمَانِيَةَ عَشَرَ وَإِنْ شِئْتَ ضَرَبْتَ وَفْقَ التِّسْعَةِ وَهُوَ ثَلَاثَةٌ فِي السِّتَّةِ تَكُنْ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ ثُمَّ اضْرِبْهَا فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ وَعَوْلِهَا وَهُوَ ثَمَانِيَةٌ تَكُنْ مِائَةً وَأَرْبَعَةً وَأَرْبَعِينَ وَمِنْهَا تَصِحُّ وَلَوْ كَانَ بَيْنَ الرؤوس وَالسِّهَامِ مُوَافَقَةٌ وَبَيْنَ عَدَدِ الْجِنْسَيْنِ مُوَافَقَةٌ رَدَدْتُ عَدَدَ كُلِّ جِنْسٍ إلى وفق سهامه بما وَافَقْتَ بَيْنَ وَفْقِ الْعَدَدَيْنِ ثُمَّ ضَرَبْتَ مَا حَصَلَ مِنْ وَفْقِ أَحَدِهِمَا فِي الْآخَرِ ثُمَّ مَا اجْتَمَعَ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ مِثَالُهُ: أُمٌّ وستة عشر أختا لأب وأم واثنتا عَشْرَةَ أُخْتًا لِأُمٍّ تَعُولُ إِلَى سَبْعَةٍ لِلْأُمِّ مِنْهَا السُّدُسُ سَهْمٌ وَلِلْأَخَوَاتِ الثُّلُثَانِ أَرْبَعَةٌ عَلَى سِتَّة عَشَرَ لَا تَنْقَسِمُ وَلَكِنْ تَوَافِقُ بِالْأَرْبَاعِ ترد الأخوات إلى الأربعة وللأخوات من الأم الثُّلُثُ سَهْمَانِ عَلَى اثْنَيْ عَشَرَ لَا تَنْقَسِمُ ولكن توافق بالأنصاف إلى ستة ثم أربعة توافق الستة بالأنصاف فاضرب نصف أحدهما في الْآخَرِ تَكُنِ اثْنَيْ عَشَرَ ثُمَّ اضْرِبْ ذَلِكَ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ وَعَوْلِهَا وَهُوَ سَبْعَةٌ تَكُنْ أَرْبَعَةً وَثَمَانِينَ ثُمَّ تَضْرِبُ كُلَّ مَنْ لَهُ شيء من سبعة فِي اثْنَيْ عَشَرَ فَيَكُونُ لِلْأُمِّ اثْنَا عَشَرَ وَلِلْأَخَوَاتِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ ثَمَانِيَةٌ وَأَرْبَعُونَ عَلَى ستة عشر ينقسم لكل واحدة منهن ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ وَلِلْأَخَوَاتِ مِنَ الْأُمِّ أَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ عَلَى اثْنَيْ عَشَرَ يَنْقَسِمُ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ سَهْمَانِ.

Contohnya: Seorang suami, enam nenek, dan sembilan saudari, kasus ini mengalami ‘aul menjadi delapan. Untuk suami setengah, yaitu tiga; untuk para nenek sepertiga, yaitu satu bagian dari enam yang tidak dapat dibagi; dan untuk para saudari dua pertiga, yaitu empat dari sembilan yang tidak dapat dibagi dan tidak sesuai dengannya. Jumlah nenek, yaitu enam, sesuai dengan jumlah saudari, yaitu sembilan, dengan perbandingan sepertiga. Maka kalikan salah satu angka yang sesuai dengan yang lain; jika engkau mau, kalikan yang sesuai dari enam, yaitu dua, dengan sembilan, maka hasilnya delapan belas; atau jika engkau mau, kalikan yang sesuai dari sembilan, yaitu tiga, dengan enam, maka hasilnya juga delapan belas. Kemudian kalikan hasil itu dengan asal masalah dan ‘aul-nya, yaitu delapan, maka hasilnya seratus empat puluh empat, dan dari situ masalah menjadi sah. Jika antara jumlah kepala dan bagian ada kesesuaian, dan antara jumlah dua kelompok juga ada kesesuaian, maka kembalikan jumlah masing-masing kelompok ke angka yang sesuai dengan bagiannya, lalu samakan angka yang sesuai antara keduanya, kemudian kalikan angka yang sesuai dari salah satunya dengan yang lain, lalu hasilnya dikalikan dengan asal masalah. Contohnya: Seorang ibu, enam belas saudari seayah dan seibu, dan dua belas saudari seibu, kasus ini mengalami ‘aul menjadi tujuh. Untuk ibu seperenam, yaitu satu bagian; untuk saudari seayah dan seibu dua pertiga, yaitu empat dari enam belas yang tidak dapat dibagi, tetapi sesuai dengan perempat, maka kembalikan saudari ke empat; untuk saudari seibu sepertiga, yaitu dua bagian dari dua belas yang tidak dapat dibagi, tetapi sesuai dengan setengah, menjadi enam; kemudian empat sesuai dengan enam dengan setengah, maka kalikan setengah dari salah satunya dengan yang lain, hasilnya dua belas. Kemudian kalikan itu dengan asal masalah dan ‘aul-nya, yaitu tujuh, maka hasilnya delapan puluh empat. Kemudian kalikan setiap bagian dari tujuh dengan dua belas, maka untuk ibu dua belas; untuk saudari seayah dan seibu empat puluh delapan, dibagi enam belas, masing-masing mendapat tiga bagian; dan untuk saudari seibu dua puluh empat, dibagi dua belas, masing-masing mendapat dua bagian.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الْعَدَدَيْنِ لَا يُسَاوِي الْآخَرَ وَلَا يَدْخُلُ فِيهِ وَلَا يُوَافِقُهُ فَتَضْرِبُ أَحَدَهُمَا فِي الْآخَرِ ثُمَّ مَا اجْتَمَعَ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ وَعَوْلِهَا إِنْ عَالَتْ مِثَالُهُ: زَوْجٌ وَخَمْسُ بَنَاتٍ وَثَلَاثُ أَخَوَاتٍ أَصْلُهَا مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ لِلزَّوْجِ الرُّبُعُ ثَلَاثَةٌ وَلِلْبَنَاتِ الثُّلُثَانِ ثَمَانِيَةٌ عَلَى خَمْسَةٍ لَا تَنْقَسِمُ وَلَا تُوَافِقُ وللأخوات ما بقي وَهُوَ سَهْمٌ عَلَى ثَلَاثَةٍ فَاضْرِبْ خَمْسَةً هِيَ عدد البنات في ثلاثة لأنهما لا يتفقان يكن خمسة عشرة ثُمَّ اضْرِبِ الْخَمْسَةَ عَشَرَ فِي اثْنَيْ عَشَرَ هي أصل المسألة يكن مِائَةً وَثَمَانِينَ فَإِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَعْرِفَ مَا لكل واحد من الجنس ضربت سِهَامَ ذَلِكَ الْجِنْسِ فِي عَدَدِ رؤوس الْجِنْسِ الآخر فما خرج فهو مال كل وَاحِدٍ.

Bagian keempat: Jika salah satu dari dua angka tidak sama dengan yang lain, tidak masuk ke dalamnya, dan tidak sesuai dengannya, maka kalikan salah satunya dengan yang lain, lalu hasilnya dikalikan dengan asal masalah dan ‘aul-nya jika ada ‘aul. Contohnya: Seorang suami, lima anak perempuan, dan tiga saudari. Asal masalahnya dari dua belas; untuk suami seperempat, yaitu tiga; untuk anak perempuan dua pertiga, yaitu delapan, dibagi lima yang tidak dapat dibagi dan tidak sesuai; dan untuk saudari sisanya, yaitu satu, dibagi tiga. Maka kalikan lima (jumlah anak perempuan) dengan tiga (jumlah saudari) karena keduanya tidak sesuai, hasilnya lima belas. Kemudian kalikan lima belas dengan dua belas (asal masalah), hasilnya seratus delapan puluh. Jika engkau ingin mengetahui bagian masing-masing dari setiap kelompok, kalikan bagian kelompok itu dengan jumlah kepala kelompok lain, maka hasilnya adalah bagian masing-masing.

مِثَالُهُ: إِذَا أَرَدْتَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أن تعرف ما لكل بنت ضَرَبْتَ عَدَدَ سِهَامِ الْبَنَاتِ وَهِيَ ثَمَانِيَةٌ فِي رؤوس الْأَخَوَاتِ وَهِيَ ثَلَاثَةٌ تَكُنْ أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ فَيَكُونُ هُوَ الْقَدْرُ الَّذِي تَسْتَحِقُّهُ كُلُّ بِنْتٍ وَهُنَّ خَمْسٌ فَيَكُونُ لَهُنَّ مِائَةٌ وَعِشْرُونَ سَهْمًا وَإِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَعْرِفَ مَا لِكُلِّ أُخْتٍ ضربت عدد سهامهم وَهُوَ وَاحِدٌ فِي عَدَدِ رؤوس الْبَنَاتِ وَهُوَ خمسة تكن خمسة فيكون هذا الْقَدْرُ الَّذِي تَسْتَحِقُّهُ كُلُّ أُخْتٍ وَهُنَّ ثَلَاثٌ فَيَكُونُ لَهُنَّ خَمْسَةَ عَشَرَ فَهَذَا حُكْمُ الْجِنْسَيْنِ إذا كان الحيز من كل جنس لا ينقسم عليهم سهامهم فإذا كَانَ ثَلَاثَةَ أَجْنَاسٍ وَكَانَ كُلُّ جِنْسٍ لَا تنقسم عَلَيْهِمْ سِهَامُهُمْ فَإِنْ كَانَ عَدَدُ كُلِّ جِنْسٍ مُسَاوِيًا لِعَدَدِ الْجِنْسِ الْآخَرِ اقْتَصَرْتَ عَلَى ضَرْبِ أَحَدِ الْأَعْدَادِ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ فَمَا خَرَجَ فَمِنْهُ تَصِحُّ الْمَسْأَلَةُ.

Contohnya: Jika kamu ingin mengetahui bagian masing-masing anak perempuan dalam masalah ini, kalikan jumlah saham anak perempuan, yaitu delapan, dengan jumlah kepala saudari perempuan, yaitu tiga, maka hasilnya dua puluh empat. Itulah jumlah yang menjadi hak setiap anak perempuan. Karena mereka ada lima orang, maka totalnya menjadi seratus dua puluh saham. Jika kamu ingin mengetahui bagian masing-masing saudari perempuan, kalikan jumlah saham mereka, yaitu satu, dengan jumlah kepala anak perempuan, yaitu lima, maka hasilnya lima. Itulah jumlah yang menjadi hak setiap saudari perempuan. Karena mereka ada tiga orang, maka totalnya menjadi lima belas. Inilah hukum dua kelompok jika bagian dari setiap kelompok tidak dapat dibagi rata sesuai sahamnya. Jika terdapat tiga kelompok dan setiap kelompok tidak dapat dibagi rata sahamnya, dan jumlah masing-masing kelompok sama, maka cukup mengalikan salah satu jumlah dengan asal masalah, lalu hasilnya itulah yang digunakan untuk menyelesaikan masalah.

مِثَالُهُ: ثَلَاثُ جَدَّاتٍ وَثَلَاثُ بَنَاتٍ وَثَلَاثُ أَخَوَاتٍ فَتَضْرِبُ ثَلَاثَةً فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ وَهُوَ سِتَّةٌ تَكُنْ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ وَمِنْهَا تَصِحُّ وَإِنْ كَانَ بَعْضُ الْأَعْدَادِ يَدْخُلُ فِي بَعْضٍ اقْتَصَرْتَ عَلَى ضَرْبِ الْأَكْثَرِ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ.

Contohnya: Tiga nenek, tiga anak perempuan, dan tiga saudari perempuan. Maka kamu kalikan tiga dengan asal masalah, yaitu enam, sehingga menjadi delapan belas, dan dari situlah masalah dapat diselesaikan. Jika sebagian jumlah masuk ke dalam sebagian yang lain, cukup mengalikan jumlah yang lebih besar dengan asal masalah.

مِثَالُهُ: زَوْجَتَانِ وَسِتُّ أَخَوَاتٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ واثنتا عشر أختا لأب فيكون عدد الزوجتين داخلا فِي عَدَدِ الْإِخْوَةِ لِأَنَّ الِاثْنَيْنِ يَدْخُلَانِ فِي السِّتَّةِ وَفِي الِاثْنَيْ عَشَرَ وَالسِّتَّةُ تَدْخُلُ فِي الِاثْنَيْ عَشَرَ فَاضْرِبْ عَدَدَ الْإِخْوَةِ وَهُوَ اثْنَا عَشَرَ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ وَهُوَ اثْنَا عَشَرَ تَكُنْ مِائَةً وَأَرْبَعَةً وَأَرْبَعِينَ وَمِنْهُ تَصِحُّ، فَإِنْ كان بعض الرؤوس كل يوافق بعضا وقفت أحدهما ثم رددت إليه من رؤوس كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْجِنْسَيْنِ ثُمَّ ضَرَبْتَ أحد الوقفين فِي الْآخَرِ ثُمَّ ضَرَبْتَ مَا اجْتَمَعَ فِي عَدَدِ الْجِنْسِ الْمَوْقُوفِ فَمَا اجْتَمَعَ ضَرَبْتَهُ فِي أصل المسألة.

Contohnya: Dua istri, enam saudari seayah dan seibu, dan dua belas saudari seayah. Maka jumlah dua istri masuk ke dalam jumlah saudari, karena dua masuk ke dalam enam dan dua belas, dan enam masuk ke dalam dua belas. Maka kalikan jumlah saudari, yaitu dua belas, dengan asal masalah, yaitu dua belas, sehingga menjadi seratus empat puluh empat, dan dari situlah masalah dapat diselesaikan. Jika sebagian kepala dari masing-masing kelompok sesuai dengan sebagian yang lain, maka kamu tetapkan salah satunya, lalu kembalikan kepada jumlah kepala masing-masing dari kedua kelompok, kemudian kalikan salah satu yang telah ditetapkan dengan yang lain, lalu kalikan hasilnya dengan jumlah kelompok yang telah ditetapkan, dan hasilnya dikalikan dengan asal masalah.

ومثاله: أحد وَعِشْرُونَ جَدَّةً وَخَمْسٌ وَثَلَاثُونَ بِنْتًا وَثَلَاثُونَ أُخْتًا لأب أصلها من ستة سهام الجميع لا ينقسم عليهن ولا يوافقهن لأن للجدات سهما على أحد وَعِشْرِينَ وَلِلْبَنَاتِ أَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ عَلَى خَمْسَةٍ وَثَلَاثِينَ وَلِلْأَخَوَاتِ الْبَاقِي وَهُوَ سَهْمٌ عَلَى ثَلَاثِينَ لَكِنَّ أعداد الرؤوس يوافق بعضها بعضا فإن وفقت عَدَدُ الْجَدَّاتِ وَهُوَ أَحَدٌ وَعِشْرُونَ كَانَ عَدَدُ البنات وهو خمس وثلاثون موافقا له بالأسباع فيردها إِلَى خَمْسَةٍ وَعَدَدُ الْأَخَوَاتِ وَهُوَ ثَلَاثُونَ مُوَافِقًا له بالأثلاث فيرده إِلَى عَشَرَةٍ وَالْخَمْسَةُ الَّتِي خَرَجَتْ مِنْ وَفْقِ الْبَنَاتِ دَاخِلَةٌ فِي الْعَشَرَةِ الَّتِي رَجَعَتْ مِنْ وَفْقِ الْأَخَوَاتِ فَاضْرِبِ الْعَشَرَةَ فِي الْوَاحِدِ وَالْعِشْرِينَ تَكُنْ مِائَتَيْنِ وَعَشَرَةً ثُمَّ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ وهو ستة تكن ألفا ومائتين وستين فمن لَهُ شَيْءٌ مِنْ سِتَّةٍ أَخَذَهُ مَضْرُوبًا لَهُ في مائتين وعشرة وإن وفقت عدد البنات وهو خمسة وَثَلَاثُونَ وَافَقَهَا عَدَدُ الْأَخَوَاتِ وَهُوَ ثَلَاثُونَ بِالْأَخْمَاسِ إِلَى سِتَّةٍ وَوَافَقَهَا عَدَدُ الْجَدَّاتِ وَهُوَ أَحَدٌ وَعِشْرُونَ بِالْأَسْبَاعِ إِلَى ثَلَاثَةٍ وَالثَّلَاثَةُ الرَّاجِعَةُ مَنْ وَفْقِ الْجَدَّاتِ تَدْخُلُ فِي السِّتَّةِ فَاضْرِبْ سِتَّةً فِي خَمْسَةٍ وَثَلَاثِينَ تَكُنْ مِائَتَيْنِ وَعَشَرَةٍ ثُمَّ فِي سِتَّةٍ هِيَ أَصْلُ الْمَسْأَلَةِ تَكُنْ أَلْفًا ومائتين وستين فإن وفقت عدد الأخوات وهي ثَلَاثُونَ وَافَقَهَا عَدَدُ الْجَدَّاتِ وَهُوَ أَحَدٌ وَعِشْرُونَ بِالْأَثْلَاثِ إِلَى سَبْعَةٍ وَوَافَقَهَا عَدَدُ الْبَنَاتِ وَهُوَ خَمْسَةٌ وَثَلَاثُونَ بِالْأَخْمَاسِ إِلَى سَبْعَةٍ وَإِحْدَى السَّبْعَتَيْنِ تنوب عن الأخرى فاضرب إحداهما فِي ثَلَاثِينَ تَكُنْ مِائَتَيْنِ وَعَشَرَةً ثُمَّ فِي سِتَّةٍ هِيَ أَصْلُ الْمَسْأَلَةِ تَكُنْ أَلْفًا وَمِائَتَيْنِ وَسِتِّينَ فَإِذَا أَرَدْتَ مَعْرِفَةَ مَا لِكُلِّ جِنْسٍ ضَرَبْتَ عَدَدَ سِهَامِهِ فِي مِائَتَيْنِ وَعَشَرَةٍ وَإِذَا أردت أن تعرف ما لكل واحد من كُلِّ جِنْسٍ ضَرَبْتَ

Contohnya: Dua puluh satu nenek, tiga puluh lima anak perempuan, dan tiga puluh saudari seayah, asal masalahnya dari enam bagian, semuanya tidak dapat dibagi kepada mereka dan tidak ada yang cocok di antara mereka. Karena untuk para nenek satu bagian dari dua puluh satu, untuk para anak perempuan empat bagian dari tiga puluh lima, dan untuk para saudari sisanya, yaitu satu bagian dari tiga puluh. Namun, jumlah kepala (ahli waris) ada yang cocok satu sama lain. Jika jumlah nenek, yaitu dua puluh satu, dicocokkan dengan jumlah anak perempuan, yaitu tiga puluh lima, maka keduanya cocok dengan perbandingan tujuh, sehingga dikembalikan menjadi lima. Jumlah saudari, yaitu tiga puluh, cocok dengan jumlah nenek dengan perbandingan tiga, sehingga dikembalikan menjadi sepuluh. Lima yang berasal dari kecocokan anak perempuan termasuk dalam sepuluh yang berasal dari kecocokan saudari. Maka kalikan sepuluh dengan dua puluh satu, hasilnya dua ratus sepuluh, lalu kalikan dengan asal masalah, yaitu enam, maka hasilnya seribu dua ratus enam puluh. Maka siapa yang mendapat bagian dari enam, ia mengambilnya dikalikan dengan dua ratus sepuluh. Jika jumlah anak perempuan, yaitu tiga puluh lima, dicocokkan dengan jumlah saudari, yaitu tiga puluh, dengan perbandingan lima, menjadi enam, dan dicocokkan dengan jumlah nenek, yaitu dua puluh satu, dengan perbandingan tujuh, menjadi tiga. Tiga yang berasal dari kecocokan nenek termasuk dalam enam. Maka kalikan enam dengan tiga puluh lima, hasilnya dua ratus sepuluh, lalu kalikan dengan enam, asal masalah, hasilnya seribu dua ratus enam puluh. Jika jumlah saudari, yaitu tiga puluh, dicocokkan dengan jumlah nenek, yaitu dua puluh satu, dengan perbandingan tiga, menjadi tujuh, dan dicocokkan dengan jumlah anak perempuan, yaitu tiga puluh lima, dengan perbandingan lima, menjadi tujuh. Salah satu dari dua tujuh mewakili yang lain. Maka kalikan salah satunya dengan tiga puluh, hasilnya dua ratus sepuluh, lalu kalikan dengan enam, asal masalah, hasilnya seribu dua ratus enam puluh. Jika kamu ingin mengetahui bagian setiap kelompok, kalikan jumlah bagiannya dengan dua ratus sepuluh. Jika kamu ingin mengetahui bagian masing-masing dari setiap kelompok, kalikan

سَهْمَهُ فِيمَا عَادَ مِنْ وفق الجنس الْمَضْرُوبِ فِي عَدَدِ جِنْسِهِ فَمَا خَرَجَ فَهُوَ سَهْمُ كُلِّ وَاحِدٍ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ لِكُلِّ جَدَّةٍ عَشَرَةٌ، لِأَنَّ سَهْمَ الْجَدَّاتِ وَاحِدٌ وَمَا رَجَعَ مِنْ وَفْقِ عَدَدِ الْجِنْسَيْنِ الْمَضْرُوبِ فِي عَدَدِهِنَّ عَشَرَةٌ فَلِكُلِّ بِنْتٍ أَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ لِأَنَّ سِهَامَ الْبَنَاتِ أَرْبَعَةٌ وَمَا رَجَعَ مِنْ وَفْقِ عَدَدِ الْجِنْسَيْنِ الْمَضْرُوبِ فِي عَدَدِهِنَّ سِتَّةٌ وَإِذَا ضُرِبَتِ الْأَرْبَعَةُ فِي السِّتَّةِ كَانَ أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ فلكل أُخْتٍ سَبْعَةٌ لِأَنَّ سَهْمَ الْأَخَوَاتِ وَاحِدٌ وَمَا رَجَعَ مِنْ وَفْقِ عَدَدِ الْجِنْسَيْنِ الْمَضْرُوبِ فِي عَدَدِهِنَّ سَبْعَةٌ فَصَارَ سَهْمُ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ سَبْعَةً وَلَوِ اتَّفَقَتِ الرؤوس مَعَ السهام رَدَدْتَ الرؤوس إِلَى وَفْقِ سِهَامِهَا ثُمَّ وَافَقْتَ بين وفق الرؤوس بعضا لِبَعْضٍ ثُمَّ ضَرَبْتَ وَفْقَ بَعْضِهَا فِي بَعْضٍ فَمَا اجْتَمَعَ ضَرَبْتَهُ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ وَعَوْلِهَا.

bagiannya dengan hasil kecocokan kelompok yang dikalikan dengan jumlah kelompoknya. Apa yang dihasilkan itulah bagian masing-masing. Berdasarkan ini, setiap nenek mendapat sepuluh, karena bagian nenek satu dan hasil kecocokan jumlah kedua kelompok yang dikalikan dengan jumlah mereka adalah sepuluh. Setiap anak perempuan mendapat dua puluh empat, karena bagian anak perempuan empat dan hasil kecocokan jumlah kedua kelompok yang dikalikan dengan jumlah mereka adalah enam. Jika empat dikalikan enam, hasilnya dua puluh empat. Setiap saudari mendapat tujuh, karena bagian saudari satu dan hasil kecocokan jumlah kedua kelompok yang dikalikan dengan jumlah mereka adalah tujuh. Maka bagian masing-masing dari mereka adalah tujuh. Jika jumlah kepala sama dengan jumlah bagian, kembalikan kepala kepada kecocokan bagian mereka, lalu cocokkan antara kecocokan kepala satu sama lain, kemudian kalikan kecocokan sebagian dengan sebagian yang lain. Apa yang terkumpul, kalikan dengan asal masalah dan ‘aul-nya.

مثاله: اثنا عشر جدة واثنتان وثلاثون أختا لأب وعشرون أختا لِأُمٍّ تَعُولُ بِسُدُسِهَا إِلَى سَبْعَةٍ لِلْجَدَّاتِ سَهْمٌ عَلَى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ مُنْكَسِرٌ وَلِلْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ أَرْبَعَةٌ على اثنتين وثلاثين يوافق بالأرباع إلى ثَمَانِيَةٍ وَلِلْإِخْوَةِ لِلْأُمِّ سَهْمَانِ عَلَى عِشْرِينَ يُوَافِقُهُ بالأنصاف إلى عشرة فإن وفقت عدد الجدات وهو انثا عَشَرَ كَانَ وَفْقَ الْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ وَهُوَ ثَمَانِيَةٌ مُوَافِقًا لَهَا بِالْأَرْبَاعِ إِلَى اثْنَيْنِ وَكَانَ وَفْقُ الْإِخْوَةِ لِلْأُمِّ وَهُوَ عَشَرَةٌ يُوَافِقُهَا بِالْأَنْصَافِ إِلَى خمسة فاضرب اثنتين فِي خَمْسَةٍ تَكُنْ عَشَرَةً ثُمَّ اضْرِبِ الْعَشَرَةَ في اثني عَشَرَ تَكُنْ مِائَةً وَعِشْرِينَ ثُمَّ فِي أَصْلِ المسألة وعولها وهو سبعة تكن ثماني مائة وأربعين ومنه تصح وإن وافقت وَفْقَ الْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ وَهُوَ ثَمَانِيَةٌ وَافَقَهَا عَدَدُ الْجَدَّاتِ وَهُوَ اثْنَا عَشَرَ بِالْأَرْبَاعِ إِلَى ثَلَاثَةٍ وَوَافَقَهَا وَفْقَ الْإِخْوَةِ مِنَ الْأُمِّ وَهُوَ عَشَرَةٌ بِالْأَنْصَافِ إِلَى خَمْسَةٍ فَاضْرِبْ ثَلَاثَةً فِي خَمْسَةٍ تَكُنْ خَمْسَةَ عَشَرَ ثُمَّ فِي ثَمَانِيَةٍ وَفْقَ الْأَخَوَاتِ تَكُنْ مِائَةً وَعِشْرِينَ ثُمَّ فِي سَبْعَةٍ هي أصل المسألة وعولها تكن ثمان مائة وأربعين وإن وفقت وَفْقَ الْإِخْوَةِ مِنَ الْأُمِّ وَهُوَ عَشَرَةٌ وَافَقَهَا عَدَدُ الْجَدَّاتِ وَهُوَ اثْنَا عَشَرَ بِالْأَنْصَافِ إِلَى سِتَّةٍ وَوَافَقَهَا وَفْقَ الْأَخَوَاتِ وَهُوَ ثَمَانِيَةٌ بِالْأَنْصَافِ إلى أربعة والأربعة توافق لستة بِالْأَنْصَافِ فَاضْرِبْ نِصْفَ أَحَدِهِمَا فِي الْآخَرِ تَكُنِ اثنا عشر ثم في عشرة وهي الموافقة من وفق الإخوة تكن مائة وعشرين فِي سَبْعَةٍ هِيَ أَصْلُ الْمَسْأَلَةِ وَعَوْلُهَا تَكُنْ ثمان مائة وَأَرْبَعِينَ وَمَتَى وَقَفْتَ أَحَدَ الْأَعْدَادِ فَصَحَّتِ الْمَسْأَلَةُ مِنْ عَدَدٍ ثُمَّ وَقَفْتَ غَيْرَ ذَلِكَ الْعَدَدِ فَصَحَّتْ مِنْ عَدَدٍ آخَرَ فَالْعَمَلُ خَطَأٌ حَتَّى يَصِحَّ الْعَمَلَانِ مَنْ عَدَدٍ وَاحِدٍ فَإِذَا أَرَدْتَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنْ تَعْرِفَ مَا لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْجَدَّاتِ فَاضْرِبْ سَهْمَ الْجَدَّاتِ وَهُوَ وَاحِدٌ فِيمَا ضَرَبْتَهُ مِنْ وَفْقِ الْجِنْسَيْنِ لِوَفْقِ لعددهن حِينَ وَقَفْتَهُ وَهُوَ عَشَرَةٌ تَكُنْ عَشَرَةٌ وَهُوَ مَا تَسْتَحِقُّهُ كُلُّ وَاحِدَةٍ وَإِنْ أَرَدْتَ أَنْ تَعْرِفَ مَا لِكُلِّ أُخْتٍ ضَرَبْتَ وَفْقَ سِهَامِهِنَّ لِرؤوسهِنَّ وَهُوَ وَاحِدٌ لِأَنَّهُمَا اتَّفَقَا بِالْأَرْبَاعِ فِيمَا ضربته من وفق الجنسين بوفق عددهن حين وقفته وهو خمسة عشر يكن خَمْسَةَ عَشَرَ وَهُوَ مَا تَسْتَحِقُّهُ كُلُّ أُخْتٍ وَإِنْ أَرَدْتَ أَنْ تَعْرِفَ مَا لِكُلِّ أَخٍ ضَرَبْتَ وَفْقَ سِهَامِهِمْ لِرؤوسهِمْ وَهُوَ وَاحِدٌ لِأَنَّهُمَا اتَّفَقَا بِالْأَنْصَافِ فِيمَا ضَرَبْتَهُ مِنْ وَفْقِ الْجِنْسَيْنِ لوفق عددهم وهو اثنا عشر تكن اثنا عَشَرَ وَهُوَ مَا يَسْتَحِقُّهُ كُلُّ أَخٍ، فَهَذَا أَصْلٌ قَدْ أَوْضَحْتُ لَكَ فِيهِ مَا يَسْهُلُ العمل عليه إن شاء الله.

Contohnya: Dua belas nenek, tiga puluh dua saudari seayah, dan dua puluh saudari seibu, yang bagian warisnya menjadi terbebani dengan sepertiganya hingga menjadi tujuh bagian; untuk para nenek ada satu bagian dari dua belas, yang tidak bulat; untuk para saudari seayah ada empat bagian dari tiga puluh dua, yang dapat disesuaikan dengan perempatannya menjadi delapan; dan untuk para saudari seibu ada dua bagian dari dua puluh, yang dapat disesuaikan dengan setengahnya menjadi sepuluh. Jika kamu menyesuaikan jumlah nenek, yaitu dua belas, maka kesesuaiannya dengan saudari seayah adalah delapan, yang dapat disesuaikan dengan perempatannya menjadi dua; dan kesesuaiannya dengan saudari seibu adalah sepuluh, yang dapat disesuaikan dengan setengahnya menjadi lima. Maka kalikan dua dengan lima, hasilnya sepuluh. Kemudian kalikan sepuluh dengan dua belas, hasilnya seratus dua puluh. Lalu kalikan dengan asal masalah dan aul-nya, yaitu tujuh, maka hasilnya delapan ratus empat puluh. Dari sini masalah menjadi sah. Jika kamu menyesuaikan kesesuaian saudari seayah, yaitu delapan, dengan jumlah nenek, yaitu dua belas, dengan perempatannya menjadi tiga, dan kesesuaiannya dengan saudari seibu, yaitu sepuluh, dengan setengahnya menjadi lima, maka kalikan tiga dengan lima, hasilnya lima belas. Lalu kalikan dengan delapan, yaitu kesesuaian saudari, hasilnya seratus dua puluh. Kemudian kalikan dengan tujuh, yaitu asal masalah dan aul-nya, maka hasilnya delapan ratus empat puluh. Jika kamu menyesuaikan kesesuaian saudari seibu, yaitu sepuluh, dengan jumlah nenek, yaitu dua belas, dengan setengahnya menjadi enam, dan kesesuaiannya dengan saudari seayah, yaitu delapan, dengan setengahnya menjadi empat, dan empat sesuai dengan enam dengan setengahnya, maka kalikan setengah salah satunya dengan yang lain, hasilnya dua belas. Lalu kalikan dengan sepuluh, yaitu kesesuaian dari saudari seibu, hasilnya seratus dua puluh. Kemudian kalikan dengan tujuh, yaitu asal masalah dan aul-nya, maka hasilnya delapan ratus empat puluh. Jika kamu menyesuaikan salah satu bilangan dan masalah menjadi sah dari bilangan tersebut, lalu kamu menyesuaikan bilangan lain dan masalah menjadi sah dari bilangan lain, maka perhitungan itu salah sampai kedua perhitungan itu sah dari satu bilangan yang sama. Jika kamu ingin mengetahui bagian masing-masing nenek dalam masalah ini, maka kalikan bagian nenek, yaitu satu, dengan apa yang kamu kalikan dari kesesuaian kedua jenis dengan kesesuaian jumlah mereka saat kamu menyesuaikannya, yaitu sepuluh, maka hasilnya sepuluh, dan itulah yang menjadi hak masing-masing nenek. Jika kamu ingin mengetahui bagian masing-masing saudari, kalikan kesesuaian bagian mereka dengan jumlah kepala mereka, yaitu satu, karena keduanya sesuai dengan perempatannya dalam apa yang kamu kalikan dari kesesuaian kedua jenis dengan kesesuaian jumlah mereka saat kamu menyesuaikannya, yaitu lima belas, maka hasilnya lima belas, dan itulah yang menjadi hak masing-masing saudari. Jika kamu ingin mengetahui bagian masing-masing saudara, kalikan kesesuaian bagian mereka dengan jumlah kepala mereka, yaitu satu, karena keduanya sesuai dengan setengahnya dalam apa yang kamu kalikan dari kesesuaian kedua jenis dengan kesesuaian jumlah mereka, yaitu dua belas, maka hasilnya dua belas, dan itulah yang menjadi hak masing-masing saudara. Inilah kaidah yang telah aku jelaskan kepadamu agar mudah diamalkan, insya Allah.

فصل: في المناسخات

Bagian: Tentang al-munāsakhāt (peralihan hak waris)

وَإِنَّمَا قِيلَ مُنَاسَخَةً، لِأَنَّ الْمَيِّتَ الثَّانِي لَمَّا مَاتَ قَبْلَ الْقِسْمَةِ كَانَ مَوْتُهُ نَاسِخًا لَمَّا صَحَّتْ مِنْهُ مَسْأَلَةُ الْمَيِّتِ الْأَوَّلِ فَإِذَا مَاتَ فلم يقسم وَرَثَتُهُ تَرِكَتَهُ حَتَّى مَاتَ أَحَدُهُمْ وَخَلَّفَ وَرَثَةً فَلَا يَخْلُو حَالُ وَرَثَتِهِ مِنْ أَنْ يَكُونُوا شركاء فِي الْمِيرَاثِ أَوْ غَيْرَ شُرَكَائِهِ فِيهِ فَإِنْ كَانُوا غَيْرَ شُرَكَائِهِ فِيهِ عَمِلْتَ مَسْأَلَةَ الْمَيِّتِ الْأَوَّلِ وَنَظَرْتَ سِهَامَ الْمَيِّتِ الثَّانِي مِنْهَا ثُمَّ عَمِلْتَ مَسْأَلَةَ الْمَيِّتِ الثَّانِي وَقَسَمْتَهَا عَلَى سِهَامِهِ فَسَتَجِدُهَا لَا تَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ.

Dinamakan munāsakhah karena ketika ahli waris kedua meninggal sebelum pembagian warisan, kematiannya menghapus perhitungan yang telah sah dari masalah ahli waris pertama. Maka, jika ia meninggal dan warisannya belum dibagi, lalu salah satu ahli warisnya meninggal dan meninggalkan ahli waris lagi, maka keadaan ahli warisnya tidak lepas dari dua kemungkinan: mereka adalah sekutu dalam warisan, atau bukan sekutu di dalamnya. Jika mereka bukan sekutu, maka kamu buat perhitungan masalah ahli waris pertama dan perhatikan bagian ahli waris kedua dari situ, lalu buat perhitungan masalah ahli waris kedua dan bagikan atas bagian-bagiannya. Maka kamu akan mendapati bahwa hal itu tidak lepas dari tiga keadaan.

إما أن تقسم عليها أو توافقها أو لا تقسم عَلَيْهَا وَلَا تُوَافِقُهَا فَإِنِ انْقَسَمَتْ عَلَيْهَا صَحَّتِ الْمَسْأَلَتَانِ بِمَا صَحَّتْ مِنْهُ الْمَسْأَلَةُ الْأُولَى.

Yaitu: bisa dibagi atasnya, atau sesuai dengannya, atau tidak bisa dibagi atasnya dan tidak pula sesuai dengannya. Jika bisa dibagi atasnya, maka kedua masalah itu sah dengan bilangan yang menjadikan masalah pertama sah.

مِثَالُهُ: زوج وثلاث أخوات متفرقات لَمْ تُقَسَّمِ التَّرِكَةُ بَيْنَهُمْ حَتَّى مَاتَتِ الْأُخْتُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ وَخَلَّفَتِ ابْنًا وَبِنْتًا فَمَسْأَلَةُ الْمَيِّتِ الْأول مِنْ ثَمَانِيَةِ أَسْهُمٍ لِعَوْلِهَا بِثُلُثِهَا لِلْأُخْتِ للأب والأم منها ثلاثة أسهم بين ابنا وبنتها على ثلاثة فتقسم فصحت المسألتان من ثمانية فإن كَانَتْ مَسْأَلَةُ الْمَيِّتِ الثَّانِي لَا تَنْقَسِمُ عَلَى سِهَامِهِ وَلَكِنْ تُوَافِقُهَا وَافَقَتْ بَيْنَهُمَا ثُمَّ ضَرَبْتَ وَفْقَ مَسْأَلَتِهِ فِي سِهَامِ الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى فَمَا اجْتَمَعَ صَحَّتْ مِنْهُ الْمَسْأَلَتَانِ فَمَنْ كَانَ لَهُ شَيْءٌ مِنَ الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى ضَرَبْتَهُ فِي وَفْقِ الثَّانِيَةِ لِسِهَامِهَا وَمِنْ لَهُ شَيْءٌ مِنَ الْمَسْأَلَةِ الثَّانِيَةِ ضَرَبْتَهُ فِيمَا رَجَعَ مِنْ وَفْقِ سِهَامِهَا مِثَالُهُ ابْنَانِ وَبِنْتَانِ مَاتَ أَحَدُ الِابْنَيْنِ وَخَلَّفَ زَوْجَةً وَبِنْتًا وَثَلَاثَةً بَنِي ابْنٍ فَالْمَسْأَلَةُ الْأُولَى من ستة لكل ابن سهمان ولكل ميت سَهْمٌ وَمَسْأَلَةُ الِابْنِ مِنْ ثَمَانِيَةٍ تُوَافِقُ سَهْمَيْهِ بِالْأَنْصَافِ إِلَى أَرْبَعَةٍ فَاضْرِبْهَا فِي سِهَامِ الْمَسْأَلَةِ الأولة وَهِيَ سِتَّةٌ تَكُنْ أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ وَمِنْهَا تَصِحُّ الْمَسْأَلَتَانِ فَمَنْ كَانَ لَهُ مِنَ الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى شَيْءٌ ضَرَبْتَهُ لَهُ فِي أَرْبَعَةٍ هِيَ الرَّاجِعَةُ من دفعه الْمَسْأَلَةَ الثَّانِيَةَ لِسِهَامِ مَيِّتِهَا وَمَنْ لَهُ شَيْءٌ من المسألة الثانية ضربته فِي وَاحِدٍ هُوَ الرَّاجِعُ مِنْ وَفْقِ سَهْمِ الْمَيِّتِ الثَّانِي لِسِهَامِ مَسْأَلَتِهِ وَإِنْ كَانَتْ مَسْأَلَةُ الْمَيِّتِ الثَّانِي لَا تَنْقَسِمُ عَلَى سِهَامِهِ وَلَا تُوَافِقُهَا ضَرَبْتَ سِهَامَ الْمَسْأَلَةِ الثَّانِيَةِ فِي سِهَامِ الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى فَمَا اجْتَمَعَ صَحَّتْ مِنْهُ الْمَسْأَلَتَانِ فمن كان له شيء من المسألة الأولة ضَرَبْتَهُ لَهُ فِي سِهَامِ الْمَسْأَلَةِ الثَّانِيَةِ وَمَنْ كَانَ لَهُ شَيْءٌ مِنَ الْمَسْأَلَةِ الثَّانِيَةِ ضَرَبْتَهُ لَهُ فِي سِهَامِ الْمَيِّتِ الثَّانِي مِنَ الْمَسْأَلَةِ الأولة.

Contohnya: Seorang suami dan tiga saudara perempuan yang berbeda-beda, warisan belum dibagikan di antara mereka hingga saudara perempuan seayah dan seibu meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Maka permasalahan pewarisan dari mayit pertama adalah dari delapan bagian karena adanya ‘aul (penambahan bagian) sepertiganya untuk saudara perempuan seayah dan seibu, yaitu tiga bagian, yang kemudian dibagi antara anak laki-laki dan anak perempuannya menjadi tiga bagian. Maka kedua permasalahan tersebut menjadi sah dari delapan. Jika permasalahan mayit kedua tidak dapat dibagi dengan bagian-bagiannya, namun masih memiliki kesesuaian, maka samakan antara keduanya, kemudian kalikan kesesuaian permasalahan kedua dengan bagian-bagian permasalahan pertama, maka hasilnya adalah kedua permasalahan itu menjadi sah darinya. Barang siapa yang memiliki bagian dari permasalahan pertama, kalikan bagiannya dengan kesesuaian kedua terhadap bagian-bagiannya. Dan barang siapa yang memiliki bagian dari permasalahan kedua, kalikan bagiannya dengan sisa dari kesesuaian bagian-bagiannya. Contohnya: Dua anak laki-laki dan dua anak perempuan, salah satu anak laki-laki meninggal dan meninggalkan seorang istri, seorang anak perempuan, dan tiga cucu laki-laki. Permasalahan pertama dari enam bagian, masing-masing anak laki-laki mendapat dua bagian dan masing-masing anak perempuan mendapat satu bagian. Permasalahan anak laki-laki dari delapan bagian, sesuai dengan dua bagiannya secara setengah menjadi empat, maka kalikan dengan bagian-bagian permasalahan pertama yang enam, menjadi dua puluh empat, dan dari situ kedua permasalahan menjadi sah. Barang siapa yang memiliki bagian dari permasalahan pertama, kalikan bagiannya dengan empat, yaitu sisa dari permasalahan kedua terhadap bagian-bagian mayitnya. Dan barang siapa yang memiliki bagian dari permasalahan kedua, kalikan bagiannya dengan satu, yaitu sisa dari kesesuaian bagian mayit kedua terhadap bagian-bagian permasalahannya. Jika permasalahan mayit kedua tidak dapat dibagi dengan bagian-bagiannya dan tidak pula sesuai, maka kalikan bagian-bagian permasalahan kedua dengan bagian-bagian permasalahan pertama, maka hasilnya kedua permasalahan menjadi sah darinya. Barang siapa yang memiliki bagian dari permasalahan pertama, kalikan bagiannya dengan bagian-bagian permasalahan kedua, dan barang siapa yang memiliki bagian dari permasalahan kedua, kalikan bagiannya dengan bagian mayit kedua dari permasalahan pertama.

مِثَالُهُ: زَوْجَةٌ، وَبِنْتٌ، وَأُخْتٌ، مَاتَتِ الْأُخْتُ وَخَلَّفَتْ زَوْجًا، وَبِنْتَا، وَعَمًّا، الْمَسْأَلَةُ الْأُولَى مِنْ ثَمَانِيَةٍ، ماتت الأخت عن ثلاثة أسهم منها ومثلها مِنْ أَرْبَعَةٍ لَا تَنْقَسِمُ عَلَيْهَا وَلَا تُوَافِقُهَا، فَاضْرِبْهَا فِي سِهَامِ الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى تَكُنِ اثْنَيْنِ وَثَلَاثِينَ وَمِنْهَا تَصِحُّ الْمَسْأَلَتَانِ، فَمَنْ كَانَ لَهُ شَيْءٌ مِنَ الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى ضَرَبْتَهُ لَهُ فِي أربعة هي سهام المسألة الثانية، ومن كان له شيء مِنَ الْمَسْأَلَةِ الثَّانِيَةِ ضَرَبْتَهُ لَهُ فِي ثَلَاثَةٍ هي سِهَامُ الْمَيِّتِ الثَّانِي مِنَ الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى، وَهَكَذَا لَوْ مَاتَ ثَالِثٌ قَسَّمَتْ مَسْأَلَتَهُ عَلَى سِهَامِهِ، فَإِنِ انْقَسَمَتْ صَحَّتِ الْمَسْأَلَةُ الثَّالِثَةُ مِمَّا صَحَّتْ مِنْهُ الْمَسْأَلَتَانِ، وَإِنْ لَمْ تَنْقَسِمْ وَوَافَقَتْ ضَرَبْتَ وَفْقَهَا فِي سِهَامِ الْمَسْأَلَتَيْنِ ثُمَّ مَا اجْتَمَعَ صَحَّتْ مِنْهُ الْمَسَائِلُ الثَّلَاثُ، وَإِنْ لَمْ تُوَافِقْ ضَرَبْتَ سِهَامَهَا فِي سِهَامِ الْمَسْأَلَتَيْنِ فَمَا اجْتَمَعَ صَحَّتْ مِنْهُ الْمَسَائِلُ الثَّلَاثُ، ثُمَّ هَكَذَا لَوْ مَاتَ رَابِعٌ وَخَامِسٌ، فَأَمَّا إِنْ كَانَ وَرَثَةُ الميت الثاني هم شركاءه فِي التَّرِكَةِ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:

Contohnya: Seorang istri, seorang anak perempuan, dan seorang saudara perempuan. Saudara perempuan tersebut meninggal dan meninggalkan seorang suami, dua anak perempuan, dan seorang paman. Permasalahan pertama dari delapan bagian, saudara perempuan meninggal dengan tiga bagian darinya, dan permasalahan kedua dari empat bagian yang tidak dapat dibagi dengannya dan tidak pula sesuai, maka kalikan dengan bagian-bagian permasalahan pertama menjadi tiga puluh dua, dan dari situ kedua permasalahan menjadi sah. Barang siapa yang memiliki bagian dari permasalahan pertama, kalikan bagiannya dengan empat, yaitu bagian-bagian permasalahan kedua. Dan barang siapa yang memiliki bagian dari permasalahan kedua, kalikan bagiannya dengan tiga, yaitu bagian-bagian mayit kedua dari permasalahan pertama. Demikian pula jika ada yang ketiga meninggal, maka bagilah permasalahannya atas bagian-bagiannya. Jika dapat dibagi, maka permasalahan ketiga menjadi sah dari apa yang telah sah dari dua permasalahan sebelumnya. Jika tidak dapat dibagi dan sesuai, kalikan kesesuaiannya dengan bagian-bagian kedua permasalahan, kemudian hasilnya menjadi sah untuk tiga permasalahan. Jika tidak sesuai, kalikan bagian-bagiannya dengan bagian-bagian kedua permasalahan, maka hasilnya menjadi sah untuk tiga permasalahan. Demikian pula jika ada yang keempat dan kelima meninggal. Adapun jika ahli waris mayit kedua adalah para sekutunya dalam warisan, maka itu ada dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونُوا عَصَبَةً لَيْسَ فِيهِمْ ذُو فَرْضٍ فَتَجْعَلُ التَّرِكَةَ مَقْسُومَةً عَلَى سِهَامِ الْبَاقِينَ وَلَا تَعْمَلُ مَسْأَلَةُ الثاني، وهكذا لو مات ثالث ورابع.

Salah satunya: Jika mereka adalah ‘ashabah (ahli waris laki-laki yang tidak memiliki bagian tertentu) dan tidak ada di antara mereka yang memiliki bagian fardhu (bagian tertentu), maka warisan dibagi atas bagian-bagian yang tersisa, dan tidak perlu membuat permasalahan kedua. Demikian pula jika yang ketiga dan keempat meninggal.

ومثاله: أَرْبَعَةُ بَنِينَ، وَأَرْبَعُ بَنَاتٍ، مَاتَ أَحَدُ الْبَنِينَ وَخَلَّفَ إِخْوَتَهُ، وَأَخَوَاتِهِ، كَانَتْ مَسْأَلَةَ الْأُولَى بَيْنَهُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ سَهْمًا ثُمَّ مَاتَ أَحَدُ الْبَنِينَ عَنْ سَهْمَيْنِ فَعَادَ سَهْمَاهُ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ عَلَى عَشَرَةِ أَسْهُمٍ فَصَارَ الْمَالُ كُلُّهُ بَيْنَهُمْ عَلَى عَشَرَةِ أَسْهُمٍ، فَإِنْ مَاتَتْ بِنْتٌ عَنْ سَهْمٍ مِنْ عَشَرَةٍ وَخَلَّفَتْ إِخْوَتَهَا الْبَاقِينَ صَارَ سَهْمُهَا بَيْنَهُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ عَلَى تِسْعَةٍ فَصَارَ الْمَالُ كُلُّهُ بَيْنَهُمْ عَلَى تِسْعَةِ أَسْهُمٍ، فَإِنْ مَاتَ ابْنٌ آخَرُ عَنْ سَهْمَيْنِ مِنْ تِسْعَةٍ صَارَ الْمَالُ كُلُّهُ بَيْنَهُمْ عَلَى سَبْعَةٍ، وَإِنْ مَاتَتْ بِنْتٌ أُخْرَى عَنْ سَهْمٍ مِنْ سَبْعَةٍ صَارَ الْمَالُ كُلُّهُ بَيْنَهُمْ عَلَى سِتَّةٍ، فإن مات بعد ذلك ابْنٌ آخَرُ عَنْ سَهْمَيْنِ مِنْ سِتَّةٍ صَارَ المال مقسوما بَيْنَهُمْ عَلَى أَرْبَعَةٍ، وَهَكَذَا أَبَدًا حَتَّى إِنْ لَمْ يَبْقَ إِلَّا ابْنٌ وَبِنْتٌ صَارَ الْمَالُ بَيْنَهُمَا عَلَى ثَلَاثَةٍ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ؛ لِأَنَّ الْمَالَ صَارَ إِلَيْهِمَا مِنَ الْجَمَاعَةِ عَلَى وَجْهٍ وَاحِدٍ فَكَأَنَّ الَّذِينَ مَاتُوا لَمْ يَكُونُوا، وَإِنْ كَانَ فِيهِمْ ذُو فَرْضٍ: فَإِنْ كَانَ فرض ذي الفرض من الميت الأول لفرضه من الميت الثاني كالأم والجدة إذا ورث كل واحد مِنْهُمَا السُّدُسَ بِأَنَّهَا أُمٌّ أَوْ جَدَّةٌ: فَالْجَوَابُ كَذَلِكَ، وَإِنْ كَانَ الْفَرْضُ مِنَ الْمَيِّتِ الْأَوَّلِ مُخَالِفًا لِلْفَرْضِ مِنَ الْمَيِّتِ الثَّانِي كَالزَّوْجَةِ تَرِثُ من الأول بأنها زوجة وترث من الثَّانِي إِذَا كَانَ ابْنًا بِأَنَّهَا أُمٌّ فَإِنَّكَ تُعْطِيهَا فَرْضَهَا مِنَ التَّرِكَتَيْنِ ثُمَّ تُقَسِّمُ الْبَاقِيَ بَيْنَ الْعَصَبَةِ إِذَا كَانُوا لِلْأَوَّلِ بَنِينَ وَبَنَاتٍ وَلِلثَّانِي إِخْوَةً وَأَخَوَاتٍ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ؛ لِأَنَّ سَبِيلَ مِيرَاثِهِمْ مِنَ التَّرِكَتَيْنِ وَاحِدٌ وَرُبَّمَا كَانَتْ مَسَائِلُ الْمُنَاسِخَاتِ بَعْدَ التَّصْحِيحِ تَرْجِعُ بِالِاخْتِصَارِ إلى أقل من عددها الموافق بعض السهام لبعض فسقطت وَفْقَهَا مِنْ نِصْفٍ أَوْ ثُلُثٍ أَوْ رُبُعٍ فَتَرُدُّ سِهَامَ الْمَسَائِلِ كُلِّهَا إِلَى ذَلِكَ الْوَفْقِ وَتَرُدُّ سِهَامَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْوَرَثَةِ إِلَى مِثْلِهِ، فَإِنْ كَانَ الْوَفْقُ نِصْفًا رَدَدْتَ الْجَمِيعَ إِلَى النِّصْفِ، وَإِنْ كَانَ ثُلُثًا رَدَدْتَ الْجَمِيعَ إِلَى الثُّلُثِ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.

Contohnya: Ada empat anak laki-laki dan empat anak perempuan. Salah satu anak laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan saudara-saudara laki-laki dan perempuannya. Maka permasalahan pertama di antara mereka adalah: bagian laki-laki dua kali bagian perempuan dari dua belas bagian. Kemudian salah satu anak laki-laki meninggal dengan bagian dua, maka kedua bagiannya kembali dibagikan kepada yang masih hidup, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan dari sepuluh bagian. Maka seluruh harta dibagi di antara mereka atas sepuluh bagian. Jika kemudian seorang anak perempuan meninggal dengan bagian satu dari sepuluh dan meninggalkan saudara-saudaranya yang masih hidup, maka bagiannya dibagi di antara mereka dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan dari sembilan bagian. Maka seluruh harta dibagi di antara mereka atas sembilan bagian. Jika kemudian seorang anak laki-laki lain meninggal dengan bagian dua dari sembilan, maka seluruh harta dibagi di antara mereka atas tujuh bagian. Jika kemudian seorang anak perempuan lain meninggal dengan bagian satu dari tujuh, maka seluruh harta dibagi di antara mereka atas enam bagian. Jika setelah itu seorang anak laki-laki lain meninggal dengan bagian dua dari enam, maka harta dibagi di antara mereka atas empat bagian. Demikian seterusnya, hingga jika yang tersisa hanya seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka harta dibagi di antara mereka atas tiga bagian, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan; karena harta telah sampai kepada mereka berdua dari kelompok secara satu cara, sehingga seakan-akan yang telah meninggal tidak pernah ada. Jika di antara mereka ada dzū farḍ (ahli waris dengan bagian tertentu): jika bagian dzū farḍ dari mayit pertama sama dengan bagiannya dari mayit kedua, seperti ibu dan nenek, jika masing-masing mewarisi sepertiga karena ia ibu atau nenek, maka jawabannya juga demikian. Namun jika bagian dari mayit pertama berbeda dengan bagian dari mayit kedua, seperti istri yang mewarisi dari yang pertama sebagai istri dan mewarisi dari yang kedua (jika ia anak) sebagai ibu, maka engkau memberinya bagian dari kedua harta warisan, kemudian membagikan sisanya di antara ‘aṣabah (ahli waris laki-laki) jika pada yang pertama terdapat anak laki-laki dan perempuan, dan pada yang kedua terdapat saudara laki-laki dan perempuan, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan; karena cara pembagian warisan mereka dari kedua harta warisan adalah satu. Terkadang permasalahan munāsakhāt (warisan berantai) setelah tashḥīḥ (penyederhanaan) dapat diringkas menjadi lebih sedikit dari jumlah asalnya, karena adanya kesesuaian sebagian bagian dengan sebagian lainnya, sehingga jatuhlah kesesuaiannya dari setengah, sepertiga, atau seperempat, maka engkau kembalikan seluruh bagian permasalahan kepada kesesuaian tersebut dan kembalikan bagian masing-masing ahli waris kepada yang sepadan. Jika kesesuaiannya setengah, kembalikan semuanya ke setengah; jika sepertiga, kembalikan semuanya ke sepertiga. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

فَصْلٌ: فِي قِسْمَةِ التركات

Bagian: Tentang Pembagian Harta Warisan

وإذا أردت قسمة التركة لم تخل حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ تَكُونَ مِمَّا يُكَالُ أَوْ يُوزَنُ كَالدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ وَالْبُرِّ وَالشَّعِيرِ، وَإِمَّا أَنْ تَكُونَ مِمَّا لَا يُكَالُ وَلَا يُوزَنُ كَالْعَقَارِ وَالضَّيَاعِ، فَإِنْ كَانَتِ التَّرِكَةُ دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ أَوْ مَا قُوِّمَ بِالدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ نَظَرْتَ مَبْلَغَ التَّرِكَةِ وَسِهَامَ الْفَرِيضَةِ وَلَكَ في قسمتها عَلَيْهَا أَرْبَعَةُ أَوْجُهٍ.

Jika engkau ingin membagi harta warisan, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: pertama, harta tersebut termasuk yang dapat ditakar atau ditimbang seperti dirham, dinar, gandum, dan jelai; kedua, harta tersebut termasuk yang tidak dapat ditakar dan tidak dapat ditimbang seperti tanah dan properti. Jika harta warisan berupa dirham, dinar, atau sesuatu yang dinilai dengan dirham dan dinar, maka perhatikan jumlah harta warisan dan bagian farīḍah (bagian waris), dan engkau memiliki empat cara dalam membaginya.

أَحَدُهَا: أَنْ تُقَسِّمَ عَدَدَ التركة على سهام الفريضة مما خَرَجَ لِكُلِّ سَهْمٍ ضَرَبْتَهُ فِي سِهَامِ كُلِّ وَارِثٍ فَيَكُونَ ذَلِكَ مَبْلَغَ حَقِّهِ مِنْهَا.

Pertama: Engkau membagi jumlah harta warisan dengan bagian farīḍah; dari hasil pembagian tersebut, setiap bagian dikalikan dengan bagian masing-masing ahli waris, maka itulah jumlah haknya dari harta tersebut.

مِثَالُهُ: زَوْجٌ، وَأَبَوَانِ، وَبِنْتَانِ، وَالتَّرِكَةُ خَمْسُونَ دِينَارًا فَالْفَرِيضَةُ تصح مع عَوْلِهَا بِالرُّبُعِ مِنْ خَمْسَةَ عَشَرَ سَهْمًا، فَتُقَسِّمُ الخمسين عليها يخرج لكل منهم سَهْمٌ مِنْ سِهَامِهَا ثَلَاثَةٌ وَثُلُثٌ، فَتَضْرِبُ سِهَامَ كُلِّ وَارِثٍ فِي ثَلَاثَةٍ وَثُلُثٍ فَلِلزَّوْجِ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ فِي ثَلَاثَةٍ وَثُلُثٍ تَكُنْ عَشَرَةً، وَهُوَ حَقُّهُ مِنَ التَّرِكَةِ، وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْأَبَوَيْنِ سَهْمَانِ فِي ثَلَاثَةٍ وَثُلُثٍ تَكُنْ سِتَّةً وَثَلَاثِينَ، وَهُوَ حَقُّ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَهَذَا وَجْهٌ.

Contohnya: Seorang suami, kedua orang tua, dua orang anak perempuan, dan harta warisan sebanyak lima puluh dinar. Maka pembagian warisan ini sah dengan adanya ‘aul (penambahan bagian) menjadi seperempat dari lima belas saham. Lalu, lima puluh dinar tersebut dibagi berdasarkan saham-saham tersebut, sehingga setiap satu saham bernilai tiga dan sepertiga. Kemudian, kalikan saham masing-masing ahli waris dengan tiga dan sepertiga. Untuk suami, tiga saham dikali tiga dan sepertiga menjadi sepuluh, itulah haknya dari harta warisan. Untuk masing-masing dari kedua orang tua, dua saham dikali tiga dan sepertiga menjadi enam dan dua pertiga, itulah hak masing-masing dari mereka. Inilah satu cara.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ تَضْرِبَ سِهَامَ كُلِّ وَارِثٍ فِي عَدَدِ التَّرِكَةِ فَمَا اجْتَمَعَ قَسَمْتَهُ عَلَى سِهَامِ الْفَرِيضَةِ فَمَا خَرَجَ بِالْقَسْمِ فَهُوَ نَصِيبُهُ، مِثَالُهُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ: أَنْ تَأْخُذَ سِهَامَ الزَّوْجِ وَهِيَ ثَلَاثَةٌ فَتَضْرِبُهَا فِي عَدَدِ التَّرِكَةِ وَهُوَ خَمْسُونَ تَكُنْ مِائَةً وَخَمْسِينَ، ثُمَّ تُقَسِّمُهَا عَلَى سِهَامِ الْفَرِيضَةِ وَهِيَ خَمْسَةَ عَشَرَ تَكُنْ عشرة، وهي حَقُّ الزَّوْجِ، ثُمَّ تَضْرِبُ سِهَامَ كُلِّ وَاحِدٍ من الْأَبَوَيْنِ وَهِيَ سَهْمَانِ فِي الْخَمْسِينَ تَكُنْ مِائَةً، ثُمَّ تُقَسِّمُهَا عَلَى الْخَمْسَةَ عَشَرَ تَكُنْ سِتَّةً وَثَلَاثِينَ، ثُمَّ تَضْرِبُ سِهَامَ كُلِّ بِنْتٍ وَهِيَ أَرْبَعَةٌ فِي الْخَمْسِينَ تَكُنْ مِائَتَيْنِ، ثُمَّ تُقَسِّمُهَا على الخمسة عشر يكن ثلاثة عشر وثلثا فهذا وجه ثاني.

Cara kedua: Kalikan saham masing-masing ahli waris dengan jumlah harta warisan, lalu hasilnya dibagi dengan jumlah saham warisan. Hasil pembagian itulah bagian masing-masing. Contohnya dalam kasus ini: Ambil saham suami, yaitu tiga, kalikan dengan jumlah harta warisan, yaitu lima puluh, hasilnya seratus lima puluh. Kemudian, bagi dengan jumlah saham warisan, yaitu lima belas, hasilnya sepuluh, itulah hak suami. Lalu, kalikan saham masing-masing dari kedua orang tua, yaitu dua, dengan lima puluh, hasilnya seratus. Kemudian, bagi dengan lima belas, hasilnya enam dan dua pertiga. Selanjutnya, kalikan saham masing-masing anak perempuan, yaitu empat, dengan lima puluh, hasilnya dua ratus. Kemudian, bagi dengan lima belas, hasilnya tiga belas dan sepertiga. Inilah cara kedua.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنْ تَنْسُبَ سِهَامَ كُلِّ وَارِثٍ مِنْ عَدَدِ سِهَامِ الْفَرِيضَةِ فَمَا خَرَجَ بِالنِّسْبَةِ جَعَلْتَهُ لَهُ مِنْ عَدَدِ التَّرِكَةِ.

Cara ketiga: Persentasekan saham masing-masing ahli waris terhadap jumlah saham warisan, lalu hasil persentase itu diberikan kepadanya dari jumlah harta warisan.

مِثَالُهُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ: أَنْ تَنْسُبَ سِهَامَ الزَّوْجِ مِنْ سِهَامِ الْفَرِيضَةِ وَهِيَ ثَلَاثَةٌ مِنْ خَمْسَةَ عَشَرَ تكن خمسها، فَأعْطِهِ بِهِ خُمُسَ التَّرِكَةِ وَهُوَ عَشَرَةٌ، وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْأَبَوَيْنِ سَهْمَانِ هُمَا ثُلُثَا خُمُسِهَا فَتُعْطِيهِ ثُلْثَيْ خُمُسِ التَّرِكَةِ وَهُوَ سِتَّةٌ وَثُلُثَانِ، وَلِكُلِّ بِنْتٍ أَرْبَعَةٌ هِيَ خُمُسٌ وَثُلُثُ خُمُسٍ فَتُعْطِيهَا خُمُسَ التَّرِكَةِ وَثُلُثَ خُمُسِهَا تَكُنْ ثَلَاثَةَ عَشَرَ وَثُلُثًا، فَهَذَا وَجْهٌ ثَالِثٌ.

Contohnya dalam kasus ini: Persentasekan saham suami terhadap jumlah saham warisan, yaitu tiga dari lima belas, hasilnya seperlima. Maka berikan kepadanya seperlima dari harta warisan, yaitu sepuluh. Untuk masing-masing dari kedua orang tua, dua saham, yaitu dua pertiga dari seperlima, maka berikan kepadanya dua pertiga dari seperlima harta warisan, yaitu enam dan dua pertiga. Untuk masing-masing anak perempuan, empat saham, yaitu seperlima dan sepertiga dari seperlima, maka berikan kepadanya seperlima harta warisan dan sepertiga dari seperlima, yaitu tiga belas dan sepertiga. Inilah cara ketiga.

وَالْوَجْهُ الرَّابِعُ: أن توافق بَيْنَ سِهَامِ الْفَرِيضَةِ وَعَدَدِ التَّرِكَةِ ثُمَّ تَضْرِبَ سهام كل وارث في وفق التركة، ويقسم مَا اجْتَمَعَ عَلَى وَفْقِ الْفَرِيضَةِ فَمَا خَرَجَ فَهُوَ حَقُّهُ.

Cara keempat: Samakan antara jumlah saham warisan dan jumlah harta warisan, lalu kalikan saham masing-masing ahli waris dengan angka penyesuaian harta warisan, kemudian hasilnya dibagi dengan angka penyesuaian saham warisan. Hasil pembagian itulah haknya.

مِثَالُهُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ سِهَامَ هَذِهِ الْفَرِيضَةِ فِيهَا وَهِيَ خَمْسَةَ عَشَرَ تُوَافِقُ عَدَدَ التَّرِكَةِ الَّتِي هِيَ خَمْسُونَ بِالْأَخْمَاسِ فَارْدُدْ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِلَى وَفْقه تَجِدُ الْخَمْسِينَ تَرْجِعُ بِالْأَخْمَاسِ إِلَى عَشَرَةٍ، وَالْخَمْسَةَ عَشَرَ إِلَى ثَلَاثَةٍ، فَإِذَا أَرَدْتَ أَنْ تُقَسِّمَ لِلزَّوْجِ فَاضْرِبْ عَدَدَ سِهَامِهِ وَهِيَ ثَلَاثَةٌ فِي وَفْقِ التَّرِكَةِ وَهُوَ عَشَرَةٌ تَكُنْ ثَلَاثِينَ، ثُمَّ اقْسِمِ الثَّلَاثِينَ عَلَى وَفْقِ الْفَرِيضَةِ وَهُوَ ثَلَاثَةٌ يَكُنِ الْخَارِجُ بِالْقَسْمِ عَشَرَةً وَهُوَ حَقُّ الزَّوْجِ، وَلِكُلِّ واحد من الأبوين سهمان تَضْرِب فِي وَفْقِ التَّرِكَةِ وَهِيَ عَشَرَةٌ تَكُنْ عشرين، ثم يقسم عَلَى وَفْقِ الْفَرِيضَةِ وَهُوَ ثَلَاثَةٌ تَكُنْ سِتَّةً وَثَلَاثِينَ وَهُوَ حَقُّ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْأَبَوَيْنِ، وَلِكُلِّ بِنْتٍ أَرْبَعَةٌ تُضْرَبُ فِي وَفْقِ التَّرِكَةِ وَهُوَ عَشَرَةٌ تَكُنْ أَرْبَعِينَ ثُمَّ تُقَسَّمُ عَلَى وَفْقِ الْفَرِيضَةِ وَهُوَ ثَلَاثَةٌ تَكُنْ ثَلَاثَةَ عَشَرَ وَثُلُثًا؛ وَهُوَ حَقُّ كُلِّ بِنْتٍ فَهَذَا وَجْهٌ رَابِعٌ، وَقَدْ لَا تَجْتَمِعُ هَذِهِ الْأَوْجُهُ الْأَرْبَعَةُ فِي كُلِّ تَرِكَةٍ؛ لِأَنَّهُ قَدْ لَا تُوَافِقُ سهام الْفَرِيضَة لِعَدَدِ التَّرِكَةِ فَيَسْقُطُ الْوَجْهُ الرَّابِعُ، وَقَدْ لا تتناسب سهام كل وارث لسهام الفريضة فيسقط الْوَجْهُ الثَّالِثُ.

Contohnya dalam masalah ini adalah bahwa bagian-bagian warisan pada kasus ini, yaitu lima belas, sesuai dengan jumlah harta warisan yang lima puluh dengan perhitungan per lima. Kembalikan masing-masing dari keduanya kepada kesesuaiannya, maka kamu akan mendapati lima puluh kembali dengan per lima menjadi sepuluh, dan lima belas menjadi tiga. Jika kamu ingin membagikan kepada suami, maka kalikan jumlah bagiannya, yaitu tiga, dengan kesesuaian harta warisan, yaitu sepuluh, maka hasilnya tiga puluh. Kemudian bagilah tiga puluh itu dengan kesesuaian bagian warisan, yaitu tiga, maka hasilnya sepuluh, dan itulah hak suami. Untuk masing-masing orang tua dua bagian, kalikan dengan kesesuaian harta warisan, yaitu sepuluh, maka hasilnya dua puluh. Kemudian dibagi dengan kesesuaian bagian warisan, yaitu tiga, maka hasilnya enam dan dua pertiga, dan itulah hak masing-masing orang tua. Untuk setiap anak perempuan empat bagian, dikalikan dengan kesesuaian harta warisan, yaitu sepuluh, maka hasilnya empat puluh. Kemudian dibagi dengan kesesuaian bagian warisan, yaitu tiga, maka hasilnya tiga belas dan sepertiga; itulah hak masing-masing anak perempuan. Ini adalah cara keempat, dan tidak selalu keempat cara ini berkumpul dalam setiap harta warisan; karena bisa jadi bagian-bagian warisan tidak sesuai dengan jumlah harta warisan sehingga cara keempat gugur, dan bisa jadi bagian masing-masing ahli waris tidak sebanding dengan bagian warisan sehingga cara ketiga gugur.

وَأَمَّا الْوَجْهَانِ الْأَوَّلَانِ فَيُمْكِنُ الْعَمَلُ بِهِمَا فِي كُلِّ تَرِكَةٍ، فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ التَّرِكَةُ عَقَارًا أَوْ ضَيَاعًا فَلَكَ فِي قِسْمَةِ ذَلِكَ أَحَدُ وَجْهَيْنِ إِمَّا أَنْ تَجْعَلَهُ بَيْنَ الْوَرَثَةِ عَلَى سِهَامِ الْفَرِيضَةِ فَتَسْتَغْنِي عَنْ ضَرْبٍ وقسم وَهَذَا أَوْلَى الْوَجْهَيْنِ فِيمَا قَلَّتْ سِهَامُ الْفَرِيضَةِ فِيهِ، وَإِمَّا أَنْ تَجْرِيَ السِّهَامُ عَلَى أَجْزَاءِ الدراهم وذلك أولى من أجزاء الدنانير لِاتِّفَاقِ النَّاسِ عَلَى قَرَارِيطِهِ وَحَبَّاتِهِ، فَتُقَسَّمُ سِهَامُ الْفَرِيضَةِ عَلَى دَوَانِيقِ الدِّرْهَمِ وَهِيَ سِتَّةٌ، ثُمَّ عَلَى قَرَارِيطِهِ وَهِيَ أَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ، ثُمَّ عَلَى حَبَّاتِهِ وَهِيَ ثَمَانِيَةٌ وَأَرْبَعُونَ، ثُمَّ عَلَى أَجْزَاءِ حَبَّاتِهِ بِمَا تَجَزَّأَتْ وَهَذَا أَوْلَى الْوَجْهَيْنِ فِيمَا كَثُرَتْ سِهَامُ الْفَرِيضَةِ فِيهِ عِنْدَ الْمُنَاسَخَاتِ فَإِذَا كَانَتِ الْفَرِيضَةُ أَلْفًا وَمِائَتَيْ سَهْمٍ كَانَ النِّصْفُ ست مائة سهم، والثلث أربع مائة سهم، والربع ثلثمائة سَهْمٍ وَالسُّدُسُ مِائَتَيْ سَهْمٍ، وَنِصْفُ السُّدُسِ مِائَةَ سَهْمٍ وَالْقِيرَاطُ خَمْسُونَ سَهْمًا، وَالْحَبَّةُ خَمْسَةٌ وَعِشْرُونَ سَهْمًا؛ لِأَنَّ قِيرَاطَ الدِّرْهَمِ حَبَّتَانِ ثُمَّ تَتَجَزَّأُ الْخَمْسَةُ وَالْعِشْرُونَ عَلَى الْحَبَّةِ فَالْوَاحِدُ خُمُسُ خُمُسِهَا ثم تتضاعف إلى أن تستكملها، فَإِذَا عَرَفْتَ ذَلِكَ نَظَرْتَ إِلَى سِهَامِ الْوَاحِدِ مِنَ الْوَرَثَةِ وَقِسْطِهَا مِنْ أَجْزَاءِ الدِّرْهَمِ فَأَوْجَبْتَهُ له وبالله التوفيق.

Adapun dua cara yang pertama, keduanya dapat diterapkan pada setiap harta warisan. Jika harta warisan berupa tanah atau properti, maka dalam pembagiannya kamu memiliki dua pilihan: pertama, membaginya di antara para ahli waris berdasarkan bagian warisan sehingga tidak perlu melakukan perkalian dan pembagian, dan ini adalah pilihan yang lebih utama jika bagian warisan sedikit; atau kedua, membagi bagian-bagian warisan ke dalam pecahan-pecahan dirham, dan ini lebih utama daripada pecahan dinar karena kesepakatan orang-orang atas satuan qirāṭ dan habbah-nya. Maka bagian-bagian warisan dibagi ke dalam dawāniq dirham, yaitu enam, kemudian ke dalam qirāṭ-nya, yaitu dua puluh empat, lalu ke dalam habbah-nya, yaitu empat puluh delapan, kemudian ke dalam pecahan habbah sesuai yang diperlukan. Ini adalah pilihan yang lebih utama jika bagian warisan banyak, seperti pada kasus munāsakhāt. Jika bagian warisan seribu dua ratus bagian, maka setengahnya enam ratus bagian, sepertiganya empat ratus bagian, seperempatnya tiga ratus bagian, seperenamnya dua ratus bagian, setengah dari seperenamnya seratus bagian, satu qirāṭ lima puluh bagian, dan satu habbah dua puluh lima bagian; karena satu qirāṭ dirham adalah dua habbah, kemudian dua puluh lima dibagi ke dalam habbah, maka satu bagian adalah seperlima dari seperlimanya, lalu dilipatgandakan hingga genap. Jika kamu sudah memahami hal ini, lihatlah bagian masing-masing ahli waris dan porsinya dari pecahan dirham, lalu tetapkanlah untuknya. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

باب ميراث المرتد

Bab Warisan Orang Murtad

(قال) وميراث المرتد لبيت مال المسلمين ولا يرث المسلم الكافر واحتج الشافعي في المرتد بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ ” واحتج على من ورث ورثته المسلمين ماله ولم يورثه منهم فقال هل رأيت أحدا لا يرث ولده إلا أن يكون قاتلا ويرثه ولده وإنما أثبت الله الْمَوَارِيثَ لِلْأَبْنَاءِ مِنَ الْآبَاءِ حَيْثُ أَثْبَتَ الْمَوَارِيثَ للأباء من الأبناء “.

(Dikatakan) Warisan orang murtad menjadi milik Baitul Māl kaum Muslimin dan seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir. Asy-Syāfi‘ī berdalil dalam hal orang murtad dengan sabda Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-: “Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang Muslim.” Ia juga berdalil terhadap orang yang membolehkan ahli waris Muslim mewarisi hartanya, namun tidak membolehkan ia mewarisi dari mereka, dengan berkata: “Pernahkah kamu melihat seseorang yang tidak mewarisi anaknya kecuali jika ia membunuhnya, namun anaknya mewarisi dirinya? Padahal Allah menetapkan warisan bagi anak-anak dari orang tua sebagaimana Allah menetapkan warisan bagi orang tua dari anak-anak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: لَا اخْتِلَافَ بَيْنَهُمْ أَنَّ الْمُرْتَدَّ لَا يَرِثُ، وَاخْتَلَفُوا هَلْ يُورَثُ أَمْ لَا عَلَى سِتَّةِ مَذَاهِبَ.

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: tidak ada perbedaan di antara mereka bahwa orang murtad tidak mewarisi, namun mereka berbeda pendapat apakah ia diwarisi atau tidak, dengan enam pendapat.

أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْمُرْتَدَّ لَا يُورَثُ وَيَكُونُ جَمِيعُ مَالِهِ فَيْئًا لِبَيْتِ مَالِ الْمُسْلِمِينَ، وَسَوَاءٌ الزِّنْدِيقُ وَغَيْرُهُ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ أَبِي ليلى وأبي ثَوْرٍ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ.

Salah satunya, yaitu mazhab Asy-Syāfi‘ī, bahwa orang murtad tidak diwarisi dan seluruh hartanya menjadi fai’ bagi Baitul Māl kaum Muslimin, baik ia zindiq maupun bukan. Pendapat ini juga dikatakan oleh Ibnu Abī Laila, Abū Tsaūr, dan Ahmad bin Hanbal.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ أَنَّ مَالَ الْمُرْتَدِّ يَكُونُ فَيْئًا في بيت مال المسلمين إِلَّا الزِّنْدِيقَ فَإِنَّهُ يَكُونُ لِوَرَثَتِهِ الْمُسْلِمِينَ، أَوْ يقصد بردته إزواء وَرَثَتِهِ فِي مَرَضِ مَوْتِهِ فَيَكُونُ مَالُهُ مِيرَاثًا لَهُمْ.

Pendapat kedua, yaitu mazhab Mālik, menyatakan bahwa harta orang murtad menjadi fai’ (harta rampasan) yang dimasukkan ke dalam Baitul Māl kaum Muslimin, kecuali untuk zindiq, maka hartanya menjadi milik ahli warisnya yang Muslim, atau jika ia murtad dengan maksud untuk menghalangi ahli warisnya dari mendapatkan warisan dalam keadaan sakit yang menyebabkan kematiannya, maka hartanya menjadi warisan bagi mereka.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ أَنَّ جَمِيعَ مَالِهِ الَّذِي كَسَبَهُ فِي إِسْلَامِهِ وَبَعْدَ رِدَّتِهِ يَكُونُ مَوْرُوثًا لِوَرَثَتِهِ الْمُسْلِمِينَ، وَهُوَ قَوْلُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَالْحَسَنِ، وَعَطَاءٍ.

Pendapat ketiga, yaitu mazhab Abū Yūsuf dan Muhammad, menyatakan bahwa seluruh harta yang diperolehnya selama masa Islamnya maupun setelah kemurtadannya menjadi warisan bagi ahli warisnya yang Muslim. Ini juga merupakan pendapat ‘Alī bin Abī Ṭālib, ‘Abdullāh bin Mas‘ūd, Sa‘īd bin al-Musayyib, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz, al-Hasan, dan ‘Aṭā’.

وَالْمَذْهَبُ الرَّابِعُ: وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّ مَا كَسَبَهُ قَبْلَ رِدَّتِهِ يَكُونُ لِوَرَثَتِهِ الْمُسْلِمِينَ وَمَا كَسَبَهُ بَعْدَ رِدَّتِهِ يَكُونُ فَيْئًا لِبَيْتِ الْمَالِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْمُرْتَدُّ امْرَأَةً فَيَكُونُ جَمِيعُهُ مَوْرُوثًا، وَبِهِ قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، وزفر بن الهذيل.

Pendapat keempat, yaitu mazhab Abū Ḥanīfah, menyatakan bahwa harta yang diperolehnya sebelum murtad menjadi milik ahli warisnya yang Muslim, sedangkan harta yang diperolehnya setelah murtad menjadi fai’ untuk Baitul Māl, kecuali jika orang yang murtad adalah perempuan, maka seluruh hartanya menjadi warisan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Sufyān ats-Tsaurī dan Zufar bin al-Hudhayl.

وَالْمَذْهَبُ الْخَامِسُ: وَهُوَ مَذْهَبُ دَاوُدَ بْنِ عَلِيٍّ أَنَّ مَالَهُ لِوَرَثَتِهِ الَّذِينَ ارْتَدَّ إِلَيْهِمْ دُونَ وَرَثَتِهِ الْمُسْلِمِينَ.

Pendapat kelima, yaitu mazhab Dāwūd bin ‘Alī, menyatakan bahwa hartanya menjadi milik ahli waris yang ia murtad kepada agama mereka, bukan ahli warisnya yang Muslim.

وَالْمَذْهَبُ السَّادِسُ: وَهُوَ مَذْهَبُ عَلْقَمَةَ وَقَتَادَةَ وَسَعِيدِ بْنِ أَبِي عروبة وأن مَالَهُ يَنْتَقِلُ إِلَى أَهْلِ الدِّينِ الَّذِينَ ارْتَدَّ إِلَيْهِمْ. وَاسْتَدَلَّ مَنْ جَعَلَ مَالَهُ مَوْرُوثًا عَلَى اختلاف مذاهبهم بقوله تعالى: {وأولوا الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ} [الأنفال: 75] وَبِمَا رُوِيَ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أُتِيَ بِالْمُسْتَوْرِدِ الْعِجْلِيِّ وَقَدِ ارْتَدَّ فَعَرَضَ عَلَيْهِ الْإِسْلَامَ فَأَبَى أَنْ يُسْلِمَ فَضَرَبَ عُنُقَهُ وَجَعَلَ مِيرَاثَهُ لِوَرَثَتِهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ؛ وَبِمَا رُوِيَ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: بَعَثَنِي أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عِنْدَ رُجُوعِهِ إِلَى أَهْلِ الرِّدَّةِ أَنْ أُقَسِّمَ أَمْوَالَهُمْ بَيْنَ وَرَثَتِهِمُ الْمُسْلِمِينَ، قَالُوا وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَا يَرِثُهُ وَارِثُهُ الْمُشْرِكُ وَرِثَهُ وَارِثُهُ الْمُسْلِمُ كَالْمُسْلِمِ طَرْدًا وَكَالْمُشْرِكِ عَكْسًا، قَالُوا وَلِأَنَّهُ مَالٌ كَسَبَهُ مُسْلِمٌ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يكون فيئا كمال المسلمين، قَالُوا وَلِأَنَّهُ مَالٌ كَسَبَهُ فِي حَالِ حَقْنِ دَمِهِ فَلَمْ يَصِرْ فَيْئًا بِإِبَاحَةِ دَمِهِ كَمَالِ الْقَاتِلِ وَالزَّانِي الْمُحْصَنِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ وَرَثَتَهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ قَدْ سَاوَوْا بِإِسْلَامِهِمْ جَمِيعَ الْمُسْلِمِينَ وَفَضَّلُوهُمْ بِالرَّحِمِ وَالتَّعْصِيبِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونُوا أَوْلَى مِنْهُمْ لقوة شبههم، وَاسْتَدَلَّ مَنْ جَعَلَ مَالَهُ لِأَهْلِ الدِّينِ الَّذِي ارتد إليه بقول تَعَالَى: {وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ} [المائدة: 51] .

Pendapat keenam, yaitu mazhab ‘Alqamah, Qatādah, dan Sa‘īd bin Abī ‘Arūbah, menyatakan bahwa hartanya berpindah kepada pemeluk agama yang ia murtad kepadanya. Adapun dalil bagi yang berpendapat bahwa hartanya menjadi warisan (bagi ahli waris Muslim) berdasarkan perbedaan mazhab mereka adalah firman Allah Ta‘ālā: {Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi)} [al-Anfāl: 75], serta riwayat bahwa ‘Alī bin Abī Ṭālib ‘alaihis salām didatangkan kepadanya al-Mustawrid al-‘Ijli yang telah murtad, lalu ia menawarkan Islam kepadanya, namun ia menolak masuk Islam, maka ‘Alī memenggal lehernya dan menjadikan hartanya sebagai warisan bagi ahli warisnya dari kalangan Muslim; serta riwayat dari Zaid bin Tsābit ra. yang berkata: Abū Bakar ra. mengutusku ketika kembali dari memerangi kaum murtad untuk membagikan harta mereka di antara ahli waris mereka yang Muslim. Mereka (ulama) berkata: Karena setiap orang yang tidak diwarisi oleh ahli warisnya yang musyrik, maka diwarisi oleh ahli warisnya yang Muslim, sebagaimana halnya seorang Muslim secara langsung, dan seorang musyrik secara kebalikan. Mereka juga berkata: Karena itu adalah harta yang diperoleh oleh seorang Muslim, maka tidak boleh menjadi fai’ seperti harta kaum Muslimin lainnya. Mereka juga berkata: Karena itu adalah harta yang diperoleh dalam keadaan darahnya masih terjaga (sebagai Muslim), maka tidak menjadi fai’ hanya karena darahnya menjadi halal (karena murtad), sebagaimana harta pembunuh dan pezina muḥṣan. Mereka juga berkata: Karena ahli warisnya dari kalangan Muslim telah menyamai seluruh kaum Muslimin dengan keislaman mereka dan lebih utama karena hubungan darah dan ‘aṣabah, maka mereka lebih berhak karena kemiripan yang kuat. Adapun dalil bagi yang berpendapat bahwa hartanya diberikan kepada pemeluk agama yang ia murtad kepadanya adalah firman Allah Ta‘ālā: {Barang siapa di antara kamu mengambil mereka sebagai wali, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka} [al-Mā’idah: 51].

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ الْمُرْتَدَّ لَا يُورَثُ وَيَكُونُ مَالُهُ فَيْئًا رِوَايَةُ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ ” فإن منعوا من إطلاق اسْمِ الْكُفْرِ عَلَى الْمُرْتَدِّ دَلَّلْنَا عَلَيْهِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا} [النساء: 137] وقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لا يحل مال امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ كُفْرٌ بَعْدَ إِيمَانٍ ” وَرَوَى مُعَاوِيَةُ بْنُ قُرَّةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعَثَ أَبَاهُ جَدَّ مُعَاوِيَةَ إِلَى رَجُلٍ عَرَّسَ بامرأة أبيه فأمرني بضرب عنقه وخمس مَاله فَجَعَلَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – باستحلال ما نص الله تعالى عَلَى تَحْرِيمِهِ مُرْتَدًّا، وَجَعَلَ مَالَهُ بِتَخْمِيسِهِ إِيَّاهُ فَيْئًا، وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أَيُّمَا قَرْيَةٍ عَصَتِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فإن خمسها لله وللرسول ثُمَّ هِيَ لَكُمْ ” وَإِنَّمَا أَشَارَ إِلَى مَنْ حَدَثَ عِصْيَانُهَا بِالْكُفْرِ بَعْدَ تَقَدُّمِ طَاعَتِهَا بِالْإِيمَانِ؛ لِأَنَّ حُكْمَ مَنْ لَمْ يَزَلْ كَافِرًا مُسْتَفَادٌ بِنَصِّ الْكِتَابِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَمْ يَرِثْ بحال لم يورث كالكاتب؛ ولأنه كُلّ مَنْ لَمْ يُورَثْ عَنْهُ مَا مَلَكَهُ فِي إِبَاحَةِ دَمِهِ لَمْ يُورَثْ عَنْهُ مَا ملك فِي حَقْنِ دَمِهِ كَالذِّمِّيِّ طَرْدًا وَالْقَاتِلِ عَكْسًا، وَلِأَنَّ كُلَّ مَالٍ مَلَكَهُ بِعَوْدِهِ إِلَى الْإِسْلَامِ لَمْ يُورَثْ عَنْهُ بِقَتْلِهِ عَلَى الرِّدَّةِ قِيَاسًا عَلَى مَا كَسَبَهُ بَعْدَ الرِّدَّةِ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَإِنَّهُ قَالَ {بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ} [الأنفال: 75] فَلَمَّا لَمْ يَكُنِ الْمُرْتَدُّ أَوْلَى بِالْمُسْلِمِ يقطع الْمُوَالَاة بِالرِّدَّةِ لَمْ يَصِرِ الْمُسْلِمُ أَوْلَى بِالْمُرْتَدِّ لِهَذَا الْمَعْنَى، وَأَمَّا دَفْعُ عَلِيٍّ رِضْوَانُ اللَّهِ عليه مال المستورد إلى ورثته إنما كان لما رأى الْمَصْلَحَة بِاجْتِهَادِهِ وَهُوَ إِمَامٌ يَمْلِكُ التَّصَرُّفَ فِي أَمْوَالِ بَيْتِ الْمَالِ بِرَأْيِهِ فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ ذلك تمليكا منه ابتداء عَطِيَّة لَا عَلَى جِهَةِ الْإِرْثِ.

Dalil bahwa orang murtad tidak diwarisi dan hartanya menjadi fai’ adalah riwayat Usamah bin Zaid bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang Muslim.” Jika mereka menolak penggunaan istilah “kafir” untuk orang murtad, maka kami berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir} (an-Nisa’: 137), dan sabda Nabi ﷺ: “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan salah satu dari tiga hal: kufur setelah iman…” Dan diriwayatkan dari Mu‘awiyah bin Qurrah dari ayahnya bahwa Nabi ﷺ mengutus ayahnya, kakek Mu‘awiyah, kepada seorang laki-laki yang menikahi istri ayahnya, lalu beliau memerintahkannya untuk memenggal lehernya dan mengambil seperlima hartanya. Maka Nabi ﷺ menjadikan orang itu sebagai murtad karena menghalalkan sesuatu yang telah Allah haramkan secara tegas, dan menjadikan hartanya sebagai fai’ dengan mengambil seperlimanya. Diriwayatkan pula dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Desa mana pun yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, maka seperlimanya untuk Allah dan Rasul-Nya, kemudian sisanya untuk kalian.” Yang dimaksud adalah desa yang kedurhakaannya berupa kekufuran setelah sebelumnya taat dengan keimanan; karena hukum bagi orang yang sejak awal kafir sudah jelas berdasarkan nash al-Kitab. Dan karena setiap orang yang tidak diwarisi dalam keadaan apa pun, maka ia tidak diwarisi seperti mukatab; dan karena setiap orang yang tidak diwarisi hartanya ketika darahnya halal, maka tidak diwarisi pula hartanya ketika darahnya terjaga, seperti dzimmi secara qiyas, dan pembunuh sebaliknya. Dan karena setiap harta yang dimiliki seseorang karena ia kembali kepada Islam tidak diwarisi darinya jika ia dibunuh karena riddah, qiyas dengan apa yang ia peroleh setelah murtad. Adapun jawaban terhadap ayat {sebagian mereka lebih berhak terhadap sebagian yang lain} (al-Anfal: 75), maka ketika orang murtad tidak lebih berhak atas Muslim karena murtad memutuskan hubungan wala’, maka Muslim pun tidak lebih berhak atas orang murtad karena alasan ini. Adapun tindakan Ali radhiyallahu ‘anhu yang menyerahkan harta al-Mustawrid kepada ahli warisnya, itu dilakukan karena beliau melihat adanya maslahat berdasarkan ijtihadnya, dan beliau adalah imam yang berwenang mengatur harta Baitul Mal menurut pendapatnya, sehingga boleh jadi itu merupakan pemberian dari beliau sejak awal sebagai hibah, bukan sebagai warisan.

وَأَمَّا تَوْرِيثُ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ بِأَمْرِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَدَفْعِ أَمْوَالِ الْمُرْتَدِّينَ إِلَى ورثتهم: فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ عَلَى مِثْلِ مَا فَعَلَهُ علي عليه السلام فِي مَالِ الْمُسْتَوْرِدِ عَلَى طَرِيقِ الْمَصْلَحَةِ، أَوْ بحمل على المرتدين عن بدل الزكاة حين لم يحكم بكفرهم بالمتع لِتَأَوُّلِهِمْ وَمَقَامِهِمْ عَلَى الْإِسْلَامِ وَاشْتِبَاهِ الْأَمْرِ قَبْلَ الْإِجْمَاعِ.

Adapun pewarisan oleh Zaid bin Tsabit atas perintah Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dan penyerahan harta orang-orang murtad kepada ahli waris mereka, maka boleh jadi itu seperti yang dilakukan Ali radhiyallahu ‘anhu terhadap harta al-Mustawrid, yaitu atas dasar kemaslahatan, atau karena mereka menganggap para murtadin itu hanya menolak membayar zakat dan belum diputuskan sebagai kafir karena adanya penakwilan dan tetapnya mereka dalam Islam serta belum jelasnya perkara sebelum adanya ijmā‘.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمُسْلِمِ بِعِلَّةِ أَنَّهُ لَا يَرِثُهُ الْمُشْرِكُ: فَمُنْتَقِضٌ بِالْمُكَاتَبِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْمُسْلِمِ بَقَاءُ الْوِلَايَةِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمُسْلِمِينَ.

Adapun qiyās mereka terhadap Muslim dengan alasan bahwa orang musyrik tidak mewarisinya, maka itu tertolak dengan kasus mukatab. Selain itu, makna pada Muslim adalah tetapnya hubungan wala’ antara dia dan kaum Muslimin.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْقَاتِلِ فَهُوَ دَلِيلُنَا؛ لِأَنَّهُ لما كان ما ملك في إباحة دمه موروثا كان ما ملك فِي حَقْنِ دَمِهِ مَوْرُوثًا، وَلَمَّا كَانَ الْمُرْتَدُّ عنه ما ملك فِي إِبَاحَةِ دَمِهِ لَمْ يُورَثْ عَنْهُ مَا ملك فِي حَقْنِ دَمِهِ وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ وَرَثَتَهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ قَدْ جَمَعُوا الْإِسْلَامَ وَالْقَرَابَةَ فَكَانُوا أَوْلَى مِنْ بَيْتِ الْمَالِ الْمُنْفَرِدِ بِالْإِسْلَامِ فَفَاسِدٌ بِالذِّمِّيِّ لَا يَرِثُهُ الْمُسْلِمُ وَإِنْ كَانَ بَيْتُ الْمَالِ أَوْلَى بِمَالِهِ ثُمَّ لَيْسَ يَصِيرُ مَالُ الْمُرْتَدِّ إِلَى بَيْتِ الْمَالِ مِيرَاثًا فَيُجْعَلَ وَرَثَتُهُ أَوْلَى وَإِنَّمَا يَصِيرُ إِلَيْهِ فَيْئًا كَمَا أَنَّهُمْ يَجْعَلُونَ مَا كَسَبَهُ بَعْدَ الرِّدَّةِ فَيْئًا وَلَا يَجْعَلُونَ وَرَثَتَهُ أَوْلَى بِهِ.

Adapun qiyās mereka terhadap pembunuh, maka itu justru menjadi dalil bagi kami; karena ketika harta yang dimiliki dalam keadaan darahnya halal dapat diwariskan, maka harta yang dimiliki dalam keadaan darahnya terjaga juga dapat diwariskan. Dan ketika orang murtad, harta yang dimilikinya dalam keadaan darahnya halal tidak diwariskan, maka harta yang dimilikinya dalam keadaan darahnya terjaga juga tidak diwariskan. Adapun dalil mereka bahwa ahli warisnya dari kalangan Muslimin telah mengumpulkan Islam dan kekerabatan sehingga mereka lebih berhak daripada Baitul Mal yang hanya memiliki unsur Islam, maka itu rusak dengan kasus dzimmi, di mana Muslim tidak mewarisinya meskipun Baitul Mal lebih berhak atas hartanya. Selain itu, harta orang murtad tidak berpindah ke Baitul Mal sebagai warisan sehingga ahli warisnya lebih berhak, melainkan berpindah ke sana sebagai fai’, sebagaimana mereka juga menjadikan harta yang diperoleh setelah murtad sebagai fai’ dan tidak menjadikan ahli warisnya lebih berhak atasnya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أن ماله يصير فَيْئًا غَيْرَ مَوْرُوثٍ فَهُوَ مُقِرٌّ عَلَى مِلْكِهِ مَا لَمْ يَمُتْ أَوْ يُقْتَلْ سَوَاءٌ أَقَامَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ أَوْ لَحِقَ بِدَارِ الْحَرْبِ وَقَالَ أبو حنيفة إِذَا لَحِقَ الْمُرْتَدُّ بِدَارِ الْحَرْبِ قَسَّمَ الْحَاكِمُ مَالَهُ بَيْنَ وَرَثَتِهِ الْمُسْلِمِينَ وَأَعْتَقَ أُمَّهَاتِ أَوْلَادِهِ وَمُدَبَّرِيهِ وَقَضَى بِحُلُولِ دُيُونِهِ الْمُؤَجَّلَةِ فَإِنْ رَجَعَ مُسْلِمًا رَجَعَ بِمَا وَجَدَ من أعيان ماله على ورثته ولم يرجع بما استملكوه وَلَا يَرْجِعُ فِي عِتْقِ أُمَّهَاتِ أَوْلَادِهِ وَمُدَبِّرِيهِ اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ: ” أَنَّهُ كَتَبَ إِلَيْهِ فِي أَسِيرٍ تَنَصَّرَ في أرض الرُّومِ فَكَتَبَ إِنْ جَاءَ بِذَلِكَ الثَّبْتُ فَاقْسِمْ مَالَهُ بَيْنَ وَرَثَتِهِ “؛ وَلِأَنَّهُ بِالرِّدَّةِ قَدْ صَارَ غيره أملك بالتصرف فِي مَالِهِ فَجَرَى مَجْرَى الْمَوْتِ؛ وَلِأَنَّ مَا أَوْجَبَ زَوَالَ الْمِلْكِ أَوْجَبَ انْتِقَالَهُ كَالْمَوْتِ.

Apabila telah tetap bahwa hartanya menjadi fai’ yang tidak diwariskan, maka ia tetap diakui atas kepemilikannya selama belum meninggal atau dibunuh, baik ia tinggal di Dar al-Islam maupun pergi ke Dar al-Harb. Abu Hanifah berkata: Jika seorang murtad pergi ke Dar al-Harb, hakim membagikan hartanya kepada para ahli warisnya yang Muslim, memerdekakan ummahat awlad-nya dan mudabbir-nya, serta memutuskan jatuh tempo utang-utangnya yang masih tertunda. Jika ia kembali menjadi Muslim, maka ia berhak kembali atas harta yang masih ada pada ahli warisnya, namun tidak atas apa yang telah mereka miliki, dan ia tidak dapat kembali atas kemerdekaan ummahat awlad dan mudabbir-nya. Hal ini didasarkan pada riwayat dari Umar bin Abdul Aziz: “Bahwa ia pernah ditulis surat tentang seorang tawanan yang masuk Nasrani di negeri Romawi, maka ia menulis, ‘Jika hal itu telah terbukti, bagikan hartanya kepada ahli warisnya.’” Karena dengan riddah, orang lain menjadi lebih berhak untuk bertindak atas hartanya, sehingga kedudukannya seperti kematian; dan karena apa yang menyebabkan hilangnya kepemilikan juga menyebabkan perpindahan kepemilikan, sebagaimana kematian.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ كُلَّ مَنْ جَرَتْ عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْحَيَاةِ فِي غَيْرِ الْأَمْوَالِ قِيَاسًا جَرَتْ عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْحَيَاةِ فِي الْأَمْوَالِ قِيَاسًا عَلَى غَيْرِ الْمُرْتَدِّ وَلِأَنَّ الْمُرْتَدَّ لَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ مُعْتَبَرًا بِحَالِ الْمُسْلِمِ أَوْ بِحَالِ الْمُشْرِكِ وَلَيْسَ يحكم بموت واحد منهما في حياته وكذلك الْمُرْتَدُّ وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ الْمَيِّتَ مَوْرُوثًا وَالْحَيَّ وَارِثًا فَلَوْ جَازَ أَنْ يَصِيرَ الْحَيُّ مَوْرُوثًا لَجَازَ أَنْ يَصِيرَ الْمَيِّتُ وَارِثًا وَلِأَنَّ كل ما أَوْجَبَ إِبَاحَةَ الدَّمِ لَمْ يُحْكَمْ فِيهِ بِالْمَوْتِ مَعَ بَقَاءِ الْحَيَاةِ كَالْقَتْلِ وَلِأَنَّ حُدُوثَ الرِّدَّةِ لَا تُوجِبُ أَحْكَامَ الْمَوْتِ كَالْمُقِيمِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَدُخُولُ دَارِ الْحَرْبِ لَا يُوجِبُ ذَلِكَ كَالْمُسَافِرِ إِلَيْهَا فَأَمَّا الْأَثَرُ الْمَحْكِيُّ عَنْ عُمَرَ بن عبد العزيز فليس فيه أنه كَانَ مُسْلِمًا فَتَنَصَّرَ وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ لَجَازَ أَنْ يَكُونَ قَسَمَهُ بَيْنَهُمْ لِيَتَوَلَّوْا حِفْظَهُ إِلَى أَنْ يَتَبَيَّنَ أَمْرَهُ عَلَى أَنَّهُ مَذْهَبٌ لَهُ وليس يلزمنا قبوله.

Dalil kami adalah bahwa setiap orang yang berlaku atasnya hukum-hukum kehidupan dalam selain harta secara qiyās, maka berlaku pula atasnya hukum-hukum kehidupan dalam harta secara qiyās atas selain murtad. Dan karena murtad tidak lepas dari dua keadaan: dipandang seperti Muslim atau seperti musyrik, dan tidak dihukumi mati salah satu dari keduanya selama ia masih hidup, demikian pula murtad. Dan karena Allah Ta‘ala menjadikan orang mati sebagai yang diwarisi dan yang hidup sebagai pewaris. Maka jika boleh yang hidup menjadi yang diwarisi, tentu boleh pula yang mati menjadi pewaris. Dan karena segala sesuatu yang menyebabkan halal darah tidak dihukumi mati selama masih hidup, seperti pembunuhan. Dan karena terjadinya riddah tidak mewajibkan hukum-hukum kematian, seperti orang yang menetap di Dar al-Islam, dan masuk ke Dar al-Harb tidak mewajibkan hal itu, seperti musafir ke sana. Adapun atsar yang dinukil dari Umar bin Abdul Aziz, tidak disebutkan di dalamnya bahwa ia adalah seorang Muslim lalu menjadi Nasrani. Jika memang demikian, mungkin saja pembagian hartanya di antara mereka hanya untuk menjaga harta itu sampai jelas keadaannya, dan itu adalah pendapat beliau, dan kami tidak wajib menerimanya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ انْتِقَالِ مِلْكِهِ وَتَصَرُّفِ غَيْرِهِ فيه مع أن في انتقال ملكه اختلاف وَلَيْسَ هَذَا مَوْضِعَ ذِكْرِهِ ثُمَّ لَيْسَ انْتِقَالُ الْمِلْكِ بِمُوجِبٍ لِحُكْمِ الْمَوْتِ لِأَنَّ مَالَ الْحَيِّ قد تنقل بأسباب غير الموت.

Adapun jawaban tentang perpindahan kepemilikan dan tindakan orang lain atas hartanya, padahal dalam perpindahan kepemilikan itu sendiri terdapat perbedaan pendapat, dan ini bukan tempat untuk membahasnya. Kemudian, perpindahan kepemilikan tidak serta-merta menjadi sebab hukum kematian, karena harta orang yang hidup bisa berpindah karena sebab-sebab selain kematian.

فصل:

Fasal:

قال المزني رحمه الله تعالى: ” قد زعم الشافعي أَنَّ نِصْفَ الْعَبْدِ إِذَا كَانَ حُرًّا يَرِثُهُ أَبُوهُ إِذَا مَاتَ وَلَا يَرِثُ هَذَا النِّصْفَ مِنْ أَبِيهِ إِذَا مَاتَ أَبُوهُ فَلَمْ يُورِثْهُ مِنْ حَيْثُ وَرِثَ مِنْهُ وَالْقِيَاسُ عَلَى قَوْلِهِ أَنَّهُ يَرِثُ مِنْ حَيْثُ يُورَثُ “.

Al-Muzani rahimahullah berkata: “Syafi‘i berpendapat bahwa jika setengah dari seorang budak adalah merdeka, maka ayahnya mewarisinya jika ia meninggal, namun ia tidak mewarisi setengah ini dari ayahnya jika ayahnya meninggal. Maka ia tidak mewarisinya dari sisi di mana ia diwarisi, padahal secara qiyās menurut pendapatnya, ia mewarisi dari sisi di mana ia diwarisi.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا اعْتِرَاضٌ مِنَ الْمُزَنِيِّ عَلَى الشَّافِعِيِّ فِي تَعْلِيلِهِ إِبْطَالَ مِيرَاثِ الْمُرْتَدِّ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَثْبَتَ الْمَوَارِيثَ لِلْأَبْنَاءِ مِنَ الْآبَاءِ حَيْثُ أَثْبَتَ الْمَوَارِيثَ لِلْآبَاءِ مِنَ الْأَبْنَاءِ فَأَبْطَلَ الْمُزَنِيُّ هَذَا التَّعْلِيلَ عَلَيْهِ بِالْعَبْدِ إِذَا كَانَ نِصْفُهُ حُرًّا أنه يورث عنده بِنِصْفِهِ الْحُرِّ وَلَا يَرِثُ هُوَ بِنِصْفِهِ الْحُرِّ فَجَعَلَ ذَلِكَ إِبْطَالًا لِتَعْلِيلِهِ وَاحْتِجَاجًا لِنَفْسِهِ فِي أَنَّهُ يَرِثُ بِقَدْرِ حُرِّيَّتِهِ كَمَا يُورَثُ بِقَدْرِ حُرِّيَّتِهِ.

Al-Mawardi berkata: Ini adalah sanggahan dari al-Muzani terhadap Syafi‘i dalam alasan pembatalan warisan murtad, yaitu bahwa Allah Ta‘ala menetapkan warisan bagi anak dari ayah sebagaimana menetapkan warisan bagi ayah dari anak. Maka al-Muzani membatalkan alasan ini atas Syafi‘i dengan kasus budak yang setengahnya merdeka, bahwa menurut Syafi‘i, ia diwarisi pada bagian yang merdeka, namun ia sendiri tidak mewarisi pada bagian yang merdeka itu. Maka ia menjadikan hal itu sebagai pembatalan alasan Syafi‘i dan sebagai hujjah bagi dirinya bahwa ia mewarisi sesuai kadar kemerdekaannya, sebagaimana ia diwarisi sesuai kadar kemerdekaannya.

وَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وجهين:

Jawaban atas hal itu ada dua sisi:

أحدهما: رد لاعتراضه.

Pertama: Penolakan atas sanggahannya.

وَالثَّانِي: فَسَادُ اسْتِدْلَالِهِ، فَأَمَّا رَدُّ اعْتِرَاضِهِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Kedua: Rusaknya istidlal-nya. Adapun penolakan atas sanggahannya, juga dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ فِي مِيرَاثِ الْمُعْتَقِ نِصْفَهُ قَوْلَانِ أَصَحُّهُمَا لَا يُورَثُ كَمَا لَا يَرِثُ فَعَلَى هَذَا يَسْلَمُ الِاسْتِدْلَالُ وَيَسْقُطُ الِاعْتِرَاضُ.

Salah satunya: Dalam warisan orang yang dimerdekakan setengahnya terdapat dua pendapat, yang paling sahih adalah ia tidak diwarisi sebagaimana ia juga tidak mewarisi. Dengan demikian, istidlal tetap sah dan sanggahan gugur.

وَالثَّانِي: أن تعليل الشافعي كلما تَوَجَّهَ إِلَى السَّبَبِ الَّذِي يَشْتَرِكُ فِيهِ الْوَارِثُ وَالْمَوْرُوثُ إِذَا مَنَعَ مِنْ أَنْ يَكُونَ وَارِثًا مَنَعَ مِنْ أَنْ يَكُونَ مَوْرُوثًا كَالْكُفْرِ وَالرِّدَّةِ لِأَنَّ الْمَعْنَى فِي قَطْعِ التَّوَارُثِ بِهِ قَطْعُ الْمُوَالَاةِ بَيْنَهُمَا وَهَذَا مَعْنَى يَشْتَرِكُ فِيهِ الْوَارِثُ وَالْمَوْرُوثُ.

Kedua: Penjelasan Imam Syafi‘i setiap kali diarahkan kepada sebab yang dimiliki bersama oleh pewaris dan yang diwarisi, apabila sebab tersebut menghalangi seseorang menjadi pewaris, maka ia juga menghalangi menjadi yang diwarisi, seperti kekufuran dan riddah, karena makna dari terputusnya hubungan waris-mewaris dengan sebab tersebut adalah terputusnya hubungan loyalitas (mu‘ālah) di antara keduanya, dan ini adalah makna yang dimiliki bersama oleh pewaris dan yang diwarisi.

فَأَمَّا الْمَعْنَى الَّذِي يَخْتَصُّ بِهِ الْمَوْرُوثُ وَحْدَهُ فَلَا أَلَا تَرَى أَنَّ الْقَاتِلَ لَا يَرِثُ وَهُوَ يُورَثُ لِأَنَّ الْمَعْنَى الَّذِي مَنَعَهُ من الميراث خص بِهِ وَغَيْرُ مُتَعَدٍّ إِلَى وَارِثِهِ وَهَكَذَا الَّذِي نِصْفُهُ حُرٌّ قَدِ اخْتَصَّ بِالْمَعْنَى الْمَانِعِ دُونَ وَارِثِهِ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ مَوْرُوثًا وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ وَارِثًا.

Adapun makna yang khusus dimiliki oleh yang diwarisi saja, maka tidak demikian. Tidakkah engkau melihat bahwa seorang pembunuh tidak mewarisi, namun ia tetap dapat diwarisi, karena makna yang menghalanginya dari mewarisi adalah khusus padanya dan tidak menular kepada pewarisnya. Demikian pula seseorang yang setengahnya merdeka, ia khusus dengan makna penghalang tersebut tanpa pewarisnya, maka boleh ia menjadi yang diwarisi dan tidak boleh menjadi pewaris.

وَأَمَّا فَسَادُ اسْتِدْلَالِهِ فِي أَنَّهُ يَجِبُ أَنْ يَرِثَ بِقَدْرِ حُرِّيَّتِهِ كَمَا يُورَثُ بِقَدْرِ حُرِّيَّتِهِ فَهُوَ أَنَّ الْكَمَالَ يَجِبُ أن يكون مراعا فِي الْوَارِثِ دُونَ الْمَوْرُوثِ فَلِذَلِكَ جَعَلْنَاهُ مَوْرُوثًا لِأَنَّ وَارِثَهُ كَامِلٌ وَلَمْ نَجْعَلْهُ وَارِثًا لِأَنَّهُ ليس بكامل والله أعلم بالصواب.

Adapun rusaknya istidlāl-nya (argumentasinya) dalam hal bahwa ia harus mewarisi sesuai kadar kemerdekaannya sebagaimana ia diwarisi sesuai kadar kemerdekaannya, maka sesungguhnya kesempurnaan harus diperhatikan pada pewaris, bukan pada yang diwarisi. Oleh karena itu, kami menjadikannya sebagai yang diwarisi karena pewarisnya sempurna, dan kami tidak menjadikannya sebagai pewaris karena ia tidak sempurna. Allah lebih mengetahui mana yang benar.

مسألة:

Masalah:

(وقال) في المرأة إذا طلقها زَوْجُهَا ثَلَاثًا مَرِيضًا فِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا تَرِثُهُ وَالْآخَرُ لَا تَرِثُهُ وَالَّذِي يَلْزَمُهُ أن لَا يورثها لأنه لا يرثها بإجماع لانقطاع النِّكَاحِ الَّذِي بِهِ يَتَوَارَثَانِ فَكَذَلِكَ لَا تَرِثُهُ كما لا يرثها لأن الناس عنده يَرِثُونَ مِنْ حَيْثُ يُورَثُونَ وَلَا يَرِثُونَ مِنْ حَيْثُ لَا يُورَثُونَ “.

(Dan dikatakan) tentang perempuan yang ditalak tiga oleh suaminya dalam keadaan sakit, terdapat dua pendapat: salah satunya ia mewarisinya, dan yang lain ia tidak mewarisinya. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa ia tidak mewarisinya, karena ia juga tidak diwarisi berdasarkan ijmā‘, sebab telah terputusnya pernikahan yang menjadi sebab keduanya saling mewarisi. Maka demikian pula, ia tidak mewarisinya, sebagaimana ia juga tidak diwarisi, karena menurut beliau (Syafi‘i), orang-orang mewarisi dari sisi di mana mereka juga dapat diwarisi, dan tidak mewarisi dari sisi di mana mereka tidak dapat diwarisi.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ أَوْرَدَهَا الْمُزَنِيُّ فِي جُمْلَةِ اعْتِرَاضِهِ عَلَى الشَّافِعِيِّ فِي مِيرَاثِ الْمُرْتَدِّ وَهَذَا الْمَوْضِعُ يَقْتَضِي شَرْحَهَا وذكر ما تفرع عليها وَالِانْفِصَالَ عَنِ اعْتِرَاضِ الْمُزَنِيِّ بِهَا مَا قَدَّمْنَاهُ في اعتراض بمن نصفه حر ونصفه مملوك وَأَصْلُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ الطَّلَاقَ عَلَى ضَرْبَيْنِ طَلَاقٌ فِي الصِّحَّةِ وَطَلَاقٌ فِي الْمَرَضِ فَأَمَّا الطَّلَاقُ فِي الصِّحَّةِ فَضَرْبَانِ بَائِنٌ وَرَجْعِيٌّ فَأَمَّا الْبَائِنُ فَلَا تَوَارُثَ فِيهِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ سَوَاءٌ كَانَ فِي الْمَدْخُولِ بِهَا أَوْ دُونَ الثَّلَاثِ فِي غَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا وَهَذَا إِجْمَاعٌ.

Al-Mawardi berkata: Masalah ini dikemukakan oleh al-Muzani sebagai bagian dari sanggahannya terhadap Imam Syafi‘i dalam masalah warisan orang murtad. Tempat ini menuntut penjelasan masalah tersebut, menyebutkan cabang-cabang yang muncul darinya, serta menjawab sanggahan al-Muzani sebagaimana yang telah kami sampaikan sebelumnya dalam sanggahan tentang orang yang setengahnya merdeka dan setengahnya budak. Pokok masalah ini adalah bahwa talak ada dua macam: talak dalam keadaan sehat dan talak dalam keadaan sakit. Adapun talak dalam keadaan sehat, maka ada dua macam: talak bain dan talak raj‘i. Adapun talak bain, maka tidak ada saling mewarisi antara suami istri, baik pada istri yang sudah digauli maupun kurang dari tiga kali pada istri yang belum digauli, dan ini adalah ijmā‘.

وَأَمَّا الرَّجْعِيُّ فَهُوَ دُونَ الثَّلَاثِ فِي الْمَدْخُولِ بِهَا فَإِنَّهُمَا يَتَوَارَثَانِ فِي الْعِدَّةِ فَإِنْ مَاتَ وَرِثَتْهُ واعتدت عدة الوفاة وإن ماتت ورثها فإن كَانَ الْمَوْتُ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ وَلَوْ بِطَرْفَةِ عَيْنٍ لَمْ يَتَوَارَثَا وَحُكِيَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أنه تَرِثُهُ مَا لَمْ تَغْتَسِلْ مِنَ الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ وَلَيْسَ يَخْلُو قَوْلُهُمَا ذَلِكَ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَجْعَلَ الْغُسْلَ مِنْ بَقَايَا الْعِدَّةِ فَيَكُونُ ذَلِكَ مَذْهَبًا لَهُمَا فِي الْعِدَّةِ دُونَ الْمِيرَاثِ وَلَا وَجْهَ لَهُ لِأَنَّ الْعِدَّةَ اسْتِبْرَاءٌ وَلَيْسَ الْغُسْلُ مِمَّا يَقَعُ بِهِ الِاسْتِبْرَاءُ وَإِمَّا أن يجعلاه انْقِضَاءَ الْعِدَّةِ بِانْقِضَاءِ الْحَيْضِ وَيُوجِبَا الْمِيرَاثَ مَعَ بقاء الغسل فَيَكُونُ ذَلِكَ مَذْهَبًا لَهُمَا فِي الْمِيرَاثِ دُونَ الْعِدَّةِ وَلَا وَجْهَ لَهُ؛ لِأَنَّ انْقِضَاءَ الْعِدَّةِ يوجب انقضاء علق النكاح والميراث منهما فارتفع بارتفاعها ولو جاز اعتبار ذلك لصار الميراث موقوفا على خيارها إن شاءت تَأْخِيرَ الْغُسْلِ فَلَوْ مَاتَ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ فِي الطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ ثُمَّ اخْتَلَفَ الْبَاقِي مِنْهُمَا وَوَارِثُ الميت فقال وارث الميت بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَلَا تَوَارُثَ وَقَالَ الْبَاقِي مِنْهُمَا بَلْ كَانَ الْمَوْتُ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَلِيَ الْمِيرَاثُ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْبَاقِي مِنَ الزَّوْجَيْنِ مَعَ يَمِينِهِ فِي اسْتِحْقَاقِ الْمِيرَاثِ سَوَاءٌ كَانَ هُوَ الزَّوْجَ أَوِ الزَّوْجَةَ لِأَمْرَيْنِ:

Adapun talak raj‘i, yaitu kurang dari tiga kali pada istri yang sudah digauli, maka keduanya saling mewarisi selama masa ‘iddah. Jika suami meninggal, istri mewarisinya dan menjalani ‘iddah wafat. Jika istri meninggal, suami mewarisinya. Jika kematian terjadi setelah habis masa ‘iddah, meskipun hanya sekejap mata, maka keduanya tidak saling mewarisi. Diriwayatkan dari Abu Bakar dan Umar radhiyallāhu ‘anhumā bahwa istri tetap mewarisi selama belum mandi dari haid ketiga. Pendapat keduanya ini tidak lepas dari dua kemungkinan: pertama, mereka menganggap mandi masih termasuk sisa masa ‘iddah, sehingga itu menjadi mazhab mereka dalam ‘iddah, bukan dalam warisan, dan ini tidak tepat, karena ‘iddah adalah masa istibra’ (pengecekan rahim), sedangkan mandi bukanlah bagian dari istibra’. Kedua, mereka menganggap habisnya ‘iddah dengan habisnya haid, dan mewajibkan warisan selama mandi belum dilakukan, sehingga itu menjadi mazhab mereka dalam warisan, bukan dalam ‘iddah, dan ini juga tidak tepat; karena habisnya ‘iddah berarti habisnya hubungan pernikahan dan warisan di antara keduanya, sehingga keduanya terputus dengan habisnya ‘iddah. Jika hal itu dibenarkan, maka warisan akan tergantung pada pilihan istri, jika ia ingin menunda mandi. Jika salah satu dari suami istri meninggal dalam masa talak raj‘i, lalu terjadi perselisihan antara yang masih hidup dan ahli waris yang meninggal, di mana ahli waris mengatakan kematian terjadi setelah habis ‘iddah sehingga tidak ada warisan, sedangkan yang masih hidup mengatakan kematian terjadi sebelum habis ‘iddah sehingga ia berhak atas warisan, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan yang masih hidup dari keduanya dengan sumpahnya dalam hal hak waris, baik ia suami maupun istri, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأَصْلَ اسْتِحْقَاقُ الْمِيرَاثِ حَتَّى يُعْلَمَ سُقُوطُهُ.

Pertama: Hukum asalnya adalah berhak atas warisan sampai diketahui gugurnya hak tersebut.

وَالثَّانِي: أَنَّنَا عَلَى يَقِينٍ مِنْ بَقَاءِ الْعِدَّةِ حَتَّى يعلم تقضيها.

Kedua: Sesungguhnya kita yakin bahwa masa ‘iddah tetap ada hingga diketahui telah selesai.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ فِي الْمَرَضِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika talak terjadi saat sakit, maka ada dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مُخَوِّفٍ فَحُكْمُهُ حُكْمُ الطَّلَاقِ فِي الصِّحَّةِ عَلَى مَا مَضَى.

Salah satunya: Jika sakitnya tidak menimbulkan kekhawatiran (akan kematian), maka hukumnya sama dengan talak saat sehat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُخَوِّفًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Macam kedua: Jika sakitnya menimbulkan kekhawatiran, maka ada dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَعَقَّبَهُ صِحَّةٌ فَيَكُونُ حُكْمُهُ حُكْمَ الطَّلَاقِ فِي الصِّحَّةِ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ.

Salah satunya: Jika setelah itu ia sembuh, maka hukumnya sama dengan talak saat sehat. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah dan Malik.

وَقَالَ زُفَرُ بن الهذيل: هو طلاق في المرض يرث فيه وهذا خطأ لأن ما يتعقبه الصِّحَّةُ فَلَيْسَ بِمُخَوِّفٍ وَإِنَّمَا ظُنَّ بِهِ الْخَوْفُ.

Zufar bin al-Hudzail berkata: Itu adalah talak dalam kondisi sakit yang mewariskan, dan ini keliru, karena jika setelahnya terjadi kesembuhan maka itu tidak lagi menimbulkan kekhawatiran, hanya saja sebelumnya diduga ada kekhawatiran.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أن لَا يَتَعَقَّبَهُ الصِّحَّةُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Macam kedua: Jika setelahnya tidak terjadi kesembuhan, maka ini terbagi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْمَوْتُ حَادِثًا عن طريق غيره كمريض غرق أو أحرق أَوْ سَقَطَ عَلَيْهِ حَائِطٌ أَوِ افْتَرَسَهُ سَبُعٌ فهذا حكم الطلاق فيه كحكم الطَّلَاقِ فِي الصِّحَّةِ وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة وقال مالك: هو طلاق في المرض يرث فِيهِ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ حُدُوثَ الْمَوْتِ مِنْ غَيْرِهِ يَرْفَعُ حُكْمَهُ.

Salah satunya: Jika kematian terjadi karena sebab lain, seperti orang sakit yang tenggelam, terbakar, tertimpa tembok, atau diterkam binatang buas, maka hukum talaknya sama dengan hukum talak saat sehat. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah, sedangkan Malik berpendapat bahwa itu adalah talak dalam kondisi sakit yang mewariskan, dan ini keliru; karena terjadinya kematian dari sebab lain menghapuskan hukumnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ حُدُوثُ الْمَوْتِ مِنْهُ فَهُوَ الطَّلَاقُ فِي الْمَرَضِ فَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ رَجْعِيًّا تَوَارَثَا فِي الْعِدَّةِ سَوَاءٌ مَاتَ الزَّوْجُ أَوِ الزَّوْجَةُ، وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ بَائِنًا فَإِنْ مَاتَتِ الزَّوْجَةُ لَمْ يَرِثْهَا إِجْمَاعًا، وَإِنْ مَاتَ الزَّوْجُ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي مِيرَاثِهَا عَلَى مَذَاهِبَ شَتَّى حَكَى الشَّافِعِيُّ مِنْهَا أَرْبَعَةَ مَذَاهِبَ جَعَلَهَا أَصْحَابُنَا أَرْبَعَةَ أَقَاوِيلَ لَهُ قَوْلَانِ مِنْهَا نَصًّا، وَقَوْلَانِ مِنْهَا تَخْرِيجًا.

Macam kedua: Jika kematian terjadi karena sakit itu sendiri, maka itu adalah talak dalam kondisi sakit. Jika talaknya raj‘i, maka keduanya saling mewarisi selama masa ‘iddah, baik suami maupun istri yang meninggal. Jika talaknya bain, maka jika istri meninggal, suami tidak mewarisinya menurut ijmā‘. Namun jika suami yang meninggal, para fuqahā’ berbeda pendapat tentang warisan istri dengan berbagai mazhab. Imam Syafi‘i menyebutkan ada empat mazhab, yang oleh para pengikut kami dijadikan empat pendapat; dua di antaranya merupakan nash beliau, dan dua lainnya hasil istinbāṭ.

أَحَدُهُمَا: لَا مِيرَاثَ لَهَا مِنْهُ كَمَا لَا مِيرَاثَ لَهُ مِنْهَا وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَابْنُ الزُّبَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَمِنَ التَّابِعِينَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الْمُزَنِيُّ وَدَاوُدُ وَنَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْجَدِيدِ.

Salah satunya: Tidak ada warisan baginya dari suami, sebagaimana suami juga tidak mewarisi darinya. Pendapat ini dikemukakan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Ibnu Zubair ra., dari kalangan tabi‘in Ibnu Abi Mulaykah, dan dari kalangan fuqahā’ al-Muzani dan Dawud, serta dinyatakan oleh Syafi‘i dalam pendapat barunya.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: أَنَّ لَهَا الْمِيرَاثَ مَا لَمْ تَنْقَضِ عِدَّتُهَا فَإِنِ انْقَضَتْ فَلَا مِيرَاثَ لَهَا وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ وَعُثْمَانُ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمَا وَمِنَ التَّابِعِينَ عُرْوَةُ وَشُرَيْحٌ.

Mazhab kedua: Ia berhak mendapat warisan selama masa ‘iddahnya belum selesai. Jika telah selesai, maka tidak ada warisan baginya. Pendapat ini dikemukakan oleh sahabat Umar dan Utsman ra., dan dari kalangan tabi‘in ‘Urwah dan Syuraih.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ أبو حنيفة وصاحباه وسفيان الثوري وَهُوَ الْقَوْلُ الثَّانِي لِلشَّافِعِيِّ قَالَهُ نَصًّا.

Dan dari kalangan fuqahā’, Abu Hanifah dan dua sahabatnya serta Sufyan ats-Tsauri, dan ini adalah pendapat kedua Syafi‘i yang beliau nyatakan secara nash.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: أَنَّ لَهَا الْمِيرَاثَ مَا لَمْ تَتَزَوَّجْ وَإِنِ انْقَضَتْ عَدَّتُهَا فَإِنْ تَزَوَّجَتْ فَلَا مِيرَاثَ لَهَا وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَمِنَ التَّابِعِينَ عَطَاءٌ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ ابْنُ أَبِي لَيْلَى وَجَعَلَهُ أَصْحَابُنَا قَوْلًا ثَالِثًا لِلشَّافَعِيِّ تَخْرِيجًا.

Mazhab ketiga: Ia berhak mendapat warisan selama belum menikah lagi, meskipun masa ‘iddahnya telah selesai. Jika ia menikah lagi, maka tidak ada warisan baginya. Pendapat ini dikemukakan oleh sahabat Ubay bin Ka‘b ra., dari kalangan tabi‘in ‘Aṭā’, dan dari kalangan fuqahā’ Ibnu Abi Laila, serta dijadikan oleh para pengikut kami sebagai pendapat ketiga Syafi‘i hasil istinbāṭ.

وَالْمَذْهَبُ الرَّابِعُ: أَنَّ لَهَا الْمِيرَاثَ أَبَدًا وَإِنْ تَزَوَّجَتْ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَكَثِيرٍ مِنْ فُقَهَاءِ الْمَدِينَةِ وَجَعَلَهُ أَصْحَابُنَا قَوْلًا رَابِعًا لِلشَّافِعِيِّ تَخْرِيجًا، فَإِذَا قِيلَ: لَا تَرِثُ فَدَلِيلُهُ مَا رَوَاهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا البغداديون عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي بَعْضِ أَمَالِيهِ فِي كِتَابِ الرَّجْعَةِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا تَرِثُ مَبْتُوتَةٌ ” وَهَذَا الْحَدِيثُ إِنْ كَانَ ثَابِتًا سَقَطَ بِهِ الْخِلَافُ وَلِأَنَّهَا فُرْقَةٌ تمنع من الميراث في حال الصِّحَّةِ فَوَجَبَ أَنْ تَمْنَعَ مِنَ الْمِيرَاثِ فِي حال المرض كاللعان، ولأن كل طلاق يمنع مِنْ مِيرَاثِ الزَّوْجِ مَنَعَ مِنْ مِيرَاثِ الزَّوْجَةِ كَالطَّلَاقِ فِي الصِّحَّةِ، وَلِأَنَّ اسْتِحْقَاقَ الْمِيرَاثِ فَرْعٌ عَلَى ثُبُوتِ الْعَقْدِ، فَلَمَّا ارْتَفَعَ الْعَقْدُ بِطَلَاقِ الْمَرِيضِ كَانَ سُقُوطُ الْمِيرَاثِ أَوْلَى وَإِذَا قِيلَ: تَرِثُ، فَدَلِيلُهُ مَا رُوِيَ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ طَلَّقَ زَوْجَتَهُ تُمَاضِرَ بِنْتَ الْأَصْبَغِ الكلابية فِي مَرَضِهِ ثَلَاثًا قَالَ أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ثُمَّ مَاتَ بَعْدَ تِسْعَةِ أَشْهُرٍ فورثها عثمان بن عفان.

Mazhab keempat: bahwa ia (istri yang ditalak) tetap mendapatkan warisan selamanya, meskipun telah menikah lagi. Ini adalah pendapat Mālik dan banyak fuqahā’ Madinah, dan para pengikut kami menjadikannya sebagai pendapat keempat dari asy-Syāfi‘ī secara istinbāṭ. Maka jika dikatakan: “Ia tidak mewarisi,” dalilnya adalah apa yang diriwayatkan sebagian sahabat kami dari kalangan Baghdadiyyīn dari asy-Syāfi‘ī dalam sebagian Amāli-nya pada Kitāb ar-Raj‘ah, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Perempuan yang ditalak ba’in tidak mewarisi.” Jika hadis ini sahih, maka gugurlah perbedaan pendapat. Dan karena perceraian itu adalah perpisahan yang mencegah warisan dalam keadaan sehat, maka seharusnya juga mencegah warisan dalam keadaan sakit, seperti kasus li‘ān. Dan karena setiap talak yang mencegah suami dari mewarisi, juga mencegah istri dari mewarisi, sebagaimana talak dalam keadaan sehat. Dan karena hak waris merupakan cabang dari keberadaan akad (pernikahan), maka ketika akad itu hilang karena talak dalam keadaan sakit, maka gugurnya hak waris lebih utama. Namun jika dikatakan: “Ia tetap mewarisi,” dalilnya adalah riwayat bahwa ‘Abdurrahmān bin ‘Auf menceraikan istrinya, Tumāḍir binti al-Aṣbagh al-Kilābiyyah, dengan tiga talak pada saat sakitnya, lalu Abu Salamah bin ‘Abdirrahmān berkata: kemudian ia (Abdurrahmān) wafat setelah sembilan bulan, maka ‘Utsmān bin ‘Affān mewariskannya.

وروى إبراهيم التميمي أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُكْمِلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَكَانَ بِهِ الْفَالِجُ فَمَاتَ بَعْدَ سَنَةٍ فَوَرِثَهَا عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهَاتَانِ القضيتان مِنْ عُثْمَانَ عَنِ ارْتِيَاءِ وَاسْتِشَارَةِ الصَّحَابَةِ لَا سيما زوجة عبد الرحمن مع إشهار أَمْرِهَا وَمُنَاظَرَةِ الصَّحَابَةِ فِيهَا، فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ رَوَى ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّهُ قَالَ: أَمَّا أَنَا فَلَا أَرَى أَنْ تُورِثَ مَبْتُوتَةً قُلْنَا: مَا ادَّعَيْنَا فِي الْمَسْأَلَةِ إِجْمَاعًا فَيَرْتَفِعُ بِخِلَافِ ابْنِ الزُّبَيْرِ وَإِنَّمَا قُلْنَا: هُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْمَرِيضُ مَمْنُوعًا مِنَ التَّصَرُّفِ فِيمَا زَادَ عَلَى الثُّلُثِ لِمَا فِيهِ مِنْ إِضْرَارِ الْوَارِثِ فكان أَوْلَى أَنْ يَكُونَ مَمْنُوعًا مِنْ إِسْقَاطِ الْوَارِثِ وَلِأَنَّ التُّهْمَةَ فِي الْمِيرَاثِ تُهْمَتَانِ تُهْمَةٌ فِي اسْتِحْقَاقِهِ وَتُهْمَةٌ فِي إِسْقَاطِهِ فَلَمَّا كَانَتِ التُّهْمَةُ فِي اسْتِحْقَاقِهِ وَهِيَ تُهْمَةُ الْقَاتِلِ رَافِعَةً لِاسْتِحْقَاقِهِ الْمِيرَاثَ وَجَبَ أَنْ تَكُونَ التُّهْمَةُ فِي إِسْقَاطِهِ بِالطَّلَاقِ رَافِعَةً لِإِسْقَاطِ الْمِيرَاثِ.

Dan Ibrāhīm at-Tamīmī meriwayatkan bahwa ‘Abdullāh bin Mukmil menceraikan istrinya, padahal ia sedang menderita lumpuh, lalu ia wafat setelah satu tahun, maka ‘Utsmān bin ‘Affān ra. mewariskannya. Kedua kasus ini berasal dari keputusan ‘Utsmān berdasarkan pertimbangan dan musyawarah dengan para sahabat, khususnya kasus istri ‘Abdurrahmān yang perkaranya sangat terkenal dan para sahabat pun berdiskusi tentangnya. Jika dikatakan: Ibnu Abī Mulaykah meriwayatkan dari ‘Abdullāh bin az-Zubair bahwa ia berkata: “Adapun aku, aku tidak berpendapat bahwa perempuan yang ditalak ba’in itu mewarisi.” Kami katakan: Kami tidak pernah mengklaim adanya ijmā‘ dalam masalah ini sehingga pendapat Ibnu az-Zubair dapat menggugurkannya, melainkan kami hanya mengatakan: ini adalah pendapat mayoritas. Dan karena orang yang sakit itu dilarang melakukan tindakan yang merugikan ahli waris dalam hal yang melebihi sepertiga harta, maka lebih utama lagi ia dilarang menggugurkan hak waris. Dan karena tuduhan dalam masalah warisan ada dua: tuduhan dalam memperoleh warisan dan tuduhan dalam menggugurkan warisan. Maka ketika tuduhan dalam memperoleh warisan, yaitu tuduhan membunuh, dapat menggugurkan hak waris, maka tuduhan dalam menggugurkan warisan dengan talak juga seharusnya menggugurkan keabsahan pengguguran hak waris.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا أَقَرَّ فِي مَرَضِهِ بِوُقُوعِ الطَّلَاقِ فِي صِحَّتِهِ لَمْ تَرِثْهُ وَكَانَ إِقْرَارًا فِي الْمَرَضِ لَا طَلَاقًا، وَقَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ: هُوَ طَلَاقٌ فِي الْمَرَضِ وَتَرِثُ، وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّ الْإِقْرَارَ بِالْعَقْدِ لَا يَكُونُ عَقْدًا، وَإِنْ صَارَ بِالْإِقْرَارِ لَازِمًا فَكَذَلِكَ الْإِقْرَارُ بِالطَّلَاقِ لَا يَكُونُ طَلَاقًا وَإِنْ صَارَ بِالْإِقْرَارِ لَازِمًا وَلَوْ أَنَّهُ حَلَفَ لَا يُطَلِّقُهَا فَأَقَرَّ بِتَقْدِيمِ طَلَاقِهَا لَمْ يَحْنَثْ لِأَنَّ الْإِقْرَارَ لَيْسَ بِطَلَاقٍ فَكَذَلِكَ الْإِقْرَارُ بِهِ فِي الْمَرَضِ لَا يَكُونُ طَلَاقًا فِي الْمَرَضِ فَلَوْ كَانَ لَهُ زَوْجَتَانِ فَقَالَ فِي صِحَّتِهِ إِحْدَاكُمَا طَالِقٌ ثَلَاثًا ثُمَّ بَيَّنَ الْمُطَلَّقَةَ مِنْهُمَا فِي مَرَضِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun jika seseorang mengakui dalam keadaan sakitnya bahwa talak telah terjadi saat ia sehat, maka istrinya tidak mewarisinya, dan pengakuan itu dianggap sebagai pengakuan dalam keadaan sakit, bukan talak. Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: Itu adalah talak dalam keadaan sakit dan istrinya tetap mewarisi. Namun ini tidak benar, karena pengakuan terhadap akad tidak dianggap sebagai akad, meskipun dengan pengakuan itu menjadi wajib. Demikian pula pengakuan terhadap talak tidak dianggap sebagai talak, meskipun dengan pengakuan itu menjadi wajib. Seandainya seseorang bersumpah tidak akan menceraikannya, lalu ia mengakui telah menceraikannya sebelumnya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah, karena pengakuan itu bukan talak. Demikian pula pengakuan dalam keadaan sakit tidak dianggap sebagai talak dalam keadaan sakit. Jika seseorang memiliki dua istri, lalu ia berkata saat sehatnya: “Salah satu dari kalian aku talak tiga,” kemudian ia menjelaskan siapa yang ditalak di antara keduanya saat sakitnya, maka kasus ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ عَيَّنَ الطَّلَاقَ عِنْدَ لَفْظِهِ فَلَا تَرِثُ لِأَنَّهُ مُقِرٌّ فِي الْمَرَضِ بِطَلَاقٍ وَقَعَ فِي الصِّحَّةِ.

Pertama: Jika ia telah menentukan siapa yang ditalak ketika mengucapkan talak, maka istri tersebut tidak mewarisinya, karena ia mengakui dalam keadaan sakit tentang talak yang terjadi saat sehat.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قد أتم الطَّلَاقَ عِنْدَ لَفْظِهِ ثُمَّ عَيَّنَهُ عِنْدَ بَيَانِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي المعينة بالطلاق عند البيان هل يقتضي وقوع الطَّلَاقِ عَلَيْهَا وَقْتَ اللَّفْظِ أَوْ وَقْتَ الْبَيَانِ فَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ: أنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ عَلَيْهَا عِنْدَ وَقْتِ لَفْظِهِ وَمِنْهُ تَبْتَدِئُ بِالْعِدَّةِ فَعَلَى هَذَا لَا مِيرَاثَ لَهَا؛ لِأَنَّهُ فِي وَقْتِ لَفْظِهِ كَانَ صَحِيحًا.

Jenis kedua: Yaitu apabila talak telah sempurna pada saat pengucapannya, kemudian ia menentukannya (menyebutkan siapa yang dimaksud) ketika penjelasan, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat berdasarkan perbedaan pendapat para ulama kami mengenai penentuan dengan talak pada saat penjelasan, apakah hal itu mengharuskan jatuhnya talak padanya pada waktu pengucapan atau pada waktu penjelasan. Salah satu dari dua pendapat tersebut adalah: bahwa talak jatuh padanya pada saat pengucapan, dan dari saat itu pula ia memulai masa ‘iddah, sehingga menurut pendapat ini ia tidak mendapatkan warisan, karena pada saat pengucapan talak itu sah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ عَلَيْهَا وَقْتَ الْبَيَانِ فَعَلَى هَذَا تَرِثُ لِأَنَّهُ عِنْدَ بَيَانِهِ مَرِيضٌ.

Pendapat kedua: bahwa talak jatuh padanya pada waktu penjelasan, sehingga menurut pendapat ini ia berhak mendapatkan warisan karena pada saat penjelasan suami sedang sakit.

فصل:

Fasal:

فإما إذا طلقها في الصحة لصفة وُجِدَتْ فِي الْمَرَضِ كَقَوْلِهِ فِي صِحَّتِهِ أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ قَدِمَ زَيْدٌ فَقَدِمَ زَيْدٌ وَالزَّوْجُ مَرِيضٌ، أَوْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ بَعْدَ شَهْرٍ فَجَاءَ الشَّهْرُ وَهُوَ مَرِيضٌ فَلَا مِيرَاثَ لَهَا عَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ.

Adapun jika ia menceraikannya dalam keadaan sehat karena suatu sifat yang baru ada ketika sakit, seperti ucapannya dalam keadaan sehat: “Engkau tertalak jika Zaid datang,” lalu Zaid datang ketika suami sedang sakit, atau ia berkata: “Engkau tertalak setelah satu bulan,” lalu bulan itu datang ketika ia sedang sakit, maka menurut pendapat asy-Syafi‘i dan Abu Hanifah, ia tidak berhak mendapatkan warisan.

وَقَالَ مَالِكٌ: لَهَا الْمِيرَاثُ لِأَنَّهُ طَلَاقٌ وَقَعَ فِي الْمَرَضِ وهذا غير صحيح؛ لأنه التُّهْمَةَ عَنْهُ فِي هَذَا الطَّلَاقِ مُرْتَفِعَةٌ، وَإِنَّمَا وجب لها الميراث للتهمة في إزوائها.

Sedangkan Malik berkata: “Ia berhak mendapatkan warisan karena talak itu terjadi ketika sakit.” Namun ini tidak benar, karena tuduhan (niat menghalangi warisan) dalam talak ini telah hilang, dan sesungguhnya ia berhak mendapatkan warisan karena adanya tuduhan dalam upaya menghalanginya dari warisan.

فَأَمَّا إِذَا قَالَ فِي صِحَّتِهِ: إِنْ دَخَلْتُ أَنَا هَذِهِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ ثُمَّ دَخَلَهَا فِي مَرَضِهِ كَانَ كَالطَّلَاقِ فِي الْمَرَضِ فِي اسْتِحْقَاقِ الْمِيرَاثِ، لِأَنَّهُ دَخَلَهَا بِاخْتِيَارِهِ فِي مَرَضِهِ فصار متهوما في إزوائها عَنِ الْمِيرَاثِ وَلَكِنْ لَوْ وَكَّلَ فِي صِحَّتِهِ وَكِيلًا فِي طَلَاقِهَا فَلَمْ يُطَلِّقْهَا الْوَكِيلُ حَتَّى مَرِضَ الزَّوْجُ ثُمَّ طَلَّقَهَا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي هَذَا الطَّلَاقِ هَلْ يَكُونُ حُكْمُهُ حُكْمَ الطَّلَاقِ فِي الصِّحَّةِ أَوْ حُكْمَ الطَّلَاقِ فِي الْمَرَضِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun jika ia berkata dalam keadaan sehat: “Jika aku masuk ke rumah ini, maka engkau tertalak,” lalu ia masuk ke rumah itu ketika sakit, maka hukumnya seperti talak dalam keadaan sakit dalam hal hak waris, karena ia masuk ke rumah itu dengan pilihannya sendiri ketika sakit sehingga ia dianggap dituduh berupaya menghalanginya dari warisan. Namun, jika ia mewakilkan kepada seseorang untuk menceraikannya ketika ia sehat, lalu sang wakil tidak menceraikannya hingga suami sakit, kemudian sang wakil menceraikannya, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai talak ini, apakah hukumnya seperti talak dalam keadaan sehat atau seperti talak dalam keadaan sakit? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ فِي حُكْمِ الطَّلَاقِ فِي الصِّحَّةِ لِأَنَّ عَقْدَ الْوِكَالَةِ كَانَ فِي الصِّحَّةِ فَصَارَتِ التُّهْمَةُ عَنْهُ عِنْدَ عَقْدِهِ مُرْتَفِعَةٌ.

Salah satunya: bahwa hukumnya seperti talak dalam keadaan sehat, karena akad wakalah (perwakilan) terjadi ketika sehat, sehingga tuduhan (niat menghalangi warisan) telah hilang pada saat akad tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ فِي حُكْمِ الطَّلَاقِ فِي الْمَرَضِ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ قَادِرًا عَلَى فَسْخِ وَكَالَتِهِ فِي مَرَضِهِ فَصَارَ بِتَرْكِ الْفَسْخِ متهوما.

Pendapat kedua: bahwa hukumnya seperti talak dalam keadaan sakit, karena ia masih mampu membatalkan wakalahnya ketika sakit, sehingga dengan tidak membatalkannya ia dianggap dituduh (berniat menghalangi warisan).

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ قَالَ لَهَا فِي صِحَّتِهِ أَنْتِ طَالِقٌ فِي مَرَضِ مَوْتِي وَقَعَ طَلَاقُهَا فِيهِ وكان لها الميراث؛ لأنه متهوم بعقد يمينه ولو كان قَالَ لَهَا: إِنْ مِتُّ مِنْ مَرَضٍ فَأَنْتِ طَالِقٌ لَمْ تُطَلَّقْ لِارْتِفَاعِ الْعَقْدِ بِمَوْتِهِ فَلَمْ يَلْحَقْهَا بَعْدَ ارْتِفَاعِ الْعَقْدِ طَلَاقٌ، وَلَوْ قَالَ لَهَا وَهُوَ فِي الصِّحَّةِ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي آخِرِ أَوْقَاتِ صِحَّتِي الْمُتَّصِلِ بِأَوَّلِ أَسْبَابِ مَوْتِي ثُمَّ مَرِضَ وَمَاتَ فَلَا مِيرَاثَ لَهَا؛ لِأَنَّ وُقُوعَ طَلَاقِهِ كَانَ قَبْلَ مَرَضِهِ فَصَارَ طَلَاقًا في الصحة ألا ترى لَوْ قَالَ لِعَبْدِهِ أَنْتَ حُرٌّ فِي آخِرِ أَوْقَاتِ صِحَّتِي الْمُتَّصِلِ بِأَوَّلِ أَسْبَابِ مَوْتِي كَانَ عِتْقُهُ إِنْ مَاتَ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ دُونَ الثلث.

Jika ia berkata kepada istrinya dalam keadaan sehat: “Engkau tertalak pada saat aku sakit menjelang kematianku,” maka talaknya jatuh pada saat itu dan istrinya berhak mendapatkan warisan, karena ia dianggap dituduh dalam akad sumpahnya. Namun jika ia berkata: “Jika aku mati karena suatu penyakit, maka engkau tertalak,” maka ia tidak tertalak karena akadnya batal dengan kematiannya, sehingga setelah akad itu batal tidak ada talak yang menimpanya. Jika ia berkata kepada istrinya dalam keadaan sehat: “Engkau tertalak pada akhir masa sehatku yang bersambung dengan awal sebab kematianku,” lalu ia sakit dan meninggal, maka istrinya tidak berhak mendapatkan warisan, karena jatuhnya talak terjadi sebelum ia sakit sehingga talaknya termasuk talak dalam keadaan sehat. Bukankah jika ia berkata kepada budaknya: “Engkau merdeka pada akhir masa sehatku yang bersambung dengan awal sebab kematianku,” lalu ia meninggal, maka kemerdekaan budak itu diambil dari seluruh harta, bukan hanya sepertiga.

فصل:

Fasal:

وإذا طلقها في مرضه باختيارها مثل أن يخالعها، أو تسأله الطلاق فيطلقها، أو يعلق طلاقها بِمَشِيئَتِهَا، فَتَشَاءُ الطَّلَاقَ فَلَا مِيرَاثَ لَهَا فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ كُلِّهَا، وَبِهِ قَالَ أَبُو حنيفة وقال مالك لها الميراث إن اخْتَارَتِ الطَّلَاقُ، لِأَنَّهُ طَلَاقٌ فِي الْمَرَضِ، وَهَذَا فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ تَوْرِيثَهَا إِنَّمَا كَانَ لِاتِّهَامِهِ فِي حِرْمَانِهَا، وَقَصَدَ الْإِضْرَارَ بِهَا وَهَذَا الْمَعْنَى مُرْتَفِعٌ باختيارها وسؤالها، فلو علق طلاقها في مرضه بصفة من صفة أفعالها ففعلت ذلك وطلقت، نَظَرَتْ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ الْفِعْلُ مِمَّا لَا بُدَّ لَهَا مِنْهُ كَقَوْلِهِ لَهَا: إِنْ أَكَلْتِ أو شربت فأنت طالق، فلا تَجِدُ بُدًّا مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ فَإِذَا فَعَلَتْ ذَلِكَ لَمْ يَدُلَّ عَلَى اخْتِيَارِهَا الطَّلَاقُ فَيَكُونُ لَهَا الْمِيرَاثُ، وَهَكَذَا لَوْ قال لها: أنت طالق إن صليت الفرائض أَوْ صُمْتِ شَهْرَ رَمَضَانَ فَصَلَّتْ وَصَامَتْ، كَانَ لَهَا الْمِيرَاثُ؛ لِأَنَّهَا لَا تَجِدُ بُدًّا مِنَ الصلاة والصيام، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ لَهَا: إِنْ أَكَلْتِ هَذَا الطَّعَامَ أَوْ لَبِسْتِ هَذَا الثَّوْبَ أَوْ كَلَّمْتِ هَذَا الرَّجُلَ، أَوْ دَخَلْتِ هَذِهِ الدَّارَ أَوْ تَطَوَّعْتِ بِصَلَاةٍ أَوْ صِيَامٍ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَفَعَلَتْ ذَلِكَ طُلِّقَتْ وَلَا مِيرَاثَ لَهَا؛ لِأَنَّ لَهَا مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ بُدًّا فَصَارَتْ مُخْتَارَةً لِوُقُوعِ الطلاق إلا أن لا تعلم يمينه فَتَرِثُ لِأَنَّهَا غَيْرُ مُخْتَارَةٍ لِلطَّلَاقِ.

Jika ia menceraikannya dalam masa sakit atas pilihannya sendiri, seperti jika ia melakukan khulu‘, atau sang istri meminta cerai lalu ia menceraikannya, atau ia menggantungkan talak pada kehendak istrinya, lalu sang istri memilih talak, maka dalam semua keadaan ini sang istri tidak berhak mendapat warisan. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah. Sedangkan menurut Malik, istri tetap berhak mendapat warisan jika ia memilih talak, karena itu adalah talak dalam masa sakit. Namun pendapat ini tidak benar, sebab pewarisan itu hanya terjadi karena adanya tuduhan bahwa suami bermaksud menghalangi hak waris istri dan berniat mencelakainya, sedangkan makna ini tidak ada jika talak terjadi atas pilihan dan permintaan istri. Jika suami menggantungkan talak pada suatu perbuatan istri dalam masa sakit, lalu istri melakukan perbuatan itu dan jatuhlah talak, maka dilihat dulu: jika perbuatan itu sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh istri, seperti suami berkata: “Jika engkau makan atau minum, maka engkau tertalak,” sementara istri tidak mungkin menghindari makan dan minum, maka jika ia melakukannya, itu tidak menunjukkan bahwa ia memilih talak, sehingga ia tetap berhak mendapat warisan. Demikian pula jika suami berkata: “Engkau tertalak jika engkau menunaikan shalat fardhu atau berpuasa di bulan Ramadan,” lalu istri melaksanakan shalat dan puasa, maka ia tetap berhak mendapat warisan, karena ia tidak mungkin meninggalkan shalat dan puasa. Namun jika suami berkata: “Jika engkau makan makanan ini, atau memakai pakaian ini, atau berbicara dengan laki-laki ini, atau masuk ke rumah ini, atau melakukan shalat atau puasa sunnah, maka engkau tertalak,” lalu istri melakukannya, maka jatuhlah talak dan ia tidak berhak mendapat warisan, karena semua itu bisa ia hindari, sehingga ia dianggap memilih terjadinya talak, kecuali jika ia tidak mengetahui sumpah suaminya, maka ia tetap mendapat warisan karena ia tidak memilih terjadinya talak.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا طَلَّقَ الْمَرِيضُ زَوْجَتَهُ وَكَانَتْ ذِمِّيَّةً فَأَسْلَمَتْ أَوْ أَمَةً فَأُعْتِقَتْ لَمْ تَرِثْ؛ لِأَنَّهُ لَوْ مَاتَ وَقْتَ طَلَاقِهَا لَمْ تَرِثْ فَصَارَ غَيْرَ مُتَّهَمٍ وَلَوْ طَلَّقَهَا بَعْدَ إِسْلَامِهَا وَعِتْقِهَا وَرِثَتْ؛ لِأَنَّهُ مُتَّهَمٌ إِلَّا أَنْ لَا يَعْلَمَ بِإِسْلَامِهَا وَلَا بِعِتْقِهَا حِينَ طَلَّقَهَا فَلَا تَرِثُ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُتَّهَمٍ، فَلَوْ قَالَ لَهَا السَّيِّدُ: أَنْتِ حُرَّةٌ في غد وطلقها الزوج في يومه ورثت؛ لِأَنَّهُ مُتَّهَمٌ حِينَ عَلِمَ بِعِتْقِهَا فَإِنْ لَمْ يعلم فلا ميراث، وَلَوْ قَالَ لَهَا الزَّوْجُ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي غَدٍ فَأَعْتَقَهَا السَّيِّدُ فِي يَوْمِهِ فَلَا مِيرَاثَ لها وَلَوْ قَالَ لَهَا الزَّوْجُ أَنْتِ طَالِقٌ؛ لأنه غير متهم حين طلقها فَلَوْ قَالَ لَهَا السَّيِّدُ أَنْتِ حُرَّةٌ فِي غَدٍ فَلَمَّا عَلِمَ الزَّوْجُ بِذَلِكَ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ فِي غَدٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika seorang suami yang sakit menceraikan istrinya yang berstatus dzimmi (non-Muslim) lalu istrinya masuk Islam, atau istrinya adalah budak lalu dimerdekakan, maka ia tidak berhak mendapat warisan. Sebab, jika suami meninggal pada saat menceraikannya, ia tidak berhak mendapat warisan, sehingga suami tidak dianggap berniat buruk. Namun jika suami menceraikannya setelah ia masuk Islam atau setelah ia dimerdekakan, maka ia berhak mendapat warisan karena ada tuduhan (niat buruk), kecuali jika suami tidak mengetahui keislaman atau kemerdekaannya saat menceraikannya, maka ia tidak berhak mendapat warisan karena tidak ada tuduhan. Jika tuannya berkata kepada istri: “Engkau merdeka besok,” lalu suaminya menceraikannya pada hari itu juga, maka ia berhak mendapat warisan karena suami dianggap berniat buruk saat mengetahui kemerdekaannya. Namun jika suami tidak mengetahui, maka tidak ada hak waris. Jika suami berkata: “Engkau tertalak besok,” lalu tuannya memerdekakannya pada hari itu juga, maka ia tidak berhak mendapat warisan. Jika suami berkata: “Engkau tertalak,” maka ia tidak berhak mendapat warisan karena suami tidak dianggap berniat buruk saat menceraikannya. Jika tuannya berkata: “Engkau merdeka besok,” lalu setelah suami mengetahui hal itu ia berkata: “Engkau tertalak besok,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهَا الْمِيرَاثُ لِاتِّهَامِهِ فِيهِ.

Pertama: Istri berhak mendapat warisan karena ada tuduhan (niat buruk) pada suami.

وَالثَّانِي: لَا مِيرَاثَ لَهَا؛ لِأَنَّ الْعِتْقَ وَالطَّلَاقَ يَقَعَانِ مَعًا فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ فَلَمْ تَسْتَحِقَّ الْمِيرَاثَ بِطَلَاقٍ لَمْ يتقدم عَلَيْهِ الْحُرِّيَّةُ.

Kedua: Istri tidak berhak mendapat warisan, karena kemerdekaan dan talak terjadi bersamaan dalam satu waktu, sehingga ia tidak berhak mendapat warisan dari talak yang tidak didahului oleh kemerdekaan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا طَلَّقَهَا فِي مَرَضِهِ فَارْتَدَتْ عَنِ الْإِسْلَامِ ثُمَّ عَادَتْ إِلَيْهِ لَمْ تَرِثْهُ وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة.

Jika suami menceraikannya dalam masa sakit, lalu istri murtad dari Islam kemudian kembali lagi ke Islam, maka ia tidak berhak mewarisi suaminya. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah.

وَقَالَ مَالِكٌ: تَرِثُهُ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَمْرَيْنِ:

Malik berpendapat: Istri tetap berhak mewarisi suaminya. Namun pendapat ini salah karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ أَنَّ اخْتِيَارَهَا لِلطَّلَاقِ مَانِعٌ مِنْ مِيرَاثِهَا وَهِيَ بِالرِّدَّةِ مُخْتَارَةٌ لَهُ.

Pertama: Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pilihan istri untuk bercerai menjadi penghalang baginya untuk mewarisi, dan dengan murtad ia telah memilih perpisahan.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا بِالرِّدَّةِ قَدْ صَارَتْ إِلَى حَالٍ لَوْ مَاتَ لَمْ تَرِثْهُ.

Kedua: Dengan murtad, ia telah berada dalam keadaan di mana jika suami meninggal, ia tidak berhak mewarisi.

فَأَمَّا إِذَا ارْتَدَّ الزَّوْجُ دُونَهَا بَعْدَ طلاقه وفي مَرَضِهِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ لَا تَرِثُهُ وَقَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ تَرِثُهُ، وَفَرَّقَ أبو حنيفة بَيْنَ رِدَّتِهَا وَرِدَّتِهِ، بِأَنَّ رِدَّتَهَا اخْتِيَارٌ مِنْهَا لِلْفُرْقَةِ وليس ردته اختيار فيها لِذَلِكَ، وَهَذَا الْفَرْقُ فَاسِدٌ؛ لِاسْتِوَاءِ الرِّدَّتَيْنِ فِي إفضائهما إِلَى حَال لَوْ مَاتَ فِيهَا لَمْ تَرِثْهُ فَاسْتَوَتْ رِدَّتُهَا فِي ذَلِكَ وَرِدَّتُهُ، وَلَوِ ارْتَدَتِ الزَّوْجَةُ فِي مَرَضِهَا ثُمَّ مَاتَتْ لَمْ يَرِثْهَا الزَّوْجُ.

Adapun jika suami yang murtad setelah menceraikan istrinya dalam masa sakit, menurut mazhab Syafi‘i, istri tidak berhak mewarisi. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Malik, istri tetap berhak mewarisi. Abu Hanifah membedakan antara murtadnya istri dan murtadnya suami, bahwa murtad istri adalah pilihannya sendiri untuk berpisah, sedangkan murtad suami bukan pilihannya untuk berpisah, dan pembedaan ini tidak benar, karena kedua murtad tersebut sama-sama menyebabkan keadaan di mana jika suami meninggal, istri tidak berhak mewarisi. Maka, murtad istri dan murtad suami sama dalam hal ini. Jika istri murtad dalam masa sakitnya lalu ia meninggal, maka suami tidak berhak mewarisi istrinya.

وَقَالَ أبو حنيفة: يَرِثُهَا؛ لِأَنَّهَا مُتَّهَمَةٌ بذلك في إزوائه عَنِ الْمِيرَاثِ كَمَا يُتَّهَمُ الزَّوْجُ فِي الطَّلَاقِ فِي الْمَرَضِ، وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Abu Hanifah berkata: Ia (istri) mewarisinya; karena ia dituduh dalam hal itu, yaitu dalam upaya menghalangi warisan sebagaimana suami dituduh dalam perceraian saat sakit. Namun, ini adalah kesalahan dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: قَدَّمْنَاهُ مِنْ أَنَّ الْمُرْتَدَّ لَا يُورَثُ.

Pertama: Telah kami jelaskan sebelumnya bahwa murtad tidak dapat diwarisi.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَنْسُبُ الْعَاقِلُ أَنَّهُ قَصَدَ بِالرِّدَّةِ إزواء وَارِثٍ وَضَرَرُهُ عَلَيْهِ أَعْظَمُ مِنْ ضَرَرِهِ عَلَى الْوَارِثِ ولَيْسَ كَالطَّلَاقِ الَّذِي لَا ضَرَرَ عَلَيْهِ فيه.

Kedua: Tidaklah masuk akal seseorang berniat dengan riddah untuk menghalangi ahli waris, sebab mudaratnya terhadap dirinya sendiri lebih besar daripada mudaratnya terhadap ahli waris, dan ini tidak sama dengan talak yang tidak menimbulkan mudarat bagi dirinya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ قَالَ لَهَا فِي صِحَّتِهِ إِنْ لَمْ أَدْفَعْ إِلَيْكَ مَهْرَكَ فَأَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا ثُمَّ لَمْ يَدْفَعْهُ إِلَيْهَا حَتَّى مَاتَتْ لَمْ يَرِثْهَا؛ لِأَنَّهَا قَدْ بَانَتْ مِنْهُ بِالْحِنْثِ وَلَوْ ماتت قَبْلَهَا وَرِثَتْهُ؛ لِأَنَّهَا مُطَلَّقَةٌ فِي الْمَرَضِ، وَلَوْ مَاتَتْ فَاخْتَلَفَ الزَّوْجُ وَوَارِثُهَا، فَقَالَ الزَّوْجُ: قَدْ كُنْتُ دَفَعْتُ إِلَيْهَا مَهْرَهَا فِي حَيَاتِهَا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ، وَلِيَ الْمِيرَاثُ، وَقَالَ وَارِثُهَا: مَا دفعت إِلَيْهَا وَهُوَ بَاقٍ عَلَيْكَ وَلَا مِيرَاثَ لَكَ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ فِي أن لا يَقَعَ الطَّلَاقُ وَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَارِثِ فِي بَقَاءِ الْمَهْرِ، فَإِذَا حَلَفَ الزَّوْجُ أَنَّهُ قَدْ دَفَعَ الْمَهْرَ لَمْ يَلْزَمْهُ الطَّلَاقُ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ أن لا طَلَاقَ، وَإِذَا حَلَفَ الْوَارِثُ حُكِمَ لَهُ بِالْمَهْرِ؛ لأن الأصل بقاء المهر.

Jika ia berkata kepada istrinya saat sehat: “Jika aku tidak membayarkan maharmu kepadamu, maka engkau tertalak tiga,” lalu ia tidak membayarkannya hingga istrinya meninggal, maka ia tidak mewarisinya; karena ia telah berpisah darinya akibat pelanggaran sumpah. Namun, jika suami meninggal lebih dahulu, maka istrinya mewarisinya; karena ia adalah wanita yang ditalak dalam keadaan sakit. Jika istri meninggal lalu terjadi perselisihan antara suami dan ahli warisnya, suami berkata: “Aku telah membayarkan maharnya semasa hidupnya, maka ia telah bebas dariku, dan aku berhak atas warisan,” sedangkan ahli waris berkata: “Engkau belum membayarkannya dan itu masih menjadi tanggunganmu, maka engkau tidak berhak atas warisan.” Maka, pernyataan suami diterima dalam hal tidak jatuhnya talak, dan pernyataan ahli waris diterima dalam hal keberadaan mahar. Jika suami bersumpah bahwa ia telah membayar mahar, maka talak tidak wajib baginya; karena asalnya tidak ada talak. Jika ahli waris bersumpah, maka mahar diputuskan menjadi haknya; karena asalnya mahar masih ada.

فصل:

Fasal:

وإذا لا عن الزَّوْجُ مِنِ امْرَأَتِهِ فِي مَرَضِهِ لَمْ تَرِثْهُ سَوَاءٌ كَانَ لِعَانُهُ عَنْ قَذْفٍ فِي الصِّحَّةِ أَوْ عَنْ قَذْفٍ فِي الْمَرَضِ، وَقَالَ أبو يوسف: تَرِثُهُ كَالْمُطَلَّقَةِ سَوَاءٌ كَانَ عَنْ قَذْفٍ فِي الصِّحَّةِ أَوْ فِي الْمَرَضِ، وَقَالَ الحسن بن زياد اللؤلؤي إِنْ كَانَ عَنْ قَذْفٍ فِي الصِّحَّةِ لَمْ تَرِثْهُ، وَإِنْ كَانَ عَنْ قَذْفٍ فِي الْمَرَضِ وَرِثَتْهُ وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Jika suami melakukan li‘ān terhadap istrinya dalam keadaan sakit, maka istrinya tidak mewarisinya, baik li‘ān itu karena tuduhan zina saat sehat maupun saat sakit. Abu Yusuf berkata: Istri tetap mewarisinya seperti wanita yang ditalak, baik li‘ān itu karena tuduhan zina saat sehat maupun saat sakit. Al-Hasan bin Ziyad al-Lu’lu’i berkata: Jika li‘ān karena tuduhan zina saat sehat, maka ia tidak mewarisinya; jika karena tuduhan zina saat sakit, maka ia mewarisinya. Ini adalah pendapat yang rusak dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْفُرْقَةَ فِي اللِّعَانِ تَبَعٌ لنفي النسب وسقوط الحد وذاك مِمَّا يَسْتَوِي فِيهِ حَالُ الصِّحَّةِ وَالْمَرَضِ، وَالْفُرْقَةُ فِي الطَّلَاقِ مَقْصُودَةٌ فَجَازَ أَنْ يَفْتَرِقَ حُكْمُهَا فِي الصِّحَّةِ وَالْمَرَضِ.

Pertama: Bahwa perpisahan dalam li‘ān adalah konsekuensi dari penafian nasab dan gugurnya had, dan hal ini sama saja baik dalam keadaan sehat maupun sakit. Sedangkan perpisahan dalam talak memang dimaksudkan, sehingga boleh hukumnya berbeda antara keadaan sehat dan sakit.

وَالثَّانِي: أَنَّ سُقُوطَ الْمِيرَاثِ بِنَفْيِ النَّسَبِ أَغْلَظُ مِنْ سُقُوطِهِ بِوُقُوعِ الطَّلَاقِ فلما كان في نَفْي النَّسَبِ بِاللِّعَانِ فِي الصِّحَّةِ وَالْمَرَضِ سَوَاءً فِي سُقُوطِ الْمِيرَاثِ بِهِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ وُقُوعُ الْفُرْقَةِ بِهِ فِي الصِّحَّةِ وَالْمَرَضِ سَوَاءً في سقوط الميراث.

Kedua: Bahwa gugurnya warisan karena penafian nasab lebih berat daripada gugurnya karena terjadinya talak. Maka, ketika penafian nasab dengan li‘ān baik dalam keadaan sehat maupun sakit sama-sama menyebabkan gugurnya warisan, maka wajib pula bahwa terjadinya perpisahan karena li‘ān baik dalam keadaan sehat maupun sakit juga sama dalam menggugurkan warisan.

فإن قيل: فلم لا كَانَ نَفْيُ النَّسَبِ بِاللِّعَانِ فِي حَالِ الْمَرَضِ مانعا من الميراث كالطلاق فِي الْمَرَضِ لَا يَمْنَعُ مِنَ الْمِيرَاثِ قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّهُ قَدْ يَدْخُلُ عَلَيْهِ مِنْ ضَرَرِ اللِّعَانِ مَا يَنْفِي عَنْهُ التُّهْمَةَ وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ مِنْ ضَرَرِ الطَّلَاقِ مَا يَنْفِي عَنْهُ التُّهْمَةَ فَافْتَرَقَا.

Jika dikatakan: Mengapa penafian nasab dengan li‘ān dalam keadaan sakit menjadi penghalang warisan seperti talak dalam keadaan sakit tidak menghalangi warisan? Dijawab: Perbedaannya adalah bahwa pada li‘ān terdapat mudarat yang meniadakan tuduhan (rekayasa), sedangkan pada talak tidak terdapat mudarat yang meniadakan tuduhan, maka keduanya berbeda.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا آلَى مِنْ زَوْجَتِهِ فِي مَرَضِهِ ثُمَّ طَلَّقَهَا فِيهِ لِأَجْلِ إِيلَائِهِ وَرِثَتْ كَمَا تَرِثُ بِالطَّلَاقِ فِي غير الإيلاء بِخِلَافِ اللِّعَانِ وَلَوْ كَانَ آلَى مِنْهَا فِي الصحة ثم طلقها في المرض لم يتقدم مِنْ إِيلَائِهِ فِي الصِّحَّةِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun jika suami melakukan īlā’ terhadap istrinya dalam keadaan sakit, lalu ia menalaknya dalam keadaan itu karena īlā’, maka istrinya mewarisinya sebagaimana ia mewarisi dengan talak selain karena īlā’, berbeda dengan li‘ān. Jika ia melakukan īlā’ saat sehat lalu menalaknya saat sakit, maka tidak didahului oleh īlā’ saat sehat, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ طَلَاقُهُ قَبْلَ مُضِيِّ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، وَمُطَالَبَتُهُ بِحُكْمِ الْإِيلَاءِ مِنْ فَيْئِهِ أَوْ طلاق فهذه لا تَرِثُ؛ لِأَنَّهُ طَلَّقَهَا مُخْتَارًا فَصَارَ مُتَّهَمًا.

Pertama: Jika talaknya sebelum berlalu empat bulan dan sebelum istrinya menuntut hukum īlā’, baik berupa kembali (rujuk) atau talak, maka ia tidak mewarisinya; karena ia menalaknya secara sukarela sehingga ia menjadi tertuduh.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ طَلَاقُهُ بَعْدَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: Jika talaknya setelah empat bulan, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَبْلَ مُطَالَبَةِ الزَّوْجَةِ لَهُ بِالْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ فَهَذِهِ تَرِثُ أَيْضًا؛ لِأَنَّهُ مُخْتَارٌ لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ فَصَارَ مُتَّهَمًا.

Pertama: Jika sebelum istri menuntutnya untuk kembali (rujuk) atau menuntut talak, maka ia juga mewarisinya; karena ia memilih terjadinya talak sehingga ia menjadi tertuduh.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ طَلَاقُهُ بَعْدَ مطالبته بالفيئة أو الطلاق ففيها إِذَا وَرِثَتِ الْمُطَلَّقَةُ فِي الْمَرَضِ وَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْموْلي إِذَا امْتَنَعَ بَعْدَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ مِنَ الْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ هَلْ يُطَلَّقُ الْحَاكِمُ عَلَيْهِ جَبْرًا أَمْ لَا؟ فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ يُطَلَّقُ عَلَيْهِ جَبْرًا فَعَلَى هَذَا لا ميراث لها؛ لأنه طَلَاقَهَا كَانَ وَاجِبًا؛ لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَفْعَلْهُ لأوجبه الحاكم جبرا.

Jenis yang kedua: Yaitu apabila talaknya terjadi setelah ia diminta untuk melakukan fi’ah atau talak. Dalam hal ini, jika istri yang ditalak dalam keadaan sakit mewarisi, terdapat dua pendapat yang diambil dari perbedaan dua pendapat beliau mengenai al-mūlī (suami yang melakukan ila’) apabila ia menolak setelah empat bulan untuk melakukan fi’ah atau talak: Apakah hakim menalakkan atasnya secara paksa atau tidak? Salah satu dari dua pendapat adalah: hakim menalakkan atasnya secara paksa. Maka menurut pendapat ini, ia (istri) tidak mendapatkan warisan, karena talaknya adalah wajib; sebab jika ia tidak melakukannya, niscaya hakim akan mewajibkannya secara paksa.

وَالثَّانِي: لَا يُطْلَقُ عَلَيْهِ فَعَلَى هَذَا لَهَا الْمِيرَاثُ؛ لِأَنَّهُ أَوْقَعَ الطَّلَاقَ مُخْتَارًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.

Pendapat kedua: Tidak ditalakkan atasnya. Maka menurut pendapat ini, ia (istri) mendapatkan warisan, karena talak itu dijatuhkan secara sukarela. Allah lebih mengetahui mana yang benar.

فصل:

Fasal:

وإذا فسح الزوج نكاح امرأته في مرضه بإحدى العيوب التي توجب فسخ نكاح لم ترثه بخلاف الطلاق، ولأن الْفَسْخَ بِالْعُيُوبِ مُسْتَحَقٌّ عَلَى الْفَوْرِ، وَفِي تَأْخِيرِهِ إِسْقَاطُهُ فَلَمْ يُتَّهَمْ وَلَيْسَ كَالطَّلَاقِ؛ لِأَنَّ تَأْخِيرَهُ لَا يُسْقِطُهُ، وَلَوْ أَرْضَعَتْ أُمُّ الزَّوْجِ امْرَأَتَهُ الصغيرة خمس رضعات في الحولين يفسخ نِكَاحُهَا وَلَمْ تَرِثْهُ سَوَاءٌ أَرْضَعَتْهَا بِأَمْرِهِ أَوْ غَيْرِ أَمْرِهِ؛ لِأَنَّ وُقُوعَ الْفُرْقَةِ تَبَعٌ لِتَحْرِيمِ الرضاع وَثُبُوتِ الْمَحْرَمِ وَهَكَذَا لَوْ كَانَ الزَّوْجُ قَدْ وَطِئَ أُمَّ زَوْجَتِهِ بِشُبْهَةٍ وَهُوَ مَرِيضٌ بَطَلَ نكاحها ولم يرث.

Apabila suami membatalkan akad nikah istrinya dalam keadaan sakit karena salah satu cacat yang membolehkan pembatalan nikah, maka istrinya tidak mewarisinya, berbeda dengan talak. Hal ini karena pembatalan nikah karena cacat harus segera dilakukan, dan jika ditunda maka haknya gugur, sehingga tidak ada tuduhan (niat menghalangi warisan), dan ini tidak seperti talak, karena penundaan talak tidak menggugurkannya. Jika ibu suami menyusui istri kecilnya sebanyak lima kali susuan dalam dua tahun, maka nikahnya batal dan ia tidak mewarisi, baik penyusuan itu atas perintah suami atau tidak; karena terjadinya perpisahan adalah akibat dari keharaman karena penyusuan dan terjadinya mahram. Demikian juga jika suami telah menggauli ibu istrinya karena syubhat (salah sangka) dalam keadaan sakit, maka nikah istrinya batal dan ia tidak mewarisi.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا طَلَّقَ الْمَرِيضُ أَرْبَعَ زَوْجَاتٍ لَهُ ثَلَاثًا ثَلَاثًا ثُمَّ تَزَوَّجَ أَرْبَعًا سِوَاهُنَّ ثُمَّ مات، فإن قيل: بمذهبه الْجَدِيدِ إِنَّ الْمُطَلَّقَةَ فِي الْمَرَضِ لَا تَرِثُ فَالْمِيرَاثُ لِلْأَرْبَعِ اللَّاتِي تَزَوَّجَهُنَّ، وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْمُطَلَّقَةَ فِي الْمَرَضِ تَرِثُ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Apabila seorang suami yang sakit menalak empat istrinya masing-masing dengan talak tiga, kemudian menikahi empat wanita lain selain mereka lalu meninggal dunia, maka jika dikatakan menurut mazhab barunya bahwa istri yang ditalak dalam keadaan sakit tidak mewarisi, maka warisan untuk empat istri yang dinikahi terakhir. Namun jika dikatakan bahwa istri yang ditalak dalam keadaan sakit mewarisi, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمِيرَاثَ بَيْنَ الْأَرْبَعِ الْمُطَلَّقَاتِ وَالْأَرْبَعِ الْمَنْكُوحَاتِ عَلَى ثَمَانِيَةِ أَسْهُمٍ؛ لِأَنَّ كِلَا الْفَرِيقَيْنِ وَارِثٌ.

Salah satunya: Warisan dibagi antara empat istri yang ditalak dan empat istri yang dinikahi, menjadi delapan bagian; karena kedua kelompok tersebut adalah ahli waris.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْمِيرَاثَ لِلْأَرْبَعِ الْمُطَلَّقَاتِ دُونَ الْمَنْكُوحَاتِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ لَهُ إِسْقَاطُ مِيرَاثِهِنَّ، لَمْ يَكُنْ لَهُ إِدْخَالُ النَّقْصِ عَلَيْهِنَّ، وليس يمتنع بثبوت النِّكَاحِ مَعَ عَدَمِ الْإِرْثِ كَالْأَمَةِ وَالذِّمِّيَّةِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ لَهُ أَرْبَعُ زَوْجَاتٍ فَقَالَ فِي مَرَضِهِ إِحْدَاكُنَّ طَالِقٌ ثَلَاثًا ثُمَّ تَزَوَّجَ خَامِسَةً وَمَاتَ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ.

Pendapat kedua: Warisan untuk empat istri yang ditalak saja, bukan untuk istri-istri yang dinikahi; karena ketika ia tidak berhak menggugurkan warisan mereka, maka ia juga tidak berhak mengurangi hak mereka. Tidak menjadi masalah jika akad nikah tetap ada meskipun tidak ada hak waris, seperti budak perempuan dan wanita dzimmi. Maka berdasarkan ini, jika ia memiliki empat istri lalu berkata dalam sakitnya, “Salah satu dari kalian aku talak tiga,” kemudian ia menikahi istri kelima dan meninggal dunia, maka ada tiga pendapat.

أَحَدُهَا: أَنَّ لِلْمَنْكُوحَةِ رُبُعَ الْمِيرَاثِ وَيُوقِفُ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعِهِ بَيْنَ الْأَرْبَعِ حَتَّى يَصْطَلِحْنَ عَلَيْهِ وَهَذَا إِذَا قِيلَ إِنَّ الْمُطَلَّقَةَ فِي الْمَرَضِ لَا تَرِثُ.

Salah satunya: Istri yang dinikahi mendapat seperempat warisan, dan tiga perempat sisanya ditahan di antara empat istri yang ditalak hingga mereka berdamai atasnya. Ini jika dikatakan bahwa istri yang ditalak dalam keadaan sakit tidak mewarisi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْمِيرَاثَ بَيْنَهُنَّ أَخْمَاسًا وَهَذَا إِذَا قِيلَ إِنَّ الْمُطَلَّقَةَ فِي الْمَرَضِ تَرِثُ مَعَ الْمَنْكُوحَةِ.

Pendapat kedua: Warisan dibagi di antara mereka berlima secara per lima. Ini jika dikatakan bahwa istri yang ditalak dalam keadaan sakit mewarisi bersama istri yang dinikahi.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْمِيرَاثَ لِلْأَرْبَعِ أَرْبَاعًا دُونَ الْمَنْكُوحَةِ الْخَامِسَةِ وَهَذَا إِذَا قِيلَ إِنَّ الْمُطَلَّقَاتِ يَدْفَعْنَ الْمَنْكُوحَاتِ عَنِ الْمِيرَاثِ.

Pendapat ketiga: Warisan untuk empat istri yang ditalak, masing-masing seperempat, tanpa istri kelima yang dinikahi. Ini jika dikatakan bahwa istri-istri yang ditalak menghalangi istri-istri yang dinikahi dari warisan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا وَرِثَتِ الْمُطَلَّقَةُ فِي الْمَرَضِ اعْتَدَّتْ بِالْأَقْرَاءِ عِدَّةَ الطَّلَاقِ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَقَالَ أبو حنيفة تعتد بأكثر الأجلين من عدة الطلاق أو الأقراء أَوْ عِدَّةِ الْوَفَاةِ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّ الْمَرَضَ لَا يُغَيِّرُ مِنْ أَحْكَامِ الطَّلَاقِ شَيْئًا إِلَّا الْمِيرَاثَ الَّذِي هُوَ فِيهِ مُتَّهَمٌ وَمَا سِوَاهُ فَهُوَ عَلَى حُكْمِهِ فِي الصِّحَّةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Apabila istri yang ditalak dalam keadaan sakit mewarisi, maka ia menjalani masa iddah dengan hitungan quru’ (masa suci) sebagaimana iddah talak. Ini adalah pendapat Malik. Abu Hanifah berpendapat: ia menjalani iddah dengan masa yang lebih lama antara iddah talak (dengan quru’) atau iddah wafat (empat bulan sepuluh hari). Pendapat ini tidak benar, karena sakit tidak mengubah hukum-hukum talak kecuali dalam masalah warisan, di mana dalam hal ini ada tuduhan (niat menghalangi warisan), sedangkan selain itu tetap pada hukumnya seperti dalam keadaan sehat. Allah lebih mengetahui.

باب ميراث المشتركة

Bab Warisan Istri Bersama (Musytarakah)

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” قلنا في المشتركة زوج وأم وأخوين لأم وأخوين لِأَبٍ وَأُمٍّ لِلزَّوْجِ النِّصْفُ وَلِلْأُمِّ السُّدُسُ وَلِلْأَخَوَيْنِ للأم الثلث ويشركهم بَنُو الْأَبِ وَالْأُمِّ لِأَنَّ الْأَبَ لَمَّا سَقَطَ حكمه وصار كأن لم يكن وصاروا بني أم معا (قال) وقال محمد بن الحسن هل وجدت الرجل مستعملا في حال ثم تأتي حالة أخرى فلا يكون مستعملا؟ (قلت) نعم ما قلنا نحن وأنت وخالفنا فيه صاحبك من أن الزوج ينكح المرأة بعد ثلاث تطليقات ثم يطلقها فتحل للزوج قبله ويكون مبتدئا لنكاحها وتكون عنده على ثلاث ولو نكحها بعد طلقة لم تنهدم كما تنهدم الثلاث لأنه لما كان له معنى في إحلال المرأة هدم الطلاق الذي تقدمه إذا كانت لا تحل إلا به ولما لم يكن له معنى في الواحدة والثنتين وكانت تحل لزوجها بنكاح قبل زوج لم يكن له معنى فنستعمله (قال) إنا لنقول بهذا فهل تجد مثله في الفرائض؟ (قلت) نعم الأب يموت ابنه وللابن إخوة فلا يرثون مع الأب فإن كان الأب قاتلا ورثوا ولم يرث الأب من قبل أن حكم الأب قد زال ومن زال حكمه فكمن لم يكن “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Kami berkata dalam kasus al-musytarakah: suami, ibu, dua saudara seibu, dan dua saudara seayah dan seibu; untuk suami setengah, untuk ibu seperenam, dan untuk dua saudara seibu sepertiga. Anak-anak dari ayah dan ibu ikut bersama mereka, karena ketika ayah gugur haknya, maka seolah-olah ia tidak ada, dan mereka semua menjadi anak dari satu ibu (yakni saudara seibu). (Ia berkata:) Muhammad bin al-Hasan berkata: Apakah engkau pernah menemukan seseorang yang digunakan (diperhitungkan) dalam suatu keadaan, lalu datang keadaan lain sehingga ia tidak lagi digunakan? (Aku berkata:) Ya, sebagaimana yang kami dan engkau katakan, dan yang berbeda dengan pendapat sahabatmu, bahwa suami boleh menikahi wanita setelah tiga kali talak, lalu ia menceraikannya, sehingga wanita itu halal bagi suami sebelumnya dan dianggap memulai akad nikah baru, dan ia berada dalam hitungan tiga talak. Namun jika ia menikahinya setelah satu talak, maka tidak terhapus sebagaimana terhapus pada tiga talak, karena ketika ia memiliki peran dalam menghalalkan wanita itu, maka talak sebelumnya terhapus jika wanita itu tidak halal kecuali dengannya. Namun ketika ia tidak memiliki peran dalam satu atau dua talak, dan wanita itu halal bagi suaminya dengan pernikahan sebelum suami lain, maka tidak ada makna baginya, sehingga kami tetap memperhitungkannya. (Ia berkata:) Kami juga berpendapat demikian. Apakah engkau menemukan yang serupa dalam ilmu faraidh? (Aku berkata:) Ya, seorang ayah meninggal dunia, anaknya meninggal lebih dulu, dan anak itu memiliki saudara-saudara, maka mereka tidak mewarisi bersama ayah. Namun jika ayah itu pembunuh, maka mereka mewarisi dan ayah tidak mewarisi, karena hukum ayah telah gugur. Dan siapa yang gugur hukumnya, maka ia seperti tidak ada.”

قال الماوردي: وهذه المسألة تسمى المشتركة لِاخْتِلَافِ النَّاسِ فِي التَّشْرِيكِ فِيهَا بَيْنَ وَلَدِ الْأُمِّ وَوَلَدِ الْأَبِ وَالْأُمِّ وَتُسَمَّى الْحِمَارِيَّةَ لِأَنَّ رجلا قال لعلي عليه السلام حِينَ مَنَعَ مِنَ التَّشْرِيكِ أَعْطِهِمْ بِأُمِّهِمْ وَهَبْ أن أباهم كان حمارا.

Al-Mawardi berkata: Masalah ini dinamakan al-musytarakah karena adanya perbedaan pendapat di antara manusia dalam penyertaan (pembagian warisan) antara anak-anak dari ibu dan anak-anak dari ayah dan ibu. Ia juga dinamakan al-himariyyah, karena ada seorang laki-laki berkata kepada Ali ‘alaihis salam ketika beliau tidak menyertakan (anak ayah-ibu dalam pembagian warisan): “Berikanlah kepada mereka karena ibu mereka, dan anggaplah bahwa ayah mereka adalah seekor keledai.”

وشروط المشتركة أَنْ يَجْتَمِعَ فِيهَا أَرْبَعَةُ أَجْنَاسٍ زَوْجٍ وَأُمٍّ أو يكون مَكَانَ الْأُمِّ جَدَّةٌ وَوَلَدُ الْأُمِّ أَقَلُّهُمُ اثْنَانِ أَخَوَانِ أَوْ أُخْتَانِ أَوْ أَخٌ وَأُخْتٌ ذُو فَرْضٍ، وَمَنْ لَا فَرْضَ لَهُ مِنْ وَلَدِ الْأَبِ وَالْأُمِّ أَخٌ أَوْ أَخَوَانِ أَوْ أَخٌ وَأُخْتٌ فَإِذَا اسْتَكْمَلَتْ شُرُوطَهَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا كَانَ لِلزَّوْجِ النِّصْفُ وَلِلْأُمِّ أَوِ الْجَدَّةِ السُّدُسُ وَلِلْأَخَوَيْنِ مِنَ الْأُمِّ الثُّلُثُ وَاخْتَلَفُوا هَلْ يُشَارِكُهُمْ فيه الأخوان من الْأَبِ وَالْأُمِّ أَمْ لَا فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنْ وَلَدَ الْأَبِ وَالْأُمِّ يُشَارِكُونَ وَلَدَ الْأُمِّ فِي ثُلُثِهِمْ وَيَقْتَسِمُونَهُ بِالسَّوِيَّةِ بَيْنَ ذُكُورِهِمْ وَإِنَاثِهِمْ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمَا وَمِنَ التَّابِعِينَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَشُرَيْحٌ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ وَطَاوُسٌ وَابْنُ سِيرِينَ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وَالنَّخَعِيٌّ وَالثَّوْرِيُّ وَإِسْحَاقُ وَقَالَ أبو حنيفة: وَلَدُ الْأُمِّ يَخْتَصُّونَ بِالثُّلُثِ وَلَا يُشَارِكُهُمْ فِيهِ وَلَدُ الْأَبِ وَالْأُمِّ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ وَأَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، وَمِنَ التَّابِعِينَ الشَّعْبِيُّ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ ابْنُ أَبِي لَيْلَى وأبو يوسف ومحمد وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَأَبُو ثَوْرٍ وَدَاوُدُ وَرُوِيَ عَنْ زَيْدٍ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ الْقَوْلَانِ مَعًا أَمَّا زَيْدٌ فَرَوَى الشَّعْبِيُّ عَنْهُ أَنَّهُ لَمْ يُشَرِّكْ وَرَوَى النَّخَعِيُّ عَنْهُ أَنَّهُ شَرَّكَ وَهُوَ الْمَشْهُورُ عَنْهُ وَقَالَ وَكِيعُ بْنُ الْجَرَّاحِ: مَا أَجِدُ أَحَدًا مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ إِلَّا وقد اختلف عنه في المشتركة إِلَّا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْتَلِفْ عَنْهُ أَنَّهُ لَمْ يُشَرِّكْ وَأتي عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي الْعَامِ الْأَوَّلِ فَلَمْ يُشَرِّكْ وَأتي فِي الثَّانِي فَشَرَّكَ وَقَالَ تِلْكَ عَلَى مَا قَضَيْنَا وَهَذِهِ عَلَى ما تقضى، فَأَمَّا مَنْ مَنَعَ مِنَ التَّشْرِيكِ فَاسْتَدَلَّ عَلَيْهِ بِمَا رُوِيَ عَنِ النبِيِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” اقْسِمِ الْمَالَ بَيْنَ أَهْلِ الْفَرَائِضِ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ فَمَا تَرَكَتِ الْفَرَائِضُ فَلِأَوْلَى عَصَبَةٍ ذَكَرٍ ” فمنع من مشاركة العصبة لذوي الفروض وإعطائهم مَا فَضَلَ عَنْهَا إِنْ فَضَلَ وَلَيْسَ فِي الْمُشْتَرِكَةِ بَعْدَ الْفُرُوضِ فَضْلٌ فَلَمْ تَكُنْ لَهُمْ مشاركة ذي فرض لأنهم عَصَبَةٌ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُشَارِكُوا ذَوِي الْفُرُوضِ كَالْإِخْوَةِ لِلْأَبِ؛ وَلِأَنَّ مَنْ كَانَ عَصَبَةً سَقَطَ عِنْدَ اسْتِيعَابِ الْفُرُوضِ لِلتَّرِكَةِ قِيَاسًا عَلَى زَوْجٍ وأم وجد وأخ جاز لَمَّا اسْتَوْعَبَ الزَّوْجُ وَالْأُمُّ وَالْجَدُّ الْمَالَ فَرْضًا سَقَطَ الْأَخُ، وَلِأَنَّ كُلَّ أَخٍ حَازَ جَمِيعَ المال إذا انفرد جاز أن يكون بعصبته موجبا لحرمانه قياسا على زوج وأخت للأب وَأُمٍّ لَوْ كَانَ مَعَهَا أَخٌ لِأَبٍ سَقَطَ ولو كان مكانه أخت للأب كَانَ لَهَا السُّدُسُ فَكَانَ تَعْصِيبُ الْأَخِ مُوجِبًا لِحِرْمَانِهِ سُدُسَ الْأُخْتِ كَذَلِكَ تَعْصِيبُ وَلَدِ الْأَبِ وَالْأُمِّ يَمْنَعُهُمْ مِنْ مُشَارَكَةِ وَلَدِ الْأُمِّ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُفَضَّلَ وَلَدُ الْأُمِّ عَلَى وَلَدِ الْأَبِ وَالْأُمِّ مَعَ إِدْلَاءِ جَمِيعِهِمْ بِالْأُمِّ جاز أن يختصوا بِالْفَرْضِ دُونَهُمْ وَإِنْ أَدْلَى جَمِيعُهُمْ بِالْأُمِّ، أَلَا تَرَى لَوْ كَانَتِ الْفَرِيضَةُ زَوْجًا وَأُمًّا وَأَخًا لأم وعشرة إخوة لأب وأم أن الأخ مِنَ الْأُمِّ السُّدُسَ وَلِجَمِيعِ الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ وَهُمْ عَشَرَةُ السُّدُسَ فَلَمَّا لَمْ يَمْتَنِعْ أَنْ يُفَضَّلَ عَلَيْهِمْ لَمْ يَمْتَنِعْ أَنْ يُخْتَصَّ بِالْإِرْثِ دُونَهُمْ.

Syarat-syarat kasus musytarakah adalah berkumpulnya empat golongan berikut: suami, ibu (atau sebagai pengganti ibu adalah nenek), anak-anak ibu (paling sedikit dua orang, baik dua saudara laki-laki, dua saudari perempuan, atau satu saudara laki-laki dan satu saudari perempuan yang merupakan ahli waris dengan bagian tertentu), serta mereka yang tidak memiliki bagian tertentu dari anak-anak ayah dan ibu (yaitu satu saudara laki-laki, dua saudara laki-laki, atau satu saudara laki-laki dan satu saudari perempuan). Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka bagian suami adalah setengah, bagian ibu atau nenek adalah seperenam, dan bagian dua saudara dari pihak ibu adalah sepertiga. Para ulama berbeda pendapat apakah saudara-saudara dari ayah dan ibu ikut serta dalam sepertiga tersebut bersama saudara-saudara dari pihak ibu atau tidak. Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa anak-anak dari ayah dan ibu ikut serta bersama anak-anak ibu dalam sepertiga itu dan mereka membaginya secara rata antara laki-laki dan perempuan. Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat seperti ‘Umar bin al-Khattab dan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhuma, serta dari kalangan tabi‘in seperti ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, Syuraih, Sa‘id bin al-Musayyib, Thawus, dan Ibnu Sirin, serta dari kalangan fuqaha seperti Malik, al-Nakha‘i, al-Tsauri, dan Ishaq.

Abu Hanifah berpendapat bahwa anak-anak ibu khusus mendapatkan sepertiga dan tidak diikutsertakan anak-anak dari ayah dan ibu dalam bagian tersebut. Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka‘b, dan Abu Musa al-Asy‘ari radhiyallahu ‘anhum, dari kalangan tabi‘in seperti al-Sya‘bi, dan dari kalangan fuqaha seperti Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, Muhammad, Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, dan Dawud. Dari Zaid, Ibnu Mas‘ud, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum, diriwayatkan kedua pendapat tersebut. Adapun Zaid, al-Sya‘bi meriwayatkan darinya bahwa ia tidak mengikutsertakan, sedangkan al-Nakha‘i meriwayatkan darinya bahwa ia mengikutsertakan, dan inilah yang masyhur darinya. Waki‘ bin al-Jarrah berkata: “Aku tidak mendapati seorang pun dari sahabat radhiyallahu ‘anhum kecuali terdapat perbedaan riwayat tentang musytarakah kecuali ‘Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam, karena tidak ada perbedaan riwayat darinya bahwa ia tidak mengikutsertakan.”

Pada tahun pertama, ‘Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu didatangi (dengan kasus ini) dan ia tidak mengikutsertakan, lalu pada tahun kedua ia mengikutsertakan dan berkata, “Itu (yang lalu) sesuai dengan keputusan kami, dan ini sesuai dengan keputusan yang berlaku.”

Adapun mereka yang melarang pengikutsertaan, berdalil dengan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Bagilah harta warisan di antara ahli waris yang memiliki bagian tertentu menurut Kitabullah, maka apa yang tersisa setelah pembagian bagian tertentu menjadi milik ‘ashabah laki-laki yang terdekat.” Maka mereka melarang adanya partisipasi ‘ashabah dengan ahli waris yang memiliki bagian tertentu dan memberikan sisa harta kepada mereka jika ada sisa, sedangkan dalam kasus musytarakah tidak ada sisa setelah pembagian bagian tertentu, sehingga mereka tidak berhak ikut serta dengan ahli waris yang memiliki bagian tertentu karena mereka adalah ‘ashabah. Maka tidak boleh mereka ikut serta dengan ahli waris yang memiliki bagian tertentu, seperti saudara-saudara seayah.

Karena siapa yang menjadi ‘ashabah gugur haknya jika seluruh harta telah habis terbagi kepada ahli waris yang memiliki bagian tertentu, sebagaimana pada kasus suami, ibu, nenek, dan saudara laki-laki; jika suami, ibu, dan nenek telah mengambil seluruh harta dengan bagian tertentu, maka saudara laki-laki gugur haknya. Dan karena setiap saudara laki-laki yang memperoleh seluruh harta jika sendirian, bisa saja karena status ‘ashabahnya menyebabkan ia terhalang, sebagaimana pada kasus suami dan saudari seayah dan ibu; jika bersama mereka ada saudara laki-laki seayah, maka ia gugur, tetapi jika yang ada adalah saudari seayah, maka ia mendapat seperenam. Maka status ‘ashabah saudara laki-laki menyebabkan ia terhalang dari seperenam saudari, demikian pula status ‘ashabah anak-anak ayah dan ibu menghalangi mereka dari ikut serta dengan anak-anak ibu.

Dan karena jika boleh anak-anak ibu diutamakan atas anak-anak ayah dan ibu, padahal semuanya memiliki hubungan dengan ibu, maka boleh pula mereka dikhususkan dengan bagian tertentu tanpa yang lain, meskipun semuanya memiliki hubungan dengan ibu. Tidakkah engkau melihat jika dalam suatu pembagian warisan terdapat suami, ibu, satu saudara dari ibu, dan sepuluh saudara dari ayah dan ibu, maka saudara dari ibu mendapat seperenam, dan seluruh saudara dari ayah dan ibu yang berjumlah sepuluh mendapat seperenam. Maka ketika tidak terlarang untuk mengutamakan mereka, tidak terlarang pula untuk mengkhususkan mereka dalam warisan tanpa yang lain.

قَالُوا: وَلِأَنَّهُ لَوْ جَازَ أَنْ يَكُونَ وَلَدُ الْأَبِ وَالْأُمِّ يُشَارِكُوا وَلَدَ الْأُمِّ فِي فَرْضِهِمْ إِذَا لَمْ يَرِثُوا بِأَنْفُسِهِمْ لِمُشَارَكَتِهِمْ لَهُمْ فِي الْإِدْلَاءِ بِالْأُمِّ لَجَازَ إِذَا كَانَتِ الْفَرِيضَةُ بِنْتًا وَأُخْتًا لِأَبٍ وَأُمٍّ وَأُخْتًا لِأَبٍ أَنْ يَكُونَ لِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَيَكُونَ النِّصْفُ الْبَاقِي بَيْنَ الْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ وَالْأخت لِلْأَبِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الإدلاء بالأم، ولا يفضل ذلك بِالْأُمِّ؛ لِأَنَّ وَلَدَ الْأُمِّ لَا يَرِثُ مَعَ الْبِنْتِ وَفِي الْإِجْمَاعِ عَلَى إِسْقَاطِ هَذَا الْقَوْلِ دَلِيلٌ عَلَى إِسْقَاطِ التَّشْرِيكِ بَيْنَ وَلَدِ الْأُمِّ وَوَلَدِ الْأَبِ وَالْأُمِّ.

Mereka berkata: Karena jika dibolehkan anak dari ayah dan ibu ikut serta bersama anak dari ibu dalam bagian mereka ketika mereka (anak ayah dan ibu) tidak mewarisi sendiri, hanya karena mereka sama-sama memiliki hubungan dengan ibu, maka seharusnya juga dibolehkan, jika dalam pembagian warisan terdapat anak perempuan, saudari seayah seibu, dan saudari seayah, agar anak perempuan mendapat setengah, dan setengah sisanya dibagi antara saudari seayah seibu dan saudari seayah karena keduanya sama-sama memiliki hubungan dengan ayah, dan tidak diutamakan yang dari ibu; sebab anak dari ibu tidak mewarisi bersama anak perempuan. Dan adanya ijmā‘ atas gugurnya pendapat ini merupakan dalil atas gugurnya penyertaan antara anak dari ibu dan anak dari ayah dan ibu.

قَالُوا: وَلِأَنَّهُ لَوْ جَازَ أن يكون وَلَدَ الْأَبِ وَالْأُمِّ يُشَارِكُونَ وَلَدَ الْأُمِّ فِي فَرْضِهِمْ إِذَا لَمْ يَرِثُوا بِأَنْفُسِهِمْ لِمُشَارَكَتِهِمْ لَهُمْ فِي الْإِدْلَاءِ بِالْأُمِّ لَجَازَ إِذَا كَانَتِ الْفَرِيضَةُ بِنْتًا وَأُخْتًا لِأَبٍ وَأُمٍّ وَأُخْتًا لِأَبٍ أَنْ يَكُونَ لِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَيَكُونَ النِّصْفُ الْبَاقِي بَيْنَ الأخت للأب والأم والأخت للأب لاشتراكها في الإدلاء بالأب ولا يفضل تلك بِالْأُمِّ لِأَنَّ وَلَدَ الْأُمِّ لَا يَرِثُ مَعَ الْبِنْتِ وَفِي الْإِجْمَاعِ عَلَى إِسْقَاطِ هَذَا الْقَوْلِ دَلِيلٌ عَلَى إِسْقَاطِ التَّشْرِيكِ بَيْنَ وَلَدِ الْأُمِّ وَوَلَدِ الْأَبِ وَالْأُمِّ.

Mereka berkata: Karena jika dibolehkan anak dari ayah dan ibu ikut serta bersama anak dari ibu dalam bagian mereka ketika mereka (anak ayah dan ibu) tidak mewarisi sendiri, hanya karena mereka sama-sama memiliki hubungan dengan ibu, maka seharusnya juga dibolehkan, jika dalam pembagian warisan terdapat anak perempuan, saudari seayah seibu, dan saudari seayah, agar anak perempuan mendapat setengah, dan setengah sisanya dibagi antara saudari seayah seibu dan saudari seayah karena keduanya sama-sama memiliki hubungan dengan ayah, dan tidak diutamakan yang dari ibu; sebab anak dari ibu tidak mewarisi bersama anak perempuan. Dan adanya ijmā‘ atas gugurnya pendapat ini merupakan dalil atas gugurnya penyertaan antara anak dari ibu dan anak dari ayah dan ibu.

قَالُوا: وَلِأَنَّهُ لَوْ جَازَ أَنْ يرث وَلَدُ الْأَبِ وَالْأُمِّ بالفرض إِذَا لَمْ يَرِثُوا بِالتَّعْصِيبِ لَجَازَ أَنْ يَجْمَعُ لَهُمْ بَيْنَ الْفَرْضِ وَالتَّعْصِيبِ فَيُشَارِكُوا وَلَدَ الأم في فرضهم ويأخذون الباقي بعد الفرض بتعصيبهم وفي إبطال هذا إبطال لفرضهم.

Mereka berkata: Karena jika dibolehkan anak dari ayah dan ibu mewarisi dengan bagian tertentu (al-fardh) ketika mereka tidak mewarisi dengan ‘ashabah, maka seharusnya juga dibolehkan untuk mengumpulkan bagi mereka antara bagian tertentu dan ‘ashabah, sehingga mereka ikut serta bersama anak dari ibu dalam bagian mereka dan mengambil sisa setelah bagian tertentu dengan status ‘ashabah mereka. Dan pembatalan hal ini berarti membatalkan bagian tertentu mereka.

وَدَلِيلُنَا عَلَى التَّشْرِيكِ عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ} [النساء: 7] فَاقْتَضَى ظَاهِرُ هَذَا الْعُمُومِ اسْتِحْقَاقَ الْجَمِيعِ إِلَّا مِنْ حصة الدَّلِيل وَلِأَنَّهُمْ سَاوَوْا وَلَدَ الْأُمِّ فِي رَحِمِهِمْ فَوَجَبَ أَنْ يُشَارِكُوهُمْ فِي مِيرَاثِهِمْ قِيَاسًا عَلَى مُشَارَكَةِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ وَلِأَنَّهُمْ بَنُو أُمٍّ وَاحِدَةٍ فَجَازَ أَنْ يَشْتَرِكُوا فِي الثُّلُثِ قِيَاسًا عَلَيْهِمْ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِمْ وَلَدُ أَبٍ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ أَدْلَى بِسَبَبَيْنِ يَرِثُ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى الِانْفِرَادِ جَازَ إِذَا لَمْ يَرِثْ بِأَحَدِهِمَا أَنْ يَرِثَ بِالْآخَرِ قِيَاسًا عَلَى ابْنِ الْعَمِّ إِذَا كَانَ أَخًا لِأُمٍّ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ فِيهِ مَعْنَى التَّعْصِيبِ وَالْفَرْضِ جَازَ إِذَا لَمْ يَرِثْ بِالتَّعْصِيبِ أَنْ يَرِثَ بِالْفَرْضِ قِيَاسًا عَلَى الْأَبِ، وَلِأَنَّ أُصُولَ الْمَوَارِيثِ مَوْضُوعَةٌ عَلَى تَقْدِيمِ الْأَقْوَى عَلَى الْأَضْعَفِ، وَأَدْنَى الْأَحْوَالِ مُشَارَكَةُ الْأَقْوَى لِلْأَضْعَفِ، وَلَيْسَ فِي أُصُولِ الْمَوَارِيثِ سُقُوطٌ الْأَقْوَى بِالْأَضْعَفِ، وَوَلَدُ الْأَبِ وَالْأُمِّ أَقْوَى مِنْ وَلَدِ الْأُمِّ لِمُشَارَكَتِهِمْ فِي الْأُمِّ وَزِيَادَتِهِمْ بِالْأَبِ، فَإِذَا لَمْ يَزِدْهُمُ الْأَبُ قُوَّةً لَمْ يَزِدْهُمْ ضَعْفًا وَأَسْوَأُ حَالِهِ أَنْ يَكُونَ وُجُودُهُ كَعَدَمِهِ كَمَا قَالَ السَّائِلُ: هَبْ أَنَّ أَبَاهُمْ كَانَ حِمَارًا.

Dalil kami atas penyertaan (tasyriik) adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: {Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat} (an-Nisā’: 7), maka keumuman ayat ini menunjukkan bahwa semuanya berhak, kecuali yang dikecualikan oleh dalil. Dan karena mereka setara dengan anak dari ibu dalam rahim ibu mereka, maka wajib mereka ikut serta dalam warisan mereka berdasarkan qiyās atas penyertaan sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Dan karena mereka adalah anak dari satu ibu, maka boleh mereka bersama-sama dalam sepertiga bagian, dengan qiyās kepada mereka jika di antara mereka tidak ada anak dari ayah. Dan setiap orang yang memiliki dua sebab (hubungan), ia mewarisi dengan masing-masing sebab secara terpisah, maka jika ia tidak mewarisi dengan salah satunya, boleh ia mewarisi dengan sebab yang lain, dengan qiyās kepada anak paman jika ia juga saudara seibu. Dan setiap orang yang memiliki makna ‘ashabah dan fardh, maka jika ia tidak mewarisi dengan ‘ashabah, boleh ia mewarisi dengan fardh, dengan qiyās kepada ayah. Dan karena prinsip-prinsip ilmu waris dibangun atas dasar mendahulukan yang lebih kuat atas yang lebih lemah, dan keadaan terendah adalah penyertaan yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah, dan tidak ada dalam prinsip-prinsip ilmu waris yang lebih kuat gugur karena yang lebih lemah. Dan anak dari ayah dan ibu lebih kuat daripada anak dari ibu, karena mereka memiliki kesamaan pada ibu dan kelebihan pada ayah. Maka jika ayah tidak menambah kekuatan mereka, ia juga tidak menambah kelemahan mereka, dan keadaan terburuknya adalah keberadaan ayah seperti tidak ada, sebagaimana dikatakan oleh penanya: Anggaplah ayah mereka adalah seekor keledai.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أبقت الفرائض فلأولى ذَكَرٍ فَهُوَ أَنَّ وَلَدَ الْأَبِ وَالْأُمِّ يَأْخُذُونَ بِالْفَرْضِ لَا بِالتَّعْصِيبِ فَلَمْ يَكُنْ فِي الْخَبَرِ دَلِيلٌ عَلَى مَنْعِهِمْ.

Adapun jawaban atas sabda Nabi ﷺ: “Sisa warisan diberikan kepada laki-laki yang paling dekat,” maka maksudnya adalah bahwa anak dari ayah dan ibu mengambil bagian tertentu (fardh), bukan dengan ‘ashabah, sehingga tidak ada dalam hadis tersebut dalil untuk melarang mereka (mewarisi).

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ: أَنَّهُمْ لَا يَأْخُذُونَ بِالْفَرْضِ لِعَدَمِ إِدْلَائِهِمْ بِالْأُمِّ، وَخَالَفَهُمْ وَلَدُ الْأَبِ وَالْأُمِّ وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ مَنْ كَانَ عَصَبَةً سَقَطَ عِنْدَ اسْتِيعَابِ الْفُرُوضِ لِجَمِيعِ التَّرِكَةِ.

Adapun qiyās mereka kepada saudara seayah, maka jawabannya: Mereka (saudara seayah) tidak mengambil bagian tertentu (fardh) karena tidak memiliki hubungan dengan ibu, berbeda dengan anak dari ayah dan ibu. Adapun dalil mereka bahwa siapa yang menjadi ‘ashabah gugur ketika seluruh harta habis terbagi oleh bagian-bagian tertentu (faraidh), maka…

فَالْجَوَابُ عَنْهُ: إِنَّ تَعْصِيبَ وَلَدِ الْأَبِ وَالْأُمِّ قَدْ سَقَطَ وَلَيْسَ سُقُوطُ تَعْصِيبِهِمْ يُوجِبُ سُقُوطَ رَحِمِهِمْ كَالْأَبِ إِذَا سَقَطَ أَنْ يَأْخُذَ بِالتَّعْصِيبِ لَمْ يُوجِبْ سُقُوطَ أَخْذِهِ بِالْفَرْضِ.

Maka jawabannya: Sesungguhnya hak ‘aṣabah (ahli waris karena hubungan laki-laki) bagi anak dari ayah dan ibu telah gugur, namun gugurnya hak ‘aṣabah mereka tidak menyebabkan gugurnya hubungan rahim mereka, sebagaimana ayah jika gugur haknya untuk mengambil warisan dengan ‘aṣabah, tidak menyebabkan gugur haknya untuk mengambil warisan dengan bagian tertentu (al-farḍ).

فَإِنْ كَانَتِ الْمَسْأَلَةُ زَوْجًا وأما وجدا وأخا سقط الأخ؛ لأنه الْجَدّ يَأْخُذُ فَرْضَهُ بِرَحِمِ الْوِلَادَةِ فَجَازَ أَنْ يسقط مع الْأَخِ لِفَقْدِ هَذَا الْمَعْنَى فِيهِ وَخَالَفَ وَلَدُ الأم لمشاركته له من جهة الْأُمِّ.

Jika dalam suatu kasus terdapat suami, kakek, dan saudara laki-laki, maka saudara laki-laki gugur; karena kakek mengambil bagiannya berdasarkan hubungan rahim kelahiran, sehingga boleh saja ia menggugurkan saudara laki-laki karena tidak adanya makna ini pada saudara laki-laki, dan berbeda dengan anak dari ibu karena ia memiliki kesamaan dengan kakek dari sisi ibu.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ مَنْ حَازَ جَمِيعَ المال بالتعصيب جاز أن يكون بعصبته سَبَبًا لِحِرْمَانِهِ كَزَوْجٍ، وَأُخْتٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ، وَأُخْتٍ لِأَبٍ لَوْ كَانَ مَكَانَهَا أَخٌ لِأَبٍ سَقَطَ.

Adapun dalil mereka bahwa siapa yang memperoleh seluruh harta warisan dengan ‘aṣabah, maka boleh saja ia menjadi sebab terhalangnya (ahli waris lain) melalui ‘aṣabahnya, seperti kasus suami, saudari seayah-seibu, dan saudari seayah; jika di posisi saudari seayah itu adalah saudara laki-laki seayah, maka ia gugur.

فَالْجَوَابُ أَنَّ الْأَخَ لِلْأَبِ لَيْسَ لَهُ سَبَبٌ يَرِثُ بِهِ إِلَّا بِالتَّعْصِيبِ وَحْدَهُ فَلَمْ يَجُزْ أن يدخل بمجرد التعصيب على ذوي الفرض.

Jawabannya adalah bahwa saudara laki-laki seayah tidak memiliki sebab untuk mewarisi kecuali hanya melalui ‘aṣabah, maka tidak boleh ia masuk (mewarisi) hanya dengan ‘aṣabah terhadap ahli waris yang memiliki bagian tertentu (ashab al-furūḍ).

أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوِ اجْتَمَعَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مَعَ الْأُخْتِ لِلْأَبِ الْأَخُ لِلْأَبِ أَسْقَطَهَا؛ لِأَنَّهُ نَقَلَهَا عَنِ الْفَرْضِ إِلَى التَّعْصِيبِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْإِخْوَةُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ؛ لِأَنَّ لَهُمْ رَحِمًا بالأم يجوز أن يشاركونها وَلَدَ الْأُمِّ.

Tidakkah engkau lihat bahwa jika dalam kasus ini berkumpul bersama saudari seayah, saudara laki-laki seayah, maka ia menggugurkan saudari tersebut; karena ia memindahkannya dari bagian tertentu (al-farḍ) ke ‘aṣabah, dan tidak demikian halnya dengan saudara-saudari seayah-seibu; karena mereka memiliki hubungan rahim dengan ibu yang memungkinkan mereka untuk berbagi dengan anak dari ibu.

أَلَا تَرَى أَنَّهُمْ لَوِ اجْتَمَعُوا مَعَهُمْ لَمْ يُسْقِطُوهُمْ فَكَذَلِكَ لَمْ يَسْقُطُوا بِهِمْ.

Tidakkah engkau lihat bahwa jika mereka berkumpul bersama mereka, mereka tidak menggugurkan mereka, demikian pula mereka tidak gugur karena mereka.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُفَضَّلَ وَلَدُ الْأُمِّ عَلَى وَلَدِ الْأَبِ وَالْأُمِّ جَازَ أَنْ يَسْقُطُوا بِهِمْ.

Adapun dalil mereka bahwa ketika boleh mengutamakan anak dari ibu atas anak dari ayah dan ibu, maka boleh juga mereka gugur karena anak dari ibu.

فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُفَضَّلُوا عَلَيْهِمْ؛ لِأَنَّهُمْ وَرِثُوا بِتَعْصِيبِهِمْ دُونَ أُمِّهِمْ وَمِيرَاثِهِمْ بِالتَّعْصِيبِ أَقْوَى؛ لِأَنَّهُمْ قَدْ يَأْخُذُونَ بِهِ الْأَكْثَرَ، فَجَازَ أَنْ يَأْخُذُوا بِهِ الْأَقَلَّ، فَإِذَا سَقَطَ تَعْصِيبُهُمْ لَمْ يَسْقُطُوا بِرَحِمِهِمْ؛ لِأَنَّهَا أَقَلُّ حَالَتِهِمْ فَلِهَذَا الْمَعْنَى جَازَ أَنْ يَفْضُلُوهُمْ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسْقِطُوهُمْ وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْبِنْتِ وَالْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ وَالْأُخْتِ لِلْأَبِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الْبِنْتَ إِنَّمَا تُسْقِطُ مِنَ الْإِخْوَةِ والأخوات من تفرد إدلائه بِالْأُمِّ فَإِذَا اجْتَمَعَ الْأَمْرَانِ فِي وَاحِدٍ لَمْ يُسْقِطْ، ثُمَّ رَأَيْنَا مَنْ جَمَعَ الْإِدْلَاءَ بِالْأَبَوَيْنِ أَقْوَى فَجَازَ أَنْ يَكُونَ أَحَقَّ وَهَذَا بِخِلَافِ الْمُشْتَرِكَةِ؛ لِأَنَّ الْمُخَالِفَ فِيهَا جَعَلَ الْأَضْعَفَ أَقْوَى وأحق فأين وجه الجمع بين الْمُضَادَّةِ وَكَيْفَ طَرِيقُ الِاسْتِدْلَالِ مَعَ التَّبَايُنِ.

Jawabannya adalah bahwa ketika boleh mereka diutamakan atas anak dari ayah dan ibu, karena mereka mewarisi dengan ‘aṣabah tanpa ibu mereka, dan warisan mereka dengan ‘aṣabah lebih kuat; karena mereka bisa mendapatkan bagian yang lebih banyak dengannya, maka boleh juga mereka mendapatkan bagian yang lebih sedikit. Maka jika hak ‘aṣabah mereka gugur, mereka tidak gugur karena hubungan rahimnya; karena itu adalah keadaan terendah mereka. Oleh karena itu, boleh mereka diutamakan, namun tidak boleh mereka digugurkan. Adapun dalil mereka dengan (kasus) anak perempuan, saudari seayah-seibu, dan saudari seayah, maka jawabannya adalah bahwa anak perempuan hanya menggugurkan dari saudara-saudari yang hanya memiliki hubungan dengan ibu. Jika dua sebab itu berkumpul pada satu orang, maka ia tidak gugur. Kemudian kita melihat bahwa siapa yang mengumpulkan hubungan dengan kedua orang tua lebih kuat, maka boleh saja ia lebih berhak. Ini berbeda dengan kasus al-musytarakah; karena pihak yang berbeda pendapat di dalamnya menjadikan yang lebih lemah menjadi lebih kuat dan lebih berhak. Maka di mana letak penggabungan antara dua hal yang bertentangan dan bagaimana cara berdalil dengan adanya perbedaan tersebut?

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّهُمْ لَوْ وَرِثُوا بِالْفَرْضِ لَجَمَعُوا بَيْنَ التَّعْصِيبِ وَالْفَرْضِ كَالْأَبِ.

Adapun dalil mereka bahwa jika mereka mewarisi dengan bagian tertentu (al-farḍ), niscaya mereka akan mengumpulkan antara ‘aṣabah dan al-farḍ seperti ayah.

فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الْفَرْضَ منهم أضعف من التعصيب؛ لأن الميراث به اجتهاد عَنْ نَصٍّ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَجْمَعَ لَهُمْ بَيْنَ التَّعْصِيبِ الْأَقْوَى وَالْفَرْضِ الْأَضْعَفِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ فَرَضُ الْأَبِ لِقُوَّتِهِ وَمُسَاوَاتِهِ التَّعْصِيبَ الَّذِي فِيهِ فجاز أن يجتمع له الميراثان.

Jawabannya adalah bahwa bagian tertentu (al-farḍ) pada mereka lebih lemah daripada ‘aṣabah; karena warisan dengan al-farḍ adalah hasil ijtihad dari nash, maka tidak boleh dikumpulkan bagi mereka antara ‘aṣabah yang lebih kuat dan al-farḍ yang lebih lemah. Tidak demikian halnya dengan bagian ayah karena kekuatannya dan kesetaraannya dengan ‘aṣabah yang ada padanya, sehingga boleh saja ia mengumpulkan dua jenis warisan tersebut.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ التَّشْرِيكِ بَيْنَ وَلَدِ الْأُمِّ وَبَيْنَ وَلَدِ الْأَبِ وَالْأُمِّ في المشتركة وَجَبَ أَنْ يُسَوَّى فِيهِ بَيْنَ ذُكُورِهِمْ وَإِنَاثِهِمْ؛ لِأَنَّ وَلَدَ الْأُمِّ لَا يُفَضَّلُ ذَكَرُهُمْ عَلَى إناثهم.

Jika telah tetap kewajiban untuk menyamakan antara anak dari ibu dan anak dari ayah dan ibu dalam kasus al-musytarakah, maka wajib pula disamakan antara laki-laki dan perempuan di antara mereka; karena pada anak dari ibu tidak diutamakan laki-lakinya atas perempuannya.

فَلَوْ كَانَتِ الْمَسْأَلَةُ زَوْجًا وَأُمًّا وَأُخْتَيْنِ لِأُمٍّ وَأَخَوَيْنِ لِأَبٍ وَأُمٍّ كَانَ الثُّلُثُ بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ من الأم والأخوين للأب وَالْأُمِّ بِالسَّوِيَّةِ فَلَوْ كَانَ مَكَانُ الْأَخَوَيْنِ لِلْأَبِ والأم أختان لأب وأم لم تكن مشتركة لِأَنَّ لِلْأَخَوَاتِ فَرْضًا فَيَكُونُ لِلزَّوْجِ النِّصْفُ وَلِلْأُمِّ السدس وللأخوين مِنَ الْأُمِّ الثُّلُثُ وَلِلْأُخْتَيْنِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ الثلثان وتعول إِلَى عَشَرَةٍ وَلَوْ كَانَ مَعَ الْأُخْتَيْنِ لِلْأَبِ والأم أخ صارت مشتركة؛ لأن مشاركة الأخ لهما أسقط فرضهما ويأخذون جَمِيعًا بِالتَّشْرِيكِ فَلَوْ كَانَ وَلَدُ الْأُمِّ وَاحِدًا سَقَطَ التَّشْرِيكُ؛ لِأَنَّهُ يَبْقَى مِنَ الْفُرُوضِ سُدُسٌ يَأْخُذُهُ وَلَدُ الْأَبِ وَالْأُمِّ بِالتَّعْصِيبِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.

Jika dalam suatu kasus terdapat suami, ibu, dua saudari seibu, dan dua saudara seayah-seibu, maka sepertiga warisan dibagi rata antara dua saudari seibu, dua saudara seayah-seibu, dan ibu. Namun, jika dua saudara seayah-seibu digantikan oleh dua saudari seayah-seibu, maka tidak ada pembagian bersama, karena para saudari memiliki bagian tertentu. Maka, suami mendapat setengah, ibu mendapat seperenam, dua saudari seibu mendapat sepertiga, dan dua saudari seayah-seibu mendapat dua pertiga. Jumlah bagian menjadi sepuluh. Jika bersama dua saudari seayah-seibu terdapat seorang saudara laki-laki seayah-seibu, maka menjadi pembagian bersama, karena keikutsertaan saudara laki-laki menggugurkan bagian tertentu saudari, sehingga mereka semua mendapat bagian secara bersama. Jika anak ibu hanya satu, maka pembagian bersama gugur, karena masih tersisa seperenam dari bagian-bagian yang ada, yang diambil oleh anak seayah-seibu secara ‘ashabah (pengganti). Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

باب ميراث ولد الملاعنة

Bab Warisan Anak Hasil Li‘ān

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وقلنا إِذَا مَاتَ وَلَدُ الْمُلَاعَنَةِ وَوَلَدُ الزِّنَا وَرِثَتْ أُمُّهُ حَقَّهَا وَإِخْوَتُهُ لِأُمِّهِ حُقُوقَهُمْ وَنَظَرْنَا مَا بَقِيَ فَإِنْ كَانَتْ أُمُّهُ مَوْلَاةَ وَلَاءِ عَتَاقَةٍ كان ما بقي ميراثا لموالي أمه وإن كانت عَرَبِيَّةً أَوْ لَا وَلَاءَ لَهَا كَانَ مَا بقي لجماعة المسلمين وقال بعض الناس فيها بقولنا إلا في خصلة إذا كانت عربية أو لا ولاء لها فعصبته عصبة أمه واحتجوا برواية لا تثبت وقالوا كيف لم تجعلوا عصبته عصبة أمه كما جعلتم مواليه موالي أمه؟ (قلنا) بالأمر الذي لم نختلف فيه نحن ولا أنتم ثم تركتم فيه قولكم أليس المولاة المعتقة تلد من مملوك؟ أليس ولدها تبعا لولائها كأنهم أعتقوهم يعقل عنهم موالي أمهم ويكونون أولياء في التزويج لهم؟ قالوا نعم قلنا فإن كانت عربية أتكون عصبتها عصبة ولدها يعقلون عنهم أو يزوجون البنات منهم؟ قالوا لا قلنا فإذا كان موالي الأم يقومون مقام العصبة في ولد مواليهم وكان الأخوال لا يقومون ذلك المقام في بني أختهم فكيف أنكرت ما قلنا والأصل الذي ذهبنا إليه واحد؟ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Kami katakan, jika anak hasil li‘ān atau anak zina meninggal, maka ibunya mewarisi bagiannya, dan saudara-saudaranya seibu mewarisi bagian mereka. Kemudian kita lihat sisa warisan, jika ibunya adalah maulāh (bekas budak) karena ‘itq (pembebasan), maka sisa warisan menjadi milik para maula ibunya. Jika ibunya seorang Arab atau tidak memiliki wala’, maka sisa warisan menjadi milik kaum muslimin. Sebagian ulama berpendapat seperti pendapat kami, kecuali dalam satu hal, yaitu jika ibunya seorang Arab atau tidak memiliki wala’, maka ‘ashabah-nya adalah ‘ashabah ibunya. Mereka berdalil dengan riwayat yang tidak sahih. Mereka berkata: Mengapa kalian tidak menjadikan ‘ashabah-nya adalah ‘ashabah ibunya sebagaimana kalian menjadikan maulanya adalah maula ibunya? (Kami jawab:) Berdasarkan perkara yang tidak diperselisihkan antara kami dan kalian, lalu kalian meninggalkan pendapat kalian sendiri dalam hal ini. Bukankah seorang maulāh perempuan yang memerdekakan budak bisa melahirkan anak dari budaknya? Bukankah anaknya mengikuti wala’ ibunya, seolah-olah para maula itu yang memerdekakannya, sehingga para maula ibunya menanggung diyatnya dan menjadi wali dalam pernikahan? Mereka menjawab: Ya. Kami berkata: Jika ibunya seorang Arab, apakah ‘ashabah-nya menjadi ‘ashabah anaknya, menanggung diyat atau menikahkan anak perempuannya? Mereka menjawab: Tidak. Kami berkata: Jika para maula ibu menempati posisi ‘ashabah bagi anak-anak maula mereka, sedangkan para paman dari pihak ibu tidak menempati posisi itu bagi anak-anak saudari mereka, maka bagaimana kalian mengingkari pendapat kami, padahal dasar yang kami gunakan sama?”

قال الماوردي: وهذا كَمَا قَالَ: وَلَدُ الْمُلَاعَنَةِ ينْتَفى عَنْ أَبِيهِ وَيَلْحَقُ بِأُمِّهِ لِرِوَايَةِ مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ألحق ابن الْمُلَاعَنَةِ بِأُمِّهِ وَاخْتَلَفُوا فِي نَفْيِهِ عَنْ أَبِيهِ بِمَاذَا يَكُونُ مِنَ اللِّعَانِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang telah dikatakan, bahwa anak hasil li‘ān dinisbatkan kepada ibunya dan tidak kepada ayahnya, berdasarkan riwayat Malik dari Nafi‘ dari Ibnu Umar bahwa Nabi ﷺ menisbatkan anak hasil li‘ān kepada ibunya. Para ulama berbeda pendapat mengenai cara penafian anak dari ayahnya melalui li‘ān, terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ بِلِعَانِ الزَّوْجِ وحده يقع الفرق وَينْتَفى عَنْهُ الْوَلَدُ.

Pertama, menurut mazhab asy-Syafi‘i: Dengan li‘ān dari suami saja terjadi perpisahan dan anak dinyatakan tidak dinisbatkan kepadanya.

وَالثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ أَنْ بِلِعَانِهِمَا جَمِيعًا تَقَعُ الْفُرْقَةُ وَينْتَفى عَنْهُ الْوَلَد.

Kedua, menurut mazhab Malik: Dengan li‘ān dari keduanya (suami dan istri) terjadi perpisahan dan anak dinyatakan tidak dinisbatkan kepadanya.

وَالثَّالِثُ: وَهُوَ مَذْهَبُ أبي حنيفة أَنَّ بلعانها وحكم الحاكم يقع الْفُرْقَةُ وَينْتَفى عَنْهُ الْوَلَدُ وَحِجَاجُ هَذَا الْخِلَافِ يَأْتِي فِي كتَابِ اللِّعَانِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.

Ketiga, menurut mazhab Abu Hanifah: Dengan li‘ān dari istri dan keputusan hakim terjadi perpisahan dan anak dinyatakan tidak dinisbatkan kepadanya. Dalil-dalil perbedaan ini akan dijelaskan dalam Kitab Li‘ān, insya Allah.

فَإِذَا انْتَفَى الْوَلَدُ بِاللِّعَانِ عَنِ الزَّوْجِ وَلَحِقَ بالأم انتفى تَعْصِيبُ النَّسَبِ فَقَدِ اخْتَلَفُوا هَلْ تَصِيرُ الْمُلَاعَنَةُ أَوْ عَصَبَتُهَا عَصَبَةً لَهُ أَمْ لَا؟ فَمَذْهَبُ الشافعي أنها لَا تَكُونُ لَهُ عَصَبَةً وَلَا تَصِيرُ أُمُّهُ وَلَا عَصَبَتُهَا لَهُ عَصَبَةً، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَابْنُ عَبَّاسٍ فِي إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ، وَمِنَ التَّابِعِينَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الزُّهْرِيُّ وَمَالِكٌ وَقَالَ أبو حنيفة: تَصِيرُ أُمُّهُ عَصَبَةً لَهُ ثُمَّ عَصَبَتُهَا مِنْ بَعْدِهَا، وَبِهِ قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ، وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: تَصِيرُ عَصَبَةُ الْأُمِّ عَصَبَةً لَهُ، وَلِلْأُمِّ فَرْضُهَا وَبِهِ قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السلام.

Jika anak dinyatakan tidak dinisbatkan kepada suami melalui li‘ān dan dinisbatkan kepada ibunya, maka hak ‘ashabah nasab menjadi gugur. Para ulama berbeda pendapat, apakah ibu atau ‘ashabahnya menjadi ‘ashabah bagi anak tersebut atau tidak? Menurut mazhab asy-Syafi‘i, ibu tidak menjadi ‘ashabah baginya, demikian pula ‘ashabah ibu tidak menjadi ‘ashabah baginya. Pendapat ini juga dipegang oleh sahabat Zaid bin Tsabit dan Ibnu Abbas dalam salah satu riwayat darinya, dari kalangan tabi‘in Sa‘id bin al-Musayyab dan ‘Urwah bin az-Zubair, serta dari kalangan fuqaha az-Zuhri dan Malik. Abu Hanifah berpendapat: Ibunya menjadi ‘ashabah baginya, kemudian ‘ashabah ibunya setelah itu. Pendapat ini juga dipegang oleh Ibnu Mas‘ud. Ahmad bin Hanbal berpendapat: ‘Ashabah ibu menjadi ‘ashabah baginya, sedangkan ibu mendapat bagian fardh-nya. Pendapat ini juga dipegang oleh Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam.

وَاسْتَدَلَّ مَنْ جَعَلَ أُمَّهُ وَعَصَبَتَهَا عَصَبَةً لَهُ بِمَا رَوَى عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَعَلَ مِيرَاثَ ابْنِ الْمُلَاعَنَةِ لِأُمِّهِ وَلِوَرَثَتِهَا مِنْ بعدها.

Orang yang berpendapat bahwa ibu dan ‘ashabahnya menjadi ‘ashabah bagi anak tersebut berdalil dengan riwayat dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi ﷺ menjadikan warisan anak hasil li‘ān untuk ibunya dan untuk para ahli warisnya setelahnya.

وما رواه عبد الواحد بن عبد الله البصري عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: المرأة تحوز ثلث مَوَارِيثِ عَتِيقِهَا وَلَقِيطِهَا وَوَلَدِهَا الَّذِي لَاعَنَتْ عَلَيْهِ.

Diriwayatkan dari ‘Abd al-Wāḥid bin ‘Abd Allāh al-Baṣrī, dari Wāthilah bin al-Asqa‘, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Perempuan berhak memperoleh sepertiga dari warisan mantan budaknya, anak pungutnya, dan anaknya yang ia lakukan li‘ān atasnya.”

وروي عن دَاوُد بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن عبيد بن عمر الأنصاري قَالَ كَتَبْتُ إِلَى صَدِيقٍ لِي مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مِنْ بَنِي زُرَيْقٍ أَسْأَلُهُ عَنْ وَلَدِ الْمُلَاعَنَةِ لِمَنْ قَضَى بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فكتب إليه إِنِّي سَأَلْتُ فَأُخْبِرْتُ أَنَّهُ قَضَى بِهِ لِأُمِّهِ هِيَ بِمَنْزِلَةِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ وَرُوِيَ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ بَعَثَ أَهْلُ الْكُوفَةِ رَجُلًا إِلَى الْحِجَازِ فِي زَمَنِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عنه ما بعثوه إلا في ميراث الْمُلَاعَنَةِ يَسْأَلُ عَنْهُ فَجَاءَهُمُ الرَّسُولُ أَنَّهُ لِأُمِّهِ وَعَصَبَتِهَا، وَلِأَنَّ الْوَلَاءَ كَالنَّسَبِ فِي التَّعْصِيبِ وَالْعَقْلِ فَلَمَّا ثَبَتَ عَلَيْهِ الْوَلَاءُ مِنْ جِهَةِ الْأُمِّ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ وَلَاءٌ مِنْ جِهَةِ الأب جاز أن يثبت له بالتعصيب مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ إِذَا لَمْ يَثْبُتْ لَهُ بالتعصيب من جهة الأب ويتحرر من قِيَاسَانِ:

Diriwayatkan dari Dāwūd bin Abī Hind, dari ‘Abd Allāh bin ‘Ubayd bin ‘Umar al-Anṣārī, ia berkata: Aku menulis surat kepada seorang sahabatku dari penduduk Madinah, dari Bani Zuraiq, menanyakan kepadanya tentang anak hasil li‘ān, kepada siapa Rasulullah ﷺ memutuskan haknya. Maka ia menulis balasan kepadaku: “Aku telah bertanya dan diberi tahu bahwa beliau memutuskan hak anak itu kepada ibunya; ia menempati kedudukan ayah dan ibunya.” Diriwayatkan pula dari al-Sya‘bī, ia berkata: Penduduk Kufah pernah mengutus seorang laki-laki ke Hijaz pada masa ‘Utsmān bin ‘Affān ra., mereka mengutusnya hanya untuk menanyakan warisan anak hasil li‘ān. Maka utusan itu kembali dengan membawa jawaban bahwa hak warisnya untuk ibunya dan ‘aṣabah dari pihak ibunya. Karena walā’ itu seperti nasab dalam hal ‘aṣabah dan diyat, maka ketika walā’ itu tetap dari pihak ibu, jika tidak ada walā’ dari pihak ayah, boleh ditetapkan ‘aṣabah dari pihak ibu jika tidak ada ‘aṣabah dari pihak ayah. Hal ini terbebas dari dua qiyās:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ كُلَّ جِهَةٍ جَازَ أَنْ يثبت عليها الولاء فيها جَازَ أَنْ يَثْبُتَ عَلَيْهِ التَّعْصِيبُ مِنْهَا كَالْأَبِ.

Pertama: Setiap pihak yang boleh ditetapkan walā’ padanya, maka boleh pula ditetapkan ‘aṣabah darinya, seperti ayah.

وَالثَّانِي: أَنَّ مَا حِيزَ بِهِ الْمِيرَاثُ مِنْ جِهَةِ الْأَبِ جَازَ أَنْ يُحَازَ بِهِ مِنْ جهة الأم كالولادة.

Kedua: Apa yang dapat diperoleh warisan dari pihak ayah, boleh pula diperoleh dari pihak ibu, seperti kelahiran.

وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا أَبْقَتِ الفرائض فلأولى رجل ذَكَرٍ وَقَدْ فَرَضَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْأُمِّ الثُّلُثُ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُزَادَ عَلَيْهِ وَرَوَى الزُّهْرِيُّ عن شريك بن سحماء أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَاعَنَ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ وَكَانَتْ حَامِلًا فَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا فَكَانَ يُدْعَى إِلَيْهَا ثُمَّ جَرَتِ السُّنَّةُ أَنْ يَرِثَهَا وَتَرِثَ مِنْهُ مَا فَرَضَ اللَّهُ تَعَالَى لَهَا وَهَذَا نَصٌّ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ أدلى بِمَنْ لَا تَعْصِيبَ لَهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ تعصيب كابن العم للأم؛ لأنها قرابة بعتق يُقَدَّمُ عَلَيْهَا الْمُعْتَقُ فَلَمْ يَسْتَحِقَّ بِهَا الْإِرْثَ كَالرَّضَاعِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ أَحْرَزَ مَعَهُ الْمَوْلَى الْمُعْتَقُ جَمِيعَ التَّرِكَةِ لَمْ يَسْتَحِقَّ الْإِرْثَ بِالْقَرَابَةِ كالعبد الكافر، وَلِأَنَّ التَّعْصِيبَ قَدْ يُعْدَمُ بِالْمَوْتِ مَعَ مَعْرِفَةِ النسب كَمَا يُعْدَمُ بِاللِّعَانِ لِلْجَهْلِ بِالنَّسَبِ فَلَمَّا كَانَ عَدَمُهُ بِالْمَوْتِ لَا يُوجِبُ انْتِقَالَهُ إِلَى الْأُمِّ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ عَدَمُهُ بِاللِّعَانِ لَا يُوجِبُ انْتِقَالَهُ إِلَى الْأُمِّ وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَنَّ عَدَمَ التعصيب من جهة لَا يُوجِبُ انْتِقَالَهُ إِلَى غَيْرِ جِهَتِهِ كَالْمَوْتِ، وَلِأَنَّ الْأُمَّ لَوْ صَارَتْ عَصَبَةً كَالْأَبِ لَوَجَبَ أَنْ تَحْجُبَ الْإِخْوَةَ كَمَا يَحْجُبُهُمُ الْأَبُ، وَفِي إِجْمَاعِهِمْ عَلَى تَوْرِيثِ الْإِخْوَةِ مَعَهَا دَلِيلٌ عَلَى عَدَمِ تَعْصِيبِهَا، وَلِأَنَّ اسْتِحْقَاقَ الْعَصَبَةِ لِلْمِيرَاثِ فِي مُقَابَلَةٍ تَحْمِلُهُمْ لِلْعَقْلِ وَوِلَايَةِ النِّكَاحِ فَلَمَّا لَمْ تَعْقِلْ عَصَبَةُ الْأُمِّ وَلَمْ يُزَوِّجُوا لَمْ يَرِثُوا.

Dalil kami adalah riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Sampaikanlah bagian-bagian waris kepada ahlinya, maka apa yang tersisa setelah pembagian bagian-bagian itu menjadi hak laki-laki terdekat.” Allah Ta‘ālā telah menetapkan sepertiga untuk ibu, maka tidak boleh ditambah atasnya. Al-Zuhrī meriwayatkan dari Syarīk bin Suḥmā’, bahwa Nabi ﷺ melakukan li‘ān antara sepasang suami istri, dan sang istri sedang hamil. Lalu beliau menafikan anak itu darinya, sehingga anak itu dinisbatkan kepada ibunya. Kemudian menjadi sunnah bahwa anak itu mewarisi ibunya dan ibunya mewarisi dari anak itu sesuai bagian yang telah Allah Ta‘ālā tetapkan baginya. Ini adalah nash. Dan setiap orang yang berhubungan dengan pihak yang tidak memiliki hak ‘aṣabah, maka ia tidak mendapatkan hak ‘aṣabah, seperti anak paman dari pihak ibu; karena hubungan kekerabatan karena pembebasan budak didahulukan atasnya, sehingga ia tidak berhak mewarisi, seperti hubungan karena persusuan. Dan setiap orang yang bersama maulā mu‘taq memperoleh seluruh harta peninggalan, maka ia tidak berhak mewarisi karena kekerabatan, seperti budak kafir. Dan ‘aṣabah bisa saja tidak ada karena kematian meskipun nasab diketahui, sebagaimana tidak adanya karena li‘ān karena tidak diketahui nasab. Maka ketika ketiadaan ‘aṣabah karena kematian tidak menyebabkan berpindahnya hak waris kepada ibu, demikian pula ketiadaan karena li‘ān tidak menyebabkan berpindahnya hak waris kepada ibu. Penjelasan qiyās-nya: ketiadaan ‘aṣabah dari satu pihak tidak menyebabkan berpindahnya hak waris ke pihak lain, seperti halnya kematian. Dan seandainya ibu menjadi ‘aṣabah seperti ayah, niscaya ia akan menghalangi saudara-saudara (anak-anaknya) sebagaimana ayah menghalangi mereka. Namun ijmā‘ mereka atas pewarisan saudara-saudara bersama ibu menunjukkan bahwa ibu tidak menjadi ‘aṣabah. Dan hak ‘aṣabah untuk mewarisi adalah sebagai imbalan atas tanggung jawab diyat dan perwalian nikah. Maka ketika ‘aṣabah dari pihak ibu tidak menanggung diyat dan tidak menikahkan, mereka tidak berhak mewarisi.

وتحريره قياسا أن ما تفرع من النَّسَبِ لَمْ يَثْبُتْ إِلَّا بِثُبُوتِ النَّسَبِ قِيَاسًا عَلَى الْعَقْلِ.

Penjelasan qiyās-nya adalah bahwa segala sesuatu yang bercabang dari nasab tidak dapat ditetapkan kecuali dengan tetapnya nasab, qiyās kepada diyat.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ فَهُوَ أَنَّهُ مُرْسَلٌ؛ لِأَنَّ لَهُ جَدَّيْنِ الْأَوَّلُ مِنْهُمَا تَابِعِيٌّ، وَالثَّانِي صَحَابِيٌّ، فَإِذَا لم يعين أحدهما لحق بالمرسل فَلَمْ يُلْزِمِ الِاحْتِجَاجَ بِهِ عَلَى أَنَّهُ مُحْتَمِلٌ أَنَّهُ جَعَلَ مِيرَاثَهُ لِأُمِّهِ إِذَا كَانَ لَهَا عليه ولاء ثم لورثته وَلَائهَا مِنْ بَعْدِهَا وَبِمِثْلِهِ يُجَابُ عَنْ حَدِيثِ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ، أَوْ يُحْمَلُ عَلَى أَنَّهَا تَحُوزُ مِيرَاثَهُ وَهُوَ قَدْرُ فَرْضِهَا، وَيُسْتَفَادُ بِهِ أَنَّ لِعَانَهَا عَلَيْهِ لَا يُؤَثِّرُ فِي سُقُوطِ ميراثها منه.

Adapun jawaban atas hadis ‘Amr bin Syu‘aib adalah bahwa hadis tersebut mursal; karena ia memiliki dua kakek, yang pertama di antara keduanya adalah tabi‘in, dan yang kedua sahabat. Maka jika salah satunya tidak ditentukan, hadis itu termasuk kategori mursal sehingga tidak wajib dijadikan hujah. Selain itu, hadis tersebut juga mungkin bermakna bahwa ia menjadikan warisannya untuk ibunya jika ibunya memiliki hubungan wala’ dengannya, kemudian untuk para ahli waris wala’ ibunya setelahnya. Dengan penjelasan serupa pula dijawab hadis Watsilah bin al-Asqa‘, atau hadis itu bisa dipahami bahwa ibunya hanya memperoleh warisan sebatas bagian wajibnya. Dari sini dapat diambil faedah bahwa li‘an yang dilakukan ibunya terhadapnya tidak berpengaruh pada gugurnya hak waris ibunya darinya.

أما حَدِيثُ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدٍ فَمُرْسَلٌ ثُمَّ لَا دَلِيلَ فِيهِ؛ لِأَنَّهُمْ سَأَلُوا عَنْ وَلَدِ الملاعنة لمن قضى به قالوا: قَضَى بِهِ لِأُمِّهِ هِيَ بِمَنْزِلَةِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ في كفالته والقيام بحضانته؛ لأنه لم يجز لِلْمِيرَاثِ فِيهِ ذِكْرٌ.

Adapun hadis Dawud bin Abi Hind adalah mursal, dan di dalamnya tidak terdapat dalil; karena mereka bertanya tentang anak hasil li‘an, kepada siapa ia dinisbatkan? Mereka menjawab: dinisbatkan kepada ibunya, ia berada pada kedudukan ayah dan ibunya dalam hal pemeliharaan dan pengasuhan; karena tidak ada keterangan tentang warisan di dalamnya.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْوَلَاءِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ قَدْ يَثْبُتُ مِنْ جِهَةِ الْأُمِّ كَثُبُوتِهِ مِنْ جِهَةِ الْأَبِ وَهُوَ مِنْ جِهَةِ الْأُمِّ أَقْوَى وَخَالَفَ النَّسَبَ الَّذِي لَا يَثْبُتُ إِلَّا مِنْ جِهَةِ الْأَبِ فَكَذَا مَا تَفَرَّعَ عَنْهُ مِنَ التَّعْصِيبِ.

Adapun qiyās mereka terhadap wala’, maka maksudnya adalah bahwa wala’ bisa tetap dari jalur ibu sebagaimana tetap dari jalur ayah, bahkan dari jalur ibu lebih kuat, dan ini berbeda dengan nasab yang tidak bisa tetap kecuali dari jalur ayah. Maka demikian pula segala sesuatu yang bercabang darinya berupa ‘ashabah.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ ما وصفنا ومات ابن الملاعنة فترك أُمَّهُ وَخَالًا فَعَلَى قَوْلِ أبي حنيفة وَهُوَ قَوْلِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ الْمَالُ كُلُّهُ لِأُمِّهِ وَعَلَى قَوْلِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَهُوَ قَوْلُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ لِأُمِّهِ الثُّلُثُ وَالْبَاقِي لِلْخَالِ؛ لِأَنَّهُ عَصَبَةُ الْأُمِّ وَعَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَهُوَ قَوْلُ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِأُمِّهِ الثُّلُثُ وَالْبَاقِي لِمَوَالِيهَا إِنْ كَانَ عَلَى الْأُمِّ وَلَاءٌ؛ لِأَنَّ الْوَلَدَ دَاخِلٌ فِي وَلَاءِ أُمِّهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَى الْأُمِّ وَلَاءٌ فَالْبَاقِي بَعْدَ فَرْضِهَا لِبَيْتِ الْمَالِ فَلَوْ تَرَكَ ابْنُ الْمُلَاعَنَةِ أُمًّا وَأَخًا وَأُخْتًا فَعَلَى قَوْلِ أبي حنيفة، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ مَسْعُودٍ الْمَالُ كُلُّهُ لِلْأُمِّ، وَعَلَى قول أحمد بن حنبل وهو قول علي عليه السلام لِأُمِّهِ السُّدُسُ وَلِأَخِيهِ وَأُخْتِهِ الثُّلُثُ بَيْنَهُمَا بِالسَّوِيَّةِ وَالْبَاقِي بَيْنَهُمَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ، وَعَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَهُوَ قَوْلُ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ لِلْأُمِّ السُّدُسُ وَلِلْأَخِ وَالْأُخْتِ الثُّلُثُ بَيْنَهُمَا بِالسَّوِيَّةِ وَالْبَاقِي لِلْمَوْلَى، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَلِبَيْتِ الْمَالِ فَلَوْ كَانَ وَلَدُ الْمُلَاعَنَةِ تَوْأَمَيْنِ ابْنَيْنِ فَمَاتَ أحدهما فترك أُمَّهُ وَأَخَاهُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي أَخِيهِ هَلْ يَرِثُهُ مِيرَاثَ أَخٍ لِأُمٍّ أَوْ مِيرَاثَ لِأَبٍ وَأُمٍّ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Setelah apa yang kami jelaskan tadi menjadi jelas, apabila anak hasil li‘an meninggal dunia dan meninggalkan ibu serta paman dari pihak ibu, maka menurut pendapat Abu Hanifah—yang juga merupakan pendapat Ibnu Mas‘ud ra.—seluruh hartanya menjadi milik ibunya. Menurut pendapat Ahmad bin Hanbal—yang juga merupakan pendapat ‘Ali bin Abi Thalib as.—ibunya mendapat sepertiga, dan sisanya untuk pamannya dari pihak ibu, karena ia adalah ‘ashabah dari pihak ibu. Menurut pendapat asy-Syafi‘i—yang juga merupakan pendapat Zaid bin Tsabit ra.—ibunya mendapat sepertiga, dan sisanya untuk para mawali ibunya jika pada ibu terdapat hubungan wala’, karena anak termasuk dalam wala’ ibunya. Jika pada ibu tidak ada hubungan wala’, maka sisa setelah bagian ibunya diberikan kepada Baitul Mal. Jika anak hasil li‘an meninggalkan ibu, saudara laki-laki, dan saudara perempuan, maka menurut pendapat Abu Hanifah—yang juga merupakan pendapat Ibnu Mas‘ud—seluruh harta untuk ibunya. Menurut pendapat Ahmad bin Hanbal—yang juga merupakan pendapat ‘Ali as.—ibunya mendapat seperenam, saudara laki-laki dan saudara perempuannya mendapat sepertiga dibagi rata, dan sisanya dibagi antara keduanya dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Menurut pendapat asy-Syafi‘i—yang juga merupakan pendapat Zaid bin Tsabit—ibunya mendapat seperenam, saudara laki-laki dan saudara perempuannya mendapat sepertiga dibagi rata, dan sisanya untuk maula, jika tidak ada maka untuk Baitul Mal. Jika anak hasil li‘an adalah dua anak kembar laki-laki, lalu salah satunya meninggal dan meninggalkan ibu serta saudaranya, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai saudaranya: apakah ia mewarisi sebagai saudara seibu atau sebagai saudara seayah dan seibu? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ الأكثرين من أصحابنا أنه يرث ميراث أخ لأم، لأنهما لم عَدِمَا الْأَبَ عَدِمَا الْإِدْلَاءَ بِالْأَبِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ لِأُمِّهِ الثُّلُثُ وَلِأَخِيهِ السُّدُسُ وَالْبَاقِي لِلْمَوْلَى إِنْ كَانَ أَوْ لِبَيْتِ الْمَالِ.

Pendapat pertama, yang merupakan pendapat mayoritas ulama kami, adalah bahwa ia mewarisi sebagai saudara seibu, karena keduanya tidak memiliki ayah sehingga tidak bisa menisbatkan warisan melalui ayah. Dengan demikian, ibunya mendapat sepertiga, saudaranya mendapat seperenam, dan sisanya untuk maula jika ada, atau untuk Baitul Mal.

والوجه الثاني: حكي عن أبي إسحاق المروزي وأبو الحسن بْنِ الْقَطَّانِ وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ أَنَّهُ يَرِثُهُ مِيرَاثَ أَخٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ لِأَنَّ التَّوْأَمَيْنِ مِنْ حَمْلٍ وَاحِدٍ، وَالْحَمْلُ الْوَاحِدُ لَا يَكُونُ إِلَّا مِنْ أَبٍ وَاحِدٍ، أَلَا تَرَى أَنَّ أَيَّهُمَا اعْتَرَفَ بِهِ الْمُلَاعِنُ تَبِعَهُ الْآخَرُ فِي اللُّحُوقِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ لِأُمِّهِ الثُّلُثُ وَالْبَاقِي لِلْأَخِ؛ لِأَنَّهُ أَخٌ لِأَبٍ وَأُمٍّ فَكَانَ أَوْلَى مِنَ المولى وَبَيْتِ الْمَالِ.

Pendapat kedua, dinukil dari Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu al-Hasan bin al-Qatthan, dan ini adalah mazhab Malik, bahwa ia mewarisi sebagai saudara seayah dan seibu, karena dua anak kembar berasal dari satu kandungan, dan satu kandungan tidak mungkin kecuali dari satu ayah. Bukankah engkau melihat bahwa jika salah satu dari keduanya diakui oleh orang yang melakukan li‘an, maka yang lain pun mengikutinya dalam hal nasab. Dengan demikian, ibunya mendapat sepertiga dan sisanya untuk saudaranya, karena ia adalah saudara seayah dan seibu, sehingga lebih berhak daripada maula dan Baitul Mal.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا وَلَدُ الزِّنَا فَحُكْمُهُ حُكْمُ وَلَدِ الْمُلَاعَنَةِ فِي نَفْيِهِ عَنِ الزَّانِي ولحوقه بالأم وعلى مَا مَضَى مِنَ الِاخْتِلَافِ هَلْ تَصِيرُ الْأُمُّ وَعَصَبَتُهَا عَصَبَةً لَهُ أَمْ لَا؟ غَيْرَ أَنَّ تَوْأَمَ الزَّانِيَةِ لَا يَرِثُ إِلَّا مِيرَاثَ أَخٍ لِأُمٍّ بِإِجْمَاعِ أَصْحَابِنَا وَوِفَاقِ مَالِكٍ، وَإِنِ اخْتَلَفُوا فِي تَوْأَمِ الْمُلَاعَنَةِ فَإِنِ ادَّعَى الزَّانِي الْوَلَدَ الَّذِي وَلَّدَتْهُ الزَّانِيَةُ مِنْهُ، فَلَوْ كَانَتِ الزَّانِيَةُ فِرَاشًا لِرَجُلٍ كَانَ الْوَلَدُ فِي الظَّاهِرِ لَاحِقًا بِمَنْ لَهُ الْفِرَاشُ، وَلَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي لِادِّعَائِهِ له لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ “.

Adapun anak zina, hukumnya sama dengan anak hasil li‘ān dalam hal penafian dari laki-laki pezina dan keterkaitannya dengan ibu, serta sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mengenai perbedaan pendapat: apakah ibu dan keluarga ‘ashabah-nya menjadi ‘ashabah baginya atau tidak? Namun, saudara kembar dari perempuan pezina tidak mewarisi kecuali warisan sebagai saudara seibu, menurut ijmā‘ para ulama kami dan kesepakatan Malik, meskipun mereka berbeda pendapat dalam hal saudara kembar hasil li‘ān. Jika pezina mengakui anak yang dilahirkan oleh perempuan pezina darinya, maka jika perempuan pezina itu adalah istri sah seseorang (memiliki firāsy), secara lahiriah anak itu dinisbatkan kepada pemilik firāsy, dan tidak dinisbatkan kepada pezina meskipun ia mengakuinya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Anak itu milik firāsy dan bagi pezina adalah batu (tidak mendapat apa-apa).”

فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الزانية خلية وليست فراشا لأحد يلحقها ولدها فمذهب الشافعي أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي، وَإِنِ ادَّعَاهُ وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بعد قيام البنية وبه قال ابن سيرين وإسحاق ابن رَاهَوَيْهِ وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادعاه بعد الحد ويلحقه إذا ملك الموطوة وَإِنْ لَمْ يَدِّعِهِ وَقَالَ أبو حنيفة إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِهِ، ثُمَّ اسْتَدَلُّوا جَمِيعًا مَعَ اخْتِلَافِ مَذَاهِبِهِمْ بِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ يَلِيطُ أَوْلَادَ الْبَغَايَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ بِآبَائِهِمْ فِي الْإِسْلَامِ، وَمَعْنَى يَلِيطُ أَيْ يلحق.

Adapun jika perempuan pezina itu tidak bersuami dan tidak menjadi firāsy bagi siapa pun, maka menurut mazhab asy-Syafi‘i, anak tersebut tidak dinisbatkan kepada pezina, meskipun ia mengakuinya. Al-Hasan al-Bashri berkata: anak itu dinisbatkan kepadanya jika ia mengakuinya setelah terbukti adanya hubungan, demikian pula pendapat Ibn Sirin dan Ishaq bin Rahawaih. Ibrahim an-Nakha‘i berkata: anak itu dinisbatkan kepadanya jika ia mengakuinya setelah dijatuhkan had, dan juga dinisbatkan kepadanya jika ia memiliki budak perempuan yang digauli, meskipun ia tidak mengakuinya. Abu Hanifah berkata: jika ia menikahi perempuan itu sebelum melahirkan, meskipun hanya sehari, maka anak itu dinisbatkan kepadanya; jika tidak menikahinya, maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya. Kemudian, mereka semua, meskipun berbeda mazhab, berdalil dengan riwayat dari Umar bin al-Khattab ra. bahwa ia menisbatkan anak-anak pelacur pada masa jahiliah kepada ayah-ayah mereka pada masa Islam. Makna “yaliṭu” adalah menisbatkan.

قالوا: ولأن لَمَّا كَانَ انْتِفَاءُ الْوَلَدِ عَنِ الْوَاطِئِ بِاللِّعَانِ لَا يَمْنَعُ مِنْ لُحُوقِهِ بِهِ بَعْدَ الِاعْتِرَافِ فكذلك وَلَدُ الزِّنَا، وَهَذَا خَطَأٌ فَاسِدٌ لِمَا رَوَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ ذَكَرَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَذْكُرَ فأتاه رجل فقال يا رسول الله إني عَاهَرْتُ بأمه فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَا اعْتِهَارَ فِي الْإِسْلَامِ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَأَيُّمَا رَجُلٍ عَاهَرَ بِأَمَةٍ لَا يَمْلِكُهَا أَوِ امْرَأَةٍ لا يملكها فَادَّعَى الْوَلَدَ فَلَيْسَ بِوَلَدِهِ وَلَا يَرِثُ وَلَا يُورَثُ، وَلِأَنَّ وَلَدَ الزِّنَا لَوْ لَحِقَ بِادِّعَاءِ الزاني إياه لَلَحِقَ بِهِ إِذَا أَقَرَّ بِالزِّنَا، وَإِنْ لَمْ يدعيه كولد الموطؤة يشبه في إِجْمَاعِهِمْ عَلَى نَفْيِهِ عَنْهُ مَعَ اعْتِرَافِهِ بِالزِّنَا دَلِيلٌ عَلَى نَفْيِهِ عَنْهُ مَعَ ادِّعَائِهِ لَهُ ولأنه لو لحق بِالِاعْتِرَافِ لَوَجَبَ عَلَيْهِ الِاعْتِرَافُ وَقَدْ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الِاعْتِرَافَ بِهِ لَا يَلْزَمُهُ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ إِذَا اعْتَرَفَ بِهِ لَمْ يَلْحَقْهُ.

Mereka berkata: Karena ketika penafian anak dari laki-laki yang menggauli melalui li‘ān tidak menghalangi keterkaitan anak itu dengannya setelah pengakuan, maka demikian pula anak zina. Namun, ini adalah kesalahan yang rusak, karena sebagaimana diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash, ia berkata: Rasulullah ﷺ berkhutbah kepada kami pada hari Fathu Makkah, beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, lalu menyebutkan apa yang Allah kehendaki untuk beliau sebutkan. Kemudian datang seorang laki-laki dan berkata: Wahai Rasulullah, aku telah berzina dengan ibunya pada masa jahiliah. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada pengakuan zina dalam Islam. Anak itu milik firāsy, dan siapa saja yang berzina dengan budak perempuan yang bukan miliknya atau perempuan merdeka yang bukan istrinya, lalu ia mengaku anak itu, maka anak itu bukan anaknya, tidak mewarisi dan tidak diwarisi.” Dan karena jika anak zina dinisbatkan kepada pezina hanya dengan pengakuannya, niscaya ia juga dinisbatkan kepadanya jika ia mengakui perzinaan, meskipun tidak mengakuinya sebagai anak, sebagaimana anak dari budak perempuan yang digauli. Kesepakatan mereka untuk menafikan anak itu darinya meskipun ia mengakui perzinaan adalah dalil atas penafian anak itu darinya meskipun ia mengakuinya sebagai anak. Dan karena jika anak itu dinisbatkan dengan pengakuan, niscaya pengakuan itu menjadi wajib, padahal mereka telah sepakat bahwa pengakuan tersebut tidak wajib, maka ini menunjukkan bahwa jika ia mengakuinya, anak itu tidak dinisbatkan kepadanya.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْحَدِيثِ الْمَرْوِيِّ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ يَلِيطُ أَوْلَادَ الْبَغَايَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ بِآبَائِهِمْ فِي الْإِسْلَامِ فَهُوَ أَنَّ ذلك منه فِي عِهَارِ الْبَغَايَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ دُونَ عِهَارِ الْإِسْلَامِ، وَالْعِهَارُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَخَفُّ حُكْمًا مِنَ الْعِهَارِ فِي الْإِسْلَامِ، فَصَارَتِ الشُّبْهَةُ لَاحِقَةً بِهِ وَمَعَ الشُّبْهَةِ يَجُوزُ لُحُوقُ الْوَلَدِ، وَخَالَفَ حُكْمَهُ عِنْدَ انْتِفَاءِ الشُّبْهَةِ عَنْهُ فِي الْإِسْلَامِ.

Adapun jawaban atas hadis yang diriwayatkan dari Umar ra. bahwa ia menisbatkan anak-anak pelacur pada masa jahiliah kepada ayah-ayah mereka pada masa Islam, maka itu adalah karena perbuatan tersebut terjadi pada kasus perzinaan pelacur pada masa jahiliah, bukan pada perzinaan di masa Islam. Perzinaan pada masa jahiliah hukumnya lebih ringan daripada perzinaan di masa Islam, sehingga ada unsur syubhat yang melekat padanya, dan dengan adanya syubhat, boleh menisbatkan anak. Namun, hukumnya berbeda ketika syubhat telah hilang darinya di masa Islam.

وَأَمَّا ولد الملاعنة مخالف لِوَلَدِ الزِّنَا، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ وَلَدَ الْمُلَاعَنَةِ لَمَّا كَانَ لَاحِقًا بِالْوَاطِئِ قَبْلَ اللِّعَانِ جَازَ أَنْ يَصِيرَ لَاحِقًا بِهِ بَعْدَ الِاعْتِرَافِ؛ لِأَنَّ الأصل فيه اللحوق والبغاء طَارِئٌ وَوَلَدُ الزِّنَا لَمْ يَكُنْ لَاحِقًا بِهِ فِي حَالٍ فَيَرْجِعُ حُكْمُهُ بَعْدَ الِاعْتِرَافِ إِلَى تلك الحال.

Adapun anak hasil li‘ān berbeda dengan anak zina. Perbedaannya adalah anak hasil li‘ān, karena sebelumnya dinisbatkan kepada laki-laki yang menggauli sebelum li‘ān, maka boleh dinisbatkan kepadanya setelah pengakuan, karena asalnya memang dinisbatkan, dan perzinaan adalah hal yang baru terjadi. Sedangkan anak zina, tidak pernah dinisbatkan kepadanya dalam keadaan apa pun, sehingga hukumnya setelah pengakuan kembali kepada keadaan semula.

باب ميراث المجوس

Bab Warisan Orang Majusi

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” إذا مات المجوسي وَبِنْتُهُ امْرَأَتُهُ أَوْ أُخْتُهُ أُمُّهُ نَظَرْنَا إِلَى أعظم السببين فورثناها به وألقينا الْآخَرَ وَأَعْظَمُهُمَا أَثْبَتُهُمَا بِكُلِّ حَالٍ فَإِذَا كَانَتْ أم أختا ورثناها بأنها أم وذلك لِأَنَّ الْأُمَّ تَثْبُتُ فِي كُلِّ حَالٍ وَالْأُخْتُ قد تزول وهكذا جميع فرائضهم على هذه المسألة (وقال) بعض الناس أورثها من الوجهين معا قلنا فإذا كان معها أخت وهي أم؟ (قال) أحجبها من الثلث بأن معها أختين وأورثها من وجه آخر بإنها أخت (قلنا) أوليس إنما حجبها الله تعالى بغيرها لا بنفسها؟ (قال) بلى قلنا وغيرها خلافها؟ قال: نعم قلنا فإذا نقصتها بنفسها فهذا خلاف ما نقصها الله تعالى به أورأيت ما إذا كانت أما على الكمال كيف يجوز أن تعطيها ببعضها دون الكمال؟ تعطيها أما كاملة وأختا كاملة وهما بدنان وهذا بدن واحد؟ قال: فقد عطلت أحد الحقين. قلنا لما لم يكن سبيل إلى استعمالهما معا إلا بخلاف الكتاب والمعقول، لم يجز إلا تعطيل أصغرهما لأكبرهما “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Apabila seorang Majusi meninggal dunia dan putrinya adalah istrinya, atau saudarinya adalah ibunya, maka kita melihat kepada sebab yang paling kuat di antara keduanya, lalu kita wariskan kepadanya berdasarkan sebab tersebut dan kita gugurkan sebab yang lain. Sebab yang paling kuat adalah yang paling tetap dalam segala keadaan. Jika ia adalah ibu sekaligus saudari, maka kita wariskan kepadanya sebagai ibu, karena status ibu tetap dalam segala keadaan, sedangkan saudari bisa gugur. Demikian pula seluruh pembagian waris mereka didasarkan pada masalah ini. (Beliau berkata) sebagian orang mewariskan dari kedua sisi sekaligus. Kami katakan: Jika bersamanya ada saudari dan ia juga ibu? (Ia berkata) Saya menghalanginya dari sepertiga karena bersamanya ada dua saudari, dan saya wariskan dari sisi lain karena ia adalah saudari. (Kami katakan) Bukankah Allah Ta‘ala hanya menghalanginya karena orang lain, bukan karena dirinya sendiri? (Ia berkata) Benar. Kami katakan: Bukankah orang lain itu berbeda dengannya? Ia berkata: Ya. Kami katakan: Jika engkau menguranginya karena dirinya sendiri, maka ini bertentangan dengan apa yang Allah Ta‘ala kurangi darinya. Bagaimana menurutmu jika ia adalah ibu secara sempurna, bagaimana mungkin engkau memberinya sebagian saja, tidak secara sempurna? Engkau memberinya sebagai ibu secara penuh dan sebagai saudari secara penuh, padahal keduanya adalah dua badan, sedangkan ini satu badan? Ia berkata: Maka engkau telah meniadakan salah satu dari dua hak tersebut. Kami katakan: Ketika tidak ada jalan untuk menggabungkan keduanya kecuali dengan menyelisihi al-Kitab dan akal, maka tidak boleh kecuali meniadakan yang lebih kecil demi yang lebih besar.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا تَزَوَّجَ الْمَجُوسِيُّ أُمَّهُ فَأَوْلَدَهَا ابْنًا كَانَ الْوَلَدُ مِنْهَا ابْنَهَا وَابْنَ ابْنِهَا وَكَانَتْ لَهُ أُمًّا وَجَدَّةَ أُمّ أَبٍ، وَكَانَ للأب ابنا أخا لأم كان الْأَبُ لَهُ أَبًا وَأَخًا لِأُمٍّ.

Al-Mawardi berkata: Jika seorang Majusi menikahi ibunya lalu melahirkan seorang anak, maka anak itu adalah anaknya sekaligus cucunya, dan bagi anak itu, ibunya adalah ibu sekaligus nenek dari pihak ayah, dan bagi ayah, anak itu adalah anak sekaligus saudara seibu.

وَلَوْ تَزَوَّجَ المجوسي بنته فأولدها ابنا فكان الْوَلَدُ مِنْهُ ابْنًا وَابْنَ بِنْتٍ وَكَانَ الْأَبُ أبا وجدا أب أُمٍّ وَكَانَ الِابْنُ لِلْبِنْتِ ابْنًا وَأَخًا لِأَبٍ وَكَانَتْ لَهُ أُمًّا وَأُخْتًا لِأَبٍ.

Dan jika seorang Majusi menikahi putrinya lalu melahirkan seorang anak, maka anak itu adalah anaknya sekaligus cucu dari putri, dan ayahnya adalah ayah sekaligus kakek dari pihak ibu, dan anak bagi putrinya adalah anak sekaligus saudara seayah, dan bagi anak itu, ibunya adalah ibu sekaligus saudari seayah.

وَلَوْ تَزَوَّجَ الْمَجُوسِيُّ أُخْتَهُ فَأَوْلَدَهَا ابْنًا كَانَ الْأَبُ أَبَاهُ وَخَالَهُ، وَكَانَ الِابْنُ لَهُ ابْنًا وَابْنَ أُخْتٍ، وَكَانَ لِلْأُخْتِ ابْنًا وَابْنَ أَخٍ، وَكَانَتْ لَهُ أما وعمة، وقد تتفق هاتان المسألتان في وَطْءِ الشُّبْهَةِ فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فِي المجوسي وَقَدْ أَسْلَمُوا أَوْ تَحَاكَمُوا إِلَيْنَا فِي مَوَارِيثِهِمْ أَوْ كَانَ فِي الْمُسْلِمِينَ مَعَ الشُّبْهَةِ فَإِنِ اجْتَمَعَ فِيهِ عَقْدُ نِكَاحٍ وَقَرَابَةٌ سَقَطَ التَّوْرِيثُ بِالنِّكَاحِ لِفَسَادِهِ وَتَوَارَثُوا بِالْقَرَابَةِ الْمُفْرَدَةِ بِالِاتِّفَاقِ وَإِنِ اجْتَمَعَ فِي الشَّخْصِ الْوَاحِدِ مِنْهُمْ قَرَابَتَانِ بِنَسَبٍ تُوجِبُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا الْمِيرَاثَ فَإِنْ كَانَتْ إِحْدَاهُمَا تُسْقِطُ الْأُخْرَى كَأُمٍّ هِيَ جَدَّةٌ أَوْ بنت هي أخت لأم، ورثت بابنتها وألغيت المحجوبة منهما إجماعا، وإن كان إِحْدَاهُمَا لَا تُسْقِطُ الْأُخْرَى كَأُمٍّ هِيَ أُخْتٌ أَوْ أُخْتٌ هِيَ بِنْتٌ فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ هَلْ تُورَثُ بِالْقَرَابَتَيْنِ مَعًا أَمْ لَا فَقَالَ أبو حنيفة أَوَرِّثُهَا بِالْقَرَابَتَيْنِ مَعًا وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ وَعَلِيٌّ وَابْنُ مَسْعُودٍ وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَمِنَ التَّابِعِينَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَمَكْحُولٌ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ النَّخَعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ وَابْنُ أَبِي لَيْلَى وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ.

Dan jika seorang Majusi menikahi saudarinya lalu melahirkan seorang anak, maka ayahnya adalah ayah sekaligus paman dari pihak ibu, dan anak itu adalah anak sekaligus anak dari saudari, dan bagi saudari, anak itu adalah anak sekaligus keponakan, dan bagi anak itu, ibunya adalah ibu sekaligus bibi. Dua kasus ini juga bisa terjadi dalam kasus hubungan syubhat. Jika hal itu terjadi pada Majusi lalu mereka masuk Islam atau meminta keputusan kepada kita dalam masalah warisan mereka, atau terjadi pada kaum Muslimin karena syubhat, maka jika berkumpul pada seseorang akad nikah dan hubungan kekerabatan, maka hak waris karena nikah gugur karena rusak, dan mereka saling mewarisi karena kekerabatan semata secara ijmā‘. Jika pada satu orang terkumpul dua kekerabatan nasab yang masing-masing mewajibkan warisan, maka jika salah satunya menggugurkan yang lain, seperti ibu yang juga nenek, atau putri yang juga saudari seibu, maka ia diwariskan berdasarkan status putri dan yang terhalang diabaikan secara ijmā‘. Jika salah satunya tidak menggugurkan yang lain, seperti ibu yang juga saudari, atau saudari yang juga putri, maka para ulama berbeda pendapat, apakah diwariskan dengan dua kekerabatan sekaligus atau tidak. Abu Hanifah berkata: Aku wariskan dengan dua kekerabatan sekaligus, dan pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat seperti Umar, Ali, Ibnu Mas‘ud, dan Ibnu Abbas, serta dari kalangan tabi‘in Umar bin Abdul Aziz dan Mak-hul, dan dari kalangan fuqaha’ an-Nakha‘i, ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ahmad, dan Ishaq.

وَقَالَ الشَّافِعِيُّ أُوَرِّثُهَا بِأَثْبَتِ الْقَرَابَتَيْنِ، وَأُسْقِطُ الْأُخْرَى، وَلَا أَجْمَعُ لَهَا بَيْنَ الْمِيرَاثَيْنِ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَمِنَ التَّابِعِينَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وَالزُّهْرِيُّ وَاللَّيْثُ وَحَمَّادٌ وَاسْتَدَلَّ مَنْ وَرَّثَ بها بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى نَصَّ عَلَى التَّوْرِيثِ بِالْقَرَابَاتِ، وقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا ” فَلَمْ يَجُزْ مَعَ النَّصِّ إِسْقَاطُ بَعْضِهَا.

Dan Imam Syafi‘i berkata: Aku wariskan berdasarkan kekerabatan yang paling kuat dan aku gugurkan yang lain, dan aku tidak menggabungkan dua warisan sekaligus. Pendapat ini juga dipegang oleh sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, dari kalangan tabi‘in al-Hasan al-Bashri, dan dari kalangan fuqaha’ Malik, az-Zuhri, al-Laits, dan Hammad. Adapun yang mewariskan dengan dua kekerabatan berdalil bahwa Allah Ta‘ala telah menegaskan warisan dengan kekerabatan, dan Nabi ﷺ bersabda: “Sampaikanlah hak waris kepada ahlinya,” maka tidak boleh dengan adanya nash menggugurkan sebagian hak waris tersebut.

قَالُوا: وَلِأَنَّ اجْتِمَاعَ السَّبَبَيْنِ مِنْ أسباب الإرث عند انفصالها لَا يَمْنَعُ مِنِ اجْتِمَاعِ الْإِرْثِ بِهِمَا كَابْنَيِ الْعَمِّ إِذَا كَانَ أَحَدُهُمَا أَخًا لِأُمٍّ.

Mereka berkata: Karena berkumpulnya dua sebab dari sebab-sebab warisan ketika terpisah tidak menghalangi berkumpulnya warisan karena keduanya, seperti dua anak paman jika salah satunya adalah saudara seibu.

قَالُوا: لأن اجْتِمَاعَ الْقَرَابَتَيْنِ يُفِيدُ فِي الشَّرْعِ أَحَدَ أَمْرَيْنِ إما التقديم كأخ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ مَعَ الْأَخِ لِلْأَبِ وَإِمَّا التَّفْضِيلُ كَابْنَيِ الْعَمِّ إِذَا كَانَ أَحَدُهُمَا أَخًا لِأُمٍّ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ اجْتِمَاعُهُمَا لَغْوًا لَا يُفِيدُ تَقْدِيمًا وَلَا تَفْضِيلًا لِمَا فِيهِ مِنْ هَدْمِ الْأُصُولِ الْمُسْتَقِرَّةِ فِي الْمَوَارِيثِ وَلِذَلِكَ لَمَّ يَجُزِ الِاقْتِصَارُ عَلَى إِحْدَى الْقَرَابَتَيْنِ.

Mereka berkata: Karena berkumpulnya dua hubungan kekerabatan memberikan dalam syariat salah satu dari dua hal: yaitu mendahulukan, seperti saudara seayah dan seibu bersama saudara seayah; atau mengutamakan, seperti dua anak paman jika salah satunya juga saudara seibu. Tidak boleh berkumpulnya dua kekerabatan itu menjadi sia-sia tanpa memberikan pendahuluan atau keutamaan, karena hal itu akan meruntuhkan prinsip-prinsip pokok yang telah mapan dalam ilmu waris. Oleh karena itu, tidak boleh hanya mengambil salah satu dari dua kekerabatan saja.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُهُ تَعَالَى: {وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ} [النساء: 11] فَلَمْ يَزِدِ اللَّهُ تَعَالَى الْبِنْتَ عَلَى النِّصْفِ وَهُمْ يَجْعَلُونَ لِلْبِنْتِ إِذَا كَانَتْ بِنْتَ ابْنٍ النِّصْفَ وَالسُّدُسَ، وَالنَّصُّ يَدْفَعُ هَذَا، وَلِأَنَّ الشَّخْصَ الواحد لا يجتمع لَهُ فَرْضَانِ مُقَدَّرَانِ مِنْ مَيِّتٍ وَاحِدٍ كَالْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ لَا تَأْخُذُ النِّصْفَ بِأَنَّهَا أُخْتٌ لِأَبٍ وَالسُّدُسَ بِأَنَّهَا أُخْتٌ لِأُمٍّ وَلِأَنَّ كُلَّ نسب أَثْبَتَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ التَّوَارُثَ جَعَلَ إِلَيْهِ طَرِيقًا كَالْبُنُوَّةِ وَالْمُصَاهَرَةِ فَلَمَّا لَمْ يَجْعَلْ إِلَى اجْتِمَاعِ هَاتَيْنِ الْقَرَابَتَيْنِ وَجْهًا مُبَاحًا دَلَّ عَلَى أنه لم يرد اجتماع التوارث منهما وَقَدْ يَتَحَرَّرُ مِنْهُ قِيَاسَانِ:

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan jika dia seorang diri (perempuan), maka baginya setengah} [an-Nisā’: 11]. Maka Allah Ta‘ala tidak menambah bagian anak perempuan lebih dari setengah, sementara mereka (lawan bicara) memberikan kepada anak perempuan jika ia juga anak laki-laki, bagian setengah dan seperenam. Teks (Al-Qur’an) menolak hal ini. Selain itu, satu orang tidak mungkin mendapatkan dua bagian yang telah ditentukan dari satu mayit, sebagaimana saudari seayah dan seibu tidak mengambil setengah karena ia saudari seayah dan seperenam karena ia saudari seibu. Dan setiap nasab yang Allah Ta‘ala tetapkan adanya pewarisan darinya, Allah menjadikan ada jalannya, seperti hubungan anak dan pernikahan. Maka ketika tidak ada jalan yang dibolehkan untuk berkumpulnya dua kekerabatan ini, itu menunjukkan bahwa tidak dimaksudkan adanya pewarisan dari keduanya. Dari sini dapat diambil dua qiyās:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَا مَنَعَ الشَّرْعُ مِنِ اجْتِمَاعِهِمَا فِي بَدَنٍ وَاحِدٍ لَمْ يَجْتَمِعِ التَّوَارُثُ بِهِمَا كَالْخُنْثَى لَا يَرِثُ بأنه ذكر وأنثى.

Pertama: Bahwa apa yang dilarang syariat untuk berkumpul pada satu tubuh, maka tidak berkumpul pula pewarisan darinya, seperti khuntsā (interseks) tidak mewarisi karena ia laki-laki dan perempuan sekaligus.

وَالثَّانِي: أَنَّ سَبَبَ الْإِرْثِ إِذَا حَدَثَ عَنْ مَحْظُورٍ لَمْ يَجُزِ التَّوَارُثُ بِهِ كَالْأُخْتِ إِذَا صَارَتْ زَوْجَةً وَاسْتَدَلَّ الشَّافِعِيُّ بِأَنَّ مَجُوسِيًّا لَوْ ترك أختا وأما هي أخته لم يخل أن تحجب الأم إلى السدس أو لا تحجب، فإن لم تحجب فقد كمل فرض الأم مع الميراث الْأُخْتَيْنِ وَإِنْ حَجَبَتْ وَاللَّهُ تَعَالَى قَدْ حَجَبَهَا بِغَيْرِهَا وَهُمْ قَدْ حَجَبُوهَا بِنَفْسِهَا وَذَلِكَ مُخَالِفٌ لِحَجْبِ اللَّهِ تَعَالَى وَحُكْمِ الشَّرْعِ.

Kedua: Bahwa sebab pewarisan jika terjadi dari sesuatu yang terlarang, maka tidak boleh ada pewarisan darinya, seperti saudari yang menjadi istri. Asy-Syāfi‘ī berdalil bahwa jika seorang Majusi meninggalkan saudari dan ibu, yang mana ibu itu juga saudarinya, maka tidak lepas apakah ibu itu terhalang hingga hanya mendapat seperenam atau tidak terhalang. Jika tidak terhalang, maka bagian ibu menjadi sempurna bersama warisan dua saudari. Jika terhalang, padahal Allah Ta‘ala telah menghalanginya dengan selain dirinya, sementara mereka menghalanginya dengan dirinya sendiri. Itu bertentangan dengan penghalangan menurut Allah Ta‘ala dan hukum syariat.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالظَّاهِرِ فَهُوَ حَمْلُ الْمَقْصُودِ بِهَا عَلَى انْفِرَادِ الْأَسْبَابِ اعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ الْمُعْتَادِ دُونَ النادر الشاذ وليس يَجُوزُ حَمْلُهَا عَلَى مَا حَظَرَهُ الشَّرْعُ وَمَنَعَ الْعُرْفُ دُونَ مَا جَاءَ الشَّرْعُ بِهِ وَاسْتَقَرَّ الْعُرْفُ عَلَيْهِ وَقُرَابَاتُ الْمَجُوسِ الْحَادِثَةِ عَنْ مَنَاكِحِهِمْ لَمْ يَرِدْ بِهَا شَرْعٌ وَلَمْ يَسْتَقِرَّ عَلَيْهَا عُرْفٌ، وَبِهَذَا يُجَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى ابْنَيْ أَحَدِهِمَا أَخٌ لِأُمٍّ لِأَنَّ الشَّرْعَ أَبَاحَهُ وَالْعُرْفَ اسْتَمَرَّ فِيهِ.

Adapun jawaban atas dalil mereka dengan zhahir (teks) adalah bahwa maksudnya diarahkan pada keadaan sebab-sebab yang berdiri sendiri, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, bukan pada kasus yang langka dan menyimpang. Tidak boleh diarahkan pada apa yang dilarang syariat dan ditolak oleh kebiasaan, berbeda dengan apa yang dibawa syariat dan telah menjadi kebiasaan. Hubungan kekerabatan Majusi yang terjadi dari pernikahan mereka tidak ada syariat yang menetapkannya dan tidak ada kebiasaan yang mapan atasnya. Dengan ini pula dijawab qiyās mereka atas dua anak paman yang salah satunya juga saudara seibu, karena syariat membolehkannya dan kebiasaan pun berlangsung padanya.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ اجْتِمَاعَ الْقَرَابَتَيْنِ يُفِيدُ أَحَدَ أَمْرَيْنِ مِنْ تَقْدِيمٍ أَوْ تَفْضِيلٍ ففاسد بالأخت من الأب والأم مع الزوج يأخذ النِّصْفَ الَّذِي تَأْخُذُهُ الْأُخْتُ لِلْأَبِ عَلَى أَنَّ جَمْعَهَا بَيْنَ الْقَرَابَتَيْنِ يَمْنَعُ مِنْ مُسَاوَاةِ الْأَمْرَيْنِ.

Adapun dalil mereka bahwa berkumpulnya dua kekerabatan memberikan salah satu dari dua hal, yaitu pendahuluan atau keutamaan, maka itu rusak dengan contoh saudari seayah dan seibu bersama suami, di mana suami mengambil setengah bagian yang sama dengan yang diambil saudari seayah, padahal penggabungan dua kekerabatan pada saudari itu mencegah adanya persamaan antara dua hal tersebut.

فصل:

Fasal:

فإذا ثبت توريث ذي القرابتين من المجوس أو من وطء الشبهة بِأَقْوَاهُمَا، نَظَرْتَ فَإِنْ كَانَتْ إِحْدَاهُمَا تُسْقِطُ الْأُخْرَى فَالْمُسْقِطَةُ هِيَ الْأَقْوَى وَالتَّوْرِيثُ بِهَا أَحَقُّ، وَإِنْ كانت إحداهما لا تسقط الأخرى فالتوارث يَكُونُ بِأَقْوَاهُمَا وَاجْتِمَاعِ الْقَرَابَتَيْنِ الَّتِي يَسْتَحِقُّ التَّوَارُثُ بكل واحدة منها فِي مَنَاكَحِ الْمَجُوسِ يَكُونُ فِي سِتِّ مَسَائِلَ:

Apabila telah tetap pewarisan bagi orang yang memiliki dua kekerabatan dari kalangan Majusi atau dari hubungan syubhat dengan yang terkuat di antara keduanya, maka perhatikan: jika salah satunya menggugurkan yang lain, maka yang menggugurkan itulah yang lebih kuat dan pewarisan dengannya lebih utama. Jika salah satunya tidak menggugurkan yang lain, maka pewarisan dilakukan dengan yang terkuat di antara keduanya. Berkumpulnya dua kekerabatan yang masing-masing berhak mewarisi dalam pernikahan Majusi terjadi dalam enam kasus:

أحدهما: أَبٌ هُوَ أَخٌ، وَهَذَا لَا يَكُونُ إِلَّا أخا لأم فهذا يرث لكونه أَبًا، لِأَنَّ الْأَخَ يَسْقُطُ مَعَ الْأَبِ.

Pertama: Ayah yang juga saudara, dan ini tidak terjadi kecuali sebagai saudara seibu. Maka ia mewarisi karena statusnya sebagai ayah, karena saudara gugur bersama ayah.

وَالْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: ابْنٌ هُوَ ابْنُ ابْنٍ فَهَذَا يَرِثُ بأنه ابن.

Kasus kedua: Anak yang juga anak dari anak laki-laki, maka ia mewarisi karena ia anak.

والثالثة: بَنْتٌ هِيَ بِنْتُ ابْنٍ فَهَذِهِ تَرِثُ بِأَنَّهَا بِنْتٌ.

Ketiga: Anak perempuan yang juga anak perempuan dari anak laki-laki, maka ia mewarisi karena ia anak perempuan.

وَالرَّابِعَةُ: أُمٌّ هِيَ أُخْتٌ وَهَذِهِ لَا تَكُونُ إِلَّا أُخْتًا لِأَبٍ فَتَرِثُ بِأَنَّهَا أُمٌّ، لِأَنَّ مِيرَاثَ الْأُمِّ أَقْوَى مِنْ مِيرَاثِ الْأُخْتِ لِأَنَّهَا تَرِثُ مَعَ الْأَبِ، وَالِابْنِ وَالْأُخْتُ تَسْقُطُ مَعَهُمَا.

Keempat: Ibu yang juga saudari, dan ini tidak terjadi kecuali sebagai saudari seayah. Maka ia mewarisi karena ia ibu, karena warisan ibu lebih kuat daripada warisan saudari, sebab ibu tetap mewarisi bersama ayah dan anak, sedangkan saudari gugur bersama keduanya.

وَالْمَسْأَلَةُ الْخَامِسَةُ: بِنْتٌ هِيَ أُخْتٌ فَإِنْ كان الميت رجلا فهي أخت لأب، [وإِنْ كَانَ امْرَأَةً فَهِيَ أُخْتٌ لِأَبٍ] فَتَرِثُ بِأَنَّهَا بِنْتٌ.

Masalah kelima: Seorang anak perempuan yang juga merupakan saudara perempuan. Jika yang meninggal adalah laki-laki, maka ia adalah saudara perempuan seayah; [dan jika yang meninggal adalah perempuan, maka ia adalah saudara perempuan seayah]. Maka ia mewarisi karena statusnya sebagai anak perempuan.

وَالْمَسْأَلَةُ السَّادِسَةُ: جَدَّةٌ هِيَ أُخْتٌ فَإِنْ كَانَتِ الْجَدَّةُ أُمَّ الْأُمِّ فَإِنَّ الْأُخْتَ لا تكون إلا الأم وَلَا يَخْلُو حَالُ مَنْ وُجِدَ مِنْ وَرَثَةِ الميت في هذه المسألة أَنْ يُورَثَ مَعَهُمْ بِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْ هَاتَيْنِ القرابتين أم لا، فإن كانوا ممن يرث مَعَهُمُ الْأُخْتُ وَالْجَدَّةُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ تَرِثُ هَذِهِ بِأَنَّهَا جَدَّةٌ أَمْ بِأَنَّهَا أُخْتٌ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Masalah keenam: Seorang nenek yang juga merupakan saudara perempuan. Jika nenek tersebut adalah ibu dari ibu, maka saudara perempuan itu tidak lain adalah ibu. Tidak lepas dari keadaan para ahli waris yang ada dalam masalah ini, apakah ia mewarisi bersama mereka dengan masing-masing dari dua hubungan kekerabatan ini atau tidak. Jika mereka termasuk orang-orang yang bersama mereka saudara perempuan dan nenek sama-sama mewarisi, maka para ulama kami berbeda pendapat: apakah ia mewarisi karena statusnya sebagai nenek atau sebagai saudara perempuan, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَرِثُ بِأَنَّهَا جَدَّةٌ؛ لِأَنَّ الْجَدَّةَ تَرِثُ مَعَ الْأَبِ وَالِابْنِ وَالْأُخْتُ تَسْقُطُ مَعَ الْأَبِ وَالِابْنِ.

Salah satunya: Ia mewarisi karena statusnya sebagai nenek; karena nenek mewarisi bersama ayah dan anak laki-laki, sedangkan saudara perempuan gugur (tidak mendapat warisan) bersama ayah dan anak laki-laki.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أنها تَرِثُ بأنها أخت لِأَنَّ مِيرَاثَ الْجَدَّةِ طُعْمَةٌ وَمِيرَاثَ الْأُخْتِ نَصٌّ وَلِأَنَّ فَرْضَ الْجَدَّةِ لَا يَزِيدُ بِزِيَادَةِ الْجَدَّاتِ وَفَرْضَ الْأُخْتِ يَزِيدُ بِزِيَادَةِ الْأَخَوَاتِ، وَلِأَنَّ الْأَخَوَاتِ يَرِثْنَ بِالْفَرْضِ تَارَةً، وَبِالتَّعْصِيبِ أُخْرَى، وَالْجَدَّاتِ لَا يرثن إلا بالفرض فلهذه المعاني الثلاث صَارَتِ الْأُخْتُ أَقْوَى مِنَ الْجَدَّةِ.

Pendapat kedua: Ia mewarisi karena statusnya sebagai saudara perempuan, karena warisan nenek bersifat “ṭu‘mah” (pemberian tambahan), sedangkan warisan saudara perempuan berdasarkan nash (teks). Selain itu, bagian nenek tidak bertambah dengan bertambahnya jumlah nenek, sedangkan bagian saudara perempuan bertambah dengan bertambahnya jumlah saudara perempuan. Juga, para saudara perempuan terkadang mewarisi dengan bagian tertentu (al-farḍ), terkadang dengan ‘aṣabah (asobah), sedangkan para nenek hanya mewarisi dengan bagian tertentu saja. Karena tiga alasan ini, maka saudara perempuan lebih kuat daripada nenek.

فَأَمَّا إِنْ كَانَ الْوَرَثَةُ مِمَّنْ يُورَثُ مَعَهُمْ بِإِحْدَى هَاتَيْنِ الْقَرَابَتَيْنِ فَهَذَا يَنْظُرُ فَإِنْ كَانَ التَّوَارُثُ مَعَهُمْ يَكُونُ بِالَّتِي جَعَلْنَاهَا أَقْوَى الْقَرَابَتَيْنِ مِثْلَ أَنْ يَغْلِبَ تَوْرِيثُهَا بِأَنَّهَا جَدَّةٌ وَهُمْ مِمَّنْ تَرِثُ مَعَهُمُ الْجَدَّةُ دُونَ الْأُخْتِ أَوْ يَغْلِبُ تَوْرِيثُهَا بِأَنَّهَا أُخْتٌ وَهُمْ مِمَّنْ تَرِثُ مَعَهُمُ الْأُخْتُ دُونَ الْجَدَّةِ فَهَذِهِ تَرِثُ مَعَهُمْ بِالْقَرَابَةِ الَّتِي غَلَبْنَاهَا وَجَعَلْنَاهَا أَقْوَى وَإِنْ كَانَ التَّوَارُثُ مَعَهُمْ بالقرابة الَّتِي جَعَلْنَاهَا أَضْعَفَ مِثْلَ أَنْ يَغْلِبَ تَوْرِيثُهَا بِأَنَّهَا جَدَّةٌ وَهُمْ مِمَّنْ تَرِثُ مَعَهُمُ الْأُخْتُ دُونَ الْجَدَّةِ كَالْأُمِّ وَالْبِنْتِ أَوْ يَغْلِبُ تَوْرِيثُهَا بِأَنَّهَا أُخْتٌ وَهُمْ مِمَّنْ تَرِثُ مَعَهُمُ الْجَدَّةُ دُونَ الْأُخْتِ كَالْأَبِ وَالِابْنِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Adapun jika para ahli waris termasuk orang-orang yang bersama mereka hanya salah satu dari dua hubungan kekerabatan ini yang mewarisi, maka hal ini perlu diperhatikan: jika pewarisan bersama mereka terjadi dengan hubungan kekerabatan yang kami anggap lebih kuat, seperti jika pewarisan sebagai nenek lebih dominan dan mereka adalah orang-orang yang bersama mereka nenek mewarisi sedangkan saudara perempuan tidak, atau pewarisan sebagai saudara perempuan lebih dominan dan mereka adalah orang-orang yang bersama mereka saudara perempuan mewarisi sedangkan nenek tidak, maka ia mewarisi bersama mereka dengan hubungan kekerabatan yang kami anggap lebih kuat. Namun jika pewarisan bersama mereka terjadi dengan hubungan kekerabatan yang kami anggap lebih lemah, seperti jika pewarisan sebagai nenek lebih dominan padahal mereka adalah orang-orang yang bersama mereka saudara perempuan mewarisi sedangkan nenek tidak (seperti ibu dan anak perempuan), atau pewarisan sebagai saudara perempuan lebih dominan padahal mereka adalah orang-orang yang bersama mereka nenek mewarisi sedangkan saudara perempuan tidak (seperti ayah dan anak laki-laki), maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تُورَثُ مَعَهُمْ بِالْقَرَابَةِ الَّتِي لَا تَسْقُطُ مَعَهُمْ لِأَنَّ الْقَرَابَةَ الْأُخْرَى إِنْ لَمْ تَزِدْهَا خَيْرًا لَمْ تَزِدْهَا شَرًّا، وَلَا يُرَاعَى حُكْمُ الأقوى في هذا الموضع كالمشاركة.

Salah satunya: Ia mewarisi bersama mereka dengan hubungan kekerabatan yang tidak gugur bersama mereka, karena hubungan kekerabatan yang lain jika tidak menambah kebaikan, juga tidak menambah keburukan. Tidak diperhatikan hukum yang lebih kuat dalam hal ini, sebagaimana dalam kasus musyarakah (berbagi bagian warisan).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَسْقُطُ تَوْرِيثُهَا بِأَضْعَفِهِمَا إِذَا لَمْ تَرِثْ بِالْأَقْوَى؛ لِأَنَّ أَقْوَاهُمَا قَدْ أَسْقَطَ حُكْمَ أَضْعَفِهِمَا حَتَّى كَانَ الْإِدْلَاءُ بِالْأَضْعَفِ مَعْدُومًا والله أعلم بالصواب.

Pendapat kedua: Gugur pewarisan dengan hubungan kekerabatan yang lebih lemah jika ia tidak mewarisi dengan yang lebih kuat; karena yang lebih kuat telah menggugurkan hukum yang lebih lemah, sehingga seakan-akan hubungan dengan yang lebih lemah itu tidak ada. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

باب ميراث الخنثى

Bab Warisan Khuntsa (Interseks)

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: الْخُنْثَى هُوَ الَّذِي لَهُ ذَكَرٌ كَالرِّجَالِ وَفَرْجٌ كَالنِّسَاءِ أَوْ لَا يَكُونُ لَهُ ذَكَرٌ وَلَا فرج ويكون له ثُقْبٌ يَبُولُ مِنْهُ، وَهُوَ وَإِنْ كَانَ مُشْكَلُ الْحَالِ فَلَيْسَ يَخْلُو أَنْ يَكُونَ ذَكَرًا أَوْ أُنْثَى، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ، نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ يَبُولُ مِنْ أَحَدِ فَرْجَيْهِ فَالْحُكْمُ لَهُ، وَإِنْ كَانَ بَوْلُهُ مِنْ ذَكَرِهِ فَهُوَ ذَكَرٌ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الذُّكُورِ فِي الْمِيرَاثِ وَغَيْرِهِ وَيَكُونُ الْفَرْجُ عُضْوًا زَائِدًا وَإِنْ كَانَ بَوْلُهُ مِنْ فرجه فهو أنثى يجري عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْإِنَاثِ فِي الْمِيرَاثِ وَغَيْرِهِ وَيَكُونُ الْذكر عُضْوًا زَائِدًا لِرِوَايَةِ الْكَلْبِيِّ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ مَوْلُودٍ وُلِدَ لَهُ مَا لِلرِّجَالِ وَمَا لِلنِّسَاءِ فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يُورَثُ مِنْ حَيْثُ يَبُولُ وَرَوَى الْحَسَنُ بْنُ كَثِيرٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الشام مات فترك أَوْلَادًا رِجَالًا وَنِسَاءً فِيهِمْ خُنْثَى فَسَأَلُوا مُعَاوِيَةَ فقال ما أدري اتئوا عَلِيًّا بِالْعِرَاقِ قَالَ: فَأَتَوْهُ فَسَأَلُوهُ فَقَالَ: مَنْ أَرْسَلَكُمْ، فَقَالُوا: مُعَاوِيَةُ، فَقَالَ: يَرْضَى بِحُكْمِنَا وَيَنْقِمُ عَلَيْنَا بَوِّلُوهُ فَمِنْ أَيِّهِمَا بَالَ فَوَرِّثُوهُ.

Imam Syafi‘i berkata: Khuntsa adalah seseorang yang memiliki zakar seperti laki-laki dan farji seperti perempuan, atau tidak memiliki zakar maupun farji, melainkan hanya memiliki lubang yang darinya ia buang air kecil. Meskipun keadaannya membingungkan, ia tetap tidak lepas dari kemungkinan sebagai laki-laki atau perempuan. Jika demikian, maka diperhatikan: jika ia buang air kecil dari salah satu dari dua alat kelaminnya, maka hukum mengikuti alat tersebut. Jika ia buang air kecil dari zakarnya, maka ia dianggap laki-laki dan berlaku atasnya hukum-hukum laki-laki dalam warisan dan lainnya, sedangkan farji dianggap sebagai anggota tambahan. Jika ia buang air kecil dari farjinya, maka ia dianggap perempuan dan berlaku atasnya hukum-hukum perempuan dalam warisan dan lainnya, sedangkan zakar dianggap sebagai anggota tambahan. Hal ini berdasarkan riwayat al-Kalbi dari Abu Shalih dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi ﷺ, bahwa beliau pernah ditanya tentang seorang bayi yang lahir dengan alat kelamin laki-laki dan perempuan, maka beliau ﷺ bersabda: “Wariskanlah menurut dari mana ia buang air kecil.” Al-Hasan bin Katsir meriwayatkan dari ayahnya bahwa seorang laki-laki dari Syam meninggal dunia dan meninggalkan anak-anak laki-laki dan perempuan, di antara mereka ada khuntsa. Mereka pun bertanya kepada Mu‘awiyah, lalu ia berkata: “Aku tidak tahu, pergilah kalian kepada ‘Ali di Irak.” Maka mereka mendatanginya dan bertanya kepadanya. Ia berkata: “Siapa yang mengutus kalian?” Mereka menjawab: “Mu‘awiyah.” Ia berkata: “Ia rela dengan keputusan kami namun mencela kami? Suruhlah ia buang air kecil, dari mana ia buang air kecil, wariskanlah menurut itu.”

فَإِنْ بال منهما فقد اختلف الناس منه فَقَالَ أبو حنيفة وَصَاحِبَاهُ: أَعْتَبِرُ أَسْبَقَهُمَا وَأَجْعَلُ الحكم له قال أبو الحسن بْنُ اللَّبَّانِ الْفَرْضِيُّ: وَقَدْ حَكَاهُ الْمُزَنِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ وَلَمْ أَرَ هَذَا فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ الْمُزَنِيِّ، وَإِنَّمَا قَالَ الشَّافِعِيُّ ذَلِكَ فِي الْقَدِيمِ حِكَايَةً عَنْ غَيْرِهِ ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ، وَمَذْهَبُهُ الَّذِي صَرَّحَ بِهِ أَنَّهُ لَا اعْتِبَارَ بِأَسْبَقِهِمَا، وَلَوِ اعْتَبَرَ السَّبْقَ كَمَا قَالُوا لَاعْتَبَرَ الْكَثْرَةَ كَمَا قَالَ أبو يوسف وَقَدْ قَالَ أبو حنيفة لأبي يوسف حِينَ قَالَ أُرَاعِي أَكْثَرَهُمَا أَفَتكيلُهُ؟ وَحُكِيَ عَنِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ أَنَّ الْخُنْثَى إِذَا أَشْكَلَ حَالُهُ اعْتُبِرَتْ أَضْلَاعُهُ فَإِنَّ أضلاع الرجال ثَمَانِيَةَ عَشَرَ، وَأَضْلَاعَ الْمَرْأَةِ سَبْعَةَ عَشَرَ وَهَذَا لا أصل له لإجماعهم على تقديم المال على غيره فَسَقَطَ اعْتِبَارُهُ.

Jika ia buang air kecil dari keduanya, maka para ulama berbeda pendapat. Abu Hanifah dan dua sahabatnya berkata: “Aku pertimbangkan mana yang lebih dahulu keluar, dan aku jadikan hukum mengikuti yang lebih dahulu.” Abu al-Hasan bin al-Labbān al-Fardhi berkata: “Pendapat ini juga dinukil al-Muzani dari asy-Syafi‘i, namun aku tidak menemukan hal ini dalam kitab-kitab al-Muzani. Sebenarnya asy-Syafi‘i mengatakan hal itu dalam pendapat lama sebagai riwayat dari selainnya, kemudian ia membantahnya. Madzhabnya yang tegas adalah tidak mempertimbangkan mana yang lebih dahulu. Jika mempertimbangkan yang lebih dahulu seperti yang mereka katakan, maka seharusnya juga mempertimbangkan yang lebih banyak seperti pendapat Abu Yusuf. Abu Hanifah pernah berkata kepada Abu Yusuf ketika ia berkata: ‘Aku perhatikan mana yang lebih banyak,’ ‘Apakah engkau menakarnya?’ Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri bahwa jika keadaan khuntsa membingungkan, maka yang dipertimbangkan adalah tulang rusuknya; karena tulang rusuk laki-laki ada delapan belas, sedangkan perempuan tujuh belas. Namun, ini tidak memiliki dasar karena ijma‘ mereka atas mendahulukan alat kelamin atas selainnya, sehingga pertimbangan itu gugur.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ خُرُوجَ الْبَوْلِ مِنْهُمَا يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ مُشْكِلًا فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي مِيرَاثِهِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يعطي الخنثى أقل نصيبه مِنْ مِيرَاثِ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى، وَتُعْطى الْوَرَثَةُ المشاركون له أقل ما يصيبهم من ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَيُوقِفُ الْبَاقِي حَتَّى يَتَبَيَّنَ أَمْرُهُ، وَبِهِ قَالَ دَاوُدُ وَأَبُو ثَوْرٍ، وَقَالَ أبو حنيفة أُعْطِيهِ أَقَلَّ مَا يُصِيبُهُ مِنْ مِيرَاثِ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَأُقَسِّمُ الْبَاقِيَ بَيْنَ الورثة، ولا أوقف شَيْئًا، وَسُئِلَ مَالِكٌ عَنِ الْخُنْثَى فَقَالَ لَا أعرفه إما ذكرا أَوْ أُنْثَى، وَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ جَعَلَهُ ذَكَرًا، وَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ أَعْطَاهُ نِصْفَ مِيرَاثِ ذَكَرٍ وَنِصْفَ مِيرَاثِ أُنْثَى، وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ وَالشَّعْبِيِّ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى وَالْأَخِيرُ مِنْ قَوْلِ أبي يوسف.

Jika telah dipastikan bahwa keluarnya air kencing dari keduanya menyebabkan statusnya menjadi musykil (samar), maka para fuqaha berbeda pendapat tentang warisannya. Madzhab asy-Syafi‘i adalah memberikan kepada khuntsa bagian warisan yang paling sedikit antara bagian laki-laki atau perempuan, dan para ahli waris yang bersamanya juga diberikan bagian paling sedikit yang mungkin mereka peroleh sebagai laki-laki atau perempuan, sedangkan sisanya ditahan sampai keadaannya menjadi jelas. Pendapat ini juga dipegang oleh Dawud dan Abu Tsaur. Abu Hanifah berkata: “Aku berikan kepadanya bagian paling sedikit yang mungkin ia peroleh sebagai laki-laki atau perempuan, dan sisanya aku bagikan kepada para ahli waris, tidak ada yang ditahan.” Malik ditanya tentang khuntsa, ia berkata: “Aku tidak mengetahuinya, apakah ia laki-laki atau perempuan.” Diriwayatkan darinya bahwa ia menganggapnya sebagai laki-laki, dan juga diriwayatkan darinya bahwa ia memberinya setengah bagian warisan laki-laki dan setengah bagian warisan perempuan. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, asy-Sya‘bi, Ibnu Abi Laila, dan pendapat terakhir adalah pendapat Abu Yusuf.

فَإِنْ تَرَكَ خنثيين: قال أبو يوسف إن لهما حَالَيْنِ حَالًا يَكُونَانِ ذَكَرَيْنِ وَحَالًا يَكُونَانِ أُنْثَيَيْنِ وأعطيه نِصْفَ الْأَمْرَيْنِ، وَهَكَذَا يَقُولُ فِي الثَّلَاثَةِ وَمَا زَادُوا، وَقَالَ محمد بن الحسن: أُنَزِّلُ الْخُنْثَيَيْنِ أربعة أَحْوَالٍ: ذَكَرَيْنِ وَأُنْثَيَيْنِ وَالْأَكْبَرُ ذَكَر وَالْأَصْغَرُ أُنْثَى، أو الأكبر أنثى والأصغر ذكرا، وأنزل الثلاثة ثمانية أحوال والأربعة ستة عشر حالا، والخمسة اثنين وَثَلَاثِينَ حَالًا.

Jika ia meninggalkan dua khuntsa: Abu Yusuf berkata, “Keduanya memiliki dua keadaan: keadaan di mana keduanya dianggap laki-laki, dan keadaan di mana keduanya dianggap perempuan, maka aku berikan kepada keduanya setengah dari dua kemungkinan itu.” Demikian pula ia berkata untuk tiga orang dan lebih. Muhammad bin al-Hasan berkata: “Aku anggap dua khuntsa memiliki empat keadaan: keduanya laki-laki, keduanya perempuan, yang lebih tua laki-laki dan yang lebih muda perempuan, atau yang lebih tua perempuan dan yang lebih muda laki-laki. Untuk tiga orang ada delapan keadaan, untuk empat orang ada enam belas keadaan, dan untuk lima orang ada tiga puluh dua keadaan.”

وَمَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ مِنْ دَفْعِ الْأَقَلِّ إِلَيْهِ وَدَفْعِ الْأَقَلِّ إِلَى شُرَكَائِهِ، وَإِيقَافِ الْمَشْكُوكِ فِيهِ أَوْلَى لِأَمْرَيْنِ:

Apa yang dikatakan oleh asy-Syafi‘i mengenai pemberian bagian yang paling sedikit kepadanya (khuntsa) dan pemberian bagian yang paling sedikit kepada para sekutunya, serta penahanan bagian yang masih diragukan, itu lebih utama karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمِيرَاثَ لا يستحق إلا بالتعيين دون الشك وما قاله الشافعي يعين وَمَا قَالَهُ غَيْرُهُ شَكٌّ.

Pertama: Warisan tidak berhak diperoleh kecuali dengan penetapan yang pasti, bukan dengan keraguan. Apa yang dikatakan oleh asy-Syafi‘i adalah penetapan, sedangkan apa yang dikatakan selainnya adalah keraguan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ سَائِرُ أَحْكَامِهِ سِوَى الْمِيرَاثِ لَا يُعْمَلُ فِيهَا إِلَّا عَلَى الْيَقِينِ، فَكَذَلِكَ الْمِيرَاثُ، فَعَلَى هَذَا لَوْ تَرَكَ الْمَيِّتُ ابْنًا وَوَلَدًا خُنْثَى فعلى قول الشافعي للابن النصف إن كان خنثى رجلا، وللخنثى الثلث كأنه أنثى ويوقفوا السُّدُسَ فَإِنْ بَانَ ذَكَرًا رُدَّ عَلَى الْخُنْثَى، وَإِنْ بَانَ أُنْثَى رُدَّ عَلَى الِابْنِ، وَعَلَى مَذْهَبِ أبي حنيفة يَكُونُ لِلْخُنْثَى الثُّلُثُ وَالْبَاقِي لِلِابْنِ وَلَا يُوقَفُ شَيْءٌ، وَعَلَى قَوْلِ أبي يوسف ومحمد وَمَنْ قَالَ بِتَنْزِيلِ الْأَحْوَالِ لَوْ كَانَ الْخُنْثَى ذَكَرًا كَانَ لَهُ النِّصْفُ وَلَوْ كَانَ أُنْثَى كَانَ لَهُ الثُّلُثُ فَصَارَ لَهُ فِي الْحَالَيْنِ خَمْسَةَ أَسْدَاسٍ، فَكَانَ لَهُ فِي إحداهما أنثى سُدُسَانِ وَنِصْفٌ وَلِلِابْنِ لَوْ كَانَ الْخُنْثَى أُنْثَى الثلثان، ولو كان ذكرا النِّصْفُ فَصَارَ لَهُ فِي الْحَالَيْنِ سَبْعَةَ أَسْدَاسٍ فَكَانَ لَهُ فِي إِحْدَاهُمَا نِصْفٌ وَنِصْفُ سُدُسٍ فَيُقَسَّمُ بَيْنَهُمَا مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ لِلِابْنِ سَبْعَةٌ وَلِلْخُنْثَى خَمْسَةٌ.

Kedua: Karena seluruh hukum selain warisan tidak dijalankan kecuali berdasarkan keyakinan, demikian pula warisan. Berdasarkan hal ini, jika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak khuntsa, maka menurut pendapat asy-Syafi‘i, anak laki-laki mendapat setengah jika khuntsa itu laki-laki, dan khuntsa mendapat sepertiga seakan-akan ia perempuan, serta bagian seperenam ditahan. Jika kemudian jelas bahwa khuntsa itu laki-laki, bagian yang ditahan dikembalikan kepadanya; jika ternyata perempuan, bagian itu dikembalikan kepada anak laki-laki. Menurut mazhab Abu Hanifah, khuntsa mendapat sepertiga dan sisanya untuk anak laki-laki, tanpa ada bagian yang ditahan. Menurut pendapat Abu Yusuf, Muhammad, dan mereka yang berpendapat dengan metode pembagian dua keadaan, jika khuntsa itu laki-laki maka ia mendapat setengah, jika perempuan ia mendapat sepertiga, sehingga dalam dua keadaan ia mendapat lima per enam. Maka dalam salah satu keadaan ia mendapat dua per enam dan setengah, dan untuk anak laki-laki, jika khuntsa perempuan ia mendapat dua pertiga, jika laki-laki ia mendapat setengah, sehingga dalam dua keadaan ia mendapat tujuh per enam. Maka dalam salah satu keadaan ia mendapat setengah dan setengah dari seperenam. Maka pembagiannya dari dua belas: untuk anak laki-laki tujuh, untuk khuntsa lima.

وَلَوْ تَرَكَ بِنْتًا وَتَرَكَ وَلَدًا خُنْثَى وَعَمًّا، فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ لِلْبِنْتِ الثُّلُثِ وللخنثى الثلث، لأنه أقل وَالثُّلُثُ الْبَاقِي مَوْقُوفٌ لَا يُدْفَعُ إِلَى الْعَمِّ فَإِنْ بَانَ الْخُنْثَى ذَكَرًا رُدَّ عَلَيْهِ، وَإِنْ بَانَ أُنْثَى دُفِعَ إِلَى الْعَمِّ.

Jika yang ditinggalkan adalah seorang anak perempuan, seorang anak khuntsa, dan seorang paman, maka menurut mazhab asy-Syafi‘i, anak perempuan mendapat sepertiga, khuntsa mendapat sepertiga karena itu yang paling sedikit, dan sepertiga sisanya ditahan, tidak diberikan kepada paman. Jika kemudian jelas bahwa khuntsa itu laki-laki, bagian yang ditahan dikembalikan kepadanya; jika ternyata perempuan, bagian itu diberikan kepada paman.

وَعَلَى قَوْلِ أبي حنيفة يُدْفَعُ الثُّلُثُ الْبَاقِي إِلَى الْعَمِّ، وَلَا يُوقَفُ.

Menurut pendapat Abu Hanifah, sepertiga sisanya diberikan kepada paman, dan tidak ada bagian yang ditahan.

وَعَلَى قَوْلِ مَنْ نَزَّلَ حَالَيْنِ قَالَ لِلْبِنْتِ الثُّلُثُ فِي الْحَالَيْنِ فَيُدْفَعُ إِلَيْهَا، وللخنثى السدس إِنْ كَانَ ذَكَرًا الثُّلُثَانِ، وَإِنْ كَانَ أُنْثَى الثلث، فصار له في الحالتين الكل، وكان له في أحدهما النِّصْفُ، فَيَأْخُذُهُ وَلِلْعَمِّ إِنْ كَانَ الْخُنْثَى أُنْثَى الثُّلُثُ وَلَيْسَ لَهُ إِنْ كَانَ ذَكَرًا شَيْءٌ، فَصَارَ لَهُ فِي الْحَالَيْنِ الثُّلُثُ، فَكَانَ لَهُ فِي إِحْدَاهُمَا السُّدُسُ، وَيُقَسَّمُ مِنْ سِتَّةٍ لِلْبِنْتِ سَهْمَانِ وَلِلْخُنْثَى ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ وَلِلْعَمِّ سَهْمٌ، وَلَوْ ترك ابنا وبنتا وخنثى فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ هُوَ مِنْ عِشْرِينَ سَهْمًا؛ لأن الخنثى إن كان ذكرا فهو مِنْ خَمْسَةٍ، وَإِنْ كَانَ أُنْثَى فَمِنْ أَرْبَعَةٍ، فصار مجموع الْفَرِيضَتَيْنِ مِنْ عِشْرِينَ، وَهُوَ مَضْرُوبٌ خَمْسَةً فِي أَرْبَعَةٍ، لِلِابْنِ الْخُمُسَانِ ثَمَانِيَةُ أَسْهُمٍ، وَلِلْبِنْتِ الْخَمُسُ أَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ وَلِلْخُنْثَى الرُّبُعُ خَمْسَةُ أَسْهُمٍ وَيُوقَفُ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ، فَإِنْ بَانَ الْخُنْثَى رُدَّ عَلَيْهِ فَصَارَ لَهُ ثَمَانِيَةُ أَسْهُمٍ كَالِابْنِ، وإن كان أُنْثَى رُدَّ مِنْهَا عَلَى الِابْنِ سَهْمَانِ، وَعَلَى الْبِنْتِ سَهْمٌ.

Menurut pendapat yang membagi dua keadaan, anak perempuan mendapat sepertiga dalam kedua keadaan, sehingga diberikan kepadanya; khuntsa mendapat seperenam jika laki-laki, dua pertiga jika perempuan, sehingga dalam dua keadaan ia mendapat seluruh bagian, dan dalam salah satunya ia mendapat setengah, maka ia mengambilnya. Untuk paman, jika khuntsa perempuan, ia mendapat sepertiga, dan jika khuntsa laki-laki, ia tidak mendapat apa-apa. Maka dalam dua keadaan ia mendapat sepertiga, dan dalam salah satunya ia mendapat seperenam. Maka pembagiannya dari enam: untuk anak perempuan dua bagian, untuk khuntsa tiga bagian, untuk paman satu bagian. Jika yang ditinggalkan adalah anak laki-laki, anak perempuan, dan khuntsa, maka menurut mazhab asy-Syafi‘i, pembagiannya dari dua puluh bagian; karena jika khuntsa laki-laki, maka dari lima bagian, jika perempuan dari empat bagian, sehingga total dua pembagian menjadi dua puluh, yaitu lima dikali empat. Untuk anak laki-laki dua perlima, yaitu delapan bagian, untuk anak perempuan seperlima, yaitu empat bagian, untuk khuntsa seperempat, yaitu lima bagian, dan tiga bagian ditahan. Jika kemudian jelas bahwa khuntsa itu laki-laki, bagian yang ditahan dikembalikan kepadanya sehingga ia mendapat delapan bagian seperti anak laki-laki; jika perempuan, dua bagian dikembalikan kepada anak laki-laki dan satu bagian kepada anak perempuan.

وَعَلَى قَوْلِ أبي حنيفة هِيَ من أربعة أسهم لِلِابْنِ سَهْمَانِ وَلِلْبِنْتِ سَهْمٌ وَلِلْخُنْثَى سَهْمٌ وَلَا يُوقَفُ شَيْءٌ.

Menurut pendapat Abu Hanifah, pembagiannya dari empat bagian: untuk anak laki-laki dua bagian, untuk anak perempuan satu bagian, untuk khuntsa satu bagian, dan tidak ada bagian yang ditahan.

وَعَلَى قَوْلِ مَنْ نَزَّلَ حَالَيْنِ يَقُولُ هِيَ مِنْ عِشْرِينَ لِلِابْنِ إِنْ كَانَ الْخُنْثَى ذَكَرًا ثَمَانِيَةٌ، وَإِنْ كَانَ أُنْثَى عَشَرَةٌ فَصَارَ لَهُ فِي الْحَالَيْنِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ سَهْمًا، فَكَانَ لَهُ فِي إِحْدَاهُمَا تِسْعَةُ أَسْهُمٍ وَلِلْبِنْتِ إِنْ كَانَ الْخُنْثَى ذَكَرًا أَرْبَعَةٌ وَإِنْ كَانَ أنثى خمسة فصار له في الحالين تسعة فكان له فِي إِحْدَاهُمَا أَرْبَعَةٌ وَنِصْفٌ وَلِلْخُنْثَى إِنْ كَانَ ذَكَرًا ثَمَانِيَةٌ، وَإِنْ كَانَ أُنْثَى خَمْسَةٌ، فَصَارَ له في الحالين ثلاثة عشر فَكَانَ لَهُ فِي إِحْدَاهُمَا سِتَّةٌ وَنِصْفٌ وَتَصِحُّ من أربعين لنزول الكسر فلو ترك ولدا خنثى ولد ابن خنثى وعم فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ لِلْوَلَدِ النِّصْفُ وَيُوقِفُ السُّدُسَ بين الابن وابن الابن والخنثيين لِأَنَّهُ لِأَحَدِهِمَا وَيُوقِفُ الثُّلُثَ بَيْنَ الْعَمِّ وَالْخُنْثَيَيْنِ.

Menurut pendapat yang menurunkan dua keadaan, dikatakan: dari dua puluh bagian, untuk anak laki-laki jika khuntsa itu laki-laki mendapat delapan, dan jika khuntsa itu perempuan mendapat sepuluh, sehingga dalam dua keadaan ia memperoleh delapan belas bagian. Maka dalam salah satu keadaan ia mendapat sembilan bagian. Untuk anak perempuan, jika khuntsa itu laki-laki mendapat empat, dan jika perempuan mendapat lima, sehingga dalam dua keadaan ia memperoleh sembilan, maka dalam salah satu keadaan ia mendapat empat setengah. Untuk khuntsa, jika ia laki-laki mendapat delapan, dan jika perempuan mendapat lima, sehingga dalam dua keadaan ia memperoleh tiga belas, maka dalam salah satu keadaan ia mendapat enam setengah. Pembagian ini sah dari empat puluh bagian karena adanya pecahan. Jika seseorang meninggalkan anak khuntsa, cucu khuntsa, dan paman, maka menurut mazhab asy-Syafi‘i, anak mendapat setengah, dan sepertiga bagian ditahan (ditangguhkan) antara anak laki-laki, cucu laki-laki, dan dua khuntsa karena bagian itu untuk salah satu dari mereka, dan sepertiga bagian ditahan antara paman dan dua khuntsa.

وَعَلَى قَوْلِ أبي حنيفة لِلْوَلَدِ النِّصْفُ وَلِوَلَدِ الِابْنِ السُّدُسُ وَالْبَاقِي لِلْعَمِّ.

Menurut pendapat Abu Hanifah, anak mendapat setengah, cucu mendapat seperenam, dan sisanya untuk paman.

وَعَلَى قَوْلِ مَنْ نَزَّلَ حَالَيْنِ يَقُولُ إِنْ كَانَا ذَكَرَيْنِ فَالْمَالُ للولد، وإن كانا أنثيين فللولد النصف ولولد الِابْنِ السُّدُسُ وَالْبَاقِي لِلْعَمِّ، فَيَأْخُذُ الْوَلَدُ نِصْفَ الْحَالَيْنِ وَهُوَ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ الْمَالِ وَيَأْخُذُ وَلَدُ الِابْنِ نِصْفَ الْحَالَيْنِ وَهُوَ نِصْفُ السُّدُسِ وَيَأْخُذُ الْعَمُّ نِصْفَ الْحَالَيْنِ وَهُوَ السُّدُسُ.

Menurut pendapat yang menurunkan dua keadaan, dikatakan: jika keduanya laki-laki, maka seluruh harta untuk anak; jika keduanya perempuan, maka anak mendapat setengah, cucu mendapat seperenam, dan sisanya untuk paman. Maka anak mengambil setengah dari dua keadaan, yaitu tiga perempat harta; cucu mengambil setengah dari dua keadaan, yaitu setengah dari seperenam; dan paman mengambil setengah dari dua keadaan, yaitu seperenam.

وَعَلَى قَوْلِ من ينزل بجميع الأحوال ينزلها أربعة أَحْوَالٍ فَيَقُولُ إِنْ كَانَا ذَكَرَيْنِ فَالْمَالُ لِلْوَلَدِ وإن كانا أنثيين فللولد النصف ولولد الابن السُّدُسُ، وَالْبَاقِي لِلْعَمِّ وَإِنْ كَانَ الْوَلَدُ ذَكَرًا وولد الابن أنثى، فالمال للولد وإن كانا الْوَلَدُ أُنْثَى وَوَلَدُ الِابْنِ ذَكَرًا فَلِلْوَلَدِ النِّصْفُ وَالْبَاقِي لَوَلَدِ الِابْنِ، فَصَارَ لِلْوَلَدِ فِي الْأَرْبَعَةِ الأحوال ثلاثة أموال فكان له في كل حالة رُبُعُهَا وَذَلِكَ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ مَالٍ، وَلِوَلَدِ الِابْنِ في الأربعة الأحوال ثلث الْمَالِ فَكَانَ لَهُ فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ رُبُعُ ذَلِكَ وَهُوَ نصف السُّدُس ثُمَّ عَلَى قِيَاسِ هَذَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Menurut pendapat yang menurunkan semua kemungkinan, maka diturunkan menjadi empat keadaan: jika keduanya laki-laki, maka seluruh harta untuk anak; jika keduanya perempuan, maka anak mendapat setengah, cucu mendapat seperenam, dan sisanya untuk paman; jika anak laki-laki dan cucu perempuan, maka seluruh harta untuk anak; dan jika anak perempuan dan cucu laki-laki, maka anak mendapat setengah dan sisanya untuk cucu. Maka anak dalam empat keadaan memperoleh tiga bagian harta, sehingga dalam setiap keadaan ia mendapat seperempatnya, yaitu tiga perempat harta; dan cucu dalam empat keadaan memperoleh sepertiga harta, sehingga dalam satu keadaan ia mendapat seperempat dari itu, yaitu setengah dari seperenam. Kemudian, pembagian ini diukur dengan qiyās ini, dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

فَصْلٌ: فِي مِيرَاثِ الْحَمْلِ

Fasal: Tentang Warisan Janin

إِذَا مَاتَ رَجُلٌ وَتَرَكَ حَمْلًا يَرِثُهُ، نُظِرَ حَال وَرَثَتِهِ فَإِنْ كَانَ الْحَمْلُ يَحْجُبُهُمْ فَلَا مِيرَاثَ لَهُمْ، وَإِنْ كَانَ لَا يَحْجُبُهُمْ وَلَكِنْ يُشَارِكُهُمْ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي قَدْرِ مَا يُوقَفُ لِلْحَمْلِ فَحُكِيَ عَنْ أبي يوسف أنه يوقف للحمل نصيب غلام، ويؤخذ منه للورثة ضَمِينٌ وَحُكِيَ عَنْ محمد بن الحسن أَنَّهُ يوقف له نصيب أنثى وحكي عن أبي حنيفة أنه يوقف له نَصِيبُ أَرْبَعَةٍ وَبِهِ قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُمْ أَكْثَرُ مَنْ وَجَدَ مِنْ حمل واحد وروى يحيى بن آدم فقال سألت شريكا فقال يوقف نصيبا أربعة فإني قد رأيت بني ابن إِسْمَاعِيلَ أَرْبَعَةً وُلِدُوا فِي بَطْنٍ مُحَمَّدٌ وَعَلِيٌّ وَعُمَرُ قَالَ يَحْيَى وَأَظُنُّ الرَّابِعَ إِسْمَاعِيلَ، وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يُوقَفُ سَهْمُ مَنْ يُشَارِكُ الْحَمْلَ فِي مِيرَاثِهِ حَتَّى يُوضَعَ فَيَتَبَيَّنَ حُكْمُهُ، وَلَا يُدْفَعُ إِلَيْهِمْ شَيْءٌ إذا لم يتقدر أقل من فرضهم، لِأَنَّ عَدَدَ الْحَمْلِ غَيْرُ مَعْلُومٍ عَلَى الْيَقِينِ وَالْمِيرَاثُ لَا يُسْتَحَقُّ بِالشَّكِّ، وَلَا بِالْغَالِبِ الْمَعْهُودِ، وليس لما ذكروه من تقدير بِالْوَاحِدِ أَوْ بِالِاثْنَيْنِ أَوْ بِالْأَرْبَعَةِ وَجْهٌ لِجَوَازِ وُجُودِ مَنْ هُوَ أَكْثَرُ وَقَدْ أَخْبَرَنِي رَجُلٌ وَرَدَ عَلَيَّ مِنَ الْيَمَنِ طَالِبًا لِلْعِلْمِ وَكَانَ مِنْ أَهْلِ الدِّينِ وَالْفَضْلِ أَنَّ امْرَأَةً بِالْيَمَنِ وضعت حملا كالكرشي وَظَنَّ أن لَا وَلَدَ فِيهِ فَأُلْقِيَ عَلَى قَارِعَةِ الطَّرِيقِ فَلَمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ وَحَمَى بِهَا تَحَرَّكَ فَأَخَذَ وَشَقَّ فَخَرَجَ مِنْهُ سَبْعَةُ أولاد ذكورا عَاشُوا جَمِيعًا، وَكَانُوا خُلُقًا سَوِيًّا إِلَّا أَنَّهُ قال فِي أَعْضَائِهِمْ قَصْرٌ قَالَ: وَصَارَعَنِي رَجُلٌ مِنْهُمْ فَصَرَعَنِي فَكُنْتُ أُعَيَّرُ بِالْيَمَنِ، فَيُقَالُ لِي: صَرَعَكَ سُبُعُ رَجُلٍ وَإِذَا كَانَ هَذَا مُجَوَّزًا، وَإِنْ كَانَ نَادِرًا جَازَتِ الزِّيَادَةُ عَلَيْهِ أَيْضًا، فَعَلَى هَذَا لَوْ تَرَكَ الْمَيِّتُ ابْنًا وَزَوْجَةً حَامِلًا فَلِلزَّوْجَةِ الثُّمُنُ لَا يَنْقُصُهَا الْحَمْلُ مِنْهُ، وَلَا يَدْفَعُهَا عَنْهُ وَإِنَّمَا الْخِلَافُ فِي الِابْنِ فَعَلَى قَوْلِ أبي يوسف لَهُ النِّصْفُ، وَيُوقَفُ النِّصْفُ وَعَلَى قَوْلِ محمد بن الحسن لَهُ الثُّلُثُ وَيُوقَفُ الثُّلُثَانِ وَعَلَى قَوْلِ أبي حنيفة لَهُ الْخَمُسُ وَتُوقَفُ الْأَرْبَعَةُ الْأَخْمَاسِ وَعَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ يُوقَفُ الْجَمِيعُ حَتَّى يُوضَعَ الْحَمْلُ وَلَوْ تَرَكَتِ الأم زوجا وابن عم وأما حاملا، وطلبت الورثة أنصبائهم نُظِرَ فِي حَمْلِ الْأُمِّ، فَإِنْ كَانَ مِنْ غير أب أعطى الزوج النصف والأم السدس؛ لأنها ما تَلِدُ اثْنَيْنِ فَيَحْجُبَانِهَا وَيُوقَفُ الثُّلُثُ فَإِنْ وَلَدَتِ اثْنَيْنِ فَأَكْثَرَ دُفِعَ الثُّلُثُ إِلَيْهِمْ، فَإِنْ وَلَدَتْ واحدا دفع إليه السدس ورد السدس الباقي على الأم لتستكمل الثلث فإن وضعت ميتا كمل للأب الثُّلُثَ وَدُفِعَ السُّدُسُ إِلَى ابْنِ الْعَمِّ وَيَنْبَغِي لِزَوْجِ الْأُمِّ فِي مِثْلِ هَذِهِ الْحَالِ أَنْ يمسك عن وطئها ليعلم تَقَدُّمَ حَمْلِهَا فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ وَوَطِئَهَا نُظِرَ فَإِنْ وَلَدَتْ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ حين الوفاة كان الولد وارثا لِتَقَدُّمِ الْعُلُوقِ بِهِ عَلَى الْوَفَاةِ، وَإِنْ وَلَدَتْهُ لستة أشهر فأكثر لم ترث لِإِمْكَانِ حُدُوثِهِ بَعْدَ الْوَفَاةِ إِلَّا أَنْ يَعْتَرِفَ الْوَرَثَةُ بِتَقَدُّمِهِ فَيَرِثُ هَذَا إِذَا كَانَ حَمْلُهَا مِنْ غَيْرِ الْأَبِ.

Apabila seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan janin yang berhak mewarisinya, maka dilihat keadaan para ahli warisnya. Jika janin tersebut menghalangi mereka (dari warisan), maka mereka tidak mendapat warisan. Jika janin tidak menghalangi mereka, tetapi hanya berbagi warisan dengan mereka, maka para fuqaha berbeda pendapat mengenai berapa bagian yang harus ditahan untuk janin tersebut. Diriwayatkan dari Abu Yusuf bahwa yang ditahan untuk janin adalah bagian seorang anak laki-laki, dan dari bagian itu diambil jaminan untuk para ahli waris. Diriwayatkan dari Muhammad bin al-Hasan bahwa yang ditahan adalah bagian seorang anak perempuan. Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa yang ditahan adalah bagian empat anak, dan pendapat ini juga dikatakan oleh Abu al-Abbas bin Surayj dengan alasan bahwa itu adalah jumlah terbanyak yang pernah ditemukan dari satu kehamilan. Yahya bin Adam meriwayatkan: Aku bertanya kepada Syarik, maka ia berkata, “Ditahan bagian empat orang, karena aku pernah melihat anak-anak Ismail, empat orang lahir dalam satu kandungan: Muhammad, Ali, Umar—kata Yahya, dan aku kira yang keempat adalah Ismail.” Mazhab al-Syafi‘i berpendapat bahwa yang ditahan adalah bagian orang yang berbagi warisan dengan janin hingga janin itu lahir dan jelas hukumnya, dan tidak diberikan apa pun kepada mereka jika bagian mereka tidak kurang dari fardhu mereka, karena jumlah janin tidak diketahui secara pasti, dan warisan tidak bisa diambil berdasarkan keraguan atau kebiasaan yang umum. Tidak ada alasan untuk membatasi jumlah yang ditahan hanya satu, dua, atau empat, karena mungkin saja jumlahnya lebih dari itu. Seorang laki-laki yang datang kepadaku dari Yaman, seorang penuntut ilmu yang dikenal beragama dan berakhlak mulia, memberitahuku bahwa ada seorang wanita di Yaman melahirkan janin seperti gumpalan, dan diduga tidak ada anak di dalamnya, lalu diletakkan di pinggir jalan. Ketika matahari terbit dan panas mengenainya, janin itu bergerak, lalu diambil dan dibelah, ternyata keluar darinya tujuh anak laki-laki yang semuanya hidup dan sempurna, hanya saja ia berkata bahwa pada anggota tubuh mereka ada kekurangan. Ia berkata: Salah satu dari mereka pernah bergulat denganku dan mengalahkanku, sehingga aku diejek di Yaman dengan ucapan: “Kamu dikalahkan oleh seper­tujuh laki-laki.” Jika hal seperti ini mungkin terjadi, meskipun jarang, maka kemungkinan lebih dari itu juga bisa terjadi. Berdasarkan hal ini, jika seseorang meninggalkan anak laki-laki dan istri yang sedang hamil, maka bagi istri tetap mendapat seperdelapan, tidak dikurangi oleh janin, dan tidak dihalangi darinya. Perselisihan hanya terjadi pada bagian anak laki-laki: menurut pendapat Abu Yusuf, ia mendapat separuh dan separuhnya ditahan; menurut Muhammad bin al-Hasan, ia mendapat sepertiga dan dua pertiganya ditahan; menurut Abu Hanifah, ia mendapat seperlima dan empat perlima ditahan; menurut al-Syafi‘i, seluruh bagian ditahan hingga janin lahir. Jika seorang ibu meninggalkan suami, anak paman, dan ibu yang sedang hamil, dan para ahli waris meminta bagian mereka, maka dilihat janin yang dikandung ibu. Jika janin bukan dari ayah (si suami), maka suami mendapat separuh dan ibu mendapat seperenam, karena ia tidak akan melahirkan dua anak yang menghalanginya, dan sepertiga ditahan. Jika ia melahirkan dua anak atau lebih, sepertiga diberikan kepada mereka. Jika ia melahirkan satu anak, maka diberikan seperenam kepadanya dan seperenam sisanya dikembalikan kepada ibu agar genap menjadi sepertiga. Jika ia melahirkan dalam keadaan mati, maka sepertiga diberikan kepada ayah dan seperenam diberikan kepada anak paman. Suami ibu dalam keadaan seperti ini sebaiknya menahan diri untuk tidak menggaulinya agar diketahui kehamilannya sudah ada sebelumnya. Jika ia tidak melakukannya dan tetap menggaulinya, maka dilihat: jika ia melahirkan kurang dari enam bulan sejak wafat, maka anak itu berhak mewarisi karena pembuahan terjadi sebelum wafat; jika ia melahirkan enam bulan atau lebih, maka anak itu tidak mewarisi karena mungkin terjadi setelah wafat, kecuali jika para ahli waris mengakui bahwa kehamilan telah terjadi sebelumnya, maka anak itu berhak mewarisi, jika kehamilannya bukan dari ayah.

فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الْأُمُّ حَامِلًا مِنْ أَبِي الْمَيِّتَةِ دُفِعَ إِلَى الزَّوْجِ ثَلَاثَةُ أَثْمَانِ الْمَالِ وَإِلَى الْأُمِّ الثُّمُنُ وَوُقِفَ أربعة أثمانه؛ لأنها قد تلد بنتين فيكونا أُخْتَيْنِ مِنْ أَبٍ فَتَعُولُ إِلَى ثَمَانِيَةٍ، فَإِنْ وضعت اثنين بنين أخذ الْمَوْقُوفَ وَإِنْ وَضَعَتْ بِنْتًا وَاحِدَةً دُفِعَ إِلَيْهَا من الموقوف بثلاثة أَثْمَانِ الْمَالِ وَرُدَّ الثُّمُنُ الْبَاقِي عَلَى الْأُمِّ، وَإِنْ وَضَعَتِ ابْنًا كُمِّلَ لِلزَّوْجِ النِّصْفُ وَلِلْأُمِّ الثُّلُثُ وَدُفِعَ الْبَاقِي إِلَى الِابْنِ.

Adapun jika ibu sedang hamil dari ayah si mayit, maka kepada suami diberikan tiga perdelapan harta, kepada ibu seperdelapan, dan empat perdelapan sisanya ditahan; karena bisa jadi ia melahirkan dua anak perempuan yang keduanya menjadi dua saudara perempuan seayah, sehingga bagian warisan menjadi delapan. Jika ia melahirkan dua anak laki-laki, maka bagian yang ditahan diberikan kepada mereka. Jika ia melahirkan satu anak perempuan, maka kepadanya diberikan tiga perdelapan harta dari bagian yang ditahan, dan sisa seperdelapan dikembalikan kepada ibu. Jika ia melahirkan seorang anak laki-laki, maka suami dilengkapi bagiannya menjadi setengah, ibu sepertiga, dan sisanya diberikan kepada anak laki-laki tersebut.

وَإِنْ وَضَعَتِ ابنتين كُمِّلَ لِلزَّوْجِ النِّصْفُ وَلِلْأُمِّ السُّدُسُ وَدُفِعَ الْبَاقِي إلى الابنتين.

Jika ia melahirkan dua anak perempuan, maka suami dilengkapi bagiannya menjadi setengah, ibu menjadi seperenam, dan sisanya diberikan kepada kedua anak perempuan tersebut.

وَلَوْ تَرَكَتْ زَوْجًا وَأُخْتًا لِأَبٍ وَأُمٍّ وَأُخْتًا لِأَبٍ وَزَوْجَةَ أَبٍ حَامِلًا مِنْهُ أُعْطِيَ الزَّوْجُ ثَلَاثَةَ أَسْبَاعِ الْمَالِ وَالْأُخْتُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثَلَاثَةُ أَسْبَاعِهِ وَوُقِفَ السُّبُعُ الْبَاقِي فَإِنْ وَلَدَتْ ذَكَرًا لَمْ يَرِثْ وَلَمْ تَرِثْ أُخْتُهُ وَرُدَّ السُّبُعُ الْمَوْقُوفُ عَلَى الزَّوْجِ وَالْأُخْتِ نِصْفَيْنِ فَإِنْ وَلَدَتْ أُنْثَى أَوْ إِنَاثًا دُفِعَ السُّبُعُ الْمَوْقُوفُ إِلَى الْمَوْلُودَةِ وَالْأُخْتِ لِلْأَبِ لِأَنَّهُمَا أُخْتَانِ لِأَبٍ وَاللَّهُ أعلم بالصواب.

Jika ia meninggalkan suami, saudari seayah dan seibu, saudari seayah, dan istri ayah yang sedang hamil darinya, maka suami diberikan tiga per tujuh harta, saudari seayah dan seibu tiga per tujuh, dan sisa satu per tujuh ditahan. Jika yang lahir adalah laki-laki, maka ia tidak mewarisi dan saudari seayahnya juga tidak mewarisi, dan satu per tujuh yang ditahan dikembalikan kepada suami dan saudari seayah dan seibu, masing-masing setengah. Jika yang lahir adalah perempuan atau beberapa perempuan, maka satu per tujuh yang ditahan diberikan kepada bayi perempuan yang lahir dan saudari seayah, karena keduanya adalah saudari seayah. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

باب فِي الِاسْتِهْلَالِ

Bab tentang Istihlal (tanda kehidupan bayi saat lahir)

رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: مَا مِنْ مَوْلُودٍ يُولَدُ إِلَّا رَكَضَهُ الشَّيْطَانُ فَيَسْتَهِلُّ صَارِخًا مِنْ ركضته إلا عيسى ابن مريم وأمه عليهما السلام ثُمَّ قَرَأَ {وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ} [آل عمران: 36] فَمَتَى اسْتَهَلَّ الْمَوْلُودُ صَارِخًا فَلَا خِلَافَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ يَرِثُ ويورث.

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tidak ada seorang pun bayi yang dilahirkan kecuali disentuh oleh setan sehingga ia menangis keras karena sentuhan itu, kecuali Isa bin Maryam dan ibunya, ‘alaihimassalam.” Kemudian beliau membaca ayat: {Dan sesungguhnya aku mohon perlindungan untuknya dan anak keturunannya kepada-Mu dari setan yang terkutuk} (QS. Ali Imran: 36). Maka, apabila bayi menangis keras saat lahir, tidak ada perbedaan pendapat di antara para fuqaha bahwa ia berhak mewarisi dan diwarisi.

روى محمد بن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قُسَيْطٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: إِنِ اسْتَهَلَّ الْمَوْلُودُ وَرِثَ وَالِاسْتِهْلَالُ هُوَ الصُّرَاخُ، وَرَفْعُ الصَّوْتِ، وَلِذَلِكَ قِيلَ: إِهْلَالُ الحج لرفع الصوت فيه بالتلبية، وسمي الْهِلَالُ هِلَالًا لِاسْتِهْلَالِ النَّاسِ بِذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى عِنْدَ رُؤْيَتِهِ.

Diriwayatkan oleh Muhammad bin Abdullah bin Qusayth dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Jika bayi menangis keras saat lahir, maka ia berhak mewarisi.” Istihlal adalah tangisan dan suara keras. Oleh karena itu, dikatakan “ihram haji” karena mengeraskan suara dalam talbiyah, dan bulan hilal dinamakan demikian karena orang-orang mengeraskan suara menyebut nama Allah Ta‘ala saat melihatnya.

فَأَمَّا مَا سِوَى الِاسْتِهْلَالِ فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِيهِ فَحُكِيَ عَنْ شُرَيْحٍ وَالنَّخَعِيِّ وَأَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ لَا يَرِثُ حَتَّى يَسْتَهِلَّ صَارِخًا وَلَا يَقُومُ غَيْرُ الِاسْتِهْلَالِ مَقَامَ الِاسْتِهْلَالِ، وَقَالَ الزُّهْرِيُّ: الْعُطَاسُ اسْتِهْلَالٌ ويورث بِهِ وَبِهِ قَالَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ وَقَالَ القاسم بن محمد البكاء وَالْعُطَاسُ اسْتِهْلَالٌ وَيَرِثُ بِالثَّلَاثَةِ لَا غَيْرَ.

Adapun selain istihlal, para ulama berbeda pendapat tentangnya. Diriwayatkan dari Syuraih, An-Nakha‘i, dan Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa bayi tidak mewarisi kecuali jika ia menangis keras, dan selain istihlal tidak dianggap sebagai pengganti istihlal. Az-Zuhri berkata: “Bersin adalah istihlal dan dengannya bayi berhak mewarisi.” Malik bin Anas juga berpendapat demikian. Al-Qasim bin Muhammad Al-Bakka’ berkata: “Bersin adalah istihlal dan bayi berhak mewarisi dengan tiga hal itu saja, tidak selainnya.”

وَقَالَ الشافعي وأبو حنيفة والصحابة بِأَيِّ وَجْهٍ عُلِمَتْ حَيَاتُهُ مِنْ حَرَكَةٍ أَوْ صياح أو بكاء أو عطاس ورث وورث؛ لِأَنَّ الْحَيَاةَ عِلَّةُ الْمِيرَاثِ فَبِأَيِّ وَجْهٍ عُلِمَتْ فَقَدْ وَجُدِتْ، وَوُجُودُهَا مُوجِبٌ لِتَعَلُّقِ الْإِرْثِ بِهَا ثُمَّ اخْتَلَفُوا إِذَا اسْتَهَلَّ قَبْلَ انْفِصَالِهِ ثُمَّ خَرَجَ مَيِّتًا فَقَالَ أبو حنيفة وَأَصْحَابُهُ إِذَا اسْتَهَلَّ بَعْدَ خُرُوجِ أَكْثَرِهِ وَرِثَ وَوُرِثَ وَإِنْ خَرَجَ بَاقِيهِ مَيِّتًا، وَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَرِثُ إِلَّا أَنْ يَسْتَهِلَّ بَعْدَ انْفِصَالِهِ؛ لِأَنَّهُ فِي حُكْمِ الْحَمْلِ مَا لَمْ يَنْفَصِلْ.

Asy-Syafi‘i, Abu Hanifah, dan para sahabat mereka berpendapat: “Dengan cara apa pun diketahui adanya kehidupan, baik dengan gerakan, tangisan, suara keras, atau bersin, maka bayi berhak mewarisi dan diwarisi; karena kehidupan adalah sebab warisan, maka dengan cara apa pun diketahui adanya kehidupan, maka warisan berlaku. Keberadaan kehidupan menjadi sebab terjadinya hak waris.” Kemudian mereka berbeda pendapat jika bayi menangis sebelum terpisah (dari ibunya) lalu keluar dalam keadaan mati. Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat: “Jika bayi menangis setelah sebagian besar tubuhnya keluar, maka ia berhak mewarisi dan diwarisi, meskipun sisanya keluar dalam keadaan mati.” Sedangkan menurut mazhab Asy-Syafi‘i, bayi tidak berhak mewarisi kecuali jika ia menangis setelah benar-benar terpisah, karena selama belum terpisah, ia masih dihukumi sebagai janin.

أَلَا تَرَى أَنَّ الْعِدَّةَ لَا تَنْقَضِي بِهِ وزكاة الفطر لا تجب عليه إِلَّا بَعْدَ انْفِصَالِهِ، وَكَذَلِكَ الْمِيرَاثُ فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا وَمَاتَ رَجُلٌ وَخَلَّفَ ابْنَيْنِ وَزَوْجَةً حَامِلًا فَوُلِدَت ابْنًا وَبِنْتًا فَاسْتَهَلَّ الِابْنُ أَوَّلًا ثُمَّ مَاتَ ثُمَّ اسْتَهَلَّتِ الْبِنْتُ بَعْدَهُ ثُمَّ مَاتَتْ فَالْمَسْأَلَةُ الْأُولَى مِنْ ثَمَانِيَةٍ؛ لِأَنَّ فِيهَا زَوْجَةً وثلاثة بنين وبنت ثُمَّ مَاتَ الِابْنُ الْمُسْتَهِلُّ عَنْ سَهْمَيْنِ مِنْهَا.

Tidakkah engkau melihat bahwa masa iddah tidak selesai dengan kelahirannya, dan zakat fitrah tidak wajib atasnya kecuali setelah terpisah, demikian pula warisan. Jika demikian, lalu ada seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan dua anak laki-laki dan seorang istri yang sedang hamil, kemudian lahir seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan; anak laki-laki itu menangis lebih dulu lalu meninggal, kemudian anak perempuan menangis setelahnya lalu meninggal, maka perhitungan warisan pertama dari delapan bagian, karena di dalamnya terdapat seorang istri, tiga anak laki-laki, dan seorang anak perempuan. Kemudian anak laki-laki yang menangis itu meninggal dengan mendapat dua bagian dari warisan tersebut.

والمسألة مِنْ سِتَّةٍ لِأَنَّ فِيهَا أُمًّا وَأَخَوَيْنِ وَأُخْتًا فَعَادَتِ الْمَسْأَلَةُ الْأُولَى بِالِاخْتِصَارِ إِلَى سِتَّةٍ؛ لِأَنَّ الباقي سِتَّةٌ ثُمَّ مَاتَتِ الْبِنْتُ الْمُسْتَهِلَّةُ عَنْ سَهْمٍ مِنْهَا وَمَسْأَلَتُهَا مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ؛ لِأَنَّ فِيهَا أُمًّا وَأَخَوَيْنِ فَاضْرِبْهَا فِي السِّتَّةِ الَّتِي رَجَعَتِ المسألة إليها يكن اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ، وَمِنْهَا تَصِحُّ الْمَسَائِلُ فَمَنْ كَانَ له شيء من اثني عشر أخذه مَضْرُوبٌ لَهُ فِي وَاحِدٍ، وَمَنْ كَانَ لَهُ شيء من ستة فهو مَضْرُوبٌ لَهُ فِي اثْنَيْ عَشَرَ، فَلَوْ كَانَتِ الْبِنْتُ هِيَ الْمُسْتَهِلَّةُ أَوَّلًا وَمَاتَتْ ثُمَّ اسْتَهَلَّ الِابْنُ بَعْدَهَا وَمَاتَ فَقَدْ مَاتَتِ الْبِنْتُ عَنْ سهم من ثمانية ومسئلتها مِنْ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ؛ لِأَنَّ فِيهَا أُمًّا وَثَلَاثَةَ إخوة فاضرب الثمانية عشر في الثمانية يكن مِائَةً وَأَرْبَعَةً وَأَرْبَعِينَ مَنْ لَهُ شَيْءٌ مِنْ ثَمَانِيَةٍ مَضْرُوبٌ لَهُ فِي ثَمَانِيَةَ عَشَرَ، وَمِنْ لَهُ شَيْءٌ مِنْ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ مَضْرُوبٌ لَهُ فِي وَاحِدٍ هُوَ تَرِكَةُ الْبِنْتُ الْمُسْتَهِلَّةُ.

Permasalahan ini berasal dari enam bagian karena di dalamnya terdapat ibu, dua saudara laki-laki, dan seorang saudari perempuan. Maka permasalahan pertama, setelah disederhanakan, kembali menjadi enam; karena sisanya adalah enam. Kemudian, anak perempuan yang baru lahir itu meninggal dengan mendapat satu bagian darinya, dan permasalahannya berasal dari dua belas bagian; karena di dalamnya terdapat ibu dan dua saudara laki-laki. Kalikan dua belas dengan enam, yang merupakan asal permasalahan setelah disederhanakan, maka hasilnya adalah tujuh puluh dua, dan dari situ permasalahan menjadi sah. Siapa yang mendapat bagian dari dua belas, maka diambil bagiannya dikalikan satu, dan siapa yang mendapat bagian dari enam, maka diambil bagiannya dikalikan dua belas. Seandainya anak perempuan itu yang pertama kali lahir dan kemudian meninggal, lalu setelahnya anak laki-laki lahir dan meninggal, maka anak perempuan itu meninggal dengan mendapat satu bagian dari delapan, dan permasalahannya berasal dari delapan belas; karena di dalamnya terdapat ibu dan tiga saudara laki-laki. Kalikan delapan belas dengan delapan, maka hasilnya adalah seratus empat puluh empat. Siapa yang mendapat bagian dari delapan, maka diambil bagiannya dikalikan delapan belas, dan siapa yang mendapat bagian dari delapan belas, maka diambil bagiannya dikalikan satu. Itulah harta warisan anak perempuan yang baru lahir.

فَعَلَى هَذَا كَانَ لِلِابْنِ الْمُسْتَهِلِّ بَعْدَهَا سَهْمَانِ مِنْ ثمانية في ثمانية عشر يكن سِتَّةً وَثَلَاثِينَ، وَلَهُ خَمْسَةٌ مِنْ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ فِي وَاحِدٍ فَصَارَ مَالُهُ مِنْهَا أَحَدًا وَأَرْبَعِينَ مِنْ مِائَةٍ وَأَرْبَعَةٍ وَأَرْبَعِينَ ثُمَّ مَاتَ عَنْهَا وَمَسْأَلَتُهُ مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ لِأَنَّ فِيهَا أُمًّا وأخوين وهي لا توقف تَرِكَتَهُ بِشَيْءٍ فَاضْرِبِ اثْنَيْ عَشَرَ فِي مِائَةٍ وأربعة وأربعين تكن ألفا وسبع مائة وثمانية وعشرين سهما ومنها يصح لَهُ شَيْءٌ مِنْ مِائَةٍ وَأَرْبَعَةٍ وَأَرْبَعِينَ مَضْرُوبٌ لَهُ فِي اثْنَيْ عَشَرَ وَمَنْ لَهُ شَيْءٌ مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ مَضْرُوبٌ لَهُ فِي أَحَدٍ وَأَرْبَعِينَ، فَلَوْ مَاتَ رَجُلٌ وَخَلَّفَ أُمًّا وَأَخًا وَأُمَّ وَلَدٍ حَامِلًا مِنْهُ فَوَلَدَتِ ابْنًا وَبِنْتًا تَوْأَمَيْنِ فَاسْتَهَلَّ أَحَدُهُمَا وَوُجِدَا مَيِّتَيْنِ، وَلَمْ يُعْلَمْ أَيُّهُمَا كَانَ الْمُسْتَهِلُّ فَالْعَمَلُ فِي مَسَائِلِ هَذَا الْفَصْلِ مُشْتَرَكٌ بَيْنَ عَمَلِ الْمُنَاسَخَاتِ؛ لِأَنَّ الْوَارِثَ الْمُسْتَهِلَّ قَدْ صَارَ مَوْرُوثًا وَبَيْنَ عَمَلِ مَسَائِلِ المعقود لِاسْتِخْرَاجِ أَقَلِّ الْأَنْصِبَاءِ فَنَقُولُ إِنْ كَانَ الِابْنُ هُوَ الْمُسْتَهِلُّ فَلِلِأُمِّ السُّدُسُ وَالْبَاقِي لِلِابْنِ وَهُوَ خَمْسَةُ أَسْهُمٍ ثُمَّ مَاتَ عَنْهَا وَمَسْأَلَتُهُ مِنْ ثَلَاثَةٍ لِأَنَّ فِيهَا أُمًّا وَعَمًّا فَاضْرِبْ ثَلَاثَةً فِي سِتَّةٍ تَكُنْ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ لِلْأُمِّ مِنْهَا سَهْمٌ مِنْ سِتَّةٍ فِي ثَلَاثَةٍ تَكُنْ ثَلَاثَةً ولأم الولد سهم من ثلاثة في خمس تكن خمسة وللعم سهمين مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي خَمْسَةٍ تَكُنْ عَشَرَةً.

Berdasarkan hal ini, anak laki-laki yang baru lahir setelahnya mendapat dua bagian dari delapan dikali delapan belas, yaitu tiga puluh enam, dan ia mendapat lima dari delapan belas dikali satu, sehingga total hartanya dari situ adalah empat puluh satu dari seratus empat puluh empat. Kemudian ia meninggal, dan permasalahannya berasal dari dua belas bagian karena di dalamnya terdapat ibu dan dua saudara laki-laki, dan ia tidak menahan hartanya dengan sesuatu pun. Maka kalikan dua belas dengan seratus empat puluh empat, hasilnya seribu tujuh ratus dua puluh delapan bagian, dan dari situ permasalahan menjadi sah. Siapa yang mendapat bagian dari seratus empat puluh empat, maka diambil bagiannya dikalikan dua belas, dan siapa yang mendapat bagian dari dua belas, maka diambil bagiannya dikalikan empat puluh satu. Seandainya seorang laki-laki meninggal dan meninggalkan seorang ibu, seorang saudara laki-laki, dan seorang ummu walad yang sedang hamil darinya, lalu melahirkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan kembar, kemudian salah satunya menangis (tanda hidup) dan keduanya ditemukan telah meninggal, dan tidak diketahui siapa yang menangis terlebih dahulu, maka cara kerja dalam permasalahan bab ini adalah gabungan antara cara kerja dalam munāsakhāt (pergantian ahli waris) karena ahli waris yang menangis telah menjadi pewaris, dan cara kerja dalam permasalahan yang disusun untuk mencari bagian terkecil. Maka kami katakan: jika anak laki-laki yang menangis, maka untuk ibu bagian seperenam dan sisanya untuk anak laki-laki, yaitu lima bagian. Kemudian ia meninggal, dan permasalahannya berasal dari tiga bagian karena di dalamnya terdapat ibu dan paman. Kalikan tiga dengan enam, hasilnya delapan belas. Untuk ibu, satu bagian dari enam dikali tiga, yaitu tiga; untuk ummu walad, satu bagian dari tiga dikali lima, yaitu lima; dan untuk paman, dua bagian dari tiga dikali lima, yaitu sepuluh.

وَإِنْ كَانَتِ الْبِنْتُ هِيَ الْمُسْتَهِلَّةُ فَلِلْأُمِّ السُّدُسُ وَلِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَالْبَاقِي لِلْأَخِ هِيَ مِنْ سِتَّةٍ، ثُمَّ مَاتَتِ الْبِنْتُ عَنْ ثَلَاثَةِ أَسْهُمٍ وَمَسْأَلَتُهَا مِنْ ثلاثة لأن فيها أما وعما فينقسم سهامها عليهما الستة تَدْخُلُ فِي الثَّمَانِيَةَ عَشَرَ وَهِيَ تُوَافِقُهَا بِالْأَسْدَاسِ، مَنْ لَهُ شَيْءٌ مِنْ إِحْدَى الْمَسْأَلَتَيْنِ مَضْرُوبٌ لَهُ فِي سُدُسِ الْأُخْرَى فَلِلْأُمِّ السُّدُسُ مِنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ فَهُوَ لَهَا؛ لِأَنَّ لَهَا مِنَ الْأَوَّلِ ثَلَاثَةً مِنْ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ مَضْرُوبٌ فِي سُدُسِ السِّتَّةِ وَهُوَ وَاحِدٌ تَكُنْ ثَلَاثَةً وَلَهَا مِنَ السِّتَّةِ وَاحِدٌ مَضْرُوبٌ فِي سُدُسِ الثَّمَانِيَةَ عَشَرَ وَهُوَ ثَلَاثَةٌ تَكُنْ ثَلَاثَةً فَاسْتَوَى سَهْمُهَا فِي المسألتين فأخذته ولأم الولد الْأُولَى خَمْسَةٌ مِنْ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ مَضْرُوبَةٌ فِي سُدُسِ السِّتَّةِ وَهُوَ وَاحِدٌ يَكُنْ خَمْسَةً وَلَهَا من الستة سَهْمٌ مِنْ سِتَّةٍ مَضْرُوبٌ فِي سُدُسِ الثَّمَانِيَةَ عشر وهو ثلاثة يكن ثلاثة فتعطى ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ لِأَنَّهُ أَقَلُّ النَّصِيبَيْنِ، وَلِلْأَخِ مِنَ الْأُولَى عَشَرَةٌ مَضْرُوبَةٌ فِي وَاحِدٍ تَكُنْ عَشَرَةً وَلَهُ مِنَ الثَّانِيَةِ أَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ مَضْرُوبَةٌ فِي ثلاثة تكن اثني عشر فيعطى عشر أسهم؛ لأنه أقل النصيبين، ويوقف سهمان من الْعَمِّ وَأُمِّ الْوَلَدِ حَتَّى يَصْطَلِحَا عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَا شَيْءَ فِيهِ لِلْأُمِّ ثُمَّ عَلَى قِيَاسِ هَذَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Jika anak perempuanlah yang menangis pertama kali (yakni hidup setelah lahir), maka untuk ibu bagian seperenam, untuk anak perempuan setengah, dan sisanya untuk saudara laki-laki; ini dari enam bagian. Kemudian anak perempuan itu meninggal dengan meninggalkan tiga bagian, dan permasalahannya dari tiga bagian karena di dalamnya ada ibu dan paman, maka bagian-bagiannya dibagi kepada keduanya. Enam bagian masuk ke dalam delapan belas dan ini sesuai dengan kesesuaian pada pembagian per enam. Siapa yang memiliki bagian dari salah satu dari dua permasalahan, dikalikan dengan seperenam dari yang lain. Maka untuk ibu, seperenam dari kedua permasalahan itu adalah miliknya; karena dari yang pertama ia mendapat tiga dari delapan belas, dikalikan dengan seperenam dari enam, yaitu satu, menjadi tiga. Dan dari enam ia mendapat satu, dikalikan dengan seperenam dari delapan belas, yaitu tiga, menjadi tiga. Maka bagian ibu sama pada kedua permasalahan, sehingga ia mengambilnya. Untuk ibu dari anak (umm al-walad) pada permasalahan pertama mendapat lima dari delapan belas, dikalikan dengan seperenam dari enam, yaitu satu, menjadi lima. Dan dari enam ia mendapat satu dari enam, dikalikan dengan seperenam dari delapan belas, yaitu tiga, menjadi tiga. Maka diberikan tiga bagian karena itu bagian yang lebih sedikit dari dua bagian yang mungkin. Untuk saudara laki-laki, dari yang pertama mendapat sepuluh, dikalikan dengan satu, menjadi sepuluh. Dari yang kedua mendapat empat bagian, dikalikan dengan tiga, menjadi dua belas. Maka diberikan sepuluh bagian karena itu bagian yang lebih sedikit dari dua bagian yang mungkin. Dua bagian dari paman dan ibu anak (umm al-walad) ditahan sampai keduanya berdamai atasnya, karena tidak ada bagian untuk ibu di dalamnya. Kemudian, berdasarkan qiyās ini, dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

باب ذوي الأرحام

Bab Dzawī al-arḥām (kerabat karena hubungan rahim)

قال المزني رحمه الله تعالى: ” احتجاج الشافعي فيمن يؤول الآية في ذوي الأرحام قال لهم الشافعي لو كان تأويلها كما زعمتم كُنْتُمْ قَدْ خَالَفْتُمُوهَا قَالُوا فَمَا مَعْنَاهَا؟ قُلْنَا تَوَارَثَ النَّاسُ بِالْحِلْفِ وَالنُّصْرَةِ ثُمَّ تَوَارَثُوا بِالْإِسْلَامِ والهجرة ثم نسخ الله تبارك وتعالى ذَلِكَ بِقَوْلِهِ {وَأُولُو الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ} [الأحزاب: 6] عَلَى مَا فَرَضَ الله لَا مُطْلَقًا أَلَا تَرَى أن الزَّوْجَ يَأْخُذُ أكثر مما يأخذ ذوو الأرحام ولا رحم له؟ أو لا ترى أنكم تعطون ابن العم المال كله دون الخال وأعطيتم مواليه جميع المال دون الأخوال فتركتم الأرحام وأعطيتم من لا رحم لَهُ؟ “.

Al-Muzani rahimahullah berkata: “Hujjah (argumentasi) asy-Syafi‘i terhadap orang yang menafsirkan ayat tentang dzawī al-arḥām, beliau berkata kepada mereka: ‘Jika penafsirannya seperti yang kalian sangka, berarti kalian telah menyelisihinya.’ Mereka berkata: ‘Lalu apa maknanya?’ Kami katakan: Dahulu orang-orang saling mewarisi karena sumpah setia dan pertolongan, kemudian mereka saling mewarisi karena Islam dan hijrah, lalu Allah Tabaraka wa Ta‘ala menghapus hal itu dengan firman-Nya: {Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) dalam Kitab Allah} [al-Ahzab: 6], sesuai dengan apa yang telah Allah tetapkan, bukan secara mutlak. Tidakkah engkau melihat bahwa suami mengambil bagian lebih banyak daripada dzawī al-arḥām padahal ia tidak memiliki hubungan rahim? Atau tidakkah engkau melihat bahwa kalian memberikan seluruh harta kepada anak paman (sepupu laki-laki) dan tidak kepada paman dari ibu, dan kalian memberikan seluruh harta kepada mawālī-nya dan tidak kepada paman dari ibu, sehingga kalian meninggalkan kerabat rahim dan memberikan kepada yang tidak memiliki hubungan rahim?’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي ذَوِي الْأَرْحَامِ مَعَ وُجُودِ بَيْتِ الْمَالِ وَأَنَّ لَهُمُ الْمِيرَاثَ عِنْدَ عَدَمِهِ لِعُدُولِ بَيْتِ الْمَالِ عَنْ حَقِّهِ هَذَا إِذَا لَمْ يَكُنْ عَصَبَةً وَإِنْ بَعُدَتْ وَلَا ذُو فَرْضٍ بِرَحِمٍ وَلَا مَوْلًى معتق فيصير حينئذ ذوو الْأَرْحَامِ مَعَ وُجُودِ بَيْتِ الْمَالِ وَأَنَّ لَهُمُ الميراث مع عدمه وورثته وَإِنْ خَالَفَ فِيهِ مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ رَدَدْنَا قَوْلَهُ وَأَوْضَحْنَا فَسَادَهُ وَإِذَا صَحَّ تَوْرِيثُهُمْ فَهُمْ خَمْسَةَ عَشَرَ يَتَفَرَّعُونَ.

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan pembahasan tentang dzawī al-arḥām ketika ada Baitul Māl, dan bahwa mereka berhak mendapatkan warisan ketika Baitul Māl tidak ada, karena Baitul Māl telah berpaling dari haknya. Ini jika tidak ada ‘aṣabah, meskipun jauh, dan tidak ada dzū farḍ dengan hubungan rahim, dan tidak ada maulā mu‘tiq. Maka pada saat itu dzawī al-arḥām, baik ada Baitul Māl maupun tidak, berhak mendapatkan warisan. Dan jika ada di antara sahabat kami yang berbeda pendapat, maka pendapatnya telah kami tolak dan kami jelaskan kerusakannya. Jika telah sah pewarisan mereka, maka mereka terbagi menjadi lima belas cabang.

وَهُمُ الْجَدُّ أَبُو الْأُمِّ وَأُمُّ أَبِي الْأُمِّ وَالْخَالُ وَأَوْلَادُهُ وَالْخَالَةُ وَأَوْلَادُهَا وَالْعَمَّةُ وَأَوْلَادُهَا وَوَلَدُ الْبَنَاتِ وَبَنَاتُ الْإِخْوَةِ وَوَلَدُ الْأَخَوَاتِ وَوَلَدُ الْإِخْوَةِ لِلْأُمِّ وَبَنَاتُ الْأَعْمَامِ وَالْعَمُّ للأم وأولادهم فاختلف مُوَرِّثُوهُمْ فِي كَيْفِيَّةِ تَوْرِيثِهِمْ فَذَهَبَ أبو حنيفة وَصَاحِبَاهُ وَأَهْلُ الْعِرَاقِ إِلَى تَوْرِيثِهِمْ بِالْقَرَابَةِ عَلَى ترتيب العصبات فأولاهم من كان ولد مِنْ وَلَدِ الْمَيِّتِ وَإِنْ سَفَلُوا ثُمَّ مَنْ كَانَ مِنْ وَلَدِ الْأَبَوَيْنِ أَوْ أَحَدِهِمَا ثُمَّ وَلَدُ أَبَوَيِ الْأَبَوَيْنِ يَجْعَلُونَ وَلَدَ كُلِّ أَبٍ أَوْ أُمٍّ أَقْرَبَ أَوْلَى مِنْ وَلَدِ أَبٍ أَوْ أُمٍّ أَبْعَدَ مِنْهُ وَيَقُولُونَ فِي الْخَالَاتِ المفترقات والعمات المفترقات إذا أَحَقَّهُنَّ مَنْ كَانَ لِأَبٍ وَأُمٍّ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَمَنْ كَانَ لِأَبٍ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَمَنْ كَانَ لِأُمٍّ وَذَهَبَ جُمْهُورُ مُوَرِّثِيهِمْ إِلَى التنزيل فيقولون كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِمَنْزِلَةِ مَنْ أَدْلَى بِهِ مِنَ الْوَرَثَةِ مِنْ عَصَبَةٍ أَوْ ذِي فَرْضٍ وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ قَوْلِ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَابْنِ مسعود رضي الله عنهم وعلقمة وَالشَّعْبِيِّ وَالنَّخَعِيِّ وَالثَّوْرِيِّ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى وَشَرِيكٍ وَالْحَسَنِ بْنِ صَالِحٍ واللؤلؤي وَأَبِي عُبَيْدٍ وَعَنْ أبي يوسف نَحْوُهُ ثُمَّ رَجَعَ عَنْهُ فَيَجْعَلُونَ وَلَدَ الْبَنَاتِ وَالْأَخَوَاتِ بِمَنْزِلَةِ أُمَّهَاتِهِمْ وَبَنَاتِ الْإِخْوَةِ وَبَنَاتِ الْأَعْمَامِ بِمَنْزِلَةِ آبَائِهِمْ وَالْأَخْوَالَ وَالْخَالَاتِ وَآبَاءَ الْأُمِّ بِمَنْزِلَةِ الْأُمِّ وَخَالَ الْأُمِّ بِمَنْزِلَةِ أُمِّ الْأُمِّ وَخَالَ الْأَبِ بِمَنْزِلَةٍ أُمِّ الْأَبِ وَالْعَمَّ للأم بمنزلة الأب.

Mereka adalah: kakek (ayah dari ibu), nenek dari ayah ibu, paman dari pihak ibu dan anak-anaknya, bibi dari pihak ibu dan anak-anaknya, bibi dari pihak ayah dan anak-anaknya, anak-anak perempuan, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki, anak-anak dari saudara perempuan, anak-anak saudara laki-laki seibu, anak-anak perempuan dari paman, paman dari pihak ibu dan anak-anak mereka. Para ahli waris mereka berbeda pendapat tentang cara mewarisi mereka. Abū Ḥanīfah, kedua sahabatnya, dan ahli Irak berpendapat bahwa mereka diwarisi berdasarkan kekerabatan menurut urutan ‘aṣabah, maka yang paling utama adalah yang merupakan keturunan dari anak keturunan mayit, meskipun jauh, kemudian yang berasal dari anak keturunan kedua orang tua atau salah satunya, kemudian keturunan dari kedua orang tua ayah dan ibu. Mereka menjadikan setiap anak dari ayah atau ibu yang lebih dekat lebih berhak daripada anak dari ayah atau ibu yang lebih jauh darinya. Mereka berkata tentang bibi-bibi dari pihak ibu dan bibi-bibi dari pihak ayah yang berbeda-beda: yang paling berhak di antara mereka adalah yang berasal dari ayah dan ibu, jika tidak ada maka yang dari ayah, jika tidak ada maka yang dari ibu. Mayoritas ahli waris mereka berpendapat dengan metode at-tanzīl, yaitu mereka mengatakan: setiap orang dari mereka menempati posisi orang yang menjadi perantara baginya dari para ahli waris, baik dari ‘aṣabah maupun dari dzī farḍ, dan ini adalah pendapat yang tampak dari perkataan ‘Umar, ‘Alī, dan Ibnu Mas‘ūd raḍiyallāhu ‘anhum, serta ‘Alqamah, asy-Sya‘bī, an-Nakha‘ī, ats-Tsaurī, Ibnu Abī Lailā, Syarīk, al-Ḥasan bin Ṣāliḥ, al-Lu’lu’ī, dan Abū ‘Ubaid, dan dari Abū Yūsuf yang semisalnya, kemudian ia menarik kembali pendapatnya. Maka mereka menjadikan anak-anak perempuan dan anak-anak saudara perempuan menempati posisi ibu-ibu mereka, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak-anak perempuan dari paman menempati posisi ayah-ayah mereka, paman dari pihak ibu dan bibi dari pihak ibu serta ayah dari ibu menempati posisi ibu, paman dari pihak ibu menempati posisi nenek dari pihak ibu, paman dari pihak ayah menempati posisi nenek dari pihak ayah, dan paman dari pihak ibu menempati posisi ayah.

فأما العمات فاختلف المنزلون فيهن فنزلهم عُمَرُ وَعَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا بِمَنْزِلَةِ الأب وهي إحدى الروايتين عن علي عليه السلام وَبِهِ قَالَ النَّخَعِيُّ وَالْحَسَنُ بْنُ صَالِحٍ وَالرِّوَايَةُ المشهورة عن علي عليه السلام أَنَّهُنَّ بِمَنْزِلَةِ الْعَمِّ، وَهُوَ قَوْلُ الشَّعْبِيِّ وَيَحْيَى بن آدم وضرار بن صرد وكأنهم ذَكَّرُوهُنَّ وَقَدْ حُكِيَ عَنِ الثَّوْرِيِّ وَأَبِي عُبَيْدٍ وَمُحَمَّدِ بْنِ سَالِمٍ أَنَّهُمْ نَزَّلُوا الْعَمَّةَ مَنْزِلَةَ بَنَاتِ الْإِخْوَةِ وَوَلَدَ الْأَخَوَاتِ بِمَنْزِلَةِ الْجَدِّ وَنُزُولُهَا مَعَ غَيْرِهِمْ بِمَنْزِلَةِ الْأَبِ وَاخْتَلَفَ الْمُنَزِّلُونَ فِي تَوْرِيثِ الْقَرِيبِ وَالْبَعِيدِ فَالْمَعْمُولُ عَلَيْهِ مِنْ قَوْلِ الجمهور أن أقربهم أولى بِوَارِثٍ أَوْلَاهُمْ بِالْمِيرَاثِ فَإِنِ اسْتَوَوْا أَخَذَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ نَصِيبَ مَنْ أَدْلَى بِهِ وَذَهَبَ قوم إلى أن كل ذي رحم بنزلة سَبَبِهِ، وَإِنْ بَعُدَ فَوَرَّثُوا الْبَعِيدَ مَعَ الْقَرِيبِ إذا كانا مِنْ جِهَتَيْنِ مُخْتَلِفَتَيْنِ، هَذَا قَوْلُ الثَّوْرِيِّ وَالْحَسَنِ بن صالح وأبي عبيد ومحمد بن مسلم، وَضِرَارِ بْنِ صُرَدٍ فَإِنْ كَانَا مِنْ جِهَةٍ وَاحِدَةٍ وَرَّثُوا الْأَقْرَبَ فَالْأَقْرَبَ وَاخْتَلَفَ أَهْلُ التَّنْزِيلِ فِي تَنْزِيلِ وَارِثِ الْأُمِّ مِثْلَ ابْنِ أَخِيهَا وعمها وابن عمها وابن أَبِيهَا وَأُمِّ جَدِّهَا هَلْ يُنَزِّلُونَ فِي أَوَّلِ دَرَجَةٍ بِمَنْزِلَتِهَا وَإِنْ بَعُدُوا مِنْهَا أَوْ يُنَزِّلُونَ بَطْنًا بَعْدَ بَطْنٍ فَذَهَبَ جُمْهُورُهُمْ إِلَى أَنَّهُمْ يُنَزِّلُونَ بَطْنًا بَعْدَ بَطْنٍ.

Adapun mengenai bibi-bibi dari pihak ayah, para pengikut metode at-tanzīl berbeda pendapat tentang mereka. ‘Umar dan ‘Abdullāh raḍiyallāhu ‘anhumā menempatkan mereka pada posisi ayah, dan ini adalah salah satu riwayat dari ‘Alī ‘alayhis salām, dan pendapat ini juga dikatakan oleh an-Nakha‘ī dan al-Ḥasan bin Ṣāliḥ. Riwayat yang masyhur dari ‘Alī ‘alayhis salām adalah bahwa mereka menempati posisi paman, dan ini adalah pendapat asy-Sya‘bī, Yaḥyā bin Ādam, dan Ḍirār bin Ṣurad, seakan-akan mereka menganggap bibi-bibi itu seperti laki-laki. Diriwayatkan dari ats-Tsaurī, Abū ‘Ubaid, dan Muḥammad bin Sālim bahwa mereka menempatkan bibi pada posisi anak-anak perempuan dari saudara laki-laki, dan anak-anak dari saudara perempuan pada posisi kakek, dan penempatannya bersama selain mereka pada posisi ayah. Para pengikut metode at-tanzīl juga berbeda pendapat dalam mewariskan antara kerabat dekat dan jauh. Pendapat yang diamalkan dari mayoritas adalah bahwa yang paling dekat lebih berhak, yaitu ahli waris yang paling dekat lebih berhak atas warisan. Jika mereka setara, maka masing-masing mendapat bagian sesuai dengan orang yang menjadi perantara baginya. Sebagian ulama berpendapat bahwa setiap dzī raḥim menempati posisi sebabnya, meskipun jauh, sehingga mereka mewariskan yang jauh bersama yang dekat jika keduanya berasal dari dua jalur yang berbeda. Ini adalah pendapat ats-Tsaurī, al-Ḥasan bin Ṣāliḥ, Abū ‘Ubaid, Muḥammad bin Muslim, dan Ḍirār bin Ṣurad. Jika keduanya berasal dari satu jalur, mereka mewariskan yang paling dekat, kemudian yang lebih dekat. Para ahli at-tanzīl juga berbeda pendapat dalam menempatkan ahli waris dari pihak ibu seperti anak saudara laki-laki ibu, paman ibu, anak paman ibu, dan anak ayah ibu, serta nenek dari pihak ibu, apakah mereka menempatkan pada derajat pertama pada posisinya meskipun jauh darinya, atau menempatkan satu lapis demi satu lapis. Mayoritas mereka berpendapat bahwa mereka menempatkan satu lapis demi satu lapis.

وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ: الأم ثم أجعلها لِوَرَثَتِهَا وَبِهِ قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ وَيَحْيَى بْنُ آدَمَ وَاخْتَلَفُوا فِي تَفْضِيلِ الذَّكَرِ عَلَى الْأُنْثَى فَذَهَبَ جُمْهُورُهُمْ إِلَى أَنَّهُ بَيْنَهُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ إِلَّا وَلَدَ الْإِخْوَةِ مِنَ الْأُمِّ وَالْأَخْوَالِ وَالْخَالَاتِ مِنَ الْأُمِّ وَالْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ مِنَ الأم فإنه يستوي فيه ذكورهم وإناثهم، وَذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى التَّسْوِيَةِ بَيْنَ ذُكُورِهِمْ وَإِنَاثِهِمْ وَهُوَ قَوْلُ نُعَيْمِ بْنِ حَمَّادٍ وَأَبِي عُبَيْدٍ وَإِسْحَاقَ بْنِ رَاهَوَيْهِ وَبِالْجُمْهُورِ مِنْ قَوْلِ الْمُنَزِّلِينَ يفتي وعليه يعمل؛ لِأَنَّهُ أَجْرَى عَلَى الْقِيَاسِ مِنْ قَوْلِ أَهْل القرابة فلذلك ذهبنا إليه وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Ibrahim an-Nakha‘i berkata: “Ibu, kemudian aku menjadikannya untuk para ahli warisnya.” Pendapat ini juga dikatakan oleh Abu ‘Ubaid dan Yahya bin Adam. Mereka berbeda pendapat dalam hal mengutamakan laki-laki atas perempuan. Mayoritas mereka berpendapat bahwa pembagian di antara mereka adalah: bagi laki-laki bagian dua kali lipat perempuan, kecuali anak-anak saudara dari ibu, paman dan bibi dari ibu, serta paman dan bibi dari pihak ibu, maka laki-laki dan perempuan mereka mendapat bagian yang sama. Ada juga sekelompok ulama yang berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan mendapat bagian yang sama, dan ini adalah pendapat Nu‘aim bin Hammad, Abu ‘Ubaid, dan Ishaq bin Rahawaih. Fatwa dan praktik yang diikuti adalah pendapat mayoritas dari kalangan ahli at-tanzīl, karena pendapat ini lebih sesuai dengan qiyās menurut para ahli kerabat, sehingga kami mengikuti pendapat tersebut. Allah-lah yang lebih mengetahui kebenaran.

فَصْلٌ: فِي وَلَدِ الْبَنَاتِ

Fasal: Tentang anak-anak perempuan

إِذَا تَرَكَ بِنْتَ بِنْتٍ وَثَلَاثَةَ بَنَاتِ بِنْتٍ ثَانِيَةٍ وَأَرْبَعَ بَنَاتِ بِنْتٍ ثَالِثَةٍ فَالْمَالُ فِي الأصل مقسوم بينهم عَلَى ثَلَاثَةِ أَسْهُمٍ بِعَدَدٍ مَنْ أَدْلَيْنَ بِهِ مِنَ الْأُمَّهَاتِ ثُمَّ يَجْعَلُ كُلَّ سَهْمٍ لِوَلَدِهَا وَتَصِحُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ سَهْمًا الثُّلُثُ مِنْهَا اثْنَا عَشَرَ سَهْمًا لِبِنْتِ الْبِنْتِ الْوَاحِدَةِ وَاثْنَا عَشَرَ سَهْمًا لِثَلَاثِ بَنَاتٍ الْبِنْتُ الثَّانِيَةُ أَثْلَاثًا لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ أَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ وَاثْنَا عَشَرَ سَهْمًا لِأَرْبَعِ بَنَاتٍ الْبِنْتُ الثَّالِثَةُ أَرْبَاعًا لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ، وَقَالَ أبو حنيفة: يقسم بينهن على عدد رؤسهم أثمانا لكل واحدة سهم، كما يقسم بَيْنَ الْعَصَبَاتِ عَلَى أَعْدَادِهِمْ وَلَا يُعْتَبَرُ أَعْدَادُ آبَائِهِمْ كَمَا لَوْ تَرَكَ ابْنَ ابْنٍ وَخَمْسَةَ بَنِي ابْنٍ آخَرَ قَسَّمَ الْمَالَ بَيْنَهُمْ أَسْدَاسًا على أعدادهم ولم يقسم نصفين على أعداد آبَائِهِمْ وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ الْعَصَبَاتِ يَرِثُونَ بِأَنْفُسِهِمْ فَلِذَلِكَ قَسَّمَ عَلَى عَدَدِهِمْ، وَذَوُو الْأَرْحَامِ يُدْلُونَ بِغَيْرِهِمْ فَقَسَّمَ بَيْنَهُمْ عَلَى عَدَدِ مَنْ أَدْلَوْا بِهِ، فَلَوْ تَرَكَ ابْنَ بِنْتٍ مَعَ أُخْتِهِ وَبِنْتَ بِنْتٍ أُخْرَى كَانَ لِبِنْتِ الْبِنْتِ النِّصْفُ وَلِابْنِ الْبِنْتِ مَعَ أُخْتِهِ النِّصْفُ بَيْنَهُمَا لِلذَّكَرِ مثل حظ الأنثيين، وتصح من ستة على قَوْلِ أَبِي عَبِيدٍ وَإِسْحَاقَ النِّصْفُ بَيْنَهُمَا بِالسَّوِيَّةِ، وَعَلَى قَوْلِ أبي حنيفة الْمَالُ بَيْنَ جَمِيعِهِمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَسْهُمٍ فَلَوْ تَرَكَ بِنْتَ بِنْتٍ وَبِنْتَ بِنْتِ ابْنٍ كَانَ لِبِنْتِ الْبِنْتِ النِّصْفُ سَهْمُ أُمِّهَا وَلِبِنْتِ الابن السدس سهم أبيها والباقي رد عليها فَيَصِيرُ الْمَالُ بَيْنَهُمَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَسْهُمٍ وَعَلَى قَوْلِ أبي حنيفة: الْمَالُ كُلُّهُ لِبِنْتِ الْبِنْتِ لِأَنَّهَا أَقْرَبُ فَلَوْ تَرَكَ بِنْتَ ابْنِ بِنْتٍ وَبِنْتَ بِنْتِ ابْنٍ فَالْمَالُ كُلُّهُ لِبِنْتِ بِنْتِ الِابْنِ فِي قَوْلِ الْجَمِيعِ.

Jika seseorang meninggalkan seorang cucu perempuan (anak perempuan dari anak perempuan), tiga cucu perempuan dari anak perempuan kedua, dan empat cucu perempuan dari anak perempuan ketiga, maka harta pada asalnya dibagi di antara mereka menjadi tiga bagian, sesuai dengan jumlah ibu yang menjadi perantara mereka. Kemudian setiap bagian diberikan kepada anak-anak dari masing-masing ibu tersebut. Pembagian yang sah adalah dari tiga puluh enam bagian: sepertiganya, yaitu dua belas bagian, untuk satu cucu perempuan; dua belas bagian untuk tiga cucu perempuan dari anak perempuan kedua, masing-masing mendapat empat bagian; dan dua belas bagian untuk empat cucu perempuan dari anak perempuan ketiga, masing-masing mendapat tiga bagian. Abu Hanifah berkata: “Dibagi di antara mereka sesuai jumlah kepala, masing-masing mendapat satu bagian, sebagaimana pembagian di antara ‘ashabah menurut jumlah mereka, dan tidak memperhitungkan jumlah ayah mereka. Sebagaimana jika seseorang meninggalkan seorang cucu laki-laki dan lima cucu laki-laki dari anak laki-laki lain, maka harta dibagi di antara mereka menjadi enam bagian sesuai jumlah mereka, dan tidak dibagi dua sesuai jumlah ayah mereka. Ini adalah kekeliruan, karena ‘ashabah mewarisi dengan diri mereka sendiri, sehingga dibagi menurut jumlah mereka, sedangkan dzawul arham mewarisi melalui perantara, sehingga dibagi menurut jumlah perantara mereka. Jika seseorang meninggalkan seorang cucu laki-laki dari anak perempuan bersama saudara perempuannya dan seorang cucu perempuan dari anak perempuan lain, maka cucu perempuan mendapat setengah, dan cucu laki-laki bersama saudara perempuannya mendapat setengah, dengan bagian laki-laki dua kali perempuan. Pembagian yang sah adalah dari enam bagian. Menurut pendapat Abu ‘Ubaid dan Ishaq, setengah dibagi rata di antara mereka. Menurut pendapat Abu Hanifah, harta dibagi di antara semuanya dengan bagian laki-laki dua kali perempuan, dari empat bagian. Jika seseorang meninggalkan seorang cucu perempuan dan seorang cucu perempuan dari anak laki-laki, maka cucu perempuan mendapat setengah, yaitu bagian ibunya, dan cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat seperenam, yaitu bagian ayahnya, dan sisanya dikembalikan kepada mereka, sehingga harta dibagi di antara mereka menjadi empat bagian. Menurut Abu Hanifah, seluruh harta untuk cucu perempuan karena ia lebih dekat. Jika seseorang meninggalkan seorang cucu perempuan dari anak laki-laki dari anak perempuan dan seorang cucu perempuan dari anak perempuan dari anak laki-laki, maka seluruh harta untuk cucu perempuan dari anak perempuan dari anak laki-laki menurut pendapat semua ulama.

أَمَّا عَلَى قَوْلِ أَهْلِ التَّنْزِيلِ فَلِأَنَّهَا بَعْدَ دَرَجَةِ بِنْتِ ابْنِ وَارِثَةٍ.

Adapun menurut pendapat ahli at-tanzīl, karena ia berada setelah derajat cucu perempuan dari anak laki-laki yang menjadi ahli waris.

وَأَمَّا عَلَى قَوْلِ أبي حنيفة فَلِأَنَّهُمَا اسْتَوَيَا فِي الْبُعْدِ وَهَذِهِ تُدْلِي بِوَارِثٍ وَمِنْ مَذْهَبِهِ أَنَّهُ مَعَ اسْتِوَاءِ الدُّرَجِ يُقَدَّمُ مَنْ أَدْلَى بِوَارِثٍ، فَلَوْ تَرَكَ ابْنَ ابْنِ بِنْتِ بِنْتٍ وَابْنَ ابْنِ بِنْتِ ابْنٍ كَانَ الْمَالُ كُلُّهُ لِابْنِ ابْنِ بِنْتِ الِابْنِ فِي قَوْلِ الجميع؛ لأنه مع استواء الدرج أقرب إدلاء بوارث.

Sedangkan menurut pendapat Abu Hanifah, karena keduanya sama-sama jauh, dan yang satu mewarisi melalui ahli waris. Dalam mazhabnya, jika derajatnya sama, maka didahulukan yang mewarisi melalui ahli waris. Jika seseorang meninggalkan seorang cucu laki-laki dari anak laki-laki dari anak perempuan dan seorang cucu laki-laki dari anak laki-laki dari anak laki-laki, maka seluruh harta untuk cucu laki-laki dari anak laki-laki dari anak laki-laki menurut pendapat semua ulama, karena jika derajatnya sama, maka yang lebih dekat kepada ahli waris lebih didahulukan.

فصل: في ولد الأخوات

Fasal: Tentang anak-anak saudara perempuan

وَإِذَا تَرَكَ بِنْتَ أُخْتٍ وَابْنَيْ أُخْتٍ أُخْرَى كَانَ النِّصْفُ لِبِنْتِ الْأُخْتِ وَالنِّصْفُ لِابْنَيِ الْأُخْتِ الْأُخْرَى، وَتَصِحُّ مِنْ أَرْبَعَةٍ وَعَلَى قَوْلِ أبي حنيفة الْمَالُ بَيْنَهُمْ عَلَى خَمْسَةٍ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَلَوْ تَرَكَ ابْنَ أُخْتٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ وَابْنَ أُخْتٍ لِأَبٍ كَانَ لِابْنِ الْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ النِّصْفُ وَلِابْنِ الْأُخْتِ لِلْأَبِ السُّدُسُ والباقي رد عليهم وَتَصِحُّ مِنْ أَرْبَعَةٍ وَهُوَ قَوْلُ محمد بن الحسن وَإِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أبي حنيفة.

Jika seseorang meninggalkan seorang putri dari saudara perempuan dan dua putra dari saudara perempuan lain, maka setengah harta untuk putri saudara perempuan dan setengah lagi untuk dua putra saudara perempuan yang lain. Pembagian ini sah dari empat bagian. Menurut pendapat Abu Hanifah, harta dibagi di antara mereka menjadi lima bagian, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Jika seseorang meninggalkan seorang putra dari saudara perempuan seayah-seibu dan seorang putra dari saudara perempuan seayah, maka putra saudara perempuan seayah-seibu mendapat setengah, dan putra saudara perempuan seayah mendapat seperenam, sisanya dikembalikan kepada mereka. Pembagian ini sah dari empat bagian, dan ini adalah pendapat Muhammad bin al-Hasan dan salah satu riwayat dari Abu Hanifah.

وَعَلَى قَوْلِ أبي يوسف الْمَالُ كُلُّهُ لِابْنِ الْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ وَهِيَ إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أبي حنيفة.

Menurut pendapat Abu Yusuf, seluruh harta diberikan kepada putra saudara perempuan seayah-seibu, dan ini adalah salah satu riwayat dari Abu Hanifah.

فلو ترك بنت أخت لأب مع أخيها وابن أخت لأم مع أُخْتِهِ كَانَ لِوَلَدِ الْأُخْتِ مِنَ الْأَبِ ثَلَاثَةُ أرباع بَيْنَهُمَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَلِوَلَدِ الْأُخْتِ مِنَ الْأُمِّ الرُّبُعُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ وَتَصِحُّ مِنْ ثمانية.

Jika seseorang meninggalkan seorang putri saudara perempuan seayah bersama saudaranya, dan seorang putra saudara perempuan seibu bersama saudarinya, maka untuk anak saudara perempuan dari pihak ayah, tiga perempat dibagi di antara keduanya, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Untuk anak saudara perempuan dari pihak ibu, seperempat dibagi rata di antara keduanya. Pembagian ini sah dari delapan bagian.

فلو ترك ثلاثة بنين وثلاثة بنات أَخَوَاتٍ مُفْتَرِقَاتٍ كَانَ الْمَالُ بَيْنَهُمْ فِي الْأَصْلِ على خمسة أسهم سهم لابن وبنت الْأُخْتِ مِنَ الْأُمِّ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ وَسَهْمٌ لِابْنِ وَبِنْتِ الْأُخْتِ مِنَ الْأَبِ بَيْنَهُمَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حظ الأنثيين وثلاثة أسهم للابن وَبِنْتِ الْأُخْتِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ بَيْنَهُمَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَتَصِحُّ مِنْ ثَلَاثِينَ سَهْمًا.

Jika seseorang meninggalkan tiga putra dan tiga putri dari saudara-saudara perempuan yang berbeda-beda, maka harta pada asalnya dibagi menjadi lima bagian: satu bagian untuk putra dan putri saudara perempuan seibu, dibagi rata di antara keduanya; satu bagian untuk putra dan putri saudara perempuan seayah, dibagi dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan; dan tiga bagian untuk putra dan putri saudara perempuan seayah-seibu, dibagi dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Pembagian ini sah dari tiga puluh bagian.

فصل: في بنات الإخوة

Fasal: Tentang putri-putri saudara laki-laki

وَإِذَا تَرَكَ بِنْتَيْ أَخٍ وَخَمْسَ بَنَاتِ أَخٍ آخَرَ كَانَ النِّصْفُ بَيْنَ بِنْتَيِ الْأَخِ نِصْفَيْنِ وَالنِّصْفُ الْآخَرُ بَيْنَ خَمْسِ بَنَاتِ الْأَخِ الْآخَرِ عَلَى خَمْسَةٍ وَتَصِحُّ مِنْ عِشْرِينَ سَهْمًا وَعَلَى قول أبي حنيفة المال بينهم عَلَى سَبْعَةِ أَسْهُمٍ عَلَى أَعْدَادِهِنَّ فَلَوْ تَرَكَ ثلاث بنات إخوة متفرقين كَانَ لِبِنْتِ الْأَخِ مِنَ الْأُمِّ السُّدُسُ وَالْبَاقِي لِبِنْتِ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ وَلَا شَيْءَ لِبِنْتِ الأخ للأب لأن أباها مع أخويها غَيْرُ وَارِثٍ وَهُوَ قَوْلُ محمد وَإِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أبي حنيفة وَعَلَى قَوْلِ أبي يوسف الْأَخِيرِ وَإِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أبي حنيفة الْمَالُ لِبِنْتِ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ.

Jika seseorang meninggalkan dua putri dari satu saudara laki-laki dan lima putri dari saudara laki-laki lain, maka setengah harta dibagi rata untuk dua putri saudara laki-laki, dan setengah lainnya dibagi untuk lima putri saudara laki-laki yang lain, masing-masing mendapat satu bagian dari lima. Pembagian ini sah dari dua puluh bagian. Menurut pendapat Abu Hanifah, harta dibagi di antara mereka menjadi tujuh bagian sesuai jumlah mereka. Jika seseorang meninggalkan tiga putri dari saudara laki-laki yang berbeda-beda, maka untuk putri saudara laki-laki seibu mendapat seperenam, sisanya untuk putri saudara laki-laki seayah-seibu, dan tidak ada bagian untuk putri saudara laki-laki seayah karena ayahnya bersama kedua saudaranya tidak mewarisi. Ini adalah pendapat Muhammad dan salah satu riwayat dari Abu Hanifah. Menurut pendapat terakhir Abu Yusuf dan salah satu riwayat dari Abu Hanifah, harta diberikan kepada putri saudara laki-laki seayah-seibu.

وَلَوْ تَرَكَ ابْنَ أَخٍ لِأُمٍّ مَعَ أُخْتِهِ وَبِنْتَ أَخٍ لِأَبٍ كان السدس بين ابن الأخ وَبِنْتِ الْأَخِ مِنَ الْأُمِّ نِصْفَيْنِ وَلِبِنْتِ الْأَخِ مِنَ الْأَبِ الْبَاقِي، وعلى قول محمد بن الحسن لابن الأخ وَبِنْتِ الْأَخِ مِنَ الْأُمِّ الثُّلُثُ كَأَنَّهُمَا أَخٌ وَأُخْتٌ مِنْ أُمٍّ وَالْبَاقِي لِبِنْتِ الْأخ مِنَ الْأَبِ.

Jika seseorang meninggalkan seorang putra saudara laki-laki seibu bersama saudarinya dan seorang putri saudara laki-laki seayah, maka seperenam dibagi rata antara putra dan putri saudara laki-laki seibu, dan sisanya untuk putri saudara laki-laki seayah. Menurut pendapat Muhammad bin al-Hasan, untuk putra dan putri saudara laki-laki seibu mendapat sepertiga, seolah-olah mereka adalah saudara laki-laki dan perempuan seibu, dan sisanya untuk putri saudara laki-laki seayah.

وَعَلَى قَوْلِ أبي يوسف الْمَالُ كُلُّهُ لِبِنْتِ الْأَخِ لِلْأَبِ.

Menurut pendapat Abu Yusuf, seluruh harta diberikan kepada putri saudara laki-laki seayah.

وَلَوْ تَرَكَ بِنْتَ أَخٍ لأم وابن أخت لِأُمٍّ وَبِنْتَ أَخٍ لِأَبٍ كَانَ لِبِنْتِ الأخ للأم السدس ولابن الْأُخْتِ لِلْأُمِّ السُّدُسُ وَالْبَاقِي لِبِنْتِ الْأَخِ لِلْأَبِ وَتَصِحُّ مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ.

Jika seseorang meninggalkan seorang putri saudara laki-laki seibu, seorang putra saudara perempuan seibu, dan seorang putri saudara laki-laki seayah, maka untuk putri saudara laki-laki seibu mendapat seperenam, untuk putra saudara perempuan seibu mendapat seperenam, dan sisanya untuk putri saudara laki-laki seayah. Pembagian ini sah dari dua belas bagian.

وَعَلَى قَوْلِ محمد بن الحسن لِوَلَدِ الْأَخِ وَالْأُخْتِ مِنَ الْأُمِّ الثُّلُثُ بَيْنَهُمَا أَثْلَاثًا عَلَى عَدَدِهِمْ وَالْبَاقِي لِبِنْتِ الْأَخِ لِلْأَبِ وَعَلَى قَوْلِ أبي يوسف الْمَالُ كُلُّهُ لِبِنْتِ الْأَخِ لِلْأَبِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Menurut pendapat Muhammad bin al-Hasan, untuk anak saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu mendapat sepertiga, dibagi rata sesuai jumlah mereka, dan sisanya untuk putri saudara laki-laki seayah. Menurut pendapat Abu Yusuf, seluruh harta diberikan kepada putri saudara laki-laki seayah. Wallāhu a‘lam.

فَصْلٌ: في ولد الأخوات مع بنات الإخوة

Fasal: Tentang anak-anak saudara perempuan bersama putri-putri saudara laki-laki

وَإِذَا تَرَكَ بِنْتَيْ أَخٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ وَابْنِ أخت لأب وأم كان المال بينهما عَلَى ثَلَاثَةِ أَسْهُمٍ لِابْنِ الْأخت لِلْأَبِ وَالْأُمِّ سَهْمٌ نَصِيبُ أَبِيهِ وَلِابْنَتَيِ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ سَهْمَانِ نَصِيبُ أَبِيهِمَا، وَعَلَى قَوْلِ محمد بن الحسن هِيَ مِنْ خَمْسَةٍ لِبِنْتِي الْأَخِ أَرْبَعَةٌ كَأَنَّهُمَا أَخَوَانِ، وَلِابْنِ الْأُخْتِ سَهْمٌ كَأَنَّهُ أُخْتٌ.

Jika seseorang meninggalkan dua putri saudara laki-laki seayah-seibu dan seorang putra saudara perempuan seayah-seibu, maka harta dibagi menjadi tiga bagian: untuk putra saudara perempuan seayah-seibu satu bagian, yaitu bagian ayahnya; dan untuk dua putri saudara laki-laki seayah-seibu dua bagian, yaitu bagian ayah mereka. Menurut pendapat Muhammad bin al-Hasan, pembagian dari lima bagian: untuk dua putri saudara laki-laki empat bagian, seolah-olah mereka dua saudara laki-laki; dan untuk putra saudara perempuan satu bagian, seolah-olah dia saudara perempuan.

وَعَلَى قَوْلِ أبي يوسف لِابْنِ الْأُخْتِ سَهْمَانِ وَلِبِنْتَيِ الْأَخِ سَهْمَانِ يُقَسَّمُ عَلَى رؤوسهِمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ.

Menurut pendapat Abu Yusuf, untuk putra saudara perempuan dua bagian, dan untuk dua putri saudara laki-laki dua bagian, dibagi berdasarkan jumlah mereka, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.

فَلَوْ تَرَكَ ابْنَيْ أُخْتٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ وَبِنْتَ أَخٍ لِأَبٍ كَانَ لِابْنَيِ الْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ النِّصْفُ وَالْبَاقِي لِبِنْتِ الْأَخِ لِلْأَبِ وَعَلَى قَوْلِ محمد بن الحسن لِابْنَيِ الْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ الثُّلُثَانِ وَالْبَاقِي لِبِنْتِ الْأَخِ لِلْأَبِ وَعَلَى قَوْلِ أبي يوسف الْمَالُ لِابْنَيِ الْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ.

Jika seseorang meninggalkan dua anak laki-laki dari saudari seayah-seibu dan seorang anak perempuan dari saudara laki-laki seayah, maka untuk dua anak laki-laki dari saudari seayah-seibu mendapat setengah, dan sisanya untuk anak perempuan dari saudara laki-laki seayah. Menurut pendapat Muhammad bin al-Hasan, dua anak laki-laki dari saudari seayah-seibu mendapat dua pertiga, dan sisanya untuk anak perempuan dari saudara laki-laki seayah. Sedangkan menurut pendapat Abu Yusuf, seluruh harta untuk dua anak laki-laki dari saudari seayah-seibu.

وَلَوْ تَرَكَ ابْنَ أُخْتٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ مَعَهُ أُخْتُهُ وَبِنْتَيْ أَخٍ لِأَبٍ وَبِنْتَ أُخْتٍ لِأَبٍ كَانَ الْمَالُ بَيْنَهُمْ عَلَى سِتَّةِ أَسْهُمٍ لِابْنِ الْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ النِّصْفُ ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ بَيْنَهُمَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ، وَلِبِنْتَيِ الْأَخِ لِلْأَبِ ثُلُثَا مَا بَقِيَ، وَهُوَ سَهْمَانِ، وَلِبِنْتِ الْأُخْتِ لِلْأَبِ ثُلُثُ الْبَاقِي وَهُوَ سَهْمٌ وَاحِدٌ، وَعَلَى قَوْلِ محمد بن الحسن لِوَلَدِ الْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ الثُّلُثَانِ، وَلِابْنَتَيِ الْأَخِ لِلْأَبِ أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِ الْبَاقِي، وَالْخُمُسُ الْبَاقِي لِبِنْتِ الْأُخْتِ.

Jika seseorang meninggalkan seorang anak laki-laki dari saudari seayah-seibu bersama saudari perempuannya, dua anak perempuan dari saudara laki-laki seayah, dan seorang anak perempuan dari saudari seayah, maka harta dibagi di antara mereka menjadi enam bagian: untuk anak laki-laki dari saudari seayah-seibu setengah, yaitu tiga bagian di antara keduanya, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan; untuk dua anak perempuan dari saudara laki-laki seayah dua pertiga dari sisa, yaitu dua bagian; dan untuk anak perempuan dari saudari seayah sepertiga dari sisa, yaitu satu bagian. Menurut pendapat Muhammad bin al-Hasan, anak-anak dari saudari seayah-seibu mendapat dua pertiga, dua anak perempuan dari saudara laki-laki seayah mendapat empat per lima dari sisa, dan seperlima sisa untuk anak perempuan dari saudari.

وَلَوْ تَرَكَ بِنْتَ ابْنِ أُخْتٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ وَبِنْتَ ابْنِ أَخٍ لِأَبٍ كَانَ الْمَالُ كُلُّهُ لِبِنْتِ ابْنِ الْأَخِ لِلْأَبِ فِي قَوْلِ الْجَمِيعِ.

Jika seseorang meninggalkan seorang anak perempuan dari anak laki-laki saudari seayah-seibu dan seorang anak perempuan dari anak laki-laki saudara seayah, maka seluruh harta menjadi milik anak perempuan dari anak laki-laki saudara seayah menurut pendapat semua ulama.

وَلَوْ تَرَكَ ثَلَاثَ بَنَاتٍ ثَلَاثَ أَخَوَاتٍ مُفْتَرِقَاتٍ وَبِنْتَ ابْنِ أَخٍ لِأَبٍ كَانَ لِبِنْتِ الْأُخْتِ مِنَ الْأُمِّ السُّدُسُ وَلِبِنْتِ الْأُخْتِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ النِّصْفُ وَلِبِنْتِ الْأُخْتِ مِنَ الْأَبِ السُّدُسُ وَالْبَاقِي لِبِنْتِ ابْنِ الْأَخِ وَفِي قَوْلِ محمد بن الحسن الْمَالُ بَيْنَ بَنَاتِ الْأَخَوَاتِ عَلَى خَمْسَةِ أَسْهُمٍ وَعَلَى قَوْلِ أبي يوسف هُوَ لِبِنْتِ الْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ.

Jika seseorang meninggalkan tiga anak perempuan, tiga saudari perempuan yang berbeda-beda, dan seorang anak perempuan dari anak laki-laki saudara seayah, maka untuk anak perempuan dari saudari seibu mendapat seperenam, untuk anak perempuan dari saudari seayah-seibu mendapat setengah, untuk anak perempuan dari saudari seayah mendapat seperenam, dan sisanya untuk anak perempuan dari anak laki-laki saudara seayah. Menurut pendapat Muhammad bin al-Hasan, harta dibagi di antara anak-anak perempuan dari para saudari atas lima bagian, dan menurut pendapat Abu Yusuf, harta untuk anak perempuan dari saudari seayah-seibu.

فَصْلٌ: فِي العمات والخالات

Fasal: Tentang para bibi dan para khala (saudari ibu)

خَالَةٌ مِنْ أُمٍّ وَعَمَّةٌ مِنْ أَبٍ وَأُمٌّ لِلْخَالَةِ الثُّلُثُ وَالْبَاقِي لِلْعَمَّةِ فِي قَوْلِ الْجَمِيعِ وكذلك إن كانت الخالة من أب عَمَّة لِأُمٍّ وَبِنْتُ خَالَةٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ الْمَالُ لِلْعَمَّةِ لِلْأُمِّ لِأَنَّهَا أَقْرَبُ خَالَةٍ لِأُمٍّ وَبِنْتُ عَمَّةٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ الْمَالُ لِلْخَالَةِ لِأَنَّهَا أَقْرَبُ.

Seorang khala dari ibu dan seorang bibi dari ayah dan ibu, maka untuk khala sepertiga dan sisanya untuk bibi menurut pendapat semua ulama. Demikian pula jika khala dari ayah, bibi dari ibu, dan anak perempuan dari khala seayah-seibu, maka harta untuk bibi dari ibu karena dia lebih dekat. Jika khala dari ibu dan anak perempuan dari bibi seayah-seibu, maka harta untuk khala karena dia lebih dekat.

ثَلَاثُ خَالَاتٍ مُفْتَرِقَاتٍ وَثَلَاثُ عَمَّاتٍ مُفْتَرِقَاتٍ الثُّلُثُ بَيْنِ الْخَالَاتِ عَلَى خَمْسَةٍ وَالثُّلُثَانِ بَيْنَ الْعَمَّاتِ عَلَى خَمْسَةٍ، لِأَنَّهُنَّ أَخَوَاتٌ مُفْتَرِقَاتٌ وَعَلَى قَوْلِ أَهْلِ الْقَرَابَةِ الثُّلُثُ لِلْخَالَةِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ وَالثُّلُثَانِ لِلْعَمَّةِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ. عَمَّةٌ لِأَبٍ وَخَالَتَانِ لِأَبٍ وأم وخال وخالة لأب للعمة الثلث وللخالتين للأب والأم ثلث الثلث وباقي الثلث للخال، والخال مِنَ الْأَبِ عَلَى ثَلَاثَةٍ وَتَصِحُّ مِنْ سَبْعَةٍ وَعِشْرِينَ عَمَّتَانِ مِنْ أَبٍ وَعَمٍّ وَعَمَّةٍ مِنْ أُمٍّ وَخَالَةٍ مِنْ أُمٍّ وَخَالَةٍ مِنْ أَبٍ تصح من ستة وثلاثين سهما لِلْخَالَةِ مِنَ الْأُمِّ رُبُعُ الثُّلُثِ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ، وَلِلْخَالَةِ مِنَ الْأَبِ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِهِ تِسْعَةُ أَسْهُمٍ وباقي الثلث للخال وَلِلْعَمَّتَيْنِ مِنَ الْأَبِ ثُلُثَا الثُّلُثَيْنِ سِتَّةَ عَشَرَ أسهم وَلِلْعَمِّ وَالْعَمَّةِ مِنَ الْأُمِّ ثُلُثُ الثُّلُثَيْنِ ثَمَانِيَةُ أَسْهُمٍ.

Tiga khala yang berbeda-beda dan tiga bibi yang berbeda-beda, sepertiga dibagi di antara para khala atas lima bagian dan dua pertiga di antara para bibi atas lima bagian, karena mereka adalah saudari-saudari yang berbeda-beda. Menurut pendapat Ahl al-Qarābah, sepertiga untuk khala seayah-seibu dan dua pertiga untuk bibi seayah-seibu. Seorang bibi dari ayah, dua khala dari ayah dan ibu, seorang paman dan khala dari ayah, untuk bibi sepertiga, untuk dua khala dari ayah dan ibu sepertiga dari sepertiga, dan sisa sepertiga untuk paman; paman dari ayah atas tiga bagian, dan pembagian sah dari dua puluh tujuh bagian. Dua bibi dari ayah, seorang paman, seorang bibi dari ibu, seorang khala dari ibu, dan seorang khala dari ayah, pembagian sah dari tiga puluh enam bagian: untuk khala dari ibu seperempat dari sepertiga, yaitu tiga bagian; untuk khala dari ayah tiga perempatnya, yaitu sembilan bagian; sisa sepertiga untuk paman; untuk dua bibi dari ayah dua pertiga dari dua pertiga, yaitu enam belas bagian; dan untuk paman dan bibi dari ibu sepertiga dari dua pertiga, yaitu delapan bagian.

خَالٌ وَخَالَةٌ مِنْ أَبٍ وَخَالٌ وَخَالَةٌ مِنْ أُمٍّ وَعَمَّةٍ مِنْ أَبٍ وَأُمٍّ وَعَمَّةٍ مِنْ أَبٍ تَصِحُّ مِنْ أَرْبَعَةٍ وَخَمْسِينَ سَهْمًا للخال والخالة من الأم ثلث الثلث اثْنَا عَشَرَ سَهْمًا بَيْنَهُمَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَلِلْعَمَّةِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ الثُّلُثَيْنِ سَبْعَةٌ وَعِشْرُونَ سَهْمًا، وَلِلْعَمَّةِ مِنَ الْأَبِ رُبُعُ الثُّلُثَيْنِ تِسْعَةُ أَسْهُمٍ.

Seorang paman dan khala dari ayah, seorang paman dan khala dari ibu, seorang bibi dari ayah dan ibu, dan seorang bibi dari ayah, pembagian sah dari lima puluh empat bagian: untuk paman dan khala dari ibu sepertiga dari sepertiga, yaitu dua belas bagian di antara keduanya, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan; untuk bibi dari ayah dan ibu tiga perempat dari dua pertiga, yaitu dua puluh tujuh bagian; dan untuk bibi dari ayah seperempat dari dua pertiga, yaitu sembilan bagian.

خَالٌ وَخَالَةٌ مِنْ أُمٍّ وَبِنْتُ عَمٍّ لِأَبٍ وَأُمٍّ لِلْخَالِ وَالْخَالَةِ الثُّلُثُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ وَالْبَاقِي لِبِنْتِ الْعَمِّ وَفِي قَوْلِ أَهْلِ الْقَرَابَةِ الْمَالُ كُلُّهُ لِلْخَالِ وَالْخَالَةِ مِنَ الْأُمِّ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ لِأَنَّهُمَا أبعد وَأَقْرَبُ وَيُورِثُونَ كُلَّ ذَكَرٍ مِثْلَ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ إلا ولد الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ مِنَ الْأُمِّ.

Seorang paman dan bibi dari pihak ibu, serta seorang putri paman dari pihak ayah dan ibu; untuk paman dan bibi dari pihak ibu, bagian sepertiga dibagi rata di antara keduanya, dan sisanya untuk putri paman. Menurut pendapat Ahl al-Qarābah, seluruh harta untuk paman dan bibi dari pihak ibu, dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, karena mereka lebih jauh dan lebih dekat (hubungan nasabnya). Mereka mewariskan kepada setiap laki-laki dua kali bagian perempuan, kecuali anak-anak saudara laki-laki dan perempuan dari pihak ibu.

فَصْلٌ: فِي وَلَدِ الأخوال والخالات

Bagian: Tentang anak-anak paman dan bibi dari pihak ibu

ثَلَاثُ بَنَاتِ ثَلَاثِ خَالَاتٍ مُفْتَرِقَاتٍ وَثَلَاثُ بَنَاتِ ثَلَاثِ عَمَّاتٍ مُفْتَرِقَاتٍ الثُّلُثُ بَيْنَ ثَلَاثِ بَنَاتِ الْخَالَاتِ عَلَى خَمْسَةٍ، وَالثُّلُثَانِ بَيْنَ بَنَاتِ الْعَمَّاتِ الْمُفْتَرِقَاتِ عَلَى خَمْسَةٍ كَأُمَّهَاتِهِنَّ وَعَلَى قَوْلِ أَهْلِ الْقَرَابَةِ الثُّلُثُ لِبِنْتِ الْخَالَةِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ وَالثُّلُثَانِ لِبِنْتِ الْعَمَّةِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ.

Tiga anak perempuan dari tiga bibi (ibu) yang berbeda, dan tiga anak perempuan dari tiga bibi (ayah) yang berbeda; sepertiga dibagi di antara tiga anak perempuan bibi (ibu) dengan perhitungan lima bagian, dan dua pertiga di antara anak-anak perempuan bibi (ayah) yang berbeda dengan perhitungan lima bagian, sebagaimana bagian ibu-ibu mereka. Menurut pendapat Ahl al-Qarābah, sepertiga untuk anak perempuan bibi (ibu) dari pihak ayah dan ibu, dan dua pertiga untuk anak perempuan bibi (ayah) dari pihak ayah dan ibu.

ثَلَاثُ بَنَاتِ ثَلَاثَةِ أَخْوَالٍ مُفْتَرِقِينَ وَبِنْتُ عَمَّةٍ مِنْ أَبٍ وَبِنْتُ عمة من أم سدس الثلث لبنات الْخَالِ مِنَ الْأُمِّ وَبَاقِيهِ وَهُوَ خَمْسَةُ أَسْدَاسِهِ لِبِنْتِ الْخَالِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ وَتَسْقُطُ مَعَهَا بِنْتُ الخال من الأب لسقوط أبيها مع أبويها وَيَكُونُ الثُّلُثَانِ بَيْنَ بِنْتَيِ الْعَمَّتَيْنِ عَلَى أَرْبَعَةٍ ثَلَاثَة مِنْهَا لِبِنْتِ الْعَمَّةِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ وَسَهْمٍ لِبِنْتِ الْعَمَّةِ مِنَ الْأُمِّ وَتَصِحُّ مِنْ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ.

Tiga anak perempuan dari tiga paman (ibu) yang berbeda, seorang anak perempuan bibi (ayah) dari pihak ayah, dan seorang anak perempuan bibi (ayah) dari pihak ibu; seperenam dari sepertiga untuk anak-anak perempuan paman (ibu) dari pihak ibu, dan sisanya, yaitu lima perenamnya, untuk anak perempuan paman (ibu) dari pihak ayah dan ibu. Anak perempuan paman (ibu) dari pihak ayah gugur (tidak mendapat warisan) karena ayahnya gugur bersama kedua orang tuanya. Dua pertiga dibagi di antara dua anak perempuan bibi (ayah) dengan perhitungan empat bagian: tiga bagian untuk anak perempuan bibi (ayah) dari pihak ayah dan ibu, dan satu bagian untuk anak perempuan bibi (ayah) dari pihak ibu. Pembagian ini sah dari delapan belas bagian.

ابْنٌ وَبِنْتُ خَالٍ مِنْ أُمٍّ وَخَمْسُ بَنَاتِ خَالَةٍ مِنْ أُمٍّ وَبِنْتُ عَمٍّ وَابْنَا عَمَّةٍ مِنْ أُمٍّ نِصْفُ الثُّلُثِ بَيْنِ الابن وابنة الْخَالِ مِنَ الْأُمِّ نِصْفَيْنِ وَنِصْفُهُ الْآخَرُ بَيْنَ بَنَاتِ الْخَالَةِ مِنَ الْأُمِّ عَلَى أَعْدَادِهِنَّ أَخْمَاسًا ولبنت العم من الأم نصف الثلثين ونصف الْآخَرُ بَيْنَ ابْنَيِ الْعَمَّةِ مِنَ الْأُمِّ فَيَأْخُذُ كُلُّ فَرِيقٍ نَصِيبَ منْ يُدْلِي بِهِ وَتَصِحُّ مِنْ سِتِّينَ سَهْمًا ابْنُ خَالٍ مِنْ أُمٍّ وَبِنْتُ خَالَةٍ مِنْ أَبٍ وَبِنْتُ عَمَّةٍ لِأَبٍ وأم وابن عم لأب فَلِابْنِ الْخَالِ مِنَ الْأُمِّ رُبُعُ الثُّلُثِ وَلِبِنْتِ الْخَالَةِ مِنَ الْأَبِ ثلاثة أرباع الثلث ولابن العم من الأب ربع الثلثين ولبنت العمة من الأب ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ الثُّلُثَيْنِ وَتَصِحُّ مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ سَهْمًا.

Seorang anak laki-laki dan anak perempuan paman (ibu) dari pihak ibu, lima anak perempuan bibi (ibu) dari pihak ibu, seorang anak perempuan paman, dan dua anak laki-laki bibi (ayah) dari pihak ibu; setengah dari sepertiga dibagi antara anak laki-laki dan anak perempuan paman (ibu) dari pihak ibu secara rata, dan setengahnya lagi di antara anak-anak perempuan bibi (ibu) dari pihak ibu sesuai jumlah mereka, yaitu masing-masing seperlima. Untuk anak perempuan paman dari pihak ibu, setengah dari dua pertiga, dan setengah sisanya di antara dua anak laki-laki bibi (ayah) dari pihak ibu. Maka setiap kelompok mengambil bagian dari orang yang menjadi perantara mereka, dan pembagian ini sah dari enam puluh bagian. Seorang anak laki-laki paman (ibu) dari pihak ibu, anak perempuan bibi (ibu) dari pihak ayah, anak perempuan bibi (ayah) dari pihak ayah dan ibu, serta anak laki-laki paman dari pihak ayah; maka untuk anak laki-laki paman (ibu) dari pihak ibu seperempat dari sepertiga, untuk anak perempuan bibi (ibu) dari pihak ayah tiga perempat dari sepertiga, untuk anak laki-laki paman dari pihak ayah seperempat dari dua pertiga, dan untuk anak perempuan bibi (ayah) dari pihak ayah tiga perempat dari dua pertiga. Pembagian ini sah dari dua belas bagian.

فَصْلٌ: فِي خَالَاتِ الْأُمِّ وَعَمَّاتِهَا

Bagian: Tentang bibi-bibi dari pihak ibu dan bibi-bibi dari pihak ayahnya ibu

وَخَالَاتِ الأب وعماته

Dan bibi-bibi dari pihak ayah serta bibi-bibi dari pihak ayahnya ayah

خَالَةُ أُمٍّ وَخَالَةُ أَبٍ فَخَالَةُ الْأُمِّ بِمَنْزِلَةِ أُمِّ الْأُمِّ وَخَالَةُ الْأَبِ بِمَنْزِلَةِ أُمِّ الْأَبِ فَصَارَتَا جَدَّتَيْنِ فَكَانَ الْمَالُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ وَعَلَى قَوْل أَهْل الْقَرَابَةِ لِخَالَةِ الْأُمِّ الثُّلُثُ وَلِخَالَةِ الأب الثلثان.

Bibi dari pihak ibu dan bibi dari pihak ayah; maka bibi dari pihak ibu kedudukannya seperti nenek dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ayah kedudukannya seperti nenek dari pihak ayah, sehingga keduanya menjadi dua nenek, maka harta dibagi dua sama rata di antara keduanya. Menurut pendapat Ahl al-Qarābah, bibi dari pihak ibu mendapat sepertiga dan bibi dari pihak ayah mendapat dua pertiga.

وعمة أُمٍّ وَعَمَّةُ أَبٍ فَعَمَّةُ الْأَبِ بِمَنْزِلَةِ أَبِي الْأَبِ وَهُوَ وَارِثٌ وَعَمَّةُ الْأُمِّ بِمَنْزِلَةِ أَبِي الْأُمِّ وَهُوَ غَيْرُ وَارِثٍ فَكَانَ الْمَالُ كُلُّهُ لِعَمَّةِ الْأَبِ.

Bibi dari pihak ibu dan bibi dari pihak ayah; maka bibi dari pihak ayah kedudukannya seperti kakek dari pihak ayah dan ia adalah ahli waris, sedangkan bibi dari pihak ibu kedudukannya seperti kakek dari pihak ibu dan ia bukan ahli waris, sehingga seluruh harta menjadi milik bibi dari pihak ayah.

وَعَلَى قَوْلِ أَهْلِ الْقَرَابَةِ لِعَمَّةِ الأم الثلث ولعمة الأب الثلثان.

Dan menurut pendapat Ahl al-Qarābah, bibi dari pihak ibu mendapat sepertiga dan bibi dari pihak ayah mendapat dua pertiga.

وخالة أُمٍّ وَعَمَّةُ أَبٍ لِخَالَةِ الْأُمِّ السُّدُسُ لِأَنَّهَا بِمَنْزِلَةٍ أُمِّ الْأُمِّ وَالْبَاقِي لِعَمَّةِ الْأَبِ لِأَنَّهَا بمنزلة أب الْأَبِ وَعَلَى قَوْلِ أَهْلِ الْقَرَابَةِ الثُّلُثُ وَالثُّلُثَانِ.

Bibi dari pihak ibu dan bibi dari pihak ayah; bibi dari pihak ibu mendapat seperenam karena kedudukannya seperti nenek dari pihak ibu, dan sisanya untuk bibi dari pihak ayah karena kedudukannya seperti kakek dari pihak ayah. Menurut pendapat Ahl al-Qarābah, sepertiga dan dua pertiga.

خَالَةُ أُمٍّ وَعَمَّةُ أُمٍّ وَخَالَةُ أَبٍ وَعَمَّةُ أَبٍ لِخَالَةِ الْأُمِّ وَخَالَةُ الْأَبِ السُّدُسُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ لِأَنَّهُمَا بِمَنْزِلَةِ جَدَّتَيْنِ، وَالْبَاقِي لِعَمَّةِ الْأَبِ لِأَنَّهَا بِمَنْزِلَةِ أَب الْأَبِ وَلَا شَيْءَ لِعَمَّةِ الْأُمِّ لِأَنَّهَا بِمَنْزِلَةِ أَبِ الْأُمِّ.

Bibi dari pihak ibu, bibi dari pihak ayahnya ibu, bibi dari pihak ayah, dan bibi dari pihak ayahnya ayah; bibi dari pihak ibu dan bibi dari pihak ayah masing-masing mendapat seperenam dibagi rata di antara keduanya karena kedudukannya seperti dua nenek, dan sisanya untuk bibi dari pihak ayah karena kedudukannya seperti kakek dari pihak ayah, dan tidak ada bagian untuk bibi dari pihak ayahnya ibu karena kedudukannya seperti kakek dari pihak ibu.

ثَلَاثُ خَالَاتٍ وَثَلَاثُ عَمَّاتِ أَبٍ كُلِّهِنَّ مُفْتَرِقَاتٍ وَثَلَاثُ عَمَّاتٍ وثلاثة أعمام وثلاث خالات أم كلهن مفترقين فَنِصْفُ السُّدُسِ بَيْنَ خَالَاتِ الْأُمِّ عَلَى خَمْسَةٍ وَنِصْفُ السُّدُسِ بَيْنَ خَالَاتِ الْأَبِ عَلَى خَمْسَةٍ؛ لِأَنَّ الْفَرِيقَيْنِ بِمَنْزِلَةِ جَدَّتَيْنِ وَالْبَاقِيَ بَعْدَ السُّدُسِ بين عمات الأب على ثمانية لأنهن بمنزلة أب الأب وتسقط أَعْمَامُ الْأُمِّ وَعَمَّاتُهَا لِأَنَّهُمْ بِمَنْزِلَةِ أَبِي الْأُمِّ.

Tiga bibi dari pihak ibu dan tiga bibi dari pihak ayah, semuanya terpisah-pisah, serta tiga paman dan tiga bibi dari pihak ibu, semuanya terpisah-pisah; maka setengah dari sepertiga dibagikan di antara bibi-bibi dari pihak ibu menjadi lima bagian, dan setengah dari sepertiga dibagikan di antara bibi-bibi dari pihak ayah menjadi lima bagian; karena kedua kelompok tersebut kedudukannya seperti dua nenek. Sisa setelah sepertiga dibagikan di antara bibi-bibi dari pihak ayah menjadi delapan bagian, karena mereka kedudukannya seperti ayah dari ayah. Adapun paman-paman dari pihak ibu dan bibi-bibinya gugur (tidak mendapat warisan) karena mereka kedudukannya seperti ayah dari ibu.

ابن عم معه أخته وبنت خال وبنت خال أم مع أخيها وَابْنُ خَالِ أَبٍ مَعَهُ أُخْتُهُ فَالنِّصْفُ بَيْنَ بنت خال الأم وأختها أَثْلَاثًا لِأَنَّهُمَا بَعْدَ دَرَجَتَيْنِ بِمَنْزِلَةِ أُمِّ الْأُمِّ وَالنِّصْفُ الْآخَرُ بَيْنَ ابْنِ خَالِ الْأَبِ وَأُخْتِهِ أَثْلَاثًا لِأَنَّهُمَا بَعْدَ دَرَجَتَيْنِ بِمَنْزِلَةِ أُمِّ الْأَبِ وَلَا شَيْءَ لِابْنِ عَمِّ الْأُمِّ وَأُخْتِهِ لِأَنَّهُمَا بَعْدَ دَرَجَتَيْنِ بِمَنْزِلَةِ أَبِي الْأُمِّ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.

Anak laki-laki dari paman sepupu bersama saudara perempuannya, dan anak perempuan dari paman sepupu dari pihak ibu bersama saudaranya, serta anak laki-laki dari paman sepupu dari pihak ayah bersama saudara perempuannya; maka setengahnya dibagikan di antara anak perempuan dari paman sepupu dari pihak ibu dan saudarinya menjadi tiga bagian, karena keduanya setelah dua derajat kedudukannya seperti ibu dari ibu. Setengah lainnya dibagikan di antara anak laki-laki dari paman sepupu dari pihak ayah dan saudarinya menjadi tiga bagian, karena keduanya setelah dua derajat kedudukannya seperti ibu dari ayah. Tidak ada bagian untuk anak laki-laki dari paman sepupu dari pihak ibu dan saudarinya, karena keduanya setelah dua derajat kedudukannya seperti ayah dari ibu. Dan Allah lebih mengetahui mana yang benar.

فصل: في الأجداد والجدات الذين يرثون برحم

Fasal: Tentang kakek dan nenek yang mewarisi karena hubungan rahim

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” إذا ورث الجد مع الإخوة للأب والأم أو للأب قاسمهم ما كانت المقاسمة خيرا له من الثلث فإذا كان الثلث خيرا له منها أعطيه وهذا قول زيد وعنه قبلنا أكثر الفرائض وقد روي هذا القول عن عُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَابْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ قالوا فيه مثل قول زيد بن ثابت وهو قول الأكثر من فقهاء البلدان فإن قال قائل: فإنا نزعم أن الجد أب لخصال، منها أن الله تبارك وتعالى قال: {ملة أبيكم إبراهيم} فأسمى الجد في النسب أبا ولم ينقصه المسلمون من السدس وهذا حكمهم للأب وحجبوا بالجد بني الأم وهكذا حكمهم في الأب فكيف جاز أن تفرقوا بين أحكامه وأحكام الأب فيما سواها؟ قلنا إنهم لم يجمعوا بين أحكامهما فيها قياسا منهم للجد على الأب لأنه لو كان إنما يرث باسم الأبوة لورث ودونه أب أو كان قاتلا أو مملوكا أو كافرا فالأبوة تلزمه وهو غير وارث وإنما ورثناه بالخبر في بعض المواضع دون بعض لا باسم الأبوة ونحن لا ننقص الجدة من السدس أفترى ذلك قياسا على الأب يحجبون بها الإخوة للأم وقد حجبتم الإخوة من الأم بابنة ابن متسفله أفتحكمون لها بحكم الأب؟ وهذا يبين أن الفرائض تجتمع في بعض الأمور دون بعض؟ وقلنا أليس إنما يدلي الجد بقرابة أب الميت بأن يقول الجد أنا أبو أب الميت والأخ أنا ابن أبي الميت فكلاهما يدلي بقرابة أبي الميت؟ قلنا أفرأيتم لو كان أبوه الميت في تلك الساعة أيهما كان أولى بميراثه؟ قالوا يكون لأخيه خمسة أسداس ولجده سدس قلنا فإذا كان الأخ أولى بكثرة الميراث ممن يدليان بقرابته فكيف جاز أن يحجب الذي هو أولى بالأب الذي يدليان بقرابته بالذي هو أبعد؟ ولولا الخبر كان القياس أن يعطى الأخ خمسة أسهم والجد سهما كما ورثناهما حين مات ابن الجد وأبو الأخ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika kakek mewarisi bersama saudara-saudara seayah dan seibu, atau seayah saja, maka ia membagi warisan bersama mereka selama pembagian itu lebih baik baginya daripada sepertiga. Jika sepertiga lebih baik baginya, maka diberikan kepadanya. Ini adalah pendapat Zaid, dan dari beliaulah kami menerima sebagian besar ilmu faraidh. Pendapat ini juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhum, bahwa mereka berpendapat sebagaimana pendapat Zaid bin Tsabit, dan ini juga pendapat mayoritas fuqaha di berbagai negeri. Jika ada yang berkata: Kami menganggap bahwa kakek itu adalah ayah karena beberapa alasan, di antaranya bahwa Allah Ta‘ala berfirman: {agama bapakmu Ibrahim}, maka Allah menamakan kakek dalam nasab sebagai ayah dan kaum muslimin tidak mengurangi bagian kakek dari sepertiga, sebagaimana hukum mereka terhadap ayah, dan mereka juga menghalangi saudara seibu dengan adanya kakek, sebagaimana hukum mereka terhadap ayah. Lalu bagaimana bisa kalian membedakan hukum kakek dan ayah dalam hal-hal lainnya? Kami katakan, mereka tidak menyamakan hukum keduanya karena qiyās kakek kepada ayah. Sebab, jika kakek mewarisi hanya karena nama kebapakan, tentu ia akan mewarisi meskipun ada ayah, atau jika ia membunuh, atau menjadi budak, atau kafir, karena kebapakan tetap melekat padanya, namun ia tidak mewarisi. Kami mewariskan kepada kakek berdasarkan dalil (khabar) pada sebagian keadaan saja, bukan karena nama kebapakan. Kami juga tidak mengurangi bagian nenek dari sepertiga, apakah itu qiyās kepada ayah sehingga nenek menghalangi saudara seibu? Padahal kalian telah menghalangi saudara seibu dengan adanya anak perempuan dari anak laki-laki yang jauh derajatnya. Apakah kalian menetapkan hukum ayah untuknya? Ini menunjukkan bahwa hukum faraidh berkumpul dalam sebagian perkara dan tidak pada sebagian yang lain. Kami katakan, bukankah kakek itu menisbatkan dirinya kepada ayah si mayit dengan berkata: Aku adalah ayah dari ayah si mayit, dan saudara berkata: Aku adalah anak dari ayah si mayit, maka keduanya menisbatkan diri kepada ayah si mayit? Kami katakan, bagaimana jika ayah si mayit masih hidup saat itu, siapakah yang lebih berhak atas warisannya? Mereka menjawab: Untuk saudaranya lima per enam, dan untuk kakeknya sepertiga. Kami katakan, jika saudara lebih berhak dengan bagian warisan yang lebih banyak daripada kakek, padahal keduanya menisbatkan diri kepada ayah si mayit, bagaimana mungkin yang lebih berhak dihalangi oleh yang lebih jauh? Kalau bukan karena dalil (khabar), secara qiyās seharusnya saudara mendapat lima bagian dan kakek satu bagian, sebagaimana kami mewariskan kepada keduanya ketika anak kakek dan ayah saudara meninggal.”

قال الماوردي: أَبُو أَبِي أُمٍّ، وَأَبُو أُمِّ أَبٍ، الْمَالُ لِأَبِي أُمِّ الْأَبِ؛ لِأَنَّهُ يُدْلِي بِوَارِثٍ وَعَلَى قَوْلِ أَهْلِ الْقَرَابَةِ: لِأَبِي أَبِي الْأُمِّ الثُّلُثُ، وَلِأَبِي أُمِّ الْأَبِ الثُّلُثَانِ.

Al-Mawardi berkata: Ayah dari ayah ibu, dan ayah dari ibu ayah, maka harta warisan untuk ayah dari ibu ayah; karena ia menisbatkan diri kepada ahli waris. Menurut pendapat ahli kekerabatan: untuk ayah dari ayah ibu sepertiga, dan untuk ayah dari ibu ayah dua pertiga.

أَبُو أُمِّ أُمٍّ، وَأَبُو أُمِّ أَبٍ، الْمَالُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ، لِأَنَّهُمَا بِمَنْزِلَةِ أُمِّ أُمٍّ وَأُمِّ أَبٍ.

Ayah dari ibu ibu, dan ayah dari ibu ayah, maka harta warisan dibagi rata di antara keduanya, karena keduanya kedudukannya seperti ibu dari ibu dan ibu dari ayah.

[جَدُّ أُمِّ أُمٍّ، وَجَدُّ أُمِّ أَبٍ، الْمَالُ بَيْنَ أَبِي أُمِّ أُمِّ الْأُمِّ، وَأَبِي أُمِّ أُمِّ الْأَبِ نِصْفَيْنِ.

Kakek dari ibu ibu, dan kakek dari ibu ayah, maka harta warisan dibagi rata di antara ayah dari ibu ibu ibu dan ayah dari ibu ibu ayah.

أَبُو أَبِي أُمٍّ، وَأَبُو أُمِّ أَبٍ، الْمَالُ لِأَبِي أُمِّ الْأَبِ.

Ayah dari ayah ibu, dan ayah dari ibu ayah, maka harta warisan untuk ayah dari ibu ayah.

أَبُو أَبِي أُمُّ أُمٍّ، وَأَبُو أَبِي أَبِي أُمٍّ، وَأَبُو أَبِي أُمِّ أَبٍ] نِصْفُ الْمَالِ بَيْنَ أَبَوَيْ أَبِي أُمِّ الْأُمِّ عَلَى ثَلَاثَةٍ، وَالنِّصْفُ بَيْنِ أَبَوَيْ أَبِي أُمِّ الْأَبِ عَلَى ثَلَاثَةٍ؛ لِأَنَّكَ إِذَا نزلت أبوي أبي أم الأم صار في أول درجته بِمَنْزِلَةِ أَبِي أُمِّ أُمٍّ هِيَ بِمَنْزِلَةِ أُمِّ أُمٍّ وَهِيَ وَارِثَةٌ، وَإِذَا نَزَّلَتْ أَبَوَيْ أَبِي أم الأب صار في أول درجته بِمَنْزِلَةِ أَبِي أُمِّ أَبٍ ثُمَّ بِمَنْزِلَةِ أُمِّ أَبٍ وَهِيَ وَارِثَةٌ، فَهَاتَانِ جَدَّتَانِ الْمَالُ بَيْنَهُمَا نصفان نَصِفٌ لِأُمِّ الْأُمِّ يَرِثُهُ عَنْهَا أَبُوهَا ثُمَّ يرث عن ابنها أَبَوَاهُ، وَكَذَلِكَ النِّصْفُ الَّذِي لِأُمِّ الْأَبِ يَرِثُهُ عنها أبوها ثم يرث عن أبيها أبواه، وَأَمَّا أَبُو أَبِي أَبِي الْأُمِّ فَبَعْدَ دَرَجَتَيْنِ يَصِيرُ أَبَا أُمٍّ وَلَيْسَ بِوَارِثٍ؛ فَلِذَلِكَ لَمْ يَرِثْهَا، فَهَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ مِنْ قَوْلِ الْمُنَزِّلِينَ، والصحيح من مذاهبهم.

Ayah dari ayah ibu, ibu dari ibu, dan ayah dari ayah ayah ibu, serta ayah dari ayah ibu ayah: setengah harta dibagi antara kedua orang tua dari ayah ibu ibu menjadi tiga bagian, dan setengahnya lagi dibagi antara kedua orang tua dari ayah ibu ayah menjadi tiga bagian; karena jika engkau menurunkan kedua orang tua dari ayah ibu ibu, maka pada derajat pertama ia menempati posisi ayah ibu ibu, yang setara dengan ibu ibu, dan ia adalah ahli waris. Dan jika engkau menurunkan kedua orang tua dari ayah ibu ayah, maka pada derajat pertama ia menempati posisi ayah ibu ayah, lalu pada posisi ibu ayah, dan ia adalah ahli waris. Maka kedua nenek ini, harta dibagi antara keduanya menjadi dua bagian: setengah untuk ibu ibu yang diwarisi oleh ayahnya, lalu diwarisi dari anaknya oleh kedua orang tuanya. Demikian pula setengah yang menjadi hak ibu ayah, diwarisi darinya oleh ayahnya, lalu diwarisi dari ayahnya oleh kedua orang tuanya. Adapun ayah dari ayah ayah ibu, maka setelah dua derajat ia menjadi ayah ibu dan bukan ahli waris; karena itu ia tidak mewarisinya. Inilah pendapat yang masyhur dari para ulama yang menurunkan (nasab), dan inilah yang benar menurut mazhab mereka.

أم أَبِي أَبِي أُمٍّ، وَأَبُو أُمِّ أَبِي أُمٍّ، وَأَبُو أَبِي أُمِّ أَبٍ، وَأَبُو أَبِي أُمٍّ أم، النِّصْفُ بَيْنَ أَبَوَيْ أَبِي أُمِّ الْأُمِّ على ثلاثة، والنصف بين أبوي أبي أَبِي أُمِّ الْأَبِ عَلَى ثَلَاثَةٍ؛ لِأَنَّ أَبَوَيْ أبي أم الأم في أول درجته بِمَنْزِلَةِ أَبِي أُمِّ أُمٍّ ثُمَّ بِمَنْزِلَةِ أُمِّ أُمٍّ وَهِيَ وَارِثَةٌ وَأَبُو أَبِي أُمِّ الْأَبِ في أول درجة بمنزلة أم أب وهي وارثة. فصار معك بعد درجتين جدتان: أُمُّ أُمٍّ، وَأُمُّ أَبٍ وَأَمَّا أَبُو أَبِي أَبِي أُمٍّ فَبَعْدَ دَرَجَتَيْنِ أَبُو أُمٍّ وَلَيْسَ بِوَارِثٍ، وَأَمَّا أَبُو أُمِّ أَبِي أُمٍّ فَبَعْدَ دَرَجَتَيْنِ أَيْضًا أَبُو أُمٍّ وَلَيْسَ بِوَارِثٍ فَأَمَّا عَلَى قَوْلِ مَنْ أَمَاتَ السَّبَبَ فَجَعَلَ كُلَّ نِصْفٍ عَلَى سِتَّةٍ السُّدُسُ وَمَا بَقِيَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Ibu dari ayah ayah ibu, ayah dari ibu ayah ibu, ayah dari ayah ibu ayah, dan ayah dari ayah ibu ibu: setengah dibagi antara kedua orang tua dari ayah ibu ibu menjadi tiga bagian, dan setengah dibagi antara kedua orang tua dari ayah ayah ibu ayah menjadi tiga bagian; karena kedua orang tua dari ayah ibu ibu pada derajat pertama menempati posisi ayah ibu ibu, lalu pada posisi ibu ibu, dan ia adalah ahli waris, dan ayah dari ayah ibu ayah pada derajat pertama menempati posisi ibu ayah, dan ia adalah ahli waris. Maka setelah dua derajat, engkau mendapatkan dua nenek: ibu ibu dan ibu ayah. Adapun ayah dari ayah ayah ibu, maka setelah dua derajat menjadi ayah ibu dan bukan ahli waris, dan ayah dari ibu ayah ibu, setelah dua derajat juga menjadi ayah ibu dan bukan ahli waris. Adapun menurut pendapat yang mematikan sebab, maka setiap setengah dibagi menjadi enam bagian: sepertiga, dan sisanya sebagaimana yang telah kami sebutkan. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

فَصْلٌ: فِي توريث الزوج والزوجين مَعَ ذَوِي الْأَرْحَامِ

Fasal: Tentang pewarisan suami dan istri bersama dengan dzawī al-arḥām (kerabat karena hubungan rahim)

اخْتَلَفَ مَنْ قَالَ بِتَوْرِيثِ ذوي الأرحام فيهم إذا دخل مَعَهُمْ زَوْجٌ أَوْ زَوْجَةٌ هَلْ يُعْتَبَرُ إِدْخَالُهُمَا مَعَ مَنْ يُدْلِي بِذَوِي الْفُرُوضِ مِنْهُمْ وَالْعَصَبَاتِ أَمْ لَا؟ وَيَكُونُ الْبَاقِي بَعْدَ فَرْضِ الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ كَتَرِكَةٍ تَسْتَأْنِفُ قِسْمَتَهَا بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ ما يدلون من ذي فَرْضٍ أَوْ تَعْصِيبٍ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Para ulama yang berpendapat tentang pewarisan dzawī al-arḥām berbeda pendapat mengenai jika bersama mereka terdapat suami atau istri: apakah keikutsertaan suami atau istri itu dianggap bersama orang yang menasabkan kepada dzawī al-furūḍ (ahli waris dengan bagian tertentu) dari mereka dan ‘aṣabah, atau tidak? Dan apakah sisa harta setelah bagian suami atau istri dianggap seperti harta warisan yang pembagiannya dimulai kembali di antara mereka sesuai kadar hubungan mereka dengan dzī farḍ atau ‘aṣabah? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ محمد بن الحسن، والحسن بن زياد اللؤلؤي، وأبو عُبَيْدٍ الْقَاسِمِ بْنِ سَلَّامٍ: أَنَّ الزَّوْجَ وَالزَّوْجَةَ يُعْطَيَانِ فَرْضَهُمَا وَيَخْرُجَانِ وَيُقَسَّمُ الْبَاقِي بَيْنَ ذَوِي الْأَرْحَامِ عَلَى قَدْرِ فُرُوضِهِمْ كَأَنْ لَا زَوْجَ مَعَهُمْ وَلَا زَوْجَةَ.

Salah satunya: yaitu pendapat Muhammad bin al-Hasan, al-Hasan bin Ziyād al-Lu’lu’ī, dan Abū ‘Ubaid al-Qāsim bin Sallām: bahwa suami dan istri diberikan bagian mereka, lalu keluar (dari pembagian), dan sisa harta dibagi di antara dzawī al-arḥām sesuai kadar bagian mereka, seakan-akan tidak ada suami atau istri bersama mereka.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ يَحْيَى بْنِ آدَمَ وَضِرَارِ بْنِ صُرَدٍ وَمَنْ تَابَعَهُمَا: أَنَّ الزَّوْجَ وَالزَّوْجَةَ يَدْخُلَانِ عَلَى ذَوِي الْأَرْحَامِ وَيُقَسَّمُ الْبَاقِي بَعْدَ فَرْضِ الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ عَلَى قَدْرِ سِهَامِ مَنْ يُدْلُونَ بِهِ مَعَ الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Yahyā bin Ādam, Ḍirār bin Ṣurad, dan orang-orang yang mengikuti mereka: bahwa suami dan istri masuk dalam pembagian bersama dzawī al-arḥām, dan sisa harta setelah bagian suami dan istri dibagi sesuai kadar bagian orang yang menasabkan kepada mereka bersama suami dan istri.

مِثَالُهُ: زَوْجٌ، وَبِنْتُ بِنْتٍ، وَخَالَةٌ، وبنت أخت، فعلى قول من قاله بِالْإِخْرَاجِ، يَأْخُذُ الزَّوْجُ النِّصْفَ، وَيُقْسِمُ الْبَاقِي عَلَى سِتَّةِ أَسْهُمٍ: لِبِنْتِ الْبِنْتِ النِّصْفُ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ وَلِلْخَالَةِ السُّدُسُ سَهْمٌ وَاحِدٌ، وَالْبَاقِي وَهُوَ سَهْمَانِ لِبِنْتِ الْأُخْتِ، وَتَصِحُّ مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ سَهْمًا، وَعَلَى قَوْلِ مَنْ قَالَ بِالْإِدْخَالِ أَنَّهم بَعْدَ التَّنْزِيلِ يَصِيرُونَ زَوْجًا، وَأُمًّا، وَبِنْتًا وَأُخْتًا فَتَكُونُ مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ لِلزَّوْجِ الرُّبُعُ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ وَلِلْأُمِّ السُّدُسُ سَهْمَانِ، وَلِلْبِنْتِ النِّصْفُ سِتَّةُ أَسْهُمٍ، وَلِلْأُخْتِ مَا بَقِيَ وَهُوَ سَهْمٌ ثُمَّ اجْمَعْ سِهَامَ الْأُمِّ وَالْبِنْتِ وَالْأُخْتِ وَهِيَ تِسْعَةٌ وَأَعْطِ الزَّوْجَ النِّصْفَ سَهْمًا مِنِ اثْنَيْنِ ثُمَّ اقْسِمِ الْبَاقِيَ عَلَى تِسْعَةِ أَسْهُمٍ لَا تَنْقَسِمُ فَاضْرِبْ تِسْعَةً فِي اثْنَيْنِ تَكُنْ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ لِلزَّوْجِ النِّصْفُ تِسْعَةُ أَسْهُمٍ، وَلِبِنْتِ الْبِنْتِ سِتَّةُ أَسْهُمٍ، وَلِلْخَالَةِ سَهْمَانِ، وَلِبِنْتِ الْأُخْتِ سَهْمٌ وَالْفَرْقُ إِنَّمَا يَقَعُ بَيْنَ الْإِدْخَالِ وَالْإِخْرَاجِ فِيمَا يُورَثُ فِيهِ بِفَرْضٍ وَتَعْصِيبٍ، فَأَمَّا إِنْ كَانَ بِفَرْضٍ وَحْدَهُ أَوْ تَعْصِيبٍ وَحْدَهُ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ الْإِدْخَالِ والإخراج.

Contohnya: Seorang suami, cucu perempuan (dari anak perempuan), bibi dari pihak ibu, dan anak perempuan dari saudara perempuan. Menurut pendapat yang mengatakan dengan al-ikhraj, suami mendapat setengah, lalu sisa harta dibagi menjadi enam bagian: untuk cucu perempuan (dari anak perempuan) setengahnya, yaitu tiga bagian; untuk bibi dari pihak ibu sepertiganya, yaitu satu bagian; dan sisanya, yaitu dua bagian, untuk anak perempuan dari saudara perempuan. Pembagian ini sah dari dua belas bagian. Sedangkan menurut pendapat yang mengatakan dengan al-idkhal, setelah dilakukan at-tanzil, mereka menjadi: suami, ibu, anak perempuan, dan saudara perempuan. Maka pembagiannya dari dua belas bagian: untuk suami seperempat, yaitu tiga bagian; untuk ibu sepertiga, yaitu dua bagian; untuk anak perempuan setengah, yaitu enam bagian; dan untuk saudara perempuan sisanya, yaitu satu bagian. Kemudian jumlahkan bagian ibu, anak perempuan, dan saudara perempuan, yaitu sembilan bagian, lalu berikan kepada suami setengah dari dua bagian, kemudian bagikan sisanya atas sembilan bagian, yang tidak dapat dibagi, maka kalikan sembilan dengan dua menjadi delapan belas. Untuk suami setengahnya, yaitu sembilan bagian; untuk cucu perempuan (dari anak perempuan) enam bagian; untuk bibi dari pihak ibu dua bagian; dan untuk anak perempuan dari saudara perempuan satu bagian. Perbedaan antara al-idkhal dan al-ikhraj hanya terjadi pada warisan yang di dalamnya terdapat bagian fard dan ‘ashabah. Adapun jika hanya dengan fard saja atau ‘ashabah saja, maka tidak ada perbedaan antara al-idkhal dan al-ikhraj.

زَوْجَةٌ وَبِنْتُ بِنْتٍ، وَبِنْتُ بِنْتِ ابْنٍ، وَبِنْتُ عَمٍّ. فَعَلَى قَوْلِ مَنْ قَالَ بِالْإِخْرَاجِ: لِلزَّوْجَةِ الرُّبُعُ وَالْبَاقِي عَلَى سِتَّةِ أَسْهُمٍ لِبِنْتِ الْبِنْتِ نِصْفُهُ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ وَلِبِنْتِ بِنْتِ الِابْنِ سُدُسُهُ سَهْمٌ وَلِبِنْتِ الْعَمِّ بَاقِيهِ وَهُوَ سَهْمَانِ، وَتَصِحُّ مِنْ ثَمَانِيَةِ أَسْهُمٍ، وَعَلَى قَوْلِ مَنْ قَالَ بِالْإِدْخَالِ جَعَلَهُمْ بَعْدَ التَّنْزِيلِ زَوْجَةً، وَبِنْتًا وَبِنْتَ ابْنٍ، وَعَمًّا فَتَكُونُ مِنْ أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ لِلزَّوْجَةِ الثمن ثلاثة، وللبنت النصف اثني عَشَرَ وَلِبِنْتِ الِابْنِ السُّدُسُ أَرْبَعَةٌ وَالْبَاقِي لِبِنْتِ الْعَمِّ وَهُوَ خَمْسَةٌ فَاجْمَعْ سِهَامَ مَنْ سِوَى الزَّوْجَةِ تَكُنْ أَحَدًا وَعِشْرِينَ سَهْمًا ثُمَّ أَعْطِ الزَّوْجَةَ الرُّبُعَ وَاقْسِمِ الْبَاقِيَ وَهُوَ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ الْمَالِ عَلَى أَحَدٍ وَعِشْرِينَ سهما لا تنقسم لَكِنْ تُوَافِقُ بِالْأَثْلَاثِ إِلَى سَبْعَةٍ فَاضْرِبْهَا فِي الْأَصْلِ وَهُوَ أَرْبَعَةٌ تَكُنْ ثَمَانِيَةً وَعِشْرِينَ: لِلزَّوْجَةِ منها الربع سبعة أسهم، والباقي وهو واحد وَعِشْرُونَ سَهْمًا لِبِنْتِ الْبِنْتِ مِنْهَا اثْنَا عَشَرَ وَلِبِنْتِ بِنْتِ الِابْنِ أَرْبَعَةٌ وَلِبِنْتِ الْعَمِّ خَمْسَةٌ.

Seorang istri, cucu perempuan (dari anak perempuan), cucu perempuan (dari anak laki-laki), dan anak perempuan dari paman. Menurut pendapat yang mengatakan dengan al-ikhraj: untuk istri seperempat, dan sisanya dibagi menjadi enam bagian; untuk cucu perempuan (dari anak perempuan) setengahnya, yaitu tiga bagian; untuk cucu perempuan (dari anak laki-laki) sepertiganya, yaitu satu bagian; dan untuk anak perempuan dari paman sisanya, yaitu dua bagian. Pembagian ini sah dari delapan bagian. Sedangkan menurut pendapat yang mengatakan dengan al-idkhal, setelah dilakukan at-tanzil, mereka menjadi: istri, anak perempuan, cucu perempuan (dari anak laki-laki), dan paman. Maka pembagiannya dari dua puluh empat bagian: untuk istri seperdelapan, yaitu tiga bagian; untuk anak perempuan setengah, yaitu dua belas bagian; untuk cucu perempuan (dari anak laki-laki) sepertiganya, yaitu empat bagian; dan sisanya untuk anak perempuan dari paman, yaitu lima bagian. Jumlahkan bagian selain istri, menjadi dua puluh satu bagian, lalu berikan kepada istri seperempat, dan bagikan sisanya, yaitu tiga perempat harta, atas dua puluh satu bagian yang tidak dapat dibagi, namun dapat disesuaikan dengan kelipatan tiga hingga tujuh, maka kalikan dengan asalnya yaitu empat, menjadi dua puluh delapan: untuk istri seperempatnya, yaitu tujuh bagian; sisanya, yaitu dua puluh satu bagian, untuk cucu perempuan (dari anak perempuan) dua belas bagian, untuk cucu perempuan (dari anak laki-laki) empat bagian, dan untuk anak perempuan dari paman lima bagian.

زوج وثلاث بنات ثلاثة إخوة متفرقين فَعَلَى قَوْلِ مَنْ قَالَ بِالْإِخْرَاجِ لِلزَّوْجِ النِّصْفُ وَالْبَاقِي عَلَى سِتَّةِ أَسْهُمٍ لِبِنْتِ الْأَخِ لِلْأُمِّ سُدُسُهُ سَهْمٌ، وَبَاقِيهِ وَهُوَ خَمْسَةُ أَسْهُمٍ لِبِنْتِ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ وَتَصِحُّ مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ سَهْمًا.

Seorang suami dan tiga anak perempuan, serta tiga saudara laki-laki yang berbeda-beda. Menurut pendapat yang mengatakan dengan al-ikhraj, suami mendapat setengah, dan sisanya dibagi menjadi enam bagian: untuk anak perempuan dari saudara laki-laki seibu sepertiganya, yaitu satu bagian; dan sisanya, yaitu lima bagian, untuk anak perempuan dari saudara laki-laki seayah dan seibu. Pembagian ini sah dari dua belas bagian.

وَعَلَى قَوْلِ مَنْ قَالَ بِالْإِدْخَالِ: لِلزَّوْجِ النِّصْفُ وَلِبِنْتِ الْأَخِ مِنَ الْأُمِّ سُدُسُ جَمِيعِ الْمَالِ وَالْبَاقِي لِبِنْتِ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ وَتَصِحُّ مِنْ سِتَّةِ أَسْهُمٍ.

Sedangkan menurut pendapat yang mengatakan dengan al-idkhal: suami mendapat setengah, untuk anak perempuan dari saudara laki-laki seibu sepertiga dari seluruh harta, dan sisanya untuk anak perempuan dari saudara laki-laki seayah dan seibu. Pembagian ini sah dari enam bagian.

زَوْجٌ هُوَ ابْنُ خَالٍ، وَبِنْتُ بِنْتِ عَمٍّ، عَلَى قَوْلِ مَنْ قَالَ بِالْإِخْرَاجِ لِلزَّوْجِ النِّصْفُ وَلَهُ سُدُسُ الْبَاقِي، وَمَا بَقِيَ لِبِنْتِ بِنْتِ الْعَمِّ وَتَصِحُّ مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ لِلزَّوْجِ سَبْعَةٌ وَلِبِنْتِ بِنْتِ الْعَمِّ خَمْسَةٌ، وَعَلَى قَوْلِ مَنْ قَالَ بِالْإِدْخَالِ: لِلزَّوْجِ النِّصْفُ، وَلَهُ سُدُسُ جَمِيعِ الْمَالِ، وَمَا بَقِيَ لِبِنْتِ بِنْتِ الْعَمِّ، وَتَصِحُّ مِنْ سِتَّةِ أَسْهُمٍ لِلزَّوْجِ أَرْبَعَةٌ، وَلِبِنْتِ بِنْتِ الْعَمِّ سَهْمَانِ.

Seorang suami yang merupakan anak dari paman ibu, dan cucu perempuan dari anak paman. Menurut pendapat yang mengatakan dengan al-ikhraj, suami mendapat setengah dan sepertiga dari sisa harta, dan sisanya untuk cucu perempuan dari anak paman. Pembagian ini sah dari dua belas bagian: untuk suami tujuh bagian, dan untuk cucu perempuan dari anak paman lima bagian. Sedangkan menurut pendapat yang mengatakan dengan al-idkhal: suami mendapat setengah, dan sepertiga dari seluruh harta, dan sisanya untuk cucu perempuan dari anak paman. Pembagian ini sah dari enam bagian: untuk suami empat bagian, dan untuk cucu perempuan dari anak paman dua bagian.

زَوْجَةٌ هِيَ بِنْتُ عَمٍّ، وَبِنْتُ أُخْتٍ. عَلَى قَوْلِ مَنْ قَالَ بِالْإِخْرَاجِ لِلزَّوْجَةِ الرُّبُعُ، وَلِبِنْتِ الْأُخْتِ نِصْفُ مَا بَقِيَ، وَالْبَاقِي لِلزَّوْجَةِ لِكَوْنِهَا بِنْتَ عَمٍّ، وَتَصِحُّ مِنْ ثَمَانِيَةِ أَسْهُمٍ لِلزَّوْجَةِ خَمْسَةُ أَسْهُمٍ، وَلِبِنْتِ الْأُخْتِ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ وَعَلَى قَوْلِ مَنْ قَالَ بِالْإِدْخَالِ: لِلزَّوْجَةِ الرُّبُعُ وَلِبِنْتِ الْأُخْتِ نِصْفُ جَمِيعِ الْمَالِ، وَالْبَاقِي لِلزَّوْجَةِ فَيَصِيرُ الْمَالُ بَيْنَهُمَا نصفين.

Seorang istri yang juga merupakan anak paman (bint ‘amm) dan anak saudari (bint ukht). Menurut pendapat yang mengatakan pembagian dengan cara mengeluarkan bagian istri terlebih dahulu: istri mendapat seperempat, anak saudari mendapat setengah dari sisa harta, dan sisanya diberikan kepada istri karena ia juga merupakan bint ‘amm. Pembagian ini sah dari delapan bagian: istri mendapat lima bagian, dan bint ukht mendapat tiga bagian. Sedangkan menurut pendapat yang mengatakan pembagian dengan cara memasukkan (bagian): istri mendapat seperempat, bint ukht mendapat setengah dari seluruh harta, dan sisanya untuk istri, sehingga harta terbagi antara keduanya menjadi setengah-setengah.

فصل: في توريث من يدلي بقرابتين

Fasal: Tentang mewariskan orang yang memiliki dua hubungan kekerabatan

ابْنُ بِنْتِ بِنْتٍ هُوَ ابْنُ ابْنِ بِنْتٍ أخرى، وبنت بنت بنت وَاحِدَة عَلَى قَوْلِ أَهْلِ التَّنْزِيلِ: لِلِابْنِ النِّصْفُ بِقَرَابَةِ أَبِيهِ، وَلَهُ الثُّلُثُ بِقَرَابَةِ أُمِّهِ، وَلِلْبِنْتِ وَهِيَ أُخْتُهُ مِنْ أُمِّهِ السُّدُسُ، وَتَكُونُ مِنْ ستة للابن خمسة، وللبنت سهم، لأنها فِي التَّنْزِيلِ بِمَنْزِلَةِ بِنْتَيْنِ أَخَذَتَا الْمَالَ نِصْفَيْنِ ثم تركت إحداهما ابنا فصار الن صف لَهُ، وَأَمَّا الْأُخْرَى فَتَرَكَتْ بِنْتًا صَارَ النِّصْفُ إِلَيْهَا، ثُمَّ تَرَكَتِ الْبِنْتُ ابْنًا وَبِنْتًا فَصَارَ النِّصْفُ بَيْنَهُمَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَصَارَ إِلَى الِابْنِ النِّصْفُ عَنْ جَدَّتِهِ أُمِّ أَبِيهِ وَالثُّلُثُ عَنْ جَدَّتِهِ أُمِّ أُمِّهِ، وَصَارَ إِلَى جَدَّتِهِ السُّدُسُ عَنْ جَدَّتِهَا أُمِّ أُمِّهَا، وَكَذَلِكَ قَوْلُ أبي حنيفة ومحمد، وَعَلَى قَوْلِ أبي يوسف: لِلذَّكَرِ أَرْبَعَةُ أَخْمَاسٍ، وَلِلْأُنْثَى خُمُسٌ، لِأَنَّهُ يَجْعَلُ مَنْ يُدْلِي بِقَرَابَتَيْنِ كَشَخْصَيْنِ.

Anak laki-laki dari anak perempuan dari anak perempuan adalah juga anak laki-laki dari anak laki-laki dari anak perempuan yang lain, dan anak perempuan dari anak perempuan dari anak perempuan yang sama. Menurut pendapat ahli at-tanzīl: anak laki-laki mendapat setengah karena kekerabatan ayahnya, dan sepertiga karena kekerabatan ibunya, sedangkan anak perempuan yang merupakan saudara seibunya mendapat seperenam. Maka pembagiannya dari enam bagian: anak laki-laki mendapat lima bagian, dan anak perempuan satu bagian, karena dalam at-tanzīl kedudukannya seperti dua anak perempuan yang masing-masing mendapat setengah harta, lalu salah satunya meninggalkan seorang anak laki-laki sehingga setengahnya menjadi miliknya, sedangkan yang lain meninggalkan seorang anak perempuan sehingga setengahnya menjadi miliknya, lalu anak perempuan itu meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, sehingga setengahnya dibagi di antara keduanya, laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan. Maka anak laki-laki mendapat setengah dari neneknya (ibu ayahnya) dan sepertiga dari neneknya (ibu ibunya), sedangkan neneknya mendapat seperenam dari neneknya (ibu ibunya). Demikian juga pendapat Abu Hanifah dan Muhammad. Sedangkan menurut pendapat Abu Yusuf: laki-laki mendapat empat per lima, dan perempuan mendapat satu per lima, karena ia menganggap orang yang memiliki dua kekerabatan seperti dua orang.

بِنْتَا أُخْتٍ لِأُمٍّ إِحْدَاهُمَا بِنْتُ أَخٍ لِأَبٍ، وَبِنْتُ أُخْتٍ لأم وأب، هِيَ مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ، لِبِنْتِ الْأُخْتِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ النِّصْفُ سِتَّةٌ، وَلِبِنْتِ الْأَخِ مِنَ الْأَبِ أَرْبَعَةٌ بِقَرَابَةِ أَبِيهَا، وَسَهْمٌ بِقَرَابَةِ أُمِّهَا، فَصَارَ لَهَا خَمْسَةً، وَلِأُخْتِهَا سَهْمٌ؛ لِأَنَّهُمْ بِمَنْزِلَةِ أُخْتٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ وَأُخْتٍ لِأُمٍّ وَأَخٍ لِأَبٍ.

Dua anak perempuan dari saudari seibu, salah satunya adalah anak perempuan dari saudara laki-laki seayah, dan anak perempuan dari saudari seibu-seayah, pembagiannya dari dua belas bagian: untuk anak perempuan dari saudari seayah-seibu setengah, yaitu enam bagian, untuk anak perempuan dari saudara laki-laki seayah empat bagian karena kekerabatan ayahnya, dan satu bagian karena kekerabatan ibunya, sehingga ia mendapat lima bagian, dan untuk saudarinya satu bagian; karena mereka kedudukannya seperti saudari seayah-seibu, saudari seibu, dan saudara laki-laki seayah.

بنتا بنت أخت لأب، وإحداهما هِيَ بِنْتُ ابْنِ أُخْتٍ لِأَبٍ، وَالْأُخْرَى هِيَ بِنْتُ ابْنِ أَخٍ لِأُمٍّ، هِيَ مِنْ عَشَرَةِ أسهم للتي هي بنت ابن أخت ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ بِأُمِّهَا وَسَهْمَانِ بِأَبِيهَا، وَلِأُخْتِهَاكَذَلِكَ، فَيَصِيرُ الْمَالُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ؛ لِأَنَّهُمَا بِمَنْزِلَةِ أُخْتٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ وَأُخْتٍ لِأَبٍ، وَأَخٍ لِأُمٍّ، فَكَانَ الْمَالُ عَلَى خَمْسَةٍ: ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ مِنْهَا وَهِيَ سِهَامُ الْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ صَارَتْ إِلَى بنتي بنتيها، وَسَهْمُ الْأُخْتِ مِنَ الْأَبِ صَارَ إِلَى بِنْتِ أَبِيهَا، وَسَهْمُ الْأَخِ مِنَ الْأُمِّ صَارَ إِلَى بنت ابن.

Dua anak perempuan dari anak perempuan saudari seayah, salah satunya adalah anak perempuan dari anak laki-laki saudari seayah, dan yang lainnya adalah anak perempuan dari anak laki-laki saudara laki-laki seibu. Pembagiannya dari sepuluh bagian: bagi yang merupakan anak perempuan dari anak laki-laki saudari, tiga bagian karena ibunya dan dua bagian karena ayahnya, demikian juga untuk saudarinya, sehingga harta terbagi antara keduanya menjadi setengah-setengah; karena keduanya kedudukannya seperti saudari seayah-seibu, saudari seayah, dan saudara laki-laki seibu. Maka harta dibagi menjadi lima: tiga bagian di antaranya adalah bagian saudari seayah-seibu yang berpindah kepada dua anak perempuan dari dua anak perempuannya, satu bagian saudari seayah berpindah kepada anak perempuan ayahnya, dan satu bagian saudara laki-laki seibu berpindah kepada anak perempuan dari anak laki-lakinya.

خَالَتَانِ مِنْ أُمِّ إِحْدَاهُمَا هِيَ عَمَّةٌ مِنْ أَبٍ، وَعَمٌّ مِنْ أُمٍّ هُوَ خَالٌ مِنْ أَبٍ، هِيَ مِنْ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ، لِلْخَالَةِ الَّتِي هِيَ عَمَّةٌ مِنْ أَبٍ تِسْعَةُ أَسْهُمٍ بِأَنَّهَا عَمَّةٌ وَسَهْمٌ بِأَنَّهَا خَالَةٌ، وَلِأُخْتِهَا سَهْمٌ، وَلِلْعَمِّ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ بِأَنَّهُ عَمٌّ مِنْ أُمٍّ، وَلَهُ أَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ بِأَنَّهُ خَالٌ مِنْ أَبٍ؛ لِأَنَّهُمْ ينزلون بِمَنْزِلَةِ خَالَتَيْنِ مِنْ أُمٍّ، وَخَالٌ مِنْ أَبٍ، وَعَمَّةٌ مِنْ أَبٍ وَعَمٌّ مِنْ أُمٍّ فَكَانَ الثُّلُثُ بَيْنَ الْخَالَتَيْنِ مِنَ الْأُمِّ وَالْخَالُ مِنَ الْأَبِ عَلَى سِتَّةٍ، وَالثُّلُثَانِ بَيْنَ الْعَمَّةِ مِنَ الْأَبِ وَالْعَمِّ مِنَ الْأُمِّ عَلَى أَرْبَعَةٍ فَصَحَّتْ من ثمانية عشر سهما لبنت ابن الخال من الْأب التي هي بنت عم من أم سِتَّةُ أَسْهُمٍ بِأُمِّهَا وسهم لأبيها، وَلِأُخْتِهَا الَّتِي هِيَ بِنْتُ خَالَةٍ مِنْ أَبٍ سهم بأبيها وسهم بأمها؛ لأنها بِمَنْزِلَةِ خَالٍ وَخَالَةٍ مِنْ أَبٍ وَعَمٍّ مِنْ أُمٍّ، فَكَانَ الثُّلُثُ عَلَى ثَلَاثَةٍ وَصَحَّتْ مِنْ تِسْعَةٍ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.

Dua bibi dari pihak ibu, salah satunya juga merupakan bibi dari pihak ayah, dan paman dari pihak ibu yang juga merupakan paman dari pihak ayah. Pembagiannya dari delapan belas bagian: untuk bibi dari pihak ibu yang juga bibi dari pihak ayah, sembilan bagian karena ia bibi dari pihak ayah dan satu bagian karena ia bibi dari pihak ibu, untuk saudarinya satu bagian, dan untuk paman tiga bagian karena ia paman dari pihak ibu dan empat bagian karena ia paman dari pihak ayah; karena mereka diposisikan seperti dua bibi dari pihak ibu, paman dari pihak ayah, bibi dari pihak ayah, dan paman dari pihak ibu. Maka sepertiga dibagi antara dua bibi dari pihak ibu dan paman dari pihak ayah menjadi enam bagian, dan dua pertiga dibagi antara bibi dari pihak ayah dan paman dari pihak ibu menjadi empat bagian. Maka pembagian yang sah dari delapan belas bagian: untuk anak perempuan dari anak laki-laki paman dari pihak ayah yang juga merupakan anak perempuan dari paman dari pihak ibu, enam bagian karena ibunya dan satu bagian karena ayahnya, untuk saudarinya yang merupakan anak perempuan dari bibi dari pihak ayah, satu bagian karena ayahnya dan satu bagian karena ibunya; karena ia kedudukannya seperti paman dan bibi dari pihak ayah dan paman dari pihak ibu. Maka sepertiga dibagi menjadi tiga bagian dan sah dari sembilan bagian. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

فَصْلٌ: فِي الرَّدِّ

Fasal: Tentang ar-radd (pengembalian sisa harta warisan kepada ahli waris)

وَهَذَا إنما يكون عند نقصان الْفُرُوضِ عَنِ اسْتِيعَابِ الْمَالِ وَالْخِلَافُ فِيهِ كَالْخِلَافِ فِي ذَوِي الْأَرْحَامِ.

Dan hal ini hanya terjadi ketika bagian-bagian fardhu kurang dari jumlah harta yang ada, dan perbedaan pendapat dalam hal ini sama seperti perbedaan pendapat dalam masalah dzawil arham.

فَالشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ يَمْنَعُ مِنَ الرَّدِّ مَعَ وُجُودِ بَيْتِ الْمَالِ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَمِنَ التَّابِعِينَ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، وَسُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وَالزُّهْرِيُّ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَدَاوُدُ وَأَبُو ثَوْرٍ وَذَهَبَ أبو حنيفة وأهل الْعِرَاقِ إِلَى الرَّدِّ، وَبِهِ قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، وَابْنُ مَسْعُودٍ، وَابْنُ عَبَّاسٍ، – رَضِيَ الله عنهم – وقد قدمناه في الدَّلِيلِ عَلَى تَقْدِيمِ بَيْتِ الْمَالِ عَلَى ذَوِي الْأَرْحَامِ وَالرَّدِّ عَلَى أَصْحَابِ الْفَرَائِضِ بَقِيَّةَ الْمَالِ إِذَا لَمْ تَكُنْ عَصَبَةً إِذَا كَانَ بَيْتُ الْمَالِ مَوْجُودًا، فَأَمَّا إِذَا عُدِمَ بَيْتُ الْمَالِ فالضرورة تدعوا إِلَى الرَّدِّ كَمَا دَعَتْ إِلَى تَوْرِيثِ ذَوِي الأرحام.

Imam Syafi‘i rahimahullah melarang adanya radd (pengembalian sisa harta kepada ahli waris fardhu) selama masih ada Baitul Mal. Pendapat ini juga dipegang oleh sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, dan dari kalangan tabi‘in: ‘Urwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar, serta dari para fuqaha: Malik, Az-Zuhri, Al-Auza‘i, Dawud, dan Abu Tsaur. Sedangkan Abu Hanifah dan ulama Irak berpendapat adanya radd, dan ini juga pendapat ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas‘ud, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum. Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya dalam dalil tentang didahulukannya Baitul Mal atas dzawil arham, dan bahwa radd diberikan kepada para ashhabul furudh atas sisa harta jika tidak ada ‘ashabah, selama Baitul Mal masih ada. Namun jika Baitul Mal tidak ada, maka kebutuhan mendesak menuntut adanya radd, sebagaimana kebutuhan mendesak juga menuntut pewarisan kepada dzawil arham.

واختلف القائلون بالرد في كيفية الرد فكان علي بن أبي طالب عليه السلام يَرُدُّ عَلَى كُلِّ ذِي سَهْمٍ بِقَدْرِ سَهْمِهِ إلى عَلَى الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ وَهُوَ الَّذِي يُعْمَلُ عَلَيْهِ وَيُفْتى بِهِ.

Para ulama yang berpendapat adanya radd berbeda pendapat tentang tata cara pelaksanaannya. ‘Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam memberikan radd kepada setiap ahli waris fardhu sesuai dengan bagian mereka, kecuali kepada suami dan istri. Inilah pendapat yang diamalkan dan dijadikan fatwa.

وَرُوِيَ عَنِ النَّخَعِيِّ أَنَّهُ كَانَ لا يرد على الجد وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ.

Diriwayatkan dari An-Nakha‘i bahwa ia tidak memberikan radd kepada kakek, namun riwayat ini tidak shahih.

وَكَانَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَرُدُّ عَلَى كُلِّ ذِي سَهْمٍ بِقَدْرِ سَهْمِهِ إِلَّا عَلَى الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ، وَكَانَ لَا يَرُدُّ عَلَى أَرْبَعٍ مَعَ أَرْبَعٍ: عَلَى بِنْتِ الِابْنِ مَعَ بِنْتِ الصُّلْبِ، وَعَلَى الْأُخْتِ لِلْأَبِ مَعَ الْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، وَعَلَى ولد الأم مع الأم، وعلى الجد مَعَ ذِي سَهْمٍ مِنْ ذَوِي الْأَرْحَامِ.

‘Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu memberikan radd kepada setiap ahli waris fardhu sesuai dengan bagian mereka, kecuali kepada suami dan istri. Ia tidak memberikan radd pada empat kasus berikut: kepada anak perempuan dari anak laki-laki bersama anak perempuan kandung, kepada saudari seayah bersama saudari seayah-seibu, kepada anak dari ibu bersama ibu, dan kepada kakek bersama ahli waris fardhu dari dzawil arham.

وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ يَرُدُّ عَلَى كُلِّ ذِي سَهْمٍ بِقَدْرِ سَهْمِهِ إِلَّا عَلَى الزَّوْجِ والزوجة والجد.

‘Abdullah bin ‘Abbas memberikan radd kepada setiap ahli waris fardhu sesuai dengan bagian mereka, kecuali kepada suami, istri, dan kakek.

من مَسَائِلِ الرَّدِّ:

Beberapa contoh masalah radd:

إِذَا تَرَكَ أُمًّا، وَبِنْتًا، فَلِلْأُمِّ السُّدُسُ، وَلِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَالْبَاقِي رَدٌّ عَلَيْهِمَا فَيَصِيرُ الْمَالُ بَيْنَهُمَا عَلَى أَرْبَعَةٍ.

Jika seseorang meninggalkan ibu dan seorang anak perempuan, maka ibu mendapat sepertiga, anak perempuan mendapat setengah, dan sisanya diberikan kembali (radd) kepada keduanya, sehingga harta dibagi di antara mereka berdua menjadi empat bagian.

وَلَوْ تَرَكَ أُمًّا، وَأُخْتًا، كَانَ لِلْأُمِّ الثُّلُثُ وَلِلْأُخْتِ النِّصْفُ وَالْبَاقِي رَدٌّ عَلَيْهِنَّ فَيَصِيرُ الْمَالُ بَيْنَهُنَّ عَلَى خَمْسَةٍ.

Jika seseorang meninggalkan ibu dan seorang saudari, maka ibu mendapat sepertiga, saudari mendapat setengah, dan sisanya diberikan kembali (radd) kepada mereka, sehingga harta dibagi di antara mereka bertiga menjadi lima bagian.

وَلَوْ تَرَكَ أُمًّا وَبِنْتَيْنِ، كَانَ لِلْأُمِّ السُّدُسُ، وَلِلْبِنْتَيْنِ الثُّلُثَانِ وَالْبَاقِي رَدٌّ عَلَيْهِنَّ، فَيَصِيرُ الْمَالُ بَيْنَهُنَّ عَلَى خَمْسَةٍ.

Jika seseorang meninggalkan ibu dan dua anak perempuan, maka ibu mendapat seperenam, dua anak perempuan mendapat dua pertiga, dan sisanya diberikan kembali (radd) kepada mereka, sehingga harta dibagi di antara mereka bertiga menjadi lima bagian.

وَلَوْ تَرَكَ زَوْجَةً، وَأُخْتًا لِأُمٍّ، وَأُخْتًا لِأَبٍ وَأُمٍّ كَانَ لِلزَّوْجَةِ الرُّبُعُ وَلِلْأُخْتِ لِلْأُمِّ السُّدُسُ، وَلِلْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ النِّصْفُ وَيَبْقَى نِصْفُ سُدُسٍ يُرَدُّ عَلَى الْأُخْتَيْنِ دُونَ الزَّوْجَةِ فَيَصِيرُ الْبَاقِي بَعْدَ رُبُعِ الزَّوْجَةِ وَهُوَ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ الْمَالِ بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ عَلَى أَرْبَعَةٍ وتصح من ستة عشر سهما.

Jika seseorang meninggalkan istri, saudari seibu, dan saudari seayah-seibu, maka istri mendapat seperempat, saudari seibu mendapat seperenam, saudari seayah-seibu mendapat setengah, dan sisa setengah dari seperenam diberikan kembali (radd) kepada kedua saudari tanpa istri, sehingga sisa setelah seperempat bagian istri (yaitu tiga perempat harta) dibagi di antara kedua saudari menjadi empat bagian. Pembagian ini sah dari enam belas bagian.

ولو تركت زَوْجًا، وَأُمًّا، وَبِنْتًا كَانَ لِلزَّوْجِ الرُّبُعُ، وَلِلْأُمِّ السُّدُسُ، وَلِلْبِنْتِ النِّصْفُ، وَالْبَاقِي رَدٌّ عَلَى الْأُمِّ وَالْبِنْتِ فَيَصِيرُ الْبَاقِي بَعْدَ رُبُعِ الزَّوْجِ بَيْنَ الْأُمِّ وَالْبِنْتِ عَلَى أَرْبَعَةٍ وَتَصِحُّ مِنْ سِتَّةَ عَشَرَ كَالْمَسْأَلَةِ قَبْلَهَا.

Jika seseorang meninggalkan suami, ibu, dan anak perempuan, maka suami mendapat seperempat, ibu mendapat seperenam, anak perempuan mendapat setengah, dan sisanya diberikan kembali (radd) kepada ibu dan anak perempuan, sehingga sisa setelah seperempat bagian suami dibagi di antara ibu dan anak perempuan menjadi empat bagian. Pembagian ini sah dari enam belas bagian seperti kasus sebelumnya.

وَلَوْ تَرَكَ بِنْتًا، وَبِنْتَ ابْنٍ، كَانَ لِلْبِنْتِ النِّصْفُ، وَلِبِنْتِ الِابْنِ السُّدُسُ، والباقي رد عليهما على قول علي عليه السلام وَيُقْسَمُ الْمَالُ بَيْنَهُمَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَسْهُمٍ.

Jika seseorang meninggalkan anak perempuan dan anak perempuan dari anak laki-laki, maka anak perempuan mendapat setengah, anak perempuan dari anak laki-laki mendapat seperenam, dan sisanya diberikan kembali (radd) kepada keduanya menurut pendapat ‘Ali ‘alaihis salam, sehingga harta dibagi di antara mereka berdua menjadi empat bagian.

وَعَلَى قَوْلِ ابْنِ مَسْعُودٍ يُرَدُّ عَلَى الْبِنْتِ فَيَكُونُ لِبِنْتِ الِابْنِ السُّدُسُ وَالْبَاقِي لِلْبِنْتِ بِالْفَرْضِ وَالرَّدِّ وَتَصِحُّ مِنْ سِتَّةٍ وَهَكَذَا الْقَوْلُ فِي أُخْتٍ لأب وأم وأخت لأب أو لأم.

Menurut pendapat Ibnu Mas‘ud, radd diberikan kepada anak perempuan, sehingga anak perempuan dari anak laki-laki mendapat seperenam dan sisanya menjadi milik anak perempuan baik dari bagian fardhu maupun radd. Pembagian ini sah dari enam bagian. Demikian pula halnya dalam kasus saudari seayah-seibu dan saudari seayah atau saudari seibu.

ولو ترك جدا، وبنتا، وبنت ابن فعلى قول علي عليه السلام: المال بينهم عَلَى خَمْسَةٍ، وَعَلَى قَوْلِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – لِلْجَدَّةِ السُّدُسُ، وَلِبِنْتِ الِابْنِ السُّدُسُ، وَالْبَاقِي لِلْبِنْتِ بِالْفَرْضِ وَالرَّدِّ، وَتَصِحُّ مِنْ سِتَّةٍ.

Jika yang ditinggalkan adalah seorang nenek, seorang anak perempuan, dan seorang anak perempuan dari anak laki-laki, menurut pendapat Ali radhiyallahu ‘anhu: harta dibagi di antara mereka berlima. Sedangkan menurut pendapat Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu: untuk nenek sepertiga, untuk anak perempuan dari anak laki-laki sepertiga, dan sisanya untuk anak perempuan dengan bagian fardh dan radd, dan pembagiannya sah dari enam bagian.

وَعَلَى قَوْلِ ابْنِ عَبَّاسٍ: لِلْجَدَّةِ السُّدُسُ، وَالْبَاقِي بَيْنَ الْبِنْتِ وَبِنْتِ الِابْنِ عَلَى أَرْبَعَةٍ، وَتَصِحُّ مِنْ أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ ثُمَّ عَلَى قِيَاسِ هَذَا يَكُونُ الرَّدُّ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.

Menurut pendapat Ibnu ‘Abbas: untuk nenek sepertiga, dan sisanya dibagi antara anak perempuan dan anak perempuan dari anak laki-laki menjadi empat bagian, dan pembagiannya sah dari dua puluh empat bagian. Kemudian menurut qiyās atas hal ini, berlaku hukum radd. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

آخَرُ كِتَابِ الْفَرَائِضِ والحمد لله كثيرا.

Akhir dari Kitab al-Farā’id. Segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya.

Kitab al-Washāyā (Kitab Wasiat)

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدَّرَ لِخَلْقِهِ آجَالًا وبسط لهم فيها آمالا ثم أخفى عليهم حلول آجَالِهِمْ وَحَذَّرَهُمْ غُرُورَ آمَالِهِمْ، فَحَقِيقٌ عَلَى الْإِنْسَانِ أن يكون مباهيا لِلْوَصِيَّةِ حَذِرًا مِنْ حُلُولِ الْمَنِيَّةِ.

Sesungguhnya Allah Ta‘ala telah menentukan ajal bagi makhluk-Nya dan membentangkan bagi mereka harapan-harapan di dalamnya, kemudian Dia menyembunyikan waktu datangnya ajal mereka dan memperingatkan mereka dari tipuan harapan-harapan mereka. Maka sudah sepantasnya bagi manusia untuk bersungguh-sungguh dalam membuat wasiat dan waspada terhadap datangnya kematian.

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ} [البقرة: 180] . {فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سمعه} [البقرة: 181] . إلى قوله تعالى: {غَفُورٌ رَحِيمٌ} [البقرة: 182] .

Allah Ta‘ala berfirman: {Diwajibkan atas kalian, apabila salah seorang di antara kalian kedatangan maut, jika ia meninggalkan kebaikan, (agar) berwasiat untuk kedua orang tua dan kerabat dengan cara yang baik; (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa} (QS. al-Baqarah: 180). {Barang siapa mengubahnya setelah ia mendengarnya…} (QS. al-Baqarah: 181) hingga firman Allah Ta‘ala: {Maha Pengampun lagi Maha Penyayang} (QS. al-Baqarah: 182).

أَمَّا قَوْله تَعَالَى: {كُتِبَ عليكم} . فَيَعْنِي: فُرِضَ عَلَيْكُمْ. وَقَوْلُهُ: ” إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الموت: يعني أسباب الموت “.

Adapun firman-Nya Ta‘ala: {Diwajibkan atas kalian}, maksudnya: difardhukan atas kalian. Dan firman-Nya: “apabila salah seorang di antara kalian kedatangan maut”, maksudnya adalah sebab-sebab kematian.

إن ترك خيرا: يَعْنِي مَالًا. قَالَ مُجَاهِدٌ: الْخَيْرُ فِي الْقُرْآنِ كله المال: {وإنه لحب الخير الشديد} [العاديات: 8] . الْمَالُ فَقَالَ {إِنِّي أَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَنْ ذِكْرِ رَبِّي} [ص: 32] الْمَالُ. {فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا} [النور: 33] الْمَالُ.

“Jika ia meninggalkan kebaikan”: maksudnya adalah harta. Mujahid berkata: “al-khair” dalam seluruh Al-Qur’an berarti harta, seperti firman Allah: {dan sesungguhnya ia sangat cinta kepada kebaikan} (QS. al-‘Adiyat: 8), maksudnya harta. Dan firman-Nya: {Sesungguhnya aku menyukai kecintaan kepada kebaikan karena mengingat Tuhanku} (QS. Shad: 32), maksudnya harta. {Maka tulislah perjanjian dengan mereka jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka} (QS. an-Nur: 33), maksudnya harta.

وَقَالَ شُعَيْبٌ: {إِنِّي أَرَاكُمْ بِخَيْرٍ} [هود: 84] . يَعْنِي الْغِنَى. وَقَالَ الشافعي: الخير كلمة تعرف ما أريد بها المخاطبة.

Dan Syu‘aib berkata: {Sesungguhnya aku melihat kalian dalam kebaikan} (QS. Hud: 84), maksudnya adalah kekayaan. Dan asy-Syafi‘i berkata: “al-khair” adalah kata yang maknanya diketahui sesuai konteks pembicaraan.

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ} [البينة: 7] . فقلنا: إنهم خير البرية بالإيمان والأعمال الصالحة، لا بالمال. وقال تعالى: {أولئك هم خير} فقلنا إن الخير المنفعة بالأجر وَقَالَ: {إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ} [البقرة: 180] . فَقُلْنَا إِنَّهُ إِنْ تَرَكَ مَالًا، لِأَنَّ الْمَالَ هُوَ الْمَتْرُوكُ. ثُمَّ قَالَ {الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ} وفي الْأَقْرَبِينَ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ:

Allah Ta‘ala berfirman: {Mereka itulah sebaik-baik makhluk} (QS. al-Bayyinah: 7). Maka kami katakan: mereka adalah sebaik-baik makhluk karena iman dan amal saleh, bukan karena harta. Dan Allah berfirman: {Mereka itulah sebaik-baik…}, maka kami katakan bahwa “al-khair” di sini bermakna manfaat berupa pahala. Dan Allah berfirman: {Jika ia meninggalkan kebaikan, (maka) wasiat…} (QS. al-Baqarah: 180), maka kami katakan: jika ia meninggalkan harta, karena harta itulah yang ditinggalkan. Kemudian Allah berfirman: {wasiat untuk kedua orang tua dan kerabat dengan cara yang baik}. Dalam kata “kerabat” pada ayat ini terdapat tiga penafsiran:

أَحَدُهَا: أَنَّهُمُ الْأَوْلَادُ الَّذِينَ لَا يَسْقُطُونَ فِي الْمِيرَاثِ، دُونَ غَيْرِهِمْ مِنَ الْأَقَارِبِ الَّذِينَ يَسْقُطُونَ.

Pertama: mereka adalah anak-anak yang tidak gugur hak warisnya, tidak termasuk kerabat lain yang gugur hak warisnya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُمُ الْوَرَثَةُ مِنَ الْأَقَارِبِ كُلِّهِمْ.

Kedua: mereka adalah para ahli waris dari seluruh kerabat.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُمْ كُلُّ الْأَقَارِبِ مِنْ وَارِثٍ وَغَيْرِ وَارِثٍ. فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى وُجُوبِ الْوَصِيَّةِ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ.

Ketiga: mereka adalah seluruh kerabat, baik yang berhak mewarisi maupun yang tidak. Hal ini menunjukkan wajibnya wasiat untuk kedua orang tua dan kerabat dengan cara yang baik.

واختلفوا في ثبوت حكمها فقال بعضهم: كَانَ حُكْمُهَا ثَابِتًا فِي الْوَصِيَّةِ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ حَقًّا وَاجِبًا، وَفَرْضًا لَازِمًا، فَلَمَّا نَزَلَتْ آيَةُ الْمَوَارِيثِ نُسِخَ مِنْهَا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَكُلُّ وارث وبقي فرض الوصية لغير الورثة في الْأَقْرَبِينَ عَلَى حَالِهِ وَهُوَ قَوْلُ طَاوُسٍ وَقَتَادَةَ وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَجَابِرِ بْنِ زَيْدٍ.

Para ulama berbeda pendapat tentang tetapnya hukum ayat ini. Sebagian mereka berkata: Hukum wasiat untuk kedua orang tua dan kerabat dahulu berlaku sebagai kewajiban dan fardhu yang harus dilaksanakan. Namun ketika turun ayat waris, wasiat untuk kedua orang tua dan setiap ahli waris dihapus, dan yang tersisa adalah kewajiban wasiat untuk selain ahli waris dari kalangan kerabat. Ini adalah pendapat Thawus, Qatadah, al-Hasan al-Bashri, dan Jabir bin Zaid.

فَإِنْ وَصَّى بِثُلُثِهِ لِغَيْرِ قَرَابَتِهِ فَقَدِ اخْتَلَفُوا: فَقَالَ طَاوُسٌ يُرَدُّ الثُّلُثُ كُلُّهُ عَلَى قَرَابَتِهِ وَقَالَ قَتَادَةُ: يُرَدُّ ثُلُثُ الثُّلُثِ عَلَى قَرَابَتِهِ وَثُلُثَا الثُّلُثِ لِمَنْ أَوْصَى لَهُ بِهِ.

Jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya untuk selain kerabatnya, maka para ulama berbeda pendapat: Thawus berkata, seluruh sepertiga itu dikembalikan kepada kerabatnya. Qatadah berkata, sepertiga dari sepertiga dikembalikan kepada kerabatnya, dan dua pertiga dari sepertiga diberikan kepada orang yang diwasiati.

وَقَالَ جَابِرُ بْنُ زيد رد ثُلُثَا الثُّلُثِ عَلَى قَرَابَتِهِ وَثُلُثُ الثُّلُثِ لِمَنْ أوصى بِهِ.

Jabir bin Zaid berkata, dua pertiga dari sepertiga dikembalikan kepada kerabatnya, dan sepertiga dari sepertiga diberikan kepada orang yang diwasiati.

وَاخْتَلَفُوا فِي قَدْرِ الْمَالِ الَّذِي يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُوصِيَ مِنْهُ عَلَى أَقَاوِيلَ:

Mereka juga berbeda pendapat tentang jumlah harta yang wajib diwasiatkan, terdapat beberapa pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ أَلْفُ دِرْهَمٍ، وَتَأَوَّلُوا قَوْله تَعَالَى: {إِنْ تَرَكَ خَيْرًا} [البقرة: 183] . أَلْفَ دِرْهَمٍ، وَهَذَا قَوْلُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عنه.

Pertama: seribu dirham, dan mereka menafsirkan firman Allah Ta‘ala: {Jika ia meninggalkan kebaikan} (QS. al-Baqarah: 183) dengan seribu dirham. Ini adalah pendapat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

والثاني: خمس مائة، وهذا قول النخعي.

Kedua: lima ratus dirham, dan ini adalah pendapat an-Nakha‘i.

والثالث: يجب في قليل المال وكثيره وهو قَوْلُ الزُّهْرِيِّ. فَهَذَا قَوْلُ مَنْ جَعَلَ حُكْمَ الْآيَةِ ثَابِتًا. وَذَهَبَ الْفُقَهَاءُ وَجُمْهُورُ أَهْلِ التَّفْسِيرِ إلى إنها منسوخة بالمواريث. واختلفوا بأية آي نُسِخَتْ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ نُسِخَتْ بآية الْوَصَايَا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ} [النساء: 7] . وَقَالَ آخَرُونَ نُسِخَتْ بِقَوْلِهِ تعالى: {وأولوا الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ} [الأنفال: 75] . وَسَنَذْكُرُ دَلِيلَ مَنْ أَثْبَتَهَا وَمَنْ نَسَخَهَا فيما بعد.

Ketiga: Wajib pada harta yang sedikit maupun yang banyak, dan ini adalah pendapat az-Zuhri. Inilah pendapat orang yang menetapkan hukum ayat tersebut tetap berlaku. Para fuqaha dan mayoritas ahli tafsir berpendapat bahwa ayat ini telah dinasakh dengan ayat-ayat tentang warisan. Mereka berbeda pendapat tentang ayat mana yang menasakhnya. Abdullah bin Abbas berkata: “Ayat ini dinasakh dengan ayat wasiat, yaitu firman-Nya: {Bagi laki-laki ada bagian dari peninggalan orang tua dan kerabat} [an-Nisa: 7].” Yang lain berkata: “Ayat ini dinasakh dengan firman-Nya: {Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) dalam Kitab Allah} [al-Anfal: 75].” Kami akan sebutkan dalil orang yang menetapkan dan yang menasakh ayat ini pada pembahasan berikutnya.

ثم قال: {فَمَنْ خَافَ مِنْ مُوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فأصلح بينهما فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ} [البقرة: 182] . وَأَصْلُ الْجَنَفِ فِي كَلَامِ الْعَرَبِ: الْجَوْرُ وَالْعُدُولُ عَنِ الْحَقِّ. وَمِنْهُ قول الشاعر:

Kemudian Allah berfirman: {Barang siapa khawatir bahwa pemberi wasiat itu menyimpang atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidak ada dosa atasnya} [al-Baqarah: 182]. Asal makna “janf” dalam bahasa Arab adalah: kezaliman dan penyimpangan dari kebenaran. Di antaranya adalah perkataan penyair:

(هم المولى وقد جَنَفُوا عَلَيْنَا … وَإِنَّا مِنْ لِقَائِهِمُ لَزُورُ)

(Mereka adalah pelindung, namun telah menyimpang terhadap kami … dan sungguh kami enggan bertemu mereka)

وَفِي تأويل قوله تعالى: جنفا أو إثما ثلاثة أقاويل.

Dalam penafsiran firman Allah Ta’ala: “janfan aw itsman” (penyimpangan atau dosa) terdapat tiga pendapat.

أحدهما: أَنَّ الْجَنَفَ: الْمَيْلُ، وَالْإِثْمُ، أَنْ يَأْثَمَ فِي أَثَرَةِ بَعْضِهِمْ عَلَى بَعْضٍ وَهَذَا قَوْلُ عَطَاءٍ ابن دريد.

Pertama: Bahwa “janf” adalah kecenderungan (tidak adil), sedangkan “itsm” (dosa) adalah berbuat dosa dengan mengutamakan sebagian atas sebagian yang lain. Ini adalah pendapat ‘Atha’ bin Duraid.

والثاني: أن الجنف: الخطأ، والإثم: العمد.

Kedua: Bahwa “janf” adalah kesalahan (tidak sengaja), sedangkan “itsm” adalah kesengajaan.

والثالث: أن الرجل يوصي لولد بنيه، وهو يرد بَنِيهِ، وَهَذَا قَوْلُ طَاوُسٍ.

Ketiga: Bahwa seseorang berwasiat kepada anak-anak dari anak laki-lakinya, namun mengabaikan anak-anaknya sendiri. Ini adalah pendapat Thawus.

وَاخْتَلَفُوا فِي تَأْوِيلِ قَوْله تَعَالَى: {فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ} [البقرة: 182] . على أربعة أوجه:

Mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan firman-Nya: {lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidak ada dosa atasnya} [al-Baqarah: 182], menjadi empat pendapat:

أحدهما: أَنَّ تَأْوِيلَهَا: فَمَنْ حَضَرَ مَرِيضًا وَهُوَ يُوصِي عِنْدَ إِشْرَافِهِ عَلَى الْمَوْتِ، فَخَافَ أَنْ يُخْطِئَ فِي وَصِيَّتِهِ، فَيَفْعَلَ مَا لَيْسَ لَهُ أَوْ يعمد جورا فيها فيأمر بِمَا لَيْسَ لَهُ، فَلَا حَرَجَ عَلَى مَنْ حَضَرَهُ، فَسَمِعَ ذَلِكَ مِنْهُ أَنْ يُصْلِحَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ وَرَثَتِهِ، بِأَنْ يَأْمُرَهُ بِالْعَدْلِ فِي وَصِيَّتِهِ، وَهَذَا قَوْلُ مُجَاهِدٍ.

Pertama: Maknanya adalah, barang siapa menghadiri orang sakit yang sedang berwasiat menjelang kematiannya, lalu khawatir ia salah dalam wasiatnya sehingga melakukan sesuatu yang bukan haknya, atau sengaja berbuat zalim dalam wasiatnya sehingga memerintahkan sesuatu yang bukan haknya, maka tidak mengapa bagi orang yang hadir dan mendengar hal itu untuk mendamaikan antara dia dan para ahli warisnya, dengan memerintahkannya agar berlaku adil dalam wasiatnya. Ini adalah pendapat Mujahid.

وَالثَّانِي: أَنَّ تَأْوِيلَهَا فَمَنْ خَافَ مِنْ أَوْصِيَاءِ الْمَيِّتِ جَنَفًا فِي وَصِيَّتِهِ الَّتِي أَوْصَى بِهَا الْمَيِّتُ، فَأَصْلَحَ بَيْنَ وَرَثَتِهِ، وَبَيْنَ الْمُوصَى لَهُمْ، فِيمَا أَوْصَى لَهُمْ بِهِ، فَيَرُدُّ الْوَصِيَّةَ إِلَى الْعَدْلِ وَالْحَقِّ، فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ، هَذَا قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ وَقَتَادَةَ.

Kedua: Maknanya adalah, barang siapa khawatir para pelaksana wasiat mayit menyimpang dalam pelaksanaan wasiat yang diwasiatkan oleh mayit, lalu ia mendamaikan antara para ahli waris dan penerima wasiat dalam hal yang diwasiatkan kepada mereka, sehingga mengembalikan wasiat kepada keadilan dan kebenaran, maka tidak ada dosa atasnya. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan Qatadah.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ تَأْوِيلَهَا فَمَنْ خَافَ مِنْ مُوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فِي عَطِيَّتِهِ لِوَرَثَتِهِ عند حضور أجله، فأعطى بعضهم دُونَ بَعْضٍ، فَلَا إِثْمَ عَلَى مَنْ أَصْلَحَ بَيْنَ الْوَرَثَةِ فِي ذَلِكَ. وَهَذَا قَوْلُ عَطَاءٍ.

Ketiga: Maknanya adalah, barang siapa khawatir pemberi wasiat menyimpang atau berbuat dosa dalam pemberiannya kepada para ahli warisnya ketika ajalnya telah dekat, lalu ia memberikan kepada sebagian dan tidak kepada yang lain, maka tidak ada dosa atas orang yang mendamaikan para ahli waris dalam hal itu. Ini adalah pendapat ‘Atha’.

وَالرَّابِعُ: أَنَّ تَأْوِيلَهَا فَمَنْ خَافَ مِنْ مُوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فِي وَصِيَّتِهِ لِمَنْ لَا يرثه لَمْ يَرْجِعْ نَفْعُهُ عَلَى مَنْ يَرِثُهُ فَأَصْلَحَ بَيْنَ وَرَثَتِهِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَهَذَا قَوْلُ طَاوُسٍ.

Keempat: Maknanya adalah, barang siapa khawatir pemberi wasiat menyimpang atau berbuat dosa dalam wasiatnya kepada orang yang bukan ahli warisnya, sehingga manfaatnya tidak kembali kepada ahli warisnya, lalu ia mendamaikan antara para ahli warisnya, maka tidak ada dosa atasnya. Ini adalah pendapat Thawus.

وَقَالَ تَعَالَى: {مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ الله} [النساء: 12] . فلا ضرار فِي الْوَصِيَّةِ: أَنْ يُوصِيَ بِأَكْثَرَ مِنَ الثُّلُثِ، وَالْإِضْرَارُ فِي الدَّيْنِ أَنْ يَبِيعَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَمَنِ الْمِثْلِ. وَيَشْتَرِيَ بِأَكْثَرَ مِنْهُ.

Allah Ta’ala berfirman: {Setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau utang, tanpa merugikan (pihak lain), sebagai wasiat dari Allah} [an-Nisa: 12]. Maka tidak boleh ada mudarat dalam wasiat, yaitu berwasiat lebih dari sepertiga harta; dan mudarat dalam utang adalah menjual dengan harga lebih rendah dari harga pasar, atau membeli dengan harga lebih tinggi dari itu.

وَقَدْ رَوَى عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْإِضْرَارُ فِي الْوَصِيَّةِ مِنَ الْكَبَائِرِ “.

Telah diriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Membahayakan (merugikan) dalam wasiat termasuk dosa besar.”

وَقَالَ تعالى: {وصى بها إبراهيم بنيه ويعقوب} [البقرة: 132] الْآيَةَ.

Allah Ta’ala berfirman: {Ibrahim mewasiatkan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub} [al-Baqarah: 132] (ayat).

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، لَهُ شَيْءٌ يوصي فيه يبيت ليلتين، إلا ووصيته عند رأسه مَكْتُوبَةٌ “.

Imam Syafi’i meriwayatkan dari Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Tidaklah pantas bagi seorang Muslim yang memiliki sesuatu yang hendak diwasiatkan, bermalam dua malam kecuali wasiatnya sudah tertulis di samping kepalanya.”

وَرَوَى شَهْرُ بْنُ حَوْشَبٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ سبعين سنة، ثم يوصي، فيجنف في وصيته فيختم له بشر عمله، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ سَبْعِينَ سَنَةً، ثُمَّ يُوصِي فَيَعْدِلُ فِي وَصِيَّتِهِ، فَيُخْتَمُ له بخير عمله “.

Syahr bin Hausyab meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Sungguh seseorang beramal dengan amalan ahli surga selama tujuh puluh tahun, kemudian ia berwasiat, lalu ia menyimpang dalam wasiatnya, maka ditetapkan baginya penutup amal terburuknya. Dan sungguh seseorang beramal dengan amalan ahli neraka selama tujuh puluh tahun, kemudian ia berwasiat, lalu ia berlaku adil dalam wasiatnya, maka ditetapkan baginya penutup amal terbaiknya.”

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” أعجز الموصي أن يوصي كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ “.

Diriwayatkan dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda: “Apakah orang yang berwasiat itu tidak mampu untuk berwasiat sebagaimana yang telah diperintahkan Allah kepadanya?”

وَرَوَى أَبُو قَتَادَةَ أَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا دَخَلَ الْمَدِينَةَ، سَأَلَ عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ معرور، فقالوا:

Dan Abu Qatadah meriwayatkan bahwa ketika Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- masuk ke Madinah, beliau bertanya tentang al-Bara’ bin Ma’rur, lalu mereka berkata:

هَلَكَ وَأَوْصَى لَكَ بِثُلُثِ مَالِهِ، فَقَبِلَهُ، وَرَدَّهُ عَلَى وَرَثَتِهِ. وَقِيلَ إِنَّهُ كَانَ أَوَّلَ مَنْ أوصى بِالثُّلُثِ، وَأَوَّلَ مَنْ وَصَّى بِأَنْ يُدْفَنَ إِلَى القبلة ثم صارا جميعا سنة متبوعة.

Ia telah wafat dan berwasiat untukmu sepertiga hartanya, maka beliau menerimanya, lalu mengembalikannya kepada para ahli warisnya. Dikatakan pula bahwa ia adalah orang pertama yang berwasiat dengan sepertiga harta, dan orang pertama yang berwasiat agar dikuburkan menghadap kiblat, lalu kedua hal itu menjadi sunnah yang diikuti.

وَالْوَصِيَّةُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: قِسْمٌ لَا يَجُوزُ، وَقِسْمٌ يَجُوزُ وَلَا يَجِبُ، وَقِسْمٌ مُخْتَلَفٌ فِي وجوبها.

Wasiat terbagi menjadi tiga bagian: bagian yang tidak boleh, bagian yang boleh namun tidak wajib, dan bagian yang diperselisihkan kewajibannya.

فأما الذي لا يجوز: فالوصية للوارث.

Adapun yang tidak boleh: yaitu wasiat kepada ahli waris.

وروى شُرَحْبِيلَ بْنِ مُسْلِمٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ “.

Diriwayatkan dari Syurahbil bin Muslim, ia berkata: Aku mendengar Abu Umamah berkata: Aku mendengar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ala telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”

وَأَمَّا التي تجوز ولا تجب، فالوصية للأجانب، وهذا مجمع عليه، فقد أَوْصَى الْبَرَاءُ بْنُ مَعْرُورٍ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِثُلُثِ مَالِهِ فَقَبِلَهُ ثُمَّ رَدَّهُ عَلَى وَرَثَتِهِ.

Adapun yang boleh namun tidak wajib, yaitu wasiat kepada orang-orang asing (bukan ahli waris), dan ini telah menjadi ijmā‘. Al-Bara’ bin Ma’rur telah berwasiat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan sepertiga hartanya, lalu beliau menerimanya kemudian mengembalikannya kepada para ahli warisnya.

وأما التي اختلف فيها: فَالْوَصِيَّةُ لِلْأَقَارِبِ.

Adapun yang diperselisihkan: yaitu wasiat kepada kerabat.

ذَهَبَ أَهْلُ الظَّاهِرِ مَعَ مَنْ قَدَّمْنَا ذِكْرَهُ فِي تَفْسِيرِ الْآيَةِ إِلَى وُجُوبِهَا لِلْأَقَارِبِ، تَعَلُّقًا بِظَاهِرِ قَوْله تَعَالَى: {الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ} [البقرة: 180] . وَبِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ مَاتَ مِنْ غَيْرِ وَصِيَّةٍ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً “.

Ahluzh-Zhahir bersama mereka yang telah kami sebutkan dalam tafsir ayat tersebut berpendapat wajibnya wasiat kepada kerabat, berdasarkan pada zahir firman Allah Ta‘ala: {Wasiat itu untuk kedua orang tua dan kerabat dengan cara yang ma‘ruf, sebagai kewajiban atas orang-orang yang bertakwa} [al-Baqarah: 180]. Dan juga berdasarkan riwayat dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda: “Barang siapa meninggal tanpa wasiat, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.”

وَبِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فيه يبيت ليلتين إلى وَوَصِيَّتُهُ عِنْدَهُ مَكْتُوبَةٌ “.

Dan juga sabda beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Tidaklah pantas bagi seorang Muslim yang memiliki sesuatu yang hendak diwasiatkan, ia bermalam dua malam kecuali wasiatnya sudah tertulis di sisinya.”

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ لِلْأَقَارِبِ وَالْأَجَانِبِ، مَا رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ وعائشة، وابن أبي ليلى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يُوصِ.

Adapun dalil bahwa wasiat itu tidak wajib bagi kerabat maupun orang asing adalah riwayat dari Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, dan Ibnu Abi Laila radhiyallahu ‘anhum bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak berwasiat.

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنِ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَ: ” مَرِضْتُ عَامَ الْفَتْحِ مَرَضًا أَشْرَفْتُ مِنْهُ عَلَى الْمَوْتِ، فَأَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَعُودُنِي، فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ: إِنَّ لِي مالا كثيرا، وليس يرثني إلا ابني، أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَبِالشَّطْرِ. قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَالثُّلُثُ؟ قَالَ: الثُّلُثُ. وَالثُّلُثُ كثير. إنك إن تدع ورثتك أغنياء خيرا مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ “.

Imam Syafi‘i meriwayatkan dari Sufyan, dari az-Zuhri, dari ‘Amir bin Sa‘d, dari ayahnya Sa‘d bin Abi Waqqash, ia berkata: “Aku sakit pada tahun penaklukan (Makkah) dengan sakit yang hampir membuatku meninggal, lalu Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- datang menjengukku. Aku berkata: Wahai Rasulullah, aku memiliki banyak harta, dan tidak ada yang mewarisiku kecuali anak perempuanku, bolehkah aku bersedekah dengan dua pertiga hartaku? Beliau menjawab: Tidak. Aku berkata: Setengahnya? Beliau menjawab: Tidak. Aku berkata: Sepertiga? Beliau menjawab: Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada manusia.”

فَاقْتَصَرَ به النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الْوَصِيَّةِ عَلَى مَا جَعَلَهُ خَارِجًا مَخْرَجَ الْجَوَازِ، لَا مَخْرَجَ الْإِيجَابِ. ثُمَّ بَيَّنَ أَنَّ غنى الورثة بعده أولى من فقرهم.

Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- membatasi dalam wasiat pada apa yang beliau jadikan sebagai perkara yang boleh, bukan perkara yang wajib. Kemudian beliau menjelaskan bahwa kekayaan ahli waris setelahnya lebih utama daripada kemiskinan mereka.

وَرَوَى أَبُو زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: أن تتصدق وأنت صحيح حريص، تأمل الغنى وَتَخْشَى الْفَقْرَ، وَلَا تُمْهِلَ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ، قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا، وَلِفُلَانٍ كَذَا، وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ “.

Diriwayatkan dari Abu Zur‘ah, dari Abu Hurairah, ia berkata: Ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama? Beliau menjawab: Engkau bersedekah dalam keadaan sehat dan sangat ingin (harta), berharap kaya dan takut miskin, dan janganlah engkau menunda hingga ketika nyawa sudah di kerongkongan, lalu engkau berkata: untuk si fulan sekian, untuk si fulan sekian, padahal itu memang sudah menjadi milik si fulan.”

فَلَمَّا جَعَلَ الصَّدَقَةَ فِي حَالِ الصِّحَّةِ أَفْضَلَ مِنْهَا عِنْدَ الْمَوْتِ ثُمَّ لَمْ تَكُنْ فِي حَالِ الصِّحَّةِ وَاجِبَةً، فَأَوْلَى أَنْ لَا تَكُونَ عِنْدَ الْمَوْتِ وَاجِبَةً.

Ketika sedekah di saat sehat lebih utama daripada sedekah di saat menjelang kematian, dan sedekah di saat sehat itu tidak wajib, maka lebih utama lagi jika sedekah di saat menjelang kematian juga tidak wajib.

وَرَوَى ابْنُ أبي ذؤيب عَنْ شُرَحْبِيلَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” لأن يَتَصَدَّقَ الْمَرْءُ فِي حَيَاتِهِ بِدِرْهَمٍ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِمِائَةٍ عِنْدَ مَوْتِهِ ” وَلِأَنَّ الوصية لو وجبت، لا جبر عَلَيْهَا، وَلَأُخِذَتْ مِنْ مَالِهِ إِنِ امْتَنَعَ مِنْهَا، كَالدُّيُونِ وَالزَّكَوَاتِ وَلِأَنَّ الْوَصَايَا عَطَايَا فَأَشْبَهَتِ الْهِبَاتِ.

Ibnu Abi Dzu’aib meriwayatkan dari Syurahbil dari Abu Sa‘id al-Khudri bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sungguh, seseorang bersedekah dengan satu dirham pada masa hidupnya itu lebih baik baginya daripada bersedekah seratus dirham saat kematiannya.” Dan karena wasiat, seandainya wajib, maka tidak ada paksaan atasnya, dan akan diambil dari hartanya jika ia enggan melaksanakannya, seperti utang dan zakat. Dan karena wasiat itu adalah pemberian, maka ia serupa dengan hibah.

فَأَمَّا الْآيَةُ: فَمَنْعُ الْوَالِدَيْنِ مِنَ الْوَصِيَّةِ مَعَ تقديم ذكرها فِيهَا، دَلِيلٌ عَلَى نَسْخِهَا.

Adapun ayat: larangan bagi kedua orang tua dari menerima wasiat, padahal sebelumnya disebutkan dalam ayat tersebut, merupakan dalil bahwa ayat itu telah di-nasakh.

وَأَمَّا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ مَاتَ مِنْ غَيْرِ وَصِيَّةٍ مَاتَ مِيتَةً جاهلية ” فمحمول على أحد أمرين.

Adapun sabda beliau ﷺ: “Barang siapa meninggal tanpa wasiat, maka ia meninggal dengan kematian jahiliah,” maka maknanya ditakwilkan pada salah satu dari dua hal.

وأما على من كانت عليه ديون حقوق لَا يُوصَلُ إِلَى أَرْبَابِهَا إِلَّا بِالْوَصِيَّةِ. فَتَصِيرُ الوصية ذكرها وَأَدَائِهَا وَاجِبَةً.

Yaitu bagi orang yang memiliki utang atau hak-hak yang tidak dapat disampaikan kepada pemiliknya kecuali dengan wasiat. Maka wasiat dalam hal ini, baik penyebutan maupun pelaksanaannya, menjadi wajib.

وَأَمَّا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ ” فَهَذَا خَارِجٌ مِنْهُ مَخْرَجَ الِاحْتِيَاطِ، وَمَعْنَاهُ: مَا الْحَزْمُ لِامْرِئٍ. عَلَى أَنَّ نَافِعًا قَالَ لِابْنِ عُمَرَ بَعْدَ أَنْ رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ حِينَ حَضَرَهُ الْمَوْتُ: هَلَّا أَوْصَيْتَ؟ قَالَ: أَمَّا مَالِي، فَاللَّهُ أَعْلَمُ مَا كُنْتُ أَفْعَلُ فِيهِ فِي حياتي، وأما رباعي وذوري، فَمَا أُحِبُّ أَنْ يُشَارِكَ وَلَدِي فِيهَا أَحَدٌ. فلو علم وجوب الوصية لما رواه ولما تَرَكَهَا.

Adapun sabda beliau ﷺ: “Tidaklah pantas bagi seorang Muslim yang memiliki sesuatu yang hendak diwasiatkan, ia bermalam dua malam kecuali wasiatnya sudah tertulis di sisinya,” maka ini keluar dalam konteks kehati-hatian, dan maknanya adalah: bukanlah suatu tindakan yang bijak bagi seseorang. Bahwasanya Nafi‘ berkata kepada Ibnu ‘Umar setelah meriwayatkan hadis ini ketika ajal menjemputnya: “Mengapa engkau tidak berwasiat?” Ia menjawab: “Adapun hartaku, Allah lebih mengetahui apa yang biasa aku lakukan terhadapnya semasa hidupku. Adapun tanah dan kebunku, aku tidak suka ada seorang pun yang ikut memilikinya bersama anak-anakku.” Maka jika ia mengetahui kewajiban wasiat, niscaya ia tidak akan meriwayatkannya dan tidak pula meninggalkannya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا مِنْ جَوَازِ الوصية دون وجوبها فالوصية تشتمل على أربعة شروط.

Jika telah tetap apa yang kami jelaskan tentang bolehnya wasiat tanpa kewajiban, maka wasiat mencakup empat syarat.

وهي: موصي، وموصى له، وموصى به، وموصى إليه.

Yaitu: orang yang berwasiat (mūṣī), penerima wasiat (mūṣā lahu), sesuatu yang diwasiatkan (mūṣā bih), dan pelaksana wasiat (mūṣā ilaih).

فأما الْفَصْلُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ الْمُوصِي فَمِنْ شَرْطِهِ أَنْ يَكُونَ مُمَيِّزًا، حُرًّا، فَإِذَا اجْتَمَعَ فِيهِ هَذَانِ الشَّرْطَانِ صَحَّتْ وَصِيَّتُهُ فِي مَالِهِ مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا.

Adapun bagian pertama, yaitu orang yang berwasiat, maka syaratnya adalah harus berakal (mampu membedakan) dan merdeka. Jika kedua syarat ini terpenuhi padanya, maka wasiatnya sah atas hartanya, baik ia Muslim maupun kafir.

فَأَمَّا الْمَجْنُونُ: فَلَا تَصِحُّ وَصِيَّتُهُ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُمَيِّزٍ، وَأَمَّا الصَّبِيُّ فَإِنْ كَانَ طِفْلًا غَيْرَ مُمَيِّزٍ فَوَصَّيْتُهُ بَاطِلَةٌ. وَإِنْ كَانَ مُرَاهِقًا: فَفِي جَوَازِ وَصِيَّتِهِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: لَا يجوز. وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ لِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ عَنْهُ كَالْمَجْنُونِ وَلِأَنَّ الْوَصِيَّةَ عَقْدٌ فَأَشْبَهَتْ سَائِرَ الْعُقُودِ.

Adapun orang gila, maka wasiatnya tidak sah karena ia tidak mampu membedakan. Adapun anak kecil, jika ia masih anak-anak yang belum mampu membedakan, maka wasiatnya batal. Jika ia sudah mendekati baligh, maka dalam hal kebolehan wasiatnya terdapat dua pendapat: salah satunya, tidak boleh. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan dipilih oleh al-Muzani, karena pena (beban hukum) belum berlaku atasnya seperti orang gila, dan karena wasiat adalah akad, sehingga disamakan dengan akad-akad lainnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ أن وصيته جائز لرواية عمرو بن سليم الزريقي قال: ” سُئِلَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ غلام يبلغ من غسان أوصى لِبِنْتِ عَمِّهِ وَلَهُ عَشْرُ سِنِينَ، وَلَهُ وَارِثٌ بِبَلَدٍ آخَرَ، فَأَجَازَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَصِيَّتَهُ، وَلِأَنَّ الْمَعْنَى الَّذِي لِأَجْلِهِ مُنِعَتْ عُقُودُهُ هو الْمَعْنَى الَّذِي لِأَجْلِهِ أُمْضِيَتْ وَصِيَّتُهُ لِأَنَّ الْحَظَّ لَهُ فِي مَنْعِ الْعُقُودِ، لِأَنَّهُ لَا يَتَعَجَّلُ بها نفعا، ولا يقدر على استدراكها إِذَا بَلَغَ. وَالْحَظُّ لَهُ فِي إِمْضَاءِ الْوَصِيَّةِ لِأَنَّهُ إِنْ مَاتَ فَلَهُ ثَوَابُهَا وَذَلِكَ أَحَظُّ لَهُ مِنْ تَرْكِهِ عَلَى وَرَثَتِهِ. وَإِنْ عَاشَ وبلغ، وقدر على استدراكها بالرجوع فِيهَا فَعَلَى هَذَا: لَوْ أَعْتَقَ فِي مَرَضِهِ، أَوْ حَابَى، أَوْ وَهَبَ، فَفِي صِحَّةِ ذَلِكَ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat Malik, bahwa wasiatnya sah berdasarkan riwayat dari ‘Amr bin Salim az-Zuraqi, ia berkata: “Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya tentang seorang anak laki-laki dari Ghassan yang berwasiat kepada putri pamannya, padahal ia berumur sepuluh tahun dan memiliki ahli waris di negeri lain, maka Umar radhiyallahu ‘anhu membolehkan wasiatnya. Karena alasan yang menjadi sebab dilarangnya akad-akadnya adalah alasan yang juga menjadi sebab disahkannya wasiatnya, sebab kemaslahatan baginya dalam larangan akad-akad adalah karena ia tidak segera memperoleh manfaat darinya dan tidak mampu memperbaikinya jika telah baligh. Sedangkan kemaslahatan baginya dalam pelaksanaan wasiat adalah jika ia meninggal, maka ia mendapat pahala, dan itu lebih bermanfaat baginya daripada meninggalkannya untuk ahli warisnya. Jika ia hidup dan baligh, ia dapat memperbaikinya dengan menarik kembali wasiatnya. Berdasarkan hal ini, jika ia memerdekakan budak dalam sakitnya, atau melakukan muhabāh, atau memberikan hibah, maka dalam keabsahan hal tersebut terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ صَحِيحٌ مَمْضِيٌّ، لِأَنَّ ذَلِكَ وصية تعتبر في الثُّلُثِ.

Salah satunya: bahwa itu sah dan berlaku, karena hal itu dianggap sebagai wasiat yang diperhitungkan dalam sepertiga harta.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ بَاطِلٌ مَرْدُودٌ، لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ يَقْدِرُ عَلَى الرُّجُوعِ فِيهَا إِنْ صَحَّ، وَالْعِتْقُ وَالْهِبَةُ لَا يَقْدِرُ عَلَى الرُّجُوعِ فِيهِمَا إِنْ صَحَّ.

Pendapat kedua: bahwa itu batal dan ditolak, karena wasiat dapat ditarik kembali jika ia sehat, sedangkan memerdekakan budak dan hibah tidak dapat ditarik kembali jika telah sah.

فَأَمَّا وَصِيَّةُ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ بِسَفَهٍ، فَإِنْ قِيلَ بِجَوَازِ وَصِيَّةِ الصَّبِيِّ، فَوَصِيَّةُ السَّفِيهِ أجوز، وإن قبل بِبُطْلَانِ وَصِيَّةِ الصَّبِيِّ، كَانَتْ وَصِيَّةُ السَّفِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ، لِاخْتِلَافِهِمْ فِي تَعْلِيلِ وَصِيَّةِ الصَّبِيِّ، فَإِنْ عَلَّلَ فِي إِبْطَالِ وَصِيَّتِهِ بِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ عَنْهُ جَازَتْ وَصِيَّةُ السَّفِيهِ لِجَرَيَانِ الْقَلَمِ عَلَيْهِ، وَإِنْ عَلَّلَ فِي إِبْطَالِ وَصِيَّةِ الصَّبِيِّ بِإِبْطَالِ عُقُودِهِ، بَطَلَتْ وَصِيَّةُ السَّفِيهِ لِبُطْلَانِ عُقُودِهِ.

Adapun wasiat orang yang sedang dalam status mahjūr karena safih (ketidakdewasaan dalam mengelola harta), maka jika dikatakan wasiat anak kecil itu sah, maka wasiat orang safih lebih sah lagi. Namun jika dikatakan wasiat anak kecil batal, maka wasiat orang safih ada dua kemungkinan, karena perbedaan pendapat dalam alasan pembatalan wasiat anak kecil. Jika alasan pembatalan wasiat anak kecil adalah karena pena (taklif) belum berlaku atasnya, maka wasiat orang safih sah karena pena telah berlaku atasnya. Namun jika alasan pembatalan wasiat anak kecil adalah karena batalnya akad-akadnya, maka wasiat orang safih juga batal karena akad-akadnya pun batal.

وَأَمَّا الْمَحْجُورُ عَلَيْهِ بِالْفَلْسِ، فَإِنْ رَدَّهَا الْغُرَمَاءُ بَطَلَتْ. وَإِنْ أَمْضَوْهَا جَازَتْ فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ حَجْرَ الْفَلْسِ كَحَجْرِ الْمَرَضِ صَحَّتْ. وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ كَحَجْرِ السفيه كانت على وجهين:

Adapun orang yang sedang dalam status mahjūr karena pailit, maka jika para kreditur menolaknya, wasiatnya batal. Jika mereka membolehkannya, maka wasiatnya sah. Jika kita mengatakan bahwa status mahjūr karena pailit sama seperti mahjūr karena sakit, maka wasiatnya sah. Namun jika kita mengatakan bahwa statusnya seperti mahjūr karena safih, maka wasiatnya ada dua kemungkinan.

وأما الْعَبْدُ فَوَصِيَّتُهُ بَاطِلَةٌ. وَكَذَلِكَ الْمُدَبَّرُ، وَأُمُّ الْوَلَدِ، وَالْمُكَاتَبُ، لِأَنَّ السَّيِّدَ أَمْلَكُ مِنْهُمْ لِمَا فِي أَيْدِيهِمْ.

Adapun budak, maka wasiatnya batal. Begitu pula mudabbar, umm al-walad, dan mukatab, karena tuan mereka lebih berhak atas apa yang ada di tangan mereka.

فَأَمَّا الْكَافِرُ: فَوَصِيَّتُهُ جَائِزَةٌ، ذِمِّيًّا كَانَ أو حربيا، إذا وصى بمثل ما وصى به المسلم.

Adapun orang kafir, maka wasiatnya sah, baik ia dzimmi maupun harbi, jika ia berwasiat seperti wasiat yang dilakukan oleh seorang muslim.

فأما الْفَصْلُ الثَّانِي: فِي الْمُوصَى لَهُ.

Adapun bagian kedua: tentang orang yang menerima wasiat.

فَتَجُوزُ الْوَصِيَّةُ لِكُلِّ مَنْ جَازَ الْوَقْفُ عَلَيْهِ، مِنْ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ، وَعَاقِلٍ وَمَجْنُونٍ، وَمَوْجُودٍ وَمَعْدُومٍ، إِذَا لَمْ يَكُنْ وَارِثًا، وَلَا قَاتِلًا.

Wasiat boleh diberikan kepada siapa saja yang sah menerima wakaf, baik anak kecil maupun dewasa, berakal maupun gila, yang sudah ada maupun yang belum ada, selama bukan ahli waris dan bukan pembunuh.

فَأَمَّا الْوَارِثُ فَلِقَوْلِهِ عليه السلام: ” لا وصية لوارث ” ولو وَصَّى لِأَحَدِ وَرَثَتِهِ، كَانَ فِي الْوَصِيَّةِ قَوْلَانِ أحدهما: باطلة إذ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نهى إلا أن يستأنفه الْوَرَثَةُ الْبَاقُونَ هِبَتَهَا لَهُ بَعْدَ إِحَاطَةِ عِلْمِهِمْ بما يبذل منهم، وقبول منه، وقبض تلتزم بِهِ الْهِبَةُ، كَسَائِرِ الْهِبَاتِ، فَتَكُونُ هِبَةً مَحْضَةً لا تجري فيها حُكْمُ الْوَصِيَّةِ. وَهَذَا قَوْلُ الْمُزَنِيِّ.

Adapun ahli waris, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris.” Jika seseorang berwasiat kepada salah satu ahli warisnya, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Salah satunya: batal, karena Rasulullah ﷺ melarangnya, kecuali jika para ahli waris yang lain menyetujui pemberian itu setelah mereka mengetahui apa yang diberikan, menerima, dan mengambilnya dengan cara yang mengikat seperti hibah-hibah lainnya, maka itu menjadi hibah murni dan tidak berlaku hukum wasiat padanya. Ini adalah pendapat al-Muzani.

وَالثَّانِي: إِنَّهَا مَوْقُوفَةٌ عَلَى إِجَازَةِ الْبَاقِينَ مِنَ الْوَرَثَةِ، كَالْوَصِيَّةِ بِمَا زَادَ عَلَى الثُّلُثِ، فَإِنْ أَجَازَهَا الْبَاقُونَ مِنَ الْوَرَثَةِ: صَحَّتْ، وَإِنْ رَدُّوهَا رَجَعَتْ مِيرَاثًا، وكان الموصى له به كَأَحَدِهِمْ، يَأْخُذُ فَرْضَهُ مِنْهَا، وَإِنْ أَجَازَهَا بَعْضُهُمْ وَرَدَّهَا بَعْضُهُمْ صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ فِي حِصَّةِ مَنْ أجازه، وَكَانَ الْمُوصَى لَهُ فِي الْبَاقِي مِنْهَا وَارِثًا مع من رده. ثُمَّ هَلْ تَكُونُ إِجَازَتُهُمْ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ ابتداء عطية منهم، أو إمضاء على قولين.

Pendapat kedua: wasiat itu tergantung pada persetujuan para ahli waris yang lain, seperti wasiat yang melebihi sepertiga harta. Jika para ahli waris yang lain menyetujuinya, maka wasiat itu sah. Jika mereka menolaknya, maka harta itu kembali menjadi warisan, dan penerima wasiat menjadi seperti salah satu dari mereka, mengambil bagiannya dari warisan tersebut. Jika sebagian ahli waris menyetujui dan sebagian menolak, maka wasiat itu sah pada bagian yang disetujui, dan penerima wasiat pada bagian sisanya menjadi ahli waris bersama yang menolaknya. Kemudian, apakah persetujuan mereka dalam pendapat ini dianggap sebagai pemberian baru dari mereka, atau sebagai pengesahan, terdapat dua pendapat.

وعلى كلا القولين لا تفتقر إِلَى بَذْلٍ وَقَبُولٍ بِخِلَافِ الْقَوْلِ الْأَوَّلِ.

Pada kedua pendapat tersebut, tidak disyaratkan adanya penyerahan dan penerimaan, berbeda dengan pendapat pertama.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْوَصِيَّةُ لِلْقَاتِلِ فَفِيهَا قَوْلَانِ:

Adapun wasiat kepada pembunuh, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مذهب مالك أنها جائزة وَإِنْ لَمْ يَرْثِ، كَمَا تَجُوزُ الْوَصِيَّةُ لِلْكَافِرِ وَإِنْ لَمْ يَرِثْ، وَلِأَنَّهُ تَمْلِيكٌ يُرَاعَى فِيهِ القبول، فلم يمنع منه القتل كالبيع.

Salah satunya, yaitu mazhab Malik, bahwa wasiat itu sah meskipun ia tidak mewarisi, sebagaimana wasiat kepada orang kafir juga sah meskipun ia tidak mewarisi. Karena wasiat adalah pemberian yang mensyaratkan adanya penerimaan, maka pembunuhan tidak menghalanginya, sebagaimana dalam jual beli.

وأما القول الثاني: وبه قال أبو حنيفة الوصية باطلة لعموم قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ليس للقاتل وصية ” وَلِأَنَّهُ مَالٌ يُمْلَكُ بِالْمَوْتِ، فَاقْتَضَى أَنْ يُمْنَعَ مِنْهُ الْقَاتِلُ كَالْمِيرَاثِ، عَلَى أَنَّ الْمِيرَاثَ أَقْوَى التَّمْلِيكَاتِ، فَلَمَّا مَنَعَ مِنْهُ الْقَتْلُ كَانَ أَوْلَى أَنْ يَمْنَعَ مِنَ الْوَصِيَّةِ.

Adapun pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Hanifah, wasiat itu batal karena keumuman sabda Nabi ﷺ: “Tidak ada wasiat bagi pembunuh.” Dan karena harta itu dimiliki dengan sebab kematian, maka sudah sepatutnya pembunuh dihalangi darinya sebagaimana dalam warisan. Bahkan warisan adalah bentuk kepemilikan yang paling kuat, maka ketika pembunuhan menghalangi warisan, lebih utama lagi untuk menghalangi dari wasiat.

فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَانِ القولان، فلا فرق أن يوصي به بَعْدَ جَرْحِهِ إِيَّاهُ وَجِنَايَتِهِ عَلَيْهِ، وَبَيْنَ أَنْ يُوصِيَ لَهُ قَبْلَ الْجِنَايَةِ ثُمَّ يَجْنِي عَلَيْهِ فَيَقْتُلُهُ فِي أَنَّ الْوَصِيَّةَ عَلَى قَوْلَيْنِ.

Setelah dua pendapat ini dijelaskan, maka tidak ada perbedaan apakah wasiat itu diberikan setelah ia melukai dan melakukan kejahatan terhadap pewaris, ataukah wasiat itu diberikan sebelum kejahatan lalu kemudian ia membunuhnya, dalam kedua keadaan tersebut wasiat tetap berada pada dua pendapat tadi.

وَلَكِنْ لَوْ قَالَ الْمُوصِي، وَلَيْسَ بِمَجْرُوحٍ، قَدْ وَصَّيْتُ بثلث مالي لم يَقْتُلُنِي فَقَتَلَهُ رَجُلٌ: لَمْ تَصِحَّ الْوَصِيَّةُ قَوْلًا واحدا لأمرين:

Namun, jika pewasiat berkata, padahal ia tidak terluka, “Aku telah mewasiatkan sepertiga hartaku kepada orang yang tidak membunuhku,” lalu ia dibunuh oleh seseorang, maka wasiat itu tidak sah menurut satu pendapat karena dua alasan:

أحدهما: لأنها وصية عقد عَلَى مَعْصِيَةٍ.

Pertama: karena itu adalah wasiat yang mengandung akad atas kemaksiatan.

وَالثَّانِي: أَنَّ فِيهَا إِغْرَاءً بِقَتْلِهِ.

Kedua: karena di dalamnya terdapat unsur mendorong untuk membunuhnya.

فإن وَصَّى بِثُلُثِهِ لِقَاتِلِ زَيْدٍ، فَإِنْ كَانَ قَبْلَ القتل، لم يجز لِمَا ذَكَرْنَا وَإِنْ كَانَ بَعْدَ قَتْلِهِ: جَازَ، وَكَانَ الْقَتْلُ تَعْرِيفًا. وَهَكَذَا لَوْ وَهَبَ فِي مَرَضِهِ لِقَاتِلِهِ هِبَةً أَوْ حَابَاهُ فِي بَيْعٍ أَوْ أَبْرَأَهُ مِنِ حَقٍّ فَكُلُّ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ لَهُ تُعْتَبَرُ مِنَ الثُّلُثِ. وَهَكَذَا: لَوْ أَعْتَقَ فِي مَرَضِهِ عَبْدًا فَقَتَلَ العبد سيده، كان له فِي عِتْقِهِ قَوْلَانِ، لِأَنَّ عِتْقَهُ وَصِيَّةٌ لَهُ.

Jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya kepada pembunuh Zaid, maka jika wasiat itu dibuat sebelum pembunuhan, tidak sah sebagaimana telah dijelaskan. Namun jika dibuat setelah pembunuhan, maka sah, dan pembunuhan itu hanya sebagai penjelasan identitas. Demikian pula, jika seseorang dalam keadaan sakit menghadiahkan sesuatu kepada pembunuhnya, atau memberikan keistimewaan dalam jual beli, atau membebaskan dari suatu hak, maka semua itu ada dua pendapat, karena semuanya dianggap sebagai wasiat yang diperhitungkan dari sepertiga harta. Demikian juga, jika seseorang dalam keadaan sakit memerdekakan budaknya, lalu budak itu membunuh tuannya, maka dalam keabsahan pemerdekaannya ada dua pendapat, karena pemerdekaan itu dianggap sebagai wasiat untuknya.

وَلَكِنْ لَوْ وَهَبَ هِبَةً فِي صِحَّتِهِ أَوْ أَبْرَأَ مِنْ حَقٍّ، أَوْ حَابَى فِي بَيْعٍ، أَوْ أَعْتَقَ عَبْدًا ثُمَّ إِنَّ الْمَوْهُوبَ لَهُ قتل الواهب، والمبرأ قتل المشتري، والمحابا قَتَلَ الْمُحَابِيَ، وَالْعَبْدَ الْمُعْتَقَ قَتَلَ سَيِّدَهُ، كَانَ ذَلِكَ كُلُّهُ نَافِذًا مَاضِيًا، لِأَنَّ فِعْلَهُ فِي الصحة يمنع مِنْ إِجْرَائِهِ مَجْرَى الْوَصِيَّةِ.

Namun, jika seseorang memberikan hadiah dalam keadaan sehat, atau membebaskan dari suatu hak, atau memberikan keistimewaan dalam jual beli, atau memerdekakan budak, kemudian orang yang menerima hadiah membunuh pemberi hadiah, atau orang yang dibebaskan dari hak membunuh yang membebaskan, atau yang diberi keistimewaan membunuh yang memberi keistimewaan, atau budak yang dimerdekakan membunuh tuannya, maka semua itu tetap sah dan berlaku, karena perbuatan yang dilakukan dalam keadaan sehat tidak diperlakukan seperti wasiat.

وَلَوْ جَرَحَ رَجُلٌ رَجُلًا ثُمَّ إِنِ الْمَجْرُوحُ وَصَّى لِلْجَارِحِ بِوَصِيَّةٍ ثم أجهز عَلَى الْمُوصِي آخَرُ فَذَبَحَهُ جَازَتِ الْوَصِيَّةُ لِلْجَارِحِ الأول، لأن الذابح الثاني صَارَ قَاتِلًا وَلَوْ لَمْ يَكُنِ الثَّانِي قَدْ ذبحه ولكن لو جرحه صار الثاني والأول قاتلين، فرد الوصية للأول على أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ.

Jika seseorang melukai orang lain, lalu orang yang terluka itu berwasiat kepada pelukanya, kemudian orang lain datang dan membunuh si pewasiat, maka wasiat kepada peluka pertama tetap sah, karena pembunuh kedua telah menjadi pembunuh. Namun, jika pembunuh kedua tidak membunuhnya, tetapi hanya melukainya, maka keduanya, peluka pertama dan kedua, menjadi pembunuh, sehingga wasiat kepada peluka pertama dikembalikan pada salah satu dari dua pendapat.

وَإِذَا قَتَلَ الْمُدَبَّرُ سَيِّدَهُ، فَإِنْ قِيلَ إِنَّ التَّدْبِيرَ وَصِيَّةٌ، فَفِي بُطْلَانِ عِتْقِهِ قولان لأنه يعتق من الثلث.

Jika seorang mudabbir (budak yang dijanjikan merdeka setelah tuannya wafat) membunuh tuannya, maka jika dikatakan bahwa tadbir adalah wasiat, maka dalam batal atau tidaknya kemerdekaannya ada dua pendapat, karena kemerdekaannya berasal dari sepertiga harta.

ولو قتلت أم الولد سيدها بعد عِتْقُهَا قَوْلًا وَاحِدًا لِأَمْرَيْنِ:

Jika umm al-walad (budak perempuan yang melahirkan anak dari tuannya) membunuh tuannya setelah ia dimerdekakan, maka kemerdekaannya tetap sah menurut satu pendapat karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عِتْقَهَا مُسْتَحِقٌّ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ.

Pertama: Karena kemerdekaannya merupakan hak yang diambil dari pokok harta.

وَالثَّانِي: أَنَّ فِي اسْتِبْقَائِهَا عَلَى حَالِهَا إِضْرَارٌ بِالْوَرَثَةِ لِأَنَّهُمْ لَا يَقْدِرُونَ عَلَى بَيْعِهَا وَخَالَفَ استيفاء رق المدبر للقدرة على البيعة.

Kedua: Karena membiarkannya tetap dalam statusnya akan merugikan para ahli waris, sebab mereka tidak dapat menjualnya, berbeda dengan budak mudabbir yang masih bisa dijual.

ثُمَّ يَنْظُرُ فِي أُمِّ الْوَلَدِ، إِذَا كَانَ قَتْلُهَا عَمْدًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ وَلَدُهَا بَاقِيًا، قُتِلَتْ قَوَدًا، وَإِنْ كَانَ بَاقِيًا، سَقَطَ الْقَوَدُ عَنْهَا، لِأَنَّ وَلَدَهَا شَرِيكٌ لِلْوَرَثَةِ فِي الْقَوَدِ مِنْهَا، وَهُوَ لَا يَسْتَحِقُّ الْقَوَدُ مِنْ أُمِّهِ. فَسَقَطَ حَقُّهُ وَإِذَا سَقَطَ الْقَوَدُ عَنْهَا، فِي حَقِّ بَعْضِ الْوَرَثَةِ، سَقَطَ فِي حَقِّ الْجَمِيعِ.

Kemudian, mengenai umm al-walad, jika pembunuhannya dilakukan dengan sengaja dan anaknya tidak ada, maka ia dihukum qishash. Namun jika anaknya masih ada, maka qishash gugur darinya, karena anaknya adalah sekutu ahli waris dalam hak qishash darinya, dan anak tidak berhak menuntut qishash dari ibunya. Maka gugurlah haknya, dan jika qishash gugur pada sebagian ahli waris, maka gugur pula pada seluruhnya.

وَلَوْ أَنَّ رَجُلًا وَصَّى لِابْنِ قَاتِلِهِ، أَوْ لِأَبِيهِ، أَوْ لِزَوْجَتِهِ صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ لِأَنَّ الْمُوصَى لَهُ غَيْرُ قَاتِلٍ.

Jika seseorang berwasiat kepada anak pembunuhnya, atau kepada ayahnya, atau kepada istrinya, maka wasiat itu sah, karena yang menerima wasiat bukanlah pembunuh.

وَلَوْ أَوْصَى لِعَبْدِ الْقَاتِلِ لم تجز فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ لِلْقَاتِلِ.

Jika seseorang berwasiat kepada budak pembunuhnya, maka tidak sah menurut salah satu dari dua pendapat, karena itu dianggap sebagai wasiat kepada pembunuh.

وَلَوْ أقر رجل لقاتله دين، كان إقراره نافذا قولا واحدا لأن الدين لازم وهو مِنْ رَأْسِ الْمَالِ فَخَالَفَ الْوَصَايَا.

Jika seseorang mengakui adanya utang kepada pembunuhnya, maka pengakuan itu sah menurut satu pendapat, karena utang itu wajib dan berasal dari pokok harta, sehingga berbeda dengan wasiat.

وَلَوْ كَانَ لِلْقَاتِلِ عَلَى الْمَقْتُولِ دَيْنٌ مُؤَجَّلٌ: حَلَّ بِمَوْتِ المقتول، لِأَنَّ الْأَجَلَ حَقٌّ لِمَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ لَا يُورَثُ عَنْهُ، وَلَيْسَ كَالْمَالِ الْمَوْرُوثِ، إِذَا مَنَعَ الْقَاتِلُ مِنْهُ صَارَ إِلَى الْوَرَثَةِ.

Jika pembunuh memiliki piutang yang belum jatuh tempo kepada korban, maka piutang itu menjadi jatuh tempo dengan kematian korban, karena tempo adalah hak orang yang berutang dan tidak diwariskan, berbeda dengan harta warisan, jika pembunuh dihalangi darinya maka berpindah kepada ahli waris.

وَسَوَاءٌ كَانَ الْقَتْلُ فِي الْوَصِيَّةِ عَمْدًا أَوْ خَطَأً، كَمَا أَنَّ الْمِيرَاثَ يَمْنَعُ مِنْهُ قَتْلُ الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ، فلو أجاز الورثة للقاتل، وقد منع منهما فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، كَانَ فِي إِمْضَائِهَا بِإِجَازَتِهِمْ وَجْهَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي إِمْضَائِهِمُ الْوَصِيَّةَ للوارث.

Baik pembunuhan dalam wasiat itu dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja, keduanya sama saja. Sebagaimana warisan terhalang oleh pembunuhan sengaja maupun tidak sengaja, maka jika ahli waris mengizinkan kepada pembunuh, padahal keduanya terhalang menurut salah satu dari dua pendapat, maka dalam pelaksanaannya dengan izin mereka terdapat dua wajah, berdasarkan perbedaan dua pendapat dalam pelaksanaan wasiat kepada ahli waris.

فإن قلنا إن الوصية للوارث مردود وَلَا تَمْضِي بِإِجَازَتِهِمْ رُدَّتِ الْوَصِيَّةُ لِلْقَاتِلِ، وَلَمْ تمض بإجازتهم.

Jika dikatakan bahwa wasiat kepada ahli waris tertolak dan tidak sah meskipun dengan izin mereka, maka wasiat kepada pembunuh juga tertolak dan tidak sah dengan izin mereka.

وإن قلنا: إنه يمضي الوصية للوارث بإجازتهم، أمضت الْوَصِيَّةُ لِلْقَاتِلِ بِإِجَازَتِهِمْ.

Dan jika dikatakan bahwa wasiat kepada ahli waris sah dengan izin mereka, maka wasiat kepada pembunuh juga sah dengan izin mereka.

وَالْأَصَحُّ: إِمْضَاءُ الْوَصِيَّةِ لِلْوَارِثِ بِالْإِجَازَةِ، وَرَدُّ الْوَصِيَّةِ لِلْقَاتِلِ مَعَ الْإِجَازَةِ، لِأَنَّ حَقَّ الرَّدِّ فِي الْوَصِيَّةِ إِنَّمَا هُوَ لِلْوَارِثِ لِمَا فِيهِ مِنْ تَفْضِيلِ الْمُوصَى لَهُ عَلَيْهِمْ فَجَازَتِ الْوَصِيَّةُ لَهُ بِإِجَازَتِهِمْ، وَحَقُّ الرَّدِّ فِي الْوَصِيَّةِ لِلْقَاتِلِ إِنَّمَا هُوَ لِلْمَقْتُولِ، لِمَا فِيهِ من حسم الذرائع المقضية إلى قتل نفسه، فلم تصح الوصية بإجازتهم.

Pendapat yang lebih sahih adalah: wasiat kepada ahli waris sah dengan izin mereka, sedangkan wasiat kepada pembunuh tetap tertolak meskipun dengan izin mereka, karena hak menolak wasiat dalam hal ini adalah milik ahli waris, sebab adanya keutamaan bagi penerima wasiat atas mereka, sehingga wasiat sah dengan izin mereka. Adapun hak menolak wasiat kepada pembunuh adalah milik korban, karena untuk menutup jalan yang dapat mengantarkan pada pembunuhan diri sendiri, sehingga wasiat tidak sah dengan izin mereka.

فصل:

Fasal:

وأما الوصية للعبد، فإن كان لعبد نفسه لم يجز. لأنها وصية لورثته.

Adapun wasiat kepada budak, jika wasiat itu untuk budak miliknya sendiri maka tidak sah, karena itu berarti wasiat untuk ahli warisnya.

وَإِنْ كَانَتْ لَعَبْدِ غَيْرِهِ جَازَ وَكَانَتْ وَصِيَّةً لِسَيِّدِهِ، وَهَلْ يَصِحُّ قَبُولُ الْعَبْدِ لَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Dan jika wasiat itu untuk budak milik orang lain, maka sah dan wasiat itu menjadi milik tuannya. Apakah sah penerimaan wasiat oleh budak tanpa izin tuannya? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَصِحُّ، كَمَا يصح أن يملك والاحتشاش بالاصطياد مِنْ غَيْرِ إِذْنٍ.

Pertama: Sah, sebagaimana sah jika ia memiliki dan memungut hasil perburuan tanpa izin.

وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سعيد الإصطرخي: لَا تَصِحُّ، لِأَنَّ السَّيِّدَ هُوَ الْمُمَلَّكُ.

Kedua: Ini adalah pendapat Abu Sa‘id al-Ishtharkhi: Tidak sah, karena yang berhak memiliki adalah tuannya.

فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ: لَوْ قَبِلَهَا السَّيِّدُ دُونَ الْعَبْدِ، لم يجز.

Menurut pendapat pertama: Jika tuan menerima wasiat itu tanpa budaknya, maka tidak sah.

وعلى الوجه الثاني: يجوز.

Menurut pendapat kedua: Sah.

فأما إذا أوصى لمدبره.

Adapun jika seseorang berwasiat kepada mudabbirnya,

فالوصية جائزة إذا خَرَجَ الْمُدَبَّرُ مِنَ الثُّلُثِ، لِأَنَّهُ يَمْلِكُهَا دُونَ الورثة، لعتقه بموت السيد ولو خَرَجَ بَعْضُهُ مِنَ الثُّلُثِ دُونَ جَمِيعِهِ، صَحَّ من الوصية بقدر ما عتق منه، وبطل منه بقدر ما رق منه.

maka wasiat itu sah jika mudabbir tersebut keluar dari sepertiga harta, karena ia memilikinya tanpa ahli waris, sebab ia merdeka dengan wafatnya tuan. Jika hanya sebagian dari mudabbir yang keluar dari sepertiga, maka sah wasiat sesuai bagian yang merdeka, dan batal sesuai bagian yang masih menjadi budak.

ولو وصى لِمُكَاتَبِهِ:

Jika seseorang berwasiat kepada mukatabnya:

كَانَتِ الْوَصِيَّةُ جَائِزَةً، لِأَنَّ الْمُكَاتَبَ يَمْلِكُ، فَإِنْ عَتَقَ بِالْأَدَاءِ فَقَدِ اسْتَقَرَّ اسْتِحْقَاقُهُ لَهَا، فَإِنْ كَانَ قَدْ أَخَذَهَا قَبْلَ الْعِتْقِ، وَإِلَّا: أَخَذَهَا بَعْدَهُ.

Maka wasiat itu sah, karena mukatab memiliki hak milik. Jika ia merdeka dengan pelunasan, maka haknya atas wasiat itu telah tetap. Jika ia telah menerima wasiat itu sebelum merdeka, maka menjadi miliknya, jika belum, maka ia menerimanya setelah merdeka.

وَإِنَّ رَقَّ بِالْعَجْزِ نُظِرَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ أَخَذَهَا فَهِيَ مَرْدُودَةٌ، لِأَنَّهُ صَارَ عَبْدًا مَوْرُوثًا، وَإِنْ كَانَ قَدْ أَخَذَهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika ia kembali menjadi budak karena tidak mampu melunasi, maka dilihat: jika ia belum menerima wasiat itu, maka wasiat itu batal, karena ia kembali menjadi budak yang diwariskan. Jika ia telah menerimanya, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تُرَدُّ اعْتِبَارًا بِالِانْتِهَاءِ فِي مَصِيرِهِ عَبْدًا مَوْرُوثًا.

Pertama: Dikembalikan, karena mempertimbangkan akhirnya ia menjadi budak yang diwariskan.

وَالثَّانِي: لَا تُرَدُّ، اعْتِبَارًا بِالِابْتِدَاءِ فِي كَوْنِهِ مُكَاتَبًا مَالِكًا.

Kedua: Tidak dikembalikan, karena mempertimbangkan awalnya ia adalah mukatab yang memiliki hak.

فَأَمَّا الْوَصِيَّةُ لِأُمِّ وَلَدِهِ: فَجَائِزَةٌ، سَوَاءٌ كَانَ لَهَا وَلَدٌ وَارِثٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ، لِأَنَّ عِتْقَهَا بِالْمَوْتِ أَنْفَذُ مِنْ عِتْقِ الْمُدَبَّرِ، وَلَا يَمْنَعُ مِيرَاثَ ابْنِهَا مِنْ إِمْضَاءِ الْوَصِيَّةِ، لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ لِأَبِي الوارث وابنه جَائِزَةٌ، وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَوْصَى لِأُمَّهَاتِ أَوْلَادِهِ.

Adapun wasiat kepada ummu walad-nya: maka sah, baik ia memiliki anak yang berhak waris maupun tidak, karena kemerdekaannya dengan kematian tuan lebih kuat daripada kemerdekaan mudabbir, dan warisan anaknya tidak menghalangi pelaksanaan wasiat, karena wasiat kepada ayah dan anak ahli waris adalah sah. Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab ra. berwasiat kepada ummahat awlad-nya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْوَصِيَّةُ لِلْكَافِرِ فَجَائِزَةٌ، ذِمِّيًّا كَانَ أَوْ حَرْبِيًّا.

Adapun wasiat kepada orang kafir, maka sah, baik ia dzimmi maupun harbi.

وَقَالَ أبو حنيفة: الْوَصِيَّةُ لِلْحَرْبِيِّ بَاطِلَةٌ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَبَاحَ لِلْمُسْلِمِينَ أَمْوَالَ الْمُشْرِكِينَ، فلم يجز أن يبيع لِلْمُشْرِكِينَ أَمْوَالَ الْمُسْلِمِينَ.

Abu Hanifah berkata: Wasiat kepada orang harbi batal, karena Allah Ta‘ala membolehkan kaum Muslimin mengambil harta orang musyrik, maka tidak sah menjual harta Muslim kepada orang musyrik.

وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Ini tidak benar dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَمْنَعْ شِرْكُ الذِّمِّيِّ، لَمْ يَمْنَعْ شِرْكُ الْحَرْبِيِّ مِنَ الْوَصِيَّةِ، كَالنِّكَاحِ.

Pertama: Karena jika syirik dzimmi tidak menghalangi wasiat, maka syirik harbi juga tidak menghalangi wasiat, sebagaimana dalam pernikahan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا جَازَتِ الْهِبَةُ لِلْحَرْبِيِّ وَهُوَ أَمْضَى عَطِيَّةً مِنَ الْوَصِيَّةِ، كَانَ أَوْلَى أَنْ تَجُوزَ لَهُ الْوَصِيَّةُ، وَسَوَاءٌ كَانَ الْمُوصِي مُسْلِمًا، أو كافرا.

Kedua: Karena jika hibah kepada orang harbi dibolehkan, padahal hibah adalah pemberian yang lebih kuat daripada wasiat, maka lebih utama lagi wasiat itu boleh diberikan kepadanya, baik pewasiatnya Muslim maupun kafir.

فأما وصية المرتد. فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ – ذَكَرْنَاهَا فِي كِتَابِ الْوَقْفِ:

Adapun wasiat orang murtad, maka terbagi menjadi tiga bagian—telah disebutkan dalam Kitab al-Waqf:

أَحَدُهَا: أَنْ يُوصِيَ لِمَنْ يَرْتَدُّ عَنِ الْإِسْلَامِ. فَالْوَصِيَّةُ بَاطِلَةٌ لِعَقْدِهَا عَلَى مَعْصِيَةٍ.

Pertama: Berwasiat kepada orang yang murtad dari Islam. Maka wasiat itu batal karena dilakukan untuk maksiat.

وَالثَّانِي: أَنْ يُوصِيَ بِهَا لِمُسْلِمٍ فَيَرْتَدُّ عَنِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ الوصية له. الوصية جَائِزَةٌ لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ صَادَفَتْ حَالَ الْإِسْلَامِ.

Kedua: Berwasiat kepada seorang Muslim, lalu orang itu murtad setelah wasiat diberikan kepadanya. Wasiat tetap sah karena wasiat itu terjadi saat ia masih Muslim.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يُوصِيَ بِهَا لِمُرْتَدٍّ مُعَيَّنٍ فَفِي الْوَصِيَّةِ وجهان:

Ketiga: Berwasiat kepada seorang murtad tertentu, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أحدها: بَاطِلَةٌ.

Pertama: Batal.

وَالثَّانِي: جَائِزَةٌ.

Kedua: Sah.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا الْوَصِيَّةُ لِلْمَيِّتِ: فإن ظنه الموصي حيا، فإذا هو ميت، فَالْوَصِيَّةُ بَاطِلَةٌ.

Adapun wasiat kepada orang yang sudah meninggal: jika pewasiat mengira ia masih hidup, ternyata ia sudah meninggal, maka wasiat itu batal.

وَإِنْ عَلِمَهُ مَيِّتًا حِينَ الْوَصِيَّةِ: فَقَدْ أَجَازَهَا مَالِكٌ وَجَعَلَهَا لِلْوَرَثَةِ لِأَنَّ عِلْمَهُ بِمَوْتِهِ يَصْرِفُ قَصْدَهُ إِلَى وَرَثَتِهِ.

Jika ia mengetahui bahwa orang itu sudah meninggal saat berwasiat, Malik membolehkannya dan menjadikan wasiat itu untuk ahli warisnya, karena pengetahuannya tentang kematian itu mengarahkan niatnya kepada ahli warisnya.

وَهَذَا فَاسِدٌ، وَالْوَصِيَّةُ بَاطِلَةٌ، لِأَنَّهُ لَوْ وَهَبَ لِلْمَيِّتِ مَعَ عِلْمِهِ بِمَوْتِهِ كَانَتِ الْهِبَةُ بَاطِلَةً، فكذلك الوصية أولى. والله أعلم.

Ini tidak benar, dan wasiat itu batal, karena jika seseorang memberikan hibah kepada orang mati dengan mengetahui kematiannya, hibah itu batal, maka wasiat lebih utama untuk batal. Wallahu a‘lam.

فصل:

Fasal:

وأما الْوَصِيَّةُ لِمَسْجِدٍ، أَوْ رِبَاطٍ، أَوْ قَنْطَرَةٍ، فَجَائِزَةٌ، وتصرف فِي عِمَارَتِهِ، لِأَنَّهُ لَمَّا انْتَفَى الْمِلْكُ عَنْ هذا كله توجهت الوصية إلى مصالحهم.

Adapun wasiat kepada masjid, ribath, atau jembatan, maka sah, dan digunakan untuk pemeliharaannya, karena ketika kepemilikan tidak ada pada semua itu, maka wasiat diarahkan untuk kemaslahatan mereka.

وَأَمَّا الْوَصِيَّةُ لِلْبِيَعِ، وَالْكَنَائِسِ، فَبَاطِلَةٌ، لِأَنَّهَا مَجْمَعُ مَعَاصِيهِمْ. وَكَذَلِكَ الْوَصِيَّةُ بِكُتُبِ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ، لِتَبْدِيلِهَا وَتَغْيِيرِهَا. وَسَوَاءٌ كَانَ الْمُوصِي مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا، وَأَجَازَهَا أبو حنيفة مِنَ الْكَافِرِ دُونَ الْمُسْلِمِ، كما أَجَازَ وَصِيَّتَهُ بِالْخَمْرِ وَالْخِنْزِيرِ.

Adapun wasiat untuk gereja-gereja dan biara-biara adalah batal, karena tempat-tempat tersebut merupakan tempat berkumpulnya maksiat mereka. Demikian pula wasiat berupa kitab Taurat dan Injil, karena telah terjadi perubahan dan penggantian pada keduanya. Tidak ada perbedaan apakah yang berwasiat itu seorang Muslim atau kafir. Abū Ḥanīfah membolehkannya dari orang kafir saja, tidak dari Muslim, sebagaimana ia membolehkan wasiat orang kafir berupa khamar dan babi.

وَهَذَا فَاسِدٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ} [المائدة: 49] .

Pendapat ini rusak (tidak benar), berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka} (al-Mā’idah: 49).

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّالِثُ: فِي الْمُوصَى بِهِ.

Adapun bagian ketiga: tentang objek wasiat.

فَهُوَ كُلُّ مَا جَازَ الِانْتِفَاعُ بِهِ مِنْ مَالٍ وَمَنْفَعَةٍ، جَازَتِ الْوَصِيَّةُ بِهِ، وَسَوَاءٌ كَانَ الْمَالُ عَيْنًا، أَوْ دَيْنًا حَاضِرًا، أَوْ غَائِبًا، مَعْلُومًا، أَوْ مَجْهُولًا، مُشَاعًا، أَوْ مُفْرَزًا.

Objek wasiat adalah segala sesuatu yang boleh diambil manfaatnya, baik berupa harta atau manfaat, maka boleh diwasiatkan. Baik harta itu berupa barang, piutang yang ada, atau yang tidak ada, yang diketahui atau tidak diketahui, yang bersifat bersama (musya‘) atau terpisah.

وَلَا تَجُوزُ الْوَصِيَّةُ بِمَا لَا يَجُوزُ الِانْتِفَاعُ بِهِ. مِنْ عَيْنٍ أَوْ مَنْفَعَةٍ كَالْخَمْرِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْكَلْبِ غَيْرِ الْمُعَلَّمِ.

Tidak boleh berwasiat dengan sesuatu yang tidak boleh diambil manfaatnya, baik berupa barang atau manfaat, seperti khamar, babi, dan anjing yang tidak terlatih.

وَهُوَ مُقَدَّرٌ بِالثُّلُثِ، وَلَيْسَ لِلْمُوصِي الزِّيَادَةُ عَلَيْهِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لسعد: ” الثلث، والثلث كثير “.

Batasan wasiat adalah sepertiga (1/3) harta, dan tidak boleh bagi orang yang berwasiat untuk melebihi batas tersebut, berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Sa‘d: “Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.”

وَأَوْلَى الْأَمْرَيْنِ بِهِ أَنْ يُعْتَبَرَ حَالُ وَرَثَتِهِ، فَإِنْ كَانُوا فُقَرَاءَ، كَانَ النُّقْصَانُ مِنَ الثُّلُثِ أولى مِنِ اسْتِيعَابِ الثُّلُثِ.

Yang lebih utama dalam dua keadaan adalah mempertimbangkan keadaan para ahli warisnya. Jika mereka fakir, maka mengurangi dari sepertiga lebih utama daripada menghabiskan sepertiga.

وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ – عليه السلام – أنه قال: ” لأن أوصي بالسدس أحب إلي من أن أوصي بالربع، والربع أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الثُّلُثِ “.

Diriwayatkan dari ‘Alī – ‘alaihis salām – bahwa ia berkata: “Aku lebih suka berwasiat dengan seperenam daripada seperempat, dan seperempat lebih aku sukai daripada sepertiga.”

وَإِنْ كَانَ وَرَثَتُهُ أَغْنِيَاءَ، وَكَانَ فِي مَالِهِ سِعَةٌ، فَاسْتِيفَاءُ الثُّلُثِ أَوْلَى بِهِ.

Jika para ahli warisnya kaya dan hartanya cukup banyak, maka menghabiskan sepertiga lebih utama baginya.

وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ قَالَ: ” الثُلُثُ وَسَطٌ، لَا بَخْسَ فِيهِ وَلَا شَطَطَ “.

Diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb – raḍiyallāhu ‘anhu – bahwa ia berkata: “Sepertiga itu pertengahan, tidak ada kekurangan dan tidak ada berlebihan di dalamnya.”

وَلَوِ اسْتَوْعَبَ الثُّلُثَ مِنْ قَلِيلِ الْمَالِ وَكَثِيرِهِ، مَعَ فقر الورثة، وغناهم، وصغرهم، وكبرهم، كانت وصية ممضاة به.

Jika seseorang mewasiatkan sepertiga dari hartanya, baik sedikit maupun banyak, dalam keadaan ahli warisnya fakir atau kaya, masih kecil atau sudah dewasa, maka wasiat tersebut tetap sah.

وأما الزِّيَادَةُ عَلَى الثُّلُثِ: فَهُوَ مَمْنُوعٌ مِنْهَا فِي قليل المال وكثيره لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَنَعَ سَعْدًا مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ وَقَالَ: ” الثُلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ “.

Adapun melebihi sepertiga: hal itu dilarang baik pada harta yang sedikit maupun banyak, karena Nabi ﷺ melarang Sa‘d untuk melebihi sepertiga dan bersabda: “Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.”

فَإِنْ وَصَّى بِأَكْثَرِ مِنَ الثُّلُثِ أَوْ بِجَمِيعِ مَالِهِ: نُظِرَ.

Jika seseorang berwasiat lebih dari sepertiga atau seluruh hartanya: maka perlu diteliti.

فَإِنْ كَانَ لَهُ وَارِثٌ: كَانَتِ الْوَصِيَّةُ مَوْقُوفَةً عَلَى إِجَازَتِهِ وَرَدِّهِ فَإِنْ رَدَّهَا رَجَعَتِ الْوَصِيَّةُ إِلَى الثُّلُثِ. وَإِنْ أَجَازَهَا صَحَّتْ، ثُمَّ فِيهَا قَوْلَانِ:

Jika ia memiliki ahli waris: maka wasiat tersebut tergantung pada persetujuan atau penolakan mereka. Jika mereka menolaknya, maka wasiat dikembalikan kepada sepertiga. Jika mereka menyetujuinya, maka wasiat itu sah, dan dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّ إِجَازَةَ الْوَرَثَةِ ابْتِدَاءً: عَطِيَّةٌ مِنْهُمْ، لَا تَتِمُّ إِلَّا بِالْقَبْضِ، وَلَهُ الرُّجُوعُ فِيهَا مَا لَمْ يُقْبِضْ. وَإِنْ مَاتَ قَبْلَ القبض بطلت كالهبة.

Pertama: Persetujuan ahli waris sejak awal adalah pemberian dari mereka, tidak sah kecuali dengan penyerahan (qabḍ), dan mereka berhak menarik kembali selama belum diserahkan. Jika mereka meninggal sebelum penyerahan, maka batal seperti hibah.

والقول الثاني: إِجَازَةَ الْوَرَثَةِ إِمْضَاءٌ لِفِعْلِ الْمُوصِي، فَلَا تَفْتَقِرُ إِلَى قَبْضٍ، وَتَتِمُّ بِإِجَازَةِ الْوَارِثِ، وَقَبُولِ الْمُوصَى له، ليس الرُّجُوعُ بَعْدَ الْإِجَازَةِ، وَلَا تُبْطَلُ الْوَصِيَّةُ بِمَوْتِهِ بعد إجازته، وقبل إقباضه.

Pendapat kedua: Persetujuan ahli waris adalah pengesahan atas perbuatan orang yang berwasiat, sehingga tidak memerlukan penyerahan, dan wasiat menjadi sah dengan persetujuan ahli waris dan penerimaan dari penerima wasiat. Tidak ada hak menarik kembali setelah persetujuan, dan wasiat tidak batal dengan kematian ahli waris setelah persetujuan dan sebelum penyerahan.

فصل:

Fashal:

وإن لَمْ يَكُنْ لِلْمَيِّتِ وَارِثٌ، فَأَوْصَى بِجَمِيعِ مَالِهِ: ردت الوصية إلى الثلث والباقي لبيت الْمَالِ وَقَالَ أبو حنيفة: وَصِيَّتُهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ وَارِثٌ نَافِذَةٌ فِي جَمِيعِ مَالِهِ لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا مَنَعَ سَعْدًا مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَى الثُّلُثِ قَالَ: ” لِأَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ “.

Jika si mayit tidak memiliki ahli waris, lalu ia mewasiatkan seluruh hartanya: maka wasiat dikembalikan kepada sepertiga dan sisanya untuk Baitul Māl. Abū Ḥanīfah berkata: Wasiatnya, jika ia tidak memiliki ahli waris, berlaku untuk seluruh hartanya, karena Nabi ﷺ ketika melarang Sa‘d melebihi sepertiga, beliau bersabda: “Karena engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada manusia.”

فَجَعَلَ الْمَنْعَ مِنَ الزِّيَادَةِ حَقًّا لِلْوَرَثَةِ.

Maka larangan melebihi sepertiga dijadikan sebagai hak ahli waris.

فَإِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ وَارِثٌ سَقَطَ الْمَنْعُ. وَبِمَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ وَضَعَ مَالَهُ حَيْثُ شاء “.

Jika ia tidak memiliki ahli waris, maka larangan tersebut gugur. Diriwayatkan dari Ibn Mas‘ūd – raḍiyallāhu ‘anhu – bahwa ia berkata: “Siapa yang tidak memiliki ahli waris, maka ia boleh meletakkan hartanya di mana saja yang ia kehendaki.”

ولأن من جازت له الصدقة بجميع ماله، جازت وَصِيَّتُهُ بِجَمِيعِ مَالِهِ.

Karena siapa yang boleh bersedekah dengan seluruh hartanya, maka boleh juga wasiatnya dengan seluruh hartanya.

وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَعْطَاكُمْ عِنْدَ وَفَاتِكُمْ ثُلُثَ أَمْوَالِكُمْ، زِيَادَةً فِي أَعْمَالِكُمْ “. وَلِأَنَّ الْأَنْصَارِيَّ أَعْتَقَ سِتَّةَ مَمْلُوكِينَ لَهُ، لَا مَالَ لَهُ غَيْرَهُمْ، فَجَزَّأَهُمُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثَلَاثَةَ أَجْزَاءٍ، فَأَعْتَقَ اثْنَيْنِ، وَأَرَقَّ أَرْبَعَةً، وَلَمْ يكن له وارث ولأنه لو كان له وارث، لوقف عَلَى إِجَازَتِهِ، وَلِأَنَّ مَالَ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ يَصِيرُ إِلَى بَيْتِ الْمَالِ إِرْثًا لِأَمْرَيْنِ:

Dalil kami adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ala telah memberikan kepada kalian, ketika wafat, sepertiga dari harta kalian sebagai tambahan dalam amal kalian.” Dan karena seorang Anshar telah memerdekakan enam budaknya, padahal ia tidak memiliki harta selain mereka, maka Nabi ﷺ membaginya menjadi tiga bagian, lalu memerdekakan dua orang dan menjadikan empat orang tetap sebagai budak. Ia tidak memiliki ahli waris. Seandainya ia memiliki ahli waris, maka hal itu bergantung pada izinnya. Dan harta orang yang tidak memiliki ahli waris menjadi milik Baitul Mal sebagai warisan karena dua hal:

أحدهما: أنه تخلف الورثة في استحقاق ماله.

Pertama: karena tidak adanya ahli waris yang berhak atas hartanya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَعْقِلُ عَنْهُ كَوَرَثَتِهِ. فَلَمَّا رُدَّتْ وصيته مع الوارث إلى الثلث رُدَّتْ إِلَى الثُّلُثِ مَعَ بَيْتِ الْمَالِ لِأَنَّهُ وارث.

Kedua: karena Baitul Mal menanggung diyatnya sebagaimana para ahli warisnya. Maka ketika wasiatnya dikembalikan kepada sepertiga jika ada ahli waris, demikian pula dikembalikan kepada sepertiga jika ada Baitul Mal, karena Baitul Mal adalah ahli waris.

وقد تحرر مِنْهُ قِيَاسَانِ:

Dari situ lahir dua qiyās:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ كُلَّ جِهَةٍ اسْتَحَقَّتِ التركة بالوفاة، منعت من الوصية بجميع المال كَالْوَرَثَةِ.

Pertama: bahwa setiap pihak yang berhak atas harta warisan karena kematian, maka ia mencegah wasiat atas seluruh harta, sebagaimana para ahli waris.

وَالثَّانِي: أَنَّ مَا مَنَعَ مِنَ الْوَصَايَا مَعَ الْوَرَثَةِ. مَنَعَ مِنْهَا مَعَ بَيْتِ الْمَالِ، كالديون.

Kedua: bahwa apa yang mencegah wasiat bersama ahli waris, juga mencegahnya bersama Baitul Mal, seperti utang.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لأن تدع ورثتك أغنياء خير من أن تَدَعَهُمْ عَالَةً “.

Adapun jawaban atas sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin.”

فَهُوَ أَنَّهُ لَمْ يَجْعَلْ ذَلِكَ تَعْلِيلًا، لِرَدِّ الزِّيَادَةِ عَلَى الثُّلُثِ، وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ تَعْلِيلًا لَجَازَتِ الزِّيَادَةُ عَلَى الثُّلُثِ مَعَ غِنَاهُمْ، إِذَا لَمْ يَصِيرُوا عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ، وَإِنَّمَا قَالَهُ صِلَةً فِي الْكَلَامِ وَتَنْبِيهًا عَلَى الْحَظِّ.

Maka itu bukanlah alasan untuk menolak tambahan atas sepertiga, dan seandainya itu menjadi alasan, niscaya boleh menambah atas sepertiga jika para ahli warisnya kaya, selama mereka tidak menjadi miskin yang meminta-minta kepada manusia. Namun, sabda itu hanyalah sebagai penghubung dalam pembicaraan dan penekanan atas anjuran.

وَأَمَّا قَوْلُ ابْنِ مَسْعُودٍ: يَضَعُ مَالَهُ حيث يشاء.

Adapun perkataan Ibnu Mas‘ud: “Ia boleh meletakkan hartanya di mana saja ia kehendaki.”

فَمَالُهُ الثُّلُثُ وَحْدَهُ. وَلَهُ وَضْعُهُ حَيْثُ شَاءَ.

Maka yang dimaksud adalah sepertiga hartanya saja, dan ia boleh meletakkannya di mana saja ia kehendaki.

وَأَمَّا الصَّدَقَةُ فَهِيَ كَالْوَصِيَّةِ، إِنْ كَانَتْ فِي الصِّحَّةِ أُمْضِيَتْ، مَعَ وُجُودِ الْوَارِثِ، وَعَدَمِهِ، وَإِنْ كَانَتْ فِي الْمَرَضِ رُدَّتْ إِلَى الثُّلُثِ مَعَ وجود الوارث وعدمه.

Adapun sedekah, hukumnya seperti wasiat: jika dilakukan saat sehat, maka sah baik ada ahli waris maupun tidak; dan jika dilakukan saat sakit, maka dikembalikan kepada sepertiga, baik ada ahli waris maupun tidak.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَتَجُوزُ الْوَصِيَّةُ بِثُلُثِ مَالِهِ وَإِنْ لَمْ يعلم قدره.

Boleh berwasiat dengan sepertiga hartanya, meskipun ia tidak mengetahui jumlahnya.

واختلف أصحابنا: هل يراعى ثلث مَالِهِ وَقْتَ الْوَصِيَّةِ أَوْ عِنْدَ الْوَفَاةِ؟

Para ulama kami berbeda pendapat: Apakah yang dijadikan acuan adalah sepertiga harta saat wasiat atau saat wafat?

عَلَى وَجْهَيْنِ:

Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ، وَأَكْثَرُ الْبَغْدَادِيِّينَ، أَنَّهُ يُرَاعَى ثُلُثُهُ وَقْتَ الْوَصِيَّةِ، وَلَا يُدْخَلُ فيه مَا حَدَثَ بَعْدَهُ مِنْ زِيَادَةٍ. لِأَنَّهَا عَقْدٌ وَالْعُقُودُ لَا يُعْتَبَرُ بِهَا مَا بَعْدُ.

Pertama, yaitu pendapat Malik dan mayoritas ulama Baghdad, bahwa yang dijadikan acuan adalah sepertiga harta saat wasiat, dan tidak termasuk di dalamnya tambahan yang terjadi setelahnya. Karena wasiat adalah akad, dan dalam akad tidak diperhitungkan apa yang terjadi setelahnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة وَأَكْثَرُ الْبَصْرِيِّينَ أَنَّهُ يُرَاعَى ثُلُثُ مَالِهِ وَقْتَ الْمَوْتِ، وَيَدْخُلُ فِيهِ مَا حَدَثَ قَبْلَهُ مِنْ زِيَادَةٍ، لِأَنَّ الْوَصَايَا تُمْلَكُ بِالْمَوْتِ فَاعْتُبِرَ بِهَا وَقْتَ مِلْكِهَا.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Hanifah dan mayoritas ulama Bashrah, bahwa yang dijadikan acuan adalah sepertiga harta saat wafat, dan termasuk di dalamnya tambahan yang terjadi sebelumnya. Karena wasiat menjadi milik dengan kematian, maka yang dijadikan acuan adalah saat kepemilikan itu.

فَعَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ: إِنْ وَصَّى بِثُلُثِ مَالِهِ، وَلَا مَالَ لَهُ، ثُمَّ أَفَادَ مَالًا قَبْلَ الْمَوْتِ، فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ تَكُونُ الْوَصِيَّةُ بَاطِلَةً اعْتِبَارًا بِحَالِ الْوَصِيَّةِ.

Berdasarkan dua pendapat ini: jika seseorang berwasiat dengan sepertiga hartanya, padahal ia tidak memiliki harta, lalu memperoleh harta sebelum wafat, maka menurut pendapat pertama wasiatnya batal karena melihat keadaan saat wasiat.

وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي تَكُونُ الْوَصِيَّةُ صَحِيحَةً اعْتِبَارًا بِحَالِ الْمَوْتِ.

Dan menurut pendapat kedua, wasiatnya sah karena melihat keadaan saat wafat.

وَعَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ:

Berdasarkan dua pendapat ini pula:

لَوْ وَصَّى بِعَبْدٍ مِنْ عَبِيدِهِ، وَهَوَ لَا يَمْلِكُ عَبْدًا، ثُمَّ مَلَكَ قَبْلَ الْمَوْتِ عبدا صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ إِنِ اعْتُبِرَ بِهَا حَالُ الْمَوْتِ، وَبَطَلَتْ: إِنِ اعْتُبِرَ بِهَا حَالُ الْقَوْلِ.

Jika seseorang berwasiat dengan seorang budak dari budak-budaknya, padahal ia tidak memiliki budak, lalu sebelum wafat ia memiliki seorang budak, maka wasiatnya sah jika yang dijadikan acuan adalah keadaan saat wafat, dan batal jika yang dijadikan acuan adalah keadaan saat berwasiat.

وَعَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ:

Berdasarkan dua pendapat ini pula:

لَوْ وَصَّى بِثُلُثِ مَالِهِ، وَلَهُ مَالٌ، فَهَلَكَ مَالُهُ، وَأَفَادَ غَيْرَهُ، صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ فِي الْمَالِ الْمُسْتَفَادِ إِنِ اعْتُبِرَ بِهَا حَالُ الْمَوْتِ، وَبَطَلَتْ إِنِ اعْتُبِرَ بِهَا حَالُ الْوَصِيَّةِ.

Jika seseorang berwasiat dengan sepertiga hartanya, dan ia memiliki harta, lalu hartanya habis dan ia memperoleh harta lain, maka wasiatnya sah atas harta yang diperoleh jika yang dijadikan acuan adalah keadaan saat wafat, dan batal jika yang dijadikan acuan adalah keadaan saat wasiat.

وَأَمَّا الْفَصْلُ الرَّابِعُ: فِي الْمُوصَى إِلَيْهِ، فَقَدْ أَفْرَدَ الشَّافِعِيُّ لِلْأَوْصِيَاءِ بَابًا اسْتَوْفَى فِيهِ أَحْكَامَهُمْ.

Adapun fasal keempat: tentang orang yang menerima wasiat, maka Imam Syafi‘i telah mengkhususkan satu bab untuk para penerima wasiat dan menjelaskan hukum-hukum mereka secara rinci.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فيما يُرْوَى عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – من قوله: ” ما حق امرئ مسلم ” يحتمل ما الحزم لامرئ مسلم ” يبيت ليلتين إلا ووصيته مكتوبة عنده ” ويحتمل ما المعروف في الأخلاق إلا هذا لا من جهة الفرض (قال) فإذا أوصى الرجل بِمِثْلِ نَصِيبِ ابْنِهِ وَلَا ابْنَ لَهُ غَيْرُهُ فَلَهُ النِّصْفُ فَإِنْ لَمْ يُجِزْ الِابْنُ فَلَهُ الثلث “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Dalam riwayat dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang sabdanya: ‘Tidaklah pantas bagi seorang Muslim’ dapat dimaknai sebagai: ‘Sikap kehati-hatian bagi seorang Muslim’ yang bermalam dua malam kecuali wasiatnya tertulis di sisinya. Dan bisa juga dimaknai sebagai kebiasaan dalam akhlak, bukan dari sisi kewajiban (fardhu). (Beliau berkata): Jika seseorang berwasiat dengan ‘seperti bagian anaknya’, dan ia tidak memiliki anak selain itu, maka baginya setengah (harta). Jika anaknya tidak mengizinkan, maka baginya sepertiga.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا كَانَ لِلْمُوصِي ابْنٌ وَاحِدٌ، فَوَصَّى لِرَجُلٍ بِمِثْلِ نَصِيبِ ابْنِهِ، كَانَتْ وَصِيَّتُهُ بِالنِّصْفِ، وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة، وَصَاحِبَيْهِ، فَإِنْ أَجَازَهَا الِابْنُ، وَإِلَّا رُدَّتْ إِلَى الثُّلُثِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, jika pewasiat hanya memiliki satu anak, lalu ia berwasiat kepada seseorang dengan ‘seperti bagian anaknya’, maka wasiatnya adalah setengah, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah dan kedua sahabatnya. Jika anak tersebut mengizinkan, maka berlaku, jika tidak, maka dikembalikan kepada sepertiga.

وَقَالَ مَالِكٌ: وَهِيَ وَصِيَّةٌ بِجَمِيعِ المال. وهو قول زفر من الهذليين وَدَاوُدَ بْنِ عَلِيٍّ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ نَصِيبَ ابْنِهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ غَيْرُهُ، أَخَذَ جَمِيعَ الْمَالِ فَاقْتَضَى أَنْ تَكُونَ الْوَصِيَّةُ بِمِثْلِ نَصِيبِهِ وَصِيَّةً بِجَمِيعِ الْمَالِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ لَوْ أوصى له بمثل ما كان نصيب ابنه كان وصية بجميع ماله إجماعا. وجب لو أوصى له بمثل نصيب ابنه أن يكون وصية بِجَمِيعِ الْمَالِ حِجَاجًا.

Malik berkata: Itu adalah wasiat atas seluruh harta. Ini juga pendapat Zufar dari kalangan Hanafiyah dan Dawud bin ‘Ali, dengan alasan bahwa bagian anaknya, jika ia tidak memiliki anak lain, maka ia mengambil seluruh harta. Maka, konsekuensinya, wasiat dengan ‘seperti bagian anaknya’ berarti wasiat atas seluruh harta. Dan karena jika ia berwasiat kepadanya dengan ‘seperti apa yang menjadi bagian anaknya’, maka itu adalah wasiat atas seluruh hartanya secara ijmā‘. Maka wajib, jika ia berwasiat kepadanya dengan ‘seperti bagian anaknya’, itu menjadi wasiat atas seluruh harta sebagai bentuk argumentasi.

وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Dan ini batil dari tiga sisi:

أَحَدُهَا: أَنَّ نَصِيبَ الِابْنِ أَصْلٌ، وَالْوَصِيَّةُ بِمِثْلِهِ فَرْعٌ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ الْفَرْعُ رَافِعًا لِحُكْمِ الْأَصْلِ.

Pertama: Bahwa bagian anak adalah asal, dan wasiat dengan ‘seperti bagian anak’ adalah cabang, maka tidak boleh cabang menghapus hukum asal.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَوْ جَعَلْنَا الوصية بجميع الْمَالِ لَخَرَجَ أَنْ يَكُونَ لِلِابْنِ نَصِيبٌ، وَإِذَا لم يكن للابن بَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ الَّتِي هِيَ بِمِثْلِهِ.

Kedua: Jika kita menjadikan wasiat atas seluruh harta, maka akan terjadi bahwa anak tetap mendapat bagian. Dan jika tidak ada anak, maka batalah wasiat yang berupa ‘seperti bagian anak’.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ الوصية بمثل نصيب الابن فوجب التَّسْوِيَةَ بَيْنَ الْمُوصَى لَهُ وَبَيْنَ ابْنِهِ فَإِذَا وجب ذَلِكَ كَانَا فِيهِ نِصْفَيْنِ وَفِي إِعْطَائِهِ الْكُلَّ إبطال للتسوية بَيْنَ الْمُوصَى لَهُ وَبَيْنَ الِابْنِ.

Ketiga: Wasiat dengan ‘seperti bagian anak’ mengharuskan adanya persamaan antara penerima wasiat dan anaknya. Jika demikian, maka keduanya mendapat setengah-setengah. Memberikan seluruh harta berarti membatalkan persamaan antara penerima wasiat dan anak.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ: إِنَّ نَصِيبَ الِابْنِ كُلُّ الْمَالِ. فَهُوَ أَنَّ لَهُ الْكُلَّ مَعَ عَدَمِ الْوَصِيَّةِ وأما مَعَ الْوَصِيَّةِ فَلَا يَسْتَحِقُّ الْكُلَّ.

Adapun jawaban atas pendapat mereka: Bahwa bagian anak adalah seluruh harta, maka itu benar jika tanpa wasiat. Adapun jika ada wasiat, maka ia tidak berhak atas seluruhnya.

وَأَمَّا قَوْلُهُ وَصَّيْتُ لَكَ بِمِثْلِ مَا كَانَ نَصِيبُ ابْنِي فَيَكُونُ وَصِيَّةً بِالْكُلِّ.

Adapun jika ia berkata: “Aku berwasiat kepadamu dengan seperti apa yang menjadi bagian anakku”, maka itu menjadi wasiat atas seluruh harta.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّهُ إِذَا قَالَ بِمِثْلِ نَصِيبِ ابْنِي فَقَدْ جَعَلَ لَهُ مع الوصية نصيبا، فكذلك كانت وصيته بالنصف، نصيبا، وَإِذَا قَالَ بِمِثْلِ مَا كَانَ نَصِيبُ ابْنِي فلم يجعل مع الوصية نصيبا، فكذلك كَانَتْ بِالْكُلِّ.

Perbedaan antara keduanya: Jika ia berkata ‘dengan seperti bagian anakku’, maka ia telah menjadikan bagi penerima wasiat suatu bagian bersama wasiat, maka wasiatnya menjadi setengah. Namun jika ia berkata ‘dengan seperti apa yang menjadi bagian anakku’, maka ia tidak menjadikan bagian bersama wasiat, sehingga menjadi seluruh harta.

فَصْلٌ:

Fashal:

فَعَلَى هَذَا: لَوْ قَالَ قَدْ وَصَّيْتُ لَهُ بِنَصِيبِ ابْنِي: فَالَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا أَنَّ الْوَصِيَّةَ بَاطِلَةٌ، وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة، لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ بِمَا لَا يَمْلِكُ، لِأَنَّ نَصِيبَ الِابْنِ مِلْكُهُ، لَا مِلْكَ أَبِيهِ.

Berdasarkan hal ini: Jika ia berkata, “Aku telah berwasiat kepadanya dengan bagian anakku”, maka menurut mayoritas ulama kami, wasiat tersebut batal, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, karena itu adalah wasiat atas sesuatu yang bukan miliknya, sebab bagian anak adalah milik anak, bukan milik ayahnya.

وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: الْوَصِيَّةُ جَائِزَةٌ. وَهُوَ قَوْلُ مالك ويجري بها مجرى قوله بمثل نصيب ابني ولا ابن له فَيَجْعَلُهَا وَصِيَّةً بِالنِّصْفِ وَعِنْدَ مَالِكٍ بِالْكُلِّ وَلَوْ أَوْصَى بِمِثْلِ نَصِيبِ ابْنِهِ، وَلَا ابْنَ لَهُ، كَانَتِ الْوَصِيَّةُ بَاطِلَةٌ.

Sebagian ulama kami berkata: Wasiat tersebut sah. Ini adalah pendapat Malik, dan hukumnya sama seperti ucapannya ‘dengan seperti bagian anakku’ dan ia tidak memiliki anak lain, maka itu dijadikan wasiat setengah menurut mereka, dan menurut Malik seluruh harta. Jika ia berwasiat dengan ‘seperti bagian anaknya’ dan ia tidak memiliki anak, maka wasiat tersebut batal.

وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ لَهُ ابن قاتل أو كافر، لِأَنَّهُ لَا نَصِيبَ لَهُ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Demikian pula jika ia memiliki anak yang membunuh (ayahnya) atau kafir, karena anak tersebut tidak mendapat bagian. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” (وَلَوْ قَالَ) بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِ وَلَدِي فَلَهُ مع الاثنين الثُّلُثُ وَمَعَ الثَّلَاثَةِ الرُّبُعُ حَتَى يَكُونَ كَأَحَدَهِمْ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “(Jika ia berkata) ‘dengan seperti bagian salah satu anakku’, maka baginya bersama dua anak sepertiga, bersama tiga anak seperempat, hingga ia menjadi seperti salah satu dari mereka.”

قال المارودي: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا أَوْصَى وَلَهُ أَوْلَادٌ ذُكُورٌ لِرَجُلٍ بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِهِمْ. فَلِلْمُوصَى لَهُ مَعَ الِاثْنَيْنِ الثُّلُثُ لِأَنَّهُ يَصِيرُ كَابْنٍ ثَالِثٍ، وَمَعَ الثلاثة الربع: لأنه يصير كابن رابع، ومع الأربعة الخمس لأنه يصير كَابْنٍ خَامِسٍ، وَمَعَ الْخَمْسَةِ السُّدُسُ وَيَصِيرُ كَابْنٍ سَادِسٍ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, jika seseorang yang memiliki anak laki-laki berwasiat kepada seseorang dengan ‘seperti bagian salah satu dari mereka’, maka penerima wasiat bersama dua anak mendapat sepertiga, karena ia menjadi seperti anak ketiga. Bersama tiga anak mendapat seperempat, karena ia menjadi seperti anak keempat. Bersama empat anak mendapat seperlima, karena ia menjadi seperti anak kelima. Bersama lima anak mendapat seperenam, karena ia menjadi seperti anak keenam.

ثُمَّ كَذَلِكَ مَا زَادَ لِيَصِيرَ كَأَحَدِهِمْ، وَلَا يُفَضَّلَ عَلَيْهِمْ.

Demikian pula seterusnya, sehingga ia menjadi seperti salah satu dari mereka, dan tidak diutamakan atas mereka.

وَعَلَى قَوْلِ مَالِكٍ يَكُونُ لَهُ مَعَ الِاثْنَيْنِ النِّصْفُ، وَمَعَ الثَّلَاثَةِ الثُّلُثُ، وَمَعَ الْأَرْبَعَةِ الرُّبُعُ.

Menurut pendapat Malik, penerima wasiat bersama dua anak mendapat setengah, bersama tiga anak mendapat sepertiga, bersama empat anak mendapat seperempat.

وَقَدْ ذَكَرْنَا وَجْهَ فَسَادِهِ، مَعَ مَا فِيهِ مِنْ تَفْضِيلِ الْمُوصَى لَهُ على ابنه وهو إنما أوصى له بمثل نصيب أحدهم.

Dan kami telah menjelaskan sisi kerusakannya, di samping di dalamnya terdapat keutamaan bagi penerima wasiat atas anaknya, padahal ia hanya mewasiatkan kepadanya sebesar bagian salah satu dari mereka.

فصل:

Fasal:

فلو كَانَ لَهُ ثَلَاثَةُ بَنِينَ، فَأَوْصَى لِرَجُلٍ بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِهِمْ، وَلِآخَرَ بِمَا بَقِيَ مِنْ ثُلُثِهِ، زِدْتَ عَلَى عَدَدِ الْفَرِيضَةِ مِثْلَ نِصْفِهَا، وَهِيَ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ لِيَصِحَّ لَكَ ثُلُثُهَا، لِأَنَّ كُلَّ عَدَدٍ زِدْتَ عَلَيْهِ مِثْلَ نِصْفِهِ خَرَجَ ثُلُثُهُ، فَإِذَا زِدْتَ عَلَى الثَّلَاثَةِ مِثْلَ نِصْفِهَا، صَارَتْ أربعا ونصفا فليبسطها من جنس الكسر أيضا فليخرج كَسْرُهَا تَكُنْ تِسْعَةً، الثُّلُثَانِ مِنْهَا سِتَّةٌ بَيْنَ البنين الثلاثة لكل واحد منهم سهمان. والثلاث ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ، لِلْمُوصَى لَهُ بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِ بَنِيهِ سَهْمَانِ، وَيَبْقَى سَهْمٌ يَكُونُ لِلْمُوصَى لَهُ بِبَاقِي الثُّلُثِ.

Jika ia memiliki tiga orang anak laki-laki, lalu ia berwasiat kepada seorang laki-laki dengan bagian sebesar salah satu dari mereka, dan kepada orang lain dengan sisa sepertiga hartanya, maka tambahkan pada jumlah bagian pokok seperti setengahnya, yaitu tiga bagian agar sepertiganya menjadi sah. Karena setiap jumlah yang engkau tambahkan seperti setengahnya, maka sepertiganya akan keluar. Maka jika engkau tambahkan pada tiga seperti setengahnya, jadilah empat setengah, lalu perbesar pecahannya juga agar pecahannya keluar, maka jadilah sembilan. Dua pertiga dari jumlah itu adalah enam, dibagi kepada tiga anak laki-laki, masing-masing mendapat dua bagian. Dan sepertiganya adalah tiga bagian; untuk penerima wasiat sebesar bagian salah satu anaknya dua bagian, dan sisanya satu bagian untuk penerima wasiat dengan sisa sepertiga.

وَلَوْ تَرَكَ أَرْبَعَةَ بَنِينَ وَأَوْصَى لِرَجُلٍ بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِهِمْ، وَلِآخَرَ بِمَا بَقِيَ من ثلثه، ردت عَلَى الْأَرْبَعَةِ مِثْلُ نِصْفِهَا، تَكُنْ سِتَّةً، الثُّلُثَانِ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ بَيْنَ الْبَنِينَ الْأَرْبَعَةِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ سَهْمٌ، وَالثُّلُثُ سَهْمَانِ لِلْمُوصَى لَهُ بِمِثْلِ أَحَدِهِمْ سَهْمٌ، وَلِلْمُوصَى لَهُ بِبَاقِي الثُّلُثِ سَهْمٌ.

Dan jika ia meninggalkan empat anak laki-laki dan berwasiat kepada seorang laki-laki dengan bagian sebesar salah satu dari mereka, dan kepada orang lain dengan sisa sepertiganya, maka tambahkan pada empat seperti setengahnya, maka jadilah enam. Dua pertiganya adalah empat, dibagi kepada empat anak laki-laki, masing-masing mendapat satu bagian, dan sepertiganya adalah dua bagian; untuk penerima wasiat sebesar bagian salah satu dari mereka satu bagian, dan untuk penerima wasiat dengan sisa sepertiga satu bagian.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ تَرَكَ خَمْسَةَ بَنِينَ، وَأَوْصَى لِرَجُلٍ بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِهِمْ، وَلِآخَرَ بِمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِهِ، زِدْتَ عَلَى الْخَمْسَةِ الَّتِي هِيَ عَدَدُ فَرِيضَةِ الْبَنِينَ مِثْلَ رُبُعِهَا، لِيَصِحَّ خُمُسِهَا لِأَنَّ كُلَّ عَدَدٍ زِدْتَ عَلَيْهِ مِثْلَ رُبْعِهِ كَانَتِ الزِّيَادَةُ خُمْسَ مَا اجْتَمَعَ مِنَ الْعَدَدَيْنِ.

Dan jika ia meninggalkan lima anak laki-laki, dan berwasiat kepada seorang laki-laki dengan bagian sebesar salah satu dari mereka, dan kepada orang lain dengan sisa seperlimanya, maka tambahkan pada lima, yang merupakan jumlah bagian pokok anak-anak, seperti seperempatnya, agar seperlimanya menjadi sah. Karena setiap jumlah yang engkau tambahkan seperti seperempatnya, maka tambahan itu adalah seperlima dari jumlah keduanya.

فَعَلَى هَذَا: إِذَا زِدْتَ عَلَى الْخَمْسَةِ مِثْلَ رُبُعِهَا كانت ستة وربعا، فابسطها من جنس الكسر أرباعها تَكُنْ خَمْسَةً وَعِشْرِينَ، أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهَا عِشْرُونَ بَيْنَ الْبَنِينَ الْخَمْسَةِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ أَرْبَعَةٌ، وَالْخُمُسُ خَمْسَةٌ مِنْهَا لِلْمُوصَى لَهُ بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِهِمْ، أَرْبَعَةٌ وَلِلْمُوصَى لَهُ بِبَاقِي الْخَمْسِ سَهْمٌ.

Berdasarkan hal ini: jika engkau tambahkan pada lima seperti seperempatnya, maka menjadi enam seperempat. Maka perbesar pecahannya menjadi perempat, jadilah dua puluh lima. Empat perlima dari jumlah itu adalah dua puluh, dibagi kepada lima anak laki-laki, masing-masing mendapat empat bagian, dan seperlimanya adalah lima bagian; untuk penerima wasiat sebesar bagian salah satu dari mereka empat bagian, dan untuk penerima wasiat dengan sisa seperlima satu bagian.

وَلَوْ تَرَكَ سِتَّةَ بَنِينَ، وَأَوْصَى لِرَجُلٍ بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِهِمْ، وَلِآخَرَ بِمَا بَقِيَ مِنْ رُبُعِهِ، زِدْتَ عَلَى السِّتَّةِ مِثْلَ ثُلُثِهَا، وَهُوَ اثْنَانِ، تَكُنْ ثَمَانِيَةً، ثُمَّ أَخَذْتَ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعِهَا وَهُوَ سِتَّةٌ فَجَعَلْتَهُ لِلْبَنِينَ السِّتَّةِ، لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ سَهْمٌ، وَرَبُعُهَا وَهُوَ سَهْمَانِ جَعَلْتَ مِنْهُ لِلْمُوصَى لَهُ بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِهِمْ سَهْمًا وَلِلْمُوصَى لَهُ بِبَاقِي الرُّبُعِ سَهْمًا ثُمَّ عَلَى هَذَا.

Dan jika ia meninggalkan enam anak laki-laki, dan berwasiat kepada seorang laki-laki dengan bagian sebesar salah satu dari mereka, dan kepada orang lain dengan sisa seperempatnya, maka tambahkan pada enam seperti sepertiganya, yaitu dua, maka menjadi delapan. Kemudian ambil tiga perempatnya, yaitu enam, lalu bagikan kepada enam anak laki-laki, masing-masing mendapat satu bagian. Dan seperempatnya, yaitu dua bagian, diberikan satu bagian kepada penerima wasiat sebesar bagian salah satu dari mereka, dan satu bagian kepada penerima wasiat dengan sisa seperempat. Kemudian demikian seterusnya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ ترك ثلاث بنين، وأوصى بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِهِمْ، وَلِآخَرَ بِرُبُعِ مَالِهِ وَأَجَازَ الورثة ذلك فخذ مالا لَهُ رُبُعٌ، وَهُوَ أَرْبَعَةٌ فَاعْزِلْ رُبُعَهُ وَهُوَ واحد، ثم أقسم الثلاثة الباقية عَلَى أَرْبَعَةٍ، تَكُنْ حِصَّةُ كُلِّ وَاحِدٍ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعٍ، فَابْسُطْهَا مِنْ جِنْسِ الْكَسْرِ أَرْبَاعًا تَكُنْ ستة عشر، للموصى له بالربع تبقي اثني عَشَرَ عَلَى أَرْبَعَةٍ لِكُلِّ ابْنٍ ثَلَاثَةٌ، وَلِلْمُوصَى لَهُ ثَلَاثَةٌ ثُمَّ عَلَى هَذَا الْقِيَاسِ.

Dan jika ia meninggalkan tiga anak laki-laki, dan berwasiat dengan bagian sebesar salah satu dari mereka, dan kepada orang lain dengan seperempat hartanya, dan para ahli waris menyetujuinya, maka ambillah harta yang seperempatnya adalah satu, yaitu empat. Pisahkan seperempatnya, yaitu satu, kemudian bagikan tiga sisanya kepada empat, maka bagian masing-masing adalah tiga perempat. Perbesar pecahannya menjadi perempat, maka menjadi enam belas. Untuk penerima wasiat seperempat, sisakan dua belas, dibagi kepada empat, masing-masing anak mendapat tiga, dan untuk penerima wasiat tiga. Kemudian demikian seterusnya menurut qiyās.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولو كَانَ وَلَدُهُ رِجَالًا وَنِسَاءً أَعْطَيْتُهُ نَصِيبَ امْرَأَةٍ ولو كانت له ابنة وابنة ابن أعطيته سدسا “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika anak-anaknya terdiri dari laki-laki dan perempuan, maka aku memberinya bagian perempuan. Dan jika ia memiliki seorang putri dan seorang cucu perempuan dari anak laki-laki, maka aku memberinya seperenam.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا كَانَ وَلَدُ الْمُوصِي عَدَدًا مِنْ رِجَالٍ وَنِسَاءٍ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: jika anak-anak pewasiat terdiri dari sejumlah laki-laki dan perempuan.

فَإِنْ كان ولده، رجالا ونساء كما لو تَرَكَ ابْنَيْنِ، وَبِنْتَيْنِ، ثُمَّ وَصَّى لِرَجُلٍ بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِهِمْ. فَإِنْ وَصَّى لَهُ بِمِثْلِ نَصِيبِ الِابْنِ: كَانَ لَهُ الرُّبُعُ، وَكَأَنَّهُ ابْنٌ ثَالِثٌ مع بنين.

Jika anak-anaknya laki-laki dan perempuan, seperti jika ia meninggalkan dua anak laki-laki dan dua anak perempuan, kemudian ia berwasiat kepada seorang laki-laki dengan bagian sebesar salah satu dari mereka. Jika ia berwasiat kepadanya dengan bagian sebesar anak laki-laki, maka ia mendapat seperempat, seolah-olah ia adalah anak laki-laki ketiga bersama dua anak laki-laki.

فَإِنْ وَصَّى لَهُ بِمِثْلِ نَصِيبِ الْبِنْتِ كَانَ له السبع وكأنه بِنْتٌ ثَالِثَةٌ مَعَ ابْنَيْنِ.

Jika ia berwasiat kepadanya dengan bagian sebesar anak perempuan, maka ia mendapat seperenam, seolah-olah ia adalah anak perempuan ketiga bersama dua anak laki-laki.

وَإِنْ أَطْلَقَ لَهُ الْوَصِيَّةَ بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِهِمْ وَلَمْ يَذْكُرِ ابْنًا، وَلَا بِنْتًا، أَعْطَيْتُهُ مِثْلَ نَصِيبِ الْبِنْتِ لِأَنَّهُ اليقين ولا يعطه مثل نصيب الزوجة وإن كانت أقل ورثته نصيبا.

Dan jika ia memberikan wasiat kepadanya dengan “seperti bagian salah satu dari mereka” dan tidak menyebutkan anak laki-laki atau anak perempuan, maka aku memberinya bagian seperti bagian anak perempuan, karena itu yang pasti. Ia tidak diberi bagian seperti bagian istri, meskipun istri adalah ahli waris dengan bagian paling sedikit.

لأنه قال مثل نصيب إحدى وَلَدِي، وَلَيْسَتِ الزَّوْجَةُ مِنْ وَلَدِهِ، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ مِثْلَ نَصِيبِ إِحْدَى وَرَثَتِي، أَعْطَيْتُهُ مِثْلَ نَصِيبِ الزَّوْجَةِ، إِذَا كَانَتْ أَقَلَّ وَرَثَتِهِ نَصِيبًا كما لو ترك زوجة، وابنين وَبِنْتًا. أَصْلُهَا مِنْ ثَمَانِيَةٍ: لِلُزُوجَةِ مِنْهَا الثُّمُنُ سهم واحد، وَلِلْمُوصَى لَهُ مِثْلُهُ، فَتَصِيرُ التَّرِكَةُ بَيْنَهُمْ عَلَى تِسْعَةِ أَسْهُمٍ، لِلْمُوصَى لَهُ سَهْمٌ، وَلِلزَّوْجَةِ ثُمُنُ الْبَاقِي سَهْمٌ وَمَا بَقِيَ بَيْنَ الِابْنِ وَالْبِنْتِ للذكر مثل حظ الأنثيين، وتصح من تسعة وَعِشْرِينَ.

Karena ia berkata, “seperti bagian salah satu anakku,” sedangkan istri bukanlah anaknya. Namun, jika ia berkata, “seperti bagian salah satu ahli warisku,” maka aku memberinya bagian seperti bagian istri, jika istri adalah ahli waris dengan bagian paling sedikit, sebagaimana jika ia meninggalkan seorang istri, dua anak laki-laki, dan seorang anak perempuan. Dasarnya dari delapan: untuk istri seperdelapan, yaitu satu bagian, dan untuk penerima wasiat juga satu bagian, sehingga harta warisan dibagi di antara mereka menjadi sembilan bagian: penerima wasiat mendapat satu bagian, istri mendapat seperdelapan dari sisa, yaitu satu bagian, dan sisanya dibagi antara anak laki-laki dan anak perempuan, dengan laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan. Pembagian ini sah dari dua puluh sembilan.

وَلَوْ تَرَكَ: بِنْتًا، وَبِنْتَ ابْنٍ، وَأَخًا، وَوَصَّى لِرَجُلٍ بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِهِمْ: كَانَ لَهُ مِثْلُ نَصِيبِ بِنْتِ الِابْنِ، لِأَنَّهُ الْأَقَلُّ، وَهُوَ السدس، فنصفه إِلَى فَرِيضَةِ الْوَرَثَةِ، وَهِيَ سِتَّةٌ، تَصِيرُ سَبْعَةَ أَسْهُمٍ، يُعْطَى لِلْمُوصَى لَهُ مِنْهَا سَهْمًا، وَلِلْبِنْتِ ثلاثة أسهم، وبنت الابن سهما، وللأخ مَا بَقِيَ وَهُوَ سَهْمَانِ.

Jika ia meninggalkan: seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki, seorang saudara laki-laki, dan berwasiat kepada seorang laki-laki dengan “seperti bagian salah satu dari mereka”: maka ia mendapat bagian seperti bagian cucu perempuan dari anak laki-laki, karena itu yang paling sedikit, yaitu seperenam. Setengahnya diambil dari pembagian waris, yaitu enam, menjadi tujuh bagian: penerima wasiat mendapat satu bagian, anak perempuan mendapat tiga bagian, cucu perempuan dari anak laki-laki satu bagian, dan saudara laki-laki sisanya, yaitu dua bagian.

فَلَوْ تَرَكَ ثَلَاثَ زَوْجَاتٍ، وَابْنًا، وَبِنْتًا، وَوَصَّى لِرَجُلٍ بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِهِمْ، فَفَرِيضَةُ الْوَرَثَةِ مِنْ أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ سَهْمًا، لِلزَّوْجَاتِ مِنْهَا الثُّمُنُ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ، وَهُوَ الْأَقَلُّ، فَيُجْعَلُ لِلْمُوصَى لَهُ مِثْلَ نَصِيبِ إِحْدَاهُنَّ، وَهُوَ سهم واحد، فضمه إلى الفريضة، وهو أربعة وعشرين، تصير خمسة وعشرين فَتُقْسَمُ التَّرِكَةُ بَيْنَ الْمُوصَى لَهُ وَبَيْنَ الْوَرَثَةِ، عَلَى خَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ سَهْمًا، لِلْمُوصَى لَهُ مِنْهَا سَهْمٌ وَاحِدٌ.

Jika ia meninggalkan tiga istri, seorang anak laki-laki, seorang anak perempuan, dan berwasiat kepada seorang laki-laki dengan “seperti bagian salah satu dari mereka”, maka pembagian waris untuk ahli waris adalah dari dua puluh empat bagian: untuk para istri seperdelapan, yaitu tiga bagian, dan itu yang paling sedikit, maka penerima wasiat diberi bagian seperti salah satu dari mereka, yaitu satu bagian. Bagian ini ditambahkan ke pembagian waris, sehingga menjadi dua puluh lima, lalu harta warisan dibagi antara penerima wasiat dan para ahli waris menjadi dua puluh lima bagian, penerima wasiat mendapat satu bagian darinya.

فَلَوْ تَرَكَ بِنْتًا، وَخَمْسَ بَنَاتِ ابْنٍ، وَعَمًّا، صَحَّتْ فَرِيضَةُ الْوَرَثَةِ مِنْ ثَلَاثِينَ سَهْمًا، لِبَنَاتِ الِابْنِ مِنْهَا السُّدُسُ خَمْسَةُ أَسْهُمٍ، لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ سَهْمٌ، فَلَوْ وَصَّى لِرَجُلٍ بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِهِمْ، أَعْطَيْتُهُ مِثْلَ نَصِيبِ وَاحِدَةٍ مِنْ بَنَاتِ الِابْنِ، وَهُوَ سَهْمٌ؛ لِأَنَّهُ الْأَقَلُّ، وَضَمَمْتُهُ إِلَى فَرِيضَةِ الْوَرَثَةِ وَهِيَ ثَلَاثُونَ تَصِيرُ إِحْدَى وَثَلَاثِينَ سَهْمًا، فَتُقْسَمُ التَّرِكَةُ بَيْنَ الْمُوصَى لَهُ، وَبَيْنَ الْوَرَثَةِ عَلَى أَحَدٍ وَثَلَاثِينَ سَهْمًا، مِنْهَا لِلْمُوصَى لَهُ سَهْمٌ، لِيَدْخُلَ نَقْصُ الْعَوْلِ بِسَهْمِ الْوَصِيَّةِ عَلَى جَمَاعَتِهِمْ. ثُمَّ عَلَى هَذَا القياس.

Jika ia meninggalkan seorang anak perempuan, lima cucu perempuan dari anak laki-laki, dan seorang paman, maka pembagian waris untuk ahli waris sah dari tiga puluh bagian: untuk cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam, yaitu lima bagian, masing-masing mendapat satu bagian. Jika ia berwasiat kepada seorang laki-laki dengan “seperti bagian salah satu dari mereka”, maka aku memberinya bagian seperti salah satu cucu perempuan dari anak laki-laki, yaitu satu bagian, karena itu yang paling sedikit. Bagian ini aku tambahkan ke pembagian waris yang tiga puluh, menjadi tiga puluh satu bagian. Maka harta warisan dibagi antara penerima wasiat dan para ahli waris menjadi tiga puluh satu bagian, penerima wasiat mendapat satu bagian, sehingga kekurangan akibat ‘aul (penambahan bagian) karena wasiat masuk ke seluruh kelompok mereka. Demikian seterusnya menurut qiyās ini.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ تَرَكَ ثَلَاثَةَ بَنِينَ، وَوَصَّى لِرَجُلٍ بِمِثْلِ نَصِيبِ ابْنٍ رَابِعٍ، لَوْ كَانَ، فَلِلْمُوصَى لَهُ الْخُمُسُ؛ لِأَنَّ لَهُ مَعَ الْأَرْبَعَةِ الْخُمُسُ، وتكون الأربعة أخماس بَيْنَ الْبَنِينَ الثَّلَاثَةِ، وَهِيَ غَيْرُ مُنْقَسِمَةٍ، فَتَضْرِبُ ثَلَاثَةً فِي خَمْسَةٍ تَكُنْ خَمْسَةَ عَشَرَ.

Jika ia meninggalkan tiga anak laki-laki, dan berwasiat kepada seorang laki-laki dengan “seperti bagian anak laki-laki keempat, seandainya ada”, maka penerima wasiat mendapat seperlima; karena bersama empat orang, ia mendapat seperlima, dan empat perlima sisanya dibagi antara tiga anak laki-laki, yang tidak dapat dibagi rata, maka kalikan tiga dengan lima menjadi lima belas.

لِلْمُوصَى له بالخمس ثلاثة أسهم، ويبقى اثني عَشَرَ سَهْمًا بَيْنَ الْبَنِينَ الثَّلَاثَةِ لِكُلِّ ابْنٍ أَرْبَعَةٌ.

Untuk penerima wasiat yang mendapat seperlima, diberikan tiga bagian, dan sisanya dua belas bagian dibagi antara tiga anak laki-laki, masing-masing mendapat empat bagian.

وَلَوْ تَرَكَ ثَلَاثَةَ بَنِينَ، وَوَصَّى لِرَجُلٍ بِمِثْلِ نَصِيبِ ابْنٍ خَامِسٍ لَوْ كَانَ، وَبِنْتٍ لَوْ كَانَتْ: كَانَ لِلْمُوصَى لَهُ، ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ مِنْ أَرْبَعَةَ عَشَرَ سَهْمًا، وَذَلِكَ سَهْمُ ابْنٍ وبنت من جملة ستة بنين وبنتين، ويبقى أحد عشر سهما، تقسم بين البنين الثلاث، عَلَى ثَلَاثَةٍ، فَاضْرِبْ ثَلَاثَةً فِي أَرِبْعَةَ عَشَرَ، تَكُنِ اثْنَيْنِ وَأَرْبَعِينَ سَهْمًا، لِلْمُوصَى لَهُ تِسْعَةُ أسهم، ويبقى ثَلَاثَةً وَثَلَاثُونَ سَهْمًا، لِكُلِّ ابْنٍ أَحَدَ عَشَرَ سهما.

Jika ia meninggalkan tiga anak laki-laki, dan berwasiat kepada seorang laki-laki dengan “seperti bagian anak laki-laki kelima seandainya ada, dan seorang anak perempuan seandainya ada”: maka penerima wasiat mendapat tiga bagian dari empat belas bagian, yaitu bagian seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan dari total enam anak laki-laki dan dua anak perempuan. Sisanya sebelas bagian, dibagi antara tiga anak laki-laki, masing-masing mendapat tiga bagian. Maka kalikan tiga dengan empat belas, menjadi empat puluh dua bagian, penerima wasiat mendapat sembilan bagian, sisanya tiga puluh tiga bagian, masing-masing anak laki-laki mendapat sebelas bagian.

فصل آخر:

Fasal lain:

فإذا تَرَكَ ثَلَاثَةَ بَنِينَ، وَأَوْصَى لِرَجُلٍ بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِهِمْ، وَلِآخَرَ بِثُلُثِ مَا يَبْقَى مِنْ ثُلُثِهِ.

Jika ia meninggalkan tiga anak laki-laki, dan berwasiat kepada seorang laki-laki dengan “seperti bagian salah satu dari mereka”, dan kepada yang lain dengan “sepertiga dari sisa sepertiganya”.

فَوَجْهُ عَمَلِهَا بِحِسَابِ الْبَابِ: أَنْ تَأْخُذَ عَدَدَ البنين، وهو ثلاثة وتضم إليه نصيب أحدهم وَهُوَ وَاحِدٌ تَصِيرُ أَرْبَعَةً، وَتَضْرِبُهُ فِي مَخْرَجِ الثُّلُثِ وَهُوَ ثَلَاثَةٌ. تَكُنِ اثْنَيْ عَشَرَ، ثُمَّ تُلْقِي مِنْهُ الْمِثْلَ، وَهُوَ وَاحِدٌ، يَبْقَى أَحَدَ عَشَرَ، وَهُوَ ثُلُثُ الْمَالِ، ثُمَّ تَعْرِفُ قَدْرَ النَّصِيبِ، بِأَنْ تَضْرِبَ مَخْرَجَ الثُّلُثِ وَهُوَ ثَلَاثَةٌ، تَكُنْ تِسْعَةً، ثُمَّ تُلْقِي مِنْهَا الْمِثْلَ، وَهُوَ واحد يبقى ثمانية، فهو نصيب، فَيَأْخُذُهُ الْمُوصَى لَهُ بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِهِمْ، وَيَبْقَى مِنَ الثُّلُثِ ثَلَاثَةٌ، فَيُدْفَعُ ثُلُثُهَا، وَهُوَ وَاحِدٌ، إِلَى الْمُوصَى لَهُ بِثُلُثِ، الْبَاقِي مِنَ الثُّلُثِ، وَيَبْقَى مِنَ الثُّلُثِ سَهْمَانِ، تَضُمُّهَا إِلَى الثُّلُثَيْنِ وَهُوَ اثْنَانِ وَعِشْرُونَ تَصِيرُ أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ تُقَسَّمُ بَيْنَ الْبَنِينَ الثَّلَاثَةِ، فَيَكُونُ لِكُلِّ وَاحِدٍ ثَمَانِيَةٌ مِثْلَ مَا أَخَذَهُ الْمُوصَى لَهُ بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِهِمْ، وَتَصِحُّ مِنْ ثَلَاثَةٍ وَثَلَاثِينَ سَهْمًا.

Cara pengerjaannya menurut metode bab ini adalah: ambil jumlah anak laki-laki, yaitu tiga, lalu tambahkan bagian salah satu dari mereka, yaitu satu, sehingga menjadi empat. Kemudian kalikan dengan penyebut sepertiga, yaitu tiga, sehingga menjadi dua belas. Lalu kurangi satu bagian darinya, sehingga tersisa sebelas, dan itu adalah sepertiga harta. Kemudian untuk mengetahui besarnya bagian, kalikan penyebut sepertiga, yaitu tiga, sehingga menjadi sembilan, lalu kurangi satu bagian darinya, sehingga tersisa delapan, dan itulah bagian yang diambil oleh penerima wasiat dengan bagian seperti salah satu dari mereka. Sisa dari sepertiga adalah tiga, sepertiganya, yaitu satu, diberikan kepada penerima wasiat dengan sepertiga sisa dari sepertiga, dan tersisa dua bagian dari sepertiga. Dua bagian ini digabungkan dengan dua pertiga harta, yaitu dua puluh dua, sehingga menjadi dua puluh empat, lalu dibagi kepada tiga anak laki-laki, sehingga masing-masing mendapat delapan, sama seperti yang diambil oleh penerima wasiat dengan bagian seperti salah satu dari mereka. Pembagian ini sah dari tiga puluh tiga bagian.

فَصْلٌ آخر:

Fashal lain:

فإذا تَرَكَ ثَلَاثَةَ بَنِينَ، وَأَوْصَى لِرَجُلٍ بِمِثْلِ نَصِيبِ أحدهم إلا ثلث ما بقي من الثلاث. فوجه عملها بالباب، أن تأخذ عدد البنين، وهو ثلاثة، وتضم إِلَيْهِ نَصِيبَ أَحَدِهِمْ، تَكُنْ أَرْبَعَةً ثُمَّ اضْرِبْهَا فِي مَخْرَجِ الثُّلُثِ ثَلَاثَةٍ، تَكُنِ اثْنَيْ عَشَرَ، تزيد عَلَيْهَا وَاحِدًا، كَمَا نَقَصَتْ مِنَ الْفَصْلِ الْأَوَّلِ وَاحِدًا تَصِيرُ ثَلَاثَةَ عَشَرَ وَهُوَ ثُلُثُ الْمَالِ، ثُمَّ تَعْرِفُ قَدْرَ النَّصِيبِ، بِأَنْ تَضْرِبَ مَخْرَجَ الثُّلُثِ فِي مِثْلِهِ تَكُنْ تِسْعَةً، وَتَزِيدُ عَلَيْهَا وَاحِدًا، كَمَا نَقَصَتْ فِي الْفَصْلِ الْأَوَّلِ وَاحِدًا تكن عشرة، هو النصيب، فتنقص منه ثلث الثلاث، وهو واحد يبقى تسعة، وهي سهام الْمُوصَى لَهُ، ثُمَّ تَضُمُّ الْبَاقِي مِنَ الثُّلُثِ وَهُوَ أَرْبَعَةٌ، إِلَى ثُلُثَيِ الْمَالِ، وَهُوَ سِتَّةٌ وعشرون تكن ثلاثين، تقسم بَيْنَ الْبَنِينَ الثَّلَاثَةِ، لِكُلِّ ابْنٍ عَشَرَةٌ، وَتَصِحُّ من تسعة وثلاثين.

Jika seseorang meninggalkan tiga anak laki-laki, dan berwasiat kepada seorang laki-laki dengan bagian seperti salah satu dari mereka kecuali sepertiga dari sisa sepertiga. Cara pengerjaannya menurut metode bab ini adalah: ambil jumlah anak laki-laki, yaitu tiga, lalu tambahkan bagian salah satu dari mereka, sehingga menjadi empat. Kemudian kalikan dengan penyebut sepertiga, yaitu tiga, sehingga menjadi dua belas, lalu tambahkan satu, sebagaimana pada fashal pertama dikurangi satu, sehingga menjadi tiga belas, dan itu adalah sepertiga harta. Kemudian untuk mengetahui besarnya bagian, kalikan penyebut sepertiga dengan dirinya sendiri sehingga menjadi sembilan, lalu tambahkan satu, sebagaimana pada fashal pertama dikurangi satu, sehingga menjadi sepuluh, dan itulah bagian yang dimaksud. Lalu kurangi darinya sepertiga dari tiga, yaitu satu, sehingga tersisa sembilan, dan itu adalah bagian penerima wasiat. Kemudian gabungkan sisa dari sepertiga, yaitu empat, dengan dua pertiga harta, yaitu dua puluh enam, sehingga menjadi tiga puluh, lalu dibagi kepada tiga anak laki-laki, masing-masing mendapat sepuluh. Pembagian ini sah dari tiga puluh sembilan bagian.

فصل:

Fashal:

في الضيم

Tentang kedzaliman (ḍaym)

وَإِذَا تَرَكَ خَمْسَةَ بَنِينَ وَأَوْصَى لِرَجُلٍ بِمِثْلِ نصيب أحدهم، ولآخر بثلث ما بقي من ثُلُثِهِ، وَأَوْصَى لِأَحَدِ بَنِيهِ، أنْ لََا يَدْخُلَ عَلَيْهِ ضَيْمٌ فِيمَا أَوْصَى بِهِ وَلَا نُقْصَانٌ وَأَنْ يُوَفِّرَ عَلَيْهِ نَصِيبَهُ، وَهُوَ الْخُمُسُ فَذَلِكَ موقوف على الإجازة من الْوَرَثَةِ، وَإِنْ كَانَ خَارِجًا مِنَ الثُّلُثِ، لِأَنَّ تَفْضِيلَ أَحَدِ الْوَرَثَةِ عَلَى الْبَاقِينَ وَصِيَّةٌ لِوَارِثٍ.

Jika seseorang meninggalkan lima anak laki-laki dan berwasiat kepada seorang laki-laki dengan bagian seperti salah satu dari mereka, kepada yang lain dengan sepertiga dari sisa sepertiganya, dan berwasiat kepada salah satu anaknya agar tidak terkena kedzaliman dalam wasiat tersebut dan tidak mengalami pengurangan, serta agar bagian anak itu tetap utuh, yaitu seperlima, maka hal itu tergantung pada persetujuan para ahli waris, meskipun itu diambil dari sepertiga, karena mengutamakan salah satu ahli waris atas yang lain merupakan wasiat kepada ahli waris.

وإذا كان كذلك وأجاز الوصية الورثة فَوَجْهُ عَمَلِهَا بِالْبَابِ أَنْ تَجْعَلَ الِابْنَ الَّذِي وَصَّى أَنْ لَا يَدْخُلَ عَلَيْهِ ضَيْمٌ، كَالْمُوصَى لَهُ بِالْخُمُسِ، فَتَصِيرُ الْمَسْأَلَةُ كَأَنَّهُ تَرَكَ أَرْبَعَةَ بَنِينَ، وَأَوْصَى لِرَجُلٍ بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِهِمْ، وَلِآخَرَ بِثُلُثِ مَا يَبْقَى مِنْ ثُلُثِهِ، وَلِآخَرَ بِخُمُسِ ماله فتأخذ عددا تجمع مخرج الجميع من الْوَصَايَا وَهُوَ الْخُمُسُ وَثُلُثُ الْبَاقِي، وَذَلِكَ خَمْسَةٌ وَأَرْبَعُونَ، مَضْرُوبُ خَمْسَةٍ فِي تِسْعَةٍ، ثُمَّ اعْزِلْ نَصِيبَ الِابْنِ الَّذِي لَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ ضَيْمٌ، وَهُوَ سَهْمٌ مِنْ خَمْسَةٍ يَبْقَى أَرْبَعَةٌ، فَاضْرِبْهَا فِي مُخْرَجِ الْوَصَايَا وَهُوَ خَمْسَةٌ وَأَرْبَعُونَ تَكُنْ مِائَةً وَثَمَانِينَ، ثُمَّ انْظُرْ سَهْمَ الْمُوصَى لَهُ بمثل نصيب أحدهم وهو واحدا، فَاضْرِبْهُ فِي مُخْرَجِ الْوَصَايَا تَكُنْ خَمْسَةً وَأَرْبَعِينَ، وَانْقُصْ مِنْهُ ثُلُثَهُ وَهُوَ خَمْسَةَ عَشَرَ لِأَنَّهُ أوصى بثلث ما يبقى بعده ويبقى ثلاثون، فزدها على مائة وَالثَّمَانِينَ تَكُنْ مِائَتَيْنِ وَعَشَرَةً، وَهِيَ سِهَامُ جَمِيعِ الْمَالِ.

Jika demikian dan para ahli waris menyetujui wasiat tersebut, maka cara pengerjaannya menurut metode bab ini adalah menjadikan anak yang diwasiatkan agar tidak terkena kedzaliman, seperti penerima wasiat dengan seperlima, sehingga permasalahan menjadi seolah-olah ia meninggalkan empat anak laki-laki, dan berwasiat kepada seorang laki-laki dengan bagian seperti salah satu dari mereka, kepada yang lain dengan sepertiga dari sisa sepertiganya, dan kepada yang lain dengan seperlima hartanya. Maka ambillah jumlah yang merupakan hasil gabungan penyebut seluruh wasiat, yaitu seperlima dan sepertiga sisa, dan itu adalah empat puluh lima, hasil perkalian lima dengan sembilan. Kemudian pisahkan bagian anak yang tidak terkena kedzaliman, yaitu satu bagian dari lima, sehingga tersisa empat, lalu kalikan dengan penyebut wasiat, yaitu empat puluh lima, sehingga menjadi seratus delapan puluh. Kemudian lihat bagian penerima wasiat dengan bagian seperti salah satu dari mereka, yaitu satu, kalikan dengan penyebut wasiat sehingga menjadi empat puluh lima, lalu kurangi sepertiganya, yaitu lima belas, karena ia berwasiat dengan sepertiga dari sisa setelahnya, sehingga tersisa tiga puluh. Tambahkan tiga puluh ini ke seratus delapan puluh sehingga menjadi dua ratus sepuluh, dan itu adalah jumlah seluruh bagian harta.

فَإِذَا أَرَدْتَ مَعْرِفَةَ سِهَامِ النَّصِيبِ، فَانْقُصْ من مخرج الوصايا بثلث ثُلُثِهِ وَهُوَ خَمْسَةٌ، وَانْقُصْ مِنْهُ خُمُسَ جَمْعَيْهِ، وَهُوَ تِسْعَةٌ، يَبْقَى مِنْهُ بَعْدَ النُّقْصَانَيْنِ أَحَدٌ وَثَلَاثُونَ وَهُوَ نَصِيبُ كُلِّ ابْنٍ.

Jika engkau ingin mengetahui bagian saham warisan, maka kurangkan dari asal perhitungan wasiat sepertiga sepertiganya, yaitu lima, lalu kurangkan darinya seperlima dari jumlah keduanya, yaitu sembilan, maka yang tersisa setelah dua pengurangan itu adalah tiga puluh satu, dan itulah bagian setiap anak laki-laki.

فَإِذَا أَرَدْتَ القسم فَخُذْ ثُلُثَ الْمَالِ، وَهُوَ سَبْعُونَ فَأَعْطِ مِنْهُ الموصى له بمثل نصيب أحدهم، إحدى وَثَلَاثِينَ، يَبْقَى مِنَ الثُّلُثِ تِسْعَةٌ وَثَلَاثُونَ أَعْطِ منها الموصى له بثلث الباقي له من الثلث ثلثها، وهو ثلاثة عشرة وَاضْمُمِ الْبَاقِيَ، وَهُوَ سِتَّةٌ وَعِشْرُونَ إِلَى ثُلُثَيِ المال، وهو مائة وأربعون تصير مائة، وستة وستون، فَأَعْطِ مِنْهَا الِابْنَ الَّذِي وصّى لَهُ بِأَنْ لَا يَدْخُلَ عَلَيْهِ ضَيْمٌ، خُمُسَ جَمِيعِ الْمَالِ الَّذِي هُوَ مِائَتَانِ وَعَشَرَةٌ يَكُنِ اثْنَيْنِ وَأَرْبَعِينَ وهو سهمين، ويبقى مائة وأربعة وعشرون وتقسم بَيْنَ الْبَنِينَ الْأَرْبَعَةِ، يَكُنْ لِكُلِّ ابْنٍ أَحَدٌ وَثَلَاثُونَ، وَهُوَ مِثْلَ مَا أَخَذَهُ الْمُوصَى لَهُ بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِهِمْ. ثُمَّ عَلَى هَذَا الْقِيَاسِ.

Jika engkau ingin melakukan pembagian, ambillah sepertiga dari harta, yaitu tujuh puluh, lalu berikan kepada penerima wasiat sejumlah seperti bagian salah satu dari mereka, yaitu tiga puluh satu. Yang tersisa dari sepertiga itu adalah tiga puluh sembilan, berikan kepada penerima wasiat yang mendapat sepertiga dari sisa sepertiga, yaitu sepertiganya, yakni tiga belas. Gabungkan sisa yang ada, yaitu dua puluh enam, dengan dua pertiga harta, yaitu seratus empat puluh, sehingga menjadi seratus enam puluh enam. Dari jumlah itu, berikan kepada anak yang diwasiatkan agar tidak terkena kerugian, seperlima dari seluruh harta, yaitu dua ratus sepuluh, maka menjadi empat puluh dua, yaitu dua bagian, dan tersisa seratus dua puluh empat yang dibagi di antara empat anak laki-laki, sehingga setiap anak mendapat tiga puluh satu, sama seperti yang diterima oleh penerima wasiat yang mendapat bagian seperti salah satu dari mereka. Kemudian, lakukanlah dengan qiyās (analogi) yang sama.

فصل:

Fasal:

في التكملة

Tentang takmīlah (penyempurnaan bagian)

وَإِذَا تَرَكَ الرَّجُلُ زَوْجَةً، وَابْنًا، وَبِنْتًا، وَأَوْصَى لِرَجُلٍ بِتَكْمِلَةِ الثُّلُثِ بِنَصِيبِ الزَّوْجَةِ.

Jika seorang laki-laki meninggalkan istri, anak laki-laki, dan anak perempuan, serta berwasiat kepada seseorang dengan takmīlah sepertiga berupa bagian istri.

فَوَجْهُ عَمَلِهَا بِحِسَابِ الْبَابِ: أَنْ تُصَحِّحَ الْفَرِيضَةَ، وَتُسْقِطَ مِنْهَا سهم ذوي التكملة ثم تزد عَلَى الْبَاقِي مِثْلَ نِصْفِهِ، وَتُقَسِّمَ سِهَامَ الْفَرِيضَةِ بَيْنَ أَهْلِهَا، فَمَا بَقِيَ بَعْدَهَا فَهُوَ لِلْمُوصَى لَهُ، فَإِذَا صَحَّحْتَ فَرِيضَةَ الزَّوْجَةِ وَالِابْنِ وَالْبِنْتِ، كانت من أربعة وعشرين، فإذا ألغيت مِنْهَا سِهَامَ الزَّوْجَةِ، وَهِيَ ثَلَاثَةٌ كَانَ الْبَاقِي أَحَدًا وَعِشْرِينَ، فَإِذَا زِدْتَ عَلَيْهَا مِثْلَ نِصْفِهَا لم يسلم فأضعف الأحد والعشرين يكن اثْنَيْنِ وَأَرْبَعِينَ فَزِدْ عَلَيْهَا مِثْلَ نِصْفِهَا وَهُوَ أحد وعشرون تصير مائة وَسِتِّينَ، وَمِنْهَا تَصِحُّ سِهَامُ الْفَرِيضَةِ مَعَ الْوَصِيَّةِ لِلزَّوْجَةِ مِنْهَا سِتَّةٌ، وَلِلِابْنِ ثَمَانِيَةٌ وَعِشْرُونَ، وَلِلْبِنْتِ أَرْبَعَةَ عَشَرَ، وَلِلْمُوصَى لَهُ بِتَكْمِلَةِ الثُّلُثِ بِنَصِيبِ الزَّوْجَةِ خَمْسَةَ عَشَرَ. وَإِذَا ضَمَمْتَ إِلَيْهَا سِهَامَ الزَّوْجَةِ، وَهِيَ سِتَّةٌ، صَارَ أَحَدًا وَعِشْرِينَ، وَذَلِكَ ثُلُثُ جَمِيعِ الْمَالِ.

Cara pengerjaannya menurut perhitungan bab ini adalah: perbaiki perhitungan faraid, lalu keluarkan dari situ bagian orang yang mendapat takmīlah, kemudian tambahkan pada sisanya sebesar setengahnya, lalu bagikan saham faraid kepada ahli warisnya. Apa yang tersisa setelah itu adalah untuk penerima wasiat. Jika engkau memperbaiki perhitungan istri, anak laki-laki, dan anak perempuan, maka asalnya dari dua puluh empat. Jika engkau keluarkan bagian istri, yaitu tiga, maka sisanya dua puluh satu. Jika engkau tambahkan padanya setengahnya, maka tidak tepat, maka gandakan dua puluh satu menjadi empat puluh dua, lalu tambahkan padanya setengahnya, yaitu dua puluh satu, sehingga menjadi enam puluh tiga. Dari jumlah ini, saham faraid bersama wasiat menjadi sah: untuk istri enam, untuk anak laki-laki dua puluh delapan, untuk anak perempuan empat belas, dan untuk penerima wasiat dengan takmīlah sepertiga berupa bagian istri lima belas. Jika engkau gabungkan dengan bagian istri, yaitu enam, maka menjadi dua puluh satu, dan itu adalah sepertiga dari seluruh harta.

فَلَوْ كَانَتِ الْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا وَأَوْصَى لِرَجُلٍ بِتَكْمِلَةِ الثُّلُثِ بِنَصِيبِ الْبِنْتِ أَسْقَطْتَهَا مِنْ سِهَامِ الْفَرِيضَةِ وَهِيَ سَبْعَةٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ، يَكُنِ الْبَاقِي سَبْعَةَ عَشَرَ، ثُمَّ زِدْتَ عَلَيْهَا مِثْلَ نِصْفِهَا، وَذَلِكَ غَيْرُ سَلِيمٍ فَأَضْعِفْهُ، لِيَسْلَمَ يَكُنْ أَرْبَعَةً وَثَلَاثِينَ، وَنِصْفُهُ سَبْعَةَ عَشَرَ تَكُنْ إِحْدَى وَخَمْسِينَ، وَمِنْهَا تَصِحُّ سِهَامُ الْفَرِيضَةِ مَعَ الْوَصِيَّةِ. مِنْهَا لِلزَّوْجَةِ سِتَّةٌ، وَلِلِابْنِ ثَمَانِيَةٌ وَعِشْرُونَ، وَلِلْبِنْتِ أَرْبَعَةَ عَشَرَ، وَلِلْمُوصَى له بتكملة الثلث بنصيب البنت ثلاث أَسْهُمٍ، لِأَنَّكَ إِذَا ضَمَمْتَهَا إِلَى سِهَامِ الْبِنْتِ صَارَتْ سَبْعَةَ عَشَرَ، وَذَلِكَ ثُلُثُ جَمِيعِ الْمَالِ.

Jika kasusnya tetap sama dan seseorang berwasiat kepada seseorang dengan takmīlah sepertiga berupa bagian anak perempuan, maka keluarkan bagian anak perempuan dari saham faraid, yaitu tujuh dari dua puluh empat, maka sisanya tujuh belas. Lalu tambahkan padanya setengahnya, dan itu tidak tepat, maka gandakan agar tepat, menjadi tiga puluh empat, dan setengahnya tujuh belas, sehingga menjadi lima puluh satu. Dari jumlah ini, saham faraid bersama wasiat menjadi sah: untuk istri enam, untuk anak laki-laki dua puluh delapan, untuk anak perempuan empat belas, dan untuk penerima wasiat dengan takmīlah sepertiga berupa bagian anak perempuan tiga saham, karena jika engkau gabungkan dengan saham anak perempuan menjadi tujuh belas, dan itu adalah sepertiga dari seluruh harta.

وَلَوْ أَوْصَى لَهُ بِتَكْمِلَةِ الثُّلُثِ بِنَصِيبِ الِابْنِ كَانَتِ الْوَصِيَّةُ بَاطِلَةً، لِأَنَّ سِهَامَ الِابْنِ أَكْثَرُ من الثلث.

Dan jika ia berwasiat kepadanya dengan takmīlah sepertiga berupa bagian anak laki-laki, maka wasiat itu batal, karena saham anak laki-laki lebih dari sepertiga.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” (ولو قَالَ) مِثْلَ نَصِيبِ أَحَدِ وَرَثَتِي أَعْطَيْتُهُ مِثْلَ أَقَلِّهِمْ نَصِيبًا “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “(Jika ia berkata:) ‘Seperti bagian salah satu ahli warisku, aku memberinya seperti bagian yang paling sedikit di antara mereka.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ؛ لِأَنَّ الْوَصَايَا لَا يُسْتَحَقُّ فِيهَا إِلَّا الْيَقِينُ، وَالْأَقَلُّ يَقِينٌ، وَالزِّيَادَةُ عَلَيْهِ شَكٌّ. فَإِنْ كَانَ سَهْمُ الزوجة أقل، أعطيته مثل أسهام الزوجة، وإن كان نصيب غيرها أقل من البنات، أو بنات الابن، أَعْطَيْتُهُ مِثْلَهُ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar; karena dalam wasiat tidak berhak kecuali yang pasti, dan yang paling sedikit itu pasti, sedangkan kelebihan di atasnya adalah syubhat (keraguan). Jika bagian istri yang paling sedikit, maka berikan kepadanya seperti bagian istri. Jika bagian selainnya lebih sedikit, seperti anak perempuan atau cucu perempuan, maka berikan kepadanya seperti itu.

وَاعْتِبَارُ ذَلِكَ بِاعْتِبَارِ سِهَامِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْوَرَثَةِ مِنْ أَصْلِ فَرِيضَتِهِمْ، فَتَجْعَلُ لِلْمُوصَى لَهُ مِثْلَ سِهَامِ أَقَلِّهِمْ، وَتَضُمُّهُ إِلَى أَصْلِ الْفَرِيضَةِ، ثُمَّ تُقَسِّمُ الْمَالَ بَيْنَ الْمُوصَى لَهُ وَالْوَرَثَةِ، عَلَى مَا اجْتَمَعَ مَعَكَ مِنَ العددين، وقد بيناه.

Penentuan hal tersebut didasarkan pada perhitungan bagian masing-masing ahli waris dari pokok bagian mereka. Maka, untuk penerima wasiat, diberikan bagian sebesar bagian ahli waris yang paling sedikit, lalu bagian itu digabungkan ke dalam pokok bagian warisan. Setelah itu, harta dibagi antara penerima wasiat dan para ahli waris sesuai dengan jumlah yang telah dikumpulkan dari kedua angka tersebut, sebagaimana telah kami jelaskan.

ولو وصى بِمِثْلِ نَصِيبِ أَكْثَرِهِمْ نَصِيبًا، اعْتَبَرْتَهُ، وَزِدْتَهُ عَلَى سِهَامِ الْفَرِيضَةِ، ثُمَّ قَسَّمْتَ مَا اجْتَمَعَ مِنَ العددين على ما وصفنا.

Dan jika wasiat diberikan sebesar bagian ahli waris yang paling banyak bagiannya, maka bagian itu yang dijadikan patokan, lalu ditambahkan ke dalam bagian pokok warisan, kemudian harta yang telah terkumpul dari kedua angka tersebut dibagi sebagaimana telah kami uraikan.

فَعَلَى هَذَا: لَوِ اخْتَلَفَ الْوَرَثَةُ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ، أَرَادَ مِثْلَ أَقَلِّنَا نَصِيبًا، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ أَرَادَ مِثْلَ أَكْثَرِنَا نَصِيبًا، أَعْطَيْتُهُ مِنْ نَصِيبِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْفَرِيقَيْنِ حِصَّتَهُ مِمَّا اعْتَرَفَ به.

Berdasarkan hal ini: jika para ahli waris berbeda pendapat, sebagian mereka berkata, “Ia menghendaki bagian seperti bagian terkecil di antara kami,” dan sebagian lagi berkata, “Bahkan ia menghendaki bagian seperti bagian terbanyak di antara kami,” maka diberikan kepada penerima wasiat bagian dari masing-masing kelompok sesuai dengan pengakuan mereka.

ومثاله: أَنْ يَكُونَ الْوَرَثَةُ ابْنَيْنِ، وَبِنْتَيْنِ، فَيَقُولُ الِابْنَانِ: وصى لك بمثل نصيب ذكر، وتقول الْبِنْتَانِ: وَصَّى لَكَ بِمِثْلِ نَصِيبِ أُنْثَى.

Contohnya: jika ahli waris terdiri dari dua anak laki-laki dan dua anak perempuan, lalu kedua anak laki-laki berkata, “Ia mewasiatkan kepadamu seperti bagian laki-laki,” dan kedua anak perempuan berkata, “Ia mewasiatkan kepadamu seperti bagian perempuan.”

فَوَجْهُ الْعَمَلِ أَنْ يُقَالَ: لَوْ أَرَادَ ذَكَرًا لَكَانَ الْمَالُ مَقْسُومًا، عَلَى ثَمَانِيَةِ أَسْهُمٍ فَرِيضَةِ ثَلَاثَةِ بَنِينَ، وَبِنْتَيْنِ، فَيَكُونُ لِكُلِّ ابْنٍ سَهْمَانِ، وَلِكُلِّ بِنْتٍ سَهْمٌ، وَلِلْمُوصَى لَهُ بِمِثْلِ نَصِيبِ الذَّكَرِ: سهمان.

Cara pelaksanaannya adalah dengan mengatakan: jika yang dimaksud adalah laki-laki, maka harta dibagi menjadi delapan bagian, yaitu pokok bagian untuk tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan. Maka, setiap anak laki-laki mendapat dua bagian, setiap anak perempuan mendapat satu bagian, dan penerima wasiat yang mendapat bagian seperti laki-laki mendapat dua bagian.

وإن أراد أنثى: كان المال مقسوما على سبعة أسهم، فريضة ذكرين وَثَلَاثِ بَنَاتٍ، فَيَكُونُ لِكُلِّ ابْنٍ سَهْمَانِ وَلِكُلِّ بنت سهم، وللموصى له بمثل نصيب أنثى سَهْمٌ.

Dan jika yang dimaksud adalah perempuan: maka harta dibagi menjadi tujuh bagian, yaitu pokok bagian untuk dua anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Maka, setiap anak laki-laki mendapat dua bagian, setiap anak perempuan mendapat satu bagian, dan penerima wasiat yang mendapat bagian seperti perempuan mendapat satu bagian.

فَاضْرِبْ سَبْعَةً فِي ثَمَانِيَةٍ، تَكُنْ سِتَّةً وخمسين. للبنتين سُبْعَاهَا: سِتَّةَ عَشَرَ سَهْمًا، وَلِلْمُوَصَى لَهُ عَلَى أَنَّ لَهُ مِثْلَ نَصِيبِ أنثى: السبع ثمانية أسهم وعلى أن له مثل نصيب ذكر الربع، أربعة عشر سهما، فيكون له اثني عشر وللابنين لو لم يعترفا له بمثل نصيب ذَكَرٍ أَرْبَعَةُ أَسْبَاعِ الْمَالِ اثْنَانِ وَثَلَاثُونَ سَهْمًا، وَلَهُمَا عِنْدَ اعْتِرَافِهِمَا لَهُ بِنَصِيبِ ذَكَرٍ أَرْبَعَةُ أَثْمَانِ الْمَالِ، ثَمَانِيَةٌ وَعِشْرُونَ سَهْمًا.

Kalikan tujuh dengan delapan, hasilnya lima puluh enam. Untuk dua anak perempuan, dua per tujuhnya adalah enam belas bagian. Untuk penerima wasiat, jika ia mendapat seperti bagian perempuan, maka satu per tujuhnya adalah delapan bagian. Jika ia mendapat seperti bagian laki-laki, maka seperempatnya adalah empat belas bagian. Maka, ia mendapat dua belas bagian. Untuk dua anak laki-laki, jika mereka tidak mengakui penerima wasiat mendapat seperti bagian laki-laki, maka empat per tujuh harta adalah tiga puluh dua bagian. Jika mereka mengakui penerima wasiat mendapat seperti bagian laki-laki, maka empat per delapan harta adalah dua puluh delapan bagian.

فَيَرُدُّ الِابْنَانِ مَا بَيْنَ نَصِيبِهِمَا، وَهُوَ أَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ عَلَى الْمُوصَى لَهُ لِيَأْخُذَهُ مَعَ مَا حَصَلَ لَهُ من الأسهم الثمانية، فيصير له اثني عَشَرَ سَهْمًا، وَلِلْبِنْتَيْنِ سِتَّةَ عَشَرَ سَهْمًا، وَلِلِابْنَيْنِ ثَمَانِيَةٌ وَعِشْرُونَ سَهْمًا وَيَرْجِعُ بِالِاخْتِصَارِ إِلَى نِصْفِهَا … ثم على هذا القياس.

Maka kedua anak laki-laki mengembalikan selisih bagian mereka, yaitu empat bagian, kepada penerima wasiat agar ia mengambilnya bersama delapan bagian yang telah ia peroleh, sehingga menjadi dua belas bagian. Untuk dua anak perempuan enam belas bagian, dan untuk dua anak laki-laki dua puluh delapan bagian. Kesimpulannya, hasil akhirnya kembali kepada setengah dari jumlah tersebut … dan demikian seterusnya menurut qiyās ini.

فصل:

Fasal:

ولو ترك ابْنًا، وَبِنْتًا، وَأَوْصَى لِرَجُلٍ بِمِثْلِ نَصِيبِ الِابْنِ، ولآخر بمثل نصيب البنت فهذا على ضربين:

Jika seseorang meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, lalu ia mewasiatkan kepada seseorang sebesar bagian anak laki-laki, dan kepada orang lain sebesar bagian anak perempuan, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أحدهما: أن يوصي بِمِثْلِ نَصِيبِ الْبِنْتِ قَبْلَ دُخُولِ الْوَصِيَّةِ عَلَيْهَا.

Pertama: ia mewasiatkan sebesar bagian anak perempuan sebelum wasiat itu masuk ke dalam bagiannya.

والثاني: أن يكون بَعْدَ دُخُولِ الْوَصِيَّةِ عَلَيْهَا. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ للموصى له بمثل نصيب الابن ربع المال، وللموصى له بِمِثْلِ نَصِيبِ الْبِنْتِ قَبْلَ دُخُولِ الْوَصِيَّةِ عَلَيْهَا خمس المال، فتصير الوصيتان بخمس المال وربعه، فتوقف على أجازتهما.

Kedua: wasiat itu diberikan setelah wasiat masuk ke dalam bagiannya. Dalam hal ini, penerima wasiat sebesar bagian anak laki-laki mendapat seperempat harta, dan penerima wasiat sebesar bagian anak perempuan sebelum wasiat masuk ke dalam bagiannya mendapat seperlima harta. Maka kedua wasiat itu menjadi seperlima dan seperempat harta, sehingga pelaksanaannya tergantung pada persetujuan ahli waris.

والضرب الثاني: أن يريد بِمِثْلِ نَصِيبِ الْبِنْتِ بَعْدَ دُخُولِ الْوَصِيَّةِ عَلَيْهَا، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ لِلْمُوصَى لَهُ بِمِثْلِ نَصِيبِ الْابْنِ خُمُسُ الْمَالِ وَلِلْمُوصَى لَهُ بِمِثْلِ نَصِيبِ البنت سدس المال فتصير الوصيتان بخمس المال وسدسه، فتوقف على إجازتهما.

Keadaan kedua: jika yang dimaksud adalah sebesar bagian anak perempuan setelah wasiat masuk ke dalam bagiannya, maka penerima wasiat sebesar bagian anak laki-laki mendapat seperlima harta, dan penerima wasiat sebesar bagian anak perempuan mendapat seperenam harta. Maka kedua wasiat itu menjadi seperlima dan seperenam harta, sehingga pelaksanaannya tergantung pada persetujuan ahli waris.

ولو ابتدى فَوَصَّى لِرَجُلٍ بِمِثْلِ نَصِيبِ الْبِنْتِ، وَلِآخَرَ بِمِثْلِ نَصِيبِ الْابْنِ، فَإِنْ أَرَادَ قَبْلَ دُخُولِ الْوَصِيَّةِ عليه كَانَ لَهُ خُمُسَا الْمَالِ وَإِنْ أَرَادَ بَعْدَ دخول الوصية، كَانَ لَهُ ثُلُثُ الْمَالِ … ثُمَّ عَلَى هَذَا القياس.

Jika seseorang memulai dengan mewasiatkan kepada seseorang sebesar bagian anak perempuan, dan kepada orang lain sebesar bagian anak laki-laki, maka jika dimaksudkan sebelum wasiat masuk ke dalam bagiannya, maka ia mendapat dua perlima harta. Jika dimaksudkan setelah wasiat masuk ke dalam bagiannya, maka ia mendapat sepertiga harta … dan demikian seterusnya menurut qiyās ini.

فصل:

Fasal:

ولو ترك بنتا، وأختا، وَأَوْصَى لِرَجُلٍ بِمِثْلِ نَصِيبِ الْبِنْتِ: فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي قَدْرِ مَا يَسْتَحِقُّهُ الْمُوصَى لَهُ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika seseorang meninggalkan seorang anak perempuan dan seorang saudari, lalu ia mewasiatkan kepada seseorang sebesar bagian anak perempuan, maka para ulama kami berbeda pendapat tentang besarnya bagian yang berhak diterima oleh penerima wasiat, dengan dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهُ الرُّبُعُ نِصْفُ حِصَّةِ الْبِنْتِ، لِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَحَقَّ مَعَ الِابْنِ الْوَاحِدِ إِذَا أَوْصَى لَهُ بِمِثْلِ نَصِيبِهِ النِّصْفَ، لِأَنَّهُ نِصْفُ نَصِيبِ الِابْنِ، وَجَبَ أَنْ يَسْتَحِقَّ مَعَ البنت الواحدة، (النصف من النصف) لِأَنَّهُ نِصْفُ نَصِيبِهَا.

Pertama: ia mendapat seperempat, yaitu setengah bagian anak perempuan. Karena ketika ia berhak mendapatkan setengah bagian bersama satu anak laki-laki jika diwasiatkan kepadanya sebesar bagian anak laki-laki, sebab itu adalah setengah bagian anak laki-laki, maka wajib pula ia mendapat setengah bagian anak perempuan jika bersama satu anak perempuan, yaitu setengah dari setengah, karena itu adalah setengah bagian anak perempuan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ لَهُ الثُّلُثُ، لِأَنَّهُ يَصِيرُ مَعَ الْبِنْتِ الْوَاحِدَةِ، كَبِنْتٍ ثَانِيَةٍ، كَمَا يَصِيرُ مَعَ الِابْنِ الْوَاحِدِ كابن ثان وللواحدة من البنتين الثلث.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih: baginya sepertiga, karena ia bersama satu anak perempuan, seperti anak perempuan kedua, sebagaimana ia bersama satu anak laki-laki seperti anak laki-laki kedua, dan untuk satu dari dua anak perempuan adalah sepertiga.

وكذلك الموصى له بمثل نصيب البنت الواحدة الثلث.

Demikian pula, orang yang diwasiatkan dengan bagian seperti bagian satu anak perempuan, maka baginya sepertiga.

وعلى هذا: لو أوصى بِمِثْلِ نَصِيبِ أُخْتٍ مَعَ عَمٍّ، كَانَ فِيمَا يَسْتَحِقُّهُ بِالْوَصِيَّةِ وَجْهَانِ:

Berdasarkan hal ini: jika seseorang berwasiat dengan bagian seperti bagian seorang saudari bersama paman, maka dalam hak yang ia peroleh dari wasiat itu terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: الرُّبُعُ.

Salah satunya: seperempat.

وَالثَّانِي: الثُّلُثُ.

Dan yang kedua: sepertiga.

وَهَكَذَا: لَوْ لَمْ يَرِثْ مَعَ الْبِنْتِ وَالْأُخْتِ غيرها لأن لكل واحدة منهما لو انْفَرَدَتِ النِّصْفَ، وَالْبَاقِي لِبَيْتِ الْمَالِ.

Demikian pula: jika tidak ada ahli waris selain anak perempuan dan saudari, karena masing-masing dari mereka jika sendirian mendapat setengah, dan sisanya untuk baitul mal.

فَعَلَى هَذَا: لَوْ وَصَّى بِمِثْلِ نَصِيبِ أَخٍ لِأُمٍّ، فَلَهُ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ نِصْفُ السُّدُسِ، وَفِي الْآخَرِ السدس والله أعلم.

Berdasarkan hal ini: jika seseorang berwasiat dengan bagian seperti bagian saudara seibu, maka menurut salah satu pendapat ia mendapat setengah dari seperenam, dan menurut pendapat lain seperenam. Dan Allah lebih mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” (وَلَوْ قَالَ) ضِعْفُ مَا يُصِيبُ أَحَدُ وَلَدِي أعطيته مثله مرتين (وإن قَالَ) ضِعْفَيْنِ فَإِنْ كَانَ نَصِيبُهُ مِائَةً أَعْطَيْتُهُ ثلثمائة فكنت قد أضعفت المائة التي تصيبه بمنزلة مرة بعد مَرَّةٍ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “(Jika ia berkata:) dua kali lipat dari bagian salah satu anakku, maka aku memberinya dua kali bagiannya. (Dan jika ia berkata:) dua kali lipat, maka jika bagiannya seratus, aku memberinya tiga ratus, sehingga aku telah melipatgandakan seratus yang menjadi bagiannya sebanyak dua kali.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا أَوْصَى لِرَجُلٍ بِمِثْلِ ضِعْفِ نَصِيبِ أَحَدِ أَوْلَادِهِ، كان الضعف مثل أحد النصيبين.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: jika seseorang berwasiat kepada seseorang dengan bagian seperti dua kali lipat bagian salah satu anaknya, maka dua kali lipat itu seperti salah satu dari dua bagian.

فَإِنْ كَانَ نَصِيبُ الِابْنِ مِائَةً كَانَ لِلْمُوصَى له بالضعف مائتين، وبه قال جمهور الفقهاء وبه قال الْفَرَّاءِ، وَأَكْثَرِ أَهْلِ اللُّغَةِ.

Jika bagian anak laki-laki adalah seratus, maka bagi orang yang diwasiati dengan dua kali lipat adalah dua ratus. Demikian pendapat jumhur fuqaha dan demikian pula pendapat al-Farra’, dan mayoritas ahli bahasa.

وَقَالَ مَالِكٌ: الضِّعْفُ مثل واحد، فسوى بين المثل والضعف. وَبِهِ قَالَ مِنْ أَهْلِ اللُّغَةِ: أَبُو عُبَيْدَةَ مَعْمَرُ بْنُ الْمُثَنَّى اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، يضاعف لها العذاب ضعفين} .

Malik berkata: “Dua kali lipat itu seperti satu,” sehingga ia menyamakan antara “seperti” dan “dua kali lipat”. Demikian pula pendapat dari ahli bahasa: Abu ‘Ubaidah Ma‘mar bin al-Mutsanna, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {Wahai istri-istri Nabi, barang siapa di antara kalian yang berbuat keji yang nyata, maka akan dilipatgandakan azabnya dua kali lipat}.”

فَلَمَّا أَرَادَ بِالضِّعْفَيْنِ مِثْلَيْنِ، عُلِمَ أَنَّ الضِّعْفَ الواحد مثل واحد.

Ketika yang dimaksud dengan dua kali lipat adalah dua kali, maka diketahui bahwa satu kali lipat itu sama dengan satu kali.

واستدلوا على أن المراد بضعفي العذاب مثليه بِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُعَاقِبَ عَلَى السَّيِّئَةِ بِأَكْثَرَ مِمَّا يُجَازِي عَلَى الْحَسَنَةِ.

Mereka berdalil bahwa yang dimaksud dengan dua kali lipat azab adalah dua kali, karena tidak boleh menghukum atas keburukan dengan lebih dari balasan atas kebaikan.

وَقَدْ قَالَ تَعَالَى فِي نِسَاءِ النَّبِيِّ: {وَمَنْ يَقْنُتْ مِنْكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعْمَلْ صَالِحًا نُؤْتِهَا أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ} [الأحزاب: 31] .

Dan Allah Ta‘ala berfirman tentang istri-istri Nabi: {Dan barang siapa di antara kalian yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta beramal saleh, Kami akan memberinya pahalanya dua kali} [al-Ahzab: 31].

فَعُلِمَ أَنَّ مَا جَعَلَهُ مِنْ ضِعْفِ الْعَذَابِ عَلَى السَّيِّئَةِ مَرَّتَيْنِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الضِّعْفَ وَالْمِثْلَ وَاحِدٌ.

Maka diketahui bahwa apa yang dijadikan sebagai dua kali lipat azab atas keburukan adalah dua kali, sehingga menunjukkan bahwa “dua kali lipat” dan “dua kali” itu sama.

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ الضِّعْفَ مثلان هو اخْتِلَافَ الْأَسْمَاءِ تُوجِبُ اخْتِلَافَ الْمُسَمَّى إِلَّا مَا خُصَّ بِدَلِيلٍ وَلِأَنَّ الضِّعْفَ أَعَمُّ فِي اللُّغَةِ مِنَ الْمِثْلِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسَوى بَيْنَهُ وبين المثل.

Dan dalil bahwa “dua kali lipat” adalah dua kali adalah perbedaan nama menunjukkan perbedaan makna, kecuali ada dalil khusus, dan karena “dua kali lipat” lebih umum dalam bahasa daripada “dua kali”, maka tidak boleh disamakan antara keduanya.

ولأن انشقاق الضعف من المضاعفة، والتنبيه من قولهم أضعف الثَّوْبَ إِذَا طَوَيْتَهُ بِطَاقَتَيْنِ وَنَرْجِسٌ مُضَاعَفٌ: إِذَا كَانَ مَوْضِعُ كُلِّ طَاقَةٍ، طَاقَتَيْنِ وَمَكَانُ كُلِّ وَرَقَةٍ، وَرَقَتَيْنِ. فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الضِّعْفُ مِثْلَيْنِ.

Karena kata “dua kali lipat” berasal dari kata “melipatgandakan”, dan penjelasannya dari ucapan mereka: “Aku melipatgandakan kain” jika engkau melipatnya menjadi dua lapis, dan bunga narcisus yang berlapis: jika setiap lapisan terdiri dari dua lapisan, dan setiap daun terdiri dari dua daun. Maka ini menunjukkan bahwa “dua kali lipat” adalah dua kali.

وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَضْعَفَ الصَّدَقَةَ عَلَى نَصَارَى بَنِي تَغْلِبَ، أَيْ أَخَذَ مَكَانَ الصَّدَقَةِ صَدَقَتَيْنِ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُ الشَّاعِرِ فِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرٍ:

Diriwayatkan bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu melipatgandakan zakat atas Nasrani Bani Taghlib, yaitu ia mengambil dua zakat sebagai ganti satu zakat, dan hal ini juga ditunjukkan oleh ucapan penyair tentang ‘Abdullah bin ‘Amir:

(وَأَضْعَفَ عبد الله إذا كان حَظُّهُ … عَلَى حَظِّ لَهْفَانٍ مِنَ الْخَرْصِ فَاغِرِ)

(Abdullah melipatgandakan jika bagiannya … atas bagian Lahfan dari hasil panen yang melimpah)

أراد به إعطائه مِثْلَيْ جَائِزَةِ اللَّهْفَانِ.

Yang dimaksud adalah memberinya dua kali hadiah Lahfan.

فَأَمَّا الْآيَةُ: فَعَنْهَا جَوَابَانِ: أَحَدُهُمَا مَا قَالَهُ أَبُو الْعَبَّاسِ عَنِ الْأَثْرَمِ عَنْ بَعْضِ الْمُفَسِّرِينَ: أَنَّهُ جَعَلَ عَذَابَهُنَّ إِذَا أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ ثَلَاثَةَ أماثل عَذَابِ غَيْرِهِنَّ فَلَمْ يَكُنْ فِيهِ دَلِيلٌ.

Adapun ayat tersebut, maka ada dua jawaban: salah satunya adalah apa yang dikatakan Abu al-‘Abbas dari al-Athram dari sebagian mufassir, bahwa Allah menjadikan azab mereka jika berbuat keji tiga kali lipat dari azab selain mereka, sehingga tidak ada dalil di dalamnya.

وَالثَّانِي: أَنَّ الضِّعْفَ قَدْ يُسْتَعْمَلُ فِي مَوْضِعِ الْمِثْلِ مجازا، إذا صرفه الدليل عن حَقِيقَتِهِ. وَلَيْسَتِ الْأَحْكَامُ مُعَلِّقَةً بِالْمَجَازِ وَإِنَّمَا تَتَعَلَّقُ بِالْحَقَائِقِ.

Yang kedua: bahwa “dua kali lipat” kadang digunakan dalam makna “dua kali” secara majaz, jika ada dalil yang memalingkannya dari makna hakiki. Dan hukum-hukum tidak bergantung pada makna majaz, melainkan bergantung pada makna hakiki.

فَصْلٌ:

Fashal:

فَأَمَّا إِذَا أَوْصَى لَهُ بِضِعْفَيْ نَصِيبِ ابْنِهِ، فَقَدِ اخْتَلَفُوا فِيهِ عَلَى ثَلَاثَةِ مذاهب.

Adapun jika seseorang berwasiat kepadanya dengan dua kali lipat bagian anaknya, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga mazhab.

أحدهما: وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ، أَنَّ لَهُ مِثْلَيْ نَصِيبِهِ، لِأَنَّهُ جَعَلَ الضِّعْفَ مِثْلًا فَجَعَلَ الضِّعْفَيْنِ مِثْلَيْنِ.

Salah satunya, dan ini adalah mazhab Malik, bahwa baginya dua kali bagian anaknya, karena ia menjadikan “dua kali lipat” sebagai dua kali, maka “dua kali lipat” berarti dua kali.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي ثَوْرٍ أَنَّهُ لَهُ أَرْبَعَةُ أَمْثَالِ نَصِيبِهِ، لِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَحَقَّ بِالضِّعْفِ مِثْلَيْنِ، اسْتَحَقَّ بِالضِّعْفَيْنِ أَرْبَعَةَ أَمْثَالٍ.

Madzhab kedua: yaitu madzhab Abu Tsaur, bahwa ia berhak mendapatkan empat kali lipat bagiannya, karena ketika ia berhak dengan dua kali lipat, maka ia mendapatkan dua kali bagiannya, sehingga dengan dua kali dua, ia berhak atas empat kali lipat.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ، أَنَّ لَهُ بِالضِّعْفَيْنِ ثَلَاثَةَ أَمْثَالِ نَصِيبِهِ.

Madzhab ketiga: yaitu madzhab asy-Syafi‘i dan jumhur fuqaha, bahwa ia dengan dua kali lipat berhak atas tiga kali lipat bagiannya.

فَإِنْ كَانَ نصيب الابن مائة استحق بالضعفين، ثلاثة مائة، لِأَنَّهُ لَمَّا أَخَذَ بِالضِّعْفِ سَهْمَ الِابْنِ وَمِثْلَهُ حتى استحق مثليه وجب أن يأخذ بالضعفين بسهم الِابْنِ وَمِثْلَيْهِ فَيَسْتَحِقُّ بِهِ ثَلَاثَةَ أَمْثَالِهِ.

Jika bagian anak laki-laki adalah seratus, maka dengan dua kali lipat ia berhak atas tiga ratus, karena ketika ia mengambil dengan dua kali lipat bagian anak laki-laki dan semisalnya hingga ia berhak atas dua kali lipat, maka wajib ia mengambil dengan dua kali lipat bagian anak laki-laki dan dua kali semisalnya, sehingga ia berhak atas tiga kali lipat.

فَعَلَى هذا: لو أوصى له ثلاثة أَضْعَافِ نَصِيبِ ابْنِهِ اسْتَحَقَّ أَرْبَعَةَ أَمْثَالِهِ.

Berdasarkan hal ini: jika seseorang berwasiat untuknya tiga kali lipat bagian anaknya, maka ia berhak atas empat kali lipat.

وَبِأَرْبَعَةِ أضعافه: خمسة أمثاله. وكذلك فيما زاد. والله أعلم بالصواب.

Dan dengan empat kali lipat: lima kali lipat. Begitu pula untuk jumlah yang lebih banyak. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: (وَلَوْ قَالَ) لِفُلَانٍ نَصِيبٌ أَوْ حَظٌّ أَوْ قليل أو كثير من مالي ما عرفت لكثير حدا ووجدت ربع دينار قليلا تقطع فيه اليد ومائتي درهم كثيرا فيها زكاة وكل ما وقع عليه اسم قليل وقع عليه اسم كثير وقيل للورثة أعطوه ما شئتم ما يقع عليه اسم ما قال الميت “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berkata kepada si Fulan: ‘Bagian’ atau ‘jatah’ atau ‘sedikit’ atau ‘banyak’ dari hartaku, aku tidak mengetahui batasan ‘banyak’, dan aku dapati seperempat dinar itu sedikit yang dengannya tangan dipotong, dan dua ratus dirham itu banyak yang wajib dizakati. Setiap sesuatu yang dinamai ‘sedikit’ juga dinamai ‘banyak’. Maka dikatakan kepada para ahli waris: ‘Berikanlah kepadanya apa yang kalian kehendaki yang masuk dalam istilah yang diucapkan mayit.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا أَوْصَى لِرَجُلٍ بِنَصِيبٍ مِنْ مَالِهِ، أَوْ حَظٍّ، أَوْ قسط، أو قليل، أو كثير ولم يجد ذَلِكَ بِشَيْءٍ فَالْوَصِيَّةُ جَائِزَةٌ، وَيَرْجِعُ فِي بَيَانِهَا إلى الورثة فيما بَيَّنُوهُ مِنْ شَيْءٍ كَانَ قَوْلُهُمْ فِيهِ مَقْبُولًا، فَإِنِ ادَّعَى الْمُوصَى لَهُ أَكْثَرَ مِنْهُ أَحْلَفَهُمْ عَلَيْهِ، لِأَنَّ هَذِهِ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا لَا تَخْتَصُّ فِي اللُّغَةِ، وَلَا فِي الشَّرْعِ، وَلَا فِي العرف بمقدار معلوم، ولا لاستعمالها في القليل وَالْكَثِيرِ حَدٌّ، لِأَنَّ الشَّيْءَ قَدْ يَكُونُ قَلِيلًا إِذَا أُضِيفَ إِلَى مَا هُوَ أَكْثَرُ مِنْهُ، وَيَكُونُ كَثِيرًا إِذَا أُضِيفَ إِلَى مَا هُوَ أَقَلُّ مِنْهُ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: jika seseorang berwasiat kepada seseorang dengan ‘bagian’ dari hartanya, atau ‘jatah’, atau ‘porsi’, atau ‘sedikit’, atau ‘banyak’ dan tidak ditemukan batasannya, maka wasiat itu sah, dan penjelasannya dikembalikan kepada para ahli waris dalam hal yang mereka jelaskan, maka ucapan mereka diterima. Jika penerima wasiat mengklaim lebih dari itu, maka mereka diminta bersumpah atasnya. Karena semua istilah ini tidak memiliki batasan tertentu dalam bahasa, syariat, maupun adat, dan tidak ada batasan untuk penggunaan ‘sedikit’ dan ‘banyak’, karena sesuatu bisa dianggap sedikit jika dibandingkan dengan yang lebih banyak darinya, dan bisa dianggap banyak jika dibandingkan dengan yang lebih sedikit darinya.

وَحُكِيَ عَنْ عَطَاءٍ، وَعِكْرِمَةَ: أَنَّ الْوَصِيَّةَ بِمَا لَيْسَ بِمَعْلُومٍ مِنَ الْحَظِّ وَالنَّصِيبِ بَاطِلَةٌ لِلْجَهْلِ بِهَا.

Diriwayatkan dari ‘Atha’ dan ‘Ikrimah: bahwa wasiat dengan sesuatu yang tidak diketahui dari ‘jatah’ dan ‘bagian’ adalah batal karena ketidakjelasan.

وَهَذَا فَاسِدٌ: لِأَنَّ الْجَهْلَ بِالْوَصَايَا لَا يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِهَا، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ أَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ قَدْرَهُ جَازَتِ الْوَصِيَّةُ مَعَ الْجَهْلِ بِهَا. وَقَدْ أَوْصَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ لِثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِ وَلَدِهِ.

Dan ini tidak benar, karena ketidaktahuan dalam wasiat tidak menghalangi keabsahannya. Bukankah engkau melihat jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya padahal ia tidak mengetahui jumlahnya, maka wasiat itu sah meski tidak diketahui nilainya. Dan Anas bin Malik pernah berwasiat kepada Tsabit al-Bunani dengan bagian seperti salah satu anaknya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا أَوْصَى لَهُ بِسَهْمٍ مِنْ مَالِهِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِيهِ، فَحُكِيَ عن ابن مسعود وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ، وَإِيَاسِ بْنِ مُعَاوِيَةَ وَسُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وأحمد بن حنبل أنه لَهُ سُدُسَ الْمَالِ. وَقَالَ شُرَيْحٌ: يُدْفَعُ لَهُ سَهْمٌ وَاحِدٌ مِنْ سِهَامِ الْفَرِيضَةِ.

Adapun jika ia berwasiat untuknya dengan ‘saham’ dari hartanya, maka para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, al-Hasan al-Bashri, Iyas bin Mu‘awiyah, Sufyan ats-Tsauri, dan Ahmad bin Hanbal bahwa ia berhak atas seperenam harta. Syuraih berkata: diberikan kepadanya satu saham dari saham-saham faraidh.

وَقَالَ أبو حنيفة: يُدْفَعُ إِلَيْهِ مِثْلُ نَصِيبِ أَقَلِّ الْوَرَثَةِ نَصِيبًا، مَا لَمْ يُجَاوِزِ السُّدُسَ، فَإِنْ جَاوَزَهُ أُعْطِيَ السُّدُسَ.

Abu Hanifah berkata: diberikan kepadanya bagian seperti bagian ahli waris yang paling sedikit, selama tidak melebihi seperenam. Jika melebihi, maka diberikan seperenam.

وَقَالَ أبو يوسف، ومحمد: يُعْطَى نصيب أقلهم مثل نَصِيبًا مَا لَمْ يُجَاوِزِ الثُّلُثَ، فَإِنْ جَاوَزَهُ، أعطي الثلث.

Abu Yusuf dan Muhammad berkata: diberikan bagian seperti bagian ahli waris yang paling sedikit, selama tidak melebihi sepertiga. Jika melebihi, maka diberikan sepertiga.

وقال أبو ثور. أعطيته سَهْمًا مِنْ أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ سَهْمًا.

Abu Tsaur berkata: aku memberinya satu saham dari dua puluh empat saham.

وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: السَّهْمُ اسْمٌ عَامٌّ لَا يَخْتَصُّ بِقَدْرٍ مَحْدُودٍ، لانطلاقه على القليل والكثير، كالحظ والنصيب، فيرجع إِلَى بَيَانِ الْوَارِثِ.

Asy-Syafi‘i berkata: ‘Saham’ adalah istilah umum yang tidak khusus pada jumlah tertentu, karena bisa bermakna sedikit maupun banyak, seperti halnya ‘jatah’ dan ‘bagian’, sehingga penjelasannya dikembalikan kepada ahli waris.

فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ رَوَى ابْنُ مَسْعُودٍ: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فرض لرجل أوصى له سهما سُدُسًا.

Jika dikatakan: telah diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud bahwa Nabi ﷺ menetapkan untuk seseorang yang diwasiati satu saham, yaitu seperenam.

قِيلَ: هِيَ قَضِيَّةٌ فِي عَيْنٍ، يُحْتَمَلُ أن تكون البينة قامت بالسدس واعترف به الورثة.

Dijawab: Itu adalah kasus khusus, mungkin saja ada bukti yang menunjukkan seperenam dan para ahli waris mengakuinya.

وإذا ثَبَتَ أَنَّهُ يُرْجَعُ فِيهِ إِلَى بَيَانِ الْوَرَثَةِ قبل منهم ما بينوه، من قليل أو كثير.

Jika telah tetap bahwa penjelasannya dikembalikan kepada ahli waris, maka diterima dari mereka apa yang mereka jelaskan, baik sedikit maupun banyak.

فإن نوزعوا، أحلفوا.

Jika terjadi perselisihan, mereka diminta bersumpah.

فإن لم يبينوا لم يخل حَالُهُمْ مِنْ أَنْ يَكُونَ عِنْدَهُمْ بَيَانٌ، أَوْ لَا يَكُونَ. فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُمْ بيان: رَجَعَ إِلَى بَيَانِ الْمُوصَى لَهُ. فَإِنْ نُوزِعَ، أُحْلِفَ.

Jika mereka tidak menjelaskan, maka keadaan mereka tidak lepas dari dua kemungkinan: mereka memiliki penjelasan atau tidak. Jika mereka tidak memiliki penjelasan, maka dikembalikan kepada penjelasan penerima wasiat. Jika terjadi perselisihan, ia diminta bersumpah.

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَ الْمُوصَى لَهُ بيان وَقَفَ الثُّلُثُ عَلَى مَا يَكُونُ مِنْ بَيَانِ أَحَدِهِمَا، وَتَصَرَّفَ الْوَرَثَةُ فِي الثُّلُثَيْنِ، وَإِنْ كَانَ عِنْدَهُمْ بَيَانٌ، فَأَبَوْا أَنْ يُبَيِّنُوهُ فَفِيهِ وَجْهَانِ من اختلاف قوليه فيمن أقر بمجمل وامتنع أَنْ يُبَيِّنَ.

Jika penerima wasiat tidak memiliki penjelasan, maka sepertiga harta ditangguhkan sampai ada penjelasan dari salah satu pihak, dan para ahli waris dapat bertindak atas dua pertiga sisanya. Namun jika mereka memiliki penjelasan, lalu mereka enggan untuk menjelaskannya, maka terdapat dua pendapat yang berbeda sebagaimana perbedaan pendapat dalam kasus seseorang yang mengakui sesuatu secara global lalu menolak untuk merincinya.

أَحَدُهُمَا: يُحْبَسُ الْوَارِثُ حَتَّى يُبَيِّنَ.

Salah satunya: Ahli waris ditahan hingga ia memberikan penjelasan.

وَالثَّانِي: يُرْجَعُ إِلَى بَيَانِ الْمُوصَى لَهُ وَاللَّهُ أعلم.

Dan yang kedua: Dikembalikan kepada penjelasan dari penerima wasiat. Dan Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ أَوْصَى لِرَجُلٍ بِثُلُثِ مَالِهِ وَلِآخَرَ بِنِصْفِهِ ولآخر بربعه فلم تجز الْوَرَثَةُ قُسِّمَ الثُّلُثُ عَلَى الْحِصَصِ، وَإِنْ أَجَازُوا قُسِمَ الْمَالُ عَلَى ثَلَاثَةَ عَشَرَ جُزْءًا لِصَاحِبِ النِّصْفِ سِتَّةٌ وَلِصَاحِبِ الثُّلُثِ أَرْبَعَةٌ وَلِصَاحِبِ الرُّبُعِ ثَلَاثَةٌ حَتَّى يَكُونُوا سَوَاءً فِي الْعَوْلِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berwasiat kepada seorang laki-laki dengan sepertiga hartanya, kepada yang lain dengan setengahnya, dan kepada yang lain lagi dengan seperempatnya, lalu para ahli waris tidak mengizinkan, maka sepertiga harta dibagi menurut bagian masing-masing. Namun jika mereka mengizinkan, maka harta dibagi menjadi tiga belas bagian: untuk pemilik setengah mendapat enam bagian, pemilik sepertiga mendapat empat bagian, dan pemilik seperempat mendapat tiga bagian, sehingga mereka setara dalam ‘aul.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي رَجُلٍ أَوْصَى لِرَجُلٍ بِنِصْفِ مَالِهِ، وَلِآخَرَ بِثُلُثِهِ، وَلِآخَرَ بربعه.

Al-Mawardi berkata: Bentuk masalah ini adalah: Seseorang berwasiat kepada seorang laki-laki dengan setengah hartanya, kepada yang lain dengan sepertiganya, dan kepada yang lain lagi dengan seperempatnya.

فقد عالت المسألة على كل ماله فلا يخلوا حاله وَرَثَتِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ إِمَّا أَنْ يُجِيزُوا جميعا، أو لا يجيزوا جميعا، أو يجيز بعضهم، ويرد بعضهم.

Maka masalah ini telah mengalami ‘aul atas seluruh hartanya, sehingga keadaan ahli warisnya tidak lepas dari tiga kemungkinan: apakah mereka semua mengizinkan, atau tidak ada yang mengizinkan sama sekali, atau sebagian mengizinkan dan sebagian menolak.

فإن أجازوا جميعا: قُسِّمَ الْمَالُ بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ وَصَايَاهُمْ، وَأَصْلُهَا مِنَ اثْنَيْ عَشَرَ، لِاجْتِمَاعِ الثُّلُثِ وَالرُّبُعِ، وَتَعُولُ بِسَهْمٍ، وَتَصِحُّ مِنْ ثَلَاثَةَ عَشَرَ، لِصَاحِبِ النِّصْفِ سِتَّةُ أَسْهُمٍ.

Jika mereka semua mengizinkan: maka harta dibagi di antara mereka sesuai dengan bagian wasiatnya, dan asal pembagiannya dari dua belas bagian, karena berkumpulnya sepertiga dan seperempat, lalu menjadi ‘aul dengan satu bagian, sehingga sah dari tiga belas bagian, untuk pemilik setengah mendapat enam bagian.

وَلِصَاحِبِ الثُّلُثِ أَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ، وَلِصَاحِبِ الرُّبُعِ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ. وَكَانَ النَّقْصُ بِسَهْمِ الْعَوْلِ دَاخِلًا عَلَى جَمِيعِهِمْ، كَالْمَوَارِيثِ. وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، لم يخالف أبو حنيفة ولا غيره فيه والله أعلم.

Untuk pemilik sepertiga mendapat empat bagian, dan untuk pemilik seperempat mendapat tiga bagian. Kekurangan karena ‘aul masuk ke semua penerima, sebagaimana dalam warisan. Hal ini telah menjadi kesepakatan, tidak ada perbedaan pendapat dari Abu Hanifah maupun selainnya dalam hal ini. Dan Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ رَدَّ الْوَرَثَةُ الْوَصَايَا بِكُلِّ الْمَالِ رَجَعَتْ إِلَى الثُّلُثِ، وَكَانَ الثُّلُثُ مَقْسُومًا بَيْنَهُمْ بِالْحِصَصِ عَلَى ثَلَاثَةَ عَشَرَ سَهْمًا، كَمَا اقْتَسَمُوا كُلَّ الْمَالِ مَعَ الْإِجَازَةِ.

Jika para ahli waris menolak wasiat atas seluruh harta, maka kembali kepada sepertiga, dan sepertiga tersebut dibagi di antara mereka menurut bagian masing-masing atas tiga belas bagian, sebagaimana mereka membagi seluruh harta jika diizinkan.

فَيَكُونُ لِصَاحِبِ النِّصْفِ سِتَّةُ أَسْهُمٍ، وَلِصَاحِبِ الثُّلُثِ أَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ، وَلِصَاحِبِ الرُّبُعِ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ. وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ، وَمَالِكٌ، وأبو يوسف، ومحمد، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ.

Maka pemilik setengah mendapat enam bagian, pemilik sepertiga mendapat empat bagian, dan pemilik seperempat mendapat tiga bagian. Pendapat ini dikemukakan oleh Asy-Syafi‘i, Malik, Abu Yusuf, Muhammad, Ahmad, dan Ishaq.

وَقَالَ أبو حنيفة: أَرُدُّ مِنْ وَصِيَّةِ صَاحِبِ النِّصْفِ مَا زَادَ عَلَى الثُّلُثِ، لِيَسْتَوِيَ فِي الْوَصِيَّةِ صَاحِبُ الثُّلُثِ، وَصَاحِبُ النِّصْفِ، وَيَكُونُ الثُّلُثُ مَقْسُومًا بَيْنَهُمْ على أحد عشر سهما. لصاحب النِّصْفِ أَرْبَعَةٌ، وَلِصَاحِبِ الثُّلُثِ أَرْبَعَةٌ، وَلِصَاحِبِ الرُّبُعِ ثَلَاثَةٌ، اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ:

Abu Hanifah berkata: Aku mengurangi dari wasiat pemilik setengah bagian yang melebihi sepertiga, agar pemilik sepertiga dan pemilik setengah menjadi sama dalam wasiat, dan sepertiga dibagi di antara mereka atas sebelas bagian: pemilik setengah mendapat empat bagian, pemilik sepertiga mendapat empat bagian, dan pemilik seperempat mendapat tiga bagian, dengan dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يَمْلِكُ الزيادة على الثلث، لاستحقاق الورثة لها، فيبطل حُكْمُهَا وَصَارَ كَمَنْ وَصَّى بِمَالِهِ وَمَالِ غَيْرِهِ، تمضي الوصية في ماله، وَتُرَدُّ فِي مَالِ غَيْرِهِ.

Pertama: Ia tidak berhak mewasiatkan lebih dari sepertiga, karena sisanya menjadi hak ahli waris, sehingga wasiat yang melebihi sepertiga batal, dan keadaannya seperti orang yang berwasiat atas hartanya dan harta orang lain; maka wasiat berlaku atas hartanya dan dibatalkan atas harta orang lain.

وَالثَّانِي: أَنَّ الزِّيَادَةَ على الثلث تَضَمَّنَتْ تَقْدِيرًا وَتَفْضِيلًا، فَلَمَّا بَطَلَ التَّقْدِيرُ، بَطَلَ التفصيل.

Kedua: Tambahan atas sepertiga mengandung unsur penetapan dan pembedaan, maka ketika penetapan itu batal, pembedaan pun batal.

وَتَحْرِيرُهُ: أَنَّهُ أَحَدُ مَقْصُودَيِ الزِّيَادَةِ، فَوَجَبَ أَنْ يَبْطُلَ كَالتَّقْدِيرِ.

Penjelasannya: Bahwa pembedaan itu adalah salah satu tujuan dari tambahan tersebut, maka wajib untuk dibatalkan sebagaimana penetapan.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ لَمَّا قَصَدَ تَفْضِيلَهُمْ فِي كُلِّ الْمَالِ، قَصَدَ تَفْضِيلَهُمْ فِي كل جزء منه قِيَاسًا عَلَى الْغُرَمَاءِ. وَلِأَنَّهُمْ تَفَاضَلُوا فِي الْوَصِيَّةِ، فَوَجَبَ أَنْ يَتَفَاضَلُوا فِي الْعَطِيَّةِ قِيَاسًا عَلَى صَاحِبِ الثُّلُثِ وَالرُّبُعِ، وَلِأَنَّهُمْ يَأْخُذُونَ الْمَالَ عَلَى التَّفَاضُلِ عِنْدَ الْكَمَالِ، فَوَجَبَ أَنْ يَأْخُذُوهُ عَلَى التفاضل عند العجز قياسا على صاحب الثلث والربع، وَلِأَنَّ كُلَّ شَخْصَيْنِ جُعِلَ الْمَالُ بَيْنَهُمَا عَلَى التَّفَاضُلِ، لَزِمَ عِنْدَ ضِيقِ الْمَالِ، أَنْ يَتَقَاسَمَاهُ عَلَى التَّفَاضُلِ كَالْعَوْلِ فِي الْفَرَائِضِ.

Dalil kami adalah bahwa ketika ia bermaksud membedakan mereka dalam seluruh harta, maka ia juga bermaksud membedakan mereka dalam setiap bagian darinya, qiyās dengan para kreditur. Dan karena mereka telah berbeda dalam wasiat, maka wajib pula mereka berbeda dalam pemberian, qiyās dengan pemilik sepertiga dan seperempat. Dan karena mereka mengambil harta secara berbeda ketika sempurna, maka wajib pula mereka mengambilnya secara berbeda ketika tidak mencukupi, qiyās dengan pemilik sepertiga dan seperempat. Dan karena setiap dua orang yang harta dibagi di antara mereka secara berbeda, maka ketika harta tidak cukup, wajib juga membaginya secara berbeda, sebagaimana ‘aul dalam faraidh.

وَلِأَنَّهُ لَوْ كانت الوصية بالنصف والثلث مالا والرد مقدر كَمَنْ أَوْصَى لِزَيْدٍ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ هي ثلث ماله، ولعمرو بألف وخمس مائة، هِيَ نِصْفُ مَالِهِ، لَتَفَاضَلَا مَعَ الْإِجَازَةِ وَالرَّدِّ، فوجب إِذَا كَانَتِ الْوَصِيَّةُ بِالنِّصْفِ وَالثُّلُثِ مُطْلَقًا أَنْ يَتَفَاضَلَا مَعَ الْإِجَازَةِ وَالرَّدِّ.

Karena jika wasiat berupa setengah dan sepertiga harta itu berupa harta tertentu dan pengembalian (al-radd) juga ditentukan, seperti seseorang berwasiat kepada Zaid seribu dirham yang merupakan sepertiga hartanya, dan kepada Amr seribu lima ratus dirham yang merupakan setengah hartanya, maka keduanya akan berbeda dalam hal persetujuan (ijazah) dan penolakan (radd). Maka wajib pula, jika wasiat berupa setengah dan sepertiga secara mutlak, keduanya juga harus berbeda dalam hal ijazah dan radd.

وَيَتَحَرَّرُ مِنْ هَذَا الِاعْتِلَالِ قِيَاسَانِ:

Dari alasan ini dapat disimpulkan dua qiyās:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَا تَفَاضَلَا فِيهِ مع التقدير يتفاضلان فِيهِ مَعَ الْإِطْلَاقِ كَالْإِجَازَةِ.

Pertama: Bahwa apa yang keduanya berbeda di dalamnya ketika ditentukan, maka keduanya juga berbeda di dalamnya ketika bersifat mutlak, seperti dalam hal ijazah.

وَالثَّانِي: أَنَّ مَا تَفَاضَلَا فِيهِ مَعَ الْإِجَازَةِ تَفَاضَلَا فِيهِ مَعَ الرد كالمقدر.

Kedua: Bahwa apa yang keduanya berbeda di dalamnya dengan ijazah, maka keduanya juga berbeda di dalamnya dengan radd, sebagaimana halnya jika ditentukan.

وأما الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ الْوَصِيَّةَ بِمَا زَادَ لا يملكها فصارت في حق غيره: فهو أن الرد وإن استحق فليس بمستحق فِي وَاحِدٍ دُونَ غَيْرِهِ وَسَوَاءٌ عَلَى الْوَرَثَةِ انْصِرَافُ الثُّلُثِ إِلَى أَهْلِ الْوَصَايَا عَلَى اسْتِوَاءٍ، أو تفاضل فيطل حقهم فيه، ويرجع إلى قصد الموصل فِيهِ.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa wasiat dengan kelebihan (dari sepertiga) tidak dimiliki sehingga menjadi hak orang lain: maka sesungguhnya radd meskipun berhak, namun bukanlah hak yang khusus pada satu orang saja, melainkan sama bagi seluruh ahli waris, baik sepertiga itu diberikan secara merata kepada para penerima wasiat, atau secara berbeda-beda sehingga hak mereka gugur di dalamnya, dan kembali kepada maksud orang yang berwasiat.

وَقَوْلُهُمْ: إِنَّ الزِّيَادَةَ عَلَى الثُّلُثِ قَدْ تَضَمَّنَتْ تَقْدِيرًا وَتَفْضِيلًا، فَيُقَالُ: لَيْسَ بُطْلَانُ أَحَدِهِمَا مُوجِبًا لِبُطْلَانِ الْآخَرِ، أَلَا تَرَى أَنَّ كُلَّ النصف يعد الثُّلُثِ زِيَادَةً عَلَى الثُّلُثِ وَلَوْ لَزِمَ مَا قَالُوا، لَبَطَلَتْ وَصِيَّةُ صَاحِبِ النِّصْفِ بِأَسْرِهَا. فَلَمَّا لَمْ تَبْطُلْ بِالرَّدِّ إِلَى الثُّلُثِ، لَمْ يَبْطُلْ حُكْمُ التَّفْضِيلِ بِالرَّدِّ إِلَى الثُّلُثِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun pernyataan mereka: bahwa kelebihan atas sepertiga mengandung penentuan dan pembedaan, maka dikatakan: batalnya salah satunya tidak mengharuskan batalnya yang lain. Tidakkah engkau melihat bahwa seluruh setengah setelah sepertiga adalah tambahan atas sepertiga, dan jika apa yang mereka katakan itu wajib, niscaya seluruh wasiat pemilik setengah menjadi batal. Maka ketika tidak batal dengan dikembalikan kepada sepertiga, maka tidak batal pula hukum pembedaan dengan dikembalikan kepada sepertiga. Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا إِذَا أَجَازَ الْوَرَثَةُ الْوَصِيَّةَ لِبَعْضِهِمْ وَرَدُّوهَا لِبَعْضِهِمْ مِثْلَ أَنْ يُجِيزُوا صَاحِبَ الثُّلُثِ وَيَرُدُّوا صَاحِبَ النِّصْفِ وَالرُّبُعِ، فَتُقَسَّمُ الْوَصَايَا مِنْ تِسْعَةٍ وَثَلَاثِينَ سَهْمًا، لِأَنَّهَا أَقَلُّ مَا يَنْقَسِمُ ثلاثة عَلَى ثَلَاثَةَ عَشَرَ، فَيُعْطَى صَاحِبُ النِّصْفِ سِتَّةَ أَسْهُمٍ مِنْ ثَلَاثَةَ عَشَرَ مِنَ الثُّلُثِ، فَيَكُونُ ثلاثة مِنْ تِسْعَةٍ وَثَلَاثِينَ. وَيُعْطَى صَاحِبُ الرُّبُعِ ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ مِنْ ثَلَاثَةَ عَشَرَ مِنَ الثُّلُثِ فَتَكُونُ ثَلَاثَةً مِنْ تِسْعَةٍ وَثَلَاثِينَ.

Adapun jika para ahli waris mengizinkan wasiat untuk sebagian penerima dan menolaknya untuk sebagian yang lain, seperti mereka mengizinkan penerima sepertiga dan menolak penerima setengah dan seperempat, maka wasiat-wasiat itu dibagi dari tiga puluh sembilan bagian, karena itu adalah bilangan terkecil yang dapat dibagi tiga atas tiga belas. Maka pemilik setengah mendapat enam bagian dari tiga belas bagian dari sepertiga, yaitu tiga dari tiga puluh sembilan. Pemilik seperempat mendapat tiga bagian dari tiga belas bagian dari sepertiga, yaitu tiga dari tiga puluh sembilan.

وَأَمَّا صَاحِبُ الثُّلُثِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Adapun pemilik sepertiga, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّكَ تُعْطِيهِ ثُلُثَ جَمِيعِ الْمَالِ، مَعَ دُخُولِ الْعَوْلِ عَلَيْهِ، كَالَّذِي كَانَ يَأْخُذُهُ، لَوْ وَقَعَتِ الْإِجَازَةُ لِجَمِيعِهِمْ فَعَلَى هَذَا يَأْخُذُ أَرْبَعَةَ أَسْهُمٍ مِنْ ثَلَاثَةَ عَشَرَ مِنْ جَمِيعِ الْمَالِ فَيَكُونُ ذَلِكَ اثْنَيْ عَشَرَ سَهْمًا مِنْ تِسْعَةٍ وَثَلَاثِينَ.

Pertama: Engkau memberinya sepertiga dari seluruh harta, dengan masuknya ‘aul (pengurangan bagian karena tidak cukup harta) kepadanya, sebagaimana yang akan ia terima jika ijazah diberikan kepada semuanya. Maka dengan demikian ia mendapat empat bagian dari tiga belas bagian dari seluruh harta, yaitu dua belas bagian dari tiga puluh sembilan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَأْخُذُ ثُلُثَ جَمِيعِ الْمَالِ كَامِلًا مِنْ غَيْرِ عَوْلٍ. لأنه إنما أخذ الثُّلُثَ عَائِلًا مَعَ عَدَمِ الْإِجَازَةِ لِجَمِيعِهِمْ، لِضِيقِ المال عن سهامهم. وإذا أجازوا ذلك لبعضهم، اتسع المال لتكمل سَهْمِ مَنْ أُجِيزَ لَهُ مِنْهُمْ.

Pendapat kedua: Ia mengambil sepertiga dari seluruh harta secara penuh tanpa ‘aul. Karena ia hanya mengambil sepertiga dengan ‘aul ketika tidak ada ijazah untuk semuanya, karena harta tidak cukup untuk bagian mereka. Jika mereka mengizinkan untuk sebagian, maka harta cukup untuk menyempurnakan bagian yang diizinkan untuknya.

فَعَلَى هَذَا يأخذ ثلاثة عشر من تسعة عشر من تسعة وثلاثين، ثم على هذا القياس. ولو أُجِيزَ لِصَاحِبِ النِّصْفِ وَحْدَهُ، أَوْ لِصَاحِبِ الرُّبُعِ وَحْدَهُ، أَوْ لَهُمَا أَوْ أَحَدِهِمَا مَعَ صَاحِبِ الثلث.

Dengan demikian, ia mengambil tiga belas dari sembilan belas dari tiga puluh sembilan, lalu demikian pula seterusnya. Jika diizinkan hanya untuk pemilik setengah saja, atau hanya untuk pemilik seperempat saja, atau untuk keduanya, atau salah satu dari mereka bersama pemilik sepertiga.

فصل:

Fasal:

ولو أوصى لِرَجُلٍ بِجَمِيعِ مَالِهِ، وَلِآخَرَ بِثُلُثِ مَالِهِ وَأَجَازَ الْوَرَثَةُ ذَلِكَ لَهُمَا كَانَ الْمَالُ مَقْسُومًا بَيْنَهُمَا على أربعة أسهم، لأنه مال وثلث، يَكُونُ أَرْبَعَةَ أَثْلَاثٍ، فَيَكُونُ لِصَاحِبِ الْمَالِ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ، وَلِصَاحِبِ الثُّلُثِ سَهْمٌ.

Jika seseorang berwasiat kepada seorang laki-laki dengan seluruh hartanya, dan kepada orang lain dengan sepertiga hartanya, lalu para ahli waris mengizinkan keduanya, maka harta itu dibagi di antara mereka berdua menjadi empat bagian, karena harta dan sepertiga, menjadi empat pertiga. Maka pemilik seluruh harta mendapat tiga bagian, dan pemilik sepertiga mendapat satu bagian.

وَقَالَ دَاوُدُ يَكُونُ لصاحب المال ثلثا المال، ولصاحب الثلث جميع ثلث المال.

Dawud berkata: Pemilik seluruh harta mendapat dua pertiga harta, dan pemilik sepertiga mendapat seluruh sepertiga harta.

قَالَ: لِأَنَّهُ لَمَّا أَوْصَى بِالثُّلُثِ بَعْدَ الْكُلِّ، كَانَ رُجُوعًا عَنْ ثُلُثِ الْكُلِّ وَبَنَى ذَلِكَ عَلَى أَصْلِهِ فِي إِبْطَالِ الْعَوْلِ.

Ia berkata: Karena ketika ia berwasiat dengan sepertiga setelah seluruh harta, itu merupakan rujuk dari sepertiga seluruh harta, dan ia membangun hal itu di atas pendapat asalnya dalam membatalkan ‘aul.

وَهَذَا أَصْلٌ قَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ مَعَهُ فِيهِ.

Dan ini adalah dasar yang telah dijelaskan sebelumnya.

فَلَوْ رَدَّ الْوَرَثَةُ ذَلِكَ:

Jika para ahli waris menolaknya:

كَانَ الثُّلُثُ مَقْسُومًا بَيْنَهُمَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَسْهُمٍ. لِصَاحِبِ الْمَالِ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ، وَلِصَاحِبِ الثُّلُثِ سَهْمٌ.

Maka sepertiga itu dibagi di antara mereka berdua menjadi empat bagian. Pemilik seluruh harta mendapat tiga bagian, dan pemilik sepertiga mendapat satu bagian.

وَقَالَ أبو حنيفة الثُّلُثُ بَيْنَهُمَا نصفين، إِبْطَالًا لِمَا زَادَ عَلَى الثُّلُثِ عِنْدَ الرَّدِّ. وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ مَعَهُ.

Abu Hanifah berkata: Sepertiga itu dibagi antara keduanya secara setengah-setengah, sebagai pembatalan terhadap kelebihan dari sepertiga dalam kasus radd. Dan telah dijelaskan sebelumnya pembicaraan bersamanya.

فَلَوْ أَجَازَ الْوَرَثَةُ لِصَاحِبِ الثُّلُثِ، وَرَدُّوا صَاحِبَ الْكُلِّ، كَانَ لِصَاحِبِ الْكُلِّ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ مِنْ أَرْبَعَةٍ مِنَ الثُّلُثِ، فَيَكُونُ لَهُ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ مِنَ اثْنَيْ عَشَرَ سهما.

Jika para ahli waris mengizinkan untuk pemilik sepertiga, dan menolak untuk pemilik seluruhnya, maka pemilik seluruhnya mendapat tiga bagian dari empat bagian dari sepertiga, sehingga ia memperoleh tiga bagian dari dua belas bagian.

وأما صَاحِبُ الثُّلُثِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun pemilik sepertiga, maka ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: يَكْمُلُ لَهُ سَهْمُهُ مَعَ الْعَوْلِ. فَعَلَى هَذَا يَأْخُذُ ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ مِنَ اثْنَيْ عَشَرَ سَهْمًا، وَيَبْقَى مِنْهَا بعد الوصيتين ستة أسهم ترجع على الوارث.

Pertama: Bagian miliknya menjadi sempurna bersamaan dengan adanya ‘aul. Dalam hal ini, ia mengambil tiga bagian dari dua belas bagian, dan setelah kedua wasiat tersebut masih tersisa enam bagian yang kembali kepada ahli waris.

والوجه الثاني: يكون له الثلث مع غَيْرِ عَوْلٍ، فَعَلَى هَذَا يَأْخُذُ أَرْبَعَةَ أَسْهُمٍ، وَيَبْقَى بَعْدَ الْوَصِيَّتَيْنِ خَمْسَةٌ تَرْجِعُ عَلَى الْوَارِثِ.

Kemungkinan kedua: Ia memperoleh sepertiga tanpa adanya ‘aul. Dalam hal ini, ia mengambil empat bagian, dan setelah kedua wasiat masih tersisa lima bagian yang kembali kepada ahli waris.

فَلَوْ أَجَازَ الْوَرَثَةُ لِصَاحِبِ الْكُلِّ، وَرَدُّوا لِصَاحِبِ الثُّلُثِ: أَخَذَ صَاحِبُ الثُّلُثِ سَهْمًا مِنَ اثْنَيْ عَشَرَ فَإِنْ أُعِيلَ سَهْمُ صَاحِبِ الْكُلِّ مَعَ الإجازة له أخذ تسعة أسهم، ويبقى بعد الوصيتين سهمان للوارث. فإن أكمل سَهْمُهُ مِنْ غَيْرِ عَوْلٍ، أَخَذَ جَمِيعَ الْبَاقِي وَهُوَ أَحَدَ عَشَرَ سَهْمًا، وَهُوَ دُونُ الْكُلِّ بِسَهْمٍ زَاحَمَهُ فِيهِ صَاحِبُ الثُّلُثِ، وَلَمْ يَبْقَ للوارث شيء وبالله التوفيق.

Jika para ahli waris mengizinkan untuk pemilik seluruhnya, dan menolak untuk pemilik sepertiga: maka pemilik sepertiga mengambil satu bagian dari dua belas. Jika bagian pemilik seluruhnya mengalami ‘aul bersamaan dengan izin untuknya, maka ia mengambil sembilan bagian, dan setelah kedua wasiat masih tersisa dua bagian untuk ahli waris. Jika bagiannya menjadi sempurna tanpa ‘aul, maka ia mengambil seluruh sisa yaitu sebelas bagian, yang kurang satu bagian dari seluruhnya, yang di dalamnya ia bersaing dengan pemilik sepertiga, dan tidak tersisa apa pun untuk ahli waris. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ أَوْصَى بِغُلَامِهِ لِرَجُلٍ وَهُوَ يُسَاوِي خَمْسَمِائَةٍ وَبِدَارِهِ لِآخَرَ وَهِيَ تُسَاوِي أَلْفًا وَبِخَمْسِمِائَةٍ لِآخَرَ والثلث ألف دَخَلَ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ عَوْلُ نِصْفٍ وكان للذي لَهُ الْغُلَامُ نِصْفُهُ وَلِلَّذِي لَهُ الدَّارُ نِصْفُهَا وللذي له خمسمائة نِصْفُهَا “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berwasiat dengan memberikan budaknya kepada seseorang, yang nilainya lima ratus, dan rumahnya kepada orang lain yang nilainya seribu, dan lima ratus kepada orang lain, sedangkan sepertiganya adalah seribu, maka pada masing-masing dari mereka masuk ‘aul setengah, sehingga yang memiliki budak mendapat setengahnya, yang memiliki rumah mendapat setengahnya, dan yang mendapat lima ratus mendapat setengahnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا ضَاقَ الثُّلُثُ عَنِ الْوَصَايَا، فَلِلْوَرَثَةِ حَالَتَانِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Jika sepertiga tidak mencukupi untuk wasiat-wasiat, maka bagi ahli waris ada dua keadaan:

حَالَةٌ يُجِيزُونَ، وَحَالَةٌ يَرُدُّونَ.

Keadaan di mana mereka mengizinkan, dan keadaan di mana mereka menolak.

فَإِنْ رَدُّوا: قُسِّمَ الثُّلُثُ بَيْنَ أَهْلِ الْوَصَايَا، بِالْحِصَصِ، وَتَسْتَوِي فِيهِ الْوَصِيَّةُ بِالْمُعَيَّنِ وَالْمُقَدَّرِ.

Jika mereka menolak: maka sepertiga dibagi di antara para penerima wasiat, sesuai proporsi, dan wasiat dengan barang tertentu dan wasiat dengan jumlah tertentu diperlakukan sama dalam hal ini.

وَحُكِيَ عَنْ أبي حنيفة: أَنَّ الْوَصِيَّةَ بِالْمُعَيَّنِ، مُقَدَّمَةٌ عَلَى الْوَصِيَّةِ بِالْمُقَدَّرِ، اسْتِدْلَالًا بأن القدر يَتَعَلَّقُ بِالذِّمَّةِ فَإِذَا ضَاقَ الثُّلُثُ فِيهَا زَالَ تَعَلُّقُهَا بِالذِّمَّةِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ. لِأَنَّ مَحَلَّ الْوَصَايَا فِي التَّرِكَةِ سَوَاءٌ ضَاقَ الثُّلُثُ عَنْهَا أَوِ اتَّسَعَ لَهَا، فَاقْتَضَى أَنْ يَسْتَوِيَ الْمُعَيَّنُ وَالْمُقَدَّرُ مَعَ ضِيقِ الثُّلُثِ، كَمَا يَسْتَوِيَانِ مَعَ اتِّسَاعِهِ، وَلِأَنَّ الْوَصِيَّةَ بِالْمُقَدَّرِ أَثَبَتُ مِنَ الْوَصِيَّةِ بالمعين، ولأن الْمُعَيَّنَ إِنْ تَلِفَ بَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ بِهِ وَالْمُقَدَّرُ إِنْ تَلِفَ بَعْضُ الْمَالِ: لَمْ تَبْطُلِ الْوَصِيَّةُ.

Diriwayatkan dari Abu Hanifah: bahwa wasiat dengan barang tertentu didahulukan atas wasiat dengan jumlah tertentu, dengan alasan bahwa jumlah tertentu berkaitan dengan tanggungan, sehingga jika sepertiga tidak mencukupi untuk itu maka keterkaitannya dengan tanggungan hilang. Namun, ini tidak benar. Karena tempat wasiat adalah pada harta peninggalan, baik sepertiga itu cukup atau tidak, sehingga yang ditentukan dan yang ditaksir sama ketika sepertiga tidak mencukupi, sebagaimana keduanya juga sama ketika sepertiga mencukupi. Dan karena wasiat dengan jumlah tertentu lebih kuat daripada wasiat dengan barang tertentu, dan karena jika barang tertentu rusak maka wasiatnya batal, sedangkan jika sebagian harta rusak pada wasiat dengan jumlah tertentu, maka wasiatnya tidak batal.

فَإِذَا تَقَرَّرَ اسْتِوَاءُ الْمُعَيَّنِ، وَالْمُقَدَّرِ مَعَ ضِيقِ الثُّلُثِ عَنْهُمَا: وَجَبَ أَنْ يَكُونَ عَجْزُ الثُّلُثِ دَاخَلَا عَلَى أَهْلِ الْوَصَايَا بِالْحِصَصِ. فَإِذَا أَوْصَى بعبده لرجل، وقيمته خمس مائة دِرْهَمٍ، وَبِدَارِهِ لِآخَرَ وَقِيمَتُهَا أَلْفُ دِرْهَمٍ وَبِخَمْسِمِائَةٍ لآخر، فوصاياه الثَّلَاثَةِ كُلُّهَا تَكُونُ أَلْفَيْ دِرْهَمٍ. فَإِنْ كَانَ الثُّلُثُ أَلْفَيْنِ فَصَاعِدًا، فَلَا عَجْزَ، وَهِيَ مُمْضَاةٌ.

Jika telah tetap bahwa yang tertentu dan yang ditaksir sama ketika sepertiga tidak mencukupi untuk keduanya, maka kekurangan sepertiga harus dibagi kepada para penerima wasiat sesuai proporsi. Jika seseorang berwasiat dengan memberikan budaknya kepada seseorang, yang nilainya lima ratus dirham, dan rumahnya kepada orang lain yang nilainya seribu dirham, dan lima ratus kepada orang lain, maka seluruh wasiatnya berjumlah dua ribu dirham. Jika sepertiga harta dua ribu dirham atau lebih, maka tidak ada kekurangan, dan semuanya dijalankan.

وَإِنْ كَانَ الثُّلُثُ أَلْفَ دِرْهَمٍ، فَقَدْ عَجَزَ الثلث عن نصفها، فوجب أن يدخل القول عَلَى جَمِيعِهَا، وَيَأْخُذَ كُلُّ مُوصًى لَهُ بِشَيْءٍ نصفه، فيعطي الموصي الْمُوصَى لَهُ بِالْعَبْدِ نَصْفَهُ وَذَلِكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَخَمْسُونَ دِرْهَمًا. وَيُعْطَى الْمُوصَى لَهُ بِالدَّارِ نِصْفَهَا وذلك خمسمائة. وَيُعْطَى الْمُوصَى لَهُ بِالْخَمْسِمِائَةِ نِصْفَهَا وَذَلِكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَخَمْسُونَ دِرْهَمًا. صَارَ جَمِيعُ ذَلِكَ أَلْفَ دِرْهَمٍ.

Jika sepertiga harta adalah seribu dirham, maka sepertiga tidak mencukupi setengah dari wasiat tersebut, sehingga harus dibagi kepada semuanya, dan setiap penerima wasiat mendapat setengah dari bagiannya. Maka pemberi wasiat memberikan kepada penerima budak setengahnya, yaitu dua ratus lima puluh dirham. Dan kepada penerima rumah setengahnya, yaitu lima ratus. Dan kepada penerima lima ratus setengahnya, yaitu dua ratus lima puluh dirham. Jumlah seluruhnya menjadi seribu dirham.

وَعَلَى قَوْلِ أبي حنيفة تَسْقُطُ الْوَصِيَّةُ بِالْخَمْسِمِائَةِ الْمُقَدَّرَةِ، وَيُجْعَلُ الثُّلُثُ بَيْنَ الْمُوصَى لَهُ بِالْعَبْدِ وَالدَّارِ، فَيَأْخُذُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ثُلُثَيْ وَصِيَّتِهِ لِدُخُولِ الْعَجْزِ بِالثُّلُثِ عَلَيْهِمَا. فَلَوْ كَانَ الثُّلُثُ فِي هَذِهِ الْوَصَايَا خَمْسَمِائَةِ دِرْهَمٍ فَهُوَ ربع الوصايا الثلاث. فَيُعْطَى كُلُّ وَاحِدٍ رُبُعَ مَا جُعِلَ لَهُ.

Menurut pendapat Abu Hanifah, wasiat dengan lima ratus yang telah ditentukan itu gugur, dan sepertiga dibagi antara penerima wasiat berupa budak dan rumah, sehingga masing-masing dari mereka mengambil dua pertiga dari bagian wasiatnya, karena adanya kekurangan sepertiga yang menimpa keduanya. Maka jika sepertiga dalam wasiat-wasiat ini adalah lima ratus dirham, itu adalah seperempat dari tiga wasiat tersebut. Maka masing-masing diberikan seperempat dari apa yang telah ditetapkan untuknya.

وَلَوْ كَانَ الثُّلُثُ أَلْفًا وَخَمْسَمِائَةٍ، فَيُجْعَلُ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ وَصِيَّتِهِ ثُمَّ عَلَى هَذَا الْقِيَاسِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan jika sepertiga itu seribu lima ratus, maka masing-masing dari mereka diberikan tiga perempat dari bagian wasiatnya, kemudian demikianlah seterusnya menurut qiyās, dan Allah lebih mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ أَجَازَ الْوَرَثَةُ الْوَصَايَا كُلَّهَا مَعَ ضِيقِ الثُّلُثِ عَنْهَا، وَدُخُولِ الْعَجْزِ بِالنِّصْفِ عَلَيْهَا فَفِي إِجَازَتِهِمْ قَوْلَانِ:

Jika para ahli waris mengizinkan seluruh wasiat padahal sepertiga tidak mencukupi untuknya, dan terdapat kekurangan hingga setengah dari wasiat tersebut, maka dalam keizinan mereka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّ إِجَازَتَهُمُ ابْتِدَاءُ عَطِيَّةٍ مِنْهُمْ لِأَمْرَيْنِ:

Salah satunya: Bahwa izin mereka merupakan permulaan pemberian dari mereka karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا أَنَّ مَا زَادَ عَلَى الثُّلُثِ مَنْهِيٌّ عَنْهُ، وَالنَّهْيُ يَقْتَضِي فَسَادَ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ.

Pertama, bahwa apa yang melebihi sepertiga itu dilarang, dan larangan menuntut batalnya sesuatu yang dilarang.

وَالثَّانِي: أَنَّهُمْ لَمَّا كَانُوا بِالْمَنْعِ مَالِكِينَ لِمَا مَنَعُوهُ، وَجَبَ أَنْ يَكُونُوا بِالْإِجَازَةِ مُعْطِينَ لِمَا أَجَازُوهُ.

Kedua, karena ketika mereka dapat melarang berarti mereka memiliki hak atas apa yang mereka larang, maka wajib pula jika mereka mengizinkan berarti mereka memberikan apa yang mereka izinkan.

فَعَلَى هَذَا: قَدْ مَلَكَ أَهْلُ الْوَصَايَا نِصْفَهَا بالوصية لاحتمال الثلث لها ولا يفتقر تمليكهم لَهَا إِلَى قَبْضٍ. وَنِصْفُهَا بِالْعَطِيَّةِ، لِعَجْزِ الثُّلُثِ عنها ولا يتم ملكهم إلا بقبض.

Berdasarkan hal ini: Para penerima wasiat telah memiliki setengah dari wasiat tersebut melalui wasiat karena sepertiga masih memungkinkan untuknya, dan kepemilikan mereka tidak memerlukan qabdh (penguasaan fisik). Dan setengahnya lagi melalui pemberian, karena sepertiga tidak mencukupi untuknya, dan kepemilikan mereka tidak sempurna kecuali dengan qabdh.

القول الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة: إِنَّ إِجَازَةَ الْوَرَثَةِ تَنْفِيذٌ وَإِمْضَاءٌ لِفِعْلِ الْمَيِّتِ، وَأَنَّ ذَلِكَ مَمْلُوكٌ بِالْوَصِيَّةِ دُونَ الْعَطِيَّةِ لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua, dan ini yang lebih shahih, serta merupakan pendapat Abu Hanifah: Bahwa izin para ahli waris adalah pelaksanaan dan pengesahan terhadap perbuatan mayit, dan bahwa hal itu dimiliki melalui wasiat, bukan pemberian, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَا اسْتَحَقُّوهُ بِالْخِيَارِ فِي عُقُودِ الميت لا يكون الورثة بالإمضاء لها عاقدين كَالْمُشْتَرِي سِلْعَةً إِذَا وَجَدَ وَارِثُهُ بِهَا عَيْبًا فَأَمْضَى الشِّرَاءَ وَلَمْ يَفْسَخْهُ: كَانَ تَنْفِيذًا وَلَمْ يَكُنْ عَقْدًا، فَكَذَلِكَ خِيَارُهُ فِي إِجَازَةِ الْوَصِيَّةِ.

Pertama, bahwa apa yang mereka peroleh dengan hak memilih dalam akad-akad mayit, para ahli waris dengan pelaksanaannya tidak menjadi pihak yang berakad seperti pembeli barang jika ahli warisnya menemukan cacat pada barang tersebut lalu melanjutkan pembelian dan tidak membatalkannya: maka itu adalah pelaksanaan, bukan akad baru. Demikian pula pilihan mereka dalam mengizinkan wasiat.

وَالثَّانِي: أَنَّ لَهُمْ رَدَّ مَا زَادَ عَلَى الثُّلُثِ فِي حُقُوقِ أَنْفُسِهِمْ، فَإِذَا أَجَازُوهُ سَقَطَتْ حقوقهم منه، فصار الثلث وما زادوا عَلَيْهِ سَوَاءً فِي لُزُومِهِ لَهُمْ.

Kedua, bahwa mereka berhak menolak apa yang melebihi sepertiga dalam hak mereka sendiri. Jika mereka mengizinkannya, maka gugurlah hak mereka atas bagian itu, sehingga sepertiga dan kelebihannya menjadi sama dalam hal wajibnya bagi mereka.

فَإِذَا اسْتَوَى الْحُكْمُ فِي الْجَمِيعِ مَعَ اللُّزُومِ: اقْتَضَى أَنْ يَكُونَ جَمِيعُهُ وَصِيَّةً لَا عَطِيَّةً. فَعَلَى هَذَا: يَلْزَمُهُمْ نِصْفُ الْوَصَايَا بِالْوَصِيَّةِ مِنْ غَيْرِ إِجَازَةٍ لِاحْتِمَالِ الثُّلُثِ لَهَا. وَنِصْفُهَا بِالْإِجَازَةِ بَعْدَ الْوَصِيَّةِ مِنْ غَيْرِ قَبْضٍ يُعْتَبَرُ، وَلَا رُجُوعَ يَسُوغُ.

Maka jika hukum telah sama atas semuanya dengan adanya kewajiban, maka itu menuntut agar semuanya menjadi wasiat, bukan pemberian. Berdasarkan hal ini: mereka wajib melaksanakan setengah dari wasiat dengan wasiat tanpa izin karena sepertiga masih memungkinkan untuknya, dan setengahnya lagi dengan izin setelah wasiat tanpa memerlukan qabdh yang dianggap, serta tidak ada penarikan kembali yang dibenarkan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْعَطَايَا فِي الْمَرَضِ: فَهِيَ مُقَدَّمَةٌ على الوصايا إذا ضاق الثلث عنها، لِأَنَّ تِلْكَ نَاجِزَةٌ، وَهَذِهِ مَوْقُوفَةٌ، فَلَوْ ضَاقَ الثُّلُثُ عَنْ عَطَايَا الْمَرَضِ قُدِّمَ الْأَسْبَقُ فَالْأَسْبَقُ. وَلَوْ ضَاقَ الثُّلُثُ عَنِ الْوَصَايَا: لَمْ يُقَدَّمِ الْأَسْبَقُ، لِأَنَّ عَطَايَا الْمَرَضِ تُمَلَّكُ بِالْقَبْضِ الْمُتَرَتِّبِ، فَثَبَتَ حُكْمُ الْمُتَقَدِّمِ. وَالْوَصَايَا كُلُّهَا تُمَلَّكُ بِالْمَوْتِ فَاسْتَوَى فِيهَا حُكْمُ الْمُتَقَدِّمِ وَالْمُتَأَخِّرِ إِلَّا أنْ رتبها الموصي فيمضي عَلَى تَرْتِيبِهِ مَا لَمْ يَتَخَلَّلِ الْوَصَايَا عِتْقٌ. فَإِنْ تَخَلَّلَهَا عِتْقٌ. فَإِنْ كَانَ وَاجِبًا فِي كفارة أو نذر قدم عَلَى وَصَايَا التَّطَوُّعِ، وَإِنْ كَانَ تَطَوُّعًا: فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Adapun pemberian (hibah) pada saat sakit, maka ia didahulukan atas wasiat jika sepertiga tidak mencukupi untuknya, karena hibah itu langsung berlaku, sedangkan wasiat masih tertunda. Maka jika sepertiga tidak mencukupi untuk hibah-hibah pada saat sakit, didahulukan yang lebih dahulu, kemudian yang berikutnya. Dan jika sepertiga tidak mencukupi untuk wasiat-wasiat, maka tidak didahulukan yang lebih dahulu, karena hibah pada saat sakit menjadi milik dengan qabdh yang terjadi, sehingga hukum yang lebih dahulu tetap berlaku. Sedangkan semua wasiat menjadi milik dengan kematian, sehingga hukum yang lebih dahulu dan yang belakangan sama, kecuali jika pewasiat mengurutkannya, maka dijalankan sesuai urutannya selama tidak ada pembebasan budak di antara wasiat-wasiat itu. Jika ada pembebasan budak di antaranya, maka jika pembebasan itu wajib dalam kafarat atau nazar, didahulukan atas wasiat-wasiat tathawwu‘ (sunnah). Jika pembebasan itu tathawwu‘, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّ الْعِتْقَ مُقَدَّمٌ عَلَى جَمِيعِ الْوَصَايَا لِقُوَّتِهِ بِالسِّرَايَةِ فِي غَيْرِ الْمِلْكِ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، وَمِنَ التَّابِعِينَ شُرَيْحٌ، وَالْحَسَنُ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: مَالِكٌ وَالثَّوْرِيُّ.

Salah satunya: Bahwa pembebasan budak didahulukan atas seluruh wasiat karena kuatnya dengan sirāyah pada selain milik, dan ini adalah pendapat dari kalangan sahabat: Abdullah bin Umar, dan dari kalangan tabi’in: Syuraih, Al-Hasan, dan dari kalangan fuqaha: Malik dan Ats-Tsauri.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ الْعِتْقَ وَالْوَصَايَا كُلَّهَا سَوَاءٌ فِي مُزَاحَمَةِ الثُّلُثِ؛ لِأَنَّ جَمِيعَهَا تَطَوُّعٌ. وَبِهِ قَالَ مِنَ التَّابِعِينَ ابْنُ سِيرِينَ، وَالشَّعْبِيُّ ومن الفقهاء أبو ثور.

Pendapat kedua: Bahwa pembebasan budak dan seluruh wasiat sama dalam bersaing terhadap sepertiga, karena semuanya tathawwu‘. Dan ini adalah pendapat dari kalangan tabi’in: Ibnu Sirin, Asy-Sya‘bi, dan dari kalangan fuqaha: Abu Tsaur.

فصل:

Fasal:

ولو أَوْصَى رَجُلٌ أَنْ يَشْتَرِيَ عَبْدَ زَيْدٍ بِأَلْفِ درهم وأن يعتق عليه فاشتراه الموصى بخمس مائة، وأعتقه عنه، والبائع غير عالم فقد اختلف الناس في الخمس مائة الْبَاقِيَةِ مِنَ الْأَلْفِ: فَحُكِيَ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ: أَنَّهَا تُدْفَعُ إِلَى الْبَائِعِ، وَجَعَلَهَا وَصِيَّةً لَهُ.

Jika seseorang berwasiat agar dibelikan budak milik Zaid seharga seribu dirham dan dimerdekakan atas namanya, lalu pelaksana wasiat membelinya seharga lima ratus dirham dan memerdekakannya atas nama pewasiat, sedangkan penjual tidak mengetahui hal itu, maka para ulama berbeda pendapat tentang sisa lima ratus dirham dari seribu tersebut: Diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri bahwa sisa tersebut diberikan kepada penjual, dan dianggap sebagai wasiat untuknya.

فحكي عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ: أَنَّهَا تُدْفَعُ إِلَى الْوَرَثَةِ، وَجَعَلَهَا تَرِكَةً.

Diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal bahwa sisa tersebut diberikan kepada ahli waris, dan dianggap sebagai harta warisan.

وَحُكِيَ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ رَاهْوَيْهِ أَنَّهَا تُصْرَفُ فِي الْعِتْقِ، وَجَعَلَهَا وَصِيَّةً له، وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يُنْظَرُ قِيمَةَ عَبْدِ زَيْدٍ الْمُوصَى لَهُ بِشِرَائِهِ وَعِتْقِهِ فَإِنْ كَانَ يُسَاوِي أَلْفًا فَلَيْسَ فِيهَا وَصِيَّةً فَيَعُودُ الْبَاقِي مِنْ ثمنه إلى الورثة. وإن كان يساوي خمس مائة عَادَ الْبَاقِي إِلَى زَيْدٍ الْبَائِعِ لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ له. وإن كان يساوي سبع مائة. فالوصية منها بثلاث مائة دِرْهَمٍ، فَتُدْفَعُ إِلَى الْبَائِعِ، وَتُرَدُّ الْمِائَتَانِ عَلَى الْوَرَثَةِ مِيرَاثًا.

Diriwayatkan dari Ishaq bin Rahawaih bahwa sisa tersebut digunakan untuk memerdekakan budak lain, dan dianggap sebagai wasiat untuknya. Adapun mazhab asy-Syafi‘i, maka dilihat nilai budak Zaid yang diwasiatkan untuk dibeli dan dimerdekakan: jika nilainya memang seribu, maka tidak ada wasiat lain di dalamnya, sehingga sisa harga kembali kepada ahli waris. Jika nilainya lima ratus, maka sisanya kembali kepada Zaid, penjual, karena itu adalah wasiat untuknya. Jika nilainya tujuh ratus, maka wasiatnya adalah tiga ratus dirham, diberikan kepada penjual, dan dua ratus dikembalikan kepada ahli waris sebagai warisan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا أَوْصَى بِعِتْقِ أَمَةٍ عَلَى أَنَّهَا لَا تَتَزَوَّجُ، أُعْتِقَتْ عَلَى هَذَا الشَّرْطِ. فَإِنْ تَزَوَّجَتْ لَمْ يَبْطُلِ الْعِتْقُ، وَلَا النكاح. ووجب الرجوع عليها بقيمتها ولا يعود ميراثا. لأن عدم الشرط منع مِنْ إِمْضَاءِ الْوَصِيَّةِ، وَنُفُوذَ الْعِتْقِ يَمْنَعُ مِنَ الرُّجُوعِ فِيهِ.

Jika seseorang berwasiat untuk memerdekakan seorang budak perempuan dengan syarat ia tidak menikah, maka ia dimerdekakan dengan syarat tersebut. Jika ia menikah, maka kemerdekaannya tidak batal, begitu pula pernikahannya. Namun, wajib menuntut kembali nilai budak tersebut darinya dan tidak kembali menjadi warisan. Karena tidak terpenuhinya syarat mencegah pelaksanaan wasiat, sedangkan sahnya kemerdekaan mencegah penarikan kembali kemerdekaan itu.

فَلَوْ طَلَّقَهَا الزَّوْجُ لَمْ يُسْتَحَقَّ اسْتِرْجَاعُ الْقِيمَةِ، لِأَنَّ شَرْطَ الْوَصِيَّةِ قَدْ عُدِمَ بِتَزْوِيجِهَا.

Jika kemudian suaminya menceraikannya, maka tidak berhak menuntut kembali nilai budak tersebut, karena syarat wasiat telah gugur dengan pernikahannya.

وَإِنْ طُلِّقَتْ: فَإِنْ أَوْصَى لِأُمِّ وَلَدِهِ بألف درهم على أن لا تتزوج وأعطيت الْأَلْفَ عَلَى هَذَا الشَّرْطِ، فَإِنْ تَزَوَّجَتِ اسْتُرْجِعَتِ الْأَلْفُ مِنْهَا بِخِلَافِ الْعِتْقِ. لِأَنَّ اسْتِرْجَاعَ الْمَالِ مُمْكِنٌ، وَاسْتِرْجَاعَ الْعِتْقِ غَيْرُ مُمْكِنٍ.

Jika ia dicerai: misalnya seseorang berwasiat kepada ummu walad-nya dengan seribu dirham dengan syarat tidak menikah, lalu ia diberikan seribu dirham dengan syarat tersebut, maka jika ia menikah, seribu dirham itu diambil kembali darinya, berbeda dengan kemerdekaan. Karena pengembalian harta memungkinkan, sedangkan pengembalian kemerdekaan tidak mungkin.

فَرْعٌ:

Cabang:

وَإِذَا أَوْصَى بِعِتْقِ عَبْدٍ، فَاشْتَرَى الْوَصِيُّ أَبَا نَفْسِهِ فَأَعْتَقَهُ عَنِ الْمُوصِي: أَجْزَأَ سَوَاءٌ كَانَ الْعِتْقُ تَطَوُّعًا، أَوْ وَاجِبًا.

Jika seseorang berwasiat untuk memerdekakan seorang budak, lalu pelaksana wasiat membeli ayahnya sendiri dan memerdekakannya atas nama pewasiat, maka itu sah, baik kemerdekaan itu bersifat sunnah maupun wajib.

وَلَوِ اشْتَرَى أَبَا الْمُوصِي فَأَعْتَقَهُ: فَإِنْ كَانَ عَنْ وَاجِبٍ لَمْ يُجْزِئْ وَإِنْ كَانَ تَطَوُّعًا: أَجْزَأَ.

Jika pelaksana wasiat membeli ayah pewasiat lalu memerdekakannya, maka jika itu atas dasar kewajiban, tidak sah; namun jika atas dasar sunnah, maka sah.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ أَوْصَى رَجُلٌ بِعَبْدِهِ لِرَجُلٍ، وَقِيمَتُهُ مِائَةُ درهم، وبسدس ماله لآخر، وماله خمس مائة دِرْهَمٍ. فَقَدْ حُكِيَ عَنِ ابْنِ سُرَيْجٍ فِيهَا قَوْلَيْنِ:

Jika seseorang berwasiat memberikan budaknya kepada seseorang, dan nilai budak itu seratus dirham, serta berwasiat memberikan seperenam hartanya kepada orang lain, sedangkan hartanya lima ratus dirham, maka diriwayatkan dari Ibnu Surayj ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّ الْعَبْدَ بَيْنَ الْمُوصَى لَهُ بِالْعَبْدِ وَبَيْنَ الْمُوصَى لَهُ بِالسُّدُسِ عَلَى سَبْعَةِ أسهم. لأن السدس إذا انضم إلى الكل صار سَبْعَةً يَأْخُذُ الْمُوصَى لَهُ بِالْعَبْدِ سِتَّةَ أَسْبَاعِهِ، وَيَأْخُذُ الْمُوصَى لَهُ بِالسُّدُسِ سَبْعَةً ثُمَّ يَعُودُ صاحب السدس إلى الأربع مائة الْبَاقِيَةِ مِنَ الْمَالِ فَيَأْخُذُ سُدُسَهَا، وَذَلِكَ سِتَّةٌ وَسِتُّونَ دِرْهَمًا وَثُلُثَا دِرْهَمٍ، إِذَا ضُمَّتْ إِلَى قِيمَةِ الْعَبْدِ، وَهِيَ مِائَةُ دِرْهَمٍ، صَارَ الْجَمِيعُ مائة درهم وستة وستون دِرْهَمًا وَثُلُثَيْ دِرْهَمٍ. وَهِيَ ثُلُثُ جَمِيعِ الْمَالِ من غير زيادة ولا نقصان.

Pertama: Budak tersebut dibagi antara penerima wasiat budak dan penerima wasiat seperenam harta menjadi tujuh bagian. Karena seperenam jika digabungkan dengan keseluruhan menjadi tujuh bagian; penerima wasiat budak mendapat enam per tujuh bagian, dan penerima wasiat seperenam mendapat satu per tujuh. Kemudian penerima wasiat seperenam kembali mengambil seperenam dari sisa empat ratus dirham harta, yaitu enam puluh enam dirham dan dua pertiga dirham. Jika dijumlahkan dengan nilai budak, yaitu seratus dirham, maka totalnya menjadi seratus enam puluh enam dirham dan dua pertiga dirham. Itu adalah sepertiga dari seluruh harta, tanpa ada kelebihan atau kekurangan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ خَمْسَةَ أَسْدَاسِ الْعَبْدِ يَخْتَصُّ بها الموصى له بالعبد لأنه لم يوصى بِهِ لِغَيْرِهِ، وَالسُّدُسُ الْبَاقِي يَكُونُ بَيْنَ الْمُوصَى لَهُ بِالْعَبْدِ، وَالْمُوصَى لَهُ بِالسُّدُسِ نِصْفَيْنِ، لِأَنَّهُ مُوصًى بِهِ لَهُمَا، فَيَصِيرُ الْعَبْدُ بَيْنَهُمَا اثْنَيْ عَشَرَ سَهْمًا، لِلْمُوصَى لَهُ بِالْعَبْدِ مِنْهَا أَحَدَ عَشَرَ سَهْمًا، وَلِلْمُوصَى لَهُ بِالسُّدُسِ سَهْمٌ، ثُمَّ يعود صاحب السدس فيأخذ سدس الأربع مائة الباقية. وذلك تمام ثلث جميع المال.

Pendapat kedua: Lima per enam bagian budak menjadi milik penerima wasiat budak karena tidak diwasiatkan kepada selainnya, dan seperenam sisanya dibagi antara penerima wasiat budak dan penerima wasiat seperenam, masing-masing setengah, karena itu diwasiatkan untuk keduanya. Maka budak tersebut menjadi dua belas bagian; penerima wasiat budak mendapat sebelas bagian, dan penerima wasiat seperenam mendapat satu bagian. Kemudian penerima wasiat seperenam mengambil seperenam dari sisa empat ratus dirham. Dengan demikian, jumlahnya menjadi sepertiga dari seluruh harta.

ولكل من القولين وجه. والأول أشبه.

Kedua pendapat tersebut memiliki argumentasi, namun pendapat pertama lebih mendekati kebenaran.

فصل:

Fasal:

ولو أَوْصَى لِرَجُلٍ بِثُلُثِ مَالِهِ، وَلِآخَرَ بِفَرَسٍ قِيمَتُهُ سِوَى الْفَرَسِ أَلْفَيْ دِرْهَمٍ فَالْوَصِيَّتَانِ تَزِيدُ عَلَى الثُّلُثِ بِمِثْلِ ثُلُثَيْهِ، لِأَنَّ الْمَالَ ثَلَاثَةُ آلَافِ درهم والوصيتان بفرس قيمته ألف درهم، وبثلث الألفين وهو دِرْهَمٍ وَسِتَّةٌ وَسِتُّونَ دِرْهَمًا، وَثُلُثَا دِرْهَمٍ.

Jika seseorang berwasiat kepada seseorang dengan sepertiga hartanya, dan kepada orang lain dengan seekor kuda yang nilainya, selain kuda itu, dua ribu dirham, maka kedua wasiat tersebut melebihi sepertiga harta dengan jumlah dua pertiga dari sepertiga harta. Karena hartanya tiga ribu dirham, dan kedua wasiat itu berupa kuda senilai seribu dirham dan sepertiga dari dua ribu, yaitu enam ratus enam puluh enam dirham dan dua pertiga dirham.

فَإِذَا أَسْقَطَتِ الزِّيَادَةُ عَلَى الثُّلُثِ، عِنْدَ رَدِّ الْوَرَثَةِ، سقط خمسا الوصيتين، ورجعت إلى ثلاثة أخماسه، لِأَنَّ الْأَلْفَ مِنْهَا ثَلَاثَةُ أَخْمَاسِهَا.

Apabila tambahan itu dijatuhkan atas sepertiga, ketika para ahli waris menolak, maka dua per lima dari dua wasiat itu gugur, dan kembali menjadi tiga per lima, karena seribu darinya adalah tiga per lima dari jumlah tersebut.

ثُمَّ فِي قسمة ذَلِكَ بَيْنَ صَاحِبِ الْفَرَسِ وَالثُّلُثِ قَوْلَانِ عَلَى مَا حَكَاهُ ابْنُ سُرَيْجٍ:

Kemudian dalam pembagian itu antara pemilik kuda dan pemilik sepertiga, terdapat dua pendapat sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Surayj:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْأَوْلَى مِنْهُمَا: إِنَّ ثَلَاثَةَ أَخْمَاسِ الْفَرَسِ مَقْسُومَةٌ بَيْنَ صاحب الثلث، وصاحب الفرس عَلَى أَرْبَعَةِ أَسْهُمٍ لِصَاحِبِ الْفَرَسِ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ، وَلِصَاحِبِ الثُّلُثِ سَهْمٌ فَيَصِيرُ الْفَرَسُ مَقْسُومًا عَلَى عِشْرِينَ سَهْمًا، مِنْهَا لِصَاحِبِ الْفَرَسِ: تِسْعَةُ أَسْهُمٍ، وَذَلِكَ أَرْبَعَةُ أَعْشَارِهِ وَنِصْفُ عُشْرِهِ، وَقِيمَةُ ذَلِكَ أربع مائة وَخَمْسُونَ دِرْهَمًا وَلِصَاحِبِ الثُّلُثِ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ، وَذَلِكَ عُشْرُهُ وَنِصْفُ عُشْرِهِ، وَقِيمَةُ ذَلِكَ مِائَةٌ وَخَمْسُونَ دِرْهَمًا، ثُمَّ يَأْخُذُ صَاحِبُ الثُّلُثِ ثُلُثَ ثَلَاثَةِ أخماس الألفين، وذلك أربع مائة درهم فيصير مع صاحب الثلث خمس مائة وَخَمْسُونَ دِرْهَمًا مِنَ الْفَرَسِ وَالْمَالِ.

Salah satunya—dan ini yang lebih utama—bahwa tiga per lima bagian kuda dibagi antara pemilik sepertiga dan pemilik kuda menjadi empat bagian: pemilik kuda mendapat tiga bagian, dan pemilik sepertiga mendapat satu bagian. Maka kuda itu terbagi atas dua puluh bagian, sembilan di antaranya untuk pemilik kuda, yaitu empat per sepuluh dan setengah per sepuluh nilainya, yakni empat ratus lima puluh dirham. Sedangkan pemilik sepertiga mendapat tiga bagian, yaitu sepersepuluh dan setengah sepersepuluh nilainya, yakni seratus lima puluh dirham. Kemudian pemilik sepertiga mengambil sepertiga dari tiga per lima dua ribu, yaitu empat ratus dirham, sehingga pemilik sepertiga memperoleh lima ratus lima puluh dirham dari kuda dan harta.

ومع صاحب الفرس أربع مائة وَخَمْسُونَ دِرْهَمًا مِنَ الْفَرَسِ، فَتَصِيرُ الْوَصِيَّتَانِ أَلْفَ درهم هو ثُلُثُ جَمِيعِ الْمَالِ.

Sedangkan pemilik kuda memperoleh empat ratus lima puluh dirham dari kuda, sehingga kedua wasiat itu menjadi seribu dirham, yaitu sepertiga dari seluruh harta.

وَهَذَا الْقَوْلُ هُوَ الْأَشْبَهُ بِمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ.

Pendapat ini lebih sesuai dengan mazhab asy-Syafi‘i.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ ثَلَاثَةَ أَخْمَاسِ الفرس مقسوم بين صاحب الفرس، وصاحب الثلث، عَلَى سِتَّةِ أَسْهُمٍ، مِنْهَا خَمْسَةُ أَسْهُمٍ لِصَاحِبِ الْفَرَسِ، وَسَهْمٌ لِصَاحِبِ الثُّلُثِ، لِأَنَّ ثُلُثَيْ ذَلِكَ يُسَلَّمُ لِصَاحِبِ الْفَرَسِ، وَالثُّلُثَ مُوصًى بِهِ لِصَاحِبِ الثُّلُثِ، وَصَاحِبِ الْفَرَسِ، فَصَارَ بَيْنَهُمَا، فَيَصِيرُ الْفَرَسُ مقسوما على عشرة أسهم منها لصاحب الفرس أَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ، وَذَلِكَ أَرْبَعَةُ أَعْشَارِهِ، وَقِيمَةُ ذَلِكَ، أربع مائة، وَلِصَاحِبِ الثُّلُثِ سَهْمَانِ وَهُمَا عَشَرَةٌ وَقِيمَةُ ذَلِكَ مائتا درهم. ثم يأخذ صاحب الفرس حقه من ألفين، وذلك أربع مائة درهم. فصار مع صاحب الفرس الثلث ست مائة درهم من الفرس. ومع صاحب الفرس أربع مائة من الفرس وَهُمَا جَمِيعًا أَلْفُ دِرْهَمٍ ثُلُثُ جَمِيعِ التَّرِكَةِ وَهَذَا قِيَاسُ قَوْلِ أبي حنيفة. وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.

Pendapat kedua: tiga per lima bagian kuda dibagi antara pemilik kuda dan pemilik sepertiga menjadi enam bagian, lima di antaranya untuk pemilik kuda dan satu bagian untuk pemilik sepertiga, karena dua pertiga dari itu diserahkan kepada pemilik kuda, dan sepertiganya diwasiatkan kepada pemilik sepertiga dan pemilik kuda, sehingga menjadi milik bersama di antara keduanya. Maka kuda itu terbagi atas sepuluh bagian, empat di antaranya untuk pemilik kuda, yaitu empat per sepuluh nilainya, yakni empat ratus dirham, dan pemilik sepertiga mendapat dua bagian, yaitu dua per sepuluh nilainya, yakni dua ratus dirham. Kemudian pemilik kuda mengambil haknya dari dua ribu, yaitu empat ratus dirham. Maka pemilik kuda dan pemilik sepertiga memperoleh enam ratus dirham dari kuda. Sedangkan pemilik kuda memperoleh empat ratus dirham dari kuda, sehingga semuanya menjadi seribu dirham, yaitu sepertiga dari seluruh warisan. Inilah qiyās pendapat Abu Hanifah. Dan Allah lebih mengetahui kebenarannya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” (وَلَوْ) أَوْصَى لِوَارِثٍ وَأَجْنَبِيٍّ فَلَمْ يُجِيزُوا فَلِلْأَجْنَبِيِّ النصف ويسقط الْوَارِثِ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “(Jika) seseorang berwasiat kepada ahli waris dan orang asing, lalu para ahli waris tidak mengizinkan, maka untuk orang asing setengahnya dan bagian ahli waris gugur.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَلِلْوَرَثَةِ أَنْ يَعْتَرِضُوا فِي الْوَصِيَّةِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Para ahli waris berhak mengajukan keberatan terhadap wasiat dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: فِيمَا زَادَ عَلَى الثُّلُثِ، لِأَنَّهُ غَايَةُ مَا يَسْتَحِقُّهُ الْمَيِّتُ مِنْ جُمْلَةِ مَالِهِ بِالْوَصِيَّةِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِسَعْدٍ: ” الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ ” فَإِنْ أَوْصَى بِأَكْثَرَ مِنَ الثُّلُثِ، لَزِمَتِ الْوَصِيَّةُ فِي الثُّلُثِ وَكَانَتِ الزِّيَادَةُ عَلَيْهِ مَوْقُوفَةً عَلَى إِجَازَةِ الْوَرَثَةِ وَرَدِّهِمْ.

Pertama: terhadap kelebihan dari sepertiga, karena itu adalah batas maksimal yang berhak diwasiatkan oleh mayit dari seluruh hartanya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Sa‘d: “Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.” Jika berwasiat lebih dari sepertiga, maka wasiat itu berlaku pada sepertiga, dan kelebihannya tergantung pada persetujuan dan penolakan ahli waris.

والثاني: في اعتراض الورثة الوصية لقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَةَ لِوَارِثٍ “.

Kedua: keberatan ahli waris terhadap wasiat, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya Allah Ta‘ala telah memberikan hak kepada setiap yang berhak, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”

فَإِنْ أَوْصَى لِوَارِثٍ فَمَذْهَبُ الْمُزَنِيِّ، وَهُوَ أَحَدُ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ مُخَرَّجٌ مِنْ كَلَامٍ لَهُ فِي بَعْضِ كُتُبِهِ أَنَّهَا بَاطِلَةٌ، لَا تَصِحُّ وَإِنْ أَجَازَهَا الْوَرَثَةُ لِلنَّهْيِ عَنْهَا، وَلِثُبُوتِ الْحُكْمِ بِنَسْخِهَا.

Jika seseorang berwasiat kepada ahli waris, maka menurut mazhab al-Muzani—dan ini salah satu pendapat asy-Syafi‘i yang diambil dari ucapannya dalam sebagian kitabnya—bahwa wasiat itu batal, tidak sah meskipun ahli waris mengizinkannya, karena adanya larangan dan telah tetapnya hukum dengan penghapusan wasiat tersebut.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي جَمِيعِ كُتُبِهِ أَنَّهَا مَوْقُوفَةٌ عَلَى إِجَازَةِ الْوَرَثَةِ كَالزِّيَادَةِ عَلَى الثُّلُثِ.

Pendapat kedua, yang dinyatakan oleh asy-Syafi‘i dalam seluruh kitabnya, bahwa wasiat itu tergantung pada persetujuan ahli waris, sebagaimana kelebihan dari sepertiga.

وَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ يَكُونُ التَّفْرِيعُ. فعلى هذا:

Dan atas pendapat inilah dilakukan perincian. Maka berdasarkan ini:

لو أوصى لوارث بثلث ماله، ولأجنبي بثلث ماله، فقد استحق الورثة المنع في الْوَجْهَيْنِ مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَى الثُّلُثِ لِوَارِثٍ وَغَيْرِ وَارِثٍ، وَمِنَ الْوَصِيَّةِ لِوَارِثٍ وَإِنِ احْتَمَلَهَا الثُّلُثُ.

Jika seseorang berwasiat kepada ahli waris dengan sepertiga hartanya, dan kepada orang asing dengan sepertiga hartanya, maka ahli waris berhak menolak dari dua sisi: kelebihan dari sepertiga baik untuk ahli waris maupun bukan ahli waris, dan dari wasiat kepada ahli waris meskipun sepertiga itu mencukupi.

وإذا كان كذلك: فللورثة أربعة أَحْوَالٍ:

Jika demikian, maka ada empat keadaan bagi para ahli waris:

أَحَدُهَا: أَنْ يُجِيزُوا الْأَمْرَيْنِ، الْوَصِيَّةَ لِلْوَارِثِ، وَالزِّيَادَةَ عَلَى الثُّلُثِ، فَتَمْضِي الْوَصِيَّةُ لَهُمَا بِالثُّلُثَيْنِ.

Salah satunya: para ahli waris mengizinkan kedua hal tersebut, yaitu wasiat kepada ahli waris dan penambahan atas sepertiga, maka wasiat untuk keduanya berjalan dengan dua pertiga.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ:

Keadaan kedua:

أَنْ يُجِيزُوا الزِّيَادَةَ عَلَى الثُّلُثِ، وَيَمْنَعُوا الْوَصِيَّةَ لِلْوَارِثِ فَيَأْخُذُ الْأَجْنَبِيُّ الثُّلُثَ كَامِلًا، لِأَنَّهُمْ لَمْ يَعْتَرِضُوا عَلَيْهِ فِي الزِّيَادَةِ، وَكَمُلَتْ وَصِيَّتُهُ.

Mereka mengizinkan penambahan atas sepertiga, namun melarang wasiat kepada ahli waris, maka orang asing (bukan ahli waris) mengambil sepertiga secara penuh, karena mereka tidak menolak terhadap penambahan tersebut, sehingga wasiatnya sempurna.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ:

Keadaan ketiga:

أَنْ يَرُدُّوا الزِّيَادَةَ عَلَى الثُّلُثِ، وَيُجِيزُوا الْوَصِيَّةَ لِلْوَارِثِ فَيَكُونُ الثُّلُثُ بَيْنَ الأجنبي والوارث نصفين، ويأخذ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا سُدُسًا، لِاشْتِرَاكِهِمَا فِيمَا رَجَعَتْ إِلَيْهِ الْوَصِيَّةُ.

Mereka menolak penambahan atas sepertiga, namun mengizinkan wasiat kepada ahli waris, maka sepertiga dibagi antara orang asing dan ahli waris masing-masing setengah, sehingga masing-masing dari mereka mengambil seperenam, karena keduanya berbagi dalam bagian wasiat yang kembali kepada mereka.

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ:

Keadaan keempat:

أَنْ يَرُدُّوا الزِّيَادَةَ على الثلث، ويمضوا الْوَصِيَّةَ لِلْوَارِثِ، فَيَكُونُ لِلْأَجْنَبِيِّ السُّدُسُ لِأَنَّ مَا زَادَ مَرْدُودٌ فِي حَقِّهِمَا مَعًا فَصَارَ الثُّلُثُ لهما، ثم منع الوارث منه فصار سَهْمُهُ مِيرَاثًا وَأَخَذَ الْأَجْنَبِيُّ سَهْمَهُ مِنْهُ لَوْ كان الوارث له مشاركا.

Mereka menolak penambahan atas sepertiga, dan menjalankan wasiat kepada ahli waris, maka orang asing mendapatkan seperenam, karena kelebihan (dari sepertiga) dikembalikan pada keduanya bersama-sama sehingga sepertiga menjadi milik mereka berdua, lalu ahli waris dicegah darinya sehingga bagiannya menjadi warisan dan orang asing mengambil bagiannya dari situ seandainya ahli waris menjadi sekutunya.

فلو كَانَتِ الْوَصِيَّةُ لِأَجْنَبِيٍّ وَوَارِثِينَ، وَلَمْ يُجِيزُوا:

Jika wasiat itu untuk orang asing dan beberapa ahli waris, lalu mereka tidak mengizinkan:

كَانَ للأجنبي ثلث الثلث لأنه أحد ثلاثة أشركوا فِي الثُّلُثِ. وَلَوْ كَانَتْ لِأَجْنَبِيَّيْنِ وَوَارِثٍ.

Maka orang asing mendapat sepertiga dari sepertiga karena ia salah satu dari tiga orang yang berbagi dalam sepertiga. Dan jika wasiat itu untuk dua orang asing dan satu ahli waris,

كَانَ لهما ثلث الثُّلُثِ.

Maka keduanya mendapat sepertiga dari sepertiga.

وَالِاعْتِبَارُ بِكَوْنِهِ وَارِثًا، عِنْدَ الْمَوْتِ لَا وقت الوصية.

Yang menjadi patokan adalah statusnya sebagai ahli waris pada saat kematian, bukan pada waktu wasiat.

فعلى هذا: لو كان وَارِثًا ثُمَّ صَارَ عِنْدَ الْمَوْتِ غَيْرَ وَارِثٍ: صَحَّتْ لَهُ الْوَصِيَّةُ.

Berdasarkan hal ini: jika seseorang awalnya ahli waris lalu pada saat kematian menjadi bukan ahli waris, maka wasiat itu sah baginya.

وَلَوْ أَوْصَى لَهُ وَهُوَ غَيْرُ وَارِثٍ ثُمَّ صَارَ عِنْدَ الْمَوْتِ وَارِثًا: رُدَّتِ الْوَصِيَّةُ.

Dan jika seseorang diwasiati ketika ia bukan ahli waris lalu pada saat kematian menjadi ahli waris, maka wasiat itu dibatalkan.

وَلَوْ أَوْصَى لِامْرَأَةٍ أَجْنَبِيَّةٍ ثُمَّ تَزَوَّجَهَا: بَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ.

Dan jika seseorang berwasiat kepada seorang perempuan asing lalu menikahinya, maka wasiat itu batal.

وَلَوْ أَوْصَى لِزَوْجَتِهِ، ثُمَّ طَلَّقَهَا: صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan jika seseorang berwasiat kepada istrinya, lalu menceraikannya, maka wasiat itu sah. Allah lebih mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَا تَصِحُّ إِجَازَةُ الْوَرَثَةِ إِلَّا مِنْ بَالِغٍ، عَاقِلٍ، جائز الأمر.

Tidak sah izin dari ahli waris kecuali dari yang sudah baligh, berakal, dan cakap bertindak.

وإن كَانَ فِيهِمْ صَغِيرٌ أَوْ مَجْنُونٌ، أَوْ مَحْجُورٌ عَلَيْهِ بِسَفَهٍ: لَمْ تَصِحَّ مِنْهُ الْإِجَازَةُ، وَلَا مِنَ الْحَاكِمِ عَلَيْهِ، وَلَا مِنْ وَلِيِّهِ لِمَا فِي الْإِجَازَةِ عَلَيْهِ مِنْ تَضْيِيعِ حَقِّهِ، وَلَا ضمان على الولي المجيز، ما لم يقبض.

Jika di antara mereka ada yang masih kecil, gila, atau yang dibatasi haknya karena kebodohan, maka izinnya tidak sah darinya, tidak pula dari hakim atasnya, dan tidak pula dari walinya, karena dalam izin tersebut terdapat penyia-nyiaan haknya, dan tidak ada tanggungan atas wali yang mengizinkan selama belum diserahkan.

فإن أقبض؛ صار ضامنا لما أَجَازَهُ مِنَ الزِّيَادَةِ.

Jika sudah diserahkan, maka ia bertanggung jawab atas kelebihan yang diizinkannya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا أَجَازَ الْوَرَثَةُ الزِّيَادَةَ عَلَى الثُّلُثِ، ثُمَّ قَالُوا كُنَّا نَظُنُّ أن الزِّيَادَةَ يَسِيرَةً، أَوْ كُنَّا نَظُنُّ مَالَهُ كَثِيرًا، أَوْ كُنَّا لَا نَرَى عَلَيْهِ دَيْنًا: كَانَ القول قَوْلَهُمْ مَعَ أَيْمَانِهِمْ.

Jika para ahli waris mengizinkan penambahan atas sepertiga, lalu mereka berkata, “Kami mengira penambahannya sedikit,” atau “Kami mengira hartanya banyak,” atau “Kami tidak mengetahui adanya utang atasnya,” maka ucapan mereka diterima dengan sumpah mereka.

فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْإِجَازَةَ ابْتِدَاءُ عَطِيَّةٍ مِنْهُمْ، بَطَلَتْ فِي الزِّيَادَةِ عَلَى الثُّلُثِ، لِأَنَّهَا هِبَةٌ جَهِلُوا بَعْضَهَا، فَبَطَلَتْ.

Jika dikatakan bahwa izin itu pada asalnya adalah pemberian dari mereka, maka izin atas penambahan dari sepertiga batal, karena itu hibah yang sebagian bagiannya tidak mereka ketahui, maka batal.

وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهَا تَنْفِيذٌ وَإِمْضَاءٌ، قِيلَ لَهُمْ قَدْ لزمكم من إمضاء الزيادة القدر كنتم تظنوه يَزِيدُ عَلَى الثُّلُثِ لِأَنَّكُمْ قَدْ عَلِمْتُمُوهُ، وَبَطَلَتِ الزيادة فيما جهلتموه.

Dan jika kita katakan bahwa izin itu adalah pelaksanaan dan pengesahan, maka dikatakan kepada mereka: “Kalian wajib melaksanakan penambahan sebesar yang kalian kira melebihi sepertiga, karena kalian telah mengetahuinya, dan penambahan yang tidak kalian ketahui batal.”

فَإِنِ اخْتَلَفُوا مَعَ الْمُوصَى لَهُ فِي الْقَدْرِ الَّذِي عَلِمُوهُ: كَانَ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَهُمْ مَعَ أَيْمَانِهِمْ.

Jika mereka berselisih dengan penerima wasiat tentang kadar yang mereka ketahui, maka ucapan mereka diterima dengan sumpah mereka.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا مَاتَ رَجُلٌ وَتَرَكَ ابْنَيْنِ، فَادَّعَى رَجُلٌ أَنَّ أَبَاهُمَا وَصَّى لَهُ بِثُلُثِ مَالِهِ، فَصَدَّقَهُ أَحَدُهُمَا، وَكَذَّبَهُ الْآخَرُ، حَلَفَ الْمُكَذِّبُ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ فِي حِصَّتِهِ.

Jika seorang laki-laki meninggal dan meninggalkan dua anak laki-laki, lalu seseorang mengaku bahwa ayah mereka berwasiat kepadanya sepertiga hartanya, kemudian salah satu dari keduanya membenarkannya dan yang lain mendustakannya, maka yang mendustakan bersumpah dan tidak ada apa-apa atas bagiannya.

وَفِيمَا يَلْزَمُ الْمُصَدِّقَ وَجْهَانِ:

Adapun yang membenarkan, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَلْزَمُهُ ثُلُثُ حِصَّتِهِ، وَهُوَ سدس جميع المال.

Salah satunya: ia wajib memberikan sepertiga bagiannya, yaitu seperenam dari seluruh harta.

والوجه الثاني: يلزمه سدس جَمِيعِ الْمَالِ مِنْ حِصَّتِهِ.

Pendapat kedua: ia wajib memberikan seperenam dari seluruh harta dari bagiannya.

وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي إِقْرَارِ أَحَدِ الِابْنَيْنِ بِدَيْنٍ.

Kedua pendapat ini diambil dari perbedaan pendapat dalam pengakuan salah satu dari dua anak atas utang.

فَلَوْ صَدَّقَهُ أَحَدُهُمَا عَلَى جَمِيعِ الثُّلُثِ، وَصَدَّقَهُ الْآخَرُ عَلَى السُّدُسِ.

Jika salah satu dari keduanya membenarkan atas seluruh sepertiga, dan yang lain membenarkan atas seperenam,

لَزِمَ الْمُصَدِّقَ عَلَى السدس نصف السدس، وفيما يلزم الْمُصَدِّقَ عَلَى الثُّلُثِ وَجْهَانِ:

Maka yang membenarkan atas seperenam wajib memberikan setengah dari seperenam, dan mengenai yang membenarkan atas sepertiga ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: نِصْفُ الثُّلُثِ، وَهُوَ السُّدُسُ.

Salah satunya: setengah dari sepertiga, yaitu seperenam.

وَالثَّانِي: ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ الثُّلُثِ، وَهُوَ الربع. والله أعلم بالصواب.

Yang kedua: tiga perempat dari sepertiga, yaitu seperempat. Allah lebih mengetahui kebenaran.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وتجوز الْوَصِيَّةُ لِمَا فِي الْبَطْنِ وَبِمَا فِي الْبَطْنِ إِذَا كَانَ يَخْرُجُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فإن خرجوا عددا ذكرانا وَإِنَاثًا فَالْوَصِيَّةُ بَيْنَهُمْ سَوَاءٌ وَهُمْ لِمَنْ أُوصى بِهِمْ لَهُ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Diperbolehkan wasiat untuk janin yang ada dalam kandungan dan dengan apa yang ada dalam kandungan, jika ia akan lahir kurang dari enam bulan. Jika mereka lahir dalam jumlah, baik laki-laki maupun perempuan, maka wasiat itu dibagi rata di antara mereka, dan mereka adalah untuk siapa wasiat itu ditujukan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مُشْتَمِلَةٌ على فصلين:

Al-Mawardi berkata: Masalah ini mencakup dua bagian:

أحدهما: الوصية بالحمل.

Pertama: wasiat untuk janin.

والثاني: الوصية للحمل.

Kedua: wasiat kepada janin.

فَأَمَّا الْوَصِيَّةُ لِلْحَمْلِ فَجَائِزَةٌ، لِأَنَّهُ لَمَّا مَلَكَ بِالْإِرْثِ، وَهُوَ أَضْيَقُ، مَلَكَ بِالْوَصِيَّةِ الَّتِي هِيَ أَوْسَعُ.

Adapun wasiat kepada janin, maka hukumnya boleh, karena jika ia dapat memiliki harta melalui warisan, yang ruang lingkupnya lebih sempit, maka tentu ia dapat memilikinya melalui wasiat yang ruang lingkupnya lebih luas.

وَلَوْ أَقَرَّ لِلْحَمْلِ إِقْرَارًا مُطْلَقًا بَطَلَ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ.

Dan jika seseorang mengakui hak milik kepada janin dengan pengakuan mutlak, maka batal menurut salah satu dari dua pendapat.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْوَصِيَّةَ أحمل للجهالة له مِنَ الْإِقْرَارِ.

Perbedaan antara keduanya adalah: wasiat lebih dapat menoleransi ketidakjelasan daripada pengakuan.

أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ أَوْصَى لِمَنْ فِي هَذِهِ الدَّارِ صَحَّ. وَلَوْ أَقَرَّ لَهُ لَمْ يَصِحَّ.

Tidakkah engkau melihat, jika seseorang berwasiat kepada siapa saja yang ada di rumah ini, maka sah. Namun jika ia mengakui hak milik kepada mereka, maka tidak sah.

فَإِذَا قَالَ: قَدْ أَوْصَيْتُ لِحَمْلِ هَذِهِ الْمَرْأَةِ بِأَلْفٍ نُظِرَ حَالُهَا إِذَا وَلَدَتْ، فَإِنْ وَضَعَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ حِينِ تَكَلَّمَ بِالْوَصِيَّةِ لَا مِنْ حِينِ الْمَوْتِ صَحَّتْ لَهُ الْوَصِيَّةُ لِعِلْمِنَا أَنَّ الْحَمْلَ كَانَ مَوْجُودًا وَقْتَ الْوَصِيَّةِ.

Jika seseorang berkata: “Aku telah berwasiat untuk janin perempuan ini sebesar seribu,” maka dilihat keadaannya ketika ia melahirkan. Jika ia melahirkan kurang dari enam bulan sejak ucapan wasiat itu—bukan sejak kematian—maka wasiat itu sah baginya, karena kita mengetahui bahwa janin itu sudah ada saat wasiat diucapkan.

وَإِنْ وَضَعَتْهُ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ حِينِ الْوَصِيَّةِ: فَالْوَصِيَّةُ بَاطِلَةٌ لِحُدُوثِهِ بَعْدَهَا، وَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مَوْجُودًا وقت تكلمه بِهَا.

Dan jika ia melahirkan lebih dari empat tahun sejak wasiat diucapkan, maka wasiat itu batal karena janin itu terjadi setelah wasiat, dan ia tidak ada saat wasiat diucapkan.

وَإِنْ وَضَعَتْهُ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَقْتِ الْوَصِيَّةِ، وَلِأَقَلَّ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ، فإن كانت ذَاتَ زَوْجٍ أَوْ سَيِّدٍ يُمْكِنُ أَنْ يَطَأَهَا فيحدث ذلك منه: فَالْوَصِيَّةُ بَاطِلَةٌ لِإِمْكَانِ حُدُوثِهِ فَلَمْ يَسْتَحِقَّ بِالشَّكِّ.

Dan jika ia melahirkan lebih dari enam bulan sejak wasiat, namun kurang dari empat tahun, maka jika ia adalah perempuan yang bersuami atau memiliki tuan yang mungkin menggaulinya sehingga kehamilan itu berasal darinya, maka wasiat itu batal karena kemungkinan kehamilan itu terjadi setelah wasiat, sehingga tidak berhak karena adanya keraguan.

وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ ذَاتِ زَوْجٍ أَوْ سَيِّدٍ يطأ، فالوصية صحيحة لِأَنَّ الظَّاهِرَ تَقَدُّمُهُ وَالْحَمْلُ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الظَّاهِرِ فِي اللُّحُوقِ فَكَذَلِكَ فِي الْوَصِيَّةِ.

Namun jika ia bukan perempuan bersuami atau tidak ada tuan yang menggaulinya, maka wasiat itu sah karena yang tampak adalah kehamilan itu telah ada sebelumnya, dan janin mengikuti hukum zhahir dalam hal nasab, demikian pula dalam wasiat.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا صَحَّتْ لَهُ الْوَصِيَّةُ فَسَوَاءٌ كَانَ الْحَمْلُ حُرًّا، أَوْ مَمْلُوكًا، لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ لِلْمَمْلُوكِ جَائِزَةٌ، إِلَّا أَنَّهَا فِي الْمَمْلُوكِ لِسَيِّدِهِ، وَفِي الْحُرِّ لَهُ، دُونَ غَيْرِهِ.

Jika wasiat itu sah untuk janin, maka sama saja apakah janin itu merdeka atau budak, karena wasiat kepada budak itu boleh, hanya saja untuk budak, wasiat itu menjadi milik tuannya, sedangkan untuk yang merdeka, menjadi miliknya sendiri, bukan milik orang lain.

ثُمَّ إِنْ وَضَعَتْ حَمْلَهَا ذَكَرًا أَوْ أُنْثَى، فَالْوَصِيَّةُ لَهُ.

Kemudian jika ia melahirkan anak laki-laki atau perempuan, maka wasiat itu untuknya.

وَإِنْ وَضَعَتْ ذكرا وأثنى كَانَتِ الْوَصِيَّةُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ، لِأَنَّهَا هِبَةٌ لَا مِيرَاثَ، إِلَّا أَنْ يُفَضِّلَ الْمُوصِي الذَّكَرَ عَلَى الأنثى. لو على هذه فيحمل على تفضيله.

Jika ia melahirkan anak laki-laki dan perempuan, maka wasiat itu dibagi dua sama rata di antara keduanya, karena wasiat itu adalah hibah, bukan warisan, kecuali jika pewasiat memprioritaskan laki-laki atas perempuan. Jika demikian, maka diambil berdasarkan prioritas yang ia maksudkan.

فلو قال: إن وَلَدَتْ غُلَامًا فَلَهُ أَلْفٌ، وَإِنْ وَلَدَتْ جَارِيَةً فَلَهَا مِائَةٌ فَوَلَدَتْ غُلَامًا: اسْتَحَقَّ أَلْفًا، وَإِنْ ولدت جارية اسْتَحَقَّ الْغُلَامُ أَلْفًا وَالْجَارِيَةُ مِائَةً.

Jika ia berkata: “Jika ia melahirkan anak laki-laki, maka baginya seribu; dan jika ia melahirkan anak perempuan, maka baginya seratus,” lalu ia melahirkan anak laki-laki, maka anak laki-laki itu berhak atas seribu. Jika ia melahirkan anak perempuan, maka anak laki-laki berhak atas seribu dan anak perempuan atas seratus.

وَإِنْ وَلَدَتْ خُنْثَى دُفِعَ إِلَيْهِ مِائَةٌ لِأَنَّهَا يَقِينٌ، وَوَقَفَ تَمَامُ الْأَلْفِ حَتَّى يَسْتَبِينَ.

Jika ia melahirkan khuntsa (berkelamin ganda), maka diberikan kepadanya seratus karena itu yang pasti, dan sisanya dari seribu ditangguhkan sampai kejelasan jenis kelaminnya.

وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: إِنْ كَانَ فِي بَطْنِكِ غُلَامٌ فَلَهُ أَلْفٌ، وَإِنْ كَانَ فِي بَطْنِكِ جَارِيَةٌ فَلَهَا مِائَةٌ، فَوَلَدَتْ غُلَامًا وَجَارِيَةً، كَانَ لِلْغُلَامِ أَلْفٌ وَلِلْجَارِيَةِ مائة.

Demikian pula jika ia berkata: “Jika dalam kandunganmu ada anak laki-laki, maka baginya seribu; dan jika ada anak perempuan, maka baginya seratus.” Lalu ia melahirkan anak laki-laki dan perempuan, maka anak laki-laki mendapat seribu dan anak perempuan mendapat seratus.

فلو ولدت وَلَدَتْ غُلَامَيْنِ، أَوْ جَارِيَتَيْنِ، صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ، وَفِيهَا ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ حَكَاهَا ابْنُ سُرَيْجٍ:

Jika ia melahirkan dua anak laki-laki atau dua anak perempuan, maka wasiat itu sah, dan dalam hal ini ada tiga pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Surayj:

أَحَدُهَا: أَنَّ لِلْوَرَثَةِ أَنْ يَدْفَعُوا الْأَلْفَ إِلَى أَيِّ الْغُلَامَيْنِ شاءوا والمائة إلى الجاريتين شاءوا. لأنها لأحدهما فلم تدفع إلى أحدهما، وَرُجِعَ فِيهَا إِلَى بَيَانِ الْوَارِثِ، كَمَا لَوْ أوصى له بِأَحَدِ عَبْدَيْهِ.

Pertama: Para ahli waris boleh memberikan seribu itu kepada salah satu dari dua anak laki-laki yang mereka kehendaki, dan seratus kepada salah satu dari dua anak perempuan yang mereka kehendaki. Karena wasiat itu untuk salah satu dari keduanya, maka diserahkan kepada salah satu dari mereka, dan dikembalikan kepada penjelasan ahli waris, sebagaimana jika ia berwasiat kepada salah satu dari dua budaknya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَشْتَرِكُ الْغُلَامَانِ فِي الْأَلْفِ، وَالْجَارِيَتَانِ فِي الْمِائَةِ، لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ لِغُلَامٍ وَجَارِيَةٍ، وَلَيْسَ أَحَدُ الْغُلَامَيْنِ أَوْلَى مِنَ الْآخَرِ فَشَرَّكَ بَيْنَهُمَا، وَلَمْ يُرْجَعْ فِيهِ إِلَى خِيَارِ الْوَارِثِ، بِخِلَافِ الْوَصِيَّةِ بِأَحَدِ الْعَبْدَيْنِ اللَّذَيْنِ يملكهما الوارث، فجائز أَنْ يُرْجَعَ إِلَى خِيَارِهِ فِيهِمَا.

Pendapat kedua: Kedua anak laki-laki berbagi seribu itu, dan kedua anak perempuan berbagi seratus itu, karena wasiat itu untuk seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, dan tidak ada salah satu dari dua anak laki-laki yang lebih berhak dari yang lain, maka keduanya disamakan, dan tidak dikembalikan kepada pilihan ahli waris, berbeda dengan wasiat kepada salah satu dari dua budak yang dimiliki ahli waris, maka boleh dikembalikan kepada pilihan mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْأَلْفَ مَوْقُوفَةٌ بَيْنَ الْغُلَامَيْنِ، وَالْمِائَةَ مَوْقُوفَةٌ بين الجاريتين حتى يصطلحا عليهما بعد البلوغ، لأن الوصية لواحد فلم يشرك فيها بين اثنين وَلَيْسَ لِلْوَارِثِ فِيهَا خِيَارٌ، فَلَزِمَ فِيهَا الْوَقْفُ.

Pendapat ketiga: Bahwa seribu (dinar) ditangguhkan (statusnya) di antara dua anak laki-laki, dan seratus (dinar) ditangguhkan di antara dua anak perempuan hingga keduanya berdamai atasnya setelah baligh, karena wasiat itu untuk satu orang sehingga tidak boleh disekutukan antara dua orang, dan ahli waris tidak memiliki hak memilih dalam hal ini, maka wajiblah status tertahan (al-waqf) pada harta tersebut.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ قَالَ: إِنْ كَانَ الَّذِي فِي بَطْنِكِ غُلَامٌ فَلَهُ أَلْفٌ، وَإِنْ كَانَ الَّذِي فِي بَطْنِكِ جَارِيَةٌ فَلَهَا مِائَةٌ، فَوَلَدَتْ غُلَامًا وَجَارِيَةً.

Dan jika ia berkata: “Jika yang ada di dalam kandunganmu adalah anak laki-laki, maka baginya seribu (dinar), dan jika yang ada di dalam kandunganmu adalah anak perempuan, maka baginya seratus (dinar),” lalu ia melahirkan anak laki-laki dan anak perempuan.

فَلَا شَيْءَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا، بِخِلَافِ قَوْلِهِ: إن كان في بطنك غلام فله الألف، لِأَنَّهُ إِذَا قَالَ إِنْ كَانَ الَّذِي فِي بَطْنِكِ غُلَامٌ فَقَدْ جَعَلَ كَوْنَ الْحَمْلِ غُلَامًا شَرْطًا فِي الْحَمْلِ وَالْوَصِيَّةِ مَعًا، فَإِذَا كَانَ الْحَمْلُ غُلَامًا وَجَارِيَةً لَمْ يُوجَدِ الشَّرْطُ كَامِلًا فَلَمْ تَصِحَّ الْوَصِيَّةُ.

Maka tidak ada bagian bagi salah satu dari keduanya, berbeda dengan ucapannya: “Jika yang ada di dalam kandunganmu anak laki-laki, maka baginya seribu (dinar),” karena jika ia berkata, “Jika yang ada di dalam kandunganmu anak laki-laki,” maka ia telah menjadikan keberadaan janin sebagai anak laki-laki sebagai syarat baik pada janin maupun pada wasiat sekaligus. Maka jika janin itu ternyata anak laki-laki dan anak perempuan, syarat tersebut tidak terpenuhi secara sempurna, sehingga wasiat tidak sah.

وَإِذَا قَالَ إِنْ كَانَ فِي بَطْنِكِ غُلَامٌ، فَلَمْ يَجْعَلْ ذَلِكَ شَرْطًا فِي الْحَمْلِ وَإِنَّمَا جَعَلَهُ شَرْطًا فِي الْوَصِيَّةِ فَصَحَّتِ الْوَصِيَّةُ.

Dan jika ia berkata, “Jika yang ada di dalam kandunganmu anak laki-laki,” maka ia tidak menjadikan hal itu sebagai syarat pada janin, melainkan hanya sebagai syarat pada wasiat, maka wasiat itu sah.

وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: إِنْ كَانَ مَا فِي بَطْنِكِ غُلَامًا، فَهُوَ كَقَوْلِهِ إِنْ كَانَ الَّذِي فِي بطنك فإن وَضَعَتْ غُلَامًا وَجَارِيَةً فَلَا وَصِيَّةَ.

Demikian pula jika ia berkata: “Jika yang ada di dalam kandunganmu adalah anak laki-laki,” maka itu seperti ucapannya, “Jika yang ada di dalam kandunganmu…” Maka jika ia melahirkan anak laki-laki dan anak perempuan, maka tidak ada wasiat.

وَكَذَلِكَ لَوْ قال: إن كان حملك ذكرا فكان ذَكَرًا وَأُنْثَى فَلَا وَصِيَّةَ فَلَوْ قَالَ إِنْ كَانَ الَّذِي فِي بَطْنِكِ غُلَامًا فَلَهُ أَلْفٌ، فلو ولدت غلامين ففي الوصية وجهان أحدهما: باطل كَمَا لَوْ وَلَدَتْ غُلَامًا وَجَارِيَةً، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ كُلُّ حَمْلِهَا غُلَامًا.

Demikian pula jika ia berkata: “Jika kandunganmu laki-laki,” lalu ternyata lahir laki-laki dan perempuan, maka tidak ada wasiat. Maka jika ia berkata, “Jika yang ada di dalam kandunganmu anak laki-laki, maka baginya seribu (dinar),” lalu ia melahirkan dua anak laki-laki, maka dalam wasiat ini ada dua pendapat: salah satunya batal seperti jika ia melahirkan anak laki-laki dan anak perempuan, karena tidak seluruh kandungannya adalah anak laki-laki.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا جَائِزَةٌ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا غُلَامٌ فَاشْتَرَكَا فِي الصِّفَةِ، وَلَمْ تَضُرَّ الزِّيَادَةُ. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ عَلَى الْوُجُوهِ الثَّلَاثَةِ الَّتِي حَكَاهَا ابْنُ سريج من قبل أنها تَرْجِعُ إِلَى بَيَانِ الْوَرَثَةِ فِي دَفْعِ الْأَلْفِ إِلَى أَحَدِهِمَا.

Pendapat kedua: Wasiat itu sah karena masing-masing dari keduanya adalah anak laki-laki, sehingga keduanya sama-sama memiliki sifat tersebut, dan tambahan itu tidak membahayakan. Maka berdasarkan hal ini, menurut tiga pendapat yang telah disebutkan oleh Ibn Suraij sebelumnya, hal itu kembali kepada penjelasan ahli waris dalam menyerahkan seribu (dinar) kepada salah satu dari keduanya.

وَالثَّانِي: يَشْتَرِكَانِ جَمِيعًا فِيهَا.

Kedua: Keduanya sama-sama mendapatkan bagian darinya.

وَالثَّالِثُ: تُوقَفُ الْأَلِفُ بَيْنَهُمَا حَتَّى يَصْطَلِحَا عَلَيْهَا. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Ketiga: Seribu (dinar) itu ditangguhkan di antara keduanya hingga keduanya berdamai atasnya. Dan Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ قَالَ قَدْ أَوْصَيْتُ لِحَمْلِ هذه المرأة من زجها، فَجَاءَتْ بِوَلَدٍ نَفَاهُ زَوْجُهَا بِاللِّعَانِ، فَفِي الْوَصِيَّةِ وَجْهَانِ:

Dan jika ia berkata, “Aku telah berwasiat untuk janin perempuan ini dari suaminya,” lalu ia melahirkan anak yang diingkari oleh suaminya melalui li‘ān, maka dalam wasiat ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ – أَنَّ الْوَصِيَّةَ بَاطِلَةٌ، لِأَنَّ لِعَانَهُ قَدْ نَفَى أَنْ يَكُونَ مِنْهُ.

Salah satunya, yaitu pendapat Ibn Suraij, bahwa wasiat itu batal, karena li‘ān-nya telah menafikan bahwa anak itu darinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، أَنَّ الْوَصِيَّةَ لَهُ جَائِزَةٌ، لِأَنَّ لِعَانَ الزَّوْجِ مِنْهُ، إِنَّمَا اخْتَصَّ بِنَفْيِ النَّسَبِ دُونَ غَيْرِهِ مِنْ أَحْكَامِ الْأَوْلَادِ. أَلَا تَرَى أَنَّهَا تَعْتَدُّ بِهِ، وَلَوْ قَذَفَهَا بِهِ قَاذِفٌ حد.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa wasiat itu sah untuk anak tersebut, karena li‘ān suami hanya khusus menafikan nasab, bukan hukum-hukum anak yang lain. Tidakkah engkau melihat bahwa ia tetap menjalani masa iddah karena anak itu, dan jika ada yang menuduhnya berzina karena anak itu, maka ia tetap dikenai had.

ولو عاد فاعترف بنسبه لَحِقَ بِهِ، وَلَكِنْ لَوْ وَضَعَتْ بَعْدَ أَنْ طَلَّقَهَا ذَلِكَ الزَّوْجُ ثَلَاثًا وَلَدًا لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ وَقْتِ الطَّلَاقِ، وَلِأَقَلَّ مِنْ ستة أشهر من حين الوصية، فلا وصية لها وهو لَيْسَ مِنْهُ، وَبِخِلَافِ الْمُلَاعِنِ الَّذِي يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْوَلَدُ مِنْهُ.

Dan jika suami itu kemudian mengakui nasab anak itu, maka anak itu kembali dinasabkan kepadanya. Namun, jika ia melahirkan setelah ditalak tiga oleh suaminya itu, dan kelahiran itu terjadi lebih dari empat tahun sejak waktu talak, dan kurang dari enam bulan sejak wasiat, maka tidak ada wasiat baginya karena anak itu bukan dari suaminya, berbeda dengan kasus li‘ān yang masih mungkin anak itu berasal dari suaminya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا وَضَعَتِ الْمُوصَى بحملها وَلَدًا مَيِّتًا، فَلَا وَصِيَّةَ لَهُ، كَمَا لَا مِيرَاثَ لَهُ، وَلَوْ وَضَعَتْهُ حَيًّا، فَمَاتَ، صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ، وَكَانَتْ لِوَارِثِ الْحَمَلِ، كَالْمِيرَاثِ.

Jika perempuan yang diwasiati untuk janinnya melahirkan anak dalam keadaan mati, maka tidak ada wasiat baginya, sebagaimana ia juga tidak berhak mewarisi. Namun jika ia melahirkannya dalam keadaan hidup, lalu meninggal, maka wasiat itu sah dan menjadi milik ahli waris janin tersebut, sebagaimana warisan.

وَلَوْ ضَرَبَ ضَارِبٌ بَطْنَهَا، فَأَلْقَتْ جَنِينًا مَيِّتًا، كَانَ فِيهِ عَلَى الضَّارِبِ غُرَّةٌ وَلَا وَصِيَّةَ لَهُ، كَمَا لَا مِيرَاثَ لَهُ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan jika ada seseorang yang memukul perutnya, lalu ia keguguran dan janinnya lahir dalam keadaan mati, maka pelaku wajib membayar diyat janin (ghurrah), dan tidak ada wasiat baginya, sebagaimana ia juga tidak berhak mewarisi. Dan Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الوصية بالحمل فجائزة، كجوازها بِالْمَجْهُولِ.

Adapun wasiat untuk janin, maka hukumnya sah, sebagaimana sahnya wasiat untuk yang tidak diketahui (majhūl).

فَإِذَا أَوْصَى بِحَمْلِ جَارِيَتِهِ لِرَجُلٍ، فَوَلَدَتْ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ حِينِ الْوَصِيَّةِ، صحت الوصية به، سواء وضعته غُلَامًا أَوْ جَارِيَةً.

Jika seseorang berwasiat untuk janin dari budaknya perempuan kepada seorang laki-laki, lalu budak itu melahirkan dalam waktu kurang dari enam bulan sejak wasiat, maka wasiat itu sah, baik yang dilahirkan itu anak laki-laki maupun anak perempuan.

وَإِنْ وَلَدَتْ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ فَلَا وصية به، لِعَدَمِهِ حِينَ الْوَصِيَّةِ، وَأَنَّهُ أَشَارَ إِلَى مَا ظَنَّهُ حَمْلًا فَلَمْ يَكُنْ حَمْلًا.

Dan jika ia melahirkan setelah lebih dari empat tahun, maka tidak ada wasiat baginya, karena pada saat wasiat janin itu tidak ada, dan ia hanya menunjuk pada sesuatu yang ia sangka sebagai janin, padahal ternyata bukan janin.

وَإِنْ وَلَدَتْ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ، وَلِأَقَلَّ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ: فَإِنْ كَانَ لَهَا زَوْجٌ يُمْكِنُ أَنْ يَطَأَ فَالظَّاهِرُ حُدُوثُهُ بَعْدَ الْوَصِيَّةِ، فَلَا وَصِيَّةَ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا زَوْجٌ، فَالظَّاهِرُ تَقَدُّمُهُ فَتَصِحُّ الْوَصِيَّةُ.

Jika ia melahirkan setelah lebih dari enam bulan, dan kurang dari empat tahun: maka jika ia memiliki suami yang mungkin menggaulinya, maka yang tampak adalah anak itu terjadi setelah wasiat, sehingga tidak ada wasiat. Namun jika ia tidak memiliki suami, maka yang tampak adalah anak itu telah ada sebelumnya, sehingga wasiatnya sah.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا إِذَا قَالَ قَدْ أَوْصَيْتُ بِمَنْ تَحْمِلُهُ جَارِيَتِي هَذِهِ. فَفِي الْوَصِيَّةِ وَجْهَانِ:

Adapun jika ia berkata, “Aku telah berwasiat untuk anak yang dikandung oleh budakku ini,” maka dalam wasiat tersebut terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلَةٌ، وَالثَّانِي: جَائِزَةٌ، مِنَ اخْتِلَافِ الوجهين في الوصية هل يراعى بها وَقْتَ الْوَصِيَّةِ أَمْ لَا؟ وَلَكِنْ لَوْ أَوْصَى لما تحمله هذه المرأة لم يجزها هنا قولا واحدا، لأن المالك هاهنا معدوم، وعدم الملك أعظم فِي التَّمْلِيكِ مِنْ عَدَمِ الْمَمْلُوكِ.

Salah satunya: batal, dan yang kedua: sah, berdasarkan perbedaan pendapat dalam fiqh tentang wasiat, apakah yang diperhatikan adalah waktu wasiat atau tidak? Namun, jika ia berwasiat untuk apa yang dikandung oleh wanita ini, maka tidak sah menurut satu pendapat, karena pemiliknya di sini tidak ada, dan ketiadaan kepemilikan lebih berat dalam hal pemilikan daripada ketiadaan objek yang dimiliki.

فَإِذَا قِيلَ الْوَصِيَّةُ بَاطِلَةٌ فَلَا مَسْأَلَةَ. وَإِذَا قِيلَ جَائِزَةٌ، نظر: فإن وضعته وَلَدًا لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ لَمْ تَصِحَّ فِيهِ الْوَصِيَّةُ، لِأَنَّهُ كَانَ مَوْجُودًا وَقْتَ الْوَصِيَّةِ، وَإِنَّمَا أَوْصَى بِوَلَدٍ يَحْدُثُ بَعْدَ الْوَصِيَّةِ.

Jika dikatakan wasiat itu batal, maka tidak ada masalah. Namun jika dikatakan sah, maka diperhatikan: jika ia melahirkan anak kurang dari enam bulan, maka wasiat itu tidak sah baginya, karena anak itu sudah ada saat wasiat dibuat, sedangkan wasiat hanya untuk anak yang terjadi setelah wasiat.

وَإِنْ وَضَعَتْ وَلَدًا لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ صَحَّتْ فيه الوصية لحدوثه بعد الوصية.

Jika ia melahirkan anak setelah lebih dari empat tahun, maka wasiat itu sah baginya karena anak itu terjadi setelah wasiat.

فإن وَضَعَتْ وَلَدًا لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ، وَلِأَقَلَّ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ فَإِنْ كَانَتْ ذَاتَ زَوْجٍ يَطَأُ فَالظَّاهِرُ حُدُوثُهُ فَصَحَّتْ فِيهِ الْوَصِيَّةُ.

Jika ia melahirkan anak setelah lebih dari enam bulan dan kurang dari empat tahun, maka jika ia adalah wanita bersuami yang dapat menggaulinya, maka yang tampak adalah anak itu terjadi setelah wasiat, sehingga wasiat itu sah baginya.

وَإِنْ لم تكن ذات زوج يطأ فَالظَّاهِرُ تَقَدُّمُهُ فَلَمْ تَصِحَّ فِيهِ الْوَصِيَّةُ.

Namun jika ia bukan wanita bersuami yang dapat menggaulinya, maka yang tampak adalah anak itu telah ada sebelumnya, sehingga wasiat itu tidak sah baginya.

فَأَمَّا إِذَا قَالَ قَدْ أَوْصَيْتُ لِمَنْ تَلِدُهُ جَارِيَتِي فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يُرَاعَى وُجُودُ الْحَمْلِ حال الوصية أم لا؟ على وجهين:

Adapun jika ia berkata, “Aku telah berwasiat untuk siapa yang dilahirkan oleh budakku,” maka para sahabat kami berbeda pendapat, apakah yang diperhatikan adalah keberadaan kehamilan saat wasiat atau tidak? Ada dua pendapat:

أحدهما: أنه يراعى وجوده حال الوصية، وَيَكُونُ كَقَوْلِهِ: قَدْ أَوْصَيْتُ بِحَمْلِ جَارِيَتِي.

Salah satunya: bahwa yang diperhatikan adalah keberadaan kehamilan saat wasiat, dan ini seperti ucapannya: “Aku telah berwasiat untuk kandungan budakku.”

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ – أَنَّهُ لا يراعى وجوده، وَفِي أَيِّ زَمَانٍ وَلَدَتْهُ، صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ بِهِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: bahwa tidak diperhatikan keberadaannya, dan kapan pun ia melahirkannya, maka wasiat itu sah baginya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ قَالَ: إِنْ وَلَدَتْ هَذِهِ الْجَارِيَةُ ذكرا فهي وَصِيَّةٌ لِزَيْدٍ، وَإِنْ وَلَدَتْ أُنْثَى فَهِيَ وَصِيَّةٌ لِعَمْرٍو.

Jika ia berkata: “Jika budak perempuan ini melahirkan anak laki-laki, maka itu wasiat untuk Zaid, dan jika ia melahirkan anak perempuan maka itu wasiat untuk Amr.”

جَازَ وَكَانَ عَلَى مَا قَالَ: إِنْ وَلَدَتْ غُلَامًا ذَكَرًا كَانَ لِزَيْدٍ. وَإِنْ وَلَدَتْ جَارِيَةً أُنْثَى كَانَتْ لِعَمْرٍو.

Maka itu sah dan berlaku sebagaimana yang dikatakannya: jika ia melahirkan anak laki-laki, maka menjadi milik Zaid. Jika ia melahirkan anak perempuan, maka menjadi milik Amr.

وَإِنْ وَلَدَتْ ذَكَرًا وأنثى. كان لكل واحد منهما ما جعل له.

Jika ia melahirkan anak laki-laki dan perempuan, maka masing-masing dari mereka mendapatkan apa yang telah ditetapkan untuknya.

ولو وَلَدَتْ خُنْثَى مُشْكِلًا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika ia melahirkan khuntsa musykil (anak dengan kelamin ganda yang tidak jelas), maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا حَقَّ فِيهِ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا، لِأَنَّهُ لَيْسَ بِذَكَرٍ فَيَسْتَحِقُّهُ زَيْدٌ. وَلَا بِأُنْثَى فَيَسْتَحِقُّهَا عَمْرٌو. وَيَكُونُ موروثا.

Salah satunya: tidak ada hak bagi keduanya, karena ia bukan laki-laki sehingga Zaid berhak atasnya, dan bukan perempuan sehingga Amr berhak atasnya, maka ia menjadi warisan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ مَوْقُوفٌ بَيْنَ زَيْدٍ وَعَمْرٍو حَتَّى يَصْطَلِحَا عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ لَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ ذَكَرًا أَوْ أُنْثَى فَإِنْ أَشْكَلَ: فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَمْلِكَهُ الْوَرَثَةُ، وَإِنَّمَا الْإِشْكَالُ مُؤَثِّرٌ في مستحق الوصية لَا فِي الِاسْتِحْقَاقِ لِلْوَرَثَةِ.

Pendapat kedua: bahwa ia ditangguhkan antara Zaid dan Amr hingga keduanya bersepakat atasnya, karena tidak lepas dari kemungkinan ia laki-laki atau perempuan. Jika tetap tidak jelas, maka tidak boleh dimiliki oleh para ahli waris, dan ketidakjelasan ini hanya berpengaruh pada siapa yang berhak atas wasiat, bukan pada hak waris bagi ahli waris.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا أَوْصَى بحمل أمته لرجل، ضرب بَطْنَهَا ضَارِبٌ، فَأَلْقَتْ جَنِينًا مَيِّتًا: صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ، وَكَانَ لِلْمُوصَى لَهُ الدِّيَةُ.

Jika seseorang berwasiat dengan kandungan budaknya untuk seorang laki-laki, lalu seseorang memukul perutnya sehingga ia keguguran dan janinnya mati, maka wasiat itu sah dan orang yang menerima wasiat berhak atas diyat (denda).

وَلَوْ أَوْصَى لَهُ بِحَمْلِ نَاقَتِهِ، فَضُرِبَ بَطْنُهَا، فَأَلْقَتْ جَنِينًا مَيِّتًا: فَالْوَصِيَّةُ بَاطِلَةٌ، وَمَا نَقَصَهَا الضَّرْبُ لِلْوَرَثَةِ.

Jika ia berwasiat untuk kandungan untanya, lalu perutnya dipukul hingga ia keguguran dan janinnya mati, maka wasiat itu batal, dan kerugian akibat pukulan itu menjadi hak ahli waris.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ مَا فِي جَنِينِ الْأَمَةِ بَدَلٌ مِنْهُ.

Perbedaan antara keduanya adalah: bahwa janin budak perempuan ada gantinya (diyat).

وَمَا فِي جَنِينِ الْبَهِيمَةِ لَا بَدَلَ لَهُ مِنْهَا.

Sedangkan janin hewan ternak tidak ada gantinya dari hewan itu sendiri.

أَلَا تَرَى أَنَّ فِي جَنِينِ الأدمية ديته، وفي جنين البهيمة ما نقص من ثمنها.

Tidakkah engkau melihat bahwa pada janin manusia ada diyatnya, sedangkan pada janin hewan ternak hanya ada pengurangan dari harganya.

فصل:

Fasal:

ولو أوصى بحمل جارية لِحَمْلِ أُخْرَى، فَلَا يَخْلُو حَمْلُهُمَا، مِنْ أَرْبَعَةِ أقسام:

Jika seseorang berwasiat dengan kandungan seorang budak perempuan untuk kandungan budak perempuan lain, maka kandungan keduanya tidak lepas dari empat keadaan:

أحدها: أن يكون الحملان موجودين حال الْوَصِيَّةِ لِوِلَادَتِهِمَا، لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ، فَالْوَصِيَّةُ جَائِزَةٌ.

Pertama: kedua kandungan itu sudah ada saat wasiat karena keduanya lahir kurang dari enam bulan, maka wasiat itu sah.

فَمَنْ وَلَدَتْهُ الْمُوصَى بِحَمْلِهَا، مِنْ غُلَامٍ أَوْ جَارِيَةٍ، أَوْ هُمَا، فَهُوَ لِمَنْ وَلَدَتْهُ الموصى لحملها من ذكر أو أنثى أو هما بِالسَّوِيَّةِ بَيْنَهُمَا.

Maka siapa yang dilahirkan dari budak yang diwasiyatkan kandungannya, baik laki-laki maupun perempuan, atau keduanya, maka ia menjadi milik siapa yang dilahirkan dari budak yang diwasiyatkan kandungannya, baik laki-laki maupun perempuan, atau keduanya, dengan bagian yang sama di antara mereka.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْحَمْلَانِ مَعْدُومَيْنِ عِنْدَ الْوَصِيَّةِ لِوِلَادَتِهِمَا لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سنين، فالوصية باطلة، لأنها وصية بِمَعْدُومٍ.

Bagian kedua: Yaitu apabila kedua janin tidak ada pada saat wasiat karena mereka lahir lebih dari empat tahun setelah wasiat, maka wasiat tersebut batal, karena merupakan wasiat untuk sesuatu yang tidak ada.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الْحَمْلُ الْمُوصَى بِهِ مَوْجُودًا عِنْدَ الْوَصِيَّةِ لِوِلَادَتِهِ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ. وَالْحَمْلُ الْمُوصَى لَهُ مَعْدُومًا عِنْدَ الْوَصِيَّةِ لِوِلَادَتِهِ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ.

Bagian ketiga: Yaitu apabila janin yang diwasiatkan sudah ada pada saat wasiat karena ia lahir kurang dari enam bulan setelah wasiat, sedangkan janin yang menjadi penerima wasiat tidak ada pada saat wasiat karena ia lahir lebih dari empat tahun setelah wasiat.

فَالْوَصِيَّةُ بَاطِلَةٌ، لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ بِمَوْجُودٍ لِمَعْدُومٍ.

Maka wasiat tersebut batal, karena merupakan wasiat untuk sesuatu yang ada kepada sesuatu yang tidak ada.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أن يكون الحمل الموصى مَعْدُومًا عِنْدَ الْوَصِيَّةِ لِوِلَادَتِهِ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ، وَالْحِمْلُ الْمُوصَى لَهُ مَوْجُودًا عِنْدَ الْوَصِيَّةِ لِوِلَادَتِهِ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ: فَالْوَصِيَّةُ بَاطِلَةٌ، لأنها وصية بمعدوم لموجود.

Bagian keempat: Yaitu apabila janin yang diwasiatkan tidak ada pada saat wasiat karena ia lahir lebih dari empat tahun setelah wasiat, sedangkan janin yang menjadi penerima wasiat sudah ada pada saat wasiat karena ia lahir kurang dari enam bulan setelah wasiat: maka wasiat tersebut batal, karena merupakan wasiat untuk sesuatu yang tidak ada kepada sesuatu yang ada.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” (وَلَوْ) أَوْصَى بِخِدْمَةِ عَبْدِهِ أَوْ بِغَلَّةِ دَارِهِ أو بثمر بستانه والثلث يحتمله جاز ذلك “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “(Jika) seseorang berwasiat dengan pelayanan budaknya, atau hasil sewa rumahnya, atau buah kebunnya, dan sepertiga harta mencukupi untuk itu, maka hal tersebut boleh.”

قال الماوردي: الوصية بمنافع الأعيان جائزة، كالوصية بِالْأَعْيَانِ لِأَنَّهُ لَمَّا صَحَّ عَقْدُ الْإِجَارَةِ عَلَيْهَا، فأولى أن تصح الوصية بها، وسواء قيدت الْوَصِيَّةُ بِمُدَّةٍ، أَوْ جُعِلَتْ مُؤَبَّدَةً.

Al-Mawardi berkata: Wasiat atas manfaat suatu benda hukumnya boleh, sebagaimana wasiat atas bendanya itu sendiri, karena jika akad ijarah (sewa-menyewa) atas manfaat tersebut sah, maka lebih utama lagi wasiat atas manfaat itu juga sah. Baik wasiat tersebut dibatasi dengan waktu tertentu, maupun dibuat berlaku selamanya.

وَقَالَ ابْنُ أبي ليلى:

Ibnu Abi Laila berkata:

إِنْ قُدِّرَتْ بِمُدَّةٍ تَصِحُّ فِيهَا الْإِجَارَةُ: صَحَّتْ. وَإِنْ لَمْ تُقَدَّرْ بِمُدَّةٍ تَصِحُّ فِيهَا الْإِجَارَةُ بَطَلَتْ حَمْلًا لِلْوَصِيَّةِ عَلَى الْإِجَارَةِ.

Jika ditentukan dengan waktu yang dalam waktu itu sah dilakukan akad ijarah, maka wasiatnya sah. Namun jika tidak ditentukan dengan waktu yang sah untuk akad ijarah, maka wasiatnya batal, karena dianggap sebagai wasiat yang mengikuti hukum ijarah.

وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وأبو حنيفة، وَجُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى جَوَازِ الْوَصِيَّةِ بِهَا عَلَى التَّأْبِيدِ بِخِلَافِ الْإِجَارَةِ، لِأَنَّ الْوَصَايَا تَجُوزُ مَعَ الْجَهَالَةِ كَمَا لَوْ أَوْصَى بِسَهْمٍ من ماله وماله مجهول، بخلاف الإجارة فإنها لَا تَصِحُّ مَعَ الْجَهَالَةِ.

Syafi‘i, Abu Hanifah, dan jumhur fuqaha berpendapat bolehnya wasiat atas manfaat tersebut secara abadi, berbeda dengan ijarah. Karena wasiat boleh dilakukan meskipun ada unsur ketidakjelasan (jahalah), seperti jika seseorang berwasiat dengan bagian tertentu dari hartanya padahal hartanya tidak diketahui, berbeda dengan ijarah yang tidak sah jika ada unsur ketidakjelasan.

فَإِذَا صَحَّ جَوَازُهَا مقدرة ومؤبدة فَقَدْ ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ الْوَصِيَّةَ بِخِدْمَةِ الْعَبْدِ، وَبِغَلَّةِ الدَّارِ وَبِثَمَرَةِ الْبُسْتَانِ. فَأَمَّا الْوَصِيَّةُ بِخِدْمَةِ الْعَبْدِ فله أن يستخدمه وله أن يؤجره.

Jika telah sah kebolehan wasiat tersebut baik dibatasi waktu maupun berlaku selamanya, maka Syafi‘i telah menyebutkan wasiat dengan pelayanan budak, hasil sewa rumah, dan buah kebun. Adapun wasiat dengan pelayanan budak, maka penerima wasiat boleh memanfaatkan pelayanannya atau menyewakannya kepada orang lain.

وقال أبو حنيفة: لا يجوز لمن أوصى له بخدمة عبده أن يأمره اعْتِمَادًا عَلَى مَا تَضَمَّنَتْهُ الْوَصِيَّةُ مِنَ الِاسْتِخْدَامِ دُونَ الْإِجَارَةِ.

Abu Hanifah berkata: Tidak boleh bagi orang yang menerima wasiat pelayanan budak untuk menyewakannya, karena wasiat tersebut hanya mencakup pemanfaatan pelayanan, bukan penyewaan.

وَهَذَا خَطَأٌ: لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ بِالْخِدْمَةِ كَالْوَصِيَّةِ بِالرَّقَبَةِ. فَلَمَّا كَانَ الْمُوصَى لَهُ بِالرَّقَبَةِ يجوز له المعارضة عَلَيْهَا لِأَنَّهُ قَدْ مَلَكَهَا بِالْوَصِيَّةِ كَانَ الْمُوصَى له بالخدمة أيضا يجوز له المعارضة عليها لِأَنَّهُ قَدْ مَلَكَهَا بِالْوَصِيَّةِ.

Ini adalah pendapat yang keliru, karena wasiat atas pelayanan sama seperti wasiat atas kepemilikan budak. Jika penerima wasiat atas kepemilikan budak boleh memperjualbelikannya karena ia telah memilikinya melalui wasiat, maka penerima wasiat atas pelayanan juga boleh menyewakannya karena ia telah memilikinya melalui wasiat.

فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا: فالوصية بخدمته ضربان: إما مُقَدَّرَةٌ بِمُدَّةٍ وَمُؤَبَّدَةٌ.

Jika demikian, maka wasiat atas pelayanan budak ada dua bentuk: dibatasi dengan waktu tertentu atau berlaku selamanya.

فَإِنْ قُدِّرَتْ بِمُدَّةٍ كَأَنَّهُ قَالَ: قَدْ أَوْصَيْتُ لِزَيْدٍ بِخِدْمَةِ عَبْدِي سَنَةً، فَالْوَصِيَّةُ جَائِزَةٌ لَهُ بِخِدْمَةِ سَنَةٍ.

Jika dibatasi dengan waktu tertentu, misalnya ia berkata: “Aku berwasiat kepada Zaid dengan pelayanan budakku selama satu tahun,” maka wasiat tersebut sah baginya untuk mendapatkan pelayanan selama satu tahun.

وَالْمُعْتَبَرُ فِي الثُّلُثِ مَنْفَعَةُ السَّنَةِ دُونَ الرَّقَبَةِ، وَفِي كَيْفِيَّةِ اعتبارها وَجْهَانِ:

Yang menjadi pertimbangan dalam sepertiga harta adalah nilai manfaat selama satu tahun, bukan nilai budaknya. Dalam cara menilainya ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ: أَنَّهُ يُقَوَّمُ الْعَبْدُ كَامِلَ الْمَنْفَعَةِ فِي زَمَانِهِ كُلِّهِ، فَإِذَا قِيلَ مِائَةُ دِينَارٍ، قُوِّمَ وَهُوَ مَسْلُوبُ الْمَنْفَعَةِ سَنَةً، فَإِذَا قِيلَ ثَمَانُونَ دِينَارًا فَالْوَصِيَّةُ بِعِشْرِينَ دِينَارًا وَهِيَ خَارِجَةٌ مِنَ الثُّلُثِ، إِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَى الْمُوصِي دَيْنٌ.

Pertama, menurut Ibnu Surayj: Budak tersebut dinilai dengan manfaat penuh selama seluruh waktunya, misalnya dikatakan nilainya seratus dinar. Kemudian dinilai lagi budak tersebut tanpa manfaat selama satu tahun, misalnya nilainya delapan puluh dinar. Maka wasiatnya adalah senilai dua puluh dinar, dan itu diambil dari sepertiga harta, jika pewasiat tidak memiliki utang.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الَّذِي أَرَاهُ مَذْهَبًا – أَنَّهُ يُقَوَّمُ خِدْمَةُ مِثْلِهِ سَنَةً، فَتُعْتَبَرُ مِنَ الثلث، ولا تقوم الرقبة لأن المنافع الممتلكة في العقود والغصوب هِيَ الْمُقَوَّمَةُ دُونَ الْأَعْيَانِ. وَكَذَلِكَ فِي الْوَصَايَا.

Pendapat kedua, yang menurutku lebih kuat sebagai madzhab: Yang dinilai adalah pelayanan budak sejenis selama satu tahun, dan itu yang diambil dari sepertiga harta, bukan nilai budaknya. Karena manfaat yang dimiliki dalam akad dan ghasab adalah yang dinilai, bukan bendanya. Begitu pula dalam wasiat.

فَإِذَا عُلِمَ الْقَدْرُ الَّذِي تَقَوَّمَتْ بِهِ خِدْمَةُ السَّنَةِ إِمَّا مِنَ الْعَيْنِ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ، أَوْ مِنَ الْمَنَافِعِ عَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي نُظِرَ:

Jika telah diketahui nilai pelayanan selama satu tahun, baik dari nilai bendanya menurut pendapat pertama, atau dari nilai manfaatnya menurut pendapat kedua, maka diperhatikan:

فإنه خَرَجَ جَمِيعُهُ مِنَ الثُّلُثِ، صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ لَهُ بِخِدْمَةِ جَمِيعِ السَّنَةِ، وَإِنْ خَرَجَ نِصْفَهُ مِنَ الثُّلُثِ، رَجَعَتِ الْوَصِيَّةُ إِلَى نِصْفِهَا، وَاسْتَخْدَمَهُ نِصْفَ السَّنَةِ. وَإِنْ خَرَجَ ثُلُثُهُ مِنَ الثُّلُثِ رَجَعَتِ الْوَصِيَّةُ إِلَى ثُلُثِهَا، وَاسْتَخْدَمَهُ ثُلُثَ السَّنَةِ.

Jika seluruhnya berasal dari sepertiga (harta peninggalan), maka wasiat untuknya berupa pelayanan selama satu tahun penuh adalah sah. Jika setengahnya berasal dari sepertiga, maka wasiat kembali menjadi setengahnya, dan ia melayaninya selama setengah tahun. Jika sepertiganya berasal dari sepertiga, maka wasiat kembali menjadi sepertiganya, dan ia melayaninya selama sepertiga tahun.

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ عَلَى هَذِهِ الْعِبْرَةِ، اسْتَحَقَّ اسْتِخْدَامَهُ جَمِيعَ السَّنَةِ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ فِي التَّرِكَةِ مَالٌ غَيْرَ الْعَبْدِ، أَمْ لَا؟ .

Jika telah ditetapkan bahwa hal itu berdasarkan ukuran ini, maka ia berhak menggunakan pelayanannya selama satu tahun penuh. Maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah dalam harta warisan terdapat harta selain budak tersebut, atau tidak?

فَإِنْ كَانَ فِي التَّرِكَةِ مَالٌ غَيْرَ الْعَبْدِ إِذَا أَمْكَنَ الْمُوصَى لَهُ مِنَ اسْتِخْدَامِهِ سَنَةً، أمكن الورثة في تلك السنة أن يتصرفوا في التركة بِمَا يُقَابِلُ مِثْلَ الْعَبْدِ.

Jika dalam harta warisan terdapat harta selain budak, maka apabila penerima wasiat memungkinkan untuk menggunakan budak itu selama satu tahun, para ahli waris pada tahun itu dapat menggunakan harta warisan lainnya senilai dengan nilai budak tersebut.

فَلِلْمُوصَى لَهُ أَنْ يَسْتَخْدِمَ جَمِيعَ الْعَبْدِ سَنَةً مُتَوَالِيَةً حَتَّى يَسْتَوْفِيَ جميع وصيته.

Maka penerima wasiat berhak menggunakan seluruh budak selama satu tahun berturut-turut hingga ia memenuhi seluruh hak wasiatnya.

والورثة يمنعون مِنَ التَّصَرُّفِ فِي رَقَبَةِ الْعَبْدِ حَتَّى تَمْضِيَ السَّنَةُ، فَإِنْ بَاعُوهُ قَبْلَهَا كَانَ فِي بَيْعِهِ قَوْلَانِ كَالْعَبْدِ الْمُؤَاجَرِ.

Para ahli waris dilarang melakukan tindakan terhadap kepemilikan budak hingga satu tahun berlalu. Jika mereka menjualnya sebelum itu, maka dalam penjualannya terdapat dua pendapat, seperti halnya budak yang disewakan.

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي التَّرِكَةِ مَالٌ غَيْرَ الْعَبْدِ وَلَا خَلَّفَ الْمُوصِي سِوَاهُ. فَفِي كَيْفِيَّةِ اسْتِخْدَامِ الْمُوصَى لَهُ سَنَةً ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ حَكَاهَا ابْنُ سُرَيْجٍ:

Jika dalam harta warisan tidak terdapat harta selain budak tersebut dan pewasiat tidak meninggalkan apa pun selain budak itu, maka mengenai tata cara penggunaan budak oleh penerima wasiat selama satu tahun terdapat tiga pendapat yang diriwayatkan oleh Ibnu Surayj:

أَحَدُهَا: أَنَّ يَسْتَخْدِمَهُ سَنَةً مُتَوَالِيَةً، وَيُمْنَعُ الْوَرَثَةُ مِنَ اسْتِخْدَامِهِ وَالتَّصَرُّفِ فِيهِ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ الْمُوصَى لَهُ سَنَةَ وَصِيَّتِهِ ثُمَّ حِينَئِذٍ يَخْلُصُ لِلْوَرَثَةِ بَعْدَ انْقِضَائِهَا.

Pertama: ia menggunakan budak itu selama satu tahun berturut-turut, dan para ahli waris dilarang menggunakan atau melakukan tindakan terhadap budak tersebut hingga penerima wasiat menyelesaikan satu tahun wasiatnya, kemudian setelah itu budak menjadi milik penuh para ahli waris.

والوجه الثاني: أن يَسْتَخْدِمَ ثُلُثَ الْعَبْدِ ثَلَاثَ سِنِينَ وَيَسْتَخْدِمَ الْوَرَثَةُ ثُلُثَيْهِ حَتَّى يَسْتَوْفِيَ الْمُوصَى لَهُ سَنَةَ وَصِيَّتِهِ من ثلث العبد في ثلاث سنين لأن لا يَخْتَصَّ الْمُوصَى لَهُ بِمَا لَمْ يَحْصُلْ لِلْوَرَثَةِ مثلاه.

Pendapat kedua: penerima wasiat menggunakan sepertiga budak selama tiga tahun, dan para ahli waris menggunakan dua pertiganya, sehingga penerima wasiat memenuhi satu tahun wasiatnya dari sepertiga budak dalam tiga tahun, agar penerima wasiat tidak mendapatkan sesuatu yang tidak didapatkan oleh ahli waris dalam jumlah yang sama.

والوجه الثالث: أنه يتهيأ عَلَيْهِ الْمُوصَى لَهُ وَالْوَرَثَةُ، فَيَسْتَخْدِمُهُ الْمُوصَى لَهُ يَوْمًا، وَالْوَرَثَةُ يَوْمَيْنِ حَتَّى يَسْتَوْفِيَ سِنَةَ وَصِيَّتِهِ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ:

Pendapat ketiga: penerima wasiat dan para ahli waris bergantian menggunakannya, yaitu penerima wasiat menggunakannya satu hari, dan para ahli waris dua hari, hingga penerima wasiat memenuhi satu tahun wasiatnya dalam tiga tahun.

وَالْوَجْهُ الْأَوَّلُ: أَصَحُّ، لِأَنَّهُمْ قَدْ صَارُوا إِلَى مِلْكِ الرَّقَبَةِ فَلَمْ يَلْزَمْ أَنْ يُقَابِلُوا الْمُوصَى لَهُ بِمِثْلَيِ الْمَنْفَعَةِ وَلِأَنَّ حَقَّ الْمُوصَى لَهُ فِي اسْتِخْدَامِ جَمِيعِ الْعَبْدِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْعَلَ فِي ثُلُثِهِ، وَلِأَنَّ حَقَّهُ مُتَّصِلٌ وَمُعَجَّلٌ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْعَلَ مؤجلا أو مفرقا.

Pendapat pertama adalah yang paling sahih, karena mereka (ahli waris) telah menjadi pemilik kepemilikan budak, sehingga tidak wajib bagi mereka untuk memberikan dua kali lipat manfaat kepada penerima wasiat. Dan karena hak penerima wasiat adalah menggunakan seluruh budak, maka tidak boleh dibatasi hanya pada sepertiganya. Juga karena haknya bersifat langsung dan segera, maka tidak boleh dijadikan tertunda atau dipisah-pisah.

فصل:

Fasal:

فإن كانت الوصية بخدمة العبد على التأبيد كأن قَالَ: قَدْ أَوْصَيْتُ لِزَيْدٍ بِخِدْمَةِ عَبْدِي أَبَدًا، فالوصية جائزة إذا تحملها الثُّلُثُ.

Jika wasiat berupa pelayanan budak untuk selamanya, seperti ia berkata: “Aku mewasiatkan kepada Zaid pelayanan budakku untuk selamanya,” maka wasiat itu sah jika ditanggung oleh sepertiga (harta peninggalan).

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الَّذِي يُعْتَبَرُ قِيمَتُهُ فِي الثُّلُثِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Para ulama kami berbeda pendapat tentang apa yang dinilai dalam sepertiga itu, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَالَهُ فِي اخْتِلَافِ الْعِرَاقِيِّينَ وَهُوَ اخْتِيَارُ ابْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ تقوم جَمِيعُ الرَّقَبَةِ فِي الثُّلُثِ، وَإِنِ اخْتَصَّتِ الْوَصِيَّةُ بالمنفعة، كما تقوم رَقَبَةُ الْوَقْفِ فِي الثُّلُثِ وَإِنْ مَلَكَ الْمَوْقُوفُ عَلَيْهِ الْمَنْفَعَةَ.

Pertama: sebagaimana disebutkan dalam perbedaan pendapat ulama Irak dan merupakan pilihan Ibnu Surayj, yaitu seluruh kepemilikan budak dinilai dalam sepertiga, meskipun wasiat itu khusus pada manfaatnya, sebagaimana kepemilikan wakaf dinilai dalam sepertiga meskipun yang berhak atas wakaf hanya memiliki manfaatnya.

فَعَلَى هَذَا: هَلْ يَصِيرُ الْمُوصَى لَهُ مَالِكًا الرَّقَبَةَ وَإِنْ مُنِعَ مِنْ بِيعَهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا: لَا يَمْلِكُهَا لِاخْتِصَاصِ الْوَصِيَّةِ بِمَنَافِعِهَا.

Berdasarkan pendapat ini: apakah penerima wasiat menjadi pemilik budak meskipun ia dilarang menjualnya atau tidak? Ada dua pendapat: pertama, ia tidak memilikinya karena wasiat hanya khusus pada manfaatnya.

وَالثَّانِي: يَمْلِكُهَا، كَمَا يَمْلِكُ أم ولده، وَإِنْ كَانَ مَمْنُوعًا مِنْ بَيْعِهَا لِتَقْوِيمِهَا عَلَيْهِ في الثلث. وهذا قول أبي حامد المروروذي.

Kedua, ia memilikinya, sebagaimana seseorang memiliki ummu walad (budak yang melahirkan anak dari tuannya), meskipun ia dilarang menjualnya karena penilaian (takaran) budak itu atasnya dalam sepertiga. Ini adalah pendapat Abu Hamid al-Marurudzi.

وهذا إِذَا قِيلَ إِنَّ الرَّقَبَةَ هِيَ الْمُقَوَّمَةُ.

Ini jika dikatakan bahwa yang dinilai adalah kepemilikan budak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُقَوَّمُ مَنَافِعُ الْعَبْدِ فِي الثُّلُثِ دُونِ رَقَبَتِهِ، لِأَنَّ التَّقْوِيمَ إِنَّمَا يَخْتَصُّ بِمَا تَضَمَّنَتْهُ الْوَصِيَّةُ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَجَاوَزَ بِالتَّقْوِيمِ إلى غيره، ولأنه لو أوصى بالمنفعة إلى رجل، وَبِالرَّقَبَةِ لِغَيْرِهِ، لَمْ يُقَوَّمْ فِي حَقِّ صَاحِبِ الْمَنْفَعَةِ إِلَّا الْمَنْفَعَةُ دُونَ الرَّقَبَةِ. كَذَلِكَ إِذَا اسْتَبْقَى الرَّقَبَةَ عَلَى مِلْكِ الْوَرَثَةِ.

Pendapat kedua: yang dinilai adalah manfaat budak dalam sepertiga, bukan kepemilikannya, karena penilaian hanya khusus pada apa yang terkandung dalam wasiat, dan tidak boleh penilaian itu melampaui selainnya. Karena jika seseorang berwasiat tentang manfaat kepada seseorang, dan tentang kepemilikan kepada orang lain, maka yang dinilai untuk pemilik manfaat hanyalah manfaatnya, bukan kepemilikannya. Demikian pula jika kepemilikan budak tetap menjadi milik ahli waris.

وَاعْتِبَارُ ذَلِكَ أَنْ يُقَالَ: كَمْ قِيمَةُ الْعَبْدِ بِمَنَافِعِهِ فَإِذَا قِيلَ مِائَةُ دِينَارٍ. قِيلَ وَكَمْ قِيمَتَهُ مَسْلُوبَ الْمَنَافِعِ فَإِذَا قِيلَ عِشْرُونَ دِينَارًا عُلِمَ أَنَّ قِيمَةَ مَنَافِعِهِ ثَمَانُونَ دِينَارًا.

Pertimbangan dalam hal ini adalah dengan mengatakan: Berapa nilai seorang budak beserta manfaat-manfaatnya? Jika dikatakan seratus dinar, lalu ditanyakan: Berapa nilainya jika manfaat-manfaatnya dihilangkan? Jika dijawab dua puluh dinar, maka diketahui bahwa nilai manfaat-manfaatnya adalah delapan puluh dinar.

فَتَكُونُ هِيَ الْقَدْرَ الْمُعْتَبَرَ مِنَ الثُّلُثِ.

Maka jumlah itulah yang menjadi kadar yang diperhitungkan dari sepertiga (harta peninggalan).

فَعَلَى هَذَا: هَلْ يُحْتَسَبُ الْبَاقِي مِنْ قِيمَةِ الرَّقَبَةِ وَهُوَ عِشْرُونَ دِينَارًا على الورثة أَمْ لَا؟

Berdasarkan hal ini: Apakah sisa nilai budak, yaitu dua puluh dinar, diperhitungkan atas ahli waris atau tidak?

عَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: يُحْتَسُبُ بِهِ عَلَيْهِمْ، لِأَنَّهُ قَدْ دَخَلَ فِي مِلْكِهِمْ. وَهَذَا قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ.

Ada dua pendapat: Pertama, diperhitungkan atas mereka, karena telah masuk ke dalam kepemilikan mereka. Ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لا يُحْتَسَبُ بِهِ عَلَيْهِمْ، لِأَنَّ مَا زَالَتْ عَنْهُ الْمَنْفَعَةُ زَالَ عَنْهُ التَّقْوِيمُ.

Pendapat kedua: Tidak diperhitungkan atas mereka, karena sesuatu yang manfaatnya telah hilang, maka penilaian atasnya pun hilang.

فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَاهُ، وَخَرَجَ الْقَدْرُ الَّذِي اعْتَبَرْنَاهُ مِنَ الثُّلُثِ، صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ بِجَمِيعِ الْمَنْفَعَةِ، وَكَانَ لِلْمُوصَى لَهُ استخدامه أبدا ما دام حَيًّا، وَأَخْذُ جَمِيعِ أَكْسَابِهِ الْمَأْلُوفَةِ.

Jika telah tetap apa yang kami sebutkan, dan kadar yang kami perhitungkan telah keluar dari sepertiga (harta), maka wasiat atas seluruh manfaat menjadi sah, dan orang yang diwasiati berhak menggunakannya selama ia hidup, serta mengambil seluruh penghasilan yang biasa didapatkan.

وَهَلْ يَمْلِكُ مَا كَانَ غَيْرَ مَأْلُوفٍ مِنْهَا كَاللُّقَطَةِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ أَصَحَّهُمَا يَمْلِكُهُ.

Apakah ia juga memiliki hak atas penghasilan yang tidak biasa, seperti barang temuan (luqathah)? Ada dua pendapat, yang paling sahih adalah ia memilikinya.

وَفِي نَفَقَتِهِ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Dalam hal nafkahnya, terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الإصطرخي أنها على الموصى له بالمنفعة، لأن المنفعة تختص بالكسب.

Pertama, yaitu pendapat Abu Sa’id al-Ishtharkhi, bahwa nafkah menjadi tanggungan orang yang diwasiati manfaatnya, karena manfaat tersebut berkaitan dengan penghasilan.

والثاني: وقول أبي علي بن أبي هريرة.

Kedua, adalah pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah.

أنها على الْوَرَثَةِ لِوُجُوبِهَا بِحَقِّ الْمِلْكِ.

Bahwa nafkah menjadi tanggungan ahli waris karena kewajibannya terkait dengan hak kepemilikan.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: حَكَاهُ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ تَجِبُ فِي بَيْتِ الْمَالِ لأن كل واحد من مالكي الرقبة والمنفعة.

Pendapat ketiga, sebagaimana dikemukakan Abu Hamid al-Isfara’ini, bahwa nafkah menjadi tanggungan Baitul Mal, karena masing-masing (ahli waris dan penerima wasiat) adalah pemilik atas badan dan manfaat.

ولم يَكْمُلْ فِيهِ اسْتِحْقَاقُ وُجُوبِهَا عَلَيْهِ، فَعَدَلَ بِهَا إلى بيت المال، فإذا مَاتَ الْمُوصَى لَهُ، فَهَلْ تَنْتَقِلُ الْمَنْفَعَةُ إِلَى وَارِثِهِ أَمْ لَا؟ .

Dan belum sempurna hak kepemilikan yang mewajibkan nafkah atas salah satu pihak, maka dialihkanlah kewajiban itu kepada Baitul Mal. Jika penerima wasiat meninggal dunia, apakah manfaat tersebut berpindah kepada ahli warisnya atau tidak?

عَلَى وَجْهَيْنِ حَكَاهُمَا أَبُو عَلِيٍّ الطَّبَرِيُّ فِي إِفْصَاحِهِ:

Ada dua pendapat yang dikemukakan Abu Ali ath-Thabari dalam kitab Ifshah-nya:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَنْفَعَةَ تنتقل إلى ورثته لتقومها عَلَى الْأَبَدِ فِي حَقِّهِ.

Pertama, bahwa manfaat berpindah kepada ahli warisnya karena manfaat tersebut telah menjadi haknya untuk selamanya.

فَعَلَى هَذَا: تَكُونُ الْمَنْفَعَةُ، مُقَدَّرَةً بِحَيَاةِ الْعَبْدِ.

Berdasarkan pendapat ini, manfaat tersebut diukur dengan kehidupan budak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: قَدِ انْقَطَعَتِ الْوَصِيَّةُ بِمَوْتِ الْمُوصَى لَهُ، لِأَنَّهُ وَصَّى لَهُ فِي عَيْنِهِ بِالْخِدْمَةِ، لَا لِغَيْرِهِ.

Pendapat kedua: Wasiat terputus dengan wafatnya penerima wasiat, karena wasiat tersebut diberikan kepadanya secara khusus untuk pelayanan, bukan untuk orang lain.

فَعَلَى هَذَا: تَكُونُ الْمَنْفَعَةُ مُقَدَّرَةً، بِحَيَاةِ الْمُوصَى لَهُ، ثُمَّ تَعُودُ بَعْدَ مَوْتِهِ إِلَى وَرَثَةِ الْمُوصِي.

Berdasarkan pendapat ini, manfaat tersebut diukur dengan kehidupan penerima wasiat, kemudian setelah ia wafat manfaat itu kembali kepada ahli waris pewasiat.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ لَمْ يَخْرُجْ مَا قُوِّمَتْ بِهِ المنافع كلها من الثلث وخرج بعضها مِنْهُ كَانَ لِلْمُوصَى لَهُ مِنْهَا، قَدْرُ مَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ، مِثْلَ أَنْ تَكُونَ قِيمَةُ الْمَنَافِعِ على ما بيناه: ثمانون دِينَارًا، وَقَدِ احْتَمَلَ الثُّلُثُ مِنْهَا أَرْبَعِينَ دِينَارًا، استحق من منافعه النصف، لاحتمال الثلث للنصف.

Jika seluruh manfaat yang dinilai tidak dapat dikeluarkan dari sepertiga (harta), namun hanya sebagian yang dapat, maka penerima wasiat berhak atas manfaat tersebut sesuai kadar yang dapat ditanggung oleh sepertiga, seperti jika nilai manfaat sebagaimana telah dijelaskan adalah delapan puluh dinar, dan sepertiga hanya dapat menanggung empat puluh dinar, maka ia berhak atas setengah manfaat, karena sepertiga hanya mampu menanggung setengahnya.

وَإِنِ احْتَمَلَ الثُّلُثُ مِنْهَا عِشْرِينَ دِينَارًا، اسْتَحَقَّ من منافعه الربع لاحتمال الثلث للربع.

Jika sepertiga hanya mampu menanggung dua puluh dinar, maka ia berhak atas seperempat manfaat, karena sepertiga hanya mampu menanggung seperempatnya.

فعلى هذا: إذا كان هذا الذي احتمله الثلث نِصْفَ الْخِدْمَةِ فَفِيهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: يَسْتَخْدِمُ الْمُوصَى له نصف العبد بأخذ النِّصْفَ مِنْ كَسْبِهِ وَيَسْتَخْدِمُ الْوَرَثَةُ النِّصْفَ الْآخَرَ بأخذ النِّصْفَ الْآخَرِ مِنْ كَسْبِهِ.

Berdasarkan hal ini: Jika yang dapat ditanggung sepertiga adalah setengah pelayanan, maka ada dua pendapat: Pertama, penerima wasiat menggunakan setengah budak dengan mengambil setengah penghasilannya, dan ahli waris menggunakan setengah lainnya dengan mengambil setengah penghasilan yang lain.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يتهانا عليه الورثة، والموصى له يوما ويوما، أو أسبوعا وَأُسْبُوعًا.

Pendapat kedua: Ahli waris dan penerima wasiat bergantian dalam memanfaatkannya, sehari untuk yang satu dan sehari untuk yang lain, atau seminggu untuk yang satu dan seminggu untuk yang lain.

فَأَمَّا النَّفَقَةُ: فَإِنْ قِيلَ بِوُجُوبِهَا عَلَى مَالِكِ الرَّقَبَةِ كَانَتْ عَلَى الْوَرَثَةِ.

Adapun nafkah: Jika dikatakan wajib atas pemilik badan (budak), maka menjadi tanggungan ahli waris.

وَإِنْ قِيلَ بِوُجُوبِهَا عَلَى مَالِكِ الْمَنْفَعَةِ، كَانَتْ بَيْنَ الْمُوصَى له والورثة نصفين لاشتراكهما بالتسوية فِي مَنْفَعَتِهِ، وَلَوْ تَفَاضَلَا فِيهَا لَفُضِّلَ بَيْنَهُمَا بقدرها.

Jika dikatakan wajib atas pemilik manfaat, maka nafkah dibagi dua antara penerima wasiat dan ahli waris, karena keduanya sama-sama memiliki manfaat. Jika salah satu lebih banyak, maka dibedakan sesuai kadarnya.

فأما زَكَاةُ الْفِطْرِ: فَلَا تَجِبْ عَلَى الْمُوصَى لَهُ بِالْمَنْفَعَةِ بِحَالٍ، سَوَاءٌ مَلَكَ جَمِيعَهَا أَوْ بَعْضَهَا وَفِي وُجُوبِهَا عَلَى الْوَرَثَةِ وَجْهَانِ:

Adapun zakat fitrah: Tidak wajib atas penerima wasiat manfaat dalam keadaan apa pun, baik ia memiliki seluruh manfaat maupun sebagian. Adapun kewajiban atas ahli waris, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَجِبُ عَلَيْهِمْ لِتَعَلُّقِهَا بِالرَّقَبَةِ.

Pertama, wajib atas mereka karena zakat fitrah berkaitan dengan badan (budak).

وَالثَّانِي: تَسْقُطُ وَلَا تَجِبُ لِأَنَّ مِلْكَهُمْ لَمْ يَكْمُلْ، وَصَارَتْ كَزَكَاةِ الْمُكَاتَبِ والله أعلم.

Kedua, tidak wajib karena kepemilikan mereka belum sempurna, sehingga statusnya seperti zakat fitrah bagi budak mukatab. Wallahu a‘lam.

فصل:

Fasal:

وأما بيع هذا العبد الموصى بخدمته.

Adapun penjualan budak yang diwasiatkan pelayanannya.

فإن أراد الموصى له بخدمته لَهُ بِالْمَنْفَعَةِ بَيْعُهُ: لَمْ يَجُزْ، سَوَاءٌ مَلَكَ جَمِيعَ الْمَنْفَعَةِ أَوْ بَعْضَهَا، وَسَوَاءٌ قِيلَ إِنَّهُ مَالِكٌ، أَوْ غَيْرُ مَالِكٍ.

Jika penerima wasiat berupa manfaat (khidmah) ingin menjual manfaat tersebut, maka tidak diperbolehkan, baik ia memiliki seluruh manfaat maupun sebagiannya, dan baik dikatakan bahwa ia adalah pemilik atau bukan pemilik.

وَإِنْ أَرَادَ وَرَثَةُ الْمُوصِي بَيْعَهُ، فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Jika para ahli waris dari orang yang berwasiat ingin menjualnya, maka ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: يَجُوزُ لِثُبُوتِ الْمِلْكِ.

Pertama: Diperbolehkan karena kepemilikan telah tetap.

وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ لِعَدَمِ الْمَنْفَعَةِ.

Kedua: Tidak diperbolehkan karena tidak ada manfaatnya.

وَالثَّالِثُ: يَجُوزُ بَيْعُهُ مِنَ الْمُوصَى لَهُ بِالْمَنْفَعَةِ، وَلَا يَجُوزُ مِنْ غَيْرِهِ، لِأَنَّ الْمُوصَى لَهُ يَنْتَفِعُ بِهِ، دُونَ غَيْرِهِ.

Ketiga: Diperbolehkan menjualnya kepada penerima wasiat manfaat, dan tidak diperbolehkan kepada selainnya, karena penerima wasiatlah yang dapat mengambil manfaat darinya, bukan yang lain.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا عِتْقُهُ: فَإِنْ أَعْتَقَهُ الْمُوصَى لَهُ بِالْمَنْفَعَةِ، لَمْ يَجُزْ لِاخْتِصَاصِ حَقِّهِ بِالْمَنْفَعَةِ، سَوَاءٌ قُوِّمَتِ الرَّقَبَةُ فِي حَقِّهِ أَمْ لَا. لِأَنَّ تَقْوِيمَهَا عَلَيْهِ فِي أحد الوجهين لاستحقاقه كل الْمَنْفَعَةِ لَا غَيْرَ وَإِنْ أَعْتَقَهُ وَرَثَةُ الْمُوصِي فَفِي نُفُوذِ عِتْقِهِمْ وَجْهَانِ:

Adapun memerdekakannya: Jika penerima wasiat manfaat memerdekakannya, maka tidak sah karena haknya hanya terbatas pada manfaat, baik harga budak tersebut ditaksir untuknya atau tidak. Karena penaksiran itu dalam salah satu pendapat hanya karena ia berhak atas seluruh manfaat, bukan yang lain. Jika yang memerdekakan adalah para ahli waris dari orang yang berwasiat, maka dalam keabsahan pembebasan mereka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: ذَكَرَهُ أَبُو الحسن بْنُ الْقَطَّانِ: أَنَّهُ لَا يَنْفُذُ عِتْقُهُمْ. وَهَذَا عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يَجْعَلُ الرَّقَبَةَ دَاخِلَةً فِي ملك الموصى له.

Salah satunya, sebagaimana disebutkan oleh Abu al-Hasan bin al-Qattan: bahwa pembebasan mereka tidak sah. Ini menurut pendapat yang memasukkan budak ke dalam kepemilikan penerima wasiat.

والوجه الثاني: وهو الأصح. أن عتقهم نافذ وإن لم يملكوا الانتفاع والبيع كالمكاتب.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih shahih, bahwa pembebasan mereka sah meskipun mereka tidak memiliki hak memanfaatkan dan menjual, seperti halnya budak mukatab.

فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الْوَصِيَّةُ بِالْمَنْفَعَةِ عَلَى حَالِهَا لِلْمُوصَى لَهُ بِهَا.

Dengan demikian, wasiat berupa manfaat tetap berlaku bagi penerima wasiat manfaat tersebut.

وَلَيْسَ لِلْمُعْتَقِ أَنْ يَرْجِعَ بِبَدَلِ مَنَافِعِهِ عَلَى الْوَرَثَةِ الْمُعْتِقِينَ بِخِلَافِ الْعَبْدِ إِذَا أَجَّرَهُ سَيِّدُهُ، ثُمَّ أَعْتَقَهُ فِي مُدَّةِ إِجَارَتِهِ، فَإِنَّهُ يَرْجِعُ عَلَى سَيِّدِهِ بِبَدَلِ مَنَافِعِهِ، بَعْدَ عِتْقِهِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا.

Orang yang memerdekakan tidak berhak menuntut pengganti manfaat kepada para ahli waris yang memerdekakan, berbeda dengan budak yang disewakan oleh tuannya, kemudian dimerdekakan di masa sewanya, maka ia dapat menuntut kepada tuannya pengganti manfaat setelah dimerdekakan menurut salah satu pendapat, dan terdapat perbedaan antara keduanya.

أَنَّ الْمُعْتِقَ فِي الْإِجَارَةِ هُوَ وَاحِدٌ، وَفِي الوصية اثنين.

Bahwa yang memerdekakan dalam kasus sewa hanya satu orang, sedangkan dalam kasus wasiat ada dua pihak.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا جَنَى الْعَبْدُ الْمُوصَى بِمَنَافِعِهِ جِنَايَةً، فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika budak yang diwasiatkan manfaatnya melakukan tindak pidana, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ جِنَايَةَ عَمْدٍ تُوجِبُ الْقَوَدَ، فَإِذَا اقْتُصَّ مِنْهُ وَكَانَتْ فِي النَّفْسِ بَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ فِي بَاقِيهِ.

Pertama: Jika tindak pidananya berupa pembunuhan sengaja yang mewajibkan qishāsh, maka jika ia dibalas dan berkaitan dengan jiwa, maka wasiat atas sisanya batal.

وَإِنْ كَانَتْ في طرف أو جرح بطن فِيهَا، فَإِنْ كَانَ بَاقِي الْمَنَافِعِ بَعْدَ الْقِصَاصِ، كالأنثى وَالذَّكَرِ: كَانَتِ الْوَصِيَّةُ بِحَالِهَا.

Jika berkaitan dengan anggota tubuh atau luka yang tidak mematikan, maka jika masih ada sisa manfaat setelah qishāsh, seperti pada perempuan dan laki-laki, maka wasiat tetap berlaku.

وَإِنْ ذَهَبَتْ مَنَافِعُهُ بَعْدَهَا، كَالْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ بَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ بِمَنَافِعِهِ لِفَوَاتِهَا بِالْقِصَاصِ.

Jika manfaatnya hilang setelah itu, seperti kedua tangan dan kedua kaki, maka wasiat atas manfaatnya batal karena manfaat tersebut telah hilang akibat qishāsh.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: جِنَايَةُ خَطَأٍ تُوجِبُ الْأَرْشَ، فَإِذَا وَجَبَ أَرْشُهَا، فَإِنْ فَدَاهُ مَالِكُ الرَّقَبَةِ، كَانَ الْمُوصَى لَهُ عَلَى حَقِّهِ مِنَ الْمَنْفَعَةِ، وَلَمْ يَرْجِعْ عَلَيْهِ بِالْأَرْشِ، وَإِنْ فَدَاهُ مَالِكُ الْمَنْفَعَةِ، كَانَ الْوَرَثَةُ عَلَى حُقُوقِهِمْ مِنْ مِلْكِ الرَّقَبَةِ، وَلَمْ يَرْجِعْ عَلَيْهِمْ بِالْأَرْشِ.

Keadaan kedua: Jika tindak pidananya berupa kesalahan yang mewajibkan pembayaran diyat (ganti rugi), maka jika diyatnya telah ditetapkan, jika yang menebus adalah pemilik budak, maka penerima wasiat tetap berhak atas manfaatnya dan tidak menuntut kepada pemilik budak atas diyat tersebut. Jika yang menebus adalah pemilik manfaat, maka para ahli waris tetap berhak atas kepemilikan budak, dan tidak menuntut kepada mereka atas diyat tersebut.

وَإِنْ لَمْ يفده واحد منهما، لم يجبر أحدهما عليهما، وَبِيعَ مِنْهُ بِقَدْرِ جِنَايَتِهِ، بِخِلَافِ أُمِّ الْوَلَدِ الَّتِي يُؤْخَذُ أَرْشُ جِنَايَتِهَا مِنْ سَيِّدِهَا، لِأَنَّ سَيِّدَهَا هُوَ الْمَانِعُ مِنْ بَيْعِهَا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ مَالِكُ الرَّقَبَةِ، وَلَا مَالِكُ الْمَنْفَعَةِ.

Jika tidak ada salah satu dari keduanya yang menebus, maka tidak ada yang diwajibkan atas keduanya, dan budak dijual sesuai dengan besarnya tindak pidananya. Berbeda dengan umm al-walad yang diyat tindak pidananya diambil dari tuannya, karena tuannya adalah pihak yang menghalangi penjualannya, sedangkan pemilik budak dan pemilik manfaat tidak demikian.

وَإِذَا كَانَ هذا كذلك نُظِرَ فِي الْأَرْشِ، فَإِنْ كَانَ بِمِثْلِ قِيمَةِ الْعَبْدِ كُلِّهِ بِيعَ فِي جِنَايَتِهِ، وَقَدْ بَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ.

Jika demikian keadaannya, maka dilihat pada diyatnya: jika setara dengan nilai seluruh budak, maka budak dijual untuk menutupi diyatnya, dan wasiat pun batal.

وَإِنْ كَانَ بِمِثْلِ النِّصْفِ مِنْ قِيمَتِهِ، بيع نصفه، ومالك مُشْتَرِيهِ نِصْفَ رَقَبَتِهِ وَنِصْفَ مَنَافِعِهِ، لِأَنَّهُ مَلَكَ بِالِابْتِيَاعِ نِصْفًا تَامًّا.

Jika setara dengan setengah dari nilainya, maka dijual setengahnya, dan pembeli menjadi pemilik setengah budak dan setengah manfaatnya, karena ia telah membeli setengah bagian secara utuh.

فَأَمَّا النِّصْفُ الْآخَرُ فَهُوَ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ مِنْ حُكْمِ الْوَصِيَّةِ، فَيُنْظَرُ فِيهِ.

Adapun setengah sisanya tetap sebagaimana hukum wasiat sebelumnya, sehingga perlu diperhatikan kembali.

فَإِنْ كَانَ الْمُوصَى لَهُ مَالِكًا لِكُلِّ مَنَافِعِهِ، صَارَ بَعْدَ الْبَيْعِ مَالِكًا لِنِصْفِهَا وَصَارَ الْمُشْتَرِي وَالْمُوصَى لَهُ شَرِيكَيْنِ فِي مَنَافِعِهِ.

Jika penerima wasiat adalah pemilik seluruh manfaat, maka setelah penjualan ia menjadi pemilik setengah manfaat, dan pembeli serta penerima wasiat menjadi dua orang yang berserikat dalam manfaatnya.

وَإِنْ كَانَ الْمُوصَى لَهُ قَدْ مَلَكَ نِصْفَ الْمَنَافِعِ، لِعَجْزِ الثُّلُثِ عَنْ جَمِيعِهَا صَارَتْ مَنَافِعُ النصف الباقي بين الموصى له وبين الورثة نصفين لخروج النصف المبيع من الحقين، فَتَنْقَسِمُ الْمَنَافِعُ بَيْنَهُمْ عَلَى أَرْبَعَةِ أَسْهُمٍ.

Jika penerima wasiat hanya memiliki setengah manfaat, karena sepertiga harta tidak mencukupi seluruh manfaat, maka manfaat dari setengah sisanya dibagi antara penerima wasiat dan ahli waris menjadi dua bagian, karena setengah yang dijual telah keluar dari kedua hak tersebut, sehingga manfaat terbagi di antara mereka menjadi empat bagian.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْجِنَايَةُ عَلَى الْعَبْدِ الْمُوصَى بِمَنَافِعِهِ، فَلَهَا حَالَتَانِ: حَالَةٌ تُوجِبُ الْقَوَدَ، وَحَالَةٌ تُوجِبُ الْأَرْشَ.

Adapun jinayah terhadap budak yang manfaatnya diwasiatkan, maka ada dua keadaan: keadaan yang mewajibkan qawad (qishash), dan keadaan yang mewajibkan arsy (diyat).

فإن وجب الْقَوَدَ، فَالْخِيَارُ فِيهِ لِلْوَرَثَةِ، دُونَ الْمُوصَى لَهُ بِالْمَنْفَعَةِ.

Jika yang wajib adalah qawad, maka hak memilih (qishash atau tidak) ada pada ahli waris, bukan pada penerima wasiat manfaat.

وَإِنِ اقْتَصَّ: كَانَ لَهُ، وَإِنْ عَفَا عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى الْمَالِ كَانَ لَهُ، وَإِنْ عَفَا عَنِ الْقِصَاصِ وَالْمَالِ، صَحَّ عَفْوُهُ عَنِ الْقِصَاصِ، وَفِي صِحَّةِ عَفْوِهِ عَنِ الْمَالِ وَجْهَانِ عَلَى مَا نَذْكُرُهُ مِنْ مُسْتَحِقِّ الْمَالِ.

Jika ahli waris menuntut qishash, maka itu menjadi hak mereka. Jika mereka memaafkan qishash dengan ganti harta, maka itu juga menjadi hak mereka. Jika mereka memaafkan baik qishash maupun harta, maka pemaafan mereka atas qishash sah, sedangkan tentang sah tidaknya pemaafan mereka atas harta terdapat dua pendapat, sebagaimana akan dijelaskan mengenai siapa yang berhak atas harta tersebut.

وَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ تُوجِبُ الْأَرْشَ: لَمْ يَخْلُ حَالُ الْعَبْدِ بَعْدَ الْجِنَايَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.

Jika jinayah tersebut mewajibkan arsy, maka keadaan budak setelah jinayah tidak lepas dari dua kemungkinan.

إِمَّا أَنْ يَكُونَ بَاقِيَ الْمَنَافِعِ أَوْ تَالِفَهَا.

Yaitu, apakah sisa manfaatnya masih ada atau telah hilang.

فَإِنْ كَانَتْ مَنَافِعُهُ بَاقِيَةً لِاخْتِصَاصِ الْجِنَايَةِ بِمَا لَا يُؤَثِّرُ فِي مَنَافِعِهِ، كَجَدْعِ أَنِفِهِ، وَجَبِّ ذَكَرِهِ، فَهُوَ مِلْكٌ لِلْوَرَثَةِ دُونَ الْمُوصَى لَهُ بِالْمَنْفَعَةِ لأن المنفعة بكمالها لَمْ تُؤَثِّرِ الْجِنَايَةُ فِيهَا، وَإِنَّمَا أَثَّرَتْ فِي رَقَبَتِهِ الَّتِي لَا حَقَّ لَهُ فِيهَا.

Jika manfaatnya masih ada karena jinayah hanya mengenai sesuatu yang tidak memengaruhi manfaatnya, seperti memotong hidungnya atau memotong kemaluannya, maka arsy menjadi milik ahli waris, bukan penerima wasiat manfaat, karena manfaat secara utuh tidak terpengaruh oleh jinayah, melainkan hanya berpengaruh pada tubuh budak yang bukan hak penerima manfaat.

وَإِنْ كَانَتِ الْمَنَافِعُ تَالِفَةً كَحُدُوثِ الْجِنَايَةِ عَلَى نَفْسِهِ، فَفِي مُسْتَحِقِّ جِنَايَتِهِ أَرْبَعَةُ أَوْجُهٍ:

Jika manfaatnya telah hilang, seperti terjadinya jinayah pada jiwa budak, maka tentang siapa yang berhak atas arsy dari jinayah tersebut terdapat empat pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهَا لِمَالِكِ الْمَنْفَعَةِ، لِأَنَّهَا مِنْ مَنَافِعِهِ.

Pertama: arsy menjadi milik pemilik manfaat, karena itu merupakan bagian dari manfaatnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا لِلْوَرَثَةِ، لِأَنَّهَا بَدَلٌ مِنَ الرَّقَبَةِ.

Pendapat kedua: arsy menjadi milik ahli waris, karena arsy merupakan pengganti dari tubuh budak.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهَا مُقَسَّطَةٌ بَيْنَ مَالِكِ الْمَنْفَعَةِ وَمَالِكِ الرَّقَبَةِ عَلَى قَدْرِ الْقِيمَتَيْنِ، كَمَا ذَكَرْنَا مِنْ قَبْلُ فِي تَقْوِيمِ الْمَنْفَعَةِ.

Pendapat ketiga: arsy dibagi antara pemilik manfaat dan pemilik tubuh budak sesuai dengan perbandingan nilai masing-masing, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam penilaian manfaat.

وَالْوَجْهُ الرَّابِعُ: أَنَّهُ يُشْتَرَى بِقِيمَتِهِ عَبْدٌ مِثْلُهُ يَكُونُ مَكَانَهُ، وَعَلَى حُكْمِهِ، فَتَكُونُ رَقَبَتُهُ لِلْوَرَثَةِ، وَمَنَافِعُهُ لِلْمُوصَى لَهُ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat keempat: dengan nilai arsy tersebut dibelikan budak lain yang serupa untuk menggantikan posisinya dan mengikuti hukumnya, sehingga tubuh budak menjadi milik ahli waris dan manfaatnya menjadi milik penerima wasiat, dan Allah lebih mengetahui.

فَصْلٌ:

Fashl (Pasal):

فَإِنْ كَانَ الْمُوصَى بِمَنَافِعِهِ أمة: جاز أن تزوج لاكتساب المهر ويملك الولد، وفي مستحق تزويجها ثلاثة أوجه:

Jika yang diwasiatkan manfaatnya adalah seorang budak perempuan (amah), maka boleh ia dinikahkan untuk memperoleh mahar dan memiliki anak. Terkait siapa yang berhak menikahkannya terdapat tiga pendapat:

أحدهما: مَالِكُ الْمَنْفَعَةِ لِأَنَّ الْمَهْرَ لَهُ.

Pertama: pemilik manfaat, karena maharnya menjadi miliknya.

وَالثَّانِي: مَالِكُ الرَّقَبَةِ لِأَنَّ الْمِلْكَ لَهُ.

Kedua: pemilik tubuh budak, karena kepemilikan ada padanya.

وَالثَّالِثُ: لَيْسَ لِوَاحِدٍ مِنْ مَالِكِ الْمَنْفَعَةِ وَالرَّقَبَةِ أَنْ يَنْفَرِدَ بِتَزْوِيجِهَا، حَتَّى يَجْتَمِعَا عَلَيْهِ مَعًا، لِأَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِيهَا حَقًّا، فَإِذَا تَزَوَّجَتْ كَانَ مَهْرُهَا لمالك المنفعة، ولأنه مِنْ كَسْبِهَا الْمَأْلُوفِ، فَإِنْ جَاءَتْ بِوَلَدٍ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Ketiga: tidak boleh salah satu dari pemilik manfaat atau pemilik tubuh menikahkannya secara sendiri-sendiri, kecuali keduanya sepakat bersama, karena masing-masing memiliki hak atasnya. Jika ia menikah, maka maharnya menjadi milik pemilik manfaat, karena itu merupakan hasil usahanya yang biasa. Jika ia melahirkan anak, maka terkait status anak tersebut terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ لِلْمُوصَى لَهُ بِمَنَافِعِهَا، لِأَنَّهُ مِنْ كَسْبِهَا.

Pertama: anak menjadi milik penerima wasiat manfaat, karena itu merupakan hasil usahanya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لِلْوَرَثَةِ، لأنه بعد مَعْهُودٍ مِنْ كَسْبِهَا، وَأَنَّهُ تَابِعٌ لِرَقَبَتِهَا.

Kedua: anak menjadi milik ahli waris, karena setelah masa tertentu hasil usahanya menjadi milik mereka, dan anak mengikuti status tubuh ibunya.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ يَكُونُ فِي حُكْمِ الْأُمِّ، رَقَبَتُهُ لِلْوَرَثَةِ، وَمَنَافِعُهُ لِلْمُوصَى لَهُ، لِأَنَّ حُكْمَ الْوَلَدِ حُكْمُ أُمِّهِ.

Ketiga: anak mengikuti hukum ibunya, yaitu tubuhnya menjadi milik ahli waris dan manfaatnya menjadi milik penerima wasiat, karena hukum anak mengikuti hukum ibunya.

فَإِنْ أَرَادَ الْمُوصَى لَهُ بِالْمَنْفَعَةِ وَطْءَ الْأَمَةِ، لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُهَا، وَإِنْ وطأها حد الْمُسْتَأْجِرُ فِي وَطْئِهَا، لِأَنَّ الْإِجَارَةَ تَنَاوَلَتِ الْخِدْمَةَ وَلَيْسَ الْوَطْءُ خِدْمَةً، وَالْوَصِيَّةُ تَنَاوَلَتِ الْمَنْفَعَةَ، وَالْوَطْءُ مَنْفَعَةٌ، وَإِنَّمَا مُنِعَ لِأَجْلِ الرَّقَبَةِ ثُمَّ لَا مَهْرَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ مَهْرَهَا لَوْ وَجَبَ لَصَارَ إِلَيْهِ.

Jika penerima wasiat manfaat ingin menyetubuhi budak perempuan tersebut, maka tidak boleh karena ia tidak memilikinya. Jika ia menyetubuhinya, maka hukumnya seperti penyewa yang menyetubuhi budak sewaan, karena akad ijarah hanya mencakup pelayanan, sedangkan persetubuhan bukanlah pelayanan. Wasiat hanya mencakup manfaat, dan persetubuhan adalah manfaat, namun dilarang karena terkait dengan tubuh budak. Selain itu, tidak ada kewajiban mahar atasnya, karena jika mahar itu wajib, maka akan kembali kepadanya juga.

فَإِنْ جَاءَتْ بِوَلَدٍ: كَانَ حُرًّا لَاحِقًا بِهِ، لِمَكَانِ الشُّبْهَةِ.

Jika budak perempuan itu melahirkan anak, maka anak tersebut menjadi merdeka dan nasabnya mengikuti ayahnya karena adanya syubhat.

وَفِي قِيمَتِهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Terkait nilai anak tersebut terdapat tiga pendapat:

الأول: … .

Pertama: … .

والثاني: قِيمَتُهُ لِلْوَرَثَةِ، إِذَا قِيلَ إِنَّ الْوَلَدَ يَكُونُ لَهُمْ.

Kedua: nilainya menjadi milik ahli waris, jika dikatakan bahwa anak itu menjadi milik mereka.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ يَشْتَرِي بِقِيمَةِ الْوَلَدِ مَنْ يَكُونُ كَالْأُمِّ مِلْكًا، لِلْوَرَثَةِ رَقَبَتُهُ، وَلِلْمُوصَى لَهُ منفعته، ولا تكون أم ولد الموصى لَهُ، لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُهَا.

Ketiga: dengan nilai anak tersebut dibelikan budak lain yang statusnya seperti ibu, yaitu tubuhnya menjadi milik ahli waris dan manfaatnya menjadi milik penerima wasiat, dan budak perempuan itu tidak menjadi ummu walad bagi penerima wasiat, karena ia tidak memilikinya.

فَإِنْ مَلَكَهَا فِي ثَانِي حَالٍ، فَفِي كَوْنِهَا لَهُ أُمَّ وَلَدٍ بِذَلِكَ الْوَلَدِ قَوْلَانِ:

Jika penerima wasiat kemudian memiliki budak perempuan itu pada keadaan berikutnya, maka terkait statusnya sebagai ummu walad baginya karena anak tersebut terdapat dua pendapat:

فَأَمَّا إِنْ وَطِئَهَا مَالِكُ الرَّقَبَةِ، وَهُوَ الْوَارِثُ، فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَتْ مُحَرَّمَةً عَلَيْهِ، لِمَكَانِ الشُّبْهَةِ فِي مِلْكِهِ لِلرَّقَبَةِ، وَعَلَيْهِ مَهْرُهَا لِلْمُوصَى لَهُ بِالْمَنْفَعَةِ، وَيَكُونُ وَلَدُهُ مِنْهَا حُرًّا، يَلْحَقُ بِهِ.

Adapun jika pemilik budak perempuan itu, yang juga merupakan ahli waris, menggaulinya, maka tidak ada had atasnya, meskipun ia haram baginya, karena adanya syubhat dalam kepemilikannya atas budak tersebut. Namun, ia wajib membayar mahar kepada penerima wasiat manfaat, dan anak yang lahir dari budak itu adalah merdeka dan dinasabkan kepadanya.

وَفِي قِيمَتِهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Terkait nilai (budak) tersebut, terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: لَا قِيمَةَ عَلَيْهِ، إِذَا قيل إنها له.

Pertama: Tidak ada kewajiban membayar nilai atasnya, jika dikatakan bahwa budak itu miliknya.

والثاني: عليه قيمتها لِلْمُوصَى لَهُ، إِذَا قِيلَ إِنَّهَا لَهُ.

Kedua: Ia wajib membayar nilai budak tersebut kepada penerima wasiat, jika dikatakan bahwa budak itu miliknya.

وَالثَّالِثُ: أن يشتري بالقيمة من يكون مكانه وَفِي حُكْمِ الْأُمِّ.

Ketiga: Hendaknya dibelikan seseorang dengan nilai itu untuk menggantikan posisinya dan berlaku sebagai ibu.

وَهَلْ تَصِيرُ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ كَمَا لَوْ أَعْتَقَهَا.

Apakah budak itu menjadi umm walad baginya atau tidak? Ada dua pendapat, sebagaimana jika ia memerdekakannya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا أَوْصَى بِخِدْمَةِ عَبْدِهِ لِرَجُلٍ وَبِرَقَبَتِهِ لِآخَرَ.

Jika seseorang berwasiat agar budaknya melayani seorang laki-laki, dan kepemilikan budaknya diberikan kepada orang lain.

صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ لَهُمَا بِمَا سُمِّيَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَكَانَ تَقْوِيمُ الرَّقَبَةِ فِي حقهما وَتَسْقُطُ الْقِيمَةُ فِي وَصِيَّتِهِمَا، بِأَنْ تُجْعَلَ قِيمَةُ الرَّقَبَةَ مَسْلُوبَةَ الْمَنَافِعِ، هُوَ الْقَدْرُ الْمُوصَى بِهِ لِصَاحِبِ الرَّقَبَةِ، وَمَا زَادَ عَلَيْهَا إِلَى اسْتِكْمَالِ قيمته بمنافعه، هو الْقَدْرُ الْمُوصَى بِهِ لِصَاحِبِ الْمَنْفَعَةِ، وَهَذَا مَا لَمْ يَخْتَلِفْ أَصْحَابُنَا فِيهِ.

Maka wasiat kepada keduanya sah sesuai dengan bagian yang disebutkan untuk masing-masing, dan penilaian terhadap budak dilakukan atas hak keduanya. Nilai dalam wasiat mereka gugur, yaitu dengan menjadikan nilai budak tanpa manfaat sebagai bagian yang diwasiatkan kepada pemilik budak, dan kelebihan dari nilai tersebut hingga mencapai nilai penuh dengan manfaatnya adalah bagian yang diwasiatkan kepada pemilik manfaat. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama kami.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا أَوْصَى لَهُ بِغَلَّةِ دَارِهِ:

Adapun jika seseorang berwasiat dengan hasil sewa rumahnya:

فَكَالْوَصِيَّةِ بِخِدْمَةِ عَبْدِهِ، إِنْ كَانَتْ مُقَدَّرَةً بِمُدَّةٍ، قُوِّمَتِ الْمَنْفَعَةُ فِي الثُّلُثِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ:

Maka hukumnya seperti wasiat dengan pelayanan budaknya. Jika manfaatnya ditentukan dalam jangka waktu tertentu, maka manfaat tersebut dinilai dalam sepertiga harta, sebagaimana telah kami sebutkan dalam dua pendapat:

فَإِذَا خَرَجَتْ مِنَ الثُّلُثِ، اخْتَصَّ بِغَلَّةِ تِلْكَ الْمُدَّةِ على ما ذكرنا من الأوجه الثَّلَاثَةِ الَّتِي حَكَاهَا ابْنُ سُرَيْجٍ.

Jika manfaat tersebut tidak melebihi sepertiga harta, maka penerima wasiat berhak atas hasil sewa selama jangka waktu tersebut, sesuai dengan tiga pendapat yang diriwayatkan oleh Ibn Surayj.

وَإِنْ كَانَتْ مُؤَبَّدَةً فَفِيمَا تُقَوَّمُ بِهِ فِي الثُّلُثِ وَجْهَانِ:

Jika manfaatnya bersifat abadi, maka dalam menilai manfaat dalam sepertiga harta terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: جَمِيعُ الرَّقَبَةِ.

Pertama: Seluruh nilai rumah.

وَالثَّانِي: الْمَنْفَعَةُ، وَذَلِكَ مَا بَيْنَ قِيمَتِهَا كَامِلَةَ الْمَنْفَعَةِ، وَمَسْلُوبَةَ الْمَنْفَعَةِ.

Kedua: Nilai manfaatnya, yaitu selisih antara nilai rumah dengan manfaat penuh dan nilai rumah tanpa manfaat.

فَإِنِ احْتَاجَتِ الدَّارُ إِلَى نَفَقَةٍ مِنْ مَرَمَّةٍ:

Jika rumah tersebut membutuhkan biaya perbaikan:

لَمْ يَلْزَمْ ذَلِكَ وَاحِدًا منها. إِلَّا أَنْ يَتَطَوَّعَ بِهِ أَحَدُهُمَا.

Maka tidak ada kewajiban bagi salah satu dari mereka untuk menanggungnya, kecuali jika salah satu dari mereka rela melakukannya.

فَإِنِ انْهَدَمَتِ الدَّارُ:

Jika rumah tersebut roboh:

فَقَدْ سَقَطَ حَقُّ الْمُوصَى لَهُ بِالْغَلَّةِ.

Maka hak penerima wasiat atas hasil sewanya gugur.

فَإِنْ بَنَاهَا الْوَارِثُ.

Jika ahli waris membangunnya kembali,

جَازَ وَلَمْ يُمْنَعْ ثُمَّ نظر:

Maka hal itu diperbolehkan dan tidak dilarang, kemudian diperhatikan:

فَإِنْ بَنَاهَا بِغَيْرِ تِلْكَ الْآلَةِ: فَلَا حَقَّ للموصى له بالمنفعة في تمليكها، لِأَنَّهَا غَيْرُ تِلْكَ الدَّارِ.

Jika ia membangunnya dengan alat (bahan) yang berbeda, maka penerima wasiat manfaat tidak berhak atas kepemilikan rumah tersebut, karena itu bukan rumah yang sama.

وَإِنْ بَنَاهَا بِتِلْكَ الْآلَةِ فَفِي اسْتِحْقَاقِهِ لِغَلَّتِهَا وَجْهَانِ:

Jika ia membangunnya dengan alat (bahan) yang sama, maka dalam hal hak penerima wasiat atas hasil sewanya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَسْتَحِقُّهَا الْمُوصَى لَهُ لِمَكَانِ الْآلَةِ.

Pertama: Penerima wasiat berhak atas hasil sewanya karena alat (bahan) yang digunakan.

وَالثَّانِي: لَا حَقَّ له فيهما وَتَكُونُ الدَّارُ لِلْوَارِثِ لِمَكَانِ الْعَمَلِ وَانْقِطَاعِ الْوَصِيَّةِ بِالْهَدْمِ.

Kedua: Ia tidak berhak atas keduanya, dan rumah menjadi milik ahli waris karena adanya usaha dan terputusnya wasiat akibat robohnya rumah.

وَلَوْ أَرَادَ الْمُوصَى لَهُ، بَعْدَ هَدْمِهَا أَنْ يَبْنِيَهَا، فَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ تِلْكَ الْآلَةِ لم تكن له.

Jika penerima wasiat ingin membangun kembali rumah tersebut setelah roboh, maka jika dengan alat (bahan) yang berbeda, rumah itu bukan miliknya.

وإن كانت بِتِلْكَ الْآلَةِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika dengan alat (bahan) yang sama, maka ada dua pendapat:

إِنْ قِيلَ إِنَّهُ يَمْلِكُ رَقَبَتَهَا: كَانَ لَهُ بِنَاؤُهَا.

Jika dikatakan bahwa ia memiliki kepemilikan atas rumah tersebut, maka ia berhak membangunnya kembali.

وَإِنْ قِيلَ لَا يَمْلِكُهَا: فَلَيْسَ لَهُ.

Jika dikatakan bahwa ia tidak memilikinya, maka ia tidak berhak membangunnya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا أَوْصَى لَهُ بِثَمَرَةِ بُسْتَانِهِ. فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:

Adapun jika seseorang berwasiat dengan buah kebun miliknya, maka hal itu terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أن تكون الثمرة موجودة: فالوصية بها صحيحة وتعتبر قيمة الثمرة عِنْدَ مَوْتِ الْمُوصِي، لَا حِينَ الْوَصِيَّةِ.

Pertama: Jika buahnya sudah ada, maka wasiat tersebut sah dan nilai buah dihitung pada saat wafatnya pewasiat, bukan saat wasiat dibuat.

فَإِنْ خَرَجَتْ مِنَ الثُّلُثِ: فَهِيَ لِلْمُوصَى لَهُ.

Jika nilainya tidak melebihi sepertiga harta, maka buah itu menjadi milik penerima wasiat.

وَإِنْ خَرَجَ بَعْضُهَا: كَانَ لَهُ مِنْهَا قَدْرُ مَا احتمله الثلث، وكان الورثة شركاء فِيهَا بِمَا لَمْ يَحْتَمِلْهُ الثُّلُثُ مِنْهَا.

Jika hanya sebagian yang tidak melebihi sepertiga harta, maka penerima wasiat hanya berhak atas bagian yang sesuai dengan sepertiga harta, dan ahli waris menjadi sekutu dalam sisanya yang melebihi sepertiga harta.

وَالضَّرْبُ الثاني: أن يوصي بثمرة لم تخلق أبدا: فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: Jika ia berwasiat dengan buah yang belum pernah ada, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُوصِيَ بِثَمَرَتِهِ على الأبد: فالوصية جائزة وفيما يقوم فِي الثُّلُثِ وَجْهَانِ:

Pertama: Ia berwasiat dengan seluruh buahnya untuk selamanya, maka wasiat itu sah dan dalam menilai manfaat dalam sepertiga harta terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: جَمِيعُ الْبُسْتَانِ.

Pertama: Seluruh nilai kebun.

وَالثَّانِي: أن يقوم كامل المنفعة، ثم يقوم مَسْلُوبَ الْمَنْفَعَةِ، ثُمَّ يُعْتَبَرُ مَا بَيْنَ الْقِيمَتَيْنِ مِنَ الثُّلُثِ. فَإِنِ احْتَمَلَهُ:

Kedua: Menilai manfaat penuh, lalu menilai tanpa manfaat, kemudian diperhitungkan selisih antara kedua nilai tersebut dari sepertiga harta. Jika memungkinkan:

نُفِّذَتِ الْوَصِيَّةُ بِجَمِيعِ الثَّمَرَةِ أَبَدًا مَا بَقِيَ الْبُسْتَانُ.

Maka wasiat dilaksanakan dengan seluruh buahnya selama kebun itu masih ada.

وَإِنِ احْتَمَلَ بَعْضَهُ كَانَ لِلْمُوصَى لَهُ قَدْرُ مَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ يُشَارِكُ فِيهِ الْوَرَثَةُ مِثْلَ أَنْ يَحْتَمِلَ النِّصْفَ، فَيَكُونُ لِلْمُوصَى لَهُ النِّصْفُ مِنْ ثَمَرَةِ كُلِّ عَامٍ، وَلِلْوَرَثَةِ النِّصْفُ الْبَاقِي.

Jika sebagian wasiat itu dapat ditanggung oleh sepertiga harta, maka penerima wasiat berhak atas bagian yang dapat ditanggung oleh sepertiga tersebut, dan para ahli waris pun mendapat bagian di dalamnya. Misalnya, jika sepertiga harta hanya cukup untuk menanggung setengahnya, maka penerima wasiat berhak atas setengah dari hasil setiap tahun, dan setengah sisanya menjadi milik para ahli waris.

وَإِذَا احْتَمَلَ الثلث جميع القيمة، وصارت الثَّمَرَةُ كُلُّهَا لِلْمُوصَى لَهُ فَإِنِ احْتَاجَتْ إِلَى سَقْيٍ، فَلَا يَجِبُ عَلَى الْوَرَثَةِ السَّقْيُ، بِخِلَافِ بَائِعِ الثَّمَرَةِ، حَيْثُ وَجَبَ عَلَيْهِ سَقْيُهَا لِلْمُشْتَرِي إِذَا احْتَاجَتْ إِلَى السَّقْيِ. لِأَنَّ الْبَائِعَ عَلَيْهِ تَسْلِيمُ مَا تَضَمَّنَهُ الْعَقْدُ كَامِلًا، وَالسَّقْيُ مِنْ كَمَالِهِ. وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْوَصِيَّةُ، لِأَنَّ الثَّمَرَةَ تَحْدُثُ على ملك الموصي، ولا يجب على الموصى له سقيها، لأنها بِخِلَافِ نَفَقَةِ الْعَبْدِ، لِأَنَّ نَفَقَةَ الْعَبْدِ مُسْتَحَقَّةٌ لِحُرْمَةِ نَفْسِهِ، بِخِلَافِ الثَّمَرَةِ.

Jika sepertiga harta dapat menanggung seluruh nilai wasiat, sehingga seluruh hasilnya menjadi milik penerima wasiat, maka jika hasil tersebut membutuhkan penyiraman, para ahli waris tidak wajib menyiraminya. Hal ini berbeda dengan penjual buah, di mana ia wajib menyirami buah yang dijual kepada pembeli jika memang membutuhkan penyiraman. Sebab, penjual wajib menyerahkan seluruh apa yang tercakup dalam akad secara sempurna, dan penyiraman termasuk bagian dari kesempurnaan itu. Adapun wasiat tidak demikian, karena buah tersebut tumbuh di atas kepemilikan al-mūṣī (orang yang berwasiat), dan penerima wasiat tidak wajib menyiraminya. Ini berbeda dengan nafkah budak, karena nafkah budak wajib diberikan demi menjaga kehormatan dirinya, berbeda dengan buah.

وَكَذَلِكَ لَوِ احْتَاجَتِ النخل إلى سقي: لم يلزم واحد منهما.

Demikian pula, jika pohon kurma membutuhkan penyiraman, maka tidak ada kewajiban bagi salah satu dari keduanya (baik ahli waris maupun penerima wasiat).

وَأَيُّهُمَا تَطَوَّعَ بِهِ لَمْ يَرْجِعْ بِهِ عَلَى صاحبه.

Siapa pun di antara keduanya yang secara sukarela melakukan penyiraman, maka ia tidak boleh menuntut ganti rugi kepada pihak lainnya.

فإن مات النخل، أو استقطع، فَأَجْذَاعُهُ لِلْوَرَثَةِ دُونَ الْمُوصَى لَهُ، وَلَيْسَ لِلْمُوصَى لَهُ أَنْ يَغْرِسَ مَكَانَهُ. وَلَا إِنْ غَرَسَ الورثة مكانه نخيلا، وكان للموصى فِيهِ حَقٌّ، لِأَنَّ حَقَّهُ فِي النَّخْلِ الْمُوصَى له بِهِ دُونَ غَيْرِهِ.

Jika pohon kurma itu mati atau ditebang, maka batang-batangnya menjadi milik para ahli waris, bukan milik penerima wasiat. Penerima wasiat juga tidak berhak menanam pohon kurma pengganti di tempatnya. Jika para ahli waris menanam pohon kurma pengganti di tempat tersebut, dan pewasiat memiliki hak atasnya, maka hak penerima wasiat hanya pada pohon kurma yang diwasiatkan, bukan pada pohon lainnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُوصِيَ بثمر له مدة مقدرة:

Jenis kedua: Wasiat berupa hasil buah untuk jangka waktu tertentu.

كأن أَوْصَى لَهُ بِثَمَرَةِ عَشْرِ سِنِينَ، فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ ذَهَبَ إِلَى بُطْلَانِ الْوَصِيَّةِ مَعَ التَّقْدِيرِ بِالْمُدَّةِ. بِخِلَافِ الْمَنْفَعَةِ، لِأَنَّ تَقْوِيمَ الْمَنْفَعَةِ الْمُقَدَّرَةِ مُمْكِنٌ وَتَقْوِيمَ الثِّمَارِ الْمُقَدَّرَةِ بِالْمُدَّةِ غَيْرُ مُمْكِنٍ.

Misalnya, seseorang berwasiat kepada orang lain dengan hasil buah selama sepuluh tahun. Sebagian ulama mazhab kami berpendapat bahwa wasiat dengan penetapan waktu seperti ini batal. Hal ini berbeda dengan manfaat (manfa‘ah), karena penilaian manfaat yang ditentukan waktunya memungkinkan, sedangkan penilaian buah yang ditentukan waktunya tidak memungkinkan.

وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِلَى جَوَازِهَا كَالْمَنْفَعَةِ، وَفِيمَا يُقَوَّمُ فِي الثُّلُثِ وَجْهَانِ:

Adapun mayoritas ulama mazhab kami membolehkan wasiat seperti ini sebagaimana pada manfaat, dan dalam hal penilaian pada sepertiga harta terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُقَوَّمُ الْبُسْتَانُ [كَامِلَ الْمَنْفَعَةِ، وَيُقَوَّمُ مَسْلُوبَ الْمَنْفَعَةِ، ثُمَّ يُعْتَبَرُ مَا بَيْنَ الْقِيمَتَيْنِ فِي الثُّلُثِ، وَالْوَجْهُ الثاني: أن] ينظر أوسط ما يثمره النَّخْلُ غَالِبًا فِي كُلِّ عَامٍ، ثُمَّ يُعْتَبَرُ قيمة الغالب مِنْ قِيمَةِ الثَّمَرَةِ فِي أَوَّلِ عَامٍ، وَلَا اعْتِبَارَ بِمَا حَدَثَ بَعْدَهُ مِنْ زِيَادَةٍ وَنَقْصٍ. فَإِنْ خَرَجَ جَمِيعُهُ مِنَ الثُّلُثِ:

Pertama: Kebun dinilai dalam keadaan manfaatnya masih utuh, lalu dinilai pula dalam keadaan tanpa manfaat, kemudian selisih antara kedua nilai tersebut diperhitungkan dalam sepertiga harta. Pendapat kedua: Dilihat rata-rata hasil yang biasanya diperoleh dari pohon kurma setiap tahun, kemudian diperhitungkan nilai rata-rata hasil tersebut pada tahun pertama, dan tidak diperhitungkan apa yang terjadi setelahnya berupa penambahan atau pengurangan. Jika seluruhnya dapat ditanggung oleh sepertiga harta:

فَقَدِ اسْتَحَقَّ جَمِيعَ الثَّمَرَةِ فِي تِلْكَ الْمُدَّةِ.

Maka penerima wasiat berhak atas seluruh hasil buah selama masa tersebut.

وَإِنْ خَرَجَ نَصْفُهُ:

Jika hanya setengahnya yang dapat ditanggung:

فَلَهُ النِّصْفُ مِنْ ثَمَرَةِ كُلِّ عَامٍ، إِلَى انْقِضَاءِ تِلْكَ الْمُدَّةِ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يستكمل هذه كُلِّ عَامٍ فِي نِصْفِ تِلْكَ الْمُدَّةِ، لِأَنَّهُ قَدْ تَخْتَلِفُ ثَمَرَةُ كُلِّ عَامٍ فِي الْمَقَادِيرِ وَالْأَثْمَانِ، فَخَالَفَ مَنَافِعُ الْعَبْدِ وَالدَّارِ.

Maka ia berhak atas setengah hasil buah setiap tahun hingga berakhirnya masa tersebut, dan ia tidak berhak mengambil seluruh hasil setiap tahun dalam setengah masa itu, karena hasil buah setiap tahun bisa berbeda-beda dalam jumlah dan harga, sehingga berbeda dengan manfaat budak dan rumah.

وَمِثْلُ الْوَصِيَّةِ بِثَمَرَةِ الْبُسْتَانِ: أَنْ تَكُونَ لَهُ مَاشِيَةٌ فَيُوصِي لِرَجُلٍ بِرَسْلِهَا وَنَسْلِهَا.

Contoh wasiat dengan hasil kebun adalah: Seseorang memiliki hewan ternak, lalu ia berwasiat kepada seseorang dengan hasil susu dan anakannya.

وَتَجِبُ نَفَقَةُ الْمَاشِيَةِ، كَوُجُوبِ نفقة العبد. والله أعلم.

Nafkah hewan ternak wajib diberikan, sebagaimana wajibnya nafkah budak. Wallāhu a‘lam.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولو كان أكثر من الثلث فأجاز الورثة في حياته لم يجز ذلك إِلَّا أَنْ يُجِيزُوهُ بَعْدَ مَوْتِهِ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullāh berkata: “Jika wasiat melebihi sepertiga harta dan para ahli waris mengizinkannya saat pewasiat masih hidup, maka izin tersebut tidak sah kecuali jika mereka mengizinkannya setelah pewasiat wafat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا أَوْصَى بِأَكْثَرَ مِنْ ثُلُثِهِ، وَسَأَلَ وَارِثَهُ إِجَازَةَ وَصِيَّتِهِ، فَأَجَازَهَا فِي حياته، لم يلزمه الْإِجَازَةُ وَكَانَ مُخَيَّرًا بَعْدَ الْمَوْتِ بَيْنَ الْإِجَازَةِ وَالرَّدِّ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ.

Al-Māwardī berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan (asy-Syafi‘i): Jika seseorang berwasiat melebihi sepertiga hartanya, lalu ia meminta ahli warisnya untuk mengizinkan wasiatnya, dan mereka mengizinkannya saat ia masih hidup, maka izin itu tidak mengikat mereka. Mereka tetap memiliki pilihan setelah kematian pewasiat, antara mengizinkan atau menolaknya. Pendapat ini juga dipegang oleh Abū Ḥanīfah dan mayoritas fuqahā’.

وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَعَطَاءٌ، وَالزُّهْرِيُّ:

Al-Ḥasan al-Baṣrī, ‘Aṭā’, dan az-Zuhrī berkata:

قَدْ لَزِمَتْهُمُ الْإِجَازَةُ، سَوَاءً أَجَازُوا فِي الصِّحَّةِ أَوْ فِي الْمَرَضِ.

Izin tersebut telah mengikat mereka, baik mereka mengizinkan saat pewasiat sehat maupun sakit.

وَقَالَ مَالِكٌ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَابْنُ أَبِي لَيْلَى:

Mālik, al-Awzā‘ī, dan Ibn Abī Laylā berkata:

إن أجازوه في الصحة: لم يلزمهم.

Jika mereka mengizinkan saat pewasiat sehat: tidak mengikat mereka.

وَإِنْ أَجَازُوهُ فِي الْمَرَضِ: لَزِمَهُمْ.

Namun jika mereka mengizinkan saat pewasiat sakit: maka mengikat mereka.

اسْتِدْلَالًا، بِأَنَّ التَّرِكَةَ بَيْنَ الْمُوصِي وَالْوَرَثَةِ، فَإِذَا اجْتَمَعُوا فِيهَا عَلَى عَطِيَّةٍ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِمْ فِيهَا اعْتِرَاضٌ، كَالْمُفْلِسِ مَعَ غُرَمَائِهِ وَالْمُرْتَهِنِ مَعَ رَاهِنِهِ.

Sebagai dalil, karena harta warisan adalah milik bersama antara pewasiat dan para ahli waris. Jika mereka semua sepakat untuk memberikan sebagian harta itu, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk menolak, sebagaimana kasus orang yang bangkrut dengan para krediturnya, dan orang yang menggadaikan dengan pihak yang menerima gadaiannya.

وَهَذَا فاسد من وجوه:

Dan ini rusak dari beberapa segi:

أحدهما: أَنَّ الْإِجَازَةَ إِنَّمَا تَصِحُّ مِمَّنْ يَمْلِكُ مَا أجاز.

Pertama: Ijāzah (persetujuan) itu hanya sah dari orang yang memiliki apa yang dia izinkan.

وَهُوَ قَبْلَ الْمَوْتِ، لَا يَمْلِكُهُ، فَلَمْ تَصِحَّ منه إجازته.

Sedangkan sebelum kematian, ia tidak memilikinya, maka ijāzah darinya tidak sah.

والثاني: أنه يملك الإجازة من يملك الرد. فَلَمَّا لَمْ يَمْلِكِ الرَّدَّ فِي حَالِ الْحَيَاةِ، لَمْ يَمْلِكِ الْإِجَازَةَ.

Kedua: Yang berhak memberi ijāzah adalah orang yang berhak menolak. Maka ketika ia tidak berhak menolak pada saat masih hidup, ia juga tidak berhak memberi ijāzah.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ الْإِجَازَةَ إِنَّمَا تَصِحُّ مِنْ وَارِثٍ، وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَصِيرَ هَذَا الْمُجِيزُ غَيْرَ وَارِثٍ فَلَمْ تَصِحَّ مِنْهُ الْإِجَازَةُ.

Ketiga: Ijāzah itu hanya sah dari seorang ahli waris, dan bisa jadi orang yang memberi ijāzah ini ternyata bukan ahli waris, sehingga ijāzah darinya tidak sah.

وَالرَّابِعُ: أَنَّ إِجَازَتَهُ قَبْلَ الْإِرْثِ، كَعَفْوِهِ عَنِ الشُّفْعَةِ قَبْلَ الْبَيْعِ وَعَنِ الْعَيْبِ قَبْلَ الشِّرَاءِ، وَذَلِكَ مِمَّا لَا حُكْمَ لَهُ.

Keempat: Ijāzahnya sebelum terjadinya warisan, seperti pemaafannya atas hak syuf‘ah sebelum terjadi penjualan, atau atas cacat sebelum terjadi pembelian, dan itu semua tidak memiliki kekuatan hukum.

وَكَذَلِكَ الإجازة قبل الموت.

Demikian pula ijāzah sebelum kematian.

وبذلك الْمَعْنَى فَارَقَ الْغُرَمَاءَ مَعَ الْمُفْلِسِ، وَالْمُرْتَهِنَ مَعَ الراهن لاستحقاقهم لذلك فِي الْحَالِ.

Dengan makna inilah, ia berbeda dengan para kreditur terhadap orang yang bangkrut, dan pemegang gadai terhadap pemberi gadai, karena mereka memang berhak atas hal itu pada saat itu juga.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ إِجَازَةَ الْوَرَثَةِ فِي حَالِ الْحَيَاةِ غَيْرُ لَازِمَةٍ، فَالْأَوْلَى لَهُمْ إِمْضَاءُ مَا أَجَازُوهُ. لِأَنَّ فِي ذَلِكَ صدقا في قول، ووفاء بوعد، وبعدا من عذر، وَطَاعَةً لِلْمَيِّتِ، وَبِرًّا لِلْحَيِّ.

Jika telah tetap bahwa ijāzah ahli waris pada saat masih hidup tidaklah mengikat, maka yang lebih utama bagi mereka adalah melaksanakan apa yang telah mereka izinkan. Karena dalam hal itu terdapat kejujuran dalam ucapan, menepati janji, menjauhkan diri dari alasan, ketaatan kepada mayit, dan kebaikan kepada yang hidup.

وَكَذَلِكَ لَوْ أَجَازُوا وصيته لبعض ورثته في حياته.

Demikian pula jika mereka mengizinkan wasiatnya kepada sebagian ahli warisnya semasa hidupnya.

وسواء شهد عَلَيْهِمْ بِالْإِجَازَةِ أَوْ لَمْ يُشْهِدْ.

Baik mereka memberikan persaksian atas ijāzah itu atau tidak.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ قَالَ أَعْطُوهُ رَأْسًا مِنْ رَقِيقِي أُعْطِيَ ما شاء الوارث معيبا كان أَوْ غَيْرَ مَعِيبِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ia berkata: ‘Berikanlah kepadanya satu budak dari budak-budakku’, maka diberikanlah apa yang dikehendaki oleh ahli waris, baik budak itu cacat maupun tidak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَالْكَلَامُ فِيهَا يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar, dan pembahasan dalam masalah ini mencakup dua bagian:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُوصِيَ بِرَأْسٍ مِنْ رَقِيقِهِ.

Pertama: Jika ia berwasiat dengan satu budak dari budak-budaknya.

وَالثَّانِي: أَنْ يُوصِيَ بِرَأْسٍ مِنْ مَالِهِ.

Kedua: Jika ia berwasiat dengan satu budak dari hartanya.

فَأَمَّا إِذَا أَوْصَى بِرَأْسٍ من رقيقه: فهذا على ثلاثة أقسام:

Adapun jika ia berwasiat dengan satu budak dari budak-budaknya, maka ini terbagi menjadi tiga bagian:

أحدهما: أَنْ يَكُونَ لَهُ عِنْدَ الْوَصِيَّةِ رَقِيقٌ يُخَلِّفُهُمْ فِي تَرِكَتِهِ:

Pertama: Jika pada saat wasiat ia memiliki budak yang akan diwariskan dalam hartanya:

فَالْوَصِيَّةُ جَائِزَةٌ.

Maka wasiatnya sah.

فَإِنْ خَلَّفَ رَأْسًا وَاحِدًا: فَهُوَ لِلْمُوصَى لَهُ.

Jika ia hanya meninggalkan satu budak, maka budak itu menjadi milik penerima wasiat.

وَإِنْ خَلَّفَ جَمَاعَةً فَالْخِيَارُ إِلَى الْوَرَثَةِ، فِي دَفْعِ أَيِّهِمْ شَاءُوا مِنْ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ، وصحيح أو مريض، ذكر أو أنثى، مُسْلِمٍ أَوْ كَافِرٍ.

Jika ia meninggalkan beberapa budak, maka pilihan ada pada ahli waris, untuk memberikan budak mana saja yang mereka kehendaki, baik yang kecil maupun yang besar, yang sehat maupun yang sakit, laki-laki maupun perempuan, muslim maupun kafir.

لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ ينطلق عليه اسْمُ رَأْسٍ مِنْ رَقِيقٍ.

Karena masing-masing dari mereka dapat disebut sebagai satu budak dari budak-budaknya.

فَأَمَّا الْخُنْثَى الْمُشْكِلُ:

Adapun khuntsa musykil (orang dengan kelamin ganda yang tidak jelas):

ففيه وجهان: أحدهما: وَهُوَ قَوْلُ الرَّبِيعِ:

Dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya adalah pendapat Ar-Rabi‘:

أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِخُرُوجِهِ عَنِ الْعُرْفِ.

Bahwa tidak sah, karena keluar dari kebiasaan (‘urf).

وَلَكِنْ لَوْ قَالَ أَمَةً:

Namun jika ia berkata “amah” (budak perempuan):

لَمْ يَجُزْ أَنْ يعْطىَ عَبْدًا، وَلَا خُنْثَى.

Tidak sah diberikan budak laki-laki, ataupun khuntsa.

وَلَوْ قَالَ عَبْدًا:

Jika ia berkata “budak laki-laki”:

لَمْ يَجُزْ أَنْ يعْطى أَمَةً، وَلَا خُنْثَى.

Tidak sah diberikan budak perempuan, ataupun khuntsa.

وَلَوْ كَانَ فِي كَلَامِهِ مَا يَدُلُّ عَلَى مُرَادِهِ:

Jika dalam ucapannya terdapat sesuatu yang menunjukkan maksudnya:

حُمِلَتِ الْوَصِيَّةُ عَلَى مَا يدل عليه مراده، كقوله: ” أعطوه رأسا يستمتع به ” فلا يعطى إلا امرأة لأنها هي المقصودة بالمنفعة “.

Maka wasiat diarahkan sesuai dengan maksudnya, seperti ucapannya: “Berikanlah satu budak yang bisa dinikmati,” maka tidak diberikan kecuali perempuan, karena dialah yang dimaksudkan untuk dinikmati.

وَلَوْ قَالَ: رَأْسًا يَخْدِمُهُ:

Jika ia berkata: “Satu budak yang melayaninya”:

لَمْ يُعْطَ إِلَّا صَحِيحًا. لِأَنَّ الزَّمِنَ لَا خِدْمَةَ فِيهِ، وَكَذَلِكَ الصغير.

Maka tidak diberikan kecuali yang sehat. Karena yang cacat tidak dapat melayani, demikian pula yang masih kecil.

ولو أَرَادَ الْوَرَثَةُ أَنْ يَشْتَرُوا لَهُ رَأْسًا، لَا من رقيقه:

Jika ahli waris ingin membelikan satu budak untuknya, bukan dari budak-budaknya:

لم يجز: لِأَنَّهُ عَيْنُ الْوَصِيَّةِ فِي رَقِيقِهِ.

Tidak boleh, karena yang dimaksud adalah wasiat pada budak-budaknya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ عِنْدَ الْوَصِيَّةِ بِرَأْسٍ مِنْ رَقِيقِهِ رَقِيقٌ، وَلَا يَمْلِكُ بَعْدَ الْوَصِيَّةِ رقيقا فالوصية باطلة: لأنها أحالها إِلَى رَقِيقٍ مَعْدُومٍ.

Bagian kedua: Jika pada saat wasiat ia tidak memiliki budak dari budak-budaknya, dan setelah wasiat pun tidak memiliki budak, maka wasiatnya batal, karena ia mengaitkannya dengan budak yang tidak ada.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ عِنْدَ الْوَصِيَّةِ بِرَأْسٍ مِنْ رَقِيقِهِ رقيق، ويملك بعد الوصية وقبل الموت رَقِيقًا، فَفِي صِحَّةِ الْوَصِيَّةِ وَجْهَانِ، كَمَنْ أَوْصَى بثلث ماله ولا مال له:

Bagian ketiga: Jika pada saat wasiat ia tidak memiliki budak dari budak-budaknya, namun setelah wasiat dan sebelum wafat ia memiliki budak, maka dalam hal sahnya wasiat ada dua pendapat, seperti orang yang berwasiat sepertiga hartanya padahal ia tidak memiliki harta:

أحدهما: جائزة.

Pertama: Sah.

والثاني: باطلة.

Kedua: Batal.

فصل:

Fasal:

وأما إن أوصى برأس من رَقِيقٍ مِنْ مَالِهِ:

Adapun jika ia berwasiat dengan satu budak dari budak yang berasal dari hartanya:

فَالْوَصِيَّةُ جَائِزَةٌ، سَوَاءٌ خَلَّفَ رَقِيقًا أَمْ لَا، لِأَنَّهُ جَعَلَ وَصِيَّتَهُ بِالرَّقِيقِ فِي الْمَالِ، وَالْمَالُ مَوْجُودٌ.

Maka wasiatnya sah, baik ia meninggalkan budak maupun tidak, karena ia menjadikan wasiatnya pada budak dari hartanya, dan harta itu ada.

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ له رقيق، كان الورثة بالخيار في شراء ما شاءوا من الرقيق.

Jika ia tidak memiliki budak, maka ahli waris boleh memilih untuk membeli budak mana saja yang mereka kehendaki.

وإن كان له رقيق:

Jika ia memiliki budak:

فالورثة بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُعْطُوهُ رَأْسًا مِنْهُمْ، وَبَيْنَ أن يشتروا له.

Maka ahli waris boleh memilih antara memberikan satu budak dari budak-budaknya, atau membelikan untuknya.

فصل:

Fasal:

ولو أوصى بعبده النوبي، ولم يكن له إلا عبدا زنجي، لَمْ يُعْطَ إِلَّا النَّوْبِيَّ، وَلَوْ كَانَ لَهُ جماعة من العبيد النوب: أعطوه أي النوبي شَاءُوا.

Jika ia berwasiat dengan budak Nubia, sedangkan ia hanya memiliki budak Zanjī, maka tidak diberikan kecuali budak Nubia. Jika ia memiliki beberapa budak Nubia, maka diberikan budak Nubia mana saja yang mereka kehendaki.

وَلَوْ قَالَ: أَعْطُوهُ عَبْدِي سَالِمًا الْحَبَشِيَّ، فاجتمع الاسم والجنس في عبد، فَكَانَ لَهُ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ يُسَمَّى سَالِمًا: صَحَّتِ فيه، ولو كان له عبدا يسمى سالما، وليس بحبشي، وعبدا حبشي وليس بسالم: فَالْوَصِيَّةُ بَاطِلَةٌ، لِأَنَّ الصِّفَتَيْنِ اللَّتَيْنِ عَلَّقَ بِهِمَا وصية مِنَ الِاسْمِ وَالْجِنْسِ لَمْ يَجْتَمِعَا.

Dan jika ia berkata: “Berikanlah kepadanya hambaku yang bernama Sālim al-Ḥabasyī,” maka nama dan jenis terkumpul pada kata “hamba”. Jika ia memiliki seorang hamba berbangsa Ḥabasyī yang bernama Sālim, maka wasiat tersebut sah berlaku padanya. Namun, jika ia memiliki seorang hamba bernama Sālim tetapi bukan Ḥabasyī, dan seorang hamba Ḥabasyī tetapi bukan bernama Sālim, maka wasiat tersebut batal, karena dua sifat yang dijadikan syarat dalam wasiat, yaitu nama dan jenis, tidak terkumpul pada satu orang.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَلَوْ شَهِدَ شَاهِدَانِ أَنَّهُ أَوْصَى لِزَيْدٍ بِعَبْدِهِ سَالِمٍ الْحَبَشِيِّ وَكَانَ لَهُ عَبْدَانِ حَبَشِيَّانِ اسْمُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا سَالِمٌ.

Jika dua orang saksi bersaksi bahwa ia berwasiat kepada Zaid dengan hambanya Sālim al-Ḥabasyī, sementara ia memiliki dua hamba Ḥabasyī yang masing-masing bernama Sālim.

فَإِنْ عَيَّنَا الْمُوصَى بِهِ مِنْهُمَا: صَحَّتْ شَهَادَتُهُمَا فِي الْوَصِيَّةِ لِمَنْ عَيَّنَاهُ.

Jika keduanya (para saksi) menentukan siapa yang dimaksud dari keduanya, maka kesaksian mereka sah dalam wasiat untuk orang yang telah mereka tentukan.

وَإِنْ لَمْ يُعَيِّنِ الشَّاهِدَانِ أَحَدَهُمَا، فَفِي شَهَادَتِهِمَا قولان حكاهما ابن سُرَيْجٍ:

Namun jika kedua saksi tidak menentukan salah satunya, maka dalam kesaksian mereka terdapat dua pendapat yang dinukil oleh Ibn Surayj:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلَةٌ، لِلْجَهْلِ بِهَا وَالشَّهَادَةُ الْمَجْهُولَةُ مَرْدُودَةٌ، وَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَ الْوَارِثِ فِي إِنْكَارِ الْوَصِيَّةِ وَإِثْبَاتِهَا.

Salah satunya: batal, karena tidak diketahui (siapa yang dimaksud), dan kesaksian yang tidak jelas itu tertolak, sehingga keputusan berada di tangan ahli waris dalam menolak atau menetapkan wasiat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ الشَّهَادَةَ جَائِزَةٌ، لأنها تضمنت وصية لا يؤثر فِيهَا الْجَهَالَةُ بِهَا، ثُمَّ فِيهَا وَجْهَانِ حَكَاهُمَا ابن سريج.

Pendapat kedua: bahwa kesaksian itu sah, karena mengandung wasiat yang ketidakjelasan padanya tidak berpengaruh. Kemudian dalam hal ini terdapat dua wajah (pendapat) yang dinukil oleh Ibn Surayj.

أحدهما: أن العبدين موقوفين بين الموصى له والوارث حتى يصطلحوا على الموصى له منهما، لأنها أشكلا بِالشَّهَادَةِ عَلَيْهِمْ، لَا بِاعْتِرَافِهِمْ، فَلَمْ يُرْجَعْ إِلَى بَيَانِهِمْ.

Salah satunya: kedua hamba tersebut ditangguhkan antara penerima wasiat dan ahli waris sampai mereka sepakat siapa yang menjadi penerima wasiat di antara keduanya, karena permasalahan ini timbul dari kesaksian atas mereka, bukan dari pengakuan mereka, sehingga tidak dikembalikan kepada penjelasan mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَرْجِعُ إِلَى بَيَانِ الورثة في أَيِّ الْعَبْدَيْنِ شَاءُوا لِأَنَّ وُجُوبَ الْوَصِيَّةِ بِالشَّهَادَةِ، كَوُجُوبِهَا بِاعْتِرَافِهِمْ فَوَجَبَ أَنْ يُرْجَعَ فِي الْحَالَيْنِ إلى بيانهم.

Wajah kedua: dikembalikan kepada penjelasan ahli waris, siapa saja dari kedua hamba itu yang mereka kehendaki, karena kewajiban wasiat dengan kesaksian sama seperti kewajibannya dengan pengakuan mereka, maka wajib dikembalikan pada penjelasan mereka dalam kedua keadaan tersebut.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولو هلكت إِلَّا رَأْسًا كَانَ لَهُ إِذَا حَمَلَهُ الثُّلُثُ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika semuanya binasa kecuali satu, maka ia (penerima wasiat) berhak mendapatkannya jika sepertiga harta mampu menanggungnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِذَا أَوْصَى بِرَأْسٍ مِنْ ماله: فالوصية جَائِزَةٌ لَا تَبْطُلُ بِمَوْتِ رَقِيقِهِ إِذَا كَانَ مَالُهُ بَاقِيًا.

Al-Māwardī berkata: Adapun jika ia berwasiat dengan satu kepala dari hartanya, maka wasiat itu sah dan tidak batal dengan kematian hambanya selama hartanya masih ada.

فَأَمَّا إِذَا أَوْصَى بِرَأْسٍ مِنْ رَقِيقِهِ، فَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ إِذَا لَمْ يَمُتْ منهم أحد.

Adapun jika ia berwasiat dengan satu kepala dari para hambanya, maka telah dijelaskan sebelumnya jika tidak ada seorang pun dari mereka yang meninggal.

وأما إِذَا حَدَثَ فِيهِمْ مَوْتٌ، فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun jika terjadi kematian di antara mereka, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَهْلِكَ جَمِيعُهُمْ.

Pertama: jika semuanya binasa.

وَالثَّانِي: بَعْضُهُمْ.

Kedua: sebagian dari mereka.

فَإِنْ هَلَكُوا جميعهم فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika semuanya binasa, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ هَلَاكًا غَيْرَ مَضْمُونٍ كَالْمَوْتِ، فَالْوَصِيَّةُ قَدْ بَطَلَتْ، إِلَّا أَنَّهُ إِنْ كَانَ قَبْلَ مَوْتِ الْمُوصِي، فَلَا وَصِيَّةَ، وَإِنْ كَانَ بَعْدَهُ فَقَدْ هَلَكَ ذَلِكَ مِنْ مَالِ الْمُوصَى لَهُ وَالْوَرَثَةِ جَمِيعًا.

Pertama: kebinasaan yang tidak menimbulkan tanggungan, seperti kematian, maka wasiat batal. Namun, jika itu terjadi sebelum wafatnya orang yang berwasiat, maka tidak ada wasiat. Jika setelah wafatnya, maka yang binasa itu menjadi milik penerima wasiat dan ahli waris secara bersama.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ هَلَاكُهُمْ مَضْمُونًا كَالْقَتْلِ الَّذِي يُوجِبُ ضَمَانَ قِيمَتِهِمْ عَلَى قَاتِلِهِمْ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Keadaan kedua: jika kebinasaan mereka menimbulkan tanggungan, seperti pembunuhan yang mewajibkan ganti rugi nilainya atas pembunuhnya, maka ini ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَتْلُهُمْ بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي: فَالْوَصِيَّةُ صَحِيحَةٌ لِأَنَّ الْقِيمَةَ قَائِمَةٌ مَقَامَهُمْ، ثُمَّ لِلْوَرَثَةِ أَنْ يُعْطُوهُ قِيمَةَ أَيِّهِمْ شَاءُوا، كَمَا كَانَ لَهُمْ مَعَ بَقَائِهِمْ أَنْ يعطوا أَيَّهُمْ شَاءُوا.

Pertama: jika pembunuhan terjadi setelah wafatnya orang yang berwasiat, maka wasiat sah karena nilai (hamba) menggantikan posisi mereka. Kemudian ahli waris boleh memberikan nilai salah satu dari mereka yang mereka kehendaki, sebagaimana ketika mereka masih hidup, mereka boleh memberikan siapa saja yang mereka kehendaki.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَتْلُهُمْ قَبْلَ مَوْتِ الْمُوصِي فَفِي الْوَصِيَّةِ وَجْهَانِ:

Keadaan kedua: jika pembunuhan terjadi sebelum wafatnya orang yang berwasiat, maka dalam wasiat terdapat dua wajah (pendapat):

أَحَدُهُمَا: جَائِزَةٌ، لِأَنَّ الْقَيِّمَةَ بَدَلٌ مِنْهُمْ، فَصَارَ كَوُجُودِهِمْ فَعَلَى هَذَا يُعْطُونَهُ قِيمَةَ أَيِّهِمْ شَاءُوا.

Salah satunya: sah, karena nilai menjadi pengganti mereka, sehingga seakan-akan mereka masih ada. Dengan demikian, mereka (ahli waris) memberikan nilai siapa saja dari mereka yang mereka kehendaki.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا بَاطِلَةٌ، لِأَنَّ انْتِقَالَهُمْ إِلَى الْقِيمَةِ فِي الْقَتْلِ كَانْتِقَالِهِمْ إِلَى الثَّمَنِ فِي الْبَيْعِ، فَلَمَّا كَانَ بَيْعُهُمْ فِي حَيَاةِ الْمُوصِي مُوجِبًا لِبُطْلَانِ الْوَصِيَّةِ كَذَلِكَ قَتْلُهُمْ فِي حَيَاةِ الْمُوصِي موجبا لبطلان الوصية.

Wajah kedua: batal, karena perpindahan mereka kepada nilai dalam kasus pembunuhan seperti perpindahan mereka kepada harga dalam jual beli. Maka, ketika penjualan mereka semasa hidup orang yang berwasiat menyebabkan batalnya wasiat, demikian pula pembunuhan mereka semasa hidup orang yang berwasiat menyebabkan batalnya wasiat.

ومن قال بالوجه الأول يُفَرِّقَ بَيْنَ الْبَيْعِ وَالْقَتْلِ.

Dan orang yang berpendapat dengan wajah pertama membedakan antara jual beli dan pembunuhan.

بِأَنَّ الْبَيْعَ كَانَ بِاخْتِيَارِ الْمُوصِي، فَكَانَ رُجُوعًا. وَالْقَتْلُ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ، فَلَمْ يَكُنْ رُجُوعًا.

Bahwa jual beli terjadi atas pilihan orang yang berwasiat, sehingga dianggap sebagai penarikan kembali. Sedangkan pembunuhan terjadi tanpa pilihannya, sehingga tidak dianggap sebagai penarikan kembali.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ هَلَكَ بَعْضُهُمْ وبقي بعضهم كأنهم هلكوا جميعا إلا واحدا مِنْهُمْ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika sebagian dari mereka binasa dan sebagian lagi masih hidup, seperti jika semuanya binasa kecuali satu orang di antara mereka, maka ini ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ مِنْهُمْ بِالْمَوْتِ دُونَ الْقَتْلِ: فَالْوَصِيَّةُ قد بقيت في العبيد الْبَاقِي، وَلَا خِيَارَ لِلْوَرَثَةِ فِي الْعُدُولِ بِهَا إِلَى غَيْرِهِ، لِتَعْيِينِهَا فِي رَقِيقِهِ.

Salah satunya: Jika ada di antara mereka yang binasa karena wafat, bukan karena dibunuh, maka wasiat tetap berlaku pada budak yang tersisa, dan ahli waris tidak memiliki pilihan untuk mengalihkan wasiat itu kepada selainnya, karena wasiat tersebut telah ditetapkan pada budaknya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ هَلَاكُهُمْ بِالْقَتْلِ الْمَضْمُونِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: Jika kebinasaan mereka terjadi karena pembunuhan yang wajib diganti, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَتْلُهُمْ قَبْلَ مَوْتِ الموصي، فالوصية بقيت فِي الْعَبْدِ الْبَاقِي، وَلَيْسَ لِلْوَرَثَةِ أَنْ يَعْدِلُوا بِهَا إِلَى قِيمَةِ أَحَدِ الْمَقْتُولِينَ قَبْلَ مَوْتِ الْمُوصِي، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ لِأَنَّ بَقَاءَ الْجِنْسِ للموصى بِهِ، يَمْنَعُ مِنَ الرُّجُوعِ إِلَى غَيْرِهِ.

Salah satunya: Jika pembunuhan itu terjadi sebelum wafatnya orang yang berwasiat, maka wasiat tetap berlaku pada budak yang tersisa, dan ahli waris tidak boleh mengalihkan wasiat itu kepada nilai salah satu budak yang terbunuh sebelum wafatnya orang yang berwasiat. Hal ini ditegaskan oleh asy-Syafi‘i karena masih adanya jenis (budak) yang diwasiatkan, sehingga tidak boleh dialihkan kepada selainnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَتْلُهُمْ بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jenis kedua: Jika pembunuhan itu terjadi setelah wafatnya orang yang berwasiat, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْوَصِيَّةَ مُتَعَيِّنَةٌ فِي الْعَبْدِ الْبَاقِي فَلَيْسَ لِلْوَرَثَةِ أَنْ يَعْدِلُوا بِهَا إِلَى قِيمَةِ أَحَدِ الْمَقْتُولِينَ، كَمَا لَيْسَ لَهُمْ ذَلِكَ إِذَا كَانَ الْقَتْلُ قَبْلَ مَوْتِ الْمُوصِي.

Salah satunya: Bahwa wasiat itu telah ditetapkan pada budak yang tersisa, sehingga ahli waris tidak boleh mengalihkan wasiat itu kepada nilai salah satu budak yang terbunuh, sebagaimana mereka juga tidak boleh melakukannya jika pembunuhan terjadi sebelum wafatnya orang yang berwasiat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ لِلْوَرَثَةِ الْخِيَارَ فِي أَنْ يُعْطُوهُ الْعَبْدَ الْبَاقِيَ، أَوْ يَعْدِلُوا بِهِ إِلَى قيمة أحد المقتولين، كما لَهُمُ الْخِيَارُ لَوْ قُتِلُوا جَمِيعًا فِي أَنْ يُعْطُوهُ قِيمَةَ أَيِّهِمْ شَاءُوا.

Pendapat kedua: Bahwa ahli waris memiliki pilihan, apakah mereka memberikan budak yang tersisa itu, atau mengalihkan wasiat itu kepada nilai salah satu budak yang terbunuh, sebagaimana mereka juga memiliki pilihan, jika seluruh budak terbunuh, untuk memberikan nilai salah satu dari mereka yang mereka kehendaki.

فَصْلٌ:

Fashl (Pasal):

فَلَوْ كَانَ لِرَجُلٍ ثَلَاثَةُ عَبِيدٍ فَأَوْصَى لِرَجُلٍ بِثُلُثِهِمْ، اسْتَحَقَّ من كل واحد الثلث، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَحَدُهُمْ كَامِلًا، إِلَّا أَنْ تراضيه الورثة عليه سلما.

Jika seseorang memiliki tiga orang budak, lalu ia berwasiat kepada seseorang dengan sepertiga dari mereka, maka orang tersebut berhak atas sepertiga dari masing-masing budak, dan ia tidak berhak mendapatkan salah satu budak secara utuh, kecuali jika para ahli waris merelakannya secara damai.

فَصْلٌ:

Fashl (Pasal):

وَلَوْ قَالَ لِوَرَثَتِهِ: اسْتَخْدِمُوا عَبْدِي سَنَةً بَعْدَ مَوْتِي، ثُمَّ هُوَ بَعْدَ السَّنَةِ وَصِيَّةٌ لِفُلَانٍ جَازَ وَلَمْ تُقَوَّمْ خِدْمَةُ السَّنَةِ عَلَى الْوَرَثَةِ فِي حَقِّهِمْ لِأَنَّهُمْ قَبْلَ السَّنَةِ اسْتَخْدَمُوا ملكهم، وليس كالموصى له بخدمة سَنَةٍ، حَيْثُ قُوِّمَتْ خِدْمَةُ السَّنَةِ فِي حَقِّهِ. لِأَنَّهُ اسْتَخْدَمَ بِالْوَصِيَّةِ غَيْرَ مِلْكِهِ.

Jika seseorang berkata kepada ahli warisnya: “Gunakanlah budakku selama setahun setelah kematianku, kemudian setelah setahun itu budak tersebut menjadi wasiat untuk si Fulan,” maka hal itu sah, dan jasa pelayanan selama setahun itu tidak dinilai atas ahli waris dalam hak mereka, karena sebelum setahun mereka menggunakan milik mereka sendiri. Ini berbeda dengan orang yang diwasiati untuk mendapatkan jasa pelayanan selama setahun, di mana jasa pelayanan selama setahun itu dinilai atas haknya, karena ia menggunakan jasa tersebut berdasarkan wasiat, bukan dari miliknya sendiri.

وَلَوْ قَالَ: اسْتَخْدِمُوا عَبْدِي سَنَةً ثُمَّ أَعْتِقُوهُ عَنِّي:

Dan jika ia berkata: “Gunakanlah budakku selama setahun, kemudian merdekakanlah dia untukku:”

كَانَ لَهُمُ اسْتِخْدَامُهُ، ثُمَّ عِتْقُهُ، بَعْدَ الْخِدْمَةِ، وَيُقَوَّمُ العبد في سنة الْوَصِيَّةِ فِي الْعِتْقِ، بَعْدَ خِدْمَةِ السَّنَةِ مِنْ موت الموصي، لأنه لا يجوز أن نعتبر قِيمَتَهُ فِي الْحَالِ الَّتِي لَا يُمْلَكُ بِالْوَصِيَّةِ ولا يحرر بالعتق.

Maka mereka berhak menggunakannya, lalu memerdekakannya setelah masa pelayanan, dan budak itu dinilai pada tahun wasiat dalam hal pembebasan, yaitu setelah pelayanan setahun sejak wafatnya orang yang berwasiat, karena tidak boleh menilai harganya pada keadaan di mana ia tidak dapat dimiliki melalui wasiat dan tidak dapat dimerdekakan.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: (ولو) أوصى له بِشَاةٍ مِنْ مَالِهِ قِيلَ لِلْوَرَثَةِ أَعْطُوهُ أَوِ اشتروها له صغيرة كانت أو كبيرة ضائنة أو ماعزة “.

Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berwasiat kepada seseorang dengan seekor kambing dari hartanya, maka dikatakan kepada para ahli waris: ‘Berikanlah kepadanya atau belikanlah untuknya, baik kambing itu kecil atau besar, domba atau kambing kacang.'”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. إِذَا أَوْصَى لِرَجُلٍ بِشَاةٍ مِنْ مَالِهِ: فَالْوَصِيَّةُ جَائِزَةٌ، تَرَكَ غَنَمًا، أَوْ لَمْ يَتْرُكْ، لِأَنَّهُ جَعَلَهَا فِي مَالِهِ. وَيُعْطِيهِ الْوَرَثَةُ مَا شَاءُوا مِنْ ضَأْنٍ أَوْ مَعْزٍ، صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ، سَمِينٍ أَوْ هَزِيلٍ.

Al-Mawardi berkata: “Dan ini benar. Jika seseorang berwasiat kepada seseorang dengan seekor kambing dari hartanya, maka wasiat itu sah, baik ia meninggalkan kambing atau tidak, karena ia telah menjadikannya dari hartanya. Maka para ahli waris boleh memberikannya kambing apa saja, baik domba atau kambing kacang, kecil atau besar, gemuk atau kurus.”

وَفِي اسْتِحْقَاقِ الْأُنْثَى وَجْهَانِ:

Dalam hal berhak mendapatkan kambing betina, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الظَّاهِرُ من نَصِّ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ لَا يُعْطَى إِلَّا أُنْثَى لِأَنَّ الْهَاءَ مَوْضُوعَةٌ لِلتَّأْنِيثِ.

Salah satunya, dan ini yang tampak dari nash asy-Syafi‘i: bahwa ia tidak diberikan kecuali kambing betina, karena huruf “hā’” pada kata “syāh” menunjukkan makna feminin.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هريرة.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah.

أن الورثة بالخيار فِي إِعْطَائِهِ، ذَكَرًا أَوْ أُنْثَى، لِأَنَّ الْهَاءَ من أصل الكلمة، فيه اسْمِ الْجِنْسِ، فَاسْتَوَى فِيهِ الذَّكَرُ وَالْأُنْثَى.

Bahwa para ahli waris memiliki pilihan untuk memberikannya kambing jantan atau betina, karena huruf “hā’” merupakan bagian dari asal kata, yang bermakna jenis (genus), sehingga jantan dan betina sama saja di dalamnya.

وَلَكِنْ لَوْ قَالَ شَاةٌ مِنْ غَنَمِي، وَكَانَتْ غَنَمُهُ كُلُّهَا إِنَاثًا، لَمْ يُعْطَ إِلَّا أُنْثَى.

Namun, jika ia berkata: “Seekor kambing dari kambingku,” dan seluruh kambingnya adalah betina, maka tidak diberikan kecuali kambing betina.

وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَتْ كُلُّهَا ذُكُورًا: لَمْ يُعْطَ إِلَّا ذَكَرًا مِنْهَا، وَلَوْ لَمْ يُخَلِّفْ غَنَمًا كَانَتِ الوصية باطلة.

Demikian pula jika seluruh kambingnya adalah jantan, maka tidak diberikan kecuali kambing jantan dari kambingnya. Dan jika ia tidak meninggalkan kambing, maka wasiatnya batal.

وكذلك لَوْ دَلَّ كَلَامُهُ عَلَى الْمُرَادِ مِنْهَا: حُمِلَ عَلَيْهِ مِثْلَ قَوْلِهِ: شَاةٌ يَنْتَفِعُ بِدَرِّهَا، وَنَسْلِهَا، لم يعط إلا كبير، أنثى، لتكون ذات در ونسل وسواء كانت من الضأن أو من المعز.

Demikian pula jika ucapannya menunjukkan maksud tertentu, maka diambil sesuai maksud tersebut, seperti ucapannya: “Seekor kambing yang diambil manfaat susunya dan keturunannya,” maka tidak diberikan kecuali kambing besar dan betina, agar dapat diambil susunya dan keturunannya, baik dari domba maupun kambing kacang.

فَإِنْ قَالَ: شَاةٌ يَنْتَفِعُ بِصُوفِهَا، لَمْ يُعْطَ إلا من الضأن.

Jika ia berkata: “Seekor kambing yang diambil manfaat bulunya,” maka tidak diberikan kecuali dari jenis domba.

وَلَا يَجُوزُ إِذَا أَوْصَى بِشَاةٍ مِنْ مَالِهِ أن يعطى غزالا أو ظَبْيًا، وَإِنِ انْطَلَقَ اسْمُ الشَّاةِ عَلَيْهِمَا مَجَازًا.

Dan tidak boleh, jika seseorang berwasiat dengan seekor kambing dari hartanya, lalu diberikan kijang atau rusa, meskipun secara majazi keduanya juga disebut “syāh”.

وَلَكِنْ لَوْ قَالَ: شَاةٌ مِنْ شِيَاهِي، وَلَمْ يَكُنْ فِي مَالِهِ إِلَّا ظَبْيٌ، فَفِيهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: إِنَّ الْوَصِيَّةَ بَاطِلَةٌ: لِأَنَّ اسْمَ الشَّاةِ يَتَنَاوَلُ الْغَنَمَ، وَلَيْسَ فِي تَرِكَتِهِ، فَبَطَلَتْ.

Namun, jika ia berkata: “Seekor kambing dari kambing-kambingku,” dan ternyata di hartanya tidak ada kecuali kijang, maka dalam hal ini ada dua pendapat: Pertama, wasiatnya batal, karena nama “kambing” mencakup domba, dan itu tidak ada dalam warisannya, maka wasiatnya batal.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهُ تَصِحُّ، لِأَنَّهُ لَمَّا أَضَافَ ذَلِكَ إِلَى شِيَاهِهِ، وَلَيْسَ فِي مَالِهِ إِلَّا مَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ مَجَازُ الِاسْمِ، دُونَ الْحَقِيقَةِ حُمِلَ عَلَيْهِ، وَانْصَرَفَتْ وَصِيَّتُهُ إِلَى الظَّبْيِ الْمَوْجُودِ فِي تَرِكَتِهِ، حَتَّى لَا تَبْطُلَ وَصِيَّتُهُ.

Pendapat kedua: Wasiatnya sah, karena ketika ia menisbatkan hal itu kepada kambing-kambingnya, dan di hartanya tidak ada kecuali sesuatu yang secara majazi (kiasan) dapat disebut dengan nama itu, meskipun bukan secara hakiki, maka wasiat tersebut diarahkan kepadanya, dan wasiatnya berlaku untuk kijang yang ada dalam warisannya, agar wasiatnya tidak batal.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: (وَلَوْ قَالَ) بَعِيرًا أَوْ ثَوْرًا لَمْ يَكُنْ لَهُمْ أَنْ يُعْطُوهُ نَاقَةً وَلَا بَقَرَةً وَلَوْ قَالَ عَشْرَ أَيْنُقٍ أَوْ عَشْرَ بَقَرَاتٍ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ أَنْ يُعْطُوهُ ذَكَرًا (وَلَوْ قَالَ) عَشَرَةَ أَجَمَالٍ أَوْ أَثْوَارٍ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ أن يعطوه أنثى (فإن قَالَ) عَشَرَةٌ مِنْ إِبِلِي أَعْطَوْهُ مَا شَاءُوا “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ia berkata: seekor unta atau sapi, maka mereka tidak boleh memberinya unta betina atau sapi betina. Jika ia berkata: sepuluh unta betina atau sepuluh sapi betina, maka mereka tidak boleh memberinya yang jantan. Jika ia berkata: sepuluh unta jantan atau sepuluh sapi jantan, maka mereka tidak boleh memberinya yang betina. Namun jika ia berkata: sepuluh dari unta-untaku, maka mereka boleh memberinya apa saja yang mereka kehendaki.”

قال الماوردي: أَمَّا إِذَا أَوْصَى لَهُ بِثَوْرٍ: لَمْ يُعْطَ إِلَّا ذَكَرًا، لِأَنَّ الثَّوْرَ اسْمٌ لِلذُّكُورِ، دُونَ الْإِنَاثِ.

Al-Mawardi berkata: Adapun jika ia mewasiatkan seekor sapi jantan, maka tidak diberikan kecuali yang jantan, karena “tsaur” (sapi jantan) adalah nama khusus untuk yang jantan, bukan betina.

وَلَوْ قَالَ بَقَرَةً: لَمْ يُعْطَ إِلَّا أُنْثَى، لِأَنَّ الْهَاءَ مَوْضُوعَةٌ لِلتَّأْنِيثِ، وَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا، يُخْرِجُ فِي الْبَقَرَةِ وَجْهًا آخَرَ، أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُعْطَى ذَكَرًا، أَوْ أُنْثَى كَالشَّاةِ، لِأَنَّ الْهَاءَ مِنْ أَصْلِ اسْمِ الْجِنْسِ.

Dan jika ia berkata “seekor sapi betina”, maka tidak diberikan kecuali yang betina, karena huruf “hā’” digunakan untuk penanda betina. Namun sebagian ulama kami berpendapat lain dalam masalah sapi betina, yaitu boleh diberikan yang jantan atau betina seperti halnya kambing, karena huruf “hā’” pada asalnya adalah bagian dari nama jenis.

وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَعْدِلَ فِي الْوَصِيَّةِ بِالثَّوْرِ وَالْبَقَرَةِ إِلَى الْجَوَامِيسِ، بِخِلَافِ الشَّاةِ الَّتِي يَنْطَلِقُ عَلَيْهَا اسْمُ الضَّأْنِ وَالْمَعْزِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي كَلَامِهِ مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ، أَوْ يَقُولُ بَقَرَةً من بقري، وليس له إلا الجواميس، وَإِنْ كَانَ اسْمُ الْبَقَرِ يَتَنَاوَلُهَا مَجَازًا.

Tidak boleh pula dalam wasiat berupa sapi jantan atau sapi betina dialihkan kepada kerbau, berbeda dengan kambing yang namanya mencakup domba dan kambing kacang, kecuali jika dalam ucapannya terdapat petunjuk ke arah itu, atau ia berkata “seekor sapi betina dari sapi-sapiku” sementara ia hanya memiliki kerbau, meskipun nama “sapi” secara majazi dapat mencakup kerbau.

لِأَنَّ إِضَافَةَ الْوَصِيَّةِ إِلَى التَّرِكَةِ، قَدْ صَرَفَ الِاسْمَ عَنْ حَقِيقَتِهِ إِلَى مَجَازِهِ.

Karena penambahan wasiat kepada warisan telah mengalihkan nama itu dari makna hakiki kepada makna majazi.

وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَعْدِلَ بِهِ إِلَى بَقَرِ الْوَحْشِ، فَإِنْ أَضَافَ الْوَصِيَّةَ إِلَى بَقَرِهِ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ إلا بقر الوحش، فعلى ما ذكرناه من الوجهين في الظبي.

Tidak boleh pula dialihkan kepada sapi liar. Jika ia menisbatkan wasiat kepada sapi-sapinya, dan ia hanya memiliki sapi liar, maka hukumnya seperti dua pendapat yang telah disebutkan dalam masalah kijang.

فصل:

Fasal:

فأما إِذَا أَوْصَى بِبَعِيرٍ.

Adapun jika ia mewasiatkan seekor unta.

فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ لَا يُعْطَى إِلَّا ذَكَرًا، لِأَنَّ اسْمَ الْبَعِيرِ بِالذُّكُورِ أَخَصُّ.

Menurut mazhab Syafi‘i: tidak diberikan kecuali yang jantan, karena nama “ba‘īr” (unta) lebih khusus untuk yang jantan.

وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: هُوَ اسْمٌ لِلْجِنْسِ، فيعطى ما شاء الوارث مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى.

Sebagian ulama kami berkata: itu adalah nama untuk jenis, sehingga ahli waris boleh memberikan yang jantan atau betina, sesuai kehendak mereka.

فَأَمَّا إِذَا أَوْصَى لَهُ بِجَمَلٍ: لَمْ يُعْطَ إِلَّا ذَكَرًا لِاخْتِصَاصِ هذا الاسم بالذكور.

Adapun jika ia mewasiatkan seekor “jamal” (unta jantan), maka tidak diberikan kecuali yang jantan, karena nama ini khusus untuk yang jantan.

ولو أوصى بعشرة مِنْ إِبِلِهِ أَعْطَاهُ الْوَارِثُ مَا شَاءَ مِنْ ذكور وإناث، وسواء أثبت التاء فِي الْعَدَدِ، أَوْ أَسْقَطَهَا.

Jika ia mewasiatkan sepuluh dari unta-untanya, maka ahli waris boleh memberinya apa saja yang mereka kehendaki, baik jantan maupun betina, baik ia menggunakan huruf “tā’” dalam bilangan atau tidak.

وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قال:

Sebagian ulama kami berkata:

إن أثبت التاء فِي الْعَدَدِ فَقَالَ: عَشَرَةٌ مِنْ إِبِلِي. لَمْ يُعْطَ إِلَّا مِنَ الذُّكُورِ لِأَنَّ عَدَدَهَا بِإِثْبَاتِ التاء.

Jika ia menggunakan huruf “tā’” dalam bilangan, lalu berkata: “‘asyarah (sepuluh) dari unta-untaku”, maka tidak diberikan kecuali yang jantan, karena bilangannya dengan penambahan “tā’”.

وإن أسقط التاء في العدد: فقال عشر مِنْ إِبِلِي لَمْ يُعْطَ إِلَّا مِنَ الْإِنَاثِ لأن عددها بإسقاط التاء.

Jika ia menggugurkan huruf “tā’” dalam bilangan, lalu berkata: “‘asyru (sepuluh) dari unta-untaku”, maka tidak diberikan kecuali yang betina, karena bilangannya tanpa “tā’”.

أَلَا تَرَى أَنَّهُ يُقَالُ: عَشْرُ نِسْوَةٍ، وَعَشَرَةُ رجال. وهذا الأوجه لَهُ، لِأَنَّ اسْمَ الْإِبِلِ إِذَا كَانَ يَتَنَاوَلُ الذُّكُورَ وَالْإِنَاثَ تَنَاوُلًا وَاحِدًا، صَارَ الْعَدَدُ فِيهَا مَحْمُولًا عَلَى الْقَدْرِ، دُونَ النَّوْعِ.

Tidakkah engkau melihat bahwa dikatakan: “‘asyru niswa” (sepuluh perempuan), dan “‘asyaratu rijāl” (sepuluh laki-laki). Ini adalah pendapat yang lebih kuat, karena nama “ibil” (unta) jika mencakup jantan dan betina secara bersamaan, maka bilangannya diarahkan pada jumlah, bukan pada jenis.

وَأَمَّا إِذَا قَالَ: أَعْطُوهُ مَطِيَّةً، أَوْ رَاحِلَةً.

Adapun jika ia berkata: “Berikan kepadanya seekor tunggangan atau kendaraan.”

فَذَلِكَ يَتَنَاوَلُ الذُّكُورَ وَالْإِنَاثَ، فَيُعْطِيهِ الْوُرَّاثُ مِنْهُمَا ما شاء. والله أعلم.

Maka itu mencakup jantan dan betina, sehingga ahli waris boleh memberinya salah satu dari keduanya sesuai kehendak mereka. Wallāhu a‘lam.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فإن قال أعطوه دابة من مالي فمن الخيل أو البغال أو الحمير ذكرا كان أو أنثى صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا أَعْجَفَ أَوْ سَمِينًا “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ia berkata: ‘Berikan kepadanya seekor hewan tunggangan dari hartaku’, maka boleh dari kuda, bagal, atau keledai, baik jantan maupun betina, kecil maupun besar, kurus maupun gemuk.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. أَمَّا اسْمُ الدَّوَابِّ: فَيَنْطَلِقُ عَلَى كُلِّ مَا دَبَّ عَلَى الْأَرْضِ مِنْ حَيَوَانٍ اشْتِقَاقًا مِنْ دَبِيبِهِ عَلَيْهَا، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا} [هود: 6] . غَيْرَ أَنَّهُ فِي الْعُرْفِ مُخْتَصٌّ بِبَعْضِهَا. فَإِنْ قَالَ: أَعْطُوهُ دَابَّةً مِنْ دَوَابِّي، قَالَ الشَّافِعِيُّ: يُعْطَى مِنَ الْخَيْلِ أو البغال، أو الحمير.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Adapun nama “dawābb” (hewan tunggangan), secara bahasa mencakup semua hewan yang berjalan di atas bumi, karena diambil dari kata “dabb” (bergerak perlahan) di atasnya. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya} [Hud: 6]. Namun, dalam kebiasaan (‘urf), istilah ini dikhususkan untuk sebagian hewan saja. Jika seseorang berkata: “Berikanlah kepadanya seekor dābbah dari hewan-hewan tungganganku,” menurut pendapat asy-Syafi‘i: maka diberikan kepadanya dari kuda, bagal, atau keledai.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا: فَكَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ يَحْمِلُ ذَلِكَ عَلَى عُرْفِ النَّاسِ بِمِصْرَ، حَيْثُ قَالَ ذَلِكَ فِيهِمْ، وَذِكْرُهُ لَهُمُ اعْتِبَارًا بِعُرْفِهِمْ، لِأَنَّ اسْمَ الدَّوَابِّ فِي عُرْفِهِمْ مُنْطَلَقٌ عَلَى الْأَجْنَاسِ الثَّلَاثَةِ مِنَ الْخَيْلِ، وَالْبِغَالِ، وَالْحَمِيرِ.

Para sahabat kami berbeda pendapat: Abu al-‘Abbas bin Suraij mengaitkan hal itu dengan kebiasaan (‘urf) masyarakat Mesir, yaitu sesuai dengan ucapan tersebut di tengah mereka, dan penyebutannya kepada mereka didasarkan pada kebiasaan (‘urf) mereka. Sebab, istilah “dawābb” dalam kebiasaan mereka mencakup tiga jenis hewan: kuda, bagal, dan keledai.

فَأَمَّا بِالْعِرَاقِ وَالْحِجَازِ، فَلَا يَنْطَلِقُ إِلَّا عَلَى الْخَيْلِ ولا يتناول غيرها إلا مجازا بعرف بقرينته.

Adapun di Irak dan Hijaz, istilah itu hanya berlaku untuk kuda saja, dan tidak mencakup selainnya kecuali secara majazi (kiasan) menurut kebiasaan (‘urf) dengan adanya indikasi.

فَإِنْ كَانَ هَذَا الْمُوصِي بِمِصْرَ: خُيِّرَ وَرَثَتُهُ بَيْنَ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ. وَإِنْ كَانَ بِالْعِرَاقِ: لَمْ يُعْطُوهُ إِلَّا مِنَ الْخَيْلِ.

Jika orang yang berwasiat itu berada di Mesir, maka ahli warisnya diberi pilihan antara kuda, bagal, dan keledai. Namun jika ia berada di Irak, maka tidak diberikan kepadanya kecuali dari kuda saja.

وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ، وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ:

Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata:

بَلِ الْجَوَابُ مَحْمُولٌ عَلَى ظَاهِرِهِ فِي كُلِّ الْبِلَادِ، لِأَنَّ اسْمَ الدَّوَابِّ يَنْطَلِقُ عَلَى هَذِهِ الْأَجْنَاسِ الثَّلَاثَةِ مِنَ الْخَيْلِ، وَالْبِغَالِ، وَالْحَمِيرِ.

Bahkan, jawabannya diambil berdasarkan zahir (lafaz) di seluruh negeri, karena istilah “dawābb” mencakup tiga jenis hewan ini: kuda, bagal, dan keledai.

فَإِنْ شَذَّ بَعْضُ الْبِلَادِ بِتَخْصِيصِ بَعْضِهَا بِالِاسْمِ لَمْ يُعْتَبَرْ بِهِ حُكْمُ الْعُرْفِ الْعَامِّ.

Jika ada suatu negeri yang menyelisihi dengan mengkhususkan sebagian hewan dengan nama tersebut, maka tidak dianggap (‘tidak berlaku’) hukum kebiasaan (‘urf) umum.

فَلَوْ قَرَنَ ذَلِكَ بِمَا يَدُلُّ عَلَى التَّخْصِيصِ، حُمِلَ عَلَى قَرِينَتِهِ، كَقَوْلِهِ: أَعْطُوهُ دَابَّةً يُقَاتِلُ عَلَيْهَا، فَلَا يُعْطَى إِلَّا مِنَ الْخَيْلِ عَتِيقًا، أَوْ هَجِينًا، ذَكَرًا أَوْ أُنْثَى، وَلَا يُعْطَى صَغِيرًا وَلَا قمحا لَا يُطِيقُ الرُّكُوبَ.

Jika hal itu disertai dengan sesuatu yang menunjukkan adanya pengkhususan, maka diambil berdasarkan indikasinya. Seperti ucapannya: “Berikanlah kepadanya seekor dābbah yang dapat digunakan untuk berperang,” maka tidak diberikan kepadanya kecuali dari kuda, baik kuda asli maupun campuran, jantan maupun betina, dan tidak diberikan yang masih kecil atau yang tidak mampu untuk dikendarai.

وَلَوْ قَالَ دَابَّةً يُحْمَلُ عَلَيْهَا: أُعْطِيَ مِنَ الْبِغَالِ، أَوِ الْحَمِيرِ دُونَ الْخَيْلِ.

Jika ia berkata: “Seekor dābbah yang dapat digunakan untuk membawa beban,” maka diberikan dari bagal atau keledai, bukan dari kuda.

وَلَوْ قَالَ دَابَّةً يَنْتَفِعُ بِنِتَاجِهَا: أُعْطِيَ مِنَ الْخَيْلِ أَوِ الْحَمِيرِ دُونَ الْبِغَالِ لِأَنَّهَا لَا نِتَاجَ لَهَا.

Jika ia berkata: “Seekor dābbah yang dapat dimanfaatkan hasil keturunannya,” maka diberikan dari kuda atau keledai, bukan dari bagal, karena bagal tidak memiliki keturunan.

وَلَوْ قَالَ دَابَّةً يَنْتَفِعُ بِدَرِّهَا وَظَهْرِهَا: لَمْ يُعْطَ إِلَّا مِنَ الْخَيْلِ، لأن لبنها من لَبَنَ غَيْرِهَا مِنَ الْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ: مَحْظُورٌ.

Jika ia berkata: “Seekor dābbah yang dapat diambil manfaat susunya dan punggungnya,” maka tidak diberikan kecuali dari kuda, karena susunya, selain dari kuda, yakni dari bagal dan keledai, hukumnya terlarang.

وَلَوْ قَالَ: دَابَّةً مِنْ دَوَابِّي، وَلَمْ يَكُنْ فِي مَالِهِ إِلَّا أَحَدُ الْأَجْنَاسِ لَمْ يُعْطَ غَيْرَهُ.

Jika ia berkata: “Seekor dābbah dari hewan-hewan tungganganku,” dan di dalam hartanya hanya terdapat satu jenis saja, maka tidak diberikan selain dari jenis itu.

وَلَوْ كَانَ فِي مَالِهِ جِنْسَانِ:

Jika di dalam hartanya terdapat dua jenis:

أَعْطَاهُ الْوَارِثُ أحدهما، ولم يعط الثَّالِثَ الَّذِي لَيْسَ فِي مَالِهِ.

Ahli waris memberikannya salah satu dari keduanya, dan tidak memberikan jenis ketiga yang tidak ada dalam hartanya.

وَلَوْ قَالَ دَابَّةً مِنْ مَالِي وَكَانَ فِي مَالِهِ أَحَدَ الْأَجْنَاسِ.

Jika ia berkata: “Seekor dābbah dari hartaku,” dan di dalam hartanya hanya terdapat satu jenis saja.

كَانَ الْوَارِثُ بِالْخِيَارِ، فِي إِعْطَائِهِ ذَلِكَ الْجِنْسَ، أَوِ الْعُدُولِ عَنْهُ إِلَى أَحَدِ الْجِنْسَيْنِ الْآخَرَيْنِ شِرَاءً مِنْ غَيْرِ مَالِهِ.

Maka ahli waris diberi pilihan, apakah memberikan jenis itu, atau menggantinya dengan salah satu dari dua jenis lainnya dengan cara membelinya dari luar hartanya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ قَالَ أَعْطُوهُ كَلْبًا مِنْ كِلَابِي أَعْطَاهُ الْوَارِثُ أَيُّهَا شَاءَ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ia berkata: ‘Berikanlah kepadanya seekor anjing dari anjing-anjingku,’ maka ahli waris boleh memberikan anjing mana saja yang ia kehendaki.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: الْوَصِيَّةُ بِالْكَلْبِ الْمُنْتَفَعِ بِهِ جَائِزَةٌ، لِأَنَّهُ لما جاز إحرازه فِي يَدِ صَاحِبِهِ، وَحَرُمَ انْتِزَاعُهُ مِنْ يَدِ صَاحِبِهِ، جَازَ أَنْ يَكُونَ وَصِيَّةً وَمِيرَاثًا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: wasiat dengan anjing yang bermanfaat hukumnya boleh, karena ketika boleh memilikinya di tangan pemiliknya, dan haram dirampas dari tangan pemiliknya, maka boleh juga dijadikan wasiat dan diwariskan.

فَإِذَا أوصى بِكَلْبٍ، وَلَا كِلَابَ لَهُ.

Jika seseorang berwasiat dengan seekor anjing, namun ia tidak memiliki anjing.

فَالْوَصِيَّةُ بَاطِلَةٌ، لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ أَنْ يُشْتَرَى، وَلَا يَلْزَمُ أَنْ يُسْتَوْهَبَ.

Maka wasiatnya batal, karena tidak sah untuk dibeli, dan tidak wajib untuk diminta sebagai hadiah.

وَإِنْ كَانَ لَهُ كِلَابٌ: فَضَرْبَانِ، مُنْتَفَعٌ بها، وغير منتفع بها.

Jika ia memiliki anjing, maka anjing itu ada dua jenis: yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat.

فإن كانت كلاب كُلُّهَا غَيْرَ مُنْتَفَعٍ بِهَا: فَالْوَصِيَّةُ بَاطِلَةٌ، لِحَظْرِ اقْتِنَائِهِ وَتَحْرِيمِ إِمْسَاكِهِ.

Jika semua anjingnya tidak bermanfaat, maka wasiatnya batal, karena dilarang memelihara dan haram menahannya.

وَإِنْ كَانَتْ كُلُّهَا مُنْتَفَعًا بها، فكان له كلب حرث وماشية وَكَلْبُ صَيْدٍ نُظِرَ.

Jika semua anjingnya bermanfaat, misalnya ia memiliki anjing penjaga ladang, penjaga ternak, dan anjing pemburu, maka diperhatikan.

فَإِنْ كَانَ الْمُوصَى لَهُ صَاحِبَ حَرْثٍ، وَمَاشِيَةٍ، وَصَيْدٍ، فَالْوَارِثُ بِالْخِيَارِ فِي إِعْطَائِهِ أَيَّ كَلْبٍ شَاءَ، مِنْ حَرْثٍ أَوْ مَاشِيَةٍ أَوْ صَيْدٍ.

Jika penerima wasiat adalah pemilik ladang, ternak, dan pemburu, maka ahli waris diberi pilihan untuk memberikan anjing mana saja yang ia kehendaki, baik anjing penjaga ladang, penjaga ternak, maupun anjing pemburu.

وَإِنْ كَانَ الْمُوصَى لَهُ، لَيْسَ بِصَاحِبِ حَرْثٍ، وَلَا مَاشِيَةٍ، وَلَا صَيْدٍ فَفِي الْوَصِيَّةِ وَجْهَانِ:

Jika penerima wasiat bukanlah pemilik ladang, ternak, atau pemburu, maka dalam wasiat tersebut terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: الْوَصِيَّةُ بَاطِلَةٌ، اعْتِبَارًا بِالْمُوصَى لَهُ، وَأَنَّهُ غَيْرُ مُنْتَفَعٍ بِهِ.

Pertama: Wasiat tersebut batal, dengan pertimbangan kepada penerima wasiat, karena ia tidak dapat mengambil manfaat darinya.

وَالثَّانِي: الْوَصِيَّةُ جَائِزَةٌ، اعْتِبَارًا بِالْكَلْبِ، وَأَنَّهُ مُنْتَفَعٌ بِهِ، وأن الموصى له ربما أعطاه ما يَنْتَفِعُ بِهِ.

Kedua: Wasiat tersebut sah, dengan pertimbangan kepada anjingnya, karena anjing itu dapat diambil manfaatnya, dan bisa jadi penerima wasiat akan memberikannya kepada orang yang dapat memanfaatkannya.

وَإِنْ كَانَ الْمُوصَى لَهُ مِمَّنْ يَنْتَفِعُ بِأَحَدِهَا بِأَنْ كَانَ صَاحِبَ حَرْثٍ لَا غَيْرَ، أَوْ صَاحِبَ صَيْدٍ لَا غَيْرَ، فَالْوَصِيَّةُ جَائِزَةٌ وَفِيهَا وَجْهَانِ:

Jika penerima wasiat adalah orang yang dapat mengambil manfaat dari salah satu di antaranya, misalnya ia hanya pemilik ladang saja, atau hanya pemburu saja, maka wasiat itu sah, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَلْزَمُ الْوارثَ أَنْ يُعْطِيَهُ الْكَلْبَ الَّذِي يَخْتَصُّ بِالِانْتِفَاعِ بِهِ، دُونَ غَيْرِهِ، اعْتِبَارًا بِالْمُوصَى لَهُ.

Pertama: Ahli waris wajib memberikannya anjing yang khusus dapat diambil manfaatnya, dan bukan yang lain, dengan pertimbangan kepada penerima wasiat.

وَالثَّانِي: أَنَّ لِلْوَارِثِ الخيار في إعطائه أي الكلاب شَاءَ، اعْتِبَارًا بِالْمُوصَى بِهِ.

Kedua: Ahli waris memiliki pilihan untuk memberikannya anjing yang mana saja yang mereka kehendaki, dengan pertimbangan kepada barang yang diwasiatkan.

فَأَمَّا الْوَصِيَّةُ بِالْجَرْوِ الصَّغِيرِ الْمُعَدِّ لِلتَّعْلِيمِ، فَفِي جَوَازِهَا وَجْهَانِ، مِنَ اختلاف الوجهين في اقتنائه.

Adapun wasiat terhadap anak anjing kecil yang dipersiapkan untuk dilatih, maka dalam kebolehannya terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat dalam hal kepemilikannya.

أحدهما: اقتنائه غَيْرُ جَائِزٍ، وَالْوَصِيَّةُ بِهِ بَاطِلَةٌ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مُنْتَفَعٍ بِهِ فِي الْحَالِ.

Pertama: Memeliharanya tidak diperbolehkan, dan wasiat terhadapnya batal, karena pada saat itu belum dapat diambil manfaatnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ اقتنائه جائز، لأنه سينتفع به في ثاني حال، ولأن تعليمه منفعة في الحال.

Pendapat kedua: Memeliharanya diperbolehkan, karena kelak akan diambil manfaatnya, dan karena melatihnya merupakan manfaat pada saat itu juga.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ كَانَ لِرَجُلٍ ثَلَاثَةُ كِلَابٍ، وَلَمْ يَتْرُكْ شَيْئًا سِوَاهَا، فَأَوْصَى بِجَمِيعِهَا لِرَجُلٍ.

Jika seseorang memiliki tiga ekor anjing, dan tidak meninggalkan harta selain itu, lalu ia mewasiatkan seluruhnya kepada seseorang.

فَإِنْ أجازها الورثة فله، وإلا ردت إِلَى ثُلُثِهَا، ثُمَّ فِي كَيْفِيَّةِ رُجُوعِهَا إِلَى الثُّلُثِ وَجْهَانِ:

Jika para ahli waris mengizinkannya, maka semuanya menjadi milik penerima wasiat. Jika tidak, maka dikembalikan kepada sepertiganya. Kemudian, dalam tata cara pengembalian kepada sepertiga itu terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَسْتَحِقُّ مِنْ كُلِّ كَلْبٍ ثُلُثَهُ، فَيَحْصُلُ لَهُ ثُلُثُ الثَّلَاثَةِ، وَلَا يستحق واحدا بكماله إِلَّا عَنْ مُرَاضَاتِهِ.

Pertama: Ia berhak atas sepertiga dari setiap anjing, sehingga ia memperoleh sepertiga dari ketiga anjing tersebut, dan tidak berhak atas satu ekor secara utuh kecuali dengan kerelaan ahli waris.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ قَدِ اسْتَحَقَّ بِالْوَصِيَّةِ أَحَدَهَا، بِخِلَافِ الْأَمْوَالِ لِأَنَّ الْأَمْوَالَ مقومة لا تختلف أثمانها وليست كالكلاب التي تُقَوَّمُ، فَاسْتَوَى حُكْمُ جَمِيعِهَا. فَعَلَى هَذَا فِيهِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Ia berhak mendapatkan salah satu dari anjing-anjing itu melalui wasiat, berbeda dengan harta benda, karena harta benda dapat dinilai dan harganya tidak berbeda-beda, tidak seperti anjing yang dinilai, sehingga hukum seluruhnya sama. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: أَنَّهُ يَأْخُذُ أَحَدَهَا بِالْقُرْعَةِ.

Pertama, menurut pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: Ia mengambil salah satu dari anjing-anjing itu dengan cara diundi.

وَالثَّانِي: إِنَّ لِلْوَرَثَةِ أَنْ يُعْطُوهُ أَيَّهَا شَاءُوا.

Kedua: Para ahli waris boleh memberikannya anjing mana saja yang mereka kehendaki.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِنْ كَانَ لَهُ كَلْبٌ وَاحِدٌ، وَلَيْسَ لَهُ مَالٌ غيره، أوصى بِهِ لِرَجُلٍ، فَهُوَ كَمَنْ أَوْصَى بِجَمِيعِ مَالِهِ.

Adapun jika seseorang hanya memiliki seekor anjing, dan tidak memiliki harta selain itu, lalu ia mewasiatkannya kepada seseorang, maka hukumnya seperti orang yang mewasiatkan seluruh hartanya.

فَإِنْ أَجَازَهُ الْوَارِثُ، وَإِلَّا كَانَ لِلْمُوصَى لَهُ ثُلُثُهُ، وَلِلْوَرَثَةِ ثُلُثَاهُ، وَيَكُونُ بَيْنَهُمَا عَلَى الْمُهَايَاةِ.

Jika ahli waris mengizinkan, maka seluruhnya menjadi milik penerima wasiat. Jika tidak, maka penerima wasiat hanya mendapat sepertiganya, dan dua pertiganya untuk ahli waris, dan keduanya bergiliran dalam memanfaatkannya.

وَإِنْ مَلَكَ مَالًا فَأَوْصَى بِهَذَا الْكَلْبِ الَّذِي لَيْسَ لَهُ كَلْبٌ سِوَاهُ، فَفِي الْوَصِيَّةِ وَجْهَانِ:

Jika ia memiliki harta lalu mewasiatkan anjing tersebut—yang tidak ada anjing lain selain itu—maka dalam wasiat tersebut terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: أن الوصية جائزة، والكلب كُلِّهِ، لِلْمُوصَى لَهُ بِهِ، لِأَنَّ قَلِيلَ الْمَالِ خَيْرٌ مِنَ الْكَلْبِ الَّذِي لَيْسَ بِمَالٍ.

Pertama, menurut pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: Wasiat itu sah, dan seluruh anjing menjadi milik penerima wasiat, karena sedikitnya harta lebih baik daripada anjing yang bukan termasuk harta.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ:

Pendapat kedua, menurut Abu Sa‘id al-Istakhri:

أَنَّ لِلْمُوصَى لَهُ ثُلُثُ الْكَلْبِ، إِذَا مَنَعَ الْوَرَثَةُ مِنْ جَمِيعِهِ، وَإِنْ كَثُرَ مَالُ التَّرِكَةِ، لِأَنَّهُ مِمَّا لَا يُمْكِنُ أَنْ يُشْتَرَى، فَيُسَاوِيهِ الْوَرَثَةُ فِيمَا صَارَ إِلَيْهِمْ مِنَ الْمَالِ، فَاخْتَصَّ الْكَلْبُ بِحُكْمِهِ، وَصَارَ كَأَنَّهُ جَمِيعُ التَّرِكَةِ.

Penerima wasiat hanya berhak atas sepertiga anjing, jika ahli waris melarangnya dari seluruhnya, meskipun harta peninggalan banyak, karena anjing tidak dapat diperjualbelikan, sehingga ahli waris setara dalam harta yang mereka terima, dan anjing memiliki hukum khusus, sehingga seakan-akan ia adalah seluruh harta peninggalan.

فَلَوْ تَرَكَ ثلاث كلاب. ومالا. أوصى بِجَمِيعِ كِلَابِهِ الثَّلَاثَةِ، فَعَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، الْوَصِيَّةُ بِجَمِيعِ الْكِلَابِ الثَّلَاثَةِ مُمْضَاةٌ، وَإِنْ قَلَّ مَالُ التَّرِكَةِ، وَعَلَى قَوْلِ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ: تَصِحُّ الْوَصِيَّةُ فِي أَحَدِهَا، إِذَا مَنَعَ الْوَرَثَةُ مِنْ جَمِيعِهَا.

Jika ia meninggalkan tiga ekor anjing dan harta, lalu mewasiatkan seluruh tiga ekor anjingnya, maka menurut pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, wasiat atas seluruh tiga ekor anjing itu sah, meskipun harta peninggalan sedikit. Sedangkan menurut pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri, wasiat hanya sah pada salah satu anjing, jika ahli waris melarangnya dari seluruhnya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْوَصِيَّةُ بالميتة جائزة.

Wasiat terhadap bangkai binatang (bangkai hewan yang mati tidak disembelih secara syar‘i) adalah sah.

لأن قَدْ يَدْبَغُ جِلْدَهَا، وَيُطْعِمُ بُزَاتَهُ لَحْمًا.

Karena bisa jadi kulitnya disamak, dan dagingnya diberikan kepada burung elangnya.

وَكَذَلِكَ الْوَصِيَّةُ بِالرَّوْثِ، وَالزِّبْلِ: لِأَنَّهُ قَدْ يَنْتَفِعُ بِهِ فِي نَخْلِهِ وَزَرْعِهِ.

Demikian pula wasiat terhadap kotoran hewan dan pupuk, karena bisa saja dimanfaatkan untuk pohon kurma dan tanaman.

فَأَمَّا الْوَصِيَّةُ بِالْخَمْرِ وَالْخِنْزِيرِ، فَبَاطِلَةٌ، لِأَنَّ الِانْتِفَاعَ بِهِمَا مُحَرَّمٌ.

Adapun wasiat terhadap khamr dan babi, maka batal, karena mengambil manfaat dari keduanya adalah haram.

وَلَوْ أَوْصَى لَهُ بِجَرَّةٍ فِيهَا خَمْرٌ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: (رَحِمَهُ اللَّهُ) أُرِيقَ الْخَمْرُ وَدُفِعَتْ إِلَيْهِ الْجَرَّةُ. لِأَنَّ الْجَرَّةَ مُبَاحَةٌ. وَالْخَمْرَ حَرَامٌ.

Jika seseorang berwasiat untuk memberikan sebuah kendi yang berisi khamar kepadanya, Imam Syafi‘i (rahimahullah) berkata: “Khamar tersebut harus dibuang, dan kendinya diberikan kepadanya, karena kendi itu mubah (boleh dimiliki), sedangkan khamar haram.”

فَأَمَّا الْوَصِيَّةُ بِالْحَيَّاتِ، وَالْعَقَارِبِ، وَحَشَرَاتِ الْأَرْضِ، وَالسِّبَاعِ، وَالذُّبَابِ: فَبَاطِلَةٌ، لِأَنَّهُ لَا مَنْفَعَةَ فِي جَمِيعِهَا.

Adapun wasiat untuk memberikan ular, kalajengking, serangga tanah, binatang buas, dan lalat: maka wasiat tersebut batal, karena tidak ada manfaat pada semuanya itu.

فأما الْوَصِيَّةُ بِالْفِيلِ.

Adapun wasiat untuk memberikan gajah.

فَإِنْ كَانَ مُنْتَفَعًا بِهِ: فَجَائِزٌ، لِجَوَازِ أَنْ يَبِيعَهُ، وَيُقَوَّمَ فِي التَّرِكَةِ، وَيُعْتَبَرَ مِنَ الثُّلُثِ.

Jika gajah tersebut dapat diambil manfaatnya, maka wasiat itu sah, karena boleh dijual, dinilai dalam harta warisan, dan diperhitungkan dari sepertiga harta.

وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُنْتَفَعٍ بِهِ: فَالْوَصِيَّةُ بَاطِلَةٌ.

Namun jika tidak ada manfaat pada gajah tersebut, maka wasiatnya batal.

فَأَمَّا الْفَهْدُ، وَالنَّمِرُ وَالشَّاهِينُ، وَالصَّقْرُ.

Adapun macan tutul, harimau, burung syahin, dan elang.

فَالْوَصِيَّةُ بِذَلِكَ كُلِّهِ جَائِزَةٌ، لِأَنَّهَا جَوَارِحُ يُنْتَفَعُ بِصَيْدِهَا وَتُقَوَّمُ فِي التَّرِكَةِ لِجَوَازِ بَيْعِهَا، وَتُعْتَبَرُ في الثلث.

Wasiat untuk semua itu sah, karena semuanya adalah hewan pemburu yang dapat dimanfaatkan hasil buruannya, dinilai dalam harta warisan karena boleh dijual, dan diperhitungkan dalam sepertiga harta.

وأما الوصية بما تصيده كلابه:

Adapun wasiat terhadap hasil buruan anjing-anjingnya:

فَبَاطِلَةٌ: لِأَنَّ الصَّيْدَ، لِمَنْ صَادَهُ.

Maka wasiat itu batal, karena hasil buruan adalah milik orang yang memburunya.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” أَعْطُوهُ طَبْلًا مِنْ طُبُولِي وَلَهُ طَبْلَانِ لِلْحَرْبِ وَاللَّهْوِ أَعْطَاهُ أَيَّهُمَا شَاءَ فَإِنْ لَمْ يَصْلُحِ الَّذِي لِلَّهْوِ إِلَّا لِلضَّرْبِ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ أَنْ يُعْطُوهُ إِلَّا الَّذِي لِلْحَرْبِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Berikan kepadanya satu genderang dari genderang-genderangku, dan dia memiliki dua jenis genderang: untuk perang dan untuk hiburan. Berikan kepadanya yang mana saja yang dia kehendaki. Jika genderang untuk hiburan tidak layak kecuali untuk dipukul (dalam hiburan), maka mereka tidak boleh memberikannya kecuali genderang untuk perang.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَصْلُ هَذِهِ الْمَسَائِلِ أَنَّ الْوَصِيَّةَ بِمَا لَا مَنْفَعَةَ فِيهِ بَاطِلَةٌ.

Al-Mawardi berkata: Dasar dari permasalahan-permasalahan ini adalah bahwa wasiat terhadap sesuatu yang tidak ada manfaatnya adalah batal.

وَالْوَصِيَّةُ بِمَا فِيهِ مَنْفَعَةٌ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ.

Dan wasiat terhadap sesuatu yang ada manfaatnya terbagi menjadi tiga jenis.

مَنْفَعَةٌ مُبَاحَةٌ، وَمَنْفَعَةٌ مَحْظُورَةٌ، وَمَنْفَعَةٌ مُشْتَرَكَةٌ بَيْنَ الْحَظْرِ وَالْإِبَاحَةِ.

Manfaat yang mubah, manfaat yang terlarang, dan manfaat yang bercampur antara larangan dan kebolehan.

فَإِنْ كَانَتِ الْمَنْفَعَةُ مُبَاحَةً، جَازَ بَيْعُ ذَلِكَ، وَالْوَصِيَّةُ بِهِ.

Jika manfaatnya mubah, maka boleh dijual dan boleh diwasiatkan.

وَإِنْ كَانَتِ الْمَنْفَعَةُ مَحْظُورَةً: لَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ، وَلَا الْوَصِيَّةُ بِهِ.

Jika manfaatnya terlarang, maka tidak boleh dijual dan tidak boleh diwasiatkan.

وَإِنْ كَانَتْ مُشْتَرَكَةً: جَازَ بَيْعُهُ وَالْوَصِيَّةُ بِهِ لِأَجْلِ الْإِبَاحَةِ.

Jika manfaatnya bercampur, maka boleh dijual dan diwasiatkan karena sisi kebolehannya.

وَنُهِيَ عَنِ اسْتِعْمَالِهِ فِي الْحَظْرِ.

Dan dilarang menggunakannya untuk hal yang terlarang.

فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا: وَأَوْصَى لَهُ بِطَبْلٍ مِنْ طُبُولِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ إِلَّا طُبُولُ الْحَرْبِ، فَالْوَصِيَّةُ بِهِ جَائِزَةٌ، لِأَنَّ طَبْلَ الْحَرْبِ مُبَاحٌ ثُمَّ يُنْظَرُ.

Jika demikian, dan seseorang berwasiat untuk memberikan satu genderang dari genderang-genderangnya, jika ia hanya memiliki genderang perang, maka wasiat itu sah, karena genderang perang itu mubah, kemudian diperhatikan lagi.

فَإِنْ كَانَ اسْمُ الطَّبْلِ يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ بِغَيْرِ جِلْدٍ، دفع إليه الطبل بغير الجلد.

Jika nama genderang itu berlaku untuk genderang tanpa kulit, maka diberikan kepadanya genderang tanpa kulit.

وَإِنْ كَانَ لَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ الِاسْمُ إِلَّا بِالْجِلْدِ: دُفِعَ إِلَيْهِ مَعَ جِلْدِهِ.

Jika nama itu tidak berlaku kecuali dengan kulitnya, maka diberikan kepadanya beserta kulitnya.

وَإِنْ كَانَتْ طُبُولُهُ كُلُّهَا طُبُولَ اللَّهْوِ، فَإِنْ كَانَتْ لَا تَصْلُحُ إِلَّا لِلَّهْوِ فَالْوَصِيَّةُ بَاطِلَةٌ، لِأَنَّ طُبُولَ اللَّهْوِ مَحْظُورَةٌ.

Jika semua genderangnya adalah genderang hiburan, dan tidak layak kecuali untuk hiburan, maka wasiat itu batal, karena genderang hiburan adalah terlarang.

وَإِنْ كَانَتْ تَصْلُحُ لِغَيْرِ اللَّهْوِ في غير الْمَنَافِعِ الْمُبَاحَةِ جَازَتِ الْوَصِيَّةُ بِهَا.

Jika genderang itu dapat digunakan untuk selain hiburan dalam manfaat-manfaat yang mubah, maka wasiat itu sah.

وَإِنْ كَانَتْ طبوله نوعين: طبول حرب، وطبول اللهو، فَإِنْ كَانَتْ طُبُولُ اللَّهْوِ، لَا تَصْلُحُ لِغَيْرِ اللَّهْوِ، لَمْ يُعْطَ إِلَّا طَبْلَ الْحَرْبِ.

Jika genderangnya terdiri dari dua jenis: genderang perang dan genderang hiburan, dan genderang hiburan tidak layak kecuali untuk hiburan, maka tidak diberikan kecuali genderang perang.

وَإِنْ كَانَتْ طُبُولُ اللَّهْوِ: تَصْلُحُ لِغَيْرِهِ مِنَ الْمُبَاحَاتِ، كَانَ الْوَارِثُ بِالْخِيَارِ فِي إِعْطَائِهِ مَا شَاءَ مِنْ طَبْلِ لَهْوٍ، أَوْ حَرْبٍ، لِانْطِلَاقِ الاسم عليها. إِلَّا أَنْ يَدُلَّ كَلَامُهُ عَلَى أَحَدِهِمَا، فَيُحْمَلُ عَلَيْهِ كَقَوْلِهِ: أَعْطُوهُ طَبْلًا لِلْجِهَادِ، أَوِ الْإِرْهَابِ، فلا يعطى إلا طبل حرب.

Jika genderang hiburan dapat digunakan untuk selain hiburan dari hal-hal yang mubah, maka ahli waris boleh memilih untuk memberikannya salah satu dari genderang hiburan atau genderang perang, karena nama genderang berlaku untuk keduanya. Kecuali jika ucapannya menunjukkan salah satunya, maka dipahami sesuai itu, seperti ucapannya: “Berikan kepadanya genderang untuk jihad atau untuk menakut-nakuti (musuh)”, maka tidak diberikan kecuali genderang perang.

وَإِنْ قَالَ طَبْلًا لِلْفَرَحِ، وَالسُّرُورِ: لَمْ يُعْطَ، إِلَّا طَبْلَ اللَّهْوِ.

Jika ia berkata: “Genderang untuk kegembiraan dan kesenangan”, maka tidak diberikan kecuali genderang hiburan.

فَأَمَّا الْوَصِيَّةُ بِالدُّفِّ الْعَرَبِيِّ.

Adapun wasiat untuk memberikan duff Arab.

فَجَائِزَةٌ لِوُرُودِ الشَّرْعِ بِإِبَاحَةِ الضَّرْبِ بِهِ فِي المناكح.

Maka wasiat itu sah karena syariat membolehkan memukulnya dalam pernikahan.

والله أعلم.

Dan Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولو قال أعطوه عُودًا مِنْ عِيدَانِي وَلَهُ عِيدَانٌ يُضْرَبُ بِهَا وعيدان قسي وعصي فالود الذي يواجه به المتكلم هو الَّذِي يُضْرَبُ بِهِ فَإِنْ صَلُحَ لِغَيْرِ الضَّرْبِ جَازَ بِلَا وَتَرٍ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ia berkata: Berikan kepadanya satu tongkat dari tongkat-tongkatku, dan ia memiliki tongkat-tongkat yang digunakan untuk memukul, tongkat-tongkat busur, dan tongkat-tongkat biasa, maka yang dimaksud adalah tongkat yang digunakan untuk memukul. Jika tongkat itu dapat digunakan untuk selain memukul, maka boleh diberikan tanpa talinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. إِذَا قَالَ أَعْطُوهُ عُودًا مِنْ عِيدَانِي، فَمُطْلَقُ هذا الاسم يتناول عيدان الضرب واللهو وعيدان الْقِسِيِّ، وَالْعِصِيِّ، فَإِنْ كَانَ عُودُ الضَّرْبِ لَا يَصْلُحُ لِغَيْرِ الضَّرْبِ وَاللَّهْوِ، فَالْوَصِيَّةُ بِهِ بَاطِلَةٌ وَإِنْ كَانَ يَصْلُحُ لِغَيْرِ اللَّهْوِ فَالْوَصِيَّةُ بِهِ جَائِزَةٌ، وَيُعْطَى بِغَيْرِ وَتَرٍ، لِانْطِلَاقِ الِاسْمِ عَلَيْهِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Jika seseorang berkata, “Berikan kepadanya sebuah ‘ud dari ‘idan milikku,” maka lafaz nama ini secara mutlak mencakup ‘ud untuk memukul dan hiburan, ‘ud untuk busur panah, dan tongkat. Jika ‘ud untuk memukul itu tidak layak digunakan selain untuk memukul dan hiburan, maka wasiat dengannya batal. Namun jika ‘ud itu dapat digunakan untuk selain hiburan, maka wasiat dengannya sah, dan diberikan tanpa tali busur, karena nama itu sudah berlaku atasnya.

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ وَتَرٌ يُنْظَرُ.

Dan jika tidak ada tali busurnya, maka dilihat (keadaannya).

فَإِنْ كَانَ لَا يَصْلُحُ لِغَيْرِ اللَّهْوِ إِلَّا بَعْدَ تَفْصِيلِهِ وَتَخْلِيعِهِ، فُصِّلَ وَخُلِّعَ، ثُمَّ دُفِعَ إِلَيْهِ.

Jika ‘ud itu tidak layak digunakan selain untuk hiburan kecuali setelah dipisahkan dan dibongkar, maka dipisahkan dan dibongkar terlebih dahulu, kemudian diberikan kepadanya.

وَإِنْ كَانَ يَصْلُحُ لِغَيْرِ اللَّهْوِ: لَمْ يُفَصَّلْ: ودفع إليه غير مفصل.

Dan jika ‘ud itu layak digunakan untuk selain hiburan, maka tidak perlu dipisahkan; dan diberikan kepadanya dalam keadaan utuh.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وهكذا المزامير “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Demikian pula halnya dengan mizmar (seruling).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: يَعْنِي أَنَّهُ إِنْ كَانَ لَا يصلح إلا للهو: فالوصية بَاطِلَةٌ.

Al-Mawardi berkata: Maksudnya, jika mizmar itu tidak layak digunakan kecuali untuk hiburan, maka wasiat dengannya batal.

وَإِنْ كَانَ يَصْلُحُ لِغَيْرِ اللَّهْوِ: فَالْوَصِيَّةُ به جائزة. ثم الكلام في التفضيل عَلَى مَا مَضَى.

Dan jika mizmar itu layak digunakan untuk selain hiburan, maka wasiat dengannya sah. Kemudian pembahasan tentang perincian sebagaimana yang telah lalu.

فَأَمَّا الشَّبَّابَةُ الَّتِي يُنْفَخُ فِيهَا مَعَ طَبْلِ الْحَرْبِ، وَفِي الْأَسْفَارِ: فَالْوَصِيَّةُ بها جائزة.

Adapun syabbabah (seruling perang) yang ditiup bersama genderang perang dan dalam perjalanan, maka wasiat dengannya sah.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: (وَلَوْ قَالَ) عُودًا مِنَ الْقِسِيِّ لَمْ يُعْطَ قَوْسَ نَدَّافٍ وَلَا جُلَاهِقَ وَأُعْطِيَ مَعْمُولَةَ أَيِّ قوس نَبْلٍ أَوْ نُشَّابٍ أَوْ حُسْبَانٍ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Dan jika ia berkata, ‘Sebuah ‘ud dari busur panah,’ maka tidak diberikan busur untuk pemukul kapas (qaws naddaf) dan tidak pula busur julahiq, melainkan diberikan busur yang digunakan untuk memanah, baik busur nabl, nushshab, atau husban.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. إِذَا أَوْصَى لِرَجُلٍ بِقَوْسٍ مِنَ الْقِسِيِّ، فَمُطْلَقُ الْقَوْسِ يَتَنَاوَلُ قَوْسَ السِّهَامِ العربية دون قوس النداف.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Jika seseorang berwasiat kepada seseorang dengan sebuah busur dari busur panah, maka lafaz busur secara mutlak mencakup busur panah Arab, tidak termasuk busur naddaf.

والجلاهق الذي يُرْمَى عَنْهَا الْبُنْدُقُ، فَلَا يُعْطَى إِلَّا قَوْسَ السهام العربية، سواء أَعْطَاهُ قَوْسَ نُشَابٍ وَهِيَ الْفَارِسِيَّةُ، أَوْ قَوْسَ نَبْلٍ وَهِيَ الْعَرَبِيَّةُ، أَوْ قَوْسَ حُسْبَانٍ.

Adapun julahiq adalah busur yang digunakan untuk melempar peluru kecil (bunduq), maka tidak diberikan kecuali busur panah Arab, baik ia diberikan busur nushshab (Persia), busur nabl (Arab), atau busur husban.

والخيار فيها إِلَى الْوَارِثِ لِاشْتِرَاكِ الِاسْمِ فِي جَمِيعِهَا، وَلَا يَلْزَمُهُ أَنْ يَدْفَعَ الْوَتَرَ مَعَهُ، لِأَنَّهُ يُسَمَّى قَوْسًا بِغَيْرِ وَتَرٍ.

Pilihan dalam hal ini ada pada ahli waris, karena nama busur mencakup semuanya, dan ia tidak wajib memberikan tali busurnya, karena busur tetap disebut busur meski tanpa tali.

وَهَكَذَا لَوْ أَوْصَى لَهُ بدابة: لم يعط سَرْجَهَا، أَوْ عَبْدٍ: لَمْ يُعْطَ كُسْوَتَهُ.

Demikian pula jika ia berwasiat dengan hewan tunggangan, maka tidak diberikan pelananya; atau berwasiat dengan budak, maka tidak diberikan pakaiannya.

فَأَمَّا إن قال: أعطوه قوسا من قسي، وَلَهُ قَوْسُ نَدَّافٍ، وَقَوْسُ جُلَاهِقٍ: أُعْطِيَ قَوْسَ الجلاهق التي يرمى عنها، لِأَنَّهَا أَخَصُّ بِالِاسْمِ.

Adapun jika ia berkata, “Berikan kepadanya sebuah busur dari busur panahku,” dan ia memiliki busur naddaf dan busur julahiq, maka diberikan busur julahiq yang digunakan untuk melempar, karena itu lebih khusus dengan nama tersebut.

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ إِلَّا قَوْسُ نَدَّافٍ: دُفِعَ إِلَيْهِ.

Jika ia hanya memiliki busur naddaf, maka diberikan kepadanya.

وَلَوِ اقْتَرَنَ بكلامه ما يدل على مراده: عمل مَا دَلَّ عَلَيْهِ كَلَامُهُ مِنَ الْقِسِيِّ الثَّلَاثِ. والله أعلم.

Jika dalam ucapannya terdapat sesuatu yang menunjukkan maksudnya, maka dilakukan sesuai dengan maksud yang ditunjukkan oleh ucapannya dari tiga jenis busur tersebut. Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وتجعل وصيته في الرقاب فِي الْمُكَاتَبِينَ وَلَا يُبْتَدَأُ مِنْهُ عِتْقٌ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Dan wasiatnya untuk pembebasan budak diberikan kepada para mukatab, dan tidak dimulai dengan membebaskan budak secara langsung.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. إِذَا أَوْصَى بِثُلُثِهِ فِي الرِّقَابِ، صُرِفَ فِي الْمُكَاتَبِينَ، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya untuk pembebasan budak, maka disalurkan kepada para mukatab, dan demikian pula pendapat Abu Hanifah.

وَقَالَ مَالِكٌ: يُشْتَرَى بِهِ رِقَابٌ يُعْتَقُونَ.

Malik berkata: Digunakan untuk membeli budak lalu dimerdekakan.

وَأَصْلُ هَذَا اخْتِلَافُهُمْ فِي سَهْمِ الرِّقَابِ فِي الزَّكَاةِ، هَلْ يَنْصَرِفُ فِي الْعِتْقِ أَوْ فِي الْمُكَاتَبِينَ.

Asal perbedaan ini adalah perbedaan mereka dalam pembagian bagian “riqab” dalam zakat, apakah disalurkan untuk pembebasan budak atau untuk para mukatab.

فَمَالِكٌ يَقُولُ: يَصْرِفُهُ فِي الْعِتْقِ.

Malik berpendapat: Disalurkan untuk pembebasan budak.

وَالشَّافِعِيُّ وأبو حنيفة يَصْرِفَانِهِ فِي الْمُكَاتَبِينَ، وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ قَوْله تَعَالَى: {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ} [التوبة: 60] . فأثبت ذلك لهم بلام الملك، وَالْعَبْدُ لَا يَمْلِكُ فَيُصْرَفُ إِلَيْهِ، وَالْمَكَاتَبُ يَمْلِكُ فَوَجَبَ صَرْفُهُ إِلَيْهِ، وَلِأَنَّهُ مَصْرُوفٌ فِي ذَوِي الْحَاجَاتِ، وَلِأَنَّ مَالَ الزَّكَاةِ مَصْرُوفٌ لِغَيْرِ نَفْعٍ عاجل يَعُودُ إِلَى رَبِّهِ فَلَوْ صُرِفَ فِي الْعِتْقِ لَعَادَ إِلَيْهِ الْوَلَاءُ.

Sedangkan Syafi‘i dan Abu Hanifah menyalurkannya untuk para mukatab. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir…} [at-Taubah: 60]. Allah menetapkan bagian itu untuk mereka dengan huruf “lam” kepemilikan, sedangkan budak tidak memiliki hak milik sehingga tidak dapat disalurkan kepadanya, sementara mukatab memiliki hak milik sehingga wajib disalurkan kepadanya. Juga karena zakat disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan, dan harta zakat tidak boleh disalurkan untuk manfaat yang segera kembali kepada pemiliknya. Jika disalurkan untuk pembebasan budak, maka wala’ (hak perwalian) akan kembali kepada pemberi zakat.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ سهم الرقاب في الزكاة يصرف إلى المكاتبين.

Jika telah dipastikan bahwa bagian “riqab” dalam zakat disalurkan kepada para mukatab,

وجب أن يكون سهام الرقاب في الوصية مَصْرُوفًا فِي الْمُكَاتَبِينَ، لِأَنَّ مُطْلَقَ الْأَسْمَاءِ الْمُشْتَرَكَةِ محمولة على عرف الشرع المعتبر فيه.

maka wajib bagian “riqab” dalam wasiat juga disalurkan kepada para mukatab, karena nama-nama yang bersifat umum dalam syariat dibawa kepada pengertian menurut kebiasaan syariat yang berlaku padanya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَا يَجُوزُ فِي أَقَلِّ مِنْ ثَلَاثِ رِقَابٍ فإن نقص ضمن حصة مَنْ تَرَكَ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Tidak sah (wasiat) untuk kurang dari tiga budak, jika kurang maka ia menanggung bagian dari yang tidak diberikan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّ الثَّلَاثَةَ أَقَلُّ الْجَمْعِ الْمُطْلَقِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يتصرف سهم الرقاب في أقل من ثلاث.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, karena tiga adalah jumlah minimal dari suatu kelompok secara mutlak, sehingga tidak boleh bagian “riqab” disalurkan untuk kurang dari tiga orang.

وَإِنْ زَادَ عَلَى الثَّلَاثَةِ كَانَ حَسَنًا. وَلَوِ اقْتَصَرَ عَلَى الثَّلَاثَةِ مَعَ وُجُودِ الزِّيَادَةِ أَجْزَأَ.

Dan jika melebihi tiga, maka itu baik. Namun jika hanya terbatas pada tiga padahal ada kemungkinan untuk menambah, maka itu sudah mencukupi.

وَلَا يَلْزَمُ أَنْ يُسَوَّى بَيْنَهُمْ فِي الْعَطَاءِ، وَسَوَاءٌ كَانَ مَالُ الْوَصِيَّةِ مِنْ جِنْسِ كِتَابَتِهِمْ، أَوْ مِنْ غَيْرِهِ.

Tidak wajib menyamakan pemberian di antara mereka, baik harta wasiat itu sejenis dengan apa yang mereka tulis maupun bukan.

وَالْأَوْلَى أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَى سَيِّدِ الْمُكَاتَبِ بِإِذْنِهِ، فَإِنْ دَفْعَهُ إِلَى الْمُكَاتَبِ دُونَ سَيِّدِهِ أَجْزَأَ.

Yang lebih utama adalah memberikannya kepada tuan dari mukatab dengan izinnya. Namun jika diberikan langsung kepada mukatab tanpa tuannya, itu pun sudah mencukupi.

وَلَوْ أَبْرَأَهُ السَّيِّدُ بَعْدَ أَخْذِهِ، وَقَبْلَ اسْتِهْلَاكِهِ، لَمْ يُسْتَرْجَعْ مِنْهُ فِي الْوَصِيَّةِ، وَاسْتُرْجِعَ مِنْهُ فِي الزَّكَاةِ. لِأَنَّ الْوَصَايَا يَجُوزُ دَفْعُهَا إِلَى الْأَغْنِيَاءِ، بِخِلَافِ الزَّكَاةِ.

Jika tuan memaafkan (membebaskan) setelah mengambilnya dan sebelum harta itu habis digunakan, maka tidak diambil kembali darinya dalam hal wasiat, tetapi diambil kembali dalam hal zakat. Karena wasiat boleh diberikan kepada orang kaya, berbeda dengan zakat.

فَلَوْ لَمْ يَجِدْ مِنَ الْمُكَاتَبِينَ ثَلَاثَةً: دَفَعَ إِلَى مَنْ وَجَدَ مِنْهُمْ وَلَوْ وَاحِدًا.

Jika tidak menemukan tiga orang dari para mukatab, maka diberikan kepada siapa saja yang ada di antara mereka, meskipun hanya satu orang.

وَلَوْ وَجَدَ ثَلَاثَةً: لَمْ يَجُزْ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى أَقَلَّ مِنْهُمْ.

Jika menemukan tiga orang, maka tidak boleh hanya memberikan kepada kurang dari tiga orang tersebut.

فَإِنْ دَفَعَهُ إِلَى اثْنَيْنِ مَعَ وُجُودِ الثَّالِثِ: ضَمِنَ حِصَّتَهُ وَفِيهَا وَجْهَانِ حَكَاهُمَا أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ.

Jika diberikan kepada dua orang padahal ada yang ketiga, maka ia bertanggung jawab atas bagian yang ketiga. Dalam hal ini ada dua pendapat yang disebutkan oleh Abu Ishaq al-Marwazi.

أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُ الثُّلُثَ، وَقَدْ أَشَارَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ، لِأَنَّ التَّفْضِيلَ جَائِزٌ مَعَ الِاجْتِهَادِ، فَإِذَا عَدَلَ عَنْ الِاجْتِهَادِ، لَزِمَ التَّسْوِيَةُ.

Salah satunya: ia bertanggung jawab atas sepertiga, dan ini telah disinggung oleh asy-Syafi‘i dalam al-Umm, karena pembedaan (dalam pemberian) diperbolehkan jika berdasarkan ijtihad. Namun jika menyimpang dari ijtihad, maka wajib disamakan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَضْمَنُ قَدْرَ مَا كَانَ يؤديه اجتهاده إليه لو اجتهد لأن القدر الذي تعدى فيه.

Pendapat kedua: ia bertanggung jawab sebesar apa yang seharusnya diberikan kepada yang ketiga jika ia berijtihad, karena itulah kadar yang telah ia langgar.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فإن لم يبلغ ثلاثة رقاب وبلغ أقل رقبتين يجدهما ثمنا وفضل فضل جَعَلَ الرَّقَبَتَيْنِ أَكْثَرُ ثَمَنًا حَتَّى يُعْتِقَ رَقَبَتَيْنِ وَلَا يَفْضُلُ شَيْئًا لَا يَبْلُغُ قِيمَةَ رَقَبَةٍ “.

Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika tidak mencapai tiga budak dan hanya cukup untuk dua budak, maka ia membeli dua budak dengan harga yang lebih tinggi hingga dapat memerdekakan dua budak, dan tidak menyisakan kelebihan yang tidak mencapai harga satu budak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ أَغْفَلَ الْمُزَنِيُّ صُورَتَهَا، وَنَقْلَ جَوَابِهَا، وَقَدْ ذَكَرَهَا الشَّافِعِيُّ نَصًّا فِي الْأُمِّ.

Al-Mawardi berkata: Ini adalah masalah yang luput dari perhatian al-Muzani baik dari segi gambaran maupun jawaban, padahal asy-Syafi‘i telah menyebutkannya secara tekstual dalam al-Umm.

وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ قَالَ أَعْتِقُوا بِثُلُثِي رِقَابًا. أَوْ قَالَ حَرِّرُوا بِثُلُثِي رِقَابًا.

Gambaran masalah ini adalah tentang seseorang yang berkata, “Merdekakanlah dengan sepertiga (harta)ku budak-budak.” Atau ia berkata, “Bebaskanlah dengan sepertiga (harta)ku budak-budak.”

فَهَذَا يُشْتَرَى بِثُلُثِهِ رِقَابٌ يُعْتَقُونَ عَنْهُ وَلَا يُصْرَفُ في المكاتبين لأن ذكر العتق والتحرر صَرَفَهُ عَنْهُمْ.

Maka dengan sepertiga hartanya itu dibelikan budak-budak yang kemudian dimerdekakan untuknya, dan tidak diberikan kepada para mukatab, karena penyebutan kata ‘memerdekakan’ dan ‘membebaskan’ telah mengalihkan dari mereka.

وَأَقَلُّ مَا يُشْتَرَى بِهِ ثَلَاثُ رِقَابٍ إِذَا أَمْكَنُوا. اعْتِبَارًا بِأَقَلِّ الْجَمْعِ. فَإِنِ اتَّسَعَ لِلزِّيَادَةِ عَلَى الثَّلَاثِ: اشْتُرِيَ بِهِ مَا بَلَغُوا، وَلَا يَقْتَصِرُ عَلَى الثَّلَاثِ مَعَ إِمْكَانِ الزِّيَادَةِ بِخِلَافِ صَرْفِهِ فِي الْمُكَاتَبِينَ حَيْثُ جَازَ الاختصار عَلَى الثَّلَاثَةِ مَعَ إِمْكَانِ الزِّيَادَةِ، لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُعْطَى الْوَاحِدُ مِنَ الْمُكَاتَبِينَ، قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا، وَلَا يَجُوزُ فِي عِتْقِ الرَّقَبَةِ أَنْ يَزِيدَ عَلَى ثَمَنِهَا وَلَا يُنْقِصَ مِنْهُ.

Jumlah paling sedikit yang dibeli dengan sepertiga harta adalah tiga budak jika memungkinkan, sesuai dengan jumlah minimal jama‘ (tiga). Jika memungkinkan untuk menambah lebih dari tiga, maka dibelikan sebanyak yang memungkinkan, dan tidak cukup hanya tiga jika masih bisa ditambah. Berbeda dengan pemberian kepada para mukatab, di mana boleh terbatas pada tiga meskipun bisa lebih, karena boleh memberikan kepada satu mukatab, sedikit atau banyak, sedangkan dalam memerdekakan budak tidak boleh melebihi harga budaknya dan tidak boleh kurang dari itu.

فَإِنْ لَمْ يَبْلُغْ مَالُ الْوَصِيَّةِ ثَمَنَ ثَلَاثِ رِقَابٍ، صَرَفَهُ فِي رَقَبَتَيْنِ: فَإِنْ فَضَلَ مِنَ الرَّقَبَتَيْنِ فَضْلَةٌ، فَإِنْ كَانَتِ الْفَضْلَةُ لَا يَقْدِرُ بِهَا عَلَى بَعْضِ ثَالِثَةٍ زَادَهَا فِي ثَمَنِ الرَّقَبَتَيْنِ، ليكون أكثرهما ثَمَنًا، فَتَكُونُ أَكْثَرَ ثَوَابًا.

Jika harta wasiat tidak cukup untuk membeli tiga budak, maka digunakan untuk membeli dua budak. Jika setelah membeli dua budak masih ada sisa, dan sisa itu tidak cukup untuk membeli sebagian dari budak ketiga, maka sisa itu ditambahkan pada harga kedua budak tersebut agar keduanya menjadi lebih mahal, sehingga pahalanya lebih besar.

وَإِنْ كَانَ يَقْدِرُ بِالْفَضْلَةِ عَلَى بَعْضِ ثَالِثَةٍ، فَفِيهِ وَجْهَانِ، حَكَاهُمَا أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ:

Jika sisa itu cukup untuk membeli sebagian dari budak ketiga, maka ada dua pendapat yang disebutkan oleh Abu Ishaq al-Marwazi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَشْتَرِي بِالْفَضْلَةِ بَعْضَ ثَالِثَةٍ لِأَنَّ ذَلِكَ أَقْرَبُ إِلَى الثَّلَاثِ الْكَامِلَةِ.

Salah satunya: sisa itu digunakan untuk membeli sebagian dari budak ketiga, karena itu lebih mendekati tiga budak yang sempurna.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ أنها تزد فِي ثَمَنِ الرَّقَبَتَيْنِ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سُئِلَ عَنْ أَفْضَلِ الرِّقَابِ فَقَالَ: أَكْثَرُهَا ثَمَنًا، وَأَنْفَسُهَا عِنْدَ أَهْلِهَا.

Pendapat kedua, dan ini yang tampak dari perkataan asy-Syafi‘i: sisa itu ditambahkan pada harga dua budak, karena Nabi ﷺ pernah ditanya tentang budak yang paling utama, beliau menjawab: “Yang paling mahal harganya dan paling berharga di mata pemiliknya.”

وَلِأَنَّ فِي تَبْعِيضِ الرَّقَبَةِ فِي الْعِتْقِ، إِدْخَالَ ضَرَرٍ عَلَى الرَّقَبَةِ، وَعَلَى مَالِكِ الرَّقَبَةِ فِيهَا، فَكَانَ رَفْعُ الضَّرَرِ أَوْلَى.

Karena dalam membagi budak dalam pembebasan terdapat unsur menimbulkan mudarat bagi budak itu sendiri dan bagi pemiliknya, maka menghilangkan mudarat itu lebih utama.

وأما إن اتسع الثلث لأكثر من ثلاثة رِقَابٍ، فَاسْتِكْثَارُ الْعَدَدِ مِعِ اسْتِرْخَاصِ الثَّمَنِ أَوْلَى مِنْ إِقْلَالِ الْعَدَدِ مَعَ اسْتِكْثَارِ الثَّمَنِ وَجْهًا واحدا، لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – من أعتق رقبة، أَعْتَقَ اللَّهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهَا، عُضْوًا مِنْهُ مِنَ النار، حتى الذكر بالذكر، والفرج بالفرج “.

Adapun jika sepertiga harta cukup untuk memerdekakan lebih dari tiga budak, maka memperbanyak jumlah budak dengan memilih harga yang lebih murah lebih utama daripada mengurangi jumlah budak dengan memilih harga yang lebih mahal, menurut satu pendapat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa memerdekakan seorang budak, Allah akan memerdekakan setiap anggota tubuhnya dari neraka, setiap anggota dengan anggota yang sepadan, hingga kemaluan dengan kemaluan.”

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ويجزئ صَغِيرُهَا وَكَبِيرُهَا “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Baik budak yang kecil maupun yang besar, keduanya sah untuk dimerdekakan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.

إذ أَوْصَى أَنْ يُصْرَفَ ثُلُثُ مَالِهِ فِي عِتْقِ الرِّقَابِ، جَازَ أَنْ يُعْتَقَ عَنْهُ الذُّكُورُ وَالْإِنَاثُ وفي إعتاق الْخَنَاثَى وَجْهَانِ.

Jika seseorang berwasiat agar sepertiga hartanya digunakan untuk memerdekakan budak, maka boleh memerdekakan budak laki-laki maupun perempuan atas namanya. Adapun mengenai memerdekakan khuntsa (berkelamin ganda), terdapat dua pendapat.

وَجَازَ أَنْ يُعْتَقَ عَنْهُ الصِّغَارُ وَالْكِبَارُ لِانْطِلَاقِ الِاسْمِ عَلَى جَمِيعِهِمْ.

Dan boleh juga memerdekakan budak yang masih kecil maupun yang sudah besar, karena nama budak mencakup semuanya.

وَفِي جَوَازِ عتق من لا يجزئ في الكفارة من الكبار، والزمنى وجهان: تخرجا مِنَ اخْتِلَافِ الْقَوْلَيْنِ فِي نَذْرِ الْهَدْيِ، هَلْ يلزم فيه ما يجوز في الأضاحي؟

Adapun mengenai kebolehan memerdekakan budak yang tidak sah untuk kafarat dari kalangan yang sudah tua atau yang sakit menahun, terdapat dua pendapat. Hal ini diqiyaskan dengan perbedaan pendapat dalam nadzar hewan hadyu, apakah harus memenuhi syarat yang sama dengan hewan kurban?

أحدهما: يلزم، فعلى هذا، لا يجزئه إلا عتق من هي سَلِيمَةٍ مِنَ الْعُيُوبِ الْمُضِرَّةِ.

Salah satu pendapat: Harus memenuhi syarat, sehingga dalam hal ini, tidak sah kecuali memerdekakan budak yang selamat dari cacat yang membahayakan.

وَالثَّانِي: لَا يَلْزَمُ: وَيَجُوزُ أَنْ يُهْدِيَ كُلَّ مَالٍ، فَعَلَى هَذَا يجزئه عِتْقُ الْكَافِرَةِ، وَالْمُؤْمِنَةِ.

Pendapat kedua: Tidak harus, dan boleh menghadiahkan seluruh harta. Maka dalam hal ini, sah memerdekakan budak perempuan kafir maupun mukminah.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا أَوْصَى أَنْ يعتق بثلث ماله رقاب، أو اشترى بثلث ماله رِقَابًا، وَأُعْتِقُوا ثُمَّ ظَهَرَ عَلَيْهِ دَيْنٌ يَسْتَوْعِبُ التَّرِكَةَ، نُظِرَ فِي الرِّقَابِ.

Jika seseorang berwasiat agar sepertiga hartanya digunakan untuk memerdekakan budak, atau membeli budak dengan sepertiga hartanya lalu mereka dimerdekakan, kemudian ternyata ada utang yang menyita seluruh harta warisan, maka diperhatikan status para budak tersebut.

فَإِنْ كَانُوا قَدِ اشْتُرُوا بِعَيْنِ الثُّلُثِ:

Jika mereka dibeli dengan harta sepertiga itu secara langsung:

بَطَلَ الشِّرَاءُ، لِاسْتِحْقَاقِ الثَّمَنِ فِي الدَّيْنِ، وَرُدَّ الْعِتْقُ لِعَدَمِ الْمِلْكِ.

Maka pembelian tersebut batal, karena harga budak menjadi hak pembayaran utang, dan kemerdekaan mereka pun dibatalkan karena tidak adanya kepemilikan.

وَإِنْ كَانُوا قَدِ اشْتُرُوا فِي ذِمَّةِ الْوَارِثِ، لَا بِعَيْنِ الْمَالِ مِنَ الثُّلُثِ:

Namun jika mereka dibeli atas tanggungan ahli waris, bukan dengan harta sepertiga secara langsung:

نَفَذَ عِتْقُهُمْ عَلَى الْوَارِثِ، لِثُبُوتِ الشِّرَاءِ فِي ذِمَّتِهِ، وَلَزِمَهُ صَرْفُ الثلث في الدين.

Maka kemerdekaan mereka tetap berlaku atas ahli waris, karena pembelian sah atas tanggungan mereka, dan ahli waris wajib menggunakan sepertiga harta untuk membayar utang.

فصل:

Fasal:

وإذا أَوْصَى بِعِتْقِ عَبْدٍ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ، فَكَانَ الثُّلُثُ خمس مائة درهم، اشترى بها عبدا وَأُعْتِقَ عَنْهُ.

Jika seseorang berwasiat untuk memerdekakan seorang budak dengan seribu dirham, namun sepertiga hartanya hanya lima ratus dirham, maka dibelikan budak seharga itu dan dimerdekakan atas namanya.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَجُوزُ أَنْ يُعْتَقَ عَنْهُ بِأَقَلَّ مِنَ الْأَلْفِ، وَيَكُونُ عَجْزُ الثُّلُثِ عَنْهَا مُبْطِلًا لِلْوَصِيَّةِ بِالْعِتْقِ، لِأَنَّهُ جَعَلَ الْأَلْفَ صِفَةً فِي الْعِتْقِ فَلَمْ يَصِحَّ الْعِتْقُ مَعَ الْعَجْزِ لِعَدَمِ الصِّفَةِ، وَصَارَ كَقَوْلِهِ: أَعْتِقُوا عَبْدِي الْأَسْوَدَ، فَإِذَا عُدِمَ الْأَسْوَدُ، لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْتَقَ غَيْرُهُ.

Abu Hanifah berkata: Tidak sah memerdekakan budak dengan harga kurang dari seribu dirham, dan kekurangan sepertiga harta dari jumlah tersebut membatalkan wasiat memerdekakan budak, karena ia telah menjadikan seribu dirham sebagai syarat dalam kemerdekaan, sehingga tidak sah memerdekakan budak jika syarat itu tidak terpenuhi. Ini seperti ucapan seseorang: “Merdekakan budak hitamku,” maka jika budak hitam tidak ada, tidak boleh memerdekakan budak lain.

وَهَذَا فَاسِدٌ، لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ -: ” إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ “.

Pendapat ini tidak benar, karena diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Jika aku memerintahkan kalian suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.”

وَلِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ إِذَا عَجَزَ الثُّلُثُ عَنْهَا، لَمْ يَسْقُطْ حُكْمُ مَا احْتَمَلَهُ مِنْهَا، قِيَاسًا عَلَى سَائِرِ الْوَصَايَا. وَلِأَنَّ الْعِتْقَ إِذَا ضَاقَ الثُّلُثُ عَنِ احْتِمَالِ جَمِيعِهِ، رُدَّ إِلَى ما احتمله الثلث من أجزائه، كالوصية بعتيق عَبْدٍ بِعَيْنِهِ، وَلَمْ يَذْكُرْ لِلْأَلْفِ صِفَةً، فَتَكُونُ شَرْطًا، وَإِنَّمَا ذَكَرَهَا قَدْرًا وَجَعَلَهَا فِي الْعِتْقِ حدا.

Selain itu, karena ini adalah wasiat; jika sepertiga harta tidak mencukupi, maka hukum atas bagian yang mampu ditunaikan tetap berlaku, sebagaimana pada wasiat-wasiat lainnya. Dan jika kemerdekaan budak tidak bisa sepenuhnya ditunaikan karena keterbatasan sepertiga harta, maka dikembalikan pada bagian yang mampu dicapai oleh sepertiga harta, sebagaimana wasiat untuk memerdekakan budak tertentu tanpa menyebutkan syarat seribu dirham, sehingga jumlah itu menjadi batasan, bukan syarat.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” (ولو أوصى) أن يحج عنه ولم يكن حج حَجَّةَ الْإِسْلَامِ فَإِنْ بَلَغَ ثُلُثُهُ حَجَّةً مِنْ بَلَدِهِ أَحَجَّ عَنْهُ مِنْ بَلَدِهِ وَإِنْ لَمْ يبلغ عنه من حيث بلغ (قال المزني) رحمه الله وَالَّذِي يُشْبِهُ قَوْلَهُ أَنْ يَحُجَّ عَنْهُ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ لِأَنَّهُ فِي قَوْلِهِ دَيْنٌ عَلَيْهِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “(Jika seseorang berwasiat) agar dihajikan atas namanya, padahal ia belum menunaikan haji Islam, maka jika sepertiga hartanya cukup untuk biaya haji dari negerinya, maka dihajikan atas namanya dari negerinya. Jika tidak cukup, maka dihajikan dari tempat yang terjangkau.” Al-Muzani rahimahullah berkata: “Yang sesuai dengan pendapat beliau adalah dihajikan dari seluruh hartanya, karena menurut beliau, itu adalah utang yang wajib ditunaikan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ لِلْمَيِّتِ فِي الْحَجِّ عَنْهُ حَالَتَيْنِ.

Al-Mawardi berkata: Kesimpulannya, bagi mayit dalam hal haji atas namanya terdapat dua keadaan.

حَالَةٌ يُوصِي بِهِ، وَحَالَةٌ لا يوصي به.

Keadaan di mana ia berwasiat, dan keadaan di mana ia tidak berwasiat.

فإن لم يوصي بِهِ، فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.

Jika ia tidak berwasiat, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan.

إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَلَيْهِ حَجٌّ وَاجِبٌ، أَوْ لَا حَجَّ عَلَيْهِ.

Yaitu, apakah ia memiliki kewajiban haji atau tidak.

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ حَجٌّ.

Jika ia tidak memiliki kewajiban haji,

لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَطَوَّعَ عَنْهُ بِالْحَجِّ.

Maka tidak boleh dihajikan secara sukarela atas namanya.

وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ حَجَّةُ الْإِسْلَامِ، فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُوصِيَ بِهَا، فَوَاجِبٌ أَنْ يَحُجُّ عَنْهُ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ بِأَقَلِّ مَا يُوجَدُ مِنْ مِيقَاتِ بَلَدِهِ، وَكَذَلِكَ يُخْرِجُ عَنْهُ مِنْ رَأْسِ ما وجب عليه من زكاة وَكَفَّارَاتٍ، وَإِنْ لَمْ يُوصِ بِهَا.

Namun jika ia memiliki kewajiban haji Islam dan meninggal sebelum sempat berwasiat, maka wajib dihajikan atas namanya dari seluruh hartanya dengan biaya paling sedikit dari miqat negerinya. Demikian pula, dikeluarkan dari hartanya zakat dan kafarat yang menjadi kewajibannya, meskipun ia tidak berwasiat.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَصِحُّ الْحَجُّ عَنْهُ، وَلَا الزَّكَاةُ، إلا بوصية منه.

Abu Hanifah berkata: Haji tidak sah dilakukan atas namanya, begitu pula zakat, kecuali dengan wasiat darinya.

وهذا فاسد، لما ذَكَرْنَاهُ فِي الْحَجِّ، وَلِأَنَّ مَا تَعَلَّقَ وُجُوبُهُ بالمال، لزم أداؤه عنه، وإذا لزم أداؤه عنه، فمن رأس المال كَالدُّيُونِ.

Pendapat ini tidak benar, sebagaimana telah kami sebutkan dalam masalah haji, dan karena segala sesuatu yang kewajibannya berkaitan dengan harta, maka wajib ditunaikan atas namanya. Jika wajib ditunaikan atas namanya, maka diambil dari harta pokok seperti halnya utang.

وَيُخْرِجُ مِنْهُ أُجْرَةَ الْمِثْلِ مِنَ الْمِيقَاتِ، لَا مِنْ بَلَدِهِ، وَإِنْ كَانَتِ اسْتِطَاعَتُهُ مِنْ بلده شرطا في وجوب، لأنه إذا كان حيا، لزم أداؤه بنفسه فصارت بعض المسافة معتبرة في استطاعته، فإذا مَاتَ، لَمْ يَتَعَيَّنْ فِي النَّائِبِ عَنْهُ أَنْ يَكُونَ مِنْ بَلَدِهِ، وَإِنَّمَا لَزِمَ أَنْ يُؤْتَى بِالْحَجِّ مِنْ مِيقَاتِ بَلَدِهِ، فَلِذَلِكَ اعْتَبَرَ أُجْرَةَ الْمِثْلِ مِنْ مِيقَاتِ بَلَدِهِ.

Dari harta itu diambil biaya sewa yang sepadan dari miqat, bukan dari negerinya, meskipun kemampuan dari negerinya menjadi syarat wajibnya haji. Sebab, jika ia masih hidup, ia wajib menunaikannya sendiri sehingga sebagian jarak perjalanan diperhitungkan dalam kemampuannya. Namun jika ia telah wafat, tidak wajib bagi wakilnya untuk berangkat dari negerinya, melainkan yang wajib adalah pelaksanaan haji dari miqat negerinya. Oleh karena itu, yang diperhitungkan adalah biaya sewa yang sepadan dari miqat negerinya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ أَوْصَى أَنْ يَحُجَّ عَنْهُ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.

Jika ia berwasiat agar dihajikan atas namanya, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan.

إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَلَيْهِ حَجٌّ أَوْ لَيْسَ عَلَيْهِ حَجٌّ فَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ حَجٌّ فَلَا يخلو حاله من ثلاث أَقْسَامٍ:

Yaitu, apakah ia masih memiliki kewajiban haji atau tidak. Jika ia masih memiliki kewajiban haji, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَجْعَلَ الْحَجَّ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ يَذْكُرَ قَدْرَ مَا يُحَجُّ بِهِ عَنْهُ.

Pertama: Ia menjadikan biaya haji diambil dari harta pokoknya. Ini terbagi menjadi dua: Pertama, ia menyebutkan jumlah biaya yang digunakan untuk menghajikannya.

وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَذْكُرَ فَإِنْ لَمْ يَذْكُرْ قَدْرَ مَا يُحَجُّ بِهِ عَنْهُ أُخْرِجَ عَنْهُ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ قَدْرُ أُجْرَةِ الْمِثْلِ مِنْ مِيقَاتِ بَلَدِهِ وَلَا يُسْتَفَادُ بِوَصِيَّتِهِ إِلَّا لِلْإِذْكَارِ وَالتَّأْكِيدِ وَإِنْ ذَكَرَ قَدْرَ مَا يُحَجُّ بِهِ عَنْهُ فَلَهُ ثلاثة أَحْوَالٍ.

Kedua: Ia tidak menyebutkan jumlahnya. Jika ia tidak menyebutkan jumlah biaya yang digunakan untuk menghajikannya, maka diambil dari harta pokoknya sejumlah biaya sewa yang sepadan dari miqat negerinya. Wasiatnya hanya bermanfaat untuk pengingat dan penegasan saja. Jika ia menyebutkan jumlah biaya yang digunakan untuk menghajikannya, maka ada tiga kemungkinan.

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ قَدْرَ أُجْرَةِ الْمِثْلِ في الْمِيقَاتِ فَيُخْرَجُ ذَلِكَ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ.

Pertama: Jumlah tersebut sama dengan biaya sewa yang sepadan dari miqat, maka diambil dari harta pokoknya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ أَقَلَّ مِنْ أُجْرَةِ الْمِثْلِ مِنْ ميقات بلده ولا يستفاد بوصيته وإن وجد من يحج به وإلا تمم من أُجْرَةِ الْمِثْلَ وَكَانَ جَمِيعُهُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ.

Kedua: Jumlah tersebut kurang dari biaya sewa yang sepadan dari miqat negerinya, maka wasiatnya tidak bermanfaat, kecuali jika ada yang bersedia menghajikannya dengan jumlah tersebut. Jika tidak, maka harus ditambah hingga mencapai biaya sewa yang sepadan, dan seluruhnya diambil dari harta pokok.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ أَكْثَرَ مِنْ أُجْرَةِ الْمِثْلِ مِنَ الْمِيقَاتِ فَتَكُونَ الزِّيَادَةُ عَلَى أُجْرَةِ الْمِثْلِ وَصِيَّةً فِي الثلث لا تجوز أن يدفع إلى وارث وإن تراجع عَيَّنَهُ لِأَنَّهُ لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ فَهَذَا حُكْمُ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ إِذَا جُعِلَ الْحَجُّ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ.

Ketiga: Jumlah tersebut lebih besar dari biaya sewa yang sepadan dari miqat, maka kelebihan dari biaya sewa yang sepadan itu dihitung sebagai wasiat pada sepertiga harta, dan tidak boleh diberikan kepada ahli waris, meskipun ia menunjuk ahli warisnya, karena tidak ada wasiat untuk ahli waris. Inilah hukum bagian pertama jika biaya haji diambil dari harta pokok.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُوصِيَ بِالْحَجِّ مِنْ ثُلُثِهِ. فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian kedua: Ia berwasiat agar haji diambil dari sepertiga hartanya. Ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَجْعَلَ كُلَّ الثُّلُثِ مَصْرُوفًا إِلَى الْحَجَّةِ الْوَاجِبَةِ، فهذا يحج عَنْهُ بِالثُّلُثِ مِنْ بَلَدِهِ إِنْ أَمْكَنَ، وَلَا يجوز أن يدفع إلى وارث إِنْ زَادَ عَلَى أُجْرَةِ الْمِثْلِ، وَيَجُوزُ أَنْ يُدْفَعَ إِلَيْهِ إِنْ لَمْ يَزِدْ.

Pertama: Ia menjadikan seluruh sepertiga hartanya digunakan untuk haji wajib, maka dihajikan atas namanya dengan sepertiga harta dari negerinya jika memungkinkan. Tidak boleh diberikan kepada ahli waris jika melebihi biaya sewa yang sepadan, dan boleh diberikan jika tidak melebihi.

فَإِنْ عَجَزَ الثُّلُثُ عَنِ الْحَجِّ مِنْ بَلَدِهِ:

Jika sepertiga harta tidak cukup untuk biaya haji dari negerinya:

أُحِجَّ بِهِ عَنْهُ مِنْ حَيْثُ أَمْكَنَ مِنْ طَرِيقِهِ. فَإِنْ عَجَزَ إِلَّا مِنْ مِيقَاتِ الْبَلَدِ أُحِجَّ بِهِ عنه من ميقات بلده.

Maka dihajikan atas namanya dari tempat yang memungkinkan di sepanjang perjalanannya. Jika tidak memungkinkan kecuali dari miqat negerinya, maka dihajikan atas namanya dari miqat negerinya.

فإن عَجَزَ عَنِ الْحَجِّ مِنْ مِيقَاتِ بَلَدِهِ وَجَبَ إتمام أجرة المثل ميقات بلده من رأس المال، فصار فِيهَا دَوْرٌ لِأَنَّ مَا يُتَمَّمُ بِهِ أُجْرَةُ المثل من رأس ماله يقتضي نقصان ثلث المال.

Jika tidak mampu menghajikannya dari miqat negerinya, maka wajib menambah biaya sewa yang sepadan dari miqat negerinya dengan mengambil dari harta pokok. Dengan demikian, terjadi perputaran (dawr), karena penambahan biaya sewa yang sepadan dari harta pokok menyebabkan berkurangnya sepertiga harta.

مثاله:

Contohnya:

أَنْ يَكُونَ مَالُهُ مِائَةَ دِرْهَمٍ، وَأُجْرَةُ الْمِثْلِ أَرْبَعُونَ دِرْهَمًا، فَإِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَعْرِفَ قَدْرَ الثلث وقدر ما يتم بِهِ الثُّلُثُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ أَسْقَطْتَ مِنَ الْمَالِ قَدْرَ أُجْرَةِ الْمِثْلِ وَذَلِكَ أَرْبَعُونَ دِرْهَمًا يَكُونُ الْبَاقِي سِتِّينَ دِرْهَمًا ثُمَّ زِدْتَ عَلَيْهِ مثل نصفه فصير تِسْعِينَ دِرْهَمًا، فَهُوَ الْمَالُ الْبَاقِي بَعْدَمَا أَخَذَ تَمَامَ الثُّلُثِ، فَإِذَا أَخَذْتَ ثُلُثَهُ، كَانَ ثَلَاثِينَ دِرْهَمًا، وَضَمَمْتَ إِلَيْهِ الْعَشَرَةَ الْبَاقِيَةَ مِنَ الْمِائَةِ صارت أربعين درهما، هي قدر أجرة المثل، فمنها ثَلَاثُونَ دِرْهَمًا هِيَ ثُلُثُ الْمَالِ، وَعَشَرَةُ دَرَاهِمَ من رأس المال وعرضه.

Misalnya, hartanya seratus dirham, dan biaya sewa yang sepadan adalah empat puluh dirham. Jika ingin mengetahui jumlah sepertiga harta dan berapa tambahan yang diperlukan untuk mencukupi sepertiga dari harta pokok, maka kurangi harta dengan biaya sewa yang sepadan, yaitu empat puluh dirham, sehingga sisanya enam puluh dirham. Kemudian tambahkan setengah dari sisanya, sehingga menjadi sembilan puluh dirham. Itulah sisa harta setelah diambil tambahan sepertiga. Jika diambil sepertiganya, maka menjadi tiga puluh dirham, lalu tambahkan sepuluh dirham yang tersisa dari seratus, sehingga menjadi empat puluh dirham, yaitu sebesar biaya sewa yang sepadan. Dari jumlah itu, tiga puluh dirham adalah sepertiga harta, dan sepuluh dirham dari harta pokok dan keuntungannya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَجْعَلَ كُلَّ الثُّلُثِ مَصْرُوفًا إِلَى الْحَجِّ بَلْ يَقُولُ أَحِجُّوا عَنِّي مِنْ ثُلُثِي رَجُلًا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian kedua: Ia tidak menjadikan seluruh sepertiga hartanya untuk haji, tetapi berkata, “Hajikanlah aku dari sepertiga hartaku oleh seorang laki-laki.” Maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَذْكُرَ قَدْرًا كَأَنَّهُ قَالَ: أَحِجُّوا عَنِّي رَجُلًا بِمِائَةِ دِرْهَمٍ. فَلَا يُزَادُ عَلَيْهَا إِنْ وُجِدَ، وَيُسْتَأْجَرُ مَنْ يَحُجُّ بِهَا مِنْ حَيْثُ أَمْكَنُ مِنْ بَلَدِهِ، أَوْ مِنْ مِيقَاتِهِ.

Salah satu di antaranya: yaitu ia menyebutkan suatu jumlah tertentu, seakan-akan ia berkata: “Berhajilah untukku seseorang dengan seratus dirham.” Maka tidak boleh ditambah dari jumlah itu jika ditemukan, dan disewa orang yang berhaji dengan jumlah itu dari tempat yang memungkinkan dari negerinya, atau dari miqat-nya.

وإن لَمْ يُوجَدْ مَنْ يَحُجُّ بِهَا مِنْ مِيقَاتِهِ: وَجَبَ إِتْمَامُهَا مِنْ رَأْسِ الْمَالِ، لَا مِنْ ثلثه، لأنه الْقَدْرَ الَّذِي جَعَلَهُ فِي الثُّلُثِ: هُوَ الْمِائَةُ، لَا مَا زَادَ عَلَيْهَا، وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَذْكُرَ الْقَدْرَ فَيَخْرُجُ مِنْ ثُلُثِهِ قَدْرُ أُجْرَةِ الْمِثْلِ. ثُمَّ فِيهَا وَجْهَانِ:

Jika tidak ditemukan orang yang berhaji dengan jumlah itu dari miqat-nya, maka wajib disempurnakan dari harta pokok, bukan dari sepertiganya, karena jumlah yang ia tetapkan dalam sepertiga itu adalah seratus, bukan yang melebihi dari itu. Jenis kedua: yaitu ia tidak menyebutkan jumlah tertentu, maka dikeluarkan dari sepertiganya sebesar upah yang lazim. Kemudian dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، وَالظَّاهِرُ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ أُجْرَةُ الْمِثْلِ مِنْ بَلَدِ الْمُوصِي، لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ فِي الثُّلُثِ تَقْتَضِي الْكَمَالَ.

Salah satunya: yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, dan yang tampak dari perkataan asy-Syafi‘i, bahwa upah yang lazim diambil dari negeri orang yang berwasiat, karena wasiat dalam sepertiga menuntut kesempurnaan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أُجْرَةُ مِثْلِ الْمِيقَاتِ، كَمَا لَوْ جَعَلَهُ مِنْ رأس المال، وما يزاد عَلَيْهِ تَطَوُّعٌ لَا يَخْرُجُ إِلَّا بِالنَّصِّ.

Pendapat kedua: upah yang lazim dari miqat, sebagaimana jika ia menetapkannya dari harta pokok, dan apa yang melebihi itu adalah tathawwu‘ (sukarela) yang tidak dikeluarkan kecuali dengan nash.

فَإِنْ عجز الثلث عن جميع الأجرة تمم جميعا مِثْلَ أُجْرَةِ الْمِيقَاتِ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ.

Jika sepertiga tidak mencukupi seluruh upah, maka disempurnakan seluruhnya sebesar upah yang lazim dari miqat dengan harta pokok.

فَلَوْ كان في الثلث مع الحج عطايا ووصايا، فَفِي تَقْدِيمِ الْحَجِّ عَلَى الْوَصَايَا وَجْهَانِ حَكَاهُمَا أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ:

Jika dalam sepertiga itu terdapat selain haji juga pemberian dan wasiat-wasiat, maka dalam mendahulukan haji atas wasiat-wasiat ada dua pendapat yang diriwayatkan oleh Abu Ishaq al-Marwazi:

أَحَدُهُمَا: يُقَدَّمُ الْحَجُّ عَلَى جَمِيعِ الْوَصَايَا فِي الثُّلُثِ، لِأَنَّهُ مَصْرُوفٌ فِي فَرْضٍ، ثُمَّ يُصْرَفُ مَا فَضَلَ بَعْدَ الْحَجِّ في أهل الوصايا.

Salah satunya: haji didahulukan atas seluruh wasiat dalam sepertiga, karena ia digunakan untuk kewajiban, kemudian sisanya setelah haji diberikan kepada ahli wasiat.

والوجه الثاني: أنه يسقط الثلث بين الْحَجِّ، وَالْوَصَايَا بِالْحِصَصِ، لِأَنَّ الْحَجَّ وَإِنْ وَجَبَ فحمله فِي الثُّلُثِ، فَسَاوَى فِي الثُّلُثِ أَهْلَ الْوَصَايَا، ثُمَّ تَمَّمَ أُجْرَةَ الْمِثْلِ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ.

Pendapat kedua: sepertiga dibagi antara haji dan wasiat-wasiat secara proporsional, karena meskipun haji itu wajib, namun pelaksanaannya dalam sepertiga, sehingga dalam sepertiga itu ia setara dengan ahli wasiat, kemudian disempurnakan upah yang lazim dari harta pokok.

وَعَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ: لَوْ كَانَتْ عَلَيْهِ دُيُونٌ واجبة، وأوصى بِقَضَائِهَا مِنْ ثُلُثِهِ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Dan berdasarkan dua pendapat ini: jika ia memiliki utang-utang yang wajib, dan ia berwasiat untuk melunasinya dari sepertiganya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُقَدَّمُونَ عَلَى أَهْلِ الْوَصَايَا.

Salah satunya: mereka didahulukan atas ahli wasiat.

وَالثَّانِي: يُحَاصُّونَهُمْ، ثُمَّ يَسْتَكْمِلُونَ الوصايا مِنْ رَأْسِ الْمَالِ.

Pendapat kedua: mereka berbagi secara proporsional dengan ahli wasiat, kemudian sisanya disempurnakan wasiat dari harta pokok.

فَهَذَا حُكْمُ الْقِسْمِ الثَّانِي، إِذَا جَعَلَهُ مِنْ ثُلُثِهِ.

Inilah hukum bagian kedua, jika ia menetapkannya dari sepertiganya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أن يطلق الوصية بالحج، فلا يجعله في الثُّلُثِ، وَلَا مِنْ رَأْسِ الْمَالِ. فَالَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْمَنَاسِكِ فِي كِتَابِهِ الْجَدِيدِ، أَنَّهُ يُحَجُّ عَنْهُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ. وَقَالَ في هذا الموضع من الوصايا بالحج عنه من ثلثه.

Bagian ketiga: yaitu ia melepaskan wasiat untuk haji secara mutlak, tidak menjadikannya dari sepertiga, dan tidak pula dari harta pokok. Maka yang dinyatakan oleh asy-Syafi‘i dalam kitab manasik dalam kitab barunya, bahwa dihajikan untuknya dari harta pokok. Dan beliau berkata dalam bagian ini tentang wasiat haji untuknya dari sepertiganya.

فاختلف أَصْحَابُنَا: فَكَانَ أَبُو الطَّيِّبِ بْنُ سَلَمَةَ، وَأَبُو حَفْصِ بْنُ الْوَكِيلِ يُخَرِّجَانِ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Maka para sahabat kami berbeda pendapat: Abu Thayyib bin Salamah dan Abu Hafsh bin al-Wakil mengeluarkan hal itu pada dua pendapat:

أحدهما: يكون من رأس المال، كما لم يوصي بِهِ، لِوُجُوبِهِ كَالدُّيُونِ.

Salah satunya: diambil dari harta pokok, sebagaimana jika ia tidak berwasiat tentangnya, karena kewajibannya seperti utang.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَكُونُ مِنَ الثُّلُثِ، لِيُسْتَفَادَ بِالْوَصِيَّةِ، مَا لَمْ يَكُنْ مُسْتَفَادًا بِغَيْرِهَا.

Pendapat kedua: bahwa itu diambil dari sepertiga, agar dapat dimanfaatkan dengan wasiat, yang tidak dapat dimanfaatkan tanpa wasiat.

وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ:

Dan Abu ‘Ali bin Khairan berkata:

لَيْسَ هَذَا عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ، بَلِ الْحُكْمُ عَلَى حَالَيْنِ، فَالَّذِي جَعَلَهُ فِي الثُّلُثِ هُوَ أُجْرَةُ مِثْلِ السَّيْرِ مِنْ بَلَدِهِ إِلَى الْمِيقَاتِ.

Ini bukanlah perbedaan dua pendapat, melainkan hukumnya tergantung pada dua keadaan: yang dijadikan dalam sepertiga adalah upah yang lazim untuk perjalanan dari negerinya ke miqat.

وَالَّذِي جَعَلَهُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ، هُوَ أُجْرَةُ الْمِثْلِ مِنَ الْمِيقَاتِ.

Dan yang dijadikan dari harta pokok adalah upah yang lazim dari miqat.

وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ: وقال أبو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ: إِنَّهُ يَكُونُ ذَلِكَ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ قَوْلًا وَاحِدًا.

Dan Abu Ishaq al-Marwazi berkata: dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata: bahwa itu diambil dari harta pokok secara pasti.

وَالَّذِي قَالَهُ هَاهُنَا أَنَّهُ يَكُونُ فِي الثُّلُثِ إِذَا صَرَّحَ بِأَنَّهُ فِي الثُّلُثِ تَوْفِيرًا عَلَى وَرَثَتِهِ. أَلَا تَرَاهُ قَالَ: فَإِنْ لَمْ يَبْلُغْ، تُمِّمَ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ. فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ يَكُونُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ: أُحِجَّ عَنْهُ مِنْ مِيقَاتِ بَلَدِهِ. وإن قلنا: يَكُونُ مِنَ الثُّلُثِ، فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Dan yang dikatakannya di sini adalah bahwa itu diambil dari sepertiga jika ia menegaskan bahwa itu dari sepertiga, untuk meringankan beban ahli warisnya. Bukankah engkau melihat ia berkata: “Jika tidak mencukupi, maka disempurnakan dari harta pokok.” Jika kita katakan: itu diambil dari harta pokok, maka dihajikan untuknya dari miqat negerinya. Dan jika kita katakan: diambil dari sepertiga, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: مِنْ بلده، والثاني: من ميقات بلده.

Salah satunya: dari negerinya, dan yang kedua: dari miqat negerinya.

والذي قاله هاهنا إذا كان الحج واجبا، وسواء كان حج الإسلام، أو نذرا أو قضاءا.

Dan yang dikatakannya di sini jika haji itu wajib, baik itu haji Islam, atau nadzar, atau qadha’.

وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ حَجَّةِ النَّذْرِ وَغَيْرِهَا. فَجَعَلَ حَجَّةَ النَّذْرِ فِي الثُّلُثِ، لِأَنَّهُ تَطَوّع بِإِيجَابِهَا عَلَى نَفْسِهِ، وَسَوَّى الْأَكْثَرُونَ بَيْنَهَا وبين الواجبات.

Dan sebagian sahabat kami membedakan antara haji nadzar dan selainnya. Maka mereka menjadikan haji nadzar dalam sepertiga, karena ia tathawwu‘ dengan mewajibkannya atas dirinya sendiri, sedangkan mayoritas menyamakan antara keduanya dan kewajiban-kewajiban lainnya.

فصل:

Fasal:

ولو كان ما أوصى به عنه من الحج تَطَوُّعًا، فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Dan jika apa yang diwasiatkan untuknya berupa haji tathawwu‘ (sunnah), maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّ الْوَصِيَّةَ بَاطِلَةٌ.

Salah satu dari keduanya: bahwa wasiat tersebut batal.

والثاني: جائزة.

Dan yang kedua: sah (boleh) dilaksanakan.

فَإِذَا قِيلَ بِبُطْلَانِ الْوَصِيَّةِ: كَانَ الْحَجُّ عَنِ الأجير، لا عن المستأجر عنه، وفي استحقاقه للأجر قولان.

Apabila dikatakan bahwa wasiat itu batal: maka haji dilakukan atas nama orang yang diupah (ajir), bukan atas nama orang yang diwakilkan (musta’jar ‘anhu), dan dalam hal berhaknya ia atas upah terdapat dua pendapat.

فإذا قِيلَ بِجَوَازِ الْوَصِيَّةِ، نُظِرَ مَخْرَجُ كَلَامِهِ فِيهَا، فله فيه أربعة أَحْوَالٍ:

Apabila dikatakan bahwa wasiat itu sah, maka dilihat bagaimana redaksi ucapannya dalam wasiat tersebut, dan dalam hal ini ada empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَقُولَ أَحِجُّوا عَنِّي بِمِائَةِ دِرْهَمٍ مِنَ الثُّلُثِ.

Pertama: ia berkata, “Laksanakanlah haji untukku dengan seratus dirham dari sepertiga (harta).”

وَالثَّانِي: أَنْ يَقُولَ أَحِجُّوا عني بما اتسع له الحج من الثلث.

Kedua: ia berkata, “Laksanakanlah haji untukku dengan apa yang cukup untuk haji dari sepertiga (harta).”

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَقُولَ أَحِجُّوا عَنِّي بِالثُّلُثِ.

Ketiga: ia berkata, “Laksanakanlah haji untukku dengan sepertiga (harta).”

وَالرَّابِعُ: أن يقول أحجوا عني.

Keempat: ia berkata, “Laksanakanlah haji untukku.”

فأما الحال الأول: وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: أَحِجُّوا عَنِّي بِمِائَةِ دِرْهَمٍ مِنَ الثُّلُثِ فَلَا يُزَادُ عَلَيْهَا، وَلَا يُنْقَصُ، مَعَ احْتِمَالِ الثُّلُثِ لَهَا.

Adapun keadaan pertama, yaitu ia berkata: “Laksanakanlah haji untukku dengan seratus dirham dari sepertiga (harta),” maka tidak boleh ditambah atau dikurangi dari jumlah itu, selama sepertiga harta mencukupinya.

ثُمَّ لَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يُسَمِّيَ مَنْ يَحُجُّ بِهَا، أَوْ لا يسميه.

Kemudian, bisa jadi ia menyebutkan siapa yang akan melaksanakan haji dengan uang itu, atau tidak menyebutkannya.

فإن لم يسميه: دفعت إلى من يحج بها واحدا من أفضل ما يوجد. ثُمَّ لَا تَخْلُو الْمِائَةُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika ia tidak menyebutkannya: maka uang itu diberikan kepada siapa saja yang melaksanakan haji dengan uang tersebut, yaitu salah satu dari orang-orang terbaik yang ada. Kemudian, seratus dirham itu tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بِقَدْرِ أُجْرَةِ الْمِثْلِ، إِمَّا مِنْ بَلَدِهِ، أَوْ من الميقات، فتدفع إلى وارث، أو غير وَارِثٍ، لِأَنَّهَا وَإِنْ كَانَتْ فِي الثُّلُثِ وَصِيَّةٌ، فَهِيَ فِي مُقَابَلَةِ عَمَلٍ، فَلَمْ تَصِرْ لَهُ وصية،وصارت كالموصي يشتري عبدا يُعْتَقُ عَنْهُ، جَازَ أَنْ يَشْتَرِيَ مِنَ الْوَارِثِ، وَإِنْ كَانَ ثَمَنُهُ فِي الثُّلُثِ، لِأَنَّهُ فِي مقابله بدل.

Pertama: jumlahnya sesuai dengan upah yang sepadan, baik dari negerinya atau dari miqat, maka uang itu boleh diberikan kepada ahli waris atau selain ahli waris, karena meskipun ini wasiat dari sepertiga harta, namun ia sebagai imbalan atas suatu pekerjaan, sehingga tidak menjadi wasiat untuknya. Ini seperti orang yang berwasiat membeli budak untuk dimerdekakan atas namanya, maka boleh membeli dari ahli waris, meskipun harganya dari sepertiga harta, karena itu sebagai pengganti.

والقسم الثاني: أن يكون بقدر أُجْرَةِ الْمِثْلِ، فَتُدْفَعُ إِلَى أَجْنَبِيٍّ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ تُدْفَعَ إِلَى وَارِثٍ، لِأَنَّ فِيهَا وَصِيَّةً بالزيادة.

Bagian kedua: jika jumlahnya sesuai dengan upah yang sepadan, maka diberikan kepada orang lain (bukan ahli waris), dan tidak boleh diberikan kepada ahli waris, karena di dalamnya terdapat unsur wasiat tambahan.

والقسم الثالث: أن يكون أَقَلَّ مِنْ أُجْرَةِ الْمِثْلِ. فَإِنْ وُجِدَ مَنْ يحج عنه أحججناه، وَارِثًا كَانَ، أَوْ غَيْرَ وَارِثٍ، فَإِنْ لَمْ يُوجَدْ مَنْ يَحُجُّ بِهَا، بَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ بِالْحَجِّ، وعادت ميراثا، ولم يزد فِي الثُّلُثِ عَلَى أَهْلِ الْوَصَايَا، كَمَنْ أَوْصَى بِمَالٍ لِرَجُلٍ، فَرَدَّ الْوَصِيَّةَ، عَادَتْ إِلَى الْوَرَثَةِ، دُونَ أَهْلِ الْوَصَايَا.

Bagian ketiga: jika jumlahnya kurang dari upah yang sepadan. Jika ditemukan orang yang mau melaksanakan haji dengan jumlah itu, maka ia yang diberangkatkan, baik ia ahli waris maupun bukan. Jika tidak ditemukan yang mau melaksanakan haji dengan jumlah itu, maka wasiat hajinya batal dan kembali menjadi warisan, dan tidak ditambahkan ke dalam sepertiga harta untuk ahli wasiat, seperti orang yang berwasiat memberikan harta kepada seseorang, lalu orang itu menolak wasiat tersebut, maka harta itu kembali kepada ahli waris, bukan kepada ahli wasiat lainnya.

وَإِنْ سَمَّى مَنْ يَحُجُّ بها بمائة لَمْ يُعْدَلْ بِهَا عَنْهُ إِلَى غَيْرِهِ، مَعَ إمكان دفعها إليه. ثم لا تخلو حَالُهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika ia menyebutkan siapa yang akan melaksanakan haji dengan seratus dirham itu, maka tidak boleh dialihkan kepada selain orang tersebut selama memungkinkan untuk diberikan kepadanya. Kemudian, keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بِقَدْرِ أُجْرَةِ الْمِثْلِ فَتُدْفَعُ إِلَى الْمُسَمَّى لَهَا، وَارِثًا كَانَ، أَوْ غَيْرَ وَارِثٍ. فَإِنْ لَمْ يقبلها المسمى بها، دُفِعَتْ حِينَئِذٍ إِلَى غَيْرِهِ.

Pertama: jumlahnya sesuai dengan upah yang sepadan, maka diberikan kepada orang yang disebutkan itu, baik ia ahli waris maupun bukan. Jika orang yang disebutkan itu tidak mau menerimanya, maka diberikan kepada orang lain.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يكون أَكْثَرَ مِنْ أُجْرَةِ الْمِثْلِ، فَلَا يَخْلُو الْمُسَمَّى لَهَا مِنْ أَنْ يَكُونَ وَارِثًا أَوْ غَيْرَ وَارِثٍ.

Bagian kedua: jika jumlahnya lebih besar dari upah yang sepadan, maka orang yang disebutkan itu bisa jadi ahli waris atau bukan.

فَإِنْ كَانَ وَارِثًا: فَالزِّيَادَةُ عَلَى أُجْرَةِ المثل وصية يمنع منها الوراث.

Jika ia adalah ahli waris: maka kelebihan dari upah yang sepadan itu adalah wasiat yang tidak boleh diberikan kepada ahli waris.

فإن وصى بأجرة المثل منها: دفعت إليه دون غير وَرُدَّتِ الزِّيَادَةُ عَلَى الْوَرَثَةِ.

Jika ia berwasiat dengan upah yang sepadan dari jumlah itu: maka diberikan kepadanya saja, dan kelebihannya dikembalikan kepada ahli waris.

وَإِنْ لَمْ يَرْضَ إِلَّا بِالْمِائَةِ كُلِّهَا، مُنِعَ مِنْهَا، وَلَمْ يَجُزْ أن تدفع إليه لما فيها من الوصية لها، وَعُدِلَ إِلَى غَيْرِهِ بِأُجْرَةِ الْمِثْلِ دُونَ الْمِائَةِ، لأن الزيادة على أجرة المثل وصية بمسمى، وَيَعُودُ الْبَاقِي مِيرَاثًا.

Jika ia tidak mau kecuali seluruh seratus dirham, maka ia tidak boleh menerimanya, dan tidak boleh diberikan kepadanya karena di dalamnya terdapat unsur wasiat, sehingga dialihkan kepada orang lain dengan upah yang sepadan, bukan dengan seratus dirham, karena kelebihan dari upah yang sepadan adalah wasiat dengan nominal tertentu, dan sisanya kembali menjadi warisan.

وَإِنْ كَانَ الْمُسَمَّى غَيْرَ وارث دفعت إليه المائة إن قبلها، وإن لَمْ يَقْبَلْهَا عُدِلَ إِلَى غَيْرِهِ بِأُجْرَةِ الْمِثْلِ، وَعَادَتِ الزِّيَادَةُ عَلَيْهَا مِيرَاثًا.

Jika orang yang disebutkan itu bukan ahli waris, maka seratus dirham diberikan kepadanya jika ia menerimanya. Jika ia tidak menerimanya, maka dialihkan kepada orang lain dengan upah yang sepadan, dan kelebihannya kembali menjadi warisan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ الْمِائَةُ أَقَلَّ مِنْ أُجْرَةِ الْمِثْلِ، فَإِنْ قنع المسمى بها، دُفِعَتْ إِلَيْهِ، وَارِثًا كَانَ أَوْ غَيْرَ وَارِثٍ.

Bagian ketiga: jika seratus dirham itu kurang dari upah yang sepadan, maka jika orang yang disebutkan itu rela, diberikan kepadanya, baik ia ahli waris maupun bukan.

وإن لم يقنع بها، ووجد غيره مما يَقْنَعُ بِهَا، دُفِعَتْ إِلَيْهِ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهَا وصية للمسمى فتبطل بالعدول. وإن لم يوجد من يحج عادت ميراثا، ولم يرجع إِلَى الثُّلُثِ.

Jika ia tidak rela, dan ditemukan orang lain yang rela dengan jumlah itu, maka diberikan kepadanya, karena tidak ada unsur wasiat untuk orang yang disebutkan sehingga batal dengan pengalihan. Jika tidak ditemukan yang mau melaksanakan haji, maka kembali menjadi warisan dan tidak kembali ke sepertiga harta.

فَأَمَّا إِنْ عَجَزَ الثُّلُثُ عَنِ احْتِمَالِ الْمِائَةِ كُلِّهَا: أُخْرِجَ مِنْهَا قَدْرُ مَا احتمله الثلث فيصير هُوَ الْقَدْرُ الْمُوصَى بِهِ، فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى.

Adapun jika sepertiga harta tidak mencukupi untuk seratus dirham seluruhnya: maka diambil dari sepertiga harta sesuai yang mampu ditanggung, dan itulah jumlah yang diwasiatkan, sehingga berlaku seperti penjelasan sebelumnya.

فَصْلٌ:

Fashal (Bab):

وَأَمَّا الْحَالُ الثَّانِيَةُ: وَهُوَ أَنْ يقول أحجوا عني بِثُلُثِي، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُصْرَفَ الثُّلُثُ، إِلَّا في حجة واحدة، وإن اتسع لغيرها، لأنه عين عليها فتصير كَالْوَصِيَّةِ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ، فِي أَنْ يُسَمَّى مَنْ يحج عنه، أو يسميه فتكون على ما مضى من التقسيم والجواب.

Adapun keadaan kedua: yaitu ia berkata, “Laksanakanlah haji untukku dengan sepertiga hartaku,” maka tidak boleh sepertiga harta itu digunakan kecuali untuk satu kali haji, meskipun cukup untuk lebih dari itu, karena ia telah menentukan untuk satu kali haji, sehingga hukumnya seperti wasiat dengan seratus dirham, baik ia menyebutkan siapa yang akan melaksanakan haji atau tidak, maka hukumnya seperti penjelasan dan pembagian sebelumnya.

فإما أَمْكَنَ أَنْ يَحُجَّ عَنْهُ بِالثُّلُثِ مِنْ بَلَدِهِ، لَمْ يَجُزْ أَنْ يَقْتَصِرَ بِالْحَجِّ عَنْهُ مِنْ ميقاته، وإن قصر عنه الثلث، فَمِنْ حَيْثُ أَمْكَنَ، حَتَّى يَنْتَهِيَ إِلَى الْمِيقَاتِ. فَإِنْ قَصُرَ عَنِ الْمِيقَاتِ، وَلَمْ يُوجَدْ مَنْ يحج به بطلت الوصية وعادت مِيرَاثًا.

Jika memungkinkan untuk menghajikan dirinya dengan sepertiga harta dari negerinya, maka tidak boleh mencukupkan dengan menghajikannya dari miqatnya saja. Namun jika sepertiga harta tidak mencukupi untuk itu, maka dihajikan dari tempat yang memungkinkan, hingga sampai ke miqat. Jika sepertiga harta tidak mencukupi hingga ke miqat, dan tidak ditemukan orang yang dapat menghajikannya, maka wasiat tersebut batal dan kembali menjadi warisan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْحَالُ الثَّالِثَةُ: وَهُوَ أَنْ يقول: أحجوا عني بثلثي حجا فيصرف الثلث فيما اتسع من الحج، وَلَا يَقْتَصِرُ عَلَى حَجَّةٍ وَاحِدَةٍ، مَعَ اتِّسَاعِهِ لِأَكْثَرَ مِنْهَا.

Adapun keadaan ketiga: yaitu jika ia berkata, “Hajikanlah aku dengan sepertiga hartaku beberapa kali haji,” maka sepertiga harta digunakan untuk sebanyak mungkin haji, dan tidak boleh hanya satu kali haji saja jika sepertiga harta itu cukup untuk lebih dari satu kali haji.

وَلَا يُزَادُ أَحَدٌ عَلَى أُجْرَةِ مِثْلِهِ مِنْ بَلَدِ الْمُوصِي، لَا مِنْ مِيقَاتِهِ، لِأَنَّ كُلَّ ذَلِكَ تَطَوُّعٌ، فَاعْتُبِرَ فِيهِ أَكْمَلُ الْأَحْوَالِ.

Tidak boleh seseorang diberi upah lebih dari upah yang lazim dari negeri orang yang berwasiat, bukan dari miqatnya, karena semua itu adalah bentuk tathawwu‘ (sukarela), sehingga yang dijadikan ukuran adalah keadaan yang paling sempurna.

فَإِنِ اتَّسَعَ الثُّلُثُ لِثَلَاثِ حِجَجٍ، فَاقْتَصَرَ في صرفه على حجتين ضمن الموصي الْحَجَّةَ الثَّالِثَةَ فِي مَالِهِ.

Jika sepertiga harta cukup untuk tiga kali haji, namun hanya digunakan untuk dua kali haji, maka orang yang berwasiat wajib menanggung haji ketiga dari hartanya sendiri.

فَلَوِ اتَّسَعَ الثُّلُثُ لحجتين، وفضلت فضلة، لم تتسع لحجة ثالثة مِنْ بَلَدِهِ، نُظِرَ فِيهَا.

Jika sepertiga harta cukup untuk dua kali haji, dan masih ada sisa, namun tidak cukup untuk haji ketiga dari negerinya, maka sisa itu perlu diperhatikan.

فَإِنْ أَمْكَنَ أَنْ يَحُجَّ بِهَا عَنْهُ مِنْ مِيقَاتِهِ: صُرِفَتْ فِي حَجَّةٍ مِنَ الْمِيقَاتِ، وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ أَنْ يصرف من الميقات وإلا ردت على الورثة ميراثا، ولم يزد عَلَى الْحَجَّتَيْنِ بِخِلَافِ الْفَاضِلِ عَنْ ثَمَنِ الرَّقَبَتَيْنِ، لِأَنَّ أَثْمَانَ الرِّقَابِ تَخْتَلِفُ، فَرُدَّتِ الْفَضْلَةُ فِي أثمانها لوفور الأجر بتوافر أثمانها وأجور الحج غَيْرُ مُخْتَلِفَةٍ.

Jika memungkinkan untuk menghajikannya dari miqat dengan sisa tersebut, maka digunakan untuk satu kali haji dari miqat. Jika tidak memungkinkan untuk digunakan dari miqat, maka sisa itu dikembalikan kepada ahli waris sebagai warisan, dan tidak boleh digunakan untuk lebih dari dua kali haji, berbeda dengan sisa dari harga dua budak, karena harga budak berbeda-beda, sehingga sisa dari harga budak dikembalikan pada harga budak karena banyaknya pahala yang didapat dari banyaknya harga budak, sedangkan upah haji tidak berbeda-beda.

فَلَوْ أَمْكَنَ صَرْفُ الْفَضْلَةِ فِي عُمْرَةٍ: لَمْ تُصْرَفْ فِيهَا، لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ فِي الْحَجِّ، لَا فِي الْعُمْرَةِ.

Jika memungkinkan sisa tersebut digunakan untuk umrah, maka tidak boleh digunakan untuk umrah, karena wasiatnya adalah untuk haji, bukan untuk umrah.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْحَالُ الرَّابِعَةُ: وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: أَحِجُّوا عَنِّي، وَلَا يَذْكُرُ بِكُمْ، فَيُحَجُّ عَنْهُ حَجَّةً وَاحِدَةً، بِأُجْرَةِ الْمِثْلِ مِنْ بَلَدِهِ، لَا مِنْ مِيقَاتِهِ، إِنِ احتمل الثلث ذلك.

Adapun keadaan keempat: yaitu jika ia berkata, “Hajikanlah aku,” dan tidak menyebutkan jumlahnya, maka dihajikan untuknya satu kali haji dengan upah yang lazim dari negerinya, bukan dari miqatnya, jika sepertiga harta mencukupi untuk itu.

وإن لم يحتمل، فمن حيث احتمل الثلث ذلك من الميقات.

Jika tidak mencukupi, maka dihajikan dari tempat yang memungkinkan dengan sepertiga harta tersebut, yaitu dari miqat.

وإن لم يحتمل حجة من الميقات: بطلت الوصية، وعادت ميراثا.

Jika tidak mencukupi untuk satu kali haji dari miqat, maka wasiat tersebut batal dan kembali menjadi warisan.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ قَالَ أَحِجُّوا عَنِّي رَجُلًا بِمِائَةِ دِرْهَمٍ وَأَعْطُوا مَا بَقِيَ مِنْ ثُلُثِي فُلَانًا وَأَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ لِرَجُلٍ بِعَيْنِهِ فَلِلْمُوصَى لَهُ بِالثُّلُثِ نِصْفُ الثُّلُثِ وَلِلْحَاجِّ وَالْمُوصَى لَهُ بِمَا بَقِيَ مِنَ الثُّلُثِ، نِصْفُ الثُّلُثِ وَيَحُجُّ عَنْهُ رَجُلٌ بمائة “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Hajikanlah aku oleh seorang laki-laki dengan seratus dirham dan berikan sisa dari sepertiga hartaku kepada si Fulan,’ dan ia berwasiat sepertiga hartanya kepada seorang laki-laki tertentu, maka untuk penerima wasiat sepertiga harta mendapat setengah dari sepertiga, dan untuk orang yang berhaji dan penerima sisa sepertiga, masing-masing mendapat setengah dari sepertiga, dan yang menghajikannya diberi seratus dirham.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي رَجُلٍ قَالَ فِي وَصِيَّتِهِ: أَحِجُّوا عَنِّي رَجُلًا بِمِائَةِ دِرْهَمٍ، وَأَعْطُوا مَا بَقِيَ مِنْ ثُلُثِي فُلَانًا، وَأَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ لِرَجُلٍ ثَالِثٍ.

Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah: Seseorang berkata dalam wasiatnya, “Hajikanlah aku oleh seorang laki-laki dengan seratus dirham, dan berikan sisa dari sepertiga hartaku kepada si Fulan,” dan ia berwasiat sepertiga hartanya kepada orang ketiga.

فَهَذَا رَجُلٌ قَدْ أَوْصَى بِثُلُثَيْ مَالِهِ. فَإِنْ أَجَازَ الْوَرَثَةُ ذَلِكَ دُفِعَ إلى الموصى له بالثلث ثلث المال كاملا ولا يشاركه فيه أحد، ودفع الثُّلُثِ الْآخَرِ مِائَةُ دِرْهَمٍ، إِلَى الْمُوصَى لَهُ بالحج، بالثلث ولا يشاركه فيه أحد.

Ini berarti seseorang telah berwasiat dengan dua pertiga hartanya. Jika ahli waris mengizinkan hal itu, maka diberikan kepada penerima wasiat sepertiga harta secara penuh dan tidak ada yang mendapat bagian bersamanya, dan sepertiga lainnya diberikan seratus dirham kepada penerima wasiat untuk haji, dan tidak ada yang mendapat bagian bersamanya.

فإن بقيت من الثلث بعد ذلك رقبة: دُفِعَتْ إِلَى الْمُوصَى لَهُ بِمَا بَقِيَ مِنَ الثلث، وسواء قلت النفقة، أو كثرت.

Jika masih tersisa dari sepertiga setelah itu sejumlah harga budak, maka diberikan kepada penerima wasiat atas sisa sepertiga tersebut, baik biaya yang dikeluarkan sedikit maupun banyak.

فَإِنْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الثُّلُثِ بَعْدَ الْمِائَةِ شيء، فلا شيء إلى الموصى لَهُ بِمَا بَقِيَ، لِأَنَّهُ لَمْ يَبْقَ مِنْهُ شَيْءٌ.

Jika tidak tersisa apa pun dari sepertiga setelah seratus dirham, maka tidak ada bagian untuk penerima wasiat atas sisa sepertiga, karena memang tidak ada yang tersisa.

فَهَذَا حُكْمُ الْوَصِيَّةِ إِذَا أَجَازَهَا الْوَرَثَةُ.

Inilah hukum wasiat jika diizinkan oleh ahli waris.

فإما إذا لم يجزها: ردت الوصايا كلها إلى الثلث: ثم نظر: فَإِنْ كَانَ الثُّلُثُ مِائَةَ دِرْهَمٍ فَمَا دُونَ: فَلَا شَيْءَ لِلْمُوصَى لَهُ بِمَا بَقِيَ مِنَ الثلث. وانقسم الثلث الموصى له بالمائة بالحج، وَالْمُوصَى لَهُ بِالثُّلُثِ نِصْفَيْنِ، يَتَعَادَلَانِ فِيهِ، كَمَا يَتَعَادَلُ أَهْلُ الْوَصَايَا، إِذَا ضَاقَ الثُّلُثُ عَنْهَا.

Adapun jika tidak diizinkan: maka seluruh wasiat dikembalikan kepada sepertiga harta, lalu dilihat: jika sepertiga itu seratus dirham atau kurang, maka tidak ada bagian untuk penerima wasiat atas sisa sepertiga. Sepertiga itu dibagi rata antara penerima wasiat seratus dirham untuk haji dan penerima wasiat sepertiga, masing-masing setengah, sebagaimana pembagian rata di antara para penerima wasiat jika sepertiga harta tidak mencukupi untuk semuanya.

فَإِنْ لَمْ يَجِدْ بِمَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ مِنَ الْمِائَةِ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ، عَادَتْ مِيرَاثًا، وَلَمْ تَعُدْ عَلَى الْمُوصَى لَهُ بِالثُّلُثِ، وَلَا عَلَى الْمُوصَى لَهُ، بِمَا بَقِيَ مِنَ الثُّلُثِ.

Jika tidak ditemukan orang yang dapat menghajikannya dengan jumlah yang tertampung dalam sepertiga dari seratus dirham, maka kembali menjadi warisan, dan tidak kembali kepada penerima wasiat sepertiga, maupun kepada penerima wasiat atas sisa sepertiga.

وَإِنْ كَانَ الثُّلُثُ أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ دِرْهَمٍ، فَإِنَّ الْمُوصَى لَهُ بِالْمِائَةِ فِي الْحَجِّ، وَالْمُوصَى لَهُ بِمَا بَقِيَ مِنَ الثُّلُثِ، يُعَادِلَانِ الْمُوصَى لَهُ بِالثُّلُثِ، وَإِحْدَى الْوَصِيَّتَيْنِ تُعَادِلُ الْأُخْرَى، فَيُقَسَّمُ الثُّلُثُ بينهما نصفين، أو أعطى الْمُوصَى لَهُ بِالثُّلُثِ نِصْفَهُ. وَهُوَ السُّدُسُ، وَدَخَلَ عَلَيْهِ مِنْ نَقْصِ الْعَوْلِ: نِصْفُ وَصِيَّتِهِ، لِأَنَّ وصيته، رَجَعَتْ إِلَى نِصْفِهَا.

Jika sepertiga (harta) lebih dari seratus dirham, maka penerima wasiat seratus dirham untuk haji dan penerima wasiat dari sisa sepertiga, keduanya setara dengan penerima wasiat sepertiga. Salah satu dari kedua wasiat itu setara dengan yang lainnya, sehingga sepertiga dibagi antara keduanya menjadi dua bagian sama, atau penerima wasiat sepertiga mendapat setengahnya, yaitu seperenam. Dan ia terkena pengurangan karena ‘aul: setengah wasiatnya, karena wasiatnya kembali menjadi setengah dari semula.

وَأَمَّا النِّصْفُ الْآخَرُ مِنَ الثُّلُثِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Adapun setengah lain dari sepertiga, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ، وَبِهِ قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ، يُقَدَّمُ فِيهِ الْمُوصَى لَهُ بِالْمِائَةِ فِي الْحَجِّ، عَلَى الْمُوصَى لَهُ بِمَا بَقِيَ مِنَ الثُّلُثِ حَتَّى يَسْتَوْفِيَ مِائَتَهُ، ثُمَّ يَأْخُذُ الْآخَرُ بَقِيَّتَهُ، لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ بما بقي بعد المائة، لا تستحق قبل كمال المائة لاستحالتها فَعَادَ صَاحِبُ الثُّلُثِ بِهِ تَوْفِيرًا عَلَى صَاحِبِ المائة، بما يعاد الجد بالأخوة من الأب، توفيرا على الأخ من الأب وَالْأُمِّ.

Salah satunya, dan ini yang tampak dari perkataan asy-Syafi‘i, serta pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa dalam hal ini penerima wasiat seratus dirham untuk haji didahulukan atas penerima wasiat dari sisa sepertiga hingga ia menerima seratusnya secara penuh, kemudian yang lain mengambil sisanya. Karena wasiat untuk sisa setelah seratus tidak berhak diterima sebelum seratus itu terpenuhi, sebab mustahil (memenuhinya sebelum itu). Maka penerima sepertiga diuntungkan demi penerima seratus, sebagaimana kakek diuntungkan atas saudara dari ayah, demi saudara dari ayah dan ibu.

فَعَلَى هَذَا: إِنْ كَانَ نِصْفُ الثُّلُثِ، مِائَةَ دِرْهَمٍ فَمَا دُونَ، أَخَذَهُ الْمُوصَى لَهُ بِالْمِائَةِ، وَلَا شَيْءَ لِلْمُوصَى لَهُ بِمَا بَقِيَ.

Berdasarkan hal ini: jika setengah sepertiga adalah seratus dirham atau kurang, maka penerima wasiat seratus dirham mengambil semuanya, dan tidak ada bagian bagi penerima wasiat dari sisa sepertiga.

وَإِنْ كَانَ نِصْفُ الثُّلُثِ أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ دِرْهَمٍ، أَخَذَ مِنْهُ الْمُوصَى لَهُ بِالْمِائَةِ، مِائَةَ دِرْهَمٍ كَامِلَةً وَأَخَذَ الْمُوصَى لَهُ بِمَا بَقِيَ الْفَاضِلَ عَلَى الْمِائَةِ بَالِغًا مَا بَلَغَ.

Dan jika setengah sepertiga lebih dari seratus dirham, maka penerima wasiat seratus dirham mengambil seratus dirham penuh darinya, dan penerima wasiat dari sisa sepertiga mengambil kelebihan di atas seratus, berapapun jumlahnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ: أن الموصى له بالمائة والحج، وَالْمُوصَى لَهُ بِمَا بَقِيَ مِنَ الثُّلُثِ يَتَعَادَلَانِ فيه.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj: bahwa penerima wasiat seratus dirham untuk haji dan penerima wasiat dari sisa sepertiga, keduanya setara dalam hal ini.

وإن كَانَ الثُّلُثُ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ: فَهُمَا مُتَسَاوِيَانِ فِيهِ لو كمل. وإذا عَادَ الثُّلُثُ الَّذِي جُعِلَ لَهُمَا إِلَى نِصْفِهِ، وَهُوَ مِائَةُ دِرْهَمٍ جُعِلَتِ الْمِائَةُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ، لِيَكُونَا فِيهِ مُتَسَاوِيَيْنِ.

Jika sepertiga adalah dua ratus dirham, maka keduanya setara di dalamnya jika penuh. Jika sepertiga yang diberikan kepada keduanya kembali menjadi setengahnya, yaitu seratus dirham, maka seratus itu dibagi antara keduanya menjadi dua bagian sama, agar keduanya setara di dalamnya.

وَلَوْ كَانَ الثُّلُثَ، مِائَةً وخمسين درهما، فللموصى له بالمائة مثل مَا لِلْمُوصَى لَهُ بِمَا بَقِيَ فَيَكُونُ نِصْفُ الثلث وخمسة وَسَبْعُونَ دِرْهَمًا بَيْنَهُمَا عَلَى ثَلَاثَةٍ، لِلْمُوصَى لَهُ بالمائة، نصف ما كان يأخذه من الثلث، وَهُوَ خَمْسُونَ دِرْهَمًا. وَلِلْمُوصَى لَهُ بِمَا بَقِيَ: نصف ما كان يأخذه من الثلث، وهو خمسة وعشرون درهما.

Jika sepertiga adalah seratus lima puluh dirham, maka penerima wasiat seratus dirham mendapat bagian yang sama dengan penerima wasiat dari sisa sepertiga. Maka setengah sepertiga, yaitu tujuh puluh lima dirham, dibagi di antara keduanya menjadi tiga bagian: untuk penerima wasiat seratus dirham, setengah dari apa yang ia terima dari sepertiga, yaitu lima puluh dirham. Dan untuk penerima wasiat dari sisa sepertiga: setengah dari apa yang ia terima dari sepertiga, yaitu dua puluh lima dirham.

وإن كان الثلث ثلاث مائة: كان للموصى له بما بقي ثلثي ما للموصى له بالمائة، فيكون نصف الثلث، وهو مائة وخمسون [درهما] وللموصى له بما بقي وهو مائة درهم.

Jika sepertiga adalah tiga ratus, maka penerima wasiat dari sisa sepertiga mendapat dua pertiga dari apa yang didapat penerima wasiat seratus dirham, sehingga setengah sepertiga, yaitu seratus lima puluh dirham, dan untuk penerima wasiat dari sisa sepertiga adalah seratus dirham.

ولو كان الثلث أربع مائة درهم: كان للموصى لَهُ بِمَا بَقِيَ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ فيكون نصف الثلث وهو مائتا [درهم] بينهما على أربعة أسهم.

Jika sepertiga adalah empat ratus dirham, maka penerima wasiat dari sisa sepertiga mendapat tiga perempat, sehingga setengah sepertiga, yaitu dua ratus dirham, dibagi di antara keduanya menjadi empat bagian.

فللموصى له بالمائة ربع ما كان يأخذه وهو مائة وخمسون. وللموصى له بما بقي ثلاثة أرباع ما كان يأخذه. وَهُوَ مِائَةٌ وَخَمْسُونَ. ثُمَّ عَلَى هَذَا الْقِيَاسِ.

Maka untuk penerima wasiat seratus dirham adalah seperempat dari apa yang ia terima, yaitu seratus lima puluh. Dan untuk penerima wasiat dari sisa sepertiga adalah tiga perempat dari apa yang ia terima, yaitu seratus lima puluh. Kemudian demikianlah seterusnya menurut qiyās.

هذا فيما زاد أو نقص. وَهَذَا أَصَحُّ الْوَجْهَيْنِ، لِأَنَّهُ إِنَّمَا أَوْصَى بِالْمِائَةِ لصاحب المال مِنْ كُلِّ الثُّلُثِ، لَا مِنْ بَعْضِهِ، فَلَمْ يجز أن يأخذ نِصْفِ الثُّلُثِ مَا كَانَ يَأْخُذُهُ مِنْ جَمِيعِهِ.

Ini berlaku baik jumlahnya bertambah maupun berkurang. Dan ini adalah pendapat yang paling sahih dari dua pendapat, karena ia hanya mewasiatkan seratus kepada pemilik harta dari seluruh sepertiga, bukan dari sebagian saja, maka tidak boleh ia mengambil setengah sepertiga sebagaimana yang ia ambil dari seluruhnya.

فَصْلٌ:

Fashl (Bagian):

فَأَمَّا إِذَا ابْتَدَأَ بِالْوَصِيَّةِ بِثُلُثِ مَالِهِ لرجل. ثم أوصى بأن يَحُجَّ عَنْهُ رَجُلٌ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ، ثُمَّ أَوْصَى بِالْبَاقِي مِنْ ثُلُثِهِ لِآخَرَ.

Adapun jika ia memulai wasiat dengan sepertiga hartanya untuk seseorang, lalu ia berwasiat agar seseorang menghajikannya dengan seratus dirham, kemudian ia berwasiat dengan sisa sepertiganya untuk orang lain.

فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا في الموصى له بالباقي [في] هذا الْمَسْأَلَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Maka para sahabat kami berbeda pendapat tentang penerima wasiat dari sisa (sepertiga) dalam masalah ini menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ المروزي: أنها باطلة، لأن تقدم الوصية بالثلث، يمنع أَنْ يَبْقَى شَيْءٌ مِنَ الثُّلُثِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: bahwa wasiat tersebut batal, karena mendahulukan wasiat dengan sepertiga mencegah adanya sisa dari sepertiga.

فَعَلَى هَذَا: إن أجاز الوصية الورثة بالثلث وبالمائة: إمضاء.

Berdasarkan hal ini: jika para ahli waris mengizinkan wasiat sepertiga dan seratus dirham, maka dilaksanakan.

وإن لم يجيزوها: رُدَّا إِلَى الثُّلُثِ، وَتَعَادَلَ فِيهِ صَاحِبُ الثُّلُثِ وَالْمُوصَى لَهُ بِالْمِائَةِ، ثُمَّ يُنْظَرُ قَدْرَ الثُّلُثِ. فإن كان مائة درهم، فقد تساوت وصيتهما، فَيَقْتَسِمَانِ الثُّلُثَ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ.

Dan jika mereka tidak mengizinkannya, maka dikembalikan kepada sepertiga, dan penerima sepertiga serta penerima wasiat seratus dirham dipersamakan dalam sepertiga itu, kemudian dilihat berapa besar sepertiganya. Jika sepertiganya seratus dirham, maka wasiat keduanya sama, sehingga mereka berdua membagi sepertiga itu menjadi dua bagian sama.

وَإِنْ كَانَ الثُّلُثُ، خمس مائة دِرْهَمٍ: كَانَ الثُّلُثُ مَقْسُومًا بَيْنَهُمَا عَلَى سِتَّةِ أَسْهُمٍ، لِلْمُوصَى لَهُ بِالثُّلُثِ خَمْسَةُ أَسْهُمٍ، وَلِلْمُوصَى له بالمائة سهم.

Jika sepertiga (harta) adalah lima ratus dirham, maka sepertiga itu dibagi di antara keduanya menjadi enam bagian: bagi penerima wasiat sepertiga mendapat lima bagian, dan bagi penerima wasiat seratus mendapat satu bagian.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ الْجَوَابَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ إِذَا قَدَّمَ الْوَصِيَّةَ بِالثُّلُثِ، كَالْجَوَابِ فِي الْمَسْأَلَةِ الْأَوْلَى، إِذَا أَخَّرَ الْوَصِيَّةَ بِالثُّلُثِ، لِأَنَّهُ إِذَا أَوْصَى بِالْمِائَةِ بَعْدَ الثُّلُثِ، عُلِمَ أَنَّهُ لَمْ يُرَدَّ ذَلِكَ الثُّلُثُ لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ الْأُولَى قَدِ اسْتَوْعَبَتْهُ، وَلَوْلَا ذَلِكَ، لَبَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ بِالْمِائَةِ وَإِنَّمَا أراد ثلثا ثانيا.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Ibnu Abi Hurairah, bahwa jawaban dalam masalah ini jika wasiat sepertiga didahulukan, sama seperti jawaban pada masalah pertama jika wasiat sepertiga diakhirkan. Karena jika seseorang berwasiat seratus setelah sepertiga, maka diketahui bahwa sepertiga itu tidak dimaksudkan lagi, sebab wasiat pertama telah mencakupnya. Kalau tidak demikian, maka wasiat seratus menjadi batal, dan yang dimaksud adalah sepertiga yang kedua.

فإذا أوصى بعد الْمِائَةَ بِمَا بَقِيَ مِنَ الثُّلُثِ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ أَرَادَ مَا بَقِيَ مِنَ الثُّلُثِ الثَّانِي وصار موصا بِثُلُثَيْ مَالِهِ فَإِذَا امْتَنَعَ الْوَرَثَةُ مِنْ إِجَازَتِهِ، رُدَّ الثُّلُثَانِ إِلَى الثُّلُثِ فَجُعِلَ نِصْفُ الثُّلُثِ لِصَاحِبِ الثُّلُثِ، وَكَانَ النِّصْفُ الْآخَرُ بَيْنَ الْمُوصَى لَهُ بِالْمِائَةِ وَبَيْنَ الْمُوصَى لَهُ بِالْبَاقِي عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ.

Maka jika ia berwasiat setelah seratus dengan apa yang tersisa dari sepertiga, hal itu menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah sisa dari sepertiga yang kedua, sehingga ia menjadi berwasiat dengan dua pertiga hartanya. Jika para ahli waris tidak mengizinkan, maka dua pertiga itu dikembalikan menjadi sepertiga, sehingga setengah dari sepertiga diberikan kepada penerima sepertiga, dan setengah lainnya dibagi antara penerima wasiat seratus dan penerima sisa, sebagaimana telah dijelaskan pada dua pendapat sebelumnya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا أَوْصَى بِعَبْدِهِ لِرَجُلٍ، وَأَوْصَى بِبَاقِي الثُّلُثِ لِآخَرَ قُوِّمَ الْعَبْدُ بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي. فَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ الثُّلُثَ فَصَاعِدًا فَالْوَصِيَّةُ بِالْبَاقِي مِنَ الثُّلُثِ بَاطِلَةٌ.

Jika seseorang berwasiat dengan budaknya untuk seseorang, dan berwasiat dengan sisa sepertiga untuk orang lain, maka budak itu dinilai setelah wafatnya pewasiat. Jika nilainya sepertiga atau lebih, maka wasiat dengan sisa sepertiga menjadi batal.

وَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ أَقَلَّ مِنَ الثُّلُثِ، مِثْلَ أن يكون قيمة العبد ألف درهم والثلث ألف وخمس مائة، فالوصية بالباقي من الثلث جائزة وقدرها خمس مائة دِرْهَمٍ.

Jika nilainya kurang dari sepertiga, misalnya nilai budak seribu dirham dan sepertiga adalah seribu lima ratus, maka wasiat dengan sisa sepertiga sah dan kadarnya adalah lima ratus dirham.

فَلَوْ نَقَصَتْ قِيمَةُ الْعَبْدِ بَعْدَ ذَلِكَ عَنِ الْأَلْفِ مِثْلَ أَنْ يَصِيرَ أَعْوَرَ فَيُسَاوِي بعد عوره سبع مائة، فلا يزاد الموصى له بالباقي على الخمس مائة التي كانت قيمة الثُّلُثِ بَعْدَ قِيمَةِ الْعَبْدِ سَلِيمًا عِنْدَ الْمَوْتِ ولا يحتسب للعبد في الثلث إذا كان عوره بعض قبض الموصى له إلا سبع مائة، وَيَكُونُ نَقْصُهُ بِالْعَوَرِ، كَالشَّيْءِ التَّالِفِ مِنَ التَّرِكَةِ.

Jika setelah itu nilai budak berkurang dari seribu, misalnya menjadi buta sebelah sehingga nilainya setelah buta menjadi tujuh ratus, maka penerima wasiat dengan sisa tidak mendapat lebih dari lima ratus, yaitu sisa sepertiga setelah nilai budak dalam keadaan sehat saat wafat. Dan budak itu dalam sepertiga hanya dihitung tujuh ratus jika butanya terjadi setelah penerima wasiat menerima, dan kekurangannya karena buta dianggap seperti harta warisan yang rusak.

وعلى هَذَا: لَوْ زَادَتْ قِيمَةُ الْعَبْدِ عَلَى الْأَلْفِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَقَبْلَ قَبْضِ الْمُوصَى لَهُ حَتَّى صَارَ يُسَاوِي أَلْفَ دِرْهَمٍ وَمِائَتَيْ دِرْهَمٍ، لَمْ ينقص الموصى له بالباقي عن الخمس مائة الَّتِي كَانَتْ بَقِيَّةَ الثُّلُثِ مِنْ قِيمَةِ الْعَبْدِ بعد موت الموصي.

Demikian pula, jika nilai budak bertambah lebih dari seribu setelah wafat dan sebelum penerima wasiat menerima, hingga nilainya menjadi seribu dua ratus dirham, maka penerima wasiat dengan sisa tidak kurang dari lima ratus, yaitu sisa sepertiga dari nilai budak setelah wafatnya pewasiat.

فَلَوْ مَاتَ الْعَبْدُ بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي، وَقَبْلَ قَبْضِ الْمُوصَى لَهُ: لَمْ تَبْطُلِ الْوَصِيَّةُ بِبَاقِي الثُّلُثِ، وَقُوِّمَ الْعَبْدُ حَيًّا عِنْدَ مَوْتِ الْمُوصِي. ولو مات الموصى له فِي حَيَاةِ الْمُوصِي، بَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ بِهِ.

Jika budak itu meninggal setelah wafatnya pewasiat dan sebelum penerima wasiat menerima, maka wasiat dengan sisa sepertiga tidak batal, dan budak itu dinilai dalam keadaan hidup saat wafatnya pewasiat. Jika penerima wasiat meninggal saat pewasiat masih hidup, maka wasiat untuknya batal.

فَأَمَّا الوصية بالباقي من الثلث بعد موت العبد فينظر: فإن جوز أن ينتهي قيمة العبد إن كان حيا إلى استغراق الثلث: صار الْوَصِيَّةُ بِالْبَاقِي مِنَ الثُّلُثِ بَاطِلَةً، لِتَرَدُّدِهَا بَيْنَ الثُّبُوتِ وَالْإِسْقَاطِ.

Adapun wasiat dengan sisa sepertiga setelah budak meninggal, maka dilihat: jika mungkin nilai budak jika masih hidup bisa mencapai sepertiga atau lebih, maka wasiat dengan sisa sepertiga menjadi batal karena tidak jelas antara tetap dan gugur.

وَإِنْ عُلِمَ قَطْعًا أَنَّ قِيمَتَهُ لا تجوز أن تستغرق الثلث: كانت الوصية بالباقي من الثُّلُثِ جَائِزَةً، وَرُجِعَ فِيهَا إِلَى قَوْلِ الْوَارِثِ مَعَ يَمِينِهِ أَنْ تُوَزَّعَ.

Namun jika dipastikan nilainya tidak mungkin mencapai sepertiga, maka wasiat dengan sisa sepertiga sah, dan dalam hal ini kembali kepada pernyataan ahli waris dengan sumpahnya agar dibagikan.

وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.

Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ أَوْصَى بِأَمَةٍ لِزَوْجِهَا وَهُوَ حُرٌّ فَلَمْ يعلم حتى وضعت له بَعْدَ مَوْتِ سَيِّدِهَا أَوْلَادًا فَإِنْ قَبِلَ عُتِقُوا وَلَمْ تَكُنْ أُمُّهُمْ أُمَّ وَلَدٍ حَتَّى تَلِدَ منه بعد قبوله بستة أَشْهُرٍ فَأَكْثَرَ لِأَنَّ الْوَطْءَ قَبْلَ الْقَبُولِ وَطْءُ نكاح ووطء الْقَبُولِ وَطْءُ مِلْكٍ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berwasiat dengan seorang budak perempuan untuk suaminya yang merdeka, lalu ia tidak tahu hingga budak itu melahirkan anak-anak untuknya setelah wafat tuannya, maka jika ia menerima, anak-anak itu menjadi merdeka. Namun ibu mereka tidak menjadi ummu walad hingga ia melahirkan anak darinya setelah penerimaan itu selama enam bulan atau lebih, karena hubungan sebelum penerimaan adalah hubungan pernikahan, sedangkan hubungan setelah penerimaan adalah hubungan kepemilikan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ لهذه المسألة ثلاثة مقدمات لا يصح جَوَابُهَا إِلَّا بِتَقْرِيرِ مُقَدَّمَاتِهَا. أَحَدُهَا: الْحَمْلُ هَلْ يَكُونُ لَهُ حُكْمٌ يَخْتَصُّ بِهِ؟ أَوْ يَكُونُ تَبَعًا لَا يَخْتَصُّ بِحُكْمٍ وَفِيهِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: إنَّ لَهُ حُكْمًا مَخْصُوصًا، وَيَصِحُّ أَنْ يَكُونَ مَعْلُومًا، وَأَنَّ الْحَامِلَ إِذَا بِيعَتْ يُقَسَّطُ الثَّمَنُ عليها، وعلى الحمل المستجد فِي بَطْنِهَا، لِأَنَّهُ لَمَّا صَحَّ أَنْ يُعْتَقَ الحمل فلا يسري إلى أم وَيُوصَى بِهِ لِغَيْرِ مَالِكِ الْأُمِّ، دَلَّ عَلَى اختصاصه بالحكم وتمييزه عَنِ الْأُمِّ.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa masalah ini memiliki tiga mukadimah yang jawabannya tidak sah kecuali dengan penjelasan mukadimah-mukadimahnya. Pertama: Apakah janin memiliki hukum yang khusus baginya? Ataukah ia hanya mengikuti (ibunya) dan tidak memiliki hukum khusus? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: Pertama, bahwa janin memiliki hukum khusus, dan bisa diketahui secara pasti, serta jika seorang wanita hamil dijual maka harga jualnya dibagi antara dirinya dan janin yang ada dalam kandungannya. Karena ketika janin sah untuk dimerdekakan, maka kemerdekaan itu tidak menular kepada ibunya, dan janin bisa diwasiatkan kepada selain pemilik ibunya, hal ini menunjukkan bahwa janin memiliki hukum tersendiri dan berbeda dari ibunya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ الْحَمْلَ يَكُونُ تبعا لا يَخْتَصُّ بِحُكْمٍ وَلَا يَكُونُ مَعْلُومًا، لِأَنَّهُ لَمَّا سَرَى عِتْقُ الْأُمِّ إِلَيْهِ صَارَ تَبَعًا لَهَا كأعصابها، ولما جاز أن يكون موجودا أو معدوما: لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مَعْلُومًا فَهَذِهِ مُقَدِّمَةٌ.

Pendapat kedua: Janin itu hanya mengikuti (ibunya), tidak memiliki hukum khusus dan tidak bisa diketahui secara pasti, karena ketika kemerdekaan ibunya menular kepadanya, maka ia menjadi pengikut ibunya seperti halnya urat-uratnya. Dan karena janin bisa jadi ada atau tidak ada, maka tidak sah untuk dianggap sebagai sesuatu yang pasti. Inilah mukadimah pertama.

وَالْمُقَدِّمَةُ الثَّانِيَةُ: وَهِيَ أَقَلُّ مُدَّةِ الْحَمْلِ وَهِيَ ستة أشهر لا يجوز أن يحيى ولد وضع لأقل من ستة أشهر اعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ الْمَعْهُودِ ثُمَّ بِالنَّصِّ الْوَارِدِ. قَالَ تَعَالَى: {وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا} [الأحقاف: 15] .

Mukadimah kedua: Yaitu masa minimal kehamilan, yaitu enam bulan. Tidak boleh dianggap hidup anak yang lahir kurang dari enam bulan, berdasarkan kebiasaan yang berlaku, kemudian berdasarkan nash yang ada. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan masa mengandungnya dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan} (QS. Al-Ahqaf: 15).

فَلَمَّا كَانَ الْفِصَالُ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ، دَلَّ عَلَى أَنَّ السِّتَّةَ الْأَشْهُرَ الْبَاقِيَةَ هِيَ أَقَلُّ مُدَّةِ الْحَمْلِ.

Ketika masa menyapih adalah dua tahun penuh, maka tersisa enam bulan yang merupakan masa minimal kehamilan.

فَإِنْ وَلَدَتْ زَوْجَةُ رَجُلٍ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أشهر من عقد نكاحها، وولدت أمة لأقل من ستة أشهر من وَطْءِ سَيِّدِهَا: كَانَ الْوَلَدُ مُنْتَفِيًا عَنْهُ، وَغَيْرَ لَاحِقٍ بِهِ.

Jika istri seorang laki-laki melahirkan kurang dari enam bulan sejak akad nikahnya, atau seorang budak perempuan melahirkan kurang dari enam bulan sejak digauli oleh tuannya, maka anak tersebut tidak dinisbatkan kepadanya dan tidak dianggap sebagai keturunannya.

وَالْمُقَدِّمَةُ الثَّالِثَةُ: مِلْكُ الْوَصِيَّةِ مَتَى يحصل للموصى له، ويدخل فِي مِلْكِهِ؟

Mukadimah ketiga: Kapan kepemilikan wasiat diperoleh oleh penerima wasiat, dan kapan masuk ke dalam kepemilikannya?

وَفِيهِ قَوْلَانِ مَنْصُوصَانِ:

Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang dinukilkan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَمْلِكُ الْوَصِيَّةَ بِالْقَبُولِ. وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا قَبْلَ الْقَبُولِ وَبَعْدَ الْمَوْتِ، عَلَى هَذَا الْقَوْلِ، هَلْ تَكُونُ بَاقِيَةً عَلَى مِلْكِ الْمُوصِي، أَوْ دَاخِلَةً فِي مِلْكِ الْوَرَثَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pertama: Bahwa penerima wasiat memiliki wasiat tersebut dengan penerimaan (qabūl). Para ulama kami berbeda pendapat mengenai status wasiat sebelum diterima dan setelah kematian (pewasiat), menurut pendapat ini, apakah tetap menjadi milik pewasiat ataukah masuk ke dalam kepemilikan ahli waris, terdapat dua wajah:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ وَأَكْثَرِ الْبَصْرِيِّينَ: أَنَّ مِلْكَ الْوَصِيَّةِ مُنْتَقِلٌ عَنِ الْمَيِّتِ إِلَى وَرَثَتِهِ، ثُمَّ بالقبول يدخل فِي مِلْكِ الْمُوصَى لَهُ لِزَوَالِ مِلْكِ الْمُوصِي بِالْمَوْتِ.

Pertama, yaitu pendapat Ibnu Surayj dan mayoritas ulama Basrah: Bahwa kepemilikan wasiat berpindah dari mayit kepada ahli warisnya, kemudian dengan penerimaan (qabūl) masuk ke dalam kepemilikan penerima wasiat, karena kepemilikan pewasiat hilang dengan kematiannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ – وَأَكْثَرِ الْبَغْدَادِيِّينَ أَنَّ الْوَصِيَّةَ بَاقِيَةٌ عَلَى مِلْكِ الْمُوصِي بَعْدَ مَوْتِهِ حَتَّى يَقْبَلَهَا الْمُوصَى لَهُ فَتَدْخُلُ فِي مِلْكِهِ بِقَبُولِهِ، وَتَنْتَقِلُ إِلَيْهِ عَنِ الْمُوصِي، لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ تُمَلَّكُ عَنْهُ كَالْمِيرَاثِ.

Wajah kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan mayoritas ulama Baghdad: Bahwa wasiat tetap menjadi milik pewasiat setelah kematiannya sampai diterima oleh penerima wasiat, lalu masuk ke dalam kepemilikannya dengan penerimaan tersebut, dan berpindah kepadanya dari pewasiat, karena wasiat dimiliki darinya seperti warisan.

وَوَجْهُ هَذَا الْقَوْلِ، بِأَنَّ الْوَصِيَّةَ تُمَلَّكُ بِالْقَبُولِ هُوَ أَنَّهَا عَطِيَّةٌ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَقَدَّمَ الملك على قبولها كالهبات.

Dasar pendapat ini, bahwa wasiat dimiliki dengan penerimaan (qabūl), karena ia adalah pemberian, maka tidak boleh kepemilikan mendahului penerimaannya seperti halnya hibah.

قال الشافعي: ” وهذا قول ينكسر ” اهـ.

Imam Syafi‘i berkata: “Ini adalah pendapat yang lemah.” Selesai.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّهُمَا: أَنَّ الْقَبُولَ يَدُلُّ عَلَى حُصُولِ الْمِلْكِ بِالْمَوْتِ، فَيَكُونُ الْمِلْكُ مَوْقُوفًا، فإذا قبل حمل عَلَى تَقَدُّمِ مِلْكِهِ.

Pendapat kedua, dan ini yang paling shahih: Bahwa penerimaan (qabūl) menunjukkan terjadinya kepemilikan sejak kematian (pewasiat), sehingga kepemilikan itu menjadi mu‘allaq (tergantung), jika diterima maka dianggap telah dimiliki sejak sebelumnya.

وَإِنْ لَمْ يُقْبَلْ دَلَّ عَلَى عَدَمِ مِلْكِهِ.

Dan jika tidak diterima, maka menunjukkan tidak adanya kepemilikan.

وَوَجْهُ هَذَا الْقَوْلِ: هُوَ أَنَّهُ لَمَّا امْتَنَعَ أَنْ يَبْقَى لِلْمَيِّتِ مِلْكٌ. وَأَنَّ الْوَارِثَ لَا يَمْلِكُ الْإِرْثَ، اقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الْمِلْكُ مَوْقُوفًا عَلَى قَبُولِ الْمُوصَى لَهُ وَرَدِّهِ وَحَقُّهُ فِي الْقَبُولِ بَاقٍ، مَا لَمْ يعلم.

Dasar pendapat ini adalah, karena tidak mungkin mayit tetap memiliki sesuatu, dan ahli waris tidak memiliki warisan sebelum diterima, maka kepemilikan itu tergantung pada penerimaan atau penolakan penerima wasiat, dan haknya untuk menerima tetap ada selama belum diketahui (keputusan akhirnya).

فإن عَلِمَ، فَإِنْ كَانَ عِنْدَ إِنْفَاذِ الْوَصَايَا، وَقِسْمَةِ التركة فقبوله على الفور فاقبل، وَإِلَّا بَطَلَ حَقُّهُ فِي الْوَصِيَّةِ، فَأَمَّا بَعْدَ عِلْمِهِ، وَقَبْلَ إِنْفَاذِ الْوَصَايَا وَقِسْمَةِ التَّرِكَةِ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَقَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِهِ، إِنَّ الْقَبُولَ فِيهِ عَلَى التَّرَاخِي، لَا عَلَى الْفَوْرِ. فَيَكُونُ مُمْتَدًّا مَا لَمْ يُصَرِّحْ بِالرَّدِّ، حَتَّى تُنَفَّذَ الْوَصَايَا، وَتُقَسَّمَ التَّرِكَةُ، لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُعْتَبَرِ الْقَبُولُ مَعَ الْوَصِيَّةِ، اعْتُبِرَ عِنْدَ إِنْفَاذِ الْوَصِيَّةِ.

Jika ia telah mengetahui, maka jika itu terjadi pada saat pelaksanaan wasiat dan pembagian warisan, maka penerimaannya harus segera dilakukan, jika tidak maka haknya atas wasiat tersebut gugur. Adapun setelah ia mengetahui, namun sebelum pelaksanaan wasiat dan pembagian warisan, maka menurut mazhab Syafi‘i dan pendapat mayoritas ulama Syafi‘iyah, penerimaan wasiat boleh dilakukan secara bertahap (tidak harus segera). Maka hak itu tetap ada selama ia tidak secara tegas menolaknya, hingga wasiat dilaksanakan dan warisan dibagi, karena ketika penerimaan tidak dianggap bersamaan dengan wasiat, maka penerimaan itu dianggap pada saat pelaksanaan wasiat.

وَحَكَى أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ كَجٍّ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا أَنَّ الْقَبُولَ بَعْدَ عِلْمِهِ عَلَى الْفَوْرِ، لِأَنَّهَا عَطِيَّةٌ كَالْهِبَاتِ.

Abu al-Qasim Ibn Kajj meriwayatkan dari sebagian ulama kami bahwa penerimaan setelah mengetahuinya harus segera dilakukan, karena wasiat itu adalah pemberian seperti hibah.

وَحَكَى ابْنُ عَبْدِ الْحَكَمِ عَنِ الشَّافِعِيِّ قَوْلًا ثَالِثًا إِنَّ الْوَصِيَّةَ تَدْخُلُ فِي مِلْكِ الْمُوصَى لَهُ بِغَيْرِ قَبُولٍ وَلَا اختيار، الميراث.

Ibn ‘Abd al-Hakam meriwayatkan dari Imam Syafi‘i pendapat ketiga, yaitu bahwa wasiat masuk ke dalam kepemilikan penerima wasiat tanpa perlu adanya penerimaan ataupun pilihan, seperti halnya warisan.

فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَخْرِيجِهِ قَوْلًا ثَالِثًا لِلشَّافِعِيِّ. فَخَرَّجَهُ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَكْثَرُ الْمُتَأَخِّرِينَ مِنْ أَصْحَابِنَا قَوْلًا ثَالِثًا تَعْلِيلًا بِالْمِيرَاثِ.

Para ulama kami berbeda pendapat dalam menisbatkan pendapat ketiga ini kepada Imam Syafi‘i. Abu ‘Ali Ibn Abi Hurairah dan mayoritas ulama Syafi‘iyah muta’akhkhirin (generasi belakangan) menisbatkannya sebagai pendapat ketiga dengan alasan menyerupai warisan.

وَامْتَنَعَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ، وَأَكْثَرُ الْمُتَقَدِّمِينَ مِنْ أَصْحَابِنَا مِنْ تَخْرِيجِهِ قَوْلًا ثَالِثًا وَتَأَوَّلُوا رِوَايَةَ ابن عبد الحكم بأحد تأولين:

Sedangkan Abu Ishaq al-Marwazi dan mayoritas ulama Syafi‘iyah terdahulu menolak menisbatkan pendapat ketiga ini, dan mereka menakwil riwayat Ibn ‘Abd al-Hakam dengan dua penakwilan:

إِمَّا حِكَايَةٌ عَنْ مَذْهَبِ غَيْرِهِ.

Pertama, bahwa itu adalah riwayat dari mazhab selain Syafi‘i.

وَإِمَّا عَلَى معنى أنه بِالْقَبُولِ يُعْلَمُ دُخُولُهَا بِالْمَوْتِ فِي مِلْكِهِ.

Kedua, maksudnya adalah bahwa dengan penerimaan, diketahui bahwa wasiat itu masuk ke dalam kepemilikannya sejak wafatnya pewasiat.

وَفَرَّقُوا بين الوصية والميراث، بِأَنَّ الْمِيرَاثَ عَطِيَّةٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى، فَلَمْ يراعى فيها الْقَبُولُ.

Mereka membedakan antara wasiat dan warisan, bahwa warisan adalah pemberian dari Allah Ta‘ala, sehingga tidak disyaratkan adanya penerimaan di dalamnya.

وَالْوَصِيَّةَ عَطِيَّةٌ مِنْ آدَمِيٍّ، فَرُوعِيَ فِيهَا الْقَبُولُ.

Sedangkan wasiat adalah pemberian dari manusia, sehingga disyaratkan adanya penerimaan di dalamnya.

فَهَذِهِ مُقَدِّمَاتُ الْمَسْأَلَةِ.

Demikianlah pendahuluan masalah ini.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَتِ الْمُقَدِّمَاتُ، فَصُورَةُ الْمَسْأَلَةِ فِي رَجُلٍ تَزَوَّجَ أَمَةَ رَجُلٍ ثُمَّ أَوْصَى السَّيِّدُ بِهَا لِلزَّوْجِ.

Setelah pendahuluan ini dipahami, maka gambaran masalahnya adalah tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang budak perempuan milik seseorang, kemudian tuannya mewasiatkan budak itu kepada suaminya.

فَلَا يخلو حال الزوج من أَنْ يَقْبَلَ الْوَصِيَّةَ بِهَا بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي أَوْ يَرُدَّ.

Maka keadaan suami tidak lepas dari dua kemungkinan: menerima wasiat tersebut setelah wafatnya pewasiat atau menolaknya.

فَإِنْ رَدَّ الْوَصِيَّةَ وَلَمْ يَقْبَلْهَا: فَالنِّكَاحُ بِحَالِهِ وَالْأَمَةُ مِلْكٌ (لِوَرَثَةِ الْمُوصِي) وَأَوْلَادُهَا مَوْقُوفُونَ لَهُمْ.

Jika ia menolak wasiat dan tidak menerimanya, maka pernikahan tetap berlangsung, budak perempuan itu menjadi milik ahli waris pewasiat, dan anak-anaknya berstatus tergantung bagi mereka.

فَإِنْ قَبِلَ الْوَصِيَّةَ: فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَنْ تَأْتِيَ بِوَلَدٍ، أَوْ لَا تأت فإن لم تأتي بِوَلَدٍ فَالنِّكَاحُ قَدْ بَطَلَ بِالْمِلْكِ، لِأَنَّ النِّكَاحَ وَالْمِلْكَ تَتَنَافَى أَحْكَامُهُمَا، فَلَمْ يَجْتَمِعَا، [وَغَلَبَ] حُكْمُ الْمِلْكِ لِأَنَّهُ أَقْوَى.

Jika ia menerima wasiat, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: budak itu melahirkan anak atau tidak. Jika tidak melahirkan anak, maka pernikahan batal karena kepemilikan, sebab hukum pernikahan dan kepemilikan saling bertentangan, sehingga tidak dapat digabungkan, dan hukum kepemilikan lebih kuat sehingga didahulukan.

فَإِنْ قِيلَ بِالْقَبُولِ قَدْ مَلَكَ: انْفَسَخَ نِكَاحُهَا حِينَ الْقَبُولِ، وَكَانَ الْوَطْءُ قَبْلَهُ وَطْئًا فِي نِكَاحٍ، وَبَعْدَهُ وَطْئًا فِي مِلْكٍ، وَلَا اسْتِبْرَاءَ عَلَيْهِ بِحُدُوثِ الْمِلْكِ، لِأَنَّهَا لم تزل فراشا له.

Jika dikatakan bahwa dengan penerimaan ia telah memiliki, maka pernikahannya batal saat penerimaan, dan hubungan suami istri sebelum itu adalah hubungan dalam pernikahan, sedangkan setelahnya adalah hubungan dalam kepemilikan, dan tidak ada masa istibra’ (menunggu) karena terjadinya kepemilikan, sebab ia tetap menjadi tempat tidur (istri) baginya.

فإن قيل القبول يبنى عن مِلْكٍ سَابِقٍ مِنْ حِينِ الْمَوْتِ، انْفَسَخَ نِكَاحُهَا حين الموت، وكان وطئه قَبْلَ الْمَوْتِ وَطْئا في نِكَاحٍ، وَبَعْدَ الْمَوْتِ وَطْئًا فِي مِلْكٍ. فَإِنْ قِيلَ فَلِمَ قَالَ الشافعي على هذا الْقَوْلِ لِأَنَّ الْوَطْءَ قَبْلَ الْقَبُولِ وَطْءَ نِكَاحٍ وَبَعْدَ الْقَبُولِ وَطْءَ مِلْكٍ وَهُوَ قَبْلَ الْقَبُولِ وبعده وطء ملك. وإذا كَانَ بَعْدَ الْمَوْتِ؟ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ:

Jika dikatakan bahwa penerimaan didasarkan pada kepemilikan sejak wafatnya pewasiat, maka pernikahannya batal sejak wafat, dan hubungan suami istri sebelum wafat adalah hubungan dalam pernikahan, sedangkan setelah wafat adalah hubungan dalam kepemilikan. Jika ditanyakan, mengapa Imam Syafi‘i dalam pendapat ini mengatakan bahwa hubungan sebelum penerimaan adalah hubungan pernikahan dan setelah penerimaan adalah hubungan kepemilikan, padahal sebelum dan sesudah penerimaan itu adalah hubungan kepemilikan? Dan jika itu terjadi setelah wafat? Maka ada tiga jawaban:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ غَلَطٌ مِنَ الْمُزَنِيِّ فِي النَّقْلِ.

Pertama: Itu adalah kekeliruan dari al-Muzani dalam meriwayatkan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَنْقُولٌ مِنَ الْقَوْلِ الْأَوَّلِ أَنَّهُ بِالْقَبُولِ يملك.

Kedua: Itu dinukil dari pendapat pertama, yaitu bahwa dengan penerimaan ia menjadi pemilik.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ مَعْنَاهُ: أَنَّ الْوَطْءَ قَبْلَ زَمَانِ الْقَبُولِ وَطْءُ نِكَاحٍ يَعْنِي قَبْلَ الْمَوْتِ.

Ketiga: Maksudnya adalah bahwa hubungan sebelum waktu penerimaan adalah hubungan pernikahan, yakni sebelum wafat.

فَصْلٌ:

Fasal:

وإن أَتَتْ بِوَلَدٍ. فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika budak perempuan itu melahirkan anak, maka ada tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَضَعَهُ قَبْلَ مَوْتِ الْمُوصِي.

Pertama: Ia melahirkan sebelum wafatnya pewasiat.

وَالثَّانِي: أَنْ تَضَعَهُ بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي، وَقَبْلَ قَبُولِ الْمُوصَى لَهُ.

Kedua: Ia melahirkan setelah wafatnya pewasiat dan sebelum penerimaan dari penerima wasiat.

وَالثَّالِثُ: أَنْ تَضَعَهُ بَعْدَ قَبُولِ الْمُوصَى لَهُ.

Ketiga: Ia melahirkan setelah penerimaan dari penerima wasiat.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ قَبْلَ مَوْتِ الْمُوصِي فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun keadaan pertama, yaitu ia melahirkan sebelum wafatnya pewasiat, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَوْجُودًا عِنْدَ الْوَصِيَّةِ.

Salah satunya: harus sudah ada pada saat wasiat dibuat.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ حَادِثًا بَعْدَهَا.

Dan yang kedua: harus terjadi setelah wasiat.

فَإِنْ كَانَ مَوْجُودًا عِنْدَ الْوَصِيَّةِ، مِثْلَ أَنْ تَضَعَهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ حِينِ الْوَصِيَّةِ، فَفِيهِ قَوْلَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْحَمْلِ هَلْ لَهُ حُكْمٌ أَمْ لا؟ .

Jika sudah ada pada saat wasiat, seperti dilahirkan kurang dari enam bulan sejak wasiat dibuat, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang berasal dari perbedaan dua pendapat mengenai janin, apakah ia memiliki status hukum atau tidak?

فإن قيل لا حكم لَهُ: فَالْوَلَدُ مَمْلُوكٌ لِلْمُوصِي وَمُنْتَقِلٌ عَنْهُ إِلَى وَرَثَتِهِ، وَإِنْ قِيلَ لِلْحَمْلِ حُكْمٌ فَهُوَ لِلْمُوصَى لَهُ، وَكَأَنَّ الْمُوصِيَ وَصَّى لَهُ بِالْأُمِّ وَالْوَلَدِ، ثم قد أعتق الْوَلَدُ عَلَيْهِ بِالْمِلْكِ، وَصَارَ لَهُ وَلَاؤُهُ.

Jika dikatakan tidak ada status hukum baginya: maka anak tersebut menjadi milik pewasiat dan berpindah darinya kepada para ahli warisnya. Namun jika dikatakan janin memiliki status hukum, maka ia menjadi milik penerima wasiat, seakan-akan pewasiat mewasiatkan ibu dan anaknya sekaligus kepadanya, lalu anak tersebut dimerdekakan olehnya karena kepemilikan, dan baginya hak wala’ (loyalitas) anak itu.

وَلَا تصير أمه به أم ولد، لأنها ولدته من نكاح. ويعتبر فِي الثُّلُثِ قِيمَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْأُمِّ وَالْوَلَدِ يَوْمَ مَوْتِ الْمُوصِي.

Ibunya tidak menjadi umm walad (budak yang melahirkan anak tuannya) karena ia melahirkan dari pernikahan. Dalam perhitungan sepertiga (harta wasiat), yang diperhitungkan adalah nilai masing-masing, baik ibu maupun anak, pada hari wafatnya pewasiat.

وَإِنْ كَانَ حَادِثًا بَعْدَ الْوَصِيَّةِ، مِثْلَ أَنْ تَضَعَهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا مِنْ حِينِ الْوَصِيَّةِ فَهُوَ مَمْلُوكٌ لِلْمُوصِي قُولَا وَاحِدًا وَمُنْتَقِلٌ عَنْهُ إِلَى وَرَثَتِهِ.

Dan jika terjadi setelah wasiat, seperti dilahirkan enam bulan atau lebih sejak wasiat dibuat, maka anak itu menjadi milik pewasiat menurut satu pendapat, dan berpindah darinya kepada para ahli warisnya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي وَقَبْلَ قَبُولِ الْمُوصَى لَهُ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:

Adapun bagian kedua: yaitu jika anak dilahirkan setelah wafatnya pewasiat dan sebelum penerima wasiat menerima wasiat tersebut, maka hal ini terbagi menjadi tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مَوْجُودًا عِنْدَ الْوَصِيَّةِ.

Salah satunya: sudah ada pada saat wasiat dibuat.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ حَادِثًا بَعْدَ الْوَصِيَّةِ وَقَبْلَ مَوْتِ الْمُوصِي.

Kedua: terjadi setelah wasiat dan sebelum wafatnya pewasiat.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ حَادِثًا بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي، وَقَبْلَ قَبُولِ الْمُوصَى لَهُ.

Ketiga: terjadi setelah wafatnya pewasiat dan sebelum penerima wasiat menerima wasiat tersebut.

فإن كان موجودا عند الوصية: فهو أَنْ تَضَعَهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ حِينِ الْوَصِيَّةِ.

Jika sudah ada pada saat wasiat: yaitu dilahirkan kurang dari enam bulan sejak wasiat dibuat.

فَفِيهِ قَوْلَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْحَمْلِ هَلْ لَهُ حُكْمٌ أَمْ لا؟

Dalam hal ini terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan dua pendapat mengenai janin, apakah ia memiliki status hukum atau tidak?

فإن قلنا: للحمل حكم: فَالْوَصِيَّةُ بِهِمَا مَعًا، وَفِيمَا تُقَوَّمُ عَلَيْهِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ:

Jika kita katakan: janin memiliki status hukum, maka wasiat berlaku untuk keduanya sekaligus, dan dalam hal penilaian terhadap keduanya terdapat dua pendapat yang diriwayatkan oleh Ibn Surayj:

أَحَدُهُمَا: تُقَوَّمُ عَلَيْهِ الْأَمَةُ حَامِلًا، يَوْمَ مَوْتِ الْمُوصِي، فَإِنْ خَرَجَتْ قِيمَتُهَا كُلُّهَا مِنَ الثُّلُثِ: صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ بِهَا وَبِوَلَدِهَا.

Salah satunya: budak perempuan dinilai dalam keadaan hamil pada hari wafatnya pewasiat. Jika seluruh nilainya dapat ditutupi oleh sepertiga (harta wasiat), maka wasiat untuknya dan anaknya sah.

وَإِنْ خَرَجَ نِصْفُهَا مِنَ الثُّلُثِ.

Jika hanya setengah nilainya yang dapat ditutupi oleh sepertiga.

كَانَ لَهُ نِصْفُهَا، وَنِصْفُ وَلَدِهَا.

Maka penerima wasiat hanya mendapatkan setengahnya dan setengah dari anaknya.

والوجه الثاني: أنه تقوم الأم يوم موت الْمُوصِي، وَيُقَوَّمُ الْوَلَدُ يَوْمَ وُلِدَ، وَيُعْتَبَرُ قِيمَتُهُمَا جَمِيعًا مِنَ الثُّلُثِ. فَإِنِ احْتَمَلَهُمَا الثُّلُثُ صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ بِهِمَا، وَإِنْ عَجَزَ الثُّلُثُ عَنْهُمَا، أُمْضِيَ لَهُ مِنَ الْوَصِيَّةِ بِهِمَا: قَدْرَ مَا احْتَمَلَهُ الثلث منهما من غير تفضيل.

Pendapat kedua: ibunya dinilai pada hari wafat pewasiat, dan anaknya dinilai pada hari ia dilahirkan, dan nilai keduanya secara keseluruhan diperhitungkan dari sepertiga (harta wasiat). Jika sepertiga mencukupi untuk keduanya, maka wasiat untuk keduanya sah. Jika sepertiga tidak mencukupi, maka diberikan dari wasiat sebesar yang dapat ditanggung oleh sepertiga dari keduanya tanpa ada keutamaan salah satu atas yang lain.

ثم إذا صحت الوصية لهما، لِاحْتِمَالِ الثُّلُثِ لَهُمَا، فَقَدْ عُتِقَ عَلَيْهِ الْوَلَدُ بالملك، وله ولاؤه لحدوث عتقه بعد رقه.

Kemudian, jika wasiat untuk keduanya sah karena sepertiga mencukupi untuk keduanya, maka anak tersebut telah merdeka karena kepemilikan, dan baginya hak wala’ karena kemerdekaannya terjadi setelah perbudakan.

فلم تَصِرِ الْأُمُّ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ، لِأَنَّهَا عَلِقَتْ به فِي نِكَاحٍ.

Ibunya tidak menjadi umm walad karena ia melahirkan dari pernikahan.

فَهَذَا إِذَا قُلْنَا إِنَّ لِلْحَمْلِ حكما.

Ini jika kita katakan bahwa janin memiliki status hukum.

وإذا قُلْنَا إِنَّ الْحَمْلَ لَا حُكْمَ لَهُ. فَفِيهِ قَوْلَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ، فِي قَبُولِ الْوَصِيَّةِ هَلْ يَقَعُ بِهِ التَّمْلِيكُ؟ أَوْ يَدُلُّ عَلَى تَقَدُّمِ الْمِلْكِ بِالْمَوْتِ.

Dan jika kita katakan bahwa janin tidak memiliki status hukum, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan dua pendapat dalam hal penerimaan wasiat, apakah dengan penerimaan itu terjadi kepemilikan, ataukah menunjukkan bahwa kepemilikan telah terjadi sejak wafat.

فَإِنْ قِيلَ إِنَّ القبول هو الملك، فَالْوَلَدُ مَمْلُوكٌ، وَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika dikatakan bahwa penerimaan adalah (sebab) kepemilikan, maka anak tersebut menjadi milik, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَمْلُوكٌ للموصي ومضموم إلى تركته ثم منتقل عَنْهُ إِلَى وَرَثَتِهِ.

Salah satunya: bahwa ia menjadi milik pewasiat dan digabungkan ke dalam harta peninggalannya, lalu berpindah darinya kepada para ahli warisnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ حَادِثٌ عَلَى مِلْكِ الْوَرَثَةِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَثْبُتَ عَلَيْهِ لِلْمُوصِي مِلْكٌ.

Pendapat kedua: bahwa ia terjadi di bawah kepemilikan para ahli waris tanpa ada kepemilikan yang tetap bagi pewasiat atasnya.

وَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْقَبُولَ يَدُلُّ عَلَى تَقَدُّمِ الْمِلْكِ بِالْمَوْتِ كَانَ الْوَلَدُ لِلْمُوصَى لَهُ، وَقَدْ عُتِقَ عَلَيْهِ بِالْمِلْكِ، وَلَهُ وَلَاؤُهُ، وَلَا تَكُونُ أُمُّهُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ، وَفِيمَا يُقَوَّمُ فِي الثُّلُثِ وَجْهَانِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا.

Dan jika dikatakan bahwa penerimaan menunjukkan bahwa kepemilikan telah terjadi sejak wafat, maka anak itu menjadi milik penerima wasiat, dan telah merdeka karena kepemilikan, dan baginya hak wala’, dan ibunya tidak menjadi umm walad, dan dalam hal penilaian pada sepertiga (harta wasiat) terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan.

وَإِنْ كَانَ الْوَلَدُ حَادِثًا بَعْدَ الْوَصِيَّةِ، وقبل الموت، فَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ حِينِ الْوَصِيَّةِ، وَلِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ حِينِ الْمَوْتِ، فَفِي الْوَلَدِ قَوْلَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْقَبُولِ.

Dan jika anak itu terjadi setelah wasiat dan sebelum wafat, yaitu dilahirkan lebih dari enam bulan sejak wasiat dibuat dan kurang dari enam bulan sejak wafat, maka dalam hal anak terdapat dua pendapat berdasarkan perbedaan dua pendapat dalam hal penerimaan wasiat.

فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْقَبُولَ هُوَ الْمُمَلِّكُ، فَالْوَلَدُ لِلْوَرَثَةِ، فَإِنْ جُعِلَ لِلْحَمْلِ حُكْمٌ، فَقَدْ ثَبَتَ عَلَيْهِ مِلْكُ الْمُوصِي، ثُمَّ انْتَقَلَ إِلَى وَرَثَتِهِ وَإِنْ لَمْ يُجْعَلْ لِلْحَمْلِ حُكْمٌ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika kita katakan bahwa penerimaan (qabūl) adalah yang menyebabkan kepemilikan, maka anak itu menjadi milik para ahli waris. Jika pada janin (ḥaml) ditetapkan suatu hukum, maka kepemilikan tetap berada pada al-mūṣī (orang yang berwasiat), kemudian berpindah kepada para ahli warisnya. Namun jika pada janin tidak ditetapkan suatu hukum, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ للموصي وتنتقل عَنْهُ إِلَى الْوَرَثَةِ.

Pertama: Menjadi milik al-mūṣī dan berpindah darinya kepada para ahli waris.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَكُونُ لِلْوَرَثَةِ ولم يثبت على مِلْكِ الْمُوصِي. وَلَا يُحْتَسَبْ عَلَيْهِمْ مِنْ تَرِكَتِهِ.

Pendapat kedua: Menjadi milik para ahli waris dan tidak pernah menjadi milik al-mūṣī. Dan tidak dihitung sebagai bagian dari harta peninggalan mereka.

وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْقَبُولَ يَدُلُّ عَلَى تَقَدُّمِ الْمِلْكِ بِالْمَوْتِ، فَالْوَلَدُ لِلْمُوصَى لَهُ وَقَدْ عُتِقَ عَلَيْهِ بِالْمِلْكِ، وَلَهُ وَلَاؤُهُ، وَلَا تَصِيرُ الْأُمُّ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ، وَفِيمَا يُقَوَّمُ فِي الثُّلُثِ وَجْهَانِ:

Jika kita katakan bahwa penerimaan (qabūl) menunjukkan bahwa kepemilikan telah terjadi sejak kematian, maka anak itu menjadi milik orang yang diwasiati (al-mūṣā lahu), dan telah merdeka atasnya karena kepemilikan, serta baginya hak wala’. Ibunya tidak menjadi umm walad (budak yang melahirkan anak tuannya) karenanya. Dalam hal penilaian pada sepertiga (harta wasiat), terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تُقَوَّمُ الْأُمُّ حَامِلًا عِنْدَ الْمَوْتِ لَا غَيْرَ.

Pertama: Ibu dinilai (dihitung nilainya) dalam keadaan hamil saat kematian saja, tidak selain itu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُقَوَّمُ الْأُمُّ عِنْدَ الموت، ويقوم الولد عند الوضع وتعتبر قيمتها جَمِيعًا مِنَ الثُّلُثِ.

Pendapat kedua: Ibu dinilai saat kematian, dan anak dinilai saat lahir, dan nilai keduanya dihitung seluruhnya dari sepertiga (harta wasiat).

وَإِنْ كَانَ حَادِثًا بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي، وَقَبْلَ قَبُولِ الْمُوصَى لَهُ، فَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ حين موت الموصي.

Jika ia (anak) terjadi setelah kematian al-mūṣī dan sebelum penerimaan dari orang yang diwasiati, maka maksudnya adalah jika ia dilahirkan lebih dari enam bulan sejak kematian al-mūṣī.

فإن قيل: إن القبول هو المملك، فالولد مملوك لورثة الموصي لم يجز عليه للموصي مِلْكٌ وَجْهًا وَاحِدًا.

Jika dikatakan: Bahwa penerimaan (qabūl) adalah yang menyebabkan kepemilikan, maka anak itu menjadi milik ahli waris al-mūṣī, dan tidak pernah menjadi milik al-mūṣī sama sekali.

وَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْقَبُولَ يَدُلُّ عَلَى تَقَدُّمِ الْمِلْكِ بِالْمَوْتِ، فَالْوَلَدُ حُرٌّ لَمْ يَجْرِ عَلَيْهِ رِقٌّ، وَلَا وَلَاءَ عَلَيْهِ، وَقَدْ صَارَتِ الْأُمُّ بِهِ، أُمَّ وَلَدٍ لِأَنَّهَا عَلِقَتْ بِهِ فِي مِلْكِ الْمُوصَى لَهُ، وَلَا يُقَوَّمُ الْوَلَدُ عَلَيْهِ فِي الثُّلُثِ وَجْهًا وَاحِدًا، لِأَنَّهُ لَمْ يَجْرِ عَلَيْهِ رِقٌّ، وَإِنَّمَا تُقَوَّمُ الأم عند الموت، وقد كانت عنده حَائِلًا.

Jika dikatakan bahwa penerimaan (qabūl) menunjukkan bahwa kepemilikan telah terjadi sejak kematian, maka anak itu merdeka, tidak pernah berlaku atasnya status budak, dan tidak ada hak wala’ atasnya. Ibunya menjadi umm walad karena ia telah mengandungnya dalam kepemilikan orang yang diwasiati, dan anak tidak dinilai atasnya dalam sepertiga (harta wasiat) sama sekali, karena tidak pernah berlaku atasnya status budak. Yang dinilai hanyalah ibu saat kematian, dan saat itu ia dalam keadaan tidak hamil.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ بَعْدَ قَبُولِ الْمُوصَى لَهُ، فَهَذَا عَلَى أَرْبَعَةٍ أَضْرُبٍ:

Adapun bagian ketiga, yaitu jika anak dilahirkan setelah penerimaan dari orang yang diwasiati, maka ini terbagi menjadi empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مَوْجُودًا عِنْدَ الْوَصِيَّةِ:

Pertama: Anak sudah ada saat wasiat dibuat.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ حَادِثًا بَعْدَ الْوَصِيَّةِ وَقَبْلَ مَوْتِ الْمُوصِي.

Kedua: Anak terjadi setelah wasiat dan sebelum kematian al-mūṣī.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ حَادِثًا بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي وَقَبْلَ الْقَبُولِ.

Ketiga: Anak terjadi setelah kematian al-mūṣī dan sebelum penerimaan.

وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ حَادِثًا بَعْدَ الْقَبُولِ.

Keempat: Anak terjadi setelah penerimaan.

فَإِنْ كَانَ مَوْجُودًا عِنْدَ الْوَصِيَّةِ، مِثْلَ أَنْ تَضَعَهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ حين الوصية بالولد لِلْمُوصَى لَهُ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا سَوَاءٌ قِيلَ إن للحمل حكم، أو قيل إنه يكون تبعا، لِأَنَّهُ إِنْ قِيلَ إِنَّ لَهُ حُكْمًا، فَهُوَ مَعَ الْأُمِّ مُوصًى بِهِمَا.

Jika anak sudah ada saat wasiat dibuat, seperti dilahirkan kurang dari enam bulan sejak wasiat dengan anak kepada orang yang diwasiati, maka menurut kedua pendapat, baik dikatakan bahwa janin memiliki hukum tersendiri atau dikatakan ia hanya mengikuti (ibunya), hukumnya sama saja. Karena jika dikatakan ia memiliki hukum, maka ia bersama ibunya diwasiatkan kepada orang yang diwasiati.

وَإِنْ قِيلَ: يَكُونُ تَبَعًا فَحُكْمُهُ مُعْتَبَرٌ بِحَالِ الْوِلَادَةِ، وَهُوَ مَوْلُودٌ فِي مِلْكِ الْمُوصَى لَهُ وَإِذَا كَانَ لَهُ فَقَدْ عُتِقَ عَلَيْهِ بَعْدَ رِقِّهِ، فَلَهُ وَلَاؤُهُ، فَلَا تَكُونُ أُمُّهُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ.

Dan jika dikatakan: Ia hanya mengikuti (ibunya), maka hukumnya dilihat pada saat kelahiran, yaitu ia lahir dalam kepemilikan orang yang diwasiati. Jika demikian, maka ia telah merdeka atasnya setelah sebelumnya budak, sehingga baginya hak wala’, dan ibunya tidak menjadi umm walad karenanya.

وَإِنْ كان حادثا بعد الوصية، وقبل الموت: فَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَقْتِ الْوَصِيَّةِ، وَلِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ حِينِ الْمَوْتِ فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Jika anak terjadi setelah wasiat dan sebelum kematian: yaitu dilahirkan lebih dari enam bulan sejak waktu wasiat, dan kurang dari enam bulan sejak kematian, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَمْلُوكٌ لِلْمُوصِي، وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَقُولُ إِنَّ الْحَمْلَ حُكْمًا.

Pertama: Ia menjadi milik al-mūṣī, dan ini menurut pendapat yang mengatakan bahwa janin memiliki hukum tersendiri.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهُ لِلْمُوصَى لَهُ، إِذَا قِيلَ إِنَّ الْحَمْلَ تَبَعٌ.

Pendapat kedua: Ia menjadi milik orang yang diwasiati, jika dikatakan bahwa janin hanya mengikuti (ibunya).

فَعَلَى هَذَا يُعْتَقُ عَلَيْهِ بَعْدَ رِقِّهِ، وَيَكُونُ لَهُ عَلَيْهِ الْوَلَاءُ، وَلَا تَصِيرُ أُمُّهُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ.

Dengan demikian, ia dimerdekakan atasnya setelah sebelumnya budak, dan baginya hak wala’, serta ibunya tidak menjadi umm walad karenanya.

وَإِنْ كَانَ حَادِثًا بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي، وَقَبْلَ الْقَبُولِ فَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ، لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ حِينِ الْمَوْتِ، وَلِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ من حين الْقَبُولِ، فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ:

Jika anak terjadi setelah kematian al-mūṣī dan sebelum penerimaan, yaitu dilahirkan lebih dari enam bulan sejak kematian, dan kurang dari enam bulan sejak penerimaan, maka terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: إِنَّهُ حُرٌّ من حين العلوق، لم يجر عليه [حكم] رق، وأن ” أُمُّهُ ” بِهِ أُمَّ وَلَدٍ.

Pertama: Ia merdeka sejak terjadi pembuahan, tidak pernah berlaku atasnya hukum budak, dan ibunya menjadi umm walad karenanya.

وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَجْعَلُهُ بِالْقَبُولِ مَالِكًا. وَيَجْعَلُ الْحَمْلَ تَبَعًا مِنْ حِينِ الْمَوْتِ.

Ini menurut pendapat yang menjadikan penerimaan (qabūl) sebagai sebab kepemilikan, dan menjadikan janin sebagai pengikut sejak kematian.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهُ حُرٌّ بَعْدَ رِقِّهِ. وَعَلَيْهِ الْوَلَاءُ لِأَبِيهِ، وَلَا تَكُونُ أُمُّهُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ.

Pendapat kedua: Ia merdeka setelah sebelumnya budak, dan hak wala’ menjadi milik ayahnya, serta ibunya tidak menjadi umm walad karenanya.

وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَجْعَلُهُ بِالْقَبُولِ مَالِكًا، وَيَجْعَلُ الْحَمْلَ تَبَعًا.

Dan ini menurut pendapat yang menjadikan penerimaan sebagai sebab kepemilikan, dan menjadikan janin sebagai pengikut.

والقول الثالث: أنه مملوك لورثة الموصي دون الموصى له.

Pendapat ketiga: bahwa ia menjadi milik ahli waris pemberi wasiat, bukan milik penerima wasiat.

وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَجْعَلُهُ بِالْقَبُولِ مَالِكًا، وَيَجْعَلُ لِلْحَمْلِ حُكْمًا.

Dan ini menurut pendapat yang menjadikan penerimaan sebagai sebab kepemilikan, dan memberikan status hukum kepada janin.

وَهَكَذَا: لَوْ وَلَدَتْ أَوْلَادًا، وَكَانَ بَيْنَ أَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ أَقَلُّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَحُكْمُهُمْ حُكْمُ الْوَلَدِ الْوَاحِدِ، لِأَنَّهُمْ مِنْ حَمْلٍ وَاحِدٍ.

Demikian pula: jika ia melahirkan beberapa anak, dan jarak antara anak yang pertama dan terakhir kurang dari enam bulan, maka hukum mereka disamakan dengan anak tunggal, karena mereka berasal dari satu kehamilan.

وَلَوْ كان بين بعضهم وبعضهم سِتَّةُ أَشْهُرٍ لَاخْتَلَفَ حُكْمُهُمْ لِاخْتِلَافِ حَمْلِهِمْ وَإِنْ كَانَ حَادِثًا بَعْدَ الْقَبُولِ فَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا مِنْ حِينِ قَبُولِهِ فَهَذَا حُرُّ الْأَصْلِ، لَمْ يَجْرِ عَلَيْهِ رِقٌّ، وَلَا وَلَاءَ عَلَيْهِ لِلْأَبِ، وَتَصِيرُ الْأُمُّ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ، لِأَنَّهَا عُلِقَتْ بِهِ فِي مِلْكٍ لَا في نكاح.

Dan jika antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain terdapat jarak enam bulan, maka hukum mereka berbeda karena perbedaan kehamilannya. Jika kelahiran itu terjadi setelah penerimaan, yaitu ia melahirkan setelah enam bulan atau lebih sejak saat penerimaan, maka anak itu adalah anak merdeka dari asalnya, tidak berlaku atasnya status budak, dan tidak ada wala’ baginya kepada ayah, serta ibunya menjadi ummu walad karena ia mengandungnya dalam status kepemilikan, bukan dalam pernikahan.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فإن مَاتَ قَبْلَ أَنْ يَقْبَلَ أَوْ يَرُدَّ قَامَ وَرَثَتُهُ مَقَامَهُ فَإِنْ قَبِلُوا فَإِنَمَا مِلْكُوا أَمَةً لأبيهم وأولاد أبيهم الذين ولدت بعد موت سيدها أحرارا وَأُمُّهُمْ مَمْلُوكَةٌ وَإِنْ رَدُّوا كَانُوا مَمَالِيكَ وَكَرِهْتُ ما فعلوا (قال المزني) لو مات أبوهم قبل الملك لم يجز أن يملكوا عنه ما لم يملك ومن قوله أهل شوال ثم قبل كانت الزكاة عليه وفي ذلك دليل على أن الملك متقدم ولولا ذلك ما كانت عليه زكاة ما لا يملك “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ia meninggal sebelum menerima atau menolak, maka ahli warisnya menggantikan posisinya. Jika mereka menerima, maka mereka hanya memiliki budak perempuan untuk ayah mereka dan anak-anak ayah mereka yang lahir setelah wafat tuannya adalah orang-orang merdeka, sedangkan ibu mereka tetap budak. Jika mereka menolak, maka mereka menjadi budak. Aku tidak menyukai apa yang mereka lakukan. (Al-Muzani berkata) Jika ayah mereka wafat sebelum memiliki (budak itu), maka tidak sah bagi mereka untuk memilikinya atas nama ayah mereka selama ayah mereka belum memilikinya. Dan menurut pendapatnya, jika ia menerima pada bulan Syawwal, maka zakat menjadi kewajibannya. Dalam hal ini terdapat dalil bahwa kepemilikan itu telah terjadi sebelumnya. Jika tidak demikian, maka tidak wajib zakat atas sesuatu yang belum dimiliki.”

قال الماوردي: هذا صحيح. وجملته: أن موت الموصي لا يخلو أن يكون في حياة الموصى له أَوْ بَعْدَ مَوْتِهِ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar. Kesimpulannya: bahwa wafatnya pemberi wasiat tidak lepas dari dua keadaan, yaitu terjadi saat penerima wasiat masih hidup atau setelah ia wafat.

فَإِنْ مَاتَ الْمُوصَى لَهُ فِي حَيَاةِ الْمُوصِي، فَالَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ أن الوصية له قد بطلت، وليس لوارثه قَبُولُهَا بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي.

Jika penerima wasiat wafat saat pemberi wasiat masih hidup, maka menurut jumhur fuqaha, wasiat untuknya batal, dan ahli warisnya tidak berhak menerima wasiat itu setelah wafat pemberi wasiat.

وَحُكِيَ عَنِ الْحَسَنِ الْبَصَرِيِّ أَنَّ الْوَصِيَّةَ لَا تَبْطُلُ بِمَوْتِهِ وَلِوَرَثَتِهِ قبولها.

Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri bahwa wasiat tidak batal dengan wafatnya penerima wasiat, dan ahli warisnya berhak menerimanya.

وهذا فاسد من وجهين: أن الوصية في غير حَيَاةِ الْمُوصِي غَيْرَ لَازِمَةٍ. وَمَا لَيْسَ بِلَازِمٍ مِنَ الْعُقُودِ يَبْطُلُ بِالْمَوْتِ، وَلِأَنَّ الْوَصِيَّةَ لَهُ، لَا لِوَرَثَتِهِ. وَهُوَ لَا يَمْلِكُ الْوَصِيَّةَ فِي حَيَاةِ الْمُوصِي.

Pendapat ini lemah dari dua sisi: bahwa wasiat di luar kehidupan pemberi wasiat tidaklah mengikat. Setiap akad yang tidak mengikat batal dengan kematian, dan karena wasiat itu untuk dirinya, bukan untuk ahli warisnya. Ia pun tidak memiliki hak atas wasiat selama pemberi wasiat masih hidup.

وَإِنْ مَاتَ الْمُوصَى لَهُ، بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي، لَمْ يَخْلُ حَالُ الْمُوصَى لَهُ قبل موته مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Jika penerima wasiat wafat setelah pemberi wasiat wafat, maka keadaan penerima wasiat sebelum wafatnya tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ رَدَّ الْوَصِيَّةَ قَبْلَ مَوْتِهِ فَقَدْ بَطَلَتْ بِرَدِّهِ: وَلَيْسَ لِوَارِثِهِ قبولها بعد موته إجماعا.

Pertama: ia telah menolak wasiat sebelum wafatnya, maka wasiat batal karena penolakannya, dan ahli warisnya tidak berhak menerimanya setelah ia wafat menurut ijma‘.

والحالة الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ قَدْ قَبِلَهَا، قَبْلَ مَوْتِهِ، وبعد موت الموصي، فقد ملكها، أو انتقلت بِمَوْتِهِ إِلَى وَارِثِهِ.

Kedua: ia telah menerima wasiat sebelum wafatnya dan setelah wafat pemberi wasiat, maka ia telah memilikinya, atau berpindah kepada ahli warisnya setelah ia wafat.

وَسَوَاءٌ قَبَضَهَا الْمُوصَى لَهُ فِي حَيَاتِهِ أَمْ لَا، لِأَنَّ الْقَبْضَ لَيْسَ بِشَرْطٍ فِي تَمَلُّكِ الْوَصِيَّةِ.

Baik ia telah menerima barang wasiat itu semasa hidupnya atau belum, karena penerimaan secara fisik bukan syarat untuk memiliki wasiat.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَمُوتَ قَبْلَ قَبُولِهِ وَرَدِّهِ.

Ketiga: ia wafat sebelum menerima atau menolak.

فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ: يَقُومُ وَارِثُهُ مَقَامَهُ فِي الْقَبُولِ وَالرَّدِّ، وَلَا تَبْطُلُ الْوَصِيَّةُ بِمَوْتِهِ قَبْلَ الْقَبُولِ.

Menurut mazhab Syafi‘i: ahli warisnya menggantikan posisinya dalam menerima atau menolak, dan wasiat tidak batal dengan wafatnya sebelum penerimaan.

وَقَالَ أبو حنيفة: إِذَا مَاتَ قَبْلَ الْقَبُولِ، بَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ لَهُ كَالْهِبَةِ، وَهَذَا فَاسِدٌ: لِأَنَّ مَا اسْتَحَقَّهُ فِي التَّرِكَةِ لَمْ يَسْقُطْ بِالْمَوْتِ كَالدَّيْنِ، وَلِأَنَّ كُلَّ سَبَبٍ اسْتُحِقَّ بِهِ تَمَلُّكُ عين بغير اختيار مالكها، لم يبطل بِمَوْتِهِ، قَبْلَ تَمَلُّكِهَا كَالرَّدِّ بِالْعَيْبِ. وَفَارَقَتِ الْوَصِيَّةُ الْهِبَةَ، مِنْ حَيْثُ إِنَّ الْهِبَةَ قَبْلَ الْقَبْضِ غَيْرُ لَازِمَةٍ، فَجَازَ أَنْ تَبْطُلَ بِالْمَوْتِ، وَالْوَصِيَّةُ قَبْلَ الْقَبُولِ لَازِمَةٌ، فَلَمْ تَبْطُلْ بِالْمَوْتِ.

Abu Hanifah berkata: Jika ia wafat sebelum menerima, maka wasiat untuknya batal seperti hibah. Pendapat ini lemah, karena hak yang telah diperoleh dalam harta warisan tidak gugur dengan kematian seperti utang, dan setiap sebab yang dengannya seseorang berhak memiliki suatu barang tanpa pilihan pemiliknya, tidak batal dengan kematian sebelum memilikinya, seperti pengembalian barang karena cacat. Wasiat berbeda dengan hibah, karena hibah sebelum diterima tidak mengikat, sehingga boleh batal dengan kematian, sedangkan wasiat sebelum diterima mengikat, sehingga tidak batal dengan kematian.

فَصْلٌ:

Fasal:

فإذا ثَبَتَ أَنَّ الْوَصِيَّةَ لَا تَبْطُلُ بِمَوْتِ الْمُوصَى لَهُ قَبْلَ الرَّدِّ وَالْقَبُولِ، فَوَرَثَتُهُ يَقُومُونَ مَقَامَهُ في القبول والرد، ولهم ثلاثة أَحْوَالٍ:

Jika telah tetap bahwa wasiat tidak batal dengan wafatnya penerima wasiat sebelum penolakan dan penerimaan, maka ahli warisnya menggantikan posisinya dalam menerima atau menolak, dan mereka memiliki tiga keadaan:

حَالٌ يَقْبَلُ جَمِيعُهُمُ الْوَصِيَّةَ، وَحَالٌ يَرُدُّ جَمِيعُهُمُ الْوَصِيَّةَ، وَحَالٌ يَقْبَلُهَا بَعْضُهُمْ وَيَرُدُّهَا بَعْضُهُمْ.

Keadaan di mana seluruh ahli waris menerima wasiat, keadaan di mana seluruhnya menolak wasiat, dan keadaan di mana sebagian menerima dan sebagian menolak.

فَإِنْ قَبِلُوهَا جَمِيعًا: فَعَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَجْعَلُ القبول دالا على تقدم الملك، فَالْمَالِكُ لِلْوَصِيَّةِ بِقَبُولِ الْوَرَثَةِ، هُوَ الْمُوصَى لَهُ، لَا الْوَرَثَةُ.

Jika mereka semua menerimanya: maka menurut pendapat yang menjadikan penerimaan sebagai tanda telah beralihnya kepemilikan, maka yang berhak atas wasiat dengan diterimanya wasiat oleh para ahli waris adalah orang yang diwasiati, bukan para ahli waris.

فَعَلَى هَذَا يَكُونُ أَوْلَادُ الْأَمَةِ أَحْرَارًا، لِأَنَّ الْأَبَ لَا يَمْلِكُ وَلَدَهُ وَيَجْعَلُهَا لَهُ أُمَّ وَلَدٍ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي تَصِيرُ بالولادة أم ولد.

Berdasarkan hal ini, anak-anak dari budak perempuan itu menjadi merdeka, karena ayah tidak memiliki anaknya dan tidak menjadikan budak perempuan itu sebagai umm walad baginya pada keadaan di mana ia menjadi umm walad karena kelahiran.

فأما الْقَوْلِ الَّذِي يَجْعَلُ الْقَبُولَ مِلْكًا، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا، هَلْ تَدْخُلُ الْوَصِيَّةُ فِي مِلْكِ الْمُوصَى لَهُ بِقَبُولِ وَرَثَتِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun pendapat yang menjadikan penerimaan sebagai sebab kepemilikan, maka para ulama kami berbeda pendapat, apakah wasiat itu masuk ke dalam kepemilikan orang yang diwasiati dengan penerimaan para ahli warisnya atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَأَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ الْوَصِيَّةَ يَمْلِكُهَا الْوَرَثَةُ دُونَ الْمُوصَى لَهُ، لِحُدُوثِ الْمِلْكِ بِقَبُولِهِمْ.

Salah satunya: yaitu pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah dan Abu Hamid al-Marwazi, bahwa wasiat itu dimiliki oleh para ahli waris, bukan oleh orang yang diwasiati, karena kepemilikan terjadi dengan penerimaan mereka.

فَعَلَى هَذَا لَا يُعْتَقُ الْأَوْلَادُ الَّذِينَ وَلَدَتْهُمْ بَعْدَ الْقَبُولِ، وَلَا تَصِيرُ الْأَمَةُ بِهِمْ، أُمَّ وَلَدٍ، لِأَنَّ الْأَخَ يَمْلِكُ أَخَاهُ.

Berdasarkan hal ini, anak-anak yang dilahirkan setelah penerimaan tidak menjadi merdeka, dan budak perempuan itu tidak menjadi umm walad karena mereka, karena saudara laki-laki dapat memiliki saudara laki-lakinya.

وَعَلَى هَذَا: لَوْ كَانَتِ الْوَصِيَّةُ مَالًا: لَمْ يُقْضَ مِنْهَا ديون الْمُوصَى لَهُ.

Dan berdasarkan hal ini: jika wasiat itu berupa harta, maka tidak dapat digunakan untuk membayar utang-utang orang yang diwasiati.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، وَبِهِ قَالَ أَكْثَرُ الْبَصْرِيِّينَ وَحَكَاهُ أَبُو الْقَاسِمَ بْنُ كَجٍّ عَنْ شُيُوخِهِ.

Pendapat kedua: dan inilah yang tampak dari mazhab asy-Syafi‘i, dan dipegang oleh mayoritas ulama Bashrah, serta dinukil oleh Abu al-Qasim bin Kajj dari para gurunya.

أَنَّ الْوَصِيَّةَ يَمْلِكُهَا الْمُوصَى لَهُ بِقَبُولِ وَرَثَتِهِ، وَإِنْ كَانَ الْقَبُولُ مُمَلِّكًا.

Bahwa wasiat itu dimiliki oleh orang yang diwasiati dengan penerimaan para ahli warisnya, meskipun penerimaan itu menyebabkan kepemilikan.

لِأَنَّهَا لَوْ لَمْ تَدْخُلْ فِي مِلْكِهِ، لَبَطَلَتْ، لَأَنَّ الْوَرَثَةَ غَيْرُ مُوصًى لَهُمْ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَمْلِكَ الْوَصِيَّةَ مَنْ لم يوص له.

Karena jika wasiat itu tidak masuk ke dalam kepemilikannya, maka wasiat itu batal, sebab para ahli waris bukanlah orang yang diwasiati, sehingga tidak sah bagi orang yang tidak diwasiati untuk memiliki wasiat tersebut.

فعلى هذا قد اعتق الْأَوْلَادُ الَّذِينَ وَلَدَتْهُمْ بَعْدَ الْقَبُولِ، وَصَارَتْ مِمَّنْ يَجِبُ أَنْ تَصِيرَ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ.

Berdasarkan hal ini, anak-anak yang dilahirkan setelah penerimaan telah merdeka, dan budak perempuan itu menjadi orang yang wajib menjadi umm walad karenanya.

وَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَتِ الْوَصِيَّةُ مَالًا: قضى مِنْهَا دُيُون الْمُوصَى لَهُ.

Dan berdasarkan hal ini, jika wasiat itu berupa harta, maka dapat digunakan untuk membayar utang-utang orang yang diwasiati.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ حُرِّيَّةُ الْأَوْلَادِ عَلَى مَا وَصَفْنَا. لَمْ يَخْلُ حَالُ الورثة القابلين للوصية أَنْ يَسْقُطُوا بِالْأَوْلَادِ، أَوْ لَا يَسْقُطُوا.

Jika telah tetap kemerdekaan anak-anak sebagaimana telah kami jelaskan, maka keadaan para ahli waris yang menerima wasiat tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah mereka gugur karena adanya anak-anak tersebut, atau tidak gugur.

فإن لم يسقطوا بالأولاد، كالأخوة والأعمام، عتق هو والأولاد، وَلَمْ يَرِثُوا، لِأَنَّ تَوْرِيثَهُمْ مُخْرِجٌ لِقَابِلِ الْوَصِيَّةِ مِنَ الْمِيرَاثِ، وَخُرُوجُهُمْ مِنَ الْمِيرَاثِ: يُبْطِلُ قَبُولَهُمْ للوصية، وبطلان الْوَصِيَّةِ مُوجِبٌ لِرِقِّ الْأَوْلَادِ، وَسُقُوطِ مِيرَاثِهِمْ. فَلَمَّا أَفْضَى تَوْرِيثُهُمْ إِلَى رِقِّهِمْ وَسُقُوطِ مِيرَاثِهِمْ مُنِعُوا الْمِيرَاثَ، لِيَرْتَفِعَ رِقُّهُمْ، وَتَثْبُتُ حُرِّيَّتُهُمْ، كَمَا قُلْنَا فِي الْأَخِ إِذَا أَقَرَّ بِابْنٍ، إِنَّ نَسَبَ الابن يثبت وَلَا يَرِثُ.

Jika mereka tidak gugur karena adanya anak-anak, seperti saudara-saudara dan paman-paman, maka ia (orang yang diwasiati) dan anak-anaknya merdeka, dan mereka tidak mewarisi, karena mewariskan mereka menyebabkan penerima wasiat keluar dari hak waris, dan keluarnya mereka dari warisan membatalkan penerimaan mereka terhadap wasiat, dan batalnya wasiat menyebabkan anak-anak kembali menjadi budak dan hilangnya hak waris mereka. Maka ketika pewarisan mereka berujung pada perbudakan mereka dan hilangnya hak waris mereka, mereka dihalangi dari warisan agar kemerdekaan mereka tetap dan kemerdekaan mereka tegak, sebagaimana yang kami katakan pada kasus saudara yang mengakui adanya anak, bahwa nasab anak itu tetap tetapi ia tidak mewarisi.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ رَدَّ الْوَرَثَةُ بِأَجْمَعِهِمْ بطلت الوصية بردهم لها، وكان الأولاد عبيدا للورثة، وَكَذَلِكَ أَمُّهُمْ.

Jika para ahli waris semuanya menolak, maka wasiat batal karena penolakan mereka, dan anak-anak menjadi budak bagi para ahli waris, demikian pula ibu mereka.

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: وَكَرِهْتُ ذَلِكَ لَهُمْ: لِمَا فِيهِ مِنَ اسْتِرْقَاقِ أولادهم، وَأَنَّهُمْ قَدْ خَالَفُوا ظَاهِرَ فِعْلِهِ لَوْ كَانَ حَيًّا.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: Aku tidak menyukai hal itu bagi mereka, karena di dalamnya terdapat perbudakan terhadap anak-anak mereka, dan mereka telah menyelisihi apa yang tampak dari perbuatannya (pewasiat) seandainya ia masih hidup.

فَأَمَّا إِذَا قَبِلَ بَعْضُ الْوَرَثَةِ الْوَصِيَّةَ وَرَدَّهَا بَعْضُهُمْ: كَانَتْ حِصَّةُ مَنْ رَدَّ مَوْقُوفَةً لِوَرَثَةِ الْمُوصِي، وَحِصَّةُ مَنْ قَبِلَ أَحْرَارًا إِنْ قِيلَ إِنَّهُمْ قَدْ دَخَلُوا فِي مِلْكِ الْمُوصَى لَهُ. وَيُقَوَّمُ مَا بَقِيَ مِنْ رِقِّ الْأَوْلَادِ فِي حِصَّةِ الْقَابِلِ مِنْ تَرِكَتِهِ، إِنْ كَانَ مُوسِرًا بِذَلِكَ، وَيَصِيرُ جَمِيعُ الْأَوْلَادِ أَحْرَارًا يَرِثُونَ إن لم يحجبوا القابل الْمُوصَى لَهُ.

Adapun jika sebagian ahli waris menerima wasiat dan sebagian lainnya menolaknya: maka bagian orang yang menolak tetap menjadi milik ahli waris pewasiat, dan bagian orang yang menerima menjadi merdeka jika dikatakan bahwa mereka telah masuk ke dalam kepemilikan orang yang diwasiati. Dan sisa perbudakan anak-anak pada bagian penerima dinilai dari harta warisannya, jika ia mampu, maka seluruh anak menjadi merdeka dan mewarisi jika mereka tidak menghalangi penerima wasiat.

وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا فَلَا تَقْوِيمَ فِي تَرِكَتِهِ وَلَا يَرِثُ هَؤُلَاءِ الْأَوْلَادُ لِأَنَّ حُرِّيَّتَهُمْ: لَمْ تَكْمُلْ، وَلَا تَقْوِيمَ عَلَى الْقَابِلِ، لِأَنَّ الْعِتْقَ كَانَ عَلَى غَيْرِهِ.

Dan jika ia tidak mampu, maka tidak ada penilaian pada harta warisannya dan anak-anak tersebut tidak mewarisi, karena kemerdekaan mereka belum sempurna, dan tidak ada penilaian atas penerima, karena pembebasan itu terjadi atas selain dirinya.

وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُمْ لَمْ يَدْخُلُوا فِي مِلْكِ الْمُوصَى لَهُ لَمْ يُعْتَقْ شَيْءٌ مِنْ حِصَّةِ الْقَابِلِ مِنَ الورثة إذا كان ممن يجوز أن يتملك أَوْلَادُ الْمُوصَى لَهُ.

Dan jika dikatakan bahwa mereka tidak masuk ke dalam kepemilikan orang yang diwasiati, maka tidak ada yang merdeka dari bagian penerima dari para ahli waris jika ia termasuk orang yang boleh memiliki anak-anak orang yang diwasiati.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا كَانَ الْمُوصَى لَهُ بِزَوْجَتِهِ مَرِيضًا فَقَبِلَ الْوَصِيَّةَ فِي مَرَضِهِ الْمَخُوفِ.

Dan jika orang yang diwasiati dengan istrinya sedang sakit, lalu ia menerima wasiat itu dalam sakit yang membahayakan.

فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي أَوْلَادِهِ مِنْهَا: إذا أعتقوا بِقَبُولِهِ، هَلْ يَرِثُونَهُ إِذَا مَاتَ مِنْ مَرَضِهِ ذَلِكَ؟ فَالَّذِي عَلَيْهِ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ مِنْهُمْ: أَنَّهُمْ لا يرثون، لِأَنَّ عِتْقَهُمْ فِي مَرَضِهِ بِقَبُولِهِ وَصِيَّةٌ لَهُمْ، ولو ورثوا، منعوا الوصية، وإذا منعوها عادوا رقيقا لَا يَرِثُونَ، فَلِذَلِكَ عَتَقُوا وَلَمْ يَرِثُوا، كَمَا لَوِ اشْتَرَاهُمْ فِي مَرَضِهِ.

Para ulama mazhab kami berbeda pendapat mengenai anak-anak dari budak perempuan tersebut: apabila mereka dimerdekakan dengan penerimaan mereka, apakah mereka mewarisinya jika ia meninggal karena sakit itu? Pendapat mayoritas dari mereka adalah: mereka tidak mewarisi, karena kemerdekaan mereka pada saat sakitnya dengan penerimaan mereka merupakan wasiat untuk mereka. Jika mereka mewarisi, maka mereka terhalang dari wasiat, dan jika mereka terhalang dari wasiat maka mereka kembali menjadi budak dan tidak mewarisi. Oleh karena itu, mereka dimerdekakan namun tidak mewarisi, sebagaimana jika ia membeli mereka pada saat sakitnya.

وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ: يَرِثُونَ بِخِلَافِ مَنِ اشْتَرَاهُ مِنْهُمْ، لأن من اشتراه قد خرج ثَمَنُهُ مِنْ مَالِهِ فَصَارَ إِخْرَاجُ الثَّمَنِ وَصِيَّةً مِنْ ثُلُثِهِ، فَلِذَلِكَ لَمْ يَرِثُوا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِذَا قَبِلَ الْوَصِيَّةَ بِهِمْ، لِأَنَّهُ لَمْ يُخْرِجْ أَثْمَانَهُمْ مِنْ مَالِهِ فَيَصِيرُوا مِنْ ثُلُثِهِ، فَلِذَلِكَ لَمْ يَكُنْ قَبُولُهُمْ وَصِيَّةً، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ ذلك وصية، لم يمنعوا الميراث.

Abu al-‘Abbas bin Surayj berkata: Mereka mewarisi, berbeda dengan orang yang dibelinya dari mereka, karena orang yang dibeli, harganya telah keluar dari hartanya sehingga pengeluaran harga itu menjadi wasiat dari sepertiga hartanya, maka karena itu mereka tidak mewarisi. Tidak demikian halnya jika wasiat diterima untuk mereka, karena harga mereka tidak dikeluarkan dari hartanya sehingga mereka menjadi bagian dari sepertiga harta. Oleh karena itu, penerimaan mereka bukanlah wasiat, dan jika bukan wasiat, maka mereka tidak terhalang dari warisan.

ولو كان قاله عِنْدَ الْوَصِيَّةِ مَرِيضًا، فَلَمْ يَقْبَلْهَا حَتَّى مَاتَ، ثُمَّ قَبِلَهَا وَرَثَتُهُ، بَعْدَ مَوْتِهِ: كَانَ مِيرَاثُ الْأَوْلَادِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا، لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ لَهُ في حال لو قبلها: كان مِيرَاثُ الْأَوْلَادِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا، فَكَذَلِكَ إِذَا قبلها ورثته بعد موته.

Seandainya ia mengucapkannya saat berwasiat dalam keadaan sakit, lalu tidak diterima hingga ia meninggal, kemudian wasiat itu diterima oleh ahli warisnya setelah kematiannya, maka warisan anak-anak itu sebagaimana yang telah kami sebutkan, karena itu merupakan wasiat untuknya dalam keadaan yang jika ia menerimanya, maka warisan anak-anak itu sebagaimana yang telah kami sebutkan. Demikian pula jika wasiat itu diterima oleh ahli warisnya setelah kematiannya.

ولو كانت الوصية لَهُ فِي صِحَّتِهِ فَلَمْ يَقْبَلْهَا حَتَّى مَاتَ: لَمْ يَسْقُطْ مِيرَاثُ هَؤُلَاءِ الْأَوْلَادِ بِقَبُولِ وَرَثَتِهِ.

Jika wasiat itu diberikan kepadanya saat pewasiat sehat, lalu tidak diterima hingga pewasiat meninggal, maka warisan anak-anak tersebut tidak gugur dengan diterimanya wasiat oleh ahli warisnya.

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ: فَإِنَّهُ نَصَّ مَا اخْتَارَهُ مِنْ إن القبول يدل على تقدم الملك بالموت وهو أَصَحُّ الْقَوْلَيْنِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Adapun al-Muzani, ia menegaskan bahwa pendapat yang ia pilih adalah bahwa penerimaan menunjukkan kepemilikan telah terjadi sejak kematian, dan ini adalah pendapat yang paling benar dari dua pendapat, dan Allah lebih mengetahui mana yang benar.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولو أوصى بجارية ومات ثم وهب للجارية مائة دينار وهي تسوي مِائَةَ دِينَارٍ وَهِيَ ثُلُثُ مَالِ الْمَيِّتِ وَوَلَدَتْ ثُمَّ قَبِلَ الْوَصِيَّةَ فَالْجَارِيَةُ لَهُ وَلَا يَجُوزُ فِيمَا وَهَبَ لَهَا وَوَلَدَهَا إِلَّا وَاحِدٌ مِنْ قَوْلَيْنِ الْأَوَّلُ أَنْ يَكُونَ وَلَدُهَا وَمَا وَهَبَ لها من مِلْكِ الْمُوصَى لَهُ وَإِنْ رَدَّهَا فَإِنَّمَا أَخْرَجَهَا مِنْ مِلْكِهِ إِلَى الْمَيِّتِ وَلَهُ وَلَدُهَا وَمَا وَهَبَ لَهَا لِأَنَّهُ حَدَثَ فِي مِلْكِهِ. وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّ ذَلِكَ مِمَّا يَمْلِكُهُ حَادِثًا بِقَبُولِ الوصية وهذا قول منكر لَا نَقُولُ بِهِ لِأَنَّ الْقَبُولَ إِنَّمَا هُوَ على ملك متقدم وليس بملك حادث.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berwasiat dengan seorang budak perempuan lalu ia meninggal, kemudian ia menghadiahkan kepada budak perempuan itu seratus dinar, sedangkan budak perempuan itu seharga seratus dinar dan itu adalah sepertiga dari harta si mayit, lalu budak perempuan itu melahirkan anak, kemudian wasiat itu diterima, maka budak perempuan itu menjadi milik penerima wasiat dan tidak sah apa yang dihadiahkan kepadanya dan kepada anaknya kecuali satu dari dua pendapat. Pendapat pertama: anaknya dan apa yang dihadiahkan kepadanya menjadi milik penerima wasiat, dan jika ia mengembalikannya maka ia hanya mengeluarkannya dari kepemilikannya kepada si mayit, dan ia memiliki anaknya dan apa yang dihadiahkan kepadanya karena itu terjadi dalam kepemilikannya. Pendapat kedua: hal itu adalah sesuatu yang dimiliki secara baru dengan penerimaan wasiat, dan ini adalah pendapat yang diingkari, kami tidak berpendapat demikian, karena penerimaan itu hanyalah atas kepemilikan yang telah ada sebelumnya dan bukan kepemilikan yang baru.”

وقد قيل تكون لَهُ الْجَارِيَةُ وَثُلُثُ وَلَدِهَا وَثُلُثُ مَا وُهِبَ لها. قال المزني رحمه الله: هذا قول بعض الكوفيين. قال أبو حنيفة: تكون له الجارية وثلث ولدها. وقال أبو يوسف ومحمد بن الحسن: يكون له ثلثا الجارية وثلثا ولدها. (قال المزني) وأحب إلي قول الشافعي لأنها وولدها على قبول ملك متقدم (قال المزني) وقد قطع بالقول الثاني إذ الملك متقدم وإذا كان كذلك وقام الوارث في القبول مقام أبيه فالجارية له بملك متقدم وولدها وما وهب لها ملك حادث بسبب متقدم (قال المزني) وينبغي في المسألة الأولى أن تكون امرأته أم ولد وكيف تكون أولادها بقبول الوارث أحرارا على أبيهم ولا تكون أمهم أم ولد لأبيهم وهو يجيز أن يملك الأخ أخاه وفي ذلك دليل على أن لو كان ملكا حادثا لولد الميت لكانوا له مماليك وقد قطع بهذا المعنى الذي قلت في كتاب الزكاة فتفهمه كذلك نجده إِنْ شَاءَ اللَّهَ تَعَالَى “.

Ada juga yang berpendapat bahwa budak perempuan itu dan sepertiga anaknya serta sepertiga dari apa yang dihadiahkan kepadanya menjadi milik penerima wasiat. Al-Muzani rahimahullah berkata: Ini adalah pendapat sebagian ulama Kufah. Abu Hanifah berkata: Budak perempuan itu dan sepertiga anaknya menjadi milik penerima wasiat. Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan berkata: Dua pertiga budak perempuan itu dan dua pertiga anaknya menjadi milik penerima wasiat. (Al-Muzani berkata) Pendapat yang lebih aku sukai adalah pendapat Syafi‘i, karena budak perempuan itu dan anaknya menjadi milik penerima wasiat atas dasar kepemilikan yang telah ada sebelumnya. (Al-Muzani berkata) Ia juga telah menetapkan pendapat kedua, karena kepemilikan itu telah ada sebelumnya. Jika demikian, dan ahli waris menggantikan posisi ayahnya dalam menerima wasiat, maka budak perempuan itu menjadi miliknya atas dasar kepemilikan yang telah ada sebelumnya, dan anaknya serta apa yang dihadiahkan kepadanya adalah kepemilikan baru karena sebab yang telah ada sebelumnya. (Al-Muzani berkata) Dalam masalah pertama, seharusnya budak perempuan itu adalah umm walad, lalu bagaimana mungkin anak-anaknya menjadi merdeka bagi ayah mereka dengan penerimaan ahli waris, sementara ibunya tidak menjadi umm walad bagi ayah mereka? Padahal ia membolehkan seorang saudara memiliki saudaranya. Dalam hal ini terdapat dalil bahwa jika itu adalah kepemilikan baru bagi anak si mayit, maka mereka menjadi budaknya. Aku telah menetapkan makna ini dalam Kitab Zakat, maka pahamilah, demikian pula kami temukan insya Allah Ta‘ala.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا وُهِبَ لِلْجَارِيَةِ الْمُوصَى بِهَا مَالٌ وَوَلَدَتْ أَوْلَادًا مِنْ رِقٍّ لَمْ يَخْلُ حَالُ أَوْلَادِهَا، وَمَا وُهِبَ لَهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: Jika diberikan harta kepada budak perempuan yang diwasiatkan dan ia melahirkan anak-anak dari status budak, maka keadaan anak-anaknya dan apa yang dihadiahkan kepadanya tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ فِي حَيَاةِ الْمُوصِي، فَهُوَ مِلْكُهُ وصَائِرٌ إِلَى وَرَثَتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَمَحْسُوبٌ فِي ثُلُثَيِ التَّرِكَةِ.

Pertama: terjadi pada saat pewasiat masih hidup, maka itu adalah miliknya dan akan menjadi milik ahli warisnya setelah kematiannya, serta dihitung dalam dua pertiga harta warisan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ حَادِثًا بَعْدَ قَبُولِ الْمُوصَى لَهُ. فَذَلِكَ ملك له، لحدوثه بَعْدَ اسْتِقْرَارِ مِلْكِهِ.

Kedua: terjadi setelah penerima wasiat menerima wasiat tersebut. Maka itu menjadi miliknya, karena terjadi setelah kepemilikannya tetap.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ حَادِثًا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَقَبْلَ الْقَبُولِ، فَيَكُونُ عَلَى الْقَوْلَيْنِ فِي الْقَبُولِ، فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْقَبُولَ هُوَ الْمُمَلِّكُ فَذَلِكَ مِلْكُ الْوَرَثَةِ، دُونَ الْمُوصَى لَهُ، وَهَلْ يُحْتَسَبُ بِهِ عَلَيْهِمْ مِنْ ثُلُثَيِ التركة، على وجهين من اختلاف ما ذكرنا مِنَ الْوَجْهَيْنِ فِي الْمُوصَى بِهِ قَبْلَ الْقَبُولِ، هَلْ يَكُونُ بَاقِيًا عَلَى مِلْكِ الْمَيِّتِ أَوْ منتقلا إلى ورثته، فَإِنْ جَعَلْنَاهُ بَاقِيًا عَلَى مِلْكِ الْمَيِّتِ، كَانَ ما حدث من الهبة والأولاد محسوب على الورثة.

Bagian ketiga: yaitu jika terjadi sesuatu setelah kematian dan sebelum adanya penerimaan (qabūl), maka hukumnya mengikuti dua pendapat dalam masalah qabūl. Jika dikatakan bahwa qabūl itulah yang menyebabkan kepemilikan, maka itu menjadi milik para ahli waris, bukan milik penerima wasiat (al-mūṣā lahu). Apakah hal itu diperhitungkan atas mereka dari dua pertiga harta warisan, terdapat dua wajah (pendapat) sebagaimana yang telah kami sebutkan tentang dua wajah dalam hal barang yang diwasiatkan sebelum qabūl, apakah ia tetap menjadi milik mayit atau telah berpindah kepada ahli warisnya. Jika kita menganggapnya tetap menjadi milik mayit, maka apa yang terjadi dari hibah dan anak-anak (yang lahir) dihitung sebagai milik ahli waris.

وَإِنْ جَعَلْنَاهُ مُتَنَقِّلًا إِلَى الْوَرَثَةِ لَمْ يُحْتَسَبْ على الورثة.

Dan jika kita menganggapnya telah berpindah kepada ahli waris, maka tidak diperhitungkan atas ahli waris.

فهذا حكم القول الَّذِي يَجْعَلُ الْوَصِيَّةَ بِالْقَبُولِ مُمَلَّكَةً.

Inilah hukum pendapat yang menjadikan wasiat menjadi milik dengan adanya qabūl.

وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: وهذا قول ينكسر. اهـ.

Dan Imam Syafi‘i berkata: “Ini adalah pendapat yang lemah.” Selesai.

وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْقَبُولَ يَدُلُّ عَلَى تَقَدُّمِ الْمِلْكِ بِالْمَوْتِ، فَأَوْلَادُ الْجَارِيَةِ وَمَا وُهِبَ لَهَا ملكا للموصى له، لا يحتسب به من الثُّلُثِ لِأَنَّ الْمَيِّتَ لَمْ يَمْلِكْهُ.

Dan jika dikatakan: Sesungguhnya qabūl menunjukkan bahwa kepemilikan telah terjadi sejak kematian, maka anak-anak dari budak perempuan dan apa yang dihibahkan kepadanya menjadi milik penerima wasiat, dan tidak diperhitungkan dari sepertiga harta karena mayit tidak memilikinya.

إِلَّا أَنَّ الشَّافِعِيَّ قَالَ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ وَإِنْ رَدَّهَا فَإِنَّمَا أَخْرَجَهَا مِنْ مِلْكِهِ، إِلَى الْمَيِّتِ وَلَهُ ولدها وما وهب لها.

Hanya saja Imam Syafi‘i berkata menurut pendapat ini, bahwa jika ia mengembalikannya, maka sesungguhnya ia hanya mengeluarkannya dari kepemilikannya kepada mayit, dan baginya (mayit) anak-anaknya dan apa yang dihibahkan kepadanya.

واختلف أصحابنا، فكان بعضهم يجعل ذلك خَارِجًا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي رَوَاهُ عَنْهُ ابْنُ عَبْدِ الْحَكَمِ، إِنَّ الْوَصِيَّةَ تَدْخُلُ فِي مِلْكِ الْمُوصَى لَهُ بالموت كالميراث، فكذلك إِذَا رَدَّ الْوَصِيَّةَ بَعْدَ الْمَوْتِ، فَقَدْ أَخْرَجَهَا مِنْ مِلْكِهِ وَمِلْكِ مَا حَدَثَ مِنْ كَسْبِهَا وَوَلَدِهَا.

Para sahabat kami berbeda pendapat, sebagian dari mereka menganggap hal itu keluar menurut pendapat yang diriwayatkan dari beliau oleh Ibnu ‘Abdil Hakam, bahwa wasiat masuk ke dalam kepemilikan penerima wasiat dengan kematian sebagaimana warisan. Maka demikian pula jika wasiat dikembalikan setelah kematian, maka ia telah mengeluarkannya dari kepemilikannya dan kepemilikan atas apa yang dihasilkan dan anaknya.

وَقَالَ آخَرُونَ: بَلْ هَذَا خَارِجٌ مِنْهُ عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَجْعَلُهُ بِالْقَبُولِ مَالِكًا مِنْ حِينِ الْمَوْتِ.

Dan yang lain berkata: Bahkan ini keluar menurut pendapat yang menjadikannya sebagai pemilik sejak kematian dengan qabūl.

وَاخْتَلَفَ مَنْ قَالَ بِهَذَا فِي تَأْوِيلِ كَلَامِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Dan orang yang berpendapat demikian berbeda pendapat dalam menafsirkan perkataannya menjadi dua wajah:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَعْنَاهُ وَإِنْ رَدَّ فَكَأَنَّمَا أَخْرَجَهَا مِنْ مِلْكِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ لَهُ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا، فَإِذَا رَدَّهَا، فَقَدْ أَبْطَلَ مِلْكَهُ.

Pertama: Maksudnya adalah, meskipun ia mengembalikannya, maka seakan-akan ia telah mengeluarkannya dari kepemilikannya, karena sebelumnya ia berhak memilikinya, maka ketika ia mengembalikannya, ia telah membatalkan kepemilikannya.

وَقَوْلُهُ: ” وَلَهُ وَلَدُهَا وَمَا وُهِبَ لَهَا “.

Dan perkataannya: “Dan baginya anak-anaknya dan apa yang dihibahkan kepadanya.”

يَعْنِي: لِوَارِثِ الْمُوصِي.

Maksudnya: bagi ahli waris orang yang berwasiat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ قَبِلَهَا ثُمَّ رَدَّهَا بالهبة. هذا جَوَابُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ فَهَذَا شَرْحُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ فِي كَسْبِهَا وَوَلَدِهَا.

Dan wajah kedua: Bahwa hal itu dimaknai bahwa ia telah menerimanya kemudian mengembalikannya dengan hibah. Ini adalah jawaban Abu ‘Ali bin Abi Hurairah. Inilah penjelasan mazhab Syafi‘i dalam masalah hasil usaha dan anak-anaknya.

وَقَالَ أبو حنيفة: ” لِلْمُوصَى لَهُ الْجَارِيَةُ، وَثُلُثُ وَلَدِهَا، وَثُلُثُ مَا وُهِبَ لَهَا ” تَعْلِيلًا بِأَنَّهُ لَا يجوز أن يملكها الْمُوصَى لَهُ بِالْوَصِيَّةِ إِلَّا مَا صَارَ لِلْوَرَثَةِ مِثْلَاهُ، وَقَدْ صَارَ إِلَيْهِمْ مِثْلَا الْجَارِيَةِ فَلِذَلِكَ صَارَ جَمِيعُهَا لِلْمُوصَى لَهُ، وَلَمْ يَصِرْ إِلَيْهِمْ مِثْلَا الْوَلَدِ وَالْكَسْبِ فَلِذَلِكَ صَارَ لِلْمُوصَى لَهُ من ذلك ثلثه، ولورثة ثُلُثَاهُ.

Dan Abu Hanifah berkata: “Bagi penerima wasiat adalah budak perempuan itu, sepertiga anaknya, dan sepertiga dari apa yang dihibahkan kepadanya,” dengan alasan bahwa tidak boleh penerima wasiat memiliki budak perempuan itu melalui wasiat kecuali apa yang telah dimiliki oleh ahli waris semisalnya. Dan karena ahli waris telah mendapatkan semisal budak perempuan itu, maka seluruhnya menjadi milik penerima wasiat. Namun mereka tidak mendapatkan semisal anak dan hasil usaha, maka dari itu penerima wasiat hanya mendapatkan sepertiganya, dan ahli waris mendapatkan dua pertiganya.

وَقَالَ أبو يوسف ومحمد: لَهُ ثُلُثَا الجارية، وثلثا ولدها وكسبها.

Dan Abu Yusuf serta Muhammad berkata: Baginya dua pertiga budak perempuan, dan dua pertiga anak serta hasil usahanya.

ولست أعرف تَعْلِيلًا مُحْتَمِلًا مَا ذَكَرَاهُ وَكِلَا هَذَيْنِ الْمَذْهَبَيْنِ فاسد: لأن الكسب والولد تبع لمالك الْأَصْلِ فَإِنْ كَانَتِ الْجَارِيَةُ عِنْدَ حُدُوثِ النَّمَاءِ والمكسب بَعْدَ الْمَوْتِ وَقَبْلَ الْقَبُولِ مِلْكًا لِلْوَرَثَةِ: فَلَهُمْ كُلُّ الْكَسْبِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَمْلِكَ مِنْهُ الموصى له شيئا.

Aku tidak mengetahui alasan yang dapat diterima atas apa yang mereka sebutkan, dan kedua mazhab ini rusak (tidak benar): karena hasil usaha dan anak adalah pengikut dari pemilik asal. Jika budak perempuan itu pada saat terjadinya pertumbuhan dan hasil usaha setelah kematian dan sebelum qabūl adalah milik ahli waris, maka seluruh hasil usaha adalah milik mereka dan tidak boleh penerima wasiat memiliki sedikit pun darinya.

وإن كانت مِلْكًا لِلْمُوصَى لَهُ، فَلَهُ كُلُّ الْكَسْبِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَمْلِكَ مِنْهُ الْوَرَثَةُ شَيْئًا.

Dan jika ia adalah milik penerima wasiat, maka seluruh hasil usaha menjadi miliknya, dan tidak boleh ahli waris memiliki sedikit pun darinya.

فَأَمَّا تَبْعِيضُ الْمِلْكِ فِي النَّمَاءِ وَالْكَسْبِ مِنْ غَيْرِ تبعيض ملك الأصل وجه له، وليس بلازم أَنْ يَمْلِكَ الْوَرَثَةُ مِثْلَيْ مَا يَمْلِكُهُ الْمُوصَى لَهُ، بَعْدَ اسْتِقْرَارِ مِلْكِهِ، كَمَا لَا يَلْزَمُ فِيمَا حَدَثَ مِنْ ذَلِكَ بَعْدَ الْقَبُولِ، وَإِنَّمَا يلزم ذلك فيما ملك من تركة بينهم.

Adapun pembagian kepemilikan dalam pertumbuhan dan hasil usaha tanpa pembagian kepemilikan asal, maka tidak ada dasarnya. Dan tidak wajib bagi ahli waris memiliki dua kali lipat dari apa yang dimiliki penerima wasiat setelah kepemilikannya tetap, sebagaimana tidak wajib pula dalam hal yang terjadi setelah qabūl. Yang wajib hanyalah dalam apa yang dimiliki dari harta warisan di antara mereka.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا مَا لَا يَتَمَيَّزُ مِنَ الزِّيَادَةِ، كَالسِّمَنِ وَزِيَادَةِ الْبَدَنِ، إِذَا حَدَثَ بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي وَقَبْلَ قَبُولِ الْمُوصَى لَهُ، فَهُوَ لِلْمُوصَى لَهُ وَمَحْسُوبٌ عَلَيْهِ مِنَ الثُّلُثِ، لِأَنَّ مَا اتصل من الزيادة تبع لأصله يتنقل مَعَ الْأَصْلِ، إِلَى حَيْثُ انْتَقَلَ.

Adapun tambahan yang tidak dapat dibedakan, seperti kegemukan dan pertambahan badan, jika terjadi setelah kematian orang yang berwasiat dan sebelum penerimaan oleh penerima wasiat, maka itu menjadi milik penerima wasiat dan diperhitungkan atasnya dari sepertiga harta, karena tambahan yang menyatu dengan asalnya mengikuti asalnya dan berpindah bersama asalnya ke mana pun ia berpindah.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا الْوَصِيَّةُ إِذَا رَدَّهَا: فَلِلْمُوصَى لَهُ فِي رَدِّهَا أربعة أَحْوَالٍ:

Adapun wasiat apabila ditolak: maka bagi penerima wasiat dalam menolaknya terdapat empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَرُدَّهَا فِي حَيَاةِ الْمُوصِي، فَلَا يَكُونُ لِرَدِّهِ تَأْثِيرٌ كَمَا لَا يَكُونُ لِقَبُولِهِ لَهُ، لَوْ قَبِلَ فِي هَذِهِ الْحَالِ تأثيرا، وخالف فيه خلافا يذكره بَعْدُ.

Pertama: Menolaknya saat pewasiat masih hidup, maka penolakannya tidak berpengaruh sebagaimana penerimaannya juga tidak berpengaruh, seandainya ia menerima dalam keadaan ini. Namun ada perbedaan pendapat dalam hal ini yang akan disebutkan kemudian.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَرُدَّهَا بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي، وَقَبْلَ قَبُولِهِ: فَالرَّدُّ صَحِيحٌ قَدْ أَبْطَلَ الوصية، ورد ذَلِكَ إِلَى التَّرِكَةِ، وَلَا يُعْتَبَرُ فِيهِ قَبُولُ الورثة، ويكونوا فيه على فرائضهم.

Keadaan kedua: Menolaknya setelah pewasiat wafat dan sebelum ia menerimanya; maka penolakan tersebut sah, wasiat menjadi batal, dan harta itu kembali ke dalam tirkah (harta warisan), serta tidak disyaratkan adanya persetujuan dari para ahli waris, dan mereka mendapatkan bagian sesuai faraidh mereka.

فإن قال: ردت ذَلِكَ لِفُلَانٍ.

Jika ia berkata: “Saya menolaknya untuk si Fulan.”

قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ: احْتَمَلَ ذَلِكَ مَعْنَيَيْنِ:

Imam Syafi‘i berkata dalam kitab al-Umm: Hal itu mengandung dua makna:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ أَظْهَرُهُمَا، أَنْ يُرِيدَ لرضا فُلَانٍ، أَوْ لِكَرَامَةِ فُلَانٍ، فَإِنْ أَرَادَ ذَلِكَ، صَحَّ الرَّدُّ، وَبَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ، وَعَادَتْ إِلَى التَّرِكَةِ.

Pertama, dan ini yang lebih jelas, ia bermaksud demi kerelaan si Fulan atau demi memuliakan si Fulan. Jika ia bermaksud demikian, maka penolakannya sah, wasiat batal, dan kembali menjadi tirkah.

وَالثَّانِي: أَنْ يُرِيدَ بِالرَّدِّ لِفُلَانٍ: هِبَتَهَا لَهُ فلا تصح هبته لها قَبْلَ الْقَبُولِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَمْلِكْهَا بَعْدُ.

Kedua: Ia bermaksud dengan penolakan untuk si Fulan, yakni memberikannya sebagai hibah kepada Fulan. Maka hibah tersebut tidak sah sebelum ia menerima wasiat, karena ia belum memilikinya.

وَلَوْ قَبِلَهَا: صَحَّ، إِذَا وُجِدَتْ فِيهَا شُرُوطُ الْهِبَةِ، وَلَا يَكُونُ فَسَادُ هَذِهِ الْهِبَةِ مُبْطِلًا لِلْوَصِيَّةِ، وَمَانِعًا مِنْ قَبُولِهَا، لِأَنَّ هِبَتَهُ لَهَا إِنَّمَا اقْتَضَتْ زَوَالَ الْمِلْكِ بَعْدَ دُخُولِهَا فِيهِ.

Jika ia telah menerimanya, maka hibah itu sah apabila terpenuhi syarat-syarat hibah, dan rusaknya hibah ini tidak membatalkan wasiat serta tidak menghalangi penerimaannya, karena hibah tersebut hanya berlaku setelah ia benar-benar memilikinya.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَرُدَّهَا بَعْدَ قَبُولِ الْوَصِيَّةِ وَقَبْلَ قَبْضِهَا فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Keadaan ketiga: Menolaknya setelah menerima wasiat dan sebelum mengambilnya, maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ لَا تَصِحُّ إِلَّا بِلَفْظِ الْهِبَةِ إِيجَابًا وَقَبُولًا، لِدُخُولِ الْوَصِيَّةِ فِي مِلْكِهِ بِالْقَبُولِ.

Pertama: Tidak sah kecuali dengan lafaz hibah, baik ijab maupun kabul, karena wasiat telah masuk dalam kepemilikannya dengan penerimaan.

فَعَلَى هَذَا تَعُودُ الوصية للورثة خُصُوصًا دُونَ أَهْلِ الدَّيْنِ وَالْوَصَايَا، وَيَكُونُ الذَّكَرُ وَالْأُنْثَى فِيهَا سَوَاءً، لِأَنَّهَا هِبَةٌ لَهُمْ مَحْضَةٌ.

Menurut pendapat ini, wasiat kembali kepada para ahli waris secara khusus, tidak kepada para pemilik utang dan penerima wasiat lain, dan laki-laki serta perempuan sama dalam hal ini, karena itu merupakan hibah murni bagi mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَصِحُّ رَدُّهَا بِلَفْظِ الرَّدِّ دُونَ الْهِبَةِ، لَكِنْ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِالْقَبُولِ، لِأَنَّهَا وَإِنْ دَخَلَتْ فِي مِلْكِهِ، فَهِيَ كَالْإِقَالَةِ.

Pendapat kedua: Sah menolaknya dengan lafaz penolakan tanpa lafaz hibah, namun tidak sempurna kecuali dengan penerimaan, karena meskipun sudah masuk dalam kepemilikannya, hukumnya seperti pembatalan akad (iqālah).

وَإِنْ كَانَ مِلْكُ الْمُشْتَرِي فِيهَا ثَابِتًا، فَإِنَّهُ يَنْتَقِلُ بِغَيْرِ لَفْظِ الْهِبَةِ، لَكِنْ لَا بُدَّ فِيهَا مِنْ قَبُولٍ، كَذَلِكَ الْوَصِيَّةُ بَعْدَ الْقَبُولِ.

Meskipun kepemilikan pembeli dalam hal ini telah tetap, namun dapat berpindah tanpa lafaz hibah, tetapi tetap memerlukan penerimaan. Demikian pula wasiat setelah diterima.

فَعَلَى هَذَا: تَعُودُ بَعْدَ الرَّدِّ وَالْقَبُولِ تَرِكَةً، يَجْرِي فِيهَا حُكْمُ الدَّيْنِ وَالْوَصَايَا، وَفَرَائِضُ الْوَرَثَةِ.

Menurut pendapat ini, setelah penolakan dan penerimaan, harta kembali menjadi tirkah, berlaku padanya hukum utang, wasiat, dan faraidh ahli waris.

والوجه الثالث: أنها تصح بالرد مِنْ غَيْرِ قَبُولٍ لِأَنَّهَا وَإِنْ كَانَتْ مِلْكًا للموصى له بقبولها، فملكه لها قبل القبض، غير منبرم، فَجَرَتْ مَجْرَى الْوَقْفِ إِذَا رَدَّهُ الْمَوْقُوفُ عَلَيْهِ بَعْدَ قَبُولِهِ وَقَبْلَ قَبْضِهِ:

Pendapat ketiga: Sah dengan penolakan tanpa perlu adanya penerimaan, karena meskipun sudah menjadi milik penerima wasiat setelah diterima, namun kepemilikannya sebelum mengambilnya belum sempurna, sehingga hukumnya seperti wakaf apabila yang menerima wakaf menolaknya setelah menerima dan sebelum mengambilnya:

صَحَّ رَدُّهُ، وَلَمْ يَفْتَقِرِ الرَّدُّ إِلَى الْقَبُولِ، وإن كان ملكا، ثُمَّ تَكُونُ الْوَصِيَّةُ بَعْدَ الرَّدِّ تَرِكَةً.

Penolakannya sah, dan penolakan itu tidak memerlukan penerimaan, meskipun sudah menjadi miliknya. Kemudian, setelah penolakan, wasiat kembali menjadi tirkah.

فَصْلٌ:

Fasal:

وإذا رد الوصية بما يدل لَهُ عَلَى الرَّدِّ:

Apabila wasiat ditolak dengan sesuatu yang menunjukkan penolakan:

لَمْ يَمْلِكْ ذَلِكَ الْمَالَ، ولم يبطل حقه في الْوَصِيَّةِ بِالرَّدِّ.

Ia tidak memiliki harta tersebut, dan haknya atas wasiat tidak batal hanya karena penolakan itu.

وَقَالَ مَالِكٌ: يَمْلِكُ الْمَالَ، وَيَصِحُّ الرد، ومثله يقول في الشفعة، إذا عفى عَنْهَا عَلَى مَالٍ بُذِلَ لَهُ.

Imam Malik berkata: Ia tetap memiliki harta itu dan penolakannya sah. Hal yang sama ia katakan dalam masalah syuf‘ah, apabila seseorang memaafkannya dengan imbalan harta yang diberikan kepadanya.

وَهَذَا خَطَأٌ فِي الْمَوْضِعَيْنِ: لِأَنَّ أَخْذَ الْعِوَضِ عَلَى مَا لَمْ يَسْتَقِرَّ مِلْكُهُ عَلَيْهِ بَاطِلٌ كَالْبَيْعِ – وَاللَّهُ أعلم -.

Ini adalah kekeliruan dalam kedua permasalahan tersebut, karena mengambil kompensasi atas sesuatu yang kepemilikannya belum tetap adalah batil seperti jual beli — wallāhu a‘lam.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولو أوصى له بثلث شيء، بعينه استحق ثلثاه كان له الثلث الباقي إن احتمله ثلثه “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berwasiat kepadanya sepertiga dari suatu barang tertentu, lalu dua pertiganya ternyata menjadi milik orang lain, maka ia berhak atas sepertiga yang tersisa jika sepertiga itu memang cukup untuknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا أَوْصَى لَهُ بِثُلُثِ دَارٍ هُوَ فِي الظَّاهِرِ مَالِكٌ لِجَمِيعِهَا، فَاسْتُحِقَّ ثُلُثَا الدَّارِ، وَبَقِيَ عَلَى مِلْكِ الْمُوصِي ثُلُثُهَا.

Al-Mawardi berkata: Jika seseorang berwasiat kepadanya sepertiga rumah yang secara lahiriah ia miliki seluruhnya, lalu dua pertiga rumah itu ternyata menjadi milik orang lain, dan yang tersisa di tangan pewasiat adalah sepertiganya.

فَالثُّلُثُ كان الموصى لَهُ إِذَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ. وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ. وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ: يَكُونُ لَهُ ثُلُثُ الثُّلُثِ، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ: لَمَّا أَوْصَى لَهُ بِثُلُثِهَا، وَهُوَ فِي الظَّاهِرِ مَالِكٌ لِجَمِيعِهَا، تَنَاوَلَتِ الْوَصِيَّةُ ثُلُثَ مِلْكِهِ مِنْهَا، فَإِذَا بَانَ أَنَّ مِلْكَهُ مِنْهَا الثُّلُثُ، وَجَبَ أَنْ تَكُونَ الْوَصِيَّةُ بِثُلُثِ الثُّلُثِ، لِأَنَّهُ كَانَ مِلْكَهُ مِنْهَا، كَمَنْ أَوْصَى بِثُلُثِ ماله، وهو ثلاث مائة درهم، فاستحق منها مائتان كانت الوصية بثلث المائة الباقية.

Maka sepertiga itu menjadi milik penerima wasiat jika sepertiga harta dapat menanggungnya. Inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama). Abu Tsaur berkata: Baginya hanya sepertiga dari sepertiga, dengan alasan bahwa ketika ia diwasiatkan sepertiga dari harta itu, sementara secara lahiriah ia adalah pemilik seluruhnya, maka wasiat itu mencakup sepertiga dari kepemilikannya atas harta tersebut. Jika kemudian ternyata kepemilikannya atas harta itu hanya sepertiga, maka wajib wasiat itu menjadi sepertiga dari sepertiga, karena itu adalah bagian kepemilikannya, seperti seseorang yang mewasiatkan sepertiga dari hartanya, yang berjumlah tiga ratus dirham, lalu ternyata hanya dua ratus yang menjadi haknya, maka wasiatnya adalah sepertiga dari seratus dirham yang tersisa.

وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Ini adalah pendapat yang rusak (tidak benar) dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: إِنَّ مَا طَرَأَ مِنِ اسْتِحْقَاقِ الثُّلُثَيْنِ، لَيْسَ بِأَكْثَرَ مِنْ أن يكون عند الوصية غير ملكه لِلثُّلْثَيْنِ. وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ أَوْصَى لَهُ بثلث دار قدر ملكه: كَانَ لَهُ جَمِيعُ الثُّلُثِ إِذَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ، كَذَلِكَ إِذَا أَوْصَى لَهُ بِثُلُثِهَا، فَاسْتَحَقَّ مَا زَادَ عَلَى الثُّلُثِ مِنْهَا.

Pertama: Bahwa apa yang terjadi berupa hak atas dua pertiga, tidak lebih dari sekadar pada saat wasiat, dua pertiga itu bukan miliknya. Telah tetap bahwa jika seseorang mewasiatkan sepertiga rumah sesuai kadar kepemilikannya, maka ia berhak atas seluruh sepertiga jika sepertiga itu dapat menanggungnya. Demikian pula jika ia mewasiatkan sepertiga dari rumah itu, lalu ternyata yang menjadi haknya lebih dari sepertiga.

وَالثَّانِي: هُوَ أَنَّ رَفْعَ يَدِهِ بِالِاسْتِحْقَاقِ كَزَوَالِ مِلْكِهِ بِالْبَيْعِ وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ بَاعَ بَعْدَ الْوَصِيَّةِ بِالثُّلُثِ منها ما بقي من ثلثها صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ بِكُلِّ الثُّلُثِ الْبَاقِي بَعْدَ الْبَيْعِ، فكذلك تصح الوصية بِالثُّلُثِ الْبَاقِي بَعْدَ الْمُسْتَحَقِّ، وَلَيْسَ لِمَا ذَكَرَهُ مِنَ الِاسْتِدْلَالِ بِثُلُثِ الْمَالِ وَجْهٌ. لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ لَمْ تُعْتَبَرْ إِلَّا فِي ثُلُثِ مِلْكِهِ، وَمِلْكُهُ هُوَ الْبَاقِي بَعْدَ الِاسْتِحْقَاقِ.

Kedua: Bahwa hilangnya kepemilikan karena hak orang lain itu seperti hilangnya kepemilikan karena penjualan. Telah tetap bahwa jika ia menjual setelah berwasiat dengan sepertiga dari rumah itu, maka wasiat tetap sah atas seluruh sepertiga yang tersisa setelah penjualan. Demikian pula, wasiat tetap sah atas sepertiga yang tersisa setelah diambil oleh yang berhak. Tidak ada alasan untuk berdalil dengan sepertiga harta sebagaimana yang disebutkan. Karena wasiat hanya dianggap pada sepertiga dari kepemilikannya, dan kepemilikannya adalah yang tersisa setelah diambil oleh yang berhak.

وَلَوْ فَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ فِي الْوَصِيَّةِ بِالدَّارِ فَقَالَ: قَدْ أَوْصَيْتُ لَكَ بِثُلُثِ مِلْكِي مِنْ هَذِهِ الدَّارِ فَاسْتَحَقَّ ثُلُثَاهَا كَانَ لَهُ ثُلُثُ ثُلُثِهَا الْبَاقِي وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Seandainya seseorang melakukan hal yang sama dalam wasiat atas rumah, lalu berkata: “Aku mewasiatkan untukmu sepertiga dari kepemilikanku atas rumah ini,” kemudian dua pertiganya menjadi milik orang lain, maka baginya adalah sepertiga dari sepertiga yang tersisa. Allah lebih mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ لَهُ جَمِيعَ الثُّلُثِ بَعْدَ اسْتِحْقَاقِ الثُّلُثَيْنِ، فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْوَصَايَا فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” بَعْدَ أَنْ ذَكَرَ مَسْأَلَةَ الِاسْتِحْقَاقِ:

Jika telah dipastikan bahwa ia berhak atas seluruh sepertiga setelah dua pertiga menjadi milik orang lain, maka asy-Syafi‘i berkata dalam bab wasiat dalam kitab “al-Umm” setelah menyebutkan masalah hak milik:

” وَلَوْ أَوْصَى بِالثُّلُثِ مِنْ دَارٍ أَوْ أَرْضٍ، فَأَذْهَبَ السَّيْلُ ثُلُثَيْهَا، وَبَقِيَ ثُلُثُهَا، فَالثُّلُثُ الْبَاقِي للموصى له إذا خرج من الثلث وقيل إن الوصية موجودة، وخارجة من الثلث. أهـ.

“Jika seseorang mewasiatkan sepertiga dari sebuah rumah atau tanah, lalu banjir menghanyutkan dua pertiganya dan tersisa sepertiganya, maka sepertiga yang tersisa menjadi milik penerima wasiat jika masih dalam batas sepertiga, dan dikatakan bahwa wasiat itu tetap ada dan keluar dari sepertiga.” Selesai.

فَسَوَّى الشَّافِعِيُّ بَيْنَ اسْتِحْقَاقِ الثُّلُثَيْنِ مَشَاعًا، وَبَيْنَ ذهاب ثلثها بالسيل تجوزا في أن الوصية تجوز بِالثُّلُثِ الْبَاقِي بَعْدَ الِاسْتِحْقَاقِ وَالتَّلَفِ بِالسَّيْلِ.

Asy-Syafi‘i menyamakan antara hak atas dua pertiga secara musya‘ (tidak ditentukan bagian fisiknya) dan hilangnya dua pertiga karena banjir, dalam hal bahwa wasiat tetap sah atas sepertiga yang tersisa setelah hak milik orang lain dan kerusakan karena banjir.

وَالَّذِي أَرَاهُ الْفَرْقَ بَيْنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ مِنْ أَنَّ اسْتِحْقَاقِ الثلثين لا يمنع من إمضاء الوصية بالثلث الْبَاقِي كُلِّهِ.

Menurut pendapatku, ada perbedaan antara kedua masalah tersebut, yaitu bahwa hak atas dua pertiga tidak menghalangi pelaksanaan wasiat atas seluruh sepertiga yang tersisa.

وَذَهَابُ الثُّلُثَيْنِ مِنْهَا بِالسَّيْلِ يَمْنَعُ أَنْ تَكُونَ الْوَصِيَّةُ بِجَمِيعِ الثُّلُثِ الْبَاقِي وَيُوجِبُ أَنْ تَكُونَ الْوَصِيَّةُ بِثُلُثِ الثُّلُثِ الْبَاقِي.

Sedangkan hilangnya dua pertiga karena banjir menghalangi agar wasiat berlaku atas seluruh sepertiga yang tersisa, dan mewajibkan agar wasiat hanya berlaku atas sepertiga dari sepertiga yang tersisa.

وَالْفَرْقُ بينهما أن الوصية بالثلث منها هو ما تبع فِي جَمِيعِهَا فَإِذَا اسْتُحِقَّ ثُلُثَاهَا لَمْ يُمْنَعْ أن يكون الثلث الباقي سائغا فِي جَمِيعِهَا فَصَحَّتِ الْوَصِيَّةُ فِي جَمِيعِهِ.

Perbedaannya adalah bahwa wasiat atas sepertiga dari harta itu berlaku pada seluruh bagian harta. Jika dua pertiganya menjadi milik orang lain, tidak menghalangi sepertiga yang tersisa untuk tetap berlaku pada seluruh harta, sehingga wasiat sah atas seluruh bagian itu.

وَإِذَا هلك ثلثاها بالسيل، يجوز إن لم يكن الثلث الباقي منها هو الثلث الْمُشَاعَ فِي جَمِيعِهَا، فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ الْوَصِيَّةُ بثلث ما بقي وثلث ما هلك فيكون حُكْمُ الْإِشَاعَةِ فِي الْجَمِيعِ بَاقِيًا.

Namun jika dua pertiganya rusak karena banjir, maka jika sepertiga yang tersisa bukan merupakan sepertiga musya‘ (tidak tersebar pada seluruh bagian harta), maka wajib wasiat itu berlaku atas sepertiga dari yang tersisa dan sepertiga dari yang rusak, sehingga hukum musya‘ pada seluruh bagian tetap berlaku.

أَلَا تَرَى لَوْ أَنَّ رَجُلًا اشْتَرَى مِنْ رَجُلٍ نِصْفَ دَارِ جَمِيعُهَا بِيَدِهِ، ثُمَّ اسْتَحَقَّ بَعْدَ الشِّرَاءِ نِصْفَهَا: كَانَ النِّصْفُ الْبَاقِي هُوَ الْمَبِيعُ مِنْهَا، وَلَوْ لَمْ يَسْتَحِقَّ نِصْفَهَا وَلَكِنْ أَذْهَبَ السَّيْلُ نصفها، كان للمشتري نصف ما بقي بعدما أذهبه السيل منها.

Tidakkah kamu melihat, jika seseorang membeli setengah rumah yang seluruhnya masih di tangannya, lalu setelah pembelian setengahnya menjadi milik orang lain, maka setengah yang tersisa itulah yang dibeli darinya. Namun jika setengahnya tidak menjadi milik orang lain, melainkan hilang karena banjir, maka pembeli hanya mendapatkan setengah dari yang tersisa setelah banjir.

فإن قيل: فليس لَوْ أَوْصَى لَهُ بِرَأْسٍ مِنْ غَنَمِهِ فَهَلَكَ جَمِيعُهَا إِلَّا رَأْسًا مِنْهَا بَقِيَ: فَإِنَّ الْوَصِيَّةَ تَتَعَيَّنُ فِيهِ وَلَا يَكُونُ الْهَالِكُ وَإِنْ كَانَ متميزا من الوصية وغيرها فهلا كان ما ذهب بالسيل مثل ذلك؟ .

Jika dikatakan: Bagaimana jika seseorang mewasiatkan seekor kambing dari seluruh kambingnya, lalu seluruh kambing itu binasa kecuali satu ekor yang tersisa, maka wasiat itu menjadi pasti pada kambing yang tersisa, dan yang binasa, meskipun berbeda dari wasiat dan selainnya, mengapa yang hilang karena banjir tidak diperlakukan seperti itu?

قِيلَ الْوَصِيَّةُ بِرَأْسٍ مِنْ غَنَمِهِ يُوجِبُ الْإِشَاعَةَ فِي كُلِّ رَأْسٍ مِنْهَا وَإِنَّمَا جُعِلَ إِلَى الْوَارِثِ أَنْ يُعَيِّنَهُ فِيمَا شَاءَ مِنْ مِيرَاثِهِ.

Dijawab: Wasiat atas seekor kambing dari seluruh kambingnya mewajibkan musya‘ pada setiap ekor kambing, dan hanya diserahkan kepada ahli waris untuk menentukan kambing mana yang akan diberikan dari warisannya.

وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْوَصِيَّةُ بِثُلُثِ الدَّارِ، لِأَنَّ الثُّلُثَ شائع في جميعها فافترقا.

Tidak demikian halnya dengan wasiat atas sepertiga rumah, karena sepertiga itu bersifat syuyu‘ (tidak tertentu) pada seluruh bagian rumah, sehingga keduanya berbeda.

فإذا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْتُهُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ فِي التَّسْوِيَةِ بَيْنَ الِاسْتِحْقَاقِ وَالتَّلَفِ، وَمَا رَأَيْتُهُ مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَ الِاسْتِحْقَاقِ وَالتَّلَفِ، تَفَرَّعَ عَلَى ذَلِكَ مَا يَصِحُّ بِهِ الْجَوَابَانِ.

Apabila telah jelas apa yang telah aku uraikan mengenai mazhab asy-Syafi‘i dalam penyamaan antara istihqāq (hak memperoleh) dan talaf (kerusakan/hilang), serta apa yang aku pandang berupa perbedaan antara istihqāq dan talaf, maka dari situ bercabanglah apa yang dapat dijadikan dua jawaban yang sah.

فَمِنْ ذَلِكَ أَنْ يخلف رجل ثلاث مائة درهم، وثلاثين دينارا وقيمتها ثلاث مائة دِرْهَمٍ، وَيُوصِي بِثُلُثِ مَالِهِ لِرَجُلٍ، فَيَكُونُ لَهُ ثلث الدنانير، وثلثا الدراهم.

Di antara contohnya adalah: seseorang meninggalkan warisan tiga ratus dirham dan tiga puluh dinar yang nilainya tiga ratus dirham, lalu ia berwasiat sepertiga hartanya kepada seseorang, maka orang tersebut berhak atas sepertiga dinar dan dua pertiga dirham.

فإذا أَرَادَ الْوَرَثَةُ أَنْ يُعْطُوهُ ثُلُثَ الْجَمِيعِ مِنْ أَحَدِهِمَا، لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهُمْ لِأَنَّ الْمُوصِيَ جَعَلَهُ فِي الْجَمِيعِ مُشَارِكًا [لَهُمْ] .

Jika para ahli waris ingin memberikannya sepertiga dari keseluruhan harta dari salah satu jenis saja, maka itu tidak boleh bagi mereka, karena si pewasiat telah menjadikannya sebagai mitra dalam seluruh harta tersebut bersama mereka.

فَلَوْ تَلِفَ مِنَ الدَّنَانِيرِ عِشْرُونَ، وَبَقِيَ مِنْهَا عَشَرَةٌ:

Jika dari dinar itu hilang dua puluh dan tersisa sepuluh:

كَانَ له ثلث العشرة الباقية، وثلث الثلاث مائة درهم كلها.

Maka ia berhak atas sepertiga dari sepuluh dinar yang tersisa, dan sepertiga dari seluruh tiga ratus dirham.

فَأَمَّا إِذَا أَوْصَى لِرَجُلٍ بِثُلُثِ الدَّنَانِيرِ بِعَيْنِهَا، وأوصى لآخر بثلث الدراهم بِعَيْنِهَا، فَهَلَكَ مِنَ الدَّنَانِيرِ عِشْرُونَ، وَبَقِيَ مِنْهَا عَشَرَةٌ وَسَلِمَتِ الدَّرَاهِمُ كُلُّهَا.

Adapun jika ia berwasiat kepada seseorang dengan sepertiga dinar secara khusus, dan kepada orang lain dengan sepertiga dirham secara khusus, lalu dari dinar itu hilang dua puluh dan tersisa sepuluh, sedangkan seluruh dirham tetap utuh.

فَعَلَى الْوَجْهِ الَّذِي أَرَاهُ: أَنَّهُ يَكُونُ لِلْمُوصَى لَهُ بِثُلُثِ الدَّنَانِيرِ ثُلُثُ الْعَشَرَةِ الْبَاقِيَةِ وَهُوَ ثَلَاثَةُ دَنَانِيرَ وَثُلُثُ دينار.

Menurut pendapat yang aku pilih: maka yang berwasiat dengan sepertiga dinar berhak atas sepertiga dari sepuluh dinar yang tersisa, yaitu tiga dinar dan sepertiga dinar.

وللموصي بثلث الدراهم، ثلث الثلاث مائة وَهُوَ مِائَةُ دِرْهَمٍ.

Dan bagi yang diwasiati dengan sepertiga dirham, berhak atas sepertiga dari tiga ratus, yaitu seratus dirham.

وَعَلَى [الظَّاهِرِ] مِمَّا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ، يَكُونُ لِلْمُوصَى لَهُ بِثُلُثِ الدَّنَانِيرِ مِنَ العشرة الباقية ستة دنانير وثلثي دِينَارٍ.

Dan menurut pendapat yang zahir dari apa yang dikatakan asy-Syafi‘i, maka yang diwasiati dengan sepertiga dinar dari sepuluh yang tersisa mendapat enam dinar dan dua pertiga dinar.

وَيَكُونُ لِلْمُوصَى لَهُ بِثُلُثِ الدَّرَاهِمِ مِنْ جميع الثلاث مائة سِتَّةٌ وَسِتُّونَ دِرْهَمًا، وَثُلُثَا دِرْهَمٍ قِيمَةُ الْجَمِيعِ ثَلَاثَةَ عَشَرَ دِينَارًا وَثُلُثُ دِينَارٍ، وَيَبْقَى مَعَ الورثة ثلاثة دنانير وثلث، ومائتان وثلاثة وثلاثون درهما وثلث، وَقِيمَةُ الْجَمِيعِ سِتَّةٌ وَعِشْرُونَ دِينَارًا وَثُلُثَا دِينَارٍ، وهو ضعف ما صار إلى الموصى له.

Dan yang diwasiati dengan sepertiga dirham dari seluruh tiga ratus mendapat enam puluh enam dirham dan dua pertiga dirham, dengan nilai seluruhnya tiga belas dinar dan sepertiga dinar. Sementara yang tersisa untuk ahli waris adalah tiga dinar dan sepertiga, serta dua ratus tiga puluh tiga dirham dan sepertiga, dengan nilai seluruhnya dua puluh enam dinar dan dua pertiga dinar, yaitu dua kali lipat dari bagian yang diterima oleh penerima wasiat.

وَهَكَذَا لَوْ كَانَتِ الْوَصِيَّتَانِ لِرَجُلٍ وَاحِدٍ.

Demikian pula jika kedua wasiat itu diberikan kepada satu orang.

وَوَجْهُ الْعَمَلِ فِي ذَلِكَ أَنْ يُقَالَ: الْوَصِيَّتَانِ تُعَادِلُ عِشْرِينَ دِينَارًا مِنْ سِتِّينَ دِينَارًا، فَإِذَا تَلِفَ مِنَ التَّرِكَةِ عِشْرُونَ دِينَارًا فَهُوَ ثُلُثُ التَّرِكَةِ، ويرجع النقص على الوصيتين معا دون أحدهما، فَنُقِصَ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا الثُّلُثُ.

Adapun cara pelaksanaannya adalah dengan dikatakan: kedua wasiat itu setara dengan dua puluh dinar dari enam puluh dinar. Jika dari harta warisan hilang dua puluh dinar, maka itu adalah sepertiga harta warisan, dan kekurangan tersebut kembali kepada kedua wasiat bersama-sama, bukan kepada salah satunya saja, sehingga dikurangi sepertiga dari masing-masing wasiat.

فَالْمُوَصَى لَهُ بِثُلُثِ الدَّنَانِيرِ كَانَ لَهُ قَبْلَ التَّلَفِ عَشَرَةُ دَنَانِيرَ، فَصَارَ لَهُ بَعْدَ التَّلَفِ ثُلُثَاهَا، وذلك ستة دنانير وثلثا دينار، وللموصى لَهُ بِثُلُثِ الدَّرَاهِمِ، كَانَ لَهُ قَبْلَ التَّلَفِ مِائَةُ دِرْهَمٍ، فَصَارَ لَهُ بَعْدَ تَلَفِ الدَّنَانِيرِ ثُلُثَا الدَّرَاهِمِ، وَذَلِكَ سِتَّةٌ وَسِتُّونَ دِرْهَمًا، وَثُلُثَا دِرْهَمٍ.

Maka penerima wasiat sepertiga dinar, sebelum terjadi kerusakan, berhak atas sepuluh dinar, lalu setelah kerusakan menjadi dua pertiganya, yaitu enam dinar dan dua pertiga dinar. Dan penerima wasiat sepertiga dirham, sebelum kerusakan, berhak atas seratus dirham, lalu setelah dinar rusak menjadi dua pertiga dirham, yaitu enam puluh enam dirham dan dua pertiga dirham.

وَعَلَى هَذَا: لَوْ أَوْصَى لِرَجُلٍ بِسُدُسِ الدَّرَاهِمِ بِأَعْيَانِهَا، وَسُدُسِ الدَّنَانِيرِ بِأَعْيَانِهَا، وَالتَّرِكَةُ بِحَالِهَا: كَانَ لَهُ خَمْسَةُ دَنَانِيرَ وَخَمْسُونَ دِرْهَمًا، فَلَوْ تَلِفَ مِنَ الدَّرَاهِمِ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَبَقِيَتْ مِائَةُ دِرْهَمٍ مَعَ جَمِيعِ الدَّنَانِيرِ، وَهِيَ ثَلَاثُونَ دِينَارًا. فَعَلَى الْوَجْهِ الَّذِي رَأَيْتُهُ: يَكُونُ لِلْمُوصَى لَهُ خَمْسَةُ دَنَانِيرَ وَسِتَّةَ عَشَرَ دِرْهَمًا وَثُلُثُ دِرْهَمٍ، وَهُوَ سُدُسُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْمَالَيْنِ.

Berdasarkan hal ini: jika seseorang berwasiat kepada seseorang dengan seperenam dirham secara khusus, dan seperenam dinar secara khusus, sedangkan harta warisan masih utuh, maka ia berhak atas lima dinar dan lima puluh dirham. Jika dari dirham itu hilang dua ratus dan tersisa seratus dirham beserta seluruh dinar, yaitu tiga puluh dinar, maka menurut pendapat yang aku pilih: penerima wasiat berhak atas lima dinar dan enam belas dirham serta sepertiga dirham, yaitu seperenam dari masing-masing harta.

وَعَلَى الظَّاهِرِ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، يَكُونُ لِلْمُوصَى لَهُ ثلاثة دنانير وثلث دينار، وثلاثة ثلاثون درهما وثلث درهم.

Dan menurut pendapat zahir dari mazhab asy-Syafi‘i, penerima wasiat berhak atas tiga dinar dan sepertiga dinar, serta tiga puluh tiga dirham dan sepertiga dirham.

لأن يجعل نقص أحد المالين راجعا إلى الْمَالَيْنِ، وَقَدْ نُقِصَ الثُّلُثُ مِنَ الْوَصِيَّةِ بِسُدُسِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْمَالَيْنِ الثُّلُثَ.

Karena kekurangan salah satu dari kedua harta itu dikembalikan kepada keduanya, dan telah dikurangi sepertiga dari wasiat seperenam dari masing-masing harta itu.

فَصَارَ مَعَ الْمُوصَى لَهُ ثَلَاثَةُ دَنَانِيرَ وَثُلُثُ دِينَارٍ، وَثَلَاثَةٌ وثلاثون درهم وثلث درهم قيمة الْجَمِيعِ سِتَّةُ دَنَانِيرَ وَثُلُثَا دِينَارٍ، وَذَلِكَ سُدُسُ الْأَرْبَعِينَ الْبَاقِيَةِ مِنَ التَّرِكَةِ عَيْنًا وَوَرِقًا.

Maka penerima wasiat memperoleh tiga dinar dan sepertiga dinar, serta tiga puluh tiga dirham dan sepertiga dirham, dengan nilai seluruhnya enam dinar dan dua pertiga dinar, dan itu adalah seperenam dari empat puluh yang tersisa dari harta warisan, baik berupa dinar maupun dirham.

فَصْلٌ:

Fashl (Bab):

فِي خَلْعِ الثُّلُثِ

Tentang pelepasan sepertiga (harta wasiat)

قَالَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ رحمة الله عليه: ” إذا أوصى الرجل بِمِائَةِ دِينَارٍ لَهُ حَاضِرَةٍ، وَتَرَكَ غَيْرَهَا أَلْفَ دِينَارٍ دَيْنًا غَائِبَةً: فَالْوَرَثَةُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْضَاءِ الوصية بالمائة كلها عاجلا سواء أمضى الدَّيْنُ وَسَلِمَ الْغَائِبَ أَمْ لَا، وَبَيْنَ أَنْ يُسَلِّمُوا ثُلُثَ الْمِائَةِ الْحَاضِرَةِ، وَثُلُثَ الدَّيْنِ مِنَ الْمَالِ الْغَائِبِ، وَيَصِيرُ الْمُوصَى لَهُ بِالْمِائَةِ شَرِيكًا بِالثُّلُثِ فِي كُلِّ التَّرِكَةِ وَإِنْ كَثُرَتْ، وَسُمِّيَ ذلك خلع الثلث، واستدلالا بأن للموصى له ثلث ماله، فإذا غير الْوَصِيَّةَ فِي بَعْضِهِ. فَقَدْ أَدْخَلَ الضَّرَرَ عَلَيْهِمْ بِتَعْيِينِهِ فَصَارَ لَهُمُ الْخِيَارُ بَيْنَ الْتِزَامِ الضَّرَرِ بِالتَّعْيِينِ، وَبَيْنَ الْعُدُولِ إِلَى مَا كَانَ يَسْتَحِقُّهُ الموصي فهذا دليل مالك وما عليه فِي هَذَا الْقَوْلِ.

Malik bin Anas rahimahullah berkata: “Jika seseorang berwasiat dengan seratus dinar yang ada di tangannya, dan ia meninggalkan selain itu seribu dinar berupa utang yang belum ada: maka para ahli waris diberi pilihan antara melaksanakan wasiat dengan seluruh seratus dinar tersebut secara langsung, baik utang itu nantinya dapat ditagih dan harta yang belum ada itu selamat atau tidak, atau antara menyerahkan sepertiga dari seratus dinar yang ada, dan sepertiga dari utang dari harta yang belum ada, sehingga penerima wasiat atas seratus dinar itu menjadi sekutu dengan sepertiga dalam seluruh harta warisan meskipun jumlahnya banyak. Hal ini disebut khul‘ ats-tsuluts (melepaskan sepertiga), dengan alasan bahwa penerima wasiat berhak atas sepertiga hartanya. Jika wasiat itu diubah pada sebagian harta, maka ia telah menimbulkan mudarat kepada mereka dengan penentuan tersebut, sehingga mereka berhak memilih antara menerima mudarat akibat penentuan itu, atau kembali kepada apa yang seharusnya menjadi hak penerima wasiat. Inilah dalil Malik dan pendapatnya dalam masalah ini.”

وَاسْتَدَلَّ إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِسْحَاقَ بِأَنَّ تَعْيِينَ الْمُوصِي لِلْمِائَةِ الْحَاضِرَةِ مِنْ جُمْلَةِ التركة الغائبة، بمنزلة القبول للجاني إذا تعلقت الجناية في رقبته فسيده بالخيار بين أن يفديه بِأَرْشِ جِنَايَتِهِ أَوْ تَسْلِيمِهِ.

Isma‘il bin Ishaq berdalil bahwa penentuan wasiat oleh pewasiat atas seratus dinar yang ada dari keseluruhan harta warisan yang belum ada, kedudukannya seperti penerimaan oleh pelaku tindak pidana (jāni) jika tindak pidana itu berkaitan dengan dirinya, maka tuannya diberi pilihan antara menebusnya dengan diyat tindak pidananya atau menyerahkannya.

فَهَذَا مَذْهَبُ مَالِكٍ، ودليلاه.

Inilah mazhab Malik dan dua dalilnya.

ومذهب الشافعي: أن الموصى لَهُ ثُلُثَ الْمِائَةِ الْحَاضِرَةِ، وَثُلُثَاهَا الْبَاقِي مَوْقُوفٌ عَلَى قَبْضِ الدَّيْنِ وَوُصُولِ الْغَائِبِ، لَا يَتَصَرَّفُ فيه الوارث، ولا الموصى له، وإذا قبض الدين ووصل مِنَ الْغَائِبِ مَا يُخْرِجُ الْمِائَةَ كُلَّهَا مِنْ ثُلُثِهِ، أُمْضِيَتِ الْوَصِيَّةُ بِجَمِيعِ الْمِائَةِ.

Adapun mazhab asy-Syafi‘i: bahwa penerima wasiat berhak atas sepertiga dari seratus dinar yang ada, dan dua pertiga sisanya tergantung pada pelunasan utang dan sampainya harta yang belum ada; ahli waris maupun penerima wasiat tidak boleh melakukan tindakan apa pun terhadapnya. Jika utang telah dilunasi dan harta yang belum ada telah sampai sehingga seluruh seratus dinar dapat diambil dari sepertiganya, maka wasiat dilaksanakan dengan seluruh seratus dinar.

وَإِنْ وَصَلَ ما يخرج بَعْضَهَا: أُمْضِيَ قَدْرُ مَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ مِنْهَا. فإن برئ الدين وقدم الْغَائِبُ: اسْتَقَرَّتِ الْوَصِيَّةُ فِي ثُلُثِ الْمِائَةِ الْحَاضِرَةِ، وتصرف الورثة في ثلثينها، لِأَنَّهَا صَارَتْ جَمِيعَ التَّرِكَةِ.

Jika yang sampai hanya sebagian darinya, maka dilaksanakan sebesar bagian yang dapat ditanggung oleh sepertiga. Jika utang telah lunas dan harta yang belum ada telah sampai, maka wasiat tetap pada sepertiga dari seratus dinar yang ada, dan ahli waris dapat mengelola dua pertiga sisanya, karena semuanya telah menjadi seluruh harta warisan.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا إِذَا انتظر بِالْوَصِيَّةِ قَبْضُ الدَّيْنِ، وَوُصُولُ الْغَائِبِ، هَلْ يُمَكَّنُ الموصى له من التصرف في ثُلُثِ الْمِائَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Para ulama kami berbeda pendapat jika pelaksanaan wasiat menunggu pelunasan utang dan sampainya harta yang belum ada, apakah penerima wasiat boleh mengelola sepertiga dari seratus dinar itu, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُمَكَّنُ مِنَ التصرف فيها لأنه ثلث محض.

Pertama: Diperbolehkan baginya untuk mengelolanya karena itu adalah sepertiga murni.

والوجه الثاني: يمنع من التصرف فيها لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَصَرَّفَ الْمُوصَى لَهُ فِيمَا لَا يَتَصَرَّفُ الْوَرَثَةُ فِي مِثْلَيْهِ، وَقَدْ منع الورثة من التصرف في ثلث الْمِائَةِ الْمَوْقُوفِ، فَوَجَبَ أَنْ يُمْنَعَ الْمُوصَى لَهُ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي الثُّلُثِ الْمُمْضَى.

Pendapat kedua: Tidak diperbolehkan baginya untuk mengelolanya, karena tidak boleh penerima wasiat mengelola sesuatu yang tidak boleh dikelola oleh ahli waris pada dua pertiganya. Karena ahli waris telah dilarang mengelola dua pertiga dari seratus dinar yang masih tertahan, maka wajib pula melarang penerima wasiat dari mengelola sepertiga yang telah dilaksanakan.

وَالدَّلِيلُ عَلَى فساد ما ذهب إليه مالك:

Adapun dalil atas rusaknya pendapat Malik:

أنه يأول إلى أحد أمرين بمنع الوصية منها لأنه إِذَا خُيِّرَ الْوَرَثَةُ بَيْنَ الْتِزَامِ الْوَصِيَّةِ فِي ثلث كل التركة أو إمضاء الوصية في كل الْمِائَةِ.

Bahwa hal itu berujung pada salah satu dari dua hal, yaitu melarang wasiat dari harta tersebut, karena jika ahli waris diberi pilihan antara menerima wasiat pada sepertiga dari seluruh harta warisan atau melaksanakan wasiat pada seluruh seratus dinar.

فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْأَمْرَيْنِ خَارِجٌ عَنْ حكم الوصية، لأنهم إذا اخْتَارُوا مَنْعَهُ مِنْ كُلِّ الْمِائَةِ، فَقَدْ أَلْزَمَهُمْ ثُلُثُ كُلِّ التَّرِكَةِ، وَذَلِكَ غَيْرُ مُوصًى لَهُ.

Maka masing-masing dari dua pilihan itu keluar dari hukum wasiat, karena jika mereka memilih untuk melarangnya dari seluruh seratus dinar, maka mereka telah mewajibkan sepertiga dari seluruh harta warisan kepada penerima wasiat, padahal itu bukanlah harta yang diwasiatkan kepadanya.

وإن اختاروا ألا يُعْطُوا ثُلُثَ التَّرِكَةِ، فَقَدْ أَلْزَمَهُمْ إِمْضَاءُ الْوَصِيَّةِ بكل المائة، فعلم فساد [دليل] مذهبه بما يأول إليه حال كل واحد من الخيارين.

Dan jika mereka memilih untuk tidak memberikan sepertiga dari harta warisan, maka mereka telah mewajibkan pelaksanaan wasiat pada seluruh seratus dinar, sehingga jelaslah rusaknya dalil mazhabnya dengan melihat akibat dari masing-masing pilihan tersebut.

وأما جعلهم تعيين الوصية بالمائة الحاضرة، أدخل ضرر، فالضرر قد رفعناه بوقف الثلثين فعلى قَبْضِ الدَّيْنِ، وَوُصُولِ الْغَائِبِ، فَصَارَ الضَّرَرُ بِذَلِكَ مُرْتَفِعًا، وَإِذَا زَالَ الضَّرَرُ ارْتَفَعَتِ الْجِنَايَةُ مِنْهُ فَبَطَلَ الْخِيَارُ فِيهِ.

Adapun anggapan bahwa penentuan wasiat pada seratus dinar yang ada menimbulkan mudarat, maka mudarat itu telah kami hilangkan dengan menahan dua pertiga hingga utang dilunasi dan harta yang belum ada sampai, sehingga mudarat itu menjadi hilang, dan jika mudarat telah hilang maka tidak ada lagi tuntutan atasnya, sehingga pilihan itu menjadi batal.

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَاهُ يُفَرَّعُ عَلَى ذَلِكَ:

Jika telah jelas apa yang kami uraikan, maka dapat diturunkan hukum atasnya:

أَنْ يُوصِيَ بِعِتْقِ عَبْدٍ حَاضِرٍ وَبَاقِي تَرِكَتِهِ الَّتِي يَخْرُجُ كُلُّ الْعَبْدِ من ثلثها دين غائب فيعتق في الْعَبْدِ ثُلُثُهُ وَيُوقَفُ ثُلُثَاهُ عَلَى قَبْضِ الدَّيْنِ ووصول الغائب.

Yaitu jika seseorang berwasiat untuk memerdekakan seorang budak yang ada, sedangkan sisa hartanya yang dapat digunakan untuk memerdekakan seluruh budak itu berupa utang yang belum ada, maka yang merdeka dari budak itu adalah sepertiganya, dan dua pertiganya ditahan hingga utang dilunasi dan harta yang belum ada sampai.

فإذا قبض أوصل منهما، أو من أحدهما كما يَخْرُجُ كُلُّ الْعَبْدِ مِنْ ثُلُثِهِ عَتَقَ جَمِيعُهُ، وهل يمكن الورثة في خلال وقف الثلثين الموقوفين من العبد أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika utang telah dilunasi atau harta yang belum ada telah sampai, atau salah satunya, sehingga seluruh budak itu dapat dimerdekakan dari sepertiganya, maka seluruhnya menjadi merdeka. Apakah ahli waris dapat mengelola dua pertiga bagian budak yang masih tertahan selama masa penahanan tersebut atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُمَكَّنُونَ مِنْ ذلك لئلا يلزمهم إمضاء الوصية بما لا يَنْتَفِعُوا بِمِثْلَيْهِ وَهَذَا عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يَقُولُ إِنَّ الْمُوصَى لَهُ بِالْمِائَةِ إِذَا وَقَفَ ثُلُثَيْهَا مُنِعَ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي ثُلُثِهَا اعْتِبَارًا بِالتَّسْوِيَةِ.

Pertama: Mereka diperbolehkan mengelolanya agar mereka tidak dibebani untuk melaksanakan wasiat pada sesuatu yang mereka tidak dapat mengambil manfaat pada dua pertiganya. Ini menurut pendapat yang mengatakan bahwa jika dua pertiga dari seratus dinar itu masih tertahan, maka penerima wasiat juga dilarang mengelola sepertiganya, sebagai bentuk penyamaan.

فعلى هذا إن تلف الدَّيْنُ، وَتَلِفَ الْغَائِبُ، اسْتَقَرَّ مِلْكُهُمْ عَلَى مَا وقف من ثلثيه وجاز لهم بيعه.

Dengan demikian, jika utang itu musnah dan barang yang tidak ada juga musnah, maka kepemilikan mereka tetap atas apa yang diwakafkan dari dua pertiganya, dan mereka boleh menjualnya.

وإن قبض مِنَ الدَّيْنِ أَوْ قَدِمَ مِنَ الْغَائِبِ مَا يُخْرِجُ جَمِيعَهُ مِنْ ثُلُثِهِ رَجَعَ الْعَبْدُ عَلَيْهِمْ بما أخذه مِنْ كَسْبِهِ وَأُجْرَةِ خِدْمَتِهِ، وَلَيْسَ لِلْوَرَثَةِ أَنْ يَرْجِعُوا عَلَى الْعَبْدِ بِمَا أَنْفَقُوهُ عَلَيْهِ، أَوِ اسْتَخْدَمُوهُ، لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ لَهُمْ إِجَازَةُ عِتْقِهِ، فصاروا متطوعين بالنفقة عَلَيْهِ.

Dan jika dari utang itu ada yang diterima, atau barang yang tidak ada itu datang sehingga seluruhnya keluar dari sepertiga, maka budak itu menuntut mereka atas apa yang diambilnya dari hasil kerjanya dan upah pelayanannya, dan para ahli waris tidak berhak menuntut budak itu atas apa yang telah mereka belanjakan untuknya atau atas penggunaan mereka terhadapnya, karena mereka memang memiliki izin untuk memerdekakannya, sehingga mereka dianggap sukarela dalam menafkahinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُمْ يُمْنَعُونَ مِنْ ذَلِكَ، كَمَا يُمْنَعُونَ مِنَ التَّصَرُّفِ بِالْبَيْعِ، لِأَنَّ الظَّاهِرَ نُفُوذُ الْوَصِيَّةِ بِعِتْقِهِ، وَهَذَا عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يَجُوزُ لِلْمُوصَى لَهُ التَّصَرُّفُ فِي ثُلُثِ الْمِائَةِ. وَإِنْ مُنِعَ الْوَرَثَةُ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي ثُلُثَيْهَا.

Pendapat kedua: mereka dilarang melakukan hal tersebut, sebagaimana mereka juga dilarang melakukan transaksi penjualan, karena secara lahiriah wasiat untuk memerdekakannya itu berlaku, dan ini menurut pendapat yang membolehkan penerima wasiat melakukan transaksi pada sepertiga harta, dan jika para ahli waris dilarang melakukan transaksi pada dua pertiganya.

فعلى هذا إن برئ الدَّيْنُ وَتَلِفَ الْغَائِبُ: رَقَّ ثُلُثَاهُ، وَرَجَعَ الْوَرَثَةُ بِثُلُثَيْ كَسْبِهِ.

Dengan demikian, jika utang itu lunas dan barang yang tidak ada itu musnah: dua pertiganya menjadi budak, dan para ahli waris berhak atas dua pertiga hasil kerjanya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فِي الْوَصِيَّةِ بِالْعَيْنِ وَالدَّيْنِ

Tentang wasiat berupa barang dan utang

وَإِذَا مَاتَ رَجُلٌ وَتَرَكَ ابْنَيْنِ وَتَرَكَ عَشَرَةَ دَرَاهِمَ عَيْنًا، وَعَشَرَةَ دَرَاهِمَ دَيْنًا عَلَى أَحَدِ الِابْنَيْنِ وَأَوْصَى لِرَجُلٍ بِثُلُثِ مَالِهِ: فَلِلْمُوصَى لَهُ الثلث، ثُلُثُ الْعَيْنِ وَثُلُثُ الدَّيْنِ فَيَصِيرُ ذَلِكَ بَيْنَهُمْ عَلَى ثَلَاثَةِ أَسْهُمٍ، سَهْمٌ لِلْمُوصَى لَهُ، وَيَبْقَى سَهْمَانِ بَيْنَ الِابْنَيْنِ.

Apabila seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak laki-laki, serta meninggalkan sepuluh dirham berupa barang tunai dan sepuluh dirham berupa utang atas salah satu dari kedua anaknya, lalu ia berwasiat kepada seseorang dengan sepertiga hartanya: maka penerima wasiat berhak atas sepertiga, yaitu sepertiga dari barang tunai dan sepertiga dari utang, sehingga harta itu terbagi di antara mereka menjadi tiga bagian: satu bagian untuk penerima wasiat, dan dua bagian sisanya untuk kedua anak laki-laki.

وَفِي اسْتِيفَاءِ الِابْنِ حَقَّهُ مِنْ دَيْنِهِ وَجْهَانِ:

Dalam hal pengambilan hak anak dari utangnya, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُمْ يَشْتَرِكُونَ فِي العين والدين فلا يَسْتَوْفِي مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ حَقَّهُ مِنَ الدَّيْنِ لِاسْتِحْقَاقِ التَّسْوِيَةِ بَيْنَهُمْ فِي الْعَيْنِ وَالدَّيْنِ كَمَا لَوْ كَانَ الدَّيْنُ عَلَى أَجْنَبِيٍّ.

Pertama: mereka berbagi dalam barang tunai dan utang, sehingga anak yang memiliki utang tidak mengambil haknya dari utang tersebut karena wajib adanya kesetaraan di antara mereka dalam barang tunai dan utang, sebagaimana jika utang itu atas orang lain (bukan keluarga).

فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الْعَشَرَةُ الْعَيْنُ بَيْنَهُمْ أَثْلَاثًا، يأخذ الموصى له ثلثها، ثلاثة دراهم وثلث، وَيَأْخُذُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الِابْنَيْنِ ثَلَاثَةَ دَرَاهِمَ وثلث وَيَبْرَأُ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ مِنْ ثُلُثِ مَا عَلَيْهِ وَهُوَ قَدْرُ حَقِّهِ، ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ وَثُلُثٌ وَيَبْقَى عَلَيْهِ سِتَّةُ دَرَاهِمَ وَثُلُثَانِ مِنْهَا ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ وَثُلُثٌ لِلْمُوصَى لَهُ، وَثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ وَثُلُثٌ لِلِابْنِ الْآخَرِ، وَعَلَى هَذَا الْقِيَاسِ لَوْ كَانَتِ الْوَصِيَّةُ بِالرُّبُعِ أَوِ الْخُمُسِ.

Dengan demikian, sepuluh dirham barang tunai itu dibagi di antara mereka menjadi tiga bagian, penerima wasiat mengambil sepertiganya, yaitu tiga dirham dan sepertiga, dan masing-masing dari kedua anak laki-laki mengambil tiga dirham dan sepertiga. Anak yang memiliki utang dibebaskan dari sepertiga utangnya, yaitu sebesar haknya, tiga dirham dan sepertiga, dan masih tersisa utang atasnya enam dirham dan dua pertiga, yang terdiri dari tiga dirham dan sepertiga untuk penerima wasiat, dan tiga dirham dan sepertiga untuk anak yang lain. Demikian pula jika wasiatnya berupa seperempat atau seperlima.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ من عليه مِنَ الِابْنَيْنِ يُسْتَوْفَى حَقُّهُ مِنْهُ، وَيَخْتَصُّ بِالْعَيْنِ الْمُوصَى لَهُ وَالِابْنُ الَّذِي لَيْسَ عَلَيْهِ دَيْنٌ. وَهَذَا اخْتِيَارُ ابْنِ سُرَيْجٍ، وَعَلَيْهِ فَرَّعَ، لِأَنَّهُ لَا مَعْنَى لِأَنْ يَأْخُذَ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ من التركة ما يلزم رده إلى التركة، ويجعل بدل أخذه بقدر حقه ورده قضاها مِنْ دَيْنِهِ.

Pendapat kedua: anak yang memiliki utang di antara keduanya mengambil haknya dari utang tersebut, dan yang berhak atas barang tunai adalah penerima wasiat dan anak yang tidak memiliki utang. Ini adalah pilihan Ibnu Surayj, dan ia membangun pendapatnya atas hal ini, karena tidak ada makna bagi orang yang memiliki utang mengambil dari warisan sesuatu yang wajib dikembalikan ke warisan, sehingga pengambilan itu dianggap sebagai pelunasan utangnya.

فَعَلَى هَذَا يَكُونُ وَجْهُ الْعَمَلِ فيه: أن تكون التركة وهي عشرون دينارا عَيْنًا وَدَيْنًا بَيْنَهُمْ عَلَى ثَلَاثَةِ أَسْهُمٍ، يُسْتَحَقُّ بكل سهم منها في التَّرِكَةِ سِتَّةُ دَرَاهِمَ وَثُلُثَانِ، فَيَبْرَأُ مَنْ عَلَيْهِ الدين من قدر حقه وهو ستة دراهم وثلثان، من الدين عليه، ويبقى عليه، ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ، وَثُلُثٌ.

Dengan demikian, cara pelaksanaannya adalah: harta warisan yang terdiri dari dua puluh dinar berupa barang tunai dan utang itu dibagi di antara mereka menjadi tiga bagian, setiap bagian berhak atas enam dirham dan dua pertiga dari warisan, sehingga anak yang memiliki utang dibebaskan dari utangnya sebesar haknya, yaitu enam dirham dan dua pertiga, dan masih tersisa utang atasnya tiga dirham dan sepertiga.

وَتُقَسَّمُ الْعَشَرَةُ الْعَيْنُ بَيْنَ الموصى له والابن الآخر بالتسوية، فَيَأْخُذُ الْمُوصَى لَهُ خَمْسَةً، وَيَبْقَى لَهُ مِنِ اسْتِكْمَالِ الثُّلُثِ، دِرْهَمٌ وَثُلُثَانِ، يُرْجَعُ بِهِ عَلَى من عليه الدين، ويأخذ الِابْنُ الْآخَرُ خَمْسَةً، وَيُرْجَعُ بِبَاقِي حَقِّهِ، وَهُوَ دِرْهَمٌ وَثُلُثَانِ، عَلَى أَخِيهِ، وَقَدِ اسْتَوْفَوْا جَمِيعًا حُقُوقَهُمْ.

Sepuluh dirham barang tunai itu dibagi rata antara penerima wasiat dan anak yang lain, sehingga penerima wasiat mengambil lima dirham, dan masih tersisa untuk melengkapi sepertiga, satu dirham dan dua pertiga, yang diambil dari anak yang memiliki utang. Anak yang lain juga mengambil lima dirham, dan sisanya dari haknya, yaitu satu dirham dan dua pertiga, diambil dari saudaranya, sehingga mereka semua telah menerima haknya masing-masing secara penuh.

فَعَلَى هَذَا: لَوْ كَانَتِ الْوَصِيَّةُ بِالرُّبُعِ وَالتَّرِكَةُ بِحَالِهَا. قِيلَ التَّرِكَةُ فِي الْأَصْلِ عَلَى أربعة أسهم سهم وهو الرُّبُعُ لِلْمُوصَى لَهُ، وَيَبْقَى ثَلَاثَةٌ بَيْنَ الِابْنَيْنِ لا تصح، فابسطها من ثمانية يخرج الكسر منها فتقسم العشرون الْعَيْنَ وَالدَّيْنَ عَلَى ثَمَانِيَةِ أَسْهُمٍ، سَهْمَانِ مِنْهَا لِلْمُوصَى لَهُ بِالرُّبُعِ، وَثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ لِكُلِّ ابْنٍ فَيَسْقُطُ مِنْ دَيْنِ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ قَدْرُ حَقِّهِ مِنْ جَمِيعِ التَّرِكَةِ، وَهُوَ ثَلَاثَةُ أَثْمَانِ العشرين، سبعة دراهم ونصف، وَتُقَسَّمُ الْعَشَرَةُ الْعَيْنُ بَيْنَ الْمُوصَى لَهُ، وَالِابْنِ الْآخَرُ عَلَى خَمْسَةِ أَسْهُمٍ، فَيَأْخُذُ الْمُوصَى لَهُ بسهم منها أربعة درهم ويأخذ الابن بثلاثة أَسْهُمٍ مِنْهَا سِتَّةَ دَرَاهِمَ، وَيَبْقَى عَلَى صَاحِبِ الدَّيْنِ دِرْهَمَانِ وَنِصْفٌ وَهِيَ بَيْنَ أَخِيهِ وَالْمُوصَى لَهُ عَلَى خَمْسَةِ أَسْهُمٍ مِنْهَا لِأَخِيهِ ثَلَاثَةُ أسهم، درهم ونصف، يَنْضَمُّ إِلَى مَا أَخَذَهُ مِنَ الْعَيْنِ وَهُوَ ستة، تصير سبعة دراهم ونصف وَهُوَ جَمِيعُ حَقِّهِ.

Berdasarkan hal ini: jika wasiat diberikan sebesar seperempat dan harta warisan tetap dalam kondisinya, dikatakan bahwa harta warisan pada asalnya terbagi menjadi empat bagian: satu bagian, yaitu seperempat, untuk penerima wasiat, dan sisanya tiga bagian untuk kedua anak laki-laki, maka pembagian ini tidak sah. Maka, uraikanlah dari delapan bagian agar pecahan dapat keluar darinya, sehingga dua puluh (yaitu harta tunai dan piutang) dibagi atas delapan bagian: dua bagian di antaranya untuk penerima wasiat sebesar seperempat, dan masing-masing anak mendapat tiga bagian. Maka, dari utang orang yang berutang, dikurangi sebesar haknya dari seluruh warisan, yaitu tiga per delapan dari dua puluh, yakni tujuh setengah dirham. Kemudian, sepuluh harta tunai dibagi antara penerima wasiat dan anak yang lain atas lima bagian: penerima wasiat mendapat satu bagian, yaitu empat dirham, dan anak mendapat tiga bagian, yaitu enam dirham. Sisa utang yang harus dibayar oleh yang berutang adalah dua setengah dirham, yang dibagi antara saudaranya dan penerima wasiat atas lima bagian: untuk saudaranya tiga bagian, yaitu satu setengah dirham, yang digabungkan dengan apa yang telah ia terima dari harta tunai, yaitu enam dirham, sehingga menjadi tujuh setengah dirham, dan itulah seluruh haknya.

وَلِلْمُوصَى لَهُ مِنْ بَقِيَّةِ الدين سهمين، دِرْهَمٌ وَاحِدٌ، يَنْضَمُّ إِلَى مَا أَخَذَهُ مِنَ العين وهو أربعة، تصير خمسة دراهم وهم جميع الربع الذي أوصى لَهُ بِهِ.

Dan untuk penerima wasiat dari sisa utang adalah dua bagian, yaitu satu dirham, yang digabungkan dengan apa yang ia terima dari harta tunai, yaitu empat dirham, sehingga menjadi lima dirham, dan itulah seluruh seperempat yang diwasiatkan kepadanya.

وَعَلَى هَذَا: لَوْ كَانَتِ الْوَصِيَّةُ بِالْخُمُسِ، كَانَتِ التَّرِكَةُ عَلَى خَمْسَةِ أَسْهُمٍ، مِنْهَا سَهْمٌ لِلْمُوصَى لَهُ، وَسَهْمَانِ لِكُلِّ ابْنٍ فَيَأْخُذُ صاحب الدين سهمين مِنْ دَيْنِهِ وَهُوَ ثَمَانِيَةُ دَرَاهِمَ، وَيَبْقَى عَلَيْهِ دِرْهَمَانِ وَتَكُونُ الْعَشَرَةُ الْعَيْنُ بَيْنَ أَخِيهِ وَالْمُوصَى له ثلاثة أسهم، سهمان لِلْأَخِ، سِتَّةُ دَرَاهِمٍ وَثُلُثَانِ، وَسَهْمٌ لِلْمُوصَى لَهُ، ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ وَثُلُثٌ، وَيَكُونُ الدِّرْهَمَانِ الْبَاقِيَانِ عَلَى صَاحِبِ الدَّيْنِ بَيْنَ أَخِيهِ، وَالْمُوصَى لَهُ عَلَى ثلاثة، ثلثاه لأخيه وهو درهم وثلث ويصير مَعَ مَا أَخَذَهُ ثَمَانِيَةَ دَرَاهِمَ، وَثُلُثُهُ لِلْمُوصَى له وهو ثلثي دِرْهَمٍ، يَصِيرُ مَعَ مَا أَخَذَهُ أَرْبَعَةَ دَرَاهِمَ. ثم يتفرع على هذا الوجه.

Berdasarkan hal ini: jika wasiat diberikan sebesar seperlima, maka harta warisan terbagi atas lima bagian, satu bagian untuk penerima wasiat, dan masing-masing anak mendapat dua bagian. Maka, pemilik utang mengambil dua bagian dari piutangnya, yaitu delapan dirham, dan sisanya adalah dua dirham. Sepuluh harta tunai dibagi antara saudaranya dan penerima wasiat atas tiga bagian: dua bagian untuk saudaranya, yaitu enam dua pertiga dirham, dan satu bagian untuk penerima wasiat, yaitu tiga satu pertiga dirham. Dua dirham yang tersisa pada pemilik utang dibagi antara saudaranya dan penerima wasiat atas tiga bagian: dua pertiga untuk saudaranya, yaitu satu satu pertiga dirham, yang jika digabungkan dengan apa yang telah ia terima menjadi delapan dirham, dan sepertiganya untuk penerima wasiat, yaitu dua pertiga dirham, yang jika digabungkan dengan apa yang telah ia terima menjadi empat dirham. Kemudian, rincian lebih lanjut mengikuti pola ini.

والمسألة الثانية: أن يكون عَلَى الِابْنِ مَعَ دَيْنِ أَبِيهِ، عَشَرَةُ دَرَاهِمَ دين لِأَجْنَبِيٍّ، وَقَدْ فَلَّسَ بِهَا فِي حَالِ حَيَاةِ الْأَبِ.

Masalah kedua: yaitu apabila pada anak terdapat, selain utang ayahnya, sepuluh dirham utang kepada orang lain, dan ia telah dinyatakan bangkrut karenanya pada saat ayahnya masih hidup.

فَفِيمَا يَسْتَحِقُّهُ الِابْنُ مِنَ الْعَشَرَةِ الْعَيْنِ وجهان ذكرهما ابْنُ سُرَيْجٍ:

Maka, mengenai apa yang berhak diterima anak dari sepuluh harta tunai, terdapat dua pendapat yang disebutkan oleh Ibn Surayj:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَخْتَصُّ بِهَا أَخُوهُ الموصى لَهُ، دُونَ غَرِيمِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ أَخَذَ مِنْهَا بِإِزَائِهِ مِنْ دَيْنِهِ، فَيَكُونُ الْجَوَابُ عَلَى مَا مَضَى، وَيَبْقَى عَلَيْهِ دَيْنُ الْغَرِيمِ بِكَمَالِهِ.

Pertama: bahwa harta tersebut menjadi hak khusus saudaranya yang menerima wasiat, bukan hak krediturnya, karena ia telah mengambil bagian yang sepadan dari piutangnya, sehingga jawabannya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dan utang kepada kreditur tetap utuh atasnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ حَقَّهُ مِنَ الْعَيْنِ مَالٌ مُكْتَسَبٌ، فلا يختص به بعض الدَّيْنِ وَيَسْتَوِي فِيهِ شُرَكَاؤُهُ وَالْغَرِيمُ.

Pendapat kedua: bahwa haknya dari harta tunai adalah harta yang diperoleh, sehingga tidak menjadi hak khusus sebagian dari utangnya, dan para sekutunya serta kreditur memiliki hak yang sama di dalamnya.

وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ تَخْرِيجُ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ مِنَ اخْتِلَافِ قوليه فِي الشُّفْعَةِ، إِذَا وَرِثَ الْأَخَوَانِ دَارًا، ثُمَّ مات أحدهما وخلف ابنين، فباع أحد الابنين حقه في الدَّارِ فَفِي مُسْتَحِقِّ الشُّفْعَةِ قَوْلَانِ:

Tampaknya, kedua pendapat ini berasal dari perbedaan pendapat beliau dalam masalah syuf‘ah, yaitu apabila dua saudara mewarisi sebuah rumah, lalu salah satunya meninggal dan meninggalkan dua anak, kemudian salah satu anak menjual haknya atas rumah tersebut, maka dalam hal siapa yang berhak atas syuf‘ah terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا لأخيه والموصى له دون عمه.

Pertama: bahwa hak syuf‘ah adalah untuk saudaranya dan penerima wasiat, bukan untuk pamannya.

والثاني: أن الشفعة بَيْنَ أَخِيهِ وَعَمِّهِ.

Kedua: bahwa hak syuf‘ah adalah antara saudaranya dan pamannya.

فَعَلَى هَذَا تَكُونُ حِصَّةُ صاحب الدين بين أخيه والموصى له وغريمه.

Berdasarkan hal ini, bagian pemilik utang dibagi antara saudaranya, penerima wasiat, dan krediturnya.

فإذا قيل بهذا الوجه. فطريق العمل به أن يقال: يبرأ صَاحِبُ الدَّيْنِ مِنْ ثُلُثِ دَيْنِهِ وَهُوَ ثَلَاثَةُ دراهم وثلث قدر حقه منه، عَلَيْهِ ثُلُثَاهُ سِتَّةُ دَرَاهِمَ وَثُلُثَانِ ثُمَّ تُقَسَّمُ الْعَشَرَةُ الْعَيْنُ أَثْلَاثًا وَيَأْخُذُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْمُوصَى لَهُ وَالْأَخِ ثُلُثَهَا ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ وَثُلُثٌ، وَيَبْقَى ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ وَثُلُثٌ هِيَ حِصَّةُ صَاحِبِ الدَّيْنِ، فَتُقَسَّمُ بَيْنَ غُرَمَائِهِ عَلَى قَدْرِ دُيُونِهِمْ، والذي عليه لأخيه ثلاثة دراهم وثلث قدر مِيرَاثِهِ مِنْ دَيْنِهِ، وَلِلْمُوصَى لَهُ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ وَثُلُثٌ قَدْرُ الْوَصِيَّةِ لَهُ مِنْ دَيْنِهِ، وَعَلَيْهِ لِغَرِيمِهِ عَشَرَةُ دَرَاهِمَ، فَتُقَسَّمُ الثَّلَاثَةُ وَالثُّلُثُ بَيْنَهُمْ على خمسة أسهم، ويأخذ الأخ بسهمه مِنْهَا، ثُلُثَيْ دِرْهَمٍ، وَيَبْقَى لَهُ دِرْهَمَانِ وَثُلُثَانِ، ويأخذ الموصى له بسهم منها وَيَبْقَى لَهُ دِرْهَمَانِ وَثُلُثَانِ، وَيَأْخُذُ الْغَرِيمُ بِثَلَاثَةِ أَسْهُمٍ مِنْهَا، دِرْهَمَيْنِ، وَيَبْقَى لَهُ ثَمَانِيَةُ دَرَاهِمَ.

Jika dikatakan dengan cara ini, maka cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut: Pemilik utang bebas dari sepertiga utangnya, yaitu tiga dirham dan sepertiga, sesuai dengan haknya dari utang tersebut. Ia masih menanggung dua pertiga, yaitu enam dirham dan dua pertiga. Kemudian, sepuluh dirham tunai itu dibagi menjadi tiga bagian, dan masing-masing penerima wasiat serta saudara mendapatkan sepertiganya, yaitu tiga dirham dan sepertiga. Sisa tiga dirham dan sepertiga adalah bagian pemilik utang, lalu dibagi di antara para krediturnya sesuai dengan besarnya utang mereka. Yang menjadi tanggungan kepada saudaranya adalah tiga dirham dan sepertiga, sesuai dengan bagian warisannya dari utang tersebut. Sedangkan untuk penerima wasiat, tiga dirham dan sepertiga adalah bagian wasiat untuknya dari utang tersebut, dan ia masih menanggung kepada krediturnya sepuluh dirham. Maka, tiga dirham dan sepertiga itu dibagi di antara mereka menjadi lima bagian. Saudara mengambil satu bagian darinya, yaitu dua pertiga dirham, sehingga sisanya untuknya adalah dua dirham dan dua pertiga. Penerima wasiat juga mengambil satu bagian darinya, dan sisanya untuknya adalah dua dirham dan dua pertiga. Kreditur mengambil tiga bagian darinya, yaitu dua dirham, dan sisanya untuknya adalah delapan dirham.

ثم يتفرع على هذا أن يترك عَشَرَةً عَيْنًا، وَعَشَرَةً دَيْنًا عَلَى أَحَدِ ابْنَيْهِ وَلَا وَارِثَ لَهُ غَيْرُهُمَا، وَيُوصِي لِرَجُلٍ بِثُلُثَيْ دَيْنِهِ، فَتُقَسَّمُ الْعَشَرَةُ الْعَيْنُ نِصْفَيْنِ، يَأْخُذُ الِابْنُ الذي لا دين عليه نصفها خمسة، ويبقى خَمْسَةٌ هِيَ حِصَّةُ الِابْنِ الَّذِي عَلَيْهِ الدَّيْنُ، فتصرف فِيمَا يُسْتَحَقُّ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنِهِ، وَفِي مُسْتَحِقِّهَا وجهان حكاهما ابن سريج بنيا عَلَى الْوَجْهَيْنِ الْمَاضِيَيْنِ:

Kemudian, cabang dari permasalahan ini adalah jika seseorang meninggalkan sepuluh dirham tunai dan sepuluh dirham utang kepada salah satu dari dua anaknya, dan tidak ada ahli waris lain selain keduanya, lalu ia berwasiat kepada seseorang dengan dua pertiga dari utangnya. Maka, sepuluh dirham tunai itu dibagi dua, anak yang tidak memiliki utang mengambil setengahnya, yaitu lima dirham, dan sisanya lima dirham menjadi bagian anak yang memiliki utang, yang kemudian digunakan untuk membayar utangnya. Dalam hal siapa yang berhak atas bagian tersebut, terdapat dua pendapat yang dinukil oleh Ibn Suraij, yang didasarkan pada dua pendapat sebelumnya:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تُقَسَّمُ بَيْنَ أَخِيهِ، وَبَيْنَ الْمُوصَى لَهُ، بِثُلُثَيِ الدَّيْنِ عَلَى قَدْرِ حِصَّتِهِمَا، وَذَلِكَ عَلَى خَمْسَةِ أَسْهُمٍ، لِأَنَّ الْبَاقِيَ لِأَخِيهِ، دِرْهَمٌ وَثُلُثَانِ وَلِلْمُوصَى لَهُ بِثُلُثِ الدَّيْنِ سِتَّةُ دَرَاهِمَ وَثُلُثَانِ، فَيَكُونُ لِلْأَخِ سَهْمٌ من الخمسة ويأخذ به من الخمسة درهما واحدا، ويبقى من حقه ثلث درهم، ويرجع بِهِ عَلَى أَخِيهِ، وَيَكُونُ لِلْمُوصَى لَهُ أَرْبَعَةُ دَرَاهِمَ مِنْ خَمْسَةٍ، وَيَأْخُذُ بِهَا مِنَ الْخَمْسَةِ أَرْبَعَةَ دَرَاهِمَ، وَيَبْقَى لَهُ مِنْ وَصِيَّتِهِ دِرْهَمَانِ وثلثان، ويرجع بِهَا عَلَى الَّذِي عَلَيْهِ الدَّيْنُ، وَقَدْ بَرِئَ الَّذِي عَلَيْهِ الدَّيْنُ مِنْ سِتَّةِ دَرَاهِمَ وَثُلُثَيْنِ.

Pertama: Bagian tersebut dibagi antara saudaranya dan penerima wasiat dengan dua pertiga utang, sesuai dengan bagian masing-masing, yaitu menjadi lima bagian. Sisa untuk saudaranya adalah satu dirham dan dua pertiga, dan untuk penerima wasiat dengan sepertiga utang adalah enam dirham dan dua pertiga. Maka, saudara mendapat satu bagian dari lima, yaitu satu dirham, dan sisanya dari haknya adalah sepertiga dirham, yang dapat ia tuntut dari saudaranya. Sedangkan penerima wasiat mendapat empat dirham dari lima, dan mengambil dari lima dirham tersebut empat dirham, dan sisanya dari wasiatnya adalah dua dirham dan dua pertiga, yang dapat ia tuntut dari yang memiliki utang. Dengan demikian, yang memiliki utang telah bebas dari enam dirham dan dua pertiga.

والوجه الثاني: أن الخمسة العين الَّتِي هِيَ حِصَّةُ الِابْنِ الَّذِي عَلَيْهِ الدَّيْنُ مِنَ الْعَيْنِ مُخْتَصٌّ بِهَا الْمُوصَى لَهُ بِثُلُثَيِ الدَّيْنِ دُونَ الْأَخِ، لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ إِلَى الأخ منها أربعة، لِلْمُوصَى لَهُ مِنْ بَقِيَّةِ ثُلُثَيِ الدَّيْنِ دِرْهَمٌ وثلثان، ويرجع به على من عليه الدين، ويبقى للآخر دِرْهَمٌ وَثُلُثَانِ، يَرْجِعُ بِهِ عَلَى أَخِيهِ.

Pendapat kedua: Lima dirham tunai yang merupakan bagian anak yang memiliki utang dari harta tunai itu khusus untuk penerima wasiat dengan dua pertiga utang, bukan untuk saudaranya, karena dari bagian saudaranya telah menjadi empat dirham. Dari sisa dua pertiga utang, penerima wasiat mendapat satu dirham dan dua pertiga, yang dapat ia tuntut dari yang memiliki utang, dan sisanya untuk yang lain adalah satu dirham dan dua pertiga, yang dapat ia tuntut dari saudaranya.

وَفِي هَذَا الْفَصْلِ مِنْ دَقِيقِ الْمَسَائِلِ فِقْهٌ وَحِسَابٌ، وما أغفلناه كَرَاهَةَ الْإِطَالَةِ وَالضَّجَرِ (وَاللَّهُ الْمُعِينُ وَبِهِ التَّوْفِيقُ) .

Dalam bab ini terdapat masalah-masalah fiqh dan perhitungan yang sangat rinci. Apa yang tidak kami sebutkan adalah karena menghindari pembahasan yang terlalu panjang dan membosankan. (Dan Allah-lah yang memberi pertolongan dan dengan-Nya taufik diperoleh).

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ أَوْصَى بِثُلُثِهِ لِلْمَسَاكِينِ نُظِرَ إِلَى مَالِهِ فَقُسِّمَ ثُلُثُهُ فِي ذَلِكَ الْبَلَدِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya untuk para miskin, maka dilihat hartanya dan sepertiganya dibagikan di negeri tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: ولو أوصى بثلثه لِلْمَسَاكِينِ دَخَلَ مَعَهُمُ الْفُقَرَاءُ، وَلَوْ أَوْصَى بِهِ لِلْفُقَرَاءِ دَخَلَ مَعَهُمُ الْمَسَاكِينُ.

Al-Mawardi berkata: Jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya untuk para miskin, maka para fakir juga termasuk di dalamnya. Dan jika ia berwasiat untuk para fakir, maka para miskin juga termasuk di dalamnya.

قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” لِأَنَّ الفقير مسكين، والمسكين فقير، وإنما يتميز الطرفان، إذا جمع بينهما بالذكر ” اهـ.

Imam Syafi‘i berkata: “Karena fakir itu juga miskin, dan miskin itu juga fakir. Keduanya hanya dibedakan jika disebutkan secara bersamaan.” Selesai.

فَالْفَقِيرُ هُوَ الَّذِي لَا مَالَ لَهُ، وَلَا كَسْبَ.

Fakir adalah orang yang tidak memiliki harta maupun penghasilan.

وَالْمِسْكِينُ: هُوَ الَّذِي لَهُ مَالٌ أَوْ كَسْبٌ لَا يُغْنِيهِ.

Sedangkan miskin adalah orang yang memiliki harta atau penghasilan, tetapi tidak mencukupinya.

فَالْفَقِيرُ أَسْوَأُ حَالًا مِنَ المسكين على ما يستدل عَلَيْهِ فِي قَسْمِ الصَّدَقَاتِ.

Jadi, fakir keadaannya lebih buruk daripada miskin, sebagaimana dapat disimpulkan dalam pembagian zakat.

فَإِذَا أَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ لِلْمَسَاكِينِ.

Jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya untuk para miskin,

قُسِّمَ فِي ثَلَاثَةٍ فَصَاعِدًا مِنَ الْمَسَاكِينِ أَوْ مِنَ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ. أَوْ مِنَ الفقراء دون المساكين.

maka dibagikan kepada tiga orang atau lebih dari kalangan miskin, atau dari kalangan fakir dan miskin, atau dari kalangan fakir saja tanpa miskin.

وهكذا إذا أَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ لِلْفُقَرَاءِ.

Demikian pula jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya untuk para fakir.

قُسِّمَ فِي ثَلَاثَةٍ فَصَاعِدًا مِنَ الْفُقَرَاءِ، أَوْ مِنَ الْمَسَاكِينِ وَالْفُقَرَاءِ، أَوْ مِنَ الْمَسَاكِينِ دُونَ الْفُقَرَاءِ، لِأَنَّ كِلَا الصِّنْفَيْنِ فِي الِانْفِرَادِ وَاحِدٌ.

Dibagikan kepada tiga orang atau lebih dari kalangan fuqara’, atau dari kalangan masakin dan fuqara’, atau dari kalangan masakin saja tanpa fuqara’, karena kedua golongan itu pada dasarnya sama jika berdiri sendiri.

ثُمَّ قُسِّمَ ذَلِكَ بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ حَاجَاتِهِمْ فَإِنْ كَانَ فِيهِمْ من يستغني بمائة ومنهم من يستغني بخمسين أعطى من غناه مائة سهمان وأعطى من غناه خمسين سهما واحدا.

Kemudian dibagikan di antara mereka sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Jika di antara mereka ada yang cukup dengan seratus dan ada yang cukup dengan lima puluh, maka yang kebutuhannya seratus diberi dua bagian, dan yang kebutuhannya lima puluh diberi satu bagian.

ولا يفضل ذو قرابة بقرابته، وَإِنَّمَا يُقَدَّمُ ذُو الْقَرَابَةِ عَلَى غَيْرِهِ إِذَا كان فقيرا لقرابته لأن للعطية لَهُ صَدَقَةٌ، وَصِلَةٌ، وَمَا جَمَعَ ثَوَابَيْنِ كَانَ أفضل من التفرد بأحدهما.

Kerabat tidak diutamakan karena kekerabatannya. Hanya saja, kerabat didahulukan atas yang lain jika ia fakir karena kekerabatannya, sebab pemberian kepadanya merupakan sedekah sekaligus silaturahmi, dan sesuatu yang menggabungkan dua pahala lebih utama daripada hanya mendapatkan salah satunya.

فإذا صُرِفَ الثُّلُثُ فِي أَقَلِّ مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنَ الفقراء والمساكين ضمن.

Jika sepertiga itu dibagikan kepada kurang dari tiga orang dari kalangan fuqara’ dan masakin, maka ia wajib menanggung (kekurangannya).

فإن صرفه حصته فِي اثْنَيْنِ كَانَ فِي قَدْرِ مَا يَضْمَنُهُ وجهان:

Jika ia membagikan bagiannya kepada dua orang, maka dalam hal berapa yang harus ia tanggung terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ: أَنَّهُ يَضْمَنُ ثُلُثَ الثُّلُثِ، لِأَنَّ أقل الأجزاء ثلاثة، والظاهر مساوتهم فِيهِ.

Pertama: yaitu pendapat yang ditegaskan oleh asy-Syafi‘i dalam kitab al-Umm, bahwa ia wajib menanggung sepertiga dari sepertiga, karena bagian paling sedikit adalah tiga, dan yang tampak adalah mereka sama dalam hal itu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَضْمَنُ مِنَ الثُّلُثِ قدر ما لو دفعه إلى ثالث أخر، فَلَا يَنْحَصِرُ بِالثُّلُثِ، لَأَنَّ لَهُ التَّسْوِيَةَ بَيْنَهُمْ وَالتَّفْضِيلَ.

Pendapat kedua: bahwa ia wajib menanggung dari sepertiga itu sebesar apa yang seandainya ia berikan kepada orang ketiga yang lain, sehingga tidak terbatas pada sepertiga, karena ia boleh menyamakan di antara mereka atau mengutamakan salah satunya.

وَلَوْ كَانَ اقْتَصَرَ عَلَى وَاحِدٍ، فَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ أَنَّهُ يَضْمَنُ ثُلُثَيِ الثُّلُثِ.

Jika ia hanya membagikan kepada satu orang saja, maka salah satu pendapat adalah ia wajib menanggung dua pertiga dari sepertiga.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَضْمَنُ أَقَلَّ مَا يُجْزِئُهُ فِي الدَّفْعِ إِلَيْهِمَا.

Pendapat kedua: ia wajib menanggung jumlah paling sedikit yang mencukupi jika diberikan kepada dua orang.

فَلَوْ أَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ: صرف الثلث في الصنفين بالتسوية ودفع السدس إلى الفقراء، وأقلهم ثلاثة، وإن صرفه في أحد الصنفين ضمن السدس للنصف الْآخَرِ وَجْهًا وَاحِدًا.

Jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya untuk fuqara’ dan masakin: maka sepertiga itu dibagikan kepada kedua golongan secara merata dan seperenam diberikan kepada fuqara’, dan jumlah mereka paling sedikit tiga orang. Jika dibagikan hanya kepada salah satu golongan, maka ia wajib menanggung seperenam untuk golongan yang lain menurut satu pendapat.

ثُمَّ عَلَيْهِ صَرْفُ الثُّلُثِ فِي فُقَرَاءِ الْبَلَدِ الَّذِي فِيهِ الْمَالُ، دُونَ الْمَالِكِ، كَالزَّكَاةِ، فَإِنْ تَفَرَّقَ مَالُهُ: أَخْرَجَ فِي كُلِّ بَلَدٍ ثُلُثَ مَا فِيهِ، فَإِنْ لَمْ يُوجَدُوا فِيهِ، نُقِلَ إِلَى أَقْرَبِ الْبِلَادِ إِلَيْهِ كَمَا قُلْنَا فِي زَكَاةِ الْمَالِ. فَأَمَّا زَكَاةُ الفطر ففيه وجهان:

Kemudian ia wajib membagikan sepertiga itu kepada fuqara’ di negeri tempat harta itu berada, bukan kepada pemilik harta, seperti halnya zakat. Jika hartanya tersebar di beberapa negeri, maka ia mengeluarkan sepertiga dari masing-masing bagian di setiap negeri. Jika tidak ditemukan fuqara’ di negeri tersebut, maka dipindahkan ke negeri terdekat sebagaimana yang telah dijelaskan dalam zakat mal. Adapun zakat fitrah, dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أحدهما: أنها تُخْرَجُ فِي بَلَدِ الْمَالِ، دُونَ الْمَالِكِ كَزَكَاةِ الْمَالِ.

Salah satunya: zakat fitrah dikeluarkan di negeri tempat harta berada, bukan di negeri pemilik harta, sebagaimana zakat mal.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تُخْرَجُ فِي بَلَدِ الْمَالِكِ، دُونَ الْمَالِ، لِأَنَّهَا عَنْ فِطْرَةِ بَدَنِهِ، وطهور لِصَوْمِهِ.

Pendapat kedua: zakat fitrah dikeluarkan di negeri tempat pemilik harta, bukan di negeri harta, karena zakat fitrah berkaitan dengan jiwa orangnya dan sebagai pensucian bagi puasanya.

فَإِنْ نَقَلَ الزَّكَاةَ عَنْ بَلَدِ الْمَالِ إِلَى غَيْرِهِ كَانَ فِي الْإِجْزَاءِ قَوْلَانِ.

Jika zakat dipindahkan dari negeri tempat harta ke negeri lain, maka dalam hal keabsahannya terdapat dua pendapat.

فَأَمَّا نَقْلُ الْوَصِيَّةِ: فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا: فَمِنْهُمْ مَنْ خرجه عَلَى قَوْلَيْنِ كَالزَّكَاةِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ يُجْزِئُ قَوْلًا وَاحِدًا، وَإِنْ أَسَاءَ، لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ عَطِيَّةٌ مِنْ آدَمِيٍّ فَكَانَ لَهُ أَنْ يَضَعَهَا حَيْثُ شاء.

Adapun pemindahan wasiat: para ulama kami berbeda pendapat; sebagian mereka menganggapnya seperti dua pendapat dalam zakat, dan sebagian lagi mengatakan sah menurut satu pendapat, meskipun perbuatan itu tercela, karena wasiat adalah pemberian dari manusia, sehingga ia boleh meletakkannya di mana saja yang ia kehendaki.

فصل:

Fasal:

فإذا فرق الثلث فيما وَصَفْنَا مِنَ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ، لَمْ يَمْلِكُوهُ إِلَّا بالقبول وَالْقَبْضِ، قَوْلًا وَاحِدًا، وَهَكَذَا كُلُّ وَصِيَّةٍ عُلِّقَتْ بِصِفَةٍ لَا يَلْزَمُ اسْتِيعَابُ جِنْسِهَا وَإِنَّمَا الْقَوْلَانِ فِيمَنْ كَانَ مُسَمًّى فِي الْوَصِيَّةِ.

Jika sepertiga harta telah dibagikan sebagaimana yang telah kami jelaskan kepada fuqara’ dan masakin, maka mereka tidak memilikinya kecuali setelah menerima dan mengambilnya, menurut satu pendapat. Demikian pula setiap wasiat yang digantungkan pada suatu sifat yang tidak wajib mencakup seluruh jenisnya, adapun dua pendapat itu berlaku bagi orang yang disebutkan namanya dalam wasiat.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ مَنْ تَعَيَّنَ بِالْعَطِيَّةِ لَمْ يَمْلِكْ إِلَّا بِهَا، وَمَنْ تَعَيَّنَ بِالْوَصِيَّةِ مَلَكَ بِهَا.

Perbedaan antara keduanya: bahwa siapa yang ditentukan dalam pemberian, ia tidak memilikinya kecuali setelah menerima, sedangkan siapa yang ditentukan dalam wasiat, ia memilikinya dengan wasiat tersebut.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وكذلك لو أوصى لغازين في سبيل الله فهم الذين من الْبَلَدِ الَّذِي بِهِ مَالُهُ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Demikian pula jika seseorang berwasiat kepada para mujahid di jalan Allah, maka mereka adalah yang berasal dari negeri tempat hartanya berada.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ: إِذَا جُعِلَ ثُلُثُ مَالِهِ مَصْرُوفًا فِي الْغَارِمِينَ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, jika sepertiga hartanya dijadikan untuk para gharimun.

وَالْغَارِمُونَ ضَرْبَانِ: ضَرْبٌ اسْتَدَانُوا فِي الْمَصَالِحِ العامة كتحمل للدية ” العمد ” أَوْ غُرْمِ مَالٍ فِي إِصْلَاحِ ذَاتِ الْبَيْنِ، أو تيسير الحج، أو إصلاح سبيلهم.

Gharimun terbagi dua: pertama, mereka yang berutang untuk kemaslahatan umum seperti menanggung diyat ‘amdan, atau menanggung kerugian harta demi mendamaikan perselisihan, atau memudahkan pelaksanaan haji, atau memperbaiki urusan mereka.

فَهَذَا الصِّنْفُ مِنَ الْغَارِمِينَ، لَا يُرَاعَى فَقْرُهُمْ، وَيَجُوزُ أَنْ يُعْطَوْا مَعَ الْغِنَى.

Golongan gharimun ini, tidak disyaratkan kefakirannya, dan boleh diberikan meskipun mereka kaya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَسْتَدِينُوا فِي مَصَالِحِ أَنْفُسِهِمْ، فَيُرَاعَى فِيهِمُ الْفَقْرُ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطَوْا مع الغنى والقدرة.

Golongan kedua: mereka yang berutang untuk kepentingan pribadi, maka dalam hal ini disyaratkan kefakiran, dan tidak boleh diberikan kepada mereka yang kaya atau mampu.

ثم ينظر فيما استدانوا: فَإِنْ كَانُوا صَرَفُوهُ فِي مُسْتَحَبٍّ أَوْ مُبَاحٍ: أُعْطَوْا، وَإِنْ صَرَفُوهُ فِي مَعْصِيَةٍ: فَإِنْ لَمْ يَتُوبُوا مِنْهَا لَمْ يُعْطَوْا، لِمَا فِي إِعْطَائِهِمْ مِنْ إِعَانَتِهِمْ عَلَيْهَا وَإِغْرَائِهِمْ بِهَا.

Kemudian dilihat untuk apa mereka berutang: jika mereka menggunakannya untuk sesuatu yang mustahab atau mubah, maka mereka diberi; dan jika mereka menggunakannya untuk maksiat, maka jika mereka belum bertobat darinya, mereka tidak diberi, karena memberi mereka berarti membantu mereka dalam maksiat itu dan mendorong mereka untuk melakukannya.

وَإِنْ تَابُوا فَفِي إِعْطَائِهِمْ وَجْهَانِ:

Dan jika mereka telah bertobat, maka dalam hal memberi mereka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: ” لَا يُعْطَوْنَ ” لِهَذَا الْمَعْنَى.

Salah satunya: “Tidak diberi” karena alasan tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُعْطَوْنَ لِارْتِفَاعِهَا بِالتَّوْبَةِ.

Dan pendapat kedua: Mereka diberi karena dosa tersebut telah hilang dengan tobat.

وَأَقَلُّ ما يصرف الثلث في ثلاثة فصاعدا في الْغَارِمِينَ، وَأَيُّ الصِّنْفَيْنِ أَعْطَى مِنْهُمْ أَجْزَأَ، وَيَكُونُ مَا يُعْطِيهِمْ بِحَسْبِ غُرْمِهِمْ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” وَيُعْطِي مَنْ لَهُ الدَّيْنُ عَلَيْهِمْ، أَحَبُّ إِلَيَّ، وَلَوْ أَعْطَوْهُ فِي دَيْنِهِمْ، رَجَوْتُ أَنْ يَسَعَ “.

Paling sedikit sepertiga harta dibagikan kepada tiga orang atau lebih dari golongan gharimīn, dan jika diberikan kepada salah satu dari dua golongan di antara mereka, itu sudah mencukupi, dan jumlah yang diberikan kepada mereka disesuaikan dengan besarnya utang mereka. Imam Syafi‘i berkata: “Memberikan kepada pihak yang berpiutang kepada mereka lebih aku sukai, dan jika diberikan kepada mereka untuk membayar utangnya, aku berharap itu sudah mencukupi.”

فَإِنْ صرفه في اثنين: غرم للثالث، وَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika dibagikan kepada dua orang, maka satu orang lagi (ketiga) tetap memiliki hak, dan dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُ ثُلُثَ الثُّلُثِ.

Salah satunya: ia menanggung sepertiga dari sepertiga (yakni bagian ketiga).

وَالثَّانِي: أنه يضمن أقل ما يجزئه أن يعطيه ثالثا ويكون ذلك خاصا بغارمي بلد المال، ومن كَانَ مِنْهُمْ ذَا رَحِمٍ، أَوْلَى لِمَا فِي صِلَتِهَا مِنْ زِيَادَةِ الثَّوَابِ، فَإِنْ لَمْ يَكُونُوا فَجِيرَانُ الْمَالِ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ، وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ} [النساء: 36] .

Dan yang kedua: ia menanggung bagian terkecil yang cukup untuk diberikan kepada orang ketiga, dan hal ini khusus untuk gharimīn di daerah tempat harta itu berada. Dan siapa pun di antara mereka yang memiliki hubungan kekerabatan, maka ia lebih diutamakan karena menyambung kekerabatan itu menambah pahala. Jika tidak ada, maka tetangga dari daerah harta itu, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat} [an-Nisā’: 36].

وَلِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أنه سيورثه “.

Dan berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Jibril senantiasa berwasiat kepadaku tentang tetangga, hingga aku mengira ia akan mewariskannya.”

قال الشافعي: ” وأقصى الجوار بينهم أربعين دارا، من كل ناحية ” اهـ. هكذا لو أوصى لجيرانه، كان جيرانه منتهى أربعين دَارًا مِنْ كُلِّ نَاحِيَةٍ.

Imam Syafi‘i berkata: “Batas maksimal bertetangga di antara mereka adalah empat puluh rumah dari setiap arah.” Demikian pula, jika seseorang berwasiat untuk tetangganya, maka tetangganya adalah yang berada dalam jarak empat puluh rumah dari setiap arah.

وَقَالَ قَتَادَةُ: الْجَارُ: الدار والداران.

Qatadah berkata: Tetangga adalah satu rumah dan dua rumah.

وقال سعيد بن جبير: الَّذِينَ يَسْمَعُونَ الْإِقَامَةَ.

Sa‘id bin Jubair berkata: Mereka adalah orang-orang yang mendengar iqamah.

وَقَالَ أبو يوسف: هُمْ أَهْلُ الْمَسْجِدِ.

Abu Yusuf berkata: Mereka adalah penduduk masjid.

وَدَلِيلُنَا: مَا رُوِيَ أَنَّ رَجُلًا كَانَ نَازِلَا بَيْنَ قَوْمٍ فَأَتَى النبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ليشكوهم، فبعث النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، وَقَالَ: اخْرُجُوا إِلَى بَابِ الْمَسْجِدِ وَقُولُوا: أَلَا إِنَّ الْجِوَارَ أَرْبَعُونَ دَارًا “.

Dalil kami adalah riwayat bahwa ada seorang laki-laki yang tinggal di antara suatu kaum, lalu ia datang kepada Nabi ﷺ untuk mengadukan mereka. Maka Nabi ﷺ mengutus Abu Bakar, Umar, dan Ali radhiyallahu ‘anhum, dan bersabda: “Keluarlah kalian ke pintu masjid dan katakanlah: Ketahuilah, sesungguhnya batas bertetangga adalah empat puluh rumah.”

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ أَوْصَى بِإِخْرَاجِ ثُلُثِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ.

Jika seseorang berwasiat agar sepertiga hartanya dikeluarkan di jalan Allah.

وَجَبَ صَرْفُهُ في الغزاة – كما قلنا فِي الزَّكَاةِ – وَيُصْرَفُ ذَلِكَ فِي ثَلَاثَةٍ فَصَاعِدًا من غزاة الْبَلَدِ الَّذِي فِيهِ مَالُهُ، عَلَى حَسَبِ مَغَازِيهِمْ، في القرب، والبعد، ومن كَانَ مِنْهُمْ فَارِسًا، أَوْ رَاجِلًا، فَإِنْ لَمْ يُوجَدُوا فِي بَلَدِ الْمَالِ، نُقِلَ إِلَى أَقْرَبِ البلاد فيه.

Maka wajib disalurkan kepada para mujahid, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam zakat. Dan itu disalurkan kepada tiga orang atau lebih dari para mujahid di negeri tempat hartanya berada, sesuai dengan kebutuhan mereka, baik yang dekat maupun yang jauh, baik yang berkuda maupun yang berjalan kaki. Jika tidak ditemukan di negeri harta itu, maka dipindahkan ke negeri terdekat yang terdapat para mujahid.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ أَوْصَى بِإِخْرَاجِ ثُلُثِهِ فِي بَنِي السَّبِيلِ.

Jika seseorang berwasiat agar sepertiga hartanya dikeluarkan untuk ibnu sabil.

صُرِفَ فِيمَنْ أَرَادَ سَفَرًا، إِذَا كَانَ فِي بَلَدِ الْمَالِ سَوَاءٌ كَانَ مُجْتَازًا، أَوْ مبتدئا بالسفر.

Maka disalurkan kepada siapa saja yang hendak melakukan perjalanan, jika ia berada di negeri tempat harta itu, baik ia hanya melewati atau memulai perjalanan dari sana.

فَلَوْ أَوْصَى بِثُلُثِهِ فِي الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ: صُرِفَ فِيهِمْ وَهُمْ أَهْلُ سُهْمَانِ الزَّكَاةِ وَقُسِّمَ بَيْنَ أصنافهم بالتسوية وَجَازَ تَفْضِيلُ أَهْلِ الصِّنْفِ، بِحَسْبِ الْحَاجَةِ، كَمَا قُلْنَا فِي الزَّكَاةِ، إِلَّا فِي شَيْءٍ وَاحِدٍ، وَهُوَ أَنَّ الزَّكَاةَ إِذَا عُدِمَ صِنْفٌ مِنْهَا، رد على باقي الأصناف. وإذا عدم في الوصية أهل صنف لم يرد عَلَى بَاقِي الْأَصْنَافِ وَنُقِلَ إِلَى أَهْلِ ذَلِكَ الصِّنْفِ فِي أَقْرَبِ بَلَدٍ يُوجَدُونَ فِيهِ. فَإِنْ عدموا، رجع سهمهم إِلَى وَرَثَةِ الْمُوصِي.

Jika seseorang berwasiat agar sepertiga hartanya diberikan kepada delapan golongan, maka dibagikan kepada mereka, yaitu para penerima bagian zakat, dan dibagi secara merata di antara golongan mereka. Boleh juga mengutamakan sebagian anggota golongan sesuai kebutuhan, sebagaimana telah kami sebutkan dalam zakat, kecuali dalam satu hal, yaitu jika dalam zakat salah satu golongan tidak ada, maka bagiannya dikembalikan kepada golongan lain. Sedangkan dalam wasiat, jika tidak ada anggota suatu golongan, maka tidak dikembalikan kepada golongan lain, melainkan dipindahkan kepada anggota golongan tersebut di negeri terdekat yang mereka ada. Jika tidak ditemukan juga, maka bagiannya kembali kepada ahli waris pewasiat.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْوَصِيَّةِ وَالزَّكَاةِ: أَنَّ الْوَصِيَّةَ لَمَّا تَعَيَّنَتْ لِلْأَشْخَاصُ، تَعَيَّنَتْ لِلْأَصْنَافِ، والزكاة لَمَّا لَمْ تَتَعَيَّنْ لِلْأَشْخَاصِ، لَمْ تَتَعَيَّنْ لِلْأَصْنَافِ.

Perbedaan antara wasiat dan zakat adalah: wasiat, ketika telah ditetapkan untuk individu, maka juga ditetapkan untuk golongan; sedangkan zakat, karena tidak ditetapkan untuk individu, maka tidak pula ditetapkan untuk golongan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ قَالَ: اصْرِفُوا ثُلُثِي فِي سَبِيلِ الْخَيْرِ، أَوْ فِي سَبِيلِ الْبِرِّ، أَوْ فِي سبيل الثواب.

Jika seseorang berkata: Salurkan sepertiga hartaku di jalan kebaikan, atau di jalan kebajikan, atau di jalan pahala.

قال الشافعي: ” جزأ أَجْزَاءً، فَأُعْطِيَ ذُو قَرَابَتِهِ فُقَرَاءً كَانُوا أَوْ أغنياء، والفقراء، والمساكين، وفي الرقاب، والغارمين، والغزاة، وَابْنِ السَّبِيلِ، وَالْحَاجِّ، وَيَدْخُلُ الضَّيْفُ، وَالسَّائِلُ، وَالْمُعْتَرُّ فِيهِمْ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Dibagi menjadi beberapa bagian, lalu diberikan kepada kerabatnya, baik mereka fakir maupun kaya, juga kepada fakir miskin, orang-orang yang membutuhkan, untuk memerdekakan budak, gharimīn, mujahid, ibnu sabil, orang yang berhaji, dan termasuk juga tamu, peminta-minta, dan orang yang membutuhkan bantuan di antara mereka.”

فَإِنْ لَمْ يَفْعَلِ الْمُوصِي: ضَمِنَ سَهْمَ مَنْ مَنَعَهُ إِذَا كَانَ مَوْجُودًا.

Jika pewasiat tidak melakukannya, maka ia menanggung bagian orang yang ia halangi jika orang itu ada.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ أَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ إِلَى رَجُلٍ يَضَعُهُ حَيْثُ رآه.

Dan jika seseorang berwasiat dengan sepertiga hartanya kepada seorang laki-laki agar ia menyalurkannya ke mana pun yang ia anggap tepat.

لم يكن له أن يأخذ لِنَفْسِهِ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مُحْتَاجًا. لِأَنَّهُ أَمَرَهُ بِصَرْفِهِ لَا بِأَخْذِهِ.

Maka laki-laki itu tidak boleh mengambil sesuatu pun untuk dirinya sendiri, meskipun ia membutuhkan. Karena ia diperintahkan untuk menyalurkannya, bukan untuk mengambilnya.

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يصرف إلى وارث للموصي، وَإِنْ كَانَ مُحْتَاجًا، لِأَنَّ الْوَارِثَ مَمْنُوعٌ مِنَ الْوَصِيَّةِ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَحْبِسَهُ عِنْدَ نَفْسِهِ، وَلَا أَنْ يُودِعَهُ غَيْرَهُ.

Dan ia juga tidak boleh menyalurkannya kepada ahli waris dari orang yang berwasiat, meskipun mereka membutuhkan, karena ahli waris dilarang menerima wasiat. Ia juga tidak boleh menahan harta itu pada dirinya sendiri, dan tidak boleh menitipkannya kepada orang lain.

قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: ” وَأَخْتَارُ لَهُ أَنْ يُعْطِيَهُ أَهْلَ الْحَاجَةِ مِنْ قَرَابَةِ الْمَيِّتِ حَتَّى يُغْنِيَهُمْ دُونَ غَيْرِهِمْ وَلَيْسَ الرَّضَاعُ قَرَابَةً. فَإِنْ لَمْ يَكُنْ له قرابة من جهة الأب والأم، وكان رضيعا، أَحْبَبْتُ أَنْ يُعْطِيَهُمْ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ رَضِيعٌ: أَحْبَبْتُ أَنْ يُعْطِيَ جِيرَانَهُ، الْأَقْرَبَ مِنْهُمْ فَالْأَقْرَبَ، وَأَقْصَى الْجِوَارِ مُنْتَهَى أَرْبَعِينَ دَارًا مِنْ كُلِّ نَاحِيَةٍ، وَأُحِبُّ أَنْ يُعْطِيَهُ أَفْقَرَ مَنْ يجده، وأشدهم تعففا، واستئثارا، وَلَا يُبْقِي فِي يَدِهِ شَيْئًا يُمْكِنُهُ أَنْ يخرجه من ساعته “.

Imam asy-Syafi‘i – semoga Allah meridhainya – berkata: “Aku memilihkan untuknya agar ia memberikan harta itu kepada orang-orang yang membutuhkan dari kerabat mayit hingga mereka menjadi cukup, bukan kepada selain mereka. Dan hubungan persusuan bukanlah termasuk kerabat. Jika mayit tidak memiliki kerabat dari pihak ayah maupun ibu, dan ia memiliki anak persusuan, aku menyukai agar diberikan kepada mereka. Jika tidak ada anak persusuan, aku menyukai agar diberikan kepada para tetangganya, yang paling dekat lalu yang lebih dekat, dan batas maksimal bertetangga adalah empat puluh rumah dari setiap arah. Aku juga menyukai agar ia memberikannya kepada orang yang paling fakir yang ia temui, yang paling menjaga kehormatan diri, dan yang paling mendahulukan orang lain, serta tidak menyisakan sesuatu pun di tangannya yang memungkinkan untuk segera disalurkan saat itu juga.”

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ أَوْصَى لَهُ فَقَبِلَ أَوْ رَدَّ قَبْلَ مَوْتِ الْمُوصِي كَانَ لَهُ قَبُولُهُ وَرَدُّهُ بَعْدَ مَوْتِهِ وَسَوَاءٌ أَوْصَى لَهُ بِأَبِيهِ أَوْ غَيْرِهِ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berwasiat kepadanya lalu ia menerima atau menolak sebelum wafatnya orang yang berwasiat, maka ia tetap berhak menerima atau menolaknya setelah wafatnya, baik wasiat itu untuk ayahnya maupun selainnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْوَصِيَّةَ تَشْتَمِلُ عَلَى أَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa wasiat mencakup dua hal:

أَحَدُهُمَا: الْعَطِيَّةُ.

Pertama: pemberian.

وَالثَّانِي: الْوِلَايَةُ.

Kedua: perwalian.

فَأَمَّا الْعَطِيَّةُ: فَهُوَ مَا يُوصِي بِهِ الرَّجُلُ مِنْ أَمْوَالِهِ، لِمَنْ أَحَبَّ. فَالْوَقْتُ الَّذِي يَصِحُّ فِيهِ قَبُولُ ذَلِكَ وَرَدُّهُ، بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي.

Adapun pemberian: yaitu apa yang diwasiatkan seseorang dari hartanya kepada siapa saja yang ia kehendaki. Maka waktu yang sah untuk menerima atau menolaknya adalah setelah wafatnya orang yang berwasiat.

فَإِنْ قَبِلَ أَوْ رَدَّ بَعْدَ مَوْتِهِ: صَحَّ وَكَانَ عَلَى مَا مَضَى مِنْ حُكْمِ الْقَبُولِ وَالرَّدِّ.

Jika ia menerima atau menolak setelah wafatnya, maka itu sah dan berlaku sesuai ketentuan penerimaan dan penolakan yang telah lalu.

فَأَمَّا فِي حَيَاةِ الْمُوصِي: فَلَا يَصِحُّ قَبُولُهُ وَلَا رَدُّهُ.

Adapun pada saat orang yang berwasiat masih hidup, maka tidak sah penerimaan maupun penolakannya.

وَقَالَ أبو حنيفة: ” يَصِحُّ الرَّدُّ وَلَا يَصِحُّ الْقَبُولُ، لِأَنَّ الرَّدَّ أَوْسَعُ حكما من القبول ” اهـ.

Abu Hanifah berkata: “Penolakan itu sah, tetapi penerimaan tidak sah, karena penolakan lebih luas hukumnya daripada penerimaan.” Selesai.

وَهَذَا فَاسِدٌ لِأُمُورٍ مِنْهَا.

Dan pendapat ini rusak (tidak benar) karena beberapa alasan, di antaranya:

إِنَّ الرَّدَّ فِي مُقَابَلَةِ الْقَبُولِ، لِأَنَّهُمَا مَعًا يَرْجِعَانِ إِلَى الْوَصِيَّةِ، فَلَمَّا امْتَنَعَ أَنْ يَكُونَ مَا قَبْلَ الْمَوْتِ زَمَانًا لِلْقَبُولِ، امْتَنَعَ أَنْ يَكُونَ زَمَانًا لِلرَّدِّ، وَصَارَ كَزَمَانِ مَا قَبْلَ الْوَصِيَّةِ الَّذِي لَا يَصِحُّ فِيهِ قَبُولٌ، وَلَا رَدٌّ وَعَكْسُهُ مَا بعد الموت كما صَحَّ فِيهِ الْقَبُولُ، صَحَّ فِيهِ الرَّدُّ.

Sesungguhnya penolakan itu berbanding dengan penerimaan, karena keduanya sama-sama kembali kepada wasiat. Maka ketika tidak sah waktu sebelum wafat sebagai waktu penerimaan, maka tidak sah pula sebagai waktu penolakan, dan keadaannya seperti sebelum adanya wasiat yang tidak sah untuk menerima maupun menolak. Sebaliknya, setelah wafat, sebagaimana sah penerimaan, sah pula penolakan.

وَمِنْهَا: إِنَّ الرَّدَّ فِي حَالِ الْحَيَاةِ عَفْوٌ قَبْلَ وَقْتِ الِاسْتِحْقَاقِ، فَجَرَى مَجْرَى الْعَفْوِ عَنِ الْقِصَاصِ قَبْلَ وُجُوبِهِ، وَعَنِ الشُّفْعَةِ قَبْلَ اسْتِحْقَاقِهَا.

Di antaranya: Penolakan pada saat masih hidup adalah pengampunan sebelum waktu berhak menerima, sehingga hukumnya seperti pengampunan atas qishāsh sebelum wajib, dan atas syuf‘ah sebelum berhak mendapatkannya.

وَمِنْهَا: أَنَّهُ قَبْلَ الْمَوْتِ مَرْدُودٌ عَنِ الْوَصِيَّةِ، فَلَمْ يكن رده له مُخَالِفًا لِحُكْمِهَا.

Di antaranya: Sebelum wafat, wasiat itu belum berlaku, sehingga penolakannya tidak bertentangan dengan ketentuannya.

فَصْلٌ:

Fashal:

قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” وَسَوَاءٌ أَوْصَى له بأبيه، أو غيره ” اهـ. وَهَذَا قَالَهُ رَدًّا عَلَى طَائِفَتَيْنِ، زَعَمَتْ إِحْدَاهُمَا أَنَّ مَنْ أَوْصَى لَهُ بِأَبِيهِ وَأُمِّهِ أَوْ بِابْنِهِ فَعَلَيْهِ قَبُولُ الْوَصِيَّةِ، وَلَا يَجُوزُ لَهُ رَدُّهَا.

Imam asy-Syafi‘i berkata: “Sama saja, apakah ia diwasiati untuk ayahnya atau selainnya.” Selesai. Dan ini beliau katakan sebagai bantahan terhadap dua kelompok: salah satunya beranggapan bahwa siapa yang diwasiati untuk ayah atau ibunya, atau untuk anaknya, maka ia wajib menerima wasiat itu dan tidak boleh menolaknya.

وَزَعَمَتِ الثَّانِيَةُ أَنَّهُ إِذَا قَبِلَ الْوَصِيَّةَ بِأَبِيهِ فِي حَيَاةِ الْمُوصِي: صَحَّ الْقَبُولُ وَإِنْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ لَهُ الرَّدُّ بَعْدَ الْمَوْتِ بِخِلَافِ غَيْرِهِ مِنَ الْوَصَايَا.

Kelompok kedua beranggapan bahwa jika ia menerima wasiat untuk ayahnya saat orang yang berwasiat masih hidup, maka penerimaannya sah meskipun tidak wajib, dan ia tidak boleh menolaknya setelah wafat, berbeda dengan wasiat lainnya.

وَكِلَا الْقَوْلَيْنِ عِنْدَنَا خَطَأٌ، وَيَكُونُ مُخَيَّرًا بَعْدَ الْمَوْتِ فِي قَبُولِهِ وَرَدِّهِ كَغَيْرِهِ لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ.

Kedua pendapat tersebut menurut kami adalah keliru, dan ia tetap diberi pilihan setelah wafat untuk menerima atau menolaknya seperti wasiat lainnya, karena itu adalah wasiat.

فَعَلَى هَذَا إِنْ قَبِلَ الْوَصِيَّةَ بِأَبِيهِ بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي عتق عليه ثم نظر.

Berdasarkan hal ini, jika ia menerima wasiat untuk ayahnya setelah wafatnya orang yang berwasiat, maka ia menjadi merdeka, lalu dilihat kembali.

فإن كان قبوله صحيحا: ورثه أبوه لو مات.

Jika penerimaannya sah, maka ayahnya akan mewarisinya jika ia meninggal.

فلو كَانَ عِنْدَ قَبُولِهِ مَرِيضًا كَانَ فِي مِيرَاثِهِ لَوْ مَاتَ وَجْهَانِ:

Jika pada saat penerimaan ia sedang sakit, maka dalam hal waris-mewarisi jika ia meninggal terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَرِثُ، لِأَنَّ عِتْقَهُ بِالْقَبُولِ وَصِيَّةٌ لَا تَصِحُّ لِوَارِثٍ.

Pertama: Tidak mewarisi, karena kemerdekaannya melalui penerimaan itu adalah wasiat yang tidak sah untuk ahli waris.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ يَرِثُ، لِأَنَّهُ لَمْ يُخْرِجْ ثَمَنَهُ مِنْ مَالِهِ فَيَكُونُ وصية منه.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Ibn Surayj, bahwa ia mewarisi, karena ia belum mengeluarkan harganya dari hartanya sehingga itu menjadi wasiat darinya.

فعلى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ: لَوْ قَبِلَهُ فِي مَرَضِهِ وَلَا مَالَ لَهُ غَيْرُهُ، فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ، يُعْتَقُ ثُلُثُهُ، وَيَرِقُّ ثُلُثَاهُ، لِأَنَّهُ وَصِيَّةٌ لَهُ وَلَيْسَ الوصية مِنْهُ.

Maka menurut dua pendapat ini: jika ia menerimanya dalam keadaan sakitnya dan tidak memiliki harta selain itu, maka menurut pendapat pertama, sepertiganya dimerdekakan dan dua pertiganya tetap sebagai budak, karena itu merupakan wasiat untuknya dan bukan wasiat darinya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الْوَصِيَّةُ بالولاية على مال طفل، وتفريق ثلثه، أَوْ تَنْفِيذِ وَصِيَّةٍ، فَيَصِحُّ قَبُولُهَا وَرَدُّهَا فِي حَيَاةِ الْمُوصِي، وَبَعْدَ مَوْتِهِ، بِخِلَافِ وَصَايَا الْعَطَايَا.

Adapun fasal kedua: yaitu wasiat berupa penunjukan wali atas harta anak kecil, pembagian sepertiganya, atau pelaksanaan wasiat, maka sah untuk menerimanya atau menolaknya baik pada saat pewasiat masih hidup maupun setelah wafatnya, berbeda dengan wasiat berupa pemberian (hibah).

لِأَنَّ هَذَا عَقْدٌ، فَكَانَ قَبُولُهُ فِي حَيَاةِ العاقد أصح وتلك عَطِيَّةٌ تُقْبَلُ فِي زَمَانِ التَّمْلِيكِ، وَقَبُولُهَا عَلَى التَّرَاخِي مَا لَمْ يَتَعَيَّنْ تَنْفِيذُ الْوَصَايَا.

Karena ini adalah akad, maka penerimaannya pada saat pihak yang mengadakan akad masih hidup lebih sah, sedangkan yang itu adalah pemberian yang diterima pada waktu penyerahan kepemilikan, dan penerimaannya boleh ditunda selama belum wajib dilaksanakannya wasiat.

ولو رد الوصية في حال حَيَاةِ الْمُوصِي، لَمْ يَكُنْ لَهُ قَبُولُهَا بَعْدَ مَوْتِهِ، وَلَا فِي حَيَاتِهِ.

Jika wasiat ditolak pada saat pewasiat masih hidup, maka tidak boleh menerimanya setelah pewasiat wafat, maupun saat masih hidup.

وَلَوْ قَبِلَهَا فِي حَيَاةِ الْمُوصِي، صَحَّتْ، وَكَانَ لَهُ الْمُقَامُ عَلَيْهَا إن شاء، والخروج منها إن شَاءَ، فِي حَيَاةِ الْمُوصِي، وَبَعْدَ مَوْتِهِ.

Dan jika ia menerimanya pada saat pewasiat masih hidup, maka wasiat itu sah, dan ia berhak tetap menjalankan wasiat tersebut jika ia menghendaki, dan boleh keluar darinya jika ia menghendaki, baik pada saat pewasiat masih hidup maupun setelah wafatnya.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَيْسَ لَهُ الْخُرُوجُ مِنَ الْوَصِيَّةِ بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي، وَيَجُوزُ لَهُ الْخُرُوجُ مِنْهَا فِي حَيَاتِهِ، إِذَا كَانَ حَاضِرًا، وَإِنْ غَابَ، لَمْ يَجُزْ.

Abu Hanifah berkata: Tidak boleh baginya keluar dari wasiat setelah pewasiat wafat, dan boleh baginya keluar darinya selama pewasiat masih hidup jika ia hadir, namun jika ia tidak hadir, maka tidak boleh.

وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Dan ini rusak dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: إِنَّ مَا كَانَ لَازِمًا مِنَ الْعُقُودِ اسْتَوَى حُكْمُهُ فِي الْحَيَاةِ، وَبَعْدَ الْمَوْتِ، وَمَا كَانَ غَيْرَ لَازِمٍ بَطَلَ بِالْمَوْتِ، وَالْوَصِيَّةُ إِنْ خَرَجَتْ عَنْ أَحَدِهِمَا صَارَتْ أَصْلًا يَفْتَقِرُ إِلَى دَلِيلٍ.

Pertama: Sesungguhnya akad yang bersifat mengikat, hukumnya sama baik pada saat hidup maupun setelah wafat, dan akad yang tidak mengikat batal dengan kematian. Jika wasiat keluar dari salah satunya, maka menjadi asal yang membutuhkan dalil.

والثاني: أنه لو كان حضور صاحب الحق شَرْطًا فِي الْخُرُوجِ مِنَ الْوَصِيَّةِ، لَكَانَ رِضَاهُ مُعْتَبَرًا، وَفِي إِجْمَاعِهِمْ عَلَى أَنَّ رِضَاهُ وَإِنْ كان حاضرا غير معتبر دليل على أنه ليس بشرط.

Kedua: Jika kehadiran pemilik hak menjadi syarat untuk keluar dari wasiat, maka kerelaannya pun harus diperhitungkan. Namun, ijma‘ mereka bahwa kerelaannya, meskipun ia hadir, tidak diperhitungkan, menjadi bukti bahwa kehadiran bukanlah syarat.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا اشْتَرَى الرَّجُلُ أَبَاهُ فِي مَرَضِ موته، بمائة درهم، هي قدر ثلثه، لأنه لا يملك سوى ثلثمائة دِرْهَمٍ عُتِقَ عَلَيْهِ مِنَ الثُّلُثِ، وَلَمْ يَرِثْهُ، لِأَنَّ عِتْقَهُ إِذَا كَانَ فِي الثُّلُثِ وَصِيَّةٌ وَلَا يُجْمَعُ لَهُ بَيْنَ الْوَصِيَّةِ وَالتَّوْرِيثِ. وَلَوْ وَرِثَ لَمُنِعَ الْوَصِيَّةَ، وَلَوْ مُنِعَهَا لَبَطَلَ الْعِتْقُ والشراء، وإذا بطل الْعِتْقُ وَالشِّرَاءُ، بَطَلَ الْمِيرَاثُ، فَلَمَّا كَانَ تَوْرِيثُهُ، يُفْضِي إِلَى إِبْطَالِ الْوَصِيَّةِ وَالْمِيرَاثِ، أَثْبَتْنَا الْوَصِيَّةَ، وَأَبْطَلْنَا الْمِيرَاثَ.

Jika seseorang membeli ayahnya dalam keadaan sakit menjelang wafatnya dengan harga seratus dirham, yang merupakan sepertiga dari hartanya, karena ia tidak memiliki harta selain tiga ratus dirham, maka ayahnya dimerdekakan dari sepertiga harta, dan ia tidak mewarisinya. Karena memerdekakan ayahnya jika dari sepertiga harta adalah wasiat, dan tidak boleh digabungkan antara wasiat dan warisan baginya. Jika ia mewarisi, maka wasiatnya terhalang, dan jika wasiatnya terhalang, maka batal pula pemerdekaan dan pembeliannya. Jika pemerdekaan dan pembelian batal, maka warisan pun batal. Maka, karena pewarisan itu mengakibatkan pembatalan wasiat dan warisan, maka kami tetapkan wasiat dan batalkan warisan.

فَلَوِ اشْتَرَى بَعْدَ أَنْ عَتَقَ أبوه عَبْدًا بِمِائَةِ دِرْهَمٍ، وَأَعْتَقَهُ، كَانَ عِتْقُهُ بَاطِلًا لأنه قد اشترى ثُلُثَهُ بِعِتْقِ أَبِيهِ، فَرُدَّ عَلَيْهِ عِتْقُ مَنْ سِوَاهُ.

Jika setelah ayahnya merdeka ia membeli seorang budak seharga seratus dirham dan memerdekakannya, maka pemerdekaan itu batal, karena ia telah membeli sepertiga hartanya dengan memerdekakan ayahnya, sehingga pemerdekaan selain ayahnya pun ditolak.

وَلَوْ كَانَ قَبْلَ شِرَاءِ أَبِيهِ أَعْتَقَ عَبْدًا هُوَ جَمِيعُ ثُلُثِهِ، ثُمَّ اشْتَرَى أَبَاهُ وَلَيْسَ لَهُ ثُلُثٌ يَحْتَمِلُهُ، وَلَا شَيْئا مِنْهُ، فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Jika sebelum membeli ayahnya, ia telah memerdekakan seorang budak yang nilainya seluruh sepertiga hartanya, lalu ia membeli ayahnya dan tidak ada lagi sepertiga harta yang tersisa, bahkan tidak ada sedikit pun, maka dalam hal ini ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: إِنَّ الشِّرَاءَ بَاطِلٌ، لأنه لو صح، لثبت الملك، لو ثَبَتَ الْمِلْكُ لَنَفَذَ الْعِتْقُ، وَالْعِتْقُ لَا يَنْفُذُ جَبْرًا فِيمَا جَاوَزَ الثُّلُثَ، فَكَذَلِكَ كَانَ الشِّرَاءُ باطلا، وسواء أفاد بعد ذلك، ما خرج ثَمَنَ الْأَبِ مِنْ ثُلُثِهِ، أَوْ لَمْ يُفِدْ، لِفَسَادِ الْعَقْدِ.

Pertama: Pembelian itu batal, karena jika sah, maka kepemilikan akan tetap, dan jika kepemilikan tetap, maka pemerdekaan akan berlaku. Sedangkan pemerdekaan tidak berlaku secara paksa pada bagian yang melebihi sepertiga harta, maka demikian pula pembeliannya batal. Baik setelah itu ia memperoleh tambahan harta yang dapat menutupi harga ayahnya dari sepertiga hartanya atau tidak, karena akadnya rusak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّ الشِّرَاءَ لَازِمٌ صحيح، لأنه لم يقترف بِالْعَقْدِ مَا يُفْسِدُهُ وَإِنَّمَا عِتْقُهُ بِالْمِلْكِ حَالٌ يَخْتَصُّ بِالْعَاقِدِ، فَلَمْ يُؤَثِّرْ فِي فَسَادِ الْعَقْدِ.

Pendapat kedua: Pembelian itu tetap sah dan mengikat, karena dengan akad itu ia tidak melakukan sesuatu yang merusaknya, dan pemerdekaan karena kepemilikan adalah keadaan khusus bagi pihak yang berakad, sehingga tidak berpengaruh pada kerusakan akad.

فَعَلَى هَذَا: يُسْتَبْقَى رِقُّ الْأَبِ، عَلَى مِلْكِ ولده، وإن أَفَادَ مَا يُخَرَّجُ بِهِ مِنْ ثَمَنُ الْأَبِ مِنْ ثُلُثِهِ، عَتَقَ وَلَمْ يَرِثْ وَإِنْ لَمْ يَسْتَفِدْ شَيْئًا، كَانَ عَلَى رِقِّهِ، فَإِذَا مَاتَ الِابْنُ الْمُشْتَرِي، صَارَ الْأَبُ مَوْرُوثًا لِوَرَثَةِ ابْنِهِ.

Menurut pendapat ini: status perbudakan ayah tetap berada dalam kepemilikan anaknya, dan jika kemudian ia memperoleh harta yang dapat digunakan untuk membayar harga ayahnya dari sepertiga hartanya, maka ayahnya dimerdekakan dan ia tidak mewarisinya. Jika ia tidak memperoleh apa pun, maka ayahnya tetap sebagai budak. Jika anak yang membeli itu meninggal dunia, maka ayah menjadi warisan bagi ahli waris anaknya.

فَإِنْ كَانُوا مِمَّنْ يُعْتَقُ عَلَيْهِمُ الْأَبُ، لِأَنَّهُمْ إِخْوَةٌ، أَوْ بَنُونَ، عُتِقَ عَلَيْهِمْ بِمِلْكِهِمْ لَهُ بِالْمِيرَاثِ.

Jika para ahli waris itu termasuk orang-orang yang jika memiliki ayah maka ayah itu otomatis merdeka, karena mereka adalah saudara atau anak-anak, maka ayah itu dimerdekakan karena mereka memilikinya melalui warisan.

وَإِنْ لَمْ يَكُنِ الْوَرَثَةُ مِمَّنْ يُعْتَقُ عَلَيْهِمُ الْأَبُ، لِأَنَّهُمْ أَعْمَامٌ أَوْ بَنُو أَعْمَامٍ كَانَ مِلْكُهُمْ مَوْقُوفًا.

Jika para ahli waris bukan termasuk orang-orang yang jika memiliki ayah maka ayah itu otomatis merdeka, karena mereka adalah paman atau anak-anak paman, maka kepemilikan mereka atas ayah itu menjadi tertangguhkan.

والوجه الثالث: أن الشراء موقوف فَإِنْ أَفَادَ الِابْنُ مَا يُخْرِجُ بِهِ عَنِ الْأَبِ مِنْ ثُلُثِهِ، عُتِقَ عَلَيْهِ، وَلَمْ يَرِثْهُ، وَإِنْ أَبْرَأَهُ الْبَائِعُ مِنْ ثَمَنِهِ، عُتِقَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ صَارَ كَالْمَوْهُوبِ لَهُ، وَفِي مِيرَاثِهِ وَجْهَانِ، لِأَنَّ عِتْقَهُ عَلَيْهِ بِغَيْرِ ثَمَنٍ.

Pendapat ketiga: Bahwa pembelian tersebut bersifat mu‘allaq (tergantung/tertunda). Jika sang anak memperoleh sesuatu yang dapat mengeluarkan ayahnya dari sepertiga hartanya, maka ayah tersebut merdeka baginya, dan ia tidak mewarisinya. Jika penjual membebaskan anak dari pembayaran harga, maka ayah tersebut merdeka baginya, karena statusnya menjadi seperti hibah untuknya. Dalam hal warisannya terdapat dua pendapat, karena kemerdekaannya terjadi tanpa pembayaran harga.

وَإِنْ لَمْ يُفِدْ شَيْئًا، وَلَا أُبْرِئَ مِنْ ثَمَنِهِ، فُسِخَ الْبَيْعُ حِينَئِذٍ، وَرُدَّ الْأَبُ عَلَى الْبَائِعِ، لِأَنَّهُ لا يجوز أن يملك الابن أباه، فلا يُعْتَقُ عَلَيْهِ، فَلِذَلِكَ فُسِخَ الْعَقْدُ فِيهِ.

Jika anak tidak memperoleh sesuatu, dan tidak pula dibebaskan dari pembayaran harga, maka jual beli tersebut dibatalkan saat itu juga, dan ayah dikembalikan kepada penjual. Sebab, tidak boleh seorang anak memiliki ayahnya, sehingga ayah tidak bisa merdeka baginya. Karena itu, akad tersebut dibatalkan dalam kasus ini.

وَالْوَجْهُ الْأَوَّلُ: حَكَاهُ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ، وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَالثَّالِثُ: حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ.

Pendapat pertama: Diriwayatkan oleh Abu Hamid al-Isfarayini. Pendapat kedua dan ketiga: Diriwayatkan oleh Ibn Surayj.

فَعَلَى هَذَا لَوِ اشْتَرَى الِابْنُ أَبَاهُ فِي مَرَضِ مَوْتِهِ، وَثَمَنُهُ خَارِجٌ مِنْ ثُلُثِهِ ثُمَّ مَاتَ، وَعَلَيْهِ دَيْنٌ يستوعب جميع تركته.

Berdasarkan hal ini, jika seorang anak membeli ayahnya ketika ayah sedang sakit menjelang wafat, dan harga pembeliannya diambil dari sepertiga harta ayah, lalu ayah meninggal dunia, sedangkan ia memiliki utang yang menghabiskan seluruh hartanya.

فإن أمضى الغرماء ما أعتقه نَفَذَ، وَإِنْ رَدُّوهُ فَهُوَ عَلَى الرِّقِّ، وَفِي بطلان الشراء وجهان:

Jika para kreditur menyetujui pembebasan (kemerdekaan) yang dilakukan anak, maka kemerdekaan itu sah. Namun jika mereka menolaknya, maka ayah tetap berstatus budak. Dalam pembatalan jual beli ini terdapat dua pendapat:

أحدهما: باطل، لئلا يستبقى ملك الابن لأبيه.

Pertama: Batal, agar kepemilikan anak atas ayahnya tidak tetap.

والوجه الثاني: جَائِزٌ، وَيُبَاعُ فِي دَيْنِهِ، لِعَجْزِ الثُّلُثِ عَنْ ثَمَنِهِ.

Pendapat kedua: Sah, dan ayah dijual untuk membayar utangnya, karena sepertiga harta tidak mencukupi harga pembeliannya.

ثُمَّ يَتَفَرَّعُ عَلَى هَذَا: لَوْ وُهِبَ أَبُوهُ فِي مَرَضِ مَوْتِهِ، فَقَبِلَهُ وَقَبَضَهُ، وَكَانَتْ عَلَيْهِ دُيُونٌ تَسْتَوْعِبُ جَمِيعَ تَرِكَتِهِ، لَمْ تَبْطُلِ الهبة. وهل ينفذ عتقه، أو يباع دُيُونِ غُرَمَائِهِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kemudian, cabang dari masalah ini: Jika ayah dihibahkan kepada anak ketika ayah sedang sakit menjelang wafat, lalu anak menerimanya dan mengambilnya, sedangkan ayah memiliki utang yang menghabiskan seluruh hartanya, maka hibah itu tidak batal. Apakah kemerdekaannya sah ataukah ayah dijual untuk membayar utang para krediturnya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عِتْقَهُ نَافِذٌ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْتَهْلِكْ عَلَى غُرَمَائِهِ مِنْ مَالِهِ شَيْئًا.

Pertama: Kemerdekaannya sah, karena anak tidak menghabiskan harta ayahnya untuk para krediturnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ عِتْقَهُ يُرَدُّ، كما يرد عتق المباشرة، وتباع دُيُونِ غُرَمَائِهِ، لِأَنَّ دُيُونَهُمْ مُقَدَّمَةٌ عَلَى الْعِتْقِ في المرض. والله أعلم.

Pendapat kedua: Kemerdekaannya dibatalkan, sebagaimana kemerdekaan langsung juga dibatalkan, dan ayah dijual untuk membayar utang para krediturnya, karena utang mereka lebih didahulukan daripada kemerdekaan dalam keadaan sakit. Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولو أوصى بدار كَانَتْ لَهُ وَمَا ثَبَتَ فِيهَا مِنَ أَبْوَابِهَا وَغَيْرِهَا دُونَ مَا فِيهَا “.

Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berwasiat dengan rumah yang dimilikinya, maka yang termasuk di dalamnya adalah pintu-pintu dan selainnya yang melekat pada rumah itu, kecuali apa yang ada di dalamnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ إِذَا كَانَتْ بِالدَّارِ، دَخَلَ فِيهَا كُلُّ مَا كَانَ مِنَ الدَّارِ وَلَهَا. وَلَمْ يَدْخُلْ فِي الْوَصِيَّةِ كُلُّ مَا كَانَ في الدار إلا لم يكن منها.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, karena jika wasiat itu berupa rumah, maka termasuk di dalamnya segala sesuatu yang merupakan bagian dari rumah dan miliknya. Tidak termasuk dalam wasiat segala sesuatu yang ada di dalam rumah kecuali memang merupakan bagian dari rumah itu.

الداخل في الوصية: حيطانها، وسقوفها، وأبوابها المنصوبة عليه، وَمَا كَانَ مُتَّصِلًا بِهَا مِنْ زُخْرُفِهَا، وَدَرَجِهَا.

Yang termasuk dalam wasiat: dindingnya, atapnya, pintu-pintu yang terpasang padanya, segala ornamen yang melekat padanya, dan tangganya.

وَلَمْ يَدْخُلْ فِيهَا مَا انْفَصَلَ عَنْهَا مِنْ أبوابها، ورفوفها، وسلالمها الْمُنْفَصِلَةِ عَنْهَا.

Tidak termasuk di dalamnya apa yang terpisah darinya, seperti pintu-pintu yang sudah dilepas, rak-rak, dan tangga yang terpisah darinya.

وَجُمْلَةُ ذَلِكَ: أَنَّ كُلَّ مَا جَعَلْنَاهُ دَاخِلًا فِي الْبَيْعِ ” مَعَهَا ” دَخَلَ فِي الوصية [بها] وكل ما جعلناه خارجا عن البيع لم يدخل في الوصية.

Kesimpulannya: Segala sesuatu yang kami anggap termasuk dalam jual beli “bersama rumah” maka itu juga termasuk dalam wasiat [dengan rumah]. Dan segala sesuatu yang kami anggap tidak termasuk dalam jual beli, maka tidak termasuk pula dalam wasiat.

ولو كَانَ الْمُوصَى بِهِ أَرْضًا: دَخَلَ فِي الْوَصِيَّةِ نَخْلُهَا، وَشَجَرُهَا، وَلَمْ يَدْخُلْ فِيهِ زَرْعُهَا.

Jika yang diwasiatkan adalah sebidang tanah: maka termasuk dalam wasiat pohon kurma dan pepohonannya, namun tidak termasuk tanaman (musiman) yang ada di atasnya.

وَلَوْ كَانَ نَخْلُهَا عِنْدَ الْوَصِيَّةِ مُثْمِرًا: لَمْ يَدْخُلْ ثمرها في الوصية إن كان موزا. وفي دخوله فيها إن كان غير موز وجهان:

Jika pohon kurma itu sedang berbuah saat wasiat dibuat: maka buahnya tidak termasuk dalam wasiat jika berupa pisang. Adapun jika bukan pisang, terdapat dua pendapat mengenai masuk tidaknya buah itu ke dalam wasiat:

أَحَدُهُمَا: يَدْخُلُ كَالْبَيْعِ.

Pertama: Termasuk, sebagaimana dalam jual beli.

وَالثَّانِي: لَا يَدْخُلُ لِخُرُوجِهِ عَنْ الِاسْمِ وَإِنْ كَانَ مُتَّصِلًا.

Kedua: Tidak termasuk, karena keluar dari nama (rumah/tanah) meskipun masih melekat.

وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي دُخُولِهِ فِي الرهن.

Kedua pendapat ini diambil dari perbedaan pendapat Imam al-Syafi‘i tentang masuk tidaknya buah dalam gadai.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوِ انْهَدَمَتْ فِي حَيَاةِ الْمُوصِي كَانَتْ لَهُ إِلَّا مَا انْهَدَمَ مِنْهَا فَصَارَ غَيْرَ ثَابِتٍ فِيهَا “.

Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika rumah itu runtuh ketika pewasiat masih hidup, maka rumah itu tetap miliknya kecuali bagian yang telah runtuh dan tidak lagi melekat padanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ أَوْصَى لِرَجُلٍ بِدَارٍ فَانْهَدَمَتْ، فَلَا يَخْلُو انْهِدَامُهَا مِنْ ثلاثة أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah seorang laki-laki berwasiat kepada orang lain dengan sebuah rumah, lalu rumah itu runtuh. Maka keruntuhannya tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَنْهَدِمَ فِي حَيَاةِ الْمُوصِي.

Pertama: Runtuh ketika pewasiat masih hidup.

وَالثَّانِي: بَعْدَ مَوْتِهِ، وَبَعْدَ قَبُولِ الْمُوصَى لَهُ.

Kedua: Setelah pewasiat meninggal dunia dan setelah penerima wasiat menerimanya.

وَالثَّالِثُ: بَعْدَ مَوْتِهِ، وَقَبْلَ قَبُولِ الْمُوصَى لَهُ.

Ketiga: Setelah pewasiat meninggal dunia dan sebelum penerima wasiat menerimanya.

فَإِنِ انْهَدَمَتْ فِي حَيَاةِ الْمُوصِي، فَهَذَا عَلَى ضربين:

Jika rumah itu runtuh ketika pewasiat masih hidup, maka ada dua kemungkinan:

أحدها: أَنْ يَزُولَ اسْمُ الدَّارِ عَنْهَا بِالِانْهِدَامِ.

Pertama: Nama “rumah” hilang darinya karena keruntuhan itu.

وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَزُولَ. فَإِنْ لَمْ يَزُلِ اسْمُ الدار عنها لبقاء بنيان فيها يسمى بِهِ دَارًا: فَالْوَصِيَّةُ جَائِزَةٌ، وَلَهُ مَا كَانَ ثَابِتًا فِيهَا مِنْ بُنْيَانِهَا.

Kedua: Nama “rumah” tidak hilang darinya. Jika nama “rumah” masih melekat padanya karena masih ada bangunan yang tersisa sehingga masih disebut rumah, maka wasiat itu sah, dan penerima wasiat mendapatkan bagian bangunan yang masih ada.

فَأَمَّا الْمُنْفَصَلُ عَنْهَا بِالْهَدْمِ، فَالَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ: أَنَّهُ يَكُونُ خارجا عن الْوَصِيَّةِ.

Adapun bagian yang terpisah darinya karena runtuh, menurut pendapat yang ditegaskan oleh Imam al-Syafi‘i: itu tidak termasuk dalam wasiat.

فَذَهَبَ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا إِلَى حَمْلِ ذَلِكَ على ظاهره، وأنه خارج عن الوصية لأن ما انفصل عنها دَارًا، فَلَمْ يَكُنْ لِلْمُوصَى لَهُ بِالدَّارِ فِيهِ حق.

Mayoritas ulama mazhab kami berpendapat bahwa hal itu harus dipahami sesuai zahirnya, dan bahwa hal tersebut keluar dari wasiat, karena apa yang terpisah darinya berupa rumah, maka penerima wasiat atas rumah tersebut tidak memiliki hak atasnya.

وحكي عن أَبُو الْقَاسِمِ بْنِ كَجٍّ وَجْهًا آخَرَ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا أَنَّ نَصَّ الشَّافِعِيِّ عَلَى خُرُوجِ مَا انْهَدَمَ مِنَ الْوَصِيَّةِ مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ هَدَمَهُ بِنَفْسِهِ فَصَارَ ذَلِكَ رُجُوعًا فِيهِ.

Diriwayatkan dari Abu al-Qasim bin Kajj satu pendapat lain dari sebagian ulama mazhab kami, bahwa nash Imam Syafi‘i tentang keluarnya bagian yang runtuh dari wasiat itu ditafsirkan jika ia sendiri yang merobohkannya, maka hal itu dianggap sebagai penarikan kembali wasiat.

وَلَوِ انهدم بِسَبَبٍ مِنَ السَّمَاءِ، لَا يُنْسَبُ إِلَى فِعْلِ الموصي وكان مَا انْفَصَلَ بِالْهَدْمِ لِلْمُوصَى لَهُ مَعَ الدَّارِ، لِأَنَّهُ مِنْهَا. وَإِنَّمَا بَانَ عَنْهَا بَعْدَ أَنْ تَنَاوَلَتْهُ الْوَصِيَّةُ، وَإِنْ كَانَتِ الدَّارُ بَعْدَ انْهِدَامِهَا، لَا تُسَمَّى دَارًا، لِأَنَّهَا صَارَتْ عَرْصَةً لَا بِنَاءَ فِيهَا، فَفِي بُطْلَانِ الْوَصِيَّةِ وَجْهَانِ:

Namun jika keruntuhan itu disebabkan oleh faktor alam, yang tidak dinisbatkan kepada perbuatan pewasiat, maka bagian yang terpisah akibat keruntuhan itu menjadi milik penerima wasiat bersama rumah tersebut, karena bagian itu adalah bagian dari rumah. Hanya saja ia terpisah setelah wasiat berlaku atasnya. Meskipun setelah runtuhnya, rumah itu tidak lagi disebut rumah, karena telah menjadi tanah kosong tanpa bangunan, maka dalam hal batalnya wasiat terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لا تبطل وهذا قَوْلُ مَنْ جَعَلَ الْآلَةَ بَعْدَ انْفِصَالِهَا مِلْكًا لِلْمُوصَى لَهُ.

Pertama: Wasiat tidak batal, dan ini adalah pendapat orang yang berpendapat bahwa bagian alat setelah terpisah menjadi milik penerima wasiat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّ الْوَصِيَّةَ بِهَا باطلة، وهو الأصح، لأنها صَارَتْ عَرْصَةً لَمْ تُسَمَّ دَارًا.

Pendapat kedua: Wasiat atasnya batal, dan ini adalah pendapat yang lebih sahih, karena ia telah menjadi tanah kosong yang tidak lagi disebut rumah.

أَلَا تَرَى لو حلف لا يدخلها، لم يحنث بدخول عَرْصَتَهَا، بَعْدَ ذَهَابِ بِنَائِهَا.

Tidakkah engkau melihat, jika seseorang bersumpah tidak akan memasukinya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah jika memasuki tanah kosongnya setelah bangunannya hilang.

وَهَذَا قَوْلُ مَنْ جَعَلَ مَا انْفَصَلَ عَنْهَا، غَيْرَ دَاخِلٍ فِي الوصية.

Dan ini adalah pendapat orang yang berpendapat bahwa apa yang terpisah darinya tidak termasuk dalam wasiat.

فإن كَانَ انْهِدَامُهَا، بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي، وَبَعْدَ قَبُولِ الموصى له، فالوصية بها ممضاة، وجميع ما انفصل مِنْ آلَتِهَا كَالْمُتَّصِلِ، يَكُونُ مِلْكًا لِلْمُوصَى لَهُ لاستقرار ملكه عليه بِالْقَبُولِ.

Jika keruntuhannya terjadi setelah wafatnya pewasiat dan setelah penerima wasiat menerima wasiat tersebut, maka wasiat tetap berlaku, dan seluruh bagian yang terpisah dari alat-alatnya, seperti juga yang masih menyatu, menjadi milik penerima wasiat karena kepemilikannya telah tetap dengan penerimaan wasiat.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِنْ كَانَ انْهِدَامُهَا، بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي، وَقَبْلَ قَبُولِ الْمُوصَى لَهُ: فَإِنْ لم يزل اسْمُ الدَّارِ عَنْهَا: فَالْوَصِيَّةُ بِحَالِهَا، فَإِذَا قَبِلَهَا الموصى له فإن قيل إن القبول يبنى عَلَى تَقَدُّمِ الْمِلْكِ بِمَوْتِ الْمُوصِي، فَكُلُّ ذَلِكَ ملك للموصى له، المنفصل منها، والمتصل.

Adapun jika keruntuhannya terjadi setelah wafatnya pewasiat dan sebelum penerima wasiat menerima wasiat tersebut: jika nama rumah masih melekat padanya, maka wasiat tetap berlaku. Ketika penerima wasiat menerimanya, jika dikatakan bahwa penerimaan itu didasarkan pada kepemilikan yang telah terjadi sejak wafatnya pewasiat, maka seluruhnya menjadi milik penerima wasiat, baik yang terpisah maupun yang masih menyatu.

فإن قيل إن القبول هو الملك فله ردها وَمَا اتَّصَلَ بِهَا مِنَ الْبِنَاءِ، وَفِي الْمُنْفَصِلِ وجهان:

Namun jika dikatakan bahwa kepemilikan terjadi dengan penerimaan, maka ia berhak menolaknya beserta seluruh bangunan yang masih menyatu, dan pada bagian yang terpisah terdapat dua pendapat:

أحدهما: للموصى له.

Pertama: Menjadi milik penerima wasiat.

والثاني: للوارث.

Kedua: Menjadi milik ahli waris.

وَإِنْ لَمْ تُسَمَّ الدَّارُ بَعْدَ انْهِدَامِهَا دَارًا، فإن قلنا إن القبول يبنى على تقدم الملك: فالوصية جائزة، وله العرصة، وجميع ما فيها من متصل، أو منفصل إِذَا كَانَ عِنْدَ الْمَوْتِ مُتَّصِلًا.

Dan jika setelah keruntuhannya rumah itu tidak lagi disebut rumah, maka jika dikatakan bahwa penerimaan didasarkan pada kepemilikan yang telah terjadi sebelumnya, maka wasiat sah, dan ia berhak atas tanah kosongnya dan seluruh yang ada di atasnya, baik yang masih menyatu maupun yang terpisah, selama pada saat wafat masih menyatu.

وَإِنْ قِيلَ إن القبول هو الملك، ففي البطلان بِانْهِدَامِهَا وَجْهَانِ عَلَى مَا مَضَى:

Namun jika dikatakan bahwa kepemilikan terjadi dengan penerimaan, maka dalam hal batalnya wasiat karena keruntuhannya terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلَةٌ.

Pertama: Wasiat batal.

وَالثَّانِي: جَائِزَةٌ، وَلَهُ مَا اتَّصَلَ بِهَا، وَفِي الْمُنْفَصِلِ وَجْهَانِ.

Kedua: Wasiat sah, dan ia berhak atas apa yang masih menyatu dengannya, sedangkan pada bagian yang terpisah terdapat dua pendapat.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا كَانَتِ الْوَصِيَّةُ بِعَبْدٍ فَعَمِيَ، أَوْ زَمِنَ، فِي حَيَاةِ الْمُوصِي أَوْ بَعْدَ مَوْتِهِ، فَالْوَصِيَّةُ بِحَالِهَا، لَا يُؤَثِّرُ فِيهَا عَمَى الْعَبْدِ وَلَا زَمَانَتُهُ.

Adapun jika wasiat itu atas seorang budak, lalu ia menjadi buta atau cacat di masa hidup pewasiat atau setelah wafatnya, maka wasiat tetap berlaku, kebutaan atau kecacatan budak tidak mempengaruhi wasiat tersebut.

وَلَوْ قُطِعَتْ يَدُهُ فِي حَيَاةِ الْمُوصِي: فَالْوَصِيَّةُ بِحَالِهَا فِي الْعَبْدِ مَقْطُوعًا، وَدِيَةُ ” يَدِهِ ” لِلْمُوصِي، تَنْتَقِلُ إِلَى وَرَثَتِهِ وَجْهًا وَاحِدًا، بِخِلَافِ مَا انْهَدَمَ مِنْ آلَةِ الدَّارِ عَلَى أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ، لِأَنَّ الْآلَةَ، عَيْنٌ مِنْ أَعْيَانِ الْوَصِيَّةِ، وَلَيْسَتِ الدِّيَةُ كَذَلِكَ لِأَنَّهَا بَدَلٌ.

Jika tangannya terpotong di masa hidup pewasiat, maka wasiat tetap berlaku atas budak tersebut dalam keadaan tangannya terpotong, dan diyat (ganti rugi) atas “tangannya” menjadi milik pewasiat dan berpindah kepada ahli warisnya, menurut satu pendapat, berbeda dengan bagian alat rumah yang runtuh menurut salah satu dari dua pendapat, karena alat adalah bagian dari objek wasiat, sedangkan diyat tidak demikian karena ia adalah pengganti.

فَأَمَّا إِذَا قُتِلَ الْعَبْدُ قَتْلًا مَضْمُونًا بِالْقِيمَةِ: فَفِي بُطْلَانِ الْوَصِيَّةِ قَوْلَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْعَبْدِ الْمَبِيعِ إِذَا قُتِلَ فِي يَدِ بَائِعِهِ، هَلْ يَبْطُلُ الْبَيْعُ بِقَتْلِهِ أَمْ لَا؟ .

Adapun jika budak itu dibunuh dengan pembunuhan yang wajib diganti dengan nilai (harga budak), maka dalam batalnya wasiat terdapat dua pendapat, sebagaimana perbedaan pendapat dalam kasus budak yang dijual lalu dibunuh ketika masih di tangan penjualnya, apakah jual belinya batal karena pembunuhan tersebut atau tidak?

عَلَى قَوْلَيْنِ: كَذَلِكَ يَجِيءُ هَاهُنَا فِي بُطْلَانِ الْوَصِيَّةِ قَوْلَانِ:

Ada dua pendapat: demikian pula di sini, dalam batalnya wasiat terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَدْ بَطَلَتْ، لِأَنَّ الْقِيمَةَ لَا تَكُونُ عَبْدًا، وَكَمَا لَوْ قُطِعَتْ يَدُهُ لَمْ يَكُنْ أَرْشُهَا لَهُ.

Pertama: Wasiat telah batal, karena nilai (harga budak) tidak bisa menjadi budak, dan sebagaimana jika tangannya terpotong maka ganti rugi atas tangannya tidak menjadi miliknya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ الْوَصِيَّةَ لَا تَبْطُلُ، لِأَنَّ الْقِيمَةَ بَدَلٌ مِنْ رَقَبَتِهِ فَأُقِيمَتْ مَقَامَهَا، وَخَالَفَتْ قِيمَةُ رَقَبَتِهِ، أَرْشَ يَدِهِ، لِأَنَّ اسْمَ الْعَبْدِ مُنْطَلَقٌ عَلَيْهِ، بَعْدَ قَطْعِ يَدِهِ فَلَمْ يَسْتَحِقَّ أَرْشَ يده، لأنه جعل له ما ينطلق اسم العبد عليه، وَلَيْسَ كَذَلِكَ بَعْدَ قَتْلِهِ.

Pendapat kedua: Wasiat tidak batal, karena nilai (harga budak) adalah pengganti dari dirinya sehingga menempati posisinya, dan nilai budak berbeda dengan ganti rugi atas tangannya, karena nama budak masih melekat padanya setelah tangannya terpotong sehingga ia tidak berhak atas ganti rugi tangannya, karena yang diberikan kepadanya adalah sesuatu yang masih disebut budak, dan tidak demikian halnya setelah ia dibunuh.

وَلَكِنْ لَوْ قَتَلَهُ السَّيِّدُ بَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ بِهِ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّهُ لَا يَضْمَنُ قِيمَةَ عَبْدِهِ فِي حَقِّ غَيْرِهِ، وَكَمَا لَوْ أَوْصَى لَهُ بِحِنْطَةٍ، فَطَحَنَهَا، وَبِاللَّهِ التوفيق.

Namun, jika tuannya membunuhnya, wasiat untuknya batal menurut satu pendapat, karena ia tidak menanggung nilai budaknya untuk hak orang lain, sebagaimana jika ia mewasiatkan gandum kepadanya lalu ia menggilingnya. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

فصل:

Fasal:

ولو أوصى بعتق عبده، فقتل العبد قبل عتقه، نظر:

Jika seseorang mewasiatkan pembebasan budaknya, lalu budak itu dibunuh sebelum dimerdekakan, maka diperhatikan:

فإن قتل فِي حَيَاةِ الْمُوصِي: بَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ بِعِتْقِهِ، لِخُرُوجِهِ فِي حَيَاةِ السَّيِّدِ عَنْ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا.

Jika ia dibunuh pada masa hidup orang yang berwasiat, maka batal wasiat pembebasannya, karena ia telah keluar dari status budak pada masa hidup tuannya.

وَإِنْ كَانَ قَتْلُهُ بَعْدَ مَوْتِ السَّيِّدِ، فَقَدْ حُكِيَ عَنِ الْمُزَنِيِّ أَنَّ الْوَصِيَّةَ لَا تَبْطُلُ بعتقه، وَيُشْتَرَى بِقِيمَتِهِ عَبْدٌ يُعْتَقُ مَكَانَهُ. لِأَنَّ قِيمَتَهُ بَدَلٌ مِنْهُ فَصَارَ كَمَنْ نَذَرَ أُضْحِيَةً فَأَتْلَفَهَا بتلف، صُرِفَتْ قِيمَتُهَا فِي أُضْحِيَةٍ غَيْرِهَا. وَيُحْتَمَلُ أَنْ تَبْطُلَ الْوَصِيَّةُ، لِخُرُوجِ الْقِيمَةِ عَنْ أَنْ تَكُونَ عَبْدًا، وَخَالَفَ نَذْرُ الْأُضْحِيَةِ لِاسْتِقْرَارِ حُكْمِهَا وَالْعَبْدُ لَا يَسْتَقِرُّ حُكْمُهُ إِلَّا بِالْعِتْقِ.

Dan jika pembunuhan itu terjadi setelah kematian tuannya, maka telah dinukil dari al-Muzani bahwa wasiat pembebasannya tidak batal, dan dengan nilai budak tersebut dibelikan budak lain yang kemudian dimerdekakan sebagai gantinya. Karena nilainya menjadi pengganti dirinya, sehingga keadaannya seperti orang yang bernazar untuk berkurban lalu hewan kurbannya rusak, maka nilainya digunakan untuk membeli hewan kurban lain. Namun ada kemungkinan wasiat itu batal, karena nilai tersebut telah keluar dari status budak, dan berbeda dengan nazar kurban karena hukum kurban telah tetap, sedangkan budak tidak tetap hukumnya kecuali dengan pembebasan.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَيَجُوزُ نِكَاحُ الْمَرِيضِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Nikah orang sakit itu sah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا تَزَوَّجَ امْرَأَةً: صَحَّ نِكَاحُهَا، وَلَهَا الْمِيرَاثُ، وَالصَّدَاقُ، إِنْ لَمْ يَزِدْ عَلَى صَدَاقِ مِثْلِهَا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, jika ia menikahi seorang wanita, maka pernikahannya sah, ia berhak mendapat warisan dan mahar, selama maharnya tidak melebihi mahar wanita sepadan dengannya.

فَإِنْ زَادَ: رُدَّتِ الزِّيَادَةُ إِنْ كَانَتْ وَارِثَةً، وَأُمْضِيَتْ فِي الثُّلُثِ إِنْ كَانَتْ غَيْرَ وَارِثَةٍ.

Jika lebih, kelebihan itu dikembalikan jika ia adalah ahli waris, dan dijalankan pada sepertiga harta jika ia bukan ahli waris.

وهكذا المريضة إذا نكحت رجلا صحيحا صَحَّ نِكَاحُهَا وَوَرِثَهَا الزَّوْجُ، وَعَلَيْهِ صَدَاقُهَا، إِنْ كان مهر المثل فيما زاد.

Demikian pula jika wanita yang sakit menikah dengan laki-laki yang sehat, maka pernikahannya sah, suaminya berhak mewarisinya, dan ia wajib membayar maharnya, jika mahar itu sesuai dengan mahar wanita sepadan dalam hal kelebihan.

فإن نكحته بأقل من صداق مثلها بالمحاباة فالنقصان وصية له فترد إن كان وارثا، وتمضي في الثلث إن كان الزوج غَيْرَ وَارِثٍ.

Jika ia menikah dengan mahar kurang dari mahar wanita sepadan karena kemurahan hati, maka kekurangan itu dianggap sebagai wasiat untuk suaminya, sehingga dikembalikan jika suaminya adalah ahli waris, dan dijalankan pada sepertiga harta jika suaminya bukan ahli waris.

وَقَالَ مَالِكٌ: نِكَاحُ الْمَرِيضِ فَاسِدٌ، لَا يَسْتَحِقُّ بِهِ مِيرَاثًا، وَلَا يَجِبُ فِيهِ صَدَاقٌ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ أَصَابَهَا فَيَلْزَمُهُ مهر المثل من الثلث مقدما عَلَى الْوَصَايَا.

Imam Malik berkata: Nikah orang sakit itu tidak sah, tidak berhak mendapat warisan, dan tidak wajib mahar, kecuali jika ia telah berhubungan dengannya, maka wajib membayar mahar wanita sepadan dari sepertiga harta, didahulukan atas wasiat-wasiat.

وَكَذَلِكَ نِكَاحُ الْمَرِيضَةِ فَاسِدٌ، وَلَا ميراث للزوج.

Demikian pula nikah wanita sakit itu tidak sah, dan suami tidak berhak mendapat warisan.

وقال الزهري: النِّكَاحُ فِي الْمَرَضِ جَائِزٌ، وَلَا مِيرَاثَ وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنْ ظَهَرَ مِنْهُ الإضرار في تزويجه لَمْ يَجُزْ، وَإِنْ لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُ الْإِضْرَارُ وَظَهَرَ مِنْهُ الْحَاجَةُ إِلَيْهِ فِي خِدْمَةٍ أَوْ غَيْرِهَا جَازَ.

Az-Zuhri berkata: Nikah dalam keadaan sakit itu sah, tetapi tidak ada hak waris. Al-Hasan al-Bashri berkata: Jika tampak ada unsur merugikan dalam pernikahan itu, maka tidak sah; namun jika tidak tampak unsur merugikan dan justru tampak ada kebutuhan seperti untuk pelayanan atau lainnya, maka sah.

وَدَلِيلُ مَنْ مَنَعَ مِنْهُ شَيْئَانِ:

Adapun dalil bagi yang melarangnya ada dua:

أحدهما: وجود التهمة بإدخالهم الضَّرَرَ عَلَى الْوَرَثَةِ فَصَارَ كَالْمُتْلِفِ لِمَالِهِ فِي مرضه.

Pertama: Adanya tuduhan bahwa ia ingin menimbulkan kerugian bagi para ahli waris, sehingga keadaannya seperti orang yang menghabiskan hartanya sendiri ketika sakit.

والثاني: مزاحمتهم لميراثها ودفعهم على ما ترثه ولدان صار لهما فَصَارَ كَالْمَانِعِ لِلْوَرَثَةِ مِنَ الْمِيرَاثِ.

Kedua: Mereka akan bersaing dalam warisan dan menghalangi hak waris anak-anak yang telah menjadi ahli waris, sehingga keadaannya seperti orang yang menghalangi ahli waris dari mendapatkan warisan.

وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ} [النساء: 3] . وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ صَحِيحٍ وَمَرِيضٍ، وَرُوِيَ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي مرضه: ” زوجوني لئلا ألقى الله عزبا “.

Adapun dalil kami adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: {Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat} (QS. An-Nisa: 3), dan tidak membedakan antara yang sehat dan yang sakit. Diriwayatkan dari Mu‘adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata saat sakit: “Nikahkanlah aku agar aku tidak menghadap Allah dalam keadaan lajang.”

وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: ” لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنْ أَجَلِي إِلَّا عَشَرَةُ أَيَّامٍ مَا أَحْبَبْتُ إِلَّا أَنْ تَكُونَ لِي زَوْجَةٌ “.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata: “Seandainya umurku tinggal sepuluh hari lagi, aku tetap ingin memiliki istri.”

وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ الزبير رضي الله عنه دخل على قدامة يعوده، فبصر عنده بجارية فقال قدامة زوجني بها فقال: ما تصنع بها وأنت على هذه الحالة فقال: إن أنا عشت فثبت الزبير وإن مت فهم أحق من يرثني.

Hisyam bin ‘Urwah meriwayatkan dari ayahnya, bahwa az-Zubair radhiyallahu ‘anhu masuk menemui Qudamah yang sedang sakit, lalu ia melihat ada seorang budak perempuan di sisinya. Qudamah berkata: “Nikahkan aku dengannya.” Az-Zubair berkata: “Apa yang akan kau lakukan dengannya dalam keadaan seperti ini?” Qudamah menjawab: “Jika aku hidup, maka aku tetap bersamanya; jika aku mati, maka mereka lebih berhak mewarisiku.”

وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَمْ يُمْنَعْ مِنَ التَّسَرِّي بالإماء لم يمنع من نكاح الحرائر كَالصَّحِيحِ.

Dan setiap orang yang tidak dilarang untuk bersenang-senang dengan budak perempuan, maka tidak dilarang pula menikahi wanita merdeka, sebagaimana orang sehat.

وَلِأَنَّهُ فِرَاشٌ لَا يُمْنَعُ مِنْهُ الصَّحِيحُ، فوجب ألا يُمْنَعَ مِنْهُ الْمَرِيضُ كَالِاسْتِمْتَاعِ بِالْإِمَاءِ، وَلِأَنَّهُ عَقْدُ فَلَمْ يَمْنَعْ مِنْهُ الْمَرَضُ كَالْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ وَلِأَنَّهُ لَا يَخْلُو عَقْدُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ لِحَاجَةٍ أو لشهوة، فَإِنْ كَانَ لِحَاجَةٍ لَمْ يَجُزْ مَنْعُهُ وَإِنْ كَانَ لِشَهْوَةٍ فَهِيَ مُبَاحَةٌ لَهُ كَمَا أُبِيحُ له أن يلتزم بما شاء من أكل أو لبس.

Karena pernikahan adalah hak yang tidak dilarang bagi orang sehat, maka tidak sepatutnya dilarang pula bagi orang sakit, sebagaimana menikmati budak perempuan. Dan karena pernikahan adalah akad, maka penyakit tidak menghalanginya sebagaimana jual beli. Selain itu, akad nikah tidak lepas dari kebutuhan atau syahwat; jika karena kebutuhan, maka tidak boleh dilarang, dan jika karena syahwat, maka itu pun dibolehkan baginya sebagaimana ia dibolehkan memilih makanan atau pakaian sesuai keinginannya.

فأما الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالتُّهْمَةِ وَدُخُولِ الضَّرَرِ فَهُوَ إِنَّ التُّهْمَةَ تَبْعُدُ عَمَّنْ هُوَ فِي مَرَضِ موته لأنه في الأغلب يقصد وجه الله عَزَّ وَجَلَّ وَالضَّرَرُ لَا يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ العقود كالبيع ولأنه إن كَانَ ضَرَرًا لِوَرَثَتِهِ فَهُوَ مَنْفَعَةٌ لِنَفْسِهِ وَهُوَ أحق بمنفعة نفسه من منفعة ورثته.

Adapun jawaban atas dalil mereka dengan tuduhan dan masuknya mudarat adalah bahwa tuduhan itu jauh dari orang yang sedang dalam sakit maut, karena pada umumnya ia bermaksud mencari keridaan Allah ‘Azza wa Jalla. Dan mudarat tidak menghalangi bolehnya akad-akad seperti jual beli. Karena jika itu merupakan mudarat bagi ahli warisnya, maka itu adalah manfaat bagi dirinya sendiri, dan ia lebih berhak atas manfaat dirinya daripada manfaat ahli warisnya.

فأما الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ فِيهِ مُزَاحَمَةً لِبَعْضِ الورثة ” ودفع ” لِبَعْضِهِمْ فَهُوَ أَنَّ مَا لَمْ يَمْنَعِ الصِّحَّةُ مِنْهُ لَمْ يَمْنَعِ الْمَرَضُ مِنْهُ كَالْإِقْرَارِ بِوَارِثٍ وكالاستيلاء للأمة.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa di dalamnya terdapat persaingan terhadap sebagian ahli waris dan penolakan terhadap sebagian lainnya, maka jawabannya adalah bahwa sesuatu yang tidak menghalangi keabsahan dalam keadaan sehat, maka penyakit pun tidak menghalanginya, seperti pengakuan terhadap ahli waris dan seperti penguasaan budak perempuan.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ إِبَاحَةُ النِّكَاحِ فِي الْمَرَضِ، فَلَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ مَا أَبَاحَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنْ وَاحِدَةٍ إِلَى أَرْبَعٍ، كَهُوَ فِي الصِّحَّةِ، وَلَهُنَّ الْمِيرَاثُ، إِنْ مَاتَ مِنْ ذَلِكَ الْمَرَضِ أو غيره.

Apabila telah tetap kebolehan menikah dalam keadaan sakit, maka ia boleh menikahi siapa saja yang dihalalkan Allah Ta‘ala baginya, dari satu sampai empat orang, sebagaimana dalam keadaan sehat. Dan para istri tersebut berhak mendapatkan warisan jika ia meninggal karena sakit itu atau karena sebab lain.

وأما الصداق، فإن كان مهرهن، صَدَاقَ أَمْثَالِهِنَّ، فَلَهُنَّ الصَّدَاقُ مَعَ الْمِيرَاثِ. وَإِنْ كانت عَلَيْهِ دُيُونٌ، شَارَكَهُنَّ الْغُرَمَاءُ فِي التَّرِكَةِ، وَضَرَبْنَ مَعَهُمْ بِالْحِصَصِ.

Adapun mahar, jika mahar mereka adalah mahar yang sepadan dengan mereka, maka mereka berhak mendapatkan mahar beserta warisan. Dan jika ia memiliki utang, para kreditur bersama mereka berbagi dalam harta peninggalan, dan mereka mendapat bagian bersama para kreditur.

وَإِنْ تَزَوَّجَهُنَّ، أَوْ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ، بِأَكْثَرَ مِنْ صَدَاقِ مِثْلِهَا، كَانَتِ الزِّيَادَةُ عَلَى صَدَاقِ الْمِثْلِ، وَصِيَّةً فِي الثُّلُثِ.

Jika ia menikahi mereka, atau salah satu dari mereka, dengan mahar yang lebih besar dari mahar yang sepadan, maka kelebihan dari mahar yang sepadan itu dihitung sebagai wasiat dalam sepertiga harta.

فَإِنْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ وَارِثَةً رُدَّتِ الْوَصِيَّةُ لِأَنَّهُ لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ.

Jika istri tersebut adalah ahli waris, maka wasiat itu dikembalikan, karena tidak ada wasiat bagi ahli waris.

وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ وَارِثَةٍ لِرِقٍّ أَوْ كُفْرٍ، دُفِعَتِ الزِّيَادَةُ إِلَيْهَا، إِنِ احْتَمَلَهَا الثُّلُثُ، وما احتمله منها يتقدم منها عَلَى الْوَصَايَا كُلِّهَا، لِأَنَّهَا عَطِيَّةٌ فِي الْحَيَاةِ.

Dan jika ia bukan ahli waris karena status budak atau kafir, maka kelebihan itu diberikan kepadanya jika sepertiga harta mencukupinya. Bagian yang ditanggung oleh sepertiga harta itu didahulukan dari seluruh wasiat lainnya, karena itu adalah pemberian semasa hidup.

وَهَكَذَا لَوْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ حُرَّةً مُسْلِمَةً، فَمَاتَتْ قبله، صحة الزيادة لها، إِنِ احْتَمَلَهَا الثُّلُثُ، لِأَنَّهَا بِالْمَوْتِ قَبْلَهُ، غَيْرُ وارثة.

Demikian pula jika istri tersebut adalah perempuan merdeka dan muslimah, lalu ia meninggal lebih dahulu, maka kelebihan itu sah baginya jika sepertiga harta mencukupinya, karena dengan kematiannya sebelum suami, ia bukan lagi ahli waris.

فلو كانت حين نكاحها فِي الْمَرَضِ أَمَةً، أَوْ ذِمِّيَّةً، فَأُعْتِقَتِ الْأَمَةُ، وَأَسْلَمَتِ الذِّمِّيَّةُ، صَارَتْ وَارِثَةً، وَمُنِعَتْ مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَى صَدَاقِ مِثْلِهَا، وَلَوْ صَحَّ الْمَرِيضُ مِنْ مَرَضِهِ، ثُمَّ مَاتَ مِنْ غَيْرِهِ، أَوْ لَمْ يَمُتْ، صَحَّتِ الزِّيَادَةُ عَلَى صَدَاقِ الْمِثْلِ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ لِوَارِثَةٍ، وَغَيْرِ وَارِثَةٍ.

Jika pada saat dinikahi dalam keadaan sakit, ia adalah budak perempuan atau wanita dzimmi, lalu budak itu dimerdekakan dan wanita dzimmi itu masuk Islam, maka ia menjadi ahli waris dan tidak berhak atas kelebihan dari mahar yang sepadan. Jika orang yang sakit itu sembuh dari sakitnya, lalu meninggal bukan karena sakit itu, atau tidak meninggal, maka kelebihan dari mahar yang sepadan itu sah diberikan dari harta pokok, baik kepada ahli waris maupun bukan ahli waris.

فَعَلَى هَذَا:

Berdasarkan hal ini:

لَوْ تَزَوَّجَ فِي مَرَضِهِ ذِمِّيَّةً عَلَى صَدَاقٍ ألف درهم، وصداق مثلها خمس مائة، ومات، وَلَا مَالَ لَهُ غَيْرُ الْأَلْفِ الَّتِي هِيَ صَدَاقُهَا: أُعْطِيَتْ مِنَ الْأَلْفِ سِتَّمِائَةٍ وَسِتَّةً وَسِتِّينَ درهما وثلث درهم.

Jika seseorang menikahi wanita dzimmi dalam keadaan sakit dengan mahar seribu dirham, sedangkan mahar yang sepadan dengannya adalah lima ratus dirham, lalu ia meninggal dan tidak memiliki harta selain seribu dirham yang menjadi maharnya, maka dari seribu itu diberikan kepadanya enam ratus enam puluh enam dan sepertiga dirham.

لأنها لها خمس مائة من المال، وتبقى خمس مائة هي جميع التركة، وهي الوصية لَهَا، فَأُعْطِيَتْ ثُلُثَهَا، وَذَلِكَ مِائَةُ دِرْهَمٍ وَسِتَّةٌ وَسِتُّونَ دِرْهَمًا، وَثُلُثُ دِرْهَمٍ، تَأْخُذُهَا مَعَ صَدَاقِ مثلها.

Karena ia berhak atas lima ratus dari harta itu, dan sisanya, yaitu lima ratus, adalah seluruh harta peninggalan, yang merupakan wasiat baginya. Maka diberikan sepertiganya, yaitu seratus enam puluh enam dirham dan sepertiga dirham, yang diambilnya bersama mahar yang sepadan.

ولو خلف الزوج مع الصداق خمس مائة دِرْهَمٍ: صَارَتِ التَّرِكَةُ بَعْدَ صَدَاقِ الْمِثْلِ أَلْفَ درهم، فلها ثلثها، ثلاث مائة وثلاثة وَثَلَاثُونَ دِرْهَمًا وَثُلُثٌ.

Jika suami meninggalkan bersama mahar lima ratus dirham, maka harta peninggalan setelah mahar yang sepadan menjadi seribu dirham, sehingga ia berhak atas sepertiganya, yaitu tiga ratus tiga puluh tiga dan sepertiga dirham.

وَلَوْ خَلَّفَ مَعَ الصَّدَاقِ أَلْفَ دِرْهَمٍ، خَرَجَتِ الزِّيَادَةَ عَلَى صَدَاقِ الْمِثْلِ من الثلث وأخذت الألف كلها.

Jika ia meninggalkan bersama mahar seribu dirham, maka kelebihan atas mahar yang sepadan diambil dari sepertiga harta, dan ia mengambil seluruh seribu dirham itu.

فصل:

Fasal:

فإذا تَزَوَّجَ الرَّجُلُ فِي مَرَضِهِ امْرَأَةً عَلَى صَدَاقٍ ألف درهم، ومهر مثلها خمس مائة، ثُمَّ مَاتَتِ الْمَرْأَةُ قَبْلَهُ، ثُمَّ مَاتَ الزَّوْجُ من مَرَضِهِ، وَلَا مَالَ لَهُ غَيْرُ الْأَلْفِ الَّتِي أَصْدَقَهَا وَلَا لَهَا فَإِنَّهُ يَجُوزُ مِنَ الْمُحَابَاةِ، قَدْرُ مَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ، لِأَنَّهَا صَارَتْ بِالْمَوْتِ قَبْلَهُ غَيْرَ وَارِثَةٍ، وَصَارَ وَارِثًا لَهَا، فَزَادَتْ تَرِكَتُهُ بِمَا وَرِثَهُ مِنْهَا.

Jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita dalam keadaan sakit dengan mahar seribu dirham, sedangkan mahar yang sepadan dengannya adalah lima ratus dirham, lalu wanita itu meninggal lebih dahulu, kemudian suaminya meninggal dalam sakitnya, dan ia tidak memiliki harta selain seribu dirham yang telah dijadikan mahar, dan wanita itu pun tidak memiliki harta, maka yang boleh diberikan dari kelebihan (muḥābāh) adalah sebesar yang ditanggung oleh sepertiga harta, karena dengan kematiannya sebelum suami, ia menjadi bukan ahli waris, dan suaminya menjadi ahli warisnya, sehingga harta peninggalannya bertambah dengan apa yang diwarisinya dari istrinya.

وَإِذَا زَادَتْ تَرِكَتُهُ بِمَا وَرِثَهُ مِنْهَا، زَادَ فِي قَدْرِ مَا يجوز من المحاباة لها، فإذا ردت منها النصف: صح لها من المحاباة، ثلثمائة درهم، فتضم إلى صداق مثلها، وهو خمس مائة، يَصِيرُ لَهَا مِنَ الْأَلْفِ بِصَدَاقِ الْمِثْلِ، وَالْمُحَابَاةِ، وله النصف، وهو أربع مائة درهم يصير معه ست مائة دِرْهَمٍ، وَذَلِكَ ضِعْفُ مَا خَرَجَ مِنَ الْمُحَابَاةِ وهي ثلاث مائة درهم.

Dan apabila harta peninggalannya bertambah dengan apa yang diwarisinya dari istrinya, maka bertambah pula jumlah yang boleh diberikan dari kelebihan (muḥābāh) kepadanya. Jika setengahnya dikembalikan, maka yang sah dari kelebihan (muḥābāh) baginya adalah tiga ratus dirham, yang digabungkan dengan mahar yang sepadan, yaitu lima ratus, sehingga ia memperoleh dari seribu itu, dengan mahar yang sepadan dan kelebihan (muḥābāh), sedangkan suaminya mendapatkan setengahnya, yaitu empat ratus dirham, sehingga menjadi enam ratus dirham, yang merupakan dua kali lipat dari jumlah kelebihan (muḥābāh) yang keluar, yaitu tiga ratus dirham.

ومخرجه بحساب الجبر سهل على المرياض، وَلَكِنْ نَذْكُرُ وَجْهَ عَمَلِهِ بِحِسَابِ الْبَابِ لِسُهُولَتِهِ عَلَى مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ بِحَسْبِ الْجَبْرِ ارتياض.

Dan cara penyelesaiannya dengan perhitungan al-jabr (aljabar) mudah bagi para ahli matematika, namun kami akan menyebutkan metode pengerjaannya dengan perhitungan bab (metode tradisional) karena lebih mudah bagi orang yang belum terbiasa dengan perhitungan al-jabr.

عمله بحساب الباب أن ننظر تركة الزوج، وهي خمسة مائة درهم التي هي المحاباة من الصداق، ويضم إليها ما ورثه زوجته من صداق مثلها، وهو نصف الخمس مائة، مائتان وخمسون، تصير جميع التركة سبع مائة وخمسين درهما، وتستحق الزَّوْجَةُ مِنْهَا بِالْمُحَابَاةِ ثُلُثَهَا، وَهُوَ سَهْمٌ مِنْ ثَلَاثَةٍ وَقَدْ عَادَ إِلَى الزَّوْجِ نِصْفُهُ بِالْمِيرَاثِ وَهُوَ نِصْفُ سَهْمٍ فَأَسْقَطَهُ مِنَ الثُّلُثِ يَبْقَى سهمان ونصف فأضعفها ليخرج الكسر منها يكن خَمْسَةَ أَسْهُمٍ، ثُمَّ أَضْعِفِ التَّرِكَةَ لِأَجْلِ مَا أضعفته من السهام تكن ألف درهم وخمس مائة، ثُمَّ اقْسِمْهَا عَلَى السِّهَامِ الْخَمْسَةِ، تَكُنْ حِصَّةُ كل منهم، منها، ثلاثة مائة، وهي قَدْرُ الْمُحَابَاةِ.

Cara pengerjaannya dengan perhitungan bab adalah dengan melihat harta peninggalan suami, yaitu lima ratus dirham yang merupakan bagian muhabāh dari mahar, lalu ditambahkan dengan apa yang diwarisi suami dari istrinya berupa mahar semisal, yaitu setengah dari lima ratus, yakni dua ratus lima puluh, sehingga seluruh harta warisan menjadi tujuh ratus lima puluh dirham. Istri berhak atas sepertiga dari harta tersebut sebagai muhabāh, yaitu satu bagian dari tiga, dan setengahnya telah kembali kepada suami melalui warisan, yaitu setengah bagian. Maka, setengah bagian itu dikurangkan dari sepertiga, sehingga tersisa dua setengah bagian. Gandakanlah agar tidak ada pecahan, maka menjadi lima bagian. Kemudian gandakan juga harta warisan sesuai dengan penggandaan bagian-bagian tadi, sehingga menjadi seribu lima ratus dirham. Lalu bagilah harta tersebut kepada lima bagian, maka bagian masing-masing adalah tiga ratus, dan itulah jumlah muhabāh.

فَعَلَى هَذَا: لَوْ كَانَتِ الْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا، وَخَلَّفَ الزَّوْجُ مَعَ الْأَلْفِ الَّتِي أَصْدَقَهَا مِائَتَيْ دِرْهَمٍ. فَطَرِيقُ الْعَمَلِ فِيهَا بِحِسَابِ الْبَابِ الَّذِي ذَكَرْتُهُ أَنْ يُنْظَرَ تَرِكَةُ الزَّوْجِ وَهِيَ سبع مائة، لأن له مائتي درهم سوى الصداق وخمس مائة مُحَابَاةً مِنَ الصَّدَاقِ فَاضْمُمْ إِلَيْهَا مَا وَرِثَهُ عن زوجته من صداق مثلها وهو مئتان وخمسون، تصير جميع التركة تسع مائة وخمسين درهما تقسم عَلَى سَهْمَيْنِ وَنِصْفٍ، فَأَضْعِفِ السِّهَامَ وَالتَّرِكَةَ، تَكُنِ السهام خمسة والتركة ألف درهم وتسع مائة دِرْهَمٍ، ثُمَّ اقْسِمْهَا عَلَى السِّهَامِ الْخَمْسَةِ تَكُنْ حصة كل سهم منها ثلاثمائة درهم، وثمانين درهما وهو القدر الذي احتمله الثلث من المحاباة.

Berdasarkan hal ini: jika kasusnya tetap seperti semula, dan suami meninggalkan, selain seribu dirham yang dijadikan mahar, dua ratus dirham, maka cara pengerjaannya dengan perhitungan bab yang telah saya sebutkan adalah dengan melihat harta peninggalan suami, yaitu tujuh ratus dirham, karena ia memiliki dua ratus dirham selain mahar dan lima ratus sebagai muhabāh dari mahar. Lalu tambahkan apa yang diwarisi dari istrinya berupa mahar semisal, yaitu dua ratus lima puluh, sehingga seluruh harta warisan menjadi sembilan ratus lima puluh dirham. Bagilah kepada dua setengah bagian, lalu gandakan bagian-bagian dan harta warisan, maka bagian-bagian menjadi lima dan harta warisan menjadi seribu sembilan ratus dirham. Kemudian bagilah kepada lima bagian, maka bagian setiap bagian adalah tiga ratus delapan puluh dirham, dan itulah jumlah yang diambil sepertiga dari muhabāh.

وإذا ضممته إلى صداق المثل وهو خمس مائة صار ثمان مائة وَثَمَانِينَ دِرْهَمًا وَقَدْ بَقِيَ مَعَ وَارِثِ الزَّوْجِ ثَلَاثُمِائَةٍ وَعِشْرُونَ دِرْهَمًا وَعَادَ إِلَيْهِ نِصْفُ تَرِكَةِ الزوجة بالميراث وذلك أربع مائة وأربعون درهما يصير الجميع تسع مائة وَسِتِّينَ دِرْهَمًا وَهُوَ ضِعْفُ مَا خَرَجَ بِالْمُحَابَاةِ لأن الذي خرج منها ثلاث مائة وَثَمَانُونَ دِرْهَمًا.

Jika jumlah itu ditambahkan ke mahar semisal, yaitu lima ratus, maka menjadi delapan ratus delapan puluh dirham. Dan yang tersisa pada ahli waris suami adalah tiga ratus dua puluh dirham, dan kembali kepadanya setengah harta warisan istri melalui warisan, yaitu empat ratus empat puluh dirham, sehingga seluruhnya menjadi sembilan ratus enam puluh dirham, dan itu adalah dua kali lipat dari jumlah yang keluar untuk muhabāh, karena yang keluar dari muhabāh adalah tiga ratus delapan puluh dirham.

فَلَوْ كَانَتِ الْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا وَخَلَّفَ الزوج مع الألف التي أصدق خمس مائة دِرْهَمٍ صَحَّتِ الْمُحَابَاةُ كُلُّهَا لِأَنَّ بِيَدِ وَرَثَةِ الزوج عنده الخمس مائة ويعود إليه نصف ميراث الزوجة وهو خمس مائة يصير بِيَدِهِ أَلْفَ دِرْهَمٍ هِيَ ضِعْفُ الْمُحَابَاةِ.

Jika kasusnya tetap seperti semula dan suami meninggalkan, selain seribu mahar yang diberikan, lima ratus dirham, maka seluruh muhabāh sah, karena di tangan ahli waris suami ada lima ratus, dan kembali kepadanya setengah warisan istri, yaitu lima ratus, sehingga di tangannya ada seribu dirham, yang merupakan dua kali lipat muhabāh.

فَلِذَلِكَ صَحَّ جَمِيعُهَا، وَلَوْ لَمْ يُخَلِّفِ الزَّوْجُ شَيْئًا سِوَى الْأَلْفِ الصَّدَاقِ وَلَكِنْ خَلَّفَتِ الزَّوْجَةُ سِوَى الصداق ألف أخرى صحت المحاباة كلها لأنها تصير تركة الزوجة ألفي درهما، يَرِثُ الزَّوْجُ نِصْفَهَا وَهُوَ أَلْفُ دِرْهَمٍ، وَهِيَ ضعف المحاباة، فذلك صَحَّتْ.

Oleh karena itu, seluruhnya sah. Dan jika suami tidak meninggalkan apa pun selain seribu mahar, tetapi istri meninggalkan selain mahar seribu dirham lagi, maka seluruh muhabāh sah, karena harta warisan istri menjadi dua ribu dirham, suami mewarisi setengahnya, yaitu seribu dirham, dan itu adalah dua kali lipat muhabāh, maka itu sah.

فَلَوْ تَرَكَتِ الزَّوْجَةُ سِوَى الْأَلْفِ الصَّدَاقِ خمس مائة درهم كان الخارج لها بالمحاباة أربع مائة درهم، لأن تركة الزوجة هي الخمس مائة الْمُحَابَاةُ وَوَرِثَ مِنَ الزَّوْجَةِ، نِصْفَ تَرِكَتِهَا وَهِيَ ألف درهم، لأن تركتها صداق مثلها، وهي خمس مائة درهم، وما خلفته سوى ذلك وهو خمس مائة دِرْهَمٍ، فَإِذَا أَخَذَ الزَّوْجُ نِصْفَ تَرِكَتِهَا وَهُوَ خمس مائة دِرْهَمٍ، وَضُمَّ إِلَى مَا اخْتَصَّ بِهِ مِنَ التركة، صارت تَرِكَتُهُ ” أَلْفَ ” دِرْهَمٍ، تُقَسَّمُ عَلَى سَهْمَيْنِ وَنِصْفٍ فإذا أضعفت سهام التركة صارت السهام خمسة، والتركة ألفين. فإن قَسَّمْتَهَا عَلَى الْخَمْسَةِ كَانَتْ حِصَّةُ كُلِّ سَهْمٍ منها، أربع مائة درهم، وذلك قدر ما احتمله الثُّلُثُ مِنَ الْمُحَابَاةِ وَقَدْ بَقِيَ مَعَ وَارِثِ الزَّوْجِ مِنْ بَقِيَّةِ الصَّدَاقِ مِائَةُ دِرْهَمٍ، وَصَارَ إليه من تركة الزوج، بحق النصف سبع مائة درهم، فصار الجميع ثمان مائة دِرْهَمٍ، وَذَلِكَ ضِعْفُ مَا خَرَجَ بِالْمُحَابَاةِ، لِأَنَّ الخارج منها أربع مائة درهم.

Jika istri meninggalkan, selain seribu mahar, lima ratus dirham, maka yang keluar untuknya dengan muhabāh adalah empat ratus dirham, karena harta warisan istri adalah lima ratus muhabāh, dan ia mewarisi dari istri setengah harta warisannya, yaitu seribu dirham, karena harta warisannya adalah mahar semisal, yaitu lima ratus dirham, dan apa yang ia tinggalkan selain itu, yaitu lima ratus dirham. Maka jika suami mengambil setengah harta warisannya, yaitu lima ratus dirham, dan ditambahkan ke bagian yang menjadi haknya dari harta warisan, maka harta warisannya menjadi seribu dirham, dibagi kepada dua setengah bagian. Jika bagian-bagian harta warisan digandakan, maka bagian-bagian menjadi lima dan harta warisan menjadi dua ribu. Jika dibagi kepada lima, maka bagian setiap bagian adalah empat ratus dirham, dan itulah jumlah yang diambil sepertiga dari muhabāh. Dan yang tersisa pada ahli waris suami dari sisa mahar adalah seratus dirham, dan yang kembali kepadanya dari harta warisan suami, karena hak setengah, adalah tujuh ratus dirham, sehingga seluruhnya menjadi delapan ratus dirham, dan itu adalah dua kali lipat dari jumlah yang keluar untuk muhabāh, karena yang keluar dari muhabāh adalah empat ratus dirham.

فصل آخر منه:

Bagian lain darinya:

فإذا تزوجها على صداق ألف لا يملك غيرها، ومهر مثلها خمس مائة درهم، ثُمَّ مَاتَتْ قَبْلَهُ وَهِيَ ذَاتُ وَلَدٍ يُحْجَبُ الزوج إلى الربع ولم يخلف سِوَى الْأَلْفِ فَبَابُ الْعَمَلِ فِيهِ أَنْ يُضَمَّ ” ربع ” الخمس مائة التي هي صداق مثلها وهي مائة وخمسة وعشرون إلى الخمس مائة التي له، وهي المحاباة تكن ست مائة وخمسة وعشرون دِرْهَمًا لِلزَّوْجَةِ مِنْهَا ثُلُثُهَا، وَهُوَ سَهْمٌ مِنْ ثلاثة، وقد ورث الزوج أربعة وهو ربع سهم فأسقطه من الثلاثة، ويبقى سَهْمَانِ وَثَلَاثَةُ أَرْبَاعٍ فَابْسُطْهَا أَرْبَاعًا تَكُنْ أَحَدَ عشرا، ثم اضرب الست مائة والخمسة والعشرين في أربعة تكن ألفان وخمس مائة فَاقْسِمْهَا عَلَى أَحَدَ عَشَرَ تَكُنْ حِصَّةُ كُلِّ سهم منها ما تبقى، درهم وَسَبْعَةٌ وَعِشْرُونَ دِرْهَمًا وَثَلَاثَةُ أَجْزَاءٍ مِنْ أَحَدَ عَشَرَ جُزْءًا مِنْ دِرْهَمٍ، وَهُوَ الْخَارِجُ لَهَا بالمحاباة.

Jika ia menikahinya dengan mahar seribu dirham, dan ia tidak memiliki harta selain itu, sedangkan mahar yang sepadan dengannya adalah lima ratus dirham, kemudian istrinya meninggal dunia lebih dahulu dan ia memiliki anak sehingga suami hanya mendapat seperempat bagian, dan tidak meninggalkan warisan selain seribu dirham, maka menurut fiqh, cara yang dilakukan adalah menambahkan seperempat dari lima ratus (yang merupakan mahar sepadan) yaitu seratus dua puluh lima dirham ke lima ratus dirham yang menjadi haknya, sehingga jumlahnya menjadi enam ratus dua puluh lima dirham. Dari jumlah itu, bagian istri adalah sepertiganya, yaitu satu bagian dari tiga. Sementara suami telah mewarisi empat bagian, yaitu seperempat bagian, maka bagian itu dikeluarkan dari tiga, sehingga tersisa dua bagian dan tiga perempat. Jika dibagi menjadi perempat, maka menjadi sebelas bagian. Kemudian kalikan enam ratus dua puluh lima dengan empat, hasilnya dua ribu lima ratus. Bagilah dengan sebelas, maka bagian setiap satu bagian adalah dua ratus dua puluh tujuh dirham dan tiga per sebelas bagian dari satu dirham. Inilah bagian yang didapatkan istri melalui muhabāh (pengurangan mahar).

وإذا ضممته إلى الخمس مائة الَّتِي هِيَ صَدَاقُ الْمِثْلِ صَارَتْ تَرِكَتُهَا سَبْعمِائَةٍ وسبعة وعشرين درهما وثلاثة أجزاء من أحد عشر جزءا من درهم الْأَلْفِ مِائَتَانِ وَاثْنَانِ وَسَبْعُونَ دِرْهَمًا وَثَمَانِيَةَ أَجْزَاءٍ مِنْ أَحَدَ عَشَرَ جُزْءًا مِنْ دِرْهَمٍ وَوَرِثَ مِنَ الزَّوْجَةِ رُبُعَ تَرِكَتِهَا وَذَلِكَ مِائَةُ دِرْهَمٍ وَأَحَدٌ وَثَمَانُونَ دِرْهَمًا وَتِسْعَةُ أَجْزَاءٍ مِنْ أَحَدَ عَشَرَ جُزْءًا مِنْ دِرْهَمٍ.

Jika kamu menambahkan jumlah itu ke lima ratus dirham yang merupakan mahar sepadan, maka warisannya menjadi tujuh ratus dua puluh tujuh dirham dan tiga per sebelas bagian dari satu dirham. Dari seribu dirham, dua ratus dua puluh dua dirham dan delapan per sebelas bagian dari satu dirham, dan suami mewarisi seperempat dari warisan istrinya, yaitu seratus delapan puluh satu dirham dan sembilan per sebelas bagian dari satu dirham.

يَصِيرُ الْجَمِيعُ أَرْبَعَمِائَةٍ وأربع وَخَمْسِينَ دِرْهَمًا وَسِتَّةَ أَجْزَاءٍ مِنْ أَحَدَ عَشَرَ جُزْءًا مِنْ دِرْهَمٍ، وَذَلِكَ مِثْلَ مَا خَرَجَ بِالْمُحَابَاةِ، لِأَنَّ الْخَارِجَ بِهَا مِائَتَانِ وَسَبْعَةٌ وَعِشْرُونَ درهما وثلاثة أجزاء من أحد عشر جزءا مِنْ دِرْهَمٍ.

Jumlah keseluruhannya menjadi empat ratus lima puluh empat dirham dan enam per sebelas bagian dari satu dirham, dan itu sama dengan hasil yang didapat melalui muhabāh, karena hasilnya adalah dua ratus dua puluh tujuh dirham dan tiga per sebelas bagian dari satu dirham.

فَلَوْ كَانَتِ الْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا وَلَحِقَ رُبُعَ الزَّوْجِ عَوْلٌ ” لِأَنَّهُ كَانَ مَعَهُ مِنْ ورثتها أبوان فقد صارت فريضتها من خمس عشر للزوج منها ثلاثة فصارت معه خمسة فإذا كان كذلك فاضمم إلى تركته وهي خمسة مائة الْمُحَابَاةُ مَا وَرِثَهُ عَنْ زَوْجَتِهِ مِنْ صَدَاقِ مثلها وهو خمس الخمس مائة تكن مِائَةَ دِرْهَمٍ تَصِيرُ مَعَهُ سِتُّمِائَةِ دِرْهَمٍ لِلزَّوْجَةِ مِنْهَا بِالْمُحَابَاةِ الثُّلُثُ سَهْمٌ مِنْ ثَلَاثَةٍ قَدْ ورث الزوج خمسة فاسقطه من الثلاثة يبقى سهمان وأربعة أخماس فابسطه أخمسا تَكُنْ أَرْبَعَةَ عَشَرَ ثُمَّ اضْرِبْ تَرِكَةَ الزَّوْجِ وَهِيَ سِتُّمِائَةٍ فِي خَمْسَةٍ تَكُنْ ثَلَاثَةَ آلَافٍ ثم اقسمها على أربعة عشر تكن حصة كل سهم منها مائتان دِرْهَمٍ وَأَرْبَعَةَ عَشَرَ دِرْهَمًا وَسُبْعَيْ دِرْهَمٍ وَهُوَ قدر ما احتمله الثلث في الْمُحَابَاةِ فَإِذَا ضُمَّ إِلَى صَدَاقِ مِثْلِهَا وَهُوَ خمسمائة صارت تركتها سبع مائة درهم وخمسة وثمانين درهما وخمسة أسباع دِرْهَمٍ وَوَرِثَ مِنْ تَرِكَةِ الزَّوْجَةِ خُمُسَهَا وَذَلِكَ مِائَةُ دِرْهَمٍ وَاثْنَانِ وَأَرْبَعُونَ دِرْهَمًا وَسِتَّةُ أَسْبَاعِ درهم فصار معه أربع مائة دِرْهَمٍ وَثَمَانِيَةٌ وَعِشْرُونَ دِرْهَمًا وَأَرْبَعَةُ أَسْبَاعِ دِرْهَمٍ وَذَلِكَ مِثْلَا مَا خَرَجَ بِالْمُحَابَاةِ لِأَنَّ الْخَارِجَ بِهَا مِائَتَا دِرْهَمٍ وَأَرْبَعَةَ عَشَرَ دِرْهَمًا وَسُبُعَا دِرْهَمٍ.

Seandainya kasusnya tetap seperti itu, namun bagian seperempat suami terkena ‘aul (pengurangan bagian karena banyaknya ahli waris), misalnya karena ada kedua orang tua dari pihak istri sebagai ahli waris, maka bagian warisannya menjadi lima belas, suami mendapat tiga bagian sehingga totalnya menjadi lima. Jika demikian, tambahkan ke warisan suami yang lima ratus dirham itu bagian muhabāh dari mahar sepadan yang diwarisinya dari istrinya, yaitu seperlima dari lima ratus, yakni seratus dirham, sehingga menjadi enam ratus dirham. Bagian istri dari jumlah itu melalui muhabāh adalah sepertiga, yaitu satu bagian dari tiga. Suami telah mewarisi lima bagian, maka keluarkan dari tiga, tersisa dua bagian dan empat per lima. Jika dibagi menjadi lima bagian, maka menjadi empat belas. Kemudian kalikan warisan suami yang enam ratus dengan lima, hasilnya tiga ribu. Bagilah dengan empat belas, maka bagian setiap satu bagian adalah dua ratus empat belas dirham dan dua per tujuh dirham, dan itu adalah jumlah yang ditanggung oleh sepertiga dalam muhabāh. Jika ditambahkan ke mahar sepadan, yaitu lima ratus, maka warisan istrinya menjadi tujuh ratus delapan puluh lima dirham dan lima per tujuh dirham. Suami mewarisi seperlima dari warisan istrinya, yaitu seratus empat puluh dua dirham dan enam per tujuh dirham. Maka jumlah yang didapatkan suami adalah empat ratus dua puluh delapan dirham dan empat per tujuh dirham, dan itu sama dengan hasil yang didapat melalui muhabāh, karena hasilnya adalah dua ratus empat belas dirham dan dua per tujuh dirham.

فَلَوْ كَانَتِ الْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا وَكَانَ مِيرَاثُ الزَّوْجِ بِالْعَوْلِ خُمُسًا وَأَوْصَتِ الزَّوْجَةُ بِإِخْرَاجِ ثُلُثِهَا فَوَجْهُ الْعَمَلِ بِالْبَابِ الَّذِي قَدَّمْنَاهُ أَنْ تُضَمَّ إلى تركة الزوج وهي خمس مائة المحاباة قدر ما يرثه من زَوْجَتِهِ مِنْ صَدَاقِ مِثْلِهَا وَهُوَ الْخُمُسُ مِنْ ثلث الخمسمائة وذلك ستة وستون درهما وثلث درهم تكن خمس مِائَةَ دِرْهَمٍ وَسِتَّةً وَسِتِّينَ دِرْهَمًا وَثُلُثَيْ دِرْهَمٍ لِلزَّوْجَةِ مِنْهَا بِالْمُحَابَاةِ ثُلُثُهَا وَقَدْ أَوْصَتْ فِي هَذَا الثُّلُثِ بِإِخْرَاجِ ثُلُثِهِ فَبَقِيَ لَهَا مِنَ الثُّلُثِ ثُلُثَاهُ وَذَلِكَ تُسْعَا الْمَالِ ثُمَّ وَرِثَ الزَّوْجُ خُمُسَ هَذَيْنِ التُّسْعَيْنِ وَذَلِكَ سَهْمَانِ مِنْ خمسة وأربعين سهما هي مَضْرُوبُ ثَلَاثَةٍ فِي ثَلَاثَةٍ فِي خَمْسَةٍ لِأَنَّ فِيهَا ثُلُثَ ثُلُثٍ وَخُمُسًا فَأَسْقِطْ هَذَيْنِ السَّهْمَيْنِ من عول هَذِهِ السِّهَامِ.

Seandainya masalahnya tetap seperti itu dan bagian warisan suami karena ‘aul adalah seperlima, lalu sang istri berwasiat agar sepertiga hartanya dikeluarkan, maka cara kerja dalam bab yang telah kami jelaskan sebelumnya adalah menambahkan ke dalam harta peninggalan suami, yaitu lima ratus dirham, sejumlah harta yang didapatkannya dari istrinya berupa mahar sepadan, yaitu seperlima dari sepertiga lima ratus, yakni enam puluh enam dirham dan sepertiga dirham. Maka jumlahnya menjadi lima ratus enam puluh enam dirham dan dua pertiga dirham. Dari jumlah itu, bagian istri karena muḥābāh adalah sepertiganya, dan ia telah berwasiat agar dari sepertiga itu dikeluarkan sepertiganya, sehingga yang tersisa untuknya dari sepertiga itu adalah dua pertiganya, yaitu dua per sembilan dari harta. Kemudian suami mewarisi seperlima dari dua per sembilan itu, yaitu dua bagian dari empat puluh lima bagian, hasil dari tiga dikali tiga dikali lima, karena di dalamnya terdapat sepertiga dari sepertiga dan seperlima. Maka gugurkan dua bagian itu dari ‘aul bagian-bagian tersebut.

تَبْقَى ثَلَاثَةٌ وَأَرْبَعُونَ دِرْهَمًا ثُمَّ اضْرِبِ التَّرِكَةَ وَهِيَ خَمْسُمِائَةٍ وَسِتَّةٌ وَسِتُّونَ دِرْهَمًا وَثُلُثَا دِرْهَمٍ فِي خَمْسَةَ عَشَرَ هِيَ مَخْرَجُ الثلث والخمس لأنك ضربت الثلاثة فِي خَمْسَةَ عَشَرَ، فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ كَانَ معك ثمانية آلاف وخمس مائة فاقسمها على ثلاثة وأربعين سهما يكن قسط السهم الواحد منها مائة درهم وتسعة وَتِسْعِينَ دِرْهَمًا وَتِسْعَةً وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنْ ثَلَاثَةٍ وأربعين جزءا من درهم وهو مَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ مِنَ الْمُحَابَاةِ.

Tersisa empat puluh tiga dirham. Kemudian kalikan harta warisan, yaitu lima ratus enam puluh enam dirham dan dua pertiga dirham, dengan lima belas, yaitu hasil persekutuan sepertiga dan seperlima, karena engkau mengalikan tiga dengan lima belas. Jika engkau telah melakukannya, maka jumlahnya menjadi delapan ribu lima ratus. Bagilah jumlah itu dengan empat puluh tiga bagian, maka bagian satu saham adalah seratus sembilan puluh sembilan dirham dan dua puluh sembilan bagian dari empat puluh tiga bagian dari satu dirham. Inilah yang menjadi bagian sepertiga dari muḥābāh.

فَإِذَا ضَمَمْتَهُ إلى صداق مثلها وهو خمس مائة صار جميع ما تملكه مِنَ الْأَلْفِ سِتَّمِائَةِ درهم وسبعة وتسعين دِرْهَمًا وَتِسْعَةٌ وَعِشْرُونَ جُزْءًا مِنْ ثَلَاثَةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنْ دِرْهَمٍ وَبَقِيَ لِلزَّوْجِ مِنَ الْأَلْفِ ثلثمائة درهم وَأَرْبَعَةَ عَشَرَ جُزْءًا مِنْ ثَلَاثَةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا من درهم، يَكُنْ بَاقِي تَرِكَتِهَا بَعْدَ إِخْرَاجِ الثلث أربع مائة درهم وخمسة وسبعين دِرْهَمًا وَخَمْسَةَ أَجْزَاءٍ مِنْ ثَلَاثَةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنْ دِرْهَمٍ يَرِثُ الزَّوْجُ خُمُسَهَا وَهُوَ ثَلَاثَةٌ وَتِسْعُونَ دِرْهَمًا وَجُزْءًا مِنْ ثَلَاثَةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنْ دِرْهَمٍ فَإِذَا ضَمَمْتَهُ إِلَى مَا بَقِيَ له من الألف وهو ثلثمائة دِرْهَمٍ وَدِرْهَمَانِ وَأَرْبَعَةَ عَشَرَ جُزْءًا صَارَ الْجَمِيعُ ثلثمائة وَخَمْسَةً وَتِسْعِينَ دِرْهَمًا وَخَمْسَةَ عَشَرَ جُزْءًا مِنْ ثلاثة وأربعين جزءا من درهم وهو مثلي ما خرج بالمحاباة، لأن الخارج بها مائة دِرْهَمٍ وَسَبْعَةٌ وَتِسْعُونَ دِرْهَمًا وَتِسْعَةٌ وَعِشْرُونَ جُزْءًا مِنْ ثَلَاثَةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنْ دِرْهَمٍ.

Jika engkau menambahkannya ke mahar sepadan, yaitu lima ratus, maka seluruh yang dimilikinya dari seribu adalah enam ratus sembilan puluh tujuh dirham dan dua puluh sembilan bagian dari empat puluh tiga bagian dari satu dirham. Sisa untuk suami dari seribu adalah tiga ratus empat belas dirham dan empat belas bagian dari empat puluh tiga bagian dari satu dirham. Maka sisa harta peninggalannya setelah dikeluarkan sepertiga adalah empat ratus tujuh puluh lima dirham dan lima bagian dari empat puluh tiga bagian dari satu dirham. Suami mewarisi seperlimanya, yaitu sembilan puluh tiga dirham dan satu bagian dari empat puluh tiga bagian dari satu dirham. Jika engkau menambahkannya ke sisa yang menjadi haknya dari seribu, yaitu tiga ratus dua dirham dan empat belas bagian, maka seluruhnya menjadi tiga ratus sembilan puluh lima dirham dan lima belas bagian dari empat puluh tiga bagian dari satu dirham. Jumlah ini dua kali lipat dari yang keluar karena muḥābāh, karena yang keluar karena muḥābāh adalah seratus sembilan puluh tujuh dirham dan dua puluh sembilan bagian dari empat puluh tiga bagian dari satu dirham.

وَلَوْ كَانَ الزَّوْجُ قَدْ أَوْصَى فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ بِإِخْرَاجِ ثُلُثِهِ رُدَّتْ وَصِيَّتُهُ لِأَنَّ ثُلُثَهُ مُسْتَحَقٌّ فِي مُحَابَاةِ مَرَضِهِ، وَالْعَطَايَا فِي الْمَرَضِ مُقَدَّمَةٌ عَلَى الْوَصَايَا بَعْدَ الْمَوْتِ.

Seandainya suami dalam masalah ini juga berwasiat agar sepertiga hartanya dikeluarkan, maka wasiatnya ditolak, karena sepertiganya sudah menjadi hak dalam muḥābāh pada masa sakitnya, dan pemberian pada masa sakit didahulukan atas wasiat setelah kematian.

فَصْلٌ آخَرُ مِنْهُ:

Bagian lain darinya:

فإذا أَعْتَقَ الْمُوصِي جَارِيَةً فِي مَرَضِهِ وَقِيمَتُهَا خَارِجَةٌ مِنْ ثُلُثِهِ ثُمَّ تَزَوَّجَهَا عَلَى صَدَاقٍ لَا يَعْجِزُ الْمَالُ عَنِ احْتِمَالِهِ كَانَ الْعِتْقُ نَافِذًا في الثلث والنكاح جائز النفوذ والعتق ولها والصداق من رأس المال إن لم يكن فِيهِ مُحَابَاةٌ وَإِنْ كَانَتْ فِيهِ مُحَابَاةٌ كَانَتْ فِي الثُّلُثِ وَلَا مِيرَاثَ لَهَا مِنْهُ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُجْمَعَ لِشَخْصٍ بَيْنَ الْمِيرَاثِ وَالْوَصِيَّةِ فَلَوْ وَرِثَتْ مُنِعَتِ الْوَصِيَّةُ وَإِذَا مُنِعَتِ الْوَصِيَّةُ بَطَلَ الْعِتْقُ وَإِذَا بَطَلَ الْعِتْقُ بَطَلَ النِّكَاحُ، وَإِذَا بَطَلَ النِّكَاحُ سَقَطَ الْمِيرَاثُ، فَلَمَّا كان توريثها مقضيا إِلَى إِبْطَالِ عِتْقِهَا وَمِيرَاثِهَا أَمْضَيْتُ الْوَصِيَّةَ بِالْعِتْقِ وَصَحَّ النِّكَاحُ وَأُسْقِطَ الْمِيرَاثُ.

Jika seorang yang berwasiat memerdekakan seorang budak perempuan dalam masa sakitnya dan nilainya tidak melebihi sepertiga hartanya, lalu ia menikahinya dengan mahar yang tidak memberatkan hartanya, maka pembebasan budak itu sah dalam sepertiga harta dan pernikahan pun sah, serta pembebasan dan mahar diambil dari harta pokok jika tidak ada muḥābāh di dalamnya. Namun jika terdapat muḥābāh, maka itu diambil dari sepertiga harta. Ia tidak berhak mewarisi darinya, karena tidak boleh seseorang menggabungkan antara warisan dan wasiat. Jika ia mewarisi, maka wasiatnya gugur. Jika wasiat gugur, maka pembebasan budak pun batal. Jika pembebasan batal, maka pernikahan pun batal. Jika pernikahan batal, maka warisan pun gugur. Maka, karena pewarisan itu berujung pada pembatalan pembebasan dan warisan, maka aku tetapkan wasiat pembebasan budak, pernikahan sah, dan warisan gugur.

وَلَوْ كَانَ هَذَا الْمُعْتِقُ لَا يَمْلِكُ غَيْرَ هَذِهِ الْأَمَةِ: عُتِقَ ثُلُثُهَا، وَرَقَّ ثُلُثَاهَا، وَبَطَلَ نِكَاحُهَا، لِأَجْلِ مَا بقي له من رقها فإن لم يجامعها فَلَا دَوْرَ فِيهَا وَقَدْ صَارَ الْعِتْقُ مُسْتَقِرًّا فِي ثُلُثِهَا، وَالرِّقُّ بَاقِيًا فِي ثُلُثَيْهَا، وَإِنْ وَطِئَهَا دَخَلَهَا دَوْرٌ لِأَجْلِ مَا اسْتَحَقَّتْهُ مِنْ مهر مثلها بالوطء. فلو كانت قيمتها مائة وَلَيْسَ لِلسَّيِّدِ غَيْرُهَا، وَمَهْرُ مِثْلِهَا خَمْسُونَ اسْتَحَقَّتْ مِنْهُ بِقَدْرِ مَا يُجْزِئُ مِنْ عِتْقِهَا، وَسَقَطَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَا بَقِيَ مِنْ رِقِّهَا فَيُعْتَقُ سبعاها ويرق لِلْوَرَثَةِ أَرْبَعَةُ أَسِبَاعِهَا، وَيُوقَفُ سُبُعُهَا، لِأَجْلِ مَا استحقته مِنْ سُبُعَيْ مَهْرِهَا.

Jika orang yang memerdekakan itu tidak memiliki budak perempuan selain budak ini, maka sepertiga dari dirinya merdeka, dua pertiganya tetap sebagai budak, dan pernikahannya batal, karena masih tersisa bagian perbudakan yang dimilikinya. Jika ia belum menggaulinya, maka tidak ada perputaran (dawr) pada dirinya, dan kemerdekaan telah tetap pada sepertiganya, sedangkan perbudakan masih ada pada dua pertiganya. Namun jika ia telah menggaulinya, maka terjadi perputaran (dawr) karena ia berhak mendapatkan mahar sepadan akibat hubungan tersebut. Jika nilai budak itu seratus dan tuannya tidak memiliki budak lain, dan mahar sepadannya lima puluh, maka ia berhak mendapatkan bagian dari tuannya sebesar yang cukup untuk memerdekakannya, dan gugur dari tuannya sebesar sisa perbudakannya. Maka, yang merdeka adalah tujuh per tujuh bagiannya dan yang menjadi budak untuk ahli waris adalah empat per tujuh bagiannya, dan satu per tujuhnya ditangguhkan, karena ia berhak atas dua per tujuh mahar sepadan dari kemerdekaannya.

وَوَجْهُ الْعَمَلِ فِيهِ: أَنْ تُجْعَلَ لِلْعِتْقِ سَهْمًا وَلِلْوَرَثَةِ سَهْمَيْنِ، لِيَكُونَ لَهُمْ مثلي ما أعتق، ولهم المثل نصف سهم لأن مهر المثل نصف قيمتها يكون ثلاثة أسهم ونصف فابسطها لمخرج النِّصْفِ يَكُنْ سَبْعَةَ أَسْهُمٍ فَاجْعَلْهَا مَقْسُومَةً عَلَى هَذِهِ السِّهَامِ السَّبْعَةِ سَهْمَانِ مِنْهَا لِلْعِتْقِ فَيُعْتَقُ سبعاها وذلك بثمانية وعشرين درهما وأربعة أسباع درهم، ورق أَرْبَعَةُ أَسِبَاعِهَا لِلْوَرَثَةِ. وَذَلِكَ سَبْعَةٌ وَخَمْسُونَ دِرْهَمًا وَسُبُعُ دِرْهَمٍ، وَهُوَ مِثْلَا مَا خَرَجَ بِالْعِتْقِ، ويوقف سبعاها، وَذَلِكَ أَرْبَعَةَ عَشَرَ دِرْهَمًا وَسُبُعَا دِرْهَمٍ، بِإِزَاءِ سبعي مهر مثلها الذي استحق بقدر حريتها، فإن بيع لها استرقه المشتري، وإن فداه الورثة استرقوه على أَرْبَعَةِ أَسْبَاعِهِمْ، وَإِنْ أَخَذَتْهُ بِحَقِّهَا عُتِقَ عَلَيْهَا بِالْمِلْكِ، فَإِنْ أَبْرَأَتِ السَّيِّدَ مِنْهُ، عُتِقَ عَلَيْهَا مع سبعيها وصار ثلث أسباعها حرا.

Adapun cara pelaksanaannya adalah: bagian untuk kemerdekaan satu, dan bagian untuk ahli waris dua, sehingga mereka mendapatkan dua kali lipat dari yang dimerdekakan, dan mereka juga mendapatkan setengah bagian karena mahar sepadan adalah setengah dari nilainya, sehingga menjadi tiga setengah bagian. Jika dijadikan dalam bentuk pecahan terkecil, maka menjadi tujuh bagian. Maka, bagilah nilai budak itu atas tujuh bagian ini: dua bagian untuk kemerdekaan, sehingga yang merdeka adalah dua per tujuhnya, yaitu dua puluh delapan dirham dan empat per tujuh dirham; empat per tujuhnya menjadi budak untuk ahli waris, yaitu lima puluh tujuh dirham dan satu per tujuh dirham, yang merupakan dua kali lipat dari bagian kemerdekaan; dan satu per tujuhnya ditangguhkan, yaitu empat belas dirham dan dua per tujuh dirham, sebagai ganti dua per tujuh mahar sepadan yang menjadi haknya sesuai kadar kemerdekaannya. Jika ia dijual, maka pembelinya memperbudaknya; jika ahli waris menebusnya, maka mereka memperbudaknya sesuai empat per tujuh bagian mereka; jika ia mengambilnya sesuai haknya, maka ia menjadi merdeka karena kepemilikan; jika ia membebaskan tuannya dari hak tersebut, maka ia menjadi merdeka bersama dua per tujuhnya, sehingga sepertiga dari tujuh bagiannya menjadi merdeka.

فلو كانت قيمتها مائة درهم فأعتقها، فتزوجها على صداق مائة درهم، وخلف معها مائتا دِرْهَمٍ، فَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا قَبْلَ مَوْتِهِ عُتِقَ جَمِيعُهَا، وَصَحَّ نِكَاحُهَا وَبَطَلَ صَدَاقُهَا، وَسَقَطَ مِيرَاثُهَا، وَاعْتَدَّتْ عِدَّةَ الْوَفَاةِ، وَأَمَّا نُفُوذُ عِتْقِهَا فَلِأَنَّهُ قَدْ حَصَلَ لِلْوَرَثَةِ مِائَتَا دِرْهَمٍ هِيَ مِثْلَا قِيمَتِهَا، وَأَمَّا صِحَّةُ نِكَاحِهَا: فَلِأَنَّهُ قَدْ عُتِقَ جَمِيعُهَا، وَأَمَّا سُقُوطُ مَهْرِهَا: فَلِأَنَّهَا لَوْ أَخَذَتْهُ لَعَجَزَتِ التَّرِكَةُ عَنْ جَمِيعِهَا وَعَجْزُهَا عَنْ جَمِيعِهَا يُوجِبُ بُطْلَانَ نِكَاحِهَا وَبُطْلَانُ نِكَاحِهَا يُوجِبُ سقوط مهرها، فصار إيجاب صداقها مقضيا إلى بطلان عِتْقِهَا وَنِكَاحِهَا وَصَدَاقِهَا. فَأُسْقِطَ الصَّدَاقُ لِيَصِحَّ الْعِتْقُ والنكاح، وأما سقوط الميراث: فلئلا يُجْمَعَ لَهَا بَيْنَ الْوَصِيَّةِ وَالْمِيرَاثِ.

Jika nilai budak itu seratus dirham, lalu ia memerdekakannya dan menikahinya dengan mahar seratus dirham, kemudian meninggalkan warisan dua ratus dirham, maka jika ia belum menggaulinya sebelum wafat, seluruh dirinya menjadi merdeka, pernikahannya sah, maharnya batal, hak warisnya gugur, dan ia menjalani masa iddah wafat. Adapun kemerdekaannya sah karena ahli waris telah mendapatkan dua ratus dirham yang merupakan dua kali lipat nilainya. Adapun sahnya pernikahan karena seluruh dirinya telah merdeka. Adapun gugurnya maharnya karena jika ia mengambilnya, maka harta peninggalan tidak cukup untuk seluruh dirinya, dan ketidakcukupan itu menyebabkan batalnya pernikahan, dan batalnya pernikahan menyebabkan gugurnya mahar. Maka, penetapan mahar baginya berujung pada batalnya kemerdekaan, pernikahan, dan maharnya. Maka maharnya digugurkan agar kemerdekaan dan pernikahan menjadi sah. Adapun gugurnya hak waris, agar tidak terkumpul baginya antara wasiat dan warisan.

وَأَمَّا عِدَّةُ الوفاة فلموته عنها وهي على زوجتيه، وَإِنْ كَانَ قَدْ دَخَلَ بِهَا فَقَدِ اسْتَحَقَّتْ بِالدُّخُولِ مَهْرًا، فَإِنْ أُبْرِأَتْ مِنْهُ بَعْدَ الْعِتْقِ فَقَدْ صَحَّ النِّكَاحُ، وَاعْتَدَّتْ عِدَّةَ الْوَفَاةِ، وَإِنْ طَالَبَتْ بِهِ كَانَ لَهَا لِاسْتِحْقَاقِهَا لَهُ بِالدُّخُولِ وصار دينا لها في التركة لعجز الثُّلُثُ عَنْ عِتْقِ جَمِيعِهَا. وَإِذَا عَجَزَ الثُّلُثُ عَنْ عِتْقِ جَمِيعِهَا رَقَّ مِنْهَا قَدْرُ مَا لَا يَحْتَمِلُهُ الثُّلُثُ وَإِذَا رَقَّ مِنْهَا شَيْءٌ بطل نكاحها ولم يلزمها عدة الوفاة، واستحقت حريتها من مَهْرَ الْمِثْلِ دُونَ الْمُسَمَّى، لِأَنَّ بُطْلَانَ النِّكَاحِ قَدْ أَسْقَطَ الْمُسَمَّى وَدَخَلَهَا دَوْرٌ.

Adapun masa iddah wafat, karena ia wafat dalam keadaan masih sebagai istrinya. Jika ia telah menggaulinya, maka ia berhak mendapatkan mahar karena hubungan tersebut. Jika ia membebaskan tuannya dari mahar itu setelah kemerdekaan, maka pernikahannya sah dan ia menjalani masa iddah wafat. Jika ia menuntut mahar tersebut, maka ia berhak mendapatkannya karena telah berhak atasnya melalui hubungan tersebut, dan menjadi utang baginya dalam harta warisan karena sepertiga harta tidak cukup untuk memerdekakan seluruh dirinya. Jika sepertiga harta tidak cukup untuk memerdekakan seluruh dirinya, maka bagian yang tidak tertampung oleh sepertiga harta tetap sebagai budak. Jika ada bagian yang masih menjadi budak, maka pernikahannya batal dan ia tidak wajib menjalani masa iddah wafat, dan ia berhak atas kemerdekaannya dari mahar sepadan, bukan dari mahar yang telah disebutkan, karena batalnya pernikahan telah menggugurkan mahar yang disebutkan dan terjadi perputaran (dawr) pada dirinya.

فَإِذَا كَانَ مَهْرُ مِثْلِهَا خَمْسِينَ دِرْهَمًا وَقِيمَتُهَا مِائَةُ دِرْهَمٍ وقد خلف معها مائتا درهم صارت تركته ثلثمائة دِرْهَمٍ فَقُسِّمَتْ عَلَى سَبْعَةِ أَسْهُمٍ لِأَنَّ لَهَا بِالْعِتْقِ سَهْمًا وَبِالْمَهْرِ نِصْفُ سَهْمٍ وَلِلْوَرَثَةِ سَهْمَانِ تَكُونُ ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ وَنِصْفًا فَإِذَا بَسَطْتَ كَانَتْ سَبْعَةَ أَسْهُمٍ فَيُعْتَقُ عَنْهَا بِسُبُعَيِ التَّرِكَةِ سِتَّةُ أسباعها وذلك بخمس وَثَمَانِينَ دِرْهَمًا وَخَمْسَةِ أَسْبَاعِ دِرْهَمٍ وَجُعِلَتْ لَهَا سِتَّةُ أَسْبَاعِ مَهْرِ مِثْلِهَا سُبُعُ التَّرِكَةِ وَذَلِكَ ثمانية وَأَرْبَعُونَ دِرْهَمًا وَسِتَّةُ أَسْبَاعِ دِرْهَمٍ وَجُعِلَتْ لِلْوَرَثَةِ أَرْبَعَةُ أَسْبَاعِ التَّرِكَةِ وَذَلِكَ مِائَةُ دِرْهَمٍ وَأَحَدٌ وَسَبْعُونَ دِرْهَمًا وَثَلَاثَةُ أَسْبَاعِ دِرْهَمٍ.

Jika mahar sepadannya adalah lima puluh dirham dan nilainya seratus dirham, lalu ia meninggalkan bersama wanita itu dua ratus dirham, maka harta peninggalannya menjadi tiga ratus dirham. Harta itu kemudian dibagi menjadi tujuh bagian, karena ia (wanita itu) mendapatkan satu bagian karena ‘itq (kemerdekaan), setengah bagian karena mahar, dan ahli waris mendapatkan dua bagian, sehingga jumlahnya menjadi tiga setengah bagian. Jika dijadikan pecahan yang sama, maka menjadi tujuh bagian. Maka, ia dimerdekakan dari harta peninggalan sebanyak dua per tujuh bagian, yaitu enam per tujuh bagian darinya, yakni delapan puluh lima dirham dan lima per tujuh dirham. Untuknya diberikan enam per tujuh mahar sepadannya, yaitu satu per tujuh dari harta peninggalan, yakni empat puluh delapan dirham dan enam per tujuh dirham. Untuk ahli waris diberikan empat per tujuh dari harta peninggalan, yakni seratus tujuh puluh satu dirham dan tiga per tujuh dirham.

وَقَدْ بَقِيَ مَعَهُمْ مِنَ الدَّرَاهِمِ مِائَةٌ وَسَبْعَةٌ وَخَمْسُونَ دِرْهَمًا وسبع درهم ورق لهم من المائة سبعها وذلك أربعة عشر درهما وسبعي درهم صار جميع ماله مِائَةَ دِرْهَمٍ وَأَحَدًا وَسَبْعِينَ دِرْهَمًا وَثَلَاثَةَ أَسْبَاعِ درهم وهو مثلا ما أعتق مِنْهَا.

Dan masih tersisa bersama mereka seratus lima puluh tujuh dirham dan tujuh per tujuh dirham. Dari seratus dirham, mereka mendapatkan sepertujuhnya, yaitu empat belas dirham dan dua per tujuh dirham. Maka seluruh hartanya menjadi seratus tujuh puluh satu dirham dan tiga per tujuh dirham, yang jumlahnya sama dengan bagian yang dimerdekakan darinya.

فَلَوْ كَانَتِ الْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا وَكَانَتِ الْمِائَتَا دِرْهَمٍ الَّتِي تَرَكَهَا السَّيِّدُ مِنْ كَسْبِهَا فَقَدْ صَارَ لَهَا فِي التَّرِكَةِ حَقَّانِ: أَحَدُهُمَا: مَا يستحقه مِنْ كَسْبِهَا بِقَدْرِ حُرِّيَّتِهَا. وَالثَّانِي: مَا تَسْتَحِقُّهُ مِنْ مَهْرِ مِثْلِهَا فَيُجْعَلُ لَهَا بِالْعِتْقِ سَهْمًا وَبِالْكَسْبِ سَهْمَيْنِ لِأَنَّهَا كَسَبَتْ مِثْلَيْ قِيمَتِهَا وَيُجْعَلُ لَهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ نِصْفُ سَهْمٍ لِأَنَّ مَهْرَ مثلها مثل نصف قيمتها وبجعل لِلْوَرَثَةِ سَهْمَيْنِ وَذَلِكَ مِثْلَا سَهْمِ عِتْقِهَا يَصِيرُ الجميع خمسة أسهم ونصفا فاضعف لِمَخْرَجِ النِّصْفِ مِنْهَا تَكُنْ أَحَدَ عَشَرَ سَهْمًا، مِنْهَا لِلْعِتْقِ سَهْمَانِ وَلِلْكَسْبِ أَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ وَلِلْمَهْرِ سَهْمٌ وَلِلْوَرَثَةِ أَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ ثُمَّ اجْمَعْ بَيْنَ سهم الْعِتْقِ وَسِهَامِ الْكَسْبِ الْأَرْبَعَةِ تَكُنْ سِتَّةً وَهِيَ قَدْرُ مَا يُعْتَقُ مِنْهَا فَيُعْتَقُ مِنْهَا سِتَّةُ أَسْهُمٍ مِنْ أَحَدَ عَشَرَ سَهْمًا وَقِيمَةُ ذَلِكَ أَرْبَعَةٌ وَخَمْسُونَ دِرْهَمًا وَسِتَّةُ أَجْزَاءٍ مِنْ أَحَدَ عشر جزءا من درهم ويملك بِذَلِكَ سِتَّةَ أَسْهُمٍ مِنْ أَحَدَ عَشَرَ سَهْمًا مِنْ كَسْبِهَا وَذَلِكَ مِائَةُ دِرْهَمٍ وَتِسْعَةُ دَرَاهِمَ وَجُزْءٌ مِنْ أَحَدَ عَشَرَ جُزْءًا مِنْ دِرْهَمٍ وَتَسْتَحِقُّ بِذَلِكَ سِتَّةَ أَجْزَاءٍ مِنْ أَحَدَ عَشَرَ سَهْمًا مِنْ مَهْرِ مِثْلِهَا وَذَلِكَ سَبْعَةٌ وَعِشْرُونَ دِرْهَمًا وَثَلَاثَةُ أَجْزَاءٍ مِنْ أَحَدَ عَشَرَ جُزْءًا مِنْ دِرْهَمٍ وَيَبْقَى مَعَ الْوَرَثَةِ مِنَ الْكَسْبِ ثَلَاثَةٌ وَسِتُّونَ دِرْهَمًا وَسَبْعَةُ أَجْزَاءٍ مِنْ أَحَدَ عَشَرَ جُزْءًا مِنْ دِرْهَمٍ وَقَدْ رَقَّ لَهُمْ مِنْ رَقَبَتْهَا خَمْسَةُ أَسْهُمٍ مِنْ أَحَدَ عَشَرَ سَهْمًا وَقِيمَةُ ذَلِكَ خَمْسَةٌ وَأَرْبَعُونَ دِرْهَمًا وَخَمْسَةُ أَجْزَاءٍ مِنْ أَحَدَ عَشَرَ جُزْءًا مِنْ دِرْهَمٍ يَصِيرُ جَمِيعُ مَا بِأَيْدِيهِمْ مائة وَتِسْعَةَ دَرَاهِمَ وَجُزْءًا مِنْ أَحَدَ عَشَرَ جُزْءًا من درهم وذلك مِثْلَا مَا عُتِقَ مِنْهَا، لِأَنَّ الَّذِي عُتِقَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ وَخَمْسُونَ دِرْهَمًا وَسِتَّةُ أَجْزَاءٍ مِنْ أَحَدَ عَشَرَ جُزْءًا مِنْ دِرْهَمٍ.

Seandainya kasusnya tetap seperti itu, namun dua ratus dirham yang ditinggalkan tuan berasal dari hasil kerja wanita itu, maka ia memiliki dua hak dalam harta peninggalan: Pertama, hak yang ia peroleh dari hasil kerjanya sesuai kadar kemerdekaannya. Kedua, hak yang ia peroleh dari mahar sepadannya. Maka, untuknya diberikan satu bagian karena ‘itq, dua bagian karena hasil kerja (karena ia memperoleh hasil kerja sebesar dua kali nilai dirinya), dan setengah bagian karena mahar sepadan (karena mahar sepadannya sama dengan setengah dari nilainya), serta untuk ahli waris diberikan dua bagian, yang sama dengan dua kali bagian ‘itq-nya. Maka seluruhnya menjadi lima setengah bagian. Jika dijadikan pecahan yang sama agar setengahnya bisa dibagi, maka menjadi sebelas bagian: dua bagian untuk ‘itq, empat bagian untuk hasil kerja, satu bagian untuk mahar, dan empat bagian untuk ahli waris. Kemudian, jumlahkan bagian ‘itq dan empat bagian hasil kerja, maka menjadi enam bagian, itulah kadar yang dimerdekakan darinya. Maka, dimerdekakan darinya enam bagian dari sebelas bagian, dan nilainya adalah empat puluh empat dirham dan enam per sebelas bagian dari satu dirham. Dengan demikian, ia memiliki enam bagian dari sebelas bagian hasil kerjanya, yaitu seratus sembilan dirham dan satu per sebelas bagian dari satu dirham. Ia juga berhak atas enam bagian dari sebelas bagian mahar sepadannya, yaitu dua puluh tujuh dirham dan tiga per sebelas bagian dari satu dirham. Sisa hasil kerja yang dimiliki ahli waris adalah tiga puluh enam dirham dan tujuh per sebelas bagian dari satu dirham. Mereka juga memiliki dari tubuhnya lima bagian dari sebelas bagian, nilainya adalah empat puluh lima dirham dan lima per sebelas bagian dari satu dirham. Maka seluruh yang ada di tangan mereka adalah seratus sembilan dirham dan satu per sebelas bagian dari satu dirham, yang sama dengan bagian yang dimerdekakan darinya, karena yang dimerdekakan darinya adalah empat puluh empat dirham dan enam per sebelas bagian dari satu dirham.

وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.

Dan Allah lebih mengetahui mana yang benar.

فصل:

Fasal:

وَإِذَا أَعْتَقَ الْمَرِيضُ عَبْدًا هُوَ بِقَدْرِ ثُلُثِهِ، ثُمَّ أَعْتَقَ بَعْدَهُ عَبْدًا آخَرَ هُوَ بِقَدْرِ ثُلُثِهِ: نَفَذَ عِتْقُ الْأَوَّلِ، وَرَقَّ الثَّانِي، مِنْ غَيْرِ قُرْعَةٍ.

Apabila orang sakit memerdekakan seorang budak yang nilainya sepertiga hartanya, kemudian setelah itu ia memerdekakan budak lain yang juga nilainya sepertiga hartanya, maka kemerdekaan budak yang pertama sah, sedangkan budak yang kedua tetap menjadi budak, tanpa diundi.

وَقَالَ أبو حنيفة رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ:

Dan Abū Ḥanīfah raḥimahullāh berkata:

يَكُونُ الثُّلُثُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ، وَيُعْتَقُ مِنْ كل واحد منهما نصفه. اهـ.

Sepertiga harta itu dibagi rata antara keduanya, dan masing-masing dari keduanya dimerdekakan setengahnya. Selesai.

وَهَذَا فَاسِدٌ: لِأَنَّ الْأَوَّلَ قَدِ اسْتَوْعَبَ الثُّلُثَ كُلَّهُ.

Ini tidak sah, karena yang pertama telah mengambil sepertiga harta seluruhnya.

فَأَمَّا إِذَا أَعْتَقَهُمَا مَعًا بِلَفْظَةٍ وَاحِدَةٍ، وَهُمَا ثُلُثَا مَالِهِ، أُعْتِقَ أَحَدُهُمَا بِالْقُرْعَةِ تَكْمِيلًا لِلْعِتْقِ فِي أَحَدِهِمَا. فَلَوِ اسْتَحَقَّ أَحَدُهُمَا، تَعَيَّنَ العتق في الثاني مِنْهُمَا، وَبَطَلَتِ الْقُرْعَةُ.

Adapun jika ia memerdekakan keduanya sekaligus dengan satu lafaz, padahal keduanya adalah dua pertiga dari hartanya, maka salah satu dari keduanya dimerdekakan melalui undian untuk menyempurnakan pembebasan pada salah satu dari mereka. Jika salah satu dari keduanya ternyata tidak sah (karena ada cacat kepemilikan), maka yang lainlah yang pasti merdeka, dan undian menjadi batal.

وَلَوْ أَعْتَقَ عَبْدًا هُوَ قَدْرُ ثُلُثِهِ، فَاسْتَحَقَّ نِصْفَهُ، لَمْ يَبْطُلِ الْعِتْقُ فِي النِّصْفِ الْمُسْتَحَقِّ، وَكَانَ لِمُسْتَحِقِّهِ قِيمَتُهُ، وَكَانَ كَشَرِيكٍ أَعْتَقَ حِصَّتَهُ فِي عَبْدٍ وَهُوَ مُوسِرٌ.

Jika seseorang memerdekakan seorang budak yang nilainya sepertiga hartanya, lalu setengah dari budak itu ternyata bukan miliknya, maka kemerdekaan pada setengah yang bukan miliknya tidak batal, dan pemilik sah dari setengah itu berhak mendapatkan nilainya, dan kasus ini seperti seorang sekutu yang memerdekakan bagiannya dalam seorang budak sementara ia mampu membayar.

وَخَالَفَ اسْتِحْقَاقَ أَحَدِ الْعَبْدَيْنِ.

Hal ini berbeda dengan kasus salah satu dari dua budak yang ternyata bukan miliknya.

وَلَوْ دَبَّرَ عَبْدًا هُوَ قَدْرُ ثُلُثِهِ، فَاسْتَحَقَّ نِصْفَهُ، بَطَلَ فِيهِ التَّدْبِيرُ، وَلَا تَقْوِيمَ بِخِلَافِ الْمُعْتِقِ، لِأَنَّ مَنْ دَبَّرَ حِصَّتَهُ مِنْ عَبْدٍ لَمْ يُقَوَّمْ عَلَيْهِ، وَإِنْ مَاتَ مُوسِرًا، لِأَنَّهُ بَعْدَ الْمَوْتِ مُعْسِرٌ.

Jika seseorang mentadbir seorang budak yang nilainya sepertiga hartanya, lalu setengah dari budak itu ternyata bukan miliknya, maka tadbir pada bagian itu batal, dan tidak ada kewajiban menaksir nilai (untuk membayar), berbeda dengan kasus memerdekakan, karena siapa yang mentadbir bagiannya dari seorang budak tidak wajib menaksir nilainya, sekalipun ia meninggal dalam keadaan mampu, sebab setelah kematian ia dianggap tidak mampu.

وَلَوْ قَالَ: إِذَا أَعْتَقْتُ سَالِمًا، فَغَانِمٌ حُرٌّ، ثُمَّ قَالَ يَا سَالِمُ أَنْتَ حُرٌّ، فَإِنْ خَرَجَ سَالِمٌ وَغَانِمٌ مِنْ ثُلُثِهِ، عُتِقَا جَمِيعًا، وَكَانَ عِتْقُ سَالِمٍ بِالْمُبَاشَرَةِ، وَعِتْقُ غَانِمٍ بِالصِّفَةِ.

Jika seseorang berkata: “Jika aku memerdekakan Salim, maka Ghanim juga merdeka,” lalu ia berkata, “Wahai Salim, engkau merdeka,” maka jika Salim dan Ghanim nilainya cukup dari sepertiga hartanya, keduanya merdeka seluruhnya; kemerdekaan Salim terjadi secara langsung, sedangkan kemerdekaan Ghanim terjadi karena sifat (syarat).

وَإِنْ خَرَجَ أَحَدُهُمَا مِنَ الثُّلُثِ دُونَ الْآخَرِ: عُتِقَ سَالِمٌ الْمُنْجَزُ عِتْقُهُ بِالْمُبَاشَرَةِ دُونَ غَانِمٍ المعلق عتقه بالصفة، لأن سالم يَعْتِقْ سَالِمٌ، لَمْ تَكْمُلِ الصِّفَةُ الَّتِي عُلِّقَ بِهَا عِتْقُ غَانِمٍ. فَلِذَلِكَ قُدِّمَ عِتْقُ سَالِمٍ عَلَى غَانِمٍ.

Jika hanya salah satu dari keduanya yang nilainya cukup dari sepertiga harta, maka Salim yang kemerdekaannya langsunglah yang merdeka, sedangkan Ghanim yang kemerdekaannya tergantung pada sifat (syarat) tidak merdeka, karena Salim telah merdeka, maka sifat yang menjadi syarat kemerdekaan Ghanim belum sempurna. Oleh karena itu, kemerdekaan Salim didahulukan atas Ghanim.

وَلَوْ كَانَ قَالَ: إِذَا أَعْتَقْتُ سالما فغانم في حال عتق سالم حر، ثُمَّ أَعْتَقَ سَالِمًا، وَالثُّلُثُ يَحْتَمِلُ أَحَدَهُمَا، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika seseorang berkata: “Jika aku memerdekakan Salim, maka Ghanim pada saat kemerdekaan Salim juga merdeka,” lalu ia memerdekakan Salim, dan sepertiga hartanya hanya cukup untuk salah satu dari mereka, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُمَا على سواء، كما لو أعتقهما معا، لأنه جَعَلَ عِتْقَ الصِّفَةِ، فِي حَالِ عِتْقِ الْمُبَاشَرَةِ، وبخلاف مَا تَقَدَّمَ، فَيُعْتَقُ أَحَدُهُمَا بِالْقُرْعَةِ، وَلَا يُقَدَّمُ عِتْقُ الْمُبَاشَرَةِ عَلَى عِتْقِ الصِّفَةِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Ibn Surayj, bahwa keduanya sama, seperti jika ia memerdekakan keduanya sekaligus, karena ia menjadikan kemerdekaan dengan sifat pada saat kemerdekaan langsung, berbeda dengan kasus sebelumnya, sehingga salah satu dari mereka dimerdekakan dengan undian, dan kemerdekaan langsung tidak didahulukan atas kemerdekaan dengan sifat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ – أن يُقَدَّمُ عِتْقُ سَالِمٍ، الْمُعْتَقِ بِالْمُبَاشَرَةِ، عَلَى عِتْقِ غَانِمٍ الْمُعْتَقِ بِالصِّفَةِ، لِأَنَّ عِتْقَ الْمُبَاشَرَةِ، أَصْلٌ وَعِتْقَ الصِّفَةِ فَرْعٌ، فَكَانَ حُكْمُ الْأَصْلِ، أَقْوَى مِنْ حُكْمِ الْفَرْعِ، فَسَوَّى بَيْنَ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ، وَالَّتِي تَقَدَّمَتْ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Hamid al-Isfarayini, bahwa kemerdekaan Salim yang dimerdekakan secara langsung didahulukan atas kemerdekaan Ghanim yang dimerdekakan dengan sifat, karena kemerdekaan langsung adalah pokok, sedangkan kemerdekaan dengan sifat adalah cabang, sehingga hukum pokok lebih kuat daripada hukum cabang, maka ia menyamakan antara masalah ini dan masalah yang telah lalu.

وَلَوْ قَالَ لِعَبْدِهِ، يَا سَالِمُ إِذَا تَزَوَّجْتُ فُلَانَةً، فَأَنْتَ حُرٌّ، ثُمَّ تَزَوَّجَ فُلَانَةَ عَلَى صَدَاقٍ أَلْفٍ، ومهر مثلها خمس مائة، وقيمة سالم خمس مائة، وثلث ماله خمس مائة دِرْهَمٍ، فَإِنْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ وَارِثَةً، بَطَلَتِ الْمُحَابَاةُ فِي صَدَاقِهَا، لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ لَا تَصِحُّ لِوَارِثٍ، وَعَتَقَ سَالِمٌ لِأَنَّهُ بِقَدْرِ الثُّلُثِ.

Jika seseorang berkata kepada budaknya, “Wahai Salim, jika aku menikahi Fulanah, maka engkau merdeka,” lalu ia menikahi Fulanah dengan mahar seribu, sedangkan mahar sepadannya lima ratus, nilai Salim lima ratus, dan sepertiga hartanya lima ratus dirham, maka jika istri tersebut adalah ahli waris, kelebihan mahar dalam akadnya batal karena dianggap wasiat yang tidak sah untuk ahli waris, dan Salim merdeka karena nilainya sesuai sepertiga harta.

وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ وَارِثَةٍ كَانَتْ أَحَقَّ بِالثُّلُثِ، فِي مُحَابَاةِ صَدَاقِهَا مِنَ الْعِتْقِ، وَرَقَّ سَالِمٌ، لِأَنَّ صِفَةَ عِتْقِهِ، تَقْدُمُ النِّكَاحَ، فَصَارَتِ الْمُحَابَاةُ فِيهِ أَسْبَقَ من العتق.

Jika istri tersebut bukan ahli waris, maka ia lebih berhak atas sepertiga harta dalam kelebihan mahar daripada kemerdekaan, dan Salim tetap menjadi budak, karena sifat kemerdekaannya mendahului pernikahan, sehingga kelebihan mahar lebih dahulu daripada kemerdekaan.

ولو قال: إذا تزوجت فلانة أنت حُرٌّ فِي حَالِ تَزَوُّجِي لَهَا: فَإِنْ وَرِثَتِ الزَّوْجَةُ: عُتِقَ سَالِمٌ، وَإِنْ لَمْ تَرِثْ فَعَلَى قولي ابن سريج وأبي حامد جميعا، يكون سَهْمًا لأنه مثل قيمة العبد وللورثة سهمين، ثم اجمع السهام تكن أربعة، وتقسم التركة عليها، وهي ثلثمائة درهم، يكن قسط كل سهم خمسة وسبعين درهما، وهو سهم العتق، فأعتق منه بخمسة وسبعين درهما، تكن ثلاثة أرباعه، فيصير ثلاثة أرباعه حرا، ويأخذ من التركة ثلاثة أرباع أرش جنايته، وذلك خمس وسبعون درهما، ويبقى مع الورثة مائة وخمسة وعشرين درهما وربع العبد بخمسة وعشرين درهما وهو مثلا ما خرج بالعتق.

Jika seseorang berkata: “Jika aku menikahi Fulanah, engkau merdeka pada saat aku menikahinya,” maka jika istri tersebut menjadi ahli waris, Salim merdeka. Jika tidak menjadi ahli waris, menurut pendapat Ibn Surayj dan Abu Hamid, maka menjadi satu bagian karena nilainya sama dengan nilai budak, dan untuk ahli waris dua bagian. Kemudian jumlahkan bagian-bagian itu menjadi empat, lalu harta warisan dibagi kepada bagian-bagian itu, yaitu tiga ratus dirham, maka bagian setiap bagian adalah tujuh puluh lima dirham, yaitu bagian kemerdekaan. Maka Salim dimerdekakan dari tujuh puluh lima dirham, yaitu tiga perempatnya, sehingga tiga perempatnya menjadi merdeka, dan dari harta warisan diambil tiga perempat dari diyat (ganti rugi) kejahatannya, yaitu tujuh puluh lima dirham, dan sisanya bersama ahli waris seratus dua puluh lima dirham dan seperempat budak senilai dua puluh lima dirham, yang sama dengan bagian yang keluar karena kemerdekaan.

فلو كانت المسألة بحالها وكان أرش الجناية ثلاثمائة درهم، جعلت للعتق سهما، وللأرش ثلاثة أسهم، لأنه ثلاثة أمثال قيمة العبد، وللورثة سهمين يكن الجميع ستة أسهم، ثم قسمت التركة، وهي ثلاثمائة درهم، على ستة أسهم تكن حصة كل سهم خمسين درهما، وهو سهم العتق فاعتق منه بالخمسين درهما، تكن نصفه، فيصير نصفه حرا، ونصفه رقا، ونأخذ من التركة نصف أرش جنايته وذلك مائة درهم وخمسون درهما، ويبقى مع الورثة خمسون درهما ونصف العبد خمسين درهما، يصير الجميع مائة درهم، وذلك مثلي ما خرج بالعتق. والله أعلم.

Seandainya permasalahan tetap seperti semula dan diyat (ganti rugi) atas luka tersebut sebesar tiga ratus dirham, maka untuk pembebasan budak diberikan satu bagian, untuk diyat tiga bagian—karena diyat itu tiga kali lipat nilai budak—dan untuk para ahli waris dua bagian, sehingga totalnya menjadi enam bagian. Kemudian harta warisan, yaitu tiga ratus dirham, dibagi atas enam bagian, sehingga setiap bagian mendapat lima puluh dirham. Bagian pembebasan budak adalah lima puluh dirham, maka dibebaskan dari budak itu sebesar lima puluh dirham, yaitu setengahnya, sehingga setengahnya menjadi merdeka dan setengahnya tetap sebagai budak. Dari harta warisan diambil setengah diyatnya, yaitu seratus lima puluh dirham, dan sisanya bersama ahli waris adalah lima puluh dirham serta setengah budak senilai lima puluh dirham, sehingga semuanya menjadi seratus dirham, yaitu dua kali lipat dari yang keluar untuk pembebasan budak. Allah Maha Mengetahui.

الثُّلُثُ فِي الْمُحَابَاةِ وَالْعِتْقُ بِالسَّوِيَّةِ، وَلَا يُقَدَّمُ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ، لِأَنَّ صِفَةَ الْعِتْقِ، وُجُودُ النِّكَاحِ، وَالنِّكَاحُ قَدْ كَمُلَ، وَإِنْ بَطَلَتْ بَعْضُ مُحَابَاتِهِ. وَلَيْسَ كَالْعِتْقِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Sepertiga (harta) dalam muḥābāh (pemberian melebihi bagian waris) dan pembebasan budak dibagi secara merata, dan tidak didahulukan salah satunya atas yang lain, karena sifat pembebasan budak adalah adanya pernikahan, dan pernikahan telah sempurna, meskipun sebagian muḥābāh-nya batal. Ini tidak sama dengan pembebasan budak. Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ مِنْهُ مُتَعَلِّقٌ بِالدَّوْرِ

Fasal: Bagian yang berkaitan dengan perputaran (dawr).

وَإِذَا أَعْتَقَ الْمَرِيضُ عَبْدًا قِيمَتُهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ، لَا مَالَ لَهُ سِوَاهُ، عَتَقَ ثُلُثُهُ وَرَقَّ ثُلُثَاهُ.

Apabila seseorang yang sakit membebaskan seorang budak yang nilainya seratus dirham, dan ia tidak memiliki harta selain itu, maka yang merdeka adalah sepertiganya dan dua pertiganya tetap sebagai budak.

فَإِنْ أَجَازَ الْوَرَثَةُ عِتْقَ ثُلُثَيْهِ، فَإِنْ قِيلَ إِنَّ إِجَازَتَهُمْ تَنْفِيذٌ وَإِمْضَاءٌ، لَمْ يَحْتَجِ الْوَارِثُ مَعَ الْإِجَازَةِ، أَنْ يَتَلَفَّظَ بِالْعِتْقِ، وَكَانَ وَلَاءُ جَمِيعِهِ لِلْمُعْتِقِ.

Jika para ahli waris mengizinkan pembebasan dua pertiganya, maka jika dikatakan bahwa izin mereka adalah pelaksanaan dan pengesahan, maka ahli waris tidak perlu mengucapkan pembebasan budak bersamaan dengan izin tersebut, dan seluruh hak wala’ (loyalitas) menjadi milik orang yang membebaskan.

وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ إِجَازَتَهُمُ ابْتِدَاءُ عَطِيَّةٍ مِنْهُمْ، لَمْ يُعْتَقْ بِالْإِجَازَةِ إِلَّا أَنْ يَتَلَفَّظَ بِعِتْقِهِ، أَوْ يَنْوِيَ بِالْإِجَازَةِ الْعِتْقَ. لِأَنَّ الْإِجَازَةَ كِنَايَةٌ فِي الْعِتْقِ. ثُمَّ قَدْ صَارَ جَمِيعُهُ حُرًّا، وَوَلَاءُ ثُلُثِهِ لِلْمُعْتِقِ الْمَيِّتِ، وَفِي وَلَاءِ بَاقِي ثُلُثَيْهِ. وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ الْإِصْطَخْرِيِّ: لِلْوَارِثِ، لِأَنَّهُ تَحَرَّرَ بعتقه.

Namun jika dikatakan bahwa izin mereka merupakan permulaan pemberian dari mereka, maka tidak sah pembebasan budak hanya dengan izin, kecuali jika mereka mengucapkan pembebasan atau meniatkan pembebasan dengan izin tersebut. Karena izin itu merupakan kinayah (ungkapan tidak langsung) dalam pembebasan budak. Kemudian seluruh budak itu menjadi merdeka, dan hak wala’ sepertiganya untuk orang yang membebaskan yang telah wafat, sedangkan untuk hak wala’ dua pertiganya terdapat dua pendapat: salah satunya, yaitu pendapat al-Iṣṭakhrī, adalah untuk ahli waris, karena budak itu merdeka dengan pembebasan mereka.

والثاني: وهو قول أبي الحسن الكرخي: أَنَّهُ لِلْمُعْتِقِ الْمَيِّتِ، تَبَعًا لِلثُّلُثِ، لِأَنَّ الْوارثَ نَابَ فِيهِ عَنِ الْمَوْرُوثِ، الْمُعْتِقِ، وَصَارَ كَمَنْ أَعْتَقَ عَبْدَهُ عَنْ غَيْرِهِ بِأَمْرِهِ فَإِنَّ وَلَاءَهُ يكون للمعتق عنه دون المالك.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abū al-Ḥasan al-Karkhī, bahwa hak wala’ itu untuk orang yang membebaskan yang telah wafat, mengikuti sepertiga bagian, karena ahli waris mewakili pewaris yang membebaskan, dan menjadi seperti orang yang membebaskan budak milik orang lain atas perintahnya, maka hak wala’-nya menjadi milik orang yang diwakili, bukan pemilik budak.

فَإِذَا أَعْتَقَ فِي مَرَضِهِ عَبْدًا قِيمَتُهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ، وَخَلَّفَ سِوَى الْعَبْدِ مِائَةَ دِرْهَمٍ: عُتِقَ ثُلُثَا الْعَبْدِ وَذَلِكَ ثُلُثُ التَّرِكَةِ، لِأَنَّ التَّرِكَةَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَثُلُثَهَا سِتَّةٌ وَسِتُّونَ دِرْهَمًا وَثُلُثَانِ، وَذَلِكَ قِيمَةُ ثُلُثَيِ الْعَبْدِ.

Apabila seseorang membebaskan budak dalam keadaan sakit yang nilainya seratus dirham, dan ia meninggalkan selain budak itu seratus dirham, maka yang merdeka adalah dua pertiga budak tersebut, dan itu adalah sepertiga dari harta warisan, karena harta warisan berjumlah dua ratus dirham dan sepertiganya adalah enam puluh enam dirham dan dua pertiga, dan itu adalah nilai dua pertiga budak.

فَلَوْ خَلَّفَ سِوَى الْعَبْدِ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ عُتِقَ جَمِيعُهُ لِخُرُوجِهِ مِنْ ثُلُثِ التَّرِكَةِ.

Jika ia meninggalkan selain budak itu dua ratus dirham, maka seluruh budak itu merdeka karena nilainya tidak melebihi sepertiga harta warisan.

فَلَوْ كَانَ السَّيِّدُ وَالْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا قَدْ جَنَى عَلَى الْعَبْدِ بَعْدَ عِتْقِهِ جِنَايَةً أَرْشُهَا مِائَةُ دِرْهَمٍ: قِيلَ لِلْعَبْدِ إِنْ عَفَوْتَ عَنْ أَرْشِ الْجِنَايَةِ نَفَذَ عِتْقُكَ لِخُرُوجِ قِيمَتِكَ مِنَ الثلث وإن لم تعف عجز جميع الثلث عن قِيمَتِكَ فَرق مِنْكَ قَدْرُ مَا عَجَزَ الثُّلُثُ عَنْهُ وَسَقَطَ مِنْ أَرْشِ الْجِنَايَةِ بِقِسْطِهِ وَكَانَ لَكَ مِنَ الْأَرْشِ بِقَدْرِ مَا عتقَ مِنْكَ وصار فِيكَ دَوْرٌ، وَإِذَا كَانَ هَكَذَا فَبَابُ الْعَمَلِ فيه أن تجعل للعتق سهما وللأرش سهمين.

Jika tuan dan permasalahan tetap seperti semula, kemudian tuan melakukan tindak pidana terhadap budak setelah dimerdekakan dengan diyat seratus dirham, maka dikatakan kepada budak: Jika engkau memaafkan diyat tersebut, maka pembebasanmu sah karena nilaimu telah keluar dari sepertiga harta. Jika tidak memaafkan, maka seluruh sepertiga harta tidak cukup untuk menutupi nilaimu, maka dimerdekakan darimu sebesar yang tidak tertutupi oleh sepertiga harta, dan bagian diyat yang sebanding gugur, dan engkau berhak atas diyat sesuai dengan bagian yang telah dimerdekakan darimu, sehingga terjadi perputaran (dawr) dalam dirimu. Dalam kasus seperti ini, cara penyelesaiannya adalah dengan memberikan satu bagian untuk pembebasan budak dan dua bagian untuk diyat.

فَصْلٌ آخَرُ مِنْهُ:

Fasal lain darinya:

وَإِذَا أَعْتَقَ الْمَرِيضُ عَبْدًا قِيمَتُهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ وَلَا مَالَ لَهُ سِوَاهُ فَكَسَبَ الْعَبْدُ فِي حَيَاةِ سَيِّدِهِ مِائَةَ دِرْهَمٍ فكسب لنفسه عَلَى حُرِّيَّتِهِ وَرِقِّهِ فَمَا قَابَلَ حُرِّيَّتَهُ فَهُوَ لَهُ غَيْرُ مَضْمُومٍ إِلَى التَّرِكَةِ وَلَا مَحْسُوبٍ فِي الثُّلُثِ وَمَا قَابَلَ رِقَّهُ فَهُوَ لِلسَّيِّدِ مضموم إلى تركته فوائد فِي ثُلُثِهِ فَيَصِيرُ بِالْكَسْبِ دَوْرٌ فِي الْعِتْقِ وقدر الدائر السدس لأنه لو لم يكتسب شَيْئًا لَعُتِقَ ثُلُثُهُ وَإِذَا كَسَبَ مِثْلَ قِيمَتِهِ عُتِقَ نِصْفُهُ فَصَارَ الزَّائِدُ بِكَسْبِهِ فِي الْعِتْقِ بقدر سدسه وبابه أن نجعل للعتق سهما وللكسب سهما وللورثة سهمين تصير أربعة أسهم فاقسم العبد عليها فاعتق منه بسهمين منها وهو سهم المعتق وسهم الكسب فَيُعْتَقُ نِصْفُهُ بِخَمْسِينَ دِرْهَمًا يَمْلِكُ بِهِ نِصْفَ كَسْبِهِ وَهُوَ خَمْسُونَ دِرْهَمًا يَصِيرُ مَعَهُمْ مِنْ رَقَبَتِهِ وَكَسْبِهِ مِائَةُ دِرْهَمٍ هِيَ مِثْلَا مَا خرج بالعتق وإن قِيمَتِهِ وَجَعَلْتَ لِلْوَرَثَةِ سَهْمَيْنِ تَكُنْ خَمْسَةَ أَسْهُمٍ يقسم العبد عليها فيعتق منه ثلاثة أَسْهُمٍ هِيَ سَهْمُ الْعِتْقِ وَسَهْمَا الْكَسْبِ ثَلَاثَةُ أَخْمَاسِهِ بِسِتِّينَ دِرْهَمًا وَيَمْلِكُ بِهِ ثَلَاثَةَ أَخْمَاسِ كسبه مائة وعشرون درهما ويزيد لِلْوَرَثَةِ خُمُسَاهُ بِأَرْبَعِينَ دِرْهَمًا وَيَبْقَى لَهُمْ خُمُسَا كَسْبِهِ ثَمَانُونَ دِرْهَمًا وَذَلِكَ مِائَةٌ وَعِشْرُونَ دِرْهَمًا هي مثلا ما اعتق منه وإن شئت ضممت للكسب وَهُوَ مِائَتَا دِرْهَمٍ إِلَى قِيمَةِ الْعَبْدِ وَهِيَ مائة درهم تكن ثلثمائة دِرْهَمٍ ثُمَّ قَسَّمْتَهَا عَلَى خَمْسَةِ أَسْهُمٍ يَكُنْ قِسْطُ كُلِّ سَهْمٍ سِتِّينَ دِرْهَمًا فَيُعْتَقُ مِنْهُ بِقَدْرِ مَا خَرَجَ بِهِ السَّهْمُ الْوَاحِدُ وَهُوَ ثلاثة أخماسه وتتبعه ثلاثة أخماس كسبه فيزيد خمساه وتتبعه خُمُسَا كَسْبِهِ وَلَوْ كَانَ كَسْبُهُ خَمْسِينَ دِرْهَمًا جَعَلْتَ لَهُ بِالْعِتْقِ سَهْمًا وَبِالْكَسْبِ نِصْفَ سَهْمٍ لِأَنَّهُ مِثْلُ نِصْفِ قِيمَتِهِ وَجَعَلْتَ لِلْوَرَثَةِ سَهْمَيْنِ فيصير ذلك ثلاثة أسهم ونصفا فأبسطهما لِمَخْرَجِ النِّصْفِ تَكُنْ سَبْعَةً ثُمَّ اقْسِمِ الْعَبْدَ عَلَيْهَا وَأَعْتِقْ مِنْهُ ثَلَاثَةَ أسهم منها وهي سهما العتق وسهما الكسب يعتق مِنْهُ ثَلَاثَةُ أَسْبَاعِهِ مَعَ اثْنَيْنِ وَأَرْبَعِينَ دِرْهَمًا وَسِتَّةِ أَسْبَاعِ دِرْهَمٍ وَيَمْلِكُ بِهِ ثَلَاثَةَ أَسْبَاعِ كسبه أحدا وعشرون درهما وثلاثة أسباع درهم ويزيد للورثة أربعة أسباعه لسبعة وخمسين درهما وسبع درهم وتبقى لَهُمْ أَرْبَعَةُ أَسْبَاعِ كَسْبِهِ وَهُوَ ثَمَانِيَةٌ وَعِشْرُونَ دِرْهَمًا وَأَرْبَعَةُ أَسْبَاعِ دِرْهَمٍ يَكُنِ الْجَمِيعُ خَمْسَةً وثمانين درهما وخمسة أسباع درهم وذلك مثل مَا عُتِقَ مِنْهُ وَلَوْ أَعْتَقَهُ وَقِيمَتُهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ وَخَلَّفَ سِوَاهُ مِائَةَ دِرْهَمٍ وَكَسَبَ الْعَبْدُ قَبْلَ مَوْتِ سَيِّدِهِ مِائَةَ دِرْهَمٍ فَاجْعَلْ لِلْعِتْقِ سَهْمًا وَلِلْكَسْبِ سَهْمًا وَلِلْوَرَثَةِ سَهْمَيْنِ ثُمَّ اجْمَعِ الكسب إلى التركة تكن ثلثمائة دِرْهَمٍ ثُمَّ اقْسِمْهَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَسْهُمٍ تَكُنْ حِصَّةُ كُلِّ سَهْمٍ خَمْسَةً وَسَبْعِينَ دِرْهَمًا وَهُوَ قدر ما خرج بالعتق فاعتق في الْعَبْدِ بِخَمْسَةٍ وَسَبْعِينَ دِرْهَمًا تَكُنْ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعِهِ وَتَأْخُذُ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعِ كَسْبِهِ خَمْسَةً وَسَبْعِينَ دِرْهَمًا يبقى مَعَ الْوَرَثَةِ مِائَةُ دِرْهَمٍ مِنْ أَصْلِ التَّرِكَةِ وَخَمْسَةٌ وَعِشْرُونَ دِرْهَمًا بَقِيَّةُ الْكَسْبِ وَرُبُعُ الْعَبْدِ بِخَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ دِرْهَمًا يَكُنِ الْجَمِيعُ مِائَةَ دِرْهَمٍ وَخَمْسِينَ دِرْهَمًا وَهُوَ مِثْلَا مَا عُتِقَ مِنْهُ وَهَكَذَا لَوْ زَادَتْ قِيمَةُ الْعَبْدِ كَانَتْ فِي حُكْمِ كَسْبِهِ لِأَنَّهُ فِي قَدْرِ مَا عُتِقَ منه مقوم ليوم الْعِتْقِ وَفِيمَا رَقَّ مِنْهُ مُقَوَّمٌ يَوْمَ الْمَوْتِ فَإِنْ زَادَ مِثْلَ قِيمَتِهِ كَانَ كَمَا لَوْ كَسَبَ مِثْلَ قِيمَتِهِ وَإِنْ زَادَ نِصْفَ قِيمَتِهِ كَانَ كَمَا لَوْ كَسَبَ نِصْفَ قِيمَتِهِ فَإِذَا كَانَتْ قِيمَتُهُ مِائَةَ دِرْهَمٍ يَوْمَ الْعِتْقِ فَصَارَتْ قِيمَتُهُ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ يَوْمَ الْمَوْتِ عُتِقَ مِنْهُ نِصْفُهُ وَقِيمَةُ نِصْفِهِ يَوْمَ الْعِتْقِ خَمْسُونَ دِرْهَمًا وَرَقَّ نِصْفُهُ وَقِيمَةُ نِصْفِهِ يَوْمَ الْمَوْتِ مِائَةُ دِرْهَمٍ وَذَلِكَ مِثْلَا مَا عُتِقَ مِنْهُ وَالْعَمَلُ فِيهِ كَالْعَمَلِ فِي الْكَسْبِ.

Jika seorang yang sakit membebaskan seorang budak yang nilainya seratus dirham dan ia tidak memiliki harta selain itu, lalu budak tersebut memperoleh penghasilan seratus dirham selama hidup tuannya, maka penghasilan itu menjadi milik budak tersebut sesuai dengan kadar kemerdekaannya dan perbudakannya. Bagian yang sepadan dengan kemerdekaannya menjadi milik budak itu sendiri, tidak dimasukkan ke dalam harta warisan dan tidak dihitung dalam sepertiga harta (yang boleh diwasiatkan). Sedangkan bagian yang sepadan dengan perbudakannya menjadi milik tuan, yang dimasukkan ke dalam harta warisan sebagai tambahan dalam sepertiga harta. Dengan adanya penghasilan ini, terjadi perputaran (dawr) dalam masalah pembebasan budak, dan kadar perputarannya adalah seperenam. Sebab, jika budak itu tidak memperoleh penghasilan apa pun, maka yang merdeka adalah sepertiganya. Jika ia memperoleh penghasilan sebesar nilai dirinya, maka yang merdeka adalah setengahnya. Maka, kelebihan yang didapat dari penghasilan itu dalam pembebasan budak adalah sebesar seperenamnya. Cara menghitungnya adalah: kita buat satu bagian untuk pembebasan, satu bagian untuk penghasilan, dan dua bagian untuk ahli waris, sehingga menjadi empat bagian. Bagilah budak itu atas empat bagian tersebut, maka yang merdeka adalah dua bagiannya, yaitu bagian pembebasan dan bagian penghasilan. Maka, yang merdeka adalah setengahnya dengan lima puluh dirham, dan ia memiliki setengah penghasilannya, yaitu lima puluh dirham. Maka, dari dirinya dan penghasilannya terkumpul seratus dirham, yang nilainya sama dengan yang dibebaskan. Jika kamu memberikan dua bagian untuk ahli waris, maka menjadi lima bagian. Bagilah budak itu atas lima bagian, maka yang merdeka adalah tiga bagian, yaitu bagian pembebasan dan dua bagian penghasilan, yakni tiga perlimanya dengan enam puluh dirham, dan ia memiliki tiga perlimanya dari penghasilannya, yaitu seratus dua puluh dirham. Sisa untuk ahli waris adalah dua perlimanya, yaitu empat puluh dirham, dan sisa penghasilannya untuk mereka adalah dua perlimanya, yaitu delapan puluh dirham. Jumlahnya seratus dua puluh dirham, yang nilainya sama dengan yang dibebaskan. Jika kamu mau, kamu bisa menambahkan penghasilan, yaitu dua ratus dirham, ke nilai budak, yaitu seratus dirham, sehingga menjadi tiga ratus dirham. Kemudian, bagilah atas lima bagian, maka setiap bagian adalah enam puluh dirham. Maka, yang merdeka adalah sebesar satu bagian, yaitu tiga perlimanya, dan mengikuti tiga perlimanya dari penghasilannya, sehingga sisa dua perlimanya dan mengikuti dua perlimanya dari penghasilannya. Jika penghasilannya lima puluh dirham, maka untuk pembebasan diberikan satu bagian dan untuk penghasilan setengah bagian, karena itu sama dengan setengah dari nilainya, dan untuk ahli waris dua bagian, sehingga menjadi tiga setengah bagian. Perlu diperluas menjadi tujuh bagian, lalu bagilah budak itu atas tujuh bagian, dan bebaskan tiga bagiannya, yaitu dua bagian pembebasan dan satu bagian penghasilan. Maka, yang merdeka adalah tiga per tujuhnya dengan dua puluh dua dirham dan enam per tujuh dirham, dan ia memiliki tiga per tujuh dari penghasilannya, yaitu dua puluh satu dirham dan tiga per tujuh dirham. Sisa untuk ahli waris adalah empat per tujuhnya, yaitu lima puluh tujuh dirham dan satu per tujuh dirham, dan sisa penghasilannya untuk mereka adalah empat per tujuhnya, yaitu dua puluh delapan dirham dan empat per tujuh dirham. Jumlahnya delapan puluh lima dirham dan lima per tujuh dirham, yang nilainya sama dengan yang dibebaskan. Jika ia membebaskannya dan nilainya seratus dirham, dan ia meninggalkan seratus dirham selain itu, lalu budak itu memperoleh penghasilan seratus dirham sebelum tuannya meninggal, maka berikan satu bagian untuk pembebasan, satu bagian untuk penghasilan, dan dua bagian untuk ahli waris. Kemudian, gabungkan penghasilan ke dalam harta warisan, sehingga menjadi tiga ratus dirham. Lalu, bagilah atas empat bagian, maka setiap bagian adalah tujuh puluh lima dirham, yang merupakan kadar yang dibebaskan. Maka, yang merdeka dari budak itu adalah tujuh puluh lima dirham, yaitu tiga per empatnya, dan ia mengambil tiga per empat dari penghasilannya, yaitu tujuh puluh lima dirham. Sisa untuk ahli waris adalah seratus dirham dari harta warisan dan dua puluh lima dirham sisa penghasilan, serta seperempat budak dengan dua puluh lima dirham. Jumlahnya seratus lima puluh dirham, yang nilainya sama dengan yang dibebaskan. Demikian pula jika nilai budak bertambah, maka itu dihitung sebagai penghasilannya, karena bagian yang dibebaskan dinilai pada hari pembebasan, dan bagian yang masih menjadi budak dinilai pada hari kematian. Jika nilainya bertambah sebesar nilainya, maka keadaannya seperti jika ia memperoleh penghasilan sebesar nilainya. Jika bertambah setengah nilainya, maka keadaannya seperti jika ia memperoleh penghasilan setengah nilainya. Jika nilainya seratus dirham pada hari pembebasan, lalu menjadi dua ratus dirham pada hari kematian, maka yang merdeka adalah setengahnya, dan nilai setengahnya pada hari pembebasan adalah lima puluh dirham, dan yang masih menjadi budak adalah setengahnya, dan nilai setengahnya pada hari kematian adalah seratus dirham. Jumlahnya sama dengan yang dibebaskan. Cara menghitungnya sama seperti pada penghasilan.

فَصْلٌ:

Bagian:

وَإِذَا أَعْتَقَ فِي مَرَضِهِ أَمَةً حَامِلًا عتقَتْ مَعَ حَمْلِهَا سَوَاءٌ أَرَادَهُ أَوْ لَمْ يُرِدْهُ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ تَلِدَ الْحُرَّةُ مَمْلُوكًا وَفِيمَا يُقَوَّمُ فِي ثُلُثِ الْعِتْقِ وَجْهَانِ:

Jika seseorang memerdekakan seorang budak perempuan yang sedang hamil dalam keadaan sakitnya (menjelang wafat), maka budak perempuan itu beserta kandungannya menjadi merdeka, baik ia menginginkan hal itu maupun tidak, karena tidak boleh seorang perempuan merdeka melahirkan anak yang menjadi budak. Dalam hal penilaian harga pada sepertiga harta untuk pemerdekaan, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تُقَوَّمُ الْأَمَةُ حَامِلًا يَوْمَ الْعِتْقِ وَلَا اعْتِبَارَ بِقِيمَةِ الْوَلَدِ فَإِنْ خَرَجَتِ الْأَمَةُ مِنَ الثُّلُثِ نَفَذَ عِتْقُهَا وَعُتِقَ وَلَدُهَا، وَإِنْ لَمْ تَخْرُجِ الْأَمَةُ مِنَ الثلث عتق منها بقدر ما احتمله الثلث من نصف مثله وَعُتِقَ مِنْ وَلَدِهَا مِثْلُهُ وَرَقَّ مِنْهَا مَا لَمْ يَحْتَمِلْهُ الثُّلُثُ وَرَقَّ مَنْ وَلَدِهَا مِثْلُهُ.

Pendapat pertama: Budak perempuan dinilai beserta kandungannya pada hari pemerdekaan, dan tidak diperhitungkan nilai anaknya. Jika nilai budak perempuan masuk dalam sepertiga harta, maka pemerdekaannya sah dan anaknya pun merdeka. Jika nilai budak perempuan tidak masuk dalam sepertiga harta, maka yang merdeka hanya sebesar bagian yang tertampung dalam sepertiga harta, misalnya setengah dari nilainya, dan dari anaknya pun merdeka sebesar itu, sedangkan sisanya tetap menjadi budak, demikian pula anaknya.

والوجه الثاني: أن ينظر بِالْأَمَةِ حَتَّى تَلِدَ ثُمَّ تُقَوَّمُ بَعْدَ الْوِلَادَةِ وَيُقَوَّمُ الْوَلَدُ يَوْمَ وُلِدَ وَيُجْمَعُ بَيْنَ الْقِيمَتَيْنِ فيعتبر أنه في الثلث فإن احتملهما الثلث عتق وَإِنْ لَمْ يَحْتَمِلْهُمَا الثُّلُثُ عُتِقَ مِنْهُمَا مَعًا بِالسَّوِيَّةِ قَدْرُ مَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ وَلَمْ يُقْرَعْ بينهما بخلاف العبدين لأن الولد تبع الأمة إِذَا كَانَ حَمْلًا يُعْتَقُ بِعِتْقِهَا وَيَرِقُّ بِرِقِّهَا ولا يجوز أن يكون بينهما شَيْءٌ لَا يُعْتَقُ مِنْ حَمْلِهَا مِثْلُهُ فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَتْ قِيمَةُ الْأُمِّ مِائَةَ دِرْهَمٍ وَقِيمَةُ الْوَلَدِ يَوْمَ وُلِدَ خَمْسِينَ دِرْهَمًا فَإِنْ كان الثلث مائة وخمسين درهم عتق معا وإن كان الثلث مائة فهو يقدر ثلثي العبد فيعتق من الأم ثلثاها ستة وَسِتِّينَ دِرْهَمًا وَثُلُثَيْ دِرْهَمٍ وَيُعْتَقُ مِنَ الْوَلَدِ ثلثاه ثلاثة وثلاثين درهما وثلث درهم ورق ثُلُثُ الْأُمِّ وَثُلُثُ الْوَلَدِ، وَلَوْ أَنَّ مَرِيضًا أعتق كل حَمْلِ أَمَتِهِ لَمْ يَسْرِ الْعِتْقُ إِلَى الْأُمِّ وَكَانَ الْحَمْلُ وَحْدَهُ حُرًّا ذَكَرًا كَانَ أَوْ أنثى، واحدا أَوْ عَدَدًا، لِأَنَّ الْأَمَةَ قَدْ يَجُوزُ أَنْ تَلِدَ حُرًّا، فَلِذَلِكَ لَمْ يَسْرِ عِتْقُ الْحَمْلِ، إِلَى الْأُمِّ، وَالْحُرَّةُ لَا يَجُوزُ أَنْ تَلِدَ عَبْدًا، فَلِذَلِكَ سَرَى عِتْقُ الْأُمِّ إِلَى الْحَمْلِ.

Pendapat kedua: Budak perempuan ditunggu hingga melahirkan, kemudian dinilai setelah melahirkan, dan anaknya dinilai pada hari kelahirannya, lalu kedua nilai tersebut dijumlahkan dan diperhitungkan apakah masuk dalam sepertiga harta. Jika sepertiga harta dapat menampung keduanya, maka keduanya merdeka. Jika sepertiga harta tidak cukup untuk keduanya, maka keduanya merdeka secara proporsional sesuai bagian yang tertampung dalam sepertiga harta, tanpa diundi, berbeda dengan dua budak, karena anak mengikuti status budak perempuan; jika masih berupa kandungan, ia merdeka dengan merdekanya ibu dan menjadi budak dengan status budaknya ibu, dan tidak boleh ada bagian dari kandungan yang tidak merdeka seperti ibunya. Berdasarkan ini, jika nilai ibu seratus dirham dan nilai anak pada hari lahirnya lima puluh dirham, maka jika sepertiga harta seratus lima puluh dirham, keduanya merdeka bersama. Jika sepertiga harta seratus dirham, maka yang merdeka adalah dua pertiga dari masing-masing, yaitu dari ibu enam puluh enam dirham dan dua pertiga dirham, dan dari anak tiga puluh tiga dirham dan sepertiga dirham, sedangkan sepertiga ibu dan sepertiga anak tetap menjadi budak. Jika seseorang yang sakit memerdekakan seluruh kandungan budak perempuannya, maka pemerdekaan itu tidak berlaku pada ibunya, dan hanya kandungannya saja yang merdeka, baik laki-laki maupun perempuan, satu atau lebih, karena budak perempuan mungkin saja melahirkan anak merdeka, sehingga pemerdekaan kandungan tidak berlaku pada ibunya, sedangkan perempuan merdeka tidak boleh melahirkan budak, sehingga pemerdekaan ibu berlaku pada kandungannya.

فعلى هذا تعتبر قِيمَةُ الْحَمْلِ بَعْدَ الْوِلَادَةِ وَجْهًا وَاحِدًا.

Berdasarkan hal ini, nilai kandungan diperhitungkan setelah kelahiran menurut satu pendapat.

فَلَوْ أَعْتَقَ الْأُمَّ بَعْدَ عِتْقِ حَمْلِهَا نُظِرَ: فَإِنْ كان الثلث محتملا لقيمة الْأَوْلَادِ وَالْأُمِّ عُتِقُوا جَمِيعًا كُلُّهُمْ وَإِنِ احْتَمَلَ قِيمَةَ الْأَوْلَادِ دُونَ الْأُمِّ عُتِقَ الْأَوْلَادُ وَرَقَّتِ الأم من غير قرعة لأن قَدَّمَ عِتْقَهُمْ عَلَى عِتْقِ الْأُمِّ، وَلَوِ اتَّسَعَ الثُّلُثُ لِلْأَوْلَادِ وَبَعْضِ الْأُمِّ: عُتِقَ جَمِيعُ الْأَوْلَادِ وَعُتِقَ مِنَ الْأُمِّ قَدْرُ مَا بَقِيَ مِنَ الثُّلُثِ وَكَانَ بَاقِيهَا رِقًّا وَلَوْ ضَاقَ الثُّلُثُ عَنْ قِيمَةِ الْأَوْلَادِ كُلِّهِمْ أُقْرِعَ بَيْنَ الْأَوْلَادِ وجرى عتقه مَنِ احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ مِنْهُمْ وَرُقَّ مَنْ لَمْ يَحْتَمِلْهُ الثُّلُثُ مَعَ الْأُمِّ، وَإِنَّمَا أُقْرِعَ بَيْنَهُمْ، وَلَمْ يُجْعَلْ مَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ مِنَ الْعِتْقِ مُقَسَّطًا بَيْنَهُمْ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يُعْتَقَ بَعْضُهُمْ وَيَرِقَّ بَعْضُهُمْ وَقَدْ أَعْتَقَهُمْ بِلَفْظَةٍ وَاحِدَةٍ فَصَارَ كَمَنْ أَعْتَق ثَلَاثَةَ أَعْبُدٍ لَهُ بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ وَالثُّلُثُ لَا يَحْتَمِلُ إِلَّا أَحَدَهُمْ عُتِقَ أَحَدُهُمْ بِالْقُرْعَةِ.

Jika seseorang memerdekakan ibu setelah memerdekakan kandungannya, maka dilihat: jika sepertiga harta cukup untuk menampung nilai anak-anak dan ibunya, maka semuanya merdeka. Jika hanya cukup untuk menampung nilai anak-anak tanpa ibunya, maka anak-anak merdeka dan ibunya tetap menjadi budak tanpa diundi, karena pemerdekaan anak-anak didahulukan atas ibunya. Jika sepertiga harta cukup untuk anak-anak dan sebagian ibu, maka seluruh anak-anak merdeka dan dari ibu merdeka sebesar sisa sepertiga harta, sedangkan sisanya tetap budak. Jika sepertiga harta tidak cukup untuk seluruh nilai anak-anak, maka diundi di antara anak-anak, dan yang tertampung dalam sepertiga harta merdeka, sedangkan yang tidak tertampung tetap budak bersama ibunya. Pengundian dilakukan di antara mereka, dan bagian yang tertampung dalam sepertiga harta tidak dibagi rata di antara mereka, karena mungkin saja sebagian mereka merdeka dan sebagian tetap budak, dan pemerdekaan mereka dilakukan dengan satu lafaz, sehingga seperti orang yang memerdekakan tiga budaknya dengan satu kata, sementara sepertiga harta hanya cukup untuk salah satu dari mereka, maka salah satu dari mereka merdeka dengan undian.

وَلَوْ أَنَّ مَرِيضًا أَعْتَقَ أَمَةً حَامِلًا وَأَعْتَقَ حَمْلَهَا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لِمَا اسْتَأْنَفَهُ مِنْ عِتْقِ الْحَمْلِ تَأْثِيرًا لأنهم قد أعتقوا مَعَ الْأُمِّ بِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ.

Jika seseorang yang sakit memerdekakan budak perempuan yang sedang hamil, lalu setelah itu memerdekakan kandungannya, maka pemerdekaan kandungan yang dilakukan setelahnya tidak berpengaruh, karena mereka telah merdeka bersama ibunya menurut pendapat pertama.

وَلَوْ أَنَّ صَحِيحًا قَالَ لِعَبْدِهِ أَوْ أَمَتِهِ: إِذَا جَاءَ رَأْسُ الشهر فأنت حر ثم صار رَأْسُ الشَّهْرِ وَالسَّيِّدُ فِي مَرَضِ مَوْتِهِ كَانَ عِتْقُهُمْ عِتْقَ صِحَّةٍ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ لِأَنَّهُ تلفظ به فيهم في حصته فلم تنتقل عن حكمه لحدوث الْمَرَضِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika seseorang yang sehat berkata kepada budak laki-laki atau budak perempuannya: “Jika awal bulan tiba, maka kamu merdeka,” kemudian awal bulan tiba sementara tuannya dalam keadaan sakit menjelang wafat, maka pemerdekaan mereka dihukumi sebagai pemerdekaan dalam keadaan sehat dan diambil dari harta pokok, karena ia telah mengucapkan hal itu saat sehat, sehingga tidak berubah hukumnya karena datangnya sakit. Wallāhu a‘lam.

فَصْلٌ:

Bagian:

فِي هِبَةِ الْمَرِيضِ وما يتصل به في الدور

Tentang hibah orang sakit dan hal-hal yang berkaitan dengannya dalam masalah rumah

وإذ وهب المريض في مرضه، هِبَةً، فَإِنْ كَانَتْ لِوَارِثٍ، فَهِيَ مَرْدُودَةٌ، لِأَنَّ هِبَةَ الْمَرِيضِ وَصِيَّةٌ مِنْ ثُلُثِهِ، وَالْوَارِثُ مَمْنُوعٌ مِنَ الْوَصِيَّةِ، وَكَذَلِكَ لَوْ وُهِبَ لِغَيْرِ وَارِثٍ، فَصَارَ عِنْدَ الْمَوْتِ وَارِثًا، كَانَتْ بَاطِلَةً، لِأَنَّهَا صَارَتْ هِبَةً لِوَارِثٍ، وَلَوْ وَهَبَ لِوَارِثٍ، فَصَارَ عِنْدَ الْمَوْتِ غَيْرَ وَارِثٍ، فَهِيَ هِبَةٌ لِغَيْرِ وارث اعتبارا بحاله عِنْدَ الْمَوْتِ.

Apabila seseorang yang sedang sakit dalam sakit yang menyebabkan kematiannya memberikan hibah, maka jika hibah itu diberikan kepada ahli waris, hibah tersebut batal, karena hibah orang sakit dianggap sebagai wasiat yang hanya boleh diambil dari sepertiga hartanya, sedangkan ahli waris tidak boleh menerima wasiat. Demikian pula, jika hibah diberikan kepada selain ahli waris, lalu pada saat kematian orang tersebut menjadi ahli waris, maka hibah itu batal, karena pada akhirnya hibah itu menjadi hibah kepada ahli waris. Namun, jika hibah diberikan kepada ahli waris, lalu pada saat kematian ia bukan lagi ahli waris, maka hibah itu dianggap sebagai hibah kepada selain ahli waris, berdasarkan statusnya saat kematian.

وَلَوْ وَهَبَ فِي مَرَضِهِ لِوَارِثِهِ، ثُمَّ مَاتَ الْمَوْهُوبُ لَهُ قَبْلَ الْوَاهِبِ، صَحَّتِ الْهِبَةُ إِنِ احْتَمَلَهَا الثُّلُثُ، لِأَنَّهُ لَمَّا مَاتَ قَبْلَهُ صَارَ غَيْرَ وَارِثٍ.

Jika seseorang yang sakit menghibahkan kepada ahli warisnya, kemudian penerima hibah meninggal dunia sebelum pemberi hibah, maka hibah itu sah selama sepertiga harta mencukupinya, karena ketika penerima hibah meninggal lebih dahulu, ia tidak lagi menjadi ahli waris.

وَلَوْ وَهَبَ لِوَارِثٍ فِي مَرَضِهِ، ثُمَّ صَحَّ مِنْهُ وَمَاتَ مِنْ غَيْرِهِ، كَانَتِ الْهِبَةُ جَائِزَةً، لِأَنَّ تَعَقُّبَ الصِّحَّةِ يمنع من أن يكون ما يقدمه وَصِيَّةً.

Jika seseorang menghibahkan kepada ahli warisnya saat sakit, kemudian ia sembuh dan meninggal bukan karena sakit itu, maka hibah tersebut sah, karena adanya masa sehat setelah hibah mencegah hibah itu dianggap sebagai wasiat.

فَأَمَّا إِذَا وَهَبَ لِأَجْنَبِيٍّ فِي مَرَضِهِ الذي مات منه، هبة فإن لم يقبضها حَتَّى مَاتَ: فَالْهِبَةُ بَاطِلَةٌ، لِأَنَّهَا لَا تَتِمُّ إلا بالقبض.

Adapun jika seseorang menghibahkan kepada orang asing (bukan ahli waris) saat sakit yang menyebabkan kematiannya, lalu hibah itu belum diterima hingga ia meninggal, maka hibah tersebut batal, karena hibah tidak sempurna kecuali dengan adanya penerimaan (qabdh).

وإن أقبضه قبل الموت: صَحَّتِ الْهِبَةُ، وَكَانَتْ مِنَ الثُّلُثِ، تَمْضِي إِنِ احْتَمَلَهَا الثُّلُثُ، وَيُرَدُّ مِنْهَا مَا عَجَزَ الثُّلُثُ عنه.

Namun jika hibah itu telah diterima sebelum kematian, maka hibah itu sah dan diambil dari sepertiga harta. Jika sepertiga harta mencukupi, hibah itu dijalankan, dan jika tidak mencukupi, maka kelebihan dari sepertiga dikembalikan.

وَهَكَذَا لَوْ وَهَبَ فِي صِحَّتِهِ، وَأَقْبَضَ فِي مَرَضِهِ، كَانَتْ فِي ثُلُثِهِ، لِأَنَّهَا بِالْقَبْضِ فِي الموصي، فَصَارَتْ هِبَةً فِي الْمَرَضِ.

Demikian pula, jika seseorang menghibahkan saat sehat, namun penerimaan (qabdh) terjadi saat ia sakit, maka hibah itu dihitung dari sepertiga harta, karena hibah menjadi sempurna dengan penerimaan pada masa sakit, sehingga dianggap sebagai hibah dalam sakit.

فَلَوْ وَهَبَ فِي مرضه وأقبض، وأعتق، فإن كان الثلث يحتملها، صحت الهبة والعتق، وإن كان الثلث لا يحتملها: لم يصح. وَإِنْ كَانَ الثُّلُثُ يَحْتَمِلُ أَحَدَهُمَا صَحَّتِ الْهِبَةُ لِتَقَدُّمِهَا، وَرُدَّ الْعِتْقُ لِتَأَخُّرِهِ.

Jika seseorang menghibahkan dan menyerahkan (qabdh) dalam sakitnya, lalu memerdekakan budak, maka jika sepertiga harta mencukupi, hibah dan pemerdekaan itu sah. Namun jika sepertiga tidak mencukupi, maka keduanya tidak sah. Jika sepertiga hanya cukup untuk salah satunya, maka hibah didahulukan karena lebih dahulu dilakukan, dan pemerdekaan dibatalkan karena dilakukan belakangan.

وَلَوْ أَعْتَقَ قَدْرَ ثُلُثِهِ ثُمَّ وَهَبَ صَحَّ وَرُدَّتِ الْهِبَةُ اعْتِبَارًا بالتقدم سوءا كَانَ الْمُتَقَدِّمُ عِتْقًا أَوْ هِبَةً.

Jika seseorang memerdekakan budak sepertiga hartanya, lalu menghibahkan, maka pemerdekaan sah dan hibah dibatalkan, berdasarkan urutan waktu, baik yang lebih dahulu adalah pemerdekaan maupun hibah.

وَلَوْ وَهَبَ قَدْرَ ثُلُثِهِ ثُمَّ أَوْصَى بِالثُّلُثِ بَعْدَ مَوْتِهِ فِي عِتْقٍ أَوْ غَيْرِهِ كَانَتِ الْهِبَةُ فِي الْمَرَضِ مُقَدَّمَةً عَلَى الْوَصِيَّةِ لِأَنَّهَا عَطِيَّةٌ نَاجِزَةٌ فإذا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْجُمْلَةُ فَدَوْرُ هَذَا الْفَصْلِ يُتَصَوَّرُ فِي مَرِيضٍ وَهَبَ لِأَخِيهِ عَبْدًا قِيمَتُهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ لَا يَمْلِكُ غَيْرَهُ ثُمَّ مَاتَ الْمَوْهُوبُ له قبل الواهب وخلف بنتا وَأَخَاهُ الْوَاهِبُ فَقَدْ زَادَتْ تَرِكَةُ الْوَاهِبِ بِمَا ورثه من الموهوب له فزادت الهبة بالزائد في الْمِيرَاثِ وَإِذَا كَانَ هَكَذَا فَطَرِيقُ الْعَمَلِ فِيهِ أن تقول الخارج بالهبة سهم من ثلاثة فإذا ورث الوارث نصفه وأسقط من سهميه يبقى له سهم ونصف والهبة سَهْمٌ فَابْسُطْ ذَلِكَ لِمَخْرَجِ النِّصْفِ تَكُنْ خَمْسَةً منها للهبة سهمان فتصح الهبة في خمس الْعَبْدِ وَيَبْقَى مَعَ الْوَاهِبِ ثَلَاثَةُ أَخْمَاسِهِ ثُمَّ وَرِثَ مِنَ الْمَوْهُوبِ أَحَدَ الْخُمُسَيْنِ فَصَارَ مَعَهُ أربعة أخماس العبد وذلك مثلي مَا صَحَّتْ فِيهِ الْهِبَةُ مِنَ الْخُمُسَيْنِ.

Jika seseorang menghibahkan sepertiga hartanya, lalu berwasiat dengan sepertiga harta setelah kematiannya, baik untuk memerdekakan budak atau lainnya, maka hibah yang dilakukan saat sakit didahulukan atas wasiat, karena hibah adalah pemberian yang langsung berlaku. Setelah hal ini dipahami, maka kasus bab ini dapat dibayangkan pada seseorang yang sakit menghibahkan kepada saudaranya seorang budak senilai seratus dirham, dan ia tidak memiliki harta lain. Kemudian penerima hibah meninggal sebelum pemberi hibah, dan ia meninggalkan seorang anak perempuan dan saudaranya (pemberi hibah). Maka, harta warisan pemberi hibah bertambah dengan apa yang diwarisinya dari penerima hibah, sehingga bagian hibah juga bertambah sesuai tambahan warisan. Dalam kasus seperti ini, cara menghitungnya adalah: bagian yang keluar karena hibah adalah satu dari tiga bagian. Jika ahli waris mewarisi setengahnya dan mengurangi dari dua bagiannya, maka ia mendapat satu setengah bagian, dan hibah satu bagian. Bentangkan perhitungan itu untuk mendapatkan setengahnya, maka menjadi lima bagian, dua di antaranya untuk hibah. Maka hibah sah atas seperlima budak, dan pemberi hibah masih memiliki tiga per lima. Kemudian ia mewarisi salah satu dari dua perlima dari penerima hibah, sehingga ia memiliki empat per lima budak, yaitu dua kali lipat dari bagian hibah yang sah dari dua perlima.

فَلَوْ كان الواهب وَالْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا مَعَ الْعَبْدِ الْمَوْهُوبِ الَّذِي قِيمَتُهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ صَارَ مَالُ الْوَاهِبِ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ فاقسمها على خمسة يكن قسط كل واحد سَهْمٍ أَرْبَعِينَ دِرْهَمًا فَأَمْضِ مِنْ هِبَةِ الْعَبْدِ بسهمين منهما تَكُنْ أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِهِ وَهُوَ قَدْرُ مَا جَازَتْ فيه الوصية وَبَقِيَ مَعَ الْوَاهِبِ مِائَةُ دِرْهَمٍ وَخُمُسُ الْعَبْدِ بِعِشْرِينَ دِرْهَمًا وَوَرِثَ مِنَ الْأَرْبَعَةِ الْأَخْمَاسِ الْمَوْهُوبَةِ، خمسين بأربعين درهما ومعه مِائَةٌ وَسِتُّونَ دِرْهَمًا وَذَلِكَ مِثْلَا مَا جَازَتْ فيه الوصية.

Jika pemberi hibah, dalam kasus yang sama, memiliki budak yang dihibahkan senilai seratus dirham, lalu harta pemberi hibah menjadi dua ratus dirham, maka bagilah menjadi lima bagian, sehingga bagian masing-masing adalah empat puluh dirham. Jalankan hibah budak sebanyak dua bagian, yaitu empat per lima budak, yang merupakan jumlah yang sah untuk wasiat. Sisanya, pemberi hibah memiliki seratus dirham dan seperlima budak senilai dua puluh dirham. Ia juga mewarisi dari empat per lima budak yang dihibahkan, yaitu satu perlima senilai empat puluh dirham, sehingga total hartanya menjadi seratus enam puluh dirham, dua kali lipat dari jumlah yang sah untuk wasiat.

وَلَوْ كَانَ الْوَاهِبُ قَدْ خَلَّفَ مِائَةً وَخَمْسِينَ دِرْهَمًا جَازَتِ الْهِبَةُ فِي الْعَبْدِ كُلِّهِ لِأَنَّ التركة تصير مائتي وَخَمْسِينَ دِرْهَمًا فَإِذَا قَسَّمْتَهَا عَلَى خَمْسَةٍ كَانَ قِسْطُ كُلِّ سَهْمٍ خَمْسِينَ دِرْهَمًا فَإِذَا جَمَعْتَ بَيْنَ سَهْمَيْنِ كَانَ مِائَةَ دِرْهَمٍ وَهِيَ قِيمَةُ كُلِّ الْعَبْدِ وَيَبْقَى مَعَ الْوَاهِبِ مِائَةٌ وَخَمْسُونَ دِرْهَمًا ثُمَّ وَرِثَ نِصْفَ الْعَبْدِ خَمْسِينَ دِرْهَمًا صَارَ مَعَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَذَلِكَ مِثْلَا قِيمَةِ الْعَبْدِ.

Dan jika si pemberi hibah meninggalkan seratus lima puluh dirham, maka hibah atas seluruh budak itu sah, karena harta peninggalan menjadi dua ratus lima puluh dirham. Jika dibagi kepada lima bagian, maka bagian setiap saham adalah lima puluh dirham. Jika digabungkan dua saham, menjadi seratus dirham, yaitu nilai setiap budak, dan yang tersisa pada si pemberi hibah adalah seratus lima puluh dirham. Kemudian ia mewarisi setengah budak senilai lima puluh dirham, sehingga ia memiliki dua ratus dirham, dan itu dua kali lipat nilai budak.

فَلَوْ كَانَ الْوَاهِبُ لَا يَمْلِكُ غَيْرَ الْعَبْدِ وَكَانَ عَلَيْهِ خَمْسُونَ دِرْهَمًا دَيْنًا كَانَ نِصْفُ الْعَبْدِ مُسْتَحَقًّا فِي الدَّيْنِ وَنِصْفُهُ الْبَاقِي مَقْسُومًا عَلَى خَمْسَةٍ لِلْهِبَةِ مِنْهُ بِسَهْمَيْنِ الْخُمُسُ بعشرين وَيَبْقَى مَعَ الْوَاهِبِ خُمُسٌ وَنِصْفٌ بِثَلَاثِينَ دِرْهَمًا وَوَرِثَ مِنَ الْخُمُسِ الْمَوْهُوبِ نِصْفُهُ بِعَشَرَةِ دَرَاهِمَ صَارَ مَعَهُ أَرْبَعُونَ دِرْهَمًا وَهِيَ مِثْلَا مَا خَرَجَ بِالْهِبَةِ.

Jika si pemberi hibah tidak memiliki selain budak tersebut dan ia memiliki utang lima puluh dirham, maka setengah budak menjadi hak atas utang, dan setengah sisanya dibagi atas lima bagian: untuk hibah dua saham, yaitu seperlima senilai dua puluh dirham, dan yang tersisa pada si pemberi hibah adalah satu setengah saham senilai tiga puluh dirham. Ia mewarisi setengah dari seperlima yang dihibahkan, yaitu sepuluh dirham, sehingga ia memiliki empat puluh dirham, dan itu dua kali lipat dari apa yang keluar melalui hibah.

فَلَوْ كَانَ الْوَاهِبُ لَا يَمْلِكُ غَيْرَ الْعَبْدِ وَلَا دَيْنَ عَلَيْهِ لَكِنْ خَلَّفَ الْمَوْهُوبَ لَهُ سِوَى مَا وَهَبَ لَهُ مِائَةَ دِرْهَمٍ فَطَرِيقُ الْعَمَلِ فِيهِ أَنْ تَقُولَ: تَرَكَ الْوَاهِبُ عَبْدًا قِيمَتُهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ وَقَدْ وَرِثَ عَنْ أَخِيهِ نِصْفَ الْمَالِ خَمْسِينَ دِرْهَمًا صَارَ الجميع مائة وخمسين درهما. فإذا قسمت عَلَى الْخَمْسَةِ كَانَ قِسْطُ كُلِّ سَهْمٍ ثَلَاثِينَ درهما فامض من هبة العبد بسهمين قَدْرُهُمَا سِتُّونَ دِرْهَمًا تَكُنْ ثَلَاثَةَ أَخْمَاسِهِ وَهُوَ قدر ما كانت فِيهِ الْهِبَةُ وَقَدْ بَقِيَ مَعَ الْوَاهِبِ خُمُسَاهُ بأربعين درهما وورث نصف ثلاث أَخْمَاسِهِ ثَلَاثِينَ دِرْهَمًا وَنِصْفَ الْمِائَةِ خَمْسِينَ دِرْهَمًا صار معه مائة وعشرون درهما وذلك مثلي ما جاز بالهبة.

Jika si pemberi hibah tidak memiliki selain budak tersebut dan tidak ada utang atasnya, namun yang menerima hibah meninggalkan seratus dirham selain apa yang dihibahkan kepadanya, maka cara menghitungnya adalah: si pemberi hibah meninggalkan seorang budak senilai seratus dirham, dan ia mewarisi dari saudaranya setengah harta, yaitu lima puluh dirham, sehingga seluruhnya menjadi seratus lima puluh dirham. Jika dibagi atas lima bagian, maka bagian setiap saham adalah tiga puluh dirham. Maka berlakukan hibah budak dengan dua saham, yaitu enam puluh dirham, yang merupakan tiga per lima dari budak, dan itu adalah kadar hibah yang terjadi. Yang tersisa pada si pemberi hibah adalah dua per lima senilai empat puluh dirham, dan ia mewarisi setengah dari tiga per lima, yaitu tiga puluh dirham, dan setengah dari seratus, yaitu lima puluh dirham, sehingga ia memiliki seratus dua puluh dirham, dan itu dua kali lipat dari apa yang sah melalui hibah.

فَصْلٌ آخَرُ مِنْهُ:

Bagian lain darinya:

وَإِذَا وَهَبَ الْمَرِيضُ لِمَرِيضٍ عَبْدًا ثُمَّ وَهَبَهُ الْمَرِيضُ الْمَوْهُوبُ لَهُ لِلْمَرِيضِ الْوَاهِبِ ثُمَّ مَاتَا وَلَمْ يُخَلِّفَا غَيْرَ الْعَبْدِ الذي يواهباه فالعبد بين ورثتيهما عَلَى ثَمَانِيَةِ أَسْهُمٍ مِنْهَا لِوَرَثَةِ الْوَاهِبِ الْأَوَّلِ ستة أثمانه ولورثة الواهب الثاني ثمناه.

Jika orang sakit memberikan hibah kepada orang sakit lain berupa seorang budak, lalu orang sakit penerima hibah itu menghibahkan budak tersebut kembali kepada orang sakit pemberi hibah, kemudian keduanya meninggal dan tidak meninggalkan harta selain budak yang mereka saling hibahkan, maka budak itu menjadi milik ahli waris keduanya dengan delapan saham: enam per delapan untuk ahli waris pemberi hibah pertama, dan satu per delapan untuk ahli waris pemberi hibah kedua.

فوجه الْعَمَلِ فِيهِ أَنَّ الْوَاهِبَ الْأَوَّلَ لَمَّا وَهَبَهُ نَفَذَتِ الْهِبَةُ فِي ثُلُثِهِ وَلَمَّا وَهَبَ الثَّانِي الثلث نفذت الهبة في ثلثه فصار الداير عَلَى الْأَوَّلِ ثُلُثَ الثُّلُثِ وَهُوَ سَهْمٌ مِنْ تسعة فاسقطه ليتقطع دوره بقي من التسعة ثمانية أسهم للعبد مَقْسُومٌ عَلَيْهَا مِنْهَا هِبَةُ الْأَوَّلِ لِلثَّانِي ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ وَهِبَةُ الثَّانِي لِلْأَوَّلِ مِنْ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ سَهْمٌ وَقَدْ كَانَ مَعَ الْأَوَّلِ خَمْسَةُ أَسْهُمٍ وَعَادَ إِلَيْهِ سَهْمٌ فَصَارَ مَعَ وَرَثَتِهِ سِتَّة أَثْمَانِ الْعَبْدِ وَهُوَ مِثْلَا مَا جَازَ مِنْ هِبَتِهِ لِأَنَّ الْجَائِزَ مِنْهَا ثَلَاثَةُ أَثْمَانِهِ وَمَعَ وَرَثَةِ الثَّانِي ثُمُنَا الْعَبْدِ وَهُوَ مِثْلَا مَا جاز من هبته لأن الجائز ثُمُنُهُ، وَسَوَاءٌ مَاتَ الثَّانِي قَبْلَ الْأَوَّلِ أَوِ الأول قبل الثاني لأنها هبة بتاتا. وَلَكِنْ لَوْ كَانَ الْوَاهِبُ الثَّانِي مَا وَهَبَ هبة بنات وأوصى ولو أوصى الثَّانِي لِلْأَوَّلِ بِثُلُثِ مَالِهِ نُظِرَ فَإِنْ مَاتَ الثَّانِي قَبْلَ الْأَوَّلِ كَانَ الْجَوَابُ عَلَى مَا مَضَى لِأَنَّهُ قَدْ عَادَ إِلَى الْأَوَّلِ ثُلُثُ مَا وَهَبَ وَإِنْ مَاتَ الْأَوَّلُ قَبْلَ الثَّانِي بَطَلَتْ وَصِيَّةُ الثَّانِي لِلْأَوَّلِ وَصَحَّتْ هِبَةُ الْأَوَّلِ في ثلث العبد لانقطاع الدور.

Cara menghitungnya adalah: ketika pemberi hibah pertama menghibahkan, hibah itu sah pada sepertiganya. Ketika yang kedua menghibahkan sepertiga, hibah itu sah pada sepertiganya. Maka yang berputar pada yang pertama adalah sepertiga dari sepertiga, yaitu satu saham dari sembilan. Hilangkan saham itu agar putarannya terputus, maka tersisa dari sembilan delapan saham untuk budak yang dibagi atasnya: hibah pertama kepada yang kedua tiga saham, dan hibah yang kedua kepada yang pertama dari tiga saham itu satu saham. Pemberi hibah pertama memiliki lima saham, lalu kembali kepadanya satu saham, sehingga ahli warisnya memiliki enam per delapan budak, dan itu dua kali lipat dari apa yang sah dari hibahnya, karena yang sah dari hibahnya adalah tiga per delapan. Sedangkan ahli waris kedua memiliki satu per delapan budak, dan itu dua kali lipat dari apa yang sah dari hibahnya, karena yang sah adalah satu per delapan. Sama saja apakah yang kedua meninggal sebelum yang pertama atau yang pertama sebelum yang kedua, karena hibah ini bersifat mutlak. Namun, jika pemberi hibah kedua tidak menghibahkan secara mutlak, melainkan berwasiat, misalnya ia berwasiat kepada yang pertama sepertiga hartanya, maka jika yang kedua meninggal sebelum yang pertama, jawabannya seperti yang telah lalu, karena sepertiga dari apa yang dihibahkan telah kembali kepada yang pertama. Namun jika yang pertama meninggal sebelum yang kedua, wasiat yang kedua kepada yang pertama batal, dan hibah yang pertama atas sepertiga budak sah karena putaran telah terputus.

فصل:

Bagian:

في بيع المريض وشرائه

Tentang jual beli dan pembelian orang sakit

وبيع المريض وشراؤه جائزا إِذَا كَانَ بِثَمَنِ مِثْلِهِ وَلَمْ يَدْخُلْهُ غَبْنٌ ولا يَتَغَابَنُ أَهْلُ الْمِصْرِ بِمِثْلِهِ وَسَوَاءٌ بَاعَ الْمَرِيضُ عَلَى وَارِثٍ أَوْ غَيْرِ وَارِثٍ أَوِ اشْتَرَى الْمَرِيضُ مِنْ وَارِثٍ أَوْ غَيْرِ وَارِثٍ.

Jual beli dan pembelian orang sakit adalah sah jika dengan harga yang sepadan dan tidak ada unsur penipuan, serta penduduk kota tidak saling menipu dengan harga tersebut. Sama saja apakah orang sakit menjual kepada ahli waris atau bukan ahli waris, atau membeli dari ahli waris atau bukan ahli waris.

وَقَالَ أبو حنيفة: إِذَا بَاعَ الْمَرِيضُ عَلَى وَارِثِهِ كَانَ بَيْعُهُ مَرْدُودًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ غَبْنٌ وَلَا مُحَابَاةٌ لِأَنَّهُ قَدْ خَصَّ بَعْضَ ورثته بمال يتساوى فِيهِ.

Abu Hanifah berkata: Jika orang sakit menjual kepada ahli warisnya, maka jual belinya batal, meskipun tidak terdapat unsur penipuan (ghabn) maupun perlakuan istimewa (muhābāh), karena ia telah mengkhususkan sebagian ahli warisnya dengan harta yang nilainya sama.

وَهَذَا فَاسِدٌ بَلْ بَيْعُهُ عَلَيْهِ لَازِمٌ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ مُحَابَاةٌ وَلَا غَبْنٌ لِأَنَّ اعْتِرَاضَ الْوَرَثَةِ عَلَى الْمَرِيضِ فِي الْمِقْدَارِ لَا فِي الْأَعْيَانِ أَلَا تَرَاهُ لَوْ بَاعَ أَجْنَبِيٍّ بِثَمَنِ مِثْلِهِ صَحَّ الْبَيْعُ مَعَ انْتِقَالِ الْعَيْنِ لِحُصُولِ الْمِقْدَارِ، وَلَوْ بَاعَهُمْ بِأَقَلَّ كَانَ لَهُمْ فِيهِ اعْتِرَاضٌ لِنَقْصِ الْمِقْدَارِ.

Pendapat ini tidak benar, bahkan jual belinya tetap sah selama tidak ada unsur perlakuan istimewa (muhābāh) maupun penipuan (ghabn), karena keberatan para ahli waris terhadap orang sakit hanya pada kadar (harta), bukan pada jenis barangnya. Bukankah engkau melihat, jika ia menjual kepada orang lain dengan harga yang sepadan, maka jual beli itu sah dan barang berpindah tangan karena kadarnya telah terpenuhi. Namun, jika ia menjualnya kepada mereka dengan harga lebih rendah, maka mereka berhak mengajukan keberatan karena kekurangan kadar tersebut.

فَأَمَّا إِذَا حَابَى الْمَرِيضُ فِي بَيْعِهِ بِمَا لَا يَتَغَابَنُ أَهْلُ الْمِصْرِ بِمِثْلِهِ. كَانَ ذَلِكَ مِنْهُ عَطِيَّةً فِي مَرَضِهِ مَحَلُّهَا الثُّلُثُ إِنْ لَمْ يُنْقِصْهُ بِهِ، وَإِنْ كَانَ الْمُشْتَرِي وَارِثًا رُدَّتِ الْمُحَابَاةُ لأنها لَا تَجُوزُ لِوَارِثٍ.

Adapun jika orang sakit melakukan perlakuan istimewa (muhābāh) dalam jual belinya dengan harga yang tidak lazim terjadi penipuan di kalangan penduduk negeri, maka hal itu dianggap sebagai hibah (pemberian) dalam masa sakitnya, yang tempatnya adalah sepertiga harta, jika ia tidak mengurangi hak ahli waris dengan itu. Jika pembelinya adalah ahli waris, maka perlakuan istimewa (muhābāh) tersebut dikembalikan, karena tidak boleh diberikan kepada ahli waris.

فَعَلَى هَذَا: لَوْ بَاعَهُ عَبْدًا بِمِائَةِ دِرْهَمٍ وَالْعَبْدُ يُسَاوِي مِائَتَيْ دِرْهَمٍ فَالْمِائَةُ الَّتِي هِيَ ثَمَنُهُ تُقَابِلُ نِصْفَ قِيمَتِهِ فَصَارَتِ الْمُحَابَاةُ بِنِصْفِهِ فَيُقَالُ لِلْوَارِثِ لَكَ الْخِيَارُ فِي أَنْ تَأْخُذَ بِالْمِائَةِ نِصْفَ الْعَبْدِ وَهُوَ قدر مثلها مُحَابَاةَ فِيهِ، وَيَكُونُ النِّصْفُ الْآخَرُ الَّذِي هُوَ الْمُحَابَاةُ مَرْدُودًا إِلَى التَّرِكَةِ. وَإِنَّمَا كَانَ لَهُ الْخِيَارُ لِأَنَّهُ عَاقِدٌ بالمائة على جميع العبد فوصل لَهُ نِصْفُهُ.

Berdasarkan hal ini: jika ia menjual seorang budak kepada ahli warisnya seharga seratus dirham, padahal nilai budak itu dua ratus dirham, maka seratus dirham yang menjadi harga jualnya setara dengan setengah nilai budak tersebut. Maka, perlakuan istimewa (muhābāh) terjadi pada setengahnya. Maka dikatakan kepada ahli waris: Engkau memiliki pilihan untuk mengambil setengah budak dengan seratus dirham, dan setengahnya lagi yang merupakan bagian perlakuan istimewa (muhābāh) dikembalikan ke harta warisan. Pilihan ini diberikan karena ia mengadakan akad atas seluruh budak dengan seratus dirham, namun hanya memperoleh setengahnya.

وَلَوْ كَانَ الْعَبْدُ يُسَاوِي مِائَةً وَخَمْسِينَ دِرْهَمًا وَقَدْ بَاعَهُ عَلَيْهِ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ كان له الخيار في أحد ثُلُثَيِ الْعَبْدِ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ وَرُدَّ ثُلُثُهُ الَّذِي هُوَ قَدْرُ الْمُحَابَاةِ أَوْ يُفْسَخُ الْبَيْعُ وَيَسْتَرْجِعُ المائة وله بدل الباقي للورثة قِيمَةَ مَا زَادَ بِالْمُحَابَاةِ مِنْ نِصْفٍ أَوْ ثُلُثٍ لَمْ يُجِيزُوا عَلَيْهِ لِأَنَّ الْعَقْدَ فِيهِ قد بطل فلم يلزمهم أن يستأنفوا مع عَقْدًا فِيهِ إِلَّا عَنْ مُرَاضَاةٍ، وَإِنَّمَا يُمَلَّكُ عَلَيْهِمْ بِعَقْدِ الْبَيْعِ مَا لَا مُحَابَاةَ فِيهِ.

Jika nilai budak itu seratus lima puluh dirham dan ia menjualnya kepada ahli warisnya dengan seratus dirham, maka ahli waris memiliki pilihan pada salah satu dari dua pertiga budak dengan seratus dirham, dan sepertiga yang merupakan kadar perlakuan istimewa (muhābāh) dikembalikan, atau jual beli dibatalkan dan seratus dirham dikembalikan, dan sebagai gantinya ahli waris memberikan kepada para ahli waris lain nilai kelebihan yang diberikan melalui perlakuan istimewa (muhābāh), baik setengah maupun sepertiga, jika mereka tidak menyetujuinya. Karena akad tersebut telah batal, maka mereka tidak wajib memulai akad baru kecuali dengan kerelaan, dan yang dimiliki melalui akad jual beli hanyalah bagian yang tidak mengandung perlakuan istimewa (muhābāh).

وَكَانَ أَبُو الْقَاسِمِ الدَّارَكِيُّ يَحْمِلُ صِحَّةَ الْبَيْعِ فِيمَا لَا مُحَابَاةَ فِيهِ عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَجُوزُ فِيهِ تَفْرِيقُ الصَّفْقَةِ فَأَمَّا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي لَا يَجُوزُ فِيهِ تَفْرِيقُ الصَّفْقَةِ فَيَجْعَلُ الْبَيْعَ فِي الْجَمِيعِ بَاطِلًا وَلَيْسَ كَمَا قَالَ لِأَنَّ قَدْرَ الْمُحَابَاةِ فِي حُكْمِ الْهِبَةِ وَمَا لا محاباة فيه بيع لم تفترق صفته، فكذلك صَحَّ الْعَقْدُ فِيهِ قَوْلًا وَاحِدًا وَإِنْ ثَبَتَ فِيهِ خِيَارٌ وَإِنْ كَانَ الْمُشْتَرِي أَجْنَبِيًّا كَانَ قدر الْمُحَابَاةَ فِي الثُّلُثِ فَإِنِ احْتَمَلَهَا الثُّلُثُ أَمْضَى الْبَيْعَ فِي الْجَمِيعِ وَإِنْ عَجَزَ الثُّلُثُ عَنْهَا أمضى منه قدر ما احتمله الثلث وعلى هَذَا لَوْ بَاعَ عَلَى الْأَجْنَبِيِّ عَبْدًا بِمِائَةِ دِرْهَمٍ وَالْعَبْدُ يُسَاوِي مِائَتَيْ دِرْهَمٍ فَالْمُحَابَاةُ هِيَ نِصْفُ الْعَبْدِ وَقِيمَةُ نِصْفِهِ مِائَةُ دِرْهَمٍ فَإِنْ خَلَّفَ الْبَائِعُ مَعَ هَذَا الْعَبْدِ مِائَةَ دِرْهَمٍ خَرَجَتِ الْمُحَابَاةُ كُلُّهَا مِنَ الثُّلُثِ وَأَخَذَ الْمُشْتَرِي الْعَبْدَ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ وَقَدْرُ الْمُحَابَاةِ نِصْفُهُ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ وَحَصَلَ مَعَ الْوَرَثَةِ مِائَتَا دِرْهَمٍ مِائَةٌ منها ثمن، ومائة منها تركة، وهما مثلي الْمُحَابَاةِ، فَلَوْ وَجَدَ الْمُشْتَرِي بِالْعَبْدِ عَيْبًا فَأَرَادَ رَدَّهُ، فَلَهُ ذَلِكَ، وَيَسْتَرْجِعُ الْمِائَةَ الَّتِي دَفَعَهَا ثمنا فلو قال: أرد نصف المائة وَآخُذُ نِصْفَهُ بِالْمُحَابَاةِ لَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ لِأَنَّهَا مُحَابَاةٌ فِي عَقْدٍ فَلَمْ يَصِحَّ ثُبُوتُهَا مَعَ ارْتِفَاعِ الْعَقْدِ.

Abu al-Qasim al-Daraqī berpendapat bahwa keabsahan jual beli pada bagian yang tidak mengandung perlakuan istimewa (muhābāh) didasarkan pada pendapat yang membolehkan pemisahan akad. Adapun menurut pendapat yang tidak membolehkan pemisahan akad, maka jual beli pada seluruhnya dianggap batal. Namun, tidaklah demikian, karena kadar perlakuan istimewa (muhābāh) dihukumi sebagai hibah, sedangkan bagian yang tidak mengandung perlakuan istimewa adalah jual beli yang sifatnya tidak berubah, sehingga akadnya tetap sah secara mutlak, meskipun terdapat hak khiyar di dalamnya. Jika pembelinya adalah orang lain (bukan ahli waris), maka kadar perlakuan istimewa (muhābāh) berada pada sepertiga. Jika sepertiga harta dapat menanggungnya, maka jual beli berlaku untuk seluruhnya. Jika sepertiga tidak mencukupi, maka hanya berlaku pada kadar yang dapat ditanggung oleh sepertiga. Berdasarkan hal ini, jika ia menjual kepada orang lain seorang budak seharga seratus dirham, padahal nilai budak itu dua ratus dirham, maka perlakuan istimewa (muhābāh) adalah setengah budak, dan nilai setengahnya adalah seratus dirham. Jika penjual meninggalkan bersama budak tersebut seratus dirham, maka seluruh perlakuan istimewa (muhābāh) keluar dari sepertiga, dan pembeli mengambil budak dengan seratus dirham, dan kadar perlakuan istimewa adalah setengahnya dengan seratus dirham, sehingga para ahli waris memperoleh dua ratus dirham, seratus sebagai harga, dan seratus sebagai warisan, yang keduanya setara dengan kadar perlakuan istimewa (muhābāh). Jika pembeli menemukan cacat pada budak dan ingin mengembalikannya, maka ia berhak melakukannya dan mengambil kembali seratus dirham yang telah dibayarkan sebagai harga. Namun, jika ia berkata: “Saya ingin mengembalikan setengah dari seratus dirham dan mengambil setengah budak sebagai bagian perlakuan istimewa (muhābāh),” maka ia tidak berhak melakukannya, karena itu merupakan perlakuan istimewa dalam akad, sehingga tidak sah keberadaannya ketika akadnya batal.

فَأَمَّا إِذَا لَمْ يُخَلِّفِ الْبَائِعُ غَيْرَ الْعَبْدِ الَّذِي بَاعَهُ بِمِائَةٍ وَقِيمَتُهُ مِائَتَانِ فَالْمُحَابَاةُ بِنِصْفِهِ وَلَزِمَهُ ثُلُثُ جَمِيعِ التَّرِكَةِ وَهُوَ ثُلُثُ الْعَبْدِ فَيَكُونُ لَهُ الْخِيَارُ فِي أَنْ يَأْخُذَ خَمْسَةَ أَسْدَاسِهِ بِالْمِائَةِ أَوْ يَفْسَخَ وَيَسْتَرْجِعَ الْمِائَةَ وَإِنْ شِئْتَ أَنْ تَقُولَ لَهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ ثَمَنًا وَلَهُ ثُلُثُ التَّرِكَةِ وَصِيَّةً وَذَلِكَ سِتَّةٌ وَسِتُّونَ دِرْهَمًا وَثُلُثَا دِرْهَمٍ يَصِيرُ الْجَمِيعُ مِائَةَ دِرْهَمٍ وَسِتَّةً وَسِتِّينَ دِرْهَمًا وَثُلُثَيْ دِرْهَمٍ فَيَأْخُذُ مِنَ الْعَبْدِ بِهَا وَذَلِكَ خَمْسَةُ أَسْدَاسِ الْعَبْدِ وَيَبْقَى مَعَ وَرَثَةِ الْبَائِعِ سُدُسُهُ بِثَلَاثَةٍ وَثَلَاثِينَ دِرْهَمًا وَثُلُثُ دِرْهَمٍ وَمِائَةُ دِرْهَمٍ ثَمَنًا يَصِيرُ الْجَمِيعُ مِثْلَيْ مَا خَرَجَ بِالْمُحَابَاةِ.

Adapun jika penjual tidak meninggalkan harta warisan selain budak yang dijualnya seharga seratus dirham, padahal nilai budak itu dua ratus dirham, maka muḥābāh (penjualan dengan harga di bawah nilai) adalah pada setengahnya, dan wajib baginya sepertiga dari seluruh harta warisan, yaitu sepertiga dari nilai budak. Maka pembeli memiliki hak memilih antara mengambil lima per enam bagian budak itu dengan harga seratus dirham, atau membatalkan jual beli dan mengambil kembali seratus dirhamnya. Jika engkau ingin, engkau dapat mengatakan: ia berhak atas seratus dirham sebagai harga, dan sepertiga harta warisan sebagai wasiat, yaitu enam puluh enam dirham dan dua pertiga dirham, sehingga seluruhnya menjadi seratus enam puluh enam dirham dan dua pertiga dirham. Maka ia mengambil bagian budak sesuai nilai tersebut, yaitu lima per enam bagian budak, dan sisanya tetap bersama ahli waris penjual, yaitu seperenam bagian budak dengan nilai tiga puluh tiga dirham dan sepertiga dirham, serta seratus dirham sebagai harga. Maka seluruhnya menjadi dua kali lipat dari apa yang keluar melalui muḥābāh.

فَلَوْ كَانَ الْبَائِعُ قَدْ خَلَّفَ سِوَى الْعَبْدِ خَمْسِينَ دِرْهَمًا: كَانَ لِلْمُشْتَرِي أَنْ يَأْخُذَ خَمْسَةَ أَسْدَاسِهِ وَنِصْفَ سُدُسِهِ بِالْمِائَةِ، لِأَنَّ التَّرِكَةَ تَصِيرُ مائتين وخمسين درهما، ثلثها ثلاثة وثلاثون درهما وثلث درهم فإذا انضم إلى الثمن وهو مِائَةُ دِرْهَمٍ وَثَلَاثَةٌ وَثَلَاثُونَ دِرْهَمًا وَثُلُثُ دِرْهَمٍ فيأخذ من العبد ثمنا فَيَكُونُ ذَلِكَ مُقَابِلًا لِخَمْسَةِ أَسْدَاسِهِ وَنِصْفِ سُدُسِهِ وَيَبْقَى مَعَ الْوَرَثَةِ نِصْفُ سُدُسِهِ بِسِتَّةَ عَشَرَ دِرْهَمًا وَثُلُثَيْ دِرْهَمٍ وَخَمْسُونَ دِرْهَمًا تَرِكَة، وَمِائَةُ دِرْهَمٍ ثَمَنٌ صَارَ الْجَمِيعُ مِائَةَ دِرْهَمٍ وَسِتَّةً وَسِتِّينَ دِرْهَمًا وَثُلُثَيْ دِرْهَمٍ وَذَلِكَ مِثْلَا مَا خَرَجَ بِالْمُحَابَاةِ فَلَوْ كَانَ الْعَبْدُ الَّذِي بَاعَهُ الْمَرِيضُ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ يُسَاوِي مِائَةً وَخَمْسِينَ دِرْهَمًا صَحَّ الْبَيْعُ فِي جَمِيعِهِ وَإِنْ لَمْ يُخَلِّفْ غَيْرَهُ لِأَنَّ قَدْرَ الْمُحَابَاةِ فِيهِ خَمْسُونَ دِرْهَمًا هِيَ قَدْرُ ثُلُثِهِ فَصَحَّ جَمِيعُهَا، فهذا حكم المحاباة في البيع.

Jika penjual meninggalkan selain budak itu juga lima puluh dirham, maka pembeli berhak mengambil lima per enam bagian budak dan setengah dari seperenam bagian budak dengan harga seratus dirham, karena harta warisan menjadi dua ratus lima puluh dirham, sepertiganya adalah tiga puluh tiga dirham dan sepertiga dirham. Jika ditambahkan pada harga, yaitu seratus dirham, maka menjadi seratus tiga puluh tiga dirham dan sepertiga dirham. Maka ia mengambil dari budak sebagai harga, sehingga itu setara dengan lima per enam bagian budak dan setengah dari seperenam bagian budak. Sisanya tetap bersama ahli waris, yaitu setengah dari seperenam bagian budak dengan nilai enam belas dirham dan dua pertiga dirham, dan lima puluh dirham sebagai harta warisan, serta seratus dirham sebagai harga. Maka seluruhnya menjadi seratus enam puluh enam dirham dan dua pertiga dirham, dan itu dua kali lipat dari apa yang keluar melalui muḥābāh. Jika budak yang dijual oleh orang sakit itu seharga seratus dirham ternyata nilainya seratus lima puluh dirham, maka jual beli sah untuk seluruhnya walaupun tidak meninggalkan harta lain, karena nilai muḥābāh di dalamnya adalah lima puluh dirham, yaitu sepertiga dari nilainya, maka seluruhnya sah. Inilah hukum muḥābāh dalam jual beli.

فصل:

Fasal:

فأما الْمُحَابَاةُ فِي الشِّرَاءِ:

Adapun muḥābāh dalam pembelian:

فَهُوَ أَنْ يَشْتَرِيَ الْمَرِيضُ عَبْدًا بِمِائَتَيْ دِرْهَمٍ، يُسَاوِي مِائَةً.

Yaitu ketika orang sakit membeli seorang budak seharga dua ratus dirham, padahal nilainya hanya seratus dirham.

فَقَدْرُ الْمُحَابَاةِ فِي ثَمَنِهِ، مِائَةُ دِرْهَمٍ.

Maka nilai muḥābāh dalam harganya adalah seratus dirham.

فَإِنْ صَحَّ الْمُشْتَرِي مِنْ مَرَضِهِ، لَزِمَهُ دَفْعُ الْمِائَتَيْنِ ثَمَنًا. وَإِنْ مات من مَرِضِهِ، نُظِرَ فِي الْبَائِعِ، فَإِنْ كَانَ وَارِثًا، لَا تَجُوزُ لَهُ الْمُحَابَاةُ فِي الْمَرَضِ وَرُدَّتْ وَكَانَ مُخَيَّرًا بَيْنَ أَنْ يَمْضِيَ الْبَيْعُ فِي الْعَبْدِ كُلِّهِ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ الَّتِي هِيَ ثَمَنُ مِثْلِهِ، وَبَيْنَ أَنْ يُفْسَخَ وَيسترْجَعَ الْعَبْدُ، لِأَنَّهُ بَاعَهُ بِثَمَنٍ صَارَ لَهُ بَعْضُهُ، فَلِذَلِكَ ثَبَتَ لَهُ الْخِيَارُ.

Jika pembeli sembuh dari sakitnya, maka ia wajib membayar dua ratus dirham sebagai harga. Namun jika ia meninggal karena sakitnya, maka dilihat status penjualnya: jika penjual adalah ahli waris, maka muḥābāh tidak sah dalam keadaan sakit dan transaksi tersebut dibatalkan. Penjual diberi pilihan antara melanjutkan jual beli atas seluruh budak dengan harga seratus dirham, yaitu harga yang sepadan, atau membatalkan jual beli dan mengambil kembali budaknya, karena ia telah menjual dengan harga yang sebagian menjadi miliknya, sehingga ia berhak memilih.

فَإِنِ اخْتَارَ إِمْضَاءَ الْبَيْعِ، فَلَا خِيَارَ لِوَرَثَةِ الْمُشْتَرِي، لِأَنَّهُمْ لَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهِمْ نَقْصٌ.

Jika penjual memilih melanjutkan jual beli, maka tidak ada hak khiyār bagi ahli waris pembeli, karena tidak ada kerugian yang menimpa mereka.

وَإِنْ كَانَ الْبَائِعُ أَجْنَبِيًّا: فَإِنْ خَلَّفَ الْمُشْتَرِي مَعَ الثَّمَنِ مِائَةَ دِرْهَمٍ صَحَّتِ الْمُحَابَاةُ لأن التركة ثلاثة مائة دِرْهَمٍ، وَقَدْرَ الْمُحَابَاةِ مِائَةُ دِرْهَمٍ، وَهِيَ ثُلُثُ التركة.

Jika penjual adalah orang lain (bukan ahli waris), dan pembeli meninggalkan bersama harga itu seratus dirham, maka muḥābāh sah, karena harta warisan menjadi tiga ratus dirham, nilai muḥābāh adalah seratus dirham, dan itu adalah sepertiga dari harta warisan.

فلو وجد وَرَثَةُ الْمُشْتَرِي بِالْعَبْدِ عَيْبًا، لَمْ يَعْلَمْ بِهِ المشتري: كان لهم في الْخِيَار فِي فَسْخِ الْبَيْعِ، وَإِبْطَالِ الْمُحَابَاةِ، وَاسْتِرْجَاعِ الثَّمَنِ كُلِّهِ، لِأَنَّ الْمُحَابَاةَ إِنَّمَا تَلْزَمُهُمْ عِنْدَ احْتِمَالِ الثُّلُثِ لَهَا إِذَا لَمْ يَحْدُثْ خِيَارٌ يَسْتَحِقُّ بِهِ الْفَسْخَ.

Jika ahli waris pembeli menemukan cacat pada budak yang tidak diketahui oleh pembeli, maka mereka berhak memilih untuk membatalkan jual beli, membatalkan muḥābāh, dan mengambil kembali seluruh harga, karena muḥābāh hanya wajib atas mereka jika sepertiga harta warisan mencukupi, selama tidak terjadi khiyār yang membolehkan pembatalan.

أَلَا تَرَى أَنَّ الْمَرِيضَ لو رآه، لا يستحق بِهِ الْفَسْخَ. فَكَذَلِكَ وَرَثَتُهُ.

Tidakkah engkau melihat bahwa jika orang sakit itu sendiri melihat cacat tersebut, ia tidak berhak membatalkan jual beli? Maka demikian pula ahli warisnya.

وَإِنْ لَمْ يُخَلِّفِ الْمُشْتَرِي شَيْئًا سِوَى الثَّمَنِ وَهُوَ مِائَتَا دِرْهَمٍ: صَحَّتِ الْمُحَابَاةُ بِثُلُثِ الْمِائَتَيْنِ، وَذَلِكَ سِتَّةٌ وَسِتُّونَ دِرْهَمًا، وَثُلُثَا دِرْهَمٍ وَيَكُونُ لِلْبَائِعِ الْخِيَارُ فِي إِمْضَاءِ الْبَيْعِ فِي الْعَبْدِ كُلِّهِ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ وَسِتَّةٍ وَسِتِّينَ دِرْهَمًا وَثُلُثَيْ دِرْهَمٍ، وَيُرَدُّ الْبَاقِي الَّذِي لَا يَحْتَمِلُهُ الثُّلُثُ وَهُوَ ثَلَاثَةٌ وَثَلَاثُونَ دِرْهَمًا وَثُلُثُ دِرْهَمٍ.

Jika pembeli tidak meninggalkan apa pun selain harga, yaitu dua ratus dirham: maka sah muḥābāh (transaksi dengan harga di bawah nilai pasar karena kasih sayang) dengan sepertiga dari dua ratus, yaitu enam puluh enam dirham dan dua pertiga dirham. Penjual memiliki hak khiyār (pilihan) untuk melanjutkan penjualan seluruh budak dengan harga seratus enam puluh enam dirham dan dua pertiga dirham, dan sisanya yang tidak dapat ditanggung oleh sepertiga, yaitu tiga puluh tiga dirham dan sepertiga dirham, dikembalikan.

فَإِذَا عَادَ إِلَى الْوَرَثَةِ معهم عَبْدٌ يُسَاوِي مِائَةَ دِرْهَمٍ، صَارَ مَعَهُمْ مِائَةُ دِرْهَمٍ، وَثَلَاثَةٌ وَثَلَاثُونَ دِرْهَمًا، وَثُلُثُ دِرْهَمٍ، فَذَلِكَ مِثْلَا مَا خَرَجَ بِالْمُحَابَاةِ، ثُمَّ عَلَى هَذَا القياس.

Apabila warisan yang kembali kepada ahli waris bersama mereka adalah seorang budak yang nilainya seratus dirham, maka bersama mereka terdapat seratus dirham, tiga puluh tiga dirham, dan sepertiga dirham. Itu sama dengan dua kali lipat dari apa yang keluar karena muḥābāh, dan demikianlah seterusnya menurut qiyās (analogi).

ويكون الفرق بين المحاباة في الشراء، والمحاباة في البيع مِنْ وَجْهَيْنِ:

Perbedaan antara muḥābāh dalam pembelian dan muḥābāh dalam penjualan ada pada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: إِنَّ مَا لَا يَحْتَمِلُهُ الثُّلُثُ مِنَ الْمُحَابَاةِ فِي الْبَيْعِ يَكُونُ مَرْدُودًا مِنَ الْمَبِيعِ، دُونَ الثَّمَنِ. وَمَا لَا يَحْتَمِلُهُ الثُّلُثُ مِنَ الْمُحَابَاةِ فِي الشِّرَاءِ يَكُونُ مَرْدُودًا مِنَ الثَّمَنِ دُونَ الْمَبِيعِ.

Pertama: Apa yang tidak dapat ditanggung oleh sepertiga dari muḥābāh dalam penjualan, maka yang dikembalikan adalah dari barang yang dijual, bukan dari harga. Sedangkan apa yang tidak dapat ditanggung oleh sepertiga dari muḥābāh dalam pembelian, maka yang dikembalikan adalah dari harga, bukan dari barang yang dijual.

وَالْفَرْقُ الثَّانِي: إِنَّهُ إذا زادت الْمُحَابَاةُ فِي الْبَيْعِ، كَانَ الْخِيَارُ لِلْمُشْتَرِي دُونَ البائع.

Perbedaan kedua: Jika muḥābāh dalam penjualan melebihi batas, maka hak khiyār ada pada pembeli, bukan pada penjual.

وإذا زادت الْمُحَابَاةُ فِي الشِّرَاءِ، كَانَ الْخِيَارُ لِلْبَائِعِ دُونَ الْمُشْتَرِي، فَلَوِ اشْتَرَى الْمَرِيضُ مِنْ مَرِيضٍ عَبْدًا يُسَاوِي مِائَةَ دِرْهَمٍ، بِعَبْدٍ يُسَاوِي مِائَتَيْ دِرْهَمٍ. فَمُشْتَرِي الْعَبْدِ الْأَعْلَى غَابِنٌ فَلَا خِيَارَ لِوَرَثَتِهِ.

Dan jika muḥābāh dalam pembelian melebihi batas, maka hak khiyār ada pada penjual, bukan pada pembeli. Jika seorang sakit membeli dari orang sakit lain seorang budak yang nilainya seratus dirham dengan menukarnya dengan budak yang nilainya dua ratus dirham, maka pembeli budak yang lebih mahal adalah pihak yang menipu (ghābin), sehingga ahli warisnya tidak memiliki hak khiyār.

وَمُشْتَرِي الْعَبْدِ الْأَدْنَى مَغْبُونٌ. فَإِنْ لَمْ يُخَلِّفْ غَيْرَ الْعَبْدِ الَّذِي دَفَعَهُ ثَمَنًا وَقِيمَتُهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ، فَلِوَرَثَتِهِ أَخْذُ الْعَبْدِ الْأَدْنَى، بِخَمْسَةِ أَسْدَاسِ العبد الأعلى، ولورثة صاحب الغبن الأدنى الخيار في إمضاء البيع أو في الْفَسْخِ.

Sedangkan pembeli budak yang lebih murah adalah pihak yang dirugikan (maghbūn). Jika ia tidak meninggalkan selain budak yang ia serahkan sebagai harga dan nilainya dua ratus dirham, maka ahli warisnya berhak mengambil budak yang lebih murah dengan lima per enam dari budak yang lebih mahal, dan ahli waris pihak yang dirugikan yang lebih rendah memiliki pilihan untuk melanjutkan atau membatalkan penjualan.

وَهَكَذَا الْغَبْنُ فِي الْمَرَضِ يَجْرِي مَجْرَى الْمُحَابَاةِ فِي اعْتِبَارِهَا مِنَ الثُّلُثِ.

Demikian pula kerugian (ghabn) dalam keadaan sakit diperlakukan seperti muḥābāh dalam hal perhitungannya dari sepertiga.

فَلَوِ اشْتَرَى الْمَرِيضُ عَبْدًا بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِهِ، ثُمَّ اشْتَرَى عَبْدًا ثَانِيًا بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِهِ: فَإِنْ كَانَ الثلث يحتمل الْمُحَابَاةَ فِي الْعَبْدَيْنِ: لَزِمَتِ الْمُحَابَاةُ فِيهِمَا.

Jika orang sakit membeli seorang budak dengan harga lebih mahal dari nilainya, lalu membeli budak kedua juga dengan harga lebih mahal dari nilainya: jika sepertiga harta dapat menanggung muḥābāh pada kedua budak tersebut, maka muḥābāh pada keduanya menjadi sah.

وَإِنْ كان الثلث يحتمل المحاباة في أحدهما، ويعجز في الْآخَرِ، قُدِّمَتِ الْمُحَابَاةُ فِي الْأَوَّلِ، ثُمَّ جُعِلَ مَا بَقِيَ مِنَ الثُّلُثِ مَصْرُوفًا فِي مُحَابَاةِ الثَّانِي.

Jika sepertiga harta hanya dapat menanggung muḥābāh pada salah satu dari keduanya dan tidak cukup untuk yang lain, maka muḥābāh pada yang pertama didahulukan, lalu sisa sepertiga dialokasikan untuk muḥābāh pada yang kedua.

وَلَوْ كَانَ الثُّلُثُ بِقَدْرِ الْمُحَابَاةِ فِي الْعَبْدِ الْأَوَّلِ جُعِلَ الثُّلُثُ مَصْرُوفًا فِي مُحَابَاةِ العبد الأول وزادت الْمُحَابَاةُ فِي الْعَبْدِ الثَّانِي، فَعَلَى هَذَا: لَوْ وَجَدَ وَرَثَةُ الْمُشْتَرِي بِالْعَبْدِ الْأَوَّلِ عَيْبًا، فَلَهُمُ الْخِيَارُ فِي إِمْضَاءِ الْبَيْعِ فِيهِ، وَرَدِّهِ.

Jika sepertiga harta sama dengan muḥābāh pada budak pertama, maka sepertiga harta dialokasikan untuk muḥābāh pada budak pertama, dan muḥābāh pada budak kedua menjadi kelebihan. Dalam hal ini, jika ahli waris pembeli menemukan cacat pada budak pertama, mereka memiliki hak untuk melanjutkan atau membatalkan penjualan atasnya.

فَإِنْ أرضوه فَالْمُحَابَاةُ فِيهِ هِيَ اللَّازِمَةُ، دُونَ الْمُحَابَاةِ الثَّانِيَةِ.

Jika mereka menerima (budak tersebut), maka muḥābāh pada budak itu yang menjadi sah, bukan muḥābāh yang kedua.

وَإِنْ رَدُّوهُ: أُمْضِيَتِ الْمُحَابَاةُ فِي الْعَبْدِ الثَّانِي، وصار الثلث مصروفا إليهما، لأن الميت قد جعل ثلث ماله لها. وَإِنَّمَا اخْتَصَّ الْأَوَّلُ بِهِ لِتَقَدُّمِهِ. فَإِذَا امْتَنَعَ منه بالفسخ صار الثاني لِأَنَّ إِخْرَاجَ الثُّلُثِ لَازِمٌ لِلْوَرَثَةِ فِي حَقِّ أَحَدِهِمَا.

Jika mereka mengembalikannya, maka muḥābāh pada budak kedua yang dijalankan, dan sepertiga harta dialokasikan untuknya, karena si mayit telah menjadikan sepertiga hartanya untuk itu. Yang pertama hanya mendapatkannya karena didahulukan. Jika ia tidak jadi mendapatkannya karena pembatalan, maka yang kedua yang mendapatkannya, karena pengeluaran sepertiga harta itu wajib bagi ahli waris terhadap salah satu dari keduanya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَلَوِ اخْتَلَفَ وَرَثَةُ الْمَيِّتِ الْبَائِعُ، وَالْمُشْتَرِي، فَقَالَ وَرَثَةُ الْبَائِعِ لِلْمُشْتَرِي، حَابَاكَ فَبَاعَكَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَمَنِهِ، وَأَنْكَرَ الْمُشْتَرِي الْمُحَابَاةَ، أَوْ قَالَ وَرَثَةُ الْمُشْتَرِي لِلْبَائِعِ: حَابَاكَ فَاشْتَرَى مِنْكَ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِهِ، وَأَنْكَرَ الْبَائِعُ الْمُحَابَاةَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika terjadi perselisihan antara ahli waris penjual yang telah meninggal dan pembeli, lalu ahli waris penjual berkata kepada pembeli, “Ia telah bermuḥābāh kepadamu dan menjual kepadamu dengan harga di bawah nilainya,” sedangkan pembeli mengingkari adanya muḥābāh; atau ahli waris pembeli berkata kepada penjual, “Ia telah bermuḥābāh kepadamu dan membeli darimu dengan harga di atas nilainya,” sedangkan penjual mengingkari adanya muḥābāh, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ السِّلْعَةُ بَاقِيَةً.

Pertama: Barang masih ada.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ تَالِفَةً.

Kedua: Barang telah rusak/hilang.

فَإِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً: فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika barang masih ada, maka terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى أَنَّهَا: لَمْ تَزِدْ فِي بَدَنِهَا، وَلَا سُوقِهَا، وَلَمْ تنقص.

Pertama: Keduanya sepakat bahwa barang tersebut tidak bertambah baik secara fisik maupun nilainya, dan tidak pula berkurang.

وإن كَانَ كَذَلِكَ قُطِعَ اخْتِلَافُهُمَا بِتَقْوِيمِ مُقَوِّمَيْنِ، فَمَا قَالَاهُ مِنْ ظُهُورِ الْمُحَابَاةِ، أَوْ عَدَمِهَا عُمِلَ عَلَيْهِ.

Jika memang demikian, maka perselisihan keduanya diputuskan dengan penilaian dua orang penilai; apa yang mereka katakan tentang adanya muhabāh (pemberian kelebihan harga) atau tidak adanya, itulah yang dijadikan dasar.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَخْتَلِفَا مَعَ بَقَائِهَا فِي سُوقِهَا وَبَدَنِهَا. فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: yaitu keduanya berselisih sementara barang tersebut masih ada di pasarnya dan pada fisiknya. Maka ini terbagi menjadi dua jenis:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَذْكُرَ مُدَّعِي الْمُحَابَاةِ أَنَّهَا كَانَتْ زَائِدَةً فِي بَدَنِهَا، أَوْ سُوقِهَا عِنْدَ الْعَقْدِ، فَنَقَصَتْ عِنْدَ التَّقْوِيمِ.

Salah satunya: yaitu pihak yang mengklaim adanya muhabāh menyebutkan bahwa barang tersebut sebelumnya lebih (nilainya) pada fisiknya atau di pasarnya saat akad, lalu berkurang saat penilaian.

وَقَالَ مُنْكِرُ الْمُحَابَاةِ، لَمْ تَزَلْ نَاقِصَةً فِي سُوقِهَا وَبَدَنِهَا عِنْدَ الْعَقْدِ وَالتَّقْوِيمِ. فَالْقَوْلُ، قَوْلُ مُنْكِرِ الْمُحَابَاةِ مَعَ يَمِينِهِ، لأَنَّهُ مُنْكِرٌ لِمَا ادُّعِيَ عَلَيْهِ مِنْ تَقَدُّمِ الزِّيَادَةِ.

Sedangkan pihak yang mengingkari muhabāh mengatakan bahwa barang tersebut memang sudah kurang di pasarnya dan fisiknya baik saat akad maupun saat penilaian. Maka pendapat yang dipegang adalah pendapat pihak yang mengingkari muhabāh dengan sumpahnya, karena ia mengingkari adanya tambahan sebelumnya yang dituduhkan kepadanya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَذْكُرَ مُدَّعِي الْمُحَابَاةِ، أَنَّهَا لَمْ تَزَلْ عِنْدَ الْعَقْدِ وَالتَّقْوِيمِ عَلَى هَذِهِ الزِّيَادَةِ فِي سُوقِهَا وَبَدَنِهَا، وَيَذْكُرَ مُنْكِرُ الْمُحَابَاةِ أَنَّهَا كَانَتْ نَاقِصَةً عِنْدَ الْعَقْدِ، فَزَادَتْ عِنْدَ التَّقْوِيمِ فِي سُوقِهَا، أَوْ بَدَنِهَا.

Jenis kedua: yaitu pihak yang mengklaim muhabāh menyebutkan bahwa sejak akad hingga penilaian, barang tersebut tetap dalam keadaan lebih pada pasarnya dan fisiknya, sedangkan pihak yang mengingkari muhabāh menyebutkan bahwa barang tersebut saat akad dalam keadaan kurang, lalu bertambah saat penilaian pada pasarnya atau fisiknya.

فَالْقَوْلُ، قَوْلُ مُدَّعِي الْمُحَابَاةِ مَعَ يَمِينِهِ، لِأَنَّهُ مُنْكِرٌ لِتَقَدُّمِ النُّقْصَانِ فَهَذَا حُكْمُ اخْتِلَافِهِمَا، إِذَا كَانَتِ السِّلْعَةُ بَاقِيَةً.

Maka pendapat yang dipegang adalah pendapat pihak yang mengklaim muhabāh dengan sumpahnya, karena ia mengingkari adanya kekurangan sebelumnya. Inilah hukum perselisihan keduanya jika barang masih ada.

فَأَمَّا إِذَا كَانَتْ تَالِفَةً لَا يُمْكِنُ الرُّجُوعُ إِلَى تَقْوِيمِهَا، فَإِنَّهُمَا يَتَحَالَفَانِ، لأن اختلافهما في المحاباة مأول إِلَى الِاخْتِلَافِ فِي قَدْرِ الثَّمَنِ، أَوْ قَدْرِ المثمن.

Adapun jika barang tersebut telah rusak sehingga tidak mungkin lagi dilakukan penilaian, maka keduanya saling bersumpah, karena perselisihan mereka dalam muhabāh pada akhirnya bermuara pada perselisihan dalam kadar harga atau kadar barang yang diperjualbelikan.

وإذا باع المريض كد طعام يساوي ثلاث مائة درهم، لا مال له غيره، بكد شَعِيرٍ يُسَاوِي مِائَةَ دِرْهَمٍ، فَقَدْرُ الْمُحَابَاةِ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَالثُّلُثُ مِائَةُ دِرْهَمٍ، فَلِلْوَرَثَةِ أَنْ يَأْخُذُوا كد الشعير بثلثي كد الطَّعَامِ. وَقِيمَتُهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ، قَدْ دَخَلَهَا مِنَ الْمُحَابَاةِ قَدْرُ الثُّلُثِ، مِائَةُ دِرْهَمٍ، ثُمَّ الْخِيَارُ لِصَاحِبِ الشَّعِيرِ لِأَنَّهُ قَدْ أَخَذَ بِكُلِّ الشَّعِيرِ بَعْضَ الطَّعَامِ، وَلَا خِيَارَ لِصَاحِبِ الطَّعَامِ لِأَنَّهُ قَدْ أَخَذَ بِبَعْضِ الطَّعَامِ كُلَّ الشَّعِيرِ.

Jika seorang yang sakit menjual satu takaran makanan yang nilainya tiga ratus dirham, dan ia tidak memiliki harta lain selain itu, dengan satu takaran jelai yang nilainya seratus dirham, maka kadar muhabāh adalah dua ratus dirham, dan sepertiga dari tiga ratus dirham. Maka ahli waris berhak mengambil satu takaran jelai dengan dua pertiga takaran makanan. Nilainya dua ratus dirham, yang telah masuk ke dalamnya muhabāh sebesar sepertiganya, yaitu seratus dirham. Kemudian pilihan (untuk membatalkan atau melanjutkan akad) ada pada pemilik jelai, karena ia telah mengambil sebagian makanan dengan seluruh jelainya, dan tidak ada pilihan bagi pemilik makanan karena ia telah mengambil seluruh jelai dengan sebagian makanannya.

وَلَوْ كان كد الشَّعِيرِ يُسَاوِي مِائَةً وَخَمْسِينَ دِرْهَمًا، كَانَ لِوَرَثَةِ صاحب الطعام أن يأخذوا كد الشعير بخمسة أسداس كد الطَّعَامِ، لِأَنَّ الثُّلُثَ مِائَةُ دِرْهَمٍ، فَإِذَا زِدْتَهُ عَلَى ثَمَنِ الشَّعِيرِ، صَارَ مِائَتَيْنِ وَخَمْسِينَ دِرْهَمًا، وَذَلِكَ يُقَابِلُ خَمْسَةَ أَسْدَاسِ ثَمَنِ الطَّعَامِ فَلِذَلِكَ أخذ خمسة أسداسه.

Jika satu takaran jelai nilainya seratus lima puluh dirham, maka ahli waris pemilik makanan berhak mengambil satu takaran jelai dengan lima per enam takaran makanan, karena sepertiga dari tiga ratus dirham adalah seratus dirham. Jika jumlah itu ditambahkan ke harga jelai, menjadi dua ratus lima puluh dirham, dan itu setara dengan lima per enam harga makanan. Oleh karena itu, ia mengambil lima per enamnya.

فلو باع المريض كد طعام، يساوي مائتي درهم، بكد طَعَامٍ يُسَاوِي مِائَةَ دِرْهَمٍ، فَيَحْتَاجُ فِي اعْتِبَارِ هَذِهِ الْمُحَابَاةِ مِنَ الثُّلُثِ إِلَى أَنْ يَكُونَ الْخَارِجُ مِنْهَا دَاخِلًا فِي قَدْرٍ يَتَسَاوَى فِيهِ الطَّعَامُ بِالطَّعَامِ، لِأَنَّ التَّفَاضُلَ فِيهِ حَرَامٌ.

Jika orang sakit menjual satu takaran makanan yang nilainya dua ratus dirham dengan satu takaran makanan yang nilainya seratus dirham, maka dalam mempertimbangkan muhabāh dari sepertiga harta, diperlukan agar bagian yang keluar dari harta itu masuk dalam kadar yang mana makanan dengan makanan nilainya sama, karena kelebihan dalam pertukaran makanan dengan makanan adalah haram.

وَإِذَا كان كذلك: صح البيع في ثلثي كد من الطعام الأجود، بثلثي كد من الطعام الأدنى، لِأَنَّ التَّرِكَةَ مِائَتَا دِرْهَمٍ، ثُلُثُهَا سِتَّةٌ وَسِتُّونَ درهما وثلثا درهم، وقد حاباه في الكد الأجود بمائة درهم. فإذا أخذ ثلثي كده مِنَ الطَّعَامِ الْأَجْوَدِ قِيمَتُهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ، وَثَلَاثَةٌ وثلاثون درهما، وثلث درهم، بثلثي كد مِنَ الطَّعَامِ الْأَرْدَأ وَقِيمَتُهُ سِتَّةٌ وَسِتُّونَ دِرْهَمًا، وَثُلُثَا دِرْهَمٍ، كَانَ قَدْرُ الْمُحَابَاةِ بَيْنَهُمَا سِتَّةً وَسِتِّينَ دِرْهَمًا وَثُلُثَيْ دِرْهَمٍ وَهُوَ قَدْرُ الثُّلُثِ.

Jika demikian, maka sah jual beli pada dua pertiga takaran dari makanan yang lebih baik dengan dua pertiga takaran dari makanan yang lebih rendah, karena warisan adalah dua ratus dirham, sepertiganya adalah enam puluh enam dirham dan sepertiga dirham, dan ia telah memberikan muhabāh pada takaran yang lebih baik sebesar seratus dirham. Jika ia mengambil dua pertiga takaran dari makanan yang lebih baik yang nilainya seratus tiga puluh tiga dirham dan sepertiga dirham, dengan dua pertiga takaran dari makanan yang lebih rendah yang nilainya enam puluh enam dirham dan dua pertiga dirham, maka kadar muhabāh di antara keduanya adalah enam puluh enam dirham dan dua pertiga dirham, dan itu adalah sepertiga dari harta.

وأحضر بابا تصل إلى الاستخراج للعمل فِيهِ، بِأَنِ اسْتَخْرَجْتُهُ، سَهْلَ الطَّرِيقَةِ وَاضِحَ الْعَمَلِ، وَهُوَ أَنْ تَنْظُرَ قَدْرَ الْمُحَابَاةِ، وَقَدْرَ الثُّلُثِ ثُمَّ تَنْظُرُ قَدْرَ الثُّلُثِ وَالْمُحَابَاةِ فَإِذَا نَاسَبَهُ إلى جزء معلوم، فهو القدر الذي إن أنفذ الْبَيْعُ فِيهِ اسْتَوْعَبَ مَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ مِنَ المحاباة من غير تفاضل.

Saya telah menghadirkan satu bab yang dapat digunakan untuk penarikan hukum dalam praktik, yaitu dengan cara saya mengeluarkannya, mudah metodenya dan jelas penerapannya, yaitu: engkau melihat kadar muhabāh dan kadar sepertiga harta, kemudian engkau melihat kadar sepertiga dan muhabāh, lalu jika sesuai dengan suatu bagian tertentu, maka itulah kadar yang jika jual beli dijalankan di dalamnya, maka telah mencakup apa yang dapat ditanggung oleh sepertiga harta dari muhabāh tanpa adanya kelebihan (riba).

مثاله: أن تقول: إذا باعه الكد المساوي مائتي درهم بالكد الْمُسَاوِي مِائَةَ دِرْهَمٍ: إنَّ الْمُحَابَاةَ بَيْنَهُمَا مِائَةُ درهم، وقدر الثلث: ستة وستون درهما وثلث دِرْهَمٍ، فَإِذَا قَابَلْتَ بَيْنَ الثُّلُثِ وَالْمُحَابَاةِ، وَجَدْتَ الثُّلُثَ مُقَابِلًا لِثُلُثَيِ الْمُحَابَاةِ، فَتَعْلَمُ بِذَلِكَ أَنَّ ثُلُثَيِ الْمَعْقُودِ عَلَيْهِ إِذَا بِيعَ بِمِثْلِهِ: اسْتَوْعَبَ (ثلث) التركة.

Contohnya: Jika Anda mengatakan: Apabila ia menjual satu kadd yang setara dengan dua ratus dirham dengan satu kadd yang setara dengan seratus dirham: maka nilai muḥābāh (pemberian kelebihan) di antara keduanya adalah seratus dirham, dan sepertiganya adalah enam puluh enam dirham dan sepertiga dirham. Jika Anda membandingkan antara sepertiga dengan muḥābāh, Anda akan mendapati bahwa sepertiga itu setara dengan dua pertiga dari muḥābāh. Dengan demikian, Anda mengetahui bahwa dua pertiga dari barang yang diperjualbelikan, jika dijual dengan nilai yang sama, telah menghabiskan (sepertiga) harta warisan.

فعلى هذا: إذا باع كدا يساوي ثلاثة مائة درهم، بكد يُسَاوِي مِائَةَ دِرْهَمٍ فَعَمَلُهُ بِالْبَابِ الَّذِي قَدَّمْتُهُ أن تقول:

Berdasarkan hal ini: jika ia menjual satu kadd yang nilainya tiga ratus dirham dengan satu kadd yang nilainya seratus dirham, maka cara menghitungnya seperti yang telah saya jelaskan, yaitu Anda mengatakan:

قَدْرُ الْمُحَابَاةِ مِائَتَا دِرْهَمٍ، وَالثُّلُثُ مِائَةُ دِرْهَمٍ، والمائة نصف المائتين فيعلم أَنَّ قَدْرَهَا: يَحْتَمِلُ الثُّلُثَ مِنَ الْمُحَابَاةِ وَهُوَ نصف كد مِنَ الطَّعَامِ الْأَجْوَدِ قِيمَتُهُ مِائَةٌ وَخَمْسُونَ دِرْهَمًا، بنصف كد مِنَ الطَّعَامِ الْأَرْدَأ قِيمَتُهُ خَمْسُونَ دِرْهَمًا، وَبَيْنَهُمَا مِنَ الْفَضْلِ مِائَةُ دِرْهَمٍ هِيَ قَدْرُ الثُّلُثِ.

Nilai muḥābāh adalah dua ratus dirham, dan sepertiganya adalah seratus dirham, dan seratus adalah setengah dari dua ratus, sehingga diketahui bahwa nilainya: sepertiga dari muḥābāh, yaitu setengah kadd dari makanan yang lebih baik nilainya seratus lima puluh dirham, dengan setengah kadd dari makanan yang lebih rendah nilainya lima puluh dirham, dan kelebihan di antara keduanya adalah seratus dirham, itulah nilai sepertiga.

ولو باعه كد طعام يساوي أربع مائة درهم، بكد طعام يساوي مائة درهم، ويخلف البائع مع الكد مائتين درهم، فالتركة ست مائة، ثلثاها، مائتا درهم، وقدر المحاباة ثلاث مائة درهم، فكان الثلث، مقابل لثلثي المحاباة، فيصح البيع في ثلثي كد الطَّعَامِ الْجَيِّدِ قِيمَتُهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَسِتَّةٌ وَسِتُّونَ درهما وثلثا درهم، وبينهما من الفضل مائتي درهم هي قدر الثلث.

Jika ia menjual satu kadd makanan yang nilainya empat ratus dirham dengan satu kadd makanan yang nilainya seratus dirham, dan penjual masih memiliki dua ratus dirham bersama kadd tersebut, maka harta warisan menjadi enam ratus dirham, dua pertiganya adalah dua ratus dirham, dan nilai muḥābāh adalah tiga ratus dirham, sehingga sepertiga itu setara dengan dua pertiga muḥābāh. Maka sah jual beli pada dua pertiga kadd makanan yang baik nilainya dua ratus enam puluh enam dirham dan sepertiga dirham, dan kelebihan di antara keduanya adalah dua ratus dirham, itulah nilai sepertiga.

فلو باعه كدا من طعام يساوي خمس مائة درهم، بكد من طعام يساوي مائة درهم، وخلف مع الكد الذي باعه مائة درهم، فالتركة ست مائة درهم ثلثاها: مائتا درهم، وقد حاباه، بأربع مائة دِرْهَمٍ، فَكَانَ الثُّلُثُ نِصْفَ الْمُحَابَاةِ، فَيَصِحُّ الْبَيْعُ في نصف كد مِنَ الطَّعَامِ الْجَيِّدِ، قِيمَتُهُ مِائَتَانِ وَخَمْسُونَ دِرْهَمًا، بنصف كد مِنَ الطَّعَامِ الْأَرْدَأ قِيمَتُهُ خَمْسُونَ دِرْهَمًا، وَبَيْنَهُمَا مِنَ الْفَضْلِ مِائَتَا دِرْهَمٍ: هِيَ قَدْرُ الثُّلُثِ.

Jika ia menjual satu kadd makanan yang nilainya lima ratus dirham dengan satu kadd makanan yang nilainya seratus dirham, dan ia masih memiliki seratus dirham bersama kadd yang dijualnya, maka harta warisan menjadi enam ratus dirham, dua pertiganya adalah dua ratus dirham, dan ia telah memberikan muḥābāh sebesar empat ratus dirham, sehingga sepertiga itu adalah setengah dari muḥābāh. Maka sah jual beli pada setengah kadd makanan yang baik nilainya dua ratus lima puluh dirham, dengan setengah kadd makanan yang lebih rendah nilainya lima puluh dirham, dan kelebihan di antara keduanya adalah dua ratus dirham, itulah nilai sepertiga.

ثُمَّ عَلَى هَذَا الْقِيَاسِ: وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Kemudian, berdasarkan qiyās (analogi) seperti ini: dan Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ:

Fashal:

في الدور وبيع المريض

Tentang putaran (dawr) dan jual beli orang sakit

وإذا باع المريض على أخيه كد طعام يساوي مائتي درهم بكد شَعِيرٍ يُسَاوِي مِائَةَ دِرْهَمٍ، وَلَا مَالَ لَهُمَا غير الكد، ثُمَّ مَاتَ صَاحِبُ الشَّعِيرِ قَبْلَ أَخِيهِ، وَخَلَّفَ بِنْتًا وَأَخَاهُ، ثُمَّ مَاتَ صَاحِبُ الطَّعَامِ، وَخَلَّفَ ابنا:

Jika orang sakit menjual kepada saudaranya satu kadd makanan yang nilainya dua ratus dirham dengan satu kadd syair (gandum) yang nilainya seratus dirham, dan keduanya tidak memiliki harta selain kadd tersebut, kemudian pemilik syair meninggal dunia sebelum saudaranya, dan meninggalkan seorang anak perempuan dan saudaranya, lalu pemilik makanan meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki:

فالبيع في جميع الكد الطعام بجميع الكد الشَّعِيرِ، صَحِيحٌ، لِأَنَّ صَاحِبَ الشَّعِيرِ، بِتَقَدُّمِ مَوْتِهِ، قَدْ صَارَ غَيْرَ وَارِثٍ وَالْمُحَابَاةُ تَخْرُجُ مِنْ ثُلُثِ صَاحِبِ الطَّعَامِ، لِأَنَّ قَدْرَ الْمُحَابَاةِ بَيْنَ الكدين مِائَةُ دِرْهَمٍ، وَقَدْ صَارَ إِلَى صَاحِبِ الطَّعَامِ كد شعير يساوي مائة درهم، ثم ورث نصف الكد الطَّعَامِ، وَقِيمَتُهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ، فَصَارَ مَعَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ، وَذَلِكَ مِثْلَا مَا خَرَجَ بِالْمُحَابَاةِ.

Maka jual beli seluruh kadd makanan dengan seluruh kadd syair adalah sah, karena pemilik syair, dengan wafatnya lebih dahulu, telah menjadi bukan ahli waris, dan muḥābāh diambil dari sepertiga harta pemilik makanan, karena nilai muḥābāh antara kedua kadd adalah seratus dirham, dan telah sampai kepada pemilik makanan satu kadd syair yang nilainya seratus dirham, kemudian ia mewarisi setengah kadd makanan, yang nilainya seratus dirham, sehingga ia memiliki dua ratus dirham, dan itu sama dengan apa yang keluar karena muḥābāh.

وَبَابُ الْعَمَلِ فِيهِ، أَنْ تَقُولَ: تَرِكَةُ صَاحِبِ الطَّعَامِ مِائَتَا دِرْهَمٍ، وَقَدْ وَرِثَ نِصْفَ تَرِكَةِ أَخِيهِ خَمْسِينَ دِرْهَمًا، فَصَارَتِ التَّرِكَةُ مِائَتَيْنِ وَخَمْسِينَ دِرْهَمًا، الْخَارِجُ مِنْهَا بِالْمُحَابَاةِ سَهْمٌ مِنْ ثُلُثِهِ، قَدْ فوت نِصْفَهُ، فَأَسْقَطَهُ مِنَ الثُّلُثِ، يَبْقَى سَهْمَانِ وَنِصْفٌ، فَاقْسِمِ التَّرِكَةَ عَلَيْهَا، يَكُنْ قِسْطُ كُلِّ سَهْمٍ مِائَةَ دِرْهَمٍ، وَهُوَ قَدْرُ الْمُحَابَاةِ فَعَلَى هَذَا: لو باع المريض على أخيه كد طعام يساوي ثلاث مائة درهم، بكد شَعِيرٍ يُسَاوِي مِائَةَ دِرْهَمٍ، وَمَاتَ صَاحِبُ الشَّعِيرِ، وخلف مع كد الشَّعِيرِ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ، وَتَرَكَ بِنْتَيْنِ وَأَخَاهُ، ثُمَّ مَاتَ الْأَخُ صَاحِبُ الطَّعَامِ، وَهُوَ لَا يَمْلِكُ غيره، وترك ابنا، صح البيع في كد الشعير بخمسة أسداس كد الطعام.

Dan cara menghitungnya adalah: Anda mengatakan, harta warisan pemilik makanan adalah dua ratus dirham, dan ia mewarisi setengah harta warisan saudaranya sebesar lima puluh dirham, sehingga harta warisannya menjadi dua ratus lima puluh dirham, yang keluar darinya karena muḥābāh adalah satu bagian dari sepertiganya, ia telah kehilangan setengahnya, maka keluarkan dari sepertiga, tersisa dua setengah bagian, maka bagilah harta warisan atas bagian-bagian tersebut, maka bagian setiap bagian adalah seratus dirham, dan itulah nilai muḥābāh. Berdasarkan hal ini: jika orang sakit menjual kepada saudaranya satu kadd makanan yang nilainya tiga ratus dirham dengan satu kadd syair yang nilainya seratus dirham, lalu pemilik syair meninggal dunia dan meninggalkan bersama kadd syair dua ratus dirham, serta meninggalkan dua anak perempuan dan saudaranya, kemudian saudaranya pemilik makanan meninggal dunia, dan ia tidak memiliki harta selain itu, serta meninggalkan seorang anak laki-laki, maka sah jual beli kadd syair dengan lima per enam kadd makanan.

وعمله بالباب المقدم أن تقول: تركة صاحب الطعام ثلاثة مائة درهم، وتركة صاحب الشعير، ثلاث مائة دِرْهَمٍ، فَإِذَا وَرِثَ صَاحِبُ الطَّعَامِ مَعَ الْبِنْتَيْنِ ثُلُثَ تَرِكَةِ أَخِيهِ مِائَةَ دِرْهَمٍ، صَارَتْ تَرِكَتُهُ أربع مائة دِرْهَمٍ، فَالْخَارِجُ بِالْمُحَابَاةِ ثُلُثُهَا سَهْمٌ مِنْ ثَلَاثَةٍ، فَأَسْقِطْهُ مِنَ الثَّلَاثَةِ يَبْقَى سَهْمَانِ مِنْ ثَلَاثَةٍ، فَابْسُطْهَا أَرْبَاعًا، تَكُنْ ثَمَانِيَةً، ثُمَّ اقْسِمِ التَّرِكَةَ عليها وهي أربع مائة يَكُنْ قِسْطُ كُلِّ سَهْمٍ مِنْهَا خَمْسِينَ دِرْهَمًا، وَلِلْمُحَابَاةِ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ، تَكُنْ قَدْرُ الْمُحَابَاةِ، مِائَةَ دِرْهَمٍ وَخَمْسِينَ دِرْهَمًا، فَإِذَا ضَمَمْتَهُ إِلَى ثَمَنِ الشعير، وهو مائة درهم، فصار مِائَتَيْ دِرْهَمٍ وَخَمْسِينَ دِرْهَمًا، وَذَلِكَ يُقَابِلُ مِنْ كد الطعام خمسة أسداسه، لأن قيمته ثلاث مائة درهم، فيصح البيع في كد الشعير، بخمسة أسداس كد الطَّعَامِ، وَفَضْلُ مَا بَيْنَهُمَا مِائَةٌ وَخَمْسُونَ دِرْهَمًا، وَهُوَ قَدْرُ الْمُحَابَاةِ، وَقَدْ بَقِيَ مَعَ صَاحِبِ الطعام سدس كد قيمته خمسون درهما، وأخذ كد شَعِيرٍ قِيمَتُهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ، وَوَرِثَ مِنْ أَخِيهِ ثلث مائتي الدرهم ستة وستون درهما وثلث درهم، وثلث خمسة أسداس كد الطَّعَامِ، بِثَلَاثَةٍ وَثَمَانِينَ دِرْهَمًا وَثُلُثِ دِرْهَمٍ، فَصَارَ معه ثلاث مائة دِرْهَمٍ، وَهِيَ مِثْلَا مَا خَرَجَ بِالْمُحَابَاةِ، لِأَنَّ الْخَارِجَ بِهَا مِائَةٌ وَخَمْسُونَ دِرْهَمًا.

Dan cara penerapannya pada bab yang telah dijelaskan sebelumnya adalah sebagai berikut: katakanlah, harta warisan pemilik gandum adalah tiga ratus dirham, dan harta warisan pemilik jelai juga tiga ratus dirham. Jika pemilik gandum mewarisi sepertiga harta saudaranya bersama dua anak perempuan, yaitu seratus dirham, maka hartanya menjadi empat ratus dirham. Maka bagian yang keluar karena muhabāh adalah sepertiganya, yaitu satu bagian dari tiga, lalu kurangkan satu dari tiga sehingga tersisa dua bagian dari tiga. Kemudian, jadikanlah menjadi per empat, sehingga menjadi delapan. Setelah itu, bagilah harta warisan yang berjumlah empat ratus dirham atas delapan bagian, maka setiap bagian nilainya lima puluh dirham. Untuk muhabāh ada tiga bagian, yaitu seratus lima puluh dirham. Jika jumlah ini digabungkan dengan harga jelai, yaitu seratus dirham, maka menjadi dua ratus lima puluh dirham. Jumlah ini setara dengan lima per enam dari nilai gandum, karena nilainya tiga ratus dirham. Maka, jual beli pada harga jelai sah dengan lima per enam dari nilai gandum, dan kelebihan antara keduanya adalah seratus lima puluh dirham, yaitu nilai muhabāh. Sisa pada pemilik gandum adalah seperenam dari nilai gandum, yaitu lima puluh dirham, dan ia mengambil nilai jelai sebesar seratus dirham. Ia juga mewarisi dari saudaranya sepertiga dari dua ratus dirham, yaitu enam puluh enam dirham dan sepertiga dirham, serta sepertiga dari lima per enam nilai gandum, yaitu delapan puluh tiga dirham dan sepertiga dirham. Maka, jumlah yang dimilikinya menjadi tiga ratus dirham, yang sama dengan jumlah yang keluar karena muhabāh, karena yang keluar dengan muhabāh adalah seratus lima puluh dirham.

فَعَلَى هَذَا: لو كانت المسألة بحالها، وكان بدل كد الشعير الذي قيمته مائة درهم، كد طعام قيمته مائة درهم، يحرم التَّفَاضُلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الطَّعَامِ الْجَيِّدِ، الَّذِي قِيمَتُهُ ثلاثة مائة درهم.

Berdasarkan hal ini: jika kasusnya tetap seperti itu, dan pengganti nilai jelai yang seharga seratus dirham adalah nilai gandum yang juga seharga seratus dirham, maka diharamkan adanya perbedaan (tafāḍul) antara nilai tersebut dengan gandum yang berkualitas baik yang nilainya tiga ratus dirham.

وعمله بِالْبَابِ الَّذِي قَدَّمْتُ لَكَ اسْتِخْرَاجَهُ، فَقُلْتُ الْمُحَابَاةُ في الكد الأجود مائة دِرْهَمٍ، وَقَدْرُ مَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ مِنْهَا مِائَةٌ وَخَمْسُونَ دِرْهَمًا، عَلَى مَا بَيَّناهُ وَبَقِيَ مِنَ الْمِائَتَيْنِ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِهَا، فَيَصِحُّ الْبَيْعُ فِي ثَلَاثَةِ أرباع كد الطَّعَامِ الْأَجْوَدِ، وَقِيمَتُهُ مِائَتَانِ وَخَمْسَةٌ وَعِشْرُونَ دِرْهَمًا، بثلاثة أرباع كد مِنَ الطَّعَامِ الْأَدْوَنِ، وَقِيمَتُهُ خَمْسَةٌ وَسَبْعُونَ دِرْهَمًا، وَفَضْلُ مَا بَيْنَهُمَا مِنَ الْمُحَابَاةِ، مِائَةٌ وَخَمْسُونَ درهما، وهو قدر ما احتمله الثلث.

Cara penerapannya pada bab yang telah saya jelaskan untukmu adalah sebagai berikut: muhabāh pada nilai gandum yang lebih baik adalah seratus dirham, dan bagian yang dapat ditanggung oleh sepertiganya adalah seratus lima puluh dirham, sebagaimana telah kami jelaskan. Sisa dari dua ratus dirham adalah tiga per empatnya. Maka, jual beli sah pada tiga per empat nilai gandum yang lebih baik, yang nilainya dua ratus dua puluh lima dirham, dengan tiga per empat nilai gandum yang kualitasnya lebih rendah, yang nilainya tujuh puluh lima dirham. Kelebihan antara keduanya dari muhabāh adalah seratus lima puluh dirham, yaitu sebesar yang dapat ditanggung oleh sepertiga.

فَهَذَا آخِرُ مَا تَعَلَّقَ بِالدَّوْرِ الَّذِي نَعْمَلُ بِقِيَاسِهِ مَا أَغْفَلْنَاهُ.

Inilah akhir dari pembahasan yang berkaitan dengan putaran yang kita kerjakan dengan qiyās terhadap apa yang telah kita lewatkan.

وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.

Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ المزني: ” (وَقَالَ) فِي الْإِمْلَاءِ يَلْحَقُ الْمَيِّتَ مِنْ فِعْلِ غَيْرِهِ ثَلَاثٌ حَجٌّ يُؤَدَّى وَمَالٌ يُتَصَدَّقُ بِهِ عَنْهُ أو دين يقضى ودعاء أجاز النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْحَجَّ عَنِ الْمَيِّتِ وَنَدَبَ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى الدعاء وأمر به رسوله عليه الصلاة والسلام. فإذا أجاز له الحج حَيًّا جَازَ لَهُ مَيِّتًا وَكَذَلِكَ مَا تُطُوِّعَ به عنه من صدقة “.

Al-Muzani berkata: “(Dan beliau berkata) dalam al-Imlā’: Ada tiga hal yang dapat sampai kepada mayit dari perbuatan orang lain: haji yang dilaksanakan untuknya, harta yang disedekahkan atas namanya atau utang yang dilunasi, dan doa. Nabi ﷺ membolehkan haji untuk mayit, dan Allah Ta‘ālā menganjurkan untuk berdoa serta Rasul-Nya ﷺ memerintahkannya. Jika haji diperbolehkan baginya saat hidup, maka boleh pula baginya setelah wafat, demikian pula sedekah sunnah yang dilakukan atas namanya.”

قال الماوردي: وذهب قوم من أهل الكوفة، إِلَى أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَلْحَقُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ ثَوَابٌ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلا مَا سَعَى} ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَلْحَقَهُ الْإِيمَانُ إذا مات كافرا، بإيمان غيره عنه، لَمْ يَجُزْ أَنْ يَلْحَقَهُ ثَوَابُ فِعْلِ غَيْرِهِ عنه.

Al-Mawardi berkata: Sebagian ulama Kufah berpendapat bahwa mayit tidak mendapatkan pahala dari perbuatan orang lain setelah kematiannya, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ālā: {Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya} (QS. An-Najm: 39), dan karena ketika tidak boleh baginya mendapatkan keimanan jika mati dalam keadaan kafir melalui keimanan orang lain atas namanya, maka tidak boleh pula baginya memperoleh pahala dari perbuatan orang lain atas namanya.

وذهب بعض الْفُقَهَاء إِلَى أَنَّ الْمَيِّتَ قَدْ يَلْحَقُهُ الثَّوَابُ بفعل غَيْرِهِ عَلَى مَا سَنِصِفُهُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا} [الأحزاب: 56] .

Sebagian fuqahā’ berpendapat bahwa mayit dapat memperoleh pahala dari perbuatan orang lain, sebagaimana akan kami jelaskan, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya} (QS. Al-Ahzab: 56).

فَأَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِالصَّلَاةِ عَلَى نَبِيِّهِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَأْمُرَ بِمَا لَا يَقْبَلُهُ مِنَ الدُّعَاءِ.

Maka Allah Ta‘ālā memerintahkan untuk bershalawat kepada Nabi-Nya, dan tidak mungkin Allah memerintahkan sesuatu yang tidak diterima-Nya dari doa.

وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ} [الحشر: 10] . فَلَوْلَا تَأْثِيرُ هَذَا الدُّعَاءِ عِنْدَهُ لَمَا نَدَبَ إِلَيْهِ.

Dan Allah Ta‘ālā berfirman: {Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam iman} (QS. Al-Hasyr: 10). Jika doa ini tidak berpengaruh di sisi-Nya, tentu Allah tidak akan menganjurkannya.

وَرَوَى سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، رَوَاهُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ، انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا من ثلاثة أشياء، صَدَقَة جَارِيَة، أَوْ عِلْم يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَد صَالِح يَدْعُو لَهُ “.

Diriwayatkan oleh Sulaiman bin Bilal dari Al-‘Ala’ bin ‘Abdurrahman, yang meriwayatkannya dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.”

وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ: إِنَّ أمي اقتتلت نفسها، ولولا ذلك لتصدقت وأعطيت، أفيجز لي أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا؟ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: نعم فتصدقي عنها.

Diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa seorang wanita berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal mendadak, dan seandainya tidak demikian, tentu ia akan bersedekah dan memberi. Apakah boleh aku bersedekah atas namanya? Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: Ya, bersedekahlah untuknya.

قولها: اقتتلت نفسها، أَيْ مَاتَتْ فَلْتَةً مِنْ غَيْرِ وَصِيَّةٍ.

Perkataannya: “meninggal mendadak”, maksudnya adalah wafat secara tiba-tiba tanpa wasiat.

وَرَوَى عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ: إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ، أَفَيَنْفَعُهَا أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا؟ قال: نعم، قال فإن لي لمخرفا وَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا.

Diriwayatkan oleh ‘Amr bin Dinar, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas bahwa seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah wafat, apakah bermanfaat baginya jika aku bersedekah atas namanya? Beliau menjawab: Ya. Ia berkata: Aku memiliki sebuah kebun, dan aku persaksikan engkau bahwa aku telah bersedekah dengannya atas nama ibuku.

وَلِأَنَّ الصَّلَاةَ عَلَى الْمَيِّتِ وَاجِبَةٌ عَلَيْنَا، وَهِيَ دُعَاءٌ لَهُ، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الدُّعَاءُ لَاحِقًا بِهِ، مسموعا منه فِي صَلَاةٍ وَغَيْرِ صَلَاةٍ.

Karena shalat jenazah atas mayit adalah kewajiban kita, dan itu merupakan doa untuknya, maka hal itu menunjukkan bahwa doa dapat sampai kepadanya, baik dalam shalat maupun di luar shalat.

وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَحِقَ الْمَيِّتَ قَضَاءُ الدُّيُونِ عَنْهُ حَتَّى لَا يَكُونَ مُؤَاخَذًا بِهَا وَمُعَاقَبًا عَلَيْهَا، وَلَعَلَّهُ لَمْ يَجُزْ ذلك حين جَازَ فِي الصَّدَقَةِ، وَإِنْ لَمْ يُوصِ بِهِ حَيًّا.

Dan karena ketika pelunasan utang mayit dilakukan atas namanya, sehingga ia tidak lagi dibebani dan tidak dihukum karenanya, maka hal itu dibolehkan sebagaimana dibolehkannya sedekah atas namanya, meskipun ia tidak berwasiat ketika masih hidup.

فَأَمَّا قَوْله تَعَالَى: {وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلا مَا سَعَى} [النجم: 39] .

Adapun firman Allah Ta‘ala: {Dan bahwa manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya} [An-Najm: 39].

فَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ مَعْنَاهُ: وَأَنْ لَيْسَ عَلَى الْإِنْسَانِ. كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا} [الإسراء: 7] . أَيْ فَعَلَيْهَا، على أن ما مات عَنْ غَيْرِهِ فِيهِ، جَازَ أَنْ يَكُونَ فِي حكم ما يسعى في قصده.

Maka dimungkinkan maknanya adalah: dan bahwa tidak ada kewajiban atas manusia. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Dan jika kalian berbuat buruk, maka itu untuk diri kalian sendiri} [Al-Isra’: 7], yakni menjadi tanggungan mereka. Atas dasar bahwa apa yang dilakukan seseorang setelah kematiannya, boleh jadi termasuk dalam hukum apa yang diusahakannya dengan niatnya.

وَأَمَّا الْإِيمَانُ: فَإِنَّهُ لَا تَصِحُّ النِّيَابَةُ فِيهِ عَنِ الْحَيِّ، فَكَذَلِكَ عَنِ الْمَيِّتِ، وَلَيْسَ كَالصَّدَقَةِ، على أنه قد يتيسر حُكْمُ الْإِيمَانِ عَنِ الْإِنْسَانِ إِلَى غَيْرِهِ، كَمَا يكون الأب متيسرا إلى صغار ولده.

Adapun iman: maka tidak sah perwakilan (niyābah) di dalamnya atas nama orang yang masih hidup, demikian pula atas nama mayit, dan tidak seperti sedekah. Namun, terkadang hukum iman dapat berlaku dari seseorang kepada orang lain, seperti ayah yang menanggung keimanan anak-anaknya yang masih kecil.

فصل:

Fasal:

فإذا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ عَوْدِ الثَّوَابِ إِلَى الميت، بفعل غيره، فما يفعل عنه عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Jika telah tetap apa yang kami jelaskan tentang sampainya pahala kepada mayit melalui perbuatan orang lain, maka apa yang dilakukan untuknya terbagi menjadi empat bagian:

أَحَدُهَا: مَا يَجُوزُ أَنْ يُفْعَلَ عَنْهُ بِأَمْرِهِ وَغَيْرِ أَمْرِهِ.

Pertama: Apa yang boleh dilakukan atas namanya baik dengan izinnya maupun tanpa izinnya.

وذلك قضاء الديون، وَأَدَاءُ الزَّكَاةِ، وَفِعْلُ مَا وَجَبَ مِنْ حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ، وَالدُّعَاءُ لَهُ، وَالْقِرَاءَةُ عِنْدَ قَبْرِهِ.

Yaitu pelunasan utang, pembayaran zakat, pelaksanaan kewajiban haji atau umrah, doa untuknya, dan membaca Al-Qur’an di kuburannya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَا لَا يَجُوزُ فِعْلُهُ عَنْهُ بِأَمْرِهِ وَلَا بِغَيْرِ أَمْرِهِ.

Bagian kedua: Apa yang tidak boleh dilakukan atas namanya baik dengan izinnya maupun tanpa izinnya.

وَذَلِكَ: كُلُّ مَا لا تصح فيه النيابة من العبادات، كالصلاة والصيام وَكَانَ فِي الْقَدِيمِ: يَرَى جَوَازَ النِّيَابَةِ فِي صوم الفرض، إذا أناب عَنْهُ وَارِثٌ. وَفِي نِيَابَةِ الْأَجْنَبِيِّ عَنْهُ وَجْهَانِ: وَالْمَشْهُورُ عَنْهُ خِلَافُهُ.

Yaitu: semua ibadah yang tidak sah dilakukan dengan perwakilan, seperti shalat dan puasa. Dahulu ada pendapat yang membolehkan perwakilan dalam puasa wajib jika yang mewakili adalah ahli warisnya. Adapun perwakilan orang lain (bukan ahli waris), terdapat dua pendapat, dan pendapat yang masyhur adalah tidak membolehkannya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَا يَجُوزُ أَنْ يُفْعَلَ عَنْهُ بِأَمْرِهِ، وَلَا يَجُوزَ أَنْ يفعل عنه بغير أمره، وهو النذر بِالْعِتْقِ، لِمَا فِيهِ مِنْ لُحُوقِ الْوِلَايَةِ.

Bagian ketiga: Apa yang boleh dilakukan atas namanya dengan izinnya, dan tidak boleh tanpa izinnya, yaitu nadzar berupa memerdekakan budak, karena di dalamnya terdapat unsur perwalian.

وَالرَّابِعُ: مَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُفْعَلَ عَنْهُ بِغَيْرِ بأمره، وفي فعله عنه فأمره قولان: وهو حج التطوع.

Keempat: Apa yang tidak boleh dilakukan atas namanya tanpa izinnya, dan dalam pelaksanaannya atas namanya dengan izinnya terdapat dua pendapat, yaitu haji sunnah (tathawwu‘).

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” (وَقَالَ) فِي كِتَابٍ آخَرَ وَلَوْ أَوْصَى لَهُ وَلِمَنْ لَا يُحْصَى بِثُلُثِهِ فَالْقِيَاسُ أَنَّهُ كَأَحَدِهِمْ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “(Dan beliau berkata) dalam kitab lain: Jika seseorang berwasiat untuk seseorang dan untuk orang yang tidak terhitung jumlahnya dengan sepertiga hartanya, maka qiyās-nya adalah ia seperti salah satu dari mereka.”

قال الماوردي: وصورتها: في رجل أوصى بثلث ماله لزيد والمساكين فَلَا يَخْلُو حَالُ زَيْدٍ مِنْ أَنْ يَكُونَ غَنِيًّا أَوْ مِسْكِينًا، فَإِنْ كَانَ مِسْكِينًا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا يُعْطَى مِنَ الثُّلُثِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah: seseorang berwasiat sepertiga hartanya untuk Zaid dan untuk orang-orang miskin. Maka keadaan Zaid tidak lepas dari dua kemungkinan: ia kaya atau miskin. Jika ia miskin, maka para sahabat kami berbeda pendapat tentang berapa bagian yang diberikan kepadanya dari sepertiga harta, menjadi tiga pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ يَكُونُ كَأَحَدِهِمْ يُعْطِيهِ الْوَصِيُّ مَا يراه من قليل أو كثير فيعطاه أحد المساكين ويستفاد بتعينه أنه لَا يُحْرم.

Pertama: Dan ini adalah pendapat yang tampak dari perkataan Imam Syafi‘i: bahwa ia seperti salah satu dari mereka, maka wali (pelaksana wasiat) memberinya sesuai yang ia anggap pantas, sedikit atau banyak, sebagaimana diberikan kepada salah satu orang miskin, dan dengan penetapan namanya berarti ia tidak dihalangi dari menerima wasiat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُعْطَى الرُّبُعَ من الثلث الموصى به ويصرف ثلاثة أرباعه للمساكين لِأَنَّهُ قَدْ ذَكَرَهُ مَعَ جَمْعٍ أَقَلُّهُمْ ثَلَاثَةٌ، فصار معهم رابعا، فاختص بالرابع اعْتِبَارًا بِالتَّسْوِيَةِ ثُمَّ تَجُوزُ الثَّلَاثَةُ الْأَرْبَاعُ فِي أَكْثَر مِنْ ثَلَاثَةٍ تَفْضِيلًا وَتَسْوِيَةً.

Pendapat kedua: Ia diberikan seperempat dari sepertiga yang diwasiatkan dan tiga perempat sisanya diberikan kepada para miskin, karena ia telah disebutkan bersama sekelompok orang yang paling sedikit berjumlah tiga, sehingga ia menjadi yang keempat bersama mereka. Maka ia mendapatkan seperempat dengan pertimbangan pemerataan, kemudian tiga perempat sisanya boleh diberikan kepada lebih dari tiga orang, baik dengan cara memeratakan maupun mengutamakan.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ يُعْطَى النِّصْفَ مِنَ الثُّلُثِ لِأَنَّهُ جَعَلَ الثلث مصروفا في خمسين.

Pendapat ketiga: Ia diberikan setengah dari sepertiga karena ia menjadikan sepertiga itu dibagikan kepada lima puluh orang.

وإن كان غنيا ففيما يُعْطَاهُ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: الرُّبُعُ وَالثَّانِي النِّصْفُ فَأَمَّا جَعْلُهُ كَأَحَدِهِمْ فَلَا يَجُوزُ لِأَنَّ مُخَالَفَتَهُ فِي صفتهم تقتضي مخالفتهم فِي حُكْمِهِمْ.

Jika ia kaya, maka dalam hal apa yang diberikan kepadanya terdapat dua pendapat: Pertama, seperempat; kedua, setengah. Adapun menyamakannya dengan salah satu dari mereka, maka tidak diperbolehkan, karena perbedaan sifatnya dari mereka meniscayakan perbedaan dalam hukum mereka.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَلَوِ امْتَنَعَ الْمُسَمَّى مَعَ الْمَسَاكِينِ مِنْ قَبُولِ مَا جُعِلَ لَهُ مِنَ الثُّلُثِ لَمْ يَجُزْ رَدُّ حِصَّتِهِ عَلَى الْمَسَاكِينِ لِأَنَّهُ مُوصًى بِهِ لِغَيْرِهِمْ، وَصُرِفَ فِيهِمْ مَا سِوَى قَدْرِ اسْتِحْقَاقِهِ مِنَ الثُّلُثِ.

Jika orang yang disebutkan bersama para miskin menolak menerima bagian yang telah dijadikan untuknya dari sepertiga, maka tidak boleh mengembalikan bagiannya kepada para miskin, karena itu merupakan wasiat untuk selain mereka. Maka yang diberikan kepada mereka hanyalah selain bagian yang menjadi haknya dari sepertiga.

وَهَكَذَا: لَوْ أَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ لزيدٍ وَلِعَمْرٍو فَقَبِلَ زَيْدٌ وَلَمْ يَقْبَلْ عَمْرٌو كَانَ لِزَيْدٍ نِصْفُ الثُّلُثِ ويرجع ما كان لعمرو، ولو قبل كان مِيرَاثًا. وَلَوْ أَوْصَى بِعَبْدِهِ سَالِمٍ لِزَيْدٍ وَبِبَاقِي ثُلُثِهِ لِعَمْرٍو، فَمَاتَ عَبْدُهُ سَالِمٌ، قَبْلَ دَفْعِهِ في الوصية: قوم العبد كما لَوْ كَانَ حَيًّا يَوْمَ مَاتَ الْمُوصِي وَأُسْقِطَتْ قِيمَتُهُ مِنَ الثُّلُثِ. ثُمَّ دُفِعَ إِلَى عَمْرٍو مَا بَقِيَ مِنَ الثُّلُثِ بَعْدَ إِسْقَاطِ قِيمَةِ العبد.

Demikian pula: Jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya untuk Zaid dan Amr, lalu Zaid menerima dan Amr menolak, maka Zaid mendapatkan setengah dari sepertiga dan bagian Amr dikembalikan. Jika Amr menerima, maka itu menjadi warisan. Jika seseorang berwasiat budaknya, Salim, untuk Zaid dan sisa sepertiganya untuk Amr, lalu budaknya Salim meninggal sebelum diserahkan dalam wasiat, maka budak tersebut dinilai seakan-akan masih hidup pada hari wafatnya pewasiat dan nilainya dikurangkan dari sepertiga. Kemudian sisanya dari sepertiga setelah dikurangi nilai budak diberikan kepada Amr.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا أَوْصَى لِزَيْدٍ بِدِينَارٍ وَأَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَكَانَ زَيْدٌ فَقِيرًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يعطي غَيْرَ الدِّينَارِ لِأَنَّهُ بِالتَّقْدِيرِ قَدْ قطع اجتهاد الوصي وإعطائه زِيَادَةً عَلَى تَقْدِيرِهِ.

Jika seseorang berwasiat satu dinar untuk Zaid dan berwasiat sepertiga hartanya untuk para fakir, lalu Zaid ternyata fakir, maka tidak boleh diberikan kepadanya selain satu dinar, karena dengan penetapan itu, ijtihad pelaksana wasiat telah terputus dan pemberian lebih dari yang telah ditetapkan tidak diperbolehkan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ أَوْصَى رَجُلٌ بِثُلُثِ مَالِهِ لِزَيْدٍ وَوَلَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِزَيْدٍ وَلَدٌ فَلَهُ نِصْفُ الثُّلُثِ، وَإِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ وَاحِدًا كَانَ الثُّلُثُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ وَلَدِهِ نِصْفَيْنِ سَوَاءٌ كَانَ الْوَلَدُ ذَكَرًا أَوْ أُنْثَى وَإِنْ كَانُوا عَدَدًا فَفِيمَا لَزِيدٍ مِنْهُ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ لَهُ نِصْفَ الثُّلُثِ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ كَأَحَدِهِمْ.

Jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya untuk Zaid dan anak-anaknya, maka jika Zaid tidak memiliki anak, ia mendapatkan setengah dari sepertiga. Jika ia memiliki anak, dan anaknya satu orang, maka sepertiga itu dibagi dua sama rata antara dia dan anaknya, baik anak itu laki-laki maupun perempuan. Jika anaknya lebih dari satu, maka dalam hal bagian Zaid terdapat dua pendapat: Pertama, ia mendapatkan setengah dari sepertiga. Kedua, ia seperti salah satu dari mereka.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ قَالَ ادْفَعُوا ثُلُثِي إِلَى زَيْدٍ وَإِلَى جِبْرِيلَ دُفِعَ إِلَى زَيْدٍ نِصْفُ الثُّلُثِ وَكَانَ النِّصْفُ الْبَاقِي الَّذِي سَمَّاهُ لِجِبْرِيلَ رَاجِعًا إِلَى وَرَثَتِهِ. وَلَوْ قَالَ ادْفَعُوا ثُلُثِي إِلَى زَيْدٍ وَإِلَى الْمَلَائِكَةِ كَانَ فِي قَدْرِ مَا لِزَيْدٍ مِنْهُ وَجْهَانِ:

Jika seseorang berkata, “Berikan sepertiga hartaku kepada Zaid dan Jibril,” maka Zaid mendapatkan setengah dari sepertiga dan setengah sisanya yang disebutkan untuk Jibril dikembalikan kepada ahli warisnya. Jika ia berkata, “Berikan sepertiga hartaku kepada Zaid dan para malaikat,” maka dalam hal bagian Zaid terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: النِّصْفُ.

Pertama: Setengah.

وَالثَّانِي: الرُّبُعُ وَيُرَدُّ الْبَاقِي عَلَى الْوَرَثَةِ. وَلَوْ قَالَ ادْفَعُوا ثُلُثِي إِلَى زَيْدٍ وَالشَّيَاطِينِ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Kedua: Seperempat dan sisanya dikembalikan kepada ahli waris. Jika ia berkata, “Berikan sepertiga hartaku kepada Zaid dan setan,” maka terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّ لَهُ جَمِيعَ الثُّلُثِ.

Pertama: Ia mendapatkan seluruh sepertiga.

وَالثَّانِي: لَهُ نِصْفُ الثُّلُثِ.

Kedua: Ia mendapatkan setengah dari sepertiga.

وَالثَّالِثُ: رُبُعُ الثُّلُثِ ثُمَّ يُرَدُّ بَاقِي الثُّلُثِ عَلَى الورثة. ولو وقال اصْرِفُوا ثُلُثِي إِلَى زَيْدٍ وَالرِّيَاحِ كَانَ فِيمَا لَزِيدٍ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: جَمِيعُ الثُّلُثِ لِأَنَّ ذِكْرَ الرِّيَاحِ لَغْوٌ.

Ketiga: Seperempat dari sepertiga, lalu sisa sepertiga dikembalikan kepada ahli waris. Jika ia berkata, “Salurkan sepertiga hartaku kepada Zaid dan angin,” maka dalam hal bagian Zaid terdapat dua pendapat: Pertama, seluruh sepertiga untuknya karena penyebutan angin dianggap sia-sia.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ نِصْفُ الثُّلُثِ لِأَنَّهُ أَحَدُ الْجِهَتَيْنِ وَيَرْجِعُ النِّصْفُ الْآخَرُ عَلَى الْوَرَثَةِ.

Pendapat kedua: Ia mendapatkan setengah dari sepertiga karena ia salah satu dari dua pihak, dan setengah sisanya dikembalikan kepada ahli waris.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا أَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ لِبَنِي فُلَانٍ: فَإِنْ كَانُوا عَدَدًا مَحْصُورًا، صُرِفَ الثُّلُثُ فِي جَمِيعِهِمْ بِالسَّوِيَّةِ، مِنْ غَيْرِ تَفْضِيلِ كَبِيرٍ عَلَى صَغِيرٍ، وَلَا يَدْخُلُ فِيهِمُ الْإِنَاثُ لِأَنَّهُمْ غير بنين.

Jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya untuk Bani Fulan, maka jika mereka berjumlah terbatas, sepertiga itu dibagikan kepada mereka semua secara merata, tanpa mengutamakan yang tua atas yang muda, dan perempuan tidak termasuk di dalamnya karena mereka bukan “bani” (anak laki-laki).

فإن كانوا عددا لا يحصر كَبَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي تَمِيمٍ: فَفِي الْوَصِيَّةِ وَجْهَانِ:

Jika mereka berjumlah tidak terbatas seperti Bani Hasyim dan Bani Tamim, maka dalam wasiat tersebut terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلَةٌ لِتَعَذُّرِ الْوُصُولِ إِلَى جَمِيعِهِمِ.

Pertama: Tidak sah, karena mustahil sampai kepada mereka semua.

وَالثَّانِي: جَائِزَةٌ وَيُعْطَى الثُّلُث لِثَلَاثَةٍ فَصَاعِدًا عَلَى تَسْوِيَةٍ وَتَفْضِيلٍ، كَالْمَسَاكِينِ وَيَدْخُلُ الْإِنَاثُ فِيهِمْ عَلَى أَصَحِّ الْوَجْهَيْنِ اعْتِبَارًا بِالْقَبِيلَةِ.

Kedua: Sah, dan sepertiga diberikan kepada tiga orang atau lebih secara merata atau dengan keutamaan, seperti halnya para miskin, dan perempuan termasuk di dalamnya menurut pendapat yang paling kuat, dengan pertimbangan kabilah.

وَهَكَذَا لَوْ أَوْصَى بِثُلُثِهِ لِأَهْلِ الْبَصْرَةِ: كَانَ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ إِلَّا أن يزيد فَقُرَاءُ أَهْلِ الْبَصْرَةِ، فَيَجُوزُ وَجْهًا وَاحِدًا.

Demikian pula, jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya untuk penduduk Bashrah, maka hukumnya sama dengan dua pendapat sebelumnya, kecuali jika ia menambahkan “untuk fuqara’ penduduk Bashrah”, maka hal itu diperbolehkan menurut satu pendapat.

فَصْلٌ:

Fashl (Bagian):

وَلَوْ أَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ لِلَّهِ تَعَالَى وَلِزَيْدٍ فَفِيمَا لَزِيدٍ وَجْهَانِ:

Dan jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya untuk Allah Ta‘ala dan untuk Zaid, maka dalam bagian untuk Zaid terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهُ جَمِيعُ الثُّلُثِ ويكون ذكر الله تعالى افتتاحا للسلام تبركا بِاسْمِهِ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ} [الأنفال: 41] .

Salah satunya: Zaid mendapatkan seluruh sepertiga itu, dan penyebutan Allah Ta‘ala hanyalah sebagai pembuka salam dan untuk mengambil berkah dengan nama-Nya, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Dan ketahuilah bahwa apa saja yang kalian peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah dan Rasul} (al-Anfal: 41).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ لِزَيْدٍ نِصْفَ الثُّلُثِ لِأَنَّهُ أحد الجهتين للثلث وفي النصف وجهان: أحدهما: أن يَكُون مَصْرُوفًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُمُ الْغُزَاةُ. والثاني: في الفقراء والمساكين.

Pendapat kedua: Zaid mendapatkan setengah dari sepertiga, karena ia adalah salah satu dari dua pihak yang disebutkan dalam sepertiga itu. Dan pada setengah bagian ini terdapat dua pendapat: pertama, disalurkan di jalan Allah, yaitu untuk para mujahid; kedua, untuk orang-orang fakir dan miskin.

باب الوصية للقرابة من ذوي الأرحام

Bab Wasiat untuk Kerabat dari Dzawil Arham (kerabat yang bukan ahli waris)

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَوْ قَالَ ثُلُثِي لقرابتي أو لذوي وأرحمي لِأَرْحَامِي فَسَوَاءٌ مِنْ قِبَلِ الْأَبِ وَالَأُمِّ، وَأَقْرَبُهُمْ وَأَبْعَدُهُمْ وَأَغْنَاهُمْ وَأَفْقَرُهُمْ سَوَاءٌ لِأَنَّهُمْ أُعْطُوا بِاسْمِ القرابة كما أعطي من شهد القتال باسم الحضور وإن كان من قبيلة من قريش أعطي بقرابته المعروفة عند العامة فينظر إلى القبيلة التي ينسب إليها فيقال من بني عبد مناف ثم يقال وقد تفترق بنو عبد مناف فمن أيهم؟ قيل من بني عبد يزيد بن هاشم بن المطلب فإن قيل أفيتميز هؤلاء؟ قيل نعم هم قبائل فإن قيل فمن أيهم؟ قيل من بني عبيد بن عبد يزيد فإن قيل أفيتميز هؤلاء؟ قيل نعم بنو السائب بن عبيد بن عبد يزيد فإن قيل أفيتميز هؤلاء؟ قيل نعم بنو شافع وبنو علي وبنو عباس أو عياش شك المزني وكل هؤلاء بنو السائب فإن قيل أفيتميز هؤلاء؟ قيل نعم كل بطن من هؤلاء يتميز عن صاحبه فإذا كان من آل شافع قيل لقرابته هم آل شافع دون آل علي والعباس لأن كل هؤلاء متميز ظاهر “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berkata, ‘sepertiga hartaku untuk kerabatku’ atau ‘untuk dzawi arhamku’ atau ‘untuk rahimku’, maka sama saja baik dari jalur ayah maupun ibu, yang terdekat maupun yang terjauh, yang kaya maupun yang miskin, semuanya sama, karena mereka diberi atas nama kekerabatan sebagaimana orang yang hadir dalam peperangan diberi atas nama kehadiran. Jika ia berasal dari kabilah Quraisy, maka ia diberi karena kekerabatan yang dikenal secara umum. Maka dilihat kabilah yang ia nisbatkan, misal dari Bani Abd Manaf, lalu dikatakan, dan Bani Abd Manaf pun terbagi-bagi, dari mana mereka? Misal dari Bani Abd Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib. Jika ditanya, apakah mereka dapat dibedakan? Dijawab: ya, mereka adalah kabilah-kabilah. Jika ditanya, dari mana lagi? Dijawab: dari Bani Ubaid bin Abd Yazid. Jika ditanya, apakah mereka dapat dibedakan? Dijawab: ya, dari Bani as-Sa’ib bin Ubaid bin Abd Yazid. Jika ditanya, apakah mereka dapat dibedakan? Dijawab: ya, dari Bani Syafi‘, Bani Ali, dan Bani Abbas atau ‘Ayyasy (ada keraguan dari al-Muzani), dan semuanya adalah Bani as-Sa’ib. Jika ditanya, apakah mereka dapat dibedakan? Dijawab: ya, setiap cabang dari mereka berbeda dari yang lain. Jika ia dari keluarga Syafi‘, maka kerabatnya adalah keluarga Syafi‘ saja, bukan keluarga Ali atau Abbas, karena semuanya jelas berbeda.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْوَصِيَّةُ لِلْأَقَارِبِ فَمُسْتَحَبَّةٌ وَغَيْرُ واجبة لقوله تعالى: {وإذا حضر القسمة أولوا الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ} [النساء: 8] .

Al-Mawardi berkata: Adapun wasiat untuk kerabat, hukumnya mustahabb (dianjurkan) dan tidak wajib, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan apabila pembagian itu dihadiri oleh kerabat, anak yatim, dan orang miskin, maka berilah mereka sebagian darinya} (an-Nisa’: 8).

وَقَدْ ذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى وُجُوبِهَا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ} [الإسراء: 26] . وَذَهَبَ آخَرُونَ إِلَى بُطْلَانِهَا لِلْجَهْلِ بِعَدَدِهِمْ، وَأَنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ قَرَابَةٌ لأن أبيهم يَجْمَعُهُمْ.

Sebagian ulama berpendapat wajib, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan berikanlah kepada kerabat haknya} (al-Isra’: 26). Sementara yang lain berpendapat batal, karena tidak diketahui jumlah mereka, dan karena seluruh manusia adalah kerabat sebab mereka berasal dari satu ayah.

وَكِلَا الْقَوْلَيْنِ فَاسِدٌ، أَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ فَمَا قَدَّمْنَا مِنَ الْآيَةِ.

Kedua pendapat tersebut tidak benar. Adapun dalil bahwa wasiat kepada kerabat tidak wajib adalah ayat yang telah kami sebutkan sebelumnya.

وَأَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى بُطْلَانِ قَوْلِ مَنْ قَالَ إِنَّ الْوَصِيَّةَ لِلْأَقَارِبِ بَاطِلَةٌ لِلْجَهْلِ بِعَدَدِهِمْ فَمُنْتَقَضٌ بِالزَّكَاةِ، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَمَرَ بِإِخْرَاجِهَا إِلَى أَقْوَامٍ لَا يَنْحَصِرُ عَدَدُهُمْ ثُمَّ هِيَ وَاجِبَةٌ.

Adapun dalil bahwa pendapat yang menyatakan wasiat kepada kerabat batal karena tidak diketahui jumlah mereka adalah tidak benar, karena hal itu dapat dibantah dengan zakat. Allah Ta‘ala memerintahkan untuk menyalurkan zakat kepada golongan-golongan yang jumlahnya tidak terbatas, namun zakat tetap wajib.

فَصْلٌ:

Fashl (Bagian):

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الْوَصِيَّةِ لِلْقَرَابَةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي مُسْتَحِقِّ الْوَصِيَّةِ مِنْهُمْ عِنْدَ إِطْلَاقِ ذِكْرِهِمْ.

Jika telah tetap kebolehan wasiat kepada kerabat, maka para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang berhak menerima wasiat tersebut ketika disebutkan secara mutlak.

فَقَالَ أبو حنيفة: هُمْ كُلُّ ذِي رَحِمِ مَحْرَمٍ. وَقَالَ مَالِكٌ هُمْ كُلُّ مَنْ جَازَ أَنْ يَرِثَ دون من لا يرث مِنْ ذَوِي الْأَرْحَامِ.

Abu Hanifah berkata: Mereka adalah setiap dzurrahim mahram (kerabat yang haram dinikahi). Malik berkata: Mereka adalah setiap orang yang berhak mewarisi, bukan yang tidak berhak mewarisi dari dzawil arham.

وَقَالَ أبو يوسف ومحمد: هم كل من جمعه وإياهم أَوَّلُ أَبٍ فِي الْإِسْلَامِ.

Abu Yusuf dan Muhammad berkata: Mereka adalah setiap orang yang bersatu nasabnya dengan pewasiat pada ayah pertama dalam Islam.

وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ: إِلَى أَنَّهُمُ الْمَنْسُوبُونَ فِي عُرْفِ النَّاسِ إِلَى قَرَابَتِهِ المخصوصة إذا كان اسْمُ الْقَرَابَةِ فِي الْعُرْفِ جَامِعًا لَهُمْ، لِأَنَّ عُرْفَ الشَّرْعِ فِي سَهْمِ ذِي الْقُرْبَى لَمْ يَخُصَّ قَرِيبًا مِنْ بَعِيدٍ فَبَطَلَ بِهِ قَوْلُ أبي حنيفة حيث جعل ذلك لذوي الأرحام الْمَحَارِمِ وَبَطَلَ بِهِ قَوْلُ أَبِي يوسف حَيْثُ جَعَلَهُ لِمَنْ جَمَعَهُ أَوَّلُ أَبٍ فِي الْإِسْلَامِ، وَلِأَنَّ اسْمَ الْقَرَابَةِ يَنْطَلِقُ فِي الْعُرْفِ عَلَى ذَوِي الْأَرْحَامِ مِنَ الْعَمَّاتِ وَالْخَالَاتِ، فَبَطَلَ بِهِ قول مالك لأن مطلق كلام الموصي محمول على العرف شرعا أو عادة وعرفها جميعا بما قُلْنَا.

Asy-Syafi‘i berpendapat: Mereka adalah orang-orang yang secara adat masyarakat dinisbatkan sebagai kerabat khususnya, selama istilah kerabat dalam adat mencakup mereka. Karena dalam syariat, bagian dzul qurba (kerabat) tidak membedakan antara yang dekat dan yang jauh, maka batal pendapat Abu Hanifah yang membatasi pada dzawil arham mahram, dan batal pula pendapat Abu Yusuf yang membatasi pada yang bersatu pada ayah pertama dalam Islam. Dan karena istilah kerabat dalam adat berlaku untuk dzawil arham dari kalangan bibi dan tante, maka batal pula pendapat Malik, sebab ucapan mutlak pewasiat harus dibawa pada adat baik secara syariat maupun kebiasaan, dan keduanya telah kami jelaskan.

فَصْلٌ:

Fashl (Bagian):

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ مَا انْطَلَقَ عليه اسم القرابة عرفا وهو الْمُعْتَبَرُ. فَاعْتِبَارُهُ أَنْ يُنْظَرَ فِي الْمُوصِي، فَإِنْ كَانَ عَرَبِيًّا خَرَجَ مِنْهُ الْعَجَمُ، وَلَمْ يُدْفَعْ إِلَى كُلِّ الْعَرَبِ حَتَّى يُقَالَ مِنْ أَيِّهِمْ، فَإِذَا قِيلَ مِنْ مُضَرَ، قِيلَ مِنْ أَيِّهِمْ وَلِمَ يُدْفَعُ إِلَى جَمِيعِ مُضَرَ، فَإِذَا قِيلَ مِنْ قُرَيْشٍ لَمْ يُدْفَعْ إِلَى جَمِيعِهِمْ وَقِيلَ من أي قريش فإذا قيل بَنِي هَاشِمٍ لَمْ يُدْفَعْ إِلَى جَمِيعِهِمْ وَقِيلَ من أي بني هاشم.

Apabila telah dipastikan bahwa yang disebut sebagai kerabat menurut ‘urf (kebiasaan masyarakat) adalah yang dianggap relevan, maka cara mempertimbangkannya adalah dengan melihat pada pihak yang berwasiat. Jika ia seorang Arab, maka orang non-Arab dikeluarkan darinya, dan tidak diberikan kepada seluruh orang Arab hingga ditanyakan dari golongan mana mereka. Jika dikatakan dari Mudar, maka akan ditanyakan lagi dari golongan mana dari Mudar, dan tidak diberikan kepada seluruh Mudar. Jika dikatakan dari Quraisy, tidak diberikan kepada seluruh Quraisy, dan akan ditanyakan dari golongan mana dari Quraisy. Jika dikatakan dari Bani Hasyim, tidak diberikan kepada seluruh Bani Hasyim, dan akan ditanyakan dari golongan mana dari Bani Hasyim.

فإذا قيل عباس لَمْ يُدْفَعْ إِلَى كُلِّ عَبَّاسِيٍّ، وَإِنْ قِيلَ طَالِبِيٌّ: لَمْ يُدْفَعْ إِلَى كُلِّ طَالِبِيٍّ. فَإِذَا قيل في العباس مَنْصُورِيٌّ: لَمْ يُدْفَعْ إِلَى جَمِيعِهِمْ حَتَّى يُقَالَ من بني المأمون، أو من بَنِي الْمُهْتَدِي، فَيَدْفَعُ ذَلِكَ إِلَى آلِ الْمَأْمُونِ وَآلِ الْمُهْتَدِي.

Jika dikatakan Abbas, tidak diberikan kepada seluruh Abbasiy, dan jika dikatakan Thalibi, tidak diberikan kepada seluruh Thalibi. Jika dikatakan dalam Abbas, Mansuri, tidak diberikan kepada seluruh mereka hingga disebutkan dari Bani Ma’mun atau dari Bani Muhtadi, maka diberikanlah itu kepada keluarga Ma’mun dan keluarga Muhtadi.

فَإِنْ قِيلَ فِي الْمُطَّلِبي إنَّهُ عَلَوِيٌّ لَمْ يُدْفَعْ إِلَى جَمِيعِهِمْ حَتَّى يُقَالَ مِنْ أَيِّهِمْ. فَإِذَا قِيلَ حُسَيْنِيٌّ لَمْ يُدْفَعْ إِلَى جَمِيعِهِمْ حَتَّى يُقَالَ مِنْ أَيِّهِمْ. فَإِذَا قِيلَ زَيْدِيٌّ أَوْ مُوسَوِيٌّ دُفِعَ ذَلِكَ إِلَى آلِ زَيْدٍ وَآلِ مُوسَى.

Jika dikatakan tentang Muththalibi bahwa ia adalah Alawi, tidak diberikan kepada seluruh mereka hingga disebutkan dari golongan mana. Jika dikatakan Huseini, tidak diberikan kepada seluruh mereka hingga disebutkan dari golongan mana. Jika dikatakan Zaidi atau Musawi, maka diberikan itu kepada keluarga Zaid dan keluarga Musa.

وَقَدْ شَبَّهَ الشَّافِعِيُّ ذَلِكَ بِنَسَبِهِ، وَسَوَاءٌ اجْتَمَعُوا إِلَى أَرْبَعَةِ آبَاءٍ، أَوْ أَبْعَدَ.

Imam Syafi‘i telah menyerupakan hal itu dengan nasabnya, baik mereka berkumpul pada empat ayah atau lebih jauh lagi.

وَذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّ من اجتمع معه من الْأَبِ الرَّابِعِ كَانَ مِنْ قَرَابَتِهِ.

Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa siapa yang berkumpul dengannya pada ayah keempat, maka ia termasuk kerabatnya.

وَمَنِ اجْتَمَعَ بَعْدَ الرَّابِعِ خَرَجَ مِنَ الْقَرَابَةِ، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الرابع جعل قرابة مَنِ اجْتَمَعَ مَعَهُ فِي الْأَبِ الرَّابِعِ.

Dan siapa yang berkumpul setelah ayah keempat, maka ia keluar dari kategori kerabat, dengan alasan bahwa ayah keempat dijadikan sebagai batas kerabat bagi siapa yang berkumpul dengannya pada ayah keempat.

وَهَذَا خطأ، لأن جَعْلَهُمْ قَرَابَةً اعْتِبَارًا بِالنَّسَبِ الْأَشْهَرِ لَا تَعْلِيلًا بِالْأَبِ الرَّابِعِ.

Ini adalah kekeliruan, karena menjadikan mereka sebagai kerabat itu didasarkan pada nasab yang paling masyhur, bukan karena alasan ayah keempat.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ قَرَابَتُهُ من قبل أبيه أو قرابته من جهة أمه فتعتبر قرابة أمه كما اعتبرنا قَرَابَةَ أَبِيهِ.

Sama saja dalam hal ini, baik kerabatnya dari pihak ayah maupun kerabatnya dari pihak ibu; maka kerabat ibu dipertimbangkan sebagaimana kita mempertimbangkan kerabat ayahnya.

وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: لِذَوِي أَرْحَامِي فهو كقوله لقرابته، فَيُدْفَعُ إِلَى مَنْ كَانَ مِنْ قِبَلِ أَبِيهِ، وَمَنْ كَانَ مِنْ قِبَلِ أُمِّهِ.

Demikian pula jika ia berkata: “Untuk dzawil arhamku,” maka itu seperti ucapannya “untuk kerabatku,” sehingga diberikan kepada yang berasal dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.

وَذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى أَنَّ الْقَرَابَةَ: مَنْ كَانَ مِنْ قِبَلِ الْأَبِ، وَذَوِي الْأَرْحَامِ مَنْ كَانَ مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ.

Sebagian ulama berpendapat bahwa kerabat adalah yang berasal dari pihak ayah, sedangkan dzawil arham adalah yang berasal dari pihak ibu.

وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّ عُرْفَ النَّاسِ فِي الِاسْمَيْنِ يَنْطَلِقُ عَلَى مَنْ كَانَ مِنَ الْجِهَتَيْنِ.

Ini adalah pendapat yang rusak, karena ‘urf (kebiasaan masyarakat) dalam kedua istilah itu mencakup yang berasal dari kedua pihak.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَسَوَاءٌ مَنْ كَانَ مِنْهُمْ قَرِيبًا أَوْ بعيدا.

Sama saja, baik yang termasuk di antara mereka adalah kerabat dekat maupun jauh.

وَقَالَ أبو حنيفة: الْقَرِيبُ مِنْهُمْ أَحَقُّ مِنَ الْبَعِيدِ، فَجَعَلَ الْإِخْوَةَ أَوْلَى مِنْ بَنِيهِمْ، وَبَنِي الْإِخْوَةِ أَوْلَى مِنَ الْأَعْمَامِ، فَأَمَّا بَنُو الْأَعْمَامِ فَلَيْسُوا عِنْدَهُ مِنَ الْقَرَابَةِ.

Abu Hanifah berkata: Kerabat dekat di antara mereka lebih berhak daripada yang jauh; ia menjadikan saudara lebih utama daripada anak-anak mereka, dan anak-anak saudara lebih utama daripada paman-paman. Adapun anak-anak paman, menurutnya, tidak termasuk kerabat.

وَهَذَا فَاسِدٌ: لِأَنَّ اسْمَ الْقَرَابَةِ إِذَا انْطَلَقَ عَلَيْهِمْ مَعَ عَدَمِ مَنْ هُوَ أَقْرَبُ، انْطَلَقَ عَلَيْهِمْ مَعَ وُجُودِ مَنْ هُوَ أَقْرَبُ.

Ini adalah pendapat yang rusak, karena istilah kerabat jika berlaku atas mereka ketika tidak ada yang lebih dekat, maka berlaku pula atas mereka ketika ada yang lebih dekat.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَسَوَاءٌ مَنْ كَانَ مِنْهُمْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا. وَقَالَ مَالِكٌ: يَخْتَصُّ بِهِ الْفُقَرَاءُ مِنْهُمْ دُونَ الْأَغْنِيَاءِ.

Sama saja, baik di antara mereka ada yang kaya maupun yang miskin. Malik berkata: Yang berhak hanyalah orang-orang fakir di antara mereka, tidak termasuk yang kaya.

وَهَذَا فَاسِدٌ: لِأَنَّهُمْ أُعْطَوْا بِالِاسْمِ لَا بِالْحَاجَةِ فَاسْتَوَى فِيهِ الْغَنِيُّ وَالْفَقِيرُ كَالْمِيرَاثِ وَسَهْمِ ذَوِي الْقُرْبَى.

Ini adalah pendapat yang rusak, karena mereka diberikan berdasarkan nama (status kerabat), bukan karena kebutuhan, sehingga yang kaya dan yang miskin sama saja di dalamnya, seperti dalam warisan dan bagian dzawil qurba.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَيُسَوّى بَيْنَ ذُكُورِهِمْ وَإِنَاثِهِمْ.

Dan disamakan antara laki-laki dan perempuan di antara mereka.

وَحُكِيَ عَنِ الْحَسَنِ وَقَتَادَةَ: أَنَّهُ يُعْطى الذَّكَر مِثْلَ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ، كسهم ذي الْقُرْبَى.

Diriwayatkan dari al-Hasan dan Qatadah: bahwa laki-laki diberikan dua kali bagian perempuan, seperti bagian dzawil qurba.

وَهَذَا فَاسِدٌ: لِأَنَّهَا عَطِيَّةٌ لِمُسَمَّى فَأَشْبَهَتِ الهبات والصدقات، وأما سهم ذي الْقُرْبَى: فَإِنَّهُمْ لَمْ يَسْتَحِقُّوهُ بِالْقَرَابَةِ وَحْدَهَا، وَإِنَّمَا اسْتَحَقُّوهُ بِالنُّصْرَةِ مَعَ الْقَرَابَةِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ أَخْرَجَ بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ وَنَوْفَلٍ وَأَدْخَلَ بَنِي الْمُطَّلِبِ وَقَرَابَتَهُمْ وَاحِدَةً. لِأَنَّ بَنِي الْمَطَّلِبِ نَصَرُوا بَنِي هَاشِمٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَالْإِسْلَامِ وَإِذَا اسْتَحَقُّوا بِالنُّصْرَةِ مَعَ الْقَرَابَةِ، فُضِّلَ الرِّجَالُ عَلَى النِّسَاءِ لاختصاصهم بالنصرة.

Ini adalah pendapat yang rusak, karena ini adalah pemberian untuk suatu nama (status kerabat), sehingga menyerupai hibah dan sedekah. Adapun bagian dzawil qurba, mereka tidak mendapatkannya hanya karena kerabat, melainkan karena pertolongan bersama kerabat. Bukankah engkau melihat bahwa Bani Abd Syams dan Naufal dikeluarkan, sedangkan Bani Muththalib dan kerabat mereka disertakan, padahal kerabat mereka sama? Karena Bani Muththalib menolong Bani Hasyim pada masa jahiliyah dan Islam. Jika mereka berhak karena pertolongan bersama kerabat, maka laki-laki diutamakan atas perempuan karena khususnya mereka dalam memberikan pertolongan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَيَدْخُلُ فِيهِمْ مَنْ لَمْ يَرِثْ مِنَ الْآبَاءِ وَالْأَبْنَاءِ.

Dan termasuk di dalamnya adalah mereka yang tidak mewarisi dari kalangan ayah dan anak.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: مَنْ لَمْ يَجْعَلِ الْآبَاءَ وَالْأَبْنَاءَ مِنَ الْقَرَابَةِ وَهَذَا خَطَأٌ لِمَا قِيلَ فِي قَوْله تَعَالَى: {لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ} [البقرة: 180] أَنَّهُمُ الْأَوْلَادُ.

Dan di antara para ahli fiqh ada yang tidak memasukkan ayah dan anak ke dalam kategori kerabat, dan ini adalah kekeliruan karena sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta‘ala: {untuk kedua orang tua dan kerabat} [al-Baqarah: 180], yang dimaksud dengan kerabat di sini adalah anak-anak.

وَلَمَّا نَزَلَ قَوْله تَعَالَى: {وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ} [الشعراء: 214] . كَانَتْ فَاطِمَةُ فِي جُمْلَةِ مَنْ دَعَاهَا لِلْإِنْذَارِ.

Dan ketika turun firman Allah Ta‘ala: {Dan berilah peringatan kepada kerabat terdekatmu} [asy-Syu‘ara: 214], Fathimah termasuk di antara orang-orang yang dipanggil untuk menerima peringatan tersebut.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا نُظِرَ فِي أَقَارِبِهِ، فَإِنْ كَانُوا عَدَدًا محصورا فرق الثُّلُثُ عَلَى جَمِيعِهِمْ بِالتَّسْوِيَةِ بَيْنَ قَرِيبِهِمْ وَبِعِيدِهِمْ، وَصَغِيرِهِمْ، وَكَبِيرِهِمْ، وَغَنِيِّهِمْ، وَفَقِيرِهِمْ، ذُكُورِهِمْ، وَإِنَاثِهِمْ، وَلَوْ مُنِعَ أَحَدُهُمْ مِنْ سَهْمِهِ كَانَ الْوَصِيُّ الْمَانِعُ لَهُ ضَامِنًا بِقَدْرِ حَقِّهِ. وَلَوْ رَدَّ أَحَدُهُمْ سَهْمَهُ مِنَ الْوَصِيَّةِ وَلَمْ يَقْبَلْ كَانَ رَاجِعًا إِلَى الْوَرَثَةِ فِي التَّرِكَةِ، وَلَا يَرْجِعُ إِلَى بَاقِي الْقَرَابَةِ.

Apabila telah tetap sebagaimana yang kami jelaskan, maka diperhatikan kerabatnya. Jika mereka berjumlah terbatas, maka sepertiga (harta wasiat) dibagi rata kepada semuanya, baik yang dekat maupun yang jauh, yang kecil maupun yang besar, yang kaya maupun yang miskin, laki-laki maupun perempuan. Jika salah satu dari mereka dihalangi dari bagiannya, maka pelaksana wasiat yang menghalanginya wajib menanggung sesuai haknya. Jika salah satu dari mereka menolak bagiannya dari wasiat dan tidak menerimanya, maka bagian itu kembali kepada para ahli waris dalam harta peninggalan, dan tidak kembali kepada sisa kerabat lainnya.

وَإِنْ كَانَ أَقَارِبُهُ عَدَدًا كَبِيرًا لَا يَنْحَصِرُونَ جَازَ الِاقْتِصَارُ عَلَى بَعْضِهِمْ كَالْفُقَرَاءِ، فَيَدْفَعُهُ إِلَى ثَلَاثَةٍ فَصَاعِدًا مِنْهُمْ، وَيَجُوزُ لَهُ التَّفْضِيلُ بَيْنَهُمْ، لِأَنَّ كُلَّ مَوْضِعٍ لَمْ يَلْزَمْ إِعْطَاءُ الْجَمِيعِ، لَمْ يَحْرُمِ التَّفْضِيلُ، فَلَوْ أَنَّ مَنْ صُرِفَ الثُّلُثُ إِلَيْهِ لَمْ يَقْبَلْهُ. لَمْ يَعُدْ مِيرَاثًا وَصُرِفَ إِلَى غَيْرِهِ مِنَ الْقَرَابَةِ.

Jika kerabatnya berjumlah banyak sehingga tidak dapat dihitung, maka boleh diberikan hanya kepada sebagian dari mereka, seperti kepada yang fakir, dan diberikan kepada tiga orang atau lebih dari mereka. Boleh juga memberikan keutamaan di antara mereka, karena setiap keadaan yang tidak mewajibkan pemberian kepada semuanya, maka tidak diharamkan adanya keutamaan. Jika orang yang diberikan sepertiga (harta wasiat) tidak menerimanya, maka tidak kembali menjadi warisan, melainkan diberikan kepada kerabat lain.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا الزَّوْجُ وَالزَّوْجَةُ فَلَا يَدْخُلَانِ فِي اسْمِ الْقَرَابَةِ، وَكَذَلِكَ الْمُعْتَقُ وَالرَّضِيعُ.

Adapun suami dan istri, maka keduanya tidak termasuk dalam istilah kerabat, demikian pula orang yang memerdekakan (mu‘taq) dan anak susuan (radhi‘).

وَلَوْ أَوْصَى لِأَهْلِهِ فَهُمُ الْقَرَابَةُ، وَفِي دُخُولِ الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ مَعَهُمْ دُونَ الْمُعْتَقِ وَالرَّضِيعِ وَجْهَانِ، وَلَكِنْ لَوْ أَوْصَى لِعصبَتِهِ دَخَلَ فِيهِمُ الْمُعْتَقُ دُونَ الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ وَدُونَ ذَوِي الْأَرْحَامِ وَإِنْ كانوا قرابة.

Jika seseorang berwasiat untuk “keluarganya”, maka yang dimaksud adalah kerabatnya. Terkait masuknya suami dan istri bersama mereka, tanpa mu‘taq dan radhi‘, terdapat dua pendapat. Namun jika berwasiat untuk ‘ashabah-nya, maka mu‘taq termasuk di dalamnya, sedangkan suami dan istri serta dzawil arham tidak termasuk, meskipun mereka adalah kerabat.

فصل:

Fasal:

ولو أوصى لمناسبه فَهُوَ لِمَنْ يَنْتَسِبُ إِلَى الْمُوصِي مِنْ أَوْلَادِهِ الَّذِينَ يَرْجِعُونَ إِلَيْهِ فِي نَسَبِهِمْ دُونَ مَنْ علا من آبائه الذي يَرْجِعُ الْمُوصِي إِلَيْهِمْ فِي نَسَبِهِ لِأَنَّهُ أَضَافَ نَسَبَهُمْ إِلَيْهِ، وَنَسَبُ الْآبَاءِ لَا يَرْجِعُ إِلَى الْوَلَدِ.

Jika seseorang berwasiat untuk “munasib”-nya, maka yang dimaksud adalah anak-anaknya yang nasabnya kembali kepada pewasiat, bukan ayah-ayahnya yang nasab pewasiat kembali kepada mereka. Karena ia menisbatkan nasab mereka kepadanya, sedangkan nasab ayah tidak kembali kepada anak.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي دُخُولِ أَوْلَادِ بَنَاتِهِ فيهم على وجهين:

Para ulama kami berbeda pendapat tentang masuknya anak-anak perempuan (cucu dari anak perempuan) ke dalam kategori tersebut, ada dua pendapat:

أحدهما: يدخلون فيهم لِأَنَّهُمْ مِنْ وَلَدِهِ.

Pertama: Mereka termasuk di dalamnya karena mereka adalah bagian dari anaknya.

وَالثَّانِي: وَهُوَ أَشْبَهُ أَنَّهُمْ لَا يَدْخُلُونَ فِيهِ لِأَنَّهُمْ يَرْجِعُونَ فِي النَّسَبِ إِلَى آبَائِهِمْ.

Kedua, dan ini yang lebih kuat: Mereka tidak termasuk di dalamnya karena nasab mereka kembali kepada ayah-ayah mereka.

وَلَكِنْ لَوْ قَالَ ادْفَعُوا ثُلُثِي لِمَنْ أُنَاسِبُهُ دَخَلَ فِيهِمُ الْآبَاءُ دُونَ الْأَبْنَاءِ وَدَخَلَ فِيهِمُ الْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ، وَالْأَعْمَامُ وَالْعَمَّاتُ.

Namun, jika ia berkata, “Berikan sepertiga hartaku kepada orang yang aku punya hubungan nasab dengannya (unasibuhu),” maka ayah-ayahnya termasuk di dalamnya, bukan anak-anaknya, dan juga termasuk saudara laki-laki, saudara perempuan, paman, dan bibi.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي دُخُولِ الْأَجْدَادِ فِيهِمْ وَالْجَدَّاتِ عَلَى وَجْهَيْنِ كَاخْتِلَافِهِمْ فِي أَوْلَادِ الْبَنَاتِ. وَلَكِنْ لَا يَدْخُلُ فِيهِمُ الْأَخْوَالُ وَالْخَالَاتُ وَلَا الْإِخْوَةُ لِلْأُمِّ لأنهم غير مناسبة، بخلاف الأم المختصة بالولادة والبعضية.

Para ulama kami juga berbeda pendapat tentang masuknya kakek-nenek ke dalam kategori tersebut, sebagaimana perbedaan mereka tentang anak-anak perempuan. Namun, paman dan bibi dari pihak ibu, serta saudara seibu, tidak termasuk di dalamnya karena mereka bukan munasabah, berbeda dengan ibu yang khusus dalam kelahiran dan sebagian hubungan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ أَوْصَى لِوَرَثَةِ زَيْدٍ فَالْوَصِيَّةُ مَوْقُوفَةٌ حتى يموت زيد، ثم تدفع الْوَصِيَّةُ إِلَى مَنْ وَرِثَهُ وَلَا اعْتِبَارَ بِمَنْ كَانَ مَنْسُوبًا إِلَى وَرَثَتِهِ فِي حَيَاتِهِ لِأَنَّ الْوَارِثَ مَنْ حَازَ الْمِيرَاثَ، وَقَدْ يَجُوزُ أَن لا يَرِثَهُ هَؤُلَاءِ لِحُدُوثِ مَنْ يَحْجُبُهُمْ.

Jika seseorang berwasiat untuk “ahli waris Zaid”, maka wasiat itu ditangguhkan sampai Zaid wafat, kemudian wasiat diberikan kepada siapa saja yang mewarisinya. Tidak diperhatikan siapa yang dinisbatkan kepada ahli warisnya semasa hidupnya, karena ahli waris adalah orang yang benar-benar memperoleh warisan. Bisa jadi orang-orang tersebut tidak mewarisinya karena ada yang menghalangi mereka.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولو قال لأقربهم بي رحما أعطي أقربهم بأبيه وأمه سواء وأيهم جمع قرابة الأب والأم كان أقرب ممن انفرد بأب أو أم فإن كان أخ وجد للأخ في قول من جعله أولى بولاء الموالي “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Kepada kerabatku yang paling dekat hubungan rahim denganku,’ maka diberikan kepada yang paling dekat dari pihak ayah dan ibu secara sama. Siapa yang mengumpulkan hubungan kekerabatan dari ayah dan ibu, maka ia lebih dekat daripada yang hanya dari ayah atau ibu saja. Jika itu adalah saudara, maka saudara lebih utama menurut pendapat yang mengutamakannya dalam hak wala’ (hubungan perwalian) para mawali.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا فِي الْوَصِيَّةِ لِلْقَرَابَةِ أَنَّهُ يَشْتَرِكُ فِيهَا الْقَرِيبُ وَالْبَعِيدُ إِذَا كَانَ اسْمُ الْقَرَابَةِ عَلَيْهِمْ مُنْطَلِقًا، أَوْ كَانَ فِي جُمْلَتِهُمْ دَاخِلًا.

Al-Mawardi berkata: Kami telah sebutkan dalam wasiat untuk kerabat bahwa kerabat dekat dan jauh sama-sama berhak jika istilah “kerabat” berlaku atas mereka atau mereka termasuk dalam kelompok tersebut.

فَأَمَّا إِذَا قَالَ ثُلُثِي لِأَقْرَبِ الناس إلي أو قال لأقربهم رحما لي فَلَا حَقَّ فِيهِ لِلْأَبْعَدِ مَعَ وُجُودِ مَنْ هو أقرب. وإذا كان هكذا راعيت الدرجة، فأيهما كان أقرب كان أحق، وإن استوت الدرجة تشاركوا، وَيَسْتَوِي فِيهِ مَنْ أَدْلَى بِأُمٍّ، وَمَنْ أَدْلَى بِأَبٍ، فَإِنْ كَانَ فِيهِمْ مَنْ أَدْلَى بِالْأَبَوَيْنِ مَعًا كَانَ أَوْلَى مِمَّنْ أَدْلَى بِأَحَدِهِمَا.

Adapun jika seseorang berkata, “Sepertiga hartaku untuk kerabat terdekatku” atau berkata, “Untuk yang paling dekat hubungan darah denganku,” maka yang lebih jauh tidak memiliki hak selama masih ada yang lebih dekat. Jika demikian, maka yang diperhatikan adalah derajat kekerabatan; siapa yang lebih dekat, dialah yang lebih berhak. Jika derajatnya sama, mereka berbagi sama rata. Dalam hal ini, sama saja apakah kekerabatan itu melalui ibu atau melalui ayah. Jika di antara mereka ada yang memiliki hubungan melalui kedua orang tua sekaligus, maka ia lebih berhak daripada yang hanya melalui salah satunya.

فَعَلَى هَذَا: الْأَوْلَادُ عَمُودٌ، وَهُمْ أَقْرَبُ مِنَ الْآبَاءِ، لِأَنَّهُمْ بَعْضُ الْمُوصى، وَأَقْرَبُ الْأَوْلَادِ صُلْبُهُ فَإِنْ كَانَ وَاحِدًا أَخَذَ الثُّلُثَ كُلَّهُ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا، وَارِثًا أَوْ غَيْرَ وَارِثٍ إِذَا أَجَازَ الْوَرَثَةُ الْوَصِيَّةَ لِلْوَارِثِ بِخِلَافِ مَا لَوْ قَالَ لِقَرَابَتِي فَلَا يَدْخُلُ فِيهِمْ وَارِثٌ لِأَنَّهُ بِالْأَقْرَبِ قَدْ عَيَّنَ به ثُمَّ هُوَ بَعْدَ أَوْلَادِ صُلْبِهِ لِأَوْلَادِ وَلَدِهِ دُونَ مَنْ نَزَلَ عَنْهُمْ بِدَرَجَةٍ، يَسْتَوِي فِيهِ أَوْلَادُ الْبَنِينَ وَأَوْلَادُ الْبَنَاتِ، ثُمَّ هُوَ بَعْدَهُمْ، لأولادهم، وأهل الدَّرَجَةِ الثَّالِثَةِ، ثُمَّ هُوَ بَعْدَ الثَّالِثَةِ لِأَهْلِ الدَّرَجَةِ الرَّابِعَةِ هَكَذَا أَبَدًا.

Berdasarkan hal ini: anak-anak adalah garis utama, dan mereka lebih dekat daripada orang tua, karena mereka adalah bagian dari orang yang berwasiat. Anak yang paling dekat adalah anak kandungnya; jika hanya satu orang, maka ia mengambil seluruh sepertiga, baik laki-laki maupun perempuan, baik Muslim maupun kafir, ahli waris maupun bukan ahli waris, jika para ahli waris mengizinkan wasiat untuk ahli waris, berbeda dengan jika ia berkata, “Untuk kerabatku,” maka ahli waris tidak termasuk di dalamnya, karena dengan menyebut “yang terdekat” ia telah menentukan. Setelah anak kandungnya, hak itu berpindah kepada anak dari anaknya, tanpa turun lebih jauh satu derajat; baik anak laki-laki maupun anak perempuan sama saja. Setelah mereka, hak itu berpindah kepada anak-anak mereka, yaitu generasi ketiga, kemudian setelah generasi ketiga kepada generasi keempat, dan seterusnya tanpa batas.

فَإِذَا عُدِمَ عَمُودُ الْأَوْلَادِ، فَالْأَبَوَانِ، وَهُمَا الْأَبُ وَالْأُمُّ، يَشْتَرِكَانِ فِيهِ دُونَ غَيْرِهِمَا، فَإِنْ عُدِمَ أَحَدُهُمَا كَانَ الثُّلُثُ لِلْبَاقِي مِنْهُمَا، سَوَاءٌ كَانَ أَبًا أَوْ أُمًّا.

Jika tidak ada garis anak, maka hak itu berpindah kepada kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu, yang berbagi bersama tanpa selain mereka. Jika salah satu dari keduanya tidak ada, maka sepertiga itu menjadi milik yang masih hidup di antara mereka, baik ayah maupun ibu.

فَإِنْ عُدِمَ الْأَبَوَانِ فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Jika kedua orang tua tidak ada, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّ الْإِخْوَةَ وَالْأَخَوَاتِ أَقْرَبُ مِنَ الْأَجْدَادِ وَالْجَدَّاتِ. لِأَنَّهُمْ قَدْ رَاكَضُوهُ فِي الرَّحِمِ، فَإِنْ كَانُوا لِأَبٍ فَهُوَ بَيْنَهُمْ بِالسَّوِيَّةِ، وَإِنْ كَانُوا لِأُمٍّ فَهُوَ بَيْنَهُمْ بِالسَّوِيَّةِ، وَإِنْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِأَبٍ وَبَعْضُهُمْ لأم فهو بين جميعهم ذكرهم وَأُنْثَاهُمْ فِيهِ سَوَاءٌ. وَإِنْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِأَبٍ وبعضهم لأم بالسوية، وَبَعْضُهُمْ لِأَبٍ وَأُمٍّ، فَمَنْ كَانَ لِأَبٍ وَأُمٍّ فهو أقرب وأحق لقوته بها عَلَى مَا تَفَرَّدَ بِأَحَدِهِمَا.

Salah satunya: bahwa saudara laki-laki dan saudara perempuan lebih dekat daripada kakek dan nenek, karena mereka telah bersama dalam rahim (satu ibu atau ayah). Jika mereka dari ayah, maka dibagi rata di antara mereka; jika dari ibu, juga dibagi rata di antara mereka. Jika sebagian dari mereka dari ayah dan sebagian dari ibu, maka dibagi rata di antara semuanya, baik laki-laki maupun perempuan. Jika sebagian dari mereka dari ayah dan sebagian dari ibu secara sama rata, dan sebagian dari mereka dari ayah dan ibu sekaligus, maka yang dari ayah dan ibu sekaligus lebih dekat dan lebih berhak karena kekuatan hubungan tersebut dibandingkan yang hanya dari salah satunya.

ثُمَّ بَعْدَ الْإِخْوَةِ والأخوات: بنوهم وبنو بنيهم وإن سفلوا يكونوا أَقْرَبَ مِنَ الْجَدِّ وَإِنْ دَنَا، وَيَشْتَرِكُ فِي ذلك أولاد الأخوة وأولاد الأخوات كما اشتركوا فِيهِ أَوْلَادُ الْبَنِينَ وَأَوْلَادُ الْبَنَاتِ لِأَنَّهُمْ أَخَذُوا بِاسْمِ الْقَرَابَةِ لَا بِالْمِيرَاثِ، ثُمَّ هَكَذَا بَطْنًا بعد بطن.

Setelah saudara laki-laki dan saudara perempuan: anak-anak mereka dan cucu-cucu mereka meskipun turun derajat, mereka lebih dekat daripada kakek meskipun kakek itu dekat. Dalam hal ini, anak-anak saudara laki-laki dan anak-anak saudara perempuan juga termasuk, sebagaimana anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan juga termasuk, karena mereka mendapatkan hak berdasarkan nama kekerabatan, bukan karena warisan. Demikian seterusnya, turun-temurun.

وإذا عُدِمُوا: عَدَلْنَا حِينَئِذٍ إِلَى الْأَجْدَادِ وَالْجَدَّاتِ فَيَكُونُ بَعْدَهُمْ لِجَدَّيْنِ وَجَدَّتَيْنِ، جَدٍّ وَجَدَّةٍ لِأَبٍ وَجَدٍّ وجدة لأم فينقسم بَيْنَهُمْ أَرْبَاعًا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ أَعْمَامٌ وَلَا عمات فهم بَعْدَهُمْ لِأَرْبَعَةِ أَجْدَادٍ وَأَرْبَعِ جَدَّاتٍ بَعْدَ ثَلَاث درجة فينقسم بينهم أثلاثا.

Jika mereka pun tidak ada: maka kita beralih kepada kakek dan nenek, sehingga setelah mereka hak itu untuk dua kakek dan dua nenek, yaitu kakek dan nenek dari pihak ayah, serta kakek dan nenek dari pihak ibu, yang dibagi menjadi empat bagian di antara mereka. Jika tidak ada paman dan bibi, maka setelah itu hak itu untuk empat kakek dan empat nenek setelah tiga derajat, yang dibagi menjadi tiga bagian di antara mereka.

ثُمَّ هُوَ فِي الدَّرَجَةِ الرَّابِعَةِ بَيْنَ ثَمَانِيَةِ أجداد وثمان جَدَّاتٍ، وَإِنْ كَانَ مَعَ جَدِّ الْأَبِ أَعْمَامٌ وَعَمَّاتٌ وَمَعَ جَدِّ الْأُمِّ أَخْوَالٌ وَخَالَاتٌ فَفِيهِ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ وَجْهَانِ:

Kemudian pada derajat keempat, hak itu di antara delapan kakek dan delapan nenek. Jika bersama kakek dari pihak ayah ada paman dan bibi, dan bersama kakek dari pihak ibu ada paman dan bibi dari pihak ibu, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأَعْمَامَ وَالْعَمَّاتِ أَوْلَى مِنْ جَدِّ الْأَبِ وَجَدَّتِهِ، وَالْأَخْوَالَ وَالْخَالَاتِ أَوْلَى مِنْ جَدِّ الْأُمِّ وَجَدَّتِهَا، كَمَا كَانَ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ الْإِخْوَةُ أَوْلَى مِنَ الجدة، وَيُشْرَكُ بَيْنَ الْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ، وَبَيْنَ الْأَخْوَالِ وَالْخَالَاتِ لاستوائهما في الدرجة وتكافئهما فِي الْقُرْبِ.

Salah satunya: bahwa paman dan bibi dari pihak ayah lebih berhak daripada kakek dan nenek dari pihak ayah, dan paman dan bibi dari pihak ibu lebih berhak daripada kakek dan nenek dari pihak ibu, sebagaimana menurut pendapat ini saudara lebih berhak daripada nenek. Hak itu dibagi rata antara paman dan bibi, serta antara paman dan bibi dari pihak ibu, karena mereka sama derajat dan sebanding dalam kedekatan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُمْ يُشَارِكُونَ أَجْدَادَ الأبوين وجداتهما.

Pendapat kedua: bahwa mereka (paman dan bibi) berbagi dengan kakek dan nenek dari kedua orang tua.

فعلى هذا: يجمع مع الْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ، وَمَعَ الْأَخْوَالِ وَالْخَالَاتِ أَرْبَعَةُ أَجْدَادٍ، وأربع جدات، فينقسم ذَلِكَ بَيْنَ جَمِيعِهِمْ بِالسَّوِيَّةِ.

Berdasarkan ini: bersama paman dan bibi dari pihak ayah, dan bersama paman dan bibi dari pihak ibu, digabungkan empat kakek dan empat nenek, lalu dibagi rata di antara mereka semua.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: في الأهل.

Pendapat kedua: tentang keluarga.

أن الجدة والأخوة سواء لاجتماعهم في الإدلاء بالأدب.

Bahwa nenek dan saudara sama saja, karena mereka sama-sama memiliki hubungan melalui adab (pendidikan/pendampingan).

وَعَلَى هَذَا يُشْرَكُ بَيْنَ الْإِخْوَةِ وَبَيْنَ الْأَخَوَاتِ وبين جدين وجدتين جد جدة لأب، وجد جدة لِأُمٍّ، وَيَكُونُ الْجَدَّانِ وَالْجَدَّتَانِ أَوْلَى مِنْ وَلَدِ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ. ثُمَّ يَكُونُ بَعْدَ الْجَدِّ وَالْجَدَّةِ، لِجَدِّ الْأَبِ وَجَدَّتِهِ، وَلِجَدِّ الْأُمِّ وَجَدَّتِهَا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَ جَدِّ الْأَبِ وَجَدَّتِهِ عَمٌّ وَلَا عَمَّةٌ، وَلَا مَعَ جد الأم وجدتها خال ولا خالة.

Berdasarkan hal ini, maka disamakan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan, juga antara dua kakek dan dua nenek: kakek dan nenek dari pihak ayah, serta kakek dan nenek dari pihak ibu. Dan kedua kakek serta kedua nenek lebih berhak daripada anak-anak saudara laki-laki dan saudara perempuan menurut pendapat ini. Kemudian setelah kakek dan nenek, hak itu berpindah kepada kakek dari pihak ayah dan neneknya, serta kakek dari pihak ibu dan neneknya, selama tidak ada paman atau bibi bersama kakek dan nenek dari pihak ayah, dan tidak ada paman dari pihak ibu atau bibi dari pihak ibu bersama kakek dan nenek dari pihak ibu.

فينقسم ذَلِكَ بَيْنَ أَرْبَعَةِ أَجْدَادٍ، وَأَرْبَعِ جَدَّاتٍ أَثْمَانًا وجدان وَجَدَّتَانِ لِلْأَبِ وَجَدَّانِ وَجَدَّتَانِ لِلْأُمِّ.

Maka hal itu dibagi antara empat kakek dan empat nenek menjadi delapan bagian: dua kakek dan dua nenek dari pihak ayah, serta dua kakek dan dua nenek dari pihak ibu.

وَإِنْ كَانَ مَعَ جَدِّ الْأَبِ وَجَدَّتِهِ عَمٌّ وَعَمَّةٌ، وَمَعَ جَدِّ الْأُمِّ وَجَدَّتِهَا خَالٌ وَخَالَةٌ فَفِيهِ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعَمَّ وَالْعَمَّةَ والخال ولخالة يساوي جد الأبوين وجدتيهما فتقسم بَيْنَ الْعَمِّ وَالْعَمَّةِ، وَالْخَالِ وَالْخَالَةِ، وَبَيْنَ أَرْبَعَةِ أَجْدَادٍ، وَأَرْبَعِ جَدَّاتٍ كَمَا تُشَارِكُ الْإِخْوَةُ وَالْجَدُّ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ جَدَّيِ الْأَبَوَيْنِ وَجَدَّتَيْهِمَا أَوْلَى مِنَ الْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ، وَمِنَ الْأَخْوَالِ وَالْخَالَاتِ لِاخْتِصَاصِهِمْ بِالْبَعْضِيَّةِ.

Jika bersama kakek dan nenek dari pihak ayah terdapat paman dan bibi, dan bersama kakek dan nenek dari pihak ibu terdapat paman dari pihak ibu dan bibi dari pihak ibu, maka dalam hal ini menurut pendapat ini ada dua pandangan: Pertama, bahwa paman, bibi, paman dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ibu setara dengan kakek dan nenek dari kedua orang tua, sehingga dibagi antara paman, bibi, paman dari pihak ibu, bibi dari pihak ibu, serta empat kakek dan empat nenek, sebagaimana saudara-saudara dan kakek saling berbagi. Pandangan kedua: bahwa kedua kakek dan kedua nenek dari kedua orang tua lebih berhak daripada para paman dan bibi, serta paman dari pihak ibu dan bibi dari pihak ibu, karena kekhususan mereka dalam hubungan kekerabatan sebagian.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَعَلَى هَذَا الْأَصْلِ الْمُقَرَّرِ يَكُونُ التَّفْرِيعُ لِيَتَّضِحَ وَيَستبِينَ فَمِنْ ذَلِكَ أَنْ يَجْتَمِعَ جَدٌّ لِأَبٍ، وَأَخٌ لِأُمٍّ فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Berdasarkan prinsip yang telah ditetapkan ini, maka penjabaran berikut akan memperjelas dan mempertegasnya. Di antaranya adalah apabila berkumpul kakek dari pihak ayah dan saudara laki-laki seibu, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّ الْأَخَّ لِلْأُمِّ أَوْلَى.

Salah satunya: saudara laki-laki seibu lebih berhak.

وَالثَّانِي: إنَّهُ وَالْجَدَّ سَوَاءٌ.

Dan yang kedua: keduanya setara.

وَهَكَذَا لَوِ اجْتَمَعَ جَدٌّ لِأُمٍّ وَأَخٌ لأب وأم كان على قولين:

Demikian pula jika berkumpul kakek dari pihak ibu dan saudara laki-laki seayah seibu, maka ada dua pendapat:

أحدهما: استويا.

Salah satunya: keduanya setara.

وَالثَّانِي: يُقَدَّمُ الْأَخُ.

Dan yang kedua: saudara laki-laki lebih didahulukan.

وَلَوِ اجْتَمَعَ جَدٌّ وَابْنُ أَخٍ: فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: إِنَّ الْجَدَّ أَوْلَى.

Jika berkumpul kakek dan anak saudara laki-laki, maka salah satu pendapat: kakek lebih berhak.

وَالثَّانِي: إِنَّ ابْنَ الْأَخِ أَوْلَى. وَلَا يُشْرَكُ بَيْنَهُمَا عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا.

Dan yang kedua: anak saudara laki-laki lebih berhak. Tidak disamakan antara keduanya menurut kedua pendapat tersebut.

وَلَوِ اجْتَمَعَ جَدٌّ وَعَمٌّ: كان الجد أولى. ولو اجتمع جدان وعم ففيه ثلاثة أوجه:

Jika berkumpul kakek dan paman, maka kakek lebih berhak. Jika berkumpul dua kakek dan paman, maka ada tiga pendapat:

أحدها: أن الجد الْأَبِ أَوْلَى.

Salah satunya: kakek dari pihak ayah lebih berhak.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْعَمَّ أَوْلَى.

Yang kedua: paman lebih berhak.

وَالثَّالِثُ: إِنَّهُمَا سَوَاءٌ.

Dan yang ketiga: keduanya setara.

وَهَكَذَا لَوْ كَانَ مَعَ جَدِّ الْأَبِ عَمَّةٌ أَوْ خَالٌ أَوْ خَالَةٌ، أَوْ كَانَ مَعَ الْعَمِّ وَالْعَمَّةِ، وَالْخَالِ وَالْخَالَةِ، جَدَّة أنه عَلَى هَذِهِ الْوُجُوهِ الثَّلَاثَةِ.

Demikian pula jika bersama kakek dari pihak ayah terdapat bibi, paman dari pihak ibu, atau bibi dari pihak ibu, atau bersama paman, bibi, paman dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ibu terdapat nenek, maka berlaku tiga pendapat ini.

وَلَوِ اجْتَمَعَ جَدٌّ لِأُمٍّ وَخَالٌ وَخَالَةٌ، كَانَ عَلَى هَذِهِ الْأَوْجُهِ الثَّلَاثَةِ:

Jika berkumpul kakek dari pihak ibu, paman dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ibu, maka berlaku tiga pendapat ini:

أَحَدُهَا: إنَّ جَدَّ الْأُمِّ أَوْلَى. وَالثَّانِي: إنَّ الْخَالَ وَالْخَالَةَ أَوْلَى. وَالثَّالِثُ: إنَّهُمْ سَوَاءٌ.

Salah satunya: kakek dari pihak ibu lebih berhak. Yang kedua: paman dari pihak ibu dan bibi dari pihak ibu lebih berhak. Yang ketiga: mereka setara.

وَهَكَذَا لَوْ كَانَ مَعَ جَدِّ الْأُمِّ، أَوْ مع جدة الأم عمة وعم، وكان عَلَى هَذِهِ الْأَوْجُهِ الثَّلَاثَةِ، لِأَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ الْعَمِّ وَالْخَالِ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ جَدِّ الأب وجد الأم.

Demikian pula jika bersama kakek dari pihak ibu, atau bersama nenek dari pihak ibu, terdapat bibi dan paman, maka berlaku tiga pendapat ini, karena tidak ada perbedaan antara paman dan paman dari pihak ibu, dan tidak ada perbedaan antara kakek dari pihak ayah dan kakek dari pihak ibu.

وهكذا لو اجتمع جدان وَابْنُ عَمٍّ كَانَ جَدُّ الْأَبِ أَوْلَى، وَهَكَذَا لَوِ اجْتَمَعَ جَدُّ أُمٍّ وَابْنُ خَالٍ كَانَ جَدُّ الْأُمِّ أَوْلَى، وَهَكَذَا لَوِ اجْتَمَعَ جَدُّ أُمٍّ وَابْنُ عَمٍّ كَانَ جَدُّ الْأُمِّ أَوْلَى، وَلَوِ اجْتَمَعَ جَدُّ جَدٍّ وَابْنُ عَمٍّ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Demikian pula jika berkumpul dua kakek dan anak paman, maka kakek dari pihak ayah lebih berhak. Demikian pula jika berkumpul kakek dari pihak ibu dan anak paman dari pihak ibu, maka kakek dari pihak ibu lebih berhak. Demikian pula jika berkumpul kakek dari pihak ibu dan anak paman, maka kakek dari pihak ibu lebih berhak. Jika berkumpul kakek dari kakek dan anak paman, maka ada dua pendapat:

مِثْلُ جَدٍّ وَابْنِ أَخٍ. أَحَدُهُمَا: إِنَّ الجد أولى. والثاني: أن الْعَمّ أَوْلَى. وَلَا يَجِيءُ الْوَجْهُ الثَّالِثُ: فِي التسوية بينهما، كما لا يسوى بَيْنَ الْجَدِّ وَابْنِ الْأَخِ فَهَذَا مُسْتَمِرٌّ عَلَى الأصل الذي بَيَّنَّاهُ. ثُمَّ إِنْ كَانَ الْأَقْرَبُ إِلَيْهِ وَاحِدًا انفرد بالوصية، وإن كانوا عَدَدًا، اشْتَرَكُوا فِيهِ بِالسَّوِيَّةِ وَلَمْ يَخْتَصَّ بِهِ بَعْضُهُمْ.

Seperti kasus kakek dan anak saudara laki-laki. Salah satunya: kakek lebih berhak. Yang kedua: paman lebih berhak. Tidak ada pendapat ketiga yang menyamakan keduanya, sebagaimana tidak disamakan antara kakek dan anak saudara laki-laki. Maka hal ini tetap sesuai dengan prinsip yang telah kami jelaskan. Kemudian, jika yang paling dekat dengannya hanya satu orang, maka ia sendiri yang berhak menerima wasiat. Jika mereka lebih dari satu orang, maka mereka berbagi secara merata dan tidak ada yang diutamakan di antara mereka.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ قَالَ ادْفَعُوا ثُلُثِي إِلَى جَمَاعَةٍ مِنْ أَقْرَبِ النَّاسِ مِنِّي وَكَانَ الْأَقْرَبُ إِلَيْهِ وَاحِدًا ضُمَّ إِلَيْهِ مَنْ هُوَ أَبْعَدُ منه ليصرف في ثلاثة هم أقل الجميع.

Jika seseorang berkata, “Berikan sepertiga hartaku kepada sekelompok orang yang paling dekat hubungan kekerabatannya denganku,” dan ternyata yang paling dekat hanya satu orang, maka ditambahkan kepadanya orang yang lebih jauh darinya, sehingga dibagikan kepada tiga orang yang merupakan jumlah paling sedikit dari keseluruhan.

فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ ثَلَاثَةُ بَنِي ابْنٍ بَعْضُهُمْ أَسْفَلُ مِنْ بَعْضٍ دُفِعَ إِلَى الْأَوَّلِ ثُلُثٌ، وَإِلَى الثَّانِي ثُلُثٌ، وَإِلَى الثَّالِثِ ثُلُثٌ، ليكون الثلث مقسوما بينهما أَثْلَاثًا. فَلَوْ كَانَ الْبَطْنُ الثَّالِثُ مِنْ بَنِي الِابْنِ ثَلَاثَةً قُسِّمَ الثُّلُثُ أَثْلَاثًا فَدُفِعَ إِلَى الْأَوَّلِ ثُلُثٌ، وَإِلَى الثَّانِي ثُلُثٌ، وَجُعِلَ الثُّلُثُ الثالث بين ثلاثتهم مِنَ الْبَطْنِ الثَّالِثِ أَثْلَاثًا وَلَمْ يَخُصَّ بِهِ بَعْضَهُمْ لِاسْتِوَائِهِمْ فِي الدَّرَجَةِ فَيَصِيرُ الثُّلُثُ مَقْسُومًا بَيْنَهُمْ عَلَى تِسْعَةٍ.

Berdasarkan hal ini, jika terdapat tiga orang cucu laki-laki (anak laki-laki dari anak laki-laki), sebagian mereka berada pada tingkat yang lebih rendah dari sebagian yang lain, maka diberikan kepada yang pertama sepertiga, kepada yang kedua sepertiga, dan kepada yang ketiga sepertiga, sehingga sepertiga tersebut terbagi di antara mereka bertiga secara sama. Jika pada tingkat ketiga dari cucu laki-laki tersebut terdapat tiga orang, maka sepertiga itu dibagi menjadi tiga bagian: diberikan kepada yang pertama sepertiga, kepada yang kedua sepertiga, dan sepertiga yang ketiga dibagi di antara ketiganya dari tingkat ketiga secara sama, tanpa mengkhususkan salah satu dari mereka karena mereka setara dalam derajat, sehingga sepertiga itu terbagi di antara mereka menjadi sembilan bagian.

وَلَوْ كَانَ لَهُ بِنْتُ بِنْتٍ وَخَمْسُ أَخَوَاتٍ: كَانَ لِبِنْتِ الْبِنْتِ ثُلُثُ الثُّلُثِ، وَلِلْأَخَوَاتِ ثُلُثَاهُ. وَلَوْ كَانَ لَهُ أَخٌ وَبِنْتُ أَخٍ وَعَشَرَةُ أَعْمَامٍ: كَانَ لِلْأَخِ ثُلُثُ الثلث، ولبنت الأخ ثلث آخر، وكان الثلث الثَّالِث بَيْنَ الْأَعْمَامِ الْعَشَرَةِ عَلَى عَشَرَةٍ، فَيَصِيرُ الثُّلُثُ مَقْسُومًا بَيْنَهُمْ عَلَى ثَلَاثِينَ سَهْمًا.

Jika ia memiliki seorang cucu perempuan (anak perempuan dari anak perempuan) dan lima saudara perempuan, maka untuk cucu perempuan tersebut sepertiga dari sepertiga, dan untuk para saudara perempuan dua pertiga dari sepertiga. Jika ia memiliki seorang saudara laki-laki, seorang keponakan perempuan (anak perempuan dari saudara laki-laki), dan sepuluh paman, maka untuk saudara laki-laki sepertiga dari sepertiga, untuk keponakan perempuan sepertiga lainnya, dan sepertiga ketiga dibagi di antara sepuluh paman secara sama, sehingga sepertiga itu terbagi di antara mereka menjadi tiga puluh bagian.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا أَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ لِزَيْدٍ وَعَمْرٍو فَمَاتَ عَمْرٌو بَعْدَ الْوَصِيَّةِ فِي حَيَاةِ الْمُوصِي: كَانَ لِزَيْدٍ نِصْفُ الثُّلُثِ، وَلَوْ كَانَ عَمْرٌو عِنْدَ الْوَصِيَّةِ مَيِّتًا: قَالَ أبو حنيفة: لِزَيْدٍ جَمِيعُ الثُّلُثِ، لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ لَمَّا لَمْ تَصِحَّ لِمَيِّتٍ صَارَ الثُّلُثُ كُلُّهُ لِلْحَيِّ، بِخِلَافِ مَوْتِهِ بَعْدَ الْوَصِيَّةِ.

Jika seseorang berwasiat dengan sepertiga hartanya kepada Zaid dan Amr, lalu Amr meninggal setelah wasiat itu dibuat, dalam keadaan pewasiat masih hidup, maka Zaid memperoleh setengah dari sepertiga. Jika Amr telah meninggal saat wasiat dibuat, Abu Hanifah berkata: Zaid memperoleh seluruh sepertiga, karena wasiat tidak sah untuk orang yang sudah meninggal, sehingga seluruh sepertiga menjadi milik yang masih hidup, berbeda dengan jika kematian terjadi setelah wasiat.

وَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ: لَا يَكُونُ لِزَيْدٍ إِلَّا نِصْفُ الثُّلُثِ كَمَا لَوْ مَاتَ عَمْرٌو بَعْدَ الْوَصِيَّةِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَجْعَلْ لِزَيْدٍ مَعَ الشَّرِيكِ فِي الْوَصِيَّةِ إِلَّا نِصْفهَا كَمَا لَوْ مَاتَ بَعْدَهَا، وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Menurut mazhab Syafi‘i: Zaid hanya memperoleh setengah dari sepertiga, sebagaimana jika Amr meninggal setelah wasiat, karena tidak diberikan kepada Zaid bersama dengan sekutunya dalam wasiat kecuali setengahnya, sebagaimana jika kematian terjadi setelahnya. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

باب ما يكون رجوعا في الوصية

Bab tentang hal-hal yang dianggap sebagai penarikan kembali wasiat

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِذَا أَوْصَى لِرَجُلٍ بِعَبْدٍ بِعَيْنِهِ ثُمَّ أَوْصَى بِهِ لِآخَرَ فَهُوَ بَيْنَهُمَا نِصْفَانِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berwasiat kepada seorang laki-laki dengan seorang budak tertentu, kemudian ia berwasiat dengan budak itu kepada orang lain, maka budak itu menjadi milik mereka berdua, masing-masing setengah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ لِلْمُوصِي الرُّجُوعَ فِي وَصِيَّتِهِ لِأَنَّهَا عَطِيَّةٌ لَمْ يَزُلْ عَنْهَا مِلْكُ مُعْطِيهَا فَأَشْبَهَتِ الْهِبَاتِ قَبْلَ الْقَبْضِ، وَإِنَّمَا لَيْسَ لَهُ الرُّجُوعُ فِي عَطَايَا مَرَضِهِ لِزَوَالِ مِلْكِهِ.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa pewasiat boleh menarik kembali wasiatnya, karena wasiat adalah pemberian yang kepemilikan pemberinya belum hilang darinya, sehingga menyerupai hibah sebelum diterima. Adapun ia tidak boleh menarik kembali pemberian yang dilakukan saat sakitnya karena kepemilikannya telah hilang.

ثُمَّ الرُّجُوعُ فِي الْوَصِيَّةِ يَكُونُ بِقَوْلٍ أَوْ دَلَالَةٍ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ.

Kemudian, penarikan kembali dalam wasiat dapat dilakukan dengan ucapan atau dengan isyarat, sebagaimana akan kami sebutkan.

وَإِذَا كَانَ حُكْمُ الْوَصِيَّةِ جَارِيًا عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ فَصُورَةُ مَسْأَلَتِنَا هَذِهِ فِي رَجُلٍ أَوْصَى بِعَبْدِهِ لِزَيْدٍ ثُمَّ أَوْصَى بِهِ لعمرو فقد اختلف الناس في حكم ذَلِكَ عَلَى أَرْبَعَةِ مَذَاهِبَ:

Jika hukum wasiat berlaku sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka gambaran masalah kita ini adalah tentang seseorang yang berwasiat dengan budaknya kepada Zaid, kemudian ia berwasiat dengan budak itu kepada Amr. Para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya menjadi empat mazhab:

أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ دَاوُدَ أنه يكون وَصِيَّةً لِلْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي كَالْبَيْعِ وَالنِّكَاحِ.

Pertama: yaitu mazhab Dawud, bahwa wasiat itu berlaku untuk yang pertama saja, tidak untuk yang kedua, seperti dalam jual beli dan nikah.

وَالثَّانِي: وهو مذهب الحسن وعطاء وطاوس أَنَّهُ يَكُونُ وَصِيَّةً لِلثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ لِأَنَّهُ بِالرُّجُوعِ أَشْبَهُ.

Kedua: yaitu mazhab Hasan, ‘Atha’, dan Thawus, bahwa wasiat itu berlaku untuk yang kedua saja, tidak untuk yang pertama, karena lebih menyerupai penarikan kembali.

وَالثَّالِثُ: وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَن الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْوَصِيَّةَ بِهَا بَاطِلَةٌ لَا تصح لواحد منها لِإِشْكَالِ حَالِهِمَا.

Ketiga: yaitu mazhab Abu ‘Abdurrahman asy-Syafi‘i, bahwa wasiat tersebut batal dan tidak sah untuk keduanya karena keadaan mereka berdua yang tidak jelas.

وَالرَّابِعُ: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ وأبى حنيفة.

Keempat: yaitu mazhab Syafi‘i, Malik, dan Abu Hanifah.

أَنَّهَا تَكُونُ وَصِيَّةً لَهُمَا فَتُجْعَلُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ.

Bahwa wasiat itu berlaku untuk keduanya, sehingga dibagi di antara mereka berdua masing-masing setengah.

وَهَكَذَا لَوْ أَوْصَى بِهِ لِثَالِثٍ، جَعَلْنَاهُ بَيْنَهُمْ أَثْلَاثًا. وَلَوْ أَوْصَى بِهِ لِرَابِعٍ جَعَلْنَاهُ بَيْنَهُمْ أَرْبَاعًا.

Demikian pula jika ia berwasiat kepada orang ketiga, maka kami membaginya di antara mereka bertiga, masing-masing sepertiga. Jika ia berwasiat kepada orang keempat, maka kami membaginya di antara mereka berempat, masing-masing seperempat.

وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ: ثَلَاثَةُ معاني:

Dalil atas hal tersebut ada tiga makna:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ قَوْلُهُ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ قَدْ أَوْصَيْتُ بِعَبْدِي هَذَا لِزَيْدٍ وَأَوْصَيْتُ به لعمر كان بينهما إجماعا فوجب أن يتراخى بين الوصيتين وأن يكون بينهما حجابا إِذْ لَا فَرْقَ بَيْنَ اقْتِرَانِ الْوَصِيَّتَيْنِ وَبَيْنَ اقترانهما.

Pertama: Jika ucapannya dalam satu waktu, “Aku telah berwasiat dengan budakku ini kepada Zaid dan aku berwasiat dengannya kepada Amr,” maka menurut ijmā‘, itu menjadi milik mereka berdua, sehingga jika ada jeda antara dua wasiat tersebut, maka harus ada pemisah di antara keduanya, karena tidak ada perbedaan antara dua wasiat yang bersamaan dan yang berurutan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ لَوْ أَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ لِزَيْدٍ ثُمَّ أَوْصَى بَعْدَ زَمَانٍ بِثُلُثِ ماله لعمرو وأن الثلث إذا لم تجز الْوَرَثَةُ بَيْنَهُمَا كَذَلِكَ يَكُونُ الْعَبْدُ بَيْنَهُمَا فِي الْوَصِيَّةِ.

Kedua: Jika seseorang berwasiat dengan sepertiga hartanya kepada Zaid, kemudian setelah beberapa waktu ia berwasiat dengan sepertiga hartanya kepada Amr, dan jika sepertiga itu tidak diizinkan oleh para ahli waris, maka dibagi di antara mereka berdua. Demikian pula budak itu dalam wasiat dibagi di antara mereka berdua.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ الْوَصِيَّةُ الثَّانِيَةُ رُجُوعًا، وَيَجُوزُ أَنْ تَكُونَ لِنِسْيَانِ الأولى، ويحتمل أن يقصد بِهَا التَّشْرِيكَ بَيْنَ الْأَوَّلِ وَالثَّانِي فَوَجَبَ أَنْ يُحْمَلَ مَعَ هَذَا الِاحْتِمَالِ عَلَى التَّشْرِيكِ بَيْنَهُمَا لِاسْتِوَائِهِمَا فِي الْوَصِيَّةِ لَهُمَا، وَلَيْسَ يُلْزَمُ فِي الْوَصَايَا الْمُطْلَقَةِ تَقْدِيمُ الْأَوَّلِ عَلَى الثَّانِي، وَلَا الثَّانِي عَلَى الْأَوَّلِ، وَإِنَّمَا يَلْزَمُ ذَلِكَ فِي الْعَطَايَا النَّاجِزَةِ.

Ketiga: Bisa jadi wasiat yang kedua merupakan pencabutan (dari wasiat pertama), dan bisa juga karena lupa terhadap wasiat yang pertama, serta dimungkinkan pula ia bermaksud untuk menggabungkan antara yang pertama dan yang kedua. Maka dengan adanya kemungkinan-kemungkinan ini, wajib dipahami bahwa maksudnya adalah penggabungan antara keduanya, karena keduanya sama-sama mendapatkan wasiat. Tidak wajib dalam wasiat-wasiat yang bersifat mutlak untuk mendahulukan yang pertama atas yang kedua, atau yang kedua atas yang pertama. Hal itu hanya wajib dalam pemberian (hibah) yang langsung (dilaksanakan saat itu juga).

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا كَانَ لِرَجُلٍ جَارِيَةٌ حَامِلٌ فَأَوْصَى بِهَا لِرَجُلٍ ثُمَّ أَوْصَى بَعْدَ ذَلِكَ بِحَمْلِهَا لِآخَرَ فَالْجَارِيَةُ تَكُونُ لِلْأَوَّلِ وَالْوَلَدُ يَكُونُ بَيْنَ الْأَوَّلِ والثاني.

Jika seseorang memiliki seorang budak perempuan yang sedang hamil, lalu ia mewasiatkan budak tersebut kepada seseorang, kemudian setelah itu ia mewasiatkan kandungannya kepada orang lain, maka budak perempuan itu menjadi milik orang pertama dan anaknya menjadi milik bersama antara orang pertama dan kedua.

وإنما كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّهُ لَمَّا أَوْصَى بِالْجَارِيَةِ لِلْأَوَّلِ كَانَ حَمْلُهَا دَاخِلًا فِي الْوَصِيَّةِ تَبَعًا، فَلَمَّا أوصى بالحمل للثاني صار موصيا بِهِ لَهُمَا، فَكَانَ بَيْنَهُمَا، وَهَكَذَا لَوِ ابْتَدَأَ فَأَوْصَى بِحَمْلِهَا لِرَجُلٍ ثُمَّ أَوْصَى بِهَا لِآخَرَ كَانَ الْحَمْلُ بَيْنَهُمَا وَالْجَارِيَةُ لِلثَّانِي مِنْهُمَا لِمَا ذكرناه.

Hal itu karena ketika ia mewasiatkan budak perempuan kepada orang pertama, maka kandungannya termasuk dalam wasiat secara ikutannya. Namun ketika ia mewasiatkan kandungannya kepada orang kedua, maka ia telah mewasiatkan kandungan itu kepada keduanya, sehingga menjadi milik bersama antara keduanya. Demikian pula jika ia memulai dengan mewasiatkan kandungannya kepada seseorang, lalu mewasiatkan budak perempuan itu kepada orang lain, maka kandungan menjadi milik bersama antara keduanya dan budak perempuan menjadi milik orang kedua, sebagaimana telah dijelaskan.

ولكن لو قال: أَوْصَيْتُ لِزَيْدٍ بِهَذِهِ الْجَارِيَةِ دُونَ حَمْلِهَا، وَأَوْصَيْتُ لعمرو بحملها دونها، صح وانفرد زَيْدٌ بِالْأُمِّ وَعَمْرٌو بِالْوَلَدِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ أَنَّ زَيْدًا الْمُوصَى لَهُ بِالْأُمِّ أَعْتَقَهَا وَهِيَ حَامِلٌ، عتقَتْ وَلَمْ يَسْرِ عِتْقُهَا إِلَى الْحَمْلِ، وَكَانَ الْحَمْلُ إِذَا وُلِدَ رَقِيقًا لِعَمْرٍو وَسَوَاءٌ كَانَ مُعْتِقُ الْأُمِّ مُوسِرًا أَوْ مُعْسِرًا لِأَنَّ الْأُمَّ تَتَمَيَّزُ عَنِ الْوَلَدِ وَقَدْ تَمَيَّزَا فِي الْمِلْكِ فَلِذَلِكَ لَمْ يَسْرِ الْعِتْقُ.

Namun, jika ia berkata: “Aku mewasiatkan budak perempuan ini kepada Zaid tanpa kandungannya, dan aku mewasiatkan kandungannya kepada Amr tanpa budak perempuannya,” maka wasiat itu sah dan Zaid berhak sendiri atas ibunya, sedangkan Amr atas anaknya. Berdasarkan hal ini, jika Zaid yang menerima wasiat atas ibunya memerdekakan budak itu saat ia hamil, maka budak itu merdeka dan kemerdekaannya tidak berlaku atas kandungannya. Jika kandungan itu lahir dalam keadaan budak, maka ia menjadi milik Amr, baik Zaid yang memerdekakan ibunya itu orang yang mampu maupun tidak, karena ibu dan anak dapat dibedakan, dan keduanya telah terpisah dalam kepemilikan, sehingga kemerdekaan tidak berlaku atas kandungan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا أَوْصَى الرَّجُلُ بِعَبْدِهِ لِوَاحِدٍ مِنْ رَجُلَيْنِ لَمْ يُعَيِّنْهُ كَانَتِ الْوَصِيَّةُ بَاطِلَةً.

Jika seseorang mewasiatkan budaknya kepada salah satu dari dua orang tanpa menentukan siapa di antara keduanya, maka wasiat itu batal.

وَلَوْ أَوْصَى لِرَجُلٍ بِوَاحِدٍ مِنْ عَبْدَيْنِ لَمْ يُعَيِّنْهُ، كَانَتِ الْوَصِيَّةُ جَائِزَةً وَدَفَعَ الْوَارِثُ أَيَّهُمَا شَاءَ.

Namun jika ia mewasiatkan kepada seseorang salah satu dari dua budaknya tanpa menentukan yang mana, maka wasiat itu sah dan ahli waris boleh menyerahkan yang mana saja yang mereka kehendaki.

وَقَالَ أبو حنيفة: الْوَصِيَّةُ لِأَحَدِ الرَّجُلَيْنِ جَائِزَةٌ، كَالْوَصِيَّةِ بِأَحَدِ الْعَبْدَيْنِ. وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ الْوَصِيَّةَ إِنَّمَا تَصِحُّ إِذَا كَانَتْ لِمُوصى لَهُ إِمَّا بِالنَّصِّ أَوْ بِإِطْلَاقِ اسْمٍ تَدْخُلُ فِي عُمُومِهِ، وَلَيْسَ فِي الوصية لأحد الرجلين نَصٌّ وَلَا عُمُومُ اسْمٍ وَإِنَّمَا تَدْخُلُ فِي العموم إذا قال: ادفعوا عبدي أي هذين الرجلين شئتم فتصح الوصية كلها.

Abu Hanifah berkata: Wasiat kepada salah satu dari dua orang itu sah, sebagaimana wasiat atas salah satu dari dua budak. Dalil kami: Wasiat hanya sah jika ditujukan kepada orang yang menerima wasiat, baik secara eksplisit maupun dengan penyebutan nama yang mencakup secara umum. Dalam wasiat kepada salah satu dari dua orang tidak ada penunjukan secara eksplisit maupun secara umum. Wasiat itu baru masuk dalam keumuman jika ia berkata: “Serahkan budakku kepada salah satu dari dua orang ini yang kalian kehendaki,” maka seluruh wasiat itu sah.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْوَصِيَّةِ لِأَحَدِ الرَّجُلَيْنِ وَبَيْنَ الْوَصِيَّةِ بِأَحَدِ الْعَبْدَيْنِ: هُوَ الْجَهْلُ بِمُسْتَحِقِّهَا فِي أَحَدِ الرَّجُلَيْنِ، وَالْعِلْمُ بِمُسْتَحِقِّهَا فِي أَحَدِ الْعَبْدَيْنِ.

Perbedaan antara wasiat kepada salah satu dari dua orang dengan wasiat atas salah satu dari dua budak adalah ketidaktahuan siapa yang berhak menerima pada kasus dua orang, sedangkan pada kasus dua budak diketahui siapa yang berhak menerimanya.

وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ “: وَلَوْ أَنَّ شَاهِدًا قَالَ أَشْهَدُ أَنَّ أَحَدَ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ قَتَلَ زَيْدًا لَمْ يَكُنْ لِأَوْلِيَائِهِ أَنْ يُقْسِمُوا مع شهادتهم وَلَا يَكُونُ لَوْثًا، وَلَوْ قَالَ أَشْهَدُ أَنَّ زَيْدًا قَتَلَ أَحَدَ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ كَانَ ذَلِكَ لوثا لمن ادعاه من أولياء المقتولين ويقسمون مع شهادتهم، وفصل بينهما بأنه إذا ثبت الْقَاتِلُ تَوَجَّهَتِ الدَّعْوَى عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتِ الْمَقْتُولُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِذَا لَمْ يَثْبُتِ الْقَاتِلُ، لِأَنَّ الدَّعْوَى لَا تَتَوَجَّهُ عَلَيْهِ مَعَ إِثْبَاتِ المقتول.

Imam Syafi‘i berkata dalam kitab “al-Umm”: Jika seorang saksi berkata, “Aku bersaksi bahwa salah satu dari dua orang ini telah membunuh Zaid,” maka ahli waris Zaid tidak dapat melakukan qasamah (sumpah) berdasarkan kesaksian itu dan tidak dianggap sebagai lo‘ts (indikasi kuat). Namun jika ia berkata, “Aku bersaksi bahwa Zaid telah membunuh salah satu dari dua orang ini,” maka itu dianggap sebagai lo‘ts bagi siapa saja dari ahli waris korban yang mengklaimnya, dan mereka dapat melakukan qasamah berdasarkan kesaksian itu. Perbedaannya adalah, jika pembunuhnya telah ditetapkan, maka gugatan diarahkan kepadanya, sedangkan jika yang terbunuh belum ditetapkan, tidak demikian halnya jika pembunuhnya belum ditetapkan, karena gugatan tidak dapat diarahkan kepadanya meskipun yang terbunuh telah ditetapkan.

ومثله أن يقول عَلَى أَحَدِ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ أَلْفٌ لَمْ تُسْمَعِ الدَّعْوَى مِنْهُ وَلَوْ قَالَ لِي عَلَى هَذَا الرَّجُلِ أَحَدُ هَذَيْنِ الْمَالَيْنِ سُمِعَتِ الدَّعْوَى مِنْهُ توجها وأخذا بالبيان تعيينا.

Demikian pula jika seseorang berkata, “Salah satu dari dua orang ini berutang seribu kepadaku,” maka gugatan tidak dapat diterima darinya. Namun jika ia berkata, “Salah satu dari dua harta ini milik saya atas orang ini,” maka gugatan dapat diterima darinya, dan ia diarahkan untuk menjelaskan dan menentukan.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ قَالَ الْعَبْدُ الَّذِي أَوْصَيْتُ بِهِ لِفُلَانٍ لفلان أو قد أوصيت بالذي أوصيت به لفلان لفلان كان هذا رُجُوعًا عَنِ الْأَوَّلِ إِلَى الْآخَرِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Budak yang aku wasiatkan kepada si Fulan, aku wasiatkan (sekarang) kepada si Fulan,’ atau ‘Aku telah mewasiatkan apa yang telah aku wasiatkan kepada si Fulan, kepada si Fulan,’ maka ini merupakan pencabutan dari yang pertama kepada yang terakhir.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَحُكِيَ عَنِ الْمُزَنِيِّ أَنَّهُ لَا يَكُونُ رُجُوعًا، وَيَكُونُ الْعَبْدُ وَصِيَّةً لَهُمَا كَمَا لَوْ أَوْصَى بِهِ لِلثَّانِي مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ الْأَوَّلِ وَسَاعَدَهُ عَلَى هَذَا بَعْضُ أَصْحَابِنَا احْتِجَاجًا بِأَنَّهُ لَوْ وَكَّلَ زَيْدًا بِبَيْعِ سِلْعَةٍ سَمَّاهَا، ثُمَّ قَالَ قَدْ وَكَّلْتُ عَمْرًا بِمَا وَكَّلْتُ به زيدا أنهما يكونا معا وكيلين في بيعهما ولا يكون لوكيل الثَّانِي رُجُوعا عَنِ الْأَوَّلِ مَعَ ذِكْرِهِ فَكَذَلِكَ فِي الْوَصِيَّةِ.

Al-Mawardi berkata: Diriwayatkan dari al-Muzani bahwa hal itu tidak dianggap sebagai penarikan kembali (rujukan), dan budak tersebut menjadi wasiat bagi keduanya, sebagaimana jika ia mewasiatkannya kepada yang kedua tanpa menyebutkan yang pertama. Sebagian sahabat kami mendukung pendapat ini dengan alasan bahwa jika seseorang mewakilkan kepada Zaid untuk menjual suatu barang yang disebutkan, kemudian ia berkata, “Aku telah mewakilkan Amr dengan apa yang aku wakilkan kepada Zaid,” maka keduanya menjadi wakil bersama dalam penjualan itu, dan wakil kedua tidak dianggap sebagai penarikan kembali dari yang pertama meskipun disebutkan. Maka demikian pula dalam wasiat.

وَهَذَا فَاسِدٌ: لِأَنَّهُ إِذَا صَرَّحَ بِذِكْرِ الْأَوَّلِ عِنْدَ الْوَصِيَّةِ بِهِ لِلثَّانِي زَالَ احْتِمَالُ النِّسْيَانِ بِالذِّكْرِ، وَزَالَ احْتِمَالُ التَّشْرِيكِ بِقَوْلِهِ فَقَدْ أَوْصَيْتُ بِهِ لِلثَّانِي فَصَارَ ذَلِكَ صَرِيحًا فِي الرُّجُوعِ.

Namun, pendapat ini tidak benar. Karena jika ia secara tegas menyebutkan yang pertama ketika mewasiatkannya kepada yang kedua, maka hilanglah kemungkinan lupa karena telah disebutkan, dan hilang pula kemungkinan adanya penyertaan dengan ucapannya, “Aku telah mewasiatkannya kepada yang kedua,” sehingga hal itu menjadi pernyataan tegas dalam penarikan kembali.

فَأَمَّا الْوَكَالَةُ: فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ ضيق عَلَيْهِ الْفَرْقَ فَجَعَلَ ذَلِكَ رُجُوعًا فِي تَوْكِيلِ الْأَوَّلِ، وَمِنْهُمْ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا بِأَنَّ الْوَكَالَةَ نيابة فصح أن يوكل كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْجَمَاعَةِ فِي كُلِّ الْبَيْعِ، وَالْوَصِيَّةُ تَمْلِيكٌ لَا يَصِحُّ أَنْ يَمْلِكَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْجَمَاعَةِ كُلَّ الْوَصِيَّةِ. فَكَانَ هَذَا فَرْقًا بَيْنَ الْوَكَالَةِ وَبَيْنَ الْوَصِيَّةِ.

Adapun dalam masalah wakalah (perwakilan), sebagian sahabat kami mempersempit perbedaannya sehingga menjadikannya sebagai penarikan kembali dalam pemberian kuasa kepada yang pertama. Namun, sebagian lain membedakan antara keduanya dengan alasan bahwa wakalah adalah bentuk perwakilan, sehingga sah bagi setiap anggota kelompok untuk menjadi wakil dalam seluruh penjualan. Sedangkan wasiat adalah bentuk pemilikan, sehingga tidak sah bagi setiap anggota kelompok untuk memiliki seluruh wasiat. Maka inilah perbedaan antara wakalah dan wasiat.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تقرر أن يَكُون رُجُوعًا عَنِ الْأَوَّلِ إِلَى الثَّانِي، فَسَأَلَ الْأَوَّلُ إِحْلَافَ الثَّانِي أَنَّ الْمُوصِيَ أَرَادَ بِهِ الرُّجُوعَ، لَمْ يَكُنْ لَهُ عَلَيْهِ يَمِينٌ، لِأَنَّ الرُّجُوعَ فِي هَذَا إِلَى لَفْظِ الْمُوصِي فِيمَا احْتَمَلَهُ مِنَ الْمَعْنَى دُونَ إِرَادَتِهِ.

Jika telah dipastikan bahwa hal itu merupakan penarikan kembali dari yang pertama kepada yang kedua, lalu yang pertama meminta agar yang kedua disumpah bahwa pewasiat memang bermaksud menarik kembali, maka tidak ada sumpah baginya atas yang kedua. Sebab, dalam hal ini penarikan kembali dikembalikan pada lafaz pewasiat sesuai makna yang dimungkinkan, bukan pada maksudnya.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ أَوْصَى أَنْ يُبَاعَ أَوْ دَبَّرَهُ أَوْ وَهَبَهُ كَانَ هَذَا رُجُوعًا “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berwasiat agar dijual, atau dijadikan mudabbar, atau dihibahkan, maka itu adalah penarikan kembali.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ لِلْمُوصِي الرُّجُوعَ فِي وَصِيَّتِهِ مَتَى شَاءَ، وَأَنَّ الرُّجُوعَ قَدْ يَكُونُ بِقَوْلٍ، أَوْ دلالة أو فِعْلٍ.

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa pewasiat boleh menarik kembali wasiatnya kapan saja ia mau, dan penarikan kembali itu bisa dengan ucapan, isyarat, atau perbuatan.

فَأَمَّا الْقَوْلُ فَهُوَ أَنْ يَقُولَ صَرِيحًا: رَجَعْتُ فِي وَصِيَّتِي أَوْ قَدْ أَبْطَلْتُهَا، فَيَكُونُ ذَلِكَ رُجُوعًا مِنْهُ وَتَبْطُلُ بِهِ وَصِيَّتُهُ.

Adapun dengan ucapan, yaitu dengan mengatakan secara tegas: “Aku menarik kembali wasiatku” atau “Aku telah membatalkannya”, maka itu adalah penarikan kembali darinya dan wasiatnya batal karenanya.

وَأَمَّا دلالة الفعل فَقَدْ ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ فِي هَذَا الْفَصْلِ ثَلَاثَ مسائل:

Adapun isyarat perbuatan, Imam Syafi‘i menyebutkan dalam fasal ini tiga masalah:

أحدها: أَنْ يُوصِيَ بِبَيْعِهِ.

Pertama: Ia berwasiat agar dijual.

وَالثَّانِيةُ: أَنْ يُدَبِّرَهُ.

Kedua: Ia menjadikannya mudabbar (membebaskan budak setelah wafat).

وَالثَّالِثَةُ: أَنْ يَهَبَهُ.

Ketiga: Ia menghibahkannya.

فَأَمَّا الْبَيْعُ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun penjualan, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَوَلَّاهُ فِي حَيَاتِهِ.

Pertama: Ia melakukannya sendiri semasa hidupnya.

وَالثَّانِي: أَنْ يُوصِيَ بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ. فَإِنْ بَاعَهُ فِي حَيَاتِهِ كَانَ هَذَا رُجُوعًا لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ إِنَّمَا تَصِحُّ إذا انتقلت عن مِلْكِ الْمُوصِي بِمَوْتِهِ إِلَى مِلْكِ الْمُوصَى لَهُ بِقَبُولِهِ وَالْبَيْعُ قَدْ أَزَالَ مِلْكَهُ عَنْهَا فَلَمْ يَصِحَّ بَقَاءُ الْوَصِيَّةِ بِهِ.

Kedua: Ia mewasiatkan agar dijual setelah wafatnya. Jika ia menjualnya semasa hidupnya, maka itu adalah penarikan kembali, karena wasiat hanya sah jika kepemilikan berpindah dari pewasiat kepada penerima wasiat setelah wafatnya dengan penerimaan, sedangkan penjualan telah menghilangkan kepemilikannya atas barang tersebut, sehingga tidak sah lagi keberlangsungan wasiat atasnya.

فَلَوِ اشْتَرَاهُ بَعْدَ بَيْعِهِ: لَمْ تَعُدِ الْوَصِيَّةُ بِهِ لِبُطْلَانِهَا بِالْبَيْعِ. وَخَالَفَ الْمُفْلِسُ إِذَا اشْتَرَى مَا بَاعَهُ فِي رُجُوعِ الْبَائِعِ بِهِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ.

Jika ia membelinya kembali setelah menjualnya, maka wasiat atasnya tidak kembali karena telah batal dengan penjualan. Hal ini berbeda dengan orang yang pailit jika ia membeli kembali barang yang telah dijualnya, di mana penjual dapat menarik kembali barangnya dalam salah satu pendapat.

وَالِابْنُ إِذَا اشْتَرَى مَا بَاعَهُ فِي هِبَةِ أَبِيهِ فِي رُجُوعِ الْأَبِ بِهِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ.

Demikian pula anak jika membeli barang yang telah dijual dalam hibah ayahnya, di mana ayah dapat menarik kembali hibahnya dalam salah satu pendapat.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ رُجُوعَ الْأَبِ فِيمَا وَهَبَهُ لِابْنِهِ وَرُجُوعَ الْبَائِعِ عَلَى الْمُفْلِسِ بِعَيْنِ مَالِهِ، حَقٌّ لَهُمَا، لَيْسَ لِلِابْنِ وَلَا لِلْمُفْلِسِ إِبْطَالُ ذلك عليهما، فكذلك لَمْ يَكُنْ بَيْعُهُمَا وَعَوْدُهُ إِلَى مِلْكِهِمَا مَانِعًا مِنَ الرُّجُوعِ بِذَلِكَ عَلَيْهِمَا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْوَصِيَّةُ، لِأَنَّ لِلْمُوصِي إِبْطَالهَا فَإِذَا بَطَلَتْ بِالْبَيْعِ لَمْ تَعُدْ بِالشِّرَاءِ.

Perbedaannya adalah: Penarikan kembali ayah atas apa yang dihibahkan kepada anaknya dan penarikan kembali penjual atas barangnya kepada orang yang pailit adalah hak bagi keduanya, sehingga anak maupun orang pailit tidak dapat membatalkan hak tersebut atas keduanya. Maka demikian pula, penjualan dan kembalinya barang itu ke kepemilikan mereka tidak menghalangi penarikan kembali atas keduanya. Tidak demikian halnya dengan wasiat, karena pewasiat berhak membatalkannya. Jika wasiat telah batal dengan penjualan, maka tidak kembali lagi dengan pembelian.

وَلَكِنْ لَوْ أَنَّ الْمُوصِيَ عَرَضَ ذَلِكَ لِلْبَيْعِ فَفِي كَوْنِهِ رُجُوعًا فِي الْوَصِيَّةِ وَجْهَانِ:

Namun, jika pewasiat hanya menawarkan barang itu untuk dijual, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat mengenai apakah itu dianggap sebagai penarikan kembali wasiat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ رُجُوعًا فِي الْوَصِيَّةِ، لِأَنَّ تَعْرِيضَهُ لِلْبَيْعِ دَلِيلٌ عَلَى قَصْدِهِ لِلرُّجُوعِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ.

Pertama: Dianggap sebagai penarikan kembali wasiat, karena menawarkan barang itu untuk dijual merupakan bukti keinginannya untuk menarik kembali, dan ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لا يَكُونُ رُجُوعًا فِي الْوَصِيَّةِ لِبَقَائِهَا عَلَى مِلْكِهِ.

Pendapat kedua: Itu tidak dianggap sebagai pencabutan wasiat karena wasiat tersebut tetap berada dalam kepemilikannya.

فَأَمَّا إِذَا أَوْصَى أَنْ يُبَاعَ بَعْدَ مَوْتِهِ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun jika seseorang berwasiat agar sesuatu dijual setelah kematiannya, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَقُولَ بِيعُوهُ بَعْدَ مَوْتِي، وَلَمْ يَذْكُرْ بِكمْ يُبَاعُ وَلَا عَلَى مَنْ يُبَاعُ فَالْوَصِيَّةُ بِهَذَا الْبَيْعِ بَاطِلَةٌ، وَالْوَرَثَةُ بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءُوا بَاعُوهُ، وَإِنْ شَاءُوا تَمَسَّكُوا بِهِ، لِأَنَّهُ لَمْ يُعَيِّنْ مَنْ تصح وله الْوَصِيَّةُ فِيهِ لَكِنْ يُسْتَفَادُ بِذَلِكَ إِبْطَالُ الْوَصِيَّةِ وأن تكون مِلْكًا لِوَرَثَتِهِ.

Pertama: Jika ia berkata, “Juallah barang ini setelah aku wafat,” dan tidak menyebutkan dengan harga berapa harus dijual atau kepada siapa harus dijual, maka wasiat untuk penjualan ini batal, dan para ahli waris berhak memilih: jika mereka mau, mereka dapat menjualnya, dan jika mau, mereka dapat mempertahankannya. Sebab, ia tidak menentukan siapa yang sah menerima wasiat tersebut. Namun, dari hal itu dapat diambil manfaat berupa pembatalan wasiat dan bahwa barang tersebut menjadi milik ahli warisnya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُوصِيَ بِبَيْعِهِ عَلَى زَيْدٍ بِثَمَنٍ ذَكَرَهُ يُعْلَمُ أَنَّ فِيهِ مُحَابَاةً، فَالْوَصِيَّةُ بِهَذَا الْبَيْعِ جَائِزَةٌ، ثُمَّ مَذْهَبُ الشافعي أن يَكُون رُجُوعًا عَنِ الْوَصِيَّةِ الْأُولَى، وَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَقُولُ: إِنَّهُ يُحْمَلُ عَلَى الْوَصِيَّتَيْنِ جَمِيعًا كَمَا لَوْ أَوْصَى بِهِ لِزَيْدٍ ثُمَّ أَوْصَى بِهِ لِعَمْرٍو.

Bagian kedua: Jika ia berwasiat agar dijual kepada Zaid dengan harga tertentu yang diketahui mengandung unsur keberpihakan (muḥābāh), maka wasiat penjualan ini sah. Kemudian, menurut mazhab Syafi‘i, hal itu dianggap sebagai pencabutan dari wasiat pertama. Sebagian ulama kami berpendapat: hal itu dianggap berlaku untuk kedua wasiat sekaligus, sebagaimana jika ia berwasiat kepada Zaid, lalu berwasiat pula kepada ‘Amr.

قَالَ: وَيَكُونُ بَيْنَهُمَا عَلَى قَدْرِ الْمُحَابَاةِ فِي الثَّمَنِ، فَإِنْ كَانَتِ الْمُحَابَاة بِنِصْفِ ثَمَنِهِ صَارَ كَأَنَّهُ قَدْ أَوْصَى بِجَمِيعِهِ لِزَيْدٍ، ثم أوصى بنصفه لعمرو، فيكون بنيهما أَثْلَاثًا، وَإِنْ كَانَتِ الْمُحَابَاةُ بِثُلُثِ ثَمَنِهِ كَانَتْ بَيْنَهُمَا أَرْبَاعًا.

Ia berkata: “Dan pembagiannya antara keduanya sesuai kadar keberpihakan dalam harga. Jika keberpihakan itu setengah dari harga barang, maka seakan-akan ia telah berwasiat seluruhnya kepada Zaid, lalu berwasiat setengahnya kepada ‘Amr, sehingga bagian antara keduanya menjadi sepertiga. Jika keberpihakan itu sepertiga dari harga barang, maka bagian antara keduanya menjadi seperempat.”

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُوصِيَ بِبَيْعِهِ عَلَى زَيْدٍ وَلَا يَذْكُرُ قَدْرَ ثَمَنِهِ الَّذِي يُبَاعُ عَلَيْهِ بِهِ، فَهُوَ بِذَلِكَ مُبْطِلٌ لِوَصِيَّتِهِ الأولى، وفي صحة وصية بيعه عَلَى زَيْدٍ وَجْهَانِ:

Bagian ketiga: Jika ia berwasiat agar dijual kepada Zaid tanpa menyebutkan harga yang harus dibayarkan, maka dengan itu ia membatalkan wasiat pertamanya. Adapun tentang keabsahan wasiat penjualan kepada Zaid, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلَةٌ لِأَنَّهُ لَمْ يَنُصَّ عَلَى ثَمَنٍ تَكُونُ الْمُحَابَاةُ فِيهِ وَصِيَّةً، وَيَكُونُ الْخِيَارُ لِلْوَرَثَةِ فِي بَيْعِهِ وَإِمْسَاكِهِ.

Salah satunya: Batal, karena ia tidak menyebutkan harga yang di dalamnya keberpihakan dapat dianggap sebagai wasiat, dan hak memilih tetap berada pada ahli waris, apakah akan menjualnya atau mempertahankannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْوَصِيَّةَ جَائِزَةٌ لِأَنَّهَا تَتَضَمَّنُ قَصْدَ تَمليكِهِ إِيَّاهُ وَيُبَاعُ عَلَيْهِ بِثَمَنِ مِثْلِهِ إِنِ اشتراه.

Pendapat kedua: Wasiat tersebut sah karena mengandung maksud untuk memberikan kepemilikan kepada Zaid, dan barang itu dijual kepadanya dengan harga yang sepadan jika ia membelinya.

وأما المسألة الثانية: فهو تَدْبِيرُ مَا أَوْصَى بِهِ فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ التَّدْبِيرَ عِتْقٌ بِصِفَةٍ، كَانَ تَدْبِيرُهُ رُجُوعًا فِي الْوَصِيَّةِ، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ كَالْوَصِيَّةِ فَإِنْ قُلْنَا بِتَقْدِيمِ الْوَصِيَّةِ بِالْعِتْقِ، عَلَى الْوَصِيَّةِ بِالتَّمْلِيكِ، كَانَ التَّدْبِيرُ رُجُوعًا فِي الْوَصِيَّةِ.

Adapun masalah kedua: yaitu tadbir (pembebasan budak secara bertahap) atas sesuatu yang diwasiatkan. Jika kita katakan bahwa tadbir adalah pembebasan dengan syarat tertentu, maka tadbir itu merupakan pencabutan dari wasiat. Jika kita katakan bahwa tadbir itu seperti wasiat, maka jika kita mendahulukan wasiat pembebasan atas wasiat pemberian, maka tadbir itu merupakan pencabutan dari wasiat.

وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْوَصِيَّةَ بِالْعِتْقِ وَالتَّمْلِيكِ سَوَاءٌ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika kita katakan bahwa wasiat pembebasan dan pemberian itu sama, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ الطَّبَرِيِّ أَنَّهُ يَكُونُ نِصْفُهُ وَصِيَّةً وَنِصْفُهُ مُدَبَّرًا كَمَا لَوْ أَوْصَى بالثان بَعْدَ أَوَّلٍ، كَانَ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu ‘Ali al-Ṭabari: separuhnya menjadi wasiat dan separuhnya menjadi tadbir, sebagaimana jika ia berwasiat dengan yang kedua setelah yang pertama, maka bagian antara keduanya menjadi setengah-setengah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، أَنَّهُ يَكُونُ جَمِيعُهُ مُدَبَّرًا وَرُجُوعًا عَنِ الْوَصِيَّةِ، لأن عتق التدبير ناجز بالموت، فيقدم عَلَى الْوَصَايَا، كَالنَّاجِزِ مِنَ الْعَطَايَا.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: seluruhnya menjadi tadbir dan merupakan pencabutan dari wasiat, karena pembebasan melalui tadbir berlaku seketika saat kematian, sehingga didahulukan atas wasiat-wasiat lain, seperti hibah yang langsung berlaku.

وَإِنْ قُدِّمَ تَدْبِيرُهُ، ثُمَّ أَوْصَى بِهِ، فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ التَّدْبِيرَ عِتْقٌ بِصِفَةٍ، لَا يَجُوزُ الرُّجُوعُ فِيهِ، كَانَ عَلَى تَدْبِيرِهِ، وَكَانَتِ الْوَصِيَّةُ بَاطِلَةً، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ كَالْوَصَايَا، نُظِرَ: فَإِنْ قَالَ الْعَبْدُ الَّذِي دَبَّرْتُهُ قَدْ أَوْصَيْتُ بِهِ لِزَيْدٍ: كَانَ رُجُوعًا فِي تَدْبِيرِهِ، وَمُوصى بِجَمِيعِهِ. وَإِنْ لَمْ يكفل ذَلِكَ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika tadbir didahulukan, kemudian ia berwasiat atasnya, maka jika kita katakan bahwa tadbir adalah pembebasan dengan syarat tertentu yang tidak boleh dicabut, maka tetap berlaku tadbirnya dan wasiatnya batal. Jika kita katakan bahwa tadbir itu seperti wasiat-wasiat lain, maka diperhatikan: jika ia berkata, “Budak yang telah aku tadbirkan itu telah aku wasiatkan kepada Zaid,” maka itu merupakan pencabutan dari tadbirnya dan menjadi wasiat seluruhnya. Jika tidak demikian, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّهُ يَكُونُ نِصْفُهُ بَاقِيًا عَلَى تدبير ونصفه موصا بِهِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Ibn Abi Hurairah: separuhnya tetap pada tadbir dan separuhnya menjadi wasiat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، أن تدبيره، أقوى من الوصية وَيَكُونُ عَلَى التَّدْبِيرِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: bahwa tadbirnya lebih kuat daripada wasiat, sehingga tetap berlaku tadbir.

وَلَوْ أَوْصَى بِعِتْقِهِ: فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika ia berwasiat untuk memerdekakannya, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ رُجُوعًا عَنِ الْوَصِيَّةِ الأولى، وموصا بِعِتْقِهِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ.

Salah satunya: itu merupakan pencabutan dari wasiat pertama, dan menjadi wasiat untuk memerdekakannya. Ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يكون رجوعا عن الوصية بصفة، وموصا بِعِتْقِ نِصْفِهِ، وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ.

Pendapat kedua: itu merupakan pencabutan dari wasiat bersyarat, dan menjadi wasiat untuk memerdekakan separuhnya. Ini adalah pendapat Ibn Abi Hurairah.

وَلَوْ قَدَّمَ الْوَصِيَّةَ بِعِتْقِهِ، ثُمَّ أَوْصَى بِهِ لزيد ففيه وجهان:

Dan jika ia mendahulukan wasiat untuk memerdekakannya, kemudian berwasiat tentangnya kepada Zaid, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أحدهما: يكون موصا بعتقه، والوصية به بَعْدَ ذَلِكَ بَاطِلَةٌ.

Pertama: ia dianggap berwasiat untuk memerdekakannya, dan wasiat setelah itu menjadi batal.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ نِصْفَهُ يكون موصا بعتقه، ونصفه موصا بِمِلْكِهِ.

Pendapat kedua: setengahnya menjadi wasiat untuk dimerdekakan, dan setengahnya lagi menjadi wasiat untuk dimiliki.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْمَسْأَلَةُ الثَّالِثَةُ: وَهُوَ أَنْ يَهَبَ مَا أَوْصَى بِهِ، فَهَذَا يُنْظَرُ فَإِنْ أَقْبَضَهُ فِي الْهِبَةِ: كَانَ رُجُوعًا فِي الْوَصِيَّةِ، لِإِخْرَاجِهِ بِالْقَبْضِ عَنْ مِلْكِهِ وَإِنْ لَمْ يَقْبِضْهُ ففي كونه رجوعا وَجْهَانِ:

Adapun masalah ketiga: yaitu jika ia memberikan hibah atas apa yang diwasiatkan, maka hal ini perlu dilihat. Jika ia telah menyerahkannya dalam hibah, maka itu dianggap sebagai pencabutan wasiat, karena dengan penyerahan tersebut ia telah mengeluarkannya dari kepemilikannya. Namun jika belum diserahkan, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: يَكُونُ رُجُوعًا، لِأَنَّهُ قَدْ عَقَدَ فِيهِ عقدا يقضي إلى زوال الملك مُخَالِفًا لِمَا قَصَدَهُ مِنْ قَبْلُ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu Ali bin Abi Hurairah: dianggap sebagai pencabutan, karena ia telah melakukan akad yang menyebabkan hilangnya kepemilikan, yang bertentangan dengan maksud sebelumnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ مِنَ الْبَغْدَادِيِّينَ: إِنَّهُ لَا يَكُونُ رُجُوعًا، لِأَنَّهُ لَمْ يُؤَثِّرْ فِي مِلْكِهِ، فَلَمْ يُؤَثِّرْ فِي رُجُوعِهِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat sebagian ulama muta’akhkhirīn dari kalangan Baghdadiyyin: tidak dianggap sebagai pencabutan, karena belum berpengaruh pada kepemilikannya, sehingga tidak berpengaruh pada pencabutan wasiat.

وَلَوْ وَهَبَهُ هِبَةً فَاسِدَةً: فَفِي كَوْنِهِ رُجُوعًا ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Dan jika ia memberikannya dengan hibah yang fasid (rusak/tidak sah), maka dalam hal ini ada tiga pendapat:

أحدها: يكون رجوعا قبض أَوْ لَمْ يُقْبِضْ، وَهَذَا قِيَاسُ قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ.

Pertama: dianggap sebagai pencabutan, baik sudah diserahkan maupun belum, dan ini adalah qiyās pendapat Abu Ishaq al-Marwazi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَكُونُ رُجُوعًا قبض أَوْ لَمْ يُقْبِضْ، لِبَقَائِهِ عَلَى مَالِهِ.

Pendapat kedua: tidak dianggap sebagai pencabutan, baik sudah diserahkan maupun belum, karena masih tetap pada hartanya.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ إِنْ أقْبضَ كَانَ رُجُوعًا، وَإِنْ لَمْ يُقْبِضْ لَمْ يَكُنْ رُجُوعًا، لِأَنَّ فِي الْقَبْضِ تَصَرُّفًا بَيَانِيًّا.

Pendapat ketiga: jika telah diserahkan maka dianggap sebagai pencabutan, dan jika belum diserahkan maka tidak dianggap sebagai pencabutan, karena dalam penyerahan terdapat tindakan yang nyata.

وَهَكَذَا لَوْ رَهَنَهُ كَانَ فِي كَوْنِ الرَّهْنِ رُجُوعًا فِي الْوَصِيَّةِ ثَلَاثَةُ أوجه:

Demikian pula jika ia menjadikannya sebagai rahn (gadai), maka dalam hal gadai dianggap sebagai pencabutan wasiat terdapat tiga pendapat:

أحدها: يكون الرجوع أقْبض أَوْ لَمْ يُقْبِضْ.

Pertama: dianggap sebagai pencabutan, baik sudah diserahkan maupun belum.

وَالثَّانِي: لَا يَكُونُ رُجُوعًا أقْبضَ أَوْ لَمْ يقْبِضْ.

Kedua: tidak dianggap sebagai pencabutan, baik sudah diserahkan maupun belum.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ إن أقبض كان رجوعا، وإن لم يقبض لم يكن رجوعا.

Ketiga: jika telah diserahkan maka dianggap sebagai pencabutan, dan jika belum diserahkan maka tidak dianggap sebagai pencabutan.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ أَجَّرَهُ أَوْ عَلَّمَهُ أَوْ زَوَّجَهُ لَمْ يَكُنْ رُجُوعًا “.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Jika ia menyewakannya, atau mengajarkannya, atau menikahkannya, maka itu tidak dianggap sebagai pencabutan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. إِذَا أُجِّرَ الْعَبْدُ الَّذِي أَوْصَى بِهِ لَمْ تَكُنِ الْإِجَارَةُ رُجُوعًا فِي وَصِيَّتِهِ، لِأَنَّ الْإِجَارَةَ عَقْدٌ عَلَى مَنَافِعِهِ، وَلَهُ اسْتِيفَاءُ الْمَنْفَعَةِ وَاسْتِخْدَاما بِغَيْرِ بدل، فكذلك إِذَا اسْتَوْفَاهَا إِجَارَةً بِبَدَلٍ، فَإِنْ مَاتَ الْمُوصِي بَعْدَ انْقِضَاءِ مُدَّةِ الْإِجَارَةِ انْتَقَلَ الْعَبْدُ إِلَى الْمُوصَى لَهُ بِمَنَافِعِهِ، وَإِنْ مَاتَ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ كَانَتْ لَازِمَةً إِلَى انْقِضَاءِ مُدَّتِهَا. وَإِذَا قَبِلَهُ الْمُوصَى لَهُ لَزِمَهُ تَمْكِينُ الْمُسْتَأْجِرِ إِلَى انْقِضَائِهَا، وَالْأُجْرَةُ لِلْوَرَثَةِ لِأَنَّ الْمُوصِيَ قَدْ مَلَكَهَا بعقد، ثُمَّ تَمَلَّكَ مَنَافِعَهُ بَعْدَ الرَّقَبَةِ مِنْ بَعْدِ انقضاء مدة الإجارة، فكذلك قَدْ رَجَعَ فِي الْإِجَارَةِ فِي بَعْضِ مَنَافِعِهِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Jika budak yang diwasiatkan itu disewakan, maka penyewaan itu tidak dianggap sebagai pencabutan wasiatnya, karena sewa adalah akad atas manfaatnya, dan ia berhak mengambil manfaat dan menggunakannya tanpa imbalan, maka demikian pula jika ia mengambil manfaatnya dengan sewa berimbal, maka jika pewasiat meninggal setelah masa sewa berakhir, budak itu berpindah kepada penerima wasiat beserta manfaatnya, dan jika ia meninggal sebelum masa sewa berakhir, maka sewa itu tetap berlaku hingga masa berakhir. Jika penerima wasiat menerimanya, maka ia wajib membiarkan penyewa sampai masa berakhir, dan upahnya menjadi milik ahli waris karena pewasiat telah memilikinya dengan akad, kemudian penerima wasiat memiliki manfaatnya setelah kepemilikan atas budak itu, setelah masa sewa berakhir, maka demikian pula ia telah kembali dalam sewa pada sebagian manfaatnya.

فأما إذا أوصى له بسكنى داره، ثم أجرها: ولم يَكُنْ ذَلِكَ رُجُوعًا فِي الْوَصِيَّةِ بِسُكْنَاهَا، لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ تَنْقَضِيَ مُدَّةُ الْإِجَارَةِ قَبْلَ مَوْتِ الْمُوصِي، فَإِنِ انْقَضَتْ قَبْلَ مَوْتِهِ صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ بِجَمِيعِ السُّكْنَى، وَإِنْ مَاتَ قَبْلَ انْقِضَائِهَا فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun jika ia berwasiat kepada seseorang untuk menempati rumahnya, kemudian rumah itu disewakan: hal itu tidak dianggap sebagai pencabutan wasiat atas hak tinggalnya, karena bisa jadi masa sewa berakhir sebelum pewasiat meninggal. Jika masa sewa berakhir sebelum ia meninggal, maka wasiat atas seluruh masa tinggal itu sah. Jika ia meninggal sebelum masa sewa berakhir, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَسْكُنُ مُدَّةَ وَصِيَّتِهِ كُلَّهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ مَا بَقِيَ مِنْ مُدَّةِ الإجارة، ولا يكون بقي شَيْء مِنَ الْمُدَّةِ مُؤَثِّرًا فِي الرُّجُوعِ فِي الوصية لاستيفاء مُدَّةِ الْوَصِيَّةِ مُمْكِنٌ.

Pertama: ia menempati rumah selama masa wasiatnya sepenuhnya setelah sisa masa sewa berakhir, dan tidak ada sisa masa sewa yang berpengaruh pada pencabutan wasiat, karena pemenuhan masa wasiat masih memungkinkan.

فَإِذَا كَانَ الْبَاقِي مِنْ مُدَّةِ الْإِجَارَةِ شَهْرًا وَالْوَصِيَّةُ بِالسُّكْنَى سَنَة فَإِذَا أمضى شهر الإجارة بعد موت الوصي سَكَنَهَا الْمُوصَى لَهُ سَنَةً.

Jika sisa masa sewa adalah satu bulan dan wasiat tinggal selama satu tahun, maka setelah satu bulan masa sewa berlalu pasca wafatnya pewasiat, penerima wasiat menempati rumah itu selama satu tahun.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَبْطُلُ مِنَ الْوَصِيَّةِ بِالسُّكْنَى بِقَدْرِ مَا بَقِيَ مِنْ مُدَّةِ الْإِجَارَةِ كَان الْوَصِيَّة بِالسُّكْنَى سَنَةً وَالْبَاقِيَ مِنْ مُدَّةِ الْإِجَارَةِ شَهْرٌ، فَيَبْطُلُ مِنَ الْوَصِيَّةِ بِالسَّنَةِ شَهْرٌ وَيَبْقَى لِلْمُوصَى لَهُ أَحَدَ عَشَرَ شَهْرًا. وَلَوْ كَانَ الْبَاقِي مِنْهَا سَنَةً بَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ بِالسُّكْنَى كُلِّهَا.

Pendapat kedua: batal dari wasiat tinggal itu sebesar sisa masa sewa. Jika wasiat tinggal selama satu tahun dan sisa masa sewa satu bulan, maka dari wasiat satu tahun itu batal satu bulan, dan yang tersisa bagi penerima wasiat adalah sebelas bulan. Jika sisa masa sewa adalah satu tahun, maka batal seluruh wasiat tinggal tersebut.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ أَوْصَى بِعَبْدٍ فَعَلَّمَهُ عِلْمًا، أَوْ صِنَاعَةً، لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ رُجُوعًا لِأَنَّ هَذَا مِنْ مَصَالِحِهِ فَصَارَ كَالنَّفَقَةِ عَلَيْهِ. وَهَكَذَا لَوْ خَتَنَهُ أَوْ حَجَمَهُ أَوْ دَاوَاهُ لَمْ يَكُنْ رُجُوعًا. وَهَكَذَا لَوْ زَوَّجَهُ: لَمْ يَكُنْ رُجُوعًا وَنَفَقَةُ الزَّوْجَةِ وَمَهْرُهَا فِي كَسْبِهِ. وَهَكَذَا لَوْ كَانَتْ أَمَةً فَزَوَّجَهَا، لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ رُجُوعًا، وَالْمهْرُ لِلْمُوصِي فَإِذَا مَاتَ لَمْ يَكُنْ لِلْمُوصَى لَهُ أَنْ يَفْسَخَ نِكَاحَهَا، وَكَأَنَّهُ قَدْ رَجَعَ فِي الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا مُدَّةَ مَقَامِ الزَّوْجِ مَعَهَا كَالْإِجَارَةِ فَلَوْ وَطِئَهَا الموصي لم يكن وطئه رُجُوعًا كَمَا لَوِ اسْتَخْدَمَهَا إِلَّا أَنْ يُحَبِّلَهَا فَتَصِيرُ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ وَتَبْطُلُ الْوَصِيَّةُ.

Jika seseorang berwasiat tentang seorang budak, lalu ia mengajarkan ilmu atau keterampilan kepadanya, hal itu tidak dianggap sebagai penarikan kembali wasiat, karena hal tersebut termasuk dalam kemaslahatan budak itu, sehingga hukumnya seperti menafkahinya. Demikian pula jika ia mengkhitannya, membekamnya, atau mengobatinya, itu tidak dianggap sebagai penarikan kembali. Begitu juga jika ia menikahkan budak itu, maka itu pun tidak dianggap sebagai penarikan kembali, dan nafkah istri serta maharnya diambil dari hasil kerja budak tersebut. Demikian pula jika yang dimaksud adalah seorang budak perempuan lalu ia menikahkannya, maka itu tidak dianggap sebagai penarikan kembali, dan mahar menjadi milik orang yang berwasiat. Jika orang yang berwasiat meninggal, maka penerima wasiat tidak berhak membatalkan pernikahan budak perempuan itu, dan seolah-olah ia telah menarik kembali hak menikmati budak perempuan itu selama masa tinggal suaminya bersamanya, seperti halnya sewa-menyewa. Maka jika orang yang berwasiat menyetubuhi budak perempuan itu, perbuatannya tidak dianggap sebagai penarikan kembali, sebagaimana jika ia mempekerjakannya, kecuali jika ia menghamilinya, maka budak perempuan itu menjadi umm walad baginya dan wasiat pun batal.

وَقَالَ ابْنُ الْحَدَّادِ الْمِصْرِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا: إِنْ عَزَلَ عَنْهَا لَمْ يَكُنْ رُجُوعًا وَإِنْ لَمْ يَعْزِلْ عَنْهَا كَانَ رُجُوعًا، وَزَعَمَ أَنَّهُ أَخَذَ ذَلِكَ مِنْ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الْإِيلَاءِ:

Ibnu al-Haddad al-Mishri dari kalangan ulama kami berkata: Jika ia melakukan ‘azl (mengeluarkan mani di luar rahim) terhadap budak perempuan itu, maka itu tidak dianggap sebagai penarikan kembali, namun jika ia tidak melakukan ‘azl, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali. Ia mengklaim bahwa pendapat ini diambil dari perkataan Imam asy-Syafi‘i dalam masalah ila’:

” وَلَوْ حَلَفَ لا يتسرى فوطء جَارِيَةً لَهُ فَإِنْ كَانَ يَعْزِلُ عَنْهَا فَهُوَ غَيْرُ مُتَسَرٍ، وَلَا حِنْثَ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَعْزِلْ عَنْهَا فَهُوَ مُتَسَرٍّ، وَقَدْ حَنِثَ “.

“Jika seseorang bersumpah tidak akan melakukan tasarri (menjadikan budak perempuan sebagai selir), lalu ia menyetubuhi budak perempuannya, maka jika ia melakukan ‘azl terhadapnya, ia tidak dianggap sebagai mutasarrī (orang yang menjadikan budak sebagai selir), dan tidak ada pelanggaran sumpah atasnya. Namun jika ia tidak melakukan ‘azl, maka ia dianggap sebagai mutasarrī dan ia telah melanggar sumpahnya.”

قال: فلما جعل المتسري طَلَبَ الْوَلَدِ لَا الِاسْتِمْتَاعَ دَلَّ عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا، وَكَانَ طَلَبُ الْوَلَدِ رُجُوعًا فِي الْوَصِيَّةِ دُونَ الِاسْتِمْتَاعِ.

Ia berkata: Ketika tasarri dianggap sebagai upaya mendapatkan anak, bukan semata-mata untuk menikmati, maka hal itu menunjukkan adanya perbedaan antara keduanya. Maka, upaya mendapatkan anak dianggap sebagai penarikan kembali dalam wasiat, sedangkan menikmati saja tidak.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ كَانَ الْمُوصَى بِهِ أَرْضًا فَزَرَعَهَا: لَمْ يَكُنْ رُجُوعًا، لِأَنَّ الزَّرْعَ لا يتبقى.

Jika yang diwasiatkan adalah sebidang tanah lalu ia menanaminya, maka itu tidak dianggap sebagai penarikan kembali, karena tanaman tidak bersifat tetap.

ولو بنى فيها، أو غرسها: ففيها وَجْهَانِ:

Namun jika ia membangun di atasnya atau menanaminya dengan pohon, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ ذَلِكَ رُجُوعًا. فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ الْبِنَاءُ وَالْغَرْسُ فِي جَمِيعِهَا: كَانَ رُجُوعًا فِي الْجَمِيعِ، وَإِنْ كَانَ فِي بَعْضِهَا: كَانَ رُجُوعًا فِيمَا غَرَسَهُ وَبَنَاهُ، دُونَ مَا لَمْ يَغْرِسْهُ وَلَمْ يَبْنِهِ.

Pertama: Hal itu dianggap sebagai penarikan kembali. Berdasarkan pendapat ini, jika bangunan atau tanaman itu ada di seluruh bagian tanah, maka penarikan kembali berlaku untuk seluruhnya. Jika hanya di sebagian tanah, maka penarikan kembali hanya berlaku pada bagian yang dibangun atau ditanami, tidak pada bagian yang tidak dibangun atau tidak ditanami.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَكُونُ رُجُوعًا، لِأَنَّ ذَلِكَ مِنَ اسْتِيفَاءِ مَنَافِعِهَا، فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الْوَصِيَّةُ فِيمَا بَيْنَ الْبِنَاءِ وَالْغَرْسِ مِنْ بَيَاضِ الْأَرْضِ بِحَالِهَا.

Pendapat kedua: Tidak dianggap sebagai penarikan kembali, karena hal itu termasuk dalam pemanfaatan manfaat tanah. Berdasarkan pendapat ini, wasiat tetap berlaku pada bagian tanah yang kosong di antara bangunan dan tanaman.

فَأَمَّا أَسَاسُ الْبِنَاءِ، وَقَرَارُ الْغَرْسِ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Adapun pondasi bangunan dan tempat tumbuhnya tanaman, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يكون رجوعا، وإذا تَلِفَ الْغَرْسُ، وَانْهَدَمَ الْبِنَاءُ: عَادَ إِلَى الْمُوصَى له.

Pertama: Tidak dianggap sebagai penarikan kembali. Jika tanaman rusak atau bangunan runtuh, maka tanah kembali kepada penerima wasiat.

والثاني: يكون رجوعا، لأنه قد صار تباعا لها عليه ومستهلكا به.

Kedua: Dianggap sebagai penarikan kembali, karena keduanya telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tanah dan telah habis bersamanya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ كَانَ الْمُوصَى بِهِ قَمْحًا فَخَلَطَهُ بِقَمْحٍ أَوْ طَحَنَهُ دَقِيقًا فَصَيَّرَهُ عَجِينًا كَانَ أَيْضًا رجوعا “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika yang diwasiatkan adalah gandum, lalu ia mencampurnya dengan gandum lain atau menggilingnya menjadi tepung lalu mengolahnya menjadi adonan, maka itu juga dianggap sebagai penarikan kembali.”

قال الماوردي: وهذه ثلاث مسائل:

Al-Mawardi berkata: Ini mencakup tiga permasalahan:

أحدها: إذا أوصى له بحنطة فَخَلَطَهَا بِحِنْطَةٍ أُخْرَى كَانَ هَذَا رُجُوعًا، لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ كَانَتْ بِحِنْطَةٍ مُعَيَّنَةٍ، وَبِخَلْطِهَا قَدْ تَعَذَّرَ الْوُصُولُ إِلَى عَيْنِهَا، سَوَاءٌ خَلَطَهَا بِمِثْلِهَا فِي الْجَوْدَةِ أَوْ بِأَجْوَدَ أَوْ بِأَرْدَأَ. وَإِنْ خَلَطَهَا بِغَيْرِ جِنْسِهَا فَلَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِمَّا يَشُقُّ تَمْيِيزُهُ أَوْ لَا يَشُقُّ، فَإِنْ خَلَطَهَا بِمَا يَشُقُّ تَمْيِيزُهُ منها كحنطة أخلط بها شعيرا، أو أرزا أو عدسا: فهذا رجوع لأنه خلط بِمَا لَا يَتَمَيَّزُ.

Pertama: Jika seseorang berwasiat memberikan gandum kepada seseorang, lalu ia mencampurnya dengan gandum lain, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali, karena wasiat tersebut berlaku atas gandum tertentu, dan dengan mencampurnya, maka tidak mungkin lagi mendapatkan gandum yang dimaksud secara pasti, baik ia mencampurnya dengan gandum yang sama kualitasnya, lebih baik, atau lebih buruk. Jika ia mencampurnya dengan jenis lain, maka ada dua kemungkinan: jika sulit untuk memisahkannya atau tidak. Jika ia mencampurnya dengan sesuatu yang sulit dipisahkan, seperti mencampur gandum dengan jelai, beras, atau kacang adas, maka ini dianggap sebagai penarikan kembali karena telah bercampur dengan sesuatu yang tidak bisa dibedakan.

وَإِنْ خَلَطَهَا بِمَا لَا يَشُقُّ تَمْيِيزُهُ كَالْجَوْزِ، وَاللَّوْزِ، لَمْ يَكُنْ رُجُوعًا كَمَا لَوْ أَحْرَزَهَا وَلَوْ نَقَلَ الْحِنْطَةَ عَنِ الْبَلَدِ إِلَى غَيْرِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika ia mencampurnya dengan sesuatu yang mudah dipisahkan, seperti kenari atau almond, maka itu tidak dianggap sebagai penarikan kembali, sebagaimana jika ia hanya menyimpannya. Jika ia memindahkan gandum itu dari satu negeri ke negeri lain, maka ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَنْقُلَهَا إِلَى مَا هُوَ أَقْرَبُ إِلَى بَلَدِ الْمُوصَى لَهُ، فَهَذَا لَا يَكُونُ رُجُوعًا لأنه يدل على الحرص وتمامها.

Pertama: Ia memindahkannya ke tempat yang lebih dekat ke negeri penerima wasiat, maka itu tidak dianggap sebagai penarikan kembali karena menunjukkan kehati-hatian dan kesempurnaan dalam menjaga wasiat.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَنْقُلَهَا إِلَى بَلَدٍ هُوَ أَبْعَدُ إِلَى الْمُوصَى لَهُ مِنَ الْبَلَدِ الَّذِي كَانَتْ فِيهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: Ia memindahkannya ke negeri yang lebih jauh dari penerima wasiat dibandingkan negeri asalnya, maka ini juga ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ لِعُذْرٍ ظَاهِرٍ مِنْ خَوْفٍ طَرَأَ، أَوْ فِتْنَةٍ حَدَثَتْ، فَلَا يَكُونُ ذَلِكَ رُجُوعًا.

Pertama: Jika pemindahan itu karena alasan yang jelas, seperti adanya kekhawatiran atau fitnah yang terjadi, maka itu tidak dianggap sebagai penarikan kembali.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ لِغَيْرِ عُذْرٍ ففي كونه رجوعا وجهان:

Jenis kedua: yaitu jika hal itu dilakukan tanpa uzur, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat apakah dianggap sebagai penarikan kembali atau tidak:

أحدهما: يكون رجوعا اعْتِبَارًا بِظَاهِرِ فِعْلِهِ.

Pendapat pertama: dianggap sebagai penarikan kembali dengan mempertimbangkan lahiriah perbuatannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَكُونُ رُجُوعًا اعْتِبَارًا بِبَقَائِهَا عَلَى صِفَتِهَا عَلَى مِلْكِهِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: tidak dianggap sebagai penarikan kembali dengan mempertimbangkan bahwa benda tersebut masih tetap dalam kepemilikannya. Allah lebih mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

فالمسألة الثانية: أن لو أوصى لَهُ بِحِنْطَةٍ فَيطحَنهَا: فَيَكُونُ ذَلِكَ رُجُوعًا لِعِلَّتَيْنِ إِحْدَاهُمَا: زَوَالُ الِاسْمِ عَنْهَا بِالطَّحْنِ.

Masalah kedua: Jika seseorang berwasiat kepadanya dengan gandum lalu ia menggilingnya, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali karena dua alasan. Pertama: hilangnya nama (gandum) darinya karena telah digiling.

وَالثَّانِيةُ: الْقَصْدُ إِلَى اسْتِهْلَاكِهَا بِالْأَكْلِ.

Kedua: adanya maksud untuk menghabiskannya dengan cara dimakan.

وَهَكَذَا: لَوْ قَلَاهَا سَوِيقًا فَإِنْ طَحَنَهَا كَانَ رُجُوعًا لِعِلَّتَيْنِ، وَإِنْ لَمْ يَطْحَنْهَا بَعْدَ الْقَلْيِ كَانَ رُجُوعًا لِإِحْدَى الْعِلَّتَيْنِ وهو قصد استهلاكها.

Demikian pula, jika ia menyangrainya menjadi syaweeq, lalu menggilingnya, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali karena dua alasan. Namun jika ia tidak menggilingnya setelah menyangrai, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali karena satu alasan, yaitu adanya maksud untuk menghabiskannya.

وَهَكَذَا لَوْ بَذَرَهَا: كَانَ رُجُوعًا، وَكَذَلِكَ لَوْ عملها نشا أو بلها بالماء كَانَ رُجُوعًا.

Demikian pula jika ia menanamnya, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali. Begitu juga jika ia mengolahnya menjadi pati atau membasahinya dengan air, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْمَسْأَلَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُوصِيَ لَهُ بِدَقِيقٍ فَيُصَيِّرُهُ عَجِينًا فَهَذَا رُجُوعٌ لِأَنَّهُ قَصَدَ بِهِ الِاسْتِهْلَاكَ وَهَكَذَا لَوْ أَوْصَى لَهُ بِعَجِينٍ فَخَبَزَهُ خُبْزًا، كَانَ رُجُوعًا لِزَوَالِ الِاسْمِ دُونَ الِاسْتِهْلَاكِ. وَلَوْ أَوْصَى لَهُ بِخُبْزٍ فَدَقَّهُ فتوتا ففي كونه رجوعا وجهان:

Masalah ketiga: Jika seseorang berwasiat kepadanya dengan tepung lalu ia menjadikannya adonan, maka itu adalah penarikan kembali karena ia bermaksud untuk menghabiskannya. Demikian pula jika ia berwasiat kepadanya dengan adonan lalu ia memanggangnya menjadi roti, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali karena hilangnya nama (adonan) meskipun belum dikonsumsi. Jika ia berwasiat kepadanya dengan roti lalu ia menghancurkannya menjadi remah-remah, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat apakah dianggap sebagai penarikan kembali atau tidak:

أحدهما: أن يَكُون رُجُوعًا لِزَوَالِهِ عَنْ صِفَتِهِ.

Pendapat pertama: dianggap sebagai penarikan kembali karena telah berubah dari sifat asalnya.

وَالثَّانِي: لَا يَكُونُ رُجُوعًا لِبَقَاءِ اسْمِ الْخُبْزِ عَلَيْهِ. وَلِأَنَّ دقه إبقاء له. ولكن لو جعل سريدا كان رجوعا.

Pendapat kedua: tidak dianggap sebagai penarikan kembali karena nama roti masih melekat padanya, dan karena menghancurkannya adalah bentuk mempertahankan. Namun jika dijadikan tsarid, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali.

فصل:

Fasal:

ولو أوصى بِقُطْنٍ فَغَزَلَهُ: كَانَ رُجُوعًا لِزَوَالِ الِاسْمِ عَنْهُ. وَلَوْ حَشَاهُ فِي مِخَدّة أَوْ مضربة فَفِي كونه رجوعا وجهان:

Jika seseorang berwasiat dengan kapas lalu ia memintalnya, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali karena hilangnya nama (kapas) darinya. Jika ia mengisinya ke dalam bantal atau alat pemukul, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat apakah dianggap sebagai penarikan kembali atau tidak:

أحدهما: هو قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ أَنَّهُ يَكُونُ رُجُوعًا كَمَا لَوْ غَزَلَهُ.

Pendapat pertama, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Khairan, bahwa itu dianggap sebagai penarikan kembali sebagaimana jika ia memintalnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَكُونُ رُجُوعًا لِأَنَّهُ مَا أَزَالَ عَنْهُ الِاسْمَ، وَلَا قَصَدَ بِهِ الِاسْتِهْلَاكَ وَلَوْ أَوْصَى لَهُ بِغَزْلٍ فَنَسَجَهُ ثَوْبًا كَانَ رُجُوعًا، لِزَوَالِ اسْمِ الْغَزَلِ عَنْهُ.

Pendapat kedua: tidak dianggap sebagai penarikan kembali karena nama (kapas) tidak hilang darinya dan tidak ada maksud untuk menghabiskannya. Jika ia berwasiat dengan benang pintal lalu ia menenunnya menjadi kain, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali karena nama benang pintal telah hilang darinya.

وَلَوْ أَوْصَى لَهُ بِثَوْبٍ فَقَطَعَهُ قميصا كان رجوعا لانتقال الِاسْم وَقَصد الِاسْتِعْمَال، وَلَوْ غَسَلَهُ لَمْ يَكُنْ رُجُوعًا، وَلَوْ صَبَغَهُ كَانَ رُجُوعًا، وَلَوْ قَصَّرَهُ فَفِي كَوْنِهِ رُجُوعًا وَجْهَانِ:

Jika ia berwasiat dengan kain lalu ia memotongnya menjadi kemeja, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali karena terjadi perpindahan nama dan adanya maksud penggunaan. Jika hanya dicuci, tidak dianggap sebagai penarikan kembali. Jika dicelup, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali. Jika dipendekkan, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat apakah dianggap sebagai penarikan kembali atau tidak:

أَحَدُهُمَا: لَا يَكُونُ رُجُوعًا كَالْغَسْلِ.

Pendapat pertama: tidak dianggap sebagai penarikan kembali seperti halnya mencuci.

وَالثَّانِي: يَكُونُ رُجُوعًا كَالصَّبْغِ.

Pendapat kedua: dianggap sebagai penarikan kembali seperti halnya mencelup.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَلَوْ أَوْصَى بِشَاةٍ فَذَبَحَهَا: كَانَ رُجُوعًا لِزَوَالِ الاسم وقصد الِاسْتِهْلَاكِ وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَكُونُ رُجُوعًا.

Jika seseorang berwasiat dengan seekor kambing lalu ia menyembelihnya, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali karena hilangnya nama dan adanya maksud untuk menghabiskannya. Abu Hanifah berkata: tidak dianggap sebagai penarikan kembali.

وَلَوْ أَوْصَى ” لَهُ ” بِلَحْمٍ فَقَدَّدَهُ لَمْ يَكُنْ رجوعا لأنه بالتقديد يستبقى ولو طحنه: كان رجوعا لأنه صار مستهلكا. وإذا شوي كَانَ أَبْقَى لَهُ.

Jika seseorang berwasiat dengan daging lalu ia mengawetkannya (dengan cara dikeringkan), maka tidak dianggap sebagai penarikan kembali karena dengan pengawetan itu daging tetap bisa disimpan. Namun jika ia menggilingnya, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali karena telah menjadi sesuatu yang dikonsumsi. Jika dipanggang, maka itu lebih memungkinkan untuk tetap disimpan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ أَوْصَى لَهُ بِنُقْرَةِ فِضَّةٍ، فَطَبَعَهَا دَرَاهِمَ، أَوْ صَاغَهَا حُلِيًّا: كَانَ رُجُوعًا، لِانْتِقَالِ الِاسْمِ.

Jika seseorang berwasiat dengan bongkahan perak lalu ia menempa menjadi dirham atau membuatnya menjadi perhiasan, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali karena terjadi perpindahan nama.

وَهَكَذَا: لَوْ أَوْصَى لَهُ بِحُلِيٍّ، أَوْ دَرَاهِمَ فَسَبَكَهَا نُقْرَةً، كَانَ رُجُوعًا.

Demikian pula, jika seseorang berwasiat dengan perhiasan atau dirham lalu ia meleburkannya menjadi bongkahan, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali.

ولو أوصى له بتمر فكذه: لَمْ يَكُنْ رُجُوعًا، لِأَنَّهُ يُسْتَبْقَى بِهِ.

Jika seseorang berwasiat dengan kurma lalu ia mengeringkannya, maka tidak dianggap sebagai penarikan kembali karena dengan pengeringan itu kurma tetap bisa disimpan.

وَلَوْ جَعَلَهُ دِبْسًا: كَانَ رُجُوعًا لِزَوَالِ الِاسْمِ.

Namun jika ia menjadikannya sebagai dibs (sirup kurma), maka itu dianggap sebagai penarikan kembali karena hilangnya nama (kurma).

وَهَكَذَا: لَوْ أَوْصَى لَهُ بِعِنَبٍ، فَجَعَلَهُ عَصِيرًا، أَوْ زيتون فجعله زيتا، أن بِسِمْسِمٍ فَجَعَلَهُ شَيْرَجًا، كَانَ رُجُوعًا.

Demikian pula, jika seseorang berwasiat dengan anggur lalu dijadikan jus, atau zaitun lalu dijadikan minyak, atau wijen lalu dijadikan minyak wijen, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali.

وَلَوْ أَوْصَى بِرُطَبٍ فَجَفَّفَهُ تَمْرًا أَوْ بِعِنَبٍ فَجَفَّفَهُ زَبِيبًا، لَمْ يَكُنْ رُجُوعًا، لِأَنَّهُ بِذَلِكَ يُدَّخَرُ وَهُوَ على صفته، فَصَارَ كَمَا لَوْ أَوْصَى لَهُ بِجَدْيٍ، فَصَارَ تيسا، أو ببصل فصار خلا.

Jika seseorang berwasiat dengan ruthab (kurma basah) lalu ia mengeringkannya menjadi kurma, atau dengan anggur lalu ia mengeringkannya menjadi kismis, maka tidak dianggap sebagai penarikan kembali karena dengan itu benda tersebut dapat disimpan dan masih dalam sifat aslinya. Hal ini seperti jika seseorang berwasiat dengan anak kambing lalu menjadi kambing dewasa, atau dengan bawang lalu menjadi cuka.

فصل:

Fasal:

وإذا أوصى له دار فَهَدَمَهَا: كَانَ رُجُوعًا.

Jika seseorang berwasiat dengan sebuah rumah lalu ia merobohkannya, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يكون هدم الدار رجوعا، وهذا خطأ. لأنه لما كان طحن الحنطة رُجُوعًا، كَانَ هَدْمُ الدَّارِ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ رُجُوعًا. وَلَوْ جَعَلَ الدَّارَ حَمَّامًا: كَانَ رُجُوعًا بوفاق مع أبي حنيفة، وَهُوَ حُجَّةٌ عَلَيْهِ فِي هَدْمِهَا. وَلَكِنْ لَوْ عَمَّرَهَا، لَمْ يَكُنْ رُجُوعًا، وَلَوْ جعل عليها سباطا، لَمْ يَكُنْ دَاخِلًا فِي الْوَصِيَّةِ.

Abu Hanifah berkata: merobohkan rumah tidak dianggap sebagai penarikan kembali, dan ini adalah kekeliruan. Karena jika menggiling gandum dianggap sebagai penarikan kembali, maka merobohkan rumah lebih utama untuk dianggap sebagai penarikan kembali. Jika ia mengubah rumah menjadi pemandian, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali menurut kesepakatan dengan Abu Hanifah, dan ini menjadi hujjah atasnya dalam masalah merobohkan rumah. Namun jika ia merenovasinya, maka tidak dianggap sebagai penarikan kembali. Jika ia menambahkan serambi di atasnya, maka itu tidak termasuk dalam wasiat.

وَهَلْ يَكُونُ وضع السباط عليه من حيطانها على وجهين كما قلنا فِي قَرَارِ الْغَرْسِ وَأَسَاسِ الْبِنَاءِ.

Apakah meletakkan alas kaki di atasnya dari dinding-dindingnya itu ada dua sisi, sebagaimana yang telah kami katakan dalam dasar penanaman dan pondasi bangunan.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولو أوصى له بمكيلة حنطة مما في بيته ثم خلطها بمثلها لم يكن رجوعا وكانت له المكيلة بحالها “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berwasiat kepadanya dengan satu takaran gandum dari apa yang ada di rumahnya, lalu ia mencampurnya dengan yang sejenis, maka itu tidak dianggap sebagai penarikan kembali wasiat, dan ia tetap berhak atas takaran tersebut sebagaimana adanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيمَنْ أَوْصَى بصبرة مميزة وأنه مَتَى خَلَطَهَا بِغَيْرِهَا كَانَ رُجُوعًا.

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya tentang orang yang berwasiat dengan tumpukan (barang) yang terpisah, bahwa jika ia mencampurnya dengan selainnya maka itu dianggap sebagai penarikan kembali.

فَأَمَّا مَسْأَلَتُنَا هذه مصورة في رجل أوصى لزيد بقفيز من صبرة حنطة في بيته، ثُمَّ خَلَطَهَا، فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun masalah kita ini digambarkan pada seseorang yang berwasiat kepada Zaid dengan satu qafiz dari tumpukan gandum di rumahnya, lalu ia mencampurnya, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَخْلِطَهَا بِمِثْلِهَا، فَهَذَا لَا يَكُونُ رُجُوعًا لِأَنَّ الْقَدْرَ الْمُوصَى بِهِ كَانَ مُخْتَلِطًا بِغَيْرِهِ، وَخَالَفَ الْحِنْطَةَ الْمُتَمَيِّزَةَ الَّتِي يَصِيرُ خَلْطُهَا رُجُوعًا.

Pertama: Ia mencampurnya dengan yang sejenis, maka ini tidak dianggap sebagai penarikan kembali, karena kadar yang diwasiatkan memang sudah bercampur dengan selainnya, dan ini berbeda dengan gandum yang terpisah yang jika dicampur maka dianggap sebagai penarikan kembali.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَخْلِطَهَا بِأَجْوَدَ مِنْهَا: فَهَذَا يَكُونُ رُجُوعًا، لِأَنَّهُ قَدْ أَحْدَثَ فِيهَا بِالْخَلْطِ زِيَادَةً لَا يَمْلِكُهَا الْمُوصَى لَهُ فَصَارَ كَالذَّهَبِ إِذَا صَاغَهُ.

Bagian kedua: Ia mencampurnya dengan yang lebih baik darinya, maka ini dianggap sebagai penarikan kembali, karena dengan pencampuran itu ia telah menambahkan sesuatu yang tidak dimiliki oleh penerima wasiat, sehingga menjadi seperti emas jika dibentuk (menjadi perhiasan).

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَخْلِطَهَا بِأَرْدَأَ مِنْهَا: فَفِي كَوْنِهِ رُجُوعًا وَجْهَانِ:

Bagian ketiga: Ia mencampurnya dengan yang lebih buruk darinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قول عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لَا يَكُونُ رُجُوعًا، لِأَنَّهُ نَقْصٌ أَحْدَثَهُ فِيهَا، فَصَارَ كَمَا لَوْ أَخَذَ بَعْضَهَا: لَمْ يَكُنْ رُجُوعًا فِيمَا بَقِيَ عَنْهَا.

Salah satunya, yaitu pendapat Ali bin Abi Hurairah, tidak dianggap sebagai penarikan kembali, karena itu adalah pengurangan yang ia lakukan padanya, sehingga seperti jika ia mengambil sebagian darinya: maka tidak dianggap penarikan kembali terhadap sisanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَكُونُ رُجُوعًا لِأَنَّ الْحِنْطَةَ تَتَغَيَّرُ بِالْأَرْدَأ، كَمَا تَتَغَيَّرُ بِالْأَجْوَدِ وَجُمْلَةُ مَا يَكُونُ رُجُوعًا فِي الْوَصِيَّةِ مَعَ بَقَائِهَا عَلَى مِلْكِ الْمُوصِي أَنْ يَقْصِدَ إِلَى اسْتِهْلَاكِهَا، أَوْ يُحْدِثَ فِيهَا بِفِعْلِهِ زِيَادَةً لَا يُمْكِنُ تَمْيِيزُهَا.

Pendapat kedua: Dianggap sebagai penarikan kembali karena gandum berubah dengan yang lebih buruk, sebagaimana berubah dengan yang lebih baik. Secara umum, yang dianggap sebagai penarikan kembali dalam wasiat selama masih dalam kepemilikan pewasiat adalah jika ia bermaksud untuk menghabiskannya, atau ia melakukan sesuatu padanya yang menambahkannya dengan cara yang tidak bisa dipisahkan.

فصل:

Fasal:

ولو حجر الْمُوصِي الْوَصِيَّةَ كَانَ رُجُوعًا.

Jika pewasiat melarang pelaksanaan wasiat, maka itu dianggap sebagai penarikan kembali.

وَحُكِيَ عَنْ محمد بن الحسن أن الحجور لا يكون رجوعا، وهذا فاسد لأن الحجور أغلظ من الرجوع. ولو قال هذا على حَرَامٌ كَانَ رُجُوعًا لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ لَا تَكُونُ عَلَيْهِ حَرَامًا. وَقَالَ محمد بن الحسن لَا يكون ذلك رجوعا.

Diriwayatkan dari Muhammad bin al-Hasan bahwa pelarangan tidak dianggap sebagai penarikan kembali, dan ini tidak benar karena pelarangan lebih berat daripada penarikan kembali. Jika ia berkata, “Ini haram atasnya,” maka itu dianggap sebagai penarikan kembali karena wasiat tidak mungkin menjadi haram atasnya. Muhammad bin al-Hasan berkata, itu tidak dianggap sebagai penarikan kembali.

ولو قال هي لورثتي كَانَ رُجُوعًا. وَلَوْ قَالَ هِيَ مِنْ تَرِكَتِي ففي كونه رجوعا وجهان:

Jika ia berkata, “Ini untuk ahli warisku,” maka itu dianggap sebagai penarikan kembali. Jika ia berkata, “Ini dari hartaku,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أحدهما: يكون رجوعا لِأَنَّ التَّرِكَةَ لِلْوَرَثَةِ.

Salah satunya: Dianggap sebagai penarikan kembali karena harta warisan adalah milik ahli waris.

وَالثَّانِي: لَا يَكُونُ رُجُوعًا لأن الوصايا من حملة التَّرِكَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Yang kedua: Tidak dianggap sebagai penarikan kembali karena wasiat termasuk bagian dari harta warisan. Wallāhu a‘lam.

بَابُ الْمَرَضِ الَّذِي تَجُوزُ فِيهِ الْعَطِيَّةُ وَلَا تجوز والمخوف غير المرض

Bab tentang penyakit yang boleh dan tidak boleh dilakukan pemberian, dan bahaya yang bukan karena penyakit

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” كُلُّ مَرَضٍ كَانَ الْأَغْلَبُ فِيهِ أَنَّ الْمَوْتَ مَخُوفٌ عَلَيْهِ فَعَطِيَّتُهُ إِنْ مَاتَ فِي حُكْمِ الْوَصَايَا وَإِلَّا فَهُوَ كَالصَّحِيحِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Setiap penyakit yang pada umumnya dikhawatirkan menyebabkan kematian, maka pemberiannya jika ia meninggal dihukumi seperti wasiat, dan jika tidak maka seperti orang sehat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ مَا يُخْرِجُهُ الْإِنْسَانُ مِنْ مَالِهِ ضَرْبَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa apa yang dikeluarkan seseorang dari hartanya ada dua macam:

أَحَدُهُمَا: وَصَايَاهُ بَعْدَ مَوْتِهِ. وَالثَّانِي: عَطَايَاهُ الْمُنْجَزَةُ فِي حَيَاتِهِ.

Pertama: Wasiatnya setelah ia meninggal. Kedua: Pemberian yang dilaksanakan pada saat hidupnya.

فَأَمَّا الْوَصَايَا: فَهِيَ مِنَ الثُّلُثِ، سَوَاءٌ أَوَصَى بِهَا فِي صِحَّةٍ أَوْ مَرَضٍ. فَإِنِ اتَّسَعَ الثُّلُثُ لِجَمِيعِهَا أُمْضِيَتْ، وَلَمْ يَكُنْ لِلْوَارِثِ فِيهَا اعْتِرَاضٌ، وَإِنْ ضَاقَ الثُّلُثُ عَنْهَا: رُدَّ الْفَاضِلُ عَلَى الثُّلُثِ إِنْ لَمْ يُجِزْهُ الورثة ويحاص أهل الوصايا الورثة بِالثُّلُثِ. وَسَوَاءٌ مَنْ تَقَدَّمَتِ الْوَصِيَّةُ لَهُ أَوْ تَأَخَّرَتْ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِيهِ عِتْقٌ، فَيَكُونُ فِي تَقْدِيمِهِ عَلَى الْوَصَايَا قَوْلَانِ.

Adapun wasiat: maka itu dari sepertiga harta, baik ia berwasiat dalam keadaan sehat maupun sakit. Jika sepertiga harta cukup untuk semuanya, maka semuanya dilaksanakan dan ahli waris tidak bisa mengajukan keberatan. Jika sepertiga harta tidak cukup, maka kelebihannya dikembalikan ke sepertiga harta jika tidak diizinkan oleh ahli waris, dan para penerima wasiat berbagi dengan ahli waris dalam sepertiga harta. Tidak ada perbedaan apakah wasiat itu diberikan lebih dahulu atau belakangan, kecuali jika di dalamnya ada pembebasan budak, maka dalam mendahulukannya atas wasiat ada dua pendapat.

وَأَمَّا الْعَطَايَا الْمُنْجَزَةُ فِي الْحَيَاةِ: فَكَالْهِبَةِ، وَالصَّدَقَةِ، وَالْمُحَابَاةِ وَالْعِتْقِ، وَالْوَقْفِ فَضَرْبَانِ:

Adapun pemberian yang dilaksanakan pada saat hidup: seperti hibah, sedekah, muhabāh (pemberian dengan imbalan yang ringan), pembebasan budak, dan wakaf, maka ada dua macam:

أَحَدُهُمَا: مَا كَانَ فِي الصِّحَّةِ. وَالثَّانِي: مَا كَانَ فِي الْمَرَضِ.

Pertama: Yang dilakukan dalam keadaan sehat. Kedua: Yang dilakukan dalam keadaan sakit.

فَأَمَّا عَطَايَا الصِّحَّةِ فَمِنْ رَأْسِ الْمَالِ، سَوَاءٌ قَرُبَ عَهْدُهَا بِالْمَوْتِ أَوْ بَعُدَ.

Adapun pemberian dalam keadaan sehat maka diambil dari seluruh harta, baik dekat maupun jauh waktunya dari kematian.

وَأَمَّا عَطَايَا الْمَرَضِ فَالْمَرَضُ يَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun pemberian dalam keadaan sakit, maka penyakit terbagi menjadi tiga bagian:

قِسْمٌ يَكُونُ غَيْرَ مَخُوفٍ: كَوَجَعِ الضِّرْسِ، وَرَمَدِ الْعَيْنِ، وَنُفُورِ الطِّحَالِ، وَحُمَّى يَوْمٍ، فَالْعَطَايَا فِيهِ: مِنْ رَأْسِ الْمَالِ، لأن الإنسان مطبوع على أحوال متغايرة ولا يَبْقَى مَعَهَا عَلَى حَالَةٍ وَاحِدَةٍ وَلَا يَخْلُو في تغييره واستحالته فإن أعطى في هذه الحالة كانت عطيته من رأس ماله، مثاله كَالصَّحِيحِ، وَإِنْ مَاتَ عُقَيْبَ عَطِيَّتِهِ، لِأَنَّ حُدُوثَ الموت بغيره فهذا هو قِسْمٌ.

Bagian yang tidak menimbulkan kekhawatiran: seperti sakit gigi, sakit mata ringan, pembengkakan limpa, atau demam sehari, maka pemberian dalam keadaan ini diambil dari harta pokok, karena manusia secara tabiat mengalami kondisi yang berubah-ubah dan tidak tetap dalam satu keadaan, serta tidak lepas dari perubahan dan peralihan tersebut. Jika ia memberi dalam keadaan seperti ini, maka pemberiannya berasal dari harta pokoknya. Contohnya seperti orang sehat, dan jika ia meninggal setelah pemberiannya, maka kematian itu terjadi bukan karena penyakit tersebut. Inilah bagian yang dimaksud.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: حَالُ الْمُعَايَنَةِ، وَحشرجَةُ النَّفْسِ، وَبُلُوغُ الرُّوحِ التَّرَاقِيَ، فَلَا يَجْرِي عَلَيْهِ فِيهَا حُكْمُ قَلَمٍ، وَلَا يَكُونُ لِقَوْلِهِ حُكْمٌ، لِأَنَّهُ فِي حُكْمِ الْمَوْتَى وَإِنْ كَانَ يَتَحَرَّكُ حَرَكَةَ الْمَذْبُوحِ، وَكَذَلِكَ مَنْ شُقَّ بَطُنُهُ وَأُخْرِجَتْ حَشْوَتُهُ لا يحكم بقوله ووصيته في هذه الْحَالَةِ وَإِنْ كَانَ يَتَحَرَّكُ أَوْ يَتَكَلَّمُ لِأَنَّ الباقي منه كحركة المذبوح بعد الذبح.

Bagian kedua: keadaan sakaratul maut, seperti napas tersengal-sengal, ruh telah sampai ke kerongkongan, maka dalam keadaan ini tidak berlaku hukum qalam (pencatatan amal), dan perkataannya tidak memiliki kekuatan hukum, karena ia sudah dalam hukum orang yang telah meninggal, meskipun ia masih bergerak seperti gerakan hewan yang disembelih. Demikian pula orang yang perutnya telah dibelah dan isi perutnya dikeluarkan, maka tidak berlaku hukum pada perkataan dan wasiatnya dalam keadaan ini, meskipun ia masih bergerak atau berbicara, karena sisa kehidupannya seperti gerakan hewan yang disembelih setelah disembelih.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: الْمَرَضُ الْمَخُوفُ الَّذِي الْحَيَاةُ فِيهِ بَاقِيَةٌ وَالْإِيَاسُ مِنْ صَاحِبِهِ وَاقِعٌ كَالطَّوَاعِينِ، وَالْجِرَاحِ النَّافِذَةِ، فَعَطَايَاهُ كُلُّهَا مِنْ ثُلُثِهِ، سَوَاءٌ كَانَ هِبَةً أَوْ مُحَابَاةً أَوْ عِتْقًا.

Bagian ketiga: penyakit yang menimbulkan kekhawatiran, di mana kehidupan masih ada namun harapan terhadap kesembuhan pemiliknya sudah hilang, seperti wabah tha‘ūn, luka yang tembus, maka seluruh pemberiannya hanya boleh diambil dari sepertiga hartanya, baik berupa hibah, pemberian dengan harga murah, maupun pembebasan budak.

وَقَالَ دَاوُدُ بن علي: العتق كله مِنَ الثُّلُثِ، لِلْخَبَرِ فِيهِ وَمَا سِوَاهُ مِنْ رأس المال.

Dawud bin Ali berkata: Pembebasan budak seluruhnya diambil dari sepertiga harta, berdasarkan hadis yang ada tentang hal itu, sedangkan selainnya diambil dari harta pokok.

وَقَالَ طَاوُسٌ: الْعِتْقُ وَغَيْرُهُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ اسْتِدْلَالًا بِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَافْعَلُوا الْخَيْرَ} [الحج: 77] . وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ مَا أَنْفَقَهُ مِنْ مَالِهِ فِي مَلَاذِّهِ وَشَهَوَاتِهِ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ. كَانَ ما يتقرب بِهِ مِنْ عِتْقِهِ وَهِبَاتِهِ وَمُحَابَاتِهِ أَوْلَى أَنْ تَكُونَ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ.

Thawus berkata: Pembebasan budak dan selainnya diambil dari harta pokok, berdasarkan keumuman firman Allah Ta‘ala: {Dan berbuatlah kebaikan} [al-Hajj: 77]. Dan karena apa yang ia belanjakan dari hartanya untuk kenikmatan dan syahwatnya diambil dari harta pokoknya, maka apa yang ia lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti membebaskan budak, hibah, dan pemberian dengan harga murah, lebih utama untuk diambil dari harta pokoknya.

وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ هَذَا الْقَوْلِ قَوْله تَعَالَى: {وَلَقَدْ كُنْتُمْ تَمَنَّوْنَ الْمَوْتَ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَلْقَوْهُ فَقَدْ رَأَيْتُمُوهُ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ} [آل عمران: 143] . يَعْنِي بِهِ خَوْفَ القتل وأسباب التلف وسماه بِاسْمِهِ لِقُرْبِهِ مِنْهُ، وَاتِّصَالِ حُكْمِهِ بِحُكْمِهِ، وَقَالَ تَعَالَى: {كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ} [البقرة: 180] .

Dalil atas rusaknya pendapat ini adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan sungguh kamu pernah mengharapkan kematian sebelum kamu menghadapinya, maka sungguh kamu telah melihatnya sedang kamu menyaksikan} [Ali ‘Imran: 143]. Yang dimaksud adalah rasa takut akan terbunuh dan sebab-sebab kebinasaan, dan Allah menamakannya dengan namanya karena kedekatannya dengan kematian dan keterkaitan hukumnya dengan hukum kematian. Allah Ta‘ala juga berfirman: {Diwajibkan atas kamu, apabila kematian datang kepada salah seorang di antara kamu, jika ia meninggalkan kebaikan, hendaklah berwasiat untuk kedua orang tua dan kerabatnya} [al-Baqarah: 180].

يَعْنِي بِحُضُورِ الْمَوْتِ ظُهُورَ دَلَائِلِهِ وَوُجُودَ أَسْبَابِهِ.

Yang dimaksud dengan “datangnya kematian” adalah tampaknya tanda-tanda kematian dan adanya sebab-sebabnya.

ولأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَعْطَاكُمْ ثُلُثَ أَمْوَالِكُمْ فِي آخِرِ أَعْمَارِكُمْ زِيَادَةً فِي أَعْمَالِكُمْ “.

Dan karena Nabi – shallallāhu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ala telah memberikan kepada kalian sepertiga harta kalian di akhir umur kalian sebagai tambahan dalam amal kalian.”

فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِنَفَقَاتِ مَلَذَّاتِهِ، وَشَهَوَاتِهِ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ: أَنَّ مَا اخْتَصَّ بِهِ الْمَرِيضُ مِنْ مَصَالِحِهِ، هُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ وَرَثَتِهِ، وَمَا عَادَ إِلَى غَيْرِهِ مِنْ هِبْتِهِ وَمُحَابَاتِهِ، فَوَرَثَتُهُ أَحَقُّ بِهِ. فلذلك أمضت نَفَقَاتُهُ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ لِتَعَلُّقِهَا بِمَصَالِحِهِ فِي حَالِ حَيَاتِهِ، وَجُعِلَتْ هِبَاتُهُ مِنْ ثُلُثِهِ لِتَعَلُّقِهَا بمصلحة غير ثُمَّ بِنَفْسِهِ بَعْدَ مَمَاتِهِ. فَلَمْ يَكُنْ لَهُ إِلَّا مَا جعلت لَهُ الشَّرِيعَةُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.

Adapun argumentasinya dengan pengeluaran untuk kenikmatan dan syahwatnya, jawabannya adalah: apa yang khusus bagi orang sakit untuk kemaslahatannya, maka ia lebih berhak atasnya daripada ahli warisnya. Sedangkan apa yang kembali kepada selain dirinya, seperti hibah dan pemberian dengan harga murah, maka ahli warisnya lebih berhak atasnya. Oleh karena itu, pengeluarannya untuk kepentingan dirinya diambil dari harta pokoknya karena berkaitan dengan kemaslahatannya selama hidup, sedangkan hibahnya diambil dari sepertiga hartanya karena berkaitan dengan kemaslahatan orang lain, lalu baru dirinya sendiri setelah kematiannya. Maka ia tidak memiliki hak kecuali apa yang telah ditetapkan oleh syariat baginya. Allah Maha Mengetahui kebenaran.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ومن الْمَخُوفِ مِنْهُ إِذَا كَانَتْ حُمَّى بَدَأَتْ بِصَاحِبِهَا ثُمَّ إِذَا تَطَاوَلَتْ فَهُوَ مَخُوفٌ إِلَّا الرِّبْعَ فإنها إذا استمرت بصاحبها ربعا فغير مخوفة وإن كَانَ مَعَهَا وَجَعٌ كَانَ مَخُوفًا وَذَلِكَ مِثْلُ الْبِرْسَامِ أَوِ الرّعَافِ الدَّائِمِ أَوْ ذَاتِ الْجَنْبِ أو الخاصرة أو القولنج ونحوه فهو مَخُوفٌ “.

Imam al-Syafi‘i rahimahullāh berkata: “Termasuk penyakit yang menimbulkan kekhawatiran adalah jika demam mulai menyerang seseorang, lalu jika berlangsung lama maka menjadi penyakit yang menakutkan, kecuali demam empat hari (demam kuartana), karena jika demam itu menetap pada seseorang selama empat hari maka tidak menakutkan, kecuali jika disertai rasa sakit, maka menjadi menakutkan. Contohnya seperti radang otak, mimisan yang terus-menerus, radang selaput dada, sakit pinggang, atau kolik dan sejenisnya, maka itu menakutkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ عَطَايَا الْمَرَضِ الْمَخُوفِ مِنَ الثُّلُثِ كَالْوَصَايَا، وَإِنْ تَقَدَّمَتْ عليها فالمرض المخوف، هو الذي لا تتطاوله بِصَاحِبِهِ مَعَهُ الْحَيَاةُ.

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa pemberian pada penyakit yang menimbulkan kekhawatiran diambil dari sepertiga harta seperti wasiat, meskipun pemberian itu mendahului wasiat, karena penyakit yang menakutkan adalah penyakit yang tidak dapat berlangsung lama pada penderitanya dengan tetap hidup.

وَقَالَ أَهْلُ الْعِرَاقِ: الْمَخُوفُ هو من الْمُضْنِي، الْمُضْعِفِ عَنِ الْحَرَكَةِ الَّذِي يَصِيرُ بِهِ الإنسان صاحب فراش، وإن تطاول به أجله، وَهَذَا خَطَأٌ عِنْدِنَا لِأَنَّ مَا تَطَاوَلَ بِالْإِنْسَانِ فهو مُهْلَته، وَبَقِيَّة أَجَلِهِ، لِأَنَّ الْمَوْتَ طَارِئٌ عَلَى كُلِّ حَيٍّ وَإِنْ صَحَّ، وَإِنَّمَا يَخْتَلِفُ حَالُهُ فيما تعجل به الموت وجاء.

Dan pendapat Ahlul ‘Iraq: Penyakit yang dikhawatirkan (al-makhūf) adalah penyakit yang melemahkan, yang membuat seseorang tidak mampu bergerak sehingga menjadi penghuni tempat tidur, meskipun ajalnya masih panjang. Namun, menurut kami, ini adalah kekeliruan, karena selama seseorang masih hidup dalam waktu yang lama, itu adalah masa tangguhnya dan sisa ajalnya. Sebab, kematian bisa menimpa setiap yang hidup, meskipun ia sehat. Yang berbeda hanyalah kondisi yang mempercepat datangnya kematian.

وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: {إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ} [البقرة: 180] . وَالْحَاضِرُ مَا كَانَ قَرِيبًا مِنْهُ لَا مَا بَعُدَ. وَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَعْطَاكُمْ ثُلُثَ أَمْوَالِكُمْ فِي آخِرِ أَعْمَارِكُمْ زِيَادَةً فِي أَعْمَالِكُمْ “.

Allah Ta‘ala berfirman: {Apabila kematian datang kepada salah seorang di antara kamu} [al-Baqarah: 180]. Yang dimaksud dengan “datang” adalah yang sudah dekat, bukan yang masih jauh. Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ala telah memberikan sepertiga hartamu di akhir umurmu sebagai tambahan amal bagimu.”

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تقرر أن المخوف ما جاء وَعجّلَ، فَالْأَمْرَاضُ كُلُّهَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Jika telah dipastikan bahwa penyakit yang dikhawatirkan adalah yang datang secara tiba-tiba dan mempercepat kematian, maka seluruh penyakit terbagi menjadi empat bagian:

أَحَدُهَا: مَا كَانَ غَيْرَ مَخُوفٍ فِي الِابْتِدَاءِ والانتهاء كوجع الضرب ورمد العين، وجرب اليد، فعطاياه من رأس ماله، فَإِنْ مَاتَ فَبِحُدُوثِ غَيْرِهِ.

Pertama: Penyakit yang sejak awal hingga akhir tidak dikhawatirkan, seperti sakit karena dipukul, sakit mata, atau kudis di tangan. Hibah yang diberikan dalam keadaan ini diambil dari seluruh hartanya. Jika ia meninggal, maka kematiannya disebabkan oleh hal lain.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَا كَانَ مَخُوفًا فِي الِابْتِدَاءِ وَالِانْتِهَاءِ كَالْبِرْسَامِ، وَذَاتِ الْجَنْبِ، وَالْخَاصِرَةِ، فَعَطَايَاهُ فِيهِ مِنْ ثُلُثِهِ فَإِنْ صح فيه أو قتل أَوْ مَاتَ تَحْتَ هَدْمٍ، بَانَ أَنَّهُ كَانَ غير مخوف فيكون عَطَايَاهُ فِيهِ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ.

Bagian kedua: Penyakit yang sejak awal hingga akhir memang dikhawatirkan, seperti radang otak (barsām), radang selaput dada (dzāt al-janb), dan sakit pinggang (al-khāshirāh). Hibah yang diberikan dalam keadaan ini diambil dari sepertiga hartanya. Jika ia sembuh, terbunuh, atau meninggal karena tertimpa reruntuhan, maka ternyata penyakit itu bukan penyakit yang dikhawatirkan, sehingga hibahnya diambil dari seluruh hartanya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: ما كان في ابتدائه غير مَخُوفٍ، وَفِي انْتِهَائِهِ مَخُوفًا، كَالْحُمَّى، وَالسُّلِّ، فَعَطِيَّتُهُ فِي ابْتِدَائِهِ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ وَفِي انْتِهَائِهِ مِنْ ثُلُثِهِ.

Bagian ketiga: Penyakit yang pada awalnya tidak dikhawatirkan, namun pada akhirnya menjadi dikhawatirkan, seperti demam (al-hummā) dan tuberkulosis (as-sull). Hibah yang diberikan pada awalnya diambil dari seluruh harta, dan pada akhirnya diambil dari sepertiga harta.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: مَا كَانَ فِي ابْتِدَائِهِ مَخُوفًا وَفِي انْتِهَائِهِ غَيْرَ مَخُوفٍ كَالْفَالِجِ يَكُونُ فِي ابْتِدَائِهِ عِنْدَ غَلَبَةِ الْبَلْغَمِ عَلَيْهِ مخوفا فإذا انْتَهَى بِصَاحِبِهِ حَتَّى صَارَ فَالِجًا فَهُوَ غَيْرُ مخوف، لأنه قد يدوم بصاحبه شهرا والله أعلم.

Bagian keempat: Penyakit yang pada awalnya dikhawatirkan, namun pada akhirnya tidak dikhawatirkan, seperti lumpuh (al-fālij), yang pada awalnya ketika dahak menguasai tubuh menjadi dikhawatirkan, namun jika sudah menetap dan menjadi lumpuh, maka tidak lagi dikhawatirkan, karena bisa saja bertahan selama sebulan bersama penderitanya. Allah lebih mengetahui.

فصل:

Fasal:

وإذا تَقَرَّرَ مَا مَهَّدْنَاهُ مِنْ أُصُولِ الْأَمْرَاضِ فَسَنَذْكُرُ مِنْ تَفْصِيلِهَا مَا يَكُونُ مِثَالًا لِنَظَائِرِهِ فَمِنْ ذَلِكَ الْحُمَّى، فَهِيَ يَوْمٌ أَوْ يَوْمَانِ أَوْ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ غَيْرُ مَخُوفٍ، لِأَنَّهَا قَدْ تَكُونُ من تعب الإغماء وَظُهُورِ الْحُمَّى وَقَدْ قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي قَوْله تَعَالَى: {وَإِنْ مِنْكُمْ إِلا وَارِدُهَا} [مريم: 71] . إِنَّهَا الْحُمَّى.

Jika telah dipastikan prinsip-prinsip tentang penyakit yang telah kami jelaskan, maka kami akan menyebutkan rincian sebagai contoh bagi kasus-kasus serupa. Di antaranya adalah demam (al-hummā): satu, dua, atau tiga hari tidak dianggap dikhawatirkan, karena bisa saja disebabkan oleh kelelahan atau munculnya demam. Sebagian ulama berkata tentang firman Allah Ta‘ala: {Dan tidak ada seorang pun di antara kalian kecuali pasti mendatanginya} [Maryam: 71], maksudnya adalah demam.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” الفيح الْحُمَّى مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ فَأَبْرِدُوهَا بِالْمَاءِ “. فَإِنِ استمرت بصاحبها فهي مخوفة، لأنها تدفن الْقُوَّةَ الَّتِي هِيَ قِوَامُ الْحَيَاةِ، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: الحمى دابر الموت، وهي هجرة الله تعالى في أرضه، يحبس عبده بها إذا شاء فيرسله إذا شاء “. وروي عنه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” حُمَّى يَوْمٍ كَفَّارَةُ سَنَةٍ ” وَقَدْ قيل إنه يضرب بها عروق البدن كلها وهي ثلثمائة وستون عرقا فجعل كل عرق لكل يوم من أيام السنة التي يَحْدُثُ مِنَ الْقُوَّةِ فِي أَيَّامِ الِاسْتِرَاحَةِ يَكُونُ خَلَفًا مِمَّا ذَهَبَ بِهَا فِي يَوْمِ النَّوْبَةِ فصارت القوة محفوظة فزال الخوف.

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Panas demam berasal dari panasnya Jahannam, maka dinginkanlah dengan air.” Jika demam itu terus-menerus menimpa seseorang, maka ia menjadi penyakit yang dikhawatirkan, karena dapat melemahkan kekuatan yang menjadi penopang kehidupan. Diriwayatkan pula dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Demam adalah pendahulu kematian, dan ia adalah hijrah Allah Ta‘ala di bumi-Nya. Allah menahan hamba-Nya dengannya jika Dia kehendaki, dan melepaskannya jika Dia kehendaki.” Diriwayatkan pula bahwa beliau bersabda: “Demam sehari menjadi penebus dosa setahun.” Ada pula yang mengatakan bahwa demam menyerang seluruh pembuluh darah tubuh, yang berjumlah tiga ratus enam puluh, sehingga setiap pembuluh darah untuk setiap hari dalam setahun, dan kekuatan yang muncul di hari-hari sehat menjadi pengganti dari yang hilang pada hari demam, sehingga kekuatan tetap terjaga dan kekhawatiran pun hilang.

فَأَمَّا إِذَا اقْتَرَنَ بِمَا لَا يَكُونُ مَخُوفًا من حمى يوم أو يومين ببرسام أَوْ ذَاتِ الْجَنْبِ أَوْ وَجَعِ الْخَاصِرَةِ، أَوِ الْقُولَنْجِ، فَقَدْ صَارَ مَخُوفًا.

Adapun jika demam sehari atau dua hari disertai dengan radang otak (barsām), radang selaput dada (dzāt al-janb), sakit pinggang (al-khāshirāh), atau kolik (al-qulanj), maka menjadi penyakit yang dikhawatirkan.

فَإِنْ قِيلَ هَذِهِ الْأَمْرَاضُ بِانْفِرَادِهَا مَخُوفَةٌ فَكَيْفَ جَعَلَهَا الشَّافِعِيُّ مَعَ حمى يوم أو يومين مخوفة، فلأصحابنا عَنْهُ جَوَابَانِ:

Jika dikatakan: Penyakit-penyakit ini sendiri sudah dikhawatirkan, lalu mengapa asy-Syāfi‘ī menganggapnya sebagai penyakit yang dikhawatirkan hanya jika disertai demam sehari atau dua hari? Maka para ulama kami memiliki dua jawaban atas pendapat beliau:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ أَرَادَ مِنْ هَذِهِ الأمراض ما كان منها لَا يَكُونُ بِانْفِرَادِهِ مَخُوفًا. فَإِذَا اقْتَرَنَ بِحُمَّى يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ صَارَ مَخُوفًا.

Pertama: Yang dimaksud dari penyakit-penyakit ini adalah yang pada dirinya sendiri tidak dikhawatirkan. Namun, jika disertai dengan demam sehari atau dua hari, maka menjadi penyakit yang dikhawatirkan.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أن من حمى حُمَّى يَوْمٍ فَهُوَ كَالصَّحِيحِ وَلَا يَكُونُ مَخُوفًا عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ تَحْدُثَ بِهِ هَذِهِ الْأَمْرَاضُ التي يصير حُدُوثُهَا بِالصَّحِيحِ مَخُوفًا.

Jawaban kedua: Orang yang terkena demam sehari saja dianggap seperti orang sehat, dan tidak dianggap penyakit yang dikhawatirkan kecuali jika muncul penyakit-penyakit tersebut yang jika menimpa orang sehat pun menjadi penyakit yang dikhawatirkan.

وَهَكَذَا حُمَّى الرِّبْعِ إِذَا اقترن بها هذه الأمراض صارت مَخُوفَةً فَأَمَّا الرُّعَافُ فَإِنْ قَلَّ وَلَمْ يَسْتَمِرَّ فَهُوَ غَيْرُ مَخُوفٍ لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ من غلبة الدم زيادته فبطلت من منافذ الجسد ما يخرج منه وَإِنْ كَثُرَ وَاسْتَمَرَّ فَهُوَ مَخُوفٌ لِأَنَّهُ قَدْ يَنْزِفُ دَمَهُ، وَالدَّمُ هُوَ قِوَامُ الرُّوحِ وَمَادَّةُ الحياة.

Demikian pula demam kuartana, jika disertai dengan penyakit-penyakit ini maka menjadi penyakit yang membahayakan. Adapun mimisan, jika sedikit dan tidak berlangsung lama maka tidak membahayakan, karena bisa jadi itu terjadi akibat dominasi darah atau kelebihannya sehingga keluar melalui saluran-saluran tubuh. Namun jika banyak dan terus-menerus, maka itu membahayakan karena bisa menyebabkan darahnya habis, sedangkan darah adalah penopang ruh dan sumber kehidupan.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وإن سهل بطنه يوما أو اثنين وتأتى منهُ الدَّمُ عِنْدَ الْخَلَاءِ لَمْ يَكُنْ مَخُوفًا فَإِنِ اسْتَمَرَّ بِهِ بَعْدَ يَوْمَيْنِ حَتَى يعجلَهُ أو يمنعه النوم أو يكون البطن متحرقا فهو مخوف فإن لم يكن متحرقا وَمَعَهُ زَحِيرٌ أَوْ تَقْطِيعٌ فَهُوَ مَخُوفٌ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika perutnya mencret sehari atau dua hari dan keluar darah bersamaan dengan buang air, maka itu tidak membahayakan. Namun jika berlanjut lebih dari dua hari hingga membuatnya tergesa-gesa atau menghalanginya dari tidur, atau perutnya terasa panas, maka itu membahayakan. Jika tidak panas namun disertai dengan rasa ngilu atau terputus-putus, maka itu juga membahayakan.”

قَالَ الماوردي: أما سهل البطن، يوم أو يومين، إذا لم يكن البطن متحرقا وَلَا وَجَدَ مَعَهُ وَجَعًا، لَمْ يَكُنْ مَخُوفًا، لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ مِنْ فَضْلَةٍ فِي غِذَاءٍ أَوْ خَلْطٍ فِي بَدَنٍ، وَلِأَنَّ الصَّحِيحَ، قَدْ يَقْصِدُ إِسْهَالَ بَطْنِهِ بِشُرْبِ الدَّوَاءِ وَالْمَطْبُوخِ، لِإِخْرَاجِ الْخَلْطِ الْفَاسِدِ، فَمَا أَجَابَ بِهِ الطَّبْعُ مِنْ ذَلِكَ، فَهُوَ أَدَلُّ عَلَى الصِّحَّةِ.

Al-Mawardi berkata: Adapun mencret sehari atau dua hari, jika perut tidak terasa panas dan tidak disertai rasa sakit, maka itu tidak membahayakan, karena bisa jadi disebabkan kelebihan makanan atau campuran dalam tubuh. Dan orang yang sehat terkadang sengaja membuat perutnya mencret dengan meminum obat atau makanan yang dimasak untuk mengeluarkan campuran yang rusak, sehingga apa yang dikeluarkan oleh tubuh dari hal tersebut justru lebih menunjukkan tanda kesehatan.

فَأَمَّا إِنِ اسْتَدَامَ بِهِ الْإِسْهَالُ صَارَ مَخُوفًا لِأَنَّهُ تَضْعُفُ مَعَهُ الْقُوَّةُ وَلَا يَثْبُتُ مَعَهُ الْغِذَاءُ.

Adapun jika dia mengalami mencret yang terus-menerus, maka itu menjadi membahayakan karena akan melemahkan kekuatan tubuh dan makanan tidak dapat bertahan di dalamnya.

وَلَوْ لَمْ يَتَطَاوَلْ وَكَانَ يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ لَكِنْ كان البطن متخرقا بعجلة فَلَا يَقْدِرُ عَلَى حَبْسِهِ كَانَ مَخُوفًا، وَهَكَذَا لو لم يكن متخرقا لكن كان معه زخير وَتَقْطِيعُ دَمٍ، أَوْ أَلَمٌ يَمْنَعْهُ مِنَ النَّوْمِ فَهُوَ مَخُوفٌ.

Walaupun tidak berlangsung lama, hanya sehari atau dua hari, namun jika perut terasa sangat panas sehingga tidak mampu menahannya, maka itu membahayakan. Demikian pula jika tidak terasa panas, namun disertai dengan rasa ngilu dan keluarnya darah secara terputus-putus, atau rasa sakit yang menghalanginya dari tidur, maka itu juga membahayakan.

وَأَمَّا إِنْ كَانَ مَعَهُ فِي الْيَوْمِ أَوِ الْيَوْمَيْنِ دَمٌ فَقَدْ نَقَلَ الْمُزَنِيُّ في مختصره هذا: ” ويأتي معه الدَّمُ عِنْدَ الْخَلَاءِ لَمْ يَكُنْ مَخُوفًا “.

Adapun jika dalam sehari atau dua hari disertai darah, maka Al-Muzani meriwayatkan dalam Mukhtasharnya: “Jika keluar darah bersamaan dengan buang air, maka itu tidak membahayakan.”

وَقَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ: لَا يَأْتِي فِيهِ دَمٌ لا شيء غير ما يخرج الْخَلَاء لَمْ يَكُنْ مَخُوفًا فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ بعضهم ينسب إلى المزني الْخَطَأ فِي نَقْلِهِ وَجَعَلَ خُرُوجَ الدَّمِ مَعَ الْإِسْهَالِ مَخُوفًا عَلَى مَا دَلَّ عَلَيْهِ كَلَامُهُ فِي الْأُمِّ وَحَكَى الدَّارَكِيُّ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، أَنَّ النَّقْلَ صَحِيِحٌ، وَأَنَّ الْجَوَابَ مُخْتَلِفٌ على اخْتِلَافِ حَالَيْنِ، وَحَمَلُوا نَقْلَ الْمُزَنِيِّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَكُونُ مَخُوفًا إِذَا كَانَ خُرُوجُ الدَّمِ من بواسير أَوْ بَوَاصِير، وَمَا دَلَّ عَلَيْهِ كَلَامُ الشَّافِعِيِّ من أن يكون مخوفا إذا كان خروج الدم من المخوف. والله أعلم.

Imam Syafi‘i berkata dalam Al-Umm: Jika tidak keluar darah, tidak ada sesuatu selain yang keluar saat buang air, maka itu tidak membahayakan. Maka para sahabat kami berbeda pendapat; sebagian menisbatkan kesalahan kepada Al-Muzani dalam riwayatnya, dan menganggap keluarnya darah bersamaan dengan mencret sebagai hal yang membahayakan sebagaimana yang ditunjukkan oleh perkataan beliau dalam Al-Umm. Ad-Daraki meriwayatkan dari Abu Ishaq Al-Marwazi bahwa riwayat tersebut benar, dan jawabannya berbeda sesuai dengan dua keadaan. Mereka menafsirkan riwayat Al-Muzani bahwa itu tidak membahayakan jika keluarnya darah berasal dari wasir, dan sebagaimana yang ditunjukkan oleh perkataan Imam Syafi‘i bahwa itu membahayakan jika keluarnya darah berasal dari sebab yang membahayakan. Wallahu a‘lam.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وإذا أَشْكَلَ سُئِلَ عَنْهُ أَهْلُ الْبَصَرِ. “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ada yang samar, maka ditanyakan kepada ahlinya yang berpengalaman.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْأَمْرَاضَ ضَرْبَانِ: ضَرْبٌ يَكُونُ الْعِلْمُ بِهِ جَلِيًّا يَشْتَرِكُ فِي مَعْرِفَتِهِ الْخَاصُّ وَالْعَامُّ، فَهَذَا لَا يَحْتَاجُ فِي مَعْرِفَتِهِ إِلَى سُؤَالِ أَهْلِ الْعِلْمِ بِهِ.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa penyakit itu ada dua jenis: Jenis yang pengetahuannya jelas, diketahui oleh orang khusus maupun umum, maka untuk mengetahuinya tidak perlu bertanya kepada ahlinya.

وَضَرْبٌ يَكُونُ الْعِلْمُ بِهِ خفيا يختص به أهل العلم به فيسألوا أو يرجع إِلَى قَوْلِهِمْ فِيهِ.

Dan jenis yang pengetahuannya samar, hanya diketahui oleh ahlinya, maka harus bertanya atau kembali kepada pendapat mereka.

كَمَا أَنَّ عِلْمَ الشَّرِيعَةِ ضربان: ضرب جَلِيٌّ يَشْتَرِكُ فِيهِ الْخَاصُّ وَالْعَامُّ كَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَأَعْدَادِ رَكَعَاتِهَا، وَصَوْمِ شَهْرِ رَمَضَانَ وَوُجُوبِهِ، فَلَا يحتاج فِيهِ إِلَى سُؤَالِ الْعُلَمَاءِ إِلَّا فِيمَا يَتَفَرَّعُ مِنْ أَحْكَامِهِ.

Sebagaimana ilmu syariat juga ada dua jenis: Jenis yang jelas, diketahui oleh orang khusus maupun umum seperti shalat lima waktu dan jumlah rakaatnya, puasa bulan Ramadan dan kewajibannya, maka tidak perlu bertanya kepada ulama kecuali dalam cabang-cabang hukumnya.

وَضَرْبٌ يَكُونُ خَفِيًّا فَيَلْزَمُهُمْ سُؤَالُ الْعُلَمَاءِ عَنْهُ إِذَا ابْتُلُوا بِهِ.

Dan jenis yang samar, maka wajib bagi mereka bertanya kepada ulama jika menghadapi masalah tersebut.

ثُمَّ إِذَا لزم سؤال أهل الطب فِيمَا أَشْكَلَ مِنَ الْأَمْرَاضِ، لَمْ يَقْتَنِعْ فِيهِ بِأَقَلَّ مِنْ عَدْلَيْنِ مِنْ طِبِّ الْمُسْلِمِينَ لِأَنَّهَا شَهَادَةٌ. فَإِنْ قَالُوا غَالَبَهُ التلف جعلت العطايا مِنَ الثُّلُثِ لِكَوْنِهِ مَخُوفًا. وَإِنْ قَالُوا غَالَبَهُ السَّلَامَةُ فَهُوَ غَيْرُ مَخُوفٍ. وَهَكَذَا لَوْ قَالُوا غَالَبَهُ الْمَوْتُ بَعْدَ زَمَانٍ طَوِيلٍ فَهُوَ غَيْرُ مَخُوفٍ. وَالْعَطَايَا فِيهِ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ.

Kemudian, jika wajib bertanya kepada ahli medis dalam perkara penyakit yang samar, maka tidak cukup kecuali dengan dua orang yang adil dari kalangan dokter muslim, karena itu adalah kesaksian. Jika mereka mengatakan bahwa penyakit itu didominasi oleh kehancuran, maka pemberian (hibah) dihitung dari sepertiga harta karena dianggap membahayakan. Jika mereka mengatakan didominasi oleh keselamatan, maka tidak membahayakan. Demikian pula jika mereka mengatakan didominasi oleh kematian setelah waktu yang lama, maka itu tidak membahayakan, dan pemberian (hibah) diambil dari seluruh harta.

فَلَوْ مَاتَ فَقَالَ مَنْ شَهِدَ بِسَلَامَتِهِ مِنَ الطِّبِّ أخطأنا قد كنا ظنناه أَنَّهُ غَيْرُ مُوحٍ فَبَانَ مُوحِيًا: قبل قَوْلهمْ لأن ما رجعوا إِلَيْهِ مِنْ هَذَا الْقَوْلِ أَمَارَةٌ دَالَّةٌ وَهُوَ الموت، فلو اختلفوا في المرض فحكم بعض بأنه مَخُوفٌ مُوحٍ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ غَيْرُ مَخُوفٍ: رجعَ إِلَى قَوْلِ الْأَعْلَمِ مِنْهُمْ فَإِنِ اسْتَوَوْا فِي العلم، وأشكل عَلَى الْأَعْلَمِ: رُجِعَ إِلَى قَوْلِ الْأَكْثَرِ مِنْهُمْ عَدَدًا. فَإِنِ اسْتَوَوْا فِي الْعَدَدِ رُجِعَ إِلَى قول من حكم بالمخوف لِأَنَّهُ قَدْ عَلِمَ مِنْ غَامِضِ الْمَرَضِ مَا خَفِيَ عَلَى غَيْرِهِ.

Jika seseorang meninggal dunia, lalu orang yang sebelumnya bersaksi atas keselamatannya dari kalangan dokter berkata, “Kami telah keliru, kami dulu mengira bahwa ia tidak dalam keadaan yang membahayakan, ternyata ia dalam keadaan membahayakan,” maka diterima perkataan mereka. Karena apa yang mereka rujuk dalam pernyataan ini adalah tanda yang jelas, yaitu kematian. Jika mereka berbeda pendapat tentang penyakitnya, sebagian memutuskan bahwa penyakit itu membahayakan dan menyebabkan wasiat, sementara sebagian lain mengatakan tidak membahayakan, maka dikembalikan kepada pendapat yang paling alim di antara mereka. Jika mereka setara dalam keilmuan, dan yang paling alim pun bingung, maka dikembalikan kepada pendapat mayoritas dari mereka secara jumlah. Jika mereka setara dalam jumlah, maka dikembalikan kepada pendapat yang memutuskan bahwa penyakit itu membahayakan, karena ia telah mengetahui sesuatu yang samar dari penyakit tersebut yang tidak diketahui oleh yang lain.

فَلَوِ اخْتَلَفَ الْمُعْطَى وَالْوَارِثُ فِي الْمَرَضِ عِنْدَ اعْوِزَازِ الْبَيِّنَةِ، فَادَّعَى الْوَارِثُ أَنَّهُ كَانَ مَخُوفًا، وَقَالَ الْمُعْطَى غَيْرُ مَخُوفٍ: فَالْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُ الْمُعْطَى مَعَ يَمِينِهِ دُونَ الْوارثِ لِأَمْرَيْنِ:

Jika pemberi hibah dan ahli waris berselisih tentang penyakit (apakah membahayakan atau tidak) ketika tidak ada bukti yang kuat, lalu ahli waris mengklaim bahwa penyakit itu membahayakan, sedangkan pemberi hibah mengatakan tidak membahayakan, maka yang dipegang adalah perkataan pemberi hibah dengan sumpahnya, bukan ahli waris, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّنَا عَلَى يَقِينٍ مِنْ تَقَدُّمِ السَّلَامَةِ، وَفِي شَكٍّ مِنْ حُدُوثِ الْخَوْفِ.

Pertama: Kita yakin bahwa sebelumnya ia dalam keadaan selamat, dan kita ragu tentang terjadinya keadaan membahayakan.

والثاني: أنه مالك لما أعطى فلا ينزعه بعضه بالدعوى.

Kedua: Ia adalah pemilik atas apa yang telah ia berikan, maka tidak boleh sebagian hartanya dicabut hanya dengan klaim.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ومن ساوره الدم حتى تغير عَقْلُهُ أَوِ الْمُرَارِ أَوِ الْبَلْغَم كَانَ مَخُوفًا فإن استمر به فالج فَالْأَغْلَبُ إِذَا تَطَاوَلَ بِهِ أَنَّهُ غَيْرُ مَخُوفٍ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Barang siapa yang didominasi oleh darah hingga akalnya berubah, atau didominasi oleh empedu atau dahak, maka itu membahayakan. Jika kemudian berlanjut menjadi lumpuh, maka kebanyakan kasus jika berlangsung lama, tidak lagi membahayakan.”

قال الماوردي: أما مساورة الدم يعني بِهِ مُلَازَمَةَ الدَّمِ وَغَلَبَتَهُ. وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:

Al-Mawardi berkata: Adapun “didominasi oleh darah” maksudnya adalah darah yang terus-menerus dan mendominasi. Seperti dalam syair:

(ساورتني صيلة مِنَ الرَّقْشِ … فِي أَنْيَابِهَا السُّمّ نَاقِعُ)

(Suatu kekuatan dari ular berbisa menyerangku… di taringnya terdapat racun yang mematikan)

وَمُسَاوَرَةُ الدَّمِ هُوَ مَا يُسَمِّيهِ الطِّبُّ: الْحُمْرَةَ وَهُوَ أَنْ يَغْلِبَ الدَّمُ بِزِيَادَتِهِ فَلَا يَسْكُنُ بِالْفَصْدِ، وربما حدث منه الخناق والذبحة فيوصي صَاحِبُهُ فَهُوَ مَخُوفٌ.

Didominasi oleh darah adalah apa yang disebut dalam ilmu kedokteran sebagai “al-humrah” (kemerahan), yaitu darah yang mendominasi karena jumlahnya berlebih sehingga tidak bisa reda dengan pembekaman. Kadang dari situ timbul penyakit tenggorokan dan sesak napas, sehingga penderitanya berwasiat, maka itu membahayakan.

وَأَمَّا الْمِرَارُ إِذَا غَلَبَ عليه فَهُوَ مَخُوفٌ، فَإِنِ انْقَلَبَ الْمِرَارُ إِلَى السَّوْدَاءِ فَهُوَ غَيْرُ مَخُوفٍ، لِأَنَّ السَّوْدَاءَ قَدْ تُفْضِي بِصَاحِبِهَا إِلَى أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا تَغَيُّرُ الْعَقْلِ، وَإِمَّا ظُهُورُ حَكَّةٍ وَبُثُور، وَذَلِكَ فِي الْأَغْلَبِ غَيْرُ مَخُوفٍ.

Adapun empedu, jika mendominasi maka itu membahayakan. Jika empedu berubah menjadi “sawda’” (empedu hitam), maka tidak membahayakan, karena empedu hitam bisa menyebabkan salah satu dari dua hal: perubahan akal, atau munculnya gatal-gatal dan bisul, dan kebanyakan itu tidak membahayakan.

وَأَمَّا الْبَلْغَمُ إِذَا غَلَبَ فَمَخُوفٌ، فَإِنِ اسْتَمَرَّ فَصَارَ فَالِجًا فَهُوَ غَيْرُ مَخُوفٍ، لأن المفلوج قد تسترخي بعض أعضائه فيعيش دهرا.

Adapun dahak, jika mendominasi maka membahayakan. Jika berlanjut menjadi lumpuh, maka tidak membahayakan, karena orang yang lumpuh kadang hanya sebagian anggota tubuhnya yang lemas dan ia bisa hidup lama.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَالسُّلُّ غَيْرُ مَخُوفٍ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Penyakit tuberkulosis (sul) tidak membahayakan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ: لِأَنَّ السُّلَّ قَدْ يَطُولُ بِصَاحِبِهِ فَيَعِيشُ الْمَسْلُولُ دهرا لا سيما إذا كَانَ شَيْخًا، وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْمَخُوفَ مَا كَانَ مُوحِيًا، فَإِنِ اسْتَدَامَ بِصَاحِبِهِ حَتَّى اسْتَسْقَى وسقط فهو مخوف. والله أعلم.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, karena penyakit tuberkulosis bisa berlangsung lama pada penderitanya, sehingga ia bisa hidup bertahun-tahun, terutama jika sudah tua. Dan telah kami sebutkan bahwa yang membahayakan adalah yang menyebabkan wasiat. Jika penyakit itu berlanjut hingga menyebabkan busung air dan tubuhnya lemah, maka itu membahayakan. Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” والطاعون مخوف حتى يذهب “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Tha‘un (wabah) membahayakan hingga berlalu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِنَّمَا قَالَ ذَلِكَ لِأَنَّهُ إِذَا حدث في الإنسان وخاف لَمْ يَتَطَاوَلْ. وَقَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ إنَّهُ وَخْزٌ مِنْ وَخْزِ الشَّيْطَانِ فَإِنْ ظَهَرَ الطَّاعُونُ فِي بَلَدٍ حَتَّى لَا يَتَدَارَكَ النَّاسُ بَعْضُهُمْ بعضا، وكفى الله حسن الكفاية فما لم يقع الإنسان فَلَيْسَ بِمَخُوفٍ وَإِنْ وَقَعَ بِهِ صَارَ مَخُوفًا.

Al-Mawardi berkata: Hal itu karena jika tha‘un menimpa seseorang dan ia merasa takut, biasanya tidak berlangsung lama. Dalam hadis disebutkan bahwa tha‘un adalah tusukan dari tusukan setan. Jika tha‘un muncul di suatu negeri hingga orang-orang tidak bisa saling menolong, dan Allah telah mencukupkan dengan perlindungan-Nya, maka selama seseorang belum terkena, itu tidak membahayakan. Jika sudah terkena, maka menjadi membahayakan.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَمَنْ أَنْفَذَتْهُ الْجِرَاحُ فَمَخُوفٌ فَإِنْ لَمْ تَصِلْ إِلَى مَقْتَلٍ وَلَمْ تَكُنْ فِي مَوْضِعِ لَحْمٍ وَلَمْ يَغْلِبْهُ لَهَا وَجَعٌ وَلَا ضَربَانِ وَلَمْ يأتكل ويرم فَغَيَرُ مَخُوفٍ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Barang siapa yang mengalami luka yang menembus, maka itu membahayakan. Jika tidak sampai ke bagian yang mematikan, tidak berada di tempat yang berotot, tidak menyebabkan rasa sakit yang berat, tidak berdenyut, tidak bernanah dan membengkak, maka tidak membahayakan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالْجِرَاحُ ضَرْبَانِ:

Al-Mawardi berkata: Luka itu ada dua jenis:

أَحَدُهُمَا: أن تصل إلى جوفه في صَدْرٍ أَوْ ظَهْرٍ أَوْ خَصْرٍ أَوْ إِلَى الدماغ فَهَذَا مَخُوفٌ لِأَنَّهُ رُبَّمَا دَخَلَ مِنْهَا إِلَى الْجَوْفِ رِيحٌ تَصِلُ إِلَى الْقَلْبِ، أَوْ تَمَاسَّ الْكَبِدَ فَيُقْتَلُ، أَوْ رُبَّمَا خَرَجَ بِهَا مِنَ الْجَوْفِ مَا يَقْتُلُ، وَهَكَذَا كَانَتْ حَالُ عُمَرَ رضي الله عنه جُرِحَ.

Pertama: Luka yang sampai ke rongga tubuh di dada, punggung, pinggang, atau ke otak, maka ini membahayakan. Karena bisa saja udara masuk ke rongga tubuh dan sampai ke jantung, atau mengenai hati hingga menyebabkan kematian, atau keluar dari rongga tubuh sesuatu yang mematikan. Demikianlah keadaan Umar radhiyallahu ‘anhu ketika beliau terluka.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَن لا تَصِلَ إِلَى الْجَوْفِ وَلَا إِلَى الدِّمَاغِ فَيُنْظَرُ.

Jenis kedua: Luka yang tidak sampai ke rongga tubuh dan tidak ke otak, maka perlu diteliti lebih lanjut.

فَإِنْ وَرِمَتْ، أو اتكلت أَوِ اقْتَرَنَ بِهَا وَجَعٌ، أَوْ ضَرَبَانٌ فَمَخُوفٌ لِأَنَّ أَلَمَ وَجَعِهَا إِذَا وَصَلَ إِلَى الْقَلْبِ قتل وورمها، وأكلتها تسري إِلَى مَا يَلِيهَا، فَتَقْتُلُ. وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهَا مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ فَهِيَ غَيْرُ مَخُوفَةٍ، لِأَنَّ السَّلَامَةَ مِنْهَا أَغْلَبُ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika luka itu membengkak, atau bernanah, atau disertai rasa sakit, atau berdenyut, maka itu berbahaya, karena rasa sakitnya jika sampai ke jantung dapat menyebabkan kematian, dan pembengkakan serta pembusukannya dapat menyebar ke bagian tubuh di sekitarnya sehingga menyebabkan kematian. Namun jika tidak disertai hal-hal tersebut, maka tidak dianggap berbahaya, karena keselamatan darinya lebih sering terjadi. Dan Allah Maha Mengetahui.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وإذا التحمت الحرب فمخوف فإن كَانَ فِي أَيْدِي مُشْرِكِينَ يَقْتُلُونَ الْأَسْرَى فَمَخُوفٌ (وقال) في الإملاء إذا قدم من عليه قصاص غَيْر مَخُوفٍ مَا لَمْ يَجْرَحُوا لِأَنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يُتْرَكُوا فَيَحْيَوْا (قَالَ الْمُزَنِيُّ) الْأَوَّلُ أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ وَقَدْ يُمْكِنُ أَنْ يَسْلَمَ مِنَ الْتِحَامِ الْحَرْبِ وَمِنْ كُلِّ مَرَضٍ مَخُوفٍ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika pertempuran telah memuncak, maka itu berbahaya. Jika seseorang berada di tangan kaum musyrik yang membunuh tawanan, maka itu juga berbahaya. (Dan beliau berkata) dalam al-Imla’: Jika seseorang yang terkena qishāsh datang, itu tidak berbahaya selama mereka belum dilukai, karena masih mungkin mereka dibiarkan hidup. (Al-Muzani berkata): Pendapat pertama lebih sesuai dengan ucapannya, dan bisa saja seseorang selamat dari pertempuran yang memuncak dan dari setiap penyakit yang berbahaya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: ذكر الشافعي هاهنا ثَلَاثَ مَسَائِلَ: فِيمَنِ الْتَحَمَ فِي الْحَرْبِ فَهَذَا يُنْظَرُ فَإِنْ تَكَافَأَ الْفَرِيقَانِ فَمَخُوفٌ عَلَيْهِمَا، وَإِنْ كان أحدهما أكثر عددا مِنَ الْآخَرِ فَلَيْسَ بِمَخُوفٍ عَلَى الْأَكْثَرِينَ وَهُوَ مَخُوفٌ عَلَى الْأَقَلِّينَ.

Al-Mawardi berkata: Asy-Syafi‘i di sini menyebutkan tiga masalah: tentang orang yang terlibat dalam pertempuran sengit, maka hal ini dilihat dahulu; jika kedua kelompok seimbang, maka berbahaya bagi keduanya. Jika salah satu kelompok lebih banyak jumlahnya dari yang lain, maka tidak berbahaya bagi yang lebih banyak, namun berbahaya bagi yang lebih sedikit.

وَسَوَاءٌ كَانَ الْقِتَالُ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ أَوْ مَعَ الْمُشْرِكِينَ فَجَعَلَ الشَّافِعِيُّ الْتِحَامَ القتال مخوفا.

Baik pertempuran itu terjadi di antara kaum Muslimin maupun dengan kaum musyrik, asy-Syafi‘i menganggap pertempuran yang memuncak sebagai sesuatu yang berbahaya.

وَالْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: إِذَا حُمِلَ الْمُسْلِمُ أَسِيرًا فِي أَيْدِي الْمُشْرِكِينَ، فَإِنْ كَانُوا لَا يَقْتُلُونَ الْأَسْرَى على عادة قد عرفت لهم في استيفائهم لِمَنٍّ رقّ أَوْ فِدَى فَغَيْرُ مَخُوفٍ، وَإِنْ عُرِفُوا بِقَتْلِ الْأَسْرَى قَالَ الشَّافِعِيُّ: هُوَ مَخُوفٌ، فجعل الأسر خوفا كالتحام القتال.

Masalah kedua: Jika seorang Muslim ditawan oleh kaum musyrik, jika mereka tidak membunuh tawanan sebagaimana kebiasaan yang telah diketahui dari mereka, baik untuk tujuan pembebasan atau tebusan, maka itu tidak berbahaya. Namun jika mereka dikenal suka membunuh tawanan, asy-Syafi‘i berkata: itu berbahaya. Maka penawanan dianggap sebagai bahaya sebagaimana pertempuran yang memuncak.

والمسألة الثانية: من قدم للقصاص وَجَبَ عَلَيْهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ: هُوَ غَيْرُ مَخُوفٍ مَا لَمْ يُجْرَحْ، فَلَمْ يَجْعَلِ التَّقْدِيمَ لِلْقِصَاصِ مخوفا بخلاف التحام القتال والأسير.

Masalah kedua: Orang yang diserahkan untuk qishāsh yang telah diwajibkan atasnya, asy-Syafi‘i berkata: itu tidak berbahaya selama belum dilukai. Maka beliau tidak menganggap penyerahan untuk qishāsh sebagai bahaya, berbeda dengan pertempuran yang memuncak dan tawanan.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ، وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَأَبُو حَامِدٍ المروزي، وطائفة كبيرة يَجْمَعُونَ بَيْنَ الْجَوَابَيْنِ فِي الْمَسَائِلِ الثَّلَاثِ، وَيُخرجونَهَا على قولين:

Para sahabat kami berbeda pendapat; Abu Ishaq al-Marwazi, Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, Abu Hamid al-Marwazi, dan sekelompok besar lainnya menggabungkan dua jawaban dalam tiga masalah ini, dan mengembalikannya kepada dua pendapat:

أحدهما: أن يكون مخوفا، الحال فِي الْمَسَائِلِ الثَّلَاثِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلَقَدْ كُنْتُمْ تَمَنَّوْنَ الْمَوْتَ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَلْقَوْهُ فَقَدْ رَأَيْتُمُوهُ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ} [آل عمران: 143] . فَجَعَلَ خَوْفَ الْقَتْلِ كَخَوْفِ الْمَرَضِ فِي رُؤْيَةِ الْمَوْتِ فِيهِمَا فَدَلَّ عَلَى اسْتِوَائِهِمَا وَلِأَنَّ نَفْسَ الْمَرِيضِ أسكن من هؤلاء لما يرجو مِنْ صَلَاحِ الدَّوَاءِ فَكَانَ ذَلِكَ بِالْخَوْفِ أَحَقَّ.

Pertama: bahwa ketiganya dianggap berbahaya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan sungguh kamu dahulu menginginkan kematian sebelum kamu menghadapinya, maka sekarang kamu telah melihatnya dan kamu menyaksikannya} (Ali Imran: 143). Maka rasa takut akan terbunuh disamakan dengan rasa takut terhadap penyakit dalam menghadapi kematian pada keduanya, sehingga menunjukkan keduanya setara. Dan karena jiwa orang sakit lebih tenang daripada mereka (yang menghadapi pertempuran atau penawanan), karena masih berharap sembuh dengan obat, maka rasa takut pada mereka lebih berhak untuk dianggap.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَكُونُ مَخُوفَ الْحَالِ فِي هَذِهِ الْمَسَائِلِ الثَّلَاثِ، لِأَنَّ خَوْفَ الْمَرَضِ حَالٌّ فِي جِسْمِهِ، وَمُمَاسٌّ لِجَسَدِهِ، فَصَارَ حُكْمُهُ فيه مستقرا وليست حاله في هذه المسائل الثلاث كذلك لأنه يخاف من قرب أجله بحلول ما يحدث في جسده ويناله في يده وَذَلِكَ غَيْرُ حَال وَلَا مُسْتَقِرٍّ، وَإِنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الشَّيْخِ الْهَرم الَّذِي هُوَ لِعُلُوِّ السِّنِّ منتظر الموت فِي يَوْمٍ بَعْدَ يَوْمٍ وَعَطَايَاهُ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ فَكَذَلِكَ هَؤُلَاءِ.

Pendapat kedua: bahwa ketiganya tidak dianggap sebagai keadaan berbahaya, karena rasa takut terhadap penyakit itu nyata pada tubuhnya dan langsung dirasakan, sehingga hukumnya tetap dan jelas. Sedangkan dalam tiga masalah ini tidak demikian, karena yang ditakutkan adalah kematian yang mungkin terjadi akibat sesuatu yang menimpa tubuhnya atau yang dialaminya, dan itu tidak tetap dan tidak pasti, melainkan seperti orang tua renta yang karena usianya menanti kematian hari demi hari, dan pemberiannya diambil dari harta pokoknya, demikian pula keadaan mereka.

وَقَالَ آخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا: بَلْ جَوَابُ الشَّافِعِيِّ عَلَى ظَاهِرِهِ فِي الْمَسَائِلِ الثَّلَاثِ فَيَكُونُ الْأَسْرُ، وَالْتِحَامُ الْقِتَالِ خَوْفًا، وَلَا يَكُونُ التَّقْدِيمُ لِلْقِصَاصِ خَوْفًا.

Sebagian sahabat kami yang lain berkata: Bahkan, jawaban asy-Syafi‘i sesuai dengan zahirnya dalam tiga masalah ini, sehingga penawanan dan pertempuran yang memuncak dianggap sebagai bahaya, sedangkan penyerahan untuk qishāsh tidak dianggap sebagai bahaya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا إنَّ الْمُشْرِكِينَ يَرَوْنَ قَتْلَ الْأَسْرَى دِينًا وَنِحْلَةً فَالْعَفْوُ منهم غير موجود وَلَيْسَ كَذَلِكَ وَلِيُّ الْقِصَاصُ، لِأَنَّ مَا وَصَفَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ الْمُسْلِمِينَ مِنَ الرَّأْفَةِ وَالرَّحْمَةِ وَنَدَبَهُمْ إِلَيْهِ مِنَ الْأَخْذِ بِالْعَفْوِ هُوَ الْأَغْلَبُ من أحوالهم والأشبه بأحوالهم فَكَانَ ذَلِكَ فَرْقًا بَيْنَ الْفَرِيقَيْنِ.

Perbedaannya adalah bahwa kaum musyrik menganggap membunuh tawanan sebagai agama dan keyakinan, sehingga pemaafan dari mereka hampir tidak ada. Tidak demikian halnya dengan wali qishāsh, karena sifat kasih sayang dan rahmat yang Allah Ta‘ala sifatkan kepada kaum Muslimin, serta anjuran untuk memaafkan, lebih dominan dan lebih sesuai dengan keadaan mereka. Maka inilah perbedaan antara kedua kelompok tersebut.

وَقَالَ ابْنُ سُرَيْجٍ: الْمَسَائِلُ الثَّلَاثُ كُلُّهَا عَلَى سَوَاءٍ فِي اعْتِبَارِ مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ الْحَالُ وَتَشْهَدُ بِهِ الصُّورَةُ مِنْ أَنْ يُنْظَرَ: فَإِنْ كَانَ وَلِيُّ القصاص قاسيا جنفا فَالْأَغْلَبُ مِنْ حَالِهِ التَّشَفِّي، وَأَنَّهُ مِمَّنْ لَا يَمُنُّ وَلَا يَعْفُو فَتَكُونُ حَالُ الْمُقْتَصِّ مِنْهُ مخوفة كالأسير إذا كان في يد من لَا يَعْفُو عَنْ أَسِيرٍ.

Ibn Surayj berkata: Ketiga permasalahan itu semuanya sama dalam mempertimbangkan apa yang ditunjukkan oleh keadaan dan disaksikan oleh gambaran, yaitu hendaknya dilihat: Jika wali qishāsh bersifat keras dan condong kepada kezaliman, maka yang dominan dari keadaannya adalah keinginan membalas dendam, dan bahwa ia termasuk orang yang tidak memberi maaf dan tidak memaafkan, sehingga keadaan orang yang dikenai qishāsh menjadi menakutkan, seperti tawanan yang berada di tangan orang yang tidak pernah memaafkan tawanan.

وَإِنْ كَانَ وَلِيُّ القصاص رحيما ومن الخنق والقوة بَعِيدًا فَالْأَغْلَبُ مِنْ حَالِهِ الْعَفْوُ، وَأَنْ يَمن عَنْ قُدْرَةٍ، فَتَكُونُ حَالُ الْمُقْتَصِّ مِنْهُ غَيْرَ مخوفة، كالأسير إذا كان في يد من يَعْفُو عَنِ الْأَسْرَى.

Dan jika wali qishāsh bersifat penyayang dan jauh dari kekerasan dan kekuatan, maka yang dominan dari keadaannya adalah memaafkan, dan bahwa ia memberi maaf padahal mampu membalas, sehingga keadaan orang yang dikenai qishāsh tidak menakutkan, seperti tawanan yang berada di tangan orang yang memaafkan para tawanan.

فَصْلٌ:

Fashal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وصفنا فالأمور المخوفة ضربان:

Jika telah jelas apa yang kami uraikan, maka perkara-perkara yang menakutkan itu ada dua macam:

أحدهما: ما دخل في الحسن وَمَاسَّ الْبَدَنَ كَالْأَمْرَاضِ فَهِيَ مَخُوفَةٌ إِذَا كَانَ عليها التَّوْحِيَةُ.

Pertama: yang berkaitan dengan tubuh dan menyentuh badan seperti penyakit-penyakit, maka itu dianggap menakutkan jika terdapat tanda-tanda yang mengarah ke sana.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا فَارَقَ الْجِسْمَ وَاخْتَصَّ بحاله كالأسير والملتحم في القتال. فإن تردت حَالُهُ بَيْنَ خَوْفٍ وَرَجَاءٍ فَغَيْرُ مَخُوفٍ، وَإِنْ كان الخوف أغلب عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ فَمِنْ ذَلِكَ أن يقترضه الْأَسَدَ فَلَا يَجِدُ مَحِيصًا، فَإِنْ كَانُوا جَمَاعَةً لَمْ تَكُنْ حَالُهُمْ مَخُوفَةً لِأَنَّ الْأَسَدَ لَا يَفْتَرِسُ فِي الْحَالِ إِلَّا أَحَدَهُمْ، فَلَمْ يَكُنِ الْأَغْلَبُ مِنْ حَالِ كُلِّ وَاحِدٍ التَّلَفَ، وَإِنْ جَازَ أَنْ يَكُونَ الْهَالِكَ.

Macam kedua: yang terpisah dari tubuh dan khusus pada keadaannya, seperti tawanan dan orang yang terlibat dalam pertempuran. Jika keadaannya berada di antara rasa takut dan harapan, maka tidak dianggap menakutkan. Namun jika rasa takut lebih dominan, sebagaimana yang telah kami sebutkan dari dua pendapat, di antaranya adalah jika seseorang diterkam singa dan tidak ada jalan keluar baginya, maka jika mereka adalah sekelompok orang, keadaan mereka tidak dianggap menakutkan karena singa tidak memangsa kecuali salah satu dari mereka pada saat itu, sehingga yang dominan dari keadaan masing-masing bukanlah kebinasaan, meskipun mungkin saja ia yang binasa.

وَإِنْ كَانَ وَاحِدًا فَإِنْ بَاشَرَهُ الْأَسَدُ بِالْأَخْذِ فَحَالُهُ مَخُوفَةٌ. فَأَمَّا قَبْلَ الْمُبَاشَرَةِ فَعَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ.

Dan jika hanya satu orang, maka jika singa langsung menerkamnya, keadaannya dianggap menakutkan. Adapun sebelum diterkam, maka kembali kepada dua pendapat yang telah kami sebutkan.

وَمِنْ ذَلِكَ مَنْ غَشِيَهُ سيل، أو غشيته نار، فإن وجد منهما نَجَاةً فَحَالُهُ غَيْرُ مَخُوفَةٍ، وَإِنْ لَمْ يَجِدْ منها نجاة فإن أدركه السيل ولحقته النار، فحاله مخوفة لأجل المحاسة.

Di antaranya juga: seseorang yang dilanda banjir atau dilalap api, maka jika ia masih menemukan jalan selamat dari keduanya, keadaannya tidak menakutkan. Namun jika tidak ada jalan selamat, lalu banjir menenggelamkannya atau api membakarnya, maka keadaannya menakutkan karena adanya bahaya yang nyata.

وفيما قبل إدراك السيل ولفح النَّار قَوْلَانِ: وَكَذَلِكَ مَنْ طَوَّقَتْهُ أَفْعَى فَإِنْ نَهَشَتْهُ فَمَخُوفَةٌ وَقَبْلَ نَهْشَتِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ، إِلَّا أن تكون مِنْ حَيَّاتِ الْمَاءِ الَّتِي قَدْ يَقْتُلُ سُمُّهَا وقيل لا يَقْتُلُ فَلَا تَكُونُ مَخُوفَةً قَوْلًا وَاحِدًا.

Adapun sebelum banjir menenggelamkan atau api membakar, terdapat dua pendapat. Demikian pula seseorang yang dikepung ular, jika ular itu menggigitnya maka keadaannya menakutkan, dan sebelum digigit kembali kepada dua pendapat, kecuali jika ular itu termasuk ular air yang racunnya bisa membunuh—dan ada yang mengatakan tidak membunuh—maka tidak dianggap menakutkan menurut satu pendapat.

وَمِنْ ذلك: أن يقيه في مغارة لا يجد فيهما طَعَامًا وَلَا شَرَابًا فَإِنْ جُوِّزَ أَنْ يَجِدَ الماء إِلَى أَقْصَى مُدَّةٍ يَتَمَاسَكُ فيهَا رَمَقُهُ طَعَامًا أَوْ شَرَابًا أَوْ مَا يَمْسِكُ رَمَقَهُ مِنْ حَشِيشٍ أَوْ مَيْتَةٍ إِمَّا بِالْوُصُولِ إِلَى عِمَارَةٍ أو بالحصول على جارة، أو بأن يدركه فَحَالُهُ غَيْرُ مَخُوفَةٍ لِتَرَدُّدِهَا بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ.

Di antaranya juga: seseorang yang terjebak di dalam gua dan tidak menemukan makanan atau minuman, maka jika masih dimungkinkan ia menemukan air hingga batas maksimal ia bisa bertahan hidup, baik berupa makanan, minuman, atau sesuatu yang bisa menahan hidupnya seperti rumput atau bangkai, baik dengan sampai ke pemukiman, mendapatkan tetangga, atau ada yang menolongnya, maka keadaannya tidak menakutkan karena masih ada kemungkinan antara dua keadaan.

وَإِنْ يَئِسَ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ وَاشْتَدَّ جُوعُهُ وَعَطَشُهُ فَعَلَى قَوْلَيْنِ.

Namun jika ia telah putus asa dari semua itu dan rasa lapar serta hausnya semakin parah, maka kembali kepada dua pendapat.

وَكَذَلِكَ رَاكِبُ الْبَحْرِ فَإِنْ كَانَتِ الرِّيحُ سَاكِنَةً وَالْأَمْوَاجُ هَادِئَةً فَهُوَ غَيْرُ مَخُوفٍ وَهَكَذَا لَوِ اشْتَدَّتْ بِهِمْ رِيحٌ مَعْهُودَةٌ وَأَمْوَاجٌ مَأْلُوفَةٌ فَغَيْرُ مَخُوفَةٍ، وَإِنْ عَصَفَتْ بِهِمُ الرِّيحُ وَتَلَاطَمَتْ بِهِمُ الْأَمْوَاجُ حَتَّى خَرَجُوا عَنْ مَعْهُودِ السلامة فإن كسر بهم المركب حَتَّى صَارُوا عَلَى الْمَاءِ فَمَخُوفٌ لِأَنَّ الْأَغْلَبَ منه سرعة الهلكة فأما قبل حمولهم عَلَى الْمَاءِ فَعَلَى قَوْلَيْنِ وَمِنْ ذَلِكَ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الرَّجْمُ فِي الزِّنَا أَوِ الْقَتْلُ فِي الْحِرَابَةِ فَإِنْ كَانَ بِإِقْرَارِهِ فَحَالُهُ غير مَخُوفَةٍ لِأَنَّهُ لَوْ رَجَعَ عَنْ إِقْرَارِهِ لَمْ يُرْجَمْ وَلَمْ يَتَحَتَّمْ قَتْلُ الْحِرَابَةِ عَلَيْهِ وَصَارَ إِلَى خيارِ وَلِيِّ الدَّمِ وَإِنْ كَانَ بِمُشَاهَدَةِ الْإِمَامِ لَهُ فَمَخُوفٌ لِأَنَّهُ لَا سَبِيلَ إِلَى سلامته وإن كان بنية عَادِلَة قَامَتْ عَلَيْهِ قَدْ يَجُوزُ فِي النَّادِرِ رُجُوعُهَا فَعَلَى قَوْلَيْنِ لِأَنَّ الْغَالِبَ تَمَامُ الشَّهَادَةِ ووجوب القتل.

Demikian pula orang yang berlayar di laut, jika angin tenang dan ombak juga tenang, maka keadaannya tidak menakutkan. Begitu juga jika mereka diterpa angin yang biasa dan ombak yang lazim, maka tidak menakutkan. Namun jika mereka diterpa angin kencang dan ombak besar hingga keluar dari kebiasaan keselamatan, lalu kapal mereka pecah hingga mereka berada di atas air, maka keadaannya menakutkan karena yang dominan adalah cepatnya kebinasaan. Adapun sebelum mereka tercebur ke air, kembali kepada dua pendapat. Di antaranya juga, orang yang wajib dirajam karena zina atau dibunuh karena hirābah, maka jika itu karena pengakuannya sendiri, keadaannya tidak menakutkan, karena jika ia menarik kembali pengakuannya, ia tidak dirajam dan tidak wajib dibunuh karena hirābah, dan urusannya kembali kepada pilihan wali darah. Namun jika karena disaksikan oleh imam, maka keadaannya menakutkan karena tidak ada jalan keselamatan baginya. Jika karena kesaksian yang adil yang telah ditegakkan atasnya, terkadang dalam kasus langka kesaksian itu bisa ditarik kembali, maka kembali kepada dua pendapat, karena yang dominan adalah kesempurnaan kesaksian dan wajibnya hukuman mati.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وإذا ضَرَبَ الْحَامِلَ الطَّلْقُ فَهُوَ مَخُوفٌ لِأَنَّهُ كَالتَّلَفِ وأشد وجعا، والله تعالى أعلم “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika wanita hamil mengalami kontraksi (tanda-tanda melahirkan), maka itu menakutkan karena seperti kebinasaan dan lebih menyakitkan, dan Allah Ta‘ala lebih mengetahui.”

قال الماوردي: حكي عن مالك: أن الحامل إذا أثقلت بمعنى سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ حَمْلِهَا فَهُوَ مَخُوفٌ. لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا} [الأعراف: 189] .

Al-Mawardi berkata: Diriwayatkan dari Malik, bahwa wanita hamil jika kehamilannya sudah berat, yakni enam bulan dari kehamilannya, maka itu menakutkan. Berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Maka ketika ia merasa berat, keduanya berdoa kepada Allah, Tuhannya} (QS. Al-A‘raf: 189).

وعندنا أنه ما لم يضر بها الطَّلْقُ فَغَيْرُ مَخُوفٍ، لِأَنَّ الْغَالِبَ مِنْ حَالِهَا السَّلَامَةُ، وَلَوْ جَازَ أَنْ يَكُونَ حَالُهَا عِنْدَ ثَقْلِهَا مَخُوفَةً لِأَنَّهَا قَدْ تَؤولُ إِلَى الْخَوْفِ أَنْ يَكُونَ حَالُ الْخَوْفِ مِنْ أَوَّلِ الْحَمْلِ.

Menurut kami, selama kontraksi (ṭalq) tidak membahayakan ibu, maka tidak dianggap berbahaya, karena pada umumnya kondisinya selamat. Jika boleh jadi keadaannya saat beratnya kandungan dianggap berbahaya karena bisa saja berujung pada kekhawatiran, maka seharusnya kondisi khawatir itu sudah ada sejak awal kehamilan.

لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ} [الأعراف: 189] .

Berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Maka ketika istrinya itu berat (mengandung), keduanya berdoa kepada Allah, Tuhan mereka: “Sungguh jika Engkau memberi kami anak yang saleh, pasti kami termasuk orang-orang yang bersyukur”} (QS. Al-A‘rāf: 189).

فَأَمَّا إِذَا ضَرَبَهَا الطَّلْقُ عِنْدَ حُضُورِ الْوِلَادَةِ فَحَالُهَا مَخُوفَةٌ سَوَاءٌ كَانَتَ بِكْرًا أَوْ ثَيِّبًا.

Adapun jika kontraksi (ṭalq) menyerang ibu saat menjelang persalinan, maka keadaannya dianggap berbahaya, baik ia perawan (bikr) maupun sudah pernah melahirkan (thayyib).

وقال بعض أصحابنا: إننا نخاف مِنْ ذَلِكَ عَلَى الْأَبْكَارِ وَالْأَحْدَاثِ، فَأَمَّا مَنْ تَوَالَتْ وِلَادَتُهَا مِنْ كِبَارِ النِّسَاءِ فَغَيْرُ مَخُوفٍ لسهولة ذلك عليهم لاعتيادهن وَأَنَّ الْأَغْلَبَ سَلَامَتُهُنَّ.

Sebagian ulama kami mengatakan: Kami khawatir akan hal itu pada perempuan-perempuan perawan dan yang masih muda, adapun yang sudah sering melahirkan dari kalangan wanita dewasa, maka tidak dikhawatirkan karena hal itu mudah bagi mereka karena sudah terbiasa, dan pada umumnya mereka selamat.

فَأَمَّا بَعْدَ وَضْعِ الْحَمْلِ فَمَا لَمْ تَنْفَصِلِ الْمَشِيمَةُ وَيَسْكُنْ أَلَمُ الْوِلَادَةِ فمخوف فإذا أثقلت الْمَشِيمَةُ وَسَكَنَ أَلَمُ الْوِلَادَةِ فَغَيْرُ مَخُوفٌ.

Adapun setelah melahirkan, selama plasenta (masyīmah) belum terlepas dan rasa sakit persalinan belum reda, maka masih dianggap berbahaya. Jika plasenta sudah berat dan rasa sakit persalinan telah reda, maka tidak lagi dianggap berbahaya.

فَأَمَّا إِلْقَاءُ السَّقْطِ فَإِنْ كَانَ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَمَخُوفٌ، وَإِنْ كَانَ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أشهر وقبل حركته فغير مخوف، وإذا كَانَ بَعْدَ حَرَكَتِهِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الأظهر أنه مخوف.

Adapun keguguran (ilqā’ as-saqṭ), jika terjadi setelah lebih dari enam bulan, maka dianggap berbahaya. Jika kurang dari enam bulan dan sebelum janin bergerak, maka tidak dianggap berbahaya. Namun jika setelah janin bergerak, maka ada dua pendapat: yang pertama—dan ini yang lebih kuat—adalah dianggap berbahaya.

وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ أَنَّهُ غَيْرُ مَخُوفٍ إِلْحَاقًا بِمَا قَبْلَ الْحَرَكَةِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ḥāmid al-Isfarā’īnī, bahwa tidak dianggap berbahaya, disamakan dengan sebelum janin bergerak.

وَلَيْسَ كَذَلِكَ لِأَنَّ إِلْحَاقَ الْمُتَحَرِّكِ بِمَا بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ أَشْبَهُ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Namun tidak demikian, karena menyamakan janin yang sudah bergerak dengan setelah enam bulan lebih mirip, dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

باب الأوصياء

Bab Para Wasi

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَا تَجُوزُ الْوَصِيَّةُ إِلَّا إِلَى بَالِغٍ مُسْلِمٍ حُرٍّ عَدْلٍ أَوِ امْرَأَةٍ كَذَلِكَ “.

Imam asy-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata: “Tidak sah wasiat kecuali kepada orang yang baligh, muslim, merdeka, adil, atau perempuan yang juga demikian.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: الْأَصْلُ فِي قَبُولِ الْوَصَايَا، وَالتَّعَاوُنِ عَلَيْهَا، قَوْله تَعَالَى: {وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى} [المائدة: 2] .

Al-Māwardī berkata: Dasar dalam menerima wasiat dan saling membantu dalam hal itu adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa} (QS. Al-Mā’idah: 2).

وقَوْله تعالى: {وافعلوا الخير} [الحج: 77] .

Dan firman-Nya Ta‘ala: {Dan berbuatlah kebaikan} (QS. Al-Ḥajj: 77).

وقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أُمَّتِي كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُه بَعْضًا ” وَقَدْ أَوْصَى رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِلَى عَلِيٍّ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَأَوْصَى أَبُو بَكْرٍ إِلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا.

Dan sabda Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-: “Umatku seperti bangunan, saling menguatkan satu sama lain.” Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- juga pernah berwasiat kepada ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhu, dan Abū Bakr berwasiat kepada ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhumā.

وإِذَا كَانَ ذَلِكَ مَنْدُوبًا إِلَيْهِ وَمَأْمُورًا بِهِ، فَيُخْتَارُ لمن علم في نَفْسِهِ الْقُدْرَةَ، وَالْأَمَانَةَ أَنْ يَقْبَلَهَا وَلِمَنْ عَلِمَ في نَفْسِهِ الْعَجْزَ وَالْخِيَانَةَ أَنْ يَرُدَّهَا.

Jika hal itu dianjurkan dan diperintahkan, maka hendaknya dipilih bagi orang yang mengetahui dirinya mampu dan amanah untuk menerimanya, dan bagi yang mengetahui dirinya lemah dan khianat untuk menolaknya.

ثُمَّ الْكَلَامُ فيها يشتمل على ثلاثة فصول:

Kemudian pembahasan tentang ini mencakup tiga bagian:

أحدهما: فِي الْوَصِيِّ.

Pertama: tentang wasī (orang yang menerima wasiat).

وَالثَّانِي: فِي الْمُوصِي.

Kedua: tentang muṣī (orang yang berwasiat).

وَالثَّالِثُ: فِي الْمُوصَى بِهِ.

Ketiga: tentang muṣā bih (hal yang diwasiatkan).

فَأَمَّا الْوَصِيُّ، فَيُعْتَبَرُ فِيهِ اسْتِكْمَالُ خمسة شروط ولا تَصِحُّ الْوَصِيَّةُ إِلَيْهِ إِلَّا بِهَا وَسَوَاءٌ كَانَتِ الْوَصِيَّةُ بِالْوِلَايَةِ عَلَى أَطْفَالٍ أَوْ بِتَفْرِيقِ مَالٍ. وَهِيَ: الْبُلُوغُ، وَالْعَقْلُ، وَالْحُرِّيَّةُ، وَالْإِسْلَامُ، وَالْعَدَالَةُ.

Adapun wasī, maka disyaratkan padanya terpenuhi lima syarat dan tidak sah wasiat kecuali dengan syarat-syarat tersebut, baik wasiat itu berupa perwalian atas anak-anak atau pembagian harta. Syarat-syarat itu adalah: baligh, berakal, merdeka, muslim, dan adil.

وَهِيَ الشُّرُوطُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي جَوَازِ الشَّهَادَةِ.

Itulah syarat-syarat yang juga dipertimbangkan dalam kesaksian.

فَأَمَّا الشَّرْطُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ الْبُلُوغُ فَلِأَنَّ الْقَلَمَ عَنْ غَيْرِ الْبَالِغِ مَرْفُوعٌ، وَلِأَنَّ تَصَرُّفَهُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ مَرْدُودٌ، فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ فِي حَقِّ غَيْرِهِ مَرْدُودًا.

Adapun syarat pertama, yaitu baligh, karena tanggung jawab (qalam) tidak berlaku atas yang belum baligh, dan tindakannya atas dirinya sendiri tidak sah, maka lebih utama lagi tidak sah atas hak orang lain.

فَلَوْ جعلَ الصَّبِيّ وَصِيًّا بَعْدَ بُلُوغِهِ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika seorang anak dijadikan wasī setelah ia baligh, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ لَهَا في الحال قابل لها.

Pertama: ia pada saat itu sudah bisa menerima wasiat.

وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ.

Kedua: belum bisa menerima wasiat.

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي الْحَالِ مَنْ يَقْبَلُهَا، بَلْ قَالَ: قَدْ أَوْصَيْتُ إِلَى هَذَا الصَّبِيِّ إِذَا بَلَغَ، فَالْوَصِيَّةُ إِلَيْهِ بَاطِلَةٌ فِي الْحَالِ وَبَعْدَ بُلُوغِهِ، لِأَنَّهُ ليس في الحال بأهل لو مات الصبي قام بها، فلذلك بطلت.

Jika pada saat itu tidak ada yang bisa menerima wasiat, melainkan ia berkata: “Aku berwasiat kepada anak ini jika ia telah baligh,” maka wasiat kepadanya batal baik saat ini maupun setelah ia baligh, karena pada saat ini ia belum layak, sehingga jika anak itu meninggal, tidak ada yang menjalankan wasiat tersebut, maka sebab itu batal.

فإن كَانَ لَهَا فِي الْحَالِ مَنْ يَقْبَلُهَا، مِثْلَ أَنْ يَقُولَ: قَدْ أَوْصَيْتُ إِلَى فُلَانٍ حَتَّى يَبْلُغَ وَلَدِي، فَإِذَا بَلَغَ فَهُوَ وَصِيٌّ: جَازَ، وَلَا يَجُوزُ مِثْل ذَلِكَ فِي الْوَكَالَةِ.

Namun jika pada saat itu ada yang bisa menerima wasiat, seperti ia berkata: “Aku berwasiat kepada si Fulan sampai anakku baligh, lalu jika anakku telah baligh, maka ia menjadi wasī,” maka itu sah. Namun hal seperti ini tidak boleh dalam perwakilan (wakālah).

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ عَقْدَ الْوَكَالَةِ مُعَجَّلٌ، فَلَمْ يَصِحَّ بِحُدُوثِ شَرْطٍ مُؤَجَّلٍ، وَعَقْدُ الْوَصِيَّةِ مُؤَجَّلٌ فَجَازَ أَنْ يَصِحَّ بِحُدُوثِ شَرْطٍ مُؤَجَّلٍ.

Perbedaan antara keduanya adalah: akad wakālah bersifat langsung, sehingga tidak sah dengan adanya syarat yang ditangguhkan, sedangkan akad wasiat bersifat ditangguhkan sehingga boleh sah dengan terjadinya syarat yang ditangguhkan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الشَّرْطُ الثَّانِي: وَهُوَ الْعَقْلُ. فَلِأَنَّ الْجُنُونَ يَرْفَعُ الْقَلَمَ، وَيَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ التَّصَرُّفِ.

Adapun syarat kedua, yaitu akal. Karena kegilaan mengangkat pena (membebaskan dari tanggung jawab hukum), dan mencegah dari kebolehan melakukan tindakan hukum.

فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يُجَنُّ فِي زَمَانٍ وَيَفِيقُ فِي زَمَانٍ: فَالْوَصِيَّةُ إِلَيْهِ بَاطِلَةٌ، سَوَاءٌ قَلَّ زَمَانُ جُنُونِهِ أَوْ كَثُرَ.

Jika seseorang mengalami gila pada suatu waktu dan sadar pada waktu lain, maka wasiat kepadanya batal, baik masa gilanya sedikit maupun banyak.

فَلَوْ أَوْصَى إِلَى عَاقِلٍ حَتَّى إِذَا أَفَاقَ هَذَا الْمَجْنُونُ كَانَ وَصِيًّا لَهُ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika seseorang berwasiat kepada orang yang berakal, lalu ketika orang gila itu sadar, ia menjadi washi baginya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ كَالصَّبِيِّ إِذَا بَلَغَ.

Pertama: Boleh, seperti anak kecil ketika ia telah baligh.

وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ. لِأَنَّ بُلُوغَ الصَّبِيِّ لَازِمٌ، وَإِفَاقَةُ الْمَجْنُونِ مُجَوَّزَةٌ.

Kedua: Tidak boleh. Karena balighnya anak kecil itu pasti terjadi, sedangkan sembuhnya orang gila itu hanya kemungkinan.

فَلَوْ أَوْصَى إِلَى عَاقِلٍ، وَطَرَأَ عَلَيْهِ جُنُونٌ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika seseorang berwasiat kepada orang yang berakal, lalu kemudian ia menjadi gila, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أن يستديم به، فالوصية إليه باطلة.

Pertama: Jika kegilaan itu terus-menerus, maka wasiat kepadanya batal.

والثاني: أَنْ يَفِيقَ مِنْهُ. فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: Jika ia sembuh dari kegilaannya. Maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَطْرَأَ الْجُنُونُ بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي. فَالْوَصِيَّةُ إِلَيْهِ قَدْ بَطَلَتْ، كَالْوَكَالَةِ، وَالْوَكَالَةُ تَبْطُلُ بِحُدُوثِ الْجُنُونِ فَكَذَلِكَ الْوَصِيَّةُ.

Pertama: Jika kegilaan itu terjadi setelah wafatnya orang yang berwasiat, maka wasiat kepadanya telah batal, seperti halnya wakālah, dan wakālah batal dengan terjadinya kegilaan, demikian pula wasiat.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ حُدُوثُ الْجُنُونِ وَالْإِفَاقَةِ فِي حَيَاةِ الْمُوصِي فَفِي بُطْلَانِ الْوَصِيَّةِ إِلَيْهِ وَجْهَانِ:

Kedua: Jika kegilaan dan sembuhnya terjadi pada masa hidup orang yang berwasiat, maka dalam batalnya wasiat kepadanya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَدْ بَطَلَتْ كَمَا تَبْطُلُ بِحُدُوثِ ذَلِكَ بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي.

Pertama: Wasiat telah batal sebagaimana batalnya jika terjadi setelah wafatnya orang yang berwasiat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تَبْطُلُ. لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنَ التصرف في حياة الموصي فلم يجز أن يكون مَمْنُوعًا بِحُدُوثِ الْجُنُونِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ حَالُهُ بَعْدَ الْمَوْتِ.

Pendapat kedua: Tidak batal. Karena ia dilarang melakukan tindakan hukum selama hidup orang yang berwasiat, maka tidak boleh dianggap batal hanya karena terjadinya kegilaan, dan keadaannya setelah wafat tidaklah demikian.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الشَّرْطُ الثَّالِثُ: وَهُوَ الْحُرِيَّةُ فَلِأَنَّ الْعَبْدَ مُوَلَّى عَلَيْهِ بِالرِّقِّ، فَلَمْ يَصِحَّ أَنْ يَكُونَ وَالِيًا. وَلِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ لِحَقِّ السَّيِّدِ، فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى التَّصَرُّفِ، وَسَوَاءٌ كَانَ عَبْدَ نَفْسِهِ، أَوْ عَبْدَ غَيْرِهِ.

Adapun syarat ketiga, yaitu kemerdekaan. Karena budak berada di bawah kekuasaan tuannya karena status perbudakan, sehingga tidak sah menjadi wali. Dan karena ia terhalang demi hak tuannya, maka ia tidak mampu melakukan tindakan hukum, baik ia adalah budak milik sendiri maupun budak milik orang lain.

وَقَالَ مَالِكٌ: تَجُوزُ الوصية إلى عبد نفسه وعبد غيره.

Imam Mālik berkata: Boleh berwasiat kepada budak milik sendiri maupun budak milik orang lain.

وَقَالَ أبو حنيفة: تَجُوزُ إِلَى عَبْدِ نَفْسِهِ إذا كَانَ وَلَدُهُ أَصَاغِرَ، وَلَا تَجُوزُ إِلَى عَبْدِ غَيْرِهِ، وَلَا إِذَا كَانَ وَلَدُهُ أَكَابِرَ. تَعلِيلًا بِأَنَّ عَبْدَهُ مَعَ أَصَاغِرِ وَلَدِهِ مُحْتَبسُ الرَّقَبَةِ مَمْنُوعٌ مِنْ بَيْعِهِ، فَصَحَّ نَظَرُهُ عَلَيْهِمْ، وَدَامَتْ وِلَايَتُهُ إِلَى بُلُوغِهِمْ.

Abu Hanīfah berkata: Boleh berwasiat kepada budak milik sendiri jika anak-anaknya masih kecil, dan tidak boleh kepada budak milik orang lain, serta tidak boleh jika anak-anaknya sudah dewasa. Alasannya, karena budaknya bersama anak-anaknya yang masih kecil tertahan (tidak boleh dijual), sehingga sah pengurusannya atas mereka, dan kekuasaannya tetap sampai mereka baligh.

وَهَذَا التَّعْلِيلُ فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Alasan ini rusak dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ احْتِبَاسَ رَقَبَتِهِ عَلَيْهِمْ وَالْمَنْعَ مِنْ بَيْعِهِ فِي حَقِّهِمْ: لَا يَصِحُّ، لِأَنَّهُمْ لو احتاجوا إلى نفقه لا يجدونها إلى مِنْ ثَمَنِهِ جَازَ لِلْحَاكِمِ بَيْعُهُ فِي نَفَقَاتِهِمِ.

Pertama: Bahwa penahanan budak atas mereka dan larangan menjualnya demi kepentingan mereka tidaklah sah, karena jika mereka membutuhkan nafkah dan tidak mendapatkannya kecuali dari hasil penjualan budak tersebut, maka hakim boleh menjualnya untuk nafkah mereka.

وَالثَّانِي: أَنَّ احْتِبَاسَ الرَّقَبَةِ لَا يُجِيزُ مِنَ التَّصَرُّفِ مَا كَانَ مَمْنُوعًا مِنْهُ، كَالْمَجْنُونِ وَلِمَا ذكرناه مِنَ الْمَعْنَيَيْنِ الْمُتَقَدِّمَيْنِ.

Kedua: Bahwa penahanan budak tidak membolehkan melakukan tindakan hukum yang sebelumnya terlarang, seperti orang gila, dan sebagaimana telah kami sebutkan dari dua makna sebelumnya.

فَأَمَّا الْمُكَاتَبُ: فَلَا تَجُوزُ الْوَصِيَّةُ إِلَيْهِ، لِأَنَّ الْمُكَاتَبَ عَبْدٌ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ دِرْهَمٌ وَجَوَّزَهَا أبو حنيفة.

Adapun mukātab (budak yang sedang menebus dirinya), maka tidak boleh berwasiat kepadanya, karena mukātab tetap berstatus budak selama masih ada satu dirham yang harus dibayar, namun Abu Hanīfah membolehkannya.

وَأَمَّا الْوَصِيَّةُ إِلَى الْمُدَبَّرِ، وَأُمِّ الْوَلَدِ: فَفِي جَوَازِهَا وَجْهَانِ:

Adapun wasiat kepada mudabbir (budak yang dimerdekakan setelah tuannya wafat) dan umm al-walad (budak perempuan yang melahirkan anak dari tuannya), maka dalam kebolehannya terdapat dua pendapat:

أحدهما: تصح، لأنهما يعتقان بالموت الذي يكون تصرفها بعده.

Pertama: Sah, karena keduanya akan merdeka dengan kematian (tuannya), yang mana tindakan hukum dilakukan setelahnya.

والثاني: لا يصح اعتبارا بحالها عِنْدَ الْوَصِيَّةِ.

Kedua: Tidak sah, dengan mempertimbangkan keadaan mereka saat wasiat dibuat.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الشَّرْطُ الرَّابِعُ: وَهُوَ الإسلام لقوله تَعَالَى: {لا يَرْقُبُونَ فِي مُؤْمِنٍ إِلا وَلا ذِمَّةً} [التوبة: 10] . وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ، لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا، وَدُّوا مَا عنتم} [آل عمران: 118] .

Adapun syarat keempat, yaitu Islam, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Mereka tidak memelihara hubungan kerabat dengan seorang mukmin, dan tidak pula perjanjian} (QS. At-Taubah: 10). Dan firman-Nya: {Janganlah kalian mengambil orang-orang di luar kalian sebagai teman dekat, mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagi kalian, mereka menginginkan kesusahan bagi kalian} (QS. Ali Imran: 118).

وهذه الآية كتب بها عُمَرُ إِلَى أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا حِينَ اتَّخَذَ كَاتِبًا نَصْرَانِيًّا.

Ayat ini pernah ditulis oleh ‘Umar kepada Abu Musa radhiyallāhu ‘anhumā ketika Abu Musa mengangkat seorang penulis Nasrani.

وَقَالَ أبو حنيفة: الْوَصِيَّةُ إِلَيْهِ مَوْقُوفَةٌ عَلَى فَسْخِ الْحَاكِمِ، فَإِنْ تَصَرَّفَ قَبْلَ أَنْ يَفْسَخَهَا الْحَاكِمُ عَلَيْهِ: كَانَ تصرفه نافذا.

Abu Hanīfah berkata: Wasiat kepadanya (non-Muslim) tergantung pada keputusan hakim. Jika ia melakukan tindakan hukum sebelum hakim membatalkannya, maka tindakannya sah.

وهذا فاسد لأنه لا يخلو أَنْ تَكُونَ الْوَصِيَّةُ إِلَيْهِ جَائِزَة، فَلَا يَجُوزُ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَفْسَخَهَا عَلَيْهِ، أَوْ تَكُونُ بَاطِلَةً فَلَا يَجُوزُ فِيهَا تَصَرُّفُهُ.

Ini tidak benar, karena tidak lepas dari dua kemungkinan: wasiat kepadanya itu sah, maka tidak boleh bagi hakim untuk membatalkannya atasnya; atau wasiat itu batal, maka tidak sah baginya melakukan tindakan apa pun atasnya.

وَإِذَا كَانَ هَكَذَا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَصَرُّفُهُ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِعَقْدٍ أَوِ اجْتِهَادٍ مَرْدُودًا فَأَمَّا مَا تَعَيَّنَ مِنْ دَيْنٍ قَضَاهُ، أَوْ وَصِيَّةٍ بِمُعَيَّنٍ لِمُعَيَّنٍ دَفَعَهَا فلا يضمنها، لوصول ذلك إلى مستحقه، ولأنه لَوْ أَخَذَهُ مُسْتَحِقُّهُ مِنْ غَيْرِ نَائِبٍ أَوْ وَسِيطٍ صَارَ إِلَى حَقِّهِ، وَلَيْسَ كَالَّذِي يَعْقِدُهُ مِنْ بَيْعٍ، أَوْ يَجْتَهِدُ فِيهِ مِنْ تَفْرِيقِ ثُلُثٍ بَلْ ذَلِكَ كُلُّهُ مَرْدُودٌ وَهُوَ لِمَا دَفَعَهُ مِنْ ذَلِكَ ضَامِنٌ.

Jika demikian keadaannya, maka wajib bahwa tindakannya yang berkaitan dengan akad atau ijtihad adalah tertolak. Adapun jika ada utang tertentu yang telah ia bayarkan, atau wasiat berupa sesuatu tertentu kepada orang tertentu yang telah ia serahkan, maka ia tidak menanggungnya, karena hal itu telah sampai kepada yang berhak menerimanya. Sebab, jika yang berhak mengambilnya tanpa perantara atau wakil, maka itu telah sampai kepada haknya. Ini berbeda dengan akad jual beli yang ia lakukan, atau ijtihad dalam pembagian sepertiga harta, maka semua itu tertolak dan ia bertanggung jawab atas apa yang telah ia serahkan dari hal tersebut.

فَأَمَّا وَصِيَّةُ الْكَافِرِ إِلَى الْمُسْلِمِ فَجَائِزَةٌ لِظُهُورِ أَمَانَتِهِ فِيهَا.

Adapun wasiat orang kafir kepada Muslim, maka itu sah karena tampaknya sifat amanah pada dirinya dalam hal tersebut.

وَأَمَّا وَصِيَّةُ الْكَافِرِ إِلَى الْكَافِرِ فَفِيهَا وَجْهَانِ:

Adapun wasiat orang kafir kepada orang kafir, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ تجوز كَمَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْكَافِرُ وَلِيًّا لِكَافِرٍ.

Pertama, yaitu pendapat Ibnu Abi Hurairah: wasiat itu sah, sebagaimana sahnya orang kafir menjadi wali bagi orang kafir.

والوجه الثاني: لا تجوز، كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ تُقْبَلَ شَهَادَةُ الْكَافِرِ لِكَافِرٍ وَلَا مُسْلِمٍ فَهَكَذَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْكَافِرُ وَصِيًّا لِكَافِرٍ وَلَا مُسْلِمٍ.

Pendapat kedua: tidak sah, sebagaimana tidak sahnya kesaksian orang kafir untuk orang kafir maupun Muslim. Maka demikian pula, tidak sah orang kafir menjadi wasi bagi orang kafir maupun Muslim.

فصل:

Fasal:

وأما الشرط الخامس: وهو العدالة: فلقوله تَعَالَى: {أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لا يَسْتَوُونَ} [السجدة: 18] .

Adapun syarat kelima, yaitu keadilan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Apakah orang yang beriman itu sama dengan orang yang fasik? Mereka tidak sama.} (QS. As-Sajdah: 18).

فَكَانَ مَنْعُ الْمُسَاوَاةِ بَيْنَهُمْ، موصيا لِمَنْعِ الْمُسَاوَاةِ فِي أَحْكَامِهِمْ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا مَنَعَهُ الْفِسْق مِنَ الْوِلَايَةِ عَلَى أَوْلَادِهِ، كَانَ أَوْلَى أَنْ يَمْنَعَهُ مِنَ الْوِلَايَةِ عَلَى أَوْلَادِ غَيْرِهِ.

Maka peniadaan persamaan di antara mereka menunjukkan peniadaan persamaan dalam hukum-hukum mereka. Dan karena kefasikan telah menghalanginya dari menjadi wali atas anak-anaknya sendiri, maka lebih utama lagi untuk menghalanginya dari menjadi wali atas anak orang lain.

وَقَالَ أبو حنيفة: الْوَصِيَّةُ إِلَيْهِ مَوْقُوفَةٌ عَلَى فَسْخِ الْحَاكِمِ، يَمْضِي فِيهَا تَصَرُّفُهُ قَبْلَ فَسْخِهَا عَلَيْهِ، كَمَا قَالَ فِي الْكَافِرِ، وَفِيمَا مَضَى من الْكَافِرِ دَلِيلٌ عَلَيْهِ فِي الْفَاسِقِ.

Abu Hanifah berkata: Wasiat kepadanya tergantung pada pembatalan hakim; tindakannya berlaku sebelum hakim membatalkannya, sebagaimana pendapatnya tentang orang kafir. Dan apa yang telah lalu mengenai orang kafir menjadi dalil atasnya dalam hal orang fasik.

فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا جَازَتِ الْوَصِيَّةُ إِلَيْهِ، كَمَا جَازَتِ الْوَكَالَةُ لَهُ؟ قِيلَ لَهُ لِأَنَّ الْوَكَالَةَ تَصَرُّفٌ فِي حَقِّ الْإِذْنِ، وَالْوَصِيَّةُ تَصَرُّفٌ فِي حَقِّ غَيْرِهِ فَعَلَى هَذَا:

Jika dikatakan: Mengapa tidak sah wasiat kepadanya sebagaimana sahnya perwakilan (wakalah) untuknya? Maka dijawab: Karena wakalah adalah tindakan atas dasar izin, sedangkan wasiat adalah tindakan atas hak orang lain. Maka berdasarkan hal ini:

لَوْ أَنَّ رَجُلًا أَذِنَ لِوَكِيلِهِ فِي التَّوْكِيلِ فَوَكَّلَ الْوَكِيلُ فَاسِقًا. فَفِي جَوَازِ وَكَالَتِهِ وَجْهَانِ:

Jika seseorang mengizinkan wakilnya untuk mewakilkan lagi, lalu wakil tersebut menunjuk seorang fasik sebagai wakil, maka dalam keabsahan perwakilannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ تَصَرُّفٌ فِي حَقِّ الْغَيْرِ، فَأَشْبَهَ الْوَصِيَّةَ.

Pertama: Tidak sah, karena itu adalah tindakan atas hak orang lain, sehingga menyerupai wasiat.

وَالثَّانِي: يَجُوزُ لِأَنَّهُ يَقُومُ مَقَامَ الْوَكِيلِ الْأَوَّلِ الَّذِي لَيْسَ مِنْ شَرْطِهِ الْعَدَالَةُ.

Kedua: Sah, karena ia menggantikan posisi wakil pertama yang tidak disyaratkan keadilan padanya.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْعَدَالَةَ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الْوَصِيَّةِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْوَقْتِ الَّذِي يُرَاعَى فِيهِ عَدَالَةُ الْوَصِيِّ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Jika telah tetap bahwa keadilan adalah syarat dalam sahnya wasiat, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai waktu yang dijadikan patokan untuk memperhatikan keadilan wasi, yaitu ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ يُرَاعَى عَدَالَتُهُ عِنْدَ مَوْتِ الْمُوصِي، وَلَا يَضُرُّ أَنْ يَكُونَ فَاسِقًا عِنْدَ عَقْدِ الْوَصِيَّةِ كَمَا تُرَاعَى عَدَالَةُ الشَّاهِدِ عِنْدَ الْأَدَاءِ دُونَ التَّحَمُّلِ. وَهَذَا قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ.

Pertama: Yang diperhatikan adalah keadilannya saat wafatnya orang yang berwasiat, dan tidak mengapa jika ia fasik saat akad wasiat, sebagaimana keadilan saksi diperhatikan saat memberikan kesaksian, bukan saat menerima kesaksian. Ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُرَاعَى عَدَالَةُ الْوَصِيِّ فِي الطَّرَفَيْنِ، عِنْدَ الْوَصِيَّةِ وَعِنْدَ الْمَوْتِ، وَلَا يَضُرُّ أَنْ يَكُونَ بَيْنَ الْوَصِيَّةِ وَالْمَوْتِ غَيْرَ عَدْلٍ، لِأَنَّ وَقْتَ الْوَصِيَّةِ هُوَ حَالُ التَّقْلِيدِ، وَوَقْتُ الْمَوْتِ هُوَ حَالُ التَّصَرُّفِ، فاعتبر فيهما العدالة، ولم تعتبر فِي غَيْرِهِمَا، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ.

Pendapat kedua: Yang diperhatikan adalah keadilan wasi pada kedua waktu, yaitu saat wasiat dan saat wafat, dan tidak mengapa jika di antara waktu wasiat dan wafat ia tidak adil, karena waktu wasiat adalah saat penunjukan, dan waktu wafat adalah saat pelaksanaan, maka keadilan diperhatikan pada keduanya, dan tidak pada selain keduanya. Ini adalah pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri.

والوجه الثالث: وهو أصحها أنه تعتبر عَدَالَتُهُ مِنْ حِينِ الْوَصِيَّةِ إِلَى مَا بَعْدُ لِأَنَّ كُلَّ زَمَانٍ مِنْهُ قَدْ يُسْتَحَقُّ فِيهِ التصرف لو حدث فيه الموت. فإن طَرَأَ عَلَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْهُ فِسْقٌ، بَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ إِلَيْهِ.

Pendapat ketiga, dan ini yang paling shahih, yaitu keadilannya diperhatikan sejak saat wasiat hingga setelahnya, karena setiap waktu di antaranya bisa saja ia berhak melakukan tindakan jika kematian terjadi pada waktu itu. Jika pada salah satu waktu tersebut ia menjadi fasik, maka batal wasiat kepadanya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَكَامَلَتْ هَذِهِ الشُّرُوطُ الْخَمْسَةُ فِي شَخْصٍ، كَانَ مَوْضِعًا لِلْوَصِيَّةِ إِلَيْهِ، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ وَصِيًّا فِي مَالٍ أَوْ عَلَى أَطْفَالٍ، سَوَاءٌ كَانَ رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً.

Jika kelima syarat ini telah terpenuhi pada seseorang, maka ia layak untuk menerima wasiat kepadanya, sehingga sah baginya menjadi wasi dalam harta atau atas anak-anak, baik ia laki-laki maupun perempuan.

وَحُكِيَ عَنْ عَطَاءٍ: أَنَّ الْوَصِيَّةَ إِلَى الْمَرْأَةِ لا تصح، لأن فيها ولاية يعجز النِّسَاءُ عَنْهَا.

Dan dinukil dari ‘Aṭā’: bahwa wasiat kepada perempuan tidak sah, karena di dalamnya terdapat unsur perwalian yang tidak mampu dilakukan oleh perempuan.

وَهَذَا فَاسِدٌ: لِأَنَّهَا وَإِنْ كَانَتْ وِلَايَةً، فَالْمُغَلَّبُ فِيهَا الْأَمَانَةُ وَجَوَازُ الشَّهَادَةِ وَقَدْ تَجُوزُ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِهِنْدٍ: ” خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ “.

Dan pendapat ini rusak, karena meskipun itu adalah perwalian, namun yang lebih dominan di dalamnya adalah amanah dan kebolehan memberikan kesaksian, dan terkadang kesaksian perempuan itu sah. Juga karena Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- berkata kepada Hindun: “Ambillah secukupnya untukmu dan anakmu dengan cara yang baik.”

فَجَعَلَهَا الْقَيِّمَةَ عَلَى أَوْلَادِهَا فِي النَّفَقَةِ عَلَيْهِمْ. ولأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَرَجَ فِي بَعْضِ الْمَغَازِي فَأَوْدَعَ أَمْوَالا كَانَتْ عِنْدَهُ عِنْدَ أُمِّ أَيْمَنَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى جَوَازِ اسْتِنَابَةِ الْمَرْأَةِ فِي الْمَالِ وَعَلَى الْأَطْفَالِ، وَكَانَ لَهَا الْحَضَانَةُ عَلَيْهِمْ، وَإِنْ كَانَ فِيهَا مَعْنَى الْوِلَايَةِ.

Maka beliau menjadikan Hindun sebagai pengurus nafkah atas anak-anaknya. Dan karena Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- ketika keluar dalam sebagian peperangan, beliau menitipkan harta yang ada padanya kepada Ummu Aiman raḍiyallāhu ‘anhā. Hal ini menunjukkan bolehnya mewakilkan perempuan dalam urusan harta dan anak-anak, dan ia memiliki hak pengasuhan atas mereka, meskipun di dalamnya terdapat unsur perwalian.

فَإِذَا ثَبَتَ أَن لَا فَرْقَ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ، فَلَا فَرْقَ بَيْنَ الصَّحِيحِ وَالْمَرِيضِ إِذَا لَمْ يُغَيِّرْهُ المرض عن فضل النَّظَرِ.

Jika telah tetap bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, maka tidak ada pula perbedaan antara orang yang sehat dan yang sakit selama penyakitnya tidak menghilangkan keutamaan pertimbangan akal.

وَلَكِنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي جَوَازِ الْوَصِيَّةِ إِلَى الْأَعْمَى عَلَى وَجْهَيْنِ.

Namun, para ulama kami berbeda pendapat tentang kebolehan wasiat kepada orang buta menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: تَجُوزُ لِأَنَّهُ مِنْ أَهْلِ الشَّهَادَةِ.

Salah satunya: boleh, karena ia termasuk orang yang sah menjadi saksi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تَجُوزُ لِأَنَّهُ قَدْ يُفْتَقَرُ فِي الْوَصَايَا إِلَى عُقُودٍ لَا تَصِحُّ مِنَ الْأَعْمَى وَفَضْلِ نَظَرٍ لَا يدرك إلا بالمعاينة.

Pendapat kedua: tidak boleh, karena dalam wasiat terkadang diperlukan akad-akad yang tidak sah dilakukan oleh orang buta, dan keutamaan pertimbangan yang hanya dapat dicapai dengan penglihatan langsung.

فهذا حكم الوصي.

Demikianlah hukum tentang washi (orang yang diberi wasiat).

فصل:

Fasal:

فأما الموصي. فَلَا يَخْلُو مَالِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.

Adapun orang yang berwasiat (muwashshi), maka hartanya tidak lepas dari dua keadaan.

إِمَّا أَنْ يَكُونَ مَالًا، أَوْ وِلَايَةً عَلَى أَطْفَالٍ.

Yaitu bisa berupa harta, atau berupa perwalian atas anak-anak.

فَإِنْ كَانَ الْمُوصَى بِهِ مَالًا يُفَرَّقُ فِي أَهْلِ الْوَصَايَا، فَالْمُعْتَبَرُ فِي الْمُوصِي شَرْطَانِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِمَا. وَشَرْطَانِ مُخْتَلَفٌ فِيهِمَا، فَأَحَدُ الشَّرْطَيْنِ الْمُتَّفَقِ عَلَيْهِمَا: التَّمْيِيزُ.

Jika yang diwasiatkan berupa harta yang akan dibagikan kepada para penerima wasiat, maka pada muwashshi (pemberi wasiat) terdapat dua syarat yang disepakati, dan dua syarat yang diperselisihkan. Salah satu dari dua syarat yang disepakati adalah tamyiz (kemampuan membedakan).

فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يُمَيِّزُ لِصِغَرٍ أَوْ جُنُونٍ، لَمْ تَصِحَّ وَصِيَّتُهُ.

Jika ia termasuk orang yang belum tamyiz karena masih kecil atau gila, maka wasiatnya tidak sah.

وَالثَّانِي: الْحُرِّيَّةُ، فَإِنْ كَانَ عَبْدًا لَمْ تَصِحَّ وَصِيَّتُهُ.

Yang kedua: kemerdekaan. Jika ia seorang budak, maka wasiatnya tidak sah.

وَأَمَّا الشَّرْطَانِ الْمُخْتَلَفُ فِيهِمَا: فَأَحَدُهُمَا الْبُلُوغُ. وَالثَّانِي: الرُّشْدُ وَفِيهِمَا قَوْلَانِ:

Adapun dua syarat yang diperselisihkan: salah satunya adalah baligh. Yang kedua adalah rusyd (kemampuan mengelola harta dengan baik), dan dalam keduanya terdapat dua pendapat:

أحدهما: أنهما شرطان، فَلَا تَصِحُّ وَصِيَّةُ غَيْرِ بَالِغٍ وَلَا سَفِيهٍ.

Salah satunya: keduanya adalah syarat, sehingga wasiat dari orang yang belum baligh dan orang safih (tidak cakap) tidak sah.

وَالثَّانِي: لَيْسَا بِشَرْطٍ فِي جَوَازِ الْوَصِيَّةِ وَتَصِحُّ مِنْ غَيْرِ الْبَالِغِ وَالسَّفِيهِ، وَلَكِنْ لَا فَرْقَ بَيْنَ وَصِيَّةِ الْمُسْلِمِ وَالْكَافِرِ، وَالْعَدْلِ وَالْفَاسِقِ وَالرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ.

Yang kedua: keduanya bukan syarat dalam kebolehan wasiat, sehingga wasiat sah dari orang yang belum baligh dan safih. Namun, tidak ada perbedaan antara wasiat Muslim dan kafir, orang adil dan fasik, laki-laki dan perempuan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ كَانَتِ الْوَصِيَّةُ بِالْوِلَايَةِ عَلَى أَطْفَالٍ، اعْتُبِرُ فِي الْمُوصَى بِهَا سِتَّةُ شُرُوطٍ، لا تصح الوصية منه إلا بها.

Jika wasiat berupa perwalian atas anak-anak, maka pada orang yang diwasiatkan perwalian tersebut terdapat enam syarat, dan wasiat tidak sah darinya kecuali dengan enam syarat itu.

أحدهما: جَرَيَانُ الْقَلَمِ عَلَيْهِ وَصِحَّةُ التَّكْلِيفِ لَهُ، لِأَنَّ مَنْ لَا يَجْرِي عَلَيْهِ قَلَمٌ بِجُنُونٍ أَوْ صِغَرٍ، لَا تَكُونُ لَهُ وِلَايَةٌ، وَلَا يَصِحُّ مِنْهُ تَوْلِيَةٌ.

Salah satunya: telah berlaku taklif atasnya dan sah baginya taklif, karena orang yang tidak berlaku taklif atasnya karena gila atau masih kecil, tidak memiliki perwalian, dan tidak sah darinya memberikan perwalian.

وَالثَّانِي: الْحُرِّيَّةُ، لِأَنَّ الْوِلَايَةَ تُنَافِي الرِّقَّ.

Yang kedua: kemerdekaan, karena perwalian bertentangan dengan status budak.

وَالثَّالِثُ: الْإِسْلَامُ فِي الطِّفْلِ إِذَا كَانَ مُسْلِمًا، وَفِي اعْتِبَارِهِ فِي الطِّفْلِ إِذَا كَانَ مُشْرِكًا وَجْهَانِ.

Yang ketiga: Islam pada anak jika ia Muslim, dan dalam mempertimbangkan syarat Islam pada anak jika ia musyrik terdapat dua pendapat.

وَالرَّابِعُ: الْعَدَالَةُ، لِأَنَّ الْفَاسِقَ لَيْسَ له ولاية، فكان أولى أن لا تَصِحَّ مِنْهُ تَوْلِيَةٌ.

Yang keempat: keadilan, karena orang fasik tidak memiliki perwalian, maka lebih utama lagi tidak sah darinya memberikan perwalian.

وَالْخَامِسُ: أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَلِي عَلَى الطِّفْلِ في حياته بنفسه، لأنه يقيم الوصية مَقَامَ نَفْسِهِ فَلَمْ تَصِحَّ إِلَّا مِمَّنْ قَدِ اسْتَحَقَّ الْوِلَايَةَ بِنَفْسِهِ، وَذَلِكَ فِي الْوَالِدَيْنِ دُونَ غَيْرِهِمْ مِنَ الْإِخْوَةِ وَالْأَعْمَامِ.

Yang kelima: termasuk orang yang berhak menjadi wali atas anak dalam kehidupannya sendiri, karena ia menempatkan wasiat pada posisi dirinya sendiri, maka tidak sah kecuali dari orang yang memang berhak atas perwalian itu, yaitu kedua orang tua, bukan selain mereka dari kalangan saudara atau paman.

وَقَالَ أبو حنيفة: تَصِحُّ الْوَصِيَّةُ بِالْوِلَايَةِ عَلَى الْأَطْفَالِ مِنْ غَيْرِ الْآبَاءِ، كَمَا تَصِحُّ مِنَ الْآبَاءِ.

Abu Hanifah berkata: Wasiat berupa perwalian atas anak-anak sah dari selain ayah, sebagaimana sah dari ayah.

وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Dan ini rusak dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: إنَّ فِي الْوَالِدِ بَعْضِية باين بها غيره.

Salah satunya: pada ayah terdapat unsur kebapakan yang membedakannya dari selainnya.

والقول الثاني: إنَّ لِلْوَالِدِ فِي حَيَاتِهِ وِلَايَةً لَا يَسْتَحِقُّهَا غَيْرُهُ. فَمِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ اخْتَصَّتِ الْوَصِيَّةُ بِالْآبَاءِ دُونَ غَيْرِهِمْ.

Pendapat kedua: bahwa ayah dalam kehidupannya memiliki perwalian yang tidak dimiliki oleh selainnya. Maka dari dua sisi inilah wasiat khusus bagi ayah, bukan selainnya.

وَإِذَا كَانَ هَكَذَا، فَالَّذِي يَسْتَحِقُّ الْوِلَايَةَ فِي حَيَاتِهِ، وَيُوصِي بِهَا عِنْدَ وَفَاتِهِ هُوَ الْأَبُ وَآبَاؤُهُ. فَأَمَّا الْأُمُّ فَفِي وِلَايَتِهَا عَلَى صِغَارِ وَلَدِهَا وَجْهَانِ:

Jika demikian, maka yang berhak atas wilayah (perwalian) selama hidupnya dan dapat mewasiatkan wilayah itu ketika wafatnya adalah ayah dan para ayahnya. Adapun ibu, dalam hal kewenangannya atas anak-anaknya yang masih kecil, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ إِنَّهُ لَهَا عَلَيْهِمْ وِلَايَةٌ كَالْأَبِ، لِمَا فِيهَا مِنَ البعضية، وأنها برأفة الأنوثة، أحن عَلَيْهِمْ وَأَشْفَقُ.

Pertama: yaitu pendapat Abu Sa‘id al-Ishthakhri, bahwa ibu memiliki wilayah atas mereka sebagaimana ayah, karena adanya hubungan sebagian (dari ayah dan ibu), dan karena sifat kelembutan perempuan, ia lebih penyayang dan lebih belas kasih kepada mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، لَا وِلَايَةَ لَهَا، لِأَنَّهَا لَمَّا قَصُرَتْ بِنَقْصِ الْأُنُوثَةِ عَنْ وِلَايَةِ النِّكَاحِ الَّتِي تَسْرِي فِي جَمِيعِ الْعَصَبَاتِ، كَانَ أَوْلَى أَنْ تقصرَ عَمَّا يَخْتَصُّ مِنَ الْوِلَايَةِ بِالْآبَاءِ دُونَ سَائِرِ الْعَصَبَاتِ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa ibu tidak memiliki wilayah, karena kekurangan pada sifat kewanitaan yang menyebabkan ia tidak berhak atas wilayah pernikahan yang berlaku pada seluruh ‘ashabah, maka lebih utama lagi ia tidak berhak atas wilayah yang khusus bagi para ayah, bukan untuk seluruh ‘ashabah.

فَعَلَى هَذَا: إِنْ قِيلَ إِنَّهُ لَا وِلَايَةَ لَهَا: لَمْ تَصِحَّ مِنْهَا الْوَصِيَّةُ بِالْوِلَايَةِ عَلَى أَطْفَالِهَا. وَإِذَا قِيلَ إِنَّ لَهَا الْوِلَايَةُ بِنَفْسِهَا، فَكَذَلِكَ أُمَّهَاتُهَا وَأُمَّهَاتُ الْأَبِ. وَهَلْ يَسْتَحِقُّهَا أَبُو الْأُمِّ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Berdasarkan hal ini: jika dikatakan bahwa ibu tidak memiliki wilayah, maka wasiat wilayah atas anak-anaknya tidak sah darinya. Namun jika dikatakan bahwa ibu memiliki wilayah itu sendiri, maka demikian pula ibu-ibu mereka (nenek dari pihak ibu) dan ibu-ibu ayah (nenek dari pihak ayah). Lalu, apakah kakek dari pihak ibu (ayah dari ibu) berhak atas wilayah? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَسْتَحِقُّهَا كَأُمِّ الْأُمِّ لِمَا فِيهِ مِنَ الْوِلَادَةِ وَأَنَّهُ أَحَقُّ بِالْوِلَايَةِ عَلَى الْأُمِّ مِنْ أُمِّهَا.

Pertama: ia berhak atas wilayah sebagaimana nenek dari pihak ibu, karena adanya hubungan kelahiran, dan karena ia lebih berhak atas wilayah terhadap ibu daripada ibunya sendiri.

وَالثَّانِي: لَا وِلَايَةَ لَهُ، لِأَنَّ سُقُوطَ مِيرَاثِهِ قَدْ حَطَّهُ مِنْ مَنْزِلَةِ أُمِّ الْأُمِّ.

Kedua: ia tidak memiliki wilayah, karena gugurnya hak warisnya telah menurunkannya dari kedudukan nenek dari pihak ibu.

فَعَلَى هَذَا يَكُونُ بَعْدَ الْآبَاءِ لِلْأُمِّ. فَإِذَا اجْتَمَعَ بَعْدَ الأم، أم أب وأم أم ففي أحقيتهما بِالْوِلَايَةِ وَجْهَانِ:

Berdasarkan hal ini, setelah para ayah, hak wilayah berpindah kepada ibu. Jika setelah ibu, berkumpul nenek dari pihak ayah dan nenek dari pihak ibu, maka dalam hal siapa yang lebih berhak atas wilayah, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أُمُّ الْأَبِ، لِأَنَّ الْأَبَ بالولاية أحق.

Pertama: nenek dari pihak ayah, karena ayah lebih berhak dalam wilayah.

والقول الثاني: أُمُّ الْأُمِّ، لِأَنَّهَا بِالْحَضَانَةِ أَحَقُّ.

Pendapat kedua: nenek dari pihak ibu, karena ia lebih berhak dalam hal hadhanah (pengasuhan).

فَإِذَا أَوْصَتْ مُسْتَحِقَّةُ الْوِلَايَةِ مِنَ الْأُمَّهَاتِ، بِالْوِلَايَةِ عَلَى الْأَطْفَالِ: صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ.

Jika seorang ibu yang berhak atas wilayah mewasiatkan wilayah atas anak-anak, maka wasiat tersebut sah.

وَالشَّرْطُ السَّادِسُ: أَن لا يَكُونَ للطفل من يستحق الولاية بنفسه، لأنه مستحق الولاية بنفسه، أولى من مستحقها بِغَيْرِهِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ أَوْصَى الْأَبُ بِالْوِلَايَةِ عَلَى أَطْفَالٍ وَهُنَاكَ جَدٌّ: كَانَتِ الْوَصِيَّةُ بَاطِلَةً.

Syarat keenam: tidak ada orang yang berhak atas wilayah itu sendiri bagi anak tersebut, karena orang yang berhak atas wilayah itu sendiri lebih utama daripada yang berhak atas wilayah melalui orang lain. Berdasarkan hal ini, jika seorang ayah mewasiatkan wilayah atas anak-anaknya padahal ada kakek, maka wasiat tersebut batal.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَا اعْتِبَارَ بِهَذَا الشَّرْطِ، وَيَجُوزُ لِلْأَبِ أَنْ يُوصِيَ بِالْوِلَايَةِ عَلَى أَطْفَالِهِ إِلَى أَجْنَبِيٍّ وَهُنَاكَ جَدٌّ، كَمَا يَجُوزُ فِي إِنْفَاذِ الْوَصَايَا.

Abu Hanifah berkata: Syarat ini tidak dianggap, dan boleh bagi ayah untuk mewasiatkan wilayah atas anak-anaknya kepada orang lain (bukan keluarga) meskipun ada kakek, sebagaimana diperbolehkan dalam pelaksanaan wasiat.

وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ الْوَصَايَا لَا يَسْتَحِقُّهَا الْجَدُّ بِنَفْسِهِ وَلَيْسَ كَالْوِلَايَةِ عَلَى الْأَطْفَالِ، لِأَنَّ الْجَدَّ يَسْتَحِقُّهَا بِنَفْسِهِ، فَكَانَ أَحَقَّ مِنَ الْوَصِيِّ.

Pendapat ini tidak benar, karena wasiat tidak menjadi hak kakek secara langsung dan tidak sama dengan wilayah atas anak-anak, sebab kakek berhak atas wilayah itu sendiri, sehingga ia lebih berhak daripada orang yang diberi wasiat.

فَلَوْ أَوْصَى الْأَبُ بِهَا وَهُنَاكَ أُمٌّ، فَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ لَا وِلَايَةَ لِلْأُمِّ: صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ إِلَى غَيْرِهَا. وَإِنْ قِيلَ لَهَا تَصِحّ. وَلَكِنْ يَجُوزُ أَنْ يُوصِيَ بِتَفْرِيقِ ثُلُثِهِ إِلَى مَنْ شَاءَ مَعَ وُجُودِ الْآبَاءِ.

Jika ayah mewasiatkan wilayah itu padahal ada ibu, maka jika dikatakan bahwa ibu tidak memiliki wilayah, maka wasiat kepada selain ibu sah. Namun jika dikatakan ibu memiliki wilayah, maka wasiat itu tetap sah. Akan tetapi, boleh bagi ayah untuk mewasiatkan pembagian sepertiga hartanya kepada siapa saja yang ia kehendaki meskipun ada para ayah.

فَهَذَا حُكْمُ الْمُوصِي.

Demikianlah hukum orang yang berwasiat.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْمُوصَى بِهِ، فَإِنْ كَانَ مَالًا، فَقَدْ تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ، وَاسْتَقْصَيْنَا شَرْحَهُ.

Adapun objek wasiat, jika berupa harta, maka telah disebutkan sebelumnya dan telah dijelaskan secara rinci.

وَإِنْ كَانَ وِلَايَةً: فَلَا تَصِحُّ إِلَّا عَلَى صَغِيرٍ لَمْ يَبْلُغْ، أَوْ مَجْنُونٍ لَا يَفِيقُ، وَأَمَّا إِنْ كَانَ الِابْنُ بَالِغًا عَاقِلًا: لَمْ تَصِحَّ الْوَصِيَّةُ بِالنَّظَرِ فِي مَالِهِ، سَوَاءٌ كَانَ حَاضِرًا أَوْ غَائِبًا.

Jika berupa wilayah (perwalian), maka tidak sah kecuali atas anak kecil yang belum baligh, atau orang gila yang tidak sadar. Adapun jika anak itu sudah baligh dan berakal, maka tidak sah wasiat untuk mengurus hartanya, baik ia hadir maupun tidak.

وَقَالَ أبو حنيفة: تَصِحُّ الْوَصِيَّةُ بِالْوِلَايَةِ عَلَى مَالِ الْبَالِغِ إِذَا كَانَ غَائِبًا، وَهَكَذَا إِذَا كَانَ حَاضِرًا وَشَرِيكُهُ فِي الْمِيرَاثِ طِفْلٌ. وَيَجُوزُ لِلْوَصِيِّ أَنْ يَبِيعَ عَلَى الْكَبِيرِ مَالَهُ إِذَا رَأَى بَيْعَ مَالِ الطِّفْلِ.

Abu Hanifah berkata: Wasiat wilayah atas harta orang yang sudah baligh sah jika ia sedang tidak hadir, demikian pula jika ia hadir dan ada anak kecil yang menjadi sekutunya dalam warisan. Dan boleh bagi penerima wasiat untuk menjual harta orang dewasa jika ia melihat perlunya menjual harta anak kecil.

وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ: هَذَا قَوْلٌ لَا يَسُوغُ فِيهِ الِاجْتِهَادُ وَلَوْ أَنَّ حَاكِمًا حَكَمَ بِهِ، نُقِضَ حُكْمُهُ، لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنِ لِلْمُوصِي وِلَايَةٌ عَلَى الْبَالِغِ فِي حَيَاتِهِ، فَكَيْفَ يجوز لوصية بعد وفاته.

Abu Sa‘id al-Ishthakhri berkata: Ini adalah pendapat yang tidak boleh dijadikan ijtihad, dan jika seorang hakim memutuskan demikian, maka keputusannya harus dibatalkan, karena jika pewasiat tidak memiliki wilayah atas orang dewasa semasa hidupnya, bagaimana mungkin ia boleh mewasiatkan wilayah setelah wafatnya.

وأما إذا كَانَ الِابْنُ بَالِغًا عَاقِلًا لَكِنْ قَدْ حُجِرَ عَلَيْهِ بِسَفَهٍ، فَلَا يَصِحُّ مِنَ الْأَبِ أَنْ يُوصِيَ بِالْوِلَايَةِ عَلَيْهِ، بِخِلَافِ الْمَجْنُونِ، لِأَنَّ وِلَايَتَهُ على المجنون بنفسه، لأنها لا تقتصر إلى حكم حاكم، وولايته على صغير لَا تَكُونُ بِنَفْسِهِ، لِأَنَّهَا تَفْتَقِرُ إِلَى حُكْمِ حاكم. والله أعلم.

Adapun jika anak itu sudah baligh dan berakal, namun telah dikenakan pembatasan (hijr) atasnya karena kebodohan (safah), maka tidak sah bagi ayah untuk mewasiatkan perwalian atasnya, berbeda dengan orang gila. Sebab, perwalian ayah atas orang gila itu dengan sendirinya, karena tidak memerlukan keputusan hakim. Sedangkan perwalian ayah atas anak kecil tidak terjadi dengan sendirinya, karena membutuhkan keputusan hakim. Dan Allah lebih mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فَإِنْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ أُخْرِجَتِ الْوَصِيَّةُ مِنْ يَدِهِ وَضُمَّ إِلَيْهِ إِذَا كَانَ ضَعِيفًا أَمِين مَعَهُ فإن أوصى إلى غير ثقة فقد أخطأ على غيره فلا يجوز ذَلِكَ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika keadaannya berubah, maka wasiat dicabut dari tangannya dan diserahkan kepadanya jika ia lemah namun amanah bersamanya. Jika ia mewasiatkan kepada orang yang tidak terpercaya, maka ia telah berbuat salah terhadap selainnya, sehingga hal itu tidak boleh.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا تغير حَالُ الْوَصِيِّ بَعْدَ اسْتِكْمَالِ الشُّرُوطِ فِيهِ، فَذَلِكَ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا: مَا خَرَجَ بِهِ مِنَ الْوَصِيَّةِ. وَالثَّانِي: مَا عَجَزَ بِهِ عَنْهَا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: Jika keadaan wasi berubah setelah terpenuhi syarat-syarat padanya, maka hal itu terbagi dua: Pertama, perubahan yang menyebabkan ia keluar dari wasiat. Kedua, perubahan yang menyebabkan ia tidak mampu melaksanakannya.

فَأَمَّا الَّذِي يَخْرُجُ بِهِ مِنَ الْوَصِيَّةِ: فَالطَّارِئُ عَلَيْهِ مِنْ جُنُونٍ أَوْ فِسْقٍ أَوْ مَرَضٍ يُؤَثِّرُ فِي صِحَّةِ تَدْبِيرِهِ وَفَضْلِ نَظَرِهِ. فَهَذِهِ أُمُورٌ يُخْرَجُ به من الوصية.

Adapun perubahan yang menyebabkan ia keluar dari wasiat: yaitu timbulnya kegilaan, kefasikan, atau penyakit yang memengaruhi kecakapan dalam pengelolaan dan keunggulan pertimbangannya. Maka hal-hal ini menyebabkan ia dikeluarkan dari wasiat.

وقال أبو حنيفة: طرؤ الْفِسْقِ لَا يُخْرِجُهُ مِنَ الْوَصِيَّةِ، كَمَا أَنَّ فِسْقَ مَنْ حُكِمَ بِشَهَادَتِهِ لَا يُوجِبُ نَقْضَ الْحُكْمِ بِهَا، وَلَكِنْ يُضَمُّ إِلَيْهِ بَعْدَ فِسْقِهِ عَدْلٌ.

Abu Hanifah berkata: Timbulnya kefasikan tidak mengeluarkannya dari wasiat, sebagaimana kefasikan seseorang yang telah diputuskan kesaksiannya tidak menyebabkan pembatalan keputusan tersebut. Namun, setelah ia fasiq, harus ditambahkan seorang yang adil bersamanya.

وَهَذَا الْقَوْلُ لَا وَجْهَ لَهُ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْفِسْقُ مَانِعًا مِن ابْتِدَاءِ الْوَصِيَّةِ كَانَ مَانِعًا مِنْ استدامتها، كالكفر، وإذا كان كذا صار طرؤ الْفِسْقِ كَغَيْرِهِ مِنَ الْأَسْبَابِ الْمَانِعَةِ، فَيَلْزَمُ الْحَاكِمَ معها إِخْرَاجُهَا عَنْ يَدِهِ، وَاخْتِيَارِ مَنْ يَقُومُ بِهَا، مِنْ أُمَنَائِهِ.

Pendapat ini tidak memiliki dasar, karena ketika kefasikan menjadi penghalang dari awal wasiat, maka ia juga menjadi penghalang untuk kelanjutannya, seperti kekufuran. Jika demikian, maka timbulnya kefasikan sama seperti sebab-sebab penghalang lainnya, sehingga hakim wajib mencabut wasiat dari tangannya dan memilih orang lain dari para orang kepercayaannya untuk melaksanakannya.

فَإِنْ تَصَرَّفَ الْوَصِيُّ فِي الْمَالِ بَعْدَ خُرُوجِهِ مِنْهَا بِأَحَدِ هَذِهِ الْأَسْبَابِ نُظِرَ: فَإِنْ كَانَ عَقْدًا، أَوْ مَا يَفْتَقِرُ إِلَى اجْتِهَادٍ، رُدَّ وَكَانَ لَهُ ضَامِنًا إِنْ مَاتَ.

Jika wasi melakukan tindakan terhadap harta setelah ia dikeluarkan dari wasiat karena salah satu sebab ini, maka dilihat: jika berupa akad atau sesuatu yang membutuhkan ijtihad, maka dibatalkan dan ia bertanggung jawab jika ia meninggal.

وَإِنْ كَانَ مُعَيَّنًا مِنْ وَصِيَّةٍ أَوْ دَيْنٍ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى اجْتِهَادٍ: أَمْضَى، وَلَمْ يَضْمَنْهُ.

Namun jika berupa penetapan tertentu dari wasiat atau utang yang tidak membutuhkan ijtihad, maka dilaksanakan dan ia tidak menanggungnya.

وَأَمَّا الْعَجْزُ عَنْهَا، فَالضَّعْفُ الَّذِي يَقْدِرُ مَعَهُ عَلَى الْقِيَامِ بِهَا، فَهَذَا مُقَرٌّ عَلَى حَالِهِ، لَكِنْ عَلَى الْحَاكِمِ أَنْ يَضُمَّ إِلَيْهِ مِنْ أمنائه، من يعينه على إنفاذ الوصايا، وَالْوِلَايَةِ عَلَى الْأَطْفَالِ.

Adapun ketidakmampuan melaksanakannya, yaitu kelemahan yang masih memungkinkan ia menjalankan tugasnya, maka ia tetap pada keadaannya. Namun, hakim harus menambahkan seorang dari para kepercayaannya untuk membantunya dalam melaksanakan wasiat dan perwalian atas anak-anak.

فَلَوْ تَفَرَّدَ هَذَا الْوَصِيُّ قَبْلَ أَنْ يَضُمَّ الْحَاكِمُ إِلَيْهِ أَمِينًا، فَتَصَرَّفَ فِي الْوَصِيَّةِ: أَمْضَى، وَلَمْ يضمنْهُ، لِأَنَّهُ مَا انفرد بِهِ إِلَّا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَيْهِ.

Jika wasi ini bertindak sendiri sebelum hakim menambahkan seorang kepercayaan, lalu ia melaksanakan wasiat, maka tindakannya sah dan ia tidak menanggungnya, karena ia tidak bertindak sendiri kecuali ia mampu melakukannya.

وَهَكَذَا: لَوِ ابتدئ بِالْوَصِيَّةِ إِلَى غَيْرِ أَمِينٍ: أَخْرَجَهَا الْحَاكِمُ مِنْ يَدِهِ.

Demikian pula, jika dari awal wasiat diberikan kepada orang yang tidak amanah, maka hakim mencabut wasiat itu dari tangannya.

وَلَوْ أَوْصَى إِلَى ضَعِيفٍ: ضَمَّ إِلَيْهِ غيره من أبنائه، فَإِنْ قِيلَ، فَهَلْ يَلْزَمُ الْحَاكِمَ أَنْ يَسْتَكْشِفَ عَنِ الْأَوْصِيَاءِ، وَوُلَاةِ الْأَيْتَامِ أَمْ لَا؟ .

Jika wasiat diberikan kepada orang yang lemah, maka ditambahkan orang lain dari anak-anaknya. Jika ada yang bertanya: Apakah hakim wajib memeriksa keadaan para wasi dan para wali anak yatim atau tidak?

قُلْنَا هَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kami katakan, hal ini terbagi dua:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ فِيمَنْ يَلِي بِنَفْسِهِ مِنْ أَبٍ، أَوْ جَدٍّ، فَلَيْسَ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَسْتَكْشِفَ عَنْ حَالِهِ، وَعَلَيْهِ إِقْرَارُهُ عَلَى وِلَايَتِهِ وَنَظَرِهِ حَتَّى يَثْبُتَ عِنْدَهُ، مَا يُوجِبُ زَوَالَ نَظَرِهِ، مِنْ فِسْقٍ أَوْ خِيَانَةٍ، فَيَعْزِلُهُ حِينَئِذٍ وَيُوَلِّي غَيْرَهُ لِأَنَّ الْوَالِيَ بِنَفْسِهِ أَقْوَى نَظَرًا مِنَ الْحَاكِمِ.

Pertama: Jika perwalian itu dijalankan sendiri oleh ayah atau kakek, maka hakim tidak berhak memeriksa keadaannya. Hakim wajib membiarkannya dalam perwaliannya dan pengelolaannya sampai terbukti adanya hal yang mewajibkan pencabutan pengelolaannya, seperti kefasikan atau pengkhianatan. Maka saat itu hakim mencopotnya dan mengangkat orang lain, karena wali yang menjalankan sendiri lebih kuat pertimbangannya daripada hakim.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ وِلَايَتُهُ بِغَيْرِهِ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ أَمِينَ حَاكِمٍ.

Kedua: Jika perwaliannya bukan dijalankan sendiri, maka ini terbagi dua: Pertama, jika ia adalah kepercayaan hakim.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ وَصِيَّ أب.

Kedua, jika ia adalah wasi dari ayah.

فإن كان أمين الحاكم، لم يجب أَنْ يَسْتَكْشِفَ عَنْ حَالِهِ، إِلَّا أَنْ يَثْبُتَ عنده خيانته، أو فسقه، لأن ما وَلَّاهُ الْحَاكِمُ، قَدِ اعْتُبِرَ مِنْ حَالِهِ مَا صَحَّتِ بِهِ وِلَايَتُهُ.

Jika ia adalah kepercayaan hakim, maka tidak wajib memeriksa keadaannya kecuali jika terbukti adanya pengkhianatan atau kefasikan, karena apa yang diangkat oleh hakim, telah dipertimbangkan keadaannya sehingga sah perwaliannya.

وَإِنْ كَانَ وَصِيَّ أَبٍ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika ia adalah wasi dari ayah, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، لا يجوز اسْتِكْشَافُ حَالِهِ، إِلَّا بَعْدَ ثُبُوتِ فِسْقِهِ، كَالْأَبِ وَأَمِينِ الْحَاكِمِ.

Pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, tidak boleh memeriksa keadaannya kecuali setelah terbukti kefasikannya, seperti ayah dan kepercayaan hakim.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ عِنْدِي، أَنَّ عَلَى الْحَاكِمِ اسْتِكْشَافَ حَالِهِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَنْفُذْ بِوِلَايَتِهِ حُكْمٌ، وَلَا هُوَ مِمَّا تَنْتَفِي عَنْهُ التُّهْمَةُ، كَالْأَبِ، وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ بِوَصْفِ مَنْ لَا يَسْتَحِقُّ النَّظَرَ، فَافْتَقَرَ إِلَى الْكَشْفِ.

Pendapat kedua, dan inilah yang menurutku paling benar, adalah bahwa hakim wajib menyelidiki keadaannya, karena belum ada keputusan yang dijalankan dengan kekuasaannya, dan ia juga bukan termasuk orang yang terbebas dari tuduhan, seperti ayah. Bisa jadi ia memiliki sifat yang tidak berhak untuk mengurus, sehingga diperlukan penyelidikan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا دَفَعَ الْوَصِيُّ مِنْ مَالِهِ للفقراء وصاياهم ليرجع به في التركة وكان مُتَطَوِّعًا بِمَا دَفَعَهُ إِلَيْهِمْ، وَلَيْسَ لَهُ الرُّجُوعُ بِهِ فِي التَّرِكَةِ مَا لَمْ يَحْكُمْ بِذَلِكَ قَبْلَ الدَّفْعِ حَاكِمٌ.

Jika seorang washi (pelaksana wasiat) memberikan dari hartanya sendiri kepada para fakir berupa wasiat-wasiat mereka dengan maksud untuk mengambil kembali dari harta warisan, dan ia melakukannya secara sukarela, maka ia tidak berhak mengambil kembali dari harta warisan kecuali jika sebelumnya telah ada keputusan hakim sebelum penyerahan itu.

وَقَالَ أبو حنيفة: إِذَا عَجَّلَ ذَلِكَ مِنْ مَالِهِ، نَاوِيًا بِهِ الرُّجُوعَ: رجع به.

Abu Hanifah berkata: Jika ia menyegerakan pemberian itu dari hartanya sendiri dengan niat untuk mengambil kembali, maka ia boleh mengambilnya kembali.

وَهَذَا قَوْلٌ يَنْكَسِرُ عَلَيْهِ، بِقَضَاءِ دَيْنِ الْحَيِّ إِذَا عَجَّلَهُ الْوَكِيلُ مِنْ مَالِهِ، لَمْ يَرْجِعْ به في مال موكله، فكذلك الوصي.

Pendapat ini tertolak oleh kasus pelunasan utang orang yang masih hidup, jika wakil menyegerakannya dari hartanya sendiri, maka ia tidak boleh mengambil kembali dari harta orang yang mewakilkannya. Maka demikian pula halnya dengan washi.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ أَوْصَى إِلَى رَجُلَيْنِ فَمَاتَ أَحَدُهُمَا أَوْ تَغَيَّرَ أُبْدِلَ مَكَانَهُ آخَرَ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang berwasiat kepada dua orang, lalu salah satunya meninggal atau berubah (keadaannya), maka digantikan dengan orang lain.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ: يَجُوزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يُوصِيَ إِلَى وَاحِدٍ، أو إلى جَمَاعَةٍ عَلَى الِاجْتِمَاعِ وَالِانْفِرَادِ. وَيَجُوزُ أَنْ يُوصِيَ إِلَى زَيْدٍ وَيَجْعَلَ عَمْرًا عَلَيْهِ مُشْرِفًا، فَيَخْتَصُّ الْوَصِيُّ بِالْعَقْدِ وَالتَّنْفِيذِ، وَيَخْتَصُّ عَمْرٌو بِالْإِشْرَافِ عَلَيْهِ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar. Seseorang boleh berwasiat kepada satu orang, atau kepada sekelompok orang baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Dan boleh juga berwasiat kepada Zaid dan menjadikan ‘Amr sebagai pengawas atasnya, sehingga washi khusus dalam akad dan pelaksanaan, sedangkan ‘Amr khusus dalam pengawasan atasnya.

فَإِنْ أَرَادَ الْوَصِيُّ أَنْ يَنْفَرِدَ بِالْعَقْدِ وَالتَّنْفِيذِ مِنْ غَيْرِ مُطَالَعَةِ الْمُشْرِفِ: لَمْ يَجُزْ. وَإِنْ أَرَادَ الْمُشْرِفُ أَنْ يَتَوَلَّى الْعَقْدَ وَالتَّنْفِيذَ لَمْ يَجُزْ.

Jika washi ingin sendirian dalam akad dan pelaksanaan tanpa pengawasan dari pengawas, maka tidak boleh. Dan jika pengawas ingin mengambil alih akad dan pelaksanaan, maka juga tidak boleh.

وَقَالَ أبو حنيفة: الْمُشْرِفُ وَصِيٌّ يَجُوزُ أَنْ يَفْعَلَ مَا يَفْعَلُهُ الْوَصِيُّ، لِأَنَّهَا وِلَايَةٌ، فَلَمْ تَقِفْ عَلَى شَيْءٍ دُونَ غَيْرِهِ.

Abu Hanifah berkata: Pengawas adalah washi juga, sehingga boleh melakukan apa yang dilakukan washi, karena ini adalah wilayah (kekuasaan), maka tidak terbatas pada sesuatu tanpa yang lainnya.

وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ نِيَابَةٌ عَنْ إِذْنٍ، فَكَانَتْ مَقْصُورَةً عَلَى مَا تَضَمَّنَهُ الْإِذْنُ كَالْوَكَالَةِ، وَهُوَ لَمْ يَجْعَلْ إِلَى الْمُشْرِفِ مُبَاشَرَةَ عَقْدٍ أَوْ تَنْفِيذَ أَمْرٍ، وَإِنَّمَا جَعَلَهُ مُشْرِفًا عَلَى الْوَصِيِّ فِي الْعَقْدِ وَالتَّنْفِيذِ.

Ini adalah kesalahan, karena wasiat adalah perwakilan berdasarkan izin, sehingga terbatas pada apa yang tercakup dalam izin tersebut seperti halnya wakalah. Dan tidak dijadikan kepada pengawas untuk langsung melakukan akad atau pelaksanaan suatu urusan, melainkan hanya dijadikan sebagai pengawas atas washi dalam akad dan pelaksanaan.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا أَوْصَى إِلَى رَجُلَيْنِ جَعَلَهُمَا جَمِيعًا وَصِيَّيْنِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun jika seseorang berwasiat kepada dua orang dan menjadikan keduanya sebagai washi, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَخُصَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِشَيْءٍ مِنْ وَصِيَّتِهِ، دُونَ صَاحِبِهِ.

Pertama: Ia mengkhususkan masing-masing dari keduanya dengan bagian tertentu dari wasiatnya, tanpa yang lain.

وَالثَّانِي: أَنْ يُشْرِكَ بَيْنَهُمَا.

Kedua: Ia menyekutukan keduanya.

فَأَمَّا إِنْ خَصَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِشَيْءٍ مِنْهَا، مِثْلَ أَنْ يَجْعَلَ إِلَى أَحَدِهِمَا إِنْفَاذَ وَصَايَاهُ، وَإِلَى الْآخَرِ الْوِلَايَةَ عَلَى أَطْفَالِهِ، أَوْ يَجْعَلَ إِلَى أَحَدِهِمَا إِخْرَاجَ الثُّلُثِ، وَإِلَى الْآخَرِ قَضَاءَ الدُّيُونِ: فَوِلَايَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَقْصُورَةٌ عَلَى مَا جُعِلَ إِلَيْهِ، وَلَيْسَ لَهُ التَّصَرُّفُ فِيمَا جُعِلَ إِلَى الْآخَرِ، فَلِلْمُوصَى لَهُ بِإِنْفَاذِ الْوَصَايَا لَا وِلَايَةَ لَهُ عَلَى الْأَطْفَالِ، وَالْمُوصَى لَهُ بِالْوِلَايَةِ عَلَى الْأَطْفَالِ، لَا وِلَايَةَ لَهُ فِي إِنْفَاذِ الْوَصَايَا.

Adapun jika ia mengkhususkan masing-masing dari keduanya dengan bagian tertentu, seperti menjadikan kepada salah satunya pelaksanaan wasiat-wasiatnya, dan kepada yang lain perwalian atas anak-anaknya, atau menjadikan kepada salah satunya pengeluaran sepertiga harta, dan kepada yang lain pelunasan utang, maka kekuasaan masing-masing dari keduanya terbatas pada apa yang diberikan kepadanya, dan tidak boleh bertindak pada apa yang diberikan kepada yang lain. Maka yang diberi wasiat untuk melaksanakan wasiat-wasiat tidak memiliki kekuasaan atas anak-anak, dan yang diberi wasiat untuk mengurus anak-anak tidak memiliki kekuasaan dalam pelaksanaan wasiat-wasiat.

وَقَالَ أبو حنيفة: النَّظَرُ فِي الْوَصِيَّةِ، لَا يَتَمَيَّزُ، وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا النَّظَرُ فِي الْجَمِيعِ بِمَا جُعِلَ إِلَيْهِ وَإِلَى الْآخَرِ. فَالْوَالِي عَلَى الْأَطْفَالِ إِلَيْهِ إِنْفَاذُ الْوَصَايَا وَالْوَالِي عَلَى إِنْفَاذِ الْوَصَايَا، إِلَيْهِ الولاية اسْتِدْلَالًا، بِأَنَّهَا وِلَايَةٌ فَلَمْ تَقِفْ عَلَى شَيْءٍ دُونَ غَيْرِهِ، كَوِلَايَةِ الْحَاكِمِ.

Abu Hanifah berkata: Pengurusan dalam wasiat tidak dapat dibedakan, dan masing-masing dari keduanya berhak mengurus seluruhnya, baik yang diberikan kepadanya maupun kepada yang lain. Maka wali atas anak-anak berhak melaksanakan wasiat-wasiat, dan wali pelaksanaan wasiat-wasiat juga berhak mengurus anak-anak, dengan alasan bahwa ini adalah wilayah (kekuasaan), sehingga tidak terbatas pada sesuatu tanpa yang lainnya, seperti kekuasaan hakim.

وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ وِلَايَةٌ عَنْ عَقْدٍ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ مَقْصُورَةً عَلَى مَا تَضَمَّنَهُ ذَلِكَ الْعَقْدُ كَالْوَكَالَةِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فِي الْكُلِّ لَمَا جاز أن ينفرد أحدهما بالنظر في الكل، فإذا خص أحدهما بالبعض، فأولى لا يَجُوزَ لَهُ النَّظَرُ فِي الْكُلِّ، وَلِأَنَّ مَنِ اؤْتُمِنَ عَلَى بَعْضِ الْمَالِ، لَمْ يَمْلِكْ بِذَلِكَ ثُبُوتَ الْيَدِ عَلَى جَمِيعِهِ، كَالْمُودعِ وَالْمُضَارِبِ.

Ini adalah pendapat yang rusak, karena wasiat adalah wilayah (kekuasaan) berdasarkan akad, maka harus terbatas pada apa yang tercakup dalam akad tersebut seperti halnya wakalah. Dan jika keduanya digabungkan dalam seluruh urusan, tidak boleh salah satunya bertindak sendiri dalam seluruh urusan. Maka jika salah satunya dikhususkan dalam sebagian, lebih utama lagi tidak boleh bertindak dalam seluruh urusan. Dan karena siapa yang dipercaya atas sebagian harta, tidak berhak menguasai seluruhnya, seperti orang yang dititipi barang dan mudharib.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا جَمَعَ بَيْنَهُمَا فِي الْوَصِيَّةِ، وَلَمْ يَخُصَّ أَحَدَهُمَا بِشَيْءٍ مِنْهَا دُونَ صَاحِبِهِ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika ia menggabungkan keduanya dalam wasiat, dan tidak mengkhususkan salah satu dari keduanya dengan sesuatu dari wasiat itu tanpa yang lainnya, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُوصِيَ إِلَيْهِمَا مُجْتَمِعَيْنِ، وَمُنْفَرِدَيْنَ، فَكُلُّ واحد منهما وصي كامل النظر، فأيهما انفرد بإنفاذ الوصايا، والنظر في أمور الْأَطْفَالِ جَازَ.

Pertama: Jika ia mewasiatkan kepada keduanya secara bersama-sama dan juga secara terpisah, maka masing-masing dari keduanya adalah wasi yang memiliki kewenangan penuh. Maka siapa saja di antara keduanya yang secara sendiri melaksanakan wasiat dan mengurus urusan anak-anak, maka itu diperbolehkan.

وَإِنِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ كَانَ أَوْلَى. وَإِنْ مَاتَ أَحَدُهُمَا، أَوْ فَسَقَ، فَالْبَاقِي مِنْهُمَا هُوَ الْوَصِيُّ، وَلَيْسَ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَجْعَلَ مَعَهُ بدل الميت أو الفاسق أحدا إلا أَنْ يَظْهَرَ مِنْهُ ضَعْفٌ فَيُقَوِّيهِ بِغَيْرِهِ.

Namun jika keduanya berkumpul dalam pelaksanaan wasiat, maka itu lebih utama. Jika salah satu dari keduanya meninggal atau menjadi fasik, maka yang tersisa dari keduanya adalah wasi, dan hakim tidak boleh menambahkan orang lain sebagai pengganti yang meninggal atau yang fasik kecuali jika tampak kelemahan darinya, maka hakim dapat menguatkannya dengan orang lain.

فَصْلٌ:

Fashl (Bagian):

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُوصِيَ إِلَيْهِمَا مُجْتَمِعَيْنِ عَلَى أَن لا يَنْفَرِدَ أَحَدُهُمَا: بِالنَّظَرِ دُونَ صَاحِبِهِ، فَعَلَيْهِمَا الِاجْتِمَاعُ فِي إِنْفَاذِ الْوَصَايَا وَالنَّظَرِ فِي أموال الأطفال.

Bagian kedua: Jika ia mewasiatkan kepada keduanya secara bersama-sama dengan syarat tidak boleh salah satu dari keduanya bertindak sendiri dalam pengurusan tanpa yang lainnya, maka keduanya wajib berkumpul dalam melaksanakan wasiat dan mengurus harta anak-anak.

فإن انفرد أحدهما بشيء منهما، لَمْ يَجُزْ وَكَانَ لِمَا أَمْضَاهُ مِنْ ذَلِكَ ضَامِنًا إِنْ تَعَلَّقَ بِعَقْدٍ، أَوِ اجْتِهَادٍ، وَإِنْ كَانَ مُعَيَّنًا مِنْ قَضَاءِ دَيْنٍ أَوْ إِنْفَاذِ وَصِيَّةٍ عُيِّنَتْ لِمُعَيَّنٍ: لَمْ يُضَمَّنْ. وَلَوْ مَاتَ أَحَدُهُمَا مُنِعَ الْبَاقِي مِنْهُمَا مِنَ النَّظَرِ حَتَّى يُقِيمَ الْحَاكِمُ مَقَامَ الْمَيِّتِ غَيْرَهُ.

Jika salah satu dari keduanya bertindak sendiri dalam salah satu urusan tersebut, maka tidak diperbolehkan, dan ia bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan jika berkaitan dengan akad atau ijtihad. Namun jika berkaitan dengan hal yang telah ditentukan seperti pelunasan utang atau pelaksanaan wasiat yang telah ditetapkan untuk seseorang, maka ia tidak bertanggung jawab. Jika salah satu dari keduanya meninggal, maka yang tersisa tidak boleh bertindak sebelum hakim mengangkat pengganti bagi yang meninggal.

فَلَوْ أَذِنَ الْحَاكِمُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِالْوَصِيَّةِ: لَمْ يَجُزْ، لِأَنَّ الْمُوصِيَ لَمْ يَرْضَ بِنَظَرِهِ وَحْدَهُ.

Jika hakim mengizinkan salah satu dari keduanya untuk bertindak sendiri dalam wasiat, maka itu tidak diperbolehkan, karena pemberi wasiat tidak meridhai pengurusan oleh salah satu saja.

وَلَوْ مَاتَا جَمِيعًا رَدَّ الْحَاكِمُ الْوَصِيَّةَ إِلَى اثْنَيْنِ، فَإِنْ رَدَّهَا إِلَى وَاحِدٍ ارْتَضَاهُ لَهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika keduanya meninggal dunia, maka hakim menyerahkan wasiat kepada dua orang. Jika hakim menyerahkannya kepada satu orang yang ia anggap layak, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أحدهما: لا يَجُوزُ، لِأَنَّهُ لَوْ نَظَرَ فِيهَا الْحَاكِمُ بِنَفْسِهِ، جَازَ وَإِنْ كَانَ وَاحِدًا فَكَذَلِكَ إِذَا اسْتَنَابَ فِيهَا وَاحِدًا.

Salah satunya: Tidak diperbolehkan, karena jika hakim sendiri yang mengurusnya, maka itu boleh meskipun hanya satu orang, maka demikian pula jika ia mewakilkan kepada satu orang.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إنَّهُ لَا يَجُوزُ، لِأَنَّ الْمُوصِيَ لَمْ يَرْضَ فِي وَصَايَاهُ إِلَّا بِنَظَرِ اثْنَيْنِ مُجْتَمِعَيْنِ اسْتِظْهَارًا لِنَفْسِهِ فِي وَصِيَّتِهِ فَلَمْ يَكُنْ لِلْحَاكِمِ أَنْ يُخَالِفَهُ فِي إِرَادَتِهِ وَيَمْنَعَهُ فَضْلَ اسْتِظْهَارِهِ، وَلَيْسَ كَالْحَاكِمِ النَّاظِرِ بِنَفْسِهِ.

Pendapat kedua: Tidak diperbolehkan, karena pemberi wasiat tidak meridhai wasiatnya kecuali dengan pengurusan oleh dua orang secara bersama-sama sebagai bentuk kehati-hatian terhadap wasiatnya, maka tidak boleh bagi hakim untuk menyelisihi keinginannya dan menghalanginya dari keutamaan kehati-hatian tersebut, dan ini tidak sama dengan hakim yang mengurus sendiri.

فَصْلٌ:

Fashl (Bagian):

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُوصِيَ إِلَيْهِمَا، فَلَا يَأْمُرُهُمَا بِالِاجْتِمَاعِ، وَلَا يَأْذَنُ لَهُمَا فِي الِانْفِرَادِ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ: عَلَيْهِمَا أَنْ يَجْتَمِعَا عَلَى الْوَصِيَّةِ إِذَا أُطْلِقَتْ وَلَيْسَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا التَّفَرُّدُ بِهَا، كما لو أمرهما بالاجتماع عليهما.

Bagian ketiga: Jika ia mewasiatkan kepada keduanya, namun tidak memerintahkan keduanya untuk berkumpul, dan tidak pula mengizinkan keduanya untuk bertindak sendiri-sendiri, maka menurut mazhab Syafi‘i: keduanya wajib berkumpul dalam melaksanakan wasiat jika wasiat itu bersifat umum, dan tidak boleh salah satu dari keduanya bertindak sendiri, sebagaimana jika ia memerintahkan keduanya untuk berkumpul.

وَقَالَ أبو يوسف: يَجُوزُ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أن ينفرد بها.

Abu Yusuf berkata: Masing-masing dari keduanya boleh bertindak sendiri dalam melaksanakan wasiat.

وَقَالَ أبو حنيفة: يَجُوزُ انْفِرَادُ كُلِّ وَاحِدٍ بِمَا يَخَافُ فَوَاتَهُ، أَوْ ضَرَرَهُ، وَذَلِكَ سِتَّةُ أَشْيَاءَ: الْكَفَنُ، وَرَدُّ الْوَدَائِعِ، وَقَضَاءُ الدُّيُونِ، وَإِنْفَاذُ الْوَصَايَا الْمُعَيَّنَةِ، وَالنَّفَقَةُ عَلَى الْأَطْفَالِ، وَكِسْوَتُهُمْ، وَعَلَيْهِمَا الِاجْتِمَاعُ فِيمَا سِوَى هَذِهِ السِّتَّةِ. فَإِنِ انْفَرَدَ بِهَا أَحَدُهُمَا لَمْ يَجُزْ.

Abu Hanifah berkata: Masing-masing dari keduanya boleh bertindak sendiri dalam hal-hal yang dikhawatirkan akan hilang atau menimbulkan mudarat, dan itu ada enam perkara: kafan, pengembalian titipan, pelunasan utang, pelaksanaan wasiat yang telah ditentukan, nafkah untuk anak-anak, dan pakaian mereka. Adapun selain enam perkara ini, keduanya wajib berkumpul. Jika salah satu dari keduanya bertindak sendiri dalam selain enam perkara ini, maka tidak diperbolehkan.

وَكِلَا الْمَذْهَبَيْنِ فَاسِدٌ، لِأَنَّ الْوَصَايَا مَوْضُوعَةٌ لِفَضْلِ الِاحْتِيَاطِ، وَهِيَ أَغْلَظُ حَالًا مِنَ الْوَكَالَاتِ، فَلَمَّا كَانَ تَوْكِيلُ اثْنَيْنِ عَلَى الْإِطْلَاقِ يَمْنَعُ مِنْ تَفَرُّدِ أَحَدِهِمَا بالوكالة، كانت الوصية إلى اثنين إلى الإطلاق أولى أن يمنع مِنْ تَفَرُّدِ أَحَدِهِمَا بِالْوَصِيَّةِ، وَلِأَنَّ تَخْصِيصَ أبي حنيفة للستة من بيع الْجَمِيعِ خَوْفَ الضَّرَرِ، قَوْلٌ يَفْسُدُ، لِأَنَّهُ لَوْ تَرَكَ طَعَامًا رَطْبًا يُخَافُ تَلَفُهُ إِنْ تُرِكَ لَمْ يَكُنْ لِأَحَدِهِمَا أَنْ يَنْفَرِدَ بِبَيْعِهِ وَإِنْ خِيفَ ضَرَرُهُ، فَكَذَلِكَ غَيْرُهُ. فَعَلَى هَذَا: يَكُونُ حُكْمُ إِطْلَاقِ الْوَصِيَّةِ إِلَيْهِمَا، كَالْحُكْمِ فِي اجْتِمَاعِهِمَا عَلَيْهَا، فَإِنْ مَاتَ أَحَدُهُمَا، أَوْ فَسَقَ، أَبْدَلَ الْحَاكِمُ مَكَانَهُ غَيْرَهُ، فَإِنْ تَفَرَّدَ الْبَاقِي مِنْهُمَا بالنظر: ضمن متعلق بِعَقْدٍ أَوِ اجْتِهَادٍ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Kedua pendapat tersebut tidak benar, karena wasiat ditetapkan demi kehati-hatian yang lebih, dan ia lebih berat keadaannya dibandingkan dengan wakalah. Maka ketika pendelegasian kepada dua orang secara mutlak saja mencegah salah satu dari mereka bertindak sendiri dalam wakalah, maka wasiat kepada dua orang secara mutlak lebih utama untuk mencegah salah satu dari mereka bertindak sendiri dalam wasiat. Adapun pembatasan Abu Hanifah pada enam perkara karena kekhawatiran mudarat, maka itu adalah pendapat yang rusak, karena jika pewaris meninggalkan makanan basah yang dikhawatirkan akan rusak jika dibiarkan, maka tidak boleh salah satu dari mereka menjualnya sendiri meskipun dikhawatirkan mudarat, demikian pula dalam perkara lainnya. Berdasarkan hal ini, hukum wasiat yang diberikan secara mutlak kepada keduanya sama dengan hukum jika keduanya diwajibkan berkumpul dalam pelaksanaannya. Jika salah satu dari keduanya meninggal atau menjadi fasik, maka hakim menggantikan posisinya dengan orang lain. Jika yang tersisa bertindak sendiri dalam pengurusan, maka ia bertanggung jawab atas apa yang berkaitan dengan akad atau ijtihad. Wallāhu a‘lam.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” فإن اختلفا قسم بينهما ما كان ينقسم وَجُعِلَ فِي أَيْدِيهِمَا نِصْفَيْنِ وَأُمِرَا بِالِاحْتِفَاظِ بِمَا لَا يَنْقَسِمُ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika keduanya berselisih, maka dibagi di antara mereka apa yang bisa dibagi dan diletakkan di tangan mereka berdua masing-masing separuh, dan keduanya diperintahkan menjaga apa yang tidak bisa dibagi.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْوَصِيَّةَ إلى اثنين مقصودها، فضل النظر، فإذا دعى الْوَصِيَّانِ إِلَى قَسْمِ الْمَالِ بَيْنَهُمَا، نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ الْمُوصِي قَدْ صَرَّحَ بِمَنْعِهِمَا مِنْهُ، مُنِعَا. وَإِنْ كَانَ قَدْ صَرَّحَ لَهُمَا بِالْإِذْنِ فِيهِ، مُكِّنَا. وَإِنْ أَطْلَقَ نُظِرَ فِي الْقِسْمَةِ، فَإِنْ أَضَرَّتْ بِالْمَالِ أَوْ كَانَ مِمَّا لَا تَتَأَتَّى فِيهِ الْقِسْمَةُ، مُنِعَا مِنْهَا، وَلَمْ يَجُزْ إِذَا كَانَا مُجْتَمِعَيْنِ أَنْ يَنْفَرِدَ أَحَدُهُمَا بِحِفْظِ الْمَالِ دُونَ صَاحِبِهِ، كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِإِنْفَاذِ الْوَصَايَا.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa wasiat kepada dua orang bertujuan untuk kelebihan dalam pengelolaan. Jika kedua orang yang diberi wasiat meminta untuk membagi harta di antara mereka, maka dilihat: jika pewasiat telah secara tegas melarang mereka dari hal itu, maka keduanya dilarang. Jika pewasiat telah secara tegas mengizinkan mereka, maka keduanya dibolehkan. Jika pewasiat membiarkan secara umum, maka dilihat dalam pembagian itu: jika pembagian tersebut merugikan harta atau termasuk sesuatu yang tidak mungkin dibagi, maka keduanya dilarang melakukannya. Tidak boleh, selama mereka berdua bersama, salah satu dari mereka mengurus harta sendirian tanpa yang lain, sebagaimana tidak boleh juga salah satu dari mereka menunaikan wasiat sendirian.

وَقَالَ أبو حنيفة: تَقَعُ بَيْنَهُمَا الْمُهَايَاةُ، فَيَحْفَظُ هَذَا يَوْمًا، وَهَذَا يَوْمًا.

Abu Hanifah berkata: Di antara mereka berdua dilakukan muhayā’ah, sehingga yang satu menjaga sehari, dan yang lain menjaga sehari.

وَهَذَا فاسد، لأن المهايأة تقتضي انفراد أَحَدِهِمَا بِالْحِفْظِ فِي زَمَانِهِ وَلَوْ جَازَ هَذَا، لَجَازَ تَفَرُّدُهُ بِهِ فِي كُلِّ الزَّمَانِ، لِأَنَّ مَنْ لَا يرْتَضي بِانْفِرَادِهِ فِي جَمِيعِ الزَّمَانِ، لَا يرْتَضي بِانْفِرَادِهِ فِي بَعْضِهِ.

Ini tidak sah, karena muhayā’ah mengharuskan salah satu dari mereka mengurus sendirian pada waktunya. Jika ini dibolehkan, maka boleh juga ia mengurus sendirian sepanjang waktu, karena siapa yang tidak rela sendirian sepanjang waktu, tidak akan rela pula sendirian pada sebagian waktu.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي الْقِسْمَةِ ضَرَرٌ، وَلَا كان بين الْمُوصِي فِيهَا نَهْيٌ نُظِرَ: فَإِنْ كَانَا مُنْفَرِدَيْنِ، قَدْ جُعِلَ إِلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِثْلُ مَا إِلَى الْآخَرِ: جَازَ أَنْ يَقْتَسِمَا الْمَالَ إلا أنهما قِسْمَةُ حِفْظٍ، وَلَيْسَتْ قِسْمَةَ مُنَاقَلَةٍ، فَيَقْتَسِمَانِ عَلَى الْقِيَمِ، لَا عَلَى الْأَجْزَاءِ، لِأَنَّ قِسْمَةَ الْمُنَاقَلَةِ تكون بين الورثة على الأجزاء، وقسمة الحفاظ تَخْتَصُّ بِالْأَوْصِيَاءِ، وَتَكُونُ عَلَى الْقِيمَةِ، فَيَأْخُذُ أَحَدُهُمَا دَارًا، وَالْآخَرُ مَتَاعًا، ثُمَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بعد القسمة أن ينصرف فِيمَا بِيَدِهِ، وَفِيمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ لِأَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يَنْفَرِدَ بِالنَّظَرِ فِي الْجَمِيعِ.

Adapun jika dalam pembagian tidak ada mudarat, dan tidak ada larangan dari pewasiat, maka dilihat: jika keduanya masing-masing diberi wewenang yang sama, maka boleh bagi mereka membagi harta, hanya saja itu adalah pembagian dalam hal penjagaan, bukan pembagian secara mutlak. Maka mereka membagi berdasarkan nilai, bukan berdasarkan bagian fisik, karena pembagian secara mutlak terjadi di antara para ahli waris atas bagian-bagian, sedangkan pembagian penjagaan khusus untuk para wasi dan dilakukan berdasarkan nilai. Maka salah satu dari mereka mengambil rumah, dan yang lain mengambil barang, kemudian setelah pembagian, masing-masing dari mereka boleh bertindak atas apa yang ada di tangannya maupun di tangan temannya, karena masing-masing dari mereka berhak bertindak atas seluruhnya.

وَإِنْ كَانَتِ الْوَصِيَّةُ إِلَيْهِمَا مُجْتَمِعين وَلَيْسَ لِأَحَدِهِمَا التفرد بالنظر، ففي جواز اقتسام الْمَال حِفَاظًا لَهُ، وَجْهَانِ:

Jika wasiat itu diberikan kepada mereka berdua secara bersama dan tidak ada yang berhak bertindak sendiri, maka dalam hal kebolehan membagi harta untuk menjaganya, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَالْأَظْهَرُ عِنْدِي، لَيْسَ لَهُمَا ذلك كَمَا لَيْسَ لَهُمَا التَّفَرُّدُ بِالْإِنْفَاذِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan ini yang lebih kuat menurutku, bahwa keduanya tidak boleh melakukannya sebagaimana keduanya tidak boleh bertindak sendiri dalam pelaksanaan wasiat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وهو قول أبي سعيد الإصطرخي، وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، لَهُمَا الْقِسْمَةُ، لأنه اقْتِسَامَهُمَا الْمَالَ أَعْوَنُ لَهُمَا عَلَى حِفْظِهِ، وَإِنَّمَا الِاجْتِمَاعُ عَلَى التَّنْفِيذِ، فَإِذَا اقْتَسَمَا: لَمْ يَكُنْ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيمَا بِيَدِهِ إِلَّا مَعَ اجْتِمَاعِ صَاحِبِهِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Sa‘id al-Istarkhi dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, keduanya boleh membagi, karena pembagian harta di antara mereka berdua lebih membantu dalam penjagaannya, dan yang dimaksud dengan kebersamaan adalah dalam pelaksanaan. Maka jika keduanya telah membagi, tidak boleh salah satu dari mereka bertindak atas apa yang ada di tangannya kecuali dengan kebersamaan temannya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا أَوْصَى الرَّجُلُ بِوَصِيَّةٍ أَسْنَدَهَا إِلَى رَجُلٍ، ثُمَّ أَوْصَى بَعْدَهَا بِوَصِيَّةٍ أُخْرَى، أَسْنَدَهَا إِلَى رَجُلٍ آخَرَ، فَإِنْ صَرَّحَ فِي الثَّانِيَةِ بِالرُّجُوعِ عَنِ الْأُولَى، فَالْوَصِيَّةُ الثَّانِيَةُ هِيَ الْمَعْمُولُ عَلَيْهَا، وَإِنْ لَمْ يُصَرِّحْ فِي الثَّانِيَةِ بِالرُّجُوعِ عَنِ الْأُولَى، عُمِلَ عَلَيْهِمَا مَعًا، فَمَا كَانَ فِي الْوَصِيَّةِ الْأُولَى مِنْ زِيَادَة تَفَرَّد بِهَا الْوَصِيُّ الْأَوَّلُ، وَمَا كَانَ فِي الْوَصِيَّةِ الثَّانِيَةِ مِنْ زِيَادَةٍ، تَفَرَّدَ بِهَا الوصي الثاني وما اتفقت فيه الوصيتان، اجتمعا عليه الوصيان، وَلَمْ يَكُنْ لِأَحَدِهِمَا التَّفَرُّدُ بِهِ، كَمَا لَوْ أَوْصَى إِلَيْهِمَا مَعًا وَصِيَّةً مُطْلَقَةً.

Jika seseorang berwasiat dengan suatu wasiat yang diserahkan kepada seorang laki-laki, kemudian ia berwasiat lagi setelahnya dengan wasiat lain yang diserahkan kepada laki-laki lain, maka jika pada wasiat kedua ia secara tegas mencabut wasiat pertama, maka wasiat kedua itulah yang dijalankan. Jika pada wasiat kedua tidak secara tegas mencabut wasiat pertama, maka keduanya dijalankan bersama. Maka apa yang ada tambahan dalam wasiat pertama, menjadi hak eksklusif wasi pertama; dan apa yang ada tambahan dalam wasiat kedua, menjadi hak eksklusif wasi kedua; dan apa yang sama dalam kedua wasiat, maka keduanya bersama-sama menjalankannya, dan tidak boleh salah satu dari mereka bertindak sendiri, sebagaimana jika ia berwasiat kepada mereka berdua sekaligus dengan wasiat secara mutlak.

وَلَوْ أَوْصَى إِلَى رَجُلٍ بِوَصِيَّةٍ ثُمَّ صَحَّ بَعْدَهَا مِنْ مَرَضِهِ ذَلِكَ وَعَاشَ دَهْرًا، ثُمَّ مات، أمضيت وصيته الْمُتَقَدِّمَةُ، مَا لَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ الرُّجُوعُ فِي شَيْءٍ مِنْهَا.

Jika seseorang berwasiat kepada seorang laki-laki dengan suatu wasiat, kemudian ia sembuh dari sakitnya itu dan hidup lama, lalu meninggal dunia, maka wasiatnya yang terdahulu tetap berlaku selama tidak diketahui ia telah mencabutnya.

وَلَكِنْ لَوْ قَالَ: قَدْ أُوصيت إِلَى فُلَانٍ بِكَذَا إِنْ مُتُّ مِنْ مَرَضِي هذا، فصح منه: بطلت وصيته، لأن جعلها مشروطة بموته من هذا الْمَرَضِ.

Namun, jika ia berkata: “Aku telah berwasiat kepada si Fulan dengan ini jika aku mati karena sakitku ini,” lalu ia sembuh, maka wasiatnya batal, karena ia mensyaratkan wasiat itu dengan kematiannya akibat sakit tersebut.

وَقَالَ مَالِكٌ: الْوَصِيَّةُ بِحَالِهَا، مَا لَمْ يخرق الموصي كتاب وصيته.

Malik berkata: Wasiat tetap berlaku sebagaimana adanya, selama pewasiat tidak merobek surat wasiatnya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَيْسَ لِلْوَصِيِّ أَنْ يُوصِيَ بِمَا أوصى بِهِ إِلَيْهِ لِأَنَّ الْمَيِّتَ لَمْ يَرْضَ الْمُوصَى إِلَيْهِ الْآخَرَ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Tidak boleh bagi seorang washi (pelaksana wasiat) untuk mewasiatkan apa yang diwasiatkan kepadanya kepada orang lain, karena si mayit tidak meridhai orang lain selain yang telah ditunjuk sebagai washi.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau (asy-Syafi‘i) katakan.

إِذَا أَوْصَى إِلَى رَجُلٍ بِإِنْفَاذِ وَصَايَاهُ، وَالْوِلَايَة عَلَى الْأَطْفَالِ، ثُمَّ حَضَرَتِ الْوَصِيَّ الْوَفَاةُ، لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُوصِيَ بِتِلْكَ الْوَصِيَّةِ إِلَى غَيْرِهِ.

Jika seseorang berwasiat kepada seorang laki-laki untuk melaksanakan wasiat-wasiatnya dan mengurusi anak-anak kecil, kemudian washi tersebut menghadapi kematian, maka ia tidak berhak mewasiatkan wasiat tersebut kepada orang lain.

وَقَالَ أبو حنيفة:

Abu Hanifah berkata:

” إِنْ أَوْصَى بِهَا إِلَى غَيْرِهِ جَازَ، وَلَوْ أَوْصَى بِإِخْرَاجِ ثُلُثِهِ كَانَ لِوَصِيِّهِ الْقِيَامُ بِتِلْكَ الْوَصِيَّةِ، وَإِنْ لَمْ يَأْمُرْهُ بِهَا اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ:

“Jika ia mewasiatkan (tugas itu) kepada orang lain, maka itu sah. Dan jika ia berwasiat untuk mengeluarkan sepertiga hartanya, maka washi-nya boleh melaksanakan wasiat tersebut, meskipun ia tidak diperintahkannya, dengan dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْوَصِيَّ قَدْ ملك من النظر بالوصية مثل ما ملك الْجَدُّ مِنَ النَّظَرِ بِنَفْسِهِ، فَلَمَّا جَازَ لِلْجَدِّ أَنْ يُوصِيَ بِمَا إِلَيْهِ مِنَ النَّظَرِ، جَازَ للوصي أن يوصي إليه بِمَا إِلَيْهِ مِنَ النَّظَرِ.

Pertama: Washi telah memiliki hak pengelolaan melalui wasiat sebagaimana kakek memiliki hak pengelolaan dengan dirinya sendiri. Maka, sebagaimana kakek boleh mewasiatkan hak pengelolaan yang ada padanya, demikian pula washi boleh mewasiatkan hak pengelolaan yang ada padanya.

وَالثَّانِي: أَنَّ وِلَايَةَ الْوَصِيِّ عَامَّةٌ فِي حَقِّ الْمُوصِي، كَمَا أَنَّ وِلَايَةَ الْإِمَامِ عَامَّةٌ فِي حُقُوقِ الْأُمَّةِ، فَلَمَّا كَانَ لِلْإِمَامِ أَنْ يَسْتَخْلِفَ بَعْدَهُ مَنْ يَقُومُ مَقَامَهُ: جَازَ لِلْوَصِيِّ أَنْ يَسْتَخْلِفَ بَعْدَهُ مَنْ يقوم مقامه.

Kedua: Kewenangan washi bersifat umum terhadap hak pewasiat, sebagaimana kewenangan imam bersifat umum terhadap hak-hak umat. Maka, sebagaimana imam boleh menunjuk pengganti setelahnya yang akan menggantikan posisinya, demikian pula washi boleh menunjuk pengganti setelahnya yang akan menggantikan posisinya.

ودليلنا: شيئان:

Adapun dalil kami ada dua:

أحدهما: أَنَّ مَنْ كَانَتْ نِيَابَتُهُ عَنْ عَقْدٍ بَطَلَ بِالْمَوْتِ كَالْوَكِيلِ.

Pertama: Siapa yang kedudukannya sebagai wakil berdasarkan akad, maka kedudukannya batal dengan kematian, seperti wakil.

وَالثَّانِي: أَنَّ اسْتِنَابَتَهُ حَيًّا، أَقْوَى مِنَ اسْتِنَابَتِهِ مَيِّتًا، فَلَمَّا لَمْ يَصِحَّ مِنْهُ إبدال نفسه بغيره في الحياة، فأولى أن لا يَصِحَّ مِنْهُ إِبْدَالُ نَفْسِهِ بِغَيْرِ الْوَفَاةِ.

Kedua: Penunjukan wakil ketika masih hidup lebih kuat daripada penunjukan setelah wafat. Maka, ketika tidak sah baginya mengganti dirinya dengan orang lain saat hidup, maka lebih utama lagi tidak sah baginya mengganti dirinya dengan orang lain setelah wafat.

فَأَمَّا الْجَدُّ: فَوِلَايَتُهُ بِنَفْسِهِ فَجَازَ أَنْ يُوصِيَ، كَالْأَبِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْوَصِيُّ، لِأَنَّ وِلَايَتَهُ بِغَيْرِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُوصِيَ كَالْحَاكِمِ، عَلَى أَنَّ نَظَرَ الْحَاكِمِ أَقْوَى لِعُمُومِهِ.

Adapun kakek, maka kewenangannya berasal dari dirinya sendiri, sehingga boleh ia berwasiat seperti halnya ayah. Tidak demikian halnya dengan washi, karena kewenangannya berasal dari orang lain, sehingga tidak boleh ia berwasiat seperti hakim, bahkan pengelolaan hakim lebih kuat karena sifatnya yang umum.

وَأَمَّا الْإِمَامُ: فَيَجُوزُ أَنْ يَسْتَخْلِفَ بَعْدَهُ إِمَامًا يَنْظُرُ فِيمَا كَانَ إِلَيْهِ مِنْ أُمُورِ الْمُسْلِمِينَ، كَمَا فَعَلَ أَبُو بَكْرٍ في استخلاف عمر رضوان الله عليهما، لأنه عام الولاية، وليس لِغَيْرِهِ مَعَهُ مَا إِلَيْهِ، فَجَازَ أَنْ يُخْتَصَّ لِفَضْلِ نَظَرِهِ بِالِاسْتِخْلَافِ كَمَا لَمْ يَبْطُلْ بِمَوْتِهِ ولاية خلفائه من القضاة والولاة. وَمَنْ كَانَ خَاصَّ النَّظَرِ بَطَلَ بِمَوْتِهِ وِلَايَةُ خلفائه كالقضاة والولاة. عَلَى أَنَّ مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ جَعَلَ صِحَّةَ استخلاف الإمام بعد لِإِمَامٍ، مُعْتَبَرًا بِرِضَى أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ وَرِضَاهُمْ أن يَعْلَمُوا بِهِ فَلَا يُنْكِرُوهُ، كَمَا عَلِمَتِ الصَّحَابَةُ بِاسْتِخْلَافِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَجُعِلَ إِمْسَاكُهُمْ عن الإنكار، رضا به انْعَقَدَتْ بِهِ الْإِمَامَةُ لَهُ.

Adapun imam, maka boleh baginya menunjuk pengganti setelahnya sebagai imam yang mengurusi urusan kaum muslimin yang sebelumnya menjadi tanggung jawabnya, sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar dalam menunjuk Umar radhiyallahu ‘anhuma, karena kewenangannya bersifat umum dan tidak ada orang lain yang memiliki kewenangan bersamanya. Maka, boleh ia dikhususkan karena keutamaan pengelolaannya dalam hal pengangkatan pengganti, sebagaimana dengan wafatnya tidak batal kewenangan para penggantinya dari kalangan qadhi dan para wali. Sedangkan siapa yang kewenangannya khusus, maka dengan kematiannya batal pula kewenangan para penggantinya seperti qadhi dan para wali. Di antara para ulama kami ada yang mensyaratkan sahnya pengangkatan pengganti oleh imam setelahnya dengan keridhaan ahl al-hall wa al-‘aqd dan persetujuan mereka, yakni mereka mengetahui dan tidak mengingkarinya, sebagaimana para sahabat mengetahui pengangkatan Umar radhiyallahu ‘anhu, sehingga diamnya mereka dari pengingkaran dianggap sebagai keridhaan yang dengannya keimaman menjadi sah baginya.

فَعَلَى هَذَا الْوَجْهِ: لَوِ اسْتَخْلَفَ إِمَامًا بَعْدَهُ، وَلَمْ يَعْلَمْ بِهِ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ: لَمْ يَصِحَّ اسْتِخْلَافُهُ، وَلَمْ تَنْعَقِدْ إِمَامَتُهُ، إِلَّا أَنْ يُجْمَعَ عليه ويرض بَعْدَ مَوْتِ الْأَوَّلِ مِمَّنْ يَصِحُّ اخْتِيَارُهُ مِنْ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ.

Berdasarkan pendapat ini, jika seorang imam menunjuk pengganti setelahnya dan tidak ada seorang pun dari ahl al-hall wa al-‘aqd yang mengetahuinya, maka pengangkatan penggantinya tidak sah dan keimamannya tidak terwujud, kecuali setelah disepakati dan diridhai setelah wafatnya imam pertama oleh orang-orang yang sah memilih dari ahl al-hall wa al-‘aqd.

وَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ: قَدِ انْعَقَدَتْ إِمَامَتُهُ، وَإِنْ لَمْ يَعْلَمُوا بِهِ عِنْدَ الْعَهْدِ، وَلَمْ يَتَّفِقْ عَلَيْهِ أَهْلُ الِاخْتِيَارِ بَعْدَ الْمَوْتِ، إِذَا كَانَ مِمَّنْ يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ إِمَامًا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ، فَالْوِلَايَاتُ تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:

Sedangkan menurut pendapat pertama, keimaman pengganti telah sah, meskipun mereka tidak mengetahuinya saat penunjukan, dan meskipun ahl al-ikhtiyar tidak sepakat setelah wafatnya, selama ia termasuk orang yang sah menjadi imam. Jika demikian, maka kewenangan terbagi menjadi tiga macam:

وِلَايَةُ حُكْمٍ، وَوِلَايَةُ عَقْدٍ، وَوِلَايَةُ نَسَبٍ.

Kewenangan hukum, kewenangan akad, dan kewenangan nasab.

فَأَمَّا وِلَايَةُ الْحُكْمِ فَضَرْبَانِ: عَامَّةٌ، وَخَاصَّةٌ. فَالْعَامَّةُ: الإمامة، ولا تبطل بموت من يقلدها، ولاية مستخلف ولا نظر مستناب.

Adapun kewenangan hukum terbagi dua: umum dan khusus. Yang umum adalah: imamah (kepemimpinan umat), dan tidak batal dengan wafat orang yang mengangkatnya, begitu pula kewenangan pengganti dan pengelolaan wakil.

وأما الخاصة: فالقضاء، ويبطل بموت من يقلده ولاية، لمستخلف ونظر كل مستناب.

Adapun yang khusus adalah: qadha (peradilan), dan batal dengan wafat orang yang mengangkatnya, begitu pula kewenangan pengganti dan pengelolaan setiap wakil.

وَأَمَّا وِلَايَةُ الْعَقْدِ: فَضَرْبَانِ: عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ نِيَابَةً عَنْ حَيٍّ، وَعَقْدٌ يَتَضَمَّنُ نِيَابَةً عَنْ مَيِّتٍ.

Adapun kewenangan akad, terbagi dua: akad yang mengandung perwakilan dari orang hidup, dan akad yang mengandung perwakilan dari orang yang telah wafat.

فالذي يَتَضَمَّنُ النِّيَابَةَ عَنِ الْحَيِّ هُوَ: الْوَكَالَةُ، فَإِنْ مَاتَ الْمُوَكِّلُ؛ بَطَلَتْ وَإِنْ مَاتَ الْوَكِيلُ: لَمْ تَكُنْ لَهُ الْوَصِيَّةُ.

Adapun yang mengandung perwakilan dari orang hidup adalah: wakalah (perwakilan). Jika yang mewakilkan meninggal, maka batal (akadnya). Dan jika wakil yang meninggal, maka ia tidak berhak mewasiatkan.

وَالَّذِي يَتَضَمَّنُ النِّيَابَةَ عَنِ الْمَيِّتِ هُوَ: الْوَصِيَّةُ، فَإِذَا مَاتَ الْمُوصِي، اسْتَقَرَّتْ وِلَايَةُ الْوَصِيِّ، وَإِنْ مَاتَ الْوَصِيُّ: لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُوصِيَ.

Yang mengandung makna perwakilan atas nama mayit adalah: wasiat. Maka apabila orang yang berwasiat meninggal dunia, kekuasaan washi (pelaksana wasiat) menjadi tetap. Namun jika washi itu meninggal, ia tidak berhak untuk mewasiatkan lagi.

وَأَمَّا وِلَايَةُ النَّسَبِ: فَضَرْبَانِ: عَامَّةٌ وَخَاصَّةٌ.

Adapun kekuasaan karena nasab terbagi menjadi dua: umum dan khusus.

فَالْعَامَّةُ: وِلَايَةُ الْأَبِ وَالْجَدِّ عَلَى صِغَارِ وَلَدِهِ، وَتَصِحُّ مِنْهُ عِنْدَ الْمَوْتِ الْوَصِيَّةُ.

Yang umum adalah kekuasaan ayah dan kakek atas anak-anak kecil mereka, dan dari mereka sah untuk berwasiat ketika menjelang kematian.

وَالْخَاصَّةُ: وِلَايَةُ الْعَصَبَاتِ فِي الْأَبْضَاعِ، وَلَا تَصِحُّ فِيهِ عِنْدَ الْمَوْتِ الْوَصِيَّةُ.

Yang khusus adalah kekuasaan para ‘ashabah dalam masalah perwalian pernikahan, dan dalam hal ini tidak sah wasiat ketika menjelang kematian.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلْوَصِيِّ أَنْ يُوصِيَ لَمْ يخل ما تولاه مِنْ أَمْرَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَمَكَّنَ مِنْ تَعْجِيلِ إِنْفَاذِهِ، فَوَاجِبٌ عَلَيْهِ أَنْ يَتَوَلَّاهُ بِنَفْسِهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ رَاجِعًا عَنِ الْوَصِيَّةِ، لِأَنَّ إِمْكَانَ تَنْفِيذِهَا مَعَ ضِيقِ وَقْتِهَا، وَالْمُقَامِ عَلَى النَّظَرِ فِيهَا، يَمْنَعُ مِنْ تَأْخِيرِهَا.

Jika telah tetap bahwa tidak boleh bagi washi untuk mewasiatkan lagi, maka apa yang ia tangani tidak lepas dari dua keadaan: Pertama, ia mampu segera melaksanakan (wasiat tersebut), maka wajib baginya untuk melaksanakannya sendiri selama ia tidak menarik kembali wasiat itu, karena kemampuan untuk melaksanakannya dengan waktu yang sempit dan tetapnya tanggung jawab atasnya, mencegah penundaan pelaksanaannya.

وَالثَّانِي: أَن لا يمكن تعجيل إنفاذه، لما تتضمنها مِنَ الْوِلَايَةِ عَلَى يَتِيمٍ يَلْزَمُهُ حِفْظُ مَالِهِ، أَوْ قَضَاءُ دَيْنٍ لِغَائِبٍ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمَالِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.

Kedua: tidak memungkinkan untuk segera melaksanakannya, karena mengandung unsur kekuasaan atas anak yatim yang wajib dijaga hartanya, atau pelunasan utang untuk orang yang tidak hadir, maka keadaan harta tidak lepas dari dua kemungkinan.

إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَحْفَظُ نَفْسَهُ، كَالْعَقَارِ، فَلَيْسَ عَلَيْهِ فِي مِثْلِهِ عِنْدَ حُضُورِ الْمَوْتِ حَقٌّ، لِأَنَّ الْمَوْتَ يَرْفَعُ يَدَهُ عَنِ النَّظَرِ، لَا عَنِ الْحِفْظِ.

Pertama, harta tersebut termasuk yang dapat menjaga dirinya sendiri, seperti properti tetap (tanah/bangunan), maka tidak ada kewajiban atasnya dalam hal seperti ini ketika menjelang kematian, karena kematian mengangkat tanggung jawabnya atas pengelolaan, bukan atas penjagaan.

وَالثَّانِي: أن يكون ممن لَا يَحْفَظُ نَفْسَهُ، كَالْأَمْوَالِ الْمَنْقُولَةِ، فَعَلَيْهِ حَقَّانِ: الحفظ، والنظر. فيلزمه عِنْدَ زَوَالِ نَظَرِهِ بِالْمَوْتِ أَنْ يَسْتَدِيمَ حِفْظُهُ، بِتَسْلِيمِهِ إِلَى مَنْ يَعُمَّ نَظَرُهُ، وَهُوَ الْحَاكِمُ، فإن لم يفعل مع المكنة كان ضامنا.

Kedua, harta tersebut termasuk yang tidak dapat menjaga dirinya sendiri, seperti harta bergerak, maka atasnya ada dua kewajiban: penjagaan dan pengelolaan. Maka wajib baginya ketika tanggung jawab pengelolaan hilang karena kematian untuk tetap menjaga harta itu, dengan menyerahkannya kepada pihak yang memiliki kekuasaan umum, yaitu hakim. Jika ia tidak melakukannya padahal mampu, maka ia bertanggung jawab (menanggung kerugian).

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ قَالَ فَإِنْ حَدَثَ بِوَصِيٍّ حَدَثٌ فَقَدْ أَوْصَيْتُ إِلَى مَنْ أَوْصَى إِلَيْهِ لَمْ يَجُزْ لأنه إنما أوصى بمال غَيْرِهِ، (وَقَالَ) فِي كِتَابِ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي ليلى إن ذلك جائز إذا قال قد أوصيت إليك بتركة فلان (قال المزني) رحمه الله وقوله هذا يوافق قول الكوفيين والمدنيين والذي قبله أشبه بقوله “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ia berkata: Jika terjadi sesuatu pada washi, maka aku telah mewasiatkan kepada siapa yang diwasiatkan olehnya, maka itu tidak sah, karena ia mewasiatkan harta milik orang lain.” (Dan beliau berkata) dalam Kitab Ikhtilaf Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila: Hal itu boleh jika ia berkata: Aku telah mewasiatkan kepadamu harta peninggalan si Fulan.” (Al-Muzani rahimahullah berkata:) “Pendapat ini sesuai dengan pendapat ulama Kufah dan Madinah, sedangkan pendapat sebelumnya lebih sesuai dengan pendapat beliau sendiri.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ للموصي أن يوصي، إذا لم يجعل له الْمُوصِي أَنْ يُوصِيَ.

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa tidak boleh bagi washi untuk mewasiatkan lagi, jika pemberi wasiat tidak memberinya hak untuk mewasiatkan.

فَأَمَّا إِذَا جعَلَ إِلَيْهِ أَنْ يُوصِيَ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun jika pemberi wasiat memberinya hak untuk mewasiatkan, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يعين إليه من يوصي.

Pertama: Ia menunjuk secara spesifik kepada siapa washi boleh mewasiatkan.

والثاني: أن لا يعين.

Kedua: Ia tidak menunjuk secara spesifik.

فَإِنْ عَيَّنَ لَهُ مَنْ يُوصِي إِلَيْهِ، فَهُوَ أَنْ يَقُولَ: قَدْ أَوْصَيْتُ إِلَيْكَ وَجَعَلْتُ لَكَ أن توصي إلى عمرو. وسواء قال: فإذا أوصيت فَهُوَ وَصِيٌّ، أَوْ لَمْ يَقُلْ، فَهَذَا جَائِزٌ، لِأَنَّهُ قَدْ أَذِنَ لَهُ فِي الْوَصِيَّةِ، وَقَطَعَ اجْتِهَادَهُ فِي الِاخْتِيَارِ، فَجَرَى ذَلِكَ مَجْرَى قَوْلِهِ: قَدْ أَوْصَيْتُ إِلَيْكَ، فَإِنْ مُتَّ: فَقَدْ أَوْصَيْتُ إِلَى عَمْرٍو.

Jika ia menunjuk secara spesifik kepada siapa washi boleh mewasiatkan, yaitu dengan berkata: “Aku telah mewasiatkan kepadamu dan aku memberi hak kepadamu untuk mewasiatkan kepada ‘Amr.” Baik ia berkata: “Jika engkau mewasiatkan, maka ia adalah washi,” atau tidak mengatakannya, maka hal ini sah, karena ia telah mengizinkannya untuk berwasiat dan telah menetapkan pilihannya, sehingga hal ini sama seperti ia berkata: “Aku telah mewasiatkan kepadamu, jika engkau meninggal maka aku telah mewasiatkan kepada ‘Amr.”

وَلَا يَقَعُ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا إِلَّا مِنْ وَجْهٍ وَاحِدٍ، وَهُوَ أَنَّهُ إِذَا قَالَ: إِنْ مُتَّ فَقَدْ أَوْصَيْتُ إِلَى عَمْرٍو، فَإِنَّهُ يَصِيرُ عَمْرٌو بِمَوْتِ الْوَصِيِّ وَصِيًّا لَا يَحْتَاجُ إِلَى وَصِيَّةٍ مِنْ جِهَةِ الْوَصِيِّ.

Tidak ada perbedaan antara keduanya kecuali dari satu sisi, yaitu jika ia berkata: “Jika engkau meninggal maka aku telah mewasiatkan kepada ‘Amr,” maka ‘Amr menjadi washi dengan wafatnya washi tanpa perlu wasiat dari washi.

وَلَوْ قَالَ: وَقَدْ جَعَلْتُ إِلَيْكَ أَنْ تُوصِيَ إِلَى عَمْرٍو: لَمْ يَصِرْ عَمْرٌو وَصِيًّا إِلَّا بِوَصِيَّةِ الْوَصِيِّ، فَإِذَا أَوْصَى إِلَيْهِ صَارَ عَمْرٌو وَصِيًّا لِلْمَيِّتِ الْأَوَّلِ لَا لِلْوَصِيِّ.

Namun jika ia berkata: “Aku telah memberimu hak untuk mewasiatkan kepada ‘Amr,” maka ‘Amr tidak menjadi washi kecuali dengan wasiat dari washi. Jika washi mewasiatkan kepadanya, maka ‘Amr menjadi washi bagi mayit pertama, bukan bagi washi.

فَلَوْ مَاتَ الْوَصِيُّ قَبْلَ أَنْ يُوصِيَ إِلَى عَمْرٍو: لَمْ تَثْبُتْ وَصِيَّةُ عَمْرٍو إِلَّا أَنْ يَرُدَّهَا الْحَاكِمُ إِلَيْهِ. فَلَوْ أَرَادَ الْحَاكِمُ رَدَّ الْوَصِيَّةَ إِلَى غَيْرِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika washi meninggal sebelum mewasiatkan kepada ‘Amr, maka wasiat kepada ‘Amr tidak berlaku kecuali jika hakim mengembalikannya kepadanya. Jika hakim ingin mengembalikan wasiat kepada selain ‘Amr, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ لِأَنَّ الْمُوصِيَ قد قطع الاجتهاد في تعينه، كما لا يجوز للوصي أن يوصي إلى غَيْره.

Pertama: Tidak boleh demikian, karena pemberi wasiat telah menetapkan pilihannya, sebagaimana tidak boleh bagi washi untuk mewasiatkan kepada selainnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجُوزُ لَهُ ذَلِكَ، لِأَنَّ تَعْيِينَ الْوَصِيَّةِ إِلَيْهِ إِنَّمَا جُعِلَ إِلَى الْوَصِيِّ، فَإِذَا مَاتَ قَبْلَ أَنْ يُوصِيَ، بَطَلَ حُكْمُ تِلْكَ الْوَصِيَّةِ، فَصَارَ نَظَرُ الْحَاكِمِ فِيهَا، نَظَرَ حُكْمٍ، لَا نَظَرَ وَصِيٍّ، فَجَازَ أَنْ يختار من يراه للنظر أوفق.

Pendapat kedua: Bahwa hal itu diperbolehkan baginya, karena penunjukan wasiat kepadanya memang diberikan kepada wasi, maka jika ia wafat sebelum berwasiat, batalah ketetapan wasiat tersebut, sehingga urusannya menjadi wewenang hakim, sebagai wewenang hukum, bukan sebagai wewenang wasi, maka boleh bagi hakim memilih siapa yang menurutnya paling layak untuk menangani urusan itu.

وَهَكَذَا لَوْ قَالَ الْمُوصِي، قَدْ أَوْصَيْتُ إِلَى زَيْدٍ، فَإِنْ مَاتَ فَقَدْ أَوْصَيْتُ إِلَى عَمْرٍو، فَإِنْ مَاتَ فَقَدْ أَوْصَيْتُ إِلَى بَكْرٍ: جَازَ وَكَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الثَّلَاثَةِ وَصِيًّا بَعْدَ مَوْتِ مَنْ تَقَدَّمَهُ، فَقَدْ جَهَّزَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَيْشَ مُؤْتَةَ، وَقَالَ لَهُمْ: ” أَمِيرُكُمْ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ، فَإِنْ أُصِيبَ: فَجَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، فَإِنْ أُصِيبَ: فَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ، فَإِنْ أُصِيبَ: فَلْيَرْتَضِ الْمُسْلِمُونَ رَجُلًا “.

Demikian pula jika pewasiat berkata, “Aku telah berwasiat kepada Zaid, jika ia wafat maka aku berwasiat kepada Amr, jika ia wafat maka aku berwasiat kepada Bakr,” maka hal itu diperbolehkan dan masing-masing dari ketiga orang tersebut menjadi wasi setelah wafatnya yang sebelumnya. Rasulullah ﷺ pernah menyiapkan pasukan Mu’tah dan bersabda kepada mereka: “Pemimpin kalian adalah Zaid bin Haritsah, jika ia gugur maka Ja’far bin Abi Thalib, jika ia gugur maka Abdullah bin Rawahah, jika ia gugur maka hendaklah kaum muslimin memilih seorang laki-laki.”

فَأُصِيبَ زَيْدٌ فَقَامَ بِهِمْ جَعْفَرٌ، ثُمَّ أُصِيبَ جَعْفَرٌ، فَقَامَ بِهِمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ، ثُمَّ أُصِيبَ عَبْدُ اللَّهِ فَارْتَضَى الْمُسْلِمُونَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ.

Maka Zaid pun gugur, lalu Ja’far memimpin mereka, kemudian Ja’far gugur, lalu Abdullah bin Rawahah memimpin mereka, kemudian Abdullah pun gugur, maka kaum muslimin memilih Khalid bin al-Walid.

فَلَوْ قَالَ: قَدْ أَوْصَيْتُ إِلَى زَيْدٍ سَنَةً، ثُمَّ بَعْدَ السَّنَةِ إِلَى عَمْرٍو: كَانَ هَذَا جَائِزًا، وَقِيلَ: إِنَّ الشَّافِعِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ هَكَذَا أَوْصَى.

Jika pewasiat berkata: “Aku berwasiat kepada Zaid selama satu tahun, kemudian setelah satu tahun kepada Amr,” maka hal ini diperbolehkan. Dan disebutkan bahwa asy-Syafi‘i ra. pernah berwasiat seperti ini.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا جَعَلَ إِلَى وَصِّيهِ أَنْ يُوصِيَ، وَلَمْ يُعَيِّنْ لَهُ مَنْ يُوصِي إِلَيْهِ، فَهُوَ أَنْ يَقُولَ: جَعَلْتُ إِلَيْكَ أَنْ تُوصِيَ، أَوْ يَقُولَ: مَنْ أَوْصَيْتَ إِلَيْهِ فَهُوَ وَصِيٌّ، فَالْحُكْمُ فِيهِ عَلَى سَوَاءٍ وَفِي جَوَازِهِ قَوْلَانِ:

Adapun jika ia menyerahkan kepada wasinya untuk berwasiat, namun tidak menentukan kepada siapa wasiat itu diberikan, yaitu dengan mengatakan: “Aku serahkan kepadamu untuk berwasiat,” atau ia berkata: “Siapa pun yang engkau wasiatkan kepadanya, maka ia adalah wasi,” maka hukumnya sama saja, dan dalam kebolehannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة، وَمَالِكٍ، يَجُوزُ لِأَمْرَيْنِ:

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Hanifah dan Malik, membolehkan karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ نَظَرَ الْوَصِيِّ، أَقْوَى مِنْ نَظَرِ الْوَكِيلِ، فَلَمَّا جَازَ لِلْوَكِيلِ إِذَا أَذِنَ لَهُ فِي التَّوْكِيلِ أَنْ يُوَكِّلَ عَنْهُ مُعَيَّنًا، وَغَيْرَ مُعَيَّنٍ، كَانَ أَوْلَى فِي الْوَصِيِّ إِذَا أَذِنَ لَهُ فِي الوصية أن يوصي عنه إلى معين، وغير مُعَيَّن.

Pertama: Bahwa wewenang wasi lebih kuat daripada wewenang wakil. Ketika wakil boleh, jika diizinkan untuk mewakilkan, menunjuk wakil tertentu maupun tidak tertentu, maka lebih utama lagi bagi wasi, jika diizinkan untuk berwasiat, boleh baginya mewasiatkan kepada orang tertentu maupun tidak tertentu.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْوَصِيَّ بِالْإِذْنِ قَدْ صَارَ كالأب، فَلَمَّا جَازَ لِلْأَبِ أَنْ يُوصِيَ جَازَ لِلْوَصِيِّ مَعَ الْإِذْنِ أَنْ يُوصِيَ.

Kedua: Bahwa wasi dengan izin telah menjadi seperti ayah, maka sebagaimana ayah boleh berwasiat, demikian pula wasi dengan izin boleh berwasiat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلْوَصِيِّ مَعَ عَدَمِ التَّعْيِينِ أَنْ يُوصِيَ وَإِنْ أُذِنَ لَهُ، لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua, yaitu pilihan al-Muzani, bahwa tidak boleh bagi wasi tanpa penentuan untuk berwasiat, meskipun diizinkan, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْوَصِيَّ لَا يَمْلِكُ الِاخْتِيَارَ بِالْوَصِيَّةِ الْمُطْلَقَةِ، فَكَذَلِكَ لَا يَمْلِكُ بِالْوَصِيَّةِ الْمُقَيَّدَةِ.

Pertama: Bahwa wasi tidak berhak memilih dengan wasiat yang bersifat mutlak, demikian pula ia tidak berhak dengan wasiat yang bersifat terbatas.

وَالثَّانِي: أَنَّ اخْتِيَارَ الْحَاكِمِ، أَقْوَى مِنَ اخْتِيَارِ الموصي، لأن له الاختيار بإذن وغير إذن، فكذلك كَانَ اخْتِيَارُ الْحَاكِمِ أَوْلَى مِنَ اخْتِيَارِ الْوَصِيِّ، والله أعلم.

Kedua: Bahwa pilihan hakim lebih kuat daripada pilihan pewasiat, karena hakim berhak memilih baik dengan izin maupun tanpa izin, maka demikian pula pilihan hakim lebih utama daripada pilihan wasi. Wallahu a‘lam.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَا وِلَايَةَ لِلْوَصِيِّ فِي إِنْكَاحِ بَنَاتِ الْمَيِّتِ “.

Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Wasi tidak memiliki wewenang dalam menikahkan putri-putri orang yang telah wafat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ وِلَايَةَ الْوَصِيِّ عَلَى الْيَتِيمِ، كَوِلَايَةِ الْأَبِ عَلَيْهِ، إِلَّا فِي ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa wewenang wasi atas anak yatim sama dengan wewenang ayah atasnya, kecuali dalam tiga hal:

أَحَدُهَا: أَنَّ لِلْأَبِ أَنْ يَشْتَرِيَ مِنْ مَالِ وَلَدِهِ لِنَفْسِهِ، وَيَبِيعَ عَلَيْهِ مِنْ مَالِ نَفْسِهِ وَلَيْسَ ذَلِكَ لِلْوَصِيِّ.

Pertama: Ayah boleh membeli dari harta anaknya untuk dirinya sendiri, dan menjual kepada anaknya dari hartanya sendiri, sedangkan wasi tidak boleh melakukan hal itu.

وَالثَّانِي: أَنَّ لِلْأَبِ أَنْ يُوصِيَ بِالْوِلَايَةِ عَلَى وَلَدِهِ، وَلَيْسَ لِلْوَصِيِّ أن يوصي.

Kedua: Ayah boleh berwasiat untuk mewariskan wewenang atas anaknya, sedangkan wasi tidak boleh berwasiat.

والثالث: أن للأب أن يزوجهم، وَلَيْسَ ذَلِكَ لِلْوَصِيِّ.

Ketiga: Ayah boleh menikahkan mereka, sedangkan wasi tidak boleh melakukan hal itu.

ثُمَّ الْوَصِيُّ فِيمَا سِوَى هَذِهِ الثَّلَاثَةِ، كَالْأَبِ سَوَاءً. فَلَوْ جَعَلَ الْأَبُ إِلَى الْوَصِيِّ مَا كَانَ مُخْتَصًّا بِهِ مِنْ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ، لِيَكُونَ مُسَاوِيًا لَهُ فِيهَا، نُظِرَ: فَإِنْ جَعَلَ لَهُ أَنْ يَشْتَرِيَ مِنْ مَالِ الصَّبِيِّ لِنَفْسِهِ، أَوْ يَبِيعَ عَلَيْهِ مِنْ مَالِ نَفْسِهِ، لَمْ يَجُزْ، لِأَنَّهُ إِذْنٌ بِعَقْدٍ فِي مَالٍ لَا يَمْلِكُهُ وَإِنْ أَذِنَ لَهُ أَنْ يُوصِيَ، فَهُوَ عَلَى مَا مَضَى مِنَ التَّفْصِيلِ.

Selain tiga hal tersebut, wasi sama dengan ayah. Jika ayah memberikan kepada wasi apa yang menjadi kekhususannya dari tiga hal tersebut agar ia setara dengannya, maka perlu diperhatikan: jika ayah memberinya izin untuk membeli dari harta anak untuk dirinya sendiri, atau menjual kepada anak dari hartanya sendiri, maka itu tidak diperbolehkan, karena itu merupakan izin untuk melakukan akad atas harta yang bukan miliknya. Jika ia mengizinkannya untuk berwasiat, maka hukumnya mengikuti penjelasan yang telah lalu.

وَإِنْ أَذِنَ لَهُ فِي التَّزْوِيجِ، فَقَدْ أَجَازَهُ مَالِكٌ وَجَعَلَ الْوَصِيَّ أَحَقَّ مِنَ الْأَوْلِيَاءِ، كَمَا كَانَ أَحَقَّ بِالْوِلَايَةِ عَلَى الْمَالِ.

Jika ia (wali) mengizinkan washi (pelaksana wasiat) untuk menikahkan, maka Malik membolehkannya dan menjadikan washi lebih berhak daripada para wali, sebagaimana ia lebih berhak dalam pengelolaan harta.

وَمَنَعَ مِنْهُ الشَّافِعِيُّ، وأبو حنيفة، وَجُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ، لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ فِي حَقِّ غَيْرِهِ مِنَ الْأَوْلِيَاءِ، وَسَتَأْتِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ مُسْتَقْصَاةً إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.

Syafi‘i, Abu Hanifah, dan jumhur fuqaha melarang hal itu, karena hal tersebut merupakan wasiat yang berkaitan dengan hak wali lainnya. Masalah ini akan dibahas secara rinci dalam Kitab Nikah, insya Allah Ta‘ala. Hanya kepada Allah-lah taufik.

بَابُ مَا يَجُوزُ لِلْوَصِيِّ أَنْ يَصْنَعَهُ فِي أموال اليتامى

Bab: Hal-hal yang boleh dilakukan oleh washi terhadap harta anak yatim

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَيُخْرِجُ الْوَصِيُّ مِنْ مَالِ الْيَتِيمِ كُلَّ مَا لَزِمَهُ مِنْ زَكَاةِ مَالِهِ وَجِنَايَتِهِ وَمَا لَا غناء به عَنْهُ مِنْ نَفَقَتِهِ وَكِسْوَتِهِ بِالْمَعْرُوفِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Washi mengeluarkan dari harta anak yatim segala kewajiban yang harus ditunaikan, seperti zakat hartanya, diyatnya, dan segala kebutuhan pokoknya yang tidak dapat ditinggalkan, seperti nafkah dan pakaian yang layak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ وَلِيَّ الْيَتِيمِ مَنْدُوبٌ إِلَى الْقِيَامِ بمصالحه، قال تَعَالَى: {وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ} [الأنعام: 152] .

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa wali anak yatim dianjurkan untuk mengurus kemaslahatannya. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan janganlah kalian mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih baik} (al-An‘am: 152).

وَالَّذِي يَلْزَمُهُ فِي حَقِّ الْيَتِيمِ، أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ:

Kewajiban yang harus dipenuhi terhadap anak yatim ada empat hal:

أَحَدُهَا: حِفْظُ أُصُولِ أَمْوَالِهِ.

Pertama: Menjaga pokok harta bendanya.

والثاني: تمييز فُرُوعِهَا.

Kedua: Memisahkan cabang-cabangnya.

وَالثَّالِثُ: الْإِنْفَاقُ عَلَيْهِ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ.

Ketiga: Memberikan nafkah kepadanya dari harta tersebut secara layak.

وَالرَّابِعُ: إِخْرَاجُ مَا تَعَلَّقَ بِمَالِهِ مِنَ الْحُقُوقِ.

Keempat: Mengeluarkan hak-hak yang berkaitan dengan hartanya.

فَأَمَّا حِفْظُ الْأُصُولِ: فَيَكُونُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun menjaga pokok harta, dilakukan dengan dua cara:

أَحَدُهُمَا: حِفْظُ الرِّقَابِ عَنْ أَنْ تَمْتَدَّ إِلَيْهَا يَدٌ، فَإِنْ فَرَّطَ، كَانَ لِمَا تَلِفَ مِنْهَا ضَامِنًا.

Pertama: Menjaga budak-budaknya agar tidak diambil orang lain. Jika lalai, maka ia bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi.

وَالثَّانِي: استيفاء الْعِمَارَةِ لِئَلَّا يُسْرِعَ إِلَيْهَا خَرَابٌ، فَإِنْ أَهْمَلَ عِمَارَتَهَا حَتَّى عَطِلَ ضِيَاعُهُ، وَتَهَدَّمَ عَقَارُهُ، نُظِرَ: فإن كان لإعوان مَا يُنْفِقُ عَلَيْهَا، فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ مَعَ وُجُودِ النَّفَقَةِ، فَقَدْ أَثِمَ وَفِي الضَّمَانِ وَجْهَانِ:

Kedua: Memelihara bangunan agar tidak cepat rusak. Jika ia lalai dalam pemeliharaannya hingga lahan menjadi terbengkalai dan bangunan rusak, maka dilihat: Jika karena tidak ada biaya untuk pemeliharaan, maka tidak ada tanggungan atasnya. Namun jika ada biaya namun tetap lalai, maka ia berdosa. Dalam hal tanggung jawab, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُ وَيَصِيرُ بِهَذَا الْعُدْوَانِ كَالْغَاصِبِ.

Pertama: Ia bertanggung jawab dan dengan kelalaiannya itu ia seperti seorang ghashib (perampas).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ خَرَابَهَا، لَمْ يَكُنْ مِنْ فِعْلِهِ، فَيَضْمَنُ بِهِ، وَلَا يَدُهُ غَاصِبَةٌ فَيَجِبُ بِهَا عَلَيْهِ ضَمَانٌ.

Kedua: Ia tidak bertanggung jawab, karena kerusakan itu bukan akibat perbuatannya, sehingga tidak wajib menanggungnya, dan tangannya bukan tangan ghashib sehingga tidak wajib menanggung.

فصل:

Fasal:

وأما تمييز فُرُوعِهِ، فَلِأَنَّ النَّمَاءَ مَالٌ مَقْصُودٌ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُفَوِّتَهُ عَلَى الْيَتِيمِ كَالْأُصُولِ، وَهُوَ نَوْعَانِ:

Adapun memisahkan cabang-cabangnya, karena pertumbuhan harta adalah tujuan yang diinginkan, maka tidak boleh menyia-nyiakannya bagi anak yatim sebagaimana pokok harta. Pertumbuhan ini ada dua jenis:

أَحَدُهُمَا: مَا كَانَ نَمَاؤُهُ أَعْيَانًا مِنْ ذَاتِهِ، كَالثِّمَارِ، وَالنِّتَاجِ، فَعَلَيْهِ فِي ذَلِكَ مَا عَادَ يحفظه وَزِيَادَته، كَتَلْقِيحِ النَّخْلِ، وَعُلُوفَةِ الْمَاشِيَةِ.

Pertama: Pertumbuhan yang berupa benda nyata dari dirinya sendiri, seperti buah-buahan dan hasil ternak. Dalam hal ini, ia wajib menjaga dan menambahkannya, seperti penyerbukan pohon kurma dan memberi pakan ternak.

فَإِنْ أَخَلَّ بِعُلُوفَةِ الْمَاشِيَةِ: ضَمِنَهَا وَجْهًا وَاحِدًا.

Jika ia lalai memberi pakan ternak, maka ia wajib menanggungnya secara mutlak.

وَإِنْ أَخَلَّ بِتَلْقِيحِ الثَّمَرَةِ: فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَجْهًا وَاحِدًا.

Jika ia lalai dalam penyerbukan buah, maka tidak ada tanggungan atasnya secara mutlak.

لأنها إن لم تتميز، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَضْمَنَ، مَا لَمْ يُخْلَقْ، وَلَمْ يَسْتَقِرَّ عَلَيْهِ لِلْيَتِيمِ مِلْكٌ. وَإِنْ خُلِقَتْ نَاقِصَةً: فَالنُّقْصَانُ أَيْضًا مِمَّا لَمْ يُخْلَقْ.

Karena jika buah itu belum tampak jelas, maka tidak boleh menanggung sesuatu yang belum diciptakan dan belum menjadi milik anak yatim. Jika buah itu tercipta dalam keadaan kurang, maka kekurangan itu juga termasuk sesuatu yang belum diciptakan.

وَالنَّوْعُ الثَّانِي: مَا كَانَ نَمَاؤُهُ بِالْعَمَلِ.

Jenis kedua: Pertumbuhan yang terjadi melalui usaha.

وَذَلِكَ نَوْعَانِ: أَحَدُهُمَا: تِجَارَةٌ بِمَالٍ. وَالثَّانِي: اسْتِغْلَالُ الْعَقَارِ.

Dan itu ada dua macam: Pertama, perdagangan dengan harta. Kedua, pemanfaatan properti.

فَأَمَّا التِّجَارَةُ بِالْمَالِ فَيُعْتَبَرُ فِيهَا، أَرْبَعَةُ شُرُوطٍ، يُؤْخَذُ الولي بها في التجارة:

Adapun perdagangan dengan harta, maka ada empat syarat yang harus dipenuhi oleh wali dalam berdagang:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مَالُهُ نَاضًّا. فَإِنْ كَانَ عَقَارًا لَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ لِلتِّجَارَةِ.

Pertama: Hartanya berupa uang tunai. Jika berupa properti, tidak boleh dijual untuk keperluan perdagangan.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الزَّمَانُ آمِنًا، فَإِنْ كَانَ مَخُوفًا، لَمْ يَجُزْ.

Kedua: Keadaan zaman aman. Jika dalam keadaan rawan, tidak boleh.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ السُّلْطَانُ عَادِلًا، فَإِنْ كَانَ جَائِرًا، لَمْ يَجُزْ.

Ketiga: Penguasa adil. Jika penguasa zalim, tidak boleh.

وَالرَّابِعُ: أَنْ تَكُونَ الْمَتَاجِرُ مُرْبِحَةً، فَإِنْ كَانَتْ مُخْسِرَةً: لَمْ يَجُزْ.

Keempat: Perdagangan tersebut menguntungkan. Jika merugikan, tidak boleh.

فإن استكمل هَذِهِ الشُّرُوطَ: كَانَ مَنْدُوبًا إِلَى التِّجَارَةِ لَهُ بِالْمَالِ، فَلَوْ لَمْ يَتَّجِرْ بِهَا: لَمْ يَضْمَنْ لِأَمْرَيْنِ:

Jika keempat syarat ini terpenuhi, maka dianjurkan untuk memperdagangkan harta anak yatim. Jika tidak diperdagangkan, maka tidak ada tanggungan atas dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمْ يَسْتَقِرَّ لَهُ مِلْكٌ عَلَى رِبْحٍ مَعْلُومٍ فَيَصِحَّ ضَمَانُهُ.

Pertama: Karena belum ada kepemilikan yang pasti atas keuntungan tertentu sehingga sah untuk ditanggung.

وَالثَّانِي: أَنَّ رِبْحَ التِّجَارَةِ بِالْعَقْدِ وَالْمَالِ، تَبَعٌ، وَلِذَلِكَ جَعَلْنَا رِبْحَ الْغَاصِبِ فِي الْمَالِ الْمَغْصُوبِ لَهُ، دُونَ المغصوب منه.

Kedua: Karena keuntungan perdagangan itu mengikuti akad dan harta, oleh karena itu keuntungan ghashib pada harta yang digasak menjadi milik pemilik harta, bukan milik orang yang digasak.

فإن اتجر الولي بِالْمَالِ مَعَ إِخْلَالِهِ بِبَعْضِ هَذِهِ الشُّرُوطِ: كَانَ ضَامِنًا لِمَا تَلِفَ مِنْ أَصْلِ الْمَالِ.

Jika wali melakukan perdagangan dengan harta (anak) namun melalaikan sebagian syarat-syarat ini, maka ia wajib menanggung kerugian atas harta pokok yang hilang.

وَأَمَّا اسْتِغْلَالُ الْعَقَارِ:

Adapun pemanfaatan properti:

فَإِنَّمَا يَكُونُ بِإِجَارَتِهِ، فَإِنْ تَرَكَهُ عَاطِلًا لَمْ يُؤَجِّرْهُ، فَقَدْ أَثِمَ، وَفِي ضَمَانِهِ لِأُجْرَةِ مِثْلِهِ إِذَا كَانَ غَيْرَ مَعْذُورٍ فِي تَعْطِيلِهِ، وَجْهَانِ، لِأَنَّ مَنَافِعَهُ تُمْلَكُ كَالْأَعْيَانِ.

Itu hanya dapat dilakukan dengan menyewakannya. Jika ia membiarkannya kosong tanpa disewakan, maka ia berdosa. Mengenai kewajiban menanggung sewa sepadan jika ia tidak memiliki uzur dalam membiarkannya kosong, terdapat dua pendapat, karena manfaatnya dapat dimiliki sebagaimana benda.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا النَّفَقَةُ عَلَيْهِ بِالْمَعْرُوفِ.

Adapun nafkah atasnya dengan cara yang makruf.

فَلِأَنَّ فِي الزِّيَادَةِ سَرَفًا، وَفِي التَّقْصِيرِ ضَرَرًا، فَلَزِمَ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهِ قَصْدًا بِالْمَعْرُوفِ مِنْ غَيْرِ سَرَفٍ، وَلَا تَقْصِيرٍ، وَكَذَلِكَ يُنْفِقُ عَلَى كُلِّ مَنْ تَجِبُ نَفَقَتُهُ فِي مَالِهِ مِنْ وَالِدَيْنِ، وَمَمْلُوكِينَ، ثُمَّ يكسوه وإياهم في فصل الصَّيْفِ، وَالشِّتَاءِ، كِسْوَةَ مِثْلِهِمْ فِي الْيَسَارِ وَالْإِعْسَارِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: يُعْتَبَرُ بِكِسْوَةِ أَبِيهِ، فيكسوه مثلها.

Karena memberi nafkah berlebihan adalah israf, sedangkan mengurangi nafkah menimbulkan mudarat, maka wajib memberi nafkah kepadanya secara wajar dan makruf, tanpa israf dan tanpa kekurangan. Demikian pula, ia memberi nafkah kepada setiap orang yang wajib dinafkahi dari hartanya, seperti kedua orang tua dan budak-budaknya. Kemudian ia juga memberi pakaian kepada dirinya dan mereka pada musim panas dan musim dingin, dengan pakaian yang layak bagi mereka baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Sebagian ulama kami berpendapat: yang dijadikan acuan adalah pakaian ayahnya, sehingga ia diberi pakaian seperti itu.

وهذا غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ أَبَاهُ قَدْ رُبَّمَا كَانَ مُسْرِفًا، أَوْ مُقَصِّرًا، فَكَانَ اعْتِبَارُ ذَلِكَ فِي الْكِسْوَةِ فِي يَسَارِهِ وَإِعْسَارِهِ عَادَةً وَعُرْفًا، أَوْلَى من اعتباره عَادَة أَبِيهِ.

Pendapat ini tidak benar, karena bisa jadi ayahnya bersikap boros atau justru pelit. Maka, menjadikan kebiasaan dan adat dalam memberi pakaian pada saat lapang dan sempit lebih utama daripada menjadikan kebiasaan ayahnya sebagai acuan.

وَإِنَّمَا تُعْتَبَرُ عَادَةُ أَبِيهِ فِي صفة الملبوس إن كان تاجرا، كسى كسوة التجار، وإن كان جنديا، كسى كِسْوَةَ الْأَجْنَادِ، وَلَا يَعْدِلُ بِهِ عَنْ عَادَةِ أَبِيهِ حَتَّى يَبْلُغَ، وَيَلِيَ أَمْرَ نَفْسِهِ فَيُغَيِّرُهَا إِنْ شَاءَ.

Yang dijadikan acuan dari kebiasaan ayahnya hanyalah dalam jenis pakaian; jika ayahnya seorang pedagang, maka diberi pakaian seperti pakaian para pedagang, dan jika ayahnya seorang tentara, maka diberi pakaian seperti pakaian para tentara. Tidak boleh menyelisihi kebiasaan ayahnya hingga ia baligh dan mengurus dirinya sendiri, lalu ia boleh mengubahnya jika ia mau.

فَإِنْ أَسْرَفَ الْوَلِيُّ فِي الْإِنْفَاقِ عَلَيْهِ: ضَمِنَ زِيَادَةَ السَّرَفِ وَإِنْ قَصَّرَ بِهِ عَنِ الْعَقْدِ: أَسَاءَ وَلَمْ يَضْمَنْ.

Jika wali berlebihan dalam memberi nafkah kepadanya, maka ia wajib menanggung kelebihan yang merupakan israf. Namun jika ia mengurangi dari kadar yang seharusnya, maka ia berbuat salah tetapi tidak wajib menanggung.

فَإِنِ اخْتَلَفَ هُوَ وَالْوَلِيُّ بَعْدَ بُلُوغِهِ فِي قَدْرِ النَّفَقَةِ، فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:

Jika terjadi perselisihan antara dia dan wali setelah ia baligh mengenai besaran nafkah, maka hal itu terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَخْتَلِفَا فِي قَدْرِ النَّفَقَةِ مَعَ اتِّفَاقِهِمَا عَلَى الْمُدَّةِ، كَأَنَّهُ قَالَ: أَنْفَقْتُ عَلَيْكَ عَشْرَ سِنِينَ فِي كل سنة مائة دينار، فقال: أَنْفَقْتَ عَلَيَّ عَشْرَ سِنِينَ فِي كُلِّ سَنَةٍ خَمْسِينَ دِينَارًا.

Pertama: mereka berselisih dalam besaran nafkah dengan sepakat pada lamanya, misalnya wali berkata: “Aku telah menafkahimu selama sepuluh tahun, setiap tahun seratus dinar,” lalu ia berkata: “Engkau telah menafkahiku selama sepuluh tahun, setiap tahun lima puluh dinar.”

فَالْقَوْلُ فِيهِ، قَوْلُ الْوَلِيِّ، إِذَا لَمْ يَكُنْ مَا ادَّعَاهُ سَرَفًا، فَإِنْ كَانَ الْوَلِيُّ وَصِيًّا، أَوْ أَمِينَ حَاكِمٍ: فَلَهُ إِحْلَافُهُ عَلَى مَا ادَّعَاهُ.

Dalam hal ini, yang dijadikan pegangan adalah pernyataan wali, selama yang ia klaim bukanlah israf. Jika wali adalah washi (pelaksana wasiat) atau orang kepercayaan hakim, maka ia boleh diminta bersumpah atas apa yang ia klaim.

وَإِنْ كَانَ أَبًا، أَوْ جَدًّا، فَفِي إِحْلَافِهِ لَهُ وَجْهَانِ:

Jika wali adalah ayah atau kakek, maka dalam hal meminta sumpah kepadanya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَحْلِفُ، كَالْأَجْنَبِيِّ، لِأَنَّهُمَا يَسْتَوِيَانِ فِي حُقُوقِ الْأَمْوَالِ.

Pertama: ia diminta bersumpah seperti orang lain, karena keduanya sama dalam hak-hak harta.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَحْلِفُ، لِأَنَّهُ يُفَارِقُ الْأَجْنَبِيَّ فِي نَفْيِ التُّهْمَةِ عَنْهُ. وَكَثْرَةِ الْإِشْفَاقِ عَلَيْهِ.

Pendapat kedua: tidak diminta bersumpah, karena ia berbeda dengan orang lain dalam hal tidak adanya tuduhan padanya dan besarnya kasih sayang kepadanya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى قَدْرِ النَّفَقَةِ، وَيَخْتَلِفَا فِي قَدْرِ الْمُدَّةِ، كَأَنَّهُ قَالَ: أَنْفَقْتُ عَلَيْكَ عَشْرَ سِنِينَ، فِي كُلِّ سَنَةٍ مِائَةَ دِينَارٍ، فَقَالَ: بَلْ أَنْفَقْتَ عَلَيَّ خَمْسَ سِنِينَ، فِي كُلِّ سَنَةٍ مِائَةَ دِينَارٍ.

Jenis kedua: mereka sepakat pada besaran nafkah, namun berselisih dalam lamanya, misalnya wali berkata: “Aku telah menafkahimu selama sepuluh tahun, setiap tahun seratus dinar,” lalu ia berkata: “Bahkan engkau hanya menafkahiku selama lima tahun, setiap tahun seratus dinar.”

فَعِنْدَ أَبِي سَعِيدٍ الإصطرخي: أن القول قول الولي، كاختلافهم فِي الْقَدْرِ مَعَ اتِّفَاقِهِمَا فِي الْمُدَّةِ.

Menurut Abu Sa‘id al-Ishtharkhi, yang dijadikan pegangan adalah pernyataan wali, sebagaimana perselisihan dalam besaran nafkah dengan sepakat pada lamanya.

وَقَالَ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا: بَلِ الْقَوْلُ قَوْلُ الْيَتِيمِ مَعَ يَمِينِهِ.

Namun mayoritas ulama kami berpendapat: justru yang dijadikan pegangan adalah pernyataan yatim dengan sumpahnya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ اخْتِلَافِهِمَا فِي الْقَدْرِ، وَبَيْنَ اخْتِلَافِهِمَا فِي الْمُدَّةِ: أَنَّهُمَا فِي الْقَدْرِ مُخْتَلِفَانِ فِي الْمَالِ، فَقُبِلَ مِنْهُ قَوْلُ الْوَلِيِّ، لِأَنَّهُ مُؤْتَمَنٌ عَلَيْهِ، وَفِي الْمُدَّةِ مُخْتَلِفَانِ فِي الْمَوْتِ الذي يعقبه نظر الولي، فلم يقبل قولي الولي، لِأَنَّهُ غَيْرُ مُؤْتَمَنٍ عَلَيْهِ، مَعَ أَنَّنَا عَلَى يقين من حدوث الموت في شَكٍّ مِنْ تَقَدُّمِهِ، فَلِذَلِكَ افْتَرَقَ الْحُكْمُ فِيهِمَا.

Perbedaan antara perselisihan dalam besaran nafkah dan perselisihan dalam lamanya adalah: dalam besaran nafkah, keduanya berselisih dalam masalah harta, sehingga diterima pernyataan wali karena ia adalah orang yang dipercaya atas harta tersebut. Sedangkan dalam lamanya, keduanya berselisih dalam hal kematian yang setelahnya wali tidak lagi mengurus, sehingga pernyataan wali tidak diterima karena ia tidak lagi dipercaya atasnya. Padahal kita yakin akan terjadinya kematian, namun ragu tentang kapan terjadinya, maka karena itu hukum keduanya berbeda.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا إِخْرَاجُ مَا تَعَلَّقَ بِمَالِهِ مِنَ الْحُقُوقِ، فَضَرْبَانِ: حُقُوقُ اللَّهِ تَعَالَى، وَحُقُوقُ الْآدَمِيِّينَ.

Adapun mengeluarkan hak-hak yang berkaitan dengan hartanya, terbagi menjadi dua: hak-hak Allah Ta‘ala dan hak-hak manusia.

فَأَمَّا حُقُوقُ اللَّهِ تَعَالَى فَالزَّكَوَاتُ، وَالْكَفَّارَاتُ.

Adapun hak-hak Allah Ta‘ala adalah zakat dan kafarat.

أَمَّا الزكوات: فزكاة الفطر، وأعشار الزروع والثمار، واجبة إِجْمَاعًا.

Adapun zakat: seperti zakat fitrah, dan sepersepuluh hasil tanaman dan buah-buahan, hukumnya wajib secara ijmā‘.

وَأَمَّا زَكَاةُ الْأَمْوَالِ: فَقَدْ أَسْقَطَهَا أبو حنيفة، ولم يوجبها إلى عَلَى بَالِغٍ عَاقِلٍ.

Adapun zakat harta: Abu Hanifah menggugurkannya dan tidak mewajibkannya kecuali atas orang yang telah baligh dan berakal.

وَعِنْدَنَا: تَجِبُ بِالْحُرِّيَّةِ، وَالْإِسْلَامِ، عَلَى كُلِّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ، عَاقِلٍ وَمَجْنُونٍ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ فِي كِتَابِ الزَّكَاةِ.

Menurut kami: zakat wajib karena (syarat) kemerdekaan dan Islam, atas setiap anak kecil maupun dewasa, yang berakal maupun tidak, dan pembahasan tentang hal ini telah dijelaskan sebelumnya dalam Kitab Zakat.

وَإِذَا وَجَبَتْ: لَزِمَ إِخْرَاجُهَا، وَلَمْ يَجُزْ تَأْخِيرُهَا، عَنْ مُسْتَحِقِّهَا، وَقَالَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” لَيْسَ لِلْوَلِيِّ إِخْرَاجُ الزَّكَاةِ عَنْهُ وَيَتْرُكُهَا فِي مَالِهِ حَتَّى يَبْلُغَ الصَّبِيُّ، فَيُخْرِجُهَا عن نفسه “.

Apabila zakat telah wajib, maka wajib dikeluarkan dan tidak boleh ditunda dari orang yang berhak menerimanya. ‘Abdullah bin Mas‘ud ra. berkata: “Wali tidak boleh mengeluarkan zakat atas nama anak yatim lalu membiarkannya tetap dalam hartanya hingga anak itu baligh, lalu ia mengeluarkannya sendiri.”

ودليلنا: ما روي أَنَّ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ، وَلِيَ مَالَ يَتِيمٍ، فَلَمَّا بَلَغَ، سَلَّمَ إِلَيْهِ الْمَالَ، فَنَقَصَ كَثِيرًا: فَقَالُوا لَهُ: نَقُصَ الْمَالُ، فَقَالَ: احْسِبُوا قَدْرَ الزَّكَاةِ وَالنُقْصَانِ، فَحَسبُوا فَوَافَقَ، فَقَالَ: أَتَرَانِي أَلِي مَالًا وَلَا أُخْرِجُ زَكَاتَهُ.

Dalil kami: Diriwayatkan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib ra. pernah menjadi wali atas harta seorang yatim. Ketika anak itu telah baligh, ia menyerahkan hartanya, dan ternyata harta itu berkurang banyak. Maka mereka berkata kepadanya: Hartanya berkurang. Ia berkata: Hitunglah besaran zakat dan kekurangannya. Lalu mereka menghitungnya dan ternyata sesuai. Ia berkata: Apakah kalian mengira aku mengelola harta tanpa mengeluarkan zakatnya?

فَلَوْ لَمْ يُخْرِجْهَا الْوَلِيُّ، لَزِمَ الْيَتِيمَ إِذَا بَلَغَ أَنْ يُخْرِجَهَا بِنَفْسِهِ، وَأَمَّا حُقُوقُ الْآدَمِيِّينَ فَنَوْعَانِ:

Jika wali tidak mengeluarkan zakatnya, maka anak yatim wajib mengeluarkannya sendiri ketika telah baligh. Adapun hak-hak manusia (sesama makhluk) terbagi menjadi dua jenis:

أَحَدُهُمَا: حَقٌّ وَجَبَ بِاخْتِيَارٍ كَالدُّيُونِ، فَعَلَى الْوَلِيِّ قَضَاؤُهَا إِذَا ثَبَتَتْ وَطَالَبَ بِهَا أربابها، فإن أبرئوا مِنْهَا: سَقَطَتْ وَإِنْ أَمْسَكُوا عَنِ الْمُطَالَبَةِ مِنْ غَيْرِ إِبْرَاءٍ، نُظِرَ فِي مَالِ الْيَتِيمِ، فَإِنْ كَانَ نَاضًّا، أَلْزَمَهُمُ الْوَلِيُّ قَبْضَ دُيُونِهِمْ، أَوِ الْإِبْرَاءَ مِنْهَا، خَوْفًا مِنْ أَنْ يَتْلَفَ الْمَالُ وَيَبْقَى الدَّيْنُ.

Pertama: Hak yang wajib karena pilihan, seperti utang. Maka wali wajib melunasinya jika telah terbukti dan ditagih oleh para pemiliknya. Jika mereka membebaskan, maka gugurlah utang itu. Jika mereka menahan diri dari menagih tanpa membebaskan, maka dilihat keadaan harta yatim. Jika berupa uang tunai, wali mewajibkan mereka untuk mengambil utangnya atau membebaskan, karena dikhawatirkan harta itu rusak sedangkan utang masih ada.

وَإِنْ كَانَ أَرْضًا أَوْ عَقَارًا، تَرَكَهُمْ عَلَى خِيَارِهِمْ فِي الْمُطَالَبَةِ بِدُيُونِهِمْ إِذَا شَاءُوا.

Jika berupa tanah atau properti, maka wali membiarkan mereka memilih untuk menagih utangnya kapan saja mereka mau.

وَالنَّوْعُ الثَّانِي: مَا وَجَبَ بِغَيْرِ اخْتِيَار، الجنايات وَهِيَ ضَرْبَانِ:

Jenis kedua: Hak yang wajib tanpa pilihan, yaitu jinayah (tindak pidana), dan ini terbagi dua:

أَحَدُهُمَا: عَلَى مَالٍ، فَيَكُونُ غُرْمُ ذَلِكَ فِي مَالِهِ، كَالدُّيُونِ.

Pertama: Jinayah terhadap harta, maka kerugiannya diambil dari harta yatim, seperti utang.

وَالثَّانِي: عَلَى نَفْسٍ، وَذَلِكَ ضَرْبَانِ، عَمْدٌ وَخَطَأٌ، فَإِنْ كَانَ خَطَأٌ فديَتُهُ عَلَى عَاقِلَتِهِ، لَا فِي مَالِهِ.

Kedua: Jinayah terhadap jiwa, dan ini terbagi dua: sengaja dan tidak sengaja. Jika tidak sengaja, maka diyatnya menjadi tanggungan ‘āqilah, bukan dari hartanya.

وَإِنْ كَانَ عَمْدًا، فَفِيهِ قَوْلَانِ: مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي عَمْدِ الصَّبِيِّ هَلْ يَجْرِي مَجْرَى الْعَمْدِ، أو مجرى الخطأ:

Jika sengaja, maka ada dua pendapat: berdasarkan perbedaan pendapat tentang perbuatan sengaja oleh anak kecil, apakah dihukumi seperti sengaja atau seperti tidak sengaja.

أحدهما: أنه جاري مَجْرَى الْعَمْدِ، فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الدِّيَةُ فِي مَالِهِ.

Pendapat pertama: Dihukumi seperti sengaja, maka diyatnya diambil dari hartanya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ جَارٍ مَجْرَى الْخَطَأ، فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الدِّيَةُ عَلَى عَاقِلَتِهِ.

Pendapat kedua: Dihukumi seperti tidak sengaja, maka diyatnya menjadi tanggungan ‘āqilah.

فَأَمَّا الْكَفَّارَةُ: فَفِي مَالِهِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا.

Adapun kafārah, maka diambil dari hartanya menurut kedua pendapat tersebut.

وَقَالَ مَالِكٌ، وأبو حنيفة: ” لَا كَفَّارَةَ عَلَى الصَّبِيِّ “.

Malik dan Abu Hanifah berkata: “Tidak ada kafārah atas anak kecil.”

فَهَذَا مَا يَجِبُ عَلَى الْوَلِيِّ فِي حَقِّ الْيَتِيمِ.

Inilah yang wajib dilakukan wali terhadap hak anak yatim.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا شَهَادَةُ الْوَصِيِّ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْوَصِيَّةِ فَضَرْبَانِ:

Adapun kesaksian washi (pelaksana wasiat) dalam hal yang berkaitan dengan wasiat, terbagi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَشْهَدَ عَلَى الْمُوصِي، فَشَهَادَتُهُ مَقْبُولَةٌ.

Pertama: Bersaksi atas (tindakan) orang yang berwasiat, maka kesaksiannya diterima.

وَالثَّانِي: أَنْ يَشْهَدَ لِلْمُوصِي، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: Bersaksi untuk kepentingan orang yang berwasiat, dan ini terbagi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ لَهُ نَظَرٌ فِيمَا شهد به، كأن شَهِدَ لَهُ بِمَالٍ، أَوْ مِلْكٍ هُوَ وَصِيٌّ في تفريق ثلثه، أو ولاية على أطفال، فَشَهَادَتُهُ مَرْدُودَةٌ.

Pertama: Jika ia memiliki kepentingan dalam hal yang ia saksikan, seperti bersaksi untuknya atas harta atau kepemilikan di mana ia adalah washi dalam pembagian sepertiga harta, atau wali atas anak-anak, maka kesaksiannya ditolak.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَن لا يَكُونَ لَهُ نَظَرٌ فِيمَا شَهِدَ بِهِ. كَأَنَّهُ وَصِيٌّ فِي تَفْرِيقِ مَالٍ مُعَيَّنٍ مِنْ تَرِكَتِهِ، فَشَهِدَ لِلْمُوصِي بِمِلْكٍ لَا يَدْخُلُ فِي وَصِيَّتِهِ، وَلَيْسَ وارث، مثلا، فَيَكُونُ فِي وِلَايَتِهِ: فَشَهَادَتُهُ مَقْبُولَةٌ، لِأَنَّهُ لَا يجر بها نفعا.

Kedua: Jika ia tidak memiliki kepentingan dalam hal yang ia saksikan, seperti ia adalah washi dalam pembagian harta tertentu dari warisan, lalu ia bersaksi untuk orang yang berwasiat atas kepemilikan yang tidak termasuk dalam wasiatnya, dan ia bukan ahli waris, misalnya, maka itu termasuk dalam wilayahnya; kesaksiannya diterima karena ia tidak mengambil manfaat darinya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وإذا بلغ الحلم ولم يرشد زوجه وإن احتاج إلى خادم “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika anak telah baligh namun belum cakap, maka wali boleh menikahkannya, meskipun ia membutuhkan pembantu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَلَا يُزَوِّجُهُ بِأَكْثَرَ مِنْ وَاحِدَةٍ.

Al-Mawardi berkata: Dan tidak boleh menikahkannya dengan lebih dari satu istri.

أَمَّا إِذَا كَانَ الْيَتِيمُ عَلَى حَالِ صِغَرِهِ، فَلَا يَجُوزُ لِوَصِيِّهِ أَنْ يُزَوِّجَهُ وَقَالَ أَبُو ثور:

Adapun jika anak yatim masih dalam keadaan kecil, maka tidak boleh bagi walinya menikahkannya. Abu Tsaur berkata:

يجوز له أن يزوجه فِي صِغَرِهِ، كَالْأَبِ.

Boleh bagi wali menikahkannya saat masih kecil, sebagaimana ayahnya.

وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ الْوَصِيَّ لَمَّا مُنِعَ مِنْ تَزْوِيجِ الصَّغِيرَةِ، وَإِنْ كَانَ لِلْأَبِ تَزْوِيجُهَا مَعَ مَا فِيهِ مِنَ اكْتِسَابِ الْمَهْرِ، كَانَ أَوْلَى أَنْ يُمْنَعَ مِنْ تَزْوِيجِ الصَّغِير وَإِنْ كَانَ لِلْأَبِ تَزْوِيجُهُ، لِمَا فِيهِ من التزام المهر، ولأن الموصي مَمْنُوعٌ أَنْ يُخْرِجَ مِنْ مَالِ الصَّغِيرِ مَا لَا حَاجَةَ بِهِ إِلَيْهِ، وَهُوَ غَيْرُ مُحْتَاجٍ إِلَى النِّكَاحِ.

Ini tidak benar, karena ketika washi (wali wasiat) dilarang menikahkan anak perempuan yang masih kecil, meskipun ayahnya boleh menikahkannya dengan adanya perolehan mahar, maka lebih utama lagi washi dilarang menikahkan anak laki-laki yang masih kecil, meskipun ayahnya boleh menikahkannya, karena di dalamnya terdapat kewajiban membayar mahar. Selain itu, orang yang mewasiatkan dilarang mengeluarkan dari harta anak kecil sesuatu yang tidak dibutuhkan olehnya, sedangkan ia tidak membutuhkan pernikahan.

فَإِذَا بَلَغَ الْيَتِيمُ: زَالَ اسْمُ اليتيم عَنْهُ، لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: لا يتم بعد حلم.

Apabila yatim telah baligh, maka status yatim hilang darinya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Tidak ada status yatim setelah mimpi basah (baligh).”

ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُهُ بَعْدَ بُلُوغِهِ مِنْ أَنْ يَبْلُغَ رَشِيدًا، أَوْ غَيْرَ رَشِيدٍ، فَإِنْ بلغ رشيدا: وجب فله حَجْرُهُ، وَإِمْضَاءُ تَصَرُّفِهِ.

Kemudian, setelah ia baligh, keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: ia baligh dalam keadaan rasyid (berakal/cerdas), atau tidak rasyid. Jika ia baligh dalam keadaan rasyid, maka wajib dicabut perwaliannya dan sah segala tindakannya.

ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُ وليه من ثلاثة أقسام:

Selanjutnya, keadaan walinya tidak lepas dari tiga bagian:

أحدها: أَنْ يَكُونَ أَبًا، فَيَنْفَكُّ حَجْرُهُ بِظُهُورِ الرُّشْدِ بَعْدَ الْبُلُوغِ مِنْ غَيْرِ حُكْمِ حَاكِمٍ، لِأَنَّ ثُبُوتَ الْوِلَايَةِ لِلْأَبِ كَانَتْ مِنْ غَيْرِ حُكْمٍ به، فَارْتَفَعَتْ بِالرُّشْدِ مِنْ غَيْرِ حُكْمٍ.

Pertama: Jika walinya adalah ayah, maka perwalian atasnya terputus dengan tampaknya sifat rasyid setelah baligh tanpa keputusan hakim, karena penetapan wilayah (perwalian) bagi ayah terjadi tanpa keputusan hakim, maka wilayah itu hilang dengan adanya sifat rasyid tanpa keputusan hakim.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ الْوَلِيُّ أَمِينَ الْحَاكِمِ، فَلَا يَنْفَكُّ حجره عَنْهُ بِظُهُورِ الرُّشْدِ إِلَّا أَنْ يَحْكُمَ الْحَاكِمُ بفك حجره، لأن الولاية عليه، تثبت بِحُكْمِهِ فَلَمْ تَرْتَفِعْ إِلَّا بِحُكْمِهِ.

Kedua: Jika walinya adalah amīn (kepercayaan) hakim, maka perwalian atasnya tidak terputus dengan tampaknya sifat rasyid kecuali dengan keputusan hakim, karena wilayah atasnya ditetapkan dengan keputusan hakim, maka tidak hilang kecuali dengan keputusan hakim pula.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ الْوَلِيُّ عَلَيْهِ وَصِيًّا لِأَبٍ، أَوْ جَدٍّ، فَفِي فَكِّ الْحَجْرِ عَنْهُ بِظُهُورِ رُشْدِهِ مِنْ غَيْرِ حُكْمٍ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: يَنْفَكُّ حَجْرُهُ بِغَيْرِ حُكْمٍ لِأَنَّهُ يَقُومُ مَقَامَ الْأَبِ.

Ketiga: Jika walinya adalah washi dari ayah atau kakek, maka dalam hal pencabutan perwalian atasnya dengan tampaknya sifat rasyid tanpa keputusan hakim terdapat dua pendapat: Pertama, perwalian terputus tanpa keputusan hakim karena ia menempati posisi ayah.

وَالثَّانِي: لَا يَنْفَكُّ عَنْهُ إِلَّا بِحُكْمٍ، لِأَنَّهَا وِلَايَةٌ مِنْ جِهَةِ غَيْرِهِ، كَالْأَمِينِ.

Kedua, tidak terputus kecuali dengan keputusan hakim, karena itu adalah wilayah dari selain ayah, seperti amīn.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ بَلَغَ غَيْرَ رَشِيدٍ: كَانَ حَجْرُهُ بَاقِيًا، لِأَنَّ فَكَّهُ مقيد بِشَرْطَيْنِ: الْبُلُوغُ وَالرُّشْدُ، فَلَمْ يَنْفَكَّ بِالْبُلُوغِ دُونَ الرُّشْدِ، كَمَا لَا يَنْفَكُّ بِالرُّشْدِ دُونَ الْبُلُوغِ.

Jika ia baligh namun tidak rasyid, maka perwalian atasnya tetap ada, karena pencabutan perwalian disyaratkan dua hal: baligh dan rasyid. Maka tidak terputus hanya dengan baligh tanpa rasyid, sebagaimana tidak terputus hanya dengan rasyid tanpa baligh.

وَإِذَا كَانَ الْحَجْرُ عَلَيْهِ بَاقِيًا، كَانَتْ وِلَايَةُ الوالي عَلَيْهِ بِحَالِهَا، سَوَاءٌ كَانَ الْوَالِي عَلَيْهِ أَبًا، أَوْ وَصِيًّا، أَوْ أَمِينًا.

Jika perwalian atasnya masih tetap, maka wilayah wali atasnya juga tetap, baik walinya itu ayah, washi, maupun amīn.

وَإِنْ كَانَ حَجْرُهُ بَعْدَ الْبُلُوغِ. حَجْرَ سَفَهٍ، لَا يَتَوَلَّاهُ إِلَّا حاكم، (تقديم حجر) مستديم، فحجر مُتَقَدِّمٍ، فَدَامَتِ الْوِلَايَةُ عَلَيْهِ لِوَلِيِّهِ الْمُتَقَدِّمِ، وَلَا يَحْتَاجُ إِلَى اسْتِئْنَافِ تَوْلِيَةٍ، كَمَا لَا يَحْتَاجُ إِلَى اسْتِئْنَافِ حَجْرٍ.

Jika perwalian atasnya setelah baligh adalah perwalian karena safih (bodoh/boros), maka yang berhak menjadi wali hanyalah hakim. Jika perwalian itu sudah ada sebelumnya dan masih berlanjut, maka wilayah wali sebelumnya tetap berlanjut atasnya, dan tidak perlu pengangkatan wali baru, sebagaimana tidak perlu penetapan perwalian baru.

فَإِنْ كَانَتْ جَارِيَةً: لَمْ يجز لوصي تَزْوِيجُهَا.

Jika ia adalah seorang perempuan, maka tidak boleh bagi washi menikahkannya.

وَإِنْ كَانَ غُلَامًا: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ به حاجة إلى النساء، لم يزوج.

Jika ia adalah seorang laki-laki, maka jika ia tidak membutuhkan perempuan, tidak boleh dinikahkan.

وَإِنْ كَانَتْ بِهِ إِلَى النِّسَاءِ حَاجَةٌ لِمَا يرى من فورته عَلَيْهِنَّ، وَمَيْلِهِ إِلَيْهِنَّ، زَوَّجَهُ الْوَصِيُّ، لِمَا فِيهِ من المصلحة له، وَتَحْصِينِ فَرْجِهِ، وَلَا يَزِيدُهُ عَلَى وَاحِدَةٍ، وَلَا يزوجه إلا بمن اختارها من أكفائه.

Jika ia membutuhkan perempuan karena terlihat dorongan syahwat dan kecenderungannya kepada mereka, maka washi boleh menikahkannya, karena di dalamnya terdapat kemaslahatan baginya dan menjaga kehormatannya. Tidak boleh dinikahkan lebih dari satu perempuan, dan tidak boleh dinikahkan kecuali dengan perempuan yang ia pilih dari kalangan yang sekufu.

فإذا أَذِنَ لَهُ الْوَصِيُّ فِي تَوَلِّي الْعَقْدِ بِنَفْسِهِ، جَازَ بِمَهْرِ الْمِثْلِ فَمَا دُونَ وَإِنْ نَكَحَ بأكثر من مهر المثل، ردت الزيادة على وليه، ودفع الْمَهْرَ عِنْدَ طَلَبِهِ، وَالْإِنْفَاقِ عَلَى زَوْجَتِهِ وَعَلَيْهِ بالمعروف لمثلها مِنْ غَيْرِ سَرَفٍ، وَلَا تَقْصِيرٍ.

Jika washi mengizinkannya untuk melakukan akad sendiri, maka boleh dengan mahar mitsil atau kurang dari itu. Jika ia menikah dengan mahar lebih dari mahar mitsil, kelebihannya dikembalikan kepada walinya. Mahar diberikan ketika diminta, dan ia wajib menafkahi istrinya dengan cara yang ma’ruf sesuai keadaannya, tanpa berlebihan dan tanpa kekurangan.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” ومثله يخدم اشترى له ولا يجمع له امرأتين ولا جاريتين للوطء وإن اتسع ماله لأنه لا ضيق في جارية للوطء “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Dan orang seperti ini (yatim yang telah baligh) dilayani, dibelikan pelayan untuknya, dan tidak boleh dikumpulkan baginya dua istri atau dua budak perempuan untuk digauli, meskipun hartanya banyak, karena tidak ada kesempitan dengan satu budak perempuan untuk digauli.”

قال الماوردي: فَإِنْ كَانَ لَهُ مَالٌ وَمِثْلُهُ يُخْدَمُ اشْتَرَى له خادما.

Al-Mawardi berkata: Jika ia memiliki harta dan orang sepertinya biasa dilayani, maka dibelikan pelayan untuknya.

أَمَّا إِذَا لَمْ يَحْتَجْ إِلَى خَادِمٍ: تَرَكَهُ وَخَدَمَ نَفْسَهُ. وَإِنِ احْتَاجَ إِلَى خَادِمٍ فَإِنِ اكْتَفَى بِخِدْمَةِ زَوْجَتِهِ: اقْتَصَرَ عَلَيْهَا.

Adapun jika ia tidak membutuhkan pelayan, maka dibiarkan dan ia melayani dirinya sendiri. Jika ia membutuhkan pelayan dan cukup dengan pelayanan istrinya, maka cukup dengan itu.

وَإِنْ لَمْ يَكْتَفِ بِخِدْمَةِ زَوْجَتِهِ نُظِرَ: فَإِنْ ضَاقَ مَالُهُ اكْتَرَى لَهُ خَادِمًا وَإِنِ اتَّسَعَ اشْتَرَى لَهُ خادما.

Jika tidak cukup dengan pelayanan istrinya, maka dilihat: jika hartanya terbatas, maka disewakan pelayan untuknya; jika hartanya luas, maka dibelikan pelayan untuknya.

فإن كانت خدمته، تَقُومُ بِهَا الْجَوَارِي، وَأَمْكَنَ أَنْ تَقُومَ الْجَارِيَةُ بخدمته واستمتاعه: اقتصر على جارية الخدمة والاستمتاع بزوجه.

Jika pelayanannya dapat dilakukan oleh budak perempuan, dan memungkinkan budak perempuan itu melayani dan memenuhi kebutuhannya, maka cukup dengan satu budak perempuan untuk pelayanan dan menikmati istrinya.

وَإِنْ لَمْ تَكُنِ الْجَارِيَةُ لِاسْتِمْتَاعِ مِثْلِهِ: اشْتَرَى لَهُ مَعَ التَّزْوِيجِ جَارِيَةً لِخِدْمَتِهِ.

Jika budak perempuan itu bukan untuk dinikmati sebagaimana biasanya: maka dibelikan untuknya, bersamaan dengan pernikahan, seorang budak perempuan untuk melayaninya.

وَإِنْ كَانَتْ خِدْمَتُهُ مِمَّا لَا يَقُومُ بِهَا إِلَّا الْغِلْمَانُ: اشْتَرَى لَهُ غُلَامًا لِخِدْمَتِهِ.

Dan jika pelayanannya adalah sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh budak laki-laki: maka dibelikan untuknya seorang budak laki-laki untuk melayaninya.

فَإِنِ احْتَاجَ فِي خِدْمَتِهِ إِلَى خِدْمَةِ جَارِيَةٍ لِخِدْمَةِ مَنْزِلِهِ، وَغُلَامٍ لِخِدْمَتِهِ فِي تَصَرُّفِهِ، اشْتَرَاهُمَا لَهُ إِذَا اتَّسَعَ مَالُهُ، وَفِي الْجُمْلَةِ أَنَّهُ يُرَاعِي فِي ذَلِكَ مَا دَعَتِ الْحَاجَةُ إِلَيْهِ، وَجَرَتِ الْعَادَةُ بِمِثْلِهِ.

Jika ia membutuhkan dalam pelayanannya seorang budak perempuan untuk mengurus rumahnya, dan seorang budak laki-laki untuk melayaninya dalam urusan pribadinya, maka keduanya dibelikan untuknya jika hartanya mencukupi. Secara umum, dalam hal ini dipertimbangkan apa yang dibutuhkan dan apa yang sudah menjadi kebiasaan pada umumnya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فَإِنْ أَكْثَرَ الطَّلَاقَ لَمْ يُزَوَّجْ وَسرّى وَالْعِتْقُ مَرْدُودٌ عَلَيْهِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ia banyak menjatuhkan talak, maka tidak dinikahkan dan ia diarahkan untuk memiliki budak perempuan, dan pembebasan budak tidak sah baginya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: طَلَاقُ السَّفِيهِ وَاقِعٌ، وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ. وَقَالَ أبو يوسف: طَلَاقُ السَّفِيهِ لَا يَقَعُ. اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الطَّلَاقَ اسْتِهْلَاكُ مَالٍ لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَخْذُ الْعِوَضِ عَلَيْهِ فِي الْخُلْعِ فَمُنِعَ مِنْهُ السَّفِيهُ، كَالْعِتْقِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: talak orang safih (bodoh/kurang bijak) itu sah, dan ini adalah pendapat jumhur. Abu Yusuf berkata: talak orang safih tidak sah, dengan alasan bahwa talak itu merupakan pemborosan harta karena boleh mengambil kompensasi (iwadh) dalam khulu‘, maka orang safih dilarang melakukannya, sebagaimana dalam pembebasan budak.

وَهَذَا فَاسِدٌ: لِأَنَّ الطَّلَاقَ قَاطِعٌ لِلِاسْتِدَامَةِ ومانع من الاستمتاع وليس بإتلاف مال، إنما يستفاد به إسقاط مال، لأنه إذا كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ: أَسْقَطَ نِصْفَ الصَّدَاقِ، وَإِنْ كَانَ بَعْدَهُ، أَسْقَطَ النَّفَقَةَ وَالْكِسْوَةَ، وَخَالَفَ الْعِتْقَ الذي هو استهلاك مال، ولذلك جاز للكاتب أَنْ يُطَلِّقَ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْتِقَ، وَجَازَ طلاق العبد وإن لم يأذن له فِيهِ السَّيِّدُ، وَالْعِوَضُ الْمَأْخُوذُ فِي الْخُلْعِ إِنَّمَا هُوَ لِرَفْعِ الْيَدِ عَنِ التَّصَرُّفِ فِي الْبُضْعِ بِالِاسْتِمْتَاعِ، فَصَارَ الْعِوَضُ مَأْخُوذًا عَلَى تَرْكِ الاستمتاع، لا على أنه في مقابلة ماله. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan ini tidak benar, karena talak itu memutus kesinambungan dan mencegah kenikmatan, bukanlah pemborosan harta. Talak hanya menyebabkan hilangnya hak atas harta, karena jika terjadi sebelum dukhul (hubungan suami istri), maka menggugurkan setengah mahar, dan jika setelahnya, menggugurkan nafkah dan pakaian. Ini berbeda dengan pembebasan budak yang merupakan pemborosan harta. Oleh karena itu, seorang mukatab boleh mentalak, tetapi tidak boleh membebaskan budak, dan talak budak sah meskipun tuannya tidak mengizinkan. Kompensasi yang diambil dalam khulu‘ hanyalah sebagai imbalan atas pelepasan hak menikmati, sehingga kompensasi itu diambil karena meninggalkan kenikmatan, bukan sebagai ganti harta. Wallāhu a‘lam.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ طَلَاقَ السَّفِيهِ وَاقِعٌ: نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ مِطْلَاقًا يُكْثِرُ الطَّلَاقَ لَمْ يُزَوِّجْهُ لِمَا يَتَوَالَى فِي مَالِهِ مِنَ اسْتِحْقَاقِ مَهْرٍ بَعْدَ مَهْرٍ، وَسَرَّاهُ بِجَارِيَةٍ يَسْتَمْتِعُ بِهَا، فَإِنْ أَعْتَقَهَا، لَمْ يَنْفُذْ عِتْقُهُ، وَإِنَّمَا عَدَلَ بِهِ عَنِ التَّزْوِيجِ إِذَا كَانَ مِطْلَاقًا إِلَى التَّسَرِّي، لِأَنَّ ذَلِكَ أَحْفَظُ لِمَالِهِ.

Jika telah tetap bahwa talak orang safih itu sah, maka diperhatikan: jika ia adalah orang yang mudah menjatuhkan talak, maka tidak dinikahkan karena akan terus-menerus menghabiskan hartanya untuk mahar demi mahar, dan diarahkan untuk memiliki budak perempuan yang dapat ia nikmati. Jika ia membebaskan budak itu, maka pembebasannya tidak sah. Ia dialihkan dari pernikahan kepada memiliki budak perempuan jika ia adalah orang yang mudah menjatuhkan talak, karena hal itu lebih menjaga hartanya.

فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ يُحْبِلُ الْجَارِيَةَ فَيَبْطُلُ ثَمَنُهَا، فَصَارَ ذَلِكَ كَالطَّلَاقِ أَوْ أَسْوَأَ حَالًا؟ قِيلَ: إِحْبَالُهَا لَا يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا فكان مقصده فِيهَا بَاقِيًا، وَلَيْسَ كَالطَّلَاقِ الَّذِي يَمْنَعُ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ وَيَرْفَعُ الِاسْتِبَاحَةِ، وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.

Jika dikatakan: Bisa saja ia menghamili budak perempuan sehingga harganya menjadi batal, bukankah itu sama saja dengan talak atau bahkan lebih buruk? Dijawab: Menghamili budak perempuan tidak menghalangi bolehnya menikmati budak tersebut, sehingga tujuannya tetap tercapai, dan ini tidak seperti talak yang menghalangi kenikmatan dan menghilangkan kebolehan, dan hanya kepada Allah-lah taufik.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا اسْتَقَرَّ مَا اشْتَمَلَ عَلَيْهِ هَذَا الْبَابُ مِنْ أَحْوَالِ الْأَوْصِيَاءِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْوَصِيِّ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika telah jelas apa yang terkandung dalam bab ini mengenai keadaan para washi (wali/pelaksana wasiat), maka keadaan seorang washi tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُتَطَوِّعًا، أَوْ مستعجلا.

Yaitu apakah ia melakukannya secara sukarela, atau karena tergesa-gesa.

فإن تطوع فهي أمانة محضة، أو اسْتَعْجَلَ: فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika ia melakukannya secara sukarela, maka itu adalah amanah murni. Jika ia melakukannya karena tergesa-gesa, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بعقد.

Pertama: dengan akad.

والثاني: بغير عقد.

Kedua: tanpa akad.

فإن كان بعقد فَهِيَ إِجَارَةٌ لَازِمَةٌ يَجِبُ عَلَيْهِ الْقِيَامُ بِمَا يضمنها، وَلَيْسَ لَهُ الرُّجُوعُ بِهَا، وَإِنْ ضَعُفَ عَنْهَا، استأجر عَلَيْهِ مِنْ مَالِهِ مَنْ يَقُومُ مَقَامَهُ فِيمَا ضعف عنه، ولو الْأُجْرَةَ الْمُسَمَّاةَ.

Jika dengan akad, maka itu adalah ijarah (sewa) yang mengikat, ia wajib melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawabnya, dan ia tidak boleh menarik kembali akad tersebut. Jika ia tidak mampu melaksanakannya, maka ia boleh menyewa orang lain dari hartanya untuk menggantikannya dalam hal yang tidak mampu ia lakukan, meskipun dengan upah yang telah ditentukan.

وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ عَقْدٍ فَهِيَ جَعَالَةٌ، ثُمَّ هِيَ ضَرْبَانِ: مُعَيَّنَةٌ، وَغَيْرُ مُعَيَّنَةٍ.

Jika tanpa akad, maka itu adalah ju‘alah (pemberian imbalan atas suatu pekerjaan), dan ini terbagi menjadi dua: tertentu dan tidak tertentu.

فَإِنْ كَانَتْ مُعَيَّنَةً: كَأَنَّهُ قَالَ: إِنْ قَامَ زيد بوصيتي له مِائَةُ دِرْهَمٍ، فَإِنْ قَامَ بِهَا غَيْرُ زَيْدٍ، فَلَا شَيْءَ لَهُ، وَإِنْ قَامَ بِهَا زَيْدٌ وعمرو، فلا شيء لعمرو، وَإِنْ عَاوَنَ زَيْدًا فِيهَا فَلِزَيْدٍ جَمِيعُ الْمِائَةِ، وَإِنْ عَمِلَ لِنَفْسِهِ، فَلَيْسَ لِزَيْدٍ إِلَّا نِصْفُ الْمِائَةِ، لِأَنَّ لَهُ نِصْفَ الْعَمَلِ.

Jika tertentu: misalnya ia berkata, “Jika Zaid melaksanakan wasiatku, maka ia mendapat seratus dirham.” Jika yang melaksanakannya selain Zaid, maka ia tidak mendapatkan apa-apa. Jika Zaid dan Amr melaksanakannya bersama, maka Amr tidak mendapatkan apa-apa. Jika Amr membantu Zaid, maka seluruh seratus dirham untuk Zaid. Jika ia bekerja untuk dirinya sendiri, maka Zaid hanya mendapat setengah dari seratus dirham, karena ia hanya melakukan setengah pekerjaan.

وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مُعَيَّنَةٍ: كَقَوْلِهِ مَنْ قَامَ بِوَصِيَّتِي هَذِهِ فَلَهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ: فَأَيُّ النَّاسِ قَامَ بِهَا وَهُوَ مِنْ أَهْلِهَا، فَلَهُ الْمِائَةُ.

Jika tidak tertentu: seperti ia berkata, “Siapa saja yang melaksanakan wasiatku ini, maka ia mendapat seratus dirham.” Maka siapa pun yang melaksanakannya dan ia termasuk orang yang berhak, maka ia berhak atas seratus dirham itu.

فَإِنْ قَامَ بِهَا جَمَاعَةٌ: كَانَتِ الْمِائَةُ بَيْنَهُمْ، وَإِذَا قَامَ بِهَا وَاحِدٌ وَكَانَ كَافِيًا: مُنِعَ غَيْرُهُ بَعْدَ الْعَمَلِ أَنْ يُشَارِكَهُ فِيهَا.

Jika tugas itu dilaksanakan oleh sekelompok orang, maka seratus (upah) itu dibagi di antara mereka. Dan jika tugas itu dilaksanakan oleh satu orang saja dan sudah cukup, maka setelah pekerjaan selesai, orang lain tidak boleh ikut serta di dalamnya.

فَإِنْ رَجَعَ بَعْدَ شُرُوعِهِ فِي إِنْفَاذِ الْوَصَايَا وَالْقِيَامِ بِالْوَصِيَّةِ عَنْ إِتْمَامِهَا: لَمْ يُجْبَرْ لِأَنَّ عَقْدَ الْجَعَالَةِ لَا يَلْزَمُ وَجَازَ لِغَيْرِهِ بَعْدَ رَفْعِ يَدِهِ أَنْ يُتَمِّمَ مَا بَقِيَ، وَلِلْأَوَّلِ مِنَ الْجَعَالَةِ بِقَدْرِ عَمَلِهِ: وَلِلثَّانِي: بِقَدْرِ عَمَلِهِ مُقَسَّطًا عَلَى أُجُورِ أمثالها.

Jika seseorang menarik diri setelah mulai melaksanakan wasiat dan menjalankan tugas sebagai pelaksana wasiat sebelum menyelesaikannya, maka ia tidak dipaksa (untuk menyelesaikannya), karena akad ju‘ālah tidak mengikat. Orang lain boleh melanjutkan sisa pekerjaan setelah ia berhenti, dan yang pertama mendapatkan bagian ju‘ālah sesuai dengan pekerjaannya, sedangkan yang kedua juga mendapatkan bagian sesuai pekerjaannya, yang dibagi berdasarkan upah yang lazim untuk pekerjaan serupa.

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا: لَمْ يَخْلُ حَالُ الْوَصِيِّ إِذَا كَانَ مُسْتَعْجِلًا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.

Jika telah tetap seperti yang kami jelaskan, maka keadaan seorang washi (pelaksana wasiat) yang bertindak cepat tidak lepas dari dua kemungkinan.

إِمَّا أَنْ يَكُونَ وَصِيًّا فِي كُلِّ الْمَالِ، أَوْ فِي بَعْضِهِ.

Yaitu, apakah ia menjadi washi untuk seluruh harta, atau hanya sebagian darinya.

فَإِنْ كَانَ وَصِيًّا فِي جميع ما وصى بِهِ: لَمْ يَخْلُ حَالُ مَا جَعَلَهُ لَهُ مِنَ الْأُجْرَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika ia menjadi washi untuk seluruh harta yang diwasiatkan, maka keadaan upah yang diberikan kepadanya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَجْعَلَهُ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ، وَالثَّانِي: مِنْ ثُلُثِهِ.

Pertama: upah itu diambil dari seluruh harta peninggalan; kedua: dari sepertiganya;

وَالثَّالِثُ: أَنْ يُطْلِقَ.

Dan ketiga: tidak disebutkan secara spesifik (dibiarkan mutlak).

فَإِنْ جَعَلَهُ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ، نُظِرَ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي الْأُجْرَةِ مُحَابَاةٌ، كَانَتْ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ، وإن كانت فِيهَا مُحَابَاةٌ: كَانَتْ أُجْرَةُ الْمِثْلِ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ، وَمَا زَادَ عَلَيْهَا مِنَ الْمُحَابَاةِ، فِي الثُّلُثِ، يُضَارَبُ بِهَا أَهْلُ الْوَصَايَا.

Jika upah itu diambil dari seluruh harta peninggalan, maka dilihat: jika dalam upah itu tidak ada unsur muḥābāh (perlakuan istimewa), maka upah itu diambil dari seluruh harta peninggalan. Namun jika ada muḥābāh di dalamnya, maka upah yang sesuai standar diambil dari seluruh harta peninggalan, dan kelebihan dari muḥābāh itu diambil dari sepertiga harta, yang akan dibagi bersama para penerima wasiat lainnya.

فَإِنْ جَعَلَ ذلك من ثلثه، كان في ثُلُثِهِ.

Jika upah itu diambil dari sepertiga harta, maka diambil dari sepertiga harta tersebut.

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي الْأُجْرَةِ مُحَابَاةٌ، وعجز الثلث عنها: تمت لَهُ الْأُجْرَةُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ.

Jika dalam upah itu tidak ada muḥābāh, namun sepertiga harta tidak mencukupi, maka kekurangannya dilengkapi dari seluruh harta peninggalan.

فَلَوْ كَانَ فِي الثُّلُثِ مَعَ الْأُجْرَةِ وَصَايَا، فَفِي تَقْدِيمِ الْوَصِيِّ بِأُجْرَتِهِ عَلَى أَهْلِ الْوَصَايَا وَجْهَانِ:

Jika dalam sepertiga harta, selain upah, juga terdapat wasiat-wasiat lain, maka dalam hal mendahulukan washi dengan upahnya atas para penerima wasiat lainnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يقدم بِأُجْرَتِهِ لِأَنَّهَا وَاجِبَةٌ عَنْ عَمَلٍ، لَا مُحَابَاةَ فيه، ثم يتمتم مَا عَجَزَ الثُّلُثُ عَنْهُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ.

Pertama: washi didahulukan dengan upahnya karena itu merupakan kewajiban atas pekerjaan yang dilakukan tanpa muḥābāh, kemudian kekurangan yang tidak tercukupi oleh sepertiga harta dilengkapi dari seluruh harta peninggalan.

والوجه الثاني: أن يَكُون مُسَاوِيًا لَهُمْ فِي الْمُضَارَبَةِ بِهَا مَعَهُمْ فِي الثُّلُثِ لِأَنَّ لِبَاقِي أُجْرَتِهِ مَحَلًّا يَسْتَوْفِيهِ منه، وهو رأس المال، وهذا الوجهان بنيا عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِيمَنْ جَعَلَ حَجَّةَ الْإِسْلَامِ من ثلثه، وجعل دَيْنه مِنْ ثُلُثِهِ، هَلْ يُقَدَّمُ ذَلِكَ عَلَى أَهْلِ الْوَصَايَا أَمْ لَا؟ .

Pendapat kedua: ia disamakan dengan mereka dalam pembagian bersama di sepertiga harta, karena sisa upahnya masih memiliki tempat untuk dipenuhi, yaitu dari seluruh harta peninggalan. Dua pendapat ini dibangun atas perbedaan pendapat dalam masalah orang yang mewasiatkan haji Islam dari sepertiga hartanya, atau mewasiatkan pembayaran utangnya dari sepertiga hartanya, apakah itu didahulukan atas para penerima wasiat lainnya atau tidak?

فَلَوْ كَانَ فِي أكرة هذا الوصي محاباة، كانت أجرة المثل إذا عجز الثلث عنها متمة من رأس المال، وكانت محاباة وَصِيَّةً يُضَارَبُ بِهَا مَعَ أَهْلِ الْوَصَايَا وَيسقط مِنْهَا مَا عَجَزَ الثُّلُثُ عَنْهُ.

Jika dalam upah washi tersebut terdapat muḥābāh, maka upah yang sesuai standar, jika sepertiga harta tidak mencukupi, dilengkapi dari seluruh harta peninggalan. Sedangkan kelebihan dari muḥābāh dianggap sebagai wasiat yang dibagi bersama para penerima wasiat lainnya, dan bagian yang tidak tercukupi oleh sepertiga harta gugur.

وَإِنْ أَطْلَقَ أُجْرَةَ الْوَصِيِّ وَلَمْ يَجْعَلْهَا مِنْ رَأْسِ مَالِهِ وَلَا مِنْ ثُلُثِهِ: فَهِيَ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ، إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا مُحَابَاةٌ، إِذَا تَعَلَّقَتْ بِوَاجِبٍ مِنْ قَضَاءِ دُيُونٍ، وَتَأْدِيَةِ حُقُوقٍ، وَكَانَ مَا تَعَلَّقَ بِهَا مِمَّا لَيْسَ بِوَاجِبٍ تَبَعًا: فَإِنْ كَانَ فِي الْأُجْرَةِ مُحَابَاةٌ كَانَ قَدْرُ أُجْرَةِ الْمِثْلِ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ، وَكَانَتِ الْمُحَابَاةُ فِي الثُّلُثِ يُضَارَبُ بِهَا أَهْلُ الْوَصَايَا.

Jika upah washi disebutkan secara mutlak dan tidak ditentukan dari seluruh harta peninggalan maupun dari sepertiganya, maka upah itu diambil dari seluruh harta peninggalan jika tidak ada muḥābāh, apabila berkaitan dengan kewajiban seperti pelunasan utang dan penunaian hak-hak. Jika yang berkaitan dengannya bukan kewajiban, maka mengikuti (yang wajib). Jika dalam upah itu terdapat muḥābāh, maka upah yang sesuai standar diambil dari seluruh harta peninggalan, dan kelebihan dari muḥābāh diambil dari sepertiga harta, yang dibagi bersama para penerima wasiat lainnya.

فَهَذَا حُكْمُ أُجْرَةِ الْوَصِيِّ، إِذَا كَانَ وَصِيًّا فِي جَمِيعِ الْمَالِ.

Demikianlah hukum upah washi jika ia menjadi washi untuk seluruh harta.

فَأَمَّا إِذَا كَانَ وَصِيًّا فِي شَيْءٍ دُونَ غَيْرِهِ، فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun jika ia menjadi washi hanya untuk sebagian harta, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ وَصِيًّا فِي قَضَاءِ دُيُونٍ وَتَأْدِيَةِ حُقُوقٍ، فَأُجْرَتُهُ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا مُحَابَاةٌ، تَكُون مِنْ رَأْسِ الْمَالِ، لِأَنَّهَا بَدَلٌ عَنْ وَاجِبٍ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ فِيهَا مُحَابَاةٌ، كَانَتْ فِي الثُّلُثِ يُضَارَبُ بِهَا أَهْلُ الْوَصَايَا.

Pertama: menjadi washi dalam pelunasan utang dan penunaian hak-hak. Maka upahnya, jika tidak ada muḥābāh, diambil dari seluruh harta peninggalan, karena itu sebagai pengganti dari kewajiban atasnya. Jika ada muḥābāh, maka diambil dari sepertiga harta, yang dibagi bersama para penerima wasiat lainnya.

فَإِنْ جَعَلَ كُلَّ الْأُجْرَةِ فِي ثُلُثِهِ وَلَا محاباة فيها: تممت وعند عَجْزِ الثُّلُثِ عَنْهَا مِنْ رَأْسِ الْمَالِ وَدَخَلَهَا دَوْرٌ، كَالْحَجِّ إِذَا أَوْصَى بِهِ فِي الثُّلُثِ فعجز الثلث عنه، فيكون على مَا مَضَى.

Jika seluruh upah ditetapkan dari sepertiga harta dan tidak ada muḥābāh di dalamnya, maka upah itu dilengkapi, dan jika sepertiga harta tidak mencukupi, maka kekurangannya diambil dari seluruh harta peninggalan. Dalam hal ini terjadi perputaran, seperti pada haji jika diwasiatkan dari sepertiga harta namun sepertiga itu tidak mencukupi, maka berlaku sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ وَصِيًّا فِي تَفْرِيقِ الثُّلُثِ، فَأُجْرَتُهُ تَكُونُ فِي الثُّلُثِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا مُحَابَاةٌ قَدَّمْتُهَا عَلَى أَهْلِ الْوَصَايَا وَجْهًا واحدا لأنها مُقَابَلَة عَمَلٍ يَتَعَلَّقُ بِإِنْفَاذِ وَصَايَاهُمْ وَلَيْسَ لَهَا مَحَلٌّ غَيْرَ الثُّلُثِ فَلِذَلِكَ يُقَدَّمُ بِهَا.

Bagian kedua: Yaitu jika seseorang menjadi wasi dalam membagikan sepertiga harta (wasiat), maka upahnya diambil dari sepertiga harta tersebut. Jika di dalamnya tidak terdapat unsur memihak (muḥābāh), maka upah itu didahulukan atas para penerima wasiat, menurut satu pendapat, karena upah tersebut merupakan imbalan atas pekerjaan yang berkaitan dengan pelaksanaan wasiat mereka, dan tidak ada tempat lain untuk mengambilnya selain dari sepertiga harta, maka karena itu ia didahulukan.

وَإِنْ كان فيها محاباة: تقدمهم بأجرة المثل، وَشَارَكَهُمْ فِي الثُّلُثِ لِمُحَابَاتِهِ.

Dan jika di dalamnya terdapat unsur memihak (muḥābāh): maka ia didahulukan atas mereka dengan upah yang sepadan (ujrah al-mitsl), dan ia berbagi dengan mereka dalam sepertiga harta karena adanya unsur memihak tersebut.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ وَصِيًا عَلَى أَيْتَامِ وَلَدِهِ: فَإِنَّ أُجْرَتَهُ عِنْدَ إِطْلَاقِ الْمُوصِي تَكُونُ فِي مَالِ الْيَتِيمِ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهَا مُحَابَاةٌ، وَيَكُونُ الْوَصِيُّ وَكِيلًا مُسْتَأْجَرًا بِعَقْدِ الْأَبِ الْمُوصِي.

Bagian ketiga: Yaitu jika seseorang menjadi wasi atas anak-anak yatim dari anaknya, maka upahnya, jika pewasiat tidak menyebutkan secara khusus, diambil dari harta anak yatim selama tidak ada unsur memihak di dalamnya, dan wasi tersebut menjadi wakil yang diupah berdasarkan akad dari ayah pewasiat.

فَإِنْ كَانَ فِي الْأُجْرَةِ مُحَابَاةٌ: كَانَتْ أُجْرَةُ الْمِثْلِ فِي مَالِ الْيَتِيمِ، وَكَانَتِ الْمُحَابَاةُ وَصِيَّة ثُلُثِ الْمُوصِي يُضْرَبُ بِهَا مَعَ أَهْلِ الْوَصَايَا.

Jika dalam upah tersebut terdapat unsur memihak (muḥābāh): maka upah yang diambil adalah upah yang sepadan (ujrah al-mitsl) dari harta anak yatim, sedangkan kelebihan karena muḥābāh dianggap sebagai wasiat dari sepertiga harta pewasiat, yang dibagi bersama para penerima wasiat lainnya.

فَإِنْ جَعَلَ الْمُوصِي جَمِيعَ الْأُجْرَةِ فِي ثُلُثِهِ: كَانَتْ فِيهِ، فَإِنِ احْتَمَلَهَا الثُّلُثُ فَلَا شَيْءَ فِي مَالِ اليتيم، ولا خيار للموصي.

Jika pewasiat menetapkan seluruh upah diambil dari sepertiga hartanya: maka upah itu diambil dari sepertiga tersebut. Jika sepertiga harta cukup menanggungnya, maka tidak ada yang diambil dari harta anak yatim, dan pewasiat tidak memiliki pilihan lain.

وَإِنْ عَجَزَ الثُّلُثُ عَنْهَا: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فيها محاباة، ضُرِبَ مَعَ أَهْلِ الْوَصَايَا بِجَمِيعِ الْأُجْرَةِ، وَأُخِذَ مِنْهَا قَدْرُ مَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ، ثم قسط الباقي في الْمُسَمَّى لَهُ عَلَى أُجْرَةِ الْمِثْلِ وَالْمُحَابَاةِ، فَمَا بَقِيَ مِنْ أُجْرَةِ الْمِثْلِ، رَجَعَ بِهِ فِي مَالِ الْيَتِيمِ، وَمَا بَقِيَ مِنَ الْمُحَابَاةِ، يَكُونُ باطلا.

Jika sepertiga harta tidak mencukupi: maka jika tidak ada unsur memihak di dalamnya, maka seluruh upah dibagi bersama para penerima wasiat, dan diambil dari sepertiga harta sesuai kemampuannya. Kemudian sisa upah dibagi antara yang telah ditetapkan untuknya berdasarkan upah sepadan dan muḥābāh. Maka sisa dari upah sepadan diambil dari harta anak yatim, sedangkan sisa dari muḥābāh menjadi batal.

مثاله: أَنْ يَكُونَ قَدْ جَعَلَ لَهُ مِائَةَ دِرْهَمٍ، وَأُجْرَةُ مِثْلِهِ خَمْسُونَ دِرْهَمًا، وَقَدْرُ مَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ مِنَ الْمِائَةِ خَمْسُونَ دِرْهَمًا، فَإِذَا أَخَذَهَا فَقَدْ أَخَذَ نِصْفَ الْمُسَمَّى مِنْ أُجْرَةِ الْمِثْلِ وَالْمُحَابَاةِ، وَبَقِيَ النِّصْفُ خَمْسُونَ دِرْهَمًا، مِنْهَا نِصْفُهَا خَمْسَةٌ وَعِشْرُونَ دِرْهَمًا بَقِيَّةُ أُجْرَةِ مِثْلِهِ يَرْجِعُ بِهَا فِي مَالِ الْيَتِيمِ وَنِصْفُهَا خَمْسَةٌ وَعِشْرُونَ درهما نصيب المحاباة، فتكون بَاطِلَةً وَيَكُونُ الْوَصِيُّ بِالْخِيَارِ فِي الْفَسْخِ لِنُقْصَانِ مَا عَاقَدَ عَلَيْهِ، فَإِنْ فَسَخَ أَقَامَ الْحَاكِمُ من أمنائه من يقوم مقامه مِنْ غَيْرِ أُجْرَةٍ، لِأَنَّ الْحَاكِمَ نُصِبَ لِلْقِيَامِ بِذَلِكَ، وَرِزْقُهُ، وَأُجُورُ أُمَنَائِهِ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ.

Contohnya: Seseorang menetapkan upah seratus dirham, sedangkan upah sepadannya adalah lima puluh dirham, dan sepertiga harta hanya mampu menanggung lima puluh dirham dari seratus dirham tersebut. Maka ketika ia mengambilnya, berarti ia telah mengambil setengah dari jumlah yang ditetapkan, yang terdiri dari upah sepadan dan muḥābāh. Sisa setengahnya, yaitu lima puluh dirham, terdiri dari dua puluh lima dirham sebagai sisa upah sepadan yang diambil dari harta anak yatim, dan dua puluh lima dirham sebagai bagian muḥābāh yang menjadi batal. Wasi berhak memilih untuk membatalkan akad karena kekurangan dari apa yang telah disepakati. Jika ia membatalkan, hakim akan mengangkat orang kepercayaannya untuk menggantikan posisinya tanpa upah, karena hakim memang ditunjuk untuk mengurus hal tersebut, dan nafkah serta upah para kepercayaannya diambil dari Baitul Mal.

فإن لم يكن ببيت المال مال، يدفع أُجْرَةَ أَمِينٍ، وَلَا وَجَدَ مُتَطَوِّعًا: كَانَتْ أُجْرَتُهُ فِي مَالِ الْيَتِيمِ.

Jika di Baitul Mal tidak terdapat dana, maka diberikan upah kepada orang kepercayaan, dan jika tidak ditemukan sukarelawan, maka upahnya diambil dari harta anak yatim.

وَأَكْثَرُ هَذِهِ الْمَسَائِلِ يَدْخُلُهَا دور وطريق عمله مَا ذَكَرْنَا فِي الْحَجِّ، فَصَارَ مَحْصُولُ هَذَا الْفَصْلِ فِي إِطْلَاقِ أُجْرَةِ الْوَصِيِّ إِذَا لَمْ يكن فِيهَا مُحَابَاةٌ أَنْ يُنْظَرَ فَإِنْ كَانَ وَصِيًّا فِي الْبَعْضِ نُظِرَ: فَإِنْ كَانَ وَصِيًّا فِي تَأْدِيَةِ حُقُوقٍ، فَأُجْرَتُهُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ.

Kebanyakan masalah ini berkaitan dengan lingkup dan cara kerja sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam bab haji. Maka kesimpulan dari bab ini dalam hal penetapan upah wasi, jika tidak ada unsur muḥābāh, adalah: jika ia menjadi wasi hanya pada sebagian urusan, maka dilihat: jika ia menjadi wasi dalam pelaksanaan hak-hak, maka upahnya diambil dari pokok harta.

وَإِنْ كَانَ وَصِيًّا فِي تَفْرِيقِ ثُلُثٍ، فَأُجْرَتُهُ مُقَدَّمَةٌ فِي الثُّلُثِ وَإِنْ كَانَ وَصِيًّا عَلَى يَتِيمٍ، فأجرته في مال اليتيم.

Jika ia menjadi wasi dalam pembagian sepertiga harta, maka upahnya didahulukan dari sepertiga harta. Jika ia menjadi wasi atas anak yatim, maka upahnya diambil dari harta anak yatim.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” هذا آخر ما وصفت من هذا الكتاب أنه وَضَعَهُ بِخَطِّهِ لَا أَعْلَمُ أَحَدًا سَمِعَهُ مِنْهُ وسمعته يَقُولُ لَوْ قَالَ أَعْطُوهُ كَذَا وَكَذَا مِنْ دَنَانِيرِي أُعْطِيَ دِينَارَيْنِ وَلَوْ لَمْ يَقُلْ مِنْ دنانيري أعطوه ما شاءوا اثنين “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Ini adalah akhir dari apa yang aku uraikan dalam kitab ini, yang beliau tulis dengan tangannya sendiri. Aku tidak mengetahui ada seorang pun yang mendengarnya langsung darinya. Aku mendengarnya berkata: Jika ia berkata, ‘Berikan kepadanya sekian dan sekian dari dinarku,’ maka diberikan dua dinar. Namun jika ia tidak mengatakan ‘dari dinarku’, maka berikanlah kepadanya berapa pun yang mereka kehendaki, dua sekalipun.”

وَهَذَا الْفَصْلُ مُشْتَمِلٌ عَلَى أَرْبَعِ مَسَائِلَ.

Bab ini mencakup empat masalah.

الْمَسْأَلَةُ الْأُولَى: أَنْ يَقُولَ أَعْطُوهُ كَذَا وَكَذَا مِنْ دنانيري الذي نقله المزني هاهنا أنها وصية بدينارين لأنها لما ذكر عددا مِنْ دَنَانِيرِهِ دَلَّ عَلَى دِينَارَيْنِ وَفِيهِ قَوْلٌ آخَرُ مُخَرَّجٌ مِنَ الْإِقْرَارِ إنَّهَا وَصِيَّةٌ بِدِينَارٍ لِأَنَّهُ قَدْ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ كُلُّ وَاحِدٍ من الفردين أَقَلَّ مِنْ دِينَارٍ وَهُمَا مَعًا دِينَارٌ فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ وَصِيَّةً بِمَا ذَكَرْنَا نُظِرَ فَإِنْ كَانَتْ لَهُ دَنَانِيرُ صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ بِالْقَدْرِ الَّذِي ذَكَرْنَاهُ عَلَى اخْتِلَافِ الْقَوْلِ فِيهِ وَإِنْ لَمْ يكن له دَنَانِيرُ كَانَتِ الْوَصِيَّةُ بَاطِلَةً.

Masalah pertama: Jika seseorang berkata, “Berikan kepadanya sekian dan sekian dari dinar-dinarku,” sebagaimana yang dinukil oleh al-Muzani di sini, maka itu adalah wasiat sebanyak dua dinar. Karena ketika ia menyebutkan suatu jumlah dari dinar-dinarnya, itu menunjukkan dua dinar. Namun ada pendapat lain yang diambil dari kasus pengakuan, yaitu bahwa itu adalah wasiat satu dinar, karena mungkin saja masing-masing dari dua bagian itu kurang dari satu dinar dan keduanya bersama-sama berjumlah satu dinar. Jika demikian, maka itu adalah wasiat dengan apa yang telah kami sebutkan. Maka, jika ia memang memiliki dinar, wasiat itu sah sesuai kadar yang telah kami sebutkan, menurut perbedaan pendapat yang ada. Namun jika ia tidak memiliki dinar, maka wasiat tersebut batal.

وَالْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَقُولَ كَذَا وَكَذَا مِنَ الدَّنَانِيرِ فَيَكُونُ أَيْضًا عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ:

Masalah kedua: Jika ia berkata, “Sekian dan sekian dari dinar,” maka hukumnya juga sebagaimana dua pendapat yang telah kami sebutkan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا وَصِيَّةٌ بِدِينَارَيْنِ. وَالثَّانِي: بِدِينَارٍ لَكِنْ تَصِحُّ الْوَصِيَّةُ بِهَذَا الْقَدْرِ سَوَاءٌ تَرَكَ دَنَانِيرَ أَوْ لَمْ يَتْرُكْ.

Salah satunya: Itu adalah wasiat dua dinar. Yang kedua: Wasiat satu dinar. Namun, wasiat dengan kadar ini tetap sah, baik ia meninggalkan dinar maupun tidak.

وَالْمَسْأَلَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَقُولَ كَذَا وَكَذَا فهذه وصية بعد دين يرجع في بيانها إلى الوارث فإن ذكر شيئا بينه قبلنا منه مع يمينه إن حلف فِيهِ وَسَوَاءٌ بَيَّنَ ذَلِكَ مِنْ جِنْسٍ أَوْ جِنْسَيْنِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Masalah ketiga: Jika ia berkata, “Sekian dan sekian,” maka ini adalah wasiat setelah adanya utang. Penjelasannya dikembalikan kepada ahli waris. Jika ahli waris menyebutkan sesuatu dan menjelaskannya, kami terima penjelasannya dengan sumpahnya jika ia bersumpah. Baik ia menjelaskan dari satu jenis atau dua jenis, dan Allah lebih mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

إِذَا قَالَ أَعْطُوا ثُلُثِي لِأَعْقَلِ النَّاسِ فَقَدْ حَكَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ الرَّبِيعِ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَالَ: يُعْطى أَزْهَد النَّاسِ وَهَذَا صَحِيحٌ. لِأَنَّ الْعَقْلَ مَانِعٌ مِنَ الْقَبَائِحِ وَالزُّهَّادُ هُمْ أَشَدُّ النَّاسِ مَنْعًا لِأَنْفُسِهِمْ مِنَ الشُّبُهَاتِ.

Jika ia berkata, “Berikan sepertiga hartaku kepada orang yang paling berakal,” maka ‘Abdurrahman bin Abi Hatim meriwayatkan dari ar-Rabi‘ dari asy-Syafi‘i bahwa beliau berkata: “Diberikan kepada orang yang paling zuhud.” Dan ini benar, karena akal adalah pencegah dari keburukan, dan orang-orang zuhud adalah yang paling kuat menahan diri dari syubhat.

فَصْلٌ:

Fasal:

ولو قال أعطوا ثلثي لأجمل النَّاسِ فَقَدْ قَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ يُعْطَاهُ أَهْلُ الذِّمَّةِ وَالَّذِي أَرَاهُ أَنْ يُعْطَاهُ أَهْلُ الكبار مِنَ الْمُسْلِمِينَ لِأَمْرَيْنِ:

Jika ia berkata, “Berikan sepertiga hartaku kepada orang yang paling tampan,” maka Abu Hamid al-Isfara’ini berkata: “Diberikan kepada ahli dzimmah.” Namun menurut pendapatku, seharusnya diberikan kepada orang-orang besar dari kalangan Muslim karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُمْ قَدْ أَقْدَمُوا عَلَى فِعْلِ مَا يَعْتَقِدُونَ اسْتِحْقَاقَ الْعَذَابِ عَلَيْهِ وَلَيْسَ كَأَهْلِ الذِّمَّةِ الَّذِينَ لَا يَعْتَقِدُونَ ذَلِكَ.

Pertama: Mereka telah berani melakukan sesuatu yang mereka yakini berhak mendapat azab karenanya, dan itu tidak seperti ahli dzimmah yang tidak meyakini hal tersebut.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْأَغْلَبَ مِنْ قَصْدِ الْمُسْلِمِ بِوَصِيَّتِهِ الْمُسْلِمِينَ دُونَ غَيْرِهِمْ.

Kedua: Pada umumnya, maksud seorang Muslim dengan wasiatnya adalah untuk kaum Muslimin, bukan selain mereka.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ قَالَ أَعْطُوا ثلثي لأحمق الناس قال إبراهيم الجريري يُعْطَاهُ مَنْ يَقُولُ بِالتَّثْلِيثِ مِنَ النَّصَارَى، وَالَّذِي أَرَاهُ أَنْ يُعْطَاهُ أَسْفَهُ النَّاسِ لِأَنَّ الْحُمْقَ يَرْجِعُ إِلَى الْفِعْلِ دُونَ الِاعْتِقَادِ.

Jika ia berkata, “Berikan sepertiga hartaku kepada orang yang paling bodoh,” Ibrahim al-Jariri berkata: “Diberikan kepada orang yang meyakini trinitas dari kalangan Nasrani.” Namun menurut pendapatku, seharusnya diberikan kepada orang yang paling dungu, karena kebodohan itu kembali pada perbuatan, bukan pada keyakinan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ قَالَ أَعْطُوا ثُلُثِي لِأَعْلَمِ النَّاسِ كَانَ مَصْرُوفًا فِي الْفُقَهَاءِ لِاضْطِلَاعِهِمْ بِعُلُومِ الشَّرِيعَةِ الَّتِي هِيَ بِأَكْثَرِ الْعُلُومِ مُتَعَلِّقَةً.

Jika ia berkata, “Berikan sepertiga hartaku kepada orang yang paling berilmu,” maka itu diberikan kepada para fuqaha, karena mereka menguasai ilmu-ilmu syariat yang paling banyak berkaitan dengan berbagai ilmu.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ أَوْصَى بِثُلُثِهِ لِسَيِّدِ النَّاسِ كَانَ لِلْخَلِيفَةِ – رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي الْمَنَامِ فَجَلَسْتُ مَعَهُ ثُمَّ قُمْتُ أُمَاشِيهِ فَضَاقَ الطَّرِيقُ بِنَا فَوَقَفَ فَقُلْتُ تَقَدَّمْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ فَإِنَّكَ سَيِّدُ النَّاسِ قَالَ لَا تَقُلْ هَكَذَا قُلْتُ بَلَى يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَلَا تَرَى لَوْ أَنَّ رَجُلًا أَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ لِسَيِّدِ النَّاسِ كَانَ لِلْخَلِيفَةِ أَنَا أُفْتِيكَ بِهَذَا فَخُذْ حَظِّي به ولم أكن سمعت هذه المسألة قبل هَذَا الْمَنَامِ وَلَيْسَ الْجَوَابُ فِيهَا إِلَّا كَذَلِكَ لِأَنَّ سَيِّدَ النَّاسِ هُوَ الْمُتَقَدِّمُ عَلَيْهِمْ وَالْمُطَاعُ فِيهِمْ وَهَذِهِ صِفَةُ الْخَلِيفَةِ المتقَدّمُ عَلَى جَمِيعِ الْأُمَّةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Jika ia berwasiat dengan sepertiga hartanya kepada “pemimpin manusia”, maka itu untuk khalifah. Aku pernah bermimpi bertemu Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, lalu aku duduk bersamanya, kemudian aku berjalan bersamanya. Jalan menjadi sempit bagi kami, lalu beliau berhenti. Aku berkata, “Majulah, wahai Amirul Mukminin, karena engkau adalah pemimpin manusia.” Beliau berkata, “Jangan katakan demikian.” Aku berkata, “Benar, wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau melihat jika seseorang berwasiat dengan sepertiga hartanya untuk pemimpin manusia, maka itu untuk khalifah? Aku berfatwa kepadamu dengan ini, maka ambillah bagianku dengannya.” Aku belum pernah mendengar masalah ini sebelum mimpi tersebut, dan tidak ada jawaban dalam masalah ini kecuali demikian, karena pemimpin manusia adalah orang yang paling di depan dan ditaati di antara mereka, dan ini adalah sifat khalifah yang memimpin seluruh umat. Allah lebih mengetahui kebenarannya.

آخِرُ كِتَابِ الْوَصَايَا بحمد الله ومنه.

Akhir Kitab al-Washaya dengan puji dan karunia Allah.

Kitab al-Wadi‘ah (Kitab Titipan)

مسألة:

Masalah:

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَإِذَا أَوْدَعَ رَجُلٌ وَدِيعَةً فَأَرَادَ سَفَرًا فَلَمْ يَثِقْ بِأَحَدٍ يَجْعَلُهَا عِنْدَهُ فَسَافَرَ بِهَا بَرًّا أَوْ بَحْرًا ضَمِنَ “.

Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang menitipkan barang titipan, lalu ia hendak bepergian dan tidak percaya kepada siapa pun untuk menitipkannya, kemudian ia bepergian membawa barang itu baik di darat maupun di laut, maka ia bertanggung jawab (atas barang itu).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا اسْتِيدَاعُ الْوَدَائِعِ فَمِنَ التَّعَاوُنِ الْمَأْمُورِ بِهِ، وَالْإِرْفَاقِ الْمَنْدُوبِ إِلَيْهِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى} [المائدة: 2] .

Al-Mawardi berkata: Adapun menitipkan barang titipan termasuk dalam bentuk tolong-menolong yang diperintahkan, dan kebaikan yang dianjurkan. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa} (QS. al-Ma’idah: 2).

وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا} [النساء: 58] .

Allah Ta‘ala berfirman: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. an-Nisā’: 58).

وَقَالَ تَعَالَى: {فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ} [البقرة: 283] .

Dan Allah Ta‘ala berfirman: “Jika sebagian kalian mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah orang yang diberi amanat itu menunaikan amanatnya.” (QS. al-Baqarah: 283).

وَقَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: {وَمِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِقِنْطَارٍ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍ لا يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ إِلا مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَائِمًا} [آل عمران: 75] .

Dan Allah Subhānahu wa Ta‘ala berfirman: “Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika engkau percayai dengan satu qinthār (harta yang banyak), ia akan mengembalikannya kepadamu. Namun di antara mereka juga ada yang jika engkau percayai dengan satu dinar, ia tidak akan mengembalikannya kepadamu kecuali jika engkau selalu menagihnya.” (QS. Āli ‘Imrān: 75).

وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ، وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ “.

Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– bahwa beliau bersabda: “Tunaikanlah amanat kepada orang yang mempercayakan kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu.”

وَرَوَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” تَقَبَّلُوا إِلَيَّ بِسِتٍّ أَتَقَبَّلُ بِالْجَنَّةِ، قَالُوا: وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: إِذَا حَدَّثَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَكْذِبْ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ فَلَا يَخُنْ، وَإِذَا وَعَدَ فَلَا يُخْلِفْ وَغُضُّوا أَبْصَارَكُمْ، وَاحْفَظُوا فُرُوجَكُمْ، وَكُفُّوا أَيْدِيَكُمْ “.

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Nabi –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Terimalah dariku enam perkara, niscaya aku akan menjamin surga untuk kalian.” Mereka bertanya, “Apa saja itu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian berbicara, janganlah berdusta; jika dipercaya, janganlah berkhianat; jika berjanji, janganlah mengingkari; tundukkanlah pandangan kalian; jagalah kemaluan kalian; dan tahanlah tangan kalian.”

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَهُ “.

Diriwayatkan dari Nabi –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– bahwa beliau bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas apa yang diambilnya hingga ia mengembalikannya.”

وَقَدِ اسْتَوْدَعَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَدَائِعَ الْقَوْمِ، وَكَانَ يُسَمَّى فِي الْجَاهِلِيَّةِ لِقِيَامِهِ بها محمد الْأَمِينَ، فَلَمَّا أَرَادَ الْهِجْرَةَ إِلَى الْمَدِينَةِ تَرَكَهَا عِنْدَ أُمِّ أَيْمَنَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -، وَخَلَّفَ عليا – عليه السلام – لِرَدِّهَا عَلَى أَهْلِهَا، وَلِأَنَّ بِالنَّاسِ إِلَى التَّعَاوُنِ بِهَا حَاجَةً مَاسَّةً وَضَرُورَةً دَاعِيَةً لِعَوَارِضِ الزَّمَانِ الْمَانِعَةِ مِنَ الْقِيَامِ عَلَى الْأَمْوَالِ، فَلَوْ تَمَانَعَ النَّاسُ فِيهَا لَاسْتَضَرُّوا وَتَقَاطَعُوا.

Rasulullah –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– pernah menerima titipan-titipan dari kaumnya, dan beliau pada masa jahiliah dikenal sebagai Muhammad al-Amīn karena kejujurannya dalam menjaga amanat. Ketika beliau hendak hijrah ke Madinah, beliau meninggalkan titipan-titipan itu di rumah Ummu Aiman –raḍiyallāhu ‘anhā–, dan beliau menugaskan Ali –‘alaihis salām– untuk mengembalikannya kepada para pemiliknya. Hal ini karena manusia sangat membutuhkan kerja sama dalam hal ini, dan ada kebutuhan mendesak serta keharusan akibat berbagai peristiwa yang menghalangi seseorang untuk menjaga hartanya sendiri. Jika manusia saling menolak dalam urusan ini, niscaya mereka akan mengalami kesulitan dan terputus hubungan.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ ذَلِكَ مِنَ التَّعَاوُنِ الْمَأْمُورِ بِهِ لَمْ يَخْلُ حَالُ مَنِ اسْتَوْدَعَ وَدِيعَةً مِنْ ثَلَاثِ أَحْوَالٍ:

Jika telah tetap bahwa hal itu termasuk kerja sama yang diperintahkan, maka keadaan orang yang menerima titipan (wadi‘ah) tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَعْجِزُ عَنْهَا، وَلَا يَثِقُ بِأَمَانَتِهِ نَفْسِهِ فِيهَا، فَهَذَا لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَقْبَلَهَا.

Pertama: Ia termasuk orang yang tidak mampu menjaganya, dan ia sendiri tidak percaya pada dirinya dalam menjaga amanat tersebut, maka ia tidak boleh menerimanya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ أَمِينًا عَلَيْهَا قَادِرًا عَلَى الْقِيَامِ بِهَا وَلَيْسَ غَيْرُهُ مِمَّنْ يَقُومُ بِهَا فَهَذَا مِمَّنْ قَدْ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ قَبُولُهَا، وَلَزِمَهُ اسْتِيدَاعُهَا، كَمَا تُعَيَّنُ الشَّهَادَةُ عَلَى الشَّاهِدِ إِذَا لَمْ يُوجَدْ مَنْ يَتَحَمَّلُهَا سِوَاهُ، وَكَمَا يَلْزَمُ الْإِنْسَانَ خَلَاصُ نَفْسٍ يَقْدِرُ عَلَى إِحْيَائِهَا إِذَا لَمْ يُوجَدْ غَيْرُهُ، لِأَنَّ حُرْمَةَ الْمَالِ كَحُرْمَةِ النَّفْسِ.

Keadaan kedua: Ia adalah orang yang amanah dan mampu menjaga titipan itu, dan tidak ada orang lain yang bisa melakukannya selain dia, maka dalam hal ini ia wajib menerimanya dan harus menjaga titipan itu, sebagaimana kewajiban memberikan kesaksian bagi seorang saksi jika tidak ada orang lain yang dapat memikulnya, dan sebagaimana seseorang wajib menyelamatkan jiwa orang lain yang ia mampu hidupkan jika tidak ada orang lain, karena kehormatan harta sama dengan kehormatan jiwa.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ أَمِينًا عَلَيْهَا، وَقَادِرًا عَلَى حِفْظِهَا، وَقَدْ يُوجَدُ غَيْرُهُ مِنَ الْأُمَنَاءِ عَلَيْهَا، فَهَذَا مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ.

Keadaan ketiga: Ia adalah orang yang amanah dan mampu menjaganya, namun ada orang lain yang juga amanah terhadap titipan itu, maka dalam hal ini hukumnya sunnah baginya untuk menerima titipan tersebut, meskipun tidak wajib.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا قَبِلَ الْوَدِيعَةَ كَانَ قَبُولُهَا مِنَ الْعُقُودِ الْجَائِزَةِ لَهُ الْمُقَامُ عَلَيْهَا وَالرُّجُوعُ فِيهَا، وَلَيْسَ عَلَيْهِ إِذَا قَبِلَهَا مَعْرِفَةُ مَا فِيهَا، بَلْ يَجُوزُ أَنْ يَسْتَوْدِعَهَا وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مَا فِيهَا، بِخِلَافِ اللُّقَطَةِ الَّتِي يَلْزَمُهُ مَعْرِفَتُهَا لِمَا يَلْزَمُهُ مِنْ تَعْرِيفِهَا، ثُمَّ عَلَيْهِ الْقِيَامُ بِحِفْظِهَا فِي حِرْزِ مِثْلِهَا، فَإِنْ فَرَّطَ كَانَ ضَامِنًا وَإِنْ لَمْ يُفَرِّطْ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، وَحُكِيَ عَنِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَإِسْحَاقَ بْنِ رَاهْوَيْهِ أَنَّ الْمُسْتَوْدَعَ إِنِ اتُّهِمَ فِي الْوَدِيعَةِ ضَمِنَهَا، اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ أَنَّ رَجُلًا أَوْدَعَ عِنْدَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ سِتَّةَ آلَافِ دِرْهَمٍ، فَسُرِقَتْ مِنْ بَيْنِ مَالِهِ، فَتَخَاصَمَا إِلَى عُمَرَ فَقَالَ: هَلْ أُخِذَ مَعَهَا مِنْ ثِيَابِكِ شَيْءٌ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: عَلَيْكَ الْغَرَامَةُ، فَرُوِيَ أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ لِابْنِ سِيرِينَ وَقَدْ حَمَّلَ مَعَهُ رَجُلٌ مَتَاعًا إِلَى الْبَصْرَةِ: يَا أَنَسُ، احْفَظْهُ كَيْلَا تَغْرَمَهُ كَمَا غَرَّمَنِي عُمَرُ، وَهَذَا قَوْلٌ شَاذٌّ وَاضِحُ الْفَسَادِ، لِرِوَايَةِ الْمُثَنَّى بْنُ الصَّبَّاحِ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَوَدَعِ ضَمَانٌ ” وَرُوِيَ أَنَّ رَجُلًا أَوْدَعَ عِنْدَ جَابِرٍ وَدِيعَةً، فَتَلِفَتْ، فَتَحَاكَمَا إِلَى أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَ: لَيْسَ عَلَى الْمُؤْتَمَنِ ضَمَانٌ، وَهُوَ قَوْلٌ مُنْتَشِرٌ فِي الصَّحَابَةِ لَا يُعْرَفُ بَيْنَهُمْ فِيهِ تَنَازُعٌ، وَلِأَنَّ تَضْمِينَ الْوَدِيعَةِ يَخْرُجُ عَنْ حُكْمِ التَّعَاوُنِ وَعُقُودِ الْإِرْفَاقِ، فَأَمَّا أَنَسٌ فَإِنَّمَا ضَمَّنَهُ عُمَرُ لِتَفْرِيطِهِ، فَقَدْ قِيلَ: إِنَّهُ دَفَعَهَا إِلَى خَادِمِهِ، وَإِلَّا فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ تَعَالَى صَحَابَةَ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ أَنْ تَتَوَجَّهَ إِلَيْهِمْ تُهْمَةٌ.

Apabila seseorang menerima titipan (wadi‘ah), maka penerimaannya termasuk akad yang boleh dilanjutkan atau dibatalkan, dan ia berhak untuk tetap memegang atau mengembalikannya. Tidak wajib baginya untuk mengetahui isi titipan saat menerimanya, bahkan boleh saja ia menerima titipan tanpa mengetahui apa isinya. Ini berbeda dengan barang temuan (luqathah) yang mewajibkan penerimanya untuk mengetahui barang tersebut karena ia diwajibkan untuk mengumumkannya. Selanjutnya, ia berkewajiban menjaga titipan itu di tempat yang layak menurut kebiasaan. Jika ia lalai, maka ia wajib mengganti; namun jika tidak lalai, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya. Diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih bahwa apabila penerima titipan dicurigai dalam urusan titipan, maka ia wajib menggantinya. Pendapat ini didasarkan pada riwayat bahwa seorang laki-laki menitipkan enam ribu dirham kepada Anas bin Malik, lalu uang itu dicuri dari antara hartanya. Mereka pun berselisih di hadapan Umar, lalu Umar bertanya: “Apakah ada pakaianmu yang ikut diambil bersamanya?” Ia menjawab: “Tidak.” Umar berkata: “Engkau wajib menggantinya.” Diriwayatkan bahwa Anas bin Malik berkata kepada Ibnu Sirin, ketika ada seseorang menitipkan barang kepadanya untuk dibawa ke Bashrah: “Wahai Anas, jagalah barang itu agar engkau tidak harus menggantinya sebagaimana Umar mewajibkan aku mengganti dulu.” Namun, pendapat ini adalah pendapat yang ganjil dan jelas rusak, karena adanya riwayat dari al-Mutsanna bin ash-Shabbah dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tidak ada kewajiban ganti rugi atas penerima titipan.” Diriwayatkan pula bahwa seorang laki-laki menitipkan barang kepada Jabir, lalu barang itu rusak, kemudian mereka mengadukan perkara itu kepada Abu Bakar, dan beliau berkata: “Tidak ada kewajiban ganti rugi atas orang yang dipercaya.” Pendapat ini tersebar di kalangan para sahabat dan tidak diketahui adanya perselisihan di antara mereka. Selain itu, mewajibkan ganti rugi atas titipan bertentangan dengan prinsip tolong-menolong dan akad-akad irfaq (kemudahan). Adapun Anas, Umar hanya mewajibkannya mengganti karena kelalaiannya, dikatakan bahwa ia menyerahkan titipan itu kepada pelayannya. Jika tidak demikian, maka Allah Ta‘ala telah melindungi para sahabat Nabi ﷺ dari tuduhan yang tidak layak diarahkan kepada mereka.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا، فَصُورَةُ مَسْأَلَةِ الْكِتَابِ فِي رَجُلٍ اسْتَوْدَعَ وَدِيعَةً فَأَرَادَ سَفَرًا، فَالْوَدِيعَةُ لَا تَحْبِسُهُ عَنِ السَّفَرِ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يَمْتَنِعْ عَنِ الْهِجْرَةِ لِأَجْلِ مَا كَانَ عِنْدَهُ مِنَ الْوَدَائِعِ، وَلِأَنَّ اسْتِدَامَةَ الْوَدِيعَةِ غَيْرُ لَازِمٍ، وَرَدُّهَا عَلَى مَالِكِهَا مَتَى شَاءَ الْمُسْتَوْدَعُ جَائِزٌ، وَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَعَلَيْهِ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا وَمَالِكُهَا حَاضِرٌ أَنْ يَرُدَّهَا عَلَيْهِ.

Setelah penjelasan di atas, gambaran masalah dalam kitab ini adalah tentang seorang laki-laki yang menerima titipan, lalu ia ingin bepergian. Titipan tersebut tidak menghalanginya untuk bepergian, karena Nabi ﷺ tidak menunda hijrah hanya karena ada titipan di sisinya. Selain itu, mempertahankan titipan tidaklah wajib, dan pengembalian titipan kepada pemiliknya kapan saja oleh penerima titipan adalah boleh. Oleh karena itu, jika ia ingin bepergian dan pemilik titipan hadir, maka ia wajib mengembalikannya kepada pemiliknya.

فَلَوْ قَالَ لِمَالِكِهَا: لَسْتُ أَدْفَعُهَا إِلَيْكَ إِلَّا أَنْ تُشْهِدَ عَلَى نَفْسِكَ بِقَبْضِهَا، فَفِي وُجُوبِ الْإِشْهَادِ عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ: أَحَدُهَا: لَا يَجِبُ، لِأَنَّ قَوْلَهُ فِي الرَّدِّ مَقْبُولٌ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْمَنْعُ مِنْهَا لِأَجْلِ الْإِشْهَادِ مُتَعَدِّيًا، وَهَذَا أصح الوجوه.

Jika ia berkata kepada pemilik titipan: “Aku tidak akan menyerahkannya kepadamu kecuali engkau menghadirkan saksi atas penerimaanmu,” maka dalam kewajiban menghadirkan saksi atasnya terdapat tiga pendapat: Pertama, tidak wajib, karena pernyataannya dalam pengembalian diterima. Dengan demikian, penolakan penyerahan karena alasan meminta saksi dianggap melampaui batas, dan ini adalah pendapat yang paling kuat.

والوجه الثاني: أن إشهاد المالك على نفسه واجب، لأن يتوجه على المستودع يمين أن نوزع فِي الرَّدِّ، فَعَلَى هَذَا لَا يَكُونُ بِالْمَنْعِ مِنْهَا لِأَجْلِ الْإِشْهَادِ مُتَعَدِّيًا.

Pendapat kedua: Bahwa menghadirkan saksi oleh pemilik titipan atas dirinya adalah wajib, karena jika terjadi perselisihan dalam pengembalian, maka penerima titipan akan diminta bersumpah. Dengan demikian, penolakan penyerahan karena alasan meminta saksi tidak dianggap melampaui batas.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنْ يُنْظَرَ، فَإِنْ كَانَ الْمَالِكُ قَدْ أَشْهَدَ عَلَى الْمُسْتَوْدَعِ عِنْدَ دَفْعِهَا إِلَيْهِ لَزِمَهُ الْإِشْهَادُ عَلَى نَفْسِهِ عِنْدَ رَدِّهَا عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَشْهَدْ عِنْدَ الدَّفْعِ لَمْ يَلْزَمْهُ الْإِشْهَادُ عَلَى نَفْسِهِ عِنْدَ الرَّدِّ، وَإِنْ لَمْ يَرُدَّهَا عَلَى مَالِكِهَا مَعَ حُضُورِهِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ فِيهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Pendapat ketiga: Dilihat dulu, jika pemilik titipan telah menghadirkan saksi atas penerima titipan saat menyerahkannya, maka ia wajib menghadirkan saksi atas dirinya saat menerima kembali titipan itu. Namun, jika saat penyerahan tidak dihadirkan saksi, maka tidak wajib menghadirkan saksi atas dirinya saat pengembalian. Jika ia tidak mengembalikan titipan kepada pemiliknya padahal pemiliknya hadir, maka keadaannya tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُسَافِرَ بِهَا مَعَهُ.

Pertama: Ia bepergian membawa titipan itu bersamanya.

والثاني: أَنْ يَدْفَعَهَا إِلَى غَيْرِهِ.

Kedua: Ia menyerahkan titipan itu kepada orang lain.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يُخَلِّفَهَا فِي حِرْزِهِ.

Ketiga: Ia meninggalkan titipan itu di tempat penyimpanannya.

فَإِنْ سَافَرَ بِهَا ضَمِنَ، سَوَاءٌ كَانَ سَفَرُهُ مَأْمُونًا أَوْ غَيْرَ مَأْمُونٍ.

Jika ia bepergian membawa titipan itu, maka ia wajib menggantinya, baik perjalanannya aman maupun tidak aman.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ سَفَرُهُ مَأْمُونًا، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الَّذِي عَلَيْهِ فِي الْوَدِيعَةِ حِفْظَهَا، فَإِذَا حَفِظَهَا فِي أَيِّ مَكَانٍ كان من حضر أو سفر كان مؤديا لحق الأمانة فيها، قال: ولأنه لَمَّا جَازَ أَنْ يَحْفَظَهَا فِي أَيِّ مَوْضِعٍ شاء من البلد إذا كان مأمونا كان له [ذلك في غير الْبَلَدِ إِذَا كَانَ مَأْمُونًا] .

Abu Hanifah berkata: Tidak ada tanggungan atasnya jika perjalanannya aman, dengan alasan bahwa kewajiban orang yang memegang titipan adalah menjaganya. Maka jika ia telah menjaganya di tempat mana pun, baik di tempat tinggal maupun dalam perjalanan, berarti ia telah menunaikan hak amanah tersebut. Ia berkata: Dan karena ketika diperbolehkan baginya untuk menjaganya di tempat mana pun yang ia kehendaki di dalam kota selama aman, maka demikian pula [hal itu berlaku di luar kota jika keadaannya aman].

وَالدَّلِيلُ عَلَى تَعَدِّيهِ إِذَا سَافَرَ بِهَا قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّ الْمُسَافِرَ وَمَالَهُ عَلَى قَلْتٍ إِلَّا مَا وَقَى اللَّهُ ” يَعْنِي عَلَى خَطَرٍ، وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَرُقَادَهُ ” وَلِأَنَّ السَّفَرَ مَخُوفٌ فِي الْغَالِبِ، وَأَمْنُهُ نَادِرٌ لَا يُوثَقُ بِهِ، ولذلك يمنع السيد مكاتبه من السفر، ويمنع وَلِيُّ الْيَتِيمِ مِنَ السَّفَرِ بِمَالِهِ، وَلِأَنَّ فِي السَّفَرِ بِالْوَدِيعَةِ مَعَ التَّغْرِيرِ بِهَا إِحَالَةً بَيْنَهَا وَبَيْنَ مَالِكِهَا بِإِبْعَادِهَا عَنْهُ، وَهَذَا عُدْوَانٌ، وَلِأَنَّ الْعُرْفَ فِي حِفْظِ الْوَدَائِعِ وَإِحْرَازِهَا جَازَ فِي الْأَمْصَارِ دُونَ الْأَسْفَارِ، فَكَانَ الْخُرُوجُ عَنِ الْعُرْفِ فِيهَا عُدْوَانًا، وَلَيْسَ بِمَا اسْتَدَلَّ بِهِ مِنْ أَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ الْحِفْظُ وَجْهٌ: لِأَنَّهُ يَلْزَمُهُ مَعَ الْحِفْظِ أَنْ لَا يُخَاطِرَ بِهَا وَلَا يُغَرِّرَ، وَهُوَ بِالسَّفَرِ مُغَرَّرٌ وَمُخَاطِرٌ.

Dalil atas pelanggarannya jika ia bepergian dengan titipan itu adalah sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya orang yang bepergian dan hartanya berada di atas bahaya, kecuali yang dijaga Allah,” maksudnya berada dalam bahaya. Diriwayatkan pula dari beliau ﷺ bahwa beliau bersabda: “Perjalanan adalah bagian dari azab, menghalangi salah seorang dari kalian dari makan, minum, dan tidurnya.” Karena perjalanan pada umumnya menakutkan, dan keamanannya jarang serta tidak dapat diandalkan. Oleh karena itu, tuan melarang budaknya yang mukatab untuk bepergian, dan wali anak yatim dilarang bepergian dengan hartanya. Selain itu, bepergian dengan membawa titipan disertai dengan membahayakannya, serta menjauhkan titipan dari pemiliknya, dan ini merupakan tindakan melampaui batas. Juga, kebiasaan dalam menjaga dan mengamankan titipan hanya berlaku di kota-kota, tidak dalam perjalanan. Maka keluar dari kebiasaan ini dianggap sebagai tindakan melampaui batas. Adapun alasan yang dikemukakan bahwa tujuan utamanya adalah menjaga, tidaklah tepat, karena selain menjaga, ia juga wajib untuk tidak mempertaruhkan dan membahayakan titipan itu, sedangkan dengan bepergian ia telah membahayakan dan mempertaruhkannya.

وَقَوْلُهُ: ” إِنَّهُ لَمَّا لَمْ يَخْتَصَّ حِفْظُهَا بِمَكَانٍ مِنَ الْمِصْرِ دُونَ مَكَانٍ فَكَذَلِكَ فِي السَّفَرِ ” فَلَا وَجْهَ لَهُ، لِأَنَّ الْمِصْرَ يَتَسَاوَى حُكْمُ أَمَاكِنِهِ الْمَأْمُونَةِ، وَالسَّفَرُ مُخَالِفٌ لِلْمِصْرِ.

Adapun ucapannya: “Karena penjagaannya tidak dikhususkan pada satu tempat di kota tanpa tempat lain, maka demikian pula dalam perjalanan,” maka ini tidak tepat, karena di dalam kota, hukum pada tempat-tempat yang aman adalah sama, sedangkan perjalanan berbeda dengan kota.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ دَفْعَهَا مَعَ حُضُورِ مَالِكِهَا إِلَى غَيْرِهِ لَمْ يَخْلُ حَالُ مِنْ دَفْعِهَا إِلَيْهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika ia menyerahkan titipan itu kepada orang lain di hadapan pemiliknya, maka penyerahan itu tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَدْفَعَهَا إِلَى وَكِيلِ مَالِكِهَا.

Pertama: Ia menyerahkannya kepada wakil pemiliknya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَدْفَعَهَا إِلَى الْحَاكِمِ.

Kedua: Ia menyerahkannya kepada hakim.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَدْفَعَهَا إِلَى أَجْنَبِيٍّ يَسْتَوْدِعُهُ إِيَّاهَا، فَإِنْ دَفَعَهَا إِلَى وَكِيلِ مَالِكِهَا لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Ketiga: Ia menyerahkannya kepada orang asing yang dititipi olehnya. Jika ia menyerahkannya kepada wakil pemiliknya, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا خَاصًّا فِي قَبْضِ وَدَائِعِهِ، فَلَهُ دَفْعُهَا إِلَيْهِ مَعَ حُضُورِ الْمَالِكِ، لِأَنَّ يَدَ الْوَكِيلِ كَيَدِ الْمُوَكِّلِ.

Pertama: Wakil itu adalah wakil khusus dalam menerima titipan, maka boleh baginya menyerahkan titipan itu kepadanya di hadapan pemiliknya, karena tangan wakil sama dengan tangan pemilik.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا خَاصًّا فِي غَيْرِ قَبْضِ الْوَدِيعَةِ، فَهَذَا فِي حَقِّ الْوَدِيعَةِ كَالْأَجَانِبِ لَا يَجُوزُ دَفْعُهَا إِلَيْهِ، لِأَنَّ الْوَكِيلَ فِي شَيْءٍ لَا يَكُونُ وَكِيلًا فِي غَيْرِهِ.

Bagian kedua: Wakil itu adalah wakil khusus dalam urusan selain menerima titipan, maka dalam hal titipan, ia seperti orang asing, tidak boleh menyerahkan titipan itu kepadanya, karena wakil dalam suatu urusan tidak otomatis menjadi wakil dalam urusan lain.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا عَامًّا فِي كُلِّ شَيْءٍ، فَفِي جَوَازِ رَدِّهَا عَلَيْهِ وَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي صِحَّةِ الْوَكَالَةِ العام:

Bagian ketiga: Wakil itu adalah wakil umum dalam segala hal. Dalam kebolehan mengembalikan titipan kepadanya terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat tentang keabsahan wakalah umum:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا لَا تَصِحُّ، فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ رَدُّهَا عَلَيْهِ.

Salah satunya: Wakalah umum tidak sah, maka berdasarkan pendapat ini tidak boleh mengembalikan titipan kepadanya.

وَالثَّانِي: تَصِحُّ، فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ رَدُّهَا عَلَيْهِ، فَإِنْ طَالَبَ الْمُسْتَوْدَعُ الْوَكِيلَ أَنْ يَشْهَدَ لَهُ عَلَى نَفْسِهِ بِقَبْضِ الْوَدِيعَةِ مِنْهُ لَزِمَ الْوَكِيلَ الْإِشْهَادُ بِذَلِكَ عَلَى نَفْسِهِ وَجْهًا وَاحِدًا، لِأَنَّ قَوْلَ الْمُسْتَوْدَعِ مَقْبُولٌ عَلَى المودع فجاز أن لا يلزم الإشهاد، وقول غَيْرُ مَقْبُولٍ عَلَى وَكِيلِهِ، فَلِذَلِكَ لَزِمَهُ الْإِشْهَادُ، وَسَوَاءٌ كَانَ الْمُسْتَوْدَعُ قَدْ قَبَضَهَا مِنَ الْمُودِعِ أَوْ مِنْ وَكِيلِهِ فِي لُزُومِ الْإِشْهَادِ، وَسَوَاءٌ كَانَ الْوَكِيلُ عَدْلًا أَوْ فَاسِقًا فِي جَوَازِ دَفْعِهَا إِلَيْهِ، لِأَنَّ لِلْمُودِعِ أَنْ يُوَكِّلَ مَنْ شَاءَ مِنْ عَدْلٍ أَوْ فَاسِقٍ بِخِلَافِ الْوَصِيِّ.

Kedua: Wakalah umum sah, maka berdasarkan pendapat ini boleh mengembalikan titipan kepadanya. Jika orang yang dititipi meminta kepada wakil agar bersaksi untuk dirinya bahwa ia telah menerima titipan darinya, maka wajib bagi wakil untuk bersaksi atas dirinya sendiri dalam hal itu menurut satu pendapat, karena ucapan orang yang dititipi diterima atas orang yang menitipkan sehingga boleh tidak mewajibkan adanya saksi, sedangkan ucapannya tidak diterima atas wakilnya, maka karena itu wajib baginya menghadirkan saksi. Sama saja apakah orang yang dititipi menerima titipan itu dari orang yang menitipkan langsung atau dari wakilnya dalam kewajiban menghadirkan saksi, dan sama saja apakah wakil itu orang adil atau fasik dalam kebolehan menyerahkan titipan kepadanya, karena orang yang menitipkan boleh mewakilkan kepada siapa saja yang ia kehendaki, baik orang adil maupun fasik, berbeda dengan washi (pelaksana wasiat).

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ دَفَعَهَا إِلَى الْحَاكِمِ مَعَ وُجُودِ الْمَالِكِ فَفِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ:

Jika ia menyerahkan titipan itu kepada hakim padahal pemiliknya ada, maka dalam hal tanggung jawabnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُ، لِأَنَّ مَالِكَهَا رَشِيدٌ لَا يُوَلَّى عَلَيْهِ.

Salah satunya: Ia bertanggung jawab, karena pemiliknya adalah orang yang cakap dan tidak berada di bawah perwalian.

وَالثَّانِي: لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ يَدَ الْحَاكِمِ نَائِبَةٌ عَنْ كُلِّ مَالِكٍ، فَعَلَى هَذَا إِنِ دَعَاهُ الْمُسْتَوْدَعُ إِلَى الْإِشْهَادِ عَلَى نَفْسِهِ بِالْقَبْضِ قِيلَ لِلْحَاكِمِ: أَنْتَ بِالْخِيَارِ فِي الْإِشْهَادِ عَلَى نَفْسِكَ، أَوْ في إعلام مالكها بالاسترجاع، فإن أخذها وَاجِبٌ عَلَيْكَ، وَأَنْتَ مُخَيَّرٌ فِي أَيِّهِمَا شِئْتَ.

Kedua: Tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya, karena kekuasaan hakim adalah sebagai wakil dari setiap pemilik. Berdasarkan hal ini, jika pihak yang dititipi meminta hakim untuk menghadirkan saksi atas dirinya sendiri dalam hal penerimaan titipan, maka dikatakan kepada hakim: Anda boleh memilih antara menghadirkan saksi atas diri Anda sendiri, atau memberitahukan kepada pemiliknya tentang pengambilan kembali barang titipan tersebut. Jika pemiliknya mengambilnya, maka wajib bagi Anda untuk menyerahkannya, dan Anda bebas memilih salah satu dari dua cara tersebut.

فصل:

Fasal:

وإن دفعها مع حضور مالكها إلى أجنبي ائتمنه عليها فَاسْتَوْدَعَهُ إِيَّاهَا ضَمِنَهَا، لِأَمْرَيْنِ:

Jika ia menyerahkan barang titipan itu, dengan kehadiran pemiliknya, kepada orang lain (asing) yang ia percayai, lalu orang tersebut menerima titipan itu darinya, maka ia wajib menanggung ganti rugi atas barang itu karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا ضَرُورَةَ مَعَ حُضُورِ الْمَالِكِ إِلَى دَفْعِهَا إِلَى غَيْرِهِ، فَصَارَ كَالسَّفَرِ بِالْمَالِ.

Pertama: Tidak ada kebutuhan untuk menyerahkan barang itu kepada orang lain selama pemiliknya hadir, sehingga keadaannya seperti bepergian membawa harta.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَالِكَ رَضِيَ بِأَمَانَتِهِ دُونَ أَمَانَةِ غيره، فصارت يد من ائتمنه عليها يد غَيْرَ مَأْذُونٍ فِيهَا، فَصَارَتْ مُتَعَدِّيَةً، وَلَزِمَ الضَّمَانُ، وكان مالكها مخير بَيْنَ مُطَالَبَةِ الْمُسْتَوْدَعِ الْأَوَّلِ إِنْ تَلِفَتْ أَوْ مُطَالَبَةِ الثَّانِي.

Kedua: Pemilik barang telah rela dengan kepercayaan kepada orang yang pertama, bukan kepada orang lain, sehingga tangan orang yang menerima titipan itu menjadi tangan yang tidak berhak, dan dengan demikian menjadi tangan yang melampaui batas, sehingga wajib baginya menanggung ganti rugi. Pemilik barang berhak memilih antara menuntut pihak yang pertama jika barang itu rusak, atau menuntut pihak kedua.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَهُ مُطَالَبَةُ الْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي، وَوَافَقَ فِي الْغَاصِبِ إِذَا أَوْدَعَ أَنَّ لِلْمَالِكِ مُطَالَبَةَ أَيِّهِمَا شَاءَ، وَهُوَ دَلِيلٌ عَلَيْهِ فِي الْوَدِيعَةِ، لِأَنَّهُ لَيْسَ لِلْمُسْتَوْدَعِ أَنْ يُودِعَ، كَمَا لَيْسَ لِلْغَاصِبِ أَنْ يُودِعَ، فَصَارَ الْمُسْتَوْدَعُ مِنْهُمَا جَمِيعًا يَدُهُ غَيْرُ مُحِقَّةٍ فَلَزِمَهُ الضَّمَانُ، وَسَوَاءٌ عَلِمَ بِالْحَالِ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ، لِأَنَّ الْعَمْدَ وَالْخَطَأَ فِي ضَمَانِ الْأَمْوَالِ سَوَاءٌ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ لَهُ مُطَالَبَةَ أَيِّهِمَا شاء بغرمها، فَإِنْ أُغْرِمَهَا الثَّانِي نُظِرَ فَإِنْ عَلِمَ بِالْحَالِ لَمْ يَرْجِعْ بِمَا غَرِمَهُ عَلَى الْأَوَّلِ، وَإِنْ لم يعلم ففي رجوعه عليه بغرمها وَجْهَانِ.

Abu Hanifah berkata: Pemilik hanya berhak menuntut pihak pertama, tidak pihak kedua. Namun beliau setuju dalam kasus ghashab (perampasan), jika barang rampasan itu dititipkan, maka pemilik berhak menuntut siapa saja yang ia kehendaki di antara keduanya, dan ini menjadi dalil dalam masalah titipan, karena pihak yang dititipi tidak berhak menitipkan barang itu kepada orang lain, sebagaimana perampas juga tidak berhak menitipkan barang rampasan. Maka kedua pihak yang menerima titipan itu sama-sama tidak berhak, sehingga wajib menanggung ganti rugi. Baik ia mengetahui keadaannya atau tidak, sama saja, karena sengaja dan tidak sengaja dalam kewajiban ganti rugi harta adalah sama. Jika telah tetap bahwa pemilik berhak menuntut siapa saja yang ia kehendaki di antara keduanya untuk mengganti kerugian, maka jika pihak kedua yang mengganti kerugian, dilihat lagi: jika ia mengetahui keadaannya, maka ia tidak boleh menuntut ganti rugi kepada pihak pertama; jika tidak mengetahui, maka dalam hal ia boleh menuntut ganti rugi kepada pihak pertama terdapat dua pendapat.

وَإِنْ أُغْرِمَهَا الْأَوَّلُ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ الثَّانِي عَالِمًا بِالْحَالِ رَجَعَ الْأَوَّلُ عَلَيْهِ بِمَا غَرِمَ، وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ فَفِي رُجُوعِهِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْغَاصِبِ إِذَا وَهَبَ مَا غَصَبَهُ ثُمَّ غَرِمَهُ هَلْ يَرْجِعُ بِالْغُرْمِ عَلَى الْمَوْهُوبِ لَهُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ.

Jika pihak pertama yang mengganti kerugian, maka dilihat lagi: jika pihak kedua mengetahui keadaannya, maka pihak pertama boleh menuntut ganti rugi kepada pihak kedua atas apa yang telah ia bayarkan; jika tidak mengetahui, maka dalam hal ia boleh menuntut ganti rugi kepada pihak kedua terdapat dua pendapat yang diambil dari perbedaan pendapat dalam kasus perampas yang menghadiahkan barang rampasan lalu ia menanggung kerugian, apakah ia boleh menuntut ganti rugi kepada penerima hadiah atau tidak? Ada dua pendapat.

وَعَلَى مَالِكِ الْوَدِيعَةِ أَنْ يُشْهِدَ عَلَى نَفْسِهِ بِقَبْضِ الْهِبَةِ، لِأَنَّهَا مَضْمُونَةٌ بِخِلَافِ قَبْضِ الْوَدِيعَةِ الَّتِي هِيَ غَيْرُ مَضْمُونَةٍ.

Pemilik barang titipan wajib menghadirkan saksi atas dirinya sendiri ketika menerima hibah, karena hibah itu wajib diganti jika rusak, berbeda dengan penerimaan barang titipan yang tidak wajib diganti.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ لَمْ يَدْفَعْهَا إِلَى أَحَدٍ مَعَ حُضُورِ مَالِكِهَا وَخَلَّفَهَا وَسَافَرَ ضَمِنَهَا، وَقَالَ: إِنْ خَلَّفَهَا مَعَ أَمْوَالِهِ لَمْ يَضْمَنْ، وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ الْحِرْزَ بِغَيْرِ حَافِظٍ لَا يَكُونُ حِرْزًا، وَتَغْرِيرُهُ بِمَالِهِ لَا يَكُونُ فِي الْوَدِيعَةِ عُذْرًا، فَهَذَا حُكْمُ الْوَدِيعَةِ إِذَا كَانَ الْمُودِعُ حَاضِرًا – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.

Jika ia tidak menyerahkan barang itu kepada siapa pun padahal pemiliknya hadir, lalu ia meninggalkannya dan bepergian, maka ia wajib menanggung ganti rugi. Ada yang berpendapat: jika ia meninggalkannya bersama hartanya sendiri, maka ia tidak wajib menanggung ganti rugi. Pendapat ini tidak benar, karena tempat penyimpanan tanpa penjaga tidak dianggap sebagai tempat penyimpanan yang sah, dan membahayakan harta sendiri tidak bisa dijadikan alasan dalam masalah titipan. Inilah hukum titipan jika pemiliknya hadir – wallāhu a‘lam.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا كَانَ الْمُودِعُ غَائِبًا عِنْدَ إِرَادَةِ الْمُسْتَوْدَعِ السَّفَرَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun jika pemilik barang titipan tidak hadir ketika pihak yang dititipi ingin bepergian, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ لَهُ وَكِيلٌ فِي قَبْضِهَا.

Pertama: Pemilik memiliki wakil untuk menerima barang titipan tersebut.

والثاني: أن لا يَكُونَ لَهُ.

Kedua: Tidak memiliki wakil.

فَإِنْ كَانَ لَهُ وَكِيلٌ فَوَكِيلُهُ هُوَ الْمُسْتَحِقُّ بِقَبْضِهَا، لِأَنَّ يَدَ الْوَكِيلِ كَيَدِ الْمُوَكِّلِ، وَيَكُونُ الْحُكْمُ فِي عُدُولِ الْمُسْتَوْدَعِ إِلَى غَيْرِهِ كَالْحُكْمِ فِي عُدُولِهِ عَنِ الْمُودِعِ مَعَ حُضُورِهِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ التَّقْسِيمِ وَالْجَوَابِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَكِيلٌ فَالْمُسْتَحِقُّ لِقَبْضِهَا هُوَ الْحَاكِمُ، فَإِنْ دَفَعَهَا إِلَيْهِ لَزِمَهُ الْإِشْهَادُ عَلَى نَفْسِهِ بِالْقَبْضِ، فَإِنْ عَدَلَ عَنِ الْحَاكِمِ مَعَ كَوْنِهِ مَأْمُونًا فَدَفَعَهَا إِلَى أَمِينٍ ثِقَةٍ فَفِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ:

Jika ia memiliki wakil, maka wakilnya adalah pihak yang berhak menerima barang titipan itu, karena kekuasaan wakil sama seperti kekuasaan orang yang mewakilkan. Hukum berpindahnya pihak yang dititipi kepada orang lain sama seperti hukum berpindahnya dari pemilik barang ketika ia hadir, sebagaimana telah kami sebutkan pembagian dan jawabannya. Jika tidak ada wakil, maka yang berhak menerima barang titipan itu adalah hakim. Jika ia menyerahkannya kepada hakim, maka ia wajib menghadirkan saksi atas dirinya sendiri dalam hal penerimaan. Jika ia berpaling dari hakim padahal hakim adalah orang yang terpercaya, lalu ia menyerahkan barang itu kepada orang terpercaya lainnya, maka dalam hal kewajiban ganti rugi atasnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ، لِأَنَّ الْأَمِينَ عَلَيْهَا يُمْكِنُ أَنْ يُحَاكِمَهُ الْمُودِعُ فِيهَا إِلَى الْحَاكِمِ وَيُقِيمَ الْبَيِّنَةَ بِمَا عِنْدَهُ وَلَا يُمْكِنُ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ مَعَ الْحَاكِمِ.

Pertama, menurut pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: Tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya, dan ini adalah pendapat yang tampak dari perkataan asy-Syāfi‘ī, karena orang yang dipercaya atas barang itu memungkinkan bagi pemilik barang untuk mengadukannya kepada hakim dan menghadirkan bukti atas apa yang ada padanya, sedangkan hal itu tidak mungkin dilakukan terhadap hakim.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ، وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ، وَابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يَضْمَنُ، لِأَنَّ اخْتِيَارَ الْحَاكِمِ وَاخْتِيَارَ الْأَمِينِ اجْتِهَادٌ، وَلِأَنَّ نَظَرَ الْحَاكِمِ عَامٌّ وَنَظَرَ الأمين خاص، فإن لَمْ يَجِدْ حَاكِمًا، أَوْ كَانَ إِلَّا أَنَّهُ غَيْرُ مَأْمُونٍ جَازَ أَنْ يَخْتَارَ لَهَا أَمِينًا ثِقَةً يَسْتَوْدِعُهُ إِيَّاهَا؛ لِأَنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فِي حِفْظِهَا، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أودع ما خلفه من الودائع عند أم أيمن حين هاجر واستخلف عليا في الرد – رضي الله عنه -.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu Sa‘id al-Ishthakhri, Abu ‘Ali bin Khairan, dan Ibn Abi Hurairah, bahwa ia wajib menanggung (tanggung jawab), karena pilihan hakim dan pilihan orang yang dipercaya adalah hasil ijtihad, dan karena pertimbangan hakim bersifat umum sedangkan pertimbangan orang yang dipercaya bersifat khusus. Jika tidak menemukan hakim, atau jika ada namun tidak dapat dipercaya, maka boleh baginya memilih seorang yang terpercaya untuk menitipkan barang itu kepadanya; karena ia tidak mampu melakukan selain itu dalam menjaga barang tersebut. Juga karena Nabi ﷺ menitipkan barang-barang yang beliau tinggalkan kepada Ummu Aiman ketika beliau hijrah dan mengangkat ‘Ali sebagai pengganti untuk mengembalikannya – semoga Allah meridhainya.

وَهَلْ يَلْزَمُهُ الْإِشْهَادُ عَلَيْهِ عِنْدَ دَفْعِهَا إِلَيْهِ أم لا: أحدهما: يلزمه الإشهاد عليه خوفا من تغير حَالِهِ وَحُدُوثِ جُحُودِهِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ لَمْ يشهد عليه ضمنها.

Apakah ia wajib menghadirkan saksi saat menyerahkan barang itu kepadanya atau tidak: Salah satu pendapat menyatakan: ia wajib menghadirkan saksi karena dikhawatirkan terjadi perubahan keadaan dan munculnya pengingkaran. Maka, jika ia tidak menghadirkan saksi, ia wajib menanggungnya.

والوجه الثاني: لا يلزمه الْإِشْهَادُ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ يَنُوبُ عَنِ الْمَالِكِ، وَلِأَنَّ قَوْلَ الْأَمِينِ فِي الرَّدِّ مَقْبُولٌ، فَعَلَى هَذَا إِنْ لَمْ يُشْهِدْ عَلَيْهِ لَمْ يَضْمَنْهَا، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ ثِقَةً يَسْتَوْدِعُهِ إِيَّاهَا لَمْ يَخْلُ حِينَئِذٍ حَالُ الْمِصْرِ وَالسَّفَرِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Pendapat kedua: ia tidak wajib menghadirkan saksi, karena ia bertindak sebagai wakil dari pemilik, dan karena pernyataan orang yang dipercaya dalam pengembalian barang diterima. Maka, jika ia tidak menghadirkan saksi, ia tidak wajib menanggungnya. Jika ia tidak menemukan orang terpercaya untuk menitipkan barang itu, maka keadaan di kota dan dalam perjalanan tidak lepas dari empat kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الْمِصْرُ مَخُوفًا بِغَارَةٍ، أَوْ حَرِيقٍ، وَالسَّفَرُ مَأْمُونًا، فَعَلَيْهِ أَنْ يُسَافِرَ بِالْمَالِ مَعَهُ، لِأَنَّهَا حَالُ ضَرُورَةٍ هِيَ أَحْفَظُ وَأَحْرَزُ، فَإِنْ تَرَكَهَا وَسَافَرَ كَانَ ضَامِنًا، وَإِنْ سَافَرَ بِهَا لَمْ يَضْمَنْهَا.

Pertama: jika kota itu dalam keadaan rawan karena serangan atau kebakaran, sedangkan perjalanan aman, maka ia wajib membawa harta itu bersamanya dalam perjalanan, karena itu adalah keadaan darurat yang lebih aman dan lebih terjaga. Jika ia meninggalkannya dan bepergian, ia wajib menanggungnya; namun jika ia membawanya dalam perjalanan, ia tidak wajib menanggungnya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْمِصْرُ مَأْمُونًا وَالسَّفَرُ مَخُوفًا، فَعَلَيْهِ تَرْكُهَا فِي المصر على ما سنذكره، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُسَافِرَ بِهَا، فَإِنْ سَافَرَ بِهَا ضَمِنَ.

Kedua: jika kota itu aman dan perjalanan rawan, maka ia wajib meninggalkan barang itu di kota sebagaimana akan dijelaskan, dan tidak boleh membawanya dalam perjalanan. Jika ia membawanya dalam perjalanan, ia wajib menanggungnya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الْمِصْرُ مَخُوفًا وَالسَّفَرُ مَخُوفًا، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُسَافِرَ بِهَا، لِأَنَّهُ إِذَا اسْتَوَى الْخَوْفَانِ كَانَ خَوْفُ السَّفَرِ أَعَمَّ.

Ketiga: jika kota itu rawan dan perjalanan juga rawan, maka tidak boleh membawanya dalam perjalanan, karena jika tingkat bahaya sama, maka bahaya dalam perjalanan lebih besar.

وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الْمِصْرُ مَأْمُونًا وَالسَّفَرُ مَأْمُونًا، فَفِي جَوَازِ السَّفَرِ بِهَا وَجْهَانِ:

Keempat: jika kota itu aman dan perjalanan juga aman, maka dalam hal kebolehan membawa barang itu dalam perjalanan terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، وَالظَّاهِرُ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ: لَا يَجُوزُ أَنْ يُسَافِرَ بِهَا، فَإِنْ سَافَرَ بِهَا ضَمِنَ، لِأَنَّ السَّفَرَ أَخْطَرُ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan yang tampak dari perkataan asy-Syafi‘i: tidak boleh membawanya dalam perjalanan, dan jika ia membawanya maka ia wajib menanggungnya, karena perjalanan lebih berisiko.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: يَجُوزُ أَنْ يُسَافِرَ بِهَا، وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، لِاسْتِوَاءِ الْأَمْنِ فِي الْحَالَيْنِ، وفضل حفظه لها بِنَفْسِهِ فِي السَّفَرِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: boleh membawanya dalam perjalanan dan tidak ada kewajiban menanggung, karena keamanan sama dalam kedua keadaan, dan keutamaan menjaga barang itu sendiri dalam perjalanan, dan Allah lebih mengetahui.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي: ” وَإِنْ دَفَنَهَا فِي مَنْزِلِهِ وَلَمْ يُعْلِمْ بِهَا أحدا يأتمنه على ماله فهلكت ضمن وإذا أودعها غيره وصاحبها حاضر عند سفره ضمن فإن لم يكن حاضرا فأودعها أمينا يودعه ماله لم يضمن “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika ia menguburnya di rumahnya dan tidak memberitahukan kepada siapa pun yang ia percayai untuk menjaga hartanya, lalu barang itu rusak, maka ia wajib menanggungnya. Jika ia menitipkannya kepada orang lain dan pemiliknya hadir saat ia bepergian, maka ia wajib menanggungnya. Namun jika pemiliknya tidak hadir lalu ia menitipkannya kepada orang yang terpercaya yang biasa ia titipi hartanya, maka ia tidak wajib menanggungnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ مَتَى مَا لَمْ يَجِدْ حَاكِمًا وَلَا ثِقَةً يَسْتَوْدِعُهَا إِيَّاهُ فَدَفَنَهَا فِي الْأَرْضِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, selama ia tidak menemukan hakim atau orang terpercaya untuk menitipkan barang itu kepadanya, lalu ia menguburnya di tanah, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْمَوْضِعُ الْمَدْفُونَةُ فِيهِ سَابِلًا لَا تَحْجِيرَ عَلَيْهِ يَمْنَعُ مِنَ الْوُصُولِ، فَدَفْنُهَا فِي مِثْلِهِ عُدْوَانٌ يُوجِبُ الضَّمَانَ، سَوَاءٌ أَعْلَمَ بِهَا أَحَدًا أَوْ لَمْ يُعْلِمْهُ، لِأَنَّ مَا تَصِلُ إِلَيْهِ الْأَيْدِي مُعَرَّضٌ لِلتَّلَفِ.

Pertama: jika tempat penguburan itu adalah tempat umum yang tidak ada larangan untuk mengaksesnya, maka mengubur barang di tempat seperti itu adalah tindakan melampaui batas yang mewajibkan tanggung jawab, baik ia memberitahukan kepada seseorang atau tidak, karena barang yang mudah dijangkau tangan orang lain rentan terhadap kerusakan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الموضع حصيا حَرِيزًا كَالْمَنَازِلِ الْمَسْكُونَةِ الَّتِي لَا تَصِلُ الْيَدُ إليها إِلَّا مَنْ أَرَادَ، فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يُعْلِمَ بِهَا أَحَدًا أَوْ لَا يُعْلِمَ بِهَا أَحَدًا، فَإِنْ لَمْ يُعْلِمْ بِهَا أَحَدًا ضَمِنَهَا، لأنه قد ربما أدركته منيته فلو يوصل إليها، فصار بذلك تَغْرِيرًا، وَإِنْ أَعْلَمَ بِهَا ثِقَةً مُؤْتَمَنًا صَحَّ، وَهَلْ يُرَاعَى فِي الْإِعْلَامِ بِهَا حُكْمَ الشَّهَادَةِ أَوْ حُكْمَ الِائْتِمَانِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kedua: jika tempat itu adalah tempat yang terlindungi seperti rumah yang dihuni, yang tidak dapat dijangkau kecuali oleh orang yang memang menginginkannya, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia memberitahukan kepada seseorang atau tidak. Jika ia tidak memberitahukan kepada siapa pun, maka ia wajib menanggungnya, karena bisa jadi ia meninggal dunia sehingga tidak ada yang dapat mengaksesnya, sehingga hal itu menjadi bentuk penelantaran. Namun jika ia memberitahukan kepada orang terpercaya yang dapat dipercaya, maka itu sah. Apakah dalam pemberitahuan itu harus memperhatikan ketentuan kesaksian atau ketentuan kepercayaan? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: حُكْمُ الشَّهَادَةِ، فَعَلَى هَذَا لَا يُجْزِئُهُ أَقَلُّ مِنْ شَاهِدَيْنِ عَدْلَيْنِ، أَوْ شَاهِدٍ وَامْرَأَتَيْنِ وَيَرَى الشَّاهِدَانِ ذَلِكَ عِنْدَ دَفْنِهِ لِيَصِحَّ تَحَمُّلُهُمَا لِذَلِكَ، فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ خَرَجَ عَنِ التَّعَدِّي، وَسَقَطَ الضَّمَانُ عَنْهُ، وَلَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يَأْذَنَ لِلشَّاهِدَيْنَ فِي نَقْلِهَا عِنْدَ الْخَوْفِ.

Pertama: Hukum kesaksian, maka menurut pendapat ini tidak cukup kurang dari dua orang saksi yang adil, atau satu orang saksi dan dua orang perempuan. Kedua saksi tersebut harus menyaksikan hal itu saat penguburannya agar kesaksian mereka sah. Jika ia melakukan hal tersebut, maka ia telah keluar dari perbuatan melampaui batas, dan gugurlah kewajiban jaminan darinya, serta ia tidak wajib memberi izin kepada kedua saksi untuk memindahkannya ketika ada kekhawatiran.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ يُرَاعَى فِيهِ حُكْمُ الِائْتِمَانِ، فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ أَنْ يُعْلِمَ بِهَا وَاحِدًا ثِقَةً، سَوَاءٌ كَانَ رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً، وَيَجُوزُ أَنْ لَا يَرَاهَا، وَهَلْ يَلْزَمُهُ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي نَقْلِهَا إِنْ حَدَثَ بِمَكَانِهَا خَوْفٌ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah bahwa yang diperhatikan di sini adalah hukum kepercayaan (al-i‘timān). Maka menurut pendapat ini, boleh memberitahukan kepada satu orang yang terpercaya, baik laki-laki maupun perempuan, dan boleh juga orang tersebut tidak melihatnya. Apakah ia wajib memberi izin kepadanya untuk memindahkannya jika terjadi kekhawatiran di tempatnya atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَلْزَمُهُ ذَلِكَ لِمَا فِيهِ مِنْ فَضْلِ الِاسْتِظْهَارِ، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ ضَمِنَ.

Pertama: Ia wajib melakukannya karena di dalamnya terdapat keutamaan kehati-hatian. Jika tidak dilakukan, maka ia wajib menanggung.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَلْزَمُهُ، لِمَا فِي نَقْلِهَا مِنَ التَّعْرِيضِ لِلْأَخْطَارِ، فَإِنْ نَقَلَهَا الْمُؤْتَمَنُ عَلَيْهَا عَلَى هَذَا الْوَجْهِ عِنْدَ حُدُوثِ الْخَوْفِ بِمَكَانِهَا فَفِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ مِنَ اخْتِلَافِهِمْ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ، هَلْ يَكُونُ إِعْلَامُهُ بِهَا يَجْرِي مَجْرَى الْخَبَرِ، أَوْ مَجْرَى الْأَمَانَةِ؟ فَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ: أَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْخَبَرِ، فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ لَهُ نَقْلُهَا، فَإِنْ نَقَلَهَا ضَمِنَ، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا، وَأَنْ يَكُونَ بَعِيدًا عَنْهَا، وَلَيْسَ لَهُ يَدٌ عَلَيْهَا.

Pendapat kedua: Ia tidak wajib melakukannya, karena dalam pemindahan tersebut terdapat risiko bahaya. Jika orang yang dipercaya itu memindahkannya dalam keadaan terjadi kekhawatiran di tempatnya, maka mengenai kewajiban jaminan atasnya terdapat dua pendapat yang berbeda dalam masalah ini: Apakah pemberitahuan tentangnya dianggap seperti berita (khabar) atau seperti amanah? Salah satu pendapat: bahwa itu dianggap seperti berita, sehingga tidak boleh baginya memindahkannya, dan jika ia memindahkannya maka ia wajib menanggung. Boleh juga orang yang diberi amanah itu adalah seorang budak, atau orang yang jauh darinya, dan ia tidak memiliki kendali atasnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَجْرِيَ مَجْرَى الْأَمَانَةِ، فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ لَهُ نَقْلُهَا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا وَلَا أَنْ يَبْعُدَ عَنْهَا، وَتَكُونُ يَدُهُ عَلَيْهَا، فَأَمَّا إِذَا دَفَنَهَا عَلَى مَا وَصَفْنَا مَعَ وُجُودِ حَاكِمٍ مَأْمُونٍ، أَوْ عَدْلٍ مَوْثُوقٍ بِهِ يُودِعُهَا عِنْدَهُ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Bahwa itu dianggap seperti amanah, sehingga ia boleh memindahkannya, dan tidak boleh orang yang diberi amanah itu seorang budak atau jauh darinya, dan harus berada dalam penguasaannya. Adapun jika ia menguburkannya sebagaimana yang telah kami jelaskan dengan adanya hakim yang terpercaya atau orang adil yang dapat dipercaya untuk menitipkannya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ وَيَضْمَنُ إِنْ فَعَلَ.

Pertama: Tidak boleh dan ia wajib menanggung jika melakukannya.

وَالثَّانِي: يَجُوزُ وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ.

Kedua: Boleh dan tidak ada kewajiban jaminan atasnya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا تَرَكَ الْوَدِيعَةَ فِي بَيْتِ الْمَالِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” يَضْمَنُ ” وَلَيْسَ هَذَا الْجَوَابُ عَلَى الْإِطْلَاقِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَأْوِيلِهِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: أَرَادَ بِهِ إِذَا كَانَ مَالِكُهَا حَاضِرًا، وَلَوْ كَانَ غَائِبًا لَمْ يَضْمَنْ، وَهَذَا تَأْوِيلُ مَنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ دَفْعُ الْوَدِيعَةِ إِلَى الْحَاكِمِ مَعَ وُجُودِ صَاحِبِهَا، وَقَالَ آخَرُونَ: إِنَّمَا أَرَادَ بِهِ إِذَا لَمْ يُعْلِمْ صَاحِبَ بَيْتِ الْمَالِ بِهَا وَلِمَنْ هِيَ، فَإِنْ أَعْلَمَهُ بِهَا وَلِمَنْ هِيَ لَمْ يَضْمَنْ، وَهَذَا قَوْلُ مَنْ لَا يُجَوِّزُ دَفْعَهَا إِلَى الْحَاكِمِ مَعَ حُضُورِ صَاحِبِهَا.

Adapun jika ia meninggalkan titipan di Baitul Mal, maka asy-Syafi‘i berkata: “Ia wajib menanggung.” Namun, jawaban ini tidak berlaku secara mutlak. Para sahabat kami berbeda pendapat dalam menafsirkan pernyataan ini. Sebagian mereka berkata: Yang dimaksud adalah jika pemiliknya hadir, dan jika pemiliknya tidak hadir maka ia tidak wajib menanggung. Ini adalah tafsiran bagi yang berpendapat tidak boleh menyerahkan titipan kepada hakim jika pemiliknya ada. Yang lain berkata: Yang dimaksud adalah jika ia tidak memberitahu penjaga Baitul Mal tentang titipan itu dan milik siapa, maka jika ia memberitahukan tentang titipan itu dan pemiliknya, maka ia tidak wajib menanggung. Ini adalah pendapat orang yang tidak membolehkan penyerahan titipan kepada hakim jika pemiliknya hadir.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ تَعَدَّى فِيهَا ثُمَّ رَدَّهَا فِي مَوْضِعِهَا فَهَلَكَتْ ضَمِنَ لِخُرُوجِهِ بِالتَّعَدِّي مِنَ الْأَمَانَةِ “.

Asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia melampaui batas dalam titipan itu kemudian mengembalikannya ke tempatnya lalu titipan itu rusak, maka ia wajib menanggung karena ia telah keluar dari amanah dengan perbuatan melampaui batas.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ التَّعَدِّيَ الَّذِي يَجِبُ بِهِ ضَمَانُ الْوَدِيعَةِ عَلَى سَبْعَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa pelanggaran yang mewajibkan jaminan atas titipan itu ada tujuh macam:

أَحَدُهَا: التَّفْرِيطُ فِي الْحِرْزِ، ذَلِكَ مِثْلُ أَنْ يَضَعَهَا فِي غير حرز أن يَكُونُ قَدْ وَضَعَهَا فِي حِرْزٍ ثُمَّ أَخْرَجَهَا إِلَى مَا لَيْسَ بِحِرْزٍ، أَوْ يَكُونُ قَدْ أَعْلَمَ بِمَكَانِهَا مِنْ أَهْلِهِ مَنْ لَا يُؤْمَنُ عَلَيْهَا، فَهَذَا وَمَا أَشْبَهَهُ مِنَ التَّفْرِيطِ عُدْوَانٌ يَجِبُ بِهِ الضَّمَانُ.

Pertama: Lalai dalam menjaga, seperti meletakkannya di tempat yang bukan tempat aman, atau ia telah meletakkannya di tempat aman lalu mengeluarkannya ke tempat yang tidak aman, atau ia memberitahukan tempatnya kepada orang-orang rumah yang tidak dapat dipercaya. Maka hal ini dan yang semisalnya dari kelalaian adalah perbuatan melampaui batas yang mewajibkan jaminan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: الِاسْتِعْمَالُ، مِثْلَ أَنْ يَسْتَوْدِعَهُ ثَوْبًا فَيَلْبَسُهُ أَوْ دَابَّةً فَيَرْكَبُهَا، أَوْ بُسَاطًا فَيَفْتَرِشُهُ فَهَذَا وَمَا شَاكَلَهُ عُدْوَانٌ يَجِبُ بِهِ الضَّمَانُ.

Kedua: Menggunakan titipan, seperti dititipi pakaian lalu ia memakainya, atau dititipi hewan lalu ia menungganginya, atau dititipi permadani lalu ia membentangkannya. Maka hal ini dan yang semisalnya adalah perbuatan melampaui batas yang mewajibkan jaminan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: خَلَطَهَا بِغَيْرِهَا، وَذَلِكَ ضَرْبَانِ:

Ketiga: Mencampurkan titipan dengan barang lain, dan ini terbagi menjadi dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَخْلِطَهَا بِمَالِ نَفْسِهِ، كَمَا لَوْ أَوْدَعَ دَرَاهِمَ فَخَلَطَهَا بِدَرَاهِمَ حَتَّى لَمْ تَتَمَيَّزْ، فَهَذَا عَدُوَانٌ يُوجِبُ الضَّمَانَ، وَكَذَلِكَ لَوْ خَلَطَهَا بِدَرَاهِمِ غَيْرِ الْمُودِعِ أَيْضًا.

Salah satunya: mencampurkan barang titipan itu dengan hartanya sendiri, seperti jika seseorang menitipkan sejumlah dirham lalu ia mencampurkannya dengan dirham miliknya sendiri hingga tidak dapat dibedakan lagi. Ini merupakan tindakan melampaui batas (‘udwān) yang mewajibkan adanya tanggungan (dhamān). Demikian pula jika ia mencampurkannya dengan dirham milik orang lain selain si penitip.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَخْلِطَهَا بِمَالِ الْمُودِعِ، كَأَنَّهُ أَوْدَعَ وَدِيعَتَيْنِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ فَخَلَطَ إِحْدَاهُمَا بِالْأُخْرَى، فَفِي تَعَدِّيهِ وَضَمَانِهِ بِذَلِكَ وَجْهَانِ:

Jenis kedua: mencampurkan barang titipan itu dengan harta milik penitip, seperti jika seseorang menitipkan dua barang titipan dari jenis yang sama lalu ia mencampurkan salah satunya dengan yang lain. Dalam hal ini, mengenai apakah ia dianggap melampaui batas dan wajib menanggung (dhamān), terdapat dua pendapat:

أَصَحُّهُمَا يَضْمَنُهَا، لِأَنَّ مَالِكَهَا لَمَّا مَيَّزَهَا لَمْ يَرْضَ بِخَلْطِهَا، وَلَكِنْ لَوْ خَلَطَهَا بِمَا يتميز منها مِثْلَ أَنْ يَخْلِطَ دَرَاهِمَ بِدَنَانِيرَ لَمْ يَضْمَنْ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ خَلْطُ الدَّرَاهِمِ بِالدَّنَانِيرِ قَدْ نَقَصَ قِيمَتَهُ مِنَ الدَّنَانِيرِ فَيَضْمَنُ قَدْرَ النُّقْصَانِ.

Pendapat yang lebih kuat: ia wajib menanggungnya, karena pemiliknya ketika membedakan barang tersebut berarti tidak rela jika dicampur. Namun, jika ia mencampurkannya dengan sesuatu yang masih dapat dibedakan, seperti mencampur dirham dengan dinar, maka ia tidak wajib menanggung, kecuali jika pencampuran dirham dengan dinar menyebabkan nilai dinar berkurang, maka ia wajib menanggung sebesar nilai kekurangan tersebut.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: الْخِيَانَةُ، وَهُوَ أَنْ يُخْرِجَهَا لِيَبِيعَهَا، أَوْ لِيُنْفِقَهَا، فَهَذَا عُدْوَانٌ يَجِبُ بِهِ الضَّمَانُ وَكَذَلِكَ لَوْ جَحَدَهَا.

Bagian keempat: khianat, yaitu mengeluarkan barang titipan itu untuk dijual atau untuk dibelanjakan. Ini adalah tindakan melampaui batas yang mewajibkan adanya tanggungan (dhamān). Demikian pula jika ia mengingkari keberadaan barang titipan tersebut.

وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ: التَّعَرُّفُ لَهَا، مِثْلَ أَنْ تَكُونَ دَرَاهِمُ فَيَزِنُهَا، أَوْ يَعُدُّهَا، أَوْ ثِيَابًا فَيَعْرِفُ طُولَهَا وَعَرْضَهَا، فَفِي تَعَدِّيهِ وَضَمَانِهِ بِذَلِكَ وَجْهَانِ:

Bagian kelima: mengenali barang titipan, seperti jika barang titipan itu berupa dirham lalu ia menimbang atau menghitungnya, atau berupa pakaian lalu ia mengukur panjang dan lebarnya. Dalam hal ini, mengenai apakah ia dianggap melampaui batas dan wajib menanggung (dhamān), terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُ، لِأَنَّهُ نَوْعٌ من التصرف.

Salah satunya: ia wajib menanggung, karena hal itu termasuk jenis tindakan terhadap barang titipan.

والثاني: لا يضمن، لأنه قد رُبَّمَا أَرَادَ بِهِ فَضْلَ الِاحْتِيَاطِ.

Pendapat kedua: ia tidak wajib menanggung, karena bisa jadi ia bermaksud untuk lebih berhati-hati.

وَالْقِسْمُ السَّادِسُ: التَّصَرُّفُ فِي بَعْضِ مَا اسْتَظْهَرَ بِهِ الْمُودِعُ فِي حِرْزِهَا وَذَلِكَ ضَرْبَانِ:

Bagian keenam: melakukan tindakan terhadap sebagian barang titipan yang telah dijaga oleh penitip di tempat penyimpanannya, dan hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ منيعا بالقفل الذي يفتحه، فهذا عدوان بجب بِهِ الضَّمَانُ.

Salah satunya: jika tempat penyimpanan itu kokoh dengan kunci yang hanya ia yang dapat membukanya, maka ini adalah tindakan melampaui batas yang mewajibkan adanya tanggungan (dhamān).

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مَنِيعٍ كَالْخَتْمِ يَكْسِرُهُ، وَالشِّدَادِ يُحِلُّهُ، فَفِي ضَمَانِهِ بِذَلِكَ وَجْهَانِ أَصَحُّهُمَا يَضْمَنُ، لِمَا فِيهِ مِنْ هَتْكِ الْحِرْزِ، وَلِذَلِكَ قَالَ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – لِشُرَيْحٍ: طِينَةٌ خَيْرٌ مِنْ طِينَةٍ يَعْنِي أَنَّ طِينَةَ الْخَتْمِ تَنْفِي التُّهْمَةَ.

Kedua: jika tempat penyimpanan itu tidak kokoh, seperti segel yang dapat ia pecahkan atau ikatan yang dapat ia lepaskan, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat tentang kewajiban menanggung (dhamān), dan pendapat yang lebih kuat adalah ia wajib menanggung, karena hal itu termasuk merusak tempat penyimpanan. Oleh karena itu, Umar radhiyallāhu ‘anhu berkata kepada Syuraih: “Tanah liat lebih baik daripada tanah liat,” maksudnya tanah liat pada segel dapat menghilangkan tuduhan.

وَالْقِسْمُ السَّابِعُ: أَنْ يَنْوِيَ الْخِيَانَةَ وَالتَّعَدِّيَ، فَقَدْ كَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ يَرَى أَنَّ ذَلِكَ مُوجِبٌ لِضَمَانِهَا وَيَجْعَلُ النِّيَّةَ فِيهَا كَالْفِعْلِ فِي وُجُوبِ الضَّمَانِ، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ النِّيَّةَ فِي تَمَلُّكِ اللُّقَطَةِ يَقُومُ مَقَامَ التَّصَرُّفِ فِي ثُبُوتِ الْمِلْكِ، فَكَذَلِكَ فِي ضَمَانِ الْوَدِيعَةِ، وَالَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ لَا يَضْمَنُهَا بِالنِّيَّةِ، لِأَنَّ النِّيَّةَ إِنَّمَا تُرَاعَى فِي حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى لَا فِي حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ، وَلَوْ جَازَ أَنْ يَصِيرَ مُتَعَدِّيًا بِالنِّيَّةِ لَجَازَ أَنْ يَصِيرَ خَائِنًا وَسَارِقًا بِالنِّيَّةِ، وَلِأَنَّ النِّيَّةَ مَا أَثَّرَتْ فِي حِرْزِهَا فَلَمْ تُؤَثِّرْ فِي ضَمَانِهَا، غَيْرَ أَنَّهُ يَأْثَمُ بِهَا، فَأَمَّا اللقطة فمع النية في تملكها علم ظاهره وَهُوَ انْقِضَاءُ حَقِّ التَّعْرِيفِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ لَمْ يَجْعَلْهُ مَالِكًا مَعَ النِّيَّةِ إلا بِالتَّصَرُّفِ وَقَالَ أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَرُوذِيُّ: يَجْعَلُهُ مَالِكًا مَعَ النِّيَّةِ إِلَّا بِالتَّصَرُّفِ فَإِنْ نَوَى حَبْسَهَا لِنَفْسِهِ وَإِنْ لَمْ يَرُدَّهَا عَلَى رَبِّهَا ضَمِنَهَا، وَإِنْ نَوَى أَنْ يُخْرِجَهَا مِنْ حِرْزِهَا إِخْرَاجَ عُدْوَانٍ لَمْ يَضْمَنْهَا، وَهَذَا أَصَحُّ.

Bagian ketujuh: berniat untuk berkhianat dan melampaui batas. Abu al-‘Abbas Ibn Surayj berpendapat bahwa hal itu mewajibkan adanya tanggungan (dhamān), dan ia menganggap niat dalam hal ini seperti perbuatan nyata dalam mewajibkan tanggungan, dengan dalil bahwa niat untuk memiliki barang temuan (luqathah) dianggap sama dengan tindakan dalam menetapkan kepemilikan. Maka demikian pula dalam hal tanggungan barang titipan. Namun, jumhur (mayoritas) ulama mazhab kami berpendapat bahwa ia tidak wajib menanggung hanya karena niat, karena niat hanya diperhatikan dalam hak-hak Allah Ta‘ala, bukan dalam hak-hak manusia. Jika seseorang dapat dianggap melampaui batas hanya dengan niat, maka berarti ia juga dapat dianggap berkhianat atau mencuri hanya dengan niat. Selain itu, niat tidak berpengaruh pada penjagaan barang titipan, maka tidak berpengaruh pula pada kewajiban menanggungnya, hanya saja ia berdosa karenanya. Adapun barang temuan (luqathah), dengan niat untuk memilikinya disertai adanya tanda lahiriah, yaitu berakhirnya masa pengumuman, meskipun sebagian ulama mazhab kami tidak menganggapnya sebagai pemilik hanya dengan niat kecuali dengan tindakan nyata. Abu Hamid al-Marwazī berkata: “Ia dianggap sebagai pemilik dengan niat kecuali dengan tindakan nyata. Jika ia berniat menahan barang itu untuk dirinya sendiri dan tidak mengembalikannya kepada pemiliknya, maka ia wajib menanggungnya. Namun jika ia berniat mengeluarkannya dari tempat penyimpanan secara melampaui batas, maka ia tidak wajib menanggungnya.” Dan ini adalah pendapat yang lebih kuat.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّهُ إِذَا نَوَى أَنْ لَا يَرُدَّهَا أَمْسَكَهَا لِنَفْسِهِ فَضَمِنَهَا، وَإِذَا نَوَى أَنْ يُخْرِجَهَا فَقَدْ أَمْسَكَهَا لِمَالِكِهَا فَلَمْ يَضْمَنْهَا.

Perbedaan antara keduanya: jika ia berniat untuk tidak mengembalikannya, berarti ia menahan barang itu untuk dirinya sendiri, maka ia wajib menanggungnya. Namun jika ia berniat untuk mengeluarkannya, berarti ia masih menahan barang itu untuk pemiliknya, maka ia tidak wajib menanggungnya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا اسْتَقَرَّ ضَمَانُ الْوَدِيعَةِ مِنْ أَحَدِ هَذِهِ الْأَقْسَامِ بِالتَّعَدِّي ثُمَّ كَفَّ عَنْ تَعَدِّيهِ وَأَعَادَهَا إِلَى حِرْزِهَا لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الضَّمَانُ.

Jika kewajiban menanggung barang titipan telah tetap karena salah satu dari bagian-bagian pelanggaran di atas, kemudian ia berhenti dari pelanggaran tersebut dan mengembalikannya ke tempat penyimpanan semula, maka kewajiban menanggung itu tidak gugur darinya.

وَقَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ: قَدْ سَقَطَ عَنْهُ الضَّمَانُ، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْحُكْمَ إِذَا ثَبَتَ لِعِلَّةٍ زَالَ بِزَوَالِهَا كَالشِّدَّةِ المطربة في الخمر، والردة الموجبة للقتل، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ قَدْ يَضْمَنُ الْوَدِيعَةَ بِالْإِخْرَاجِ كَمَا يضمن المحرم الصَّيْدَ بِالْإِمْسَاكِ، فَلَمَّا كَانَ إِرْسَالُ الْمُحْرِمِ لِلصَّيْدِ بَعْدَ إِمْسَاكِهِ مُسْقِطًا لِلضَّمَانِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ إِعَادَةُ الْمُسْتَوْدَعِ لَهَا بَعْدَ الْإِخْرَاجِ مُسْقِطًا لِلضَّمَانِ، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ لَوْ أَخْرَجَهَا مِنْ حرز المستودع سارق فضمنها سقط عنه الضمان بردها [كان أولى إذا أخرجها المستودع فضمنها أَنْ يَسْقُطَ عَنْهُ الضَّمَانُ بِرَدِّهَا] .

Abu Hanifah dan Malik berkata: Telah gugur darinya kewajiban ganti rugi, dengan alasan bahwa suatu hukum jika ditetapkan karena suatu ‘illat (alasan), maka hukum itu hilang dengan hilangnya ‘illat tersebut, seperti kekuatan memabukkan pada khamar, dan riddah yang menyebabkan hukuman mati. Mereka berkata: Karena seseorang bisa saja menanggung ganti rugi atas titipan (wadi‘ah) karena mengeluarkannya, sebagaimana orang yang berihram menanggung ganti rugi atas buruan karena menahannya. Maka ketika pelepasan buruan oleh orang yang berihram setelah menahannya menggugurkan kewajiban ganti rugi, maka seharusnya pengembalian barang titipan oleh penerima titipan setelah mengeluarkannya juga menggugurkan kewajiban ganti rugi. Mereka juga berkata: Karena jika seseorang mengeluarkan barang dari tempat aman titipan lalu dicuri oleh pencuri sehingga ia menanggung ganti rugi, maka gugurlah kewajiban ganti rugi darinya dengan mengembalikannya [maka lebih utama lagi jika penerima titipan sendiri yang mengeluarkannya lalu menanggung ganti rugi, maka gugurlah kewajiban ganti rugi darinya dengan mengembalikannya].

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ مَا ضُمِنَتْ بِهِ الْوَدِيعَةُ لَمْ يَسْقُطْ بِارْتِفَاعِ سَبَبِهِ كَالْجُحُودِ، وَلِأَنَّ مَنْ ضَمِنَ بِالْيَدِ لَمْ يَنْفَرِدْ بِإِسْقَاطِ الضَّمَانِ كَالْغَاصِبِ، وَلِأَنَّ الضَّمَانَ إِذَا وَجَبَ بِالْإِخْرَاجِ مِنَ الْحِرْزِ لَمْ يَخْرُجْ بِالرَّدِّ إِلَى الْحِرْزِ كَالسَّارِقِ، وَلِأَنَّهُ قَدْ خَرَجَ بِالتَّعَدِّي فِي الْأَمَانَةِ فَلَمْ يَعُدْ إِلَيْهَا إِلَّا بِاسْتِئْنَافِ أَمَانَةٍ وَإِلَّا كَانَ أَمِينَ نَفْسِهِ، وَلِأَنَّ الضَّمَانَ إِذَا تَعَلَّقَ بِذِمَّتِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ سبيل إلا إبراء نفسه بنفسه، أما استدلالهم بأن الحكم إذا ثبت لعلة زوال بِزَوَالِهَا فَالْعِلَّةُ لَمْ تَزُلْ، لِأَنَّ التَّعَدِّيَ الْأَوَّلَ انْقَطَعَ وَلَمْ يَرْتَفِعْ، وَأَمَّا إِرْسَالُ الْمُحْرِمِ لِلصَّيْدِ فَإِنَّمَا سَقَطَ عَنْهُ الضَّمَانُ، لِأَنَّهُ قَدْ أَعَادَهُ إِلَى حَقِّهِ.

Dalil kami adalah bahwa sebab yang menyebabkan titipan menjadi tanggungan (ganti rugi) tidak gugur dengan hilangnya sebab tersebut, seperti pada kasus pengingkaran (juḥūd). Dan karena orang yang menanggung ganti rugi karena perbuatan tangan tidak bisa secara sepihak menggugurkan kewajiban ganti rugi, seperti halnya ghashib (perampas). Dan karena jika kewajiban ganti rugi telah ditetapkan karena mengeluarkan dari tempat aman, maka tidak gugur dengan mengembalikannya ke tempat aman, seperti pada pencuri. Dan karena ia telah keluar dari sifat amanah karena pelanggaran, sehingga tidak kembali menjadi amanah kecuali dengan memulai kembali akad amanah, jika tidak maka ia hanya menjadi penjaga untuk dirinya sendiri. Dan karena jika kewajiban ganti rugi telah melekat pada tanggungannya, maka tidak ada jalan baginya kecuali membebaskan dirinya sendiri. Adapun dalil mereka bahwa hukum yang ditetapkan karena suatu ‘illat akan hilang dengan hilangnya ‘illat tersebut, maka ‘illat-nya belum hilang, karena pelanggaran pertama telah terputus namun belum hilang. Adapun pelepasan buruan oleh orang yang berihram, maka gugurlah kewajiban ganti rugi darinya karena ia telah mengembalikannya kepada haknya.

وَمِثَالُهُ مِنَ الْوَدِيعَةِ أَنْ يُعِيدَهَا إِلَى مَالِكِهَا، وَأَمَّا السَّارِقُ مِنَ الْمُسْتَوْدَعِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي سُقُوطِ الضَّمَانِ عَنْهُ إِذَا رَدَّهُ عَلَى الْمُسْتَوْدَعِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Contohnya dalam masalah titipan adalah jika ia mengembalikannya kepada pemiliknya. Adapun pencuri dari penerima titipan, maka para sahabat kami berbeda pendapat tentang gugurnya kewajiban ganti rugi darinya jika ia mengembalikannya kepada penerima titipan, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَسْقُطُ الضَّمَانُ عَنْهُ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَالِكِهِ.

Pertama: Tidak gugur kewajiban ganti rugi darinya karena ia bukan pemiliknya.

وَالْوَجْهُ الثاني: قط سَقَطَ عَنْهُ الضَّمَانُ، لِأَنَّ الْمُسْتَوْدَعَ عَلَى أَمَانَتِهِ فَصَارَ عَوْدُهَا إِلَى يَدِهِ كَعَوْدِهَا إِلَى الْمَالِكِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِذَا كَانَ الْمُسْتَوْدَعُ هُوَ الضَّامِنُ لَهُ، لِأَنَّهُ قَدْ خَرَجَ مِنَ الْأَمَانَةِ.

Pendapat kedua: Telah gugur darinya kewajiban ganti rugi, karena penerima titipan berada dalam posisi amanah, sehingga kembalinya barang itu ke tangannya seperti kembalinya ke tangan pemilik. Namun tidak demikian jika penerima titipan adalah pihak yang menanggung ganti rugi, karena ia telah keluar dari sifat amanah.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ ضَمَانَ التَّعَدِّي بَاقٍ وَإِنْ كَفَّ عَنْهُ فَسُقُوطُهُ عَنْهُ يَكُونُ بِرَدِّهَا عَلَى مَالِكِهَا أَوْ وَكِيلِ مَالِكِهَا فِي قَبْضِهَا، فَأَمَّا إِبْرَاءُ الْمُودِعِ لَهُ مِنْ ضَمَانِهَا فَإِنْ كَانَ بَعْدَ تَلَفِهَا وَاسْتِقْرَارِ غُرْمِهَا فِي ذِمَّتِهِ صَحَّ الْإِبْرَاءُ إِذَا كَانَ بَعْدَ تَلَفِهَا، وَإِنْ كَانَ مَعَ بَقَائِهَا فَفِي سُقُوطِ ضَمَانِهَا وَجْهَانِ:

Jika telah tetap bahwa kewajiban ganti rugi karena pelanggaran tetap ada meskipun ia telah berhenti dari pelanggaran itu, maka gugurnya kewajiban ganti rugi darinya adalah dengan mengembalikannya kepada pemiliknya atau wakil pemiliknya dalam penerimaan barang tersebut. Adapun pembebasan penerima titipan dari kewajiban ganti rugi oleh penitip, jika dilakukan setelah barangnya rusak dan kewajiban ganti rugi telah tetap dalam tanggungannya, maka pembebasan itu sah jika dilakukan setelah barangnya rusak. Namun jika dilakukan saat barang masih ada, maka dalam gugurnya kewajiban ganti rugi terdapat dua pendapat:

أحدهما: وهو قول المروروذي قَدْ سَقَطَ الضَّمَانُ، لِأَنَّ الْإِبْرَاءَ اسْتِئْمَانٌ.

Pertama: Dan ini adalah pendapat al-Marurudzi, bahwa kewajiban ganti rugi telah gugur, karena pembebasan itu adalah bentuk pemberian amanah kembali.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الضَّمَانَ لَا يَسْقُطُ عَنِ الْغَاصِبِ بِالْإِبْرَاءِ قَبْلَ الرَّدِّ، وَلِأَنَّ الْإِبْرَاءَ إِنَّمَا يَتَوَجَّهُ إِلَى مَا اسْتَقَرَّ مِنَ الدُّيُونِ فِي الذِّمَمِ لَا إِلَى مَا فِي الْأَيْدِي مِنَ الْأَعْيَانِ، وَإِنَّمَا هِبَاتُ الْأَعْيَانِ لَا تُسْقِطُ ضَمَانَهَا، فَعَلَى هَذَا لَوْ أَعَادَهَا الْمُسْتَوْدَعُ إِلَى حِرْزِهَا بِإِذْنِ مَالِكِهَا كَانَ سُقُوطُ الضَّمَانِ عَنْهُ عَلَى هَذَيْنِ الوجهين. والله أعلم.

Pendapat kedua: Bahwa kewajiban ganti rugi tidak gugur dari ghashib (perampas) dengan pembebasan sebelum pengembalian, dan karena pembebasan hanya berlaku untuk utang yang telah tetap dalam tanggungan, bukan untuk barang yang masih ada di tangan, dan hibah atas barang yang masih ada tidak menggugurkan kewajiban ganti ruginya. Berdasarkan hal ini, jika penerima titipan mengembalikannya ke tempat amannya dengan izin pemiliknya, maka gugurnya kewajiban ganti rugi darinya menurut dua pendapat ini. Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَلَوْ أَوْدَعَ عَشَرَةَ دَرَاهِمَ فَأَنْفَقَ مِنْهَا دِرْهَمًا ثم رده فيها ولو ضمن الدرهم “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang menitipkan sepuluh dirham lalu ia membelanjakan satu dirham darinya kemudian mengembalikannya ke dalamnya, meskipun ia menanggung satu dirham tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ فِي وُجُوبِ الضمان بكسر الختم وحل الشداد وَجْهَانِ: فَأَمَّا إِذَا أَوْدَعَ دَرَاهِمَ غَيْرَ مَخْتُومَةٍ وَلَا مَشْدُودَةٍ فَأَخْرَجَ مِنْهَا دِرْهَمًا لِيُنْفِقَهُ قَدْ ضَمِنَهُ وَحْدَهُ، وَلَا يَضْمَنُ غَيْرَهُ، فَإِنْ رَدَّهُ بِعَيْنِهِ وَلَمْ يُنْفِقْهُ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ ضَمَانُهُ، فَإِنْ خَلَطَهُ بِالدَّرَاهِمِ، نُظِرَ فَإِنْ تَمَيَّزَ عَنْهَا ضَمِنَهُ وَحْدَهُ وَلَمْ يَضْمَنْ جَمِيعَ الدَّرَاهِمِ وَإِنْ لَمْ يَتَمَيَّزْ عَنْهَا فَفِي ضَمَانِ جَمِيعِهَا وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa dalam kewajiban jaminan (dhaman) karena membongkar segel dan membuka ikatan terdapat dua pendapat. Adapun jika seseorang menitipkan dirham yang tidak tersegel dan tidak terikat, lalu si penerima titipan mengambil satu dirham darinya untuk dibelanjakan, maka ia hanya menanggung (menjamin) dirham itu saja dan tidak menanggung yang lainnya. Jika ia mengembalikannya dalam keadaan yang sama dan belum membelanjakannya, maka jaminan atasnya tidak gugur. Jika ia mencampurkannya dengan dirham-dirham lainnya, maka dilihat: jika dirham itu masih dapat dibedakan dari yang lain, ia hanya menanggung dirham itu saja dan tidak menanggung seluruh dirham; namun jika tidak dapat dibedakan, maka dalam hal jaminan atas seluruhnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُ جَمِيعَهَا، لِأَنَّهُ قَدْ خَلَطَ مَضْمُونًا بِغَيْرِ مَضْمُونٍ فَصَارَ بِذَلِكَ مُتَعَدِّيًا فَضَمِنَ الْجَمِيعَ وَهَذَا مَذْهَبُ أَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَرُوذِيِّ، وَالْبَصْرِيِّينَ.

Salah satunya: ia menanggung seluruhnya, karena ia telah mencampurkan barang yang wajib dijamin dengan barang yang tidak wajib dijamin, sehingga dengan demikian ia dianggap melampaui batas dan wajib menjamin seluruhnya. Ini adalah mazhab Abu Hamid al-Marwaziy dan para ulama Basrah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَضْمَنُ، لِأَنَّ كُلَّ ذَلِكَ مَالٌ وَاحِدٌ قَدْ آثَرَ مَالِكُهُ خَلْطَهُ فَلَمْ يَكُنْ فِي خَلْطِهِ خِلَافُ غَرَضِهِ، وَهَذَا مَذْهَبُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَالْبَغْدَادِيِّينَ، وَإِنْ أَنْفَقَ ذَلِكَ الدِّرْهَمَ وَرَدَّ بَدَلَهُ وَخَلَطَهُ بِالدَّرَاهِمِ فَلَا يَخْلُو حَالُ ذَلِكَ الدِّرْهَمِ الَّذِي رَدَّهُ بَدَلًا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Pendapat kedua: ia tidak menanggung seluruhnya, karena semuanya adalah satu harta yang pemiliknya memang menghendaki pencampuran itu, sehingga pencampuran tersebut tidak bertentangan dengan kehendaknya. Ini adalah mazhab Abu Ali bin Abi Hurairah dan para ulama Baghdad. Jika ia telah membelanjakan dirham itu lalu mengembalikan gantinya dan mencampurkannya dengan dirham-dirham lainnya, maka keadaan dirham yang dikembalikan sebagai pengganti itu tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَن لَا يَتَمَيَّزَ مِنْ جَمِيعِ الدَّرَاهِمِ، فَيَصِيرُ بِخَلْطِهِ مُتَعَدِّيًا فِي الْجَمِيعِ، لِأَنَّهُ قَدْ خَلَطَ الْوَدِيعَةَ بِمَالِ نَفْسِهِ، فَصَارَ ضَامِنًا بِجَمِيعِهَا.

Pertama: dirham itu tidak dapat dibedakan dari seluruh dirham lainnya, sehingga dengan pencampurannya ia menjadi melampaui batas atas seluruhnya, karena ia telah mencampurkan barang titipan dengan hartanya sendiri, maka ia wajib menjamin seluruhnya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَتَمَيَّزَ ذَلِكَ الدِّرْهَمُ دُونَ غَيْرِهِ مِمَّا يَتَمَيَّزُ وَيَصِيرُ كَمَنْ خَلَطَ دَرَاهِمَ الْوَدِيعَةِ بِدَنَانِيرِ نَفْسِهِ عَنْ جَمِيعِ الدَّرَاهِمِ فَلَيْسَ عَلَيْهِ إِلَّا ضَمَانُ ذَلِكَ الدِّرْهَمِ دُونَ غَيْرِهِ.

Kedua: dirham itu dapat dibedakan dari yang lain yang juga dapat dibedakan, seperti seseorang mencampurkan dirham titipan dengan dinar miliknya sendiri yang berbeda dari seluruh dirham, maka ia hanya wajib menjamin dirham itu saja dan tidak yang lainnya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ ما يَتَمَيَّزُ عَنْ بَعْضِ الدَّرَاهِمِ وَلَا يَتَمَيَّزُ عَنْ بَعْضِهَا، مِثْلَ أَنْ تَكُونَ بَعْضُ الدَّرَاهِمِ بَيْضَاءَ وَبَعْضُهَا سَوْدَاءَ، وَالدَّرَاهِمُ الْمَرْدُودَةُ فِيهَا أَبْيَضُ أَوْ أَسْوَدُ، فَيَضْمَنُ مِنْ ذَلِكَ مَا لَا يَتَمَيَّزُ عَنِ الدِّرْهَمِ الْمَرْدُودِ بَدَلًا، وَلَا يَضْمَنُ مَا تميز عنه.

Ketiga: ada yang dapat dibedakan dari sebagian dirham dan tidak dapat dibedakan dari sebagian lainnya, seperti sebagian dirham berwarna putih dan sebagian lagi hitam, dan dirham yang dikembalikan di antaranya ada yang putih atau hitam, maka ia wajib menjamin yang tidak dapat dibedakan dari dirham pengganti, dan tidak wajib menjamin yang dapat dibedakan darinya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَلَوْ أَوْدَعَهُ دَابَّةً وَأَمَرَهُ بِعَلْفِهَا وَسَقْيِهَا فَأَمَرَ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ بِهَا فِي دَارِهِ كَمَا يَفْعَلُ بِدَوَابِّهِ لَمْ يَضْمَنْ وَإِنْ بَعَثَهَا إِلَى غَيْرِ دَارِهِ وَهِيَ تُسْقَى فِي دَارِهِ ضَمِنَ وَإِنْ لَمْ يَأْمُرْهُ بِعَلْفِهَا وَلَا بِسَقْيِهَا وَلَمْ يَنْهَهُ فَحَبَسَهَا مُدَّةً إِذَا أَتَتْ عَلَى مِثْلِهَا لَمْ تَأْكُلْ وَلَمْ تَشْرَبْ هَلَكَتْ ضَمِنَ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ كَذَلِكَ فَتَلِفَتْ لَمْ يَضْمَنْ وَيَنْبَغِي أَنْ يَأْتِيَ الْحَاكِمُ حَتَّى يُوَكِّلَ مَنْ يَقْبِضُ مِنْهُ النَّفَقَةَ عَلَيْهَا وَيَكُونُ دَيْنًا عَلَى رَبِّهَا أَوْ يَبِيعُهَا فَإِنْ أَنْفَقَ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فهو متطوع “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang menitipkan seekor hewan kepadanya dan memerintahkannya untuk memberi makan dan minum, lalu ia memerintahkan orang lain untuk melakukannya di rumahnya sebagaimana ia memperlakukan hewan miliknya sendiri, maka ia tidak wajib menjamin. Namun jika ia mengirimkan hewan itu ke tempat lain padahal hewan itu biasa diberi minum di rumahnya, maka ia wajib menjamin. Jika ia tidak memerintahkannya untuk memberi makan dan minum, dan juga tidak melarangnya, lalu ia menahan hewan itu dalam waktu yang jika pada umumnya hewan seperti itu tidak makan dan minum maka akan mati, maka ia wajib menjamin. Namun jika tidak demikian lalu hewan itu mati, maka ia tidak wajib menjamin. Hendaknya hakim datang untuk menunjuk seseorang yang mengambil nafkah untuk hewan itu darinya dan menjadi utang atas pemiliknya, atau menjual hewan itu. Jika ia mengeluarkan nafkah selain dari itu, maka ia dianggap sebagai orang yang berbuat sukarela.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ أَوْدَعَ رَجُلًا دَابَّةً فَلَا يَخْلُو حَالُهُ عِنْدَ إِيدَاعِهَا عِنْدَهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada seseorang yang menitipkan seekor hewan kepada orang lain, maka keadaan saat menitipkannya tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَأْمُرَهُ بِعَلْفِهَا.

Pertama: ia memerintahkannya untuk memberi makan hewan itu.

وَالثَّانِي: أَنْ يَنْهَاهُ عَنْ عَلْفِهَا.

Kedua: ia melarangnya memberi makan hewan itu.

وَالثَّالِثُ: أَنْ لَا يَأْمُرَهُ وَلَا يَنْهَاهُ.

Ketiga: ia tidak memerintahkannya dan tidak pula melarangnya.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يَأْمُرَهُ بِعَلْفِهَا فَعَلَيْهِ أَنْ يَرْبِطَهَا فِي حِرْزِ مِثْلِهَا، وَيَعْلِفَهَا وَيَسْقِيَهَا عِنْدَ حَاجَتِهَا، وَقَدْرَ كِفَايَتِهَا، فَإِنْ عَلَفَهَا مَعَ دَوَابِّهِ فِي مَنْزِلِهِ وَكَانَ حِرْزًا جَازَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حِرْزًا ضَمِنَ، وَإِنْ عَلَفَهَا مَعَ دَوَابِّهِ وَفِي غَيْرِ مَنْزِلِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ حِرْزًا أَوْ كَانَ إِلَّا أَنَّ الْقَيِّمَ بِهَا إِذَا لَمْ يُشَاهِدْهُ قَصَّرَ فِي عَلْفِهَا ضَمِنَ، وَإِنْ كَانَ حِرْزًا وَالْقَيِّمُ بِهَا إِذَا أَفْرَدَهُ بِعَلْفِهَا مَعَ غَيْرِ دَوَابِّهِ لَمْ يُقَصِّرْ فِي عَلْفِهَا لَمْ يَضْمَنْ، وَمُرَادُ الشَّافِعِيِّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – بِإِطْلَاقِ الضَّمَانِ مَا ذَكَرْنَا، وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا.

Adapun bagian pertama: yaitu apabila ia memerintahkannya untuk memberi makan hewan tersebut, maka ia wajib mengikatnya di tempat yang aman sebagaimana mestinya, memberi makan dan minum sesuai kebutuhannya dan secukupnya. Jika ia memberinya makan bersama hewan-hewan miliknya di rumahnya dan tempat itu merupakan tempat yang aman, maka itu diperbolehkan. Namun jika bukan tempat yang aman, ia wajib menanggungnya. Jika ia memberinya makan bersama hewan-hewan miliknya tetapi di luar rumahnya, maka jika bukan tempat yang aman, atau meskipun tempat itu aman namun pengurusnya tidak mengawasinya sehingga lalai dalam memberi makan, maka ia wajib menanggungnya. Namun jika tempat itu aman dan pengurusnya tidak lalai dalam memberi makan meskipun hewan itu dipisahkan dari hewan-hewan miliknya, maka ia tidak wajib menanggungnya. Maksud Imam asy-Syafi‘i—semoga Allah meridhainya—dengan mutlaknya kewajiban menanggung adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama mazhab kami.

وقال أبو سعيد الإصطرخي: مَتَى عَزَلَهَا عَنْ دَوَابِّهِ وَعَلَفَهَا فِي غَيْرِ إصْطَبْلِهِ ضَمِنَهَا بِكُلِّ حَالٍ، لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ فِعْلِ نَظِيرِهِ لِنَفْسِهِ أَنَّ إِصْطَبْلَهُ أَحْرَزُ، وَعَلْفَهَا مَعَ دَوَابِّهِ أَحْوَطُ، فَإِنْ ثَبْتَ مَا وَصَفْنَا مِنْ حَالِ حِرْزِهَا وَعَلْفِهَا فَلَا يَخْلُو حَالُهُ فِي الْإِذْنِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَشْتَرِطَ لَهُ الرُّجُوعَ، أَوْ لَا يَشْتَرِطَ لَهُ الرُّجُوعَ، فَإِنْ شَرَطَ لَهُ الرُّجُوعَ فَقَالَ: أَنْفِقْ عليها لترجع علي، أو أنفق علي ففي وجوب تقديره للنفقة وَجْهَانِ:

Abu Sa‘id al-Ishtharkhi berkata: Apabila ia memisahkan hewan tersebut dari hewan-hewan miliknya dan memberinya makan di selain kandangnya sendiri, maka ia wajib menanggungnya dalam segala keadaan. Sebab, yang tampak dari kebiasaan orang yang melakukan hal serupa untuk dirinya sendiri adalah bahwa kandangnya sendiri lebih aman, dan memberi makan bersama hewan-hewan miliknya lebih hati-hati. Jika telah tetap sebagaimana yang kami gambarkan tentang keadaan tempat aman dan pemberian makannya, maka tidak lepas izin yang diberikan itu dari dua keadaan: apakah ia mensyaratkan hak untuk meminta kembali (biaya), atau tidak. Jika ia mensyaratkan hak untuk meminta kembali, misalnya ia berkata: “Belanjakanlah untuknya agar aku bisa meminta kembali darimu,” atau “Belanjakanlah untukku,” maka dalam kewajiban menentukan besaran nafkah terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجِبُ تَقْدِيرُهَا لِتَنْتَفِيَ الْجَهَالَةُ عَنْ ضَمَانِهَا، وَلِيَزُولَ الْخُلْفُ بَيْنَهُمَا فِي قَدْرِهَا، فَعَلَى هَذَا إِنْ أَنْفَقَ عَلَيْهَا مِنْ غَيْرِ تَقْدِيرِ الْمُودِعِ كَانَ مُتَطَوِّعًا لَا يَرْجِعُ بِنَفَقَتِهِ، وَإِنْ قَدَّرَ لَهُ قَدْرًا رَجَعَ بِهِ، وَإِنْ زَادَ عَلَيْهِ كَانَ مُتَطَوِّعًا.

Salah satunya: Wajib menentukan besaran nafkah agar tidak ada ketidakjelasan dalam penanggungannya, dan agar tidak terjadi perselisihan antara keduanya tentang jumlahnya. Dalam hal ini, jika ia mengeluarkan nafkah tanpa penetapan dari pihak penitip, maka ia dianggap sebagai orang yang berbuat sukarela dan tidak boleh meminta kembali nafkahnya. Namun jika telah ditetapkan jumlahnya, maka ia boleh meminta kembali sesuai jumlah itu. Jika ia menambah dari jumlah yang ditetapkan, maka kelebihan itu dianggap sebagai sukarela.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجِبُ تَقْدِيرُهَا لِأَنَّ لِنَفَقَتِهَا حَدًّا يُرَاعَى فِيهِ كِفَايَتُهَا فَلَمْ يَحْتَجْ إِلَى التَّقْدِيرِ، فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ إِذَا كَانَ الْمَالِكُ هُوَ الْآذِنُ فِي النَّفَقَةِ أَنْ يَتَوَلَّاهَا الْمُسْتَوْدَعُ بِنَفْسِهِ، وَيُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي قَدْرِهَا إِذَا لَمْ يَدَّعِ سَرَفًا، وَإِنْ لَمْ يَشْتَرِطْ لَهُ الرُّجُوعَ بِالنَّفَقَةِ حِينَ أَذِنَ فِيهَا فَفِي جَوَازِ رُجُوعِهِ بِهَا وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Tidak wajib menentukan besaran nafkah, karena nafkah itu memiliki batas yang diperhatikan sesuai kecukupannya, sehingga tidak perlu penetapan jumlah. Dalam hal ini, jika pemilik hewan adalah pihak yang memberi izin untuk menafkahi, maka orang yang dititipi boleh menafkahinya sendiri, dan ucapannya diterima mengenai jumlah nafkah selama tidak mengaku berlebihan. Jika ketika memberi izin tidak disyaratkan hak untuk meminta kembali nafkah, maka dalam kebolehan meminta kembali nafkah terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَرْجِعُ اعْتِبَارًا بِالْأَغْلَبِ مِنْ حَالِ الْإِذْنِ.

Salah satunya: Ia boleh meminta kembali nafkah, dengan mempertimbangkan kebiasaan umum dalam pemberian izin.

وَالثَّانِي: لَا يَرْجِعُ لِاحْتِمَالِ الْإِذْنِ.

Yang kedua: Ia tidak boleh meminta kembali, karena ada kemungkinan izin tersebut tidak mencakup hak meminta kembali.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَنْهَاهُ عَنْ عَلْفِهَا فَلَا يَجُوزُ لَهُ فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى أَنْ يَدَعَ عَلْفَهَا، لِأَنَّهَا ذَاتُ نَفْسٍ يَحْرُمُ تَعْذِيبُهَا، وَنَهَى – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ ذَبْحِ الْبَهَائِمِ إِلَّا لِمَأْكَلَةٍ، وَقَالَ: ” فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ حَرَّى أَجْرٌ ” وَعَلَيْهِ أَنْ يَأْتِيَ الْحَاكِمُ حَتَّى يُجْبِرَ الْمَالِكَ عَلَى عَلْفِهَا إِنْ كَانَ حَاضِرًا أَوْ يَأْذَنَ لَهُ فِي عَلْفِهَا لِيَرْجِعَ بِهِ إِنْ كَانَ غَائِبًا، فَإِنْ عَلَفَهَا مِنْ غَيْرِ حُكْمِ حَاكِمٍ لَمْ يَرْجِعْ، وَإِنْ تَرَكَهَا فَلَمْ يَعْلِفْهَا حَتَّى هَلَكَتْ فَالْمَحْكِيُّ عَنْ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ لَا يَضْمَنُ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، وَغَيْرِهِمَا، لِأَنَّ نَهْيَهُ عَنِ النَّفَقَةِ إِبْرَاءٌ مِنْ ضَمَانِ الذِّمَّةِ.

Adapun bagian kedua: yaitu apabila ia melarangnya memberi makan hewan tersebut, maka tidak boleh baginya menurut hukum Allah Ta‘ala untuk membiarkan hewan itu tanpa diberi makan, karena hewan itu adalah makhluk bernyawa yang haram disiksa. Nabi ﷺ melarang menyembelih hewan kecuali untuk dimakan, dan beliau bersabda: “Pada setiap yang memiliki hati yang basah terdapat pahala.” Maka ia wajib mendatangi hakim agar hakim memaksa pemiliknya untuk memberi makan jika ia hadir, atau memberi izin kepadanya untuk memberi makan agar ia dapat meminta kembali (biaya) jika pemiliknya tidak ada. Jika ia memberi makan tanpa keputusan hakim, maka ia tidak boleh meminta kembali. Namun jika ia membiarkannya tanpa diberi makan hingga hewan itu mati, maka menurut pendapat mayoritas ulama mazhab kami, ia tidak wajib menanggungnya. Ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj, Abu Ishaq al-Marwazi, dan selain keduanya, karena larangan memberi nafkah merupakan pembebasan dari kewajiban menanggung di dalam tanggungan.

وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ: يَضْمَنُ، وَهُوَ الْأَصَحُّ عِنْدِي، لِأَنَّهُ شَرْطٌ قَدْ مَنَعَ الشَّرْعُ مِنْهُ فَكَانَ مُطْرَحًا، وَعَلَى كِلَا الْوَجْهَيْنِ لَا يَسْقُطُ عَنْهُ الْمَأْثَمُ، وَإِنَّمَا الْوَجْهَانِ فِي الْغُرْمِ، وَعَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ لَوْ أَذِنَ لَهُ السَّيِّدُ فِي قَتْلِ عَبْدِهِ كَانَ فِي سُقُوطِ الْغُرْمِ عَنْ قَاتِلِهِ وَجْهَانِ، وَقَدْ حَكَاهُمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَزَعَمَ أَنَّهُمَا مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الرَّهْنِ إِذَا أُذِنَ لِلْمُرْتَهِنِ فِي وَطْءِ الْجَارِيَةِ الْمَرْهُونَةِ: هَلْ يَسْقُطُ عَنْهُ الْمَهْرُ بِالْإِذْنِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ.

Abu Sa‘id al-Ishthakhri berkata: Ia wajib menanggung ganti rugi, dan ini adalah pendapat yang paling sahih menurutku, karena itu merupakan syarat yang telah dilarang oleh syariat sehingga menjadi gugur. Dan menurut kedua pendapat tersebut, dosa tidak gugur darinya, hanya saja perbedaan pendapat itu dalam hal ganti rugi. Berdasarkan dua pendapat ini, jika tuan mengizinkan seseorang membunuh budaknya, maka dalam hal gugurnya kewajiban ganti rugi dari si pembunuh terdapat dua pendapat, yang keduanya telah dinukil oleh Ibn Abi Hurairah. Ia berpendapat bahwa kedua pendapat itu diqiyaskan dari perbedaan pendapat beliau dalam masalah rahn (gadai), jika pemilik barang mengizinkan penerima gadai untuk menggauli budak perempuan yang digadaikan: apakah dengan izin itu gugur kewajiban mahar atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

فأما إِنْ أُمِرَ بِقَطْعِ يَدِهِ أَوْ جَلْدِهِ لَمْ يَضْمَنْ وَجْهًا وَاحِدًا، لِاحْتِمَالِ أَنْ يَكُونَ الْأَمْرُ بِقَطْعِهِ حَدًّا فِي سَرِقَةٍ وَالْجَلَدُ حَدًّا فِي زِنًا – وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun jika ia diperintahkan untuk memotong tangannya atau mencambuknya, maka ia tidak wajib menanggung ganti rugi menurut satu pendapat, karena ada kemungkinan perintah memotong itu merupakan pelaksanaan hudud atas pencurian, dan cambuk merupakan hudud atas zina – dan Allah lebih mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ لَا يَأْمُرَهُ بِعَلْفِهَا وَلَا يَنْهَاهُ فَعَلَيْهِ عَلْفُهَا، لِمَا يَلْزَمُهُ فِي الشَّرْعِ مِنْ حُرْمَةِ نَفْسِهَا، فَإِنْ لَمْ يَعْلِفْهَا حَتَّى هَلَكَتْ فِي مُدَّةٍ إِنْ لَمْ تَأْكُلْ فِيهِ تَلِفَتْ فَعَلَيْهِ غُرْمُهَا.

Adapun bagian ketiga: yaitu apabila ia tidak diperintahkan untuk memberi makan hewan itu dan juga tidak dilarang, maka ia tetap wajib memberi makan hewan tersebut, karena kewajiban syariat untuk menjaga jiwa hewan itu. Jika ia tidak memberinya makan hingga hewan itu mati dalam jangka waktu yang jika tidak makan maka akan binasa, maka ia wajib menanggung ganti rugi atas kematiannya.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَا غُرْمَ عَلَيْهِ، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْأَمْرَ إِنَّمَا تَضَمَّنَ الْحِفْظَ دُونَ الْعَلْفِ، فَلَمْ يَكُنْ مِنْهُ تَقْصِيرٌ فِيمَا تَضَمَّنَهُ الْأَمْرُ فَلَمْ يَضْمَنْ، وَتَعَلُّقًا بِأَنَّهُ لَوْ رَأَى بَهِيمَةً تَتْلَفُ جُوعًا فَلَمْ يُطْعِمْهَا لَمَا ضَمِنَ، فَكَذَلِكَ هَذِهِ، وَهَذَا فَاسِدٌ، لَأَنَّ مَا وجب بالشرع فَهُوَ كَالْمُقْتَرِنِ بِالْأَمْرِ، وَقَدْ نَهَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَنْ تُتَّخَذَ الرُوحُ غَرَضًا ” وَذَكَرَ فِي صَاحِبَةِ الْهِرَّةِ الَّتِي دَخَلَتْ بِهَا النَّارُ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ تَرْكُ الْبَهِيمَةِ بِلَا عَلْفٍ، وَلِأَنَّ عَلْفَهَا مِنْ شُرُوطِ حِفْظِهَا، فَلَمَّا كَانَ حِفْظُهَا وَاجِبًا وَإِنْ جَازَ أَنْ تَبْقَى بغير حافظ أولى أَنْ يَكُونَ عَلْفُهَا وَاجِبًا إِذْ لَيْسَ يَجُوزُ أَنْ تَبْقَى بِغَيْرِ عَلْفٍ، وَبِهَذَا بَطَلَ اسْتِدْلَالُهُ.

Abu Hanifah berkata: Tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya, dengan alasan bahwa perintah itu hanya mencakup penjagaan, bukan pemberian makan, sehingga ia tidak dianggap lalai dalam hal yang diperintahkan, maka ia tidak wajib menanggung ganti rugi. Ia juga beralasan bahwa jika seseorang melihat hewan milik orang lain hampir mati kelaparan lalu tidak memberinya makan, maka ia tidak wajib menanggung ganti rugi, demikian pula dalam kasus ini. Namun, pendapat ini rusak, karena apa yang diwajibkan oleh syariat itu sama dengan yang diperintahkan secara langsung. Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – telah melarang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran, dan beliau menyebutkan kisah wanita yang masuk neraka karena seekor kucing, yang menunjukkan bahwa tidak boleh membiarkan hewan tanpa diberi makan. Selain itu, memberi makan hewan merupakan salah satu syarat penjagaannya. Jika penjagaan hewan itu wajib, padahal boleh saja hewan itu tetap hidup tanpa penjaga, maka memberi makan hewan tentu lebih wajib lagi, karena tidak mungkin hewan tetap hidup tanpa makan. Dengan demikian, batalah alasan yang dikemukakannya.

فَأَمَّا مَنْ رَأَى بَهِيمَةَ غَيْرِهِ تَمُوتُ جُوعًا فلم يطعمها فَإِنَّمَا لَمْ يَضْمَنْهَا، لِأَنَّهُ لَمْ يَتَعَيَّنْ عَلَيْهِ حفظها، وليس كَالْوَدِيعَةِ الَّتِي تَعَيَّنَ عَلَيْهِ حِفْظُهَا، فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ عَلْفِهَا عَلَيْهِ وَأَنَّهُ يَضْمَنُهَا إِنْ لَمْ تُعْلَفْ فَالطَّرِيقُ إِلَى رُجُوعِهِ بِعَلْفِهَا أَنْ يَأْتِيَ الْحَاكِمُ حَتَّى يَنْظُرَ حَالَ مَالِكِهَا، فَإِنْ كَانَ حَاضِرًا أَلْزَمَهُ عَلْفُهَا، وَإِنْ كَانَ غَائِبًا نُظِرَ أَوْلَى الْأَمْرَيْنِ لَهُ مِنْ بَيْعِهَا إِنْ خَافَ أن يذهب في علفها أكثر منها أو النفقة عليها إن رأى ذَلِكَ قَلِيلًا، فَإِنْ رَأَى الْحَاكِمُ أَنْ يَأْذَنَ لِلْمُسْتَوْدَعِ فِي النَّفَقَةِ عَلَيْهَا، فَهَلْ يَلْزَمُهُ تَقْدِيرُهَا لَهُ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ فِي الْمَالِكِ لَوْ كَانَ هُوَ الْآذِنَ، وَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يَتَوَلَّى النَّفَقَةَ عَلَيْهَا بِنَفْسِهِ أَوْ يُنَصِّبَ لَهُ أَمِينًا يَأْخُذُهَا مِنْهُ؟ عَلَى وجهين ذكرناهما في ” اللقطة “، فإن اتفق الْمُسْتَوْدَعُ عَلَيْهَا مِنْ غَيْرِ حُكْمِ حَاكِمٍ، فَإِنْ قَدَرَ عَلَى اسْتِئْذَانِ الْحَاكِمِ كَانَ مُتَطَوِّعًا بِالنَّفَقَةِ، وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى اسْتِئْذَانِهِ فَفِي رُجُوعِهِ بالنفقة ثلاثة أوجه:

Adapun orang yang melihat hewan milik orang lain hampir mati kelaparan lalu tidak memberinya makan, maka ia tidak wajib menanggung ganti rugi, karena tidak ada kewajiban baginya untuk menjaga hewan tersebut. Ini berbeda dengan barang titipan yang memang wajib dijaga olehnya. Jika telah tetap kewajiban memberi makan hewan itu atasnya dan bahwa ia wajib menanggung ganti rugi jika tidak diberi makan, maka cara untuk menuntut kembali biaya makannya adalah dengan mendatangi hakim agar hakim memeriksa keadaan pemiliknya. Jika pemiliknya hadir, hakim mewajibkan pemilik memberi makan hewan itu. Jika pemiliknya tidak ada, maka dipertimbangkan mana yang lebih utama antara menjual hewan itu jika dikhawatirkan biaya makannya lebih besar dari nilai hewan itu, atau tetap menanggung biaya makannya jika dianggap biayanya sedikit. Jika hakim memandang perlu mengizinkan penerima titipan untuk menafkahi hewan itu, maka apakah wajib ditentukan besar biayanya untuknya atau tidak? Hal ini sesuai dengan dua pendapat yang telah kami sebutkan dalam masalah pemilik jika ia sendiri yang mengizinkan. Dan apakah boleh ia sendiri yang menafkahi atau menunjuk orang kepercayaannya untuk mengambil biaya dari dirinya? Ini juga terdapat dua pendapat yang telah kami sebutkan dalam masalah “barang temuan (luqathah)”. Jika penerima titipan menafkahi hewan itu tanpa keputusan hakim, maka jika ia mampu meminta izin hakim, ia dianggap sukarela dalam menafkahi. Namun jika ia tidak mampu meminta izin hakim, maka dalam hal ia boleh menuntut kembali biaya nafkahnya terdapat tiga pendapat:

أحدهما: يَرْجِعُ بِهَا أَشْهَدَ، أَوْ لَمْ يُشْهِدْ، لِوُجُوبِهَا عَلَيْهِ، وَعَدَمِ مَنْ يَحْكُمُ بِهَا لَهُ.

Pertama: Ia boleh menuntut kembali biaya itu, baik ia menghadirkan saksi atau tidak, karena kewajiban itu memang ada padanya dan tidak ada pihak yang memutuskan haknya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَرْجِعُ بِهَا أَشْهَدَ، أَوْ لم يشهد، لأن لا يَكُونَ حَاكَمَ نَفْسَهُ.

Pendapat kedua: Ia tidak boleh menuntut kembali biaya itu, baik ia menghadirkan saksi atau tidak, agar ia tidak menjadi hakim bagi dirinya sendiri.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ إِنْ أشهد رَجَعَ، وَإِنْ لَمْ يُشْهِدْ لَمْ يَرْجِعْ، لِأَنَّ الإشهاد غاية إمكانه.

Pendapat ketiga: Jika ia menghadirkan saksi, maka ia boleh menuntut kembali, dan jika tidak menghadirkan saksi maka tidak boleh menuntut kembali, karena menghadirkan saksi adalah batas maksimal kemampuannya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَلَوْ أَوْصَى الْمُودِعُ إِلَى أَمِينٍ لَمْ يَضْمَنْ فَإِنْ كَانَ غَيْرَ أَمِينٍ ضَمِنَ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika orang yang menerima titipan berwasiat kepada seorang yang terpercaya, maka ia tidak menanggung (kerugian). Namun jika kepada selain yang terpercaya, maka ia menanggung (kerugian).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا حَضَرَ الْمُسْتَوْدَعَ الْمَوْتُ، فَإِنْ كَانَ مَالِكُهَا حَاضِرًا، أَوْ وَكِيلُهُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُوصِيَ بِهَا، كَمَا لَا يَجُوزُ إِذَا أَرَادَ السَّفَرَ مَعَ حُضُورِ مَالِكِهَا أَنْ يُودِعَهَا، وَإِنْ كَانَ مَالِكُهَا غَائِبًا وَلَيْسَ لَهُ وَكِيلٌ حَاضِرٌ فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى حَاكِمٍ جَازَ أَنْ يُوصِيَ بِهَا إِلَى أَمِينٍ وَإِنْ قَدَرَ عَلَى الْحَاكِمِ فَفِي جَوَازِ الْوَصِيَّةِ بِهَا غَيْرَهُ وَجْهَانِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فِي السَّفَرِ، فَإِذَا جَازَ لَهُ الْوَصِيَّةُ بِهَا مَعَ عَدَمِ الْحَاكِمِ وَمَعَ وُجُودِهِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ اخْتَارَ لَهَا أَمِينًا، فَإِنِ اخْتَارَ لَهَا أَمِينًا قَدِ اخْتَارَهُ لِوَصِيَّةِ نَفْسِهِ كَانَ أَوْلَى وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، وَفِي وُجُوبِ الْإِشْهَادِ عَلَيْهِ بِهَا وَجْهَانِ، وَإِنِ اخْتَارَ لَهَا أَمِينًا غَيْرَ مَنِ اخْتَارَهُ لِوَصِيَّةِ نَفْسِهِ، فَفِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar, apabila orang yang menerima titipan menghadapi kematian. Jika pemilik barang hadir, atau wakilnya, maka tidak boleh ia berwasiat mengenai barang itu, sebagaimana juga tidak boleh menitipkannya ketika hendak bepergian sementara pemiliknya hadir. Namun jika pemilik barang tidak ada dan tidak ada wakilnya yang hadir, lalu ia tidak mampu menyerahkannya kepada hakim, maka boleh ia berwasiat kepada seorang yang terpercaya. Jika ia mampu menyerahkannya kepada hakim, maka dalam kebolehan berwasiat kepada selain hakim terdapat dua pendapat sebagaimana telah kami sebutkan dalam masalah bepergian. Jika ia boleh berwasiat dengan ketiadaan hakim, atau dengan keberadaan hakim menurut salah satu dari dua pendapat, maka ia memilih seorang yang terpercaya. Jika ia memilih seorang yang terpercaya yang juga ia pilih sebagai wasiat untuk dirinya sendiri, maka itu lebih utama dan tidak ada tanggungan atasnya. Dalam kewajiban menghadirkan saksi atas wasiat itu juga terdapat dua pendapat. Jika ia memilih seorang yang terpercaya selain yang ia pilih untuk wasiat dirinya sendiri, maka dalam hal tanggung jawabnya juga terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَضْمَنُ، وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ مِنْ أَصْحَابِنَا، كَمَا لَوْ أَوْصَى بِبَعْضِ مَالِهِ إِلَى رَجُلٍ وَبَعْضِهِ إِلَى غَيْرِهِ.

Salah satunya: Tidak menanggung, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama kami, sebagaimana jika ia berwasiat sebagian hartanya kepada seseorang dan sebagian lagi kepada orang lain.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قِيَاسُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ فِي عَلْفِ الدَّابَّةِ فِي غَيْرِ مَنْزِلِهِ أَنَّهُ يَضْمَنُ، لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِمَّنِ اخْتَارَهُ بِنَفْسِهِ أَنَّهُ أَظْهَرُ أَمَانَةً، قُلْنَا إِنْ أَوْصَى بِهَا إلى غير أمين لم يجز، سواء جَعَلَهُ وَصِيَّ نَفْسِهِ أَمْ لَا، وَسَوَاءٌ عَلِمَ فِسْقَهُ أَمْ لَا، لِأَنَّ الْعَمْدَ وَالْخَطَأَ فِي ضَمَانِ الْأَمْوَالِ سَوَاءٌ فَإِنْ فَعَلَ، نُظِرَ فَإِنْ سَلَّمَهَا إِلَيْهِ ضَمِنَهَا لِتَفْرِيطِهِ فِيهَا، وَإِنْ لَمْ يُسَلِّمْهَا إِلَيْهِ عِنْدَ الْوَصِيَّةِ حَتَّى هَلَكَتْ فَفِي ضَمَانِهِ لَهَا وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Yaitu qiyās Abu Sa‘id al-Istakhri dalam masalah memberi makan hewan di selain rumahnya, bahwa ia menanggung, karena yang tampak dari orang yang ia pilih sendiri adalah lebih tampak amanahnya. Kami katakan: Jika ia berwasiat kepada selain orang yang terpercaya, maka tidak sah, baik ia jadikan sebagai wasiat untuk dirinya sendiri atau tidak, baik ia mengetahui kefasikan orang itu atau tidak, karena sengaja maupun tidak dalam penjaminan harta adalah sama. Jika ia melakukannya, maka dilihat: jika ia menyerahkannya kepada orang tersebut, maka ia menanggungnya karena kelalaiannya. Jika ia tidak menyerahkannya pada saat wasiat hingga barang itu rusak, maka dalam hal tanggung jawabnya juga terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يَضْمَنُهَا، لِأَنَّهُ مَا أَحْدَثَ فِيهَا فِعْلًا.

Salah satunya: Ia tidak menanggungnya, karena ia tidak melakukan tindakan apa pun terhadap barang itu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَضْمَنُهَا، لِأَنَّهُ قَدْ سُلِّطَ عَلَيْهَا، وَإِنْ لَمْ يَقْبِضْهَا فَصَارَ ذَلِكَ عُدْوَانًا فَوَجَبَ الضَّمَانُ، فَأَمَّا إِنْ لَمْ يُوصِ بِهَا حَتَّى مَاتَ نُظِرَ، فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْوَصِيَّةِ لِمُفَاجَأَةِ الْمَوْتِ لَمْ يَضْمَنْ، وَإِنْ قَدَرَ عَلَيْهَا ضَمِنَ – وَبِاللَّهِ التوفيق -.

Pendapat kedua: Ia menanggungnya, karena ia telah memberikan kekuasaan atas barang itu, meskipun belum diserahkan, sehingga itu dianggap sebagai tindakan melampaui batas dan wajib menanggung. Adapun jika ia tidak berwasiat hingga meninggal, maka dilihat: jika ia tidak mampu berwasiat karena kematian yang mendadak, maka ia tidak menanggung. Namun jika ia mampu, maka ia menanggungnya – dan hanya kepada Allah-lah taufik.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” فَإِنِ انْتَقَلَ مِنْ قَرْيَةٍ آهِلَةٍ إِلَى غَيْرِ آهِلَةٍ ضَمِنَ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia memindahkan (titipan) dari desa yang ramai ke desa yang tidak ramai, maka ia menanggung (kerugian).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي نَقْلِ هَذَا اللَّفْظِ، فَذَهَبَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ إِلَى أَنَّ الرِّوَايَةَ فِيهِ: ” وَلَوِ انْتَقَلَ مِنْ قَرْيَةِ أَهْلِهِ ” يَعْنِي: كَثِيرَةَ الْأَهْلِ ” إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ ” يَعْنِي: قَلِيلَةَ الْأَهْلِ.

Al-Mawardi berkata: Para ulama kami berbeda pendapat dalam meriwayatkan lafaz ini. Abu Ishaq al-Marwazi berpendapat bahwa riwayatnya adalah: “Jika ia memindahkan dari desa yang banyak penduduknya ke desa yang sedikit penduduknya.”

وَذَهَبَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ إِلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِقَوْلِهِ: ” وَلَوِ انْتَقَلَ مِنْ قَرْيَةِ أَهْلِهِ ” يَعْنِي: وَطَنَ أَهْلِهِ إِلَى غَيْرِ وَطَنِ أَهْلِهِ.

Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ucapannya: “Jika ia memindahkan dari desa keluarganya” adalah dari tempat tinggal keluarganya ke selain tempat tinggal keluarganya.

وَجُمْلَةُ ذَلِكَ: أَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُ الْقَرْيَةِ الَّتِي انْتَقَلَ إِلَيْهَا مِنْ أَنْ تَكُونَ آمِنَةً أَوْ غَيْرَ آمِنَةٍ، فَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ آمِنَةٍ كَانَ ضَامِنًا بِنَقْلِ الْوَدِيعَةِ إِلَيْهَا، وَإِنْ كَانَتْ آمِنَةً لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَنْ تَكُونَ قَرِيبَةً أَوْ بَعِيدَةً، فَإِنْ كَانَتْ بَعِيدَةً ضَمِنٍ لِمَا فِي نَقْلِهَا مِنْ إِبْعَادِهَا عَنْ مَالِكِهَا، فَإِنْ كَانَتْ قَرِيبَةً لَمْ يَخْلُ حَالُ الطَّرِيقِ مِنْ أَنْ يَكُونَ آمِنًا أَوْ مَخُوفًا فَإِنْ كَانَ مَخُوفًا ضَمِنَ وَإِنْ كَانَ آمِنًا لَمْ يَخْلُ حَالُ الْقَرْيَةِ الَّتِي انْتَقَلَ عَنْهَا مِنْ أَنْ تَكُونَ مَخُوفَةً أَوْ آمِنَةً، فَإِنْ كَانَتْ مَخُوفَةً لَا يُأْمَنُ عَلَى الْوَدِيعَةِ فِيهَا مِنْ غَارَةٍ أَوْ حَرِيقٍ، أَوْ غَرَقٍ لَمْ يَضْمَنْ، وَإِنْ كَانَتْ آمِنَةً فَفِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ:

Kesimpulannya: Keadaan desa yang dipindahi tidak lepas dari dua kemungkinan: aman atau tidak aman. Jika tidak aman, maka ia menanggung kerugian karena memindahkan titipan ke sana. Jika aman, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: dekat atau jauh. Jika jauh, ia menanggung karena memindahkannya semakin jauh dari pemiliknya. Jika dekat, maka keadaan jalan tidak lepas dari dua kemungkinan: aman atau berbahaya. Jika berbahaya, ia menanggung. Jika aman, maka keadaan desa yang ditinggalkan tidak lepas dari dua kemungkinan: berbahaya atau aman. Jika berbahaya sehingga titipan tidak aman dari serangan, kebakaran, atau tenggelam, maka ia tidak menanggung. Jika aman, maka dalam hal tanggung jawabnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: إنه لا يَضْمَنُ عَلَى مَا قَدَّمْتُهُ مِنْ رِوَايَةِ اللُّقَطَةِ، وَكَمَا لَوْ نَقَلَهَا مِنْ مَحَلَّةٍ إِلَى أُخْرَى.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: bahwa ia tidak menanggung (ganti rugi), sebagaimana telah aku sebutkan sebelumnya dalam riwayat tentang barang temuan (luqathah), dan sebagaimana jika ia memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ عِنْدِي، أَنَّهُ يَضْمَنُ، لأن في إخراج المال عن القرية تغرير لم تدع إليه ضرورة.

Pendapat kedua, dan inilah yang menurutku lebih shahih, bahwa ia menanggung (ganti rugi), karena mengeluarkan harta dari desa merupakan tindakan yang mengandung risiko tanpa ada kebutuhan yang mendesak.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَإِنْ شَرَطَ أَنْ لَا يُخْرِجَهَا مِنْ هَذَا الْمَوْضِعِ فَأَخْرَجَهَا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ ضَمِنَ فَإِنْ كَانَ ضَرُورَةً وَأَخْرَجَهَا إِلَى حِرْزٍ لَمْ يَضْمَنْ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika disyaratkan agar tidak mengeluarkannya dari tempat ini, lalu ia mengeluarkannya tanpa ada kebutuhan mendesak, maka ia wajib menanggung (ganti rugi). Namun jika ada kebutuhan mendesak dan ia mengeluarkannya ke tempat yang aman, maka ia tidak menanggung (ganti rugi).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ حَالِ الْمُودِعِ أَنَّهُ لَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يُعَيِّنَ لِلْمُسْتَوْدَعِ عَلَى حِرْزٍ أَوْ لَا يُعَيِّنَ، فَإِنْ لَمْ يُعَيِّنْ عَلَى حِرْزٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يُحْرِزَهَا حِرْزَ مِثْلِهَا، وَيَجُوزُ لَهُ نَقْلُهَا مِنْ ذَلِكَ الْحِرْزِ إِلَى حِرْزٍ مِثْلِهِ أَوْ آخَرَ لِضَرُورَةٍ أَوْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ، إِذَا لَمْ يَكُنِ النَّقْلُ مَخُوفًا، لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ لَهُ فِي الِابْتِدَاءِ أَنْ يُحْرِزَهَا حَيْثُ شَاءَ فَلِذَلِكَ يَجُوزُ أَنْ يَنْقُلَهَا حَيْثُ شَاءَ وَسَوَاءٌ أَحْرَزَهَا مَعَ مَالِهِ أَوْ نَقَلَهَا مَعَ غَيْرِ مَالِهِ، وَعَلَى قِيَاسِ قَوْلِ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ مَتَى أَحْرَزَهَا مَعَ غَيْرِ مَالِهِ أَوْ نَقَلَهَا مَعَ غَيْرِ مَالِهِ ضَمِنَ كَالدَّابَّةِ.

Al-Mawardi berkata: Secara umum, keadaan orang yang menitipkan barang (muwaddi‘) tidak lepas dari dua kemungkinan: ia menentukan tempat penyimpanan (hirz) bagi orang yang dititipi (mustawda‘), atau tidak menentukannya. Jika tidak menentukan tempat penyimpanan, maka mustawda‘ wajib menyimpannya di tempat yang layak untuk barang sejenisnya, dan ia boleh memindahkannya dari tempat penyimpanan itu ke tempat penyimpanan lain yang sepadan, baik karena kebutuhan mendesak maupun tidak, selama pemindahan itu tidak berisiko. Karena sejak awal ia memang boleh menyimpannya di mana saja yang ia kehendaki, maka demikian pula ia boleh memindahkannya ke mana saja yang ia kehendaki, baik ia menyimpannya bersama hartanya sendiri atau memindahkannya bersama barang lain. Menurut qiyās pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri, kapan pun ia menyimpannya bersama barang lain atau memindahkannya bersama barang lain, maka ia wajib menanggung (ganti rugi), seperti (memindahkan) hewan tunggangan.

فَصْلٌ:

Fasal:

فإن عين على حرز يحرزها فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَنْ يَنْهَاهُ عَنْ إخراجها من ذلك الحرز [أو لا ينهاه، فإن لم ينهاه عن إخراجها من الْحِرْزِ] الَّذِي عَيَّنَهُ جَازَ إِحْرَازُهَا فِيهِ، سَوَاءٌ كَانَ حِرْزًا لِمِثْلِهَا أَوْ لَمْ يَكُنْ، لِأَنَّ مَالِكَهَا بِالتَّعْيِينِ قَدْ قَطَعَ اجْتِهَادَهُ فِي الِاخْتِيَارِ، فَإِنْ أَخْرَجَهَا مِنْ ذَلِكَ الْحِرْزِ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:

Jika ia menentukan tempat penyimpanan (hirz) untuk menyimpan barang tersebut, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: ia melarang mustawda‘ mengeluarkan barang dari tempat penyimpanan itu [atau tidak melarangnya. Jika ia tidak melarang mengeluarkan barang dari hirz] yang telah ditentukan, maka boleh menyimpannya di situ, baik tempat itu layak untuk barang sejenisnya atau tidak, karena pemilik barang dengan penentuan itu telah memutuskan ijtihad mustawda‘ dalam memilih tempat. Jika ia mengeluarkan barang dari tempat penyimpanan itu, maka ada dua keadaan:

أحدهما: لضرورة أمن غَشَيَانِ نَارٍ، أَوْ حُدُوثِ غَارَةٍ، فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ بِإِخْرَاجِهَا مِنْهُ إِذَا كَانَ الطَّرِيقُ فِي إِخْرَاجِهَا مَأْمُونًا، وَلَوْ تَرَكَهَا مَعَ حُدُوثِ هَذِهِ الضَّرُورَةِ لَكَانَ لَهَا ضَامِنًا، لِأَنَّهُ فَرَّطَ بِتَرْكِهَا.

Pertama: karena kebutuhan mendesak, seperti untuk menghindari kebakaran atau terjadinya penjarahan, maka tidak ada kewajiban menanggung (ganti rugi) atas pengeluaran barang itu selama jalan untuk mengeluarkannya aman. Namun, jika ia membiarkannya tetap di situ padahal terjadi keadaan darurat tersebut, maka ia wajib menanggung (ganti rugi), karena ia telah lalai dengan membiarkannya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَنْقُلَهَا مِنْ ذَلِكَ الْحِرْزِ إِلَى غَيْرِهِ مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ حَدَثَتْ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْحِرْزِ الَّذِي كَانَتْ فِيهِ، وَالْحِرْزُ الَّذِي نُقِلَتْ إِلَيْهِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Kedua: ia memindahkan barang dari tempat penyimpanan itu ke tempat lain tanpa ada kebutuhan mendesak, maka keadaan tempat penyimpanan asal dan tempat penyimpanan baru terbagi menjadi empat bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الْمُعَيَّنُ غَيْرَ حَرِيزٍ وَالْمَنْقُولُ إِلَيْهِ حَرِيزًا، فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ.

Pertama: tempat yang ditentukan tidak aman, sedangkan tempat yang dipindahkan aman, maka ia tidak wajib menanggung (ganti rugi).

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْمُعَيَّنُ حَرِيزًا وَالْمَنْقُولُ غَيْرَ حَرِيزٍ، فَعَلَيْهِ الضَّمَانُ.

Kedua: tempat yang ditentukan aman, sedangkan tempat yang dipindahkan tidak aman, maka ia wajib menanggung (ganti rugi).

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الْمُعَيَّنُ غَيْرَ حَرِيزٍ وَالْمَنْقُولُ غَيْرَ حَرِيزٍ، فَعَلَيْهِ الضَّمَانُ، لِأَنَّهُ قَدْ عَدَلَ عَنِ التَّعْيِينِ إِلَى غَيْرِهِ اخْتِيَارًا.

Ketiga: tempat yang ditentukan tidak aman, dan tempat yang dipindahkan juga tidak aman, maka ia wajib menanggung (ganti rugi), karena ia telah berpindah dari tempat yang ditentukan ke tempat lain atas pilihannya sendiri.

وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الْمُعَيَّنُ حَرِيزًا وَالْمَنْقُولُ إِلَيْهِ حَرِيزًا، فَيُنْظَرُ فِي الْحِرْزِ الْمُعَيَّنِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِرَبِّ الْوَدِيعَةِ جَازَ نَقْلُهَا وَلَمْ يَضْمَنْ، لِأَنَّ حَقَّهُ فِي الْإِحْرَازِ دُونَ الْحِرْزِ، وَإِنْ كَانَ مِلْكًا لِرَبِّ الْوَدِيعَةِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Keempat: tempat yang ditentukan aman, dan tempat yang dipindahkan juga aman, maka dilihat lagi pada tempat penyimpanan yang ditentukan itu. Jika bukan milik pemilik titipan, maka boleh dipindahkan dan ia tidak wajib menanggung (ganti rugi), karena hak pemilik hanya pada keamanan penyimpanan, bukan pada tempatnya. Namun jika tempat itu milik pemilik titipan, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ نَقْلُهَا وَلَا يَضْمَنُهَا تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْحِفْظِ الْمُعْتَبَرِ مَعَ الْإِطْلَاقِ، وَيَضْمَنُهَا اعْتِبَارًا بِالتَّعْيِينِ الْقَاطِعِ لِلِاخْتِيَارِ.

Pertama: boleh dipindahkan dan ia tidak menanggung (ganti rugi), karena mengutamakan hukum penjagaan yang dianggap cukup jika tidak ada penegasan, dan ia menanggung (ganti rugi) jika dilihat dari penetapan tempat yang memutuskan pilihan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ لَهُ نَقَلُهَا اعْتِبَارًا بِالتَّعْيِينِ الْقَاطِعِ لِلِاخْتِيَارِ.

Kedua: tidak boleh memindahkannya, karena mempertimbangkan penetapan tempat yang memutuskan pilihan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ نَهَاهُ مَعَ التَّعْيِينِ عَلَى الْحِرْزِ عَنْ إِخْرَاجِهَا مِنْهُ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْحِرْزِ مِنْ أَنْ يَكُونَ لِلْمُودِعِ أَوِ الْمُسْتَوْدَعِ، فَإِنْ كَانَ لِلْمُودِعِ فَسَوَاءٌ كَانَ مَالِكًا أَوْ مُسْتَأْجِرًا شَرْطُهُ وَاجِبٌ، وَلَيْسَ لِلْمُسْتَوْدَعِ نَقْلُهَا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ، فَإِنْ نَقَلَهَا مَعَ ارْتِفَاعِ الضَّرُورَةِ ضَمِنَهَا، سَوَاءٌ نَقَلَهَا مِنْ دَارٍ إِلَى دَارٍ، ضَمِنَ أَوْ نَقَلَهَا مَنْ بَيْتٍ إِلَى بَيْتٍ ضَمِنَ.

Jika ia melarangnya secara spesifik terhadap tempat penyimpanan (ḥirz) untuk mengeluarkan barang titipan dari sana, maka keadaan ḥirz itu tidak lepas dari dua kemungkinan: milik penitip (mūdi‘) atau penerima titipan (mustawda‘). Jika milik penitip, baik ia sebagai pemilik atau penyewa, maka syarat tersebut wajib dipenuhi, dan penerima titipan tidak boleh memindahkannya kecuali dalam keadaan darurat. Jika ia memindahkannya tanpa adanya darurat, maka ia wajib menggantinya, baik ia memindahkannya dari satu rumah ke rumah lain, ia wajib mengganti, atau memindahkannya dari satu kamar ke kamar lain, ia juga wajib mengganti.

وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ نَقَلَهَا مِنْ دَارٍ إِلَى دَارٍ ضَمِنَ وَإِنْ نَقْلَهَا مِنْ بَيْتٍ إِلَى بَيْتٍ أَوْ مِنْ صُنْدُوقٍ إِلَى صُنْدُوقٍ لَمْ يَضْمَنِ احْتِجَاجًا بِأَنَّ الدُّورَ الْمُخْتَلِفَةَ قَدْ تَتَبَايَنُ فِي الْإِحْرَازِ، وَالْبُيُوتُ فِي الدَّارِ الْوَاحِدَةِ لَا تَتَبَايَنُ، وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Abu Ḥanīfah berkata: Jika ia memindahkannya dari satu rumah ke rumah lain, ia wajib mengganti, namun jika memindahkannya dari satu kamar ke kamar lain atau dari satu kotak ke kotak lain, ia tidak wajib mengganti, dengan alasan bahwa rumah-rumah yang berbeda bisa jadi berbeda tingkat keamanannya, sedangkan kamar-kamar dalam satu rumah tidak berbeda. Pendapat ini keliru dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْبُيُوتَ مِنَ الدَّارِ الْوَاحِدَةِ قَدْ تَخْتَلِفُ فِي الْحِرْزِ كَاخْتِلَافِ الدُّورِ.

Pertama: Bahwa kamar-kamar dalam satu rumah bisa saja berbeda tingkat keamanannya sebagaimana perbedaan rumah-rumah.

وَالثَّانِي: أَنَّ فِي نَقْلِهَا مَعَ التَّعْيِينِ تَصَرُّفًا غَيْرَ مَأْذُونٍ فِيهِ، فَصَارَ بِهِ مُتَعَدِّيًا، وجملة ذلك أن له في نقلها مِنْ بَلَدٍ إِلَى بَلَدٍ، وَالثَّانِي: مِنْ دَارٍ إِلَى دَارٍ، وَالثَّالِثُ: مِنْ بَيْتٍ إِلَى بَيْتٍ، وَالرَّابِعُ: مِنْ صُنْدُوقٍ إِلَى صُنْدُوقٍ، فَعِنْدَنَا يَضْمَنُ إِذَا نَقَلَهَا فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ الْأَرْبَعَةِ مَعَ التَّعْيِينِ، وَعِنْدَ أبي حنيفة يَضْمَنُ فِي حَالَتَيْنِ فِي الْبَلَدِ وَالدَّارِ، وَلَا يَضْمَنُ فِي حَالَتَيْنِ فِي الْبَيْتِ وَالصُّنْدُوقِ، وَإِنْ كَانَ الْحِرْزُ لِلْمُسْتَوْدَعِ فَفِي لُزُومِ مَا شَرَطَهُ لِلْمُودِعِ عَلَيْهِ مِنْ أن لا يحرزها منه وجهان:

Kedua: Bahwa dalam memindahkannya secara spesifik terdapat tindakan yang tidak diizinkan, sehingga ia menjadi pelaku pelanggaran. Secara keseluruhan, dalam memindahkannya dari satu negeri ke negeri lain, kedua: dari satu rumah ke rumah lain, ketiga: dari satu kamar ke kamar lain, keempat: dari satu kotak ke kotak lain, menurut kami, ia wajib mengganti jika memindahkannya dalam keempat keadaan ini secara spesifik. Sedangkan menurut Abu Ḥanīfah, ia wajib mengganti dalam dua keadaan, yaitu pada negeri dan rumah, dan tidak wajib mengganti dalam dua keadaan, yaitu pada kamar dan kotak. Jika ḥirz itu milik penerima titipan, maka dalam hal kewajiban memenuhi syarat yang ditetapkan oleh penitip agar tidak dipindahkan dari sana, terdapat dua pendapat:

أحدهما: قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، أَنَّهُ شَرْطٌ وَاجِبٌ، وَمَتَى أَخْرَجَهَا مِنْهُ لِغَيْرِ ضَرُورَةٍ ضَمِنَ، لِأَنَّ الْمُودِعَ لَمْ يَرْضَ لِإِحْرَازِ مَالِهِ إِلَّا مَا عَيَّنَهُ.

Pertama: Pendapat Abu Isḥāq al-Marwazī, bahwa itu adalah syarat yang wajib, dan kapan saja ia mengeluarkannya tanpa adanya darurat, ia wajib mengganti, karena penitip tidak rela hartanya disimpan kecuali pada tempat yang telah ditentukan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ شَرْطٌ لَا يَجِبُ، وَإِنْ أَخْرَجَهَا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ لَهُ لَا يَضْمَنُ، لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ الْحِرْزَ وَلَيْسَ يَسْتَحِقُّ إِلَّا الْحِفْظَ.

Pendapat kedua: Yaitu pendapat Abu ‘Alī bin Abī Hurairah, bahwa itu adalah syarat yang tidak wajib, dan jika ia mengeluarkannya tanpa adanya darurat, ia tidak wajib mengganti, karena ia tidak memiliki tempat penyimpanan itu dan ia hanya berhak menjaga saja.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا دَعَتِ الضَّرُورَةُ إِلَى إِخْرَاجِهَا مِنَ الْحِرْزِ الَّذِي عَيَّنَهُ لِحِفْظِ الْوَدِيعَةِ فِيهِ مِنْ غَشَيَانِ نَارٍ أَوْ حُدُوثِ حَرِيقٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun jika keadaan darurat mengharuskan untuk mengeluarkan barang titipan dari ḥirz yang telah ditentukan untuk menyimpan titipan tersebut, seperti karena terjadi kebakaran atau munculnya api, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَنُصَّ الْمُودِعُ عَلَى أَنْ لَا يُخْرِجَهَا مِنْهُ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ.

Pertama: Penitip secara tegas menyatakan agar tidak mengeluarkannya dari tempat tersebut dalam keadaan-keadaan seperti ini.

وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَنُصَّ، فَإِنْ لَمْ يَنُصَّ عَلَى ذَلِكَ بَلْ نَهَى عَنْ إِخْرَاجِهَا مِنْهُ عَلَى الْإِطْلَاقِ جَازَ مَعَ حُدُوثِ هَذِهِ الضَّرُورَاتِ الْمُتَجَدِّدَةِ إِخْرَاجُهَا، لِأَنَّ نَهْيَهُ عَنْ إِخْرَاجِهَا إِنَّمَا هُوَ لِفَرْطِ الِاحْتِيَاطِ فِي حِفْظِهَا، فَلَمْ يَجُزْ تَرْكُهَا فِي مَكَانٍ يُفْضِي إِلَى تَلَفِهَا، فَإِنْ تَرَكَهَا وَلَمْ يَنْقُلْهَا حَتَّى تَلِفَتْ فَعَلَيْهِ الضَّمَانُ، لِتَفْرِيطِهِ بِالتَّرْكِ، وَإِنْ نَصَّ عَلَى أَنْ لَا تَخْرُجَ مِنْهُ، وَإِنْ غَشِيَتْ نَارٌ، أَوْ حَدَثَتْ غَارَةٌ، فَإِنْ كَانَ حَيَوَانًا يَخَافُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ غَشَيَانِ النَّارِ كَانَ هذا فيه شَرْطًا بَاطِلًا، وَلَزِمَ إِخْرَاجُهُ مَعَ النَّهْيِ عَنْهُ، كَمَا يَلْزَمُ عَلْفُهُ، وَإِنْ نَهَى عَنْهُ، فَإِنْ أَخْرَجَهُ لَمْ يَضْمَنْهُ، وَإِنْ تَرَكَهُ فَفِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ كَالدَّابَّةِ إِذَا شَرَطَ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَعْلِفَهَا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حَيَوَانًا يُخَافُ تَلَفُ نَفْسِهِ فَفِي لُزُومِ شَرْطِهِ وَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ الْمَحْكِيَّيْنِ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ فِي الْوَكِيلِ إِذَا وُكِّلَ فِي شِرَاءِ عَبْدٍ يَعْنِيهِ بِعَشَرَةٍ فَاشْتَرَاهُ بِأَقَلَّ مِنْهَا، فَإِنْ لَمْ يَنْهَهُ الْمُوَكِّلُ عَنْ شِرَائِهِ بِأَقَلَّ مِنْ عَشَرَةٍ صَحَّ الشِّرَاءُ، وَإِنْ نَهَاهُ فَفِي لُزُومِ شَرْطِ وَصِحَّةِ عَقْدِهِ وَجْهَانِ:

Kedua: Jika tidak ada nash (teks eksplisit), maka apabila tidak ada nash tentang hal itu, melainkan hanya larangan mengeluarkannya secara mutlak, maka boleh mengeluarkannya ketika terjadi keadaan darurat baru ini. Sebab, larangan mengeluarkannya itu semata-mata karena sangat berhati-hati dalam menjaganya, sehingga tidak boleh meninggalkannya di tempat yang dapat menyebabkan kerusakan. Jika ia meninggalkannya dan tidak memindahkannya hingga akhirnya rusak, maka ia wajib menanggung ganti rugi karena kelalaiannya dalam meninggalkan. Jika ada nash agar tidak dikeluarkan, lalu terjadi kebakaran atau serangan, maka jika barang itu adalah hewan yang dikhawatirkan akan binasa karena kebakaran, maka syarat tersebut batal, dan wajib mengeluarkannya meski ada larangan, sebagaimana wajib memberinya makan meski dilarang. Jika ia mengeluarkannya, ia tidak menanggung ganti rugi; namun jika ia meninggalkannya, maka dalam hal jaminan terdapat dua pendapat, seperti halnya hewan tunggangan jika disyaratkan tidak boleh diberi makan. Jika bukan hewan yang dikhawatirkan jiwanya binasa, maka dalam kewajiban memenuhi syarat tersebut ada dua pendapat, berdasarkan perbedaan dua pendapat yang dinukil dari Abu Ishaq al-Marwazi tentang wakil yang diwakilkan untuk membeli budak tertentu dengan harga sepuluh, lalu ia membelinya dengan harga kurang dari itu. Jika pemberi kuasa tidak melarang membeli dengan harga kurang dari sepuluh, maka jual belinya sah. Namun jika ia melarang, maka dalam kewajiban memenuhi syarat dan keabsahan akadnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: الشَّرْطُ بَاطِلٌ، وَالشِّرَاءُ صَحِيحٌ.

Salah satunya: Syaratnya batal, dan jual belinya sah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الشَّرْطَ لَازِمٌ، وَالشِّرَاءَ بَاطِلٌ كَذَلِكَ هَذَا الشَّرْطُ، وَهَذَا الْمَوْضِعُ يَخْرُجُ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Syaratnya wajib dipenuhi, dan jual belinya batal. Demikian pula syarat ini, dan permasalahan ini mengikuti dua pendapat tersebut:

أَحَدُهُمَا: يَلْزَمُ لِقَطْعِ الِاجْتِهَادِ بِالنَّصِّ، فَعَلَى هَذَا إِنْ أَخْرَجَهُ ضَمِنَ وَإِنْ تَرَكَهُ لَمْ يَضْمَنْ.

Salah satunya: Wajib dipenuhi karena adanya nash yang memutuskan ijtihad. Maka menurut pendapat ini, jika ia mengeluarkannya, ia wajib menanggung ganti rugi, dan jika ia meninggalkannya, ia tidak menanggung ganti rugi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَلْزَمُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الِاحْتِيَاطِ فِي نَصِّهِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ أَخْرَجَهُ لَمْ يَضْمَنْ، وَإِنْ تَرَكَهُ فَفِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فِي الدَّابَّةِ الْمَنْهِيِّ عَنْ عَلْفِهَا إِذَا لَمْ يَعْلِفْهَا، فَأَمَّا مُؤْنَةُ إِخْرَاجِهَا وَنَقْلِهَا فَإِنْ مُنِعَ مِنْهُ كَانَ مُتَطَوِّعًا بِهِ، وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ لَهُ وَلَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ كَانَ مُتَطَوِّعًا بِهِ، وَإِنْ وَجَبَ عَلَيْهِ كَانَ كَالْعَلْفِ عَلَى مَا مَضَى.

Pendapat kedua: Tidak wajib dipenuhi karena mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam nash tersebut. Maka menurut pendapat ini, jika ia mengeluarkannya, ia tidak menanggung ganti rugi, dan jika ia meninggalkannya, maka dalam hal jaminan terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan pada hewan tunggangan yang dilarang diberi makan jika tidak diberi makan. Adapun biaya mengeluarkan dan memindahkannya, jika ia dilarang melakukannya, maka ia dianggap melakukan secara sukarela. Demikian pula jika itu adalah miliknya sendiri dan tidak wajib atasnya, maka ia dianggap melakukan secara sukarela. Namun jika itu wajib atasnya, maka hukumnya seperti memberi makan, sebagaimana telah dijelaskan.

مَسْأَلَةٌ:

Permasalahan:

قال الشافعي: ” ولو قال المودع أَخْرَجْتُهَا لَمَّا غَشِيَتْنِي النَّارُ، فَإِنْ عُلِمَ أَنَّهُ قَدْ كَانَ فِي تِلْكَ النَّاحِيَةِ نَارٌ أَوْ أثر يدل فالقول قول مَعَ يَمِينِهِ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika orang yang dititipi berkata: ‘Aku mengeluarkannya ketika api melanda diriku,’ maka jika diketahui bahwa memang ada api di daerah itu atau ada bukti yang menunjukkan hal tersebut, maka perkataannya diterima dengan sumpahnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.

إِذَا أَخْرَجَ الْوَدِيعَةَ مِنْ حِرْزٍ شُرِطَ عَلَيْهِ أَنْ لَا يُخْرِجَهَا مِنْهُ فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُ إِنْ كَانَ لِضَرُورَةٍ لَمْ يَضْمَنْ، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ ضَرُورَةٍ ضَمِنَ، فَلَوِ اخْتَلَفَ الْمُودِعُ وَالْمُسْتَوْدَعُ فَقَالَ الْمُسْتَوْدَعُ أَخْرَجْتُهَا لِنَارٍ غَشِيَتْ أَوْ لِغَارَةٍ حَدَثَتْ فَلَا ضَمَانَ عَلَيَّ، وَقَالَ الْمُودِعُ: بَلْ أَخْرَجْتَهَا بِغَيْرِ سَبَبٍ فَعَلَيْكَ الضَّمَانُ فَلَا يَخْلُو حَالُ هَذِهِ الدَّعْوَى فِي غَشَيَانِ النَّارِ وَحُدُوثِ الْغَارَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika barang titipan dikeluarkan dari tempat penyimpanan yang disyaratkan tidak boleh dikeluarkan darinya, maka telah kami sebutkan bahwa jika karena darurat, ia tidak menanggung ganti rugi, dan jika tanpa darurat, ia wajib menanggung ganti rugi. Jika terjadi perselisihan antara penitip dan penerima titipan, lalu penerima titipan berkata: “Aku mengeluarkannya karena ada kebakaran atau serangan,” sehingga aku tidak wajib menanggung ganti rugi, sedangkan penitip berkata: “Bahkan engkau mengeluarkannya tanpa sebab, maka engkau wajib menanggung ganti rugi,” maka keadaan klaim ini dalam kasus kebakaran dan serangan tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَعْلَمَهُ عِيَانًا أَوْ خَبَرًا أَوْ يَرَى لِذَلِكَ أَثَرًا، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُسْتَوْدَعِ مَعَ يَمِينِهِ بِاللَّهِ تَعَالَى أَنَّهُ أَخْرَجَهَا لِذَلِكَ، وَإِنَّمَا يَلْزَمُهُ الْيَمِينُ وَإِنْ عَلِمْنَا حَالَ الْعُذْرِ، لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ إِخْرَاجُهُ لَهَا لِغَيْرِ هَذَا الْعُذْرِ، وَسَوَاءٌ كَانَ حُدُوثُ ذَلِكَ فِي دَارِهِ أَوْ فِي جِوَارِهِ.

Pertama: Diketahui secara nyata atau melalui berita atau terlihat bekasnya, maka perkataan penerima titipan diterima dengan sumpahnya atas nama Allah Ta‘ala bahwa ia mengeluarkannya karena hal itu. Ia tetap diwajibkan bersumpah meskipun kita mengetahui adanya alasan, karena mungkin saja ia mengeluarkannya bukan karena alasan tersebut. Sama saja apakah kejadian itu terjadi di rumahnya atau di sekitarnya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُعْلَمَ كَذِبُ مَا ادَّعَاهُ مِنْ حُدُوثِ النَّارِ وَالْغَارَةِ فَدَعْوَاهُ مَرْدُودَةٌ، بِيَقِينِ كَذِبِهِ، وَلَا يَمِينَ عَلَى الْمُودِعِ، لِاسْتِحَالَةِ الدَّعْوَى.

Kedua: Diketahui bahwa klaimnya tentang terjadinya kebakaran atau serangan adalah dusta, maka klaimnya ditolak karena jelas-jelas dusta, dan tidak ada sumpah atas penitip, karena klaim tersebut mustahil.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ مَا ادَّعَاهُ مُمْكِنًا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ قَدْ حَدَثَ، وَيَجُوزُ أَنْ لَا يَكُونَ، فَيُقَالُ لِلْمُسْتَوْدَعِ أَلَا عَلِمْتَ مِنَ الْحَالِ السَّلَامَةَ، وَالظَّاهِرُ مِنْ إِخْرَاجِكَ التَّعَدِّي، فَإِنْ أَقَمْتَ بَيِّنَةً بِحُدُوثِ الْخَوْفِ يَنْتَقِلُ بِهَا عَنِ الظَّاهِرِ جَعَلْنَا حِينَئِذٍ الْقَوْلَ قَوْلَكَ مَعَ يَمِينِكَ بِأَنَّكَ أَخْرَجْتَهَا بِغَشَيَانِ النَّارِ وَحُدُوثِ الْغَارَةِ، وَإِنْ لَمْ تَقُمْ بَيِّنَةٌ تَنْقُلُنَا عَنِ الظَّاهِرِ غَلَّبْنَا حُكْمَ الظَّاهِرِ وَجَعَلْنَا الْقَوْلَ قَوْلَ الْمُودِعِ مَعَ يَمِينِهِ بِاللَّهِ بِأَنَّهُ لَمْ يُحْدِثْ فِي النَّاحِيَةِ نَارًا وَلَا غَارَةً، لِأَنَّ الظَّاهِرَ مَعَهُ، وَيَصِيرُ ضَامِنًا لِلْوَدِيعَةِ، فَأَمَّا إِنْ نَقَلَهَا خَوْفًا مِنْ حُدُوثِ غَارَةٍ أَوْ نَارٍ فَلَمْ تَحْدُثْ غَارَةٌ ولم تغشى نَارٌ فَإِنْ كَانَتْ أَمَارَاتُ صِدْقِ دَعْوَاهُ ظَاهِرَةً وَدَوَاعِيهِ غَالِبَةً لَمْ يَضْمَنْ، وَإِنْ كَانَ ظَنًّا وتوهما ضمن.

Bagian ketiga: yaitu apabila apa yang didakwakan itu mungkin terjadi, karena dimungkinkan memang telah terjadi, dan dimungkinkan pula tidak terjadi. Maka kepada pihak yang menerima titipan (mustawda‘) dikatakan: “Bukankah engkau mengetahui bahwa keadaannya aman?” Dan yang tampak dari tindakanmu mengeluarkan barang titipan adalah adanya pelanggaran. Jika engkau mendatangkan bukti atas terjadinya kekhawatiran yang dapat mengalihkan kita dari keadaan yang tampak, maka pada saat itu kami menjadikan pernyataanmu yang diterima beserta sumpahmu bahwa engkau mengeluarkannya karena adanya bahaya kebakaran atau serangan. Namun, jika engkau tidak mendatangkan bukti yang dapat mengalihkan kita dari keadaan yang tampak, maka kami lebih menguatkan hukum berdasarkan keadaan yang tampak, dan kami menjadikan pernyataan pihak penitip (mudi‘) yang diterima beserta sumpahnya dengan nama Allah bahwa tidak terjadi kebakaran atau serangan di daerah tersebut, karena keadaan yang tampak berpihak kepadanya, dan dengan demikian engkau menjadi penanggung (bertanggung jawab) atas barang titipan itu. Adapun jika engkau memindahkannya karena takut akan terjadinya serangan atau kebakaran, namun ternyata tidak terjadi serangan dan tidak ada kebakaran, maka jika tanda-tanda kebenaran pengakuanmu jelas dan alasan-alasanmu kuat, engkau tidak menanggung (tidak wajib ganti rugi). Namun jika hanya berupa dugaan dan prasangka, maka engkau wajib menanggung (wajib ganti rugi).

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَلَوْ قَالَ دَفَعْتُهَا إِلَى فُلَانٍ بِأَمْرِكَ فَالْقَوْلُ قول المودع وَلَوْ قَالَ دَفَعْتُهَا إِلَيْكَ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُودَعِ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia berkata: ‘Aku telah menyerahkannya kepada si Fulan atas perintahmu,’ maka yang diterima adalah pernyataan pihak penitip. Dan jika ia berkata: ‘Aku telah menyerahkannya kepadamu,’ maka yang diterima adalah pernyataan pihak yang menerima titipan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُمَا مَسْأَلَتَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ada dua permasalahan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَدَّعِيَ الْمُسْتَوْدَعُ رَدَّ الْوَدِيعَةِ عَلَى مَالِكِهَا.

Pertama: yaitu pihak yang menerima titipan mengaku telah mengembalikan barang titipan kepada pemiliknya.

وَالثَّانِيةُ: أَنْ يَدَّعِيَ دَفْعَهَا إِلَى غَيْرِ مَالِكِهَا بِإِذْنِهِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ فِي الرَّدِّ مَعَ يَمِينِهِ، سَوَاءٌ كَانَ الْمُودِعُ قَدْ أَشْهَدَ عَلَيْهِ عِنْدَ الدَّفْعِ لِلْوَدِيعَةِ إِلَيْهِ أَوْ لَمْ يُشْهِدْ.

Kedua: yaitu ia mengaku telah menyerahkannya kepada selain pemiliknya atas izinnya. Maka pernyataannya diterima dalam hal pengembalian beserta sumpahnya, baik pihak penitip telah menghadirkan saksi saat penyerahan barang titipan kepadanya maupun tidak.

وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ كَانَ الْمُودِعُ قَدْ أَشْهَدَ عَلَيْهِ عِنْدَ الدَّفْعِ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُ الْمُسْتَوْدَعِ فِي الرَّدِّ، وَإِنْ لَمْ يُشْهِدْ عَلَيْهِ فَقُبِلَ قَوْلُهُ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يُشْهِدْ عَلَيْهِ فَقَدْ رَضِيَ بِأَمَانَتِهِ قبل قَوْلَهُ عَلَيْهِ، فَإِذَا أَشْهَدَ عَلَيْهِ لَمْ يَرْضَ بِأَمَانَتِهِ فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ عَلَيْهِ، وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Imam Malik berkata: Jika pihak penitip telah menghadirkan saksi saat penyerahan, maka pernyataan pihak yang menerima titipan tidak diterima dalam hal pengembalian. Namun jika ia tidak menghadirkan saksi, maka pernyataannya diterima, dengan alasan bahwa jika ia tidak menghadirkan saksi, berarti ia telah ridha terhadap amanahnya sehingga pernyataannya diterima. Jika ia menghadirkan saksi, berarti ia tidak ridha terhadap amanahnya sehingga pernyataannya tidak diterima. Pendapat ini rusak dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ قَوْلُهُ فِي التَّلَفِ مَقْبُولًا مَعَ الشَّهَادَةِ وَعَدَمِهَا، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ قَوْلُهُ فِي الرَّدِّ مَقْبُولًا مَعَ الشَّهَادَةِ وَعَدَمِهَا.

Pertama: Karena ketika pernyataannya dalam hal kerusakan barang diterima baik ada saksi maupun tidak, maka seharusnya pernyataannya dalam hal pengembalian juga diterima baik ada saksi maupun tidak.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ قَوْلُ الْوَكِيلِ مَقْبُولًا فِي الْحَالَيْنِ، وَقَوْلُ الْمُقْرِضِ وَالْمُسْتَعِيرِ في الرد غير مقبول في الحالين، كان الْمُسْتَوْدَعُ مُلْحَقًا بِأَحَدِ الْأَصْلَيْنِ فِي أَنْ يَكُونَ قَوْلُهُ فِي الرَّدِّ مَقْبُولًا فِي الْحَالَيْنِ أَوْ مردودا في الحالين، فلما كان في أحد الْحَالَيْنِ مَقْبُولًا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي الْآخَرِ مَقْبُولًا.

Kedua: Karena ketika pernyataan wakil diterima dalam kedua keadaan, sedangkan pernyataan pemberi pinjaman dan peminjam dalam hal pengembalian tidak diterima dalam kedua keadaan, maka pihak yang menerima titipan disamakan dengan salah satu dari dua asal tersebut, yaitu pernyataannya dalam hal pengembalian diterima dalam kedua keadaan atau ditolak dalam kedua keadaan. Maka ketika dalam salah satu keadaan diterima, seharusnya dalam keadaan lain juga diterima.

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَقْبُولُ الْقَوْلِ فِي الرَّدِّ فإنما يقبل مَا كَانَ عَلَى أَمَانَتِهِ، فَلَوْ ضَمِنَهَا بِتَفْرِيطٍ أَوْ عُدْوَانٍ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِي الرَّدِّ، وكان القول قول المودع مع يمينه، وله الغرم، وهكذا لو مات المودع فادعى المستودع رد الوديعة على وارثه لم يقبل قوله، لأنه وإن لم يصر بموت المودع ضَامِنًا فَقَدْ صَارَ بِمَوْتِهِ خَارِجًا مِنْ عَقْدِ الوديعة [وولاية النظر، ولأنه يصير مدعيا للرد على غير من ائتمنه فصار كالوصي الذي لا يقبل قوله في رد مال اليتيم عليه، وهكذا لو مات المستودع فادعى وارثه رد الوديعة] على المودع لم يُقْبَلْ قَوْلُهُ عَلَيْهِ، لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْمَعْنَيَيْنِ: ارْتِفَاعُ الْعَقْدِ بِالْمَوْتِ، وَعَدَمُ الِائْتِمَانِ فِي الْوَارِثِ.

Jika telah dipastikan bahwa pernyataannya diterima dalam hal pengembalian, maka yang diterima hanyalah yang sesuai dengan amanahnya. Jika ia menanggungnya karena kelalaian atau pelanggaran, maka pernyataannya dalam hal pengembalian tidak diterima, dan yang diterima adalah pernyataan pihak penitip beserta sumpahnya, dan ia berhak menuntut ganti rugi. Demikian pula jika pihak penitip meninggal dunia lalu pihak yang menerima titipan mengaku telah mengembalikan barang titipan kepada ahli warisnya, maka pernyataannya tidak diterima, karena meskipun dengan kematian pihak penitip ia tidak otomatis menjadi penanggung, namun dengan kematiannya ia keluar dari akad titipan [dan dari wewenang pengelolaan, serta karena ia menjadi pengaku pengembalian kepada selain orang yang mempercayainya, sehingga ia seperti washi (pelaksana wasiat) yang pernyataannya dalam mengembalikan harta anak yatim tidak diterima]. Demikian pula jika pihak yang menerima titipan meninggal dunia lalu ahli warisnya mengaku telah mengembalikan barang titipan kepada pihak penitip, maka pernyataannya tidak diterima, karena dua alasan yang telah disebutkan: batalnya akad karena kematian, dan tidak adanya kepercayaan pada ahli waris.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: وَهُوَ أَنْ يَدَّعِيَ رَدَّ الْوَدِيعَةِ عَلَى غَيْرِ الْمُودَعِ بِأَمْرِ الْمُودِعِ فَقَوْلُهُ غَيْرُ مَقْبُولٍ فِيمَا ادَّعَاهُ عَلَى الْمُودِعِ مِنَ الْأَمْرِ وَالدَّفْعِ.

Adapun permasalahan kedua: yaitu ia mengaku telah mengembalikan barang titipan kepada selain pihak penitip atas perintah pihak penitip, maka pernyataannya tidak diterima dalam pengakuannya terhadap pihak penitip mengenai perintah dan penyerahan tersebut.

وَقَالَ أبو حنيفة: قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ مَقْبُولٌ، كَمَا لَوِ ادَّعَى رَدَّهَا عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ عَلَى أَمَانَتِهِ، وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَمْرَيْنِ:

Abu Hanifah berkata: Pernyataannya dalam hal itu diterima, sebagaimana jika ia mengaku telah mengembalikannya kepada pihak penitip, karena ia berada atas dasar amanah. Pendapat ini rusak karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُقْبَلُ قَوْلُهُ عَلَى الْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يُقْبَلَ عَلَى الْمُودِعِ الَّذِي لَيْسَ بِمَدْفُوعٍ إِلَيْهِ.

Pertama: Karena ketika pernyataannya tidak diterima terhadap orang yang barang titipan itu diserahkan kepadanya, maka lebih utama lagi untuk tidak diterima terhadap pemilik titipan (mudi‘) yang bukan orang yang diserahi barang tersebut.

وَالثَّانِي: وَهُوَ قَرِينَةٌ وَدَلِيلٌ أَنَّهُ قَدِ ادَّعَى عَلَى الْمَدْفُوعِ إِذْنًا لَمْ يَتَضَمَّنْهُ عَقْدُ الْوَدِيعَةِ فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِيهِ، وَفِي ادِّعَاءِ الرَّدِّ يَكُونُ مُدَّعِيًا لِمَا تَضَمَّنَهُ عَقْدُ الْوَدِيعَةِ فَقِيلَ قَوْلُهُ فِيهِ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.

Kedua: Dan ini merupakan indikasi dan dalil bahwa ia telah mengklaim adanya izin terhadap orang yang diserahi barang, padahal izin tersebut tidak tercakup dalam akad titipan (wadi‘ah), sehingga pernyataannya tidak diterima dalam hal ini. Sedangkan dalam klaim pengembalian, ia mengklaim sesuatu yang memang tercakup dalam akad titipan, maka pernyataannya diterima dalam hal ini — wallāhu a‘lam.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ غَيْرُ مَقْبُولِ الْقَوْلِ فِيمَا ادَّعَاهُ مِنَ الْإِذْنِ وَالدَّفْعِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُودِعِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يُقِرَّ بِالْإِذْنِ أَوْ يُنْكِرَهُ، فَإِنْ أَنْكَرَ الْإِذْنَ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ، وَالْمُسْتَوْدَعُ ضَامِنٌ لِلْوَدِيعَةِ بِمَا ادَّعَاهُ مِنْ دَفْعِهَا إِلَى غَيْرِ مَالِكِهَا، ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُ الْوَدِيعَةِ مِنْ أَنْ تَكُونَ بَاقِيَةً فِي يَدِ الْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ أَوْ تَالِفَةً، فَإِنْ كَانَتْ بَاقيَةً فَعَلَى الْمُسْتَوْدَعِ اسْتِرْجَاعُهَا مِنَ الْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ وَرَدُّهَا عَلَى الْمُودِعِ الْمَالِكِ، وَلِلْمُودِعِ مُطَالَبَةُ أَيِّهِمَا شَاءَ بِالرَّدِّ، وَإِنْ لَزِمَ فِي الرَّدِّ مُؤْنَةٌ الْتَزَمَهَا الْمُسْتَوْدَعُ لِأَنَّ بِعُدْوَانِهِ لَزِمَتْ.

Jika telah tetap bahwa pernyataannya tidak diterima dalam klaim izin dan penyerahan, maka keadaan pemilik titipan (mudi‘) tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia mengakui adanya izin atau mengingkarinya. Jika ia mengingkari adanya izin, maka pernyataannya yang diterima dengan sumpahnya, dan orang yang diserahi titipan (mustawda‘) bertanggung jawab atas titipan tersebut karena ia mengaku telah menyerahkannya kepada selain pemiliknya. Selanjutnya, keadaan titipan tidak lepas dari dua kemungkinan: masih ada di tangan orang yang diserahi atau sudah rusak. Jika masih ada, maka mustawda‘ wajib mengambil kembali dari orang yang diserahi dan mengembalikannya kepada mudi‘ (pemilik), dan mudi‘ berhak menuntut pengembalian dari siapa saja yang ia kehendaki di antara keduanya. Jika dalam pengembalian itu ada biaya, maka mustawda‘ yang menanggungnya karena biaya itu timbul akibat pelanggarannya.

وَإِنْ كَانَتِ الْوَدِيعَةُ تَالِفَةً – فَلَا يَخْلُو – حَالُ الْمَدْفُوعَةِ إِلَيْهِ مِنْ أَنْ يَكُونَ مُقِرًّا بِقَبْضِهَا أَوْ مُنْكِرًا، فَإِنْ كَانَ مُنْكِرًا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ وَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ، وَهُوَ مِنَ الْمُطَالَبَةِ، وَإِنَّمَا لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ يَمِينٌ لِأَنَّ الْمَالِكَ لَا يَدَّعِيهَا عَلَيْهِ، وَالدَّافِعُ مُقِرٌّ له بالإبراء إلا أن يدعي دفعها إِلَيْهِ قَرْضًا أَوْ عَارِيَةً وَلَا وَدِيعَةً فَيَكُونُ لَهُ عَلَيْهِ الثَّمَنُ، ثُمَّ لِلْمُودِعِ الرُّجُوعُ بِغُرْمِهَا عَلَى الْمُسْتَوْدَعِ.

Jika titipan itu telah rusak, maka keadaan orang yang diserahi titipan tidak lepas dari dua kemungkinan: mengakui telah menerimanya atau mengingkarinya. Jika ia mengingkari, maka pernyataannya yang diterima tanpa sumpah, dan ia terbebas dari tuntutan, karena pemilik barang tidak menuntutnya, dan orang yang menyerahkan (mustawda‘) mengakui bahwa ia telah membebaskannya, kecuali jika ia mengklaim telah menyerahkannya sebagai pinjaman (qarḍ) atau pinjaman pakai (‘āriyah) dan bukan sebagai titipan, maka ia berhak menuntut harga barang tersebut. Selanjutnya, mudi‘ berhak menuntut ganti rugi kepada mustawda‘.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ كَانَ الْمَدْفُوعُ إِلَيْهِ مُقِرًّا بِقَبْضِهَا مِنْهُ فَالْمُودِعُ بِالْخِيَارِ فِي الرُّجُوعِ بِغُرْمِهَا عَلَى أَيِّهِمَا شَاءَ، فَإِنْ رَجَعَ بِهَا عَلَى الْمُسْتَوْدَعِ كَانَ لَهُ، لِعُدْوَانِهِ بِالدَّفْعِ، وَإِنْ رَجَعَ بِهَا عَلَى الْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ كَانَ لَهُ، لِعُدْوَانِهِ بِالْقَبْضِ، فَإِذَا رَجَعَ بِهِمَا عَلَى أَحَدِهِمَا وَأَرَادَ الْغَارِمُ لَهُمَا الرُّجُوعَ بِهَا عَلَى صَاحِبِهِ نُظِرَ فِي سَبَبِ الدَّفْعِ فَسَتَجِدُهُ عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍ:

Jika orang yang diserahi titipan mengakui telah menerimanya, maka mudi‘ bebas memilih untuk menuntut ganti rugi kepada siapa saja yang ia kehendaki di antara keduanya. Jika ia menuntut kepada mustawda‘, maka itu menjadi haknya karena mustawda‘ telah melakukan pelanggaran dengan menyerahkan barang tersebut. Jika ia menuntut kepada orang yang diserahi, maka itu juga menjadi haknya karena orang tersebut telah melakukan pelanggaran dengan menerima barang tersebut. Jika mudi‘ telah menuntut salah satu dari keduanya dan pihak yang membayar ganti rugi ingin menuntut kembali kepada rekannya, maka dilihat sebab penyerahan barang tersebut, dan kamu akan mendapati sebabnya terbagi menjadi lima bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَقُولَ أَمَرَنِي بِدَفْعِهَا قَرْضًا.

Pertama: Ia berkata, “Ia memerintahkanku untuk menyerahkannya sebagai pinjaman (qarḍ).”

وَالثَّانِي: عَارِيَةً.

Kedua: Sebagai pinjaman pakai (‘āriyah).

وَالثَّالِثُ: قَضَاءً مِنْ دَيْنٍ.

Ketiga: Sebagai pelunasan utang.

وَالرَّابِعُ: هِبَةً.

Keempat: Sebagai hibah.

وَالْخَامِسُ: وَدِيعَةً، فَإِنْ قَالَ: أَمَرَنِي بِدَفْعِهَا قَرْضًا، أَوْ عَارِيَةً فَالْحُكْمُ فِيهِمَا سَوَاءٌ، لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الضَّمَانِ، فَإِنْ كَانَ الْمَالِكُ قَدْ رَجَعَ بِالْغُرْمِ عَلَى الدَّافِعِ، رَجَعَ الدَّافِعُ بِهِ عَلَى الْآخِذِ، وَإِنْ كَانَ قَدْ رَجَعَ بِالْغُرْمِ عَلَى الْآخِذِ لَمْ يَرْجِعِ بِالْأَخْذِ بِهِ عَلَى الدَّافِعِ، وَإِنْ قَالَ: أَمَرَنِي أَنْ أَدْفَعَهَا قَضَاءً مِنْ دَيْنٍ فَإِنْ كَانَ الْمُودِعُ مُعْتَرِفًا بِالدَّيْنِ وَحُلُولِهِ، وَكَانَتِ الْوَدِيعَةُ مِنْ جِنْسِهِ فَلَا رُجُوعَ لَهُ بِالْغُرْمِ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهَا، لِأَنَّهَا مُسْتَحَقَّةٌ فِي دَيْنِهِ، وَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ بِهَا، وَإِنْ كَانَ مُنْكِرًا لِلدَّيْنِ كَانَ لَهُ الرُّجُوعُ بِالْغُرْمِ عَلَى أَيِّهِمَا شَاءَ، فَإِنْ رَجَعَ بِهِ عَلَى الدَّافِعِ نُظِرَ فَإِنْ صَدَقَ الْآخِذُ فِي الدَّيْنِ لَمْ يَرْجِعِ الدَّافِعُ عَلَيْهِ بِالْغُرْمِ، وَإِنْ لَمْ يُصَدِّقْهُ رَجَعَ بِهِ عَلَيْهِ، وَإِنْ رَجَعَ بِهِ عَلَى الْآخِذِ لَمْ يَرْجِعِ الْآخِذُ بِهِ عَلَى الدَّافِعِ بِكُلِّ حَالٍ، سَوَاءٌ صَدَّقَهُ عَلَى دَيْنِهِ أَوْ كذبه، وَإِنْ قَالَ الدَّافِعُ: أَمَرَنِي بِدَفْعِهَا هِبَةً، نُظِرَ [فإن رجع المودع بالغرم على الدافع لم يرجع الدافع على الآخذ، وإن رجع بالغرم على الآخذ لم يرجع الآخذ على الدافع، وإن قال الدافع: أمرني بدفعها وديعة نظر فإن رجع المودع على الدافع لم يرجع الدافع على الآخذ] وإن رَجَعَ بِالْغُرْمِ عَلَى الْآخِذِ فَفِي رُجُوعِ الْآخِذِ بِهِ عَلَى الدَّافِعِ وَجْهَانِ

Kelima: (Penyerahan) sebagai titipan (wadī‘ah). Jika ia berkata: “Ia memerintahkanku untuk menyerahkannya sebagai pinjaman (qarḍ),” atau sebagai pinjaman pakai (‘āriyah), maka hukumnya sama pada keduanya, karena keduanya sama-sama mengandung unsur tanggungan (ḍamān). Jika pemilik telah menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyerahkan, maka pihak yang menyerahkan dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang menerima. Namun jika pemilik menuntut ganti rugi kepada pihak yang menerima, maka pihak yang menerima tidak dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyerahkan. Jika ia berkata: “Ia memerintahkanku untuk menyerahkannya sebagai pelunasan utang,” maka jika penitip (mūdi‘) mengakui adanya utang dan telah jatuh tempo, serta titipan itu sejenis dengan utangnya, maka tidak ada hak baginya untuk menuntut ganti rugi kepada salah satu dari mereka, karena barang tersebut memang menjadi hak dalam utangnya, meskipun tanpa izinnya. Namun jika ia mengingkari adanya utang, maka ia berhak menuntut ganti rugi kepada siapa saja yang ia kehendaki. Jika ia menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyerahkan, maka dilihat: jika pihak penerima membenarkan adanya utang, maka pihak yang menyerahkan tidak dapat menuntut ganti rugi kepadanya; namun jika ia tidak membenarkannya, maka pihak yang menyerahkan dapat menuntut ganti rugi kepadanya. Jika ia menuntut ganti rugi kepada pihak penerima, maka pihak penerima tidak dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyerahkan dalam keadaan apa pun, baik ia membenarkannya terkait utang tersebut maupun mendustakannya. Jika pihak yang menyerahkan berkata: “Ia memerintahkanku untuk menyerahkannya sebagai hibah,” maka dilihat [jika penitip menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyerahkan, maka pihak yang menyerahkan tidak dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang menerima; jika ia menuntut ganti rugi kepada pihak yang menerima, maka pihak yang menerima tidak dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyerahkan; jika pihak yang menyerahkan berkata: ‘Ia memerintahkanku untuk menyerahkannya sebagai titipan’, maka dilihat: jika penitip menuntut kepada pihak yang menyerahkan, maka pihak yang menyerahkan tidak dapat menuntut kepada pihak yang menerima], dan jika ia menuntut ganti rugi kepada pihak yang menerima, maka dalam hal pihak yang menerima menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyerahkan terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا رُجُوعَ لَهُ، لِأَنَّهُ مُقِرٌّ أَنَّهُ مَظْلُومٌ بِهِ.

Salah satunya: Tidak ada hak baginya untuk menuntut ganti rugi, karena ia mengakui bahwa ia telah dizalimi dengan hal itu.

وَالثَّانِي: يَرْجِعُ بِهِ لِأَنَّ الدَّافِعَ أَلْجَأَهُ إِلَى الْغُرْمِ بِائْتِمَانِهِ لَهُ وَدَفْعِهِ إِلَيْهِ، فَهَذَا حُكْمُ الْمُودِعِ إِذَا أَنْكَرَ الْإِذْنَ.

Yang kedua: Ia boleh menuntut ganti rugi, karena pihak yang menyerahkan telah memaksanya untuk menanggung kerugian dengan mempercayakan dan menyerahkan barang itu kepadanya. Inilah hukum bagi penitip jika ia mengingkari adanya izin.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ أَقَرَّ الْمُودِعُ أَنَّهُ قَدْ أَذِنَ لَهُ فِي الدَّفْعِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika penitip mengakui bahwa ia telah mengizinkan penyerahan tersebut, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْمَدْفُوعُ إليه مقرا بالقبض، فالدافع يتبرئ مِنَ الضَّمَانِ، وَلَا غُرْمَ عَلَيْهِ، سَوَاءٌ صَدَّقَهُ الْمُودِعُ عَلَى الدَّفْعِ أَوْ كَذَّبَهُ، لِأَنَّ الْمُرَاعَى مِنْ جِهَةِ الْمُودِعِ الْإِذْنُ وَقَدْ أَقَرَّ بِهِ، وَالْمُرَاعَى مِنْ جِهَةِ الْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ الْقَبْضُ وَقَدْ أَقَرَّ بِهِ.

Pertama: Pihak yang menerima barang mengakui telah menerima barang tersebut, maka pihak yang menyerahkan terbebas dari tanggungan (ḍamān) dan tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya, baik penitip membenarkan penyerahan tersebut maupun mendustakannya, karena yang menjadi pertimbangan dari sisi penitip adalah izin, dan ia telah mengakuinya; dan yang menjadi pertimbangan dari sisi penerima adalah penerimaan barang, dan ia telah mengakuinya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْمَدْفُوعُ إِلَيْهِ مُنْكِرًا لِلْقَبْضِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُودِعِ الْمُقِرِّ بِالْإِذْنِ مِنْ أَنْ يَكُونَ مُصَدِّقًا لِلدَّافِعِ أَوْ مُكَذِّبًا، فَإِنْ كَانَ مُكَذِّبًا لَهُ فَالدَّافِعُ ضَامِنٌ، وَادِّعَاؤُهُ لِلدَّفْعِ غَيْرُ مَقْبُولٍ عَلَى الْمُودِعِ لِتَكْذِيبِهِ وَلَا عَلَى الْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ لِإِنْكَارِهِ.

Kedua: Pihak yang menerima barang mengingkari telah menerima barang tersebut. Maka keadaan penitip yang mengakui adanya izin tidak lepas dari dua kemungkinan: membenarkan pihak yang menyerahkan atau mendustakannya. Jika ia mendustakannya, maka pihak yang menyerahkan bertanggung jawab (ḍāmin), dan pengakuannya atas penyerahan tidak diterima baik terhadap penitip karena ia mendustakannya, maupun terhadap pihak penerima karena ia mengingkarinya.

وَإِنْ كَانَ الْمُودِعُ مُصَدِّقًا لَهُ عَلَى الدَّفْعِ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika penitip membenarkannya atas penyerahan, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ حَاضِرًا عِنْدَ الدَّفْعِ، وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ غَائِبًا، فَإِنْ كَانَ حَاضِرًا عِنْدَ الدَّفْعِ فَلَا ضَمَانَ عَلَى الدَّافِعِ، لِأَنَّ التَّوَثُّقَ بِالْإِشْهَادِ مَعَ حُضُورِ الْإِذْنِ إِنَّمَا يَتَوَجَّهُ إِلَيْهِ دُونَ الدَّافِعِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ فَلَمْ يَكُنْ مِنَ الدَّافِعِ تَفْرِيطٌ بِتَرْكِ الْإِشْهَادِ، وَلِذَلِكَ لَمْ يَضْمَنْ.

Pertama: Penitip hadir saat penyerahan; kedua: Penitip tidak hadir (ghaib). Jika penitip hadir saat penyerahan, maka tidak ada tanggungan atas pihak yang menyerahkan, karena kehati-hatian dengan menghadirkan saksi saat izin itu menjadi tanggung jawab penitip, bukan pihak yang menyerahkan menurut pendapat yang sahih dalam mazhab, sehingga tidak ada kelalaian dari pihak yang menyerahkan dengan tidak menghadirkan saksi, dan karena itu ia tidak menanggung.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْمُودِعُ الْمُصَدِّقُ عَلَى الدَّفْعِ وَالْآذِنُ غَائِبًا عَنِ الدَّفْعِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الدَّفْعِ المأذون فيه من ستة أقسام:

Kedua: Penitip yang membenarkan penyerahan dan mengizinkan tidak hadir saat penyerahan. Maka keadaan penyerahan yang diizinkan tidak lepas dari enam bagian:

أحدهما: أَنْ يَكُونَ قَرْضًا.

Pertama: Penyerahan sebagai pinjaman (qarḍ).

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عَارِيَةً وَالْحُكْمُ فِي هَذَيْنِ الْقِسْمَيْنِ سَوَاءٌ، وَالدَّافِعُ ضَامِنٌ لما دفع وَإِنْ صَدَّقَهُ الْآذِنُ عَلَى الدَّفْعِ، لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُشْهِدَ عَلَى الدَّفْعِ لِيَتَمَكَّنَ الْآذِنُ بِالشَّهَادَةِ أَنْ يَرْجِعَ بِبَدَلِ الْقَرْضِ وَقِيمَةِ الْعَارِيَةِ، فَصَارَ بِتَرْكِ الْإِشْهَادِ مُفْرِطًا فَلَزِمَهُ الْغُرْمُ وَإِنْ كَانَ مُصَدِّقًا فَلَوْ كَانَ قَدْ أَشْهَدَ شَاهِدَيْنِ عَدْلَيْنِ فَمَاتَا لَمْ يَضْمَنْ، لِأَنَّ مَا يَلْزَمُهُ مِنَ الْإِشْهَادِ قَدْ فَعَلَهُ، وَلَكِنْ لو كَانَ قَدْ أَشْهَدَ شَاهِدَيْنِ عَدْلَيْنِ فَمَاتَا لَمْ يَضْمَنْ، لِأَنَّ مَا يَلْزَمُهُ مِنَ الْإِشْهَادِ قَدْ فَعَلَهُ، وَلَكِنْ لَوْ كَانَ قَدْ أَشْهَدَ عَبْدَيْنِ، أَوْ كَافِرَيْنِ لَزِمَهُ الضَّمَانُ، وَلَوْ أَشْهَدَ شَاهِدَيْنِ فَاسِقَيْنِ، فَإِنْ كَانَ فِسْقُهُمَا ظَاهِرًا ضَمِنَ، وَإِنْ كَانَ بَاطِنًا فَفِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ:

Kedua: Yaitu apabila berupa pinjaman pakai (‘āriyah), dan hukum pada kedua jenis ini (pinjaman dan pinjaman pakai) adalah sama, yaitu pihak yang menyerahkan (barang) wajib menanggung apa yang ia serahkan, meskipun pihak yang memberi izin membenarkan penyerahan tersebut. Sebab, seharusnya ia menghadirkan saksi atas penyerahan itu agar pihak yang memberi izin dapat, dengan kesaksian tersebut, menuntut pengganti utang atau nilai barang pinjaman pakai. Maka, dengan meninggalkan penyaksian, ia dianggap telah lalai sehingga ia wajib menanggung kerugian, meskipun ia dibenarkan. Namun, jika ia telah menghadirkan dua orang saksi yang adil lalu keduanya meninggal dunia, maka ia tidak wajib menanggung, karena kewajiban menghadirkan saksi telah ia lakukan. Akan tetapi, jika ia menghadirkan dua orang budak atau dua orang non-Muslim, maka ia tetap wajib menanggung. Jika ia menghadirkan dua orang saksi yang fasik, maka jika kefasikan keduanya tampak jelas, ia wajib menanggung; namun jika kefasikan itu tersembunyi, maka dalam hal kewajiban menanggung terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُ كَالْفِسْقِ الظَّاهِرِ، لِأَنَّ الشَّهَادَةَ بِرَدِّهِمَا.

Salah satunya: Ia tetap wajib menanggung sebagaimana pada kefasikan yang tampak, karena kesaksian keduanya tertolak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَضْمَنُ، لِأَنَّ الْبَاطِنَ لَا يَصِلُ إِلَيْهِ إِلَّا الْحُكَّامُ لِفَضْلِ اجْتِهَادِهِمْ، فَلَوْ أَشْهَدَ رَجُلًا وَامْرَأَتَيْنِ لَمْ يَضْمَنْ، لِأَنَّهَا بَيِّنَةٌ فِي الْأَمْوَالِ، وَلَوْ أَشْهَدَ رَجُلًا وَاحِدًا لِيَحْلِفَ مَعَهُ فَفِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Ia tidak wajib menanggung, karena kefasikan yang tersembunyi hanya dapat diketahui oleh para hakim karena keutamaan ijtihad mereka. Jika ia menghadirkan satu laki-laki dan dua perempuan sebagai saksi, maka ia tidak wajib menanggung, karena itu merupakan bukti yang sah dalam perkara harta. Namun jika ia hanya menghadirkan satu laki-laki agar bersumpah bersamanya, maka dalam hal kewajiban menanggung terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَضْمَنُ، لِأَنَّ الشَّاهِدَ وَالْيَمِينَ بَيِّنَةٌ فِي الْأَمْوَالِ.

Salah satunya: Ia tidak wajib menanggung, karena satu saksi dan sumpah merupakan bukti yang sah dalam perkara harta.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَضْمَنُ، لِأَنَّ مِنَ الْحُكَّامِ مَنْ لَا يَحْكُمُ بِهَا فَصَارَ ذَلِكَ تَقْرِيرًا.

Pendapat kedua: Ia wajib menanggung, karena di antara para hakim ada yang tidak memutuskan perkara dengan bukti tersebut, sehingga hal itu menjadi ketetapan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ لَا يَكُونَ الْأَمْرُ بِالدَّفْعِ قَضَاءً لِدَيْنٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian ketiga: Yaitu apabila perintah untuk menyerahkan (barang) bukan dalam rangka pelunasan utang. Maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ عَلَى الْمُودِعِ فِيهِ شَهَادَةٌ فَيَضْمَنُ الدَّافِعُ، لِأَنَّهُ لَمْ يَشْهَدْ بِالدَّفْعِ فَيَبْرَأُ الْمُودِعُ مِنَ الْمُطَالَبَةِ بِالدَّيْنِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَى الْمُودِعِ فِيهِ شَهَادَةٌ فَفِي ضمان الدافع فيه وَجْهَانِ:

Salah satunya: Jika pada pihak yang menerima titipan terdapat kesaksian, maka pihak yang menyerahkan wajib menanggung, karena ia tidak menghadirkan saksi atas penyerahan itu sehingga pihak penerima titipan terbebas dari tuntutan utang. Namun, jika pada pihak penerima titipan tidak ada kesaksian, maka dalam hal kewajiban menanggung bagi pihak yang menyerahkan terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَضْمَنُ، لِأَنَّ لِلْمُودِعِ أَنْ يَحْلِفَ عَلَى الدَّيْنِ إِنْ طُولِبَ بِهِ فَيَبْرَأُ.

Salah satunya: Ia tidak wajib menanggung, karena pihak penerima titipan dapat bersumpah atas utang jika dituntut, sehingga ia terbebas.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ ضَامِنٌ، لِأَنَّ إِذْنَهُ يَضْمَنُ دَفْعًا لَا يَتَعَقَّبُهُ مُطَالَبَةٌ وَلَا يَتَوَجَّهُ فِيهِ يَمِينٌ، فَصَارَ بِمُخَالَفَةِ ذَلِكَ مِنْ تَرْكِ الشَّهَادَةِ مُفَرِّطًا. – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.

Pendapat kedua: Ia wajib menanggung, karena izinnya mensyaratkan penyerahan yang tidak diikuti tuntutan dan tidak perlu sumpah. Maka, dengan meninggalkan penyaksian, ia dianggap lalai. – Wallāhu a‘lam –.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الْأَمْرُ بِالدَّفْعِ هِبَةً.

Bagian keempat: Yaitu apabila perintah untuk menyerahkan (barang) adalah dalam bentuk hibah.

فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْمُكَافَأَةَ فِيهَا لَا تَسْتَحِقُّ لَمْ يَضْمَنِ الدَّافِعُ بِتَرْكِ الْإِشْهَادِ.

Jika dikatakan bahwa imbalan dalam hibah tidak wajib diberikan, maka pihak yang menyerahkan tidak wajib menanggung akibat tidak menghadirkan saksi.

وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْمُكَافَأَةَ مُسْتَحَقَّةٌ ضَمِنَ، لِأَنَّ الْأَمْرَ لَا يَصِلُ إِلَيْهَا بِتَرْكِ الْإِشْهَادِ.

Namun jika dikatakan bahwa imbalan hibah itu wajib diberikan, maka ia wajib menanggung, karena perkara tersebut tidak dapat sampai kepadanya tanpa adanya saksi.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ: أَنْ يَكُونَ الْأَمْرُ بِالدَّفْعِ اسْتِيدَاعًا لَهَا عِنْدَ الْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ، فَفِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي وُجُوبِ الْإِشْهَادِ فِيمَنْ أَوْدَعَ لِغَيْرِهِ مَالًا:

Bagian kelima: Yaitu apabila perintah untuk menyerahkan (barang) adalah dalam rangka menitipkan barang tersebut kepada pihak yang menerima, maka dalam hal kewajiban menanggung terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat tentang wajib atau tidaknya menghadirkan saksi bagi orang yang menitipkan harta kepada orang lain:

أَحَدُهُمَا: يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُشْهِدَ، فَعَلَى هَذَا يَضْمَنُ.

Salah satunya: Ia wajib menghadirkan saksi, maka dalam hal ini ia wajib menanggung.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُشْهِدَ، فَعَلَى هَذَا لَا يَضْمَنُ.

Pendapat kedua: Ia tidak wajib menghadirkan saksi, maka dalam hal ini ia tidak wajib menanggung.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْقِسْمُ السَّادِسُ: أَنْ يَكُونَ الْأَمْرُ بِالدَّفْعِ، لِأَنَّهَا وَدِيعَةٌ لِلْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ أَمَرَهُ الْمُودِعُ بِرَدِّهَا عَلَيْهِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُودِعِ الْآمِرِ بِالرَّدِّ مِنْ أَحَدِ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Bagian keenam: Yaitu apabila perintah untuk menyerahkan (barang) karena barang tersebut adalah titipan bagi pihak yang menerima, lalu pihak penitip memerintahkan agar barang itu dikembalikan kepadanya. Maka, keadaan pihak penitip yang memerintahkan pengembalian tidak lepas dari salah satu dari empat bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَرُدَّهَا عَلَى يَدِ هَذَا الْمُسْتَوْدَعِ مِنْ غَيْرِ أَمْرٍ وَلَا عُذْرٍ، فَيَكُونُ الأمر متعديا ضَامِنًا، وَقَوْلُ الدَّافِعِ غَيْرُ مَقْبُولٍ فِي الرَّدِّ عَلَى الْمَالِكِ، وَهَلْ يَكُونُ لِلْآمِرِ الرُّجُوعُ إِذَا أَغْرَمَهَا عَلَى الدَّافِعِ إِذَا لَمْ يُشْهِدْ عِنْدَ الدَّفْعِ عَلَى الْوَجْهَيْنِ.

Salah satunya: Yaitu mengembalikannya melalui tangan pihak penerima titipan tanpa perintah dan tanpa alasan, maka perintah tersebut menjadi tindakan melampaui batas dan ia wajib menanggung, dan pernyataan pihak yang menyerahkan tidak diterima dalam pengembalian kepada pemilik. Apakah pihak yang memerintah berhak menuntut kembali kepada pihak yang menyerahkan jika ia telah membayar ganti rugi, jika pihak yang menyerahkan tidak menghadirkan saksi pada saat penyerahan? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَرُدَّهَا بِغَيْرِ أَمْرٍ لَكِنْ بِعُذْرٍ، فَلَا ضَمَانَ عَلَى الْآمِرِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ حَالِ عُذْرِهِ بِسَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ، وَلَا يُقْبَلُ قَوْلُ الدَّافِعِ الْمَأْمُورِ فِي الرَّدِّ عَلَى الْمَالِكِ.

Bagian kedua: Yaitu apabila ia mengembalikannya tanpa perintah, tetapi karena ada uzur, maka tidak ada tanggungan atas orang yang memerintah sebagaimana yang telah kami sebutkan mengenai keadaan uzurnya, baik karena safar atau sebab lainnya. Dan tidak diterima perkataan pihak yang menyerahkan (yang diperintah) dalam pengembalian kepada pemilik.

وَقَالَ أبو حنيفة: قَوْلُهُ مَقْبُولٌ عَلَيْهِ كَمَا يُقْبَلُ قَوْلُ الْآمِرِ عَلَيْهِ، وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ الْمَالِكَ قَدِ ائْتَمَنَ الْأَمْرَ عَلَى نَفْسِهِ فَجَازَ أَنْ يُقْبَلَ قوله عليه، ولم يأتمن المأمور فلم يقبل قوله عليه.

Abu Hanifah berkata: Perkataannya diterima atasnya sebagaimana diterima perkataan orang yang memerintah atasnya. Namun, ini tidak benar, karena pemilik telah memberikan kepercayaan kepada orang yang memerintah atas dirinya sendiri, sehingga boleh diterima perkataannya atasnya. Sedangkan kepada yang diperintah, ia tidak memberikan kepercayaan, maka tidak diterima perkataannya atasnya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ قَدْ رَدَّهَا بِأَمْرِ مَالِكِهَا، لَكِنْ لَمْ يُعَيِّنْ لَهُ مَنْ يَرُدُّهَا مَعَهُ فَلَا ضَمَانَ عَلَى الْآمِرِ إِذَا صَدَّقَهُ الْمَالِكُ فِي الرَّدِّ، لِأَنَّهُ لَمْ يَأْتَمِنْهُ عَلَى نَفْسِهِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ صَارَ الْمَأْمُورُ لَهُ يَعْمَلُ ضَامِنًا لَهَا فِي حَقِّ الْمَالِكِ لَا فِي حَقِّ الْآمِرِ [عَلَى الدَّفْعِ إِلَى الْمَأْمُورِ، وَقَوْلُ الْمَأْمُورِ غَيْرُ مَقْبُولٍ عَلَى الْمَالِكِ فِي حَقِّ الْمَالِكِ] .

Bagian ketiga: Yaitu apabila ia telah mengembalikannya atas perintah pemiliknya, namun pemilik tidak menentukan siapa yang akan mengembalikannya bersamanya, maka tidak ada tanggungan atas orang yang memerintah jika pemilik membenarkannya dalam pengembalian, karena ia tidak memberikan kepercayaan kepadanya atas dirinya sendiri. Jika demikian, maka yang diperintah menjadi bertindak sebagai penanggung atasnya terhadap hak pemilik, bukan terhadap hak orang yang memerintah [atas penyerahan kepada yang diperintah, dan perkataan yang diperintah tidak diterima atas pemilik dalam hak pemilik].

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ قَدْ رَدَّهَا بِأَمْرِ مَالِكِهَا وَتَعْيِينِهِ لَهُ عَلَى الْمَأْمُورِ أَنْ يَرُدَّهَا مَعَهُ، فَقَوْلُ الْمَأْمُورِ هَاهُنَا مَقْبُولٌ فِي الرَّدِّ عَلَى الْمَالِكِ، لِأَنَّ الْمَالِكَ قَدِ ائْتَمَنَهُ عَلَى نَفْسِهِ بِالتَّعْيِينِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ الْمَالِكُ مُصَدِّقًا لِلْآمِرِ فِي الدَّفْعِ إِلَى الْمَأْمُورِ، وَإِنْ لَمْ يُصَدِّقْهُ فَالْآمِرُ ضَامِنٌ، وَقَوْلُهُ فِي الدَّفْعِ إِلَى الْمَأْمُورِ غَيْرُ مَقْبُولٍ.

Bagian keempat: Yaitu apabila ia telah mengembalikannya atas perintah pemiliknya dan dengan penunjukan dari pemilik agar yang diperintah mengembalikannya bersamanya, maka perkataan yang diperintah di sini diterima dalam pengembalian kepada pemilik, karena pemilik telah mempercayainya atas dirinya sendiri dengan penunjukan tersebut, jika pemilik membenarkan orang yang memerintah dalam penyerahan kepada yang diperintah. Namun jika tidak membenarkannya, maka orang yang memerintah menjadi penanggung, dan perkataannya dalam penyerahan kepada yang diperintah tidak diterima.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي: ” وَلَوْ حَوَّلَهَا مِنْ خَرِيطَةٍ إِلَى أَحْرَزَ أَوْ مِثْلِ حِرْزِهَا لَمْ يَضْمَنْ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ حِرْزًا لَهَا ضَمِنَ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia memindahkannya dari kantong ke tempat yang lebih aman atau setara dengan tempat keamanannya, maka ia tidak menanggung. Namun, jika bukan tempat yang aman baginya, maka ia menanggung.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.

والحكم فِي نَقْلِ الْوَدِيعَةِ مِنْ خَرِيطَةٍ إِلَى أُخْرَى، أَوْ مِنْ صُنْدُوقٍ إِلَى صُنْدُوقٍ، كَنَقْلِهَا مِنْ بَيْتٍ إِلَى بَيْتٍ، وَمِنْ دَارٍ إِلَى دَارٍ، وإن خالفنا أبو حنيفة خلافا تقدم الْكَلَامُ مَعَهُ فِيهِ، وَإِذَا كَانَ هَذَا هَكَذَا فَلَا يَخْلُو أَنْ تَكُونَ الْخَرِيطَةُ مَخْتُومَةً مَشْدُودَةً أَمْ لَا، فَإِنْ كَانَتْ مَشْدُودَةً مَخْتُومَةً فَكَسَرَ خَتْمَهَا وَحَلَّ شَدَّهَا وَنَقَلَهَا إِلَى غَيْرِهَا فَعَلَيْهِ الضَّمَانُ، وَلَوْ لَمْ يَنْقُلْهَا بَعْدَ كَسْرِ الْخَتْمِ وَحَلِّ الشِّدَادِ فَفِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ، وَإِنْ كَانَتِ الْخَرِيطَةُ غَيْرَ مَشْدُودَةٍ وَلَا مَخْتُومَةٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Hukum dalam memindahkan titipan dari satu kantong ke kantong lain, atau dari satu peti ke peti lain, sama seperti memindahkannya dari satu rumah ke rumah lain, dan dari satu tempat ke tempat lain. Walaupun Abu Hanifah berbeda pendapat dengan kami dalam hal ini, dan telah dibahas sebelumnya. Jika demikian, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah kantong tersebut tersegel dan terikat atau tidak. Jika kantong itu terikat dan tersegel, lalu ia mematahkan segelnya, membuka ikatannya, dan memindahkannya ke tempat lain, maka ia wajib menanggung. Jika ia tidak memindahkannya setelah mematahkan segel dan membuka ikatan, maka dalam hal tanggungannya ada dua pendapat. Jika kantong itu tidak terikat dan tidak tersegel, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ الْخَرِيطَةُ لِلْمُسْتَوْدَعِ، لِأَنَّ الدَّرَاهِمَ كَانَتْ مُرْسَلَةً فَأَحْرَزَهَا الْمُسْتَوْدَعُ فِي خَرِيطَةٍ فَلَهُ نَقْلُهَا إِلَى مِثْلِهَا أَوْ أَحْرَزَ، فَإِنْ فَعَلَ فَلَا ضَمَانَ لِعُذْرٍ كَانَ أَوْ غَيْرِ عُذْرٍ، وَإِنْ نَقَلَهَا إِلَى أَدْوَنِ مِنْهَا مِمَّا لَا يَكُونُ حِرْزًا لَهَا ضَمِنَ.

Pertama: Jika kantong itu milik penerima titipan, karena uang tersebut sebelumnya dibiarkan begitu saja lalu penerima titipan mengamankannya dalam sebuah kantong, maka ia boleh memindahkannya ke kantong yang serupa atau ke tempat yang lebih aman. Jika ia melakukannya, maka tidak ada tanggungan, baik karena uzur atau tanpa uzur. Namun, jika ia memindahkannya ke tempat yang lebih rendah yang tidak menjadi tempat aman baginya, maka ia menanggung.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الْخَرِيطَةُ لِلْمَالِكِ، فَلَيْسَ لَهُ نَقْلُهَا مِنْ تِلْكَ الْخَرِيطَةِ إِلَى غَيْرِهَا إِلَّا مِنْ عُذْرٍ، فَإِنْ نَقَلَهَا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ ضَمِنَ، سَوَاءٌ نَقَلَهَا إِلَى أَحْرَزَ مِنْهَا أَمْ لَا، وَإِنْ نَقَلَهَا مِنْ عُذْرٍ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، فَلَوِ اخْتَلَفَا فِي صِفَةِ النَّقْلِ هَلْ هُوَ لِعُذْرٍ أَوْ غَيْرِ عُذْرٍ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمَالِكِ مع يمينه، لأن الظاهر إخراجها عدوان إِلَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ عُذْرٍ.

Kedua: Jika kantong itu milik pemilik, maka ia tidak boleh memindahkannya dari kantong tersebut ke tempat lain kecuali karena uzur. Jika ia memindahkannya tanpa uzur, maka ia menanggung, baik ia memindahkannya ke tempat yang lebih aman ataupun tidak. Jika ia memindahkannya karena uzur, maka tidak ada tanggungan atasnya. Jika keduanya berselisih tentang sifat pemindahan, apakah karena uzur atau bukan, maka yang dipegang adalah perkataan pemilik dengan sumpahnya, karena secara lahiriah pemindahan itu merupakan tindakan melampaui batas kecuali jika karena uzur.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” ولو أَكْرَهَهُ رَجُلٌ عَلَى أَخْذِهَا لَمْ يَضْمَنْ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang memaksanya untuk mengambilnya, maka ia tidak menanggung.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مُرَادِ الشَّافِعِيِّ بِهَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي الْإِكْرَاهِ عَلَى أَخْذِ الْوَدِيعَةِ.

Al-Mawardi berkata: Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai maksud Imam Syafi‘i dalam masalah ini tentang paksaan untuk menerima titipan.

فَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ: هِيَ مُصَوَّرَةٌ فِي مَالِكِ مَالٍ أَرَادَ أَنْ يُودِعَهُ عِنْدَ رَجُلٍ فَامْتَنَعَ عَلَيْهِ فَأَكْرَهَهُ عَلَى أَنْ دَفَعَهَا إِلَيْهِ، فَأَخَذَهَا الْمُسْتَوْدَعُ مِنْهُ كَرْهًا فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ مُكْرَهًا فِي الْأَخْذِ، لِأَنَّهُ مُؤْتَمَنٌ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مِنْهُ عُدْوَانٌ أَوْ تَفْرِيطٌ فَيَضْمَنُ، لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ مُكْرَهًا، فَقَدْ صَارَ حِفْظُهَا عَلَيْهِ بَعْدَ حُصُولِهَا فِي يَدِهِ واجب، فَإِذَا خَالَفَهُ ضَمِنَ، فَإِنْ لَمْ يُحْسِنِ الْتِزَامَ حِفْظِهَا سَلَّمَهَا إِلَى الْحَاكِمِ، فَسَقَطَ الْحِفْظُ وَالضَّمَانُ عَنْهُ بِتَسْلِيمِهَا إِلَيْهِ إِذَا كَانَ الْمَالِكُ مُمْتَنِعًا مِنَ اسْتِرْجَاعِهَا.

Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata: Kasus ini digambarkan pada seseorang yang memiliki harta dan ingin menitipkannya kepada seorang laki-laki, namun orang itu menolak, lalu ia memaksanya untuk menerima titipan tersebut. Maka orang yang dititipi mengambilnya dalam keadaan terpaksa, sehingga tidak ada tanggungan (ganti rugi) atasnya meskipun ia terpaksa dalam menerima titipan itu, karena ia adalah orang yang dipercaya, kecuali jika ia melakukan tindakan melampaui batas atau kelalaian, maka ia wajib mengganti rugi. Sebab, meskipun ia terpaksa, setelah harta itu berada di tangannya, kewajiban menjaganya tetap berlaku atas dirinya. Jika ia menyalahinya, maka ia wajib mengganti rugi. Jika ia tidak mampu menjaga titipan itu dengan baik, hendaknya ia menyerahkannya kepada hakim, maka gugurlah kewajiban menjaga dan tanggungan darinya dengan penyerahan itu, apabila pemilik harta menolak untuk mengambilnya kembali.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ، هِيَ مُصَوَّرَةٌ فِي رَجُلٍ قَبِلَ وَدِيعَةً طَوْعًا ثم تغلب عليه متغلب فأكرهه عَلَى أَخْذِهَا مِنْهُ، فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Abu Ishaq al-Marwazi berkata: Kasus ini digambarkan pada seseorang yang menerima titipan secara sukarela, kemudian datang seseorang yang menguasainya secara paksa dan memaksanya untuk mengambil titipan itu darinya. Maka kasus ini terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَأْخُذَهَا الْمُتَغَلِّبُ بِنَفْسِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَدْفَعَهَا الْمُسْتَوْدَعُ وَلَا دَلَالَةَ عَلَيْهَا، فَهَذَا غَيْرُ ضَامِنٍ لَهَا، لِأَنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى دَفْعِ الْأَيْدِي الْغَالِبَةِ.

Pertama: Orang yang memaksa itu mengambil titipan tersebut sendiri tanpa diserahkan oleh orang yang dititipi dan tanpa ada petunjuk darinya. Dalam hal ini, orang yang dititipi tidak menanggung ganti rugi, karena ia tidak mampu menahan tangan-tangan yang memaksa.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَدْفَعَهَا بِنَفْسِهِ مُكْرَهًا فَفِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ:

Bagian kedua: Ia menyerahkan titipan itu sendiri dalam keadaan terpaksa. Dalam hal tanggung jawabnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ، لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ أَنْ يَقِيَ مَالَ غَيْرِهِ بِنَفْسِهِ، كَمَا لَوْ صَالَ عَلَيْهِ فَحْلٌ فَغَلَبَهُ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri, tidak ada tanggungan atasnya, karena ia tidak wajib melindungi harta orang lain dengan dirinya sendiri, sebagaimana jika seekor binatang buas menyerangnya lalu mengalahkannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: أَنَّهُ ضَامِنٌ لَهَا، لِأَنَّهُ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَقِيَ نَفْسَهُ بِمَالِ غَيْرِهِ، كَمَا لَوْ أَلْقَى فِي الْبَحْرِ مَالَ غَيْرِهِ، وَقَدْ جُعِلَ هَذَانِ الْوَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى الْوَجْهَيْنِ فِي الصَّائِمِ إِذَا أُكْرِهَ عَلَى الْفِطْرِ فَأَكَلَ بِنَفْسِهِ وَتَخْرِيجًا مِنَ الْقَوْلَيْنِ فِي الْمُكْرَهِ عَلَى الْقَتْلِ، فَعَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ لَوِ امْتَنَعَ مِنْ دَفْعِهِمَا وَحَلَفَ إِنْكَارًا لَهَا فَإِنْ جَعَلْنَاهُ ضَامِنًا لِلدَّفْعِ كَانَتْ يَمِينُهُ يَمِينَ مُكْرَهٍ لَا يَتَعَلَّقُ بِهَا حِنْثٌ، وَإِنْ لم نجعله ضَامِنًا بِالدَّفْعِ حَنِثَ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: Ia wajib menanggung ganti rugi, karena ia tidak berhak melindungi dirinya sendiri dengan harta orang lain, sebagaimana jika ia melemparkan harta orang lain ke laut. Kedua pendapat ini dibangun atas dua pendapat dalam kasus orang yang berpuasa jika dipaksa berbuka lalu ia makan sendiri, dan juga sebagai analogi dari dua pendapat dalam kasus orang yang dipaksa membunuh. Berdasarkan dua pendapat ini, jika ia menolak untuk menyerahkan titipan dan bersumpah mengingkarinya, maka jika kita menganggapnya wajib menanggung ganti rugi karena penyerahan, sumpahnya dianggap sumpah orang yang dipaksa sehingga tidak menimbulkan pelanggaran. Namun jika kita tidak menganggapnya wajib menanggung ganti rugi karena penyerahan, maka ia dianggap melanggar sumpah.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ لَا يَدْفَعُهَا بِنَفْسِهِ وَلَكِنْ يَدُلُّ عَلَيْهَا فَتُؤْخَذُ بِدَلَالَتِهِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الدَّلَالَةَ سَبَبٌ وَالْأَخْذَ مُبَاشَرَةٌ، فَصَارَ كَالْمُحْرِمِ إِذَا دَلَّ عَلَى صَيْدٍ لَمْ يَضْمَنْهُ، وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا الْبَصْرِيِّينَ: يَضْمَنُ، لِأَنَّهُ فِي الْوَدِيعَةِ مَمْنُوعٌ مِنَ العدوان والتفريط وَالدَّلَالَةُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا، فَضَمِنَ بِهَا وَإِنْ كَانَ معذورا.

Bagian ketiga: Ia tidak menyerahkan titipan itu sendiri, tetapi menunjukkan tempatnya sehingga diambil berdasarkan petunjuknya. Menurut mazhab Syafi‘i, tidak ada tanggungan atasnya, karena petunjuk hanyalah sebab, sedangkan pengambilan adalah tindakan langsung, sehingga seperti orang yang berihram jika menunjukkan lokasi buruan, ia tidak menanggungnya. Namun sebagian ulama kami dari Bashrah berpendapat: Ia wajib menanggung ganti rugi, karena dalam titipan, ia dilarang melakukan tindakan melampaui batas dan kelalaian, sedangkan petunjuk termasuk salah satunya, sehingga ia wajib menanggung ganti rugi karenanya meskipun ia punya alasan.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَلَوْ شَرَطَ أَنْ لَا يَرْقُدَ عَلَى صُنْدُوقٍ هِيَ فِيهِ فَرَقَدَ عَلَيْهِ كَانَ قَدْ زَادَهُ حِرْزًا “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika disyaratkan agar tidak tidur di atas peti yang di dalamnya terdapat titipan, lalu ia tidur di atasnya, maka ia telah menambah penjagaan terhadap titipan itu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا نَوْمُهُ عَلَى الصُّنْدُوقِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْهَاهُ الْمَالِكُ عَنْهُ فَهُوَ زِيَادَةُ حِرْزٍ لَا يَضْمَنُ بِهِ إِجْمَاعًا، فَأَمَّا إِذَا نَهَاهُ عَنِ النَّوْمِ عَلَيْهِ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:

Al-Mawardi berkata: Adapun tidurnya di atas peti tanpa ada larangan dari pemilik harta, maka itu merupakan tambahan penjagaan dan tidak menimbulkan tanggungan menurut ijmā‘. Adapun jika pemilik melarangnya tidur di atas peti, maka hal itu terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا يَقْصِدَ بِنَهْيِهِ التَّخْفِيفَ عَنْهُ وَالتَّرْفِيهَ عَلَيْهِ، فَمَتَى نَامَ عَلَيْهِ لَمْ يَضْمَنْهُ.

Pertama: Larangan tersebut tidak dimaksudkan untuk meringankan atau memberi kenyamanan kepadanya. Maka jika ia tidur di atasnya, ia tidak menanggung ganti rugi.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَقْصِدَ بِالنَّهْيِ عَنِ النَّوْمِ عَلَيْهِ الْكَرَاهَةَ خَوْفًا مِنَ التَّنْبِيهِ عَلَيْهِ، فَفِي ضَمَانِهِ إِذَا نَامَ عَلَيْهِ وَجْهَانِ:

Kedua: Larangan tidur di atas peti dimaksudkan karena tidak suka, karena khawatir akan menarik perhatian terhadap titipan itu. Dalam hal ini, jika ia tidur di atasnya, terdapat dua pendapat mengenai tanggung jawabnya:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَقَوْلُ الْأَكْثَرِينَ مِنْ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ لَا يَضْمَنُ لِأَنَّهُ قَدْ زَادَهُ حِرْزًا، فَصَارَ كَمَنْ أُودِعَ خَرِيطَةً فَجَعَلَهَا فِي خَرِيطَةٍ ثَانِيَةٍ.

Salah satunya, dan ini yang tampak dari mazhab Syafi‘i dan pendapat mayoritas ulama kami, bahwa ia tidak menanggung ganti rugi karena ia telah menambah penjagaan, sehingga seperti orang yang dititipi kantong lalu meletakkannya dalam kantong kedua.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ، يَضْمَنُ لِمَا فِيهِ مِنَ التَّنْبِيهِ عَلَيْهَا وَالْإِغْرَاءِ بِهَا، وَهَكَذَا لَوْ أَمَرَهُ أَنْ يَقْفِلَهَا بِقُفْلٍ وَاحِدٍ فَقَفَلَهَا بِقُفْلَيْنِ كَانَ ضَمَانُهُ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ، وَهَكَذَا لَوْ أَمَرَهُ أَنْ يَدْفِنَهَا فِي أَرْضٍ لَيْسَ عَلَيْهَا حَائِطٌ فَدَفَنَهَا فِيهَا وَبَنَى عليها حائط كَانَ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ، وَهَكَذَا لَوْ أَمَرَهُ أَنْ يَتْرُكَهَا فِي بَيْتٍ لَا يَحْفَظُهُ أَحَدٌ فَأَقَامَ فِيهِ مَنْ يَحْفَظُهُ فَسُرِقَتْ، فَإِنْ كَانَ الْحَافِظُ لَهَا سَرَقَهَا ضَمِنَ، وَإِنْ سَرَقَهَا غَيْرُهُ فضمانه على وجهين.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Mālik, menyatakan bahwa ia wajib menanggung (kerugian) karena di dalamnya terdapat penunjukan dan dorongan terhadap (perbuatan tersebut). Demikian pula, jika ia memerintahkannya untuk menguncinya dengan satu gembok lalu ia menguncinya dengan dua gembok, maka tanggung jawabnya berlaku menurut dua pendapat ini. Begitu juga jika ia memerintahkannya untuk menguburnya di tanah yang tidak berpagar lalu ia menguburnya di sana dan membangun pagar di atasnya, maka hukumnya menurut dua pendapat ini. Demikian pula jika ia memerintahkannya untuk meninggalkannya di rumah yang tidak dijaga oleh siapa pun, lalu ia menempatkan seseorang untuk menjaganya, kemudian barang itu dicuri, maka jika penjaganya yang mencurinya, ia wajib menanggung (kerugian). Namun jika yang mencurinya adalah orang lain, maka tanggung jawabnya diperselisihkan menurut dua pendapat.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَلَوْ قَالَ لَمْ تُودِعْنِي شَيْئًا ثُمَّ قَالَ قَدْ كُنْتَ اسْتَوْدَعْتَنِيهِ فَهَلَكَ ضَمِنَ “.

Imam Syāfi‘ī berkata: “Jika ia berkata, ‘Engkau tidak titipkan apa pun kepadaku,’ kemudian ia berkata, ‘Sebenarnya engkau telah menitipkannya kepadaku lalu barang itu rusak,’ maka ia wajib menanggung (kerugian).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي رَجُلٍ أَوْدَعَ رَجُلًا وَدِيعَةً ثُمَّ طَالَبَهُ بِهَا فَجَحَدَهَا وَقَالَ: لَمْ تُودِعْنِي شَيْئًا، ثُمَّ عَادَ فَاعْتَرَفَ بِهَا وَقَالَ: قَدْ كُنْتُ اسْتُودِعْتُهَا وَتَلِفَتْ، أَوْ قَامَتْ بِهَا الْبَيِّنَةُ عَلَيْهِ فَادَّعَى بِتَلَفِهَا لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ، لِأَمْرَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Kasusnya adalah: Seseorang menitipkan barang kepada orang lain, lalu ia menuntut barang itu dan orang yang dititipi mengingkarinya dengan berkata, “Engkau tidak menitipkan apa pun kepadaku.” Kemudian ia kembali mengakui dan berkata, “Sebenarnya aku telah dititipi barang itu dan barang itu telah rusak,” atau ada bukti yang menegaskan titipan itu kepadanya lalu ia mengaku barang itu telah rusak, maka pengakuan tersebut tidak diterima darinya karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَدْ صَارَ بِالْجَحْدِ مُتَعَدِّيًا فَضَمِنَهَا، وَمَنْ ضَمِنَ وَدِيعَةً لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الْغُرْمُ بِتَلَفِهَا.

Pertama: Dengan pengingkaran tersebut, ia telah melampaui batas sehingga ia wajib menanggung (kerugian), dan siapa yang telah menanggung titipan, maka kewajiban membayar ganti rugi tidak gugur darinya meskipun barang itu rusak.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ بِالْإِنْكَارِ الْأَوَّلِ قَدْ أَكْذَبَ نَفْسَهُ بِادِّعَاءِ التَّلَفِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ أَقَامَ بَيِّنَةً عَلَى تَلَفِهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: Dengan pengingkaran pertama, ia telah mendustakan dirinya sendiri dalam pengakuan rusaknya barang tersebut. Berdasarkan hal ini, jika ia mendatangkan bukti atas rusaknya barang itu, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَشْهَدَ لَهُ الْبَيِّنَةُ بِتَلَفِهَا بَعْدَ الْجُحُودِ، فَلَا تُسْمَعُ وَالْغُرْمُ وَاجِبٌ عَلَيْهِ، لِأَنَّهَا تَلِفَتْ بَعْدَ الضمان ولو سأل إحلاف المودع أنه لا يَعْلَمُ بِتَلَفِهَا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهُ.

Pertama: Jika bukti tersebut menyatakan bahwa barang itu rusak setelah pengingkaran, maka bukti itu tidak diterima dan ia tetap wajib membayar ganti rugi, karena barang itu rusak setelah ia wajib menanggungnya. Dan jika ia meminta sumpah dari orang yang menitipkan bahwa ia tidak mengetahui rusaknya barang itu, maka permintaan itu tidak dikabulkan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَشْهَدَ لَهُ الْبَيِّنَةُ بِتَلَفِهَا قَبْلَ الْجُحُودِ، فَفِي اسْتِمَاعِهَا وَالْحُكْمِ بِهَا وَجْهَانِ:

Kedua: Jika bukti tersebut menyatakan bahwa barang itu rusak sebelum pengingkaran, maka dalam hal diterimanya bukti dan penetapan hukumnya ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يسمح وَيَحْكُمُ بِهَا، وَيَسْقُطُ عَنْهُ الْغُرْمُ، لِأَنَّهَا تَلِفَتْ قَبْلَ ضَمَانِهَا بِالْجُحُودِ.

Pertama: Diperbolehkan menerima bukti tersebut dan menetapkan hukumnya, sehingga gugur kewajiban membayar ganti rugi darinya, karena barang itu rusak sebelum ia wajib menanggungnya akibat pengingkaran.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ اخْتِيَارُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهَا لَا تُسْمَعُ وَلَا تُسْقِطُ عَنْهُ الْغُرْمَ، لِأَنَّهُ قَدْ كَذَّبَ لَهَا بِالْجَحُودِ الْمُتَقَدِّمِ.

Pendapat kedua, yang merupakan pilihan Abū ‘Alī ibn Abī Hurairah, adalah bukti tersebut tidak diterima dan tidak menggugurkan kewajiban membayar ganti rugi darinya, karena ia telah mendustakan bukti tersebut dengan pengingkaran sebelumnya.

فَصْلٌ:

Fashal:

وَلَوْ قَالَ حِينَ طُولِبَ بِالْوَدِيعَةِ: لَيْسَ لَكَ مَعِي وَدِيعَةٌ، أَوْ لَا حَقَّ لَكَ فِي يَدِي، ثُمَّ أَقَرَّ بِهَا وَادَّعَى تَلَفَهَا قُبِلَ مِنْهُ، لِأَنَّهُ ليس في القولين تكاذب، وَمَنْ تَلِفَتِ الْوَدِيعَةُ مِنْهُ فَلَا وَدِيعَةَ مَعَهُ وَلَا فِي يَدِهِ، وَخَالَفَ حَالُ الْمُنْكِرِ لَهَا لِمَا فِيهِ مِنْ تَكَاذُبِ الْقَوْلَيْنِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.

Jika ketika dituntut atas titipan ia berkata, “Engkau tidak memiliki titipan bersamaku,” atau “Engkau tidak memiliki hak atas apa yang ada di tanganku,” kemudian ia mengakui titipan itu dan mengaku bahwa barangnya telah rusak, maka pengakuan itu diterima darinya, karena dalam kedua pernyataan tersebut tidak ada pertentangan. Barang siapa yang titipannya telah rusak, maka tidak ada lagi titipan bersamanya dan tidak ada lagi di tangannya. Hal ini berbeda dengan keadaan orang yang mengingkarinya, karena di dalamnya terdapat pertentangan antara dua pernyataan. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَإِنْ شَرَطَ أَنْ يَرْبِطَهَا فِي كُمِّهِ فَأَمْسَكَهَا بِيَدِهِ فَتَلِفَتْ لَمْ يَضْمَنْ وَيَدُهُ أَحْرَزُ “.

Imam Syāfi‘ī berkata: “Jika disyaratkan agar ia mengikatnya di lengan bajunya, lalu ia memegangnya dengan tangannya hingga barang itu rusak, maka ia tidak wajib menanggung (kerugian), karena tangannya lebih aman.”

قَالَ الماوردي: هكذا روى الْمُزَنِيُّ أَنَّهُ لَا يَضْمَنُ وَيَدُهُ أَحْرَزُ، وَرَوَى الرَّبِيعُ فِي الْأُمِّ أَنَّهُ يَضْمَنُ وَكُمُّهُ أَحْرَزُ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا وَكَانَ بَعْضُهُمْ يَحْمِلُ اخْتِلَافَ الرِّوَايَتَيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Demikianlah yang diriwayatkan oleh al-Muzanī bahwa ia tidak wajib menanggung (kerugian) dan tangannya lebih aman. Sedangkan al-Rabī‘ meriwayatkan dalam al-Umm bahwa ia wajib menanggung (kerugian) dan lengan bajunya lebih aman. Maka para sahabat kami berbeda pendapat, dan sebagian mereka menafsirkan perbedaan dua riwayat ini sebagai perbedaan dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَا رَوَاهُ الْمُزَنِيُّ هَاهُنَا أَنَّهُ لَا يَضْمَنُ، وَيَدُهُ أَحْرَزُ مِنْ كُمِّهِ، لِأَنَّهَا قَدْ تُسْرَقُ مِنْ كُمِّهِ وَلَا تُسْرَقُ مِنْ يَدِهِ.

Pertama: Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Muzanī di sini, bahwa ia tidak wajib menanggung (kerugian), dan tangannya lebih aman daripada lengan bajunya, karena barang itu bisa saja dicuri dari lengan bajunya namun tidak dicuri dari tangannya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ مَا رَوَاهُ الرَّبِيعُ فِي ” الْأُمِّ “: أَنَّهُ يَضْمَنُ وَكُمُّهُ أَحْرَزُ مِنْ يَدِهِ، لِأَنَّ الْيَدَ حِرْزٌ مَعَ الذِّكْرِ دُونَ النِّسْيَانِ، وَالْكُمُّ حِرْزٌ مَعَ الذِّكْرِ وَالنِّسْيَانِ وَامْتَنَعَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ، وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَكَثِيرٌ مِنْ أَصْحَابِنَا مِنْ تَخْرِيجِ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَحَمَلُوا رِوَايَةَ الْمُزَنِيِّ فِي سُقُوطِ الضَّمَانِ عَلَى أَنَّهُ رَبَطَهَا فِي كُمِّهِ ثُمَّ أَمْسَكَهَا بِيَدِهِ فَلَا يَضْمَنُ، لِأَنَّ يَدَهُ مَعَ كُمِّهِ أَحْرَزُ مِنْ كُمِّهِ، وَحَمَلُوا رِوَايَةَ الرَّبِيعِ فِي وُجُوبِ الضَّمَانِ عَلَى أَنَّهُ تَرَكَهَا فِي يَدِهِ وَلَمْ يَرْبِطْهَا فِي كُمِّهِ فَيَضْمَنُ، لِأَنَّ كُمَّهُ أَحْرَزُ مِنْ يَدِهِ.

Pendapat kedua, sebagaimana yang diriwayatkan oleh ar-Rabi‘ dalam kitab “al-Umm”: bahwa ia wajib menanggung (kerugian), karena lengan bajunya (kumm) lebih aman daripada tangannya. Sebab, tangan adalah tempat penyimpanan (ḥirz) ketika ingat, bukan ketika lupa, sedangkan kumm adalah ḥirz baik saat ingat maupun lupa. Abu Ishaq al-Marwazi, Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, dan banyak dari kalangan sahabat kami menolak mengeluarkan masalah ini menjadi dua pendapat. Mereka menafsirkan riwayat al-Muzani tentang gugurnya kewajiban menanggung (ḍamān) pada kasus ketika ia mengikat barang itu di kumm-nya lalu memegangnya dengan tangannya, maka ia tidak menanggung, karena tangannya bersama kumm-nya lebih aman daripada kumm-nya saja. Sedangkan riwayat ar-Rabi‘ tentang wajibnya menanggung ditafsirkan pada kasus ia meletakkannya di tangannya dan tidak mengikatnya di kumm-nya, maka ia wajib menanggung, karena kumm-nya lebih aman daripada tangannya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا شَرَطَ عَلَيْهِ أَنْ يُمْسِكَهَا فِي يَدِهِ فَرَبَطَهَا فِي كُمِّهِ فَمَنْ جَعَلَ يَدَهُ أَحْرَزَ ضَمَّنَهُ، وَمَنْ جَعَلَ كُمَّهُ أَحْرَزَ خرج ضمانه عَلَى وَجْهَيْنِ مِنَ اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي نَصِّ الْمُودِعِ هَلْ يَقْطَعُ اجْتِهَادَ الْمُسْتَوْدَعِ، وَلَوْ أَمَرَهُ أَنْ يُحْرِزَهَا فِي جَيْبِهِ فَأَحْرَزَهَا فِي كُمِّهِ ضَمِنَ لِأَنَّ جَيْبَهُ أَحْرَزُ وَلَوْ أَمَرَهُ أَنْ يحرزها في كمه فأحرزها فِي جَيْبِهِ كَانَ ضَمَانُهُ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ.

Adapun jika disyaratkan kepadanya agar memegang barang itu dengan tangannya, lalu ia mengikatnya di kumm-nya, maka siapa yang menganggap tangannya lebih aman, mewajibkan ia menanggung. Dan siapa yang menganggap kumm-nya lebih aman, maka kewajiban menanggungnya keluar pada dua wajah, sesuai perbedaan dua pendapat dalam nash tentang orang yang menitipkan (mūdi‘), apakah ijtihad orang yang dititipi (mustawda‘) dapat diputuskan. Jika ia diperintahkan untuk menyimpannya di saku bajunya (jaib), lalu ia menyimpannya di kumm-nya, maka ia wajib menanggung, karena saku bajunya lebih aman. Jika ia diperintahkan untuk menyimpannya di kumm-nya, lalu ia menyimpannya di saku bajunya, maka kewajiban menanggungnya juga mengikuti dua wajah tersebut.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ دَفَعَ إِلَيْهِ وَدِيعَةً وَلَمْ يَشْرُطْ عَلَيْهِ أَنْ يَضَعَهَا فِي كُمِّهِ وَلَا فِي جَيْبِهِ وَلَا فِي يَدِهِ فَإِنْ وَضْعَهَا فِي كمه وَرَبَطَهَا كَانَ حِرْزًا، سَوَاءٌ رَبَطَهَا مِنْ دَاخِلِ كُمِّهِ أَوْ مِنْ خَارِجِهِ.

Jika seseorang menyerahkan titipan kepadanya tanpa mensyaratkan agar diletakkan di kumm, saku baju, atau tangannya, lalu ia meletakkannya di kumm-nya dan mengikatnya, maka itu dianggap sebagai ḥirz (tempat penyimpanan yang aman), baik ia mengikatnya dari dalam kumm maupun dari luar kumm.

وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ جَعَلَهَا فِي ظَاهِرِ كُمِّهِ وَرَبَطَهَا مِنْ دَاخِلِهِ لَمْ يَضْمَنْ، لِأَنَّهَا تَصِيرُ بَعْدَ الرَّبْطِ دَاخِلَةً فِي كُمِّهِ، وَإِنْ جَعَلَهَا دَاخِلَ كُمِّهِ وَرَبَطَهَا مِنْ خَارِجِهِ ضَمِنَ، لِأَنَّهَا تَصِيرُ بَعْدَ الرَّبْطِ خَارِجَةً مِنْ كُمِّهِ، وَهَذَا الْقَوْلُ لَا وَجْهَ لَهُ، لِأَنَّ الْكُمَّ بِهِ يَصِيرُ حِرْزًا لَا بِانْفِرَادِهِ فَاسْتَوَى الْأَمْرَانِ، فَأَمَّا إِنْ تَرَكَهَا فِي كُمِّهِ وَلَمْ يَرْبِطْهَا، نُظِرَ فَإِنْ كَانَ ذلك خفيفا قد ربما يسقط مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ بِهِ ضَمِنَ وَإِنْ كان ثقيلا، ولا يَخْفَى عَلَيْهِ حَالُ سُقُوطِهِ لَمْ يَضْمَنْ وَلَوْ تَرَكَ الْوَدِيعَةَ فِي جَيْبِهِ فَإِنْ لَمْ يَزُرَّهُ عَلَيْهَا ضَمِنَ، وَإِنْ زَرَّهُ عَلَيْهَا لَمْ يَضْمَنْ، لِأَنَّ الْجَيْبَ أَحْفَظُ لَهَا إِذَا أَمِنَ سُقُوطَهَا مِنْهُ لِبُعْدِهِ مِنَ السَّارِقِ، فَلَوْ كَانَ الْجَيْبُ مَثْقُوبًا وَهُوَ لَا يَعْلَمُ بِهِ فَسَقَطَتْ أَوْ حَصَلَتْ بَيْنَ قَمِيصِهِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ بِهَا فَسَقَطَتْ ضَمِنَهَا، وَلَوْ تَرَكَهَا فِي يَدِهِ فَإِنْ كَانَ مَنْزِلُهُ قَرِيبًا كَانَتْ يَدُهُ أَحْرَزَ، وَإِنْ كَانَ مَنْزِلُهُ بَعِيدًا فَإِنْ كَانَتْ خَفِيفَةً لَا يَأْمَنُ السَّهْوَ عَنْهَا ضَمِنَ وَلَمْ تَكُنْ يَدُهُ حِرْزًا، وَإِنْ كَانَتْ ثَقِيلَةً يَأْمَنُ السَّهْوَ فِيهَا لَمْ يَضْمَنْ، فَأَمَّا الْخَاتَمُ إِذَا لَبِسَهُ فِي أُصْبُعِهِ كَانَتْ حِرْزًا إِذَا كَانَ مُتَمَاسِكًا فِي خِنْصَرِهِ، وَلَوْ كَانَ وَاسِعًا لَمْ يَكُنْ حِرْزًا، وَلَوْ لَبِسَ الْخَاتَمَ الْمُسْتَقِرَّ فِي خِنْصَرِهِ فِي الْبِنْصِرِ مِنْ أَصَابِعِهِ لَمْ يَضْمَنْ، لأنها أغلظ، ولو لبسه فِي الْإِبْهَامِ ضَمِنَهُ، لِأَنَّهُ لَا يَسْتَقِرُّ فِيهَا وَإِنْ غَلُظَتْ، وَلَوْ لَبِسَ الْخَاتَمَ فِي إِحْدَى يَدَيْهِ ثُمَّ نَقَلَهُ إِلَى الْيَدِ الْأُخْرَى فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ لِعَمَلٍ أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَهُ بِتِلْكَ الْيَدِ لَمْ يَضْمَنْ وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ سَبَبٍ ضَمِنَ.

Abu Hanifah berkata: Jika ia meletakkannya di bagian luar kumm-nya dan mengikatnya dari dalam, maka ia tidak wajib menanggung, karena setelah diikat, barang itu menjadi berada di dalam kumm-nya. Namun jika ia meletakkannya di dalam kumm-nya dan mengikatnya dari luar, maka ia wajib menanggung, karena setelah diikat, barang itu menjadi di luar kumm-nya. Pendapat ini tidak memiliki dasar, karena kumm menjadi ḥirz bukan dengan sendirinya, sehingga kedua keadaan itu sama saja. Adapun jika ia meletakkannya di kumm-nya tanpa mengikatnya, maka dilihat: jika barang itu ringan sehingga bisa saja jatuh tanpa ia sadari, maka ia wajib menanggung. Jika barang itu berat dan tidak mungkin jatuh tanpa ia sadari, maka ia tidak wajib menanggung. Jika ia meletakkan titipan itu di saku bajunya, lalu tidak mengancingkannya, maka ia wajib menanggung. Jika ia mengancingkannya, maka ia tidak wajib menanggung, karena saku baju lebih menjaga barang itu jika aman dari jatuh karena letaknya yang jauh dari pencuri. Jika saku bajunya berlubang dan ia tidak mengetahuinya, lalu barang itu jatuh, atau barang itu terselip di antara bajunya tanpa ia sadari lalu jatuh, maka ia wajib menanggung. Jika ia meletakkannya di tangannya, maka jika rumahnya dekat, tangannya lebih aman. Jika rumahnya jauh dan barang itu ringan sehingga ia tidak yakin bisa selalu ingat, maka ia wajib menanggung dan tangannya tidak dianggap sebagai ḥirz. Jika barang itu berat dan ia yakin tidak akan lupa, maka ia tidak wajib menanggung. Adapun cincin, jika ia memakainya di jarinya, maka itu dianggap ḥirz jika cincin itu pas di jari kelingkingnya. Jika longgar, maka tidak dianggap ḥirz. Jika ia memakai cincin yang pas di kelingkingnya lalu dipindahkan ke jari manis, maka ia tidak wajib menanggung karena jari manis lebih besar. Jika ia memakainya di ibu jari, maka ia wajib menanggung karena cincin tidak akan tetap di sana meskipun ibu jari lebih besar. Jika ia memakai cincin di salah satu tangannya lalu memindahkannya ke tangan lain, jika itu karena ada pekerjaan yang ingin ia lakukan dengan tangan tersebut, maka ia tidak wajib menanggung. Jika tanpa sebab, maka ia wajib menanggung.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا حَمَلَ مَا فِي كُمِّهِ أَوْ جَيْبِهِ أَوْ يَدِهِ إِلَى مَنْزِلِهِ مِنَ الْوَدِيعَةِ فَعَلَيْهِ إِحْرَازُهُ فِيهِ، وَلَا يَكُونُ كُمُّهُ وَلَا جَيْبُهُ وَلَا يَدُهُ حِرْزًا لَهُ بَعْدَ حُصُولِهِ فِي مَنْزِلِهِ، فَإِنَّ مُنْزِلَهُ أَحْرَزُ لَهُ فَلَوْ خَرَجَ بِهَا فِي جَيْبِهِ أَوْ كُمِّهِ أَوْ يَدِهِ مِنْ مَنْزِلِهِ ضَمِنَ.

Apabila seseorang membawa barang titipan yang ada di lengan bajunya, saku bajunya, atau tangannya ke rumahnya, maka ia wajib mengamankannya di dalam rumah tersebut. Lengan baju, saku baju, atau tangannya tidak lagi menjadi tempat aman (ḥirz) bagi barang itu setelah barang tersebut sampai di rumahnya, karena rumahnya adalah tempat yang lebih aman (aḥraz) baginya. Maka jika ia keluar dari rumahnya dengan membawa barang titipan itu di saku, lengan baju, atau tangannya, ia bertanggung jawab (menanggung kerugian) atasnya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ أَوْدَعَ وَدِيعَةً وَهُوَ فِي دُكَّانِهِ فَحَمَلَهَا إِلَى مَنْزِلِهِ فَإِنْ كَانَ الدُّكَّانُ حِرْزًا لِمِثْلِهَا ضَمِنَ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حِرْزًا لَمْ يَضْمَنْ إِذَا حَمَلَهَا إِلَى مَنْزِلِهِ، وَهَكَذَا لَوْ أَوْدَعَ وَدِيعَةً وَهُوَ فِي مَنْزِلِهِ فَحَمَلَهَا إِلَى دُكَّانِهِ، فَإِنْ كَانَ مُنْزِلُهُ حِرْزًا لِمِثْلِهَا ضَمِنَ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حِرْزًا لِمِثْلِهَا وَكَانَ الدُّكَّانُ أَحْرَزَ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، وَلَوْ أَوْدَعَ وَدِيعَةً وَهُوَ فِي دُكَّانِهِ فَوَضَعَهَا بَيْنَ يَدَيْهِ فَسُرِقَتْ فَإِنْ كَانَ وَضْعُهُ لَهَا ارْتِيَادًا لِمَوْضِعٍ مِنْ دُكَّانِهِ يُحْرِزُهَا فيه لم يضمن لعدم تفريطه، وَإِنْ كَانَ اسْتِرْسَالًا وَإِمْهَالًا ضَمِنَ.

Jika seseorang menerima titipan barang ketika ia berada di tokonya, lalu ia membawanya ke rumahnya, maka jika toko tersebut merupakan tempat aman (ḥirz) untuk barang semacam itu, ia bertanggung jawab (menanggung kerugian). Namun jika toko itu bukan tempat aman, maka ia tidak bertanggung jawab ketika membawanya ke rumahnya. Begitu pula jika seseorang menerima titipan barang di rumahnya lalu membawanya ke tokonya, maka jika rumahnya merupakan tempat aman untuk barang semacam itu, ia bertanggung jawab. Namun jika rumahnya bukan tempat aman untuk barang semacam itu dan toko lebih aman, maka tidak ada tanggungan atasnya. Jika seseorang menerima titipan barang di tokonya lalu meletakkannya di depannya, kemudian barang itu dicuri, maka jika ia meletakkannya untuk mencari tempat yang lebih aman di tokonya, ia tidak bertanggung jawab karena tidak ada kelalaian. Namun jika ia meletakkannya dengan sembarangan dan membiarkannya, maka ia bertanggung jawab.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوْ أَوْدَعَ وَدِيعَةً وَهُوَ فِي مَنْزِلِهِ فَأَحْرَزَهَا فِيهِ ثُمَّ دَخَلَ مَنْ سَرَقَهَا مِنْهُ فَإِنْ دَخَلَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ لَمْ يَضْمَنْ، وَإِنْ دَخَلَ بِإِذْنِهِ ضَمِنَ إِذَا نَالَتْهَا يَدُهُ، وَلَوْ سَرَقَهَا بَعْضُ أَهْلِ مَنْزِلِهِ مِنْ زَوْجَةٍ، أَوْ خَادِمٍ، أَوْ وَلَدٍ نُظِرَ فِي سَارِقِهَا، فَإِنْ كَانَ مَشْهُورًا بِالسَّرِقَةِ ضَمِنَ، لِأَنَّ تَمْكِينَ مِثْلِهِ مِنْ مَنْزِلٍ فِيهِ وَدِيعَةٌ لِغَيْرِهِ أَوْ تَرْكَ الْوَدِيعَةِ فِي منزل تركها في مثل تَفْرِيطٌ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَشْهُورٍ بِذَلِكَ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ أَخَذَهَا مِنْ وَرَاءِ حِرْزٍ فِي الْمَنْزِلِ كَبَابٍ وَقُفْلٍ لَمْ يَضْمَنْ، لِأَنَّهُ لَا يُنْسَبُ إِلَى التَّفْرِيطِ، وَإِنْ كَانَتْ بَارِزَةً تَمْتَدُّ إِلَيْهَا يَدُهُ فِي الْمَنْزِلِ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَتِ الْوَدِيعَةُ دَرَاهِمَ أَوْ حُلِيًّا أَوْ ثِيَابًا جَرَتِ الْعَادَةُ أَنْ يَكُونَ حِرْزُهَا فِي الْمَنَازِلِ مُفْرَدًا عَنْ مَوَاضِعِ سَاكِنِيهِ ضَمِنَ، وَإِنْ كَانَ خَافِيًا لَا يُحْرَزُ مِثْلَهُ إِلَّا فِي ظَوَاهِرِ الْمَنَازِلِ لم يضمن والله أعلم (بالصواب) .

Jika seseorang menerima titipan barang di rumahnya lalu mengamankannya di dalam rumah tersebut, kemudian ada orang yang masuk dan mencurinya, maka jika orang itu masuk tanpa izinnya, ia tidak bertanggung jawab. Namun jika orang itu masuk dengan izinnya, ia bertanggung jawab jika barang itu sampai ke tangan orang tersebut. Jika yang mencuri adalah salah satu penghuni rumahnya, seperti istri, pembantu, atau anak, maka dilihat siapa pencurinya. Jika pencurinya terkenal sebagai pencuri, ia bertanggung jawab, karena membiarkan orang seperti itu masuk ke rumah yang di dalamnya ada titipan milik orang lain, atau membiarkan titipan di rumah seperti itu, termasuk kelalaian. Namun jika pencurinya tidak terkenal sebagai pencuri, maka dilihat lagi: jika ia mengambilnya dari balik tempat aman di rumah seperti pintu dan kunci, maka ia tidak bertanggung jawab karena tidak dianggap lalai. Namun jika barang itu diletakkan di tempat terbuka yang mudah dijangkau tangan di dalam rumah, maka dilihat lagi: jika barang titipan itu berupa dirham, perhiasan, atau pakaian yang biasanya diamankan di rumah secara terpisah dari tempat tinggal penghuninya, maka ia bertanggung jawab. Namun jika barang itu sesuatu yang biasanya tidak diamankan kecuali di tempat terbuka di rumah, maka ia tidak bertanggung jawab. Allah Maha Mengetahui (yang benar).

مسألة:

Masalah:

وَإِذَا هَلَكَ وَعِنْدَهُ وَدِيعَةٌ بِعَيْنِهَا فَهِيَ لِرَبِّهَا وَإِنْ كَانَتْ بِغَيْرٍ عَنْهَا مِثْلَ دَنَانِيرَ أَوْ مَا لَا يُعْرَفُ بِعَيْنِهِ حَاصَّ رَبُّ الْوَدِيعَةِ الْغُرَمَاءَ “.

Jika seseorang meninggal dunia dan masih ada barang titipan yang jelas milik orang lain di sisinya, maka barang itu menjadi milik pemiliknya. Namun jika barang itu berupa sesuatu yang tidak dapat dibedakan secara khusus, seperti dinar atau barang yang tidak diketahui secara spesifik, maka pemilik titipan mendapatkan bagian dari harta peninggalan bersama para kreditur.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَمَّا مَوْتُ الْمُسْتَوْدَعِ فَمُبْطِلٌ لِعَقْدِ الْوَدِيعَةِ، لِأَنَّ مَالِكَهَا لَمْ يَأْتَمِنْ وَارِثَهُ عَلَيْهَا، فَإِنْ كَانَ مَالِكُهَا حَاضِرًا وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ رَدُّهَا عَلَيْهِ، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ ضَمِنَ، وَإِنْ كَانَ مَالِكُهَا غَائِبًا لَزِمَ الْوَارِثَ إِعْلَامُ الحاكم بها حتى يأمره فيها بِمَا يَرَاهُ حَظًّا لِمَالِكِهَا مِنْ إِحْرَازِهَا فِي يَدِ الْوَارِثِ، أَوْ نَقْلِهَا إِلَى غَيْرِهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْلَمِ الْحَاكِمُ بِهَا وَيَسْتَأْذِنْهُ فِيهَا ضَمِنَ، وَهَكَذَا لَوْ مَاتَ رَبُّ الْوَدِيعَةِ بَطَلَ الْعَقْدُ، وَلَزِمَ الْمُسْتَوْدَعَ رَدُّهَا عَلَى وَارِثِهِ، لِأَنَّهَا صَارَتْ بِالْمَوْتِ مِلْكًا لِلْوَارِثِ وَالْوَارِثُ لَمْ يَأْتَمِنْهُ عَلَيْهَا، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ ضَمِنَ إِلَّا أَنْ يَسْتَأْنِفَ الْوَارِثُ إِيدَاعَهَا عِنْدَهُ فَتَصِيرُ وَدِيعَةً مُبْتَدَأَةً، وَلَوْ أَنَّ الْمَالِكَ الْمُودِعَ جُنَّ، أَوْ حُجِرَ عَلَيْهِ بالسفه لبطل الْوَدِيعَةُ، وَكَانَ عَلَى الْمُسْتَوْدَعِ رَدُّهَا عَلَى وَلِيِّهِ، لِأَنَّهُ خَرَجَ بِالْجُنُونِ وَالسَّفَهِ أَنْ يَكُونَ ذَا نَظَرٍ فِي مَالِهِ، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلِ الْمُسْتَوْدَعُ ذَلِكَ ضَمِنَ، وَلَوْ جُنَّ الْمُسْتَوْدَعُ أَوْ حُجِرَ عَلَيْهِ بِالسَّفَهِ كَانَ عَلَى وَلِيِّهِ رَدُّ الْوَدِيعَةِ عَلَى رَبِّهَا، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ ضَمِنَهَا الْوَلِيُّ، لِزَوَالِ الِائْتِمَانِ بِطُرُوءِ الْجُنُونِ وَالسَّفَهِ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.

Al-Mawardi berkata: Adapun kematian orang yang menerima titipan (mustauda‘) membatalkan akad wadiah, karena pemilik barang tidak memberikan kepercayaan kepada ahli warisnya atas barang tersebut. Jika pemilik barang hadir, maka wajib bagi ahli waris untuk mengembalikannya kepada pemiliknya. Jika tidak dilakukan, maka ia wajib menanggungnya (bertanggung jawab). Jika pemilik barang tidak hadir, maka ahli waris wajib memberitahukan kepada hakim tentang barang tersebut agar hakim memerintahkannya sesuai dengan apa yang dipandang maslahat bagi pemiliknya, baik dengan menyimpannya di tangan ahli waris atau memindahkannya kepada orang lain. Jika ahli waris tidak memberitahukan kepada hakim dan tidak meminta izinnya, maka ia wajib menanggungnya. Demikian pula, jika pemilik barang titipan (rabb al-wadiah) meninggal dunia, maka akad menjadi batal dan orang yang menerima titipan wajib mengembalikannya kepada ahli warisnya, karena dengan kematian, barang tersebut menjadi milik ahli waris, dan ahli waris tidak memberikan kepercayaan kepadanya atas barang itu. Jika tidak dilakukan, maka ia wajib menanggungnya, kecuali jika ahli waris memperbarui penitipan barang tersebut kepadanya, maka barang itu menjadi wadiah yang baru. Jika pemilik barang titipan menjadi gila atau dikenai pembatasan (hajr) karena safih (tidak cakap mengelola harta), maka wadiah batal, dan orang yang menerima titipan wajib mengembalikannya kepada walinya, karena dengan kegilaan dan safih, ia tidak lagi dianggap mampu mengelola hartanya. Jika orang yang menerima titipan tidak melakukan hal itu, maka ia wajib menanggungnya. Jika orang yang menerima titipan menjadi gila atau dikenai pembatasan karena safih, maka wajib bagi walinya mengembalikan wadiah kepada pemiliknya. Jika tidak dilakukan, maka wali tersebut wajib menanggungnya, karena hilangnya kepercayaan akibat munculnya kegilaan dan safih. Wallāhu a‘lam.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا وَمَاتَ الْمُسْتَوْدَعُ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْوَدِيعَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika telah jelas apa yang kami uraikan, dan orang yang menerima titipan (mustauda‘) meninggal dunia, maka keadaan barang titipan (wadiah) tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ تَكُونَ مَوْجُودَةً بِعَيْنِهَا أَوْ غَيْرَ مَوْجُودَةٍ، فَإِنْ كَانَتْ مَوْجُودَةً وَعَيْنُهَا بَاقِيَةٌ لَزِمَ الْوَارِثَ تَسْلِيمُهَا إِلَى مَالِكِهَا وَذَلِكَ بِأَحَدِ ثَلَاثَةِ أُمُورٍ.

Yaitu, apakah barang tersebut masih ada secara fisik atau tidak ada. Jika masih ada dan wujud barangnya tetap, maka wajib bagi ahli waris untuk menyerahkannya kepada pemiliknya, dan itu dapat dilakukan dengan salah satu dari tiga cara.

إِمَّا بِوَصِيَّةِ الْمَيِّتِ، وَإِمَّا بِإِقْرَارِ الوارث، وإما ببينة يضمها الْمُودِعُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ بَيِّنَةً وَلَا وَصِيَّةً وَأَنْكَرَ الْوَارِثُ وَادَّعَاهَا مِلْكًا فَالْقَوْلُ فِيهَا قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ، هَذَا إِذَا كَانَتِ الْوَدِيعَةُ مَوْجُودَةً بِعَيْنِهَا فَأَمَّا إِذَا لَمْ تُوجَدِ الْوَدِيعَةُ بِعَيْنِهَا فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Yaitu dengan wasiat dari orang yang meninggal, atau dengan pengakuan ahli waris, atau dengan adanya bukti yang diajukan oleh pemilik barang. Jika tidak ada bukti maupun wasiat, dan ahli waris mengingkarinya serta mengakuinya sebagai miliknya, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan ahli waris dengan sumpahnya. Ini jika barang titipan masih ada secara fisik. Adapun jika barang titipan tidak ada secara fisik, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُعْلَمَ تَلَفُهَا بِغَيْرِ تَفْرِيطٍ إِمَّا بِوَصِيَّةِ الْمَيِّتِ أَوْ بِبَيِّنَةٍ تَشْهَدُ بِذَلِكَ فَلَا ضَمَانَ فِي تَرِكَةِ الْمَيِّتِ، فَإِنْ أَكْذَبَ الْمَالِكُ الْمَيِّتَ فِي وَصِيَّتِهِ بِتَلَفِهَا فَلَهُ إِحْلَافُ الْوَرَثَةِ ثُمَّ هُمْ بَرَاءٌ.

Pertama: Diketahui bahwa barang tersebut rusak bukan karena kelalaian, baik melalui wasiat orang yang meninggal atau dengan bukti yang menyatakan demikian, maka tidak ada tanggungan dalam harta peninggalan orang yang meninggal. Jika pemilik barang mendustakan orang yang meninggal dalam wasiatnya tentang kerusakan barang tersebut, maka ia berhak meminta sumpah ahli waris, kemudian mereka bebas dari tanggungan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُعْلَمَ أَنَّهَا تَلِفَتْ بِتَفْرِيطِهِ وَتَعَدِّيهِ إِمَّا بِوَصِيَّةٍ أَوْ بِبَيِّنَةٍ تَشْهَدُ لَهُ بِذَلِكَ، فَهِيَ مَضْمُونَةٌ فِي مَالِهِ وَيُحَاصُّ الْمَالِكُ بِهَا جَمِيعَ الْغُرَمَاءِ.

Bagian kedua: Diketahui bahwa barang tersebut rusak karena kelalaian dan pelanggarannya, baik melalui wasiat atau bukti yang menyatakan demikian, maka barang itu menjadi tanggungan dalam hartanya dan pemilik barang berhak mendapat bagian bersama seluruh kreditur.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُجْهَلَ حَالُهَا فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَيُحَاصُّ رَبُّ الْوَدِيعَةِ الْغُرَمَاءَ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ عَلَى أَرْبَعَةِ مَذَاهِبَ:

Bagian ketiga: Tidak diketahui keadaan barang tersebut. Imam Syafi‘i berkata: Pemilik barang titipan berhak mendapat bagian bersama para kreditur. Para ulama kami berbeda pendapat tentang hal ini menjadi empat mazhab:

أَحَدُهَا: وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهَا مَضْمُونَةٌ فِي تَرِكَةِ الْمَيِّتِ، وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة، لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ ثُبُوتِ يَدِهِ عَلَيْهَا أَنَّهَا تَلِفَتْ بِفِعْلِهِ.

Pertama, dan ini adalah pendapat yang tampak dari perkataan Imam Syafi‘i: Barang tersebut menjadi tanggungan dalam harta peninggalan orang yang meninggal, dan ini juga pendapat Abu Hanifah, karena secara lahiriah, barang itu berada dalam kekuasaannya sehingga diduga rusak karena perbuatannya.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: أَنَّهَا غَيْرُ مَضْمُونَةٍ فِي تَرِكَتِهِ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاؤُهُ عَلَى أَمَانَتِهِ.

Mazhab kedua: Barang tersebut tidak menjadi tanggungan dalam harta peninggalannya, dan ini adalah pendapat Ibn Abi Laila, karena asalnya ia tetap dalam amanahnya.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ إِنْ وُجِدَ فِي تَرِكَتِهِ مِنْ جِنْسِهَا كَانَتْ مَضْمُونَةً فِيهَا، وَإِنْ لَمْ يُوجَدْ مِنْ جِنْسِهَا شَيْءٌ فِي تَرِكَتِهِ لَمْ يَضْمَنْ، وهذا قول أبي حامد المروزي، لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ وُجُودِ جِنْسِهَا أَنَّهَا فِيهِ أَوْ مِنْهُ.

Mazhab ketiga: Jika dalam harta peninggalannya terdapat barang sejenis, maka barang itu menjadi tanggungan darinya; jika tidak ditemukan barang sejenis dalam harta peninggalannya, maka ia tidak menanggungnya. Ini adalah pendapat Abu Hamid al-Marwazi, karena secara lahiriah, jika ditemukan barang sejenis, maka barang itu adalah barang titipan atau berasal darinya.

وَالْمَذْهَبُ الرَّابِعُ: أَنَّهُ إِنْ ذَكَرَ فِي وَصِيَّتِهِ عِنْدَ مَوْتِهِ أَنَّ عِنْدَهُ وَدِيعَةً كَانَتْ مَضْمُونَةً فِي تَرِكَتِهِ، وَإِنْ لَمْ يَذْكُرْ ذَلِكَ لَمْ يَضْمَنْ، لِأَنَّهُ لَا يُوصِي بِالْوَدِيعَةِ إِلَّا وَهِيَ عِنْدَهُ أَوْ عَلَيْهِ، ثُمَّ إِذَا صَارَتْ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ هَذِهِ الْوُجُوهِ مَضْمُونَةً فِي تَرِكَتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي التَّرِكَةِ مِنْ جِنْسِهَا شَيْءٌ حَاصَّ رَبُّ الْوَدِيعَةِ بِهَا جَمِيعَ الْغُرَمَاءِ، وَإِنْ كَانَ فِي التَّرِكَةِ شيء من جنسها فيه وَجْهَانِ:

Mazhab keempat: Jika seseorang menyebutkan dalam wasiatnya ketika menjelang wafat bahwa di sisinya terdapat titipan yang menjadi tanggungan dalam harta warisannya, maka titipan itu menjadi tanggungan dalam harta warisannya. Namun, jika ia tidak menyebutkan hal tersebut, maka ia tidak menanggungnya. Sebab, seseorang tidak berwasiat tentang titipan kecuali titipan itu memang ada padanya atau menjadi tanggungannya. Kemudian, apabila titipan itu, sebagaimana telah kami sebutkan dalam berbagai keadaan di atas, menjadi tanggungan dalam harta warisannya, maka jika dalam harta warisan tidak terdapat barang sejenisnya, maka pemilik titipan berhak atas seluruh harta bersama para kreditur lainnya. Namun, jika dalam harta warisan terdapat barang sejenisnya, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَتَقَدَّمُ بِهَا عَلَى الْغُرَمَاءِ اعْتِبَارًا بالظاهر من الجنس أنه منها.

Salah satunya: Pemilik titipan didahulukan atas para kreditur lainnya, dengan pertimbangan bahwa barang sejenis yang ada secara lahiriah dianggap bagian dari titipan tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَكُونُ أُسْوَتَهُمْ وَلَا يَتَقَدَّمُ عَلَيْهِمُ اعتبارا باليقين في الاشتراك.

Pendapat kedua: Ia diperlakukan sama dengan para kreditur lainnya dan tidak didahulukan atas mereka, dengan pertimbangan adanya kepastian dalam hal kebersamaan hak.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَلَوِ ادَّعَى رَجُلَانِ الْوَدِيعَةَ مِثْلَ عَبْدٍ أَوْ بَعِيرٍ فَقَالَ هِيَ لِأَحَدِكُمَا وَلَا أَدْرِي أَيُّكُمَا هُوَ قِيلَ لَهُمَا هَلْ تَدَّعِيَانِ شَيْئًا غَيْرَ هَذَا بِعَيْنِهِ؟ فَإِنْ قَالَا لَا أُحْلِفَ الْمُودَعُ بالله مَا يَدْرِي أَيُّهُمَا هُوَ وَوَقَفَ ذَلِكَ لَهُمَا جَمِيعًا حَتَى يَصْطَلِحَا فِيهِ أَوْ يُقِيمُ أَحَدُهُمَا بَيِّنَةً وَأَيُّهُمَا حَلَفَ مَعَ نُكُولِ صَاحِبِهِ كَانَ لَهُ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika dua orang laki-laki mengaku memiliki titipan berupa budak atau unta, lalu penjaga titipan berkata, ‘Ini milik salah satu dari kalian, tapi aku tidak tahu milik siapa di antara kalian,’ maka keduanya ditanya, ‘Apakah kalian mengaku memiliki sesuatu selain barang ini secara spesifik?’ Jika keduanya menjawab tidak, maka penjaga titipan disuruh bersumpah dengan nama Allah bahwa ia tidak tahu milik siapa di antara mereka, lalu barang itu ditahan untuk keduanya sampai mereka berdamai atau salah satu dari mereka mendatangkan bukti. Siapa pun yang bersumpah sementara yang lain menolak bersumpah, maka barang itu menjadi miliknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ بِيَدِهِ عَبْدٌ أَوْ بِعِيرٌ ادَّعَاهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْ رَجُلَيْنِ أَنَّهُ أَوْدَعَهُ إِيَّاهُ، فَلَا يَخْلُو حَالُ صَاحِبِ الْيَدِ فِي جَوَابِهِ لَهُمَا مِنْ سِتَّةِ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Kasus ini adalah pada seseorang yang memegang budak atau unta, lalu masing-masing dari dua orang laki-laki mengaku bahwa ia telah menitipkannya kepada orang tersebut. Maka, keadaan orang yang memegang barang itu dalam menjawab klaim keduanya tidak lepas dari enam kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُنْكِرَهُمَا وَيَدَّعِيَهُ مِلْكًا لِنَفْسِهِ.

Pertama: Ia mengingkari keduanya dan mengaku bahwa barang itu adalah miliknya sendiri.

وَالثَّانِي: أَنْ يُنْكِرَهُمَا وَيُقِرَّ بِأَنَّهُ وَدِيعَةٌ لِغَيْرِهِمَا.

Kedua: Ia mengingkari keduanya dan mengakui bahwa barang itu adalah titipan milik orang lain, bukan milik mereka berdua.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يُقِرَّ بِأَنَّهُ وَدِيعَةٌ لِأَحَدِهِمَا يَعْرِفُهُ بِعَيْنِهِ.

Ketiga: Ia mengakui bahwa barang itu adalah titipan milik salah satu dari mereka yang ia kenal secara pasti.

وَالرَّابِعُ: أَنْ يُقِرَّ بِأَنَّهُ وَدِيعَةٌ لَهُمَا مَعًا.

Keempat: Ia mengakui bahwa barang itu adalah titipan milik mereka berdua bersama-sama.

وَالْخَامِسُ: أَنْ يُقِرَّ بِأَنَّهُ وَدِيعَةٌ لِأَحَدِهِمَا لا يعرفه بعينه.

Kelima: Ia mengakui bahwa barang itu adalah titipan milik salah satu dari mereka, namun ia tidak mengetahui secara pasti siapa di antara mereka.

والسادس: أن يقر بأنه وَدِيعَةٌ لَيْسَ يَعْرِفُ مُودِعَهَا هَلْ هُمَا أَوْ أَحَدُهُمَا؟ أَوْ غَيْرُهُمَا؟ .

Keenam: Ia mengakui bahwa barang itu adalah titipan, namun ia tidak mengetahui siapa penitipnya, apakah kedua orang tersebut, salah satunya, atau orang lain.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يُنْكِرَهُمَا وَيَدَّعِيَهُ مِلْكًا لِنَفْسِهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ مَا لَمْ يَكُنْ لِوَاحِدٍ مِنَ الْمُدَّعِينَ بَيِّنَةٌ، فَإِنْ حَلَفَ بِاللَّهِ أَنَّهَا لَهُ بريء مِنْ مُطَالَبَتِهَا وَتَصَرَّفَ فِيمَا بِيَدِهِ تَصَرُّفَ الْمَالِكِينَ، فَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ رُدَّتْ عَلَيْهِمَا، إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمَا بَيِّنَةٌ، فَإِنْ سَبْقَ أَحَدُهُمَا بِالدَّعْوَةِ بَرِئَ بِإِحْلَافِهِ. وَإِنِ ادَّعَيَا مَعًا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Adapun bagian pertama, yaitu ia mengingkari keduanya dan mengaku bahwa barang itu adalah miliknya sendiri, maka pernyataannya diterima dengan sumpahnya, selama tidak ada bukti dari salah satu penggugat. Jika ia bersumpah dengan nama Allah bahwa barang itu miliknya, maka ia terbebas dari tuntutan dan boleh memperlakukan barang itu sebagaimana pemilik. Jika ia menolak bersumpah, maka barang itu dikembalikan kepada keduanya, jika keduanya tidak memiliki bukti. Jika salah satu dari mereka lebih dahulu mengajukan klaim, maka ia terbebas dengan sumpahnya. Jika keduanya mengajukan klaim secara bersamaan, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُقَدِّمُ بِالْقُرْعَةِ مَنْ قُرِعَ مِنْهُمَا.

Salah satunya: Didahulukan dengan undian, siapa yang terpilih di antara mereka.

وَالثَّانِي: يُقَدِّمُ بِاجْتِهَادِهِ مَنْ رَأَى مِنْهُمَا، فَإِنْ حَلَفَ أَحَدُهُمَا دُونَ الْآخَرِ قَضَى بِهَا لِلْحَالِفِ دُونَهُ النَّاكِلُ، وَإِنْ نَكَلَا مَعًا فَلَا حَقَّ فِيهِمَا لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَكَانَتْ فِي يَدِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ مِلْكًا وَإِنْ حَلَفَا مَعًا نُزِعَتْ مِنْ يَدِهِ ثُمَّ فِيهَا وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Didahulukan berdasarkan ijtihad hakim, siapa yang lebih diyakini di antara mereka. Jika salah satu bersumpah dan yang lain tidak, maka diputuskan untuk yang bersumpah. Jika keduanya menolak bersumpah, maka tidak ada hak bagi keduanya atas barang itu, dan barang itu tetap menjadi milik orang yang digugat. Jika keduanya bersumpah, maka barang itu diambil dari tangan orang yang digugat, lalu ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تُقَسَّمُ بَيْنَهُمَا مِلْكًا.

Salah satunya: Dibagi antara keduanya sebagai milik bersama.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُوَقَّفُ بَيْنَهُمَا حَتَّى يَصْطَلِحَا.

Pendapat kedua: Ditahan di antara keduanya sampai mereka berdamai.

فصل:

Fasal:

وأما القسم الثاني: وهو أن ينكرهما وَيُقِرَّ بِأَنَّهَا وَدِيعَةٌ لِغَيْرِهِمَا فَلِلْمُدَّعِينَ حَالَتَانِ:

Adapun bagian kedua, yaitu ia mengingkari keduanya dan mengakui bahwa barang itu adalah titipan milik orang lain, bukan milik mereka berdua, maka bagi para penggugat terdapat dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَسْأَلَاهُ عَنْ مَالِكِهَا.

Salah satunya: Keduanya menanyakan kepada penjaga barang tentang siapa pemilik barang tersebut.

وَالثَّانِيةُ: أَنْ لَا يَسْأَلَاهُ، فَإِنْ لَمْ يَسْأَلَاهُ عَنْ مَالِكِهَا جَازَ، وَلَمْ يَكُنْ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَسْأَلَهُ، وَكَانَ الْقَوْلُ فِيهَا قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ أَنَّهُ لَا حَقَّ فِيهَا لَهُمَا، وَلَا لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَلَا يُحَلِّفُهُ أَنَّهَا لِغَيْرِهِمَا، فَإِنْ حَلَفَ أُقِرَّتْ فِي يَدِهِ وَدِيعَةً لِمَنْ يُقِرُّ لَهُ بِهَا، فَإِنْ نَكَلَ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَيْهِمَا، فَإِنْ نَكَلَا أُقِرَّتْ فِي يَدِهِ وَدِيعَةً لِمَنْ هِيَ لَهُ، وَإِنْ نَكَلَ حَلَفَ أَحَدُهُمَا وَنَكَلَ الْآخَرُ سُلِّمَتْ إِلَى الْحَالِفِ مِنْهُمَا، ثُمَّ نَظَرَ الْحَاكِمُ فَإِنْ كَانَتِ الْوَدِيعَةُ مما لا تنقل لم يطالب المدفوعة إلي بِكَفِيلٍ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تُنْقَلُ طَالَبَهُ بِكَفِيلٍ إِنْ كَانَ غَيْرَ أَمِينٍ، لِأَنَّهُ قَدْ سَمِعَ أَنَّهَا مِلْكٌ لِغَائِبٍ لَمْ يَكُنْ مِنْهُ إِقْرَارٌ وَلَا قَامَتْ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ.

Kedua: Jika keduanya tidak menanyakannya, maka jika keduanya tidak menanyakan kepadanya tentang pemilik barang titipan tersebut, maka hal itu diperbolehkan, dan hakim tidak berhak menanyakannya. Dalam hal ini, pernyataannya diterima dengan sumpahnya bahwa keduanya, atau salah satu dari keduanya, tidak memiliki hak atas barang tersebut, dan ia tidak disumpah bahwa barang itu milik selain mereka. Jika ia bersumpah, maka barang itu tetap berada di tangannya sebagai titipan bagi orang yang ia akui sebagai pemiliknya. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada keduanya. Jika keduanya juga enggan bersumpah, maka barang itu tetap berada di tangannya sebagai titipan bagi pemiliknya yang sebenarnya. Jika salah satu dari keduanya bersumpah dan yang lain enggan, maka barang itu diserahkan kepada yang bersumpah di antara mereka. Kemudian hakim meneliti, jika barang titipan tersebut termasuk yang tidak dapat dipindahkan, maka orang yang menerima barang itu tidak diminta untuk menyediakan penjamin. Namun jika barang itu termasuk yang dapat dipindahkan, maka hakim meminta penjamin darinya jika ia bukan orang yang terpercaya, karena telah diketahui bahwa barang itu adalah milik orang yang tidak hadir, yang tidak ada pengakuan darinya dan tidak ada bukti yang menegaskan kepemilikannya.

وَإِنْ حَلَفَا مَعًا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika keduanya bersumpah bersama-sama, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تُنْزَعُ من يده ويقسم بَيْنَهُمَا، وَيُطَالِبُهُ الْحَاكِمُ بِكَفِيلٍ لِمَالِكِهَا.

Salah satunya: Barang itu diambil dari tangannya dan dibagi di antara keduanya, dan hakim meminta penjamin darinya untuk pemilik barang tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تُوقَفُ فِي يَدِ صَاحِبِ الْيَدِ وَلَا تنتزع من يده، فإن قالا الْمُدَّعِيَانِ لَا نَرْضَى بِأَمَانَتِهِ ضَمَّ الْحَاكِمُ إِلَيْهِ أَمِينًا يَرْضَيَانِ بِهِ، وَإِنْ سَأَلَ الْمُدَّعِيَانِ صَاحِبَ اليد عن مالكها حين أقر بها لغيرهما وَجَبَ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ حَاضِرًا أَنْ يَذْكُرَهُ، وَلَمْ يُجِبْ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ غَائِبًا، لِأَنَّ ذِكْرَ الْحَاضِرِ يُفِيدُ، وَذِكْرَ الْغَائِبِ لَا يُفِيدُ، وإذا كان هذا سَأَلَهُ الْحَاكِمُ أَحَاضِرٌ مَالِكُهَا أَمْ غَائِبٌ؟ (فَإِنْ قَالَ: غَائِبٌ) لَمْ يَسْأَلْهُ عَنْهُ، وَكَانَ عَلَى مَا مَضَى، وَإِنْ قَالَ: حَاضِرٌ، سَأَلَهُ عَنْهُ، فَإِنْ ذَكَرَهُ صَارَ هُوَ الْخَصْمُ فِي الْوَدِيعَةِ، وَإِنْ لَمْ يَذْكُرْهُ حَبَسَهُ الْحَاكِمُ حَتَّى يَذْكُرَهُ، لِامْتِنَاعِهِ مِنْ بَيَانِ مَا لَزِمَهُ.

Pendapat kedua: Barang itu tetap berada di tangan pemegangnya dan tidak diambil darinya. Jika kedua penggugat berkata, “Kami tidak ridha dengan keamanahannya,” maka hakim menambahkan seorang yang terpercaya yang disetujui oleh keduanya. Jika kedua penggugat menanyakan kepada pemegang barang tentang pemiliknya ketika ia mengakui barang itu bukan milik mereka, maka wajib baginya untuk menyebutkan pemiliknya jika ia hadir, dan tidak wajib jika pemiliknya tidak hadir, karena menyebutkan yang hadir itu bermanfaat, sedangkan menyebutkan yang tidak hadir tidak bermanfaat. Dalam hal ini, hakim bertanya kepadanya, “Apakah pemilik barang ini hadir atau tidak?” Jika ia berkata, “Tidak hadir,” maka hakim tidak menanyakannya lebih lanjut dan tetap pada ketentuan sebelumnya. Jika ia berkata, “Hadir,” maka hakim menanyakannya tentang pemiliknya. Jika ia menyebutkan pemiliknya, maka pemilik itulah yang menjadi pihak lawan dalam perkara titipan. Jika ia tidak menyebutkannya, maka hakim menahannya sampai ia menyebutkan pemiliknya, karena ia menolak untuk menjelaskan apa yang menjadi kewajibannya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا القسم الثالث: وهو أن يُقِرُّ بِأَنَّهَا وَدِيعَةٌ لِأَحَدِهِمَا بِعَيْنِهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ وفي وجوب اليمين عليه قَوْلَانِ:

Adapun bagian ketiga, yaitu ia mengakui bahwa barang itu adalah titipan milik salah satu dari keduanya secara spesifik, maka pernyataannya diterima. Dalam kewajiban sumpah atasnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ الْيَمِينُ، لِإِنْكَارِهِ الْآخَرَ.

Salah satunya: Ia wajib bersumpah, karena yang lain mengingkarinya.

وَالثَّانِي: أنه لَا يَمِينَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ لَوْ رَجَعَ لَمْ يُقْبَلْ، فَإِذَا قُلْنَا: لَا يَمِينَ عَلَيْهِ أَوْ عَلَيْهِ الْيَمِينُ فَحَلَفَ فَهِيَ لِلْمُصَدَّقِ مِنْهُمَا، فَإِنِ اسْتَأْنَفَ الْمُكَذَّبُ الدَّعْوَى عَلَى الْمُصَدَّقِ سُمِعَتْ مِنْهُ، وَإِنْ قُلْنَا: عَلَيْهِ الْيَمِينُ فَنَكَلَ عَنْهَا رُدَّتْ عَلَى الْمُكَذَّبِ، فَإِنْ نَكَلَ عَنْهَا اسْتَقَرَّتِ الْوَدِيعَةُ مَعَ الْمُصَدَّقِ، وَإِنْ حَلَفَ فَفِيهَا ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ حَكَاهَا أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ كَجٍّ رَحِمَهُ اللَّهُ:

Kedua: Ia tidak wajib bersumpah, karena jika ia menarik kembali pengakuannya, tidak diterima. Maka jika dikatakan: Ia tidak wajib bersumpah, atau ia wajib bersumpah lalu ia bersumpah, maka barang itu menjadi milik yang dibenarkan di antara keduanya. Jika yang didustakan memulai gugatan terhadap yang dibenarkan, maka gugatan itu didengar darinya. Jika dikatakan: Ia wajib bersumpah lalu ia enggan, maka sumpah dikembalikan kepada yang mendustakan. Jika yang mendustakan juga enggan, maka barang titipan itu tetap bersama yang dibenarkan. Jika ia bersumpah, maka ada tiga pendapat yang disebutkan oleh Abu al-Qasim bin Kajj rahimahullah:

أحدهما: أَنَّهَا تُقَسَّمُ بَيْنَهُمَا، لِأَنَّ يَمِينَ الْمُكَذَّبِ بَعْدَ النُّكُولِ تُسَاوِي الْإِقْرَارَ لِلْمُصَدِّقِ فَاسْتَوَيَا.

Salah satunya: Barang itu dibagi di antara keduanya, karena sumpah yang mendustakan setelah penolakan sama dengan pengakuan kepada yang membenarkan, sehingga keduanya setara.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تُنْتَزَعُ مِنْ يَدِ صَاحِبِ الْيَدِ وَتُوقَفُ بَيْنَهُمَا حَتَّى يَصْطَلِحَا.

Pendapat kedua: Barang itu diambil dari tangan pemegangnya dan ditahan di antara keduanya sampai mereka berdamai.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ يُحْكَمُ بِهَا لِلْأَوَّلِ وَيُغَرَّمُ لِلْمُكَذِّبِ الْحَالِفِ بَعْدَ نُكُولِهِ قِيمَتَهَا، لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِالْإِقْرَارِ الْمُتَقَدِّمِ كَالْمُتْلِفِ لَهَا.

Pendapat ketiga: Barang itu diputuskan untuk yang pertama, dan yang mendustakan yang bersumpah setelah penolakan diberi ganti rugi senilai barang tersebut, karena dengan pengakuan sebelumnya ia dianggap seperti orang yang telah merusaknya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: وَهُوَ أَنْ يُقِرَّ بِأَنَّهَا وَدِيعَةٌ لَهُمَا مَعًا فَالْقَوْلُ فِي ذَلِكَ قَوْلُهُ، وَقَدْ صَارَ مُصَدِّقًا لِكُلِّ وَاحِدٍ عَلَى النِّصْفِ مُكَذِّبًا لَهُ عَلَى النِّصْفِ الْآخَرِ، فَهَلْ يَحْلِفُ فِي تَكْذِيبِهِ عَلَى النِّصْفِ الْآخَرِ يمين أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ، ثُمَّ الْجَوَابُ إِنْ حَلَفَ أَوْ نَكَلَ عَلَى مَا مَضَى، فَإِذَا جَعَلَ ذَلِكَ بَيْنَهُمَا وَاسْتَأْنَفَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا الدَّعْوَى عَلَى صَاحِبِهِ فِي النِّصْفِ الَّذِي بِيَدِهِ سُمِعَتْ.

Adapun bagian keempat, yaitu ia mengakui bahwa barang itu adalah titipan milik keduanya bersama-sama, maka pernyataan dalam hal ini adalah pernyataannya. Ia telah membenarkan masing-masing atas setengah bagian dan mendustakan masing-masing atas setengah bagian lainnya. Apakah ia harus bersumpah dalam pendustaannya atas setengah bagian lainnya atau tidak? Hal ini sebagaimana dua pendapat yang telah disebutkan. Kemudian jawabannya, apakah ia bersumpah atau enggan, mengikuti ketentuan yang telah lalu. Jika ia menjadikan barang itu di antara keduanya dan masing-masing dari keduanya memulai gugatan terhadap yang lain atas setengah bagian yang ada di tangannya, maka gugatan itu didengar.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْقِسْمُ الْخَامِسُ: وَهُوَ أَنْ يُقِرَّ بِأَنَّهَا وَدِيعَةٌ لِأَحَدِهِمَا لَا يَعْرِفُهُ بِعَيْنِهِ فَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun bagian kelima: yaitu apabila ia mengakui bahwa barang itu adalah titipan (wadi‘ah) milik salah satu dari mereka berdua, namun ia tidak mengetahui siapa secara pasti, maka ini adalah masalah yang dibahas dalam kitab. Dalam hal ini terdapat dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَدَّعِيَا عِلْمَهُ.

Pertama: kedua orang tersebut mengaku mengetahui (siapa pemiliknya).

وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَدَّعِيَاهُ، فَإِنْ لَمْ يَدَّعِيَا عِلْمَهُ فَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ، وَيَتَحَالَفُ عَلَيْهِ الْمُدَّعِيَانِ، فَإِنْ نَكَلَا أُقِرَّ فِي يَدِ صَاحِبِ الْيَدِ حَتَّى يَصْطَلِحَا وَإِنْ حَلَفَ أَحَدُهُمَا حُكِمَ بِهِ لِلْحَالِفِ مِنْهُمَا، وَإِنْ حَلَفَا مَعًا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Kedua: keduanya tidak mengaku mengetahui. Jika keduanya tidak mengaku mengetahui, maka tidak ada sumpah atasnya (orang yang dititipi), dan kedua penggugat saling bersumpah. Jika keduanya enggan bersumpah, maka barang itu tetap berada di tangan pemegang barang sampai keduanya berdamai. Jika salah satu dari mereka bersumpah, maka diputuskan barang itu untuk yang bersumpah di antara mereka. Jika keduanya bersumpah, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُقَسَّمُ بَيْنَهُمَا.

Pertama: barang itu dibagi di antara mereka berdua.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا تُوقَفُ في يد صاحب اليد حتى يصطلحا، وإن ادَّعَيَا عِلْمَهُ أُحْلِفَ بِاللَّهِ تَعَالَى أَنَّهُ لَا يَعْلَمُ لِمَنْ هِيَ مِنْهُمَا، فَإِنْ حَلَفَ بَرِئَ وَتَحَالَفَ الْمُدَّعِيَانِ، فَإِنْ نَكَلَ فَقَدْ حُكِيَ عَنْ أبي حنيفة أَنَّهُ قَالَ: أُقَسِّمُ الْوَدِيعَةَ بَيْنَ الْمُدَّعِيَيْنِ وَأُغَرِّمُهُ الْقِيمَةَ فَتَكُونُ بَيْنَهُمَا، وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ: لَا غُرْمَ عَلَيْهِ إِنْ نَكَلَ، وَلِذَلِكَ قَالَ الشَّافِعِيُّ: قِيلَ لَهُمَا هَلْ تَدَّعِيَانِ شَيْئًا غَيْرَ هَذَا بِعَيْنِهِ؟ فَإِنْ قَالَا: لَا، أُحْلِفَ، وَوُقِفَ ذَلِكَ لَهُمَا رَدًّا عَلَى مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ يُغَرَّمُ الْقِيمَةَ لَهُمَا، لِأَنَّهُمَا مَا ادَّعَيَا إِلَّا وَدِيعَةً عَيْنُهَا بَاقِيَةٌ وَلَمْ يَسْتَهْلِكْهَا عَلَى أَحَدِهِمَا بِالْإِقْرَارِ بِهَا لِغَيْرِهِ، وَكَيْفَ يُغَرَّمُ قِيمَةً لَا يَدَّعِيَانِهَا وَمَا ادَّعَيَاهُ كَانَ لَهُمَا.

Kedua: barang itu tetap berada di tangan pemegang barang sampai keduanya berdamai. Jika keduanya mengaku mengetahui, maka ia disumpah dengan nama Allah Ta‘ala bahwa ia tidak mengetahui milik siapa barang itu di antara mereka berdua. Jika ia bersumpah, maka ia bebas (dari tanggung jawab) dan kedua penggugat saling bersumpah. Jika ia enggan bersumpah, maka telah dinukil dari Abu Hanifah bahwa beliau berkata: “Aku membagi barang titipan itu di antara kedua penggugat dan membebankan kepadanya (yang dititipi) nilai barang itu, sehingga menjadi milik mereka berdua.” Sedangkan menurut asy-Syafi‘i: tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya jika ia enggan bersumpah. Oleh karena itu, asy-Syafi‘i berkata: “Keduanya ditanya: ‘Apakah kalian mengaku memiliki sesuatu selain barang ini secara spesifik?’ Jika keduanya menjawab: ‘Tidak’, maka ia disumpah, dan barang itu tetap untuk mereka berdua.” Ini sebagai bantahan terhadap orang yang berpendapat bahwa ia harus membayar nilai barang itu kepada mereka, karena keduanya tidak mengaku kecuali barang titipan yang bendanya masih ada dan belum dibinasakan oleh salah satu dari mereka dengan pengakuan bahwa itu milik orang lain. Bagaimana mungkin ia dibebankan membayar nilai barang yang tidak mereka akui, sedangkan apa yang mereka akui adalah milik mereka.

فَإِنْ قِيلَ فَإِحْلَافُ الْمُسْتَوْدَعِ لَا يُفِيدُ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ شَيْئًا، لِاسْتِوَاءِ الْحُكْمِ فِيهِ إِنْ نَكَلَ؟ قِيلَ قَدْ كَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَذْهَبُ لِأَجْلِ هَذَا إلى أن اليمين غير واجبة، وَذَهَبَ جُمْهُورُهُمْ إِلَى وُجُوبِهَا، لِأَنَّهَا مَوْضُوعَةٌ لِلزَّجْرِ وَإِنْ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِهَا غُرِّمَ، وَقَدْ يَجُوزُ إِذَا عُرِضَتْ عَلَيْهِ الْيَمِينُ أَنْ يَنْزَجِرَ بِهَا فَيُبَيِّنُ عِلْمًا قَدْ كَتَمَهُ، فَعُلِمَ بِهِ، فَلِذَلِكَ وَجَبَتْ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَلَمْ يَكُنْ فِي يَدِ الْمُسْتَوْدَعِ [بَيَانٌ تَحَالَفَ الْمُدَّعِيَانِ، فَإِنْ نَكَلَا أُقِرَّتِ الْوَدِيعَةُ فِي يَدِ الْمُسْتَوْدَعِ] ، فَإِنْ حَلَفَ أَحَدُهُمَا قَضَى بِهَا لِلْحَالِفِ مِنْهُمَا، وَإِنْ حَلَفَا مَعًا فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika dikatakan: “Maka sumpah bagi orang yang dititipi tidak memberikan manfaat apa pun menurut pendapat ini, karena hukumnya sama saja jika ia enggan bersumpah?” Maka dijawab: “Sebagian ulama kami berpendapat karena hal ini bahwa sumpah tidak wajib, namun mayoritas mereka berpendapat wajib, karena sumpah itu ditetapkan untuk mencegah (kedustaan), meskipun tidak ada kewajiban ganti rugi yang terkait dengannya. Bisa jadi ketika sumpah diajukan kepadanya, ia akan terhalang (untuk berdusta) sehingga ia menjelaskan pengetahuan yang sebelumnya ia sembunyikan, sehingga menjadi jelas. Oleh karena itu, sumpah tetap diwajibkan. Jika demikian, dan tidak ada bukti pada tangan orang yang dititipi, maka kedua penggugat saling bersumpah. Jika keduanya enggan bersumpah, maka barang titipan tetap berada di tangan orang yang dititipi. Jika salah satu dari mereka bersumpah, maka diputuskan barang itu untuk yang bersumpah di antara mereka. Jika keduanya bersumpah, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُقَسَّمُ بَيْنَهُمَا بِأَثْمَانِهِمَا.

Pertama: barang itu dibagi di antara mereka berdua sesuai dengan nilai masing-masing.

وَالثَّانِي: يَكُونُ مَوْقُوفًا بَيْنَهُمَا، وَهُوَ ظَاهِرٌ، قَالَهُ الشَّافِعِيُّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – حَتَّى يَصْطَلِحَا عَلَيْهَا وَأَيْنَ تُوقَفُ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kedua: barang itu tetap ditahan di antara mereka berdua, dan ini adalah pendapat yang jelas, sebagaimana dikatakan oleh asy-Syafi‘i – semoga Allah meridhainya – sampai keduanya berdamai atasnya. Adapun di mana barang itu ditahan, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: فِي يَدِ الْمُسْتَوْدَعِ عَلَى مَا كَانَتْ مِنْ قَبْلُ.

Pertama: tetap berada di tangan orang yang dititipi sebagaimana sebelumnya.

وَالثَّانِي: ينتزع مِنْ يَدِهِ وَيُقِرُّهَا الْحَاكِمُ فِي يَدِ مَنْ يَرْضَيَانِهِ، لِأَنَّ الْمُسْتَوْدَعَ قَدْ صَارَ بِالنُّكُولِ وَالْإِنْكَارِ خَصْمًا.

Kedua: diambil dari tangannya dan hakim menetapkannya di tangan orang yang mereka berdua ridai, karena orang yang dititipi telah menjadi pihak yang bersengketa karena enggan bersumpah dan mengingkari.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْقِسْمُ السَّادِسُ: وَهُوَ أَنْ يُقِرَّ أَنَّهَا وَدِيعَةٌ فِي يَدِهِ وَلَيْسَ يَعْلَمُ هَلْ هِيَ لَهُمَا أَوْ لِغَيْرِهِمَا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ، ثُمَّ يَتَحَالَفُ الْمُتَدَاعِيَانِ فَإِنْ نَكَلَا أُقِرَّتْ فِي يَدِهِ، وَإِنْ حَلَفَ أَحَدُهُمَا دُفِعَتْ إِلَيْهِ، وَهَلْ يَأْخُذُهُ الْحَاكِمُ بِكَفِيلِ الْمَالِكِ لَهَا لَوْ حَضَرَ عَلَى وَجْهَيْنِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْوَارِثِ إِذَا دُفِعَتْ إِلَيْهِ التَّرِكَةُ وَلَمْ يُقِمْ بَيِّنَةً بَعْدَ طُولِ الْكَشْفِ بِأَنْ لَا وارث سواه، وإن حلف مَعًا فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun bagian keenam: yaitu apabila ia mengakui bahwa barang itu adalah titipan di tangannya, namun ia tidak mengetahui apakah itu milik mereka berdua atau milik orang lain. Maka, perkataan orang yang dititipi diterima dengan sumpahnya. Kemudian kedua orang yang saling mengklaim bersumpah. Jika keduanya enggan bersumpah, maka barang itu tetap berada di tangannya. Jika salah satu dari mereka bersumpah, maka barang itu diberikan kepadanya. Apakah hakim mengambil penjamin dari pemilik barang jika ia hadir, terdapat dua pendapat, sebagaimana perbedaan pendapat dalam masalah ahli waris apabila harta warisan telah diserahkan kepadanya dan ia tidak mendatangkan bukti setelah pencarian panjang bahwa tidak ada ahli waris selain dirinya. Jika keduanya bersumpah, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تُقَسَّمُ بَيْنَهُمَا، وَفِي أَخْذِ الْكَفِيلِ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وجهان.

Pertama: barang itu dibagi di antara mereka berdua, dan dalam hal mengambil penjamin dari masing-masing mereka juga terdapat dua pendapat.

والثاني: أنهما تُوقَفُ، وَفِي الْمَوْقُوفَةِ عَلَى يَدِهِ وَجْهَانِ.

Kedua: barang itu ditahan, dan dalam hal barang yang ditahan di tangannya juga terdapat dua pendapat.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا أَوْدَعَ رَجُلًا دَابَّةً ثُمَّ أَذِنَ لَهُ فِي رُكُوبِهَا جَازَ أَنْ يَرْكَبَهَا، ثُمَّ هُوَ قَبْلَ الرُّكُوبِ مُسْتَوْدَعٌ لَا يَضْمَنُ، فَإِذَا رَكِبَ صَارَ مُسْتَعِيرًا ضَامِنًا، فَإِنْ تَرَكَ الرُّكُوبَ لن يَسْقُطْ عَنْهُ الضَّمَانُ إِلَّا بِالرَّدِّ، فَلَوْ أَذِنَ لَهُ الْمُودِعُ بَعْدَ الْكَفِّ عَنِ الرُّكُوبِ أَنْ يُؤَجِّرَهَا لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ ضَمَانُهَا قَبْلَ تَسْلِيمِهَا إِلَى الْمُسْتَأْجِرِ، وَفِي سُقُوطِهِ عَنْهُ بَعْدَ تَسْلِيمِهَا وَجْهَانِ مِنْ عُدْوَانِ الْمُسْتَوْدَعِ إِذَا أُبْرِئَ مِنْهُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.

Jika seseorang menitipkan seekor hewan kepada orang lain, kemudian ia mengizinkannya untuk menungganginya, maka boleh baginya menunggangi hewan tersebut. Sebelum ia menungganginya, ia berstatus sebagai penerima titipan (mustauda‘) yang tidak menanggung ganti rugi. Namun, apabila ia telah menungganginya, ia menjadi peminjam (musta‘īr) yang wajib menanggung ganti rugi. Jika ia berhenti menungganginya, kewajiban menanggung ganti rugi tidak gugur darinya kecuali dengan mengembalikannya. Jika setelah berhenti menunggangi, pemilik titipan mengizinkannya untuk menyewakan hewan tersebut, maka kewajiban menanggung ganti rugi tidak gugur darinya sebelum ia menyerahkannya kepada penyewa. Adapun mengenai gugurnya kewajiban tersebut setelah ia menyerahkannya, terdapat dua pendapat, yaitu terkait dengan pelanggaran penerima titipan apabila ia telah dibebaskan darinya—dan Allah lebih mengetahui.

فَصْلٌ:

Fashl (Pasal):

وَإِذَا أَذِنَ الْمُودِعُ لِلْمُسْتَوْدَعِ فِي إِجَارَةِ الدَّابَّةِ الَّتِي أَوْدَعَهَا إِيَّاهُ فَهُوَ عَلَى أَمَانَتِهِ فِي يَدِهِ، فَإِذَا أَخْرَجَهَا وَسَلَّمَهَا فَقَدِ ارْتَفَعَتْ يَدُهُ، فَإِذَا انْقَضَتْ مُدَّةُ الْإِجَارَةِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَرْجِعَهَا إِلَّا بِإِذْنٍ، وَلَوْ أَعَادَهَا بِإِذْنِهِ جَازَ أَنْ يَسْتَرْجِعَهَا مِنَ الْمُسْتَعِيرِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ.

Jika pemilik titipan mengizinkan penerima titipan untuk menyewakan hewan yang dititipkan kepadanya, maka hewan tersebut tetap berada dalam jaminan keamanannya selama masih di tangannya. Namun, apabila ia telah mengeluarkan dan menyerahkannya (kepada penyewa), maka tanggung jawabnya telah terangkat. Setelah masa sewa berakhir, ia tidak boleh mengambil kembali hewan tersebut kecuali dengan izin. Jika ia mengembalikannya dengan izin pemilik, maka boleh baginya untuk mengambilnya kembali dari peminjam tanpa izin pemilik.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّهَا فِي الْإِجَارَةِ مُنْتَزَعَةٌ مِنْ يَدِهِ بِعَقْدٍ وَاجِبٍ، وَفِي الْعَارِيَةِ بِعَقْدٍ جَائِزٍ.

Perbedaan antara keduanya adalah: dalam akad sewa, hewan tersebut keluar dari tangannya melalui akad yang bersifat wajib, sedangkan dalam akad pinjam-meminjam (‘āriyah) melalui akad yang bersifat boleh (tidak mengikat).

فَصْلٌ:

Fashl (Pasal):

وَإِذَا دَفَعَ الرَّجُلُ وَدِيعَةً إِلَى صَبِيٍّ اسْتَوْدَعَهُ إِيَّاهَا كَانَ مُغَرَّرًا بِمَالِهِ، لأن الصبي لا يباشر حفاظ مَالِهِ فَكَيْفَ مَالُ غَيْرِهِ، فَإِنْ تَلِفَتْ فِي يَدِ الصَّبِيِّ لَمْ يَخْلُ تَلَفُهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika seseorang menyerahkan barang titipan kepada seorang anak kecil dan menitipkannya kepadanya, maka ia telah mempertaruhkan hartanya, karena anak kecil tidak mampu menjaga hartanya sendiri, apalagi harta orang lain. Jika barang tersebut rusak di tangan anak kecil, maka kerusakannya tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَتْلَفَ بِغَيْرِ تَفْرِيطٍ وَلَا جِنَايَةٍ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ فِيهَا، لِأَنَّ الْبَالِغَ لَا يَضْمَنُهَا.

Pertama: Barang tersebut rusak tanpa kelalaian dan tanpa perbuatan melanggar, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya, karena orang dewasa pun tidak menanggungnya.

وَالثَّانِي: أَنْ تَتْلَفَ بِتَفْرِيطٍ مِنْهُ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، وَإِنْ ضَمِنَهَا الْبَالِغُ، لِأَنَّ حِفْظَهَا لَا يَلْزَمُهُ لِأَنَّ صَاحَبَهَا هُوَ الْمُفَرِّطُ دُونَهُ.

Kedua: Barang tersebut rusak karena kelalaian anak kecil, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya, meskipun orang dewasa menanggungnya, karena menjaga barang tersebut tidak wajib baginya, sebab yang lalai adalah pemilik barang, bukan anak kecil.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَتْلَفَ بِجِنَايَتِهِ، فَفِي وُجُوبِ ضَمَانِهَا فِي مَالِهِ وَجْهَانِ:

Ketiga: Barang tersebut rusak karena perbuatan melanggar yang dilakukan anak kecil, maka dalam hal kewajiban ganti rugi dari hartanya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا غَيْرُ مَضْمُونَةٍ عَلَيْهِ، لِأَنَّ مَالِكَهَا هُوَ الَّذِي سَلَّطَهُ عَلَى اسْتِهْلَاكِهَا فَصَارَ كَمَا لَوْ بَاعَهُ شَيْئًا فَاسْتَهْلَكَهُ لَمْ يَضْمَنْهُ.

Pertama: Tidak wajib menanggungnya, karena pemilik baranglah yang memberikan wewenang kepadanya untuk merusaknya, sehingga keadaannya seperti seseorang yang menjual sesuatu kepada orang lain, lalu orang itu menghabiskannya, maka ia tidak menanggungnya.

وَالْوَجْهُ الثانِي: أَنَّهَا مَضْمُونَةٌ فِي مَالِهِ، لِأَنَّ الِائْتِمَانَ عَلَيْهَا لَيْسَ بِإِذْنٍ فِي اسْتِهْلَاكِهَا، فَصَارَ كَمَنْ أَبَاحَ صَبِيًّا شُرْبَ مَاءٍ فِي دَارِهِ وَأَكْلَ طَعَامِهِ فَدَخَلَ وَاسْتَهْلَكَ عَلَيْهِ فِي مَنْزِلِهِ شَيْئًا مِنْ مَالِهِ كَانَ مَضْمُونًا عَلَيْهِ.

Pendapat kedua: Wajib menanggungnya dari hartanya, karena kepercayaan terhadap barang tersebut tidak berarti izin untuk merusaknya, sehingga keadaannya seperti seseorang yang mengizinkan anak kecil minum air di rumahnya dan makan makanannya, lalu anak kecil itu masuk dan menghabiskan sebagian hartanya di rumah tersebut, maka anak kecil itu wajib menanggungnya.

فَصْلٌ:

Fashl (Pasal):

وَإِذَا أَوْدَعَ صَبِيٌّ رَجُلًا وَدِيعَةً لَمْ يَكُنْ لِلرَّجُلِ أَنْ يَقْبَلَهَا مِنْهُ، لِأَنَّ الصَّبِيَّ لَا نَظَرَ لَهُ فِي مَالِ نَفْسِهِ، فَإِنْ قَبِلَهَا الرَّجُلُ مِنْهُ ضَمِنَهَا حَتَّى يُسَلِّمَهَا إِلَى وَلِيِّهِ، أَوِ الْحَاكِمِ فَإِنْ رَدَّهَا عَلَى الصَّبِيِّ لَمْ يَسْقُطِ الضَّمَانُ عَنْهُ، فَلَوْ كَانَ عِنْدَ أَخْذِ الْوَدِيعَةِ مِنَ الصَّبِيِّ خَائِفًا عَلَيْهَا مِنْ أَنْ يَسْتَهْلِكَهَا فَأَخَذَهَا لِيَدْفَعَهَا إِلَى وَلِيِّهِ أَوْ إِلَى الْحَاكِمِ فَهَلَكَتْ فِي يَدِهِ فَفِي ضَمَانِهِ لَهَا وَجْهَانِ:

Jika seorang anak kecil menitipkan barang kepada seseorang, maka orang tersebut tidak boleh menerimanya dari anak kecil, karena anak kecil tidak memiliki hak pengelolaan terhadap hartanya sendiri. Jika orang tersebut menerimanya dari anak kecil, maka ia wajib menanggungnya sampai ia menyerahkannya kepada walinya atau kepada hakim. Jika ia mengembalikannya kepada anak kecil, maka kewajiban menanggungnya tidak gugur darinya. Jika pada saat mengambil barang titipan dari anak kecil ia khawatir barang tersebut akan dihabiskan oleh anak kecil, lalu ia mengambilnya untuk diserahkan kepada walinya atau hakim, kemudian barang itu rusak di tangannya, maka dalam hal kewajiban menanggungnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَضْمَنُهَا، لِأَنَّهُ قَصَدَ خَلَاصَهَا.

Pertama: Ia tidak wajib menanggungnya, karena ia bermaksud menyelamatkan barang tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَضْمَنُهَا، لِأَنَّ يَدَهُ عَلَيْهَا بِغَيْرِ حَقٍّ، وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْمُحْرِمِ إِذَا خَلَّصَ طَائِرًا فِي جَارِحٍ أَوْ حَيَّةٍ فَتَلِفَ، فَفِي ضمانه بالجزاء قولان – والله أعلم بالصواب -.

Pendapat kedua: Ia wajib menanggungnya, karena ia memegang barang tersebut tanpa hak. Kedua pendapat ini merupakan perbedaan pendapat dalam masalah orang yang berihram ketika menyelamatkan burung dari hewan buas atau ular, lalu burung itu mati, maka dalam hal kewajiban membayar denda terdapat dua pendapat—dan Allah lebih mengetahui mana yang benar.

آخر كتاب الوديعة والحمد لله كثيرا ولله العصمة.

Akhir dari Kitab al-Wadī‘ah. Segala puji bagi Allah yang Maha Banyak, dan hanya kepada Allah perlindungan.

مُخْتَصَرٌ مِنْ كِتَابِ قَسْمِ الْفَيْءِ وَقَسْمِ الْغَنَائِمِ

Ringkasan dari Kitab Pembagian Fay’ dan Pembagian Ghanā’im.

مسألة:

Masalah:

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” أَصْلُ مَا يَقُومُ به الولاة من جمل الْمَالِ ثَلَاثَةَ وُجُوهٍ أَحَدُهَا مَا أُخِذَ مِنْ مَالِ مُسْلِمٍ تَطْهِيرًا لَهُ فَذَلِكَ لِأَهْلِ الصَّدَقَاتِ لَا لِأَهْلِ الْفَيْءِ وَالْوَجْهَانِ الْآخَرَانِ مَا أُخِذَ من مال مشرك كلاهما مُبَيَّنٌ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَسُنَّةِ رَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وفعله فأحدهما الغنيمة قال تبارك وتعالى: {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خمسه وللرسول} [الأنفال: 41] . الآية. والوجه الثاني هو الفيء قال الله تعالى: {ما أفاء الله على رسوله من أهل القرى} [الحشر: 7] الآية. (قال الشافعي) رحمه الله: فالغنيمة والفيء يجتمعان في أن فيهما معا الخمس من جميعهما لمن سماه الله تعالى له في الآيتين معا سواء ثم تفترق الأحكام في الأربعة الأخماس بما بين الله تبارك وتعالى على لسان رسوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وفي فعله فإنه قسم أربعة أخماس الغنيمة على ما وصفت من قسم الغنيمة وهي الموجف عليها بالخيل والركاب لمن حضر من غني وفقير والفيء هو ما لم يوجف عليه بخيل ولا ركاب فَكَانَتْ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في قرى عربية أفاءها الله عليه أربعة أخماسها لرسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خاصة دون المسلمين يضعه حيث أراه الله تعالى قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حيث اختصم إليه العباس وعلي رضي الله عنهما فِي أَمْوَالِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَتْ أَمْوَالُ بَنِي النَّضِيرِ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِمَّا لَمْ يُوجِفِ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِ بخيل ولا ركاب فكانت لرسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خاصة دون المسلمين فكان يُنْفِقُ مِنْهَا عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةَ سَنَةٍ فَمَا فَضَلَ جَعَلَهُ فِي الْكُرَاعِ وَالسِّلَاحِ عُدَّةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فوليها أبو بكر بِمِثْلِ مَا وَلِيَهَا بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثم وليها عمر بِمِثْلِ مَا وَلِيَهَا بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وأبو بكر فوليتكماها على أن تعملا فيها بمثل ذلك فإن عجزتما عنها فادفعاها إلي أكفيكماها (قال الشافعي) وفي ذلك دلالة على أن عمر رضي الله عن حكى أن أبا بكر وهو أمضيا ما بقي من هذه الأموال التي كانت بيد رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – على ما رأيا رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يعمل به فيها وأنه لم يكن لهما مما لم يوجف عليه من الفيء ما للنبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وأنهما فيه أسوة المسلمين وكذلك سيرتهما وسيرة من بعدهما وقد مضى من كان ينفق عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ولم أعلم أحدا من أهل العلم قال إن ذلك لورثتهم ولا خالف في أن تجعل تلك النفقات حيث كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يجعل فضول غلات تلك الأموال فيما فيه صلاح للإسلام وأهله قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لا يقتسمن ورثتي دينارا ما تركت بعد نفقة أهلي ومؤنة عاملي فهو صدقة ” قال فما صار في أيدي المسلمين من فيء لم يوجف عليه فخمسه حيث قسمه رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وأربعة أخماسه على ما سأبينه وكذلك ما أخذ من مشرك من جزية وصلح عن أرضهم أو أخذ من أموالهم إذا اختلفوا في بلاد المسلمين أو مات منهم ميت لا وارث له أو ما أشبه هذا مما أخذه الولاة من المشركين فالخمس فيه ثابت على من قسمه الله له من أهل الخمس الموجف عليه من الغنيمة وهذا هو المسمى في كتاب الله تبارك وتعالى الفيء وفتح فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فتوح من قرى عربية وعدها الله رسوله قبل فتحها فأمضاها النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لمن سماها الله له ولم يحبس منها ما حبس من القرى التي كانت له – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ومعنى قول عمر لرسول الله خاصة يريد ما كان يكون للموجفين وذلك أربعة أخماس فاستدللنا بذلك أن خمس ذلك كخمس ما أوجف عليه لأهله وجملة الفيء ما رده الله على أهل دينه من مال من خالف دينه “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Pokok sumber harta yang dikelola oleh para penguasa ada tiga macam. Pertama, harta yang diambil dari kaum Muslimin sebagai pensucian bagi mereka; maka itu diperuntukkan bagi para penerima zakat, bukan untuk ahl al-fay’. Dua sumber lainnya adalah harta yang diambil dari orang musyrik, keduanya telah dijelaskan dalam Kitabullah Ta‘ala dan Sunnah Rasul-Nya ﷺ serta perbuatannya. Salah satunya adalah ghanīmah, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Dan ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai ghanīmah, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, …} (al-Anfal: 41). Dan yang kedua adalah al-fay’, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Apa saja yang Allah kembalikan kepada Rasul-Nya dari penduduk negeri-negeri …} (al-Hasyr: 7). (Imam asy-Syafi‘i) rahimahullah berkata: Ghanīmah dan al-fay’ sama-sama memiliki seperlima dari keduanya untuk pihak-pihak yang telah Allah sebutkan dalam kedua ayat tersebut, secara setara. Kemudian, hukum keduanya berbeda dalam empat perlima sisanya, sebagaimana telah dijelaskan Allah Ta‘ala melalui lisan Rasul-Nya ﷺ dan perbuatannya; beliau membagikan empat perlima ghanīmah sebagaimana telah dijelaskan, yaitu kepada yang ikut berperang baik kaya maupun miskin, yang turut serta dengan kuda maupun unta. Adapun al-fay’ adalah harta yang tidak diperoleh melalui peperangan dengan kuda atau unta. Maka, sunnah Rasulullah ﷺ pada desa-desa Arab yang Allah berikan kepada beliau sebagai al-fay’ adalah empat perlima darinya khusus untuk Rasulullah ﷺ, bukan untuk kaum Muslimin, dan beliau menyalurkannya sesuai petunjuk Allah Ta‘ala. Umar bin al-Khattab ra. berkata, ketika Abbas dan Ali ra. berselisih di hadapannya mengenai harta Nabi ﷺ: Harta Bani Nadhir termasuk dari apa yang Allah berikan kepada Rasul-Nya sebagai al-fay’, yang tidak diperoleh kaum Muslimin dengan kuda atau unta, maka itu khusus untuk Rasulullah ﷺ, bukan untuk kaum Muslimin. Beliau menggunakannya untuk menafkahi keluarganya selama setahun, dan selebihnya beliau gunakan untuk membeli kuda dan persenjataan sebagai perlengkapan di jalan Allah. Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abu Bakar mengelolanya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah ﷺ, lalu Umar pun mengelolanya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar. Kemudian aku menyerahkan pengelolaannya kepada kalian berdua (Abbas dan Ali) agar kalian mengelolanya sebagaimana itu. Jika kalian tidak mampu, serahkanlah kepada orang yang mampu mengelolanya. (Imam asy-Syafi‘i berkata): Dalam hal ini terdapat petunjuk bahwa Umar ra. meriwayatkan bahwa Abu Bakar dan beliau berdua menjalankan sisa harta yang dahulu dikelola Rasulullah ﷺ sebagaimana yang beliau lakukan, dan bahwa keduanya tidak memiliki hak atas al-fay’ yang tidak diperoleh melalui peperangan seperti hak Nabi ﷺ, dan keduanya sama dengan kaum Muslimin dalam hal itu. Demikian pula sikap mereka berdua dan para khalifah setelahnya. Orang-orang yang dahulu dinafkahi oleh Rasulullah ﷺ telah tiada, dan aku tidak mengetahui ada seorang pun dari ahli ilmu yang mengatakan bahwa harta itu menjadi warisan bagi ahli waris beliau, atau yang berbeda pendapat bahwa nafkah itu dialokasikan sebagaimana Rasulullah ﷺ mengalokasikan kelebihan hasil harta tersebut untuk kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin. Rasulullah ﷺ bersabda: “Ahli warisku tidak akan mewarisi satu dinar pun; apa yang aku tinggalkan setelah nafkah keluargaku dan biaya pekerjaku adalah sedekah.” Maka, apa yang sampai ke tangan kaum Muslimin dari al-fay’ yang tidak diperoleh melalui peperangan, seperlimanya dibagikan sebagaimana Rasulullah ﷺ membagikannya, dan empat perlima sisanya sebagaimana akan aku jelaskan. Demikian pula harta yang diambil dari orang musyrik berupa jizyah, perdamaian atas tanah mereka, atau harta mereka yang diambil ketika mereka berselisih di negeri kaum Muslimin, atau jika ada di antara mereka yang meninggal tanpa ahli waris, atau hal-hal serupa yang diambil penguasa dari orang musyrik; maka seperlimanya tetap untuk pihak-pihak yang telah Allah tentukan dari ahl al-khums sebagaimana pada ghanīmah yang diperoleh melalui peperangan. Inilah yang disebut dalam Kitabullah Ta‘ala sebagai al-fay’. Pada masa Rasulullah ﷺ, telah terjadi penaklukan beberapa desa Arab yang telah Allah janjikan kepada Rasul-Nya sebelum penaklukan itu, lalu Nabi ﷺ mengalokasikannya kepada pihak-pihak yang telah Allah sebutkan, dan tidak menahan sebagaimana pada desa-desa yang menjadi milik beliau ﷺ. Maksud perkataan Umar “khusus untuk Rasulullah” adalah apa yang menjadi hak para pejuang, yaitu empat perlima. Dari sini kami memahami bahwa seperlimanya sama dengan seperlima harta yang diperoleh melalui peperangan, untuk pihak-pihak yang berhak. Secara umum, al-fay’ adalah harta yang Allah kembalikan kepada kaum Muslimin dari harta orang-orang yang menentang agama-Nya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْغَنِيمَةُ فَهِيَ مِنَ الْغُنْمِ، وَالْغُنْمُ مُسْتَفَادٌ بِغَيْرِ بَدَلٍ، قَالَ امْرُؤُ الْقَيْسَ:

Al-Mawardi berkata: Adapun ghanīmah, ia berasal dari kata al-ghunm, dan al-ghunm adalah sesuatu yang diperoleh tanpa pengganti. Sebagaimana dikatakan oleh Imru’ al-Qais:

(وَقَدْ طَوَّفْتُ فِي الْآفَاقِ حَتَّى … رَضِيتُ مِنَ الْغَنِيمَةِ بِالْإِيَابِ)

(Dan sungguh aku telah berkelana ke berbagai penjuru, hingga … aku rela dari ghanīmah hanya dengan bisa kembali pulang.)

وَأَمَّا الْفَيْءُ: فَهُوَ الرُّجُوعُ وَمِنْهُ قَوْله تَعَالَى: {حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ} [الحجرات: 9] أَيْ تَرْجِعَ، وَلِذَلِكَ قِيلَ لِمَا بَعْدَ الزَّوَالِ مِنَ الظِّلِّ فَيْءٌ لِرُجُوعِهِ وَالْأَنْفَالُ لِمَا قَبْلَ الزَّوَالِ فَيْءٌ إِلَّا عَلَى وَجْهِ الْمَجَازِ، قَالَ امْرُؤُ الْقَيْسَ:

Adapun al-fay’, maknanya adalah “kembali”. Di antaranya adalah firman Allah Ta‘ala: {hingga mereka kembali kepada perintah Allah} [al-Hujurat: 9], yakni kembali. Oleh karena itu, bayangan yang muncul setelah matahari tergelincir disebut “fay’” karena ia kembali, sedangkan “al-anfaal” adalah bayangan sebelum matahari tergelincir, dan itu disebut “fay’” hanya secara majazi (kiasan). Imru’ al-Qais berkata:

(تَيَمَّمَتِ الْعَيْنُ الَّتِي عِنْدَ ضَارِجٍ … يَفِيءُ عَلَيْهَا الظِّلُّ عَرْمَضُهَا طَامِي)

(Mata itu menuju ke sumber air di dekat Darij, 
Bayangan menaunginya, pasirnya halus dan tinggi)

[الْقَوْلُ فِي حَدِّ الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ]

[Penjelasan tentang definisi ghanīmah dan fay’]

وَالْغَنِيمَةُ كُلُّ مَالٍ أُخِذَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ قَهْرًا – بِقِتَالٍ – بِإِيجَافِ خَيْلٍ أَوْ رِكَابٍ.

Ghanīmah adalah setiap harta yang diambil dari kaum musyrik secara paksa—dengan peperangan—dengan pengerahan kuda atau unta.

سُمِّيَ غَنِيمَةً، لِاسْتِقَادَتِهِ بِغَيْرِ بَدَلٍ.

Disebut ghanīmah karena diperoleh tanpa pengganti.

وَالْفَيْءُ كُلُّ مَا أُخِذَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ عَفْوًا بِغَيْرِ قِتَالٍ وَلَا إِيجَافِ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ.

Sedangkan fay’ adalah segala sesuatu yang diambil dari kaum musyrik secara sukarela tanpa peperangan, tanpa pengerahan kuda maupun unta.

سُمِّيَ فَيْئًا لِرُجُوعِهِ إِلَى أَوْلِيَاءِ اللَّهِ تَعَالَى وَأَهْلِ طَاعَتِهِ بَعْدَ خُرُوجِهِ عَنْهُمْ إِلَى أَعْدَائِهِ وأهل معصيته.

Disebut fay’ karena ia kembali kepada para wali Allah Ta‘ala dan orang-orang yang taat kepada-Nya setelah sebelumnya keluar dari mereka menuju musuh-musuh Allah dan orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya.

وَقَالَ عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ: الْغَنِيمَةُ مَا ظُهِرَ عَلَيْهِ مِنْ أَمْوَالِ الْمُشْرِكِينَ، وَالْفَيْءُ مَا ظُهِرَ عَلَيْهِ مِنَ الْأَرْضِينَ، وَهَذَا قَوْلٌ شَذَّ بِهِ عن الكافة فكان مطرحا معمل فِي الْفَيْءِ مِنْ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى} [الحشر: 7] ، وَلَمْ يَقُلْ مِنَ الْقُرَى.

‘Aṭā’ bin as-Sa’ib berkata: Ghanīmah adalah harta kaum musyrik yang diperoleh dengan kemenangan, sedangkan fay’ adalah tanah yang diperoleh dengan kemenangan. Pendapat ini menyelisihi pendapat mayoritas, sehingga ditinggalkan. Yang dijadikan pegangan dalam masalah fay’ adalah firman Allah Ta‘ala: {Apa yang Allah kembalikan kepada Rasul-Nya dari penduduk negeri-negeri} [al-Hasyr: 7], dan tidak disebutkan “dari negeri-negeri” saja.

وَالْأَصْلُ فِي الْغَنِيمَةِ قَوْله تَعَالَى: {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ} [الأنفال: 41] .

Dalil asal tentang ghanīmah adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan ketahuilah, apa saja yang kamu peroleh sebagai ghanīmah, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil} [al-Anfal: 41].

وَالْأَصْلُ فِي الفيبء قَوْله تَعَالَى: {مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى واليتامى والمساكين} [الحشر: 7] الآية.

Dalil asal tentang fay’ adalah firman Allah Ta‘ala: {Apa yang Allah kembalikan kepada Rasul-Nya dari penduduk negeri-negeri, maka itu untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, dan orang miskin} [al-Hasyr: 7] dan seterusnya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَقَدْ كَانَتِ الْغَنِيمَةُ مُحَرَّمَةً عَلَى مَنْ تَقَدَّمَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ، وَكَانَتْ تُجْمَعُ فَتَنْزِلُ نَارٌ مِنَ السَّمَاءِ فَتُحْرِقُهَا إِلَى أَنْ أَحَلَّهَا اللَّهُ تَعَالَى لِرَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أعطيت خمسا لم يعطهن نبي قبلي ” إِلَى أَنْ قَالَ: ” وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ ” الْحَدِيثَ. فَجَعَلَهَا اللَّهُ تَعَالَى فِي صَدْرِ الْإِسْلَامِ مِلْكًا لرسوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خالصا دون غيره بقوله تعالى: {ويسألونك عَنِ الأَنْفَالِ قُلِ الأَنْفَالُ لِلَّهِ وَالرَّسُولِ فَاتَّقُوا اللَّهَ} [الأنفال: 1] . وَالْأَنْفَالُ: هِيَ الْغَنَائِمُ، لِأَنَّ النَّفْلَ فِي كَلَامِهِمْ هُوَ الزِّيَادَةُ مِنَ الْخَيْرِ، وَمِنْهُ صَلَاةُ النَّافِلَةِ، وَقَالَ لَبِيدُ بْنُ رَبِيعَةَ:

Dahulu, ghanīmah diharamkan atas para nabi sebelum Nabi Muhammad. Ghanīmah itu dikumpulkan, lalu turun api dari langit yang membakarnya, hingga Allah Ta‘ala menghalalkannya bagi Rasul-Nya—ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam—sebagaimana sabda beliau: “Aku diberi lima perkara yang tidak diberikan kepada nabi sebelumku,” hingga beliau bersabda: “Dan dihalalkan bagiku ghanā’im (harta rampasan perang).” Maka Allah Ta‘ala menjadikannya pada permulaan Islam sebagai milik khusus Rasul-Nya—ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam—tidak untuk selain beliau, berdasarkan firman-Nya: {Mereka bertanya kepadamu tentang al-anfaal. Katakanlah: al-anfaal itu milik Allah dan Rasul, maka bertakwalah kepada Allah} [al-Anfal: 1]. Al-anfaal adalah ghanā’im, karena “nafl” dalam bahasa mereka adalah tambahan dari kebaikan, seperti shalat nafilah. Labid bin Rabi‘ah berkata:

(إِنَّ تَقْوَى رَبِّنَا خَيْرُ نَفَلْ … وَبِإِذْنِ اللَّهِ رَيْثِي وَعَجَلْ}

(Sesungguhnya takwa kepada Tuhan kami adalah sebaik-baik tambahan, 
Dan dengan izin Allah, aku menanti atau bersegera)

فَسُمِّيَتِ الْغَنَائِمُ أَنْفَالًا، لِأَنَّهَا زِيَادَةُ مَالٍ مُسْتَفَادٍ، وَفِي السَّبَبِ الَّذِي نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ مِنْ أَجْلِهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

Maka ghanā’im disebut anfaal karena ia adalah tambahan harta yang didapatkan. Adapun sebab turunnya ayat ini terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّ أَهْلَ بَدْرٍ شَكُّوا فِي غَنَائِمِهَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَنْفَالِ} [الأنفال: 1] . وَلَمْ يَعْلَمُوا حُكْمَ إِبَاحَتِهَا وَحَظْرِهَا حَتَّى سَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْهَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَنْفَالِ قُلِ الأَنْفَالُ لِلَّهِ وَالرَّسُولِ} [الأنفال: 1] .

Pertama: Bahwa para sahabat yang ikut perang Badar berselisih tentang ghanīmah, lalu Allah Ta‘ala menurunkan: {Mereka bertanya kepadamu tentang al-anfaal} [al-Anfal: 1]. Mereka belum mengetahui hukum kebolehan atau larangannya, hingga mereka bertanya kepada Rasulullah—ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam—mengenainya, lalu Allah Ta‘ala menurunkan: {Mereka bertanya kepadamu tentang al-anfaal. Katakanlah: al-anfaal itu milik Allah dan Rasul} [al-Anfal: 1].

وَالثَّانِي: أَنَّ شُبَّانَ الْمُقَاتِلَةِ يَوْمَ بَدْرٍ تَسَارَعُوا إِلَى الْقِتَالِ، وَثَبَتَ الشُّيُوخُ تَحْتَ الرَّايَاتِ، فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ قَالَ الشُّبَّانُ: نَحْنُ أَحَقُّ بِالْغَنَائِمِ لِقِتَالِنَا، وَقَالَ الشُّيُوخُ: لَا تَسْتَأْثِرُوا عَلَيْنَا فَإِنَّا كُنَّا ردءا لَكُمْ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى هَذِهِ الْآيَةَ فِيهِمْ.

Kedua: Bahwa para pemuda yang ikut berperang pada hari Badar bersegera maju ke medan perang, sedangkan para orang tua tetap berada di bawah panji-panji. Ketika Allah memberikan kemenangan kepada mereka, para pemuda berkata: “Kami lebih berhak atas ghanīmah karena kami yang berperang,” sedangkan para orang tua berkata: “Janganlah kalian mengutamakan diri kalian atas kami, karena kami adalah penopang kalian.” Maka Allah Ta‘ala menurunkan ayat ini tentang mereka.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ مَنْ شَهِدَ بَدْرًا مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ اخْتَلَفُوا وَكَانُوا أَثْلَاثًا فِي الْغَنَائِمِ أَيُّهُمْ أَحَقُّ بِهَا فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِيهِمْ، وَجَعَلَهَا اللَّهُ لِرَسُولِهِ دُونَهُمْ حَسْمًا لِتَنَازُعِهِمْ، فَقَسَمَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِيهِمْ عَلَى رَأْيِهِ وَاجْتِهَادِهِ، وَأَدْخَلَ مِنْهُمْ ثَمَانِيَةً لَمْ يَشْهَدُوا بَدْرًا، مِنْهُمْ عثمان بن عفان، وطلحة – رضي الله عنهما – أَمَّا عُثْمَانُ فَلِتَشَاغُلِهِ بِتَمْرِيضِ زَوْجَتِهِ رُقَيَّةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَأَمَّا طَلْحَةُ فَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدْ كَانَ أَنْفَذَهُ لِيَتَعَرَّفَ خَبَرَ الْعِيرِ وَأَبِي سُفْيَانَ، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى نَسَخَ هَذِهِ الْآيَةَ بِقَوْلِهِ سُبْحَانَهُ: {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ} [الأنفال: 41] الْآيَةَ، فَلَمَّا أَضَافَ اللَّهُ تَعَالَى مَالَ الْغَنِيمَةِ إِلَى الْغَانِمِينَ، ثُمَّ اسْتَثْنَى مِنْ خُمُسِهِ لِرَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَمَنْ سَمَّى مَعَهُ أَهْلَ الْخُمُسِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى والمساكين وابن السبيل} دَلَّ عَلَى أَنَّ الْبَاقِيَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِهِ مِلْكٌ لِلْغَانِمِينَ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ} [النساء: 11] . فَدَلَّ إِضَافَةُ الْمَالِ إِلَيْهِمَا عَلَى اسْتِثْنَاءِ الثُّلُثِ مِنْهُ لِلْأُمِّ يُوجِبُ أَنْ يَكُونَ الْبَاقِي لِلْأَبِ، ثُمَّ يَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ مَا رُوِيَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَارَةً مَوْقُوفًا عَلَيْهِ وَتَارَةً مُسْنَدًا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” الْغَنِيمَةُ لِمَنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ ” فَصَارَ مَالُ الْغَنِيمَةِ مَقْسُومًا عَلَى خَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ سَهْمًا، خَمْسَةٌ مِنْهَا لِأَهْلِ الْخُمُسِ وَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وذوي الْقُرْبَى، وَالْيَتَامَى، وَالْمَسَاكِينُ، وَابْنُ السَّبِيلِ، وَفِيهِ خِلَافٌ يُذْكَرُ مِنْ بَعْدُ وَأَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهِ وَهُوَ عِشْرُونَ سَهْمًا تُقَسَّمُ بَيْنَ الْغَانِمِينَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُشَارِكَهُمْ فِيهِ غَيْرُهُمْ، وَلَا يُفَضَّلُ ذُو غِنًى عَلَى غَيْرِهِ، فَهَذَا حُكْمُ مَالِ الْغَنِيمَةِ.

Ketiga: Bahwa para Muhajirin dan Anshar yang ikut serta dalam Perang Badar berselisih pendapat dan terbagi menjadi tiga kelompok mengenai harta rampasan perang (ghanimah), siapakah di antara mereka yang paling berhak atasnya. Maka turunlah ayat ini berkaitan dengan mereka, dan Allah menjadikan harta rampasan itu khusus untuk Rasul-Nya, bukan untuk mereka, sebagai penyelesaian atas perselisihan mereka. Kemudian Rasulullah ﷺ membagikannya di antara mereka menurut pendapat dan ijtihad beliau, dan beliau memasukkan delapan orang yang tidak ikut serta dalam Perang Badar, di antaranya adalah Utsman bin Affan dan Thalhah—semoga Allah meridhai keduanya. Adapun Utsman, karena ia sibuk merawat istrinya, Ruqayyah binti Rasulullah ﷺ, yang sedang sakit. Sedangkan Thalhah, karena Rasulullah ﷺ telah mengutusnya untuk mencari informasi tentang kafilah dagang dan Abu Sufyan. Kemudian Allah Ta‘ala menghapus (hukum) ayat ini dengan firman-Nya: {Dan ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil} (QS. Al-Anfal: 41). Maka ketika Allah Ta‘ala menisbatkan harta ghanimah kepada para peraih kemenangan (al-ghanimin), lalu mengecualikan seperlimanya untuk Rasulullah ﷺ dan siapa saja yang disebutkan bersama beliau sebagai ahli khumus dengan firman-Nya: {maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil}, hal ini menunjukkan bahwa sisa empat perlima menjadi milik para ghanimin, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {dan kedua orang tuanya mewarisinya, maka untuk ibunya sepertiga} (QS. An-Nisa: 11). Maka penisbatan harta kepada keduanya menunjukkan bahwa pengecualian sepertiga untuk ibu mewajibkan sisanya menjadi milik ayah. Hal ini juga dikuatkan oleh riwayat dari Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., terkadang sebagai perkataan beliau sendiri, dan terkadang sebagai hadis yang disandarkan kepada Rasulullah ﷺ, bahwa beliau bersabda: “Ghanimah itu bagi siapa yang hadir dalam pertempuran.” Maka harta ghanimah dibagi menjadi dua puluh lima bagian, lima di antaranya untuk ahli khumus, yaitu Rasulullah ﷺ, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat yang akan disebutkan kemudian. Adapun empat perlima sisanya, yaitu dua puluh bagian, dibagikan di antara para ghanimin, dan tidak boleh ada selain mereka yang ikut serta di dalamnya, serta tidak boleh orang kaya diutamakan atas yang lain. Inilah hukum harta ghanimah.

فَصْلٌ:

Fasal:

[حكم مال الفيء]

[Hukum Harta Fai’]

وَأَمَّا مَالُ الْفَيْءِ، وَهِيَ الْأَمْوَالُ الْوَاصِلَةُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ بِغَيْرِ قِتَالٍ وَلَا إِيجَافِ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ، كَالَّذِي انْجَلَى عَنْهُ الْمُشْرِكُونَ خَوْفًا وَرُعْبًا، كَالْأَمْوَالِ الَّتِي صَالَحُونَا بِهَا عَنْ أَنْفُسِهِمْ وَدِيَارِهِمْ، وأموالهم استكفافا وتورعا، والمأخوذة من عشور أموالهم إذا دخلوا علينا فجارا وَالْجِزْيَةِ الَّتِي نُقِرُّهُمْ بِهَا فِي دَارِنَا، وَقَالَ: الخراج الْمَضْرُوبِ عَلَى أَرَاضِيهِمْ، وَالْأَرْضِينَ الْمَأْخُوذَةِ عَفْوًا مِنْهُمْ، وَقَالَ مَنْ مَاتَ فِي دَارِنَا وَلَا وَارِثَ لَهُ مِنْهُمْ، كُلُّ ذَلِكَ فَيْءٌ، لِأَنَّهُ وَاصَلٌ بِغَيْرِ قِتَالٍ وَلَا إِيجَافِ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ، هَذَا هُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ في الجديد، وله في التقديم قَوْلٌ آخَرُ: أَنَّ الْفَيْءَ فِي جَمِيعِ ذَلِكَ مَا انْجَلَى عَنْهُ الْمُشْرِكُونَ مِنْ ذَلِكَ خَوْفًا وَرُعْبًا، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ} [الحشر: 7] وَمَا سِوَاهُ مِنَ الْجِزْيَةِ وَالْخَرَاجِ وَعُشُورِ تِجَارَتِهِمْ وَمِيرَاثِ مَنْ مَاتَ مِنْهُمْ لَا يَكُونُ فَيْئًا، وَيَكُونُ مَصْرُوفًا فِي الْمَصَالِحِ وَلَا يُخَمَّسُ، وَالْقَوْلُ الأول من قوله أصح، لاستواء جميعها في الوصول إلينا بِغَيْرِ قِتَالٍ وَلَا إِيجَافِ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ، وَإِذَا كَانَ جَمِيعُ ذَلِكَ فَيْئًا فَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي صَدْرِ الْإِسْلَامِ يَمْلِكُ جَمِيعَ الْفَيْءِ كَمَا مَلَكَ جَمِيعَ الْغَنِيمَةِ، وَلِذَلِكَ مَلَكَ أَمْوَالَ بَنِي النَّضِيرِ، فَكَانَتْ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ لَمْ يُشَارِكْهُ فِيهَا أَحَدٌ وَصَارَتْ مِنْ صَدَقَاتِهِ الَّتِي تَصَدَّقَ بِهَا إِلَى أَنْ أَنْزَلَ الله تعالى: {ما أفاء الله على رسوله من أهل الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ} [الحشر: 7] الْآيَةَ، فَاخْتَلَفَ النَّاسُ حِينَئِذٍ، فِيمَا اسْتَقَرَّ حكم الفيء عليه عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:

Adapun harta fai’, yaitu harta yang diperoleh dari kaum musyrik tanpa peperangan, tanpa pengerahan kuda maupun unta, seperti harta yang ditinggalkan oleh kaum musyrik karena takut dan gentar, atau harta yang mereka serahkan kepada kita sebagai bentuk perdamaian demi keselamatan diri dan negeri mereka, atau harta mereka yang diberikan karena ingin menjaga diri dan bersikap wara’, serta harta yang diambil dari pungutan ‘usyur atas harta mereka ketika mereka masuk ke wilayah kita sebagai pedagang, juga jizyah yang kita tetapkan atas mereka di negeri kita, dan kharaj yang dikenakan atas tanah mereka, serta tanah yang diambil dari mereka secara cuma-cuma, dan harta orang yang meninggal di negeri kita dari kalangan mereka tanpa ahli waris, semua itu termasuk fai’, karena semuanya sampai kepada kita tanpa peperangan, tanpa pengerahan kuda maupun unta. Inilah yang dinyatakan dalam mazhab Syafi’i dalam pendapat barunya. Namun, dalam pendapat lain dalam mazhab tersebut: fai’ hanya terbatas pada harta yang ditinggalkan oleh kaum musyrik karena takut dan gentar, berdasarkan firman Allah Ta’ala: {Apa yang Allah kembalikan (fai’) kepada Rasul-Nya dari penduduk negeri-negeri, maka itu adalah untuk Allah, Rasul, …} [Al-Hasyr: 7]. Adapun selain itu, seperti jizyah, kharaj, ‘usyur perdagangan mereka, dan warisan orang yang meninggal dari mereka, tidak termasuk fai’, melainkan dialokasikan untuk kemaslahatan dan tidak dibagi lima (tidak di-khums-kan). Pendapat pertama lebih kuat, karena semuanya sampai kepada kita tanpa peperangan, tanpa pengerahan kuda maupun unta. Jika semua itu adalah fai’, maka dahulu Rasulullah SAW pada awal Islam memiliki seluruh harta fai’ sebagaimana beliau memiliki seluruh harta ghanimah, dan karena itu beliau memiliki harta Bani Nadhir, yang merupakan harta yang Allah kembalikan (fai’) kepada beliau, tidak ada seorang pun yang ikut memilikinya, dan harta itu menjadi sedekah beliau hingga Allah menurunkan ayat: {Apa yang Allah kembalikan (fai’) kepada Rasul-Nya dari penduduk negeri-negeri, maka itu adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, dan orang miskin} [Al-Hasyr: 7]. Maka, setelah itu manusia berbeda pendapat mengenai hukum fai’ yang telah ditetapkan, dan terbagi menjadi tiga mazhab:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حنيفة: أَنَّ مَالَ الْفَيْءِ مَصْرُوفٌ فِي وُجُوهِ الْمَصَالِحِ وَلَا يُخَمَّسُ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَصْرِفُهُ فِيهَا.

Pertama, yaitu pendapat Abu Hanifah: bahwa harta fai’ dialokasikan untuk berbagai kemaslahatan dan tidak dibagi lima (tidak di-khums-kan), dengan dalil bahwa Nabi SAW mengalokasikannya untuk kemaslahatan tersebut.

وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ: أَنَّ مَالَ الْفَيْءِ مَقْسُومٌ عَلَى خَمْسَةِ أَسْهُمٍ لرسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِيهَا سَهْمٌ كَأَحَدِ أَهْلِ الْخُمُسِ، وَلَا يَخْتَصُّ بِأَرْبَعَةِ أَخْمَاسِهِ، اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مالي مما أفاء الله عليكم إلا الخمس والخمس مَرْدُودٌ فِيكُمْ “.

Kedua, yaitu pendapat Malik: bahwa harta fai’ dibagi menjadi lima bagian, dan Rasulullah SAW mendapat satu bagian seperti salah satu dari ahli khumus, dan beliau tidak memiliki hak khusus atas empat perlima sisanya, berdasarkan sabda beliau SAW: “Tidak ada bagianku dari apa yang Allah kembalikan (fai’) kepada kalian kecuali seperlima, dan seperlima itu dikembalikan kepada kalian.”

وَالثَّالِثُ: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنْ خُمُسَهُ مَقْسُومٌ عَلَى خَمْسَةٍ، مِنْهَا لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَهْمٌ، وَأَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهِ لَهُ خَاصَّةً، فَيَكُونُ جَمِيعُ مَالِ الْفَيْءِ مَقْسُومًا عَلَى خَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ سَهْمًا، منها أحد وعشرين سَهْمًا لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ هِيَ لِأَرْبَعَةِ أَصْنَافٍ هُمْ ذَوُو الْقُرْبَى، وَالْيَتَامَى، وَالْمَسَاكِينُ، وَابْنُ السَّبِيلِ.

Ketiga, yaitu mazhab Syafi’i ra: bahwa seperlimanya dibagi menjadi lima bagian, salah satunya untuk Rasulullah SAW, dan empat perlima sisanya khusus untuk beliau. Maka seluruh harta fai’ dibagi menjadi dua puluh lima bagian, dua puluh satu bagian di antaranya untuk Rasulullah SAW, dan empat bagian untuk empat golongan, yaitu kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil.

وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ قَوْله تَعَالَى: {مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي القربى واليتامى والمساكين} فَأَضَافَ اللَّهُ تَعَالَى الْفَيْءَ إِلَى رَسُولِهِ كَمَا أَضَافَ الْغَنِيمَةَ إِلَى الْغَانِمِينَ، ثُمَّ اسْتَثْنَى مَنِ اسْتَثْنَاهُ فِي سَهْمِ الْغَانِمِينَ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ إِطْلَاقُ مَا جُعِلَ لَهُ مِنَ الْفَيْءِ مَحْمُولًا على المقدار المجعول لَهُمْ مِنَ الْغَنِيمَةِ وَهُوَ الْخُمُسُ، وَيَكُونُ الْبَاقِي بَعْدَهُ لِمَنْ أَضَافَ الْمَالَ إِلَيْهِ وَهُوَ الرَّسُولُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَمَا كَانَ الْبَاقِي مِنَ الْغَنِيمَةِ لِمَنْ أَضَافَهَا إِلَيْهِ وَهُمُ الْغَانِمُونَ.

Dan dalil atas hal itu adalah firman Allah Ta‘ala: {Apa yang Allah kembalikan (berupa harta) kepada Rasul-Nya dari penduduk negeri-negeri, maka itu adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin}. Maka Allah Ta‘ala menisbatkan al-fay’ kepada Rasul-Nya sebagaimana Allah menisbatkan al-ghanīmah kepada para pemenang perang (al-ghānimīn). Kemudian Allah mengecualikan siapa yang dikecualikan dalam bagian para pemenang perang, sehingga wajib bahwa penyebutan mutlak atas apa yang dijadikan untuknya dari al-fay’ harus dibawa pada kadar yang telah dijadikan untuk mereka dari al-ghanīmah, yaitu seperlima (al-khumus), dan sisanya setelah itu adalah untuk siapa yang Allah nisbatkan harta itu kepadanya, yaitu Rasulullah ﷺ, sebagaimana sisa dari al-ghanīmah adalah untuk siapa yang dinisbatkan kepadanya, yaitu para pemenang perang.

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عُيَيْنَةَ يُحَدِّثُ عَنِ الزُّهْرِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ مَالِكَ بْنَ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، وَالْعَبَّاسَ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَعَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يَخْتَصِمَانِ إِلَيْهِ فِي أموال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ عُمَرُ: كَانَتْ أَمْوَالُ بَنِي النَّضِيرِ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِمَّا لَمْ يُوجِفِ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهَا بِخَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ، فَكَانَتْ لِرَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَالِصًا دُونَ الْمُسْلِمِينَ، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يُنْفِقُ مِنْهَا عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةَ سَنَةٍ فَمَا فَضَلَ مِنْهَا جَعَلَهُ فِي الْكُرَاعِ وَالسِّلَاحِ عُدَّةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ، ثُمَّ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَوَلِيَهَا أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِمِثْلِ مَا وَلِيَهَا بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثم وليتها بِمِثْلِ مَا وَلِيَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلْتُمَانِي أَنْ أُوَلِّيكُمَاهَا فَوَلَّيْتُكُمَاهَا عَلَى أَنْ لَا تَعْمَلَا فِيهَا إِلَّا بِمِثْلِ مَا وَلِيَهَا بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ثُمَّ وَلِيتُمَاهَا ثُمَّ جِئْتُمَانِي تَخْتَصِمَانِ، أَتُرِيدَانِ أَنْ أَدْفَعَ إِلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْكُمَا نِصْفًا أَتُرِيدَانِ مِنِّي قضاء غير ما قضيت بينكما، أو لا؟ فَلَا وَالَّذِي بِإِذْنِهِ تَقُومُ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ، لَا أَقْضِي بَيْنَكُمَا قَضَاءً غَيْرَ هَذَا فَإِنْ عَجَزْتُمَا عَنْهَا فَادْفَعَاهَا إِلَيَّ أَكْفِيكُمَاهَا.

Dan Imam Syafi‘i meriwayatkan, ia berkata: Aku mendengar Ibnu ‘Uyainah meriwayatkan dari az-Zuhri bahwa ia mendengar Malik bin Aus bin al-Hadatsan berkata: Aku mendengar ‘Umar bin al-Khattab, al-‘Abbas bin ‘Abd al-Muththalib, dan ‘Ali bin Abi Thalib berselisih kepadanya mengenai harta-harta Nabi ﷺ. Maka ‘Umar berkata: Harta-harta Bani Nadhir adalah termasuk apa yang Allah kembalikan kepada Rasul-Nya, yang mana kaum Muslimin tidak memacukan kuda dan unta ke sana (tidak berperang secara langsung), maka harta itu khusus untuk Rasulullah ﷺ, tidak untuk kaum Muslimin. Maka Rasulullah ﷺ membelanjakan dari harta itu untuk keluarganya nafkah satu tahun, dan apa yang tersisa dari itu dijadikannya untuk membeli kuda dan senjata sebagai perlengkapan di jalan Allah. Kemudian Rasulullah ﷺ wafat, lalu harta itu dikelola oleh Abu Bakar ra. sebagaimana dikelola oleh Rasulullah ﷺ, kemudian aku (Umar) mengelolanya sebagaimana dikelola oleh Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Kemudian kalian berdua (al-‘Abbas dan ‘Ali) meminta kepadaku agar aku menyerahkan pengelolaannya kepada kalian berdua, maka aku serahkan kepada kalian berdua dengan syarat kalian tidak mengelolanya kecuali sebagaimana dikelola oleh Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Kemudian kalian berdua mengelolanya, lalu kalian datang kepadaku berselisih. Apakah kalian ingin aku membagi kepada masing-masing dari kalian setengah? Apakah kalian menginginkan dariku keputusan selain yang telah aku putuskan di antara kalian, atau tidak? Demi Dzat yang dengan izin-Nya langit dan bumi tegak, aku tidak akan memutuskan di antara kalian berdua dengan keputusan selain ini. Jika kalian berdua tidak sanggup mengelolanya, maka serahkanlah kepadaku, aku akan mengurusnya untuk kalian.

فَوَجْهُ الدَّلَالَةِ أَنَّ هَذَا الْخَبَرَ يَقْتَضِي كُلَّ مَرَّةٍ بِأَنَّ جَمِيعَ الْفَيْءِ مِلْكٌ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَظَاهِرُ الْآيَةِ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ كُلَّ الْفَيْءِ مَقْسُومٌ عَلَى خَمْسَةٍ فَاقْتَضَى الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَنْ يَكُونَ مَعْنَى الْخَبَرِ أَنَّ أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِهِ خَالِصٌ لرسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَمَعْنَى الْآيَةِ أَنَّ خُمُسَهُ مَقْسُومٌ عَلَى خَمْسَةٍ حتى يستعمل عَلَى وَجْهٍ لَا يَتَنَافَيَا وَلَا يَسْقُطْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا بِالْآخَرِ، ثُمَّ يَدُلُّ عَلَى أبي حنيفة أَنَّ مَا يَمْلِكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ لَمْ يَكُنْ جَمِيعُهُ خُمُسًا كَالْغَنِيمَةِ، ثُمَّ يَدُلُّ عَلَيْهَا أَنَّهُ لما كَانَ أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِ الْغَنِيمَةِ مِلْكًا لِلْغَانِمِينَ لِلْوُصُولِ إِلَيْهَا بِالرُّعْبِ مِنَ الْمُقَاتِلَةِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ أربعة أخماس الفيء ملكا للرسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – للوصل إِلَيْهِ بِالرُّعْبِ مِنْهُ، قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ فَالْعَدُوُّ يَرْهَبُنِي مَسِيرَةَ شَهْرٍ أَوْ شَهْرَيْنِ “.

Maka sisi pendalilannya adalah bahwa hadis ini menunjukkan setiap kali bahwa seluruh al-fay’ adalah milik Rasulullah ﷺ, dan zahir ayat menunjukkan bahwa seluruh al-fay’ dibagi menjadi lima bagian. Maka menggabungkan keduanya menuntut bahwa makna hadis adalah bahwa empat perlima dari al-fay’ adalah khusus untuk Rasulullah ﷺ, dan makna ayat adalah bahwa seperlimanya dibagi kepada lima golongan, sehingga keduanya digunakan dengan cara yang tidak saling bertentangan dan tidak menggugurkan salah satunya dengan yang lain. Kemudian, ini juga menjadi dalil bagi pendapat Abu Hanifah bahwa apa yang diperoleh dari orang-orang musyrik tidak seluruhnya seperlima seperti al-ghanīmah. Selanjutnya, ini juga menunjukkan bahwa ketika empat perlima al-ghanīmah menjadi milik para pemenang perang karena mereka mendapatkannya melalui rasa takut dari pertempuran, maka wajib bahwa empat perlima al-fay’ menjadi milik Rasulullah ﷺ karena sampai kepadanya melalui rasa takut dari beliau. Nabi ﷺ bersabda: “Aku diberi pertolongan dengan rasa takut, sehingga musuh merasa gentar kepadaku sejauh perjalanan satu atau dua bulan.”

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِ أَبِي حَنِيفَةَ بِأَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَصْرِفُ ذَلِكَ فِي الْمَصَالِحِ، فَهُوَ أَنَّ أَمْوَالَهُ كَانَ يَصْرِفُهَا فِي طَاعَةِ اللَّهِ، وَلَا يَدُلُّ لِقُرْبِهِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى بِهَا عَلَى أَنَّهُ غَيْرُ مَالِكٍ لَهَا.

Adapun jawaban terhadap dalil Abu Hanifah bahwa Nabi ﷺ membelanjakan harta tersebut untuk kemaslahatan, maka jawabannya adalah bahwa harta-hartanya beliau digunakan dalam ketaatan kepada Allah, dan hal itu tidak menunjukkan bahwa kedekatan beliau kepada Allah Ta‘ala dengannya berarti beliau bukan pemilik harta tersebut.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِ مَالِكٍ بِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَا لِيَ فِيمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ إِلَّا الْخُمُسُ ” فَهُوَ أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى الْغَنِيمَةِ دُونَ الْفَيْءِ، لِأَنَّهُ أَضَافَ ذَلِكَ إِلَيْنَا، وَالْغَنِيمَةُ هِيَ الْمُضَافَةُ إِلَيْنَا، فَأَمَّا الْفَيْءُ فَهُوَ مُضَافٌ إِلَيْهِ لَا إِلَيْنَا.

Adapun jawaban terhadap dalil Malik dengan sabda Nabi ﷺ: “Tidak ada bagianku dari apa yang Allah limpahkan kepada kalian kecuali seperlima,” maka maksudnya adalah khusus untuk ghanīmah, bukan fai’, karena beliau mengaitkannya kepada kita, dan ghanīmah-lah yang dinisbatkan kepada kita, adapun fai’ maka itu dinisbatkan kepadanya (Nabi), bukan kepada kita.

فَصْلٌ:

Fashal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ حُكْمِ الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ فَالَّذِي مَلَّكَ اللَّهُ تعالى رسوله منهما مما يبين:

Jika telah jelas apa yang kami jelaskan tentang hukum ghanīmah dan fai’, maka apa yang Allah Ta‘ala berikan kepada Rasul-Nya dari keduanya adalah sebagai berikut:

أَحَدُهُمَا: خُمُسُ الْخُمُسِ مِنَ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ.

Pertama: seperlima dari seperlima (khumusul khumus) dari fai’ dan ghanīmah.

وَالثَّانِي: أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ، فَأَمَّا الصَّفِيُّ مِنَ الْغَنِيمَةِ فَقَدْ كَانَ مَخْصُوصًا بِهِ، فَيَصْطَفِي مِنَ الْغَنِيمَةِ مَا شَاءَ مِنْ جَارِيَةٍ وَثَوْبٍ وَعَبْدٍ وَفَرَسٍ، وَمَا جَرَى مَجْرَى ذَلِكَ، وَكَانَتْ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ مِمَّا اصْطَفَاهَا لِنَفْسِهِ بِخَيْبَرَ، ثُمَّ أَعْتَقَهَا وَتَزَوَّجَهَا.

Kedua: empat per lima dari fai’. Adapun as-shafiy dari ghanīmah, maka itu adalah kekhususan beliau, yaitu beliau memilih dari ghanīmah apa saja yang beliau kehendaki berupa budak perempuan, pakaian, budak laki-laki, kuda, dan yang semisalnya. Shafiyyah binti Huyay adalah salah satu yang beliau pilih untuk dirinya di Khaibar, kemudian beliau memerdekakannya dan menikahinya.

وَقِيلَ إِنَّهَا سُمِّيَتْ صَفِيَّةً لِأَنَّهُ اصْطَفَاهَا لِنَفْسِهِ، وَكَانَتِ الصَّفَايَا مِمَّا يَخْتَصُّ بِهَا مُلُوكُ الْعَرَبِ مِنْ جَاهِلِيَّةٍ، وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:

Dikatakan bahwa ia dinamakan Shafiyyah karena beliau memilihnya untuk dirinya. Dan ash-shafaya adalah sesuatu yang menjadi kekhususan raja-raja Arab sejak masa jahiliyyah. Di antaranya adalah perkataan penyair:

(لَكَ الْمِرْبَاعُ فِيهَا وَالصَّفَايَا … وَحُكْمُكَ وَالنَّشِيطَةُ وَالْفُضُولُ)

(Engkau memiliki seperempat darinya dan ash-shafaya … serta keputusanmu, an-nashīṭah, dan al-fudhul)

فَصَارَ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَالِكًا لِأَرْبَعَةِ أَمْوَالٍ، مَالَيْنِ مِنَ الْغَنِيمَةِ وَهُوَ خُمُسُ الْخُمُسِ، وَالصَّفِيُّ، وَمَالَيْنِ مِنَ الْفَيْءِ وَهُوَ خُمُسُ خُمُسِهِ، وَأَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهِ.

Maka Rasulullah ﷺ menjadi pemilik empat jenis harta: dua dari ghanīmah, yaitu seperlima dari seperlima dan ash-shafiy; dan dua dari fai’, yaitu seperlima dari seperlimanya dan empat per limanya.

فَأَمَّا حُكْمُ ذَلِكَ بَعْدَ وَفَاتِهِ فَهُوَ أَنَّ مَا كَانَ قَدْ مَلَكَهُ مِنْ ذَلِكَ فِي حَيَاتِهِ كَأَمْوَالِ بَنِي النَّضِيرِ، وَالنِّصْفِ مِنْ فَدَكٍ، وَالثُّلُثِ مِنْ وَادِي الْقُرَى، وَثُلُثِهِ حُصُونٍ مِنْ خَيْبَرَ الْكَتِيبَةِ، وَالْوَطِيحِ، وَالسَّلَالِمِ فَهَذِهِ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ بِهَا فِي حَيَاتِهِ لَا تُورَثُ عَنْهُ، وَمَا مُلِكَ مِنْ ذَلِكَ بعد وَفَاتِهِ فَسَهْمُهُ مِنْ خُمُسِ الْخُمُسِ مِنَ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ مَصْرُوفٌ بَعْدَهُ فِي الْمَصَالِحِ مِنَ الْكُرَاعِ وَالسِّلَاحِ، وَأَرْزَاقِ الْمُقَاتِلَةِ، وَالْقُضَاةِ وَالْأَئِمَّةِ، وَعِمَارَاتِ الْمَسَاجِدِ وَقَنَاطِرِ السَّائِلَةِ، وَأَمَّا سَهْمُهُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ فَفِي مَصْرِفِهِ قَوْلَانِ:

Adapun hukum harta tersebut setelah wafat beliau, maka apa yang telah beliau miliki darinya semasa hidupnya seperti harta Bani Nadhir, setengah dari Fadak, sepertiga dari Wadi al-Qura, dan sepertiga benteng-benteng dari Khaibar, yaitu al-Katibah, al-Wathih, dan as-Salalim, maka semua itu adalah sedekah yang beliau sedekahkan semasa hidupnya dan tidak diwariskan darinya. Adapun apa yang dimiliki dari itu setelah wafat beliau, maka bagian beliau dari seperlima dari seperlima dari fai’ dan ghanīmah setelah beliau digunakan untuk kemaslahatan seperti pembelian kuda dan senjata, pemberian nafkah kepada para pejuang, para qadhi, para imam, pembangunan masjid, dan jembatan-jembatan umum. Adapun bagian beliau dari empat per lima fai’, maka dalam penggunaannya ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: فِي الْمُقَاتِلَةِ من الجيش الذي يَذُبُّونَ عَنِ الْبَيْضَةِ وَيُمْنَعُونَ عَنِ الْحِرْفَةِ وَيُجَاهِدُونَ الْعَدُوَّ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَلَكَهُ فِي حَيَاتِهِ لِرُعْبِ الْعَدُوِّ مِنْهُ وَرُعْبِ العدو بعده من الجيش المقاتلة، فملكوه بَعْدَهُ مَا مَلَكَهُ، فَعَلَى هَذَا يُصْرَفُ جَمِيعُهُ فِيهِمْ وَإِنْ فَضَلَ عَنْ كِفَايَتِهِمْ وَلَا يُصْرَفُ مِنْهُ شَيْءٌ فِي غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ وُجُوهِ الْمَصَالِحِ.

Pertama: diberikan kepada para pejuang dari pasukan yang menjaga wilayah Islam, melindungi dari serangan, dan berjihad melawan musuh, karena Nabi ﷺ memilikinya semasa hidupnya karena rasa takut musuh kepadanya, dan setelah beliau, rasa takut musuh itu beralih kepada pasukan pejuang, sehingga mereka memilikinya sebagaimana beliau memilikinya. Berdasarkan pendapat ini, seluruhnya dibelanjakan untuk mereka, meskipun melebihi kebutuhan mereka, dan tidak boleh digunakan untuk selain itu dari berbagai bentuk kemaslahatan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُصْرَفُ جَمِيعُهُ فِي الْمَصَالِحِ كُلِّهَا، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَمْلِكُ ذَلِكَ وَيَصْرِفُهُ فِيهَا، فَمِنَ الْمَصَالِحِ إعطاء الجيش، وأرزاق المقاتلة، وما قدمنا ذكر مِمَّا فِيهِ إِعْزَازُ الْإِسْلَامِ وَصَلَاحُ الْمُسْلِمِينَ، فَعَلَى هَذَا لَا تَزْدَادُ جُيُوشُ الْمُقَاتِلَةِ عَلَى قَدْرِ كِفَايَاتِهِمْ، لِخُرُوجِ الزِّيَادَةِ عَنِ الْمَصْلَحَةِ، وَأَمَّا الصَّفِيُّ فَقَدْ سَقَطَ حُكْمُهُ وَبَطَلَ أَنْ يَسْتَحِقَّهُ أَحَدٌ بَعْدَهُ.

Pendapat kedua: seluruhnya dibelanjakan untuk semua kemaslahatan, karena Rasulullah ﷺ memilikinya dan membelanjakannya untuk itu. Di antara kemaslahatan tersebut adalah memberi kepada pasukan, memberikan nafkah kepada para pejuang, dan apa yang telah kami sebutkan sebelumnya yang menguatkan Islam dan memperbaiki kaum Muslimin. Berdasarkan pendapat ini, jumlah pasukan pejuang tidak boleh melebihi kebutuhan mereka, karena kelebihan itu keluar dari kemaslahatan. Adapun ash-shafiy, maka hukumnya telah gugur dan tidak ada seorang pun yang berhak mendapatkannya setelah beliau.

فَصْلٌ:

Fashal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ سَهْمَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعْدَهُ مِنَ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ مَصْرُوفٌ فِيمَا وَصَفْنَا فَالْإِمَامُ النَّاظِرُ فِيهِ كَأَحَدِ أَهْلِ الْجَيْشِ فِيمَا يَسْتَحِقُّ مِنْهُ، وَهُوَ قَدْرُ كِفَايَتِهِ، يَأْخُذُهُ رِزْقًا كَأَرْزَاقِ الْجَيْشِ.

Jika telah dipastikan bahwa bagian Nabi ﷺ setelah beliau dari fai’ dan ghanīmah dialokasikan sebagaimana yang telah kami jelaskan, maka imam yang mengelolanya diperlakukan seperti salah satu anggota pasukan dalam hal apa yang menjadi haknya, yaitu sebesar kebutuhan hidupnya, yang diambilnya sebagai tunjangan sebagaimana tunjangan pasukan.

وَقَالَ: يَمْلِكُ الْإِمَامُ بَعْدَ الرَّسُولِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنَ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ مَا كَانَ يَمْلِكُهُ رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَيَصِيرُ مَالِكًا لِخُمُسِ الْخُمُسِ مِنَ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ، وَلِأَرْبَعَةِ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَا أَطْعَمَ اللَّهُ نَبِيًّا طُعْمَةً ثُمَّ قَبَضَهُ إِلَّا جَعَلَهَا لِلَّذِي أَتَى بَعْدَهُ “.

Dan dikatakan: Imam setelah Rasulullah ﷺ memiliki dari fai’ dan ghanīmah apa yang dahulu dimiliki oleh Rasulullah ﷺ, sehingga ia menjadi pemilik seperlima dari seperlima fai’ dan ghanīmah, serta empat perlima dari fai’, dengan berdalil pada riwayat Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah Allah memberikan makanan (bagian) kepada seorang nabi, kemudian ia diwafatkan, melainkan Allah menjadikannya untuk orang yang datang setelahnya.”

وَهَذَا الْقَوْلُ خَطَأٌ، وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِهِ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ما لي مما أفاء الله عليكم إلا الخمس، والخمس مردود فيكم ” فصار مردودا عليها بَعْدَ مَوْتِهِ لَا عَلَى الْخَلِيفَةِ مِنْ بَعْدِهِ، وَلِأَنَّ الْخُلَفَاءَ الرَّاشِدِينَ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ مِنْ بَعْدِهِ لَمْ يَتَمَلَّكُوا مِنْ ذَلِكَ مَا كَانَ يَمْلِكُهُ، فَانْعَقَدَ بِهِ الْإِجْمَاعُ عَلَى رَدِّ مَا خَالَفَهُ.

Pendapat ini keliru, dan dalil atas rusaknya pendapat tersebut adalah sabda beliau ﷺ: “Aku tidak memiliki dari apa yang Allah limpahkan kepada kalian kecuali seperlima, dan seperlima itu dikembalikan kepada kalian.” Maka, setelah wafatnya, bagian itu dikembalikan kepada mereka, bukan kepada khalifah setelahnya. Dan karena para khalifah Rasyidin ra. setelah beliau tidak memiliki apa yang dahulu beliau miliki, maka dengan itu telah terjadi ijmā‘ atas penolakan terhadap pendapat yang menyelisihinya.

فَأَمَّا الْخَبَرُ الْمُسْتَدَلُّ بِهِ فَمَعْنَاهُ: مَا أَطْعَمَ اللَّهُ نَبِيًّا طُعْمَةً إِلَّا جَعَلَ النَّظَرَ فِيهَا لِمَنْ يَأْتِي بَعْدَهُ لَا مِلْكًا لَهُ.

Adapun makna hadis yang dijadikan dalil tersebut adalah: Tidaklah Allah memberikan makanan (bagian) kepada seorang nabi, melainkan Allah menjadikan pengelolaannya bagi orang yang datang setelahnya, bukan kepemilikan baginya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَا يُورَثُ، وَأَنَّ الْخَلِيفَةَ بَعْدَهُ لَا يَمْلِكُهُ، ثَبَتَ مِنَ التَّعْلِيلِ الَّذِي ذَكَرْنَاهُ أَنَّ مَصْرِفَهُ فِيمَا وَصَفْنَاهُ، فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْفَيْءُ وَالْغَنِيمَةُ يَجْتَمِعَانِ مِنْ وَجْهَيْنِ، وَيَفْتَرِقَانِ مِنْ وَجْهَيْنِ، فَأَمَّا وَجْهَا الِاجْتِمَاعِ.

Jika telah tetap bahwa Nabi ﷺ tidak diwarisi, dan bahwa khalifah setelah beliau tidak memilikinya, maka telah tetap pula dari alasan yang telah kami sebutkan bahwa penyalurannya sebagaimana yang telah kami uraikan. Jika demikian, maka fai’ dan ghanīmah berkumpul dari dua sisi dan berbeda dari dua sisi pula. Adapun sisi persamaannya:

فَأَحَدُهُمَا: أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَأْخُوذٌ مِنْ مُشْرِكٍ.

Salah satunya: Bahwa masing-masing di antara keduanya diambil dari musyrik.

وَالثَّانِي: أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يُخَمَّسُ.

Dan yang kedua: Bahwa masing-masing di antara keduanya dikenakan pembagian seperlima (khumus).

وَقَالَ أبو حنيفة: مَالُ الْفَيْءِ لَا يُخَمَّسُ، وَفِي نص الآية ما يدفع قوله.

Abu Hanifah berkata: Harta fai’ tidak dikenakan pembagian seperlima, dan dalam nash ayat terdapat bantahan atas pendapatnya.

وأما وجه الِافْتِرَاقِ:

Adapun sisi perbedaannya:

فَأَحَدُهُمَا: فِي الِاسْمِ، فَإِنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَخْتَصُّ بِاسْمٍ وَالثَّانِي: فِي حُكْمِ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِهَا فَإِنَّ مَصْرِفَهَا مُخْتَلِفٌ.

Salah satunya: Dalam penamaan, karena masing-masing di antara keduanya memiliki nama yang khusus. Dan yang kedua: Dalam hukum empat perlima bagiannya, karena penyalurannya berbeda.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي صَدْرِ هَذَا الْبَابِ ” أَصْلُ مَا يَقُومُ بِهِ الْوُلَاةُ مِنْ جَعْلِ الْمَالِ ثَلَاثَةَ وُجُوهٍ:

Adapun perkataan Asy-Syafi‘i di awal bab ini: “Pokok dari apa yang dilakukan oleh para penguasa dalam pengelolaan harta ada tiga bentuk:

أَحَدُهَا: مَا أُخِذَ مِنْ مَالِ مُسْلِمٍ تَطْهِيرًا لَهُ فَذَاكَ لِأَهْلِ الصَّدَقَاتِ لَا لِأَهْلِ الْفَيْءِ، وَالْوَجْهَانِ الْآخَرَانِ مَا أُخِذَ مِنْ مَالِ مُشْرِكٍ، وَكِلَاهُمَا مُبَيَّنٌ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَسُنَّةِ رَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وفعله، فجعل نظر الإمام في الأموال مختص بِثَلَاثَةِ أَمْوَالٍ:

Salah satunya: Apa yang diambil dari harta seorang Muslim sebagai pensucian baginya, maka itu untuk para penerima sedekah, bukan untuk para penerima fai’. Dua bentuk lainnya adalah apa yang diambil dari harta musyrik, dan keduanya telah dijelaskan dalam Kitab Allah Ta‘ala, Sunnah Rasul-Nya ﷺ, dan praktik beliau. Maka, pengelolaan imam terhadap harta terbatas pada tiga jenis harta:

أَحَدُهَا: مَا أُخِذَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ مِنْ صَدَقَاتِ أَمْوَالِهِمْ تَطْهِيرًا لَهُمْ وَهِيَ الزَّكَاةُ.

Salah satunya: Apa yang diambil dari kaum Muslimin berupa sedekah dari harta mereka sebagai pensucian bagi mereka, yaitu zakat.

وَالثَّانِي: مَا أُخِذَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ عَنْوَةً وَهُوَ الْغَنِيمَةُ.

Yang kedua: Apa yang diambil dari kaum musyrikin dengan peperangan (secara paksa), yaitu ghanīmah.

وَالثَّالِثُ: مَا أُخِذَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ عَفْوًا وَهُوَ الْفَيْءُ، وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الْأَمْوَالِ الثَّلَاثَةِ مَنْصُوصٌ فِي كِتَابِ اللَّهِ – عَزَّ وَجَلَّ – عَلَى وُجُوبِهِ وَجِهَةِ مَصْرِفِهِ، وَلَيْسَ قِيَامُ الْإِمَامِ بِهِ إِلَّا قِيَامَ نِيَابَةٍ إِلَّا أَنَّهُ فِي الزكاة ينوب عن معطيها ومستحقها معا، وفي الفيء والغنيمة ينوب عن مستحقها دُونَ مُعْطِيهَا، لِأَنَّ نِيَابَتَهُ عَنِ الْمُسْلِمِينَ لَا عَنِ الْمُشْرِكِينَ، ثُمَّ إِنَّ أَصْحَابَنَا اعْتَرَضُوا عَلَى هَذَا الْفَصْلِ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ مِنْ وَجْهَيْنِ: “

Yang ketiga: Apa yang diambil dari kaum musyrikin tanpa peperangan (secara damai), yaitu fai’. Masing-masing dari tiga jenis harta ini telah dinyatakan dalam Kitab Allah ‘Azza wa Jalla tentang kewajiban dan penyalurannya. Pengelolaan imam terhadapnya hanyalah sebagai perwakilan, kecuali dalam zakat, ia mewakili pemberi dan penerimanya sekaligus, sedangkan dalam fai’ dan ghanīmah ia mewakili para penerimanya saja, bukan pemberinya, karena perwakilannya atas kaum Muslimin, bukan atas kaum musyrikin. Kemudian, para sahabat kami mengkritik bagian ini dari perkataan Asy-Syafi‘i dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: قَالُوا: قَدْ جَعَلَ الشَّافِعِيُّ نَظَرَ الْإِمَامِ مَقْصُورًا عَلَى النَّظَرِ فِي ثَلَاثَةِ أَمْوَالٍ، وَقَدْ يَنْظُرُ الْإِمَامُ فِي الْمَوَاتِ وَفِي الْمَعَادِنِ الْبَاطِنَةِ، وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهُ إِنَّمَا قَدْ خُصَّ الْأَمْوَالُ الثَّلَاثَةُ بِنَظَرِهِ لِاخْتِصَاصِ وُجُوبِهَا لِكِتَابِ اللَّهِ وَتَعَيُّنِ مُسْتَحِقِّيهَا فِي كِتَابِ اللَّهِ وَلَيْسَ غَيْرُهَا مُسَاوِيًا لَهَا فِي هَذَيْنِ الْحُكْمَيْنِ فَتَمَيَّزَتْ فِي نَظَرِهِ.

Salah satu dari keduanya: Mereka berkata, “Imam al-Syafi‘i telah membatasi wewenang imam hanya pada tiga jenis harta, padahal imam bisa saja berwenang terhadap tanah mati (al-mawāt) dan tambang-tambang tersembunyi.” Jawabannya adalah bahwa tiga harta tersebut dikhususkan dengan wewenang imam karena kewajiban atasnya secara khusus disebutkan dalam Kitab Allah dan penerima haknya pun telah ditentukan dalam Kitab Allah. Tidak ada selain ketiganya yang setara dalam dua ketentuan ini, sehingga ketiganya menjadi istimewa dalam pandangan imam.

وَالِاعْتِرَاضُ الثَّانِي: أَنْ قَالُوا: قَدْ جُعِلَ الْإِمَامُ مُخْتَصًّا بِالْوِلَايَةِ عَلَى الصَّدَقَاتِ وَلَوْ أَخْرَجَهَا أَرْبَابُهَا أَجْزَاءً فَلَمْ يَكُنْ يَخْتَصُّ بِالْوِلَايَةِ عَلَيْهَا، وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنْ يُقَالَ لَهُمْ أَمَّا الْأَمْوَالُ الْبَاطِنَةُ وَإِنْ جَازَ لِأَرْبَابِهَا أَنْ يَنْفَرِدُوا بِإِخْرَاجِهَا فَوِلَايَتُهُ فِيهَا عَلَى مَنِ امْتَنَعَ مِنْ أَدَائِهَا أَنْ يَأْخُذَهَا مِنْهُ جَبْرًا فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وِلَايَةٌ عَلَيْهَا لَمَا اعْتَرَضَ عَلَيْهِمْ فِي أَخْذِهَا جبرا منهم، وأما الأموال الظاهرة قولان:

Keberatan kedua: Mereka berkata, “Imam telah dijadikan pihak yang berwenang atas sedekah (zakat), padahal jika para pemiliknya mengeluarkannya sendiri, maka imam tidak lagi berwenang atasnya.” Jawabannya adalah: Adapun harta-harta batin (yang tersembunyi), meskipun para pemiliknya boleh mengeluarkannya sendiri, maka wewenang imam atasnya adalah terhadap orang yang enggan menunaikannya, yaitu imam boleh mengambilnya secara paksa. Seandainya imam tidak memiliki wewenang atasnya, niscaya ia tidak akan berhak mengambilnya secara paksa dari mereka. Adapun untuk harta-harta yang tampak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يَصِحُّ مِنْ أَرْبَابِهَا أَنْ ينفردوا بإخراجها، فعلى هذا تكون وِلَايَتُهُ عَامَّةً عَلَى الْمُعْطِي وَالْمُمْتَنِعِ.

Salah satunya: Tidak sah bagi para pemiliknya untuk mengeluarkannya sendiri, sehingga dalam hal ini wewenang imam bersifat umum, baik terhadap yang menunaikan maupun yang enggan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَصِحُّ مِنْهُمْ أَنْ يَنْفَرِدُوا بِإِخْرَاجِهَا، فَعَلَى هَذَا تَكُونُ وِلَايَتُهُ خَاصَّةً عَلَى الْمُمْتَنِعِ دُونَ المعطي والله أعلم.

Pendapat kedua: Sah bagi mereka untuk mengeluarkannya sendiri, sehingga dalam hal ini wewenang imam hanya khusus terhadap yang enggan menunaikan, tidak terhadap yang menunaikan. Allah Maha Mengetahui.

باب الأنفال

Bab al-Anfāl (harta rampasan perang)

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَا يَخْرُجُ مِنْ رَأْسِ الْغَنِيمَةِ قَبْلَ الْخُمُسِ شيء غير السلب للقاتل قال أبو قتادة رضي الله عنه خرجنا مع رسول الله عام حنين قال فلما التقينا كانت للمسلمين جولة فَرَأَيْتُ رَجُلًا مِنَ الْمُشْرِكِينَ قَدْ عَلَا رَجُلًا من المسلمين قال فاستدرت له حتى أتيته من ورائه فَضَرَبْتُهُ عَلَى حَبْلِ عَاتِقِهِ ضَرْبَةً فَأَقْبَلَ عَلَيَّ فَضَمَّنِي ضَمَّةً وَجَدْتُ مِنْهَا رِيحَ الْمَوْتِ ثُمَّ أدركه الموت فأرسلني فلحقت عمر فقال ما بال الناس؟ قلت أَمْرُ اللَّهِ ثُمَّ إِنَّ النَّاسَ رَجَعُوا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا لَهُ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ فَلَهُ سلبه ” فقمت فقلت من يشهد لي؟ ثم جلست يقول وأقول ثلاث مرات فقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَا لَكَ يَا أَبَا قَتَادَةَ؟ فَاقْتَصَصْتُ عَلَيْهِ الْقِصَّةَ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ صَدَقَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَسَلَبُ ذَلِكَ الْقَتِيلِ عِنْدِي فَأَرْضِهْ منه. فقال أبو بكر رضي الله عنه لاها الله إذا لَا يَعْمِدُ إِلَى أَسَدٍ مِنْ أُسْدِ اللَّهِ تعالى يُقَاتِلُ عَنِ اللَّهِ وَعَنْ رَسُولِهِ فَيُعْطِيكَ سَلَبَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” صدق فأعطه إياه ” فأعطانيه فبعت الدرع وابتعت بِهِ مَخْرَفًا فِي بَنِي سَلَمَةَ فَإِنَّهُ لَأَوَّلُ مال تأثلته في الإسلام وروي أن شبر بن علقمة قال بارزت رَجُلًا يَوْمَ الْقَادِسِيَّةِ فَبَلَغَ سَلَبُهُ اثْنَيْ عَشَرَ ألفا فنفلنيه سعد “.

Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Tidak boleh dikeluarkan apa pun dari harta rampasan perang sebelum dikeluarkan seperlima (khumus), kecuali barang rampasan (salab) untuk pembunuh musuh.” Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu berkata: Kami keluar bersama Rasulullah pada tahun Hunain. Ketika kami bertemu musuh, kaum Muslimin sempat mundur. Aku melihat seorang musyrik mengalahkan seorang Muslim, maka aku berputar hingga mendatanginya dari belakang, lalu aku menebasnya di bagian pundaknya. Ia berbalik dan memelukku dengan erat hingga aku mencium bau kematian darinya, lalu ia mati dan melepaskanku. Aku pun mendatangi Umar dan bertanya, “Ada apa dengan orang-orang?” Ia menjawab, “Itu adalah urusan Allah.” Kemudian orang-orang kembali. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa membunuh musuh dan memiliki bukti atasnya, maka ia berhak atas barang rampasannya (salab).” Aku berdiri dan berkata, “Siapa yang menjadi saksiku?” Aku mengulanginya tiga kali. Rasulullah ﷺ bertanya, “Ada apa denganmu, wahai Abu Qatadah?” Aku pun menceritakan kisahnya. Seorang dari kaum berkata, “Ia benar, wahai Rasulullah, dan barang rampasan itu ada padaku, maka berikanlah kepadanya.” Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah, tidak pantas seseorang mengambil barang rampasan dari singa Allah yang berjuang di jalan Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Benar, berikanlah kepadanya.” Maka aku pun menerima barang rampasan itu, lalu aku menjual baju besinya dan membeli kebun kurma di Bani Salamah. Itulah harta pertama yang aku miliki dalam Islam. Diriwayatkan pula bahwa Syibr bin ‘Alqamah berkata, “Aku duel dengan seseorang pada hari Qadisiyah, dan nilai barang rampasannya mencapai dua belas ribu, lalu Sa‘d memberikannya kepadaku sebagai anfal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ مَنْ قَتَلَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ مُشْرِكًا فِي مَعْرَكَةِ الْحَرْبِ فَلَهُ سَلَبُهُ، سَوَاءٌ شَرَطَهُ الْإِمَامُ لَهُ أَوْ لَمْ يَشْتَرِطْهُ، وَلَا يُخَمِّسْهُ.

Al-Mawardi berkata: Seperti yang telah disebutkan, siapa pun dari kaum Muslimin yang membunuh seorang musyrik dalam pertempuran, maka ia berhak atas barang rampasannya (salab), baik imam mensyaratkannya maupun tidak, dan barang rampasan itu tidak dikenakan khumus (seperlima).

وَقَالَ مَالِكٌ: لَهُ سَلَبُهُ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ. لَكِنْ يُخَمِّسُهُ.

Imam Malik berkata: Ia berhak atas barang rampasannya tanpa syarat, tetapi tetap dikenakan khumus.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَيْسَ لَهُ سَلَبُهُ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَهُ الْإِمَامُ لَهُ فَيُعْطِيهِ لِلشَّرْطِ مِنْ جُمْلَةِ الْخُمُسِ اسْتِدْلَالًا بِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ} [الأنفال: 41] .

Abu Hanifah berkata: Ia tidak berhak atas barang rampasannya kecuali jika imam mensyaratkannya, dan jika demikian, maka diberikan kepadanya dari bagian khumus, berdasarkan keumuman firman Allah Ta‘ala: {Dan ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah dan Rasul-Nya} (al-Anfal: 41).

وَرِوَايَةُ مُعَاذٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَيْسَ لِلْمَرْءِ إِلَّا مَا طَابَتْ بِهِ نَفْسُ إِمَامِهِ ” وَبِرِوَايَةِ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ فِي غَزْوَةِ مُؤْتَةَ وَرَافَقَنِي رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَتَلَ رُومِيًّا فَأَخَذَ سَلَبَهُ، فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ بَعَثَ إِلَيْهِ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ فأخذ منه السَّلَبِ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ: يَا خَالِدُ، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَضَى بِالسَّلَبِ لِلْقَاتِلِ؟ قَالَ: بَلَى، وَلَكِنِّي اسْتَكْثَرْتُهُ، قُلْتُ لَتَرُدَّنَّهُ عَلَيْهِ أَوْ لَأُعَرِّفَنَّكُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أن يرده، فَاجْتَمَعْنَا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَصَصْتُ عَلَيْهِ قِصَّةَ الْيَمَنِيِّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: يَا خَالِدُ ارْدُدْهُ عَلَيْهِ، قَالَ عَوْفٌ: فَقُلْتُ يَا خَالِدُ أَلَمْ أَقُلْ لَكَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَمَا ذَاكَ فَأَخْبَرْتُهُ فَغَضِبَ وَقَالَ: ” يَا خَالِدُ لا ترده عليه، هل أنتم تاركون لي أُمَرَائِي؟ لَكُمْ صَفْوَةُ أَمْرِهِمْ وَعَلَيْهِمْ كَدَرُهُ “.

Dan riwayat dari Mu‘āż bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Seseorang tidak berhak mendapatkan apa pun kecuali yang diikhlaskan oleh imamnya.” Dan dalam riwayat ‘Awf bin Mālik al-Asyja‘ī, ia berkata: Aku keluar bersama Zaid bin Ḥāritsah dalam Perang Mu’tah, dan aku ditemani oleh seorang laki-laki dari Yaman. Ia membunuh seorang Romawi lalu mengambil barang rampasannya. Ketika Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin, Khālid bin al-Walīd mengutus seseorang kepadanya dan mengambil barang rampasan itu darinya. Maka aku mendatanginya dan berkata: Wahai Khālid, tidakkah engkau tahu bahwa Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- telah memutuskan bahwa barang rampasan itu menjadi milik pembunuhnya? Ia menjawab: Benar, tetapi aku menganggapnya terlalu banyak. Aku berkata: Engkau harus mengembalikannya kepadanya atau aku akan melaporkan kalian kepada Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- agar beliau memerintahkan untuk mengembalikannya. Lalu kami berkumpul di hadapan Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, lalu aku menceritakan kisah laki-laki Yaman itu kepada beliau. Maka Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: Wahai Khālid, kembalikan barang rampasan itu kepadanya. ‘Awf berkata: Aku pun berkata, Wahai Khālid, bukankah sudah aku katakan kepadamu? Maka Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bertanya: Apa itu? Lalu aku memberitahukannya, maka beliau marah dan bersabda: “Wahai Khālid, jangan kembalikan kepadanya. Apakah kalian tidak mau membiarkan para pemimpin yang aku tunjuk? Kalian mendapatkan bagian terbaik dari urusan mereka, sedangkan mereka menanggung kesulitannya.”

قَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ: فَلَوِ اسْتَحَقَّهُ الْقَاتِلُ لَمَا اسْتَجَازَ أَنْ يَمْنَعَهُ مِنْهُ لِغَضَبٍ وَلَا غَيْرِهِ، قَالُوا: وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ عَوْفٍ وَمُعَاذَ بْنَ عَمْرٍو قَتَلَا أَبَا جَهْلٍ يَوْمَ بَدْرٍ فَأَعْطَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَلَبَهُ مُعَاذَ بْنَ عَمْرٍو، فَلَوْ كَانَ لِلْقَاتِلِ مَا خَصَّ بِهِ أَحَدَهُمَا.

Para sahabat Abū Ḥanīfah berkata: Seandainya barang rampasan itu memang menjadi hak pembunuh, niscaya tidak boleh bagi siapa pun untuk mencegahnya, baik karena marah maupun sebab lainnya. Mereka juga berkata: Telah diriwayatkan bahwa Mu‘āż bin ‘Awf dan Mu‘āż bin ‘Amr membunuh Abū Jahl pada hari Perang Badar, lalu Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- memberikan barang rampasannya kepada Mu‘āż bin ‘Amr. Maka, jika barang rampasan itu memang hak pembunuh, tentu tidak akan dikhususkan kepada salah satu dari mereka saja.

وَاسْتَدَلُّوا مِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ بِأَنْ قَالُوا: كُلُّ مَالٍ يُسْتَحَقُّ بِالتَّحْرِيضِ عَلَى الْقِتَالِ يَجِبُ أَنْ يَتَعَلَّقَ اسْتِحْقَاقُهُ بِشَرْطِ الْإِمَامِ كَالنَّفْلِ، وَلِأَنَّ السَّلَبَ لَوِ اسْتُحِقَّ بِالْقَتْلِ لوجب إذا قتل موليا أَوْ رَمَاهُ مِنْ صِفِّهِ بِسَهْمٍ فَقَتَلَهُ أَنْ يَسْتَحِقَّ سَلَبَهُ، فَلَمَّا ثَبَتَ أَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّهُ مَعَ وُجُودِ الْقَتْلِ ثَبَتَ أَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّ بِالْقَتْلِ، وَلِأَنَّ السَّلَبَ لَوْ صَارَ بِالْقَتْلِ مِلْكًا لِلْقَاتِلِ لَوَجَبَ إِذَا وُجِدَ قَتِيلًا عَلَيْهِ سَلَبٌ لَا يُعْرَفُ قَاتِلُهُ أَنْ لَا يَغْنَمَ بِهِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ مِلْكًا لِمُسْلِمٍ لَا يُعْرَفُ، وفي إجماعهم على قسمة في الْغَنِيمَةِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ غَيْرُ مُسْتَحَقٍّ بِالْقَتْلِ.

Mereka juga berdalil secara qiyās dengan mengatakan: Setiap harta yang diperoleh karena dorongan untuk berperang, maka hak kepemilikannya harus bergantung pada syarat dari imam, sebagaimana an-nafl (tambahan rampasan). Dan karena jika barang rampasan itu menjadi hak karena pembunuhan, maka seharusnya ketika seseorang membunuh musuh yang sedang mundur atau memanahnya dari barisan lalu membunuhnya, ia berhak atas barang rampasannya. Namun, ketika terbukti bahwa ia tidak berhak atasnya meskipun telah membunuh, maka terbukti pula bahwa barang rampasan itu tidak menjadi hak karena pembunuhan. Dan jika barang rampasan itu menjadi milik pembunuh karena pembunuhan, maka jika ditemukan mayat musuh dengan barang rampasan dan tidak diketahui siapa pembunuhnya, seharusnya barang itu tidak boleh diambil sebagai ghanīmah, karena ia telah menjadi milik seorang Muslim yang tidak diketahui. Dan ijmā‘ mereka atas pembagian barang rampasan dalam ghanīmah merupakan dalil bahwa barang rampasan itu tidak otomatis menjadi hak karena pembunuhan.

وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ أَبُو مَالِكٍ الْأَشْجَعِيُّ عَنْ نُعَيْمِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا فَلَهُ سَلَبُهُ ” وَرَوَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ يَوْمَ خَيْبَرَ: ” مَنْ قَتَلَ كَافِرًا فَلَهُ سَلَبُهُ ” فَقَتَلَ أَبُو طَلْحَةَ الْأَنْصَارِيُّ يَوْمَئِذٍ عِشْرِينَ كَافِرًا فَأَخَذَ أَسَلَابَهُمْ.

Dalil kami adalah riwayat dari Abū Mālik al-Asyja‘ī dari Nu‘aim bin Abī Hind dari Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Barang siapa membunuh musuh, maka ia berhak atas barang rampasannya.” Dan riwayat dari Anas bin Mālik bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda pada hari Khaibar: “Barang siapa membunuh orang kafir, maka ia berhak atas barang rampasannya.” Maka Abū Ṭalḥah al-Anṣārī pada hari itu membunuh dua puluh orang kafir dan mengambil barang rampasan mereka.

وَوَجْهُ الدَّلِيلِ مِنْ هَذَا الْخَبَرِ: أَنَّهُ ابْتِدَاءُ شَرْعٍ بَيِّنٍ فِيهِ فَاسْتُحِقَّ بِهِ السَّلَبُ وَهُوَ الْقَتْلُ، وَاعْتَمَدَ الشَّافِعِيُّ عَلَى مَا رَوَاهُ عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ كَثِيرٍ عَنْ أَبِي محمد مَوْلَى أَبِي قَتَادَةَ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَامَ حُنَيْنٍ، فَلَمَّا الْتَقَيْنَا كَانَتْ لِلْمُسْلِمِينَ جَوْلَةٌ قَالَ: فَرَأَيْتُ رَجُلًا مِنَ الْمُشْرِكِينَ قَدْ عَلَا رَجُلًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَاسْتَدَرْتُ لَهُ حَتَّى أَتَيْتُهُ مِنْ وَرَائِهِ قَالَ: فَضَرَبْتُهُ عَلَى حَبْلِ عَاتِقِهِ ضَرْبَةً، فَأَقْبَلَ عَلَيَّ فَضَمَّنِي ضَمَّةً وَجَدْتُ مِنْهَا رِيحَ الْمَوْتِ، ثُمَّ أَدْرَكَهُ الْمَوْتُ، فَأَرْسَلَنِي، فَلَحِقْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقُلْتُ لَهُ: مَا بَالُ النَّاسِ؟ فَقَالَ أَمْرُ اللَّهِ، ثُمَّ إِنَّ النَّاسَ رَجَعُوا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا فَلَهُ سَلَبُهُ ” فَقُمْتُ فَقُلْتُ مَنْ يَشْهَدُ لِي؟ فَجَلَسْتُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ فَلَهُ سَلَبُهُ ” فَقُمْتُ وَقُلْتُ مَنْ يَشْهَدُ لِي؟ فَجَلَسْتُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا لَهُ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ فَلَهُ سَلَبُهُ ” فَقُمْتُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” مَا لَكَ يَا أَبَا قَتَادَةَ فَاقْتَصَصْتُ عَلَيْهِ القصة، فقال رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: صَدَقَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَسَلَبُ ذَلِكَ الْقَتِيلِ عِنْدِي فَأَرْضِهْ عَنِّي، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَا هلم اللَّهِ إِذَنْ لَا يَعْمِدُ إِلَى أَسَدٍ مِنْ أُسْدِ اللَّهِ يُقَاتِلُ عَنِ اللَّهِ وَعَنْ رَسُولِهِ فَيُعْطِيكَ سَلَبَهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فَأَعْطِهِ إِيَّاهُ ” قَالَ أَبُو قَتَادَةَ فَأَعْطَانِيهِ فَبِعْتُ الدِّرْعَ فَابْتَعْتُ بِهِ مَخْرَفًا فِي بَنِي سَلَمَةَ فَإِنَّهُ لَأَوَّلُ مَالٍ تَأَثَّلْتُهُ فِي الْإِسْلَامِ، وَوَجْهُ الدَّلَالَةِ مِنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ذَلِكَ بَعْدَ الْوَقْعَةِ، وَإِجَازَةِ الْغَنِيمَةِ وَبَعْدَ قَتْلِ أَبِي قَتَادَةَ لِلْكَافِرِ، فَعَلِمَ أَنَّهُ يُسْتَحَقُّ بِالْقَتْلِ لَا بِالشَّرْطِ، فَإِنْ حَمَلُوا عَلَى شَرْطِ تَقَدُّمٍ مِنْهُ لَمْ يَصِحَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Dasar argumentasi dari hadis ini adalah bahwa hadis tersebut merupakan permulaan dari suatu syariat yang jelas, di mana dengan sebab itu seseorang berhak mendapatkan salab, yaitu harta rampasan dari musuh yang terbunuh, dan itu adalah pembunuhan. Imam asy-Syafi‘i mendasarkan pendapatnya pada riwayat yang ia terima dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari ‘Umar bin Katsir, dari Abu Muhammad, maula Abu Qatadah, ia berkata: Kami keluar bersama Rasulullah ﷺ pada tahun Hunain. Ketika kami bertemu (dengan musuh), kaum Muslimin sempat mundur. Aku melihat seorang dari kaum musyrikin mengalahkan seorang Muslim, maka aku berputar mengelilinginya hingga aku mendatanginya dari belakang. Lalu aku memukulnya pada bagian pundaknya dengan satu pukulan. Ia pun berbalik dan memelukku dengan erat hingga aku mencium bau kematian darinya, kemudian maut menjemputnya dan ia melepaskanku. Aku pun mendatangi ‘Umar bin al-Khattab ra. dan berkata kepadanya: “Ada apa dengan orang-orang?” Ia menjawab: “Itu adalah urusan Allah.” Kemudian orang-orang kembali (ke medan perang), lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa membunuh seseorang (dari musuh), maka baginya salab (harta rampasan) orang yang dibunuh itu.” Aku pun berdiri dan berkata: “Siapa yang menjadi saksi untukku?” Lalu aku duduk. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa membunuh seseorang (dari musuh) dan ia memiliki bukti, maka baginya salab orang yang dibunuh itu.” Aku berdiri lagi dan berkata: “Siapa yang menjadi saksi untukku?” Lalu aku duduk. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa membunuh seseorang (dari musuh) dan ia memiliki bukti, maka baginya salab orang yang dibunuh itu.” Aku pun berdiri. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Ada apa denganmu, wahai Abu Qatadah?” Maka aku menceritakan kisah tersebut kepadanya. Lalu seorang dari kaum berkata: “Ia benar, wahai Rasulullah, dan salab orang yang terbunuh itu ada padaku, maka ridhailah aku.” Maka Abu Bakar ash-Shiddiq ra. berkata: “Demi Allah, tidak pantas seseorang mengambil salab dari singa Allah yang berjuang membela Allah dan Rasul-Nya, lalu memberikannya kepadamu.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Berikanlah salab itu kepadanya.” Abu Qatadah berkata: “Lalu ia memberikannya kepadaku, kemudian aku menjual baju besi itu dan membeli kebun kurma di Bani Salamah, dan itulah harta pertama yang aku miliki dalam Islam.” Adapun sisi pendalilannya adalah bahwa Rasulullah ﷺ mengatakan hal itu setelah peristiwa (perang), setelah diperbolehkannya ghanīmah (harta rampasan perang), dan setelah Abu Qatadah membunuh orang kafir tersebut. Maka diketahui bahwa hak atas salab itu diperoleh karena pembunuhan, bukan karena adanya syarat sebelumnya. Jika mereka menafsirkan hadis ini sebagai syarat yang telah ditetapkan sebelumnya, maka itu tidak sah dari tiga sisi:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ إِثْبَاتُ مَا لَمْ يُنْقَلْ.

Pertama: Itu berarti menetapkan sesuatu yang tidak pernah diriwayatkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ بَيَانُ شَرْعٍ وَإِنْ تَقَدَّمَ كَمَا يَكُونُ بَيَانُهُ، لِأَنَّهُ نَقْلُ سَبَبٍ عُلِّقَ عَلَيْهِ حُكْمٌ.

Kedua: Itu merupakan penjelasan syariat, meskipun datang belakangan, sebagaimana penjelasan-penjelasan lainnya, karena itu adalah penjelasan tentang sebab yang padanya digantungkan suatu hukum.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ لَوْ تَقَدَّمَ شَرْطٌ لَأَخَذَهُ أَبُو قَتَادَةَ وَلَمْ يَدَّعِيهِ أَوْ لَا يَشْهَدُ لِنَفْسِهِ عَلَى قَتْلِهِ، فَإِنْ قِيلَ: فَالنَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَعَلَ السَّلَبَ لِلْقَاتِلِ بَالْبَيِّنَةِ وَقَدْ أَعْطَاهُ أَبَا قَتَادَةَ بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ أَعْطَاهُ نَفْلًا لَاحِقًا، فَعَنْ ذَلِكَ جَوَابَانِ:

Ketiga: Seandainya memang ada syarat sebelumnya, tentu Abu Qatadah akan langsung mengambilnya dan tidak perlu menuntutnya, atau ia tidak perlu bersaksi untuk dirinya sendiri atas pembunuhan itu. Jika dikatakan: Nabi ﷺ menetapkan salab bagi pembunuh dengan bukti, namun beliau memberikan salab itu kepada Abu Qatadah tanpa bukti, maka itu menunjukkan bahwa beliau memberikannya sebagai nâfl (tambahan) setelahnya. Maka terhadap hal itu ada dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَنْ كَانَ يَدُهُ عَلَى السَّلَبِ فَقَدْ صَدَّقَهُ فَلَمْ يَحْتَجْ إِلَى بَيِّنَةٍ.

Pertama: Orang yang memegang salab tersebut telah membenarkannya, sehingga tidak diperlukan bukti lagi.

وَالثَّانِي: رُوِيَ أَنَّهُ شَهِدَ لِأَبِي قَتَادَةَ اثْنَانِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُنَيْسٍ وَالْأَسْوَدُ بْنُ خُزَاعِيٍّ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهُ مَالٌ مَغْنُومٌ، يُسْتَحَقُّ بِسَبَبٍ لَا يَفْتَقِرُ تَقْدِيرُهُ إِلَى اجْتِهَادِ الْإِمَامِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يُعْتَبَرَ فِيهِ شَرْطُ الْإِمَامِ كَسَهْمِ الْغَانِمِينَ طَرْدًا أَوِ النَّفْلِ عَكْسًا؛ وَلِأَنَّهُ ذُو سَهْمٍ تَحَرَّرَ بِنَفْسِهِ فِي قَتْلِ كَافِرٍ فَقَاتَلَ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَحِقَّ سَلَبَهُ قِيَاسًا عَلَيْهِ إِذَا شَرَطَهُ الْإِمَامُ لَهُ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Kedua: Diriwayatkan bahwa yang menjadi saksi untuk Abu Qatadah adalah dua orang, yaitu Abdullah bin Unais dan Al-Aswad bin Khuza’i. Dalil dari qiyās menunjukkan bahwa harta rampasan tersebut adalah harta ghanimah yang diperoleh karena sebab yang tidak memerlukan ijtihad imam dalam penentuannya, maka tidak disyaratkan adanya syarat dari imam padanya, sebagaimana bagian untuk para ghanimīn secara konsisten, atau an-nafl secara sebaliknya. Karena ia adalah pemilik bagian yang telah ditetapkan dengan sendirinya dalam membunuh orang kafir, maka ia berhak mendapatkan salabnya berdasarkan qiyās atasnya jika imam mensyaratkannya untuknya. Adapun jawaban atas ayat tersebut ada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ السَّلَبَ خَارِجٌ فِيهَا؛ لِأَنَّهُ قَالَ: {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ} [الأنفال: 41] وَلَيْسَ السَّلَبُ مَا غَنِمُوهُ وَإِنَّمَا غَنِمَهُ أَحَدُهُمْ.

Pertama: Salab tidak termasuk di dalamnya, karena Allah berfirman: {Dan ketahuilah, apa saja yang kamu peroleh sebagai ghanimah dari sesuatu…} [Al-Anfal: 41], dan salab bukanlah sesuatu yang mereka peroleh bersama, melainkan hanya diperoleh oleh salah satu dari mereka.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ بَيَانٌ لِمَا فِيهِ مِنَ الْإِجْمَالِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: لَيْسَ لِأَحَدٍ إِلَّا مَا طَابَتْ بِهِ نَفْسُ إِمَامِهِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Kedua: Ayat tersebut merupakan penjelasan atas apa yang masih global di dalamnya. Adapun jawaban atas perkataan: “Tidak ada hak bagi siapa pun kecuali yang diikhlaskan oleh imamnya,” maka ada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ نَفْسَ الْإِمَامِ إِمَامِ الْأَئِمَّةِ رَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدْ طَابَتْ بِهِ فَكَانَتْ أَوْكَدَ مِنْ أَنْ تَطِيبَ بِهِ نَفْسُ إِمَامٍ مِنْ بَعْدِهِ.

Pertama: Bahwa diri imam para imam, yaitu Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengikhlaskannya, maka itu lebih kuat daripada keikhlasan seorang imam setelah beliau.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ عَامٌّ يُحْمَلُ عَلَى النَّفْلِ، وَيُخَصُّ مِنْهُ السَّلَبُ، وَأَمَّا حَدِيثُ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ فَهُوَ دَلِيلٌ لَنَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Kedua: Bahwa perkataan tersebut bersifat umum yang dibawa pada makna an-nafl, dan dikhususkan darinya salab. Adapun hadits ‘Auf bin Malik, maka itu adalah dalil bagi kami dari tiga sisi:

أَحَدُهَا: أَنَّ عوفا وخالد اتَّفَقَا عَلَى أَنَّ السَّلَبَ لِلْقَاتِلِ، وَلَكِنِ اسْتَكْثَرَهُ خَالِدٌ، وَاسْتِحْقَاقُ السَّلَبِ لَا يَسْقُطُ بِالْكَثْرَةِ.

Pertama: Bahwa ‘Auf dan Khalid sepakat bahwa salab adalah milik pembunuh, hanya saja Khalid menganggapnya terlalu banyak, dan hak atas salab tidak gugur karena banyaknya.

وَالثَّانِي: أَنَّ عَوْفًا حِينَ أَخْبَرَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يَسْأَلْ عَنِ الشَّرْطِ.

Kedua: Bahwa ketika ‘Auf memberitahukan hal itu kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau tidak menanyakan tentang syaratnya.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ أَمَرَ خَالِدًا بِرَدِّهِ عَلَى الْقَاتِلِ، فأما قوله لخالد حين غضب ” لا ترده ” فَتَأْدِيبٌ مِنْهُ لِعَوْفٍ حَتَّى لَا يَنْبَسِطَ الرَّعَايَا عَلَى الْأُمَرَاءِ، وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ قَدْ رَدَّهُ مِنْ بَعْدُ.

Ketiga: Bahwa beliau memerintahkan Khalid untuk mengembalikannya kepada si pembunuh. Adapun ucapan beliau kepada Khalid ketika marah, “Jangan kau kembalikan,” itu adalah bentuk pendidikan dari beliau kepada ‘Auf agar rakyat tidak lancang terhadap para pemimpin, dan mungkin saja setelah itu Khalid telah mengembalikannya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ إِعْطَائِهِ سَلَبَ أَبِي جَهْلٍ لِأَحَدِ قَاتِلِيهِ فَالْمَرْوِيُّ أَنَّ ابْنَيْ عَفْرَاءَ أَثْخَنَا أَبَا جَهْلٍ جِرَاحًا، وَخَرَّ صَرِيعًا فَأَتَاهُ ابْنُ مَسْعُودٍ لِيَجُزَّ رَأْسَهُ، فَقَالَ لَهُ أَبُو جَهْلٍ: مَنْ أَنْتَ؟ فَقَالَ: ابْنُ مَسْعُودٍ، فَقَالَ لَهُ أَبُو جَهْلٍ: ابْنُ أُمِّ عَبْدٍ رُوَيْعِينَا بِالْأَمْسِ فَمَكِّنْ يَدَيْكَ وَجُزَّ الرَّقَبَةَ مَعَ الرَّأْسِ إِذَا لَقِيتَ أُمَّكَ فَأَخْبِرْهَا أَنَّكَ قَتَلْتَ أَبَا الْحَكَمِ فَفَعَلَ ذَلِكَ، وَأَخَذَ رَأْسَهُ مَعَ القبة وَكَانَ قَصْدُ أَبِي جَهْلٍ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ أَبْهَى لِرَأْسِهِ، ثُمَّ أَخْبَرَ أُمَّهُ بِذَلِكَ فَقَالَتْ: وَاللَّهِ لَقَدْ أَعْتَقَ تِسْعِينَ رَجُلًا مِنْ قَوْمِكَ، ودفع النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِلَى ابْنَيْ عَفْرَاءَ أَوْ إِلَى أَحَدِهِمَا بِحَسْبِ اخْتِلَافِ الرِّوَايَةِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ أَثْخَنَهُ بِالْجِرَاحِ وَبِإِثْخَانِ الْمَقْتُولِ يُسْتَحَقُّ السَّلَبُ لَا بِإِمَاتَةِ نَفْسِهِ وَرُوحِهِ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى النَّفْلِ فَالْمَعْنَى فِيهِ افْتِقَارُ النَّفْلِ إِلَى تَقْدِيرِ الْإِمَامِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ السَّلَبُ.

Adapun jawaban atas pemberian salab Abu Jahl kepada salah satu dari dua orang yang membunuhnya, maka yang diriwayatkan adalah bahwa kedua putra ‘Afra’ telah melukai Abu Jahl dengan luka-luka parah hingga ia terjatuh tersungkur, lalu datanglah Ibnu Mas’ud untuk memenggal kepalanya. Abu Jahl bertanya kepadanya: “Siapa kamu?” Ia menjawab: “Ibnu Mas’ud.” Abu Jahl berkata: “Anak Ummu ‘Abd, penggembala kami kemarin, sekarang kuatkan kedua tanganmu dan penggallah leher beserta kepala. Jika engkau bertemu ibumu, kabarkanlah bahwa engkau telah membunuh Abu al-Hakam.” Maka Ibnu Mas’ud pun melakukannya dan membawa kepalanya beserta baju besi. Tujuan Abu Jahl adalah agar kepalanya tampak lebih megah. Kemudian Ibnu Mas’ud memberitahukan hal itu kepada ibunya, lalu ibunya berkata: “Demi Allah, sungguh engkau telah membebaskan sembilan puluh orang dari kaummu.” Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pun memberikan kepada kedua putra ‘Afra’ atau kepada salah satu dari keduanya, sesuai perbedaan riwayat, karena dialah yang telah melukainya dengan luka parah, dan dengan melukai parah orang yang terbunuh itulah salab menjadi hak, bukan dengan mematikan jiwa dan ruhnya. Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap an-nafl, maka maknanya adalah bahwa an-nafl membutuhkan penetapan dari imam, sedangkan salab tidak demikian.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ: لَوْ كَانَ مُسْتَحِقًّا بِالْقَتْلِ لَاسْتَحَقَّهُ إِذَا قَتَلَهُ مُوَلِّيًا أَوْ رَمَاهُ بِسَهْمٍ، فَهُوَ أَنَّهُ مُسْتَحِقٌّ بِقَتْلٍ عَلَى صِفَةٍ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ لِلْقَاتِلِ مِغْرَارًا بِنَفْسِهِ وَيَكُفَّ شَرَّ الْمَقْتُولِ بِقَتْلِهِ، وَهُوَ إِذَا رَمَاهُ لَمْ يُغَرِّرْ، وَإِذَا قَتَلَهُ مُوَلِّيًا فَقَدْ كَفَّ الْمُوَلِّي شَرَّ نَفْسِهِ، أَلَا تَرَاهُ لَوِ اسْتَحَقَّهُ بِشَرْطِ الْإِمَامِ لَمْ يَسْتَحِقَّهُ إِلَّا عَلَى هَذِهِ الصِّفَةِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ: لَوْ كَانَ السَّلَبُ مُسْتَحَقًّا بِالْقَتْلِ لَوَجَبَ أَنْ لَا يُغْنَمَ سَلَبُ مَقْتُولٍ لَا يُعْرَفُ قَاتِلُهُ فَهُوَ أَنَّهُ قَدْ يَسْتَحِقُّ بِقَتْلٍ عَلَى صِفَةٍ لَمْ يُغْنَمْ بِغَنِيمَةٍ فَيُمْنَعُ مِنْ قَسْمِهِ، فَلِذَلِكَ قُسِّمَ، أَلَا تَرَى لَوْ شَرَطَهُ الْإِمَامُ لَكَانَ مَغْنُومًا إِذَا لَمْ يَتَيَقَّنْ مُسْتَحِقَّهُ؛ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْقَتْلُ عَلَى صِفَةٍ لَا يَسْتَحِقُّ بِهَا السَّلَبَ.

Adapun jawaban atas pernyataan mereka: “Seandainya ia memang berhak mendapatkan (harta rampasan) karena membunuh, tentu ia juga berhak mendapatkannya jika membunuhnya dalam keadaan mundur atau melemparnya dengan anak panah,” maka jawabannya adalah bahwa ia berhak mendapatkannya dengan pembunuhan pada kondisi tertentu, yaitu apabila si pembunuh mempertaruhkan nyawanya sendiri dan dengan membunuh itu ia menahan keburukan si terbunuh. Jika ia membunuhnya dengan melempar, maka ia tidak mempertaruhkan dirinya, dan jika ia membunuhnya dalam keadaan mundur, maka yang menahan keburukan dirinya adalah orang yang mundur itu. Tidakkah engkau lihat, jika ia berhak mendapatkannya dengan syarat dari imam, maka ia tidak berhak kecuali dalam kondisi seperti ini. Adapun jawaban atas pernyataan mereka: “Seandainya salab (barang rampasan pribadi) itu memang berhak didapatkan karena membunuh, tentu tidak boleh diambil salab dari orang yang terbunuh yang tidak diketahui siapa pembunuhnya,” maka jawabannya adalah bahwa terkadang seseorang berhak mendapatkannya karena membunuh dalam kondisi tertentu, namun tidak dianggap sebagai ghanimah sehingga tidak dibagikan, maka karena itu ia dibagikan. Tidakkah engkau lihat, jika imam mensyaratkannya, maka ia menjadi ghanimah jika tidak diketahui siapa yang berhak, karena mungkin saja pembunuhan itu terjadi dalam kondisi yang tidak menjadikan salab berhak didapatkan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا مَالِكٌ فَاسْتَدَلَّ عَلَى تَخْمِيسِ السَّلَبِ بِقَوْلِهِ: {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ} [الأنفال: 41] وَلِأَنَّهُ مَالٌ مَغْنُومٌ فَأَشْبَهَ سَائِرَ الْغَنَائِمِ، وَدَلِيلُنَا مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْأَخْبَارِ مِنْ إِعْطَاءِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – السَّلَبَ مِنْ غَيْرِ تَخْمِيسٍ. وَرُوِيَ أَنَّ سَلَمَةَ بْنَ الْأَكْوَعِ قَتَلَ رَجُلًا فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَنْ قَتَلَهُ؟ قَالُوا سَلَمَةُ بْنُ الْأَكْوَعِ قَالَ: لَهُ سَلَبُهُ “.

Adapun Malik, ia berdalil tentang kewajiban membagi seperlima dari salab dengan firman Allah: {Dan ketahuilah, apa saja yang kalian peroleh sebagai ghanimah, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah…} (al-Anfal: 41), dan karena salab itu adalah harta rampasan, maka ia serupa dengan ghanimah lainnya. Dalil kami adalah apa yang telah kami sebutkan dari riwayat bahwa Nabi ﷺ memberikan salab tanpa membaginya seperlima. Diriwayatkan bahwa Salamah bin al-Akwa‘ membunuh seorang laki-laki, lalu Nabi ﷺ bertanya, “Siapa yang membunuhnya?” Mereka menjawab, “Salamah bin al-Akwa‘.” Beliau bersabda, “Baginya salabnya.”

وَهَذَا نَصٌّ.

Dan ini adalah nash (teks yang jelas).

وَرَوَى سُفْيَانُ عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ بَشِيرِ بْنِ عَلْقَمَةَ قَالَ: قَتَلْتُ رَجُلًا يَوْمَ الْقَادِسِيَّةِ فَبَلَغَ سَلَبُهُ اثني عشر ألفا فنفلنيه سعد، ولأنه أَهْلَ الْغَنِيمَةِ أَقْوَى مِنْ أَهْلِ الْخُمُسِ لِأَمْرَيْنِ:

Sufyan meriwayatkan dari al-Aswad bin Qais dari Basyir bin Alqamah, ia berkata: “Aku membunuh seorang laki-laki pada hari Qadisiyah, dan nilai salabnya mencapai dua belas ribu, lalu Sa‘d memberikannya kepadaku sebagai anfal.” Dan karena ahli ghanimah lebih kuat haknya daripada ahli khumus karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: كَثْرَةُ سَهْمِهِمْ.

Pertama: Banyaknya bagian mereka.

وَالثَّانِي: حُضُورُهُمُ الْوَقْعَةَ مَعَ الْقَاتِلِ، ثُمَّ كَانُوا مَعَ قُوَّتِهِمْ لَا يُشَارِكُونَ الْقَاتِلَ فِي السَّلَبِ، فَلَأَنْ لَا يُشَارِكَهُ أَهْلُ الْخُمُسِ الَّذِينَ هُمْ أَضْعَفُ أَوْلَى، وَالْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ قَدْ مَضَى وَقِيَاسُهُمْ عَلَى الْغَنِيمَةِ مَدْفُوعٌ بهذا الاستدلال.

Kedua: Kehadiran mereka di medan pertempuran bersama si pembunuh. Kemudian, meskipun mereka kuat, mereka tidak ikut serta dengan si pembunuh dalam salab. Maka, lebih utama lagi ahli khumus yang lebih lemah tidak ikut serta dengannya. Adapun jawaban atas ayat telah dijelaskan sebelumnya, dan qiyās mereka terhadap ghanimah tertolak dengan dalil ini.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ السَّلَبَ لِلْقَاتِلِ مِنْ غَيْرِ تَخْمِيسٍ فَهُوَ لَهُ مِنْ أَصْلِ الْغَنِيمَةِ قَلِيلًا كَانَ أَوْ كَثِيرًا وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِرَاقِ: هُوَ لَهُ مِنَ الْخُمْسِ سَهْمِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْمُعَدِّ لِوُجُوهِ الْمَصَالِحِ، فَإِنْ زَادَ السَّلَبُ عَلَيْهِ رُدَّتِ الزِّيَادَةُ إِلَى الْقِسْمَةِ اعْتِبَارًا بِالنَّفْلِ الْمُسْتَحَقِّ من الخمس، وهذا غير صحيح؛ لأنه قَتِيلَ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَلَبَهُ لَهُ أَجْمَعَ – وَكَانَ جَمِيعَ الْغَنِيمَةِ – لِأَنَّهُ لَمْ يَغْنَمْ سِوَاهُ، وَلِأَنَّ مَا اسْتُحِقَّ مِنْ غَيْرِ اجْتِهَادٍ وَلَا شَرْطٍ كَانَ مِنْ أَصْلِ الْغَنِيمَةِ دُونَ الْخُمُسِ كَالسِّهَامِ، وَخَالَفَ النَّفْلَ الَّذِي لَا يُسْتَحَقُّ إِلَّا بِاجْتِهَادٍ أَوْ شَرْطٍ.

Jika telah tetap bahwa salab adalah milik si pembunuh tanpa dibagi seperlima, maka itu menjadi miliknya dari asal ghanimah, baik sedikit maupun banyak. Sebagian ulama Irak berpendapat: Salab itu miliknya dari bagian khumus, yaitu bagian Nabi ﷺ yang diperuntukkan bagi kemaslahatan umum. Jika salab itu melebihi bagian tersebut, maka kelebihannya dikembalikan ke pembagian umum, sebagaimana anfal yang berhak didapatkan dari khumus. Pendapat ini tidak benar, karena dalam kasus orang yang dibunuh oleh Salamah bin al-Akwa‘, Rasulullah ﷺ memberikan seluruh salabnya kepada Salamah, padahal itu adalah seluruh ghanimah, karena tidak ada rampasan lain selain itu. Dan karena apa yang diperoleh tanpa ijtihad dan tanpa syarat, maka itu berasal dari asal ghanimah, bukan dari khumus, sebagaimana bagian-bagian (saham) lainnya. Ini berbeda dengan anfal yang tidak berhak didapatkan kecuali dengan ijtihad atau syarat.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا صَحَّ مَا وَصَفْنَا مِنَ اسْتِحْقَاقِ السَّلَبِ مِنْ أَصْلِ الْغَنِيمَةِ مِنْ غَيْرِ تَخْمِيسٍ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُ الشَّافِعِيِّ فِيهِ: هَلْ هُوَ ابْتِدَاءُ عَطِيَّةٍ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -؟ أَوْ بَيَانٌ لِمُجْمَلِ الْآيَةِ مِنْ قَوْله تَعَالَى: {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ} [الأنفال: 41] عَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika telah sah apa yang kami jelaskan tentang hak salab dari asal ghanimah tanpa dibagi seperlima, maka para sahabat Syafi‘i berbeda pendapat tentangnya: Apakah itu merupakan pemberian baru dari Rasulullah ﷺ, ataukah penjelasan terhadap makna global ayat Allah Ta‘ala: {Dan ketahuilah, apa saja yang kalian peroleh sebagai ghanimah, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah…} (al-Anfal: 41)? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ ابْتِدَاءُ عَطِيَّةٍ.

Pertama: Bahwa itu adalah pemberian baru.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ بَيَانٌ لِمُجْمَلِ الْآيَةِ، ولهذين الْقَوْلَيْنِ بَيَانٌ نَذْكُرُهُ مِنْ بَعْدُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: Bahwa itu adalah penjelasan terhadap makna global ayat. Penjelasan untuk kedua pendapat ini akan kami sebutkan setelah ini. Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فَالَّذِي لَا أَشُكُّ فِيهِ أَنْ يُعْطَى السَّلَبُ مَنْ قَتَلَ مُشْرِكًا مُقْبِلًا مُقَاتِلًا مِنْ أَيِّ جهة قتله مبارزا أو غير مبارز وقد أعطى النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سلب مرحب من قتله مبارزا وأبو قتادة غير مبارز ولكن المقتولين مقبلان ولقتلهما مقبلين والحرب قائمة مؤنة ليست له إذا انهزموا أو انهزم المقتول وفي حديث أبي قتادة رضي الله عنه دل عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” من قتل قتيلا له عليه بينة ” يوم حنين بعد ما قتل أبو قتادة الرجل فأعطاه النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ذلك حكم عندنا (قال الشافعي) ولو ضربه ضَرَبَهُ فَقَدَّ يَدَيْهِ أَوْ رِجْلَيْهِ ثُمَّ قَتَلَهُ آخر فإن سلبه للأول وإن ضربه ضربة وهو ممتنع فقتله آخر كان سلبه للآخر ولو قتله اثنان كان سلبه بينهما نصفين وهذا صحيح “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Hal yang tidak aku ragukan adalah bahwa rampasan (salab) diberikan kepada siapa saja yang membunuh seorang musyrik yang sedang maju berperang, dari arah mana pun ia membunuhnya, baik secara duel maupun tidak. Nabi ﷺ telah memberikan rampasan Marhab kepada orang yang membunuhnya secara duel, dan Abu Qatadah mendapatkannya meski bukan secara duel, namun keduanya membunuh orang yang sedang maju, dan keduanya membunuh dalam keadaan perang masih berlangsung. Rampasan itu bukan haknya jika mereka (musuh) telah lari atau yang terbunuh telah lari. Dalam hadis Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, terdapat petunjuk bahwa Nabi ﷺ bersabda: ‘Barang siapa membunuh seseorang dan ia memiliki bukti atasnya’ pada hari Hunain, setelah Abu Qatadah membunuh seorang laki-laki, maka Nabi ﷺ memberikannya kepadanya. Ini adalah hukum menurut kami. (Imam Syafi‘i berkata:) Jika seseorang memukul lalu memotong kedua tangan atau kakinya, kemudian orang lain membunuhnya, maka rampasan itu milik yang pertama. Jika ia memukulnya saat ia masih mampu bertahan, lalu orang lain membunuhnya, maka rampasan itu milik yang kedua. Jika dua orang membunuhnya, maka rampasan dibagi dua di antara mereka, dan ini benar.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا ثَبَتَ أَنَّ السَّلَبَ لِلْقَاتِلِ مِنْ أَصْلِ الْغَنِيمَةِ مِنْ غَيْرِ تَخْمِيسٍ فَاسْتِحْقَاقُ الْقَاتِلِ مُعْتَبَرٌ بِأَرْبَعَةِ شُرُوطٍ:

Al-Mawardi berkata: Jika telah tetap bahwa rampasan (salab) adalah milik pembunuh dari harta ghanimah tanpa melalui pembagian seperlima (khumus), maka hak pembunuh atas rampasan itu ditentukan dengan empat syarat:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ الْحَرْبُ قَائِمَةً وَالْقِتَالُ مُسْتَمِرًّا، فَإِنْ قَتَلَهُ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْحَرْبِ وَانْجِلَاءِ الْوَاقِعَةِ فَلَا سَلَبَ لَهُ.

Pertama: Perang masih berlangsung dan pertempuran masih berlanjut. Jika ia membunuh setelah perang usai dan peristiwa telah selesai, maka tidak ada rampasan baginya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْمَقْتُولُ مُقْبِلًا عَلَى الْحَرْبِ، سَوَاءٌ كَانَ يُقَاتِلُ أَوْ لَا يُقَاتِلُ؛ لِأَنَّهُ وَإِنْ لَمْ يُقَاتِلْ فَهُوَ رَدٌّ لِمَنْ تَقَاتَلَ، فأما إن قتله وهو مولي عن الحرب تاركا لَهَا فَلَا سَلَبَ لَهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ فَرَّ فَيَكُونُ لَهُ سَلَبُهُ؛ لِأَنَّ الْحَرْبَ كَرٌّ وَفَرٌّ، لَكِنْ فَرْقٌ بَيْنَ أَنْ يَقْتُلَهُ مِنْ أَمَامِهِ أَوْ مِنْ وَرَائِهِ فِي اسْتِحْقَاقِ سَلَبِهِ؛ لِأَنَّ أَبَا قَتَادَةَ قَتَلَ الْمُشْرِكَ الَّذِي أَخَذَ سَلَبَهُ مِنْ وَرَائِهِ.

Kedua: Orang yang dibunuh sedang maju ke medan perang, baik ia sedang bertempur atau tidak; karena meskipun ia tidak bertempur, ia tetap dianggap sebagai bagian dari yang berperang. Adapun jika ia membunuhnya saat orang itu telah berpaling dari perang dan meninggalkannya, maka tidak ada rampasan baginya, kecuali jika orang itu lari dari medan perang, maka ia berhak atas rampasannya; karena perang itu ada maju dan mundur. Namun, ada perbedaan antara membunuhnya dari depan atau dari belakang dalam hal hak atas rampasan; sebab Abu Qatadah membunuh musyrik yang rampasannya ia ambil dari belakang.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الْقَاتِلُ فِي قَتْلِهِ مُغَرِّرًا بِنَفْسِهِ إِمَّا بِأَنْ يَقْتُلَهُ مُبَارَزَةً أَوْ غَيْرَ مُبَارَزَةٍ، وَإِذَا خَرَجَ الْقَاتِلُ عَنْ صَفِّهِ فَغَرَّرَ، فَأَمَّا إِذَا قَتَلَهُ مِنَ الصَّفِّ بِسَهْمٍ رَمَاهُ فَلَا سَلَبَ لَهُ.

Ketiga: Pembunuh dalam membunuhnya mempertaruhkan dirinya, baik dengan membunuh secara duel maupun tidak. Jika pembunuh keluar dari barisannya dan mempertaruhkan diri, maka ia berhak. Namun, jika ia membunuh dari barisan dengan memanah, maka tidak ada rampasan baginya.

وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الْمَقْتُولُ مُمْتَنِعًا بِسَلَامَةِ جِسْمِهِ حَتَّى قُتِلَ لِيَكُونَ فِي الْقَتْلِ كَفٌّ لِشَرِّهِ وَأَمَّا إِنْ كَانَ قَدْ صَارَ بِجِرَاحٍ قَدْ تَقَدَّمَتْ غَيْرُ مُمْتَنِعٍ فَسَلَبُهُ لِمَنْ كَفَّهُ وَمَنَعَهُ دُونَ مَنْ قَتَلَهُ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَعْطَى سَلَبَ أَبِي جَهْلٍ ابْنَ عَفْرَاءَ دُونَ ابْنِ مَسْعُودٍ وَإِنْ كَانَ هُوَ الْقَاتِلُ؛ لِأَنَّهُمَا صَرَعَاهُ فَجَرَحَاهُ وَكَفَّاهُ عَنِ الْقِتَالِ، وَصِفَةُ الْكَفِّ الَّذِي يَتَعَلَّقُ بِهِ اسْتِحْقَاقُ السَّلَبِ أَنْ يَجْتَمِعَ شَرْطَانِ:

Keempat: Orang yang dibunuh masih mampu bertahan dengan tubuhnya hingga ia terbunuh, sehingga pembunuhan itu benar-benar menghentikan keburukannya. Adapun jika ia telah terluka sebelumnya sehingga tidak mampu bertahan, maka rampasannya menjadi milik orang yang telah melumpuhkannya dan mencegahnya (dari berperang), bukan milik orang yang membunuhnya; karena Nabi ﷺ memberikan rampasan Abu Jahl kepada putra ‘Afra’, bukan kepada Ibnu Mas‘ud, meskipun Ibnu Mas‘ud yang membunuhnya; sebab keduanya telah menjatuhkannya, melukainya, dan melumpuhkannya dari pertempuran. Adapun sifat pelumpuhan yang menjadi dasar hak atas rampasan adalah terpenuhinya dua syarat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَنَالَهُ مِنَ الْجِرَاحِ مَا يَعْجِزُ مَعَهُ عَنِ الْقِتَالِ فَيَصِيرُ بِهِ مَكْفُوفَ الشَّرِّ، وَسَوَاءٌ قَطَعَ أَطْرَافَهُ الْأَرْبَعَةَ أَوْ بَعْضَهَا أَوْ كَانَ الْجِرَاحُ فِي غَيْرِ أَطْرَافِهِ، وَقَدْ رَوَى الْمُزَنِيُّ: ” وَلَوْ ضَرَبَهُ فَقَدَّ يَدَيْهِ أَوْ رِجْلَيْهِ ثُمَّ قَتَلَهُ آخَرُ فَإِنَّ سَلَبَهُ لِلْأَوَّلِ “.

Pertama: Ia mengalami luka yang membuatnya tidak mampu lagi bertempur sehingga ia menjadi tidak berbahaya, baik dengan memotong keempat anggota tubuhnya, sebagian darinya, atau lukanya di bagian tubuh lain. Al-Muzani meriwayatkan: “Jika seseorang memukul lalu memotong kedua tangan atau kakinya, kemudian orang lain membunuhnya, maka rampasan itu milik yang pertama.”

وَرَوَى الرَّبِيعُ: ” وَلَوْ ضَرَبَهُ فَقَطَعَ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ ” وَلَيْسَ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ فِيمَا يَصِيرُ بِهِ مَكْفُوفًا كَمَا وَهِمَ فِيهِ بَعْضُ أَصْحَابِنَا، وَإِنَّمَا الِاعْتِبَارُ فِيهِ بِأَنْ يَصِيرَ بِالْجِرَاحِ عَاجِزًا عَنِ الْقِتَالِ صَرِيعًا.

Ar-Rabi‘ meriwayatkan: “Jika seseorang memukul lalu memotong kedua tangan dan kakinya.” Hal ini tidak menunjukkan adanya perbedaan dua pendapat dalam hal apa yang menyebabkan ia menjadi lumpuh, sebagaimana yang disangka sebagian sahabat kami. Yang menjadi patokan adalah jika dengan luka itu ia menjadi tidak mampu bertempur dan tergeletak.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ لَا تَطُولَ بِهِ مُدَّةُ الْحَيَاةِ بَعْدَ الْجِرَاحِ، فَيُكْفَى شَرَّ رَأْيِهِ وَتَدْبِيرِهِ فَيَصِيرُ بِاجْتِمَاعِ هَذَيْنِ الشَّرْطَيْنِ سَلَبُهُ لِلْجَارِحِ الْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي الْقَاتِلِ.

Syarat kedua: Tidak berlangsung lama masa hidupnya setelah luka tersebut, sehingga keburukan akal dan siasatnya sudah terhenti. Dengan terpenuhinya dua syarat ini, maka rampasan menjadi milik orang yang pertama melukainya, bukan milik yang kedua yang membunuhnya.

وَأَمَّا إِنْ جَرَحَهُ جِرَاحَةً لَا تَطُولُ مُدَّةُ الْحَيَاةِ بَعْدَهَا لَكِنَّهُ قَدْ يُقَابِلُ مَعَهُ فَلَا سَلَبَ لِجَارِحِهِ؛ لِأَنَّ مَا كَفَى شَرَّ قِتَالِهِ وَالسَّلَبُ لِقَاتِلِهِ وَلَوْ نَالَهُ بِالْجِرَاحِ مَا كَفَّهُ عَنِ الْقِتَالِ وَأَعْجَزَهُ عَنْهُ أَبَدًا، لَكِنْ طَالَتْ بِهِ مُدَّةُ الْحَيَاةِ بَعْدَهُ فَفِي سَلَبِهِ قَوْلَانِ مِنْ قَتْلِ الشُّيُوخِ:

Adapun jika ia melukainya dengan luka yang tidak memperpanjang masa hidup setelahnya, namun ia masih bisa berhadapan dengannya, maka tidak ada hak atas salab bagi orang yang melukainya; karena yang dianggap adalah apa yang cukup untuk menahan keburukan perangnya, dan salab itu untuk pembunuhnya. Namun jika ia melukainya dengan luka yang membuatnya tidak mampu lagi berperang dan benar-benar melemahkannya dari pertempuran selamanya, tetapi masa hidupnya setelah itu menjadi panjang, maka dalam hal salabnya terdapat dua pendapat dalam kasus pembunuhan terhadap orang tua:

أَحَدُهُمَا: السَّلَبُ لِجَارِحِهِ دُونَ قَاتِلِهِ إِذَا قِيلَ إِنَّ الشُّيُوخَ وَالرُّهْبَانَ لَا يُقْتَلُونَ.

Salah satunya: salab diberikan kepada orang yang melukainya, bukan kepada pembunuhnya, jika dikatakan bahwa orang tua dan para rahib tidak boleh dibunuh.

وَالثَّانِي: لِقَاتِلِهِ دُونَ جَارِحِهِ إِذَا قِيلَ يُقْتَلُونَ، فَهَذِهِ الشُّرُوطُ الَّتِي ذَكَرْنَا يُسْتَحَقُّ السَّلَبُ بِهَا، وَقَالَ دَاوُدُ وَأَبُو ثَوْرٍ: ” مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا فَلَهُ سَلَبُهُ ” وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَعْطَى سَلَبَ أَبِي جَهْلٍ لِابْنِ عَفْرَاءَ دُونَ ابْنِ مَسْعُودٍ، وَإِنْ كَانَ قَاتِلًا، وَقِيلَ: إِنَّهُ تقلد منه سيفه وحده.

Dan yang kedua: kepada pembunuhnya, bukan kepada yang melukainya, jika dikatakan mereka boleh dibunuh. Inilah syarat-syarat yang telah kami sebutkan, yang dengannya salab menjadi hak. Dawud dan Abu Tsaur berkata: “Barang siapa membunuh seseorang, maka ia berhak atas salabnya.” Ini adalah pendapat yang keliru; karena Nabi ﷺ memberikan salab Abu Jahal kepada Ibnu ‘Afra’, bukan kepada Ibnu Mas‘ud, meskipun ia juga membunuhnya. Ada pula yang mengatakan: Ibnu Mas‘ud hanya mengambil pedangnya saja darinya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَالسَّلَبُ الَّذِي يَكُونُ لِلْقَاتِلِ كُلُّ ثَوْبٍ يَكُونُ عَلَيْهِ وَسِلَاحُهُ وَمِنْطَقَتُهُ وَفَرَسُهُ إِنْ كَانَ رَاكِبَهُ أَوْ مُمْسِكَهُ وَكُلُّ مَا أُخِذَ مِنْ يَدِهِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Salab yang menjadi hak pembunuh adalah setiap pakaian yang ada padanya, senjatanya, ikat pinggangnya, kudanya jika ia menungganginya atau memegangnya, dan segala sesuatu yang diambil dari tangannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا كَانَ السَّلَبُ مُسْتَحَقًّا بِالْقَتْلِ الَّذِي وَصَفْنَاهُ انْتَقَلَ الْكَلَامُ فِيهِ إِلَى ثَلَاثَةِ فُصُولٍ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, jika salab memang menjadi hak karena pembunuhan sebagaimana yang telah kami jelaskan, maka pembahasan tentangnya terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: فِيمَنْ يَسْتَحِقُّ السَّلَبَ مِنَ الْقَاتِلِينَ.

Pertama: tentang siapa yang berhak atas salab dari para pembunuh.

الثَّانِي: فِيمَنْ يَسْتَحِقُّ سَلَبَهُ عَنِ الْمَقْتُولِينَ.

Kedua: tentang siapa yang berhak disalab dari para korban.

وَالثَّالِثُ: فِيمَا يَكُونُ سَلَبًا مُسْتَحَقًّا بِالْقَتْلِ.

Ketiga: tentang apa saja yang termasuk salab yang menjadi hak karena pembunuhan.

فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ وَهُوَ: الْقَاتِلُ الَّذِي يَسْتَحِقُّ السَّلَبَ فَهُوَ كُلُّ ذِي سَهْمٍ فِي الْغَنِيمَةِ مِنْ فَارِسٍ وَرَاجِلٍ فَلَهُ سَلَبُ قَتِيلِهِ.

Adapun bagian pertama, yaitu: pembunuh yang berhak atas salab adalah setiap orang yang mendapat bagian dari ghanimah, baik penunggang kuda maupun pejalan kaki, maka ia berhak atas salab dari orang yang dibunuhnya.

فَأَمَّا مَنْ لَا سَهْمَ لَهُ فِي الْغَنِيمَةِ فَضَرْبَانِ:

Adapun orang yang tidak mendapat bagian dari ghanimah, maka terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: مَنْ لَا سَهْمَ لَهُ لِكُفْرِهِ.

Pertama: orang yang tidak mendapat bagian karena kekafirannya.

وَالثَّانِي: لِنَقْصِهِ.

Kedua: karena kekurangannya.

فَأَمَّا مَنْ لَا سَهْمَ لَهُ بِكُفْرِهِ كَالْمُشْرِكِ إِذَا قَتَلَ مُشْرِكًا فَلَا سَلَبَ لَهُ إِنْ قُتِلَ؛ لِأَنَّ السَّلَبَ غَنِيمَةٌ نَقَلَهَا اللَّهُ تَعَالَى عَنِ الْمُشْرِكِينَ إِلَى الْمُسْلِمِينَ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُنْقَلَ عَنْهُمْ إِلَى الْمُشْرِكِينَ وَإِنَّمَا يُعْطَوْنَ إِذَا قَاتَلُوا أَجْرًا مِنْ سَهْمِ الْمَصَالِحِ لَا سَهْمًا مِنَ الْغَنِيمَةِ.

Adapun orang yang tidak mendapat bagian karena kekafirannya, seperti musyrik yang membunuh musyrik lainnya, maka ia tidak berhak atas salab jika ia membunuh; karena salab adalah ghanimah yang telah Allah Ta‘ala pindahkan dari kaum musyrik kepada kaum muslimin, sehingga tidak boleh dipindahkan dari mereka kepada kaum musyrik. Mereka hanya diberi upah dari bagian maslahat jika mereka ikut berperang, bukan bagian dari ghanimah.

وَأَمَّا مَنْ لَا سَهْمَ لَهُ لِنَقْصِهِ كَالْعَبِيدِ وَالصِّبْيَانِ، وَالنِّسَاءِ فَفِي اسْتِحْقَاقِهِمْ فِي السَّلَبِ قَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي السَّلَبِ، هَلْ هُوَ ابْتِدَاءُ عَطِيَّةٍ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -؟ أَوْ بَيَانٌ لِمُجْمَلِ الْآيَةِ؟ فَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ ابْتِدَاءُ عَطِيَّةٍ مِنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أُعْطِيَهُ الْقَاتِلُ عَبْدًا كَانَ أَوْ صَبِيًّا أَوِ امْرَأَةً؛ لِعُمُومِ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا فَلَهُ سَلَبُهُ ” وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ بَيَانٌ لِمُجْمَلِ الْآيَةِ لَمْ يُعْطَ الْعَبْدُ وَالصَّبِيُّ وَالْمَرْأَةُ وَإِنْ كَانُوا قَاتِلِينَ؛ لِأَنَّ تَمَلُّكَ السَّهْمِ مِنَ الْغَنِيمَةِ مُسْتَحَقٌّ لِمُجَرَّدِ الْحُضُورِ؛ فَلَمَّا ضَعُفُوا عَنْ تَمَلُّكِهِ كَانُوا عَنْ تَمَلُّكِ السَّلَبِ أَضْعَفَ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.

Adapun orang yang tidak mendapat bagian karena kekurangannya, seperti budak, anak-anak, dan wanita, maka dalam hal hak mereka atas salab terdapat dua pendapat yang dibangun di atas perbedaan dua pendapat tentang salab: apakah itu pemberian baru dari Rasulullah ﷺ atau penjelasan terhadap makna global ayat? Jika dikatakan bahwa itu adalah pemberian baru dari beliau ﷺ, maka pembunuhnya, baik ia budak, anak-anak, atau wanita, tetap diberi salab; karena keumuman sabda beliau ﷺ: “Barang siapa membunuh seseorang, maka ia berhak atas salabnya.” Namun jika dikatakan bahwa itu adalah penjelasan terhadap makna global ayat, maka budak, anak-anak, dan wanita tidak diberi salab meskipun mereka membunuh; karena kepemilikan bagian dari ghanimah hanya karena kehadiran saja, maka ketika mereka lemah untuk memilikinya, mereka pun lebih lemah lagi untuk memiliki salab – dan Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا مَنْ يَسْتَحِقُّ سَلَبَهُ مِنَ الْمَقْتُولِينَ فَهُمْ مَنْ جَازَ قَتْلُهُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ، وَالْمُشْرِكُونَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: مُقَاتِلَةٌ ومن دونهم، من الذُّرِّيَّةِ، وَمَنْ فَوْقَهُمْ مِنَ الشُّيُوخِ وَالرُّهْبَانِ.

Adapun siapa yang berhak disalab dari para korban, mereka adalah orang-orang yang boleh dibunuh dari kalangan musyrikin. Kaum musyrik terbagi menjadi tiga golongan: para pejuang dan selain mereka, dari kalangan anak-anak, serta yang lebih tua dari mereka seperti orang tua dan para rahib.

فَأَمَّا الْمُقَاتِلَةُ فَسَلَبُ مَنْ قُتِلَ سَهْمٌ لِقَاتِلِهِ؛ لِأَنَّ قَتْلَهُمْ مُبَاحٌ لَهُ، سَوَاءٌ قَاتَلُوا أَوْ لَمْ يُقَاتِلُوا.

Adapun para pejuang, maka salab dari orang yang dibunuh adalah bagian bagi pembunuhnya; karena membunuh mereka dihalalkan baginya, baik mereka ikut berperang maupun tidak.

وَأَمَّا الذُّرِّيَّةُ وَهُمُ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ فَإِنْ قَاتَلُوا كَانَ قَتْلُهُمْ مُبَاحًا وَلِلْقَاتِلِ سَلَبُ مَنْ قَتَلَهُ مِنْهُمْ، وَإِنْ لَمْ يُقَاتِلُوا حَرُمَ قَتْلُهُمْ؛ لِنَهْيِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ قَتْلِ النِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ، وَلَا سَلَبَ لِقَاتِلِهِمْ؛ لِحَظْرِ قَتْلِهِمْ عَلَيْهِ لَكِنَّهُ يَكُونُ مَغْنُومًا؛ لِأَنَّهُ مَالُ مُشْرِكٍ.

Adapun yang dimaksud dengan dzurriyyah adalah perempuan dan anak-anak. Jika mereka ikut berperang, maka membunuh mereka diperbolehkan dan bagi yang membunuhnya berhak atas barang rampasan (salab) dari mereka yang dibunuh. Namun jika mereka tidak ikut berperang, maka haram membunuh mereka; karena Nabi ﷺ melarang membunuh perempuan dan anak-anak. Dalam hal ini, pembunuh mereka tidak berhak atas salab, karena membunuh mereka dilarang baginya. Akan tetapi harta mereka tetap menjadi harta rampasan, karena itu adalah harta musyrik.

وَأَمَّا الشُّيُوخُ وَالرُّهْبَانُ فَإِنْ قَاتَلُوا جَازَ قَتْلُهُمْ، وَكَانَ لِلْقَاتِلِ سَلَبُ مَنْ قَتَلَهُ مِنْهُمْ وَإِنْ لَمْ يُقَاتِلُوا فَفِي جَوَازِ قَتْلِهِمْ قَوْلَانِ:

Adapun orang tua lanjut usia dan para rahib, jika mereka ikut berperang, maka boleh dibunuh dan pembunuhnya berhak atas salab dari mereka yang dibunuh. Namun jika mereka tidak ikut berperang, maka terdapat dua pendapat mengenai kebolehan membunuh mereka:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ قَتْلُهُمْ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ سَلَبُهُمْ لِلْقَاتِلِ.

Pertama: Boleh membunuh mereka, dan dalam hal ini salab mereka menjadi hak pembunuhnya.

وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ قَتْلُهُمْ، فَعَلَى هَذَا لَا سَلَبَ لِقَاتِلِهِمْ وَيَكُونُ مَغْنُومًا.

Kedua: Tidak boleh membunuh mereka, sehingga pembunuhnya tidak berhak atas salab dan harta mereka menjadi harta rampasan.

فَصْلٌ:

Fashal:

[القول فيما يكون السلب]

[Penjelasan tentang apa yang termasuk salab]

وَأَمَّا مَا يَكُونُ سَلَبًا فَمَا ظُهِرَ عَلَيْهِ فِي الْوَقْعَةِ مِنْ مَالِ الْمَقْتُولِ وَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun yang termasuk salab adalah apa yang didapati pada korban di medan pertempuran dari harta milik orang yang terbunuh, dan itu terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: مَا يَكُونُ سَلَبًا، وَهُوَ ما كان راكبه من فرسه أَوْ بَعِيرٍ، وَمُسْتَجِنًّا بِهِ مِنْ دِرْعٍ وَمِغْفَرٍ وَمُتَّقٍ بِهِ مِنْ تُرْسٍ وَدَرَقَةٍ وَمُقَاتِلٍ بِهِ مِنْ سَيْفٍ أَوْ رُمْحٍ، فَهَذَا كُلُّهُ مَعَ مَا عَلَى الْفَرَسِ مِنْ سَرْجٍ وَلِجَامٍ، وَمَا عَلَى الْمَقْتُولِ مِنْ حُلِيٍّ وَلِبَاسٍ سَلَبٌ يَسْتَحِقُّهُ الْقَاتِلُ.

Pertama: Apa yang termasuk salab, yaitu apa yang sedang dipakai atau ditunggangi oleh korban, seperti kuda atau unta, serta perlengkapan yang digunakan untuk berlindung seperti baju zirah, topi besi, perisai, dan alat pelindung lainnya, serta senjata yang digunakan untuk bertempur seperti pedang atau tombak. Semua itu, beserta perlengkapan yang ada pada kuda seperti pelana dan tali kekang, serta perhiasan dan pakaian yang melekat pada korban, termasuk salab yang menjadi hak pembunuhnya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَا لَا يَكُونُ سَلَبًا وَيَكُونُ غَنِيمَةً، وَهُوَ مَا فِي رَحْلِهِ مِنْ مَالٍ وَرَحْلٍ وَسِلَاحٍ وَخَيْلٍ، فَهَذَا كُلُّهُ غَنِيمَةٌ يَشْتَرِكُ فِيهَا جَمِيعُ الْجَيْشِ، وَلَا يَخْتَصُّ الْقَاتِلُ بِشَيْءٍ مِنْهُ.

Bagian kedua: Apa yang tidak termasuk salab, melainkan menjadi ghanīmah, yaitu harta, perlengkapan, senjata, dan kuda yang ada di tempat peristirahatan korban. Semua itu menjadi ghanīmah yang dibagi untuk seluruh pasukan, dan pembunuh tidak memiliki hak khusus atasnya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَا اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِيهِ وَهُوَ كلما كانت يده عليه في المعركة قوة على القتال وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُقَاتِلٍ بِهِ فِي الْحَالِ كالفرس الذي بجنبه عدة لقتاله أو هيمان النفقة الذي في وسطه قوة ليستعين بِهَا عَلَى قِتَالِهِ فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Bagian ketiga: Apa yang diperselisihkan statusnya, yaitu segala sesuatu yang berada dalam genggaman korban di medan pertempuran yang menjadi kekuatan untuk bertempur, meskipun tidak sedang digunakan untuk bertempur saat itu, seperti kuda di sampingnya yang dipersiapkan untuk bertempur, atau bekal yang ada padanya yang menjadi kekuatan untuk membantunya dalam pertempuran. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ سَلَبًا؛ لِأَنَّهُ قُوَّةٌ لَهُ عَلَى قِتَالِنَا فَصَارَ كَالَّذِي يُقَاتِلُ بِهِ.

Pertama: Termasuk salab, karena itu merupakan kekuatan baginya dalam melawan kita, sehingga statusnya seperti alat yang digunakan untuk bertempur.

وَالثَّانِي: يَكُونُ غَنِيمَةً وَلَا يَكُونُ سَلَبَا؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُقَاتِلٍ بِهِ وَإِنْ كَانَ قُوَّةً لَهُ كَالَّذِي فِي رَحْلِهِ.

Kedua: Termasuk ghanīmah dan tidak termasuk salab, karena tidak digunakan untuk bertempur, meskipun itu merupakan kekuatan baginya, seperti harta yang ada di tempat peristirahatannya.

فَصْلٌ:

Fashal:

وَإِذَا أَسَرَ الْمُسْلِمُ مُشْرِكًا غَرَّرَ بِنَفْسِهِ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ فِي أَسْرِهِ وَلَمْ يَقْتُلْهُ فَفِي اسْتِحْقَاقِ سَلَبِهِ قَوْلَانِ:

Jika seorang Muslim menawan seorang musyrik yang telah mempertaruhkan dirinya di antara dua barisan dalam penawanannya, namun tidak membunuhnya, maka dalam hal hak atas salabnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَسْتَحِقُّهُ؛ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا فَلَهُ سَلَبُهُ ” وَهَذَا لَمْ يَقْتُلْهُ وَلَا كَفَى الْمُسْلِمِينَ شَرَّهُ، فَعَلَى هَذَا إِنْ قَتَلَهُ بَعْدَ أَسْرِهِ فَإِنْ كَانَ وَالْحَرْبُ قَائِمَةٌ فَلَهُ سَلَبُهُ، وَإِنْ قَتَلَهُ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْحَرْبِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Pertama: Tidak berhak atas salabnya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa membunuh musuh, maka baginya salabnya.” Sedangkan dalam kasus ini, ia tidak membunuhnya dan tidak pula menghindarkan keburukannya dari kaum Muslimin. Maka, jika ia membunuhnya setelah penawanan, jika perang masih berlangsung, maka ia berhak atas salabnya. Namun jika ia membunuhnya setelah perang usai, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَسْتَحِقُّهُ؛ لِأَنَّهُ قَتَلَهُ بِسَبَبٍ كَانَ مِنْهُ فِي وَقْتِ الْحَرْبِ.

Pertama: Ia berhak atas salabnya, karena ia membunuhnya disebabkan sesuatu yang terjadi pada saat perang.

وَالثَّانِي: لَا سَلَبَ لَهُ؛ لِأَنَّ الْحَرْبَ قَدِ انْقَطَعَ حُكْمُهَا بِانْقِضَائِهَا.

Kedua: Ia tidak berhak atas salabnya, karena hukum perang telah berakhir dengan berakhirnya peperangan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَسْتَحِقُّ سَلَبَ أَسْرِهِ وَإِنْ لَمْ يَقْتُلْهُ؛ لِأَنَّ تَغْرِيرَهُ لِنَفْسِهِ فِي الْأَسْرِ أَعْظَمُ، وَلِأَنَّ مَنْ قَدَرَ عَلَى الْأَسْرِ فَهُوَ عَلَى الْقَتْلِ أَقْدَرُ، فَإِنْ سَلَّمَهُ إِلَى الْإِمَامِ حَيًّا أَعْطَاهُ الْإِمَامُ سَلَبَهُ، وَكَانَ مُخَيَّرًا فِيهِ بَيْنَ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ: بَيْنَ أَنْ يَقْتُلَ، أَوْ يَمُنَّ عَلَيْهِ، أَوْ يَسْتَرِقَّهُ، أَوْ يُفَادِيَ، فَإِنْ قَتَلَهُ أَوْ مَنَّ عَلَيْهِ فَلَيْسَ لِلَّذِي أَسَرَهُ غَيْرُ سَلَبِهِ، وَإِنِ اسْتَرَقَّهُ أَوْ فَادَى بِهِ عَلَى مَالٍ كَانَ حُكْمُ اسْتِرْقَاقِهِ وَمَالِ فِدَائِهِ كَحُكْمِ السَّلَبِ فَيَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Pendapat kedua: Ia berhak atas salab dari penawanannya meskipun tidak membunuhnya, karena mempertaruhkan dirinya dalam penawanan lebih besar bahayanya, dan karena siapa yang mampu menawan, tentu lebih mampu membunuh. Jika ia menyerahkan tawanan itu kepada imam dalam keadaan hidup, maka imam memberikan salabnya kepadanya, dan imam boleh memilih di antara empat hal: membunuh, memaafkan, memperbudak, atau menukar dengan harta. Jika imam membunuh atau memaafkan, maka yang menawan hanya berhak atas salabnya. Namun jika imam memperbudak atau menukar dengan harta, maka hukum perbudakan dan harta tebusannya seperti hukum salab, sehingga ada dua pendapat:

أحدهما: غنيمة إذا قلنا إن السلب لمن أسره.

Pertama: Menjadi ghanīmah jika dikatakan bahwa salab itu untuk yang menawan.

وَالثَّانِي: لِمَنْ أَسَرَهُ إِذَا قُلْنَا: إِنَّ السَّلَبَ لمن أسره.

Kedua: Menjadi milik yang menawan jika dikatakan bahwa salab itu untuk yang menawan.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَالنَّفْلُ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ نَفَّلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ غَنِيمَةٍ قِبَلَ نَجْدٍ بَعِيرًا بَعِيرًا وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ كَانُوا يُعْطَوْنَ النَّفْلَ مِنَ الخمس (قال الشافعي) رحمه الله نفلهم النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ خُمُسِهِ كَمَا كَانَ يَصْنَعُ بِسَائِرِ مَالِهِ فِيمَا فِيهِ صَلَاحُ الْمُسْلِمِينَ وَمَا سِوَى سَهْمِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – من جميع الخمس لمن سماه الله تعالى فينبغي للإمام أن يجتهد إذا كثر العدو واشتدت شوكته وقل من بإزائه من المسلمين فينفل منه اتباعا لسنة رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وإلا لم يفعل وقد روي في النفل في البداءة والرجعة الثلث في واحدة والربع في الأخرى وروى ابن عمر أنه نفل نصف السدس وهذا يدل على أنه ليس للنفل حد لا يجاوزه الإمام ولكن على الاجتهاد “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Nafl dari sisi lain, Rasulullah ﷺ memberikan nafl dari harta rampasan perang di daerah Najd, satu ekor unta demi satu ekor unta. Sa‘id bin al-Musayyab berkata, mereka dahulu diberi nafl dari bagian khumus. (Asy-Syafi‘i berkata) rahimahullah: Nabi ﷺ memberikan nafl kepada mereka dari bagian khumusnya, sebagaimana beliau memperlakukan harta beliau yang lain dalam hal-hal yang membawa kemaslahatan bagi kaum Muslimin. Adapun selain bagian Nabi ﷺ dari seluruh khumus, diberikan kepada siapa saja yang telah Allah sebutkan. Maka hendaknya imam berijtihad, jika musuh banyak dan kekuatannya besar, serta jumlah kaum Muslimin yang berhadapan dengannya sedikit, maka ia boleh memberikan nafl sebagai mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ. Jika tidak, maka tidak dilakukan. Telah diriwayatkan mengenai nafl pada saat keberangkatan dan kepulangan: sepertiga pada salah satunya dan seperempat pada yang lain. Ibnu ‘Umar meriwayatkan bahwa beliau memberikan nafl setengah dari seperenam. Ini menunjukkan bahwa tidak ada batas tertentu untuk nafl yang tidak boleh dilampaui oleh imam, melainkan berdasarkan ijtihad.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.

قَدْ ذَكَرْنَا فِي أَوَّلِ الْبَابِ أَنَّ النَّفْلَ فِي كَلَامِهِمْ هُوَ زِيَادَةٌ مِنَ الْخَيْرِ، وَهُوَ ها هنا الزِّيَادَةُ مِنَ الْغَنِيمَةِ يُخْتَصُّ بِهَا بَعْضُ الْغَانِمِينَ دُونَ بَعْضٍ. وَقَدْ تَكُونُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ:

Telah kami sebutkan di awal bab bahwa nafl dalam istilah mereka adalah tambahan dari kebaikan, dan di sini maksudnya adalah tambahan dari harta rampasan perang yang dikhususkan bagi sebagian peserta perang tanpa yang lain. Dan nafl ini bisa terjadi dalam empat bentuk:

أَحَدُهَا: السَّلَبُ، يَسْتَحِقُّهُ الْقَاتِلُ مِنْ أَصْلِ الْغَنِيمَةِ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ.

Pertama: Salab (barang rampasan pribadi), yang menjadi hak pembunuh dari pokok harta rampasan perang tanpa syarat, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya.

وَالثَّانِي: ما ادعى إلى التَّحْرِيضِ عَلَى الْقِتَالِ وَالِاجْتِهَادِ فِي الظَّفَرِ، مِثْلَ: أَنْ يَقُولَ الْإِمَامُ أَوْ أَمِيرُ الْجَيْشِ مَنْ يُقَدَّمْ فِي السَّرَايَا إِلَى دَارِ الْحَرْبِ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا، وَمَنْ فَتَحَ هَذِهِ الْقَلْعَةَ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا، أَوْ مَنْ قَتَلَ فُلَانًا فَلَهُ كَذَا، أَوْ مَنْ أَقَامَ كَمِينًا فَلَهُ كَذَا، فَهَذَا جَائِزٌ، سَوَاءً جَعَلَ مَا بَذَلَهُ مُقَدَّرًا فِي الْغَنِيمَةِ كَقَوْلِهِ: فَلَهُ أَلْفُ دِينَارٍ أَوْ جَعَلَهُ شَائِعًا فِي الْغَنِيمَةِ كَقَوْلِهِ: فَلَهُ رُبْعُ الغنيمة أو ثلثها، أو جعله مقدار بِالسَّهْمِ فِيهَا كَقَوْلِهِ: فَلَهُ نِصْفُ مِثْلِ سَهْمٍ، كُلُّ ذَلِكَ سَوَاءٌ، وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِهِ إِذَا دَعَتِ الْحَاجَةُ إِلَيْهِ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعَثَ سَرِيَّةً قِبَلَ نَجْدٍ فَغَنِمُوا إِبِلًا كَثِيرَةً فَكَانَتْ سِهَامُهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ بَعِيرًا أَوْ أَحَدَ عَشَرَ بَعِيرًا ثُمَّ نَفَلُوا بَعِيرًا.

Kedua: Apa yang bertujuan untuk mendorong semangat bertempur dan bersungguh-sungguh dalam meraih kemenangan, seperti: imam atau panglima pasukan berkata, “Siapa yang maju dalam pasukan penyerang ke wilayah musuh, maka baginya sekian dan sekian,” atau “Siapa yang menaklukkan benteng ini, maka baginya sekian,” atau “Siapa yang membunuh si fulan, maka baginya sekian,” atau “Siapa yang memasang penyergapan, maka baginya sekian.” Ini diperbolehkan, baik yang diberikan itu berupa jumlah tertentu dari harta rampasan, seperti ucapannya: “Baginya seribu dinar,” atau berupa bagian tertentu dari harta rampasan, seperti ucapannya: “Baginya seperempat rampasan perang atau sepertiganya,” atau berupa kadar tertentu dalam bentuk bagian, seperti ucapannya: “Baginya setengah dari satu bagian.” Semua itu sama saja. Dalil kebolehannya jika ada kebutuhan adalah riwayat asy-Syafi‘i dari Malik dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi ﷺ mengutus satu pasukan ke arah Najd, lalu mereka mendapatkan banyak unta, sehingga bagian mereka adalah dua belas ekor unta atau sebelas ekor unta, kemudian mereka diberi tambahan satu ekor unta.

وَرَوَى زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ عَنْ حَبِيبِ بْنِ مُسْلِمٍ أَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَفَلَ الثُّلُثَ بَعْدَ الْخُمُسِ فِي بُدَائِهِ.

Dan diriwayatkan dari Zaid bin Haritsah dari Habib bin Muslim bahwa Nabi ﷺ memberikan nafl sepertiga setelah khumus pada saat keberangkatan.

وَرَوَى مَكْحُولٌ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَنْفُلُ فِي الْبُدَاءَةِ الرُّبُعَ وَفِي الرُّجْعَةِ الثُّلُثَ.

Dan diriwayatkan dari Mak-hul dari Abu Umamah dari ‘Ubadah bin ash-Shamit bahwa Nabi ﷺ memberikan nafl seperempat pada saat keberangkatan dan sepertiga pada saat kepulangan.

وَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ:

Dalam hal ini, menurut para ulama kami terdapat tiga penafsiran:

أَحَدُهَا: أَنَّ الْبُدَاءَةَ أَنْ يَبْتَدِئَ بِإِنْفَاذِ سَرِيَّةٍ إِلَى دَارِ الْحَرْبِ فَجَعَلَ لَهَا الرُّبُعَ، وَالرُّجْعَةَ أَنْ يُنْفِذَ بَعْدَهَا سَرِيَّةً ثَانِيَةً فَيَجْعَلُ لَهَا الثُّلُثَ فَيَزِيدُ الثَّانِيَةَ؛ لِأَنَّهَا تَدْخُلُ بَعْدَ عِلْمِ أَهْلِ الْحَرْبِ بِالْأُولَى.

Pertama: Bahwa al-bada’ah (keberangkatan) adalah ketika mengirim pasukan pertama ke wilayah musuh, maka diberikan kepada mereka seperempat. Sedangkan ar-ruj‘ah (kepulangan) adalah ketika mengirim pasukan kedua setelahnya, maka diberikan kepada mereka sepertiga, sehingga pasukan kedua mendapat lebih banyak karena mereka berangkat setelah musuh mengetahui keberangkatan pasukan pertama.

وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي: أَنَّ الْبُدَاءَةَ أَنْ يُنْفِذَ سَرِيَّةً فِي ابْتِدَاءِ دُخُولِهِ دَارَ الْحَرْبِ فَيَجْعَلُ لَهَا الرُّبُعَ، وَلِلْرُّجْعَةِ أَنْ يُنْفِذَهَا بَعْدَ رُجُوعِهِ عَنْ دَارِ الْحَرْبِ فَيَجْعَلُ لَهَا الثُّلُثَ؛ لِأَنَّهَا بِرُجُوعِ الْجَيْشِ أَكْثَرُ تَغْرِيرًا مِنَ الْأُولَى.

Penafsiran kedua: Bahwa al-bada’ah adalah mengirim pasukan pada awal memasuki wilayah musuh, maka diberikan kepada mereka seperempat. Sedangkan ar-ruj‘ah adalah mengirim pasukan setelah pasukan utama kembali dari wilayah musuh, maka diberikan kepada mereka sepertiga, karena pada saat pasukan kembali, risikonya lebih besar dibandingkan yang pertama.

وَالتَّأْوِيلُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْبُدَاءَةَ أَنْ يَبْتَدِئَ بِالْقَوْلِ فَيَقُولُ مَنْ يَفْتَحُ هَذَا الْحِصْنَ وَلَهُ الرُّبُعُ إِمَّا مِنْ غَنَائِمِهِ وَإِمَّا مِثْلٌ مِنْ رُبْعِ سَهْمِهِ فَلَا يُجِيبُهُ أَحَدٌ فَيَرْجِعَ فَيَقُولُ ثَانِيَةً مَنْ يَفْتَحُهُ وَلَهُ الثُّلُثُ فَيُجَابُ إِلَيْهِ فَيَكُونُ الْقَوْلُ الْأَوَّلُ بُدَاءَةً وَالثَّانِي رُجْعَةً، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَيْسَ يَتَحَدَّدُ الْأَقَلُّ فِي الْبُدَاءَةِ بِالرُّبُعِ؛ لِأَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَوَى أَنَّهُ نَفَلَ نِصْفَ السُّدُسِ بَعِيرًا مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ وَلَا يَتَحَدَّدُ الْأَكْثَرُ فِي الرُّجْعَةِ بِالثُّلُثِ؛ لِأَنَّهُ مُعْتَبَرٌ بِالْحَاجَةِ الدَّاعِيَةِ وَكَانَ تَقْدِيرُهُ فِي الْأَقَلِّ وَالْأَكْثَرِ مُوكَلًا

Penafsiran ketiga: bahwa al-badā’ah (permulaan) adalah memulai dengan ucapan, lalu ia berkata: “Siapa yang akan membuka benteng ini, maka baginya seperempat, baik dari rampasan perangnya maupun yang semisal dari seperempat bagian miliknya.” Namun tidak ada yang menjawabnya, lalu ia kembali dan berkata untuk kedua kalinya: “Siapa yang akan membukanya, maka baginya sepertiga.” Maka ada yang menyambutnya. Maka ucapan pertama disebut permulaan (badā’ah) dan yang kedua disebut rujukan (ruj‘ah). Jika demikian, maka tidak ada batas minimal dalam permulaan pada seperempat; karena Ibnu ‘Umar meriwayatkan bahwa beliau pernah memberikan seperdua dari seperenam seekor unta dari dua belas ekor, dan tidak pula ada batas maksimal dalam rujukan pada sepertiga; karena hal itu disesuaikan dengan kebutuhan yang mendorongnya, dan penentuan batas minimal dan maksimalnya diserahkan

إِلَى اجْتِهَادِ الْإِمَامِ، وَلَوْ أَدَّاهُ اجْتِهَادُهُ إِلَى أَنْ يَبْذُلَ فِي الْبُدَاءَةِ بِدُخُولِ الْحَرْبِ أَكْثَرَ مِمَّا كَانَ يَبْذُلُهُ فِي الرُّجْعَةِ مِنْهُمَا؛ لِأَنَّ أَهْلَ الْحَرْبِ فِي الْبُدَاءَةِ مُتَوَفِّرُونَ وَفِي الرُّجْعَةِ مَهْزُومُونَ جَازَ ثُمَّ يَكُونُ هَذَا النَّفْلُ الَّذِي جُعِلَ لَهُمْ فِي الْبُدَاءَةِ وَالرُّجْعَةِ مِنْ سَهْمِ الْمَصَالِحِ وَهُوَ خُمْسِ الْخُمْسِ سَهْمِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْمَصْرُوفُ بَعْدَهُ فِي وُجُوهِ الْمَصَالِحِ لِرِوَايَةِ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يُعْطَوْنَ النَّفْلَ مِنَ الْخُمُسِ يَعْنِي خُمُسَ الْخُمُسِ؛ وَلِأَنَّهُ مَبْذُولٌ فِي الْمَصَالِحِ فَأَشْبَهَ سَائِرَ الْمَصَالِحِ؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا تَقَدَّرَ بِشَرْطِ الْإِمَامِ وَاجْتِهَادِهِ بِخِلَافِ السَّلَبِ كَانَ مَأْخُوذًا مِنْ سَهْمِ الْمَصَالِحِ لأمن أَصْلِ الْغَنِيمَةِ بِخِلَافِ السَّلَبِ، وَحَكَى ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ قَوْلًا ثَانِيًا أَنَّهُ كَالرَّضْخُ الْمُسْتَحَقُّ مِنَ الْغَنِيمَةِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ؛ لِأَنَّ الرُّبُعَ فِي الْبُدَاءَةِ وَالثُّلُثَ فِي الرُّجْعَةِ أَكْثَرُ مِنْ خُمُسِ الْخُمُسِ؛ لِأَنَّ الثُّلُثَ سَهْمٌ مِنْ ثَلَاثَةٍ، وَخُمُسَ الْخُمُسِ سَهْمٌ مِنْ خَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ سَهْمًا وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ، وَفِيمَا ذَكَرْنَاهُ تَأْوِيلَانِ، وَهُمَا لَهُ جَوَابَانِ:

kepada ijtihad imam. Jika ijtihadnya membawanya untuk memberikan dalam permulaan masuk perang lebih banyak daripada yang diberikan dalam rujukan, maka itu dibolehkan; karena pada permulaan perang, pasukan musuh masih lengkap, sedangkan pada rujukan mereka telah dikalahkan. Kemudian, nufl (tambahan hadiah) yang diberikan kepada mereka dalam permulaan dan rujukan itu diambil dari bagian maslahat, yaitu seperlima dari seperlima (khumusul khumus), yaitu bagian Rasulullah ﷺ yang setelah beliau wafat dialokasikan untuk berbagai kepentingan maslahat, berdasarkan riwayat Abu az-Zinad dari Sa‘id bin al-Musayyab, ia berkata: “Dulu orang-orang diberikan nufl dari seperlima, yaitu seperlima dari seperlima.” Dan karena itu diberikan untuk maslahat, maka ia serupa dengan maslahat-maslahat lainnya. Dan karena ia ditentukan dengan syarat dan ijtihad imam, berbeda dengan salab (barang rampasan pribadi), maka ia diambil dari bagian maslahat, bukan dari pokok ghanīmah, berbeda dengan salab. Ibnu Abi Hurairah meriwayatkan pendapat kedua bahwa ia seperti radhkh (pemberian khusus) yang berhak didapatkan dari ghanīmah, sebagaimana akan kami sebutkan; karena seperempat dalam permulaan dan sepertiga dalam rujukan lebih banyak dari seperlima dari seperlima; sebab sepertiga adalah satu dari tiga bagian, sedangkan seperlima dari seperlima adalah satu dari dua puluh lima bagian. Ini tidaklah benar. Dalam hal yang kami sebutkan terdapat dua penafsiran, dan keduanya memiliki dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ جَعَلَ الرُّبُعَ فِي الْبُدَاءَةِ وَالثُّلُثَ فِي الرُّجْعَةِ مِمَّا اخْتَصَّتْ تِلْكَ السَّرِيَّةُ بِغَنِيمَةٍ وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ خُمُسَ خُمُسِ جَمِيعِ الْغَنَائِمِ ثُمَّ الَّتِي أَجَازَهَا جَمِيعَ الْخُمُسِ وَأَقَلَّ مِنْهُ.

Pertama: Bahwa ia menjadikan seperempat dalam permulaan dan sepertiga dalam rujukan dari ghanīmah yang khusus didapatkan oleh pasukan tersebut, dan bisa jadi itu adalah seperlima dari seperlima seluruh ghanā’im, kemudian yang diizinkan adalah seluruh seperlima atau kurang darinya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ عَلَى خُمُسِ الْخُمُسِ تَمَّمَهَا رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ أَمْوَالِهِ الَّتِي خُصَّ بِهَا وَهِيَ أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ وَخُمُسُ خُمُسِهِ وَمَا يَصْطَفِيهِ لِنَفْسِهِ.

Kedua: Bahwa boleh jadi kelebihan atas seperlima dari seperlima itu disempurnakan oleh Rasulullah ﷺ dari harta-harta lain yang khusus bagi beliau, yaitu empat per lima dari fai’, seperlima dari seperlimanya, dan apa yang beliau pilih untuk dirinya sendiri.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: مِنَ النَّفْلِ وَهُوَ الرَّضْخُ وَالرَّضْخُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun bentuk ketiga dari nufl adalah radhkh, dan radhkh ini ada dua macam:

أَحَدُهُمَا: مَا يَرْضَخُ بِهِ الْإِمَامُ لِمَنْ لَا سَهْمَ له من العبيد والصبيان الذين يشهدون الوقيعة.

Pertama: Apa yang diberikan oleh imam kepada orang yang tidak mendapat bagian, seperti budak dan anak-anak yang ikut serta dalam pertempuran.

وَالثَّانِي: مَا يَرْضَخُ بِهِ لِمَنِ اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ فِي الْحَرْبِ مِنْ فَارِسٍ وَرَاجِلٍ زِيَادَةً عَلَى سَهْمِهِ لِحُسْنِ أَثَرِهِ وَلَا يَبْلُغُ بِالرَّضْخِ الزَّائِدِ سَهْمَ فَارِسٍ وَلَا رَاجِلٍ فَقَدْ فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ذَلِكَ وَنَفَلَ ابْنَ مَسْعُودٍ سَيْفَ أَبِي جَهْلٍ وَنَفَلَ سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ يَوْمَ بَدْرٍ سَيْفَ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ وَكَانَ يُسَمَّى ذَا الْكَاشِفَةِ وَفِي الرَّضْخِ قَوْلَانِ:

Kedua: Apa yang diberikan kepada orang yang sangat berjasa dalam perang, baik penunggang kuda maupun pejalan kaki, sebagai tambahan atas bagiannya karena kontribusinya yang baik, namun tambahan radhkh ini tidak boleh melebihi bagian penunggang kuda maupun pejalan kaki. Rasulullah ﷺ telah melakukan hal itu, beliau memberikan nufl kepada Ibnu Mas‘ud berupa pedang Abu Jahal, dan memberikan nufl kepada Sa‘d bin Abi Waqqash pada hari Badar berupa pedang Sa‘id bin al-‘Ash yang disebut Dzul Kasyifah. Dalam masalah radhkh ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: مِنْ أَصْلِ الْغَنِيمَةِ.

Pertama: Diambil dari pokok ghanīmah.

وَالثَّانِي: مِنْ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسٍ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ.

Kedua: Diambil dari empat per lima, sebagaimana akan kami sebutkan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْوَجْهُ الرَّابِعُ: مِنَ النَّفْلِ أَنْ يَقُولَ الْإِمَامُ أَوْ أَمِيرُ الْجَيْشِ قَبْلَ اللِّقَاءِ: مَنْ غَنِمَ شَيْئًا فَهُوَ لَهُ تَحْرِيضًا لِلْمُسْلِمِينَ؛ لِمَا يُخَافُ مِنْ كَثْرَةِ الْعَدُوِّ وَقُوَّةِ شَوْكَتِهِمْ، فَالَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَهُوَ الْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِهِ وَالْمُعَوَّلُ عَلَيْهِ مِنْ قَوْلِهِ إِنَّ هَذَا الْقَوْلَ لَا يُوجِبُ اخْتِصَاصَ كُلِّ إِنْسَانٍ بِمَا أَخَذَهُ، وَالْوَاجِبُ رَدُّ جَمِيعِهِ إِلَى الْمَغْنَمِ، وَإِخْرَاجُ خُمُسِهِ، وَقِسْمَةُ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِهِ فِي جَمِيعِ مَنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ.

Pendapat keempat: Termasuk bentuk nafal adalah ketika imam atau pemimpin pasukan berkata sebelum pertempuran: “Siapa yang mendapatkan sesuatu dari ghanimah, maka itu miliknya,” sebagai dorongan bagi kaum Muslimin karena dikhawatirkan banyaknya musuh dan kuatnya kekuatan mereka. Pendapat yang ditegaskan oleh asy-Syafi‘i—dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam mazhabnya serta menjadi sandaran dalam ucapannya—bahwa ucapan tersebut tidak menyebabkan setiap orang berhak secara khusus atas apa yang diambilnya. Yang wajib adalah mengembalikan seluruhnya ke dalam ghanimah, mengeluarkan seperlimanya (khumus), dan membagi empat perlima sisanya kepada seluruh orang yang hadir dalam pertempuran.

وَقَالَ أبو حنيفة: وَهَذَا الشَّرْطُ لَازِمٌ، وَمَنْ أَخَذَ شَيْئًا فَهُوَ لَهُ وَلَا يُخَمَّسُ؛ لِأَنَّهُمْ عَلَى ذَلِكَ غَزَوْا وَبِهِ رَضَوْا.

Abu Hanifah berkata: Syarat ini mengikat, dan siapa yang mengambil sesuatu maka itu menjadi miliknya dan tidak perlu dikhumuskan, karena mereka berperang atas dasar itu dan mereka pun ridha dengannya.

وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَوْ قَالَهُ قَائِلٌ كَانَ مَذْهَبًا، فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ خَرَّجَهُ قَوْلًا لَهُ ثَانِيًا اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ يَوْمَ بَدْرٍ مَنْ أَخَذَ شَيْئًا فَهُوَ لَهُ وَدَلِيلُ الْقَوْلِ الْأَصَحِّ فِي أَنَّ هَذَا الشَّرْطَ لَا حُكْمَ لَهُ عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ} [الأنفال: 41] وَقَوْلُ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَوْقُوفًا عَلَيْهِ وَمُسْنَدًا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” الْغَنِيمَةُ لِمَنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ ” فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَخْتَصَّ بِهَا بَعْضُهُمْ؛ وَلِأَنَّ مَنِ اسْتَحَقَّ الْغَنِيمَةَ مِنْ غَيْرِ شَرْطِ الْإِمَامِ لَمْ يَسْقُطْ حَقُّهُ لِشَرْطِ الْإِمَامِ كَمَا لَوْ شَرَطَهَا لِغَيْرِ الْقَائِمِينَ، فَأَمَّا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَوْمَ بَدْرٍ: ” مَنْ أَخَذَ شَيْئًا فَهُوَ لَهُ “، فَلَيْسَ بِثَابِتٍ، وَلَوْ ثَبَتَ لَمْ يَكُنْ فِيهِ دَلِيلٌ؛ لِأَنَّ غَنَائِمَ بَدْرٍ كَانَتْ خَالِصَةً لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَيَضَعُهَا حَيْثُ شَاءَ حَتَّى جَعَلَهَا اللَّهُ تَعَالَى بَعْدَ بَدْرٍ لِمَنْ شَهِدَهَا بَعْدَ إِخْرَاجِ خُمُسِهَا، والله أعلم.

Asy-Syafi‘i berkata: Seandainya ada yang berpendapat demikian, itu menjadi sebuah mazhab. Di antara para sahabat kami ada yang mengeluarkan pendapat ini sebagai pendapat kedua baginya, dengan berdalil bahwa Nabi ﷺ pada hari Badar bersabda: “Siapa yang mengambil sesuatu, maka itu miliknya.” Dalil pendapat yang lebih kuat bahwa syarat ini tidak memiliki kekuatan hukum adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: {Dan ketahuilah, apa saja yang kalian peroleh sebagai ghanimah, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah…} (al-Anfal: 41), dan ucapan Abu Bakar ra. yang diriwayatkan secara mauquf dan musnad dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda: “Ghanimah itu untuk siapa saja yang hadir dalam pertempuran.” Maka tidak boleh sebagian mereka mengkhususkan diri dengannya. Dan karena siapa pun yang berhak atas ghanimah tanpa syarat dari imam, haknya tidak gugur karena syarat imam, sebagaimana jika imam mensyaratkannya untuk selain yang ikut berperang. Adapun sabda beliau ﷺ pada hari Badar: “Siapa yang mengambil sesuatu, maka itu miliknya,” maka hadis itu tidak sahih, dan seandainya sahih pun tidak menjadi dalil, karena ghanimah Badar adalah khusus untuk Rasulullah ﷺ dan beliau meletakkannya di mana beliau kehendaki, hingga Allah Ta‘ala menjadikannya setelah Badar untuk siapa saja yang hadir setelah mengeluarkan seperlimanya. Dan Allah Maha Mengetahui.

باب تفريق الغنيمة

Bab Pembagian Ghanimah

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” كُلُّ مَا حُصِّلَ مِمَّا غُنِمَ مِنْ أَهْلِ دَارِ الْحَرْبِ مِنْ شَيْءٍ قَلَّ أَوْ كَثُرَ مِنْ دَارٍ أَوْ أَرْضٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ قُسِّمَ إِلَّا الرِّجَالَ الْبَالِغِينَ فَالْإِمَامُ فِيهِمْ مُخَيَّرٌ بَيْنَ أَنْ يَمُنَّ أَوْ يَقْتُلَ أَوْ يُفَادِيَ أو يسبي وسيبل مَا سُبِيَ أَوْ أُخِذَ مِنْهُمْ مِنْ شَيْءٍ عَلَى إِطْلَاقِهِمْ سَبِيلُ الْغَنِيمَةِ وَفَادَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَجُلًا بِرَجُلَيْنِ “.

Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Segala sesuatu yang didapatkan dari apa yang diperoleh dari penduduk dar al-harb, baik sedikit maupun banyak, berupa rumah, tanah, atau selainnya, maka dibagi, kecuali laki-laki dewasa; terhadap mereka imam diberi pilihan antara memaafkan, membunuh, menukar dengan tawanan, atau menjadikan mereka tawanan, dan segala sesuatu yang ditawan atau diambil dari mereka secara mutlak mengikuti hukum ghanimah. Rasulullah ﷺ pernah menukar satu orang (tawanan) dengan dua orang.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ جَمِيعَ مَا ظَهَرَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ عَنْوَةً مِنَ الْمُشْرِكِينَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa seluruh harta yang dikuasai kaum Muslimin secara ‘anwah dari kaum musyrikin terbagi menjadi tiga jenis:

قِسْمٌ هِيَ أَمْوَالٌ مَنْقُولَةٌ، وَقِسْمٌ هِيَ أَرْضٌ ثَابِتَةٌ، وَقِسْمٌ هُمْ آدَمِيُّونَ مَقْهُورُونَ.

Jenis pertama adalah harta benda yang dapat dipindahkan, jenis kedua adalah tanah yang tetap, dan jenis ketiga adalah manusia (tawanan) yang ditaklukkan.

فَأَمَّا الْأَمْوَالُ الْمَنْقُولَةُ: كَالْفِضَّةِ، وَالذَّهَبِ، وَالسِّلَاحِ، وَالْآلَةِ وَالْعُرُوضِ، وَالْأَمْتِعَةِ، وَالْخَيْلِ، وَالرَّقِيقِ فَالْوَاجِبُ إِخْرَاجُ خُمُسِهَا لِأَهْلِ الْخُمُسِ عَلَى مَا يَأْتِي بَيَانُهُ ثُمَّ يُقَسَّمُ أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهَا بَيْنَ جَمِيعِ مَنْ شَهِدَ الْوَاقِعَةِ بِالسَّوِيَّةِ مِنْ غَيْرِ تَفْضِيلٍ إِلَّا ما استحقه الفارس بفرسه ولا يفضل ذا شَجَاعَةٍ عَلَى غَيْرِهِ، وَلَا مَنْ قَاتَلَ عَلَى مَنْ لَمْ يُقَاتِلْ، وَلَا يُعْطَى مِنَ الْغَنِيمَةِ مَنْ لَمْ يَشْهَدِ الْوَاقِعَةَ.

Adapun harta benda yang dapat dipindahkan seperti perak, emas, senjata, peralatan, barang dagangan, perlengkapan, kuda, dan budak, maka wajib dikeluarkan seperlimanya untuk ahl al-khumus sebagaimana akan dijelaskan, kemudian empat perlima sisanya dibagi rata di antara seluruh orang yang hadir dalam pertempuran tanpa ada keutamaan, kecuali apa yang menjadi hak penunggang kuda dengan kudanya. Tidak diutamakan orang yang pemberani atas yang lain, tidak pula yang berperang atas yang tidak berperang, dan tidak diberikan bagian dari ghanimah kepada orang yang tidak hadir dalam pertempuran.

وَقَالَ أبو حنيفة لِلْإِمَامِ أَنْ يُفَاضِلَ بَيْنَهُمْ فِي الْقَسْمِ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُعْطِيَ مَنْ لَمْ يَحْضُرِ الْوَاقِعَةَ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَاضَلَ بَيْنَ النَّاسِ فِي غَنَائِمِ حُنَيْنٍ.

Abu Hanifah berkata: Imam boleh memberikan keutamaan di antara mereka dalam pembagian, tetapi tidak boleh memberikan kepada orang yang tidak hadir dalam pertempuran, dengan berdalil bahwa Nabi ﷺ memberikan keutamaan di antara manusia dalam ghanimah Hunain.

وَقَالَ مَالِكٌ: يَجُوزُ أَنْ يُفَاضِلَ بَيْنَهُمْ، وَيُعْطِيَ مِنْهَا مَنْ لَمْ يَحْضُرْ مَعَهُمُ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قسم من غنائم بدرا لثمانية لم يشهدوا بدار مِنْهُمْ: عُثْمَانُ، وَطَلْحَةُ.

Malik berkata: Boleh memihak (memberi keutamaan) di antara mereka, dan boleh memberikan bagian kepada orang yang tidak hadir bersama mereka, dengan dalil bahwa Nabi ﷺ membagikan sebagian dari harta rampasan perang Badar kepada delapan orang yang tidak ikut serta di sana, di antaranya: Utsman dan Thalhah.

وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِمَا عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ} [الأنفال: 41] فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الْبَاقِي بَعْدَ الْخُمُسِ لِمَنْ غَنِمَ كَمَا قَالَ: {وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ} [النساء: 11] فَدَلَّ عَلَى أن الباقي للأب إذا اقْتَضَتِ الْآيَةُ أَنْ يَكُونَ أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِ الْغَنِيمَةِ لِلْغَانِمِينَ أَوْجَبَ بِذَلِكَ التَّسْوِيَةَ مَا لَمْ يَرِدْ نَصٌّ بِالتَّفْضِيلِ وَأَنْ لَا يُشَارِكَهُمْ غَيْرُهُمْ لِظَاهِرِ التَّنْزِيلِ.

Dalil bagi kedua pendapat tersebut adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: {Dan ketahuilah, apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah dan Rasul-Nya} [al-Anfal: 41], sehingga menunjukkan bahwa sisa setelah seperlima adalah untuk orang-orang yang memperoleh rampasan, sebagaimana firman-Nya: {dan kedua orang tuanya mewarisinya, maka untuk ibunya sepertiga} [an-Nisa’: 11], yang menunjukkan bahwa sisanya untuk ayah. Jika ayat tersebut menunjukkan bahwa empat perlima rampasan perang adalah untuk para peraih rampasan, maka itu mewajibkan adanya kesetaraan selama tidak ada nash yang menunjukkan keutamaan, dan tidak boleh selain mereka ikut serta menurut zahir ayat.

وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو أَنَّ رَجُلًا أَخَذَ مِنَ الْمَغْنَمِ جُبَّةَ غَزْلٍ مِنْ شَعْرٍ فَأَتَى النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وقال أخذت هذه لأصلح بها بردعة بَعِيرِي، فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَّا مَا كَانَ لِيَ وَلِبَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فهو لك فقال الرجل: أما إذا بَلَغَتْ مَا أَرَى فَلَا أَرَبَ لِي بِهَا، فَلَوْ جَازَ التَّفْضِيلُ لَفَضَّلَ بِهَذَا الْقَدْرِ الْيَسِيرِ وَلِأَنَّ مَا اشْتَرَكُوا فِي سَبَبِ تَمَلُّكِهِ أَوْجَبَ تَسَاوِيَهُمْ فِي مِلْكِهِ كَالِاشْتِرَاكِ فِي صَيْدٍ وَاحْتِشَاشٍ، فَأَمَّا تَفْضِيلُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَ النَّاسِ فِي غَنَائِمِ حُنَيْنٍ، فَإِنَّمَا فَعَلَ ذَلِكَ بِالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ، فَأَلَّفَ عَدَدًا مِنْهُمْ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِمِائَةِ بَعِيرٍ مِنْهُمْ: أَبُو سُفْيَانَ بْنُ حَرْبٍ وَصَفْوَانُ بْنُ أُمَيَّةَ، وَعُيَيْنَةُ بْنُ حِصْنٍ، وَالْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ، وَاسْتَعْتَبَ الْعَبَّاسُ بْنُ مرداس فقال:

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bahwa seorang laki-laki mengambil dari harta rampasan sebuah jubah wol dari bulu, lalu ia datang kepada Nabi ﷺ dan berkata: “Aku mengambil ini untuk memperbaiki pelana untaku.” Maka Nabi ﷺ bersabda: “Adapun bagian yang menjadi milikku dan milik Bani Abdul Muththalib, maka itu untukmu.” Laki-laki itu berkata: “Kalau sudah sampai seperti ini, aku tidak berminat lagi.” Seandainya boleh adanya keutamaan, tentu Nabi sudah mengutamakan dengan bagian yang sedikit ini. Dan karena sesuatu yang mereka sama-sama berperan dalam sebab kepemilikannya, maka wajib mereka sama dalam kepemilikannya, seperti berbagi dalam perburuan dan pengumpulan hasil. Adapun keutamaan yang dilakukan Rasulullah ﷺ di antara manusia dalam rampasan perang Hunain, maka itu dilakukan kepada orang-orang yang ingin dijinakkan hatinya (al-mu’allafah qulubuhum), beliau memberikan kepada masing-masing dari mereka seratus unta, di antaranya: Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, Uyainah bin Hishn, al-Aqra‘ bin Habis. Abbas bin Mirdas pun merasa keberatan dan berkata:

(أتجعل نهبي ونهب العبيد … بَيْنَ عُيَيْنَةَ وَالْأَقْرَعِ)

(Apakah engkau membagikan rampasanku dan rampasan para budak … di antara Uyainah dan al-Aqra‘)

(وَمَا كَانَ حِصْنٌ وَلَا حابس … يفوقان مرداس في مجمع)

(Padahal Hishn dan Habis … tidak lebih utama dari Mirdas dalam pertemuan)

(وَمَا كُنْتُ دُونَ امْرِئٍ مِنْهُمَا … وَمَنْ تَضَعِ البوم لَا يُرْفَعِ)

(Aku tidak lebih rendah dari salah satu dari mereka … dan siapa yang direndahkan burung hantu tidak akan diangkat)

فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” اقْطَعُوا لِسَانَهُ عَنِّي “.

Maka Nabi ﷺ bersabda: “Potonglah lisannya dariku.”

وَأَمَرَ لَهُ بِخَمْسِينَ بَعِيرًا، وكان مَا فَعَلَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ إِعْطَاءِ الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ إِمَّا مِنْ سَهْمِهِ مِنَ الْخُمُسِ، وَإِمَّا لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثَبَتَ بِحُنَيْنٍ مَعَ ثَمَانِيَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ وَانْهَزَمَ جَمِيعُ النَّاسِ؛ فَصَارَتْ جَمِيعُ الْغَنَائِمِ لَهُ فَصَنَعَ بِهَا مَا شَاءَ وَتَأَلَّفَ بِهَا مَنْ شَاءَ، وَلِذَلِكَ قَالَتِ الْأَنْصَارُ حِينَ رَأَوْهُ قَدْ تَأَلَّفَ قُرَيْشًا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدْ عَزَمَ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ إِنَّكُمْ لَتَكْثُرُونَ عِنْدَ الْفَزَعِ وَتَقِلُّونَ عِنْدَ الطَّمَعِ، وَلَوْ سَلَكَ النَّاسُ شِعْبًا وَسَلَكَ الْأَنْصَارُ شِعْبًا لَسَلَكْتُ شِعْبَ الْأَنْصَارِ أَمَا تَرْضَوْنَ أَنْ يَنْصَرِفَ النَّاسُ بِالشَّاةِ وَالْبَعِيرِ، وَتَنْصَرِفُونَ برسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالُوا: رَضِينَا فَكَانَ مَا فَعَلَهُ مِنَ التَّفْضِيلِ بِحُنَيْنٍ مَحْمُولًا عَلَى مَا ذَكَرْنَا، وَأَمَّا غَنَائِمُ بَدْرٍ فَكَانَتْ خَالِصَةً لَهُ فَوَضَعَهَا فِيمَنْ شَاءَ من حاضر وغائب على تساوي وتفضيل.

Lalu beliau memerintahkan agar diberikan kepadanya lima puluh unta. Apa yang dilakukan Nabi ﷺ dalam memberikan kepada al-mu’allafah qulubuhum, bisa jadi dari bagian beliau dari seperlima, atau karena Rasulullah ﷺ tetap bertahan di Hunain bersama delapan sahabatnya sementara semua orang melarikan diri; sehingga seluruh rampasan menjadi milik beliau, lalu beliau membagikannya sesuai kehendaknya dan menjinakkan hati siapa yang beliau kehendaki. Oleh karena itu, kaum Anshar berkata ketika melihat beliau telah menjinakkan hati Quraisy: “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah bertekad untuk kembali kepada kaumnya.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai kaum Anshar, kalian banyak saat ketakutan dan sedikit saat mengharap, seandainya manusia menempuh satu lembah dan Anshar menempuh lembah lain, niscaya aku akan menempuh lembah Anshar. Tidakkah kalian rela manusia pulang dengan kambing dan unta, sedangkan kalian pulang bersama Rasulullah ﷺ?” Mereka pun berkata: “Kami rela.” Maka apa yang beliau lakukan berupa keutamaan di Hunain ditafsirkan sebagaimana yang telah kami sebutkan. Adapun rampasan perang Badar, maka itu khusus untuk beliau, dan beliau membagikannya kepada siapa saja yang beliau kehendaki, baik yang hadir maupun yang tidak, dengan kesetaraan maupun keutamaan.

فصل:

Fasal:

وأما ما لا ينقل مِنَ الدُّورِ وَالْأَرَضِينَ فَحُكْمُهُ عِنْدَنَا حُكْمُ الْأَمْوَالِ المنقولة، يَكُونُ خُمُسُهُ لِأَهْلِ الْخُمُسِ، وَتُقَسَّمُ أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهِ بَيْنَ الْغَانِمِينَ.

Adapun harta yang tidak dapat dipindahkan seperti rumah dan tanah, maka hukumnya menurut kami sama dengan harta yang dapat dipindahkan, yaitu seperlimanya untuk ahli khumus, dan empat perlima sisanya dibagikan di antara para peraih rampasan.

وَقَالَ أبو حنيفة: الْإِمَامُ فِي الْأَرَضِينَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ بَيْنَ أَنْ يُقَسِّمَهَا عَلَى الْغَانِمِينَ، أَوْ يُقَسِّمَهَا عَلَى الْمُسْلِمِينَ، أَوْ يُقِرَّهَا فِي أَيْدِي أَهْلِهَا الْمُشْرِكِينَ بِخَرَاجٍ يَضْرِبُهُ عَلَيْهَا، وَجِزْيَةٍ عَلَى رِقَابِ أَهْلِهَا، تَصِيرُ خَرَاجًا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ لَا تَسْقُطُ عَنْ رِقَابِهِمْ.

Abu Hanifah berkata: Imam di wilayah-wilayah (yang ditaklukkan) diberi pilihan di antara tiga hal: membagikannya kepada para penakluk (al-ghānimīn), atau membagikannya kepada kaum Muslimin, atau membiarkannya tetap di tangan penduduk aslinya yang musyrik dengan menetapkan kharāj atas tanah tersebut dan jizyah atas leher penduduknya; kemudian setelah mereka masuk Islam, kharāj itu tetap menjadi kewajiban mereka dan tidak gugur dari mereka.

وَقَالَ مَالِكٌ: قَدْ صَارَتْ بِالْغَلَبَةِ وَقْفًا عَلَى الْمُسْلِمِينَ، فَأَمَّا أبو حنيفة فَاسْتَدَلَّ بِمَا رُوِيَ عَنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَمَّا فَتَحَ أَرْضَ السَّوَادِ، أَرَادَ أَنْ يُقَسِّمَهُ بَيْنَ الْغَانِمِينَ، فَشَاوَرَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمَا فَقَالَ دَعْهَا تَكُونُ عُدَّةً لِلْمُسْلِمِينَ، فَتَرَكَهَا وَلَمْ يُقَسِّمْهَا وَضَرَبَ عَلَيْهَا خَرَاجًا، وَرُوِيَ أَنَّهُ لَمَّا فُتِحَتْ مِصْرُ، وَكَانَ الْأَمِيرُ عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ، قَالَ لَهُ الزُّبَيْرُ اقْسِمْهَا بَيْنَ الْغَانِمِينَ، فَقَالَ: لَا حَتَّى أَكْتُبَ إِلَى عُمَرَ فَكَتَبَ إِلَيْهِ فَأَجَابَهُ عُمَرُ دَعْهَا حَتَّى يَغْدُوَ فِيهِمَا حَبَلُ الْحَبَلَةِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُصَالِحَهُمْ عَلَى خَرَاجِهَا قَبْلَ الْقُدْرَةِ جَازَ أَنْ يَكُونَ مُخَيَّرًا فِيهَا بَعْدَ الْقُدْرَةِ كَالرِّقَابِ.

Malik berkata: Dengan penaklukan, tanah-tanah itu telah menjadi wakaf bagi kaum Muslimin. Adapun Abu Hanifah berdalil dengan riwayat dari Umar bin al-Khattab ketika menaklukkan tanah Sawad, ia ingin membaginya kepada para penakluk, lalu ia bermusyawarah dengan Ali bin Abi Thalib—semoga Allah meridhai keduanya—maka Ali berkata: “Biarkanlah ia menjadi persiapan bagi kaum Muslimin.” Maka Umar pun membiarkannya dan tidak membaginya, melainkan menetapkan kharāj atasnya. Diriwayatkan pula bahwa ketika Mesir ditaklukkan dan gubernurnya adalah Amr bin al-Ash, Zubair berkata kepadanya: “Bagilah tanah itu kepada para penakluk.” Amr menjawab: “Tidak, sampai aku menulis surat kepada Umar.” Lalu ia menulis kepada Umar dan Umar membalas: “Biarkanlah sampai anak cucu mereka tumbuh di sana.” Dan karena diperbolehkan untuk berdamai dengan mereka atas dasar kharāj sebelum memiliki kekuasaan penuh, maka diperbolehkan pula imam memilih (opsi) setelah memiliki kekuasaan, sebagaimana dalam masalah budak.

وَأَمَّا مالك فاستدل بقوله تعالى: {وللذين جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ} [الحشر: 10] فَكَانَ هَذَا الدُّعَاءُ مِنْهُمْ لِأَجْلِ مَا انْتَقَلَ إِلَيْهِمْ مِنْ فُتُوحِ بِلَادِهِمُ الَّتِي اسْتَبْقَوْهَا وَقْفًا عَلَيْهِمْ، وَبِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَتَحَ مَكَّةَ عَنْوَةً فَلَمْ يُقَسِّمْهَا وَقَسَّمَ غَنَائِمَ هَوَازِنَ وَلَمْ يُقَسِّمْ أَرْضَهُمْ؛ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْأَرْضَ تَصِيرُ وَقْفًا لَا يَجُوزُ أَنْ تُقَسَّمَ؛ وَلِأَنَّ الْغَنَائِمَ كَانَتْ عَلَى عَهْدِ مَنْ سَلَفَ من الأنبياء تنزل نارا مِنَ السَّمَاءِ تَأْكُلُهَا فَأَحَلَّهَا اللَّهُ تَعَالَى بَعْدَهُمْ لرسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلِأُمَّتِهِ وَالنَّارُ إِنَّمَا تَخْتَصُّ بِأَكْلِ الْمَنْقُولِ دُونَ الْأَرَضِينَ فَدَلَّ عَلَى اخْتِصَاصِ الْمَنْفُولِ بِالْغَنِيمَةِ الْمُسْتَبَاحَةِ دُونَ الْأَرَضِينَ.

Adapun Malik berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang datang sesudah mereka berdoa: ‘Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah lebih dahulu beriman’} [al-Hasyr: 10]. Doa ini mereka panjatkan karena apa yang telah berpindah kepada mereka dari penaklukan negeri-negeri yang tetap dijadikan wakaf bagi mereka. Juga dengan riwayat bahwa Nabi ﷺ menaklukkan Makkah secara paksa namun tidak membaginya, dan beliau membagi harta rampasan Hawazin tetapi tidak membagi tanah mereka; ini menunjukkan bahwa tanah menjadi wakaf dan tidak boleh dibagi. Selain itu, pada masa para nabi terdahulu, ghanīmah (harta rampasan) akan didatangi api dari langit yang membakarnya, lalu Allah menghalalkannya bagi Rasulullah ﷺ dan umatnya. Api itu hanya khusus membakar harta bergerak, bukan tanah; maka ini menunjukkan bahwa harta bergeraklah yang menjadi ghanīmah yang boleh dibagi, bukan tanah.

وَالدِّلَالَةُ عَلَيْهَا عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ} [الأنفال: 41] وَرَوَى مُجَمِّعُ بْنُ جَارِيَةَ أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَسَّمَ خَيْبَرَ بَيْنَ الْغَانِمِينَ عَلَى ثَمَانِيَةَ عَشَرَ سَهْمًا، وَذَلِكَ أَنَّ الْغَانِمِينَ كَانُوا أَلْفًا وَأَرْبَعَمِائَةٍ، مِنْهُمْ مِائَتَا فَارِسٍ أَعْطَى كُلَّ فَارِسٍ ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ، فَكَانَ لَهُمْ سِتُّمِائَةِ سَهْمٍ وَلِأَلْفٍ وَمِائَتَيْ رَجُلٍ أَلْفٌ وَمِائَتَا سَهْمٍ؛ صَارَتْ جَمِيعُ السِّهَامِ ألفا وثمان مائه سهم فقسمها على ثمانية عشرة مِنْهُمْ، وَأَعْطَى كُلَّ مِائَةٍ سَهْمًا، وَلِذَلِكَ رُوِيَ أن عمر رضي الله عنه ملك مائة سَهْمٍ مِنْ خَيْبَرَ ابْتَاعَهَا، وَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِنِّي قَدْ أَصَبْتُ مَا لَمْ أُصِبْ قَطُّ مِثْلَهُ، وَقَدْ أَحْبَبْتُ أَنْ أَتَقَرَّبَ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَبِّسِ الْأَصْلَ وَسَبِّلِ الثَّمَرَةَ؛ فَدَلَّتْ قِسْمَتُهَا وَابْتِيَاعُ عُمَرَ لَهَا لِمِائَةِ سَهْمٍ مِنْهَا عَلَى أَنَّهَا طِلْقٌ مَمْلُوكٌ وَمَالٌ مَقْسُومٌ.

Dalil atas hal ini adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: {Dan ketahuilah, apa saja yang kamu peroleh sebagai ghanīmah, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah dan Rasul-Nya} [al-Anfal: 41]. Mujamma‘ bin Jariyah meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ membagi Khaibar kepada para penakluk menjadi delapan belas bagian. Saat itu jumlah penakluk seribu empat ratus orang, di antaranya dua ratus penunggang kuda; setiap penunggang kuda mendapat tiga bagian, sehingga mereka memperoleh enam ratus bagian, dan seribu dua ratus laki-laki mendapat seribu dua ratus bagian. Jumlah seluruh bagian menjadi seribu delapan ratus, lalu dibagikan kepada delapan belas kelompok dari mereka, dan setiap kelompok seratus bagian. Karena itu diriwayatkan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu memiliki seratus bagian dari Khaibar yang ia beli, dan ia berkata kepada Rasulullah ﷺ: “Aku telah memperoleh sesuatu yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya, dan aku ingin mendekatkan diri kepada Allah Ta‘ala.” Maka Nabi ﷺ bersabda: “Tahan pokoknya dan sedekahkan hasilnya.” Pembagian dan pembelian Umar atas seratus bagian dari tanah itu menunjukkan bahwa tanah tersebut adalah milik bebas yang boleh dimiliki dan merupakan harta yang dibagi.

وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ظَهَرَ عَلَى بَنِي قُرَيْظَةَ، فَقَسَّمَ عَقَارَهُمْ مِنَ الْأَرَضِينَ وَالنَّخِيلِ قِسْمَةَ الْأَمْوَالِ.

Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ mengalahkan Bani Quraizhah, lalu beliau membagi harta tetap mereka berupa tanah dan kebun kurma sebagaimana membagi harta benda.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: عصبة اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَخُمُسُهَا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ هِيَ لَكُمْ مِنِّي إِنَّمَا قُرْبَةٌ؛ وَلِأَنَّهُ مَالٌ مَغْنُومٌ فَوَجَبَ أَنْ يُقَسَّمَ كَالْمَنْفُولِ، وَلِأَنَّ مَا اسْتُحِقَّ بِهِ قِسْمَةُ الْمَنْفُولِ اسْتُحِقَّ بِهِ قِسْمَةُ غَيْرِ الْمَنْفُولِ كَالْمِيرَاثِ.

Diriwayatkan dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda: “Barang siapa mengambil harta rampasan perang untuk Allah dan Rasul-Nya, maka seperlimanya untuk Allah dan Rasul-Nya, kemudian sisanya untuk kalian dariku, itu hanyalah sebagai bentuk pendekatan (kepada Allah).” Dan karena itu adalah harta rampasan perang, maka wajib dibagi seperti harta rampasan lainnya. Dan karena apa yang menyebabkan pembagian harta rampasan (al-manful) juga menyebabkan pembagian selain harta rampasan, seperti warisan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِ أبي حنيفة أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ شَاوَرَ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي قَسْمِ السَّوَادِ، فَأَشَارَ عَلَيْهِ بِالتَّرْكِ، فَهُوَ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَسَمَ أَرْضَ السَّوَادِ بَيْنَ الْغَانِمِينَ، وَأَشْغَلُوهُ أَرْبَعَ سِنِينَ ثُمَّ رَأَى أَنَّ الْغَانِمِينَ قَدْ تَشَاغَلُوا بِهِ عَنِ الْجِهَادِ؛ فَاسْتَنْزَلَهُمْ عَنْهُ فَنَزَلُوا؛ وَتَرَكَ جَرِيرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيَّ وَأَكْثَرَ قَوْمِهِ وَكَانَتْ نَخِيلُهُ رُبُعَ النَّاسِ، فَأَبَتْ طَائِفَةٌ منهم أن يَنْزِلُوا فَعَاوَضَهُمْ عَنْهُ وَجَاءَتْهُ أُمُّ كُرْزٍ، فَقَالَتْ: إني أَبِي شَهِدَ الْقَادِسِيَّةِ، وَإِنَّهُ مَاتَ وَلَا أَنْزِلُ عن حقي إلا أن تركبني ناقة زلولا، عليها قطيفة حمراء، وتملاء كَفِّي ذَهَبًا، فَفَعَلَ حَتَّى نَزَلَتْ عَنْ حَقِّهَا، وَكَانَ قَدْرُ مَا مُلِئَ بِهِ كَفُّهَا ذَهَبًا نيفا وثمانين مثقالا، فولا أَنَّ قِسْمَةَ ذَلِكَ وَاجِبَةٌ، وَأَنَّ أَمْلَاكَ الْغَانِمِينَ عَلَيْهَا مُسْتَقِرَّةٌ، لَمَا اسْتَنْزَلَهُمْ عَنْهَا بِطِيبِ نَفْسٍ وَمُعَاوَضَةٍ، فَلَمَّا صَارَتْ لِلْمُسْلِمِينَ شَاوَرَ عَلِيًّا فِيهَا فَقَالَ: دَعْهَا تَكُونُ عُدَّةً لَهُمْ، فَوَقَفَهَا عَلَيْهِمْ، وَضَرَبَ عَلَيْهَا خَرَاجًا هُوَ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ أُجْرَةٌ وَعِنْدَ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ ثَمَنٌ، وَأَمَّا أرض مصر فبعض فتوحها عنوة وبعضها صلح، وَلَمْ يَتَعَيَّنْ نِزَاعُ عَمْرٍو وَالزُّبَيْرِ فِي أَحَدِهِمَا فَلَمْ يَكُنْ فِيهِ دَلِيلٌ.

Adapun jawaban atas dalil Abu Hanifah bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu bermusyawarah dengan Ali ‘alaihis salam dalam pembagian tanah Sawad, lalu Ali memberi isyarat kepadanya untuk meninggalkannya, maka sesungguhnya Umar radhiyallahu ‘anhu telah membagi tanah Sawad di antara para pasukan yang memperoleh kemenangan, dan mereka mengelolanya selama empat tahun, kemudian ia melihat bahwa para pemenang telah sibuk dengannya sehingga melalaikan jihad; maka ia meminta mereka melepaskannya dan mereka pun melepaskannya; dan Jarir bin Abdillah al-Bajali serta sebagian besar kaumnya tetap memilikinya, dan pohon kurmanya sepertiga dari milik manusia, lalu sebagian dari mereka enggan melepaskannya, maka Umar mengganti rugi kepada mereka. Kemudian datanglah Ummu Kurz, ia berkata: “Ayahku ikut serta dalam perang Qadisiyah, dan ia telah wafat, dan aku tidak akan melepaskan hakku kecuali engkau menaikkanku di atas unta yang jinak, di atasnya ada selimut merah, dan engkau memenuhi telapak tanganku dengan emas.” Maka Umar melakukannya hingga ia melepaskan haknya, dan jumlah emas yang memenuhi telapak tangannya lebih dari delapan puluh mitsqal. Seandainya pembagian itu tidak wajib, dan kepemilikan para pemenang atasnya tidak tetap, niscaya Umar tidak akan meminta mereka melepaskannya dengan kerelaan dan ganti rugi. Ketika tanah itu menjadi milik kaum muslimin, Umar bermusyawarah dengan Ali tentangnya, lalu Ali berkata: “Biarkan saja, jadikan sebagai persiapan bagi mereka,” maka Umar menetapkannya untuk mereka, dan menetapkan pajak atasnya, yang menurut Imam Syafi‘i adalah sewa, dan menurut Abu al-‘Abbas bin Surayj adalah harga. Adapun tanah Mesir, sebagian penaklukannya melalui peperangan (anwah), dan sebagian melalui perjanjian damai, dan tidak ada penetapan perselisihan antara Amr dan Zubair dalam salah satunya, maka tidak ada dalil di dalamnya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَنِ الرِّقَابِ فَهُوَ أَنَّهُ مُنْتَقِضٌ بِالْمَنْفُولِ، فَإِنَّ عُمَرَ صَالَحَ نَصَارَى الْعَرَبِ عَلَى مُضَاعَفَةِ الصَّدَقَةِ عَلَى مَوَاشِيهِمْ وَزُرُوعِهِمْ وَسَائِرِ أَمْوَالِهِمْ، وَكَانَ ذَلِكَ خَرَاجًا بِاسْمِ الصَّدَقَةِ ثُمَّ لَا يَمْنَعُ ذَلِكَ مِنْ وُجُوبِ قَسْمِهِ فِي الْغَنِيمَةِ كَذَلِكَ الْأَرَضُونَ؛ ثُمَّ لَو سَلِمَ مِنْ هَذَا النَّقْصُ لَكَانَ الْمَعْنَى فِي الرِّقَابِ أَنَّهَا لَيْسَتْ فِي وَقْتِ خِيَارِ الْإِمَامِ فِيهَا مَالًا، وَإِنَّمَا يَصِيرُ بِالِاسْتِرْقَاقِ مَالًا، وَلَيْسَ لِلْإِمَامِ بَعْدَ الِاسْتِرْقَاقِ خِيَارٌ.

Adapun jawaban atas qiyās-nya tentang budak (riqāb) adalah bahwa qiyās tersebut batal dengan adanya harta rampasan (al-manful), karena Umar telah berdamai dengan kaum Nasrani Arab dengan menggandakan zakat atas ternak, tanaman, dan seluruh harta mereka, dan itu menjadi pajak dengan nama zakat, namun hal itu tidak menghalangi kewajiban pembagian dalam ghanīmah, demikian pula tanah-tanah; kemudian, seandainya terbebas dari kekurangan ini, maka makna pada budak adalah bahwa pada saat imam masih memiliki pilihan terhadapnya, ia bukanlah harta, dan baru menjadi harta dengan perbudakan, dan setelah perbudakan imam tidak lagi memiliki pilihan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِ مَالِكٍ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وللذين جاؤوا مِنْ بَعْدِهِمْ} [الحشر: 10] فَهُوَ أَنَّ هَذَا مِنْهُمْ لَمْ يَتَعَيَّنْ أَنَّهُ لِلْمَعْنَى الَّذِي ادَّعَاهُ، وَقَدْ يَكُونُ ذَلِكَ مِنْهُمْ لِتَمْهِيدِ الْأَرْضِ لَهُمْ، وَإِزَالَةِ الْمُشْرِكِينَ عَنْهُمْ، وَنُصْرَةِ الدِّينِ بِجِهَادِهِمْ ثُمَّ بِمَا صَارَ إِلَيْهِمْ مِنْ بِلَادِ الْفَيْءِ وَمَوَارِيثِ الْعَنْوَةِ.

Adapun jawaban atas dalil Malik dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan bagi orang-orang yang datang sesudah mereka} [al-Hasyr: 10], maka hal itu dari mereka tidaklah pasti sebagaimana makna yang mereka klaim, dan bisa jadi itu dari mereka adalah untuk mempersiapkan tanah bagi mereka, menghilangkan kaum musyrik dari mereka, dan menolong agama dengan jihad mereka, kemudian dengan apa yang sampai kepada mereka dari negeri fai’ dan warisan anwah.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ فَتْحِ مَكَّةَ فَهُوَ أنَّ مَكَّةَ فُتِحَتْ عِنْدَنَا صُلْحًا، فَالْكَلَامُ فِي فَتْحِهَا يَأْتِي، وَأَمَّا أَرْضُ هَوَازِنَ فَلَمْ تُغْنَمْ؛ لِأَنَّ قِتَالَهُمْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا، وَإِنَّمَا قُوتِلُوا بَعْدَ خُرُوجِهِمْ مِنْهَا إِلَى حُنَينٍ، وَأَحْرَزُوا أَمْوَالَهُمْ فِي أَوْطَاسٍ فَلَمَّا أَظْفَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِمْ، وَغُنِمَتْ أَمْوَالُهُمْ، وَسُبِيَتْ ذَرَارِيهِمْ، آتَوْا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يُدْلُونَ إِلَيْهِ بِحُرْمَةِ الرَّضَاعِ؛ لِأَنَّ حَلِيمَةَ مُرْضِعَةَ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَتْ مِنْ هَوَازِنَ، وَقَالُوا لَوْ كُنَّا مَلَّحْنَا لِلْحَارِثِ بْنِ أَبِي شِمْرٍ وَنَزَلْنَا مَعَهُ مَنْزِلَنَا مِنْكَ لَوَعَى ذَاكَ، وَأَنْتَ خَيْرُ الْكَفِيلَيْنِ.

Adapun jawaban tentang penaklukan Makkah adalah bahwa menurut kami Makkah ditaklukkan dengan perjanjian damai, maka pembahasan tentang penaklukannya akan datang. Adapun tanah Hawazin, maka tidak diperoleh sebagai ghanīmah, karena pertempuran tidak terjadi di sana, melainkan mereka diperangi setelah keluar dari sana menuju Hunain, dan mereka mengamankan harta mereka di Autas. Ketika Allah Ta‘ala memberikan kemenangan atas mereka, dan harta mereka menjadi ghanīmah, serta anak-anak mereka menjadi tawanan, mereka datang kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memohon dengan alasan hubungan persusuan, karena Halimah, ibu susu Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah dari Hawazin, dan mereka berkata: “Seandainya kami menyerahkan (anak-anak) kepada al-Harits bin Abi Syamr dan menempati tempat kami bersamamu, tentu ia akan mengingat hal itu, dan engkau adalah sebaik-baik penjamin.”

وَقَوْلُهُمْ مَلَّحْنَا: أَيْ رَضَّعْنَا وَأَنْشَدَ شَاعِرُهُمْ:

Ucapan mereka “mallahnā”: maksudnya adalah “kami telah menyusui”. Dan penyair mereka melantunkan syair:

(امْنُنْ عَلَيْنَا رَسُولَ اللَّهِ فِي كَرَمٍ … فَإِنَّكَ الْمَرْءُ نَرْجُوهُ وَنَنْتَظِرُ)

“Berilah kami anugerah, wahai Rasulullah, dengan kemurahan hati… Sungguh engkaulah orang yang kami harapkan dan nantikan.”

(امْنُنْ عَلَى نِسْوَةٍ قَدْ كُنْتَ تَرْضَعُهَا … إِذْ فُوكَ تَمْلَؤُهُ مِنْ مَحْضِهَا الدُّرَرُ)

“Berilah anugerah kepada para wanita yang dahulu pernah engkau susui… Ketika mulutmu dipenuhi oleh mutiara-mutiara dari air susunya.”

فَقَالَ: اخْتَارُوا أَمْوَالَكُمْ، أَوْ ذَرَارِيَكُمْ فَقَالُوا: خَيَّرْتَنَا بَيْنَ أَمْوَالِنَا وَأَحْسَابِنَا فَنَخْتَارُ أَحْسَابَنَا عَلَى أَمْوَالِنَا، فَقَالَ أَمَّا مَا كَانَ لِي وَلِبَنِي هَاشِمٍ فَلِلَّهِ وَلَكُمْ، وَقَالَ الْمُهَاجِرُونَ وَالْأَنْصَارُ: وَأَمَّا مَا لَنَا فلله ولرسوله ولكم فانكفوا إِلَى دِيَارِهِمُ الَّتِي لَا تُمَلَّكُ عَلَيْهِمْ آمِنِينَ، وَقَدْ أَسْلَمُوا.

Maka beliau bersabda: “Pilihlah antara harta kalian atau anak-anak kalian.” Mereka berkata: “Engkau telah memberikan pilihan kepada kami antara harta dan kehormatan kami, maka kami memilih kehormatan kami atas harta kami.” Beliau bersabda: “Adapun apa yang menjadi milikku dan milik Bani Hasyim, maka itu untuk Allah dan untuk kalian.” Kaum Muhajirin dan Anshar berkata: “Adapun apa yang menjadi milik kami, maka itu untuk Allah, Rasul-Nya, dan untuk kalian.” Maka mereka pun kembali ke kampung halaman mereka yang tidak dimiliki oleh orang lain atas mereka, dalam keadaan aman, dan mereka telah masuk Islam.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَكْلِ النَّارِ الْمَنْفُولِ دُونَ الْأَرَضِينَ فَكَانَ هُوَ الْمَغْنُومُ، فهو أنه استدل رَكِيكٌ وَضَعَهُ إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِسْحَاقَ الْقَاضِي ثُمَّ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْأَرْضَ لَمْ تَكُنْ تَحِلُّ لِلْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلُ فَوَجَبَ أَنْ تَحِلَّ لنبينا – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِقَوْلِهِ أُعْطِيتُ مَا لَمْ يُعْطَ نَبِيٌّ مِنْ قَبْلِي أُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ عَلَى أَنَّ النَّارَ لَا تَأْكُلُ الْفِضَّةَ وَالذَّهَبَ، وَلَا يَمْنَعُ ذَلِكَ مِنْ أَنْ تَكُونَ غَنِيمَةً مَقْسُومَةً كَذَلِكَ الْأَرْضُ.

Adapun jawaban atas dalil mereka dengan api yang memakan harta rampasan perang (al-manful) selain tanah, maka itu adalah harta rampasan perang (al-maghnūm). Dalil tersebut adalah dalil yang lemah yang dibuat oleh Isma‘il bin Ishaq al-Qadhi. Di dalamnya terdapat petunjuk bahwa tanah tidak dihalalkan bagi para nabi sebelumnya, sehingga wajib dihalalkan bagi Nabi kita – shallallāhu ‘alaihi wa sallam – berdasarkan sabdanya: “Aku diberi apa yang tidak diberikan kepada nabi sebelumku, dihalalkan bagiku harta rampasan perang.” Padahal api tidak memakan perak dan emas, dan hal itu tidak menghalangi untuk menjadikannya sebagai harta rampasan yang dibagi-bagi, begitu pula tanah.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْآدَمِيُّونَ الْمَقْدُورُ عَلَيْهِمْ، وَالْمَظْفُورُ بِهِمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَضَرْبَانِ: عَبِيدٌ وَأَحْرَارٌ.

Adapun manusia (al-ādāmiyyūn) yang dapat dikuasai dan ditawan dari kalangan musyrikin, maka terbagi menjadi dua: budak dan orang merdeka.

فَأَمَّا الْعَبِيدُ فَمَالٌ مَغْنُومٌ.

Adapun budak, maka mereka adalah harta rampasan perang.

وَأَمَّا الْأَحْرَارُ فَضَرْبَانِ: ذُرِّيَّةٌ وَمُقَاتِلَةٌ.

Adapun orang merdeka, maka terbagi menjadi dua: anak-anak (dzurriyyah) dan para pejuang (muqātilah).

فَأَمَّا الذُّرِّيَّةُ فَهُمُ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ وَمِنْهُمْ لَا يَصِيرُونَ بِالْقَهْرِ وَالْغَلَبَةِ، مَرْقُوقِينَ، وَلَيْسَ لِلْإِمَامِ فِيهِمْ خِيَارٌ وَعَلَيْهِ أَنْ يُقَسِّمَهُمْ بَيْنَ الْغَانِمِينَ بَعْدَ إِخْرَاجِ خُمُسِهِمْ وَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ قَتْلِ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ لِكَوْنِهِمْ مَالًا مَغْنُومًا وَقَسَمَ سَبْيَ بَنِي الْمُصْطَلِقِ بَيْنَ الْغَانِمِينَ، وَاصْطَفَى صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَيٍّ مِنْ سَبْيِ خَيْبَرَ وَقَسَمَ سبي هوازن بين الناس حتى استنزله هَوَازِنُ فَنَزَلَ وَاسْتَنْزَلَ.

Adapun dzurriyyah adalah para wanita dan anak-anak, dan mereka tidak menjadi budak hanya karena ditawan dan dikalahkan. Imam tidak memiliki pilihan dalam hal mereka, dan wajib membagi mereka di antara para peraih ghanīmah setelah mengeluarkan seperlimanya. Rasulullah – shallallāhu ‘alaihi wa sallam – telah melarang membunuh wanita dan anak-anak karena mereka adalah harta rampasan perang, dan beliau membagi tawanan Bani Musthaliq di antara para peraih ghanīmah, dan beliau memilih Shafiyyah binti Huyay dari tawanan Khaibar, serta membagi tawanan Hawazin di antara manusia hingga Hawazin datang meminta kembali, maka beliau mengembalikan dan mereka pun mengambil kembali.

وَأَمَّا الْمُقَاتِلَةُ فَلِلْإِمَامِ فِيهِمُ بالخيار اجْتِهَادًا وَنَظَرًا بَيْنَ أَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ وَمِنْهَا مَا رَآهُ صَالِحًا:

Adapun para muqātilah, maka imam memiliki pilihan berdasarkan ijtihad dan pertimbangan di antara empat hal, sesuai yang dianggap maslahat:

أَحَدُهُمَا: الْقَتْلُ.

Pertama: dibunuh.

وَالثَّانِي: الِاسْتِرْقَاقُ.

Kedua: diperbudak.

وَالثَّالِثُ: الْفِدَاءُ بِمَالٍ أَوْ رِجَالٍ.

Ketiga: ditebus dengan harta atau dengan orang-orang (tawanan).

وَالرَّابِعُ: الْمَنُّ، فَإِنْ كَانَ ذَا قُوَّةٍ يُخَافُ شَرُّهُ أَوْ ذَا رَأْيٍ يُخَافُ مَكْرُهُ قَتَلَهُ، وَإِنْ كَانَ مَهِينًا ذَا كَدٍّ وَعَمَلٍ اسْتَرَقَّهُ، وَإِنْ كَانَ ذَا مَالٍ فَادَاهُ بِمَالٍ، وَإِنْ كَانَ ذَا جَاهٍ فَادَاهُ بِمَنْ فِي أَيْدِيهِمْ مِنَ الْأَسْرَى، وَإِنْ كَانَ ذَا خَيْرٍ وَرَغْبَةٍ فِي الْإِسْلَامِ مَنَّ عليه وأطلقه من غير فداء، فيكون خيار لِلْإِمَامِ أَوْ أَمِيرِ الْجَيْشِ، فَمَنْ أُسِرَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ بَيْنَ هَذِهِ الْأَرْبَعَةِ الْأَشْيَاءِ بَيْنَ الْقَتْلِ أَوِ الِاسْتِرْقَاقِ أَوِ الْفِدَاءِ بِمَالٍ، أَوْ رِجَالٍ، أَوِ الْمَنِّ.

Keempat: dibebaskan tanpa tebusan. Jika ia adalah orang yang kuat dan dikhawatirkan keburukannya, atau orang yang cerdik dan dikhawatirkan tipu dayanya, maka ia dibunuh. Jika ia orang yang lemah dan pekerja keras, maka ia diperbudak. Jika ia orang yang kaya, maka ia ditebus dengan harta. Jika ia orang yang memiliki kedudukan, maka ia ditebus dengan orang-orang yang ada di tangan mereka dari para tawanan. Jika ia orang yang baik dan memiliki keinginan masuk Islam, maka ia dimerdekakan dan dibebaskan tanpa tebusan. Maka pilihan ini ada pada imam atau amir pasukan. Maka siapa saja yang ditawan dari kalangan musyrikin, maka pilihannya di antara empat hal ini: dibunuh, diperbudak, ditebus dengan harta atau orang, atau dibebaskan.

وَقَالَ أبو حنيفة: هُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ شَيْئَيْنِ: الْقَتْلُ، أَوِ الِاسْتِرْقَاقُ، وَلَيْسَ لَهُ الْفِدَاءُ وَالْمَنُّ.

Abu Hanifah berkata: Imam memiliki pilihan antara dua hal: dibunuh atau diperbudak, dan tidak boleh ditebus atau dibebaskan.

وَقَالَ صَاحِبَاهُ أبو يوسف ومحمد: هُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: بَيْنَ الْقَتْلِ أَوِ الِاسْتِرْقَاقِ أَوِ الْفِدَاءِ بِرِجَالٍ وَلَيْسَ لَهُ الْفِدَاءُ بِمَالٍ وَلَا الْمَنُّ، وَنَحْنُ نَدُلُّ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ ذَلِكَ عَلَى انْفِرَادِهِ.

Kedua sahabatnya, Abu Yusuf dan Muhammad, berkata: Imam memiliki pilihan antara tiga hal: dibunuh, diperbudak, atau ditebus dengan orang (tawanan), dan tidak boleh ditebus dengan harta maupun dibebaskan. Kami akan menunjukkan dalil untuk masing-masing pendapat tersebut secara terpisah.

أَمَّا الْقَتْلُ فَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِهِ قَوْله تَعَالَى: {فَاقْتُلُوا المشركين حيث وجدتموهم} الآية [التوبة: 5] وَقَتَلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنَ الْأَسْرَى أَرْبَعَةَ أَنْفُسٍ صَبْرًا، وَمِنْهُمْ: أَبُو عَزَّةَ الْجُمَحِيُّ وَعُقْبَةُ بْنُ أَبِي مُعَيْطٍ وَابْنُ خَطَلٍ وَابْنُ النَّضْرِ بْنِ الْحَارِثِ، فَأَمَّا أَبُو عَزَّةَ الْجُمَحِيُّ فَإِنَّهُ أُسِرَ يَوْمَ بَدْرٍ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ مُنَّ عَلَيَّ، فَمَنَّ عَلَيْهِ، فَلَمَّا عَادَ إِلَى مَكَّةَ قَالَ سَخِرْتُ بِمُحَمَّدٍ، وَعَادَ لِقِتَالِهِ يَوْمَ أُحُدٍ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اللهم أوقع أبا عزة فما أسر غيره فَأُتِيَ بِهِ فَقَالَ:

Adapun mengenai pembunuhan, dalil yang menunjukkan kebolehannya adalah firman Allah Ta‘ala: {Maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui mereka} (QS. at-Taubah: 5). Rasulullah ﷺ juga membunuh empat orang tawanan secara sabar (dengan ditahan terlebih dahulu), di antaranya: Abu ‘Azzah al-Jumahi, ‘Uqbah bin Abi Mu‘ayth, Ibnu Khathal, dan an-Nadhr bin al-Harits. Adapun Abu ‘Azzah al-Jumahi, ia ditawan pada hari Perang Badar, lalu berkata: “Wahai Muhammad, berilah aku ampunan.” Maka Rasulullah ﷺ mengampuninya. Namun ketika ia kembali ke Makkah, ia berkata, “Aku telah mempermainkan Muhammad,” dan ia kembali memerangi beliau pada hari Perang Uhud. Maka Nabi ﷺ berdoa, “Ya Allah, jatuhkanlah Abu ‘Azzah,” dan tidak ada yang tertawan selain dia. Lalu ia dibawa menghadap Nabi ﷺ, dan ia berkata:

يَا مُحَمَّدُ مُنَّ عَلَيَّ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمُنُّ عَلَيْكَ حَتَّى تَأْتِيَ مَكَّةَ فَتَقُولُ فِي نَادِي قُرَيْشٍ: سَخِرْتُ مِنْ مُحَمَّدٍ مَرَّتَيْنِ، لَا يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ مَرَّتَيْنِ، اقْتُلُوهُ فَقُتِلَ.

“Wahai Muhammad, berilah aku ampunan.” Maka Nabi ﷺ bersabda, “Apakah aku akan mengampunimu hingga engkau kembali ke Makkah lalu berkata di hadapan kaum Quraisy: ‘Aku telah mempermainkan Muhammad dua kali’? Seorang mukmin tidak akan disengat dari lubang yang sama dua kali. Bunuhlah dia!” Maka ia pun dibunuh.

وَأَمَّا عُقْبَةُ بْنُ أَبِي مُعَيْطٍ فَلَمَّا أُسِرَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِقَتْلِهِ، فَقَالَ مَنِ الْمُصِيبَةُ فَقَالَ: النَّارُ، وَأَمَّا ابْنُ خَطَلٍ فَإِنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا دَخَلَ مَكَّةَ عَامَ الْفَتْحِ أَبَاحَ دَمَ سِتَّةٍ هُوَ مِنْهُمْ، فَتَعَلَّقَ بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ؛ لِأَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ تَعَلَّقَ بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ فَهُوَ آمِنٌ ” وكان النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اسْتَثْنَى السِّتَّةَ وَقَالَ اقْتُلُوهُمْ وَإِنْ تَعَلَّقُوا بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ فَلَمَّا أُقِرَّ بِذَلِكَ قَالَ اقْتُلُوهُ فَقُتِلَ.

Adapun ‘Uqbah bin Abi Mu‘ayth, ketika ia ditawan, Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk membunuhnya. Ia bertanya, “Apa yang akan menimpaku?” Nabi menjawab, “Neraka.” Adapun Ibnu Khathal, ketika Nabi ﷺ memasuki Makkah pada tahun penaklukan, beliau membolehkan darah enam orang, dan ia termasuk di antaranya. Ia pun berlindung pada tirai Ka‘bah, karena Nabi ﷺ bersabda, “Siapa yang berlindung pada tirai Ka‘bah, maka ia aman.” Namun Nabi ﷺ mengecualikan enam orang tersebut dan bersabda, “Bunuhlah mereka meskipun mereka berlindung pada tirai Ka‘bah.” Ketika hal itu telah dipastikan, Nabi bersabda, “Bunuhlah dia!” Maka ia pun dibunuh.

وَأَمَّا النَّضْرُ بْنُ الْحَارِثِ فَإِنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ بِقَتْلِهِ حِينَ أُسِرَ فَقُتِلَ فَلَمَّا دَخَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَكَّةَ عَامَ الْفَتْحِ اسْتَقْبَلَتْهُ قُتَيْلَةُ بِنْتُ النَّضْرِ بْنِ الْحَارِثِ وَأَنْشَدَتْهُ:

Adapun an-Nadhr bin al-Harits, Nabi ﷺ memerintahkan untuk membunuhnya ketika ia ditawan, maka ia pun dibunuh. Ketika Nabi ﷺ memasuki Makkah pada tahun penaklukan, Qutailah binti an-Nadhr bin al-Harits menyambut beliau dan membacakan syair:

(أَمُحَمَّدٌ وَلَدَتْكَ خَيْرُ نَجِيبَةٍ … مِنْ قَوْمِهَا وَالْفَحْلُ فَحْلٌ مُعْرِقُ)

(Wahai Muhammad, engkau dilahirkan oleh wanita mulia terbaik … dari kaumnya, dan ayahmu adalah lelaki yang sangat mulia)

(مَا كَانَ ضَرُّكَ لَوْ مَنَنْتَ وَرُبَّمَا … مَنَّ الْفَتَى وَهُوَ الْمَغِيظُ الْمُحْنَقُ)

(Tidaklah akan merugikanmu jika engkau berbuat baik, dan seringkali … seorang pemuda berbuat baik meskipun ia sedang marah dan geram)

(فَالنَّضْرُ أَقْرَبُ مَنْ تَرَكْتَ قَرَابَةً … وَأَحَقُّهُمْ إِنْ كَانَ عِتْقٌ يُعْتَقُ)

(Maka an-Nadhr adalah kerabat terdekat yang engkau tinggalkan … dan paling berhak jika ada pembebasan yang diberikan)

فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَوْ سَمِعْتُ شِعْرَهَا مَا قَتَلْتُهُ.

Maka Nabi ﷺ berkata kepada Abu Bakar ra., “Seandainya aku mendengar syairnya sebelum ini, niscaya aku tidak akan membunuhnya.”

فَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ قَتْلِ الْأَسْرَى مِنَ الْمُشْرِكِينَ.

Ini adalah dalil atas kebolehan membunuh tawanan dari kalangan musyrikin.

وَأَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِ اسْتِرْقَاقِهِمْ، فَقَوْلُهُ تَعَالَى: {حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فشدوا الوثاق} وفي الآية تأويلان:

Adapun dalil kebolehan memperbudak mereka adalah firman Allah Ta‘ala: {Hingga apabila kamu telah melemahkan mereka, maka tawanlah mereka dengan kuat}. Dalam ayat ini terdapat dua tafsiran:

أحدها: إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ بِالظَّفَرِ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ بِالْأَسْرِ.

Pertama: Jika kalian telah melemahkan mereka dengan kemenangan, maka tawanlah mereka dengan penawanan.

وَالثَّانِي: إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ بِالْأَسْرِ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ بِالِاسْتِرْقَاقِ وَقَدِ اسْتَرَقَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَبْيَ بَنِي قُرَيْظَةَ وَهَوَازِنَ وَرَجُلًا مِنْ بَنِي عُقَيْلٍ، فَقَالَ لَهُ قَدْ أَسْلَمْتُ، فَقَالَ: لَوْ أَسْلَمْتَ قَبْلَ هَذَا لَكُنْتَ قَدْ أَفْلَحْتَ كُلَّ الْفَلَاحِ.

Kedua: Jika kalian telah melemahkan mereka dengan penawanan, maka tawanlah mereka dengan perbudakan. Rasulullah ﷺ telah memperbudak tawanan Bani Quraizhah, Hawazin, dan seorang laki-laki dari Bani ‘Uqail. Laki-laki itu berkata kepada beliau, “Aku telah masuk Islam.” Maka beliau bersabda, “Seandainya engkau masuk Islam sebelum ini, niscaya engkau akan memperoleh keberuntungan yang sempurna.”

فَصْلٌ:

Fashl (Bagian):

وَأَمَّا الْفِدَاءُ وَالْمَنُّ فَاسْتِدْلَالُ أبي حنيفة عَلَى الْمَنْعِ مِنْهُمَا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يثخن في الأرض} إِلَى قَوْلِهِ: {لَوْلا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ} [الأنفال: 67، 68] يَعْنِي من أموال الفداء في أسرى بدر وإذا مَنَعَتِ الْآيَةُ مِنَ الْفِدَاءِ بِمَالٍ كَانَتْ مِنَ الْفِدَاءِ بِالْمَنِّ لِمَنْ بَغَيرِ مَالٍ أَمْنَعُ، وَقَالَ تعالى: {فاقتلوا المشركين حيث وجدتموهم} إِلَى قَوْله تَعَالَى: {فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ} [التوبة: 5] فَأَمَرَ بِقَتْلِهِمْ وَنَهَى عَنْ تَخْلِيَتِهِمْ بَعْدَ أَخْذِهِمْ وَحَصْرِهِمْ إِلَّا بِإِسْلَامِهِمْ فَدَلَّ عَلَى تَحْرِيمِ الْمَنِّ وَالْفِدَاءِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزِ الْمَنُّ عَلَيْهِمْ بِسِلَاحِهِمْ وَعَبِيدِهِمْ وَلَا مَنْعُ السِّلَاحِ وَالْعَبِيدِ عَلَيْهِمْ، وَذَلِكَ تَبَعٌ يَقِلُّ ضَرَرُهُ قَصْدًا لِإِضْعَافِهِمْ فَكَانَ بِأَنْ لَا يَمُنَّ عَلَيْهِمْ بِأَنْفُسِهِمْ وَلَا يُفَادَوْا بِمَالٍ عَنْ رِقَابِهِمْ أَوْلَى؛ لِأَنَّ الضَّرَرَ بِهِمْ أَعْظَمُ، وَإِضْعَافَهُمْ بِالْقَتْلِ وَالِاسْتِرْقَاقِ أَبْلَغُ وَلِأَنَّ الْمَصْلَحَةَ فِي حَظْرِ الْمَنِّ وَالْفِدَاءِ ظَاهِرَةٌ؛ لِأَنَّهُمْ إِذَا تَصَوَّرُوا جَوَازَهَا عِنْدَنَا أَقْدَمُوا عَلَى الْحَرْبِ تَعْوِيلًا عَلَى الْفِدَاءِ بَعْدَ الْأَسْرِ وَرَجَاءَ الْمَنِّ، وَإِذَا تَصَوَّرُوا أَنَّهُ لَا خَلَاصَ لَهُمْ مِنَ الْقَتْلِ إِذَا أَصَرُّوا كَانَ ذَلِكَ أَحْجَمَ لَهُمْ عَنِ الْإِقْدَامِ وَأَمْنَعَ مِنَ الْقِتَالِ، وَإِذَا كَانَتِ الْمَصْلَحَةُ فِيهِ ظاهرة كان ما دعى إليها لازما.

Adapun mengenai fidā’ dan man (pembebasan tawanan tanpa tebusan), dalil Abū Ḥanīfah tentang pelarangan keduanya adalah firman Allah Ta‘ālā: {Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi} hingga firman-Nya: {Sekiranya bukan karena ketetapan terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa azab yang besar karena tebusan yang kamu ambil} [al-Anfāl: 67, 68], maksudnya adalah dari harta tebusan pada tawanan Perang Badar. Jika ayat ini melarang fidā’ dengan harta, maka larangan fidā’ dengan man (pembebasan tanpa tebusan) bagi yang tidak membayar harta tentu lebih utama. Allah Ta‘ālā juga berfirman: {Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu jumpai mereka} hingga firman-Nya: {Kemudian biarkanlah mereka pergi} [at-Taubah: 5]. Maka Allah memerintahkan untuk membunuh mereka dan melarang membebaskan mereka setelah mereka ditangkap dan dikepung, kecuali jika mereka masuk Islam. Ini menunjukkan haramnya man dan fidā’. Karena jika tidak boleh membebaskan mereka bersama senjata dan budak-budak mereka, serta tidak boleh mencegah senjata dan budak dari mereka—padahal itu hanya pengikut yang bahayanya lebih kecil, dengan tujuan melemahkan mereka—maka lebih utama lagi untuk tidak membebaskan mereka dengan diri mereka sendiri atau menebus mereka dengan harta untuk membebaskan leher mereka, karena bahaya mereka lebih besar. Melemahkan mereka dengan membunuh atau memperbudak lebih efektif. Selain itu, kemaslahatan dalam melarang man dan fidā’ sangat jelas; sebab jika mereka membayangkan bahwa hal itu boleh menurut kita, mereka akan berani berperang dengan mengandalkan fidā’ setelah tertawan dan berharap akan dibebaskan. Namun jika mereka tahu bahwa tidak ada jalan keluar dari pembunuhan jika mereka tetap membangkang, hal itu akan membuat mereka enggan maju dan lebih mencegah terjadinya peperangan. Jika kemaslahatan dalam hal ini jelas, maka apa yang menjadi sebab kemaslahatan itu harus dilaksanakan.

والدليل عَلَى جَوَازِ الْمَنِّ وَالْفِدَاءِ، قَوْله تَعَالَى: {فَإِذَا لقيتم الذين كفروا} إِلَى قَوْلِهِ: {فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا} [محمد: 4] وَقَالَ مُجَاهِدٌ: حَتَّى لَا يَبْقَى فِي الْأَرْضِ دِينٌ غَيْرُ الْإِسْلَامِ، فَكَانَ الْمَنُّ وَالْفِدَاءُ صَرِيحًا فِي هَذَا الْآيَةِ وَلَيْسَ لَهُمْ نَسْخُ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَإِذَا انْسَلَخَ الأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ} [التوبة: 5] لِأَمْرَيْنِ:

Adapun dalil yang membolehkan man dan fidā’, adalah firman Allah Ta‘ālā: {Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir} hingga firman-Nya: {Maka setelah itu (kamu boleh) membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir} [Muḥammad: 4]. Mujāhid berkata: “Sampai tidak ada lagi agama di bumi selain Islam.” Maka man dan fidā’ secara jelas disebutkan dalam ayat ini. Tidak ada alasan bagi mereka untuk menasakh (menghapus) ayat ini dengan firman Allah Ta‘ālā: {Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu jumpai mereka} [at-Taubah: 5], karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ إِذَا أَمْكَنَ اسْتِعْمَالُ الْآيَتَيْنِ لَمْ يَجُزْ أَنْ تَنْسَخَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى، وَاسْتِعْمَالُهُمَا مُمْكِنٌ فِي جَوَازِ الْكُلِّ، وَيُعْتَبَرُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِاجْتِهَادِ الْإِمَامِ وَرَأْيِهِ.

Pertama: Jika memungkinkan untuk mengamalkan kedua ayat tersebut, maka tidak boleh salah satunya menasakh yang lain. Dan mengamalkan keduanya memungkinkan, yaitu dengan membolehkan semuanya, dan masing-masing dipertimbangkan berdasarkan ijtihad dan pendapat imam.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْأَمْرَ بِالْقَتْلِ عَلَى وَجْهِ الْإِبَاحَةِ دُونَ الْوُجُوبِ، وَإِبَاحَتُهُ لَا تَمْنَعُ مِنَ الْعُدُولِ عَنْهُ إِلَى غَيْرِهِ وَيَدُلُّ عَلَى جَوَازِ الْمَنِّ خَاصَّةً مَا رَوَاهُ جُبَيْرُ بْنُ مُطْعِمٍ: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِأُسَارَى بَدْرٍ لَوْ كَانَ مُطْعِمُ بْنُ عَدِيٍّ حَيًّا ثُمَّ كَلَّمَنِي فِي هَؤُلَاءِ النَّتْنَى لَأَطْلَقْتُهُمْ لَهُ، وهُوَ لَا يَقُولُ ذَلِكَ إِلَّا لِجَوَازِهِ عِنْدَهُ.

Kedua: Perintah membunuh itu dalam bentuk kebolehan, bukan kewajiban. Kebolehannya tidak mencegah untuk beralih kepada pilihan lain. Dalil yang menunjukkan bolehnya man secara khusus adalah riwayat dari Jubair bin Muṭ‘im bahwa Nabi ﷺ bersabda kepada tawanan Perang Badar: “Seandainya Muṭ‘im bin ‘Adī masih hidup lalu ia berbicara kepadaku tentang orang-orang busuk ini, niscaya aku akan membebaskan mereka untuknya.” Beliau tidak mengatakan demikian kecuali karena membolehkannya menurut beliau.

وَرَوَى سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعَثَ خَيْلًا قِبَلَ نَجْدٍ فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ يُقَالُ لَهُ ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ، فَرَبَطُوهُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ، فَخَرَجَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَالَ: مَا عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ. قَالَ عِنْدِي يَا مُحَمَّدُ خَبَرٌ إِنْ تَقْتُلْ تَقْتُلْ ذَا دَمٍ، وَإِنْ تُنْعِمْ تُنْعِمْ عَلَى شَاكِرٍ، وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْمَالَ فَسَلْ تُعْطَ مِنْهُ مَا شِئْتَ فَتَرَكَهُ، حَتَّى إِذَا كَانَ مِنَ الْغَدِ ذَكَرَ مِثْلَ هَذَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَطْلِقُوا ثُمَامَةَ فَانْطَلَقَ إِلَى نَخْلٍ قَرِيبٍ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَقَالَ: ” أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ “، وَكَتَبَ إِلَى قَوْمِهِ فَأَتَوْهُ مُسْلِمِينَ وَقَدْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى أَبِي عَزَّةَ الْجُمَحِيِّ يَوْمَ بَدْرٍ عَلَى أَنْ لَا يَعُودَ لِحَرْبِهِ أَبَدًا فَعَادَ يَوْمَ أُحُدٍ وَأَسَرَهُ، وَمَنَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ الرَّبِيعِ وَكَانَ صِهْرَهُ عَلَى ابْنَتِهِ زَيْنَبَ.

Diriwayatkan dari Sa‘id bin Abi Sa‘id, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi ﷺ pernah mengutus pasukan berkuda ke arah Najd, lalu mereka membawa seorang laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsamamah bin Utsal. Mereka mengikatnya pada salah satu tiang masjid. Rasulullah ﷺ keluar menemuinya dan berkata, “Apa yang ada padamu, wahai Tsamamah?” Ia menjawab, “Padaku, wahai Muhammad, ada kabar: jika engkau membunuhku, engkau membunuh orang yang berdarah; jika engkau berbuat baik, engkau berbuat baik kepada orang yang tahu berterima kasih; dan jika engkau menginginkan harta, mintalah, niscaya engkau akan diberi sebanyak yang engkau kehendaki.” Maka Nabi ﷺ membiarkannya, hingga keesokan harinya beliau menyampaikan hal yang serupa. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, “Bebaskanlah Tsamamah.” Maka ia pun pergi ke kebun kurma yang dekat dengan masjid, lalu mandi, kemudian masuk ke masjid dan berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” Ia pun menulis surat kepada kaumnya, lalu mereka datang menemuinya dalam keadaan Muslim. Rasulullah ﷺ juga pernah membebaskan Abu ‘Azzah al-Jumahi pada hari Perang Badar dengan syarat ia tidak akan kembali memerangi beliau selamanya, namun ia kembali pada hari Uhud dan tertawan, dan Rasulullah ﷺ juga membebaskan Abu al-‘Abbas bin Rabi‘, yang merupakan menantunya dari putrinya, Zainab.

وَيَدُلُّ عَلَى جَوَازِ الْفِدَاءِ رواية عِمْرَانُ بْنُ الْحُصَيْنِ [أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فادى رجل برجلين رواه الشافعي مفسرا أن عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ] قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سرية فأسروا رجلا من بني عقيل فاستوثق منه، وطرح في الحرة فمن به النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فقال: فيما أخذت وفيم أُخذت سالفة الحاج يعني العضباء قال أخذت بجريرة حلفائكم مِنْ ثَقِيفٍ قَدْ أَسَرُوا مُسْلِمِينَ فَقَالَ الْعُقَيْلِيُّ: إِنِّي جَائِعٌ فَأَطْعِمْنِي وَعَطْشَانٌ فَاسْقِنِي، وَأَنَا مُسْلِمٌ فَخَلِّنِي فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَوْ قُلْتَ هَذَا قَبْلَ هَذَا أَفْلَحْتَ كُلَّ الفلاح، يعني: قبل أن تسترق وفاده بِرَجُلَيْنِ، وَحَبَسَ الْعَضْبَاءَ وَهِيَ نَاقَتُهُ الَّتِي خَطَبَ عَلَيْهَا بِمِنًى فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ.

Dan dalil tentang bolehnya fidyah adalah riwayat dari ‘Imran bin Hushain bahwa Nabi ﷺ menukar seorang tawanan dengan dua orang (Muslim) yang ditawan. Riwayat ini disebutkan oleh asy-Syafi‘i secara tafsili, bahwa ‘Imran bin Hushain berkata: Rasulullah ﷺ mengutus satu pasukan kecil, lalu mereka menawan seorang laki-laki dari Bani ‘Uqail, mereka mengikatnya erat dan menaruhnya di tanah berbatu. Nabi ﷺ menemuinya dan bertanya, “Mengapa engkau ditawan dan karena apa unta betina (al-‘Adhba’) ini juga ditawan?” Ia menjawab, “Aku ditawan karena perbuatan sekutu kalian dari Tsaqif, mereka telah menawan kaum Muslimin.” Lalu orang ‘Uqail itu berkata, “Aku lapar, berilah aku makan, aku haus, berilah aku minum, dan aku seorang Muslim, maka bebaskanlah aku.” Nabi ﷺ bersabda, “Seandainya engkau mengucapkan ini sebelum ini, niscaya engkau akan beruntung sepenuhnya,” maksudnya sebelum ia menjadi budak. Lalu Nabi ﷺ menukarnya dengan dua orang, dan menahan al-‘Adhba’, yaitu unta beliau yang pernah beliau gunakan untuk berkhutbah di Mina pada Haji Wada‘.

فَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ يُفَادِي بِهِ بَعْدَ إِسْلَامِهِ.

Jika ada yang bertanya: Bagaimana mungkin ia ditukar (dengan tawanan lain) setelah ia masuk Islam?

قِيلَ لِأَنَّهُ كَانَ مُسْتَرَقًّا فَصَارَتْ مُفَادَاتُهُ عِتْقًا؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ الِاعْتِيَاضُ عَنْهُ بِالْفِدَاءِ [مَعَ خُرُوجِهِمْ مِنْ دَارِنَا بِالْجِزْيَةِ] مَعَ إِقْرَارِهِمْ فِي دَارِنَا جَازَ الِاعْتِيَاضُ عَنْهُمْ بِالْفِدَاءِ مَعَ خُرُوجِهِمْ مِنْ دَارِنَا أَوْلَى.

Dijawab: Karena ia telah menjadi budak, maka penebusannya berarti pembebasan; dan karena jika boleh mengambil ganti darinya dengan fidyah (meski mereka keluar dari negeri kita dengan membayar jizyah) dengan tetap mengakui keberadaan mereka di negeri kita, maka mengambil ganti dari mereka dengan fidyah ketika mereka keluar dari negeri kita tentu lebih utama.

وَتَحْرِيرُهُ أَنَّهُ اعْتِيَاضُ رَقَبَةٍ مُشْرِكَةٍ فَجَازَ كَالْحُرِّيَّةِ؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ تَآلُفُ الْمُشْرِكِينَ بِإِعْطَائِهِمْ سَهْمَ الْمُؤَلَّفَةِ كَانَ تَآلُفُهُمْ بالْمَنِّ أَوْلَى، وَرُبَّمَا كَانَ الْمَنُّ أَبْلَغَ فِي تَآلُفِهِمْ أَثَرًا أَوْ أعم صلاحاء.

Penjelasannya adalah bahwa ini merupakan pengambilan ganti atas budak musyrik, maka hukumnya boleh sebagaimana kebebasan; dan karena jika boleh menarik hati orang musyrik dengan memberikan bagian dari harta zakat (sahm al-mu’allafah), maka menarik hati mereka dengan pembebasan (man) tentu lebih utama, bahkan terkadang pembebasan lebih besar pengaruhnya dalam menarik hati mereka atau lebih luas kemaslahatannya.

وَحُكِيَ أَنَّ الْحَجَّاجَ أُتِيَ بِأَسِيرٍ مِنَ الْخَوَارِجِ مِنْ أَصْحَابِ قَطَرِيِّ بْنِ الْفُجَاءَةِ، وَكَانَ يَعْرِفُهُ فَلَمَّا رَآهُ مَنَّ عَلَيْهِ فَعَادَ إِلَى قَطَرِيٍّ، فَقَالَ لَهُ قَطَرِيٌّ: عُدْ إِلَى قِتَالِ عَدُوِّ اللَّهِ الْحَجَّاجِ فَقَالَ: هَيْهَاتَ عَلَا يَدًا مُطْلِقُهَا وَاسْتَرَقَّ رَقَبَةً مُعَتِقُهَا، وَأَنْشَدَ يَقُولُ:

Diceritakan bahwa al-Hajjaj didatangkan seorang tawanan dari kalangan Khawarij, pengikut Qatari bin al-Fuja’ah, dan ia mengenalnya. Ketika melihatnya, al-Hajjaj membebaskannya, lalu ia kembali kepada Qatari. Qatari berkata kepadanya, “Kembalilah memerangi musuh Allah, al-Hajjaj.” Ia menjawab, “Mustahil, tangan yang telah membebaskanku tidak akan aku lawan, dan budak yang telah dimerdekakan tidak akan aku perangi.” Lalu ia melantunkan syair:

(أُقَاتِلُ الْحَجَّاجَ عَنْ سُلْطَانِهِ … بِيَدٍ تُقِرُّ بِأَنَّهَا مَوْلَاتُهُ)

(Apakah aku akan memerangi al-Hajjaj demi kekuasaannya, dengan tangan yang mengakui bahwa ia adalah tuannya?)

(إِنِّي إِذَنْ لَأَخُو الدَّنَاءَةِ وَالَّذِي … شَهِدَتْ بِأَقْبَحِ فِعْلِهِ غدراته)

(Sungguh, jika demikian aku adalah saudara kehinaan, dan orang yang kejahatannya telah disaksikan oleh pengkhianatannya yang paling buruk.)

(ماذا أقول جار على أني إذن … لَأَحَقُّ مَنْ جَارَتْ عَلَيْهِ وُلَاتُهُ)

(Apa yang harus aku katakan jika aku berbuat zalim, maka akulah yang paling berhak dizalimi oleh tuannya.)

(وَتَحَدَّثَ الْأَقْوَامُ أن ضائعا … عَرَسَتْ لِذِي مُحْبَنْطِلٍ نَحَلَاتُهُ)

(Dan orang-orang pun membicarakan bahwa sia-sia, seorang yang lemah telah menikahi wanita bagi orang yang sangat miskin dan kurus.)

وَإِذَا كَانَ الْمَنُّ بِهَذِهِ الْمَنْزِلَةِ مِنَ التَّآلُفِ وَالِاسْتِصْلَاحِ جَازَ إِذَا أَدَّى الِاجْتِهَادُ إِلَيْهِ أَنْ يُفْعَلَ.

Jika pembebasan tawanan memiliki kedudukan seperti ini dalam hal menarik simpati dan memperbaiki keadaan, maka boleh dilakukan jika hasil ijtihad menunjukkan hal itu perlu dilakukan.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الأَرْضِ} [الأنفال: 67] فَهُوَ أَنَّ سَبَبَ نُزُولِ هَذِهِ الْآيَةِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – شَاوَرَ أَصْحَابَهُ فِي أَسْرَى بَدْرٍ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: هُمْ قَوْمُكَ وَعَشِيرَتُكَ فَاسْتَبْقِهِمْ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَهْدِيَهُمْ، وَقَالَ عُمَرُ: هُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ كَذَّبُوكَ وَأَخْرَجُوكَ فَاضْرِبْ أَعْنَاقَهُمْ، فَمَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعْدَ انْصِرَافِهِ عَنْهُمْ إِلَى قَوْلِ أَبِي بَكْرٍ وأخذ فداء الأسرى (ليتقوا بِهِ الْمُسْلِمُونَ) فَقِيلَ إِنَّهُ فَدَى كُلَّ أَسِيرٍ بِأَرْبَعَةِ آلَافِ دِرْهَمٍ، وَقِيلَ بِأَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ، وَقَالَ لِلْمُهَاجِرِينَ: أَنْتُمْ عَالَةٌ يَعْنِي فُقَرَاءَ، فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ إِنْكَارًا عَلَى نَبِيِّهِ فِي فِدَاءِ أُولَئِكَ الْأَسْرَى، فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَوْ عُذِّبْنَا فِي هَذَا الْأَمْرِ يَا عُمَرُ ما نجا غيرك في إنكار هذا الفداء فكان دَلِيلٌ عَلَى إِبَاحَةِ الْفِدَاءِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan firman Allah Ta‘ala: {Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi} [al-Anfal: 67], maka sebab turunnya ayat ini adalah bahwa Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– bermusyawarah dengan para sahabatnya mengenai tawanan Perang Badar. Abu Bakar berkata: “Mereka adalah kaum dan kerabatmu, maka biarkanlah mereka hidup, mudah-mudahan Allah memberi mereka petunjuk.” Umar berkata: “Mereka adalah musuh Allah dan Rasul-Nya, mereka telah mendustakanmu dan mengusirmu, maka penggallah leher mereka!” Setelah itu, Rasulullah –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– lebih condong kepada pendapat Abu Bakar dan mengambil tebusan dari para tawanan (agar kaum Muslimin dapat memanfaatkannya). Ada yang mengatakan bahwa beliau menebus setiap tawanan dengan empat ribu dirham, dan ada pula yang mengatakan dengan empat ratus dirham. Beliau berkata kepada kaum Muhajirin: “Kalian adalah orang-orang yang membutuhkan,” maksudnya fakir. Maka turunlah ayat ini sebagai bentuk pengingkaran kepada Nabi-Nya atas penebusan para tawanan tersebut. Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Wahai Umar, seandainya kita diazab dalam perkara ini, niscaya tidak ada yang selamat selain engkau karena engkau mengingkari penebusan itu.” Maka ini menjadi dalil atas kebolehan penebusan tawanan dari tiga sisi:

أَحَدُهَا: قَوْله تَعَالَى: {مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الأَرْضِ} [الأنفال: 67] وَهُوَ كَثْرَةُ الْقَتْلِ فَاقْتَضَى إِبَاحَةَ ذَلِكَ بَعْدَ الْإِثْخَانِ فِي الْأَرْضِ وَقَدْ أَثْخَنَ رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الْأَرْضِ وَكَثْرَةِ الْقَتْلِ وَكَذَلِكَ الْمُسْلِمُونَ بَعْدَهُ.

Pertama: Firman-Nya Ta‘ala: {Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi} [al-Anfal: 67], maksudnya banyak membunuh musuh. Maka ayat ini menunjukkan kebolehan hal tersebut setelah terjadi pelumpuhan di bumi. Dan sungguh Rasulullah –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– telah melumpuhkan musuh di bumi dengan banyak membunuh, demikian pula kaum Muslimin setelah beliau.

وَالثَّانِي: قَوْله تَعَالَى: {لَوْلا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ} [الأنفال: 68] وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:

Kedua: Firman-Nya Ta‘ala: {Sekiranya bukan karena ketetapan yang telah terdahulu dari Allah} [al-Anfal: 68], dan ayat ini memiliki dua tafsiran:

أَحَدُهُمَا: لَوْلَا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ فِي أَنَّهُ سَيُحِلُّ لَكُمُ الْغَنَائِمَ لَمَسَّكُمْ فِي تَعَجُّلِهَا مِنْ أَهْلِ بَدْرٍ عذاب عظيم (قاله ابن عباس وأبو هريرة والحسن وعبيدة) .

Pertama dari keduanya: Sekiranya bukan karena ketetapan yang telah terdahulu dari Allah bahwa Dia akan menghalalkan bagi kalian harta rampasan perang, niscaya kalian akan ditimpa azab yang besar karena kalian tergesa-gesa mengambilnya dari tawanan Badar (pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, al-Hasan, dan ‘Ubaidah).

وَالثَّانِي: لَوْلَا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ فِي أَهْلِ بَدْرٍ أنْ يُعَذِّبَهُمْ لَمَسَّهُمْ فِيمَا أَخَذُوا من فداء أسرى بدر عذاب عظيم (قاله مجاهد وسعيد بن جبير) .

Kedua: Sekiranya bukan karena ketetapan yang telah terdahulu dari Allah terhadap para peserta Badar bahwa Dia tidak akan mengazab mereka, niscaya mereka akan ditimpa azab yang besar atas apa yang mereka ambil dari penebusan tawanan Badar (pendapat ini dikemukakan oleh Mujahid dan Sa‘id bin Jubair).

وَالثَّالِثُ: قَوْله تَعَالَى: {فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلالا طَيِّبًا} [الأنفال: 69] يَعْنِي بِهِ مَالَ الْغَنِيمَةِ وَالْفِدَاءِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Ketiga: Firman-Nya Ta‘ala: {Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu, sebagai makanan yang halal lagi baik} [al-Anfal: 69], maksudnya adalah harta rampasan perang dan tebusan, dan Allah Maha Mengetahui.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى: {اقتلوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ} [التوبة: 5] فَهُوَ أَنَّهُ عَلَى طَرِيقِ الْإِبَاحَةِ وَإِنْ خَرَجَ مَخْرَجَ الْأَمْرِ؛ لِأَنَّهُ بعد حظر، وإذا أَبَاحَتْ هَذِهِ الْآيَةُ الْقَتْلَ لَمْ تَمْنَعْ مِنْ جوز الْمَنِّ وَالْفِدَاءِ.

Adapun jawaban terhadap firman-Nya Ta‘ala: {Bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu jumpai mereka} [at-Taubah: 5], maka ayat ini bermakna kebolehan, meskipun bentuknya perintah; karena ayat ini datang setelah larangan. Dan ketika ayat ini membolehkan pembunuhan, maka tidak melarang kebolehan memerdekakan atau menebus tawanan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ تَحْرِيمِ الْمَنِّ عليهم لسلاحهم وعبدهم؛ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban terhadap larangan memerdekakan mereka karena senjata dan budak mereka, maka dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ السِّلَاحَ وَالْعَبِيدَ وَالْمَالَ لَا يَجُوزُ لِلْإِمَامِ إِتْلَافُهُ فَلَمْ يَجُزْ لَهُ المن به، وليس الرجال الأحرار مال لِأَنَّهُ يَجُوزُ لَهُ إِتْلَافُهُمْ فَجَازَ لَهُ الْمَنُّ بِهِمْ.

Pertama: Bahwa senjata, budak, dan harta tidak boleh dimusnahkan oleh imam, maka tidak boleh pula ia memerdekakan dengan cara itu. Adapun laki-laki merdeka bukanlah harta, karena imam boleh membunuh mereka, maka boleh pula memerdekakan mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ السِّلَاحَ وَالْعَبِيدَ قَدْ دَخَلَا فِي مِلْكِ الْغَانِمِينَ فَلَمْ يَكُنْ لِلْإِمَامِ فِي الْمَنِّ بِهِمَا اجْتِهَادٌ. وَلَمْ يَدْخُلِ الرِّجَالُ الْأَحْرَارُ فِي مِلْكِ الْغَانِمِينَ، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ لِلْإِمَامِ فِي الْمَنِّ عَلَيْهِمُ اجْتِهَادٌ.

Kedua: Bahwa senjata dan budak telah masuk ke dalam kepemilikan para peraih ghanīmah, maka imam tidak memiliki ijtihad dalam memerdekakan keduanya. Sedangkan laki-laki merdeka tidak masuk ke dalam kepemilikan para peraih ghanīmah, sehingga imam boleh berijtihad dalam memerdekakan mereka.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّهُ لَا مَصْلَحَةَ فِي الْمَنِّ وَالْفِدَاءِ فَهُوَ أَنَّنَا نُجَوِّزُهُ مَعَ ظُهُورِ الْمَصْلَحَةِ فيمن يرجئ إِسْلَامُهُ أَوْ تَآلُفُ قَوْمِهِ وَيُمْنَعُ مِنْهُ عِنْدَ عَدَمِ الْمَصْلَحَةِ وَظُهُورِ الضَّرَرِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun jawaban terhadap pernyataan mereka bahwa tidak ada kemaslahatan dalam memerdekakan atau menebus tawanan, maka kami membolehkannya apabila tampak kemaslahatan pada orang yang diharapkan masuk Islam atau untuk menarik simpati kaumnya, dan dilarang apabila tidak ada kemaslahatan dan tampak mudarat. Dan Allah Maha Mengetahui.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَعْزِلَ خُمُسَ مَا حُصِّلَ بَعْدَ مَا وَصَفْنَا كَامِلًا وَيُقِرَّ أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِهِ لِأَهْلِهَا ثُمَّ يَحْسِبَ مَنْ حَضَرَ الْقِتَالَ مِنَ الرجال الْمُسْلِمِينَ الْبَالِغِينَ وَيَرْضَخَ مِنْ ذَلِكَ لِمَنْ حَضَرَ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَغَيْرِ الْبَالِغِينَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَالنِّسَاءِ فَيَنْفُلُهُمْ شَيْئًا لِحُضُورِهِمْ وَيَرْضَخُ لِمَنْ قَاتَلَ أَكْثَرَ مِنْ غَيْرِهِ وَقَدْ قِيلَ يَرْضَخُ لَهُمْ مِنَ الْجَمِيعِ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Seyogianya imam memisahkan seperlima dari harta rampasan yang didapatkan, setelah apa yang telah kami jelaskan, secara utuh, lalu menetapkan empat perlima sisanya untuk para pemiliknya. Kemudian imam menghitung siapa saja yang hadir dalam pertempuran dari kalangan laki-laki Muslim yang telah baligh, dan memberikan bagian (raḍkh) dari itu kepada siapa saja yang hadir dari kalangan ahludz-dzimmah, anak-anak Muslim yang belum baligh, dan perempuan. Maka imam memberikan mereka sesuatu sebagai penghargaan atas kehadiran mereka, dan memberikan bagian tambahan kepada siapa yang lebih banyak berperang dibandingkan yang lain. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa bagian (raḍkh) itu diberikan kepada mereka dari seluruh harta rampasan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَجُمْلَةُ مَالِ الْغَنِيمَةِ أَنَّهُ لِصِنْفَيْنِ: لِحَاضِرٍ، وَغَائِبٍ.

Al-Mawardi berkata: “Ini benar. Secara umum, harta rampasan perang terbagi untuk dua golongan: yang hadir dan yang tidak hadir.”

فَأَمَّا الْغَائِبُونَ فَهُمْ أَهْلُ الْخُمُسِ يَسْتَحِقُّونَهُ بِأَوْصَافِهِمْ لَا بِحُضُورِهِمْ وَلَا يُزَادُ مِنْهُمْ حَاضِرٌ لِحُضُورِهِ عَلَى غَائِبٍ لِغَيْبَتِهِ.

Adapun yang tidak hadir, mereka adalah para penerima bagian seperlima (khumus), yang berhak menerimanya karena kriteria mereka, bukan karena kehadiran mereka. Tidak ada tambahan bagi yang hadir atas yang tidak hadir hanya karena kehadirannya atau ketidakhadiran yang lain.

وَأَمَّا الْحَاضِرُونَ فَضَرْبَانِ:

Adapun yang hadir, terbagi menjadi dua kelompok:

أَحَدُهُمَا: مَنْ تَفَرَّدَ مِنْهُمَا بِحَقٍّ مُعَيَّنٍ لَا يُشَارِكُهُ فِيهِ غَيْرُهُ وَهُوَ الْقَاتِلُ يَسْتَحِقُّ سَلَبَ قَتِيلِهِ لَا يُشَارَكُ فِيهِ وَقَدْ مَضَى حُكْمُهُ.

Pertama: Mereka yang secara khusus memiliki hak tertentu yang tidak dimiliki oleh selainnya, yaitu orang yang membunuh musuh, ia berhak atas harta rampasan (salab) dari musuh yang dibunuhnya, dan tidak ada yang berhak bersamanya. Hukum ini telah dijelaskan sebelumnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا كَانَ حَقُّهُ مُشْتَرِكًا غَيْرَ مُعَيَّنٍ وَهُمْ ضَرْبَانِ:

Kelompok kedua: Mereka yang haknya bersifat bersama, tidak tertentu, dan mereka juga terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: مَنْ كَانَ لَهُ سَهْمٌ مُقَدَّرٌ.

Pertama: Mereka yang memiliki bagian yang telah ditentukan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَنْ عُيِّنَ لَهُ رَضْخٌ غَيْرُ مُقَدَّرٍ، فَأَمَّا أَصْحَابُ السِّهَامِ الْمُقَدَّرَةِ فَهُمْ أَهْلُ الْقِتَالِ قَدْ تَعَذَّرَتْ سِهَامُهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ بِأَعْدَادِ رُؤُوسِهِمْ لَا يُفَضَّلُ فِيهَا إِلَّا الْفَارِسُ بِفَرَسِهِ بِمَا سَنَذْكُرُهُ مِنْ تَفْضِيلِهِ عَلَى الرَّاجِلِ.

Kelompok kedua: Mereka yang ditetapkan untuknya bagian (raḍkh) yang tidak ditentukan. Adapun para pemilik bagian yang telah ditentukan, mereka adalah para pejuang yang bagian mereka dalam harta rampasan dihitung berdasarkan jumlah kepala mereka, tidak ada keutamaan di antara mereka kecuali penunggang kuda yang mendapat kelebihan karena kudanya, sebagaimana akan dijelaskan tentang keutamaannya atas prajurit pejalan kaki.

وَأَمَّا أَصْحَابُ الرَّضْخِ فَهُمْ مَنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ، وَهُمْ خَمْسَةُ أَصْنَافٍ: الصِّبْيَانُ، وَالْمَجَانِينُ، وَالنِّسَاءُ، وَالْعَبِيدُ، وَأَهْلُ الذِّمَّةِ، يَرْضَخُ لَهُمْ مِنَ الْغَنِيمَةِ لِحُضُورِ الْوَاقِعَةِ بِسَبَبِ غِيَابِهِمْ، وَيُفَضِّلُ مَنْ قَاتَلَ عَلَى مَنْ لَمْ يُقَاتِلْ، وَلَا يَبْلُغُ بِرَضْخِ أَحَدِهِمْ سَهْمَ فَارِسٍ وَلَا رَاجِلٍ وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ، بِسَهْمٍ لِجَمِيعِ هَؤُلَاءِ وَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ كَغَيْرِهِمْ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الغنيمة لمن شهد الواقعة ” وَتَعْلِيَلًا بِأَنَّهُمْ شَهِدُوا الْوَاقِعَةَ فَأَسْهَمَ لَهُمْ كَأَهْلِ الْجِهَادِ. وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {لَوْلا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلالا طَيِّبًا} [الأنفال، 68، 69] فَلَمَّا كَانَ الْوَعْدُ فِيمَا أَخَذُوهُ مُتَوَجِّهًا إِلَى أَهْلِ الْجِهَادِ كَانَ السَّهْمُ فِيمَا غَنِمُوهُ مُسْتَحَقًّا لِأَهْلِ الْجِهَادِ؛ وَلِأَنَّ سَهْمَ الْغَنِيمَةِ فِي مُقَابَلَةِ فَرْضِ الْجِهَادِ فَلَمَّا خَرَجَ هَؤُلَاءِ مِنَ الْفَرْضِ خَرَجُوا مِنَ السَّهْمِ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ هَؤُلَاءِ قَدْ حَضَرُوا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي غَزَوَاتِهِ فَرَضَخَ لَهُمْ وَلَمْ يُسْهِمْ حَتَّى أَنَّهُ اسْتَعَانَ بِيَهُودِ بَنِي قَيْنُقَاعَ فَرَضَخَ لَهُمْ وَلَمْ يُسْهِمْ، وَفِيمَا ذَكَرْنَا تَخْصِيصًا لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْغَنِيمَةُ لِمَنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ عَلَى أَنَّنَا نَجْعَلُهَا لِجَمِيعِهِمْ، وَإِنَّمَا نُفَاضِلُ بَيْنَ أَهْلِ الرَّضْخِ وَالْجِهَادِ.

Adapun para penerima raḍkh, mereka adalah orang-orang yang bukan dari kalangan ahli jihad, dan mereka terdiri dari lima golongan: anak-anak, orang gila, perempuan, budak, dan ahludz-dzimmah. Mereka diberikan bagian (raḍkh) dari harta rampasan karena kehadiran mereka dalam peristiwa tersebut, meskipun mereka tidak ikut berjihad. Orang yang ikut bertempur diutamakan atas yang tidak bertempur. Bagian (raḍkh) yang diberikan kepada salah satu dari mereka tidak boleh menyamai bagian penunggang kuda maupun pejalan kaki. Al-Auza‘i berpendapat bahwa semua golongan ini mendapat bagian seperti para pejuang lainnya dalam harta rampasan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Harta rampasan adalah bagi siapa yang hadir dalam peristiwa tersebut,” dan alasannya adalah karena mereka turut hadir dalam peristiwa itu, sehingga mereka diberi bagian sebagaimana para pejuang. Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Sekiranya bukan karena ketetapan dari Allah yang telah terdahulu, niscaya kamu ditimpa azab yang besar karena apa yang kamu ambil itu. Maka makanlah dari apa yang telah kamu rampas itu sebagai sesuatu yang halal lagi baik} (al-Anfal: 68-69). Karena janji dalam ayat ini ditujukan kepada para pejuang, maka bagian dalam harta rampasan itu memang hak para pejuang. Dan karena bagian harta rampasan itu sebagai imbalan atas kewajiban jihad, maka ketika mereka (kelima golongan tadi) tidak termasuk dalam kewajiban tersebut, mereka juga tidak mendapat bagian. Juga, semua golongan ini pernah hadir bersama Rasulullah ﷺ dalam peperangan, lalu beliau memberi mereka raḍkh dan tidak memberi bagian (saham), bahkan beliau pernah meminta bantuan kepada Yahudi Bani Qainuqa‘, lalu memberi mereka raḍkh dan tidak memberi bagian. Apa yang kami sebutkan ini merupakan pengecualian dari sabda Nabi ﷺ: “Harta rampasan adalah bagi siapa yang hadir dalam peristiwa,” yaitu bahwa kami menjadikannya untuk semua yang hadir, namun kami membedakan antara ahli raḍkh dan ahli jihad.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يُرْضَخُ لِهَؤُلَاءِ الْخَمْسَةِ وَلَا يُسْهَمُ، فَالرَّضْخُ يَتَقَدَّرُ بِاجْتِهَادِ الْإِمَامِ وَرَأْيِهِ أَوْ مَنْ يَسْتَخْلِفُهُ الْإِمَامُ مِنْ أَمِيرِ جَيْشٍ أَوْ قَاسِمِ يَغْنَمُ؛ فَيَقَعُ التَّفْضِيلُ بَيْنَهُمْ بِحَسَبِ تَفَاضُلِهِمْ فِي الْقِتَالِ.

Jika telah tetap bahwa raḍkh diberikan kepada lima golongan ini dan tidak diberi bagian (saham), maka besaran raḍkh itu ditentukan berdasarkan ijtihad dan pendapat imam, atau orang yang ditunjuk imam, baik itu panglima pasukan atau pembagi harta rampasan; sehingga keutamaan di antara mereka diberikan sesuai dengan keutamaan mereka dalam pertempuran.

فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا سُوِّيَ بَيْنَهُمْ وَإِنْ تَفَاضَلُوا كالْغَانِمِينَ.

Jika dikatakan: Mengapa mereka tidak disamakan saja, meskipun terdapat keutamaan di antara mereka, sebagaimana para peraih harta rampasan?

قِيلَ: لِأَنَّ سِهَامَ الْغَانِمِينَ مُقَدَّرَةٌ، فَلَمْ يُعْتَبَرْ فِيهِمُ التَّفَاضُلُ كَدِيَةِ الْحُرِّ، وَالرَّضْخُ غَيْرُ مُقَدَّرٍ فَاعْتُبِرَ فِيهِ التَّفَاضُلُ كَغَنِيمَةِ الْعَبْدِ، وَلَا يُبْلَغُ بِالرَّضْخِ سَهْمُ فَارِسٍ وَلَا رَاجِلٍ؛ لِأَنَّهُ تَبَعٌ لِلسِّهَامِ فَنُقِصَ عَنْ قَدْرِهَا كَحُكُومَاتِ الْجِرَاحِ عَلَى الأعضاء لما كانت تبع لِلْأَعْضَاءِ لَمْ تَبْلُغْ بِأَرْشِهَا دِيَاتِ تِلْكَ الْأَعْضَاءِ.

Dikatakan: Karena bagian (saham) para peraih ghanimah telah ditentukan, maka tidak dipertimbangkan adanya perbedaan (tafāḍul) di antara mereka, sebagaimana diyat untuk orang merdeka. Sedangkan raḍkh tidak ditentukan, sehingga dipertimbangkan adanya perbedaan, seperti ghanimah untuk budak. Raḍkh tidak boleh mencapai bagian seorang penunggang kuda (fāris) maupun prajurit berjalan kaki (rājil), karena raḍkh merupakan pengikut (tabi‘) dari saham, sehingga dikurangi dari kadarnya, sebagaimana penetapan hukum luka (ḥukūmāt al-jirāḥ) pada anggota tubuh; karena ia mengikuti anggota tubuh, maka diyatnya tidak mencapai diyat anggota-anggota tersebut.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَمِنْ أَيْنَ يَكُونُ الرَّضْخُ فِيهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

Jika hal ini telah ditetapkan, maka dari mana raḍkh itu diambil? Ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: مِنْ أَصْلِ الْغَنِيمَةِ قَبْلَ إِخْرَاجِ خُمُسِهَا كَالسَّلَبِ لِأَنَّهُمْ أَعْوَانٌ. فصاروا كحافظي الغنيمة (وحامليها الذين أعطون أجورهم من أصل الْغَنِيمَةِ) ؛ فَعَلَى هَذَا يَبْدَأُ مِنَ الْغَنِيمَةِ بِإِعْطَاءِ السَّلَبِ وَأُجُورِ الْحَفَظَةِ وَالْحَمَّالِينَ ثُمَّ الرَّضْخِ ثُمَّ يُخَمِّسُ الْبَاقِيَ، فَيَعْزِلُ خُمُسَهُ لِأَهْلِ الْخُمُسِ، وَتُقَسَّمُ أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهِ فِي الْغَانِمِينَ.

Pertama: Diambil dari pokok ghanimah sebelum dikeluarkan seperlimanya (khumus), seperti halnya salab, karena mereka adalah para pembantu. Maka mereka diposisikan seperti penjaga ghanimah (dan para pengangkutnya yang diberikan upah dari pokok ghanimah); berdasarkan ini, dimulai dari ghanimah dengan memberikan salab, upah para penjaga dan pengangkut, kemudian raḍkh, lalu sisanya dikhumuskan, dipisahkan seperlimanya untuk ahli khumus, dan empat perlima sisanya dibagikan kepada para peraih ghanimah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنْ يَرْضَخَ لَهُمْ مِنْ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِ الْغَنِيمَةِ؛ لِأَنَّهُمْ أَضْعَفُ مِنَ الْغَانِمِينَ حُكْمًا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونُوا أَقْوَى حَقًّا؛ فَعَلَى هَذَا يَبْدَأُ بِالسَّلَبِ ثُمَّ بِالْأُجُورِ ثُمَّ بِالْخُمُسِ ثُمَّ بِالرَّضْخِ ثُمَّ يُقَسِّمُ الْبَاقِيَ بَيْنَ الْغَانِمِينَ.

Pendapat kedua: Raḍkh diberikan kepada mereka dari empat perlima ghanimah; karena mereka secara hukum lebih lemah dari para peraih ghanimah, maka tidak boleh mereka memperoleh hak yang lebih kuat; berdasarkan ini, dimulai dengan salab, kemudian upah, lalu khumus, kemudian raḍkh, lalu sisanya dibagikan di antara para peraih ghanimah.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ يَرْضَخُ لَهُمْ مِنْ سَهْمِ الْمَصَالِحِ الْعَامَّةِ؛ لِأَنَّهُمْ مِنْ جُمْلَتِهَا وَهُوَ أَضْعَفُ الْأَقَاوِيلِ ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ في بعض منصوصاته.

Pendapat ketiga: Raḍkh diberikan kepada mereka dari bagian kemaslahatan umum; karena mereka termasuk di dalamnya. Ini adalah pendapat yang paling lemah, disebutkan oleh asy-Syāfi‘ī dalam sebagian nash-nya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ثُمَّ يَعْرِفُ عَدَدَ الْفُرْسَانِ وَالرَّجَّالَةِ الَّذِينَ حَضَرُوا الْقِتَالَ فَيَضْرِبُ كَمَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِلْفَرَسِ سَهْمَيْنِ وَلَلْفَارِسِ سَهْمًا وَلِلرَّاجِلِ سَهْمًا وَلَيْسَ يملك الفرس شيئا إنما يملكه صاحبه لما تكلف من اتخاذه واحتمل من مؤنته وندب الله تعالى إلى اتخاذه لعدوه “.

Asy-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata: “Kemudian diketahui jumlah para penunggang kuda dan prajurit berjalan kaki yang hadir dalam pertempuran, lalu dibagikan sebagaimana Rasulullah ﷺ membagikan: untuk kuda dua bagian, untuk penunggang kuda satu bagian, dan untuk prajurit berjalan kaki satu bagian. Kuda itu sendiri tidak memiliki hak milik apa pun, yang memilikinya adalah pemiliknya karena telah bersusah payah memeliharanya dan menanggung biayanya, serta Allah Ta‘ala menganjurkan untuk memilikinya dalam menghadapi musuh.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:

Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan:

إِذَا أَفْرَدَ الإمام خمس الغنيمة على أربعة أخامسها يَبْدَأُ بالْغَانِمِينَ، فَقَسَّمَ فِيهِمْ أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِ الْغَنِيمَةِ، وقدمهم على أهل الخمس لثلاثة معاني:

Jika imam memisahkan seperlima ghanimah dari empat perlima sisanya, maka dimulai dengan para peraih ghanimah, lalu membagikan empat perlima ghanimah di antara mereka, dan mendahulukan mereka atas ahli khumus karena tiga alasan:

أَحَدُهَا: لِحُضُورِهِمْ وَغَيْبَةِ أَهْلِ الْخُمُسِ.

Pertama: Karena mereka hadir, sedangkan ahli khumus tidak hadir.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ اجْتِهَادِهِمْ فَصَارَ مُعَاوَضَةً وَحَقُّ أَهْلِ الخمس مواساة.

Kedua: Karena sebagai balasan atas ijtihad mereka, maka menjadi bentuk mu‘āwaḍah (timbal balik), sedangkan hak ahli khumus adalah bentuk solidaritas.

والثالث: أن يهم مِلْكَ أَهْلِ الْخُمُسِ خُمُسَهُمْ؛ فَكَانُوا أَقْوَى فِي الْغَنِيمَةِ مِنْهُمْ فَإِذَا شَرَعَ فِي قِسْمَتِهَا فِيهِمْ لَمْ يَخْلُ حَالُهُمْ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Ketiga: Agar ahli khumus tidak mengira bahwa seperlima itu milik mereka, sehingga mereka lebih kuat dalam ghanimah daripada para peraih ghanimah. Maka ketika mulai membagikannya kepada mereka, keadaan mereka tidak lepas dari tiga kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونُوا رَجَّالَةً لَا فَارِسَ فِيهِمْ، أَوْ فُرْسَانًا لَا رِجَالَ فِيهِمْ أَوْ يَكُونُوا فُرْسَانًا وَرِجَالًا.

Yaitu: mereka seluruhnya prajurit berjalan kaki tanpa penunggang kuda di antara mereka, atau seluruhnya penunggang kuda tanpa prajurit berjalan kaki di antara mereka, atau mereka terdiri dari penunggang kuda dan prajurit berjalan kaki.

فَإِنْ كَانُوا رَجَّالَةً لَا فَارِسَ فِيهِمْ أَوْ فُرْسَانًا لَا رِجَالَ فِيهِمْ سَوَّى بَيْنَهُمْ، وَقَسَمَهَا عَلَى أَعْدَادِ رُؤُوسِهِمْ وَلَمْ يُفَضِّلْ شُجَاعًا عَلَى جَبَانٍ، وَلَا مُحَارِبًا عَلَى كَافٍّ، لِأَنَّ جَمِيعَهُمْ حَاضِرٌ مُكَثِّرٌ، وَرَدٌّ مَهِيبٌ كَمَا يُسَوَّى فِي الْمَوَارِيثِ بَيْنَ الْبَارِّ وَالْعَاقِّ، وَالْمُحْسِنِ وَالْمُسِيءِ لِتَسَاوِيهِمْ فِي النَّسَبِ.

Jika mereka seluruhnya prajurit berjalan kaki tanpa penunggang kuda di antara mereka, atau seluruhnya penunggang kuda tanpa prajurit berjalan kaki di antara mereka, maka disamakan di antara mereka, dan dibagikan berdasarkan jumlah kepala mereka, tanpa mengutamakan yang pemberani atas yang penakut, atau yang berperang atas yang tidak, karena semuanya hadir dan memperbanyak jumlah, serta menjadi barisan yang menakutkan, sebagaimana dalam warisan disamakan antara anak yang berbakti dan yang durhaka, yang berbuat baik dan yang berbuat buruk, karena kesamaan mereka dalam nasab.

وَإِنْ كَانُوا فُرْسَانًا وَرَجَّالَةً فَضَّلَ الْفَارِسَ عَلَى الرَّاجِلِ.

Jika mereka terdiri dari penunggang kuda dan prajurit berjalan kaki, maka penunggang kuda diutamakan atas prajurit berjalan kaki.

وَاخْتَلَفُوا فِي قَدْرِ مَا يُفَضِّلُ بِهِ، فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ: إِلَى أَنَّهُ يُعْطِي الْفَارِسَ ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ، سَهْمًا لَهُ وَسَهْمَيْنِ لِفَرَسِهِ، وَيُعْطِي الرَّاجِلَ سَهْمًا وَاحِدًا. وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَمِنَ التَّابِعِينَ: عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَابْنُ سِيرِينَ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: مَالِكٌ مَعَ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، وَالْأَوْزَاعِيُّ مَعَ أَهْلِ الشَّامِ، وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ مَعَ أَهْلِ مِصْرَ، وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ مَعَ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ، وَالثَّوْرِيُّ وأبو يوسف ومحمد مَعَ أَهْلِ الْعِرَاقِ، إِلَّا أبا حنيفة وَحْدَهُ فَإِنَّهُ تَفَرَّدَ عَنْهُمْ فَذَهَبَ إِلَى أَنَّهُ يُعْطِي الْفَارِسَ سَهْمَيْنِ وَالرَّاجِلَ سَهْمًا اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ عُبَيدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ الْعُمَرِيِّ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَعْطَى الْفَارِسَ سَهْمَيْنِ فَبِرِوَايَةِ الْمِقْدَادِ قَالَ أَعْطَانِي رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَهْمًا لِي وَسَهْمًا لِفَرَسِي وَبِرِوَايَةِ مَجْمَعِ بْنِ حَارِثَةَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ: قَسَمَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَيْبَرَ عَلَى ثَمَانِيَةَ عَشَرَ سَهْمًا وَكَانَ الْجَيْشُ أَلْفًا وَخَمْسَمِائَةٍ فَمِنْهُمْ ثَلَاثُمِائَةِ فَارِسٍ فَأَعْطَى الْفَارِسَ سهمين، والراجل سهما؛ لأنه جعل لثلاث مائة فَارِسٍ سِتَّمِائَةِ سَهْمٍ حَتَّى صَارَ لِكُلِّ مِائَةٍ مِنْهُمْ سَهْمٌ وَاحِدٌ مِنْ خَيْبَرَ.

Mereka berbeda pendapat mengenai besaran keutamaan yang diberikan. Asy-Syafi‘i berpendapat bahwa seorang penunggang kuda (al-fāris) diberikan tiga bagian: satu bagian untuk dirinya dan dua bagian untuk kudanya, sedangkan seorang pejalan kaki (ar-rājil) diberikan satu bagian. Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat seperti ‘Umar bin al-Khattab dan ‘Ali bin Abi Thalib ra., serta dari kalangan tabi‘in: ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, al-Hasan al-Bashri, dan Ibn Sirin; dan dari para fuqaha: Malik bersama penduduk Madinah, al-Awza‘i bersama penduduk Syam, al-Laits bin Sa‘d bersama penduduk Mesir, Ahmad dan Ishaq bersama para ahli hadits, serta ats-Tsauri, Abu Yusuf, dan Muhammad bersama penduduk Irak, kecuali Abu Hanifah seorang diri yang berbeda dari mereka. Ia berpendapat bahwa penunggang kuda diberikan dua bagian dan pejalan kaki satu bagian, dengan berdalil pada riwayat ‘Ubaidullah bin ‘Umar al-‘Umari dari Nafi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa Nabi ﷺ memberikan kepada penunggang kuda dua bagian. Dalam riwayat al-Miqdad, ia berkata: “Rasulullah ﷺ memberiku satu bagian untukku dan satu bagian untuk kudaku.” Dalam riwayat Majma‘ bin Haritsah al-Anshari, ia berkata: “Rasulullah ﷺ membagi Khaibar menjadi delapan belas bagian, dan pasukan saat itu berjumlah seribu lima ratus orang, di antaranya tiga ratus penunggang kuda. Maka beliau memberikan kepada penunggang kuda dua bagian dan pejalan kaki satu bagian; karena beliau memberikan kepada tiga ratus penunggang kuda enam ratus bagian, sehingga setiap seratus dari mereka mendapat satu bagian dari Khaibar.”

وَمِنَ الْقِيَاسِ: أَنَّهُ حَيَوَانٌ يُسْهَمُ لَهُ؛ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُزَادَ عَلَى سَهْمٍ كَالرَّاجِلِ؛ وَلِأَنَّ الْفَرَسَ تَبَعٌ أَلَا تَرَاهُ لَوْ حَضَرَ بِلَا صَاحِبِهِ لَمْ يُسْهَمْ لَهُ، وَلَوْ حَضَرَ صَاحِبُهُ بِلَا فَرَسٍ أُسْهِمَ لَهُ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ سَهْمُ التَّابِعِ أَفْضَلَ مِنْ سَهْمِ الْمَتْبُوعِ؛ وَلِأَنَّ عَنَاءَ صَاحِبِهِ أَكْثَرُ تَأْثِيرًا وَتَأْثِيرُهُ أَظْهَرُ لِأَنَّهُ هُوَ الْمُقَاتِلُ دُونَ الْفَرَسِ، وَسَهْمُ الْغَنِيمَةِ إِنَّمَا يُسْتَحَقُّ بِحَسَبِ الْعَنَاءِ وَعَلَى قَدْرِ الْبَلَاءِ؛ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُفَضَّلَ مَا قَلَّ تَأْثِيرُهُ عَلَى مَا كَثُرَ قَالَ أبو حنيفة: لِأَنَّ فِي إِعْطَاءِ الْفَرَسِ سَهْمَيْنِ وَصَاحِبِهِ سَهْمًا تَفْضِيلًا لِلْبَهِيمَةِ عَلَى الْآدَمِيِّ وَإِنِّي لِأَسْتَحِي أَنَّ أُفَضِّلَ بَهِيمَةً عَلَى آدَمِيٍّ.

Dan menurut qiyās: kuda adalah hewan yang diberi bagian, maka seharusnya tidak ditambah dari satu bagian seperti pejalan kaki; karena kuda hanyalah pengikut. Bukankah jika kuda hadir tanpa pemiliknya, ia tidak diberi bagian, sedangkan jika pemiliknya hadir tanpa kuda, ia tetap diberi bagian? Tidak boleh bagian pengikut lebih utama dari bagian yang diikuti; dan karena jerih payah pemiliknya lebih besar pengaruhnya dan pengaruhnya lebih nyata, sebab dialah yang berperang, bukan kudanya. Bagian dari ghanīmah hanya berhak didapatkan sesuai dengan jerih payah dan kadar pengorbanan; maka tidak boleh yang pengaruhnya lebih sedikit diutamakan atas yang pengaruhnya lebih besar. Abu Hanifah berkata: “Karena memberikan dua bagian kepada kuda dan satu bagian kepada pemiliknya berarti mengutamakan hewan atas manusia, dan aku merasa malu mengutamakan hewan atas manusia.”

قَالَ أَصْحَابُهُ: وَلِأَنَّ الْقِيَاسَ يَقْتَضِي أَنْ لَا يُسْهَمَ لِلْفَرَسِ؛ لِأَنَّهُ آلَةٌ كَالسِّلَاحِ؛ وَلِأَنَّهُ بَهِيمَةٌ كَالْبِغَالِ، وَلَكِنْ صِرْنَا إِلَى إِعْطَائِهِ سَهْمًا وَاحِدًا بِالْإِجْمَاعِ وَمَنَعَ الْقِيَاسُ مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ.

Para pengikutnya berkata: Dan karena qiyās menuntut agar kuda tidak diberi bagian, karena ia hanyalah alat seperti senjata; dan karena ia adalah hewan seperti bighal (bagal), namun kami tetap memberikan satu bagian kepadanya berdasarkan ijmā‘, dan qiyās melarang penambahan atasnya.

ودليلنا ما رواه عُبَيدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ الْعُمَرِيِّ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَسْهَمَ لِلرَّاجِلِ وَلِفَرَسِهِ ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ سَهْمًا لَهُ، وَسَهْمَيْنِ لِفَرَسِهِ وَهَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ رَوَاهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيثِ، وَقَدْ رَوَى جَابِرٌ وَأَبُو هُرَيْرَةَ مِثْلَهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَرَوَى الزُّهْرِيُّ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَطَلْحَةَ وَالزُّبَيْرِ قَالُوا كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يسهم للفارس ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ: سَهْمًا لَهُ وَسَهْمَيْنِ لِفَرَسِهِ وَهَذَا إِخْبَارٌ عَنِ اسْتِدَامَةِ فِعْلِهِ، لَكِنَّ الْحَدِيثَ الْأَوَّلَ أَشْهَرُ وَأَصَحُّ؛ لِأَنَّ مَدَارَ هَذَا عَلَى بِشْرِ بْنِ مُعَاذٍ، وَفِيهِ لِينٌ.

Dalil kami adalah riwayat ‘Ubaidullah bin ‘Umar al-‘Umari dari Nafi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa Nabi ﷺ memberikan bagian kepada pejalan kaki dan kudanya sebanyak tiga bagian: satu bagian untuk dirinya dan dua bagian untuk kudanya. Ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh para imam hadits. Jabir dan Abu Hurairah juga meriwayatkan yang serupa dari Rasulullah ﷺ. Az-Zuhri meriwayatkan dari Malik bin Aus bin al-Hadtsan dari ‘Umar bin al-Khattab, Thalhah, dan az-Zubair, mereka berkata: “Nabi ﷺ memberikan bagian kepada penunggang kuda sebanyak tiga bagian: satu bagian untuk dirinya dan dua bagian untuk kudanya.” Ini adalah pemberitaan tentang kelangsungan perbuatan beliau, namun hadits yang pertama lebih masyhur dan lebih shahih; karena sanadnya berpusat pada Bisyr bin Mu‘adz, dan padanya terdapat kelemahan.

وَرَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَسَمَ يَوْمَ خَيْبَرَ لِلْفَارِسِ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ وَلِلرَّاجِلِ سَهْمٌ.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi ﷺ pada hari Khaibar memberikan kepada penunggang kuda tiga bagian dan kepada prajurit pejalan kaki satu bagian.

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ أَنَّ الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ كان يضرب في المغنم بأربعة أسهم سهما لَهُ؛ وَسَهْمَيْنِ لِفَرَسِهِ، وَسَهْمٍ لِأُمِّهِ صَفِيَّةَ، لِأَنَّهَا مِنْ ذَوِي الْقُرْبَى وَكُلُّ هَذِهِ الْأَخْبَارِ نُصُوصٌ تَمْنَعُ مِنَ الْخِلَافِ.

Dan Imam Syafi‘i meriwayatkan bahwa az-Zubair bin al-‘Awwam mendapatkan empat bagian dari rampasan perang: satu bagian untuk dirinya, dua bagian untuk kudanya, dan satu bagian untuk ibunya, Shafiyyah, karena ia termasuk dari kerabat dekat. Semua riwayat ini adalah nash yang mencegah adanya perbedaan pendapat.

فَإِنْ قِيلَ: فَيُحْمَلُ السَّهْمُ الثَّالِثُ فِي هَذِهِ الْأَخْبَارِ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دفعه إلى الفارس نقلا كما نقل الرُّبُعَ فِي الْبُدَاءَةِ وَالثُّلُثَ فِي الرُّجْعَةِ فَعَنْ ذلك أربعة أجوبة:

Jika dikatakan: Bagian ketiga dalam riwayat-riwayat ini dianggap bahwa Nabi ﷺ memberikannya kepada penunggang kuda sebagai tambahan, sebagaimana beliau memberikan seperempat pada permulaan dan sepertiga pada saat kembali, maka terdapat empat jawaban atas hal itu:

أحدهما: أَنَّ السَّهْمَ عِبَارَةٌ عَنِ الْمُسْتَحَقِّ لَا عَنِ النَّفْلِ.

Pertama: Bahwa “bagian” di sini bermakna hak yang memang seharusnya diterima, bukan bagian tambahan (nafl).

وَالثَّانِي: أَنَّ النَّفْلَ يُسْتَحَقُّ بِالشَّرْطِ وَلَيْسَ فِي الْفَرَسِ شَرْطٌ.

Kedua: Bahwa bagian tambahan (nafl) itu hanya berhak didapatkan dengan syarat tertentu, sedangkan pada kuda tidak ada syarat demikian.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ النَّفْلَ لَا يَكُونُ لِلْفَرَسِ.

Ketiga: Bahwa bagian tambahan (nafl) tidak diberikan kepada kuda.

وَالرَّابِعُ: أَنَّ حُكْمَ السَّهْمِ الثَّالِثِ كَحُكْمِ السَّهْمَيْنَ الْمُتَقَدِّمَيْنِ، فَلَمَّا لَمْ يَكُونَا نَفْلًا لَمْ يَكُنِ الثَّالِثُ نَفْلًا.

Keempat: Bahwa hukum bagian ketiga sama dengan dua bagian sebelumnya; maka ketika dua bagian sebelumnya bukan bagian tambahan, bagian ketiga pun bukan bagian tambahan.

ثُمَّ الدَّلِيلُ مِنْ جِهَةِ الْقِيَاسِ أَنَّهُ مُقَدَّرٌ يَزِيدُ عَلَى مُقَدَّرٍ عَلَى وَجْهِ الرِّفْقِ؛ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بِالضَّعْفِ قِيَاسًا عَلَى الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ لَمَّا مَسَحَ الْمُقِيمُ يَوْمًا وَلَيْلَةً أَرْفَقَ الْمُسَافِرَ بِثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ولياليهن؛ ولأن مؤنة الفرس أقصر لِمَا يُتَكَلَّفُ مِنْ عُلُوفِهِ وَأُجْرَةِ خَادِمِهِ وَكَثْرَةِ آلَتِهِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الْمُسْتَحَقُّ بِهِ أَكْثَرَ؛ وَلِأَنَّهُ فِي الْحَرْبِ أَهْيَبُ، وَتَأْثِيرُهُ فِي الْكَرِّ وَالْفَرِّ أَظْهَرُ. فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ سَهْمُهُ أَوْفَرَ.

Kemudian dalil dari sisi qiyās adalah bahwa bagian tersebut ditetapkan melebihi bagian yang lain sebagai bentuk keringanan; maka seharusnya diberikan dua kali lipat, qiyās-nya seperti mengusap khuf (sepatu kulit), di mana orang yang bermukim mengusap selama sehari semalam, sedangkan musafir diberi keringanan tiga hari tiga malam; dan karena biaya perawatan kuda lebih besar, seperti memberi makan, upah pelayan, dan banyaknya perlengkapan, maka sudah sepatutnya hak yang diterima lebih banyak; juga karena dalam peperangan kuda lebih menakutkan musuh, dan pengaruhnya dalam serangan dan mundur lebih nyata. Maka sudah sepatutnya bagiannya lebih banyak.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عمرو العمري فيمن ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Adapun jawaban atas hadis ‘Ubaidullah bin ‘Amr al-‘Umari, maka ada tiga sisi:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ عِنْدَ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ ضَعِيفٌ وَأَخُوهُ عَبْدُ اللَّهِ أَقْوَى عِنْدَهُمْ مِنْهُ وَأَصَحُّ حَدِيثًا، وَقَدْ رَوَيْنَا عَنْهُ خِلَافَ مَا رَوَاهُ.

Pertama: Menurut para ahli hadis, ia (Ubaidullah) adalah perawi yang lemah, dan saudaranya, ‘Abdullah, lebih kuat dan hadisnya lebih shahih menurut mereka, dan kami meriwayatkan darinya hal yang bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Ubaidullah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ خَبَرَ عَبْدِ اللَّهِ أَزْيَدُ مِنْ خَبَرِهِ وَالْأَخْذُ بِالزِّيَادَةِ أَوْلَى.

Kedua: Bahwa riwayat ‘Abdullah lebih banyak (tambahan) daripada riwayatnya, dan mengambil riwayat yang lebih banyak (tambahan) lebih utama.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ يَحْمِلُ سَهْمَ الْفَارِسِ عَلَى الزِّيَادَةِ الَّتِي اسْتَحَقَّهَا بِفَرَسِهِ عَلَى السَّهْمِ الرَّاتِبِ لِنَفْسِهِ فَيَصِيرُ ذَلِكَ ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ كَمَا رَوَيْنَا اسْتِعْمَالًا لِلرِّوَايَتَيْنِ فَيَكُونُ أَوْلَى مِنْ إِسْقَاطِ إِحْدَاهُمَا بِالْأُخْرَى كَمَا رُوِيَ فِي صَلَاةِ الْعِيدَيْنِ، أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَبَّرَ فِي الْأُولَى سَبْعًا وَفِي الثَّانِيَةِ خَمْسًا فَحَمَلْنَا ذَلِكَ عَلَى التَّكْبِيرِ الزَّائِدِ عَلَى التَّكْبِيرَةِ الرَّاتِبَةِ فِي الْإِحْرَامِ وَالْقِيَامِ.

Ketiga: Bahwa bagian penunggang kuda itu dibawa pada tambahan yang ia peroleh karena kudanya di atas bagian tetap untuk dirinya, sehingga menjadi tiga bagian sebagaimana yang kami riwayatkan, sebagai bentuk penggabungan dua riwayat, dan itu lebih utama daripada menggugurkan salah satunya dengan yang lain, sebagaimana diriwayatkan dalam shalat ‘Idain, bahwa Nabi ﷺ bertakbir pada rakaat pertama tujuh kali dan pada rakaat kedua lima kali, maka kami memahami itu sebagai tambahan takbir di atas takbir tetap pada takbiratul ihram dan berdiri.

وَأَمَّا حَدِيثُ الْمِقْدَادِ فَقَدْ رَوَتْ عَنْهُ بِنْتُهُ كَرِيمَةُ أَنَّهُ قَالَ: أَعْطَانِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ: سَهْمًا لِي، وَسَهْمَيْنِ لِفَرَسِي فَتَعَارَضَتِ الرِّوَايَتَانِ عَنْهُ وَسَقَطَتَا وَاسْتُعْمِلَتَا عَلَى مَا وَصَفْنَا.

Adapun hadis al-Miqdad, maka diriwayatkan dari putrinya, Karīmah, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ memberiku tiga bagian: satu bagian untukku dan dua bagian untuk kudaku. Maka dua riwayat darinya saling bertentangan dan keduanya gugur, lalu digunakan sebagaimana yang telah kami jelaskan.

وَأَمَّا حَدِيثُ مَجْمَعِ بْنِ حَارِثَةَ فَعَنْهُ جَوَابَانِ:

Adapun hadis Majma‘ bin Haritsah, maka ada dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: مَا قَالَهُ أَبُو دَاوُدَ أَنَّ مَجْمَعًا وهم في حديثه. أنهم كانوا ثلاث مائة فَارِسٍ، وَإِنَّمَا كَانُوا مِائَتَيْ فَارِسٍ.

Pertama: Sebagaimana dikatakan oleh Abu Dawud, bahwa Majma‘ keliru dalam hadisnya. Ia menyebutkan bahwa mereka berjumlah tiga ratus penunggang kuda, padahal sebenarnya mereka hanya dua ratus penunggang kuda.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ رُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُمْ كَانُوا أَلْفًا وَأَرْبَعَمِائَةٍ فَهُمْ مِائَتَا فَارِسٍ وَهَذِهِ الرِّوَايَةُ أَصَحُّ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Kedua: Bahwa telah diriwayatkan darinya bahwa mereka berjumlah seribu empat ratus orang, sehingga penunggang kudanya dua ratus, dan riwayat ini lebih shahih dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ رِوَايَةَ ابْنِ عَبَّاسٍ تُوَافِقُهَا.

Pertama: Bahwa riwayat Ibnu ‘Abbas sesuai dengannya.

وَالثَّانِي: أَنَّ هَذَا الْجَيْشَ هُمْ أَهْلُ الْحُدَيْبِيَةِ، وَقَدِ اتَّفَقَ أَهْلُ السِّيَرِ عَلَى أَنَّ عِدَّتَهُمْ أَلْفٌ وَأَرْبَعُمِائَةٍ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الرَّاجِلِ لِعِلَّةِ أَنَّهُ حَيَوَانٌ يُسْهَمُ لَهُ فَهُوَ أَنَّ الْفَرَسَ لَا يُسْهَمُ لَهُ وَإِنَّمَا يُسْهَمُ لِصَاحِبِهِ لِأَجْلِهِ؛ فَكَانَ الْوَصْفُ غَيْرَ سَلِيمٍ ثُمَّ المعنى في الفرس أن مؤنته أكثر وبلائه أَظْهَرُ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ مَا يَسْتَحِقُّ بِهِ أَكْثَرَ.

Kedua: Bahwa pasukan ini adalah para sahabat Hudaibiyah, dan para ahli sejarah telah sepakat bahwa jumlah mereka adalah seribu empat ratus orang. Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap pejalan kaki dengan alasan bahwa ia adalah makhluk hidup yang mendapat bagian, maka jawabannya adalah bahwa kuda tidak diberi bagian, melainkan yang diberi bagian adalah pemiliknya karena kudanya; sehingga sifat tersebut tidaklah tepat. Kemudian, makna (hikmah) pada kuda adalah bahwa biaya perawatannya lebih besar dan jasanya lebih nyata, maka wajar jika apa yang berhak ia dapatkan lebih banyak.

وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهُ تَابِعٌ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ سَهْمُهُ أَكْثَرَ مِنْ سَهْمِ الْمَتْبُوعِ.

Adapun pernyataan mereka bahwa kuda itu adalah pengikut, maka tidak boleh bagi bagian (harta rampasan) kuda melebihi bagian yang diikuti (manusia).

فالجواب عنه أن كِلَا السَّهْمَيْنِ لِلْمَتْبُوعِ لَيْسَ لِلتَّابِعِ سَهْمٌ وَهُوَ أَكْثَرُ، عَلَى أَنَّ ذَلِكَ لَوْ جَازَ أَنْ يَمْنَعَ مِنَ الزِّيَادَةِ لَجَازَ أَنْ يَمْنَعَ مِنَ الْمُسَاوَاةِ؛ لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَزِيدَ عَلَى الْمَتْبُوعِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُسَاوِيَهُ.

Jawabannya adalah bahwa kedua bagian itu sebenarnya untuk yang diikuti (manusia), bukan untuk yang mengikuti (kuda), dan itu lebih banyak. Lagi pula, jika hal itu boleh mencegah adanya tambahan, maka boleh juga mencegah adanya kesetaraan; karena jika tidak boleh melebihi yang diikuti, maka tidak boleh pula menyamainya.

وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ عَنَاءَ صَاحِبِهِ أَكْثَرُ لِأَنَّهُ هُوَ الْمُقَاتِلُ.

Adapun pernyataan mereka bahwa beban pemiliknya lebih berat karena dialah yang berperang.

فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ كِلَا الْعَنَائَيْنِ مُضَافٌ إِلَى صَاحِبِهِ إِلَّا أَنَّ تَأْثِيرَهُ لِفَرَسِهِ أَكْثَرُ مِنْ تَأْثِيرِهِ لِنَفْسِهِ؛ لِأَنَّهُ بِالْفَرَسِ يَلْحَقُ إِنْ طَلَبَ وَلَا يُلْحَقُ إِنْ هَرَبَ.

Jawabannya adalah bahwa kedua beban itu kembali kepada pemiliknya, hanya saja pengaruhnya untuk kudanya lebih besar daripada untuk dirinya sendiri; karena dengan kuda ia dapat mengejar jika ia mengejar, dan tidak dapat dikejar jika ia melarikan diri.

وَأَمَّا قَوْلُ أبي حنيفة: ” إِنَّنِي أَسْتَحِي أَنَّ أُفَضِّلَ بَهِيمَةٍ عَلَى آدَمِيٍّ ” [فَيُقَالُ لَهُ لَئِنِ اسْتَحْيَيْتَ أَنْ تفضل بينهما] فاستحي أَنْ تُسَاوِيَ بَيْنَهُمَا وَأَنْتَ قَدْ سَوَّيْتَ.

Adapun pernyataan Abu Hanifah: “Sesungguhnya aku malu mengutamakan hewan atas manusia.” [Maka dikatakan kepadanya: Jika engkau malu membedakan antara keduanya] maka malulah pula untuk menyamakan keduanya, padahal engkau telah menyamakannya.

ثُمَّ يُقَالُ لَهُ: أَلَسْتَ قَدْ فَضَّلْتَ قِيمَةَ الْبَهِيمَةِ إِذَا تَلَفَتْ عَلَى ذِمَّةِ الْحُرِّ إِذَا قُتِلَ وَلَمْ يُوجِبْ ذَلِكَ الِاسْتِحْيَاءَ، فَكَذَلِكَ فِي السَّهْمِ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ السَّهْمُ لِلْبَهِيمَةِ فَيَسْتَحِي مِنْ تَفْضِيلِهَا بِهِ، وَإِنَّمَا هُوَ لِصَاحِبِهَا وَالْبَهِيمَةُ لَا تَمْلِكُ.

Kemudian dikatakan kepadanya: Bukankah engkau telah mengutamakan nilai hewan jika ia rusak atas tanggungan orang merdeka jika ia terbunuh, dan hal itu tidak membuatmu malu? Maka demikian pula dalam hal bagian (harta rampasan), dan lagi pula bagian itu bukan untuk hewan sehingga engkau malu mengutamakannya, melainkan untuk pemiliknya, dan hewan tidak memiliki hak kepemilikan.

وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ الْقِيَاسَ يَمْنَعُ مِنَ السَّهْمِ لِلْبَهِيمَةِ فَهَذَا قِيَاسٌ قَدْ أَبْطَلَهُ النَّصُّ فبطل.

Adapun pernyataan mereka bahwa qiyās melarang adanya bagian untuk hewan, maka ini adalah qiyās yang telah dibatalkan oleh nash, sehingga menjadi batal.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ لِلْفَارِسِ ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ، فَالْفُرْسَانُ هُمْ أَصْحَابُ الْخَيْلِ دُونَ الْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَالْمَطَايَا وَالْفِيَلَةِ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ} [الأنفال: 60] ولقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” يَا خَيْلَ اللَّهِ ارْكَبِي ” وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الخيل مقعود بِنَوَاصِيهَا الْخَيْرُ ” وَلِأَنَّهَا هِيَ الْمُخْتَصَّةُ بِالْكَرِّ وَالْفَرِّ دُونَ الْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْخَيْلُ كُلُّهَا سَوَاءٌ لَا فَرْقَ بَيْنَ عَتِيقِهَا وبَرَاذِينِهَا ومقارفها وهجنها؛ والعتيق: ما كان أبواه عربين.

Jika telah tetap bahwa bagi penunggang kuda mendapat tiga bagian, maka para penunggang kuda adalah para pemilik kuda, bukan bighal, keledai, unta, atau gajah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan} [Al-Anfal: 60], dan sabda Nabi ﷺ: “Wahai kuda Allah, tunggangilah!” dan sabda beliau ﷺ: “Pada ubun-ubun kuda terdapat kebaikan.” Karena kuda memang dikhususkan untuk menyerang dan mundur, tidak seperti bighal dan keledai. Jika demikian, maka semua jenis kuda sama, tidak ada perbedaan antara kuda asli, bardzin, muqrif, dan hajin; adapun kuda asli adalah yang kedua orang tuanya Arab.

وَالْبِرْذَوْنُ: مَا كَانَ أَبَوَاهُ أَعْجَمِيَّيْنِ.

Bardzin adalah kuda yang kedua orang tuanya non-Arab.

وَالْمُقْرِفُ: مَا كَانَتْ أُمُّهُ عَرَبِيَّةً وَأَبُوهُ أَعْجَمِيُّ.

Muqrif adalah kuda yang induknya Arab dan ayahnya non-Arab.

وَالْهَجِينُ: مَا كَانَ أَبُوهُ عَرَبِيًّا وَأُمُّهُ أَعْجَمِيَّةً وَبِهَذَا قَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: إِنْ كَانَ الْفَرَسُ عَتِيقًا أُسْهِمَ لَهُ سَهْمَانِ وَإِنْ كَانَ بِرْذَوْنًا لَمْ يُسْهَمْ لَهُ، وَإِنْ كَانَ مُقْرِفًا أو هجينا أسهم له بسهم وَاحِدٌ.

Hajin adalah kuda yang ayahnya Arab dan induknya non-Arab. Inilah pendapat Abu Hanifah dan Malik. Sedangkan Al-Auza‘i berpendapat: Jika kuda itu asli, maka diberi dua bagian; jika bardzin, tidak diberi bagian; dan jika muqrif atau hajin, maka diberi satu bagian.

وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: يُسْهَمُ لِلْعَتِيقِ سَهْمَانِ وَلِغَيْرِهِ مِنَ الْخَيْلِ سَهْمٌ وَاحِدٌ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْمُخْتَصَّةَ بِالْكَرِّ وَالْفَرِّ هِيَ الْعُتْقُ فَاخْتَصَّتْ بِالسَّهْمِ الْأَوْفَى وَكَانَ مَا سِوَاهُمَا بِالنَّقْصِ أَوْلَى وَهَذَا خَطَأٌ لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ} [الأنفال: 60] وَلِأَنَّ الْعَتِيقَ وَإِنْ كَانَ أَحَدَّ وَأَسْرَعَ فَالْبِرْذَوْنُ أَشَدُّ وَأَبْهَى وَأَصْبَرُ فَصَارَ اخْتِصَاصُ الْعَتِيقِ بِالْحِدَّةِ فِي مُقَابَلَةِ اخْتِصَاصِ الْبِرْذَوْنِ بِالشِّدَّةِ فَتَقَابَلَا وَاسْتَوَيَا، وَلِأَنَّ أَصْحَابَ الْخَيْلِ لَمَّا اسْتَوَى عَرَبِيُّهُمْ وعَجَمِيُّهُمْ فِي السُّهُمِ فَالْخَيْلُ أَوْلَى بِأَنْ يَسْتَوِيَ عَرَبِيُّهَا وَعَجَمِيُّهَا فِي السُّهُمِ، وَفِيمَا ذَكَرْنَاهُ دَلِيلٌ وانفصال والله أعلم.

Ahmad bin Hanbal berkata: “Diberikan dua bagian untuk al-‘atiq dan satu bagian untuk selainnya dari kuda, dengan alasan bahwa yang dikhususkan untuk serangan dan penarikan mundur adalah al-‘atiq, maka ia dikhususkan dengan bagian yang lebih utama, dan yang selainnya lebih layak untuk mendapatkan bagian yang lebih sedikit. Namun, ini adalah kekeliruan karena keumuman firman Allah Ta‘ala: {Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan} [al-Anfal: 60]. Dan karena al-‘atiq meskipun lebih tajam dan lebih cepat, al-birżawn lebih kuat, lebih indah, dan lebih tahan, sehingga kekhususan al-‘atiq dalam ketajaman diimbangi dengan kekhususan al-birżawn dalam kekuatan, maka keduanya saling berhadapan dan setara. Dan karena para pemilik kuda, baik yang Arab maupun non-Arab, disamakan dalam pembagian bagian, maka kuda lebih utama untuk disamakan antara yang Arab dan non-Arab dalam pembagian bagian. Dalam apa yang telah kami sebutkan terdapat dalil dan pemisahan, dan Allah Maha Mengetahui.”

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَمَنْ حَضَرَ بِفَرَسَيْنِ فَأَكْثَرَ لَمْ يُعْطَ إِلَّا لواحد لأنه لا يلقى إلا بواحد ولو أسهم لاثنين لأسهم لأكثر ولا يسهم لراكب دابة غير دابة الخيل “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Barang siapa hadir dengan dua ekor kuda atau lebih, maka tidak diberikan bagian kecuali untuk satu ekor saja, karena ia tidak menghadapi musuh kecuali dengan satu ekor. Jika diberikan bagian untuk dua ekor, maka akan diberikan juga untuk lebih banyak lagi. Dan tidak diberikan bagian untuk penunggang hewan selain kuda.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: “Dan ini benar.”

إِذَا حَضَرَ الْفَارِسُ الْوَقْعَةَ بِأَفْرَاسٍ لَمْ يُعْطَ إِلَّا سَهْمَ فَرَسٍ وَاحِدٍ، وَلَوْ حَضَرَهَا بِمِائَةِ فَرَسٍ، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ، وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ: يُسْهَمُ لِفَرَسَيْنِ، وَلَا يُسْهَمُ لِأَكْثَرَ اسْتِدْلَالًا بِمَا رَوَى مَكْحُولٌ أَنَّ الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ حَضَرَ خَيْبَرَ بِفَرَسَيْنِ فَأَعْطَاهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَمْسَةَ أَسْهُمٍ: سَهْمٌ لَهُ، وَأَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ لِفَرَسَيْهِ؛ ولأن الثاني عدة مجيئها يرواح بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْأَوَّلِ إِنْ أَعْيَا أَوْ زَمِنَ فَكَانَ تَأْثِيرُهُمَا أَكْثَرَ مَعَ مَا قَدْ تَكَلَّفَهُ لَهُمَا مِنْ زِيَادَةِ الْمُؤْنَةِ، وَهَذَا خَطَأٌ.

Jika seorang penunggang kuda hadir dalam pertempuran dengan beberapa ekor kuda, maka tidak diberikan bagian kecuali untuk satu ekor kuda saja, meskipun ia hadir dengan seratus ekor kuda. Pendapat ini juga dikatakan oleh Abu Hanifah, Malik, dan mayoritas fuqaha. Sedangkan al-Awza‘i, ats-Tsauri, Ahmad, dan Ishaq berpendapat: diberikan bagian untuk dua ekor kuda, dan tidak untuk lebih dari itu, dengan alasan riwayat dari Makḥul bahwa az-Zubair bin al-‘Awwam hadir di Khaibar dengan dua ekor kuda, lalu Nabi ﷺ memberinya lima bagian: satu bagian untuk dirinya dan empat bagian untuk kedua kudanya. Karena kuda kedua merupakan perlengkapan yang dapat digunakan bergantian dengan yang pertama jika yang pertama lelah atau cedera, sehingga pengaruh keduanya lebih besar, di samping biaya tambahan yang telah dikeluarkan untuk keduanya. Namun, ini adalah kekeliruan.

وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ أَبُو عَاصِمٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ حَضَرَ خَيْبَرَ وَمَعَهُ أَفْرَاسٌ فَلَمْ يُسْهِمِ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِلَّا لِفَرَسٍ وَاحِدٍ.

Dalil kami adalah riwayat Abu ‘Ashim dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa az-Zubair bin al-‘Awwam hadir di Khaibar dengan membawa beberapa ekor kuda, namun Nabi ﷺ hanya memberikan bagian untuk satu ekor kuda saja.

وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَضَرَ خَيْبَرَ وَمَعَهُ ثَلَاثَةُ أَفْرَاسٍ: السَّكْبُ وَالظَّرِبُ وَالْمُرْتَجِزُ فَلَمْ يَأْخُذِ السَّهْمَ إِلَّا لِوَاحِدٍ؛ وَلِأَنَّهُ لا يقاتل إلا على واحد منهما وَلَوْ تَحَوَّلَ عَنْهُ صَارَ تَارِكًا لَهُ وَيَكُونُ الثَّانِي إِنِ انْتَقَلَ إِلَيْهِ كَالثَّالِثِ فِي أَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَنْتَقِلَ إِلَيْهِ وَلَا يُسْهَمُ لَهُ فَكَذَلِكَ الثَّانِي، وَيَصِيرُ مَا سِوَى الْأَوَّلِ زِينَةً وَاسْتِظْهَارًا لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمُ الِاسْتِحْقَاقِ كَخَدَمِ الزَّوْجَةِ لَا تَسْتَحِقُّ إِلَّا نَفَقَةَ وَاحِدَةٍ مِنْهُمْ لِوُقُوعِ الْكِفَايَةِ بِهِ وَيَصِيرُ مَا عَدَاهُ زِينَةً وَزِيَادَةً وَاسْتِظْهَارًا.

Diriwayatkan pula bahwa Nabi ﷺ hadir di Khaibar dengan tiga ekor kuda: as-Sakb, azh-Zharib, dan al-Murtajiz, namun beliau hanya mengambil bagian untuk satu ekor saja. Karena seseorang tidak berperang kecuali di atas salah satu dari keduanya, dan jika ia berpindah dari satu kuda ke kuda lain, maka ia telah meninggalkan yang pertama, dan kuda kedua jika ia berpindah kepadanya, statusnya sama dengan kuda ketiga, yaitu boleh jadi ia akan berpindah kepadanya namun tidak diberikan bagian untuknya, demikian pula kuda kedua. Maka selain kuda pertama hanyalah sebagai perhiasan dan tambahan kekuatan yang tidak terkait dengan hukum hak bagian, seperti pembantu istri yang tidak berhak mendapat nafkah kecuali satu orang saja karena kebutuhan telah tercukupi dengannya, dan yang lainnya menjadi perhiasan, tambahan, dan penguat saja.

وَأَمَّا حَدِيثُ مَكْحُولٍ فَقَدْ رَوَيْنَا عَنِ ابْنِ عُمَرَ خِلَافَهُ وَهُوَ صَحَابِيٌّ خَبَرُهُ مُسْنَدٌ وَذَاكَ تَابِعِيٌّ خَبَرُهُ مُرْسَلٌ وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ أَنَّ الثَّانِيَ عُدَّةٌ وَقَدْ تُكُلِّفَ لَهُ زِيَادَةُ مُؤْنَةٍ فَهَذَا حَالُ الثَّالِثِ أَيْضًا وَلَا يُوجِبُ السَّهْمَ لَهُ فَكَذَلِكَ الثَّانِي.

Adapun hadis Makḥul, maka kami meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar yang bertentangan dengannya, dan ia adalah sahabat yang riwayatnya bersambung, sedangkan Makḥul adalah tabi‘i yang riwayatnya mursal. Adapun alasan mereka bahwa kuda kedua adalah perlengkapan dan telah dikeluarkan biaya tambahan untuknya, maka hal ini juga berlaku untuk kuda ketiga, namun tidak menyebabkan adanya bagian untuknya, demikian pula kuda kedua.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا حَضَرَ الرَّجُلُ الْوَقْعَةَ بِفَرَسٍ يُقَاتِلُ عَلَيْهِ أُسْهِمَ لَهُ؛ لِأَنَّهُ قَدْ هَيَّبَ بِهِ وَقَدْ يُقَاتِلُ عَلَيْهِ إِنِ احْتَاجَ إِلَيْهِ، وَهَكَذَا لَوْ قَاتَلَ فِي الْمَاءِ أُسْهِمَ لَهُ؛ لِأَنَّهُ قَدْ رُبَّمَا انتقل إلى البئر وَقَاتَلَ عَلَيْهِ، وَهَكَذَا لَوْ قَاتَلَ عَلَى حِصَارِ حِصْنٍ أُسْهِمَ لِفَرَسِهِ، لِأَنَّهُ عُدَّةٌ يَلْحَقُ بِهِ أَهْلَ الْحِصْنِ إِنْ هَرَبُوا أَوْ يُرْهِبَهُمْ بِهِ إِنْ حُوصِرُوا.

Jika seseorang hadir dalam pertempuran dengan seekor kuda yang ia gunakan untuk berperang, maka diberikan bagian untuknya, karena ia telah menimbulkan rasa gentar dengan kuda itu dan mungkin saja ia berperang dengannya jika diperlukan. Demikian pula jika ia berperang di air, maka diberikan bagian untuknya, karena mungkin saja ia berpindah ke sumur dan berperang di atasnya. Demikian pula jika ia berperang dalam pengepungan benteng, maka diberikan bagian untuk kudanya, karena kuda itu adalah perlengkapan yang dapat digunakan untuk mengejar penghuni benteng jika mereka melarikan diri, atau menakuti mereka jika mereka terkepung.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا غَصَبَ الرَّجُلُ فَرَسًا، فَشَهِدَ بِهِ الْوَقْعَةَ، أُسْهِمَ لِلْفَرَسِ لِلْحُضُورِ مَعَ الْغَاصِبِ، لِظُهُورِ التَّأْثِيرِ فِيهِ، وَحُصُولِ الْإِرْهَابِ بِهِ، وَلَيْسَ ذَلِكَ مَعْصِيَةً، وَإِنْ كَانَ الْغَصْبُ مَعْصِيَةً، وَإِذَا كَانَ سَهْمُ الْفَرَسِ الْمَغْصُوبِ مُسْتَحَقًّا، فَفِي مُسْتَحِقِّهِ وَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيهِ فِي رِبْحِ الْمَالِ الْمَغْصُوبِ.

Apabila seseorang merampas seekor kuda, lalu ia menghadiri pertempuran dengan kuda tersebut, maka kuda itu mendapat bagian karena kehadirannya bersama perampas, sebab tampak adanya pengaruh darinya dan tercapainya efek menakutkan dengan kehadirannya. Hal itu sendiri bukanlah suatu kemaksiatan, meskipun perampasan adalah perbuatan maksiat. Jika bagian untuk kuda yang dirampas itu memang menjadi hak, maka mengenai siapa yang berhak menerimanya terdapat dua pendapat yang diambil dari perbedaan pendapat Imam Syafi‘i tentang keuntungan harta yang dirampas.

فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ لِلْغَاصِبِ بِعَمَلِهِ، جُعِلَ سَهْمُ الْفَرَسِ الْمَغْصُوبِ لِلْغَاصِبِ لِقِتَالِهِ.

Jika dikatakan: “Itu adalah hak perampas karena usahanya,” maka bagian kuda yang dirampas diberikan kepada perampas karena ia yang berperang dengannya.

وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ رِبْحَ الْمَالِ الْمَغْصُوبِ لِرَبِّ الْمَالِ بِحَقِّ مَالِهِ، جُعِلَ سَهْمُ الْفَرَسِ الْمَغْصُوبِ لِمَالِهِ بِحَقِّ مِلْكِهِ، وَلَكِنْ لَوْ كَانَ صَاحِبٌ مِمَّنْ حَضَرَ الْوَقْعَةَ فَغَصَبَ فَرَسَهُ غَاصِبٌ قَاتَلَ عَلَيْهِ كَانَ سَهْمُ الْفَرَسِ لِمَالِكِهِ دُونَ غَاصِبِهِ وَجْهًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَحَقَّهُ بِالْحُضُورِ فَلَمْ يَسْقُطْ بِالْغَصْبِ، وَيَكُونُ عَلَى الْغَاصِبِ أُجْرَةُ الْمِثْلِ وَإِنْ كَانَ السَّهْمُ لِغَيْرِهِ لِوُجُوبِهَا بِالْغَصْبِ.

Dan jika dikatakan: “Keuntungan dari harta yang dirampas adalah milik pemilik harta karena hak kepemilikannya,” maka bagian kuda yang dirampas diberikan kepada pemiliknya karena hak miliknya. Namun, jika pemilik kuda termasuk orang yang hadir dalam pertempuran, lalu kudanya dirampas oleh seseorang yang kemudian berperang dengannya, maka bagian kuda itu diberikan kepada pemiliknya, bukan kepada perampasnya, menurut satu pendapat; karena ia telah berhak mendapatkannya dengan kehadirannya, sehingga hak itu tidak gugur karena perampasan. Adapun perampas wajib membayar sewa yang sepadan, meskipun bagian itu diberikan kepada selainnya, karena kewajiban membayar sewa timbul akibat perampasan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَلَوِ اسْتَعَارَ فَرَسًا أَوِ اسْتَأْجَرَهُ، فَشَهِدَ بِهِ الْوَقْعَةَ نُظِرَ، فَإِنِ اسْتَعَارَهُ أَوِ اسْتَأْجَرَهُ لِلْقِتَالِ عَلَيْهِ مَلَكَ سَهْمَهُ، لِتَمَلُّكِهِ هَذِهِ الْمَنْفَعَةَ بِالْعَارِيَةِ وَالْإِجَارَةِ، وَإِنِ اسْتَعَارَهُ أَوِ اسْتَأْجَرَهُ لِلرُّكُوبِ دُونَ الْقِتَالِ صَارَ كَالْغَاصِبِ فَيَكُونُ فِي سَهْمِهِ وَجْهَانِ.

Jika seseorang meminjam atau menyewa seekor kuda, lalu ia menghadiri pertempuran dengannya, maka perlu dilihat: jika ia meminjam atau menyewa kuda itu untuk berperang, maka ia berhak atas bagiannya, karena ia memiliki manfaat tersebut melalui pinjaman atau sewa. Namun jika ia meminjam atau menyewa hanya untuk ditunggangi tanpa tujuan berperang, maka hukumnya seperti perampas, sehingga dalam hal bagiannya terdapat dua pendapat.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا حَضَرَ رَجُلٌ بِفَرَسٍ فَضَلَّ مِنْهُ الْفَرَسُ نُظِرَ، فَإِنْ حَضَرَ لَمْ يَخْرُجْ عَنِ الْوَقْعَةِ وَمَصَافِّ الْقِتَالِ أُسْهِمَ لَهُ، وَإِنْ خَرَجَ عَنْهَا وَتَجَاوَزَ مَصَافَّ الْقِتَالِ لَمْ يُسْهَمْ لَهُ.

Jika seseorang hadir dengan seekor kuda, lalu kudanya tersesat darinya, maka perlu dilihat: jika kudanya tetap hadir dan tidak keluar dari medan pertempuran dan barisan perang, maka kuda itu mendapat bagian. Namun jika kuda itu keluar dari medan pertempuran dan melewati barisan perang, maka tidak mendapat bagian.

وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: يُسْهَمُ لَهُ لِبَقَائِهِ وَخُرُوجِهِ عَنْهُ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ الْأَعْذَارَ تُؤَثِّرُ فِي تَمَلُّكِ الْأَمْوَالِ كَمَا لَوْ ضَلَّ صَاحِبُهُ عَنْ حُضُورِ الْوَقْعَةِ حَتَّى فَاتَتْهُ، لَمْ يُسْهَمْ لَهُ، وإِنْ كَانَ مَعْذُورًا.

Sebagian ulama kami berkata: “Kuda itu tetap mendapat bagian karena masih berada di medan perang dan keluarnya bukan atas pilihannya sendiri.” Namun ini adalah pendapat yang keliru, karena alasan-alasan tertentu berpengaruh dalam kepemilikan harta, sebagaimana jika pemiliknya tersesat sehingga tidak dapat hadir dalam pertempuran hingga terlewatkan, maka ia tidak mendapat bagian, meskipun ia memiliki uzur.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ خَلَفَ الرَّجُلُ فَرَسَهُ فِي مُعَسْكَرِ الْحَرْبِ، وَلَمْ يَشْهَدْ بِهِ وَقْعَةَ الْقِتَالِ، لَمْ يُسْهَمْ لَهُ؛ لِأَنَّ مَالِكَهُ لَوْ تَأَخَّرَ فِي الْمُعَسْكَرِ عَنْ حُضُورِ الْوَقْعَةِ لَمْ يُسْهَمْ لَهُ، فَفَرَسُهُ أَوْلَى أَنْ لَا يُسْهَمَ لَهُ وَلَكِنْ لَوِ اسْتَخْلَفَهُ أَمِيرُ الْجَيْشِ بِالْمُعَسْكَرِ عَلَى حِفْظِهِ وَحِرَاسَتِهِ حَظْرًا مِنْ هُجُومِ الْعَدُوِّ عَلَيْهِ أُسْهِمَ لَهُ وَلِفَرَسِهِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ أَنْفَعَ لِلْجَيْشِ مِنْ حُضُورِهِ مَعَهُمْ، وَهَكَذَا لَوْ أَنَّ أَمِيرَ الْجَيْشِ أَفْرَدَ مِنْهُمْ كَمِينًا لِيَظْفَرَ مِنَ الْعَدُوِّ بِفَرِّهِ، أُسْهِمَ لَهُمْ، وَإِنْ لَمْ يَشْهَدُوا الْوَقْعَةَ؛ لِأَنَّهُمْ عَوْنٌ فِيهَا يَخَافُهُمُ الْعَدُوُّ وَيَقْوَى بِهِمُ الْجَيْشُ.

Jika seseorang meninggalkan kudanya di perkemahan perang dan tidak menghadirkan kuda itu dalam pertempuran, maka kuda itu tidak mendapat bagian; karena jika pemiliknya sendiri tertinggal di perkemahan dan tidak hadir dalam pertempuran, maka ia pun tidak mendapat bagian, maka kudanya lebih utama untuk tidak mendapat bagian. Namun, jika panglima pasukan menugaskannya di perkemahan untuk menjaga dan mengawasi kuda tersebut agar tidak diserang musuh, maka ia dan kudanya mendapat bagian; karena bisa jadi tugas itu lebih bermanfaat bagi pasukan daripada kehadirannya di medan perang. Demikian pula jika panglima pasukan menugaskan sebagian dari mereka untuk bersembunyi (sebagai pasukan penyergap) agar dapat menangkap musuh yang melarikan diri, maka mereka mendapat bagian, meskipun tidak hadir dalam pertempuran; karena mereka adalah bagian dari pasukan yang ditakuti musuh dan memperkuat pasukan.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَتَعَاهَدَ الْخَيْلَ فَلَا يُدْخِلُ إِلَّا شَدِيدًا وَلَا يُدْخِلُ حَطِمًا وَلَا قَمْحًا ضعيفا ولا ضرعا (قال المزني) رحمه الله القحم الكبير والضرع الصغير ولا أعجف رازحا وإن أغفل فدخل رجل على واحدة منها فقد قيل لا يسهم له لأنه لا يغني غناء الخيل التي يسهم لها ولا أعلمه أسهم فيما مضى على مثل هذه “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Seyogianya imam memperhatikan kuda-kuda, sehingga tidak memasukkan kecuali kuda yang kuat, dan tidak memasukkan kuda yang tua, lemah, atau kecil. (Al-Muzani rahimahullah berkata:) Kuda tua adalah ‘al-qahm’ dan kuda kecil adalah ‘ad-dhar‘’, dan tidak pula kuda yang sangat kurus dan lemah. Jika imam lalai, lalu seseorang masuk dengan kuda seperti itu, maka ada pendapat yang mengatakan tidak diberi bagian, karena kuda tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana kuda-kuda yang memang layak mendapat bagian, dan aku tidak mengetahui adanya bagian yang diberikan pada masa lalu untuk kuda seperti ini.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:

Al-Mawardi berkata: “Ini sebagaimana yang dikatakan (Imam Syafi‘i):”

يَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَتَعَاهَدَ خَيْلَ الْمُجَاهِدِينَ وَتَجْهِيزَهَا، وَلَا يُدْخِلُ فِيهَا حَطِمًا وَهُوَ الْكَبِيرُ وَلَا ضَرْعًا وَهُوَ الصَّغِيرُ، وَلَا أَعْجَفَ رَازِحًا وَهُوَ الْهَزِيلُ الَّذِي لَا حَرَاكَ بِهِ لِأَنَّهَا لَا تَفِي عَنَاءَ الْخَيْلِ الشَّدِيدَةِ وَقَدْ تَضُرُّ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Seyogianya imam memperhatikan kuda-kuda para mujahid dan perlengkapannya, dan tidak memasukkan kuda yang tua (‘hatim’, yaitu yang sudah tua), tidak pula yang kecil (‘dhar‘’, yaitu yang masih muda), dan tidak pula yang sangat kurus (‘‘ajaf razih’, yaitu yang sangat lemah sehingga tidak mampu bergerak), karena kuda-kuda tersebut tidak dapat menandingi kehebatan kuda-kuda yang kuat, bahkan bisa menimbulkan dua bahaya:

أَحَدُهُمَا: عجزهما عَنِ النَّهْضَةِ وَعَجْزُ رَاكِبِهَا عَنِ الْمُقَاتَلَةِ.

Pertama: Ketidakmampuannya untuk bergerak maju dan ketidakmampuan penunggangnya untuk bertempur.

وَالثَّانِي: ضِيقُ الْغَنِيمَةِ بِالْإِسْهَامِ لَهَا عَلَى ذَوِي الْعَنَاءِ وَالشِّدَّةِ، فَلَوْ دَخَلَ رَجُلٌ بِوَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الضَّعِيفَةِ الْعَاجِزَةِ عَنْ عَنَاءِ الْخَيْلِ السَّلِيمَةِ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ أَوْ أَمِيرُ الْجَيْشِ قَدْ نَادَى فِيهِمْ أَلَّا يَدْخُلَ أَحَدٌ مِنَ الْجَيْشِ بِوَاحِدٍ مِنْهَا فَلَا سَهْمَ لِمَنْ دَخَلَ بِهَا لأن في الْبِغَالَ الَّتِي لَا سَهْمَ لَهَا مَا هُوَ عناء منها، وإن لم ينادي فِيهِمْ بِذَلِكَ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ هَا هُنَا وفي الأم قيل: لَا يُسْهَمُ، وَقِيلَ يُسْهَمُ لَهَا فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ حَيْرَانَ يُخَرِّجُ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Kedua: sempitnya bagian ghanimah dengan pembagian kepada mereka yang mengalami kesulitan dan kelelahan. Jika seseorang masuk dengan salah satu hewan yang lemah ini, yang tidak mampu menanggung kelelahan seperti kuda yang sehat, maka perlu dilihat: jika imam atau panglima pasukan telah mengumumkan kepada mereka agar tidak ada seorang pun dari pasukan yang membawa salah satu hewan tersebut, maka tidak ada bagian bagi siapa pun yang membawanya, karena pada bighal (bagal) yang memang tidak mendapat bagian pun terdapat unsur kelelahan darinya. Namun jika tidak diumumkan demikian, maka menurut pendapat asy-Syafi‘i di sini dan dalam kitab al-Umm disebutkan: tidak diberi bagian, dan ada juga yang berpendapat diberi bagian. Maka para sahabat kami berbeda pendapat; Abu ‘Ali bin Hairan mengeluarkan dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُسْهَمُ لَهَا لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ التَّعْلِيلِ فَعَجْزُهَا عَنِ الْعَنَاءِ كَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يُسْهَمُ لَهَا؛ لِأَنَّ اخْتِلَافَ الْقُوَّةِ وَالضَّعْفِ لَا يُوجِبُ اخْتِلَافَهُمَا فِي السَّهْمِ كَالْمُقَاتِلَةِ وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ: لَيْسَ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ، وَإِنَّمَا هُوَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَقَوْلُهُ يُسْهَمُ لَهَا إِذَا أَمْكَنَ الْقِتَالُ عَلَيْهَا مَعَ ضَعْفِهَا، وَقَوْلُهُ لَا يُسْهَمُ لَهَا إِذَا لَمْ يُمْكِنِ الْقِتَالُ عَلَيْهَا لِضَعْفِهَا.

Salah satunya: tidak diberi bagian karena alasan yang telah kami sebutkan, yaitu ketidakmampuannya menanggung kelelahan seperti bighal dan keledai. Pendapat kedua: diberi bagian, karena perbedaan kekuatan dan kelemahan tidak menyebabkan perbedaan dalam pembagian bagian, sebagaimana pada para pejuang. Abu Ishaq al-Marwazi berkata: hal ini bukanlah perbedaan dua pendapat, melainkan perbedaan dua keadaan. Maka pendapat bahwa diberi bagian adalah jika memungkinkan berperang dengannya meskipun lemah, dan pendapat bahwa tidak diberi bagian adalah jika tidak memungkinkan berperang dengannya karena kelemahannya.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِنَّمَا يُسْهَمُ لِلْفَرَسِ إِذَا حَضَرَ صَاحِبُهُ شَيْئًا مِنَ الْحَرْبِ فَارِسًا فَأَمَّا إِذَا كَانَ فَارِسًا إِذَا دَخَلَ بِلَادَ الْعَدُوِّ ثُمَّ مَاتَ فَرَسُهُ أَوْ كَانَ فَارِسًا بَعْدَ انْقِطَاعِ الْحَرْبِ وَجَمْعِ الْغَنِيمَةِ فَلَا يُضْرَبُ لَهُ وَلَوْ جَازَ أَنْ يُسْهَمَ لَهُ لِأَنَّهُ ثَبَتَ فِي الدِّيوَانِ حِينَ دَخَلَ لَكَانَ صَاحِبُهُ إِذَا دَخَلَ ثَبَتَ فِي الدِّيوَانِ ثُمَّ مَاتَ قَبْلَ الْغَنِيمَةِ أَحَقُّ أَنْ يُسْهَمَ لَهُ “.

Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Bagian hanya diberikan kepada kuda jika pemiliknya turut serta dalam peperangan sebagai penunggang kuda. Adapun jika ia menjadi penunggang kuda ketika memasuki wilayah musuh lalu kudanya mati, atau ia menjadi penunggang kuda setelah peperangan selesai dan ghanimah telah dikumpulkan, maka tidak diberikan bagian untuknya. Seandainya boleh diberi bagian karena telah tercatat dalam diwan (daftar tentara) saat masuk, tentu pemiliknya yang telah tercatat dalam diwan lalu meninggal sebelum memperoleh ghanimah lebih berhak untuk diberi bagian.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.

وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ تَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:

Masalah ini mencakup dua bagian:

أَحَدُهُمَا: فِيمَنْ دَخَلَ أَرْضَ الْعَدُوِّ فَارِسًا، ثُمَّ نَفِقَ فَرَسُهُ أَوْ بَاعَهُ أَوْ أَجَّرَهُ قَبْلَ حُضُورِ الْوَقْعَةِ حَتَّى حَضَرَهَا رَاجِلًا، لَمْ يُسْهَمْ لَهُ.

Pertama: tentang orang yang memasuki wilayah musuh sebagai penunggang kuda, lalu kudanya mati, atau ia menjualnya, atau menyewakannya sebelum terjadinya pertempuran sehingga ia menghadiri pertempuran itu sebagai pejalan kaki, maka tidak diberi bagian untuknya.

وَقَالَ أبو حنيفة: يُسْهَمُ لَهُ إِذَا زَالَ عَنْ مِلْكِهِ بَعْدَ دُخُولِ الْحَرْبِ وَإِنْ لَمْ يَشْهَدِ الْوَقْعَةَ.

Abu Hanifah berkata: Diberi bagian jika kepemilikan kudanya hilang setelah memasuki peperangan, meskipun ia tidak menyaksikan pertempuran.

وَقَالَ محمد بن الحسن: إِنْ زَالَ مِلْكُهُ عَنْهُ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ كَنِفَاقِهِ أَوْ سَرِقَتِهِ أُسْهِمَ لَهُ، وَإِنْ زَالَ بِاخْتِيَارِهِ كَبَيْعِهِ أَوْ هِبَتِهِ، لَمْ يُسْهَمْ لَهُ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أبي حنيفة مِثْلُهُ، وَرُوِيَ عَنْهُ مِثْلُ قَوْلِنَا، فَصَارَ عن أبي حنيفة ثلاثة رِوَايَاتٍ أَشْهَرُهَا الْأُولَى.

Muhammad bin al-Hasan berkata: Jika kepemilikan kudanya hilang tanpa pilihannya, seperti karena mati atau dicuri, maka diberi bagian; namun jika hilang karena pilihannya, seperti dijual atau dihibahkan, maka tidak diberi bagian. Diriwayatkan pula dari Abu Hanifah seperti itu, dan diriwayatkan pula darinya seperti pendapat kami, sehingga dari Abu Hanifah terdapat tiga riwayat, yang paling masyhur adalah yang pertama.

وَالْفَصْلُ الثَّانِي: فِيمَنْ دَخَلَ أرض العدو راجلا، ثم ملك قبل تقضي الْحَرْبُ فَرَسًا بِابْتِيَاعٍ أَوْ هِبَةٍ فَحَضَرَ بِهِ الْوَقْعَةَ أُسْهِمَ لَهُ.

Bagian kedua: tentang orang yang memasuki wilayah musuh sebagai pejalan kaki, lalu sebelum peperangan selesai ia memiliki kuda dengan cara membeli atau hibah, kemudian ia menghadiri pertempuran dengan kuda tersebut, maka diberi bagian untuknya.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يُسْهَمُ لَهُ اعْتِبَارًا فِي اسْتِحْقَاقِ السَّهْمِ بِدُخُولِ دَارِ الْحَرْبِ فَارِسًا فِي الْفَصْلَيْنِ مَعًا اسْتِدْلَالًا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ} [الأنفال: 60] فَكَانَ الْمَأْمُورُ بِهِ هُوَ الْإِعْدَادُ، وَقَدْ أَعَدَّهُ بِدُخُولِ دَارِ الْحَرْبِ، فَاسْتَحَقَّ سَهْمَهُ.

Abu Hanifah berkata: Tidak diberi bagian, karena dalam kedua bagian tersebut, hak atas bagian ditetapkan dengan masuk ke wilayah perang sebagai penunggang kuda, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan} (al-Anfal: 60), sehingga yang diperintahkan adalah persiapan, dan ia telah mempersiapkannya dengan masuk ke wilayah perang, maka ia berhak atas bagiannya.

وَرُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّهُ قَالَ: ” مَا غُزِيَ قَوْمٌ فِي عُقْرِ دَارِهِمْ إِلَّا ذَلُّوا ” فَدَلَّ عَلَى أَنَّ دُخُولَ دَارِ الْحَرْبِ قَدْ حَصَّلَ الْإِذْلَالَ وَالْقَهْرَ، فَاسْتُحِقَّ بِهِ السَّهْمُ، قَالُوا: وَلِأَنَّ سَهْمَ فَرَسِهِ فِي مُقَابَلَةِ مَا تَكَلَّفَهُ مِنْ مُؤْنَتِهِ، وَقَدْ تَكَلَّفَهَا فَاسْتَحَقَّ السَّهْمَ بِهَا، وَرُبَّمَا حَرَّرُوا هَذَا الِاعْتِلَالَ قِيَاسًا فَقَالُوا؛ لِأَنَّهُ دَخَلَ دَارَ الْحَرْبِ فَارِسًا مُجَاهِدًا، فَاسْتَحَقَّ سَهْمَ الْفَارِسِ كَالْحَاضِرِ لِلْوَاقِعَةِ وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ اعْتِبَارَ استحقاق السهم في الفصين مَعًا بِحُضُورِ الْوَقْعَةِ لَا بِدُخُولِ دَارِ الْحَرْبِ قَوْله تَعَالَى: {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ} [الأنفال: 41] فَاعْتُبِرَ بِمِلْكٍ حَالَ الْمَغْنَمِ إِجَازَتُهُ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَمْلِكَ قَبْلَهَا، وَلِأَنَّ الْفَرَسَ تَابِعٌ وَالْمَالِكَ مَتْبُوعٌ، فَلَمَّا كَانَ مَوْتُ الْمَالِكِ الْمَتْبُوعِ بَعْدَ دُخُولِ دَارِ الْحَرْبِ وَقَبْلَ الْوَقْعَةِ يَمْنَعُ مِنِ اسْتِحْقَاقِ سَهْمِهِ، فَالْفَرَسُ التَّابِعُ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ مَوْتُهُ مَانِعًا مِنِ اسْتِحْقَاقِهِ.

Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam bahwa beliau berkata: “Tidaklah suatu kaum diserang di wilayah mereka sendiri kecuali mereka akan terhina.” Ini menunjukkan bahwa memasuki wilayah musuh telah mewujudkan kehinaan dan penaklukan, sehingga dengan itu berhak mendapatkan bagian (ghanimah). Mereka berkata: Dan karena bagian untuk kudanya adalah sebagai imbalan atas biaya yang telah dikeluarkan untuknya, dan ia telah menanggung biaya tersebut sehingga berhak atas bagian itu. Kadang-kadang alasan ini dirumuskan secara qiyās (analogi) dengan mengatakan: Karena ia telah memasuki wilayah musuh sebagai penunggang kuda yang berjihad, maka ia berhak atas bagian penunggang kuda sebagaimana orang yang hadir dalam pertempuran. Dalil bahwa pertimbangan hak atas bagian pada kedua pihak (penunggang dan kuda) adalah dengan kehadiran dalam pertempuran, bukan sekadar memasuki wilayah musuh, adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan ketahuilah, apa saja yang kamu peroleh sebagai ghanimah, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah dan Rasul-Nya} [Al-Anfal: 41]. Maka yang dijadikan pertimbangan adalah kepemilikan pada saat perolehan ghanimah, sehingga tidak boleh memilikinya sebelumnya. Dan karena kuda adalah pengikut dan pemiliknya adalah yang diikuti, maka ketika kematian pemilik yang diikuti terjadi setelah memasuki wilayah musuh dan sebelum pertempuran, hal itu mencegah hak atas bagiannya, maka kuda sebagai pengikut lebih utama untuk dijadikan kematiannya sebagai penghalang hak atas bagiannya.

وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَنَّهُ ذُو سَهْمٍ مَاتَ قَبْلَ حُضُورِ الْوَقْعَةِ، فَلَمْ يُسْهَمْ لَهُ كَالْمَالِكِ وَلِأَنَّ يَدَ الْمُسْلِمِينَ عَلَى مَا دَخَلَ إِلَى دَارِ الْإِسْلَامِ أَثْبَتُ وَأَقْوَى مِنْهَا عَلَى ما في دار الحرب (فلما استوى اعتبار سهم الفارس والفرس في دار الإسلام بحضور الإسلام، كان أولى أن يعتبر فِي دَارِ الْحَرْبِ) بِحُضُورِ الْوَقْعَةِ.

Dan penjelasannya secara qiyās adalah bahwa seseorang yang berhak atas bagian, jika ia meninggal sebelum hadir dalam pertempuran, maka tidak diberikan bagian untuknya, sebagaimana pemilik (kuda). Dan karena kekuasaan kaum Muslimin atas apa yang masuk ke Dar al-Islam lebih kuat dan lebih kokoh daripada atas apa yang ada di Dar al-Harb (wilayah musuh), maka ketika pertimbangan bagian penunggang kuda dan kuda di Dar al-Islam adalah dengan kehadiran dalam Islam, maka lebih utama lagi untuk dijadikan pertimbangan di Dar al-Harb dengan kehadiran dalam pertempuran.

وَيَتَحَرَّرُ مِنْ هَذَا الِاعْتِلَالِ قِيَاسَانِ:

Dan dari alasan ini dapat dirumuskan dua qiyās:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ كُلَّ حَالٍ مَنَعَ مَا قَبْلَهَا مِنِ اسْتِحْقَاقِ سَهْمِ الْفَارِسِ مَنَعَ مِنِ اسْتِحْقَاقِ سَهْمِ الْفَرَسِ قِيَاسًا عَلَى دَارِ الْإِسْلَامِ.

Pertama: Setiap keadaan yang mencegah hak atas bagian penunggang kuda sebelumnya, maka ia juga mencegah hak atas bagian kuda, dengan qiyās kepada Dar al-Islam.

وَالثَّانِي: أَنَّ كُلَّ مَغْنَمٍ مُنِعَ بِدَارِ الْإِسْلَامِ مِنِ اسْتِحْقَاقِهِ مَنَعَتْ دَارُ الْحَرْبِ مِنِ اسْتِحْقَاقِهِ قِيَاسًا عَلَى مَوْتِ الْفَارِسِ.

Kedua: Setiap ghanimah yang dihalangi di Dar al-Islam dari hak memilikinya, maka Dar al-Harb juga menghalangi hak memilikinya, dengan qiyās kepada kematian penunggang kuda.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ، فَهُوَ أَنَّ الْمَأْمُورَ بِهِ هُوَ الْقِتَالُ بَعْدَ الِاسْتِعْدَادِ لَا الِاقْتِصَارُ عَلَى الِاسْتِعْدَادِ، أَلَا تَرَى أَنْ لَوِ اسْتَعَدَّ وَلَمْ يَحْضُرْ لَمْ يُسْهَمْ لَهُ، وَلَوْ حَضَرَ وَلَمْ يَسْتَعِدَّ أُسْهِمَ لَهُ فَإِنْ قِيلَ: فَالرَّهْبَةُ قَدْ وَقَعَتْ بِالْفَرَسِ فِي دُخُولِ دَارِ الْحَرْبِ قَبْلَ الرَّهْبَةِ بِالْفَارِسِ لَا بِالْفَرَسِ ثُمَّ لَيْسَتِ الرَّهْبَةُ مِنَ الْفَارِسِ بِدُخُولِهِ دَارَ الْحَرْبِ مُوجِبَةً لِسَهْمِهِ، فكذلك لفرسه.

Adapun jawaban atas ayat tersebut adalah bahwa yang diperintahkan adalah berperang setelah melakukan persiapan, bukan sekadar cukup dengan persiapan. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang telah bersiap tetapi tidak hadir, maka tidak diberikan bagian untuknya, dan jika ia hadir tetapi tidak bersiap, maka diberikan bagian untuknya. Jika dikatakan: “Ketakutan telah terjadi pada kuda ketika memasuki wilayah musuh sebelum ketakutan itu terjadi pada penunggangnya, bukan pada kuda.” Maka ketakutan dari penunggang karena memasuki wilayah musuh tidak mewajibkan bagian untuknya, demikian pula untuk kudanya.

وأما قول عليه بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ: ” مَا غُزِيَ قَوْمٌ فِي عُقْرِ دَارِهِمْ إِلَّا ذَلُّوا “، فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهُ جَعَلَ الْغَزْوَ فِي الدَّارِ هُوَ الْإِذْلَالَ لَا دُخُولَ الدَّارِ عَلَى أَنَّ الْغَنِيمَةَ لَا تُمْلَكُ بِالْإِذْلَالِ، وَإِنَّمَا تُمْلَكُ بِالْغَلَبَةِ وَالْإِجَازَةِ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِمَا تَكَلَّفَهُ مِنْ مُؤْنَتِهِ، فَهُوَ أَنَّهُ لَيْسَ تَكَلُّفُ الْمُؤْنَةِ مُوجِبًا لِمِلْكِ السَّهْمِ فِي الْمَغْنَمِ أَلَا تَرَاهُ لَوْ تَكَلَّفَهَا لِفَرَسِهِ فَهَلَكَ قَبْلَ دُخُولِ دَارِ الْحَرْبِ، أَوْ تَكَلَّفَهَا لِنَفْسِهِ وَهَلَكَ بَعْدَ دُخُولِ دَارِ الْحَرْبِ لَمْ يُسْهَمْ لِوَاحِدٍ مِنْهَا، فَبَطَلَ التَّعْلِيلُ بذلك.

Adapun perkataan ‘Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam: “Tidaklah suatu kaum diserang di wilayah mereka sendiri kecuali mereka akan terhina,” maka jawabannya adalah bahwa beliau menjadikan penyerangan di wilayah itu sebagai kehinaan, bukan sekadar memasuki wilayah, dan bahwa ghanimah tidak dimiliki dengan kehinaan, melainkan dimiliki dengan kemenangan dan penguasaan. Adapun jawaban atas dalil mereka tentang biaya yang telah dikeluarkan, maka biaya yang dikeluarkan tidak mewajibkan kepemilikan bagian dalam ghanimah. Tidakkah engkau melihat, jika seseorang telah mengeluarkan biaya untuk kudanya lalu kudanya mati sebelum memasuki wilayah musuh, atau ia mengeluarkan biaya untuk dirinya sendiri lalu ia mati setelah memasuki wilayah musuh, maka tidak diberikan bagian untuk keduanya. Maka batalah alasan tersebut.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ دَخَلَ يُرِيدُ الْجِهَادَ فَمَرِضَ وَلَمْ يُقَاتِلْ أُسْهِمَ لَهُ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang masuk (ke medan perang) dengan niat berjihad, lalu ia sakit dan tidak ikut berperang, maka tetap diberikan bagian untuknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الصَّحِيحُ إِذَا حَضَرَ الْوَاقِعَةَ فَلَهُ سَهْمُهُ، قَاتَلَ أَوْ لَمْ يُقَاتِلْ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعَثَ سَرِيَّةً مِنْ حُنَينٍ إِلَى أَوَطَاسٍ فَغَنِمَتْ، فَقَسَمَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَنْ أَقَامَ بِحُنَينٍ، وَلَمْ يَحْضُرْ مَعَهُمْ، فَكَانَ الْحَاضِرُ مَعَهُمْ وَإِنْ لَمْ يُقَاتِلْ أَوْلَى أَنْ يَشْرُكَهُمْ وَلِأَنَّهُ إِذَا حَضَرَ هَيَّبَ وَكَثَّرَ وَأَرْهَبَ وَخَوَّفَ، فَصَارَ حُضُورُهُ مُؤَثِّرًا كَالْمُقَاتِلِ؛ وَلِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَادَةِ جَمِيعِ الْجَيْشِ أَنْ يُقَاتِلَ وَإِنَّمَا يُقَاتِلُ بَعْضُهُمْ، وَيَكُونُ الْبَاقُونَ رِدًّا لَهُمْ لِتَقْوَى نَفْسُ الْمُقَاتِلِ بِحُضُورِ مَنْ لَا يُقَاتِلُ.

Al-Mawardi berkata: Adapun orang yang sehat jika hadir dalam peristiwa (perang), maka ia berhak mendapatkan bagiannya, baik ia ikut bertempur maupun tidak; karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mengutus satu pasukan dari Hunain ke Awtas, lalu mereka memperoleh ghanimah, maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- membaginya di antara mereka dan orang-orang yang tetap tinggal di Hunain dan tidak ikut bersama mereka. Maka orang yang hadir bersama mereka, meskipun tidak ikut bertempur, lebih utama untuk disertakan bersama mereka. Karena kehadirannya dapat menimbulkan wibawa, memperbanyak jumlah, menakut-nakuti, dan membuat gentar musuh, sehingga kehadirannya memberikan pengaruh seperti halnya orang yang bertempur. Dan karena tidak menjadi kebiasaan seluruh pasukan untuk bertempur, melainkan hanya sebagian saja yang bertempur, sedangkan sisanya menjadi pendukung bagi mereka agar mental para pejuang menjadi kuat dengan kehadiran orang-orang yang tidak bertempur.

وَأَمَّا إِذَا حَضَرَهَا وَهُوَ مَرِيضٌ أَوْ كَانَ صَحِيحًا فَمَرِضَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun jika ia hadir dalam peristiwa itu dalam keadaan sakit, atau ia semula sehat lalu jatuh sakit, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَرِيضًا يَقْدِرُ عَلَى الْقِتَالِ كالصُّدَاعِ وَالسُّعَالِ وَنُفُورِ الطِّحَالِ وَالْحُمَّى الْقَرَنِيَّةِ، فَهَذَا يُسْهَمُ لَهُ، لَا يُخْتَلَفُ فِيهِ لِعَدَمِ تَأْثِيرِهِ، وَقِلَّةِ خُلُوِّ الْأَبْدَانِ مِنْ مِثْلِهِ.

Pertama: Sakit yang masih memungkinkan untuk bertempur, seperti sakit kepala, batuk, pembengkakan limpa, atau demam ringan. Dalam hal ini, ia tetap mendapatkan bagian, tidak ada perbedaan pendapat karena penyakit tersebut tidak berpengaruh besar, dan jarang sekali tubuh benar-benar terbebas dari penyakit semacam itu.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَرِيضًا لَا يَقْدِرُ عَلَى الْقِتَالِ مَعَهُ فَفِي اسْتِحْقَاقِهِ لِلسَّهْمِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ لِأَصْحَابِنَا:

Keadaan kedua: Sakit yang tidak memungkinkan untuk bertempur. Dalam hal ini, menurut para ulama kami, ada tiga pendapat mengenai haknya atas bagian ghanimah:

أَحَدُهَا: وَهُوَ ظَاهِرُ نَصِّ الشَّافِعِيِّ هَا هُنَا أَنَّهُ يُسْهَمُ لَهُ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الْغَنِيمَةُ لِمَنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ “؛ وَلِأَنَّهُ مُهَيِّبٌ وَمُكَثِّرٌ كَالصَّحِيحِ؛ وَلِأَنَّهُ قَدْ يَنْفَعُ بِرَأْيِهِ أَكْثَرَ مِنْ نَفْعِهِ بِقِتَالِهِ.

Pertama: Dan ini adalah pendapat yang tampak dari nash Imam Syafi‘i di sini, bahwa ia tetap mendapatkan bagian, berdasarkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Ghanimah itu bagi siapa yang hadir dalam peristiwa (perang).” Dan karena ia tetap menambah wibawa dan jumlah seperti halnya orang yang sehat, serta bisa jadi pendapatnya lebih bermanfaat daripada keikutsertaannya dalam pertempuran.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ لَا يُسْهَمَ لَهُ وَيُعْطَى رَضْخًا؛ لِأَنَّهُ مَسْلُوبُ النُّهُوضِ بِالْمَرَضِ فَصَارَ كَالصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ.

Pendapat kedua: Ia tidak mendapatkan bagian, tetapi hanya diberi hadiah (radhkh), karena ia tidak mampu berperang akibat sakit, sehingga kedudukannya seperti anak kecil dan orang gila.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ إِنْ كَانَ مَرِيضًا يَخْرُجُ بِهِ، مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ كَالْعَمَى وَقَطْعِ الْيَدَيْنِ أَوِ الرِّجْلَيْنِ أَوِ الزَّمَانَةِ الْمُقْعِدَةِ فَلَا يُسْهَمُ لَهُ.

Pendapat ketiga: Jika sakitnya menyebabkan ia keluar dari golongan ahli jihad, seperti buta, kedua tangan atau kakinya terpotong, atau lumpuh total, maka ia tidak mendapatkan bagian.

وَإِنْ كَانَ مَرِيضًا لَا يَخْرُجُ بِهِ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ فَيُرْجَى زَوَالُهُ بِالْعَوْدِ إِلَى الصِّحَّةِ كَالْحُمَّى الشَّدِيدَةِ، وَرَمَدِ الْعَيْنِ، وَانْطِلَاقِ الْجَوْفِ أُسْهِمَ لَهُ؛ لِأَنَّ الْفَرْقَ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ فِي فَرْضِ الْجِهَادِ فَرْقٌ بَيْنَهُمَا فِي اسْتِحْقَاقِ السَّهْمِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Namun jika sakitnya tidak mengeluarkannya dari golongan ahli jihad, dan masih diharapkan sembuh setelah kembali sehat, seperti demam berat, sakit mata, atau diare, maka ia tetap mendapatkan bagian. Karena perbedaan antara dua keadaan tersebut dalam kewajiban jihad, maka terdapat pula perbedaan dalam hak atas bagian ghanimah. Wallahu a‘lam.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ كَانَ لِرَجُلٍ أَجِيرٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فَقَدْ قِيلَ يُسْهَمُ لَهُ وَقِيلَ يُخَيَّرُ بَيْنَ أَنْ يسهم له وتطرح الإجارة وَلَا يُسْهَمُ لَهُ وَقِيلَ يُرْضَخُ لَهُ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang memiliki pekerja (ajir) yang ingin berjihad, maka ada yang berpendapat ia mendapatkan bagian, ada pula yang berpendapat ia diberi pilihan antara diberi bagian dan membatalkan akad kerja, atau tidak diberi bagian, dan ada pula yang berpendapat ia hanya diberi hadiah (radhkh).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ ذَلِكَ، أَنَّ الْأَجِيرَ إِذَا حَضَرَ الْوَاقِعَةَ لَمْ يَخْلُ حَالُ إِجَارَتِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Kesimpulannya, jika seorang pekerja (ajir) hadir dalam peristiwa (perang), maka status akad kerjanya tidak lepas dari dua keadaan:

إِمَّا أَنْ تَكُونَ ثَابِتَةً فِي ذِمَّتِهِ أَوْ مُعَيَّنَةً فِي رَقَبَتِهِ.

Pertama, akad kerjanya berupa kewajiban di dalam tanggungan (dzimmah) atau berupa pekerjaan tertentu yang melekat pada dirinya.

فَإِنْ كَانَتْ فِي الذِّمَّةِ أُسْهِمَ لَهُ؛ لِأَنَّ ثُبُوتَ الْحُقُوقِ فِي الذِّمَمِ لَا يَمْنَعُ مِنِ اسْتِحْقَاقِ السَّهْمِ فِي الْمَغْنَمِ كَالدُّيُونِ.

Jika akad kerjanya berupa kewajiban di dalam tanggungan (dzimmah), maka ia tetap mendapatkan bagian; karena adanya hak-hak dalam tanggungan tidak menghalangi seseorang untuk mendapatkan bagian dari ghanimah, seperti halnya utang.

وَإِنْ كَانَتْ مُعَيَّنَةً فِي رَقَبَتِهِ وَعَلَى يَدَيْهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Namun jika akad kerjanya berupa pekerjaan tertentu yang melekat pada dirinya dan berada di bawah tanggung jawabnya, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ مُقَدَّرَةً بِالْعَمَلِ.

Pertama: Akad kerja tersebut ditetapkan berdasarkan pekerjaan.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ مُقَدَّرَةً بِالزَّمَانِ.

Kedua: Akad kerja tersebut ditetapkan berdasarkan waktu.

فَإِنْ كَانَتِ الْمَنْفَعَةُ فِيهَا مُقَدَّرَةً بِالْعَمَلِ كَرَجُلٍ استأجر لِخِيَاطَةِ ثَوْبٍ أَوْ صِنَاعَةِ حُلِيٍّ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika manfaat dari akad kerja itu ditetapkan berdasarkan pekerjaan, seperti seseorang yang disewa untuk menjahit baju atau membuat perhiasan, maka ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ إِجَارَةً لَازِمَةً لَا يَقْدِرُ عَلَى فَسْخِهَا.

Pertama: Akad kerja tersebut bersifat mengikat sehingga ia tidak dapat membatalkannya.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ إِجَارَةً يَقْدِرُ عَلَى فَسْخِهَا فَإِنْ كَانَتْ لَازِمَةً لَا يَقْدِرُ عَلَى فَسْخِهَا فَفِي اسْتِحْقَاقِهِ لِلسَّهْمِ قَوْلَانِ:

Kedua: Akad kerja tersebut dapat dibatalkan olehnya. Jika akad kerja itu bersifat mengikat dan tidak dapat dibatalkan, maka dalam hal haknya atas bagian ghanimah terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا سَهْمَ لَهُ؛ لِأَنَّ مَنْفَعَتَهُ بِالْعَقْدِ مُسْتَحَقَّةٌ فَأَشْبَهَ الْعَبْدَ فَعَلَى هَذَا يُرْضَخُ لَهُ وَهُوَ عَلَى إِجَارَتِهِ مُسْتَحِقٌّ لِأُجْرَتِهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَعْتَضْ عَنْ مَنْفَعَتِهِ فَانْصَرَفَتْ إِلَى إِجَارَتِهِ.

Salah satu pendapat: Tidak ada bagian (ghanimah) untuknya; karena manfaatnya telah menjadi hak berdasarkan akad, sehingga ia serupa dengan budak. Maka dalam hal ini, ia hanya diberikan radkh (pemberian khusus), dan selama ia masih dalam masa sewanya, ia berhak atas upahnya; karena ia belum menerima kompensasi atas manfaat dirinya, sehingga hak itu kembali kepada akad sewanya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُسْهَمُ لَهُ؛ لِأَنَّ اسْتِحْقَاقَ مَنَافِعِهِ بِالْعَقْدِ لَا يَمْنَعُ مِنِ اسْتِيفَاءِ أَحْكَامِ قُرْبِهِ كَالْحَجِّ، وَمِنْ هَذَا الْوَجْهِ خَالَفَ أَحْكَامَ الْعَبْدِ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ حُضُورُ الْوَقْعَةِ لَا يمنع مِنْ مَنَافِعِ إِجَارَتِهِ كَأَجِيرٍ يَخْدُمُ مَنْ حَضَرَ الْوَقْعَةَ فَلَهُ الْأُجْرَةُ مَعَ السَّهْمِ كَمَا يَكُونُ لَهُ الْحَجُّ مَعَ الْأُجْرَةِ وَإِنْ كَانَ حُضُورُ الْوَقْعَةِ يَمْنَعُ مِنْ مَنَافِعِ إِجَارَتِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Pendapat kedua: Ia mendapat bagian (ghanimah); karena hak atas manfaat dirinya berdasarkan akad tidak menghalangi dari terpenuhinya hukum-hukum kedekatan (ibadah) seperti haji. Dari sisi ini, hukumnya berbeda dengan budak. Maka dalam hal ini, jika kehadirannya dalam pertempuran tidak menghalangi manfaat sewanya, seperti seorang pekerja yang melayani orang yang hadir dalam pertempuran, maka ia berhak atas upah sekaligus bagian (ghanimah), sebagaimana ia berhak atas upah sekaligus haji. Namun jika kehadirannya dalam pertempuran menghalangi manfaat sewanya, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَدْعُوَهُ الْمُسْتَأْجِرُ إِلَى خِدْمَتِهِ فَيَأْبَى وَيَغْلِبَهُ عَلَى مَنَافِعِ نَفْسِهِ. فَهَذَا يَرُدُّ مِنَ الْأُجْرَةِ مَا قَابَلَ مُدَّةَ حُضُورِهِ لِئَلَّا يَجْمَعَ فِيهَا بَيْنَ بَدَلَيْنِ وَقَدِ امْتَلَكَهَا فِي إِحْدَى الْجِهَتَيْنِ.

Salah satunya: Penyewa memanggilnya untuk melayaninya, namun ia menolak dan lebih memilih menggunakan manfaat dirinya sendiri. Dalam hal ini, ia harus mengembalikan bagian upah yang sesuai dengan masa kehadirannya, agar tidak mengumpulkan dua kompensasi sekaligus, padahal ia hanya berhak atas salah satunya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: لَا يَدْعُوهُ الْمُسْتَأْجِرُ إِلَى خِدْمَتِهِ فَفِي اسْتِحْقَاقِ الْأَجْرِ وَجْهَانِ:

Bagian kedua: Penyewa tidak memanggilnya untuk melayaninya, maka dalam hal ini ada dua pendapat mengenai haknya atas upah:

أَحَدُهُمَا: لَا يَسْتَحِقُّهَا تَعْلِيلًا بِمَا ذَكَرْنَا.

Salah satunya: Ia tidak berhak atas upah, dengan alasan sebagaimana telah disebutkan.

وَالثَّانِي: يَسْتَحِقُّهَا؛ لِأَنَّ الْأُجْرَةَ فِي مُقَابَلَةِ التَّمْكِينِ مِنَ الْخِدْمَةِ، وَالتَّمْكِينُ مَوْجُودٌ وَإِنْ لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِ الِاسْتِيفَاءُ، وَإِنْ كَانَتِ الْإِجَارَةُ تُقَدَّرُ عَلَى قَسْمِهَا فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

Yang kedua: Ia berhak atas upah; karena upah itu sebagai imbalan atas kesiapan untuk melayani, dan kesiapan itu ada meskipun tidak disertai dengan pelaksanaan, dan jika sewa itu dihitung berdasarkan bagiannya, maka dalam hal ini ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: لَا يُسْهَمُ لَهُ سَوَاءً أَقَامَ عَلَيْهَا مِنْ بَعْدُ أَوْ فَسَخَ.

Pertama: Ia tidak mendapat bagian (ghanimah), baik ia tetap dalam akad sewa setelahnya maupun membatalkannya.

وَالثَّانِي: يُسْهَمُ لَهُ سَوَاءً أَقَامَ عَلَيْهَا مِنْ بَعْدُ أَوْ فَسَخَ.

Kedua: Ia mendapat bagian (ghanimah), baik ia tetap dalam akad sewa setelahnya maupun membatalkannya.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ مُخَيَّرٌ بَيْنَ أَنْ يُقِيمَ عَلَى الْإِجَارَةِ فَلَا يُسْهَمُ لَهُ وَيُعْطَى رَضْخًا وَتَكُونَ لَهُ الْأُجْرَةُ، وَبَيْنَ أَنْ يَفْسَخَ فَيُسْهَمُ لَهُ وَتَسْقُطُ الْأُجْرَةُ.

Ketiga: Ia diberi pilihan antara tetap dalam akad sewa sehingga tidak mendapat bagian (ghanimah) dan hanya diberikan radkh serta tetap mendapat upah, atau membatalkan akad sehingga ia mendapat bagian (ghanimah) dan upahnya gugur.

فَإِذَا قِيلَ: يُسْهَمُ لَهُ فَسَوَاءً قَاتَلَ أَوْ لَمْ يُقَاتِلْ لَهُ سَهْمُهُ كَغَيْرِهِ مِنَ الْجَيْشِ.

Jika dikatakan: Ia mendapat bagian (ghanimah), maka baik ia bertempur maupun tidak, ia tetap mendapat bagiannya sebagaimana anggota pasukan lainnya.

وَإِذَا قِيلَ لَا يُسْهَمُ لَهُ كَانَ ذَلِكَ حُكْمَهُ مَا لَمْ يُقَاتِلْ فِي حُضُورِهِ، فَأَمَّا إِذَا قَاتَلَ وَأَبْلَى فِإِنَّهُ يَسْتَحِقُّ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ السَّلَبَ إِنْ قَتَلَ قَتِيلًا، وَفِي اسْتِحْقَاقِهِ لِلسَّهْمِ وَجْهَانِ:

Dan jika dikatakan ia tidak mendapat bagian (ghanimah), maka itu adalah hukumnya selama ia tidak bertempur saat hadir. Namun jika ia bertempur dan menunjukkan keberanian, maka menurut pendapat ini ia berhak atas salab (harta rampasan pribadi) jika ia membunuh musuh, dan dalam hal haknya atas bagian (ghanimah) ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ الْبَصْرِيِّينَ مِنْهُمْ أَبُو الْفَيَّاضِ يَسْتَحِقُّ السَّهْمَ لِبَلَائِهِ وَظُهُورِ عَنَائِهِ.

Salah satunya: Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama Bashrah, di antaranya Abu al-Fayyadh, bahwa ia berhak atas bagian (ghanimah) karena keberanian dan jerih payahnya yang nyata.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، وَالْأَصَحُّ عِنْدِي أَنَّهُ لَا سَهْمَ لَهُ؛ لِأَنَّ مَنْ لَمْ يَسْتَحِقَّ السَّهْمَ بِالْحُضُورِ إِذَا لَمْ يُقَاتِلْ لَمْ يَسْتَحِقَّهُ وَإِنْ قَاتَلَ كَأَهْلِ الرَّضْخِ طردا وأهل الجهاد عكسا.

Pendapat kedua: Dan ini adalah pendapat yang tampak dari Abu Ishaq al-Marwazi, dan menurutku ini yang lebih shahih, bahwa ia tidak berhak atas bagian (ghanimah); karena siapa yang tidak berhak atas bagian (ghanimah) hanya karena hadir tanpa bertempur, maka ia juga tidak berhak meskipun bertempur, sebagaimana halnya ahli radkh secara konsisten dan ahli jihad secara kebalikan.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولو أفلت إليهم أسير قبل تحرز الْغَنِيمَةَ فَقَدْ قِيلَ يُسْهَمُ لَهُ وَقِيلَ لَا يُسْهَمُ لَهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ قِتَالٌ فَيُقَاتِلُ فَأَرَى أَنْ يُسْهَمَ لَهُ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ada tawanan yang berhasil melarikan diri kepada mereka (kaum Muslimin) sebelum harta ghanimah diamankan, maka ada yang berpendapat ia mendapat bagian (ghanimah) dan ada yang berpendapat tidak, kecuali jika terjadi pertempuran lalu ia ikut bertempur, maka aku berpendapat ia mendapat bagian (ghanimah).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا كَانَ فِي أَيْدِي الْمُشْرِكِينَ أَسِيرٌ وَأَفْلَتَ مِنْهُمْ وَقْتَ الْقِتَالِ وَصَارَ إِلَى الْمُسْلِمِينَ، فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَنْ يَخْتَلِطَ بِالْجَيْشِ أَوْ لَا يَخْتَلِطُ فَإِنْ لَمْ يَخْتَلِطْ وَتَوَجَّهَ إِلَى وَطَنِهِ فَلَا حَقَّ لَهُ فِي الْغَنِيمَةِ، وَإِنِ اخْتَلَطَ فِي الْجَيْشِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Jika ada seorang tawanan di tangan kaum musyrikin lalu ia berhasil melarikan diri pada saat pertempuran dan bergabung dengan kaum Muslimin, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: ia bercampur dengan pasukan atau tidak. Jika ia tidak bercampur dan langsung pulang ke negerinya, maka ia tidak berhak atas ghanimah. Namun jika ia bercampur dengan pasukan, maka keadaannya terbagi menjadi tiga:

أَحَدُهَا: أَنْ يَحْضُرَ قَبْلَ تَقَضِّي الْحَرْبِ فَهَذَا يُسْهَمُ لَهُ قَاتَلَ أَوْ لَمْ يُقَاتِلْ.

Pertama: Ia hadir sebelum perang selesai, maka ia mendapat bagian (ghanimah) baik ia bertempur maupun tidak.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يُسْهَمُ لَهُ إِلَّا أَنْ يُقَاتِلَ؛ لِأَنَّهُ مَا قَصَدَ الْجِهَادَ وَلَا تَكَلَّفَ لَهُ وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْغَنِيمَةُ لِمَنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ ” وَلِأَنَّ مَنْ أُسْهِمَ لَهُ إِذَا قَاتَلَ أُسْهِمَ لَهُ، وَإِنْ لَمْ يُقَاتِلْ كَسَائِرِ الْجَيْشِ؛ وَلِأَنَّ مَا عَانَاهُ مِنْ شِدَّةِ الْأَسْرِ وَذُلِّهِ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ سببا لحرمانه فأمانية الْقَصْدِ وَتَكَلُّفُ الْمُؤَنِ فَلَيْسَ بِشَرْطٍ فِي سَهْمِ غَيْرِهِ فَكَذَلِكَ فِي سَهْمِهِ.

Abu Hanifah berkata: “Tidak diberikan bagian (ghanimah) kepadanya kecuali jika ia ikut berperang; karena ia tidak berniat berjihad dan tidak bersusah payah untuk itu.” Namun, pendapat ini keliru; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Harta rampasan itu bagi siapa yang hadir dalam pertempuran.” Dan karena siapa pun yang diberi bagian ketika ia ikut berperang, maka ia tetap diberi bagian meskipun tidak ikut berperang, sebagaimana anggota pasukan lainnya. Selain itu, penderitaan dan kehinaan yang dialaminya sebagai tawanan tidak boleh menjadi alasan untuk menghalanginya dari haknya. Maka, niat dan usaha bukanlah syarat dalam bagian orang lain, demikian pula dalam bagiannya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَحْضُرَ بَعْدَ الْوَقْعَةِ وَقَبْلَ إِحَازَةِ الْغَنِيمَةِ فَفِي اسْتِحْقَاقِهِ لِلسَّهْمِ قَوْلَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ مَتَى يَمْلِكُ الْغَانِمُونَ الْغَنِيمَةَ.

Bagian kedua: Seseorang yang hadir setelah pertempuran tetapi sebelum harta rampasan diamankan. Dalam hal ini, ada dua pendapat mengenai haknya atas bagian, yang didasarkan pada perbedaan pendapat tentang kapan para pemenang perang memiliki hak milik atas ghanimah.

فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ أَنَّهُ لَهُمْ بِانْقِضَاءِ الْحَرْبِ أَنْ يَتَمَلَّكُوهَا، فَعَلَى هَذَا يُسْهَمُ مِنْهَا لِأَسِيرٍ لِأَنَّهُ قَدْ شَارَكَهُمْ فِي سَهْمِ التَّمَلُّكِ لَهَا.

Salah satu pendapat menyatakan bahwa mereka memilikinya setelah perang usai, sehingga dalam hal ini tawanan juga mendapat bagian karena ia telah turut serta dalam hak kepemilikan atas ghanimah tersebut.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُمْ يَتَمَلَّكُونَهَا بِشَرْطَيْنِ: الْقِتَالُ عَلَيْهَا وَالْإِحَازَةُ لَهَا.

Pendapat kedua: Mereka memilikinya dengan dua syarat, yaitu berperang untuknya dan mengamankannya.

فَعَلَى هَذَا لَا سَهْمَ لِأَسِيرٍ بِحُضُورِهِ بَعْدَ أَنْ مَلَكَ الْجَيْشُ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا.

Menurut pendapat ini, tawanan yang hadir setelah pasukan memperoleh hak milik atas ghanimah tidak mendapat bagian.

فَإِذَا قِيلَ يُسْهَمُ لَهُ، فَبِحَسَبِ حَالِهِ فَارِسًا كَانَ أَوْ رَاجِلًا وَإِذَا قِيلَ: لَا يُسْهَمُ لَهُ، فَإِنْ حَضَرَ بَعْدَ قَسْمِ الْغَنِيمَةِ فَلَا رَضْخَ لَهُ فِيهَا، وَإِنْ حَضَرَ قَبْلَ قِسْمَتِهَا رُضِخَ لَهُ مِنْهَا، وَيَحْتَمِلُ وَجْهًا آخَرَ أَنْ لَا يُرْضَخَ لَهُ لِفَوَاتِ زَمَانِ التَّمَلُّكِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika dikatakan ia mendapat bagian, maka sesuai dengan keadaannya, apakah ia penunggang kuda atau pejalan kaki. Jika dikatakan tidak mendapat bagian, maka jika ia hadir setelah pembagian ghanimah, ia tidak mendapat radkh (pemberian khusus), dan jika ia hadir sebelum pembagian, maka ia mendapat radkh darinya. Namun, ada kemungkinan pendapat lain bahwa ia tidak mendapat radkh karena telah lewat masa kepemilikan. Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ دَخَلَ تُجَّارٌ فَقَاتَلُوا لَمْ أَرَ بَأْسًا أن يسهم لهم وقيل لَا يُسْهَمُ لَهُمْ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika para pedagang ikut serta lalu berperang, aku tidak melihat masalah jika diberikan bagian kepada mereka. Ada juga yang berpendapat mereka tidak diberi bagian.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا اتَّبَعَ الْجَيْشَ تُجَّارٌ وَصُنَّاعٌ قَصَدُوا كَسْبَ مَنَافِعِهِمْ وَصَنَائِعِهِمْ فِي جِهَادِ عَدُوِّهِمْ فَإِنْ تَأَخَّرُوا عَنِ الْوَقْعَةِ لَمْ يُسْهَمْ لَهُمْ وَإِنْ حَضَرُوهَا نُظِرَ فَإِنْ قَاتَلُوا أُسْهِمَ لَهُمْ؛ لِأَنَّهُمْ بِالْقِتَالِ قَدْ عَدَلُوا عَنْ قَصْدِ الْكَسْبِ إِلَى نِيَّةِ الْجِهَادِ وَإِنْ لَمْ يُقَاتِلُوا فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Jika para pedagang dan para pekerja mengikuti pasukan dengan tujuan mencari keuntungan dari perdagangan dan keahlian mereka dalam jihad melawan musuh, maka jika mereka tertinggal dari pertempuran, mereka tidak diberi bagian. Namun, jika mereka hadir dalam pertempuran, maka dilihat lagi: jika mereka ikut berperang, mereka diberi bagian; karena dengan ikut berperang, mereka telah berpindah dari niat mencari keuntungan menjadi niat berjihad. Jika mereka tidak ikut berperang, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا سَهْمَ لَهُمْ وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ “.

Salah satunya: Mereka tidak mendapat bagian, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.”

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يُسْهَمُ لَهُمْ لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: الْغَنِيمَةُ لِمَنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ تَمْنَعِ التِّجَارَةُ وَالصِّنَاعَةُ مِنَ الْحَجِّ لَمْ تَمْنَعْ مِنَ الْجِهَادِ، فَإِذَا أُسْهِمَ لَهُمُ اعْتُبِرَتْ أَحْوَالُهُمْ فُرْسَانًا وَرَجَّالَةً.

Pendapat kedua: Mereka diberi bagian, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Harta rampasan itu bagi siapa yang hadir dalam pertempuran.” Dan karena perdagangan dan pekerjaan tidak menghalangi seseorang dari haji, maka tidak pula menghalangi dari jihad. Jika mereka diberi bagian, maka keadaan mereka diperhitungkan, apakah sebagai penunggang kuda atau pejalan kaki.

وَإِذَا قِيلَ: لَا يُسْهَمُ، أُعْطَوْا رَضْخًا لَا يُخْتَلَفُ فِيهِ لِإِدْرَاكِهِمْ زَمَانَ الِاسْتِحْقَاقِ.

Jika dikatakan: tidak diberi bagian, maka mereka diberi radkh (pemberian khusus) yang tidak diperselisihkan, karena mereka telah mengalami masa berhaknya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولو جاءهم مرد قبل أن تنقضي الْحَرْبُ فَحَضَرُوا مِنْهَا شَيْئًا قَلَّ أَوْ كَثُرَ شَرَكُوهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ فَإِنِ انْقَضَتِ الْحَرْبُ وَلَمْ يَكُنْ لِلْغَنِيمَةِ مَانِعٌ لَمْ يَشْرُكُوهُمْ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ada orang murtad yang kembali sebelum perang usai, lalu mereka turut serta dalam sebagian pertempuran, sedikit atau banyak, maka mereka berhak mendapat bagian ghanimah bersama pasukan. Namun, jika perang telah usai dan tidak ada penghalang bagi ghanimah, mereka tidak mendapat bagian.”

وَقَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا أَلْحَقَ بِالْجَيْشِ فِي دَارِ الحرب مرد لم يخل حال المرد مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar, jika di wilayah perang ada orang murtad yang bergabung dengan pasukan, maka keadaan mereka tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُدْرِكُوا الْوَقْعَةَ قَبْلَ تَقَضِّي الْحَرْبُ فَيَكُونُوا شُرَكَاءَ لِلْجَيْشِ فِي الْغَنِيمَةِ سَوَاءً قَاتَلُوا مَعَهُمْ أَمْ لَا وَسَوَاءً احْتَاجَ الْجَيْشُ إِلَيْهِمْ أَمْ لَا؛ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: الْغَنِيمَةُ لِمَنْ حَضَرَ الْوَقْعَةَ وَلِأَنَّ لِوُرُودِهِمْ تَأْثِيرًا فِي الْقُوَّةِ وَرُبَّمَا كَانَ سَبَبًا لِلظَّفَرِ.

Pertama: Mereka mendapati pertempuran sebelum perang usai, maka mereka menjadi sekutu pasukan dalam ghanimah, baik mereka ikut berperang maupun tidak, dan baik pasukan membutuhkan mereka atau tidak; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Harta rampasan itu bagi siapa yang hadir dalam pertempuran.” Juga karena kehadiran mereka memberi pengaruh pada kekuatan pasukan dan bisa jadi menjadi sebab kemenangan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنْ يُدْرِكُوهُمْ بَعْدَ تَقَضِّي الْحَرْبُ، وَانْجِلَاءِ الْوَقْعَةِ، وَقَبْلَ إِحَازَةِ الْغَنِيمَةِ.

Pendapat kedua: Mereka bergabung setelah perang usai, pertempuran selesai, dan sebelum ghanimah diamankan.

وَالْإِحَازَةُ أَنْ يَسْتَوْلِيَ عَلَيْهَا الْمُسْلِمُونَ وَيُوَلِّيَ عَنْهَا الْمُشْرِكُونَ وَنَأْمَنُ رَجَعَتَهُمْ فِي الْحَالِ فَتَكْمُلُ الْإِحَازَةُ بهذه الشروط الثلاثة فإن انحزم شَرْطٌ مِنْهَا لَمْ تَكْمُلِ الْإِحَازَةُ، فَإِذَا كَانَ حضور المرد بَعْدَ تَقَضِّي الْحَرْبُ وَقَبْلَ الْإِحَازَةِ فَهَلْ يُشْرِكُونَهُمْ فِيهَا أَمْ لَا عَلَى الْقَوْلَيْنَ الْمَاضِيَيْنِ نَصًّا، وَتَخْرِيجًا.

Al-ihāzah adalah ketika kaum Muslimin menguasai harta rampasan tersebut, kaum musyrikin telah berpaling darinya, dan kita merasa aman dari kemungkinan mereka kembali dalam waktu dekat. Maka ihāzah menjadi sempurna dengan tiga syarat ini. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka ihāzah belum sempurna. Jika kehadiran kelompok pendukung terjadi setelah perang usai dan sebelum ihāzah, maka apakah mereka berhak mendapat bagian atau tidak, terdapat dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya, baik secara nash maupun istinbāṭ.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُدْرِكُوهُمْ بَعْدَ تَقَضِّي الْحَرْبُ وَبَعْدَ إِحَازَةِ الْغَنِيمَةِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ صِفَةِ الْإِحَازَةِ فَلَا حَقَّ لَهُمْ فِي الغنيمة والجيش أحق بها من المرد.

Bagian ketiga: yaitu jika mereka (kelompok pendukung) datang setelah perang selesai dan setelah harta rampasan telah diihāzah sesuai dengan sifat ihāzah yang telah kami sebutkan, maka mereka tidak memiliki hak atas ghanīmah, dan pasukan lebih berhak atasnya daripada kelompok pendukung.

وقال أبو حنيفة: المرد شُرَكَاءُ الْجَيْشِ فِي الْغَنِيمَةِ إِذَا أَدْرَكُوهُمْ فِي دَارِ الْحَرْبِ وَإِنْ أُحْرِزَتِ الْغَنَائِمُ مَا لَمْ يَقْتَسِمُوهَا أَوْ يَكُنِ الْإِمَامُ قَدْ بَاعَهَا وَلَوْ كان المرد أَسْرَى لَحِقُوا بِالْجَيْشِ فِي دَارِ الْحَرْبِ بَعْدَ إجازة الغنائم لم يشركوهم.

Abu Hanifah berkata: Kelompok pendukung adalah sekutu pasukan dalam ghanīmah jika mereka menyusul pasukan di wilayah perang, meskipun ghanā’im telah diihāzah, selama belum dibagikan atau imam belum menjualnya. Namun, jika kelompok pendukung adalah tawanan yang menyusul pasukan di wilayah perang setelah ghanā’im diihāzah, maka mereka tidak mendapat bagian.

واستدل على مشاركة المرد لَهُمْ بِأَنَّهُمْ جَيْشٌ اجْتَمَعُوا عَلَى نَفْلِ الْغَنِيمَةِ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ؛ فَوَجَبَ أَنْ يُشْرَكُوا فِيهَا قِيَاسًا عَلَى الْحَاضِرِينَ قَبْلَ الْحَرْبِ؛ وَلِأَنْ لَمَّا كان الرد مشاركا وجب أن يكون المرد مُشَارِكًا لِأَنَّ كِلَا الْفَرِيقَيْنِ عَوْنٌ وَلِلْجَيْشِ بِهِمَا قُوَّةٌ، وَلِأَنَّ الْغَنِيمَةَ لَا تُمْلَكُ إِلَّا بِالْإِحَازَةِ إلى دار الإسلام فصار المرد مدركا لها قبل إحازتهما.

Dalil yang digunakan untuk membolehkan kelompok pendukung mendapat bagian adalah bahwa mereka adalah pasukan yang berkumpul untuk memperoleh ghanīmah dari wilayah perang; maka wajib mereka disertakan di dalamnya dengan qiyās kepada orang-orang yang hadir sebelum perang. Karena ketika kelompok pendukung ikut serta, maka kelompok pendukung juga harus mendapat bagian, sebab kedua kelompok tersebut merupakan penolong, dan dengan keduanya pasukan menjadi kuat. Selain itu, ghanīmah tidak dimiliki kecuali dengan ihāzah ke Darul Islam, sehingga kelompok pendukung dianggap telah mendapatkannya sebelum diihāzah.

ودليلنا قوله ^: ” الْغَنِيمَةُ لِمَنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ ” وَالَّذِي شَهِدَهَا الْجَيْشُ دون المرد فوجب أن يكون أحق بها من المرد.

Dalil kami adalah sabda Nabi ﷺ: “Ghanīmah itu bagi siapa yang hadir dalam pertempuran.” Dan yang menghadirinya adalah pasukan, bukan kelompok pendukung, maka wajib pasukan lebih berhak atasnya daripada kelompok pendukung.

وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَّرَ أَبَّانَ بْنَ سَعِيدٍ عَلَى سَرِيَّةٍ قِبَلَ نَجْدٍ فَقَدِمُوا عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِخَيْبَرَ، وَقَدْ فَتَحَهَا وَأَجَازَهَا فَسَأَلَهُ أَنْ يُسْهِمَ لَهُ وَلِأَصْحَابِهِ مِنْهَا فَأَبَى؛ فَدَلَّ عَلَى اخْتِصَاصِ الجيش بها دون المرد، وَلِأَنَّ لُحُوقَهُمْ بِالْجَيْشِ بَعْدَ إِجَازَةِ الْغَنِيمَةِ يَمْنَعُ مُشَارَكَتَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ قِيَاسًا عَلَى الْأَسْرَى وَلِأَنَّ كُلَّ غَنِيمَةٍ لَا يُسْهَمُ لِلْأَسْرَى مِنْهَا لَمْ يُسْهَمْ لِلْمَرَدِّ مِنْهَا قِيَاسًا عَلَى مَا نُفِلَ أَوْ قُسِّمَ.

Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ mengangkat Aban bin Sa’id sebagai pemimpin satu ekspedisi ke arah Najd. Mereka datang kepada Nabi ﷺ di Khaibar, sementara beliau telah menaklukkannya dan telah membagikan ghanīmah. Aban meminta agar beliau memberikan bagian untuk dirinya dan para sahabatnya dari ghanīmah tersebut, namun beliau menolak. Ini menunjukkan bahwa ghanīmah khusus untuk pasukan, bukan kelompok pendukung. Juga, karena keterlambatan mereka menyusul pasukan setelah ghanīmah diihāzah menghalangi mereka untuk mendapat bagian, sebagaimana qiyās kepada para tawanan. Dan setiap ghanīmah yang tidak diberikan bagian kepada tawanan, maka tidak pula diberikan kepada kelompok pendukung, sebagaimana pada ghanīmah yang telah dibagikan atau dinashabkan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: إِنَّهُمُ اجْتَمَعُوا عَلَى نَفْلِ الْغَنِيمَةِ فَلَيْسَ النَّفْلُ عِلَّةً فِي التَّمَلُّكِ أَلَا تَرَى أَنَّ الْأَسْرَى لَوْ نَفَلُوا لَمْ يَتَمَلَّكُوا وَكَذَلِكَ الْأُجَرَاءُ عَلَى النَّفْلِ.

Adapun jawaban atas argumen mereka bahwa mereka berkumpul untuk memperoleh ghanīmah, maka hal itu bukanlah sebab kepemilikan. Bukankah engkau melihat bahwa tawanan, meskipun mereka ikut serta, tidak memiliki hak, begitu pula para pekerja yang diupah untuk memperoleh ghanīmah.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالرَّدِ، فَهُمْ وَالْمَرَدُّ سَوَاءٌ إِنْ أَدْرَكَ الْوَقْعَةَ أُسْهِمَ لَهُمْ كَالرِّدِّ وَإِنْ لَمْ يدرك الرد الْوَقْعَةَ لَمْ يُسْهَمْ لَهُمْ كَالْمَرَدِّ.

Adapun dalil mereka dengan analogi kepada kelompok penolong (ar-radd), maka mereka dan kelompok pendukung sama saja: jika mereka hadir dalam pertempuran, maka mereka mendapat bagian seperti kelompok penolong; dan jika kelompok penolong tidak hadir dalam pertempuran, maka mereka tidak mendapat bagian seperti kelompok pendukung.

وَأَمَّا قَوْلُهُ إِنَّ الْغَنِيمَةَ يُمْكِنُ إِحَازَتُهَا إِلَى دَارِ الْإِسْلَامِ فليس للدار تأثيرا في تملكها وإنما تملك بمجرد الإجارة عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الشُّرُوطِ الْمُعْتَبَرَةِ وَاللَّهُ أعلم بالصواب.

Adapun pernyataannya bahwa ghanīmah bisa diihāzah ke Darul Islam, maka tempat (dar) tidak berpengaruh dalam kepemilikan ghanīmah. Kepemilikan terjadi semata-mata dengan ihāzah, sesuai syarat-syarat yang telah kami sebutkan, dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

مسألة:

Masalah:

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى: ” وَلَوْ أَنَّ قَائِدًا فَرَّقَ جُنْدَهُ فِي وَجْهَيْنِ فَغَنِمَتْ إِحْدَى الْفِرْقَتَيْنِ أَوْ غَنِمَ الْعَسْكَرُ وَلَمْ تَغْنَمْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا شَرَكُوهُمْ لِأَنَّهُمْ جَيْشٌ وَاحِدٌ وكلهم ردء لصاحبه وقد مضت خيل المسلمين فغنموا بأوطاس غنائم كثيرة وأكثر العساكر بحنين فشركوهم وهم مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ولكن لو كان قوم مقيمين ببلادهم فخرجت منهم طائفة فغنموا لم يشركوهم وإن كانوا منهم قريبا لأن السرايا كانت تخرج من المدينة فتغنم فلا يشركهم أهل المدينة ولو أن إماما بعث جيشين على كل واحد منهما قائد وأمر كل واحد منهما أن يتوجه ناحية غير ناحية صاحبه من بلاد عدوهم فغنم أحد الجيشين لم يشركهم الآخرون فإذا اجتمعوا فغنموا مجتمعين فهم كجيش واحد “.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Jika seorang komandan membagi pasukannya menjadi dua kelompok, lalu salah satu kelompok memperoleh ghanīmah, atau pasukan memperoleh ghanīmah sementara salah satu dari keduanya tidak, maka mereka tetap berbagi karena mereka adalah satu pasukan dan semuanya saling menjadi penolong bagi yang lain. Dahulu, pasukan berkuda kaum Muslimin telah pergi dan memperoleh banyak ghanīmah di Autas, sementara sebagian besar pasukan berada di Hunain, lalu mereka tetap berbagi, padahal mereka bersama Rasulullah ﷺ. Namun, jika suatu kaum tinggal di negeri mereka, lalu sebagian dari mereka keluar dan memperoleh ghanīmah, maka yang tinggal tidak mendapat bagian, meskipun mereka dekat, karena dahulu ekspedisi keluar dari Madinah dan memperoleh ghanīmah, namun penduduk Madinah tidak mendapat bagian. Jika seorang imam mengirim dua pasukan, masing-masing dengan komandan, dan memerintahkan keduanya menuju arah yang berbeda dari negeri musuh, lalu salah satu pasukan memperoleh ghanīmah, maka pasukan lainnya tidak mendapat bagian. Namun jika mereka berkumpul dan memperoleh ghanīmah bersama, maka mereka seperti satu pasukan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَلِلسَّرَايَا الْمُتَقَدِّمَةِ عَلَى الْجُيُوشِ حَالَتَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar. Untuk ekspedisi yang mendahului pasukan, terdapat dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ تَسْرِيَ مِنْ جُمْلَةِ جَيْشٍ خَارِجٍ فِي الْجِهَادِ.

Pertama: ekspedisi itu berangkat sebagai bagian dari pasukan yang keluar untuk berjihad.

وَالثَّانِيَةُ: أَنْ تَسْرِيَ من جملة جيش مقيم.

Dan yang kedua: (yaitu) pasukan penyerbu (sariyah) berangkat dari bagian pasukan yang sedang menetap.

فأما الحالة الْأُولَى وَهُوَ أَنْ تَسْرِيَ مِنْ جُمْلَةِ جَيْشٍ خَارِجٍ فِي الْجِهَادِ فَصُورَتُهَا أَنْ يَخْرُجَ الْإِمَامُ لِجَيْشِهِ أَوْ يَسْتَخْلِفَ عَلَى الْجَيْشِ أَمِيرًا فَيُنْفِذَ السَّرَايَا مِنْ جُمْلَةِ الْجَيْشِ الْخَارِجِ فَفِيهِ ثَلَاثُ مَسَائِلَ:

Adapun keadaan pertama, yaitu pasukan penyerbu (sariyah) berangkat dari bagian pasukan yang keluar untuk berjihad, maka bentuknya adalah imam keluar bersama pasukannya atau menunjuk seorang amir atas pasukan, lalu mengirimkan pasukan-pasukan penyerbu dari bagian pasukan yang keluar tersebut. Dalam hal ini terdapat tiga permasalahan:

فَالْمَسْأَلَةُ الْأُولَى: أَنْ يَتَقَدَّمَ مِنْ جُمْلَتِهِ سَرِيَّةٌ وَاحِدَةٌ إِلَى بَعْضِ الْجِهَاتِ؛ فَتَكُونُ السَّرِيَّةُ وَالْجَيْشُ شُرَكَاءَ بِجَمِيعِ مَا غَنِمُوهُ، فَإِنْ غَنِمَتِ السرية شاركهم الجيش، وإن غنم الجيش شركتهم السَّرِيَّةُ وسَوَاءً كَانَ تَفَرُّدُ السَّرِيَّةِ إِلَى الْجِهَةِ الَّتِي يَقْصِدُهَا الْجَيْشُ أَوْ إِلَى غَيْرِهَا، وَهَذَا قَوْلُ الْجُمْهُورِ.

Permasalahan pertama: Jika dari pasukan tersebut dikirim satu sariyah ke suatu arah, maka sariyah dan pasukan utama adalah sekutu dalam seluruh harta rampasan yang mereka peroleh. Jika sariyah mendapatkan rampasan, maka pasukan utama juga mendapat bagian, dan jika pasukan utama mendapatkan rampasan, maka sariyah juga mendapat bagian. Baik sariyah itu bergerak ke arah yang sama dengan tujuan pasukan utama maupun ke arah lain, dan inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama).

وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ يَتَمَيَّزُ حُكْمُ السَّرِيَّةِ عَنِ الْجَيْشِ وَيَخْتَصُّ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِمَا غَنِمَهُ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْغَنِيمَةُ لِمَنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ ” وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حِينَ هَزَمَ هَوَازِنَ بِحُنَيْنٍ أَسْرَى قِبَلَ أَوْطَاسٍ سَرِيَّةً غَنِمَتْ فَقَسَّمَ غَنَائِمَهُمْ فِي الْجَمِيعِ.

Al-Hasan al-Bashri berpendapat bahwa hukum sariyah berbeda dengan pasukan utama, dan masing-masing hanya berhak atas apa yang mereka rampas, dengan berdalil pada sabda Nabi ﷺ: “Harta rampasan adalah milik siapa yang hadir dalam pertempuran.” Namun, pendapat ini keliru, karena Nabi ﷺ ketika mengalahkan Hawazin di Hunain, beliau mengirim sariyah ke Awtas yang berhasil memperoleh rampasan, lalu beliau membagikan rampasan mereka kepada seluruh pasukan.

وَرَوَى عُمَرُ بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ ويجيد عَلَيْهِمْ أَقْصَاهُمْ وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ يَرُدُّ مُشَدُّهُمْ عَلَى مُضْعَفِهِمْ وَمُتَسَرِّيهِمْ عَلَى قَاعِدِهِمْ، لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ وَلَا ذُو عَهْدٍ فِي عَهْدِهِ، فَأَخْبَرَ أَنَّ السَّرَايَا تَرُدُّ عَلَى الْقَاعِدِ وَلِأَنَّهُمْ جَيْشٌ وَاحِدٌ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ردا لِصَاحِبِهِ أَلَا تَرَى أَنَّ الْجَيْشَ إِنِ احْتَاجَ إِلَيْهَا رَجَعَتْ إِلَيْهِ وَإِنِ احْتَاجَتْ إِلَيْهِ لَحِقَ بِهَا.

Diriwayatkan dari Umar bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Darah kaum Muslimin setara, perlindungan mereka dijamin oleh yang paling rendah di antara mereka, dan yang paling jauh di antara mereka dapat menuntut atas nama mereka, mereka bersatu menghadapi selain mereka, yang kuat membantu yang lemah, dan yang keluar (berperang) membantu yang tinggal, tidak dibunuh seorang mukmin karena kafir, dan tidak pula orang yang memiliki perjanjian selama masa perjanjiannya.” Maka hadis ini menunjukkan bahwa sariyah mengembalikan (hak) kepada yang tinggal, dan karena mereka adalah satu pasukan, dan masing-masing saling menolong. Tidakkah engkau lihat, jika pasukan utama membutuhkan sariyah, maka sariyah akan kembali kepadanya, dan jika sariyah membutuhkan pasukan utama, maka pasukan utama akan menyusulnya.

وَالْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُنْفِذَ مِنَ الْجَيْشِ سَرِيَّتَيْنِ إِلَى جِهَةٍ وَاحِدَةٍ فِي طَرِيقٍ وَاحِدٍ أَوْ طَرِيقَيْنِ فَيَكُونُ الْجَيْشُ وَالسَّرِيَّتَانِ جَيْشًا وَاحِدًا إِنْ غَنِمَتِ السَّرِيَّتَانِ اشْتَرَكَتَا مَعَ الْجَيْشِ، وَإِنْ غَنِمَتْ إِحْدَاهُمَا شَرَكَتْهَا الْأُخْرَى وَالْجَيْشُ، وَإِنْ غَنِمَ الْجَيْشُ شَارَكَتْهُ السَّرِيَّتَانِ؛ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ النَّصِّ والتعليل.

Permasalahan kedua: Jika dari pasukan utama dikirim dua sariyah ke satu arah melalui satu jalan atau dua jalan, maka pasukan utama dan kedua sariyah itu dianggap satu pasukan. Jika kedua sariyah memperoleh rampasan, maka keduanya berbagi dengan pasukan utama. Jika salah satu sariyah memperoleh rampasan, maka sariyah yang lain dan pasukan utama juga mendapat bagian. Jika pasukan utama memperoleh rampasan, maka kedua sariyah juga mendapat bagian, sebagaimana telah kami sebutkan berdasarkan nash dan alasan.

والمسألة الثانية: أَنْ يُنْفِذَ سَرِيَّتَيْنِ إِلَى جِهَتَيْنِ مُخْتَلِفَتَيْنِ فَتَكُونُ السريتان مشاركتين للجيش والجيش مشارك لِلسَّرِيَّتَيْنِ، وَهَلْ تَكُونُ إِحْدَى السَّرِيَّتَيْنِ مُشَارِكَةً لِلْأُخْرَى أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Permasalahan ketiga: Jika dikirim dua sariyah ke dua arah yang berbeda, maka kedua sariyah itu berbagi dengan pasukan utama, dan pasukan utama berbagi dengan kedua sariyah. Apakah salah satu sariyah berbagi dengan sariyah yang lain atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَكُونُ مُشَارِكَةً لَهَا؛ لِأَنَّهَا مِنْ جُمْلَةِ جَيْشٍ وَاحِدٍ فَصَارَ الْكُلُّ جَيْشًا وَاحِدًا.

Salah satunya: Sariyah yang satu berbagi dengan sariyah yang lain, karena keduanya merupakan bagian dari satu pasukan, sehingga semuanya menjadi satu pasukan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ لِكُلِّ واحد مِنَ السَّرِيَّتَيْنِ حُكْمُ نَفْسِهَا لَا تُشَارِكُ الْأُخْرَى ولا يشاركها؛ لأن الجيش أصل السريتين وليس إحدى السريتين أصل للأخرى.

Pendapat kedua: Masing-masing sariyah hanya berhak atas rampasan yang mereka peroleh sendiri, tidak berbagi dengan sariyah yang lain, karena pasukan utama adalah asal dari kedua sariyah, dan bukan salah satu sariyah menjadi asal bagi sariyah yang lain.

فصل:

Fashal:

وأما الحالة الأخرى وهو أَنْ يَكُونَ الْجَيْشُ مُقِيمًا وَالسَّرَايَا مِنْهُ نَافِذَةٌ فَفِيهَا ثَلَاثُ مَسَائِلَ:

Adapun keadaan lain, yaitu pasukan utama menetap dan sariyah dikirim darinya, maka dalam hal ini terdapat tiga permasalahan:

إِحْدَاهَا: أَنْ يُنْفِذَ الْإِمَامُ مِنْ جُمْلَةِ جَيْشِهِ الْمُقِيمِ سَرِيَّةً فَتَغْنَمُ فَتَخْتَصُّ السَّرِيَّةُ بِغَنِيمَتِهَا وَلَا يَشْرُكُهَا الْجَيْشُ الْمُقِيمُ سَوَاءً أَسْرَتْ إِلَى مَوْضِعٍ قَرِيبٍ أَوْ بَعِيدٍ، لِأَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يُنْفِذُ السَّرَايَا مِنَ الْمَدِينَةِ فَلَا يُشْرِكُهُمْ أَهْلُ الْمَدِينَةِ، وَلِأَنَّ الْغَنِيمَةَ لِلْمُجَاهِدِينَ وَلَيْسَ الْمُقِيمُ مُجَاهِدًا.

Pertama: Jika imam mengirim sariyah dari bagian pasukan utamanya yang menetap, lalu sariyah itu memperoleh rampasan, maka sariyah tersebut berhak khusus atas rampasannya dan pasukan utama yang menetap tidak mendapat bagian, baik sariyah itu pergi ke tempat yang dekat maupun jauh. Karena Nabi ﷺ biasa mengirim sariyah dari Madinah dan penduduk Madinah tidak mendapat bagian dari rampasan mereka, dan karena harta rampasan adalah hak para mujahid, sedangkan yang menetap bukanlah mujahid.

وَالْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُنْفِذَ الْإِمَامُ مِنْ جملة جيشه المقيم سريتين إلى وجهة واحدة في طريق واحد أو طريقتين فَتَكُونُ السَّرِيَّتَانِ جَيْشًا وَاحِدًا، أَيُّهُمَا غَنِمَتْ شَارَكَتْهَا الأخرى، ولا يشاركهما الجيش المقيم لكون غَيْرَ مُجَاهِدٍ.

Masalah kedua: Jika imam mengirimkan dari sebagian pasukan tetapnya dua satuan pasukan kecil (sariyah) ke satu tujuan dalam satu jalan atau dua jalan, maka kedua sariyah tersebut menjadi satu pasukan. Siapa pun di antara keduanya yang memperoleh ghanimah, maka yang lain berhak mendapat bagian darinya. Namun, pasukan tetap tidak ikut serta bersama mereka karena tidak ikut berjihad.

وَالْمَسْأَلَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُنْفِذَ الْإِمَامُ مِنْ جُمْلَةِ الْجَيْشِ الْمُقِيمِ سَرِيَّتَيْنِ إِلَى جِهَتَيْنِ مُخْتَلِفَتَيْنِ وَقَدْ أَفْرَدَ كُلَّ سَرِيَّةٍ مِنْهُمَا بِقَائِدٍ فَإِنِ اجْتَمَعَتِ السَّرِيَّتَانِ عَلَى جِهَةٍ وَاحِدَةٍ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي غَنَائِمِهَا دُونَ الْجَيْشِ الْمُقِيمِ، وَإِنِ انْفَرَدَتْ كُلُّ سَرِيَّةٍ بِالْجِهَةِ الَّتِي أُنْفِذَتْ إِلَيْهَا لَنْ تُشَارِكَهَا الْأُخْرَى فِي غَنَائِمِهَا، وَلَا يُشَارِكُ الْجَيْشُ وَاحِدَةً مِنْهَا؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنَ السَّرِيَّتَيْنِ إِذَا اخْتَصَّتْ بِجِهَةٍ لَمْ تَكُنْ رِدًّا للأخرى فصارت جيشا منفردا فلو انضم نفرا مِنْ إِحْدَى السَّرِيَّتَيْنِ إِلَى الْأُخْرَى وَغَنِمُوا شَارَكُوهَا فِي غَنَائِمِهِمْ، لِأَنَّهُمْ بِالِانْضِمَامِ إِلَيْهَا قَدْ صَارُوا مِنْ جُمْلَتِهَا فَإِذَا حَازَ النَّفَرُ سَهْمَهُمْ مِنْهَا فَهَلْ يُشَارِكُهُمْ فِيهِ بَاقِي أَصْحَابِهِ مِنَ السَّرِيَّةِ الْأُخْرَى أَوْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Masalah ketiga: Jika imam mengirimkan dari sebagian pasukan tetapnya dua sariyah ke dua tujuan yang berbeda dan masing-masing sariyah dipimpin oleh seorang komandan, maka jika kedua sariyah tersebut berkumpul di satu tujuan, mereka menjadi sekutu dalam ghanimahnya tanpa melibatkan pasukan tetap. Namun, jika masing-masing sariyah tetap pada tujuan yang ditugaskan kepadanya, maka sariyah yang satu tidak berhak atas ghanimah sariyah yang lain, dan pasukan tetap pun tidak berhak atas ghanimah salah satu dari keduanya. Sebab, jika masing-masing sariyah telah ditugaskan ke tujuan tertentu, maka ia tidak menjadi cadangan bagi yang lain, sehingga menjadi pasukan yang berdiri sendiri. Jika ada sekelompok orang dari salah satu sariyah bergabung dengan sariyah yang lain dan memperoleh ghanimah, maka mereka berhak mendapat bagian dari ghanimah tersebut, karena dengan bergabung mereka telah menjadi bagian dari sariyah itu. Jika kelompok tersebut telah menerima bagian mereka, apakah sisa anggota sariyah asal mereka ikut mendapat bagian atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُشَارِكُونَهُمْ فِيهِ، لِأَنَّ جَمِيعَهُمْ جَيْشٌ وَاحِدٌ؛ فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ بَاقِي السَّرِيَّةِ غَنِمَتْ شَارَكَهُمْ فِيهَا النَّفَرُ الْمُنْفَرِدُ عَنْهُمْ.

Pertama: Mereka (sisa anggota sariyah asal) ikut mendapat bagian, karena semuanya dianggap satu pasukan. Berdasarkan pendapat ini, jika sisa sariyah asal memperoleh ghanimah, maka kelompok yang telah bergabung dengan sariyah lain juga ikut mendapat bagian.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ هَؤُلَاءِ النَّفَرَ يَخْتَصُّونَ بِمَا أَخَذُوا مِنَ السَّرِيَّةِ الَّتِي انْضَمُّوا إِلَيْهَا؛ لِأَنَّهُمْ لَمَّا صَارُوا مِنْ جُمْلَتِهَا بِالِانْضِمَامِ إِلَيْهَا خَرَجُوا مِنْ جُمْلَةِ سَرِيَّتِهِمْ بِالِانْفِرَادِ عَنْهَا؛ فَعَلَى هَذَا لَوْ أَنَّ الْبَاقِينَ مِنْ سَرِيَّتِهِمْ غَنِمُوا لَمْ يُشَارِكُوهُمْ كَمَا لَمْ يَرُدُّوا عَلَيْهِمْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: Kelompok yang bergabung hanya berhak atas apa yang mereka peroleh bersama sariyah yang mereka ikuti, karena dengan bergabung mereka telah keluar dari keanggotaan sariyah asalnya. Berdasarkan pendapat ini, jika sisa anggota sariyah asal memperoleh ghanimah, mereka tidak mendapat bagian, sebagaimana mereka juga tidak mengembalikan bagian kepada kelompok yang telah keluar. Dan Allah Maha Mengetahui.

باب تفريق الخمس

Bab Pembagian Khumus

مسألة:

Masalah:

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {واعلموا أنما غنمتم من شيء} الآية وروي أن جبير بن مطعم قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لما قسم سَهْمَ ذِي الْقُرْبَى بَيْنَ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي المطلب أتيته أنا وعثمان بن عفان رضي الله عنه فقلنا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَؤُلَاءِ إِخْوَانُنَا مِنْ بَنِي هَاشِمٍ لَا نُنْكِرُ فَضْلَهُمْ لِمَكَانِكَ الَّذِي وَضَعَكَ الله به مِنْهُمِ أَرَأَيْتَ إِخْوَانَنَا مِنْ بَنِي الْمُطَّلِبِ أَعْطَيْتَهُمْ وتركتنا وإنما قرابتنا وقرابتهم وَاحِدَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إِنَّمَا بَنُو هَاشِمٍ وَبَنُو الْمُطَّلِبِ شَيْءٌ وَاحِدٌ هكذا وشبك بين أصابعه ” وروى جبير بن مطعم أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لم يعط بني عبد شمس ولا بني نوفل من ذلك شيئا “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Allah Ta‘ala berfirman: {Dan ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai ghanimah dari sesuatu…} (ayat). Diriwayatkan bahwa Jubair bin Muth‘im berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah ﷺ ketika membagikan bagian untuk dzawil qurba di antara Bani Hasyim dan Bani Muththalib, aku dan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhuma mendatangi beliau dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, mereka adalah saudara-saudara kami dari Bani Hasyim, kami tidak mengingkari keutamaan mereka karena kedudukanmu di tengah mereka yang telah Allah berikan. Bagaimana dengan saudara-saudara kami dari Bani Muththalib, engkau memberi mereka dan meninggalkan kami, padahal kekerabatan kami dan mereka sama?’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sesungguhnya Bani Hasyim dan Bani Muththalib adalah satu kesatuan,’ lalu beliau merapatkan jari-jarinya. Jubair bin Muth‘im juga meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ tidak memberikan bagian itu kepada Bani ‘Abd Syams dan Bani Naufal sedikit pun.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِ الْغَنِيمَةِ، فَأَمَّا خُمُسُهَا وَخُمُسُ الْفَيْءِ فَهُمَا سَوَاءٌ، وَلِأَرْبَعَةِ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ حُكْمٌ يُخَالِفُ حُكْمَ خُمُسِهِ، وَخُمُسُ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ مَقْسُومٌ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ عَلَى خَمْسَةِ أَسْهُمٍ: سَهْمٍ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي حَيَاتِهِ وَيُصْرَفُ بَعْدَهُ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ، وَسَهْمٍ لِذَوِي الْقُرْبَى مِنْ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ بَاقٍ لَهُمْ مَا بَقَوْا، وَسَهْمٍ لِلْيَتَامَى، وَسَهْمٍ لِلْمَسَاكِينِ، وَسَهْمٍ لِبَنِي السَّبِيلِ.

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya tentang pembagian empat per lima ghanimah. Adapun seperlimanya (khumus) dan seperlima dari fai’, keduanya sama hukumnya. Untuk empat per lima dari fai’ ada hukum yang berbeda dengan seperlimanya. Khumus dari fai’ dan ghanimah menurut mazhab Syafi‘i dibagi menjadi lima bagian: satu bagian untuk Rasulullah ﷺ semasa hidupnya dan setelah beliau wafat digunakan untuk kemaslahatan umum kaum Muslimin; satu bagian untuk dzawil qurba dari Bani Hasyim dan Bani Muththalib selama mereka masih ada; satu bagian untuk anak yatim; satu bagian untuk orang miskin; dan satu bagian untuk ibnu sabil.

وَقَالَ أَبُو الْعَالِيَةِ الرِّيَاحِيُّ: يُقَسَّمُ الْخُمُسُ عَلَى سِتَّةِ أسهم: سهم منها لله تعالى مصروف في رياح الْكَعْبَةِ وَزِينَتِهَا، ثُمَّ الْخَمْسَةُ الْأَسْهُمِ بَعْدَهُ عَلَى مَا وَصَفْنَاهُ.

Abu Al-‘Aliyah Ar-Riyahi berkata: Khumus dibagi menjadi enam bagian: satu bagian di antaranya untuk Allah Ta‘ala yang digunakan untuk perawatan dan perhiasan Ka‘bah, kemudian lima bagian sisanya sebagaimana telah kami jelaskan.

وَقَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ: يُقَسَّمُ الْخُمُسُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَسْهُمٍ أُسْقِطَ مِنْهَا سَهْمِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِمَوْتِهِ.

Dan sebagian ulama berpendapat: khumus dibagi menjadi empat bagian, dengan menghapus bagian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- karena wafatnya beliau.

وَقَالَ أبو حنيفة: يُقَسَّمُ الْخُمُسُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَسْهُمٍ سَهْمٍ لِلْيَتَامَى، وَسَهْمٍ لِلْمَسَاكِينِ، وَسَهْمٍ لِبَنِي السَّبِيلِ وَقَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ نُقَسِّمُ الْخُمُسَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَسْهُمٍ أُسْقِطَ مِنْهَا سَهْمِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَسَهْمُ ذِي الْقُرْبَى.

Abu Hanifah berkata: khumus dibagi menjadi tiga bagian, yaitu satu bagian untuk anak yatim, satu bagian untuk orang miskin, dan satu bagian untuk ibnu sabil. Dan sebagian ulama berpendapat: kami membagi khumus menjadi empat bagian, dengan menghapus bagian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan bagian dzawil qurba.

وَقَالَ مَالِكٌ: يُصْرَفُ الْخُمُسُ مَعَ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ فِي وُجُوهِ الْمَصَالِحِ.

Malik berkata: khumus bersama empat per lima bagian fai’ digunakan untuk berbagai kepentingan kemaslahatan.

فَأَمَّا أَبُو الْعَالِيَةِ فَاسْتَدَلَّ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ} [الأنفال: 41] فَذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى نَفْسَهُ مِنَ الْمُسْتَحِقِّينَ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ لَهُ.

Adapun Abu Al-‘Aliyah berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya bagi Allah seperlimanya dan untuk Rasul} [Al-Anfal: 41], maka Allah Ta‘ala menyebutkan diri-Nya sebagai salah satu pihak yang berhak, sehingga menunjukkan bahwa bagian itu memang untuk-Nya.

وَدَلِيلُنَا مَا رَوَى مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” مَا لِيَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ إِلَّا الْخُمُسَ، وَالْخُمُسُ مَرْدُودٌ فِيكُمْ ” فَلَوْ كَانَ مَقْسُومًا عَلَى سِتَّةٍ لَقَالَ إِلَّا السُّدُسَ وَرَوَى ابْنُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يُقَسِّمُ الْخُمُسَ عَلَى خَمْسَةِ أَسْهُمٍ.

Dalil kami adalah apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Jubair bin Muth‘im dari ayahnya, bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak ada bagianku dari apa yang Allah limpahkan kepadamu kecuali khumus, dan khumus itu dikembalikan kepadamu.” Maka seandainya itu dibagi menjadi enam bagian, tentu beliau akan mengatakan “kecuali seperenam”. Dan Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- membagi khumus menjadi lima bagian.

فَأَمَّا الْآيَةُ فَالْجَوَابُ عَنْهَا أَنَّ تَقْدِيمَ ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى إِنَّمَا هُوَ لِلتَّبَرُّكِ بِاسْمِهِ، وَلِإِبَاحَةِ الْمَالِ بَعْدَ حَظْرِهِ وَإِلَّا فَجَمِيعُ الْأَمْوَالِ لَهُ، وَلِتَغَلُّظِ حَظْرِ ذَلِكَ عَلَى غَيْرِ مَنْ سَمَّاهُ.

Adapun ayat tersebut, jawabannya adalah bahwa penyebutan Allah Ta‘ala di awal hanyalah untuk mengambil berkah dengan nama-Nya, dan untuk menghalalkan harta setelah sebelumnya dilarang, sebab seluruh harta pada hakikatnya milik-Nya, dan juga untuk menegaskan larangan keras bagi selain pihak-pihak yang telah disebutkan.

وَأَمَّا أبو حنيفة فَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّ سَهْمِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَاقِطٌ بِأَمْرَيْنِ:

Adapun Abu Hanifah berdalil bahwa bagian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- gugur (tidak berlaku) dengan dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَنْ مَلَكَ فِي حَيَاتِهِ حَقًّا كَانَ بَعْدَ مَوْتِهِ، إِمَّا مَوْرُوثًا، وَإِمَّا سَاقِطًا فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ سَهْمِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَوْرُوثًا سَقَطَ.

Pertama: bahwa siapa pun yang memiliki suatu hak semasa hidupnya, maka setelah wafatnya hak itu, bisa menjadi warisan atau gugur. Karena bagian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak diwariskan, maka ia gugur.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ كَانَ يَمْلِكُ سَهْمَهُ مِنَ الْخُمُسِ كَمَا كَانَ يَمْلِكُ مِنَ الْغَنِيمَةِ الصَّفِيَّ فَلَمَّا سَقَطَ حَقُّهُ مِنَ الصَّفِيِّ بِمَوْتِهِ سَقَطَ سَهْمُهُ مِنَ الْخُمُسِ بِهِ.

Kedua: bahwa beliau memiliki bagiannya dari khumus sebagaimana beliau memiliki bagian pilihan (shafiy) dari ghanimah. Maka ketika hak beliau atas bagian shafiy gugur karena wafatnya, maka bagian beliau dari khumus pun gugur bersamaan dengannya.

وَاسْتُدِلَّ أَيْضًا على أن لا حق لذوي القرب فِيهِ إِلَّا بِالْفَقْرِ مِنْ جُمْلَةِ الْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ؛ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ من أهل القربى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ} [الحشر: 7] فَحَظَرُوا بِهَذَا التَّعْلِيلِ عَلَى الْأَغْنِيَاءِ وَثُبُوتُ حَقِّهِمْ فِيهِ يُوجِبُ التَّسْوِيَةَ بَيْنَ الْفُقَرَاءِ وَالْأَغْنِيَاءِ؛ فَدَلَّ عَلَى سُقُوطِهِ بِمَا رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عنه قَالَ: دَعَانِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَقَدْ عَزَلَ لَنَا سَهْمَ ذِي الْقُرْبَى فقلت إن بني هاشم عنه في غناء وإن بالمسلمين حلة وَفَاقَةً فَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تَرُدَّهُ عَلَيْهِمْ، فَلَمَّا تَرَكَهُ لِلْغَنِيِّ دَلَّ عَلَى أَنَّهُمْ كَانُوا يَأْخُذُونَهُ بِالْفَقْرِ.

Juga dijadikan dalil bahwa tidak ada hak bagi dzawil qurba di dalamnya kecuali karena kefakiran, termasuk dalam kelompok anak yatim dan orang miskin; berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Apa yang Allah berikan kepada Rasul-Nya dari penduduk (harta) dekat, maka itu untuk Allah, Rasul, dzawil qurba, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil, supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu} [Al-Hasyr: 7]. Maka dengan alasan ini, hak itu dilarang bagi orang kaya, dan penetapan hak mereka di dalamnya akan menyebabkan penyamaan antara orang fakir dan orang kaya; sehingga menunjukkan gugurnya hak tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu memanggilku dan telah memisahkan bagian untuk dzawil qurba bagi kami, lalu aku berkata: “Sesungguhnya Bani Hasyim tidak membutuhkannya, dan kaum muslimin sedang mengalami kesulitan dan kekurangan. Jika engkau berkenan, kembalikanlah kepada mereka.” Maka ketika Umar meninggalkannya untuk orang kaya, itu menunjukkan bahwa mereka (dzawil qurba) hanya mengambilnya karena kefakiran.

قَالَ: وَلِأَنَّ كُلَّ مَالٍ لَمْ يَجُزْ صرفه إلى أغنياء غير ذي القربة لَمْ يَجُزْ صَرْفُهُ إِلَى أَغْنِيَاءِ ذِي الْقُرْبَى كَالصَّدَقَاتِ؛ وَلِأَنَّهُمْ صِنْفٌ مُسَمًّى فِي الْخُمُسِ؛ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْتَحِقُّوهُ مَعَ الْغِنَى كَالْيَتَامَى وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ وَهُوَ أَنَّ سَهْمِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثَابِتٌ فِي رِوَايَةِ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: مَا لِيَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ إِلَّا الْخُمُسَ وَالْخُمُسُ مَرْدُودٌ فِيكُمْ: فَدَلَّ رَدُّهُ ثُبُوتَهُ وَإِنْ تَغَيَّرَ حُكْمُهُ، لَا عَلَى سُقُوطِهِ.

Dia berkata: Karena setiap harta yang tidak boleh disalurkan kepada orang kaya dari selain kerabat, maka tidak boleh pula disalurkan kepada orang kaya dari kalangan kerabat, seperti halnya sedekah; dan karena mereka adalah golongan yang disebutkan secara khusus dalam pembagian khumus; maka wajib bahwa mereka tidak berhak menerimanya ketika dalam keadaan kaya, sebagaimana halnya anak yatim. Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa bagian Rasulullah ﷺ tetap ada sebagaimana dalam riwayat Muhammad bin Jubair bin Muth‘im dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada bagiku dari apa yang Allah limpahkan kepada kalian kecuali khumus, dan khumus itu dikembalikan kepada kalian.” Maka pengembalian itu menunjukkan tetapnya hak tersebut meskipun hukumnya berubah, bukan menunjukkan gugurnya hak tersebut.

وَرَوَى الزُّهْرِيُّ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ أَمْوَالُ بَنِي النَّضِيرِ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِمَّا لَمْ يُوجِفِ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِ بَخَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ فَكَانَتْ لِرَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دُونَ الْمُسْلِمِينَ؛ وَكَانَ يُنْفِقُ مِنْهَا عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةَ سَنَةٍ. فَمَا فَضَلَ جَعَلَهُ فِي الْكُرَاعِ وَالسِّلَاحِ عُدَّةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ، ثُمَّ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَوَلِيَهَا أَبُو بَكْرٍ مِثْلَ مَا وَلِيَهَا رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثُمَّ وَلِيَهَا عُمَرُ بِمِثْلِ مَا وَلِيَهَا رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَبُو بَكْرٍ فَمَوْضِعُ الدِّلَالَةِ مِنْ هَذَا الْخَبَرِ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا سَلَكَا بِحَقِّهِ بَعْدَ وَفَاتِهِ مَسْلَكَهُ بِحَقِّهِ فِي حَيَاتِهِ؛ فَدَلَّ عَلَى بَقَائِهِ وَثُبُوتِهِ؛ وَلِأَنَّ مَا اسْتَحَقَّ مِنْ سِهَامِ الْخُمُسِ لَمْ يَسْقُطْ كَسَائِرِ السهام.

Dan Az-Zuhri meriwayatkan dari Malik bin Aus bin Al-Hadatsan dari ‘Umar bin Al-Khaththab ra. berkata: Harta Bani Nadhir adalah termasuk apa yang Allah limpahkan kepada Rasul-Nya, yang kaum Muslimin tidak memacukan kuda maupun unta untuk mendapatkannya, maka harta itu khusus untuk Rasulullah ﷺ, bukan untuk kaum Muslimin; dan beliau membelanjakan darinya untuk kebutuhan keluarganya selama satu tahun. Apa yang tersisa, beliau gunakan untuk membeli kuda dan senjata sebagai perlengkapan di jalan Allah. Kemudian Rasulullah ﷺ wafat, lalu Abu Bakar mengelolanya sebagaimana Rasulullah ﷺ mengelolanya, kemudian ‘Umar pun mengelolanya sebagaimana Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar mengelolanya. Letak pendalilan dari riwayat ini adalah bahwa Abu Bakar dan ‘Umar ra. memperlakukan hak tersebut setelah wafatnya beliau sebagaimana beliau memperlakukannya semasa hidupnya; maka ini menunjukkan tetap dan berlakunya hak tersebut; dan bahwa apa yang menjadi hak dari bagian-bagian khumus tidaklah gugur sebagaimana bagian-bagian lainnya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ سَهْمَ ذِي الْقُرْبَى ثَابِتٌ يُسْتَحَقُّ مَعَ الْغِنَى وَالْفَقْرِ، قَوْله تَعَالَى: {مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى} [الحشر: 7] فَأَضَافَ الْخُمُسَ إِلَى خَمْسَةِ أَصْنَافٍ بِلَامِ التَّمْلِيكِ وَجَمَعَ بَيْنَهُمْ بِوَاوِ التَّشْرِيكِ، فَاقْتَضَى الظَّاهِرُ تَسَاوِيَهُمْ بِجَمِيعِهِمْ بِالْأَوْصَافِ الَّتِي أَضَافَهَا اللَّهُ تَعَالَى إِلَيْهِمْ، وَهُوَ إِنَّمَا وَصَفَهُمْ بِذِي الْقُرْبَى فَدَلَّ عَلَى اسْتِحْقَاقِهِمْ إِيَّاهُ بِاسْمِ الْقَرَابَةِ لَا بِالْفَقْرِ وَقَالَ تَعَالَى: {فأتى ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ} [الروم: 38] قَالَ السُّدِّيُّ: هُمْ ذَوِي الْقُرْبَى مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ.

Dalil bahwa bagian untuk dzawil qurba (kerabat Nabi) tetap ada dan berhak diterima baik dalam keadaan kaya maupun miskin adalah firman Allah Ta‘ala: {Apa yang Allah kembalikan kepada Rasul-Nya dari penduduk negeri-negeri, maka itu adalah untuk Allah, Rasul, dzawil qurba…} (QS. Al-Hasyr: 7). Maka Allah menisbatkan khumus kepada lima golongan dengan huruf lam kepemilikan dan menggabungkan mereka dengan huruf waw yang menunjukkan kebersamaan, sehingga secara lahiriah menuntut kesetaraan mereka dalam semua sifat yang Allah nisbatkan kepada mereka. Allah hanya menyifati mereka dengan dzawil qurba, maka ini menunjukkan bahwa mereka berhak menerimanya karena kekerabatan, bukan karena kemiskinan. Dan Allah Ta‘ala berfirman: {Maka berikanlah kepada kerabat haknya, juga kepada orang miskin dan ibnu sabil…} (QS. Ar-Rum: 38). As-Suddi berkata: Mereka adalah dzawil qurba dari Rasulullah ﷺ, yaitu Bani Hasyim dan Bani Muththalib.

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ مَازِنٍ عَنْ مَعْمَرِ بْنِ رَاشِدٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ جُبَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا قَسَمَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَهْمَ ذِي الْقُرْبَى بَيْنَ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ أَتَيْتُهُ أَنَا وَعُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَؤُلَاءِ إِخْوَانُنَا مِنْ بَنِي هَاشِمٍ لَا نُنْكِرُ فَضْلَهُمْ لِمَكَانِكَ الَّذِي وَضَعَكَ اللَّهُ مِنْهُمِ أَرَأَيْتَ إِخْوَانَنَا مِنْ بَنِي الْمُطَّلِبِ أَعْطَيْتَهُمْ وَتَرَكْتَنَا وَإِنَّمَا قَرَابَتُنَا وَاحِدَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِنَّمَا بَنُو هَاشِمٍ وَبَنُو الْمُطَّلِبِ شَيْءٌ وَاحِدٌ كَذَا وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ، وَفِي بَعْضِ الرِّوَايَاتِ لَمْ يَفْتَرِقُوا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَلَا إِسْلَامٍ.

Dan Asy-Syafi‘i meriwayatkan dari Mutarrif bin Mazin dari Ma‘mar bin Rasyid dari Ibnu Syihab, ia berkata: Muhammad bin Jubair mengabarkan kepadaku dari ayahnya, ia berkata: Ketika Rasulullah ﷺ membagikan bagian dzawil qurba di antara Bani Hasyim dan Bani Muththalib, aku dan ‘Utsman bin ‘Affan mendatangi beliau dan berkata: “Wahai Rasulullah, mereka ini adalah saudara-saudara kami dari Bani Hasyim, kami tidak mengingkari keutamaan mereka karena kedudukanmu di tengah mereka yang Allah berikan. Bagaimana dengan saudara-saudara kami dari Bani Muththalib, engkau berikan kepada mereka dan meninggalkan kami, padahal kekerabatan kita sama?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Bani Hasyim dan Bani Muththalib adalah satu golongan,” lalu beliau merapatkan jari-jarinya. Dalam sebagian riwayat disebutkan: “Mereka tidak pernah berpisah baik di masa jahiliah maupun Islam.”

وَالدَّلَالَةُ فِي هَذَا الْخَبَرِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Dan pendalilan dalam riwayat ini dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عثمان بن عفان وجبير كانا من أغنياء قريش، سألاه لما أَعْطَيْتَ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ وَحَرَمْتَنَا، وَنَحْنُ وَهُمْ فِي الْقَرَابَةِ سَوَاءٌ؟ فَلَمْ يَجْعَلْ سَبَبَ الْمَنْعِ الْغِنَى فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْغَنِيَّ فِيهِ كَالْفَقِيرِ.

Pertama: Bahwa ‘Utsman bin ‘Affan dan Jubair adalah termasuk orang-orang kaya Quraisy. Mereka berdua bertanya kepadanya, “Mengapa engkau memberikan (bagian) kepada Bani Hasyim dan Bani Muththalib, sementara engkau menghalangi kami, padahal kami dan mereka sama dalam kekerabatan?” Maka beliau tidak menjadikan kekayaan sebagai alasan untuk tidak diberi, sehingga hal ini menunjukkan bahwa orang kaya dalam hal ini sama dengan orang miskin.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ كَانَ فِي بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ أَغْنِيَاءُ وَفُقَرَاءُ وَقَدْ أَعْطَاهُمْ. وَكَانَ فِي عَبْدِ شَمْسٍ أَغْنِيَاءُ وَفُقَرَاءُ وَقَدْ حَرَمَهُمْ؛ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ اعْتَبَرَ الْقَرَابَةَ دُونَ الْفَقْرِ.

Kedua: Bahwa di antara Bani Hasyim dan Bani Muththalib terdapat orang-orang kaya dan orang-orang miskin, dan beliau tetap memberikan (bagian) kepada mereka. Dan di antara Bani ‘Abd Syams juga terdapat orang-orang kaya dan orang-orang miskin, namun beliau menghalangi mereka; maka hal ini menunjukkan bahwa yang dijadikan pertimbangan adalah kekerabatan, bukan kemiskinan.

فَإِنْ قِيلَ: النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اعْتَبَرَ النُّصْرَةَ دُونَ الْقَرَابَةِ؛ لِأَنَّ هَاشِمًا وَالْمُطَّلِبَ وعبد شمس ونوفل كَانُوا أُخْوَةً وَكُلُّهُمْ بَنُو عَبْدِ مَنَافٍ، وَقَدْ خص النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سهم ذي القربة بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ دُونَ بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ وَنَوْفَلٍ وَجَمِيعُهُمْ فِي الْقَرَابَةِ سَوَاءٌ، لِمَا قَالَ فِي ضَمِّ بَنِي الْمُطَّلِبِ إِلَى بَنِي هَاشِمٍ بِأَنَّهُمْ شَيْءٌ وَاحِدٌ، وَلَمْ يَفْتَرِقُوا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَلَا إِسْلَامٍ لِيُعْلِمَهُمْ أَنَّ بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ وَبَنِي نَوْفَلٍ قَدْ خَالَفُوهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَالْإِسْلَامِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْعَطَاءَ إِنَّمَا كَانَ لِأَجْلِ النُّدْرَةِ الَّتِي مَيَّزَتْهُمْ بِهَا دُونَ الْقَرَابَةِ الَّتِي قَدِ اشْتَرَكُوا فِيهَا فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا لِأَجْلِ ذَلِكَ فِي سَبَبِ الِاسْتِحْقَاقِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Jika dikatakan: Nabi ﷺ mempertimbangkan unsur pertolongan (nushrah) dan bukan semata-mata kekerabatan; karena Hasyim, Muththalib, ‘Abd Syams, dan Naufal adalah saudara, semuanya keturunan ‘Abd Manaf, namun Nabi ﷺ mengkhususkan bagian dzawil qurba hanya untuk Bani Hasyim dan Bani Muththalib, tidak untuk Bani ‘Abd Syams dan Naufal, padahal semuanya sama dalam kekerabatan. Hal ini karena beliau berkata tentang penggabungan Bani Muththalib dengan Bani Hasyim bahwa mereka adalah satu kesatuan, dan mereka tidak pernah berpisah baik di masa jahiliah maupun Islam, untuk memberitahukan bahwa Bani ‘Abd Syams dan Bani Naufal telah berbeda sikap dengan mereka baik di masa jahiliah maupun Islam. Maka hal ini menunjukkan bahwa pemberian itu semata-mata karena keistimewaan (nadarah) yang membedakan mereka, bukan karena kekerabatan yang mereka semua miliki bersama. Oleh sebab itu, para ulama kami berbeda pendapat mengenai sebab istihqaq (hak menerima) dalam tiga pendapat:

أحدهما: أن الاستحقاق بالقرابة وحدها دون النصرة، ولأنهم لَيْسَ لِلنُّصْرَةِ فِيهَا تَأْثِيرٌ، لِأَنَّهُ لَمْ يَذْكُرْهُ عُثْمَانُ وَجُبَيْرٌ فِي طَلَبِهِمَا وَلَا ذَكَرَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي مَنْعِهِمَا وَدَفَعَ ذَلِكَ لِمَنْ لَا نُصْرَةَ فِيهِ مِنْ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ وَرَجُلٍ وَامْرَأَةٍ وَمَنَعَ مَنْ ظَهَرَتْ مِنْ غَيْرِهِمْ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ بَنِي الْمُطَّلِبِ مَنْ قَامَ بِالنُّصْرَةِ مَقَامَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَأَبِي دُجَانَةَ وَخَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ فَمَنَعَهُمْ وَأَعْطَى مِنْ بَنِي الْمُطَّلِبِ مَنْ هُوَ أَقَلُّ نُصْرَةً مِنْهُمْ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُمُ اسْتَحَقُّوا ذَلِكَ بِالْقَرَابَةِ لَا بِالنُّصْرَةِ.

Pertama: Bahwa hak menerima itu semata-mata karena kekerabatan, tanpa mempertimbangkan unsur pertolongan; karena pertolongan tidak berpengaruh di dalamnya, sebab ‘Utsman dan Jubair tidak menyebutkan hal itu dalam permintaan mereka, dan Nabi ﷺ pun tidak menyebutkannya dalam penolakan beliau terhadap mereka. Beliau juga memberikan bagian itu kepada yang tidak memiliki unsur pertolongan, baik anak kecil, orang dewasa, laki-laki, maupun perempuan, dan menolak yang tampak dari selain mereka. Walaupun di antara Bani Muththalib tidak ada yang melakukan pertolongan seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Abu Dujanah, dan Khalid bin Walid, beliau tetap menolak mereka dan memberikan kepada Bani Muththalib yang pertolongannya lebih sedikit dari mereka. Maka hal ini menunjukkan bahwa mereka berhak menerima karena kekerabatan, bukan karena pertolongan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الِاسْتِحْقَاقَ بِالْقَرَابَةِ وَالتَّقْدِيمَ بِالنُّصْرَةِ كَمَا نَقُولُ فِي الْأَخَوَيْنِ أَحَدُهُمَا لِأَبٍ وَأُمٍّ، وَالْآخَرُ لِأَبٍ ابْنُهُمَا فِي التَّعْصِيبِ بِالْأَبِ سَوَاءٌ، وَيُقَدَّمُ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ لِلْأُمِّ، وَإِنِ اشْتَرَكَا فِي التَّعْصِيبِ، كَذَلِكَ بَنِي الْمُطَّلِبِ وَإِنْ شَارَكُوا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ وَبَنِي نَوْفَلٍ فِي الْقَرَابَةِ قُدِّمُوا عَلَيْهِمْ بِمَا اخْتُصُّوا بِهِ مِنَ النُّصْرَةِ.

Pendapat kedua: Bahwa hak menerima itu karena kekerabatan, namun yang didahulukan adalah yang memiliki unsur pertolongan, sebagaimana yang kita katakan tentang dua saudara, salah satunya seayah-seibu dan yang lain seayah saja, keduanya sama-sama berhak dalam ‘ashabah karena ayah, namun salah satunya didahulukan karena ibunya, meskipun keduanya sama dalam ‘ashabah. Demikian pula Bani Muththalib, meskipun mereka sama-sama memiliki kekerabatan dengan Bani ‘Abd Manaf dan Bani Naufal, mereka didahulukan karena keistimewaan pertolongan yang mereka miliki.

فَإِنْ قِيلَ: فَإِذَا كَانَ التَّقْدِيمُ بِالنُّصْرَةِ فَهَلَّا زَالَ حُكْمُهُمَا بِزَوَالِهَا، وَقَدْ زَالَتِ الْيَوْمَ.

Jika dikatakan: Jika yang didahulukan adalah karena pertolongan, mengapa hukum mereka tidak hilang ketika pertolongan itu telah tiada, padahal sekarang sudah tidak ada lagi?

قِيلَ: النُّصْرَةُ فِي الْآبَاءِ أَوْجَبَتْ ثُبُوتَ حُكْمِهَا فِي الْأَبْنَاءِ كَمَا نَقُولُ فِي تَمْيِيزِ كَفَرَةِ أَهْلِ الْكِتَابِ عَلَى الْمُشْرِكِينَ فِي قَبُولِ الْجِزْيَةِ إِنَّ حُرْمَةَ آبَائِهِمْ حِينَ كَانُوا عَلَى حَقٍّ أَوْجَبَتْ ثُبُوتَهَا لِأَبْنَائِهِمْ وَإِنْ زَالُوا عَنِ الْحَقِّ.

Dijawab: Pertolongan yang dilakukan oleh para leluhur menyebabkan tetapnya hukum itu bagi anak-anak keturunan mereka, sebagaimana kita katakan dalam membedakan kafir ahli kitab dengan musyrikin dalam penerimaan jizyah, bahwa kehormatan para leluhur mereka ketika masih berada di atas kebenaran menyebabkan tetapnya hukum itu bagi anak-anak mereka, meskipun mereka telah keluar dari kebenaran.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ الِاسْتِحْقَاقَ بِالْقَرَابَةِ وَحْدَهَا، وَالْمَنْعَ مَعَ وُجُودِهَا لِسَبَبٍ آخَرَ كَمَا نَقُولُ فِي ابْنَيْنِ أَحَدُهُمَا قَاتِلٌ إِنَّهُمَا وَإِنِ اسْتَوَيَا فِي الْبُنُوَّةِ، فَالْقَاتِلُ مَمْنُوعٌ بِعِلَّةٍ، فَكَذَلِكَ بَنُو عَبْدِ شَمْسٍ وَبَنُو نَوْفَلٍ وَإِنْ سَاوَوْا بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ فِي الْقَرَابَةِ، فَقَدْ كَانَ مِنْهُمْ مَا يَسْقُطُ بِهِ حَقُّهُمْ كَمَا يَسْقُطُ حَقُّ الِابْنِ الْقَاتِلِ.

Pendapat ketiga: Bahwa hak menerima itu semata-mata karena kekerabatan, dan pencegahan (tidak diberi) meskipun ada kekerabatan itu karena sebab lain, sebagaimana kita katakan tentang dua anak, salah satunya adalah pembunuh, meskipun keduanya sama-sama anak, maka si pembunuh terhalang (dari warisan) karena suatu sebab. Demikian pula Bani ‘Abd Syams dan Bani Naufal, meskipun mereka sama dengan Bani Hasyim dan Bani Muththalib dalam kekerabatan, namun telah terjadi dari mereka sesuatu yang menyebabkan gugurnya hak mereka, sebagaimana gugur hak anak yang membunuh.

فَإِنْ قِيلَ جُبَيْرُ بْنُ مُطْعِمٍ رَاوِي هَذَا الْحَدِيثِ أَسْلَمَ بَعْدَ فَتْحِ خَيْبَرَ فَلَمْ يُلْتَفَتْ إِلَى حَدِيثِهِ فِي أَحْكَامِ غَنَائِهِمَا فَعَنْ ذَلِكَ جَوَابَانِ:

Jika ada yang berkata: Jubair bin Muth‘im, perawi hadis ini, masuk Islam setelah penaklukan Khaibar, maka tidak dihiraukan hadisnya dalam hukum-hukum harta rampasan perang Khaibar dan Fadak, maka terhadap hal itu ada dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمْ يُعَيِّنِ الْخَبَرَ فِي خُمُسِ خَيْبَرَ، وَقَدْ كَانَ بَعْدَهَا غَنَائِمُ يُحْمَلُ خَبَرُهُ عَلَى خُمُسِهَا.

Pertama: Ia tidak menetapkan secara khusus bahwa hadis tersebut berkaitan dengan seperlima Khaibar, dan setelahnya masih ada harta rampasan perang lain yang bisa jadi hadisnya berlaku atas seperlima dari harta-harta tersebut.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي: قَدْ كَانَ أَكْثَرُهَا فَيْئًا فَيُسْتَغَلُّ فِي كُلِّ عَامٍ فَكَانَ خُمُسُهُ بَاقِيًا.

Jawaban kedua: Kebanyakan harta rampasan itu berupa fai’, yang hasilnya dimanfaatkan setiap tahun, sehingga seperlimanya tetap ada.

وَرُوِيَ أَنَّ الْفَضْلَ بْنَ الْعَبَّاسِ اسْتَشْفَعَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بعلي – رضوان الله عليهما فِي عِمَالَةِ الصَّدَقَاتِ فَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَالَ: ” أَلَيْسَ فِي خُمُسِ الْخُمُسِ مَا يُغْنِيكُمْ عَنْ أَوْسَاخِ النَّاسِ ” فَجَعَلَ لَهُمْ خُمُسَ الْخُمُسِ تَنْزِيهًا عَمَّا يُمْلَكُ بِالْفَقْرِ مِنَ الصَّدَقَاتِ؛ فَلَمْ يُجِزْ أَنْ يَسْتَحِقُّوهُ بِالْفَقْرِ الْمَشْرُوطِ فِي الصَّدَقَاتِ، وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ حَدِيثُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، وَقَدْ رُوِيَ عَلَى وَجْهَيْنِ يَكُونُ في أحدهما نصا مسندا، فَهُوَ مَا رَوَاهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي لَيْلَى قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ اجْتَمَعْتُ أَنَا وَالْعَبَّاسُ وَفَاطِمَةُ وَزَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ عِنْدَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ تَوَلَّيْنَا حَقَّنَا مِنْ هَذَا الْخُمُسِ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَاقْسِمْهُ فِي حَيَاتِكَ كَيْ لَا يُنَازِعَنَا أَحَدٌ بَعْدَكَ فَافْعَلْ قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” نَفْعَلُ ذَلِكَ ” فَوَلَّانِيهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَسَمْتُهُ فِي حَيَاتِهِ ثُمَّ فِي وِلَايَةِ أَبِي بَكْرٍ حَتَّى كَانَتْ آخِرَ سَنَةٍ مِنْ سِنِي عُمَرَ، فَإِنَّهُ أَتَاهُ مَالٌ كَثِيرٌ فَعَزَلَ حَقَّنَا ثُمَّ أَرْسَلَ إِلَيَّ فَقُلْتُ: لَنَا عَنْهُ الْعَامَ غَنَاءٌ، وَبِالْمُسْلِمِينَ الْآنَ حَاجَةٌ فَارْدُدْهُ عَلَيْهِمْ فَرَدَّهُ عَلَيْهِمْ، فَلَقِيتُ الْعَبَّاسَ بَعْدَ مَا خَرَجْتُ مِنْ عِنْدِ عُمَرَ فَقَالَ يَا عَلِيُّ: حَرَمْتَنَا لَا تُرَدُّ عَلَيْنَا أَبَدًا، وكان راجلا دَاهِيًا فَلَمْ يَدْعُنِي إِلَيْهِ أَحَدٌ بَعْدَ عُمَرَ.

Diriwayatkan bahwa al-Fadhl bin al-‘Abbas meminta syafaat kepada Rasulullah ﷺ melalui Ali – semoga Allah meridhai keduanya – dalam urusan pengelolaan zakat, maka Rasulullah ﷺ marah dan bersabda: “Bukankah pada seperlima dari seperlima itu sudah cukup untuk menghindarkan kalian dari harta yang kotor milik manusia?” Maka beliau menetapkan bagi mereka seperlima dari seperlima sebagai bentuk pensucian dari apa yang dimiliki karena kefakiran dari zakat; sehingga beliau tidak membolehkan mereka berhak atasnya dengan sebab kefakiran yang menjadi syarat dalam zakat. Hal ini juga ditunjukkan oleh hadis ‘Abdurrahman bin Abi Laila, yang diriwayatkan dalam dua bentuk, salah satunya secara tegas dan bersanad, yaitu yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrahman bin Abi Laila, ia berkata: Aku mendengar Ali r.a. berkata: Aku, al-‘Abbas, Fathimah, dan Zaid bin Haritsah berkumpul di hadapan Nabi ﷺ, lalu aku berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika kami mengelola hak kami dari seperlima ini yang ada dalam Kitabullah, maka bagilah itu di masa hidupmu agar tidak ada yang memperselisihkan kami setelah engkau wafat. Maka lakukanlah. Rasulullah ﷺ bersabda: “Akan kami lakukan itu.” Maka Rasulullah ﷺ menyerahkan pengelolaannya kepada kami, lalu aku membagikannya di masa hidup beliau, kemudian di masa pemerintahan Abu Bakar, hingga pada tahun terakhir dari masa pemerintahan ‘Umar, datanglah harta yang banyak kepada ‘Umar, lalu ia memisahkan bagian kami, kemudian mengutus seseorang kepadaku. Aku berkata: Kami sudah cukup tahun ini, dan kaum muslimin sedang membutuhkan, maka kembalikanlah kepada mereka. Lalu ia mengembalikannya kepada mereka. Setelah aku keluar dari rumah ‘Umar, aku bertemu dengan al-‘Abbas, lalu ia berkata: Wahai Ali, engkau telah menghalangi kami, dan itu tidak akan pernah dikembalikan kepada kami lagi. Ia adalah seorang yang cerdik, dan setelah ‘Umar, tidak ada lagi yang memanggilku untuk urusan itu.

فَدَلَّ قَوْلُ عَلِيٍّ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِنْ رَأَيْتَ أَنْ تُوَلِّيَنَا حَقَّنَا عَلَى أَنَّهُ حَقٌّ يَخْتَصُّ بِهِمْ لَا يُسْتَحَقُّ بِالْفَقْرِ الَّذِي هُوَ فِي غَيْرِهِمْ.

Maka ucapan Ali kepada Nabi ﷺ: “Jika engkau berkenan menyerahkan hak kami kepada kami,” menunjukkan bahwa itu adalah hak khusus bagi mereka, yang tidak berhak diperoleh karena kefakiran sebagaimana pada selain mereka.

وَأَمَّا الْوَجْهُ الَّذِي يَكُونُ إِجْمَاعًا مُنْعَقِدًا فَهُوَ مَا رَوَاهُ الْحَكَمُ بْنُ عيينة بن عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، قَالَ: لَقِيتُ عليا عليه السلام عند أحجار الركب فَقُلْتُ لَهُ: بِأَبِي وَأُمِّي مَا فَعَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فِي حَقِّكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ مِنَ الْخُمُسِ فَقَالَ عَلِيٌّ: أَمَّا أَبُو بَكْرٍ فَلَمْ يَكُنْ فِي زَمَانِهِ أَخْمَاسٌ وَمَا كَانَ فَقَدْ أَوْفَانَاهُ، وَأَمَّا عُمَرُ فَلَمْ يَزَلْ يُعْطِينَا حَتَّى جاءه مال السوس والأهواز أو قال أَخْمَاسٌ وَمَا كَانَ فَقَدْ أَوْفَانَاهُ، وَأَمَّا عُمَرُ فَلَمْ يَزَلْ يُعْطِينَا حَتَّى جَاءَهُ مَالُ السُّوسِ وَالْأَهْوَازِ أَوْ قَالَ مَالُ فَارِسَ – الشَّافِعِيُّ يَشُكُّ -، فَقَالَ عُمَرُ: إِنَّ بِالْمُسْلِمِينَ خَلَّةً فَإِنْ أَحْبَبْتُمْ تَرَكْتُمْ حَقَّكُمْ فَجَعَلْنَاهُ فِي خَلَّةِ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى يَأْتِيَنَا مَالٌ فَأُوَفِّيَكُمْ حَقَّكُمْ، فَقَالَ الْعَبَّاسُ لِعَلِيٍّ: لا تطعمهم فِي حَقِّنَا، فَقُلْتُ يَا أَبَا الْفَضْلِ أَلَسْنَا أَحَقَّ مَنْ أَجَابَ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، وَدَفَعَ خَلَّةَ الْمُسْلِمِينَ، فَتُوُفِّيَ عُمَرُ قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَهُ مَالٌ فَيَقْضِينَاهُ. فَدَلَّ اسْتِنْزَالُ عُمَرَ لَهُمْ ثَمَنَهُ بِخَلَّةِ الْمُسْلِمِينَ، أَنَّهُمْ لَمْ يَسْتَحِقُّوهُ بِالْفَقْرِ الَّذِي قَدْ شَارَكُوا فِيهِ فُقَرَاءَ الْمُسْلِمِينَ، وَلَكِنَّهُ حَقٌّ لَهُمْ لَا يَسْقُطُ بِمُطَالَبَتِهِمْ وَلَا يُؤَخَّرُ لِفَقْرِهِمْ، وَإِنَّهُمْ يَسْتَحِقُّونَ قَضَاءَ مَا أُخِّرُوهُ مِنْ حَقِّهِمْ.

Adapun bentuk ijmā‘ yang benar-benar terwujud adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Ḥakam bin ‘Uyainah bin ‘Abd al-Raḥmān bin Abī Laylā. Ia berkata: Aku bertemu ‘Alī ‘alaihis salām di dekat batu-batu ar-Rukb, lalu aku berkata kepadanya: “Demi ayah dan ibuku, apa yang dilakukan Abū Bakr dan ‘Umar terhadap hak kalian Ahl al-Bayt dari khumus?” Maka ‘Alī berkata: “Adapun Abū Bakr, pada masa beliau tidak ada khumus, dan jika ada, beliau telah memberikannya kepada kami. Adapun ‘Umar, beliau senantiasa memberikan kepada kami hingga datang harta dari Sūs dan Ahwāz—atau beliau berkata: khumus—dan jika ada, beliau telah memberikannya kepada kami. Adapun ‘Umar, beliau senantiasa memberikan kepada kami hingga datang harta dari Sūs dan Ahwāz, atau beliau berkata: harta Persia—asy-Syāfi‘ī ragu dalam hal ini—maka ‘Umar berkata: ‘Sesungguhnya kaum Muslimin sedang mengalami kesulitan. Jika kalian berkenan, tinggalkanlah hak kalian, lalu kami masukkan ke dalam kebutuhan kaum Muslimin hingga datang harta kepada kami, maka akan kami berikan hak kalian.’ Maka al-‘Abbās berkata kepada ‘Alī: ‘Jangan engkau berikan hak kita kepada mereka.’ Aku berkata: ‘Wahai Abū al-Faḍl, bukankah kita adalah orang yang paling berhak untuk memenuhi permintaan Amīr al-Mu’minīn dan mengatasi kebutuhan kaum Muslimin?’ Maka ‘Umar wafat sebelum datang harta itu sehingga kami dapat menunaikan hak tersebut.” Maka, permintaan ‘Umar agar mereka menangguhkan haknya demi kebutuhan kaum Muslimin menunjukkan bahwa mereka tidak berhak atasnya karena kefakiran yang mereka alami bersama fakir miskin kaum Muslimin, melainkan itu adalah hak mereka yang tidak gugur karena tuntutan mereka dan tidak ditunda karena kefakiran mereka, dan mereka berhak menuntut apa yang tertunda dari hak mereka.

وَرَوَى زيد بْنُ هُرْمُزَ أَنَّ نَجْدَةَ الْحَرُورِيَّ حِينَ حَجَّ فِي فِتْنَةِ ابْنِ الزُّبَيْرِ أَرْسَلَ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ يَسْأَلُهُ عَنْ سَهْمِ ذِي الْقُرْبَى، وَيَقُولُ لِمَنْ تَرَاهُ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لِقُرْبَى رَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَسَمَهُ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَدْ كَانَ عُمَرُ عَوَّضَ مِنْ ذَلِكَ عِوَضًا رَأَيْنَاهُ دُونَ حَقِّنَا فَرَدَدْنَاهُ عَلَيْهِ، وَأَبَيْنَا أَنْ نَقْبَلَهُ؛ وَلِأَنَّهُمْ أَحَدُ أَصْنَافِ أَهْلِ الْخُمُسِ؛ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْقُطَ حَقُّهُمْ مِنْهُ كَسَائِرِ الْأَصْنَافِ.

Dan telah meriwayatkan Zaid bin Hurmuz bahwa Najdah al-Ḥarūrī ketika berhaji pada masa fitnah Ibnu az-Zubair, ia mengirim surat kepada Ibnu ‘Abbās menanyakan tentang bagian Dzu al-Qurbā, dan bertanya: “Untuk siapa menurutmu bagian itu?” Ibnu ‘Abbās menjawab: “Untuk kerabat Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ telah membagikannya kepada mereka. Dahulu ‘Umar telah memberikan ganti kepada kami, namun kami memandangnya kurang dari hak kami, maka kami menolaknya dan enggan menerimanya; karena mereka adalah salah satu golongan dari ahl al-khumus, maka wajib hak mereka tidak gugur darinya sebagaimana golongan-golongan lainnya.”

وَلِأَنَّ مَنْ حَرُمَتْ عَلَيْهِ الصَّدَقَاتُ الْمَفْرُوضَاتُ فِي جميع الأحوال ثبت لهم سهم في خمس الخمس كالنبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.

Dan karena siapa saja yang diharamkan atasnya menerima sedekah wajib dalam segala keadaan, maka tetaplah bagi mereka bagian pada seperlima dari seperlima (khumus al-khumus), sebagaimana Nabi ﷺ.

وَلِأَنَّهُمْ عُوِّضُوا عَنِ الصَّدَقَاتِ الْمَفْرُوضَاتِ بِخُمُسِ الْخُمُسِ لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أو ليس في خمس الخمس ما يغنيكم عن أوساخ النَّاسِ، فَلَمَّا كَانَ تَحْرِيمُ الصَّدَقَاتِ عَلَيْهِمْ ثَابِتًا لَا يَزُولُ؛ كَانَ مَا عُوِّضُوهُ مِنْ خُمُسِ الْخُمُسِ ثَابِتًا لَهُمْ لَا يَزُولُ.

Dan karena mereka telah diberikan kompensasi atas sedekah wajib dengan seperlima dari seperlima (khumus al-khumus), berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Bukankah pada seperlima dari seperlima itu terdapat kecukupan bagi kalian dari kotoran manusia?” Maka, ketika pengharaman sedekah atas mereka tetap dan tidak hilang, maka kompensasi yang diberikan kepada mereka dari khumus al-khumus juga tetap dan tidak hilang.

وَتَحْرِيرُهُ أَنَّ ما تميز به ذوو الْقُرْبَى فِي الْأَمْوَالِ اسْتَلْزَمَ ثُبُوتَهُ قِيَاسًا عَلَى تَحْرِيمِ الصَّدَقَاتِ.

Penjelasannya adalah bahwa keistimewaan yang dimiliki oleh Dzu al-Qurbā dalam harta meniscayakan tetapnya hak tersebut dengan qiyās terhadap pengharaman sedekah.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِ أَبِي حَنِيفَةَ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا لَمْ يَكُنْ مَوْرُوثًا كَانَ سَاقِطًا، فَهُوَ أَنَّ الْمِيرَاثَ إِذَا انْتَفَى عَنْهُ رُدَّ إِلَى مَا قَدْ أُقِيمَ مَقَامَهُ مِنْ وُجُوهِ الْمَصَالِحِ لِقَوْمِهِ فِي حَقِّهِ مَقَامَ الْمِيرَاثِ فِي حَقِّ غيره، فوجب أن يكون ذَلِكَ مَصْرِفُ مَالِهِ.

Adapun jawaban atas istidlāl Abū Ḥanīfah bahwa Nabi ﷺ, apa yang tidak diwariskan darinya maka gugur, adalah bahwa jika warisan tidak berlaku atasnya, maka dikembalikan kepada apa yang telah ditetapkan sebagai penggantinya berupa berbagai kemaslahatan bagi kaumnya, yang dalam hal ini menempati posisi warisan bagi selainnya. Maka wajiblah hal itu menjadi tempat penyaluran hartanya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ إِنَّ سُقُوطَ حَقِّهِ مِنَ الصَّفِيِّ بِمَوْتِهِ يُوجِبُ سُقُوطَ حَقِّهِ مِنْ غَيْرِهِ، فَهُوَ أَنَّ الْحَقَّ مِنَ الصَّفِّيِّ غَيْرُ مُقَدَّرٍ فَلَا يَكُونُ ثَابِتًا بَعْدَ مَوْتِهِ، وَإِنَّمَا كَانَ يَأْخُذُ مِنَ الْغَنِيمَةِ مَا شَاءَ بِاخْتِيَارِهِ وَاخْتِيَارِهِ لِلصَّفِيِّ مَعْدُومٌ بَعْدَ مَوْتِهِ فَسَقَطَ بِخِلَافِ غيره.

Adapun jawaban atas ucapannya bahwa gugurnya hak beliau dari aṣ-ṣafī karena wafatnya menyebabkan gugurnya hak beliau dari selainnya, adalah bahwa hak dari aṣ-ṣafī itu tidak ditentukan kadarnya, sehingga tidak tetap setelah wafatnya. Beliau hanya mengambil dari ghanīmah apa yang beliau kehendaki dengan pilihannya, dan pilihan beliau terhadap aṣ-ṣafī tidak ada setelah wafatnya, maka gugurlah, berbeda dengan selainnya.

وأما الجواب عن استتدلال أبي حنيفة فِي سُقُوطِ سَهْمِ ذِي الْقُرْبَى لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ} [الحشر: 7] مِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas istidlāl Abū Ḥanīfah tentang gugurnya bagian Dzu al-Qurbā berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian} [al-Ḥasyr: 7], maka jawabannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ رَاجِعٌ إِلَى جَمِيعِ الْخُمُسِ وَلَيْسَ هُوَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ؛ لِأَنَّ سَهْمَ الْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السبيل يستحق بالفقر.

Pertama: Bahwa hal itu kembali kepada seluruh bagian seperlima (khumus), dan bukanlah ia menjadi milik yang berputar di antara orang-orang kaya saja; karena bagian untuk anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil diberikan karena kefakiran mereka.

والثاني: أنه سَهْمَ ذِي الْقُرْبَى لَيْسَ هُوَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ؛ لِأَنَّهُ يَشْتَرِكُ فِيهِ الْأَغْنِيَاءُ وَالْفُقَرَاءُ وَمَا كَانَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ خَرَجَ عَنْ أَنْ يَكُونَ فِيهِ حَقٌّ لِلْفُقَرَاءِ.

Kedua: Bahwa bagian untuk dzawil qurba (kerabat Nabi) bukanlah menjadi milik yang berputar di antara orang-orang kaya saja; karena di dalamnya terdapat hak bagi orang kaya maupun orang miskin, dan sesuatu yang menjadi milik yang berputar di antara orang-orang kaya berarti tidak ada hak bagi orang miskin di dalamnya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ استدلاله بحديث علي (عليه السلام) أَنَّهُ رَدَّ سَهْمَ ذِي الْقُرْبَى لِغِنَاهُمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ لِخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas dalilnya dengan hadis Ali (alaihis salam) bahwa beliau mengembalikan bagian dzawil qurba karena mereka kaya kepada kaum Muslimin yang membutuhkan dan fakir, maka jawabannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ اخْتَارَ تَرْكَ حَقِّهِ وَمَنْ يَتْرُكُ حَقَّهُ بِاخْتِيَارِهِ لَمْ يَدُلَّ عَلَى سُقُوطِ اسْتِحْقَاقِهِ.

Pertama: Bahwa beliau memilih untuk meninggalkan haknya, dan siapa yang meninggalkan haknya secara sukarela, hal itu tidak menunjukkan gugurnya hak kepemilikannya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَخَّرَهُ لِخَلَّةِ الْمُسْلِمِينَ لِيَأْخُذَ عِوَضَهُ عِنْدَ اسْتِغْنَائِهِمْ فَكَانَ حَقُّهُ ثَابِتًا بَاقِيًا، وَهُوَ أَدَلُّ شَيْءٍ عَلَى ثُبُوتِ اسْتِحْقَاقِهِ.

Kedua: Bahwa beliau menundanya karena kebutuhan kaum Muslimin, agar beliau dapat mengambil gantinya ketika mereka telah berkecukupan, sehingga haknya tetap ada dan tidak hilang, dan ini adalah dalil terkuat atas tetapnya hak kepemilikan tersebut.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى الصَّدَقَاتِ مَعَ جَوَازِ أَنْ يُدْفَعَ مِنَ الصَّدَقَاتِ إِلَى أَغْنِيَاءِ الْعَامِلِينَ وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَالْغَارِمِينَ فَهُوَ أَنَّ الصَّدَقَةَ مُوَاسَاةٌ؛ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ الْفُقَرَاءُ أَحَقَّ بِهَا، وَالْخُمُسُ يُمْلَكُ مِنْ غَنَائِمِ الْمُشْرِكِينَ قَهْرًا لَا بِالْمُوَاسَاةِ؛ فَجَازَ أَنْ يَشْتَرِكَ فِيهِ الْفُقَرَاءُ وَالْأَغْنِيَاءُ كالْغَانِمِينَ.

Adapun jawaban atas qiyās-nya dengan sedekah, padahal boleh memberikan sedekah kepada orang kaya dari kalangan para amil, muallaf, dan gharim, maka sedekah itu adalah bentuk solidaritas sosial; sehingga boleh saja orang fakir lebih berhak menerimanya. Adapun khumus, ia dimiliki dari harta rampasan perang kaum musyrik secara paksa, bukan sebagai bentuk solidaritas; sehingga boleh saja orang fakir dan orang kaya sama-sama mendapatkannya seperti para pejuang yang ikut berperang.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قياسهم على الْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ فَهُوَ أَنَّ مَا أُخِذَ بِاسْمِ الْمَسْكَنَةِ وَالْفَقْرِ جَازَ أَنْ يَكُونَ الْفَقْرُ فِيهِ شَرْطًا، وَمَا أُخِذَ بِاسْمِ الْقَرَابَةِ كَانَتِ الْقَرَابَةُ شَرْطًا فِيهِ إِذَا وُجِدَتْ وَلَمْ يَكُنِ الْفَقْرُ شَرْطًا وَمَا أُخِذَ بِاسْمِ الْقَرَابَةِ كَانَتِ الْقَرَابَةُ كالميراث والله أعلم. (قال الشافعي) : ” فيعطى سَهْمُ ذِي الْقُرْبَى فِي ذِي الْقُرْبَى حَيْثُ كَانُوا وَلَا يُفَضَّلُ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ حَضَرَ الْقِتَالَ أَوْ لَمْ يَحْضُرْ إِلَّا سَهْمَهُ فِي الْغَنِيمَةِ كَسَهْمِ الْعَامَّةِ وَلَا فَقِيرٌ عَلَى غَنِيٍّ وَيُعْطَى الرَّجُلُ سَهْمَيْنِ وَالْمَرْأَةُ سَهْمًا لِأَنَّهُمْ أُعْطُوا باسم القرابة فإن قيل فقد أعطى – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بعضهم مائة وسق وبعضهم أقل قيل لِأَنَّ بَعْضَهُمْ كَانَ ذَا وَلَدٍ فَإِذَا أَعْطَاهُ حَظَّهُ وَحَظَّ غَيْرِهِ فَقَدْ أَعْطَاهُ أَكْثَرَ مِنْ غيره والدلالة على صحة ما حكيت من التسوية أن كل من لقيت من علماء أصحابنا لم يختلفوا في ذلك وإن باسم القرابة أعطوا وإن حديث جبير بن مطعم أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قسم سَهْمَ ذِي الْقُرْبَى بَيْنَ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي المطلب “.

Adapun jawaban atas qiyās mereka dengan anak yatim dan orang miskin adalah bahwa apa yang diambil atas nama kemiskinan dan kefakiran, maka kefakiran menjadi syarat di dalamnya. Sedangkan apa yang diambil atas nama kekerabatan, maka kekerabatan menjadi syarat di dalamnya jika kekerabatan itu ada, dan kefakiran bukanlah syarat. Apa yang diambil atas nama kekerabatan, maka kekerabatan itu seperti warisan. Wallāhu a‘lam. (Imam Syafi‘i berkata): “Maka diberikan bagian dzawil qurba kepada dzawil qurba di mana pun mereka berada, dan tidak diutamakan satu orang atas yang lain, baik ia hadir dalam peperangan atau tidak, kecuali bagian dalam ghanīmah seperti bagian orang umum, dan tidak diutamakan orang fakir atas orang kaya. Laki-laki mendapat dua bagian dan perempuan satu bagian, karena mereka diberi atas nama kekerabatan. Jika dikatakan: Bukankah Nabi ﷺ pernah memberi sebagian mereka seratus wasaq dan sebagian yang lain kurang dari itu? Maka dijawab: Karena sebagian mereka memiliki anak, sehingga jika diberi jatah untuk dirinya dan anaknya, maka ia mendapat lebih banyak dari yang lain. Dalil atas kebenaran apa yang aku sebutkan tentang persamaan ini adalah bahwa setiap ulama dari kalangan sahabat kami yang aku temui tidak berbeda pendapat dalam hal ini, dan bahwa mereka diberi atas nama kekerabatan. Dan hadis Jubair bin Muth‘im bahwa Rasulullah ﷺ membagikan bagian dzawil qurba di antara Bani Hasyim dan Bani Muththalib.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي أَنَّ سَهْمَ ذِي الْقُرْبَى ثَابِتٌ وَثُبُوتُهُ يَقْتَضِي إِبَانَةَ أَحْكَامِهِمْ فِيهِ وَذَلِكَ يَشْتَمِلُ عَلَى خَمْسَةِ فُصُولٍ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, dan telah dijelaskan sebelumnya bahwa bagian dzawil qurba itu tetap ada, dan keberadaannya menuntut penjelasan hukum-hukum mereka di dalamnya, dan hal itu mencakup lima bab:

فَالْفَصْلُ الْأَوَّلُ: فِي ذِي الْقُرْبَى مَنْ هُمْ؟ وَهُمْ بَنُو هَاشِمٍ، وَبَنُو الْمُطَّلِبِ دُونَ بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ وَبَنِي نَوْفَلٍ، وَجَمِيعُهُمْ بَنُو عَبْدِ مَنَافٍ، وَكَانَ لِعَبْدِ مَنَافٍ مَعَ هَؤُلَاءِ الْأَرْبَعَةِ خَامِسٌ اسْمُهُ عَمْرٌو وَلَيْسَ لَهُ عَقِبٌ فَأَمَّا هَاشِمٌ فَهُوَ جَدُّ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأَنَّهُ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ بْنِ هَاشِمِ بْنِ عَبْدِ مَنَافٍ؛ فَهَاشِمٌ فِي عَمُودِ الشَّرَفِ الَّذِي تَعَدَّى شَرَفُهُ بِرَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِلَى أُخْوَتِهِ، وَالْمُطَّلِبُ أَخُوهُ وَالشَّافِعِيُّ مِنْ وَلَدِهُ ثُمَّ عَبْدُ شَمْسٍ أَخُوهُمَا وَعُثْمَانُ مِنْ وَلَدِهِ ثُمَّ نَوْفَلٌ أَخُوهُمْ وَجُبَيْرُ بْنُ مُطْعِمٍ مِنْ ولده؛ فاختص بسهم ذي القربة بَنُو هَاشِمٍ وَبَنُو الْمُطَّلِبِ دُونَ بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ وَنَوْفَلٍ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ شَيْءٌ وَاحِدٌ لَمْ يَفْتَرِقُوا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَلَا إِسْلَامٍ ” يَعْنِي أَنَّهُمْ كَانُوا مُتَنَاصِرِينَ بِحِلْفٍ عَقَدُوهُ بَيْنَهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، وَيَتَمَيَّزُ بِهِ عَنْ بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ وَنَوْفَلٍ؛ وَلِهَذَا الْحَلِفِ دَخَلَ بَنُو الْمُطَّلِبِ مَعَ بَنِي هَاشِمٍ الشِّعْبَ بِمَكَّةَ حِينَ دَخَلَهُ رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.

Maka bab pertama: tentang siapa yang dimaksud dengan dzawil qurba (kerabat dekat)? Mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Muthalib, tidak termasuk Bani Abdu Syams dan Bani Naufal, padahal semuanya adalah keturunan Abdu Manaf. Abdu Manaf memiliki seorang kelima selain keempat ini yang bernama Amr, namun ia tidak memiliki keturunan. Adapun Hasyim, ia adalah kakek Rasulullah ﷺ, karena beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf. Maka Hasyim berada pada garis kemuliaan yang kemuliaannya meluas melalui Rasulullah ﷺ kepada saudara-saudaranya. Muthalib adalah saudaranya, dan Imam Syafi‘i berasal dari keturunannya. Kemudian Abdu Syams adalah saudara mereka berdua, dan Utsman berasal dari keturunannya. Lalu Naufal adalah saudara mereka, dan Jubair bin Muth‘im berasal dari keturunannya. Maka yang berhak atas bagian dzawil qurba hanyalah Bani Hasyim dan Bani Muthalib, tidak termasuk Bani Abdu Syams dan Naufal, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ: “Sesungguhnya Bani Hasyim dan Bani Muthalib adalah satu golongan, mereka tidak berpisah di masa jahiliah maupun Islam.” Maksudnya, mereka saling menolong dengan perjanjian yang mereka buat di antara mereka pada masa jahiliah, dan dengan itu mereka berbeda dari Bani Abdu Syams dan Naufal. Karena perjanjian inilah, Bani Muthalib masuk bersama Bani Hasyim ke Syi‘b (lembah) di Makkah ketika Rasulullah ﷺ masuk ke dalamnya.

وَرَوَى الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ جبير بن مطعم أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يَقْسِمْ لِبَنِي عَبْدِ شَمْسٍ وَلَا لِبَنِي نَوْفَلٍ مِنَ الْخُمُسِ شَيْئًا كَمَا قَسَمَ لِبَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ.

Az-Zuhri meriwayatkan dari Sa‘id bin Al-Musayyab dari Jubair bin Muth‘im bahwa Nabi ﷺ tidak membagikan bagian dari khumus kepada Bani Abdu Syams dan tidak pula kepada Bani Naufal, sebagaimana beliau membagikan kepada Bani Hasyim dan Bani Muthalib.

فَصْلٌ:

Bab:

وَالْفَصْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا فَرْقَ فِي ذِي الْقُرْبَى بَيْنَ صَغِيرِهِمْ وَكَبِيرِهِمْ وَبَيْنَ غَنِيِّهِمْ وَفَقِيرِهِمْ وَقَالَ أبو حنيفة: لَا حَقَّ لِغَنِيِّهِمْ فِيهِ وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Bab kedua: Bahwa tidak ada perbedaan dalam dzawil qurba antara yang muda dan yang tua, antara yang kaya dan yang miskin. Abu Hanifah berkata: “Tidak ada hak bagi yang kaya di antara mereka,” dan ini adalah kesalahan dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَعْطَى مِنْهُ الْعَبَّاسَ وَكَانَ لِيَسَارِهِ يَعُولُ عَامَّةَ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ.

Pertama: Bahwa Rasulullah ﷺ memberikan bagian tersebut kepada Al-Abbas, padahal ia adalah seorang yang kaya dan menanggung sebagian besar kebutuhan Bani Abdul Muthalib.

وَالثَّانِي: أَنَّ مَا اسْتُحِقَّ بِالْقَرَابَةِ اسْتَوَى فِيهِ الْغَنِيُّ وَالْفَقِيرُ كَالْمِيرَاثِ، ثُمَّ لَا فَرْقَ بَيْنَ مَنْ حَضَرَ الْقِتَالَ وَمَنْ لَمْ يَحْضُرْهُ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ مَنْ شَاقَقَ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَوْ لَمْ يُشَاقِقْهُ فِي أَنَّهُمْ سَوَاءٌ بَعْدَ الْإِسْلَامِ فِي سَهْمِهِمْ إِلَّا أَنَّ مَنْ حَضَرَ الْقِتَالَ أَخَذَ سَهْمَهُ مِنَ الْغَنِيمَةِ خَارِجًا عَنْ حَقِّهِ فِي الْخُمُسِ.

Kedua: Bahwa apa yang diperoleh karena hubungan kekerabatan, maka yang kaya dan yang miskin sama di dalamnya, seperti halnya warisan. Kemudian, tidak ada perbedaan antara yang hadir dalam peperangan dan yang tidak hadir, dan tidak ada perbedaan antara yang pernah menentang Rasulullah ﷺ atau tidak menentangnya; semuanya sama setelah masuk Islam dalam hak mereka atas bagian tersebut, kecuali bahwa yang hadir dalam peperangan mengambil bagiannya dari ghanimah di luar haknya pada khumus.

فَصْلٌ:

Bab:

وَالْفَصْلُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ يَشْتَرِكُ فِيهِ الذُّكُورُ وَالْإِنَاثُ لِأَنَّ الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ أَخَذَ مِنَ الْخُمُسِ سَهْمَ أُمِّهِ صَفِيَّةَ بِنْتِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ. وَلِأَنَّ مَا اسْتُحِقَّ بِالْقَرَابَةِ اشْتَرَكَ فِيهِ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ كَالْمِيرَاثِ وَخَالَفَ الْعَقْلَ الَّذِي يَخْتَصُّ الرِّجَالُ بِتَحَمُّلِهِ دُونَ النِّسَاءِ، لِأَنَّ الْعَاقِلَةَ مَنْ ذَبَّ عَنِ الْقَاتِلِ مُنِعَ مِنْهُ بِالسَّيْفِ، وَهَذَا يَخْتَصُّ بِالرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ، وَسَهْمُ ذِي الْقُرْبَى لِأَجْلِ النَّسَبِ الَّذِي يَشْتَرِكُ فِيهِ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ، فَإِذَا ثَبَتَ اشْتِرَاكُ الذُّكُورِ وَالْإِنَاثِ فِيهِ فُضِّلَ الذُّكُورُ عَلَى الْإِنَاثِ وَكَانَ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ سَهْمَانِ وَلِلْأُنْثَى سَهْمٌ كَالْمِيرَاثِ.

Bab ketiga: Bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama berhak atas bagian ini, karena Az-Zubair bin Al-Awwam mengambil bagian ibunya, Shafiyyah binti Abdul Muthalib, dari khumus—semoga Allah meridhai mereka. Dan karena apa yang diperoleh karena hubungan kekerabatan, laki-laki dan perempuan sama-sama berhak atasnya seperti halnya warisan. Berbeda dengan ‘aqilah, yang khusus bagi laki-laki untuk menanggungnya, bukan perempuan, karena ‘aqilah adalah orang yang membela pelaku pembunuhan dan dicegah darinya dengan pedang, dan ini khusus bagi laki-laki, bukan perempuan. Adapun bagian dzawil qurba diberikan karena nasab yang di dalamnya laki-laki dan perempuan sama-sama berhak. Jika telah tetap bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama berhak, maka laki-laki diutamakan atas perempuan, yaitu bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, sebagaimana dalam warisan: laki-laki mendapat dua bagian, perempuan satu bagian.

وَقَالَ الْمُزَنِيُّ وَأَبُو ثَوْرٍ: يُسَوَّى بَيْنَ الذُّكُورِ وَالْإِنَاثِ كَالْوَصَايَا لِلْقَرَابَةِ يُسَوَّى فِيهَا بَيْنَ الذُّكُورِ وَالْإِنَاثِ وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ اعْتِبَارَ سَهْمِهِمْ بِالْمِيرَاثِ أَوْلَى مِنِ اعْتِبَارِهِ بِالْوَصَايَا من وجهين:

Al-Muzani dan Abu Tsaur berkata: “Laki-laki dan perempuan disamakan, seperti wasiat untuk kerabat di mana laki-laki dan perempuan disamakan di dalamnya.” Ini adalah kesalahan, karena memperhatikan bagian mereka berdasarkan warisan lebih utama daripada memperhatikannya berdasarkan wasiat, dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمِيرَاثَ وَسَهْمَ ذِي الْقُرْبَى عَطِيَّتَانِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى، وَالْوَصَايَا عَطِيَّةٌ مِنْ آدَمِيٍّ تَقِفُ عَلَى خِيَارِهِ.

Salah satunya: bahwa warisan dan bagian untuk dzawil qurba adalah dua pemberian dari Allah Ta‘ala, sedangkan wasiat adalah pemberian dari manusia yang bergantung pada pilihannya.

وَالثَّانِي: أَنَّ فِي ذِي الْقُرْبَى نُصْرَةً هِيَ بِالذُّكُورِ أَخَصُّ فَجَازَ أَنْ يَكُونُوا بِهَا أَفْضَلَ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي الْوَصَايَا ثم لاحظ لأولاد الإناث فيه إذا لم يكن أبائهم مِنْ ذَوِي الْقُرْبَى، لِأَنَّهُمْ يَرْجِعُونَ فِي النَّسَبِ إِلَى الْآبَاءِ الَّذِينَ لَيْسُوا مِنْ ذَوِي الْقُرْبَى.

Dan yang kedua: bahwa pada dzawil qurba terdapat unsur pertolongan yang lebih khusus pada laki-laki, sehingga boleh jadi mereka menjadi lebih utama karenanya. Hal ini tidak berlaku dalam wasiat, kemudian perhatikan bahwa anak-anak perempuan mendapat bagian di dalamnya jika ayah mereka bukan dari dzawil qurba, karena mereka kembali dalam nasab kepada ayah-ayah yang bukan dari dzawil qurba.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْفَصْلُ الرَّابِعُ: أَنْ يُسَوَّى بَيْنَ جَمِيعِ الذُّكُورِ وَيُسَوَّى بَيْنَ جَمِيعِ الْإِنَاثِ وَيُفَضَّلَ الذُّكُورُ عَلَى الْإِنَاثِ، وَيُسَوَّى بَيْنَ الْقَرِيبِ وَالْبَعِيدِ وَبَيْنَ الْمُطِيعِ وَالْعَاصِي وَبَيْنَ الْعَدْلِ وَالْبَاغِي كَمَا يُسَوَّى بَيْنَهُمْ فِي الْمِيرَاثِ.

Dan fasal keempat: hendaknya disamakan antara seluruh laki-laki dan disamakan antara seluruh perempuan, dan laki-laki diutamakan atas perempuan, serta disamakan antara kerabat dekat dan jauh, antara yang taat dan yang durhaka, antara yang adil dan yang zalim, sebagaimana mereka disamakan dalam warisan.

فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ أَعْطَى النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعْضَهُمْ مِائَةَ وَسْقٍ، وَبَعْضَهُمْ أَقَلَّ.

Jika dikatakan: Nabi ﷺ telah memberikan kepada sebagian mereka seratus wasq, dan kepada sebagian yang lain kurang dari itu.

قَالَ الشَّافِعِيُّ: لِأَنَّ بَعْضَهُمْ كَانَ ذَا وَلَدٍ فَإِذَا أَعْطَاهُ حَظَّهُ وَحَظَّ غَيْرِهِ فَقَدْ أَعْطَاهُ أَكْثَرَ مِنْ غَيْرِهِ.

Imam Syafi‘i berkata: Karena sebagian dari mereka memiliki anak, maka jika beliau memberinya bagian untuk dirinya dan bagian untuk anaknya, berarti beliau telah memberinya lebih banyak dari yang lain.

فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا قُسِّمَ سَهْمُهُمْ عَلَى اجْتِهَادِ الْإِمَامِ وَرَأْيِهِ فِي التَّسْوِيَةِ وَالتَّفْضِيلِ كَمَا يُقَسَّمُ سَهْمُ الْفُقَرَاءِ فِي الزَّكَاةِ عَلَى اجْتِهَادِهِ؟ قِيلَ: لِأَنَّ الْفُقَرَاءَ يَأْخُذُونَ سَهْمَهُمْ بِالْحَاجَةِ الَّتِي قَدْ تَخْتَلِفُ فِيهِمْ فَجَازَ أَنْ يُفَضِّلَ بَيْنَهُمْ لِأَجْلِهَا وَسَهْمُ ذِي الْقُرْبَى لِلْقَرَابَةِ الَّتِي قَدْ صَارُوا فِيهَا سَوَاءً فَوَجَبَتِ التَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمْ لِأَجْلِهَا.

Jika dikatakan: Mengapa bagian mereka tidak dibagikan berdasarkan ijtihad dan pendapat imam dalam hal penyamaan dan pengutamaan, sebagaimana bagian fakir miskin dalam zakat dibagikan berdasarkan ijtihadnya? Maka dijawab: Karena fakir miskin menerima bagian mereka berdasarkan kebutuhan yang bisa berbeda-beda di antara mereka, sehingga boleh diutamakan sebagian atas yang lain karena hal itu. Sedangkan bagian dzawil qurba diberikan karena kekerabatan yang mereka semua sama di dalamnya, maka wajib disamakan di antara mereka karena hal itu.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْفَصْلُ الْخَامِسُ: أَنَّ سَهْمَ ذِي الْقُرْبَى مِنْ غَنَائِمِ جَمِيعِ الثُّغُورِ مَقْسُومٌ بَيْنَ جَمِيعِ ذوي القربى في جميع الأقليم.

Dan fasal kelima: bahwa bagian dzawil qurba dari ghanimah seluruh perbatasan dibagikan kepada seluruh dzawil qurba di seluruh wilayah.

وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ: يُقَسِّمُ سِهَامَهُمْ مِنْ غَيْرِ كُلِّ ثَغْرٍ فِي إِقْلِيمِ ذَلِكَ الثَّغْرِ الَّذِينَ هُمْ بِالْجِهَادِ فِيهِ أَخَصُّ، وَلَا يَنْتَقِلُ سَهْمُهُمْ مِنْ غَنَائِمِ ثَغْرِ الْمَشْرِقِ إِلَى مَنْ كَانَ مِنْهُمْ فِي بِلَادِ الْمَغْرِبِ، لِمَا فِيهِ مِنَ الْمَشَقَّةِ لِيُحَالَ كُلُّ فَرِيقٍ مِنْهُمْ عَلَى غَنَائِمِ الثَّغْرِ الَّذِي فِي إِقْلِيمِهِمْ فَيَكُونُ أَسْهَلَ كما يحال ثغر كل بلد على ذكواته وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Abu Ishaq al-Marwazi berkata: Bagian mereka dibagikan dari setiap perbatasan hanya kepada mereka yang berada di wilayah perbatasan tersebut, yang lebih khusus berjihad di sana, dan bagian mereka dari ghanimah perbatasan timur tidak dipindahkan kepada mereka yang berada di negeri barat, karena hal itu mengandung kesulitan. Maka setiap kelompok dari mereka dikaitkan dengan ghanimah perbatasan di wilayah mereka, sehingga menjadi lebih mudah, sebagaimana setiap perbatasan negeri dikaitkan dengan zakatnya. Pendapat ini batil dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُفْضِي إِلَى إِعْطَاءِ بَعْضِهِمْ دُونَ بَعْضٍ، وَكِلَا الْأَمْرَيْنِ خَطَأٌ يُخَالِفُ نَصَّ الْآيَةِ وَخَالَفَ سَهْمَ الْفُقَرَاءِ فِي الزَّكَاةِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Salah satunya: hal itu menyebabkan pemberian kepada sebagian mereka tanpa sebagian yang lain, dan kedua hal ini adalah kesalahan yang bertentangan dengan nash ayat dan berbeda dengan bagian fakir miskin dalam zakat dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا جَازَ إِعْطَاءُ بَعْضِ فُقَرَاءِ الْبَلَدِ دُونَ جَمِيعِهِمْ لَمْ يَجُزْ ذَلِكَ فِي ذَوِي الْقُرْبَى، جَازَ أَنْ يَخْتَصَّ بِهَا فُقَرَاءُ ذَلِكَ الْبَلَدِ بِخِلَافِ ذَوِي الْقُرْبَى.

Salah satunya: ketika boleh memberikan kepada sebagian fakir miskin di suatu negeri tanpa seluruhnya, maka hal itu tidak boleh pada dzawil qurba; boleh jadi bagian itu khusus untuk fakir miskin di negeri tersebut, berbeda dengan dzawil qurba.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا نُقِلَ سَهْمُ ذِي الْقُرْبَى وَغَنِيمَةُ الثَّغْرِ إِلَى بِلَادِ ذَلِكَ الْإِقْلِيمِ بِخِلَافِ الزَّكَاةِ وَجَبَ نَقْلُهُ إِلَى جَمِيعِ الْأَقَالِيمِ بِخِلَافِ الزَّكَاةِ.

Dan yang kedua: ketika bagian dzawil qurba dan ghanimah perbatasan dipindahkan ke negeri-negeri di wilayah tersebut, berbeda dengan zakat, maka wajib dipindahkan ke seluruh wilayah, berbeda dengan zakat.

وَالْمَعْنَى الَّذِي لِأَجْلِهِ وَقَعَ الْفَرْقُ بَيْنَ الزَّكَاةِ وَالْغَنِيمَةِ مِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ هُوَ أَنَّ فِي كُلِّ الْبِلَادِ زَكَوَاتٍ وَفُقَرَاءَ، فَجَازَ أَنْ يُحَالَ فُقَرَاءُ كُلِّ بَلَدٍ عَلَى زَكَوَاتِهِ وَلَيْسَ لِكُلِّ بَلَدٍ غَنِيمَةٌ وَلَا فِي كُلِّ بَلَدٍ ذَوِي الْقُرْبَى؛ فَلِذَلِكَ اشْتَرَكَ جَمِيعُ ذَوِي الْقُرْبَى فِي جَمِيعِ الْغَنَائِمِ حَتَّى لَا يُخْتَصَّ بِهَا بَعْضُهُمْ دُونَ بَعْضٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Makna yang menjadi sebab perbedaan antara zakat dan ghanimah dari dua sisi ini adalah bahwa di setiap negeri terdapat zakat dan fakir miskin, sehingga boleh fakir miskin setiap negeri dikaitkan dengan zakatnya. Namun tidak setiap negeri memiliki ghanimah dan tidak di setiap negeri terdapat dzawil qurba; oleh karena itu seluruh dzawil qurba berhak atas seluruh ghanimah, agar tidak ada sebagian mereka yang diistimewakan atas yang lain. Dan Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَيُفَرَّقُ ثَلَاثَةُ أَخْمَاسِ الْخُمُسِ عَلَى مَنْ سَمَّى اللَّهَ تَعَالَى عَلَى الْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ يُحْصَوْنَ ثُمَّ يُوَزَّعُ بَيْنَهُمْ لِكُلِّ صِنْفٍ مِنْهُمْ سهمه لا يعطى أحد مِنْهُمْ سَهْمُ صَاحِبِهِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Tiga per lima dari seperlima dibagikan kepada mereka yang telah Allah Ta‘ala sebutkan, yaitu kepada anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil di negeri-negeri Islam; mereka didata, lalu dibagikan di antara mereka, setiap golongan mendapat bagiannya, tidak boleh seorang pun dari mereka menerima bagian golongan lain.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ وَإِذْ قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي سَهْمِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَسَهْمِ ذِي الْقُرْبَى مِنَ الْخُمُسِ؛ انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى بَاقِي السِّهَامِ وَهِيَ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ لِثَلَاثَةِ أَصْنَافٍ: سَهْمٌ لِلْيَتَامَى، وَسَهْمٌ لِلْمَسَاكِينِ، وَسَهْمٌ لِبَنِي السبيل على ما تضمنه الآية من قَوْله تَعَالَى: {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ} [الأنفال: 41] .

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang telah disebutkan, dan setelah pembahasan mengenai bagian Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan bagian dzawil qurba dari seperlima (harta rampasan perang), maka pembahasan berpindah kepada sisa bagian yang ada, yaitu tiga bagian untuk tiga golongan: satu bagian untuk anak yatim, satu bagian untuk orang miskin, dan satu bagian untuk ibnu sabil, sebagaimana yang terkandung dalam ayat firman Allah Ta‘ala: {Dan ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, dzawil qurba, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil} (QS. Al-Anfal: 41).

فَأَمَّا الْيَتَامَى فَهُمُ الَّذِينَ مَاتَ آبَاؤُهُمْ وَإِنْ بَقِيَتْ أمهاتهم فيكون اليتيم بِمَوْتِ الْآبَاءِ دُونَ الْأُمَّهَاتِ لِاخْتِصَاصِ الْآبَاءِ بِالنَّسَبِ فَاخْتُصُّوا بِالْيُتْمِ، وَسُمُّوا بِذَلِكَ لُغَةً لِتَفَرُّدِهِمْ بِمَوْتِ الْآبَاءِ دُونَ الْأُمَّهَاتِ كَمَا يُقَالُ دُرَّةٌ يَتِيمَةٌ لِتَفَرُّدِهَا عَنْ أَنْ يَكُونَ لَهَا نَظِيرٌ ثُمَّ يُعْتَبَرُ فِيهِمْ مَعَ فَقْدِ الْآبَاءِ شَرْطَانِ آخَرَانِ: هُمَا الصِّغَرُ وَالْإِسْلَامُ، فَأَمَّا الْإِسْلَامُ فَيُعْتَبَرُ فِيهِمْ شَرْعًا لَا لُغَةً؛ لِأَنَّ الْيَتِيمَ يَعُمُّ مُسْلِمَهُمْ وَمُشْرِكَهُمْ، إِنَّمَا خَصَّ الشَّرْعُ بِهَذَا السَّهْمِ مَنْ كَانَ مِنْهُمْ مُسْلِمًا لِأَمْرَيْنِ:

Adapun anak yatim adalah mereka yang ayahnya telah meninggal dunia, meskipun ibu mereka masih hidup. Maka status yatim itu karena wafatnya ayah, bukan ibu, karena ayah memiliki kekhususan dalam nasab, sehingga mereka dikhususkan dengan status yatim. Mereka dinamakan demikian secara bahasa karena mereka kehilangan ayah, bukan ibu, sebagaimana dikatakan “mutiara yatimah” untuk sesuatu yang tidak memiliki tandingan. Kemudian, pada anak yatim ini dipertimbangkan dua syarat lain selain kehilangan ayah, yaitu: masih kecil dan beragama Islam. Adapun syarat Islam dipertimbangkan secara syar‘i, bukan secara bahasa, karena istilah yatim secara bahasa mencakup baik yang Muslim maupun musyrik. Namun, syariat mengkhususkan bagian ini hanya untuk anak yatim yang Muslim karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَالٌ لِلَّهِ تَعَالَى فَاخْتَصَّ بِهِ أَهْلَ طَاعَتِهِ.

Pertama: Karena harta tersebut adalah milik Allah Ta‘ala, maka dikhususkan bagi orang-orang yang taat kepada-Nya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَالٌ قَدْ مُلِكَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَكَانَ لِغَيْرِهِمْ لَا لَهُمْ، وَأَمَّا الصِّغَرُ فَكَانَ فِيهِمْ معتبرا لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: لا يتيم بَعْدَ الْحُلُمِ، لَكِنِ اخْتُلِفَ فِي هَذَا الشَّرْطِ هَلْ ثَبَتَ اعْتِبَارُهُ شَرْعًا أَمْ لُغَةً، فَقَالَ بعضهم: يثبت اعتباره شرعا للخير وإلا فهو اللغة يَنْطَلِقُ عَلَى الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ، وَقَالَ آخَرُونَ بَلْ يَثْبُتُ اعْتِبَارُهُ لُغَةً وَشَرْعًا لِأَنَّ اسْمَ الْيَتِيمِ فِي اللُّغَةِ مَوْضُوعٌ لِمَنْ كَانَ مُتَضَعِّفًا مَحْرُومًا، وَهَذَا بِالصِّغَارِ أَخَصُّ مِنْهُ بِالْكِبَارِ فَإِذَا ثَبَتَ اعْتِبَارُ هَذِهِ الشُّرُوطِ الثَّلَاثَةِ فِي الْيَتَامَى فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي اعْتِبَارِ شَرْطٍ رَابِعٍ فِيهِمْ وَهُوَ الْفَقْرُ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kedua: Karena harta tersebut diperoleh dari kaum musyrik, maka diberikan kepada selain mereka, bukan kepada mereka. Adapun syarat masih kecil, maka dipertimbangkan pada mereka berdasarkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Tidak ada lagi status yatim setelah baligh.” Namun, terjadi perbedaan pendapat mengenai syarat ini, apakah dipertimbangkan secara syar‘i atau secara bahasa. Sebagian ulama berpendapat bahwa syarat ini dipertimbangkan secara syar‘i demi kebaikan, jika tidak maka secara bahasa istilah yatim berlaku untuk yang kecil maupun yang besar. Pendapat lain mengatakan bahwa syarat ini dipertimbangkan baik secara bahasa maupun syar‘i, karena istilah yatim dalam bahasa digunakan untuk yang lemah dan kehilangan, dan ini lebih khusus pada anak kecil daripada orang dewasa. Jika telah tetap pertimbangan tiga syarat ini pada anak yatim, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai pertimbangan syarat keempat, yaitu kefakiran, dengan dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْفَقْرَ شَرْطٌ رَابِعٌ يُعْتَبَرُ فِي اسْتِحْقَاقِهِمْ لِهَذَا السَّهْمِ مِنَ الْخُمُسِ، لِأَنَّهُ مَصْرُوفٌ فِي ذَوِي الْحَاجَاتِ، فَخَرَجَ مِنْهُمُ الِاعْتِبَارُ وَلِأَنَّهُ إِرْفَاقٌ لِمَنْ تُوَجَّهُ إِلَيْهِ الْمَعُونَةُ وَالرَّحْمَةُ وَهُمُ الْفُقَرَاءُ دُونَ الْأَغْنِيَاءِ.

Pertama, yaitu mazhab Syafi‘i, bahwa kefakiran adalah syarat keempat yang dipertimbangkan dalam kelayakan mereka menerima bagian ini dari seperlima, karena bagian ini diperuntukkan bagi orang-orang yang membutuhkan, sehingga yang tidak membutuhkan tidak termasuk. Juga karena bagian ini merupakan bentuk keringanan bagi mereka yang membutuhkan bantuan dan kasih sayang, yaitu para fakir, bukan orang kaya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يُعْتَبَرُ فِيهِمُ الْفَقْرُ وَأَنَّهُ مُسْتَحَقٌّ لِغَنِيِّهِمْ وَفَقِيرِهِمْ لِذَوِي الْقُرْبَى اعْتِبَارًا بِمُطْلَقِ الِاسْمِ؛ لِأَنَّهُمْ لَوِ اعْتُبِرَ فِيهِمُ الْفَقْرُ لَدَخَلُوا فِي جُمْلَةِ الْمَسَاكِينِ، وَلَمَّا كَانَ تَخْصِيصُهُمْ بِالذِّكْرِ فَائِدَةً: فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ أَنَّ الْفَقْرَ فِيهِمْ مُعْتَبَرٌ يَتَعَلَّقُ عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ أَحْكَامٍ:

Pendapat kedua: Bahwa kefakiran tidak dipertimbangkan pada mereka, sehingga bagian ini berhak diterima baik oleh anak yatim yang kaya maupun yang miskin, sebagaimana dzawil qurba, berdasarkan keumuman istilah. Karena jika kefakiran dipertimbangkan pada mereka, maka mereka akan termasuk dalam kelompok orang miskin, sehingga penyebutan mereka secara khusus menjadi tidak ada faedahnya. Maka, menurut pendapat pertama, kefakiran pada mereka dipertimbangkan dan berkaitan dengan tiga hukum:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ لَا فَرْقَ فِيهِمْ بَيْنَ مَنْ مَاتَ أَبُوهُ أَوْ قُتِلَ لِاشْتِرَاكِهِمْ فِي الْحَاجَةِ الْمُعْتَبَرَةِ فِيهِمْ.

Pertama: Tidak ada perbedaan di antara mereka, baik yang ayahnya wafat maupun yang terbunuh, karena mereka sama-sama memiliki kebutuhan yang dipertimbangkan pada mereka.

وَالْحُكْمُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجُوزُ الِاقْتِصَارُ عَلَى بَعْضِ الْيَتَامَى دُونَ جَمِيعِهِمْ كَالْفُقَرَاءِ.

Hukum kedua: Boleh memberikan bagian hanya kepada sebagian anak yatim tanpa harus kepada semuanya, sebagaimana pada para fakir.

وَالْحُكْمُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَجْتَهِدَ الْإِمَامُ بِرَأْيِهِ فِي التَّسْوِيَةِ بَيْنَهُمْ وَالتَّفْضِيلِ كَالْفُقَرَاءِ. وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي: أَنَّ الْفَقْرَ فِيهِمْ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ يَتَعَلَّقُ عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ أَحْكَامٍ تُخَالِفُ تِلْكَ:

Hukum ketiga: Imam boleh berijtihad dengan pendapatnya dalam menyamakan atau mengutamakan sebagian mereka atas yang lain, sebagaimana pada para fakir. Adapun menurut pendapat kedua, bahwa kefakiran tidak dipertimbangkan pada mereka, maka ada tiga hukum yang berbeda dari sebelumnya:

فَالْحُكْمُ الْأَوَّلُ: أَنَّهُ يُخْتَصُّ بِذَلِكَ مَنْ قُتِلَ أَبُوهُ فِي الْجِهَادِ دُونَ غَيْرِهِ رِعَايَةً لِنُصْرَةِ الْآبَاءِ فِي الْأَبْنَاءِ كَذَوِي الْقُرْبَى.

Hukum pertama: Bagian ini dikhususkan bagi anak yatim yang ayahnya terbunuh dalam jihad, bukan yang lainnya, sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan ayah mereka melalui anak-anaknya, sebagaimana pada dzawil qurba.

وَالْحُكْمُ الثَّانِي: أَنْ يُفَرَّقَ فِي جَمِيعِهِمْ وَلَا يُخَصُّ بِهِ بَعْضُهُمْ فَعَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ يُفَرَّقُ فِي أَيْتَامِ جَمِيعِ الْأَقَالِيمِ، وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ يُفَرَّقُ فِي إِقْلِيمِ ذَلِكَ الثَّغْرِ دُونَ غَيْرِهِ مِنَ الْأَقَالِيمِ.

Hukum yang kedua: Hendaknya pembagian dilakukan kepada seluruh mereka dan tidak dikhususkan kepada sebagian saja. Menurut pendapat asy-Syafi‘i, pembagian dilakukan kepada anak yatim di seluruh wilayah, sedangkan menurut pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, pembagian dilakukan kepada anak yatim di wilayah perbatasan tersebut saja, tidak kepada wilayah lainnya.

وَالْحُكْمُ الثَّالِثُ: أنه يسوي بينهم من غير تفضيل كذي الْقُرْبَى وَأَنْ يُسَوَّى بَيْنَ الذُّكُورِ وَالْإِنَاثِ بِخِلَافِ ذَوِي الْقُرْبَى؛ لِأَنَّ سَهْمَ ذَوِي الْقُرْبَى كَالْمِيرَاثِ؛ ففضل فيه الذكر على الأنثى وسهم اليتامى عطية كالوقف والوصية يسوي فِيهِ بَيْنَ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى.

Hukum yang ketiga: Hendaknya disamakan di antara mereka tanpa ada keutamaan, seperti halnya dzawil qurba, dan hendaknya disamakan antara laki-laki dan perempuan, berbeda dengan dzawil qurba; karena bagian dzawil qurba seperti warisan, sehingga laki-laki diutamakan atas perempuan. Adapun bagian anak yatim adalah pemberian seperti wakaf dan wasiat, sehingga disamakan antara laki-laki dan perempuan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْمَسَاكِينُ وَالْفُقَرَاءُ يَدْخُلُونَ فِي جُمْلَتِهِمْ إِذَا أُطْلِقُوا وَكَذَلِكَ إِذَا أُطْلِقَ الْفُقَرَاءُ وَالْمَسَاكِينُ يَدْخُلُونَ فِي جُمْلَتِهِمْ وَيُمَيَّزُ بَيْنَ الْفَرِيقَيْنِ إِذَا جُمِعُوا، وَالْفَقِيرُ هُوَ الَّذِي لَا شَيْءَ لَهُ، وَالْمِسْكِينُ هُوَ الَّذِي لَهُ مَا يَكْفِيهِ فَصَارَ الْفَقِيرُ أَسْوَأَ حَالًا مِنَ الْمِسْكِينِ وَاسْتَدَلَّ عَلَيْهِ فِي قِسْمِ الصَّدَقَاتِ، وَإِذَا دَخَلَ الْفُقَرَاءُ مَعَ الْمَسَاكِينِ فِي سَهْمِهِمْ مِنَ الْخُمُسِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مُسْتَحِقِّيهِ مِنْهُمْ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun orang-orang miskin dan fakir, mereka termasuk di dalam kelompok tersebut jika disebutkan secara umum, demikian pula jika disebutkan fakir saja maka orang miskin termasuk di dalamnya. Namun, dibedakan antara kedua kelompok jika disebutkan bersama-sama. Fakir adalah orang yang tidak memiliki apa-apa, sedangkan miskin adalah orang yang memiliki sesuatu yang cukup baginya. Maka, fakir keadaannya lebih buruk daripada miskin, dan hal ini dijadikan dasar dalam pembagian sedekah. Jika fakir dan miskin masuk bersama dalam bagian mereka dari khumus, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai siapa yang berhak dari mereka atas dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَسْتَوِي فِيهِ جَمِيعُ الْمَسَاكِينِ مِنَ النَّاسِ كُلِّهِمْ لِدُخُولِ الْمَسْكَنَةِ فِي جَمِيعِهِمْ.

Pertama: Bahwa seluruh orang miskin dari semua golongan manusia sama dalam hal ini, karena kemiskinan terdapat pada mereka semua.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُخْتَصُّ بِهِ مَسَاكِينُ أَهْلِ الْجِهَادِ الَّذِينَ قَدْ عَجَزُوا عَنْهُ بِالْمَسْكَنَةِ أَوِ الزَّمَانَةِ وَلَا حَقَّ فِيهِ لِغَيْرِهِمْ مِنَ الْمَسَاكِينِ؛ لِأَنَّ مَالَ الْغَنِيمَةِ لِأَهْلِ الْجِهَادِ أَخَصُّ وَلِيَصِيرَ ذَوُو الْقُدْرَةِ عَلَى الْجِهَادِ أَحْرَصَ؛ فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ أَنَّهُ يَسْتَوِي فِي جَمِيعِ الْمَسَاكِينِ وَيَتَعَلَّقُ عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ أَحْكَامٍ:

Pendapat kedua: Bahwa yang berhak adalah orang miskin dari kalangan ahli jihad yang tidak mampu berjihad karena kemiskinan atau kelemahan, dan tidak ada hak bagi selain mereka dari kalangan miskin; karena harta ghanimah lebih khusus untuk ahli jihad, agar orang-orang yang mampu berjihad lebih bersemangat. Maka, menurut pendapat pertama, seluruh orang miskin sama dalam hal ini dan terkait dengannya ada tiga hukum:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُخْتَصَّ بِهِ بَعْضُ الْمَسَاكِينِ دُونَ جَمِيعِهِمْ كَالزَّكَاةِ.

Pertama: Boleh diberikan khusus kepada sebagian orang miskin saja, tidak harus kepada semuanya, seperti zakat.

وَالْحُكْمُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَجْتَهِدَ الْإِمَامُ بِرَأْيِهِ فِي التَّسْوِيَةِ وَالتَّفْضِيلِ بِحَسَبِ الْحَاجَةِ.

Hukum kedua: Boleh bagi imam untuk berijtihad dengan pendapatnya dalam menyamakan atau mengutamakan sesuai kebutuhan.

وَالْحُكْمُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَجْمَعَ لَهُمْ بَيْنَ سَهْمِهِمْ مِنَ الزَّكَاةِ وَسَهْمِهِمْ مِنَ الْخُمُسِ وَحَقِّهِمْ فِي الْكَفَّارَاتِ فَيَصِيرُ إِلَيْهِمْ ثَلَاثَةُ أَمْوَالٍ:

Hukum ketiga: Boleh dikumpulkan bagi mereka antara bagian mereka dari zakat, bagian mereka dari khumus, dan hak mereka dari kafarat, sehingga mereka memperoleh tiga sumber harta.

وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي: أَنَّهُ يَخُصُّ بِهِ مَسَاكِينَ أَهْلِ الْجِهَادِ دُونَ غَيْرِهِمْ وَيَتَعَلَّقُ عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ أَحْكَامٍ:

Menurut pendapat kedua: Bahwa yang berhak adalah orang miskin dari kalangan ahli jihad saja, tidak selain mereka, dan terkait dengannya ada tiga hukum:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ يَجِبُ أَنْ يُفَرَّقَ فِي جَمِيعِهِمْ وَلَا يُخْتَصُّ بِهِ بَعْضُهُمْ؛ فَعَلَى مذهب الشَّافِعِيِّ فِي مَسَاكِينِ جَمِيعِ الْأَقَالِيمِ، وَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ فِي مَسَاكِينِ إِقْلِيمِ الثَّغْرِ الْمَغْنُومِ فِيهِ دُونَ غَيْرِهِ مِنَ الْأَقَالِيمِ.

Pertama: Wajib dibagikan kepada seluruh mereka dan tidak dikhususkan kepada sebagian saja; menurut mazhab asy-Syafi‘i kepada orang miskin di seluruh wilayah, dan menurut mazhab Abu Ishaq al-Marwazi kepada orang miskin di wilayah perbatasan yang diperoleh ghanimah saja, tidak kepada wilayah lainnya.

وَالْحُكْمُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَسْتَوِي بَيْنَهُمْ فِيهِ مِنْ غَيْرِ تَفْضِيلٍ وَلَا يُفَضَّلُ ذَكَرٌ عَلَى أُنْثَى، وَلَا صَغِيرٌ عَلَى كَبِيرٍ، فَإِنِ اجْتَمَعَ فِي الشَّخْصِ الْوَاحِدِ مَسْكَنَةٌ وَيُتْمٌ أُعْطِيَ بِالْيُتْمِ دُونَ الْمَسْكَنَةِ؛ لأن اليتيم صِفَةٌ لَازِمَةٌ وَالْمَسْكَنَةُ صِفَةٌ زَائِلَةٌ.

Hukum kedua: Disamakan di antara mereka tanpa ada keutamaan, tidak diutamakan laki-laki atas perempuan, tidak pula anak kecil atas orang dewasa. Jika pada satu orang terkumpul sifat miskin dan yatim, maka diberikan karena sifat yatim, bukan karena miskin; karena yatim adalah sifat yang tetap, sedangkan miskin adalah sifat yang bisa hilang.

وَالْحُكْمُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ لَا يُجْمَعُ لَهُمْ بَيْنَ سَهْمِهِمْ مِنَ الْخُمُسِ وَبَيْنَ سَهْمِهِمْ مِنَ الزَّكَاةِ، لِتَمَيُّزِ أَهْلِ الْفَيْءِ عَنْ أَهْلِ الزَّكَاةِ، وَتَمَيُّزِ مَسَاكِينِ الْخُمُسِ عَنِ مَسَاكِينِ الزَّكَاةِ، وَلَكِنْ يَجُوزُ أَنْ يُدْفَعَ إليهم من الكفارات فيصير إليهم مالان ويمنعوا مَالًا، وَلَا يَخْتَصُّ الْكَفَّارَاتِ بِأَحَدِ الْفَرِيقَيْنِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Hukum ketiga: Tidak boleh dikumpulkan bagi mereka antara bagian mereka dari khumus dan bagian mereka dari zakat, karena adanya perbedaan antara ahli fai’ dan ahli zakat, serta perbedaan antara orang miskin penerima khumus dan orang miskin penerima zakat. Namun, boleh diberikan kepada mereka dari kafarat sehingga mereka memperoleh dua sumber harta dan terhalang dari satu sumber, dan kafarat tidak dikhususkan kepada salah satu dari kedua kelompok. Wallāhu a‘lam.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا بَنُو السَّبِيلِ فَهُمُ الْمُسَافِرُونَ سُمُّوا بِذَلِكَ؛ لِأَنَّهُمْ بِمُلَازَمَةِ سَبِيلِ السَّفَرِ قَدْ صَارُوا كَأَبْنَائِهِ وَهُمْ ضَرْبَانِ: مُنْشِئُ سَفَرٍ، وَمُجْتَازٌ فِيهِ، وَكِلَا الْفَرِيقَيْنِ يُعْتَبَرُ فِيهِمُ الْحَاجَةُ فِي سفرهم ولا يدفع إِلَيْهِمْ مَعَ عَدَمِ الْحَاجَةِ إِلَّا أَنَّ النَّاشِئَ لِسَفَرِهِ لَا يُدْفَعُ إِلَيْهِ مَعَ الْفَقْرِ وَالْمُجْتَازُ يَجُوزُ أَنْ يُدْفَعَ إِلَيْهِ مَعَ الْغِنَى إِذَا كَانَ فِي سَفَرِهِ مُعْدِمًا ثُمَّ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِمْ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun ibnu sabil adalah para musafir; mereka dinamakan demikian karena dengan terus-menerus berada di jalan perjalanan, mereka seakan-akan menjadi anak-anak jalan itu. Mereka terbagi menjadi dua golongan: orang yang memulai perjalanan, dan orang yang sedang melintasi perjalanan. Pada kedua kelompok ini, yang menjadi pertimbangan adalah kebutuhan dalam perjalanan mereka, dan tidak diberikan kepada mereka jika tidak ada kebutuhan. Hanya saja, bagi orang yang memulai perjalanannya, tidak diberikan kepadanya meskipun ia fakir, sedangkan bagi yang sedang melintasi perjalanan, boleh diberikan kepadanya meskipun ia kaya jika dalam perjalanannya ia tidak memiliki apa-apa. Kemudian, para ulama kami berbeda pendapat mengenai mereka dalam dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لِبَنِي السَّبِيلِ مِنْ جَمِيعِ النَّاسِ.

Salah satunya: bahwa hak ibnu sabil berlaku untuk semua orang.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لِبَنِي السَّبِيلِ مِنَ الْمُجَاهِدِينَ خَاصَّةً، فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ أَنَّهُ لِبَنِي السَّبِيلِ مِنْ جَمِيعِ النَّاسِ يَتَعَلَّقُ عَلَيْهِ الْأَحْكَامُ الثَّلَاثَةُ الَّتِي ذَكَرْنَاهَا فِي الْمَسَاكِينِ:

Pendapat kedua: bahwa hak ibnu sabil khusus untuk para mujahid saja. Maka menurut pendapat pertama, bahwa hak ibnu sabil berlaku untuk semua orang, maka padanya berlaku tiga hukum yang telah kami sebutkan pada (pembahasan) tentang orang-orang miskin:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُخْتَصَّ بِهِ بَعْضُ الْمَسَاكِينِ دُونَ جَمِيعِهِمْ.

Pertama: boleh diberikan secara khusus kepada sebagian orang miskin tanpa harus kepada semua mereka.

وَالْحُكْمُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَجْتَهِدَ الْإِمَامُ بِرَأْيِهِ فِي التَّسْوِيَةِ وَالتَّفْضِيلِ.

Hukum kedua: boleh bagi imam untuk berijtihad dengan pendapatnya dalam hal pemerataan atau memberikan keutamaan.

والحكم الثالث: أنه يجوز أن يجمع لهم بَيْنَ سَهْمِهِمْ مِنَ الْخُمُسِ وَبَيْنَ سَهْمِهِمْ مِنَ الزَّكَاةِ.

Hukum ketiga: boleh digabungkan antara bagian mereka dari khumus dan bagian mereka dari zakat.

وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي أَنَّهُ يُخَصُّ بِهِ بَنُو السَّبِيلِ مِنَ الْمُجَاهِدِينَ؛ فَعَلَى هَذَا يَتَعَلَّقُ عَلَيْهِ الْأَحْكَامُ الثَّلَاثَةُ:

Dan menurut pendapat kedua, bahwa hak itu khusus bagi ibnu sabil dari kalangan mujahid; maka berdasarkan ini berlaku tiga hukum:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ يَجِبُ أَنْ يُفَرَّقَ فِي جَمِيعِهِمْ وَلَا يُخَصُّ بِهِ بَعْضُهُمْ؛ فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ يُفَرَّقُ فِي بَنِي السَّبِيلِ فِي الْأَقَالِيمِ كُلِّهَا، وَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ يُفَرَّقُ فِي بَنِي السَّبِيلِ فِي إِقْلِيمِ الثَّغْرِ الْمَغْنُومِ فِيهِ.

Pertama: wajib dibagikan kepada seluruh mereka dan tidak boleh dikhususkan hanya kepada sebagian; menurut mazhab asy-Syafi‘i, dibagikan kepada ibnu sabil di seluruh wilayah, dan menurut mazhab Abu Ishaq al-Marwazi, dibagikan kepada ibnu sabil di wilayah perbatasan yang diperoleh ghanimah.

وَالْحُكْمُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُسَوَّى بَيْنَ جَمِيعِهِمْ فِيهِ تَقْسِيطًا عَلَى مَسَافَةِ أَسْفَارِهِمْ فَيَكُونُ تَسْوِيَةً بَيْنَهُمْ فِي الْبَاطِنِ وَإِنْ تَفَاضَلُوا فِي الظَّاهِرِ، وَمِنْ هَذَا الْوَجْهِ بَايَنُوا الْمَسَاكِينَ الذي يُسَوَّى بَيْنَهُمْ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ.

Hukum kedua: disamakan antara seluruh mereka dalam pembagian berdasarkan jarak perjalanan mereka, sehingga terjadi pemerataan di antara mereka secara batin meskipun secara lahiriah terdapat perbedaan. Dari sisi ini, mereka berbeda dengan orang-orang miskin yang disamakan antara mereka baik secara lahir maupun batin.

وَالْحُكْمُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ لَا يُجْمَعُ لَهُمْ بَيْنَ سَهْمٍ مِنَ الْخُمُسِ وَبَيْنَ سَهْمٍ مِنَ الزَّكَاةِ، وَتَمَيَّزَ بَنُو السَّبِيلِ فِي الْخُمُسِ عَنْ بَنِي السَّبِيلِ فِي الزَّكَاةِ؛ فَعَلَى هَذَا لَوْ أَنَّ شَخْصًا جَمَعَ بين الْمَسْكَنَةِ وَبَيْنَ كَوْنِهِ ابْنَ السَّبِيلِ أُعْطَى بِأَيِّ السَّبَبَيْنِ شَاءَ وَلَا يَكُونُ أَحَدُهُمَا أَخَصَّ بِهِ مِنَ الْآخَرِ وَلَا يُجْمَعُ لَهُ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ والله أعلم.

Hukum ketiga: tidak boleh digabungkan bagi mereka antara bagian dari khumus dan bagian dari zakat, dan ibnu sabil dalam khumus berbeda dengan ibnu sabil dalam zakat; sehingga jika seseorang menggabungkan antara kefakiran dan status sebagai ibnu sabil, maka ia diberikan berdasarkan salah satu dari dua sebab yang ia kehendaki, dan tidak ada salah satu yang lebih khusus baginya daripada yang lain, dan tidak boleh digabungkan kedua hal itu untuknya. Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” فَقَدْ مَضَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بأبي هو وأمي – فَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ عِنْدَنَا فِي سَهْمِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ يُرَدُّ عَلَى أَهْلِ السُّهْمَانِ الَّذِينَ ذكرهم الله تعالى معه لأني رأيت المسلمين قالوا فيمن سمي له سهم من الصدقات فلم يوجد رد على من سمي معه وهذا مذهب يحسن ومنهم من قال يضعه الإمام حيث رأى على الاجتهاد للإسلام وأهله ومنهم من قال يضعه في الكراع والسلاح والذي أختار أن يضعه الإمام في كل أمر حصن به الإسلام وأهله من سد ثغر أو إعداد كراع أو سلاح أو إعطاء أهل البلاء في الإسلام نفلا عند الحرب وغير الحرب إعدادا للزيادة في تعزيز الإسلام وأهله على ما صنع فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فإنه أعطى المؤلفة ونفل في الحرب وأعطى عام حنين نفرا من أصحابه من المهاجرين والأنصار أهل حاجة وفضل وأكثرهم أهل حاجة ونرى ذلك كله من سهمه والله أعلم ومما احتج به الشافعي في ذوي القربى أن روى حديثا عن ابن أبي ليلى قال لقيت عليا رضي الله عنه فَقُلْتُ لَهُ بِأَبِي وَأُمِّي مَا فَعَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فِي حَقِّكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ مِنَ الخمس؟ فقال علي أما أبو بكر رحمه الله فَلَمْ يَكُنْ فِي زَمَانِهِ أَخْمَاسٌ وَمَا كَانَ فقد أوفاناه وأما عمر فلم يزل يعطيناه حَتَّى جَاءَهُ مَالُ السُّوسِ وَالْأَهْوَازِ أَوْ قَالَ مال فارس (الشافعي يشك) وقال عمر في حديث مطر أو حديث آخر إن في المسلمين خَلَّةً فَإِنْ أَحْبَبْتُمْ تَرَكْتُمْ حَقَّكُمْ فَجَعَلْنَاهُ فِي خَلَّةِ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى يَأْتِيَنَا مَالٌ فَأُوَفِّيَكُمْ حَقَّكُمْ منه فقال العباس لا تطعمه فِي حَقِّنَا فَقُلْتُ يَا أَبَا الْفَضْلِ أَلَسْنَا من أحق من أجاب أمير المؤمنين ورفع خَلَّةَ الْمُسْلِمِينَ فَتُوُفِّيَ عُمَرُ قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَهُ مال فيقضيناه وقال الحكم في حديث مطر أو الآخر إن عمر رضي الله عنه قال لكم حقا ولا يبلغ عملي إذ كثر أن يكون لكم كله فإن شئتم أعطيتكم منه بقدر ما أرى لكم فأبينا عليه إلا كله فأبى أن يعطينا كله (قال الشافعي) رحمه الله للمنازع في سهم ذي القربى أليس مذهب العلماء في القديم والحديث أن الشيء إذا كان منصوصا في كتاب الله مبينا عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بخبر الثقة لا معارض له في إعطاء النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – غنيا لا دين عليه في إعطائه العباس بن عبد المطلب وهو في كثرة ماله يعول عامة بني المطلب دليل على أنهم استحقوا بالقرابة لا بالحاجة كما أعطى الغنيمة من حضرها لا بالحاجة وكذلك من استحق الميراث بالقرابة لا بالحاجة وكيف جاز لك أن تريد إبطال اليمين مع الشاهد بأن تقول هي بخلاف ظاهر القرآن وليست مخالفة له ثم تجد سهم ذي القربى منصوصا في آيتين من كتاب الله تعالى ومعهما سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فترده؟ أرأيت لو عارضك معارض فأثبت سهم ذي القربى وأسقط اليتامى والمساكين وابن السبيل ما حجتك عليه إلا كهي عليك “.

Imam Syafi‘i berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– telah wafat –semoga ayah dan ibuku menjadi tebusannya– lalu para ahli ilmu di kalangan kami berselisih pendapat mengenai bagiannya. Sebagian dari mereka berkata: bagian tersebut dikembalikan kepada para penerima bagian yang telah disebutkan Allah Ta‘ala bersamanya, karena aku melihat kaum muslimin berkata bahwa siapa pun yang telah ditentukan baginya bagian dari sedekah namun tidak ditemukan, maka bagian itu dikembalikan kepada mereka yang disebut bersamanya. Ini adalah mazhab yang baik. Sebagian yang lain berkata: bagian itu diletakkan oleh imam di mana pun yang ia pandang baik berdasarkan ijtihad demi kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Ada pula yang berkata: bagian itu digunakan untuk membeli kuda perang dan senjata. Adapun yang aku pilih adalah agar imam menempatkan bagian tersebut pada setiap urusan yang dapat memperkuat Islam dan kaum muslimin, seperti menutup celah pertahanan, menyiapkan kuda perang atau senjata, atau memberi orang-orang yang berjasa dalam Islam berupa tambahan pada saat perang maupun di luar perang, sebagai persiapan untuk menambah kekuatan Islam dan kaum muslimin, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam–; beliau memberikan kepada orang-orang yang hatinya dilunakkan (al-mu’allafah qulubuhum), memberi tambahan pada saat perang, dan pada tahun Hunain beliau memberikan kepada sejumlah sahabatnya dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang membutuhkan dan memiliki keutamaan, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang membutuhkan. Kami memandang semua itu berasal dari bagiannya, dan Allah lebih mengetahui. Di antara dalil yang digunakan Syafi‘i tentang dzawil qurba adalah ia meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abi Laila, ia berkata: Aku bertemu Ali radhiyallahu ‘anhu, lalu aku berkata kepadanya: ‘Demi ayah dan ibuku, apa yang dilakukan Abu Bakar dan Umar terhadap hak kalian Ahlul Bait dari khumus?’ Ali menjawab: ‘Adapun Abu Bakar rahimahullah, pada masanya tidak ada khumus, dan jika ada, beliau telah memberikannya kepada kami. Adapun Umar, beliau terus memberikannya kepada kami hingga datang harta dari Sūs dan Ahwaz, atau ia berkata: harta dari Persia (Syafi‘i ragu), lalu Umar berkata dalam hadits Matar atau hadits lain: “Sesungguhnya di tengah kaum muslimin ada kebutuhan. Jika kalian mau, kalian tinggalkan hak kalian, lalu kami letakkan untuk kebutuhan kaum muslimin, hingga datang kepada kami harta, maka kami akan tunaikan hak kalian darinya.” Maka Abbas berkata: “Jangan engkau gunakan hak kami untuk itu.” Aku berkata: “Wahai Abu Fadhl, bukankah kita lebih berhak untuk memenuhi seruan Amirul Mukminin dan mengangkat kebutuhan kaum muslimin?” Lalu Umar wafat sebelum datang harta itu, sehingga belum sempat kami terima. Al-Hakam dalam hadits Matar atau yang lain berkata: “Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Kalian memiliki hak, namun pekerjaanku yang banyak tidak memungkinkan untuk memberikan semuanya kepada kalian. Jika kalian mau, aku akan berikan kepada kalian sesuai yang aku pandang layak, namun kami menolak kecuali seluruhnya, dan beliau pun menolak memberikan seluruhnya kepada kami.’” (Syafi‘i berkata) rahimahullah: Kepada orang yang menentang tentang bagian dzawil qurba, bukankah mazhab para ulama terdahulu dan sekarang bahwa sesuatu yang telah dinyatakan secara tegas dalam Kitabullah dan dijelaskan melalui lisan Nabi-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dengan berita yang terpercaya, tidak ada yang menentangnya dalam hal Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– memberikan kepada orang kaya yang tidak memiliki utang, seperti beliau memberikan kepada Abbas bin Abdul Muththalib yang hartanya banyak dan menanggung mayoritas Bani Muththalib, menjadi dalil bahwa mereka berhak karena kekerabatan, bukan karena kebutuhan, sebagaimana beliau memberikan ghanimah kepada yang hadir, bukan karena kebutuhan, dan demikian pula yang berhak menerima warisan karena kekerabatan, bukan karena kebutuhan. Bagaimana bisa engkau ingin membatalkan sumpah dengan adanya saksi dengan mengatakan bahwa itu bertentangan dengan lahiriah Al-Qur’an, padahal tidak bertentangan dengannya, lalu engkau dapati bagian dzawil qurba telah dinyatakan secara tegas dalam dua ayat dalam Kitabullah Ta‘ala, dan bersamanya ada sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam–, lalu engkau menolaknya? Bagaimana jika ada yang menentangmu lalu menetapkan bagian dzawil qurba dan menggugurkan bagian yatim, miskin, dan ibnu sabil, apa hujjahmu terhadapnya selain seperti hujjahnya terhadapmu?”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي ثُبُوتِ سهم النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي خُمُسِ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ، وَأَنَّهُ لَا يَسْقُطُ بِمَوْتِهِ.

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya tentang tetapnya bagian Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dalam seperlima dari fai’ dan ghanimah, dan bahwa bagian itu tidak gugur dengan wafatnya beliau.

وَاخْتَلَفَ النَّاسُ فِي مَصْرِفِهِ فَحَكَى الشَّافِعِيُّ فيه مذاهب فمنه مَنْ جَعَلَهُ مَصْرُوفًا إِلَى الْإِمَامِ الْقَائِمِ بِالْأَمْرِ مِنْ بَعْدِهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ جَعَلَهُ لِوَرَثَتِهِ، وَمِنْهُمْ من جعله مصروفا في القراع وَالسِّلَاحِ خَاصَّةً وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ سَهْمَهُ مَصْرُوفٌ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ما لي مما أفاء الله عليكم إلا الْخُمُسُ وَالْخُمُسُ مَرْدُودٌ فِيكُمْ “.

Manusia berselisih pendapat tentang penyalurannya. Syafi‘i meriwayatkan dalam hal ini beberapa mazhab: di antaranya ada yang menjadikannya disalurkan kepada imam yang memegang urusan setelah beliau, ada pula yang menjadikannya untuk ahli waris beliau, dan ada pula yang menjadikannya khusus untuk pembelian kuda perang dan senjata. Adapun mazhab Syafi‘i, bagian tersebut disalurkan untuk kemaslahatan umum kaum muslimin, berdasarkan sabda beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam–: “Tidak ada bagiku dari apa yang Allah limpahkan kepada kalian kecuali seperlima, dan seperlima itu dikembalikan kepada kalian.”

وَلِأَنَّهُ قَدْ كَانَ مَا فَضَلَ مِنْهُ فِي حَيَاتِهِ بَعْدَ فَوْتِ سَنَةٍ يَصْرِفُهُ فِي إِعْزَازِ الدِّينِ وَمَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ فَكَذَلِكَ حُكْمُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ.

Karena dahulu, sisa dari bagian itu pada masa hidup beliau setelah berlalu satu tahun, beliau salurkan untuk memperkuat agama dan kemaslahatan kaum muslimin. Maka demikian pula hukumnya setelah wafat beliau.

فَأَمَّا مَا اسْتَدَلَّ بِهِ الشَّافِعِيُّ فِي ثُبُوتِ سَهْمِ ذِي الْقَرَابَةِ فَقَدْ ذَكَرْنَاهُ وَاسْتَوْفَيْنَا حُكْمَ كُلِّ سَهْمٍ مِنَ السِّهَامِ الْخَمْسَةِ بِمَا أَغْنَى عَنِ الْإِعَادَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Adapun dalil yang digunakan Syafi‘i tentang tetapnya bagian dzawil qurba, telah kami sebutkan dan kami telah uraikan hukum setiap bagian dari kelima bagian tersebut sehingga tidak perlu diulang lagi. Allah lebih mengetahui mana yang benar.

بَابُ تَفْرِيقِ مَا أُخِذَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِ الفيء غير الموجف عليه

Bab Penyaluran Apa yang Diambil dari Empat Per Lima Bagian Fai’ Selain yang Diperoleh dengan Perang Langsung

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَيَنْبَغِي لِلْوَالِي أَنْ يُحْصِيَ جَمِيعَ مَنْ فِي الْبُلْدَانِ مَنَ الْمُقَاتِلَةِ وَهُمْ مَنْ قَدِ احْتَلَمَ أَوِ اسْتَكْمَلَ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً مِنَ الرِّجَالِ وَيُحْصِيَ الذُّرِّيَّةَ وَهُمْ مَنْ دُونَ الْمُحْتَلِمِ وَدُونَ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً وَالنِّسَاءَ صَغِيرَهُمْ وَكَبِيرَهُمْ وَيَعْرِفَ قَدْرَ نَفَقَاتِهِمْ وَمَا يَحْتَاجُونَ إِلَيْهِ مِنْ مُؤْنَاتِهِمْ بِقَدْرِ مَعَاشِ مِثْلِهِمْ فِي بُلْدَانِهِمْ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Seyogianya seorang pemimpin mendata seluruh penduduk negeri dari kalangan orang-orang yang mampu berperang, yaitu laki-laki yang telah baligh atau telah genap berusia lima belas tahun. Ia juga mendata anak-anak, yaitu yang belum baligh dan belum mencapai usia lima belas tahun, serta mendata perempuan, baik yang muda maupun yang tua. Ia harus mengetahui besaran nafkah mereka dan kebutuhan mereka dari segi penghidupan, sesuai dengan standar penghidupan orang-orang seperti mereka di negeri mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang telah beliau (asy-Syafi‘i) katakan:

قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي الْغَنِيمَةِ، وَهُوَ الْمَأْخُوذُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ عَنْوَةً بِقِتَالٍ، فَأَمَّا الْفَيْءُ وَهُوَ الْمَأْخُوذُ مِنْهُمْ بِغَيْرِ قِتَالٍ فَضَرْبَانِ:

Telah dijelaskan sebelumnya mengenai ghanīmah, yaitu harta yang diambil dari kaum musyrik secara paksa melalui peperangan. Adapun fai’, yaitu harta yang diambil dari mereka tanpa peperangan, terbagi menjadi dua jenis:

أَحَدُهُمَا: مَا تَرَكُوهُ عَلَيْنَا خَوْفًا وَرُعْبًا كَالْأَمْوَالِ الَّتِي انْجَلَوْا عَنْهَا وَمَا بَذَلُوهُ صُلْحًا فِي كَفِّنَا وَرَدِّنَا عَنْ أَنْفُسِهِمْ، فَهَذَا يُخَمَّسُ وَيَكُونُ خُمُسُهُ كَخُمُسِ الغنيمة مقسوم عَلَى السِّهَامِ الْخَمْسَةِ.

Pertama: Harta yang mereka tinggalkan karena takut dan gentar, seperti harta benda yang mereka tinggalkan saat melarikan diri, dan apa yang mereka serahkan sebagai bentuk perdamaian agar kita tidak memerangi dan mengusir mereka dari diri mereka. Harta seperti ini dibagi menjadi lima bagian (khumus), dan seperlimanya dibagikan sebagaimana seperlima ghanīmah, yaitu kepada lima golongan yang berhak.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا وَصَلَ إِلَيْنَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا رُعْبٍ كَالْجِزْيَةِ وَعُشْرِ تِجَارَتِهِمْ وَمَالِ مَنْ مَاتَ مِنْهُمْ فِي دَارِنَا وَلَا وَارِثَ لَهُ فَفِي تَخْمِيسِهِ قَوْلَانِ:

Jenis kedua: Harta yang sampai kepada kita dari mereka bukan karena takut atau gentar, seperti jizyah, sepersepuluh dari perdagangan mereka, dan harta orang yang meninggal di negeri kita tanpa ahli waris. Dalam hal pembagian khumus atas harta ini terdapat dua pendapat:

أَصَحُّهُمَا: وَهُوَ الْجَدِيدُ أَنَّهُ يُخَمَّسُ وَيَكُونُ خُمُسُهُ مَقْسُومًا عَلَى السِّهَامِ الْخَمْسَةِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ} [الحشر: – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -] وَلِأَنَّهُ كَالْمَتْرُوكِ رُعْبًا فِي كَوْنِهِ فَيْئًا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُخَمَّسًا.

Pendapat yang paling kuat, yaitu pendapat baru, menyatakan bahwa harta tersebut dibagi menjadi lima bagian (khumus), dan seperlimanya dibagikan kepada lima golongan yang berhak, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Apa yang Allah kembalikan (fai’) kepada Rasul-Nya dari penduduk negeri-negeri, maka itu adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil} [al-Hasyr: 7]. Karena harta ini serupa dengan harta yang ditinggalkan karena rasa takut dalam statusnya sebagai fai’, maka wajib pula dibagi menjadi lima bagian.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ أَنَّهُ لَا يُخَمَّسُ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ فِي الْغَنِيمَةِ مَالًا يُخَمَّسُ وَهُوَ السَّلَبُ كَانَ في الفيء مالا يخمس وهو العقر وَالْأَوَّلُ مِنْ هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ أَشْهَرُ وَأَصَحُّ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat lama, menyatakan bahwa harta tersebut tidak dibagi menjadi lima bagian, karena dalam ghanīmah ada harta yang dibagi khumus, yaitu harta rampasan (salab), maka dalam fai’ juga ada harta yang tidak dibagi khumus, yaitu harta ‘aqr. Namun, pendapat pertama dari dua pendapat ini lebih masyhur dan lebih kuat.

فَأَمَّا أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ فَفِي مَصْرِفِهِ الْآنَ قَوْلَانِ لِلشَّافِعِيِّ:

Adapun empat per lima bagian dari fai’, dalam penggunaannya menurut asy-Syafi‘i terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَصْرُوفٌ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ مِنْ أَرْزَاقِ الْمُقَاتِلَةِ وَالْأَئِمَّةِ وَالْقُضَاةِ وَبِنَاءِ الحصون والمساجد والقناطر وإعداد القراع وَالسِّلَاحِ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَتَمَلَّكُ ذَلِكَ فَيَصْرِفُهُ فِي هَذِهِ الْمَصَالِحِ فَكَذَلِكَ بَعْدَ مَوْتِهِ.

Pertama: Bahwa harta tersebut digunakan untuk kemaslahatan umum kaum muslimin, seperti untuk membayar gaji para tentara, imam, qadhi, membangun benteng, masjid, jembatan, serta menyiapkan kendaraan dan persenjataan. Karena Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dahulu memiliki hak atas harta tersebut dan menggunakannya untuk kemaslahatan-kemaslahatan ini, maka demikian pula setelah wafat beliau.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ مَصْرُوفٌ فِي أَرْزَاقِ الْجَيْشِ الْمُقَاتِلَةِ الْخَاصَّةِ الْمَنْدُوبُونَ لِجِهَادِ الْعَدُوِّ وَالذَّبِّ عَنِ الْبَيْضَةِ، وَالْمَنْعِ مِنَ الْحَرِيمِ، لِأَنَّهُمُ الْقَائِمُونَ بِذَلِكَ بَعْدَ الرَّسُولِ فَمَلَكُوا بَعْدَهُ مَا كَانَ لَهُ، وَجُمْلَةُ الْمُجَاهِدِينَ ضَرْبَانِ: مُرْتَزِقَةٌ، وَمُتَطَوِّعَةٌ.

Pendapat kedua: Bahwa harta tersebut digunakan untuk membayar gaji tentara khusus yang ditugaskan untuk berjihad melawan musuh, menjaga wilayah Islam, dan melindungi kehormatan, karena merekalah yang melaksanakan tugas tersebut setelah Rasulullah, sehingga mereka berhak atas apa yang dahulu menjadi hak beliau. Adapun para mujahid terbagi menjadi dua kelompok: tentara tetap (murtaziqah) dan sukarelawan (mutathawwi‘ah).

فَأَمَّا الْمُرْتَزِقَةٌ فَهُمُ الَّذِينَ فَرَّغُوا أَنْفُسَهُمْ لِلْجِهَادِ فَلَمْ يُشَّاغَلُوا إِلَّا بِهِ، وَثَبَتُوا فِي الدِّيوَانِ فَصَارُوا جَيْشًا لِلْمُسْلِمِينَ وَمُقَاتِلَةً لِلْمُشْرِكِينَ فَهَؤُلَاءِ يُرْزَقُونَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ، وَلَا حَقَّ لَهُمْ فِي الصَّدَقَاتِ وَأَمَّا الْمُتَطَوِّعَةُ فَهُمْ أَرْبَابُ الْمَعَائِشِ وَالصَّنَائِعِ وَالْأَعْرَابُ الَّذِينَ يَتَطَوَّعُونَ بِالْجِهَادِ إِنْ شَاءُوا وَيَقْعُدُونَ عَنْهُ إِنْ أَحَبُّوا، وَلَمْ يَثْبُتُوا فِي الدِّيوَانِ، وَلَا جُعِلَ لَهُمْ رِزْقٌ فَهَؤُلَاءِ يُعْطَوْنَ مِنَ الصَّدَقَاتِ مِنْ سَهْمِ سَبِيلِ اللَّهِ، وَلَا حَقَّ لَهُمْ فِي الْفَيْءِ، وَلِهَذَا تَمَيَّزَ أَهْلُ الصَّدَقَةِ عَنْ أَهْلِ الْفَيْءِ وَقَدْ كَانَ الْمُتَطَوِّعَةُ يُسَمَّوْنَ أَعْرَابًا، وَيُسَمَّى الْمُقَاتِلَةُ مُهَاجِرِينَ فَتَمَيَّزُوا بِهَذَيْنِ الِاثْنَيْنِ لِتَمَيُّزِهِمْ فِي الْمَالَيْنَ، وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:

Adapun murtaziqah adalah mereka yang mengkhususkan diri untuk berjihad dan tidak disibukkan dengan pekerjaan lain, serta tercatat dalam daftar tentara (diwan), sehingga mereka menjadi tentara kaum muslimin dan pasukan yang memerangi kaum musyrik. Mereka inilah yang diberi gaji dari empat per lima bagian fai’, dan mereka tidak berhak atas bagian dari sedekah (zakat). Adapun mutathawwi‘ah adalah orang-orang yang memiliki pekerjaan dan keahlian, serta orang-orang Arab badui yang berjihad secara sukarela jika mereka mau, dan tidak berjihad jika mereka tidak menghendaki, serta tidak tercatat dalam daftar tentara dan tidak ditetapkan gaji untuk mereka. Mereka ini diberi dari sedekah (zakat) pada bagian sabilillah, dan tidak berhak atas bagian dari fai’. Oleh karena itu, orang-orang yang berhak menerima sedekah berbeda dengan orang-orang yang berhak menerima fai’. Dahulu, para sukarelawan disebut sebagai ‘Arab, sedangkan pasukan tetap disebut sebagai Muhajirin, sehingga keduanya berbeda dalam dua hal ini karena perbedaan hak mereka atas dua jenis harta tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:

(قَدْ حَسَّهَا اللَّيْلُ بِعُصْلُبِيٍّ … أَرْوَعَ خَرَّاجٍ من الدادي)

(Sesungguhnya malam telah mengujinya dengan seorang ‘Uṣlubī … yang paling berani di antara para penarik pajak dari daerah Dadī)

(مُهَاجِرٍ لَيْسَ بِأَعْرَابِيِّ)

(Seorang muhājir, bukan seorang Arab badui)

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذْ قَدْ تَمَيَّزَ أَهْلُ الْفَيْءِ عَنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ بِمَا وَصَفْنَا فَسَنَذْكُرُ أَهْلَ الصَّدَقَةِ فِي قِسْمِ الصَّدَقَاتِ، وَنُبَيِّنُ حُكْمَ أَهْلِ الْفَيْءِ فَنَقُولُ: يَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يُثْبِتَ الْمُقَاتِلَةَ فِي جَمِيعِ الثُّغُورِ وَالْبُلْدَانِ فِي دِيوَانِهِ وَمَا يَحْتَاجُونَ إِلَيْهِ فِي نَفَقَاتِهِمْ وَمُؤْنَاتِهِمْ فيعطيهم مِنْ مَالِ الْفَيْءِ قَدْرَ كِفَايَاتِهِمْ حَتَّى لَا يَتَشَاغَلُوا بِاكْتِسَابِ الْمَالِ عَنْ جِهَادِ الْعَدُوِّ، وَيَكُونُوا مُتَشَاغِلِينَ بِالْحَرْبِ فِي الذَّبِّ عَنِ الْبَيْضَةِ.

Dan setelah jelas perbedaan antara ahl al-fay’ dan ahl al-ṣadaqah sebagaimana telah kami jelaskan, maka kami akan menyebutkan ahl al-ṣadaqah pada bagian zakat, dan menjelaskan hukum ahl al-fay’. Maka kami katakan: hendaknya imam mencatat para muqātil (pejuang) di seluruh perbatasan dan negeri-negeri dalam diwan (catatan administrasi) beserta kebutuhan mereka dalam nafkah dan biaya hidup mereka, lalu memberikan kepada mereka dari harta al-fay’ sesuai kebutuhan mereka, agar mereka tidak sibuk mencari harta sehingga lalai dari berjihad melawan musuh, dan agar mereka tetap fokus berperang dalam menjaga wilayah kaum Muslimin.

وَإِذَا لَزِمَ الْإِمَامَ الْقِيَامُ بِكِفَايَتِهِمْ فَكِفَايَتُهُمْ تَخْتَلِفُ مِنْ خَمْسَةِ أَوْجُهٍ:

Dan apabila imam wajib memenuhi kebutuhan mereka, maka kebutuhan mereka berbeda dalam lima aspek:

أَحَدُهَا: كَثْرَةُ الْعِيَالِ وَقِلَّتُهُمُ الَّذِينَ تَلْزَمُ نَفَقَاتُهُمْ مِنَ الْأَوْلَادِ وَالزَّوْجَاتِ وَالْعَبِيدِ وَالْخَدَمِ فَيُثْبِتُ ذُرِّيَّةَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ، وَهُمْ مَنْ لَمْ يَبْلُغْ مِنْ أَوْلَادِهِ فَثَبَتَ مَا يَحْتَاجُونَ إِلَيْهِ فِي حَالِ الْفَقْرِ ثُمَّ فِي حَالِ النُّشُوءِ وَالْكِبَرِ، هَذَا مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ: وَتُعْطِي المنقوس شَيْئًا، وَكُلَّمَا كَبُرَ يُزَادُ عَلَى قَدْرِ مُؤْنَتِهِ يَعْنِي أَنَّهُ يُعْطِي أَبَاهُ لِأَجْلِهِ وَيَزِيدُ لِكِبَرِهِ. وَيَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ فِي الزَّوْجَاتِ وَالْعَبِيدِ وَالْخَدَمِ لِيَعْلَمَ بِذَلِكَ قَدْرَ مُؤْنَتِهِ.

Pertama: Banyak atau sedikitnya tanggungan yang wajib dinafkahi, seperti anak-anak, istri-istri, budak, dan pelayan. Maka imam mencatat keturunan masing-masing dari mereka, yaitu anak-anak yang belum baligh, lalu menetapkan kebutuhan mereka dalam keadaan miskin, kemudian dalam masa pertumbuhan dan dewasa. Inilah maksud perkataan al-Syafi‘i: “Diberikan kepada yang kurang sebagian, dan setiap kali bertambah usia, ditambah pula sesuai kebutuhannya,” maksudnya diberikan kepada ayahnya karena dirinya, dan ditambah karena usianya yang bertambah. Hal yang sama dilakukan pada istri, budak, dan pelayan, agar diketahui besarnya kebutuhan mereka.

وَالثَّانِي: أَنْ يَعْرِفَ حَالَهُ هَلْ هُوَ مِنَ الرَّجَّالَةِ أَوِ الْفُرْسَانِ فَإِنْ كَانَ مِنَ الْفُرْسَانِ عَرَفَ عَدَدَ خَيْلِهِ وَظَهْرِهِ.

Kedua: Mengetahui keadaannya, apakah ia termasuk pejalan kaki atau pasukan berkuda. Jika ia pasukan berkuda, maka diketahui jumlah kuda dan tunggangannya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَعْرِفَ حَالَ بَلَدِهِ فِي قُرْبِهِ مِنَ الْمَغْزَى وَبُعْدِهِ، فَإِنَّهُ إِنْ بَعُدَ كَثُرَتْ مُؤْنَتُهُ وَإِنْ قَرُبَ قَلَّتْ.

Ketiga: Mengetahui keadaan negerinya, apakah dekat atau jauh dari medan perang. Jika jauh, maka kebutuhannya lebih banyak, jika dekat, maka lebih sedikit.

وَالرَّابِعُ: أَنْ يعرف خصب بلده وجدبه فإن المؤن في بلاد الخصب قليلة في بِلَادِ الْجَدْبِ كَثِيرَةٌ.

Keempat: Mengetahui kesuburan atau kekeringan negerinya, karena biaya hidup di negeri yang subur sedikit, sedangkan di negeri yang tandus banyak.

وَالْخَامِسُ: أَنْ يَعْرِفَ غَلَاءَ السِّعْرِ وَرُخْصَهُ لِيَزِيدَهُ مَعَ الْغَلَاءِ، وَيَنْقُصَهُ مَعَ الرخص، فَإِذَا كَشَفَ عَنْ أَحْوَالِهِمْ فِي هَذِهِ الْوُجُوهِ الْخَمْسَةِ عَرَفَ قَدْرَ كِفَايَتِهِمْ فَأَثْبَتَهَا أَوْ جَعَلَهَا مَبْلَغَ أَرْزَاقِهِمْ فِي كُلِّ عَامٍ مِنْ غَيْرِ صَرْفٍ وَلَا تَقْصِيرٍ، وَذَلِكَ قَدْ يَخْتَلِفُ بِحَسَبِ اخْتِلَافِ أَحْوَالِهِمْ فِي الْوُجُوهِ الْخَمْسَةِ؛ فَلِذَلِكَ مَا اخْتَلَفَ قَدْرُ أَرْزَاقِهِمْ، وَإِنْ وَجَبَتْ بِالتَّسْوِيَةِ بَيْنَهُمْ فِي الْقِيَامِ بِكِفَايَاتِهِمْ، وَقَدْ رَوَى عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ بَلَغَ بِالْعَطَاءِ خَمْسَةَ آلاف درهما فَمِنَ النَّاسِ مَنْ زَعَمَ أَنَّ هَذَا أَكْثَرُ مِنْ قَدْرِ الْكِفَايَةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُفْرَضَ لِلْمُقَاتِلَةِ أَكْثَرُ مِنْ كِفَايَتِهِمْ، وَقِيلَ: لَيْسَ هَكَذَا لِأَنَّ خَمْسَةَ آلَافِ دِرْهَمٍ مَعَ بُعْدِ الْمَغْزَى وَغَلَاءِ الْأَسْعَارِ لَيْسَتْ بِأَكْثَرَ مِنْ كِفَايَةِ ذِي عِيَالٍ، فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ تَقْدِيرِ أَرْزَاقِهِمْ بِحَسَبِ كِفَايَاتِهِمْ خَرَجَ مَا يُعْطُونَهُمْ مِنْهَا عَلَى الْقَوْلَيْنِ فِي مَصْرِفِ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ.

Kelima: Mengetahui mahal atau murahnya harga barang, sehingga ditambah jika harga mahal, dan dikurangi jika harga murah. Jika telah diketahui keadaan mereka dalam lima aspek ini, maka diketahui pula besarnya kebutuhan mereka, lalu ditetapkan atau dijadikan sebagai jumlah tunjangan mereka setiap tahun tanpa berlebihan dan tanpa kekurangan. Hal ini bisa berbeda sesuai perbedaan keadaan mereka dalam lima aspek tersebut; oleh karena itu, besaran tunjangan mereka pun berbeda, meskipun wajib disamakan dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Diriwayatkan dari ‘Umar ra. bahwa beliau menetapkan tunjangan hingga lima ribu dirham. Ada yang berpendapat bahwa ini lebih dari kebutuhan dan tidak boleh ditetapkan untuk para muqātil lebih dari kebutuhan mereka. Ada pula yang mengatakan: tidak demikian, karena lima ribu dirham dengan jauhnya medan perang dan mahalnya harga bukanlah lebih dari kebutuhan orang yang memiliki banyak tanggungan. Jika telah tetap apa yang kami sebutkan tentang penetapan tunjangan mereka sesuai kebutuhan, maka apa yang diberikan kepada mereka termasuk dalam dua pendapat tentang penyaluran empat per lima bagian al-fay’.

فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ مَصْرُوفٌ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ أُعْطُوا مِنْهُ قَدْرَ أَرْزَاقِهِمْ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نَقْصٍ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْهَا كَانَ الْفَضْلُ بَاقِيًا فِي بَيْتِ الْمَالِ، وَإِنْ نَقَصَ عَنْهَا كَانَ الْبَاقِي لَهُمْ دَيْنًا عَلَى بَيْتِ المال، وإن قيل: إن لِلْجَيْشِ خَاصَّةً قُسِمَ بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ كِفَايَاتِهِمْ بِزِيَادَةٍ وَنَقْصٍ.

Jika dikatakan: Sesungguhnya harta itu digunakan untuk kemaslahatan umum kaum Muslimin, maka mereka diberikan tunjangan sesuai kebutuhan mereka tanpa penambahan dan pengurangan. Jika ada kelebihan, maka sisanya tetap berada di Baitul Mal. Jika kurang, maka sisanya menjadi utang bagi mereka atas Baitul Mal. Dan jika dikatakan: Harta itu khusus untuk tentara, maka dibagikan kepada mereka sesuai kebutuhan, dengan penambahan atau pengurangan.

مِثَالُهُ: أَنْ يَكُونَ رِزْقُ أَحَدِهِمُ الْكَافِي لَهُ أَلْفَ دِرْهَمٍ، وَرِزْقُ الْآخَرِ أَلْفَيْ دِرْهَمٍ وَرِزْقُ الثَّالِثِ الْآخَرِ ثَلَاثَةَ آلَافِ دِرْهَمٍ وَرِزْقُ الرَّابِعِ أَرْبَعَةَ آلَافِ دِرْهَمٍ فَيَكُونُ رِزْقُ هَؤُلَاءِ الْأَرْبَعَةِ عَشْرَةُ آلَافِ دِرْهَمٍ لِصَاحِبِ الْأَلْفِ عُشْرُهَا وَلِصَاحِبِ الْأَلْفَيْنِ خُمُسُهَا وَلِصَاحِبِ الثَّلَاثَةِ آلَافٍ ثَلَاثَةُ أَعْشَارِهَا وَلَصَاحِبِ الْأَرْبَعَةِ آلَافٍ خُمُسَاهَا، فَيَنْقَسِمُ الْحَاصِلُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ عَلَى عَشْرَةِ أَسْهُمٍ لِصَاحِبِ الْأَلْفِ سَهْمٌ وَلِصَاحِبِ الْأَلْفَيْنِ سَهْمَانِ، وَلِصَاحِبِ الثَّلَاثَةِ آلَافٍ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ، وَعَلَى هَذَا الْحِسَابِ فَإِنْ كَانَ الْمَالُ عَشْرَةَ آلَافِ دِرْهَمٍ بِقَدْرِ أَرْزَاقِهِمْ فَقَدِ اسْتَوْفَوْهَا، وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ قُسِمَ جَمِيعُهُ عَلَى هَذَا أَوْ كَانَتِ الزِّيَادَةُ لَهُمْ، وَلَا يُحْتَسَبُ بِمَا عَلَيْهِمْ، وَإِنْ كَانَتْ أَقَلَّ كَانَ النُّقْصَانُ عَلَيْهِمْ لَا يُحْتَسَبُ بِهِ لَهُمْ فَيَكُونُ الْفَرْقُ بَيْنَ الْقَوْلَيْنِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Contohnya: Seseorang di antara mereka memiliki rizki yang cukup baginya sebesar seribu dirham, yang lain dua ribu dirham, yang ketiga tiga ribu dirham, dan yang keempat empat ribu dirham. Maka rizki keempat orang ini adalah sepuluh ribu dirham; bagi pemilik seribu dirham adalah sepersepuluhnya, bagi pemilik dua ribu dirham adalah seperlimanya, bagi pemilik tiga ribu dirham adalah tiga persepuluhnya, dan bagi pemilik empat ribu dirham adalah dua perlimanya. Maka hasil dari empat per lima bagian fai’ dibagi menjadi sepuluh bagian: untuk pemilik seribu dirham satu bagian, untuk pemilik dua ribu dirham dua bagian, untuk pemilik tiga ribu dirham tiga bagian. Berdasarkan perhitungan ini, jika harta itu sepuluh ribu dirham sesuai dengan kebutuhan mereka, maka mereka telah mendapatkannya secara penuh. Jika lebih, seluruhnya dibagi dengan cara ini atau kelebihan itu diberikan kepada mereka, dan tidak diperhitungkan atas apa yang menjadi tanggungan mereka. Jika kurang, maka kekurangannya menjadi tanggungan mereka dan tidak diperhitungkan sebagai kelebihan bagi mereka. Maka perbedaan antara dua pendapat itu ada pada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُمْ عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ إِذَا اتَّسَعَ المال لم يزادوا على أرزاقهم، وَعَلَى الثَّانِي يُزَادُونَ.

Pertama: Menurut pendapat pertama, jika harta itu banyak, mereka tidak diberi lebih dari kebutuhan mereka, sedangkan menurut pendapat kedua, mereka diberi tambahan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا أَنَّهُمَا عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ إِذَا ضَاقَ الْمَالُ يَقْضُونَ بَقِيَّةَ أَرْزَاقِهِمْ وَعَلَى الثَّانِي لَا يَقْضُونَ.

Sisi kedua dari perbedaan antara keduanya adalah: menurut pendapat pertama, jika harta itu sedikit, maka sisa kebutuhan mereka tetap harus dipenuhi, sedangkan menurut pendapat kedua, tidak harus dipenuhi.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَيَنْبَغِي لِوَالِي الْجَيْشِ أَنْ يَسْتَعْرِضَ أَهْلَ الْعَطَاءِ فِي وَقْتِ كُلِّ عَطَاءٍ فَمَنْ وُلِدَ لَهُ مِنْهُمْ زَادَهُ لِأَجْلِ وَلَدِهِ وَمَنْ مات له ولد نقصه قسط ولده وإذا ينفس الْمَوْلُودُ زَادَهُ حَالًا بَعْدَ حَالٍ حَتَّى يَبْلُغَ، فَإِذَا بَلَغَ خَرَجَ مِنْ جُمْلَةِ الذُّرِّيَّةِ، وَصَارَ مِنَ الْمُقَاتِلَةِ، فَأَثْبَتَهُ فِي الدِّيوَانِ، وَفَرَضَ لَهُ فِي الْعَطَاءِ رِزْقًا، وَرَاعَى حَالَ مَنْ يَنْكِحُ مِنَ الزَّوْجَاتِ أَوْ يُطَلِّقُ وَمَنْ يَمْلِكُ مِنَ الْعَبِيدِ وَالْإِمَاءِ أَوْ يَبِيعُ لِيَزِيدَهُ مِمَّنْ نَكَحَ أَوْ مَلَكَ وَيَنْقُصَهُ لِأَجْلِ مَنْ طَلَّقَ أَوْ بَاعَ وَكَذَا يُرَاعِي حَالَ خَيْلِهِ فِي الشِّرَاءِ وَالْبَيْعِ إِلَّا أَنْ يَتَجَاوَزَ قَدْرَ الْحَاجَةِ فِي شراء العبيد والخيل فلا يزاد لأجلهم.

Hendaknya wali (pemimpin) pasukan meninjau ulang para penerima ‘athā’ (pemberian) pada setiap waktu pembagian. Siapa di antara mereka yang mendapatkan anak, maka ditambah bagian untuk anaknya; siapa yang anaknya meninggal, maka dikurangi bagian anaknya. Jika ada anak yang baru lahir, maka ditambah sedikit demi sedikit hingga ia dewasa. Jika sudah dewasa, ia keluar dari golongan anak-anak dan menjadi bagian dari para muqātilah (prajurit), lalu dicatat dalam diwan (daftar administrasi), dan ditetapkan baginya rizki dalam ‘athā’. Juga memperhatikan keadaan siapa yang menikah atau menceraikan istri, siapa yang memiliki atau menjual budak laki-laki dan perempuan, untuk menambah bagian bagi yang menikah atau memiliki budak, dan mengurangi bagi yang menceraikan atau menjual. Begitu pula memperhatikan keadaan kuda yang dimiliki dalam pembelian dan penjualan, kecuali jika jumlah budak dan kuda yang dibeli melebihi kebutuhan, maka tidak ditambah bagian untuk mereka.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” ثُمَّ يُعْطِي الْمُقَاتِلَةَ فِي كُلِّ عَامٍ عَطَاءَهُمْ وَالذُّرِّيَّةَ وَالنِّسَاءَ مَا يَكْفِيهِمْ لِسَنَتِهِمْ فِي كُسْوَتِهِمْ وَنَفَقَاتِهِمْ طَعَامًا أَوْ قِيمَتَهُ دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ يُعْطِي الْمَنْفُوسَ شَيْئًا ثُمَّ يُزَادُ كُلَّمَا كَبُرَ عَلَى قَدْرِ مُؤْنَتِهِ وَهَذَا يَسْتَوِي لِأَنَّهُمْ يُعْطَوْنَ الكفاية ويختلف في مبلغ العطاء باختلاف أسعار البلدان وحالات الناس فيها فإن المؤنة في بعض البلدان أثقل منها في بعض ولا أعلم أصحابنا اختلفوا في أن العطاء للمقاتلة حيث كانت إنما يكون من الفيء وقالوا لا بأس أن يعطى الرجل لنفسه أكثر من كفايته وذلك أن عمر رضي الله عنه بلغ في العطاء خمسة آلاف وهي أكثر من كفاية الرجل لنفسه ومنهم من قال خمسة آلاف بالمدينة ويغزو إذا غزى وليست بأكثر من الكفاية إذا غزا عليها لبعد المغزى (قال الشافعي) وهذا كالكفاية على أنه يغزو وإن لم يغز في كل سنة “.

Imam Syafi‘i berkata: “Kemudian hendaknya diberikan kepada para muqātilah setiap tahun bagian mereka, dan kepada anak-anak serta perempuan apa yang mencukupi kebutuhan mereka selama setahun untuk pakaian dan nafkah mereka, baik berupa makanan atau nilainya dalam dirham atau dinar. Diberikan kepada anak yang baru lahir sesuatu, lalu ditambah setiap kali ia bertambah besar sesuai kebutuhannya. Hal ini berlaku sama karena mereka diberikan kecukupan, dan besaran ‘athā’ berbeda-beda sesuai harga di berbagai negeri dan keadaan masyarakat di dalamnya, karena kebutuhan di sebagian negeri lebih berat daripada di negeri lain. Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan sahabat kami bahwa ‘athā’ bagi muqātilah di mana pun hanya diambil dari fai’, dan mereka berkata tidak mengapa seseorang menerima untuk dirinya lebih dari kecukupannya. Hal ini karena Umar radhiyallahu ‘anhu pernah menetapkan ‘athā’ lima ribu (dirham), yang itu lebih dari kecukupan seseorang untuk dirinya sendiri. Ada juga yang mengatakan lima ribu di Madinah dan digunakan untuk berperang jika ia berperang, dan itu tidak lebih dari kecukupan jika digunakan untuk berperang karena jauhnya medan perang.” (Imam Syafi‘i berkata:) “Ini seperti kecukupan, yaitu ia berperang meskipun tidak berperang setiap tahun.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَإِذَا قَدْ مَضَى مَا يَتَعَذَّرُ بِهِ الْعَطَاءُ فَهَذَا الْفَصْلُ يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: “Ini benar. Jika telah berlalu masa yang menyebabkan ‘athā’ tidak dapat diberikan, maka fasal ini mencakup dua bagian:

أَحَدُهُمَا: وَقْتُ الْعَطَاءِ وَزَمَانُهُ.

Pertama: Waktu dan masa pemberian ‘athā’.

وَالثَّانِي: جِنْسُهُ وَنَوْعُهُ.

Kedua: Jenis dan macamnya.

وَهَذَانِ الْفَصْلَانِ يَخْتَلِفَانِ بِاخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي مَالِ الْفَيْءِ.

Kedua bagian ini berbeda sesuai dengan dua pendapat dalam masalah harta fai’.

فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ مِلْكٌ لِلْجَيْشِ خَاصَّةً فَوَقْتُ الْعَطَاءِ هُوَ الْوَقْتُ الَّذِي يَتَكَامَلُ فِيهِ حُصُولُ الْمَالِ سَوَاءً تَعَجَّلَ أَوْ تَأَجَّلَ، وَلَيْسَ لِلْإِمَامِ أَنْ يُؤَخِّرَهُ عَنْهُمْ إِذَا حُصِّلَ وَلَا لَهُمْ مُطَالَبَتُهُ بِهِ إِنْ تَأَخَّرَ إِلَّا أَنْ يُؤَخِّرَ جِبَايَتَهُ بَعْدَ اسْتِحْقَاقِهِ فَلَهُمْ أَنْ يُطَالِبُوهُ بِاجْتِبَائِهِ وَاسْتِخْلَاصِهِ، ثُمَّ الْجِنْسُ الْحَاصِلُ مِنَ الْمَالِ هُوَ الَّذِي يُسْتَحَقُّ دَفْعُهُ إِلَيْهِمْ سَوَاءً كَانَ وَرِقًا أَوْ ذَهَبًا أَوْ حِنْطَةً أَوْ شَعِيرًا إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي جُمْلَةِ عُرُوضٍ فَتُبَاعُ وَتُضَمُّ أَثْمَانُهَا إِلَى الْمَالِ ثُمَّ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يُجْمَعُ الْفَيْءُ فِي جَمِيعِ الْأَقَالِيمِ فَيُقَسَّمُ فِي جَمِيعِ أَهْلِ الْفَيْءِ حَتَّى يَتَسَاوَى جَمِيعُ أَهْلِ الْفَيْءِ فِي كُلِّ مَالِ الْفَيْءِ، وَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ يُقَسَّمُ مَالُ كُلِّ إِقْلِيمٍ فِي أَهْلِهِ.

Jika dikatakan: Sesungguhnya itu adalah milik khusus bagi tentara, maka waktu pemberian adalah waktu di mana harta itu telah terkumpul secara sempurna, baik didapatkan lebih awal maupun ditunda. Imam tidak boleh menunda pemberian itu dari mereka jika harta sudah terkumpul, dan mereka pun tidak berhak menuntutnya jika pemberian itu terlambat, kecuali jika penarikan harta itu memang sengaja ditunda setelah mereka berhak menerimanya, maka mereka boleh menuntut imam untuk segera menarik dan mengumpulkan harta tersebut. Kemudian, jenis harta yang didapatkan itulah yang wajib diberikan kepada mereka, baik berupa perak, emas, gandum, atau jelai, kecuali jika harta tersebut berupa barang dagangan, maka barang itu dijual dan hasil penjualannya digabungkan ke dalam harta, lalu dibagikan. Adapun menurut mazhab asy-Syafi‘i, harta fai’ dari seluruh wilayah dikumpulkan lalu dibagikan kepada seluruh penerima fai’, sehingga semua penerima fai’ di setiap wilayah mendapatkan bagian yang sama dari seluruh harta fai’. Sedangkan menurut mazhab Abu Ishaq al-Marwazi, harta fai’ setiap wilayah dibagikan kepada penduduk wilayah tersebut saja.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا قِيلَ إِنَّ أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ مَصْرُوفٌ فِي وُجُوهِ الْمَصَالِحِ الْعَامَّةِ الَّتِي مِنْهَا عَطَاءُ الْجَيْشِ وَجَبَ بَيَانُ الْفَصْلَيْنِ فِي وَقْتِ الْعَطَاءِ وَجِنْسِ الْمَالِ الْمُعْطَى.

Adapun jika dikatakan bahwa empat perlima dari harta fai’ digunakan untuk berbagai kepentingan kemaslahatan umum, yang di antaranya adalah pemberian kepada tentara, maka wajib dijelaskan dua hal, yaitu waktu pemberian dan jenis harta yang diberikan.

فَأَمَّا وَقْتُ الْعَطَاءِ فَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِمَالِ الْفَيْءِ فَإِنْ كَانَ مُسْتَحَقًّا فِي دُفْعَةٍ وَاحِدَةٍ جُعِلَ وَقْتُ الْعَطَاءِ فِي دُفْعَةٍ وَاحِدَةٍ مِنَ السَّنَةِ، وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْوَقْتُ مِنَ السَّنَةِ مَعْلُومًا عِنْدَ جَمِيعِ أَهْلِ الفيء ليقدر إليه نفقاتهم يتوقعوا فيهم أَرْزَاقَهُمْ وَيُنْظِرَهُمْ إِلَيْهِ تُجَّارُهُمْ، وَيُخْتَارُ أَنْ يَكُونَ فِي الْمُحَرَّمِ، لِأَنَّهُ أَوَّلُ السَّنَةِ الْعَرَبِيَّةِ، فَإِذَا حَلَّ وَفَّاهُمْ عَطَاءَ السَّنَةِ بِأَسْرِهِ، وَإِذَا كَانَ مَالُ الْفَيْءِ مُسْتَحَقًّا فِي أَوْقَاتٍ شَتَّى مِنَ السَّنَةِ جَعَلَ لِلْعَطَاءِ وَقْتَيْنِ وَقَسَمَهُ نِصْفَيْنِ وَأَعْطَاهُمْ بعد كل سنة أَشْهُرٍ نِصْفَهُ وَلَا يَجِبُ أَنْ يَجْعَلَ لِلْعَطَاءِ فِي السَّنَةِ أَكْثَرَ مِنْ وَقْتَيْنِ وَلَا أَنْ يَجْعَلَهُ مُشَاهَرَةً، وَإِنْ قُبِضَ مَالُ الْفَيْءِ مُشَاهَرَةً لِأَمْرَيْنِ:

Adapun waktu pemberian, maka itu disesuaikan dengan harta fai’. Jika harta tersebut wajib diberikan dalam satu kali pembayaran, maka waktu pemberian pun dilakukan dalam satu kali pembayaran dalam setahun. Waktu tersebut hendaknya diketahui oleh seluruh penerima fai’, agar mereka dapat memperkirakan pengeluaran dan mengantisipasi penghasilan mereka, serta para pedagang dapat menunggu mereka. Waktu yang dipilih adalah bulan Muharram, karena itu adalah awal tahun Hijriah. Ketika bulan itu tiba, diberikanlah seluruh pemberian untuk setahun penuh. Jika harta fai’ wajib diberikan pada beberapa waktu yang berbeda dalam setahun, maka pemberian dibagi menjadi dua kali dan dibagi menjadi dua bagian; diberikan kepada mereka setiap enam bulan setengahnya. Tidak wajib menjadikan pemberian lebih dari dua kali dalam setahun, dan tidak pula menjadikannya setiap bulan, meskipun harta fai’ diterima setiap bulan, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: لِئَلَّا يَصِيرَ الْجَيْشُ مُتَشَاغِلًا فِي كُلِّ السَّنَةِ بِالْقَبْضِ وَالطَّلَبِ.

Pertama: Agar tentara tidak terus-menerus sibuk sepanjang tahun dengan menerima dan menuntut pemberian.

وَالثَّانِي: كَيْ لَا يَنْقَطِعَ عَنِ الْجِهَادِ تَوَقُّعًا لِحُلُولِ الشُّهُورِ أَوْ تَتَأَخَّرُ عَنْهُمْ إِنْ خَرَجُوا.

Kedua: Agar mereka tidak meninggalkan jihad hanya karena menunggu datangnya bulan-bulan pemberian, atau pemberian itu terlambat jika mereka sedang keluar (berjihad).

فَإِنْ قِيلَ: أَفَيَكُونُ الْعَطَاءُ لِمَا مَضَى مِنَ الْمُدَّةِ أَوْ لِمَا يُسْتَقْبَلُ مِنْهَا.

Jika dikatakan: Apakah pemberian itu untuk masa yang telah lalu atau untuk masa yang akan datang?

قِيلَ: لَيْسَ هُوَ لِمَا مَضَى وَلَا لِمَا يُسْتَقْبَلُ لِأَنَّ أَرْزَاقَ الْمُقَاتِلَةِ تَجْرِي مَجْرَى الْجُعَالَةِ، وَالْوُجُوبُ مُتَعَلِّقٌ بِحُصُولِ الْمَالِ وَالْأَدَاءُ مُسْتَحَقٌّ بِحُلُولِ الْوَقْتِ وَعَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ يَكُونُ الْوُجُوبُ وَالْأَدَاءُ مَعًا مُتَعَلِّقَيْنِ بِحُصُولِ الْمَالِ وَاللَّهُ أعلم.

Dijawab: Pemberian itu bukan untuk masa yang telah lalu dan bukan pula untuk masa yang akan datang, karena tunjangan bagi para tentara berlaku seperti ju‘ālah (upah atas suatu pekerjaan), di mana kewajiban pemberian itu terkait dengan terkumpulnya harta, dan pembayaran menjadi hak mereka ketika waktu pemberian tiba. Menurut pendapat pertama, kewajiban dan pembayaran keduanya terkait dengan terkumpulnya harta. Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا جِنْسُ الْمَالِ الْمُعْطَى فَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ فِي جُمْلَةِ مَا قَدَّرَهُ مِنْ كِفَايَاتِهِمْ طَعَامٌ لِأَقْوَاتِهِمْ وَشَعِيرٌ لِدَوَابِّهِمْ وَثِيَابٌ لِكُسْوَتِهِمْ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ أَهْلُ الْأَمْصَارِ فَيَجِبُ اخْتِلَافُهَا عَلَى قَدْرِ عَادَاتِهَا؛ فَيُقَوِّمُ مَا سِوَى الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَرِقًا أَوْ ذَهَبًا، فَأَمَّا الْحِنْطَةُ وَالشَّعِيرُ فَيَنْظُرُ فَإِنْ كَانَ فِي مَالِ الْفَيْءِ الْمُسْتَحَقِّ حِنْطَةٌ وَشَعِيرٌ قَدَّرَهُ لَهُمْ حَبًّا، وَأَعْطَاهُمْ إِيَّاهُ مَعَ أَرْزَاقِهِمْ مِنَ الْوَرِقِ وَالذَّهَبِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي مَالِ الْفَيْءِ الْمُسْتَحَقِّ حِنْطَةٌ وَلَا شَعِيرٌ أَعْطَاهُمْ قِسْمَتَهُ وَرِقًا أَوْ ذَهَبًا بِسِعْرِ وَقْتِهِ وَالْوَرِقُ أَخَصُّ بِالْعَطَاءِ مِنَ الذَّهَبِ لِأَمْرَيْنِ:

Adapun jenis harta yang diberikan, maka harus mencakup kebutuhan pokok mereka, seperti makanan pokok untuk konsumsi mereka, jelai untuk hewan tunggangan mereka, pakaian untuk kebutuhan sandang mereka, dan kebutuhan lain yang diperlukan oleh penduduk kota. Maka, jenis harta yang diberikan harus berbeda-beda sesuai dengan kebiasaan masing-masing daerah. Selain gandum dan jelai, kebutuhan lainnya dinilai dengan perak atau emas. Adapun gandum dan jelai, jika dalam harta fai’ yang wajib diberikan terdapat gandum dan jelai, maka diberikan kepada mereka dalam bentuk biji-bijian, dan diberikan bersama tunjangan mereka berupa perak dan emas. Jika dalam harta fai’ yang wajib diberikan tidak terdapat gandum dan jelai, maka diberikan bagian mereka dalam bentuk perak atau emas sesuai harga saat itu. Perak lebih utama digunakan untuk pemberian daripada emas karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: اتِّبَاعُ الْأَئِمَّةِ الرَّاشِدِينَ.

Pertama: Mengikuti para khalifah Rasyidin.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ يُصْرَفُ فِي قَلِيلِ النَّفَقَاتِ وَكَثِيرِهَا فَلَا يُعْدَلُ عَنْهُ إِلَى الذَّهَبِ إِلَّا إِذَا كَانَ مَالُ الْفَيْءِ ذَهَبًا أَوْ كَانَ هُوَ الْأَغْلَبَ فِي مُعَامَلَاتِ النَّاسِ، فَلَوْ تَعَامَلَ النَّاسُ بِالْفُلُوسِ لَمْ يَجْعَلْ مَالَ الْعَطَاءِ فُلُوسًا، لِأَنَّهَا فِي الْمُعَامَلَاتِ نَادِرَةٌ وَلِذَلِكَ خَرَجَتْ عَنْ أَنْ يَثْبُتَ فِيهَا الرِّبَا، وَتَجِبَ فِيهَا الزَّكَاةُ.

Kedua: Bahwa ia digunakan untuk kebutuhan yang sedikit maupun banyak, sehingga tidak boleh beralih darinya kepada emas kecuali jika harta fai’ berupa emas atau emas lebih dominan dalam transaksi masyarakat. Maka, jika masyarakat bertransaksi dengan fulus (uang logam), harta pemberian (‘athā’) tidak dijadikan fulus, karena fulus jarang digunakan dalam transaksi. Oleh karena itu, fulus keluar dari ketentuan yang menetapkan adanya riba dan kewajiban zakat padanya.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَلَمْ يَخْتَلِفْ أَحَدٌ لَقِيتُهُ فِي أَنْ لَيْسَ لِلْمَمَالِيكِ فِي الْعَطَاءِ حَقٌّ وَلَا الْأَعْرَابِ الَّذِينَ هُمْ أَهْلُ الصَّدَقَةِ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Tidak ada seorang pun yang aku temui berbeda pendapat bahwa para budak tidak memiliki hak dalam pemberian (‘athā’), begitu pula orang-orang Arab Badui yang merupakan penerima sedekah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan.

الْمَمْلُوكُ لَا يُفْرَدُ لَهُ فِي الْعَطَاءِ سَوَاءً قَاتَلَ مَعَ سَيِّدِهِ أَوْ تَشَاغَلَ بِخِدْمَتِهِ لَكِنْ يُزَادُ السَّيِّدُ فِي عَطَائِهِ لِمَا يَتَكَلَّفُهُ مِنْ نَفَقَةِ عَبْدِهِ، وَحُكِيَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ أَعْطَى الْعَبِيدَ فِي أَيَّامِ خِلَافَتِهِ فَلَمَّا أَفْضَى الْأَمْرُ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَرَمَهُمْ. وَلَمْ يُعْطِهِمْ وَهُوَ الْأَصَحُّ لِأَمْرَيْنِ:

Budak tidak ditetapkan bagian khusus dalam pemberian (‘athā’), baik ia ikut berperang bersama tuannya maupun sibuk melayani tuannya. Namun, tuan dapat ditambah bagian pemberiannya karena ia menanggung nafkah budaknya. Diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. bahwa beliau pernah memberikan kepada para budak pada masa kekhalifahannya. Namun, ketika urusan berpindah kepada Umar bin Khattab ra., beliau melarangnya dan tidak memberikan kepada mereka, dan inilah pendapat yang paling benar karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَمْلِكُ وَإِنَّمَا هُوَ عَوْنٌ لِسَيِّدِهِ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ وَكُسْوَتُهُ وَلَهُ كَسْبُهُ.

Pertama: Budak tidak memiliki (harta), ia hanyalah penolong bagi tuannya; nafkah dan pakaiannya menjadi tanggungan tuannya, dan hasil kerjanya pun milik tuannya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ فَيُعْطَى عَطَاءَ الْمُجَاهِدِينَ أَلَا تَرَاهُ لَوْ حَضَرَ الْوَقْعَةَ لَمْ يَتَعَيَّنْ عَلَيْهِ الْقِتَالُ فِيهَا.

Kedua: Ia bukan termasuk ahli jihad sehingga diberikan bagian seperti para mujahid. Bukankah engkau melihat, jika ia hadir dalam pertempuran, tidak wajib baginya untuk ikut berperang di dalamnya.

فَإِنْ قِيلَ فَكَيْفَ قَالَ الشَّافِعِيُّ لَمْ يَخْتَلِفْ أَحَدٌ لَقِيتُهُ فِي أَنْ لَيْسَ لِلْمَمَالِيكِ فِي الْعَطَاءِ حَقٌّ فَادَّعَى فِي ذَلِكَ الْإِجْمَاعَ، وَأَبُو بَكْرٍ قَدْ خَالَفَ وَلَا يَنْعَقِدُ الْإِجْمَاعُ مَعَ خِلَافِهِ فَعَنْ ذَلِكَ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ:

Jika dikatakan: Bagaimana mungkin Imam Syafi‘i berkata tidak ada seorang pun yang aku temui berbeda pendapat bahwa para budak tidak memiliki hak dalam pemberian (‘athā’), sehingga beliau mengklaim adanya ijmā‘ (konsensus) dalam hal itu, padahal Abu Bakar telah berbeda pendapat, dan ijmā‘ tidak terwujud jika ada yang menyelisihi? Maka, ada tiga jawaban atas hal ini:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ صَارَ بِذَلِكَ إِلَى مَنْ لَقِيَهُ مِنْ أَهْلِ عَصْرِهِ وَهُوَ لَمْ يُعَاصِرِ الصَّحَابَةَ.

Pertama: Bahwa beliau (Syafi‘i) mengacu pada orang-orang yang beliau temui dari kalangan ulama pada masanya, sedangkan beliau tidak sezaman dengan para sahabat.

وَالثَّانِي: قَدْ يَعْقُبُ خِلَافَ الصَّحَابَةِ إِجْمَاعُ مَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ الْأَعْصَارِ فَصَارَ حُكْمُ الْخِلَافِ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنْ أصحابنا مرتفعا.

Kedua: Bisa jadi setelah adanya perbedaan pendapat di kalangan sahabat, kemudian terjadi ijmā‘ di kalangan generasi setelah mereka, sehingga menurut banyak ulama kami, status perbedaan pendapat itu menjadi tidak berlaku lagi.

والثالث: أنه أشار ذلك إِلَى عَبِيدِ الْخِدْمَةِ لَا عَبِيدِ الْمُقَاتِلَةِ وَلَمْ يعطهم أبو بكر ولا أحد بعدهم شَيْئًا.

Ketiga: Bahwa yang dimaksud adalah budak-budak pelayan, bukan budak-budak yang ikut berperang, dan Abu Bakar maupun siapa pun setelahnya tidak memberikan apa pun kepada mereka.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا الْأَعْرَابُ فَالْمُرَادُ بِهِمْ مَنْ لَمْ يَثْبُتْ فِي دِيوَانَ الْجَيْشِ، وَلَا الْتَزَمَ مُلَازَمَةَ الْجِهَادِ وَلَكِنْ يَغْزُو إِذَا أَرَادَ وَيَقْعُدُ إِذَا شَاءَ، فَهَؤُلَاءِ هُمُ الْمُسَمَّوْنَ أَعْرَابًا سَوَاءً كَانُوا عَرَبًا أَوْ عَجَمًا فَيُعْطَى هَؤُلَاءِ إِذَا غزو مِنَ الصَّدَقَاتِ مِنْ سَهْمِ سَبِيلِ اللَّهِ مَا يُعِينُهُمْ عَلَى غَزْوِهِمْ وَلَا يُعْطَوْنَ مِنْ مَالِ الْفَيْءِ شَيْئًا، فَإِنْ دَخَلُوا فِي أَهْلِ الْفَيْءِ وَأَثْبَتُوا أَنْفُسَهُمْ فِي الدِّيوَانِ وَالْتَزَمُوا الْجِهَادَ مَعَهُمْ، إِذَا جَاهَدُوا صَارُوا فِي عَدَدِ الْجَيْشِ وَمِنْ جُمْلَةِ الْمُقَاتِلَةِ فَيُفْرَضُ لَهُمْ فِي عَطَاءِ أَهْلِ الْفَيْءِ وَيُخْرَجُوا مِنْ عِدَادِ أَهْلِ الصَّدَقَةِ وَيُحْرَمُوا مَا كَانُوا يُعْطَوْهُ مِنْهَا كَيْ لَا يَجْمَعُوا بَيْنَ مَالِ الصَّدَقَةِ وَمَالِ الْفَيْءِ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدْ مَيَّزَ أَهْلَ الصَّدَقَةِ مِنْ أَهْلِ الْفَيْءِ فِي أَيَّامِهِ وَكَذَلِكَ خُلَفَاؤُهُ الرَّاشِدُونَ مِنْ بَعْدِهِ فَصَارَ الْغُزَاةُ ضَرْبَيْنِ.

Adapun yang dimaksud dengan orang-orang Arab (a‘rāb) adalah mereka yang tidak tercatat dalam diwan (daftar) tentara dan tidak berkomitmen untuk senantiasa berjihad, tetapi mereka berperang jika menghendaki dan tidak ikut jika tidak mau. Mereka inilah yang disebut a‘rāb, baik mereka bangsa Arab maupun non-Arab. Mereka ini, jika berperang, diberikan dari sedekah (ṣadaqah) melalui bagian fī sabīlillāh (di jalan Allah) sekadar yang membantu mereka dalam peperangan, dan tidak diberikan kepada mereka apa pun dari harta fai’. Jika mereka masuk ke dalam kelompok ahli fai’, mencatatkan diri dalam diwan, dan berkomitmen berjihad bersama mereka, maka ketika mereka berjihad, mereka menjadi bagian dari tentara dan termasuk kelompok muqatilah (pejuang), sehingga ditetapkan bagian untuk mereka dari pemberian ahli fai’ dan dikeluarkan dari golongan penerima sedekah serta diharamkan apa yang sebelumnya mereka terima dari sedekah, agar mereka tidak menggabungkan antara harta sedekah dan harta fai’. Karena Rasulullah ﷺ telah membedakan antara penerima sedekah dan penerima fai’ pada masa beliau, demikian pula para khalifah Rasyidun setelah beliau. Maka, para pejuang terbagi menjadi dua kelompok.

أَهْلَ صَدَقَةٍ وَهُمْ مَا ذَكَرْنَا.

Kelompok penerima sedekah, yaitu sebagaimana yang telah kami sebutkan.

وَأَهْلَ فَيْءٍ وَهُمْ مَنْ وَصَفْنَا، وَحُكْمُهُمَا مُتَمَيِّزٌ عَلَى مَا بَيَّنَّا، وَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَجْعَلُ الْأَعْرَابَ الْمُعْطَوْنَ مِنَ الصَّدَقَةِ دُونَ الْفَيْءِ الَّذِينَ هُمْ أَشْذَاذٌ مُفْتَرِقُونَ لَا يَرْهَبُهُمُ الْعَدُوُّ وَلَا يَسْتَعِينُ بِهِمُ الْإِمَامُ، فَإِنْ قَوِيَ جَمْعُهُمْ وَكَثُرَ عَدَدُهُمْ حَتَّى رَهِبَهُمُ الْعَدُوُّ وَاسْتَعَانَ بِهِمُ الْإِمَامُ صَارُوا مِنْ أَهْلِ الْفَيْءِ وَالْأَوَّلُ هُوَ المذهب والله أعلم.

Dan kelompok penerima fai’, yaitu sebagaimana yang telah kami jelaskan, dan hukum keduanya berbeda sebagaimana telah kami uraikan. Sebagian ulama kami menganggap a‘rāb yang menerima dari sedekah dan bukan dari fai’ adalah mereka yang terpencar-pencar dan tidak ditakuti oleh musuh serta tidak dimanfaatkan oleh imam. Namun, jika mereka menjadi kuat dan jumlah mereka banyak hingga musuh takut kepada mereka dan imam memanfaatkan mereka, maka mereka menjadi bagian dari ahli fai’. Pendapat pertama adalah madzhab yang benar, dan Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَاخْتَلَفُوا فِي التَّفْضِيلِ عَلَى السَّابِقَةِ وَالنَّسَبِ فَمِنْهُمْ من قال أسوي بين الناس فإن أبا بكر رضي الله عنه حين قال له عمر أتجعل للذين جاهدوا في سبيل اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَهَجَرُوا دِيَارَهُمْ كَمَنْ دَخَلَ فِي الْإِسْلَامِ كَرْهًا؟ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّمَا عَمِلُوا لِلَّهِ وَإِنَّمَا أُجُورُهُمْ عَلَى اللَّهِ وَإِنَّمَا الدنيا بلاغ وسوى علي بن أبي طالب رضي الله عنه بين الناس ولم يفضل (قال الشافعي) رحمه الله: وهذا الذي أختاره وأسأل الله التوفيق وذلك أني رأيت الله تعالى قسم المواريث على العدد فسوى فقد تكون الإخوة متفاضلي الغناء عن الميت في الصلة في الحياة والحفظ بعد الموت وَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قسم لمن حضر الوقعة من الأربعة الأخماس على العدد فسوى ومنهم من يغنى غاية الغناء ويكون الفتوح على يديه ومنهم من يكون محضره إما غير نافع وإما ضارا بالجبن والهزيمة فلما وجدت الكتاب والسنة على التسوية كما وصفت كانت التسوية أولى من التفضيل على النسب أو السابقة ولو وجدت الدلالة على التفضيل أرجح بكتاب أو سنة كُنْتُ إِلَى التَّفْضِيلِ بِالدِّلَالَةِ مَعَ الْهَوَى أَسْرَعَ (قال الشافعي) وإذا قرب القوم من الجهاد ورخصت أسعارهم أعطوا أقل ما يعطى من بعدت داره وغلا سعره وهذا وإن تفاضل عدد العطية تسوية على معنى ما يلزم كل واحد من الفريقين في الجهاد إذا أراده “.

Imam Syafi‘i berkata: “Mereka berbeda pendapat dalam hal keutamaan berdasarkan keutamaan terdahulu (as-sābiqah) dan nasab. Di antara mereka ada yang berkata, ‘Aku menyamakan antara manusia.’ Ketika Abu Bakar ra. ditanya oleh Umar, ‘Apakah engkau menyamakan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka serta berhijrah meninggalkan kampung halamannya dengan orang yang masuk Islam karena terpaksa?’ Maka Abu Bakar menjawab, ‘Sesungguhnya mereka beramal karena Allah, dan sesungguhnya pahala mereka ada pada Allah, dan dunia ini hanyalah tempat persinggahan.’ Ali bin Abi Thalib ra. juga menyamakan antara manusia dan tidak mengutamakan (satu atas yang lain). (Imam Syafi‘i) rahimahullah berkata: Inilah yang aku pilih dan aku memohon taufik kepada Allah. Hal itu karena aku melihat Allah Ta‘ala membagi warisan berdasarkan jumlah, maka Dia menyamakan (pembagian), padahal bisa jadi saudara-saudara itu berbeda-beda dalam hal manfaat yang mereka berikan kepada si mayit, baik dalam hubungan semasa hidup maupun dalam menjaga setelah wafat. Aku juga melihat Rasulullah saw. membagikan empat per lima (ghanimah) kepada mereka yang hadir dalam peristiwa (perang) berdasarkan jumlah, maka beliau menyamakan (pembagian), padahal di antara mereka ada yang sangat berjasa dan kemenangan diraih melalui tangannya, dan ada pula yang kehadirannya bahkan tidak bermanfaat atau bahkan merugikan karena pengecut dan lari dari medan perang. Maka ketika aku mendapati al-Kitab dan as-Sunnah menunjukkan persamaan sebagaimana yang telah aku jelaskan, maka persamaan lebih utama daripada mengutamakan berdasarkan nasab atau keutamaan terdahulu. Namun, jika aku menemukan dalil yang lebih kuat untuk mengutamakan, baik dari al-Kitab maupun as-Sunnah, niscaya aku akan lebih cepat condong kepada keutamaan berdasarkan dalil, meskipun ada kecenderungan pribadi. (Imam Syafi‘i berkata:) Jika suatu kaum dekat dari medan jihad dan harga kebutuhan mereka murah, maka mereka diberi bagian paling sedikit dibandingkan dengan yang rumahnya jauh dan harga kebutuhannya mahal. Ini, meskipun jumlah pemberiannya berbeda, tetap merupakan persamaan dalam makna, yaitu sesuai dengan kewajiban masing-masing kelompok dalam jihad jika mereka menginginkannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: “Dan inilah sebagaimana yang beliau katakan.”

اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي التَّسْوِيَةِ بَيْنَ أَهْلِ الْفَيْءِ وَالتَّفْضِيلِ بِالسَّابِقَةِ وَالنَّسَبِ، وَفِي السَّابِقَةِ الَّتِي أُشِيرُ بِالتَّفْضِيلِ إِلَيْهَا تَأْوِيلَانِ:

Manusia berbeda pendapat tentang persamaan antara ahli al-fay’ dan keutamaan berdasarkan keutamaan terdahulu (as-sābiqah) dan nasab. Adapun mengenai keutamaan terdahulu yang dimaksud dengan keutamaan di sini, terdapat dua penafsiran:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا السَّابِقَةُ فِي الْإِسْلَامِ.

Pertama: Keutamaan terdahulu dalam masuk Islam.

وَالثَّانِي: السَّابِقَةُ فِي الْهِجْرَةِ فَحُكِيَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَوَّى بَيْنَ النَّاسِ فِي الْعَطَاءِ وَلَمْ يُفَضِّلْ أَحَدًا بِسَابِقَةٍ وَلَا نَسَبٍ، وَأَعْطَى الْعَبِيدَ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ أَتَجْعَلُ الَّذِينَ جَاهَدُوا فِي اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَهَجَرُوا دِيَارَهُمْ كَمَنْ دَخَلَ فِي الْإِسْلَامِ كَرْهًا، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّمَا عَمِلُوا لِلَّهِ، وَإِنَّمَا أُجُورُهُمْ عَلَى اللَّهِ، وَإِنَّمَا الدُّنْيَا بَلَاغٌ يَعْنِي بَلَاغٌ إِلَى الْآخِرَةِ الَّتِي هِيَ دَارُ الْجَزَاءِ، فَلَمَّا أَفْضَى الْأَمْرُ إِلَى عُمَرَ فَضَّلَ بَيْنَ النَّاسِ وَلَمْ يُعْطِ الْعَبِيدَ. وَأَعْطَى عَائِشَةَ اثْنَيْ عَشَرَ أَلْفًا وَأَعْطَى غَيْرَهَا مِنْ زَوْجَاتِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْعَرَبِيَّاتِ عَشْرَةَ آلَافٍ وَأَعْطَى صَفِيَّةَ وَجُوَيْرِيَّةَ سِتَّةَ آلَافٍ لِأَنَّهُمَا كَانَتَا مُعْتَقَتَيْنِ وَأَعْطَى كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ عَلِيٍّ وَالْعَبَّاسِ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ سِتَّةَ آلَافٍ، وأعطى كل واحد من المهاجرين وَالْأَنْصَارِ السَّابِقِينَ خَمْسَةَ آلَافٍ، وَأَعْطَى الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ كُلَّ وَاحِدٍ أَرْبَعَةَ آلَافٍ وَأَعْطَى أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ أَلْفَيْنِ، وَأَعْطَى ابْنَهُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ أَلْفًا وَخَمْسَمِائَةٍ، فَقَالَ لَهُ ابْنُهُ عَبْدُ اللَّهِ: أَتُفَضِّلُ عَلَيَّ أُسَامَةَ وَتَنْقُصُ مِنْهُ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ لِأَنَّهُ كَانَ أَحَبَّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْكَ، وَكَانَ أَبُوهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ أَبِيكَ؛ فَلَمَّا قُضِيَ الْأَمْرُ إِلَى عَلِيٍّ رَجَعَ إِلَى رَأْيِ أَبِي بَكْرٍ فِي التَّسْوِيَةِ بَيْنَ النَّاسِ فِي الْعَطَاءِ وَلَا يُفَضِّلُ أَحَدَهُمْ بِسَابِقَةٍ وَلَا نَسَبٍ، وَمَذْهَبُ عُمَرَ التَّفْضِيلُ بَيْنَهُمْ بِالسَّابِقَةِ وَالنَّسَبِ، وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ التَّسْوِيَةَ بَيْنَهُمْ أَوْلَى مِنَ التَّفْضِيلِ اتِّبَاعًا لِرَأْيِ أَبِي بَكْرٍ وَعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَاسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ:

Kedua: Keutamaan terdahulu dalam hijrah. Diriwayatkan dari Abu Bakar ra. bahwa beliau menyamakan antara manusia dalam pemberian dan tidak mengutamakan seorang pun karena keutamaan terdahulu maupun nasab, serta memberikan juga kepada para budak. Umar berkata kepadanya, “Apakah engkau menyamakan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka serta berhijrah meninggalkan kampung halamannya dengan orang yang masuk Islam karena terpaksa?” Maka Abu Bakar menjawab, “Sesungguhnya mereka beramal karena Allah, dan sesungguhnya pahala mereka ada pada Allah, dan dunia ini hanyalah tempat persinggahan, maksudnya tempat menuju akhirat yang merupakan negeri balasan.” Ketika urusan berpindah kepada Umar, ia mengutamakan sebagian manusia atas yang lain dan tidak memberikan kepada para budak. Ia memberikan kepada ‘Aisyah dua belas ribu, kepada istri-istri Nabi saw. yang lain dari kalangan Arab sepuluh ribu, kepada Shafiyyah dan Juwayriyyah enam ribu karena keduanya adalah mantan budak, kepada masing-masing Ali dan Abbas as. enam ribu, kepada masing-masing dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang terdahulu lima ribu, kepada Hasan dan Husain as. masing-masing empat ribu, kepada Usamah bin Zaid dua ribu, dan kepada putranya Abdullah bin Umar seribu lima ratus. Maka Abdullah berkata kepadanya, “Apakah engkau mengutamakan Usamah atasku dan mengurangi bagianku?” Umar menjawab, “Karena ia lebih dicintai Rasulullah saw. daripada engkau, dan ayahnya lebih dicintai beliau daripada ayahmu.” Ketika urusan berpindah kepada Ali, ia kembali kepada pendapat Abu Bakar dalam menyamakan antara manusia dalam pemberian dan tidak mengutamakan seorang pun karena keutamaan terdahulu maupun nasab. Madzhab Umar adalah mengutamakan mereka berdasarkan keutamaan terdahulu dan nasab, sedangkan madzhab Syafi‘i adalah bahwa persamaan antara mereka lebih utama daripada keutamaan, mengikuti pendapat Abu Bakar dan Ali ra. serta berdalil dengan dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِ الْغَنِيمَةِ لِمَا سَوَّى فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَ الْغَانِمِينَ وَلَمْ يُفَضِّلْ ذَا غِنًى عَلَى فَقِيرٍ، وَلَا فَضَّلَ شُجَاعًا عَلَى جَبَانٍ بَعْدَ مَا حَضَرَ الْوَقْعَةَ؛ ذَلِكَ أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ يُسَوَّى فِيهِ بَيْنَ أَهْلِهِ لِإِرْصَادِ أَنْفُسِهِمْ لِلْجِهَادِ الَّذِينَ هُمْ فِيهِ سَوَاءٌ، وَإِنْ تَفَاضَلُوا بِالسَّابِقَةِ وَالنَّسَبِ تَسْوِيَةً بَيْنَ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ فِي أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِهِ كَاسْتِوَاءِ الْحُكْمِ بَيْنَهُمَا فِي خُمُسِهِ.

Salah satunya: bahwa empat per lima dari ghanīmah diberikan secara merata oleh Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- kepada para pejuang, dan beliau tidak mengutamakan yang kaya atas yang miskin, juga tidak mengutamakan yang pemberani atas yang penakut setelah mereka hadir dalam pertempuran; demikian pula empat per lima dari fai’ dibagikan secara merata kepada para penerimanya karena mereka telah mengabdikan diri untuk berjihad, di mana mereka dalam hal ini sama, meskipun mereka berbeda dalam hal keutamaan terdahulu (sābiqah) dan nasab. Penyamaan ini antara fai’ dan ghanīmah dalam hal empat per limanya sebagaimana kesamaan hukum antara keduanya dalam hal seperlimanya.

وَالثَّانِي: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى سَوَّى فِي الْمِيرَاثِ بَيْنَ الْبَارِّ وَالْعَاقِّ، وَبَيْنَ الْمُحِبِّ وَالْمُشَاقِّ لِاسْتِوَائِهِمْ فِي سَبَبِ الِاسْتِحْقَاقِ كَذَلِكَ أَهْلُ الْفَيْءِ.

Yang kedua: bahwa Allah Ta‘ala menyamakan dalam warisan antara anak yang berbakti dan yang durhaka, antara yang mencintai dan yang memusuhi, karena mereka sama dalam sebab berhak menerima warisan; demikian pula halnya dengan para penerima fai’.

قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَوْ وَجَدْتُ الدِّلَالَةَ عَلَى أَنَّ التَّفْضِيلَ أَرْجَحُ بِكِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كُنْتُ إِلَى التَّفْضِيلِ بِالدِّلَالَةِ مَعَ الْهَوَى أَسْرَعَ بِمَكَانَ الشَّافِعِيِّ مِنَ السَّابِقَةِ وَالنَّسَبِ الَّذِي لَوْ جَازَ أَنْ يَسْتَحِقَّ بِهِ التَّفْضِيلَ لَكَانَ أَسْرَعَ إِلَى هَوَاهُ مِنَ التَّسْوِيَةِ وَلَكِنَّ اتِّبَاعَ الدِّلَالَةِ أحق.

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Seandainya aku menemukan dalil bahwa pengutamaan lebih kuat berdasarkan Kitab Allah ‘Azza wa Jalla dan Sunnah Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, niscaya aku akan lebih cepat condong kepada pengutamaan berdasarkan dalil, mengingat kedudukan asy-Syāfi‘ī dalam hal keutamaan terdahulu (sābiqah) dan nasab, yang jika saja boleh dijadikan dasar untuk pengutamaan, tentu aku akan lebih condong kepadanya daripada kepada penyamaan. Namun, mengikuti dalil itu lebih utama.”

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي ” وَعَلَيْهِمْ أَنْ يَغْزُوَا إِذَا غُزُوا وَيَرَى الْإِمَامُ فِي إِغْزَائِهِمْ رَأْيَهُ فَإِنِ اسْتَغْنَى مُجَاهِدُهُ بِعَدَدٍ وَكَثْرَةٍ مِنْ قُرْبِهِ أَغْزَاهُمْ إِلَى أَقْرَبِ الْمَوَاضِعِ مِنْ مُجَاهِدِهِمْ “.

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Mereka wajib berperang apabila diserang, dan imam memandang dalam mengutus mereka sesuai pertimbangannya. Jika para mujahidnya telah cukup dengan jumlah dan banyaknya orang di dekatnya, maka imam mengutus mereka ke tempat terdekat dari para mujahidnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لَيْسَ لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْفَيْءِ وَالْأَعْرَابِ أَنْ يَغْزُوا إلا بأمر الإمام وإذنه لأمورا مِنْهَا:

Al-Māwardī berkata: “Dan ini benar, tidak boleh bagi siapa pun dari ahl al-fai’ dan orang-orang Arab Badui untuk berperang kecuali atas perintah dan izin imam, karena beberapa hal, di antaranya:

أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ يَغْزُو عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِلَّا بِأَمْرِهِ وَكَذَلِكَ خُلَفَاؤُهُ الرَّاشِدُونَ مِنْ بَعْدِهِ، ولأن الإمام أعرف بأحول الْعَدُوِّ وَفِيمَا هُمْ عَلَيْهِ مِنْ قُوَّةٍ وَضَعْفٍ وَخَصْبٍ وَجَدْبٍ وَاخْتِلَافٍ وَوِفَاقٍ وَيُنْفِذُ مِنَ الْجَيْشِ مَنْ يُكَافِئُ الْعَدُوَّ فِي الْقِلَّةِ وَالْكَثْرَةِ وَالْقُوَّةِ وَالضَّعْفِ وَلِأَنَّهُمْ رُبَّمَا اضْطُرُّوا لِتَكَاثُرِ الْعَدُوِّ عَلَيْهِمْ إِلَى مَدَدٍ فَيَمُدُّهُمْ، وَلِأَنَّهُمْ رُبَّمَا احْتَاجُوا إِلَى مَيْزَةٍ فَيُمَيِّزُهُمْ وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا عَرَفَ لِاتِّصَالِ الْأَخْبَارِ به من مكامن الْعَدُوِّ مَا سَدَّدَهُمْ.

Bahwa tidak ada seorang pun yang berperang pada masa Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- kecuali atas perintah beliau, demikian pula para khalifah ar-rāsyidūn setelah beliau. Karena imam lebih mengetahui keadaan musuh, kekuatan dan kelemahan mereka, kemakmuran dan kesulitan, perbedaan dan kesepakatan di antara mereka, serta ia mengirim dari pasukan orang-orang yang sebanding dengan musuh dalam jumlah, kekuatan, dan kelemahan. Juga karena terkadang mereka membutuhkan bantuan karena banyaknya musuh, maka imam akan membantu mereka; atau mereka membutuhkan pemilahan, maka imam akan memilah mereka; dan karena imam mungkin mengetahui dari berita yang sampai kepadanya tentang tempat persembunyian musuh yang dapat dijadikan petunjuk bagi mereka.

فَبِهَذِهِ الْأُمُورِ وَنَظَائِرِهَا مَا مُنِعُوا مِنَ الْغَزْوِ إِلَّا بِأَمْرِهِ، فَإِذَا أَمَرَهُمْ بِالْغَزْوِ لَزِمَتْهُمْ طَاعَتُهُ وَإِجَابَتُهُ، فَإِنْ لَمْ يُطِيعُوهُ مَعَ ارْتِفَاعِ الْمَوَانِعِ سَقَطَتْ أَرْزَاقُهُمْ؛ لِأَنَّ مَا يُرْزَقُونَ مِنَ الْعَطَاءِ فِي مُقَابَلَةِ مَا يَأْخُذُونَ بِهِ مِنَ الْجِهَادِ، فَإِذَا قَعَدُوا عَنْهُ بَعْدَ الْأَمْرِ سَقَطَ مَا يُعْطَوْنَهُ عَلَيْهِ مِنَ الرِّزْقِ كَالزَّوْجَاتِ لَمَّا اسْتَحَقُّوا نَفَقَاتِهِمْ بِالطَّاعَةِ سَقَطَتْ بِالنُّشُوزِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَسْتَفْسِرَ مِنَ الْجِهَادِ مَعَ الْمُكْنَةِ اتِّبَاعًا لِأَمْرِ اللَّهِ تَعَالَى وَاقْتِدَاءً بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَتَحْقِيقًا لِوَعْدِهِ تَعَالَى وَإِظْهَارًا عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ، وَأَقَلُّ مَا عَلَيْهِ أَنْ يَغْزُوَ فِي كُلِّ عام إِمَّا بِنَفْسِهِ أَوْ خُلَفَائِهِ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا تَرَكَهُ فِي كُلِّ عَامٍ مُنْذُ فُرِضَ عَلَيْهِ الْجِهَادُ، وَكَيْ لَا يَمْضِيَ عَطَاءُ الْعَامِ هَدَرًا، وَكَيْ لَا يَقْوَى الْعَدُوُّ بِالْمُشَارَكَةِ، وَكَيْ لَا يَأْلَفَ أَهْلُ الْجِهَادِ الرَّاحَةَ.

Dengan alasan-alasan ini dan yang semisalnya, mereka dilarang berperang kecuali atas perintah imam. Jika imam memerintahkan mereka untuk berperang, maka wajib bagi mereka menaati dan memenuhi perintahnya. Jika mereka tidak menaati perintahnya padahal tidak ada halangan, maka hak mereka atas rizki (tunjangan) gugur; karena apa yang mereka terima berupa tunjangan adalah sebagai imbalan atas apa yang mereka lakukan dalam jihad. Jika mereka tidak melaksanakannya setelah diperintah, maka gugurlah hak mereka atas rizki tersebut, sebagaimana istri yang berhak atas nafkah karena ketaatan, namun gugur karena nusyūz (pembangkangan). Oleh karena itu, hendaknya imam menanyakan alasan tidak berjihad padahal mampu, sebagai bentuk ketaatan kepada perintah Allah Ta‘ala, meneladani Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, menunaikan janji Allah Ta‘ala, dan demi menampakkan agama ini atas seluruh agama. Paling sedikit yang wajib atas imam adalah berperang setiap tahun, baik dengan dirinya sendiri maupun melalui para penggantinya; karena Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- tidak pernah meninggalkannya setiap tahun sejak jihad diwajibkan atas beliau, agar tunjangan tahunan tidak sia-sia, agar musuh tidak menjadi kuat karena adanya perdamaian, dan agar para mujahid tidak terbiasa dengan kenyamanan.

فَصْلٌ:

Fasal:

قَالَ الشافعي: الْإِمَامُ فِي إِغْزَائِهِمْ رَأْيُهُ: يَعْنِي: فِي الزَّمَانِ الَّذِي يَأْمُرُهُمْ بِالْغَزْوِ إِلَيْهِ وَالْعَدَدِ الَّذِي يَقْتَصِرُ عَلَيْهِ، فَإِذَا أَرَادَ ذَلِكَ اخْتَارَ لَهُمْ مِنَ الزَّمَانِ أُولَاهُ، وَمِنَ الْمَكَانِ أَدْنَاهُ، وَيَنْدُبُ عَنْ كُلِّ طَائِفَةٍ إِلَى مَنْ يَلِيهَا، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ} [التوبة: 123] وَلِأَنَّ كُلَّ قَوْمٍ بِمَنْ يَلِيهِمْ أَخْبَرُ، وَعَلَى قِتَالِهِمْ أَقْدَرُ وَمَا يَتَكَلَّفُونَهُ مِنَ الْمُؤْنَةِ فِي قِتَالِهِمْ أَيْسَرُ، فَلَا يُنْفَذُ أَهْلُ ثَغْرٍ إِلَى غَيْرِهِ إِلَّا لِأَحَدِ أَمْرَيْنِ.

Imam asy-Syafi‘i berkata: “Imam dalam mengirim pasukan kepada mereka, itu berdasarkan ijtihadnya; maksudnya: pada waktu yang ia perintahkan mereka untuk berperang ke sana dan jumlah pasukan yang ia tentukan. Jika ia menghendaki hal itu, ia memilihkan untuk mereka waktu yang paling awal dan tempat yang paling dekat. Ia juga menganjurkan setiap kelompok untuk menghadapi pihak yang berdekatan dengannya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu} (at-Taubah: 123), dan karena setiap kaum lebih mengetahui tentang musuh yang dekat dengan mereka, lebih mampu memerangi mereka, dan beban biaya yang mereka keluarkan dalam peperangan itu lebih ringan. Maka, tidak boleh penduduk perbatasan dikirim ke daerah lain kecuali karena salah satu dari dua hal.”

إِمَّا أَنْ يُسْلِمَ أَهْلُهُ فَيَنْقُلُهُمْ عَنْهُ إِلَى الْجِهَةِ الَّتِي لَمْ يُسَلِمْ أَهْلُهَا وَيَسْتَوْطِنُوا فِيمَا يُقَابِلُهَا وَيَلِيهَا.

Pertama, jika penduduknya telah masuk Islam, maka mereka dipindahkan ke daerah yang penduduknya belum masuk Islam, dan mereka menetap di wilayah yang berhadapan dan berdekatan dengannya.

وَإِمَّا لِظُهُورِ قُوَّةٍ مِنْ عَدُوٍّ فِي غَيْرِ جِهَتِهِمْ، فَأَقْرَبُهَا عَلَى مَنْ بِإِزَائِهِمْ يَكُونُ هَؤُلَاءِ أَظْهَرُ عَلَى عَدُوِّهِمْ فَيَسْتَمِدُّ مِنْهُمْ مَنْ يَدْفَعُ بِهِمْ قُوَّةَ الْآخَرِينَ، ثُمَّ يَعُودُوا بَعْدَ الْفَرَاغِ إِلَى أَمَاكِنِهِمْ، فَإِذَا فَعَلَ الْإِمَامُ هَذَا بِهِمْ زَادَهُمْ نَفَقَةَ مَا تَكَلَّفُوهُ مِنْ زِيَادَةِ سَفَرِهِمْ، فَإِنْ تَزَايَدَتْ قُوَّةُ الْعَدُوِّ فِي إِحْدَى الْجِهَاتِ وَضَعُفَتْ فِي غَيْرِهَا مِنَ الْجِهَاتِ عَنِ الْمُنَادَاةِ جَازَ لِلْإِمَامِ أَنْ يَجْمَعَ عَلَى تِلْكَ الْجِهَةِ الْقَوِيَّةِ جَمِيعَ أَهْلِ الْفَيْءِ؛ لِأَنَّ فِي كَسْرِهَا كسر لِمَنْ هُوَ أَضْعَفُ مِنْهَا، وَلَيْسَ فِي كَسْرِ الْأَضْعَفِ كَسْرٌ إِلَيْهَا، وَيَفْعَلُ فِي إِعْطَاءِ الْمَنْقُولِ من زيادة النفقة ما ذكرنا.

Kedua, karena munculnya kekuatan dari musuh di luar wilayah mereka, maka yang paling dekat dengan wilayah itu adalah yang menghadapi mereka, sehingga mereka lebih unggul atas musuhnya. Lalu, dari mereka diambil bantuan untuk menghadapi kekuatan musuh yang lain, kemudian setelah selesai mereka kembali ke tempat asalnya. Jika imam melakukan hal ini kepada mereka, maka imam menambah biaya atas apa yang mereka keluarkan dari tambahan perjalanan mereka. Jika kekuatan musuh bertambah di salah satu wilayah dan melemah di wilayah lain sehingga tidak memungkinkan untuk meminta bantuan, maka boleh bagi imam untuk mengumpulkan seluruh penduduk wilayah yang mendapatkan ghanimah ke wilayah yang kuat itu; karena dengan mengalahkan wilayah itu berarti mengalahkan yang lebih lemah darinya, sedangkan mengalahkan yang lemah tidak berarti mengalahkan yang kuat. Dalam hal pemberian biaya tambahan kepada yang dipindahkan, dilakukan seperti yang telah disebutkan.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي إِعْطَاءِ الذُّرِّيَّةِ وَنِسَاءِ أَهْلِ الْفَيْءِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ يُعْطَوْنَ وَأَحْسِبُ مِنْ حجتهم فإن لم تفعل فَمُؤنَتُهُمْ تَلْزَمُ رِجَالَهُمْ فَلَمْ يُعْطِهِمُ الْكِفَايَةَ فَيُعْطِيهِمْ كَمَالَ الْكِفَايَةِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ إِذَا أُعْطُوا وَلَمْ يُقَاتِلُوا فَلَيْسُوا بِذَلِكَ أَوْلَى مِنْ ذُرِّيَّةِ الْأَعْرَابِ وَنِسَائِهِمْ وَرِجَالِهِمُ الَّذِينَ لَا يُعْطَوْنَ مِنَ الْفَيْءِ “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Para sahabat kami berbeda pendapat tentang pemberian kepada anak-anak dan istri-istri penduduk wilayah ghanimah. Sebagian mereka berkata: mereka diberi, dan menurutku di antara alasan mereka adalah: jika tidak diberi, maka biaya hidup mereka menjadi tanggungan laki-laki mereka, sehingga tidak diberikan kecukupan kepada mereka, maka hendaknya diberikan kecukupan yang sempurna. Sebagian lain berkata: jika mereka diberi padahal tidak ikut berperang, maka mereka tidak lebih berhak daripada anak-anak, istri, dan laki-laki Arab Badui yang tidak diberi bagian dari ghanimah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: “Dan ini sebagaimana yang dikatakan.”

إِذَا مَاتَ مِنْ أَهْلِ الْفَيْءِ مُرْتَزِقٌ وَخَلَفَ ذُرِّيَّةً لَمْ يُدْفَعْ إِلَيْهِ جَمِيعُ عَطَائِهِ، وَفِي إِعْطَائِهِمْ مِنْ قَدْرِ الْكِفَايَةِ، قَوْلَانِ حَكَاهُمَا الشَّافِعِيُّ خِلَافًا عَنْ أَصْحَابِهِ:

Jika ada dari penduduk wilayah ghanimah yang wafat dan meninggalkan anak-anak, maka tidak diberikan seluruh haknya kepada mereka. Dalam hal pemberian kepada mereka sekadar kecukupan, ada dua pendapat yang dinukil asy-Syafi‘i sebagai khilaf dari para sahabatnya:

أَحَدُهُمَا: يُعْطَوْنَ مِنْ مَالِ الْفَيْءِ قَدْرَ كِفَايَتِهِمُ اعْتِبَارًا بِالْمَصْلَحَةِ فِي تَرْغِيبِ أَهْلِ الفيء في الجهاد، ثقة لحفظ الذرية وإلا يتشاغلوا عنه بطلب الكسب لمن يخلفون، أو يجبنوا عن الْجِهَادِ فَلَا يُقْدِمُونَ.

Pertama: mereka diberi dari harta ghanimah sekadar kecukupan mereka, dengan pertimbangan kemaslahatan untuk mendorong penduduk wilayah ghanimah agar bersemangat berjihad, karena adanya kepercayaan terhadap penjagaan anak-anak mereka, sehingga mereka tidak sibuk mencari nafkah bagi keluarga yang ditinggalkan, atau agar mereka tidak menjadi pengecut dan tidak mau maju berjihad.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُمْ لَا يُعْطَوْنَ؛ لِأَنَّ مَا اسْتُحِقَّ بِهِ الْعَطَاءُ وَهُوَ إِرْصَادُ النَّفْسِ لِلْجِهَادِ مَفْقُودٌ فِيهِمْ، وَلِأَنَّهُمْ كَانُوا تَبَعًا فَإِذَا بَطَلَ حُكْمُ الْمَتْبُوعِ بَطَلَ حُكْمُ التَّابِعِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: إِنْ كَانَ فِي الذُّرِّيَّةِ مِنْ أَصَاغِرِ الذُّكُورِ يُرْجَى أَنْ يكون أَهْلِ الْفَيْءِ إِذَا بَلَغَ أُعْطُوا قَدْرَ الْكِفَايَةِ، وَإِلَّا مُنِعُوا فَامْتَنَعَ قَائِلُ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ تَخْرِيجِ الْقَوْلَيْنِ وَخَرَّجَهُ عَلَى اخْتِلَافِ الْحَالَيْنِ، وَحَكَاهُ أَبُو بَكْرِ بْنُ الدَّقَّاقِ.

Pendapat kedua: mereka tidak diberi, karena sebab yang menjadi dasar hak pemberian, yaitu mengabdikan diri untuk berjihad, tidak ada pada mereka. Dan karena mereka hanyalah pengikut, maka jika hukum bagi yang diikuti telah gugur, gugurlah hukum bagi pengikutnya. Sebagian sahabat kami berkata: jika di antara anak-anak itu ada anak laki-laki yang diharapkan kelak menjadi penduduk wilayah ghanimah ketika dewasa, maka mereka diberi sekadar kecukupan, jika tidak, maka tidak diberi. Pendapat ini tidak mengeluarkan dua pendapat di atas, tetapi membedakan berdasarkan keadaan, dan ini dinukil oleh Abu Bakr bin ad-Daqqaq.

فَإِذَا قِيلَ: إِنَّهُمْ لَا يُعْطَوْنَ اعْتُبِرَتْ أَحْوَالُهُمْ، فَإِنْ كَانُوا أَغْنِيَاءَ فَلَا حَقَّ لَهُمْ فِي مَالِ الْفَيْءِ وَلَا فِي مَالِ الصَّدَقَاتِ، وَإِنْ كَانُوا فُقَرَاءَ صَارُوا مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ وَأُعْطُوا مِنْهَا مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ.

Jika dikatakan bahwa mereka tidak diberi, maka keadaan mereka diperhatikan: jika mereka kaya, maka mereka tidak berhak atas harta ghanimah maupun harta sedekah; jika mereka fakir, maka mereka menjadi golongan yang berhak menerima sedekah dan diberi dari bagian fakir miskin.

وَإِذَا قِيلَ: إِنَّهُمْ يُعْطَوْنَ قَدْرَ الْكِفَايَةِ فَسَوَاءً كَانُوا أَغْنِيَاءَ ذَوِي كِفَايَةٍ أَوْ فُقَرَاءَ ذَوِي حَاجَةٍ، وَيَكُونُ ذَلِكَ مِنْهُمْ لِمَنْ كَانَتْ نَفَقَتُهُ وَاجِبَةً عَلَى مَيِّتِهِمْ مِنْ أَوْلَادِهِ الْأَصَاغِرِ وَزَوْجَاتِهِ مَا لَمْ يَتَزَوَّجْنَ وَأَقَمْنَ عَلَى رِعَايَةِ الزَّوْجِ فِي حِفْظِ ذُرِّيَّتِهِ، فَإِنْ تَزَوَّجْنَ قُطِعَ عَطَاؤُهُنَّ فَإِذَا بَلَغَ الْأَوْلَادُ خَرَجُوا بِالْبُلُوغِ مِنْ جُمْلَةِ الذُّرِّيَّةِ، فَإِنْ أَحَبُّوا أَنْ يَكُونُوا مِنْ أَهْلِ الْفَيْءِ أُثْبِتُوا فِي دِيوَانِهِ وَصَارُوا بِأَنْفُسِهِمْ مُرْتَزِقِينَ وَتَبِعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ، وَإِنْ عَدَلُوا عَنْ أَنْ يَكُونُوا مِنْ أَهْلِ الْفَيْءِ رَغْبَةً فِي غَيْرِهِ فَلَا حَقَّ لَهُمْ فِي مَالِ الْفَيْءِ لَا تَبَعًا وَلَا مَتْبُوعِينَ لِخُرُوجِهِمْ مِنَ الذُّرِّيَّةِ بِالْبُلُوغِ وَمِنْ أَهْلِ الْفَيْءِ بِالْعُدُولِ عَنْهُ وَاللَّهُ أعلم.

Dan apabila dikatakan: Sesungguhnya mereka diberikan sesuai kadar kecukupan, baik mereka itu orang-orang kaya yang telah tercukupi kebutuhannya maupun orang-orang fakir yang memiliki kebutuhan, dan hal itu diberikan dari mereka kepada siapa saja yang nafkahnya wajib ditanggung oleh orang yang telah meninggal dari kalangan anak-anak mereka yang masih kecil dan istri-istri mereka selama para istri itu belum menikah lagi dan tetap mengurus keluarga suaminya dalam menjaga keturunannya. Jika para istri itu menikah lagi, maka pemberian kepada mereka terputus. Apabila anak-anak telah baligh, maka mereka keluar dari golongan keturunan (yang berhak menerima), dan jika mereka ingin menjadi bagian dari ahl al-fay’, maka mereka dicatat dalam diwan (daftar) dan mereka sendiri menjadi mustahiq (penerima) serta keturunan mereka mengikuti mereka. Namun jika mereka memilih untuk tidak menjadi bagian dari ahl al-fay’ karena menginginkan selainnya, maka mereka tidak berhak atas harta al-fay’, baik sebagai pengikut maupun yang diikuti, karena mereka telah keluar dari golongan keturunan dengan baligh dan dari ahl al-fay’ dengan memilih keluar darinya. Dan Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” حَدَّثَنِي سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ مَا أَحَدٌ إِلَّا وَلَهُ فِي هَذَا الْمَالِ حَقٌّ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أيمانكم أعطيه أو منعه (قال الشافعي) وهذا الحديث يحتمل معاني منها أن نقول ليس أحد بمعنى حاجة من الصدقة أو بمعنى أنه من أهل الفيء الذين يغزون إلا وله في مال الفيء أو الصدقة حق وكان هذا أولى معانيه به فإن قيل ما دل على هذا؟ قيل قَوْلُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في الصدقة ” لا حظ فيها لغني ولا لذي مرة مكتسب ” والذي أحفظ عن أهل العلم أن الأعراب لا يعطون من الفيء (قال) وقد روينا عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أهل الفيء كانوا فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بمعزل عن أهل الصدقة وأهل الصدقة بمعزل عن أهل الفيء “.

Imam Syafi’i berkata: “Sufyan bin ‘Uyainah telah menceritakan kepadaku dari ‘Amr bin Dinar dari az-Zuhri dari Malik bin Aus bin al-Hadtsan bahwa Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Tidak ada seorang pun kecuali ia memiliki hak dalam harta ini, kecuali apa yang dimiliki oleh tangan kanan kalian, aku memberikannya atau menahannya.’ (Imam Syafi’i berkata:) Hadis ini mengandung beberapa makna, di antaranya: kita katakan bahwa tidak ada seorang pun dalam arti kebutuhan dari sedekah, atau dalam arti bahwa ia termasuk ahl al-fay’ yang ikut berperang, kecuali ia memiliki hak dalam harta al-fay’ atau sedekah. Dan ini adalah makna yang paling utama. Jika dikatakan, apa dalilnya? Maka dijawab: Sabda Rasulullah ﷺ tentang sedekah, ‘Tidak ada bagian di dalamnya bagi orang kaya dan tidak pula bagi orang yang kuat lagi mampu bekerja.’ Dan yang aku hafal dari para ulama adalah bahwa orang-orang Arab Badui tidak diberikan bagian dari al-fay’. (Beliau berkata:) Dan kami meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa ahl al-fay’ pada masa Rasulullah ﷺ terpisah dari ahl as-sadaqah, dan ahl as-sadaqah terpisah dari ahl al-fay’.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِنْ قِيلَ فَكَيْفَ تَأْوِيلُ هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَكُمْ وَمِنْ مَذْهَبِكُمْ أَنَّ أَهْلَ الْفَيْءِ لَا يَأْخُذُونَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ، وَأَهْلُ الصَّدَقَاتِ، لَا يَأْخُذُونَ مِنْ أَهْلِ الْفَيْءِ، قِيلَ فِيهِ ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ:

Al-Mawardi berkata: Jika dikatakan, bagaimana penafsiran hadis ini menurut kalian, padahal dalam mazhab kalian ahl al-fay’ tidak mengambil dari ahl as-sadaqat, dan ahl as-sadaqat tidak mengambil dari ahl al-fay’? Maka dijawab, ada tiga penafsiran:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ عَائِدٌ عَلَى مَالِ بَيْتِ الْمَالِ الْجَامِعِ لِمَالِ الْفَيْءِ وَمَالِ الصَّدَقَاتِ، وَالنَّاسُ صِنْفَانِ: أَغْنِيَاءُ وَحَقُّهُمْ فِي مَالِ الْفَيْءِ وَفُقَرَاءُ وَحَقُّهُمْ فِي مَالِ الصَّدَقَةِ، أَمَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ مِنَ الْعَبِيدِ وَالْإِمَاءِ فَلَا حَقَّ لَهُمْ فِي الْمَالَيْنِ جَمِيعًا.

Pertama: Bahwa hadis itu kembali kepada harta Baitul Mal yang mencakup harta al-fay’ dan harta sedekah. Manusia terbagi menjadi dua golongan: orang kaya yang haknya ada pada harta al-fay’, dan orang fakir yang haknya ada pada harta sedekah. Adapun budak laki-laki dan perempuan yang dimiliki oleh tangan kanan mereka, maka mereka tidak memiliki hak pada kedua harta tersebut.

وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي: أَنَّهُ عَائِدٌ إِلَى مَالِ الْفَيْءِ وَحْدَهُ وَلَيْسَ أَحَدٌ إِلَّا وَلَهُ فِيهِ حَقٌّ، أَمَّا الْفُقَرَاءُ فَفِيهِ خُمُسُهُ مِنْ سَهْمِ الْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَبَنِي السَّبِيلِ، وَأَمَّا الْأَغْنِيَاءُ فَفِي أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِهِ فَإِنْ كَانُوا مِنْ أَهْلِ الْفَيْءِ فَالْعَطَاءُ وَإِنْ كَانُوا مِنْ غَيْرِهِمْ فَمِنَ الْمَصَالِحِ، وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي نَجْعَلُهُ مَصْرُوفًا فِي الْمَصَالِحِ.

Penafsiran kedua: Bahwa hadis itu kembali kepada harta al-fay’ saja, dan tidak ada seorang pun kecuali ia memiliki hak di dalamnya. Adapun orang-orang fakir, maka bagi mereka seperlimanya dari bagian anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil. Adapun orang-orang kaya, maka bagi mereka empat perlima sisanya. Jika mereka termasuk ahl al-fay’, maka diberikan kepada mereka; dan jika mereka bukan dari golongan itu, maka diberikan untuk kemaslahatan. Dan ini menurut pendapat yang menjadikan harta tersebut digunakan untuk kemaslahatan.

وَالتَّأْوِيلُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ عَائِدٌ إِلَى مَالِ الْفَيْءِ، لِأَنَّهُ إِنِ اخْتُصَّ بِأَهْلِ الْفَيْءِ فَنَفْعُهُ عَائِدٌ إِلَى غَيْرِهِمْ مِنَ النَّاسِ كُلِّهِمْ، لَذَبِّ أَهْلِ الْفَيْءِ عَنْهُمْ وَقِيَامِهِمْ بِالْجِهَادِ الَّذِي بِهِ سَقَطَ الْفَرْضُ عَنْهُمْ، فَصَارَ الْمَالُ الْمَصْرُوفُ إِلَى مَنْ قَامَ بِغَرَضِ الْجِهَادِ عَنْهُمْ كَالْمَصْرُوفِ إِلَيْهِمْ، وَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ الَّذِي جعله ملكا للجيش خاصة.

Penafsiran ketiga: Bahwa hadis itu kembali kepada harta al-fay’, karena jika harta itu dikhususkan untuk ahl al-fay’, maka manfaatnya juga kembali kepada selain mereka dari seluruh manusia, karena ahl al-fay’ melindungi mereka dan melaksanakan jihad yang dengannya kewajiban itu gugur dari mereka. Maka harta yang diberikan kepada orang yang melaksanakan tujuan jihad atas nama mereka, seakan-akan diberikan juga kepada mereka. Dan ini menurut pendapat yang menjadikan harta itu milik khusus bagi tentara.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَالْعَطَاءُ الْوَاجِبُ فِي الْفَيْءِ لَا يَكُونُ إِلَّا لِبَالِغٍ يُطِيقُ مِثْلُهُ الْقِتَالَ (قَالَ) ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عُرِضْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَامَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً فَرَدَّنِي وَعُرِضْتُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْخَنْدَقِ وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فَأَجَازَنِي وَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ هَذَا فَرْقٌ بَيْنَ الْمُقَاتِلَةِ وَالذُّرِّيَّةِ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Pemberian yang wajib dari harta fai’ tidak diberikan kecuali kepada orang yang telah baligh dan mampu untuk berperang seperti yang lainnya.” (Beliau berkata:) Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Aku pernah dihadapkan kepada Rasulullah ﷺ pada tahun Perang Uhud, saat itu aku berumur empat belas tahun, maka beliau menolakku. Dan aku dihadapkan lagi kepada beliau pada hari Perang Khandaq, saat itu aku berumur lima belas tahun, maka beliau membolehkanku (ikut berperang).” Umar bin Abdul Aziz berkata: “Inilah perbedaan antara para muqatilah (pejuang) dan dzurriyah (anak-anak/keturunan).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.

لَا يَجُوزُ أَنْ يَدْخُلَ فِي أَهْلِ الْفَيْءِ إِلَّا مَنِ اسْتَكْمَلَ شُرُوطَ الْجِهَادِ فَصَارَ مِنْ أَهْلِهِ، فَحِينَئِذٍ يُثْبِتُ نَفْسَهُ فِي دِيوَانِ الْفَيْءِ وَيُفْرَضُ لَهُ مِنَ الْعَطَاءِ قَدْرُ كِفَايَتِهِ، وَشُرُوطُ الْجِهَادِ الَّتِي يَتَعَلَّقُ فَرْضُ الْجِهَادِ بِهَا وَيَجُوزُ الدخول في أهل الفيء معها ستة وَهُوَ أَنْ يَكُونَ ذَكَرًا بَالِغًا عَاقِلًا حُرًّا مُسْلِمًا قَادِرًا عَلَى الْقِتَالِ، فَإِنْ أَخَلَّ بِشَرْطٍ مِنْهَا لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ وَلَا مِمَّنْ يَجُوزُ أَنْ يَدْخُلَ فِي أَهْلِ الْفَيْءِ، وَإِنِ اسْتَكْمَلَهَا صَارَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ إِلَّا أَنَّهُ لَا يَتَوَجَّهُ الْفَرْضُ إِلَيْهِ إِلَّا بِالِاسْتِطَاعَةِ، لِجَوَازِ أَنْ يَدْخُلَ فِي أَهْلِ الْفَيْءِ مَعَ عَدَمِ الِاسْتِطَاعَةِ، لِأَنَّهُ قَدْ يَسْتَطِيعُ بِعَطَائِهِ إِذَا أَخَذَهُ على القتال إذا ندب.

Tidak boleh seseorang dimasukkan ke dalam golongan ahli fai’ kecuali yang telah memenuhi syarat-syarat jihad sehingga ia menjadi bagian dari mereka. Pada saat itulah ia menetapkan dirinya dalam diwan fai’ dan ditetapkan baginya pemberian sesuai kadar kebutuhannya. Syarat-syarat jihad yang menjadi dasar kewajiban jihad dan membolehkan masuk ke dalam ahli fai’ ada enam, yaitu: harus laki-laki, baligh, berakal, merdeka, muslim, dan mampu berperang. Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka ia bukan termasuk ahli jihad dan tidak boleh dimasukkan ke dalam ahli fai’. Namun jika ia telah memenuhi semuanya, maka ia menjadi bagian dari ahli jihad, hanya saja kewajiban jihad tidak ditujukan kepadanya kecuali jika ia mampu. Namun boleh saja ia masuk ke dalam ahli fai’ meskipun belum mampu, karena bisa jadi ia menjadi mampu dengan pemberian yang diterimanya jika ia mengambilnya untuk berperang ketika diminta.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” فَإِنْ كَمَّلَهَا أَعْمَى لَا يَقْدِرُ عَلَى الْقِتَالِ أَبَدًا أَوْ مَنْقُوصُ الْخَلْقِ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْقِتَالِ أَبَدًا لَمْ يُفْرَضْ لَهُ فَرْضُ الْمُقَاتِلَةِ وَأُعْطِيَ عَلَى كِفَايَةِ الْمَقَامِ وَهُوَ شَبِيهٌ بِالذُّرِّيَّةِ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang telah memenuhi syarat-syarat tersebut namun ia buta sehingga tidak pernah mampu berperang, atau cacat fisik sehingga tidak pernah mampu berperang, maka tidak ditetapkan baginya hak seperti para pejuang, dan ia diberi sesuai kebutuhan untuk tinggal saja, dan ia serupa dengan dzurriyah (anak-anak/keturunan).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.

إِذَا بَلَغَ الصِّغَارُ مِنْ ذُرِّيَّةِ أَهْلِ الْفَيْءِ بِالِاحْتِلَامِ أَوْ بِاسْتِكْمَالِ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً لَمْ يَخْلُ حَالُهُمْ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونُوا قَادِرِينَ عَلَى الْقِتَالِ أَوْ عَاجِزِينَ عَنْهُ، فَإِنْ كَانُوا قَادِرِينَ عَلَيْهِ خَرَجُوا مِنْ جُمْلَةِ الذُّرِّيَّةِ سَوَاءً كَانُوا مِنْ ذُرِّيَّةِ أَمْوَاتٍ أَوْ أَحْيَاءٍ لِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنَّهُ جَعَلَ الْبُلُوغَ فَرْقًا بَيْنَ الذُّرِّيَّةِ وَالْمُقَاتِلَةِ، وَلِأَنَّ بُلُوغَ الذُّرِّيَّةِ يُسْقِطُ نَفَقَاتِهِمْ عَنِ الْمُقَاتِلَةِ فَخَرَجُوا مِنْ جُمْلَةِ الذُّرِّيَّةِ، ثُمَّ هُمْ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَكْتُبُوا أَنْفُسَهُمْ فِي دِيوَانِ الْفَيْءِ فَيَكُونُوا مِنْ أَهْلِهِ، وَبَيْنَ أَنْ لَا يَفْعَلُوا فَيُمْنَعُوا مِنَ الْفَيْءِ، وَيَصِيرُوا مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ وَإِنْ كَانُوا فُقَرَاءَ وَإِنْ بَلَغُوا عَاجِزِينَ عَلَى الْقِتَالِ لِعَمًى أَوْ زَمَانَةٍ، لَمْ يَجُزْ أَنْ يُثْبَتُوا فِي دِيوَانِ الْفَيْءِ مُنْفَرِدِينَ وَهَلْ يُبْقَوْا عَلَى حُكْمِ الذُّرِّيَّةِ فِي إِعْطَائِهِمْ مَالَ الْفَيْءِ تَبَعًا أَمْ لَا؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Jika anak-anak dari dzurriyah ahli fai’ telah baligh, baik dengan mimpi basah maupun dengan menyempurnakan usia lima belas tahun, maka keadaan mereka tidak lepas dari dua kemungkinan: pertama, mereka mampu berperang, atau kedua, mereka tidak mampu. Jika mereka mampu berperang, maka mereka keluar dari golongan dzurriyah, baik mereka berasal dari dzurriyah orang yang telah wafat maupun yang masih hidup, berdasarkan riwayat dari Umar bin Abdul Aziz bahwa beliau menjadikan baligh sebagai pembeda antara dzurriyah dan muqatilah, dan karena balighnya dzurriyah menggugurkan nafkah mereka dari para pejuang, sehingga mereka keluar dari golongan dzurriyah. Setelah itu, mereka berhak memilih antara mendaftarkan diri dalam diwan fai’ sehingga menjadi bagian darinya, atau tidak melakukannya sehingga mereka tidak mendapatkan bagian dari fai’ dan menjadi golongan ahli sedekah jika mereka fakir. Jika mereka telah baligh namun tidak mampu berperang karena buta atau cacat, maka tidak boleh mereka dicatat dalam diwan fai’ secara mandiri. Adapun apakah mereka tetap pada hukum dzurriyah dalam hal pemberian harta fai’ secara ikut-ikutan atau tidak, terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهُمْ بَاقُونَ عَلَى حُكْمِ الذَّرَارِي فِي مَنْعِهِمْ مِنْ مَالِ الصَّدَقَةِ وَإِعْطَائِهِمْ قَدْرَ الْكِفَايَةِ بَيْنَ مَالِ الْفَيْءِ، سَوَاءً كَانُوا ذُرِّيَّةً لِأَحْيَاءٍ أَوْ لِأَمْوَاتٍ، اسْتِصْحَابًا لِمَا تَقَدَّمَ فِي حُكْمِهِمْ.

Pertama: Mereka tetap pada hukum dzurriyah, yaitu tidak diberi dari harta sedekah dan diberi sesuai kebutuhan dari harta fai’, baik mereka dzurriyah dari orang yang masih hidup maupun yang telah wafat, berdasarkan kelanjutan hukum sebelumnya atas mereka.

الْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُمْ قَدْ خَرَجُوا فِي حُكْمِ الذَّرَارِي لِتَمَيُّزِهِمْ بِالْبُلُوغِ، وَيُعْدَلُ بِهِمْ إِلَى مَالِ الصَّدَقَاتِ إِنْ كَانُوا مِنْ أَهْلِهَا، وَسَوَاءً كَانُوا ذُرِّيَّةً لِأَحْيَاءٍ أَوْ لِأَمْوَاتٍ.

Pendapat kedua: Mereka telah keluar dari hukum dzurriyah karena telah baligh, sehingga dialihkan kepada harta sedekah jika mereka termasuk golongan yang berhak, baik mereka dzurriyah dari orang yang masih hidup maupun yang telah wafat.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهُمْ إِنْ كَانُوا مِنْ ذُرِّيَّةِ أَمْوَاتٍ مُنِعُوا مِنْ مَالِ الْفَيْءِ وَعُدِلَ بِهِمْ إِلَى مَالِ الصَّدَقَاتِ، وَإِنْ كَانُوا مِنْ ذُرِّيَّةِ أَحْيَاءٍ بَقَوْا فِي مَالِ الْفَيْءِ عَلَى حُكْمِ الذَّرَارِي وَمُنِعُوا مَالَ الصَّدَقَاتِ، لِأَنَّ الْحَيَّ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَتْبُوعًا فِي مَالِ الْفَيْءِ لِبَقَاءِ عَطَائِهِ، وَالْمَيِّتَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَتْبُوعًا فِيهِ لِسُقُوطِ عَطَائِهِ، وَالْأَصَحُّ عِنْدِي أَنْ يُنْظَرَ فَإِنْ كَانَ الَّذِي أَقْعَدَهُمْ عَنِ الْقِتَالِ مُوجِبًا لِنَفَقَاتِهِمْ عَلَى الْآبَاءِ بَعْدَ بُلُوغِهِمْ، كَوُجُوبِهَا عَلَيْهِمْ فِي صِغَرِهِمْ كَالْجُنُونِ وَالزَّمَانَةِ الْمَانِعَةِ مِنَ الِاكْتِسَابِ بَقُوا عَلَى حُكْمِ الذَّرَارِي فِي مَالِ الْفَيْءِ، وَلَمْ يُعْدَلْ بِهِمْ إِلَى مَالِ الصَّدَقَاتِ سَوَاءً كَانُوا ذُرِّيَّةَ أَحْيَاءٍ أَوْ أَمْوَاتٍ؛ لِأَنَّ بقاء حكمهم في وجوب النفقة موجبا لبقائهم عَلَى حُكْمِ الذُّرِّيَّةِ فِي مَالِ الْفَيْءِ وَإِنْ كَانَ مَا أَعْجَزَهُمْ عَنِ الْقِتَالِ لَا يُوجِبُ نَفَقَاتِهِمْ بَعْدَ الْبُلُوغِ لِقُدْرَتِهِمْ عَلَى الِاكْتِسَابِ مَعَ الْعَجْزِ عَنِ الْقِتَالِ خَرَجُوا عَنْ حُكْمِ الذُّرِّيَّةِ فِي مَالِ الْفَيْءِ، وَعُدِلَ بِهِمْ إِلَى مَالِ الصَّدَقَاتِ، إِنْ كَانُوا مِنْ أَهْلِهَا سَوَاءً كَانُوا ذُرِّيَّةَ أَحْيَاءٍ أَوْ أَمْوَاتٍ، لِأَنَّ سُقُوطَ نَفَقَتِهِمْ بِالْبُلُوغِ تُخْرِجُهُمْ عَنْ حُكْمِ الذُّرِّيَّةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat ketiga: Jika mereka berasal dari keturunan orang yang telah wafat, maka mereka dicegah dari menerima harta fai’ dan dialihkan kepada harta sedekah. Namun jika mereka berasal dari keturunan orang yang masih hidup, maka mereka tetap mendapatkan harta fai’ sesuai hukum anak-anak (dzurriyah) dan dicegah dari harta sedekah. Sebab, orang yang masih hidup boleh saja menjadi pihak yang diikuti dalam harta fai’ karena pemberiannya masih tetap, sedangkan orang yang sudah wafat tidak boleh menjadi pihak yang diikuti karena pemberiannya telah gugur. Pendapat yang lebih kuat menurutku adalah: hendaknya dilihat, jika sebab yang membuat mereka tidak ikut berperang mewajibkan nafkah atas ayah mereka setelah mereka baligh, sebagaimana kewajiban nafkah saat mereka kecil—seperti karena gila atau cacat yang menghalangi untuk bekerja—maka mereka tetap mendapatkan hukum anak-anak (dzurriyah) dalam harta fai’ dan tidak dialihkan kepada harta sedekah, baik mereka keturunan orang yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Sebab, tetapnya hukum kewajiban nafkah atas mereka menyebabkan mereka tetap dihukumi sebagai anak-anak (dzurriyah) dalam harta fai’. Namun jika hal yang menghalangi mereka dari berperang tidak mewajibkan nafkah atas mereka setelah baligh karena mereka mampu bekerja meskipun tidak mampu berperang, maka mereka keluar dari hukum anak-anak (dzurriyah) dalam harta fai’ dan dialihkan kepada harta sedekah jika mereka termasuk golongan yang berhak, baik mereka keturunan orang yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Sebab, gugurnya kewajiban nafkah atas mereka setelah baligh mengeluarkan mereka dari hukum anak-anak (dzurriyah). Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” فَإِنْ فُرِضَ لِصَحِيحٍ ثُمَّ زَمِنَ خَرَجَ مِنَ الْمُقَاتِلَةِ وَإِنْ مَرِضَ طَوِيلًا يُرْجَى أُعْطِيَ كَالْمُقَاتِلَةِ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika telah ditetapkan pemberian untuk seseorang yang sehat, lalu ia menjadi cacat, maka ia keluar dari golongan para pejuang. Namun jika ia sakit dalam waktu lama tetapi masih diharapkan sembuh, maka ia tetap diberi seperti para pejuang.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا مَرِضَ أَحَدُ الْمُقَاتِلَةِ مِنْ أَهْلِ الْفَيْءِ لَمْ يَخْلُ حَالُ مَرَضِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ يجرى مِنَ اللَّهِ زَوَالُهُ، أَوْ لَا يُرْجَى فَإِنْ كَانَ زَوَالُهُ مَرْجُوًّا كَانَ عَلَى حَقِّهِ فِي الْعَطَاءِ سَوَاءً أَكَانَ مَرَضًا مُخَوِّفًا أَمْ غَيْرَ مُخَوِّفٍ؛ لِأَنَّ الْأَمْرَاضَ تَنَاوَبُ وَلَا تَنْفَكُّ الْأَبْدَانُ مِنْهَا فِي الْغَالِبِ، وَإِنْ كَانَ الْمَرَضُ مِمَّا لَا يُرْجَى زَوَالُهُ كَالْعَمَى وَالْفَالَجِ سَقَطَ عَطَاؤُهُ فِي الْمُقَاتِلَةِ بِخُرُوجِهِ مِنْهَا بِالْعَجْزِ عَنِ الْقِتَالِ، وَصَارَ كَالذُّرِّيَّةِ إِذَا انْفَرَدُوا، فَهَلْ يُعْطَى كِفَايَتُهُ مِنْ مَالِ الْفَيْءِ، أَوْ يُعْدَلُ بِهِ إِلَى مَالِ الصَّدَقَةِ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar. Jika salah satu dari para pejuang yang berhak atas harta fai’ jatuh sakit, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: pertama, sakitnya diharapkan sembuh oleh Allah, atau kedua, tidak diharapkan sembuh. Jika sakitnya diharapkan sembuh, maka ia tetap berhak atas pemberian, baik sakitnya menakutkan maupun tidak, karena penyakit itu silih berganti dan pada umumnya tubuh manusia tidak lepas darinya. Namun jika sakitnya tidak diharapkan sembuh, seperti buta atau lumpuh, maka hak pemberiannya sebagai pejuang gugur karena ia telah keluar dari golongan pejuang akibat tidak mampu berperang, dan ia menjadi seperti anak-anak (dzurriyah) jika berdiri sendiri. Lalu, apakah ia diberi kecukupan dari harta fai’, atau dialihkan kepada harta sedekah? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُعْطَى مِنْ مَالِ الْفَيْءِ قَدْرَ كِفَايَتِهِ كَالذُّرِّيَّةِ فَيَكُونُ حَقُّهُ فِي أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ.

Pertama: Ia diberi dari harta fai’ sekadar kebutuhannya seperti anak-anak (dzurriyah), sehingga haknya berada pada empat per lima bagian harta fai’.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَا يُعْطَى مِنْ مَالِ الْفَيْءِ فَيُمْنَعُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِهِ، ثُمَّ يُنْظَرُ فَإِنْ كَانَتْ زَمَانَتُهُ بِمَرَضٍ عُدِلَ إِلَى مَالِ الصَّدَقَاتِ، وَإِنْ كَانَتْ زَمَانَتُهُ عن جِرَاحٍ نَالَتْهُ فِي الْقِتَالِ، فَهَلْ يُعْدَلُ بِهِ إِلَى مَالِ الصَّدَقَاتِ، أَوْ إِلَى سَهْمِ الْمَسَاكِينِ مِنْ خُمُسِ الْفَيْءِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kedua: Ia tidak diberi dari harta fai’, sehingga ia dicegah dari empat per lima bagian tersebut. Kemudian dilihat lagi, jika cacatnya karena sakit maka dialihkan kepada harta sedekah. Namun jika cacatnya karena luka yang didapat dalam peperangan, maka apakah ia dialihkan kepada harta sedekah atau kepada bagian miskin dari seperlima harta fai’? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُعْدَلُ بِهِ إِلَى سَهْمِ الْمَسَاكِينِ مِنْ خُمُسِ الْفَيْءِ، وَيُمَيَّزُ عَنْ مَسَاكِينِ الصَّدَقَاتِ اسْتِيفَاءً لِحُكْمِ الْفَيْءِ فِيهِ.

Pertama: Ia dialihkan kepada bagian miskin dari seperlima harta fai’, dan dibedakan dari orang miskin penerima sedekah agar hukum fai’ tetap berlaku padanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُعْدَلُ بِهِ إِلَى مَالِ الصَّدَقَاتِ، كَالذي زَمَانَتُه بِمَرَضٍ وَاللَّهُ أعلم.

Pendapat kedua: Ia dialihkan kepada harta sedekah, seperti orang yang cacat karena sakit. Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَيُخْرَجُ الْعَطَاءُ لِلْمُقَاتِلَةِ كُلَّ عَامٍ فِي وَقْتٍ مِنَ الْأَوْقَاتِ وَالذُّرِّيَّةِ عَلَى ذَلِكَ الْوَقْتِ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Pemberian untuk para pejuang dikeluarkan setiap tahun pada waktu tertentu, dan untuk anak-anak (dzurriyah) juga pada waktu tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِذَا كَانَ مَالُ الْفَيْءِ لَا يَجِيءُ إِلَّا مَرَّةً وَاحِدَةً فِي كُلِّ عَامٍ لَمْ يُجْعَلِ الْعَطَاءُ إِلَّا مَرَّةً فِي كُلِّ عَامٍ، فِي وَقْتٍ مِنْهُ مَعْلُومٍ يَتَقَدَّرُ بِاسْتِكْمَالِ الْمَالِ فِيهِ، وَأَوْلَى ذَلِكَ أَنْ يَكُونَ فِي الْمُحَرَّمِ إِذَا أَمْكَنَ، وَإِنْ كَانَ مَالُ الْفَيْءِ يُحَصَّلُ فِي مَرَّتَيْنِ مِنْ كُلِّ عَامٍ أَوْ مرارا لم ينبغي أَنْ يُجْعَلَ الْعَطَاءُ أَكْثَرَ مِنْ مَرَّتَيْنِ فِي كُلِّ عَامٍ لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ تَشَاغُلِ الْمُجَاهِدِينَ بِالِاقْتِضَاءِ، وَتَشَاغُلِ الْإِمَامِ بِالْعَطَاءِ، ثُمَّ يَنْظُرُ الْإِمَامُ فِي أَرْفَقِ الْأَمْرَيْنِ بِهِ وَبِالْجَيْشِ، فَإِنْ كَانَ الأرفق أصلح أَنْ يَجْعَلَهُ فِي كُلِّ عَامٍ مَرَّةً لِبُعْدِ الْمَغْزَى أَوْ طُولِ الْمُدَّةِ فَعَلَ، وَإِنْ كَانَ الْأَرْفَقُ الْأَصْلَحُ أَنْ يَجْعَلَهُ فِي مَرَّتَيْنِ مِنْهَا صَيْفًا وَشِتَاءً، كَيْ لَا يَتَشَاغَلَ بِحِفْظِ الْمَالِ إِذَا اسْتَبْقَاهُ وَلَا يَسْتَبْطِئُ الْجَيْشُ مَعَ قُرْبِ الْمَغْزَى وَبُعْدِ مَدَاهُ فَعَلَ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: لَا يَنْظُرُ الْإِمَامُ فِي ذَلِكَ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَجْعَلَهُ إِلَّا مَرَّةً وَاحِدَةً مِنْ كُلِّ عَامٍ وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّهُ كَالزَّكَاةِ لَا تَجِبُ فِي الْعَامِ إِلَّا مَرَّةً فَلَمَ يَجُزْ أَنْ يُفَرَّقَ فِي الْعَامِ إِلَّا مَرَّةً، وَفِي الْفَيْءِ مَا قَدْ يُحَصَّلُ فِي السَّنَةِ بِأَكْثَرَ مِنْ مَرَّةٍ، فَجَازَ أَنْ يُفَرَّقَ فِي الْعَامِ فِي أَكْثَرَ مِنْ مَرَّةٍ والله أعلم بالصواب.

Al-Mawardi berkata: Adapun jika harta fai’ hanya datang sekali dalam setiap tahun, maka pemberian (‘athā’) hanya diberikan sekali dalam setiap tahun, pada waktu tertentu yang ditetapkan setelah harta tersebut terkumpul. Waktu yang paling utama adalah pada bulan Muharram jika memungkinkan. Jika harta fai’ diperoleh dua kali dalam setahun atau beberapa kali, maka tidak sepatutnya pemberian (‘athā’) diberikan lebih dari dua kali dalam setahun, karena alasan yang telah kami sebutkan, yaitu agar para mujahid tidak sibuk menagih dan imam tidak sibuk membagikan. Kemudian imam melihat mana dari dua cara itu yang lebih maslahat baginya dan bagi pasukan. Jika yang lebih maslahat adalah memberikannya sekali dalam setahun karena jarak medan perang yang jauh atau lamanya waktu, maka ia lakukan. Jika yang lebih maslahat adalah memberikannya dua kali, misalnya pada musim panas dan musim dingin, agar tidak sibuk menjaga harta jika disimpan, dan agar pasukan tidak merasa lama menunggu dengan jarak medan perang yang dekat atau jauh, maka ia lakukan. Di antara ulama mazhab kami ada yang berpendapat: Imam tidak boleh mempertimbangkan hal itu dan tidak boleh membagikannya kecuali sekali dalam setahun. Ini adalah kesalahan, karena ia seperti zakat yang tidak wajib kecuali sekali dalam setahun, sehingga tidak boleh dibagikan kecuali sekali dalam setahun. Sedangkan pada fai’, bisa jadi harta terkumpul lebih dari sekali dalam setahun, maka boleh dibagikan lebih dari sekali dalam setahun. Allah lebih mengetahui mana yang benar.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَإِذَا صَارَ مَالُ الْفَيْءِ إِلَى الْوَالِي ثُمَّ مَاتَ مَيِّتٌ قَبْلَ أَنْ يَأْخُذَ عَطَاءَهُ أُعْطِيَهُ وَرَثَتُهُ فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ أَنْ يَصِيرَ إِلَيْهِ مَالُ ذَلِكَ الْعَامِ لَمْ يُعْطَهُ وَرَثَتُهُ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika harta fai’ telah sampai kepada wali (penguasa), kemudian ada seseorang yang meninggal sebelum menerima pemberiannya (‘athā’), maka diberikan kepada ahli warisnya. Namun jika ia meninggal sebelum harta tahun itu sampai kepadanya, maka ahli warisnya tidak mendapatkannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.

قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ اسْتِحْقَاقَ الْعَطَاءِ يَكُونُ بِحُصُولِ مَالِ الْفَيْءِ وَأَدَاؤُهُ يَجِبُ بِحُلُولِ وَقْتِ الْعَطَاءِ.

Telah kami sebutkan bahwa hak atas pemberian (‘athā’) diperoleh dengan terkumpulnya harta fai’, dan kewajiban membayarnya terjadi dengan masuknya waktu pemberian.

وَقَالَ الْإِسْفَرَايِينِيُّ: اسْتِحْقَاقُهُ وَأَدَاؤُهُ يَكُونَانِ مَعًا بِحُلُولِ وَقْتِ الْعَطَاءِ، وَلَا اعْتِبَارَ بِحُصُولِ الْمَالِ فِي الِاسْتِحْقَاقِ وَالْأَدَاءِ، وَهَذَا مَعَ كَوْنِهِ مُخَالِفًا لِنَصِّ الشَّافِعِيِّ خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Al-Isfara’ini berkata: Hak dan pembayarannya terjadi bersamaan dengan masuknya waktu pemberian, dan tidak diperhitungkan terkumpulnya harta dalam penetapan hak dan pembayarannya. Pendapat ini, selain bertentangan dengan nash Imam Syafi‘i, juga salah dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَا لَمْ يَجِبْ عَلَى مُؤَدِّيهِ لَمْ يَجِبْ بِمُسْتَوْفِيهِ، وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَحِلَّ وَقْتُ الْعَطَاءِ قَبْلَ اسْتِحْقَاقِ مَالِ الْفَيْءِ عَلَى أَهْلِهِ.

Pertama: Selama belum wajib atas pihak yang membayar, maka belum wajib pula bagi yang berhak menerima. Bisa saja waktu pemberian tiba sebelum harta fai’ benar-benar menjadi hak bagi penerimanya.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْعَطَاءَ يَتَعَلَّقُ اسْتِحْقَاقُهُ بِعَيْنٍ لَا بِذِمَّةٍ وَفِي اعْتِبَارِ وُجُوبِهِ بِالْوَقْتِ دُونَ الْمَالِ نَقْلٌ لَهُ مِنَ الْعَيْنِ إِلَى الذِّمَّةِ، فَبَطَلَ تَقْدِيرُ مَا اعْتَبَرَهُ.

Kedua: Hak atas pemberian (‘athā’) terkait dengan benda (harta) secara langsung, bukan dengan tanggungan (dzimmah). Jika kewajibannya hanya dikaitkan dengan waktu tanpa memperhatikan harta, berarti memindahkannya dari hak atas benda ke hak atas tanggungan, sehingga batal apa yang ia anggap sebagai ukuran.

وَإِذَا كَانَ حُصُولُ الْمَالِ مُعْتَبَرًا فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ حُصُولَهُ هُوَ قَبْضُهُ مِنْ أَهْلِهِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: حُصُولُهُ هُوَ حُلُولُ وُجُوبِهِ عَلَى أَهْلِهِ.

Jika terkumpulnya harta diperhitungkan, maka menurut mazhab Syafi‘i, yang dimaksud terkumpulnya adalah diterimanya harta itu dari pemiliknya. Di antara ulama mazhab kami ada yang berpendapat: yang dimaksud terkumpulnya adalah saat kewajiban atas pemiliknya telah jatuh tempo.

وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّهُ قَدْ يَحِلُّ وُجُوبُهُ وَلَا يَحْصُلُ بِمَوْتٍ وَإِعْسَارٍ، فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا، لَمْ يَخْلُ حَالُ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِ الْفَيْءِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Ini adalah kesalahan, karena bisa saja kewajiban telah jatuh tempo namun harta belum terkumpul karena kematian atau kesulitan. Jika demikian, maka keadaan orang yang meninggal dari kalangan penerima fai’ terbagi menjadi empat:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مَوْتُهُ قَبْلَ حُصُولِ الْمَالِ وَقَبْلَ حُلُولِ وَقْتِ الْعَطَاءِ، فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ لَا يَكُونُ حَقُّهُ فِيهِ ثَابِتًا.

Pertama: Ia meninggal sebelum harta terkumpul dan sebelum waktu pemberian tiba, maka menurut mazhab Syafi‘i, ia tidak memiliki hak atas harta tersebut.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَوْتُهُ بَعْدَ حُصُولِ الْمَالِ وَبَعْدَ حُلُولِ وَقْتِ الْعَطَاءِ، فَحَقُّهُ فِيهِ ثَابِتٌ وَهُوَ لِوَرَثَتِهِ مِنْ بَعْدِهِ لئلا يختلفوا.

Kedua: Ia meninggal setelah harta terkumpul dan setelah waktu pemberian tiba, maka haknya tetap ada dan menjadi milik ahli warisnya agar tidak terjadi perselisihan.

القسم الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ مَوْتُهُ بَعْدَ حُصُولِ الْمَالِ وَقَبْلَ حُلُولِ وَقْتِ الْعَطَاءِ، فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ يَكُونُ حَقُّهُ ثَابِتًا فِيهِ يَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى وَرَثَتِهِ، وَعَلَى قَوْلِ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ لَا حَقَّ لَهُ فِيهِ.

Ketiga: Ia meninggal setelah harta terkumpul namun sebelum waktu pemberian tiba, maka menurut mazhab Syafi‘i, haknya tetap ada dan berpindah kepada ahli warisnya. Namun menurut pendapat Abu Hamid al-Isfara’ini, ia tidak memiliki hak atasnya.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ مَوْتُهُ بَعْدَ حُلُولِ وَقْتِ الْعَطَاءِ وَقَبْلَ حُصُولِ الْمَالِ، فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ لَا حَقَّ لَهُ فِيهِ، وَعَلَى قَوْلِ أَبِي حَامِدٍ يَكُونُ حَقُّهُ فيه ثابتا يورث عنه.

Bagian keempat: Jika kematiannya terjadi setelah masuknya waktu pemberian dan sebelum harta itu diperoleh, maka menurut mazhab Syafi‘i, ia tidak memiliki hak atasnya. Namun menurut pendapat Abu Hamid, haknya tetap ada dan dapat diwariskan darinya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن فضل من الفيء شيء بعد ما وَصَفْتُ مِنْ إِعْطَاءِ الْعَطَايَا وَضَعَهُ الْإِمَامُ فِي إِصْلَاحِ الْحُصُونِ وَالِازْدِيَادِ فِي السِّلَاحِ وَالْكُرَاعِ وَكُلِّ ما قوي بِهِ الْمُسْلِمُونَ فَإِنِ اسْتَغْنَوْا عَنْهُ وَكَمُلَتْ كُلُّ مَصْلَحَةٍ لَهُمْ فُرِّقَ مَا يَبْقَى مِنْهُ بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ مَا يَسْتَحِقُّونَ فِي ذَلِكَ الْمَالِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika masih tersisa sesuatu dari fai’ setelah aku jelaskan tentang pembagian pemberian, maka imam meletakkannya untuk perbaikan benteng-benteng, penambahan persenjataan dan kuda, serta segala sesuatu yang dapat memperkuat kaum Muslimin. Jika mereka telah merasa cukup dan seluruh kemaslahatan mereka telah terpenuhi, maka sisa dari harta itu dibagikan di antara mereka sesuai kadar hak mereka dalam harta tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ الْقَوْلِ فِي مَالِ الْفَيْءِ إِذَا حُصِّلَ أَنْ يَبْدَأَ مِنْهُ بَعْدَ إِخْرَاجِ خُمُسِهِ بِأَرْزَاقِ الْجَيْشِ، لِأَنَّهُ إِنْ قِيلَ إِنَّهُ لِلْجَيْشِ خَاصَّةً فَلَا شَرِيكَ لَهُمْ فِيهِ، وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ لِلْمَصَالِحِ فَمِنْ أَهَمِّهَا أَرْزَاقُ الْجَيْشِ، فَإِنْ كَانَ بِقَدْرِ أَرْزَاقِهِمْ لَمْ يَفْضُلْ مِنْهُ مَتَى أُعْطُوا جَمِيعَهُ، وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْزَاقِهِمْ وَكَانَ يَفْضُلُ مِنْ بَعْدِ إِعْطَاءِ جَمِيعِهِمْ فَضْلٌ فَمَصْرِفُ الْفَضْلِ مُعْتَبَرٌ بِاخْتِلَافِ الْقَوْلَيْنِ فِي مَصْرِفِ الْفَيْءِ.

Al-Mawardi berkata: Kesimpulan pembahasan tentang harta fai’ jika telah diperoleh adalah hendaknya setelah dikeluarkan seperlimanya, dimulai dengan memberikan nafkah kepada tentara. Karena jika dikatakan bahwa harta itu khusus untuk tentara, maka tidak ada sekutu bagi mereka di dalamnya. Namun jika dikatakan bahwa harta itu untuk kemaslahatan umum, maka yang paling utama adalah nafkah tentara. Jika jumlahnya sesuai dengan kebutuhan nafkah mereka, maka tidak ada sisa setelah seluruhnya diberikan kepada mereka. Jika jumlahnya lebih banyak dari kebutuhan nafkah mereka dan masih ada sisa setelah semuanya diberikan, maka penyaluran sisa tersebut dipertimbangkan berdasarkan perbedaan dua pendapat dalam penyaluran fai’.

فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ لِلْجَيْشِ خَاصَّةً وَاسْتَوْفَوْا مِنْهُ قَدْرَ أَرْزَاقِهِمْ رَدَّ الْفَاضِلَ عَلَيْهِ بِقِسْطِ أَرْزَاقِهِمْ، وَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يُصْرَفَ مِنَ الْفَضْلِ فِي الْكُرَاعِ وَالسِّلَاحِ وَإِصْلَاحِ الْحُصُونِ وَالثُّغُورِ مَا دَعَتِ الْحَاجَةُ إِلَيْهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika dikatakan bahwa harta itu khusus untuk tentara dan mereka telah menerima sesuai kebutuhan nafkah mereka, maka sisa harta dikembalikan kepada mereka sesuai dengan bagian nafkah mereka. Apakah boleh menyalurkan sisa tersebut untuk pembelian kuda, senjata, perbaikan benteng dan perbatasan sesuai kebutuhan atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ استحقاقهم لَهُ كَالْغَنِيمَةِ.

Pertama: Tidak boleh, karena mereka telah berhak atasnya sebagaimana harta ghanimah.

وَالثَّانِي: يَجُوزُ، لِأَنَّهُ مَعُونَةٌ لَهُمْ وَإِنْ لَمْ يَفْضُلْ تَكَلَّفُوهُ مِنْ أَمْوَالِهِمْ، فَيَبْدَأُ بَعْدَ أَرْزَاقِهِمْ بِشِرَاءِ مَا احْتِيجَ إِلَيْهِ مِنَ الْكُرَاعِ وَالسِّلَاحِ وَإِصْلَاحِ مَا تَشَعَّثَ مِنَ الْحُصُونِ وَالثُّغُورِ، ثُمَّ رَدِّ مَا فَضَلَ بَعْدَ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ، وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ مَصْرُوفٌ فِي الْمَصَالِحِ قَدَّمَ الْجَيْشَ مِنْهُ بِقَدْرِ أَرْزَاقِهِمْ، وَصُرِفَ الْفَضْلُ فِي الْكُرَاعِ والسلاح وَمَا يُحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنْ إِصْلَاحِ الْحُصُونِ وَالثُّغُورِ، فَإِنْ فَضَلَ مِنْهُ بَعْدَ الْمَصَالِحِ كُلِّهَا فَضْلٌ فَفِي رَدِّهِ عَلَى الْجَيْشِ، وَجْهَانِ:

Kedua: Boleh, karena itu merupakan bantuan bagi mereka, dan jika tidak ada sisa, mereka harus menanggungnya dari harta mereka sendiri. Maka setelah nafkah mereka, dimulai dengan pembelian kuda, senjata, dan perbaikan benteng serta perbatasan yang rusak, kemudian sisa setelah itu dikembalikan kepada mereka. Jika dikatakan bahwa empat per lima harta fai’ disalurkan untuk kemaslahatan umum, maka tentara didahulukan sesuai kebutuhan nafkah mereka, dan sisa harta digunakan untuk pembelian kuda, senjata, serta perbaikan benteng dan perbatasan yang diperlukan. Jika setelah seluruh kemaslahatan terpenuhi masih ada sisa, maka dalam hal pengembaliannya kepada tentara terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُسْتَبْقَى فِي بَيْتِ الْمَالِ وَلَا يُرَدُّ عَلَيْهِمْ، لِأَنَّهُ قَدْ يَتَجَدَّدُ مِنْ وُجُوهِ الْمَصَالِحِ مَا يَكُونُ ذَلِكَ مُعَدًّا لَهُ.

Pertama: Disimpan di Baitul Mal dan tidak dikembalikan kepada mereka, karena bisa saja muncul kebutuhan kemaslahatan baru yang membutuhkan dana tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهُ يُرَدُّ عَلَى الْجَيْشِ بَعْدَ اسْتِكْمَالِ الْمَصَالِحِ، بِقِسْطِ أَرْزَاقِهِمْ وَلَا يُسْتَبْقَى لِمَصْلَحَةٍ لَمْ يُعْلَمْ بِهَا مَعَ ظُهُورِ المصلحة في اتساع الجيش بِهَا، وَلِمَا رَوَى عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَلَفَ فِي الْمَالِ الْمَحْمُولِ مِنْ فَارِسَ أَنَّهُ لَا يَأْوِي تَحْتَ سَقْفٍ حَتَّى يُقَسِّمَهُ، وَلِمَا رُوِيَ عَنْهُ فِي أَهْلِ الرَّمَادَةِ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ قَدِ اسْتَبْقَى لَهُمْ فِي بيت المال ما يسد بهم خَلَّتَهُمْ، حَتَّى انْتَظَرَ بِهِمْ مَا يَأْتِي مِنْ مَالٍ بَعْدَ مَالٍ إِلَى أَنِ اسْتَقَلُّوا فَرَحَلُوا، فَعَلَى هَذَا فِي حُكْمِ رَدِّهِ عَلَيْهِمْ وَجْهَانِ:

Kedua: Dikembalikan kepada tentara setelah seluruh kemaslahatan terpenuhi, sesuai dengan bagian nafkah mereka, dan tidak disimpan untuk kemaslahatan yang belum diketahui, apalagi telah nyata kemaslahatan dengan memperluas jumlah tentara. Sebagaimana riwayat dari Umar ra. bahwa beliau bersumpah atas harta yang dibawa dari Persia bahwa beliau tidak akan berteduh di bawah atap sebelum membagikannya. Juga sebagaimana riwayat tentang penduduk Ramadah, bahwa beliau tidak menyisakan harta di Baitul Mal untuk menutupi kebutuhan mereka, hingga beliau menunggu datangnya harta berikutnya sampai mereka merasa cukup lalu pergi. Berdasarkan hal ini, dalam hukum pengembalian kepada mereka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ يُرَدُّ عَلَيْهِمْ مَعُونَةً لَهُمْ لَا يُحْتَسَبُ بِهَا عَلَيْهِمْ.

Pertama: Dikembalikan kepada mereka sebagai bantuan tanpa diperhitungkan sebagai bagian dari hak mereka.

وَالثَّانِي: يُرَدُّ عَلَيْهِمْ سَلَفًا مُعَجَّلًا، يُحْتَسَبُ بِهِ عَلَيْهِمْ مِنْ رِزْقِ الْعَامِ القابل والله أعلم.

Kedua: Dikembalikan kepada mereka sebagai pinjaman yang segera, yang akan diperhitungkan dari nafkah tahun berikutnya. Wallahu a‘lam.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَإِنْ ضَاقَ عَنْ مَبْلَغِ الْعَطَاءِ فَرَّقَهُ بَيْنَهُمْ بَالِغًا مَا بَلَغَ لَمْ يُحْبَسْ عَنْهُمْ مِنْهُ شَيْءٌ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika harta itu tidak mencukupi untuk jumlah pemberian, maka dibagikan di antara mereka sebanyak yang ada, tidak ada satu pun yang ditahan dari mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا ضَاقَ مَالُ الْفَيْءِ عَنْ أَرْزَاقِ الْجَيْشِ وَجَبَ أَنْ يُقَسِّمَهُ بَيْنَ جَمِيعِهِمْ عَلَى قَدْرِ أَرْزَاقِهِمْ، كَمَا لَوْ ضَاقَتْ أَمْوَالُ الْمُفْلِسِ عَنْ دُيُونِ غُرَمَائِهِ قُسِّمَ بَيْنَهُمْ على قدر دُيُونِهِمْ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَ ذَلِكَ بَعْضَ الْجَيْشِ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَ ذَلِكَ مَالَ الْمُفْلِسِ بَعْضَ الْغُرَمَاءِ لِاسْتِوَائِهِمْ فِي الِاسْتِحْقَاقِ، ثُمَّ يَنْظُرُ فِي الْبَاقِي مِنْ أَرْزَاقِهِمْ.

Al-Mawardi berkata: Jika harta al-fay’ tidak mencukupi untuk memenuhi tunjangan pasukan, maka wajib membaginya di antara seluruh anggota pasukan sesuai dengan besaran tunjangan mereka, sebagaimana jika harta orang yang bangkrut tidak mencukupi untuk melunasi utang para krediturnya, maka harta itu dibagi di antara mereka sesuai dengan besaran utang masing-masing. Tidak boleh memberikan harta tersebut hanya kepada sebagian pasukan, sebagaimana tidak boleh memberikan harta orang yang bangkrut hanya kepada sebagian kreditur, karena mereka sama-sama berhak. Setelah itu, diperhatikan sisa tunjangan mereka.

فَإِنْ قيل إن مال الفيء لِلْجَيْشِ سَقَطَ الْبَاقِي مِنْ أَرْزَاقِهِمْ وَلَمْ يَلْزَمْ أَنْ يَقْضُوهُ مِنْ عَامٍ قَابِلٍ، وَلَكِنْ يَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يُعَوِّضَهُمْ مِنَ الْغَنَائِمِ مَا يُتَمِّمُونَ بَاقِي كِفَايَاتِهِمْ.

Jika dikatakan bahwa harta al-fay’ memang diperuntukkan bagi pasukan, maka sisa tunjangan mereka gugur dan tidak wajib untuk dilunasi pada tahun berikutnya. Namun, sebaiknya imam memberikan kompensasi kepada mereka dari harta ghanā’im agar kebutuhan mereka yang tersisa dapat terpenuhi.

وَإِنْ قِيلَ إِنَّ مَالَ الْفَيْءِ مَصْرُوفٌ فِي الْمَصَالِحِ كَانَ الْبَاقِي مِنْ أَرْزَاقِ الْجَيْشِ، دَيْنًا عَلَى بَيْتِ الْمَالِ يَقْضُونَهُ فِي الْمُسْتَقْبَلِ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ، وَإِنْ عَوَّضُوهُمْ بِمَغْنَمٍ قبله كان أولى.

Dan jika dikatakan bahwa harta al-fay’ dialokasikan untuk kemaslahatan umum, maka sisa tunjangan pasukan menjadi utang atas Baitul Mal yang harus dibayarkan di masa mendatang dari Baitul Mal. Jika mereka diberi kompensasi dari harta maghnam sebelumnya, itu lebih utama.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَيُعْطَى مِنَ الْفَيْءِ رِزْقُ الْحُكَّامِ وَوُلَاةِ الْأَحْدَاثِ وَالصَّلَاةِ لِأَهْلِ الْفَيْءِ وَكُلُّ مَنْ قَامَ بِأَمْرِ أَهْلِ الْفَيْءِ مِنْ وَالٍ وَكَاتِبٍ وَجُنْدِيٍّ مِمَّنْ لَا غَنَاءَ لِأَهْلِ الْفَيْءِ عَنْهُ رِزْقُ مِثْلِهِ فإن وجد من يغني غناءه وكان أمينا بأقل لم يزد أحدا على أقل ما يجد لأن منزلة الوالي من رعيته منزلة والي اليتيم من ماله لا يعطى منه عن الغناء لليتيم إلا أقل ما يقدر عليه ومن ولي على أهل الصدقات كان رزقه مما يؤخذ منها لا يعطى من الفيء عليها كما لا يعطى من الصدقات على الفيء (قال) واختلف أصحابنا وغيرهم في قسم الفيء وذهبوا مذاهب لا أحفظ عنهم تفسيرها ولا أحفظ أيهم قال ما أحكي من القول دون من خالفه وسأحكي ما حضرني من معاني كل من قال في الفيء شيئا فمنهم من قال هذا المال لله تعالى دل على من يعطاه فإذا اجتهد الوالي ففرقه في جميع من سمى له على قدر ما يرى من استحقاقهم بالحاجة إليه وإن فضل بعضهم على بعض في العطاء فذلك تسوية إذا كان ما يعطى كل واحد منهم سد خلته ولا يجوز أن يعطي صنفا منهم ويحرم صنفا ومنهم من قال إذا اجتمع المال نظر في مصلحة المسلمين فرأى أن يصرف المال إلى بعض الأصناف دون بعض فإن كان الصنف الذي يصرفه إليه لا يستغني عن شيء مما يصرفه إليه وكان أرفق بجماعة المسلمين صرفه وحرم غيره ويشبه قول الذي يقول هذا أنه إن طلب المال صنفان وكان إذا حرمه أحد الصنفين تماسك ولم يدخل عليه خلة مضرة وإن ساوى بينه وبين الآخر كانت على الصنف الآخر خلة مضرة أعطاه الذين فيهم الخلة المضرة كله (قال) ثم قال بعض من قال إذا صرف مال الفيء إلى ناحية فسدها وحرم الأخرى ثم جاءه مال آخر أعطاها إياه دون الناحية التي سدها فكأنه ذهب إلى أنه إنما عجل أهل الخلة وأخر غيرهم حتى أوفاهم بعد (قال) ولا أعلم أحدا منهم قال يعطى من يعطى من الصدقات ولا مجاهدا من الفيء وقال بعض من أحفظ عنه وإن أصابت أهل الصدقات سنة فهلكت أموالهم أنفق عليهم من الفيء فإذا استغنوا عنه منعوا الفيء ومنهم من قال في مال الصدقات هذا القول يرد بعض مال أهل الصدقات (قال الشافعي) رحمه الله: والذي أقول به وأحفظ عمن أرضى ممن سمعت أن لا يؤخر المال إذا اجتمع ولكن يقسم فإن كانت نازلة من عدو وجب على المسلمين القيام بها وإن غشيهم عدو في دارهم وجب النفير على جميع من غشيه أهل الفيء وغيرهم (قال الشافعي) رحمه الله أخبرنا غير واحد من أهل العلم أنه لما قَدِمَ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مال أصيب بالعراق فقال له صاحب بيت المال ألا ندخله بيت المال؟ قال لا ورب الكعبة لا يأوي تحت سقف بيت حتى أقسمه فأمر به فوضع في المسجد ووضعت عليه الأنطاع وحرسه رجال من المهاجرين والأنصار فلما أصبح غدا معه العباس بن عبد المطلب وعبد الرحمن بن عوف آخذا بيد أحدهما أو أحدهما أخذ بيده فلما رأوه كشفوا الأنطاع عن الأموال فرأى منظرا لم ير مثله الذهب فيه والياقوت والزبرجد واللؤلؤ يتلألأ فبكى فقال له أحدهما إنه والله ما هو بيوم بكاء لكنه والله يوم شكر وسرور فقال إني والله ما ذهبت حيث ذهبت ولكن والله ما كثر هذا في قوم قط إلا وقد بأسهم بينهم ثم أقبل على القبلة ورفع يديه إلى السماء وقال اللهم إني أعوذ بك أن أكون مستدرجا فإني أسمعك تقول: ” سنستدرجهم من حيث لا يعلمون ” ثم قال أين سراقة بن جعشم؟ فأتي به أشعرالذراعين دقيقهما فأعطاه سواري كسرى وقال البسهما ففعل فقال قل الله أكبر فقال الله أكبر قال فقل الحمد لله الذي سلبهما كسرى ابن هرمز ونظر وألبسهما سراقة بن جعشم أعرابيا من بني مدلج، وإنما ألبسه إياهما لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال لسراقة ونظر إلى ذراعه ” كأني بك وقد لبست سوارى كسرى ” ولم يجعل له إلا سواريه وجعل يقلب بعض ذلك بعضا ثم قال إن الذي أدى هذا لأمين فقال قائل أنا أخبرك أنك أمين الله وهم يؤدون إليك ما أديت إلى الله فإذا رتعت رتعوا قال صدقت ثم فرقه (قال الشافعي) وأخبرنا الثقة من أهل المدينة قال أنفق عمر رضي الله عنه على أهل الرمادة في مقامهم حتى وقع مطر فترحلوا فخرج عمر رضي الله عنه راكبا إليهم فرسا ينظر إليهم كيف يترحلون فدمعت عيناه فقال رجل من محارب خصفة أشهد أنها انحسرت عنك ولست بابن أمية فقال عمر رضي الله عنه ويلك ذاك لو كنت أنفق عليهم من مالي أو مال الخطاب إنما أنفق عليهم من مال الله عز وجل “.

Imam Syafi‘i berkata: “Dari harta fai’ diberikanlah nafkah untuk para hakim, para pejabat urusan umum, dan imam shalat bagi masyarakat penerima fai’, serta setiap orang yang mengurus kepentingan mereka, seperti gubernur, penulis, dan tentara yang keberadaan mereka tidak dapat digantikan bagi masyarakat penerima fai’. Mereka diberi nafkah sesuai kadar orang semisal mereka. Jika ditemukan orang lain yang dapat menggantikan tugasnya dan ia amanah dengan bayaran lebih rendah, maka tidak boleh menambah siapa pun di atas bayaran terendah yang ditemukan. Sebab, kedudukan seorang wali terhadap rakyatnya seperti wali anak yatim terhadap harta anak yatim; tidak boleh diberikan dari harta itu kecuali sekadar kebutuhan minimal anak yatim. Siapa yang diangkat untuk mengurus zakat, maka nafkahnya diambil dari zakat, tidak diberikan dari fai’, sebagaimana tidak diberikan dari zakat untuk mengurus fai’. (Beliau berkata:) Para sahabat kami dan selain mereka berbeda pendapat tentang pembagian fai’, dan mereka menempuh berbagai pendapat yang aku tidak hafal penjelasannya, juga tidak hafal siapa yang mengatakan apa yang aku sebutkan, selain dari yang menyelisihinya. Aku akan sebutkan makna-makna yang aku ingat dari setiap orang yang berpendapat tentang fai’. Di antara mereka ada yang berkata: Harta ini milik Allah Ta‘ala, dan telah dijelaskan siapa saja yang berhak menerimanya. Jika penguasa berijtihad lalu membagikannya kepada semua yang telah disebutkan sesuai kadar kebutuhan mereka, meskipun ada yang diutamakan dalam pemberian, maka itu adalah keadilan, selama yang diberikan kepada masing-masing mencukupi kebutuhannya. Tidak boleh memberikan kepada satu golongan dan mengharamkan golongan lain. Ada juga yang berkata: Jika harta telah terkumpul, maka dilihat kemaslahatan kaum muslimin; jika dipandang lebih maslahat untuk diberikan kepada sebagian golongan saja, maka diberikan kepada mereka, dan jika golongan yang diberikan itu benar-benar membutuhkan dan lebih bermanfaat bagi umat Islam, maka diberikan kepada mereka dan yang lain tidak. Pendapat ini mirip dengan yang mengatakan: Jika ada dua golongan yang meminta harta, dan jika salah satu tidak diberi, mereka masih bisa bertahan tanpa kekurangan yang membahayakan, namun jika disamakan, golongan lain akan mengalami kekurangan yang membahayakan, maka diberikan seluruhnya kepada yang lebih membutuhkan. (Beliau berkata:) Lalu sebagian yang berpendapat bahwa jika harta fai’ diberikan kepada satu pihak dan tidak kepada pihak lain, kemudian datang harta lagi, maka diberikan kepada pihak yang belum menerima, bukan kepada yang sudah menerima, seolah-olah ia berpendapat bahwa yang didahulukan adalah yang paling membutuhkan, dan yang lain ditunda hingga terpenuhi. (Beliau berkata:) Aku tidak mengetahui ada yang berpendapat bahwa yang berhak menerima zakat juga berhak menerima dari fai’, atau mujahid menerima dari fai’. Ada yang aku ingat berpendapat, jika penerima zakat tertimpa musibah hingga harta mereka habis, maka mereka dinafkahi dari fai’, dan jika sudah cukup, mereka tidak lagi menerima dari fai’. Ada juga yang berpendapat demikian untuk zakat, yaitu sebagian harta zakat dikembalikan kepada penerima zakat. (Imam Syafi‘i) rahimahullah berkata: Pendapat yang aku pegang dan aku hafal dari orang-orang yang aku percaya, bahwa jika harta telah terkumpul, tidak boleh ditunda, tetapi harus segera dibagikan. Jika ada serangan musuh, maka wajib bagi kaum muslimin untuk menghadapinya. Jika musuh menyerang negeri mereka, maka wajib bagi semua, baik penerima fai’ maupun bukan, untuk berangkat berjihad. (Imam Syafi‘i) rahimahullah berkata: Beberapa orang ahli ilmu memberitakan kepada kami, bahwa ketika datang harta rampasan dari Irak kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bendahara berkata kepadanya: “Tidakkah kita masukkan ke Baitul Mal?” Umar menjawab: “Tidak, demi Tuhan Ka‘bah, tidak akan berlindung di bawah atap rumah sampai aku membaginya.” Lalu ia memerintahkan agar harta itu diletakkan di masjid, ditutupi dengan kulit, dan dijaga oleh para sahabat Muhajirin dan Anshar. Ketika pagi, Umar datang bersama Abbas bin Abdul Muththalib dan Abdurrahman bin Auf, salah satu dari mereka menggandeng tangannya. Ketika mereka melihat harta itu, mereka membuka penutupnya dan melihat pemandangan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya: emas, permata, zamrud, dan mutiara berkilauan. Umar pun menangis. Salah satu dari mereka berkata: “Demi Allah, ini bukan hari untuk menangis, tapi hari untuk bersyukur dan bergembira.” Umar berkata: “Demi Allah, aku tidak menangis karena itu, tapi demi Allah, tidaklah harta sebanyak ini terkumpul pada suatu kaum kecuali akan timbul permusuhan di antara mereka.” Lalu ia menghadap kiblat, mengangkat tangan ke langit dan berdoa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari istidraj, karena aku mendengar firman-Mu: ‘Kami akan menarik mereka secara perlahan dari arah yang tidak mereka ketahui.’” Kemudian ia bertanya: “Di mana Suraqah bin Ju‘syum?” Lalu Suraqah didatangkan, kedua lengannya berbulu dan kurus. Umar memberinya dua gelang Kisra dan berkata: “Pakaikanlah!” Suraqah pun memakainya. Umar berkata: “Ucapkanlah ‘Allahu Akbar!’” Suraqah mengucapkan ‘Allahu Akbar’. Umar berkata: “Ucapkanlah ‘Alhamdulillah’ yang telah mencabut gelang Kisra bin Hurmuz dan memakaikannya kepada Suraqah bin Ju‘syum, seorang Arab Badui dari Bani Mudlij.” Umar memakaikannya karena Nabi ﷺ pernah berkata kepada Suraqah sambil melihat lengannya: “Seakan-akan aku melihatmu memakai dua gelang Kisra.” Umar tidak memberinya kecuali dua gelang itu. Umar lalu membolak-balik sebagian harta itu dan berkata: “Yang menyerahkan harta ini benar-benar orang yang amanah.” Seseorang berkata: “Aku beritahu engkau, engkau adalah orang yang amanah Allah, mereka menyerahkan kepadamu selama engkau menyerahkan kepada Allah. Jika engkau berkhianat, mereka pun akan berkhianat.” Umar berkata: “Engkau benar.” Lalu ia membagi-bagikan harta itu. (Imam Syafi‘i berkata:) Orang yang terpercaya dari penduduk Madinah memberitakan kepada kami, bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu menafkahi penduduk Ramadah selama mereka tinggal di sana hingga turun hujan dan mereka berpindah. Umar keluar menunggang kuda melihat mereka berpindah, lalu matanya berlinang air mata. Seorang dari Bani Muharib berkata: “Aku bersaksi bahwa engkau telah terbebas dari celaan, dan engkau bukan dari Bani Umayyah.” Umar berkata: “Celaka engkau, itu hanya berlaku jika aku menafkahi mereka dari hartaku atau harta keluarga Khattab. Aku menafkahi mereka dari harta Allah Azza wa Jalla.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا أَرْزَاقُ الْجَيْشِ وَكُتَّابُهُمْ وَقُضَاتُهُمْ وَأَئِمَّتُهُمْ وَمُؤَذِّنِيهِمْ وَعُمَّالُهُمْ فَفِي أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ على قولين مَعًا، وَأَمَّا أَرْزَاقُ الْقُضَاةِ بَيْنَ الْكَافَّةِ وَوُلَاةِ الأحدايث وَهُمْ أَصْحَابُ الشُّرْطِ وَأَئِمَّةُ الْجَوَامِعِ وَالْمُؤَذِّنُونَ فِيهَا.

Al-Mawardi berkata: Adapun nafkah untuk tentara, para penulis mereka, para qadhi, imam, muadzin, dan para petugas mereka, maka diambil dari empat perlima harta fai’ menurut dua pendapat sekaligus. Adapun nafkah para qadhi di antara masyarakat umum, para pejabat urusan umum (ashabul syurthah), imam-imam masjid jami‘, dan para muadzin di dalamnya.

فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ مَصْرُوفٌ فِي الْمَصَالِحِ أُعْطُوا مِنْهَا أَرْزَاقَهُمْ.

Jika dikatakan: Sesungguhnya empat perlima harta fai’ dialokasikan untuk kemaslahatan, maka dari situlah mereka diberikan nafkahnya.

وَإِنْ قِيلَ؛ إِنَّهُ مِلْكٌ لِلْجَيْشِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْطَوْا مِنْهُ وَأُعْطُوا مِنْ سَهْمِ الْمَصَالِحِ مِنَ الْخُمُسِ وَهُوَ سَهْمِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْمَصْرُوفُ بَعْدَهُ فِي وُجُوهِ الْمَصَالِحِ، وَإِذَا وَجَدَ الْإِمَامُ مُتَطَوِّعًا بِالْقَضَاءِ وَالْإِمَامَةِ وَالْأَذَانِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْطِيَ عَلَيْهِ رِزْقًا وَإِذَا وَجَدَ مُرْتَزِقًا بِأَقَلَّ مِنْ أُجْرَةِ مِثْلِهِ لَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ يُكْمِلَ لَهُ جَمِيعَ أُجْرَتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ إِلَّا مُسْتَوْفِيًا لِأُجْرَتِهِ وَفَّاهُ وَلَا يَزِيدُ عَلَى أُجْرَةِ مِثْلِهِ، لِأَنَّهُ فِي مَالِ الْمُسْلِمِينَ بِمَنْزِلَةِ الْوَلِيِّ فِي مَالِ الْيَتِيمِ.

Dan jika dikatakan: Sesungguhnya itu adalah milik pasukan, maka tidak boleh mereka diberi dari harta tersebut, dan mereka telah diberi dari bagian kemaslahatan dari khumus, yaitu bagian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang setelah beliau wafat digunakan untuk berbagai kemaslahatan. Jika imam mendapatkan seseorang yang bersedia secara sukarela untuk menjalankan tugas qadha (hakim), imamah (imam salat), dan adzan, maka tidak boleh memberinya nafkah atas tugas itu. Jika imam mendapatkan orang yang bersedia menerima upah lebih rendah dari upah standar, maka tidak boleh menyempurnakan seluruh upahnya. Namun, jika tidak didapati kecuali orang yang menuntut upah penuh, maka diberikan upahnya secara penuh dan tidak boleh melebihi upah standar, karena ia dalam harta kaum muslimin kedudukannya seperti wali dalam harta anak yatim.

فَأَمَّا عُمَّالُ الصَّدَقَاتِ فَأَرْزَاقُهُمْ مِنْهَا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُرْزَقُوا مِنْ مَالِ الْفَيْءِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا، فَأَمَّا مَالُ الْفَيْءِ وَمَالُ الصَّدَقَاتِ فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُمَا مُخْتَلِفَانِ وَمَصْرِفُهُمَا مُتَمَيِّزَانِ لَا يَجُوزُ أَنْ يُشْرَكَ بَيْنَهُمَا وَلَا أَنْ يُعْدَلَ بِأَحَدِهِمَا إِلَى مَصْرِفِ الْآخَرِ، وَإِنْ خَالَفَ فِيهِ مَنْ قَهَرَهُ بِالدَّلِيلِ، وَاللَّهُ وَلِيُّ التَّوْفِيقِ.

Adapun para petugas zakat, maka nafkah mereka diambil dari zakat itu sendiri, dan tidak boleh mereka diberi nafkah dari harta fai’ menurut kedua pendapat sekaligus. Adapun harta fai’ dan harta zakat, telah kami sebutkan bahwa keduanya berbeda dan pos penyalurannya pun berbeda, tidak boleh dicampur antara keduanya dan tidak boleh mengalihkan salah satunya ke pos yang lain, meskipun ada yang menyelisihi dengan dalil yang menguatkannya. Dan Allah adalah Pemilik taufik.

بَابُ مَا لَمْ يُوجَفُ عَلَيْهِ مِنَ الْأَرَضِينَ بخيل ولا ركاب

Bab: Tanah-tanah yang tidak diperoleh dengan penyerangan menggunakan kuda atau kendaraan

مسألة:

Masalah:

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” كُلُّ مَا صُولِحَ عَلَيْهِ الْمُشْرِكُونَ بِغَيْرِ قِتَالِ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ فسبيله سبيل الفيء على قسمه وما كان من أَرَضِينَ وَدُورٍ فَهِيَ وَقْفٌ لِلْمُسْلِمِينَ يُسْتَغَلُّ وَيُقَسَّمُ عليهم في كل عام كذلك أبدا (قال) وأحسب ما ترك عمر رضي الله عنه من بلاد أهل الشرك هكذا أو شيئا استطاب أنفس من ظهر عليه بخيل وركاب فتركوه كما استطاب رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنفس أهل سبي هوازن فتركوا حقوقهم وفي حديث جرير بن عبد الله عن عمر رضي الله عنه أنه عوضه من حقه وعوض امرأته من حقها بميراثها كالدليل على ما قلت “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Segala sesuatu yang disepakati dengan kaum musyrik tanpa adanya pertempuran dengan kuda maupun kendaraan, maka hukumnya seperti hukum fai’ dalam pembagiannya. Adapun tanah dan rumah, maka itu menjadi wakaf bagi kaum muslimin, dimanfaatkan dan dibagikan kepada mereka setiap tahun, demikian seterusnya. (Beliau berkata): Dan aku menduga apa yang Umar radhiyallahu ‘anhu lakukan terhadap negeri-negeri kaum musyrik adalah seperti ini, atau sesuatu yang membuat hati orang yang menguasainya dengan kuda dan kendaraan menjadi rela, lalu mereka meninggalkannya, sebagaimana Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- membuat hati para tawanan Hawazin rela, lalu mereka meninggalkan hak mereka. Dalam hadis Jarir bin Abdullah dari Umar radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa beliau mengganti haknya dan mengganti hak istrinya dengan warisannya, sebagai dalil atas apa yang aku katakan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan demikianlah sebagaimana yang beliau katakan.

لَا يَخْلُو مَالُ الْفَيْءِ مِنْ أَنْ يَكُونَ مَنْقُولًا أَوْ غَيْرَ مَنْقُولٍ، فَإِنْ كَانَ مَنْقُولًا كَالدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ وَالْعُرُوضِ وَالسِّلَعِ قُسِمَ بَيْنَ أَهْلِ الْفَيْءِ بِوَضْعِ خُمُسِهِ فِي أَهْلِهِ وَأَرْبَعَةِ أَخْمَاسِهِ فِي مُسْتَحِقِّهِ وَجَازَ لَهُ أَنْ يَبِيعَ الْعُرُوضَ إِذَا رَأَى ذَلِكَ صَلَاحًا بِالدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ لِمَا لَهُ فِيهِ مِنَ الِاجْتِهَادِ إِلَّا سَهْمَ ذِي الْقُرْبَى فَلَا يَجُوزُ بَيْعُهُ عَلَيْهِمْ إِلَّا بِإِذْنِهِمْ لِانْقِطَاعِ اجْتِهَادِهِ فِيهِ وَأَنَّهُ صَائِرٌ إِلَيْهِمْ عَلَى سَبِيلِ الْمِيرَاثِ وَإِنْ كَانَ مَالُ الْفَيْءِ غَيْرَ مَنْقُولٍ كَالدُّورِ وَالْعَقَارِ وَالْأَرَضِينَ.

Harta fai’ tidak lepas dari dua kemungkinan: berupa barang bergerak atau tidak bergerak. Jika berupa barang bergerak seperti dirham, dinar, barang dagangan, dan komoditas, maka dibagikan kepada para penerima fai’ dengan meletakkan seperlimanya untuk pihak-pihak yang berhak dan empat perlima untuk yang berhak menerimanya. Boleh bagi imam untuk menjual barang dagangan jika menurutnya itu lebih maslahat, lalu diganti dengan dirham dan dinar, karena ia memiliki ruang ijtihad dalam hal itu, kecuali bagian dzawil qurba, maka tidak boleh dijual kecuali dengan izin mereka, karena ijtihad imam tidak berlaku lagi di situ dan bagian itu akan menjadi milik mereka sebagai warisan. Jika harta fai’ berupa barang tidak bergerak seperti rumah, properti, dan tanah,

قَالَ الشَّافِعِيُّ فَهِيَ وَقْفٌ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Imam Syafi‘i berkata: Maka itu menjadi wakaf. Para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهَا تَكُونُ وَقْفًا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَجْعَلُ مَصْرِفَ الْفَيْءِ فِي وُجُوهِ الْمَصَالِحِ لِمَا فِي وَقْفِهَا مِنِ اسْتِدَامَةِ الْمَصْلَحَةِ وَاسْتِدْرَارِ الْعِلَّةِ فِي كُلِّ عَامٍ، وَأَنَّهُ يَسْتَغِلُّهَا لِأَهْلِ الْفَيْءِ فِي كُلِّ عَصْرِهِ، فَأَمَّا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَجْعَلُ مَالَ الْفَيْءِ مِلْكًا لِلْجَيْشِ خَاصَّةً فَلَا يَجُوزُ وَقْفُهَا إِلَّا بِإِذْنِهِمْ وَاخْتِيَارِهِمْ كَالْغَنِيمَةِ الَّتِي لَا يَجُوزُ وَقْفُ دُورِهَا وَأَرَضِيهَا إِلَّا بِرِضَى الْغَانِمِينَ وَاخْتِيَارِهِمْ.

Pertama: Bahwa itu menjadi wakaf menurut pendapat yang menjadikan penyaluran harta fai’ untuk berbagai kemaslahatan, karena dalam mewakafkannya terdapat kesinambungan maslahat dan terus-menerusnya manfaat setiap tahun, dan dimanfaatkan untuk para penerima fai’ di setiap masa. Adapun menurut pendapat yang menjadikan harta fai’ sebagai milik khusus pasukan, maka tidak boleh diwakafkan kecuali dengan izin dan pilihan mereka, sebagaimana harta ghanimah yang tidak boleh diwakafkan rumah dan tanahnya kecuali dengan kerelaan dan pilihan para penerima ghanimah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: قَالَهُ كَثِيرٌ مِنْ أَصْحَابِنَا إِنَّهَا تَصِيرُ وَقْفًا عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا، لِأَنَّ تَمْلِيكَ الْغَلَّةِ فِي كُلِّ عَامٍ أَمَدُّ وَأَنْفَعُ، وَلِأَنَّ أَهْلَ الْفَيْءِ قَامُوا فِي تَمَلُّكِهِ مَقَامَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي حَقِّهِ وَمَا مَلَكَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَحَقُّهُ مِنَ الْفَيْءِ وَقْفٌ، فَكَذَلِكَ مَا مَلَكَهُ الْجَيْشُ بَعْدَهُ فَصَارَ الْحُكْمُ فِيهِ أَنْ يَصِيرَ وَقْفًا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَجْعَلُ مَصْرِفَهُ فِي وُجُوهِ الْمَصَالِحِ وَهُوَ يَصِيرُ وَقْفًا عَلَى الْقَوْلِ الْآخَرِ أَنَّهُ مِلْكٌ لِلْجَيْشِ خَاصَّةً أَمْ لَا؟ على وجهين.

Wajah kedua: Dikatakan oleh banyak dari kalangan sahabat kami bahwa tanah tersebut menjadi wakaf menurut kedua pendapat sekaligus, karena memberikan kepemilikan hasil (ghallah) setiap tahun itu lebih lama dan lebih bermanfaat. Dan karena para penerima fai’ telah menempati posisi Rasulullah ﷺ dalam haknya, dan apa yang dimiliki Rasulullah ﷺ serta hak beliau dari fai’ adalah wakaf, maka demikian pula apa yang dimiliki oleh pasukan setelah beliau, sehingga hukumnya adalah menjadi wakaf menurut pendapat yang menjadikan penyalurannya pada berbagai kemaslahatan, dan juga menjadi wakaf menurut pendapat lain apakah itu menjadi milik khusus pasukan atau tidak, ada dua wajah.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ كَوْنِ ذَلِكَ وَقْفًا كَانَ جَمِيعُهُ مِنَ الْخُمُسِ وَغَيْرِهِ وَقْفًا إِلَّا سَهْمَ ذِي الْقُرْبَى وَحْدَهُ فَإِنَّ أَصْحَابَنَا اخْتَلَفُوا فِيهِ هَلْ يَصِيرُ سَهْمُهُمْ مِنْهُ وَقْفًا مَعَهُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika telah tetap apa yang kami sebutkan bahwa hal itu adalah wakaf, maka seluruhnya, baik dari khumus maupun selainnya, menjadi wakaf kecuali bagian Dzawil Qurba saja. Para sahabat kami berbeda pendapat tentangnya, apakah bagian mereka dari itu juga menjadi wakaf bersamanya atau tidak? Ada dua wajah:

أَحَدُهُمَا: لَا يَصِيرُ وقفا إلا عن رضى مِنْهُمْ وَاخْتِيَارٍ لِتَمَلُّكِهِمْ لَهُ عَلَى سَبِيلِ الْمِيرَاثِ.

Pertama: Tidak menjadi wakaf kecuali dengan kerelaan dan pilihan mereka, karena mereka memilikinya dengan cara warisan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ إِنَّهُ قَدْ صَارَ وَقْفًا لِأَنَّهُمْ قَدْ مَلَكُوا خُمُسَ الْخُمُسِ مِنْ مَالٍ مَحْكُومٍ لَهُ بِالْوَقْفِ فَلَمْ يُمَيَّزْ حُكْمُ سَهْمِهِمْ مِنْهُ عَنْ حُكْمِ جَمِيعِهِ وَصَارَ مَا مَلَكُوهُ مِنْهُ وَهُوَ اسْتِغْلَالُهُ فِي كُلِّ عَامٍ مَعَ بَقَاءِ أَصْلِهِ، وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ جَمِيعَ ذَلِكَ يَكُونُ وَقْفًا فَإِنَّهَا تَصِيرُ وَقْفًا بِمَصِيرِهَا فِيهَا وَلَا يُحْتَاجُ إِلَى وَاقِفٍ يَقِفُهَا.

Wajah kedua, dan ini yang lebih shahih: Sesungguhnya itu telah menjadi wakaf, karena mereka telah memiliki seperlima dari khumus harta yang telah diputuskan sebagai wakaf, sehingga hukum bagian mereka tidak dibedakan dari hukum seluruhnya, dan apa yang mereka miliki darinya adalah pemanfaatannya setiap tahun dengan tetapnya pokok harta tersebut. Jika telah tetap bahwa seluruhnya menjadi wakaf, maka itu menjadi wakaf dengan sendirinya tanpa membutuhkan orang yang mewakafkan secara khusus.

وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا الْبَصْرِيِّينَ: لَا تَصِيرُ وَقْفًا إِلَّا أَنْ يَقِفَهَا الْإِمَامُ لَفْظًا لِأَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ اسْتَنْزَلَ أَهْلَ السَّوَادِ عَنْهُ وَعَارَضَ مَنْ أَبَى أَنْ يَنْزِلَ عَنْهُ ثُمَّ وَقَفَهُ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَمْرَيْنِ:

Sebagian sahabat kami dari kalangan Basrah berkata: Tidak menjadi wakaf kecuali jika imam mewakafkannya secara lisan, karena Umar ra. meminta penduduk Sawad untuk menyerahkannya dan menentang siapa yang enggan menyerahkannya, kemudian beliau mewakafkannya. Ini adalah kesalahan karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: إِنَّ مَا لَا يَتِمُّ وَقْفُهُ إِلَّا بِاللَّفْظِ إِنَّمَا يَكُونُ فِيمَا رُدَّ إِلَى خِيَارِ الْوَاقِفِ فِي تَمَلُّكِهِ وَوَقْفِهِ وَهَذَا غَيْرُ مَرْدُودٍ إِلَى خِيَارِ الْوَاقِفِ فِي تملكه وَوَقْفِهِ فَلَمْ يَحْتَجْ إِلَى لَفْظٍ.

Pertama: Sesuatu yang tidak sah menjadi wakaf kecuali dengan ucapan hanyalah pada perkara yang dikembalikan kepada pilihan pewakaf dalam memilikinya dan mewakafkannya, sedangkan ini tidak dikembalikan kepada pilihan pewakaf dalam memilikinya dan mewakafkannya, sehingga tidak membutuhkan ucapan.

وَالثَّانِي: إِنَّهُ حُكْمٌ قَدْ يَثْبُتُ لِأَرْضِ الْفَيْءِ عِنْدَ انْتِقَالِهَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَصَارَتْ بِالِانْتِقَالِ وَقْفًا، وَأَمَّا عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَفِي فِعْلِهِ جَوَابَانِ:

Kedua: Sesungguhnya ini adalah hukum yang bisa tetap berlaku atas tanah fai’ ketika berpindah dari kaum musyrikin, sehingga dengan perpindahan itu menjadi wakaf. Adapun Umar ra., dalam perbuatannya ada dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: إِنَّ الَّذِي فَعَلَهُ هُوَ أَنْ حَكَمَ بِوَقْفِهَا.

Pertama: Apa yang beliau lakukan adalah memutuskan untuk mewakafkannya.

وَالثَّانِي: إِنَّهُ اسْتَنْزَلَ الْغَانِمِينَ عَنْ مِلْكٍ فَجَازَ أَنْ يَقِفَهُ بِلَفْظٍ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْفَيْءُ، وَاللَّهُ أعلم.

Kedua: Beliau meminta para peraih ghanimah untuk melepaskan kepemilikan, sehingga boleh saja beliau mewakafkannya dengan ucapan, sedangkan fai’ tidak demikian, dan Allah lebih mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: {إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا} الْآيَةَ (قَالَ) وَرَوَى الزُّهْرِيُّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَرَّفَ عَامَ حُنَيْنٍ عَلَى كُلِّ عَشَرَةٍ عَرِيفًا (قال) وَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – للمهاجرين شعارا وللأوس شعارا وللخزرج شعارا (قال) وعقد رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الألوية فعقد للقبائل قبيلة فقبيلة حتى جعل في القبيلة ألوية كل لواء لأهله وكل هذا ليتعارف الناس في الحرب وغيرها فتخف المؤنة عليهم باجتماعهم وعلى الوالي كذلك لأن في تفرقهم إذا أريدوا مؤنة عليهم وعلى واليهم فهكذا “.

Imam Syafi‘i berkata: Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman: {Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa} (QS. Al-Hujurat: 13). (Beliau berkata) Az-Zuhri meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pada tahun Hunain menunjuk seorang pemimpin (‘arif) untuk setiap sepuluh orang. (Beliau berkata) Rasulullah ﷺ menjadikan syiar khusus bagi kaum Muhajirin, syiar khusus bagi Aus, dan syiar khusus bagi Khazraj. (Beliau berkata) Rasulullah ﷺ mengikat panji-panji, beliau mengikatkan untuk tiap-tiap kabilah satu demi satu, hingga dalam satu kabilah terdapat beberapa panji, setiap panji untuk kelompoknya masing-masing. Semua ini agar orang-orang saling mengenal dalam peperangan dan selainnya, sehingga beban mereka menjadi ringan dengan berkumpulnya mereka, demikian pula bagi pemimpin mereka, karena jika mereka tercerai-berai, maka akan menjadi beban bagi mereka dan pemimpin mereka jika dibutuhkan. Demikianlah.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ يَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَمِيزَ الْجَيْشَ بِمَا يَتَزَيَّنُونَ بِهِ وَيَتَعَارَفُونَ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتتعارفوا} [الحجرات: 13] وَفِي الشُّعُوبِ وَالْقَبَائِلِ ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar, sepatutnya bagi imam untuk membedakan pasukan dengan sesuatu yang mereka gunakan sebagai tanda dan saling mengenal. Allah Ta‘ala berfirman: {Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal} (QS. Al-Hujurat: 13). Dalam kata “syu‘ub” dan “qabā’il” terdapat tiga tafsiran:

أَحَدُهَا: أن الشعوب للنسب الأبعد والقبائل للنسب الْأَقْرَبُ.

Pertama: Bahwa “syu‘ub” untuk nasab yang lebih jauh, dan “qabā’il” untuk nasab yang lebih dekat.

وَالثَّانِي: إِنَّ الشُّعُوبَ عَرَبُ الْيَمَنِ مِنْ قَحْطَانَ وَالْقَبَائِلَ رَبِيعَةُ وَمُضَرُ وَسَائِرُ عَدْنَانَ.

Kedua: Bahwa “syu‘ub” adalah Arab Yaman dari Qahthan, dan “qabā’il” adalah Rabi‘ah, Mudhar, dan seluruh keturunan Adnan.

وَالثَّالِثُ: إِنَّ الشُّعُوبَ بُطُونُ الْعَجَمِ وَالْقَبَائِلَ بُطُونُ الْعَرَبِ فَجَعَلَ ذَلِكَ سِمَةً لِلتَّعَارُفِ وَأَصْلُهُ التَّمْيِيزُ وَذَلِكَ يَكُونُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Ketiga: Sesungguhnya syu‘ūb adalah kelompok-kelompok besar dari bangsa ‘ajam, dan qabā’il adalah kelompok-kelompok besar dari bangsa Arab. Maka hal itu dijadikan sebagai tanda untuk saling mengenal, dan asalnya adalah untuk membedakan, dan hal itu terjadi dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: مَا يَتَعَارَفُونَ بِهِ.

Pertama: Apa yang mereka gunakan untuk saling mengenal.

وَالثَّانِي: مَا يَتَرَتَّبُونَ فِيهِ.

Kedua: Apa yang menjadi dasar pengurutan mereka.

فَأَمَّا مَا يَتَعَارَفُونَ بِهِ فَثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ الْعُرَفَاءُ وَالنُّقَبَاءُ وَاخْتِلَافُ الشِّعَارِ.

Adapun hal-hal yang mereka gunakan untuk saling mengenal ada tiga: para ‘urfā’, para nuqabā’, dan perbedaan syi‘ār.

فَأَمَّا الْعُرَفَاءُ فَهُوَ أَنْ يُضَمَّ إِلَى كُلِّ جَمَاعَةٍ وَاحِدٌ مِنْهُمْ يَكُونُ عَرِيفًا عَلَيْهِمْ وَقَيِّمًا بِهِمْ يَرْجِعُونَ إِلَيْهِ فِي عَوَارِضِهِمْ، وَيَرْجِعُ الْإِمَامُ إِلَيْهِ فِي تَعَرُّفِ أَحْوَالِهِمْ وَيُضِيفُهُمْ إِلَيْهِ إِذَا أَرَادَ أَغْزَاهُمْ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَرَّفَ عَامَ حُنَيْنٍ عَلَى كُلِّ عَشَرَةٍ عَرِيفًا، وَقَدْ سُمِّيَ الْعُرَفَاءُ فِي وَقْتِنَا هَذَا قُوَّادًا.

Adapun ‘urfā’, yaitu setiap kelompok diangkat satu orang dari mereka untuk menjadi ‘arīf atas mereka dan bertanggung jawab terhadap mereka, yang mereka rujuk dalam berbagai urusan mereka, dan imam pun merujuk kepadanya untuk mengetahui keadaan mereka, serta mengaitkan mereka dengannya jika ingin mengutus mereka berperang. Sebagaimana diriwayatkan dari Nabi –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– bahwa beliau pada tahun Hunain mengangkat satu ‘arīf untuk setiap sepuluh orang. Dan para ‘urfā’ pada masa kita sekarang disebut sebagai para komandan.

وَأَمَّا النُّقَبَاءُ فَجَعَلَ عَلَى كُلِّ جَمَاعَةٍ مِنَ الْعُرَفَاءِ نَقِيبًا؛ لِيَكُونَ لَهُمْ مُرَاعِيًا وَلِأَحْوَالِهِمْ وَأَحْوَالِ أَصْحَابِهِمْ مُنْهِيًا وَلَهُمْ إِذَا ارْتَدُّوا مُسْتَدْعِيًا لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اخْتَارَ مِنَ الْأَنْصَارِ حِينَ بَايَعَهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا.

Adapun nuqabā’, maka diangkat atas setiap kelompok dari para ‘urfā’ seorang naqīb, agar ia menjadi pengawas bagi mereka dan menyampaikan keadaan mereka serta keadaan para pengikutnya, dan jika mereka murtad, ia yang memanggil mereka kembali. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– ketika membaiat kaum Anshar, beliau memilih dari mereka dua belas naqīb.

وَأَمَّا الشِّعَارُ فَهِيَ الْعَلَامَةُ الَّتِي يَتَمَيَّزُ بِهَا كُلُّ قَوْمٍ مِنْ غَيْرِهِمْ فِي مَسِيرِهِمْ وَفِي حُرُوبِهِمْ حَتَّى لَا يَخْتَلِطُوا بِغَيْرِهِمْ وَلَا يَخْتَلِطَ بِهِمْ غَيْرُهُمْ؛ فَيَكُونُ ذَلِكَ أَبْلَغَ فِي تضافرهم لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَعَلَ لِلْمُهَاجِرِينَ شِعَارًا وَلِلْأَنْصَارِ شِعَارًا عَلَامَةً مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Adapun syi‘ār adalah tanda yang membedakan setiap kaum dari yang lain dalam perjalanan dan peperangan mereka, agar mereka tidak tercampur dengan selain mereka, dan selain mereka pun tidak tercampur dengan mereka; sehingga hal itu lebih memperkuat solidaritas mereka. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– menjadikan syi‘ār bagi kaum Muhajirin dan syi‘ār bagi kaum Anshar, berupa tanda dari tiga bentuk:

أَحَدُهَا: الرَّايَةُ الَّتِي يَتَّبِعُونَهَا وَيَسِيرُونَ إِلَى الْحُرُوبِ تَحْتَهَا فَتَكُونُ رَايَةُ كُلِّ قَوْمٍ مُخَالِفَةً لِرَايَةِ غَيْرِهِمْ.

Pertama: Panji yang mereka ikuti dan mereka berangkat ke medan perang di bawahnya, sehingga panji setiap kaum berbeda dengan panji kaum lainnya.

وَالثَّانِي: مَا يُعَلَّمُونَ بِهِ فِي حُرُوبِهِمْ فَيُعَلَّمُ كُلُّ قَوْمٍ بِخِرْقَةٍ ذَاتِ لَوْنٍ مِنْ أَسْوَدَ أَوْ أَحْمَرَ أَوْ أَصْفَرَ أو أخضر تكون إما عصابة على رؤوسهم، وَإِمَّا مَشْدُودَةً فِي أَوْسَاطِهِمْ.

Kedua: Tanda yang mereka kenakan dalam peperangan mereka, yaitu setiap kaum diberi tanda dengan kain berwarna hitam, merah, kuning, atau hijau, yang bisa berupa ikat kepala di kepala mereka, atau diikatkan di pinggang mereka.

وَالثَّالِثُ: النِّدَاءُ الَّذِي يَتَعَارَفُونَ بِهِ فَيَقُولُ كُلُّ فَرِيقٍ مِنْهُمْ يَا آَلَ كَذَا أَوْ يَا آَلَ فُلَانٍ أَوْ كَلِمَةً إِذَا تَلَاقَوْا تَعَارَفُوا بِهَا لِيَجْتَمِعُوا إِذَا افْتَرَقُوا وَيَتَنَاصَرُوا إِذَا أُرْهِبُوا، فَهَذَا كُلُّهُ وَإِنْ كَانَ سِيَاسَةً وَلَمْ يَكُنْ فِقْهًا، فَهُوَ مِنْ أَبْلَغِ الْأُمُورِ فِي مَصَالِحِ الْجَيْشِ وَأَحْفَظِهَا لِلسِّيَرِ الشَّرْعِيَّةِ.

Ketiga: Seruan yang mereka gunakan untuk saling mengenal, sehingga setiap kelompok dari mereka berseru, “Wahai keluarga ini,” atau “Wahai keluarga si fulan,” atau suatu kata yang jika mereka bertemu, mereka saling mengenalinya, agar mereka dapat berkumpul jika terpisah dan saling menolong jika terancam. Maka semua ini, meskipun merupakan kebijakan dan bukan fiqh, namun termasuk hal yang paling efektif dalam kemaslahatan pasukan dan paling menjaga terhadap tata cara syar‘i.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا مَا يَتَرَتَّبُونَ فِيهِ فَهُوَ الدِّيوَانُ الْمَوْضُوعُ لِإِثْبَاتِ أَسْمَائِهِمْ وَمَبْلَغِ أَرْزَاقِهِمْ يَتَرَتَّبُونَ فِيهِ بِشَيْئَيْنِ:

Adapun hal yang menjadi dasar pengurutan mereka adalah dīwān yang dibuat untuk mencatat nama-nama mereka dan besaran tunjangan mereka, di mana mereka diurutkan di dalamnya berdasarkan dua hal:

أَحَدُهُمَا: النَّسَبُ.

Pertama: Nasab.

وَالثَّانِي: السَّابِقَةُ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى إِذَا دُعُوا لِلْعَطَاءِ أَوِ الْغَزْوِ قُدِّمَ فِيهِ الْمُقَدَّمُ فِي الدِّيوَانِ لِمَا رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَضَعَ الدِّيوَانَ عَلَى هَذَا حِفْظًا لِلْأَسْمَاءِ وَالْأَرْزَاقِ.

Kedua: Keutamaan terdahulu, sebagaimana akan kami sebutkan setelah ini, sehingga jika mereka dipanggil untuk menerima tunjangan atau berperang, maka yang didahulukan adalah yang lebih dahulu dalam dīwān. Sebagaimana diriwayatkan bahwa ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu menetapkan dīwān atas dasar ini untuk menjaga nama-nama dan tunjangan mereka.

فَإِنْ قِيلَ لِمَ اسْتَحْدَثَ عُمَرُ وَضْعَ الدِّيوَانِ وَلَمْ يَكُنْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلَا عَلَى عَهْدِ أَبِي بَكْرٍ، وَقَدْ قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كل محدث بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النار.

Jika dikatakan, “Mengapa ‘Umar membuat dīwān, padahal itu tidak ada pada masa Rasulullah –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– dan tidak pula pada masa Abu Bakar, sedangkan beliau –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– bersabda: ‘Setiap perkara baru adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan di neraka.’”

قِيلَ لِأَمْرَيْنِ:

Dijawab karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: الْحَاجَةُ دَعَتْهُ إِلَيْهِ عِنْدَ كَثْرَةِ الْجَيْشِ وَاخْتِلَافِ الثُّغُورِ لِيَحْفَظَ بِهِ ثَلَاثَةَ أَشْيَاءَ لَا تَنْحَفِظُ بِغَيْرِهِ:

Pertama: Kebutuhan yang mendesak ketika jumlah pasukan semakin banyak dan perbatasan semakin beragam, agar dapat menjaga tiga hal yang tidak bisa dijaga tanpa itu:

أَحَدُهَا: حِفْظُ أَسْمَائِهِمْ وَأَنْسَابِهِمْ.

Pertama: Menjaga nama-nama mereka dan nasab mereka.

وَالثَّانِي: حِفْظُ أَرْزَاقِهِمْ وَأَوْقَاتِ عَطَائِهِمْ.

Kedua: Menjaga tunjangan mereka dan waktu pembagiannya.

وَالثَّالِثُ: تَرْتِيبُهُمْ بِالنَّسَبِ وَالسَّابِقَةِ فِي إِسْلَامِهِمْ وَبِأَنْفُسِهِمْ وَكُلُّ ذَلِكَ احْتِيَاطٌ فِي الدِّينِ وَمُسْتَحْسَنٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ الله سيء ” فَهَذَا وَجْهٌ.

Ketiga: Mengurutkan mereka berdasarkan nasab, keutamaan dalam memeluk Islam, dan kepribadian mereka sendiri. Semua itu merupakan bentuk kehati-hatian dalam agama dan sesuatu yang dianjurkan di antara kaum Muslimin. Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– telah bersabda, “Apa yang dipandang baik oleh kaum Muslimin, maka itu baik di sisi Allah, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum Muslimin, maka itu buruk di sisi Allah.” Inilah salah satu pendapat.

وَالثَّانِي: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدْ فَعَلَ مَا نَبَّهَ بِهِ عَلَى وَضْعِ الدِّيوَانِ وَإِنْ أَخَّرَهُ لِلِاسْتِغْنَاءِ عَنْهُ مَعَ اجْتِمَاعِ الْجَيْشِ وَقِلَّتِهِمْ كَالَّذِي فَعَلَهُ مِنْ تَعْرِيفِ الْعُرَفَاءِ وَاخْتِيَارِ النُّقَبَاءِ وَالْمُخَالَفَةِ بَيْنَ الشِّعَارِ وَالنِّدَاءِ، فَتَمَّمَ عُمَرُ بِوَضْعِ الدِّيوَانِ مَا ابْتَدَأَ بِهِ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنِ مُقَدِّمَاتِهِ حِينَ احْتَاجَ إِلَيْهِ وَإِنْ كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مُسْتَغْنِيًا عَنْهُ فَلَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ مُخَالِفًا ولا مبتدعا، وبالله التوفيق.

Kedua: Bahwa Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– telah melakukan hal-hal yang menunjukkan perlunya penetapan dīwān (daftar administrasi), meskipun beliau menundanya karena belum membutuhkannya saat pasukan masih sedikit dan terkumpul, seperti yang beliau lakukan dengan mengenalkan para ‘urfā’ (pemimpin kelompok), memilih para nuqabā’ (pemuka), serta membedakan antara syi‘ār (tanda) dan nidā’ (seruan). Maka ‘Umar menyempurnakan dengan menetapkan dīwān apa yang telah dimulai oleh Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– dari pendahuluannya ketika kebutuhan akan hal itu muncul. Walaupun Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– tidak membutuhkannya, maka hal itu tidak dianggap sebagai penyimpangan atau bid‘ah. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَأُحِبُّ لِلْوَالِي أَنْ يَضَعَ دِيوَانَهُ عَلَى الْقَبَائِلِ وَيَسْتَظْهِرَ عَلَى مَنْ غَابَ عَنْهُ وَمَنْ جَهِلَ مِمَّنْ حَضَرَهُ مِنْ أَهْلِ الْفَضْلِ مِنْ قَبَائِلِهِمْ (قال الشافعي) رحمه الله وأخبرني غير واحد من أهل العلم والصدق من أهل المدينة ومكة من قبائل قريش وكان بعضهم أحسن اقتصاصا للحديث من بعض وقد زاد بعضهم على بعض أن عمر رضي الله عنه لما دون الديوان قال أبدأ ببني هاشم ثم قال حَضَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يعطيهم وبني المطلب فإذا كَانَتِ السِّنُّ فِي الْهَاشِمِيِّ قَدَّمَهُ عَلَى الْمُطَّلِبِيِّ وَإِذَا كَانَتْ فِي الْمُطَّلِبِيِّ قَدَّمَهُ عَلَى الْهَاشِمِيِّ فوضع الديوان عَلَى ذَلِكَ وَأَعْطَاهُمْ عَطَاءَ الْقَبِيلَةِ الْوَاحِدَةِ ثُمَّ استوت له بنو عبد شمس ونوفل في قدم النسب فقال عبد شمس إخوة النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لأبيه وأمه دون نوفل فقدمهم ثم دعا ببني نوفل يلونهم ثم استوت له عبد العزى وعبد الدار فقال في بني أسد بن عبد العزى أصهار النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وفيهم أنهم من المطيبين وقال بعضهم هم حلف من الفضول وفيهم كان النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وقيل ذكر سابقة فقدمهم على بني عبد الدار ثم دعا بني عبد الدار يلونهم ثم انفردت له زهرة فدعاها تتلوا عبد الدار ثم استوت له تيم ومخزوم فقال في تيم إنهم من حلف الفضول والمطيبين وفيهما كان النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وقيل ذكر سابقة وقيل ذكر صهرا فقدمهم على مخزوم ثم دعا مخزوما يلونهم ثم استوت له سهم وجمح وعدي بن كعب فقيل ابدأ بعدي فَقَالَ بَلْ أُقِرُّ نَفْسِي حَيْثُ كُنْتُ فَإِنَّ الْإِسْلَامَ دَخَلَ وَأَمْرُنَا وَأَمْرُ بَنِي سَهْمٍ وَاحِدٌ ولكن انظروا بين جمح وسهم فقيل قَدَّمَ بَنِي جُمَحَ ثُمَّ دَعَا بَنِي سَهْمٍ وكان ديوانه عدي وسهم مختلطا كالدعوة الواحدة فلما خلصت إِلَيْهِ دَعْوَتُهُ كَبَّرَ تَكْبِيرَةً عَالِيَةً ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَوْصَلَ إِلَيَّ حَظِّي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثم دعا عامر بن لؤي (قال الشافعي) فقال بعضهم إن أبا عبيدة بن عبد الله الجراح الفهري رضي الله عنه لما رأى من تقدم عليه قال أكل هؤلاء يدعى أمامي؟ فقال يَا أَبَا عُبَيْدَةَ اصْبِرْ كَمَا صَبَرْتُ أَوْ كلم قَوْمَكَ فَمَنْ قَدَّمَكَ مِنْهُمْ عَلَى نَفْسِهِ لَمْ أمنعه فأما أنا وبنو عدي فنقدمك إن أحببت على أنفسنا قال فقدم معوية بعد بني الحارث بن فهر ففصل بهم بين بني عبد مناف وأسد بن عبد العزى وشجر بين بني سهم وعدي شيء فِي زَمَانِ الْمَهْدِيِّ فَافْتَرَقُوا فَأَمَرَ الْمَهْدِيُّ بِبَنِي عَدِيٍّ فَقُدِّمُوا عَلَى سَهْمٍ وجُمَحَ لِسَابِقَةٍ فِيهِمْ (قال) فإذا فرغ من قريش بدئت الأنصار على العرب لمكانهم من الإسلام (قال الشافعي) الناس عباد الله فأولاهم أن يكون مقدما أقربهم بخيرة الله تعالى لِرِسَالَتِهِ وَمُسْتَوْدَعِ أَمَانَتِهِ وَخَاتَمِ النَّبِيِّينَ وَخَيْرِ خَلْقِ رَبِّ الْعَالَمِينَ مُحَمَّدٍ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (قال الشافعي) ومن فرض له الوالي من قبائل العرب رأيت أن يقدم الأقرب فالأقرب منهم برسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فإذا استووا قدم أهل السابقة على غير أهل السابقة ممن هو مثلهم في القرابة “.

Imam Syafi‘i berkata: “Aku menyukai agar seorang pemimpin meletakkan diwannya (catatan administrasi) berdasarkan kabilah-kabilah, dan meminta bantuan kepada orang-orang yang tidak hadir dan yang tidak ia ketahui dari kalangan ahli keutamaan dari kabilah mereka yang hadir. (Imam Syafi‘i) rahimahullah berkata: Telah mengabarkan kepadaku lebih dari satu orang dari kalangan ahli ilmu dan orang-orang terpercaya dari penduduk Madinah dan Makkah dari kabilah Quraisy—sebagian mereka lebih baik dalam meriwayatkan hadis daripada yang lain, dan sebagian menambahkan riwayat atas yang lain—bahwa ketika ‘Umar radhiyallahu ‘anhu membuat diwan, ia berkata: ‘Aku mulai dengan Bani Hasyim.’ Lalu ia berkata: ‘Aku pernah menghadiri Rasulullah ﷺ memberikan kepada mereka dan Bani Muththalib. Jika yang lebih tua dari Bani Hasyim, maka ia didahulukan atas Bani Muththalib, dan jika yang lebih tua dari Bani Muththalib, maka ia didahulukan atas Bani Hasyim.’ Maka diwan pun disusun berdasarkan hal itu, dan mereka diberi bagian seperti satu kabilah. Kemudian, Bani ‘Abd Syams dan Naufal setara dalam kedekatan nasab. Maka Bani ‘Abd Syams berkata: ‘Kami adalah saudara Nabi ﷺ dari ayah dan ibu, tidak seperti Naufal.’ Maka mereka didahulukan. Kemudian ia memanggil Bani Naufal untuk mengikuti mereka. Lalu, ‘Abd al-‘Uzza dan ‘Abd al-Dar pun setara. Ia berkata tentang Bani Asad bin ‘Abd al-‘Uzza: ‘Mereka adalah besan Nabi ﷺ, dan mereka termasuk dari al-Muthayyibin.’ Sebagian berkata: ‘Mereka adalah sekutu dari al-Fudhul, dan di antara mereka ada Nabi ﷺ.’ Ada pula yang menyebutkan keutamaan terdahulu, sehingga mereka didahulukan atas Bani ‘Abd al-Dar. Kemudian ia memanggil Bani ‘Abd al-Dar untuk mengikuti mereka. Setelah itu, Zuhrah berdiri sendiri, lalu ia memanggil Zuhrah untuk mengikuti ‘Abd al-Dar. Kemudian Taim dan Makhzum setara. Ia berkata tentang Taim: ‘Mereka adalah sekutu al-Fudhul dan al-Muthayyibin, dan di antara mereka ada Nabi ﷺ.’ Ada pula yang menyebutkan keutamaan terdahulu, ada pula yang menyebutkan hubungan besan, sehingga mereka didahulukan atas Makhzum. Kemudian ia memanggil Makhzum untuk mengikuti mereka. Setelah itu, Sahm, Jumah, dan ‘Adi bin Ka‘b setara. Ada yang berkata: ‘Mulailah dengan ‘Adi.’ Ia berkata: ‘Tidak, aku tetap pada posisiku semula. Islam masuk, dan urusan kami serta urusan Bani Sahm adalah satu. Namun, lihatlah antara Jumah dan Sahm.’ Maka dikatakan: ‘Dahulukan Bani Jumah.’ Lalu ia memanggil Bani Sahm. Diwan ‘Adi dan Sahm bercampur seperti satu undangan. Ketika undangannya sampai kepadanya, ia bertakbir dengan suara keras, lalu berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyampaikan bagianku dari Rasulullah ﷺ.’ Kemudian ia memanggil ‘Amir bin Lu’ayy. (Imam Syafi‘i berkata:) Sebagian mereka berkata: ‘Ketika Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdullah al-Jarrah al-Fihri radhiyallahu ‘anhu melihat ada yang didahulukan atasnya, ia berkata: ‘Apakah semua mereka dipanggil sebelumku?’ Maka dikatakan kepadanya: ‘Wahai Abu ‘Ubaidah, bersabarlah sebagaimana aku bersabar, atau bicaralah kepada kaummu. Siapa di antara mereka yang mendahulukanmu atas dirinya, aku tidak akan melarangnya. Adapun aku dan Bani ‘Adi, kami akan mendahulukanmu jika engkau mau atas diri kami.’ Maka ia didahulukan bersama Mu‘awiyah setelah Bani al-Harits bin Fihr, sehingga mereka menjadi pemisah antara Bani ‘Abd Manaf dan Asad bin ‘Abd al-‘Uzza. Pernah terjadi perselisihan antara Bani Sahm dan ‘Adi pada masa al-Mahdi, sehingga mereka berpisah. Al-Mahdi memerintahkan agar Bani ‘Adi didahulukan atas Sahm dan Jumah karena keutamaan terdahulu yang ada pada mereka. (Imam Syafi‘i berkata:) Jika telah selesai dari Quraisy, maka dimulai dengan Anshar atas bangsa Arab karena kedudukan mereka dalam Islam. (Imam Syafi‘i berkata:) Manusia adalah hamba-hamba Allah, maka yang paling utama untuk didahulukan adalah yang paling dekat dengan pilihan Allah Ta‘ala untuk risalah-Nya, tempat penyimpanan amanat-Nya, penutup para nabi, dan makhluk terbaik Rabb semesta alam, yaitu Muhammad ﷺ. (Imam Syafi‘i berkata:) Siapa yang ditetapkan oleh pemimpin dari kabilah-kabilah Arab, menurutku hendaknya didahulukan yang paling dekat dengan Rasulullah ﷺ, lalu jika mereka setara, maka didahulukan yang memiliki keutamaan terdahulu atas yang tidak memilikinya dari mereka yang setara dalam kekerabatan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِذَا كَانَ وَضْعُ الدِّيوَانِ مَأْثُورًا قَدْ عَمِلَ بِهِ الْأَئِمَّةُ الرَّاشِدُونَ وَلَمْ يَجِدِ الْإِمَامُ مِنْهُ بُدًّا فَقَدِ اخْتُلِفَ فِي تَسْمِيَتِهِ بِالدِّيوَانِ.

Al-Mawardi berkata: “Jika penetapan diwan itu merupakan sesuatu yang telah diwariskan dan telah diamalkan oleh para imam yang lurus, dan imam tidak dapat menghindarinya, maka telah terjadi perbedaan pendapat mengenai penamaannya dengan istilah diwan.”

فَقَالَ قَوْمٌ: لِأَنَّ كِسْرَى اطَّلَعَ يَوْمًا عَلَى كِتَابِهِ وَهُمْ مُنْتَحُونَ مَعَ أَنْفُسِهِمْ فَقَالَ: ” دِيوَانُهُ ” أَيْ مَجْنُونٌ فَسُمِّيَ وَضْعُ جُلُوسِهِمْ دِيوَانًا.

Sebagian orang berkata: “Karena Kisra (raja Persia) suatu hari melihat catatannya, sementara mereka (para penulis) sedang duduk menyendiri, lalu ia berkata: ‘Diwannya!’ maksudnya ‘orang gila’, maka penetapan tempat duduk mereka itu dinamakan diwan.”

وَقَالَ آخَرُونَ: سُمِّيَ بِذَلِكَ لِأَنَّ الدِّيوَانَ اسْمٌ لِلسَّلَاطِينِ فَسُمِّي الْكِتَابُ بِاسْمِهِمْ لِوُصُولِهِمْ إِلَى غَوَامِضِ الْأُمُورِ وَضَبْطِهِمُ الشَّاذَّ وَجَمْعِهِمُ الْمُتَفَرِّقَ ثُمَّ سُمِّيَ مَوْضِعُ جُلُوسِهِمْ بِاسْمِهِمْ فَقِيلَ دِيوَانٌ، فَإِذَا أَرَادَ الْإِمَامُ أَنْ يَضَعَ دِيوَانَ الْجَيْشِ قَدَّمَ فِيهِ الْعَرَبَ عَلَى الْعَجَمِ لِمَا فَضَّلَهُمُ اللَّهُ بِهِ من رسوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.

Dan sebagian lain berkata: “Dinamakan demikian karena diwan adalah nama bagi para penguasa, maka catatan itu dinamai dengan nama mereka karena mereka mampu menembus perkara-perkara yang rumit, mencatat hal-hal yang langka, dan mengumpulkan yang tercerai-berai. Kemudian tempat duduk mereka dinamai dengan nama mereka, maka disebut diwan. Jika imam ingin menetapkan diwan tentara, maka ia mendahulukan bangsa Arab atas bangsa non-Arab karena keutamaan yang Allah berikan kepada mereka melalui Rasul-Nya ﷺ.”

قَالَ الشَّافِعِيُّ: النَّاسُ عِبَادُ اللَّهِ وَأَوْلَاهُمْ أَنْ يكون مقدما أقربهم فخيره اللَّهِ لِرِسَالَتِهِ وَمُسْتَوْدَعِ أَمَانَتِهِ وَخَاتَمِ النَّبِيِّينَ وَخَيْرِ خَلْقِ رَبِّ الْعَالَمِينَ مُحَمَّدٍ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَإِذَا أَرَادَ تَقْدِيمَ الْعَرَبِ قَدَّمَ مِنْهُمْ قُرَيْشًا لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: قَدِّمُوا قُرَيْشًا وَلَا تَتَقَدَّمُوهَا ثُمَّ مَنْ يَلِيهِمْ مِنْ بُطُونِ قُرَيْشٍ بِحَسَبِ قُرْبِ آبَائِهِمْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأَنَّهُ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ بْنِ هَاشِمِ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ قَصِيِّ بْنِ كِلَابِ بْنِ مُرَّةَ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبِ بْنِ فِهْرِ بْنِ مَالِكِ بْنِ النَّضْرِ بْنِ كِنَانَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ بْنِ مُدْرِكَةَ بْنِ إِلْيَاسَ بْنِ مُضَرَ بْنِ نِزَارِ بْنِ مَعَدِّ بْنِ عَدْنَانَ. فَأَقْرَبُهُمْ إِلَيْهِ نَسَبًا بَنُو هَاشِمٍ وَضَمَّ إِلَيْهِمْ بَنُو الْمُطَّلِبِ لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: إِنَّ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ كَالشَّيْءِ الْوَاحِدِ وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ لَمْ يَفْتَرِقُوا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَلَا إِسْلَامٍ.

Asy-Syafi‘i berkata: Manusia adalah hamba-hamba Allah, dan yang paling utama di antara mereka untuk didahulukan adalah yang paling dekat, maka Allah memilih yang terbaik di antara mereka untuk risalah-Nya, sebagai tempat amanah-Nya, penutup para nabi, dan makhluk terbaik dari Rabb semesta alam, yaitu Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Maka jika ingin mendahulukan bangsa Arab, maka didahulukan dari mereka suku Quraisy, berdasarkan sabda beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Dahulukanlah Quraisy dan jangan kalian mendahului mereka.” Kemudian setelah itu yang terdekat dari mereka dari kabilah-kabilah Quraisy, sesuai dengan kedekatan nasab ayah mereka kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, karena beliau adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib bin Hasyim bin ‘Abd Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka‘b bin Lu’ayy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhir bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma‘ad bin Adnan. Maka yang paling dekat nasabnya kepada beliau adalah Bani Hasyim, dan digabungkan kepada mereka Bani Al-Muththalib, berdasarkan sabda beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Sesungguhnya Bani Hasyim dan Bani Al-Muththalib itu seperti satu hal,” lalu beliau merapatkan jari-jarinya, “mereka tidak pernah berpisah baik di masa jahiliah maupun Islam.”

وَرُوِيَ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا أَرَادَ وَضْعَ الدِّيوَانِ قَالَ بِمَنْ أَبْدَأُ؟ فَقَالَ لَهُ بَعْضُ الْحَاضِرِينَ ابْدَأْ بِنَفْسِكَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِمَّا عَلَى عَادَةِ الْفُرْسِ فِي تَقْدِيمِ الْوُلَاةِ، وَإِمَّا لِتَخَيُّرِ عُمَرَ فِيمَا يَفْعَلُهُ فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عنه أذكرتني بأن أبدأ ببني هاشم فإن حَضَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يُعْطِيهِمْ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ فَكَانَ إِذَا كَانَتِ السِّنُّ فِي الْهَاشِمِيِّ قَدَّمَهُ عَلَى الْمُطَّلِبِيِّ، وَإِذَا كَانَتْ فِي الْمُطَّلِبِيِّ قَدَّمَهُ عَلَى الْهَاشِمِيِّ فَوَضَعَ دِيوَانَهُ عَلَى ذَلِكَ وَأَعْطَاهُمْ عَطَاءَ الْقَبِيلَةِ الْوَاحِدَةِ ثُمَّ اسْتَوَتْ لَهُ عَبْدُ شَمْسٍ وَنَوْفَلٍ فِي قِدَمِ النَّسَبِ لِأَنَّ عَبْدَ شَمْسٍ وَنَوْفَلًا أَخَوَا هَاشِمٍ وَالْمُطَّلِبِ لِأَنَّ جَمِيعَهُمْ بَنُو عَبْدِ مَنَافٍ، وَحَكَى الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ أَنَّهُ كَانَ يُقَالُ لِهَاشِمٍ وَالْمُطَّلِبِ الْبَدْرَانِ وَلِعَبْدِ شَمْسٍ وَنَوْفَلٍ الْأَبْهَرَانِ.

Diriwayatkan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu, ketika hendak menyusun diwan (pencatatan administrasi), beliau berkata: “Dengan siapa aku mulai?” Maka sebagian yang hadir berkata kepadanya: “Mulailah dengan dirimu sendiri, wahai Amirul Mukminin, baik mengikuti kebiasaan bangsa Persia dalam mendahulukan para penguasa, atau karena Umar bebas memilih apa yang hendak dilakukannya.” Maka Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Engkau telah mengingatkanku untuk memulai dengan Bani Hasyim, karena aku pernah menghadiri Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memberikan (jatah) kepada mereka dan Bani Al-Muththalib. Maka jika yang lebih tua dari kalangan Hasyimi, beliau mendahulukannya atas Muththalibi, dan jika yang lebih tua dari kalangan Muththalibi, beliau mendahulukannya atas Hasyimi. Maka Umar pun menyusun diwannya berdasarkan hal itu dan memberikan kepada mereka jatah seperti satu kabilah. Kemudian setara baginya antara Bani Abdu Syams dan Naufal dalam kedekatan nasab, karena Abdu Syams dan Naufal adalah saudara Hasyim dan Al-Muththalib, karena semuanya adalah Bani ‘Abd Manaf. Az-Zubair bin Bakkar meriwayatkan bahwa Hasyim dan Al-Muththalib disebut “Al-Badran” dan Abdu Syams serta Naufal disebut “Al-Abharan”.

وَأَصْلُ عَبْدِ شَمْسٍ أَنَّهُ قِيلَ لَهُ عَبَاءُ الشَّمْسِ أَيْ يَسْتُرُ الشَّمْسَ ثُمَّ خَفَّفُوا فَقَالُوا عَبْدُ شَمْسٍ وَكَانَ أَكْبَرَ وَلَدِ عَبْدِ مَنَافٍ وَأَصْغَرَهُمُ الْمُطَّلِبُ فَقَدَّمَ عُمَرُ بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ عَلَى بَنِي نَوْفَلٍ، لِأَنَّ عَبْدَ شَمْسٍ أَخُو هَاشِمٍ لِأَبِيهِ وَأُمِّهِ وَنَوْفَلٌ أَخُو هَاشِمٍ لِأَبِيهِ دُونَ أُمِّهِ، وَأَنْشَدَ أَبُو عُبَيْدَةَ لِآدَمَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ:

Asal-usul Abdu Syams adalah bahwa ia dahulu dipanggil ‘Aba’ asy-Syams, artinya yang menutupi matahari, kemudian dipermudah penyebutannya menjadi Abdu Syams. Ia adalah anak tertua dari ‘Abd Manaf, sedangkan yang paling muda adalah Al-Muththalib. Maka Umar mendahulukan Bani Abdu Syams atas Bani Naufal, karena Abdu Syams adalah saudara Hasyim seayah dan seibu, sedangkan Naufal adalah saudara Hasyim seayah saja, bukan seibu. Abu ‘Ubaidah membacakan syair Adam bin ‘Abd al-‘Aziz bin Umar bin ‘Abd al-‘Aziz:

(يَا أَمِيرُ إِنِّي قَائِلٌ قَوْلَ … ذِي دِينٍ وَبِرٍّ وحسب)

(Wahai Amir, aku akan mengucapkan perkataan … seorang yang beragama, berbakti, dan memiliki keturunan mulia)

(عبد شمس [ … ،…] أَنَّهَا … عَبْدُ شَمْسٍ عَمُّ عَبْدِ الْمُطَّلِبْ)

(Abdu Syams […, …] bahwa … Abdu Syams adalah paman dari Abdul Muththalib)

(عَبْدُ شمس كان يتلوها شما … وَهُمَا بَعْدُ لِأُمٍّ وَلِأَبْ)

(Abdu Syams diikuti oleh Syama … dan keduanya adalah saudara seayah dan seibu)

فَقَدَّمَ عُمَرُ بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ ثُمَّ دَعَا بَعْدَهُمْ بَنِي نَوْفَلٍ ثُمَّ اسْتَوَتْ لَهُ بَنُو عَبْدِ الْعُزَّى وَبَنُو عَبْدِ الدَّارِ وَهُمَا أَخَوَا عَبْدِ مَنَافٍ وَجَمِيعُهُمْ بَنُو قُصَيٍّ، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ عَدَلَ بَعْضُهُمْ إِلَى أَخَوَيْ عَبْدِ مَنَافٍ وَعَبْدِ الْعُزَّى وَعَبْدِ الدَّارِ ابْنَيْ قُصَيٍّ، فَقَدَّمَ بَنِي عَبْدِ الْعُزَّى عَلَى بَنِي عَبْدِ الدَّارِ لِأَرْبَعَةِ أُمُورٍ.

Maka Umar mendahulukan Bani Abdu Syams, kemudian memanggil setelah mereka Bani Naufal. Kemudian setara baginya Bani ‘Abd al-‘Uzza dan Bani ‘Abd ad-Dar, keduanya adalah saudara ‘Abd Manaf, dan semuanya adalah Bani Qushay. Setelah selesai dari Bani ‘Abd Manaf, sebagian mereka berpindah kepada dua saudara ‘Abd Manaf, yaitu ‘Abd al-‘Uzza dan ‘Abd ad-Dar, anak Qushay. Maka didahulukan Bani ‘Abd al-‘Uzza atas Bani ‘Abd ad-Dar karena empat hal.

مِنْهَا: إِنَّهُمْ أَصْهَارُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأَنَّ خَدِيجَةَ مِنْهُمْ.

Di antaranya: mereka adalah besan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, karena Khadijah berasal dari mereka.

وَمِنْهَا السَّابِقَةُ لِلزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ، لِأَنَّهُ مِنْهُمْ.

Di antaranya, keutamaan yang dimiliki oleh Az-Zubair bin al-‘Awwam, karena ia berasal dari mereka.

وَمِنْهَا لِأَنَّهُمْ مِنْ حِلْفِ الْمُطَيَّبِينَ.

Di antaranya, karena mereka termasuk dalam persekutuan Al-Muthayyabin.

وَمِنْهَا لِأَنَّهُمْ مِنْ حِلْفِ الْفُضُولِ، فَأَمَّا حِلْفُ الْمُطَيَّبِينَ فَإِنَّهُ حِلْفٌ عَقَدَتْهُ قَبَائِلُ مِنْ قُرَيْشٍ عَلَى الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَعَلَى رَدْعِ الظَّالِمِ وَنُصْرَةِ الْمَظْلُومِ وَقَالُوا إِنَّ لَنَا حَرَمًا يُعَظَّمُ وَبَيْتًا يُزَارُ فَأَخْرَجُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ مَا أَعَدُّوهُ لِلتَّعَاوُنِ عَلَى حِلْفِهِمْ فَصَارَ الِاجْتِمَاعُ عَلَى هَذَا الْحِلْفِ كَالِاشْتِرَاكِ فِي النَّسَبِ.

Di antaranya adalah karena mereka termasuk dalam Ḥilf al-Fuḍūl. Adapun Ḥilf al-Muṭayyabīn, itu adalah persekutuan yang diadakan oleh beberapa kabilah Quraisy untuk menegakkan amar ma‘rūf nahi munkar, mencegah kezaliman, dan menolong orang yang teraniaya. Mereka berkata, “Kita memiliki tanah haram yang dimuliakan dan rumah (Ka‘bah) yang diziarahi.” Maka mereka mengeluarkan sebagian harta mereka yang telah mereka siapkan untuk saling membantu dalam persekutuan tersebut, sehingga berkumpulnya mereka dalam persekutuan ini menjadi seperti persatuan dalam nasab.

وَاخْتُلِفَ فِي تَسْمِيَتِهِ بِحِلْفِ الْمُطَيَّبِينَ، فَقَالَ قَوْمٌ: لِأَنَّهُمْ طَيَّبُوا مَكَّةَ بِرَدْعِ الظَّالِمِ وَنُصْرَةِ الْمَظْلُومِ، لِأَنَّ قُرَيْشًا تَسَلَّطُوا حِينَ قَوُوا.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai penamaan Ḥilf al-Muṭayyabīn. Sebagian orang berkata: karena mereka telah “menyucikan” Mekah dengan mencegah kezaliman dan menolong orang yang teraniaya, sebab Quraisy menjadi berkuasa ketika mereka kuat.

وَقَالَ آخَرُونَ: بَلْ سُمُّوا بِذَلِكَ لِأَنَّ أُمَّ حَكِيمٍ الْبَيْضَاءَ بِنْتِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَخْرَجَتْ لَهُمْ عِنْدَ عَقْدِ هَذَا الْحِلْفِ جِفْنَةً فِيهَا طِيبٌ فَغَمَسُوا أَيْدِيَهُمْ فِيهَا عِنْدَ التَّحَالُفِ وَتَطَيَّبُوا بِهِ فَسُمِّيَ حِلْفُ الْمُطَيَّبِينَ وَكَانَ مَنْ دَخَلَ فِيهِ مِنْ قُرَيْشٍ بَنُو عَبْدِ مَنَافٍ وَبَنُو أَسَدٍ، وَبَنُو زُهْرَةَ، وبنو تيم، وبنو الحرث بْنِ فِهْرٍ فَلَمَّا سَمِعَتْ بِذَلِكَ بَنُو هَاشِمٍ نَحَرُوا جَزُورًا ثُمَّ قَالُوا مَنْ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي دَمِهَا ثُمَّ عَلَّقَ مِنْهُ فَهُوَ مِنَّا لِيَتَمَيَّزُوا عَنْ حِلْفِ الْمُطَيَّبِينَ فَأَدْخَلَتْ أَيْدِيَهَا بَنُو هَاشِمٍ فَأَدْخَلُوا أَيْدِيَهُمْ بَنُو سَهْمٍ وَبَنُو عَبْدِ الدَّارِ وَبَنُو جُمَحَ وَبَنُو عَدِيٍّ وَبَنُو مَخْزُومٍ فَسُمِّيَ هَذَا أَحْلَافَ اللَّعْقَةِ، فَقَالَ الْفَضْلُ بْنُ الْعَبَّاسِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ أَبِي لَهَبٍ فِي ذَلِكَ.

Sementara yang lain berkata: justru mereka dinamai demikian karena Ummu Ḥakīm al-Bayḍā’ binti ‘Abd al-Muṭṭalib mengeluarkan sebuah wadah berisi minyak wangi pada saat pengikatan persekutuan ini, lalu mereka mencelupkan tangan mereka ke dalamnya saat bersumpah dan mereka memakai minyak wangi itu, sehingga dinamakan Ḥilf al-Muṭayyabīn. Yang masuk dalam persekutuan ini dari kalangan Quraisy adalah Bani ‘Abd Manāf, Bani Asad, Bani Zuhrah, Bani Taym, dan Bani al-Ḥārith bin Fihr. Ketika Bani Hāsyim mendengar hal itu, mereka menyembelih seekor unta, lalu berkata, “Siapa yang mencelupkan tangannya ke dalam darahnya lalu menggantungkannya, maka dia termasuk golongan kami,” agar mereka berbeda dari Ḥilf al-Muṭayyabīn. Maka Bani Hāsyim mencelupkan tangan mereka, lalu Bani Sahm, Bani ‘Abd al-Dār, Bani Jumah, Bani ‘Adī, dan Bani Makhzūm pun ikut mencelupkan tangan mereka. Maka persekutuan ini dinamakan Aḥlāf al-La‘qah. Al-Faḍl bin al-‘Abbās bin ‘Utbah bin Abī Lahab berkata tentang hal itu:

(وَسُمِّينَا الْأَطَايبَ مِنْ قُرَيْشٍ … عَلَى كَرَمٍ فَلَا طِبْنَا وَلَا طَابَا)

(Dan kami dinamai al-Aṭāyib dari kalangan Quraisy … karena kemuliaan, maka kami tidak menjadi baik dan mereka pun tidak menjadi baik)

(وَأَيُّ الْخَيْرِ لَمْ نَسْبِقْ إِلَيْهِ … وَلَمْ نَفْتَحْ بِهِ لِلنَّاسِ بَابَا)

(Dan kebaikan apa pun yang belum kami dahului … dan belum kami bukakan pintunya bagi manusia)

وَأَمَّا حِلْفُ الْفُضُولِ فَهُوَ حِلْفٌ عَقَدَتْهُ أَيْضًا قَبَائِلُ مِنْ قُرَيْشٍ عَلَى نَحْوِ مَا ذَكَرْنَا فِي حِلْفِ الْمُطَيَّبِينَ وَكَانَ سَبَبُهُ مَا حَكَاهُ الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ: أَنَّ قَيْسَ بْنَ شَيْبَةَ السلمي باع متاعا على أُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ الْجُمَحِيِّ فَلَوَاهُ وَذَهَبَ بِحَقِّهِ، فَاسْتَجَارَ عَلَيْهِ بَنِي جُمَحَ فَلَمْ يُجِيرُوهُ فَقَامَ قَيْسٌ مُنْشِدًا فَقَالَ:

Adapun Ḥilf al-Fuḍūl, itu adalah persekutuan yang juga diadakan oleh beberapa kabilah Quraisy dengan tujuan serupa seperti yang telah kami sebutkan pada Ḥilf al-Muṭayyabīn. Adapun sebabnya sebagaimana yang diceritakan oleh az-Zubair bin Bakkār: Bahwa Qais bin Syaibah as-Sulami menjual barang kepada Ubay bin Khalaf al-Jumahī, namun Ubay menahan haknya dan mengambil barangnya. Qais meminta perlindungan kepada Bani Jumah, namun mereka tidak melindunginya. Maka Qais berdiri dan bersyair:

(يَا آَلَ قُصَيٍّ كَيْفَ هَذَا فِي الْحَرَمْ … وَحُرْمَةُ الْبَيْتِ وَأَخْلَاقُ الْكَرَمْ)

(Wahai keluarga Qushay, bagaimana bisa terjadi seperti ini di tanah haram … padahal kehormatan Baitullah dan akhlak mulia dijunjung?)

(أَظُلْمٌ لَا يُمْنَعُ مَنْ ظُلِمْ)

(Apakah kezaliman tidak dicegah dari orang yang dizalimi?)

فَجَدَّدُوا لِأَجْلِهِ حِلْفَ الْفُضُولِ فِي دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ عَلَى رَدِّ الظُّلْمِ بِمَكَّةَ، وَأَنْ لَا يُظْلَمَ بِهَا أَحَدٌ إِلَّا مَنَعُوهُ وَدَخَلَ فِي الْحِلْفَ بَنُو هَاشِمٍ وَبَنُو الْمُطَّلِبِ وَبَنُو أَسَدِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى وَبَنُو زُهْرَةَ وَبَنُو تَيْمٍ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَوْمَئِذٍ مَعَهُمْ وَذَلِكَ قَبْلَ النُّبُوَّةِ وَهُوَ ابْنُ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ سَنَةً فَرَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: لَقَدْ شَهِدْتُ فِي دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ حِلْفَ الْفُضُولِ، وَلَوْ دُعِيتُ إِلَيْهِ فِي الْإِسْلَامِ لَأَجَبْتُ وَمَا أُحِبُّ أَنْ يَكُونَ لِي حُمْرُ النَّعَمِ، وَإِنِّي كُنْتُ نَقَضْتُهُ وَمَا يَزِيدُهُ الْإِسْلَامُ إِلَّا شِدَّةً وَلَمْ يَدْخُلْ بَنُو عَبْدِ شَمْسٍ فِيهِ، وَاخْتُلِفَ فِي تَسْمِيَتِهِ بِحِلْفِ الْفُضُولِ فَقَالَ قَوْمٌ: لِمَا فِيهِ مِنَ الْأَخْذِ بِالْفَضْلِ.

Maka karena hal itu mereka memperbarui Ḥilf al-Fuḍūl di rumah ‘Abdullah bin Jud‘ān untuk menolak kezaliman di Mekah, dan agar tidak ada seorang pun yang dizalimi di sana kecuali mereka akan melindunginya. Yang masuk dalam persekutuan ini adalah Bani Hāsyim, Bani al-Muṭṭalib, Bani Asad bin ‘Abd al-‘Uzzā, Bani Zuhrah, dan Bani Taym. Rasulullah ﷺ pada saat itu bersama mereka, dan itu terjadi sebelum kenabian, ketika beliau berusia dua puluh lima tahun. ‘Aisyah ra. meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Aku pernah menghadiri Ḥilf al-Fuḍūl di rumah ‘Abdullah bin Jud‘ān. Seandainya aku diajak kepadanya di masa Islam, niscaya aku akan memenuhinya. Aku tidak suka memiliki unta merah (harta berharga) dibandingkan menghadiri persekutuan itu. Sungguh aku telah membatalkannya, dan Islam tidak menambahnya kecuali semakin kuat.” Bani ‘Abd Syams tidak ikut dalam persekutuan itu. Terdapat perbedaan pendapat mengenai penamaan Ḥilf al-Fuḍūl; sebagian orang berkata: karena di dalamnya terdapat upaya menegakkan keutamaan (al-faḍl).

وَقَالَ آخَرُونَ: لِأَنَّ قُرَيْشًا وَسَائِرَ الْأَحْلَافِ كَرِهُوهُ فَعَابُوا مَنْ دَخَلَ فِيهِ وَنَسَبُوهُمْ إِلَى الْفُضُولِ. فَسُمِّيَ بِحِلْفِ الْفُضُولِ.

Sementara yang lain berkata: karena Quraisy dan persekutuan-persekutuan lainnya tidak menyukainya, lalu mereka mencela orang-orang yang masuk ke dalamnya dan menisbatkan mereka kepada “al-Fuḍūl”. Maka dinamakanlah persekutuan itu dengan Ḥilf al-Fuḍūl.

وَقَالَ آخَرُونَ: بَلْ سُمِّيَ حِلْفَ الْفُضُولِ لِأَنَّهُمْ تَحَالَفُوا عَلَى مِثْلِ مَا تَحَالَفَ عَلَيْهِ قَومٌ مِنْ جُرْهُمٍ فِيهِمُ الْفَضْلُ وَفُضَالٌ وَفُضَيْلٌ وَسُمِّيَ بِإِضَافَتِهِ إِلَيْهِمْ حِلْفَ الْفُضُولِ، فَهَذَا الْكَلَامُ فِي تَرْتِيبِ بَنِي قُصَيٍّ ثم انفرد، بعدهم بنو زهرة أخوا قُصَيٍّ وَهُمَا ابْنَا كِلَابٍ، وَلَيْسَ لَهُ عَقِبٌ مِنْ غَيْرِهِمَا وَقَدْ رَوَى الْأَوْزَاعِيُّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: صريح قريش ابنا كلاب يعني قصي وَزُهْرَةَ وَرَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يُنْسَبُ إِلَيْهِمَا لِأَنَّ أَبَاهُ مِنْ قُصَيٍّ، وَأُمَّهُ مِنْ زُهْرَةَ، ثُمَّ اسْتَوَتْ لَهُ بَعْدَ بَنِي كِلَابٍ بَنُو تَيْمٍ وَبَنُو مَخْزُومٍ لِأَنَّ تَيْمًا وَمَخْزُومًا أَخَوَا كِلَابٍ وَجَمِيعُهُمَا بَنُو مُرَّةَ بْنِ كَعْبٍ فَقَدَّمَ بَنِي تَيْمٍ عَلَى بَنِي مَخْزُومٍ لِأَرْبَعَةِ أُمُورٍ.

Dan sebagian yang lain berkata: Bahkan dinamakan Ḥilf al-Fuḍūl karena mereka saling berikrar atas hal yang sama seperti yang pernah diikrarkan oleh suatu kaum dari Jurhum, di antara mereka ada al-Faḍl, Fuḍāl, dan Fuḍayl, lalu dinisbatkan kepada mereka sehingga disebut Ḥilf al-Fuḍūl. Inilah penjelasan tentang urutan Bani Quṣayy. Setelah mereka, Bani Zuhrah, saudara Quṣayy, yang keduanya adalah putra Kilāb, berdiri sendiri, dan tidak ada keturunan dari selain keduanya. Al-Awzā‘ī meriwayatkan bahwa Rasulullah -ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam- bersabda: “Orang Quraisy yang murni adalah dua putra Kilāb, yaitu Quṣayy dan Zuhrah.” Rasulullah -ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam- dinisbatkan kepada keduanya karena ayah beliau dari Quṣayy dan ibu beliau dari Zuhrah. Setelah Bani Kilāb, kedudukan yang sama juga dimiliki oleh Bani Taym dan Bani Makhzūm, karena Taym dan Makhzūm adalah saudara Kilāb dan semuanya adalah keturunan Murrah bin Ka‘b. Maka Bani Taym didahulukan atas Bani Makhzūm karena empat hal.

مِنْهَا السَّابِقَةُ لِأَبِي بَكْرٍ لِأَنَّهُ منهم.

Di antaranya adalah keutamaan Abu Bakar karena ia berasal dari mereka.

وَمِنْهَا لِأَنَّهُمْ أَصْهَارُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لأن عَائِشَةَ مِنْهُمْ.

Di antaranya juga karena mereka adalah besan Rasulullah -ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam- sebab ‘Ā’ishah berasal dari mereka.

وَمِنْهَا لِأَنَّهُمْ مِنْ حِلْفِ الْمُطَيَّبِينَ.

Di antaranya juga karena mereka termasuk dalam Ḥilf al-Muṭayyabīn.

وَمِنْهَا لِأَنَّهُمْ مِنْ حِلْفِ الْفُضُولِ.

Dan di antaranya juga karena mereka termasuk dalam Ḥilf al-Fuḍūl.

ثُمَّ اسْتَوَتْ لَهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ بَنُو عَدِيٍّ وَبَنُو سَهْمٍ وَبَنُو جُمَحَ لِأَنَّهُمْ أُخْوَةُ مُرَّةَ وَجَمِيعُهُمْ بَنُو كَعْبِ بْنِ عَامِرٍ فَقِيلَ لَهُ: ابْدَأْ بِبَنِي عَدِيٍّ وَهُمْ قَوْمُهُ، فَقَالَ؛ بَلْ أُقِرُّ نَفْسِي حَيْثُ كُنْتُ، فَإِنَّ الْإِسْلَامَ دَخَلَ وَأَمْرُنَا وَأَمْرُ بَنِي سَهْمٍ وَاحِدٌ وَلَكِنِ انْظُرُوا بَيْنَ بَنِي جُمَحَ وَبَنِي سَهْمٍ فَقِيلَ إِنَّهُ قَدَّمَ بَنِي جُمَحَ ثُمَّ دَعَا بَنِي سَهْمٍ وَكَانَ دِيوَانُ عَدِيٍّ وَسَهْمٍ مُخْتَلِطًا كَالدَّعْوَةِ الْوَاحِدَةِ فَلَمَّا بَلَغَتْ إِلَيْهِ دَعْوَتُهُ كَبَّرَ تَكْبِيرَةً عَالِيَةً ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَوْصَلَ إِلَيَّ حَظِّي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثُمَّ دَعَا بَنِي عَامِرِ بْنِ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبٍ، وَكَانَ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ حَاضِرًا وَهُوَ مِنْ بَنِي فِهْرِ بْنِ مَالِكٍ فَلَمَّا رَأَى مَنْ تَقَدَّمَ عَلَيْهِ قَالَ: أَكُلُّ هَذَا يُدْعَى أَمَامِي، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ يَا أَبَا عبيدة اصبر كما صبرت أو كلم قَوْمَكَ، فَمَنْ قَدَّمَكَ مِنْهُمْ عَلَى نَفْسِهِ لَمْ أَمْنَعْهُ، فَأَمَّا أَنَا وَبَنُو عَدِيٍّ فَنُقَدِّمُكَ عَلَى أَنْفُسِنَا إِنْ أَحْبَبْتَ ثُمَّ دَعَا بَعْدَ بَنِي لُؤَيِّ بْنِ غَالِبِ بْنِ غَالِبِ بْنِ فِهْرٍ.

Setelah itu, kedudukan yang sama juga dimiliki oleh Bani ‘Adī, Bani Sahm, dan Bani Jumah, karena mereka adalah saudara Murrah dan semuanya adalah keturunan Ka‘b bin ‘Āmir. Lalu dikatakan kepadanya: “Mulailah dengan Bani ‘Adī, karena mereka adalah kaummu.” Ia menjawab: “Bahkan aku tetap pada posisiku semula, karena Islam masuk dan urusan kami dan urusan Bani Sahm adalah satu. Namun, lihatlah antara Bani Jumah dan Bani Sahm.” Maka dikatakan bahwa ia mendahulukan Bani Jumah, lalu memanggil Bani Sahm. Catatan Bani ‘Adī dan Sahm bercampur seperti satu undangan. Ketika undangan itu sampai kepadanya, ia bertakbir dengan suara keras, lalu berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menyampaikan bagianku dari Rasulullah -ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam-.” Kemudian ia memanggil Bani ‘Āmir bin Lu’ayy bin Ghālib. Saat itu, Abū ‘Ubaydah bin al-Jarrāḥ hadir, ia berasal dari Bani Fihr bin Mālik. Ketika ia melihat siapa saja yang telah didahulukan atas dirinya, ia berkata: “Apakah semua ini dipanggil sebelumku?” Maka ‘Umar berkata kepadanya: “Wahai Abū ‘Ubaydah, bersabarlah sebagaimana aku bersabar, atau bicaralah kepada kaummu. Jika ada di antara mereka yang mendahulukanmu atas dirinya, aku tidak akan melarangnya. Adapun aku dan Bani ‘Adī, kami akan mendahulukanmu atas diri kami jika engkau menghendaki.” Kemudian setelah Bani Lu’ayy bin Ghālib, ia memanggil Bani Fihr.

ثُمَّ دَعَا بِعْدَهُمْ بَنِي فِهْرِ بْنِ مَالِكٍ حَتَّى اسْتَكْمَلَ قُرَيْشًا وَاخْتَلَفَ النَّسَّابُونَ مِنْ عُلَمَاءِ الشَّرْعِ فِي قُرَيْشٍ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Kemudian setelah mereka, ia memanggil Bani Fihr bin Mālik hingga menyempurnakan (memanggil) seluruh Quraisy. Para ahli nasab dari kalangan ulama syar‘i berbeda pendapat tentang (batasan) Quraisy menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُمْ بَنُو فِهْرِ بْنِ مَالِكٍ فَمَنْ تَفَرَّقَ نَسَبُهُ عن فهر فهو مِنْ قُرَيْشٍ وَمَنْ جَاوَزَ فِهْرَ بْنَ مَالِكٍ بِنَسَبِهِ فَلَيْسَ مِنْ قُرَيْشٍ وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ شِهَابٍ الزُّهْرِيِّ وَطَائِفَةٍ.

Salah satunya: Bahwa mereka adalah keturunan Fihr bin Mālik. Maka siapa saja yang nasabnya bersambung kepada Fihr, ia termasuk Quraisy, dan siapa yang nasabnya melewati Fihr bin Mālik, maka ia bukan dari Quraisy. Ini adalah pendapat Ibn Syihāb az-Zuhrī dan sekelompok ulama.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ قُرَيْشًا هُمْ بَنُو النَّضْرِ بْنِ كِنَانَةَ جَدِّ فِهْرِ بْنِ مَالِكٍ؛ لِأَنَّهُ فِهْرُ بْنُ مَالِكِ بْنِ النَّضْرِ بْنِ كِنَانَةَ فَكُلُّ مَنْ كَانَ مِنْ وَلَدِ النَّضْرِ بْنِ كِنَانَةَ فَهُوَ مِنْ قُرَيْشٍ وَمَنْ جَاوَزَ النَّضْرَ بِنَسَبِهِ فَلَيْسَ مِنْ قُرَيْشٍ وَهَذَا قَوْلُ الشَّعْبِيِّ وَطَائِفَةٍ أُخْرَى، وَاخْتَلَفُوا فِي تَسْمِيَتِهِمْ قُرَيْشًا عَلَى سِتَّةِ أَقَاوِيلَ:

Pendapat kedua: Bahwa Quraisy adalah keturunan an-Naḍr bin Kinānah, kakek Fihr bin Mālik; karena Fihr bin Mālik bin an-Naḍr bin Kinānah. Maka siapa saja yang berasal dari keturunan an-Naḍr bin Kinānah, ia termasuk Quraisy, dan siapa yang nasabnya melewati an-Naḍr, maka ia bukan dari Quraisy. Ini adalah pendapat asy-Sya‘bī dan sekelompok ulama lainnya. Mereka juga berbeda pendapat tentang penamaan mereka sebagai Quraisy menjadi enam pendapat:

أَحَدُهَا: إِنَّ فِهْرَ بْنَ مَالِكٍ كَانَ اسْمُهُ قُرَيْشًا وَإِنَّمَا نبزته أمه فهرا لقيا، وَهَذَا قَوْلُ الزُّهْرِيِّ.

Salah satunya: Bahwa Fihr bin Mālik sebenarnya bernama Quraisy, dan ibunya hanya memberinya julukan Fihr karena suatu pertemuan. Ini adalah pendapat az-Zuhrī.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهُ سُمِّيَ قُرَيْشًا لِأَنَّ قُرَيْشَ بْنَ بَدْرِ بْنِ مَخْلَدِ بْنِ النَّضْرِ بْنِ كِنَانَةَ كَانَ دَلِيلَ بَنِي كِنَانَةَ فِي تِجَارَتِهِمْ، وَكَانَ يُقَالُ قَدِمَتْ عِيرُ قُرَيْشٍ فَسُمِّيَتْ قُرَيْشٌ بِهِ، وَأَبُوهُ بَدْرُ بْنُ مَخْلَدٍ هُوَ صَاحِبُ بَدْرٍ الْمَوْضِعِ الَّذِي لَقِيَ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قُرَيْشًا وَهُوَ احْتَفَرَ بِئْرَهَا وَفِيهِ أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ} [آل عمران: 123] وَهَذَا الْقَوْلُ حَكَاهُ الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ عَنْ عُمَرَ.

Pendapat kedua: Dinamakan Quraisy karena Quraisy bin Badr bin Makhlad bin Nadhar bin Kinanah adalah penunjuk jalan bagi Bani Kinanah dalam perdagangan mereka. Dahulu dikatakan, “Kafilah Quraisy telah datang,” maka mereka dinamakan Quraisy karena hal itu. Ayahnya, Badr bin Makhlad, adalah pemilik tempat Badr, yaitu tempat di mana Rasulullah ﷺ bertemu dengan Quraisy, dan dialah yang menggali sumurnya. Di tempat itu Allah Ta‘ala menurunkan firman-Nya: {Dan sungguh Allah telah menolong kalian di Badr, padahal kalian dalam keadaan lemah} (Ali Imran: 123). Pendapat ini diriwayatkan oleh az-Zubair bin Bakkar dari Umar.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: إِنَّهُمْ سُمُّوا قُرَيْشًا؛ لِأَنَّ النَّضْرَ بْنَ كِنَانَةَ سُمِّيَ قُرَيْشًا لِأَنَّهُ كَانَ يُقَرِّشُ عَنْ خَلَّةِ النَّاسِ وَحَاجَتِهِمْ فَيَسُدُّهَا وَالتَّقَرُّشُ هُوَ التَّفْتِيشُ وَمِنْهُ قَوْلُ الْحَارِثِ بن حلزة.

Pendapat ketiga: Mereka dinamakan Quraisy karena Nadhar bin Kinanah disebut Quraisy sebab ia biasa “yuqarrishu” (mencari tahu) tentang keadaan dan kebutuhan manusia lalu memenuhinya. “Taqarrush” berarti meneliti atau mencari-cari, sebagaimana dalam syair al-Harits bin Hillizah.

(أَيُّهَا النَّاطِقُ الْمُقَرِّشُ عَنَّا … عِنْدَ عَمْرٍو، فَهَلْ لَهُ إِبْقَاءُ)

(Wahai orang yang berbicara dan meneliti tentang kami… di sisi Amr, adakah baginya kelangsungan?)

وَهَذَا قَوْلُ الشَّعْبِيِّ.

Dan ini adalah pendapat asy-Sya‘bi.

وَالْقَوْلُ الرَّابِعُ: إِنَّهُمْ سُمُّوا قُرَيْشًا لِلتِّجَارَةِ لِأَنَّهُمْ كَانُوا تُجَّارًا فِي رِحْلَتَيِ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ، لِأَنَّ التُّجَّارَ يُقَرِّشُونَ وَيُفَتِّشُونَ عَنْ أَمْوَالِ التِّجَارَةِ وَحَكَاهُ الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ.

Pendapat keempat: Mereka dinamakan Quraisy karena perdagangan, sebab mereka adalah para pedagang dalam dua perjalanan musim dingin dan musim panas. Para pedagang disebut “yuqarrishun” (mencari-cari) dan meneliti harta perdagangan. Pendapat ini juga diriwayatkan oleh az-Zubair bin Bakkar.

وَالْقَوْلُ الْخَامِسُ: إِنَّهُمْ سُمُّوا قُرَيْشًا لِتَجَمُّعِهِمْ إِلَى الْحَرَمِ بَعْدَ تَفَرُّقِهِمْ لِأَنَّ قُصَيًّا جَمَعَهُمْ إِلَيْهِ وَالتَّقَرُّشُ التَّجَمُّعُ وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ.

Pendapat kelima: Mereka dinamakan Quraisy karena berkumpulnya mereka di sekitar Haram setelah sebelumnya tercerai-berai, sebab Qushay telah mengumpulkan mereka. “Taqarrush” berarti berkumpul, sebagaimana dalam syair seorang penyair:

(إِخْوَةٌ قَرَّشُوا الذُّنُوبَ عَلَيْنَا … فِي حَدِيثٍ مِنْ دَهْرِهِمْ وَقَدِيمِ)

(Saudara-saudara yang telah mengumpulkan dosa-dosa atas kami… dalam kisah masa kini dan masa lalu mereka)

وَهَذَا قَوْلُ أَبِي عُبَيْدَةَ مَعْمَرِ بْنِ الْمُثَنَّى.

Dan ini adalah pendapat Abu ‘Ubaidah Ma‘mar bin al-Mutsanna.

وَالْقَوْلُ السَّادِسُ: إِنَّهُمْ سُمُّوا قُرَيْشًا لِقُوَّتِهِمْ تَشْبِيهًا بِدَابَّةٍ فِي الْبَحْرِ قَوِيَّةٍ تُسَمَّى قُرَيْشًا كما قال تبع بن عمرو الجبري:

Pendapat keenam: Mereka dinamakan Quraisy karena kekuatan mereka, diibaratkan seperti seekor hewan kuat di laut yang disebut Quraisy, sebagaimana dikatakan oleh Tubba‘ bin ‘Amr al-Jabari:

(وقريش هي التي تسكن البحر … بِهَا سُمِّيَتْ قُرَيْشُ قُرَيْشَا)

(Quraisy adalah yang tinggal di laut… dengannya Quraisy dinamakan Quraisy)

(تَأْكُلُ الْغَثَّ وَالسَّمِينَ ولا تترك … يوما من جَنَاحَيْنِ رِيشَا)

(Memakan yang buruk dan yang baik, dan tidak pernah… sehari pun meninggalkan bulu di kedua sayapnya)

(هَكَذَا فِي الْعِبَادِ حَيُّ قُرَيْشٍ … يَأْكُلُونَ الْبِلَادَ أَكْلًا كَشِيشَا)

(Demikian pula di antara manusia, kaum Quraisy… memakan negeri-negeri dengan rakus seperti api yang menyala)

(وَلَهُمْ آخِرُ الزَّمَانِ نَبِيٌّ … يُكْثِرُ الْقَتْلَ فِيهِمْ وَالْخُمُوشَا)

(Dan bagi mereka di akhir zaman ada seorang nabi… yang memperbanyak pembunuhan dan luka di antara mereka)

(يَمْلَأُ الْأَرْضَ خيلة ورجالا … يحشرون المطي حشرا كَمِيشَا)

(Dia akan memenuhi bumi dengan kuda dan manusia… mereka menggiring unta-unta dengan paksa secara berkelompok)

فَلَمَّا فَرَغَ عُمَرُ مِنْ قُرَيْشٍ دَعَا بَعْدَهُمْ بِالْأَنْصَارِ وَقَدَّمَهُمْ عَلَى سَائِرِ الْعَرَبِ بَعْدَ قُرَيْشٍ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنْصَارِ} [التوبة: 100] وَلِنُصْرَتِهِمْ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا} [الأنفال: 72] ؛ وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: الْأَنْصَارُ كِرْشِي وَعَيْبَتِي لَوْ سَلَكَ النَّاسُ شِعْبًا وَالْأَنْصَارُ شِعْبًا لَسَلَكْتُ شِعْبَ الْأَنْصَارِ.

Setelah Umar selesai membahas Quraisy, ia memanggil kaum Anshar setelah mereka, dan mendahulukan mereka atas seluruh bangsa Arab setelah Quraisy, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar} (at-Taubah: 100), serta karena pertolongan mereka kepada Rasulullah ﷺ. Allah Ta‘ala juga berfirman: {Dan orang-orang yang telah memberikan tempat dan menolong} (al-Anfal: 72). Juga karena Nabi ﷺ bersabda: “Kaum Anshar adalah perut dan tempat rahasiaku. Jika manusia menempuh satu jalan dan kaum Anshar menempuh jalan lain, niscaya aku akan menempuh jalan kaum Anshar.”

قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَشَجَرَ بَيْنَ بَنِي سَهْمٍ وَعَدِيٍّ فِي زَمَانِ الْمَهْدِيِّ فَافْتَرَقُوا فَأَمَرَ الْمَهْدِيُّ بِبَنِي عَدِيٍّ فَقُدِّمُوا عَلَى سَهْمٍ وجُمَحَ لِسَابِقَةٍ فِيهِمْ، وَلِأَنَّهُمْ أَصْهَارُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ قِبَلِ حَفْصَةَ بِنْتِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا.

Asy-Syafi‘i berkata: Pernah terjadi perselisihan antara Bani Sahm dan ‘Adiy pada masa al-Mahdi, lalu mereka berpisah. Al-Mahdi memerintahkan agar Bani ‘Adiy didahulukan atas Sahm dan Jumah karena keutamaan yang ada pada mereka, dan karena mereka adalah besan Rasulullah ﷺ dari pihak Hafshah binti Umar radhiyallahu ‘anhuma.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا يَنْبَغِي أن يكون منع الديوان على مثل ما وضعه عُمَرُ يَبْدَأُ بِقُرَيْشٍ فَيُقَدِّمُ مِنْهُمْ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ ثُمَّ مَنْ يَلِيهِمْ مِنْ بِنِي أَبٍ بَعْدَ أَبٍ حَتَّى يَسْتَوْعِبَ جَمِيعَ قُرَيْشٍ، ثُمَّ يُقَدِّمُ بَعْدَهُمُ الْأَنْصَارَ مِنَ الْأَوْسِ وَالْخَزْرَجِ، ثُمَّ يَعْدِلُ بَعْدَهُمْ إِلَى مُضَرَ ثُمَّ رَبِيعَةَ ثُمَّ جَمِيعِ وَلَدِ عَدْنَانَ، ثُمَّ يَعْدِلُ بَعْدَهُمْ إِلَى قَحْطَانَ فَيُرَتِّبُهُمْ عَلَى السَّابِقَةِ كَمَا ذَكَرْنَا فِي قُرَيْشٍ، فَإِذَا فَرَغَ مِنْ جَمِيعِ الْعَرَبِ عَدَلَ بَعْدَهُمْ إِلَى الْعَجَمِ فَرَتَّبَهُمْ عَلَى سَابِقَةٍ إِنْ كَانَتْ لَهُمْ.

Jika telah tetap apa yang telah kami uraikan, maka seyogianya penetapan dīwān dilakukan sebagaimana yang ditetapkan oleh ‘Umar, dimulai dari Quraisy, dengan mendahulukan dari mereka Bani Hasyim dan Bani Muththalib, kemudian yang berikutnya dari Bani ayah demi ayah hingga mencakup seluruh Quraisy. Setelah itu didahulukan kaum Anshar dari Aus dan Khazraj, lalu beralih setelah mereka kepada Mudhar, kemudian Rabi‘ah, lalu seluruh keturunan Adnan. Setelah itu beralih kepada Qahtan, lalu diurutkan berdasarkan keutamaan sebagaimana telah kami sebutkan pada Quraisy. Jika telah selesai dari seluruh Arab, maka beralih setelah mereka kepada ‘ajam (non-Arab), lalu diurutkan berdasarkan keutamaan jika mereka memilikinya.

فَأَمَّا تَرْتِيبُ أَهْلِ الْقَبِيلَةِ الْوَاحِدَةِ مِنْ قُرَيْشٍ أَوْ غَيْرِهِمْ فَيَنْبَغِي أَنْ يُقَدَّمَ مِنْهُمْ ذُو السَّابِقَةِ ثُمَّ ذُو السِّنِّ ثُمَّ ذُو الشَّجَاعَةِ، فَإِذَا أَرَادَ تَفْرِيقَ الْعَطَاءِ فِيهِمْ بَدَأَ بِالْقَبِيلَةِ الْمُقَدَّمَةِ فِي الدِّيوَانِ فَقَدَّمَهَا فِي الْعَطَاءِ وَقَدَّمَ مِنْهَا مَنْ كَانَ فِي الدِّيوَانِ مُقَدَّمًا، لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ إِعْطَاءُ جَمِيعِهِمْ إِلَّا وَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ، فَيُقَدِّمُ الْأَسْبَقَ فَالْأَسْبَقَ فِي الدِّيوَانِ حَتَّى يَسْتَوْفِيَ جَمِيعَ أَهْلِهِ، وبالله التوفيق.

Adapun pengurutan anggota satu kabilah dari Quraisy atau selain mereka, maka seyogianya didahulukan dari mereka yang paling dahulu (memiliki keutamaan), kemudian yang paling tua, lalu yang paling berani. Jika ingin membagikan pemberian di antara mereka, maka dimulai dari kabilah yang didahulukan dalam dīwān, maka didahulukan pula dalam pemberian, dan didahulukan dari mereka siapa yang dalam dīwān juga didahulukan. Karena tidak mungkin memberikan kepada semuanya kecuali satu demi satu, maka didahulukan yang paling dahulu, lalu berikutnya dalam dīwān hingga seluruh anggotanya terpenuhi. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

مختصر كتاب الصدقات من كتابين قديم وجديد

Ringkasan Kitab Sedekah dari dua kitab: yang lama dan yang baru.

مسألة:

Masalah:

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” فَرَضَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى أَهْلِ دِينِهِ الْمُسْلِمِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقًّا لِغَيْرِهِمْ مِنْ أَهْلِ دِينِهِ الْمُسْلِمِينَ الْمُحْتَاجِينَ إِلَيْهِ لَا يَسَعُهُمْ حَبْسُهُ عَمَّنْ أُمِرُوا بِدَفْعِهِ إليه أو ولائه “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Allah Tabaraka wa Ta‘ala telah mewajibkan kepada orang-orang yang beragama Islam dari kalangan kaum Muslimin, pada harta mereka, suatu hak bagi selain mereka dari kalangan kaum Muslimin yang membutuhkan, yang tidak boleh mereka tahan dari orang yang diperintahkan untuk diberikan kepadanya atau kepada walinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.

اعْلَمْ أَنَّ وُجُوبَ الزَّكَاةِ يَتَعَلَّقُ بِثَلَاثَةِ أَحْكَامٍ:

Ketahuilah bahwa kewajiban zakat terkait dengan tiga hukum:

أَحَدُهَا: الْمَالُ الذي تجب فيه.

Pertama: harta yang wajib dizakati.

والثاني: المال الَّذِي تَجِبُ عَلَيْهِ.

Kedua: pemilik harta yang wajib mengeluarkan zakat.

وَالثَّالِثُ: الْمُسْتَحِقُّ الَّذِي تُصْرَفُ إِلَيْهِ.

Ketiga: pihak yang berhak menerima zakat.

فَأَمَّا الْمَالُ الَّذِي تَجِبُ فِيهِ فَقَدْ ذَكَرْنَا فِي كِتَابِ ” الزَّكَاةِ ” أَنَّهُ الْمَالُ الثَّانِي عَلَى شُرُوطِهِ الْمَاضِيَةِ وَأَمَّا الْمَالِكُ الَّذِي تَجِبُ عَلَيْهِمْ فَهُمُ الْمُسْلِمُونَ.

Adapun harta yang wajib dizakati, telah kami sebutkan dalam Kitab “Zakat” bahwa itu adalah harta kedua dengan syarat-syarat yang telah lalu. Adapun pemilik harta yang wajib mengeluarkan zakat adalah kaum Muslimin.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْمُشْرِكِينَ هَلْ هُمْ مُخَاطَبُونَ بِهَا؟ وَإِنْ لَمْ تُؤْخَذْ مِنْهُمْ عَلَى وَجْهَيْنِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا، هَلْ خُوطِبُوا مَعَ الْإِيمَانِ بِالْعِبَادَاتِ الشَّرْعِيَّةِ أَمْ لَا؟ فَذَهَبَ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّهُمْ مُخَاطَبُونَ بِالْعِبَادَاتِ الشَّرْعِيَّةِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالزَّكَاةِ وَالْحَجِّ كَمُخَاطَبَتِهِمْ بِالْإِيمَانِ، وَأَنَّهُمْ مُعَاقَبُونَ عَلَى تَرْكِ ذَلِكَ لقوله تعالى: {ما سلككم في سقر قالوا لم نك من المصلين ولم نك نطعم المسكين} [المدثر: 42 و 43 و 44] وَقَالَ آخَرُونَ: وَهُوَ قَوْلُ الْعِرَاقِيِّينَ إِنَّهُمْ فِي حَالِ الْكُفْرِ إِنَّمَا خُوطِبُوا بِالْإِيمَانِ وَحْدَهُ، وَلَمْ يَتَوَجَّهْ إِلَيْهِمُ الْخِطَابُ بِالْعِبَادَاتِ الشَّرْعِيَّةِ إِلَّا بَعْدَ الإيمان لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دمائهم وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا، وَلِأَنَّ الزَّكَاةَ لَوْ وَجَبَتْ عليهم لطولبوا بها بعد إسلامهم.

Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai orang-orang musyrik, apakah mereka juga terkena kewajiban zakat? Meskipun tidak diambil dari mereka, ada dua pendapat berdasarkan perbedaan para sahabat kami: Apakah mereka juga dibebani dengan ibadah-ibadah syar‘i bersamaan dengan iman atau tidak? Mayoritas sahabat kami berpendapat bahwa mereka dibebani dengan ibadah-ibadah syar‘i seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, sebagaimana mereka dibebani dengan iman, dan bahwa mereka akan dihukum karena meninggalkan hal tersebut, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Apa yang memasukkan kalian ke dalam Saqar? Mereka menjawab: Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang shalat dan tidak memberi makan orang miskin} (al-Muddatstsir: 42-44). Sedangkan pendapat lain, yaitu pendapat ulama Irak, menyatakan bahwa dalam keadaan kafir, mereka hanya dibebani dengan iman saja, dan tidak diarahkan kepada mereka kewajiban ibadah-ibadah syar‘i kecuali setelah beriman, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan la ilaha illallah. Jika mereka telah mengucapkannya, maka terjagalah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haknya.” Dan karena jika zakat diwajibkan atas mereka, niscaya mereka akan dituntut untuk menunaikannya setelah masuk Islam.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْمُسْتَحِقُّ لِصَرْفِ الزَّكَاةِ إِلَيْهِ فَهَذَا الْكِتَابُ مَقْصُورٌ عَلَيْهِ، وَالْأَصْلُ فِيهِ قَوْله تَعَالَى: {خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا} [التوبة: 103] أَيْ تُطَهِّرُ ذُنُوبَهُمْ وَتُزَكِّي أَعْمَالَهُمْ فَكَانَ فِي هَذِهِ الْآيَةِ وُجُوبٌ لِأَدَائِهَا مِنْ غَيْرِ ذِكْرٍ لِمُسْتَحِقِّهَا وَقَالَ تَعَالَى: {وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ} [الذاريات: 19] فَأَمَّا السَّائِلُ: فَهُوَ الَّذِي يسائل الناس لفاقته.

Adapun pihak yang berhak menerima zakat, maka kitab ini dikhususkan untuk membahasnya. Dasar hukumnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka} (at-Taubah: 103), yakni membersihkan dosa mereka dan mensucikan amal mereka. Maka dalam ayat ini terdapat kewajiban menunaikan zakat tanpa menyebutkan siapa yang berhak menerimanya. Dan firman Allah Ta‘ala: {Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian} (adz-Dzariyat: 19). Adapun orang yang meminta adalah yang meminta-minta kepada manusia karena kefakirannya.

وَفِي الْمَحْرُومِ خَمْسَةُ تَأْوِيلَاتٍ:

Adapun tentang “orang yang tidak mendapat bagian” (al-mahrūm), terdapat lima penafsiran:

أَحَدُهَا: إِنَّهُ الْمُتَعَفِّفُ الذي لا يسأل [الناس شيئا ولا يعلم بحاجته] ، وَهُوَ قَوْلُ قَتَادَةَ.

Pertama: yaitu orang yang menjaga kehormatan diri, yang tidak meminta-minta kepada orang lain dan tidak diketahui kebutuhannya; ini adalah pendapat Qatadah.

وَالثَّانِي: إِنَّهُ الْمُحَارِفُ الَّذِي لَا يَتَيَسَّرُ لَهُ مَكْسَبُهُ، وَهُوَ قَوْلُ عَائِشَةَ.

Kedua: yaitu orang yang mengalami kesulitan dalam mencari penghasilan, dan ini adalah pendapat ‘Aisyah.

وَالثَّالِثُ: إِنَّهُ الَّذِي يَطْلُبُ الدُّنْيَا وَتُدْبِرُ عَنْهُ، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ.

Ketiga: yaitu orang yang mencari dunia namun dunia berpaling darinya, dan ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas.

وَالرَّابِعُ: إِنَّهُ الْمُصَابُ بِزَرْعِهِ وَثَمَرِهِ [يُعِينُهُ مَنْ لَمْ يُصَبْ] وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ زَيْدٍ.

Keempat: yaitu orang yang terkena musibah pada tanaman dan buah-buahannya [lalu dibantu oleh orang yang tidak terkena musibah], dan ini adalah pendapat Ibnu Zaid.

وَالْخَامِسُ: إِنَّهُ الْمَمْلُوكُ وَهُوَ قَوْلُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حُمَيْدٍ.

Kelima: yaitu budak, dan ini adalah pendapat ‘Abdurrahman bin Humaid.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ فَأَرُدَّهَا فِي فُقَرَائِكُمْ وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ: ” يَا مُعَاذُ بَشِّرْ وَلَا تُنَفِّرْ وَيَسِّرْ وَلَا تُعَسِّرْ، ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةٍ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقًّا يُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَيُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ ” فَدَلَّ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ عَلَى أَنَّ الزَّكَاةَ مَصْرُوفَةٌ فِي ذَوِي الْفَقْرِ وَالْحَاجَةِ مِنْ غَيْرِ حِرْفَةٍ وَلَا تَعَيُّشٍ وَكَانَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أعلمنا أنه من اجْتِهَادِهِ إِلَى أَنْ كَانَ مَا رَوَاهُ الزُّهْرِيُّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقْسِمُ قَسْمًا إِذْ جَاءَهُ ذُو الْخُوَيْصِرَةِ الْيَمَانِيُّ، فَقَالَ اعْدِلْ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ: وَيْلَكَ فَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي فَأَضْرِبْ عُنُقَهُ، فَقَالَ دَعْهُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ} [التوبة: 58] ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى نَزَّهَ نَبِيَّهُ عَنْ هَذَا الْعُتْبِ، وَتَوَلَّى قَسْمَهَا بَيْنَ أَهْلِهَا فَقَالَ: {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ} [التوبة: 60] الْآيَةَ إِلَى قَوْله تَعَالَى: {فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ} [التوبة: 60] أَيْ عَلِيمٌ بِالْمَصْلَحَةِ حَكِيمٌ فِي الْقِسْمَةِ فَعِنْدَ ذَلِكَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يَرْضَ فِي قِسْمَةِ الْأَمْوَالِ بِمَلَكٍ مُقَرَّبٍ وَلَا نَبِيٍّ مُرْسَلٍ ” حَتَّى تَوَلَّى قَسْمَهَا بِنَفْسِهِ فَصَارَ مَالُ الزَّكَوَاتِ مَقْسُومًا فِي أَهْلِهِ بِنَصِّ الْكِتَابِ كَالْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ.

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Aku diperintahkan untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya di antara kalian lalu mengembalikannya kepada orang-orang fakir di antara kalian.” Dan Nabi ﷺ bersabda kepada Mu‘adz bin Jabal ketika mengutusnya ke Yaman: “Wahai Mu‘adz, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari, mudahkanlah dan jangan persulit, ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah. Jika mereka menaatimu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa pada harta mereka ada hak yang diambil dari orang-orang kaya mereka lalu diberikan kepada orang-orang fakir mereka.” Maka apa yang telah kami sebutkan dari al-Kitab dan as-Sunnah menunjukkan bahwa zakat diberikan kepada orang-orang fakir dan yang membutuhkan, tanpa memandang profesi atau cara mencari nafkah. Nabi ﷺ telah memberitahukan kepada kita bahwa hal itu berdasarkan ijtihad beliau, hingga apa yang diriwayatkan oleh az-Zuhri dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman dari Abu Sa‘id al-Khudri, ia berkata: Suatu ketika Rasulullah ﷺ sedang membagikan pembagian, lalu datanglah Dzul Khuwaishirah al-Yamani, ia berkata: “Berlaku adillah, wahai Rasulullah!” Maka beliau bersabda: “Celakalah engkau, siapa lagi yang akan berlaku adil jika aku tidak adil?” Lalu ‘Umar bin al-Khaththab berkata: “Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal lehernya.” Beliau bersabda: “Biarkan dia.” Maka Allah Ta‘ala menurunkan firman-Nya: {Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu dalam (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebagian darinya, mereka rela, dan jika mereka tidak diberi sebagian darinya, tiba-tiba mereka marah} (at-Taubah: 58). Kemudian Allah Ta‘ala mensucikan Nabi-Nya dari celaan ini, dan Allah sendiri yang membagikan zakat di antara yang berhak menerimanya, lalu berfirman: {Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin…} (at-Taubah: 60), hingga firman-Nya: {sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana} (at-Taubah: 60), yakni Maha Mengetahui kemaslahatan, Maha Bijaksana dalam pembagian. Maka pada saat itu Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ala tidak ridha dalam pembagian harta dengan malaikat yang didekatkan maupun nabi yang diutus, hingga Allah sendiri yang membagikan zakat itu.” Maka harta zakat menjadi terbagi kepada yang berhak menerimanya berdasarkan nash al-Kitab, sebagaimana halnya fai’ dan ghanimah.

وَرَوَى زياد بن الحرث الصُّدَائِيُّ فَقَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَبَايَعْتُهُ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: أَعْطِنِي مِنَ الصَّدَقَةِ، فَقَالَ: ” إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يَرْضَ فِي الصَّدَقَةِ بِحُكْمِ نَبِيٍّ وَلَا غَيْرِهِ حَتَّى حَكَمَ فِيهَا هُوَ فَجَزَّأَهَا ثَمَانِيَةَ أَجْزَاءٍ فَإِنْ كُنْتَ مِنْ أَهْلِ تِلْكَ الْأَجْزَاءِ أَعْطَيْتُكَ حَقَّكَ “.

Diriwayatkan dari Ziyad bin al-Harits ash-Shuda’i, ia berkata: Aku datang kepada Nabi ﷺ lalu membaiat beliau, kemudian datang seorang laki-laki dan berkata: “Berilah aku dari zakat.” Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ala tidak ridha dalam zakat dengan keputusan seorang nabi maupun selainnya, hingga Allah sendiri yang memutuskan pembagiannya, lalu membaginya menjadi delapan bagian. Jika engkau termasuk dari golongan itu, aku akan memberikan hakmu.”

فَصْلٌ:

Fasal:

فإذا ثبت أنها تصرف إِلَى مَنْ سَمَّاهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ فَلَا يَجُوزُ صَرْفُهَا إِلَّا إِلَى الْمُسْلِمِينَ كَمَا لَمْ يَجُزْ أَخْذُهَا إِلَّا مِنَ الْمُسْلِمِينَ هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ وَأَحْمَدَ وإسحاق وأبي ثور، وقال أبي شُبْرُمَةَ يَجُوزُ صَرْفُ الزَّكَوَاتِ كُلِّهَا إِلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ، وَكَذَلِكَ الْكَفَّارَاتُ وَقَالَ أبو حنيفة: يَجُوزُ أَنْ تُصْرَفَ إِلَيْهِمْ زَكَاةُ الْفِطْرِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ} [التوبة: 60] وَبِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ حَرَّى أَجْرٌ ” وَبِرِوَايَةِ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَعْطَى أَهْلَ الذِّمَّةِ مِنَ الصَّدَقَاتِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ جَازَ أَنْ تُدْفَعَ إِلَيْهِ صَدَقَةُ التَّطَوُّعِ جَازَ أَنْ تُدْفَعَ إِلَيْهِ زَكَاةُ الْفِطْرِ كَالْمُسْلِمِ.

Jika telah tetap bahwa zakat itu disalurkan kepada siapa yang telah disebutkan Allah Ta‘ala dari delapan golongan, maka tidak boleh menyalurkannya kecuali kepada kaum Muslimin, sebagaimana tidak boleh mengambilnya kecuali dari kaum Muslimin. Inilah mazhab asy-Syafi‘i, Malik, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur. Abu Syubrumah berpendapat, boleh menyalurkan seluruh zakat kepada ahludz-dzimmah, demikian pula kafarat. Abu Hanifah berkata: boleh menyalurkan zakat fitri kepada mereka, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan miskin} [at-Taubah: 60], dan sabda Nabi ﷺ: “Pada setiap yang memiliki hati (makhluk hidup) yang basah ada pahala,” serta riwayat Sa‘id bin Jubair bahwa Nabi ﷺ memberikan zakat kepada ahludz-dzimmah. Juga karena siapa saja yang boleh diberikan sedekah tathawwu‘ (sunnah) kepadanya, maka boleh pula diberikan zakat fitri kepadanya seperti halnya Muslim.

وَدَلِيلُنَا، رِوَايَةُ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ نَشَدْتُكَ اللَّهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تَأْخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِنَا فَتَرُدَّهَا عَلَى فُقَرَائِنَا، فَقَالَ: نَعَمْ، فَأَخْبَرَ أَنَّ الْمَأْخُوذَ مِنْهُمْ هُوَ الْمَرْدُودُ عَلَيْهِمْ، وَهِيَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ مَأْخُوذَةٌ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ عَلَيْهِمْ مَرْدُودَةً، وَلِأَنَّهُ مَالٌ يَخْرُجُ عَلَى وَجْهِ الطُّهْرِ فَلَمْ يَجُزْ دَفْعُهُ إِلَى مَنْ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ الطُّهْرَةِ قِيَاسًا عَلَى زَكَاةِ الْمَالِ؛ وَلِأَنَّ مَنْ لَا يَجُوزُ دَفْعُ زَكَاةِ الْمَالِ إِلَيْهِ لَا يَجُوزُ دَفْعُ زَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَيْهِ كَالْأَغْنِيَاءِ وَذَوِي الْقُرْبَى؛ وَلِأَنَّ مَنْ نَقَصَ بِالْكُفْرِ حَرُمَ دَفْعُ الزَّكَاةِ إِلَيْهِ كَالْمُسْتَأْمَنِ؛ وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى خَوَّلَنَا أَمْوَالَ الْمُشْرِكِينَ اسْتِعْلَاءً عَلَيْهِمْ فَلَا يَجُوزُ أَنْ نُمَلِّكَهُمْ أَمْوَالَنَا اسْتِذْلَالًا لَهُمْ.

Dalil kami adalah riwayat Anas bin Malik bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ lalu berkata: “Wahai Rasulullah, aku memohon kepadamu demi Allah, apakah Allah memerintahkanmu untuk mengambil sedekah dari orang-orang kaya kami lalu mengembalikannya kepada orang-orang fakir kami?” Beliau menjawab: “Ya.” Maka beliau memberitakan bahwa yang diambil dari mereka adalah yang dikembalikan kepada mereka, dan itu diambil dari kaum Muslimin, maka wajib pula dikembalikan kepada mereka. Karena zakat adalah harta yang dikeluarkan sebagai bentuk pensucian, maka tidak boleh diberikan kepada orang yang bukan ahlul-thaharah (orang yang suci) dengan qiyās kepada zakat mal. Dan karena siapa saja yang tidak boleh diberikan zakat mal kepadanya, maka tidak boleh pula diberikan zakat fitri kepadanya, seperti orang kaya dan kerabat dekat. Dan karena siapa saja yang berkurang (kedudukannya) karena kekufuran, haram diberikan zakat kepadanya, seperti musta’man (non-Muslim yang mendapat perlindungan). Dan karena Allah Ta‘ala telah memberikan kekuasaan kepada kita atas harta orang-orang musyrik sebagai bentuk penguasaan atas mereka, maka tidak boleh kita memberikan harta kita kepada mereka sebagai bentuk merendahkan diri kepada mereka.

فَأَمَّا عُمُومُ الْآيَةِ وَالْخَبَرِ مَخْصُوصَانِ بِمَا ذَكَرْنَا.

Adapun keumuman ayat dan hadis telah dikhususkan dengan apa yang telah kami sebutkan.

وَأَمَّا حَدِيثُ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، فَعَنْهُ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ:

Adapun hadis Sa‘id bin Jubair, maka ada tiga jawaban atasnya:

أَحَدُهَا: إِنَّهُ مُرْسَلٌ لَا يَلْزَمُنَا الْعَمَلُ بِهِ.

Pertama: Hadis itu mursal, sehingga kami tidak wajib mengamalkannya.

وَالثَّانِي: إِنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ.

Kedua: Hadis itu dimaknai sebagai sedekah tathawwu‘ (sunnah).

وَالثَّالِثُ: يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ افْتُرِضَ مِنْهُمْ لِأَهْلِ الصَّدَقَةِ فَرَدَّ عَلَيْهِمُ الْفَرْضُ مِنْ مَالِ الصَّدَقَةِ.

Ketiga: Boleh jadi zakat itu diambil dari mereka untuk diberikan kepada ahlul-shadaqah, lalu dikembalikan kepada mereka bagian yang menjadi kewajiban dari harta zakat.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ بِأَنَّهُ مِمَّنْ يَجُوزُ دَفْعُ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ إِلَيْهِ كَالْمُسْلِمِ فَمُنْتَقَضٌ بِذَوِي الْقُرْبَى، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْمُسْلِمِ إِنَّهُ يَجُوزُ دَفْعُ زَكَاةِ الْمَالِ إِلَيْهِ وَلَيْسَ كَذَا الذِّمِّيُّ، فَكَانَ إِلْحَاقُهُ بِالْمُسْتَأْمَنِ أَوْلَى، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun qiyās mereka bahwa ahludz-dzimmah termasuk orang yang boleh diberikan sedekah tathawwu‘ seperti Muslim, maka itu tertolak dengan (dalil) kerabat dekat. Kemudian, alasan pada Muslim adalah karena boleh diberikan zakat mal kepadanya, sedangkan ahludz-dzimmah tidak demikian, maka lebih layak disamakan dengan musta’man. Wallahu a‘lam.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَلَا يَسَعُ الْوُلَاةَ تَرْكُهُ لِأَهْلِ الْأَمْوَالِ لِأَنَّهُمْ أُمَنَاءُ عَلَى أَخْذِهِ لِأَهْلِهِ وَلَمْ نَعْلَمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَخَّرَهَا عَامًا لَا يَأْخُذُهَا فِيهِ وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَوْ مَنَعُونِي عَنَاقًا مِمَّا أَعْطَوْا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَيْهَا “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Tidak boleh bagi para penguasa untuk membiarkan zakat pada pemilik harta, karena mereka adalah para amanah dalam mengambil zakat untuk disalurkan kepada yang berhak. Kami tidak mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ pernah menunda zakat satu tahun tanpa mengambilnya. Abu Bakar ash-Shiddiq ra berkata: ‘Seandainya mereka menahan kepadaku seekor anak kambing betina yang dahulu mereka serahkan kepada Rasulullah ﷺ, niscaya aku akan memerangi mereka karena itu.'”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْأَمْوَالَ ضَرْبَانِ: ظَاهِرَةٌ، وَبَاطِنَةٌ، فَالظَّاهِرَةُ هِيَ الْمَوَاشِي وَالزُّرُوعُ وَالْمَعَادِنُ، وَالْبَاطِنَةُ الذَّهَبُ وَالْوَرِقُ وَعُرُوضُ التِّجَارَاتِ.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa harta itu ada dua macam: harta yang tampak dan harta yang tersembunyi. Harta yang tampak adalah hewan ternak, tanaman, dan tambang. Harta yang tersembunyi adalah emas, perak, dan barang-barang dagangan.

فَأَمَّا الْبَاطِنَةُ: فَأَرْبَابُ التِّجَارَاتِ وَسَائِرِ الْأَمْوَالِ الْبَاطِنَةِ فَصَاحِبُهَا بِالْخِيَارِ فِي تَفْرِيقِهَا بِنَفْسِهِ أَوْ دَفْعِهَا إِلَى الْإِمَامِ الْعَادِلِ لِيَتَوَلَّى تَفْرِيقَهَا بِنَفْسِهِ وَلَا يَلْزَمُ دَفْعُهَا إِلَيْهِ، وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ.

Adapun harta yang tersembunyi: para pedagang dan pemilik harta tersembunyi lainnya, mereka diberi pilihan untuk menyalurkan zakatnya sendiri atau menyerahkannya kepada imam yang adil agar imam menyalurkannya. Tidak wajib menyerahkannya kepada imam, dan ini adalah pendapat jumhur.

وَأَمَّا الظَّاهِرَةُ فَفِيهَا قَوْلَانِ:

Adapun mengenai zakat yang tampak (zakat zhahir), terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ إِنَّ عَلَى أَرْبَابِهَا دَفْعَ زَكَاتِهَا إِلَى الْإِمَامِ وَلَا يُجْزِئُهُمْ تَفْرِيقُهَا بِأَنْفُسِهِمْ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وأبو حنيفة.

Salah satunya, yang beliau sampaikan dalam pendapat lama (al-qadīm), adalah bahwa para pemilik harta wajib menyerahkan zakatnya kepada imam dan tidak sah jika mereka membagikannya sendiri. Pendapat ini juga dianut oleh Malik dan Abu Hanifah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ أَرْبَابَهَا بِالْخِيَارِ فِي دَفْعِهَا إِلَى الْإِمَامِ أَوْ تَفْرِيقِهَا بِأَنْفُسِهِمْ، وَدَلِيلُ قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ إِنَّ دَفْعَهَا إِلَى الْإِمَامِ وَاجِبٌ، وَهُوَ مذهب مالك وأبي حنيفة لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ} [التوبة: 103] وَإِذَا دَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى أَنَّ عَلَى الْإِمَامِ الْأَخْذَ دَلَّتْ عَلَى أَنَّ عَلَى الْأَرْبَابِ الدَّفْعَ، وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ فَأَرُدَّهَا عَلَى فُقَرَائِكُمْ ” فَدَلَّ ذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِ عَلَى مِثْلِ مَا دَلَّتْ عَلَيْهِ الْآيَةُ، وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي مَانِعِي الزَّكَاةِ لَوْ مَنَعُونِي عَنَاقًا أَوْ عِقَالًا مِمَّا أَعْطَوْا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَيْهِ، فَوَافَقَتْهُ الصَّحَابَةُ بَعْدَ مُخَالَفَتِهِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ عَلَيْهِ الْأَخْذَ وَعَلَيْهِمُ الدَّفْعَ بِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ، وَلِأَنَّهُ حَقٌّ يتَعَلَّقُ بِالْمَالِ الظَّاهِرِ يُصْرَفُ إِلَى الْأَصْنَافِ عَلَى أَوْصَافٍ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَفَرُّدُ الْإِمَامِ بِهِ شَرْطًا فِي إِجْزَائِهِ كَالْخُمُسِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat beliau dalam pendapat baru (al-jadīd), adalah bahwa para pemilik harta diberi pilihan untuk menyerahkannya kepada imam atau membagikannya sendiri. Dalil pendapat beliau dalam pendapat lama bahwa penyerahan zakat kepada imam adalah wajib, dan ini merupakan mazhab Malik dan Abu Hanifah, adalah firman Allah Ta‘ala: {Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka} (at-Taubah: 103). Jika ayat ini menunjukkan bahwa imam wajib mengambil zakat, maka itu juga menunjukkan bahwa para pemilik harta wajib menyerahkannya. Nabi ﷺ bersabda: “Aku diperintahkan untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya kalian dan mengembalikannya kepada orang-orang fakir kalian.” Maka sabda beliau ini menunjukkan hal yang sama seperti yang ditunjukkan oleh ayat tersebut. Abu Bakar ra. berkata mengenai orang-orang yang enggan membayar zakat: “Seandainya mereka menolak memberikan seekor anak kambing betina atau tali unta yang dahulu mereka berikan kepada Rasulullah ﷺ, niscaya aku akan memerangi mereka karenanya.” Para sahabat pun menyepakatinya setelah sebelumnya berbeda pendapat, sehingga hal ini menunjukkan bahwa imam wajib mengambil dan para pemilik harta wajib menyerahkan zakat berdasarkan ijmā‘ para sahabat. Selain itu, karena zakat adalah hak yang berkaitan dengan harta yang tampak dan harus disalurkan kepada golongan tertentu dengan kriteria tertentu, maka wajib menjadikan penyerahan zakat secara eksklusif oleh imam sebagai syarat sahnya, sebagaimana pada pembagian khumus.

وَدَلِيلُنَا، قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ تَفَرُّدَ أَرْبَابِهَا بِتَفْرِيقِهَا يَجُوزُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خير لكم} [البقرة: 271] فجعل كلا الأمرين مجزءا وقَوْله تَعَالَى: {الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلانِيَةً} [البقرة: 274] فَدَلَّ عُمُومُ الْآيَتَيْنِ عَلَى جَوَازِ إِخْرَاجِ الصَّدَقَاتِ فَرْضًا وَنَفْلًا مِنْ غَيْرِ تَخْصِيصٍ.

Dalil kami, yaitu pendapat beliau dalam pendapat baru (al-jadīd), bahwa para pemilik harta boleh membagikan zakatnya sendiri adalah firman Allah Ta‘ala: {Jika kamu menampakkan sedekah-sedekah(mu), maka itu baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu} (al-Baqarah: 271). Maka Allah menjadikan kedua cara tersebut sah. Dan firman-Nya: {Orang-orang yang menafkahkan hartanya pada malam dan siang hari secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan} (al-Baqarah: 274). Maka keumuman kedua ayat ini menunjukkan bolehnya mengeluarkan sedekah, baik yang wajib maupun sunnah, tanpa pembatasan.

وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيَّ حَمَلَ صَدَقَتَهُ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَرَدَّهَا وَحَمَلَهَا إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَرَدَّهَا وَحَمَلَهَا إِلَى عُمَرَ، فَرَدَّهَا، فَلَوْ كَانَ تَفَرُّدُهُ بِإِخْرَاجِهَا لَا يُجْزِئُهُ لَمَا اسْتَجَازَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَدَّهَا عَلَيْهِ، لِأَنَّ فِيهِ تَضْيِيعًا لَهَا مِنْ غَيْرِ إِجْزَاءٍ، وَلِأَنَّهُ مَالٌ مُخْرَجٌ عَلَى وَجْهِ الطُّهْرَةِ فَجَازَ أَنْ يَنْفَرِدَ أَرْبَابُهُ بِإِخْرَاجِهِ كَالْكَفَّارَاتِ؛ وَلِأَنَّ مَا أُخْرِجَ زَكَاةً لَمْ يَجُزْ دَفْعُهُ إِلَى الْإِمَامِ كَالْمَالِ الْبَاطِنِ، وَلِأَنَّ مَنْ جَازَ لَهُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِإِخْرَاجِ زَكَاةِ الْمَالِ الْبَاطِنِ جَازَ لَهُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِإِخْرَاجِ زَكَاةِ الْمَالِ الظَّاهِرِ كَالْإِمَامِ.

Diriwayatkan bahwa Abu Tsa‘labah al-Khusyani membawa zakatnya kepada Nabi ﷺ, lalu beliau menolaknya. Ia kemudian membawanya kepada Abu Bakar, lalu Abu Bakar menolaknya. Ia pun membawanya kepada Umar, dan Umar juga menolaknya. Seandainya penyerahan zakat secara mandiri oleh pemiliknya tidak sah, niscaya Rasulullah ﷺ tidak akan membolehkannya untuk dikembalikan, karena hal itu berarti menyia-nyiakan zakat tanpa sah. Selain itu, karena zakat adalah harta yang dikeluarkan sebagai bentuk pensucian, maka boleh bagi pemiliknya untuk menyalurkannya sendiri sebagaimana pada kafarat. Dan harta yang telah dikeluarkan zakatnya tidak boleh lagi diserahkan kepada imam, sebagaimana harta yang tidak tampak (mal al-bāthin). Dan siapa yang dibolehkan menyalurkan zakat mal al-bāthin secara mandiri, maka ia juga boleh menyalurkan zakat mal azh-zāhir secara mandiri, sebagaimana imam.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى التَّفْرِيعِ عَلَيْهِمَا فَإِذَا قِيلَ بِوُجُوبِ دَفْعِهَا إِلَى الْإِمَامِ، وَأَنَّ تَفْرِيقَ رَبِّهَا لَا يَجُوزُ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْإِمَامِ مِنْ أَنْ يَكُونَ عَادِلًا أَوْ جَائِرًا، فَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ عَادِلًا، فَعَلَى رَبِّ الْمَالِ أَنْ يَدْفَعَهَا إِلَى الْإِمَامِ أَوْ إِلَى مَنِ اسْتَخْلَفَهُ الْإِمَامُ عَلَيْهَا مِنْ عُمَّالِهِ وَسُعَاتِهِ، فَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ وَالْعَامِلُ حَاضِرَيْنِ كَانَ رَبُّ الْمَالِ بِالْخِيَارِ فِي دَفْعِهَا إِلَى أَيِّهِمَا شَاءَ وَالْأَفْضَلُ أَنْ يَدْفَعَهَا إِلَى الْإِمَامِ، لِأَنَّهُ أَصْلٌ.

Setelah penjelasan tentang argumentasi kedua pendapat, maka pembahasan selanjutnya adalah rincian hukum berdasarkan keduanya. Jika dipilih pendapat wajib menyerahkan zakat kepada imam dan tidak sah jika pemiliknya membagikan sendiri, maka keadaan imam tidak lepas dari dua kemungkinan: adil atau zalim. Jika imam adil, maka pemilik harta wajib menyerahkan zakatnya kepada imam atau kepada orang yang ditunjuk imam dari kalangan para petugas dan amilnya. Jika imam dan petugasnya sama-sama hadir, maka pemilik harta boleh memilih menyerahkan kepada salah satu dari keduanya, dan yang lebih utama adalah menyerahkannya kepada imam, karena imam adalah pihak utama.

وَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ غَائِبًا عَنِ الْمَالِ وَالْعَامِلُ حَاضِرًا، فَعَلَى رَبِّ الْمَالِ أَنْ يَدْفَعَهَا إِلَى الْعَامِلِ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُؤَخِّرُهَا حَتَّى يَدْفَعَهَا إِلَى الْإِمَامِ وَإِذَا دَفَعَهَا رَبُّ الْمَالِ إِلَى الْإِمَامِ أَوْ إِلَى عَامِلِهِ، بَرِئَ رَبُّ الْمَالِ مِنْهَا، وَكَانَتْ يَدُ الْإِمَامِ وَيَدُ عَامِلِهِ سَوَاءً لِنِيَابَتِهِ عَنْهُ، فَإِنْ هَلَكَ ذَلِكَ فِي يَدِهِ كَانَ تَالِفًا لِأَهْلِ السُّهْمَانِ مِنْ مَالِ أَهْلِ السُّهْمَانِ وَلَمْ يَضْمَنْهُ إِلَّا بِالْعُدْوَانِ.

Jika imam tidak hadir di tempat harta, sedangkan petugasnya hadir, maka pemilik harta wajib menyerahkannya kepada petugas tersebut. Ia tidak boleh menunda hingga dapat menyerahkannya kepada imam. Apabila pemilik harta telah menyerahkannya kepada imam atau kepada petugasnya, maka gugurlah tanggung jawab pemilik harta darinya. Kedudukan tangan imam dan tangan petugasnya sama karena keduanya bertindak sebagai wakilnya. Jika harta itu rusak di tangan mereka, maka kerusakan itu menjadi tanggungan para penerima hak dari harta tersebut dan tidak wajib diganti kecuali jika terjadi karena tindakan melampaui batas.

وَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ جَائِرًا لَمْ يَجُزْ دَفْعُهَا إِلَيْهِ، لِأَنَّهُ بِالْجَوْرِ قَدْ خَرَجَ مِنَ الْأَمَانَةِ، وَجَازَ لِرَبِّ الْمَالِ أَنْ يُفَرِّقَهَا بِنَفْسِهِ لِلضَّرُورَةِ، فَإِنْ دَفَعَهَا إِلَى الْإِمَامِ الْجَائِرِ لَمْ يُجْزِ رَبَّ الْمَالِ إِلَّا أَنْ يَعْلَمَ وُصُولَهَا إِلَى أَهْلِ السُّهْمَانِ، وَلَا يَكُونُ الْإِمَامُ الْجَائِرُ نَائِبًا عَنْهُمْ، فَإِنْ هَلَكَ الْمَالُ فِي يَدِهِ أَوِ اسْتَهْلَكَهُ بِنَفْسِهِ، فَعَلَى رَبِّ الْمَالِ إِخْرَاجَهَا ثَانِيَةً سَوَاءً أَخَذَهَا الْإِمَامُ الْجَائِرُ مِنْهُ جَبْرًا أَوْ دَفَعَهَا إِلَيْهِ مُخْتَارًا.

Jika imam adalah seorang yang zalim, maka tidak boleh menyerahkannya kepadanya, karena dengan kezalimannya ia telah keluar dari sifat amanah. Maka dibolehkan bagi pemilik harta untuk membagikannya sendiri karena darurat. Jika ia menyerahkannya kepada imam yang zalim, maka tidak gugur kewajiban pemilik harta kecuali jika ia mengetahui bahwa harta tersebut sampai kepada para penerima hak. Imam yang zalim tidak menjadi wakil mereka. Jika harta itu rusak di tangannya atau ia menghabiskannya sendiri, maka pemilik harta wajib mengeluarkannya kembali, baik imam yang zalim mengambilnya secara paksa maupun pemilik harta menyerahkannya secara sukarela.

وَقَالَ أبو حنيفة: يُجْزِئُهُ أَخْذُ الْإِمَامِ الْجَائِرِ لَهَا سَوَاءً أَخَذَهَا جَبْرًا أَوْ دَفَعَهَا رَبُّ الْمَالِ مُخْتَارًا.

Abu Hanifah berkata: Cukup baginya jika imam yang zalim mengambilnya, baik diambil secara paksa maupun diserahkan oleh pemilik harta secara sukarela.

وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ أَخَذَهَا الْإِمَامُ الْجَائِرُ جَبْرًا أَجْزَأَهُ وَإِنْ دَفَعَهَا رَبُّ الْمَالِ مُخْتَارًا لَمْ يُجْزِئْهُ.

Malik berkata: Jika imam yang zalim mengambilnya secara paksa, maka itu sudah cukup. Namun jika pemilik harta menyerahkannya secara sukarela, maka itu tidak cukup.

وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَجَازَ ذلك بقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” السُّلْطَانُ يُفْسِدُ، وَمَا يُصْلِحُ اللَّهُ بِهِ أَكْثَرُ، فَإِنْ عَدَلَ فَلَهُ الْأَجْرُ وَعَلَيْكُمْ، وَإِنْ جَارَ فَلَهُ الْوِزْرُ وَعَلَيْكُمُ الصَّبْرُ ” فَلَمَّا جَعَلَ وِزْرَ جَوْرِهِ عَلَيْهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَعُودَ عَلَى غيره، وفي تكليف رد المال الإعادة يَحْتَمِلُ لِوِزْرِهِ، وَلِأَنَّ الْإِمَامَ الْجَائِرَ فِي اسْتِيفَاءِ الْحُدُودِ كَالْعَادِلِ فَكَذَلِكَ فِي الزَّكَاةِ، وَيَتَحَرَّرُ مِنْ هَذَا الِاعْتِلَالِ قِيَاسَانِ:

Orang yang membolehkan hal tersebut berdalil dengan sabda Nabi ﷺ: “Penguasa bisa berbuat kerusakan, namun apa yang Allah perbaiki melalui dirinya lebih banyak. Jika ia berlaku adil, maka baginya pahala dan atas kalian (kewajiban menaatinya). Jika ia zalim, maka baginya dosa dan atas kalian kesabaran.” Maka ketika dosa kezalimannya dibebankan kepadanya, tidak boleh dibebankan kepada orang lain. Dalam mewajibkan pengembalian harta terdapat kemungkinan menanggung dosanya. Dan karena imam yang zalim dalam menegakkan hudud (hukuman pidana) sama dengan yang adil, demikian pula dalam zakat. Dari alasan ini, terdapat dua qiyās:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَنْ سَقَطَتِ الْحُدُودُ بِاسْتِيفَائِهِ لَهَا سَقَطَتِ الزَّكَاةُ بِقَبْضِهِ لَهَا كَالْعَادِلِ.

Pertama: Barang siapa yang gugur hudud darinya karena ditegakkan oleh imam, maka gugur pula zakatnya dengan diterima oleh imam sebagaimana imam yang adil.

وَالثَّانِي: إِنَّ مَا سَقَطَ بِاسْتِيفَاءِ الْإِمَامِ العادل له سقط باستفياء الْإِمَامِ الْجَائِرِ لَهُ كَالْحُدُودِ وَلِأَنَّ خِيَانَةَ النَّائِبِ لَا تَقْتَضِي فَسَادَ الْقَبْضِ كَالْوَكِيلِ.

Kedua: Apa yang gugur dengan penunaian oleh imam yang adil, maka gugur pula dengan penunaian oleh imam yang zalim, seperti hudud. Dan karena pengkhianatan wakil tidak menyebabkan batalnya penerimaan, sebagaimana pada kasus wakil.

وَدَلِيلُنَا، مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أَطِيعُونِي مَا أَطَعْتُ اللَّهَ فَإِذَا عَصَيْتُ اللَّهَ فَلَا طَاعَةَ لِي عَلَيْكُمْ ” فَجَعَلَ حُدُوثَ الْمَعْصِيَةِ مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ بَعِيدًا رَافِعًا لِوُجُوبِ الطَّاعَةِ، وَإِذَا ارْتَفَعَتْ طَاعَةُ الْوَالِي لِجَوْرِهِ صَارَ كَغَيْرِهِ مِنَ الرَّعِيَّةِ الَّتِي لَا تُجْزِئُ الزَّكَاةُ بِأَخْذِهِمْ لَهَا، وَيَتَحَرَّرُ مِنِ اعْتِلَالِ هَذَا الْخَبَرِ قِيَاسَانِ:

Dalil kami, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Taatilah aku selama aku menaati Allah. Jika aku bermaksiat kepada Allah, maka tidak ada ketaatan bagiku atas kalian.” Maka beliau menjadikan terjadinya maksiat darinya—meskipun kemungkinan maksiat itu jauh—sebagai pengangkat kewajiban taat. Jika ketaatan kepada pemimpin gugur karena kezalimannya, maka ia menjadi seperti rakyat lainnya yang tidak sah zakat dengan penerimaan mereka. Dari alasan hadits ini, terdapat dua qiyās:

أَحَدُهُمَا: إِنَّ مَنْ سَقَطَتْ طَاعَتُهُ سَقَطَتْ نِيَابَتُهُ كَالْعَاصِي.

Pertama: Barang siapa yang gugur ketaatannya, maka gugur pula status perwakilannya, seperti orang yang durhaka.

وَالثَّانِي: إِنَّ مَنْ بَطُلَتْ نِيَابَتُهُ لَمْ يَصِحَّ قَبْضُهُ كَالْوَكِيلِ، وَلِأَنَّ الْإِمَامَ يَخْتَصُّ بِتَنْفِيذِ الْأَحْكَامِ كَمَا يَخْتَصُّ بِاسْتِيفَاءِ الْأَمْوَالِ فَلَمَّا لَمْ تُنَفَّذْ أَحْكَامُهُ بِجَوْرِهِ لَمْ يَصِحَّ اسْتِيفَاؤُهُ الْأَمْوَالَ بِجَوْرِهِ وَتَحْرِيرُهُ أَنَّ مَا وُقِفَتْ صِحَّتُهُ عَلَى عَدَالَةِ الْإِمَامِ كَانَ مَرْدُودًا بِجَوْرِهِ كَالْأَحْكَامِ، وَلِأَنَّ إِمَامَتَهُ تَبْطُلُ بِجَوْرِهِ كَمَا تَبْطُلُ بِعَزْلِهِ وَخَلْعِهِ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ قَبَضَهَا بَعْدَ خَلْعِ نَفْسِهِ لَمْ تَقَعْ مَوْقِعَ الْإِجْزَاءِ كَذَلِكَ إِذَا قَبَضَهَا بَعْدَ جَوْرِهِ.

Kedua: Barang siapa yang batal status perwakilannya, maka tidak sah penerimaannya, seperti wakil. Dan karena imam memiliki kekhususan dalam menegakkan hukum sebagaimana ia khusus dalam penarikan harta, maka ketika hukum-hukumnya tidak dijalankan karena kezalimannya, tidak sah pula penarikan hartanya karena kezalimannya. Penjelasannya, bahwa apa yang keabsahannya tergantung pada keadilan imam, maka batal dengan kezalimannya, seperti hukum-hukum. Dan karena kepemimpinannya batal dengan kezalimannya sebagaimana batal dengan pencopotan dan penggulingannya. Kemudian telah tetap bahwa jika ia menerima (zakat) setelah dirinya dicopot, maka tidak sah sebagai pelaksanaan kewajiban, demikian pula jika ia menerimanya setelah ia berbuat zalim.

وَتَحْرِيرُهُ: إِنَّ مَا أَبْطَلَ إِمَامَتَهُ مَنَعَ مِنْ إِجْزَاءِ قَبْضِهِ كَالْخَلْعِ.

Penjelasannya: Apa yang membatalkan kepemimpinannya, maka mencegah keabsahan penerimaannya, seperti pencopotan.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْخَبَرِ، فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas dalil mereka dengan hadits tersebut, maka dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: اخْتِصَاصُ الْوِزْرِ بِالْإِمَامِ دُونَ الْأَحْكَامِ.

Salah satunya: Dosa (kezaliman) hanya khusus bagi imam, tidak pada hukum-hukum (zakat).

وَالثَّانِي: إِنَّهُ وَإِنْ لَمْ يَتَعَدَّ وِزْرُهُ إِلَى غَيْرِهِ لَمْ يَتَعَدَّ وَزِرُ غَيْرِهِ إِلَيْهِ، وَرَبُّ الْمَالِ مَأْخُوذٌ بِوِزْرِ زَكَاتِهِ حَتَّى تَصِلَ إِلَى مُسْتَحِقِّهَا فَلَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ وِزْرُهَا لَهَا.

Dan yang kedua: Sesungguhnya meskipun dosanya tidak menular kepada orang lain, maka dosa orang lain pun tidak menular kepadanya. Pemilik harta tetap dibebani dosa zakatnya hingga zakat itu sampai kepada yang berhak menerimanya, sehingga dosanya tidak gugur darinya karena imam.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْحُدُودِ فَهِيَ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى الْمَحْضَةِ الَّتِي لَا حَقَّ فِيهَا لِآدَمِيٍّ وَالْمَقْصُودُ بِهَا الزَّجْرُ الْحَاصِلُ بَعْدَ الْإِمَامِ وَجَوْرِهِ، وَلِذَلِكَ جَوَّزْنَا لِغَيْرِ الْإِمَامِ مِنْ سَيِّدِ الْعَبْدِ وَالْأَمَةِ أَنْ يَحُدَّهُمَا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الزَّكَاةُ، وَالْمَقْصُودُ بِهَا وُصُولُهَا إِلَى مُسْتَحِقِّهَا، وَذَلِكَ بِجَوْرِ الْإِمَامِ مَعْدُومٌ فَافْتَرَقَا.

Adapun qiyās mereka dengan hudūd, maka hudūd adalah hak Allah Ta‘ala semata yang tidak ada hak bagi manusia di dalamnya, dan tujuannya adalah sebagai pencegah yang tetap berlaku meskipun setelah imam (penguasa) berbuat zalim. Karena itu, kami membolehkan selain imam, seperti tuan terhadap budak laki-laki dan perempuan, untuk menegakkan hudūd atas mereka. Tidak demikian halnya dengan zakat, karena tujuan zakat adalah agar sampai kepada yang berhak menerimanya, dan hal itu tidak terwujud jika imam berbuat zalim, maka keduanya berbeda.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْوَكِيلِ فَالْمَعْنَى فِي الْوَكِيلِ أَنَّ وِكَالَتَهُ لَا تَبْطُلُ بِجِنَايَتِهِ؛ فَلِذَلِكَ صَحَّ قَبْضُهُ، وَالْإِمَامُ تَبْطُلُ وِلَايَتُهُ بِجَوْرِهِ فَلِذَلِكَ لَمْ يَصِحَّ قَبْضُهُ.

Adapun qiyās mereka dengan wakil, maka makna pada wakil adalah bahwa perwakilannya tidak batal karena kesalahannya; oleh karena itu, penerimaannya sah. Sedangkan imam, kekuasaannya batal karena kezalimannya, sehingga penerimaannya tidak sah.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا قِيلَ بِالْقَوْلِ الْجَدِيدِ: إِنَّ دَفْعَ الزَّكَاةِ إِلَى الْإِمَامِ لَيْسَ بِوَاجِبٍ، وَإِنَّ تَفْرِيقَ أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ لَهَا جَائِزٌ، فَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ جَائِرًا لَمْ يَجُزْ دَفْعُهَا إِلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ عَادِلًا كَانَ رَبُّ الْمَالِ بِالْخِيَارِ فِي زَكَاةِ مَالَيْهِ الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ بَيْنَ دَفْعِهَا إِلَى الْإِمَامِ أَوْ تَفْرِيقِهَا بِنَفْسِهِ، فَإِنْ أَرَادَ دَفْعَهَا إِلَى الْإِمَامِ كَانَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُسَلِّمَهَا إِلَى الْإِمَامِ وَهُوَ أَفْضَلُ أَوْ إِلَى عَامِلِهِ وَإِنْ أَرَادَ تَفْرِيقَهَا بِنَفْسِهِ كَانَ بِالْخِيَارِ أَنْ يَتَوَلَّاهَا بِنَفْسِهِ وَهُوَ أَفْضَلُ أَوْ بِوَكِيلِهِ.

Dan jika dikatakan menurut pendapat baru: Sesungguhnya membayar zakat kepada imam tidaklah wajib, dan membagikan zakat sendiri oleh para pemilik harta adalah boleh. Jika imam itu zalim, maka tidak boleh menyerahkan zakat kepadanya. Jika imam itu adil, maka pemilik harta memiliki pilihan dalam zakat harta yang tampak maupun yang tersembunyi, antara menyerahkannya kepada imam atau membagikannya sendiri. Jika ia ingin menyerahkannya kepada imam, maka ia boleh memilih antara menyerahkannya langsung kepada imam—dan itu lebih utama—atau kepada petugasnya. Jika ia ingin membagikannya sendiri, maka ia boleh memilih untuk menunaikannya sendiri—dan itu lebih utama—atau melalui wakilnya.

فَإِنْ قِيلَ: فَمَا أَفْضَلُ الْأَمْرَيْنِ؟ أَنْ يَدْفَعَ زكاة ماله إلى الإمام أو تفريقها بِنَفْسِهِ.

Jika ditanyakan: Manakah yang lebih utama di antara dua perkara ini? Menyerahkan zakat hartanya kepada imam atau membagikannya sendiri?

قِيلَ: إِنْ كَانَ مَالُهُ ظَاهِرًا فَدَفَعَ زَكَاتَهُ إِلَى الْإِمَامِ أَفْضَلُ لِمَا فِيهِ مِنْ إِظْهَارِ الطَّاعَةِ بِأَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ الْجَمَاعَةُ، وَإِنْ كَانَ مَالُهُ بَاطِنًا فَتَفَرُّدُهُ بِإِخْرَاجِ زَكَاتِهِ أَفْضَلُ مِنْ دَفْعِهَا إِلَى الْإِمَامِ لِمَا قَدِ اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ فِعْلُ الْأَئِمَّةِ الرَّاشِدِينَ مِنْ إِقْرَارِ أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ عَلَى إِخْرَاجِهَا، وَلِتَكُونَ مُبَاشَرَةُ التَّأْدِيَةِ مَا لَزِمَهُ مِنْ حَقِّهَا وَلِيَخُصَّ أَقَارِبَهُ وَذَوِي رَحِمِهِ بِهَا.

Dijawab: Jika hartanya adalah harta yang tampak, maka menyerahkan zakatnya kepada imam lebih utama karena hal itu menampakkan ketaatan sehingga orang banyak meneladaninya. Jika hartanya adalah harta yang tersembunyi, maka menunaikan zakatnya sendiri lebih utama daripada menyerahkannya kepada imam, karena telah menjadi kebiasaan para imam yang lurus untuk membiarkan para pemilik harta menunaikannya sendiri, agar pelaksanaan kewajiban itu langsung dilakukan olehnya dan ia dapat mengkhususkan kerabat dan keluarganya dengan zakat tersebut.

فَإِنْ قِيلَ: فَأَيُّ الْأَمْرَيْنِ أَفْضَلُ فِي تَفْرِيقِ الزَّكَاةِ؟ أَنْ تُخْفَى أَوْ تُبْدَى؟

Jika ditanyakan: Manakah yang lebih utama dalam membagikan zakat, apakah disembunyikan atau diumumkan?

قِيلَ: إِنْ كَانَ الْإِمَامُ هُوَ الْمُفَرِّقُ لَهَا فَإِبْدَاؤُهَا أفضل من إخفائها سواء كان زَكَاةَ مَالٍ ظَاهِرٍ أَوْ بَاطِنٍ؛ لِأَنَّهُ ثَابِتٌ فِيهَا فَكَانَ إِظْهَارُ إِخْرَاجِهَا أَفْضَلَ لَهُ مِنْ إِخْفَائِهَا وَكَتْمِهَا، وَإِنْ كَانَ الْمُفَرِّقُ لَهَا رَبَّ الْمَالِ فَإِنْ كَانَتْ زَكَاةَ مَالٍ ظَاهِرٍ فَالْأَفْضَلُ لَهُ إِظْهَارُهَا بِالْعُدُولِ أَهْلِ السُّهْمَانِ عَنِ الْإِمَامِ إِلَيْهِ، وَلِيَعْلَمَ الْإِمَامُ أَنَّهُ قَدْ أَخْرَجَ مَا عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَتْ زَكَاةَ مَالٍ بَاطِنٍ فَالْأَفْضَلُ لَهُ إِخْفَاؤُهَا إِذَا أَخْرَجَهَا مِنْ أَنْ يَجْهَرَ بِهَا، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فهو خير لكم} وَلِأَنَّ إِخْفَاءَهُ فِي حَقِّهِ أَبْعَدُ مِنَ الرِّيَاءِ، وَفِي حَقِّ أَهْلِ السُّهْمَانِ أَبْعَدُ مِنَ الِاسْتِحْيَاءِ، والله أعلم.

Dijawab: Jika imam yang membagikannya, maka menampakkannya lebih utama daripada menyembunyikannya, baik zakat harta yang tampak maupun yang tersembunyi; karena hal itu telah tetap dalam zakat, sehingga menampakkan penunaian zakat lebih utama daripada menyembunyikan dan merahasiakannya. Jika yang membagikannya adalah pemilik harta, maka jika itu zakat harta yang tampak, lebih utama baginya untuk menampakkannya agar para penerima hak berpindah dari imam kepadanya, dan agar imam mengetahui bahwa ia telah menunaikan kewajibannya. Jika itu zakat harta yang tersembunyi, maka lebih utama baginya untuk menyembunyikannya ketika menunaikannya daripada menampakkannya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu}, dan karena menyembunyikannya lebih jauh dari riya’ bagi dirinya, dan bagi para penerima hak lebih jauh dari rasa malu. Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” فَإِذَا أُخِذَتْ صَدَقَةُ مُسْلِمٍ دُعِيَ لَهُ بَالْأَجْرِ والبركة كما قال تعالى: {وصل عليهم} أَيِ: ادْعُ لَهُمْ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Apabila sedekah seorang Muslim diambil, maka didoakan baginya agar mendapat pahala dan keberkahan sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Dan doakanlah mereka} yakni: doakanlah mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan:

لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ} [التوبة: 103] وَفِي قَوْلِهِ: {وَصَلِّ عَلَيْهِمْ} تَأْوِيلَانِ:

Berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka} [at-Taubah: 103]. Dalam firman-Nya: {dan berdoalah untuk mereka} terdapat dua penafsiran:

أَحَدُهُمَا: الِاسْتِغْفَارُ لَهُمْ، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ.

Salah satunya: memohonkan ampunan untuk mereka, dan ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas.

وَالثَّانِي: إِنَّهُ الدُّعَاءُ لَهُمْ، وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ.

Dan yang kedua: sesungguhnya itu adalah doa untuk mereka, dan inilah pendapat mayoritas ulama.

وَفِي قَوْله تَعَالَى: {إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لهم} ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ:

Dan dalam firman-Nya Ta‘ala: {Sesungguhnya salatmu adalah ketenangan bagi mereka} terdapat tiga penafsiran:

أَحَدُهَا: قُرْبَةٌ لَهُمْ رَوَاهُ الضَّحَّاكُ [عن ابن عباس] .

Salah satunya: sebagai bentuk pendekatan diri bagi mereka, sebagaimana diriwayatkan oleh adh-Dhahhak [dari Ibnu ‘Abbas].

وَالثَّانِي: رَحْمَةٌ لَهُمْ، رَوَاهُ ابْنُ أَبِي [طَلْحَةَ عن ابن عباس] .

Yang kedua: sebagai rahmat bagi mereka, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi [Talhah dari Ibnu ‘Abbas].

وَالثَّالِثُ: أَمْنٌ لَهُمْ.

Dan yang ketiga: sebagai keamanan bagi mereka.

ثُمَّ الدُّعَاءُ نُدِبَ عَلَى الْآخْذِ لَهَا إِنْ لَمْ يُسْأَلِ الدُّعَاءَ وَأَوْجَبَهُ دَاوُدُ، وَإِنْ سُئِلَ الدُّعَاءَ، فَفِي وُجُوبِهِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ:

Kemudian doa itu dianjurkan bagi yang menerima zakat jika ia tidak meminta doa, dan Dawud mewajibkannya. Namun jika ia meminta doa, maka dalam kewajibannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ وَاجِبٌ لِرِوَايَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى عَنْ أَبِيهِ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِصَدَقَاتِ قَوْمِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلِّ علي فقال: اللهم صلي عَلَى آَلِ أَبِي أَوْفَى وَلِيَقَعَ بِذَلِكَ الْفَرْقُ بَيْنَ الْجِزْيَةِ الْمَأْخُوذَةِ صَغَارًا وَبَيْنَ الزَّكَاةِ الْمَأْخُوذَةِ تَطْهِيرًا.

Salah satunya: bahwa itu wajib, berdasarkan riwayat Abdullah bin Abi Aufa dari ayahnya, ia berkata: Aku datang kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan membawa sedekah dari kaumku, lalu aku berkata: Wahai Rasulullah, doakanlah kami. Maka beliau bersabda: “Ya Allah, limpahkanlah salawat kepada keluarga Abi Aufa.” Dengan demikian, hal itu menjadi pembeda antara jizyah yang diambil sebagai bentuk kehinaan dan zakat yang diambil sebagai bentuk pensucian.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهُ مُسْتَحَبٌّ غَيْرُ وَاجِبٍ، لِأَنَّ أَجْرَهُ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى لَا عَلَى الْآخِذِ لَهَا كَغَيْرِهَا مِنَ الْعِبَادَاتِ الَّتِي لَا يَلْزَمُ الدُّعَاءُ لِفَاعِلِهَا.

Pendapat kedua: bahwa itu sunnah, tidak wajib, karena pahalanya ada pada Allah Ta‘ala, bukan pada penerima zakat, sebagaimana ibadah-ibadah lain yang tidak mewajibkan doa bagi pelakunya.

وَقِيلَ: إِنَّهُ إِنْ كَانَ الْإِمَامُ هُوَ الْآخِذَ لَهَا لَزِمَهُ الدُّعَاءُ لِمَا فِي دَفْعِهَا إِلَيْهِ مِنْ إِظْهَارِ طَاعَتِهِ، وَإِنْ كان الفقير وهو الْآخِذَ لَهَا لَمْ يَلْزَمْهُ وَقِيلَ: بِضِدِّهِ: إِنَّ الدُّعَاءَ يَلْزَمُ الْفَقِيرَ دُونَ الْإِمَامِ، لِأَنَّ دَفْعَهَا إِلَى الْإِمَامِ مُتَعَيَّنٌ وَإِلَى الْفَقِيرِ غَيْرُ مُتَعَيَّنٍ، فَأَمَّا مَا يَدْعُو بِهِ الْآخِذُ فَقَدْ مَضَى في كتاب الزكاة.

Ada pula yang berpendapat: jika imam yang menerima zakat, maka ia wajib mendoakan karena penyerahan zakat kepadanya merupakan bentuk ketaatan kepadanya. Namun jika yang menerima adalah fakir miskin, maka ia tidak wajib mendoakan. Ada juga yang berpendapat sebaliknya: bahwa doa wajib bagi fakir miskin, bukan bagi imam, karena penyerahan zakat kepada imam bersifat pasti, sedangkan kepada fakir miskin tidak pasti. Adapun doa yang diucapkan oleh penerima zakat telah dijelaskan dalam Kitab Zakat.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَالصَّدَقَةُ هِيَ الزَّكَاةُ وَالْأَغْلَبُ عَلَى أَفْوَاهِ الْعَامَّةِ أَنَّ لِلثَّمَرِ عُشْرًا وَلِلْمَاشِيَةِ صَدَقَةً وَلِلْوَرِقِ زَكَاةً وَقَدْ سَمَّى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – هَذَا كُلَّهُ صَدَقَةً “.

Imam asy-Syafi‘i berkata: “Sedekah adalah zakat, dan yang umum diucapkan oleh masyarakat adalah bahwa untuk hasil pertanian ada ‘usyur, untuk hewan ternak ada sedekah, dan untuk perak ada zakat. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menyebut semuanya sebagai sedekah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ قَدْ كَانَ الشَّافِعِيُّ يَرَى فِي الْقَدِيمِ: أَنَّ الْمَأْخُوذَ مِنَ الزَّرْعِ وَالثَّمَرِ يُسَمَّى عُشْرًا، وَالْمَأْخُوذَ مِنَ الْمَاشِيَةِ يُسَمَّى صَدَقَةً، وَالْمَأْخُوذَ مِنَ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ يُسَمَّى زَكَاةً، وَلَا يَجْعَلُ لِاخْتِلَافِ الْأَسْمَاءِ تَأْثِيرًا فِي اخْتِلَافِ الْأَحْكَامِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Dahulu asy-Syafi‘i dalam pendapat lamanya berpendapat bahwa yang diambil dari tanaman dan buah-buahan disebut ‘usyur, yang diambil dari hewan ternak disebut sedekah, dan yang diambil dari emas dan perak disebut zakat. Ia tidak menjadikan perbedaan nama sebagai alasan perbedaan hukum.

وَقَالَ أبو حنيفة: هِيَ مُخْتَلِفَةُ الْأَسْمَاءِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا، وَاخْتِلَافُ الْأَسْمَاءِ يَدُلُّ عَلَى اخْتِلَافِ الْأَحْكَامِ فَخَصَّ الْمَأْخُوذَ مِنَ الزَّرْعِ وَالثَّمَرِ بِاسْمِ الْعُشْرِ دُونَ الصَّدَقَةِ وَالزَّكَاةِ، وَجَعَلَ حُكْمَهُ مُخَالِفًا لِحُكْمِ الصَّدَقَةِ وَالزَّكَاةِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Abu Hanifah berkata: Nama-nama itu berbeda sebagaimana telah kami sebutkan, dan perbedaan nama menunjukkan perbedaan hukum. Maka yang diambil dari tanaman dan buah-buahan dikhususkan dengan nama ‘usyur, bukan sedekah dan zakat, dan hukumnya berbeda dengan hukum sedekah dan zakat dalam dua hal:

أَحَدُهُمَا: وُجُوبُ الْعُشْرِ فِي مَالِ الْمُكَاتَبِ وَالذِّمِّيِّ، وَإِنْ لَمْ يَجِبْ فِي مَالِهِمَا صَدَقَةٌ وَلَا زَكَاةٌ.

Pertama: wajibnya ‘usyur pada harta milik mukatab dan dzimmi, meskipun pada harta mereka tidak wajib sedekah maupun zakat.

وَالثَّانِي: جَوَازُ مَصْرَفِ الْعُشْرِ فِي أَهْلِ الْفَيْءِ، وَإِنْ لَمْ تُصْرَفْ فِيهِمْ صَدَقَةٌ وَلَا زَكَاةٌ.

Kedua: bolehnya penyaluran ‘usyur kepada ahli al-fay’, meskipun sedekah dan zakat tidak boleh disalurkan kepada mereka.

وقال الشافعي في الجديد: الأسماء المشتركة وَالْأَحْكَامُ مُتَسَاوِيَةٌ، وَإِنَّ الْمَأْخُوذَ مِنَ الزَّرْعِ وَالثَّمَرِ يَجُوزُ أَنْ يُسَمَّى صَدَقَةً وَزَكَاةً، أَمَّا تَسْمِيَتُهُ بالصدقة فلقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: فما دُونَ خَمْسَةِ، أَوْسُقٍ مِنَ التَّمْرِ صَدَقَةٌ، وَأَمَّا تَسْمِيَتُهُ زَكَاةً فَلِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الْكَرْمِ: ” يُخْرَصُ كَمَا يُخْرَصُ النَّخْلُ ثُمَّ تُؤَدَّى زَكَاتُهُ زَبِيبًا كَمَا تُؤَدَّى زَكَاةُ النَّخْلِ ثَمَرًا ” وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْأَسْمَاءَ مُشْتَرِكَةٌ ثَبَتَ أَنَّ الْأَحْكَامَ مُتَسَاوِيَةٌ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا ثَبَتَ ذَلِكَ فِي مَالِ الْمُسْلِمِ، وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ ” ثَبَتَ أَنَّهُ زَكَاةٌ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا كَانَ طُهْرَةً لِلْمُسْلِمِ فِي مَالِهِ كَانَ زَكَاةً لِمَالِهِ كَالزَّكَاةِ.

Asy-Syafi‘i dalam pendapat barunya berkata: Nama-nama itu bersifat umum dan hukumnya sama. Apa yang diambil dari tanaman dan buah-buahan boleh disebut sedekah dan zakat. Penamaannya sebagai sedekah berdasarkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Kurang dari lima wasaq kurma adalah sedekah.” Penamaannya sebagai zakat berdasarkan sabda beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang anggur: “Diperhitungkan sebagaimana diperhitungkan kurma, lalu dikeluarkan zakatnya dalam bentuk kismis sebagaimana zakat kurma dikeluarkan dalam bentuk buah.” Jika telah tetap bahwa nama-nama itu bersifat umum, maka hukumnya pun sama. Karena jika hal itu berlaku pada harta muslim, dan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak ada hak atas harta selain zakat,” maka tetaplah bahwa itu adalah zakat. Dan setiap yang menjadi penyuci harta seorang muslim adalah zakat atas hartanya, sebagaimana zakat.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” فَمَا أُخِذَ مِنْ مُسْلِمٍ مِنْ زَكَاةِ مَالٍ نَاضٍّ أَوْ مَاشِيَةٍ أَوْ زَرْعٍ أَوْ زَكَاةِ فِطْرٍ أَوْ خُمُسِ رِكَازٍ أَوْ صَدَقَةِ مَعْدِنٍ أو غيره مما وجب عليه في ماله بكتاب أو سنة أو إجماع عوام المسلمين فمعناه واحد وقسمه واحد وقسم الفيء خلاف هذا فالفيء ما أخذ من مشرك تقوية لأهل دين الله وله موضع غير هذا الموضع “.

Imam Syafi‘i berkata: “Apa yang diambil dari seorang Muslim berupa zakat harta tunai, hewan ternak, hasil pertanian, zakat fitrah, seperlima dari rikāz, sedekah dari hasil tambang, atau selainnya yang wajib atasnya dari hartanya berdasarkan al-Qur’an, sunnah, atau ijmā‘ mayoritas kaum Muslimin, maka maknanya satu dan pembagiannya satu. Adapun pembagian fai’ berbeda dengan ini. Fai’ adalah apa yang diambil dari orang musyrik sebagai penguat bagi pemeluk agama Allah, dan ia memiliki tempat pembahasan tersendiri, bukan di sini.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ كُلَّمَا وَجَبَ فِي مَالِ الْمُسْلِمِ مِنْ حَقٍّ، إِمَّا بِحُلُولِ الْحَوْلِ كَالْمَوَاشِي وَزَكَاةِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ أَوْ بِتَكَامُلِ الْمَنْفَعَةِ كَالزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ أَوْ بِالِاسْتِفَادَةِ كَالْمَعَادِنِ وَالرِّكَازِ أَوْ عَنْ رَقَبَةٍ كَزَكَاةِ الْفِطْرِ، فَمَصْرِفُ جَمِيعِهِ وَاحِدٌ فِي السُّهْمَانِ الْمَوْضُوعَةِ فِي الزَّكَوَاتِ وَالصَّدَقَاتِ بقوله تعالى: {إنما الصدقات للفقراء والمساكين} الآية إلى أَنَّهُ مَا تَجِبُ زَكَاتُهُ بِالْحَوْلِ إِذَا حَالَ عَلَيْهِ فِي يَدِهِ أَحْوَالُ زَكَاةٍ فِي كُلِّ حَوْلٍ كَالْمَوَاشِي وَالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَمَا يَجِبُ زَكَاتُهُ بِتَكَامُلِ الْمَنْفَعَةِ كَالزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ، إِذَا بَقِيَ فِي يَدِهِ أَحْوَالٌ لَمْ يُزَكِّهِ إِلَّا الزَّكَاةَ الْأُولَى وَمَا اسْتُفِيدَ مِنْ مَعَادِنِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ أَوْ رِكَازٍ زَكَّى فِي كُلِّ حَوْلٍ؛ لِأَنَّهُمَا ذَهَبٌ وَوَرِقٌ يُرَاعَى فِيهَا بَعْدَ الِاسْتِفَادَةِ حُلُولُ الْحَوْلِ، وَخُولِفَ الشَّافِعِيُّ فِي هَذِهِ الْجُمْلَةِ فِي أَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ:

Al-Mawardi berkata: “Dan ini sebagaimana yang dikatakan, setiap kewajiban yang harus dikeluarkan dari harta seorang Muslim, baik karena telah berlalu satu haul seperti pada hewan ternak, zakat emas dan perak, atau karena sempurnanya manfaat seperti pada hasil pertanian dan buah-buahan, atau karena memperoleh manfaat baru seperti hasil tambang dan rikāz, atau karena jiwa seperti zakat fitrah, maka seluruhnya memiliki penyaluran yang sama pada bagian-bagian yang telah ditetapkan dalam zakat dan sedekah, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin…} hingga akhir ayat. Adapun harta yang wajib dizakati karena berlalu haul, jika tetap berada di tangannya selama beberapa haul zakat, maka ia wajib menunaikan zakat pada setiap haul seperti pada hewan ternak, emas, dan perak. Sedangkan harta yang wajib dizakati karena sempurnanya manfaat seperti hasil pertanian dan buah-buahan, jika tetap berada di tangannya selama beberapa haul, maka ia hanya wajib menunaikan zakat yang pertama saja. Adapun harta yang diperoleh dari tambang emas dan perak atau rikāz, maka ia wajib menunaikan zakat pada setiap haul, karena keduanya adalah emas dan perak yang setelah diperoleh, haul tetap diperhitungkan atasnya. Namun, pendapat Imam Syafi‘i dalam hal ini berbeda dalam empat perkara:

أَحَدُهَا: الزُّرُوعُ وَالثِّمَارُ، فَجَعَلَ أبو حنيفة مَصْرِفَ عُشْرِهَا مَصْرِفَ الْفَيْءِ دُونَ الزَّكَاةِ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ فِي كِتَابِ الزَّكَاةِ.

Pertama: Hasil pertanian dan buah-buahan, Abu Hanifah menjadikan penyaluran sepersepuluhnya seperti penyaluran fai’, bukan seperti zakat. Pembahasan tentang hal ini telah dijelaskan bersamanya dalam Kitab Zakat.

وَالثَّانِي: زَكَاةُ الْفِطْرِ جَعَلَ مَالِكٌ مَصْرِفَهَا فِي المساكين خاصة، وقال أبو سعيد الاصطرخي: إِنْ فُرِّقَتْ فِي ثَلَاثَةِ فُقَرَاءَ أَجْزَأَتْ.

Kedua: Zakat fitrah, Malik menetapkan penyalurannya khusus untuk orang-orang miskin, sedangkan Abu Sa‘id al-Istarkhi berpendapat: Jika dibagikan kepada tiga orang fakir, maka sudah mencukupi.

وَالثَّالِثُ: الْمَعَادِنُ.

Ketiga: Hasil tambang.

وَالرَّابِعُ: الرِّكَازُ، جَعَلَ أبو حنيفة مَصْرِفَهَا الْفَيْءَ اسْتِدْلَالًا بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ:

Keempat: Rikāz, Abu Hanifah menjadikan penyalurannya seperti fai’ dengan tiga alasan:

أَحَدُهَا: إِنَّ الْمُسْتَحَقَّ فِيهَا الْخُمُسُ كَالْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ مُبَايَنَةً لِمَقَادِيرِ الزَّكَوَاتِ كُلِّهَا، فَانْصَرَفَ مَصْرِفَ الْفَيْءِ لَا مَصْرِفَ الزَّكَاةِ.

Pertama: Bahwa yang berhak atasnya adalah seperlima, sebagaimana pada fai’ dan ghanīmah, berbeda dengan kadar zakat lainnya, sehingga penyalurannya diarahkan kepada penyaluran fai’, bukan penyaluran zakat.

وَالثَّانِي: إِنَّ الْحَقَّ فِيهَا مُعَجَّلٌ وَفِي الزَّكَاةِ مُؤَجَّلٌ فَلَوْ جَرَيَا مَجْرَى الزَّكَاةِ الْمَأْخُوذَةِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ لَتَأَجَّلَتْ وَلَمَا تَعَجَّلَتِ الْمَأْخُوذَةُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ.

Kedua: Bahwa hak atasnya harus segera dikeluarkan, sedangkan pada zakat boleh ditunda. Seandainya ia diperlakukan seperti zakat yang diambil dari kaum Muslimin, tentu boleh ditunda, dan tidak harus segera seperti yang diambil dari orang musyrik.

وَالثَّالِثُ: إِذَا اعْتُبِرَ بِالرِّكَازِ حَالُ الدَّافِنِ أَنَّهُ كَافِرٌ، وَقَدْ مُلِكَ عَنْهُ كَالْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ.

Ketiga: Jika dilihat dari rikāz, keadaan yang menguburkannya adalah kafir, dan telah dimiliki darinya sebagaimana pada fai’ dan ghanīmah.

وَدَلِيلُنَا، قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ ” وَلِأَنَّهُ حق يجب فِي مَالِ مُسْلِمٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ فَيْئًا كَالزَّكَاةِ، وَلِأَنَّ أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِهِ لَمَّا خَرَجَتْ عَنْ حُكْمِ الْفَيْءِ خَرَجَ خُمُسُهُ عَنْ حُكْمِ الْفَيْءِ.

Adapun dalil kami adalah sabda Nabi ﷺ: “Tidak ada hak atas harta selain zakat.” Dan karena ia adalah hak yang wajib atas harta seorang Muslim, maka tidak boleh dihukumi sebagai fai’ sebagaimana zakat. Dan karena empat perlima dari rikāz telah keluar dari hukum fai’, maka seperlimanya pun keluar dari hukum fai’.

وَتَحْرِيرُهُ أَنَّ مَا لَمْ يَجُزْ عَلَى الْمُسْتَبْقَى مِنْهُ حُكْمُ الْفَيْءِ لَمْ يَجُزْ عَلَى الْمَأْخُوذِ مِنْهُ حُكْمُ الْفَيْءِ كَسَائِرِ أَمْوَالِ الْمُسْلِمِينَ، وَلِأَنَّ حَقَّ الْمَعْدِنِ وَالرِّكَازِ لَمَّا اخْتُصَّ بِبَعْضِ أَمْوَالٍ دُونَ بَعْضٍ كَالزَّكَاةِ كَانَ زَكَاةً وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ فَيْئًا لِاسْتِوَاءِ حُكْمِهِ فِي جَمِيعِ الْأَمْوَالِ.

Penjelasannya, bahwa apa yang tidak boleh dikenakan hukum fai’ atas sisanya, maka tidak boleh pula dikenakan hukum fai’ atas bagian yang diambil darinya, sebagaimana seluruh harta kaum Muslimin. Dan karena hak atas hasil tambang dan rikāz hanya khusus pada sebagian harta, tidak pada seluruhnya, sebagaimana zakat, maka ia adalah zakat dan tidak boleh dihukumi sebagai fai’ karena kesamaan hukumnya pada seluruh harta.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِاسْتِحْقَاقِ الْخُمُسِ فِيهِ فَهُوَ أَنَّ مَقَادِيرَ الزَّكَوَاتِ مُخْتَلِفَةٌ فَتَارَةً يَكُونُ رُبُعَ الْعُشْرِ وَتَارَةً نِصْفَ الْعُشْرِ وَتَارَةً الْعُشْرَ، وَلَا يَخْرُجُ عَنْ أَنْ يَكُونَ جَمِيعُ ذَلِكَ زَكَاةً فَكَذَلِكَ تَكُونُ تَارَةً الْخُمُسَ، وَلَا يَخْرُجُ عَنْ أَنْ يَكُونَ زَكَاةً وَيَكُونُ اخْتِلَافُ الْمَقَادِيرِ بِحَسَبَ اخْتِلَافِ الْمُؤَنِ أَلَا تَرَى أَنَّ مَا سُقِيَ بِنَاضِحٍ أَوْ رِشَاءٍ لَمَّا كثرت مؤنته قَلَّتْ زَكَاتُهُ، فَكَانَتْ نِصْفَ الْعُشْرِ وَمَا بِسَيْحٍ أو سماء لما قلت مؤونته كَثُرَتْ زَكَاتُهُ، فَكَانَتِ الْعُشْرَ، وَلَمَّا لَمْ يَكُنْ لِلرِّكَازِ مُؤْنَتُهُ أُضْعِفَتْ زَكَاتُهُ فَكَانَتِ الْخُمُسَ.

Adapun jawaban atas argumentasinya dengan dasar berhaknya khumus (seperlima) pada hal itu adalah bahwa kadar-kadar zakat itu berbeda-beda; terkadang seperempat dari sepersepuluh, terkadang setengah dari sepersepuluh, dan terkadang sepersepuluh. Namun semua itu tetap termasuk zakat. Maka demikian pula, terkadang kadarnya adalah seperlima, dan itu pun tetap termasuk zakat. Perbedaan kadar tersebut disesuaikan dengan perbedaan biaya (mu’nah). Tidakkah engkau melihat bahwa hasil pertanian yang diairi dengan alat (nadhih) atau timba, karena biayanya banyak, maka zakatnya sedikit, yaitu setengah dari sepersepuluh; sedangkan yang diairi dengan saluran (saih) atau air hujan, karena biayanya sedikit, maka zakatnya banyak, yaitu sepersepuluh. Adapun rikaz (harta terpendam), karena tidak ada biayanya, maka zakatnya diperberat, yaitu seperlima.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِتَعْجِيلِ الْحَقِّ فِيهِ فَهُوَ لِأَنَّهُ تَعَجَّلَتِ الْفَائِدَةُ بِهِ فَتَعَجَّلَ الْحَقُّ، وَمَا تَأَجَّلَتِ الْفَائِدَةُ بِهِ تَأَجَّلَ الْحَقُّ فِيهِ، أَلَا تَرَى أَنَّ مَا لَمْ تَكْمُلْ فَائِدَتُهُ إِلَّا بِالْحَوْلِ رُوعِيَ فِيهِ الْحَوْلُ كَالْمَوَاشِي، وَمَا كَمُلَتْ فائدته قبل الحول لم يراعى فِيهِ الْحَوْلُ كَالزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ.

Adapun jawaban atas argumentasinya dengan dasar percepatan penunaian hak pada hal itu adalah karena manfaatnya telah segera diperoleh, maka haknya pun segera ditunaikan. Sedangkan yang manfaatnya baru diperoleh setelah waktu tertentu, maka haknya pun ditunda. Tidakkah engkau melihat bahwa harta yang manfaatnya tidak sempurna kecuali setelah berlalu satu tahun (haul), maka haul diperhatikan padanya seperti hewan ternak; sedangkan yang manfaatnya telah sempurna sebelum haul, maka haul tidak diperhatikan padanya seperti tanaman dan buah-buahan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اعْتِبَارِهِ بِحَالِ الدَّافِنِ دُونَ الْوَاجِدِ فَهُوَ أَنَّ اعْتِبَارَهُ بِالْوَاجِدِ دُونَ الدَّافِنِ أَوْلَى مِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas pertimbangannya dengan keadaan orang yang mengubur (harta) dan bukan keadaan orang yang menemukannya adalah bahwa mempertimbangkan keadaan orang yang menemukannya lebih utama daripada mempertimbangkan keadaan orang yang menguburnya, dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ اعْتُبِرَ بِحَالِ الدَّافِنِ لَمَّا جَازَ أَنْ يُمَلَّكَ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ لِمَنْ لَا يُمَلَّكُ عَلَيْهِ مَالُهُ مِنْ مُسْلِمٍ أَوْ مَنْ هُوَ عَلَى دِينِ مُوسَى وَعِيسَى قَبْلَ التَّبْدِيلِ أَوْ لِمَنْ لَمْ تَبْلُغْهُ الدَّعْوَةُ، وَكُلُّ هَؤُلَاءِ لَا يَجُوزُ أَنْ تُمَلَّكَ عَلَيْهِمْ أَمْوَالُهُمْ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْتَبَرَ بِهِ الدَّافِنُ.

Pertama: Jika dipertimbangkan keadaan orang yang mengubur, maka boleh jadi harta itu dimiliki oleh orang yang tidak boleh diambil hartanya, seperti seorang Muslim, atau orang yang beragama Musa (Yahudi) dan Isa (Nasrani) sebelum terjadi perubahan (ajaran), atau orang yang belum sampai kepadanya dakwah. Semua mereka ini tidak boleh diambil hartanya, maka tidak boleh dipertimbangkan keadaan orang yang mengubur.

وَالثَّانِي: إِنَّهُ لَوِ اعْتُبِرَ بِهِ الدَّافِنُ لَمَا جَازَ أَنْ يُمَلَّكَ الْوَاجِدُ أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِهِ، وَلَكَانَ إِمَّا مِلْكًا لِلْغَانِمِينَ أَوْ لِأَهْلِ الْفَيْءِ فَيَثْبُتُ أن اعتباره بحال الواجد أولى من اعتبار بحال الدافن والله أعلم.

Kedua: Jika dipertimbangkan keadaan orang yang mengubur, maka tidak boleh bagi orang yang menemukannya untuk memiliki empat perlima dari harta itu, melainkan harus menjadi milik para mujahid (ghanimīn) atau ahli fai’. Maka dengan demikian, jelaslah bahwa mempertimbangkan keadaan orang yang menemukan lebih utama daripada mempertimbangkan keadaan orang yang mengubur. Wallāhu a‘lam.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَقَسْمُ الصَّدَقَاتِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السبيل} ثُمَّ أَكَّدَهَا وَشَدَّدَهَا فَقَالَ ” فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ” الْآيَةَ وَهِيَ سُهْمَانٌ ثَمَانِيَةٌ لَا يُصْرَفُ مِنْهَا سَهْمٌ وَلَا شَيْءٌ مِنْهُ عَنْ أَهْلِهِ مَا كَانَ مِنْ أَهْلِهِ أَحَدٌ يَستَحِقُّهِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullāh berkata: “Pembagian sedekah (zakat) sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, amil zakat, mu’allaf, untuk memerdekakan budak, orang yang berutang, di jalan Allah, dan ibnu sabil} kemudian Allah menegaskan dan memperkuatnya dengan firman-Nya: ‘Sebagai kewajiban dari Allah’ (ayat). Maka bagian zakat itu ada delapan, tidak boleh diberikan satu bagian pun atau sedikit pun kepada selain ahlinya selama masih ada orang yang berhak menerimanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ قَسْمُ الصَّدَقَاتِ يُسْتَحَقُّ فِي الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ، وَلَا يَجُوزُ الِاقْتِصَارُ عَلَى بَعْضِهَا مَعَ وُجُودِ جَمِيعِهَا وَقَالَ أبو حنيفة يَجُوزُ اقْتِصَارُ أَيِّ الْأَصْنَافِ شَاءَ، وَإِنْ دَفَعَ جَمِيعَ الزَّكَاةِ إِلَى نَفْسٍ وَاحِدَةٍ مِنْ صِنْفٍ وَاحِدٍ أَجَزَأَهُ.

Al-Mawardi berkata: Dan inilah sebagaimana yang dikatakan, bahwa pembagian zakat itu berhak diberikan kepada delapan golongan, dan tidak boleh hanya diberikan kepada sebagian golongan saja jika seluruhnya ada. Abu Hanifah berpendapat boleh diberikan kepada golongan mana saja yang dikehendaki, bahkan jika seluruh zakat diberikan kepada satu orang dari satu golongan saja, itu sudah mencukupi.

وَقَالَ مَالِكٌ: يَدْفَعُهَا إِلَى أَمَسِّ الْأَصْنَافِ حَاجَةً.

Malik berpendapat: Zakat diberikan kepada golongan yang paling membutuhkan.

وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ: إِنْ كَثُرَتِ الزَّكَاةُ دَفَعَهَا إِلَى الْأَصْنَافِ كُلِّهَا، كَمَا قَالَ الشَّافِعِيُّ وَإِنْ قَلَّتْ دَفَعَهَا إِلَى أَيِّ الْأَصْنَافِ شَاءَ كَمَا قَالَ أبو حنيفة.

Ibrahim an-Nakha‘i berkata: Jika zakatnya banyak, maka diberikan kepada seluruh golongan, sebagaimana pendapat Syafi‘i. Jika sedikit, maka diberikan kepada golongan mana saja yang dikehendaki, sebagaimana pendapat Abu Hanifah.

وَاسْتَدَلُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ} [البقرة: 271] فَجَعَلَ تَخْصِيصَ الْفُقَرَاءِ بِهَا خَيْرًا مَشْكُورًا فَدَلَّ عَلَى جَوَازِهِ، وَصَرْفِ ذَلِكَ فِي حَقِّهِ وَبِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ} [المعارج: 24، 25] فَدَلَّ عَلَى جَوَازِ تَفَرُّدِهِمْ بِهِ، وَبِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ وَأَرُدَّهَا فِي فُقَرَائِكُمْ “، وَبِمَا رُوِيَ مِنْ أَنَّ سَلَمَةَ بْنَ صَخْرٍ الْأَنْصَارِيَّ ظَاهَرَ مِنِ امْرَأَتِهِ فَذَكَرَ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَجْزَهُ عَنِ الْكَفَّارَةِ، فَقَالَ لَهُ انْطَلِقْ إِلَيَّ بصدقة بني زريق فتلدفع إليك فأطعم منه وَسْقًا مِنْ تَمْرٍ سِتِّينَ مِسْكِينًا، وَكُلْ أَنْتَ وَعِيَالُكَ بَقِيَّتَهَا، فَدَلَّ نَصُّ هَذَا الْخَبَرِ عَلَى جواز دفعها إلى نفس واحدة عن صِنْفٍ وَاحِدٍ.

Mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Jika kamu menampakkan sedekah-sedekah itu, maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu} [al-Baqarah: 271]. Maka Allah menjadikan pemberian khusus kepada orang-orang fakir sebagai kebaikan yang disyukuri, sehingga hal itu menunjukkan kebolehannya, dan membelanjakan zakat untuk mereka. Juga dengan firman-Nya Ta‘ala: {Dan orang-orang yang dalam harta mereka ada hak yang tertentu, bagi orang yang meminta dan orang yang tidak mendapat bagian} [al-Ma‘ārij: 24-25]. Maka ini menunjukkan bolehnya mereka menerima secara khusus. Dan juga berdasarkan riwayat dari Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– bahwa beliau bersabda: “Aku diperintahkan untuk mengambil sedekah dari orang-orang kaya kalian dan mengembalikannya kepada orang-orang fakir kalian.” Juga berdasarkan riwayat bahwa Salamah bin Shakhr al-Anshari melakukan zhihār terhadap istrinya, lalu ia mengadukan ketidakmampuannya menunaikan kafārah kepada Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam–, maka beliau bersabda kepadanya: “Pergilah kepadaku dengan membawa sedekah Bani Zuraiq, lalu aku akan memberikannya kepadamu. Maka berikanlah satu wasaq kurma kepada enam puluh orang miskin, dan makanlah kamu beserta keluargamu sisanya.” Maka nash hadits ini menunjukkan bolehnya memberikan zakat kepada satu orang saja dari satu golongan.

قَالُوا: وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى خَصَّ الْأَصْنَافَ الثَّمَانِيَةَ بِالذِّكْرِ كَمَا خَصَّ الصِّنْفَ الْوَاحِدَ بِالذِّكْرِ، فَلَمَّا لَمْ يَلْزَمِ اسْتِيفَاءُ جَمِيعِ الصِّنْفِ وَجَازَ الِاقْتِصَارُ عَلَى بَعْضِهِ لَمْ يَلْزَمِ اسْتِيفَاءُ جَمِيعِ الْأَصْنَافِ، وَجَازَ الِاقْتِصَارُ عَلَى بَعْضِهَا وَيَتَحَرَّرُ مِنْهُ قِيَاسَانِ:

Mereka berkata: Karena Allah Ta‘ala telah menyebutkan delapan golongan secara khusus sebagaimana Dia menyebutkan satu golongan secara khusus. Maka, ketika tidak diwajibkan untuk memenuhi seluruh anggota satu golongan dan boleh hanya sebagian saja, maka tidak diwajibkan pula memenuhi seluruh golongan, dan boleh hanya sebagian saja. Dari sini, terdapat dua bentuk qiyās:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهَا صَدَقَةٌ يَجُوزُ أَنْ يُخَصَّ بِهَا بَعْضُ الْفُقَرَاءِ فَجَازَ أَنْ يُخَصَّ بِهَا بَعْضُ الْأَصْنَافِ كَالْكَفَّارَاتِ.

Pertama: Zakat adalah sedekah yang boleh diberikan secara khusus kepada sebagian fakir miskin, maka boleh pula diberikan secara khusus kepada sebagian golongan, sebagaimana pada kafārah.

وَالثَّانِي: إِنَّ مَنْ جَازَ الِاقْتِصَارُ عَلَيْهِ فِي الْكَفَّارَاتِ جَازَ الِاقْتِصَارُ عَلَيْهِ فِي الزَّكَوَاتِ، قِيَاسًا عَلَى بَعْضِ الْفُقَرَاءِ.

Kedua: Siapa yang boleh menjadi sasaran dalam kafārah, maka boleh pula menjadi sasaran dalam zakat, dengan qiyās kepada sebagian fakir miskin.

قَالُوا: وَلِأَنَّهُ لَوِ اسْتَحَقَّ كُلُّ صِنْفٍ مِنْهُمْ سَهْمًا يَخُصُّهُ لَمَا جَازَ فِيمَنْ فُقِدَ أَنْ يُرَدَّ سَهْمُهُ عَلَى مَنْ وُجِدَ، وَفِي إِجْمَاعِهِمْ عَلَى جَوَازِ ذَلِكَ مَعَ فَقْدِ بَعْضِهِمْ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِهِ مَعَ وُجُودِ بَعْضِهِمْ.

Mereka berkata: Karena jika setiap golongan berhak atas bagian tertentu yang khusus untuknya, maka tidak boleh jika salah satu golongan tidak ada, bagian tersebut diberikan kepada golongan yang ada. Padahal adanya ijmā‘ atas bolehnya hal itu ketika sebagian golongan tidak ada, merupakan dalil bolehnya pula ketika sebagian golongan masih ada.

قَالُوا: وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِهَا سَدُّ الْخَلَّةِ الَّتِي لَا يُمْكِنُ أَنْ يُعَمَّ بِهَا الْجَمِيعُ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ مِنْ صِنْفٍ وَاحِدٍ وَمِنْ جَمِيعِ الْأَصْنَافِ، كَمَا لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ مِنْ بَعْضِ الصِّنْفِ أَوْ مِنْ جَمِيعِهِ.

Mereka berkata: Karena tujuan zakat adalah menutupi kebutuhan yang tidak mungkin dapat dipenuhi untuk semua orang, maka tidak ada perbedaan antara diberikan kepada satu golongan saja atau kepada seluruh golongan, sebagaimana tidak ada perbedaan antara diberikan kepada sebagian anggota golongan atau seluruhnya.

وَدَلِيلُنَا، قَوْله تَعَالَى: {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ} [التوبة: 60] الْآيَةَ وَالدَّلِيلُ فِيهَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin} [at-Taubah: 60] dan seterusnya. Dalil dalam ayat ini dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ أصناف الصدقة إلى الأصناف الثمانية بلا التَّمْلِيكِ وَعَطَفَ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ بِوَاوِ التَّشْرِيكِ، وَكُلَّمَا يَصِحُّ أَنْ يُمْلَكَ إِذَا أُضِيفَ إِلَى مَنْ يَصِحُّ أَنْ يُمَلَّكَ اقْتَضَتِ الْإِضَافَةُ ثُبُوتَ الْمِلْكِ كَمَا لَوْ قَالَ: هَذِهِ الدَّارُ لِزَيْدٍ وَعَمْرٍو.

Pertama: Allah mengaitkan zakat dengan delapan golongan tanpa menggunakan kata “kepemilikan” (tamlīk), dan menghubungkan sebagian mereka dengan sebagian yang lain dengan huruf “wāw” yang menunjukkan kebersamaan. Setiap hal yang sah untuk dimiliki, jika disandarkan kepada pihak yang sah untuk memilikinya, maka penyandaran itu menunjukkan kepemilikan, sebagaimana jika dikatakan: “Rumah ini milik Zaid dan Amr.”

فَإِنْ قِيلَ: فَالْإِضَافَةُ إِلَى الْأَشْخَاصِ تُوجِبُ التَّمْلِيكَ لِتَعْيِينِ الْمَالِكِ، وَالْإِضَافَةُ إِلَى الْأَوْصَافِ لَا تُوجِبُ التَّمْلِيكَ لِلْجَهَالَةِ بِالْمَالِكِ أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ هَذِهِ الدَّارُ لَزَيْدٍ صَحَّ إِقْرَارُهُ، وَلَوْ قَالَ هَذِهِ الدَّارُ لِإِنْسَانٍ لَمْ يَصِحَّ إِقْرَارُهُ.

Jika dikatakan: Penyandaran kepada individu-individu mewajibkan kepemilikan karena penentuan pemilik, sedangkan penyandaran kepada sifat-sifat tidak mewajibkan kepemilikan karena tidak jelas siapa pemiliknya. Bukankah jika seseorang berkata, “Rumah ini milik Zaid,” maka sah pengakuannya, tetapi jika berkata, “Rumah ini milik seseorang,” maka tidak sah pengakuannya?

قِيلَ: قَدْ يَصِحُّ تَمْلِيكُ الْأَصْنَافِ كَمَا يَصِحُّ تَمْلِيكُ الْأَعْيَانِ أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ قَدْ أَوْصَيْتُ بِثُلُثِ مَالِي لِلْفُقَرَاءِ وَالْغَارِمِينَ صَحَّ أَنْ يَمْلِكُوهُ كَمَا يَصِحُّ إِذَا أَوْصَى بِهِ لِزَيْدٍ وَعَمْرٍو وَبَكْرٍ أَنْ يَمْلِكُوهُ.

Dijawab: Terkadang sah memberikan kepemilikan kepada golongan sebagaimana sah memberikan kepemilikan kepada individu. Bukankah jika seseorang berkata, “Aku mewasiatkan sepertiga hartaku untuk orang-orang fakir dan orang-orang yang berutang,” maka sah mereka memilikinya, sebagaimana sah jika diwasiatkan kepada Zaid, Amr, dan Bakr, mereka pun memilikinya.

وَالدَّلِيلُ الثَّانِي: مِنَ الْآيَةِ أَنَّ لِلْإِضَافَةِ وَجْهَيْنِ: تَشْرِيكٌ وَتَخْيِيرٌ وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا صِيغَةٌ، وَصِيغَةُ التَّشْرِيكِ الْوَاوُ كَقَوْلِهِ أَعْطِ هَذَا الْمَالَ لِزَيْدٍ وَعَمْرٍو، فَيَقْتَضِي اشْتِرَاكَهُمَا فِيهِ وَلَا يَقْتَضِي تَفَرُّدَ أَحَدِهِمَا بِهِ، وَصِيغَةُ التَّخْيِيرِ تَكُونُ بِ ” أَوْ ” كَقَوْلِهِ: أَعْطِ هَذَا الْمَالَ لِزَيْدٍ أَوْ عَمْرٍو فَيَكُونُ مُخَيَّرًا فِي إِعْطَائِهِ لِأَحَدِهِمَا، وَلَا يَقْتَضِي أَنْ يُشْرِكَ بَيْنَهُمَا، فَلَمَّا كَانَتِ الْإِضَافَةُ فِي آيَةِ الصَّدَقَاتِ عَلَى صِيغَةِ التَّشْرِيكِ دُونَ التَّخْيِيرِ وَجَبَ حَمْلُهَا عَلَى مَا اقْتَضَتْهُ.

Dalil kedua dari ayat tersebut adalah bahwa dalam idhafah (penyandaran) terdapat dua sisi: musyarakah (penyertaan) dan takhyir (pilihan), dan masing-masing memiliki bentuk (shighah) tersendiri. Bentuk musyarakah adalah dengan huruf “wa” seperti dalam ucapan: “Berikan harta ini kepada Zaid dan Amr,” maka ini mengharuskan keduanya berbagi dalam harta tersebut dan tidak mengharuskan salah satu dari mereka memilikinya secara eksklusif. Adapun bentuk takhyir adalah dengan “aw” seperti dalam ucapan: “Berikan harta ini kepada Zaid atau Amr,” maka ini memberikan pilihan untuk memberikannya kepada salah satu dari keduanya, dan tidak mengharuskan keduanya berbagi. Maka, ketika idhafah dalam ayat zakat menggunakan bentuk musyarakah, bukan takhyir, maka wajib memaknainya sesuai dengan konsekuensi bentuk tersebut.

فَإِنْ قِيلَ: فَيُحْمَلُ مِلْكُ الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ لِجَمِيعِ الصَّدَقَاتِ لَا لِكُلِّ صَدَقَةٍ مِنْهَا فَنَدْفَعُ صَدَقَةَ زَيْدٍ إِلَى الْفُقَرَاءِ وَصَدَقَةَ عَمْرٍو إِلَى الْمَسَاكِينِ وَصَدَقَةَ بَكْرٍ إِلَى الْغَارِمِينَ، قِيلَ هَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Jika dikatakan: Maka kepemilikan delapan golongan itu berlaku untuk seluruh zakat, bukan untuk setiap bagian zakat secara terpisah; sehingga zakat Zaid diberikan kepada fuqara, zakat Amr kepada masakin, dan zakat Bakr kepada gharimin, maka dijawab bahwa ini rusak dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ أبا حنيفة لَا يَعْتَبِرُ هَذَا فِي الصَّدَقَاتِ.

Pertama: Bahwa Abu Hanifah tidak mempertimbangkan hal ini dalam zakat.

وَالثَّانِي: أنه قد يجوز أن ينفق جَمِيعُ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ عَلَى صَرْفِهَا كُلِّهَا فِي أَحَدِ الْأَصْنَافِ فَلَا يُوجَدُ مَا ذَكَرَهُ عَلَى أَنَّ حَقِيقَةَ هَذِهِ الْإِضَافَةِ تَقْتَضِي أَنْ تَكُونَ كُلُّ صَدَقَةٍ لِمَنْ سُمِّيَ أَلَا تَرَى أَنَّ رَجُلًا لَوْ قَالَ: هَذِهِ الدُّورُ الثَّلَاثَةُ لِزَيْدٍ وَعَمْرٍو وَبَكْرٍ كَانَتْ كُلُّ دَارٍ بَيْنَهُمْ أَثْلَاثًا، وَلَمْ يُجْعَلْ كُلُّ دَارٍ مِنَ الثَّلَاثَةِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الثَّلَاثَةِ ثُمَّ يَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ مِنْ طَرِيقِ السُّنَّةِ مَا رَوَى زِيَادُ بْنُ الْحَارِثِ الصُّدَائِيُّ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ: أَعْطِنِي مِنَ الصَّدَقَاتِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يَرْضَ فِي قِسْمَةِ الصَّدَقَاتِ بِنَبِيٍّ مُرْسَلٍ وَلَا مَلَكٍ مُقَرَّبٍ فَتَوَلَّى قِسْمَتَهَا بِنَفْسِهِ وَجَزَّأَهَا ثَمَانِيَةَ أَجْزَاءٍ فَإِنْ كُنْتَ مِنْ تِلْكَ الْأَجْزَاءِ أَعْطَيْتُكَ حَقَّكَ.

Kedua: Bahwa boleh jadi seluruh orang yang berhak menerima zakat membelanjakan seluruh zakat pada satu golongan saja, sehingga tidak ditemukan apa yang disebutkan itu. Padahal hakikat idhafah ini mengharuskan bahwa setiap bagian zakat diberikan kepada yang disebutkan. Tidakkah engkau melihat jika seseorang berkata: “Tiga rumah ini untuk Zaid, Amr, dan Bakr,” maka setiap rumah dibagi di antara mereka bertiga, dan tidak dijadikan setiap rumah dari tiga itu untuk masing-masing dari mereka secara penuh. Kemudian, hal ini juga didukung oleh sunnah, sebagaimana riwayat dari Ziyad bin Harits ash-Shuda’i, ia berkata: Aku pernah berada di sisi Nabi ﷺ, lalu datang seorang laki-laki dan berkata: “Berikanlah kepadaku dari zakat.” Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak meridhai pembagian zakat dilakukan oleh nabi yang diutus maupun malaikat yang didekatkan, maka Allah sendiri yang membagi zakat itu dan membaginya menjadi delapan bagian. Jika engkau termasuk salah satu bagian itu, aku akan memberikan hakmu.”

فَأَخْبَرَ أَنَّهَا مَقْسُومَةٌ ثَمَانِيَةَ أَجْزَاءٍ، وَأَنَّ الْوَاحِدَ لَا يُعْطَى مِنْهَا إِلَّا قَدْرَ حَقِّهِ، وَهَذَا نَصٌّ لَا يُحْتَمَلُ خِلَافُهُ وَلِأَنَّهُ مَالٌ أُضِيفَ شَرْعًا إِلَى أَصْنَافٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُخْتَصَّ بِهِ بَعْضُ تِلْكَ الْأَصْنَافِ كَالْخُمُسِ وَلِأَنَّهُ مَالٌ لَوْ جُعِلَ لِصِنْفٍ وَاحِدٍ لَمْ يَعْدُهُ فَوَجَبَ إِذَا جَعَلَ الْأَصْنَافَ أَنْ يَقْتَسِمُوهُ كَالْوَصَايَا وَلِأَنَّ الْفُقَرَاءَ أَحَدُ أَصْنَافِ الصَّدَقَاتِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُخْتَصُّوا بِهَا كَالْعَامِلِينَ.

Maka beliau mengabarkan bahwa zakat itu dibagi menjadi delapan bagian, dan bahwa seseorang tidak diberikan darinya kecuali sesuai dengan haknya. Ini adalah nash yang tidak mengandung kemungkinan perbedaan pendapat. Dan karena ia adalah harta yang secara syariat disandarkan kepada beberapa golongan, maka tidak boleh dikhususkan hanya kepada sebagian golongan saja, sebagaimana khumus. Dan karena ia adalah harta yang jika diberikan kepada satu golongan saja, maka tidak akan keluar dari golongan itu, maka wajib jika telah dijadikan untuk beberapa golongan, agar mereka membaginya, sebagaimana wasiat. Dan karena fuqara adalah salah satu dari golongan penerima zakat, maka tidak boleh mereka dikhususkan dengannya, sebagaimana para amil.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ} فَهُوَ أَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْآيَةِ تَفْضِيلُ الْإِخْفَاءِ عَلَى الْإِبْدَاءِ لِإِتْيَانِ الْمَصْرِفِ، وَإِنَّمَا قُصِدَ بَيَانُ الْمَصْرِفِ فِي قَوْله تَعَالَى: {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ} الْآيَةَ فَوَجَبَ أَنْ يُقْضَى بِهَذِهِ الْآيَةِ عَلَى تِلْكَ أَوْ تُحْمَلَ هَذِهِ عَلَى الْفَرْضِ وَتِلْكَ عَلَى التَّطَوُّعِ.

Adapun jawaban atas dalil mereka dengan firman Allah Ta’ala: {Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada para fakir, maka itu lebih baik bagimu}, maka maksud ayat ini adalah keutamaan menyembunyikan (pemberian) atas menampakkannya dalam hal penyaluran, dan yang dimaksud penjelasan penyaluran adalah pada firman Allah Ta’ala: {Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin…} (ayat), maka wajib memutuskan dengan ayat ini atas ayat sebelumnya, atau menafsirkan ayat ini untuk zakat wajib dan ayat sebelumnya untuk sedekah sunnah.

وَكَذَلِكَ الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى: {وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ} عَلَى أَنَّهُ جَعَلَ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ فِي ذَلِكَ حَقًّا وَلَا يَمْتَنِعُ أَنْ يَكُونَ لِغَيْرِهِمْ فِيهِ حَقٌّ.

Demikian pula jawaban atas firman Allah Ta’ala: {Dan pada harta mereka ada hak untuk orang yang meminta dan orang yang tidak mendapat bagian}, yaitu bahwa Allah menjadikan bagi orang yang meminta dan orang yang tidak mendapat bagian hak dalam harta itu, dan tidak menutup kemungkinan bahwa selain mereka juga memiliki hak di dalamnya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ فَأَرُدَّهَا فِي فُقَرَائِكُمْ ” فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas sabda Nabi ﷺ: “Aku diperintahkan untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya kalian dan mengembalikannya kepada orang-orang fakir kalian,” maka dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ مَتْرُوكُ الظَّاهِرِ لِأَنَّ أبا حنيفة وَإِنْ جَوَّزَ دَفْعَهَا إِلَى الْفُقَرَاءِ فَلَيْسَ يَمْنَعُ مِنْ صَرْفِهَا فِي غَيْرِهِمْ مِنَ الْأَصْنَافِ فَيَكُونُ مَعْنَى قَوْلِهِ فِي ” فُقَرَائِكُمْ ” أَيْ فِي ذَوِي الْحَاجَةِ مِنْكُمْ وَجَمِيعِ أَهْلِ الْأَصْنَافِ مِنْ ذَوِي الْحَاجَاتِ وَإِنِ اخْتَلَفَتْ حَاجَاتُهُمْ.

Pertama: Sesungguhnya pendapat tersebut ditinggalkan secara lahiriah, karena Abu Hanifah meskipun membolehkan penyalurannya kepada para fakir, namun beliau tidak melarang untuk menyalurkannya kepada selain mereka dari golongan-golongan lain. Maka makna perkataannya tentang “fukarā’ikum” adalah kepada orang-orang yang membutuhkan di antara kalian dan seluruh ahli golongan dari kalangan orang-orang yang membutuhkan, meskipun kebutuhan mereka berbeda-beda.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي: الْمَقْصُودُ بِالْخَبَرِ عَوْدُ الصَّدَقَاتِ عَلَيْنَا وَأَنَّ الرَّسُولَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَا يَسْتَبِدُّ بِشَيْءٍ مِنْهَا دُونَنَا فَحُمِلَ الْخَبَرُ عَلَى مَقْصُودِهِ كَالَّذِي رَوَاهُ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ فِي سَائِمَةِ الْإِبِلِ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ ابْنَةُ لَبُونٍ مَنْ أَعْطَاهَا مُؤْتَجِرًا فَلَهُ أَجْرُهَا، وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ مَالِهِ عَزْمَةٌ مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا لَيْسَ لِآلِ مُحَمَّدٍ مِنْهَا شَيْءٌ فَحُمِلَ هَذَا الْخَبَرُ عَلَى الْمَقْصُودِ بِهِ فِي أَنَّهُ لَيْسَ لِآلِ مُحَمَّدٍ فِيهَا شَيْءٌ، وَلَمْ يُحْمَلْ عَلَى أَخْذِ الشَّطْرِ إِنْ مُنِعَ.

Jawaban kedua: Maksud dari hadis tersebut adalah kembalinya sedekah kepada kita, dan bahwa Rasulullah -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- tidak mengambil sesuatu darinya secara khusus untuk dirinya tanpa kita. Maka hadis tersebut dipahami sesuai maksudnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda tentang unta yang digembalakan: “Pada setiap empat puluh ekor ada satu anak unta betina yang telah cukup umur. Barang siapa memberikannya dengan penuh keikhlasan, maka baginya pahalanya, dan barang siapa menahannya, maka kami akan mengambilnya beserta setengah hartanya, sebagai ketetapan dari ketetapan-ketetapan Rabb kami. Tidak ada bagian bagi keluarga Muhammad darinya sedikit pun.” Maka hadis ini dipahami sesuai maksudnya, yaitu bahwa keluarga Muhammad tidak mendapat bagian darinya, dan tidak dipahami bahwa setengah harta diambil jika ia menahan (zakat).

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ سَلَمَةَ بْنِ صَخْرٍ الْأَنْصَارِيِّ. فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas hadis Salamah bin Shakhr al-Anshari, maka dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ صَدَقَةَ بَنِي زُرَيْقٍ كَانَتْ وَقْفًا لَا زَكَاةً فَلَا يَكُونُ فِيهَا دَلِيلٌ.

Pertama: Bisa jadi sedekah Bani Zuraiq itu adalah wakaf, bukan zakat, sehingga tidak menjadi dalil dalam masalah ini.

وَالثَّانِي: أن مَعْنَاهُ فَلْيَدْفَعْ إِلَيْكَ حَقَّكَ مِنْهَا، أَوْ يَكُونُ: لم يبق منها إلا حق فيعتبر واحد فدفعه إليه.

Kedua: Maknanya adalah hendaklah ia memberikan hakmu dari sedekah itu, atau bisa juga: tidak tersisa darinya kecuali satu hak, maka dianggap satu dan diberikan kepadanya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ دَفْعُهَا إِلَى بَعْضِ الصِّنْفِ جَازَ دَفْعُهَا إِلَى بَعْضِ الْأَصْنَافِ فَهُوَ أَنَّ دَفْعَهَا إِلَى بَعْضِ الصِّنْفِ تَخْصِيصُ عُمُومٍ فَجَوَّزْنَاهُ وَدَفْعُهَا إِلَى بَعْضِ الْأَصْنَافِ نَسْخُ نَصٍّ فَأَبْطَلْنَاهُ.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa jika boleh menyalurkannya kepada sebagian golongan maka boleh juga menyalurkannya kepada sebagian golongan lain, maka jawabannya adalah bahwa penyaluran kepada sebagian golongan merupakan pengecualian dari keumuman, maka kami membolehkannya. Sedangkan penyaluran kepada sebagian golongan lain merupakan penghapusan nash, maka kami menolaknya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِرَدِّ سَهْمِ مَنْ فُقِدَ مِنَ الْأَصْنَافِ عَلَى مَنْ وُجِدَ فَهُوَ بَاطِلٌ بِمِيرَاثِ الزَّوْجَاتِ الْأَرْبَعِ الرُّبُعَ، وَلَوْ بَقِيَتْ وَاحِدَةٌ لَكَانَ لَهَا فَلَمْ يَصِحَّ الِاسْتِدْلَالُ.

Adapun jawaban atas dalil mereka dengan mengembalikan bagian golongan yang tidak ada kepada golongan yang ada, maka itu batal dengan perumpamaan warisan empat istri yang mendapat seperempat bagian, dan jika hanya tersisa satu istri, maka bagian itu menjadi miliknya, sehingga istidlal tersebut tidak sah.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ سَدُّ الْخَلَّةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa maksudnya adalah menutup kebutuhan, maka dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: إِنَّ الْمَقْصُودَ بِبَعْضِهِ سَدُّ الْخَلَّةِ فِي الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَبَعْضُهُ مَعُونَةٌ لِفَكِّ رِقَابِ الْمَسَاكِينِ وَالْغَارِمِينَ.

Pertama: Maksud dari sebagian zakat adalah menutup kebutuhan para fakir dan miskin, dan sebagian lagi untuk membantu membebaskan budak, orang yang berhutang, dan lainnya.

وَالثَّانِي: إِنَّ الْمَقْصُودَ سَدُّ خَلَّاتِ الْأَصْنَافِ كُلِّهَا لَا بَعْضِهَا فَلَمْ يَسْلَمِ الدَّلِيلُ.

Kedua: Maksudnya adalah menutup kebutuhan seluruh golongan, bukan hanya sebagian, sehingga dalil tersebut tidak sempurna.

فَصْلٌ:

Fashal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ وُجُوبِ مَصْرِفِهَا فِي الْأَصْنَافِ كُلِّهِمْ لَمْ يَخْلُ حَالُ رَبِّ المال من أن يتول تَفْرِيقَهَا بِنَفْسِهِ أَوْ يَدْفَعَهَا إِلَى الْإِمَامِ، فَإِنْ فَرَّقَهَا بِنَفْسِهِ سَقَطَ مِنْهَا سَهْمُ الْعَامِلِينَ عَلَيْهَا لِأَنَّهُمْ لَا عَمَلَ لَهُمْ فِيهَا وَقَسَمَ عَلَى سَبْعَةِ أَصْنَافٍ إِنْ وُجِدُوا فَإِنْ أَخَلَّ بِبَعْضِهِمْ ضُمِنَ سَهْمُهُمْ مِنْهَا، وَإِنْ دَفَعَهَا إِلَى الْإِمَامِ أَوْ سَاعِيهِ كَانَتْ يَدُهُ يَدًا لِأَهْلِ السُّهْمَانِ بِنِيَابَتِهِ عَنْهُمْ وَوِلَايَتِهِ عَلَيْهِمْ، وَكَانَ حُصُولُهَا فِي يَدِ الْإِمَامِ أَوْ سَاعِيهِ مُسْقِطًا لِفَرْضِهَا عَنْ رَبِّ الْمَالِ ثُمَّ الْإِمَامُ بِالْخِيَارِ بِحَسَبِ مَا يُؤَدِّي اجْتِهَادُهُ إِلَيْهِ فِي أَنْ يُفَرِّقَ كُلَّ صَدَقَةٍ فِي جَمِيعِ الْأَصْنَافِ وَيَكُونُوا ثَمَانِيَةً يُدْخِلُ فِيهِمُ الْعَامِلِينَ عَلَيْهَا إِنْ عَمِلُوا فِيهَا أَوْ يَدْفَعُ كُلَّ صَدَقَةٍ إِلَى صِنْفٍ مِنَ الْأَصْنَافِ؛ لِأَنَّ جَمِيعَ الصَّدَقَاتِ إِذَا جُعِلَتْ بِيَدِهِ صَارَتْ كالصدقة الواحدة.

Jika telah tetap apa yang kami jelaskan tentang wajibnya penyaluran zakat kepada seluruh golongan, maka keadaan pemilik harta tidak lepas dari dua kemungkinan: menyalurkannya sendiri atau menyerahkannya kepada imam. Jika ia menyalurkannya sendiri, maka gugurlah bagian untuk para ‘āmil (petugas zakat), karena mereka tidak bekerja dalam penyaluran itu, dan zakat dibagikan kepada tujuh golongan jika mereka ada. Jika ia mengabaikan salah satu golongan, maka ia wajib mengganti bagian mereka. Jika ia menyerahkannya kepada imam atau petugasnya, maka tangan imam adalah tangan perwakilan bagi para penerima zakat karena ia mewakili dan berwenang atas mereka. Penyerahan zakat ke tangan imam atau petugasnya menggugurkan kewajiban pemilik harta. Kemudian imam memiliki pilihan sesuai dengan ijtihadnya, apakah membagikan setiap zakat kepada seluruh golongan (delapan golongan, termasuk para ‘āmil jika mereka bekerja dalam penyaluran itu), atau menyerahkan setiap zakat kepada satu golongan saja, karena seluruh zakat jika telah berada di tangannya menjadi seperti satu zakat saja.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَلَا يَخْرُجُ عَنْ بَلَدٍ وَفِيهِ أَهْلُهُ وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حِينَ بعثه ” فإن أجابوك فأعملهم أَنَّ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ ” “.

Imam Syafi‘i berkata: “Dan tidak boleh keluar dari suatu negeri sementara di dalamnya masih ada penduduknya. Rasulullah ﷺ bersabda kepada Mu‘adz bin Jabal ra. ketika mengutusnya: ‘Jika mereka menaatimu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa atas mereka ada kewajiban zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka lalu dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka.'”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ زَكَاةُ الْأَمْوَالِ يَجِبُ صَرْفُهَا فِي بَلَدِ الْمَالِ وَلَا يَجُوزُ نَقْلُهَا عَنْهُ، فَإِنْ نُقِلَتْ فَقَدْ أَسَاءَ نَاقِلُهَا وَفِي إِجْزَائِهَا قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Dan inilah sebagaimana yang dikatakan, zakat harta wajib disalurkan di negeri tempat harta itu berada dan tidak boleh dipindahkan darinya. Jika dipindahkan, maka orang yang memindahkannya telah berbuat buruk, dan dalam hal keabsahannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُجْزِئُهُ وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة وَيَكُونُ عِنْدَهُ مُسِيئًا إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْبَلَدُ الَّذِي نَقَلَهَا إِلَيْهِ أَمَسَّ حَاجَةً فَلَا يَكُونُ عِنْدَهُ مُسِيئًا.

Pertama: Zakatnya sah, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, namun menurutnya orang tersebut tetap dianggap berbuat buruk kecuali jika negeri yang dipindahi itu lebih membutuhkan, maka tidak dianggap berbuat buruk.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يُجْزِئُهُ نَقْلُهَا وَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَالثَّوْرِيُّ.

Pendapat kedua: Tidak sah memindahkannya dan wajib mengulangi penyalurannya, dan ini adalah pendapat Malik dan ats-Tsauri.

فَإِذَا قِيلَ بِالْأَوَّلِ إِنَّهُ يُجْزِئُ وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة فَدَلِيلُهُ قَوْله تعالى: {إنما الصدقات للفقراء والمساكين} الْآيَةَ فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ، وَرُوِيَ أَنَّ قَبِيصَةَ بْنَ الْمُخَارِقِ الْهِلَالِيَّ وَفَدَ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي تَحَمَّلْتُ بِحَمَالَةٍ فَأَعِنِّي، فَقَالَ: نُؤَدِّهَا عَنْكَ إِذَا قَدَّمْتَ لَنَا نَعَمَ الصَّدَقَةِ.

Jika dikatakan dengan pendapat pertama bahwa zakatnya sah, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, maka dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan miskin…} (QS. at-Taubah: 60), maka ayat ini bersifat umum. Diriwayatkan bahwa Qabisah bin Mukharik al-Hilali datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku menanggung suatu beban (utang) maka bantulah aku.” Beliau bersabda: “Kami akan membayarnya untukmu jika telah datang kepada kami harta zakat.”

فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ قَدْ كَانَتْ تُحْمَلُ إِلَيْهِ صَدَقَاتُ الْبِلَادِ.

Ini menunjukkan bahwa zakat dari berbagai negeri pernah dibawa kepada beliau.

وَرُوِيَ أَنَّ عَدِيَّ بْنَ حَاتِمٍ حَمَلَ صَدَقَةَ قَوْمِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثُمَّ إِلَى أَبِي بَكْرٍ مِنْ بَعْدِهِ.

Diriwayatkan pula bahwa ‘Adi bin Hatim membawa zakat kaumnya kepada Rasulullah ﷺ, kemudian kepada Abu Bakar setelah beliau.

وَرُوِيَ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قَالَ لِأَهْلِ الْيَمَنِ ائْتُونِي بِخَمِيسٍ أَوْ لَبِيسٍ آخُذُهُ مِنْكُمْ مَكَانَ الذُّرَةِ وَالشَّعِيرِ، فَإِنَّهُ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ وَخَيْرٌ لِلْمُهَاجِرِينَ بِالْمَدِينَةِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ قَدْ كَانَ يُنْقَلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – زَكَاةُ الْيَمَنِ إِلَى الْمَدِينَةِ، وَلِأَنَّ مَا لَزِمَ إِخْرَاجُهُ لِلطُّهْرَةِ لَمْ يُخْتَصَّ بِبَلَدِهِ كَالْكَفَّارَةِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ فِعْلُ الصَّلَاةِ فِي غَيْرِ بَلَدِ الْوُجُوبِ جَازَ نَقْلُ الزَّكَاةِ إِلَى غَيْرِ بَلَدِ الْوُجُوبِ.

Diriwayatkan pula bahwa Mu‘adz bin Jabal berkata kepada penduduk Yaman: “Bawalah kepadaku kain (khomis) atau pakaian (labis) yang akan aku ambil dari kalian sebagai pengganti gandum dan jelai, karena itu lebih mudah bagi kalian dan lebih bermanfaat bagi para muhajirin di Madinah.” Ini menunjukkan bahwa pada masa Rasulullah ﷺ zakat dari Yaman pernah dipindahkan ke Madinah. Karena sesuatu yang diwajibkan untuk dikeluarkan sebagai pensucian tidak dikhususkan untuk negerinya saja, seperti kafarat. Dan karena diperbolehkannya menunaikan shalat di selain negeri tempat kewajiban, maka diperbolehkan pula memindahkan zakat ke selain negeri tempat kewajiban.

إِذَا قِيلَ بِالْقَوْلِ الثَّانِي إِنَّ ذَلِكَ لَا يُجْزِئُ وَهُوَ الْقَوْلُ الْأَصَحُّ، فَدَلِيلُهُ قَوْلُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِمُعَاذٍ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ: ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةٍ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَإِنْ أَجَابُوكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ فِي أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ.

Jika dikatakan dengan pendapat kedua bahwa hal itu tidak sah, dan inilah pendapat yang lebih kuat, maka dalilnya adalah sabda Rasulullah ﷺ kepada Mu‘adz ketika mengutusnya ke Yaman: “Ajaklah mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, jika mereka menaatimu maka beritahukanlah kepada mereka bahwa pada harta mereka ada zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka lalu dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka.”

فَجَعَلَ وُجُوبَ أَخْذِهَا مِنْ أَغْنِيَاءِ الْيَمَنِ مُوجِبًا لِرَدِّهَا عَلَى فُقَرَاءِ الْيَمَنِ.

Maka beliau menjadikan kewajiban mengambil zakat dari orang-orang kaya Yaman sebagai alasan untuk mengembalikannya kepada orang-orang fakir Yaman.

فَإِنْ قِيلَ: فَلَا يَمْنَعُ ذَلِكَ مِنْ نَقْلِهَا عَنْ بَلَدٍ مِنْ بِلَادِ الْيَمَنِ إِلَى غَيْرِهَا مِنْ بِلَادِ الْيَمَنِ، وَإِنْ دَلَّ عَلَى الْمَنْعِ مِنْ نَقْلِهَا إِلَى غَيْرِ الْيَمَنِ.

Jika dikatakan: Hal itu tidak mencegah untuk memindahkan zakat dari satu negeri di Yaman ke negeri lain di Yaman, meskipun menunjukkan larangan memindahkannya ke luar Yaman.

قِيلَ لَمَّا جَعَلَ مَحَلَّ الْوُجُوبِ مَحَلَّ التَّفْرِقَةِ اقْتَضَى أَنْ يَتَمَيَّزَ فِيهَا بِلَادُ الْيَمَنِ كَمَا يَتَمَيَّزُ بِهَا جَمِيعُ الْيَمَنِ عَلَى أَنَّ مَنْ جَوَّزَ نَقْلَهَا سَوَّى فِي الْجَوَازِ بَيْنَ الْإِقْلِيمِ الْوَاحِدِ وَالْأَقَالِيمِ، وَمَنْ مَنَعَ مِنْ نَقْلِهَا سَوَّى فِي الْمَنْعِ بَيْنَ الْإِقْلِيمِ الْوَاحِدِ وَالْأَقَالِيمِ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ مُعَاذٍ أَنَّهُ قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ انْتَقَلَ مِنْ مِخْلَافِ عَشِيرَتِهِ إِلَى غَيْرِ مِخْلَافِ عَشِيرَتِهِ فَجَعْلُهُ النُّقْلَةَ عَنِ الْمَكَانِ بَعْدَ وُجُوبِ الزَّكَاةِ فِيهِ يَمْتَنِعُ مِنْ نَقْلِهَا عَنْهُ، وَذَلِكَ صَادِرٌ عَنْهُ بِالْأَمْرِ الَّذِي تَقَدَّمَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِلَيْهِ فَصَارَ كَالْمَنْقُولِ عَنْهُ نَصًّا، وَلِأَنَّ حُقُوقَ اللَّهِ تَعَالَى ضَرْبَانِ:

Dijawab: Ketika tempat wajibnya zakat dijadikan sebagai tempat penyalurannya, maka hal itu menuntut agar negeri-negeri di Yaman dibedakan sebagaimana seluruh wilayah Yaman dibedakan. Orang yang membolehkan pemindahan zakat menyamakan antara satu daerah dengan daerah lain dalam hal kebolehan, dan yang melarang pemindahan zakat menyamakan antara satu daerah dengan daerah lain dalam hal larangan. Diriwayatkan dari Mu‘adz bahwa ia berkata: “Siapa saja yang berpindah dari wilayah kabilahnya ke wilayah lain, maka setelah zakat wajib atasnya di tempat asal, tidak boleh dipindahkan dari tempat itu.” Dan hal itu berasal dari perintah yang telah disampaikan Rasulullah ﷺ kepadanya, sehingga menjadi seperti riwayat langsung darinya. Karena hak-hak Allah Ta‘ala terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: عَلَى الْأَبْدَانِ.

Pertama: Yang berkaitan dengan badan.

وَالثَّانِي: فِي الْأَمْوَالِ.

Dan yang kedua: dalam hal harta.

فَلَمَّا كَانَ فِي حُقُوقِ الْأَبْدَانِ مَا يَخْتَصُّ بِمَكَانٍ دُونَ مَكَانٍ، وَهُوَ الطَّوَافُ وَالسَّعْيُ وَالْوُقُوفُ بِعَرَفَةَ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي حُقُوقِ الْأَمْوَالِ مَا يَخْتَصُّ بِمَكَانٍ دُونَ مَكَانٍ، وَهُوَ الزَّكَاةُ وَلِأَنَّ اخْتِصَاصَ الزَّكَاةِ بِالْمَكَانِ كَاخْتِصَاصِهَا بِأَهْلِ السُّهْمَانِ، فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ نَقْلُهَا عَنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ لَمْ يَجُزْ نَقْلُهَا عَنِ الْمَكَانِ.

Karena dalam hak-hak badan terdapat hal-hal yang khusus pada suatu tempat tertentu, yaitu thawaf, sa‘i, dan wuquf di Arafah, maka sudah seharusnya dalam hak-hak harta juga terdapat hal-hal yang khusus pada suatu tempat tertentu, yaitu zakat. Selain itu, kekhususan zakat pada tempat tertentu seperti kekhususannya pada mustahik yang berhak menerima bagian. Maka, sebagaimana tidak boleh memindahkan zakat dari mustahik yang berhak menerima bagian, demikian pula tidak boleh memindahkannya dari tempatnya.

وَأَمَّا الْأَجْوِبَةُ عَنْ دَلَائِلِ الْقَوْلِ الْأَوَّلِ فَالْآيَةُ قَصْدُهَا بَيَانُ أَهْلِ السُّهْمَانِ دُونَ الْمَكَانِ فَلَمْ يُعْدَلْ بِهَا عَنْ مَقْصُودِهَا.

Adapun jawaban atas dalil-dalil pendapat pertama, maka ayat tersebut maksudnya adalah penjelasan tentang mustahik yang berhak menerima bagian, bukan tentang tempat, sehingga tidak boleh dialihkan dari maksudnya.

وَأَمَّا حَدِيثُ قَبِيصَةَ بْنَ الْمُخَارِقِ فَمَحْمُولٌ عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ:

Adapun hadis Qabishah bin Mukharriq, maka dapat ditafsirkan dengan dua kemungkinan:

إِمَّا عَلَى مَا فِي سَوَادِ المدينة من الصدقات أو على ما لم يُوجَدُ فِي بَلَدِ الْمَالِ مُسْتَحِقٌّ لَهَا.

Pertama, berkaitan dengan sedekah yang ada di wilayah sekitar Madinah, atau kedua, berkaitan dengan tidak ditemukannya mustahik zakat di negeri asal harta tersebut.

وَأَمَّا قَوْلُ مُعَاذٍ ” ائْتُونِي بِخَمِيسٍ أَوْ لَبِيسٍ ” فَإِنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى مَالِ الْجِزْيَةِ، لِأَنَّ الْمُهَاجِرِينَ بِالْمَدِينَةِ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ يُصْرَفُ إِلَيْهِمُ الْجِزْيَةُ، وَلَا تُصْرَفُ إِلَيْهِمُ الزَّكَاةُ.

Adapun perkataan Mu‘adz, “Bawalah kepadaku khamis atau labis,” maka itu dimaksudkan untuk harta jizyah, karena para Muhajirin di Madinah dari Bani Hasyim dan Bani Muththalib menerima jizyah, dan tidak diberikan zakat kepada mereka.

وَأَمَّا نَقْلُ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ صَدَقَاتِ قَوْمِهِ فَفِيهِ أَجْوِبَةٌ:

Adapun pemindahan sedekah oleh ‘Adiy bin Hatim dari kaumnya, maka terdapat beberapa jawaban:

أَحَدُهَا: إِنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ قَوْمُهُ حَوْلَ الْمَدِينَةِ وَفِي سَوَادِهَا فَنَقَلَ زَكَاتَهُمْ إِلَى أَهْلِ الْمَدِينَةِ.

Pertama: Bisa jadi kaumnya berada di sekitar Madinah dan wilayah sekitarnya, sehingga ia memindahkan zakat mereka kepada penduduk Madinah.

وَالثَّانِي: إِنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ نَقَلَهَا وَمُسْتَحِقُّوهَا بِالْمَدِينَةِ لِيَتَوَلَّى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَسْمَهَا فِيهِمْ.

Kedua: Bisa jadi ia memindahkannya sementara para mustahiknya berada di Madinah, agar Rasulullah ﷺ yang membagikannya di antara mereka.

وَالثَّالِثُ: إِنَّهُ أَظْهَرَ الطَّاعَةَ بِنَقْلِهَا لَا سِيَّمَا وَقَدْ مَنَعَ النَّاسُ الزَّكَاةَ عَلَى عَهْدِ أَبِي بَكْرٍ ثُمَّ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ رَدَّهَا إِلَيْهِ لِيُفَرِّقَهَا، عَلَى أَنَّهُ قَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ أَنَّهُ رَدَّ عَلَيْهِ صَدَقَاتِ قَوْمِهِ وَأَمَّا الْكَفَّارَةُ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الزَّكَاةِ فِي الْجَوَازِ مَا جَعَلُوهُ فَرْقًا بَيْنَهُمَا فِي الْكَرَاهَةِ لِأَنَّهُمْ كَرِهُوا نَقْلَ الزَّكَاةِ وَلَمْ يَكْرَهُوا نَقْلَ الْكَفَّارَةِ.

Ketiga: Ia menampakkan ketaatan dengan memindahkannya, terutama ketika orang-orang menolak membayar zakat pada masa Abu Bakar. Kemudian bisa jadi zakat itu dikembalikan kepadanya untuk dibagikan, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Bakar bahwa beliau mengembalikan sedekah kaumnya kepadanya. Adapun kafarat, perbedaan antara kafarat dan zakat dalam hal kebolehan adalah sebagaimana perbedaan yang mereka buat antara keduanya dalam hal makruh, karena mereka memakruhkan pemindahan zakat dan tidak memakruhkan pemindahan kafarat.

وَكَذَلِكَ الْجَوَابُ عَنِ الْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ أَنَّ الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا فِي الْكَرَاهَةِ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا فِي الْجَوَازِ عَلَى أَنَّ الصَّلَاةَ لا ينتفع أهل البلد بإقامتها فيهم، وينتفعوا أَهْلُ الْبَلَدِ بِتَفْرِيقِ الزَّكَاةِ فِيهِمْ فَجَازَ أَنْ يكون لهم في فريق الزَّكَاةِ حَقٌّ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ فِي إِقَامَةِ الصَّلَاةِ حَقٌّ.

Demikian pula jawaban atas penggabungan antara shalat dan zakat, yaitu bahwa perbedaan antara keduanya dalam hal makruh menyebabkan perbedaan dalam hal kebolehan. Selain itu, shalat tidak memberikan manfaat khusus bagi penduduk setempat dengan pelaksanaannya di tengah mereka, sedangkan penduduk setempat mendapat manfaat dari pembagian zakat di antara mereka. Maka, boleh jadi mereka memiliki hak dalam pembagian zakat, meskipun mereka tidak memiliki hak dalam pelaksanaan shalat.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ اخْتِصَاصُ الزَّكَاةِ بِمَكَانِهَا وَوُجُوبُ تَفْرِيقِهَا فِي نَاحِيَتِهَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الزَّكَاةِ مِنْ أَنْ تَكُونَ زَكَاةَ مَالٍ أَوْ زَكَاةَ فِطْرٍ، فَإِنْ كَانَتْ زَكَاةَ مَالٍ فَالْمُرَاعَى فِيهَا مَكَانُ الْمَالِ لَا مَكَانُ الْمَالِكِ فَلَوْ كَانَ فِي نَاحِيَةٍ وَمَالُهُ فِي أُخْرَى كَانَ نَاحِيَةُ الْمَالِ وَمَكَانُهُ أَحَقَّ بِتَفْرِيقِ زَكَاتِهِ فِيهَا مِنْ نَاحِيَةِ الْمَالِكِ ثُمَّ فِي نَاحِيَةِ الْمَالِ الَّتِي هِيَ أَحَقُّ بِتَفْرِيقِ زَكَاتِهِ فِيهَا وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا:

Jika telah ditetapkan bahwa zakat itu khusus untuk tempatnya dan wajib dibagikan di wilayahnya, maka zakat tidak lepas dari dua keadaan: zakat harta atau zakat fitrah. Jika zakat harta, maka yang menjadi acuan adalah tempat harta, bukan tempat pemilik harta. Jika seseorang berada di suatu daerah dan hartanya di daerah lain, maka daerah tempat harta itu berada lebih berhak untuk pembagian zakatnya daripada daerah pemilik harta. Kemudian, dalam daerah tempat harta yang lebih berhak untuk pembagian zakatnya itu, terdapat dua pendapat di kalangan ulama kami:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُمَا مِنَ الْمَالِ لِمَسَافَةٍ أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ؛ لِأَنَّهَا مَسَافَةُ الْإِقَامَةِ الَّتِي لَا يُقْصَرُ فِي مِثْلِهَا الصَّلَاةُ فَكَانَتْ حَدًّا لِمُسْتَحَقِّ الزَّكَاةِ.

Pertama: Jika keduanya berada dalam jarak kurang dari sehari semalam, karena itu adalah jarak tinggal yang tidak diperbolehkan mengqashar shalat di dalamnya, maka itu menjadi batas bagi mustahik zakat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهَا الْبَلَدُ الَّذِي فِيهِ الْمَالُ، وَمَا أَحَاطَ بِهِ بِبِنَائِهِ دُونَ مَا خَرَجَ عَنْهُ، وَإِنْ كَانَتْ زَكَاةَ زَرْعٍ وَثَمَرٍ فِي صَحْرَاءَ لَا بُنْيَانَ فِيهَا فَفِي أَقْرَبِ الْبِلَادِ وَالْبُنْيَانِ إِلَيْهَا، وَسَوَاءً كَانَ الْبَلَدُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا يَكُونُ جَمِيعُ أَهْلِ الْبَلَدِ مُسْتَحِقِّينَ لَهَا، وَإِنْ كَانَتْ زَكَاةَ مَالٍ نَاضٍّ، فَإِنْ كَانَ الْبَلَدُ صَغِيرًا فَجَمِيعُ أَهْلِهِ فِيهِ سَوَاءٌ، وَإِنْ كَانَ الْبَلَدُ وَاسِعًا كالبصرة وبغداد كان جبران الْمَالِ مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ أَخَصَّ بِهَا مِنْ غَيْرِهِمْ، وَهَلْ يَكُونُ ذَلِكَ مِنْ طَرِيقِ الْأَوْلَى أَوْ مِنْ طَرِيقِ الِاسْتِحْقَاقِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Sesungguhnya yang dimaksud adalah negeri di mana harta itu berada, dan wilayah yang dikelilingi oleh bangunannya, bukan yang berada di luar wilayah tersebut. Jika zakat itu berupa hasil tanaman dan buah-buahan yang berada di padang pasir yang tidak ada bangunannya, maka zakatnya diberikan kepada negeri dan bangunan terdekat dengannya. Baik negeri itu kecil maupun besar, seluruh penduduk negeri tersebut berhak menerima zakat itu. Jika zakatnya berupa harta tunai, maka jika negerinya kecil, seluruh penduduknya sama dalam hak menerima zakat tersebut. Namun jika negerinya luas seperti Basrah dan Baghdad, maka penduduk negeri tempat harta itu berada lebih berhak menerimanya daripada yang lain. Apakah hal itu karena keutamaan (lebih utama) atau karena hak (berhak secara hukum), terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُمْ أَوْلَى بِهِمَا لِأَجْلِ الْجِوَارِ، وَإِنْ لَمْ يَكُونُوا أَحَقَّ فَإِنْ فُرِّقَتْ فِي غَيْرِهِمْ مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ أَجْزَأَ وَإِنْ عُدِلَ عَنِ الْأَوْلَى.

Salah satunya: Mereka lebih utama menerimanya karena faktor kedekatan (tetangga), meskipun mereka tidak lebih berhak secara mutlak. Jika zakat itu dibagikan kepada selain mereka dari penduduk negeri tersebut, maka itu sudah mencukupi meskipun tidak diberikan kepada yang lebih utama.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهُمْ أَحَقُّ بِهَا وَإِنْ فُرِّقَتْ فِي غَيْرِهِمْ مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ لَمْ يُجْزِهِ إذا قيل إن نقل الزكاة، ولا يُجْزِئُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الجنب} [النساء: 36] يعني الجار ذِي الْقُرْبَى الْجَارَ الْقَرِيبَ فِي نَسَبِهِ، وَبِالْجَارِ الْجُنُبِ الْبَعِيدَ فِي نَسَبِهِ، فَاعْتُبِرَ فِي الْقَرِيبِ والبعيد الجوار ثم قال ” والصاحب بالجنب ” وَفِيهِ ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ:

Pendapat kedua: Mereka lebih berhak menerimanya, dan jika zakat itu dibagikan kepada selain mereka dari penduduk negeri tersebut, maka tidak mencukupi jika dikatakan bahwa zakat itu dipindahkan, dan tidak mencukupi berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {dan tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh} [an-Nisā’: 36], maksudnya tetangga yang dekat adalah tetangga yang dekat secara nasab, dan tetangga yang jauh adalah yang jauh secara nasab. Maka dalam hal ini, baik yang dekat maupun yang jauh, kedekatan bertetangga tetap diperhitungkan. Kemudian Allah berfirman: “dan teman di sampingmu”, yang memiliki tiga tafsiran:

أَحَدُهَا: إِنَّهُ الرَّفِيقُ فِي السفر [وهو قول ابن عباس، ومجاهد، وقتادة] .

Salah satunya: Yaitu teman dalam safar [ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, Mujāhid, dan Qatādah].

وَالثَّانِي: إِنَّهُ الَّذِي يَلْزَمُكَ وَيَصْحَبُكَ رَجَاءَ نَفْعِكَ [وهو قول ابن زيد] .

Kedua: Yaitu orang yang selalu bersamamu dan menempelimu dengan harapan mendapatkan manfaat darimu [ini adalah pendapat Ibnu Zaid].

وَالثَّالِثُ: إِنَّهَا الزَّوْجَةُ الَّتِي تَكُونُ إِلَى جَنْبِكَ [وهو قول ابن مسعود] .

Ketiga: Yaitu istri yang berada di sampingmu [ini adalah pendapat Ibnu Mas‘ūd].

هَذَا إِذَا كَانَ رَبُّ الْمَالِ هُوَ الْمُفَرِّقَ لِزَكَاتِهِ فَأَمَّا إِنْ فَرَّقَهَا الْإِمَامُ أَوْ عَامِلُهُ فَجَمِيعُ أَهْلِ الْبَلَدِ فِيهَا سَوَاءٌ، لِمَا فِي مُرَاعَاةِ الْإِمَامِ لِذَلِكَ مَعَ اجْتِمَاعِ الزَّكَوَاتِ بِيَدِهِ فِي الْمَشَقَّةِ الَّتِي لَا يَقْدِرُ عَلَيْهَا وَلَا يُمْكِنُهُ حِفْظُهَا فَأَمَّا زَكَاةُ الْفِطْرِ، فَإِنْ كَانَ مَالُ الْمُزَكِّي فِي بَلَدٍ أَخْرَجَهَا مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ مَالُهُ فِي غَيْرِ بَلَدِهِ فَفِيهَا وَجْهَانِ:

Ini jika pemilik harta sendiri yang membagikan zakatnya. Adapun jika zakat itu dibagikan oleh imam atau petugasnya, maka seluruh penduduk negeri itu sama dalam hak menerima zakat, karena jika imam harus memperhatikan hal tersebut sementara seluruh zakat terkumpul di tangannya, maka akan timbul kesulitan yang tidak mampu ia tangani dan tidak mungkin ia jaga. Adapun zakat fitri, jika harta muzakki berada di suatu negeri, maka zakat fitri dikeluarkan dari negeri tersebut. Jika hartanya berada di selain negerinya, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُرَاعَى فِيهِ بَلَدُ الْمَالِ لَا بَلَدُ الْمُزَكِّي لِتَعَلُّقِ وُجُوبِهَا بِالْمَالِ فَكَانَ بَلَدُ الْمَالِ أَحَقَّ أَنْ يُرَاعَى كَسَائِرِ الزَّكَوَاتِ.

Salah satunya: Yang diperhatikan adalah negeri tempat harta itu berada, bukan negeri muzakki, karena kewajiban zakat fitri berkaitan dengan harta, maka negeri tempat harta itu berada lebih berhak untuk diperhatikan sebagaimana zakat-zakat lainnya.

وَالثَّانِي: أَنْ يُرَاعَى فِيهِ بَلَدُ الْمُزَكِّي لِأَنَّهَا عَنْهُ لَا عَنْ مَالِهِ فَكَانَ بَلَدُهُ أَنْ يُرَاعَى إِخْرَاجُهَا فِيهِ أَوْلَى مِنْ بَلَدِ مَالِهِ.

Kedua: Yang diperhatikan adalah negeri muzakki, karena zakat fitri itu dikeluarkan atas dirinya, bukan atas hartanya, maka negerinya lebih utama untuk dijadikan tempat pengeluaran zakat fitri daripada negeri tempat hartanya.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَتُرَدُّ حِصَّةُ مَنْ لَمْ يُوجَدْ مِنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ عَلَى مَنْ وُجِدَ مِنْهُمْ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Bagian dari golongan yang tidak ditemukan dari ashāb as-suhmān dikembalikan kepada golongan yang ada dari mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الزَّكَاةَ مُسْتَحَقَّةٌ لِلْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ الْمَنْصُوصِ عَلَيْهِمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فَإِذَا كَانُوا هُمُ الْمُسْتَحِقُّونَ لَهَا لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ.

Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa zakat itu menjadi hak bagi delapan golongan yang telah disebutkan secara tegas dalam Kitab Allah Ta‘ala. Jika mereka adalah orang-orang yang berhak menerimanya, maka zakat tidak lepas dari tiga keadaan.

إِمَّا أَنْ يُفَرِّقَهَا رَبُّ الْمَالِ بِنَفْسِهِ أَوْ يَدْفَعَهَا إِلَى الْإِمَامِ أَوْ يَدْفَعَهَا إِلَى عَامِلِ الْإِمَامِ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَرَّقَهَا رَبُّ الْمَالِ بِنَفْسِهِ سَقَطَ مِنْهَا سَهْمُ الْعَامِلِينَ عَلَيْهَا لِفَقْدِ عَمَلِهِمْ فِيهَا، وَوَجَبَ قَسْمُهَا عَلَى الْأَصْنَافِ السَّبْعَةِ عَلَى سَبْعَةِ أَسْهُمٍ مُتَسَاوِيَةٍ لَا يُفَضِّلُ صِنْفًا عَلَى سَهْمِهِ، وَإِنْ كَانُوا أَمَسَّ حَاجَةً وَلَا يَنْقُصُ صِنْفًا عَنْ سَهْمِهِ وَإِنْ كَانُوا أَقَلَّ حَاجَةً، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى تَوَلَّى قِسْمَتَهَا بِنَفْسِهِ وَقَطَعَ الِاجْتِهَادَ فِيهَا بِتَفْضِيلٍ أَوْ نُقْصَانٍ، فَإِنْ فَضَّلَ صِنْفًا عَلَى غَيْرِهِ كَانَ التَّفْضِيلُ مُتَطَوَّعًا وَضُمِنَ لِلْمَفْضُولِ قَدْرَ حِصَّتِهِ مِنَ الْفَضْلِ كَمَا لَوْ أَسْقَطَ جَمِيعَ سَهْمِهِ صَارَ لِجَمِيعِهِ ضَامِنًا.

Yaitu: Pemilik harta membagikannya sendiri, atau menyerahkannya kepada imam, atau menyerahkannya kepada petugas imam yang mengurusi zakat. Jika pemilik harta membagikannya sendiri, maka gugur hak bagian untuk para ‘āmil (petugas zakat) karena mereka tidak bekerja dalam pembagian tersebut. Maka wajib membaginya kepada tujuh golongan dengan tujuh bagian yang sama, tidak boleh mengutamakan satu golongan atas bagiannya meskipun mereka lebih membutuhkan, dan tidak boleh mengurangi bagian satu golongan meskipun mereka kurang membutuhkan. Karena Allah Ta‘ala sendiri yang membagi zakat itu dan menutup pintu ijtihad dalam hal keutamaan atau pengurangan. Jika seseorang mengutamakan satu golongan atas yang lain, maka keutamaan itu dianggap sebagai sedekah sunnah, dan ia wajib menjamin bagian golongan yang tidak diutamakan dari kelebihan yang diberikan, sebagaimana jika ia menghapus seluruh bagian suatu golongan, maka ia wajib menjamin seluruh hak mereka.

فَأَمَّا سَهْمُ كُلِّ صِنْفٍ فَإِنْ قَدَرَ عَلَى تَفْرِيقِهِ فِي جَمِيعِ الصِّنْفِ كَانَ أَوْلَى، وَإِنْ فَرَّقَهُ فِي بَعْضِ الصِّنْفِ أَجْزَأَهُ إِذَا فَرَّقَهُ فِي ثَلَاثَةٍ مِنْهُمْ فَصَاعِدًا، وَلَا يُجْزِئُهُ أَنْ يُفَرِّقَهُ فِي أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ إِذَا وُجِدُوا لِأَنَّهُمْ أَقَلُّ الْجَمْعِ الْمُطْلَقِ، وَلَهُ الْخِيَارُ فِي الصِّنْفِ الْوَاحِدِ بَيْنَ التَّسْوِيَةِ بَيْنَهُمْ وَالتَّفْضِيلِ، وَالْأَوْلَى أَنْ يَكُونَ بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ حَاجَتِهِمْ فَإِنْ تَسَاوَوْا فِي الْحَاجَةِ سَوَّى بَيْنَهُمْ فِي الْعَطِيَّةِ، وَإِنْ كَانَ لَوْ فَاضَلَ أَجَزَأَ وَإِنْ تَفَاضَلُوا فِي الْحَاجَةِ فَاضَلَ بَيْنَهُمْ فِي العطية، وإن كَانَ لَوْ سَوَّى أَجْزَأَهُ فَلَوْ فَرَّقَ سَهْمَ الصِّنْفِ الْوَاحِدِ فِي أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ وَدَفَعَهُ إِلَى اثْنَيْنِ فَإِنْ كَانَ لِعَدَمِ الثَّالِثِ مِنْ ذَلِكَ الصِّنْفِ أَجْزَأَهُ، وَإِنْ كَانَ مَعَ وُجُودِهِ ضَمِنَ حِصَّةَ الثَّالِثِ، وَفِي قَدْرِهَا وَجْهَانِ:

Adapun bagian untuk setiap kelompok, jika memungkinkan untuk membagikannya kepada seluruh anggota kelompok, maka itu lebih utama. Namun jika ia membagikannya hanya kepada sebagian dari kelompok tersebut, maka itu sudah mencukupi asalkan dibagikan kepada minimal tiga orang dari kelompok itu atau lebih. Tidak sah jika dibagikan kepada kurang dari tiga orang jika memang mereka ada, karena tiga adalah jumlah terkecil dari suatu kelompok secara mutlak. Dalam satu kelompok, ia memiliki pilihan antara membagi rata di antara mereka atau memberikan keutamaan kepada sebagian, dan yang lebih utama adalah pembagian sesuai dengan kebutuhan mereka. Jika kebutuhan mereka sama, maka dibagi rata dalam pemberian. Namun jika ia mengutamakan sebagian, itu pun sah. Jika kebutuhan mereka berbeda, maka ia boleh mengutamakan yang lebih membutuhkan dalam pemberian, dan jika ia membagi rata pun tetap sah. Jika ia membagikan bagian satu kelompok kepada kurang dari tiga orang, misal hanya kepada dua orang, maka jika memang tidak ada orang ketiga dari kelompok itu, maka itu sah. Namun jika orang ketiga ada, maka ia wajib menanggung bagian orang ketiga tersebut. Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُ ثُلُثَ ذَلِكَ السَّهْمِ اعْتِبَارًا بِالتَّسَاوِي فِيهِ.

Pertama: Ia wajib menanggung sepertiga dari bagian tersebut, dengan pertimbangan pembagian yang rata.

وَالثَّانِي: يَضْمَنُ قَدْرَ الْإِجْزَاءِ وَهُوَ الْقَلِيلُ الَّذِي لَوْ أَعْطَاهُ ثَالِثًا أَجْزَأَهُ.

Kedua: Ia wajib menanggung sebesar jumlah minimal yang jika diberikan kepada orang ketiga maka sudah mencukupi.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا دَفَعَهَا إِلَى الْإِمَامِ سَقَطَ عَنْهُ فَرْضُهَا بِقَبْضِ الْإِمَامِ؛ لِأَنَّهُ نَائِبٌ عَنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ فِي فَرْضِهَا فَصَارَتْ يَدُهُ كَأَيْدِيهِمْ ثُمَّ سَهْمُ الْعَامِلِينَ عَلَيْهَا قَدْ سَقَطَ مِنْهَا لِفَقْدِ عَمَلِهِمْ، وَلَيْسَ لِلْإِمَامِ أَخْذُهُ لِأَنَّ نَظَرَهُ لَا يَخْتَصُّ بِالصَّدَقَاتِ وَإِنْ تَوَلَّاهَا فَلَمْ يَسْتَحِقَّ فِيهَا سَهْمًا، وَإِنَّمَا هُوَ عَامُّ النَّظَرِ وَرِزْقُهُ فِي مَالِ الْغَيْرِ ثُمَّ هُوَ بِالْخِيَارِ بِحَسَبِ مَا يُؤَدِّيهِ اجْتِهَادُهُ إِلَيْهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أُمُورٍ: إِمَّا أَنْ يُفَرِّقَ كُلَّ صَدَقَةٍ فِي جَمِيعِ الْأَصْنَافِ وَإِمَّا أَنْ يَجْمَعَ جَمِيعَ الصَّدَقَاتِ وَيُفَرِّقَهَا بِالتَّسْوِيَةِ بَيْنَ جَمِيعِ الْأَصْنَافِ ثُمَّ يُفَاضِلُ بَيْنَ كُلِّ صِنْفٍ أَوْ يُسَاوِي، وَإِمَّا أَنْ يَدْفَعَ كُلَّ صَدَقَةٍ إِلَى أَحَدِ الْأَصْنَافِ فَيُرَاعِي التَّسْوِيَةَ بَيْنَهُمْ فِي جَمِيعِ الصَّدَقَاتِ، فَإِنْ أَخَلَّ بِصِنْفٍ مِنَ الْأَصْنَافِ فَلَمْ يُعْطِهِمْ شَيْئًا مِنْ جَمِيعِ الصَّدَقَاتِ ضَمِنَ فِي أَمْوَالِ الصَّدَقَاتِ لَا فِي مَالِ نَفْسِهِ قَدْرَ سَهْمِهِمْ من تلك الصدقات وخالف في ذلك رب المال الذي لا يضمنه في مال نفسه.

Jika ia menyerahkan zakat kepada imam, maka gugurlah kewajiban zakatnya dengan diterimanya oleh imam, karena imam adalah wakil dari para penerima zakat dalam menunaikan kewajiban tersebut, sehingga tangan imam dianggap seperti tangan mereka. Kemudian, bagian untuk para ‘āmil (petugas zakat) gugur jika tidak ada pekerjaan mereka, dan imam tidak berhak mengambil bagian itu karena tugasnya tidak khusus untuk zakat saja. Jika ia mengurus zakat, ia tidak berhak mendapat bagian dari zakat, karena tugasnya bersifat umum dan penghasilannya berasal dari harta lain. Selanjutnya, imam memiliki pilihan, sesuai dengan hasil ijtihadnya, di antara tiga hal: Pertama, membagikan setiap zakat kepada seluruh kelompok penerima; kedua, mengumpulkan seluruh zakat lalu membaginya secara rata kepada semua kelompok, kemudian mengutamakan sebagian kelompok atau membagi rata; ketiga, memberikan setiap zakat kepada salah satu kelompok saja, dengan memperhatikan pembagian rata di antara mereka dalam seluruh zakat. Jika ia mengabaikan satu kelompok dan tidak memberikan apa pun dari seluruh zakat, maka ia wajib menanggung bagian kelompok itu dari harta zakat, bukan dari hartanya sendiri, sebesar bagian mereka dari zakat tersebut. Dalam hal ini berbeda dengan pemilik harta, yang tidak menanggungnya dari hartanya sendiri.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ دَفَعَهَا إِلَى الْعَامِلِ أَجْزَأَهُ وَكَانَ سَهْمُ الْعَامِلِ فِيهَا ثَابِتًا فَإِنْ فَوَّضَ الْإِمَامُ إِلَيْهِ جِبَايَتَهَا وَتَفْرِيقَهَا أَخَذَ سَهْمَ الْجِبَايَةِ وَالتَّفْرِيقِ وَفَعَلَ فِيهَا مِثْلَ مَا فَعَلَهُ الْإِمَامُ إِلَّا أَنَّ خِيَارَهُ بَيْنَ أَمْرَيْنِ بَيْنَ أَنْ يُفَرِّقَ كُلَّ صَدَقَةٍ فِي جَمِيعِ الْأَصْنَافِ، وَبَيْنَ أَنْ يَجْمَعَ جَمِيعَ الصَّدَقَاتِ وَيَصْرِفَهَا فِي جَمِيعِ الْأَصْنَافِ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَخُصَّ بِكُلِّ صَدَقَةٍ صِنْفًا كَالْإِمَامِ لِأَنَّ نَظَرَ الْعَامِلِ خَاصٌّ لَا يَسْتَقِرُّ إل اعلى ما جباه وربما صرف فلم يقضي بَاقِيَ الْأَصْنَافِ، وَإِنِ اقْتَصَرَ الْإِمَامُ بِالْعَامِلِ عَلَى جِبَايَةِ الصَّدَقَاتِ دُونَ تَفْرِيقِهَا أَخَذَ الْعَامِلُ مِنْهَا قَدْرَ حَقِّهِ مِنَ الْجِبَايَةِ دُونَ التَّفْرِقَةِ وَلَمْ يَكُنْ لِلْعَامِلِ أَنْ يُفَرِّقَهَا، فَإِنْ فَرَّقَهَا ضَمِنَ مَا فَرَّقَهُ فِي مَالِ نَفْسِهِ، وَكَانَ الْإِمَامُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَتَوَلَّى تَفْرِيقَهَا بِنَفْسِهِ فَيُسْقِطُ مِنْهَا سَهْمَ التَّفْرِقَةِ، وَبَيْنَ أَنْ يُوَلِّيَ مِنْ عُمَّالِ الصَّدَقَاتِ مَنْ يُفَرِّقُهَا فَيَأْخُذُ مِنْهَا سَهْمَ التَّفْرِقَةَ.

Jika ia menyerahkan zakat kepada ‘āmil, maka itu sudah mencukupi dan bagian ‘āmil tetap ada di dalamnya. Jika imam memberi wewenang kepada ‘āmil untuk memungut dan membagikan zakat, maka ‘āmil berhak atas bagian pemungutan dan pembagian, dan ia melakukan seperti yang dilakukan imam, kecuali pilihannya hanya dua: membagikan setiap zakat kepada seluruh kelompok, atau mengumpulkan seluruh zakat lalu membagikannya kepada seluruh kelompok. Ia tidak boleh mengkhususkan setiap zakat untuk satu kelompok saja seperti imam, karena tugas ‘āmil bersifat khusus dan tidak tetap kecuali pada apa yang ia pungut, dan bisa jadi ia membagikan zakat tanpa memenuhi hak kelompok lain. Jika imam hanya memberi tugas kepada ‘āmil untuk memungut zakat tanpa membagikannya, maka ‘āmil hanya berhak atas bagian pemungutan, bukan pembagian, dan tidak boleh membagikan zakat. Jika ia membagikannya, maka ia wajib menanggung apa yang telah ia bagikan dari hartanya sendiri. Imam memiliki pilihan antara membagikan sendiri zakat tersebut sehingga bagian pembagian gugur, atau menunjuk salah satu ‘āmil zakat untuk membagikannya sehingga ia berhak atas bagian pembagian.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا عَدِمَ بَعْضَ الْأَصْنَافِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun jika sebagian kelompok penerima tidak ada, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَعْدُمُوا فِي جَمِيعِ الْبِلَادِ فَيُسْقِطُ سَهْمَهُمْ بِعَدَمِهِمْ وَيُقَسِّمُ الصَّدَقَةَ عَلَى مَنْ وَجَدَ مِنْهُمْ فَإِنْ كَانَ الْبَاقُونَ مِنَ الْأَصْنَافِ خَمْسَةً قُسِّمَتِ الزَّكَاةُ عَلَى خَمْسَةِ أَسْهُمٍ لِكُلِّ صِنْفٍ مِنْهُمْ سَهْمٌ، وَإِنْ بَقِيَ ثَلَاثَةُ أَصْنَافٍ قُسِّمَتْ عَلَى ثَلَاثَةِ أَسْهُمٍ لِكُلِّ صِنْفٍ سَهْمٌ.

Pertama: Jika mereka tidak ditemukan di seluruh negeri, maka hak mereka gugur karena ketiadaan mereka, dan zakat dibagikan kepada golongan yang ada dari mereka. Jika golongan yang tersisa ada lima, maka zakat dibagi menjadi lima bagian, masing-masing golongan mendapat satu bagian. Jika yang tersisa tiga golongan, maka dibagi menjadi tiga bagian, masing-masing golongan mendapat satu bagian.

فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيْسَ لَوْ وَصَّى بثلثه لثلاثة فقد أحدهما لَمْ يَرُدَّ سَهْمَهُ عَلَى مَنْ وَجَدَ فَهَلَّا كَانَتْ سِهَامُ الْأَصْنَافِ هَكَذَا، قِيلَ: لِأَنْ لَيْسَ للصدقات غَيْرَ الْأَصْنَافِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُرَدَّ سَهْمُ الْمَفْقُودِ عَلَيْهِمْ وَالضَّرْبُ عَلَى غَيْرِهِمْ، وَلِمَالِ الْمَيِّتِ مَصْرِفٌ غَيْرُ أَهْلِ الْوَصَايَا فَلَمْ يُرَدَّ سَهْمُ المفقود عليهم.

Jika ada yang bertanya: Bukankah jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya kepada tiga orang lalu salah satunya tidak ada, maka bagiannya tidak dikembalikan kepada yang ada? Mengapa bagian golongan zakat tidak seperti itu? Maka dijawab: Karena zakat hanya diperuntukkan bagi golongan-golongan tertentu, sehingga tidak boleh bagian yang hilang dikembalikan kepada mereka atau diberikan kepada selain mereka. Sedangkan harta orang yang wafat memiliki saluran distribusi selain ahli wasiat, sehingga bagian yang hilang tidak dikembalikan kepada mereka.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَعْدُمُوا فِي بَلَدِ الْمَالِ وَيُوجَدُوا فِي غَيْرِ الْبِلَادِ، فَيَنْقَسِمُ حَالُ مَنْ عُدِمَ مِنْهُمْ فِي بَلَدِ الْمَالِ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: قِسْمٌ يُنْقَلُ سَهْمُهُمْ، وَقِسْمٌ لَا يُنْقَلُ سَهْمُهُمْ، وَقِسْمٌ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي نَقْلِ سَهْمِهِمْ، فَأَمَّا مَنْ يُنْقَلُ سَهْمُهُمْ إِلَى الْبِلَادِ الَّتِي يُوجَدُونَ فِيهَا فَهُمُ الْغُزَاةُ يُنْقَلُ سَهْمُ سَبِيلِ اللَّهِ الْمَصْرُوفُ إِلَيْهِمْ مِنْ بَلَدِ الْمَالِ الَّذِي فُقِدُوا فِيهِ إِلَى الْبِلَادِ الَّتِي يُوجَدُونَ فِيهَا مِنَ الثُّغُورِ وَغَيْرِهَا؛ لِأَنَّهُمْ يَكْثُرُونَ فِي الثُّغُورِ وَيَقِلُّونَ فِي غَيْرِهَا فَلَمْ يَكْتَفُوا بِسَهْمِهِمْ مِنْ صَدَقَاتِ بِلَادِهِمْ، وَأَمَّا مَنْ لَا يُنْقَلُ سَهْمُهُمْ فَهُمُ الْعَامِلُونَ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّهُمْ إِذَا قَعَدُوا قَامَ أَرْبَابُ الْأَمْوَالِ مَقَامَهُمْ فِيهَا؛ وَلِأَنَّ سَهْمَهُمْ يَسْقُطُ مَعَ الْحُضُورِ إِذَا لَمْ يَعْمَلُوا فَكَيْفَ بِهِمْ إِذَا قَعَدُوا، وَأَمَّا مَنِ اخْتَلَفَ مِنْ أَصْحَابِنَا فِي نَقْلِ سَهْمِهِمْ فَهُمْ بَاقِي الْأَصْنَافِ، وَفِيهِمْ وَجْهَانِ:

Jenis kedua: Jika mereka tidak ditemukan di negeri tempat harta berada, tetapi ditemukan di negeri lain, maka keadaan golongan yang tidak ditemukan di negeri harta terbagi menjadi tiga: golongan yang bagiannya dipindahkan, golongan yang bagiannya tidak dipindahkan, dan golongan yang para ulama kami berbeda pendapat tentang pemindahan bagiannya. Adapun golongan yang bagiannya dipindahkan ke negeri tempat mereka ditemukan adalah para mujahid; bagian fi sabilillah yang dialokasikan untuk mereka dipindahkan dari negeri tempat harta itu berada ke negeri tempat mereka ditemukan, baik di perbatasan maupun di tempat lain. Sebab, mereka lebih banyak di perbatasan dan sedikit di tempat lain, sehingga bagian zakat dari negeri mereka sendiri tidak mencukupi. Adapun golongan yang bagiannya tidak dipindahkan adalah para amil zakat, karena jika mereka tidak bekerja, para pemilik harta akan menggantikan posisi mereka di negeri tersebut; dan karena bagian mereka gugur saat mereka hadir namun tidak bekerja, maka lebih utama lagi gugur jika mereka tidak bekerja sama sekali. Adapun golongan yang para ulama kami berbeda pendapat tentang pemindahan bagiannya adalah golongan-golongan yang tersisa, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُنْقَلُ اعْتِبَارًا بِتَغْلِيبِ الْمَكَانِ عَلَى الصِّنْفِ وَيُقَسَّمُ عَلَى مَنْ وُجِدَ دُونَ مَنْ فُقِدَ كَمَا يُعْتَبَرُ عَدَمُ الْمَاءِ فِي جَوَازِ التَّيَمُّمِ لِمَكَانِ عَدَمِهِ، وَيُعْتَبَرُ حَالُ ابْنِ السَّبِيلِ بِمَكَانِ حَاجَتِهِ.

Pertama: Tidak dipindahkan, dengan pertimbangan mengutamakan tempat daripada golongan, sehingga zakat dibagikan kepada yang ada dan tidak kepada yang tidak ada, sebagaimana tidak adanya air menjadi alasan bolehnya tayammum karena ketiadaan air di tempat tersebut, dan keadaan ibnu sabil dipertimbangkan berdasarkan tempat kebutuhannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُنْقَلُ اعْتِبَارًا بِتَغْلِيبِ الصِّنْفِ عَلَى الْمَكَانِ فَيُنْقَلُ إِلَى أَقْرَبِ الْبِلَادِ الَّتِي تُوجَدُ فِيهَا مَنْ فُقِدَ مِنَ الْأَصْنَافِ، لِأَنَّ اسْتِحْقَاقَ الْأَصْنَافِ لَهَا ثَابِتٌ بِالنَّصِّ وَاخْتِصَاصَ الْمَكَانِ بِهَا ثَابِتٌ بِالِاجْتِهَادِ، فَإِذَا تَعَارَضَ كَانَ تَغْلِيبُ مَا ثَبَتَ بِالنَّصِّ أَوْلَى مِنْ تَغْلِيبِ مَا ثَبَتَ بِالِاجْتِهَادِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Pendapat kedua: Dipindahkan, dengan pertimbangan mengutamakan golongan daripada tempat, sehingga dipindahkan ke negeri terdekat di mana golongan yang tidak ditemukan itu ada. Sebab, hak golongan atas zakat ditetapkan berdasarkan nash, sedangkan kekhususan tempat ditetapkan berdasarkan ijtihad. Maka, jika terjadi pertentangan, mengutamakan yang ditetapkan dengan nash lebih utama daripada yang ditetapkan dengan ijtihad. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَيُجْمِعُ أَهْلُ السُّهْمَانِ أَنَّهُمْ أَهْلُ حَاجَةٍ إِلَى مَالِهِمْ مِنْهَا وَأَسْبَابُ حَاجَتِهِمْ مُخْتَلِفَةٌ وَكَذَلِكَ أَسْبَابُ اسْتِحْقَاقِهِمْ مَعَانٍ مُخْتَلِفَةٌ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Para penerima bagian zakat sepakat bahwa mereka adalah orang-orang yang membutuhkan harta tersebut, namun sebab kebutuhan mereka berbeda-beda, demikian pula sebab mereka berhak menerima zakat adalah makna-makna yang berbeda.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ مَالُ الصَّدَقَاتِ لَا يَنْصَرِفُ إِلَّا فِي ذَوِي الْحَاجَاتِ إِلَّا أَنَّهَا ضَرْبَانِ:

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa harta zakat tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang membutuhkan, hanya saja mereka terbagi menjadi dua golongan:

أَحَدُهُمَا: مَنْ يُدْفَعُ إِلَيْهِ لِحَاجَتِهِ إِلَيْهَا وَهُمُ الْفُقَرَاءُ وَالْمَسَاكِينُ والمكاتبون وأحد صنفي الغارمين الذي أُذِنُوا فِي مَصَالِحِ أَنْفُسِهِمْ وَبَنُو السَّبِيلِ.

Pertama: Mereka yang diberikan zakat karena kebutuhan mereka terhadapnya, yaitu para fakir, miskin, mukatab, salah satu dari dua golongan gharim yang diizinkan untuk kepentingan pribadi mereka, dan ibnu sabil.

وَالضَّرْبُ الثاني: من تدفع إليه لحاجتنا إليه وهو الْعَامِلُونَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةُ قُلُوبُهُمْ، وَأَحَدُ صِنْفَيِ الْغَارِمِينَ وَهُمُ الَّذِينَ أُذِنُوا فِي صَلَاحِ ذَاتِ الْبَيْنِ، وَالْغُزَاةِ، فَمَنْ دُفِعَتْ إِلَيْهِ لِحَاجَتِهِ إِلَيْهَا لَمْ يَسْتَحِقَّهَا إِلَّا مَعَ الْفَقْرِ وَلَمْ يُجْزِ أَنْ يُدْفَعَ إِلَيْهِ مَعَ الْغِنَى.

Golongan kedua: Mereka yang diberikan zakat karena kita membutuhkan mereka, yaitu para amil zakat, muallaf, salah satu dari dua golongan gharim yang diizinkan untuk mendamaikan perselisihan, dan para mujahid. Maka, siapa yang diberikan zakat karena kebutuhannya terhadap zakat, tidak berhak menerimanya kecuali dalam keadaan fakir, dan tidak sah diberikan kepadanya dalam keadaan kaya.

وَمَنْ دُفِعَتْ إِلَيْهِ لِحَاجَتِنَا إِلَيْهِ جَازَ أَنْ تُدْفَعَ إِلَيْهِ مَعَ الْغِنَى وَالْفَقْرِ ثُمَّ يَنْقَسِمُ جَمِيعُهُمْ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: فَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهَا وَيَسْتَحِقُّهَا بِسَبَبٍ مُتَقَدِّمٍ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهَا وَيَسْتَحِقُّهَا بِسَبَبٍ مُسْتَحْدَثٍ، فَأَمَّا الَّذِي يَأْخُذُهَا وَيَسْتَحِقُّهَا بِسَبَبٍ مُتَقَدِّمٍ فَهُمْ ثَلَاثَةُ أَصْنَافٍ: الْفُقَرَاءُ، وَالْمَسَاكِينُ، وَالْعَامِلُونَ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ السَّبَبَ الَّذِي بِهِ أَخَذُوا وَبِهِ اسْتَحَقُّوا هُوَ الْفَقْرُ وَالْمَسْكَنَةُ وَالْعَمَلُ، وَذَلِكَ مُتَقَدِّمٌ عَلَى الْأَخْذِ فَإِذَا قَبَضُوهَا فَقَدِ اسْتَقَرَّ مِلْكُهُمْ عَلَيْهَا فَلَا يَجُوزُ أَنْ تُسْتَرْجَعَ مِنْهُمْ وَإِنْ زَالَ سَبَبُ اسْتِحْقَاقِهِمْ.

Dan barang siapa yang diberikan (zakat) kepadanya karena kita membutuhkan jasanya, maka boleh diberikan kepadanya baik ia kaya maupun miskin. Kemudian seluruh golongan ini terbagi menjadi tiga kelompok: di antara mereka ada yang menerimanya dan berhak atasnya karena sebab yang telah ada sebelumnya, ada pula yang menerimanya dan berhak atasnya karena sebab yang baru muncul. Adapun yang menerima dan berhak atasnya karena sebab yang telah ada sebelumnya, mereka adalah tiga golongan: fuqara (orang-orang fakir), masakin (orang-orang miskin), dan ‘amil (petugas zakat); karena sebab yang membuat mereka menerima dan berhak atasnya adalah kefakiran, kemiskinan, dan pekerjaan (‘amal), dan itu telah ada sebelum penerimaan. Maka apabila mereka telah menerima zakat tersebut, kepemilikan mereka atasnya telah tetap, sehingga tidak boleh diambil kembali dari mereka meskipun sebab yang membuat mereka berhak telah hilang.

وَأَمَّا الَّذِي يَأْخُذُهَا وَيَسْتَحِقُّهَا بِسَبَبٍ مُسْتَحْدَثٍ فَهُمْ صِنْفَانِ: بَنُو السَّبِيلِ، وَالْغُزَاةُ، فَيَأْخُذُ ابْنُ السَّبِيلِ لِيَبْتَدِئَ سَفَرَهُ، وَيَأْخُذُ الْغَازِي لِيَبْتَدِئَ جِهَادَهُ، فَإِذَا أَخَذُوا سَهْمَهُمْ مِنْهَا لَمْ يَسْتَقِرَّ مِلْكُهُمْ عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ يُسَافِرَ ابْنُ السَّبِيلِ وَيُجَاهِدَ الْغَازِي فَيَسْتَقِرُّ حِينَئِذٍ مِلْكُهُمْ عَلَى مَا أَخَذُوا، فَإِنْ لَمْ يُسَافِرِ ابْنُ السَّبِيلِ وَلَمْ يُجَاهِدِ الْغَازِي اسْتَرْجَعَ مِنْهُمَا مَا أَخَذَاهُ لِفَقْدِ السَّبَبِ الَّذِي يُعْتَبَرُ بِهِ الْأَخْذُ وَالِاسْتِحْقَاقُ، وَأَمَّا الَّذِي يَأْخُذُهَا بِسَبَبٍ مُتَقَدِّمٍ وَاسْتِحْقَاقٍ مُسْتَحْدَثٍ فَهُمْ ثَلَاثَةُ أَصْنَافٍ الْمُؤَلَّفَةُ قُلُوبُهُمْ يُدْفَعُ إِلَيْهِمْ لِتَغَيُّرِ نِيَّاتِهِمُ الْمُتَقَدِّمَةِ وَيَسْتَحِقُّونَهَا بِجِنْسِ نِيَّاتِهِمُ الْمُسْتَحْدَثَةِ وَالْمُكَاتَبُونَ يَأْخُذُونَهَا لِلْبَاقِي عليهم من أموال كتابتهم ويستحقونها بما يَسْتَحْدِثُونَ مِنْ قَضَاءِ دُيُونِهِمْ وَزَوَالِ غُرْمِهِمْ، فَهَؤُلَاءِ إِنْ حَدَثَ مِنْهُمْ بَعْدَ أَخْذِهَا مَا بِهِ يَسْتَقِرُّ الِاسْتِحْقَاقُ مِنْ حُسْنِ نِيَّاتِ الْمُؤَلَّفَةِ وَعِتْقِ الْمُكَاتَبِينَ بِالْأَدَاءِ وَقَضَاءِ دُيُونِ الْغَارِمِينَ بِالْقَضَاءِ فَلَا يَجُوزُ الرُّجُوعُ عَلَيْهِمْ بِشَيْءٍ مِنْهَا لِاسْتِقْرَارِ الِاسْتِحْقَاقِ، وَالْحَادِثُ بَعْدَ الْأَخْذِ بِالسَّبَبِ الْمُتَقَدِّمِ وَإِنْ لَمْ يَحْدُثْ مِنْهُمْ بَعْدَ الْأَخْذِ مَا يَسْتَقِرُّ بِهِ الِاسْتِحْقَاقُ فَلَمْ يَحْسُنْ بِهِ نِيَّاتُ الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ، وَلَمْ يُؤَدِّ الْمُكَاتَبُونَ ذَلِكَ فِي عِتْقِهِمْ وَلَا قَضَاهُ الْغَارِمُونَ فِي دُيُونِهِمْ فَهَذَا يُنْظَرُ، فَإِنْ كَانَ سَبَبُ الْأَخْذِ بَاقِيًا وَهُوَ بَقَاءُ الْكِتَابَةِ عَلَى الْمُكَاتَبِينَ وَبَقَاءُ الدَّيْنِ عَلَى الْغَارِمِينَ لَمْ يُسْتَرْجَعْ ذَلِكَ مِنْهُمْ؛ لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُسْتَأْنَفَ دَفْعُهَا إِلَيْهِمْ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسْتَرْجَعَ الْمُتَقَدِّمُ مِنْهُمْ وَكَذَلِكَ الْمُؤَلَّفَةُ لِأَنَّ ضَعْفَ نِيَّاتِهِمُ الَّتِي قصدوا له بتآلفهم باق ويقتضي اسْتِئْنَافَ الْعَطَاءِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعَارَضَ بِالِاسْتِرْجَاعِ الْمُنْكَرِ وَإِنْ كَانَ سَبَبُ الْأَخْذِ قَدْ زَالَ مَعَ بَقَاءِ الصَّدَقَةِ بِأَيْدِيهِمْ كَعِتْقِ الْمُكَاتَبِ تَبَرُّعًا أَوْ بِأَدَاءِ مَنْ كَسَبَ وَزَالَ الْغُرْمُ بِإِبْرَاءٍ أَوْ بِقَضَاءٍ مِنْ كَسْبٍ اسْتُرْجِعَتْ مِنْهُمْ؛ لِأَنَّ سبب الاستحقاق لم يوجد.

Adapun yang menerima dan berhak atasnya karena sebab yang baru muncul, mereka adalah dua golongan: ibn sabil (musafir yang kehabisan bekal) dan para ghuzat (pejuang di jalan Allah). Ibn sabil menerima zakat untuk memulai perjalanannya, dan ghazi (pejuang) menerimanya untuk memulai jihadnya. Maka apabila mereka telah menerima bagian mereka dari zakat, kepemilikan mereka atasnya belum tetap kecuali setelah ibn sabil benar-benar melakukan perjalanan dan ghazi benar-benar berjihad. Saat itulah kepemilikan mereka atas apa yang telah mereka terima menjadi tetap. Namun, jika ibn sabil tidak melakukan perjalanan dan ghazi tidak berjihad, maka apa yang telah mereka terima harus diambil kembali dari mereka, karena sebab yang menjadi dasar penerimaan dan hak mereka tidak terpenuhi. Adapun yang menerima zakat karena sebab yang telah ada sebelumnya namun haknya baru muncul kemudian, mereka adalah tiga golongan: mu’allaf qulubuhum (orang yang dilunakkan hatinya), mereka diberikan zakat karena perubahan niat mereka yang terdahulu dan mereka berhak atasnya karena niat baru mereka; mukatabun (budak yang ingin memerdekakan diri) menerima zakat untuk membayar sisa uang penebusan mereka dan berhak atasnya karena mereka melunasi utang mereka dan terbebas dari tanggungan; demikian pula gharimun (orang yang berutang), mereka menerima zakat untuk melunasi utang mereka dan berhak atasnya setelah utang mereka lunas. Maka, jika setelah menerima zakat terjadi sesuatu yang membuat hak mereka menjadi tetap, seperti baiknya niat mu’allaf qulubuhum, merdekanya mukatab dengan pembayaran, dan lunasnya utang gharimun dengan pelunasan, maka tidak boleh diambil kembali dari mereka sedikit pun karena hak mereka telah tetap. Namun, jika setelah menerima zakat tidak terjadi sesuatu yang membuat hak mereka menjadi tetap—misalnya niat mu’allaf qulubuhum tidak menjadi baik, mukatab tidak melunasi penebusan, dan gharimun tidak melunasi utangnya—maka hal ini perlu ditinjau. Jika sebab penerimaan masih ada, yaitu masih adanya akad kitabah pada mukatab dan masih adanya utang pada gharimun, maka tidak diambil kembali dari mereka, karena boleh jadi zakat akan diberikan lagi kepada mereka, sehingga tidak boleh diambil kembali apa yang telah diberikan sebelumnya. Demikian pula mu’allaf qulubuhum, karena lemahnya niat yang menjadi tujuan pemberian zakat kepada mereka masih ada, dan hal itu membolehkan pemberian zakat berikutnya, maka tidak boleh diambil kembali dengan alasan yang tidak dibenarkan. Namun, jika sebab penerimaan telah hilang sementara zakat masih ada di tangan mereka—seperti mukatab telah merdeka secara sukarela atau dengan pembayaran dari penghasilan sendiri, atau gharimun telah bebas dari utang karena dihapuskan atau dilunasi dari penghasilan sendiri—maka zakat tersebut diambil kembali dari mereka, karena sebab hak mereka tidak terpenuhi.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” فَإِذَا اجْتَمَعُوا فَالْفُقَرَاءُ الزَّمْنَى الضِّعَافُ الَّذِينَ لَا حِرْفَةَ لَهُمْ وَأَهْلُ الْحِرْفَةِ الضَّعِيفَةِ الَّذِينَ لَا تَقَعُ فِي حِرْفَتِهِمْ مَوْقِعًا مِنْ حَاجَتِهِمْ وَلَا يسألون الناس (وقال) وفي الجديد زمنا كان أولى أو غير زمن سائلا أو متعففا (قال الشافعي) والمساكين السؤال ومن لا يسأل ممن له حرفة لا تقع منه موقعا ولا تغنيه ولا عياله وقال في الجديد سائلا كان أو غير سائل (قال المزني) أشبه بقوله ما قاله في الجديد لأنه قال لأن أهل هذين السهمين يستحقونهما بمعنى العدم وقد يكون السائل بين من يقل معطيهم وصالح متعفف بين من يبدونه بعطيتهم “.

Berkata asy-Syafi‘i: “Apabila mereka berkumpul, maka yang dimaksud adalah para fakir yang lemah, orang-orang yang tidak memiliki keahlian, dan orang-orang yang memiliki keahlian namun lemah, yang keahliannya tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka, serta mereka yang tidak meminta-minta kepada manusia. (Ia berkata:) Dalam pendapat baru, orang yang lumpuh lebih utama, atau selain orang lumpuh yang meminta-minta atau yang menjaga kehormatan diri. (Asy-Syafi‘i berkata:) Sedangkan miskin adalah mereka yang meminta-minta dan juga yang tidak meminta-minta, yaitu mereka yang memiliki keahlian namun keahliannya tidak mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Dalam pendapat baru, baik ia meminta-minta ataupun tidak meminta-minta. (Al-Muzani berkata:) Yang lebih mirip dengan pendapatnya adalah apa yang ia katakan dalam pendapat baru, karena ia berkata bahwa kedua golongan ini berhak menerima (zakat) karena makna kekurangan, dan terkadang ada yang meminta-minta di tengah masyarakat yang sedikit pemberinya, dan ada orang saleh yang menjaga kehormatan diri di tengah masyarakat yang mereka dahulukan dalam pemberian mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْفَقْرَ وَالْمَسْكَنَةَ اسْمَانِ يَشْتَرِكَانِ مِنْ وَجْهٍ وَيَفْتَرِقَانِ مِنْ وَجْهٍ، فَأَمَّا الْوَجْهُ الَّذِي يَشْتَرِكَانِ فِيهِ فَهُوَ الضَّعْفُ، وَإِنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِذَا أُفْرِدَ بِالذِّكْرِ شَارَكَهُ الْآخَرُ فِيهِ حَتَّى لَوْ وَصَّى بِثُلُثِ مَالِهِ لِلْفُقَرَاءِ شَارَكَهُمُ الْمَسَاكِينُ وَلَوْ وَصَّى بِهِ لِلْمَسَاكِينِ شَارَكَهُمُ الْفُقَرَاءُ.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa faqir dan miskin adalah dua istilah yang memiliki kesamaan dari satu sisi dan perbedaan dari sisi lain. Adapun sisi kesamaan di antara keduanya adalah kelemahan, dan bahwa masing-masing dari keduanya jika disebutkan secara sendiri-sendiri maka yang lain juga termasuk di dalamnya. Sehingga jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya untuk para faqir, maka para miskin juga mendapatkannya, dan jika berwasiat untuk para miskin, maka para faqir juga mendapatkannya.

وَأَمَّا الْوَجْهُ الَّذِي يَفْتَرِقَانِ فِيهِ فَهُوَ أَنَّهُ إِذَا جَمَعَ بَيْنَهُمَا تَمَيَّزَا ثُمَّ اخْتُلِفَ فِي تَمَيُّزِهِمَا عِنْدَ الِاجْتِمَاعِ هَلْ يَكُونُ التَّمْيِيزُ بَيْنَهُمَا بِاخْتِلَافِهِمَا فِي الْحَاجَةِ أَوْ بِاخْتِلَافِهِمَا فِي الصِّفَةِ فَذَهَبَتْ طَائِفَةٌ إِلَى تَمَيُّزِهَا بِالِاخْتِلَافِ فِي الصِّفَةِ مَعَ تَسَاوِيهِمَا فِي الضَّعْفِ وَالْحَاجَةِ، وَمَنْ قَالَ بِهَذَا اخْتَلَفُوا فِي الصِّفَةِ الَّتِي بِهَا وَقَعَ التَّمْيِيزُ بَيْنَهُمَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَقَاوِيلَ:

Adapun sisi perbedaan di antara keduanya adalah bahwa jika keduanya disebutkan bersamaan, maka keduanya menjadi berbeda. Kemudian terjadi perbedaan pendapat tentang perbedaan tersebut ketika keduanya berkumpul, apakah perbedaan itu karena perbedaan dalam kebutuhan atau karena perbedaan dalam sifat. Maka sekelompok ulama berpendapat bahwa perbedaan itu karena perbedaan sifat, meskipun keduanya sama-sama lemah dan membutuhkan. Dan mereka yang berpendapat demikian pun berbeda pendapat tentang sifat yang menjadi pembeda antara keduanya, hingga terdapat empat pendapat:

أَحَدُهَا: إِنَّ الْفَقِيرَ هُوَ الْمُحْتَاجُ الْمُتَعَفِّفُ عَنِ السُّؤَالِ وَالْمِسْكِينَ هُوَ الْمُحْتَاجُ السَّائِلُ وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ وَالْحَسَنِ وَالزُّهْرِيِّ.

Pertama: Bahwa faqir adalah orang yang membutuhkan namun menjaga kehormatan diri dari meminta-minta, sedangkan miskin adalah orang yang membutuhkan dan meminta-minta. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, al-Hasan, dan az-Zuhri.

وَالثَّانِي: إِنَّ الْفَقِيرَ هُوَ ذُو الزَّمَانَةِ وَالْمِسْكِينَ هُوَ الصَّحِيحُ الْجِسْمِ مِنْ أَهْلِ الْحَاجَةِ، وَهَذَا قَوْلُ قَتَادَةَ.

Kedua: Bahwa faqir adalah orang yang menderita cacat (lumpuh), sedangkan miskin adalah orang yang sehat jasmani namun tetap membutuhkan. Ini adalah pendapat Qatadah.

وَالثَّالِثُ: إِنَّ الْفُقَرَاءَ هُمُ الْمُهَاجِرُونَ وَالْمَسَاكِينَ غَيْرُ الْمُهَاجِرِينَ، وَهَذَا قَوْلُ الضَّحَّاكِ بْنِ مُزَاحِمٍ وَإِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ.

Ketiga: Bahwa para faqir adalah kaum Muhajirin dan para miskin adalah selain Muhajirin. Ini adalah pendapat adh-Dhahhak bin Muzahim dan Ibrahim an-Nakha‘i.

وَالرَّابِعُ: إِنَّ الْفُقَرَاءَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْمَسَاكِينَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، وَهَذَا قَوْلُ عِكْرِمَةَ.

Keempat: Bahwa para faqir berasal dari kalangan Muslim, sedangkan para miskin berasal dari kalangan Ahli Kitab. Ini adalah pendapat ‘Ikrimah.

وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وأبو حنيفة وَجُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ تَمْيِيزَهُمَا بِالِاخْتِلَافِ فِي الضَّعْفِ وَالْحَاجَةِ وَإِنْ تَسَاوَيَا فِي الصِّفَةِ، وَأَنَّ أَحَدَهُمَا أَسْوَأُ حَالًا مِنَ الْآخَرِ، فَبِذَلِكَ تَمَيَّزَ عَنْهُ ثُمَّ اخْتَلَفُوا فِي أَيِّهِمَا أَسْوَأُ حَالًا الْفَقِيرُ أَوِ الْمِسْكِينُ، فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّ الْفَقِيرَ هُوَ أَسْوَأُهُمَا حَالًا وَهُوَ الَّذِي لَا شَيْءَ لَهُ أَوْ لَهُ يَسِيرٌ تَافِهٌ لَا يُؤَثِّرُ فِي قَدْرِ حَاجَتِهِ.

Asy-Syafi‘i, Abu Hanifah, dan mayoritas fuqaha berpendapat bahwa perbedaan antara keduanya adalah pada tingkat kelemahan dan kebutuhan, meskipun keduanya sama dalam sifat. Salah satunya lebih buruk keadaannya daripada yang lain, sehingga dengan itu ia menjadi berbeda. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang siapa yang keadaannya lebih buruk, faqir atau miskin. Asy-Syafi‘i berpendapat bahwa faqir adalah yang paling buruk keadaannya, yaitu orang yang sama sekali tidak memiliki apa-apa atau hanya memiliki sedikit yang tidak berpengaruh terhadap kebutuhannya.

وَالْمِسْكِينُ: هُوَ الَّذِي لَهُ مَا يُؤَثِّرُ فِي حَاجَتِهِ، وَيَقْتَصِرُ عَلَى كِفَايَتِهِ فَإِذَا كَانَتْ كِفَايَةُ الْوَاحِدِ عَشَرَةً فَإِنْ وَجَدَهَا فَلَيْسَ بِمِسْكِينٍ وَلَا فَقِيرٍ، وَإِنْ عَدِمَهَا أَوْ وَجَدَ أَقَلَّهَا كَانَ فَقِيرًا، وَإِنْ وَجَدَ أَكْثَرَهَا كَانَ مِسْكِينًا وَهَذَا فِي أَهْلِ اللُّغَةِ قَوْلُ الْأَصْمَعِيِّ وَقَالَ أبو حنيفة الْمِسْكِينُ أَسْوَأُ حَالًا مِنَ الْفَقِيرِ فَالْمِسْكِينُ عِنْدَهُ عَلَى صِفَةِ الْفَقِيرِ عِنْدَنَا، وَالْفَقِيرُ عِنْدَهُ عَلَى صِفَةِ الْمِسْكِينِ عِنْدَنَا، وَهُوَ فِي أَهْلِ اللُّغَةِ قَوْلُ الْفَرَّاءِ وَثَعْلَبٍ وَاخْتَارَهُ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ} [البلد: 16] أي ملصق بِالتُّرَابِ لِضُرِّهِ وَعُرْيِهِ وَلَيْسَ أَحَدٌ أَسْوَأَ حَالًا مِمَّنْ هَذِهِ صِفَتُهُ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْمِسْكِينَ أَسْوَأُ حَالًا مِنَ الْفَقِيرِ، وَبِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ} [البقرة: 177] وَالسَّائِلُ أَحْسَنُ حَالًا فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْمِسْكِينَ أَسْوَأُ حَالًا، وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى خَصَّ بِمَصْرِفِ أَمْوَالِ الطُّهْرَةِ مِنْ ذَوِي الْحَاجَاتِ مِنَ الْقُرَبِ وَالْكَفَّارَاتِ عَلَى الْمَسَاكِينِ دُونَ الْفُقَرَاءِ، فَدَلَّ تَخْصِيصُهُمْ بِالذِّكْرِ عَلَى اخْتِصَاصِهِمْ بسوء الحال.

Dan miskīn adalah orang yang memiliki sesuatu yang berpengaruh terhadap kebutuhannya, dan ia hanya mencukupi kebutuhannya saja. Maka jika kebutuhan seseorang adalah sepuluh, lalu ia memilikinya, maka ia bukanlah miskīn dan bukan pula faqīr. Jika ia tidak memilikinya sama sekali atau hanya mendapatkan kurang dari itu, maka ia adalah faqīr. Jika ia mendapatkan lebih dari itu, maka ia adalah miskīn. Ini menurut ahli bahasa adalah pendapat al-Aṣma‘ī. Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa miskīn keadaannya lebih buruk daripada faqīr. Menurutnya, miskīn itu sebagaimana sifat faqīr menurut kami, dan faqīr menurutnya sebagaimana sifat miskīn menurut kami. Ini dalam kalangan ahli bahasa adalah pendapat al-Farrā’ dan Tha‘lab, dan dipilih oleh Abū Isḥāq al-Marwazī dari kalangan ulama kami, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ālā: {atau miskīn yang sangat melarat} [al-Balad: 16], yakni yang menempel dengan tanah karena penderitaan dan ketelanjangannya, dan tidak ada seorang pun yang keadaannya lebih buruk daripada orang yang seperti ini. Maka ini menunjukkan bahwa miskīn keadaannya lebih buruk daripada faqīr. Juga dengan firman Allah Ta‘ālā: {dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, para miskīn, ibnu sabīl, dan orang-orang yang meminta} [al-Baqarah: 177], sedangkan orang yang meminta keadaannya lebih baik, maka ini menunjukkan bahwa miskīn keadaannya lebih buruk. Dan karena Allah Ta‘ālā mengkhususkan penyaluran harta zakat dari kalangan orang yang membutuhkan, baik qurb maupun kafārat, kepada para miskīn, bukan kepada faqīr, maka pengkhususan mereka dalam penyebutan menunjukkan kekhususan mereka dalam keburukan keadaan.

قَالُوا: وَقَدْ حُكِيَ عَنْ يُونُسَ قَالَ: قُلْتُ لِأَعْرَابِيٍّ أَمِسْكِينٌ أَنْتَ، فَقَالَ: لَا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ فَقِيرٌ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْفَقِيرَ أَحْسَنُ حَالًا مِنَ الْمِسْكِينِ؛ لِأَنَّ الْحَمْدَ يَكُونُ عَلَى أَحْسَنِ الْحَالَيْنِ وَيَدُلُّ عَلَى هَذَا أَيْضًا قَوْلُ:

Mereka berkata: Telah diriwayatkan dari Yūnus, ia berkata: Aku berkata kepada seorang Arab Badui, “Apakah engkau miskīn?” Ia menjawab, “Tidak, alhamdulillah, aku hanya faqīr.” Maka ini menunjukkan bahwa faqīr keadaannya lebih baik daripada miskīn, karena pujian (al-ḥamd) itu diberikan atas keadaan yang lebih baik di antara dua keadaan, dan hal ini juga didukung oleh perkataan:

(أَمَّا الْفَقِيرُ الَّذِي كَانَتْ حَلُوبَتُهُ … وَفْقَ الْعِيَالِ فلم يترك له سيد)

(Adapun faqīr yang susunya sesuai dengan kebutuhan keluarganya … namun tuannya tidak meninggalkan apa pun untuknya)

فَسَمَّاهُ فَقِيرًا وَلَهُ حَلُوبَةٌ هِيَ وَفْقَ عِيَالِهِ.

Maka ia disebut faqīr, padahal ia masih memiliki susu yang cukup untuk keluarganya.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ، وَالْمَسَاكِينِ} [التوبة: 60] فَبَدَأَ بِذَوِي الْحَاجَاتِ بِالْفُقَرَاءِ وَالْبِدَايَةُ تَكُونُ بِالْأَهَمِّ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الْفَقْرُ أَسْوَأَ حَالًا، وَقَالَ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ} [فاطر: 51] وَلَمْ يَقُلِ الْمَسَاكِينُ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْفَقِيرَ أَمَسُّ حَاجَةً وَأَسْوَأُ حَالًا من المسكين، وقال تعالى: {وأما السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ} [الكهف: 79] فَسَمَّاهُمْ مَسَاكِينَ وَلَهُمْ سَفِينَةٌ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ المسكين أحسن حالا.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk para faqīr dan para miskīn} [at-Taubah: 60]. Maka Allah memulai dengan menyebut orang-orang yang membutuhkan dengan faqīr, dan permulaan biasanya untuk yang lebih penting, sehingga menunjukkan bahwa faqīr keadaannya lebih buruk. Allah Ta‘ālā juga berfirman: {Wahai manusia, kalian adalah faqīr kepada Allah} [Fāṭir: 15], dan tidak mengatakan “miskīn”, maka ini menunjukkan bahwa faqīr lebih membutuhkan dan keadaannya lebih buruk daripada miskīn. Allah Ta‘ālā juga berfirman: {Adapun kapal itu adalah milik para miskīn yang bekerja di laut} [al-Kahf: 79], maka mereka disebut miskīn padahal mereka memiliki kapal, sehingga ini menunjukkan bahwa miskīn keadaannya lebih baik.

وروى أبو زهرة عن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي تَرُدُّهُ التَّمْرَةُ والتمرتان واللقمة واللقمتان، ولكن المسكين المتعفف أقراءوا إن شئتم ” لا يسألون الناس إلحافا ” فَكَانَ هَذَا نَصًّا فِي أَنَّ الْمِسْكِينَ أَحْسَنُ حَالًا.

Abū Zuhrah meriwayatkan dari Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda: “Bukanlah miskīn itu yang ditolak dengan sebutir atau dua butir kurma, atau sesuap atau dua suap makanan, tetapi miskīn adalah orang yang menjaga kehormatannya.” Bacalah jika kalian mau: “Mereka tidak meminta kepada manusia dengan mendesak.” Maka ini adalah nash yang menunjukkan bahwa miskīn keadaannya lebih baik.

وَرَوَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: كَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُونَ كُفْرًا، وَكَادَ الْحَسَدُ أَنْ يَغْلِبَ الْقَدَرَ، فَكَانَ هَذَا نَصًّا على أن الفقير أسوأ حالا.

Diriwayatkan dari Anas bin Mālik bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Hampir saja kefaqīran menjadi kekufuran, dan hampir saja hasad mengalahkan takdir.” Maka ini adalah nash bahwa faqīr keadaannya lebih buruk.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِينًا وَأَمِتْنِي مِسْكِينًا وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْمِسْكِينَ أَحْسَنُ حَالًا.

Diriwayatkan dari Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau berdoa: “Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai miskīn, matikanlah aku sebagai miskīn, dan kumpulkanlah aku di kelompok para miskīn.” Maka ini menunjukkan bahwa miskīn keadaannya lebih baik.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أَنَّهُ كَانَ يَتَعَوَّذُ مِنَ الْفَقْرِ اللَّازِبِ يَعْنِي اللَّازِمَ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْفَقِيرَ أَسْوَأُ حَالًا.

Diriwayatkan dari Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau berlindung dari kefaqīran yang menetap, yakni yang terus-menerus. Maka ini menunjukkan bahwa faqīr keadaannya lebih buruk.

وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ؛ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي لَا مَالَ لَهُ، وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ الْأَخْلَقُ الْكَسْبِ قَالَ ابْنُ عُلَيَّةَ: الْأَخْلَقُ الْكَسْبِ: الْمُحَارِفُ، وَلِأَنَّ فِي اشْتِقَاقِ الْفَقْرِ وَالْمَسْكَنَةِ دَلِيلًا عَلَى أَنَّ الْفَقْرَ أَسْوَأُ حَالًا مِنَ الْمَسْكَنَةِ.

Diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata: “Bukanlah miskin itu orang yang tidak punya harta, tetapi miskin adalah orang yang usahanya telah rusak.” Ibn ‘Ulayyah berkata: “Orang yang usahanya telah rusak adalah al-muharif (orang yang sulit mendapatkan penghasilan).” Dan karena dalam asal-usul kata faqir dan miskin terdapat petunjuk bahwa faqir itu keadaannya lebih buruk daripada miskin.

أَمَّا الْفَقْرُ فَقَدِ اخْتُلِفَ فِي اشْتِقَاقِهِ فَقَالَ قَوْمٌ: هُوَ مُشْتَقٌّ مِنِ انْكِسَارِ الْفَقَارِ، وَهُوَ الظَّهْرُ الَّذِي لَا تبقى مَعَهُ قُدْرَةٌ.

Adapun faqir, terdapat perbedaan pendapat mengenai asal-usul katanya. Sebagian orang berkata: Ia berasal dari kata patahnya tulang punggung, yaitu punggung yang tidak lagi memiliki kekuatan bersamanya.

وَقَالَ آخَرُونَ: هُوَ مُشْتَقٌّ مِنَ الْفَاقَةِ، وَمِنْ قَوْله تَعَالَى: {تَظُنُّ أَنْ يُفْعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ} [القيامة: 25] وَفِيهَا ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ:

Dan yang lain berkata: Ia berasal dari kata al-faqah (kebutuhan), dan dari firman Allah Ta‘ala: {Tadinya mereka mengira akan ditimpa bencana besar} [al-Qiyamah: 25], dan dalam ayat tersebut terdapat tiga penafsiran:

أحدها: أنها [الفاقرة] الدَّاهِيَةُ الْعُظْمَى، وَهُوَ قَوْلُ مُجَاهِدٍ.

Pertama: bahwa [al-faqirah] adalah musibah besar, dan ini adalah pendapat Mujahid.

وَالثَّانِي: إِنَّهَا الْهَلَاكُ الْمُسْتَأْصِلُ، وَهُوَ قَوْلُ السُّدِّيِّ.

Kedua: bahwa ia adalah kebinasaan yang menyeluruh, dan ini adalah pendapat as-Suddi.

وَالثَّالِثُ: إِنَّهُ الشَّرُّ الْمُحَلَّى، وَهُوَ قَوْلُ قَتَادَةَ، وَعَلَى أَيِّ التَّأْوِيلَاتِ كَانَ فَهُوَ لِلْمُبَالَغَةِ فِي سُوءِ الْحَالِ.

Ketiga: bahwa ia adalah keburukan yang sangat, dan ini adalah pendapat Qatadah. Dan menurut penafsiran manapun, maknanya adalah untuk menunjukkan betapa buruknya keadaan tersebut.

وَأَمَّا الْمَسْكَنَةُ فَقَدِ اخْتُلِفَ فِي اشْتِقَاقِهَا فَقَالَ قَوْمٌ: هِيَ مُشْتَقَّةٌ مِنَ الْتَمَسْكُنِ وَهُوَ الْخُضُوعُ، وَقَالَ آخَرُونَ هِيَ مُشْتَقَّةٌ مِنَ السُّكُونِ، لِأَنَّ الْمِسْكِينَ مَا يُسْكَنُ إِلَيْهِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ أَحْسَنُ حَالًا، وَلِأَنَّ شَوَاهِدَ أَشْعَارِ الْعَرَبِ تَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ، أَنْشَدَ ابْنُ الْأَعْرَابِيِّ لِبَعْضِ الْعَرَبِ.

Adapun miskin, juga terdapat perbedaan pendapat mengenai asal-usul katanya. Sebagian orang berkata: Ia berasal dari kata at-tamaskun, yaitu ketundukan. Dan yang lain berkata: Ia berasal dari kata as-sukun (ketenangan), karena miskin adalah orang yang menjadi tempat bersandar, sehingga menunjukkan bahwa keadaannya lebih baik. Dan karena bukti-bukti syair Arab menunjukkan hal itu, Ibn al-A‘rabi membacakan syair sebagian orang Arab:

(هَلْ لَكَ فِي أَجْرٍ عَظِيمٍ تُؤْجَرُهْ … تُغِيثُ مِسْكِينًا قَلِيلًا عَسْكَرُهْ)

“Apakah engkau ingin pahala besar yang akan engkau dapatkan… Engkau menolong seorang miskin yang pasukannya sedikit.”

(عَشْرُ شِيَاهٍ سَمْعُهُ وَبَصَرُهْ … قَدْ حَدَّثَ النَّفْسَ بِمِصْرٍ يَحْضُرُهْ)

“Sepuluh ekor kambing adalah pendengarannya dan penglihatannya… Ia telah membayangkan dirinya akan hadir di Mesir.”

فَسَمَّاهُ مِسْكِينًا وَلَهُ عَشْرُ شِيَاهٍ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ لِلْمِسْكِينِ مَالًا وَأَنَّهُ أَحْسَنُ حَالًا.

Penyair menyebutnya miskin padahal ia memiliki sepuluh ekor kambing, maka ini menunjukkan bahwa seorang miskin bisa saja memiliki harta dan keadaannya lebih baik.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى: {أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ} [البلد: 16] فَهُوَ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْمِسْكِينِ هَا هُنَا الْفَقِيرُ لِأَنَّهُ لَمْ يُطْلِقْ ذِكْرَهُ، وَلَكِنْ قَيَّدَهُ بِصِفَاتِ الْفُقَرَاءِ، وَقَدْ يَنْطَلِقُ اسْمُ الْمِسْكِينِ عَلَى الْفَقِيرِ كَمَا ذَكَرْنَا، وَإِنَّمَا كَلَامُنَا فِي الْمِسْكِينِ الَّذِي قَدْ أُطْلِقَتْ صِفَتُهُ.

Adapun jawaban atas firman Allah Ta‘ala: {atau seorang miskin yang sangat melarat} [al-Balad: 16], maksud miskin di sini adalah faqir, karena tidak disebutkan secara mutlak, tetapi dibatasi dengan sifat-sifat orang faqir. Dan bisa saja istilah miskin digunakan untuk faqir sebagaimana telah kami sebutkan. Adapun pembahasan kita adalah tentang miskin yang disebutkan sifatnya secara mutlak.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ الْأُخْرَى فَهُوَ أَنَّ السَّائِلَ لَا يَكُونُ أَحْسَنَ حَالًا مِنَ الْمُتَعَفِّفِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَسْأَلُ فَيُحْرَمُ وَيَتَعَفَّفُ فَيُعْطَى.

Adapun jawaban atas ayat yang lain adalah bahwa seorang peminta-minta tidak selalu lebih baik keadaannya daripada orang yang menjaga diri, karena bisa jadi ia meminta namun tidak diberi, sedangkan yang menjaga diri justru diberi.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِ الْأَعْرَابِيِّ: لَا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ أَنَا فَقِيرٌ، فَهُوَ إِذًا أَبَانَ بِذَلِكَ مَنْزِلَتَهُ فِي الشُّكْرِ مَعَ شِدَّةِ الضُّرِّ.

Adapun jawaban atas perkataan orang Arab: “Tidak, alhamdulillah, aku adalah seorang faqir,” maka dengan itu ia menjelaskan kedudukannya dalam bersyukur meskipun dalam kondisi sangat sulit.

وَأَمَّا الشِّعْرُ فَلَا دَلِيلَ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ بَعْدَ أَخْذِ الْحَلُوبَةِ سَمَّاهُ فَقِيرًا حِينَ لَمْ يترك له سيد، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْفَقِيرَ أَسْوَأُ حَالًا مِنَ الْمِسْكِينِ فَقَدْ يَكُونُ الْفَقِيرُ سَائِلًا وَغَيْرَ سَائِلٍ وَقَدْ يَكُونُ الْمِسْكِينُ سَائِلًا وَغَيْرَ سَائِلٍ، وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ وَالْقَدِيمِ مِنَ التَّسْوِيَةِ فَظَنَّ الْمُزَنِيُّ أَنَّ قَوْلَهُ قَدِ اخْتُلِفَ فِيهِ فَجَعَلَ الْجَدِيدَ أَوْلَى وَلَيْسَ كَمَا ظَنَّ والله أعلم.

Adapun syair, tidak ada dalil di dalamnya; karena setelah mengambil hasil perahan, ia menyebutnya faqir ketika tidak ada lagi yang tersisa untuknya. Maka jika telah tetap bahwa faqir keadaannya lebih buruk daripada miskin, maka bisa jadi faqir itu adalah peminta-minta atau bukan, dan bisa jadi miskin itu adalah peminta-minta atau bukan. Inilah makna perkataan asy-Syafi‘i dalam pendapat baru dan lamanya tentang persamaan, sehingga al-Muzani mengira bahwa perkataannya telah diperselisihkan, lalu ia mengunggulkan pendapat baru, padahal tidaklah demikian, wallahu a‘lam.

مسألة:

Masalah:

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” فَإِنْ كَانَ رَجُلٌ جَلْدٌ يَعْلَمُ الْوَالِي أَنَّهُ صَحِيحٌ مُكْتَسِبٌ يُغْنِي عِيَالَهُ أَوْ لَا عِيَالَ لَهُ يُغْنِي نَفْسَهُ بِكَسْبِهِ لَمْ يُعْطِهِ “.

Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ada seorang laki-laki yang kuat, dan penguasa mengetahui bahwa ia sehat, bekerja, mampu mencukupi keluarganya, atau jika ia tidak punya keluarga, mampu mencukupi dirinya sendiri dengan usahanya, maka ia tidak diberi (zakat).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الْمُكْتَسِبُ بِصَنْعَتِهِ قَدْرَ كِفَايَتِهِ وَكِفَايَةِ عِيَالِهِ لَا يَكُونُ فَقِيرًا وَتَحْرُمُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ وَقَالَ أبو حنيفة: لَا تَحْرُمُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ وَإِنْ كَانَ مُكْتَسِبًا حَتَّى يَمْلِكَ نِصَابًا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ أَوْ مَا يَبْلُغُ قِيمَتُهُ نِصَابًا فَجَعَلَ الْفَقْرَ مُعْتَبَرًا بِعَدَمِ النِّصَابِ وَإِنْ كَانَ قَادِرًا عَلَى كِفَايَتِهِ بِنَفْسِهِ وَجَوَّزَ لَهُ أَخْذَ الزَّكَاةَ، وَجَعَلَ الْغَنَاءَ مُعْتَبَرًا بِمِلْكِ النِّصَابِ وَإِنْ عَجَزَ عَنْ كِفَايَتِهِ وَحَظَرَ عَلَيْهِ أَخْذَ الزَّكَاةَ اسْتِدْلَالًا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ} [التوبة: 60] وَالْفَقِيرُ هُوَ الْعَادِمُ، وَهَذَا عَادِمٌ وَإِنْ كَانَ مُكْتَسِبًا، وَبِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ فَأَرُدَّهَا فِي فُقَرَائِكُمْ ” فَمَيَّزَ الْأَغْنِيَاءَ بِأَخْذِ الصَّدَقَةِ مِنْهُمْ وَمَيَّزَ الْفُقَرَاءَ بِدَفْعِ الصَّدَقَةِ إِلَيْهِمْ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَنْ تُؤْخَذُ مِنْهُ الصَّدَقَةُ غَنِيًّا وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُكْتَسِبٍ، وَمَنْ تُدْفَعُ إِلَيْهِ فَقِيرًا، وَإِنْ كَانَ مُكْتَسِبًا.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana orang yang memperoleh penghasilan dari pekerjaannya sebesar kecukupan dirinya dan keluarganya, maka ia tidak dianggap fakir dan haram baginya menerima zakat, meskipun ia tidak memiliki harta. Abu Hanifah berpendapat: Zakat tidak haram baginya meskipun ia berpenghasilan, hingga ia memiliki nisab yang wajib dizakati atau sesuatu yang nilainya mencapai nisab. Maka, Abu Hanifah menjadikan kefakiran diukur dengan ketiadaan nisab, meskipun seseorang mampu mencukupi dirinya sendiri, dan membolehkan baginya menerima zakat. Sedangkan kekayaan menurutnya diukur dengan kepemilikan nisab, meskipun ia tidak mampu mencukupi kebutuhannya, dan melarangnya menerima zakat, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan miskin} (at-Taubah: 60), dan fakir adalah orang yang tidak memiliki (harta), dan orang ini tidak memiliki (harta) meskipun ia berpenghasilan. Juga berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Aku diperintahkan untuk mengambil sedekah dari orang-orang kaya kalian dan mengembalikannya kepada orang-orang fakir kalian.” Maka beliau membedakan orang kaya dengan mengambil sedekah dari mereka, dan membedakan orang fakir dengan memberikan sedekah kepada mereka. Maka wajiblah bahwa orang yang diambil darinya sedekah adalah orang kaya, meskipun ia tidak berpenghasilan, dan orang yang diberikan kepadanya adalah orang fakir, meskipun ia berpenghasilan.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ سَأَلَنَا أَعْطَيْنَاهُ ” وَقَالَ: ” أَعْطُوا السائل ولو جاء على فرس ” وقد سئل الْمُكْتَسِبُ فَوَجَبَ أَنْ يُعْطَى؛ وَلِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ نِصَابًا وَلَا قِيمَتَهُ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ فَقِيرًا تَحِلُّ لَهُ الصَّدَقَةُ قِيَاسًا عَلَى غَيْرِ الْمُكْتَسِبِ؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنَ الْمُكْتَسِبُ غَنِيًّا فِي وُجُوبِ الْحَجِّ وَالتَّكْفِيرِ بِالْعِتْقِ لَمْ يَكُنْ غَنِيًّا فِي تَحْرِيمِ الزَّكَاةِ؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا حَلَّتِ الزَّكَاةُ مِنْ سَهْمِ الْغَارِمِينَ حَلَّتْ لَهُ مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَدِيٍّ أَنَّ رَجُلَيْنِ أَخْبَرَاهُ أَنَّهُمَا أَتَيَا النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فسألاه من الصَّدَقَاتُ فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيهِمَا وَصَوَّبَ وَقَالَ: ” إِنْ شِئْتُمَا وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ وَلَا لِذِي قُوَّةٍ مُكْتَسِبٍ ” فَجَعَلَ الْكَسْبَ كَالْغِنَى بِالْمَالِ فِي تَحْرِيمِ الصَّدَقَاتِ.

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Barang siapa meminta kepada kami, maka kami akan memberinya,” dan beliau bersabda: “Berikanlah kepada peminta-minta meskipun ia datang dengan menunggang kuda.” Dan telah ditanyakan tentang orang yang berpenghasilan, maka wajib untuk diberi; karena ia tidak memiliki nisab dan tidak pula nilai setara nisab, maka wajiblah ia dianggap fakir yang halal baginya menerima sedekah, diqiyaskan dengan orang yang tidak berpenghasilan. Karena ketika orang yang berpenghasilan tidak dianggap kaya dalam kewajiban haji dan kafarat dengan memerdekakan budak, maka ia pun tidak dianggap kaya dalam keharaman menerima zakat. Dan karena ketika zakat halal diberikan kepadanya dari bagian gharimīn (orang berutang), maka halal pula baginya dari bagian fakir dan miskin. Dalil kami adalah riwayat yang dibawakan oleh asy-Syafi‘i dari Sufyan bin ‘Uyainah, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Ubaidullah bin ‘Adi bahwa dua orang laki-laki mengabarkan kepadanya bahwa keduanya datang kepada Nabi ﷺ lalu meminta zakat kepada beliau. Maka beliau memandang mereka berdua dari atas ke bawah, lalu bersabda: “Jika kalian berdua menghendaki, (akan kuberikan), namun tidak ada bagian dalam zakat bagi orang kaya dan tidak pula bagi orang kuat yang berpenghasilan.” Maka beliau menyamakan penghasilan dengan kekayaan harta dalam keharaman menerima sedekah.

وَرَوَى سَالِمُ بْنُ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَحِلُّ لِغَنِيٍّ وَلَا لِذِي قُدْرَةٍ ” فَحَرَّمَ الصَّدَقَةَ بِالْقُدْرَةِ عَلَى الْكَسْبِ كَمَا حَرَّمَهَا بِالْغِنَى؛ وَلِأَنَّهُ مُسْتَدِيمُ الْقُدْرَةِ عَلَى كِفَايَتِهِ فَوَجَبَ أَنْ تَحْرُمَ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ بِالْفَقْرِ وَالْمَسْكَنَةِ كَالْقَادِرِ عَلَى نِصَابٍ أَوْ كَالْمُشْتَغِلِ لِوَقْفٍ؛ وَلِأَنَّ مَنْ حَرُمَتْ عَلَيْهِ الْمَسْأَلَةُ حَرُمَتْ عَلَيْهِ الصَّدَقَةُ كَالْغَنِيِّ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الِاكْتِسَابُ كَالْغِنَى فِي سُقُوطِ نَفَقَتِهِ عَنْ وَالِدِيهِ وَمَوْلُودِيهِ وَوُجُوبِهَا عَلَيْهِ لِوَالِدِيهِ وَمَوْلُودِيهِ كَانَ كَالْغِنَى فِي تَحْرِيمِ الصَّدَقَاتِ.

Salim bin Abi al-Ja‘d meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya sedekah tidak halal bagi orang kaya dan tidak pula bagi orang yang memiliki kemampuan.” Maka beliau mengharamkan sedekah karena kemampuan untuk berpenghasilan sebagaimana beliau mengharamkannya karena kekayaan; dan karena ia terus-menerus mampu mencukupi kebutuhannya, maka wajib haram baginya menerima zakat karena kefakiran dan kemiskinan, sebagaimana orang yang mampu memiliki nisab atau seperti orang yang bekerja pada harta wakaf; dan karena siapa yang diharamkan meminta-minta, maka haram pula baginya menerima sedekah sebagaimana orang kaya; dan karena ketika penghasilan disamakan dengan kekayaan dalam gugurnya kewajiban nafkah dari orang tua dan anak-anaknya serta wajibnya nafkah atas dirinya untuk orang tua dan anak-anaknya, maka penghasilan juga disamakan dengan kekayaan dalam keharaman menerima sedekah.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَهُوَ أَنَّ الْفَقْرَ لَيْسَ الْعَدَمَ وَإِنَّمَا هُوَ الْحَاجَةُ، وَالْمُكْتَسِبُ غَيْرُ محتاج وأما الجواب عن قوله: ” أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ فَأَرُدَّهَا فِي فُقَرَائِكُمْ ” فَهُوَ أَنَّهُ قَدْ يَكُونُ فِي النَّاسِ مَنْ لَا تُؤْخَذُ مِنْهُ وَلَا تُدْفَعُ إِلَيْهِ فَهُوَ مَالِكُ مَا لَا يُزَكَّى فَكَذَلِكَ الْمُكْتَسِبُ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ مِنْهُمْ مَنْ تُؤْخَذُ مِنْهُ فَتُدْفَعُ إِلَيْهِ وَهُوَ مَالِكُ مَا يُزَكَّى إِذَا كَانَ غَيْرَ مُكْتَسِبٍ.

Adapun jawaban terhadap ayat tersebut adalah bahwa kefakiran bukanlah ketiadaan, melainkan kebutuhan, dan orang yang berpenghasilan tidaklah membutuhkan. Adapun jawaban terhadap sabda beliau: “Aku diperintahkan untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya kalian lalu mengembalikannya kepada orang-orang fakir kalian,” maka bisa jadi di antara manusia ada yang tidak diambil zakat darinya dan tidak pula diberikan kepadanya, yaitu orang yang memiliki harta yang tidak wajib dizakati. Demikian pula orang yang berpenghasilan, maka boleh jadi di antara mereka ada yang diambil zakat darinya lalu diberikan kepadanya, yaitu orang yang memiliki harta yang wajib dizakati jika ia bukan orang yang berpenghasilan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” مَنْ سَأَلَنَا أَعْطَيْنَاهُ ” فَهُوَ أَنَّ مَعْنَاهُ مَنْ أَظْهَرَ لَنَا الْفَقْرَ قَبِلْنَا مِنْهُ، لِأَنَّ الْأَصْلَ في الناس العدم.

Adapun jawaban terhadap sabda beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Siapa yang meminta kepada kami, kami akan memberinya,” maknanya adalah siapa yang menampakkan kefakiran kepada kami, kami menerimanya, karena asal pada manusia adalah ketiadaan (harta).

وأما قوله: ” أَعْطُوا السَّائِلَ وَلَوْ جَاءَ عَلَى فَرَسٍ “، فَهُوَ دَلِيلُنَا لِأَنَّ أبا حنيفة يَمْنَعُهُ إِذَا كَانَ ثَمَنُ فَرَسِهِ نِصَابًا وَنَحْنُ نُعْطِيهِ إِذَا كَانَ مُحْتَاجًا.

Adapun sabda beliau: “Berikanlah kepada peminta-minta meskipun ia datang dengan menunggang kuda,” maka ini adalah dalil bagi kami, karena Abu Hanifah melarangnya jika harga kudanya mencapai nisab, sedangkan kami memberinya jika ia membutuhkan.

وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى غَيْرِ الْمُكْتَسِبِ فَالْمَعْنَى فِيهِ الْحَاجَةُ وَالْمُكْتَسِبُ غَيْرُ مُحْتَاجٍ.

Adapun qiyās terhadap selain orang yang berpenghasilan, maka maknanya adalah kebutuhan, sedangkan orang yang berpenghasilan tidaklah membutuhkan.

وَأَمَّا قَوْلُهُ: ” لما لم يكن الاكتساب كَالْمَالِ فِي وُجُوبِ الْحَجِّ وَالتَّكْفِيرِ بِالْعِتْقِ كَذَلِكَ فِي تَحْرِيمِ الزَّكَاةِ ” فَهُوَ فَاسِدٌ بِنَفَقَاتِ الْأَقَارِبِ الَّتِي يُجْعَلُ الِاكْتِسَابُ فِيهَا كَالْمَالِ، ثُمَّ وُجُوبُ الْحَجِّ وَالتَّكْفِيرِ بِالْعِتْقِ يَتَعَلَّقَانِ بِوُجُودِ الْمَالِ وَالْمُكْتَسِبُ غَيْرُ وَاجِدٍ، وَتَحْرِيمُ الزَّكَاةِ يَتَعَلَّقُ بِالْكِفَايَةِ وَالْمُكْتَسِبُ مكتف وبالله التوفيق.

Adapun ucapannya: “Mengapa penghasilan tidak disamakan dengan harta dalam kewajiban haji dan kafarat dengan memerdekakan budak, demikian pula dalam pengharaman zakat,” maka ini batal dengan nafkah kerabat yang di dalamnya penghasilan disamakan dengan harta. Kemudian, kewajiban haji dan kafarat dengan memerdekakan budak berkaitan dengan adanya harta, sedangkan orang yang berpenghasilan tidak memilikinya, dan pengharaman zakat berkaitan dengan kecukupan, sedangkan orang yang berpenghasilan telah tercukupi. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” فَإِنْ قَالَ الْجَلْدُ لَسْتُ مُكْتَسِبًا لِمَا يُغْنِينِي وَلَا يُغْنِي عِيَالِي وَلَهُ عِيَالٌ وَلَيْسَ عِنْدَ الوالي يقين ما قال فالقول قوله: واحتج بأن رَجُلَيْنِ أَتَيَا النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فسألاه من الصدقة فقال ” إِنْ شِئْتُمَا وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ وَلَا لذي قوة مكتسب ” (قال الشافعي) رأى عليه الصلاة والسلام صحة وجلدا يشبه الاكتساب فأعلمهما أنه لا يصلح لهما مع الاكتساب ولم يعلم أمكتسبان أم لا فقال ” إن شئتما ” بعد أن أعلمتكما أن لا حظ فيها لغني ولا لمكتسب فعلت “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang yang kuat berkata: Aku bukanlah orang yang berpenghasilan yang dapat mencukupi diriku dan tidak pula mencukupi keluargaku, padahal ia memiliki keluarga, dan penguasa tidak memiliki keyakinan atas apa yang ia katakan, maka perkataannya diterima. Ia berdalil dengan kisah dua orang laki-laki yang datang kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- lalu meminta zakat kepadanya. Beliau bersabda: ‘Jika kalian berdua menghendaki, (akan kuberikan), dan tidak ada bagian dalam zakat bagi orang kaya dan tidak pula bagi orang kuat yang berpenghasilan.’ (Imam Syafi‘i berkata:) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat keduanya sehat dan kuat yang tampak mampu berpenghasilan, maka beliau memberitahu mereka bahwa zakat tidak layak bagi mereka selama mereka mampu berpenghasilan, namun beliau tidak mengetahui apakah keduanya benar-benar berpenghasilan atau tidak. Maka beliau bersabda: ‘Jika kalian berdua menghendaki,’ setelah beliau memberitahu bahwa tidak ada bagian dalam zakat bagi orang kaya dan tidak pula bagi orang yang berpenghasilan, lalu beliau melakukannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا تَقَرَّرَ فَرْقُ مَا بَيْنَ الْفَقِيرِ وَالْمِسْكِينِ بِمَا ذَكَرْنَا فَخُصَّ رَجُلٌ ادَّعَى فَقْرًا مَسْكَنَةً فَلِلْوَالِي عَلَى الصَّدَقَةِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: “Ini benar jika telah dijelaskan perbedaan antara fakir dan miskin sebagaimana telah kami sebutkan. Maka jika ada seseorang yang mengaku fakir atau miskin, maka bagi penguasa zakat terdapat tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَعْلَمَهُ فَقِيرًا فَيَدْفَعُ إِلَيْهِ لِعِلْمِهِ مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَلَا يُكَلِّفُهُ بِبَيِّنَةٍ وَلَا يَمِينًا.

Pertama: Jika ia mengetahui orang tersebut fakir, maka ia memberikan zakat kepadanya karena pengetahuannya, dari bagian fakir, dan tidak membebaninya dengan bukti atau sumpah.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَعْلَمَهُ غَنِيًّا فَلَا يَدْفَعُ إِلَيْهِ مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ شَيْئًا فَإِنِ ادَّعَى تَلَفَ مَالِهِ لَمْ يَقْبَلْ قَوْلَهُ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ، فَإِنْ أَقَامَهَا عَلَى تَلَفِ مَالِهِ الَّذِي كَانَ بِهِ غَنِيًّا سَمِعَهَا مِنْ شَاهِدَيْنِ أَوْ شَاهِدٍ وَامْرَأَتَيْنِ، وَسَوَاءً كَانَتْ بَيِّنَتُهُ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ الْبَاطِنَةِ أَمْ لَا، وَإِنْ أَقَامَ الْبَيِّنَةَ عَلَى فَقْرِهِ لَمْ يَسْمَعْهَا إِلَّا مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ الْبَاطِنَةِ بِهِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَسْتُرُ الْغِنَى وَيَتَظَاهَرُ بِالْفَقْرِ فَلَمْ تُسْمَعْ مِنْهُ الْبَيِّنَةُ بَعْدَ تَقَدُّمِ الْعِلْمِ بِغِنَاهُ إِلَّا مِمَّنْ يَعْرِفُ بَاطِنَ أَمْرِهِ مِنْ أَقَارِبِهِ وَجِيرَانِهِ، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ لِقَبِيصَةَ بْنِ الْمُخَارِقِ ” إِنَّ الْمَسْأَلَةَ حُرِّمَتْ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ ذَكَرَ فِيهَا أَوْ رجل أصابته جائحة ” الخبر إِلَى أَنْ قَالَ حَتَّى يَشْهَدَ لَهُ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَى مِنْ قَوْمِهِ إِنْ تَدَخَّلَتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الثَّلَاثَةِ هَلْ يَكُونُونَ شَرْطًا فِي بَيِّنَتِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kedua: Jika ia mengetahui orang tersebut kaya, maka ia tidak memberikan zakat kepadanya dari bagian fakir sedikit pun. Jika ia mengaku hartanya telah hilang, maka pengakuannya tidak diterima kecuali dengan bukti. Jika ia mendatangkan bukti atas hilangnya harta yang menjadikannya kaya, maka bukti itu diterima dari dua orang saksi laki-laki atau satu laki-laki dan dua perempuan, baik saksinya dari orang yang benar-benar mengenalnya atau tidak. Namun jika ia mendatangkan bukti atas kefakirannya, maka tidak diterima kecuali dari orang yang benar-benar mengenal keadaannya secara mendalam, karena bisa jadi seseorang menyembunyikan kekayaannya dan menampakkan kefakiran, sehingga bukti tidak diterima darinya setelah diketahui ia kaya kecuali dari orang yang mengetahui keadaan batinnya, seperti kerabat dan tetangganya. Diriwayatkan dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau berkata kepada Qabisah bin Mukharik: ‘Sesungguhnya meminta-minta itu diharamkan kecuali dalam tiga keadaan,’ beliau menyebutkan di antaranya, atau seseorang yang tertimpa musibah besar, hingga beliau bersabda: ‘Sampai tiga orang dari kaumnya yang berakal bersaksi untuknya bahwa ia berhak meminta.’ Para ulama kami berbeda pendapat tentang tiga orang ini, apakah menjadi syarat dalam pembuktiannya atau tidak, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ذَكَرَ الثَّلَاثَةَ تَغْلِيظًا، وَأَنَّ شَهَادَةَ الْعَدْلَيْنِ مُجْزِئَةٌ.

Salah satu pendapat: Sesungguhnya Nabi ﷺ menyebutkan tiga orang sebagai bentuk penegasan, dan bahwa kesaksian dua orang yang adil sudah mencukupi.

والثاني: أن الثلاثة هاهنا شَرْطٌ، فَعَلَى هَذَا هَلْ يَكُونُ شَهَادَةً أَوْ خَبَرًا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Bahwa tiga orang di sini adalah syarat. Berdasarkan hal ini, apakah itu dianggap sebagai kesaksian atau sebagai berita? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهَا شَهَادَةٌ غُلِّظَتْ يُرَاعَى فِيهَا عَدَالَةُ الشُّهُودِ فِي الْحُقُوقِ لِنَقْلِهَا خلاف المعلوم.

Salah satunya: Bahwa itu adalah kesaksian yang dipertegas, sehingga harus diperhatikan keadilan para saksi sebagaimana dalam hak-hak, karena mereka menyampaikan sesuatu yang berbeda dari yang diketahui.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهُ خَبَرٌ لَزِمَ فِيهِ الِاحْتِيَاطُ فَمُيِّزَ بِعَدَدٍ وَرُوعِيَ فِيهِ صِدْقُ الْمُخْبِرِينَ لَا عَدَالَةُ الشُّهُودِ.

Pendapat kedua: Bahwa itu adalah berita yang mengharuskan kehati-hatian, sehingga dibedakan dengan jumlah (orang) dan yang diperhatikan adalah kejujuran para pemberi berita, bukan keadilan para saksi.

وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَجْهَلَ الْوَالِي أَمْرَهُ وَلَا يَعْلَمُهُ غَنِيًّا وَلَا فَقِيرًا فَلَا يَخْلُو حَالُ السَّائِلِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Keadaan ketiga: Jika penguasa tidak mengetahui keadaannya dan tidak mengetahui apakah ia kaya atau miskin, maka keadaan peminta tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ ظَاهِرُهُ مُوَافِقًا لِمَسْأَلَتِهِ أَوْ مُخَالِفًا لَهَا، فَإِنْ كَانَ ظَاهِرُهُ مُوَافِقًا لِمَسْأَلَتِهِ لِمَا عَلَيْهِ مِنْ سِمَاتِ الْفَقْرِ وَالْفَاقَةِ وَدَلَائِلِ الضُّرِّ فِي ضَعْفِ بَدَنِهِ وَرَثَاثَةِ هَيْئَتِهِ فَهَذَا يُعْطَى مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ تَعْوِيلًا عَلَى شَاهِدِ حَالِهِ مِنْ غَيْرِ قَوْلٍ يُوعَظُ بِهِ وَلَا يَمِينٍ يَحْلِفُ بِهَا، وَإِنْ كَانَ ظَاهِرُهُ مُخَالِفًا لِمَسْأَلَتِهِ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ قَوِيَّ الْبَدَنِ حَسَنَ الْهَيْئَةِ فَيَنْبَغِي لِلْوَالِي أَنْ يَقُولَ لَهُ عَلَى طَرِيقِ الْوَعْظِ وَالْإِخْبَارِ بِحَالِ مَنْ يَحِلُّ لَهُ الصَّدَقَةُ، مَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِلَّذَيْنِ سَأَلَاهُ الصَّدَقَةَ فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيهِمَا، وَصَوَّبَ ثُمَّ قَالَ: ” إِنْ شِئْتُمَا وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ وَلَا لِذِي قُوَّةٍ مُكْتَسِبٍ ” فَإِذَا قَالَ لَهُ هَذِهِ الْمَقَالَةَ وَأَقَامَ عَلَى الْمَسْأَلَةِ وَأَنَّهُ يستحق الصدقة أعطاه منها؛ لأنه النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِلرَّجُلَيْنِ: ” إِنْ شِئْتُمَا ” فَدَلَّ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ لَهُمَا، وَهَلْ يَحْلِفُ عَلَى فَقْرِهِ قَبْلَ الدَّفْعِ إِلَيْهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Pertama, penampilannya sesuai dengan permintaannya atau bertentangan dengannya. Jika penampilannya sesuai dengan permintaannya, seperti adanya tanda-tanda kemiskinan dan kebutuhan, serta bukti-bukti kesulitan pada kelemahan tubuhnya dan penampilan yang lusuh, maka ia diberi dari bagian fakir miskin dengan bersandar pada keadaan lahiriahnya tanpa perlu ucapan nasihat atau sumpah yang diucapkan. Namun jika penampilannya bertentangan dengan permintaannya, yaitu ia bertubuh kuat dan berpenampilan baik, maka sebaiknya penguasa mengatakan kepadanya dengan cara menasihati dan memberitahukan tentang keadaan orang yang berhak menerima sedekah, sebagaimana yang dikatakan Nabi ﷺ kepada dua orang yang meminta sedekah, lalu beliau menatap mereka berdua, kemudian bersabda: “Jika kalian berdua mau, (ambillah), namun tidak ada bagian dalam sedekah bagi orang kaya dan tidak pula bagi orang yang kuat dan mampu bekerja.” Jika penguasa telah mengatakan perkataan ini kepadanya, namun ia tetap bersikeras meminta dan mengaku berhak menerima sedekah, maka ia diberi bagian dari sedekah, karena Nabi ﷺ berkata kepada dua orang itu: “Jika kalian berdua mau,” yang menunjukkan bahwa itu memang hak mereka. Apakah ia harus bersumpah atas kemiskinannya sebelum diberikan sedekah atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَحْلِفُ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ الْفَقْرُ وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا عَرَضَ الْيَمِينَ عَلَى الرَّجُلَيْنِ.

Salah satunya: Tidak perlu bersumpah, karena asalnya adalah kemiskinan, dan karena Nabi ﷺ tidak meminta kedua orang itu untuk bersumpah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُحَلِّفُهُ عَلَى فَقْرِهِ، لِأَنَّ ظَاهِرَهُ بِخِلَافِ قَوْلِهِ، فَأَمَّا إِنِ ادَّعَى عِيَالًا فَفِي قَبُولِ قَوْلِهِ فِيهِمْ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Ia harus bersumpah atas kemiskinannya, karena penampilannya bertentangan dengan pengakuannya. Adapun jika ia mengaku memiliki tanggungan keluarga, maka dalam hal diterimanya pengakuan tersebut ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي دَعْوَى الْعِيَالِ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ تَشْهَدُ بِهِمْ، لِأَنَّهَا دَعْوَى تُخَالِفُ الظَّاهِرَ.

Salah satunya: Tidak diterima pengakuannya tentang tanggungan keluarga kecuali dengan bukti yang menyaksikan keberadaan mereka, karena itu adalah klaim yang bertentangan dengan penampilan lahiriahnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهُ يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِيهِمْ كَمَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي نَفْسِهِ لِاخْتِصَاصِهِمْ بِهِ وَإِضَافَتِهِمْ إِلَيْهِ لَكِنْ لَا تُقْبَلُ إِلَّا يَمِينٌ يَحْلِفُ بِهَا وَجْهًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّهُ يَسْتَزِيدُ بِهَا عَلَى حَقِّ نَفْسِهِ.

Pendapat kedua: Pengakuannya tentang mereka diterima sebagaimana diterima pengakuannya tentang dirinya sendiri, karena mereka adalah orang-orang yang khusus terkait dengannya dan dinisbatkan kepadanya. Namun, tidak diterima kecuali dengan sumpah yang diucapkan, menurut satu pendapat, karena dengan itu ia menambah hak di luar hak dirinya sendiri.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي: ” وَالْعَامِلُونَ عَلَيْهَا مَنْ وَلَّاهُ الْوَالِي قَبْضَهَا وَمَنْ لَا غِنَى لِلْوَالِي عَنْ مَعُونَتِهِ عَلَيْهَا وَأَمَّا الْخَلِيفَةُ وَوَالِي الْإِقْلِيمِ الْعَظِيمِ الَّذِي لَا يَلِي قَبْضَ الصَّدَقَةِ وَإِنْ كَانَا مِنَ الْقَائِمِينَ بِالْأَمْرِ بأخذها فليسا عندنا ممن له فيها حق لأنهما لا يليان أخذها وشرب عمر رضي الله عنه لبنا فأعجبه فأخبر أنه من نعم الصدقة فأدخل أصبعه فاستقاءه (وقال) ويعطى العامل بقدر غنائه من الصدقة وإن كان موسرا لأنه يأخذه على معنى الإجارة “.

Imam Syafi‘i berkata: “Dan para ‘amil (petugas zakat) adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk menerima zakat, dan orang yang tidak bisa ditinggalkan oleh penguasa dalam membantu urusan zakat. Adapun khalifah dan gubernur wilayah besar yang tidak secara langsung menerima zakat, meskipun mereka termasuk orang yang bertanggung jawab dalam pengambilan zakat, menurut kami mereka bukan termasuk yang berhak menerima zakat, karena mereka tidak secara langsung mengambilnya. Umar ra. pernah meminum susu dan ia menyukainya, lalu diberitahu bahwa itu berasal dari hewan zakat, maka ia memasukkan jarinya ke tenggorokan dan memuntahkannya. (Beliau juga berkata:) Dan ‘amil diberi bagian dari zakat sesuai kebutuhan hidupnya, meskipun ia orang kaya, karena ia menerimanya dalam makna sebagai upah.”

قال الماوردي: وقد ذَكَرْنَا أَنَّ سَهْمَ الْعَامِلِينَ عَلَى الصَّدَقَاتِ ثَابِتٌ إِذَا تَوَلَّوْا قَبْضَهَا وَتَفْرِيقَهَا، وَسَاقِطٌ مِنْهَا إِذَا تَوَلَّى رَبُّ الْمَالِ بِنَفْسِهِ فَإِنْ قَالَ رَبُّ المال المتولي للتفريق زَكَاتِهِ أَنَا آَخُذُ سَهْمَ الْعَامِلِينَ لِنَفْسِي لِلْقِيَامِ بِالْعَمَلِ فِي التَّفْرِقَةِ مَقَامَ الْعَامِلِينَ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّ الْعَامِلَ مَنْ وَلَّاهُ الْإِمَامُ قَبْضَهَا وَتَفْرِيقَهَا نِيَابَةً عَنْ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ، وَرَبُّ الْمَالِ إِنَّمَا هُوَ نَائِبٌ عَنْ نَفْسِهِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا عَلَيْهَا لِغَيْرِهِ، وَإِذَا كَانَ هَكَذَا لَمْ يَخْلُ حَالُ رَبِّ الْمَالِ إذا دفع زكاته مَالِهِ إِلَى الْوَالِي مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa bagian untuk para ‘amil (petugas) zakat tetap ada apabila mereka yang mengurus penerimaan dan pendistribusiannya, dan gugur apabila pemilik harta sendiri yang mengurusnya. Jika pemilik harta yang membagikan zakatnya sendiri berkata, “Saya mengambil bagian ‘amil untuk diri saya sendiri karena saya telah melakukan tugas pendistribusian menggantikan para ‘amil,” maka itu tidak diperbolehkan. Sebab, ‘amil adalah orang yang diangkat oleh imam untuk menerima dan membagikan zakat sebagai wakil dari para mustahiq zakat, sedangkan pemilik harta hanyalah mewakili dirinya sendiri, karena tidak boleh ia menjadi wakil atas zakat itu untuk orang lain. Jika demikian, maka keadaan pemilik harta ketika menyerahkan zakatnya kepada penguasa tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَدْفَعَهَا إِلَى الْإِمَامِ الَّذِي هُوَ الْخَلِيفَةُ عَلَى الْأَمْرِ.

Pertama: Ia menyerahkannya kepada imam, yaitu khalifah yang memegang urusan pemerintahan.

وَالثَّانِي: أَنْ يَدْفَعَهَا إِلَى وَالِي الْإِقْلِيمِ النَّاظِرِ فِي جَمِيعِ أُمُورِهِ.

Kedua: Ia menyerahkannya kepada gubernur wilayah yang mengurusi seluruh urusan daerahnya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَدْفَعَهَا إِلَى الْعَامِلِ الَّذِي وَلَّاهُ الْإِمَامُ قَبْضَهَا وَجَعَلَ نَظَرَهُ مَقْصُورًا عَلَيْهَا، فَإِنْ تَوَلَّاهُ الْإِمَامُ سَقَطَ مِنْهَا سَهْمُ الْعَامِلِينَ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ وِلَايَةَ الْإِمَامِ عَامَّةٌ قَدْ أَخَذَ رِزْقَهُ عَلَيْهَا مِنْ بَيْتِ الْمَالِ فَلَمْ يُجْمَعْ لَهُ بَيْنَ رِزْقَيْنِ عَلَى عَمَلٍ وَاحِدٍ، وَلِمَا رَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا أَتَى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِلَبَنٍ فَشَرِبَهُ فَأَعْجَبَهُ فَقَالَ مِنْ أَيْنَ لَكَ هَذَا فَقَالَ مَرَرْتُ بِلِقَاحِ الصَّدَقَةِ فَأَعْطَوْنِيهِ فَجَعَلْتُهُ فِي سِقَائِي فَاسْتَقَاءَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ مَالُ الصَّدَقَةِ، وَلِذَلِكَ لَمْ يَسْتَبْقِهِ فِي جَوْفِهِ.

Ketiga: Ia menyerahkannya kepada ‘amil yang diangkat oleh imam untuk menerima zakat dan pengawasannya hanya terbatas pada zakat. Jika imam sendiri yang mengurusnya, maka bagian ‘amil dari zakat itu gugur, karena kekuasaan imam bersifat umum dan ia telah menerima gaji dari Baitul Mal atas pekerjaannya itu, sehingga tidak boleh ia menerima dua gaji untuk satu pekerjaan. Hal ini sebagaimana riwayat asy-Syafi‘i dari Malik dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, bahwa seorang laki-laki datang kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu membawa susu, lalu Umar meminumnya dan menyukainya. Umar bertanya, “Dari mana engkau dapatkan ini?” Ia menjawab, “Aku melewati unta zakat, lalu mereka memberiku susu itu, kemudian aku tuang ke dalam kantongku.” Maka Umar pun memuntahkannya. Ini menunjukkan bahwa harta zakat haram baginya, sehingga ia tidak membiarkannya di dalam tubuhnya.

فَإِنْ قِيلَ: فَمَا تَأْثِيرُ اسْتِقَائِهِ بَعْدَ اسْتِهْلَاكِهِ وَمَنْ أَكَلَ حَرَامًا لَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يَسْتَقِيئَهُ.

Jika dikatakan: Apa pengaruh memuntahkan (susu itu) setelah dikonsumsi, padahal siapa pun yang memakan barang haram tidak wajib memuntahkannya?

قِيلَ فِي اسْتِقَائِهِ لِذَلِكَ ثَلَاثَةُ أُمُورٍ:

Dikatakan bahwa dalam tindakan memuntahkan itu terdapat tiga hal:

أَحَدُهَا: أَنْ يَعْلَمَ النَّاسُ تَحْرِيمَ الصَّدَقَاتِ عَلَى الْإِمَامِ.

Pertama: Agar masyarakat mengetahui keharaman zakat bagi imam.

والثاني: أن من أخذ مالا يَحِلُّ لَهُ مِنْ مَغْصُوبٍ وَغَيْرِهِ فَتَغَيَّرَ فِي يَدِهِ لَمْ يَمْلِكْهُ بِخِلَافِ مَا قَالَ أبو حنيفة.

Kedua: Bahwa siapa pun yang mengambil harta yang tidak halal baginya, baik dari hasil ghasab (perampasan) maupun lainnya, lalu harta itu berubah bentuk di tangannya, ia tetap tidak memilikinya, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah.

وَالثَّالِثُ: لِئَلَّا يَسْتَدِيمَ الِاغْتِذَاءُ وَالِانْتِفَاعُ بِحَرَامٍ، وَهَكَذَا لَوْ تَوَلَّى قَبْضَ الصَّدَقَاتِ وَتَفْرِيقَهَا وَالِي الْإِقْلِيمِ سَقَطَ مِنْهَا سَهْمُ الْعَامِلِينَ؛ لِأَنَّهُمْ فِي عُمُومِ وِلَايَتِهِ عَلَى ذَلِكَ الْإِقْلِيمِ الَّذِي قَدِ ارْتَزَقَ عَلَى عَمَلِهِ فِيهِ جَارٍ مَجْرَى الْإِمَامِ.

Ketiga: Agar tidak terus-menerus mengonsumsi dan memanfaatkan barang haram. Demikian pula, jika gubernur wilayah yang mengurus penerimaan dan pendistribusian zakat, maka bagian ‘amil juga gugur, karena mereka dalam cakupan kekuasaan umumnya atas wilayah tersebut telah menerima gaji atas pekerjaannya, sebagaimana halnya imam.

فَأَمَّا إِذَا اخْتَصَّ لِعَامِلٍ بِقَبْضِ الزَّكَاةِ تَفْرِيقَهَا ثَبَتَ فِيهَا حِينَئِذٍ سَهْمُ الْعَامِلِينَ عَلَيْهَا لِيَكُونَ مَصْرُوفًا إِلَى الْعَامِلِ وَأَعْوَانِهِ فِيهَا وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَجَبَ أَنْ يُوصَفَ مَنْ يَجُوزُ أَنْ يكون عاملا فيها بها في القبض وَالتَّفْرِقَةِ وَهُوَ مَنْ تَكَامَلَتْ فِيهِ سِتُّ خِصَالٍ:

Adapun jika ada ‘amil yang secara khusus ditugaskan untuk menerima dan membagikan zakat, maka pada saat itu bagian ‘amil tetap ada, agar dapat diberikan kepada ‘amil dan para pembantunya. Dengan demikian, perlu dijelaskan siapa saja yang boleh menjadi ‘amil dalam penerimaan dan pendistribusian zakat, yaitu orang yang memenuhi enam syarat:

أَحَدُهَا: الْبُلُوغُ لِأَنَّ الصِّغَرَ لَا يَصِحُّ مَعَهُ قَبْضٌ وَلَا تَقْبِيضٌ.

Pertama: Baligh, karena anak kecil tidak sah melakukan penerimaan maupun penyerahan zakat.

وَالثَّانِيَةُ: الْعَقْلُ الَّذِي يَصِحُّ التَّمْيِيزُ بِهِ.

Kedua: Berakal, yaitu mampu membedakan dengan akalnya.

وَالثَّالِثَةُ: الْحُرِّيَّةُ.

Ketiga: Merdeka (bukan budak).

وَالرَّابِعَةُ: الْإِسْلَامُ لِأَنَّ الْكُفْرَ يَمْنَعُ مِنَ الْوِلَايَةِ عَلَى مُسْلِمٍ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ} [الممتحنة: آية 1] وَقَدِمَ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ مِنَ الْبَصْرَةِ عَلَى عُمَرَ بِحِسَابٍ اسْتَحْسَبَهُ عُمَرُ فَقَالَ مَنْ عَمِلَ هذا فقال كاتبي فقال: أين هو؟ هُوَ عَلَى بَابِ الْمَسْجِدِ قَالَ: أَجُنُبٌ هُوَ؟ قَالَ لَا، وَلَكِنَّهُ ذِمِّيٌّ فَأَمَرَهُ بِعَزْلِهِ وَقَالَ: لَا تَأْمَنُوهُمْ إِذْ خَوَّنَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى، وَلَا تقربوهم إذ بعدهم الله.

Keempat: Muslim, karena kekafiran menghalangi seseorang untuk memegang kekuasaan atas kaum Muslimin, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai wali (pemimpin)} [Al-Mumtahanah: 1]. Diriwayatkan bahwa Abu Musa al-Asy‘ari datang dari Bashrah kepada Umar membawa catatan perhitungan yang disukai Umar. Umar bertanya, “Siapa yang membuat ini?” Abu Musa menjawab, “Penulisku.” Umar bertanya, “Di mana dia?” Abu Musa menjawab, “Dia di depan pintu masjid.” Umar bertanya, “Apakah dia junub?” Abu Musa menjawab, “Bukan, tapi dia seorang dzimmi (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan Islam).” Maka Umar memerintahkannya untuk memberhentikannya dan berkata, “Jangan kalian percaya kepada mereka, karena Allah Ta‘ala telah mengkhianati mereka, dan jangan kalian dekati mereka, karena Allah telah menjauhkan mereka.”

وَالْخَامِسُ: الْأَمَانَةُ لِأَنَّهَا بَيَانُهُ لِيُقْصَدَ بِهَا حِفْظُ الْمَالِ عَلَى غَيْرِ الْمُسْتَنِيبِ فَأَشْبَهَ وَلِيَّ الْيَتِيمِ الذي إن خفيت خِيَانَتُهُ سَقَطَتْ وِلَايَتُهُ.

Kelima: Amanah, karena ia merupakan penjelasan agar dimaksudkan untuk menjaga harta atas selain yang mewakilkan, sehingga menyerupai wali yatim yang jika pengkhianatannya tersembunyi maka gugurlah kewaliannya.

وَالسَّادِسَةُ: الْفِقْهُ بِأَحْكَامِ الزَّكَوَاتِ فِيمَا تَجِبُ فِيهِ مِنَ الْأَمْوَالِ وَمَا لَا تَجِبُ وَفِي مَقَادِيرِهَا وَقَدْرِ الْحَقِّ فِيهَا وَأَوْصَافِ مُسْتَحِقِّيهَا وَمَبْلَغِ اسْتِحْقَاقِهِمْ مِنْهَا لِئَلَّا يَكُونَ جَاهِلًا بِمَا هُوَ مَوْكُولٌ إِلَى نَظَرِهِ، فَلَا يَصِحُّ تَقْلِيدُهُ كَالْحَاكِمِ إِذَا كَانَ جَاهِلًا وَلَيْسَ يَلْزَمُ مِنْ عَامِلِ الصَّدَقَةِ أَنْ يَكُونَ فَقِيهًا فِي جَمِيعِ الْأَحْكَامِ؛ لِأَنَّ وِلَايَةَ الْحَاكِمِ جَامِعَةٌ فَاحْتَاجَ أَنْ يَكُونَ عَالِمًا بِجَمِيعِ الْأَحْكَامِ وَوِلَايَةُ عَامِلِ الصَّدَقَاتِ مَخْصُوصَةٌ فَلَا يَحْتَاجُ إِلَى أَنْ يَكُونَ عالما يعني بأحكامها، فَإِذَا تَكَامَلَتْ فِيهِ هَذِهِ الْخِصَالُ السِّتَّةُ جَازَ أَنْ يَكُونَ عَامِلًا عَلَيْهَا وَسَوَاءً كَانَ رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً وَإِنْ كَرِهْنَا تَقْلِيدَ النِّسَاءِ لِذَلِكَ لِمَا عَلَيْهِنَّ مِنْ لُزُومِ الْخَفَرِ لِأَنَّ الْمَرْأَةَ لَمَّا جَازَ أَنْ تَلِيَ أَمْوَالَ الْأَيْتَامِ جَازَ أَنْ تَلِيَ أَمْوَالَ الصَّدَقَاتِ فَأَمَّا أَعْوَانُ الْعَامِلِ مِنْ كُتَّابِهِ وَحُسَّابِهِ وَجُبَاتِهِ وَمُسْتَوْفِيهِ فَأُجُورُهُمْ مِنْ سَهْمِ الْعَامِلِينَ لِعَمَلِهِمْ فِيهَا، وَلَا يَلْزَمُ اعْتِبَارُ الْحُرِّيَّةِ وَالْفِقْهِ فِيهِمْ، لِأَنَّهُمْ خَدَمٌ فِيهَا مَأْمُورُونَ وَيَلْزَمُ اعْتِبَارُ الْخِصَالِ الْأَرْبَعَةِ مِنَ الْبُلُوغِ وَالْفَضْلِ وَالْإِسْلَامِ وَالْأَمَانَةِ.

Keenam: Fiqh terhadap hukum-hukum zakat, baik mengenai harta yang wajib dizakati maupun yang tidak, kadar zakatnya, besaran hak di dalamnya, sifat-sifat orang yang berhak menerima, serta besaran hak mereka agar ia tidak jahil terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Maka tidak sah ia dijadikan sebagai pemegang amanah, sebagaimana hakim jika ia jahil. Tidak disyaratkan bagi amil zakat untuk faqih dalam seluruh hukum, karena wilayah hakim bersifat umum sehingga ia perlu mengetahui seluruh hukum, sedangkan wilayah amil zakat bersifat khusus sehingga cukup ia mengetahui hukum-hukum zakat saja. Jika enam sifat ini telah sempurna pada dirinya, maka boleh ia menjadi amil zakat, baik laki-laki maupun perempuan, meskipun kami tidak menyukai pengangkatan perempuan untuk itu karena kewajiban mereka untuk menjaga diri, namun jika perempuan boleh mengelola harta anak yatim, maka boleh pula ia mengelola harta zakat. Adapun para pembantu amil seperti para penulis, akuntan, penagih, dan penagih penuh, maka upah mereka diambil dari bagian amil karena pekerjaan mereka di dalamnya, dan tidak disyaratkan kebebasan dan fiqh pada mereka, karena mereka hanyalah pelayan yang diperintah. Namun, empat sifat tetap harus dipenuhi, yaitu baligh, keutamaan, Islam, dan amanah.

وَأَمَّا الرُّعَاةُ وَالْحَفَظَةُ لَهَا بَعْدَ قَبْضِهَا فَفِي أُجُورِهِمْ وَجْهَانِ:

Adapun para penggembala dan penjaga harta setelah diterima, maka mengenai upah mereka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهَا مِنْ سَهْمِ الْعَامِلِينَ عَلَيْهَا.

Pertama: Upah mereka diambil dari bagian amil.

وَالثَّانِي: مِنْ أَصْلِ الصَّدَقَاتِ فَأَمَّا أُجْرَةُ الْحَمَّالِينَ والنَّقَّالِينَ فَإِنْ كَانَتْ عِنْدَ أَخْذِ ذَلِكَ مِنْ أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ فَفِيهَا وَجْهَانِ: كَالرُّعَاةِ، وَالْحَفَظَةِ وَإِنْ كَانَتْ لِحَمْلِهَا لِأَهْلِ الصَّدَقَاتِ فَأُجُورُهُمْ فِي أَمْوَالِ الصَّدَقَاتِ وَجْهًا وَاحِدًا.

Kedua: Dari pokok harta zakat. Adapun upah para pemikul dan pengangkut, jika pekerjaannya saat mengambil dari pemilik harta, maka ada dua pendapat seperti halnya penggembala dan penjaga. Namun jika untuk mengantarkan kepada mustahik zakat, maka upah mereka diambil dari harta zakat menurut satu pendapat.

وَأَمَّا أُجُورُ الْكَيَّالِينَ وَالْوَزَّانِينَ وَالْعَدَّادِينَ، فَعَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun upah para penakar, penimbang, dan penghitung, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّهَا عَلَى أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ، لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ حُقُوقِ التَّسْلِيمِ وَالتَّمْكِينِ فَأَشْبَهَ أُجْرَةَ الْكَيَّالِ وَالْوَزَّانِ فِي الْمَبِيعِ يَخْتَصُّ بِهَا الْبَائِعُ دُونَ الْمُشْتَرِي.

Pertama, menurut pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah, upah tersebut menjadi tanggungan pemilik harta, karena itu termasuk hak penyerahan dan penyerahan kekuasaan, sehingga menyerupai upah penakar dan penimbang dalam jual beli yang menjadi tanggungan penjual, bukan pembeli.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّهَا فِي سَهْمِ الْعَامِلِينَ وَالْفَرْقُ بَيْنَ هَذَا وَبَيْنَ الْبَيْعِ أَنَّ الْبَيْعَ مَكِيلٌ فِي حَقِّ الْبَائِعِ، وَهَذَا مَكِيلٌ فِي حَقِّ أَهْلِ السُّهْمَانِ فَصَارَ مَا يَلْزَمُ مِنْ أُجُورِ الْعَمَلِ فِي أَمْوَالِ الصَّدَقَاتِ تَنْقَسِمُ أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ:

Pendapat kedua, menurut Abu Ishaq al-Marwazi, upah tersebut diambil dari bagian amil. Perbedaannya dengan jual beli adalah bahwa dalam jual beli, penakaran menjadi hak penjual, sedangkan dalam zakat, penakaran menjadi hak para mustahik. Maka, upah pekerjaan dalam harta zakat terbagi menjadi empat bagian:

أَحَدُهَا: مَا كَانَ فِي سَهْمِ الْعَامِلِينَ مِنَ الصَّدَقَاتِ وَهُوَ الْعَامِلُ وَأَعْوَانُهُ.

Pertama: Yang diambil dari bagian amil zakat, yaitu amil dan para pembantunya.

وَالثَّانِي: مَا كَانَ فِي أَمْوَالِ الصَّدَقَاتِ مِنْ غَيْرِ سَهْمِ الْعَامِلِينَ وَهُوَ أُجُورُ الْحَمَّالِينَ وَالنَّقَّالِينَ إِلَى أَهْلِ الصَّدَقَاتِ.

Kedua: Yang diambil dari harta zakat selain bagian amil, yaitu upah para pemikul dan pengangkut yang mengantarkan kepada mustahik zakat.

وَالثَّالِثُ: مَا كَانَ عَلَى أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ وَمِنْ سَهْمِ الْعَامِلِينَ فِي الْوَجْهِ الثَّانِي وَهُوَ أُجْرَةُ الْكَيَّالِ وَالْوَزَّانِ.

Ketiga: Yang menjadi tanggungan pemilik harta menurut satu pendapat, dan dari bagian amil menurut pendapat lain, yaitu upah penakar dan penimbang.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: مَا اخْتَلَفَ أصحابنا فيه وهو أجرة الرعاة والحفظة فَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ أَنَّهُ مِنْ سَهْمِ الْعَامِلِينَ.

Keempat: Yang diperselisihkan oleh para ulama kami, yaitu upah para penggembala dan penjaga; salah satu pendapat menyatakan dari bagian amil.

وَالثَّانِي: مِنْ مَالِ الصَّدَقَاتِ.

Dan pendapat kedua: dari harta zakat.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا فَالْإِمَامُ فِيمَنْ قَلَّدَهُ مِنْ عُمَّالِهِ الصَّدَقَةَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ:

Setelah apa yang kami jelaskan ini tetap berlaku, maka imam dalam mengangkat para amil zakat berada di antara dua pilihan:

إِمَّا أَنْ يَعْقِدَ مَعَهُ إِجَارَةً عَلَى عَمَلٍ مَعْلُومٍ فِي زَمَانٍ مَعْلُومٍ بأجرة معلومة فيكون العقد لازما له وَلَهُ الْأُجْرَةُ إِذَا عَمِلَ وَإِمَّا أَنْ يَجْعَلَهَا جُعَالَةً فَيَقُولُ: إِنْ عَمِلْتَ كَذَا فَلَكَ كَذَا، فَتَكُونُ هَذِهِ جُعَالَةً لَا تَلْزَمُ وَلَهُ إِنْ عَمِلَ مَا يُسَمَّى لَهُ فَإِنِ اسْتَعْمَلَهُ مِنْ غَيْرِ إِجَارَةٍ وَلَا جُعَالَةٍ فَلَهُ أُجْرَةُ الْمِثْلِ ثُمَّ لَا يَخْلُو سَهْمُ الْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَأَجْرُهُمْ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Yaitu, bisa saja ia mengadakan akad ijārah dengannya atas suatu pekerjaan tertentu dalam waktu yang telah diketahui dengan upah yang telah diketahui, maka akad itu menjadi wajib baginya dan ia berhak mendapatkan upah jika telah bekerja. Atau bisa juga ia menjadikannya sebagai ju‘ālah, lalu ia berkata: “Jika kamu melakukan ini, maka kamu akan mendapatkan ini,” maka ini menjadi ju‘ālah yang tidak mengikat, dan ia berhak mendapatkan apa yang telah dijanjikan jika ia melakukannya. Jika ia mempekerjakannya tanpa akad ijārah dan tanpa ju‘ālah, maka ia berhak mendapatkan upah yang setara (ujrah al-mitsl). Kemudian, bagian para ‘āmilīn (petugas pengelola zakat) dan upah mereka terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَتَسَاوَيَا فَتَكُونُ الْأُجْرَةُ بِقَدْرِ سَهْمِهِمْ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نقص فنقص عليها وَقَدِ اسْتَوْفَوْا أُجُورَهُمْ مِنْ سَهْمِهِمْ وَسَوَاءً كَانُوا أَغْنِيَاءَ أَوْ فُقَرَاءَ، لِأَنَّهَا مُعَاوَضَةٌ فَلَمْ يُعْتَبَرْ فِيهَا الْفَقْرُ.

Pertama: Jika keduanya seimbang, maka upahnya sebesar bagian mereka tanpa ada tambahan atau pengurangan atasnya, dan mereka telah menerima upah mereka dari bagian mereka, baik mereka orang kaya maupun fakir, karena ini adalah bentuk mu‘āwadah (pertukaran/kompensasi), sehingga kemiskinan tidak diperhitungkan di dalamnya.

وَقَدْ رَوَى أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ إِلَّا لِخَمْسَةٍ: الْعَامِلُ عليها وغاز في سبيل الله ” الحديث. وَرَوَى ابْنُ السَّاعِدِيِّ قَالَ: بَعَثَنِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَامِلًا عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا رَجَعْتُ بِهَا وَأَدَّيْتُهَا أَعْطَانِي عِمَالَتِي فَقُلْتُ: إِنَّمَا عَمِلْتُ لِلَّهِ وَإِنَّمَا أَجْرِي عَلَى اللَّهِ، فَقَالَ: خُذْ مَا أَعْطَيْتُكَ فَقَدْ فَعَلْتُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِثْلَ مَا فَعَلْتَ فَأُعْطِيتُ مِثْلَ مَا أُعْطِيتَ فَقُلْتُ مِثْلَ مَا قُلْتَ فَقَالَ: إِذَا أُعْطِيتَ مِنْ غَيْرِ أَنْ تَسْأَلَ فَكُلْ وَتَصَدَّقْ، فَدَلَّ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْخَبَرَيْنِ عَلَى جَوَازِ ذَلِكَ مَعَ الْغِنَى وَالْفَقْرِ.

Telah meriwayatkan Abu Sa‘id al-Khudri bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Sedekah (zakat) tidak halal kecuali bagi lima golongan: ‘āmil (petugas) atasnya dan orang yang berjuang di jalan Allah…” (hadis). Dan telah meriwayatkan Ibnu as-Sa‘idi, ia berkata: Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu mengutusku sebagai ‘āmil (petugas) atas zakat, maka ketika aku kembali dengan zakat itu dan telah menyerahkannya, ia memberiku upahku. Aku berkata: “Sesungguhnya aku bekerja karena Allah, dan sesungguhnya pahalaku atas Allah.” Maka ia berkata: “Ambillah apa yang aku berikan kepadamu, karena aku telah melakukan pada masa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- seperti yang kamu lakukan, lalu aku diberi seperti yang kamu terima, dan aku berkata seperti yang kamu katakan.” Maka ia berkata: “Jika kamu diberi tanpa meminta, maka makanlah dan bersedekahlah.” Maka kedua hadis ini menunjukkan bolehnya hal tersebut baik dalam keadaan kaya maupun miskin.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ أُجُورُ الْعَامِلِينَ أَقَلَّ وَسَهْمُهُمْ أَكْثَرَ فَيَدْفَعُ إِلَيْهِمْ مِنْ سَهْمِهِمْ قَدْرَ أُجُورِهِمْ، وَيَرُدُّ الْفَاضِلَ مِنْهُ عَلَى السُّهْمَانِ كُلِّهَا بِالتَّسْوِيَةِ وَلَا يَسْتَبْقِي لِعَامِلِهِ عَلَى غَيْرِ تِلْكَ الصَّدَقَةِ.

Bagian kedua: Jika upah para ‘āmilīn lebih sedikit dan bagian mereka lebih banyak, maka diberikan kepada mereka dari bagian mereka sebesar upah mereka, dan kelebihannya dikembalikan kepada seluruh bagian (ashnāf) secara merata, dan tidak disisakan untuk ‘āmil selain dari zakat tersebut.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ أُجُورُ الْعَامِلِينَ أَكْثَرَ وَسَهْمُهُمْ أَقَلَّ فَيَدْفَعُ إِلَيْهِمْ سَهْمَهُمْ وَيُتَمِّمُ لَهُ بَاقِيَ أُجُورِهِمْ وَمِنْ أَيْنَ يُتَمِّمُ؟ فِيهِ قَوْلَانِ:

Bagian ketiga: Jika upah para ‘āmilīn lebih banyak dan bagian mereka lebih sedikit, maka diberikan kepada mereka bagian mereka dan dilengkapi sisanya dari upah mereka. Dari mana pelengkap itu diambil? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: مِنْ تِلْكَ الصَّدَقَةِ الَّتِي عَمِلُوا فِيهَا لِاخْتِصَاصِ عَمَلِهِمْ بِهَا.

Pertama: Dari zakat yang mereka kerjakan itu, karena pekerjaan mereka khusus untuknya.

وَالثَّانِي: مِنْ مَالِ الْمَصَالِحِ وَهُوَ خُمُسُ الْخُمُسِ مِنَ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ جُمْلَتِهَا.

Kedua: Dari harta kemaslahatan (baitul mal), yaitu seperlima dari seperlima harta fai’ dan ghanīmah, karena itu termasuk bagian darinya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا اسْتِعْمَالُ ذَوِي الْقُرْبَى عَلَى الصَّدَقَاتِ فَإِنْ تَطَوَّعُوا بِالْعَمَلِ مِنْ غَيْرِ أَجْرٍ جَازَ وَسَقَطَ مِنْ تِلْكَ الصَّدَقَةِ الَّتِي عَمِلُوا فِيهَا سَهْمُ الْعَامِلِينَ عَلَيْهَا كَمَا يَجُوزُ لِلْإِمَامِ أَنْ يَتَوَلَّاهَا، وَإِنْ كَانَ مِنْ ذَوِي الْقُرْبَى لِأَنَّهُ يَأْخُذُ مِنْهَا وَيَسْقُطُ سَهْمُ الْعَامِلِينَ مِنْهَا، وَإِنْ أَرَادَ الْعَامِلُ مِنْ ذَوِي الْقُرْبَى أَنْ يَعْمَلَ عَلَيْهَا وَيَأْخُذَ سَهْمَ عَمَلِهِ مِنْهَا، فَفِي جَوَازِهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Adapun mempekerjakan kerabat dekat (dzawil qurba) dalam pengelolaan zakat, maka jika mereka bekerja secara sukarela tanpa upah, itu diperbolehkan dan gugurlah bagian ‘āmilīn dari zakat yang mereka kerjakan, sebagaimana diperbolehkan bagi imam untuk mengelolanya, meskipun ia termasuk dzawil qurba, karena ia mengambil dari zakat tersebut dan gugurlah bagian ‘āmilīn darinya. Jika ‘āmil dari dzawil qurba ingin bekerja atasnya dan mengambil bagian pekerjaannya dari zakat tersebut, maka dalam kebolehannya terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: يَجُوزُ لِأَنَّهَا مُعَاوَضَةٌ لَا يُرَاعَى فِيهَا الفقراء فلم يراعى فِيهَا النَّسَبُ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُفَاضَلُوا عَلَى عَمَلِهِمْ فِيهَا مَا يَلْزَمُ رَبَّ الْمَالِ مِنْ أُجْرَةِ الْكَيْلِ وَالْوَزْنِ وَمَا يَلْزَمُ أَهْلَ الصَّدَقَاتِ مِنْ أُجْرَةِ الْحِفْظِ وَالنَّقْلِ، جَازَ أَنْ يُفَاضَلُوا عَلَيْهِ بِمَا يَلْزَمُ فِي مَالِ الصَّدَقَاتِ مِنْ سَهْمِ الْعَامِلِينَ.

Pertama: Diperbolehkan, karena ini adalah mu‘āwadah (kompensasi) yang tidak memperhatikan status fakir, maka nasab (kekerabatan) juga tidak diperhatikan di dalamnya. Dan karena ketika diperbolehkan adanya perbedaan dalam pekerjaan mereka atas apa yang menjadi tanggungan pemilik harta berupa upah takaran dan timbangan, serta apa yang menjadi tanggungan para penerima zakat berupa upah penjagaan dan pengangkutan, maka diperbolehkan pula adanya perbedaan dalam harta zakat berupa bagian ‘āmilīn.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يجوز لتحريم الصَّدَقَاتِ عَلَيْهِمْ، رُوِيَ أَنَّ الْفَضْلَ بْنَ الْعَبَّاسِ وَالْمُطَّلِبَ بْنَ رَبِيعَةَ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَسَأَلَاهُ عِمَالَةَ الصَّدَقَةِ فَقَالَ: إِنَّ الصَّدَقَةَ مِنْ أَوْسَاخِ النَّاسِ لَا يَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ مِنْهَا شَيْءٌ.

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat yang tampak dari mazhab asy-Syafi‘i, adalah bahwa hal itu tidak diperbolehkan karena sedekah diharamkan atas mereka. Diriwayatkan bahwa al-Fadhl bin al-‘Abbas dan al-Muththalib bin Rabi‘ah datang kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- lalu mereka berdua meminta kepada beliau untuk diangkat sebagai amil sedekah. Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya sedekah itu adalah kotoran manusia, tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad sedikit pun darinya.”

وَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: إِنَّا أَهْلَ بَيْتٍ لَا تَحِلُّ لَنَا الصَّدَقَةُ، وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ سَهْمَهُمْ مِنْ خُمُسِ الْخُمُسِ مِنَ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ عِوَضًا عَنْ مَالِ الصَّدَقَةِ.

Dan diriwayatkan dari beliau bahwa beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya kami adalah keluarga yang tidak halal bagi kami menerima sedekah.” Dan karena Allah Ta‘ala telah menjadikan bagian mereka dari seperlima khumus dari fai’ dan ghanimah sebagai ganti dari harta sedekah.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلٌ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ إِنْ كَانُوا يُعْطَوْنَ سَهْمَهُمْ مِنَ الْخُمُسِ لَمْ يَجُزْ وَإِنْ كَانُوا لَا يُعْطَوْنَ جاز لأن لا يَجْمَعُوا بَيْنَ مَالَيْنِ إِنْ أُعْطُوا لَا يُحْرَمُوا المالين وإن منعوا، فأما مولى ذَوِي الْقُرْبَى فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِمْ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat ketiga, yaitu pendapat Abu Sa‘id al-Ishthakhri: Jika mereka (dzawil qurba) diberikan bagian mereka dari khumus, maka tidak boleh (menerima sedekah), namun jika mereka tidak diberikan, maka boleh, agar mereka tidak mengumpulkan dua harta jika diberikan, dan tidak diharamkan dari keduanya jika tidak diberikan. Adapun mawla (budak yang dimerdekakan) dari dzawil qurba, para sahabat kami berbeda pendapat tentang mereka menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُمْ كَذَوِي الْقُرْبَى فِي تَحْرِيمِ الصَّدَقَاتِ عَلَيْهِمْ لِرِوَايَةِ أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اسْتَعْمَلَ عَلَى الصَّدَقَةِ رَجُلًا مِنْ بَنِي مَخْزُومٍ فَقُلْتُ لَهُ أَثْبِتْ لِي سَهْمًا مِنْهَا، فَقَالَ حَتَّى أَسْتَأْذِنَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَسَأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: ” إِنَّ مَوْلَى الْقَوْمِ مِنْهُمْ وَإِنَّا أَهْلَ بَيْتٍ لَا تَحِلُّ لَنَا الصَّدَقَةُ “.

Pertama: Mereka seperti dzawil qurba dalam keharaman sedekah atas mereka, berdasarkan riwayat Abu Rafi‘, mawla Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengangkat seorang laki-laki dari Bani Makhzum sebagai amil sedekah. Maka aku berkata kepadanya, “Tetapkanlah untukku satu bagian darinya.” Ia berkata, “Tunggu sampai aku meminta izin kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” Lalu ia menanyakan hal itu kepada beliau, maka beliau bersabda: “Sesungguhnya mawla suatu kaum adalah bagian dari mereka, dan sesungguhnya kami adalah keluarga yang tidak halal bagi kami menerima sedekah.”

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهَا لَا تَحْرُمُ عَلَيْهِمْ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْمَوْلَى مِنْهُمْ عَامِلًا عَلَيْهَا، لِأَنَّ تَحْرِيمَهُ عَلَى ذَوِي الْقُرْبَى لِأَمْرَيْنِ تَفَرَّدُوا بِهِمَا عَنْ مَوَالِيهِمْ:

Pendapat kedua: Sedekah tidak diharamkan atas mereka dan boleh mawla dari mereka menjadi amil atasnya, karena pengharaman atas dzawil qurba disebabkan dua hal yang mereka miliki secara khusus tanpa mawla mereka:

أَحَدُهُمَا: شَرَفُ نَسَبِهِمُ الَّذِي فُضِّلُوا بِهِ.

Pertama: Kemuliaan nasab mereka yang dengannya mereka diutamakan.

وَالثَّانِي: سَهْمُهُمْ مِنَ الْخُمُسِ الَّذِي تَفَرَّدُوا بِهِ.

Kedua: Bagian mereka dari khumus yang mereka miliki secara khusus.

فَوَجَبَ أَنْ يُخْتَصُّوا بِتَحْرِيمِ الصَّدَقَاتِ دُونَ مَوَالِيهِمْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Maka wajiblah bahwa pengharaman sedekah itu khusus bagi dzawil qurba, tidak berlaku bagi mawla mereka. Dan Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ:

Fasal:

إِذَا تَلَفَتِ الصَّدَقَةُ فِي يَدِ الْعَامِلِ فَهُوَ عَلَيْهَا أَمِينٌ لَا يَضْمَنُهَا إِلَّا بِالْعُدْوَانِ ثُمَّ لَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ قَدْ أَخَذَ سَهْمَهُ مِنْهَا أَوْ لَمْ يَأْخُذْ، فَإِنْ أَخَذَهُ لَمْ يَلْزَمْهُ رَدُّهُ؛ لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَحَقَّهُ بِعَمَلِهِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ أَخَذَ أُجْرَةَ الْقَبْضِ وَالتَّفْرِيقِ، فَيَلْزَمُهُ إِذَا تَلَفَتْ قَبْلَ التَّفْرِيقِ أَنْ يَرُدَّ مِنَ الْأُجْرَةِ مَا قَابَلَ أُجْرَةَ التَّفْرِيقِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ أَخَذَ سَهْمَهُ مِنَ الْمَالِ قَبْلَ تَلَفِهِ أُعْطِيَ أُجْرَةً مِنْ سَهْمِ الْمَصَالِحِ مِنَ الْخُمُسِ، وَلَمْ يُفَوَّتْ عَلَيْهِ بِغَيْرِ بَدَلٍ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.

Jika sedekah rusak (hilang) di tangan amil, maka ia adalah orang yang dipercaya atasnya dan tidak menanggungnya kecuali karena kecurangan. Kemudian, tidak lepas dari dua keadaan: apakah ia telah mengambil bagiannya dari sedekah itu atau belum. Jika ia telah mengambilnya, maka tidak wajib baginya mengembalikannya, karena ia telah berhak mendapatkannya dengan pekerjaannya, kecuali jika ia telah mengambil upah atas pengambilan dan pembagiannya, maka jika sedekah itu rusak sebelum dibagikan, ia wajib mengembalikan dari upahnya sebesar bagian upah pembagian. Jika ia belum mengambil bagiannya dari harta sebelum rusaknya, maka ia diberi upah dari bagian maslahat dari khumus, dan tidak digugurkan haknya tanpa pengganti. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَالْمُؤَلَّفَةُ قُلُوبُهُمْ فِي مُتَقَدِّمِ الْأَخْبَارِ ضَرْبَانِ ضَرَبٌ مُسْلِمُونَ أَشْرَافٌ مُطَاعُونَ يُجَاهِدُونَ مَعَ الْمُسْلِمِينَ فَيَقْوَى الْمُسْلِمُونَ بِهِمْ وَلَا يَرَوْنَ مِنْ نِيَّاتِهِمْ مَا يَرَوْنَ مِنْ نِيَّاتِ غَيْرِهِمْ فَإِذَا كَانُوا هَكَذَا فَأَرَى أَنْ يُعْطَوْا مِنْ سَهْمِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهُوَ خُمُسُ الْخُمُسِ مَا يُتَأَلَّفُونَ بِهِ سِوَى سِهَامِهِمْ مَعَ الْمُسْلِمِينَ وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ هَذَا السَّهْمَ خالصا لنبيه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فرده في مصلحة المسلمين (وَاحْتَجَّ) بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أعطى المؤلفة يوم حنين من الخمس مثل عيينة والأقرع وأصحابهما ولم يعط عباس بن مرداس وكان شريفا عظيم الغناء حتى استعتب فأعطاه النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (قال الشافعي) رحمه الله لما أراد ما أراد القوم احتمل أن يكون دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – منه شيء حين رغب عما صنع بالمهاجرين والأنصار فأعطاه على معنى ما أعطاهم واحتمل أن يكون رأى أن يعطيه من ماله حيث رأى أن يعطيه لأنه له – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خالصا للتقوية بالعطية ولا نرى أن قد وضع من شرفه فإنه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قد أعطى من خمس الخمس النفل وغير النفل لأنه له وأعطى صفوان بن أمية ولم يسلم ولكنه أعاره أداة فقال فيه عند الهزيمة أحسن مما قال بعض من أسلم من أهل مكة عام الفتح وذلك أن الهزيمة كانت فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يوم حنين أول النهار فقال له رجل غلبت هوازن وقتل محمد – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فقال صفوان بن أمية بفيك الحجر فوالله لَرَبٌّ مِنْ قُرَيْشٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ رَبٍّ من هوازن ثم أسلم قومه من قريش وكان كأنه لا يشك في إسلامه والله تعالى أعلم (قال الشافعي) فإذا كان مثل هذا رأيت أن يعطى مِنْ سَهْمِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وهذا أحب إلي للاقتداء بأمره – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (ولو قال) قائل كان هذا السهم لرسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فكان له أن يضع سهمه حيث يرى فقد فعل هذا مرة وأعطى من سهمه بخيبر رجالا من المهاجرين والأنصار لأنه ماله يضعه حيث رأى ولا يعطى أحدا اليوم على هذا المعنى من الغنيمة ولم يبلغنا أن أحدا من خلفائه أعطى أحدا بعده ولو قيل ليس للمؤلفة في قسم الغنيمة سهم مع أهل السهمان كان مذهبا والله أعلم (قال) وللمؤلفة في قسم الصدقات سهم والذي أحفظ فيه من متقدم الخبر أن عدي بن حاتم جاء إلى أبي بكر الصديق أحسبه بثلاثمائة من الإبل من صدقات قومه فأعطاه أبو بكر منها ثلاثين بعيرا وأمره أن يلحق بخالد بن الوليد بمن أطاعه من قومه فجاءه بزهاء ألف رجل وأبلى بلاء حسنا والذي يكاد يعرف القلب بالاستدلال بالأخبار أنه أعطاه إياها من سهم المؤلفة فإما زاده ترغيبا فيما صنع وإما ليتألف به غيره من قومه ممن لم يثق منه بمثل ما يثق به من عدي بن حاتم (قال) فأرى أن يعطى من سهم المؤلفة قلوبهم في مثل هذا المعنى إن نزلت بالمسلمين نازلة ولن تنزل إن شاء الله تعالى وذلك أن يكون العدو بموضع منتاط لا يناله الجيش إلا بمؤنة ويكون بإزاء قوم من أهل الصدقات فأعان عليهم أهل الصدقات إما بلية فأرى أن يقووا بسهم سبيل الله من الصدقات وإما أن لا يقاتلوا إلا بأن يعطوا سهم المؤلفة أو ما يكفيهم منه وكذا إذا انتاط العدو وكانوا أقوى عليه من قوم من أهل الفيء يوجهون إليه ببعد ديارهم وثقل مؤناتهم ويضعفون عنه فإن لم يكن مثل ما وصفت مما كان في زمن أبي بكر رضي الله عنه من امتناع أكثر العرب بالصدقة على الردة وغيرها لم أر أن يعطى أحد من سهم المؤلفة ولم يبلغني أن عمر ولا عثمان ولا عليا رضي الله عنهم أعطوا أحدا تألفا على الإسلام وقد أغنى الله – فله الحمد – الإسلام عن أن يتألف عليه رجال (وقال في الجديد) لا يعطى مشرك يتألف على الإسلام لأن الله تعالى خول المسلمين أموال المشركين لا المشركين أموال المسلمين وجعل صدقات المسلمين مردودة فيهم “.

Imam Syafi‘i berkata: “Orang-orang yang ‘mu’allaf qulubuhum’ (yang dilunakkan hatinya) dalam riwayat-riwayat terdahulu terbagi menjadi dua golongan: golongan pertama adalah para tokoh Muslim yang berpengaruh dan ditaati, yang berjuang bersama kaum Muslimin sehingga kaum Muslimin menjadi kuat dengan keberadaan mereka, dan niat mereka tidak sama dengan niat orang lain. Jika keadaannya demikian, menurutku mereka boleh diberi dari bagian Rasulullah ﷺ, yaitu seperlima dari seperlima (harta rampasan perang), sebagai sarana untuk melunakkan hati mereka, di luar bagian mereka bersama kaum Muslimin. Hal ini karena Allah Ta‘ala telah menjadikan bagian ini khusus untuk Nabi-Nya ﷺ, lalu beliau mengembalikannya untuk kemaslahatan kaum Muslimin.

(Imam Syafi‘i) juga berdalil bahwa Nabi ﷺ memberikan kepada para mu’allaf pada hari Hunain dari seperlima (harta rampasan perang), seperti ‘Uyainah, Al-Aqra‘, dan para pengikut mereka, namun tidak memberikan kepada ‘Abbas bin Mirdas, padahal dia adalah seorang tokoh yang sangat berjasa, hingga ia mengadu, lalu Nabi ﷺ pun memberinya. (Imam Syafi‘i) rahimahullah berkata: Ketika orang-orang itu menginginkan sesuatu, mungkin saja Rasulullah ﷺ merasa kurang berkenan atas sikapku yang tidak melakukan seperti yang beliau lakukan terhadap kaum Muhajirin dan Anshar, maka beliau memberinya dengan maksud yang sama seperti yang beliau berikan kepada mereka. Atau mungkin juga beliau memandang untuk memberinya dari harta beliau sendiri, karena bagian itu memang khusus untuk beliau ﷺ, sebagai penguatan melalui pemberian. Kami tidak memandang bahwa hal itu mengurangi kedudukannya, karena beliau ﷺ telah memberikan dari seperlima seperlima baik untuk an-nafl (tambahan) maupun bukan, karena itu memang hak beliau. Beliau juga memberikan kepada Shafwan bin Umayyah, padahal ia belum masuk Islam, namun beliau meminjamkan peralatan kepadanya. Dalam peristiwa kekalahan, Shafwan berkata lebih baik daripada sebagian orang yang telah masuk Islam dari penduduk Makkah pada tahun penaklukan. Saat itu, kekalahan menimpa para sahabat Nabi ﷺ pada pagi hari Hunain. Ada seseorang berkata kepadanya, ‘Hawazin telah menang dan Muhammad telah terbunuh.’ Maka Shafwan bin Umayyah berkata, ‘Mulutmu dipenuhi batu! Demi Allah, seorang pemimpin dari Quraisy lebih aku cintai daripada pemimpin dari Hawazin.’ Kemudian kaumnya dari Quraisy masuk Islam, dan seolah-olah ia tidak meragukan keislamannya. Allah Ta‘ala lebih mengetahui.

(Imam Syafi‘i berkata): Jika keadaannya seperti ini, aku berpendapat bahwa mereka diberi dari bagian Nabi ﷺ, dan ini lebih aku sukai untuk mengikuti perintah beliau ﷺ. (Dan jika) ada yang berkata: Bagian ini adalah milik Rasulullah ﷺ, maka beliau berhak meletakkan bagiannya di mana pun beliau kehendaki. Beliau memang pernah melakukan hal itu, dan pernah memberikan dari bagian beliau di Khaibar kepada sejumlah orang Muhajirin dan Anshar, karena itu adalah harta beliau yang boleh beliau letakkan di mana saja beliau kehendaki. Namun, hari ini tidak ada seorang pun yang diberi dari harta rampasan perang dengan makna seperti ini, dan kami tidak mengetahui ada seorang pun dari para khalifah setelah beliau yang memberikan kepada siapa pun setelah beliau. Jika dikatakan bahwa mu’allaf tidak memiliki bagian dalam pembagian ghanimah bersama para pemilik bagian lainnya, maka itu adalah pendapat yang bisa diikuti. Allah lebih mengetahui.

(Imam Syafi‘i berkata): Mu’allaf memiliki bagian dalam pembagian sedekah (zakat). Yang aku ingat dari riwayat terdahulu adalah bahwa ‘Adi bin Hatim datang kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, menurutku dengan membawa tiga ratus ekor unta dari zakat kaumnya, lalu Abu Bakar memberinya tiga puluh ekor unta dan memerintahkannya untuk bergabung dengan Khalid bin Walid bersama orang-orang kaumnya yang taat. Ia pun datang membawa sekitar seribu orang dan berjuang dengan baik. Yang dapat diketahui dengan istidlal (penalaran) dari riwayat-riwayat adalah bahwa Abu Bakar memberinya dari bagian mu’allaf, baik untuk menambah semangatnya atas apa yang telah ia lakukan, maupun untuk melunakkan hati kaumnya yang lain yang belum dipercaya seperti kepercayaan kepada ‘Adi bin Hatim.

(Imam Syafi‘i berkata): Maka aku berpendapat bahwa boleh diberikan dari bagian mu’allaf qulubuhum dalam makna seperti ini jika kaum Muslimin menghadapi musibah besar—semoga Allah Ta‘ala tidak menakdirkannya—yaitu jika musuh berada di tempat yang sulit dijangkau kecuali dengan biaya besar, dan mereka berhadapan dengan kaum dari kalangan penerima zakat. Jika mereka membantu menghadapi musuh itu, baik karena musibah, maka menurutku mereka diperkuat dengan bagian fi sabilillah dari zakat. Atau jika mereka tidak mau berperang kecuali diberi bagian mu’allaf atau sesuatu yang mencukupi mereka darinya. Demikian pula jika musuh berada di tempat yang sulit dijangkau dan mereka lebih kuat menghadapinya daripada kaum dari kalangan penerima fai’ yang dikirim ke sana karena jauhnya negeri dan beratnya biaya, serta mereka lemah dalam menghadapi musuh. Jika tidak ada keadaan seperti yang aku sebutkan, sebagaimana yang terjadi pada masa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, ketika mayoritas Arab menolak membayar zakat karena murtad dan sebab lainnya, maka aku tidak melihat ada yang berhak diberi dari bagian mu’allaf. Aku juga tidak mengetahui bahwa ‘Umar, ‘Utsman, atau ‘Ali radhiyallahu ‘anhum pernah memberikan kepada siapa pun untuk melunakkan hatinya terhadap Islam. Allah—segala puji bagi-Nya—telah membuat Islam tidak lagi membutuhkan pelunakan hati orang-orang (dengan harta).

(Dan dalam pendapat baru beliau) tidak boleh memberikan kepada musyrik yang dilunakkan hatinya agar masuk Islam, karena Allah Ta‘ala telah memberikan harta orang-orang musyrik kepada kaum Muslimin, bukan sebaliknya, dan menjadikan sedekah kaum Muslimin kembali kepada mereka sendiri.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ مَالِكًا وأبا حنيفة أَسْقَطَا سَهْمَ الْمُؤَلَّفَةِ كَمَا أَسْقَطَ أبو حنيفة سَهْمَ ذِي الْقُرْبَى لِلِاسْتِغْنَاءِ بِقُوَّةِ الْإِسْلَامِ وَاسْتِعْلَاءِ أَهْلِهِ عَلَى الْفَرِيقَيْنِ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي سَهْمِ ذَوِي الْقُرْبَى، فَأَمَّا سَهْمُ الْمُؤَلَّفَةِ فَهُوَ بَاقٍ عَلَى مَا سَنَشْرَحُهُ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ} [التوبة: 60] وَتَآلَفَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِذَلِكَ، وَالْمُؤَلَّفَةُ قُلُوبُهُمْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ضَرْبَانِ مُسْلِمُونَ، وَمُشْرِكُونَ.

Al-Mawardi berkata: Kesimpulannya, Malik dan Abu Hanifah menggugurkan bagian (harta zakat) untuk al-mu’allafah (orang-orang yang dilunakkan hatinya), sebagaimana Abu Hanifah juga menggugurkan bagian untuk dzawil qurba (kerabat Nabi), karena merasa cukup dengan kekuatan Islam dan dominasi kaum Muslimin atas kedua kelompok tersebut. Telah dijelaskan sebelumnya tentang bagian dzawil qurba. Adapun bagian al-mu’allafah, maka ia tetap ada sebagaimana akan kami jelaskan. Allah Ta‘ala berfirman: {dan orang-orang yang dilunakkan hatinya} (QS. At-Taubah: 60). Nabi ﷺ memberikan bagian kepada mereka, dan al-mu’allafah pada masa Nabi ﷺ terbagi menjadi dua kelompok: Muslim dan musyrik.

فَأَمَّا الْمُشْرِكُونَ فَضَرْبَانِ:

Adapun kaum musyrik, maka mereka terbagi menjadi dua kelompok:

أَحَدُهُمَا: أَشْرَافٌ مُطَاعُونَ فِيهِمْ قُوَّةٌ وَبَأْسٌ وَلَيْسَ لَهُمْ فِي الْإِسْلَامِ نِيَّاتٌ لَكِنَّهُمْ إِنْ أُعْطُوا كَفُّوا عَنْ قِتَالِ الْمُسْلِمِينَ، وَعَنْ أَذَاهُمْ مُجْتَازِينَ، أَوْ مُسَافِرِينَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا قَاتَلُوهُمْ وَتَتَبَّعُوهُمْ بِالْأَذَى فِي أَسْفَارِهِمْ وَمَسَاكِنِهِمْ مِثْلَ عَامِرِ بْنِ الطُّفَيْلِ فَقَدْ كَانَ ذَا غِلْظَةٍ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، وَقَتَلَ أَهْلَ بَنِي مَعُونَةَ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَتَآلَفُهُ وَيَسْتَكِفُّهُ فَأَتَى الْمَدِينَةَ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ شَارِكْنِي فِي أَمْرِكَ، وَكُنْتَ أَنْتَ عَلَى الْمَدَرِ وَأَنَا عَلَى الْوَبَرِ، فَقَالَ: لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ ذَلِكَ لِي قَالَ وَاللَّهِ لِأَمْلَأَنَّهَا عَلَيْكَ خَيْلًا وَرِجَالًا، فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَأْبَى اللَّهُ ذَلِكَ عَلَيْكَ وَأَبْنَاءِ قَبِيلَةِ الْأَوْسِ وَالْخَزْرَجِ يَعْنِي الْأَنْصَارَ فَخَرَجَ مِنْ عِنْدِهِ بِأَخْبَثِ نِيَّةٍ فَأَخَذَتْهُ غُدَّةٌ مَاتَ بِهَا وَقَدْ نَزَلَ عَلَى امْرَأَةٍ مِنْ سَلُولٍ قَالَ: وَهُوَ يَجُودُ بِنَفْسِهِ غُدَّةٌ كَغُدَّةِ الْبَعِيرِ وَمَوْتٌ فِي بَيْتِ سَلُولِيَّةٍ.

Pertama: Para pembesar yang ditaati, memiliki kekuatan dan kekuasaan, namun tidak memiliki niat masuk Islam. Namun, jika mereka diberi (bagian zakat), mereka akan menahan diri dari memerangi kaum Muslimin dan tidak mengganggu mereka yang sedang lewat atau bepergian. Jika tidak diberi, mereka akan memerangi dan terus mengganggu kaum Muslimin dalam perjalanan dan tempat tinggal mereka, seperti ‘Amir bin ath-Thufail. Ia adalah orang yang keras terhadap kaum Muslimin dan telah membunuh penduduk Bani Ma‘unah. Rasulullah ﷺ berusaha melunakkan hatinya dan menahannya (dari kejahatan). Ia pernah datang ke Madinah dan berkata, “Wahai Muhammad, sertakan aku dalam urusanmu; engkau menguasai tanah (kota), dan aku menguasai padang pasir.” Nabi ﷺ menjawab, “Allah tidak menjadikan itu untukku.” Ia berkata, “Demi Allah, aku akan penuhi kota ini dengan pasukan berkuda dan pejalan kaki untuk melawanmu.” Nabi ﷺ bersabda, “Allah menolak itu darimu dan dari anak-anak kabilah Aus dan Khazraj, yakni kaum Anshar.” Ia pun keluar dari hadapan Nabi dengan niat paling buruk, lalu ia terkena penyakit bengkak di leher hingga meninggal dunia. Ia tinggal di rumah seorang wanita dari Bani Salul. Ketika ia sekarat, ia berkata, “Bengkak seperti bengkak unta dan mati di rumah wanita Saluliyah.”

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مِنَ الْكُفَّارِ أَشْرَافٌ وَمُطَاعُونَ لهم في الإسلام ونيات لَمْ تُخْلَصْ إِنْ أُعْطُوا قَوِيَتْ نِيَّاتُهُمْ فِي الْإِسْلَامِ فَأَسْلَمُوا، وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا بَقَوْا عَلَى كُفْرِهِمْ مِثْلَ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ فَإِنَّهُ كَانَ ذَا نِيَّةٍ فِي الْإِسْلَامِ وَاسْتَعَارَ مِنْهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَدَاةً فَأَعَارَهُ مِائَةَ دِرْعٍ وَحَضَرَ مَعَهُ حُنَيْنًا وَقَالَ قَدِ انْهَزَمَتِ الصَّحَابَةُ فِي أَوَّلِ الْوَقْعَةِ أحسن مما قاله بعض المسلمون الَّذِينَ أَسْلَمُوا عَامَ الْفَتْحِ بِمَكَّةَ، فَإِنَّ أَبَا سُفْيَانَ قَالَ عِنْدَ الْهَزِيمَةِ غَلَبَتْ هَوَازِنُ، وَقُتِلَ مُحَمَّدٌ فَقَالَ لَهُ صَفْوَانُ بْنُ أُمَيَّةَ لِفِيكَ الْحَجَرُ، وَاللَّهِ لَرَبُّ قُرَيْشٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ رَبِّ هَوَازِنَ، فَلَمَّا انْجَلَتِ الْوَقْعَةُ وَأُحِيزَتْ غَنَائِمُ هَوَازِنَ أَعْطَاهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْهَا مِائَةَ بَعِيرٍ، فَلَمَّا رَآهَا وَقَدِ امْتَلَأَ بِهَا الْوَادِي فَقَالَ هَذَا عَطَاءُ مَنْ لَا يَخَافُ الْفَقْرَ ثُمَّ أَسْلَمَ بَعْدَ ذَلِكَ.

Kelompok kedua: Dari kalangan kafir, para pembesar dan orang yang ditaati yang memiliki niat masuk Islam, namun niat itu belum benar-benar tulus. Jika mereka diberi (bagian zakat), niat mereka untuk masuk Islam menjadi kuat, lalu mereka masuk Islam. Jika tidak diberi, mereka tetap dalam kekafirannya, seperti Shafwan bin Umayyah. Ia memiliki niat masuk Islam, dan Nabi ﷺ pernah meminjam peralatan perang darinya; ia meminjamkan seratus baju besi dan turut serta bersama Nabi dalam Perang Hunain. Ketika para sahabat mundur di awal pertempuran, ia berkata sesuatu yang lebih baik daripada sebagian Muslim yang baru masuk Islam pada tahun penaklukan Makkah. Abu Sufyan, misalnya, berkata saat kekalahan, “Hawazin telah menang dan Muhammad telah terbunuh.” Maka Shafwan bin Umayyah berkata kepadanya, “Mulutmu penuh batu! Demi Allah, Tuhan Quraisy lebih aku cintai daripada Tuhan Hawazin.” Setelah pertempuran usai dan harta rampasan Hawazin dikumpulkan, Nabi ﷺ memberinya seratus ekor unta. Ketika ia melihat unta-unta itu memenuhi lembah, ia berkata, “Ini adalah pemberian dari orang yang tidak takut miskin.” Setelah itu, ia pun masuk Islam.

هَذَانِ الضَّرْبَانِ مِنَ الْمُشْرِكِينَ تَأَلَّفَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَفِي جَوَازِ تَآلُفِهِمُ الْآنَ بَعْدَ وَفَاتِهِ قَوْلَانِ:

Dua kelompok musyrik inilah yang hatinya dilunakkan oleh Rasulullah ﷺ. Tentang kebolehan melunakkan hati mereka sekarang setelah wafatnya Nabi, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ اقْتِدَاءً بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَعَ قَوْله تَعَالَى: {وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ} [التوبة: 60] .

Salah satunya: Boleh, dengan meneladani Rasulullah ﷺ, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {dan orang-orang yang dilunakkan hatinya} (QS. At-Taubah: 60).

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَعَزَّ الْإِسْلَامَ وَأَهْلَهُ بِمَا أَعْطَاهُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَزَادَهُمْ مِنْ قُدْرَةٍ عَنْ أَنْ يتَآلَفُوا بِأَمْوَالِهِمْ مُشْرِكًا وَيَكُونُ تَآلُفُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَهُمْ إِمَّا عَنْ حَاجَةٍ إِلَيْهِمْ عِنْدَ قِلَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَكَثْرَتِهِمْ، وَإِمَّا لِأَنَّهُ كَانَ يُعْطِيهِمْ مِنْ مَالِهِ الَّذِي مَلَّكَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنْ خُمُسِ الْخُمُسِ فَكَانَ يَصْنَعُ بِهِ مَا شَاءَ مِمَّا لَيْسَ لِغَيْرِهِ مِنَ الْوُلَاةِ أَنْ يَصْنَعَ مِثْلَهُ.

Pendapat kedua: Tidak boleh, karena Allah Ta‘ala telah memuliakan Islam dan pemeluknya dengan kekuatan yang diberikan kepada mereka dan menambah kemampuan mereka, sehingga mereka tidak lagi membutuhkan untuk menarik simpati seorang musyrik dengan harta mereka. Adapun Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– menarik simpati mereka (musyrikin) bisa jadi karena kebutuhan kepada mereka pada saat jumlah kaum Muslimin masih sedikit dan jumlah mereka (musyrikin) banyak, atau karena beliau memberikan kepada mereka dari harta yang Allah Ta‘ala anugerahkan kepadanya, yaitu dari seperlima dari seperlima (khumusul khumus), sehingga beliau bebas mempergunakannya sesuai kehendaknya, yang mana tidak boleh dilakukan oleh selain beliau dari para penguasa.

فَإِذَا قِيلَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُتَآلَفُوا بِمَالٍ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ تَعَالَى أَمْوَالَهُمْ لِلْمُسْلِمِينَ حَوْلًا، وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُمْ فِي أَمْوَالِ الْمُسْلِمِينَ حَقًّا مُنِعُوا ذَلِكَ مِنْ أَمْوَالِ الصَّدَقَاتِ وَغَيْرِهَا.

Maka jika dikatakan: Tidak boleh menarik simpati mereka dengan harta, karena Allah Ta‘ala telah menjadikan harta kaum Muslimin sebagai milik mereka secara penuh, dan tidak menjadikan bagi mereka (musyrikin) hak apapun dalam harta kaum Muslimin, maka mereka (musyrikin) dilarang mendapatkan bagian dari harta zakat dan selainnya.

وَإِذَا قِيلَ: بِجَوَازِ تَآلُفِهِمْ جَازَ إِذَا وُجِدَ فِيهِمْ نَفْعُ التَّآلُفِ يُعْطَوْا مَعَ الْغِنَى وَالْفَقْرِ لَا مِنْ أَمْوَالِ الصَّدَقَاتِ الَّتِي جَعَلَهَا اللَّهُ تَعَالَى لِلْمُسْلِمِينَ وَلَكِنْ مِنْ سَهْمِ الْمَصَالِحِ وَهُوَ خُمُسُ الْخُمُسِ مِنَ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ الْمُعَدَّةِ لِمَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ.

Dan jika dikatakan: Boleh menarik simpati mereka, maka itu boleh dilakukan jika memang terdapat manfaat dari menarik simpati tersebut, baik mereka kaya maupun miskin, namun bukan dari harta zakat yang telah Allah Ta‘ala tetapkan untuk kaum Muslimin, melainkan dari bagian kemaslahatan, yaitu seperlima dari seperlima (khumusul khumus) dari fai’ dan ghanimah yang diperuntukkan bagi kemaslahatan umum kaum Muslimin.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْمُسْلِمُونَ مِنَ الْمُؤَلَّفَةِ فَضَرْبَانِ.

Adapun kaum Muslimin dari golongan mu’allaf (yang ingin ditarik hatinya), terbagi menjadi dua kelompok.

ضَرْبٌ لَمْ يَخْتَلِفْ قَوْلُهُ فِي جَوَازِ تَآلُفِهِمْ.

Kelompok yang tidak ada perbedaan pendapat mengenai bolehnya menarik simpati mereka.

وَأَمَّا الضَّرْبُ الَّذِي اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي جَوَازِ تَآلُفِهِمْ وَحَمْلِهِمْ فِيهِ عَلَى حُكْمِ الْمُشْرِكِينَ فَضَرْبَانِ:

Adapun kelompok yang terdapat perbedaan pendapat mengenai bolehnya menarik simpati mereka dan diperlakukan seperti hukum musyrikin, maka terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: الْأَشْرَافُ الْمُطَاعُونَ وَقَدْ حَسُنَتْ فِي الْإِسْلَامِ نياتهم لكن في إعطائهم تآلف لقومهم وترغيب لِأَكْفَائِهِمْ وَنُظَرَائِهِمْ كَالزِّبْرِقَانِ بْنِ بَدْرٍ وَعَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَعْطَاهُمَا تَآلُفًا لِقَوْمِهِمَا وَتَرْغِيبًا لِنُظَرَائِهِمَا.

Pertama: Para pemuka yang ditaati, yang niatnya telah baik dalam Islam, namun pemberian kepada mereka bertujuan untuk menarik simpati kaumnya dan mendorong orang-orang yang setara dan sederajat dengan mereka, seperti az-Zibrqan bin Badr dan ‘Adiy bin Hatim. Rasulullah –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– memberikan kepada keduanya untuk menarik simpati kaumnya dan mendorong orang-orang yang setara dengan mereka.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَشْرَافٌ مُطَاعُونَ قَدْ أَسْلَمُوا بِنِيَّاتٍ ضَعِيفَةٍ إِنْ أُعْطُوا قَوِيَتْ نِيَّاتُهُمْ وَحَسُنَ إِسْلَامُهُمْ، وَإِنْ مُنِعُوا رُبَّمَا أَفْضَى بِهِمْ ضَعْفُ النِّيَّةَ إِلَى الرِّدَّةِ فَقَدْ أَعْطَى رَسُولُ اللَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمْثَالَ هَؤُلَاءِ مِثْلَ عُيَيْنَةَ بْنِ حِصْنٍ الْفَزَارِيِّ وَالْأَقْرَعِ بْنِ حَابِسٍ التَّمِيمِيِّ، فَإِنَّهُ تَآلَفَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِمِائَةِ بَعِيرٍ وَتَرَكَ الْعَبَّاسَ بْنَ مِرْدَاسٍ السُّلَمِيَّ فَلَمْ يُعْطِهِ ثِقَةً، بِحُسْنِ إِسْلَامِهِ كَمَا تَرَكَ الْأَنْصَارَ وَقَصَرَ بِهِ عَلَى مُهَاجِرَةِ الْفَتْحِ حَتَّى اسْتَعْتَبَ الْعَبَّاسُ بْنُ مِرْدَاسٍ فِيمَا أَنْشَدَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ شِعْرِهِ حَيْثُ يَقُولُ:

Kelompok kedua: Para pemuka yang ditaati yang telah masuk Islam dengan niat yang masih lemah; jika diberi, niat mereka akan menguat dan keislaman mereka menjadi baik, namun jika tidak diberi, bisa jadi kelemahan niat mereka akan membawa mereka kepada kemurtadan. Rasulullah –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– telah memberikan kepada orang-orang seperti ini, seperti ‘Uyainah bin Hishn al-Fazari dan al-Aqra‘ bin Habis at-Tamimi. Beliau menarik simpati masing-masing dari mereka dengan seratus ekor unta, sedangkan al-‘Abbas bin Mirdas as-Sulami tidak diberi karena beliau percaya akan baiknya keislaman al-‘Abbas, sebagaimana beliau juga tidak memberi kaum Anshar dan membatasi pemberian hanya kepada Muhajirin Fath. Hingga al-‘Abbas bin Mirdas mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– melalui syairnya, di antaranya:

(كَانَتْ ذِهَابًا تَلَافَيْتُهَا … وكَرِّي عَلَى الْقَوْمِ بِالْأَجْرَعِ)

(Itu adalah kerugian yang telah kutebus … dan seranganku kepada kaum di al-Ajra‘)

(وَحَثِّي الْجُنُودَ لِكَيْ يُدْلِجُوا … إِذَا هَجَعَ الْقَوْمُ لَمْ أَهْجَعِ)

(Dan aku mendorong pasukan agar mereka berangkat malam … ketika orang-orang tidur, aku tidak tidur)

(أَتَجْعَلُ نهبي وذهب العبيد … بَيْنَ عُيَيْنَةَ وَالْأَقْرَعِ)

(Apakah engkau membagi rampasanku dan harta budak … antara ‘Uyainah dan al-Aqra‘)

الْأَبْيَاتِ إِلَى آخِرِهَا.

Syair-syair tersebut hingga selesai.

فَأَمَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأُعْطِيَ مِائَةَ بَعِيرٍ فَاحْتَمَلَ إِعْطَاءُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ذَلِكَ لَهُ أَحَدَ أَمْرَيْنِ: ذَكَرَهُمَا الشَّافِعِيُّ:

Maka Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– memerintahkan agar ia diberi seratus ekor unta. Pemberian Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– tersebut mengandung salah satu dari dua kemungkinan, sebagaimana disebutkan oleh asy-Syafi‘i:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ ظَنَّ بِهِ حُسْنَ النِّيَّةِ فِي الْإِسْلَامِ فَمَنَعَهُ ثُمَّ بَانَ مِنْهُ ضَعْفُ النِّيَّةِ فَتَآلَفَهُ.

Pertama: Beliau mengira bahwa niatnya baik dalam Islam, sehingga beliau menahan pemberian, lalu ternyata diketahui bahwa niatnya lemah, maka beliau menarik simpatinya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عَلَى حُسْنِ نيته لكن خشي نقص الرتبة وحظ الْمَنْزِلَةِ فَأَحَبَّ الْمُسَاوَاةَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَكْفَائِهِ فَأَعْطَاهُ مَعَ حُسْنِ إِسْلَامِهِ وَهَذَا أَشْبَهُ الْأَمْرَيْنِ بِشِعْرِهِ، فَهَذَانِ الضَّرْبَانِ مِنْ مُؤَلَّفَةِ الْمُسْلِمِينَ قَدْ تَآلَفَهُمْ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي حَيَاتِهِ، وَفِي جَوَازِ تَآلُفِهِمُ الْآنَ بَعْدَ وَفَاتِهِ قَوْلَانِ:

Kedua: Bahwa niatnya memang sudah baik, namun dikhawatirkan akan berkurang kedudukannya dan martabatnya, sehingga beliau ingin menyamakan antara dia dan orang-orang yang setara dengannya, lalu beliau memberinya meskipun keislamannya sudah baik. Kemungkinan kedua ini lebih sesuai dengan syairnya. Maka dua kelompok dari mu’allaf kaum Muslimin ini telah ditarik simpatinya oleh Rasulullah –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– semasa hidup beliau. Adapun hukum bolehnya menarik simpati mereka sekarang setelah wafat beliau, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ اقْتِدَاءً بِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَعَ عُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ} [التوبة: 60] وَلِأَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا أتاه عدي بن حاتم الطائي بثلثمائة بَعِيرٍ مِنْ صَدَقَاتِ قَوْمِهِ أَعْطَاهُ مِنْهَا ثَلَاثِينَ بَعِيرًا لِيَتَآلَفَ بِهَا قَوْمَهُ، وَأَمَرَهُ أَنْ يَلْحَقَ بِخَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ، فِيمَنْ أَطَاعَهُ مِنْ قَوْمِهِ فَلَحِقَ بِهِ فِي زُهَاءِ أَلْفِ رَجُلٍ وَأَبْلَى بَلَاءً حَسَنًا.

Pendapat pertama: Boleh memberikan bagian kepada mereka—Shallallahu ‘alaihi wa sallam—dengan keumuman firman Allah Ta‘ala: {dan orang-orang yang dijinakkan hatinya} [at-Taubah: 60], dan karena Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika didatangi oleh ‘Adi bin Hatim ath-Tha’i dengan tiga ratus unta dari zakat kaumnya, beliau memberinya tiga puluh unta agar ia dapat menjinakkan hati kaumnya, dan beliau memerintahkannya untuk bergabung dengan Khalid bin al-Walid bersama orang-orang dari kaumnya yang menaatinya, maka ia pun bergabung dengannya dengan sekitar seribu orang dan menunjukkan prestasi yang baik.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ أَنْ يُتَآلَفُوا لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَعَزَّ الْإِسْلَامَ وَأَهْلَهُ بِالْقُوَّةِ وَالْكَثْرَةِ عَنْ أَنْ يُتَآلَفَ فِيهِ أَحَدٌ، وَلِأَنَّ عُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ مَا تَآلَفُوا مِنْ مَالِ الصَّدَقَاتِ أَحَدًا وَقَدْ رَوَى حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ: أَنَّ عُيَيْنَةَ بْنَ حِصْنٍ أَتَى عُمَرَ فَسَأَلَهُ شَيْئًا فَلَمْ يُعْطِهِ فَقَالَ: وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ تَعَالَى: {فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ} [الكهف: 29] فَإِنْ قِيلَ: لَا يُعْطَى الْكُفَّارُ فَلَا مَقَالَ وَإِذَا قِيلَ: يُعْطَوْنَ تَآلُفًا لِقُلُوبِهِمْ، فَعَنِ الْمَالِ الَّذِي يُتَآلَفُونَ مِنْهُ قَوْلَانِ:

Pendapat kedua: Tidak boleh menjinakkan hati mereka karena Allah Ta‘ala telah memuliakan Islam dan pemeluknya dengan kekuatan dan jumlah yang banyak sehingga tidak perlu lagi menjinakkan hati siapa pun. Dan karena Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu ‘anhum tidak pernah memberikan bagian dari harta zakat untuk menjinakkan hati siapa pun. Diriwayatkan oleh Hassan bin ‘Athiyyah bahwa ‘Uyainah bin Hishn datang kepada Umar dan meminta sesuatu kepadanya, namun Umar tidak memberinya, lalu ia berkata: “Dan katakanlah kebenaran itu dari Tuhanmu: {Barang siapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir}” [al-Kahfi: 29]. Jika dikatakan: “Orang kafir tidak diberi bagian,” maka tidak ada pembahasan lagi. Namun jika dikatakan: “Mereka diberi bagian untuk menjinakkan hati mereka,” maka mengenai harta yang digunakan untuk menjinakkan hati mereka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: هُوَ سَهْمُ الْمُؤَلَّفَةِ مِنَ الصَّدَقَاتِ، فَإِنَّ النَّصَّ عَلَى سَهْمِهِمْ مِنْهَا، وَلِأَنَّ أَبَا بَكْرٍ أَعْطَى عَدِيَّ بْنَ حَاتِمٍ ثَلَاثِينَ بَعِيرًا مِنْ صَدَقَاتِ قَوْمِهِ.

Pendapat pertama: Yaitu bagian mu’allafah dari zakat, karena nash telah menyebutkan bagian mereka dari zakat, dan karena Abu Bakar memberikan kepada ‘Adi bin Hatim tiga puluh unta dari zakat kaumnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهُمْ يُعْطَوْنَ مِنْ مِالِ الْمَصَالِحِ وَهُوَ خُمُسُ الْخُمُسِ مِنَ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ لِأَنَّهُمْ مِنْ جملتها، ويعطون ذلك من الْغَنَاءِ وَالْفَقْرِ.

Pendapat kedua: Mereka diberi dari harta kemaslahatan, yaitu seperlima dari seperlima harta fai’ dan ghanimah, karena mereka termasuk di dalamnya, dan mereka diberi dari kekayaan dan kemiskinan.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي: مِنَ الْمُسْلِمِينَ الَّذِينَ لَمْ يَخْتَلِفْ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي جَوَازِ تَآلُفِهِمْ فَهُمْ أَرْبَعَةُ أَصْنَافٍ:

Adapun golongan kedua dari kaum Muslimin yang tidak ada perbedaan pendapat dari asy-Syafi‘i tentang bolehnya menjinakkan hati mereka, maka mereka ada empat golongan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونُوا مِنْ أَعْرَابٍ أَوْ غَيْرِهِمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فِي طَرَفٍ مِنْ بِلَادِ الْإِسْلَامِ بِإِزَاءِ مُشْرِكِينَ لَا يُقَاتِلُونَهُمْ عَلَى الْإِسْلَامِ إِلَّا بِمَالٍ يُعْطَوْنَهُ، إِمَّا لِفَقْرِهِمْ، وَإِمَّا لِضَعْفِ نِيَّتِهِمْ وَفِي مَسِيرِ الْمُجَاهِدِينَ إِلَيْهِمْ مَشَقَّةٌ عَظِيمَةٌ وَالْتِزَامُ مَالٍ جَزِيلٍ.

Pertama: Mereka adalah orang-orang Arab atau selain mereka dari kaum Muslimin yang berada di perbatasan negeri Islam berhadapan dengan kaum musyrik yang tidak mau memerangi mereka demi Islam kecuali dengan harta yang diberikan kepada mereka, baik karena kemiskinan mereka atau karena lemahnya niat mereka, dan untuk mengirim para mujahid kepada mereka terdapat kesulitan besar dan membutuhkan biaya yang besar.

وَالصِّنْفُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَنْ ذَكَرْنَا بِإِزَاءِ قَوْمٍ مُرْتَدِّينَ لَا يُقَاتِلُونَهُمْ عَلَى الرِّدَّةِ إِلَّا بِمَالٍ إِمَّا لِفَقْرٍ أَوْ لِضَعْفِ نِيَّةٍ، وَفِي تَجْهِيزِ الْجَيْشِ إِلَيْهِمْ مُؤْنَةٌ ثَقِيلَةٌ.

Golongan kedua: Yaitu seperti yang telah disebutkan, berhadapan dengan kaum murtad yang tidak mau diperangi karena kemurtadannya kecuali dengan harta, baik karena kemiskinan atau lemahnya niat, dan untuk menyiapkan pasukan ke sana membutuhkan biaya yang berat.

وَالصِّنْفُ الثَّالِثُ: أن يكونوا قَوْمٍ مِنَ الْبُغَاةِ وَهَذِهِ حَالُهُمْ مَعَهُمْ.

Golongan ketiga: Yaitu mereka adalah kaum bughat (pemberontak), dan inilah keadaan mereka bersama mereka.

وَالصِّنْفُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونُوا بِإِزَاءِ قَوْمٍ مَانِعِي الزَّكَاةِ وَلَا يُقَاتِلُونَهُمْ عَلَى بَذْلِهَا إِلَّا بِمَالٍ فَهَؤُلَاءِ الْأَصْنَافُ الْأَرْبَعَةُ يَجُوزُ تَآلُفُهُمْ بِالْمَالِ لِمَا فِي تَآلُفِهِمْ مِنْ مَعُونَةِ الْمُسْلِمِينَ وَنَفْعِهِمْ وَالذَّبِّ عَنْهُمْ وَفِي الْمَالِ الَّذِي يُتَآلَفُونَ مِنْهُ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ وَرَابِعٌ مَعْلُولٌ:

Golongan keempat: Yaitu mereka berhadapan dengan kaum yang menolak membayar zakat dan tidak mau diperangi agar mau membayarnya kecuali dengan harta. Maka keempat golongan ini boleh dijinakkan hatinya dengan harta karena dalam menjinakkan hati mereka terdapat bantuan bagi kaum Muslimin, manfaat bagi mereka, dan perlindungan terhadap mereka. Adapun mengenai harta yang digunakan untuk menjinakkan hati mereka, terdapat tiga pendapat dan satu pendapat tambahan yang dianggap lemah:

أَحَدُهَا: مِنْ سَهْمِ الْمُؤَلَّفَةِ مِنَ الصَّدَقَاتِ لِأَنَّهُمْ مِنَ الْمُؤَلَّفَةِ.

Pendapat pertama: Dari bagian mu’allafah dari zakat karena mereka termasuk mu’allafah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: مِنْ سَهْمِ سَبِيلِ اللَّهِ لِأَنَّهُمْ غُزَاةٌ.

Pendapat kedua: Dari bagian fi sabilillah karena mereka adalah para pejuang.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: مِنْ مَالِ الْمَصَالِحِ مِنَ الْخُمُسِ لِأَنَّهُمْ مِنْ جُمْلَةِ الْمَصَالِحِ.

Pendapat ketiga: Dari harta kemaslahatan dari seperlima karena mereka termasuk bagian dari kemaslahatan.

وَالْقَوْلُ الرَّابِعُ: الْمَعْلُولُ أَنَّهُمْ يُعْطَوْنَ مِنْ سَهْمِ الْمُؤَلَّفَةِ وَسَهْمِ سَبِيلِ اللَّهِ وَهَذَا قَوْلٌ مَعْلُولٌ لِمَا فِيهِ مِنَ الْجَمْعِ فِي دَفْعِ الصَّدَقَةِ بَيْنَ سَبَبَيْنِ مِنْ سَهْمَيْنِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي هَذَا الْقَوْلِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Pendapat keempat, yang dianggap lemah: Mereka diberi dari bagian mu’allafah dan bagian fi sabilillah sekaligus. Ini adalah pendapat yang dianggap lemah karena di dalamnya terdapat penggabungan dua sebab dari dua bagian dalam penyaluran zakat. Para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga pendapat:

أَحَدُهَا: إِنَّ هَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي جَوَّزَ الشَّافِعِيُّ فِيهِ إِعْطَاءَ الشَّخْصِ الْوَاحِدِ مِنَ الزَّكَاةِ الْوَاحِدَةِ بِسَبَبَيْنِ مِنْ سَهْمَيْنِ إِذَا كَانَا فِيهِ مَوْجُودَيْنِ، فَأَمَّا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي مَنَعَ فِيهِ مِنْ ذَلِكَ فَلَا يُعْطَوْنَ إِلَّا مِنْ أَحَدِ السَّهْمَيْنِ.

Salah satunya: Hal ini menurut pendapat yang membolehkan, sebagaimana pendapat asy-Syafi‘i, memberikan zakat yang sama kepada satu orang karena dua sebab dari dua golongan apabila kedua sebab itu terdapat pada dirinya. Adapun menurut pendapat yang melarang hal tersebut, maka mereka hanya diberikan dari salah satu golongan saja.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّ ذَلِكَ عَلَى ظَاهِرِهِ فِي إِعْطَائِهِمْ مِنَ السَّهْمَيْنِ مَعًا عَلَى الْقَوْلَيْنِ جَمِيعًا لِوُجُودِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ السَّبَبَيْنِ فِيهِمْ مَعَ الْحَاجَةِ الدَّاعِيَةِ إِلَيْهِمْ وَإِنَّمَا يُمْنَعُ مِنْ إِعْطَائِهِ بِالسَّبَبَيْنِ لِمَنْ كَانَتْ حَاجَتُهُ إِلَيْنَا.

Pendapat kedua: Hal itu dipahami secara lahiriah, yaitu memberikan kepada mereka dari dua golongan sekaligus menurut kedua pendapat, karena pada diri mereka terdapat kedua sebab tersebut beserta kebutuhan yang mendorong kepada mereka. Adapun yang dilarang adalah memberikan karena dua sebab kepada orang yang kebutuhannya hanya kepada kita.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: إِنَّهُ مُخْتَلِفٌ بِاخْتِلَافِ الْحَالِ فِيمَنْ قَاتَلَ مِنْهُمْ مَانِعِي الزَّكَاةِ أُعْطِيَ مِنْ سَهْمِ الْمُؤَلَّفَةِ وَمَنْ قَاتَلَ مِنْهُمُ الْمُشْرِكِينَ أُعْطِيَ مِنْ سَهْمِ الْغُزَاةِ.

Pendapat ketiga: Hal ini berbeda-beda sesuai keadaan; siapa di antara mereka yang memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat, maka diberikan dari golongan mu’allafah qulubuhum, dan siapa di antara mereka yang memerangi kaum musyrik, maka diberikan dari golongan para pejuang (fi sabilillah).

وَالْأَصَحُّ عِنْدِي فِي هَذَا الْقَوْلُ الرَّابِعُ غَيْرُ هَذِهِ الْوُجُوهِ الثَّلَاثَةِ أَنَّهُ يُجْمَعُ لِهَذِهِ الْأَصْنَافِ كُلِّهَا بَيْنَ سَهْمِ الْمُؤَلَّفَةِ وَبَيْنَ سَهْمِ سَبِيلِ اللَّهِ فِي الْجُمْلَةِ إِلَّا أَنْ يُصْبِحَ الشَّخْصُ الْوَاحِدُ مِنْهُمْ لَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطَى مِنَ السَّهْمَيْنِ لَكِنْ يُعْطَى بَعْضُهُمْ مِنْ سَهْمِ الْمُؤَلَّفَةِ وَلَا يُعْطَى مِنْ سَهْمِ سَبِيلِ اللَّهِ، وَيُعْطَى بَعْضُهُمْ مِنْ سَهْمِ سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يُعْطَى مِنْ سَهْمِ الْمُؤَلَّفَةِ فَيَكُونُ الْجَمْعُ بَيْنَ السهمين للجنس الْعَامِّ وَالْمَنْعُ مِنَ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا لِلشَّخْصِ الْوَاحِدِ، وَهَذَا أَصَحُّ مَا يُحْمَلُ عَلَيْهِ تَخْرِيجُ هَذَا القول الرابع والله أعلم.

Dan yang paling sahih menurutku dalam hal ini adalah pendapat keempat, selain tiga pendapat sebelumnya, yaitu bahwa untuk semua golongan ini digabungkan antara golongan mu’allafah qulubuhum dan golongan fi sabilillah secara umum, kecuali jika satu orang dari mereka tidak boleh diberikan dari dua golongan sekaligus, melainkan sebagian dari mereka diberikan dari golongan mu’allafah qulubuhum dan tidak diberikan dari golongan fi sabilillah, dan sebagian lagi diberikan dari golongan fi sabilillah dan tidak diberikan dari golongan mu’allafah qulubuhum. Maka penggabungan antara dua golongan itu berlaku untuk kelompok secara umum, dan pencegahan penggabungan antara keduanya berlaku untuk individu. Inilah yang paling sahih dalam menafsirkan pendapat keempat ini, wallahu a‘lam.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَالرِّقَابُ الْمُكَاتَبُونَ مِنْ حَيِّزِ إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ وَلَا يُعْتَقُ عَبْدٌ يُبْتَدَأُ عِتْقُهُ فَيُشْتَرَى وَيُعْتَقُ “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Dan (golongan) riqab adalah para mukatab dari bagian ‘innama ash-shadaqat’, wallahu a‘lam, dan tidak boleh memerdekakan budak yang dimerdekakan sejak awal, yaitu dibeli lalu dimerdekakan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَالرِّقَابُ صِنْفٌ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَفِي الرقاب} فَاخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِيهِمْ فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّهُمُ الْمُكَاتَبُونَ يُعْطَوْنَ الْمُسَمَّى لَهُمْ يَسْتَعِينُونَ بِهِ فِي مَالِ كِتَابَتِهِمْ وَلَا يَبْتَدِئُ عِتْقَ رِقَابٍ تُشْتَرَى، وَهُوَ فِي الصَّحَابَةِ قَوْلُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, bahwa riqab adalah salah satu golongan penerima zakat, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa fi ar-riqab}. Para fuqaha berbeda pendapat tentang mereka. Asy-Syafi‘i berpendapat bahwa mereka adalah para mukatab yang diberikan sejumlah tertentu untuk membantu mereka dalam membayar uang mukatabnya, dan tidak boleh memulai memerdekakan budak yang dibeli, dan ini adalah pendapat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu di kalangan sahabat.

وَفِي التَّابِعِينَ قَوْلُ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ وَالنَّخَعِيِّ.

Di kalangan tabi‘in, ini adalah pendapat Sa‘id bin Jubair dan an-Nakha‘i.

وَفِي الْفُقَهَاءِ قَوْلُ أبي حنيفة وَالثَّوْرِيِّ.

Di kalangan fuqaha, ini adalah pendapat Abu Hanifah dan ats-Tsauri.

وَقَالَ مَالِكٌ: الرِّقَابُ أَنْ يُبْتَدَأَ عتق رقاب تشترى وَهُوَ فِي الصَّحَابَةِ قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، وَفِي التَّابِعِينَ قَوْلُ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ، وَفِي الْفُقَهَاءِ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ استدلالا بقوله تعالى: {وفي الرقاب} وَفِيهَا ثَلَاثَةُ أَدِلَّةٍ:

Sedangkan Malik berpendapat: riqab adalah memerdekakan budak yang dibeli, dan di kalangan sahabat ini adalah pendapat Abdullah bin Abbas, di kalangan tabi‘in pendapat al-Hasan al-Bashri, dan di kalangan fuqaha pendapat Ahmad dan Ishaq, dengan dalil firman Allah Ta‘ala: {wa fi ar-riqab}. Dalam hal ini terdapat tiga dalil:

أَحَدُهَا: إِنَّ مُطْلَقَ اسْمِ الرَّقَبَةِ يَتَنَاوَلُ الْعَبْدَ الْقِنَّ دُونَ الْمُكَاتَبِ بِدَلِيلِ قَوْله تَعَالَى: {تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ} يَقْتَضِي عِتْقَ الْعَبْدِ الْقِنِّ دُونَ الْمُكَاتَبِ.

Salah satunya: Sesungguhnya lafaz riqab secara mutlak mencakup budak murni (al-‘abd al-qinn) dan bukan mukatab, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {tahriru raqabah} yang menuntut pembebasan budak murni, bukan mukatab.

وَالثَّانِي: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَضَافَ سُهْمَانَ الصَّدَقَاتِ إِلَى الْأَصْنَافِ بِلَامِ التَّمْلِيكِ: {إنما الصدقات للفقراء} وَخَالَفَ صِيغَةَ اللَّفْظِ فِي الرِّقَابِ بِأَنْ حَذَفَ لام التمليك، فقال: وفي الرقاب فَجَعَلَ ذَلِكَ فِيهِمْ وَلَمْ يَجْعَلْهُ لَهُمْ فَاقْتَضَى أَنْ لَا يَمْلِكَهُ الْمُكَاتَبُونَ وَيُشْتَرَى بِهِ عَبِيدٌ يُعْتَقُونَ لِيَصِحَّ أَنْ يَكُونَ فِيهِمْ وَلَا يَكُونُ لَهُمْ.

Kedua: Allah Ta‘ala menisbatkan dua bagian zakat kepada golongan-golongan dengan huruf lam kepemilikan: {innama ash-shadaqat lil-fuqara’}, namun berbeda dalam lafaz riqab dengan menghilangkan lam kepemilikan, sehingga berfirman: {wa fi ar-riqab}, maka itu berarti untuk mereka (bukan milik mereka). Maka, hal itu menunjukkan bahwa mukatab tidak memilikinya, melainkan digunakan untuk membeli budak yang kemudian dimerdekakan, sehingga benar bahwa itu untuk mereka, bukan milik mereka.

وَالثَّالِثُ: إِنَّ الْمُكَاتَبِينَ مِنْ جُمْلَةِ الْغَارِمِينَ فَلَوْ أُرِيدُوا بِالْآيَةِ لَاكْتَفَى بِذِكْرِ الْغَارِمِينَ عَنْ ذِكْرِهِمْ وَلِأَنَّ مَا وَجَبَ مِنْ أَمْوَالِ الطُّهْرَةِ نَوْعَانِ زَكَوَاتٍ وَكَفَّارَاتٍ فَلَمَّا كَانَ فِي الْكَفَّارَاتِ عِتْقٌ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي الزَّكَوَاتِ عِتْقٌ.

Ketiga: Para mukatab termasuk dalam golongan gharimin, maka jika yang dimaksud dalam ayat adalah mereka, cukup disebutkan gharimin tanpa menyebut mereka secara khusus. Karena apa yang diwajibkan dari harta pensucian (zakat) ada dua jenis: zakat dan kafarat. Karena dalam kafarat terdapat pembebasan budak, maka seharusnya dalam zakat juga ada pembebasan budak.

وَتَحْرِيرُهُ: إِنَّهُ أَحَدُ نَوْعَيِ الطُّهْرَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَخْتَصَّ بِعِتْقٍ، وَيُفَرِّقَهُ كَالْكَفَّارَاتِ وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وفي الرقاب} [التوبة: 60] ومنه سَبْعَةُ أَدِلَّةٍ:

Penjelasannya: Sesungguhnya ia adalah salah satu dari dua jenis penyucian, maka wajib dikhususkan dengan pembebasan (budak), dan ia membedakannya seperti pada kafārat, dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {dan untuk memerdekakan hamba sahaya} [at-Taubah: 60], dan darinya terdapat tujuh dalil:

أَحَدُهَا: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ ذلك في الرقاب لا في السادة، وملك يَجْعَلُهُ فِي السَّادَةِ لَا فِي الرِّقَابِ.

Pertama: Sesungguhnya Allah Ta‘ala menjadikan hal itu pada (pembebasan) budak, bukan pada para tuan, dan kepemilikan menjadikannya pada para tuan, bukan pada budak.

وَالثَّانِي: إِنَّ سَائِرَ الْأَصْنَافِ لَمَّا اسْتَحَقُّوا الْأَخْذَ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ صِنْفُ الرِّقَابِ مُسْتَحِقًّا الْأَخْذَ.

Kedua: Sesungguhnya seluruh golongan lain ketika mereka berhak menerima (zakat), maka wajib pula golongan budak berhak menerima (zakat).

وَالثَّالِثُ: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى ذَكَرَ فِي الْآيَةِ ثَمَانِيَةَ أَصْنَافٍ وَقَرَنَ فِيهَا بَيْنَ كُلِّ صِنْفَيْنِ يَتَقَارَبُ مَعْنَاهُمَا فَنُقَارِبُ فِي حَاجَتِنَا إِلَيْهِمْ وَفَرَّقَ بَيْنَ سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ لِأَنَّ مَعْنَاهُمَا مُتَقَارِبٌ فِي اخْتِصَاصِهِمْ بِقَطْعِ مَسَافَةٍ، وَفَرَّقَ بَيْنَ الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَعْنَاهُمَا مُتَقَارِبًا فَلَمَّا أَخَذَ الْغَارِمُونَ لِمَا فِي الذِّمَّةِ اقْتَضَى أَنْ يَأْخُذَ الرِّقَابُ لِمَا فِي الذِّمَّةِ.

Ketiga: Sesungguhnya Allah Ta‘ala menyebutkan dalam ayat tersebut delapan golongan dan mengaitkan antara setiap dua golongan yang maknanya berdekatan, sehingga kita juga mendekatkan kebutuhan kita kepada mereka, dan Allah membedakan antara sabilillah dan ibn as-sabil karena makna keduanya berdekatan dalam kekhususan menempuh perjalanan, dan membedakan antara budak dan gharimīn, maka wajib makna keduanya juga berdekatan. Ketika gharimīn menerima karena adanya tanggungan di dalam tanggungan mereka, maka itu menunjukkan bahwa budak juga menerima karena adanya tanggungan di dalam tanggungan mereka.

وَالرَّابِعُ: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ الْمَصْرُوفَ إِلَى الْأَصْنَافِ صَدَقَةً وَفِي صَرْفِهِ فِي الْعِتْقِ يَصِيرُ ثَمَنًا يَخْرُجُ عَنْ حُكْمِ الصَّدَقَةِ.

Keempat: Sesungguhnya Allah Ta‘ala menjadikan apa yang disalurkan kepada golongan-golongan tersebut sebagai sedekah, dan jika disalurkan untuk pembebasan (budak), maka ia menjadi harga yang keluar dari hukum sedekah.

وَالْخَامِسُ: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ كُلَّ صِنْفٍ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ مِمَّنْ يُمْكِنُ دَفْعُ سَهْمِهِ إِلَيْهِ مِنْ كُلِّ صَدَقَةٍ وَلَا يُمْكِنُ إِذَا جَعَلَ سَهْمَ الرِّقَابِ فِي الْعِتْقِ أَنْ يُعْتِقَ سَهْمَهُمْ مِنْ كُلِّ صَدَقَةٍ وَإِذَا جُعِلَ فِي الْمُكَاتَبِينَ أَمْكَنَ أَنْ يُدْفَعَ إِلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ صَدَقَةٍ.

Kelima: Sesungguhnya Allah Ta‘ala menjadikan setiap golongan dari ahli sedekah sebagai pihak yang memungkinkan diberikan bagian zakat dari setiap sedekah, dan tidak mungkin jika bagian budak dijadikan untuk pembebasan, maka bagian mereka dapat dibebaskan dari setiap sedekah. Namun jika diberikan kepada mukātabīn, maka memungkinkan diberikan kepada mereka dari setiap sedekah.

وَالسَّادِسُ: إِنَّهُ لَوْ صُرِفَ سَهْمُ الرِّقَابِ فِي مكاتبين وبقي عليهم من آخركم آخِرُ نَجْمِ مَا يُعْتَقُونَ بِهِ فَأَعْطَوْا مَا عُتِقُوا بِهِ أَجْزَأَ، وَلَوْ خَرَجُوا مِنْ حُكْمِ الْآيَةِ لَمْ يُجْزِ كَالْعِتْقِ فِي الْكَفَّارَةِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُمُ الْمُرَادُ بِالْآيَةِ.

Keenam: Jika bagian budak disalurkan kepada para mukātabīn dan masih tersisa dari mereka pembayaran terakhir yang dengannya mereka dapat dimerdekakan, lalu mereka diberikan apa yang dapat membebaskan mereka, maka itu sudah mencukupi. Dan jika mereka keluar dari hukum ayat tersebut, maka tidak mencukupi, sebagaimana pembebasan dalam kafārat. Maka ini menunjukkan bahwa mereka (mukātabīn) adalah yang dimaksud dalam ayat tersebut.

وَالسَّابِعُ: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَوْ أَرَادَ بِالرِّقَابِ الْمُعْتَقَ لَقَرَنَهُ بِذِكْرِ التَّحْرِيرِ كَالْكَفَّارَةِ حَيْثُ قَالَ: {فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ} وَلَا يَقْتَضِي أَنْ يُحْمَلَ مُطْلَقُ الرِّقَابِ فِي الصَّدَقَةِ عَلَى الْمُقَيَّدِ مِنْهَا فِي الْكَفَّارَةِ لِأَنَّ فِي الْمُطْلَقِ فِي الرِّقَابِ مَا يُجْزِئُ، وَهُوَ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْمُكَاتَبِينَ، فَكَانَ حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلَى الْمُطْلَقِ أَوْلَى مِنْ حَمْلِهِ عَلَى الْمُقَيَّدِ، وَخَالَفَ تَقْيِيدَ الشَّهَادَةِ بِالْعَدَالَةِ فِي مَوْضِعٍ وَإِطْلَاقَهَا فِي آخَرَ، لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي الشَّهَادَةِ مَالٌ يُعْتَبَرُ فِيهِ الْعَدَالَةُ، فَلِذَلِكَ وَجَبَ حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلَى الْمُقَيَّدِ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنْ طَرِيقِ الِاعْتِبَارِ أَنَّهُ صِنْفٌ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ فَوَجَبَ أَنْ يكونوا على صفة يستحقوا بِهَا الْأَخْذَ قِيَاسًا عَلَى سَائِرِ الْأَصْنَافِ، وَلِأَنَّ الْعِتْقَ يَقْتَضِي ثُبُوتَ الْوَلَاءِ لِلْمُعْتِقِ فَلَوْ أَعْتَقَ سَهْمُ الرِّقَابِ لَمْ يَخْلُ أَنْ يَثْبُتَ عَلَى الْمُعْتِقِ وَلَاءٌ أَوْ لَا يَثْبُتُ فَإِنْ لَمْ يثبت عليه، ولا سُلِبَ حُكْمَ الْعِتْقِ.

Ketujuh: Seandainya Allah Ta‘ala menghendaki dengan (kata) “budak” adalah yang dimerdekakan, niscaya Dia akan menyebutkan pembebasan sebagaimana pada kafārat, di mana Allah berfirman: {maka membebaskan seorang budak yang beriman}, dan tidak mengharuskan untuk membawa makna umum “budak” dalam sedekah kepada makna khusus dalam kafārat, karena pada makna umum “budak” terdapat apa yang mencukupi, yaitu apa yang telah kami sebutkan dari mukātabīn. Maka membawa makna umum kepada makna umum lebih utama daripada membawanya kepada makna khusus. Dan berbeda dengan pembatasan kesaksian dengan keadilan di satu tempat dan membebaskannya di tempat lain, karena dalam kesaksian tidak ada harta yang dipertimbangkan keadilannya, maka karena itu wajib membawa makna umum kepada makna khusus. Dan yang menunjukkan hal itu secara pertimbangan adalah bahwa ia merupakan salah satu golongan ahli sedekah, maka wajib mereka berada pada sifat yang dengannya mereka berhak menerima (zakat) dengan qiyās kepada golongan-golongan lain. Dan karena pembebasan (budak) menuntut adanya wala’ bagi yang memerdekakan, maka jika bagian budak digunakan untuk memerdekakan, tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah wala’ itu tetap bagi yang memerdekakan atau tidak. Jika tidak tetap, maka hukum pembebasan tidak berlaku padanya.

وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ ” وَإِنْ ثَبَتَ عَلَيْهِ الْوَلَاءُ لَمْ يَخْلُ أَنْ يَكُونَ لِرَبِّ الْمَالِ أَوْ لِغَيْرِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ لِغَيْرِهِ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُعْتَقٍ بِمَالِهِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ لِرَبِّ الْمَالِ لِأَمْرَيْنِ:

Dan Nabi ﷺ bersabda: “Wala’ itu bagi orang yang memerdekakan.” Jika wala’ itu tetap baginya, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah untuk pemilik harta atau untuk selainnya. Tidak boleh untuk selainnya, karena ia tidak memerdekakan dengan hartanya sendiri. Dan tidak boleh untuk pemilik harta karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ مَا اشْتَرَاهُ وَلَا اشْتُرِيَ لَهُ.

Pertama: Ia tidak membelinya dan tidak pula dibelikan untuknya.

وَالثَّانِي: إِنَّهُ لَا يَسْتَفِيدُ بِإِخْرَاجِ زَكَاتِهِ مِلْكًا كَسَائِرِ الْأَصْنَافِ فَثَبَتَ امْتِنَاعُ الْعِتْقِ.

Kedua: Ia tidak memperoleh kepemilikan dengan mengeluarkan zakatnya sebagaimana golongan-golongan lain, maka tetaplah tidak bolehnya pembebasan (budak) dengan cara itu.

فَإِنْ قِيلَ: فَلَوْ أَخَذَ الْغَارِمُ سَهْمَهُ وَعَلَيْهِ لِرَبِّ الْمَالِ دَيْنٌ جَازَ أَنْ يَسْتَعِيدَهُ مِنْ دَيْنِهِ فَيَصِيرُ مِلْكًا لَهُ.

Jika dikatakan: Seandainya gharim mengambil bagiannya, sedangkan ia masih memiliki utang kepada pemilik harta, maka boleh saja ia mengambil kembali dari utangnya sehingga menjadi miliknya.

قِيلَ: لَيْسَ هَذَا فِي كُلِّ غَارِمٍ وَلَا الْغَارِمُ الَّذِي عَلَيْهِ الدَّيْنُ يَلْزَمُهُ رَدُّ ذَلِكَ بِعَيْنِهِ، لِأَنَّهُ لَوْ دَفَعَ غَيْرُهُ أَجْزَأَ.

Dikatakan: Hal ini tidak berlaku untuk setiap orang yang berutang, dan tidak wajib bagi orang yang berutang untuk mengembalikan hal itu secara persis, karena jika orang lain yang membayarkannya, maka itu sudah cukup.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ مِنَ الْآيَةِ مِنْ أَنَّ مُطْلَقَ الرَّقَبَةِ يَتَنَاوَلُ الْعَبْدَ الْقِنَّ دُونَ الْمُكَاتَبِ فَهُوَ أَنَّ ادِّعَاءَ ذَلِكَ غَيْرُ مُسَلَّمٍ؛ لِأَنَّهُ إِنْ أُطْلِقَ تَنَاوَلَ الْقِنَّ وَغَيْرَهُ وَإِنْ قُيِّدَ بِقَرِينَةٍ كَالتَّحْرِيرِ تَخَصَّصَ لِأَجْلِ الْقَرِينَةِ بِالْقِنِّ دُونَ غَيْرِهِ فَلَمَّا أُطْلِقَ ذِكْرُ الرِّقَابِ فِي الصَّدَقَةِ، وَجَبَ أَنْ يُحْمَلَ عَلَى عُمُومِهِ وَلَا يَجْرِي مَجْرَى مَا خُصَّ فِي الْكَفَّارَةِ بِقَرِينَةٍ.

Adapun jawaban atas dalil mereka dari ayat bahwa lafaz mutlak “riqab” (budak) mencakup budak murni (al-‘abd al-qinn) dan tidak mencakup mukatab, maka klaim tersebut tidak dapat diterima; karena jika lafaz itu disebutkan secara mutlak, maka ia mencakup budak murni dan selainnya. Namun jika dibatasi dengan suatu indikasi seperti pembebasan, maka ia menjadi khusus karena indikasi tersebut hanya untuk budak murni, bukan yang lain. Maka ketika disebutkan secara mutlak tentang “riqab” dalam zakat, wajib untuk memaknainya secara umum dan tidak disamakan dengan yang dikhususkan dalam kafarat karena adanya indikasi.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ مِنَ الْآيَةِ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَضَافَ الصَّدَقَاتِ إِلَى أَهْلِ السُهمان بِلَامِ التَّمْلِيكِ إِلَّا الرِّقَابَ فَهُوَ أَنَّهُ قَدْ قَالَ مِثْلَ ذَلِكَ فِي الْغُزَاةِ وَبَنِي السَّبِيلِ فَقَالَ: {وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ} لَا يَقْتَضِي ذَلِكَ أَنْ لَا يُدْفَعَ إِلَيْهِمْ تَمْلِيكًا كَذَلِكَ الرِّقَابُ.

Adapun jawaban atas dalil mereka dari ayat bahwa Allah Ta‘ala menisbatkan zakat kepada para penerima bagian dengan menggunakan huruf lam kepemilikan kecuali pada bagian “riqab”, maka hal yang sama juga dikatakan pada bagian untuk para pejuang dan ibnu sabil, sebagaimana firman-Nya: {dan untuk jalan Allah dan ibnu sabil}, hal itu tidak mengharuskan bahwa zakat tidak diberikan kepada mereka secara kepemilikan, demikian pula halnya dengan bagian “riqab”.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ فِيهَا بِأَنَّ الْمُكَاتَبِينَ مِنْ جُمْلَةِ الْغَارِمِينَ، فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa para mukatab termasuk golongan gharimīn (orang yang berutang), maka jawabannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُمْ غَيْرُ الْغَارِمِينَ، لِأَنَّ دُيُونَهُمْ غَيْرُ مُسْتَقِرَّةٍ وَدُيُونُ الْغَارِمِينَ مُسْتَقِرَّةٌ.

Pertama: Mereka bukan termasuk gharimīn, karena utang mereka belum tetap, sedangkan utang gharimīn adalah utang yang sudah tetap.

وَالثَّانِي: إِنَّهُمْ وإن تقاربوا في المعنى فإن يُسْتَفَادُ بِذِكْرِهِمْ أَنْ لَا يُقْتَصَرَ عَلَى الْغَارِمِينَ لَوْ لَمْ يُذْكَرُوا وَعَلَيْهِمْ دُونَ الْغَارِمِينَ؛ لِأَنَّهُمْ مِنْهُمْ وَجَرَى ذَلِكَ مَجْرَى ذِكْرِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَإِنْ كَانُوا مُتَقَارِبِينَ يُسْتَغْنَى بِذِكْرِ أَحَدِهِمَا عَنْ ذكر الآخر؛ لأن لا يَقْتَصِرَ عَلَى أَحَدِهِمَا حَتَّى يَلْزَمَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا.

Kedua: Walaupun maknanya hampir sama, namun dengan penyebutan mereka (mukatab) dapat diambil faedah bahwa tidak hanya terbatas pada gharimīn saja jika mereka tidak disebutkan, dan bahwa hak itu diberikan kepada mereka selain gharimīn; karena mereka termasuk di antara gharimīn. Hal ini seperti penyebutan fuqara dan masakin, meskipun keduanya hampir sama, namun tidak cukup hanya menyebut salah satunya saja tanpa yang lain; agar tidak hanya terbatas pada salah satunya sehingga wajib menggabungkan keduanya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْكَفَّارَاتِ فَهُوَ أَنَّ الْمَأْمُورَ بِإِخْرَاجِهِ فِي الْكَفَّارَاتِ هُوَ الْعِتْقُ لِذَلِكَ لَوْ أَعْتَقَ رَقَبَةً يَمْلِكُهَا أَجْزَأَهُ، وَالْمَأْمُورُ بِإِخْرَاجِهِ فِي الصَّدَقَاتِ هُوَ الْمَالُ وَلِذَلِكَ لَوْ أَعْتَقَ رقبة يملكها لَمْ يُجْزِهِ فَافْتَرَقَا.

Adapun jawaban atas dalil mereka dengan kafarat adalah bahwa yang diperintahkan untuk dikeluarkan dalam kafarat adalah pembebasan budak, sehingga jika seseorang membebaskan budak yang dimilikinya, maka itu sudah cukup. Sedangkan yang diperintahkan untuk dikeluarkan dalam zakat adalah harta, sehingga jika seseorang membebaskan budak yang dimilikinya, itu tidak cukup. Maka keduanya berbeda.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ سَهْمَ الرِّقَابِ مَصْرُوفٌ فِي الْمُكَاتَبِينَ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُكَاتَبِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika telah tetap bahwa bagian “riqab” dapat diberikan kepada para mukatab, maka keadaan seorang mukatab tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَادِرًا عَلَى مَا عَلَيْهِ مِنْ مَالِ الْكِتَابَةِ أَوْ عَاجِزًا عَنْهُ، فَإِنْ كَانَ قَادِرًا عَلَيْهِ وَذَلِكَ بِأَحَدِ وَجْهَيْنِ: إِمَّا بِمَالٍ فِي يَدِهِ بِقَدْرِ الْبَاقِي مِنْ مَالِ كِتَابَتِهِ أَوْ بصناعة يكتسب به فذلك يكونا فِي الْحُكْمِ سَوَاءً وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُدْفَعَ إِلَيْهِ مِنْ شَيْءٍ مِنَ الصَّدَقَاتِ لِأَنَّهَا مَصْرُوفَةٌ فِي ذَوِي الْحَاجَاتِ وَلَيْسَ هَذَا الْمُكَاتَبُ مِنْهُمْ وَإِنْ كَانَ عَاجِزًا عَمَّا عَلَيْهِ مِنْ مَالِ الْكِتَابَةِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ نَجْمُ الْكِتَابَةِ قَدْ حَلَّ عَلَيْهِ أَوْ لَمْ يَحُلَّ، فَإِنْ كَانَ نَجْمُ الْكِتَابَةِ قَدْ حَلَّ عَلَيْهِ، وَاسْتَحَقَّ السَّيِّدُ الْمُطَالَبَةَ بِهِ دُفِعَ إِلَيْهِ وَكَانَ رَبُّ الْمَالِ وَالْعَامِلُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَى الْمُكَاتَبِ حَتَّى يَدْفَعَهُ الْمُكَاتَبُ إِلَى سَيِّدِهِ أَوْ يَدْفَعَهُ ابْتِدَاءً إِلَى السَّيِّدِ بِأَمْرِ الْمُكَاتَبِ أَوْ بِغَيْرِ أَمْرِهِ، وَإِنْ كَانَ نَجْمُ الْكِتَابَةِ لَمْ يَحُلَّ وَمُطَالَبَةُ الْمُكَاتَبِ بِهِ لَمْ تَجِبْ فَفِي جَوَازِ الدَّفْعِ إِلَيْهِ وَجْهَانِ:

Yaitu, apakah ia mampu membayar harta yang menjadi kewajiban dalam akad mukatab atau tidak mampu. Jika ia mampu, dan itu dengan salah satu dari dua cara: baik dengan harta yang ada di tangannya sebesar sisa kewajiban mukatabnya, atau dengan pekerjaan yang dapat menghasilkan harta tersebut, maka keduanya dalam hukum adalah sama, dan tidak boleh diberikan kepadanya bagian dari zakat, karena zakat diperuntukkan bagi orang-orang yang membutuhkan, sedangkan mukatab ini bukan termasuk mereka. Namun jika ia tidak mampu membayar harta yang menjadi kewajiban dalam akad mukatab, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah waktu pembayaran (najm) telah jatuh tempo atau belum. Jika waktu pembayaran telah jatuh tempo dan tuannya berhak menagihnya, maka boleh diberikan kepadanya, dan pemilik harta zakat serta amil boleh memilih antara memberikannya kepada mukatab agar ia membayarkannya kepada tuannya, atau langsung memberikannya kepada tuan atas perintah mukatab atau tanpa perintahnya. Jika waktu pembayaran belum jatuh tempo dan mukatab belum wajib menunaikannya, maka dalam hal kebolehan memberikannya ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُدْفَعُ إِلَيْهِ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُحْتَاجٍ إِلَيْهِ.

Pertama: Tidak boleh diberikan kepadanya karena ia belum membutuhkannya.

وَالثَّانِي: يُدْفَعُ إِلَيْهِ لِأَنَّهُ قَدْ يَحُلُّ مَالُ النَّجْمِ فَيَحْتَاجُ إِلَيْهِ.

Kedua: Boleh diberikan kepadanya karena bisa jadi waktu pembayaran akan jatuh tempo dan ia akan membutuhkannya.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا لَمْ يَخْلُ الْمُكَاتَبُ بَعْدَ الدَّفْعِ إِلَيْهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika telah dijelaskan sebagaimana yang kami uraikan, maka setelah diberikan kepada mukatab, keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُعْتَقَ بِالْأَدَاءِ فَقَدِ اسْتَقَرَّ اسْتِحْقَاقُ مَا أخذه من كتابته.

Salah satunya: jika ia merdeka dengan pembayaran, maka telah tetap hak atas apa yang diambilnya dari akad kitabah.

والقسم الثاني: يُعْتَقَ بِغَيْرِ أَدَاءِ مَالِ الصَّدَقَةِ وَذَلِكَ إِمَّا بِإِبْرَاءِ السَّيِّدِ لَهُ أَوْ بِأَدَاءِ آخَرَ عَنْهُ أَوْ بِأَدَائِهِ مِنْ كَسْبِهِ فَيَكُونُ الْحُكْمُ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ الثَّلَاثَةِ سَوَاءً، وَيَنْظُرُ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ فِي النَّجْمِ الْأَخِيرِ اسْتَرْجَعَ مِنْه مَا دَفَعَ إِلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِلْأَخْذِ تَأْثِيرٌ فِي الْمَقْصُودِ مِنْ عِتْقِهِ، وَإِنْ كَانَ فِيمَا قَبْلَ النَّجْمِ الْأَخِيرِ وَقَدْ أَدَّاهُ فِيهِ لَمْ يَسْتَرْجِعْ، لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ لِذَلِكَ الدَّفْعِ تَأْثِيرٌ فِي تَحْرِيرِ الْعِتْقِ وَلَوِ اسْتَرْجَعَ لَمْ يُعْتَقْ.

Bagian kedua: ia merdeka tanpa membayar harta sedekah, dan itu bisa terjadi karena tuannya membebaskannya, atau ada orang lain yang membayarkan untuknya, atau ia membayarnya dari hasil usahanya sendiri. Maka hukum dalam tiga keadaan ini sama saja. Jika itu terjadi pada pembayaran cicilan terakhir, maka diambil kembali dari dia apa yang telah diberikan kepadanya, karena pengambilan tersebut tidak berpengaruh pada tujuan memerdekakannya. Namun jika itu terjadi sebelum cicilan terakhir dan ia telah membayarnya pada waktu itu, maka tidak diambil kembali, karena pembayaran tersebut telah berpengaruh dalam proses pembebasan, dan jika diambil kembali maka ia tidak akan merdeka.

والقسم الثَّالِثُ: أَنْ يَسْتَرِقَّهُ السَّيِّدُ بِالْعَجْزِ فَلَا يَخْلُو حال المدفوع إليه مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ فِي النَّجْمِ الْأَخِيرِ أَوْ فِيمَا قَبْلَهُ فَإِنْ كَانَ فِي النَّجْمِ الْأَخِيرِ اسْتُرْجِعَ الْمَدْفُوعُ إِلَيْهِ سَوَاءً كَانَ بَاقِيًا فِي يَدِ الْمُكَاتَبِ أَوْ قَدْ قَبَضَهُ السَّيِّدُ مِنْهُ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ الْعِتْقِ لَمْ يَقَعْ، وَإِنْ كَانَ فِيمَا قَبْلَ النَّجْمِ الْأَخِيرِ مِنَ النُّجُومِ الْمُتَقَدِّمَةِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian ketiga: jika tuan memperbudaknya kembali karena ketidakmampuan, maka keadaan harta yang telah diberikan kepadanya tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi itu terjadi pada cicilan terakhir atau sebelumnya. Jika itu terjadi pada cicilan terakhir, maka harta yang telah diberikan diambil kembali, baik masih ada di tangan mukatab atau sudah diambil oleh tuan darinya, karena tujuan dari pembebasan tidak tercapai. Jika itu terjadi sebelum cicilan terakhir dari cicilan-cicilan sebelumnya, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ بَاقِيًا فِي يَدِ الْمُكَاتَبِ فَيُسْتَرْجَعُ مِنْهُ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَأْخُذَهُ السَّيِّدُ بَعْدَ الْعَجْزِ وَلَا يَتَمَلَّكَ الْمُكَاتَبُ بَعْدَ الرِّقِّ لِفَوَاتِ الْمَعْنَى الْمُبِيحِ لِلْأَخْذِ.

Salah satunya: jika harta tersebut masih ada di tangan mukatab, maka diambil kembali darinya dan tidak boleh diambil oleh tuan setelah ia tidak mampu, dan mukatab pun tidak memilikinya setelah kembali menjadi budak, karena hilangnya alasan yang membolehkan pengambilan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ السَّيِّدُ قَدْ قَبَضَهُ مِنْهُ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian kedua: jika tuan telah mengambilnya dari mukatab, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ قَبَضَهُ مِنْ مَالِ النَّجْمِ الَّذِي عَجَّزَهُ فِيهِ فَهَذَا يُسْتَرْجَعُ مِنْهُ أَيْضًا لِفَوَاتِ الْمَقْصُودِ بِذَلِكَ الْأَخْذِ.

Salah satunya: jika tuan mengambilnya dari harta cicilan di mana ia dinyatakan tidak mampu, maka harta itu juga diambil kembali darinya karena tujuan dari pengambilan tersebut tidak tercapai.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَدْ قَبَضَهُ مِنْهُ مِنْ مَالِ نَجْمٍ مُتَقَدِّمٍ قَبْلَ نَجْمِ التَّعْجِيزِ، فَفِي جَوَازِ اسْتِرْجَاعِهِ مِنْهُ وَجْهَانِ:

Bagian kedua: jika tuan mengambilnya dari harta cicilan sebelumnya sebelum cicilan ketidakmampuan, maka dalam hal boleh tidaknya mengambil kembali darinya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُسْتَرْجَعُ مِنْهُ لِفَوَاتِ الْمَقْصُودِ مِنَ الْعِتْقِ فَشَابَهَ مَالَ النَّجْمِ الْأَخِيرِ.

Salah satunya: diambil kembali darinya karena tujuan dari pembebasan tidak tercapai, sehingga serupa dengan harta cicilan terakhir.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُسْتَرْجَعُ مِنْهُ لِأَنَّ لِكُلِّ نَجْمٍ حُكْمًا.

Pendapat kedua: tidak diambil kembali darinya karena setiap cicilan memiliki hukum tersendiri.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا وَجَبَ اسْتِرْجَاعُ الْمَأْخُوذِ مِنْ مَالِ الصَّدَقَةِ فَتَلَفَ قَبْلَ الِاسْتِرْجَاعِ فَلَا يَخْلُو حَالُ تَلَفِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika wajib untuk mengambil kembali harta yang diambil dari harta sedekah, lalu harta itu rusak sebelum diambil kembali, maka keadaan kerusakannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَتْلَفَ فِي يَدِ السَّيِّدِ أَوْ فِي يَدِ الْمُكَاتَبِ، فَإِنْ تَلَفَ فِي يَدِ السَّيِّدِ فَهُوَ مَضْمُونٌ عَلَيْهِ بِالْغُرْمِ سَوَاءً تَلَفَ بِاسْتِهْلَاكِهِ لَهُ أَوْ بِغَيْرِهِ؛ لِأَنَّهُ أَخَذَهُ عَلَى وَجْهِ الْبَدَلِ عَنِ الْعِتْقِ فَإِذَا فَاتَ الْعِتْقُ ضَمِنَهُ بِالرَّدِّ إِنْ بَقِيَ، وَبِالْغُرْمِ إِنْ تَلَفَ كَالْمَبِيعِ، وَإِنْ تَلَفَ فِي يَدِ الْمُكَاتَبِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bisa jadi rusak di tangan tuan atau di tangan mukatab. Jika rusak di tangan tuan, maka ia wajib menggantinya dengan ganti rugi, baik rusak karena ia menggunakannya atau karena sebab lain, karena ia mengambilnya sebagai pengganti dari pembebasan. Maka jika pembebasan batal, ia wajib mengembalikannya jika masih ada, dan menggantinya jika rusak, seperti barang yang dijual. Jika rusak di tangan mukatab, maka ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتْلَفَ بِاسْتِهْلَاكِهِ فَإِنْ تَلَفَ بِاسْتِهْلَاكِهِ ضُمِنَ ضَمَانَ الْمَغْصُوبِ يُقَدَّمُ عَلَى دُيُونِ الْمُعَامَلَاتِ فَإِنْ ضَاقَ مَا بِيَدِهِ عَنْ غُرْمِهِ ضَمِنَهُ فِي رَقَبَتِهِ، وَإِنْ تَلَفَ بِغَيْرِ اسْتِهْلَاكِهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Salah satunya: rusak karena ia menggunakannya. Jika rusak karena ia menggunakannya, maka ia wajib menggantinya seperti barang yang digelapkan, dan didahulukan dari utang-utang transaksi. Jika harta yang ada di tangannya tidak cukup untuk menggantinya, maka ia wajib menggantinya dari dirinya sendiri. Jika rusak bukan karena ia menggunakannya, maka ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتْلَفَ بِيَدِهِ قَبْلَ عَجْزِهِ.

Salah satunya: rusak di tangannya sebelum ia dinyatakan tidak mampu.

وَالثَّانِي: أَنْ يَتْلَفَ بَعْدَ عَجْزِهِ فَإِنْ تَلَفَ قَبْلَ عَجْزِهِ، فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Yang kedua: rusak setelah ia dinyatakan tidak mampu. Jika rusak sebelum ia dinyatakan tidak mampu, maka ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتْلَفَ قَبْلَ إِمْكَانِ دَفْعِهِ إِلَى سَيِّدِهِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَلَا عَلَى سَيِّدِهِ؛ لِأَنَّهُ كان مؤتمنا على أدائه.

Salah satunya: rusak sebelum memungkinkan untuk diserahkan kepada tuannya, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya dan juga tidak atas tuannya, karena ia dianggap sebagai orang yang dipercaya untuk membayarkannya.

والثاني: يَتْلَفُ بَعْدَ إِمْكَانِ دَفْعِهِ إِلَى سَيِّدِهِ فَهَذَا على ضربين إما أَنْ يَكُونَ قَدْ حَلَّ عَلَيْهِ نَجَمُ الْكِتَابَةِ وَأَخَّرَ دَفْعَ ذَلِكَ إِلَيْهِ فَهُوَ مَضْمُونٌ عَلَيْهِ ضَمَانَ الْمَغْصُوبِ لِعُدْوَانِهِ بِتَأْخِيرِ الْأَدَاءِ.

Yang kedua: rusak setelah memungkinkan untuk diserahkan kepada tuannya, maka ini terbagi menjadi dua: bisa jadi telah jatuh tempo cicilan kitabah atasnya dan ia menunda penyerahannya, maka ia wajib menggantinya seperti barang yang digelapkan karena ia telah berbuat zalim dengan menunda pembayaran.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ نَجْمُ الْكِتَابَةِ قَدْ حَلَّ عَلَيْهِ فَفِي ضَمَانِهِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ مِنِ اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي جَوَازِ الدَّفْعِ إِلَيْهِ قَبْلَ حُلُولِ النَّجْمِ عَلَيْهِ:

Jenis kedua: yaitu apabila waktu pembayaran belum jatuh tempo. Dalam hal jaminannya atasnya terdapat dua pendapat, mengikuti perbedaan dua pendapat dalam kebolehan menyerahkan (pembayaran) kepadanya sebelum jatuh tempo:

أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُهُ إِذَا جُعِلَ كَالَّذِي حَلَّ عَلَيْهِ فِي جَوَازِ الدَّفْعِ إِلَيْهِ.

Salah satunya: ia wajib menanggungnya jika diperlakukan seperti yang telah jatuh tempo dalam kebolehan menyerahkan kepadanya.

وَالثَّانِي: لَا يَضْمَنُهُ إِذَا لَمْ يُجْعَلْ فِي جَوَازِ الدَّفْعِ إِلَيْهِ كَالَّذِي حَلَّ عَلَيْهِ وَإِنْ تَلَفَ فِي يَدِهِ بَعْدَ عَجْزِهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Yang kedua: ia tidak wajib menanggungnya jika tidak diperlakukan dalam kebolehan menyerahkan kepadanya seperti yang telah jatuh tempo. Jika barang itu rusak di tangannya setelah ia tidak mampu (membayar), maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ تَلَفُهُ بَعْدَ إِمْكَانِ رَدِّهِ عَلَى رَبِّ الْمَالِ أَوِ الْعَامِلِ فَهَذَا مَضْمُونٌ عَلَيْهِ ضَمَانَ الْمَغْصُوبِ لِعُدْوَانِهِ بِتَأْخِيرِ الرَّدِّ وَيَكُونُ الضَّمَانُ فِي رَقَبَتِهِ دُونَ مَا بِيَدِهِ لِتَقَدُّمِ اسْتِحْقَاقِ مَا بِيَدِهِ فِي مُعَامَلَاتِهِ.

Salah satunya: jika kerusakan itu terjadi setelah memungkinkan untuk mengembalikannya kepada pemilik harta atau pekerja, maka ini menjadi tanggungannya seperti jaminan barang yang digasb (dirampas), karena ia telah melampaui batas dengan menunda pengembalian. Jaminan itu menjadi tanggungannya secara pribadi, bukan dari harta yang ada di tangannya, karena hak atas harta yang ada di tangannya telah lebih dahulu dalam transaksi-transaksinya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ تَلَفُهُ قَبْلَ إِمْكَانِ رَدِّهِ فَهُوَ غَيْرُ مَضْمُونٍ عَلَى الْمُكَاتَبِ، لِأَنَّهُ مَا قَبَضَهُ لِنَفْسِهِ وَلَا كَانَ مُتَعَدِّيًا فِي جِنْسِهِ وَهَلْ يَكُونُ مَضْمُونًا عَلَى سَيِّدِهِ فِيهِ وَجْهَانِ:

Jenis kedua: jika kerusakan itu terjadi sebelum memungkinkan untuk mengembalikannya, maka itu tidak menjadi tanggungan mukatab, karena ia tidak mengambilnya untuk dirinya sendiri dan tidak melampaui batas dalam jenisnya. Apakah itu menjadi tanggungan tuannya? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَضْمَنُهُ لِأَنَّهُ مَا صَارَ إِلَيْهِ.

Salah satunya: tidak menjadi tanggungannya, karena barang itu belum sampai kepadanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَضْمَنُهُ لِأَنَّ الْمُكَاتَبَ قَبَضَهُ لِسَيِّدِهِ وَيَدُهُ بعد العجز كيده.

Pendapat kedua: menjadi tanggungannya, karena mukatab mengambilnya untuk tuannya, dan tangannya setelah tidak mampu (membayar) seperti tangan tuannya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: (وَالْغَارِمُونَ) صِنْفَانِ صِنْفٌ دَانُوا فِي مَصْلَحَتِهِمْ أَوْ مَعْرُوفٍ وَغَيْرِ مَعْصِيَةٍ ثُمَّ عَجَزُوا عَنْ أَدَاءِ ذَلِكَ فِي الْعَرْضِ وَالنَّقْدِ فَيُعْطَوْنَ فِي غُرْمِهِمْ لعجزهم فإن كانت لهم عروض يقضون منها ديونهم فهم أغنياء لا يعطون حتى يبرءوا من الدين ثم لا يبقى لهم ما يكونون به أغنياء وصنف دانوا في صلاح ذات بين ومعروف ولهم عروض تحمل حمّالاتهم أو عامتها وإن بيعت أضر ذلك بهم وإن لم يفتقروا فيعطى هؤلاء وتوفر عروضهم كما يعطى أهل الحاجة من الغارمين حتى يقضوا سهمهم (واحتج) بأن قبيصة بن المخارق قال تحملت بحمالة فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فقال: ” نؤديها عنك أو نخرجها عنك إذا قدم نعم الصدقة يا قبيصة ” الْمَسْأَلَةَ حُرِّمَتْ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ بِحَمَالَةٍ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُؤَدِّيَهَا ثُمَّ يمسك ورجل أصابته فاقة أو حاجة حتى شهد أو تكلم ثلاثة من ذوي الحِجا من قومه أن به فاقة أو حاجة فحلت له المسألة حتى يصيب سدادا من عيش أو قَوَامًا مِنْ عَيْشٍ ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جائحة فاجتاحت ماله فحلت له الصدقة حتى يصيب سدادا من عيش أو قَوَامًا مِنْ عَيْشٍ ثُمَّ يُمْسِكُ وَمَا سِوَى ذلك من المسألة فهو سحت ” (قال الشافعي) رحمه الله: فبهذا قلت في الغارمين وقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” تحل له المسألة في الفاقة والحاجة ” يعني والله أعلم من سهم الفقراء والمساكين لا الغارمين وقوله ” حتى يصيب سدادا من عيش ” يعني والله أعلم أقل اسم الغنا ولقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لغارم أو لرجل اشتراها بماله أَوْ لِرَجُلٍ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتَصَدَّقَ عَلَى المسكين فأهدى المسكين للغني ” فبهذا قلت يعطى الغازي والعامل وإن كانا غنيين والغارم في الحمالة على ما أبان عليه السلام لا عاما “.

Imam Syafi‘i berkata: “(Dan orang-orang yang berutang) terbagi menjadi dua golongan: golongan yang berutang untuk kemaslahatan dirinya atau dalam perkara yang baik dan bukan maksiat, kemudian mereka tidak mampu membayarnya baik berupa barang maupun uang tunai, maka mereka diberi bagian dari zakat untuk membayar utangnya karena ketidakmampuannya. Jika mereka memiliki barang-barang yang dapat digunakan untuk melunasi utangnya, maka mereka dianggap kaya dan tidak diberi (zakat) sampai mereka terbebas dari utang dan tidak tersisa lagi harta yang menjadikan mereka kaya. Golongan kedua adalah yang berutang untuk mendamaikan perselisihan atau perkara baik, dan mereka memiliki barang-barang yang dapat menanggung utangnya atau sebagian besarnya, namun jika dijual akan menimbulkan mudarat bagi mereka, meskipun mereka tidak menjadi fakir, maka mereka tetap diberi (zakat) dan barang-barang mereka tetap dipertahankan, sebagaimana orang-orang yang membutuhkan dari golongan gharimīn (orang berutang) diberi sampai mereka melunasi bagian mereka. (Syafi‘i) berdalil dengan hadis bahwa Qabisah bin Mukhariq berkata: Aku menanggung suatu jaminan, lalu aku datang kepada Rasulullah ﷺ, beliau bersabda: ‘Kami akan membayarnya untukmu atau mengeluarkannya untukmu jika telah datang (harta zakat), itu adalah sedekah yang baik, wahai Qabisah. Permintaan (zakat) diharamkan kecuali dalam tiga hal: seseorang yang menanggung suatu jaminan, maka halal baginya meminta sampai ia melunasinya, lalu ia berhenti; seseorang yang tertimpa kefakiran atau kebutuhan sampai tiga orang yang berakal dari kaumnya bersaksi bahwa ia benar-benar fakir atau membutuhkan, maka halal baginya meminta sampai ia mendapatkan kecukupan hidup, lalu ia berhenti; dan seseorang yang tertimpa musibah yang menghabiskan hartanya, maka halal baginya menerima sedekah sampai ia mendapatkan kecukupan hidup, lalu ia berhenti. Selain itu, meminta-minta adalah haram.’ (Syafi‘i) rahimahullah berkata: Dengan dasar ini aku berpendapat tentang gharimīn, dan sabda Nabi ﷺ ‘halal baginya meminta dalam kefakiran dan kebutuhan’ maksudnya, wallahu a‘lam, dari bagian fakir miskin, bukan gharimīn. Dan sabdanya ‘sampai mendapatkan kecukupan hidup’ maksudnya, wallahu a‘lam, adalah batas minimal kaya. Dan sabda Nabi ﷺ ‘tidak halal sedekah bagi orang kaya kecuali lima: pejuang di jalan Allah, amil zakat, gharim, orang yang membeli zakat dengan hartanya, atau seseorang yang memiliki tetangga miskin lalu ia bersedekah kepada si miskin dan si miskin menghadiahkannya kepada orang kaya.’ Dengan dasar ini aku berpendapat bahwa pejuang dan amil boleh diberi (zakat) meskipun mereka kaya, dan gharim dalam jaminan sebagaimana dijelaskan oleh Nabi ﷺ, bukan secara umum.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: وَالْغَارِمُونَ صِنْفٌ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ} [التوبة: 60] فَجَعَلَ لَهُمْ مِنَ الصَّدَقَاتِ سَهْمًا وَهُمْ صِنْفَانِ:

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan: gharimīn adalah salah satu golongan penerima zakat. Allah Ta‘ala berfirman: {dan untuk memerdekakan hamba sahaya dan orang-orang yang berutang} (at-Taubah: 60), maka Allah menjadikan bagi mereka bagian dari zakat, dan mereka terbagi menjadi dua golongan:

صِنْفٌ أَدَانُوا فِي مَصَالِحِ أَنْفُسِهِمْ، وَصِنْفٌ أَدَانُوا فِي مَصَالِحِ غَيْرِهِمْ، فَأَمَّا مَنْ أَدَانَ فِي مَصْلَحَةِ نَفْسِهِ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Golongan yang berutang untuk kemaslahatan dirinya, dan golongan yang berutang untuk kemaslahatan orang lain. Adapun yang berutang untuk kemaslahatan dirinya, maka terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ أَدَانَ فِي حَقٍّ.

Pertama: berutang untuk suatu hak.

وَالثَّانِي: فِي تَبْذِيرٍ.

Kedua: untuk pemborosan.

وَالثَّالِثُ: فِي مَعْصِيَةٍ.

Ketiga: untuk maksiat.

فَأَمَّا الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ قَدْ أَدَانَ فِي حَقٍّ فَكَرَجُلٍ أَدَانَ فِي جَوَائِحَ أَصَابَتْهُ أَوْ نَفَقَاتٍ لَزِمَتْهُ أَوْ مُعَامَلَاتٍ أَضَرَّتْ أَوْ زَكَوَاتٍ وَجَبَتْ وَحَجٍّ أُدِّيَ وَفَرْضٍ قُضِيَ إِلَى مَا جَرَى مَجْرَى ذَلِكَ مِنْ وِاجِبَاتٍ أَوْ مُبَاحَاتٍ فَيَجُوزُ أَنْ يُدْفَعَ إِلَى مَنْ صَارَ بِهَا غَارِمًا مِنْ سَهْمِ الْغَارِمِينَ إِذَا كَانَ فَقِيرًا، فَأَمَّا إِنْ كَانَ غَنِيًّا فَلَا يَخْلُو مَالُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ نَاضًّا أَوْ عَقَارًا فَإِنْ كَانَ مَالُهُ نَاضًّا كَالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ وَعُرُوضِ التِّجَارَاتِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُدْفَعَ إِلَيْهِ مِنْ سَهْمِ الْغَارِمِينَ لِأَنَّهُ مُسْتَغْنٍ عَنِ الْمَعُونَةِ عَلَى قَضَاءِ دَيْنِهِ، وَلِأَنَّهُ قَلَّ مَا يَخْلُو مُوسِرٌ مِنْ دَيْنٍ فَيَجْعَلُ كُلَّ الْمُوسِرِ مِنَ الْغَارِمِينَ، وَإِنْ كَانَ مَالُهُ عَقَارًا مِنْ دُورٍ وَضِيَاعٍ كَفَى أَثْمَانُهَا بِدَيْنِهِ فَفِي جَوَازِ إِعْطَائِهِ مِنْ سَهْمِ الْغَارِمِينَ قَوْلَانِ:

Adapun yang pertama, yaitu seseorang berutang untuk suatu hak, seperti seseorang yang berutang karena musibah yang menimpanya, atau karena kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, atau transaksi yang merugikan, atau zakat yang wajib, atau haji yang telah dilaksanakan, atau kewajiban lain yang telah ditunaikan, dan hal-hal serupa dari kewajiban atau perkara mubah, maka boleh diberikan kepadanya dari bagian gharimīn (orang yang berutang) jika ia fakir. Namun, jika ia kaya, maka hartanya tidak lepas dari dua kemungkinan: berupa harta tunai atau berupa aset tetap. Jika hartanya berupa harta tunai seperti emas, perak, dan barang dagangan, maka tidak boleh diberikan kepadanya dari bagian gharimīn karena ia tidak membutuhkan bantuan untuk melunasi utangnya, dan karena jarang sekali orang mampu yang tidak memiliki utang, sehingga jika demikian maka setiap orang mampu akan dianggap sebagai gharimīn. Jika hartanya berupa aset tetap seperti rumah dan tanah, dan nilai jualnya cukup untuk melunasi utangnya, maka dalam hal kebolehan memberinya dari bagian gharimīn terdapat dua pendapat:

أَصَحُّهُمَا: وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ في هذا الموضع وأكثر كتبه أنه لا يَجُوزُ أَنْ يُعْطَى لِأَنَّهُ قَادِرٌ عَلَى قَضَاءِ دَيْنِهِ كَالْمُوسِرِ بِمَالٍ نَاضٍّ.

Pendapat yang paling sahih, dan ini yang dinyatakan dalam masalah ini dan kebanyakan kitab beliau, adalah tidak boleh diberikan karena ia mampu melunasi utangnya sebagaimana orang yang mampu dengan harta tunai.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ وَحُكِيَ عَنْهُ فِي كِتَابِ الْأُمِّ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُعْطَى، لِأَنَّ الْعَاجِزَ عَنْ قضاء الدين إلا من عقار مستقا هُوَ بِالْمُعْسِرِينَ أَشْبَهُ عَنْهُ بِالْمُوسِرِينَ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مِنْ جُمْلَةِ الْغَارِمِينَ.

Pendapat kedua, dinyatakan dalam pendapat lama dan dinukil darinya dalam Kitab al-Umm, bahwa boleh diberikan, karena orang yang tidak mampu melunasi utangnya kecuali dengan menjual aset tetap lebih mirip dengan orang yang kesulitan daripada orang yang mampu, sehingga ia termasuk dalam kelompok gharimīn.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ قَدْ أَدَانَ فِي تَبْذِيرٍ كَرَجُلٍ بَذَّرَ فِي الشَّهَوَاتِ وَاللَّذَّاتِ وَأَسْرَفَ فِي الصِلاة وَالْهِبَاتِ لَا فِي بِرٍّ وَلَا تَقْوَى فَهَذَا لَا يُعْطَى مِنْ سَهْمِ الْغَارِمِينَ، وَلَهُ مَا يَقْدِرُ عَلَى قَضَاءِ دَيْنِهِ مِنْهُ مِنْ نَاضٍّ أَوْ عَقَارٍ، لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنَ التَّبْذِيرِ، فَلَأَنْ يَعُودَ تَبْذِيرُهُ عَلَى مَالِهِ أَوْلَى مِنْ أَنْ يَعُودَ عَلَى مَالِ الصَّدَقَاتِ، وَإِنْ كَانَ فَقِيرًا لَا يَقْدِرُ عَلَى قَضَاءِ دَيْنِهِ مِنْ نَاضٍّ وَلَا عَقَارٍ جَازَ أَنْ يُعْطَى مِنْ سَهْمِ الْغَارِمِينَ؛ لِأَنَّهُ مِنْهُمْ فِي الْغُرْمِ وَالْحَاجَةِ.

Adapun bagian kedua, yaitu seseorang yang berutang karena pemborosan, seperti seseorang yang boros dalam memenuhi syahwat dan kenikmatan, atau berlebihan dalam memberi hadiah dan sedekah bukan dalam kebaikan dan ketakwaan, maka orang seperti ini tidak diberikan dari bagian gharimīn, baik ia mampu melunasi utangnya dengan harta tunai atau aset tetap, karena ia dilarang berbuat boros. Maka lebih utama jika akibat pemborosannya ditanggung oleh hartanya sendiri daripada ditanggung oleh harta sedekah. Namun, jika ia fakir dan tidak mampu melunasi utangnya baik dengan harta tunai maupun aset tetap, maka boleh diberikan dari bagian gharimīn karena ia termasuk di antara mereka dalam hal beban utang dan kebutuhan.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ قَدْ أَدَانَ فِي مَعْصِيَةٍ فَإِنْ لَمْ يَتُبْ مِنْهَا وَكَانَ مُصِرًّا عَلَى تِلْكَ الْمَعْصِيَةِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْطَى مِنْ سَهْمِ الْغَارِمِينَ؛ لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنَ الْمَعْصِيَةِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعَانَ عَلَيْهَا بِتَحَمُّلِ الْغُرْمِ فِيهَا، وَإِنْ كَانَ قَدْ تَابَ مِنْهَا وَأَقْلَعَ عَنْهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْطَى مِنْ سَهْمِ الْغَارِمِينَ مَعَ الْغِنَى بِمَالٍ نَاضٍّ أَوْ عَقَارٍ؛ لِأَنَّ مَالَهُ فِي غُرْمِ الْمَعَاصِي أَوْلَى مِنْ مَالِ الصَّدَقَاتِ وَفِي جَوَازِ إِعْطَائِهِ مَعَ الْفَقْرِ وَجْهَانِ:

Adapun bagian ketiga, yaitu seseorang yang berutang karena maksiat. Jika ia belum bertobat dan masih terus-menerus dalam maksiat tersebut, maka tidak boleh diberikan dari bagian gharimīn, karena ia dilarang bermaksiat sehingga tidak boleh dibantu dalam menanggung beban utang akibat maksiat itu. Jika ia telah bertobat dan meninggalkan maksiat tersebut, maka tidak boleh diberikan dari bagian gharimīn jika ia kaya dengan harta tunai atau aset tetap, karena hartanya lebih utama digunakan untuk menanggung utang akibat maksiat daripada harta sedekah. Adapun dalam hal kebolehan memberinya jika ia fakir, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لِبَقَاءِ الْغُرْمِ مَعَ زَوَالِ الْمَعْصِيَةِ.

Pertama: Boleh, karena beban utangnya masih ada sementara maksiatnya telah hilang.

وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ غُرْمٌ سببه المعصية.

Kedua: Tidak boleh, karena utangnya disebabkan oleh maksiat.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا مَنْ أَدَانَ فِي مَصْلَحَةِ غَيْرِهِ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun orang yang berutang untuk kepentingan orang lain, maka terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ أَدَانَ فِي إِصْلَاحِ ذَاتِ الْبَيْنِ فِي تَحَمُّلِ دِيَةٍ لِنَفْسٍ أَوْ طَرَفٍ كَفَّ بِهَا فِتْنَةً بَيْنَ قَبِيلَتَيْنِ وَقَطَعَ بِهَا حَرْبًا بَيْنَ طَائِفَتَيْنِ، فَهَذَا يُعْطَى مِنْ سَهْمِ الْغَارِمِينَ مَعَ الْفَقْرِ والغنى الناض والعقار ولا يراعى فيه فقر، وَلَا اعْتِبَارٌ لِرِوَايَةِ سُفْيَانَ عَنْ هَارُونَ بْنِ رَبَابٍ عَنْ كِنَانَةَ بْنِ نُعَيْمٍ عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ الْمُخَارِقِ: أَنَّهُ تَحَمَّلَ بِحَمَالَةٍ فَأَتَى النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَسَأَلَهُ فَقَالَ نُؤَدِّيهَا عَنْكَ وَنُخْرِجُهَا مِنْ نَعَمِ الصَّدَقَةِ يَا قَبِيصَةُ، إِنَّ الْمَسْأَلَةَ حُرِّمَتْ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ: رَجُلٍ تَحَمَّلَ بِحَمَالَةٍ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُؤَدِّيَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جائحة فَاجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ فَيَسْأَلُ حَتَّى يُصِيبَ قَوَامًا مِنْ عَيْشٍ ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلٍ أصابته حاجة وَفَاقَةٌ حَتَّى يَشْهَدَ لَهُ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الحجى من قومه إن قد حَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قَوَامًا مِنْ عَيْشٍ ثُمَّ يُمْسِكُ وَمَا سِوَى ذَلِكَ مِنَ الْمَسْأَلَةِ فَهُوَ سُحْتٌ، وَلِأَنَّ ذَلِكَ غُرْمٌ مِنَ الْمَصَالِحِ الْعَامَّةِ فَكَانَ أَوْلَى مِنَ الْغُرْمِ فِي الْمَصَالِحِ الْخَاصَّةِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُعْطَى فِي الْغُرْمِ مَنْ حَاجَتِهِ إِلَيْنَا، فَأَوْلَى أَنْ يُعْطَى فِي الْغُرْمِ مَنْ حَاجَتِنَا إِلَيْهِ.

Salah satunya: Seseorang yang berhutang dalam rangka mendamaikan perselisihan, yaitu menanggung diyat untuk jiwa atau anggota tubuh sehingga dengan itu ia dapat meredam fitnah antara dua kabilah dan menghentikan perang antara dua kelompok. Maka orang seperti ini boleh diberikan dari bagian gharimīn (orang yang berhutang), baik ia miskin maupun kaya, baik memiliki harta tunai maupun aset tetap, dan tidak dipertimbangkan kemiskinannya. Tidak dianggap pula riwayat Sufyan dari Harun bin Rabab dari Kinanah bin Nu‘aim dari Qabisah bin Mukharriq: bahwa ia menanggung suatu tanggungan lalu datang kepada Nabi ﷺ dan memintanya, maka beliau bersabda, “Kami akan membayarnya untukmu dan kami akan mengeluarkannya dari unta zakat, wahai Qabisah. Sesungguhnya meminta-minta itu diharamkan kecuali dalam tiga hal: seseorang yang menanggung suatu tanggungan, maka halal baginya meminta hingga ia melunasinya lalu berhenti; seseorang yang tertimpa bencana yang menghabiskan hartanya, maka halal baginya meminta hingga ia mendapatkan kecukupan hidup lalu berhenti; dan seseorang yang tertimpa kebutuhan dan kefakiran hingga tiga orang dari kaumnya yang berakal bersaksi bahwa telah halal baginya meminta hingga ia mendapatkan kecukupan hidup lalu berhenti. Selain dari itu, meminta-minta adalah haram.” Karena itu adalah hutang demi kemaslahatan umum, maka lebih utama daripada hutang untuk kemaslahatan khusus. Dan karena ketika boleh diberikan dalam hutang bagi orang yang membutuhkan kepada kita, maka lebih utama lagi diberikan dalam hutang bagi orang yang kita butuhkan jasanya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَدْ أَدَانَ فِي صَلَاحِ ذَاتِ الْبَيْنِ فِي غُرْمِ مَالٍ كَفَّ بِهِ فِتْنَةً وَمَنَعَ بِهِ حَرْبًا فَيَجُوزُ أَنْ يُعْطَى مَعَ الْفَقْرِ وَالْغِنَى بِالْعَقَارِ وَفِي جَوَازِ إِعْطَائِهِ مَعَ الْغِنَى وَجْهَانِ:

Bagian kedua: Seseorang yang berhutang dalam rangka mendamaikan perselisihan dalam bentuk hutang harta yang dengannya ia dapat meredam fitnah dan mencegah perang. Maka boleh diberikan kepadanya baik ia miskin maupun kaya yang memiliki aset tetap. Dalam hal kebolehan memberinya meski ia kaya, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ كَالْغُرْمِ فِي الدَّمِ لِمَا فِيهِمَا مِنْ قَطْعِ الْفِتْنَةِ.

Salah satunya: Boleh, seperti hutang dalam kasus darah (diyat), karena keduanya sama-sama bertujuan memutus fitnah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ لِأَنَّ لِلدَّمِ فَضْلًا عَلَى غَيْرِهِ.

Pendapat kedua: Tidak boleh, karena kasus darah (diyat) memiliki keutamaan dibanding selainnya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ قَدْ أَدَانَ فِي مَصْلَحَةٍ لَا تَتَعَلَّقُ بِقَطْعِ فِتْنَةٍ وَلَا مَنْعِ حَرْبٍ كَرَجُلٍ أَدَانَ فِي عِمَارَةِ مَسْجِدٍ أَوْ جَامِعٍ أَوْ بِنَاءِ حِصْنٍ أَوْ قَنْطَرَةٍ أَوْ فَكِّ أَسْرَى أَوْ مَا جَرَى مَجْرَى ذلك من المصالح العامة التي تتعلق لحسم فِتْنَةٍ، فَهَذَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطَى مَعَ الْفَقْرِ وَالْغِنَى بِالْعَقَارِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطَى مَعَ الْغِنَى بِالنَّاضِّ؛ لِأَنَّهُ فِي النَّفْعِ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ فِيهِ مُتَرَدِّدًا مُتَوَسِّطًا بَيْنَ الْحُكْمَيْنِ.

Bagian ketiga: Seseorang yang berhutang untuk suatu kemaslahatan yang tidak berkaitan dengan meredam fitnah atau mencegah perang, seperti seseorang yang berhutang untuk membangun masjid, jami‘, membangun benteng, jembatan, membebaskan tawanan, atau hal-hal serupa dari kemaslahatan umum yang berkaitan dengan meredam fitnah. Maka orang seperti ini boleh diberikan baik ia miskin maupun kaya yang memiliki aset tetap, namun tidak boleh diberikan jika ia kaya dengan harta tunai; karena manfaatnya masih dipertentangkan antara dua hal, sehingga hukumnya pun menjadi pertengahan antara dua hukum.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ أَحْكَامِ الْغَارِمِينَ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُزَادَ الْوَاحِدُ مِنْهُمْ عَلَى قَدْرِ دَيْنِهِ، وَيَكُونُ الْغَارِمُ هُوَ الْمُتَوَلِّي لِقَبْضِهِ وَدَفْعِهِ إِلَى غُرَمَائِهِ، فَإِنْ دَفَعَ رَبُّ الْمَالِ أَوِ الْعَامِلُ حَقَّهُ إِلَى غُرَمَائِهِ بِإِذْنِهِ جَازَ، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ لَمْ يَجُزْ بِخِلَافِ الْمُكَاتَبِ الَّذِي يَجُوزُ دَفْعُ حَقِّهِ إِلَى سَيِّدِهِ بِأَمْرِهِ وَغَيْرِ أَمْرِهِ.

Jika telah jelas apa yang kami jelaskan tentang hukum-hukum gharimīn, maka tidak boleh diberikan kepada salah satu dari mereka melebihi jumlah hutangnya. Dan gharim (orang yang berhutang) adalah yang berhak menerima dan menyerahkan kepada para krediturnya. Jika pemilik harta atau amil menyerahkan haknya kepada para kreditur atas izinnya, maka itu boleh. Namun jika tanpa izinnya, maka tidak boleh, berbeda dengan kasus mukatab (budak yang menebus dirinya) yang boleh diberikan haknya kepada tuannya baik atas perintahnya maupun tanpa perintahnya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمُكَاتَبَ مَحْجُورٌ عَلَيْهِ فِي حَقِّ سَيِّدِهِ، وَلَيْسَ الْغَارِمُ مَحْجُورًا عَلَيْهِ فِي دُيُونِ غُرَمَائِهِ، فَلَوْ كَانَ الْغَارِمُ مَحْجُورًا عَلَيْهِ بِالْفَلَسِ فَدَفَعَ إِلَى غُرَمَائِهِ بِالْحِصَصِ جَازَ، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ، لِأَنَّهُ يَصِيرُ بِالْحَجْرِ فِي مَعْنَى الْمُكَاتَبِ، فَلَوْ كَانَ دَيْنُ الْغَارِمِ مُؤَجَّلًا فَفِي جَوَازِ الدَّفْعِ إِلَيْهِ وَجْهَانِ كَالْمُكَاتَبِ قَبْلَ حُلُولِ النَّجْمِ عَلَيْهِ.

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa mukatab berada dalam status dibatasi haknya oleh tuannya, sedangkan gharim tidak dibatasi haknya dalam urusan hutang kepada para krediturnya. Jika gharim berada dalam status dibatasi karena pailit, lalu diberikan kepada para krediturnya secara proporsional, maka itu boleh meski tanpa izinnya, karena dengan pembatasan itu ia menjadi seperti mukatab. Jika hutang gharim itu masih jatuh tempo, maka dalam kebolehan memberikannya kepadanya terdapat dua pendapat, seperti halnya mukatab sebelum jatuh tempo pembayaran.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا أَخَذَ الْغَارِمُ سَهْمَهُ وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يَصْرِفَهُ فِي دَيْنِهِ وَهُوَ بالخيار في دفعه إلى غرمائه شَاءَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ غَارِمًا فِي حَمَالَةِ دِيَةٍ قَدْ أُعْطِيَ فِيهَا مِنْ مَالِ الصَّدَقَاتِ مع غنائه، وَيَكُونُ عَلَيْهِ دَيْنَانِ دَيْنُ الْحَمَالَةِ وَدَيْنٌ عَنْ مُعَامَلَتِهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَصْرِفَ مَا أَخَذَهُ فِي دَيْنِ الْحَمَالَةِ وَلَا يَصْرِفُهُ فِي دَيْنِ الْمُعَامَلَةِ، وَلَوْ قَدْ أَخَذَ مَعَ الْفَقْرِ فِي دَيْنِ الْمُعَامَلَةِ كَانَ بِالْخِيَارِ فِي أَنْ يَصْرِفَهُ فِيمَا شَاءَ فِي دَيْنِ الْمُعَامَلَةِ أَوْ دَيْنِ الْحَمَالَةِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الشَّرْطَ فِي دَيْنِ الْمُعَامَلَةِ أَغْلَظُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّهُ إِلَّا بِالْفَقْرِ وَدَيْنِ الْحَمَالَةِ، أَخَفُّ لِأَنَّهُ يَسْتَحِقُّهُ مَعَ الْغِنَى وَالْفَقْرِ فَجَازَ أَنْ يَصْرِفَ مَا غَلُظَ شَرْطُ اسْتِحْقَاقِهِ فِيمَا خَفَّ شَرْطُهُ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَصْرِفَ مَا خَفَّ شَرْطُ اسْتِحْقَاقِهِ فِيمَا غَلُظَ شَرْطُهُ، فَإِذَا أَرَادَ الْغَارِمُ أَنْ يَصْرِفَ مَا أَخَذَهُ فِي غَيْرِ دَيْنِهِ لَمْ يَجُزْ لِاسْتِحْقَاقِهِ فِي الدَّيْنِ إِلَّا أَنْ يَعْدَمَ قُوتَ يَوْمِهِ فَيَجُوزُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ قُوتَ يَوْمِهِ وَحْدَهُ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُسْتَحَقٍّ فِي دَيْنِهِ كَالْمُفْلِسِ يُقْسَمُ مَالُهُ بَيْنَ غُرَمَائِهِ إِلَّا قُوتَ يَوْمِهِ.

Apabila seorang gharim telah menerima bagiannya, maka wajib baginya untuk menggunakannya untuk membayar utangnya, dan ia bebas memilih untuk menyerahkannya kepada para krediturnya sesuai kehendaknya, kecuali jika ia adalah gharim dalam urusan diyat (tebusan darah) yang telah diberikan kepadanya dari harta zakat meskipun ia kaya, dan ia memiliki dua utang: utang diyat dan utang dari transaksi. Maka ia wajib menggunakan apa yang diterimanya untuk membayar utang diyat, dan tidak boleh digunakan untuk membayar utang transaksi. Namun, jika ia menerima (zakat) karena kefakirannya untuk membayar utang transaksi, maka ia bebas memilih untuk menggunakannya pada utang transaksi atau utang diyat. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa syarat pada utang transaksi lebih berat, karena ia tidak berhak menerima (zakat) kecuali karena kefakiran, sedangkan utang diyat syaratnya lebih ringan karena ia berhak menerima (zakat) baik dalam keadaan kaya maupun miskin. Maka boleh menggunakan apa yang berat syarat penerimaannya untuk sesuatu yang ringan syaratnya, dan tidak boleh menggunakan apa yang ringan syarat penerimaannya untuk sesuatu yang berat syaratnya. Jika seorang gharim ingin menggunakan apa yang diterimanya untuk selain utangnya, maka tidak diperbolehkan karena hak penerimaannya hanya untuk utang, kecuali jika ia tidak memiliki kebutuhan pokok hariannya, maka boleh baginya mengambil dari zakat tersebut sekadar kebutuhan pokok hariannya saja, karena itu bukan haknya untuk utangnya, seperti orang yang bangkrut yang hartanya dibagi di antara para krediturnya kecuali kebutuhan pokok hariannya.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِذَا أَخَذَ الْغَرِيمُ سَهْمَهُ فَلَمْ يَصْرِفْهُ فِي دَيْنِهِ حَتَّى أُبْرِئَ مِنْهُ أَوْ قُضِيَ عَنْهُ أَوْ قَضَاهُ مِنْ غَيْرِهِ اسْتُرْجِعَ مِنْهُ كَمَا قُلْنَا فِي الْمُكَاتَبِ إِلَّا أَنْ يَقْضِيَهُ مِنْ قَرْضٍ يقترضه فَلَا يُسْتَرْجَعُ مِنْهُ؛ لِأَنَّ الْقَرْضَ مَا أَسْقَطَ عنه الدين، وإنما انتقل من يستحق إِلَى مُسْتَحِقٍّ فَصَارَ كَالْحِوَالَةِ فَلَوْ أُبْرِئَ مِنَ الدَّيْنِ أَوْ قَضَاهُ مِنْ غَيْرِ قَرْضٍ فَلَمْ يُسْتَرْجَعْ مِنْهُ مَا أَخَذَهُ حَتَّى لَزِمَهُ دَيْنٌ آخَرُ صَارَ بِهِ مِنَ الْغَارِمِينَ فَفِي اسْتِرْجَاعِهِ وَجْهَانِ:

Apabila seorang gharim telah menerima bagiannya, namun tidak menggunakannya untuk membayar utangnya hingga ia dibebaskan dari utang tersebut, atau utangnya telah dibayarkan untuknya, atau ia melunasinya dari sumber lain, maka bagian tersebut harus dikembalikan sebagaimana telah dijelaskan pada kasus mukatab, kecuali jika ia melunasinya dari pinjaman yang ia ambil, maka tidak perlu dikembalikan, karena pinjaman itu tidak menghapus utangnya, melainkan hanya memindahkan hak penagihan dari satu pihak ke pihak lain, sehingga hukumnya seperti hawalah (pengalihan utang). Jika ia dibebaskan dari utang atau melunasinya bukan dari pinjaman, lalu tidak dikembalikan apa yang telah diterimanya hingga ia memiliki utang lain yang menjadikannya kembali sebagai gharim, maka dalam hal pengembalian ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُسْتَرْجَعُ مِنْهُ لِأَنَّهُ لَوِ اسْتُرْجِعَ لَجَازَ أَنْ يُرَدَّ إِلَيْهِ.

Pertama: Tidak perlu dikembalikan, karena jika dikembalikan, boleh jadi akan diberikan lagi kepadanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهُ يُسْتَرْجَعُ لِأَنَّهُ يَصِيرُ كَالْمُسْتَسْلِفِ لَهُ قَبْلَ غرمه والله أعلم.

Pendapat kedua: Harus dikembalikan, karena ia menjadi seperti orang yang meminjam sebelum benar-benar menanggung utang. Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَيُقْبَلُ قَوْلُ ابْنِ السَّبِيلِ إِنَّهُ عَاجِزٌ عَنِ الْبَلَدِ لِأَنَّهُ غَيْرُ قَوِيٍّ حَتَّى تُعْلَمَ قُوَّتُهُ بالمال ومن طلب بأنه يغزو وأعطي ومن طلب بأنه غارم أو عبد مُكَاتَبٌ لَمْ يُعْطَ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ لِأَنَّ أَصْلَ النَّاسِ أَنَّهُمْ غَيْرُ غَارِمِينَ حَتَّى يُعْلَمَ غُرْمُهُمْ وَالْعَبِيدُ غَيْرُ مُكَاتَبِينَ حَتَّى تُعْلَمَ كِتَابَتُهُمْ وَمَنْ طَلَبَ بِأَنَّهُ مِنَ الْمُؤَلَّفَةِ لَمْ يُعْطَ إِلَّا بِأَنْ يُعْلَمَ ذَلِكَ وَمَا وَصَفْتُ أَنَّهُ يَستَحِقُّهُ بِهِ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Diterima pengakuan ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal) bahwa ia tidak mampu kembali ke negerinya, karena pada asalnya ia tidak dianggap mampu kecuali diketahui kekayaannya. Adapun orang yang mengaku akan berjihad dan meminta bagian, maka ia diberi; sedangkan yang mengaku sebagai gharim atau budak mukatab tidak diberi kecuali dengan bukti, karena pada asalnya manusia bukanlah gharim kecuali diketahui utangnya, dan budak bukanlah mukatab kecuali diketahui status mukatabnya. Siapa yang meminta bagian karena termasuk mu’allafah qulubuhum, tidak diberi kecuali setelah diketahui keadaannya sebagaimana telah aku jelaskan bahwa ia berhak menerimanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَالَّذِي قَصَدَهُ الشَّافِعِيُّ بِذَلِكَ أَنْ يُبَيِّنَ مَنْ يُقْبَلُ قَوْلُهُ مِنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ فِي اسْتِحْقَاقِ الصَّدَقَةِ وَمَنْ لَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ وَنَحْنُ نَذْكُرُ حُكْمَ كُلِّ صِنْفٍ مِنَ الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ.

Al-Mawardi berkata: “Ini benar, dan maksud Imam Syafi‘i dengan hal itu adalah untuk menjelaskan siapa saja dari golongan mustahik zakat yang diterima pengakuannya dalam hal berhak menerima zakat, dan siapa yang tidak diterima kecuali dengan bukti. Kami akan menyebutkan hukum masing-masing dari delapan golongan tersebut.”

أَمَّا الْفُقَرَاءُ وَالْمَسَاكِينُ فَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ لَهُمْ غَنَاءٌ مُتَقَدِّمٌ قُبِلَ قَوْلُهُمْ فِي الْفَقْرِ وَالْمَسْكَنَةِ مِنْ غَيْرِ بَيِّنَةٍ، وَإِنْ عُلِمَ لَهُمْ مَالٌ مُتَقَدِّمٌ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُمْ فِي تَلَفِهِ وَفَقْرِهِمْ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ تَشْهَدُ لَهُمْ بِذَلِكَ.

Adapun fuqara dan masakin, jika tidak diketahui bahwa mereka pernah kaya sebelumnya, maka diterima pengakuan mereka tentang kefakiran dan kemiskinan tanpa perlu bukti. Namun, jika diketahui mereka pernah memiliki harta sebelumnya, maka tidak diterima pengakuan mereka tentang kehilangan harta dan kefakiran kecuali dengan bukti yang menyatakan demikian.

وَأَمَّا الْعَامِلُونَ عَلَيْهَا فَحَالُهُمْ فِي الْعَمَلِ أَشْهَرُ مِنْ أَنْ يَحْتَاجُوا إِلَى بَيِّنَةٍ أَوْ تَحْلِيفِ يَمِينٍ.

Adapun para ‘amil (petugas zakat), keadaan mereka dalam menjalankan tugas sudah cukup jelas sehingga tidak memerlukan bukti atau sumpah.

وَأَمَّا الْمُؤَلَّفَةُ قُلُوبُهُمْ فَلَا يُرْجَعُ إِلَى قَوْلِهِمْ لِأَنَّهُمْ مِمَّنْ تَدْعُو الضَّرُورَةُ إِلَيْهِمْ بِظُهُورِ الصَّلَاحِ وَتَآلُّفِهِمْ.

Adapun mu’allafah qulubuhum, maka tidak kembali pada pengakuan mereka, karena mereka adalah golongan yang dibutuhkan dalam situasi darurat dengan tampaknya maslahat dan adanya upaya mendekatkan hati mereka.

وَأَمَّا الْمُكَاتَبُونَ فَلَا يُقْبَلُ قَوْلُهُمْ فِي دَعْوَى الْكِتَابَةِ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ تَشْهَدُ بِهَا وَبِالْبَاقِي مِنْهَا لِأَنَّ الْأَصْلَ أَنَّهُمْ غَيْرُ مُكَاتَبِينَ فَإِذَا تَصَادَقَ الْمُكَاتَبُ وَالسَّيِّدُ عَلَيْهَا وَعَلَى الْبَاقِي مِنْهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Adapun para mukatab, maka tidak diterima pengakuan mereka dalam klaim perjanjian kitabah kecuali dengan adanya bukti (bayyinah) yang menyaksikan hal itu dan sisa dari perjanjian tersebut, karena asalnya mereka bukanlah mukatab. Jika mukatab dan tuannya saling membenarkan tentang perjanjian itu dan sisa dari perjanjian tersebut, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أحدهما: أن تصادقهما بغنى عن البينة بعد إحلافهما؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِالتَّصَادُقِ مُكَاتَبًا فِي الظَّاهِرِ.

Salah satunya: saling membenarkan di antara keduanya sudah cukup tanpa perlu bukti setelah keduanya disumpah; karena dengan saling membenarkan, secara lahiriah ia telah menjadi mukatab.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهُ لَا يُقْبَلُ ذَلِكَ مِنْهُمَا مع التصادق إلا ببينة لأنهما قد يتواطآن عَلَى ذَلِكَ اجْتِلَابًا لِلنَّفْعِ.

Pendapat kedua: hal itu tidak diterima dari keduanya meskipun saling membenarkan kecuali dengan bukti, karena keduanya bisa saja bersepakat untuk mendapatkan manfaat.

وَأَمَّا الْغَارِمُونَ فَمَنِ اسْتَدَانَ مِنْهُمْ فِي إِصْلَاحِ ذَاتِ الْبَيْنِ فَحَالُهُ فيه أظهر من أن يكلف عليه بينة فَإِنْ شُكَّ فِي قَضَائِهِ الدَّيْنَ مِنْ مَالِهِ أُحْلِفَ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاؤُهُ وَمَنْ أَدَانَ فِي مَصْلَحَةِ نَفْسِهِ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِي دَعْوَى الدَّيْنِ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ فَإِنْ تَصَادَقَ الْغَارِمُ وَرَبُّ الدَّيْنِ كَانَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ.

Adapun para gharim (orang yang berutang), maka siapa saja di antara mereka yang berutang demi mendamaikan perselisihan, keadaannya lebih jelas sehingga tidak perlu dibebani bukti; jika ada keraguan apakah ia telah melunasi utangnya dari hartanya, maka ia disumpah, karena asalnya utang itu masih ada. Dan siapa yang berutang untuk kepentingan dirinya sendiri, maka tidak diterima pengakuannya dalam klaim utang kecuali dengan bukti, karena asalnya tanggungan itu bebas dari utang. Jika gharim dan pemberi utang saling membenarkan, maka berlaku seperti yang telah kami sebutkan dari dua pendapat di atas.

وَأَمَّا ابْنُ السَّبِيلِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ فِي فَقْرِهِ، وَالْقَوْلُ قَوْلُهُ فِي إِرَادَتِهِ لِلسَّفَرِ، وَفِي إِحْلَافِهِ عَلَى أَنَّهُ مُرِيدٌ لِلسَّفَرِ وَجْهَانِ:

Adapun ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal), maka pengakuannya diterima dalam hal kefakirannya, dan pengakuannya diterima dalam keinginannya untuk safar, dan dalam hal menyumpahnya atas keinginannya untuk safar terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَحْلِفُ عَلَى إِرَادَةِ السَّفَرِ وَلَا يُعْطَى إِلَّا بَعْدَ يَمِينِهِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ.

Salah satunya: ia disumpah atas keinginannya untuk safar dan tidak diberikan kecuali setelah ia bersumpah, dan ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُحْلَفُ لِأَنَّهُ إِنْ لَمْ يُسَافِرِ اسْتُرْجِعَ مِنْهُ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ.

Pendapat kedua: tidak disumpah, karena jika ia tidak melakukan safar maka akan diminta kembali darinya, dan ini adalah pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah.

وَأَمَّا الْغَازِي فَيُقْبَلُ قَوْلُهُ فِيمَا يُرِيدُ أَنْ يَسْتَأْنِفَهُ مِنْ غَزْوِهِ وَهَلْ يَحْلِفُ عَلَى إِرَادَةِ الْغَزْوِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun ghazi (pejuang di jalan Allah), maka pengakuannya diterima dalam hal keinginannya untuk memulai kembali peperangannya, dan apakah ia disumpah atas keinginannya berjihad atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَحْلِفُ وَهُوَ قَوْلُ الْمَرْوَزِيِّ.

Salah satunya: ia disumpah, dan ini adalah pendapat al-Marwazi.

وَالثَّانِي: لَا يَحْلِفُ وَهُوَ قَوْلُ ابن أبي هريرة.

Dan yang kedua: tidak disumpah, dan ini adalah pendapat Ibn Abi Hurairah.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَسَهْمُ سَبِيلِ اللَّهِ كَمَا وَصَفْتُ يُعْطَى مِنْهُ مَنْ أَرَادَ الْغَزْوَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ فَقِيرًا كَانَ أَوْ غَنِيًّا وَلَا يُعْطَى مِنْهُ غَيْرُهُمْ إِلَّا أَنْ يُحْتَاجَ إِلَى الدَّفْعِ عَنْهُمْ فَيُعْطَاهُ مَنْ دَفَعَ عَنْهُمُ الْمُشْرِكِينَ لِأَنَّهُ يَدْفَعُ عَنْ جَمَاعَةِ أَهْلِ الْإِسْلَامِ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Dan bagian sabilillah sebagaimana telah aku jelaskan, diberikan kepada siapa saja dari kalangan ahli sedekah yang ingin berjihad, baik ia fakir maupun kaya, dan tidak diberikan kepada selain mereka kecuali jika dibutuhkan untuk membela mereka, maka diberikan kepada siapa saja yang membela mereka dari kaum musyrikin, karena ia membela sekelompok kaum muslimin.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.

سَهْمُ سَبِيلِ اللَّهِ مَصْرُوفٌ فِي الْغَزَاةِ، وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة وَمَالِكٍ.

Bagian sabilillah dialokasikan untuk para mujahid, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Malik.

وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: وَهُوَ مَصْرُوفٌ فِي الْحَجِّ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ أَنَّ رَجُلًا جَعَلَ نَاقَةً لَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَأَرَادَتِ امْرَأَتُهُ أَنْ تَحُجَّ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ارْكَبِيهَا فَإِنَّ الْحَجَّ مِنْ سَبِيلِ اللَّهِ “.

Ahmad bin Hanbal berkata: dan bagian itu juga dialokasikan untuk haji, dan demikian pula pendapat Ibn Umar, dengan berdalil pada riwayat bahwa ada seorang laki-laki yang mewakafkan untanya di jalan Allah, lalu istrinya ingin berhaji, maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Tunggangan itu naiki saja, karena haji termasuk sabilillah.”

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ سَبِيلَ اللَّهِ إِذَا أُطْلِقَ فَهُوَ محمول على الغزو ولقوله تعالى: {وجاهدوا في سبيل الله بأموالكم وأنفسكم} [التوبة: 41] وقوله تعالى: {إن الله يحب الذي يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا} [الصف: 4] .

Dalil kami adalah bahwa istilah sabilillah jika disebutkan secara mutlak maka yang dimaksud adalah jihad, dan berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan berjihadlah kalian di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian} (at-Taubah: 41) dan firman-Nya: {Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur} (ash-Shaff: 4).

وَرَوَى أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ” وَلِأَنَّ مَالَ الصَّدَقَاتِ مَصْرُوفٌ فِي ذَوِي الْحَاجَاتِ وَلَيْسَ الْحَجُّ مِنْهَا، وَلِأَنَّ مَالَ الصَّدَقَاتِ لَا يَنْصَرِفُ إِلَّا فِي الْجِهَاتِ الْمَالِكَةِ فَخَرَجَ الْحَجُّ مِنْهَا، وَلِأَنَّ الْحَجَّ وَإِنْ كَانَ عَنْ رَبِّ الْمَالِ فَلَا يَجِبُ إِلَّا مَعَ عَجْزِهِ وَفِي غَيْرِ زَكَاتِهِ مِنْ أَمْوَالِهِ وَإِنْ كَانَ عَنْ غَيْرِهِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُصْرَفَ فِيهِ زَكَاةُ غَيْرِهِ، وَإِنْ كَانَ فِي الْحُجَّاجِ أُعْطُوا إِمَّا مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ أَوْ مِنْ سَهْمِ بَنِي السَّبِيلِ فَبَطَلَ بِذَلِكَ مَا قَالُوهُ وَلَيْسَ يَمْتَنِعُ مَا جَاءَ بِهِ الْخَبَرُ مِنْ أَنَّ الْحَجَّ مِنْ سَبِيلِ اللَّهِ لِقَرِينَةٍ وَإِنْ كَانَ إِطْلَاقُهُ يَتَنَاوَلُ الْجِهَادَ.

Dan Abu Sa‘id al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Sedekah tidak halal bagi orang kaya kecuali untuk lima golongan, yaitu bagi pejuang di jalan Allah.” Dan karena harta sedekah dialokasikan untuk orang-orang yang membutuhkan, sedangkan haji bukan termasuk di dalamnya. Dan karena harta sedekah hanya dialokasikan untuk pihak-pihak yang berhak memilikinya, maka haji keluar dari kategori itu. Dan karena haji, meskipun atas nama pemilik harta, tidak wajib kecuali jika ia tidak mampu dan bukan dari zakat hartanya; dan jika atas nama orang lain, maka tidak boleh zakat orang lain dialokasikan untuk itu. Dan jika para jamaah haji menerima, maka itu dari bagian fakir miskin atau dari bagian ibnu sabil, sehingga gugurlah pendapat mereka. Tidaklah mustahil apa yang datang dalam hadis bahwa haji termasuk sabilillah karena adanya indikasi tertentu, meskipun secara mutlak istilah itu bermakna jihad.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ سَهْمَ سَبِيلِ اللَّهِ مَصْرُوفٌ فِي الْغَزَاةِ فَالْغُزَاةُ ضَرْبَانِ:

Maka apabila telah tetap bahwa bagian “fī sabīlillāh” (di jalan Allah) diperuntukkan bagi para mujahid, maka para mujahid itu terbagi menjadi dua golongan:

ضَرْبٌ هُمْ مِنْ أَهْلِ الْفَيْءِ وَهُمُ الْمُرْتَزَقَةُ مِنْ أَهْلِ الدِّيوَانَ فَهُوَ لَا يَأْخُذُ أَرْزَاقَهُمْ عَلَى الْجِهَادِ مِنْ مال الفيء ولا يجوز أن يعطوا من مَالِ الصَّدَقَاتِ.

Golongan pertama adalah mereka yang termasuk ahl al-fay’ (penerima gaji dari baitul mal), yaitu para tentara yang tercatat dalam daftar diwan; maka mereka tidak mengambil gaji mereka untuk berjihad dari harta fay’, dan tidak boleh pula mereka diberi dari harta zakat.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: هُمْ أَهْلُ الصَّدَقَاتِ وَهُمُ الَّذِينَ لَا أَرْزَاقَ لَهُمْ إِنْ أَرَادُوا غَزْوًا وَإِنْ لَمْ يُرِيدُوا قَعَدُوا وَقَدْ سَمَّاهُمُ الشَّافِعِيُّ أَعْرَابًا فَهُمْ غُزَاةُ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ يَجُوزُ أن يعطوا منها مع الغنى وَالْفَقْرِ.

Golongan kedua adalah ahl al-shadaqāt (penerima zakat), yaitu mereka yang tidak memiliki gaji; jika mereka ingin berjihad, mereka berangkat, dan jika tidak ingin, mereka tetap tinggal. Imam al-Syafi‘i menyebut mereka sebagai “Arab badui”; maka mereka adalah mujahid dari kalangan penerima zakat, boleh diberikan kepada mereka dari zakat, baik mereka kaya maupun miskin.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطَوْا إِلَّا مَعَ الْفَقْرِ، وَإِنْ كَانُوا أَغْنِيَاءَ لَمْ يُعْطَوُا اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ فَأَرُدَّهَا فِي فُقَرَائِكُمْ ” وَلِأَنَّ مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ الصَّدَقَةُ لَا يَجُوزُ أَنْ تُدْفَعَ إِلَيْهِ الصَّدَقَةُ كَالْأَصْنَافِ الْبَاقِيَةِ.

Abu Hanifah berkata: Tidak boleh diberikan kecuali jika mereka miskin; jika mereka kaya, maka tidak diberikan kepada mereka, dengan berdalil pada sabda Nabi ﷺ: “Aku diperintahkan untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya kalian dan mengembalikannya kepada orang-orang fakir kalian.” Dan karena orang yang wajib mengeluarkan zakat tidak boleh menerima zakat, sebagaimana golongan-golongan lainnya.

وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتَصَدَّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَى الْمِسْكِينُ إِلَى الْغَنِيِّ “، وَلِأَنَّ مَنْ أَخَذَ الصَّدَقَةَ لِحَاجَتِنَا إِلَيْهِ جَازَ أَنْ يَأْخُذَهَا مَعَ الْغِنَى وَالْفَقْرِ كَالْعَامِلِ.

Dalil kami adalah riwayat Abu Sa‘id al-Khudri bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Zakat tidak halal bagi orang kaya kecuali untuk lima golongan: mujahid di jalan Allah, amil zakat, orang yang berutang, seseorang yang memiliki tetangga miskin lalu ia bersedekah kepada si miskin itu, lalu si miskin menghadiahkan kepada orang kaya tersebut.” Dan karena orang yang mengambil zakat karena kebutuhan kita kepadanya, maka boleh ia mengambilnya baik dalam keadaan kaya maupun miskin, seperti amil zakat.

فَإِنْ قيل: فالعامل يأخذه أَجْرَهُ؛ لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ عَمَلٍ.

Jika dikatakan: Amil zakat mengambilnya sebagai upah, karena itu sebagai imbalan atas pekerjaannya.

قِيلَ: هُوَ صَدَقَةٌ: وَإِنْ كَانَ فِي مُقَابَلَةِ عَمَلٍ لِتَحْرِيمِهِ على ذوي القربى على أَنَّ مَا يَأْخُذُهُ الْغَازِي فِي مُقَابَلَةِ عَمَلٍ وَهُوَ الْجِهَادُ وَلِذَلِكَ يُسْتَرْجَعُ مِنْهُ إِنْ لَمْ يُجَاهِدْ.

Dijawab: Itu tetaplah zakat, meskipun sebagai imbalan atas pekerjaan, karena diharamkan bagi kerabat Nabi, dan apa yang diambil mujahid adalah sebagai imbalan atas pekerjaannya, yaitu jihad. Oleh karena itu, jika ia tidak berjihad, maka diambil kembali darinya.

فَأَمَّا الْخَبَرُ فَمَخْصُوصُ الْعُمُومِ.

Adapun hadis tersebut adalah khusus dari keumuman.

وَأَمَّا الْقِيَاسُ فَغَيْرُ مُسَلَّمِ الْأَصْلِ.

Adapun qiyās, maka asalnya tidak diterima.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا أُعْطِيَ الْغَازِيَ مِنْ سَهْمِ سَبِيلِ اللَّهِ قَدْرَ كِفَايَتِهِ إِنْ كَانَ الْمَالُ مُتَّسِعًا وَكِفَايَتُهُ تُعْتَبَرُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Apabila telah ditetapkan sebagaimana yang telah kami jelaskan, maka mujahid diberikan dari bagian “fī sabīlillāh” sebesar kebutuhannya, jika harta itu mencukupi. Kebutuhannya itu dipertimbangkan dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: قُرْبُ الْمَغْزَى وَبُعْدُهُ.

Pertama: Jarak dekat atau jauhnya medan perang.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فَارِسًا أَوْ رَاجِلًا فَإِذَا أُعْطِيَ ذَلِكَ فَلَمْ يَغْزُ اسْتُرْجِعَ مِنْهُ وَإِنْ غَزَا فَبَقِيَتْ بَقِيَّةٌ لَمْ تُسْتَرْجَعْ، لِأَنَّ مَا أَخَذَهُ فِي مُقَابَلَةِ عَمَلٍ قَدْ عَمِلَهُ فَلَوْ خَرَجَ لِلْغَزْوِ ثُمَّ عَادَ قَبْلَ لِقَاءِ الْعَدُوِّ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: Apakah ia seorang penunggang kuda atau pejalan kaki. Jika ia telah diberikan itu lalu tidak berangkat berjihad, maka diambil kembali darinya. Namun jika ia telah berjihad dan masih tersisa sebagian, maka tidak diambil kembali, karena apa yang ia terima adalah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah ia lakukan. Jika ia telah keluar untuk berjihad lalu kembali sebelum bertemu musuh, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَرْجِعَ قَبْلَ دُخُولِ أَرْضِ الْعَدُوِّ فَهَذَا يُسْتَرْجَعُ مِنْهُ جَمِيعُ مَا أَخَذَهُ وَلَا يُعْطَى مِنْهُ قَدْرَ نَفَقَتِهِ، لِأَنَّ الْمَفْقُودَ مِنْ غَزْوِهِ قَدْ فَوَّتَهُ بِعَوْدِهِ.

Pertama: Jika ia kembali sebelum memasuki wilayah musuh, maka seluruh yang telah diambilnya dikembalikan, dan tidak diberikan kepadanya sekadar biaya perjalanannya, karena manfaat dari jihadnya telah hilang dengan kepulangannya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَرْجِعَ بَعْدَ دُخُولِ أَرْضِ الْعَدُوِّ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: Jika ia kembali setelah memasuki wilayah musuh, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ وقفة مع المشركين قابل فيها المجاهدون فتأخير هَذَا عَنْ حُضُورِهَا فَهَذَا يُسْتَرْجَعُ مِنْهُ مَا أَخَذَهُ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْغَزْوِ لِقَاءُ الْعَدُوِّ.

Pertama: Jika terjadi pertemuan dengan kaum musyrik, di mana para mujahid telah berhadapan dengan mereka, lalu ia tidak hadir dalam pertemuan itu, maka diambil kembali apa yang telah ia terima, karena tujuan dari jihad adalah bertemu musuh.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا تَكُونَ وَقْفَةٌ وَلَا حَارَبَ الْمُجَاهِدُونَ فِيهَا أَحَدًا لِبُعْدِ الْمُشْرِكِينَ عَنْهُمْ فَهَذَا لَا يُسْتَرْجَعُ مِنْهُ مَا أَخَذَهُ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِغَزْوِهِمْ هُوَ الِاسْتِيلَاءُ عَلَى دِيَارِهِمْ وَقَدْ وُجِدَ لبعدهم.

Kedua: Jika tidak terjadi pertemuan dan para mujahid tidak memerangi siapa pun karena jauhnya kaum musyrik dari mereka, maka tidak diambil kembali apa yang telah ia terima, karena tujuan dari jihad mereka adalah menguasai negeri musuh, dan itu telah tercapai karena jauhnya musuh.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَابْنُ السَّبِيلِ عِنْدِي ابْنُ السَّبِيلِ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ الَّذِي يُرِيدُ الْبَلَدَ غَيْرَ بَلَدِهِ لِأَمْرٍ يَلْزَمُهُ “.

Imam al-Syafi‘i berkata: “Menurutku, ibn al-sabīl (musafir yang kehabisan bekal) dari kalangan penerima zakat adalah orang yang ingin menuju negeri selain negerinya karena suatu keperluan yang mendesaknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.

وَبَنُو السَّبِيلِ هُمْ صِنْفٌ مِنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ قَالَ اللَّهُ تعالى: {وفي سبيل الله وابن السبيل} وَبَنُو السَّبِيلِ هُمُ الْمُسَافِرُونَ؛ لِأَنَّ السَّبِيلَ الطَّرِيقُ سُمُّوا بِهَا لِسُلُوكِهِمْ لَهَا وَهُمْ ضَرْبَانِ: مُجْتَازٌ، وَمُنْشِئٌ.

Dan banū al-sabīl (para musafir) adalah salah satu golongan penerima bagian zakat, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {dan di jalan Allah dan ibn al-sabīl}. Banū al-sabīl adalah para musafir, karena “sabīl” berarti jalan, dan mereka dinamakan demikian karena menempuh jalan tersebut. Mereka terbagi menjadi dua: yang sedang melintas, dan yang memulai perjalanan.

فَأَمَّا الْمُجْتَازُ فَهُوَ الْمَارُّ فِي سَفَرِهِ بِبَلَدِ الصَّدَقَةِ.

Adapun al-mujtāz adalah orang yang sedang melewati negeri zakat dalam perjalanan safarnya.

وَأَمَّا الْمُنْشِئُ: فَهُوَ الْمُبْتَدِئُ لِسَفَرِهِ عَنْ بَلَدِ الصَّدَقَةِ وَهُمَا سَوَاءٌ فِي الِاسْتِحْقَاقِ.

Sedangkan al-munsyi’ adalah orang yang memulai safarnya dari negeri zakat, dan keduanya sama dalam hal berhak menerima.

وَقَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ: ابْنُ السَّبِيلِ مِنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ هُوَ الْمُجْتَازُ دُونَ الْمُنْشِئِ اسْتِدْلَالًا بقوله تعالى: {وابن السبيل} يعني ابن الطريق وهذا ينطبق إلى الْمُسَافِرِ الْمُجْتَازِ دُونَ الْمُنْشِئِ الَّذِي لَيْسَ بِمُسَافِرٍ مُجْتَازٍ.

Abu Hanifah dan Malik berkata: Ibnu sabil yang berhak menerima bagian adalah al-mujtāz, bukan al-munsyi’, dengan dalil firman Allah Ta‘ala: {wa ibni s-sabīl} yang berarti anak jalan, dan ini berlaku untuk musafir yang melewati (suatu negeri), bukan al-munsyi’ yang bukan musafir yang melewati.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ ابْنَ السَّبِيلِ يُعْطَى لِمَا يَبْتَدِئُهُ مِنَ السَّفَرِ لَا لِمَا مَضَى مِنْهُ فَاسْتَوَى فِيهِ الْمُجْتَازُ وَالْمُنْشِئُ؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُبْتَدِئٌ؛ لِأَنَّ الْمُسَافِرَ لَوْ دَخَلَ بَلَدًا أَوْ نَوَى إِقَامَةَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا صَارَ فِي حُكْمِ الْمُقِيمِينَ مِنْ أَهْلِهِ وَيَصِيرُ عِنْدَ إِرَادَةِ الْخُرُوجِ كَالْمُنْشِئِ ثُمَّ يَجُوزُ بِوِفَاقٍ فَكَذَا كُلُّ مُقِيمٍ مُنْشِئٌ وَفِيهِ انْفِصَالٌ عَنِ الِاسْتِدْلَالِ.

Dalil kami adalah bahwa ibnu sabil diberikan (zakat) untuk perjalanan yang akan ia mulai, bukan untuk perjalanan yang telah berlalu, sehingga al-mujtāz dan al-munsyi’ sama dalam hal ini, karena masing-masing dari keduanya adalah orang yang memulai (perjalanan); sebab jika seorang musafir masuk ke suatu negeri atau berniat tinggal selama lima belas hari, maka ia dihukumi sebagai penduduk negeri tersebut, dan ketika ia hendak keluar, ia menjadi seperti al-munsyi’, dan hal ini diperbolehkan menurut kesepakatan, maka demikian pula setiap orang yang menetap lalu memulai perjalanan, dan dalam hal ini terdapat perincian dari dalil yang digunakan.

فَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ يُسَمَّى مَنْ لَمْ يُسَافِرْ مُسَافِرًا.

Jika dikatakan: Bagaimana mungkin seseorang yang belum melakukan perjalanan disebut musafir?

قِيلَ: كَمَا يُسَمَّى مَنْ لَمْ يَحُجَّ حَاجًّا وَمِثْلُ ذَلِكَ قَوْله تَعَالَى: {وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ} [البقرة: 282] .

Dijawab: Sebagaimana orang yang belum berhaji disebut haji, dan seperti firman Allah Ta‘ala: {Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari kalangan kalian} [al-Baqarah: 282].

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ الْمُجْتَازَ وَالْمُنْشِئَ سَوَاءٌ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ فِيمَا يُنْشِئُهُ مِنْ سَفَرٍ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika telah dipastikan bahwa al-mujtāz dan al-munsyi’ sama (dalam hak menerima), maka keadaan seseorang dalam perjalanan yang ia mulai tidak lepas dari tiga macam:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ فِي طَاعَةٍ أَوْ يَكُونَ فِي مَعْصِيَةٍ أَوْ يَكُونَ مُبَاحًا، فَإِنْ كَانَ سَفَرُهُ طَاعَةً كَالْحَجِّ وَطَلَبِ الْعِلْمِ وَزِيَارَةِ الْوَالِدَيْنِ أُعْطِيَ مِنْ سَهْمِ ابْنِ السَّبِيلِ مَعُونَةً عَلَى سَفَرِهِ وَطَاعَتِهِ، وَإِنْ كَانَ سَفَرُهُ مَعْصِيَةً كَالسَّفَرِ لِقَطْعِ الطَّرِيقِ وَإِتْيَانِ الْفُجُورِ، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطَى وَلَا يُعَانُ عَلَى مَعْصِيَةٍ كَمَا يُمْنَعُ مِنْ رُخَصِ سَفَرِهِ، فَإِنْ تَابَ الْعَاصِي فِي سَفَرِهِ صَارَ بَعْدَ التَّوْبَةِ كَالْمُبْتَدِئِ لِلسَّفَرِ فَيُعْطَى نَفَقَةَ بَاقِي سَفَرِهِ بَعْدَ تَوْبَتِهِ وَإِنْ كَانَ سَفَرُهُ مُبَاحًا فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Pertama, perjalanannya dalam ketaatan; kedua, dalam maksiat; atau ketiga, mubah. Jika perjalanannya dalam ketaatan seperti haji, menuntut ilmu, atau berziarah kepada orang tua, maka ia diberikan dari bagian ibnu sabil sebagai bantuan untuk perjalanan dan ketaatannya. Jika perjalanannya dalam maksiat seperti perjalanan untuk merampok atau melakukan kefajiran, maka tidak boleh diberi dan tidak boleh dibantu dalam maksiat, sebagaimana ia juga tidak diberi keringanan dalam safarnya. Jika pelaku maksiat bertobat dalam perjalanannya, maka setelah tobat ia menjadi seperti orang yang memulai perjalanan, sehingga ia diberikan nafkah untuk sisa perjalanannya setelah tobat. Jika perjalanannya mubah, maka terbagi menjadi tiga macam:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ لِغَيْرِ حَاجَةٍ كَالسَّفَرِ إِلَى نُزْهَةٍ وَتَفَرُّجٍ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطَى وَإِنْ أُبِيحَتْ لَهُ الرُّخَصُ لِأَنَّ مَالَ الصَّدَقَاتِ مَصْرُوفٌ إِلَى ذَوِي الْحَاجَاتِ وَلَيْسَ هَذَا مِنْهَا وَلَكِنْ لَوْ سَافَرَ لِلنُّزْهَةِ بِمَالِهِ ثُمَّ انْقَطَعَتْ بِهِ النَّفَقَةُ لِعَوْدِهِ جَازَ أَنْ يُعْطَى لِحَاجَتِهِ وَضَرُورَتِهِ.

Pertama: perjalanan tanpa kebutuhan, seperti bepergian untuk rekreasi atau bersenang-senang, maka tidak boleh diberi (zakat), meskipun ia diperbolehkan mendapat keringanan safar, karena harta zakat diperuntukkan bagi orang-orang yang membutuhkan, dan ini bukan termasuk di dalamnya. Namun, jika ia bepergian untuk rekreasi dengan hartanya sendiri lalu kehabisan bekal dalam perjalanan pulang, maka boleh diberi karena kebutuhan dan keterpaksaannya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ لِحَاجَةٍ مَاسَّةٍ كَالسَّفَرِ فِي طَلَبِ غَرِيمٍ هَرَبَ أَوْ عَبْدٍ أَبَقَ أَوْ جَمَلٍ شَرَدَ فَهَذَا يُعْطَى لِسَدِّ حَاجَتِهِ.

Bagian kedua: perjalanan karena kebutuhan mendesak, seperti bepergian untuk mencari orang yang berutang lalu melarikan diri, atau budak yang kabur, atau unta yang hilang, maka ia diberi untuk memenuhi kebutuhannya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ لِحَاجَةٍ لَكِنَّهَا غَيْرُ مَاسَّةٍ كَالسَّفَرِ فِي تِجَارَةٍ فَفِي جَوَازِ إِعْطَائِهِ وَجْهَانِ:

Bagian ketiga: perjalanan karena kebutuhan, namun tidak mendesak, seperti bepergian untuk berdagang. Dalam hal kebolehan memberinya (zakat) terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُعْطَى لِوُجُودِ الْحَاجَةِ.

Pertama: Diberi karena adanya kebutuhan.

وَالثَّانِي: لَا يُعْطَى لِأَنَّهُ طَالِبٌ لِلِاسْتِزَادَةِ.

Kedua: Tidak diberi karena ia mencari tambahan (harta).

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا ثَبَتَ مَنْ يَجُوزُ إِعْطَاؤُهُ مَنْ بَنِي السَّبِيلِ فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُنْشِئًا لِلسَّفَرِ أَوْ مُجْتَازًا فِيهِ، فَإِنْ كَانَ مُنْشِئًا لِسَفَرِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْطَى إِلَّا مَعَ الْفَقْرِ وَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَمِنِ سَهْمِ ابْنِ السَّبِيلِ، وَإِنْ كَانَ مُجْتَازًا فِي سَفَرِهِ جَازَ أَنْ يَأْخُذَ مَعَ الْعَدَمِ فِي سَفَرِهِ وَإِنْ كَانَ غَنِيًّا فِي بَلَدِهِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَأْخُذَ إِلَّا مِنْ سَهْمِ بَنِي السَّبِيلِ وَلَا يَأْخُذُ مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ لِمُرَاعَاةِ الْجِوَارِ فِي الْفَقْرِ، وَلَيْسَ الْمُجْتَازُ جَارًا ثُمَّ يُعْطَى عِنْدَ اتِّسَاعِ الْمَالِ بِحَسَبِ مَسَافَةِ سَفَرِهِ، فَإِنْ أَرَادَ الْعَوْدَ أُعْطِيَ نَفَقَةَ ذَهَابِهِ وَعَوْدِهِ وَنَفَقَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ هِيَ مُقَامُ الْمُسَافِرِ فِي بِلَادِ سَفَرِهِ، وَإِنْ لَمْ يُرِدِ الْعَوْدَ أُعْطِيَ نَفَقَةَ الذَّهَابِ وَحْدَهُ ولم يعطي نَفَقَةَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ لِانْتِهَاءِ سَفَرِهِ بِالْقُدُومِ، فَإِنْ قَصَّرَ بُعْدَ الْمَسَافَةِ فِي نَفَقَتِهِ وَضَيَّقَ عَلَى نَفْسِهِ حَتَّى بَقِيَتْ مَعَهُ بَقِيَّةٌ بَعْدَ انْتِهَاءِ سَفَرِهِ اسْتُرْجِعَتْ مِنْهُ.

Jika telah ditetapkan siapa saja yang boleh diberikan dari kalangan ibn al-sabil, maka mereka tidak lepas dari dua keadaan: bisa jadi ia memulai perjalanan (dari tempat tinggalnya), atau sedang melintas dalam perjalanannya. Jika ia memulai perjalanannya, maka tidak boleh diberikan kepadanya kecuali jika ia fakir, dan ia boleh memilih antara mengambil dari bagian fuqara’ dan masakin atau dari bagian ibn al-sabil. Namun jika ia sedang melintas dalam perjalanannya, maka boleh ia mengambil (zakat) jika ia tidak memiliki (bekal) dalam perjalanannya, meskipun ia kaya di negerinya, dan tidak boleh ia mengambil kecuali dari bagian ibn al-sabil, serta tidak boleh mengambil dari bagian fuqara’ dan masakin demi menjaga hak bertetangga dalam kefakiran, karena yang melintas bukanlah tetangga. Kemudian, ia diberikan (zakat) ketika harta melimpah sesuai dengan jarak perjalanannya. Jika ia ingin kembali (ke negerinya), maka diberikan nafkah untuk pergi dan pulangnya, serta nafkah tiga hari, yaitu masa tinggal musafir di negeri tujuannya. Jika ia tidak ingin kembali, maka diberikan nafkah untuk pergi saja, dan tidak diberikan nafkah tiga hari karena perjalanannya telah selesai dengan kedatangannya. Jika ia mengurangi jarak perjalanan dalam nafkahnya dan membatasi dirinya sehingga masih tersisa sebagian setelah perjalanannya selesai, maka sisa tersebut diambil kembali darinya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْغَازِي حَيْثُ لَمْ تُسْتَرْجَعُ مِنْهُ بَقِيَّةُ نَفَقَتِهِ أَنَّ الْغَازِيَ كَالْمُعَاوَضِ عَلَى غَزْوِهِ عَنَاءً فَلَمْ يَلْزَمْهُ رَدُّ الْبَاقِي لِاسْتِكْمَالِ الْعَمَلِ وَالْمُسَافِرُ مُعَانٌ عَلَى سَفَرِهِ فَلَزِمَهُ رَدُّ مَا زَادَ عَلَى مَعُونَتِهِ، فَإِنْ أَخَذَ ابْنُ السَّبِيلِ نَفَقَةَ سَفَرِهِ ثُمَّ أَفَادَ قَدْرَ نَفَقَتِهِ اسْتُرْجِعَ مِنْهُ مَا أَخَذَ، وَلَوْ أَخَذَ الْفَقِيرُ ثُمَّ أَفَادَ مَا زَالَ بِهِ فَقْرُهُ لَمْ يُسْتَرْجَعْ مِنْهُ مَا أَخَذَهُ.

Perbedaan antara dia (ibn al-sabil) dan mujahid (ghazi), di mana sisa nafkah tidak diambil kembali dari mujahid, adalah bahwa mujahid seperti orang yang diberi imbalan atas perjuangannya dalam jihad, sehingga tidak wajib baginya mengembalikan sisa (nafkah) karena telah menyempurnakan amalnya. Sedangkan musafir (ibn al-sabil) dibantu untuk perjalanannya, maka wajib baginya mengembalikan kelebihan dari bantuan yang diterimanya. Jika ibn al-sabil telah mengambil nafkah perjalanannya, lalu ia memperoleh harta sebesar nafkahnya, maka diambil kembali dari apa yang telah ia terima. Namun jika seorang fakir telah mengambil (zakat), lalu ia memperoleh harta yang menghilangkan kefakirannya, maka tidak diambil kembali apa yang telah ia terima.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ ابْنَ السَّبِيلِ يُعْطَى لِأَمْرٍ مُنْتَظَرٍ فَاعْتُبِرَتْ حَالُهُ فِيمَا بَعُدَ وَالْفَقِيرُ يُعْطَى لِلْحَالِ الَّتِي هُوَ فِيهَا فَلَمْ تُعْتَبَرْ حَالُهُ مِنْ بُعْدِهِ، وَلَوْ أَنَّ ابْنَ السَّبِيلِ أَخَذَ نَفَقَةَ سَفَرِهِ إِلَى غَايَةٍ قَدْرُهَا مِائَةُ فَرْسَخٍ فَسَافَرَ شَطْرَ الْمَسَافَةِ ثُمَّ قطع نَظَرْنَا فِي نَفَقَتِهِ، فَإِنْ كَانَ أَنْفَقَ فِي شَطْرِ الْمَسَافَةِ جَمِيعَ نَفَقَتِهِ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ قَدْ فَعَلَ ذَلِكَ لِغَلَاءِ سِعْرٍ أَوْ زِيَادَةِ مُؤْنَةٍ لَمْ يُسْتَرْجَعْ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ لِسُرْفٍ فِي شَهْوَةٍ وَإِكْثَارٍ اسْتُرْجِعَتْ مِنْهُ نَفَقَةُ الْبَاقِي مِنْ سَفَرِهِ كَمَا لَوْ لَمْ يُسَافِرْ وَأَنْفَقَ فِي ذَلِكَ فِي مُقَامِهِ اسْتُرْجِعَ مِنْهُ جَمِيعًا؛ لِأَنَّهُ أَخَذَهَا لِيَسْتَقْبِلَ بِهَا مَا لَمْ يَفْعَلْهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa ibn al-sabil diberikan (zakat) untuk kebutuhan yang akan datang, sehingga yang diperhitungkan adalah keadaannya di masa mendatang. Sedangkan fakir diberikan (zakat) untuk keadaan yang sedang ia alami, sehingga tidak diperhitungkan keadaannya di masa mendatang. Jika ibn al-sabil telah mengambil nafkah perjalanannya menuju tujuan sejauh seratus farsakh, lalu ia menempuh setengah perjalanan kemudian berhenti, maka kita perhatikan nafkahnya. Jika ia telah menghabiskan seluruh nafkahnya dalam setengah perjalanan, maka dilihat sebabnya: jika karena mahalnya harga atau besarnya kebutuhan, maka tidak diambil kembali darinya. Namun jika karena berlebih-lebihan dalam syahwat dan pemborosan, maka diambil kembali nafkah untuk sisa perjalanannya, sebagaimana jika ia tidak melakukan perjalanan dan menghabiskan nafkah itu di tempat tinggalnya, maka diambil kembali seluruhnya; karena ia mengambilnya untuk menghadapi sesuatu yang belum ia lakukan. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

باب كيف تفريق قسم الصدقات

Bab: Cara Pembagian Bagian-bagian Sedekah

مسألة:

Masalah:

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” يَنْبَغِي لِلسَّاعِي أَنْ يَأْمُرَ بِإِحْصَاءِ أَهْلِ السُّهْمَانِ فِي عَمَلِهِ حَتَّى يَكُونَ فَرَاغُهُ مِنْ قَبْضِ الصَّدَقَاتِ بَعْدَ تَنَاهِي أَسْمَائِهِمْ وَأَنْسَابِهِمْ وَحَالَاتِهِمْ وَمَا يَحْتَاجُونَ إِلَيْهِ وَيُحْصِيَ مَا صَارَ فِي يَدَيْهِ مِنَ الصَّدَقَاتِ فَيَعْزِلُ مِنْ سَهْمِ الْعَامِلِينَ بِقَدْرِ مَا يَسْتَحِقُّونَ بِأَعْمَالِهِمْ فإن جاوز سهم العاملين رأيت أن يعطيهم سهم العاملين ويزيدهم قدر أجور أعمالهم مِنْ سَهْمِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – من الفيء والغنيمة ولو أعطاهم ذلك من السهمان ما رأيت ذلك ضيقا ألا ترى أن مال اليتيم يكون بالموضع فيستأجر عليه إذا خيف ضيعته من يحوطه وإن أتى ذلك على كثير منه (قال المزني) هذا أولى بقوله لما احتج به من مال اليتيم “.

Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Seyogianya amil (petugas zakat) memerintahkan untuk mendata para penerima bagian (zakat) di wilayah kerjanya, sehingga ia menyelesaikan penerimaan sedekah setelah nama-nama, nasab, keadaan, dan kebutuhan mereka tercatat, serta menghitung apa yang telah terkumpul di tangannya dari sedekah. Lalu ia memisahkan bagian amilin sesuai dengan apa yang mereka berhak terima atas pekerjaan mereka. Jika bagian amilin melebihi (kebutuhan mereka), menurutku hendaknya diberikan kepada mereka bagian amilin dan ditambah sesuai upah pekerjaan mereka dari bagian Nabi ﷺ dari fai’ dan ghanimah. Jika diberikan kepada mereka dari bagian-bagian (zakat) tersebut, aku tidak melihat hal itu sempit (tidak masalah). Bukankah engkau lihat bahwa harta anak yatim yang berada di suatu tempat, jika dikhawatirkan akan terbengkalai, maka boleh disewa orang untuk menjaganya meskipun harus menghabiskan sebagian besar hartanya? (Al-Muzani berkata): Ini lebih utama menurut pendapatnya, berdasarkan alasan yang ia kemukakan tentang harta anak yatim.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا تَوَجَّهَ عَامِلُ الصَّدَقَاتِ إِلَى عَمَلِهِ فِي جِبَايَةِ الصَّدَقَاتِ وَتَفْرِيقِهَا فَيَنْبَغِي لَهُ مَعَ ابْتِدَاءِ تَشَاغُلِهِ بِجِبَايَتِهَا أَنْ يَسْتَنِيبَ مَنْ يَتَعَرَّفُ لَهُ أَحْوَالَ أَهْلِ السُّهْمَانِ حَتَّى يَعْرِفَ أَهْلَ كُلِّ صِنْفٍ مِنْهُمْ فَيُثْبِتُ كُلَّ وَاحِدٍ بِاسْمِهِ وَنَسَبِهِ وَحِلْيَتِهِ، وَإِنَّمَا أَثْبَتَ الْأَنْسَابَ وَالْحُلِيَّ لِئَلَّا يَأْخُذَ الْوَاحِدُ مِنْ صَدَقَةٍ مَرَّتَيْنِ فَيُمَيِّزُ كُلَّ صِنْفٍ مِنْهُمْ عَلَى مَا وَصَفْنَا لِيَعْلَمَ أَعْدَادَ الْأَصْنَافِ وَعَدَدَ كُلِّ صِنْفٍ مِنْهُمَا وَيَكُونُ فَرَاغُهُ مِنْ تَفْرِقَةِ ذَلِكَ مَعَ فَرَاغِهِ مِنْ جِبَايَةِ الصَّدَقَاتِ حَتَّى لَا يَتَأَخَّرَ عَنْ أَهْلِهَا وَجُودُهُمْ وَلَا يَلْزَمُ لَهَا مؤونة بِالْإِمْسَاكِ، وَلَا تَكُونُ مُعَرَّضَةً لِلتَّلَفِ بِالِاحْتِبَاسِ، فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ لَمْ يَخْلُ أَنْ يَكُونَ بِتِلْكَ النَّاحِيَةِ جَمِيعُ تِلْكَ الْأَصْنَافِ أَوْ بَعْضُهُمْ، فَإِنْ كَانَ بِهَا جَمِيعُ الْأَصْنَافِ قَسَمَ الصَّدَقَةَ عَلَى ثَمَانِيَةِ أَسْهُمٍ مُتَسَاوِيَةٍ، وَلَا يُفَضِّلُ بَعْضَ الْأَصْنَافِ عَلَى بَعْضٍ، وَإِنْ تَفَاضَلُوا فِي الْحَاجَةِ وَالْكَثْرَةِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَضَافَهَا إِلَيْهِمْ بِلَامِ التَّمْلِيكِ وَجَمَعَ بَيْنَهُمْ بِوَاوِ التَّشْرِيكِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونُوا فِيهَا سَوَاءً فَإِنْ وَجَدَ خَمْسَةَ أَصْنَافٍ وَعَدِمَ ثَلَاثَةً قَسَمَ الصَّدَقَةَ عَلَى خَمْسَةِ أَسْهُمٍ وَإِنْ وَجَدَ ثَلَاثَةَ أَصْنَافٍ وَعَدِمَ خَمْسَةً، قَسَمَ الصَّدَقَةَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَسْهُمٍ، فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ فَأَوَّلُ سَهْمٍ يَبْدَأُ بِقَسْمِهِ سَهْمُ الْعَامِلِينَ عَلَيْهَا لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, apabila amil zakat berangkat ke wilayah tugasnya untuk memungut dan membagikan zakat, maka sebaiknya ketika mulai sibuk memungut zakat, ia menunjuk seseorang yang dapat mengenali keadaan para mustahik, sehingga ia mengetahui setiap golongan dari mereka, lalu mencatat setiap orang dengan nama, nasab, dan ciri-cirinya. Ia mencatat nasab dan ciri-ciri mereka agar tidak ada seseorang yang mengambil zakat dua kali, sehingga setiap golongan dapat dibedakan sebagaimana telah kami jelaskan, agar ia mengetahui jumlah golongan dan jumlah setiap golongan tersebut. Pembagian zakat hendaknya selesai bersamaan dengan selesainya pemungutan zakat, agar zakat tidak terlambat sampai kepada yang berhak, tidak menimbulkan beban karena penahanan, dan tidak terancam rusak karena tertahan. Jika telah dilakukan demikian, maka tidak lepas kemungkinan di wilayah itu terdapat seluruh golongan mustahik atau hanya sebagian. Jika terdapat seluruh golongan, maka zakat dibagi menjadi delapan bagian yang sama, dan tidak boleh mengutamakan satu golongan atas yang lain, meskipun mereka berbeda dalam kebutuhan dan jumlah, karena Allah Ta‘ala telah mengaitkan zakat kepada mereka dengan huruf lam kepemilikan dan mengumpulkan mereka dengan huruf waw yang menunjukkan kebersamaan, sehingga menuntut agar mereka setara dalam pembagian. Jika hanya ditemukan lima golongan dan tiga tidak ada, maka zakat dibagi menjadi lima bagian. Jika hanya ditemukan tiga golongan dan lima tidak ada, maka zakat dibagi menjadi tiga bagian. Setelah itu, bagian pertama yang dibagikan adalah bagian untuk para amil zakat karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ مُسْتَحَقٌّ عَلَى عَمَلٍ فَصَارَتْ كَالْمُعَاوَضَةِ وَغَيْرُهُ مُوَاسَاةٌ.

Pertama: Karena mereka berhak atas zakat sebagai imbalan atas pekerjaan, sehingga statusnya seperti mu‘awadhah (timbal balik), sedangkan selain mereka adalah bentuk bantuan sosial.

وَالثَّانِي: إِنَّهُ مُقَدَّرٌ بِأُجُورِهِمْ مِنْ زِيَادَةٍ وَلَا نُقْصَانَ فَهُوَ قَدْرُ حَقِّهِمْ أَوْ يكونوا أكثر من أجورهم فيعطوا مِنْهُ قَدْرَ أُجُورِهِمْ، وَيُرَدُّ الْبَاقِي عَلَى سِهَامِ أَهْلِ السُّهْمَانِ بِالسَّوِيَّةِ أَوْ يَكُونُ أَقَلَّ مِنْ أجورهم أن يتمم لَهُمْ أُجُورَهُمْ، وَمِنْ أَيْنَ يَكُونُ تَمَامُهَا، قَالَ الشَّافِعِيُّ: هَا هُنَا أَعْطَاهُمْ مِنْ سَهْمِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنَ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ فَلَوْ أَعْطَاهُمْ مِنَ السُّهْمَانِ مَا رَأَيْتُ ذَلِكَ ضِيقًا فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:

Kedua: Karena bagian mereka ditentukan sesuai upah mereka, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang, maka diberikan sesuai hak mereka. Jika jumlah mereka lebih banyak dari upah yang seharusnya, maka mereka hanya diberi sesuai upahnya, dan sisanya dikembalikan ke bagian mustahik lain secara merata. Jika jumlahnya kurang dari upah mereka, maka dilengkapi upah mereka. Dari mana pelengkap itu diambil? Asy-Syafi‘i berkata: Di sini, mereka diberi dari bagian Nabi ﷺ dari fai’ dan ghanimah. Jika mereka diberi dari bagian mustahik, aku tidak melihat itu sebagai masalah. Para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga mazhab:

أَحَدُهَا: يَخْرُجُ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Pertama: Masalah ini dikembalikan kepada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُتَمِّمَهَا مِنْ سِهَامِ أَهْلِ السُّهْمَانِ لِاخْتِصَاصِهِمْ بِالْعَمَلِ فِيهَا.

Pertama: Melengkapinya dari bagian mustahik karena mereka secara khusus bekerja dalam urusan zakat.

وَالثَّانِي: يُتَمِّمُهَا مِنْ مَالِ الْمَصَالِحِ وَهُوَ سَهْمُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنَ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ جُمْلَتِهَا ولأن لا يُفَضَّلُوا عَلَى أَهْلِ السُّهْمَانِ.

Kedua: Melengkapinya dari harta kemaslahatan, yaitu bagian Nabi ﷺ dari fai’ dan ghanimah, karena itu termasuk bagian dari zakat dan agar mereka tidak diutamakan atas mustahik lain.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: أَنْ لَيْسَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَلَكِنْ لِلْإِمَامِ اجْتِهَادُ رَأْيِهِ فِي أَحَدِ الْأَمْرَيْنِ فَأَيُّهُمَا أَدَّاهُ اجْتِهَادُهُ إِلَيْهِ كَانَ مَذْهَبَنَا.

Mazhab kedua: Masalah ini tidak dikembalikan kepada dua pendapat, tetapi imam berhak berijtihad dalam memilih salah satu dari dua cara tersebut. Mana yang dipilih berdasarkan ijtihadnya, itulah mazhab kami.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: أَنَّ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ، فَإِنْ كَانَ فِي أَهْلِ السُّهْمَانِ تَمَاسُكٌ يُقْنِعُهُمُ الْبَاقِي بَعْدَ أُجُورِ الْعَامِلِينَ تُمِّمَتْ أُجُورُهُمْ مِنْ مَالِ الصَّدَقَاتِ، وَإِنْ كَانُوا ذَوِي فَاقَةٍ لَا يَتَمَاسَكُونَ بِمَا يَبْقَى تُمِّمَتْ أُجُورُهُمْ مِنْ مَالِ الْمَصَالِحِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Mazhab ketiga: Masalah ini tergantung pada dua keadaan. Jika para mustahik masih mampu bertahan dengan sisa zakat setelah upah amil diambil, maka upah amil dilengkapi dari harta zakat. Jika mereka sangat membutuhkan dan tidak mampu bertahan dengan sisa tersebut, maka upah amil dilengkapi dari harta kemaslahatan. Allah Maha Mengetahui.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَتُفَضُّ جَمِيعُ السُّهْمَانِ عَلَى أَهْلِهَا كَمَا أَصِفُ إن شاء الله تعالى كان الفقراء عشرة والمساكين عشرين والغارمون خمسة وهؤلاء ثلاثة أصناف وكان سهمانهم الثلاثة من جميع المال ثلاثة آلاف فلكل صنف ألف فإن كان الفقراء يغترفون سهمهم كفافا يخرجون به من حد الفقر إلى أدنى الغنى أعطوه وإن كان يخرجهم من حد الفقر إلى أدنى الغنى أقل وقف الوالي ما بقي منه ثم يقسم على المساكين سهمهم هكذا وعلى الغارمين سهمهم هكذا وإذا خرجوا من اسم الفقر والمسكنة فصاروا إلى أدنى اسم الغنى ومن الغرم فبرئت ذممهم وصاروا غير غارمين فليسوا من أهله “.

Imam Syafi‘i berkata: “Seluruh bagian (zakat) dibagikan kepada para penerimanya sebagaimana akan aku jelaskan, insya Allah Ta‘ala. Misalnya, fakir ada sepuluh orang, miskin dua puluh orang, dan gharim (orang yang berutang) lima orang, dan mereka ini terdiri dari tiga golongan. Jika bagian mereka bertiga dari seluruh harta adalah tiga ribu, maka setiap golongan mendapat seribu. Jika para fakir menerima bagian mereka secukupnya sehingga mereka keluar dari batas kefakiran menuju tingkat kekayaan paling rendah, maka mereka diberikan bagian itu. Namun, jika bagian itu belum cukup untuk mengeluarkan mereka dari batas kefakiran ke tingkat kekayaan paling rendah, maka penguasa menahan sisa bagian tersebut, lalu membagikan bagian miskin dengan cara yang sama, dan bagian gharim juga demikian. Jika mereka telah keluar dari status fakir dan miskin, sehingga menjadi minimal kaya, dan dari status gharim sehingga terbebas dari utang dan tidak lagi menjadi gharim, maka mereka tidak lagi termasuk golongan penerima (zakat).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَالَ الصَّدَقَاتِ مَقْسُومٌ عَلَى الْمَوْجُودِينَ مِنْ أَهْلِهَا فَإِنْ كَمَلُوا قُسِمَتْ عَلَى ثَمَانِيَةِ أَسْهُمٍ، وَإِنْ قَلُّوا قُسِمَتْ عَلَى مَنْ وُجِدَ مِنْهُمْ فَإِنْ كَانَ الْمَوْجُودُونَ بَعْدَ الْعَامِلِينَ ثَلَاثَةَ أَصْنَافٍ الْفُقَرَاءُ وَالْغَارِمُونَ وَالْمَسَاكِينُ، قُسِمَتِ الصَّدَقَةُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَسْهُمٍ مُتَسَاوِيَةٍ سَوَاءً تَسَاوَى أَصْنَافٌ فِي الْأَعْدَادِ وَالْحَاجَةِ أَوْ تَفَاضَلُوا فَإِذَا كَانَ الْفُقَرَاءُ عَلَى الْمَثَلِ الَّذِي صَوَّرَهُ الشَّافِعِيُّ عَشْرَةً وَالْمَسَاكِينُ عِشْرِينَ، وَالْغَارِمُونَ خَمْسَةً، وَقَدْ قُسِّمَتِ الصَّدَقَةُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَسْهُمٍ مُتَسَاوِيَةٍ فَكَانَ كُلُّ سَهْمٍ مِنْهَا أَلْفَ دِرْهَمٍ قُسِّمَ سَهْمُ الْفُقَرَاءِ عَلَيْهِمْ، وَهُوَ الْأَلْفُ عَلَى قَدْرِ حَاجَاتِهِمْ فَإِنَّهُ رُبَّمَا تَفَاضَلَتْ حَاجَاتُهُمْ، وَرُبَّمَا تَسَاوَتْ، فَيُقَسَّمُ عَلَى الْحَاجَةِ لَا عَلَى الْعَدَدِ، وَكَذَلِكَ سَهْمُ الْمَسَاكِينِ يُقَسَّمُ بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ حَاجَاتِهِمْ، وَيُقَسَّمُ سَهْمُ الْغَارِمِينَ عَلَى قَدْرِ دُيُونِهِمْ، كَمَا يُقَسَّمُ مَالُ الْمُفْلِسِ بَيْنَ غُرَمَائِهِ عَلَى قدر ديونهم لا على أعداد رؤوسهم.

Al-Mawardi berkata: “Ini benar. Telah kami sebutkan bahwa harta sedekah (zakat) dibagikan kepada orang-orang yang ada dari golongan penerimanya. Jika lengkap, maka dibagi menjadi delapan bagian. Jika kurang, maka dibagi kepada siapa saja yang ada di antara mereka. Jika yang ada setelah amil adalah tiga golongan, yaitu fakir, gharim, dan miskin, maka zakat dibagi menjadi tiga bagian yang sama, baik jumlah dan kebutuhan tiap golongan sama maupun berbeda. Jika fakir, sebagaimana digambarkan oleh Syafi‘i, berjumlah sepuluh orang, miskin dua puluh orang, dan gharim lima orang, dan zakat telah dibagi menjadi tiga bagian yang sama, maka setiap bagian adalah seribu dirham. Bagian fakir dibagikan kepada mereka, yaitu seribu dirham sesuai kebutuhan mereka, karena kebutuhan mereka bisa saja berbeda atau sama. Maka, pembagian didasarkan pada kebutuhan, bukan jumlah orang. Begitu pula bagian miskin dibagikan di antara mereka sesuai kebutuhan mereka, dan bagian gharim dibagikan sesuai jumlah utang mereka, sebagaimana harta orang bangkrut dibagikan kepada para krediturnya sesuai besarnya utang, bukan berdasarkan jumlah kepala.”

فَإِنْ قِيلَ: فَأَيُّهُمْ يَبْدَأُ بِالْعَطَاءِ قَبْلَ أَنْ يُعَجِّلَ حُضُورُ أَحَدِهِمْ، وَتَأَخَّرَ الْبَاقُونَ بَدَأَ بِمَنْ تَعَجَّلَ حُضُورُهُ عَلَى مَنْ تَأَخَّرَ، وَإِنْ حَضَرُوا جَمِيعًا، فَقَدْ قِيلَ: يَبْدَأُ بِأَشَدِّهِمْ حَاجَةً وَأَمَسِّهِمْ ضَرُورَةً، وَقِيلَ: يَبْدَأُ بِمَنْ إِذَا فِيضَ عَلَيْهِمْ سَهْمُهُمْ بَقِيَتْ مِنْهُ بَقِيَّةٌ لِتُقْضَى عَلَى الْبَاقِينَ قَبْلَ الْقِسْمَةِ فَلَا يَحْتَاجُ فِيهَا إِلَى اسْتِئْنَافِ قِسْمَتِهَا مِنْهُ.

Jika ditanyakan: Siapakah yang didahulukan dalam pemberian sebelum semua hadir, lalu sebagian datang lebih dulu dan yang lain terlambat? Maka didahulukan yang lebih dulu hadir atas yang terlambat. Jika mereka hadir bersamaan, ada yang berpendapat: didahulukan yang paling besar kebutuhannya dan paling mendesak keadaannya. Ada juga yang berpendapat: didahulukan yang jika bagian mereka telah diberikan masih tersisa untuk dibagikan kepada yang lain sebelum pembagian, sehingga tidak perlu memulai pembagian dari awal lagi.

وَقِيلَ: يَبْدَأُ بِمَنْ بَدَأَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ فِي آيَةِ الصَّدَقَاتِ عَلَى تَرْتِيبِهِمْ فِيهَا، فَأَمَّا الصِّنْفُ فَيَبْدَأُ بِأَسْبَقِ أَهْلِهِ، فَإِنْ جاؤوا مَعًا بَدَأَ بِأَمَسِّهِمْ حَاجَةً وَضَرُورَةً، فَإِنْ تَسَاوَوْا بَدَأَ بِمَنْ يَرَى، هَذَا كُلُّهُ مِنْ طَرِيقِ الْأَوْلَى، وَبِأَيِّهِمْ بَدَأَ مِنَ الْأَصْنَافِ وَالْأَعْيَانِ جَازَ ثُمَّ يُقَسَّمُ سَهْمُ الْفُقَرَاءِ وَهُوَ أَلْفٌ عَلَيْهِمْ وَهُمْ عَشَرَةٌ بِحَسَبِ حَاجَاتِهِمْ وَيُقَسَّمُ سَهْمُ الْمَسَاكِينِ وَهُوَ أَلْفٌ عَلَيْهِمْ، وَهُمْ عِشْرُونَ بِحَسَبِ حَاجَاتِهِمْ، ويقسم سهم الغارمين هو أَلْفٌ عَلَيْهِمْ، وَهُمْ خَمْسَةٌ بِحَسَبِ دُيُونِهِمْ، مِثَالُ ذَلِكَ أَنْ يَكُونَ دَيْنُ أَحَدِهِمْ مِائَةَ دِرْهَمٍ ودين الآخر مائتي درهم، ودين الثالث ثلثمائة دِرْهَمٍ، وَدَيْنُ الرَّابِعِ أَرْبَعَمِائَةِ دِرْهَمٍ، وَدَيْنُ الْخَامِسِ خَمْسَمِائَةِ دِرْهَمٍ، فَيَكُونُ مَبْلَغُ دَيْنِهِمْ أَلْفَ دِرْهَمٍ وَخَمْسَمِائَةٍ، وَسَهْمُهُمْ أَلْفَ دِرْهَمٍ هِيَ ثُلُثَا دَيْنِهِمْ فَيُعْطِي كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ دَيْنِهِ ثُلُثَهُ، وَلَوْ كَانَ سَهْمُهُمْ أَلْفَ دِرْهَمٍ وَخَمْسَمِائَةِ دِرْهَمٍ لَكَانَ كَافِيًا لِجَمِيعِهِمْ فَيُعْطِي كُلَّ وَاحِدٍ جَمِيعَ دَيْنِهِ، وَلَوْ كَانَ سَهْمُهُمْ أَلْفَيْ دِرْهَمٍ أُعْطِيَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ قَدْرَ دَيْنِهِ وَحُبِسَ الْبَاقِي عَنْهُمْ، وَكَذَلِكَ يَفْعَلُ بِالْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ.

Ada juga yang berpendapat: didahulukan golongan yang Allah Ta‘ala sebutkan lebih dahulu dalam ayat zakat sesuai urutannya di sana. Adapun dalam satu golongan, didahulukan yang paling utama di antara mereka. Jika mereka datang bersamaan, didahulukan yang paling besar kebutuhannya dan paling mendesak keadaannya. Jika mereka sama, maka didahulukan siapa saja yang dipandang layak. Semua ini merupakan cara yang lebih utama. Namun, siapa pun yang didahulukan dari golongan dan individu, itu dibolehkan. Kemudian bagian fakir, yaitu seribu, dibagikan kepada mereka yang berjumlah sepuluh orang sesuai kebutuhan mereka. Bagian miskin, yaitu seribu, dibagikan kepada mereka yang berjumlah dua puluh orang sesuai kebutuhan mereka. Bagian gharim, yaitu seribu, dibagikan kepada mereka yang berjumlah lima orang sesuai besarnya utang mereka. Contohnya, jika utang salah satu dari mereka seratus dirham, yang lain dua ratus dirham, yang ketiga tiga ratus dirham, yang keempat empat ratus dirham, dan yang kelima lima ratus dirham, maka total utang mereka adalah seribu lima ratus dirham, sedangkan bagian mereka seribu dirham, yaitu dua pertiga dari utang mereka. Maka, masing-masing diberikan dua pertiga dari utangnya. Jika bagian mereka seribu lima ratus dirham, maka cukup untuk seluruh utang mereka dan masing-masing menerima seluruh utangnya. Jika bagian mereka dua ribu dirham, maka masing-masing diberikan sesuai jumlah utangnya dan sisanya ditahan dari mereka. Demikian pula yang dilakukan terhadap fakir dan miskin.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَإِذَا قَسَّمَ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ كَمَا وَصَفْنَا لَمْ يَخْلُ حَالُهُمْ مِنْ سِتَّةِ أَقْسَامٍ:

Maka apabila pembagian itu dilakukan kepada mereka sebagaimana yang telah kami jelaskan, keadaan mereka tidak lepas dari enam bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ سِهَامُ جَمِيعِهِمْ وَفْقَ كِفَايَاتِهِمْ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نَقْصٍ فَقَدِ اسْتَوْفَوْهَا وَخَرَجُوا بِهَا، إِنِ اسْتَحَقُّوا مِثْلَهَا مِنْ غَيْرِهَا.

Pertama: Apabila bagian seluruh mereka sesuai dengan kebutuhan mereka tanpa ada kelebihan maupun kekurangan, maka mereka telah menerima haknya dan keluar dari golongan yang berhak menerima, jika mereka memang berhak menerima yang semisal dari selainnya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ سِهَامُ جَمِيعِهِمْ مُقَصِّرَةً عَنْ كِفَايَاتِهِمْ، فَإِذَا قَسَّمَهَا فِيهِمْ كَانَ مِنَ الْبَاقِي مِنْ كِفَايَاتِهِمْ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ فِيمَا يَأْتِي مِنْهَا حَتَّى يَسْتَوفُوا قَدْرَ الْكِفَايَاتِ إِنْ أَمْكَنَتْ.

Bagian kedua: Apabila bagian seluruh mereka kurang dari kebutuhan mereka, maka ketika dibagikan kepada mereka, sisa kebutuhan mereka tetap menjadi hak para penerima sedekah pada penyaluran berikutnya hingga mereka memperoleh kadar kebutuhan mereka jika memungkinkan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ سِهَامُ جَمِيعِهِمْ زَائِدَةً عَلَى قَدْرِ كِفَايَاتِهِمْ فَإِذَا أَخَذُوا مِنْهَا قَدْرَ كِفَايَاتِهِمْ نُقِلَ الْفَاضِلُ عَنْهُمْ إِلَى أَقْرَبِ الْبِلَادِ بِهِمْ.

Bagian ketiga: Apabila bagian seluruh mereka melebihi kadar kebutuhan mereka, maka setelah mereka mengambil sesuai kebutuhan, kelebihan dari bagian mereka dipindahkan ke negeri terdekat yang membutuhkan.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ تَكُونَ سِهَامُ بَعْضِهِمْ وَفْقَ كِفَايَاتِهِمْ وَسِهَامُ بَعْضٍ مُقَصِّرَةً عَنْ كِفَايَاتِهِمْ فَإِذَا قَسَّمَ الْكَافِيَ عَلَى أَهْلِهِ خَرَجُوا بِهِ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ، وَإِذَا قَسَّمَ الْمُقَصِّرُ عَلَى أَهْلِهِ كَانُوا فِي الْبَاقِي مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ.

Bagian keempat: Apabila bagian sebagian mereka sesuai dengan kebutuhan mereka dan bagian sebagian lain kurang dari kebutuhan mereka, maka ketika bagian yang cukup dibagikan kepada yang berhak, mereka keluar dari golongan penerima sedekah, dan ketika bagian yang kurang dibagikan kepada yang berhak, mereka tetap termasuk golongan penerima sedekah untuk sisa kebutuhan mereka.

وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ: أَنْ تَكُونَ سِهَامُ بَعْضِهِمْ زَائِدَةً عَلَى قَدْرِ كِفَايَاتِهِمْ وَسِهَامُ بَعْضِهِمْ نَاقِصَةً عَنْ كِفَايَاتِهِمْ، فَإِذَا فَضَّ النَّاقِصَ عَلَى أَهْلِهِ، وَحَبَسَ مِنَ الزَّائِدِ مَا فَضَلَ عَنْ وَفْقِ الْكِفَايَةِ فَفِي مَصْرِفِهِ وَجْهَانِ:

Bagian kelima: Apabila bagian sebagian mereka melebihi kadar kebutuhan mereka dan bagian sebagian lain kurang dari kebutuhan mereka, maka setelah bagian yang kurang dibagikan kepada yang berhak, dan kelebihan dari bagian yang lebih ditahan dari yang berhak melebihi kebutuhan, maka dalam penyalurannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ يَرُدُّ الْفَضْلَ إِلَى أَهْلِ السِّهَامِ الْمُقَصِّرَةِ حَتَّى يَسْتَوْفِيَ جَمِيعُ الْأَصْنَافِ قَدْرَ كِفَايَاتِهِمْ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْمَكَانِ أَنْ لَا نَنْقُلَ صَدَقَةً إِلَى غَيْرِهِ، وَفِيهِ مُسْتَحِقُّهَا.

Salah satunya: Bahwa kelebihan tersebut dikembalikan kepada para penerima bagian yang kurang hingga seluruh golongan memperoleh kadar kebutuhan mereka, dengan mengutamakan hukum wilayah agar sedekah tidak dipindahkan ke tempat lain sementara masih ada yang berhak di wilayah tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ نَنْقُلَ الْفَضْلَ عَنِ السِّهَامِ الزِّائِدَةِ إِلَى تِلْكَ الْأَصْنَافِ فِي أَقْرَبِ الْبِلَادِ بِهِمْ وَلَا تُرَدُّ عَلَى غَيْرِهِمْ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْأَعْيَانِ أَنْ لَا يُفَضَّلَ بَعْضُ الْأَصْنَافِ عَلَى بَعْضٍ.

Pendapat kedua: Bahwa kelebihan dari bagian yang lebih dipindahkan ke golongan tersebut di negeri terdekat dengan mereka dan tidak dikembalikan kepada selain mereka, dengan mengutamakan hukum individu agar tidak ada golongan yang diutamakan atas golongan lain.

وَالْقِسْمُ السَّادِسُ: أَنْ تَكُونَ سِهَامُ بَعْضِهِمْ وَفْقَ كِفَايَاتِهِمْ وَسِهَامُ بَعْضِهِمْ زَائِدَةً عَلَى قَدْرِ كِفَايَاتِهِمْ فَإِذَا قَسَّمَ الْكَافِيَ وَحَبَسَ الْفَضْلَ الزَّائِدَ عَنْ أَهْلِهِ نُقِلَتْ تِلْكَ الزِّيَادَةُ إِلَى أَقْرَبِ الْبِلَادِ بِهِمْ لَا يَخْتَلِفُ، وَلَكِنْ إِذَا نَقَلَهَا فَهَلْ يَخْتَصُّ بِهَا أَهْلُ تِلْكَ الْأَصْنَافِ أَوْ تَكُونُ كَالصَّدَقَةِ الْمُبْتَدَأَةِ تُقَسَّمُ فِي جَمِيعِ الْأَصْنَافِ عَلَى وجهين بناء على الوجهين الماضيين:

Bagian keenam: Apabila bagian sebagian mereka sesuai dengan kebutuhan mereka dan bagian sebagian lain melebihi kadar kebutuhan mereka, maka setelah bagian yang cukup dibagikan dan kelebihan dari bagian yang lebih ditahan dari yang berhak, maka kelebihan tersebut dipindahkan ke negeri terdekat dengan mereka tanpa perbedaan pendapat. Namun, ketika dipindahkan, apakah kelebihan itu khusus untuk golongan tersebut atau seperti sedekah baru yang dibagikan kepada seluruh golongan? Terdapat dua pendapat berdasarkan dua pendapat sebelumnya:

أحدها: أَنْ يَخْتَصَّ بِهَا أَهْلُ تِلْكَ الْأَصْنَافِ إِذَا قِيلَ فِي الْقِسْمِ الْمَاضِي بِتَغْلِيبِ الْأَعْيَانِ وَأَنَّ الْفَاضِلَ يُنْقَلُ إِلَى أَقْرَبِ الْبِلَادِ وَلَا يُرَدُّ عَلَى بَاقِي الْأَصْنَافِ.

Salah satunya: Bahwa kelebihan itu khusus untuk golongan tersebut jika pada bagian sebelumnya diutamakan hukum individu dan bahwa kelebihan dipindahkan ke negeri terdekat dan tidak dikembalikan kepada golongan lain.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْفَاضِلَ يُقَسَّمُ فِي أَقْرَبِ الْبِلَادِ عَلَى جَمِيعِ الْأَصْنَافِ، إِذَا قِيلَ فِي الْقِسْمِ الْمَاضِي بِتَغْلِيبِ الْمَكَانِ، وَأَنَّ الْفَاضِلَ يُرَدُّ عَلَى بَاقِي الْأَصْنَافِ وَاللَّهُ أعلم.

Pendapat kedua: Bahwa kelebihan itu dibagikan di negeri terdekat kepada seluruh golongan, jika pada bagian sebelumnya diutamakan hukum wilayah, dan bahwa kelebihan dikembalikan kepada golongan lain. Dan Allah lebih mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَلَا وَقْتَ فِيمَا يُعْطَى الْفَقِيرُ إِلَّا مَا يخرجه من حد الفقر إلى الغنا قَلَّ ذَلِكَ أَوْ كَثُرَ مِمَّا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ أَوْ لَا تَجِبُ لِأَنَّهُ يَوْمَ يُعْطَاهُ لَا زَكَاةَ فِيهِ عَلَيْهِ وَقَدْ يَكُونُ غَنِيًّا وَلَا مَالَ لَهُ تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ وَفَقِيرًا بِكَثْرَةِ الْعِيَالِ وَلَهُ مَالٌ تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ وَإِنَّمَا الْغِنَى وَالْفَقْرُ مَا يَعْرِفُ النَّاسُ بِقَدْرِ حَالِ الرِّجَالِ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Tidak ada batasan waktu dalam pemberian kepada fakir kecuali kadar yang mengeluarkannya dari status fakir menjadi kaya, baik sedikit maupun banyak, dari harta yang wajib dizakati atau tidak wajib dizakati. Karena pada hari ia menerima, tidak ada zakat atasnya. Bisa jadi seseorang dianggap kaya padahal tidak memiliki harta yang wajib dizakati, dan bisa jadi seseorang dianggap fakir karena banyak tanggungan meskipun ia memiliki harta yang wajib dizakati. Sesungguhnya kaya dan fakir itu sebagaimana yang dikenal masyarakat sesuai keadaan masing-masing orang.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْكَلَامَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa pembahasan dalam masalah ini mencakup dua bagian:

أَحَدُهُمَا: فِيمَنْ يَجُوزُ أَنْ يَأْخُذَ بِالْفَقْرِ مِنَ الزَّكَاةِ.

Pertama: Tentang siapa yang boleh menerima zakat karena kefakirannya.

وَالثَّانِي: فِي الْقَدْرِ الَّذِي يَجُوزُ أَنْ يُعْطَاهُ مِنَ الزَّكَاةِ وَكِلَا الْأَمْرَيْنِ مُعْتَبَرٌ بِأَدْنَى الْغِنَى وَاخْتَلَفَ النَّاسُ فِي أَدْنَى الْغِنَى عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:

Kedua: Tentang kadar yang boleh diberikan kepadanya dari zakat. Kedua hal ini diukur dengan kadar minimal kecukupan, dan para ulama berbeda pendapat tentang kadar minimal kecukupan menjadi tiga mazhab:

أَحَدُهَا: مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ أَنَّ أَدْنَى الْغِنَى خَمْسُونَ دِرْهَمًا، فَلَا تَحِلُّ الزَّكَاةُ لِمَنْ تَمَلَّكَهَا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطَى أَكْثَرَ مِنْهَا، وَقَدْ حُكِيَ ذَلِكَ فِي الصَّحَابَةِ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَسَعْدٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الْفُقَهَاءِ الزُّهْرِيُّ وَالثَّوْرِيُّ.

Pertama: Pendapat yang dipegang oleh Ahmad bin Hanbal, bahwa batas minimal kekayaan (al-ghinā) adalah lima puluh dirham. Maka, zakat tidak halal diberikan kepada orang yang memiliki jumlah tersebut, dan tidak boleh pula diberikan lebih dari jumlah itu. Pendapat ini juga dinukil dari para sahabat, yaitu ‘Umar, ‘Ali, dan Sa‘d—semoga Allah meridhai mereka—dan di antara para fuqahā’ yang berpendapat demikian adalah az-Zuhrī dan ats-Tsaurī.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ أبو حنيفة: إِنَّ أَدْنَى الْغِنَى نِصَابٌ تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ فَلَا يُحِلُّ الزَّكَاةَ لِمَنْ يَمْلِكُ نِصَابًا وَلَا يُعْطَى مِنْهَا نِصَابًا، فَإِذَا مَلَكَ مَالًا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ مِنْ عَقَارٍ وَرَقِيقٍ، فَإِنِ احْتَاجَ إِلَيْهِ كَدَارٍ يَسْكُنُهَا أَوْ دَابَّةٍ يَرْكَبُهَا أَوْ أَمَةٍ يَسْتَخْدِمُهَا حَلَّتْ لَهُ الزَّكَاةُ، وَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ أَكْثَرَ مِنْ نِصَابٍ، وَمَا اسْتَغْنَى عَنْهُ مِنْ ذَلِكَ اعْتُبِرَتْ قِيمَتُهُ، فَإِنْ بَلَغَتْ نِصَابًا حَرُمَتْ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ، وَإِنْ نَقَصَتْ عَنْ نِصَابٍ حَلَّتْ لَهُ الزَّكَاةُ.

Pendapat kedua: Pendapat yang dipegang oleh Abu Hanifah, yaitu bahwa batas minimal kekayaan adalah nisab yang wajib dizakati. Maka, zakat tidak halal diberikan kepada orang yang memiliki nisab, dan tidak boleh pula diberikan nisab dari zakat. Jika seseorang memiliki harta yang wajib dizakati, baik berupa properti, budak, dan sejenisnya, maka jika ia membutuhkan harta tersebut—seperti rumah yang ia tempati, kendaraan yang ia gunakan, atau budak perempuan yang ia pekerjakan—maka zakat halal baginya, meskipun nilai harta tersebut melebihi nisab. Adapun harta yang tidak ia butuhkan dari jenis itu, maka nilainya diperhitungkan; jika mencapai nisab, maka zakat haram baginya, dan jika kurang dari nisab, maka zakat halal baginya.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْغِنَى غَيْرُ مُعْتَبَرٍ بِالْمَالِ، وَإِنَّمَا هُوَ الْقُدْرَةُ عَلَى الْكِفَايَةِ الدَّائِمَةِ لِنَفْسِهِ وَلِمَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ إِمَّا بِضَاعَةً أَوْ تِجَارَةً أَوْ زِرَاعَةً، وَبَيَانُ ذَلِكَ أَنَّ النَّاسَ أَرْبَعَةُ أَصْنَافٍ: صُنَّاعٌ، وتجار، وأصحاب عقار، وأصحاب مواشي.

Pendapat ketiga: Pendapat Syafi‘i, bahwa kekayaan (al-ghinā) tidak diukur dengan harta, melainkan kemampuan untuk mencukupi kebutuhan secara terus-menerus bagi dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya, baik melalui usaha, perdagangan, atau pertanian. Penjelasannya, bahwa manusia terbagi menjadi empat golongan: para pekerja, para pedagang, pemilik properti, dan pemilik ternak.

فَأَمَّا الصُّنَّاعُ فَكَالْفَلَّاحِينَ وَالْمَلَّاحِينَ وَالنَّجَّارِينَ وَالْبَنَّائِينَ، فَإِنْ كَانَ الْوَاحِدُ مِنْهُمْ يَكْتَسِبُ بِضَاعَتَهُ قَدْرَ كِفَايَتِهِ عَلَى الدَّوَامِ لِنَفْسِهِ، وَلِمَنْ تَلْزَمُهُ مُؤْنَتُهُ حَرُمَتْ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ، وَإِنْ لَمْ يَمْلِكْ دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، وَإِنْ كَانَ لَا يَكْتَسِبُ بِضَاعَتَهُ قَدْرَ كِفَايَتِهِ عَلَى الدَّوَامِ حَلَّتْ لَهُ الزَّكَاةُ وَأَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا تَمَامَ كِفَايَتِهِ.

Adapun para pekerja seperti petani, pelaut, tukang kayu, dan tukang bangunan, jika salah satu dari mereka memperoleh penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya secara terus-menerus bagi dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya, maka haram baginya menerima zakat, meskipun ia tidak memiliki satu dinar atau dirham pun. Namun jika ia tidak memperoleh penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya secara terus-menerus, maka halal baginya menerima zakat dan mengambilnya hingga mencukupi kebutuhannya.

وأما التجار فهم الذي يَسْتَمِدُّونَ أَرْبَاحَ بَضَائِعِهِمْ، فَإِنْ كَانَتْ بِضَاعَةُ الْوَاحِدِ مِنْهُمْ تُرْبِحُهُ غَالِبًا قَدْرَ كِفَايَتِهِ كَانَ غَنِيًّا تَحْرُمُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ، وَإِنْ لَمْ يَمْلِكْ نِصَابًا، وَإِنْ كَانَتْ لَا تُرْبِحُهُ قَدْرَ كِفَايَتِهِ كَانَ فَقِيرًا وَإِنْ مَلَكَ نِصَابًا وَحَلَّ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنَ الزَّكَاةِ، مَا إِذَا ضَمَّهُ إِلَى بِضَاعَتِهِ رَبِحَ بِهَا قَدْرَ كِفَايَتِهِ، وَذَلِكَ يَخْتَلِفُ بِحَسَبِ اخْتِلَافِهِمْ فِي مَتَاجِرِهِمْ فَإِذَا كَانَ الْبَقْلِيُّ يَكْتَفِي بِخَمْسَةِ دَرَاهِمَ والْبَاقِلَّانِيُّ بِعَشَرَةٍ وَالْفَاكِهَانِيُّ بِعِشْرِينَ وَالْخَبَّازُ بِخَمْسِينَ وَالْبَقَّالُ بِمِائَةٍ وَالْعَطَّارُ بِأَلْفٍ وَالْبَزَّازُ بِأَلْفَيْ دِرْهَمٍ وَالصَّيْرَفِيُّ بِخَمْسَةِ آلَافٍ وَالْجَوْهَرِيُّ بِعَشَرَةِ آلَافٍ وَمَلَكَ كُلُّ وَاحِدٍ مِمَّنْ ذَكَرْنَا بِضَاعَتَهُ الَّتِي يَكْتَفِي بِرِبْحِهَا حَرُمَتْ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ، وَإِنْ مَلَكَ أَقَلَّ مِنْهَا حَلَّتْ لَهُ الزَّكَاةُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا تَمَامَ بِضَاعَتِهِ الَّتِي يَكْتَفِي بِرِبْحِهَا حَتَّى إِنَّ الْبَقْلِيَّ إِذَا مَلَكَ خَمْسَةَ دَرَاهِمَ هِيَ كِفَايَتُهُ كَانَ غَنِيًّا وَالْجَوْهَرِيَّ إِذَا مَلَكَ تِسْعَةَ آلَافِ دِرْهَمٍ هِيَ دُونَ كِفَايَتِهِ كَانَ فَقِيرًا أَوْ مِسْكِينًا، وَكَذَلِكَ الْقَوْلُ فِي أَصْحَابِ الْعَقَارِ وَالْمَوَاشِي إِنْ كَانَ يَسْتَغِلُّ مِنْهَا قَدْرَ كِفَايَتِهِ حَرُمَتْ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ، وَإِنْ كَانَ لَا يَسْتَغِلُّ مِنْهَا قَدْرَ كِفَايَتِهِ حَلَّتْ لَهُ الزَّكَاةُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا مَا يَشْتَرِي بِهِ مِنَ الْعَقَارِ وَالْمَوَاشِي مَا إِذَا ضَمَّهُ إِلَى مَالِهِ اكْتَفَى بِغَلَّتِهِ عَلَى الدَّوَامِ.

Adapun para pedagang, yaitu mereka yang memperoleh keuntungan dari barang dagangannya, jika barang dagangan salah satu dari mereka umumnya menghasilkan keuntungan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia dianggap kaya dan haram baginya menerima zakat, meskipun ia tidak memiliki nisab. Namun jika barang dagangannya tidak menghasilkan keuntungan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia dianggap fakir, meskipun ia memiliki nisab, dan halal baginya menerima zakat, yaitu jika dengan menambahkannya ke barang dagangannya ia bisa memperoleh keuntungan yang mencukupi kebutuhannya. Hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan usaha mereka. Jika seorang penjual sayur cukup dengan lima dirham, penjual kacang dengan sepuluh dirham, penjual buah dengan dua puluh dirham, tukang roti dengan lima puluh dirham, penjual bahan pokok dengan seratus dirham, penjual rempah dengan seribu dirham, penjual kain dengan dua ribu dirham, penukar uang dengan lima ribu dirham, dan penjual perhiasan dengan sepuluh ribu dirham, maka jika masing-masing dari mereka memiliki barang dagangan yang keuntungannya mencukupi kebutuhannya, haram baginya menerima zakat. Namun jika ia memiliki kurang dari itu, maka halal baginya menerima zakat hingga mencukupi barang dagangannya yang keuntungannya mencukupi kebutuhannya. Sehingga, jika penjual sayur memiliki lima dirham yang merupakan kebutuhannya, ia dianggap kaya; dan jika penjual perhiasan memiliki sembilan ribu dirham yang kurang dari kebutuhannya, ia dianggap fakir atau miskin. Demikian pula halnya dengan pemilik properti dan ternak, jika hasil dari properti atau ternaknya mencukupi kebutuhannya, maka haram baginya menerima zakat; namun jika hasilnya tidak mencukupi kebutuhannya, maka halal baginya menerima zakat untuk membeli properti atau ternak yang jika digabungkan dengan hartanya dapat mencukupi kebutuhannya secara terus-menerus.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا أَحْمَدُ فَاسْتَدَلَّ بِرِوَايَةِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ سَأَلَ النَّاسَ وَهُوَ غَنِيٌّ كَانَتْ مَسْأَلَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ خُمُوشًا أَوْ خُدُوشًا أَوْ كُدُوحًا فِي وَجْهِهِ “، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا غِنَاهُ قَالَ: خَمْسُونَ دِرْهَمًا أَوْ عَدْلُهَا “.

Adapun Ahmad, ia berdalil dengan riwayat Ibnu Mas‘ūd bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa meminta-minta kepada manusia padahal ia kaya, maka permintaannya pada hari kiamat akan menjadi luka-luka, goresan-goresan, atau torehan-torehan di wajahnya.” Ditanyakan: “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kayanya?” Beliau menjawab: “Lima puluh dirham atau senilai itu.”

وَأَمَّا أبو حنيفة فَاسْتَدَلَّ بِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ فَأَرُدَّهَا فِي فُقَرَائِكُمْ ” فَجَعَلَ الْمَأْخُوذَ مِنْهُ غَيْرَ الْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ قَالُوا؛ وَلِأَنَّهُ مَالِكٌ لِنِصَابٍ مِنْ مَالٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ غَنِيًّا تَحْرُمُ عَلَيْهِ الصَّدَقَةُ أَصْلُهُ إِذَا كَانَ لَهُ كِفَايَةٌ عَلَى الدَّوَامِ قَالُوا: وَلِأَنَّ اعْتِبَارَ الْكِفَايَةِ لَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَعْتَبِرُوا كِفَايَةَ زَمَانِ الْمُقَدَّرِ أَوْ كِفَايَةَ الْعُمُرِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْتَبَرَ كِفَايَةُ الْعُمُرِ لِأَنَّهُ مَجْهُولٌ وَأَمَّا الزَّمَانُ الْمُقَدَّرُ فَلَسْتُمْ فِي اعْتِبَارِهِ بِسَنَتِهِ بِأَوْلَى مِنِ اعْتِبَارِهِ بِأَقَلَّ مِنْهَا أَوْ أَكْثَرَ، فَبَطَلَ اعْتِبَارُ الْكِفَايَةِ وَدَلِيلُنَا حَدِيثُ قَبِيصَةَ بْنِ الْمُخَارِقِ: أَنَّهُ تَحَمَّلَ بِحَمَالَةٍ فَأَتَى النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَسْأَلُهُ فَقَالَ: نُؤَدِّهَا عَنْكَ مِنْ نَعَمِ الصَّدَقَةِ يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ حُرِّمَتْ إِلَّا فِي ثَلَاثَةٍ: رَجُلٍ تَحَمَّلَ بِحَمَالَةٍ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حتى يؤدها ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَاجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قَوَامًا مِنْ عَيْشٍ ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ حَاجَةٌ حَتَّى تَكَلَّمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَى مِنْ قَوْمِهِ أَنَّ بِهِ حَاجَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قَوَامًا مِنْ عَيْشٍ ثُمَّ يُمْسِكُ، وَمَا سِوَى ذَلِكَ مِنَ الْمَسْأَلَةِ فَهُوَ سُحْتٌ. فَدَلَّ نَصُّ هَذَا الْخَبَرِ عَلَى أَنَّ الصَّدَقَةَ تَحِلُّ بِالْحَاجَةِ وَتَحْرُمُ بِإِصَابَةِ الْقَوَامِ مِنَ الْعَيْشِ وَهُوَ الْكِفَايَةُ عَلَى الدَّوَامِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُعْتَبَرَ النِّصَابُ، وَلِأَنَّ مَنْ عَجَزَ عَنِ الْكِفَايَةِ الدَّائِمَةِ زَالَ عَنْهُ حُكْمُ الْغِنَى كَالَّذِي لَا يَمْلِكُ نِصَابًا، وَلِأَنَّ مِلْكَ النِّصَابِ وَالْحَاجَةَ مَعْنَيَانِ مُخْتَلِفَانِ يَجُوزُ اجْتِمَاعُهُمَا فَجَازَ اجْتِمَاعُ حُكْمِهِمَا، وَهُمَا أَخَذُ الصَّدَقَةِ مِنْهُ بِالنِّصَابِ وَدَفْعُهَا إِلَيْهِ بِالْحَاجَةِ كَالْعُشْرِ؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ مِلْكُ قِيمَةِ النِّصَابِ مِنَ الْمَتَاعِ وَالْعُرُوضِ يَمْنَعُ مِنْ أَخْذِ الصَّدَقَةِ لِأَجْلِ الْحَاجَةِ لَمْ يَكُنْ مِلْكُ النِّصَابِ مَانِعًا مِنْهَا لِأَجْلِ الْحَاجَةِ.

Adapun Abū Ḥanīfah, ia berdalil dengan sabda Nabi ﷺ: “Aku diperintahkan untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya di antara kalian lalu aku kembalikan kepada orang-orang fakir di antara kalian.” Maka yang diambil darinya bukanlah yang diberikan kepadanya. Mereka berkata: Karena ia adalah pemilik nisab dari harta, maka wajib baginya dianggap kaya sehingga haram atasnya menerima sedekah. Asal hukumnya, jika ia memiliki kecukupan secara terus-menerus. Mereka berkata: Mempertimbangkan kecukupan tidak lepas dari dua hal: apakah yang dipertimbangkan adalah kecukupan untuk waktu tertentu atau kecukupan sepanjang umur. Tidak boleh mempertimbangkan kecukupan sepanjang umur karena itu tidak diketahui, sedangkan waktu tertentu, kalian tidak lebih berhak mempertimbangkannya dengan satu tahun daripada kurang atau lebih dari itu. Maka gugurlah pertimbangan kecukupan. Dalil kami adalah hadis Qabīṣah bin Mukhāriq: Bahwa ia menanggung suatu tanggungan lalu datang kepada Nabi ﷺ untuk meminta, maka beliau bersabda: “Kami akan membayarnya untukmu dari zakat, wahai Qabīṣah. Sesungguhnya meminta-minta itu diharamkan kecuali dalam tiga keadaan: seseorang yang menanggung suatu tanggungan, maka halal baginya meminta sampai ia melunasinya lalu ia berhenti; seseorang yang tertimpa musibah yang menghabiskan hartanya, maka halal baginya meminta sampai ia memperoleh kecukupan hidup lalu ia berhenti; dan seseorang yang ditimpa kebutuhan hingga tiga orang berakal dari kaumnya bersaksi bahwa ia benar-benar membutuhkan, maka halal baginya meminta sampai ia memperoleh kecukupan hidup lalu ia berhenti. Selain dari itu, maka meminta-minta adalah haram.” Maka nash hadis ini menunjukkan bahwa sedekah itu halal karena kebutuhan dan haram jika telah memperoleh kecukupan hidup yang berkelanjutan, yaitu kecukupan secara terus-menerus, tanpa mempertimbangkan nisab. Karena siapa yang tidak mampu memenuhi kecukupan hidup yang terus-menerus, maka hilanglah hukum kaya darinya seperti orang yang tidak memiliki nisab. Karena kepemilikan nisab dan kebutuhan adalah dua makna yang berbeda yang mungkin berkumpul, maka boleh berkumpul pula hukumnya, yaitu diambil zakat darinya karena nisab dan diberikan kepadanya karena kebutuhan, seperti pada zakat ‘usyur. Karena ketika kepemilikan nilai nisab dari barang dagangan dan harta benda tidak mencegah dari menerima sedekah karena kebutuhan, maka kepemilikan nisab pun tidak menjadi penghalang dari menerima sedekah karena kebutuhan.

وَتَحْرِيرُهُ أَنَّهُ ذُو حَاجَةٍ فَلَمْ تَحْرُمْ عَلَيْهِ الصَّدَقَةُ بِالْقُدْرَةِ عَلَى نِصَابٍ كَمَالِكِ الْمَتَاعِ.

Penjelasannya adalah bahwa ia adalah orang yang membutuhkan, maka tidak haram atasnya menerima sedekah hanya karena mampu memiliki nisab, seperti halnya pemilik barang dagangan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِ أَحْمَدَ بِحَدِيثِ ابْنِ مَسْعُودٍ فَهُوَ أَنَّهُ لَمْ يَقْصِدْ بِهِ تَحْدِيدَ الْغِنَى فِي جَمِيعِ النَّاسِ وَإِنَّمَا أَرَادَ بِهِ مَنْ كَانَتْ كِفَايَتُهُ خَمْسِينَ دِرْهَمًا، بِدَلِيلِ مَا رَوَى أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ سَأَلَ النَّاسَ وَلَهُ قِيمَةُ أُوقِيَّةٍ فَقَدْ أَلْحَفَ ” يَعْنِي لِمَنْ كَانَ مُكْتَفِيًا بِهَا.

Adapun jawaban atas pendalilan Ahmad dengan hadis Ibnu Mas‘ūd adalah bahwa hadis itu tidak dimaksudkan untuk menentukan batasan kaya bagi seluruh manusia, melainkan hanya bagi orang yang kecukupannya adalah lima puluh dirham. Hal ini didasarkan pada riwayat Abū Sa‘īd al-Khudrī bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa meminta-minta kepada manusia padahal ia memiliki nilai satu uqiyah, maka sungguh ia telah berlebihan,” maksudnya bagi orang yang telah cukup dengan itu.

وَرَوَى سَهْلُ ابْنُ الْحَنْظَلِيَّةِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَقَدِ اسْتَكْثَرَ مِنَ النَّارِ ” قِيلَ: وَمَا يُغْنِيهِ، قَالَ: قدر ما يغذيه ويعشيه وهذا فِيمَنْ يَكْتَسِبُ بِصَنْعَتِهِ قَدْرَ عَشَائِهِ وَغَذَائِهِ.

Dan diriwayatkan dari Sahl bin al-Ḥanẓaliyyah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa meminta-minta padahal ia memiliki sesuatu yang mencukupinya, maka sungguh ia telah memperbanyak (bekal) dari api neraka.” Ditanyakan: “Apa yang mencukupinya?” Beliau menjawab: “Seukuran yang dapat menghidupinya di siang dan malam hari.” Ini berlaku bagi orang yang memperoleh penghasilan dari pekerjaannya seukuran makan malam dan makannya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِ أبي حنيفة بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ فَأَرُدَّهَا فِي فُقَرَائِكُمْ ” فَهُوَ أَنَّهُ قَصَدَ بِذَلِكَ إِنَّمَا يَأْخُذُهُ مِنْ صَدَقَاتِهِمْ لَيْسَ يَأْخُذُهُ لِنَفْسِهِ وَأَهْلِهِ، وَإِنَّمَا يَرُدُّهُ عَلَى فُقَرَائِهِمْ مِنْ ذَوِي الْحَاجَاتِ، وَلَيْسَ يَمْنَعُ أَنْ يَكُونَ الْمَأْخُوذُ مِنْهُ مَرْدُودًا عَلَيْهِ كَالْعَامِلِ وَابْنِ السَّبِيلِ، وَكَالْمَأْخُوذِ مِنْهُ الْعُشْرُ وَالْعُشْرُ عِنْدَنَا زَكَاةٌ، وَأَمَّا إِذَا كَانَ وَاجِدًا لِلْكِفَايَةِ فَتَحْرُمُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ لِوُجُودِ الْكِفَايَةِ لَا يَمْلِكُ النِّصَابَ فَلَمْ يَصِحَّ قِيَاسُهُمْ.

Adapun jawaban terhadap dalil Abū Ḥanīfah dengan sabda Nabi ﷺ: “Aku diperintahkan untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya di antara kalian lalu mengembalikannya kepada orang-orang fakir di antara kalian,” maka maksudnya adalah bahwa beliau mengambil zakat itu dari harta mereka, bukan untuk dirinya dan keluarganya, melainkan dikembalikan kepada orang-orang fakir di antara mereka yang membutuhkan. Tidaklah terlarang bahwa yang diambil dari seseorang bisa saja dikembalikan kepadanya, seperti untuk ‘āmil (petugas zakat) dan ibn al-sabīl (musafir yang kehabisan bekal), juga seperti zakat ‘usyur yang diambil darinya, dan ‘usyur menurut kami adalah zakat. Adapun jika seseorang telah memiliki kecukupan, maka haram baginya menerima zakat karena telah tercukupi kebutuhannya, meskipun ia tidak memiliki nishab, sehingga qiyās mereka tidak sah.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّهُ لَا يَخْلُو اعْتِبَارُ الْكِفَايَةِ مِنْ أَنْ يَكُونَ بِالْعُمُرِ أَوْ بِزَمَانٍ مُقَدَّرٍ فَقَدِ اخْتَلَفَ أصحابنا في ذلك، فكان مذهب أبو الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ إِلَى أَنَّهُ مُعْتَبَرٌ بِزَمَانٍ مُقَدَّرٍ وَهُوَ سَنَةٌ وَذَلِكَ أَوْلَى مِنِ اعْتِبَارِهِ بِأَقَلَّ مِنْهُمَا أَوْ أَكْثَرَ؛ لِأَنَّ الزَّكَاةَ تَجِبُ بعد سنة، فاعتبر في مستحقها لكافية السَّنَةِ، وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِي ذَلِكَ كِفَايَةُ الْعُمُرِ وَلَئِنْ كَانَ الْعُمُرُ مَجْهُولًا فَالْكِفَايَةُ فِيهِ لَا تُجْهَلُ؛ لِأَنَّ كِفَايَةَ الشهر من أجل معينا أَوْ صَنْعَةٍ تَدُلُّ عَلَى كِفَايَةِ الْعُمُرِ وَإِنْ جُهِلَ.

Adapun dalil mereka bahwa pertimbangan kecukupan itu tidak lepas dari dua hal: berdasarkan umur atau berdasarkan waktu tertentu, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini. Pendapat Abū al-‘Abbās ibn Surayj adalah bahwa kecukupan itu dipertimbangkan berdasarkan waktu tertentu, yaitu satu tahun, dan itu lebih utama daripada mempertimbangkannya dengan waktu yang lebih sedikit atau lebih banyak, karena zakat diwajibkan setelah satu tahun, maka dipertimbangkan pula kecukupan penerimanya untuk satu tahun. Sedangkan mayoritas ulama kami berpendapat bahwa yang dipertimbangkan adalah kecukupan seumur hidup, dan meskipun umur itu tidak diketahui, kecukupan dalam hal itu tidak menjadi samar; karena kecukupan untuk satu bulan dari suatu pekerjaan tertentu atau profesi menunjukkan kecukupan seumur hidup meskipun umurnya tidak diketahui.

فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ يَمْرَضُ فَيَعْجِزُ عَنِ الكسب أو يغلا السِّعْرُ فَلَا يُكْتَفَى بِذَلِكَ الْقَدْرِ.

Jika dikatakan: Bisa jadi seseorang sakit sehingga tidak mampu bekerja, atau harga-harga menjadi mahal sehingga kecukupan dengan kadar tersebut tidak tercapai.

قِيلَ: إِذَا كَانَ ذَلِكَ صَارَ حِينَئِذٍ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ كَمَا أَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَمْلِكَ النِّصَابَ فيصير من أهل الصدقة.

Dijawab: Jika terjadi demikian, maka ia menjadi termasuk golongan yang berhak menerima zakat, sebagaimana juga bisa saja seseorang memiliki nishab lalu menjadi berhak menerima zakat.

مسألة:

Masalah:

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَيَأْخُذُ الْعَامِلُونَ عَلَيْهَا بِقَدْرِ أُجُورِهِمْ فِي مِثْلِ كِفَايَتِهِمْ وَقِيَامِهِمْ وَأَمَانَتِهِمْ وَالْمُؤْنَةِ عَلَيْهِمْ فَيَأْخُذُ لِنَفْسِهِ بِهَذَا الْمَعْنَى وَيُعْطِي الْعَرِيفَ وَمَنْ يَجْمَعُ النَّاسَ عَلَيْهِ بِقَدْرِ كِفَايَتِهِ وَكُلْفَتِهِ وَذَلِكَ خَفِيفٌ لِأَنَّهُ فِي بِلَادِهِ “.

Imam al-Shāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Para ‘āmil (petugas zakat) mengambil sesuai kadar upah mereka, secukup kebutuhan mereka, pekerjaan mereka, kejujuran mereka, dan biaya yang mereka perlukan. Maka ia mengambil untuk dirinya dengan makna ini, dan memberikan kepada ‘arīf (pemimpin kelompok) dan orang yang mengumpulkan masyarakat sesuai kadar kebutuhan dan beban tugasnya, dan itu ringan karena berada di negerinya sendiri.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَلَيْسَ وَإِنْ كَانَ الشَّافِعِيُّ قَدْ ذَكَرَهُ فَإِنَّمَا أَعَادَهُ لِيُبَيِّنَ قَدْرَ مَا يُعْطَى كُلُّ صِنْفٍ مِنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ بَعْدَ أَنْ يُبَيِّنَ كُلَّ صِنْفٍ مِنْهُمْ، فَالْعَامِلُونَ عَلَيْهَا هُمْ صِنْفٌ مِنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ يُعْطَوْنَ أُجُورَهُمْ مِنْهَا صَدَقَةً.

Al-Māwardī berkata: Ini benar, dan meskipun al-Shāfi‘ī telah menyebutkannya, ia mengulanginya untuk menjelaskan kadar yang diberikan kepada setiap golongan dari ahli sahmān (penerima bagian zakat) setelah menjelaskan masing-masing golongan. Maka para ‘āmil (petugas zakat) adalah salah satu golongan dari ahli sahmān yang diberikan upah mereka dari zakat.

وَقَالَ أبو حنيفة: هُوَ أُجْرَةٌ وَلَيْسَ بِصَدَقَةٍ؛ لِأَنَّهُمْ يَأْخُذُونَهُ مَعَ الْغِنَى وَلَوْ كَانَتْ صَدَقَةً حَرُمَتْ عِنْدَهُ عَلَى الْأَغْنِيَاءِ. وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا} [التوبة: 60] فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُزَالَ عَنِ الصَّدَقَةِ حُكْمُهَا بِاخْتِلَافِ الْمُتَمَلِّكِينَ؛ وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – منع ذَوِي الْقُرْبَى مِنَ الْعَمَلِ عَلَيْهَا لِتَحْرِيمِ الصَّدَقَاتِ عَلَيْهِمْ، وَلَوْ خَرَجَتْ عَنْ حُكْمِ الصَّدَقَةِ إِلَى الْأُجْرَةِ مَا مَنَعَهُمْ مِنْهَا، وَلَيْسَ يُنْكَرُ أَنْ تَكُونَ الْأُجْرَةُ صَدَقَةً إِذَا كَانَتْ مَأْخُوذَةً مِنْ مَالِ الصَّدَقَةِ فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَإِنْ كَانَ الْعَامِلُونَ عَلَيْهَا مُسْتَأْجَرِينَ بِعَقْدِ إِجَارَةٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ الْمُسَمَّى فِيهِ مِنَ الْأُجْرَةِ أَكْثَرَ مِنْ أُجُورِ أَمْثَالِهِمْ، كَمَا لَا يَجُوزُ فِي الْمُسْتَأْجَرِ عَلَى أَمْوَالِ الْأَيْتَامِ أَنْ يُسَمَّى لَهُ أَكْثَرُ مِنْ أُجْرَةِ الْمِثْلِ وَإِنْ لَمْ يَكُونُوا مُسْتَأْجَرِينَ، بِعَقْدٍ كَانَ لَهُمْ أُجْرَةُ الْمِثْلِ كَمَنِ اسْتَهْلَكَ عَمَلَهُ بِغَيْرِ عَقْدٍ، وَذَلِكَ يَخْتَلِفُ بِقُرْبِ الْمَسَافَةِ وَبُعْدِهَا وَقِلَّةِ الْعَمَلِ وَكَثْرَتِهِ.

Abū Ḥanīfah berkata: Itu adalah upah, bukan zakat; karena mereka menerimanya meskipun dalam keadaan kaya, dan jika itu zakat, maka menurutnya haram diberikan kepada orang kaya. Ini adalah kekeliruan; karena Allah Ta‘ālā berfirman: {Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, dan para ‘āmil (petugas zakat) atasnya} [al-Tawbah: 60], maka tidak boleh hukum zakat dihilangkan hanya karena perbedaan pihak yang menerima; dan karena Nabi ﷺ melarang kerabat dekat beliau menjadi ‘āmil atas zakat karena zakat haram bagi mereka, dan jika zakat itu berubah menjadi upah, tentu beliau tidak melarang mereka. Tidaklah aneh jika upah itu menjadi zakat apabila diambil dari harta zakat. Jika demikian, apabila para ‘āmil dipekerjakan dengan akad ijarah (kontrak kerja), maka tidak boleh upah yang disebutkan dalam akad itu melebihi upah standar pada umumnya, sebagaimana tidak boleh dalam akad sewa atas harta anak yatim disebutkan upah lebih dari upah standar. Jika mereka tidak dipekerjakan dengan akad, maka mereka berhak atas upah standar, seperti orang yang telah bekerja tanpa akad. Hal itu berbeda-beda tergantung dekat-jauhnya jarak, sedikit-banyaknya pekerjaan.

قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” وَأَمَانَاتُهُمْ ” لَيْسَ يُرِيدُ أَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يُسْتَعْمَلَ غَيْرُ أَمِينٍ وَلَكِنَّهُ إِنْ كَانَ مَعْرُوفَ الْأَمَانَةِ كَانَتْ أُجْرَتُهُ أَكْثَرَ مِنْ غَيْرِ الْمَعْرُوفِ بِالْأَمَانَةِ، وَإِنْ كَانَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُسْتَعْمَلَ عَلَيْهَا غَيْرُ أَمِينٍ، وَمِنَ الْعَامِلِينَ عَلَيْهَا الْعَرِيفُ وَالْحَاشِرُ وَالْحَاسِبُ وَالْكَيَّالُ وَالْعَدَّادُ فَأَمَّا الْعَرِيفُ: فَعَرِيفَانِ: عَرِيفٌ عَلَى أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ، وَعَرِيفٌ عَلَى أَهْلِ السُّهْمَانِ.

Imam Syafi‘i berkata: “Dan maksud ‘kepercayaan mereka’ bukanlah bahwa boleh menggunakan orang yang tidak amanah, tetapi jika seseorang dikenal amanah, maka upahnya akan lebih besar daripada yang tidak dikenal amanah, meskipun tetap tidak boleh menggunakan orang yang tidak amanah. Di antara para pekerja yang mengurusnya adalah ‘arīf, hāshir, ḥāsib, kayyāl, dan ‘addād. Adapun ‘arīf itu ada dua: ‘arīf untuk para pemilik harta, dan ‘arīf untuk para penerima bagian (ahl al-suhmān).”

فَأَمَّا الْعَرِيفُ عَلَى أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ فَهُوَ الَّذِي يَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُ أَمْوَالَهُمْ، وَهَذَا يَجِبُ أَنْ يَكُونَ مِنْ جِيرَانِ أَهْلِ الْمَالِ لِيَصِحَّ أَنْ يَكُونَ عَارِفًا بِجَمِيعِهَا وَبِأَرْبَابِهَا.

Adapun ‘arīf untuk para pemilik harta adalah orang yang mengenal mereka dan mengetahui harta mereka. Ia harus berasal dari lingkungan para pemilik harta agar benar-benar mengetahui seluruh harta dan pemiliknya.

وَأَمَّا عَرِيفُ أَهْلِ السُّهْمَانِ فَهُوَ الَّذِي يَعْرِفُ كُلَّ صِنْفٍ مِنْهُمْ وَلَا يَخْفَى عَلَيْهِ أَحْوَالُهُمْ، وَهَذَا يَجِبُ أَنْ يَكُونَ مِنْ جِيرَانِ أَهْلِ السُّهْمَانِ لِيَصِحَّ أَنْ يَكُونَ عَارِفًا بِظَاهِرِ أَحْوَالِهِمْ وَبَاطِنِهَا، وَكِلَا الْفَرِيقَيْنِ أُجْرَتُهُ مِنْ سَهْمِ الْعَامِلِينَ وَأُجْرَتُهُمَا أَقَلُّ لِأَنَّهُمَا مِمَّنْ لَا يَحْتَاجُ إِلَى قَطْعِ مَسَافَةٍ لِكَوْنِهِمَا مِنْ بَلَدِ الصَّدَقَةِ لَا مِنَ الْمُسَافِرِينَ إِلَيْهِ.

Sedangkan ‘arīf untuk ahl al-suhmān adalah orang yang mengetahui setiap golongan dari mereka dan tidak ada keadaan mereka yang tersembunyi darinya. Ia juga harus berasal dari lingkungan ahl al-suhmān agar benar-benar mengetahui keadaan lahir dan batin mereka. Kedua kelompok ini upahnya diambil dari bagian para ‘āmilīn, dan upah mereka lebih sedikit karena mereka tidak perlu menempuh perjalanan jauh, sebab mereka berasal dari daerah tempat zakat, bukan dari kalangan yang datang dari luar.

وَأَمَّا الْحَاشِرُ فَحَاشِرَانِ:

Adapun hāshir, maka ada dua jenis hāshir:

حَاشِرٌ لَأَهِلِ السُّهْمَانِ يَقْتَصِرُ عَلَى النِّدَاءِ فِي النَّاحِيَةِ بِاجْتِمَاعِهِمْ لِأَخْذِ الصَّدَقَةِ، وَهَذَا أَقَلُّهُمَا أُجْرَةً لِكَوْنِهِ أَقَلَّهُمْ تَحَمُّلًا.

Hāshir untuk ahl al-suhmān, tugasnya hanya memanggil mereka di wilayahnya agar berkumpul untuk menerima zakat. Ia adalah yang paling sedikit upahnya karena bebannya paling ringan.

وَالثَّانِي: حَاشِرُ الْأَمْوَالِ لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُ الْعَامِلَ أَنْ يَتْبَعَ الْمَوَاشِيَ سَارِحَةً فِي مَرَاعِيهَا فَاحْتَاجَ إِلَى حَاشِرٍ يَحْشُرُهَا إِلَى مِيَاهِ أَهْلِهَا، وَهَذَا أَكْثَرُهُمَا أُجْرَةً لِكَوْنِهِ أَكْثَرَهُمَا عَمَلًا، وَكِلَاهُمَا أُجْرَتُهُمَا فِي سهم العاملين.

Yang kedua adalah hāshir harta, karena tidak wajib bagi ‘āmil untuk mengikuti ternak yang sedang digembalakan di padang rumputnya, maka dibutuhkan hāshir yang mengumpulkan ternak itu ke tempat air milik pemiliknya. Ia adalah yang paling besar upahnya karena pekerjaannya paling banyak. Keduanya, upahnya diambil dari bagian ‘āmilīn.

فَأَمَّا الْحَاسِبُ فَهُوَ الَّذِي يَحْسِبُ النُّصُبَ، وَقَدْرَ الْوَاجِبِ فِيهَا وَمَا يَسْتَحِقُّهُ كُلُّ صِنْفٍ مِنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ، وَيَجُوزُ أَنْ لَا يَكُونَ مِنْ جِيرَانِ الْمَالِ، وَأُجْرَتُهُ مِنْ سَهْمِ الْعَامِلِينَ، فَإِنْ كَانَ كَاتِبًا كَانَتْ أُجْرَتُهُ أَكْثَرَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ كَاتِبًا وَكَانَ الْعَامِلُ يَكْتُبُ وَإِلَّا احْتَاجَ إِلَى كَاتِبٍ يَكْتُبُ مَا أُخِذَ مِنَ الصَّدَقَاتِ مَنْ كُلِّ مَالِكٍ ثَبَتَ عَلَيْهِ قَدْرُ مَالِهِ وَمَبْلَغُ صَدَقَتِهِ، وَمَا أُعْطِيَ كُلُّ صِنْفٍ مِنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ بِإِثْبَاتِ أَسْهُمِ كُلِّ وَاحِدٍ وَنَسَبِهِ وَحِلْيَتِهِ وَقَدْرِ عَطِيَّتِهِ، وَكَتَبَ بَرَاءَةً لِرَبِّ الْمَالِ بِأَدَاءِ صَدَقَتِهِ، وَيُعْطَى أُجْرَتُهُ مِنْ سَهْمِ الْعَامِلِينَ.

Adapun ḥāsib adalah orang yang menghitung nishab, besaran kewajiban di dalamnya, dan apa yang menjadi hak setiap golongan dari ahl al-suhmān. Ia boleh tidak berasal dari lingkungan pemilik harta, dan upahnya diambil dari bagian ‘āmilīn. Jika ia juga seorang penulis, maka upahnya lebih besar. Jika bukan penulis dan ‘āmil yang menulis, maka tidak perlu penulis lain. Namun jika tidak, maka dibutuhkan penulis yang mencatat apa yang diambil dari zakat setiap pemilik harta, jumlah hartanya, dan besaran zakatnya, serta apa yang diberikan kepada setiap golongan dari ahl al-suhmān dengan mencatat bagian masing-masing, nasab, identitas, dan besaran pemberiannya. Ia juga menulis surat keterangan lunas bagi pemilik harta atas pembayaran zakatnya. Ia diberi upah dari bagian ‘āmilīn.

وَأَمَّا الْعَدَّادُ فَهُوَ الَّذِي يَعُدُّ مَوَاشِيَ أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ فَيُعْطَى أُجْرَتُهُ مِنْ سَهْمِ الْعَامِلِينَ.

Adapun ‘addād adalah orang yang menghitung ternak para pemilik harta, dan ia diberi upah dari bagian ‘āmilīn.

وَأَمَّا الْكَيَّالُ: فَكَيَّالُ مَالِ رَبِّ الْمَالِ، وَكَيَّالٌ لِحُقُوقِ أَهْلِ السُّهْمَانِ، فَأَمَّا كَيَّالُ الْمَالِ عَلَى رَبِّ الْمَالِ فَفِي أُجْرَتِهِ وَجْهَانِ مَضَيَا.

Adapun kayyāl: ada kayyāl untuk harta pemilik harta, dan kayyāl untuk hak-hak ahl al-suhmān. Adapun kayyāl untuk harta atas pemilik harta, dalam hal upahnya terdapat dua pendapat yang telah disebutkan.

وَأَمَّا الْكَيَّالُ لِحُقُوقِ أَهْلِ السُّهْمَانِ، فَفِي أُجْرَتِهِ وَجْهَانِ:

Adapun kayyāl untuk hak-hak ahl al-suhmān, dalam hal upahnya juga terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: فِي مَالِ أَهْلِ السُّهْمَانِ.

Pertama: dari harta ahl al-suhmān.

وَالثَّانِي: مِنْ سَهْمِ الْعَامِلِينَ وَرُبَّمَا احْتَاجَ الْعَامِلُ إِلَى غَيْرِ مَنْ ذَكَرْنَا مِنَ الْأَعْوَانِ فَيَكُونُ أُجُورُ مَنِ احْتَاجَ إِلَيْهِ مِنْهُمْ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنِ اعْتِبَارِ حَالِهِ فِيمَا يَخْتَصُّ بِهِ مِنْ عَمَلِهِ وَاللَّهُ أعلم.

Kedua: dari bagian ‘āmilīn. Kadang-kadang ‘āmil membutuhkan selain yang telah disebutkan dari para pembantu, maka upah mereka yang dibutuhkan diambil sesuai dengan keadaan dan pekerjaan khususnya, sebagaimana telah dijelaskan. Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَكَذَلِكَ الْمُؤَلَّفَةُ إِذَا احْتِيجَ إِلَيْهِمْ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Demikian pula al-mu’allafah (orang-orang yang dilunakkan hatinya) jika memang dibutuhkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْمُؤَلَّفَةَ قُلُوبُهُمْ إِنِ احْتِيجَ إِلَيْهِمْ أَحَدُ أَصْنَافِ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ عَلَى مَا وَصَفْنَا مِنْ أَقْسَامِهِمْ وَأَحْكَامِهِمْ وَقَدْرُ مَا يُعْطَاهُ الْوَاحِدُ مِنْهُمْ مَا يُتَآلَفُ بِهِ قَلْبُهُ فَيُقْلِعُ عن سيء الِاعْتِقَادِ فَإِذَا صَحَّ اعْتِقَادُهُ وَحَسُنَ إِسْلَامُهُ خَرَجَ مِنْ جُمْلَةِ الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ، وَإِنْ لَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ مَا أُعْطِيَ مُنِعَ لِئَلَّا يَكُونَ سَهْمُهُمْ مَصْرُوفًا فِي غَيْرِ نَفْعٍ، وَإِنْ أَثَّرَ تَأْثِيرًا لَمْ يُسْتَكْمَلْ مَعَهُ حُسْنُ الِاعْتِقَادِ أُعْطِيَ مِنْ بَعْدُ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ حُسْنَ إِسْلَامِهِ وَصِحَّةَ اعْتِقَادِهِ.

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa orang-orang yang mu’allaf qulubuhum, jika dibutuhkan, termasuk salah satu golongan penerima sedekah sebagaimana telah kami jelaskan mengenai jenis-jenis dan hukum-hukum mereka. Jumlah yang diberikan kepada masing-masing dari mereka adalah sebesar yang dapat melunakkan hati mereka sehingga mereka meninggalkan keyakinan yang buruk. Jika keyakinannya telah benar dan Islamnya telah baik, maka ia keluar dari golongan mu’allaf qulubuhum. Namun, jika apa yang diberikan kepadanya tidak berpengaruh, maka ia tidak lagi diberi agar bagian mereka tidak digunakan untuk sesuatu yang tidak bermanfaat. Jika pemberian tersebut berpengaruh namun belum menyempurnakan kebaikan keyakinannya, maka ia tetap diberi hingga Islamnya menjadi sempurna dan keyakinannya benar.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَالْمُكَاتَبُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَنْ يُعْتَقَ وَإِنْ دَفَعَ إِلَى سَيِّدِهِ كَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ “.

Imam Syafi’i berkata: “Dan mukatab itu berada di antara status budak dan merdeka, dan jika ia menyerahkan (uang) kepada tuannya, itu lebih aku sukai.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ أَنَّ الْمُكَاتَبِينَ هُمُ الْمُسْتَحِقُّونَ لِسَهْمِ الرِّقَابِ فِي الصَّدَقَاتِ، وَقَدْرُ مَا يُعْطَاهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مُعْتَبَرٌ بِمَا عَلَيْهِ، فَإِنْ كَانَ الْبَاقِي عَلَيْهِ وَهُوَ عَاجِزٌ عَنْهُ مِنْ آخِرِ نُجُومِهِ أُعْطِيَ جَمِيعَهُ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَوْسَطِ نُجُومِهِ أُعْطِيَ مَالَ ذَلِكَ النَّجْمِ الَّذِي قَدْ حَلَّ عَلَيْهِ، وَهَلْ يَجُوزُ عِنْدَ اتِّسَاعِ الْمَالِ أَنْ يُعْطَى مَا عَلَيْهِ مِنْ بَاقِي نُجُومِهِ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ عِتْقَهُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ بِنَاءً عَلَى الْوَجْهَيْنِ فِي جَوَازِ إِعْطَائِهِ مَالَ النَّجْمِ قَبْلَ حُلُولِهِ:

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya bahwa para mukatab adalah orang-orang yang berhak menerima bagian riqab dari sedekah. Jumlah yang diberikan kepada masing-masing dari mereka disesuaikan dengan kewajiban yang masih harus dibayar. Jika sisa pembayaran yang harus ia lunasi dan ia tidak mampu membayarnya adalah pada termin terakhir, maka ia diberikan seluruhnya. Jika masih di termin pertengahan, maka ia diberikan sesuai dengan nilai termin yang telah jatuh tempo. Apakah boleh, jika dana melimpah, diberikan seluruh sisa pembayaran hingga ia benar-benar merdeka atau tidak? Ada dua pendapat, berdasarkan dua pendapat dalam kebolehan memberikan pembayaran termin sebelum jatuh tempo:

أَحَدُهُمَا: يُعْطَى مَالَ ذَلِكَ النَّجْمِ وَحْدَهُ، وَهَذَا عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي لَا يَجُوزُ إِعْطَاءُ النَّجْمِ قَبْلَ حُلُولِهِ.

Pertama: Ia hanya diberikan sesuai nilai termin yang telah jatuh tempo saja. Ini menurut pendapat yang tidak membolehkan pemberian termin sebelum jatuh tempo.

وَالثَّانِي: يُعْطَى الْجَمِيعَ، وَهَذَا عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يَجُوزُ فِيهِ أَنْ يُعْطَى مَالَ النَّجْمِ قَبْلَ حلوله.

Kedua: Ia diberikan seluruhnya. Ini menurut pendapat yang membolehkan pemberian nilai termin sebelum jatuh tempo.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَيُعْطَى الْغَازِي الْحَمُولَةَ وَالسِّلَاحَ وَالنَّفَقَةَ وَالْكُسْوَةَ وَإِنِ اتَّسَعَ الْمَالُ زِيدُوا الْخَيْلَ “.

Imam Syafi’i berkata: “Dan seorang mujahid diberikan kendaraan, senjata, nafkah, dan pakaian. Jika dana melimpah, mereka juga diberi kuda.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا غزاة الصدقات فَلَهُمْ سَهْمُ سَبِيلِ اللَّهِ مِنْهَا وَمَا يُعْطَوْنَهُ مِنْهَا مُعْتَبَرٌ بِمُؤْنَةِ غَزْوِهِمْ وَإِنْ كَانَ الْجِهَادُ فِي بَلَدِهِمْ أُعْطُوا النَّفَقَةَ وَالسِّلَاحَ وَالْحَمُولَةَ الَّتِي تَحْمِلُهُمِ وَرِحَالَهُمْ، إِمَّا فِي مَاءٍ أَوْ عَلَى ظَهْرٍ ثُمَّ لَا يَخْلُو أَنْ يَكُونُوا فُرْسَانًا أَوْ رَجَّالَةً فَإِنْ كَانُوا فُرْسَانًا أُعْطَوْا نَفَقَاتِ خَيْلِهِمْ ومُؤْنَتِهِمْ فِي ذَهَابِهِمْ وَعَوْدَتِهِمْ، وَإِنْ كَانُوا رَجَّالَةً لَا خَيْلَ لَهُمْ فَإِنْ كَانُوا لَا يُقَاتِلُونَ إِلَّا رَجَّالَةً عَلَى الْأَرْضِ لَمْ يُعْطَوُا الْخَيْلَ، وَإِنْ كَانُوا يُقَاتِلُونَ فُرْسَانًا أُعْطُوا الْخَيْلَ إِذَا عَدِمُوهَا.

Al-Mawardi berkata: Adapun para mujahid yang menerima sedekah, mereka berhak atas bagian fi sabilillah dari zakat. Apa yang diberikan kepada mereka disesuaikan dengan kebutuhan mereka dalam berperang. Jika jihad dilakukan di negeri mereka, maka mereka diberikan nafkah, senjata, dan kendaraan yang membawa mereka beserta perlengkapannya, baik di air maupun di darat. Kemudian, mereka bisa jadi pasukan berkuda atau pasukan pejalan kaki. Jika mereka pasukan berkuda, maka mereka diberikan nafkah untuk kuda-kuda mereka dan kebutuhan mereka selama pergi dan pulang. Jika mereka pasukan pejalan kaki tanpa kuda, dan mereka hanya berperang berjalan kaki di darat, maka mereka tidak diberikan kuda. Namun, jika mereka harus melawan pasukan berkuda, maka mereka diberikan kuda jika mereka tidak memilikinya.

فَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ يُعْطَوْنَ مِنْ مَالِ الزَّكَاةِ الْخَيْلَ وَالسِّلَاحَ وَلَيْسَ فِيهَا خَيْلٌ وَلَا سِلَاحٌ.

Jika ada yang bertanya: Bagaimana mereka diberikan kuda dan senjata dari harta zakat, padahal di dalamnya tidak terdapat kuda maupun senjata?

قُلْنَا: لَا يَخْلُو دَافِعُ الزَّكَاةِ إِلَيْهِمْ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.

Kami katakan: Orang yang menyalurkan zakat kepada mereka tidak lepas dari dua kemungkinan.

إِمَّا أَنْ يَكُونَ رَبَّ الْمَالِ أَوِ الْوَالِيَ فَإِنْ كَانَ دَافِعُهَا رَبَّ الْمَالِ أَعْطَاهُمْ أَثْمَانَ الْخَيْلِ وَالسِّلَاحِ لِيَتَوَلَّوْا شِرَاءَ ذَلِكَ لِأَنْفُسِهِمْ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَشْتَرِيَهُ رَبُّ الْمَالِ لَهُمْ؛ لِأَنَّ إِخْرَاجَ الْقِيَمِ فِي الزَّكَوَاتِ لَا يَجُوزُ، وَإِنْ كَانَ الْوَالِي عَلَيْهَا هُوَ الدَّافِعَ لَهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Pertama, ia adalah pemilik harta atau seorang wali. Jika yang menyalurkan adalah pemilik harta, maka ia memberikan uang senilai kuda dan senjata agar mereka sendiri yang membelinya untuk diri mereka. Tidak boleh pemilik harta membelikan barang tersebut untuk mereka, karena mengeluarkan nilai (barang) dalam zakat tidak diperbolehkan. Jika yang menyalurkan adalah wali, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تُدْفَعُ إِلَيْهِمْ أَثْمَانُهَا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَوَلَّى شِرَاءَهَا رب الْمَالِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ.

Pertama: Diberikan kepada mereka uang senilai barang tersebut, dan tidak boleh pemilik harta yang membelikan untuk mereka. Ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan Ibn Abi Hurairah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ أَنْ يَتَوَلَّى شِرَاءَ ذَلِكَ لَهُمْ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّ الْمَالِ أَنَّ لِلْوَالِي عَلَيْهِمْ وِلَايَةً لَيْسَتْ لِرَبِّ الْمَالِ، فَجَازَ أَنْ يَتَوَلَّى شِرَاءَهُ لَهُمْ وَإِنْ لم يتوله رب المال.

Pendapat kedua: Boleh wali yang membelikan barang tersebut untuk mereka. Perbedaannya dengan pemilik harta adalah bahwa wali memiliki wewenang yang tidak dimiliki oleh pemilik harta, sehingga wali boleh membelikan barang tersebut untuk mereka meskipun pemilik harta tidak boleh.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَيُعْطَى ابْنُ السَّبِيلِ قَدْرَ مَا يُبَلِّغُهُ الْبَلَدَ الَّذِي يُرِيدُ مِنْ نَفَقَتِهِ وَحَمُولَتِهِ إِنْ كَانَ الْبَلَدُ بَعِيدًا أَوْ كَانَ ضَعِيفًا وَإِنْ كَانَ الْبَلَدُ قَرِيبًا وَكَانَ جَلْدًا الْأَغْلَبُ مِنْ مِثْلِهِ لَوْ كَانَ غَنِيًّا الْمَشْيُ إِلَيْهَا أُعْطِيَ مُؤْنَتَهُ وَنَفَقَتَهُ بِلَا حَمُولَةٍ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ وَيَرْجِعَ أُعْطِيَ مَا يَكْفِيهِ فِي ذَهَابِهِ وَرُجُوعِهِ مِنَ النَّفَقَةِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Ibnu sabil diberikan sejumlah yang dapat mengantarkannya ke negeri yang ia tuju, berupa biaya hidup dan ongkos kendaraannya jika negeri itu jauh atau ia lemah. Namun, jika negeri itu dekat dan ia kuat, sedangkan kebanyakan orang seperti dia—jika kaya—lebih memilih berjalan kaki ke sana, maka ia hanya diberi biaya hidup dan nafkah tanpa ongkos kendaraan. Jika ia ingin pergi dan kembali, maka ia diberi nafkah yang mencukupinya untuk pergi dan pulang.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالَّذِي يُعْطَاهُ ابْنُ السَّبِيلِ مُعْتَبَرٌ بِكِفَايَتِهِ فِي سَفَرِهِ بِحَسَبِ قُرْبِهِ وَبُعْدِهِ وَذَهَابِهِ وَعَوْدِهِ فَيُعْطَى مَا يَكْفِيهِ مِنْ نَفَقَةٍ وَمَؤُونَةٍ، فَإِنْ كَانَ جَلْدًا يَقْدِرُ عَلَى الْمَشْيِ فِي سَفَرِهِ لَمِ يُزَدْ عَلَى مَؤُونَتِهِ، وَإِنْ كَانَ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْمَشْيِ أَوْ كَانَ مُسَافِرًا فِي بَحْرٍ لَا يَجِدُ مِنَ الرُّكُوبِ بُدًّا أُعْطِيَ مَعَ النَّفَقَةِ كِرَاءَ مَرْكُوبِهِ، فَإِنْ أَرَادَ الْعَوْدَةَ أُعْطِيَ مَعَ اتِّسَاعِ الْمَالِ نَفَقَةَ الذَّهَابِ وَالْعَوْدَةِ وَنَفَقَةَ مُقَامِ الْمُسَافِرِ وَهُوَ مُدَّةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ لَا يُزَادُ عَلَيْهَا وَقَدْ ذَكَرْنَا مِنْ ذَلِكَ مَا أَقْنَعَ.

Al-Mawardi berkata: “Jumlah yang diberikan kepada ibnu sabil disesuaikan dengan kecukupannya dalam perjalanan, menurut jarak dekat atau jauhnya, serta kepergian dan kepulangannya. Ia diberikan apa yang mencukupinya berupa nafkah dan kebutuhan. Jika ia kuat dan mampu berjalan kaki dalam perjalanannya, maka tidak ditambah selain kebutuhannya. Namun, jika ia tidak mampu berjalan kaki atau bepergian melalui laut yang tidak memungkinkan kecuali dengan naik kendaraan, maka selain nafkah ia juga diberi ongkos kendaraannya. Jika ia ingin kembali, maka dengan kelapangan harta, ia diberi nafkah untuk pergi dan pulang serta nafkah selama menetap di tempat tujuan, yaitu selama tiga hari, tidak boleh lebih dari itu. Kami telah menyebutkan penjelasan yang memadai mengenai hal ini.”

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي: ” فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ يَأْتِي عَلَى السَّهْمِ كُلِّهِ أُعْطِيَهُ كُلَّهُ إِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ ابْنُ سَبِيلٍ غَيْرُهُ وَإِنْ كَانَ لَا يَأْتِي إِلَّا عَلَى سَهْمٍ، سَهْمٌ مِنْ مِائَةِ سَهْمٍ مِنْ سَهْمِ ابْنِ السَّبِيلِ لَمْ يُزَدْ عَلَيْهِ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika kebutuhan itu menghabiskan seluruh bagian (saham) maka diberikan seluruhnya kepadanya, jika tidak ada ibnu sabil lain bersamanya. Namun, jika kebutuhannya hanya mengambil sebagian, misal satu dari seratus bagian dari saham ibnu sabil, maka tidak boleh ditambah dari itu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لَا يَخْلُو حَالُ ابْنِ السَّبِيلِ وَكُلِّ صِنْفٍ مِنْ أَصْنَافِ أَهْلِ السُّهْمَانِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: “Sebagaimana yang beliau katakan, keadaan ibnu sabil dan setiap golongan dari ashnaf penerima saham tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونُوا ثَلَاثَةً وَهُمْ أَقَلُّ الْجَمْعِ الْمُطْلَقِ لَا يَزِيدُونَ عَلَيْهَا وَلَا يُنْقَصُونَ مِنْهَا، فَالْوَاجِبُ أَنْ يَقْضِيَ عَلَيْهِمْ سَهْمَهُمْ بِقَدْرِ حَاجَاتِهِمْ وَلَا يَجُوزُ الِاقْتِصَارُ عَلَى بَعْضِهِمْ سَوَاءً كَانَ دَافِعُ الزَّكَاةِ هُوَ الْوَالِي أَوْ رَبُّ الْمَالِ فَإِنْ كَانَ سَهْمُهُمْ وَفْقَ كِفَايَاتِهِمْ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نَقْصٍ أُعْطَوْهُ فَإِنْ أُعْطِيَ اثْنَانِ مِنْهُمْ وَحُرِمَ الثَّالِثُ ضُمِنَتْ حِصَّتُهُ بِقَدْرِ حَاجَتِهِ، وَإِنْ كَانَ سَهْمُهُمْ أَقَلَّ مِنْ كِفَايَاتِهِمْ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْمُعْطِي مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ رَبَّ الْمَالِ أَوِ الْعَامِلَ فَإِنْ كَانَ رَبَّ الْمَالِ قَسَّمَهُ عَلَى خِيَارِهِ مِنْ تَسْوِيَةٍ وَتَفْضِيلٍ، وَإِنْ كَانَ الْعَامِلَ قَسَّمَهُ بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ الْحَاجَةِ وَوُكِلُوا فِي بَاقِي كِفَايَاتِهِمْ عَلَى مَا يَأْتِي مِنَ الصَّدَقَاتِ، فَإِنْ أُعْطِيَ اثْنَانِ مِنْهُمْ وَحُرِمَ الثَّالِثُ ضُمِنَتْ حِصَّتُهُ، فَإِنْ كَانَ فَاعِلُ ذَلِكَ هُوَ الْعَامِلَ ضَمِنَ حِصَّةَ الثَّالِثِ بِقَدْرِ حَاجَتِهِ، وَإِنْ كَانَ رَبَّ الْمَالِ فَفِي قَدْرِ مَا يَضْمَنُهُ قَوْلَانِ:

Pertama: Mereka berjumlah tiga orang, yaitu jumlah minimal dari suatu kelompok, tidak lebih dan tidak kurang. Maka wajib diberikan bagian mereka sesuai kebutuhan mereka, dan tidak boleh hanya diberikan kepada sebagian saja, baik yang membagikan zakat itu adalah penguasa atau pemilik harta. Jika bagian mereka sesuai dengan kebutuhan mereka tanpa kelebihan atau kekurangan, maka mereka menerimanya. Jika dua orang telah menerima dan yang ketiga tidak, maka bagian yang ketiga dijamin sesuai kebutuhannya. Jika bagian mereka kurang dari kebutuhan mereka, maka pemberi tidak lepas dari dua keadaan: jika ia pemilik harta, ia boleh membaginya menurut pilihannya, baik merata maupun lebih mengutamakan sebagian; jika ia amil, maka ia membaginya sesuai kebutuhan mereka dan sisanya diserahkan kepada apa yang akan datang dari sedekah berikutnya. Jika dua orang telah menerima dan yang ketiga tidak, maka bagian yang ketiga dijamin. Jika yang melakukan itu adalah amil, maka ia menjamin bagian ketiga sesuai kebutuhannya. Jika pemilik harta, maka ada dua pendapat tentang kadar yang harus ia jamin:

أَحَدُهُمَا: ثُلُثَ سَهْمِهِمُ اعْتِبَارًا بِالْعَدَدِ.

Pertama: Sepertiga dari bagian mereka, berdasarkan jumlah orangnya.

وَالثَّانِي: يَضْمَنُ أَقَلَّ مَا يُجْزِئُ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَيْهِمْ، لِأَنَّ التَّسْوِيَةَ بَيْنَهُمْ لَا تَلْزَمُ، وَإِنْ كَانَ سَهْمُهُمْ أَكْثَرَ مِنْ كِفَايَاتِهِمْ أُعْطُوا مِنْهُ قَدْرَ كِفَايَاتِهِمْ مِنْ غَيْرِ الزِّيَادَةِ، وَفِيمَا يُصْنَعُ بِالْفَاضِلِ مِنْ سَهْمِهِمْ وَجْهَانِ مَضَيَا:

Kedua: Ia menjamin kadar paling sedikit yang cukup untuk diberikan kepada mereka, karena pemerataan di antara mereka tidak wajib. Jika bagian mereka lebih banyak dari kebutuhan mereka, maka mereka hanya diberikan sesuai kebutuhan tanpa kelebihan. Adapun kelebihan dari bagian mereka, ada dua pendapat yang telah lalu:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ يُرَدُّ عَلَى بَاقِي الْأَصْنَافِ.

Pertama: Menurut mazhab Syafi‘i, kelebihan itu dikembalikan kepada golongan yang lain.

وَالثَّانِي: يُنْقَلُ إِلَى أَهْلِ ذَلِكَ الصِّنْفِ فِي أَقْرَبِ الْبِلَادِ بِهِمْ.

Kedua: Kelebihan itu diberikan kepada golongan yang sama di negeri terdekat.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونُوا أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةٍ كَأَنَّهُمْ كَانُوا عَشَرَةً فَصَاعِدًا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian kedua adalah jika mereka lebih dari tiga orang, misalnya sepuluh orang atau lebih, maka ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ سَهْمُهُمْ وَفْقًا لِكِفَايَةِ جَمِيعِهِمْ فَالْوَاجِبُ أَنْ يُقَسَّمَ عَلَى جَمِيعِهِمْ وَلَا يَجُوزَ الِاقْتِصَارُ عَلَى بَعْضِهِمْ، فَإِنِ اقْتَصَرَ الْمُعْطِي عَلَى بَعْضِهِمْ وَحَرَمَ الْبَاقِينَ ضَمِنَ لِمَنْ حَرَمَهُ قَدْرَ كِفَايَتِهِ وَجْهًا وَاحِدًا سَوَاءً كَانَ الْمُعْطِي رَبَّ الْمَالِ أَوِ الْعَامِلَ.

Pertama: Jika bagian mereka sesuai dengan kebutuhan seluruhnya, maka yang wajib adalah membaginya kepada semua mereka dan tidak boleh hanya diberikan kepada sebagian saja. Jika pemberi hanya memberikan kepada sebagian dari mereka dan menghalangi sisanya, maka ia wajib mengganti kebutuhan orang yang dihalangi tersebut, baik pemberinya adalah pemilik harta maupun ‘āmil.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ سَهْمُهُمْ يَقْضِي عَنْ كِفَايَةِ جَمِيعِهِمْ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: Jika bagian mereka mencukupi kebutuhan seluruhnya, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْمُعْطِي رَبَّ الْمَالِ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَقْتَصِرَ ثُمُنُهُمْ عَلَى ثَلَاثَةٍ فَصَاعِدًا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ لِاسْتِحْقَاقِ ذَلِكَ لِأَقَلِّ الْجَمْعِ فَإِنِ اقْتَصَرَ عَلَى اثْنَيْنِ ضَمِنَ حِصَّةَ الثَّالِثِ، وَفِي قَدْرِهَا وَجْهَانِ مَضَيَا:

Pertama: Jika pemberinya adalah pemilik harta, maka boleh baginya membatasi pemberian kepada tiga orang atau lebih, dan tidak boleh kurang dari tiga orang karena hak itu ditetapkan untuk jumlah terkecil dari suatu kelompok. Jika ia membatasi pada dua orang, maka ia wajib mengganti bagian orang ketiga. Dalam hal jumlahnya terdapat dua pendapat yang telah lalu:

أَحَدُهُمَا: الثُّلُثُ.

Pertama: Sepertiga.

وَالثَّانِي: قَدْرُ الْأَجْزَاءِ.

Kedua: Sesuai dengan bagian-bagiannya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْمُعْطِي الْوَالِيَ فَعَلَيْهِ أَنْ يُفَرِّقَ ذَلِكَ عَلَى جَمِيعِهِمْ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى بَعْضِهِمْ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ رَبِّ الْمَالِ أَنَّ مَا يُعْطِيهِ رَبُّ الْمَالِ هُوَ بَعْضُ الصَّدَقَاتِ فَجَازَ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى بَعْضِ أَهْلِ السُّهْمَانِ وَمَا يُعْطِيهِ الْوَالِي هُوَ جَمِيعُ الصَّدَقَاتِ فَوَجَبَ أَنْ يُفَرِّقَهُ عَلَى جَمِيعِ أَهْلِ السُّهْمَانِ فَهَذَا قِسْمٌ ثَانٍ.

Jenis kedua: Jika pemberinya adalah penguasa (wālī), maka ia wajib membagikan itu kepada seluruh mereka, dan tidak boleh membatasi pada sebagian saja. Perbedaan antara penguasa dan pemilik harta adalah bahwa apa yang diberikan oleh pemilik harta adalah sebagian dari sedekah, sehingga boleh membatasi pada sebagian ahli ash-shahmān, sedangkan apa yang diberikan oleh penguasa adalah seluruh sedekah, sehingga wajib membagikannya kepada seluruh ahli ash-shahmān. Inilah bagian kedua.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونُوا أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ كَأَنَّهُ وَجَدَ وَاحِدًا لَمْ يَرَ سِوَاهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian ketiga adalah jika mereka kurang dari tiga orang, misalnya hanya ditemukan satu orang dan tidak ada selainnya, maka ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ السَّهْمُ أَكْثَرَ مِنْ كِفَايَتِهِ فَيُعْطَى مِنْهُ قَدْرَ كِفَايَتِهِ، وَفِيمَنْ يُنْقَلُ إِلَيْهِ الْفَاضِلُ مِنْهُ الْوَجْهَانَ الْمَاضِيَانِ:

Pertama: Jika bagian tersebut lebih banyak dari kebutuhannya, maka ia diberikan sesuai kebutuhannya, dan mengenai ke mana kelebihan itu dipindahkan, terdapat dua pendapat yang telah lalu:

أَحَدُهُمَا: إِلَى بَاقِي الْأَصْنَافِ.

Pertama: Kepada sisa kelompok yang lain.

وَالثَّانِي: إِلَى ذَلِكَ الصِّنْفِ فِي أَقْرَبِ الْبِلَادِ.

Kedua: Kepada kelompok tersebut di negeri terdekat.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ السَّهْمُ كُلُّهُ بِقَدْرِ كِفَايَةِ هَذَا الْوَاحِدِ، فَفِي جَوَازِ دَفْعِ جَمِيعِهِ إِلَيْهِ وَجْهَانِ:

Jenis kedua: Jika seluruh bagian itu hanya sebesar kebutuhan satu orang ini, maka dalam hal kebolehan memberikan seluruhnya kepadanya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ يَجُوزُ أَنْ يُدْفَعَ إِلَيْهِ جَمِيعُ السَّهْمِ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ الِاقْتِصَارُ عَلَى بَعْضِ الْأَصْنَافِ عِنْدَ عَدَمِ مَنْ سِوَاهُ جَازَ الِاقْتِصَارُ عَلَى بَعْضِ الصِّنْفِ عِنْدَ عَدَمِ مَنْ سِوَاهُ.

Pertama: Dan ini adalah mazhab Syafi‘i yang dinyatakan dalam masalah ini, boleh diberikan seluruh bagian kepadanya, karena jika boleh membatasi pada sebagian kelompok ketika tidak ada selainnya, maka boleh juga membatasi pada sebagian dari kelompok ketika tidak ada selainnya.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: إِنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهُ مِنَ السَّهْمِ إِلَّا ثُلُثَهُ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَهُ لِجَمْعٍ أَقَلُّهُ ثَلَاثَةٌ، وَيُنْقَلُ بَاقِي السَّهْمِ، وَهُوَ ثُلُثَاهُ إِلَى ذَلِكَ الصِّنْفِ فِي أَقْرَبِ الْبِلَادِ وَلَا يعاد على باقي الأصناف.

Pendapat ketiga: Tidak boleh diberikan kepadanya dari bagian itu kecuali sepertiganya saja, tidak lebih, karena Allah Ta‘ala menetapkan bagian itu untuk suatu kelompok yang paling sedikit berjumlah tiga orang, dan sisa bagian, yaitu dua pertiganya, dipindahkan kepada kelompok tersebut di negeri terdekat dan tidak dikembalikan kepada kelompok lain.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” ويقسم لِلْعَامِلِ بِمَعْنَى الْكِفَايَةِ وَابْنِ السَّبِيلِ بِمَعْنَى الْبَلَاغِ لِأَنِّي لَوْ أَعْطَيْتُ الْعَامِلَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالْغَازِيَ بالاسم لم يسقط عن العامل اسم العامل ما لم يعزل ولا عن ابن السبيل اسم ابن السبيل ما دام مجتازا أو يريد الاجتياز ولا عن الغازي ما كان على الشخوص للغزو “.

Imam Syafi‘i berkata: “Dan diberikan kepada ‘āmil sesuai kebutuhan, dan kepada ibn as-sabīl sesuai kebutuhan perjalanan, karena jika aku memberikan kepada ‘āmil, ibn as-sabīl, dan al-ghāzī hanya berdasarkan nama, maka status ‘āmil tidak gugur darinya selama belum diberhentikan, dan status ibn as-sabīl tidak gugur darinya selama ia masih dalam perjalanan atau berniat melanjutkan perjalanan, dan status al-ghāzī tidak gugur darinya selama ia masih dalam perjalanan untuk berjihad.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِنَّمَا قَصْدُ الشَّافِعِيِّ بِذَلِكَ تَمْيِيزُ أَهْلِ السُّهْمَانِ، وَأَنَّهُمْ صِنْفَانِ:

Al-Māwardī berkata: Maksud Syafi‘i dengan hal itu adalah membedakan ahli ash-shahmān, dan bahwa mereka terbagi menjadi dua kelompok:

أَحَدُهُمَا: مَا يُعْطَى بِالِاسْمِ حَتَّى يَزُولَ عَنْهُ.

Pertama: Mereka yang diberikan berdasarkan nama hingga status itu hilang darinya.

وَالثَّانِي: مَنْ يُعْطَى لِمَعْنًى يَقْتَرِنُ بِالِاسْمِ، لَا يُرَاعِي زَوَالَهُ عَنْهُ، فَأَمَّا الْمُعْطَوْنَ بِالِاسْمِ حَتَّى يَزُولَ عَنْهُمْ فَأَرْبَعَةُ أَصْنَافٍ.

Kedua: Mereka yang diberikan karena suatu alasan yang berkaitan dengan nama, tanpa memperhatikan hilangnya status itu darinya. Adapun mereka yang diberikan berdasarkan nama hingga status itu hilang dari mereka, maka ada empat kelompok.

الْفُقَرَاءُ يُعْطَوْنَ حَتَّى يَسْتَغْنُوا فَيَزُولُ عَنْهُمُ اسْمُ الْفَقْرِ وَالْمَسَاكِينُ يُعْطَوْنَ حَتَّى يَسْتَغْنُوا فَيَزُولَ عَنْهُمُ اسْمُ الْمَسْكَنَةِ، وَالْمُكَاتَبُونَ يُعْطَوْنَ حَتَّى يُعْتَقُوا فَيَزُولَ عَنْهُمُ اسْمُ الْكِتَابَةِ، وَالْغَارِمُونَ يُعْطَوْنَ حَتَّى يَقْضُوا دُيُونَهُمْ، فَيَزُولَ عَنْهُمُ اسْمُ الْغُرْمِ، فَأَمَّا الْمُعْطَوْنَ لِمَعْنًى يَقْتَرِنُ بِالِاسْمِ وَلَا يُرَاعَى زَوَالُ الِاسْمِ عَنْهُ فَأَرْبَعَةُ أَصْنَافٍ.

Fuqara’ diberikan (zakat) hingga mereka menjadi cukup, sehingga hilang dari mereka sebutan “fakir”; dan masakin diberikan hingga mereka menjadi cukup, sehingga hilang dari mereka sebutan “miskin”; dan mukatabun diberikan hingga mereka merdeka, sehingga hilang dari mereka sebutan “mukatab”; dan gharimun diberikan hingga mereka melunasi utang-utang mereka, sehingga hilang dari mereka sebutan “gharim”. Adapun mereka yang diberikan karena suatu makna yang berkaitan dengan nama (golongan) namun tidak dipertimbangkan hilangnya nama tersebut dari mereka, maka ada empat golongan.

الْعَامِلُونَ يُعْطَوْنَ أُجُورَهُمْ وَإِنْ سُمُّوا بَعْدَ الْأَخْذِ عُمَّالًا.

‘Amilun diberikan upah mereka, meskipun setelah menerima (zakat) mereka tetap disebut ‘amil.

وَالْمُؤَلَّفَةُ قُلُوبُهُمْ يُعْطَوْنَ وَإِنْ سُمُّوا بَعْدَ الْأَخْذِ مُؤَلَّفَةً.

Mu’allafatu qulubuhum diberikan (zakat) meskipun setelah menerima mereka tetap disebut mu’allafah.

وَالْغُزَاةُ يُعْطَوْنَ وَإِنْ سُمُّوا بَعْدَ الْأَخْذِ غُزَاةً، وَبَنُو السَّبِيلِ يُعْطَوْنَ وَإِنْ سُمُّوا بَعْدَ الْأَخْذِ بَنِي السَّبِيلِ وَلَا يُرَاعَى فِيهِمْ زَوَالُ الِاسْمِ عَنْهُمْ كَمَا يُرَاعَى فِيمَنْ تَقَدَّمَهُمْ.

Para ghuzat diberikan (zakat) meskipun setelah menerima mereka tetap disebut ghuzat, dan ibnu sabil diberikan (zakat) meskipun setelah menerima mereka tetap disebut ibnu sabil, dan tidak dipertimbangkan pada mereka hilangnya nama tersebut sebagaimana dipertimbangkan pada golongan sebelumnya.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي: ” وَأَيُّ السُّهْمَانِ فَضَلَ عَنْ أَهْلِهِ رُدَّ عَلَى عدد من عدد من بقّى السُّهْمَانِ كَأَنْ بَقَّى فُقَرَاءَ وَمَسَاكِينَ لَمْ يَسْتَغْنُوا وغارمون لم تقض كل دُيُونَهُمْ فَيُقَسَّمُ مَا بَقِيَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَسْهُمٍ فَإِنِ اسْتَغْنَى الْغَارِمُونَ رُدَّ بَاقِي سَهْمِهِمْ عَلَى هذين السهمين نصفين حتى تنفد السهمان وإنما رد ذلك لأن الله تعالى لما جعل هذا المال لا مالك له من الآدميين بعينه يرد إليه كما ترد عطايا الآدميين ووصاياهم لو أوصي بها لرجل فمات الموصى له قبل الموصي كانت وصيته راجعة إلى ورثة الموصي فلما كان هذا المال مخالفا المال يورث هَهنا لم يكن أحد أولى به عندنا في قسم الله تعالى وأقرب ممن سمى الله تعالى له هذا المال وهؤلاء من جملة من سمى الله تعالى له هذا المال ولم يبق مسلم محتاج إلا وله حق سواه “.

Imam Syafi‘i berkata: “Apabila ada bagian (zakat) yang tersisa dari para penerimanya, maka dikembalikan kepada jumlah dari jumlah golongan yang masih tersisa bagiannya, seperti jika masih ada fuqara’ dan masakin yang belum cukup, dan gharimun yang belum seluruh utangnya terlunasi, maka sisa zakat dibagi kepada tiga golongan ini. Jika gharimun telah cukup, maka sisa bagian mereka dikembalikan kepada dua golongan ini (fuqara’ dan masakin) secara setengah-setengah hingga habis kedua bagian tersebut. Hal itu dikembalikan karena Allah Ta‘ala telah menjadikan harta ini tidak ada pemiliknya dari kalangan manusia secara khusus, sehingga dikembalikan sebagaimana pemberian dan wasiat manusia, jika seseorang berwasiat kepada seseorang lalu yang diwasiati meninggal sebelum yang berwasiat, maka wasiatnya kembali kepada ahli waris yang berwasiat. Maka ketika harta ini berbeda dengan harta warisan, di sini tidak ada seorang pun yang lebih berhak menurut kami dalam pembagian Allah Ta‘ala, dan yang paling dekat adalah mereka yang Allah Ta‘ala sebutkan sebagai penerima harta ini, dan mereka adalah bagian dari yang Allah Ta‘ala sebutkan sebagai penerima harta ini, dan tidak ada seorang Muslim yang membutuhkan kecuali ia berhak atasnya selain mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا قُسِّمَتِ الزَّكَاةُ عَلَى الْمَوْجُودِينَ مِنَ الْأَصْنَافِ فَكَانَتْ سِهَامُ بَعْضِ الْأَصْنَافِ أَكْثَرَ مِنْ كِفَايَاتِهِمْ، وَسِهَامُ الْبَاقِينَ مِنَ الْأَصْنَافِ أَقَلَّ مِنْ كِفَايَاتِهِمْ، لَمْ يُعْطَ الْمُكْتَفُونَ بِبَعْضِ سِهَامِهِمْ إِلَّا قَدْرَ كِفَايَاتِهِمْ، وَنُقِلَ عَنْهُمُ الْفَاضِلُ مِنْ كِفَايَاتِهِمْ، ثُمَّ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ وَغَيْرِهِ: أَنْ يُرَدَّ عَلَى بَاقِي الْأَصْنَافِ الَّذِينَ قَصَرَتْ سِهَامُهُمْ عَنْ كِفَايَاتِهِمْ عَلَى مَا وَصَفَهُ مِنَ الْمِثَالِ فِي الْقِسْمَةِ، وَذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ إِلَى أَنَّهُ يُنْقَلُ الْفَاضِلُ مِنْ تِلْكَ السِّهَامِ إِلَى أَهْلِهَا فِي أَقْرَبِ الْبِلَادِ، ولا يرد على باقي الأصناف لأن لا يفاضل بين الأصناف مع تسوية الله تعال بَيْنَهُمْ، وَمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ أَصَحُّ لِثَلَاثَةِ مَعَانٍ:

Al-Mawardi berkata: Jika zakat dibagikan kepada golongan yang ada, lalu bagian beberapa golongan lebih banyak dari kebutuhan mereka, dan bagian golongan yang tersisa lebih sedikit dari kebutuhan mereka, maka yang telah cukup dengan sebagian bagiannya hanya diberikan sesuai kebutuhan mereka, dan kelebihan dari kebutuhan mereka dipindahkan dari mereka. Kemudian, mazhab Syafi‘i yang dinyatakan dalam masalah ini dan selainnya adalah: kelebihan tersebut dikembalikan kepada golongan lain yang bagian mereka kurang dari kebutuhan mereka, sebagaimana dijelaskan dalam contoh pembagian, dan sebagian sahabat beliau berpendapat bahwa kelebihan dari bagian tersebut dipindahkan kepada penerimanya di negeri terdekat, dan tidak dikembalikan kepada golongan lain agar tidak terjadi perbedaan antara golongan, padahal Allah Ta‘ala telah menyamakan di antara mereka. Pendapat Syafi‘i lebih benar karena tiga alasan:

أَحَدُهَا: إِنَّهُ لَا يَجُوزُ الْعُدُولُ بِالصَّدَقَةِ عَنْ جِيرَانِ الْمَالِ مَا وُجِدُوا، وَفِي هَذَا عُدُولٌ عَنْهُمْ.

Pertama: Tidak boleh memindahkan sedekah dari tetangga harta selama mereka masih ada, dan dalam hal ini terdapat pemindahan dari mereka.

وَالثَّانِي: إِنَّهُ لَمَّا عَدِمَ بَعْضَ الْأَصْنَافِ وَجَبَ رَدُّ سَهْمِهِ عَلَى مَنْ وُجِدَ وَلَا يُنْقَلُ، فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ الْفَاضِلُ عَنْ كِفَايَةِ الْمَوْجُودِينَ يُرَدُّ عَلَى مَنِ احْتَاجَ وَلَا يُنْقَلُ.

Kedua: Ketika sebagian golongan tidak ada, maka bagian mereka wajib dikembalikan kepada yang ada dan tidak dipindahkan, maka lebih utama jika kelebihan dari kebutuhan yang ada dikembalikan kepada yang membutuhkan dan tidak dipindahkan.

وَالثَّالِثُ: إِنَّهُ لَمَّا كَانَتِ الْوَصَايَا إِذَا ضَاقَتْ وَرَدَّ بَعْضُهُمْ حِصَّتَهُ مِنْهَا رُدَّتْ عَلَى مَنْ بَقِيَ وَلَمْ تُرَدَّ عَلَى الْوَرَثَةِ كَانَتِ الصدقة بمثابتها، والله أعلم.

Ketiga: Ketika wasiat, jika tidak cukup dan sebagian mereka mengembalikan bagiannya, maka dikembalikan kepada yang tersisa dan tidak dikembalikan kepada ahli waris, maka sedekah pun demikian hukumnya. Allah Maha Mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” أَمَّا أَهْلُ الْفَيْءِ فَلَا يَدْخُلُونَ عَلَى أَهْلِ الصدقة وأما أهل الصدقة الأخرى فَهُوَ مَقْسُومٌ لَهُمْ صَدَقَتُهُمْ فَلَوْ كَثُرَتْ لَمْ يدخل عليهم غيرهم وواحد مِنْهُمْ يَسْتَحِقُّهَا فَكَمَا كَانُوا لَا يَدْخُلُ عَلَيْهِمْ غَيْرُهُمْ فَكَذَلِكَ لَا يَدْخُلُونَ عَلَى غَيْرِهِمْ مَا كَانَ مِنْ غَيْرِهِمْ مَنْ يَسْتَحِقُّ مِنْهَا شَيْئًا “.

Imam Syafi‘i berkata: “Adapun ahl al-fay’ tidak masuk ke dalam hak ahl al-shadaqah. Adapun ahl al-shadaqah yang lain, maka shadaqah itu dibagikan kepada mereka. Jika jumlahnya banyak, tidak ada yang masuk ke dalamnya selain mereka, dan salah satu dari mereka berhak atasnya. Sebagaimana tidak ada yang masuk ke dalam hak mereka selain mereka, demikian pula mereka tidak masuk ke dalam hak selain mereka selama masih ada selain mereka yang berhak atasnya.”

قال الماوردي: وهذا كمال قَالَ وَهِيَ جُمْلَةٌ تَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ini adalah kesempurnaan perkataan beliau, dan ini adalah satu kesimpulan yang mencakup dua bagian:

أَحَدُهُمَا: تَمْيِيزُ أَهْلِ الصَّدَقَةِ عَنْ أَهْلِ الْفَيْءِ.

Pertama: Membedakan antara ahl al-shadaqah dan ahl al-fay’.

وَالثَّانِي: تَمْيِيزُ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ بَعْضِهِمْ عَنْ بَعْضٍ.

Kedua: Membedakan antara sesama ahl al-shadaqah.

فَأَمَّا تَمْيِيزُ أَهْلِ الصَّدَقَةِ عَنْ أَهْلِ الْفَيْءِ فَقَدْ ذَكَرْنَاهُ، وَقُلْنَا لِمَنْ قَالَ: الْفَيْءُ لِأَهْلِهِ لَا يَجُوزُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ أَهْلُ الصَّدَقَاتِ، وأما الصدقة لأهلها، لا يَجُوزُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا أَهْلُ الْفَيْءِ، وَهُوَ قَوْلُ أَهْلِ الْحِجَازِ وَإِنْ خَالَفَ فِيهِ أَهْلُ الْعِرَاقِ بَعْدَ مُضِيِّ الْكَلَامِ فِيهِ.

Adapun pembedaan antara ahli sedekah (penerima zakat) dan ahli fai’ (penerima harta rampasan tanpa peperangan), telah kami sebutkan sebelumnya. Kami juga telah menjawab mereka yang berpendapat bahwa fai’ hanya untuk ahlinya dan tidak boleh diambil oleh ahli sedekah, demikian pula sedekah hanya untuk ahlinya dan tidak boleh diambil oleh ahli fai’. Ini adalah pendapat ulama Hijaz, meskipun ulama Irak berbeda pendapat setelah pembahasan ini berlalu.

وَأَمَّا تَمْيِيزُ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ فَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِحَالِ مُعْطِيهَا، فَإِنْ كَانَ رَبُّ الْمَالِ هُوَ الْمُعْطِيَ تَمَيَّزُوا بِالْجِوَارِ فَإِذَا أَعْطَى زَكَاةَ مَالِهِ لِأَهْلِهَا مِنْ جِيرَانِهِ فَإِنِ اكْتَفَوْا بِهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَأْخُذُوا مِنْ زَكَاةِ غَيْرِهِمَا، وَإِنْ لَمْ يَكْتَفُوا جَازَ أَنْ يَأْخُذُوا مِنْ زَكَاةٍ أُخْرَى، لِأَنَّ أَرْبَابَ الْأَمْوَالِ قَدْ يَتَجَاوَرُونَ فَيَكُونُ فِي جِيرَانِ جَمِيعِهِمْ أَهْلًا لِصَدَقَاتِهِمْ كُلِّهِمْ، فَإِنْ كَانَ الْعَامِلُ هُوَ الْمُعْطِيَ فَأَهْلُ عَمَلِهِ أَهْلُ الصَّدَقَاتِ الَّتِي يَجْبِيهَا، فَإِذَا فَرَّقَهَا فِيهِمْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَأْخُذُوا، مِنْ غَيْرِهَا مِنَ الصَّدَقَاتِ سَوَاءً اكْتَفَوْا بِمَا قَدْ أَخَذُوا مِنَ الصَّدَقَاتِ أَمْ لَا؛ لِأَنَّهُ لا حق لهم في صدقة ليس مِنْ أَهْلِهَا، وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ: ” فَكَمَا لَا يَدْخُلُونَ عَلَى غَيْرِهِمْ فَكَذَلِكَ لَا يَدْخُلُ عَلَيْهِمْ غَيْرُهُمْ “، وَدَلَّ الشَّافِعِيُّ بِهَذَا عَلَى أَنَّ الصَّدَقَةَ إِذَا فَضَلَتْ عَنْ كِفَايَةِ بَعْضِهِمْ فَاحْتَاجَ إِلَيْهَا الْبَاقُونَ أَنَّهَا لَا تُنْقَلُ عَنْهُمْ تَعْلِيلًا بِأَنَّهُمْ لَمَّا لَمْ يَدْخُلُوا عَلَى غَيْرِهِمْ فِي صَدَقَةٍ أُخْرَى لَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهِمْ غَيْرُهُمْ فِي الْفَاضِلِ مِنْ صَدَقَاتِ بَعْضِهِمْ، وَهَذَا تَعْلِيلٌ صَحِيحٌ.

Adapun pembedaan ahli sedekah, maka hal itu bergantung pada keadaan pemberinya. Jika pemilik harta sendiri yang memberikan, maka pembedaan dilakukan berdasarkan kedekatan tempat tinggal. Jika ia memberikan zakat hartanya kepada para penerima zakat dari tetangganya, lalu mereka telah merasa cukup dengan itu, maka tidak boleh mereka mengambil zakat dari selainnya. Namun jika mereka belum cukup, maka boleh mereka mengambil zakat lain, karena para pemilik harta bisa saja bertetangga dan di antara tetangga mereka terdapat orang-orang yang berhak menerima zakat dari semuanya. Jika amil (petugas zakat) yang memberikan, maka ahli wilayah kerjanya adalah penerima zakat yang ia kumpulkan. Jika ia telah membagikannya kepada mereka, maka tidak boleh mereka mengambil dari zakat lain, baik mereka telah cukup dengan apa yang mereka terima atau belum; karena mereka tidak berhak atas zakat yang bukan untuk mereka. Inilah makna perkataan asy-Syafi‘i: “Sebagaimana mereka tidak mengambil dari selain mereka, demikian pula selain mereka tidak mengambil dari mereka.” Dengan ini, asy-Syafi‘i menunjukkan bahwa jika zakat telah melebihi kebutuhan sebagian mereka, sementara yang lain masih membutuhkan, maka zakat itu tidak boleh dipindahkan dari mereka, dengan alasan bahwa sebagaimana mereka tidak mengambil dari zakat lain, maka selain mereka pun tidak mengambil dari kelebihan zakat sebagian mereka. Ini adalah alasan yang benar.

فَإِنْ قِيلَ: فَمَا الْفَرْقُ بَيْنَ مَا يُعْطِيهِ الْعَامِلُ وَبَيْنَ مَا يُعْطِيهِ رَبُّ الْمَالِ.

Jika dikatakan: Apa perbedaan antara zakat yang diberikan oleh amil dan yang diberikan oleh pemilik harta?

قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ رَبَّ الْمَالِ يُعْطِي بَعْضَ الصَّدَقَاتِ فَجَازَ أَنْ يُعْطِيَ الْآخِذَ مِنْ صَدَقَةٍ أُخْرَى، وَالْعَامِلُ يُعْطِي جَمِيعَ الصَّدَقَاتِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْطِيَ الْآخِذَ مِنْ صَدَقَةٍ أُخْرَى، وَاللَّهُ أعلم.

Dijawab: Perbedaannya adalah bahwa pemilik harta memberikan sebagian zakat, sehingga boleh bagi penerima untuk mengambil dari zakat lain, sedangkan amil memberikan seluruh zakat, sehingga tidak boleh bagi penerima untuk mengambil dari zakat lain. Dan Allah lebih mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وإن اسْتَغْنَى أَهْلُ عَمَلٍ بِبَعْضِ مَا قُسِمَ لَهُمْ وَفَضَلَ عَنْهُمْ فَضْلٌ رَأَيْتُ أَنْ يُنْقَلَ الْفَضْلُ مِنْهُمْ إِلَى أَقْرَبِ النَّاسِ بِهِمْ فِي الْجِوَارِ “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika penduduk suatu wilayah telah cukup dengan sebagian dari apa yang dibagikan kepada mereka dan masih ada kelebihan, menurutku kelebihan itu dipindahkan kepada orang yang paling dekat dengan mereka dalam hal kedekatan tempat tinggal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا اسْتَغْنَى أَهْلُ نَاحِيَةٍ بِبَعْضِ صَدَقَاتِهِمْ وَجَبَ نَقْلُ فَاضِلِهَا إِلَى أَقْرَبِ الْبِلَادِ بِهِمْ، لِأَنَّهُ لَا حَقَّ لَهُمْ فِيمَا فَضَلَ عَنْ كِفَايَاتِهِمْ فَكَانَ أَقْرَبُ النَّاسِ بِهِمْ أَحَقَّ بها مِنْ غَيْرِهِمْ فَلَوْ قَرُبَ مِنْهُمْ بُلْدَانٌ، فَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا أَقْرَبَ إِلَيْهِمْ مِنَ الْآخَرِ كَانَ أَقْرَبُ الْبَلَدَيْنِ أَوْلَى مِنْ أَبْعَدِهِمَا سَوَاءً كَانَ الْأَقْرَبُ مِصْرًا أَوْ قَرْيَةً، وَإِنْ كَانَا فِي الْقُرْبِ سَوَاءً نُظِرَ فِي الْعَامِلِ فِي الصَّدَقَةِ، فَإِنْ كَانَتْ مَعَ رَبِّ الْمَالِ كَانَ بِالْخِيَارِ فِي إِخْرَاجِهَا فِي أَيِّ الْبَلَدَيْنِ شَاءَ، وَإِنْ كَانَتْ مَعَ الْوَالِي كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يُخْرِجَهَا فِي الْبَلَدَيْنِ مَعًا؛ لِأَنَّ عَلَى الْوَالِي أَنْ يَعُمَّ وَلَيْسَ عَلَى رَبِّ الْمَالِ أَنْ يَعُمَّ، وَلَوْ تَسَاوَيَا فِي الْقُرْبِ إِلَيْهِمْ قَرْيَةً وَبَادِيَةً اسْتَوَيَا فِي الِاسْتِحْقَاقِ، وَكَانَا كَالْبَلَدَيْنِ الْمُتَسَاوِيَيْنِ فِي الْقُرْبِ وَسَوَاءً كَانَا فِي جِهَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ فِي جِهَتَيْنِ مِنْ عَمَلٍ وَاحِدٍ أَوْ مِنْ عَمَلَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الْبَلَدَيْنِ مِنْ وِلَايَةِ هَذَا الْعَامِلِ وَالْآخَرُ مِنْ غَيْرِ وِلَايَتِهِ فَيَكُونُ الْبَلَدُ الَّذِي هُوَ فِي وِلَايَتِهِ أَوْلَى بِنَقْلِ هَذَا الْفَاضِلِ إِلَيْهِمْ مِنَ الْبَلَدِ الَّذِي ليس فيه ولايته.

Al-Mawardi berkata: Jika penduduk suatu daerah telah cukup dengan sebagian zakat mereka, maka wajib memindahkan kelebihannya ke negeri yang paling dekat dengan mereka, karena mereka tidak berhak atas kelebihan dari kebutuhan mereka, sehingga orang yang paling dekat dengan mereka lebih berhak atasnya daripada yang lain. Jika ada beberapa negeri yang dekat, maka jika salah satunya lebih dekat daripada yang lain, maka negeri yang lebih dekat lebih berhak daripada yang lebih jauh, baik yang lebih dekat itu berupa kota maupun desa. Jika keduanya sama dekat, maka dilihat siapa yang mengelola zakat. Jika zakat masih di tangan pemilik harta, maka ia bebas memilih untuk menyalurkannya ke negeri mana saja yang ia kehendaki. Jika zakat di tangan penguasa, maka wajib baginya untuk menyalurkannya ke kedua negeri tersebut sekaligus, karena penguasa wajib meratakan, sedangkan pemilik harta tidak wajib meratakan. Jika keduanya sama dekat, baik berupa desa maupun perkampungan, maka keduanya sama-sama berhak, seperti dua negeri yang sama dekat, baik berada di satu arah maupun dua arah, baik dari satu wilayah kerja maupun dua wilayah kerja, kecuali jika salah satu negeri berada di bawah wilayah kekuasaan amil tersebut dan yang lain tidak, maka negeri yang berada di bawah kekuasaannya lebih berhak menerima kelebihan zakat tersebut daripada negeri yang bukan wilayahnya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَلَوْ ضَاقَتِ السُّهْمَانُ قُسِّمَتْ عَلَى الْجِوَارِ دُونَ النَّسَبِ وَكَذَلِكَ إِنْ خَالَطَهُمْ عَجَمٌ غَيْرُهُمْ فَهُمْ معهم في القسم على الجوار فإن كانوا أهل بادية عند النجعة يتفرقون مرة ويختلطون أخرى فأحب إلي لو قسمها على النسب إذا استوت الحالات وإذا اختلفت الحالات فالجوار أولى من النسب وإن قال من تصدق إن لنا فقراء على غير هذا الماء وهم كما وصفت يختلطون في النجعة قسم بين الغائب والحاضر ولو كانوا بالطرف من باديتهم فكانوا ألزم له قسم بينهم وكان كالدار لهم وهذا إذا كانوا معا أهل نجعة لا دار لهم يقرون بها فأما إن كانت لهم دار يكونون لها ألزم فإني أقسمها على الجوار بالدار (وقال في الجديد) إذا استوى في القرب أهل نسبهم وعدى قسمت على أهل نسبهم دون العدى وإن كان العدى أقرب منهم دارا وكان أهل نسبهم منهم على سفر تقصر فيه الصلاة قسمت على العدى إذا كانت دون ما تقصر فيه الصلاة لأنهم أولى باسم حضرتهم وإن كان أهل نسبهم دون ما تقصر فيه الصلاة والعدى أقرب منهم قسمت على أهل نسبهم لأنهم بالبادية غير خارجين من اسم الجوار وكذلك هم في المنعة حاضرو المسجد الحرام “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika bagian-bagian (zakat) itu terbatas, maka dibagikan berdasarkan kedekatan tempat tinggal (al-jīwār), bukan berdasarkan kekerabatan (nasab). Demikian pula jika ada orang non-Arab (ajam) yang bercampur dengan mereka, maka mereka juga mendapat bagian bersama mereka berdasarkan kedekatan tempat tinggal. Jika mereka adalah penduduk pedalaman (badui) yang kadang berpencar dan kadang berkumpul saat berpindah-pindah, maka yang lebih aku sukai adalah pembagian berdasarkan kekerabatan jika kondisinya sama. Namun jika kondisinya berbeda-beda, maka kedekatan tempat tinggal lebih diutamakan daripada kekerabatan. Jika orang yang bersedekah berkata, ‘Kami punya orang-orang fakir di luar wilayah air ini,’ dan mereka sebagaimana telah dijelaskan, bercampur saat berpindah-pindah, maka pembagian dilakukan antara yang hadir dan yang tidak hadir. Namun jika mereka berada di pinggiran wilayah pedalaman mereka dan lebih menetap di sana, maka dibagikan di antara mereka dan tempat itu dianggap seperti rumah bagi mereka. Ini berlaku jika mereka semua adalah penduduk nomaden yang tidak memiliki rumah tetap. Adapun jika mereka memiliki rumah yang lebih mereka tempati, maka aku membagikannya berdasarkan kedekatan tempat tinggal di rumah tersebut. (Dan beliau berkata dalam pendapat baru:) Jika dalam hal kedekatan, antara kerabat dan non-kerabat sama, maka dibagikan kepada kerabat saja, bukan kepada non-kerabat, meskipun non-kerabat lebih dekat tempat tinggalnya. Namun jika kerabat mereka sedang bepergian dalam jarak yang memperbolehkan qashar shalat, maka dibagikan kepada non-kerabat jika jaraknya kurang dari jarak yang memperbolehkan qashar shalat, karena mereka lebih berhak atas nama ‘kehadiran’. Jika kerabat mereka berada dalam jarak kurang dari jarak qashar shalat dan non-kerabat lebih dekat, maka dibagikan kepada kerabat mereka, karena mereka di pedalaman tetap termasuk dalam nama kedekatan tempat tinggal. Demikian pula mereka yang berada dalam perlindungan, yaitu penduduk sekitar Masjidil Haram.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: لِهَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مُقَدِّمَتَانِ:

Al-Mawardi berkata: Masalah ini memiliki dua pendahuluan:

إِحْدَاهُمَا: إِنَّ الصَّدَقَةَ إِنْ قَسَّمَهَا الْعَامِلُ لَزِمَهُ أَنْ يُقَسِّمَهَا عَلَى جَمِيعِ أَهْلِ السُّهْمَانِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَقْتَصِرَ مِنْ كُلِّ صِنْفٍ عَلَى طَائِفَةٍ حَتَّى يقسمها على جميعهم وإن قسهما رَبُّ الْمَالِ جَازَ أَنْ يَقْتَصِرَ مِنْ كُلِّ صِنْفٍ عَلَى طَائِفَةٍ أَقَلُّهَا ثَلَاثَةٌ، وَلَا يَلْزَمُهُ أَنْ يُفَرِّقَهَا فِي جَمِيعِ الصِّنْفِ إِلَّا أَنْ تَتَّسِعَ صَدَقَتُهُ لِجَمِيعِهِمْ فَيَلْزَمُهُ مَعَ الِاتِّسَاعِ أَنْ يُفَرِّقَهَا فِي الْجَمِيعِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْعَامِلِ وَبَيْنَ رَبِّ الْمَالِ مَا قَدَّمْنَاهُ، فَإِنَّ الْعَامِلَ يُقَسِّمُ جَمِيعَ الصَّدَقَاتِ فَيَلْزَمُهُ أَنْ يُقَسِّمَهَا فِي جَمِيعِ أَهْلِ السُّهْمَانِ، وَرَبُّ الْمَالِ يُقَسِّمُ بَعْضَ الصَّدَقَاتِ فَجَازَ أَنْ يُقَسِّمَهَا فِي بَعْضِ أَهْلِ السُّهْمَانِ.

Pertama: Jika zakat dibagikan oleh amil, maka wajib baginya membagikan kepada seluruh mustahik (penerima) yang berhak atas bagian, dan tidak boleh membatasi pada sebagian kelompok saja sampai ia membagikan kepada semuanya. Namun jika yang membagikan adalah pemilik harta, maka boleh baginya membagikan kepada sebagian kelompok saja, minimal tiga orang, dan tidak wajib membagikan kepada seluruh kelompok kecuali jika zakatnya cukup untuk semua, maka wajib membagikan kepada semuanya jika mencukupi. Perbedaan antara amil dan pemilik harta sebagaimana telah dijelaskan, yaitu amil membagikan seluruh zakat sehingga wajib membagikan kepada seluruh mustahik, sedangkan pemilik harta hanya membagikan sebagian zakat sehingga boleh membagikan kepada sebagian mustahik saja.

والمقدمة الثانية: أن ينقل الصَّدَقَةِ عَنْ مَكَانِهَا لَا يَجُوزُ إِذَا وُجِدَ فِيهِ أَهْلُهَا، وَإِنْ نُقِلَتْ فَقَدْ أَسَاءَ نَاقِلُهَا، وَفِي إِجْزَائِهَا قَوْلَانِ.

Pendahuluan kedua: Memindahkan zakat dari tempat asalnya tidak diperbolehkan jika di sana masih terdapat orang-orang yang berhak menerimanya. Jika dipindahkan, maka orang yang memindahkannya telah berbuat salah, dan dalam hal keabsahan pembagiannya terdapat dua pendapat.

فَإِنْ عُدِمَ أَهْلُ السُّهْمَانِ فِي مَكَانِهِمَا نُقِلَتْ إِلَى أَقْرَبِ الْبِلَادِ بِهِ.

Jika tidak ditemukan mustahik di tempat asalnya, maka zakat dipindahkan ke daerah terdekat.

فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَاتَانَ الْمُقَدِّمَتَانِ فَلَا يَخْلُو قَسْمُ الصَّدَقَاتِ مِنْ أَنْ يَتَوَلَّاهُ رَبُّ الْمَالِ أَوِ الْعَامِلُ، فَإِنْ تَوَلَّاهُ الْعَامِلُ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ صَدَقَاتِ أَمْصَارٍ أَوْ بَوَادٍ، فَإِنْ كَانَتْ صَدَقَاتِ أَمْصَارٍ لَزِمَهُ أَنْ يُقَسِّمَ صَدَقَةَ كُلِّ مِصْرٍ فِي أَهْلِهِ وَأَهْلُ الْمِصْرِ مَنِ اشْتَمَلَ عَلَيْهِمْ بُنْيَانُهُ وَأَحَاطَ بِهِمْ سُورُهُ، فَأَمَّا مَنْ خَرَجَ عَنْ سُورِهِ وَلَمْ يَتَّصِلْ بِبُنْيَانِهِ فَإِنْ كَانُوا عَلَى مَسَافَةِ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَصَاعِدًا لَمْ تَكُنْ لَهُمْ فِي زَكَاةِ ذَلِكَ الْمِصْرِ حَقٌّ لِكَوْنِهِمْ مِنَ الْمِصْرِ عَلَى سَفَرٍ يُقْصَرُ فِيهِ الصَّلَاةُ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُضَافُوا إِلَيْهِ وَإِنْ كَانُوا عَلَى مَسَافَةٍ أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَفِيهِمْ وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا:

Setelah dua pendahuluan ini ditetapkan, maka pembagian zakat tidak lepas dari dua kemungkinan: dilakukan oleh pemilik harta atau oleh amil. Jika dilakukan oleh amil, maka tidak lepas dari zakat daerah perkotaan atau pedalaman. Jika zakat daerah perkotaan, maka wajib baginya membagikan zakat setiap kota kepada penduduknya, dan penduduk kota adalah mereka yang berada dalam bangunan kota tersebut dan dikelilingi oleh temboknya. Adapun mereka yang berada di luar tembok dan tidak terhubung dengan bangunan kota, jika jaraknya satu hari satu malam atau lebih, maka mereka tidak berhak atas zakat kota tersebut karena mereka dianggap sebagai musafir dari kota itu yang boleh melakukan qashar shalat, sehingga tidak boleh dimasukkan sebagai penduduk kota. Namun jika jaraknya kurang dari satu hari satu malam, maka menurut ulama kami ada dua pendapat:

أحدهما: أنهم مستحقون لصدقات المصر وهم كسكانه فِي أَنَّ الْخَارِجَ إِلَيْهِمْ لَا يَكُونُ مُسَافِرًا يستبيح المصر.

Pertama: Mereka berhak atas zakat kota tersebut dan kedudukannya seperti penduduk kota, karena orang yang keluar menuju mereka tidak dianggap sebagai musafir yang boleh memasuki kota.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهُ لَا حَقَّ لَهُمْ فِي صَدَقَاتِهِ، لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُضَافَ إِلَى بلد من ليس فيه والذي أراه مذهب وَهُوَ أَصَحُّ عِنْدِي مِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ أَنْ يُنْظَرَ فِي الْخَارِجِ عَنِ الْمِصْرِ فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يَلْزَمُهُ حُضُورُهُ كَصَلَاةِ الْجُمُعَةِ كَانَ مُضَافًا إِلَى أَهْلِهِ فِي اسْتِحْقَاقِ صَدَقَاتِهِمْ كَمَا كَانَ مضافا إليهم في وجوب الجمعة عليهم فِي مِصْرِهِمْ، وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يَلْزَمُهُ حُضُورُ الْمِصْرِ لِصَلَاةِ الْجُمُعَةِ لَمْ يَكُنْ مُضَافًا إِلَى أَهْلِهِ فِي اسْتِحْقَاقِ صَدَقَاتِهِمْ كَمَا لَمْ يُضَفْ إِلَيْهِمْ فِي وُجُوبِ الْجُمُعَةِ عَلَيْهِ فِي مِصْرِهِمْ، وَهَذَا حُكْمُ صَدَقَاتِ الْأَمْصَارِ إِذَا قَسَّمَهَا الْعَامِلُ فِي أَهْلِهَا، وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ مَنْ كَانَ قَاطِنًا فِي الْمِصْرِ أَوْ طَارِئًا إِلَيْهِ، وَأَقَارِبُ أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ وَالْأَجَانِبُ؛ لِأَنَّ اسْتِيعَابَ جَمِيعِهِمْ فِي قِسْمَةِ الْعَامِلِ وَاجِبٌ.

Pendapat kedua: Sesungguhnya mereka tidak memiliki hak atas sedekah-sedekahnya, karena tidak boleh dinisbatkan kepada suatu negeri orang yang tidak tinggal di dalamnya. Pendapat yang aku anggap sebagai mazhab dan menurutku lebih kuat dari dua pendapat sebelumnya adalah: hendaknya dilihat pada orang yang berada di luar kota, jika ia termasuk orang yang wajib hadir seperti dalam shalat Jumat, maka ia dinisbatkan kepada penduduknya dalam berhak menerima sedekah mereka, sebagaimana ia juga dinisbatkan kepada mereka dalam kewajiban Jumat atas mereka di kota mereka. Namun jika ia termasuk orang yang tidak wajib hadir ke kota untuk shalat Jumat, maka ia tidak dinisbatkan kepada penduduknya dalam berhak menerima sedekah mereka, sebagaimana ia juga tidak dinisbatkan kepada mereka dalam kewajiban Jumat atasnya di kota mereka. Inilah hukum sedekah-sedekah kota jika dibagikan oleh ‘amil kepada penduduknya, dan dalam hal ini sama saja antara orang yang menetap di kota atau yang baru datang ke sana, juga antara kerabat pemilik harta dan orang lain; karena mencakup seluruh mereka dalam pembagian oleh ‘amil adalah wajib.

فَصْلٌ:

Fasal:

[صَدَقَاتُ الْبَادِيَةِ]

[Sedekah-sedekah Pedalaman]

وَإِنْ كَانَ مَا يُقَسِّمُهُ الْعَامِلُ صَدَقَاتِ بَادِيَةٍ لَا تَضُمُّهُمْ أَمْصَارٌ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika yang dibagikan oleh ‘amil adalah sedekah-sedekah pedalaman yang tidak termasuk dalam wilayah kota, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونُوا مُقِيمِينَ بِمَكَانٍ قَدِ اسْتَوْطَنُوهُ مِنْ بَادِيَتِهِمْ لَا يَظْعَنُونَ عَنْهُ شِتَاءً وَلَا صَيْفًا ولا ينقلون عنه لمرعى ولا كلاء، فَهَؤُلَاءِ كَأَهْلِ الْمِصْرِ لِاشْتِرَاكِهِمْ فِي الْمُقَامِ، وَإِنِ اختلفوا في صفات المساكن فَتَكُونُ صَدَقَاتُهُمْ مَقْسُومَةً فِيمَنْ كَانَ نَازِلًا مَعَهُمْ فِي مَكَانِهِمْ، وَهَلْ يُشْرِكُهُمْ مَنْ كَانَ عَلَى مَسَافَةٍ أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَمْ لَا عَلَى مَا حَكَيْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ.

Pertama: Mereka adalah orang-orang yang menetap di suatu tempat di pedalaman mereka yang telah mereka jadikan tempat tinggal, tidak berpindah darinya baik di musim dingin maupun panas, dan tidak meninggalkannya untuk mencari padang rumput atau makanan ternak. Maka mereka ini seperti penduduk kota karena sama-sama menetap, meskipun berbeda dalam sifat tempat tinggalnya. Maka sedekah mereka dibagikan kepada siapa saja yang tinggal bersama mereka di tempat tersebut. Adapun apakah orang yang berada pada jarak kurang dari sehari semalam juga mendapat bagian atau tidak, maka hal itu sesuai dengan dua pendapat yang telah kami sebutkan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أن يكونوا ممن ينتجع الْكَلَأَ، وَيَنْتَقِلُ لِطَلَبِ الْمَاءِ وَالْمَرْعَى فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: Mereka adalah orang-orang yang berpindah-pindah mencari padang rumput, dan berpindah untuk mencari air dan makanan ternak. Ini pun terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونُوا مُجْتَمِعِينَ لَا يَنْفَصِلُ حَالُ بَعْضِهِمْ مِنْ بَعْضٍ، فَجَمِيعُهُمْ جِيرَانٌ وَإِنْ تَمَيَّزَتْ أَنْسَابُهُمْ فَتُقَسَّمُ الزَّكَاةُ فِي جَمِيعِهِمْ وَفِيمَنْ كَانَ مِنْهُمْ عَلَى مَسَافَةٍ أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ وَإِنْ تَمَيَّزُوا عَنْهُمْ وَجْهًا وَاحِدًا بِخِلَافِ أَهْلِ الْأَمْصَارِ؛ لِأَنَّ الْبَادِيَةَ لَمَّا لَمْ تَضُمَّهُمُ الْأَمْصَارُ رُوعِيَ فِي تَجَاوُرِهِمُ الْقُرْبُ وَالْبُعْدُ، فَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ عَلَى أَقَلَّ مِنْ مَسَافَةِ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ كَانَ جَارًا لِقُرْبِهِ وَمَنْ كَانَ عَلَى مَسَافَةِ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَصَاعِدًا لَمْ يَكُنْ جَارًا لِبُعْدِهِ.

Pertama: Mereka berkumpul dan tidak terpisah satu sama lain, sehingga semuanya adalah tetangga meskipun nasab mereka berbeda. Maka zakat dibagikan kepada seluruh mereka dan kepada siapa saja di antara mereka yang berada pada jarak kurang dari sehari semalam, meskipun mereka berbeda dari kelompok utama dalam satu sisi, berbeda dengan penduduk kota; karena penduduk pedalaman, ketika mereka tidak termasuk dalam wilayah kota, maka dalam bertetangga diperhatikan kedekatan dan kejauhan. Maka siapa saja di antara mereka yang berada pada jarak kurang dari sehari semalam dianggap sebagai tetangga karena kedekatannya, dan siapa saja yang berada pada jarak sehari semalam atau lebih tidak dianggap sebagai tetangga karena jauhnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَتَمَيَّزَ حَالُهُمْ وَتَنْفَصِلَ كل حلة عن الأخرى، فتقسم زكاة كل حلة عن الأخرى فتقسم زكاة كل حلة عَلَى أَهْلِهَا، وَعَلَى مَنْ كَانَ مِنْهَا عَلَى أَقَلَّ مِنْ مَسَافَةِ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، هَذَا حُكْمُ الْعَامِلِ إِذَا تَوَلَّى قَسْمَهَا بِنَفْسِهِ فِي الْأَمْصَارِ وَالْبَوَادِي.

Jenis kedua: Keadaan mereka berbeda dan setiap kelompok terpisah dari yang lain, maka zakat setiap kelompok dibagikan kepada penduduknya sendiri, dan kepada siapa saja dari mereka yang berada pada jarak kurang dari sehari semalam. Inilah hukum ‘amil jika ia sendiri yang membagikannya di kota maupun di pedalaman.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ كَانَ رَبُّ الْمَالِ هُوَ الْمُتَوَلِّي لِقَسْمِ زَكَاتِهِ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ جَوَازِهِ فِي تَفْضِيلِ حُكْمِ الْمَالِ الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ فَلَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika pemilik harta sendiri yang membagikan zakatnya, sebagaimana telah kami sebutkan kebolehannya dalam perbedaan hukum harta yang tampak dan yang tersembunyi, maka tidak lepas dari dua keadaan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْأَمْصَارِ أَوْ مِنَ الْبَوَادِي فَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْأَمْصَارِ لَمْ يَكُنْ مَنْ خَرَجَ عَنْ مِصْرِهِ مِنْ جِيرَانِهِ، وَلَا مِنْ مُسْتَحِقِّي زَكَاتِهِ وَجْهًا وَاحِدًا بِخِلَافِ مَا يقسمه العامل؛

Yaitu apakah ia termasuk penduduk kota atau penduduk pedalaman. Jika ia termasuk penduduk kota, maka orang yang keluar dari kotanya bukanlah tetangganya, dan juga bukan termasuk orang yang berhak menerima zakatnya, berbeda dengan apa yang dibagikan oleh ‘amil;

لِأَنَّنَا نُرَاعِي فِيمَا يُقَسِّمُهُ رَبُّ الْمَالِ الْجِوَارَ وَفِيمَا يُقَسِّمُهُ الْعَامِلُ النَّاحِيَةَ، ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُ مِصْرِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Karena dalam pembagian yang dilakukan oleh pemilik harta, yang diperhatikan adalah hubungan bertetangga, sedangkan dalam pembagian oleh ‘amil yang diperhatikan adalah wilayah. Kemudian, keadaan kotanya tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا فَإِنْ كَانَ صَغِيرًا كَانَ جَمِيعُ أَهْلِهِ جِيرَانَهُ، فَإِنْ كَانَ أَهْلُ الصَّدَقَةِ فِيهِ أَجَانِبَ مِنْ رَبِّ الْمَالِ أَوْ جَمِيعُهُمْ أَقَارِبَ لَهُ فَجَمِيعُهُمْ سَوَاءٌ، وَلَهُ أَنْ يَدْفَعَ زَكَاةَ مَالِهِ إِلَى مَنْ شَاءَ مِنْهُمْ بَعْدَ أَنْ يُعْطِيَ مِنْ كُلِّ صِنْفٍ ثَلَاثَةً فَصَاعِدًا، وَإِنْ كَانَ بَعْضُهُمْ أَقَارِبَ لِرَبِّ الْمَالِ وَبَعْضُهُمْ أَجَانِبَ مِنْهُ كَانَ أَقَارِبُهُ أَوْلَى بِزَكَاتِهِ مِنَ الْأَجَانِبِ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” خَيْرُ الصَّدَقَةِ عَلَى ذِي الرَّحِمِ الْكَاشِحِ ” يَعْنِي المعادي، وقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” صَدَقَتُكَ عَلَى غَيْرِ ذِي رَحِمِكَ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي رَحِمِكَ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ ” فَإِنْ عَدَلَ بِهَا عَنْ أَقَارِبِهِ إِلَى الْأَجَانِبِ فَقَدْ أَسَاءَ وَأَجْزَأَتْهُ؛ لِأَنَّ تَقْدِيمَ الْأَقَارِبِ مِنِ طَرِيقِ الْأَوْلَى مَعَ اشْتِرَاكِ الْأَقَارِبِ وَالْأَجَانِبِ فِي الِاسْتِحْقَاقِ، وَإِنْ كَانَ الْبَلَدُ كَبِيرًا وَاسِعًا، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يراعى فيه الجوار الخاص والجوار الْعَامُّ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Bisa jadi wilayah itu kecil atau besar. Jika kecil, maka seluruh penduduknya adalah tetangganya. Jika para mustahik zakat di wilayah itu semuanya adalah orang asing bagi pemilik harta, atau semuanya adalah kerabatnya, maka semuanya sama kedudukannya. Pemilik harta boleh memberikan zakatnya kepada siapa saja di antara mereka setelah membagikan kepada minimal tiga orang dari setiap golongan, masing-masing sebanyak tiga sha‘ atau lebih. Jika sebagian dari mereka adalah kerabat pemilik harta dan sebagian lainnya adalah orang asing, maka kerabatnya lebih berhak menerima zakat daripada orang asing, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Sedekah yang paling utama adalah kepada kerabat yang memusuhimu,” maksudnya yang memusuhinya. Dan sabda Nabi ﷺ: “Sedekahmu kepada selain kerabatmu adalah sedekah, dan kepada kerabatmu adalah sedekah sekaligus silaturahmi.” Jika ia mengalihkan zakatnya dari kerabat kepada orang asing, maka ia telah berbuat kurang baik, namun zakatnya tetap sah; karena mendahulukan kerabat adalah lebih utama, mengingat kerabat dan orang asing sama-sama berhak menerima. Jika wilayah itu besar dan luas, maka para ulama kami berbeda pendapat: apakah yang diperhatikan adalah tetangga khusus atau tetangga umum? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّ الْمُرَاعَى فِيهِ الْجِوَارُ الْخَاصُّ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ جِيرَانُهُ مَنْ أُضِيفَ إِلَى مَكَانِهِ مِنَ الْبَلَدِ.

Pertama: Yang diperhatikan adalah tetangga khusus. Dengan demikian, tetangganya adalah mereka yang tinggal di sekitar tempat tinggalnya di wilayah tersebut.

وَقِيلَ: إِنَّهُمْ إلى أربعين دار من داره، ولا يكون جميع أَهْلُ الْبَلَدِ جِيرَانَهُ، وَهَذَا قَوْلٌ.

Ada juga yang berpendapat: mereka adalah penghuni empat puluh rumah dari rumahnya, dan tidak semua penduduk wilayah itu adalah tetangganya. Ini adalah satu pendapat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهُ يُرَاعَى فِيهِ الْجِوَارُ الْعَامُّ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {والجار ذي القربى والجار الجنب} [النساء: آية 36] يَعْنِي الْبَعِيدَ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ جَمِيعُ أَهْلِ الْبَلَدِ جِيرَانَهُ، وَهَذَا هُوَ الظَّاهِرُ مِنْ قَوْلِ الْبَغْدَادِيِّينَ، فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ: إِنْ فَرَّقَهَا فِي غَيْرِ جِيرَانِهِ مِنْ أَهْلِ بَلَدِهِ كَانَ نَاقِلًا لِزَكَاتِهِ عَنْ مَحَلِّهَا، وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي لَا يَكُونُ نَاقِلًا لَهَا وَهُوَ أَصَحُّ الْوَجْهَيْنِ.

Pendapat kedua: Yang diperhatikan adalah tetangga umum, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {dan tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh} [an-Nisā’: 36], maksudnya yang jauh. Dengan demikian, seluruh penduduk wilayah itu adalah tetangganya. Ini adalah pendapat yang tampak dari ulama Baghdad. Menurut pendapat pertama: jika ia membagikan zakatnya kepada selain tetangganya dari penduduk wilayahnya, berarti ia memindahkan zakat dari tempatnya. Menurut pendapat kedua, ia tidak dianggap memindahkan zakat, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat di antara dua pendapat tersebut.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ كَانَ رَبُّ الْمَالِ بَدَوِيًّا، فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika pemilik harta adalah seorang badui, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ فِي حَلَّةٍ قَاطِنًا بِمَكَانِهَا لَا يَظْعَنُ عَنْهَا شِتَاءً وَلَا صَيْفًا، فَهِيَ كَالْبَلَدِ وَجَمِيعُهَا جِيرَانٌ سَوَاءً صَغُرَتْ أَوْ كَبُرَتْ؛ لِأَنَّهَا لَا تَبْلُغُ وَإِنْ كَبُرَتْ مَبْلَغَ كِبَارِ الْأَمْصَارِ فَيَخُصُّ مِنْهُمْ أَقَارِبَهُ، فَإِنْ عَدَلَ عَنْهُمْ إلى الأجانب أجزأ، وَلَا يَكُونُ مَنْ فَارَقَ الْحَلَّةَ جَارًا، وَإِنْ كَانَ عَلَى مَسَافَةٍ أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، لِأَنَّ ذَلِكَ جَارٌ لِلْحَلَّةِ، وَالْوَاحِدُ مِنَ الْحَلَّةِ جِيرَانُهُ أَهْلُ الْحَلَّةِ، فَبَانَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا.

Pertama: Ia tinggal menetap di suatu perkampungan dan tidak berpindah darinya baik di musim dingin maupun musim panas. Maka perkampungan itu seperti sebuah kota, dan seluruh penduduknya adalah tetangga, baik jumlahnya sedikit maupun banyak; karena perkampungan itu, meskipun besar, tidak mencapai besarnya kota-kota besar. Maka ia mengkhususkan kerabatnya. Jika ia mengalihkan zakatnya dari kerabat kepada orang asing, zakatnya tetap sah. Orang yang telah meninggalkan perkampungan tidak dianggap sebagai tetangganya, meskipun jaraknya kurang dari sehari semalam, karena ia adalah tetangga perkampungan, sedangkan setiap individu di perkampungan, tetangganya adalah penduduk perkampungan itu. Maka jelaslah perbedaannya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فِي حَلَّةٍ يَنْجَعُ الْكَلَأَ وَيَظْعَنُ لِطَلَبِ الْمَاءِ وَالْمَرْعَى، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Keadaan kedua: Ia berada di perkampungan yang berpindah-pindah untuk mencari rumput dan air. Dalam hal ini ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ الْحَلَّةُ مُجْتَمِعَةً لَا يَنْفَصِلُ بَعْضُهَا عَنْ بَعْضٍ فَجَمِيعُ أَهْلِهَا جِيرَانُهُ كَبُرَتْ أَمْ صَغُرَتْ.

Pertama: Perkampungan itu tetap bersatu dan tidak terpisah satu sama lain, maka seluruh penduduknya adalah tetangganya, baik jumlahnya banyak maupun sedikit.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ مُتَفَرِّقَةً كَتَمَيُّزِ كُلِّ جَمَاعَةٍ مِنْهُمْ عَنْ غَيْرِهِمْ، إِمَّا لِتَمَيُّزِهِمْ فِي الْأَنْسَابِ وَإِمَّا لِتَمَيُّزِهِمْ فِي الْأَسْبَابِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: Perkampungan itu terpisah-pisah, di mana setiap kelompok berbeda dari yang lain, baik karena perbedaan nasab maupun sebab lainnya. Dalam hal ini ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَخْتَلِفُوا فِي الرَّحِيلِ وَالنُّزُولِ، فَيَكُونُ جِيرَانُهُ مِنَ الْحَلَّةِ مَنْ يَرْحَلُ بِرَحِيلِهِ وَيَنْزِلُ بِنُزُولِهِ وَلَا تَكُونُ الْفِرْقَةُ الَّتِي تُخَالِفُهُ فِي الرَّحِيلِ وَالنُّزُولِ جِيرَانًا لَهُ.

Pertama: Mereka berbeda dalam hal berpindah dan menetap, maka tetangganya dari perkampungan itu adalah mereka yang berpindah dan menetap bersamanya, sedangkan kelompok yang berbeda dalam berpindah dan menetap tidak dianggap sebagai tetangganya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَتَّفِقُوا فِي الرَّحِيلِ وَالنُّزُولِ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Kedua: Mereka sepakat dalam berpindah dan menetap, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّ جَمِيعَ الْحَلَّةِ مِنَ الْفِرَقِ كُلِّهَا جِيرَانٌ لَهُ اعْتِبَارًا بِاتِّفَاقِهِمْ فِي النُّجْعَةِ، وَإِنْ تَفَرَّقُوا فِي الْبُقْعَةِ كَمَا يَتَفَرَّقُ أَهْلُ الْأَمْصَارِ فِي مَحَالِّهِمْ، وَيَكُونُوا جِيرَةً إِذَا جَمَعَهُمُ الْمِصْرُ.

Pertama: Seluruh perkampungan dari semua kelompok adalah tetangganya, karena kesepakatan mereka dalam berpindah-pindah, meskipun mereka berpencar di tempat yang berbeda sebagaimana penduduk kota berpencar di tempat tinggal mereka, dan mereka dianggap bertetangga jika dikumpulkan oleh satu kota.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّ جِيرَانَهُ مِنْهُمْ مَنْ هُوَ فِي بُقْعَتِهِ دُونَ مَنْ فَارَقَهُ اعْتِبَارًا بِالْمَكَانِ فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ إِنْ عَدَلَ بِزَكَاتِهِ إِلَى غَيْرِ طَائِفَتِهِ مِنْ فِرَقِ الْحَلَّةِ لَمْ يَكُنْ نَاقِلًا لَهَا، وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي يكون ناقلا لها.

Pendapat kedua: Sesungguhnya tetangganya, di antara mereka ada yang berada di wilayahnya, berbeda dengan yang telah berpisah darinya, dengan mempertimbangkan tempat. Maka menurut pendapat pertama, jika ia menyalurkan zakatnya kepada selain kelompoknya dari golongan penduduk kampung, maka ia tidak dianggap memindahkannya. Sedangkan menurut pendapat kedua, ia dianggap telah memindahkannya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وإذا وَلِيَ الرَّجُلُ إِخْرَاجَ زَكَاةِ مَالِهِ قَسَّمَهَا عَلَى قَرَابَتِهِ وَجِيرَانِهِ مَعًا فَإِنْ ضَاقَتْ فَآثَرَ قَرَابَتَهُ فَحَسَنٌ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Apabila seseorang mengurus sendiri penyaluran zakat hartanya, hendaknya ia membaginya kepada kerabat dan tetangganya sekaligus. Jika zakat itu tidak mencukupi lalu ia lebih mengutamakan kerabatnya, maka itu baik.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِنْ كَانَ لِرَبِّ الْمَالِ أَقَارِبٌ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونُوا جِيرَانًا أَوْ أَبَاعِدَ، فَإِنْ كَانَ أَقَارِبُهُ جِيرَانًا فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ مَعَهُمْ أَجَانِبُ أَمْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُمْ أَجَانِبُ فَقَدِ اسْتَحَقُّوا زَكَاةَ ماله بالجوار وجاز الْفَضِيلَةَ بِالْقَرَابَةِ وَإِنْ كَانَ مَعَهُمْ أَجَانِبُ، فَعَلَى ضربين:

Al-Mawardi berkata: Jika pemilik harta memiliki kerabat, maka tidak lepas dari kemungkinan mereka adalah tetangga atau bukan. Jika kerabatnya adalah tetangganya, maka tidak lepas dari kemungkinan bersama mereka ada orang lain (bukan kerabat) atau tidak. Jika tidak ada orang lain bersama mereka, maka mereka berhak atas zakat hartanya karena faktor bertetangga dan boleh diutamakan karena faktor kekerabatan. Jika bersama mereka ada orang lain (bukan kerabat), maka ada dua kemungkinan:

أحدهما: أن تسع زَكَاتُهُ لِلْأَقَارِبِ وَالْأَجَانِبِ فَيَفُضَّهَا عَلَى الْفَرِيقَيْنِ.

Pertama: Zakatnya cukup untuk kerabat dan orang lain (bukan kerabat), maka ia membaginya kepada kedua kelompok tersebut.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَضِيقَ زَكَاتُهُ عَنِ الْفَرِيقَيْنِ فَأَقَارِبُهُ أَوْلَى بِزَكَاتِهِ مِنَ الْأَجَانِبِ لَكِنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلِ الْأَفْضَلُ أَنْ يَخْلِطَ بِأَقَارِبِهِ نَفَرًا مِنَ الْأَجَانِبِ أَوْ يَتَوَفَّرَ بِهَا عَلَى أَقَارِبِهِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kedua: Zakatnya tidak cukup untuk kedua kelompok tersebut, maka kerabatnya lebih berhak atas zakatnya daripada orang lain (bukan kerabat). Namun, para ulama kami berbeda pendapat, manakah yang lebih utama: apakah mencampurkan pemberian kepada kerabat dengan sebagian orang lain (bukan kerabat), atau memfokuskan pemberian hanya kepada kerabatnya? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَوَفَّرَ بِهَا عَلَى أَقَارِبِهِ لِلْخَبَرِ الْمُتَقَدِّمِ.

Pertama: Memfokuskan pemberian hanya kepada kerabatnya, berdasarkan hadis yang telah disebutkan sebelumnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّ الْأَوْلَى أَنْ يَخْلِطَ بِهِمْ نَفَرًا مِنَ الْأَجَانِبِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {أو إطعام في يوم ذي مسغبة يتيما ذا مقربة أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ} [البلد: 14، 15، 16] فَجَمَعَ بَيْنَ الْقَرِيبِ وَالْبَعِيدِ فِي اسْتِحْقَاقِ الثَّنَاءِ.

Pendapat kedua: Yang lebih utama adalah mencampurkan pemberian kepada kerabat dengan sebagian orang lain (bukan kerabat), berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {atau memberi makan pada hari kelaparan kepada anak yatim yang memiliki hubungan kekerabatan atau orang miskin yang sangat membutuhkan} [QS. Al-Balad: 14, 15, 16], sehingga Allah menggabungkan antara yang dekat (kerabat) dan yang jauh (bukan kerabat) dalam hal berhak mendapatkan pujian.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا كَانَ جِيرَانُهُ أَجَانِبَ وَأَقَارِبُهُ أَبَاعِدَ فَجِيرَانُهُ الْأَجَانِبُ أَوْلَى بِزَكَاتِهِ مِنْ أَقَارِبِهِ الْأَبَاعِدِ وَقَالَ أبو حنيفة: أَقَارِبُهُ الْأَبَاعِدُ أَوْلَى مِنْ جِيرَانِهِ الأجانب؛ لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَدَقَةَ امْرِئٍ وَذُو رَحِمِهِ مُحْتَاجٌ، وَلِأَنَّ اجْتِمَاعَهُمْ فِي النَّسَبِ صِفَةٌ لَازِمَةٌ واجتماعهم في الْجِوَارِ صِفَةٌ زَائِلَةٌ، وَلِأَنَّ النَّفَقَةَ لَمَّا وَجَبَتْ بِالنَّسَبِ دُونَ الْجِوَارِ كَانَ اعْتِبَارُ النَّسَبِ فِي الزَّكَاةِ أَوْلَى مِنِ اعْتِبَارِ الْجِوَارِ.

Adapun jika tetangganya adalah orang lain (bukan kerabat) dan kerabatnya tinggal jauh, maka tetangganya yang bukan kerabat lebih berhak atas zakatnya daripada kerabatnya yang jauh. Abu Hanifah berkata: Kerabatnya yang jauh lebih berhak daripada tetangganya yang bukan kerabat; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Allah tidak menerima sedekah seseorang sementara kerabatnya membutuhkan,” dan karena hubungan nasab adalah sifat yang tetap, sedangkan hubungan bertetangga adalah sifat yang bisa hilang, serta karena nafkah diwajibkan karena nasab, bukan karena bertetangga, maka pertimbangan nasab dalam zakat lebih utama daripada pertimbangan bertetangga.

وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قوله تعالى: {والجار ذي القربى} الْآيَةَ وَعُمُومُ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْجَارُ أَحَقُّ بِسَقَبِهِ ” أَيْ بِقُرْبِهِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا تَمَيَّزَ الْأَقَارِبُ بِوُجُوبِ النَّفَقَةِ تَمَيَّزَ الْجِيرَانُ بِاسْتِحْقَاقِ الزَّكَوَاتِ؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ جِيرَانُهُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ أَوْلَى مِنْ زَكَاتِهِ مِنْ أَقَارِبِهِ فِي دَارِ الْحَرْبِ كَانَ جِيرَانُهُ فِي بَلَدِهِ أَوْلَى بها من أقاربه في غير بلده وتحريره قياسا أن قرب الدار أحق بالزكاة من قرب النسب قياسا على دار الْحَرْبِ فَأَمَّا الْخَبَرُ فَمَحْمُولٌ عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ:

Dalil kami adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: {dan tetangga yang dekat} (ayat), dan keumuman sabda Nabi ﷺ: “Tetangga lebih berhak atas hak tetangganya,” yaitu karena kedekatannya. Dan karena ketika kerabat dibedakan dengan kewajiban nafkah, maka tetangga dibedakan dengan hak menerima zakat; dan karena ketika tetangganya di negeri Islam lebih berhak atas zakatnya daripada kerabatnya di negeri perang, maka tetangganya di negerinya lebih berhak atas zakatnya daripada kerabatnya di luar negerinya. Penjelasannya secara qiyās adalah bahwa kedekatan tempat tinggal lebih berhak atas zakat daripada kedekatan nasab, sebagaimana perbandingan dengan negeri perang. Adapun hadis tersebut dapat ditafsirkan dengan dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: عَلَى صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ.

Pertama: Berkaitan dengan sedekah sunnah (tathawwu‘).

وَالثَّانِي: عَلَى ذِي الرَّحِمِ الَّذِي يَجِبُ نَفَقَتُهُ، فَأَمَّا الِاعْتِبَارُ لِلُزُومِ الصِّفَةِ فِي النَّسَبِ دُونَ الْجِوَارِ فَفَاسِدٌ بِالشُّفْعَةِ حَيْثُ رُوعِيَ فِيهَا الْجِوَارُ دُونَ النَّسَبِ وَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِوُجُوبِ النَّفَقَةِ بِالنَّسَبِ دُونَ الْجِوَارِ فَهُوَ أَحَقُّ أَنْ يَكُونَ دَلِيلًا عَلَيْهِمْ لِتَمَيُّزِ مُسْتَحِقِّي النَّفَقَةِ عَنْ مُسْتَحِقِّي الزَّكَاةِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Kedua: Berkaitan dengan kerabat yang wajib dinafkahi. Adapun pertimbangan sifat yang tetap pada nasab dan tidak pada tetangga, maka itu tertolak dengan syuf‘ah, di mana dalam syuf‘ah yang dipertimbangkan adalah tetangga, bukan nasab. Adapun berdalil dengan kewajiban nafkah karena nasab dan bukan karena tetangga, maka itu justru menjadi dalil bagi kami, karena penerima nafkah berbeda dengan penerima zakat. Wallāhu a‘lam.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَأَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ يُوَلِّيَهَا غَيْرَهُ لِأَنَّهُ الْمُحَاسَبُ عليها والمسؤول عَنْهَا وَأَنَّهُ عَلَى يَقِينٍ مِنْ نَفْسِهِ وَفِي شَكٍّ مِنْ فِعْلِ غَيْرِهِ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Dan aku lebih suka jika penyaluran zakat itu diwakilkan kepada orang lain, karena ia (pemilik harta) yang akan dimintai pertanggungjawaban atasnya dan ditanya tentangnya, serta ia yakin terhadap dirinya sendiri namun ragu terhadap perbuatan orang lain.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَكَذَلِكَ دَفْعُهَا إِلَى الْإِمَامِ أَوْلَى مِنِ اسْتِنَابَةِ الْوَكِيلِ فِيهَا لِأَنَّهَا تَسْقُطُ عَنْهُ بِقَبْضِ الْإِمَامِ لَهَا وَلَا تَسْقُطُ عَنْهُ بِقَبْضِ وَكِيلِهِ لَهَا، فَأَمَّا رَبُّ الْمَالِ وَالْإِمَامُ، فَإِنْ كَانَ الْمَالُ ظَاهِرًا فَدَفْعُ زَكَاتِهِ إِلَى الْإِمَامِ أَوْلَى مِنْ تَفَرُّدِ رَبِّ الْمَالِ بِإِخْرَاجِهَا عَلَى قَوْلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ لَكِنَّهَا عَلَى الْقَدِيمِ مِنْ طَرِيقِ الِاسْتِحْقَاقِ وَعَلَى الْجَدِيدِ مِنْ طَرِيقِ الْأَوْلَى، وَإِنْ كَانَ الْمَالُ بَاطِنًا، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Demikian pula, menyerahkan zakat kepada imam lebih utama daripada mewakilkan kepada seorang wakil dalam hal ini, karena kewajiban zakat gugur darinya dengan diterimanya zakat itu oleh imam, sedangkan tidak gugur dengan diterimanya oleh wakil imam. Adapun pemilik harta dan imam, jika hartanya bersifat zhahir (terlihat), maka menyerahkan zakatnya kepada imam lebih utama daripada pemilik harta mengeluarkannya sendiri, menurut dua pendapat Imam Syafi‘i baik dalam qaul qadim maupun qaul jadid. Namun, menurut qaul qadim, keutamaannya dari sisi hak, sedangkan menurut qaul jadid dari sisi lebih utama saja. Jika hartanya bersifat batin (tidak tampak), maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي إِسْحَاقَ أَنَّ دَفْعَهَا إِلَى الْإِمَامِ أَوْلَى وَتَفَرُّدَ رَبِّ الْمَالِ بِإِخْرَاجِهَا؛ لِأَنَّ الْإِمَامَ يَعُمُّ بِهَا جَمِيعَ أَهْلِ السُّهْمَانِ إِذَا انْضَمَّتْ إِلَى غَيْرِهَا، وَرَبُّ الْمَالِ يَخُصُّ بِهَا بَعْضَهُمْ وَلِأَنَّ رَبَّ الْمَالِ إِذَا دَفَعَهَا خَطَأً إِلَى غَيْرِ مُسْتَحِقٍّ لَمْ يَسْقُطْ فَرْضُهَا عَنْهُ، وَلَوْ دَفَعَهَا الْإِمَامُ خَطَأً إِلَى غَيْرِ مُسْتَحِقٍّ سَقَطَ فَرْضُهَا عَنْهُ.

Salah satunya, yaitu pendapat Ibn Surayj dan Abu Ishaq, bahwa menyerahkannya kepada imam lebih utama daripada pemilik harta mengeluarkannya sendiri; karena imam akan membagikannya secara merata kepada seluruh mustahik jika digabungkan dengan zakat lain, sedangkan pemilik harta hanya membagikan kepada sebagian mustahik saja. Selain itu, jika pemilik harta salah memberikan zakat kepada yang tidak berhak, maka kewajiban zakatnya tidak gugur, sedangkan jika imam yang salah memberikan kepada yang tidak berhak, maka kewajiban zakatnya gugur.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّ رَبَّ الْمَالِ أَوْلَى بِإِخْرَاجِهَا مِنْ دَفْعِهَا إِلَى الْإِمَامِ؛ لِأَنَّ مَا بَاشَرَهُ مَعَ عِبَادَاتِهِ كَانَ أَفْضَلَ مِمَّا عَوَّلَ فِيهِ عَلَى غَيْرِهِ؛ وَلِأَنَّهُ أَوْسَعُ اجْتِهَادًا فِي مُسْتَحِقِّي زَكَاتِهِ مِنَ الْإِمَامِ؛ وَلِأَنَّهُ أعرف منه بأقاربه وذوي رحمه.

Pendapat kedua: Bahwa pemilik harta lebih utama mengeluarkan zakatnya sendiri daripada menyerahkannya kepada imam; karena ibadah yang dilakukan langsung olehnya lebih utama daripada yang diserahkan kepada orang lain; dan karena ia lebih luas dalam berijtihad mengenai siapa yang berhak menerima zakatnya dibandingkan imam; serta karena ia lebih mengetahui kerabat dan keluarga dekatnya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَأَقَلُّ مَنْ يُعْطَى مِنْ أَهْلِ السُّهُمِ ثَلَاثَةٌ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى ذَكَرَ كُلَّ صِنْفِ جَمَاعَةٍ فَإِنْ أَعْطَى اثْنَيْنِ وَهُوَ يجد الثالث ضمن ثلث سهم وإن أخرجه إلى غير بلده لم يبن لي أن عليه إعادة لأنه أعطى أهله بالاسم وإن ترك الجوار “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jumlah paling sedikit dari orang yang menerima zakat dari golongan mustahik adalah tiga orang, karena Allah Ta‘ala menyebutkan setiap kelompok dalam bentuk jamak. Jika diberikan kepada dua orang padahal ia mampu menemukan yang ketiga, maka masing-masing mendapat sepertiga bagian. Jika zakat itu diberikan ke luar daerahnya, menurutku tidak wajib mengulanginya karena ia telah memberikannya kepada yang berhak secara nama, meskipun bukan tetangganya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ قَسْمَ الصَّدَقَةِ يَخْتَلِفُ فِيهَا حَالُ الْعَامِلِ وَحَالُ رَبِّ الْمَالِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa pembagian sedekah (zakat) berbeda antara petugas zakat dan pemilik harta dari dua sisi:

أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ: إِنَّ عَلَى الْعَامِلِ فِيمَا يُقَسِّمُهُ أَنْ يَعُمَّ بِهِ جَمِيعَ أَهْلِ السُّهْمَانِ، وَيَجُوزُ لِرَبِّ الْمَالِ أَنْ يَقْتَصِرَ فِي كُلِّ صِنْفٍ عَلَى ثَلَاثَةٍ فَصَاعِدًا، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا قَدْ ذَكَرْنَاهُ وَهُوَ أَنَّ الْعَامِلَ يُقَسِّمُ جَمِيعَ الصَّدَقَاتِ، فَلَزِمَهُ أَنْ يَعُمَّ بِهَا جَمِيعَ أَهْلِ السُّهْمَانِ، وَرَبُّ الْمَالِ يُقَسِّمُ بَعْضَ الصَّدَقَاتِ فَجَازَ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى بَعْضِ أَهْلِ السُّهْمَانِ.

Salah satunya: Petugas zakat dalam membagikan zakat wajib membagikannya kepada seluruh golongan mustahik, sedangkan pemilik harta boleh membatasi pada tiga orang atau lebih dari setiap golongan. Perbedaan antara keduanya telah kami sebutkan, yaitu bahwa petugas zakat membagikan seluruh zakat, sehingga wajib membagikannya kepada seluruh golongan mustahik, sedangkan pemilik harta hanya membagikan sebagian zakat, sehingga boleh membatasi pada sebagian mustahik saja.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّ عَلَى الْعَامِلِ أَنْ يُقَسِّمَ سَهْمَ كُلِّ صِنْفٍ عَلَى قَدْرِ حَاجَاتِهِمْ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُسَاوِيَ بَيْنَهُمْ مَعَ تَفَاضُلِهِمْ فِي الْحَاجَةِ وَلَا أَنْ يُفَاضِلَ بَيْنَهُمْ مَعَ تَسَاوِيهِمْ فِي الْحَاجَةِ، وَرَبُّ الْمَالِ يُقَسِّمُ ذَلِكَ عَلَى خِيَارِهِ مَعَ تَسْوِيَةٍ وَتَفْضِيلٍ، وَلَا يَلْزَمُهُ أَنْ يُقَسِّمَهُ بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ الْحَاجَةِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْعَامِلَ لَمَّا لَزِمَهُ أَنْ يَعُمَّ جَمِيعَ أَهْلِ السُّهْمَانِ لَزِمَهُ التَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمْ بِحَسَبِ الْحَاجَةِ، وَرَبُّ الْمَالِ لَمَّا لَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يَعُمَّ جَمِيعَ أَهْلِ السُّهْمَانِ لَمْ يَلْزَمْهُ التَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمْ بِحَسَبِ الْحَاجَةِ، وَكَانَ عَلَى خِيَارِهِ فِي قَدْرِ الْعَطَاءِ كَمَا كَانَ عَلَى خِيَارِهِ فِي تَمَيُّزِ الْعَطَاءِ فَإِذَا ثَبَتَ الْفَرْقُ بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ فَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيمَا يَتَوَلَّاهُ الْعَامِلُ؛ فَأَمَّا رَبُّ الْمَالِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَقْتَصِرَ مِنَ الصِّنْفِ الْوَاحِدِ عَلَى أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ إِذَا وُجِدُوا؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى ذَكَرَ كُلَّ صِنْفٍ بِلَفْظِ الْجَمْعِ الْمُطْلَقِ وَقَالَ: {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ} [التوبة: آية 60] وَأَقَلُّ الْجَمْعِ ثَلَاثَةٌ فَرْقًا بَيْنَ الْجَمْعِ وَالتَّثْنِيَةِ، فَأَمَّا الْجَمْعُ بَيْنَ الْأَصْنَافِ كُلِّهِمْ فَيَسْتَوِي فِيهِ الْعَامِلُ وَرَبُّ الْمَالِ فَلَا يَجُوزُ لِرَبِّ الْمَالِ أَنْ يُخِلَّ بِصِنْفٍ مِنْهُمْ إِذَا قَدَرَ عَلَيْهِ فِي بَلَدِهِ كَالْعَامِلِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَ هَذَا وَبَيْنَ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ اسْتِيعَابُ كُلِّ صِنْفٍ بِخِلَافِ الْعَامِلِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ كُلَّ زَكَاةٍ لِجَمِيعِ الْأَصْنَافِ وَلَمْ يَجْعَلْهَا لِجَمِيعِ كُلِّ صِنْفٍ.

Pendapat kedua: Sesungguhnya wajib bagi petugas (‘āmil) untuk membagikan bagian setiap golongan sesuai kadar kebutuhan mereka, dan tidak boleh menyamakan mereka padahal kebutuhan mereka berbeda-beda, dan juga tidak boleh mengutamakan sebagian atas yang lain padahal kebutuhan mereka sama. Adapun pemilik harta (rabb al-māl) boleh membagikan kepada siapa saja yang ia pilih, baik secara merata maupun dengan mengutamakan, dan tidak wajib baginya membagikan sesuai kadar kebutuhan mereka. Perbedaan antara keduanya adalah: karena petugas wajib membagikan kepada seluruh orang yang berhak menerima bagian, maka ia juga wajib menyamakan mereka sesuai kebutuhan; sedangkan pemilik harta, karena tidak wajib membagikan kepada seluruh orang yang berhak, maka tidak wajib pula menyamakan mereka sesuai kebutuhan, dan ia bebas dalam menentukan jumlah pemberian sebagaimana ia bebas dalam menentukan siapa yang diberi. Jika telah jelas perbedaan antara dua pendapat ini, maka telah dijelaskan pembahasan tentang apa yang menjadi tugas petugas (‘āmil); adapun pemilik harta, tidak boleh membatasi pemberian pada satu golongan hanya kepada kurang dari tiga orang jika memang ada, karena Allah Ta‘ala menyebut setiap golongan dengan lafaz jamak yang mutlak dan berfirman: {Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin} (at-Taubah: 60), dan jumlah jamak paling sedikit adalah tiga, sebagai pembeda antara jamak dan dual. Adapun dalam mengumpulkan seluruh golongan, maka petugas dan pemilik harta sama saja, sehingga tidak boleh bagi pemilik harta untuk mengabaikan satu golongan pun jika ia mampu menemukannya di negerinya, sebagaimana halnya petugas. Perbedaannya dengan kewajiban membagikan kepada seluruh anggota setiap golongan (yang hanya wajib bagi petugas) adalah karena Allah Ta‘ala menjadikan setiap zakat untuk seluruh golongan, bukan untuk seluruh anggota setiap golongan.

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ الْوَاجِبَ عَلَيْهِ أَنْ يُعْطِيَ ثَلَاثَةً مِنْ كُلِّ صِنْفٍ كَانَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ التَّسْوِيَةِ بَيْنَهُمْ وَالتَّفْضِيلِ اعْتِبَارًا بِالْحَاجَةِ، فَأَيُّ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ فَعَلَ أَجَزَأَهُ، فَإِنْ قَسَّمَهَا عَلَى اثْنَيْنِ مَعَ وُجُودِ الثَّالِثِ ضَمِنَ حِصَّةَ الثَّالِثِ وَفِي قَدْرِ مَا ضَمِنَهُ، قَوْلَانِ:

Jika telah ditetapkan bahwa yang wajib baginya adalah memberikan kepada tiga orang dari setiap golongan, maka ia boleh memilih antara menyamakan pemberian di antara mereka atau mengutamakan sebagian atas yang lain dengan mempertimbangkan kebutuhan. Maka, cara mana pun dari tiga cara ini yang ia lakukan, itu sudah mencukupi. Namun, jika ia membagikan kepada dua orang saja padahal ada orang ketiga, maka ia wajib menanggung bagian orang ketiga, dan dalam kadar tanggungan itu ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: ثُلُثُ ذَلِكَ السَّهْمِ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ اعْتِبَارًا بِالتَّسْوِيَةِ عِنْدَ تَرْكِ الِاجْتِهَادِ فِي التَّفْضِيلِ.

Salah satunya: sepertiga dari bagian tersebut, dan ini adalah pendapat yang dinyatakan dalam masalah ini dengan pertimbangan penyamaan ketika tidak melakukan ijtihad dalam mengutamakan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَضْمَنُ أَقَلَّ مَا يُجْزِئُ اعْتِبَارًا بِمَا جُعِلَ مِنَ الْخِيَارِ واللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Pendapat kedua: ia menanggung kadar minimal yang mencukupi, dengan pertimbangan adanya kebebasan memilih. Allah lebih mengetahui kebenaran.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: وَإِنْ أَعْطَى قَرَابَتَهُ مِنَ السُّهْمَانِ مِمَّنْ لَا تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ كَانَ أَحَقَّ بِهَا مِنَ الْبَعِيدِ مِنْهُ وَذَلِكَ أَنَّهُ يَعْلَمُ مِنْ قَرَابَتِهِ أَكْثَرَ مما يعلم من غيرهم وكذلك خاصته ومن لا تلزمه نفقته من قرابته ما عدا ولده ووالده ولا يعطى ولد الولد صغيرا ولا كبيرا زمنا ولا أخا ولا جدا ولا جدة زمنين ويعطيهم غير زمنى لأنه لا تلزمه نفقتهم إلا زمنى “.

Imam Syafi‘i berkata: Jika seseorang memberikan zakat kepada kerabatnya dari golongan penerima zakat yang tidak wajib ia nafkahi, maka mereka lebih berhak menerimanya daripada orang lain yang jauh hubungannya, karena ia lebih mengetahui keadaan kerabatnya daripada selain mereka. Demikian pula orang-orang terdekatnya dan siapa saja dari kerabatnya yang tidak wajib ia nafkahi selain anak dan orang tuanya. Tidak diberikan kepada cucu, baik kecil maupun besar yang cacat, juga tidak kepada saudara, kakek, atau nenek yang cacat, tetapi diberikan kepada mereka yang tidak cacat, karena ia tidak wajib menafkahi mereka kecuali yang cacat.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ أَقَارِبَ صَاحِبِ الْمَالِ مِنْ مَنَاسِبِهِ وَذَوِي رَحِمِهِ أَوْلَى بِزَكَاةِ مَالِهِ مِنَ الْأَجَانِبِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَهُمْ ضَرْبَانِ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa kerabat pemilik harta, baik dari jalur nasab maupun hubungan rahim, lebih utama menerima zakat hartanya daripada orang lain. Jika demikian, maka mereka terbagi menjadi dua kelompok:

ضَرْبٌ تَجِبُ نَفَقَاتُهُمْ، وَضَرْبٌ لَا تَجِبُ.

Kelompok yang wajib dinafkahi, dan kelompok yang tidak wajib dinafkahi.

فَأَمَّا مَنْ تَجِبُ نَفَقَتُهُ بِفَقْرِهِ وَزَمَانَتِهِ مِنْ أَقَارِبِهِ فَهُمُ الْوَالِدُونَ وَالْمَوْلُودُونَ، فَالْوَالِدُونَ الْآبَاءُ، وَالْأُمَّهَاتُ وَالْأَجْدَادُ، وَالْجَدَّاتُ مِنْ قِبَلِ الْآبَاءِ وَالْأُمَّهَاتِ.

Adapun yang wajib dinafkahi karena kefakiran dan kecacatannya dari kalangan kerabatnya adalah orang tua dan anak keturunan, yaitu ayah, ibu, kakek, nenek dari jalur ayah maupun ibu.

وَأَمَّا الْمَوْلُودُونَ فَالْبَنُونَ وَالْبَنَاتُ وَبَنُو الْبَنِينَ وَبَنُو الْبَنَاتِ.

Adapun anak keturunan adalah anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu laki-laki dari anak perempuan.

وَأَمَّا مَنْ لَا تَجِبُ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُمْ فَهُمْ مَنْ عَدَا مَنْ ذَكَرْنَا مِنَ الْأُخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ وَالْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ وَالْأَخْوَالِ وَالْخَالَاتِ وَمَنِ اتَّصَلَ بِهِمْ مِنْ أَبْنَائِهِمْ.

Adapun yang tidak wajib ia nafkahi adalah selain yang telah disebutkan, seperti saudara laki-laki, saudara perempuan, paman, bibi dari pihak ayah, paman, bibi dari pihak ibu, dan keturunan mereka.

وَقَالَ أبو حنيفة: تَجِبُ نَفَقَةُ كُلِّ ذِي رَحِمٍ مَحْرَمٍ وَالْكَلَامُ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ النَّفَقَاتِ فَإِذَا كَانَ الْأَقَارِبُ مِمَّنْ تَجِبُ نَفَقَاتُهُمْ كَانُوا أَوْلَى بِالزَّكَاةِ مِنَ الْأَجَانِبِ الْبُعَدَاءِ سَوَاءً كَانَ يَتَطَوَّعُ بِالنَّفَقَةِ عَلَيْهِمْ أَمْ لَا.

Abu Hanifah berkata: Wajib memberi nafkah kepada setiap kerabat mahram, dan pembahasan tentang hal ini ada dalam Kitab Nafkah. Maka jika para kerabat termasuk orang-orang yang wajib dinafkahi, mereka lebih berhak menerima zakat daripada orang lain yang jauh, baik ia menafkahi mereka secara sukarela maupun tidak.

وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: إِنْ تَطَوَّعَ بِالنَّفَقَةِ عَلَيْهِمْ صَارُوا فِي تَحْرِيمِ الزَّكَاةِ كَمَنْ تَجِبُ نَفَقَتُهُمْ.

Ahmad bin Hanbal berkata: Jika ia menafkahi mereka secara sukarela, maka mereka menjadi seperti orang-orang yang wajib dinafkahi dalam hal haramnya menerima zakat.

وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ لَهُ قَطْعَ مَا تَطَّوَّعَ بِهِ مِنَ النَّفَقَةِ فَلَمْ تَحْرُمْ عَلَيْهِمُ الصدقة كتطوعه بنفقات الأجانب.

Ini adalah kekeliruan, karena ia boleh saja menghentikan nafkah sukarela tersebut, sehingga sedekah tidak menjadi haram bagi mereka, sebagaimana ia bersedekah kepada orang lain yang bukan kerabat.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَإِنْ كَانُوا مِمَّنْ تَجِبُ نَفَقَاتُهُمْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَدْفَعَ إِلَيْهِمْ مِنَ الزَّكَاةِ إِنْ كَانُوا فُقَرَاءَ أَوْ مَسَاكِينَ لِأَنَّهُمْ بِوُجُوبِ نَفَقَاتِهِمْ عَلَيْهِ قَدْ صَارُوا بِهِ أَغْنِيَاءَ، وَلِأَنَّهُ يَصِيرُ مُرْتَفِقًا بِهَا فِي سُقُوطِ نَفَقَاتِهِمْ عَنْهُ، فَلَمْ يَجُزْ لِهَذَيْنِ الْأَمْرَيْنِ أَنْ يُعْطِيَهُمْ مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ، فَأَمَّا إِنْ كَانُوا مِنَ الْعَامِلِينَ عَلَيْهَا جَازَ أَنْ يُعْطِيَهُمْ سَهْمَ الْعَامِلِينَ مِنْهَا؛ لِأَنَّ سَهْمَهُمْ فِي مُقَابَلَةِ عَمَلٍ فَكَانَ عِوَضًا فَإِنْ كَانُوا مِنَ الْمُؤَلَّفَةِ أَعْطَاهُمْ مِنْ سَهْمِ الْمُؤَلَّفَةِ إِنْ كَانُوا أَغْنِيَاءَ وَلَمْ يُعْطِهِمْ مِنْهُ إِنْ كَانُوا فَقُرَاءَ، لِأَنَّهُ تَسْقُطُ نَفَقَاتُهُمْ عَنْهُ بِمَا يَأْخُذُونَهُ مِنْهُ فَصَارَ مُرْتَفِقًا بِهَا.

Jika mereka termasuk orang-orang yang wajib dinafkahi, maka tidak boleh memberikan zakat kepada mereka jika mereka fakir atau miskin, karena dengan kewajiban nafkah atas dirinya, mereka dianggap telah menjadi orang kaya. Selain itu, ia akan mendapatkan manfaat dengan gugurnya kewajiban nafkah dari dirinya. Oleh karena dua alasan ini, tidak boleh memberikannya kepada mereka dari bagian fakir dan miskin. Adapun jika mereka termasuk ‘amil zakat, maka boleh diberikan kepada mereka dari bagian ‘amil, karena bagian mereka sebagai imbalan atas pekerjaan, sehingga menjadi kompensasi. Jika mereka termasuk mu’allaf, maka diberikan kepada mereka dari bagian mu’allaf jika mereka kaya, dan tidak diberikan jika mereka fakir, karena nafkah mereka gugur dari dirinya dengan apa yang mereka terima, sehingga ia mendapatkan manfaat dari hal itu.

وَإِنْ كَانُوا مُكَاتَبِينَ جَازَ أَنْ يُعْطِيَهُمْ مِنْ سَهْمِ الرِّقَابِ؛ لِأَنَّ نَفَقَةَ الْمُكَاتَبِ لَا تَجِبُ عَلَى مُنَاسِبٍ وَإِنْ كَانُوا مِنَ الْغَارِمِينَ جَازَ أَنْ يُعْطِيَهُمْ مِنْ سَهْمِهِمْ سَوَاءً كَانُوا مِمَّنْ أَدَانَ فِي مَصْلَحَةِ نَفْسِهِ أَوْ مَصْلَحَةِ غَيْرِهِ، فَلَا يُعْطَى إِلَّا مَعَ الْفُقَرَاءِ، وَإِنْ كَانُوا مِمَّنْ أدان في المصالح العامة فيعطى مَعَ الْغِنَى وَالْفَقْرِ؛ لِأَنَّ مَا يُعْطَوْنَهُ يَلْزَمُهُمْ صَرْفُ دُيُونِهِمُ الَّتِي تَجِبُ عَلَيْهِ قَضَاؤُهَا عَلَيْهِمْ، فَلَيْسَ يَرْتَفِقُ بِهَا فِي سُقُوطِ نَفَقَتِهِمْ.

Jika mereka adalah mukatab (budak yang sedang menebus dirinya), maka boleh diberikan kepada mereka dari bagian riqab, karena nafkah mukatab tidak wajib atas kerabat. Jika mereka termasuk gharim (orang yang berutang), maka boleh diberikan kepada mereka dari bagian gharim, baik mereka berutang untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain, maka tidak diberikan kecuali bersama fakir. Jika mereka berutang untuk kepentingan umum, maka boleh diberikan baik mereka kaya maupun fakir, karena apa yang mereka terima wajib digunakan untuk membayar utang yang harus mereka lunasi, sehingga ia tidak mendapatkan manfaat dari gugurnya nafkah mereka.

وَإِنْ كَانُوا مِنَ الْغُزَاةِ أَعْطَاهُمْ مِنْ سَهْمِ سَبِيلِ اللَّهِ قَدْرَ مَا يَسْتَعِينُونَ بِهِ فِي مَؤُونَةِ حُمُولَتِهِمْ، وَثَمَنِ سِلَاحِهِمْ وَدَوَابِّهِمْ وَنَفَقَاتِ خَيْلِهِمْ وَغِلْمَانِهِمْ وَلَا يُعْطِيهِمْ نَفَقَاتِ أَنْفُسِهِمْ لِوُجُوبِهَا عَلَيْهِ حَتَّى لَا يَصِيرَ مُرْتَفِقًا بِسُقُوطِهَا عَنْهُ.

Jika mereka termasuk para mujahid, maka diberikan kepada mereka dari bagian fi sabilillah sejumlah yang dapat membantu mereka dalam biaya perlengkapan, harga senjata, hewan tunggangan, nafkah kuda, dan pelayan mereka, namun tidak diberikan nafkah untuk diri mereka sendiri karena kewajibannya atas dirinya, agar ia tidak mendapatkan manfaat dari gugurnya nafkah tersebut.

وَإِنْ كَانُوا مِنْ بَنِي السَّبِيلِ أَعْطَاهُمْ مِنْ سَهْمِهِمْ كِرَاءَ مَسِيرِهِمْ وَلَمْ يُعْطِهِمْ نَفَقَاتِ أَنْفُسِهِمْ إِلَّا مَا زَادَ عَلَى نَفَقَةِ الْحَضَرِ لِئَلَّا يَصِيرَ مُرْتَفِقًا بِهَا فِي سُقُوطِهَا عَنْهُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ أَنْ يُسَافِرَ بِهِمْ وَلَا يُقِرُّهُمْ كَمَا لَا يَلْزَمُهُ أَنْ يَقْضِيَ دُيُونَهُمْ فَجَازَ أَنْ يُعْطِيَهُمْ مِنْهَا مَا اخْتَصَّ بِالسَّفَرِ وَالْغَزْوِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika mereka termasuk ibn sabil, maka diberikan kepada mereka dari bagian ibn sabil berupa ongkos perjalanan, dan tidak diberikan nafkah untuk diri mereka sendiri kecuali yang melebihi nafkah saat bermukim, agar ia tidak mendapatkan manfaat dari gugurnya nafkah tersebut; karena ia tidak wajib menyertai mereka dalam perjalanan atau menahan mereka, sebagaimana ia tidak wajib melunasi utang mereka. Maka boleh memberikannya kepada mereka untuk kebutuhan khusus perjalanan dan jihad. Wallahu a‘lam.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” ولا يعطي زوجته لأن نفقتها تلزمه فإن ادّانوا أعطاهم من سهم الغارمين وكذلك من سهم ابن السبيل لأنه لا يلزمه قضاء الدين عنهم ولا حملهم إلى بلد أرادوه فلا يكونون أغنياء عن هذا به كما كانوا به أغنياء عن الفقر والمسكنة “.

Imam Syafi‘i berkata: “Tidak boleh memberi zakat kepada istrinya karena nafkahnya wajib atas dirinya. Jika mereka berutang, maka boleh diberikan dari bagian gharim, demikian pula dari bagian ibn sabil, karena ia tidak wajib melunasi utang mereka atau mengantarkan mereka ke negeri yang mereka inginkan, sehingga mereka tidak menjadi kaya karena hal itu sebagaimana mereka menjadi kaya dari bagian fakir dan miskin.”

قال الماوردي: قد مضى الكلام في الْأَقَارِبِ الْمُنَاسِبِينَ، فَأَمَّا الزَّوْجَةُ فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan pembahasan tentang kerabat yang memiliki hubungan nasab, adapun istri maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ تَكُونَ مُقِيمَةً أَوْ مُسَافِرَةً فَإِنْ كَانَتْ مُقِيمَةً لَمْ تَخْلُ مِنْ أَنْ تَكُونَ مُطِيعَةً أَوْ نَاشِزَةً فَإِنْ كَانَتْ مُطِيعَةً تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهَا وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْطِيَهَا مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ، لِأَنَّهَا غَنِيَّةٌ بِهِ وَإِنْ كَانَتْ نَاشِزَةً لَمْ تَلْزَمْهُ نَفَقَتُهَا وَسَقَطَتْ عَنْهُ بِالنُّشُوزِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهَا مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ، وَالْمَسَاكِينِ، وَإِنْ لَمْ يَكْتَسِبْ لِقُدْرَتِهِ عَلَى الْكِفَايَةِ فَأَمَّا إِعْطَاءُ الزَّوْجَةِ مِنْ سَهْمِ الْعَامِلِينَ فَلَيْسَتْ مِمَّنْ يُسْتَعْمَلُ عَلَى الزَّكَاةِ فَيُعْطَاهُ.

Istri itu bisa saja berstatus sebagai mukim (tinggal) atau musafir (bepergian). Jika ia mukim, maka ia tidak lepas dari dua keadaan: taat atau nusyuz. Jika ia taat, maka suaminya wajib menafkahinya dan tidak boleh memberinya dari bagian fakir miskin, karena ia telah dianggap kaya dengan nafkah suaminya. Jika ia nusyuz, maka suaminya tidak wajib menafkahinya dan kewajiban nafkah gugur darinya karena nusyuz, serta tidak boleh memberinya dari bagian fakir miskin, meskipun suaminya tidak bekerja karena ia mampu mencukupi kebutuhan. Adapun pemberian kepada istri dari bagian ‘amilin (petugas zakat), maka istri bukanlah termasuk orang yang dipekerjakan untuk mengelola zakat sehingga tidak berhak mendapatkannya.

وَأَمَّا مِنْ سَهْمِ الْمُؤَلَّفَةِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ تُعْطَى لِأَنَّ الْمُؤَلَّفَةَ هُمُ الرِّجَالُ الْمُقَاتِلَةُ، وَلَوْ قِيلَ: يُعْطَى لَكَانَ مَذْهَبًا لِأَنَّ مَا يُقْصَدُ مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الرَّجُلِ وَتَرْغِيبِ قَوْمِهِ فِي الْإِسْلَامِ مَوْجُودٌ فِي الْمَرْأَةِ.

Adapun dari bagian mu’allafah (orang yang dilunakkan hatinya), tidak boleh diberikan kepada istri, karena mu’allafah adalah laki-laki yang berperang. Namun, jika dikatakan boleh diberikan, itu merupakan salah satu pendapat, karena tujuan memperbaiki keislaman seseorang dan menarik kaumnya kepada Islam juga terdapat pada perempuan.

وَأَمَّا إِنْ كَانَتْ مُكَاتَبَةً أَوْ غَارِمَةً جَازَ أَنْ تُعْطَى مِنْ سَهْمِ الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ؛ لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ قَضَاءُ دَيْنِهَا وَأَدَاءُ كِتَابَتِهَا، وَأَمَّا مِنْ سَهْمِ سَبِيلِ اللَّهِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ تُعْطَاهُ؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ وَأَمَّا مِنْ سَهْمِ بَنِي السَّبِيلِ فَسَنَذْكُرُ حُكْمَ سَفَرِهَا، فَلَا يَخْلُو أَنْ تُسَافِرَ وَحْدَهَا أَوْ مَعَ زَوْجِهَا فَإِنْ سَافَرَتْ مَعَ زَوْجِهَا فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ بِإِذْنِهِ أَوْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ، فَإِنْ كَانَ بِإِذْنِهِ فَلَا يُعْطِيهَا مِنْ سَهْمِ ابْنِ السَّبِيلِ؛ لِأَنَّ مُؤْنَةَ حُمُولَتِهَا تَلْزَمُهُ لِأَجْلِ إِذْنِهِ، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَلَهَا النَّفَقَةُ لِكَوْنِهَا مَعَهُ وَلَا يَلْزَمُهُ حُمُولَتُهَا لِخُرُوجِهَا بِغَيْرِ إِذْنِهِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهَا مِنْ سَهْمِ بَنِي السَّبِيلِ كَرَاءَ حُمُولَتِهَا؛ لِأَنَّهُ سَفَرُ مَعْصِيَةٍ وَإِنْ سَافَرَتْ وَحْدَهَا فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ بِإِذْنِهِ أَوْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَلَا نَفَقَةَ لَهَا لِكَوْنِهَا نَاشِزَةً، وَيَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهَا مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ بِخِلَافِ الْمُقِيمَةِ النَّاشِزَةِ.

Adapun jika istri berstatus mukatabah (budak perempuan yang sedang menebus dirinya) atau gharimah (perempuan yang terlilit utang), maka boleh diberikan dari bagian riqab (memerdekakan budak) dan gharimin (orang berutang), karena suami tidak wajib melunasi utangnya atau membayar tebusan kitabahnya. Adapun dari bagian fi sabilillah (di jalan Allah), tidak boleh diberikan kepadanya karena ia bukan termasuk ahli jihad. Adapun dari bagian ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal), akan disebutkan hukum safarnya: ia bisa bepergian sendiri atau bersama suaminya. Jika bepergian bersama suaminya, maka bisa dengan izin suami atau tanpa izin. Jika dengan izin suami, maka tidak boleh diberikan dari bagian ibnu sabil, karena biaya perjalanannya menjadi tanggungan suami akibat izinnya. Jika tanpa izin suami, maka ia tetap berhak mendapat nafkah karena ia bersama suaminya, namun suami tidak wajib menanggung biaya perjalanannya karena ia keluar tanpa izin. Tidak boleh pula diberikan dari bagian ibnu sabil untuk biaya perjalanannya, karena itu adalah safar maksiat. Jika ia bepergian sendiri, maka bisa dengan izin suami atau tanpa izin. Jika tanpa izin, maka ia tidak berhak mendapat nafkah karena ia berstatus nusyuz, dan boleh diberikan dari bagian fakir miskin, berbeda dengan istri mukim yang nusyuz.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمُقِيمَةَ إِذَا نَشَزَتْ قَدَرَتْ عَلَى النَّفَقَةِ بِتَعْجِيلِ الْمُطَاوَعَةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهَا مِنْ سَهْمِ بَنِي السَّبِيلِ؛ لِأَنَّهُ سَفَرُ مَعْصِيَةٍ، وَإِنْ كَانَ سَفَرُهَا بِإِذْنِهِ، فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Perbedaan antara keduanya adalah: istri mukim yang nusyuz masih mampu mendapatkan nafkah dengan segera kembali taat, dan tidak boleh diberikan dari bagian ibnu sabil karena safarnya adalah safar maksiat. Jika safarnya dengan izin suami, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: فِيمَا يَخْتَصُّ بِزَوْجِهَا فَعَلَيْهِ نَفَقَتُهَا وَحُمُولَتُهَا فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهَا مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَلَا مِنْ سَهْمِ بَنِي السَّبِيلِ.

Pertama: jika safar itu berkaitan dengan urusan suaminya, maka suami wajib menafkahi dan menanggung biaya perjalanannya, sehingga tidak boleh diberikan dari bagian fakir miskin maupun dari bagian ibnu sabil.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فِيمَا يُخْتَصُّ بِهَا فَفِي وُجُوبِ نَفَقَتِهَا قَوْلَانِ:

Kedua: jika safar itu berkaitan dengan urusan pribadinya, maka dalam kewajiban nafkah terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَجِبُ عَلَيْهِ، فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهَا مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ لِغِنَاهَا بِهِ، وَيَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهَا مِنْ سَهْمِ بَنِي السَّبِيلِ لِأَنَّ حُمُولَتَهَا لَا تَلْزَمُهُ.

Pertama: suami tetap wajib menafkahinya. Dalam hal ini, tidak boleh diberikan dari bagian fakir miskin karena ia telah dianggap kaya dengan nafkah suaminya, namun boleh diberikan dari bagian ibnu sabil karena biaya perjalanannya tidak menjadi tanggungan suami.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا نَفَقَةَ لَهَا، فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهَا مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَيَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهَا مِنْ سَهْمِ بَنِي السَّبِيلِ.

Pendapat kedua: suami tidak wajib menafkahinya. Dalam hal ini, boleh diberikan dari bagian fakir miskin dan juga boleh diberikan dari bagian ibnu sabil.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا إِذَا كَانَتْ فِي عِدَّةٍ مِنْ طَلَاقِهِ فَإِنْ وَجَبَتْ نَفَقَتُهَا لِكَوْنِهَا رَجْعِيَّةً أَوْ حَامِلًا فِي طَلَاقٍ بَائِنٍ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهَا مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ لِوُجُوبِ نَفَقَتِهَا عَلَيْهِ، وَلَا مِنْ سَهْمِ بَنِي السَّبِيلِ لِحَظْرِ السَّفَرِ عَلَيْهَا فِي الْعِدَّةِ، وَإِنْ لَمْ تجب نفقتها لكونها حائلا في طلاق بَائِنٌ جَازَ أَنْ يُعْطِيَهَا مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْطِيَهَا مِنْ سَهْمِ بَنِي السَّبِيلِ، وَإِنْ كَانَتْ فِي عِدَّةٍ مِنْ وطئه بشبهة فإن كانت حائلا لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ نَفَقَتُهَا، فَجَازَ أَنْ يُعْطِيَهَا مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْطِيَهَا مِنْ سَهْمِ بَنِي السَّبِيلِ لِحَظْرِ السَّفَرِ عَلَيْهَا فِي الْعِدَّةِ وَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا فَفِي وُجُوبِ نَفَقَتِهَا عَلَيْهِ قَوْلَانِ:

Adapun jika seorang perempuan berada dalam masa ‘iddah karena talak dari suaminya, maka jika wajib atas suami untuk menafkahinya karena ia dalam talak raj‘i atau ia sedang hamil dalam talak bā’in, maka tidak boleh suami memberinya dari bagian fakir miskin karena kewajiban nafkah atasnya, dan tidak boleh pula dari bagian ibn al-sabīl karena larangan bepergian atasnya selama masa ‘iddah. Namun, jika tidak wajib menafkahinya karena ia tidak hamil dalam talak bā’in, maka boleh memberinya dari bagian fakir miskin, tetapi tidak boleh dari bagian ibn al-sabīl. Jika ia dalam masa ‘iddah karena persetubuhan syubhat, maka jika ia tidak hamil, tidak wajib atas laki-laki itu menafkahinya, sehingga boleh memberinya dari bagian fakir miskin, tetapi tidak boleh dari bagian ibn al-sabīl karena larangan bepergian atasnya selama masa ‘iddah. Jika ia hamil, maka dalam kewajiban nafkah atasnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَجِبُ، فَيَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهَا مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَلَا يُعْطِيهَا مِنْ سَهْمِ بَنِي السَّبِيلِ.

Salah satunya: Wajib menafkahinya, sehingga boleh memberinya dari bagian fakir miskin dan tidak boleh memberinya dari bagian ibn al-sabīl.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: تَجِبُ نَفَقَتُهَا فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهَا مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَلَا مِنْ سَهْمِ بَنِي السَّبِيلِ.

Pendapat kedua: Wajib menafkahinya, sehingga tidak boleh memberinya dari bagian fakir miskin maupun dari bagian ibn al-sabīl.

فَصْلٌ:

Fasal:

فَأَمَّا الزَّوْجَةُ فَيَجُوزُ لَهَا دَفْعُ زَكَاتِهَا إِلَى زَوْجِهَا مِنَ السِّهَامِ كُلِّهَا.

Adapun istri, maka boleh baginya memberikan zakatnya kepada suaminya dari seluruh bagian.

وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَجُوزُ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ فَمَنْعُ زَكَاةِ صَاحِبِهِ كَالزَّوْجِ إِلَى زَوْجَتِهِ.

Abu Hanifah berkata: Tidak boleh, dengan alasan bahwa ia adalah salah satu dari dua pasangan, sehingga larangan zakat kepada pasangannya berlaku sebagaimana suami kepada istrinya.

وَلِأَنَّهُ وَارِثٌ لَا يَسْقُطُ بِالْحَجْبِ فَوَجَبَ أَنْ يُمْنَعَ مِنَ الزَّكَاةِ كَالْأَبِ.

Dan karena ia adalah ahli waris yang tidak gugur karena terhalang, maka wajib dilarang menerima zakat sebagaimana ayah.

وَلِأَنَّهُ قَدْ تَرْتَفِقُ بِدَفْعِ زَكَاتِهَا إِلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَسْتَغْنِي بِهَا فَتَلْزَمُهُ لَهَا نَفَقَةُ مُوسِرٍ.

Dan karena bisa jadi ia mendapatkan manfaat dari pemberian zakat istrinya kepadanya; sebab bisa jadi ia menjadi cukup dengan zakat itu sehingga wajib baginya memberi nafkah kepada istrinya sebagai orang yang mampu.

وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قَوْله تعالى: {إنما الصدقات للفقراء والمساكين} وَحَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِزَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ: ” زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ عَلَيْهِمْ ” فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ.

Dalil kami adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan miskin} dan hadits Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ berkata kepada Zainab, istri Abdullah bin Mas‘ud: “Suamimu dan anakmu lebih berhak menerima sedekahmu,” maka tetaplah keumumannya.

فَإِنْ قِيلَ: فَهَذَا مَحْمُولٌ عَلَى التَّطَوُّعِ؛ لِأَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَ الزَّوْجِ وَالْوَلَدِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُدْفَعَ إِلَى الْوَلَدِ مِنَ الْفَرْضِ فَثَبَتَ أَنَّهُ التَّطَوُّعُ، فَعَنْ ذَلِكَ جَوَابَانِ:

Jika dikatakan: Ini dibawa kepada sedekah sunnah, karena Nabi menggabungkan antara suami dan anak, padahal tidak boleh memberikan zakat wajib kepada anak, maka tetaplah bahwa itu adalah sedekah sunnah. Maka atas hal itu ada dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ جَوَابُ أَبِي عُبَيْدٍ أَنَّهُ يَحْتَمِلُ أَنْ يكون أولاده من غيرها.

Salah satunya, yaitu jawaban Abu ‘Ubaid: Bisa jadi anak-anaknya dari istri yang lain.

والثاني: وَهُوَ جَوَابُ الشَّافِعِيِّ، إِنَّ أَوْلَادَهُ وَإِنْ كَانُوا مِنْهَا فَإِنَّهُمْ كَانُوا بَالِغِينَ أَصِحَّاءَ فَسَقَطَتْ نَفَقَاتُهُمْ، وَجَازَ دَفْعُ الزَّكَاةِ إِلَيْهِمْ.

Yang kedua, yaitu jawaban asy-Syafi‘i: Bahwa anak-anaknya meskipun dari istri tersebut, mereka telah dewasa dan sehat, sehingga gugur kewajiban nafkah atas mereka, dan boleh memberikan zakat kepada mereka.

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهُ نَسَبٌ لَا يَسْتَحِقُّ بِهِ النَّفَقَةَ فَلَمْ تَحْرُمْ بِهِ الصَّدَقَةُ قِيَاسًا عَلَى ذَوِي الْأَرْحَامِ، وَلِأَنَّ الزَّوْجَ مَعَ الزَّوْجَةِ بِمَنْزِلَةِ الْأَجْنَبِيِّ فِي سُقُوطِ النَّفَقَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بِمَنْزِلَتِهِ فِي اسْتِبَاحَةِ الصَّدَقَةِ.

Dan dari qiyās: Bahwa hubungan nasab yang tidak mewajibkan nafkah tidaklah menghalangi pemberian sedekah, sebagaimana kerabat dari jalur rahim. Dan karena suami terhadap istri dalam hal gugurnya nafkah adalah seperti orang asing, maka demikian pula dalam kebolehan menerima sedekah.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى مَنْعِ الزَّوْجِ مِنْ دَفْعِهَا إِلَى زَوْجَتِهِ فَهُوَ لِأَنَّ نَفَقَتَهَا تَلْزَمُهُ فَمُنِعَتْ مِنْ صَدَقَتِهِ وَنَفَقَتُهُ لَا تَلْزَمُهَا فَلَمْ يُمْنَعْ مِنْ صَدَقَتِهَا وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْأَبِ بِعِلَّةِ أَنَّهُ لَا يَسْقُطُ بِالْحَجْبِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّ الْأَبَ تَمَيَّزَ بِاسْتِحْقَاقِ النَّفَقَةِ فَيُمْنَعُ مِنَ الصَّدَقَةِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الزَّوْجُ.

Adapun jawaban atas qiyās mereka yang melarang suami memberikan zakat kepada istrinya adalah karena nafkah istri wajib atas suami, sehingga istri dilarang menerima sedekah dari suaminya. Sedangkan nafkah suami tidak wajib atas istri, maka tidak dilarang menerima sedekah dari istrinya. Adapun qiyās kepada ayah dengan alasan bahwa ia tidak gugur karena terhalang, maka maksudnya adalah bahwa ayah memiliki kekhususan dengan kewajiban nafkah, sehingga dilarang menerima sedekah, dan tidak demikian halnya dengan suami.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّهَا قَدْ تَرْتَفِقُ بِدَفْعِ زَكَاتِهَا إِلَيْهِ، فَهُوَ أَنَّهَا لَا تَرْتَفِقُ بِالدَّفْعِ، وَإِنَّمَا تَرْتَفِقُ بِمَا قَدْ يَحْدُثُ بَعْدَهُ مِنَ الْيَسَارِ وَذَلِكَ لَا يَمْنَعُ مِنَ الزَّكَاةِ كَمَنْ دَفَعَهَا إِلَى غَرِيمٍ لَهُ فَأَخَذَهَا مِنْ بَعْدِ قَبْضِهَا مِنْ دَيْنِهِ جَازَ، وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ رِفْقًا يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِهَا لِحُصُولِ ذَلِكَ بَعْدَ اسْتِقْرَارِ الْمِلْكِ بِالْقَبْضِ كَذَلِكَ مَا يَأْخُذُهُ الزَّوْجُ والله أعلم.

Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa ia bisa mendapatkan manfaat dengan menyalurkan zakatnya kepadanya, maka jawabannya adalah bahwa ia tidak mendapatkan manfaat dari penyaluran tersebut, melainkan ia mendapatkan manfaat dari kemungkinan kelapangan rezeki yang terjadi setelahnya, dan hal itu tidak menghalangi dari kewajiban zakat. Sebagaimana seseorang yang menyalurkan zakatnya kepada orang yang berutang kepadanya, lalu setelah orang itu menerima zakat tersebut, ia mengambilnya untuk membayar utangnya, maka itu diperbolehkan. Hal itu tidak dianggap sebagai bentuk kemudahan yang menghalangi keabsahan zakat, karena kemudahan itu terjadi setelah kepemilikan harta telah tetap melalui penerimaan. Demikian pula halnya dengan apa yang diterima oleh suami. Wallāhu a‘lam.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فَأَمَّا آلُ مُحَمَّدٍ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الَّذِينَ جُعِلَ لَهُمُ الْخُمُسُ عِوَضًا مِنَ الصَّدَقَةِ فَلَا يُعْطَوْنَ مِنَ الصَّدَقَاتِ الْمَفرُوضَاتِ وَإِنْ كَانُوا محتاجين وغارمين وهم أهل الشعب وهم صلبية بني هاشم وبني المطلب ولا تحرم عليهم صدقة التطوع وروي عن جعفر بن محمد عن أبيه أنه كان يشرب من سقايات بين مكة والمدينة فقلت له أتشرب من الصدقة؟ فقال: إنما حرمت علينا الصدقة المفروضة، وقبل النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الهدية من صدقة تصدق بها على بريرة وذلك أنها من بريرة تطوع لا صدقة “.

Imam asy-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata: “Adapun Āl Muhammad -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- yang telah dijadikan bagi mereka hak atas khumus sebagai pengganti dari sedekah, maka mereka tidak boleh menerima sedekah yang wajib, meskipun mereka dalam keadaan membutuhkan dan terlilit utang. Mereka adalah Ahlus Sya‘b, yaitu keturunan asli Banī Hāsyim dan Banī al-Muththalib. Namun, sedekah sunnah tidak diharamkan atas mereka. Diriwayatkan dari Ja‘far bin Muhammad dari ayahnya, bahwa ia pernah minum dari tempat-tempat air antara Makkah dan Madinah. Aku bertanya kepadanya, ‘Apakah engkau minum dari sedekah?’ Ia menjawab, ‘Yang diharamkan atas kami hanyalah sedekah yang wajib.’ Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- juga pernah menerima hadiah dari sedekah yang diberikan kepada Barīrah, karena dari Barīrah itu merupakan sedekah sunnah, bukan sedekah wajib.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَتُهُ أَنَّ النَّاسَ فِي صَدَقَتَيِ الْفَرْضِ وَالتَّطَوُّعِ يَنْقَسِمُونَ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ؛ مِنْهُمْ مَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ صَدَقَةُ الْفَرْضِ وَالتَّطَوُّعِ، وَمِنْهُمْ مَنْ تَحِلُّ لَهُ الصَّدَقَتَانِ جَمِيعًا، وَمِنْهُمْ مَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ صَدَقَةُ الْفَرْضِ دُونَ التَّطَوُّعِ.

Al-Māwardī berkata: Secara umum, manusia dalam hal sedekah wajib dan sedekah sunnah terbagi menjadi tiga golongan: ada yang diharamkan atasnya kedua jenis sedekah tersebut, ada yang halal baginya kedua jenis sedekah tersebut, dan ada yang diharamkan atasnya sedekah wajib namun tidak sedekah sunnah.

فَأَمَّا مَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ صَدَقَةُ الْفَرْضِ وَالتَّطَوُّعِ فَهُوَ رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِمَا رَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى مِنْ قَدْرِهِ وَفَضْلِهِ عَلَى جَمِيعِ خَلْقِهِ.

Adapun orang yang diharamkan atasnya sedekah wajib dan sedekah sunnah adalah Rasulullāh -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, karena Allah Ta‘ālā telah mengangkat derajat dan keutamaannya di atas seluruh makhluk-Nya.

رَوَى أَبُو رَافِعٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِنَّا لَا تَحِلُّ لَنَا الصَّدَقَةُ “.

Abu Rāfi‘ meriwayatkan bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya sedekah tidak halal bagi kami.”

وَرَوَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَجَدَ تَمْرَةً وَقَالَ: ” لَوْلَا أَخَافُ أَنْ تَكُونَ صَدَقَةً لِأَكَلْتُهَا “.

Anas bin Mālik meriwayatkan bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- menemukan sebuah kurma dan bersabda: “Seandainya aku tidak khawatir kurma ini dari sedekah, pasti aku memakannya.”

وَرُوِيَ أَنَّ سَلْمَانَ الْفَارِسِيَّ حَمَلَ إلى النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – طَبَقًا مِنْ رُطَبٍ فَقَالَ: ” مَا هَذَا “؟ قَالَ: صَدَقَةٌ، قَالَ: ” إِنَّا لَا تَحِلُّ لَنَا الصَّدَقَةُ ” فَحَمَلَ إِلَيْهِ طَبَقًا آخَرَ فَقَالَ: ” مَا هَذَا “؟ قَالَ: هَدِيَّةٌ، قَالَ: إِنَّا نَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَنُكَافِئُ عليها “.

Diriwayatkan bahwa Salmān al-Fārisī membawa satu nampan kurma kepada Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, lalu beliau bertanya: “Apa ini?” Ia menjawab: “Sedekah.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya sedekah tidak halal bagi kami.” Kemudian ia membawa satu nampan lain, lalu beliau bertanya: “Apa ini?” Ia menjawab: “Hadiah.” Beliau bersabda: “Kami menerima hadiah dan membalasnya.”

وَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَقَدْ كَانَ يَمْتَنِعُ مِنْ صَدَقَةِ الْفَرْضِ تَحْرِيمًا، وَفِي امْتِنَاعِهِ مِنْ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ قَوْلَانِ:

Jika hal ini telah tetap, maka beliau menolak sedekah wajib secara pengharaman. Adapun penolakan beliau terhadap sedekah sunnah, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ كَانَ يَمْتَنِعُ مِنْهَا تَحْرِيمًا كَالْفَرْضِ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أكل من لحم تصدق به على بريرة وقال: هو لها صدقة لنا وهدية، وَصَدَقَاتُ اللُّحُومِ بِالْمَدِينَةِ كَانَتْ مِنْ ضَحَايَا تَطَوُّعٍ غَيْرِ وَاجِبَةٍ.

Pertama: Beliau menolaknya secara pengharaman sebagaimana sedekah wajib, karena Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- pernah memakan daging yang disedekahkan kepada Barīrah dan bersabda: “Itu baginya adalah sedekah, bagi kita adalah hadiah.” Sedangkan sedekah daging di Madinah berasal dari hewan kurban sunnah yang tidak wajib.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهُ كَانَ يَمْتَنِعُ مِنْهَا تَنْزِيهًا لَا تَحْرِيمًا، لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ يُصَلِّي فِي الْمَسَاجِدِ وَهِيَ صَدَقَاتٌ وَيَشْرَبُ مِنْ بِئْرِ رُومَةَ بِالْمَدِينَةِ وَبِئْرِ زَمْزَمَ بِمَكَّةَ وَهُمَا صَدَقَتَانِ.

Pendapat kedua: Beliau menolaknya sebagai bentuk kehati-hatian, bukan pengharaman, karena beliau pernah shalat di masjid-masjid yang merupakan hasil sedekah, dan minum dari sumur Rūmah di Madinah dan sumur Zamzam di Makkah, keduanya adalah sedekah.

وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ: مَا كَانَ مِنْ صَدَقَاتِ التَّطَوُّعِ عَلَى الْأَعْيَانِ كَانَتْ مُحَرَّمَةً عَلَيْهِ، وَمَا كَانَ مِنْهَا مَسْأَلَةً عَلَى الْكَافَّةِ لَمْ تَحْرُمْ عَلَيْهِ مِثْلَ صَلَاتِهِ فِي الْمَسَاجِدِ وَشُرْبِهِ مِنَ الْآبَارِ.

Abū ‘Alī bin Abī Hurairah berkata: Sedekah sunnah yang berupa harta tertentu adalah haram baginya, sedangkan sedekah yang bersifat umum untuk semua orang tidak haram baginya, seperti shalatnya di masjid-masjid dan minumnya dari sumur-sumur.

وَالَّذِي أَرَاهُ عِنْدِي أَصَحَّ، أَنَّ مَا كَانَ مِنْهَا أَمْوَالًا مُقَوَّمَةً كَانَتْ عَلَيْهِ مُحَرَّمَةً وَمَا لَمْ تَكُنْ أَمْوَالًا مُقَوَّمَةً كَانَتْ لَهُ مُبَاحَةً، فَعَلَى هَذَا كَانَتْ صَلَاتُهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَشُرْبُهُ مِنْ بِئْرِ رُومَةَ وَزَمْزَمَ، وَلَوْ كَانَتِ الصَّدَقَةُ الْمُسَيَّلَةُ ثِمَارًا لَا تَحِلُّ لَهُ، وَعَلَى قَوْلِ ابْنِ أَبِي هريرة تحل له.

Menurut pendapat yang aku anggap paling benar, sedekah yang berupa harta yang dapat dinilai adalah haram baginya, sedangkan yang bukan berupa harta yang dapat dinilai adalah halal baginya. Dengan demikian, shalat beliau di masjid-masjid dan minumnya dari sumur Rūmah dan Zamzam adalah diperbolehkan. Namun, jika sedekah yang mengalir itu berupa buah-buahan, maka tidak halal baginya. Menurut pendapat Ibn Abī Hurairah, itu halal baginya.

فَصْلٌ:

Fashl (Pembahasan):

وَأَمَّا مَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ الصَّدَقَةُ – الْفَرْضُ دُونَ التَّطَوُّعِ – فَهُمْ آلُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِرِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ أخذ تمرة من تمرة الصَّدَقَةِ فَجَعَلَهَا فِي فِيهِ فَنَزَعَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ فِيهِ بِلِعَابِهَا وَقَالَ كِخْ كِخْ، وَقَالَ: ” إِنَّا آَلَ مُحَمَّدٍ لَا تَحِلُّ لَنَا الصَّدَقَةُ “.

Adapun orang-orang yang haram menerima sedekah—yakni sedekah wajib, bukan sedekah sunnah—mereka adalah keluarga Rasulullah ﷺ. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah bahwa al-Hasan bin Ali mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah lalu meletakkannya di mulutnya. Maka Rasulullah ﷺ mengambilnya dari mulutnya beserta air liurnya dan bersabda, “Kikh kikh,” lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya kami, keluarga Muhammad, tidak halal bagi kami sedekah.”

وَسَأَلَهُ الْفَضْلُ بْنُ الْعَبَّاسِ عِمَالَةَ الصَّدَقَاتِ فَغَضِبَ وَقَالَ: ” أَلَيْسَ فِي خُمُسِ الْخُمُسِ مَا يُغْنِيكُمْ عَنْ أَوْسَاخِ النَّاسِ “.

Dan al-Fadhl bin al-Abbas pernah meminta kepada beliau untuk menjadi amil zakat, maka beliau marah dan bersabda: “Bukankah pada seperlima dari seperlima itu sudah cukup untuk menghindarkan kalian dari kotoran harta manusia?”

فَدَلَّ هَذَانِ الْخَبَرَانِ عَلَى تَحْرِيمِ الْفَرْضِ عَلَيْهِمْ.

Dua hadis ini menunjukkan keharaman sedekah wajib bagi mereka.

فَأَمَّا التَّطَوُّعُ فَحَلَالٌ لِمَا رُوِيَ أَنَّ جَعْفَرَ بْنَ مُحَمَّدٍ شَرِبَ مِنْ سِقَايَاتٍ بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ.

Adapun sedekah sunnah, maka hukumnya halal. Hal ini karena diriwayatkan bahwa Ja‘far bin Muhammad pernah minum dari tempat-tempat air di antara Makkah dan Madinah.

فَقِيلَ لَهُ: أَلَيْسَ قَدْ حُرِّمَ عَلَيْكُمِ الصَّدَقَاتُ؟ فَقَالَ: إِنَّمَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْنَا الصَّدَقَاتِ الْمَفْرُوضَاتِ؛ وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَوَّضَهُمْ مَالًا وَاحِدًا عَنْ مَالٍ وَاحِدٍ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ آلَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَحْرُمُ عَلَيْهِمُ الصَّدَقَاتُ الْمَفْرُوضَاتُ دُونَ التَّطَوُّعِ فَهُمْ ذُو الْقُرْبَى مِنْ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ.

Lalu dikatakan kepadanya: “Bukankah sedekah telah diharamkan atas kalian?” Ia menjawab: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan kepada kami sedekah-sedekah yang diwajibkan.” Dan karena Allah Ta‘ala telah mengganti mereka dengan satu jenis harta sebagai ganti satu jenis harta lainnya. Maka apabila telah tetap bahwa keluarga Rasulullah ﷺ diharamkan atas mereka sedekah-sedekah yang diwajibkan, bukan sedekah sunnah, maka mereka adalah dzawil qurba dari Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib.

وَقَالَ أبو حنيفة: إِنَّمَا تَحْرُمُ عَلَى آَلِ العباس وآل حمزة وآل الحارث بني عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَعَلَى آلِ عَلِيٍّ وَآلِ جَعْفَرٍ وَالْفَضْلِ وَلَا تَحْرُمُ عَلَى آلِ أَبِي لَهَبٍ وَلَا عَلَى غَيْرِ الْمَذْكُورِينَ مِنْ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَلَا عَلَى جَمِيعِ بَنِي الْمُطَّلِبِ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ مَنِ اسْتَحَقَّ سَهْمَ ذِي الْقُرْبَى مُنِعَ صَدَقَةَ الْفَرْضِ وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ سَهْمَ ذِي الْقُرْبَى مُشْتَرِكٌ بَيْنَ جَمِيعِ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ وَكَذَا صَدَقَةُ الْفَرْضِ حَرَامٌ عَلَى جَمِيعِ بَنِي هَاشِمٍ.

Abu Hanifah berkata: “Yang diharamkan hanyalah atas keluarga al-Abbas, keluarga Hamzah, keluarga al-Harits bin Abdul Muththalib, serta atas keluarga Ali, keluarga Ja‘far, dan al-Fadhl. Tidak diharamkan atas keluarga Abu Lahab dan selain yang disebutkan dari Bani Abdul Muththalib, juga tidak atas seluruh Bani al-Muththalib.” Ini adalah kekeliruan, karena siapa saja yang berhak atas bagian dzawil qurba, maka ia terhalang dari sedekah wajib. Dan telah tetap bahwa bagian dzawil qurba itu mencakup seluruh Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, demikian pula sedekah wajib haram atas seluruh Bani Hasyim.

وَأَمَّا مَنْ تَحِلُّ لَهُ صَدَقَةُ الْفَرْضِ وَالتَّطَوُّعِ فَهُمْ سَائِرُ النَّاسِ تَحِلُّ لَهُمْ صَدَقَاتُ الْفَرْضِ وَالتَّطَوُّعِ بِالْفَقْرِ وَصَدَقَاتُ التَّطَوُّعِ مَعَ الْغِنَى وَالْفَقْرِ، وَقَدْ دَلَّلْنَا عَلَيْهِ مِنْ قبل.

Adapun orang-orang yang halal bagi mereka menerima sedekah wajib dan sedekah sunnah adalah selain mereka, yakni seluruh manusia. Mereka halal menerima sedekah wajib dan sedekah sunnah karena kefakiran, dan sedekah sunnah baik dalam keadaan kaya maupun fakir. Hal ini telah kami jelaskan sebelumnya.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَإِذَا كَانَ فِيهِمْ غَارِمُونَ لَا أَمْوَالَ لَهُمْ فَقَالُوا أَعْطِنَا بِالْغُرْمِ وَالْفَقْرِ قِيلَ لَا إِنَّمَا نُعْطِيكُمْ بِأَيِّ الْمَعْنَيَيْنِ شِئْتُمْ فَإِذَا أَعْطَيْنَاهُ بِاسْمِ الْفَقْرِ فَلِغُرَمَائِهِ أَنْ يَأْخُذُوا مِمَّا فِي يَدَيْهِ حُقُوقَهُمْ وَإِذَا أَعْطَيْنَاهُ بِمَعْنَى الْغُرْمِ أَحْبَبْتُ أَنْ يتولى دفعه عنه وإلا فجائز كما يعطى المكاتب فإن قيل ولم لا يعطى بمعنيين؟ قيل الفقير مسكين والمسكين فقير يجمعهما اسم ويتفرق بهما اسم فلا يجوز أن يعطى إلا بأحد المعنيين ولو جاز ذلك جاز أن يعطى رجل بفقر وغرم وبأنه ابن سبيل وغاز ومؤلف فيعطى بهذه المعاني كلها فالفقير هو المسكين ومعناه أن لا يكون غنيا بحرفة ولا مال فإذا جمعا معا فقسم لصنفين بهما لم يجز إلا أن يفرق بين حاليهما بأن يكون الفقير الذي بدئ به أشدهما فقرا وكذلك هو في اللسان “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika di antara mereka terdapat orang yang berhutang dan tidak memiliki harta, lalu mereka berkata, ‘Berikanlah kepada kami karena hutang dan kefakiran kami,’ maka dikatakan: ‘Tidak, kami hanya memberimu karena salah satu dari dua alasan itu yang kamu kehendaki. Jika kami memberinya atas nama kefakiran, maka para penagih hutangnya berhak mengambil hak mereka dari apa yang ada di tangannya. Jika kami memberinya atas dasar hutang, aku lebih suka agar yang membayar zakat langsung melunasi hutangnya, namun jika tidak, maka boleh sebagaimana diberikan kepada budak mukatab. Jika ada yang bertanya, ‘Mengapa tidak boleh diberikan karena dua alasan sekaligus?’ Maka dijawab: Orang fakir adalah miskin, dan orang miskin adalah fakir; keduanya terkumpul dalam satu nama dan berbeda dalam nama lain. Maka tidak boleh diberikan kecuali karena salah satu dari dua alasan itu. Jika boleh, tentu boleh juga seseorang diberi karena kefakiran, hutang, status sebagai ibnu sabil, pejuang, dan muallaf, sehingga ia menerima karena semua alasan itu. Maka fakir adalah miskin, maksudnya adalah tidak kaya karena pekerjaan atau harta. Jika keduanya terkumpul, lalu dibagikan untuk dua golongan itu sekaligus, maka tidak boleh kecuali dibedakan antara dua keadaannya, yaitu fakir yang didahulukan adalah yang lebih parah kefakirannya, demikian pula dalam bahasa.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ جَمَعَ بَيْنَ سَبَبَيْنِ يَسْتَحِقُّ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا سَهْمًا فِيهِمَا كَغَارِمٍ فَقِيرٍ، وَعَامِلٍ مِسْكِينٍ طَلَبَ أَنْ يُعْطَى بِالْفَقْرِ أَوْ بِالْغُرْمِ أَوْ بِالْعِمَالَةِ وَالْمَسْكَنَةِ فَالَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ، وَأَكْثَرِ كتبه أنه لا يجوز أَنْ يُجْمَعَ لَهُ بِهِمَا وَلَا يُعْطَى إِلَّا بِأَحَدِهِمَا وَقَالَ فِي كِتَابِ فَرْضِ الزَّكَاةِ مِنْ قِسْمِ الصَّدَقَاتِ: إِنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُعْطَى بِالسَّبَبَيْنِ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:

Al-Mawardi berkata: “Contohnya adalah seseorang dari golongan penerima zakat yang mengumpulkan dua sebab, yang masing-masing sebab membuatnya berhak atas satu bagian, seperti orang yang berhutang dan fakir, atau amil dan miskin, lalu ia meminta agar diberikan karena kefakiran atau hutangnya, atau karena keamilan dan kemiskinannya. Pendapat yang ditegaskan oleh asy-Syafi‘i dalam masalah ini, dan dalam kebanyakan kitabnya, adalah tidak boleh digabungkan keduanya untuknya dan tidak boleh diberikan kecuali karena salah satu dari keduanya. Namun dalam Kitab Fardhu Zakat dari pembagian zakat, beliau menyatakan boleh diberikan karena dua sebab. Maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga mazhab:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ وَكَثِيرٍ مِنَ الْبَغْدَادِيِّينَ: إِنَّ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ لِاخْتِلَافِ نَصِّهِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Hamid al-Isfarayini dan banyak ulama Baghdad: bahwa hal itu ada dua pendapat karena perbedaan nash beliau dalam dua tempat tersebut.

أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: إِنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطَى إِلَّا بِأَحَدِ السَّبَبَيْنِ، وَهَذَا هو الأشهر في قَوْلِهِ، وَالْأَصَحُّ مِنْ مَذْهَبِهِ لِئَلَّا يُؤَدِّيَ ذَلِكَ إِلَى الْأَخْذِ بِجَمِيعِ الْأَسْبَابِ كَمَا لَا يُورَثُ الْمَجُوسِيُّ إِذَا اجْتَمَعَتْ لَهُ قَرَابَتَانِ إِلَّا بِأَحَدِهِمَا.

Salah satu dari dua pendapat: Sesungguhnya tidak boleh diberikan kecuali karena salah satu dari dua sebab, dan inilah yang paling masyhur dalam pendapatnya, dan yang paling sahih dari mazhabnya agar hal itu tidak mengakibatkan pengambilan dengan semua sebab, sebagaimana orang Majusi tidak diwarisi jika ia memiliki dua hubungan kekerabatan kecuali dengan salah satunya saja.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَجُوزُ أَنْ يُعْطَى بِهِمَا مَعًا؛ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَأْخُذَ بِالسَّبَبِ الْوَاحِدِ إِذَا انْفَرَدَ بِهِ جَازَ أَنْ يَأْخُذَ بِالسَّبَبَيْنِ إِذَا اجْتَمَعَا فِيهِ، وَكَمَا يَجُوزُ أَنْ يُورَثَ الزَّوْجُ إِذَا كَانَ ابْنَ عَمٍّ لَهَا بِالسَّبَبَيْنِ.

Pendapat kedua: Boleh diberikan dengan kedua sebab sekaligus; karena ketika boleh mengambil dengan satu sebab jika ia sendiri memilikinya, maka boleh juga mengambil dengan dua sebab jika keduanya berkumpul padanya, sebagaimana boleh mewarisi suami jika ia juga merupakan anak paman istrinya dengan dua sebab.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: قَالَهُ أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ وَجُمْهُورُ الْبَصْرِيِّينَ: إِنَّ ذَلِكَ عَلَى قَوْلٍ وَاحِدٍ لَا يُعْطَى إِلَّا بِأَحَدِهِمَا وَلَا يُجْمَعُ لَهُ بَيْنَهُمَا وَمَا قَالَهُ فِي فَرْضِ الزَّكَاةِ مِنْ جَوَازِ إِعْطَائِهِ بِالسَّبَبَيْنِ مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ مِنْ زَكَاتَيْنِ.

Mazhab kedua: Dikatakan oleh Abu Hamid al-Marwazi dan jumhur ulama Basrah: Sesungguhnya hal itu menurut satu pendapat saja, tidak boleh diberikan kecuali dengan salah satu dari keduanya dan tidak boleh digabungkan keduanya untuknya. Adapun yang dikatakan dalam pembagian zakat tentang bolehnya memberikan dengan dua sebab, itu ditafsirkan bahwa itu berasal dari dua zakat.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: إِنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُعْطَى بِالسَّبَبَيْنِ إِذَا اخْتَلَفَا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطَى بِهِمَا إذا اتَّفَقَا، فَاخْتِلَافُهُمَا أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا لِحَاجَتِهِ إِلَيْنَا، وَالْآخَرُ لِحَاجَتِنَا إِلَيْهِ كَالْعَامِلِ إِذَا كَانَ فَقِيرًا وَالْغَازِي إِذَا كَانَ مِسْكِينًا، وَاتِّفَاقُهُمَا أَنْ يَكُونَا مَعًا لِحَاجَتِهِ إِلَيْنَا كَالْفَقِيرِ إِذَا كَانَ غَارِمًا وَالْمِسْكِينِ إِذَا كَانَ مُكَاتَبًا، كَمَا أَنَّهُ لَا يُورَثُ أَحَدٌ بِسَبَبَيْنِ مُتَّفِقَيْنِ كَفَرْضَيْنِ أَوْ نَصِيبَيْنِ، وَيُورَثُ بِسَبَبَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ مِنْ فَرْضٍ وَتَعْصِيبٍ، فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا، وَقِيلَ: إِنَّهُ لَا يُعْطَى بِهِمَا وَكَانَ فَقِيرًا غَارِمًا خُيِّرَ فِي إِعْطَائِهِ بِأَيِّ السَّبَبَيْنِ شَاءَ مِنْ فَقْرٍ وَغُرْمٍ، فَإِنِ اخْتَارَ أَنْ يُعْطَى بِالْفَقْرِ سُلِّمَ إِلَيْهِ وَكَانَ لِصَاحِبِ الدَّيْنِ أَنْ يَأْخُذَهُ مِنْ دَيْنِهِ، وَإِنِ اخْتَارَ أَنْ يُعْطَى بِالْغُرْمِ جَازَ أَنْ يُسَلَّمَ إِلَيْهِ وَجَازَ أَنْ يُعْطِيَهُ لِصَاحِبِ الدَّيْنِ بِأَمْرِهِ.

Mazhab ketiga: Sesungguhnya boleh diberikan dengan dua sebab jika keduanya berbeda, dan tidak boleh diberikan dengan keduanya jika keduanya sama. Perbedaan keduanya adalah jika salah satunya karena kebutuhannya kepada kita, dan yang lainnya karena kebutuhan kita kepadanya, seperti ‘amil jika ia fakir, dan mujahid jika ia miskin. Kesamaan keduanya adalah jika keduanya sama-sama karena kebutuhannya kepada kita, seperti fakir yang juga gharim (berutang), dan miskin yang juga mukatab (budak yang menebus dirinya), sebagaimana tidak ada seorang pun yang diwarisi dengan dua sebab yang sama seperti dua bagian atau dua hak waris, dan boleh diwarisi dengan dua sebab yang berbeda, yaitu dari bagian dan ‘ashabah (kerabat laki-laki). Jika hal ini telah ditetapkan, dan dikatakan: Sesungguhnya tidak boleh diberikan dengan keduanya, dan ia adalah fakir sekaligus gharim, maka ia diberi pilihan untuk diberikan dengan sebab mana saja yang ia kehendaki, dari kefakiran atau utang. Jika ia memilih diberikan karena kefakiran, maka diserahkan kepadanya dan pemilik utang berhak mengambilnya untuk membayar utangnya. Jika ia memilih diberikan karena utang, maka boleh diserahkan kepadanya dan boleh juga diberikan kepada pemilik utang atas perintahnya.

فَإِنْ قِيلَ: فَأَيُّهُمَا أَوْلَى، قُلْنَا: إِنْ كَانَ بِقَدْرِ دَيْنِهِ كُلِّهِ فَأَوْلَى دَفْعُهُ إِلَى صَاحِبِ الدَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ فَالْأَوْلَى دَفْعُهُ إِلَى الْغَارِمِ لَعَلَّهُ أَنْ يَتَّجِرَ بِهِ فَيَنْمَى، وَإِنْ قِيلَ: يَجُوزُ أَنْ يُعْطَى بِالسَّبَبَيْنِ أُعْطِيَ بِالْفَقْرِ وَالْغُرْمِ، فَإِنْ كَانَ فِي سَهْمِ الْغُرْمِ وَفَاءٌ لِدَيْنِهِ اسْتُبْقِيَ سَهْمُ الْفَقْرِ، وَإِنْ كَانَ يَعْجِزُ عَنْ دَيْنِهِ كَانَ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ سَهْمَ الْفَقْرِ لِيَسْتَوْفِيَ دَيْنَهُ، واللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ “.

Jika dikatakan: Manakah yang lebih utama? Kami katakan: Jika jumlahnya sebesar seluruh utangnya, maka yang lebih utama diberikan kepada pemilik utang. Jika kurang dari itu, maka yang lebih utama diberikan kepada gharim (yang berutang), barangkali ia dapat berdagang dengannya sehingga berkembang. Jika dikatakan: Boleh diberikan dengan dua sebab, maka diberikan karena kefakiran dan utang. Jika bagian untuk utang cukup untuk melunasi utangnya, maka bagian kefakiran tetap disimpan. Jika ia tidak mampu melunasi utangnya, maka ia boleh mengambil bagian kefakiran untuk melunasi utangnya. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي: ” فَإِنْ كَانَ فِيهِمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْفَيْءِ ضُرِبَ عَلَيْهِ الْبَعْثُ فِي الْغَزْوِ وَلَمْ يُعْطَ فَإِنْ قَالَ لَا أَغْزُو وَاحْتَاجَ أُعْطِيَ فَإِنْ هَاجَرَ بَدَوِيٌّ (وَاحتَاجَ) وَاقْتَرَضَ وَغَزَا صَارَ مِنْ أهل الفيء وأخذ فيه ولو احْتَاجَ وَهُوَ فِي الْفَيْءِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنَ الصَّدَقَاتِ حَتَّى يَخْرُجَ مِنَ الْفَيْءِ وَيَعُودَ إِلَى الصَّدَقَاتِ فَيَكُونُ ذَلِكَ لَهُ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika di antara mereka ada seorang dari ahli fai’ yang diwajibkan untuk ikut berperang namun tidak diberi (bagian), lalu ia berkata: ‘Aku tidak akan berperang’ dan ia membutuhkan (harta), maka ia diberi. Jika seorang badui hijrah (dan membutuhkan), lalu ia berutang dan berperang, maka ia menjadi bagian dari ahli fai’ dan mengambil bagian di dalamnya, meskipun ia membutuhkan. Jika ia berada dalam fai’ dan membutuhkan, maka ia tidak berhak mengambil dari sedekah hingga ia keluar dari fai’ dan kembali ke sedekah, maka itu menjadi haknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan.

قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ أَهْلَ الْفَيْءِ بِمَعْزِلٍ عَنْ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ يَنْصَرِفُ إِلَيْهِمْ مَالُ الْفَيْءِ دُونَ الصَّدَقَاتِ وَأَهْلُ الصَّدَقَاتِ بِمَعْزِلٍ عَنْ أَهْلِ الْفَيْءِ يَنْصَرِفُ إِلَيْهِمْ مَالُ الصَّدَقَاتِ دُونَ الْفَيْءِ، وَضَرْبٌ هُمْ مِنْ أهل الصدقة، فَأَمَّا غُزَاةُ أَهْلِ الْفَيْءِ فَهُمُ الْمُقْتَرِضُونَ فِي دِيوَانِ الْفَيْءِ مِنَ الْمُقَاتِلَةِ فَهُمْ لَا يُعْطَوْنَ أَرْزَاقَهُمْ مِنْ مَالِ الْفَيْءِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطَوْا مِنَ الصَّدَقَاتِ، وَأَمَّا غُزَاةُ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ فَهُمُ الْمُتَطَوِّعَةُ مِنَ الْأَعْرَابِ وَأَهْلِ الصَّنَائِعِ مِنْ أَهْلِ الْأَمْصَارِ الَّذِينَ إِنْ شَاءُوا غَزَوْا وَإِنْ شَاءُوا أَقَامُوا، فَهَؤُلَاءِ إِذَا أَرَادُوا الْغَزْوَ أُعْطُوا مِنْ مَالِ الصَّدَقَاتِ مِنْ سَهْمِ سَبِيلِ اللَّهِ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْطَوْا مِنْ مَالِ الْفَيْءِ لِرِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَقَالَ: كَانَ أَهْلُ الْفَيْءِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِمَعْزِلٍ عَنْ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ، وَأَهْلُ الصَّدَقَاتِ بِمَعْزِلٍ عَنْ أَهْلِ الْفَيْءِ، فَلَوْ أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الْفَيْءِ مُعْتَرِضًا فِي دِيوَانِهِ ضُرِبَ عَلَيْهِ الْبَعْثُ فِي الْغَزْوِ أَوْ لَمْ يُضْرَبْ عَلَيْهِ فَأَرَادَ الْخُرُوجَ مِنْ أَهْلِ الْفَيْءِ وَالدُّخُولَ فِي أهل الصدقات ليغزوا إِنْ شَاءَ وَيَقْعُدَ عَنْهُ إِنِ اخْتَارَ كَانَ ذَلِكَ لَهُ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ عَقْدٌ لَازِمٌ وَإِنَّمَا هُوَ جُعَالَةٌ فَيَسْقُطُ رِزْقُهُ مِنْ دِيوَانِ الْفَيْءِ وَيُعْطَى مِنْ مَالِ الصَّدَقَاتِ، وَلَوْ أَنَّ أَعْرَابِيًّا مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ هَاجَرَ وَأَرَادَ أَنْ يَقْتَرِضَ مِنْ دِيوَانِ الْفَيْءِ جَازَ أَنْ يُقْرِضَهُ الْإِمَامُ فَإِذَا رَآهُ الْإِمَامُ أَهْلًا لِذَلِكَ، خرج من أهل الصدقات.

Telah kami sebutkan bahwa ahli al-fay’ terpisah dari ahli sedekah; harta al-fay’ hanya diberikan kepada mereka dan bukan kepada ahli sedekah, dan ahli sedekah pun terpisah dari ahli al-fay’, di mana harta sedekah hanya diberikan kepada mereka dan bukan kepada ahli al-fay’. Ada pula kelompok yang termasuk ahli sedekah. Adapun para pejuang dari ahli al-fay’ adalah mereka yang tercatat dalam diwan al-fay’ dari kalangan pasukan tempur; mereka tidak diberikan nafkah dari harta al-fay’ dan tidak boleh pula diberikan dari sedekah. Sedangkan para pejuang dari ahli sedekah adalah para relawan dari kalangan Arab badui dan para pekerja dari penduduk kota yang jika mereka mau, mereka berperang, dan jika mau, mereka tidak berperang. Maka mereka ini, jika ingin berperang, diberikan dari harta sedekah dari bagian fi sabilillah, dan tidak boleh diberikan dari harta al-fay’ berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas, yang berkata: “Pada masa Rasulullah ﷺ, ahli al-fay’ terpisah dari ahli sedekah, dan ahli sedekah terpisah dari ahli al-fay’.” Maka jika seseorang dari ahli al-fay’ yang tercatat dalam diwannya terkena kewajiban berangkat perang atau tidak, lalu ia ingin keluar dari ahli al-fay’ dan masuk ke dalam ahli sedekah agar bisa berperang jika mau dan tidak berperang jika memilih, maka itu boleh baginya, karena tidak ada akad yang mengikat atasnya, melainkan hanya semacam imbalan, sehingga nafkahnya gugur dari diwan al-fay’ dan ia diberikan dari harta sedekah. Dan jika seorang Arab badui dari ahli sedekah berhijrah dan ingin tercatat dalam diwan al-fay’, maka imam boleh mencatatnya jika imam memandangnya layak untuk itu, dan ia pun keluar dari ahli sedekah.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِنْ لَمْ يَكُنْ رِقَابٌ وَلَا مُؤَلَّفَةٌ وَلَا غَارِمُونَ ابْتُدِئَ القسْم عَلَى خَمْسَةِ أَسْهُمٍ أَخْمَاسًا على ما وصفت فإن ضاقت الصدقة قسمت على عدد السهمان ويقسم بين كل صنف على قدر استحقاقهم ولا يعطى أحد من أهل سهم وإن اشتدت حاجته وقل ما يصيبه من سهم غيره حتى يستغني ثم يرد فضل إن كان عنه ويقسم “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika tidak ada (golongan) riqab, mu’allaf, dan gharimun, maka pembagian dimulai kepada lima kelompok, masing-masing seperlima sebagaimana telah aku jelaskan. Jika harta sedekah sedikit, maka dibagikan sesuai jumlah kelompok, dan dibagikan kepada setiap golongan sesuai kadar hak mereka. Tidak boleh seseorang dari satu golongan menerima bagian dari golongan lain, meskipun kebutuhannya sangat mendesak dan bagian yang ia terima dari golongannya sedikit, hingga ia telah tercukupi, lalu kelebihannya, jika ada, dikembalikan dan dibagikan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ قَدْ مَضَتْ، فَذَكَرْنَا أَنَّ أَهْلَ السُّهْمَانِ ثَمَانِيَةُ أَصْنَافٍ فَإِنْ كَمَلُوا قُسِّمَتِ الزَّكَاةُ أَثْمَانًا بَيْنَهُمْ مُتَسَاوِيَةً، وَإِنْ عَدِمُوا نُقِلَتْ إِلَى أَقْرَبِ الْبِلَادِ بِهِمْ، وَإِنْ وُجِدَ بَعْضُهُمْ قُسِّمَتْ عَلَى مَنْ وُجِدَ مِنْهُمْ، وَسَقَطَ سَهْمُ مَنْ عَدِمَ إِلَّا الْغُزَاةُ فَإِنَّهُمْ يَسْكُنُونَ الثُّغُورَ فَيُنْقَلُ إِلَيْهِمْ سَهْمُهُمْ إِنْ كَانَ الْإِمَامُ هُوَ الْقَاسِمَ لَهَا.

Al-Mawardi berkata: “Ini adalah masalah yang telah berlalu, yaitu bahwa ahli asham (penerima zakat) ada delapan golongan. Jika semuanya ada, zakat dibagikan menjadi delapan bagian yang sama di antara mereka. Jika tidak ada, maka dipindahkan ke negeri terdekat yang ada mereka. Jika hanya sebagian yang ada, maka dibagikan kepada yang ada di antara mereka, dan bagian yang tidak ada gugur, kecuali untuk para pejuang (ghuzat), karena mereka tinggal di perbatasan, maka bagian mereka dipindahkan kepada mereka jika imam yang membagikannya.”

فَأَمَّا إِنْ كَانَ رَبُّ الْمَالِ هُوَ الْمُتَوَلِّيَ لِقَسْمِهَا سَقَطَ سَهْمُهُمْ إِنْ عَجَزَ عَنْ إِيصَالِهِ إِلَيْهِمْ؛ لِأَنَّ الْإِمَامَ يَقْدِرُ عَلَى نَقْلِ سَهْمِهِمْ عَلَى مَا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ أَرْبَابُ الْأَمْوَالِ فَافْتَرَقَ الْحُكْمُ فِيهِ.

Adapun jika pemilik harta sendiri yang membagikannya, maka bagian mereka gugur jika ia tidak mampu menyampaikannya kepada mereka; karena imam mampu memindahkan bagian mereka dengan cara yang tidak mampu dilakukan oleh para pemilik harta, sehingga hukumnya berbeda dalam hal ini.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قال الشافعي: ” فَإِنِ اجْتَمَعَ حَقُّ أَهْلِ السُّهْمَانِ فِي بَعِيرٍ أَوْ بَقَرَةٍ أَوْ شَاةٍ أَوْ دِينَارٍ أَوْ دِرْهَمٍ أَوِ اجْتَمَعَ فِيهِ اثْنَانِ مِنْ أَهْلِ السهمان أو أكثر أعطوه ويشرك بينهم فيه وَلَمْ يُبْدَلْ بِغَيْرِهِ كَمَا يُعْطَاهُ مَنْ أُوصِيَ لَهُمْ بِهِ وَكَذَلِكَ مَا يُوزَنُ أَوْ يُكَالُ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika hak ahli asham terkumpul pada seekor unta, sapi, kambing, dinar, atau dirham, atau terkumpul pada dua orang atau lebih dari ahli asham, maka diberikan kepada mereka dan mereka berbagi di dalamnya, dan tidak diganti dengan selainnya, sebagaimana diberikan kepada orang yang diwasiatkan untuk mereka, demikian pula hal-hal yang ditimbang atau ditakar.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا كَانَ مَالُ الزَّكَاةِ يَنْقَسِمُ قَلِيلُهُ وَيَتَجَزَّأُ كَالْحُبُوبِ أُعْطِيَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ حَقَّهُ مِنْهُ وَلَمْ يُشْرِكْ فِيهِ بَيْنَ اثْنَيْنِ لِلِاسْتِغْنَاءِ عَنِ الشَّرِيكِ، وَإِنْ كَانَ مِمَّا لَا يَتَجَزَّأُ، كَالْإِبِلِ، وَالْبَقَرِ، وَالْغَنَمِ فَإِنِ اتَّسَعَتِ الصَّدَقَةُ أَنْ يَنْفَرِدَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِبَعِيرٍ لَهُ أَوْ بَقَرَةٍ أَوْ شَاةٍ لَمْ يُشْرِكْ بَيْنَهُمْ وَأَفْرَدَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِحَقِّهِ وَإِنْ ضَاقَتِ الصَّدَقَةُ عَنْ ذَلِكَ جَازَ أَنْ يُشْرَكَ الْجَمَاعَةُ فِي الْبَعِيرِ الْوَاحِدِ أَوِ الْبَقَرَةِ الْوَاحِدَةِ أَوِ الشَّاةِ الْوَاحِدَةِ سَوَاءً كَانَتِ الْجَمَاعَةُ مِنْ صِنْفٍ وَاحِدٍ أَوْ أَصْنَافٍ بَعْدَ أَنْ يُبَيِّنَ حِصَّةَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ فِيهِ؛ لِأَنَّ التَّفْضِيلَ بَيْنَهُمْ بِحَسَبِ الْحَاجَةِ مُعْتَبَرٌ مِنْ جِهَةِ الْعَامِلِ وَغَيْرُ مُعْتَبَرٍ مِنْ جِهَةِ رَبِّ الْمَالِ، فَإِنْ لَمْ يُبَيِّنْ حِصَّةَ كُلِّ وَاحِدٍ كَانُوا فِي الظَّاهِرِ شُرَكَاءَ بِالسَّوِيَّةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُبَاعَ ذَلِكَ وَيُقَسِّمُ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ قَبْلَ أَنْ يُمَلِّكَهُ إِيَّاهُمْ، لِأَنَّ الْقِيَمَ في الزكاة لا تجزئ، وَسَوَاءً كَانَ الْقَاسِمُ رَبَّ الْمَالِ أَوِ الْعَامِلَ، لِأَنَّهُمْ أَهَلُ رُشْدٍ لَا يُوَلَّى عَلَيْهِمْ بِعَجْزِ أَرْبَابِ السِّهَامِ إِلَّا أَنْ تَدْعُوَ الْعَامِلَ الضَّرُورَةُ إِلَى بَيْعِهِ، وَإِمَّا لِعَطَبِ الْحَيَوَانِ وَخَوْفِهِ مِنْ تلفه وإما لبعد المسافة وإحاطة مؤونة نَقْلِهِ بِجَمِيعِ قِيمَتِهِ فَيَجُوزُ لَهُ فِي هَاتَيْنَ الْحَالَتَيْنِ بَيْعُهُ لِلضَّرُورَةِ، وَقَسْمُ ثَمَنِهِ فِيهِمْ، وَلَا يَجُوزُ ذَلِكَ لِرَبِّ الْمَالِ بِحَالٍ لِثُبُوتِ الزَّكَاةِ فِي ذِمَّةِ رَبِّ الْمَالِ دُونَ الْعَامِلِ وَأَنَّ لِلْعَامِلِ وِلَايَةً لَيْسَتْ لِرَبِّ الْمَالِ.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang telah dikatakan, apabila harta zakat dapat dibagi-bagi dalam jumlah sedikit dan dapat dipisah-pisahkan seperti biji-bijian, maka setiap orang yang berhak menerima bagian diberikan haknya masing-masing, dan tidak disatukan antara dua orang karena tidak perlunya adanya sekutu. Namun, jika harta tersebut berupa sesuatu yang tidak dapat dipisah-pisahkan, seperti unta, sapi, dan kambing, maka jika zakat tersebut cukup untuk memberikan seekor unta, sapi, atau kambing kepada masing-masing penerima, maka tidak disatukan antara mereka dan setiap orang diberikan haknya secara terpisah. Tetapi jika zakat tidak mencukupi untuk itu, maka boleh sekelompok orang berserikat dalam satu ekor unta, sapi, atau kambing, baik kelompok tersebut berasal dari satu golongan maupun dari beberapa golongan, setelah dijelaskan porsi masing-masing dari mereka; karena perbedaan di antara mereka berdasarkan kebutuhan adalah hal yang diperhitungkan dari sisi ‘amil, dan tidak diperhitungkan dari sisi pemilik harta. Jika tidak dijelaskan porsi masing-masing, maka secara lahiriah mereka dianggap berserikat secara merata, sehingga tidak boleh dijual dan dibagikan hasil penjualannya kepada mereka sebelum benar-benar dimiliki oleh mereka, karena penilaian (qiyām) dalam zakat tidak mencukupi. Baik yang membagi adalah pemilik harta maupun ‘amil, karena mereka adalah orang-orang yang cakap dan tidak perlu diwakili kecuali karena ketidakmampuan para pemilik bagian. Kecuali jika ‘amil terpaksa menjualnya, misalnya karena hewan tersebut rusak dan dikhawatirkan akan mati, atau karena jarak yang jauh dan biaya pengangkutan yang meliputi seluruh nilainya, maka dalam dua keadaan ini boleh bagi ‘amil menjualnya karena darurat, dan membagikan hasil penjualannya kepada mereka. Namun, hal itu tidak boleh dilakukan oleh pemilik harta dalam keadaan apa pun, karena zakat tetap menjadi tanggungan pemilik harta, bukan ‘amil, dan karena ‘amil memiliki wewenang yang tidak dimiliki oleh pemilik harta.

قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَكَذَلِكَ مَا يُوزَنُ أَوْ يُكَالُ يَعْنِي فِي أَنَّهُ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ عَلَى أَهْلِ السُّهْمَانِ إِلَّا عِنْدَ الضَّرُورَةِ فَتَجُوزُ لِلْعَامِلِ دُونَ رَبِّ المال.

Asy-Syafi‘i berkata: Demikian pula halnya dengan sesuatu yang ditimbang atau ditakar, maksudnya adalah bahwa tidak boleh dijual kepada para penerima bagian kecuali dalam keadaan darurat, dan itu pun hanya boleh dilakukan oleh ‘amil, bukan oleh pemilik harta.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَإِذَا أَعْطَى الْوَالِي مَنْ وَصَفْنَا أَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يُعْطِيَهُ ثُمَّ عَلِمَ أَنَّهُ غَيْرُ مُسْتَحِقٍّ نَزَعَ ذَلِكَ مِنْهُ إِلَى أَهْلِهِ فَإِنْ فَاتَ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ أَمِينٌ لِمَنْ يُعْطِيهِ ويأخذه مِنْهُ لَا لِبَعْضِهِمْ دُونَ بَعْضٍ لِأَنَّهُ كُلِّفَ فِيهِ الظَّاهِرَ وَإِنْ تَوَلَّى ذَلِكَ رَبُّ الْمَالِ ففيها قولان أحدهما أنه يضمن والآخر كالوالي لا يضمن (قال المزني) ولم يختلف قوله في الزكاة أن رب المال يَضْمَنُ “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Dan apabila wali (penguasa) memberikan kepada orang yang telah kami sebutkan bahwa ia berhak menerima, kemudian diketahui ternyata ia tidak berhak, maka harta tersebut diambil kembali darinya dan diberikan kepada yang berhak. Jika harta itu sudah tidak ada, maka tidak ada tanggungan atas wali, karena ia adalah orang yang dipercaya dalam memberikan dan mengambilnya, bukan untuk sebagian orang tanpa sebagian yang lain, karena ia dibebani berdasarkan yang tampak. Jika yang membagikan adalah pemilik harta, maka ada dua pendapat: salah satunya ia wajib menanggung, dan yang lainnya seperti wali, tidak wajib menanggung.” (Al-Muzani berkata) Tidak ada perbedaan pendapat dari Asy-Syafi‘i dalam zakat bahwa pemilik harta wajib menanggung.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي زَكَاةٍ دُفِعَتْ إِلَى مُسْتَحِقٍّ لَهَا فِي الظَّاهِرِ فَبَانَ غَيْرَ مُسْتَحِقٍّ لَهَا فِي الْبَاطِنِ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Bentuk masalah ini adalah pada zakat yang diberikan kepada orang yang secara lahiriah berhak menerimanya, namun ternyata secara batin ia tidak berhak. Maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: مَا يَكُونُ الضَّمَانُ فِيهِ عَلَى الدَّافِعِ وَاجِبًا سَوَاءً كَانَ الدَّافِعُ لَهَا إِمَامًا أَوْ مَالِكًا.

Pertama: Yaitu yang kewajiban menanggungnya tetap atas pemberi, baik pemberi itu adalah imam maupun pemilik harta.

وَالثَّانِي: مَا لَا يَجِبُ فِيهِ الضَّمَانُ عَلَى الدَّافِعِ سَوَاءً كَانَ إِمَامًا أَوْ مَالِكًا.

Kedua: Yaitu yang tidak wajib menanggung atas pemberi, baik ia imam maupun pemilik harta.

وَالثَّالِثُ: مَا يَخْتَلِفُ فِي وُجُوبِ الضَّمَانِ فِيهِ بِحَسَبِ اخْتِلَافِ الدَّافِعِ إِنْ كَانَ إِمَامًا أَوْ مَالِكًا.

Ketiga: Yaitu yang kewajiban menanggungnya berbeda-beda tergantung siapa pemberinya, apakah ia imam atau pemilik harta.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ الَّذِي يَجِبُ فِيهِ الضَّمَانُ عَلَى الدَّافِعِ إِمَامًا كَانَ أَوْ مَالِكًا فَهُوَ أَنْ تُدْفَعَ إِلَى مَنْ لَا يَجُوزُ الدَّفْعُ إِلَيْهِ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ يَشْهَدُ عَلَى سَبَبِ اسْتِحْقَاقِهِ كَالْمُكَاتَبِ وَالْغَارِمِ، فَإِذَا دَفَعَهَا إِلَى مَنْ ذَكَرَ أَنَّهُ مُكَاتَبٌ أَوْ غَارِمٌ بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ ثُمَّ بَانَ أَنَّهُ غَيْرُ مُكَاتَبٍ وَلَا غَارِمٍ فَعَلَى الدَّافِعِ الضَّمَانُ إِمَامًا كَانَ أَوْ مَالِكًا؛ لِأَنَّ إِخْلَالَهُ بِالْبَيِّنَةِ الَّتِي هِيَ شَرْطٌ فِي جَوَازِ الدَّفْعِ تَفْرِيطٌ مِنْهُ، فإن أمكنه استرجاعها من المدفوع إليه مكان مُسْتَرْجِعًا لَهَا فِي حَقِّ نَفْسِهِ لَا فِي حَقِّ أَهْلِ السُّهْمَانِ لِوُجُوبِ ضَمَانِهَا عَلَيْهِ فَلَوْ دَفَعَهَا بِبَيِّنَةٍ ثُمَّ بَانَ أَنَّ الْبَيِّنَةَ شَهِدَتْ بِزُورٍ أَوْ خَطَأٍ كَانَتِ الْبَيِّنَةُ ضَامِنَةً فَإِنْ كَانَ الدَّافِعُ إِمَامًا ضَمِنَتِ الْبَيِّنَةُ ذَلِكَ لَأَهْلِ السُّهْمَانِ وَكَانَ الْإِمَامُ بَرِيئًا مِنَ الضَّمَانِ وَإِنْ كَانَ الدَّافِعُ مَالِكًا كَانَتِ الْبَيِّنَةُ ضَامِنَةً لِلْمَالِكِ الَّذِي هُوَ رَبُّ الْمَالِ وَكَانَ وُجُوبُهَا بَاقِيًا فِي ذِمَّةِ رَبِّ الْمَالِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ لِلْإِمَامِ وِلَايَةً عَلَى أَهْلِ السُّهْمَانِ لَيْسَتْ لِرَبِّ الْمَالِ.

Adapun bagian pertama, yaitu bagian yang mewajibkan adanya tanggungan (dhamān) atas pihak yang menyerahkan (zakat), baik ia seorang imam maupun pemilik harta, adalah apabila zakat diserahkan kepada orang yang tidak boleh menerima zakat kecuali dengan bukti (bayyinah) yang menerangkan sebab haknya, seperti mukātab dan gharim. Maka jika zakat diserahkan kepada orang yang mengaku sebagai mukātab atau gharim tanpa bukti, lalu ternyata ia bukan mukātab dan bukan pula gharim, maka pihak yang menyerahkan zakat wajib menanggungnya, baik ia seorang imam maupun pemilik harta. Sebab, kelalaiannya dalam menghadirkan bukti yang merupakan syarat sahnya penyerahan adalah bentuk keteledoran darinya. Jika ia masih bisa mengambil kembali zakat itu dari penerima, maka ia mengambilnya untuk dirinya sendiri, bukan untuk hak para mustahiq (ahli saham), karena kewajiban dhamān telah jatuh atas dirinya. Jika ia menyerahkan zakat dengan bukti, lalu ternyata bukti itu palsu atau keliru, maka pihak yang menjadi bukti (bayyinah) itulah yang menanggungnya. Jika yang menyerahkan adalah imam, maka bayyinah menanggungnya untuk para mustahiq dan imam terbebas dari tanggungan. Jika yang menyerahkan adalah pemilik harta, maka bayyinah menanggungnya untuk pemilik harta (rabb al-māl), dan kewajiban zakat tetap ada pada tanggungan pemilik harta. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa imam memiliki wewenang atas para mustahiq yang tidak dimiliki oleh pemilik harta.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي الَّذِي لَا يَجِبُ فِيهِ الضَّمَانُ عَلَى الدَّافِعِ سَوَاءً كَانَ إِمَامًا أَوْ مَالِكًا فَهُوَ أَنْ يَدْفَعَهَا إِلَى مَنْ يَسْتَحِقُّهَا بِسَبَبٍ يَسْتَحْدِثُهُ كَابْنِ السَّبِيلِ وَالْغَازِي فَلَا يُسَافِرُ ابْنُ السَّبِيلِ وَلَا يَغْزُو الْغَازِي فَلَا ضَمَانَ عَلَى الدَّافِعِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مِنْهُ تَفْرِيطٌ فِي الدَّفْعِ سَوَاءً كَانَ إِمَامًا أَوْ مَالِكًا؛ لِأَنَّ بِالدَّفْعِ قَدْ سَقَطَتِ الزَّكَاةُ عَنْ رَبِّ الْمَالِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ مراعا بِإِحْدَاثِ سَفَرٍ أَوْ جِهَادٍ لَكِنَّ عَلَى الدَّافِعِ مُطَالَبَةَ الْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ، فَإِنْ كَانَ عَامُ الزَّكَاةِ بَاقِيًا خَيَّرَهُ فِي الْمُطَالَبَةِ بَيْنَ رَدِّ مَا أَخَذَهُ وَبَيْنَ أَنْ يَسْتَأْنِفَ سَفَرًا، وَغَزْوًا، وَإِنْ كَانَ عَامُ الزَّكَاةِ قَدِ انْقَضَى طَالَبَهُ بِالرَّدِّ مِنْ غَيْرِ تَخْيِيرٍ؛ لِأَنَّ زَكَاةَ كُلِّ عَامٍ مُسْتَحَقَّةٌ لِأَهْلِهَا فِي ذَلِكَ الْعَامِ، لَا فِي غَيْرِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَرْجِعْ مِنْهُ حَتَّى سَافَرَ وَغَزَا فِي الْعَامِ الثَّانِي نَظَرَ فَإِنْ كَانَ قَدْ أَخَذَ فِي الْعَامِ الثَّانِي مِنْ زَكَاةٍ ثَانِيَةٍ اسْتَرْجَعَ مِنْهُ مَا أَخَذَهُ فِي الْعَامِ الْأَوَّلِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ أَخَذَ فِي الْعَامِ الثَّانِي مَا اسْتَحَقَّهُ بِسَفَرِهِ وَغَزْوِهِ، وَإِنْ كَانَ لَمْ يَأْخُذْ فِي الْعَامِ الثَّانِي مِنْ زَكَاةٍ ثَانِيَةٍ يَسْتَرْجِعُ مِنْهُ مَا أَخَذَهُ فِي الْعَامِ الْأَوَّلِ، وَكَانَتْ بِمَثَابَةِ زَكَاةٍ أُخِّرَتْ مِنْ عَامٍ إِلَى عَامٍ، فَإِنَّهَا تَقَعُ مَوْقِعَ الْإِجْزَاءِ، وَإِنْ كَرِهَ التَّأْخِيرَ مَعَ إِمْكَانِ التَّعْجِيلِ فَلَوْ مَاتَ الْمَدْفُوعُ إِلَيْهِ قَبْلَ السَّفَرِ وَالْغَزْوِ وَلَمْ يَكُنِ اسْتِرْجَاعُ مَا أَخَذَ، كَانَ ذَلِكَ تَالِفًا فِي حَقِّ أهل السهمان.

Adapun bagian kedua, yaitu bagian yang tidak mewajibkan dhamān atas pihak yang menyerahkan, baik ia seorang imam maupun pemilik harta, adalah apabila zakat diserahkan kepada orang yang berhak menerimanya karena sebab yang baru muncul, seperti ibn al-sabil (musafir yang kehabisan bekal) dan al-ghāzi (pejuang di jalan Allah). Jika ternyata ibn al-sabil tidak melakukan perjalanan atau al-ghāzi tidak berangkat berjihad, maka tidak ada dhamān atas pihak yang menyerahkan, karena tidak ada keteledoran dalam penyerahan, baik ia imam maupun pemilik harta. Dengan penyerahan itu, kewajiban zakat telah gugur dari pemilik harta tanpa harus menunggu terjadinya perjalanan atau jihad. Namun, pihak yang menyerahkan tetap berkewajiban menuntut penerima zakat. Jika tahun zakat masih berlangsung, ia boleh memilih antara meminta kembali apa yang telah diambil atau membiarkan penerima memulai perjalanan atau jihad. Jika tahun zakat telah berlalu, ia menuntut pengembalian tanpa pilihan, karena zakat setiap tahun hanya berhak untuk mustahiq pada tahun itu, bukan tahun lainnya. Jika ia tidak mengambil kembali hingga penerima melakukan perjalanan atau jihad pada tahun kedua, maka dilihat: jika pada tahun kedua ia telah menerima zakat kedua, maka diambil kembali apa yang diterima pada tahun pertama, karena ia telah menerima pada tahun kedua apa yang menjadi haknya karena perjalanan atau jihadnya. Jika ia belum menerima zakat kedua pada tahun kedua, maka diambil kembali apa yang diterima pada tahun pertama, dan itu dianggap seperti zakat yang diakhirkan dari satu tahun ke tahun berikutnya, sehingga tetap sah sebagai pelaksanaan zakat, meskipun penundaan itu makruh jika memungkinkan untuk disegerakan. Jika penerima zakat meninggal sebelum melakukan perjalanan atau jihad dan zakat yang telah diterima belum diambil kembali, maka itu dianggap hilang bagi hak para mustahiq (ahli saham).

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ الَّذِي يَخْتَلِفُ فِيهِ الضَّمَانُ بِاخْتِلَافِ حَالِ الدَّافِعِ إِنْ كَانَ إِمَامًا أَوْ مَالِكًا فَهُوَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ، وَهُوَ أَنْ يَدْفَعَهَا إِلَى مَنْ يَسْتَحِقُّهَا بِالْفَقْرِ وَالْمَسْكَنَةِ فَيَبِينُ غَيْرَ مُسْتَحِقٍّ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun bagian ketiga, yaitu bagian yang status dhamān-nya berbeda tergantung keadaan pihak yang menyerahkan, apakah ia seorang imam atau pemilik harta, adalah masalah yang dibahas dalam kitab ini, yaitu apabila zakat diserahkan kepada orang yang berhak menerimanya karena kefakiran atau kemiskinan, lalu ternyata ia bukan mustahiq. Dalam hal ini terdapat dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ لا يستحقها لعدم الفقر.

Pertama: Ia tidak berhak menerima zakat karena tidak fakir.

والثاني: وَالثَّانِي أَنْ لَا يَسْتَحِقَّهَا مَعَ وُجُودِ الْفَقْرِ لِسَبَبٍ يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ الْأَخْذِ.

Kedua: Ia tidak berhak menerima zakat meskipun fakir, karena ada sebab yang menghalangi bolehnya menerima zakat.

فَأَمَّا الضَّرْبُ الْأَوَّلُ: فَهُوَ أَنْ يَدْفَعَهَا إِلَى رَجُلٍ ظَنَّ بِهِ فَقْرًا فَبَانَ غَنِيًّا، فَإِنْ كَانَ الدَّافِعُ لَمْ يَجْتَهِدْ عِنْدَ الدَّفْعِ ضَمِنَ إِمَامًا أَوْ مَالِكًا لِأَنَّ تَرْكَ الِاجْتِهَادِ تَفْرِيطٌ وَإِنْ كَانَ قَدِ اجْتَهَدَ عِنْدَ الدَّفْعِ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ الدَّافِعُ لَهَا إِمَامًا أَوْ وَالِيًا عَلَيْهَا مِنْ قِبَلِ الْإِمَامِ لَمْ يَضْمَنْ، لِأَنَّهُ أَمِيرٌ عَلَيْهَا لَمْ يُفَرِّطْ فِيهَا وَلَكِنْ لَهُ اسْتِرْجَاعُهَا مِنَ الْآخِذِ لَهَا إِنْ كَانَ حَيًّا وَمِنْ تَرِكَتِهِ إِنْ كَانَ مَيِّتًا سَوَاءً شَرَطَ عِنْدَ الدَّفْعِ أَنَّهَا زَكَاةٌ أَوْ لَمْ يَشْرُطْ؛ لِأَنَّ الْوَالِيَ لَا يَدْفَعُ مِنَ الْأَمْوَالِ إِلَّا مَا وَجَبَ وَإِنْ كَانَ الدَّافِعُ لَهَا هُوَ رَبَّ الْمَالِ، فَفِي وُجُوبِ ضَمَانِهِ قَوْلَانِ:

Adapun jenis pertama: yaitu seseorang menyerahkan (zakat) kepada seorang laki-laki yang ia sangka fakir, ternyata ia kaya. Jika orang yang menyerahkan tidak melakukan ijtihad saat penyerahan, maka ia wajib menanggung (mengganti) menurut pendapat Imam dan Malik, karena meninggalkan ijtihad adalah suatu kelalaian. Namun jika ia telah berijtihad saat penyerahan, maka dilihat lagi: jika yang menyerahkan adalah imam atau wali yang ditunjuk oleh imam, maka ia tidak menanggung, karena ia adalah pemimpin atas zakat tersebut dan tidak lalai dalam menunaikannya. Akan tetapi, ia berhak menarik kembali zakat itu dari penerimanya jika masih hidup, atau dari warisannya jika sudah meninggal, baik ia mensyaratkan saat penyerahan bahwa itu adalah zakat maupun tidak; karena wali tidak menyerahkan harta kecuali yang wajib. Jika yang menyerahkan adalah pemilik harta, maka dalam kewajiban menanggungnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ لَا يَضْمَنُ كَالْإِمَامِ.

Salah satunya: ia tidak menanggung seperti halnya imam.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَضْمَنُ بِخِلَافِ الْإِمَامِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Pendapat kedua: ia menanggung, berbeda dengan imam. Perbedaan antara keduanya ada pada tiga sisi:

أَحَدُهَا: إِنَّ لِلْإِمَامِ عَلَيْهَا وِلَايَةً لَيْسَتْ لِرَبِّ الْمَالِ فَلَمْ يَضْمَنْهَا إِلَّا بِالْعُدْوَانِ.

Pertama: Imam memiliki wewenang atas zakat yang tidak dimiliki oleh pemilik harta, sehingga ia tidak menanggungnya kecuali jika melampaui batas.

وَالثَّانِي: إِنَّ الْإِمَامَ بَرِيءُ الذِّمَّةِ مِنْ ضَمَانِهَا قَبْلَ الدَّفْعِ فَلَمْ يَضْمَنْهَا إِلَّا بِتَفْرِيطٍ ظَاهِرٍ وَرَبُّ الْمَالِ مُرْتَهِنُ الذِّمَّةِ بِضَمَانِهَا قَبْلَ الدَّفْعِ فَلَمْ يَبْرَأْ مِنْهَا إِلَّا بِاسْتِحْقَاقٍ ظَاهِرٍ.

Kedua: Imam bebas dari tanggungan sebelum penyerahan, sehingga ia tidak menanggungnya kecuali karena kelalaian yang nyata. Sedangkan pemilik harta masih menanggung sebelum penyerahan, sehingga ia tidak bebas darinya kecuali dengan penyerahan yang jelas kepada yang berhak.

وَالثَّالِثُ: إِنَّ الْإِمَامَ لَا يَقْدِرُ عَلَى دَفْعِهَا إِلَى مُسْتَحِقِّهَا إِلَّا بِالِاجْتِهَادِ دُونَ الْيَقِينِ فَلَمْ يَضْمَنْ إِذَا اجْتَهَدَ، وَرَبُّ الْمَالِ يَقْدِرُ عَلَى دَفْعِهَا إِلَى مُسْتَحِقِّهَا بِيَقِينٍ، وَهُوَ الْإِمَامُ مَضْمُونَةٌ إِذَا دَفَعَهَا بِالِاجْتِهَادِ.

Ketiga: Imam tidak mampu menyerahkan zakat kepada yang berhak kecuali dengan ijtihad, bukan dengan keyakinan pasti, sehingga ia tidak menanggung jika telah berijtihad. Sedangkan pemilik harta mampu menyerahkan kepada yang berhak dengan keyakinan pasti, maka zakat yang diserahkan oleh imam menjadi tanggungan jika ia menyerahkannya hanya dengan ijtihad.

فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا نُظِرَ فِي رَبِّ الْمَالِ، فَإِنْ شَرَطَ عِنْدَ الدَّفْعِ أَنَّهَا زَكَاةٌ كَانَ لَهُ اسْتِرْجَاعُهَا مِنَ الْآخِذِ لَهَا إِذَا كَانَ غَنِيًّا، وَإِنْ لَمْ يَشْتَرِطْ ذَلِكَ عِنْدَ الدَّفْعِ نَظَرَ فِي الْآخِذِ لَهَا فَإِنْ صَدَّقَهُ أَنَّهَا زَكَاةٌ لَزِمَهُ ردها، وإن لم يصدقه من يَلْزَمْهُ رَدُّهَا بِخِلَافِ الْإِمَامِ؛ لِأَنَّ رَبَّ الْمَالِ قَدْ يُعْطِي فَرْضًا وَتَطَوُّعًا فَلَمْ يَسْتَرْجِعْ إِلَّا بِشَرْطٍ وَالْإِمَامُ لَا يُعْطِي إِلَّا فَرْضًا وَاجِبًا فَجَازَ أَنْ يَسْتَرْجِعَ بِغَيْرِ شَرْطٍ؛ وَلِأَنَّ لِلْإِمَامِ وِلَايَةً عَلَى أَهْلِ السُّهْمَانِ فَكَانَ قَوْلُهُ عَلَيْهِمْ مَقْبُولًا وَلَيْسَ لِرَبِّ الْمَالِ عَلَيْهِمْ وِلَايَةٌ فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ عَلَيْهِمْ، فَكَانَ هَذَا فَرْقًا بَيْنَ الْإِمَامِ وَرَبِّ الْمَالِ فِي جَوَازِ الِاسْتِرْجَاعِ عِنْدَ عَدَمِ الشَّرْطِ، لَكِنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ لِرَبِّ الْمَالِ إِحْلَافُ الْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ؟ أَنَّهُ لَا يَعْلَمُ أَنَّ مَا أَخَذَهُ تَعْجِيلٌ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Setelah hal ini dijelaskan, maka dilihat pada pemilik harta: jika ia mensyaratkan saat penyerahan bahwa itu adalah zakat, maka ia berhak menarik kembali dari penerimanya jika ternyata ia kaya. Jika ia tidak mensyaratkan demikian saat penyerahan, maka dilihat pada penerimanya: jika ia membenarkan bahwa itu adalah zakat, maka ia wajib mengembalikannya. Jika ia tidak membenarkannya, maka ia tidak wajib mengembalikannya, berbeda dengan imam; karena pemilik harta bisa saja memberi secara wajib maupun sunnah, sehingga ia tidak bisa menarik kembali kecuali dengan syarat. Sedangkan imam hanya memberi yang wajib, sehingga boleh menarik kembali tanpa syarat. Selain itu, imam memiliki wewenang atas para mustahiq, sehingga ucapannya diterima atas mereka, sedangkan pemilik harta tidak memiliki wewenang atas mereka, sehingga ucapannya tidak diterima atas mereka. Inilah perbedaan antara imam dan pemilik harta dalam hal boleh tidaknya menarik kembali zakat tanpa syarat. Namun, para ulama kami berbeda pendapat, apakah pemilik harta boleh meminta sumpah dari penerima zakat bahwa ia tidak tahu bahwa yang diterimanya adalah zakat atau bukan? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهُ إِحْلَافُهُ، لِأَنَّهُ لَوْ عَلِمَ لَزِمَهُ الرَّدُّ.

Salah satunya: ia boleh meminta sumpah, karena jika ia tahu (bahwa itu zakat), maka ia wajib mengembalikannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَيْسَ لَهُ إِحْلَافُهُ لِأَنَّهُ هُوَ الْمُفَرِّطُ حَيْثُ لَمْ يَشْتَرِطْ، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ رَبُّ الْمَالِ: شَرَطْتُ التَّعْجِيلَ وَقَالَ الْمَدْفُوعُ إِلَيْهِ: لَمْ يَشْتَرِطْ، كَانَ لَهُ إِحْلَافُهُ وَجْهًا لِوَجْهٍ.

Pendapat kedua: ia tidak boleh meminta sumpah, karena ia sendiri yang lalai dengan tidak mensyaratkan. Namun, jika pemilik harta berkata, “Aku telah mensyaratkan penyerahan zakat,” dan penerima berkata, “Ia tidak mensyaratkan,” maka ia boleh meminta sumpah, menurut salah satu pendapat.

فَصْلٌ:

Fasal:

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مُسْتَحِقٍّ لَهَا مَعَ الْفَقْرِ لِسَبَبٍ يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ الْأَخْذِ كَفَقِيرٍ دُفِعَتْ إِلَيْهِ، وَظَاهِرُهُ الْحُرِّيَّةُ فَبَانَ عَبْدًا أَوْ كَانَ ظَاهِرُهُ الْإِسْلَامُ فَبَانَ كَافِرًا، أَوْ كَانَ ظَاهِرُهُ أَنَّهُ فِي سَائِرِ النَّاسِ فَبَانَ فِي ذَوِي الْقُرْبَى مِنْ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ فَإِنْ كَانَ الدَّافِعُ لَمْ يَجْتَهِدْ فِي الْأَخْذِ لَهَا عِنْدَ الدَّفْعِ فَعَلَيْهِ الضَّمَانُ وَالِيًا كَانَ أَوْ مَالِكًا وَإِنْ كَانَ قَدِ اجْتَهَدَ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ عَلَى طَرِيقَتَيْنِ:

Adapun jenis kedua, yaitu seseorang yang sebenarnya tidak berhak menerima zakat meskipun ia fakir, karena ada sebab yang menghalangi bolehnya menerima zakat sebagai fakir yang telah diberikan kepadanya. Misalnya, secara lahiriah tampak ia adalah orang merdeka, ternyata ia adalah seorang budak; atau secara lahiriah tampak ia seorang Muslim, ternyata ia adalah seorang kafir; atau secara lahiriah tampak ia termasuk masyarakat umum, ternyata ia adalah dari kalangan kerabat Bani Hasyim dan Bani Muththalib—semoga Allah meridai mereka. Jika pemberi zakat tidak melakukan ijtihad dalam memberikan zakat kepadanya pada saat penyerahan, maka ia wajib mengganti (menanggung) zakat tersebut, baik ia adalah wali (pengelola zakat) maupun pemilik harta. Namun, jika ia telah berijtihad, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّ الْخَطَأَ فِي ذَلِكَ كَالْخَطَأِ فِي الْفَقِيرِ فَلَا يَضْمَنُ إِنْ كَانَ وَالِيًا وَفِي ضَمَانِهِ إِنْ يكون مَالِكًا قَوْلَانِ، فَهَذِهِ طَرِيقَةُ كَثِيرٍ مِنَ الْمُتَقَدِّمِينَ.

Pertama: Kesalahan dalam hal ini disamakan dengan kesalahan dalam memberikan zakat kepada fakir, sehingga tidak wajib mengganti jika ia adalah wali, dan dalam hal kewajiban mengganti jika ia adalah pemilik harta terdapat dua pendapat. Ini adalah pendapat mayoritas ulama terdahulu.

والطريق الثاني: إِنَّ الْخَطَأَ فِي هَذَا أَخَصُّ بِالضَّمَانِ مِنَ الْخَطَأِ فِي الْفَقِيرِ فَيَضْمَنُ الدَّافِعُ إِنْ كَانَ مَالِكًا، وَفِي ضَمَانِهِ إِنْ كَانَ وَالِيًا قَوْلَانِ، وَهَذِهِ طَرِيقَةُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَطَائِفَةٍ مِنَ الْمُتَأَخِّرِينَ وَفَرَّقُوا بَيْنَ الْخَطَأِ فِي الْفَقِيرِ وَبَيْنَ الْخَطَأِ فِي الْحُرِّيَّةِ وَالْإِسْلَامِ بِأَنَّهُ لَا يُعْلَمُ يَقِينُ الْفَقْرِ قَطْعًا فَجَازَ أَنْ يُعْمَلَ فِيهِ عَلَى الظَّاهِرِ. وَيُعْلَمُ يَقِينُ الْحُرِّيَّةِ وَالْإِسْلَامِ قَطْعًا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْمَلَ فِيهِ عَلَى الظَّاهِرِ.

Pendapat kedua: Kesalahan dalam hal ini lebih khusus mewajibkan ganti rugi dibandingkan kesalahan dalam memberikan zakat kepada fakir, sehingga pemberi zakat wajib mengganti jika ia adalah pemilik harta, dan dalam hal kewajiban mengganti jika ia adalah wali terdapat dua pendapat. Ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dan sekelompok ulama belakangan. Mereka membedakan antara kesalahan dalam hal fakir dengan kesalahan dalam hal status kemerdekaan dan keislaman, karena kemiskinan tidak dapat diketahui secara pasti, sehingga boleh beramal berdasarkan yang tampak. Sedangkan status kemerdekaan dan keislaman dapat diketahui secara pasti, sehingga tidak boleh beramal berdasarkan yang tampak saja.

مِثَالُهُ: إِنَّ مَنْ صَلَّى خَلْفَ جُنُبٍ أَوْ مُحْدِثٍ لَمْ يُعِدْ صَلَاتَهُ لِأَنَّهُ لَا يَعْلَمُ يَقِينَ طَهَارَةِ إِمَامِهِ قَطْعًا، فَإِذَا عَمِلَ فِيهَا عَلَى الظَّاهِرِ لَمْ يُعِدْ، وَلَوْ صَلَّى خَلْفَ امْرَأَةٍ أَوْ كَافِرٍ، أَعَادَ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَعْلَمُ يَقِينَ كَوْنِ إِمَامِهِ رَجُلًا مُسْلِمًا فَإِذَا عَمِلَ عَلَى الظَّاهِرِ أَعَادَ.

Contohnya: Seseorang yang shalat di belakang imam yang sedang junub atau berhadas, ia tidak perlu mengulangi shalatnya, karena tidak mungkin mengetahui secara pasti kesucian imamnya. Maka jika ia beramal berdasarkan yang tampak, ia tidak perlu mengulangi shalat. Namun, jika ia shalat di belakang seorang wanita atau kafir, ia wajib mengulangi shalatnya, karena status imamnya sebagai laki-laki Muslim dapat diketahui secara pasti. Maka jika ia beramal berdasarkan yang tampak, ia tetap wajib mengulangi shalat.

وَسَوَّى أبو حنيفة بَيْنَ خَطَأِ الْوَالِي وَالْمَالِكِ وَفَرَّقَ بَيْنَ الْخَطَأِ فِي الْفَقِيرِ وَبَيْنَ الْخَطَأِ فِي الْحُرِّيَّةِ وَالْإِسْلَامِ الَّذِي قَدَّمْنَاهُ وَفِيمَا مَضَى دَلِيلٌ كَافٍ.

Abu Hanifah menyamakan antara kesalahan wali dan pemilik harta, dan membedakan antara kesalahan dalam hal fakir dengan kesalahan dalam hal status kemerdekaan dan keislaman sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Dan apa yang telah lalu merupakan dalil yang cukup.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي: ” وَيُعْطَى الْوُلَاةُ زَكَاةَ الْأَمْوَالِ الظَّاهِرَةِ الثَّمَرَةِ وَالزَّرْعِ وَالْمَعْدِنِ وَالْمَاشِيَةِ فَإِنْ لَمْ يَأْتِ الْوُلَاةُ لَمْ يسع أهلها إلا قسمها فإن جاء الولاة بعد ذلك لم يأخذوهم بها وإن ارتابوا بأحد فلا بأس أن يحلفوه بالله لقد قسمها في أهلها وإن أعطوهم زكاة التجارات والفطرة والركاز أجزأهم إن شاء الله “.

Imam Syafi‘i berkata: “Para wali (penguasa) boleh mengambil zakat dari harta yang tampak seperti buah-buahan, tanaman, barang tambang, dan hewan ternak. Jika para wali tidak datang, maka pemilik harta wajib membagikannya sendiri. Jika para wali datang setelah itu, mereka tidak boleh menuntutnya lagi. Jika mereka meragukan seseorang, tidak mengapa meminta orang itu bersumpah dengan nama Allah bahwa ia telah membagikan zakatnya kepada yang berhak. Jika mereka (pemilik harta) memberikan zakat perdagangan, zakat fitrah, dan rikaz kepada para wali, maka itu sudah mencukupi, insya Allah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْأَمْوَالَ ضَرْبَانِ: ظَاهِرَةٌ كَالثِّمَارِ وَالزُّرُوعِ وَالْمَوَاشِي، وَبَاطِنَةٌ كَالدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ وَعُرُوضِ التِّجَارَاتِ وَالرَّكَازِ وَزَكَاةِ الْفِطْرِ فَمَا كَانَ مِنْهَا بَاطِنًا لَمْ يَلْزَمْهُ دَفْعُ زَكَاتِهِ إِلَى الْإِمَامِ وَجَازَ لِأَرْبَابِهَا أَنْ يَتَوَلَّوْا إِخْرَاجَهَا وَقَسْمَهَا فِي أَصْلِهَا وَإِنْ دَفَعُوهَا إِلَى الْوُلَاةِ جَازَ وَمَا كَانَ مِنْهَا ظَاهِرًا فَفِيهَا قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa harta terbagi menjadi dua jenis: harta yang tampak seperti buah-buahan, tanaman, dan hewan ternak; dan harta yang tersembunyi seperti dirham, dinar, barang dagangan, rikaz, dan zakat fitrah. Untuk harta yang tersembunyi, tidak wajib menyerahkan zakatnya kepada imam, dan para pemiliknya boleh mengeluarkan dan membagikannya sendiri di tempat asalnya. Jika mereka menyerahkannya kepada para wali, itu juga boleh. Adapun harta yang tampak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهَا كَالْبَاطِنَةِ يَجُوزُ لِأَهْلِهَا أَنْ يَتَوَلَّوْا إِخْرَاجَ زَكَاتِهَا وَلَا يَلْزَمُهُمْ دَفْعُهَا إِلَى الْإِمَامِ.

Pertama, yaitu pendapat beliau dalam qaul jadid: Harta yang tampak itu seperti harta yang tersembunyi, pemiliknya boleh mengeluarkan zakatnya sendiri dan tidak wajib menyerahkannya kepada imam.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ عَلَيْهِمْ دَفْعَ زَكَاتِهَا إِلَى الْإِمَامِ أَوْ عَامِلِهِ عَلَيْهَا، وَلَا يَجُوزُ لِأَرْبَابِهَا أَنْ يَتَوَلَّوْا إِخْرَاجَهَا بِأَنْفُسِهِمْ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى دَفْعِهَا إِلَى الْإِمَامِ أَوْ عَامِلِهِ عَلَيْهَا، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وأبو حنيفة وَقَدْ مَضَى تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ.

Pendapat kedua: Mereka wajib menyerahkan zakatnya kepada imam atau petugasnya, dan tidak boleh bagi para pemiliknya untuk mengeluarkan zakatnya sendiri jika mampu menyerahkannya kepada imam atau petugasnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Malik dan Abu Hanifah. Penjelasan kedua pendapat ini telah disebutkan sebelumnya.

فَإِنْ تَأَخَّرَ الْإِمَامُ وَعَامِلُهُ وَتَعَذَّرَ عَلَى أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ دَفْعُ زَكَاتِهِمْ إِلَيْهِ فَهَلْ لَهُمْ عَلَى الْقَوْلِ الْقَدِيمِ إِخْرَاجُهَا بِأَنْفُسِهِمْ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika imam atau petugasnya terlambat datang dan para pemilik harta kesulitan menyerahkan zakatnya kepada mereka, maka menurut qaul qadim, apakah mereka boleh mengeluarkan zakatnya sendiri atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ وَتَكُونُ مَحْبُوسَةً عَلَيْهِ حَتَّى يَأْتِيَ فَيَتَوَلَّى إِخْرَاجَهَا، لِأَنَّ مَنِ اسْتَحَقَّ قَدْرَ مَالٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُدْفَعَ إِلَى غَيْرِهِ لِتَأَخُّرِهِ كَالدُّيُونِ.

Salah satu pendapat: Tidak boleh (dikeluarkan), dan (zakat) itu tetap tertahan baginya sampai ia datang dan mengurus pengeluarannya sendiri, karena siapa yang berhak atas sejumlah harta tidak boleh diberikan kepada orang lain hanya karena ia terlambat, sebagaimana dalam kasus utang.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ ظَاهِرُ نَصِّهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ يَجِبُ عَلَى أَهْلِهَا تَعْجِيلُ إِخْرَاجِهَا بِأَنْفُسِهِمْ إِذَا تَأَخَّرَ الْوَالِي عَنْهُمْ؛ لِأَنَّهُ مُسْتَحَقٌّ لِجِهَاتٍ يُمْكِنُ إِيصَالُهُ إِلَيْهَا وَالْوَالِي نَائِبٌ، وَتَأَخُّرُ الْوَالِي النَّائِبِ لَا يُوجِبُ تَأَخُّرَ الْحَقِّ كَالْوَالِي وَالْوَكِيلِ، فَإِذَا أَخْرَجَهَا أَرْبَابُهَا عِنْدَ تَأَخُّرِ الْوَالِي ثُمَّ حَضَرَ فَأَخْبَرُوهُ بِإِخْرَاجِهَا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُمْ وَلَهُ إِحْلَافُهُمْ إِنِ اسْتَرَابَ بِهِمْ، وَفِي هَذِهِ الْيَمِينِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat yang tampak dari nash beliau dalam masalah ini: Wajib bagi keluarganya untuk segera mengeluarkannya sendiri jika wali terlambat, karena zakat itu merupakan hak bagi pihak-pihak yang dapat disampaikan kepadanya, sedangkan wali hanyalah wakil. Keterlambatan wali sebagai wakil tidak menyebabkan keterlambatan hak, sebagaimana halnya wali dan wakil. Maka jika para pemilik harta mengeluarkannya ketika wali terlambat, lalu wali datang dan mereka memberitahukan kepadanya tentang pengeluaran zakat tersebut, maka perkataan mereka diterima, dan wali berhak meminta sumpah mereka jika ia meragukan mereka. Dalam sumpah ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهَا مُسْتَحَقَّةٌ، فَإِنْ نَكَلُوا عَنْهَا لَمْ تُؤْخَذْ مِنْهُمُ الزَّكَاةُ.

Salah satunya: Bahwa zakat itu memang hak mereka; jika mereka enggan bersumpah, maka zakat tidak diambil dari mereka.

وَالثَّانِي: إِنَّهَا وَاجِبَةٌ فَإِنْ نَكَلُوا عَنْهَا أُخِذَتْ مِنْهُمُ الزَّكَاةُ بِالْوُجُوبِ الْمُتَقَدِّمِ لَا بِالنُّكُولِ وَقَدْ مَضَى تَعْلِيلُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ الزَّكَاةِ.

Yang kedua: Bahwa zakat itu wajib; jika mereka enggan bersumpah, maka zakat diambil dari mereka karena kewajiban yang telah ada sebelumnya, bukan karena penolakan bersumpah. Penjelasan tentang hal ini telah disebutkan dalam Kitab Zakat.

مَسْأَلَةٌ:

Masalah:

قَالَ الشافعي: ” وَإِنَّمَا يَسْتَحِقُّ أَهْلُ السُّهْمَانِ سِوَى الْعَامِلِينَ حَقَّهُمْ يَوْمَ يَكُونُ القسْم “.

Imam Syafi‘i berkata: “Sesungguhnya para penerima bagian zakat, selain para amil, hanya berhak atas bagian mereka pada hari pembagian.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الشَّافِعِيَّ قَدْ نَصَّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ عَلَى أَنَّ اسْتِحْقَاقَ أَهْلِ السُّهْمَانِ لِلزَّكَاةِ يَكُونُ يَوْمَ الْقَسْمِ وَنَصَّ فِي كِتَابِ الزَّكَاةِ أَنَّهَا إِذَا وَجَبَتْ فِي قَرْيَةٍ فَمَاتَ أَحَدُ أَهْلِ السُّهْمَانِ أَنَّ نَصِيبَهُ لِوَارِثِهِ فَجَعَلَهَا مُسْتَحَقَّةً يَوْمَ الْوُجُوبِ وَلَيْسَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ وَإِنَّمَا هُوَ بِاخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَالْمَوْضِعُ الَّذِي جَعَلَهَا مُسْتَحَقَّةً يَوْمَ الْوُجُوبِ إِذَا تَعَيَّنَ أَهْلُ السُّهْمَانِ فِيهَا.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa Imam Syafi‘i telah menegaskan dalam masalah ini bahwa hak para penerima bagian zakat itu terjadi pada hari pembagian. Dan beliau juga menegaskan dalam Kitab Zakat bahwa jika zakat telah wajib di suatu desa lalu salah satu penerima bagian zakat meninggal, maka bagiannya diberikan kepada ahli warisnya. Maka beliau menjadikannya sebagai hak yang diperoleh pada hari wajibnya zakat, dan ini bukan dua pendapat yang berbeda, melainkan perbedaan dua keadaan. Maka, tempat yang menjadikannya sebagai hak pada hari wajibnya zakat adalah ketika para penerima bagian zakat telah ditentukan.

مِثْلَ أَنْ تَجِبَ الزَّكَاةُ عَلَيْهِمْ فِي قَرْيَةٍ فِيهَا مِنْ كُلِّ صِنْفٍ مِنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ ثَلَاثَةٌ فَمَا دون فيكونوا فِي اسْتِحْقَاقِهَا مُعَيَّنِينَ لَا يَجُوزُ الْعُدُولُ عَنْهُمْ إِلَى غَيْرِهِمْ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ اسْتِحْقَاقُهُمْ لَهَا مُعْتَبَرًا بِيَوْمِ الْوُجُوبِ لَا بَعْدَ الْقَسْمِ، فَلَوْ مات أحدهم كان حقه لوارثه ولو غلب أَوْ أَيْسَرَ لَمْ يَسْقُطْ حَقُّهُ مِنْهَا وَلَوْ حَضَرَ الْقَرْيَةَ بَعْدَ الْوُجُوبِ غَرِيبٌ لَمْ يَجُزْ دَفْعُهَا إِلَيْهِ.

Seperti jika zakat wajib atas mereka di sebuah desa yang di dalamnya terdapat dari setiap golongan penerima bagian zakat tiga orang atau kurang, maka mereka menjadi penerima yang telah ditentukan, tidak boleh dialihkan kepada selain mereka. Dalam hal ini, hak mereka atas zakat dihitung berdasarkan hari wajibnya zakat, bukan setelah pembagian. Maka jika salah satu dari mereka meninggal, haknya menjadi milik ahli warisnya. Jika ia menjadi kaya atau mampu, haknya atas zakat tidak gugur. Dan jika ada orang asing datang ke desa itu setelah zakat wajib, tidak boleh diberikan kepadanya.

وَالْمَوْضِعُ الَّذِي جَعَلَهَا مُسْتَحَقَّةً يَوْمَ الْقَسْمِ إِذَا لَمْ يَتَيَقَّنْ أَهْلُ السُّهْمَانِ فِيهَا مِثْلَ أَنْ تَجِبَ الزَّكَاةُ عَلَيْهِ فِي بَلَدٍ كَبِيرٍ فِيهِ مِنْ كُلِّ صِنْفٍ مِنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ عَدَدٌ كَبِيرٌ فَيَلْزَمُهُ أَنْ يُعْطِيَ مِنْ كل صنف ثلاثة ويمنع الباقين، فلا يكونوا فِيهَا مُعَيَّنِينَ فَيَكُونُ الِاعْتِبَارُ بِاسْتِحْقَاقِهِمْ يَوْمَ الْقَسْمِ لَا يَوْمَ الْوُجُوبِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ مَاتَ أَحَدُهُمْ قَبْلَ الْقَسْمِ لَمْ يُعْطَ وَارِثُهُ وَلَوْ غَابَ أَوْ أَيْسَرَ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهَا حَقٌّ وَلَوْ حَضَرَ غَرِيبٌ بَعْدَ الْوُجُوبِ وَقَبْلَ الْقَسْمِ أُعْطِيَ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.

Adapun tempat yang menjadikannya sebagai hak pada hari pembagian adalah ketika para penerima bagian zakat belum dapat dipastikan, seperti jika zakat wajib di sebuah kota besar yang di dalamnya terdapat banyak orang dari setiap golongan penerima bagian zakat. Maka wajib baginya untuk memberikan kepada tiga orang dari setiap golongan dan tidak kepada sisanya, sehingga mereka tidak menjadi penerima yang ditentukan. Maka dalam hal ini, hak mereka atas zakat dihitung pada hari pembagian, bukan pada hari wajibnya zakat. Maka jika salah satu dari mereka meninggal sebelum pembagian, ahli warisnya tidak mendapat bagian. Jika ia pergi atau menjadi mampu, ia tidak lagi berhak atas zakat. Dan jika ada orang asing datang setelah zakat wajib dan sebelum pembagian, ia diberikan bagian. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

باب ميسم الصدقات

Bab tentang tanda (cap) pada harta zakat

مسألة:

Masalah:

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: يَنْبَغِي لِوَالِي الصَّدَقَاتِ أن يسم كل ما أخذ منها مِنْ بَقَرٍ أَوْ إِبِلٍ فِي أَفْخَاذِهَا وَيَسِمَ الْغَنَمَ فِي أُصُولِ آذَانِهَا وَمِيسَمُ الْغَنَمِ أَلْطَفُ مِنْ مِيسَمِ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَيَجْعَلُ الْمِيسَمَ مَكْتُوبًا للَّهِ لِأَنَّ مَالِكَهَا أَدَّاهَا لِلَّهِ تَعَالَى فَكَتَبَ لِلَّهِ وَمِيسَمُ الْجِزْيَةِ مُخَالِفٌ لِمِيسَمِ الصَّدَقَةِ لِأَنَّهَا أديت صغارا لا أجر لصاحبها فيها وكذلك بلغنا عن عمال عمر رضي الله عنه أنهم كانوا يسمون وقال أسلم لعمر إِنَّ فِي الظَّهْرِ نَاقَةً عَمْيَاءَ فَقَالَ عُمَرُ رضي الله عنه ندفعها إِلَى أَهْلِ بَيْتٍ يَنْتَفِعُونَ بِهَا يَقْطُرُونَهَا بِالْإِبِلِ. قال قلت كيف تأكل من الأرض؟ قال عمر أمن نعم الجزية أو من نعم الصدقة؟ قلت لا بل مِنْ نَعَمِ الْجِزْيَةِ. فَقَالَ عُمَرُ أَرَدْتُمْ وَاللَّهِ أكلها فقلت إن عليها ميسم الجزية قال فأمر بها عمر فنحرت قال فكانت عنده صحاف تسع فلا تكون فاكهة ولا طريفة إلا وجعل منها في تلك الصحاف فيبعث بها إلى أزواج النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ويكون الذي يبعث به إلى حفصة رضي الله عنها من آخر ذلك فإن كان فيه نقصان كان في حظها قال فجعل في تلك الصحاف من لحم تلك الجزور فبعث به إلى أزواج النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وأمر بما بقي من اللحم فصنع فدعا عليه المهاجرين والأنصار (قال) ولا أعلم في الميسم علة إلا أن يكون ما أخذ من الصدقة معلوما فلا يشتريه الذي أعطاه لأنه خرج منه لله كَمَا أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عمر رضي الله عنه في فرس حمل عليه في سبيل الله فرآه يباع أن لا يشتريه وكما ترك المهاجرون نزول منازلهم بمكة لأنهم تركوها لله تعالى “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Hendaknya amil zakat memberi tanda pada setiap hewan yang diambil dari zakat, baik sapi maupun unta, pada bagian pahanya, dan memberi tanda pada kambing di pangkal telinganya. Tanda pada kambing hendaknya lebih lembut daripada tanda pada unta dan sapi. Tanda tersebut hendaknya bertuliskan “milik Allah”, karena pemiliknya telah menyerahkannya kepada Allah Ta‘ala, maka dituliskan untuk Allah. Tanda pada hewan jizyah berbeda dengan tanda pada hewan zakat, karena jizyah diserahkan dalam keadaan hina dan tidak ada pahala bagi pemiliknya. Demikian pula telah sampai kepada kami bahwa para petugas Umar radhiyallahu ‘anhu dahulu memberi tanda pada hewan-hewan tersebut. Aslam berkata kepada Umar, “Di antara hewan-hewan itu ada seekor unta buta.” Maka Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Serahkanlah kepada sebuah keluarga agar mereka dapat memanfaatkannya, mereka dapat memerah susunya bersama unta-unta lain.” Aku bertanya, “Bagaimana ia bisa makan dari tanah?” Umar bertanya, “Apakah ia termasuk hewan jizyah atau hewan zakat?” Aku menjawab, “Bukan, tetapi dari hewan jizyah.” Umar berkata, “Kalian memang ingin memakannya, demi Allah.” Aku berkata, “Sesungguhnya pada unta itu ada tanda jizyah.” Maka Umar memerintahkan agar unta itu disembelih. Umar memiliki sembilan nampan, dan tidak ada buah-buahan atau makanan lezat kecuali diletakkan sebagian di nampan-nampan itu, lalu dikirimkan kepada istri-istri Nabi ﷺ, dan yang dikirimkan kepada Hafshah radhiyallahu ‘anha adalah yang terakhir. Jika ada kekurangan, maka kekurangan itu pada bagian Hafshah. Maka diletakkan daging unta itu di nampan-nampan tersebut dan dikirimkan kepada istri-istri Nabi ﷺ, dan Umar memerintahkan agar sisa dagingnya dimasak lalu mengundang kaum Muhajirin dan Anshar. (Beliau berkata:) Aku tidak mengetahui adanya alasan dalam pemberian tanda selain agar hewan yang diambil dari zakat itu diketahui, sehingga orang yang telah memberikannya tidak membelinya kembali, karena ia telah mengeluarkannya untuk Allah, sebagaimana Rasulullah ﷺ memerintahkan Umar radhiyallahu ‘anhu terhadap seekor kuda yang digunakan di jalan Allah, lalu ia melihatnya dijual, agar tidak membelinya kembali. Demikian pula para Muhajirin meninggalkan rumah-rumah mereka di Makkah karena mereka telah meninggalkannya untuk Allah Ta‘ala.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الْمِيسَمُ عِنْدَنَا مُسْتَحَبٌّ فِي مَوَاشِي الزَّكَاةِ وَالْجِزْيَةِ وَحُكِيَ عَنْ أبي حنيفة كَرَاهِيَتُهُ لِنَهْيِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ تَعْذِيبِ الْحَيَوَانِ وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَسِمُ إِبِلَ الصَّدَقَةِ.

Al-Mawardi berkata: Sebagaimana yang telah disebutkan, memberi tanda pada hewan zakat dan jizyah menurut kami adalah mustahab (dianjurkan). Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa beliau memakruhkannya karena larangan Nabi ﷺ untuk menyiksa hewan. Dalil kami adalah riwayat dari Anas bahwa Nabi ﷺ biasa memberi tanda pada unta zakat.

وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَأَى الْعَبَّاسَ وَهُوَ يَسِمُ إِبِلَهُ فِي وُجُوهِهَا فَقَالَ: يَا عَبَّاسُ لَا تَسِمْ فِي الْوَجْهِ، فَقَالَ: الْعَبَّاسُ وَاللَّهِ لَا وَسَمْتُهَا بَعْدَ هَذَا إِلَّا فِي الْجَاعِرَتَيْنِ.

Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ melihat al-‘Abbas sedang memberi tanda pada unta-untanya di bagian wajahnya. Maka beliau bersabda, “Wahai ‘Abbas, janganlah memberi tanda pada wajah.” Al-‘Abbas berkata, “Demi Allah, setelah ini aku tidak akan memberi tanda kecuali pada dua bagian samping lehernya.”

وَرَوَى ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ مُسْعَدِ بْنِ نُقَادَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ نُقَادَةَ الْأَسَدِيِّ أَنَّهُ قَالَ:

Ibnu ‘Uyaynah meriwayatkan dari ‘Ashim bin Mus‘ad bin Nuqadah dari ayahnya dari kakeknya, Nuqadah al-Asadi, bahwa ia berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي رَجُلٌ مُغَفَّلٌ فَأَيْنَ أَسِمُ قَالَ: فِي مَوْضِعِ الْجِرْمِ مِنَ السَّالِفَةِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اطْلُبْ لِي طِلْبَةً، قَالَ: ابْغِنِي حَلْبَانَةً رَكْبَانَةً غَيْرَ أَنْ لَا تُولَدَ ذَاتَ وَلَدٍ عَنْ وَلَدِهَا.

“Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang kurang teliti, di mana aku harus memberi tanda?” Beliau bersabda, “Pada tempat pengikat tali di bagian depan leher.” Ia berkata, “Wahai Rasulullah, carikanlah aku seekor unta.” Beliau bersabda, “Carikan untukku unta betina yang bisa diperah susunya dan bisa dinaiki, tetapi janganlah mengambil unta betina yang sedang menyusui anaknya.”

الْمُغَفَّلُ صَاحِبُ الْإِبِلِ الْغُفْلِ الَّتِي لَا سِمَةَ عَلَيْهَا وَالْجِرْمُ: الزِّمَامُ.

Yang dimaksud dengan “mughafal” adalah pemilik unta yang tidak diberi tanda, dan “jirm” adalah tali pengikat.

وَالسَّالِفَةُ: مُقَدَّمُ صَفْحَةِ الْعُنُقِ، وَالْحَلْبَانَةُ: ذَاتُ لَبَنٍ يُحْلَبُ وَالرَّكْبَانَةُ: ذَاتُ ظَهْرٍ يُرْكَبُ، وَرَوَى زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ: إِنَّ فِي الظَّهْرِ نَاقَةً عَمْيَاءَ، فَقَالَ عُمَرُ ادْفَعْهَا إِلَى أَهْلِ بَيْتٍ يَنْتَفِعُونَ بِهَا يَقْطُرُونَهَا بِالْإِبِلِ، قُلْتُ: فَكَيْفَ تَأْكُلُ مِنَ الْأَرْضِ، قَالَ عُمَرُ: مِنْ نَعَمِ الْجِزْيَةِ أَمْ مِنْ نَعَمِ 1 الصَّدَقَةِ؟ فَقُلْتُ الْإِبِلُ هِيَ مِنْ نَعَمِ الْجِزْيَةِ، فَقَالَ: عُمَرُ أَرَدْتُمْ وَاللَّهِ أَكْلَهَا فَقُلْتُ: إِنَّ عَلَيْهَا وَسْمَ الْجِزْيَةِ، قَالَ: فَأَمَرَ بِهَا فَنُحِرَتْ الْحَدِيثَ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْمِيسَمَ فِعْلُ الْأَئِمَّةِ وَإِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ، وَلِأَنَّ بِهِ تَمْتَازُ الْأَمْوَالُ مَعَ تَمَيُّزِ مُسْتَحِقِّهَا وَلِيَكُونَ إِذَا ضَلَّتْ سَبَبًا لِرَدِّهَا فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الْوَسْمِ، فَالْكَلَامُ فِيهِ يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:

“Salifah” adalah bagian depan sisi leher, “halbānah” adalah unta betina yang dapat diperah susunya, dan “rakbānah” adalah unta yang dapat dinaiki. Diriwayatkan dari Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa ia berkata kepada Umar bin al-Khattab, “Di antara hewan-hewan itu ada seekor unta buta.” Umar berkata, “Serahkanlah kepada sebuah keluarga agar mereka dapat memanfaatkannya, mereka dapat memerah susunya bersama unta-unta lain.” Aku bertanya, “Bagaimana ia bisa makan dari tanah?” Umar berkata, “Apakah ia termasuk hewan jizyah atau hewan zakat?” Aku menjawab, “Unta itu termasuk hewan jizyah.” Umar berkata, “Kalian memang ingin memakannya, demi Allah.” Aku berkata, “Sesungguhnya pada unta itu ada tanda jizyah.” Maka Umar memerintahkan agar unta itu disembelih. Hadis ini menunjukkan bahwa pemberian tanda adalah perbuatan para imam dan ijmā‘ para sahabat, dan dengan tanda itu harta dapat dibedakan, begitu pula penerima haknya, dan jika hilang, tanda itu menjadi sebab untuk mengembalikannya. Jika telah tetap bolehnya memberi tanda, maka pembahasan tentangnya mencakup dua bagian:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْمِيسَمُ مِنْهَا.

Pertama: Tanda itu berasal dari hewan itu sendiri.

وَالثَّانِي: فَالَّذِي يُكْتَبُ عَلَيْهِ.

Kedua: Tanda itu berupa tulisan pada hewan tersebut.

فَأَمَّا مَكَانُهُ فَهُوَ كُلُّ مَوْضِعٍ صَلُبَ مِنَ الْبَدَنِ وَقَلَّ شَعْرُهُ، فَإِنْ كَانَ فِي الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ فَعَلَى أَفْخَاذِهَا وَإِنْ كَانَ فِي الْغَنَمِ فَعَلَى أُصُولِ آذَانِهَا، وَيَكُونُ مِيسَمُ الْغَنَمِ أَلْطَفَ لِأَنَّهَا ضَعِيفَةٌ لَا تَصْبِرُ مِنَ الْأَلَمِ عَلَى مَا يَصْبِرُ عَلَيْهِ غَيْرُهَا، فَأَمَّا مَا يُكْتَبُ فَإِنْ كَانَتْ مِنْ نَعَمِ الصَّدَقَةِ كَانَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ ثَلَاثَةِ أَسْمَاءٍ، إِمَّا أَنْ يَكْتُبَ عَلَيْهَا صَدَقَةً أَوْ طُهْرَةً أَوْ لِلَّهِ، وَهَذَا أَحَبُّهَا إِلَى الشَّافِعِيِّ تَبَرُّكًا بِذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى وَاقْتِدَاءً بِالسَّلَفِ، وَإِنْ كَانَتْ مِنَ الْجِزْيَةِ كَانَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكْتُبَ جِزْيَةً أَوْ يَكْتُبَ صِغَارًا، وَهَذَا اجْتِهَادُ الشَّافِعِيِّ اتِّبَاعًا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ} [التوبة: 29] فَأَمَّا تَمْيِيزُهَا بِجَدْعِ الْأُنُوفِ وَقَطْعِ الْآذَانِ فَمَكْرُوهٌ، لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ نَهَى عَنِ الْمُثْلَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun tempatnya adalah setiap bagian tubuh yang keras dan sedikit bulunya. Jika pada unta dan sapi, maka pada paha-pahanya; dan jika pada kambing, maka pada pangkal telinganya. Tanda pada kambing dibuat lebih lembut karena kambing itu lemah dan tidak tahan terhadap rasa sakit sebagaimana hewan lainnya. Adapun tulisan yang dibuat, jika hewan itu termasuk hewan zakat, maka ada pilihan di antara tiga nama: boleh ditulis “ṣadaqah”, atau “ṭuhrah”, atau “lillāh”. Yang terakhir ini lebih disukai oleh asy-Syāfi‘ī sebagai bentuk tabarruk (mengharap berkah) dengan menyebut nama Allah Ta‘ālā dan mengikuti para salaf. Jika hewan itu termasuk harta jizyah, maka ada pilihan di antara dua: boleh ditulis “jizyah” atau “ṣighār”. Ini adalah ijtihad asy-Syāfi‘ī, mengikuti firman Allah Ta‘ālā: {hingga mereka membayar jizyah dengan tangan mereka dalam keadaan tunduk} (at-Taubah: 29). Adapun membedakannya dengan memotong hidung atau telinga, maka itu makruh, karena diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau melarang melakukan mutilasi. Allah Maha Mengetahui.

باب الاختلاف في المؤلفة

Bab Perselisihan tentang al-Mu’allafah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” قَالَ بَعْضُ النَّاسِ لا مؤلفة فيجعل سهمهم وسهم سَبِيلِ اللَّهِ فِي الْكُرَاعِ وَالسِّلَاحِ فِي ثُغُورِ الْمُسْلِمِينَ “.

Asy-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata: “Sebagian orang berpendapat tidak ada mu’allafah, sehingga bagian mereka dan bagian fī sabīlillāh digunakan untuk membeli kuda dan senjata di perbatasan kaum Muslimin.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَتْ مَسَائِلُ هَذَا الْبَابِ مَشْرُوحَةً بِدَلَائِلِهَا وَإِنَّمَا أَوْرَدَهُ الشَّافِعِيُّ مَقْصُورًا عَلَى ذِكْرِ الِاخْتِلَافِ فِيهَا وَالِاحْتِجَاجِ عَلَيْهَا فَاقْتَصَرْنَا مِنْهُ عَلَى الْإِشَارَةِ إِلَى تَفْصِيلِ مَا أَوْرَدَهُ، فَمِنْ ذَلِكَ مَسْأَلَتَانِ قَدَّمَهُمَا فِي هَذَا الْفَصْلِ:

Al-Māwardī berkata: Permasalahan-permasalahan dalam bab ini telah dijelaskan beserta dalil-dalilnya. Asy-Syāfi‘ī hanya menyebutkannya terbatas pada penjelasan adanya perbedaan pendapat dan argumentasi atasnya. Maka kami cukupkan dengan memberi isyarat pada rincian yang beliau sebutkan. Di antaranya ada dua permasalahan yang beliau dahulukan dalam fasal ini:

إِحْدَاهُمَا: فِي سَهْمِ الْمُؤَلَّفَةِ.

Pertama: tentang bagian al-mu’allafah.

وَالثَّانِيَةُ: فِي سَهْمِ سَبِيلِ اللَّهِ.

Kedua: tentang bagian fī sabīlillāh.

فَأَمَّا سَهْمُ الْمُؤَلَّفَةِ فَإِنَّ أبا حنيفة أَسْقَطَهُ وَزَعَمَ أَنْ لَا مُؤَلَّفَةَ لِلِاسْتِغْنَاءِ عَنْهُمْ بِقُوَّةِ الدِّينِ وَإِعْزَازِ الْمُسْلِمِينَ، وَهُوَ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ ثَابِتٌ عَلَى الشَّرْحِ الَّذِي قَدَّمْنَاهُ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَثْبَتَ لَهُمْ فِي آيَةِ الصَّدَقَاتِ سَهْمًا فَلَمْ يَجُزْ نَسْخُهُ بَعْدَ انْقِطَاعِ الْوَحْيِ؛ وَلِأَنَّ مَا بَقِيَ لِلْإِسْلَامِ أَعْدَاءٌ يَلْزَمُ جِهَادُهُمْ بَقِيَ مُؤَلَّفَةٌ يُتَآلَفُ قُلُوبُهُمْ كَالْعَصْرِ الْأَوَّلِ.

Adapun bagian al-mu’allafah, Abū Ḥanīfah meniadakannya dan berpendapat bahwa tidak ada lagi mu’allafah karena sudah tidak diperlukan lagi dengan kuatnya agama dan kemuliaan kaum Muslimin. Sedangkan menurut asy-Syāfi‘ī, bagian itu tetap ada sebagaimana penjelasan yang telah kami sampaikan, karena Allah Ta‘ālā telah menetapkan bagi mereka bagian dalam ayat ṣadaqah, sehingga tidak boleh dihapus setelah terputusnya wahyu; dan karena masih ada musuh-musuh Islam yang wajib diperangi, maka masih ada mu’allafah yang perlu dilunakkan hatinya sebagaimana pada masa awal Islam.

وَأَمَّا سَهْمُ سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى، فَإِنَّ أبا حنيفة زَعَمَ أَنَّهُ مَصْرُوفٌ مَعَ سَهْمِ الْمُؤَلَّفَةِ فِي الْكُرَاعِ وَالسِّلَاحِ فِي ثَغْرِ الْمُسْلِمِينَ، وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ مَصْرُوفٌ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ فِي الْغُزَاةِ وَالْمُجَاهِدِينَ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَشْتَرِيَ بِهِ كُرَاعًا وَلَا سِلَاحًا لِمَنْ لَمْ يَتَعَيَّنْ مِنْهُمْ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ مَالَ الصَّدَقَاتِ مَصْرُوفًا إِلَى مَالِكِينَ فَإِنْ تَعَيَّنَ الْغُزَاةُ الَّذِينَ يُعْطَوْنَ تِلْكَ الصَّدَقَاتِ وَاحْتَاجُوا إِلَى كُرَاعٍ وَسِلَاحٍ فَإِنْ كَانَ قَاسِمُ الصَّدَقَةِ رَبَّ الْمَالِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَشْتَرِيَ لَهُمْ بِسَهْمِهِمْ كُرَاعًا وَسِلَاحًا وَدَفَعَ إِلَيْهِمْ عين ماله ليتولوا لأنفسهم شِرَاءَ مَا احْتَاجُوا إِلَيْهِ مَنْ كُرَاعٍ وَسِلَاحٍ لِئَلَّا يَصِيرَ رَبُّ الْمَالِ دَافِعَهَا قِيمَةَ زَكَاةٍ إِذْ يَمْنَعُ الشَّافِعِيُّ مِنْهَا وَإِنْ كَانَ قَاسِمُ الصَّدَقَةِ وَالِيًا فَفِي جَوَازِ اتِّبَاعِهِ ذَلِكَ لَهُمْ وجهان مضيا.

Adapun bagian fī sabīlillāh, Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa bagian ini, bersama bagian al-mu’allafah, digunakan untuk membeli kuda dan senjata di perbatasan kaum Muslimin. Sedangkan menurut asy-Syāfi‘ī, bagian itu diberikan sebagaimana yang telah kami jelaskan, yaitu kepada para pejuang dan mujahid. Tidak boleh digunakan untuk membeli kuda atau senjata bagi mereka yang belum ditetapkan sebagai penerima, karena Allah Ta‘ālā menjadikan harta ṣadaqah diberikan kepada orang-orang yang berhak memilikinya. Jika para pejuang yang akan menerima ṣadaqah itu telah ditetapkan dan mereka membutuhkan kuda dan senjata, maka jika pembagi zakat adalah pemilik harta, tidak boleh ia membelikan kuda dan senjata untuk mereka dari bagian mereka, melainkan ia harus menyerahkan harta itu secara langsung agar mereka sendiri yang membeli apa yang mereka butuhkan berupa kuda dan senjata, agar pemilik harta tidak menjadi pemberi nilai zakat, karena asy-Syāfi‘ī melarang hal itu. Namun jika pembagi zakat adalah wali (penguasa), maka dalam kebolehan ia membelikan untuk mereka terdapat dua pendapat yang telah disebutkan.

فصل:

Fasal:

قال الشافعي: ” وقال بعضهم ابن السبيل من مر يُقَاسِمُ فِي الْبَلَدِ الَّذِي بِهِ الصَّدقَاتُ “.

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Dan sebagian mereka berpendapat bahwa ibn as-sabīl yang lewat, ia mendapat bagian di negeri tempat zakat itu dibagikan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ ثَالِثَةٌ أَرَادَ بِهَا أبا حنيفة حَيْثُ يَقُولُ إِنَّ ابْنَ السَّبِيلِ الَّذِي يَسْتَحِقُّ سَهْمَهُ مِنَ الصَّدَقَاتِ هُوَ الْمُجْتَازُ بِبَلَدِ الصَّدَقَةِ دُونَ الْمُنْشِئِ لِسَفَرِهِ مِنْهُ لِيَكُونَ مَصْرُوفًا إِلَى مَنْ تَنَاوَلَهُ حَقِيقَةُ الِاسْمِ، وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ مَصْرُوفٌ إِلَى الْمُجْتَازِ وَالْمُنْشِئِ اعْتِبَارًا بالعموم؛ ولأن المنشئ جاز لِلْمَالِ فَكَانَ أَوْلَى مِنَ الْمُجْتَازِ الْغَرِيبِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُعَانَ الْمُجْتَازُ عَلَى بَعْضِ سَفَرِهِ فَأَوْلَى أَنْ يُعَانَ الْمُنْشِئُ عَلَى جَمِيعِ سفره.

Al-Mawardi berkata: Ini adalah masalah ketiga yang dimaksudkan untuk menanggapi pendapat Abu Hanifah, di mana ia berpendapat bahwa ibnu sabil yang berhak menerima bagian dari sedekah adalah orang yang sedang melewati negeri tempat sedekah itu, bukan orang yang memulai perjalanannya dari negeri tersebut, agar penyalurannya benar-benar diberikan kepada orang yang sesuai dengan makna hakiki istilah tersebut. Sedangkan menurut asy-Syafi‘i, penyalurannya diberikan baik kepada orang yang melewati maupun yang memulai perjalanan, berdasarkan keumuman (nash); dan karena orang yang memulai perjalanan lebih berhak atas harta tersebut daripada orang asing yang hanya melewati, serta karena jika orang yang melewati saja boleh dibantu untuk sebagian perjalanannya, maka orang yang memulai perjalanan lebih utama untuk dibantu dalam seluruh perjalanannya.

فصل:

Fasal:

قال الشافعي: ” وَقَالَ أَيْضًا حَيْثُ كَانَتِ الْحَاجَةُ أَكْثَرَ فَهِيَ واسعة كأنه يذهب إلى أنه فوضى بينهم يقسمونه على العدد والحاجة لأن لكل أهل صنف منهم سهما “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Ia juga berkata, apabila kebutuhan lebih banyak maka penyalurannya lebih luas, seolah-olah ia berpendapat bahwa pembagiannya diserahkan kepada mereka, dibagi berdasarkan jumlah dan kebutuhan, karena setiap kelompok dari mereka memiliki bagian.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ رَابِعَةٌ أَرَادَ بِهَا أبا حنيفة حَيْثُ يَقُولُ: إِنَّ مَالَ الصَّدَقَاتِ لَا يَلْزَمُ صَرْفُهُ فِي جَمِيعِ الْأَصْنَافِ وَلَكِنْ يَصْرِفُ فِي أَمَسِّهِمْ حَاجَةً وَيَعْدِلُ عَنِ الْبَاقِينَ، وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ: إِنَّهُ يَصْرِفُ فِي جَمِيعِ الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ الْمُسَمَّاةِ فِي آيَةِ الصَّدَقَاتِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى سَمَّى لِكُلِّ صِنْفٍ مِنْهُمْ حَقًّا، فَلَمْ يَجُزِ الْعُدُولُ عَنْ بَعْضِهِمْ كَمَا لَمْ يَجُزِ الْعُدُولُ عَنْ جَمِيعِهِمْ؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَتْ عَطَايَا الآدميين من الوصايا إذا سمى فيها أصناف لَمْ يَجُزِ الِاقْتِصَارُ عَلَى بَعْضِهَا كَانَتْ عَطَايَا الله تعالى أولى؛ ولأنه لو كانت مُعْتَبَرَةً لَبَطَلَ حُكْمُ التَّصَرُّفِ وَالتَّسْمِيَةِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ. قال الشافعي: ” وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ إِذَا تَمَاسَكَ أَهْلُ الصَّدَقَةِ وَأَجْدَبَ آخَرُونَ نُقِلَتْ إِلَى الْمُجدِبِينَ إِذَا كَانُوا يُخَافُ عَلَيْهِمُ الْمَوْتُ كَأَنَّهُ يَذْهَبُ إِلَى أَنَّ هَذَا مَالٌ مِنْ مَالِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَسَمَهُ لِأَهْلِ السُّهْمَانِ لِمَعْنَى صَلَاحِ عِبَادِ اللَّهِ عَلَى اجْتِهَادِ الْإِمَامِ “.

Al-Mawardi berkata: Ini adalah masalah keempat yang dimaksudkan untuk menanggapi pendapat Abu Hanifah, di mana ia berpendapat bahwa harta sedekah tidak wajib disalurkan kepada seluruh golongan, melainkan diberikan kepada golongan yang paling membutuhkan dan boleh meninggalkan golongan lainnya. Sedangkan menurut asy-Syafi‘i, penyalurannya harus diberikan kepada seluruh delapan golongan yang disebutkan dalam ayat tentang sedekah; karena Allah Ta‘ala telah menetapkan hak bagi setiap golongan, sehingga tidak boleh meninggalkan sebagian mereka sebagaimana tidak boleh meninggalkan semuanya; dan karena jika pemberian manusia dalam wasiat, apabila disebutkan beberapa golongan, tidak boleh hanya diberikan kepada sebagian saja, maka pemberian Allah Ta‘ala tentu lebih utama; dan jika hanya sebagian yang dianggap, maka batal pula hukum penyaluran dan penamaan golongan, dan Allah lebih mengetahui. Asy-Syafi‘i berkata: “Di antara sahabat kami ada yang berpendapat, jika penduduk suatu daerah penerima sedekah masih cukup dan di daerah lain terjadi kekeringan, maka sedekah dipindahkan kepada mereka yang kekeringan jika dikhawatirkan mereka akan mati, seolah-olah ia berpendapat bahwa ini adalah harta milik Allah ‘Azza wa Jalla yang dibagikan kepada para penerima bagian demi kemaslahatan hamba-hamba Allah berdasarkan ijtihad imam.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ خَامِسَةٌ أَرَادَ بِهَا أبا حنيفة، فَإِنَّهُ جَوَّزَ نَقْلَ الصَّدَقَةِ عَنْ بَلَدِ الْمَالِ إِلَى غَيْرِهِ بِحَسَبِ مَا يُؤَدِّي اجْتِهَادُ الْإِمَامِ إِلَيْهِ فِي شِدَّةِ الْحَاجَةِ، وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ نَقْلُ الصَّدَقَةِ عَنْ بَلَدِ الْمَالِ إِلَى غَيْرِهِ لِأَجْلِ الْحَاجَةِ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الدَّلِيلِ.

Al-Mawardi berkata: Ini adalah masalah kelima yang dimaksudkan untuk menanggapi pendapat Abu Hanifah, yaitu ia membolehkan pemindahan sedekah dari negeri asal harta ke negeri lain sesuai dengan hasil ijtihad imam dalam kondisi kebutuhan yang sangat mendesak. Sedangkan menurut asy-Syafi‘i, tidak boleh memindahkan sedekah dari negeri asal harta ke negeri lain hanya karena kebutuhan, sebagaimana telah kami sebutkan dalilnya.

فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ نَقَلَ عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ وَالزِّبْرِقَانُ بْنُ بَدْرٍ صَدَقَاتِ قَومِهِمَا إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِالْمَدِينَةِ قِيلَ أَجَابَ الشَّافِعِيُّ عَنْهُ بِأَرْبَعَةِ أَجْوِبَةٍ:

Jika dikatakan: Bukankah ‘Adi bin Hatim dan az-Zibriqan bin Badr telah memindahkan sedekah kaum mereka kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu di Madinah? Maka dijawab, asy-Syafi‘i memberikan empat jawaban:

أَحَدُهَا: إِنَّهُ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ نَقَلَ إِلَى الْمَدِينَةِ مَا فَضَلَ مِنِ جِيرَانِ الْمَالِ.

Pertama: Ada kemungkinan yang dipindahkan ke Madinah adalah kelebihan dari kebutuhan orang-orang di sekitar harta tersebut.

وَالثَّانِي: إِنَّهُ كَانَ مَنْ بِالْمَدِينَةِ أَقْرَبَ النَّاسِ بِهِمْ نَسَبًا وَدَارًا فَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا.

Kedua: Orang-orang yang berada di Madinah adalah kerabat dan tetangga terdekat mereka, sehingga mereka lebih berhak menerimanya.

وَالثَّالِثُ: إِنَّهُ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ مَنْ حَوْلَهُمُ ارْتَدُّوا؛ لِأَنَّهُ كَانَ وَقْتَ الرِّدَّةِ فَلَمْ يَسْتَحِقُّوهَا مَعَ الرِّدَّةِ فَنُقِلَتْ إِلَى الْمَدِينَةِ.

Ketiga: Ada kemungkinan orang-orang di sekitar mereka telah murtad, karena itu terjadi pada masa kemurtadan, sehingga mereka tidak berhak menerimanya, lalu dipindahkan ke Madinah.

وَالرَّابِعُ: إِنَّهُ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ قَدْ حُمِلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ إِظْهَارًا لِطَاعَتِهِ؛ لِأَنَّ النَّاسَ قَدْ كَانُوا مَنَعُوا الزَّكَاةَ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ، فَلَمَّا أَظْهَرُوا الطَّاعَةَ بِنَقْلِ الزَّكَاةِ رَدَّهَا عليهم ليتولوا قسمها في جيرانهم.

Keempat: Ada kemungkinan sedekah itu dibawa kepada Abu Bakar sebagai bentuk penampakan ketaatan kepada beliau; karena pada waktu itu banyak orang yang menahan zakat, maka ketika mereka menampakkan ketaatan dengan memindahkan zakat, beliau mengembalikannya kepada mereka agar mereka sendiri yang membagikannya kepada tetangga mereka.

فصل:

Fasal:

قال الشافعي وَأَحْسَبُهُ يَقُولُ وَتُنْقَلُ سُهْمَانُ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ إِلَى أَهْلِ الْفَيْءِ إِنْ جَهِدُوا وَضَاقَ الْفَيْءُ وَيُنْقَلُ الْفَيْءُ إِلَى أَهْلِ الصَّدَقَاتِ إِنْ جَهِدُوا وَضَاقَتِ الصدقات على معنى إرادة صلاح عباد الله (قال الشافعي) وإنما قلت بخلاف هذا القول لأن الله جل وعز جعل المال قسمين أحدهما في قسم الصدقات التي هي طهرة فسماها الله لثمانية أصناف ووكدها وجاءت سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بأن يؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم لا فقراء غيرهم ولغيرهم فقراء فلا يجوز فيها عندي والله أعلم أن يكون فيها غير ما قلت من أن لا تنقل عن قوم وفيهم من يستحقها ولا يخرج سهم ذي سهم منهم إلى غيره وهو يستحقه وكيف يجوز أن يسمي الله تعالى أصنافا فيكونون موجودين معا فيعطي أحد سهمه وسهم غيره ولو جاز هذا هذا عندي جاز أن يجعل في سهم واحد جميع سهام سبعة ما فرض لهم ويعطى واحد ما لم يفرض له والذي يخالفنا يقول لو أوصى بثلثه لفقراء بني فلان وغارمي بني فلان رجل آخر وبني سبيل بني فلان رجلا آخر إن كل صنف من هؤلاء يعطون من ثلثه وأن ليس لوصي ولا وال أن يعطى الثلث صنفا دون صنف وإن كان أحوج وأفقر من صنف لأن كلا ذو حق بما سمي له وإذا كان هذا عندنا وعند قائل هذا القول فيما أعطي الآدميون أن لا يجوز أن يمضي إلا على ما أعطوا فعطاء الله أولى أن لا يجوز أن يمضي إلا على ما أعطى (قال) وإذا قسم الله الفيء وسن رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أن أربعة أخماسه لمن أوجف على الغنيمة للفارس ثلاثة أسهم وللراجل سهم ولم نعلم رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فضّل ذا غناء على من دونه ولم يفضل المسلمون الفارس أعظم الناس غناء على جبان في القسم وكيف جاز لمخالفنا في قسم الصدقات وقد قسمها الله تعالى أمين القسْم بعضا دون بعض وينقلها عن أهلها المحتاجين إليها إلى غيرهم لأن كانوا أحوج منهم أو يشركهم معهم أو ينقلها عن صنف منهم إلى صنف غيره (أرأيت) لو قال قائل لقوم أهل غزو كثير أوجفوا على عدو أنتم أغنياء فآخذ ما أوجفتم عليه فأقسمه على أهل الصدقات المحتاجين إذا كان عام سنة لأنهم من عيال الله تعالى هل الحجة عليه إلا أن من قسم الله له بحق فهو أولى به وإن كان من لم يقسم له أحوج منه وهكذا ينبغي أن يقال في أهل الصدقات وهكذا لأهل المواريث لا يعطى أحد منهم سهم غيره ولا يمنع من سهمه لفقر ولا لغنى وقضى معاذ بن جبل رضي الله عنه أَيُّمَا رَجُلٍ انْتَقَلَ مِنْ مِخْلَافِ عَشِيرَتِهِ إِلَى غير مخلاف عشيرته فعشره وصدقته إلى مخلاف عشيرته ففي هذا معنيان. أحدهما: أنه جعل صدقته وعشره لأهل مخلاف عشيرته لم يقل لقرابته دون أهل المخلاف والآخر: أنه رأى أن الصدقة إذا ثبتت لأهل مخلاف عشيرته لم تحول عنهم صدقته وعشره بتحوله عنهم وكانت كما يثبت بدأ فإن قيل فقد جاء عدي بن حاتم أبا بكر رضي الله عنه بصدقات والزبرقان بن بدر فهما وإن جاءا بها فقد تكون فضلا عن أهلها ويحتمل أن يكون بالمدينة أقرب الناس بهم نسبا ودارا ممن يحتاج إلى سعة من مضر وطيّء من اليمن ويحتمل أن يكون من حولهم ارتدوا فلم يكن لهم فيها حق ويحتمل أن يؤتى بها أبو بكر رضي الله عنه ثم يردها إلى غير أهل المدينة وليس في ذلك خبر عن أبي بكر نصير إليه فإن قيل فإنه بلغنا أن عمر رضي الله عنه كان يؤتى بنعم من الصدقة فبالمدينة صدقات النخل والزرع والناض والماشية وللمدينة ساكن من المهاجرين والأنصار وحلفاء لهم وأشجع وجهينة ومزينة بها وبأطرافها وغيرهم من قبائل العرب فعيال ساكني المدينة بالمدينة وعيال عشائرهم وجيرانهم وقد يكون عيال ساكني أطرافها بها وعيال جيرانهم وعشائرهم فيؤتون بها وتكون مجمعا لأهل السهمان كما تكون المياه والقرى مجمعا لأهل السهمان من العرب ولعلهم استغنوا فنقلها إلى أقرب الناس بهم وكانوا بالمدينة

Al-Syafi‘i berkata, “Dan aku kira ia berkata: ‘Bagian-bagian (saham) para penerima sedekah dipindahkan kepada para penerima fai’ jika mereka berjuang dan harta fai’ tidak mencukupi, dan harta fai’ dipindahkan kepada para penerima sedekah jika mereka berjuang dan sedekah tidak mencukupi, dengan maksud untuk menginginkan kebaikan bagi hamba-hamba Allah.’” (Al-Syafi‘i berkata:) “Aku berpendapat berbeda dengan pendapat ini karena Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mulia telah menjadikan harta itu dua bagian: salah satunya adalah bagian sedekah yang merupakan pensucian, yang Allah namakan untuk delapan golongan dan menegaskannya. Sunnah Rasulullah ﷺ juga telah datang bahwa sedekah diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka, bukan kepada orang fakir selain mereka, dan bukan pula kepada selain mereka yang fakir. Maka menurutku—dan Allah lebih mengetahui—tidak boleh di dalamnya selain apa yang aku katakan, yaitu tidak boleh dipindahkan dari suatu kaum sementara di antara mereka masih ada yang berhak menerimanya, dan tidak boleh bagian seseorang yang berhak dipindahkan kepada orang lain sementara ia masih berhak menerimanya. Bagaimana mungkin dibenarkan Allah menyebutkan golongan-golongan tertentu, mereka ada secara bersamaan, lalu diberikan bagian seseorang dan bagian orang lain kepadanya? Jika hal ini dibolehkan menurutku, maka boleh juga seluruh bagian tujuh golongan lainnya digabungkan dalam satu bagian dan diberikan kepada satu orang yang tidak ditetapkan baginya. Orang yang berbeda pendapat dengan kami berkata: ‘Jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya untuk orang-orang fakir dari Bani Fulan, dan untuk gharim dari Bani Fulan kepada orang lain, dan untuk ibnu sabil dari Bani Fulan kepada orang lain, maka setiap golongan dari mereka diberikan dari sepertiga harta itu, dan tidak boleh bagi pelaksana wasiat atau wali untuk memberikan sepertiga itu hanya kepada satu golongan saja tanpa golongan lain, meskipun satu golongan lebih membutuhkan dan lebih miskin dari yang lain, karena masing-masing memiliki hak sesuai yang disebutkan untuknya.’ Jika demikian menurut kami dan menurut orang yang berpendapat seperti ini dalam hal pemberian kepada manusia, maka pemberian Allah lebih utama untuk tidak dijalankan kecuali sesuai dengan apa yang telah Dia tetapkan.” (Beliau berkata:) “Ketika Allah membagi fai’ dan Rasulullah ﷺ menetapkan bahwa empat per lima darinya untuk orang-orang yang ikut berperang, untuk penunggang kuda tiga bagian dan untuk pejalan kaki satu bagian, dan kami tidak mengetahui Rasulullah ﷺ pernah mengutamakan orang yang paling berjasa atas yang di bawahnya, dan kaum Muslimin pun tidak mengutamakan penunggang kuda yang paling berjasa atas orang yang penakut dalam pembagian. Bagaimana mungkin lawan pendapat kami dalam pembagian sedekah—padahal Allah telah membaginya—boleh bagi amil untuk memberikan sebagian kepada sebagian lain, memindahkannya dari orang yang berhak kepada selain mereka karena mereka lebih membutuhkan, atau menggabungkan mereka, atau memindahkannya dari satu golongan kepada golongan lain?” (Bagaimana pendapatmu) jika seseorang berkata kepada suatu kaum yang banyak berjihad dan memperoleh harta rampasan: ‘Kalian orang-orang kaya, maka aku ambil apa yang kalian peroleh lalu aku bagikan kepada para penerima sedekah yang membutuhkan pada tahun itu, karena mereka adalah keluarga Allah.’ Apakah hujjah atasnya selain bahwa siapa yang telah Allah tetapkan haknya, maka ia lebih berhak, meskipun yang tidak ditetapkan baginya lebih membutuhkan? Demikian pula seharusnya dikatakan dalam hal para penerima sedekah, demikian pula dalam hal ahli waris: tidak boleh seseorang menerima bagian orang lain, dan tidak boleh dihalangi dari bagiannya karena miskin atau kaya. Mu‘adz bin Jabal ra. memutuskan bahwa siapa pun yang pindah dari daerah kabilahnya ke daerah lain, maka zakat dan sedekahnya untuk daerah kabilahnya. Dalam hal ini terdapat dua makna: Pertama, ia menjadikan zakat dan sedekahnya untuk penduduk daerah kabilahnya, tidak hanya untuk kerabatnya saja tanpa penduduk daerah itu. Kedua, ia berpendapat bahwa jika zakat telah ditetapkan untuk penduduk daerah kabilahnya, maka tidak boleh dipindahkan dari mereka karena ia berpindah, dan tetap sebagaimana awalnya. Jika dikatakan: ‘Adiy bin Hatim dan Zibrqan bin Badr datang kepada Abu Bakar ra. membawa sedekah,’ maka meskipun mereka membawanya, bisa jadi itu kelebihan dari hak penduduknya, atau mungkin di Madinah ada orang yang lebih dekat nasab dan tempat tinggalnya yang membutuhkan dari kalangan Mudhar dan Thayyi’ dari Yaman, atau mungkin orang-orang di sekitar mereka telah murtad sehingga tidak berhak lagi, atau mungkin Abu Bakar ra. menerima lalu mengembalikannya kepada selain penduduk Madinah. Tidak ada riwayat dari Abu Bakar yang dapat dijadikan sandaran dalam hal ini. Jika dikatakan: ‘Kami mendengar bahwa Umar ra. menerima unta-unta dari sedekah, sedangkan di Madinah ada sedekah kurma, tanaman, harta cair, dan ternak, dan di Madinah tinggal kaum Muhajirin, Anshar, sekutu mereka, Asyja‘, Juhainah, Muzainah, dan lainnya dari kabilah Arab. Tanggungan keluarga penduduk Madinah ada di Madinah, begitu pula keluarga kabilah dan tetangga mereka. Bisa jadi keluarga penduduk pinggiran Madinah juga tinggal di sana, begitu pula keluarga tetangga dan kabilah mereka, sehingga mereka menerima sedekah itu dan menjadi tempat berkumpul para penerima bagian, sebagaimana air dan desa menjadi tempat berkumpul para penerima bagian dari Arab. Mungkin mereka telah cukup, lalu dipindahkan kepada orang yang lebih dekat dengan mereka, dan mereka berada di Madinah.’”

(فإن قيل) فإن عمر رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ عَلَى إِبِلٍ كثيرة إلى الشام والعراق فإنما هي والله أعلم من نعم الجزية لأنه إنما يحمل على ما يحتمل من الإبل وأكثر فرائض الإبل لا تحمل أحدا وقد كان يبعث إلى عمر بنعم الجزية فيبعث فيبتاع بها إبلا جلة فيحمل عليها (وقال) بعض الناس مثل قولنا في أن ما أخذ من مسلم فسبيله سبيل الصَّدَقَاتُ “.

(Jika dikatakan:) “Sesungguhnya Umar ra. membawa banyak unta ke Syam dan Irak.” Maka itu—wallahu a‘lam—adalah dari unta jizyah, karena yang dibawa hanyalah yang memungkinkan untuk dibawa dari unta, sedangkan kebanyakan unta zakat tidak bisa digunakan untuk membawa orang. Dahulu, unta jizyah dikirim kepada Umar, lalu ia membeli unta-unta besar dengan hasilnya, kemudian digunakan untuk membawa orang. (Beliau berkata:) “Sebagian orang berpendapat seperti pendapat kami, bahwa apa yang diambil dari seorang Muslim, maka hukumnya seperti hukum sedekah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ سَادِسَةٌ أَرَادَ بِهَا أَهْلَ الْعِرَاقِ، وَلَعَلَّ أبا حنيفة مَعَهُمْ فَإِنَّهُمْ جَوَّزُوا نَقْلَ الصَّدَقَاتِ إِلَى أَهْلِ الْفَيْءِ، وَنَقْلَ الْفَيْءِ إِلَى أَهْلِ الصَّدَقَاتِ اعْتِبَارًا بِشِدَّةِ الْحَاجَةِ ثُمَّ اخْتَلَفُوا بَعْدَ النَّقْلِ، هَلْ يُقْضَى مَنْ نُقِلَ عَنْهُ سَهْمُهُ إِذَا اتَّسَعَ مَالُ الْمَنْقُولِ إِلَيْهِ؟ فَمِنْهُمْ مَنْ أَوْجَبَ الْقَضَاءَ، وَمِنْهُمْ مَنْ أَسْقَطَهُ، وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ لَا يَجُوزُ نَقْلُ الصَّدَقَةِ إِلَى أَهْلِ الْفَيْءِ وَإِنْ جَهِدُوا وَلَا نَقْلُ الْفَيْءِ إِلَى أَهْلِ الصَّدَقَاتِ وَإِنْ جَهِدُوا، وَيُقَسَّمُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْحَالَيْنِ فِي أَهْلِهِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى سَمَّى لِكُلِّ مَالٍ مَالِكًا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْدَلَ بِهِ عَنْهُ لِمَا فيه من إبطال النص، ولأنه لما يَجُزْ أَنْ يُعْدَلَ بِالْغَنِيمَةِ عَمَّنْ سَمَّاهُ اللَّهُ تَعَالَى فِيهَا انْقِيَادًا لِحُكْمِ النَّصِّ، وَإِنْ كَانَ غَيْرُهُمْ أَشَدَّ ضَرُورَةً وَأَمَسَّ حَاجَةً لَمْ يَجُزْ فِي مَالِ الْفَيْءِ وَالصَّدَقَاتِ أَنْ يُعْدَلَ بِهِ عَنْ حُكْمِ النَّصِّ؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَتْ عَطَايَا الْآدَمِيِّينَ مِنَ الْوَصَايَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُعْدَلَ بِهَا عَمَّنْ سُمِّيَتْ لَهُ فَعَطَايَا اللَّهِ تَعَالَى أَوْلَى؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْدَلَ بِالْمَوَارِيثِ عَمَّنْ سَمَّاهُ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى مَنْ هُوَ آثَرُ وَأَحْوَجُ، فَكَذَلِكَ مَالُ الْفَيْءِ وَالصَّدَقَاتِ؛ وَلِأَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يَسِمُ إبل الصدقة ميسم وإبل الجزية ميسم فَلَوْلَا تَمَيُّزُ الْمُسْتَحَقِّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْمِثَالَيْنِ لَمَا مَيَّزَ بِالْمِيسَمِ.

Al-Mawardi berkata: Ini adalah masalah keenam yang dimaksudkan oleh para ulama Irak, dan kemungkinan Abu Hanifah sependapat dengan mereka. Mereka membolehkan pemindahan sedekah kepada ahli al-fay’ dan pemindahan al-fay’ kepada ahli sedekah dengan mempertimbangkan tingkat kebutuhan yang sangat mendesak. Kemudian mereka berbeda pendapat setelah pemindahan itu, apakah orang yang bagiannya dipindahkan kepadanya harus dipenuhi haknya jika harta yang dipindahkan kepadanya sudah mencukupi? Sebagian dari mereka mewajibkan pemenuhan hak tersebut, dan sebagian lagi menggugurkannya. Menurut al-Syafi‘i, tidak boleh memindahkan sedekah kepada ahli al-fay’ meskipun mereka sangat membutuhkan, dan tidak boleh pula memindahkan al-fay’ kepada ahli sedekah meskipun mereka sangat membutuhkan. Setiap harta dibagikan kepada golongan yang telah ditetapkan untuknya, karena Allah Ta‘ala telah menetapkan pemilik untuk setiap harta, sehingga tidak boleh dialihkan dari mereka, karena hal itu berarti membatalkan nash. Juga karena tidak boleh mengalihkan harta ghanimah dari orang yang telah Allah Ta‘ala sebutkan dalam nash, sebagai bentuk kepatuhan terhadap hukum nash, meskipun selain mereka lebih membutuhkan dan lebih mendesak kebutuhannya, maka demikian pula halnya dengan harta al-fay’ dan sedekah, tidak boleh dialihkan dari hukum nash. Karena jika pemberian manusia berupa wasiat tidak boleh dialihkan dari orang yang telah disebutkan namanya, maka pemberian Allah Ta‘ala lebih utama untuk tidak dialihkan. Dan karena jika warisan tidak boleh dialihkan dari orang yang telah Allah Ta‘ala sebutkan kepada orang yang lebih utama dan lebih membutuhkan, maka demikian pula harta al-fay’ dan sedekah. Dan karena Umar radhiyallahu ‘anhu biasa memberi tanda pada unta sedekah dengan tanda tertentu dan pada unta jizyah dengan tanda tertentu, maka jika tidak ada perbedaan hak bagi masing-masing golongan dalam kedua contoh tersebut, tentu beliau tidak akan membedakan dengan tanda.

فَإِنْ قِيلَ: فَإِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ عَلَى إِبِلٍ كَثِيرَةٍ مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ إِلَى الشَّامِ وَالْعِرَاقِ فَدَلَّ عَلَى جَوَازِ دَفْعِ الصَّدَقَةِ إِلَى أَهْلِ الْفَيْءِ.

Jika dikatakan: Sesungguhnya Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu biasa mengirim banyak unta dari unta sedekah ke Syam dan Irak, maka hal ini menunjukkan bolehnya memberikan sedekah kepada ahli al-fay’.

قَالَ الشَّافِعِيُّ جَوَابًا عَنْ هَذَا: إِنَّ عُمَرَ إِنَّمَا كَانَ يَحْمِلُ عَلَى إِبِلِ الْجِزْيَةِ لَا عَلَى إِبِلِ الصَّدَقَةِ، لِأَنَّ أَكْثَرَ فَرَائِضِ الْإِبِلِ فِي الصَّدَقَاتِ لَا يُحْمَلُ عَلَيْهِ، وَقَدْ رَوَى عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ لَيُبْعَثُ إِلَيْهِ بِنَعَمِ الْجِزْيَةِ فَيَبْعَثُ بِهَا فَيَبْتَاعُ بِهَا إِبِلًا يَحْمِلُ عَلَيْهَا.

Al-Syafi‘i menjawab tentang hal ini: Sesungguhnya Umar hanya mengirim unta jizyah, bukan unta sedekah, karena sebagian besar unta yang menjadi kewajiban dalam sedekah tidak digunakan untuk membawa barang. Telah diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau biasa dikirimi hewan ternak jizyah, lalu beliau mengirimkannya dan membeli unta dengan hewan tersebut untuk digunakan membawa barang.

فصل:

Fasal:

قال الشافعي: ” وقالوا والركاز سبيل الصدقات ورووا ما روينا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” وَفِي الرَّكَازِ الْخُمُسُ ” وَقَالَ ” الْمَعَادِنُ مِنَ الرِّكَازِ وَكُلُّ مَا أُصِيبَ مِنْ دَفْنِ الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ رِكَازٌ ” ثُمَّ عَادَ لَمَّا شَدَّدَ فِيهِ فَأَبْطَلَهُ فَزَعَمَ أَنَّهُ إِذَا وَجَدَ ركازا فواسع لَهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى أَنْ يَكْتُمَهُ وَلِلْوَالِي أَنْ يَرُدَّهُ عَلَيْهِ بَعْدَ مَا يأخذه منه أو يدعه له فقد أبطل بهذا القول السنة في أخذه وحق الله في قسمه لمن جعله الله له ولو جاز ذلك جاز في جميع ما أوجبه الله لمن جعله له (قال) فإنا روينا عن الشعبي أَنَّ رَجُلًا وَجَدَ أَرْبَعَةَ أَوْ خَمْسَةَ آلَافِ درهم فقال علي رضي الله عنه لأقضين فيها قضاء بيّنا أما أربعة أخماس فَلَكَ، وَخُمُسٌ لِلْمُسْلِمِينَ ثُمَّ قَالَ وَالْخُمُسُ مَرْدُودٌ عليك (قال الشافعي) رحمه الله فهذا الحديث ينقض بعضه بعضا إذ زعم أن عليا قال والخمس لِلْمُسْلِمِينَ فَكَيْفَ يَجُوزُ أَنْ يَرَى لِلْمُسْلِمِينَ فِي مال رجل شيئا ثم يرده عليه أو يدعه له وهذا عن علي مستنكر وقد رووا عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِإِسْنَادٍ مَوْصُولٍ أَنَّهُ قَالَ أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهِ لَكَ وَاقْسِمِ الْخُمُسَ في فقراء أهلك فهذا الحديث أشبه بحديث علي رضي الله عنه لعل عليا علمه أمينا وعلم في أهله فقراء من أهل السهمان فأمره أن يقسمه فيهم (قال الشافعي) رحمه الله وهم يخالفون ما رووا عن الشعبي من وجهين أحدهما أنهم يزعمون أن من كانت له مائتا درهم فليس للوالي أن يعطيه ولا له أن يأخذ شيئا من السهمان المقسومة بين من سمى الله تعالى ولا من الصدقات تطوعا والذي يزعمون أن عليا ترك له خمس ركازه رجل له أربعة آلاف درهم ولعله أن يكون له مال سواها ويزعمون أنه إذا أخذ الوالي منه واجبا في ماله لم يكن له أن يعود عليه ولا على أحد يعوله ويزعمون أن لو وليها هو لم يكن له حبسها ولا دفعها إلى أحد يعوله (قَالَ الشَّافِعِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ وَإِذَا كَانَ لَهُ أن يكتمها وللوالي أن يردها إليه فليست بواجبة عليه وتركها وأخذها سواء وقد أبطلوا بهذا القول السنة في أن في الركاز الخمس وأبطلوا حق من قسم الله له من أهل السهمان الثمانية فإن قال لا يصلح هذا إلا في الركاز قيل فإن قيل لك لا يصلح في الركاز ويصلح فيما سوى ذلك من صدقة وماشية وعشر زرع وورق فما الحجة عليه إلا كهي عليك؟ والله سبحانه تعالى أعلم “.

Imam Syafi‘i berkata: “Mereka berkata bahwa rikāz (harta terpendam) adalah jalan sedekah, dan mereka meriwayatkan sebagaimana yang kami riwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Pada rikāz ada kewajiban seperlima (khumus).’ Dan beliau juga berkata: ‘Tambang-tambang termasuk rikāz, dan segala sesuatu yang ditemukan dari peninggalan jahiliyah adalah rikāz.’ Kemudian mereka kembali, ketika memperketat urusan ini, lalu membatalkannya. Mereka mengklaim bahwa jika seseorang menemukan rikāz, maka baginya kelonggaran antara dia dengan Allah Ta‘ala untuk menyembunyikannya, dan bagi penguasa boleh mengembalikannya kepadanya setelah mengambilnya atau membiarkannya untuknya. Dengan pendapat ini, mereka telah membatalkan sunnah dalam pengambilan rikāz dan hak Allah dalam pembagiannya kepada siapa yang telah Allah tetapkan. Jika hal itu dibolehkan, maka akan dibolehkan pula pada seluruh hal yang telah Allah wajibkan kepada siapa yang telah Allah tetapkan. (Beliau berkata:) Kami meriwayatkan dari asy-Sya‘bi bahwa ada seorang laki-laki menemukan empat atau lima ribu dirham, lalu Ali ra. berkata, ‘Aku akan memutuskan perkara ini dengan keputusan yang jelas: Empat perlima adalah milikmu, dan seperlima untuk kaum Muslimin.’ Kemudian beliau berkata, ‘Dan seperlima itu dikembalikan kepadamu.’ (Imam Syafi‘i) rahimahullah berkata: Hadis ini saling bertentangan satu sama lain, karena dikatakan bahwa Ali berkata, ‘Seperlima untuk kaum Muslimin,’ lalu bagaimana mungkin ia melihat ada hak kaum Muslimin dalam harta seseorang, kemudian mengembalikannya atau membiarkannya untuknya? Ini adalah sesuatu yang aneh dari Ali. Mereka juga meriwayatkan dari Ali ra. dengan sanad yang bersambung bahwa beliau berkata, ‘Empat perlima adalah milikmu, dan bagikanlah seperlima itu kepada fakir miskin dari keluargamu.’ Hadis ini lebih mirip dengan hadis dari Ali ra.; mungkin Ali mengetahui bahwa orang itu amanah dan mengetahui di keluarganya ada fakir miskin dari golongan penerima hak, maka beliau memerintahkannya untuk membagikan kepada mereka. (Imam Syafi‘i) rahimahullah berkata: Mereka menyelisihi apa yang mereka riwayatkan dari asy-Sya‘bi dari dua sisi: pertama, mereka mengklaim bahwa siapa yang memiliki dua ratus dirham, maka penguasa tidak boleh memberinya, dan ia tidak boleh mengambil apa pun dari bagian yang dibagikan kepada yang telah Allah sebutkan, juga tidak dari sedekah sunnah. Sementara yang mereka klaim bahwa Ali membiarkan seperlima rikāz kepada seseorang yang memiliki empat ribu dirham, dan mungkin saja ia memiliki harta selain itu. Mereka juga mengklaim bahwa jika penguasa mengambil kewajiban dari hartanya, maka tidak boleh dikembalikan kepadanya atau kepada siapa pun yang ia tanggung. Mereka juga mengklaim bahwa jika ia sendiri yang membagikannya, maka ia tidak boleh menahannya atau memberikannya kepada siapa pun yang ia tanggung. (Imam Syafi‘i) rahimahullah berkata: Jika ia boleh menyembunyikannya dan penguasa boleh mengembalikannya kepadanya, maka itu bukanlah kewajiban baginya, dan meninggalkannya sama saja dengan mengambilnya. Dengan pendapat ini, mereka telah membatalkan sunnah bahwa pada rikāz ada kewajiban seperlima, dan membatalkan hak orang-orang yang telah Allah tetapkan dari delapan golongan penerima. Jika mereka berkata, ‘Ini hanya berlaku pada rikāz,’ maka dikatakan, ‘Jika dikatakan kepadamu bahwa ini tidak berlaku pada rikāz, tetapi berlaku pada selainnya seperti sedekah, hewan ternak, zakat hasil pertanian, dan perak, maka apa hujahmu atasnya selain seperti hujah mereka atasmu?’ Dan Allah Subhanahu wa Ta‘ala lebih mengetahui.”

قال الماوردي: وهذه مسألة سابقة أَرَادَ بِهَا أبا حنيفة، فَإِنَّهُ جَعَلَ فِي الرِّكَازِ الْخُمُسَ لِلْخَبَرِ الْمَرْوِيِّ فِيهِ ثُمَّ نَاقَضَ فِي قَوْلِهِ بَعْدَ وُجُوبِ الْخُمُسِ فِيهِ، فَجَعَلَ وَاجِدَ الرَّكَازِ مُخَيَّرًا بَيْنَ إِظْهَارِهِ لِلْإِمَامِ وَبَيْنَ كَتْمِهِ ثُمَّ جَعَلَ لِلْإِمَامِ إِذَا ظَهَرَ لَهُ الرِّكَازُ، مُخَيَّرًا بَيْنَ أَخْذِ خُمُسِهِ مِنْهُ وَبَيْنَ رَدِّهِ عَلَيْهِ وَعَوَّلَ فِيهِ عَلَى أَنَّهُ ضَعِيفٌ رَوَاهُ الشَّعْبِيُّ مُنْقَطِعًا: أَنَّ رَجُلًا وَجَدَ أَرْبَعَةَ أَوْ خَمْسَةَ آلَافِ دِرْهَمٍ فَقَالَ عَلِيٌّ لِأَقْضِيَنَّ فِيهَا قَضَاءً بَيِّنًا، أَمَّا أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهِ فَلَكَ وَخُمُسٌ لِلْمُسْلِمِينَ ثُمَّ قَالَ: وَالْخُمُسُ مَرْدُودٌ عَلَيْكَ، وَهَذَا خَطَأٌ بَلِ الْخُمُسُ مُسْتَحَقٌّ لِأَهْلِ الصَّدَقَاتِ لَا يَجُوزُ تَرْكُهُ عليه لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فِي الرَّكَائِزِ الْخُمُسُ ” وَلِأَنَّهُ لَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ وَاجِبًا فَلَا يَجُوزُ تَرْكُهُ أَوْ غَيْرَ وَاجِبٍ فَلَا يَجُوزُ أَخْذُهُ، وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ غَنِيًّا لَمْ يَكُنْ لَهُ حَبْسُ الْخُمُسِ عَلَى نَفْسِهِ بِوِفَاقِ أبي حنيفة فَكَذَلِكَ إِذَا كَانَ فَقِيرًا كَالْعُشْرِ.

Al-Mawardi berkata: “Ini adalah masalah terdahulu yang dimaksudkan kepada Abu Hanifah, karena ia menetapkan pada rikāz ada kewajiban seperlima berdasarkan hadis yang diriwayatkan tentangnya, kemudian ia bertentangan dalam pendapatnya setelah menetapkan kewajiban seperlima itu, sehingga ia menjadikan orang yang menemukan rikāz boleh memilih antara menampakkannya kepada imam atau menyembunyikannya. Kemudian ia juga menjadikan imam, jika rikāz itu diketahui olehnya, boleh memilih antara mengambil seperlimanya darinya atau mengembalikannya kepadanya. Ia bersandar pada riwayat yang lemah yang diriwayatkan oleh asy-Sya‘bi secara munqathi‘: bahwa ada seorang laki-laki menemukan empat atau lima ribu dirham, lalu Ali berkata, ‘Aku akan memutuskan perkara ini dengan keputusan yang jelas: Empat perlima adalah milikmu, dan seperlima untuk kaum Muslimin.’ Kemudian beliau berkata, ‘Dan seperlima itu dikembalikan kepadamu.’ Ini adalah kesalahan, bahkan seperlima itu adalah hak yang wajib bagi para penerima sedekah, tidak boleh ditinggalkan baginya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: ‘Pada rikāz ada seperlima.’ Karena itu, tidak lepas dari dua keadaan: jika ia wajib, maka tidak boleh ditinggalkan; jika tidak wajib, maka tidak boleh diambil. Dan jika ia kaya, maka ia tidak boleh menahan seperlima itu untuk dirinya sendiri menurut kesepakatan Abu Hanifah, demikian pula jika ia fakir, seperti halnya zakat ‘usyur.”

فَأَمَّا حَدِيثُ الشَّعْبِيِّ فَقَدْ قَالَ الشافعي بعضه ينقض بعضا إذا زَعَمَ أَنَّ عَلِيًّا قَالَ: إِنَّ الْخُمُسَ لِلْمُسْلِمِينَ فَكَيْفَ يَجُوزُ أَنْ يَرَى لِلْمُسْلِمِينَ فِي مَالِ رَجُلٍ شَيْئًا ثُمَّ يَرُدُّهُ عَلَيْهِ، وَهَذَا عَنْ عَلِيٍّ مُسْتَنْكَرٌ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِإِسْنَادٍ مَوْصُولٍ أَنَّهُ قَالَ: أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهِ لَكَ وَاقْسِمِ الْخُمُسَ فِي فُقَرَاءِ أَهْلِكَ وهل الحديث أشبه بعلي عَلَيْهِ السَّلَامُ مِمَّا رَوَاهُ الشَّعْبِيُّ، وَلِأَنَّ رَدَّ الصَّدَقَةِ عَلَى الْفَيْءِ لَا يَجُوزُ عِنْدَهُ وَمَنْ وَجَدَ أَرْبَعَةَ آلَافِ دِرْهَمٍ كَانَ غَنِيًّا عِنْدَهُ بِبَعْضِهَا وَلَعَلَّهُ قَدْ كَانَ يَمْلِكُ غَيْرَهَا فَكَيْفَ يَجُوزُ أَنْ يَرُدَّ عَلَيْهِ صَدَقَةً هُوَ عِنْدَهُ غَيْرُ مُسْتَحِقٍّ لَهَا وَلَوْ جَازَ مِثْلُ هَذَا فِي الرِّكَازِ لَجَازَ فِي غَيْرِهِ مِنَ الصَّدَقَاتِ، فَدَلَّ عَلَى فَسَادِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ وَتَنَاقُضِ مَا عَوَّلَ عَلَيْهِ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ وَهُوَ الْهَادِي إِلَى سَوَاءِ الطَّرِيقِ.

Adapun hadis yang diriwayatkan oleh asy-Sya‘bi, maka asy-Syafi‘i mengatakan bahwa sebagian isinya saling bertentangan. Ketika ia mengklaim bahwa ‘Ali berkata: “Sesungguhnya khumus itu untuk kaum Muslimin,” maka bagaimana mungkin boleh bagi kaum Muslimin memiliki bagian dari harta seseorang, lalu kemudian dikembalikan lagi kepadanya? Ini adalah sesuatu yang mungkar dari ‘Ali. Telah diriwayatkan dari ‘Ali radhiyallāhu ‘anhu dengan sanad yang bersambung bahwa ia berkata: “Empat perlima darinya adalah milikmu, dan bagilah khumus itu kepada para fakir dari keluargamu.” Hadis ini lebih mirip dengan pendapat ‘Ali ‘alayhis salām daripada yang diriwayatkan oleh asy-Sya‘bi. Selain itu, menurutnya, mengembalikan sedekah kepada fai’ tidaklah diperbolehkan. Barang siapa yang memiliki empat ribu dirham, maka ia dianggap kaya menurutnya dengan sebagian dari harta itu, dan barangkali ia juga memiliki harta lain. Maka bagaimana mungkin ia mengembalikan sedekah kepada seseorang yang menurutnya tidak berhak menerimanya? Seandainya hal seperti ini dibolehkan dalam perkara rikāz, tentu juga dibolehkan dalam selainnya dari sedekah-sedekah lainnya. Maka hal ini menunjukkan rusaknya pendapat yang ia tempuh dan kontradiksi dari apa yang ia jadikan sandaran. Hanya kepada Allah-lah taufik, dan Dialah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus.

تَمَّ كِتَابُ الصَّدَقَاتِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَصَلَوَاتُهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ، يَتْلُوهُ بِحَوْلِ اللَّهِ وَعَوْنِهِ كِتَابُ النِّكَاحِ وَحَسْبُنَا الله ونعم الوكيل.

Selesailah Kitab ash-Shadaqāt, segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan salawat-Nya atas junjungan kita Muhammad dan keluarganya. Setelah ini, dengan izin dan pertolongan Allah, akan dilanjutkan dengan Kitab an-Nikāḥ. Cukuplah Allah bagi kami, dan Dia adalah sebaik-baik pelindung.